Pencarian

Breaking Dawn 7

Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer Bagian 7


memadamkan kobaran apinya dari luar. Kulit leherku terasa aneh di bawah
jemariku. Begitu halus hingga entah bagaimana terasa lembut, walaupun sekeras
batu juga. Edward melepaskan pelukannya dan meraih tanganku yang lain, menariknya lembut.
"Ayo kita berburu, Bella."
Mataku membelalak semakin lebar dan perasaan sakit karena kehausan itu mereda,
berganti dengan shock. Aku" Berburu" Bersama Edward" Tapi... bagaimana" Aku tidak tahu harus melakukan
apa. Edward membaca ekspresi ngeri di wajahku dan tersenyum menyemangati. "Cukup
mudah. Sayang. Alami. Jangan khawatir, aku akan menunjukkan caranya padamu."
Waktu aku tidak bergerak, ia menyunggingkan senyum miringnya dan mengangkat
alis. "Padahal selama ini kukira kau selalu ingin melihatku berburu."
Aku tertawa geli (sebagian diriku mendengarkan dengan takjub suara tawaku yang
bagai lonceng berdentang) saat kata-kata Edward mengingatkanku pada obrolan
kabur kami semasa aku masih menjadi manusia. Kemudian aku mengambil waktu satu
detik penuh untuk memutar kembali kenangan hari-hari pertamaku bersama Edward-
awal hidupku yang sesungguhnya-dalam ingatanku sehingga aku takkan pernah
melupakannya. Aku tidak mengira mengingatnya akan menjadi pengalaman tidak
menyenangkan. Seperti berusaha menyipitkan mata agar bisa melihat lebih jelas di
dalam air yang ketuh berlumpur. Aku tahu dari pengalaman Rosalie bahwa bila aku
cukup sering memikirkan kenangan-kenangan manusiaku, aku tidak akan kehilangan
kenangan-kenangan itu. Aku tidak ingin melupakan satu menit pun yang telah
kulewatkan bersama Edward, bahkan sekarang, saat keabadian membentang di hadapan
kami. Aku harus memastikan kenangan-kenangan manusia itu terpatri selamanya
dalam ingatan vampirku yang tajam.
"Kita pergi sekarang?" tanya Edward. Tangannya terangkat, meraih tanganku yang
masih memegangi leher. Jari-jarinya membelai leherku. "Aku tidak mau kau
kesakitan," imbuhnya dengan suara berbisik pelan. Sesuatu yang dulu pasti takkan
bisa kudengar. "Aku baik-baik saja kok," sergahku, kebiasaan manusiaku yang masih tersisa.
"Tunggu. Pertama."
Ada banyak sekali. Aku belum sempat bertanya apa-apa. Ada banyak hal penting
lain selain rasa sakit ini.
Carlisle-lah yang berbicara sekarang. "Ya?"
"Aku ingin melihatnya. Renesmee,"
Anehnya, sulit mengucapkan namanya. Putriku; kata itu bahkan lebih sulit untuk
dipikirkan. Semuanya terasa sangat jauh. Aku berusaha mengingat bagaimana
perasaanku tiga hari lalu dan otomatis aku menarik tanganku dari genggaman
Edward dan memegang perutku.
Datar, Kosong. Kucengkeram sutra pucat yang menutupi kulitku, sekali lagi panik,
sementara sebagian kecil otakku memberitahu pasti Alice-lah yang memakaikan baju
untukku. Aku tahu tidak ada apa-apa lagi di dalam perutku, dan samar-samar ingat adegan
persalinan berdarah-darah itu, tapi bukti fisiknya masih sulit dicerna. Yang
kutahu hanyalah bahwa aku mencintai bayi yang menendang-nendang dari dalam
perutku. Di luarku ia seperti sesuatu yang pasti hanya merupakan imajinasiku.
Mimpi yang memudar-mimpi yang setengahnya berupa mimpi buruk.
Sementara aku bergumul dengan kebingunganku, kulihat Edward dan Carlisle saling
melirik dengan sikap hati-hati.
"Apa?" tuntutku.
"Bella," kata Edward, nadanya menenangkan. "Itu bukan ide yang bagus. Dia
setengah manusia, Sayang. Jantungnya berdetak, dan darah mengalir dalam pembuluh
darahnya. Sampai dahagamu positif bisa dikendalikan... Kau tidak ingin
membahayakannya, bukan?"
Keningku berkerut. Tentu saja aku tidak menginginkan itu.
Apakah aku tidak terkendali" Bingung, ya. Perhatianku mudah terpecah, ya. Tapi
berbahaya" Bagi dia" Anakku sendiri"
Aku tidak bisa memastikan jawabannya adalah tidak. Kalau begitu aku harus
bersabar. Kedengarannya sulit. Karena sampai aku melihatnya lagi, dia tetap
tidak nyata. Hanya mimpi yang semakin memudar... orang asing...
"Di mana dia?" Kubuka telinga lebar-lebar, kemudian aku bisa mendengar suara
detak jantung di ruangan di bawahku. Aku bisa mendengar lebih dari satu orang
bernapas-pelan, seperti sedang mendengarkan. Selain itu juga ada suara
berdenyut, ketukan, yang tidak bisa kutebak apa...
Dan suara detak jantung yang begitu menggiurkan dan menggairahkan, hingga air
liurku mulai menitik. Kalau begitu aku benar-benar harus belajar berburu sebelum melihatnya. Bayiku
yang asing. "Dia bersama Rosalie?"
"Ya," jawab Edward ketus, dan kentara sekali ada sesuatu dalam pikirannya yang
membuatnya kesal. Kusangka ia dan Rose sudah membereskan masalah mereka. Apakah
perselisihan mereka meledak lagi" Belum lagi aku sempat bertanya, Edward sudah
menarik tanganku dari perutku yang kempis, menariknya pelan,
"Tunggu," protesku lagi, berusaha fokus. "Bagaimana dengan Jacob" Dan Charlie"
Ceritakan padaku semua yang terlewat olehku. Berapa lama aku... tidak sadar?"
Edward sepertinya tidak menyadari keraguanku saat mengucapkan kalimat terakhir.
Lagi-lagi ia malah melirik Carlisle dengan sikap waswas.
"Ada apa?" bisikku.
"Tidak ada apa-apa" jawab Carlisle, memberi penekanan pada kalimat terakhir itu
dengan sikap aneh. "Sebenarnya tak banyak yang berubah-kau hanya tidak sadar
selama dua hari. Prosesnya sangat cepat, sebagaimana lazimnya. Edward pandai
sekali. Sangat inovatif-menyuntikkan racun langsung ke jantungmu adalah idenya."
Ia terdiam sejenak untuk tersenyum bangga pada putranya, lalu menarik napas.
"Jacob masih di sini, dan Charlie masih mengira kau sakit. Dia menyangka kau
sedang di Atlanta sekarang, menjalani serangkaian tes di Center of Disease
Control. Kami memberinya nomor yang tidak bisa dihubungi, dan dia frustrasi.
Selama ini dia berhubungan dengan
Esme." "Apakah sebaiknya kutelepon dia... " Aku bergumam sendiri, tapi saat
mendengarkan suaraku sendiri, aku memahami kesulitan-kesulitan baru. Charlie
tidak akan mengenali suara ini. Itu takkan bisa meyakinkan dia. Kemudian
perkataan Carlisle sebelumnya menyentakku. "Tunggu sebentar-Jacob masih di
sini?" Lagi-lagi mereka saling melirik.
"Bella," Edward buru-buru berkata. "Banyak sekali yang perlu didiskusikan, tapi
kita harus membereskan masalahmu dulu. Kau pasti kesakitan... "
Saat Edward menyinggung masalah itu, aku teringat perasaan panas membakar di
kerongkonganku, dan menelan ludah dengan susah payah. "Tapi Jacob... "
"Kita masih punya banyak waktu untuk menjelaskannya. Sayang," Edward
mengingatkan dengan lembut.
Tentu saja. Aku bisa menunda mendengar jawabannya sedikit lebih lama lagi; lebih
mudah mendengarkan bila kesakitan katena dahaga yang luar biasa ini tak lagi
mengganggu konsentrasiku. "Oke."
"Tunggu, tunggu, tunggu," suara Alice melengking dari ambang pintu. Ia menari-
nari memasuki ruangan, gerakannya sangat anggun. Seperti tadi waktu melihat
Edward dan Carlisle, aku juga merasakan perasaan shock yang sama ketika benar-
benar memandang wajahnya untuk pertama kali. Cantik sekali, "Kau sudah berjanji
aku akan ikut menyaksikan ketika itu pertama kali terjadi! Bagaimana kalau
kalian nanti berlari melewati sesuatu yang bisa memantulkan bayangan?"
"Alice..." protes Edward.
"Sebentar saja kok!" Dan setelah berkata begitu, Alice melesat keluar ruangan.
Edward mendesah. "Omong apa sih dia?"
Tapi Alice sudah kembali, memboyong cermin besar berbingkai emas dari kamar
Rosalie, yang ukurannya nyaris dua kali tinggi badannya, dan beberapa kali lebih
lebar, Jasper sejak tadi berdiri diam tak bersuara sehingga aku tidak memerhatikannya
sejak ia berjalan masuk mengikuti Carlisle. Sekarang ia bergerak lagi, mengawal
ketat Alice, matanya terpaku pada ekspresiku. Karena akulah yang berbahaya di
sini. Aku tahu ia akan merasakan suasana hati di sekitarku juga, dan ia pasti
merasakan kekagetanku waktu aku mengamati wajahnya, melihatnya dengan saksama
untuk pertama kali. Dari kacamata manusiaku yang tidak jelas, bekas-bekas luka dari kehidupan Jasper
sebelumnya bersama pasukan vampir baru di Selatan kebanyakan tidak terlihat.
Hanya bila berada di bawah cahaya terang benderang yang memantulkan sinar di
atas bekas lukanya yang sedikit menonjol, baru aku bisa menyadari kehadiran
luka-luka itu. Sekarang setelah aku bisa melihat, bekas-bekas luka itu menjadi fitur paling
dominan dalam diri Jasper. Sulit mengalihkan mataku dari leher dan dagunya yang
carut-marut-sulit dipercaya bahwa bahkan vampir bisa selamat dari begitu banyak
bekas gigitan yang mengoyak lehernya.
Instingtif, aku mengejang sebagai upaya pertahanan diri. Vampir mana pun yang
melihat Jasper pasti bereaksi sama. Bekas-bekas luka itu bagaikan billboard yang
menyala terang. Berbahaya, jerit mereka. Berapa banyak vampir yang pernah
mencoba membunuh Jasper" Ratusan" Ribuan" Jumlah yang. sama mati dalam upaya
membunuhnya. Jasper melihat dan merasakan penilaianku, perasaan waswasku, dan tersenyum
kecut. "Edward memarahiku karena tidak mengizinkanmu becermin sebelum menikah" kata
Alice, mengalihkan perhatianku dari kekasihnya yang menakutkan itu. "Aku tidak
mau dikunyah-kunyah lagi seperti itu."
"Dikunyah-kunyah?" tanya Edward skeptis, sebelah alisnya terangkat.
"Mungkin aku terlalu melebih-lebihkan," gumam Alice sambil membalikkan cermin
menghadapku. "Dan mungkin ini ada hubungannya dengan kepuasan mengintipmu," balas Edward,
Alice mengedipkan mata padanya.
Aku tidak begitu memedulikan pembicaraan mereka. Sebagian besar konsentrasiku
terpaku pada orang di dalam cermin itu.
Reaksi pertamaku adalah merasa senang. Makhluk asing dalam cermin itu luar biasa
cantik, sama cantiknya dengan Alice atau Esme, Ia luwes bahkan saat berdiam
diri, dan wajahnya yang mulus pucat seperti bulan di dalam bingkai rambutnya
yang gelap dan tebal. Kaki serta tangannya halus dan kuat, kulitnya berkilauan
lembut, cemerlang bagaikan mutiara.
Reaksi keduaku adalah ngeri.
Siapa wanita itu" Saat pertama melihatnya, aku tidak bisa menemukan wajahku
dalam sosoknya yang serbahalus dan sempurna itu.
Dan matanya! Walaupun aku sudah tahu itu akan terjadi, mata wanita itu tetap
membuatku bergidik ngeri.
Sementara aku mengamati dan bereaksi, wajah wanita itu tetap tenang, seperti
patung dewi, sama sekali tidak menunjukkan gejolak hati dalam diriku. Kemudian
bibirnya yang penuh itu bergerak.
"Matanya?" bisikku, tidak tega mengatakan mataku. "Berapa lama?"
"Nanti akan menggelap sendiri setelah beberapa bulan," jawab Edward dengan nada
lembut dan menghibur. "Darah binatang lebih cepat melunturkan warnanya daripada
darah manusia. Matamu nanti akan berubah menjadi cokelat kekuningan, kemudian
kuning emas." Mataku akan menyala-nyala seperti lidah api merah seperti ini selama berbulan-
bulan" "Beberapa bulan?" Suaraku melengking sekarang, srres. Di cermin alisku yang
sempurna terangkat dengan sikap tak percaya di atas mata merahnya yang menyala-
nyala-lebih terang daripada apa pun yang pernah kulihat sebelumnya.
Jasper maju satu langkah, terusik kekalutanku yang tiba-tiba memuncak. Ia tahu
sekali bagaimana para vampir baru itu; apakah emosi ini menandai langkah salah
di pihakku" Tidak ada yang menjawab pertanyaanku. Aku memalingkan wajah, memandang Edward
dan Alice. Mata mereka masih sedikit tidak fokus-bereaksi terhadap keresahan
Jasper, Mendengarkan penyebabnya, bersiap menanti apa yang akan terjadi
selanjutnya. Lagi-lagi aku menarik napas dalam-dalam yang sebenarnya tidak perlu.
"Tidak, aku tidak apa-apa," aku meyakinkan mereka. Mataku berkelebat ke orang
asing di dalam cermin dan kembali kepada mereka. "Hanya... masih belum
terbiasa." Alis Jasper berkerut, semakin menonjolkan dua bekas luka di atas mata kirinya.
"Entahlah," gumam Edward,
Wanita dalam cermin itu mengerutkan kening, "Pertanyaan apa yang terlewatkan
olehku?" Edward menyeringai "Jasper penasaran bagaimana kau melakukannya."
"Melakukan apa?"
"Mengontrol emosimu, Bella," jawab Jasper. "Aku belum pernah melihat ada vampir
baru yang bisa melakukannya- menghentikan emosi seperti itu. Kau tadi kalut,
tapi waktu melihat kecemasan kami, kau mengendalikannya, menguasai dirimu
kembali. Sebenarnya aku tadi sudah siap membantu, tapi kau tidak
membutuhkannya." "Apakah itu salah?" tanyaku. Tubuhku membeku waktu menunggu vonisnya.
"Tidak," jawab Jasper, tapi suaranya bernada tidak yakin.
Edward mengusap-usap lenganku, seperti membujukku untuk mencair. "Sangat
mengesankan. Bella, tapi kami tidak memahaminya. Kami tidak tahu sampai kapan
itu bisa bertahan." Aku mempertimbangkan perkataannya itu sejenak. Jadi kapan saja aku bisa meledak"
Berubah menjadi monster"
Aku tidak bisa merasakan hal itu terjadi... Mungkin itu memang tidak bisa
diantisipasi. "Tapi bagaimana pendapatmu" tanya Alice, agak tidak sabar sekarang, menuding ke
arah cermin. "Entahlah," elakku, tak ingin mengakui betapa takut aku sesungguhnya.
Kupandangi wanita cantik bermata mengerikan itu, mencari sisa-sisa diriku yang
lama. Ada sesuatu dalam bentuk bibirnya-kalau kau bisa melihatnya di balik
kecantikannya yang mencengangkan itu, kentara bibir atasnya sedikit tidak
seimbang, terlalu penuh untuk serasi dengan bibir bawahnya. Menemukan kekurangan
kecil yang familier ini membuatku merasa sedikit lebih nyaman. Mungkin sebagian
diriku yang lain juga ada di sana.
Sekadar coba-coba aku mengangkat tangan, dan wanita dalam cermin mengikuti
gerakanku, menyentuh wajahnya juga. Mata merahnya menatapku waswas.
Edward mendesah. Aku berpaling dari wanita itu dan menatap Edward, mengangkat sebelah alisku.
"Kecewa?" tanyaku, suaraku yang berdentang terdengar tanpa emosi. Edward
tertawa, "Ya," ia mengakui.
Aku merasa keterkejutan terpancar dari topengku yang tenang, langsung diikuti
perasaan terluka. Alice menggeram. Jasper mencondongkan tubuhnya lagi, menungguku meledak.
Tapi Edward mengabaikan mereka dan melingkarkan kedua lengannya erat-erat ke
tubuhku yang baru saja membeku, menempelkan bibirnya ke pipiku. "Sebenarnya aku
berharap akan bisa mendengar pikiranmu setelah sekarang kau sama denganku,"
bisiknya. "Tapi ternyata aku tetap sefrustrasi dulu, penasaran tentang apa yang
sebenarnya berkecamuk dalam benakmu."
Aku langsung merasa lega.
"Oh well" ujarku enteng, lega karena ia tetap tidak bisa membaca pikiranku.
"Kurasa otakku takkan pernah bekerja dengan benar. Paling tidak aku cantik."
Semakin mudah bergurau dengannya setelah aku bisa menyesuaikan diri, berpikir
jernih. Menjadi diriku sendiri.
Edward menggeram di telingaku. "Bella, kau tidak pernah hanya sekadar cantik,"
Lalu ia menjauhkan wajahnya dari wajahku, dan mendesah.
"Ya deh, ya deh," tukas Edward pada seseorang.
"Apa?" tanyaku.
"Kau membuat Jasper semakin gelisah. Dia baru bisa rileks kalau kau sudah
berburu." Kutatap ekspresi khawatir Jasper dan mengangguk. Aku tidak mau meledak di sini,
kalau itu memang akan terjadi. Lebih baik berada di tengah hutan daripada di
tengah keluarga. "Oke. Ayo kita berburu," aku setuju, campuran perasaan tegang sekaligus
bersemangat membuat perutku bergetar. Kulepaskan pelukan Edward, dan sambil
memegang sebelah tangannya, berbalik memunggungi wanita rupawan dan aneh dalam
cermin itu. 21. PERBURUAN PERTAMA "LEWAT jendela?" tanyaku, menunduk memandangi dua lantai di bawah.
Aku tak pernah benar-benar takut ketinggian, tapi karena bisa melihat semua
detail dengan sangat jelas, rasanya jadi agak menakutkan. Sisi-sisi batu di
bawah lebih tajam daripada yang selama ini kubayangkan.


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Edward tersenyum. "Ini jalan keluar paling nyaman. Kalau takut, aku bisa
menggendongmu." "Kita punya keabadian, tapi kau malah mengkhawatirkan berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk keluar lewat pintu belakang?"
Kening Edward berkerut sedikit. "Renesmee dan Jacob ada di bawah..."
"Oh." Benar. Aku monster sekarang. Aku harus menjauh dari bau-bauan yang mungkin akan
memicu sisi liarku. Terutama dari orang-orang yang kucintai. Bahkan mereka yang
belum terlalu kukenal. "Apakah Renesmee... baik-baik saja... bersama Jacob di sana?" bisikku. Aku
terlambat menyadari bahwa pasti tadi jantung Jacob-lah yang kudengar di bawah.
Aku membuka telinga lebar-lebar, tapi hanya bisa mendengar satu detak jantung
teratur. "Jacob tidak terlalu suka pada Renesmee."
Bibir Edward menegang aneh. "Percayalah, Renesmee sangat aman. Aku tahu persis
apa yang dipikirkan Jacob."
"Tentu saja," gumamku, kembali memandang tanah.
"Mengulur-ulur waktu nih?" tantang Edward.
"Sedikit. Aku tak tahu bagaimana... "
Dan aku malu sekali diperhatikan keluarga di belakangku, yang menonton sambil
terdiam. Sebagian besar diam. Emmett sempat terkekeh pelan. Sekali saja aku
berbuat kesalahan, ia pasti bakal tertawa berguling-guling di lantai. Lalu
lelucon tentang satu-satunya vampir kikuk di dunia bakal menyebar...
Dan gaun ini-yang pasti dipakaikan Alice saat aku sangat kesakitan karena
terbakar hingga tidak menyadarinya-bukan baju yang akan kupilih untuk melompat
dari jendela atau pergi berburu. Gaun sutra warna biru es ketat" Memangnya
dikiranya aku mau ke mana" Apakah nanti akan ada pesta koktail"
"Perhatikan aku," kata Edward. Kemudian dengan sikap sangat biasa ia melangkah
keluar dari jendela tinggi yang terbuka.
Kupandangi ia dengan saksama, menganalisis bagaimana ia menekuk lutut untuk
meredam benturan. Suara mendaratnya sangat pelan-berdebam pelan seperti suara
pintu ditutup perlahan, atau buku diletakkan hati-hati di meja.
Kelihatannya tidak sulit.
Mengatupkan gigi kuat-kuat sambil berkonsentrasi, aku berusaha meniru langkah
Edward yang sangat biasa saat melompat ke udara.
Hah! Tanah seolah bergerak menyongsongku sehingga tak sulit sama sekali
menjejakkan kaki-sepatu apa yang dipakaikan Alice ke kakiku" Stileto" Alice
pasti sudah sinting-dan mendaratkan sepatu konyolku ini dengan tepat sehingga
pendaratanku tak ada bedanya dengan melangkah di permukaan yang datar.
Aku menumpukan berat tubuhku ke tumit, tak ingin tali sepatuku yang tipis putus.
Pendaratanku sama mudahnya dengan Edward tadi. Aku menyeringai padanya.
"Benar. Gampang"
Edward membalas senyumku. "Bella?"
"Ya?" "Anggun sekali lompatanmu tadi-bahkan untuk ukuran vampir."
Aku mempertimbangkan perkataannya sesaat, kemudian senyumku merekah. Kalau
Edward asal saja mengucapkan itu, Emmett pasti sudah tertawa. Tapi tak ada yang
menganggap komentarnya lucu, jadi perkataan Edward tadi pasti benar. Ini pertama
kali seseorang mengatakan aku anggun seumur hidupku... atau, well, sepanjang
eksistensiku setidaknya. "Terima kasih" kataku.
Kemudian aku melepas sepatu satin perakku satu per satu, lalu melemparnya lewat
jendela yang terbuka. Agak terlalu keras mungkin, tapi aku mendengar seseorang
menangkapnya sebelum sepatu itu merusak panel dinding.
Alice menggerutu, "Selera fashion-nya ternyata tidak membaik seperti
keseimbangannya." Edward menggandeng tanganku-aku tak henti-hentinya mengagumi kulitnya yang mulus
dan suhu tubuhnya yang kini terasa nyaman -dan melesat melintasi halaman
belakang menuju tepi sungai. Aku bisa mengimbanginya tanpa kesulitan sama
sekali. Semua yang berkaitan dengan masalah fisik sepertinya sangat sederhana.
"Apakah kita akan berenang?" tanyaku pada Edward ketika kami berhenti di tepi
sungai. "Dan merusak gaunmu yang cantik" Tidak. Kita melompat saja."
Aku mengerucutkan bibir, menimbang-nimbang. Sungai itu kira-kira 45 meter
lebarnya. "Kau dulu," kataku.
Edward menyentuh pipiku, dengan cepat mundur dua langkah kemudian berlari,
melompat dengan bertumpu pada batu ceper yang terbenam kuat di tepi sungai.
Kuamati gerakannya yang secepat kilat saat ia melengkung melompati sungai,
kemudian jungkir balik sebelum lenyap di balik pohon-pohon rindang di seberang
sungai. "Dasar tukang pamer," gumamku, dan mendengar tawa Edward yang tidak terlihat.
Aku mundur lima langkah, untuk berjaga-jaga, lalu menarik napas dalam-dalam.
Tiba-tiba aku kembali waswas. Bukan karena takut jatuh atau terluka-aku lebih
mencemaskan nasib pohon-pohon di hutan sana.
Meski datangnya perlahan, tapi aku bisa merasakannya sekarang-kekuatan luar
biasa merayapi kakiku. Tiba-tiba aku yakin bila ingin menerobos di bawah sungai,
memorak-porandakan bebatuan agar bisa lewat, itu takkan terlalu sulit. Benda-
benda di sekelilingku-pohon-pohon, semak-semak... rumah-semua mulai terlihat
sangat rapuh. Berharap semoga tak ada pohon di seberang sungai yang menjadi kesayangan Esme,
aku mulai berlari. Kemudian berhenti waktu gaun satin ketatku robek sepanjang
lima belas sentimeter di bagian paha. Alice!
Well, karena Alice selama ini memang selalu menganggap pakaian sebagai benda
sekali pakai dan mudah digantikan, ia pasti takkan mempermasalahkan hal ini.
Hati-hati aku membungkuk dan mencengkeram ujung gaun sebelah kanan yang belum
robek, lalu, dengan mengerahkan sedikit tenaga saja, merobek gaun itu hingga
pangkal paha. Berikutnya, aku menyesuaikan robekan di sebelah kiri.
Begini lebih nyaman. Aku bisa mendengar suara tawa teredam di rumah, bahkan suara seseorang
mengertakkan gigi. Suara tawa itu berasal dari lantai atas dan bawah, dan dengan
mudah aku bisa mengenali suara tawa kasar dan serak yang sangat berbeda dari
lantai satu. Jadi Jacob juga ikut menonton" Tak terbayang apa yang dipikirkannya sekarang,
atau mengapa ia masih di sini, Sebelumnya aku membayangkan reuni kami-kalau ia
bisa memaafkan aku-masih akan lama terjadi, kalau aku sudah lebih stabil, dan
waktu telah menyembuhkan luka-luka yang diakibatkan olehku.
Aku tidak menoleh untuk memandangnya sekarang, mengkhawatirkan suasana hatiku
yang cepat berubah. Tak baik membiarkan emosiku terlalu menguasai pikiran.
Ketakutan Jasper juga membuatku waswas. Aku harus berburu dulu sebelum berurusan
dengan hal-hal lain. Aku berusaha melupakan semua hal lain agar bisa
berkonsentrasi. "Bella?" Edward berseru memanggilku dari hutan, suaranya semakin dekat. "Kau mau
melihat lagi?" Tapi aku bisa mengingat semuanya secara sempurna, tentu saja, dan aku tak ingin
memberi Emmett alasan untuk semakin kesenangan melihatku belajar. Ini masalah
fisik-seharusnya ini instingtif Maka aku pun menghela napas dalam-dalam dan lari
ke arah sungai. Tak terganggu rokku, hanya dibutuhkan satu lompatan lebar untuk mencapai tepi
sungai. Hanya dua puluh detik, namun rentang waktu itu sudah cukup lama bagiku -
mata dan pikiranku bergerak sangat cepat hingga satu langkah saja sudah cukup.
Mudah saja memosisikan kaki kananku sedemikian rupa di atas batu ceper dan
mengerahkan tekanan yang cukup untuk membuat tubuhku melayang di udara.
Perhatianku lebih tertuju pada mengarahkan daripada kekuatan, jadi aku keliru
menerapkan kekuatan yang dibutuhkan-tapi paling tidak kesalahanku itu tidak
membuatku basah kuyup. Lebar 45 meter ternyata jarak yang agak terlalu enteng...
Rasanya aneh dan menggetarkan, tapi sangat singkat. Satu detik belum lagi
berlalu, tapi aku sudah berada di seberang sungai.
Mulanya aku mengira pepohonan yang tumbuh rapat akan jadi masalah, tapi ternyata
keberadaan mereka cukup membantu. Mudah saja mengulurkan satu tangan saat aku
terjatuh lagi ke bumi di tengah hutan dan meraih cabang terdekat; aku berayun
ringan di dahan itu dan mendarat di atas kaki, masih empat setengah meter dari
ranah, di atas dahan lebar cemara Sitka.
Mengasyikkan sekali. Di sela-sela derai tawa senang, aku bisa mendengar Edward menghampiriku.
Lompatanku dua kali lebih panjang daripada lompatannya. Waktu ia sampai ke
pohonku, matanya membelalak lebar. Aku meloncat turun dari dahan pohon dan
berdiri di sampingnya, tanpa suara mendarat lagi dengan bertumpu pada tumit.
"Tadi bagus tidak?" tanyaku, desah napasku semakin memburu penuh semangat.
"Bagus sekali." Edward tersenyum setuju, tapi nadanya yang biasa-biasa saja
tidak cocok dengan ekspresi terkejut di matanya.
"Bisakah kita melakukannya lagi?"
"Fokus, Bella-kira sedang berburu."
"Oh, benar." Aku mengangguk. "Berburu."
"Ikuti aku... kalau bisa." Edward nyengir, ekspresinya tiba-tiba menggoda, lalu
mendadak ia berlari. Ia lebih cepat daripadaku. Aku tak bisa membayangkan bagaimana ia bisa
menggerakkan kakinya secepat itu, tapi itu semua di luar perkiraanku.
Bagaimanapun juga, aku lebih kuat, dan setiap langkahku setara dengan tiga
langkahnya. Maka aku pun terbang bersamanya menerobos jaring hijau hidup, di
sisinya, sedikit pun tidak mengikutinya. Sambil berlari aku tak kuasa menahan
tawa kegirangan merasakan keasyikannya; tawa itu tidak memperlambat lariku
ataupun merusak konsentrasiku.
Akhirnya aku mengerti mengapa Edward tak pernah menabrak pepohonan saat berlari-
pertanyaan yang selalu menjadi misteri bagiku. Sensasinya sungguh menggetarkan,
keseimbangan antara kecepatan dan kejernihan. Karena sementara aku meroket di
atas, di bawah, dan menerobos kerindangan hijau dengan kecepatan yang seharusnya
membuat segala sesuatu di sekelilingku jadi hijau kabur, aku tetap bisa dengan
jelas melihat setiap helai daun kecil di ranting-ranting setiap semak yang
kulewati. Embusan angin yang ditimbulkan lariku membuat rambut dan gaunku yang robek
berkibar, dan, walaupun aku tahu tak seharusnya begitu, tapi rasanya hangat
menerpa kulit. Sama seperti tanah hutan yang kasar seharusnya tidak terasa
seperti beledu di bawah kakiku yang telanjang, dan ranting-ranting yang menyabet
kulitku seharusnya tidak terasa seperti belaian bulu-bulu.
Suasana hutan jauh lebih hidup daripada yang selama ini kuketahui-makhluk-
makhluk kecil yang keberadaannya tak pernah kuduga memenuhi dedaunan di
sekelilingku. Makhluk-makhluk itu terdiam setelah kami lewat, napas mereka
memburu ketakutan. Hewan-hewan itu bereaksi secara lebih bijaksana terhadap bau
kami daripada manusia. Jelas, itu menimbulkan efek berbeda terhadapku dulu.
Aku terus-menerus menunggu untuk merasa lelah, tapi napasku sama sekali tidak
kepayahan. Aku menunggu munculnya rasa ngilu di otot-otot kakiku, tapi
kekuatanku sepertinya malah bertambah setelah mulai terbiasa dengan kecepatan
lariku. Lompatanku semakin panjang, dan tak lama kemudian Edward berusaha
mengimbangiku. Aku tertawa, girang, waktu kudengar ia kalah cepat di belakangku.
Kakiku yang telanjang menyentuh tanah secara tidak beraturan sehingga aku merasa
lebih seperti terbang daripada lari.
"Bella," seru Edward garing, suaranya datar, malas. Aku tidak bisa mendengar
yang lain ia sudah berhenti.
Aku sempat menimbang-nimbang untuk memberontak.
Tapi sambil mengembuskan napas aku berputar dan melesat ringan ke sampingnya,
beberapa meter di belakang. Kutatap ia dengan pandangan menunggu. Ia tersenyum,
sebelah alis terangkat, la sangat tampan sampai-sampai aku hanya bisa
menatapnya. "Kau mau tetap di hutan?" tanyanya, geli. "Atau kau berencana melanjutkan
perjalanan sampai ke Kanada sore ini?"
"Ini saja bagus," aku menyetujui, tidak begitu memerhatikan perkataannya, tapi
lebih pada cara bibirnya bergerak saat ia bicara. Sulit benar berkonsentrasi
pada satu hal jika ada banyak hal baru yang terasa segar di mata baruku yang
tajam. "Kita akan berburu apa?"
"Rusa besar. Yang mudah-mudah saja untuk awalnya..." Suaranya menghilang waktu
mataku menyipit mendengar kata mudah.
Tapi aku tidak mau membantah; aku terlalu haus. Begitu mulai memikirkan
kerongkonganku yang panas membara, hanya itu yang bisa kupikirkan. Jelas-jelas
semakin parah. Mulutku seperti gurun pasir yang kering kerontang.
"Di mana?" tanyaku, menyapukan pandangan tak sabar ke pepohonan. Sekarang
setelah aku memerhatikan dahagaku, rasanya itu mencemari setiap pikiran lain
dalam benakku, menodai pikiran-pikiran menyenangkan lain seperti berlari, bibir
Edward dan berciuman dengannya dan... dahaga yang kering kerontang. Aku tidak
bisa melepaskan diri darinya.
"Diamlah sebentar" pinta Edward, meletakkan tangan di bahuku. Dahagaku yang
mendesak mereda sesaat begitu disentuh olehnya.
"Sekarang pejamkan matamu," bisiknya. Waktu aku menurut, ia mengangkat kedua
tangannya ke wajahku, membelai-belai tulang pipiku. Aku merasakan napasku
memburu dan menunggu pipiku memerah meski itu takkan terjadi.
"Dengar," perintah Edward. 'Apa yang kaudengar?"
Semuanya, aku bisa saja menjawab begitu; suaranya yang sempurna, desah napasnya,
bibirnya yang saling bergesekan saat berbicara, bisikan burung-burung yang
membersihkan bulu mereka di pucuk-pucuk pohon, detak jantung mereka yang
menggelepar, daun-daun maple yang bergesekan, suara semut-semur berbaris menaiki
batang pohon terdekat. Tapi aku tahu yang ia maksud adalah sesuatu yang
spesifik, maka kubiarkan telingaku menjelajah ke luar, mencari sesuatu selain
dengung kehidupan pelan yang mengelilingiku. Ada ruang terbuka di dekat kami-
angin terdengar berbeda di rerumputan yang terbuka-dan sungai kecil, dengan
dasar berbatu-batu. Dan di sana, dekat suara air, terdengar bunyi kecipak yang
ditimbulkan jilatan lidah, suara detak jantung yang nyaring, memompa aliran
darah kental... Rasanya sisi-sisi tenggorokanku terisap menutup.
"Dekat sungai, di sebelah timur laut?"
"Ya." Nadanya menyetujui. "Sekarang... tunggu sampai angin bertiup lagi dan...
bau apa yang kaucium?"
Kebanyakan yang kucium adalah bau tubuh Edward-wangi tubuhnya yang aneh,
campuran bau madu, lilac, dan matahari. Tapi juga bau tajam dedaunan busuk dan
lumut, bau damar di pepohonan yang daunnya selalu hijau, bau tikus-tikus tanah
kecil yang bersembunyi di bawah akar-akar pohon, baunya hangat dan agak mirip
kacang. Kemudian, setelah semakin mempertajam pendengaran, bau air bersih, yang
herannya tidak menggiurkan sama sekali, padahal saat ini aku sedang kehausan.
Perhatianku terfokus pada air dan menemukan bau yang pasti berhubungan dengan
bunyi kecipak dan detak jantung tadi. Dan bau lain yang hangat, kuat, dan tajam,
lebih tajam daripada yang lain-lain. Tapi tetap sama tidak menggiurkannya dengan
bau sungai tadi. Aku mengernyitkan hidung.
Edward terkekeh. "Aku tahu-nanti lama-lama kau akan terbiasa."
"Tiga?" tebakku.
"'Lima. Ada dua lagi di pepohonan di belakang mereka."
"Aku harus bagaimana sekarang?"
Suara Edward kedengarannya seperti tersenyum. "Rasa-rasanya kau ingin melakukan
apa?" Aku memikirkan pertanyaan itu, mataku masih terpejam sementara aku mendengarkan
dan menghirup bau itu. Dahaga yang menyengat lagi-lagi mengusik kesadaranku, dan
tiba-tiba bau hangat menyengat itu tak lagi terlalu memualkan. Setidaknya itu
akan jadi sesuatu yang panas dan basah di mulutku yang kering kerontang. Mataku
membuka tiba-tiba. "Jangan dipikirkan," Edward menyarankan saat ia mengangkat kedua tangannya dari
wajahku dan mundur selangkah. "Ikuti saja instingmu."
Kubiarkan diriku terhanyut oleh bau itu, nyaris tak menyadari gerakanku saat aku
melayang menyusuri turunan menuju padang rumput sempit tempat sungai itu
mengalir. Tubuhku otomatis membungkuk ke depan saat aku ragu ragu di samping
pepohonan yang dipagari pakis-pakisan. Bisa kulihat seekor rusa besar, dua lusin
tanduk memahkotai kepalanya, di tepi sungai, dan bayang-bayang empat rusa lain
yang berjalan ke timur, memasuki hutan dengan langkah-langkah tenang.
Aku memusatkan diriku pada bau rusa jantan itu, titik panas di lehernya yang
berjumbai-jumbai, tempat kehangatan berdenyut paling kuat. Hanya 27 meter-dua
atau tiga langkah lebar-jarak yang memisahkan kami. Aku mengejang sebelum
melakukan lompatan pertama
Tapi saat otot-ototku mengejang untuk bersiap-siap, angin berubah arah, bertiup
lebih kencang sekarang, dari arah selatan. Aku tidak berhenti untuk berpikir,
menghambur keluar dari pepohonan, melesat ke arah yang berlawanan dengan rencana
awalku, mengagetkan rusa itu dan membuatnya kabut ke hutan, mengejar bau baru
yang sangat menggiurkan hingga tak ada pilihan lain. Itu kewajiban.
Bau itu menguasaiku sepenuhnya. Pikiranku hanya tertuju pada bau itu saat aku


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melacaknya, hanya menyadari dahaga serta bau yang menjanjikan kepuasan. Dahagaku
semakin menjadi-jadi, begitu menyakitkan sekarang hingga membingungkan pikiran-
pikiranku yang lain dan mulai mengingatkanku pada panasnya racun yang membakar
dalam pembuluh darahku. Hanya satu yang masih berpeluang menembus fokusku sekarang, insting yang lebih
kuat, lebih mendasar daripada kebutuhan untuk memadamkan api-yaitu insting untuk
melindungi diriku dari bahaya. Insting menyelamatkan diri sendiri.
Mendadak perhatianku waspada oleh fakta bahwa aku sedang diikuti. Tarikan bau
menggiurkan itu berperang dengan dorongan untuk berbalik dan mempertahankan
buruanku. Gelembung-gelembung suara membuncah di dadaku, sudut-sudut bibirku
tertarik ke belakang dengan sendirinya, memamerkan gigiku sebagai peringatan.
Langkahku melambat, dan kebutuhan untuk melindungi diri berperang melawan gairah
untuk memuaskan dahagaku.
Kemudian aku bisa mendengar pemburuku semakin dekat, dan insting membela dirilah
yang menang. Saat aku berbalik, suara membuncah tadi melesat melewati
tenggorokanku dan keluar.
Geraman buas, yang keluar dari mulutku sendiri, sangat tak terduga-duga hingga
langkahku terhenti. Itu membuat ketenanganku terguncang, dan menjernihkan
pikiranku sejenak-kabut yang dikendalikan dahaga itu menipis, walaupun rasa haus
itu terus membakar. Angin berubah arah, meniupkan bau tanah basah dan hujan yang turun ke wajahku,
semakin membebaskanku dari cengkeraman bau yang lain itu -bau yang sangat
menggiurkan hingga bisa dipastikan itu bau manusia.
Edward ragu-ragu beberapa meter dariku, kedua lengannya terangkat seperti hendak
memelukku-atau menahanku. Wajahnya sungguh-sungguh dan hati-hati sementara aku
membeku, ngeri. Sadarlah aku bahwa aku tadi nyaris menyerangnya. Tersentak keras, aku meluruskan
tubuh dari posisiku yang membungkuk defensif. Kutahan napasku sementara aku
memfokuskan kembali perhatianku, takut mencium bau kuat yang berpusar-pusar dari
arah selatan. Edward bisa melihat wajahku kembali waras, dan ia maju selangkah ke arahku,
menurunkan kedua tangannya.
"Aku harus pergi dari sini," semburku dari sela-sela gigiku, menggunakan sisa-
sisa napas yang kumiliki.
Edward tampak shock. "Memangnya kau bisa pergi?"
Aku tidak sempat lagi bertanya apa maksud perkataannya itu. Aku tahu kemampuanku
berpikir jernih hanya akan bertahan selama aku bisa membuat diriku berhenti
berpikir tentang... Aku kembali berlari, langsung melesat ke arah utara, hanya berkonsentrasi pada
perasaan tak nyaman karena kurangnya pengalaman sensoris yang tampaknya
merupakan satu-satunya respons tubuhku terhadap kurangnya udara. Satu-satunya
tujuanku adalah berlari sejauh mungkin hingga bau di belakangku benar-benar
hilang. Mustahil ditemukan, bahkan seandainya aku berubah pikiran...
Sekali lagi aku sadar diriku diikuti, tapi kali ini aku waras. Kulawan insting
untuk menarik napas-menggunakan bau-bauan di udara untuk memastikan itu Edward.
Aku tak perlu berjuang terlalu lama; walaupun aku berlari lebih cepat daripada
yang pernah kulakukan sebelumnya, melesat bagai komet di jalan setapak paling
lurus yang bisa kutemukan di antara pepohonan; Edward berhasil menyusulku tak
lama kemudian. Pikiran baru melintas di otakku, dan langkahku tiba-tiba terhenti, kedua kakiku
menjejak mantap di tanah. Aku yakin aku pasti aman di sini, tapi aku tetap
menahan napas untuk berjaga-jaga.
Edward melesat melewatiku, terkejut karena aku tiba-tiba berhenti. Dengan cepat
ia berbalik dan dalam sedetik sudah berada di sampingku. Ia meletakkan kedua
tangannya di pundakku dan menatap mataku, ekspresi shock masih mendominasi
wajahnya. "Bagaimana kau bisa melakukannya?" tuntut Edward.
"Ternyata kau sengaja membiarkanku mengalahkanmu sebelumnya, kan?" aku balas
menuntut, mengabaikan pertanyaannya. Padahal kusangka tadi aku hebat!
Waktu membuka mulut, aku bisa merasakan udara-udara sekarang sudah tidak
terpolusi lagi, tak sedikit pun tersisa jejak aroma menggiurkan yang menyiksa
dahagaku. Hati-hati aku menarik napas.
Edward mengangkat bahu dan menggeleng, tidak mau dibelokkan, "Bella, bagaimana
caramu melakukannya?"
"Lari menjauh" Aku menahan napas."
"Tapi bagaimana bisa kau berhenti berburu?"
"Waktu kau datang ke belakangku... Aku minta maaf soal itu."
"Mengapa kau meminta maaf padaku" Justru akulah yang ceroboh. Kukira tak ada
orang berkeliaran sejauh itu dari jalan setapak, tapi seharusnya aku mengecek
lebih dulu. Sungguh kesalahan tolol! Kau tidak perlu meminta maaf"
"Tapi aku menggeram padamu!" Aku masih ngeri membayangkan diriku mampu melakukan
hal sekeji itu. "Tentu saja. Itu wajar. Tapi aku tidak mengerti bagaimana kau bisa melarikan
diri." "Memangnya apa lagi yang bisa kulakukan?" tanyaku. Sikap Edward membuatku
bingung-memangnya apa yang ia ingin agar terjadi" "Bisa saja kan orang itu tadi
seseorang yang kukenal!"
Edward membuatku kaget setengah mati dengan tertawa sangat keras, melontarkan
kepalanya ke belakang dan membiarkan tawanya bergema di pepohonan.
"Mengapa kau menertawakanku?"
Edward berhenti tertawa, kentara sekali ia kembali waswas.
Kuasai dirimu, pikirku dalam hati. Aku harus menahan amarahku. Seolah-olah aku
ini werewojf muda, bukan vampir baru.
"Aku bukannya menertawakanmu, Bella. Aku tertawa karena aku sbock. Dan aku shock
karena benar-benar takjub."
"Mengapa?" "Seharusnya kau tidak bisa melakukan hal-ha! ini. Seharusnya kau tidak bersikap
begitu... begitu rasional. Seharusnya kau tidak bisa berdiri di sini,
mendiskusikan hal ini bersamaku dengan tenang dan santai. Dan, jauh lebih
penting daripada itu, seharusnya kau tidak bisa berhenti di tengah-tengah
perburuan dengan bau darah manusia menyeruak di udara. Bahkan vampir-vampir
matang pun akan mengalami kesulitan - kami selalu sangat berhati-hati mencari
tempat berburu agar tidak tergoda. Bella, kau bersikap seolah-olah kau sudah
beberapa dekade menjadi vampir, bukan baru beberapa hari."
"Oh Soalnya aku sudah tahu ini bakal sulit. Itulah sebabnya aku begitu berhati-
hati. Aku sudah mengira ini bakal berat."
Edward merengkuh wajahku lagi, dan matanya dipenuhi kekaguman. "Rasanya aku rela
memberikan apa saja asal bisa melihat ke dalam pikiranmu satu kali ini saja."
Perasaan yang sungguh kuat. Aku sudah siap menghadapi masalah dahaga itu, tapi
ini tidak. Padahal aku sudah yakin keadaannya takkan sama saat ia menyentuhku.
Well, kenyataannya, memang tidak sama.
Perasaan itu justru semakin kuat.
Aku mengangkat tangan dan menyusuri permukaan wajahnya; jari-jariku berlama-lama
di bibirnya. "Kusangka masih lama baru aku akan merasa seperti ini lagi?" Ketidakyakinanku
membentuk kalimat itu menjadi pertanyaan. "Tapi aku tetap menginginkanmu"
Edward mengerjap shock, "Bagaimana kau bahkan bisa berkonsentrasi pada hal itu"
Bukankah kau sangat haus?"
Tentu saja aku haus sekarang; sekarang setelah Edward mengungkitnya lagi!
Aku berusaha menelan ludah kemudian mendesah, memejamkan mata seperti yang
kulakukan sebelumnya untuk membantuku berkonsentrasi. Kubiarkan pancaindraku
berkelana ke sekelilingku, kali ini dengan perasaan tegang, takut kalau-kalau
akan tercium lagi aroma menggiurkan yang tabu untuk dirasakan.
Edward menurunkan kedua tangannya, bahkan tidak bernapas sementara aku
menajamkan pendengaran, lebih jauh dan, lebih jauh lagi menerobos semak dan
pepohonan hijau, memilah-milah berbagai bau dan suara, mencari sesuatu yang
tidak terlalu menjijikkan untuk dahagaku. Samar-samar tercium bau sesuatu yang
berbeda, jejak samar ke arah timur...
Mataku terbuka dengan cepat, tapi fokusku masih tajam saat aku berbalik dan
melesat tanpa suara ke timur. Tanah mendadak menanjak curam, dan aku berlari
dalam posisi membungkuk, dekat ke tanah, siap menerjang, melompati pepohonan
kalau itu lebih mudah. Aku lebih bisa merasakan kehadiran Edward bersamaku
daripada mendengarnya, melaju tanpa suara melintasi hutan, membiarkanku
memimpin. Kerapatan hutan mulai menipis saat kami mendaki semakin tinggi; bau ter dan
damar semakin tajam, begitu juga bau buruan yang kuikuti-baunya hangat, lebih
tajam daripada bau rusa dan lebih menggiurkan. Beberapa detik kemudian aku bisa
mendengar suara langkah-langkah kaki besar menjejak dengan suara teredam, jauh
lebih lembut daripada bunyi jejak kaki berkuku. Suaranya berasal dari atas-di
dahan-dahan pohon, bukan di tanah. Otomatis aku melompat dari dahan ke dahan,
semakin lama semakin tinggi, mencari posisi strategis, menaiki pohon cemara
berdaun keperakan yang tinggi menjulang.
Langkah-langkah lembut itu terus terdengar, mengendap-endap di bawahku sekarang;
baunya yang menggiurkan begitu dekat. Mataku terarah ke gerakan suara itu, dan
kulihat kulit kecokelatan seekor singa besar menyelinap di dahan lebar cemara,
tepat di bawah sebelah kiri tempatku bertengger. Singa itu besar-ukurannya kira-
kira empat kali massa tubuhku. Matanya tertuju ke tanah di bawah; singa itu juga
sedang berburu. Hidungku menangkap bau sesuatu yang lebih kecil, datar bila
dibandingkan dengan bau buruanku, mengkeret di dalam semak-semak di bawah pohon.
Ekor singa itu berkedut-kedut sementara ia bersiap-siap menerkam.
Dengan gerak ringan tubuhku melayang di udara dan mendarat tepat di dahan tempat
singa itu berada. Hewan itu merasakan kayu bergetar dan berbalik, memekik kaget
sekaligus marah. Ia mengayunkan cakarnya, matanya berapi-api marah. Setengah
gila karena kehausan, aku tak menggubris kuku-kuku tajamnya dan menerkam, hingga
kami sama-sama terjatuh ke tanah.
Pertarungannya tidak terlalu seimbang.
Kuku-kukunya yang tajam seperti jari-jari yang membelai lembut kulitku. Giginya
tak mampu menembus bahu atau leherku. Bobot badannya tidak ada apa-apanya.
Gigiku dengan tepat mengarah ke tenggorokannya, dan penolakannya yang instingtif
terasa lemah dibandingkan dengan kekuatanku. Rahangku mengunci dengan mudah
tepat di titik aliran darah terpusat.
Mudah saja menggigitnya, semudah membenamkan gigi ke mentega. Gigiku bagaikan
silet baja; mengoyak menembus kulit, lemak, dan otot-otot seakan-akan semua itu
tak ada. Rasanya tidak enak, tapi darahnya panas, basah, dan memuaskan dahagaku yang
menggelitik sementara aku minum dengan rakus. Pemberontakan singa itu semakin
lemah, dan jeritannya tersedak deguk-deguk. Hangatnya darah terpancar ke seluruh
tubuhku, bahkan sampai ke ujung-ujung jari tangan dan kaki.
Singa itu sudah mati sebelum aku selesai mengisap darahnya. Dahagaku kembali
membuncah ketika darah singa itu sudah habis kuminum, dan dengan kasar kudorong
bangkainya dari tubuhku dengan perasaan jijik. Bagaimana mungkin aku masih haus
setelah meneguk darah sebanyak itu" Aku menegakkan badan dalam satu gerakan
cepat. Setelah berdiri, baru aku sadar betapa berantakannya keadaanku. Kuseka
wajahku dengan punggung lengan dan berusaha membenahi gaunku. Cakar yang tadi
tak mampu menembus kulitku berhasil mencabik-cabik gaun satinku yang tipis.
"Hmmm," ujar Edward. Aku mendongak dan melihatnya bersandar santai pada batang
pohon, memandangiku dengan ekspresi bersungguh-sungguh.
"Kurasa mestinya aku bisa melakukannya lebih baik lagi." Sekujur tubuhku
berlepotan tanah, rambutku kusut masai, bajuku berlumuran darah dan compang-
camping. Edward tak pernah pulang dari berburu dalam keadaan seperti ini.
"Kau sudah cukup baik tadi," ia meyakinkanku. "Hanya saja... jauh lebih sulit
bagiku menontonnya."
Kuangkat alisku, bingung.
"Membiarkanmu bergulat dengan singa berlawanan dengan watakku," Edward
menjelaskan. "Aku panik sendiri melihatnya."
"Tolol." "Aku tahu. Kebiasaan lama sulit dihilangkan. Tapi aku lebih suka gaunmu seperti
sekarang ini," Kalau saja bisa, wajahku pasti sudah memerah sekarang. Aku langsung mengganti
topik. "Mengapa aku masih haus?"
"Karena kau masih muda."
Aku mendesah. "Dan kurasa tak ada lagi singa gunung di dekat-dekat sini."
"Tapi ada rusa."
Aku mengernyit. "Baunya kurang enak."
"Herbivora. Hewan pemakan daging baunya memang lebih mirip manusia" Edward
menjelaskan. "Ah, tidak terlalu mirip," aku tidak sependapat, berusaha tidak mengingatnya.
"Kita bisa saja kembali," kata Edward dengan nada bersungguh-sungguh, walaupun
ada kilatan menggoda di matanya. "Siapa pun yang ada di hutan tadi, kalau dia
laki-laki, dia mungkin tidak keberatan harus mati kalau kau yang membunuhnya.'
Matanya lagi-lagi jelalatan memandang gaunku yang compang-camping. "Bahkan, bisa
jadi dia malah mengira dirinya sudah mati dan masuk surga begitu melihatmu."
Kuputar bola mataku dan mendengus. "Ayo kita berburu hewan-hewan herbivora yang
baunya tidak enak saja."
Kami menemukan sekelompok rusa bagal dalam perjalanan kembali ke rumah. Edward
berburu bersamaku kali ini, karena sekarang aku sudah mulai terampil
melakukannya. Aku berhasil melumpuhkan rusa besar, hampir sama berantakannya
dengan saat melumpuhkan singa tadi. Edward sudah selesai memangsa dua buruan
sebelum aku menyelesaikan buruan pertamaku, tanpa seutas rambut pun keluar dari
jalurnya, tanpa setitik pun noda mengotori kemeja putihnya. Kami mengejar
kawanan rusa yang kocar-kacir ketakutan itu, tapi kali ini aku tidak berburu
lagi, hanya menonton dengan hati-hati untuk melihat bagaimana ia bisa berburu
begitu rapi. Walaupun dulu aku berharap Edward tidak meninggalkanku waktu ia berburu,
sekarang diam-diam aku sedikit lega. Karena aku yakin melihat hal ini pasti akan
sangat menakutkan. Mengerikan. Bahwa melihat Edward berburu akhirnya akan
membuatnya terlihat benar-benar seperti vampir di mataku.
Tentu saja, persoalannya jadi lain bila aku melihatnya dari kacamata vampir.
Tapi aku ragu bahkan mata manusiaku takkan melihat keindahan semua ini.
Mengejutkan, bagaimana ini bisa menjadi pengalaman yang sensual, mengamati
Edward berburu. Terjangannya yang luwes bagaikan serangan ular; tangannya begitu
yakin, begitu kuat, benar-benar tak bisa dihindari; bibirnya yang penuh tampak
sempurna saat terbuka dengan anggun, menampakkan gigi-giginya yang berkilauan.
Sungguh mengagumkan. Aku merasakan sentakan rasa bangga bercampur gairah. Ia
milikku. Tak ada yang bisa memisahkan dia dariku sekarang. Aku terlalu kuat
untuk direnggut dari sisinya.
Gerakannya cepat sekali. Ia berbalik menghadapku dan mengamati ekspresi banggaku
dengan sikap curiga. "Tidak haus lagi?" tanyanya.
Aku mengangkat bahu. "Kau mengalihkan perhatianku. Kau lebih piawai berburu
daripada aku." "Berkat latihan berabad-abad." Ia tersenyum. Bola matanya kini berwarna kuning
keemasan indah. "Hanya satu abad," aku mengoreksi kata-katanya.
Edward tertawa. "Sudah cukup hari ini" Atau kau masih ingin melanjutkan
perburuan?" "Cukup, kurasa." Aku merasa kekenyangan, bahkan agak kepenuhan cairan. Aku tak
tahu berapa banyak cairan lagi bisa masuk ke tubuhku. Tapi rasa panas di
tenggorokanku hanya sedikit teredam. Tapi memang, aku sudah tahu dahaga
merupakan bagian tak terelakkan dari kehidupan ini.
Dan itu sepadan dengan kebahagiaan yang kuperoleh.
Aku merasa bisa mengendalikan diri. Mungkin perasaan aman yang kurasakan ini
keliru, tapi aku benar-benar merasa lega karena tidak membunuh manusia hari ini.
Kalau manusia yang sama sekali tidak kukenal saja bisa kuhindari, bukankah aku
pasti bisa menahan diri untuk tidak menyerang werewolf dan anak setengah vampir
yang kucintai" "Aku ingin melihat Renesmee," kataku. Sekarang setelah dahagaku reda (kalau
tidak bisa dibilang hilang sama sekali), aku sulit melupakan kekhawatiranku
tadi. Aku ingin merekonsiliasi bocah asing yang adalah putriku dengan makhluk
yang kucintai tiga hari lalu. Aneh sekali rasanya tanpa dia dalam perutku.
Mendadak aku merasa hampa dan gelisah.
Edward mengulurkan tangan. Aku meraihnya, dan kulitnya terasa lebih hangat
daripada sebelumnya. Pipinya sedikit memerah, bayangan di bawah matanya lenyap
tak berbekas. Aku tak tahan untuk tidak membelai wajahnya lagi. Dan lagi.
Aku jadi lupa diriku menunggu respons atas permintaanku tadi saat aku menatap
mata emasnya yang berbinar-binar.
Hampir sama sulitnya dengan berbalik memunggungi bau darah manusia, tapi entah
bagaimana aku berhasil mengingatkan diriku untuk berhati-hati sementara
berjinjit dan merangkul tubuhnya. Dengan lembut.


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Edward sama sekali tak ragu-ragu; kedua lengannya memeluk pinggangku dan
menarikku ke tubuhnya. Bibirnya melumat bibirku, namun terasa lembut. Bibirku
tak lagi melunak saat dilumat olehnya; sekarang bibirku tetap dalam bentuk
semula. Sama seperti sebelumnya, seolah-olah sentuhan kulit Edward, bibirnya, tangannya
langsung terbenam ke kulitku yang halus dan keras, langsung ke tulang-tulang
baruku. Ke pusat tubuhku. Sama sekali tak terbayangkan olehku aku bisa
mencintainya lebih lagi. Pikiranku yang lama tak sanggup menampung cinta sebesar ini. Hatiku yang lama
tak cukup kuat menanggungnya.
Mungkin ini bagian dari diriku yang kubawa untuk semakin diintensifkan dalam
kehidupan baruku. Seperti belas kasihan Carlisle dan pemujaan Esme, Mungkin aku
takkan pernah bisa melakukan hal-hal menarik atau istimewa seperti yang bisa
dilakukan Edward, Alice, dan Jasper. Mungkin aku hanya bisa mencintai Edward
lebih daripada siapa pun sepanjang sejarah dunia ini. Itu sudah cukup bagiku.
Aku teringat pada bagian-bagian ini-menyusupkan jari-jariku ke rambutnya, meraba
dadanya-tapi bagian-bagian lain masih baru bagiku. Edward sendiri terasa baru-
bagiku. Rasanya sungguh berbeda, berciuman dengan Edward tanpa harus merasa
takut, dengan segenap hati. Aku merespons kesungguhannya, kemudian, tiba-tiba
saja kami jatuh. "Uuups," seruku, dan Edward tertawa di bawahku. "Aku tidak bermaksud membuatmu
jatuh seperti itu. Kau tidak apa-apa?"
Edward membelai-belai wajahku. "Sedikit lebih baik daripada tidak apa-apa"
Kemudian ekspresi bingung terlintas di wajahnya. "Renesmee?" tanyanya ragu,
berusaha meyakinkan apa yang paling kuinginkan saat ini. Pertanyaan yang sangat
sulit untuk dijawab, karena aku menginginkan begitu banyak hal pada saat
bersamaan. Aku bisa melihat dari sikap Edward bahwa ia tidak keberatan menunda kepulangan
kami ke rumah, dan sulit sekali memikirkan hal lain selain, kulitnya yang
menempel di kulitku-tak banyak lagi yang tersisa dari gaunku. Tapi kenanganku
akan Renesmee, sebelum dan sesudah kelahirannya, semakin lama semakin menjadi
seperti mimpi bagiku. Semakin tidak nyata. Semua kenanganku akan dia adalah
kenanganku saat masih menjadi manusia; ada aura artifisial melekat di dalamnya.
Tidak ada yang terasa nyata sebelum aku melihatnya dengan mata ini, menyentuhnya
dengan tangan ini. Setiap menit realita bocah asing itu terhanyut semakin jauh.
"Renesmee," aku menyetujui dengan sikap menyesal, dengan cepat bangkit berdiri,
menarik Edward berdiri bersamaku.
22. JANJI Memikirkan Renesmee membawanya ke panggung utama di otak baruku yang aneh,
lapang, tapi mudah dialihkan perhatiannya itu. Begitu banyak pertanyaan.
"Ceritakan padaku tentang dia," desakku ketika Edward menggandeng tanganku.
Bergandengan tangan tidak memperlambat gerak kami.
"Dia tak ada duanya di dunia ini," kata Edward, dan nada takzim itu kembali
terdengar dalam suaranya.
Aku merasakan sengatan kecemburuan terhadap makhluk asing ini. Edward
mengenalnya, sementara aku tidak. Tidak adil.
"Semirip apa dia denganmu" Semirip apa dia denganku" Aku yang dulu maksudku."
"Sepertinya dia sama-sama mirip dengamu dan denganku, seimbang."
"Dia berdarah panas" aku merenung.
"Benar. Jantungnya berdetak, walaupun agak lebih cepat daripada jantung manusia.
Suhu tubuhnya sedikit lebih panas juga. Dia butuh
tidur." "Sungguh?" "Lumayan sering untuk ukuran bayi baru lahir. Kita satu-satunya orangtua di
dunia yang tidak butuh tidur, tapi anak kita malah tidur sepanjang malam."
Edward terkekeh. Aku suka mendengar Edward mengatakan anak kita. Kata-kata itu membuat Renesmee
terkesan semakin nyata. "Warna matanya persis kau-jadi itu tidak hilang." Edward tersenyum. "Matanya
indah sekali" "Dan bagian-bagian vampirnya?" tanyaku.
"Kulitnya sepertinya nyaris tak bisa ditembus, sama seperti kulit kita. Bukan
berarti ada yang berniat mengetesnya."
Aku mengerjap, agak sbock.
"Tentu saja takkan ada yang berbuat begitu," Edward menenangkan "Makanannya...
well, dia lebih suka minum darah. Carlisle masih terus berusaha membujuknya
minum susu formula juga, tapi dia tidak begitu sabar minum susu. Tidak bisa
disalahkan-baunya tidak tertahankan, bahkan untuk ukuran makanan manusia,"
Sekarang aku benar-benar ternganga. Menilik cerita Edward, kedengarannya
Carlisle dan Renesmee seperti mengobrol. "Membujuknya?"
"Dia cerdas, sungguh mengejutkan, dan pertumbuhannya cepat sekali. Walaupun
tidak bisa bicara-belum-tapi dia bisa berkomunikasi secara efektif."
"Tidak. Bisa. Bicara. Belum."
Edward memperlambat langkah, memberiku kesempatan untuk mencerna semua
ini. "Apa maksudmu, dia bisa berkomunikasi secara efektif?" desakku.
"Kurasa akan lebih mudah bila kau... melihatnya sendiri. Agak sulit
menggambarkannya." Aku mempertimbangkan hal itu. Aku tahu banyak yang harus kulihat sendiri sebelum
semuanya jadi nyata. Aku tak yakin berapa banyak yang sanggup kudengar lagi,
maka aku pun mengganti topik.
"Mengapa Jacob masih di sini?" tanyaku. "Bagaimana dia bisa tahan. Mengapa dia
harus menahannya?" Suaraku yang nyaring sedikit bergetar. "Mengapa dia harus
menderita lagi?" "Jacob tidak menderita" kata Edward, nada suaranya berubah, kedengarannya aneh
sekarang. "Walaupun aku mau-mau saja mengubah keadaannya," imbuhnya dengan gigi
terkatup rapat. "Edward!" desisku, menyentakkannya supaya berhenti (dan merasa agak bangga
karena bisa melakukannya). "Bisa-bisanya kau bicara begitu" Jacob sudah
mengorbankan segalanya untuk melindungi kita! Dia telah banyak menderita karena
aku,..!" Aku meringis karena ingatan samar tentang perasaan malu dan bersalahku.
Sekarang baru terasa aneh mengapa aku sangat membutuhkannya waktu itu. Perasaan
hampa tanpa Jacob di dekatku kini telah lenyap; itu pasti kelemahanku sebagai
manusia. "Nanti kau akan lihat sendiri mengapa aku berkata begitu," gumam Edward. "Aku
sudah berjanji akan memberinya kesempatan menjelaskan, tapi aku ragu cara
pandangmu akan berbeda denganku. Tentu saja, aku sering salah menduga pikiranmu,
kan?" Edward mengerucutkan bibir dan menatapku.
"Menjelaskan apa?"
Edward menggeleng. "Aku sudah berjanji. Walaupun aku tak tahu lagi apakah aku
benar-benar berutang budi padanya..." Ia mengertakkan giginya.
"Edward, aku tidak mengerti." Perasaan frustrasi dan kesal menguasai pikiranku.
Edward mengelus-elus pipiku, kemudian tersenyum lembut ketika kerut di wajahku
lenyap, gairah untuk sementara mengalahkan kejengkelan. "Ini lebih sulit
daripada yang kauperlihatkan pada kami, aku tahu. Aku masih ingat."
"Aku tak suka merasa bingung."
"Aku tahu. Ayo kita pulang, supaya kau bisa melihat sendiri semuanya." Sambil
bicara matanya menelusuri gaunku yang compang-camping, dan keningnya berkerut.
"Hmmm." Setelah berpikir sejenak, Edward membuka kancing-kancing kemeja putihnya
dan memeganginya agar aku bisa memasukkan kedua tanganku ke lengannya.
"Separah itu, ya?"
Edward nyengir. Aku menyusupkan kedua tanganku ke lengan kemeja dan dengan cepat
mengancingkannya, menutupi gaunku yang compang-camping. Tentu saja itu berarti
Edward tidak mengenakan pakaian, dan mustahil tidak terusik olehnya.
"Ayo kita balapan," ajakku, kemudian mewanti-wanti, "kali ini tidak boleh
curang!" Edward melepas tanganku dan nyengir. "Siap... "
Menemukan jalan menuju rumah baruku ternyata lebih mudah daripada berjalan kaki
di jalan rumah Charlie menuju rumah lamaku. Bau kami meninggalkan jejak yang
jelas dan mudah diikuti, walaupun berlari secepat yang aku bisa.
Edward membiarkanku mengalahkannya hingga kami sampai di sungai. Aku mengambil
kesempatan dan melompat lebih dulu, berusaha menggunakan kekuatan ekstraku untuk
menang. "Ha!" seruku kegirangan waktu mendengar kakiku menyentuh rumput lebih dulu
Saat menunggu mendengarnya mendarat, aku mendengar sesuatu yang tak kuduga sama
sekali. Sesuatu yang nyaring dan agak terlalu dekat. Bunyi debar jantung.
Pada detik yang sama Edward sudah berdiri di sampingku, kedua tangannya
mencengkeram pangkal lenganku kuat-kuat.
"Jangan bernapas," ia mewanti-wantiku dengan nada mendesak,
Aku mencoba untuk tidak panik sementara membeku dalam posisi setengah menarik
napas. Hanya mataku yang bergerak, secara instingtif jelalatan mencari sumber
suara itu. Jacob berdiri di batas tempat hutan bertemu dengan pekarangan rumah keluarga
Cullen, kedua lengannya terlipat di tubuh, rahangnya mengatup rapat. Tak
terlihat di dalam hutan di belakangnya, sekarang aku mendengar dua jantung lain
yang lebih besar, dan samar-samar suara ranting berderak diinjak kaki-kaki besar
yang berjalan mondar-mandir.
"Hati-hati, Jacob," kata Edward. Geraman dari hutan menggemakan sikap waspada
dalam suaranya. "Mungkin ini bukan cara terbaik... "
"Menurutmu lebih baik membiarkan dia mendekati bayinya dulu?" potong Jacob.
"Lebih aman melihat bagaimana Bella bereaksi terhadapku. Aku kan bisa pulih
dengan cepat." Jadi ini semacam uji coba" Untuk melihat apakah aku bisa tidak membunuh Jacob
sebelum aku mencoba tidak membunuh Renesmee" Aku merasakan perasaan mual yang
sangat aneh-itu tak ada hubungannya dengan perutku, hanya dengan pikiranku.
Apakah ini ide Edward"
Kulirik wajahnya dengan cemas; Edward seperti menimbang-nimbang beberapa saat,
kemudian ekspresinya berubah dari waswas menjadi sesuatu yang lain. Ia
mengangkat bahu, kemudian terdengar nada sinis di balik suaranya waktu berkata,
"Terserah, itu kan lehermu sendiri"
Geraman yang berasal dari hutan kini terdengar marah, Leah, tak diragukan lagi.
Ada apa dengan Edward" Setelah semua yang kami lalui, bukankah seharusnya ia
bisa merasakan sedikit kebaikan hati untuk sahabatku" Kusangka-mungkin dugaanku
ini tolol- Edward bisa dibilang sudah menjadi teman Jacob juga sekarang. Aku
pasti salah membaca hubungan mereka.
Tapi apa yang dilakukan Jacob" Mengapa ia menawarkan diri sebagai uji coba untuk
melindungi Renesmee"
Sungguh tak masuk akal. Walaupun seandainya persahabatan kami tetap bertahan...
Dan saat mataku bertemu mata Jacob sekarang, kupikir mungkin persahabatan kami
masih bertahan. Kelihatannya dia masih sahabatku. Tapi memang bukan dia yang
berubah. Terlihat seperti apakah aku baginya"
Lalu Jacob menyunggingkan senyumnya yang familier, senyumnya yang penuh kasih,
dan aku yakin persahabatan kami cetap utuh. Sama seperti dulu, waktu kami
nongkrong di garasi rumahnya yang disulap jadi bengkel, dua sahabat yang
menghabiskan waktu bersama. Mudah dan normal. Lagi-lagi kusadari, perasaan
membutuhkan aneh yang kurasakan terhadapnya sebelum aku berubah, sekarang sudah
benar-benar lenyap. Ia hanya teman biasa, seperti seharusnya.
Tapi tetap saja tak masuk akal apa yang ia lakukan sekarang. Apakah ia benar-
benar begitu tidak egois sehingga mau berusaha melindungiku-dengan
mempertaruhkan nyawanya sendiri-agar tidak melakukan sesuatu yang hanya butuh
sepersekian detik tak terkendali untuk melakukannya, yang akan mengakibatkan
penyesalan seumur hidup" Itu lebih daripada sekadar menolerir keadaanku yang
sudah berubah, atau secara ajaib tetap mau menjadi temanku. Jacob adalah satu
dari beberapa gelintir orang terbaik yang kukenal, tapi sepertinya ini terlalu
berlebihan untuk kuterima dari siapa pun.
Seringaian Jacob melebar, tubuhnya bergidik sedikit. "Mau tak mau harus
kukatakan, Bells. Kau mengerikan."
Aku balas nyengir, dengan mudah masuk ke pola lama. Ini sisi dirinya yang
kumengerti. Edward menggeram. "Jaga mulutmu, anjing."
Angin berembus dari belakangku dan aku cepat-cepat mengisi paru-paruku dengan
udara bersih agar bisa bicara, "Tidak, dia benar. Mataku benar-benar aneh, kan?"
"Superseram. Tapi tidak sejelek yang tadinya kusangka."
"Astaga-terima kasih pujiannya!"
Jacob memutar bola matanya. "Kau tahu maksudku. Kau masih kelihatan seperti
dulu-sedikit. Mungkin bukan penampilan yang jadi masalah, melainkan bahwa... kau
tetap Bella. Padahal awalnya aku menyangka takkan merasa bahwa kau masih di
sini." Ia tersenyum lagi, tak sedikit pun tersirat nada getir atau tidak suka di
wajahnya. Kemudian ia terkekeh dan berkata, "Omong-omong, kurasa sebentar lagi
aku juga akan terbiasa dengan matamu."
"Benarkah?" tanyaku, bingung. Menyenangkan bahwa kami masih berteman, tapi
rasanya kami tidak akan terlalu banyak menghabiskan waktu bersama.
Ekspresi aneh melintasi wajahnya, menghapus senyuman itu. Nyaris seperti...
bersalah" Lalu matanya beralih ke Edward.
"Trims," ujar Jacob "Aku tak tahu apakah kau bisa tidak menceritakannya padanya,
janji atau tidak. Biasanya, kau meluluskan apa saja keinginannya."
"Mungkin aku berharap dia akan marah dan mengoyak lehermu" Edward memberi
alasan, Jacob mendengus, "Ada apa sebenarnya" Kalian merahasiakan sesuatu dariku, ya?" tuntutku, tak
percaya. "Nanti akan kujelaskan," kata Jacob waswas-seperti tidak benar-benar berniat
melakukannya. Lalu ia mengubah topik, "Pertama, ayo kita tuntaskan masalah ini,"
Sekarang seringaiannya menantang, saat ia pelan-pelan melangkah maju.
Terdengar dengkingan protes di belakangnya, dan sejurus kemudian tubuh abu-abu
Leah menyelinap keluar dari balik pepohonan di belakangnya, Seth yang bertubuh
lebih tinggi dan berbulu cokelat pasir menyusul tepat di belakang.
"Tenang, guys" pinta Jacob, "Tidak usah ikut campur."
Aku senang mereka tidak mendengarkan perintahnya, tapi hanya mengikutinya
sedikit lebih lambat. Angin tidak bertiup sekarang; bau badannya tak lenyap terbawa angin.
Jacob berdiri cukup dekat hingga aku bisa merasakan panas tubuhnya menyeruak di
antara kami. Kerongkonganku serasa terbakar dibuatnya.
"Ayolah, Bells. Lakukan saja."
Leah mendesis. Aku tidak ingin menarik napas Rasanya tidak tepat membahayakan Jacob begitu
rupa, walaupun ia sendiri yang menawarkan diri. Tapi menurutku itu memang logis.
Bagaimana lagi aku bisa memastikan aku tidak akan menyakiti Renesmee"
"Aku jadi semakin tua, Bella," sindir Jacob, "Oke, teknisnya sih tidak, tapi kau
mengerti maksudku. Ayo, tarik napas."
"Pegangi aku," kataku pada Edward, mengkeret ke dadanya.
Edward mempererat pelukannya.
Aku mengunci otot-ototku, berharap bisa membuatnya membeku. Aku bertekad akan
melakukan setidaknya sebaik yang kulakukan saat berburu tadi. Skenario terburuk
adalah, aku akan berhenti bernapas dan kabur. Takut-takut aku menarik napas
sedikit lewat hidung, tubuhku mengejang penuh waspada.
Agak sakit, tapi kerongkonganku memang sudah seperti terbakar. Bau Jacob tidak
seperti manusia, tapi lebih mirip bau singa gunung. Ada sedikit jejak binatang
dalam darahnya yang langsung membuatku menolak. Walaupun debar jantungnya yang
nyaring dan basah terdengar menggiurkan, namun bau yang menyertainya membuatku
mengernyitkan hidung. Aku jadi lebih mudah melembutkan reaksiku terhadap suara
dan panas darahnya yang berdenyut-denyut.
Aku menarik napas lagi dan merileks.
"Hah. Sekarang aku mengerti kenapa orang-orang begitu meributkannya. Kau bau
sekali, Jacob," Tawa Edward meledak; kedua tangannya meluncur dari pundak dan merangkul
pinggangku, Seth menggonggongkan tawa yang seirama dengan tawa Edward; ia maju
sedikit sementara Leah justru mundur beberapa langkah. Kemudian aku menyadari
kehadiran orang lain waktu mendengar tawa rendah Emmett yang khas, sedikit
teredam dinding kaca yang memisahkan kami.
"Kau sendiri pun bau," tukas Jacob, memencet hidung dengan lagak dramatis.
Wajahnya sama sekali tak berubah saat Edward memelukku, bahkan tidak waktu
Edward berhasil menenangkan diri kembali dan membisikkan "aku mencintaimu" di
telingaku. Jacob terus saja nyengir. Ini membuat harapanku timbul, bahwa
hubungan kami memang akan membaik sekarang setelah sekian lama memburuk. Mungkin
sekarang aku bisa benar-benar menjadi temannya, karena aku membuatnya jijik
padaku secara fisik sehingga ia tidak bisa menyayangiku seperti sebelumnya.
Mungkin hanya ini yang dibutuhkan.
"Oke, jadi aku lulus, kan?" tanyaku. "Sekarang, kalian mau kan memberitahukan


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rahasia besar itu padaku?"
Ekspresi Jacob berubah sangat gugup. "Itu bukan hal yang perlu kaukhawatirkan
saat ini.,." Aku mendengar Emmett terkekeh lagi-nadanya penuh harap.
Sebenarnya aku ingin memaksakan kehendakku, tapi waktu mendengarkan tawa Emmett,
aku mendengar suara-suara lain juga. Tujuh orang bernapas. Sepasang paru-paru
yang bergerak lebih cepat daripada yang lain. Hanya satu jantung menggelepar-
gelepar seperti sayap burung, ringan dan cepat.
Perhatianku benar-benar beralih. Putriku berada di balik dinding kaca tipis itu.
Aku tidak bisa melihatnya-cahaya memantul di kaca-kaca jendela seperti cermin.
Aku hanya bisa melihat diriku, tampak sangat aneh -begitu putih dan diam-bila
dibandingkan dengan Jacob. Atau, dibandingkan dengan Edward, aku terlihat sangat
sepadan, "Renesmee," bisikku. Stres membuatku jadi seperti patung lagi. Renesmee takkan
berbau seperti binatang. Akankah aku membahayakan dia"
"Mari kita lihat," bisik Edward. "Aku tahu kau bisa menghadapinya."
"Kau akan membantuku?" bisikku dari sela-sela bibir yang tak bergerak.
"Tentu saja aku akan membantumu."
"Juga Emmett dan Jasper-untuk berjaga-jaga?"
"Kami akan membantumu. Bella. Jangan khawatir, kami pasti siap. Tak seorang pun
di antara kami akan membiarkan Renesmee dalam bahaya. Kurasa kau pasti akan
kaget melihat betapa pandainya dia membuat kami semua jatuh cinta padanya.
Bagaimanapun dia bakal aman."
Kerinduanku untuk melihatnya, untuk memahami nada memuja dalam suara Edward,
memecahkan kebekuanku. Aku maju selangkah.
Kemudian Jacob menghalangiku, wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
"Kau yakin, pengisap darah?" tuntutnya pada Edward, suaranya nyaris memohon.
Belum pernah kudengar ia berbicara seperti itu kepada Edward. "Aku tidak setuju.
Mungkin sebaiknya dia menunggu... "
"Tadi kau sudah melakukan ujianmu, Jacob."
Jadi itu tadi ide Jacob"
"Tapi..."Jacob memulai.
"Tidak ada tapi-tapian," tukas Edward, mendadak terdengar gusar. "Bella perlu
melihat putri kami. Minggir, jangan halangi dia."
Jacob melayangkan pandangan ganjil dan panik, kemudian berbalik dan nyaris
mendahului kami memasuki rumah. Edward menggeram.
Aku sama sekali tak habis pikir melihat konfrontasi mereka, tapi aku juga tak
bisa berkonsentrasi memikirkannya. Sekarang aku hanya bisa memikirkan gambaran
kabur seorang anak dalam ingatanku. Aku bersusah payah berusaha menyibak kabut
itu, berusaha mengingat wajahnya dengan tepat.
"Kita masuk?" ajak Edward, suaranya kembali melembut. Aku mengangguk gugup.
Edward menggandeng tanganku erat-erat dan berjalan mendahuluiku memasuki rumah.
Mereka menungguku, berdiri berjajar, tersenyum dengan sikap menyambut sekaligus
defensif. Rosalie berdiri beberapa langkah di belakang mereka, dekat pintu
depan. Ia sendirian sampai Jacob bergabung dengannya kemudian berdiri di
depannya, lebih dekat daripada yang biasa dilakukan orang. Meski begitu
kedekatan itu tidak membuat mereka nyaman; keduanya seolah mengkeret karena
berdiri terlalu berdekatan.
Seseorang yang sangat kecil menjulurkan tubuh dari gendongan Rosalie, menatap
Jacob. Bocah itu langsung menarik perhatianku, menyita segenap pikiranku,
seperti yang tak pernah terjadi sebelumnya sejak aku membuka mata.
"Apakah benar aku hanya tidak sadar selama dua hari?" aku terkesiap, tidak
percaya. Bocah asing dalam pelukan Rosalie pasti usianya sudah beberapa minggu, bahkan
beberapa bulan. Ukurannya mungkin dua kali lebih besar daripada ukuran bayi
dalam ingatanku yang kabur, dan sepertinya ia bisa menyangga tubuhnya dengan
mudah saat menjulurkan dirinya ke arahku. Rambut tembaganya yang mengilat
tergerai ikal melewati bahu. Mata cokelatnya mengamatiku dengan ketertarikan
yang sama sekali tidak kekanak-kanakan; sorot matanya seperti orang dewasa,
mengerti dan cerdas. Ia mengangkat satu tangan, menggapai ke arahku sesaat,
kemudian menarik tangannya lagi untuk menyentuh kerongkongan Rosalie.
Seandainya wajahnya tidak menakjubkan dalam kecantikan dan kesempurnaannya, aku
pasti tak bakal percaya itu anak yang sama. Anakku.
Tapi ada Edward dalam raut wajahnya, dan ada aku dalam warna mata dan pipinya.
Bahkan Charlie pun ada, dalam bentuk rambut ikalnya yang tebal, walaupun
warnanya mirip rambut Edward. Ia pasti anak kami. Mustahil, tapi tetap benar.
Namun melihat bocah kecil menakjubkan ini tidak membuatnya jadi semakin nyata.
Itu hanya membuatnya semakin fantastis.
Rosalie menepuk-nepuk tangan yang menempel di lehernya dan bergumam, "Ya, itu
dia." Mata Renesmee tertuju padaku. Kemudian, sama seperti yang dilakukannya beberapa
detik setelah kelahirannya yang bersimbah darah, ia tersenyum padaku. Memamerkan
sederet gigi putih mengilat dan sempurna.
Dengan hati menggelora, ragu-ragu aku maju selangkah menghampirinya.
Semua bergerak sangat cepat.
Emmett dan Jasper berada persis di depanku, berdampingan, tangan mereka siap.
Edward mencengkeramku dari belakang, jari-jarinya menahan pangkal lenganku kuat-
kuat. Bahkan Carlisle dan Esme bergerak dan berdiri mengapit Emmett dan Jasper,
sementara Rosalie mundur ke pintu, kedua lengan memeluk erat Renesmee. Jacob
juga bergerak, tetap mempertahankan sikap protektif di depan mereka.
Hanya Alice yang tetap diam di tempatnya.
"Oh, hargai Bella sedikit," Alice mencela mereka. "Dia tidak akan melakukan apa-
apa. Kalau kalian jadi dia, kalian pasti juga ingin melihat lebih dekat."
Alice benar. Aku bisa menguasai diri. Aku sudah siap menghadapi apa pun- bahkan
bau paling menggiurkan sekalipun, seperti bau manusia di hutan tadi. Godaan di
sini benar-benar tak bisa dibandingkan dengan itu. Aroma Renesmee merupakan
campuran sempurna aroma parfum yang sangat wangi dengan makanan paling lezat.
Cukup banyak aroma vampir untuk mengalahkan bau manusia hingga tidak terlalu
berlebihan buatku. Aku bisa mengatasinya. Aku yakin.
"Aku baik-baik saja," janjiku, menepuk-nepuk tangan Edward yang memegangi
lenganku. Lalu aku ragu-ragu-dan menambahkan, "Tapi jangan jauh-jauh, untuk
berjaga-jaga saja." Mata Jasper waspada, fokus. Aku tahu ia tengah menelaah suasana hatiku, dan aku
berusaha tetap menunjukkan sikap tenang. Aku merasakan Edward melepas kedua
lenganku setelah membaca penilaian Jasper. Tapi meski begitu sepertinya ia tidak
terlalu yakin. Begitu mendengar suaraku, bocah yang terlalu mengerti itu memberontak dalam
gendongan Rosalie, menggapai-gapai ke arahku. Entah bagaimana ia bisa
menunjukkan ekspresi tak sabar di wajahnya.
"Jazz, Em, jangan halangi kami. Bella bisa menguasai diri."
"Edward, risikonya...," sergah Jasper,
"Minimal. Dengar, Jasper... ketika sedang berburu tadi, Bella mencium bau orang-
orang yang sedang hiking, yang berada di tempat tidak tepat pada saat tidak
tepat... " Aku mendengar Carlisle tersentak kaget. Wajah Esme mendadak diliputi
kekhawatiran bercampur prihatin. Mata Jasper membelalak, tapi ia mengangguk
sedikit, seolah-olah perkataan Edward tadi menjawab beberapa pertanyaan dalam
benaknya. Mulut Jacob mengerucut, membentuk seringaian jijik, Emmett mengangkat
bahu. Rosalie juga tampak tidak begitu peduli karena sibuk menenangkan bocah
yang menggeliat-geliat dalam gendongannya.
Ekspresi Alice mengatakan padaku ia tidak terkecoh. Matanya yang menyipit
menatap tajam kemeja pinjamanku. sepertinya lebih mengkhawatirkan akibat yang
kutimbulkan pada gaunku daripada hal lain.
"Edward!" tegur Carlisle. "Bagaimana kau bisa seteledor itu?"
"Aku tahu, Carlisle, aku tahu. Aku benar-benar tolol Seharusnya aku lebih dulu
memastikan kami berada di zona aman sebelum membiarkan Bella berkeliaran."
"Edward," gumamku, malu karena mereka memandangiku seperti itu. Seakan-akan
mereka berusaha melihat warna merah yang Lebih cerah di mataku.
"Carlisle memang berhak menegurku. Bella," Edward menjelaskan sambil nyengir.
"Aku membuat kesalahan besar. Fakta bahwa kau lebih kuat daripada vampir mana
pun yang pernah kukenal tidak mengubah hal itu."
Alice memutar bola matanya. "Lelucon berselera tinggi, Edward."
"Aku tidak bercanda. Aku hanya ingin menjelaskan kepada Jasper mengapa aku tahu
Bella pasti bisa menguasai diri. Bukan salahku kalau semuanya langsung mengambil
kesimpulan yang salah,"
"Tunggu" sergah Jasper. "Jadi dia tidak memburu manusia"
"Awalnya begitu," jawab Edward, kentara sekali ia senang. Aku mengertakkan gigi.
"Seluruh perhatiannya tercurah pada berburu."
"Apa yang terjadi?" sela Carlisle. Matanya mendadak berbinar-binar, senyum
takjub terbentuk di wajahnya. Mengingatkanku pada sebelumnya, ketika ia ingin
mengetahui detail-detail pengalaman transformasiku. Kegairahan karena mendapat
informasi baru. Edward mencondongkan tubuh ke arahnya, penuh semangat. "Bella mendengarku di
belakangnya dan reaksinya langsung defensif. Begitu pengejaranku membuyarkan
konsentrasinya, dia langsung berhenti mengejar. Belum pernah aku melihat ada
yang seperti dia. Seketika itu juga dia langsung menyadari apa yang terjadi,
kemudian... dia menahan napas dan lari menjauh."
"Wah," gumam Emmett. "Serius?"
"Ceritanya tidak sepenuhnya benar," tukasku, lebih malu daripada sebelumnya.
"Edward tidak menceritakan bagian di mana aku menggeram padanya."
"Jadi kalian sempat bertarung tadi?" tanya Emmett penuh semangat.
"Tidak! Tentu saja tidak."
"Tidak, benar tidak" Kau benar-benar tidak menyerangnya?"
"Emmett!" protesku.
"Aduh, sayang sekali," erang Emmett, "Padahal mungkin hanya kau satu-satunya
yang bisa melumpuhkan Edward - karena dia kan tidak bisa membaca pikiranmu
sehingga tidak bisa berbuat curang-dan kau juga punya alasan untuk
menyerangnya." Emmett menghela napas. "Selama ini aku penasaran, ingin melihat
bagaimana Edward bertarung tanpa kelebihannya itu."
Kutatap dia dengan dingin. "Aku takkan pernah berbuat begitu"''
Kerutan di dahi Jasper menarik perhatianku; ia tampak lebih terganggu daripada
sebelumnya. Edward menempelkan tinjunya pelan ke bahu Jasper, pura-pura meninjunya. "Kau
mengerti kan maksudku?"
"Itu tidak alami," gerutu Jasper.
"Bella bisa saja menyerangmu-dia kan baru berumur beberapa jam!" kecam Esme,
meletakkan tangannya di dada. "Oh, seharusnya kami tadi pergi bersamamu."
Aku tidak terlalu memerhatikan, karena sekarang Edward sudah menyampaikan
leluconnya. Mataku terpaku pada bocah rupawan dekat pintu, yang masih terus
memandangiku. Kedua tangan kecilnya menggapai-gapai ke arahku seolah-olah ia
tahu persis siapa aku. Otomatis tanganku terangkat untuk menirukan gerakannya.
"Edward," ujarku, mencondongkan tubuh melewati Jasper agar bisa melihatnya lebih
jelas. "Please?"
Gigi Jasper terkatup rapat; ia tidak bergerak,
"Jazz, kau tak pernah melihat yang seperti ini sebelumnya," ujar Alice pelan.
"Percayalah padaku."
Mata mereka bertemu selama beberapa detik, kemudian Jasper mengangguk. Ia
menepi, tapi meletakkan sebelah tangannya di pundakku dan bergerak bersamaku
waktu aku pelan-pelan melangkah maju.
Aku memikirkan setiap langkah sebelum melakukannya, menganalisis suasana hatiku,
perasaan terbakar di tenggorokanku, dan posisi yang lain-lain di sekelilingku.
Seberapa kuat yang kurasakan versus seberapa mampu mereka menahanku. Prosesi
yang lambat. Kemudian bocah dalam gendongan Rosalie, yang menggeliat-geliat dan menggapai-
gapai dengan ekspresi makin kesal, mengeluarkan suara rengekan tinggi
melengking. Semua bereaksi seolah-olah seperti aku mereka belum pernah mendengar
suaranya sebelum ini. Dalam sekejap mereka sudah mengelilinginya, meninggalkan aku berdiri sendirian,
membeku di tempat. Raungan melengking Renesmee menghunjamku, menombakku di
lantai. Telingaku seperti ditusuk-tusuk, seperti mau robek.
Sepertinya semua orang memegangnya, menepuk-nepuk dan menghiburnya. Semua
kecuali aku. "Ada apa" Dia kenapa" Apa yang terjadi?"
Suara Jacob-lah yang paling keras, nadanya waswas, mengalahkan suara yang lain.
Dengan shock kulihat bagaimana ia mengulurkan tangan kepada Renesmee, kemudian
dengan ngeri kulihat Rosalie menyerahkan Renesmee padanya tanpa perlawanan,
"Tidak, dia baik-baik saja," Rosalie menenangkan Jacob.
Rosalie menenangkan Jacob" Renesmee mau saja digendong Jacob, menempelkan tangan mungilnya ke pipi Jacob
kemudian menggeliat-geliat, memutar tubuhnya lagi ke arahku.
"Lihat, kan?" kata Rosalie padanya. "Dia hanya menginginkan Bella."
"Dia menginginkanku?" bisikku.
Mata Renesmee-mataku-menatapku tak sabar.
Edward melesat lagi ke sampingku. Ia meletakkan kedua tangannya di lenganku dan
dengan lembut mendorongku ke depan.
"Sudah hampir tiga hari dia menunggumu," kata Edward padaku.
Kami hanya beberapa meter darinya sekarang. Ledakan-ledakan panas seolah
bergetar keluar darinya dan menyentuhku.
Atau mungkin Jacob-lah yang bergetar. Kulihat kedua tangannya bergetar saat aku
mendekat. Meski begitu, walaupun ia jelas-jelas terlihat tegang, wajahnya lebih
tenang daripada yang pernah kulihat untuk waktu yang sangat lama.
"Jake-aku baik-baik saja," kataku. Aku panik melihat Renesmee dalam gendongan
tangannya yang bergetar, tapi aku berusaha keras menenangkan diri.
Jacob mengerutkan kening padaku, matanya tegang, seakan-akan ia juga sama
paniknya membayangkan Renesmee dalam gendonganku.
Renesmee merengek-rengek penuh semangat dan menjulurkan tubuh, kedua tangannya
yang kecil membuka dan menutup berulang kali.
Saat itulah sesuatu membukakan mataku. Tangisannya, matanya yang akrab, sikapnya
yang seolah lebih tidak sabar ketimbang aku menunggu pertemuan ini -semua itu
terjalin menjadi pola-pola paling natural ketika ia menggapai-gapaikan
tangannya. Tiba-tiba ia menjadi sangat nyata, dan tentu saja aku mengenalnya.
Rasanya sungguh biasa melangkah menghampirinya dan mengulurkan tangan,
meletakkan kedua tanganku di tempat paling pas saat aku menariknya dengan lembut
ke dalam gendonganku. Jacob mengulurkan lengannya panjang-panjang sehingga aku bisa menimang bayiku,
tapi tidak melepaskannya. Ia bergidik sedikit saat kulit kami bersentuhan,
Kulitnya, yang sebelumnya selalu hangat, kini seperti api yang menjilat-jilat
kulitku. Suhunya hampir sama dengan suhu tubuh Renesmee. Mungkin berbeda satu-
dua derajat. Renesmee tampaknya tidak menyadari dinginnya kulitku, atau setidaknya sudah
sangat terbiasa. Ia mendongak dan tersenyum padaku lagi, memamerkan gigi-gigi kotaknya yang
mungil serta dua lesung pipinya. Kemudian, dengan sengaja, ia meraih wajahku.
Saat ia melakukannya, semua tangan di tubuhku mencengkeram lebih erat,
mengantisipasi reaksiku. Aku hampir-hampir tak menyadarinya.
Aku tersentak, terperangah, dan takut melihat gambaran aneh dan mengerikan yang
mengisi pikiranku. Rasanya seperti ingatan yang sangat kuat-aku masih bisa
melihat lewat mataku sementara menyaksikan gambaran itu dalam pikiranku - tapi
semuanya sangat tidak familier. Aku menatapnya lewat ekspresi Renesmee yang
berharap, berusaha memahami apa yang terjadi, susah payah berusaha agar tetap
tenang. Selain mengguncangkan dan asing, gambaran itu sepertinya keliru -aku nyaris bisa
mengenali wajahku sendiri di dalamnya, wajah lamaku, tapi kelihatannya ganjil,
terbalik. Dengan cepat kusadari bahwa aku melihat wajahku sebagaimana orang lain
melihatnya, tidak terbalik seperti bayangan dalam cermin.
Wajahku dalam gambaran itu terpilin, berkerut-kerut, bersimbah peluh, dan
keringat. Meski begitu, ekspresiku dalam gambaran itu berubah jadi senyum
memuja; mata cokelatku berbinar-binar di dalam kelopaknya yang cekung. Gambaran
itu membesar, wajahku jadi semakin dekat, kemudian tiba-tiba lenyap.
Renesmee menurunkan tangannya dari pipiku. Senyumnya merekah semakin lebar,
lesung pipinya muncul lagi.
Ruangan sunyi senyap, yang terdengar hanya bunyi debar jantung. Tak seorang pun,
kecuali Jacob dan Renesmee, berani bernapas. Kesunyian itu terus berlanjut,
sepertinya mereka menungguku mengatakan sesuatu.
"Itu... itu... tadi apa?" Aku berhasil bertanya dengan suara tercekik.
"Apa yang kaulihat?" tanya Rosalie ingin tahu, mencondongkan tubuh untuk melihat
melalui Jacob, yang walaupun berdiri menghalangiku, namun pikirannya seperti
berada sangat jauh dari sini. "Apa yang dia tunjukkan padamu?"


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia menunjukkan itu padaku?" bisikku.
"Sudah kubilang, sulit menjelaskannya," bisik Edward di telingaku. "Tapi efektif
sebagai sarana komunikasi."
'Apa yang ditunjukkannya tadi?" tanya Jacob.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali. "Ehm... Aku Kurasa. Tapi aku
kelihatan kacau sekali."
"Itu satu-satunya kenangan yang dia miliki tentang kau," Edward menjelaskan.
Jelas, Edward juga melihat apa yang ditunjukkan Renesmee padaku saat ia
memikirkannya. Edward masih meringis, suaranya parau karena mengingat kembali
semua kenangan itu. "Dia ingin kau tahu dia mengetahui hubunganmu dengannya,
bahwa dia tahu siapa dirimu."
"Tapi BAGAIMANA dia melakukannya"''
Renesmee sepertinya tidak peduli pada mataku yang membelalak. Ia tersenyum kecil
dan menarik seberkas rambutku.
"Bagaimana aku mendengar pikiran" Bagaimana Alice bisa melihat masa depan?"
tanya Edward retoris, kemudian mengangkat bahu. "Dia memiliki bakat itu."
"Bakat yang menarik," kata Carlisle pada Edward. "Seolah-olah dia melakukan hal
sebaliknya dari apa yang bisa kaulakukan."
"Menarik," Edward sependapat. "Aku jadi ingin tahu... "
Aku tahu mereka berspekulasi, tapi aku tak peduli. Aku menatap wajah paling
cantik di dunia itu. Tubuhnya panas dalam pelukanku, mengingatkanku pada momen
saat kegelapan nyaris menang, ketika tak ada lagi yang tersisa di dunia ini
untuk kujadikan pegangan. Tak cukup kuat untuk menarikku keluar dari kegelapan
yang mengimpit. Momen ketika aku berpikir tentang Renesmee dan menemukan sesuatu
yang takkan pernah kulepaskan.
"Aku juga ingat padamu," kataku pelan.
Rasanya sangat natural mencondongkan tubuh dan menempelkan bibirku ke dahinya.
Aroma tubuhnya sangat menyenangkan. Aroma kulitnya membuat tenggorokanku seperti
terbakar, tapi mudah saja mengabaikannya. Sama sekali tidak merenggut
kebahagiaanku akan momen ini. Renesmee nyata dan aku mengenalnya. Ia bocah sama
yang kuperjuangkan sejak awal. Yang menendang-nendang perutku, yang mencintaiku
dari dalam perutku. Separo Edward, sempurna dan manis. Dan separo aku-dan yang
mengagetkan, itu justru membuatnya lebih cantik, bukan malah mengurangi
kecantikannya. Ternyata selama ini aku benar. Renesmee memang pantas diperjuangkan.
"Dia baik-baik saja," gumam Alice, mungkin pada Jasper. Aku bisa merasakan
mereka berdiri di dekatku, tidak memercayaiku.
"Kurasa mungkin eksperimennya hari ini sudah cukup?" tanya Jacob, suaranya satu
oktaf lebih tinggi karena stres, "Oke, reaksi Bella hebat, tapi sebaiknya kita
tidak terlalu memaksakan."
Kupelototi dia dengan perasaan jengkel. Jasper bergerak-gerak gelisah di
sebelahku. Kami berdiri berdesak-desakan sehingga setiap gerakan kecil saja
langsung terasa, "Apa masalahmu, Jacob?" tuntutku. Kutarik pelan tangannya yang menggendong
Renesmee, tapi Jacob malah beringsut mendekatiku. Tubuhnya menempel ke tubuhku,
Renesmee menyentuh dada kami berdua.
Edward mendesis padanya. "Walaupun aku mengerti, bukan berarti aku takkan
melemparmu keluar, Jacob. Reaksi Bella luar biasa baik. Jangan rusak momen ini
baginya," "Aku akan membantunya menendangmu, anjing," Rosalie berjanji, suaranya berdesis.
"Kau berutang satu tendangan padaku." Jelas tak ada perubahan dalam hubungan
mereka, kecuali semakin memburuk,
Kupelototi ekspresi cemas Jacob yang separo marah. Matanya terpaku pada wajah
Renesmee. Dalam keadaan semua orang berdesak-desakan seperti ini, tubuhnya pasti
bersentuhan dengan setidaknya enam vampir, tapi itu bahkan tidak membuatnya
terganggu sama sekali. Benarkah ia melakukan ini semua hanya untuk melindungiku dari diriku sendiri"
Apa yang terjadi selama transformasiku-perubahanku menjadi sesuatu yang
dibencinya-yang begitu melembutkan hatinya hingga ia merasa perlu melakukan
semua ini" Aku bingung memikirkannya, melihat Jacob menatap putriku. Memandanginya
seperti... seperti orang buta melihat matahari untuk pertama kalinya.
"Tidak!" aku tersentak.
Rahang Jasper mengatup dan kedua lengan Edward merangkul dadaku seperti belitan
ular. Detik itu juga Jacob merenggut Renesmee dari pelukanku, dan aku tidak
berusaha mempertahankan dia. Karena aku bisa merasakan kemunculannya-ledakan
emosi tak terkendali yang mereka khawatirkan sejak tadi.
"Rose," kataku dengan gigi terkatup rapat, sangat lambat dan jelas. "Ambil
Renesmee," Rosalie mengulurkan kedua tangannya, dan Jacob langsung menyerahkan anakku
padanya. Mereka mundur menjauhiku.
"Edward, aku tak ingin menyakitimu, jadi tolong lepaskan aku."
Ia ragu-ragu. "Pergi dan berdirilah di depan Renesmee," aku menyarankan. Ia menimbang-nimbang,
kemudian melepaskanku. Aku membungkuk seperti hendak menerkam dan maju dua langkah mendekati Jacob.
"Tega-teganya kau," geramku padanya.
Jacob mundur, kedua tangan terangkat, berusaha memberi penjelasan. "Kau tahu itu
bukan sesuatu yang bisa kukendalikan."
"Dasar anjing tolol Tega-teganya kau" Bayiku"
Jacob mundur keluar pintu depan sementara aku merangsek maju menghampirinya,
separo berlari menuruni tangga. "Itu bukan kemauanku, Bella!"
"Aku baru menggendongnya satu kali, tapi belum-belum kau sudah menganggap dirimu
berhak atas dirinya" Dia milikku"
"Aku bisa kok berbagi," kata Jacob dengan nada memohon sementara ia mundur
melintasi halaman. "Ayo bayar," kudengar Emmett berkata di belakangku. Sebagian kecil otakku
penasaran siapa yang bertaruh bahwa akhirnya bakal seperti ini. Aku tidak
membuang-buang waktu untuk memikirkannya. Aku terlalu marah,
"Berani-beraninya kau meng-imprint bayiku?" Kau sudah gila, ya?"
"Itu tidak kusengaja!" Jacob bersikeras, mundur ke arah pohon-pohon.
Kemudian ia tidak sendirian. Dua serigala besar muncul, mengapitnya di kedua
sisi. Leah mengertakkan giginya padaku.
Geraman mengerikan terlontar dari sela-sela gigiku, membalas geraman Leah. Suara
itu menggangguku, tapi tidak cukup untuk menghentikan langkahku.
"Bella, maukah kau mendengar penjelasanku sebentar saja" Please?" Jacob memohon-
mohon. "Leah, mundur" imbuhnya.
Leah menekukkan bibirnya padaku dan tidak bergerak.
"Mengapa aku harus mendengarkanmu?" desisku. Amarah menguasai pikiranku.
Mengaburkan segalanya. "Karena kau sendiri yang mengatakan ini padaku. Ingatkah kau" Kau sendiri pernah
berkata bahwa kita akan selalu bersama, benar bukan" Bahwa kita satu keluarga.
Kau berkata begitulah seharusnya kau dan aku. Jadi... sekarang kita jadi satu
keluarga. Itu keinginanmu."
Kutatap dia dengan garang. Samar-samar aku ingat kata-kata itu. Tapi otak baruku
berada dua langkah di depan ocehannya yang tidak masuk akal.
"Kaukira kau akan jadi bagian keluargaku sebagai menantuku sergahku. Suaraku
yang seperti lonceng naik dua oktaf tapi masih terdengar bagaikan musik.
Emmett tertawa. "Hentikan Bella, Edward," bisik Esme. "Dia akan menyesal nanti kalau dia
menyakiti Jacob." Tapi aku tidak merasa ada yang mengejarku.
"Tidak!" Jacob juga bersikeras pada saat bersamaan. "Bagaimana kau bahkan bisa
melihatnya seperti itu" Dia masih bayi, demi Tuhan"
"Justru itu maksudku!" jeritku.
"Kau tahu aku tidak berpikir begitu mengenai Renesmee! Kaukira Edward akan
membiarkanku hidup selama ini kalau aku berpikir yang tidak-tidak tentang dia"
Yang kuinginkan hanya agar dia aman dan bahagia-apakah itu tidak boleh" Apakah
itu berbeda dari yang kauinginkan?" Ia balas berteriak padaku.
Tak mampu lagi berkata apa-apa, aku meneriakkan geraman padanya.
"Bukankah Bella menakjubkan?" kudengar Edward bergumam.
"Tidak sekali pun Bella berusaha menerkam leher Jacob," Carlisle sependapat,
terdengar kagum. "Baik, kali ini kau menang," kata Emmett enggan. "Kau tak boleh mendekatinya,"
desisnya pada Jacob. "Aku tak bisa melakukan itu!"
Dari sela gigiku yang terkatup rapat: "Coba, Dimulai dari sekarang"
"Itu tidak mungkin. Tidak ingatkah kau betapa kau sangat menginginkan
kehadiranku tiga hari lalu" Betapa sulitnya kita berpisah" Perasaan itu sudah
hilang darimu, bukan?"
Kutatap dia dengan garang, tidak yakin apa maksudnya.
"Itu karena Renesmee," Jacob menjelaskan. "Dari awal. Kami harus selalu bersama,
bahkan saat itu." Aku ingat, kemudian aku mengerti; sebagian kecil diriku lega kegilaan itu bisa
dijelaskan. Tapi perasaan lega itu hanya membuatku semakin marah. Apa dikiranya
itu cukup bagiku" Bahwa hanya dengan mengklarifikasi maka aku pasti bisa
menerima kenyataan ini"
"Larilah, selagi bisa," ancamku.
"Ayolah, Bells! Nessie juga suka padaku!" Jacob bersikeras.
Tubuhku membeku. Napasku terhenti. Di belakangku tidak terdengar apa-apa, yang
pasti merupakan reaksi cemas mereka.
"Kau tadi memanggilnya... apa?"
Jacob mundur selangkah, terlihat malu-malu. "Well" gumamnya, "nama yang kaupilih
itu agak susah diucapkan, jadi... "
"Kau memberi putriku nama panggilan dari Momter Loch Ness?" pekikku. Kemudian
aku menerkam leher Jacob.
23. MEMORI "AKU benar-benar minta maaf, Seth. Seharusnya aku berada lebih dekat."
Edward masih saja meminta maaf, dan kupikir itu tidak adil dan juga tidak
pantas. Soalnya, bukan Edward yang benar-benar kehilangan kendali dan tidak bisa
menguasai amarahnya. Bukan Edward yang berusaha merobek leher Jacob-dan Jacob
bahkan tidak berubah wujud untuk melindungi diri-kemudian secara tidak sengaja
mematahkan bahu dan tulang selangka Seth waktu ia melompat di antara mereka.
Bukan Edward yang nyaris membunuh sahabatnya.
Bukan berarti sang sahabat tak punya andil dalam menyebabkan hal itu terjadi,
tapi jelas tak satu pun kelakuan Jacob membenarkan sikapku tadi.
Jadi bukankah seharusnya aku yang meminta maaf" Aku mencoba lagi.
"Seth, aku... "
"Jangan khawatir soal itu, Bella, aku baik-baik saja," kata Seth bersamaan
dengan Edward berkata, "Bella, Sayang, tak ada yang menghakimimu. Kau hebat
sekali." Bahkan menyelesaikan omonganku pun aku belum boleh. Lebih parah lagi senyum
Edward tak henti-hentinya merekah. Aku tahu Jacob tak pantas menerima reaksiku
yang kelewat berlebihan seperti tadi, tapi Edward seperti menemukan semacam
kepuasan di dalamnya. Mungkin ia berharap seandainya ia juga punya alasan
sebagai vampir baru; maka ia bisa melakukan sesuatu yang bersifat fisik untuk
melampiaskan kekesalannya pada Jacob,
Aku berusaha menghapus amarah itu dari sistemku sepenuhnya, tapi itu sulit, tahu
Jacob ada di luar bersama Renesmee sekarang. Mengamankannya dariku, vampir baru
yang sinting. Carlisle memasang penyangga lain ke lengan Seth, dan Seth meringis.
"Maaf, maaf!" gumamku, tahu aku takkan bisa menyuarakan permintaan maaf dengan
benar. "Jangan panik begitu, Bella," kata Seth, menepuk-nepuk lututku dengan tangannya
yang sehat sementara Edward menggosok-gosok lenganku dari sisi lain.
Seth sepertinya tak merasa enggan duduk berdampingan denganku di sofa sementara
Carlisle mengobatinya. "Setengah jam lagi aku akan kembali normal," sambungnya,
masih menepuk-nepuk lututku, seakan tidak menyadari teksturnya yang dingin dan
keras. "Siapa pun pasti akan melakukan hal yang sama, kalau mendengar tentang
Jake dan Ness... " Seth mendadak berhenti bicara dan cepat-cepat mengubah topik.
"Maksudku, setidaknya kau tidak menggigitku atau apa. Kalau itu, baru gawat
deh." Aku membenamkan wajahku ke tangan dan bergidik memikirkannya, kemungkinan yang
sangat mungkin terjadi. Padahal werewolf tidak bereaksi sama terhadap racun
vampir seperti tubuh manusia, mereka baru memberitahuku sekarang. Racun vampir
itu benar-benar jadi racun bagi mereka. "Jahat sekali aku ini."
"Tentu saja kau tidak jahat. Seharusnya aku..." Edward mulai bicara.
"Hentikan," tukasku. Aku tidak ingin ia menyalahkan dirinya seperti yang selalu
ia lakukan selama ini. "Untunglah bisa Ness... Renesmee, tidak beracun," kata Seth setelah terdiam
sesaat dengan sikap canggung. "Karena dia menggigit Jake terus."
Aku menjatuhkan kedua tanganku. "Benarkah?"
"Tentu. Setiap kali dia dan Rose kurang cepat menyuapkan makanan. Rose
menganggapnya lucu sekali."
Kupandangi Seth, shock, sekaligus merasa bersalah, karena harus kuakui informasi
ini sedikit membuatku merasa senang.
Tentu saja aku sudah tahu kalau bisa Renesmee tidak beracun. Aku orang pertama
yang digigitnya. Tapi aku tak ingin mengungkapkan pikiranku itu, karena aku
sedang berlagak tidak menyadari masa-masa awal itu.
"Well, Seth," ujar Carlisle, menegakkan badan dan meninggalkan kami. "Kurasa
hanya ini yang bisa kulakukan. Usahakan untuk tidak bergerak selama, oh,
beberapa jam, kurasa." Carlisle terkekeh. "Kalau saja mengobati manusia bisa
langsung sembuh seperti ini."
Ia meletakkan tangan sebentar di rambut Seth yang hitam. "Jangan bergerak,"
perintahnya, kemudian menghilang ke lantai atas. Kudengar pintu ruang kerjanya
ditutup, dan bertanya-tanya dalam hati apakah mereka sudah membersihkan bukti-
bukti keberadaanku di sana dulu.
"Aku mungkin bisa duduk diam beberapa saat," Seth menyanggupi setelah Carlisle
pergi, kemudian ia menguap lebar-lebar. Dengan hati-hati, memastikan bahunya
tidak bergerak, Seth menyandarkan kepala ke punggung sofa dan memejamkan mata.
Beberapa detik kemudian mulutnya sudah mengendur.
Aku mengerutkan kening, beberapa saat memandangi wajahnya yang tenang. Seperti
Jacob, Seth sepertinya memiliki kemampuan tertidur pulas kapan saja ia mau. Tahu
tak bisa meminta maaf lagi untuk beberapa waktu, aku berdiri; gerakan itu tidak
mengguncangkan sofaku sedikit pun. Segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah
fisik terasa begitu mudah. Tapi hal-hal lain...
Edward mengikutiku ke jendela-jendela belakang dan meraih tanganku,
Leah mondar-mandir di sepanjang tepi sungai, sesekali berhenti untuk melihat ke
arah rumah. Mudah saja membedakan kapan Leah mencari adiknya dan kapan ia
mencariku. Ia berganti-ganti melayangkan pandangan cemas dan pandangan penuh
dendam kesumat. Aku bisa mendengar Jacob dan Rosalie di luar, di tangga depan, bertengkar pelan
memperebutkan giliran menyuapi Renesmee. Hubungan mereka tetap antagonis seperti
biasa; satu-satunya hal yang mereka sepakati bersama adalah bahwa aku harus
dijauhkan dari bayiku sampai aku seratus persen pulih dari ledakan amarahku.
Edward menolak vonis mereka itu, tapi aku menerimanya saja. Aku juga ingin
meyakinkan diri. Tapi aku khawatir seratus persenku dan seratus persen mereka
adalah dua hal yang sama sekali berbeda.
Selain pertengkaran mereka, tarikan napas Seth yang teratur, dan napas memburu
Leah yang sedang kesal, suasana sangat tenang. Emmett, Alice, dan Esme berburu.
Jasper ditinggal untuk mengawasiku. Ia berdiri diam-diam di balik tiang
penyangga, berusaha untuk tidak bersikap menjengkelkan.
Aku memanfaatkan suasana yang tenang ini untuk memikirkan hal-hal yang dikatakan
Edward dan Seth saat Carlisle membebat lengan Seth yang patah tadi. Banyak
sekali yang terlewatkan olehku waktu aku sedang terbakar, dan ini kesempatan
pertama yang sesungguhnya untuk mengejar ketertinggalanku.
Hal utama adalah akhir perseteruan dengan kawanan Sam-itulah sebabnya yang lain-
lain merasa aman untuk datang dan pergi sesuka hati lagi. Gencatan senjata kini
semakin kuat dari yang sudah-sudah. Atau, lebih mengikat, tergantung dari sudut
mana kau melihatnya, aku membayangkan.
Mengikat, karena hukum paling utama dari semua hukum yang berlaku bagi kawanan
itu adalah bahwa tidak ada serigala yang boleh membunuh objek imprint serigala
lain. Kepedihan yang didapat dari hal semacam itu takkan bisa ditolerir seluruh
kawanan. Kesalahan itu, apakah disengaja atau tidak, tak dapat dimaafkan;
serigala-serigala yang terlibat akan bertarung sampai mati-tak ada pilihan lain.
Hal semacam itu pernah terjadi dulu, Seth bercerita padaku, tapi tidak
disengaja. Tidak ada serigala yang secara sengaja menghancurkan saudaranya
seperti itu. Maka Renesmee tak bisa disentuh karena perasaan Jacob terhadapnya sekarang. Aku


Breaking Dawn Twilight Buku Ke 4 Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencoba memusatkan pikiran pada perasaan lega karena fakta itu, daripada merasa
sedih karenanya, tapi tidak mudah. Ada cukup ruang dalam benakku untuk merasakan
keduanya secara mendalam pada saat bersamaan.
Dan Sam juga tak bisa marah karena transformasiku, karena Jacob-berbicara
sebagai Alfa yang sejati-telah mengizinkannya. Jengkel rasanya menyadari
berulang kali betapa banyaknya aku berutang budi pada Jacob justru di saat aku
sedang ingin marah padanya.
Aku sengaja mengarahkan pikiran-pikiranku agar bisa mengendalikan emosi. Aku
mempertimbangkan fenomena menarik lain; walaupun kesunyian di antara dua kawanan
terus berlanjut, Jacob dan Sam menemukan fakta bahwa dua Alfa bisa saling
berbicara saat dalam wujud serigala. Tidak persis sama seperti sebelumnya;
mereka tidak bisa mendengar setiap pikiran seperti dulu sebelum mereka berpisah.
Lebih mirip berbicara dengan suara keras, begitu penjelasan Seth. Sam hanya bisa
mendengar pikiran-pikiran yang ingin dibagi Jacob, demikian juga sebaliknya.
Mereka mendapati bahwa ternyata mereka bisa berkomunikasi dari jarak jauh
setelah sekarang mereka kembali saling berbicara.
Mereka baru mengetahui hal ini setelah Jacob pergi sendirian -walau sudah
dilarang Seth dan Leah-untuk menjelaskan kepada Sam tentang Renesmee; itu satu-
satunya saat ia meninggalkan Renesmee sejak pertama kali melihatnya.
Begitu Sam mengerti semua telah berubah, ia kembali bersama Jacob untuk
berbicara dengan Carlisle. Mereka berbicara dalam wujud manusia (Edward menolak
beranjak dari sisiku untuk menerjemahkan), dan kesepakatan pun diperbaharui.
Namun atmosfer persahabatan takkan pernah kembali lagi seperti dulu.
Satu kekhawatiran besar sudah berhasil disingkirkan. Tapi masih ada lagi
kekhawatiran lain yang, walaupun tidak berbahaya secara fisik seperti
segerombolan serigala marah, tetap terasa lebih mendesak bagiku. Charlie.
Ia sudah berbicara dengan Esme tadi pagi, tapi itu tidak membuatnya berhenti
menelepon lagi, dua kali, hanya beberapa menit yang lalu, waktu Carlisle sedang
merawat tangan Seth. Carlisle dan Edward membiarkan teleponnya berdering tanpa
diangkat. Apa kira-kira yang bisa kuberitahukan padanya" Apakah keluarga Cullen benar"
Apakah mengatakan kepada Charlie bahwa aku sudah meninggal adalah jalan terbaik"
Apakah aku bisa berbaring diam tak bergerak dalam peti mati sementara Charlie
dan ibuku menangisiku"
Aku merasa itu bukan hal yang tepat. Tapi membahayakan hidup Charlie dan Renee
karena obsesi keluarga Volturi pada kerahasiaan juga jelas bukan pilihan.
Ada juga ideku yang lama-membiarkan Charlie menemuiku, kalau aku sudah siap, dan
membiarkannya berasumsi yang salah. Secara teknis tidak ada peraturan vampir
yang dilanggar. Apakah tidak lebih baik Charlie tahu aku masih hidup- begitulah-
dan bahagia" Walaupun aku aneh, berbeda, dan mungkin menakutkan baginya"
Mataku, terutama, terlalu menakutkan sekarang. Berapa lama lagi pengendalian
diri dan warna mataku siap menerima Charlie"
"Ada apa, Bella?" Jasper bertanya pelan, membaca keteganganku yang semakin
meningkat. "Tidak ada yang marah denganmu" geraman rendah dari tepi sungai
menyanggah perkataannya, tapi ia mengabaikannya" atau bahkan terkejut, sungguh.
Well, kurasa kami memang terkejut. Terkejut karena kau bisa menguasai diri
begitu cepat. Bagus sekali. Lebih bagus daripada yang diharapkan orang darimu."
Sementara ia berbicara, ruangan jadi sangat tenang. Embusan napas Seth berubah
menjadi dengkuran pelan. Aku merasa lebih damai, tapi aku tidak melupakan
keresahanku. "Aku memikirkan Charlie sebenarnya."
Di luar sana, pertengkaran itu kontan terhenti.
"Ah," gumam Jasper.
"Kita benar-benar harus pergi, ya?" tanyaku. "Untuk sementara, paling tidak.
Pura-pura sedang berada di Alaska atau sebangsanya."
Aku bisa merasakan tatapan Edward tertuju ke wajahku, tapi aku menatap Jasper.
Dialah yang menjawabku dengan nada muram.
"Ya. Itu satu-satunya cara melindungi ayahmu."
Aku tercenung sebentar memikirkannya. "Aku akan sangat merindukan dia. Aku akan
merindukan semua orang di sini."
Jacob, pikirku, meski tidak ingin. Walaupun kerinduan itu sudah hilang dan sudah
bisa dimengerti alasannya-dan aku merasa sangat lega karenanya-ia tetap temanku.
Orang yang memahami aku yang sebenarnya dan menerimaku apa adanya. Bahkan
sebagai monster. Aku memikirkan perkataan Jacob, yang memohon pengertianku sebelum aku
menyerangnya. Kau sendiri pernah berkata kita akan selalu bersama, ya kan" Bahwa
kita satu keluarga. Kau berkata begitulah seharusnya kau dan aku. Jadi. sekarang
kita jadi satu keluarga. Itu keinginanmu.
Tapi rasanya bukan ini yang kuinginkan. Tidak persis seperti ini. Ingatanku
melayang lebih jauh ke belakang, ke kenangan-kenangan kabur dan lemah
kehidupanku dulu sebagai manusia. Kembali ke bagian yang paling sulit diingat-
ke masa tanpa Edward, masa yang begitu gelap hingga aku berusaha menguburnya
dalam kepalaku. Aku tak bisa mengingat dengan tepat kata-kata persisnya; aku
hanya ingat pernah berharap Jacob saudara lelakiku sehingga kami bisa saling
menyayangi tanpa perasaan bingung atau sakit hati. Keluarga. Tapi tak sedikit
pun pernah terlintas dalam pikiranku ada faktor anak perempuan di dalamnya.
Aku teringat masa yang belum lama lewat-satu dari sekian banyak kesempatanku
mengucapkan selamat berpisah pada Jacob-saat aku mengungkapkan rasa ingin tahuku
dengan siapa ia akan berpasangan nanti, siapa yang akan membenahi hidupnya
setelah apa yang kulakukan terhadapnya. Aku pernah berkata bahwa siapa pun dia,
dia takkan cukup baik bagi Jacob.
Aku mendengus, dan Edward mengangkat sebelah alisnya dengan sikap bertanya. Aku
hanya menggeleng. Tapi sebesar apa pun aku kehilangan temanku nanti, aku tahu ada masalah lain
yang lebih besar. Apakah Sam, atau Jared, atau Quil pernah melewatkan satu hari
saja tanpa menemui objek fiksasi mereka, Emily, Kim, dan CIaire" Apa mereka
BISA" Apa akibatnya bila Renesmee dipisahkan dari Jacob" Apakah itu akan membuat
Jacob terluka" Masih tersisa banyak kejengkelan di hatiku yang membuatku senang, bukan karena
kesedihan Jacob, tapi karena membayangkan menjauhkan Renesmee darinya. Bagaimana
aku bisa menerima fakta bahwa ia milik Jacob kalau ia baru saja jadi milikku"
Suara gerakan di teras depan membuyarkan pikiran-pikiranku. Aku mendengar mereka
berdiri, lalu berjalan melewati pintu. Pada saat bersamaan Carlisle menuruni
tangga dengan kedua tangan penuh benda aneh -pita pengukur, timbangan. Jasper
melesat ke sampingku. Seolah-olah ada semacam sinyal yang terlewatkan olehku,
bahkan Leah pun duduk di luar dan memandang melalui jendela dengan ekspresi
seakan-akan ia menunggu sesuatu yang familier sekaligus sangat tidak menarik.
"Pasti enam," kata Edward.
"Memangnya kenapa?" tanyaku, mataku tertuju pada Rosalie, Jacob, dan Renesmee.
Mereka berdiri di ambang pintu, Renesmee dalam gendongan Rosalie. Rose tampak
waswas. Jacob resah. Renesmee cantik dan tidak sabaran.
"Saatnya mengukur Ness... eh, Renesmee," Carlisle menjelaskan.
"Oh. Kau mengukurnya setiap hari?"
"Empat kali sehari," Carlisle mengoreksi dengan nada sambil lalu sementara ia
melambaikan tangan, memberi isyarat pada yang lain untuk duduk di sofa. Kalau
tidak salah aku melihat Renesmee mendesah.
"Empat kali" Setiap hari" Mengapa?"
"Dia masih bertumbuh dengan cepat," Edward berbisik padaku, suaranya pelan dan
tegang. Ia meremas tanganku, dan lengannya yang lain merangkul pinggangku erat-
erat, hampir seperti perlu berpegangan.
Aku tak sanggup mengalihkan pandangan dari Renesmee untuk mengecek ekspresinya.
Wanita Iblis 18 Dewa Linglung 24 Jeratan Ilmu Iblis Pedang Pelangi 27
^