Pencarian

Empress Orchid 1

Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min Bagian 1


Empress Orchid Drama Cinta dan Kekuasaan Selir Muda
Kaisar Hsien Feng Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang
Anchee Min hikmah Empress Orchid Drama Cinta dan Kekuasaan Selir Muda
Kaisar Hsien Feng Diterjemahkan dari Empress Orchid Karya Anchee Min.
Terbitan Marine Book, Houghton Mifflin Company, Boston, New York Copyright ?
2004 by Anchee Min First published by Houghton Mifflin
Translation rights arranged
by Sandra Djikstra Literary Agency
All rights reserved Indonesian Translation Copyright
B 200S by Hikmah Publishing House
Penerjemah: Dian Guci Penyunting: Rika Iffati Farihah
Penyelaras Aksara: Ifah Nurjany
Desain Cover: Windu Budi Penata letak: elcreative26@yahoo.com
Penerbit Hikmah (PT Mizan Publika)
Anggota IKAPI Jln. Puri Mutiara Raya No. 72
Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430
Telp. 021-75915762. Fax. 021-75915759
E-mail: hikmahku@cbn.net.id hikmah_pubhsher@yahoo.com
http://www.mizan.com/hikmah ISBN: 979-979-114-149-9
Cetakan I. Januari 2003 Didistribusikan oleh Mizan Media Utama (MMU)
Jln. Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungberung, Bandung 40294
Telp.: (022) 7815500 (hunting) Faks.: (022) 7802288
E-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id
JAKARTA: (021) 7661724, 7661725, MAKASSAR: (0411) 871369,
SURABAYA: (031) 60050079, (031) 8286195, MEDAN: (061) 820469
Untuk putriku Lauryann, dan semua anak perempuan angkatku dari Cina
Penghargaan Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada suami saya, Llyod Lofthouse, kepada
Sandra Djikstra beserta timnya di Sandra Dijkstra Literary Agency, kepada Anton
Mueller dan timnya di Houghton Mifflin, serta kepada Museum Sejarah Cina,
Perpustakaan Nasional Cina, Museum Shanghai dan Museum Kota Terlarang di Peking.
Hubunganku dengan Tzu Hsi dimulai pada tahun 1902 dan terus berlangsung hingga
kematiannya. Aku menyimpan catatan intim tentang hubungan rahasiaku dengan sang
Maharani dan yang lain-lain; aku juga menyimpan catatan dan pesan yang ditulis
Yang Mulia kepadaku, tapi sialnya aku kehilangan semua manuskrip dan kertas-
kertas ini. SIR EDMUND BACKHOUSE Co-author buku China Under the Empress Dowager (1910) dan Annals and Memoirs of
the Court of Peking (1914)
Pada tahun 1974, (dengan) mempermalukan Oxford dan membuat kaget secara pribadi
ilmuwan Cina di seluruh dunia, terbongkar bahwa Backhouse adalah seorang
penipu... Kebohongannya memang diangkat, tetapi bahan-bahan palsunya masih tetap
digunakan. STERLING SEAGRAVE, Dragon Lady: The Life and Legend of the Last Empress of China (1992)
Salah satu orang bijak Cina meramalkan bahwa "Cina akan dihancurkan oleh seorang
perempuan." Ramalan ini tengah menuju kenyataan.
- DR. GEORGE ERNEST MORRISON,
Koresponden Times London untuk Cina, 1892-1912
Tzu Hsi sudah membuktikan bahwa ia bijak dan (ber-pandangan) ekonomis.
Kepribadiannya tanpa cela.
CHARLES DENBY, Wakil Amerika untuk Cina, 1S9S
Dia (Tzu Hsi) adalah biangnya kejahatan dan intrik.
Naskah Cina (dicetak tahun 1949-1991)
Prakata PADA KENYATAANNYA, aku tak pernah menjadi dalang dari apa pun.
Aku tertawa geli setiap kali orang mengatakan bahwa sudah menjadi ambisiku untuk
memerintah Cina sejak masih muda. Hidupku dibentuk oleh kekuatankekuatan yang
telah ada sejak sebelum aku lahir.
Jalinan konspirasi dalam dinasti ini telah amat tua, lelaki dan perempuan
terperangkap dalam persaingan mematikan jauh sebelum aku memasuki Kota Terlarang
dan menjadi seorang selir. Dinastiku, Dinasti Ch'ing, sudah tak dapat
diselamatkan lagi sejak Cina dikalahkan Inggris Raya dan sekutunya dalam Perang
Candu. Duniaku adalah sepetak rangkaian ritual menjengkelkan. Satu-satunya
privasi yang bisa kudapat adalah di dalam kepala. Tak satu hari pun berlalu
tanpa perasaan seolah aku adalah seekor tikus yang berhasil menghindari satu
perangkap lagi. Selama setengah abad aku ikut ambil bagian dalam tata cara
kerajaan yang rumit beserta dengan seluruh detailnya yang sangat terperinci.
Layaknya salah satu lukisan dari galeri lukisan kekaisaran, begitulah diriku.
Manakala aku duduk di atas
takhta, penampilanku anggun, menyenangkan, penuh kedamaian. Di hadapanku terbentang sehelai tirai pembatas - tabir tembus pandang yang secara
simbolis memisahkan perempuan dan lelaki.
Agar terlindungi dan kritikan, aku mendengarkan dengan baik, tetapi tak banyak
bicara. Karena sangat memahami kesensitifan para lelaki, aku tahu bahwa sekilas
saja kecerdikan akan amat mengganggu para penasihat dan menteri. Bagi mereka,
gagasan tentang seorang perempuan sebagai penguasa itu mengerikan. Para pangeran
yang cemburu memangsa rasa takut setiap perempuan yang terlibat dalam politik.
Saat suamiku meninggal dan aku berperan sebagai wali bagi putra kami, Tung Chih,
yang baru berusia lima tahun, kupuaskan para penghuni istana dengan menekankan
dalam titahku bahwa anakku Tung Chihlah, sang Kaisar Muda, yang memerintah,
bukan ibunya. Sementara para lelaki di istana berusaha mengesankan satu sama
lain dengan kecerdasan mereka, aku justru menyembunyikannya. Pekerjaanku memerintah dalam istana adalah pertarungan tiada
henti dengan para penasihat yang ambisius, para menteri yang penuh tipu daya
serta para jenderal yang mengomandani prajurit-prajurit yang tak pernah melihat
medan pertempuran. Sudah lebih dari empat puluh enam tahun. Pada musim panas
yang lalu mendadak kusadari bahwa aku telah menjadi sebatang lilin yang terbakar
habis di dalam sebuah aula tanpa jendela kesehatanku telah meninggalkanku, aku
tahu hari-hariku sudah mendekati akhir.
Akhir-akhir ini kupaksakan diriku untuk bangun pada pagi buta, dan menerima
orang menghadap sebelum sarapan. Kondisi kesehatanku kurahasiakan. Hari ini aku
terlalu lemah untuk bangkit.
Kasimku datang untuk memintaku bergegas. Para pejabat dan penguasa sudah
menantiku di balairung dengan lutut kesakitan.
Mereka berada di sana bukan untuk mendiskusikan apa yang harus dilakukan setelah
aku mati, tetapi guna menekanku untuk menetapkan salah seorang dari anak lelaki
mereka sebagai putra mahkota.
Amat menyakitkan untuk mengakui bahwa dinasti kami telah kehilangan ruhnya. Pada
saat-saat seperti ini, tak ada yang dapat kulakukan dengan benar. Aku telah
dipaksa untuk menyaksikan kejatuhan tidak hanya kejatuhan putraku pada usia
sembilan belas, tetapi juga kejatuhan Cina sendiri. Apakah ada yang lebih kejam
daripada itu" Dengan sepenuhnya menyadari alasan demi alasan yang ikut berperan
dalam situasi ini, aku merasa terdesak, tercekik. Cina telah menjadi sebuah
jagat yang teracuni dalam kotorannya sendiri.
Jiwaku telah menjadi demikian layu sehingga para pendeta dan kuil terbaik
sekalipun gagal memulihkannya.
Tetapi ini bukanlah yang terburuk. Bagian terburuknya adalah rekan sebangsaku
terus saja menunjukkan kepercayaan mereka kepadaku, dan bahwa aku, karena
panggilan nuraniku, harus menghancurkan kepercayaan mereka itu. Aku telah
mencabik banyak hati dalam bulan-bulan belakangan, dengan dekrit-dekrit perpisahanku; dengan mengatakan sejujurnya kepada mereka bahwa hidup mereka akan
lebih baik tanpaku. Kukatakan kepada para menteriku bahwa aku sudah siap untuk
memasuki keabadian dengan damai, apa pun pendapat dunia. Dengan kata lain, aku
adalah seekor burung tak bernyawa yang tak takut lagi pada air mendidih.
Aku buta pada saat penglihatanku masih sempurna. Pagi ini aku mengalami
kesulitan untuk melihat apa yang tengah kutulis, tetapi mata batinku amat
jernih. Cat rambut Prancis bekerja sempurna dengan membuat rambutku tetap
terlihat seperti dulu: sepekat malam. Selain itu, cat ini tidak mengotori kulit
kepalaku seperti cat Cina yang sudah bertahun-tahun kupakai. Jangan membual
kepadaku tentang betapa pintarnya kita dibandingkan dengan bangsa-bangsa biadab
itu! Memang betul, nenek moyang kita menemukan kertas, alat cetak, kompas,
dinamit, tetapi nenek moyang kita juga telah menolak, dinasti demi dinasti,
untuk membangun suatu pertahanan yang layak bagi negeri ini. Mereka beranggapan
bahwa peradaban Cina sudah sedemikian tinggi sehingga tak seorang pun akan
terpikir untuk melawan. Lihat keadaan kita sekarang: dinasti ini sudah serupa
gajah sekarat yang sedang menyelesaikan embusan napas terakhirnya.
Konfusianisme terbukti gagal. Cina telah dikalahkan. Aku tidak mendapat
penghormatan, keadilan, dan dukungan apa pun dan seluruh dunia. Negara-negara
tetangga sekutu kita mengawasi kejatuhan kita dengan sikap apatis dan tanpa
daya. Untuk apa kemerdekaan bila kehormatan telah tiada" Hinaan terhadapku tidak
datang dalam bentuk cara sekarat yang tak tertahankan ini, tetapi dalam
ketiadaan kehormatan, serta kegagalan kami untuk melihat kenyataan.
Aku terkejut karena tak seorang pun menyadari bahwa perilaku kita menuju akhir
ini sangat menggelikan dan absurd. Di tengah audiensi yang terakhir, aku tak
dapat menahan diri untuk tidak berteriak, "Cuma aku yang tahu bahwa rambutku
sudah tipis dan memutih!"
Seisi istana tak mau mendengarkan. Para menteriku menganggap bahwa cat Prancis
dan gaya rambutku yang tertata apik itu asli. Seraya membenturkan dahi mereka ke
lantai, mereka berseru, "Sepuluh ribu tahun kesehatan! Semoga Yang Mulia panjang umur!"[]
Satu HIDUP KEBANGSAWANANKU dimulai dengan bau busuk. Bau busuk yang datang dari peti
mati ayahku- dia telah dua bulan wafat dan kami masih juga membawa-bawanya,
mencoba untuk mencapai Peking, kota kelahirannya, untuk dimakamkan. Ibuku putus
asa. "Suamiku mantan Gubernur Wuhu," katanya kepada para bujang yang kami sewa
untuk mengangkat peti mati Ayah. "Ya, Nyonya," sahut kepala bujang dengan
sopan." "dan kami ucapkan selamat jalan menuju kampung halaman dengan setulus
hati kepada Tuan Gubernur."
Dalam kenanganku, Ayah bukan seorang yang bahagia hidupnya. Dia berkali-kali
diturunkan jabatan karena tak berhasil menumpas pemberontakan petani Taiping.
Kelak, aku baru mengetahui bahwa sebenarnya kesalahan tidak semata-mata terletak
pada pundak Ayahku. Telah bertahun-tahun Cina dilanda kelaparan dan agresi
asing. Siapa saja yang berada dalam posisi ayahku pasti akan mengerti bahwa
menjalankan titah Kaisar untuk memulihkan kedamaian di pedesaan adalah mustahil-
para petani menganggap bahwa hidup mereka tak lebih baik daripada kematian.
Kusaksikan perjuangan dan penderitaan Ayah dalam usia dini.
Aku lahir dan dibesarkan di Anhwei, provinsi termiskin di Cina. Kami tidak hidup
dalam kemiskinan, tetapi aku tahu bahwa para tetangga menyantap cacing untuk
makan malam dan menjual anak-anak mereka demi membayar utang. Perjalanan lamban
ayahku menuju neraka dan usaha keras ibuku untuk melawannya memenuhi masa
kecilku. Seperti seekor jangkrik berkaki panjang, Ibu berusaha menghalangi
kereta menggilas keluarganya.
Panas kemarau memanggang jalan. Peti mati itu diusung dengan posisi miring
karena tinggi para bujang yang beragam. Ibu membayangkan betapa tak nyaman
tentunya Ayah berbaring di dalam. Kami berjalan dalam diam, mendengarkan suara
sepatu butut kami menapaki debu. Gerombolan lalat mengejar peti mati. Setiap
kali para bujang berhenti untuk beristirahat sejenak, lalat-lalat itu
menghinggapi peti seperti sehelai selimut. Ibu menyuruh adik perempuanku, Rong,
adik lelakiku, Kuei Hsiang, dan aku untuk mengusir lalat-lalat itu. Tetapi kami
terlalu letih bahkan untuk sekadar mengangkat lengan. Kami telah menempuh
perjalanan panjang dari daerah Utara di sepanjang Kanal Besar dengan berjalan
kaki karena kami tak punya uang untuk menyewa perahu. Kakiku tertutup lepuh dan
lecet. Pemandangan di kedua sisi amatlah suram. Air di dalam kanal dangkal dan
cokelat berlumpur. Di atasnya terbentanglah bukit-bukit tandus, terhampar hingga
bermil-mil jauhnya. Hanya ada sedikit penginapan tampak, dan yang dapat kami
temukan dikuasai sepenuhnya oleh kutu.
"Lebih baik Anda segera membayar kami," kata kepala bujang kepada Ibu saat
didengarnya Ibu mengeluh tentang dompetnya yang nyaris kosong, "atau Anda harus
menandu peti ini sendiri, Nyonya."
Ibu mulai tersedu lagi, mengatakan bahwa suaminya tak layak menerima perlakuan
seperti ini. Tak ada yang bersimpati. Fajar berikutnya para penandu
menelantarkan peti mati Ayah.
Ibu duduk di atas sebuah batu di tepi jalan. Di seputar mulutnya terdapat
lingkaran luka. Rong dan Kuei Hsiang membicarakan kemungkinan untuk menguburkan
Ayah di sini saja. Aku tak tega meninggalkan Ayah di tempat seperti ini, tempat
tak sebatang pohon pun terlihat. Walaupun aku bukan kesayangan Ayah- dia agak
kecewa karena aku, si anak sulung, bukan seorang lelaki-Ayah melakukan yang
terbaik untuk membesarkanku. Dialah yang bersikeras agar aku belajar membaca.
Aku tidak pernah bersekolah secara resmi, tetapi aku berhasil mempelajari cukup
kosakata untuk memahami cerita-cerita klasik Dinasti Ming dan Ch'ing.
Saat berumur lima tahun aku berpikir bahwa lahir di tahun Kambing adalah
kesialan. Kukatakan kepada Ayah bahwa menurut teman-teman di desa, lambang
kelahiranku itu alamat sial. Artinya, aku akan dibantai.
Ayah tak setuju. "Kambing adalah hewan yang sangat menawan." katanya. "Kambing
adalah perlambang kerendahan hati, keselarasan, dan kesetiaan." Ayah menjelaskan
bahwa lambang kelahiranku sebenarnya malah sangat kuat. Engkau punya angka
sepuluh ganda. Kau lahir pada hari kesepuluh, bulan kesepuluh, yang jatuh pada
29 November 183S. Engkau tak dapat lebih beruntung lagi daripada itu!"
Tetapi Ibu, yang juga ragu-ragu tentang lambang kelahiranku itu, memanggil
seorang peramal untuk dimintai nasihat. Sang peramal mengatakan bahwa sepuluh-
ganda itu terlalu kuat. "Terlalu penuh,"
kata perempuan tua yang mirip penyihir itu, artinya, 'terlalu mudah tumpah'.
"Anak gadismu ini akan tumbuh menjadi kambing yang keras kepala, yang berarti
akhir menyedihkan!" si peramal berbicara dengan penuh semangat, ludah mengumpul
di sudut-sudut mulutnya. "Kaisar sekalipun akan menghindari angka sepuluh karena
sifatnya yang begitu penuh."
Akhirnya, atas saran dan sang peramal, orangtuaku memberiku nama yang diharap
akan membuatku "melentur".
Itulah sebabnya aku dinamai Anggrek.
Belakangan Ibu mengatakan bahwa anggrek juga merupakan objek lukisan tinta
kesukaan ayah. Ayah menyukai kenyataan bahwa tanaman ini tetap hijau dalam musim
apa pun dan bunganya memiliki warna yang elegan, bentuk yang anggun, serta wangi
yang manis. Nama Ayah adalah Hui Cheng Yehonala. Setiap kali aku memejamkan mata, dapat
kulihat dia, berdiri dalam jubah katun kelabu. Ayahku bertubuh ramping, dengan


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

roman muka khas penganut Konfusianisme. Melihat kehalusan roman Ayah, sangatlah
sulit membayangkan bahwa nenek moyangnya yang berasal dari klan Yehonala adalah
prajurit pengembara Manchu yang hidup di atas punggung kuda. Ayah menceritakan
kepadaku bahwa mereka berasal dari suku Nu Cheng dari Manchuria, suatu daerah di
antara Mongolia dan Korea. Nama Yehonala berarti akar keluarga kami dapat
dirunut hingga ke suku Yeho dan klan Nala pada abad keenam belas. Nenek moyangku
bertempur bahu membahu dengan pemimpin suku pengembara, Nurhachi, yang
menaklukkan Cina pada 1644 dan menjadi Kaisar pertama dari Dinasti Ch'ing. Kini
Wangsa Ch'ing sudah memasuki generasi ketujuh. Ayahku mewarisi gelar suku Manchu
pengembara dengan Pangkat Biru, tetapi selain kehormatan, gelar tersebut hampir-
hampir tak memberikan apa pun.
Umurku sepuluh tahun saat Ayah menjadi taotai, atau Gubernur, dan sebuah kota
kecil bernama Wuhu, di Provinsi Anhwei. Aku memiliki segudang kenangan manis
dari masa-masa itu, meskipun banyak yang beranggapan bahwa Wuhu adalah tempat
yang mengerikan. Pada bulan-bulan musim panas, temperatur selalu berada di atas
100 derajat fahrenheit, siang dan malam. Gubernur-gubernur lain menyewa kuli
untuk mengipasi anak-anak mereka, tetapi orangtuaku tak mampu membayarnya.
Setiap pagi alas tidurku basah kuyup oleh keringat. "Kau mengompol!" adik
lelakiku menggodaku. Bagaimanapun, ketika kecil aku mencintai Wuhu. Danau di sana adalah bagian dan
Sungai Yangtze yang terkenal itu, yang berkelok melintasi Cina seraya mengukir
ngarai, tebing batu terjal, dan lembah-lembah yang diselubungi tanaman pakis
serta rerumputan; menukik menjadi dataran luas dan indah yang subur, tempat
padi, sayur-mayur dan juga nyamuk, semua berkembang biak dengan pesat. Yangtze
terus mengalir hingga bertemu dengan Laut Cina Timur di Shanghai.
Wuhu berarti "danau yang ditumbuhi rumput lebat".
Rumah kami, Wisma Gubernur, bergenteng keramik abu-abu dengan sosok-dewa-dewa
tegak pada keempat ujung atapnya yang melengkung. Setiap pagi aku berjalan ke
danau untuk mencuci muka dan menyikat rambut, bayangan wajahku di air sejernih
dalam cermin. Kami mandi dan juga minum, di sungai. Aku bermain dengan adik-adikku dan para
tetangga di atas punggung kerbau yang licin. Kami bermain lompat-katak. Gerumbul
tanaman air yang panjang dan lebat adalah tempat persembunyian kesukaan kami.
Kami juga senang sekali mengudap tanaman air manis yang disebut chiaopai.
Pada tengah hari, saat panas menjadi tak tertahankan, aku akan memimpin anak-
anak untuk membantu membuat rumah terasa lebih sejuk. Adik-adikku akan mengisi
ember dengan air, sementara aku mengereknya ke atap, dan menumpahkannya ke atas
genteng. Sesudah itu kami kembali ke air. P'ieh, rakit bambu, mengapung lewat. Rakit-
rakit itu menyusuri sungai seperti sebuah kalung raksasa yang longgar. Teman-
temanku dan aku akan melompat naik ke atas rakit-rakit itu untuk ikut sebentar.
Kami bergabung dengan para tukang rakit menyanyikan berbagai lagu. Lagu
kesukaanku adalah Wuhu Tempat yang Indah. Saat matahari terbenam Ibu akan datang
memanggil kami pulang. Makan malam ditata di halaman, di bawah pergola yang
dirambati tanaman wistena ungu.
Ibu dibesarkan dalam tata cara Cina, meskipun dia keturunan Manchu. Menurut Ibu,
setelah bangsa Manchu menaklukkan Cina, mereka mendapati bahwa sistem
pemerintahan Cina ternyata lebih bijak dan efisien, maka mereka menerapkannya
sepenuhnya. Para Kaisar Manchu mempelajari bahasa Mandarin. Kaisar Tao Kuang
makan menggunakan sumpit. Dia pengagum opera Peking dan membayar guru-guru Cina
untuk mengajar anak-anaknya. Bangsa Manchu juga meniru cara berdandan orang
Cina. Satu-satunya yang tetap Manchu adalah gaya rambut. Sang Kaisar memiliki
dahi yang tercukur licin dan kepangan serupa tambang hitam yang menjulur di
punggung, disebut "tocang" (kepang). Permaisuri mengenakan papan hitam tipis di
atas kepala, dihiasi dengan berbagai ornamen.
Kakek-nenekku dari pihak Ibu dibesarkan dalam tradisi agama Ch'an, atau Zen,
suatu kombinasi dari Buddhisme dan Taoisme. Ibu diajari konsep kebahagiaan dalam
Ch'an, yaitu menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Aku diajari untuk
menghargai kesegaran udara pagi, memerahnya warna dedaunan pada musim gugur, dan
kehalusan permukaan air saat aku merendam tangan dalam baskom.
Ibu tak pernah menganggap dirinya cukup terdidik, tetapi dia sangat menyukai Li
Po, seorang penyair dari Wangsa T'ang. Setiap kali membaca sajak-sajaknya, Ibu
akan menemukan arti baru. Ibu akan meletakkan bukunya, lalu memandang ke luar
jendela. Wajahnya yang berbentuk telur angsa luar biasa memesona.
Cina-Mandann adalah bahasa yang kugunakan semasa kanak-kanak. Sekali sebulan
kami mendatangkan guru yang mengajari kami bahasa Manchu. Aku tak ingat apa pun
tentang kelas Manchu ini-kecuali bahwa kelas itu amat membosankan. Jauh di dasar
hati aku tahu bahwa sebenarnya orangtuaku tidak terlalu serius tentang urusan
bahasa Manchu ini. Itu hanya untuk pameran saja agar Ibu dapat mengatakan kepada
para tamu, "Oh, anak-anakku belajar bahasa Manchu." Yang sebenarnya, bahasa
Manchu ini tak berguna. Seperti sungai mati yang airnya tak lagi dapat diminum
siapa-siapa. Aku tergila-gila pada opera Peking. Sekali lagi, ini merupakan pengaruh Ibu. Dia
begitu fanatiknya, hingga menabung sepanjang tahun agar bisa menyewa sebuah
kelompok sandiwara lokal untuk mengadakan pertunjukan di rumah, pada saat Tahun
Baru Cina. Setiap tahun kelompok ini menampilkan lakon yang berbeda. Ibu mengundang semua
tetangga dan anak-anaknya untuk ikut menonton bersama kami. Saat aku berumur dua
belas tahun, kelompok itu mengusung lakon Hua Mulan.
Aku jatuh cinta kepada kesatria wanita itu, Hua Mulan. Usai pertunjukan, aku
menyelinap ke belakang panggung seadanya buatan kami dan mengosongkan dompetku
untuk memberi tip kepada sang aktris, yang membiarkanku mencoba kostumnya. Dia
bahkan mengajariku menyanyikan aria Selamat Tinggal, Gaunku. Sepanjang bulan itu
orang dapat mendengarku menyanyikan Selamat Tinggal, Gaunku hingga sejauh satu
mil dari danau. Ayah senang menceritakan latar belakang setiap lelakon, dan memamerkan
pengetahuannya. Dia mengingatkan kami bahwa kami adalah bangsa Manchu, bangsa
penguasa di Cina. "Bangsa Manchulah yang menghargai serta memajukan seni budaya
Cina." Saat minuman keras mulai memengaruhinya, Ayah akan semakin bersemangat.
Dia akan membanskan anak-anaknya dan menanyai kami satu per satu mengenai detail
sistem suku pengembara kuno. Ayah takkan berhenti sampai setiap anak tahu persis
bagaimana setiap prajurit pengembara dikenali dari pangkatnya: Berkelim, Polos,
Putih, Kuning, Merah, dan Biru.
Suatu hari Ayah mengeluarkan segulung peta Cina. Cina serupa bagian atas sebuah
topi yang dikelilingi negeri yang sangat ingin dan sudah terbiasa membaktikan
diri kepada Sang Putra Langit, Kaisar. Di antara negeri itu adalah Laos, Siam,
dan Burma di arah Selatan; Nepal di Barat; Korea, Kepulauan Ryukyu dan Sulu di
Timur serta Tenggara; Mongolia dan Turkestan di Utara dan Barat Daya.
Bertahun-tahun kemudian, saat aku mengenang kejadian tersebut, aku paharn
mengapa Ayah memperlihatkan peta itu kepada kami. Wajah Cina akan segera
berubah. Pada waktu Ayah akhirnya menemui ajal, pada tahun-tahun akhir kekuasaan
Kaisar Tao Kuang, pemberontakan petani mencapai titik terburuk. Di tengah
kekeringan kemarau, Ayah tak pulang selama berbulan-bulan. Ibu mencemaskan
keselamatan ayah karena dia telah mendengar kabar dari sebuah provinsi tetangga
bahwa para petani yang mengamuk membakar Wisma Gubernur. Selama kurun waktu itu
Ayah tinggal di kantornya dan berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan
pemberontakan. Suatu hari sebuah surat keputusan datang. Tanpa dinyana semua orang, Kaisar
memecat Ayah. Ayah pulang menanggung malu. Dia mengunci diri di ruang belajar dan tak mau
menemui siapa pun. Hanya dalam waktu setahun kesehatannya memburuk. Tak berapa
lama kemudian dia pun wafat.
Tagihan tabib menumpuk tinggi, bahkan sesudah kematiannya. Ibu menjual seluruh
harta keluarga, tetapi kami tetap tak bisa terbebas dari utang. Kemarin Ibu
menjual perhiasan terakhirnya: hadiah pernikahan dan Ayah, sebuah jepit rambut
giok berbentuk kupu-kupu.
---oOo--- Sebelum meninggalkan kami, para penandu membawa peti jenazah Ayah ke tepi Kanal
Besar agar kami dapat melihat perahu-perahu yang lewat, tempat kami mungkin bisa
mendapat pertolongan. Panas semakin menggila dan udara terasa menggantung diam.
Aroma pembusukan dari dalam peti semakin kuat. Kami bermalam di bawah langit,
tersiksa oleh panas dan nyamuk. Saudara-saudaraku dan aku dapat mendengar perut
masing-masing berbunyi keroncongan.
Aku terbangun menjelang fajar, mendengar derap teracak kuda di kejauhan. Kupikir
aku sedang bermimpi. Tak lama seorang pengendara kuda muncul di hadapanku. Aku
pusing karena lapar dan kelelahan. Penunggang kuda itu turun dari tunggangannya,
berjalan lurus ke arahku. Tanpa berkata apa pun, dia menyerahkan sebuah paket
yang diikat pita kepadaku. Katanya, itu dari seorang taotai dari kota terdekat.
Kaget setengah mati, aku lari mendapatkan Ibu, yang lantas membuka bungkusan
itu. Isinya 300 tael perak!
"Taotai itu pastilah teman Ayahmu!" seru Ibu. Dengan bantuan penunggang kuda
tadi, kami mempekerjakan kembali bujang-bujang kami. Tetapi ternyata nasib baik
kami tak berlangsung lama. Beberapa mil menyusuri kanal kami dihentikan oleh
beberapa orang berkuda, dipimpin oleh si taotai sendiri. "Ada kesalahan,"
katanya, "utusanku menyerahkan tael perak itu pada keluarga yang salah."
Mendengar ini, Ibu jatuh berlutut.
Anak buah taotai itu mengambil kembali tael perak tadi.
Keletihan yang amat sangat mendadak menyerbuku, dan aku jatuh terkulai di atas
peti mati Ayah. Taotai itu melangkah mendekati peti, berjongkok seolah tengah mempelajari urat-
urat kayu pada permukaan peti. Dia lelaki pendek kekar dengan garis-garis wajah
yang kasar. Sesaat kemudian dia berbalik ke arahku. Kukira dia akan mengatakan
sesuatu; tetapi ternyata tidak.
"Kau bukan orang Cina, ya?" akhirnya dia bertanya. Matanya tertuju pada kakiku
yang tidak dibebat.1 "Bukan, Tuan." sahutku. "Saya orang Manchu."
1 Pada masa itu kaki perempuan Cina dibebat hingga menjadi sekecil tinju -
penerjemah "Berapa umurmu" Lima belas?"
"Tujuh belas." Dia mengangguk. Matanya terus bergerak naik turun, menilaiku.
"Jalanan ini penuh dengan bandit," katanya. "Gadis secantik kau seharusnya tak
boleh berjalan kaki."
"Tetapi ayah saya harus pulang." Air mataku menitik.
Taotai itu meraih tanganku dan menjejalkan tael-tael perak tersebut ke telapak
tanganku. "Hormatku untuk Ayahmu."
Aku tak pernah melupakannya. Setelah aku menjadi Maharani Cina, aku mencarinya.
Kubuat pengecualian untuk menaikkan jabatannya. Kutunjuk dia menjadi Gubernur
sebuah provinsi, dan dia diberi pensiun yang besar sepanjang sisa hidupnya. []
Dua KAMI MEMASUKI Peking melalui gerbang selatan. Aku terpana melihat dinding-
dinding tebal berwarna kemerahan itu. Dinding itu ada di mana-mana, satu dinding
di balik dinding yang lain, berkelok-kelok melingkari seluruh kota tersebut.
Tingginya sekitar 40 kaki dan tebalnya 50 kaki. Tepat di jantung kota yang
bagaikan merayap rendah itu tersembunyilah Kota Terlarang, kediaman Sang Kaisar.
Belum pernah kulihat manusia sebanyak itu sekaligus. Bau daging panggang
memenuhi udara. Jalan yang terbentang di hadapan kami lebih dari 60 kaki
lebarnya, dan merentang lurus sepanjang satu mil menuju Gerbang Puncak. Di
setiap sisinya berkerumun toko-toko dan kios berdinding tikar, dihiasi bendera-
bendera yang menawarkan barang dagangan mereka. Begitu banyak yang bisa dilihat:
pemain akrobat tambang meliuk dan berputar, para peramal melontarkan tafsiran I
Ching1, para pemain akrobat dan pelempar bola membuat pertunjukan dengan beruang
dan monyet, penyanyi rakyat membawakan cerita-cerita tua dengan mengenakan
topeng, rambut palsu, serta kostum meriah. Perajin mebel sibuk bekerja. Semua
pemandangan itu seperti diangkat dari sebuah lakon opera Cina klasik.
Para penjual obat memajang jamur hitam besar yang dikeringkan.
Seorang ahli tusuk jarum menancapkan belasan jarum ke kepala seorang pasien,
membuatnya tampak seperti landak. Tukang reparasi membetulkan porselen dengan
keling kecil, hasil pekerjaan mereka sehalus sulaman. Tukang cukur
menyenandungkan lagu kesukaan mereka seraya mencukur para pelanggan. Anak-anak
berpekikan riang sementara unta-unta bermata licik lewat dengan anggunnya.
Mataku terbetot ke arah sate buah beri berlapis gula. Aku pasti akan merasa amat
sengsara kalau saja aku tak melihat sekelompok kuli mengangkut ember-ember berat
dengan pikulan bambu di atas bahu telanjang mereka. Orang-orang ini mengumpulkan
kotoran manusia untuk para pedagang pupuk. Mereka bergerak perlahan ke arah
perahu-perahu yang tengah menunggu di kanal sungai.
---oOo--- Seorang saudara jauh yang kami sebut Paman Kesebelas menerima kami. Dia seorang
lelaki bertubuh kecil berperangai masam, kerabat dari pihak Ayah. Dia tidak
senang menerima kedatangan kami, dan mengeluh tentang kesulitannya menjalankan
sebuah toko makanan awetan. "Tak ada cukup makanan untuk dikeringkan tahun-tahun
belakangan ini," gerutunya. "Semua habis dimakan. Tak ada 1 I Ching - sistem
ramalan Cina, yang didasarkan pada sebuah bubu filsafat Taoisme dan ditampilkan
dalam bentuk heksagram yang dipilih acak dan ditafsirkan untuk menjawab pelbagai
pertanyaan dan memberi nasihat - penerjemah yang tersisa untuk dijual." Ibu
memohon maaf atas ketidaknyamanan ini dan berkata bahwa begitu keadaan sudah
membaik, kami akan segera pergi. Paman mengangguk, lalu memperingatkan Ibu
tentang pintu rumahnya: "Daun pintu itu sudah terlepas dari kosennya."
Akhirnya kami memakamkan Ayah. Tak ada upacara resmi karena kami tak sanggup
membiayainya. Kami tinggal di rumah-tiga-ruang milik Paman, di kompleks tertutup
perumahan keluarga di Gang Logam. Dalam dialek setempat, kompleks ini disebut
hootong. Seperti sebuah sarang laba-laba, Peking terdiri dari hootong-hootong
serupa. Dengan Kota Terlarang tepat di tengah, ribuan hootong merajut sarang raksasa
ini. Gang tempat kediaman Paman terletak di sisi timur sebuah jalan dekat kanal
Istana. Kanal ini terletak paralel dengan dinding-dinding kota yang tinggi,
berfungsi sebagai jalan air pribadi Kaisar. Aku melihat perahu dengan bendera-
bendera kuning berlayar tenang di kanal ini. Para tetangga memperingatkan kami
agar tak melihat langsung ke arah Kota Terlarang. "Ada banyak naga, roh-roh
penjaga yang dikirimkan Dewata, tinggal di dalam sana."
---oOo--- Aku pergi menemui para tetangga dan pedagang asongan di pasar, berharap bisa
mendapatkan pekerjaan. Aku mengangkut bergembol-gembol ubi jalar dan kubis, lalu
membersihkan kios-kios setelah pasar tutup. Penghasilanku beberapa keping
tembaga sehari. Ada hari-hari saat tak seorang pun membutuhkan tenagaku, dan aku
pulang ke rumah dengan tangan kosong. Suatu hari, lewat Paman, aku mendapatkan
pekerjaan di sebuah toko pembuat sepatu khusus bagi para wanita Manchu kaya.
Majikanku seorang wanita setengah baya yang dipanggil kakak Fann. Kakak Fann
adalah wanita gemuk besar yang senang mendandani wajah setebal penyanyi opera.
Riasan wajahnya rontok dalam bentuk serpihan sementara dia berbicara.
Rambutnya yang berminyak disisir rapat melekat ke kepala. Dia terkenal berlidah
kalajengking tetapi berhati tahu.
Kakak Fann bangga sekali karena dulu dia pelayan Ibu Suri dari Kaisar Tao Kuang.
Tanggung jawabnya adalah ruang rias Yang Mulia Ibu Suri, dan dia menganggap
dirinya sebagai ahli sopan santun dan tata cara Kekaisaran. Dandanannya bukan
main, tetapi dia tak punya cukup uang untuk membersihkan pakaian-pakaiannya.
Pada saat musim kutu, dia akan memintaku untuk memenceti kutu dari sekitar
kerahnya. Dia menggaruk bagian bawah ketiaknya sampai lecet. Kalau dia berhasil
menangkap makhluk-makhluk itu, dihancurkannya mereka di antara gigi.
Di tokonya aku bekerja dengan jarum, benang yang diberi lilin, obeng, catut, dan
palu. Mula-mula aku menghiasi sebuah sepatu dengan rangkaian mutiara,
menaburinya dengan batu berharga, lantas menambahkan sol tinggi di bagian
tengah, seperti sebuah kelom berbentuk anggun yang menambah tinggi wanita
terhormat pemakainya. Selepas kerja, rambutku akan berselubung debu dan
tengkukku bukan main sakitnya.
Bagaimanapun, aku suka pergi bekerja. Tidak hanya karena uangnya, tetapi juga
untuk menikmati kebijaksanaan kakak Fann dalam menyikapi hidup. "Matahari tidak
hanya menyinari sebuah keluarga saja," demikian dia biasa berkata. Kakak Fann
yakin bahwa setiap orang punya kesempatan. Aku juga amat menyukai gosip-gosipnya
tentang keluarga kerajaan. Dia mengeluh bahwa hidupnya telah dihancurkan oleh
Ibu suri, yang "menghadiahkan" dirinya kepada seorang kasim, sebagai istri
pajangan, dan mengutuknya ke dalam kemustahilan memiliki anak.
"Tahukah kau berapa ekor naga yang terukir pada Balairung Keselarasan Surgawi di
Kota Terlarang?" di atas deritanya, kakak Fann menyombongkan kejayaan hari-
harinya di Istana. "Tiga belas ribu delapan ratus empat puluh empat!" Seperti
biasa, dia menjawab sendiri pertanyaannya. "Itu adalah hasil karya para perajin
terbaik selama bergenerasi-generasi!"
Dari Encik Fannlah aku mempelajari banyak hal tentang tempat yang segera akan
kutinggali seumur hidupku itu. Diceritakannya bahwa langit-langit Balairung itu
saja menampung 2.604 naga, masing-masing memiliki makna dan arti penting yang


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbeda. Dia menghabiskan sebulan penuh guna menggambarkan Balairung Keselarasan Surgawi.
Aku tak berhasil mengikuti ceritanya dan selalu lupa jumlah naga yang
disebutkan, tetapi dia membuatku paham kekuatan yang dilambangkan oleh naga-naga
itu. Bertahun-tahun kemudian, ketika aku duduk di atas takhta dan menjadi naga
itu sendiri, aku dikejar ketakutan bahwa orang akan mengetahui bahwa
sesungguhnya semua simbol itu tak berarti. Seperti semua pendahuluku,
kusembunyikan wajah di balik keindahan ukiran naga, berdoa semoga semua pakaian
dan tindakanku akan membantuku memainkan peranan ini dengan tepat.
"Empat ribu tiga ratus tujuh naga di dalam Balairung Keselarasan Surgawi saja!"
Dengan terengah, kakak Fann berputar menghadapku dan bertanya, "Anggrek,
dapatkah kau membayangkan seluruh keagungan Istana selebihnya" Ingat ini:
sekilas pandang saja pada keindahan semacam itu membuat orang merasa bahwa
hidupnya selama ini memiliki arti. Sekilas pandang, Anggrek, dan engkau bukan
orang biasa lagi." ---oOo--- Suatu malam aku mengunjungi rumah kakak Fann untuk makan malam. Aku menyalakan
api di tungku dan mencuci pakaiannya sementara dia memasak. Kami makan kue bola
isi kacang kedelai dan sayuran. Setelah itu, aku membuatkan teh dan menyiapkan
pipanya. Senang dengan apa yang kuperbuat, kakak Fann mengatakan bahwa dia siap untuk
bercerita. Kami duduk mengobrol sepanjang malam. Kakak Fann mengenang masa-masa yang
dihabiskannya bersama Yang Mulia Permaisuri Chu An. Kulihat setiap kali dia
menyebutkan nama Permaisuri, suaranya mengandung nada memuja. "Chu An diharumkan
dengan kelopak mawar, rempah, dan sari berharga sejak masih kanak-kanak. Dia itu
separuh wanita, separuh dewi. Dia mengeluarkan aroma surgawi dalam setiap
geraknya. Tahukah kau mengapa tak ada pengumuman dan upacara ketika dia
meninggal?" Aku menggeleng. "Itu ada hubungannya dengan putra Yang Mulia, Hsien Feng, dan saudara seayahnya,
Pangeran Kung. "Kakak Fann menghela napas panjang dan melanjutkan. "Kejadiannya
sekitar sepuluh tahun lalu.
Waktu itu Hsien Feng berumur sebelas dan Kung sembilan. Aku termasuk dalam
kelompok pelayan yang membantu membesarkan mereka. Di antara kesembilan putra
yang dimiliki Kaisar Tao Kuang, Hsien Feng adalah yang nomor empat dan Kung
nomor enam. Ketiga pangeran yang tertua meninggal karena sakit sehingga Kaisar
tinggal memiliki enam pewaris yang sehat. Yang paling menjanjikan adalah Hsien
Feng dan Kung. Ibunda Hsien Feng adalah majikanku, Chu An, sedangkan ibu Kung
adalah Selir Jin, selir kesayangan Kaisar."
Kakak Fann merendahkan suaranya untuk berbisik. "Meskipun Chu An adalah
Permaisuri dan dia memiliki kuasa yang sangat besar, dia sangat cemas dan tak
yakin tentang kesempatan Hsien Feng menjadi pewaris takhta."
Menurut tradisi, anak lelaki tertua akan dianggap sebagai putra mahkota, tetapi
Permaisuri Chu An memang punya alasan untuk khawatir. Seiring semakin
terlihatnya kemampuan fisik dan intelektual Pangeran Kung yang lebih besar,
semakin jelas pula bagi kalangan kekaisaran bahwa bila Kaisar Tao Kuang
berpikiran sehat, beliau pasti akan memilih Pangeran Kung daripada Hsien Feng.
"Permaisuri merancang sebuah rencana rahasia untuk menyingkirkan Pangeran Kung,"
Kakak Fann meneruskan. "Suatu hari majikanku mengundang kedua bersaudara itu
untuk makan siang. Menu utamanya adalah ikan kukus. Permaisuri menyuruh pelayannya, Aprikot, untuk
menaburkan racun di piring hidangan Pangeran Kung.
Sekarang aku merasa Langit memang ingin menghentikan hal ini.
Tepat sebelum Pangeran Kung mengangkat sumpitnya, kucing milik Permaisuri
melompat ke atas meja. Sebelum para pelayan sempat berbuat apa-apa, kucing itu
melahap ikan Pangeran Kung. Segera saja hewan itu menunjukkan tanda-tanda
keracunan, dan dalam beberapa menit dia terkapar di lantai, mati."
Lama kemudian aku mendapatkan detail dari pemeriksaan yang dilakukan bagian
Rumah Tangga Istana. Tersangka awal adalah para pekerja dapur. Terutama juru
masak, yang lebih dulu ditanyai. Sadar bahwa dia tak punya harapan untuk tetap
hidup, sang juru masak bunuh diri. Berikutnya yang diinterogasi adalah para
kasim. Seorang kasim mengaku bahwa dia melihat Aprikot berbicara berbisik-bisik
dengan juru masak pada pagi hari sebelum kejadian. Pada titik ini, keterlibatan
Permaisuri Chu An terkuak. Hal ini dilaporkan kepada Ibu Suri.
" 'Panggilkan Kaisar!'" kakak Fann menirukan Ibu Suri.
"Suaranya menggema di sekeliling Balairung. Aku tengah melayani majikanku, jadi
kulihat jelas perubahan wajahnya, dari merah menjadi pucat pasi."
Permaisuri Chu An dinyatakan bersalah. Awalnya Kaisar Tao Kuang tak sampai hati
untuk menjatuhkan hukuman mati. Dia menyalahkan si pelayan, Aprikot. Akan
tetapi, Ibu Suri bersikukuh dan mengatakan bahwa Aprikot takkan mungkin
bertindak sendiri. 'walaupun dia meminjam hati seekor singa'."
Akhirnya Kaisar pun menyerah.
"Ketika Kaisar Tao Kuang memasuki pun kami, Istana Kemurnian Sejati, Yang Mulia
Permaisuri dapat merasakan bahwa akhir hidupnya telah tiba. Dia menyambut
suaminya dengan berlutut dan tak mampu bangkit lagi setelahnya. Kaisar
membantunya. Mata Kaisar yang bengkak menunjukkan bahwa beliau baru menangis.
Lantas Kaisar mulai bicara, mengungkapkan penyesalannya bahwa dia tak mampu lagi
melindungi Permaisuri, dan bahwa Permaisuri harus mati."
Kakak Fann mengisap-isap pipanya, tak sadar bahwa benda itu sudah padam. "Seolah
menerima takdir, Permaisuri Chu An berhenti menangis. Dikatakannya pada Kaisar
bahwa dia memahami aibnya, dan bahwa dia menerima hukumannya. Kemudian dia
mengajukan satu permohonan terakhir. Tao Kuang berjanji akan mengabulkan apa pun
permintaannya. Permaisuri ingin alasan sesungguhnya dan kematiannya tetap
dirahasiakan. Saat permintaan ini dikabulkan, dia mengucapkan selamat tinggal
kepada suaminya. Kemudian disuruhnya aku memanggil putranya untuk kali
terakhir." Air mulai mengembang di pelupuk mata kakak Fann. "Hsien Feng adalah bocah lelaki
yang terlihat rapuh. Dari wajah ibunya dia bisa merasakan ada sesuatu yang tak
beres. Tentu saja dia tak menduga bahwa dalam beberapa menit lagi ibunya sudah
akan menghilang untuk selamanya dari muka bumi. Anak itu membawa serta hewan
peliharaannya, seekor nuri. Dia ingin membuat ibunya gembira dengan menyuruh
burung itu berbicara. Hsien Feng mengulangi pelajaran terbarunya, yang sempat
membuatnya kesulitan. Permaisuri sangat senang dan memeluknya.
"Tawa Hsien Feng membuat ibunya lebih sedih. Anak itu mengeluarkan saputangannya
dan menyeka air mata sang ibu. Dia ingin tahu apa yang membuat ibunya sedih.
Permaisuri tak mau menjawab. Lalu Hsien Feng berhenti bermain-main dan menjadi
ketakutan. Saat itu dentam tambur terdengar, dari halaman Istana.
Itu tanda bagi Permaisuri untuk segera pergi. Dia memeluk putranya sekali lagi.
Dentam tambur semakin keras. Hsien Feng terlihat amat ketakutan. Sang Ibu
membenamkan wajahnya ke rompi mungil Hsien Feng, berbisik, "Aku pasti akan
memberkatimu, anakku."
Suara Menteri Urusan Kerumahtanggaan Istana menggema di lorong: "Yang Mulia
Permaisuri, silakan berangkat, sekarang!" Guna melindungi putranya dari
pemandangan mengerikan, Permaisuri menyuruhku membawa pergi Hsien Feng. Hal
terberat yang pernah kulakukan. Aku berdiri terpaku seperti batang kayu mati.
Yang Mulia Permaisuri datang menghampiri, lalu mengguncangkan bahuku. Dari
pergelangan tangannya, dia melepaskan sebentuk gelang giok dan menjejalkannya ke
dalam sakuku. "Tolonglah, Fann!" Dia memandangku dengan penuh permohonan. Aku
tersadar, dan kuseret Hsien Feng yang menjerit-jerit menjauhi ibunya. Di luar
gerbang, berdiri sang Menteri. Dia membawa sehpat kain sutra putih- tali
gantungan. Di belakangnya ada beberapa orang pengawal."
---oOo--- Aku menangis untuk bocah kecil itu, Hsien Feng. Bertahun-tahun kemudian dia
menjadi suamiku, dan selalu terdapat setitik ruang penuh kasih baginya di dalam
hatiku, bahkan setelah dia mengabaikanku.
"Sebuah tragedi biasanya menjadi pertanda datangnya nasib baik. Kuberi tahukan
kepadamu, Anggrek." Kakak Fann menurunkan pipa dari bibirnya dan mengetukkan
abunya ke meja. "Dan ini benar-benar terbukti pada apa yang terjadi
selanjutnya." Dalam keremangan bayang-bayang lilin, cerita tentang calon suamiku berlanjut.
Saat itu musim gugur, dan Kaisar Tao Kuang yang mulai uzur sudah bersiap untuk
memilih seorang pewaris. Dia mengundang putra-putranya ke Jehol, tanah perburuan
kerajaan di Utara, dekat Tembok Besar. Kaisar ingin menguji kemampuan semua
putranya. Enam pangeran mengikuti perjalanan itu.
Sang Ayah memberi tahu para putra bahwa bangsa Manchu terkenal sebagai pemburu-
pemburu besar. Saat seusia mereka, dia telah memburu dan membunuh selusin hewan
liar dalam waktu setengah hari- serigala, kijang, dan babi hutan segala ukuran.
Satu kali dia bahkan membawa pulang lima belas beruang dan delapan belas
harimau! Kaisar bercerita bahwa buyutnya, Kaisar Kang Hsi, malah lebih hebat.
Setiap hari Kang Hsi mengendarai enam kuda hingga hewan-hewan itu kelelahan.
Sang Kaisar kemudian memerintahkan putra-putranya untuk menunjukkan apa yang
sanggup mereka kerjakan. "Menyadari kelemahan dirinya, Hsien Feng putus asa." Kakak Fann berhenti
sejurus. "Dia tahu bahwa dia tak akan sanggup memenangi persaingan ini. Dia
memutuskan untuk mengundurkan diri, tetapi dicegah oleh gurunya, sang
cendekiawan cemerlang Tu Shou-tien. Sang guru mengajarkan suatu jalan mengubah
kekalahan menjadi kemenangan. " Ketika kau kalah", kata Tu, "katakan kepada
Ayahmu bahwa inii bukan karena engkau tak becus menembak.
Katakan bahwa pilihanmulah untuk, tidak menembak. Karena alasan yang mulia
semacam kelembutan hatilah engkau menolak, menggunakan kemampuan terburumu
secara maksimal". Menurut penggambaran kakak Fann, seluruh peristiwa perburuan pada musim gugur
itu sedemikian agung. Semak dan rumput terhampar setinggi pinggang. Obor
dinyalakan untuk mengejutkan hewan-hewan liar. Terwelu, macan tutul, serigala,
dan rusa lari menyelamatkan hidup mereka. Tujuh puluh ribu pria berkuda
membentuk sebuah lingkaran. Padang perburuan bergemuruh dan bergetar. Pria-pria
ini perlahan mendekat, memperkecil lingkaran.
Pasukan pengawal kerajaan mengikuti setiap Pangeran.
Di puncak bukit tertinggi, sang Ayah berdiri. Kudanya hitam.
Matanya mengikuti gerak-gerik kedua putra kesayangannya. Hsien Feng mengenakan
jubah ungu, sedangkan Kung, putih. Kung menyerbu, sekali ke depan, sekali mundur
ke belakang. Satu demi satu hewan liar berjatuhan di bawah anak panahnya. Para
pengawal bersorak. Pada tengah hari, suara trompet memanggil kembali para pemburu. Para pangeran
bergiliran mempersembahkan buruan mereka. Pangeran Kung mempersembahkan dua
puluh delapan. Wajah tampannya terluka goresan kuku harimau. Luka itu masih
meneteskan darah, menodai jubah putihnya. Kung tersenyum puas, tahu bahwa dia
sudah berhasil tampil dengan baik. Para pangeran yang lain tiba.
Masing-masing memperlihatkan hasil buruan yang diikatkan di bawah perut kuda
mereka. "Mana Hsien Feng, putraku keempat?" sang ayah bertanya.
Hsien Feng datang menghadap. Dia tidak membawa apa pun di bawah perut kudanya.
Jubahnya bersih tanpa noda. "Kamu tidak berburu."
Sang Ayah kecewa. Sang putra menjawab tenang, seperti yang diajarkan oleh
gurunya: "Anakmu yang bodoh ini tak sanggup membunuh hewan-hewan itu. Bukannya
saya menentang kehendak Yang Mulia, bukan juga karena saya tak punya kemampuan
berburu. Tetapi karena saya tersentuh oleh keindahan Sang Alam. Yang Mulia mengajari saya
bahwa musim gugur adalah saat ketika Alam Raya tengah mengandung musim semi.
Manakala pikiran saya melayang pada semua hewan yang akan merawat anak-anaknya
itu, hati saya meleleh."
Sang Ayah terpesona. Seketika itu juga dia mengambil keputusan tentang siapa
yang akan menjadi putra mahkotanya. Lilin sudah padam. Aku duduk diam-diam. Di
luar jendela, bulan bercahaya terang. Awan berarak tebal dan putih, layaknya
ikan raksasa merenangi seluas langit.
"Menurut pendapatku, kematian Permaisuri Chu An juga memainkan peranan besar
dalam penentuan putra mahkota," kata kakak Fann. "Sang Ayah, Kaisar Tao Kuang,
merasa bersalah karena telah merenggut sang ibu dan putranya. Kenyataan bahwa
beliau tak pernah mengabulkan permintaan Putri Jin untuk diberi gelar Permaisuri
setelah kematian Chu An membuktikan hal ini. Pada akhirnya, Nyonyaku mendapatkan
juga apa yang dia inginkan."
"Bukankah Putri Jin adalah Ibu Suri yang sekarang?" tanyaku.
"Ya, tetapi dia tidak mendapatkan gelar itu dan Tao Kuang.
Hsien Feng yang memberikan, setelah dia menjadi Kaisar. Itu juga atas nasihat
Tu. Tindakan ini menambah kebesaran nama Hsien Feng.
Hsien Feng tahu betul bahwa rakyat tahu tentang permusuhan Putri Jin dan
Permaisuri Chu An. Hsien Feng ingin agar rakyat meyakini kebaikan hatinya. Itu
juga untuk meredam keraguan rakyat sebab Pangeran Kung masih belum hilang dari
pikiran semua orang. Sang Ayah tidak bertindak adil. Dia tidak menepati
janjinya." "Lalu, bagaimana dengan Pangeran Kung?" tanyaku. "Bagaimanapun, nilainya saat berburu adalah yang tertinggi.
Bagaimana perasaannya ketika ayahnya malah menghargai seorang pecundang?"
"Anggrek, kau harus belajar untuk tidak menghakimi apa pun keputusan Sang Putra
Surga." Kakak Fann menyalakan sebatang lilin lagi. Diangkatnya tangan ke udara,
dan membuat gerakan mengiris pada lehernya. "Apa pun yang dilakukan Putra Surga
adalah kehendak Tuhan. Kehendak Tuhanlah Hsien Feng menjadi Kaisar. Pangeran
Kung juga percaya hal ini. Itu sebabnya dia mengabdi kepada kakaknya dengan
kesetiaan yang demikian penuh."
"Tetapi, tidakkah Pangeran Kung sedikit cemburu?"
"Tidak ada tanda-tanda itu. Namun, Putri Jin memang cemburu.
Beliau sangat sinis terhadap sikap patuh Pangeran Kung. Akan tetapi, dia
berhasil menyembunyikan perasaannya dengan baik."
---oOo--- Musim dingin saat itu sangat mengerikan. Mayat-mayat yang membeku menggeletak di
jalanan Peking setelah serangan sebuah badai es. Kuserahkan seluruh
penghasilanku kepada Ibu, meski demikian itu tak cukup untuk membayar semua
tagihan. Tukang kredit mengantre di depan pintu kami, yang daunnya berkali-kali
jatuh terlepas dari kosennya. Paman Kesebelas merasa gelisah, dan pikirannya
terpampang jelas di seluruh wajahnya. Aku tahu bahwa dia ingin kami pindah dari
sana. Ibu mendapatkan pekerjaan bersih-bersih, tetapi segera dipecat keesokan
harinya karena dia jatuh sakit.
Dia harus bersandar pada tempat tidur agar bisa berdiri, dan bernapas
dilakukannya dengan susah payah. Adikku Rong merebus tanaman obat untuknya.
Bersama dengan dedaunan yang pahit itu tabib juga meresepkan kokon ulat sutra.
Baunya yang busuk menempel pada rambut dan pakaianku. Adik lelakiku, Kuei
Hsiang, disuruh meminjam uang pada para tetangga. Setelah beberapa saat, tak
seorang pun mau membukakan pintu bagi Kuei Hsiang. Ibu membeli pakaian
penguburan murahan untuk dirinya sendiri, sehelai gaun hitam, dan mengenakannya
sepanjang hari. "Kalian tak perlu mengganti bajuku kalau aku mati dalam
tidurku," kata Ibu. Suatu siang Paman datang bersama anaknya, yang belum pernah diperkenalkannya
padaku. Namanya Ping-artinya 'botol'. Aku tahu bahwa Paman punya seorang anak
hasil hubungannya dengan seorang pelacur setempat, yang disembunyikannya karena
malu. Tetapi aku tak tahu bahwa si Botol ini terbelakang.
"Anggrek bisa menjadi istri yang baik buat si Botol," kata Paman kepada Ibu,
mendorong si Botol ke arahku. "Bagaimana kalau kuberi kau sejumlah tael, cukup
untuk membayar utang-utangmu?"
Sepupu Botol berbahu landai. Bentuk wajahnya benar-benar cocok dengan namanya.
Dia terlihat seperti berusia enam puluh tahun, padahal umurnya baru dua puluh
dua. Selain "lamban", dia juga pecandu opium. Botol berdiri di tengah ruangan,
menyeringai lebar ke arahku. Tangannya berkali-kali membetulkan letak celananya,
yang segera kembali jatuh ke tempatnya semula, di pinggulnya.
"Anggrek memerlukan pakaian yang pantas," kata Paman, mengabaikan begitu saja
reaksi Ibu yang menutup mata dan membentur-benturkan kepalanya ke kerangka
tempat tidur. Paman mengambil kantung katun kotor miliknya, dan mengeluarkan
sehelai jaket jambon berpola bunga anggrek.
Aku berlari keluar rumah, menyongsong salju di luar. Segera saja kedua sepatuku
jadi basah dan jari-jari kakiku mati rasa.
Seminggu kemudian Ibu mengatakan bahwa aku telah ditunangkan dengan Botol.
"Apa yang harus kulakukan dengannya"!" jeritku.
"Ini tidak adil buat Anggrek," kata Rong dengan suara kecil.


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman ingin kamar-kamarnya kembali," ujar Kuei Hsiang. "Ada orang yang mau
membayar sewa lebih tinggi. Nikahi si Botol, Anggrek, supaya Paman tidak
mengusir kita." Aku berharap dikaruniai cukup kekuatan untuk mengatakan
"tidak" kepada Ibu. Aku tak punya pilihan. Rong dan Kuei Hsiang masih terlalu
muda untuk membantu membiayai keluarga. Rong selalu disiksa oleh mimpi-mimpi
yang sangat buruk. Melihatnya tidur sama saja seperti menyaksikan dia di dalam
kamar penyiksaan. Rong merobek-robek seprai seperti sedang kerasukan. Dia juga
selalu takut, gugup, penuh curiga. Kalau berjalan, dia melakukannya seperti
seekor burung yang tengah ketakutan-matanya terbuka lebar, kadang mendadak
berhenti, membeku di tengah gerakannya. Saat duduk, tubuhnya mengeluarkan bunyi
berderak, dan ketika makan, dia akan terus-menerus mengetukkan jari pada daun
meja. Sebaliknya dengan Kuei Hsiang. Dia kehilangan arah, malas, dan sangat
ceroboh. Dia tidak mau belajar dan menolak membantu apa pun.
Sepanjang hari di tempat kerja aku mendengarkan cerita-cerita kakak Fann tentang
lelaki-lelaki cerdas bermartabat yang memesona, lelaki yang menghabiskan waktu
mereka di atas punggung kuda, mengalahkan musuh-musuh mereka dan kemudian
menjadi Kaisar. Pulang ke rumah, yang kuhadapi adalah kenyataan bahwa aku harus menikahi si
Botol sebelum musim semi datang.
Ibu memanggil dari dipannya, dan aku duduk di sampingnya.
Aku tak mampu memandang wajahnya. Ibu begitu kurus, hanya kerangka berbungkus
kulit. "Ayahmu dulu selalu berkata, 'harimau sakit yang tersesat di padang
rumput lebih lemah daripada seekor domba. Dia takkan mampu melawan ajak yang
datang untuk berpesta pora.' Sayangnya, itulah nasib kita, Anggrek."
---oOo--- Suatu pagi saat menyikat rambut, kudengar seorang pengemis menyanyi dijalan:
Menyerah artinya engkau menerima nasib.
Menyerah artinya engkau menciptakan kedamaian.
Menyerah artinya engkau menjadi pemenang, dan
Menyerah artinya engkau memiliki segalanya.
Aku memandangi si pengemis saat dia melewati jendelaku.
Diangkatnya mangkuknya yang kosong ke arahku, jemarinya sekering ranting mati.
"Bubur," dia berkata.
"Kami kehabisan beras," ujarku. "Tetapi aku menggali lempung putih dari
pekarangan, mencampurnya dengan tepung untuk membuat bakpao. Kau mau sebuah?"
"Tidak tahukah kau- lempung putih itu menyumbat usus?"
"Aku tahu-tapi tak ada makanan apa-apa lagi."
Pengemis itu mengambil bakpao yang kuberikan dan menghilang di ujung gang.
Merasa sedih dan amat merana, aku berjalan menempuh salju menuju rumah kakak
Fann. Tiba di sana, kuambil bangku serta peralatanku, duduk dan mulai bekerja.
Kakak Fann masuk, masih sambil mengunyah sarapannya. Penuh semangat,
dikatakannya bahwa dia baru saja melihat sebuah pengumuman tertempel di dinding
Kota. "Yang Mulia Kaisar Hsien Feng mencari calon-calon istri! Aku penasaran siapa
saja kira-kira gadis-gadis yang beruntung itu!" Dia menggambarkan peristiwa itu,
yang disebut sebagai 'Seleksi Pendamping Kaisar'.
Usai kerja, aku pergi melihat pengumuman tersebut. Rute yang langsung menuju ke
sana diblokir, jadi aku memutar melalui ganggang serta jalan kecil, dan tiba di
sana menjelang matahari terbenam.
Poster itu ditulis dengan tinta hitam. Huruf-hurufnya mulai mengabur terkena
salju yang mencair. Saat membacanya, pikiranku mulai berpacu. Para kandidat yang
akan dipilih itu haruslah seorang Manchu, guna menjaga kemurnian darah Kerajaan.
Aku ingat suatu kali Ayah pernah memberi tahuku bahwa di antara 400 juta rakyat
Cina, 5 juta di antaranya adalah bangsa Manchu. Poster itu juga mengatakan bahwa
ayah dari sang gadis minimal harus berasal dari tingkatan Pengembara berpangkat
Biru. Ini untuk memastikan kecerdasan genetis si gadis. Selanjutnya poster itu
menyebutkan bahwa semua gadis Manchu yang berusia antara tiga belas hingga tujuh
belas tahun harus mendaftarkan diri ke kantor daerahnya untuk mengikuti
pemilihan ini. Tak seorang gadis Manchu pun yang diperkenankan untuk menikah
sampai sudah terbukti bahwa Kaisar tidak memilih mereka.
---oOo--- "Tidakkah menurut Anda, aku punya kesempatan?" seruku pada kakak Fann. "Aku
orang Manchu dan umurku tujuh belas. Ayahku dari Klan Biru!"
Fann menggeleng. "Anggrek, kamu ini seperti tikus buruk rupa kalau dibandingkan
dengan semua selir dan putri Kekaisaran yang pernah kulihat."
Aku minum air dari sebuah ember, lalu duduk untuk berpikir.
Perkataan kakak Fann menyurutkan semangatku, tetapi keinginanku tidak berkurang.
Aku tahu dari dia bahwa Kerajaan akan memeriksa semua calon pada Oktober. Para
Gubernur dari seluruh negeri mengirimkan utusan untuk mencari dan mengumpulkan
gadis-gadis cantik. Utusan-utusan itu diperintahkan untuk membuat daftar nama.
"Mereka melewatkanku!" kataku kepada kakak Fann. Aku mendapatkan informasi bahwa
Bagian Kerumahtanggaan Kekaisaran bertanggung jawab atas pemilihan tahun ini,
dan para jelita dari seluruh provinsi dikirimkan ke Peking untuk dinilai oleh
Panitia dan bagian Kerumahtanggaan. Kepala Kasim, mewakili Kaisar, akan
memeriksa lebih dari lima ribu gadis dan memilih sekitar dua ratus orang dari
antara mereka. Gadis-gadis itu akan dihadapkan pada Ibu Suri Jin dan Kaisar
Hsien Feng untuk dinilai.
Kakak Fann memberi tahuku bahwa Hsien Feng akan memilih tujuh istri resmi, dan
bebas "menganugerahkan kebahagiaan" kepada setiap dayang dan pelayan istana mana
pun di dalam lingkungan Kota Terlarang. Mereka mungkin bahkan takkan pernah
mendapatkan kesempatan untuk benar-benar tidur dengan Yang Mulia, tetapi mereka
mendapatkan jaminan keuangan seumur hidup. Jumlah yang diberikan sesuai dengan
gelar dan kedudukan masing-masing. Kalau dihitung-hitung, Sang Kaisar akan
memiliki sekitar 3.000 selir.
Aku juga tahu dari kakak Fann bahwa di samping pemilihan pendamping, pemilihan
Pelayan Kerajaan juga akan dilakukan tahun ini. Tidak seperti para selir, yang
diberi puri-puri indah untuk tinggal, para pelayan tinggal di barak-barak di
belakang semua pun itu. Ada banyak sekali barak seperti itu yang dibiarkan
membusuk dan tidak lagi layak huni.
Aku bertanya kepada kakak Fann tentang para kasim, 2.000
orang kasim yang hidup di Kota Terlarang. Menurut kakak, kebanyakan dari mereka
datang dari keluarga miskin. Biasanya keluarga mereka sudah tak tertolong lagi.
Hanya anak-anak lelaki yang telah dikastrasi yang boleh melamar untuk jabatan
ini, tetapi tak semua anak lelaki yang telah dikastrasi akan diterima.
"Selain harus cerdas dan peka, para pemuda itu juga harus tampan, di atas rata-
rata," kata kakak Fann. "Yang tercerdas dan tertampanlah yang punya peluang
untuk terus bertahan, bahkan mungkin menjadi kesayangan."
Aku bertanya mengapa Kekaisaran tak mau mempekerjakan pemuda normal.
"Supaya kedudukan Sang Kaisar sebagai satu-satunya 'penanam benih' tetap
terjamin," jelas kakak. Tata cara ini diwarisi sejak Wangsa Ming. Kaisar Ming
punya sembilan puluh ribu kasim. Para kasim ini adalah semacam polisi di dalam
Istana. Ini merupakan keharusan karena kasus pembunuhan tidak jarang terjadi di
suatu lingkungan tempat ribuan wanita bersaing untuk memperebutkan perhatian
seorang lelaki. "Para kasim itu adalah makhluk yang sanggup bersikap benci dan kejam secara
ekstrem sekaligus amat setia dan penuh pengabdian. Diam-diam, mereka amat
menderita. Sebagian besar dari mereka mengenakan pakaian dalam yang amat tebal
karena air kencing mereka 'bocor' terus-menerus. Pernah mendengar istilah 'Kau
bau seperti seorang kasim'?"
"Dari mana kakak tahu?" tanyaku.
"Aku kawin dengan seorang kasim, tahu! Bocor semacam itu sangat membuat malu
lelaki. Suamiku dulu mengerti betul apa itu penderitaan dan perlakuan kasar,
tetapi itu tidak menghentikannya bersikap kejam dan penuh kecemburuan. Dia
menginginkan kesengsaraan bagi setiap orang."
---oOo--- Tak kuceritakan pada keluargaku tentang apa yang akan kulakukan karena aku sadar
benar bahwa kesempatanku untuk berhasil adalah satu dibanding sejuta. Pagi
berikutnya aku datang ke Kantor Pemerintah setempat, sebelum berangkat kerja.
Gugup, tetapi bertekad bulat. Kukatakan maksud kedatanganku kepada penjaga, dan
dia membawaku ke sebuah kantor di bagian belakang. Ruangan itu besar. Semua
tiang, meja, dan kursi dibungkus dengan kain merah. Seorang lelaki berjanggut
duduk di belakang sebentuk meja kayu merah besar. Di atas meja itu terhampar
sehelai sutra kuning segi empat. Itu salinan dari pengumuman Kerajaan. Aku
menghadap pada lelaki itu dan berlutut, menyebutkan nama serta umurku. Aku
menyampaikan bahwa ayahku berasal dari Klan Yehonala dan dulu menjabat taotai di
Wuhu. Lelaki berjanggut itu menatapku. "Apakah kau punya baju yang lebih bagus?"
tanyanya setelah menatapku dengan tajam.
"Tidak, Tuan," sahutku.
"Aku tak boleh memasukkan siapa pun yang bertampang pengemis ke Istana."
"Yah, bolehkah saya bertanya apakah saya cukup memenuhi syarat" Kalau jawabannya
iya, saya akan mencari jalan untuk memperbaiki penampilan saya."
"Kau kira aku akan mau buang-buang napas kalau menurutku kau tak memenuhi
syarat?" ---oOo--- "Yahh," ujar Ibu, nadanya agak lega. "Aku bisa katakan kepada Paman bahwa si
Botol harus menunggu sampai kau tidak dipilih oleh Kaisar."
"Barangkali nanti Paman sudah tertabrak oleh kereta, atau si Botol yang mati
karena overdosis opium," kata Kuei Hsiang.
"Kuei Hsiang!" Rong menghentikannya, "jangan mengutuk orang seperti itu.
Bagaimanapun, mereka sudah menampung kita."
Aku selalu merasa bahwa Rong jauh lebih memiliki akal sehat dibandingkan Kuei
Hsiang. Bukan berarti Rong tidak merasa takut. Dia tetap saja rapuh dan penuh
rasa takut sepanjang hidupnya. Dia menghabiskan berhari-hari untuk membuat
sebuah sulaman, lalu mendadak meninggalkannya, dengan mengatakan bahwa dia
melihat warnanya berubah. Rong pasti akan menyimpulkan bahwa ada makhluk halus
yang mengganggu. Kemudian dia akan menjadi panik dan mengguntingi sulaman
tersebut. "Kenapa kamu tidak belajar, Kuei Hsiang?" tanyaku. "Kau punya kesempatan yang
lebih baik daripada aku dan Rong. Ujian Pegawai Negeri Kerajaan diadakan setiap
tahun. Kenapa kau tak mencobanya?"
"Aku tak punya kemampuan yang mereka butuhkan," demikian jawaban Kuei Hsiang.
---oOo--- Kakak Fann kaget ketika tahu bahwa aku lulus ujian masuk di Kantor
kerumahtanggaan Istana. Sembari mencengkeram sebatang lilin, dipelajarinya
wajahku. "Bagaimana mungkin aku melewatkannya?" ditelengkannya kepalaku ke kanan dan ke
kiri. "Mata buah badam yang cerah, kulit mulus, hidung lurus, mulut yang indah,
dan tubuh yang langsing. Pasti pakaianlah yang membuat wajahmu terlihat buruk."
Setelah meletakkan lilin itu, Fann melipat tangannya. Dia mondar-mandir di
ruangan itu seperti seekor jangkrik di dalam botol sebelum diadu. "Kau tidak
boleh berpenampilan seperti ini ketika memasuki Kota Terlarang, Anggrek." Dia
meletakkan kedua tangannya di atas bahuku, dan berkata, "Mari, biarkan aku
mengubahmu." Di ruang ganti kakak Fann itulah aku berubah menjadi seorang putri.
Kakak Fann membuktikan reputasinya-dia, yang
dulu bertanggung jawab mendandani Permaisuri, membungkusku dalam tunik satin hijau
muda bersulam burung-burung kuau putih yang tampak hidup. Sulaman tepi dalam
warna yang lebih gelap menghiasi bagian leher, ujung lengan baju, dan setiap
pinggiran. "Tunik ini dulu milik Yang Mulia Permaisuri. Beliau memberikannya kepadaku
sebagai hadiah pernikahan," jelas kakak Fann. "Aku jarang sekali mengenakannya
karena khawatir terkena noda. Dan sekarang aku sudah terlalu tua serta berat.
Kupinjamkan kepadamu, beserta hiasan kepala yang sesuai."
"Tidakkah nanti Yang Mulia mengenalinya?"
"Jangan khawatir," Fann menggeleng. "Bajunya ada ratusan yang serupa ini."
"Lalu, apa nanti yang akan beliau pikirkan kalau melihatku mengenakan ini?"
"Bahwa kau satu selera dengannya."
Aku sangat gembira, dan kukatakan pada kakak Fann bahwa aku tak bisa cukup
berterima kasih kepadanya.
"Ingatlah, kecantikan bukan satu-satunya ukuran dalam pemilihan itu, Anggrek,"
kata kakak Fann seraya mendandaniku. "Kau bisa kalah hanya karena kau terlalu
miskin untuk menyuap para kasim, yang sebagai balasannya akan mendapatkan cara
untuk menunjukkan kekurangan-kekuranganmu pada Yang Mulia dan Ibundanya. Aku
sendiri sudah pernah menghadiri acara serupa ini.
Sangat meletihkan sehingga sering kali pada akhirnya semua gadis tampak sama
saja. Mata kedua Yang Mulia itu jadi tak sanggup lagi mengenali kecantikan-
itulah sebabnya banyak dari para istri dan selir Istana berwajah jelek."
---oOo--- Sepanjang bulan-bulan panjang penantian, aku nyaris tak dapat menahankan
kegelisahanku. Aku tak dapat tidur tenang, dan terbangun dari mimpi-mimpi yang
menakutkan. Akhirnya, penantian itu berakhir juga: esok aku akan memasuki Kota
Terlarang untuk bersaing dalam pemilihan itu.
Awan tergantung tinggi di langit dan angin yang hangat bertiup ketika aku dan
adik perempuanku menyusuri jalan-jalan Kota Peking.
"Aku punya firasat bahwa kau akan menjadi salah seorang dari kedua ratus selir-
atau malah salah seorang dari ketujuh Istri," kata Rong.
"Kecantikanmu tidak ada tandingannya, Anggrek."
"Keputusasaanku yang tidak ada tandingannya," aku membetulkan. Kami terus berjalan dan aku menggenggam tangan Rong erat-erat. Dia mengenakan
baju katun biru muda dengan bantalan setik dijahitkan rapi pada kedua bahunya.
Dia dan aku amat mirip, tetapi wajah Rong sering kali membocorkan rasa takut di
dalam hatinya. "Bagaimana jika kau tak pernah mendapatkan kesempatan untuk tidur dengan Yang
Mulia?" tanya Rong. Alisnya yang terangkat membentuk garis pada dahinya.
"Masih lebih baik daripada menikahi si Botol, kan?"
Rong mengangguk. "Akan kukirimi kau pola-pola baju yang paling bagus dari Istana," kataku,
mencoba bersikap riang. "Kau akan menjadi gadis dengan baju paling bagus di
seluruh kota. Kain yang halus, renda-renda indah, bulu merak."
"Jangan sampai salah bertindak, Anggrek. Siapa pun tahu bahwa Kota Terlarang
punya peraturan yang sangat ketat. Satu gerakan salah, dan kau bisa kehilangan
kepalamu." Sepanjang sisa perjalanan, kami hanya diam. Dinding Kekaisaran tampak seolah
semakin tinggi dan tebal. Ini adalah dinding yang akan memisahkan kami. []
Tiga AKU BERJALAN DI ANTARA ribuan gadis yang terpilih dari seluruh negeri. Setelah
pemeriksaan yang pertama jumlah ini berkurang hingga tinggal dua ratus orang.
Aku termasuk mereka yang beruntung, dan kini bersaing untuk menjadi salah
seorang dari tujuh istri Kaisar Hsien Feng.
Sebulan sebelumnya, Bagian Kerumahtanggaan Istana sudah mengirimkan satu komite
untuk memeriksa fisikku. Prosesnya akan sangat mengejutkan, kalau saja aku tidak
bersiap sejak awal. Pemeriksaan itu berlangsung di selatan Peking, di sebuah Istana yang dikelilingi
taman besar bergaya formal. Puri ini pernah digunakan sebagai tempat
peristirahatan Kaisar. Ada sebuah kolam kecil di tengah pekarangan puri.
Aku bertemu banyak gadis yang sedemikian cantiknya sehingga aku kehabisan kata-
kata bahkan untuk mencoba menggambarkannya.
Setiap gadis unik. Gadis dari provinsi-provinsi di selatan bertubuh ramping,
leher jenjang bagai angsa, lengan dan kaki yang panjang serta payudara mungil.
Gadis-gadis dari utara tak ubahnya buah masak. Dada mereka sebesar tempayan dan
pantatnya seperti labu. Para kasim memeriksa tanda lahir kami, bintang, tinggi, berat, bentuk tangan dan
kaki, rambut kami. Mereka menghitung gigi kami.
Semuanya harus serasi dengan daftar pertanda pribadi Sang Kaisar.
Kami disuruh membuka baju, lalu berbaris. Satu demi satu kami diperiksa oleh
kepala kasim, yang diikuti seorang asisten untuk mencatat kata-katanya dalam
sebuah buku. "Alis tidak rata," kata Kepala Kasim saat melewati kami, "bahu bengkok, tangan
buruh kasar, cuping telinga terlalu kecil, rahang terlalu sempit, bibir terlalu
tipis, kelopak mata menggembung, jari kaki persegi, tungkai terlalu pendek, paha
terlalu gemuk." Gadis-gadis itu langsung disingkirkan.


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berjam-jam kemudian kami dibawa ke sebuah balairung yang dihiasi tirai-tirai
berpola bunga persik. Sekelompok kasim masuk membawa pita ukuran. Tubuhku diukur
oleh tiga orang kasim. Aku dicubit, ditekan-tekan.
Tak ada tempat untuk bersembunyi. "Kerutkan tubuh, atau julurkan kepalamu-
bagaimanapun kau tak bisa menghindari kapak yang akan jatuh." Kepala Kasim
mendorong bahuku dan berteriak,
"Tegak!" Kukatupkan mata, berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa para kasim bukanlah
lelaki. Ketika membuka mata, kembali aku mendapati bahwa ini memang benar. Di
daerah pedesaan, lelaki akan meneteskan air liur bila melihat wanita cantik
meskipun berpakaian lengkap. Di sini, para kasim bersikap seolah ketelanjanganku
tak ada pengaruhnya sama sekali. Aku bertanya-tanya apakah mereka memang benar-
benar tak merasakan apa pun atau hanya berpura-pura.
Setelah diukur, kami dibawa ke sebuah balairung yang lebih luas dan disuruh
berjalan. Gadis-gadis yang dianggap kurang anggun segera disingkirkan. Mereka
yang lulus menunggu untuk tes berikutnya. Menjelang malam masih ada gadis-gadis
di luar, menunggu diuji. Akhirnya aku disuruh mengenakan kembali pakaianku dan diperbolehkan pulang.
Pagi buta keesokan harinya aku sudah dibawa kembali ke puri itu. Kebanyakan dan
gadis-gadis yang kulihat kemarin tak kujumpai lagi sekarang. Yang bertahan
dikelompokkan ulang. Kami diminta menyebutkan nama, usia, dan tempat kelahiran,
juga nama ayah kami, dengan suara yang jelas. Mereka yang suaranya dianggap
terlalu keras atau terlalu lembut disingkirkan.
Sebelum makan pagi, kami digiring ke belakang pun, tempat beberapa tenda
didirikan di area taman terbuka. Dalam setiap tenda ada meja-meja terbuat dari
bambu. Saat aku masuk, para kasim menyuruhku untuk berbaring di atas salah satu
meja ini. Empat orang dayang senior Istana muncul. Wajah mereka yang terpulas
riasan tak menunjukkan ekspresi apa pun. Mereka menjulurkan hidung, mulai
mengendus-endus tubuhku dari segala sisi. Dan rambut ke telinga, hidung ke
mulut, dan ketiak hingga ke bagian paling pribadi. Mereka memeriksa daerah di
antara jemari tangan dan kakiku. Salah seorang mencelupkan jari tengahnya ke
dalam sebuah stoples minyak, dan memasukkan jarinya itu ke anusku. Sakit, tetapi
aku berusaha untuk tak bersuara sedikit pun. Saat jari itu ditarik keluar,
ketiga dayang yang lain melompat untuk mengendusnya.
Bulan terakhir berlalu dalam sekejap. "Besok Yang Mulia akan menentukan
nasibku," ujarku kepada Ibu.
Tanpa mengatakan apa pun, Ibu menyalakan batang-batang dupa dan berlutut di
hadapan gambar Buddha di dinding.
"Apa yang ada di benakmu, Anggrek?" tanya Rong.
"Mimpiku untuk mengunjungi Kota Terlarang akan segera terwujud," sahutku,
memikirkan kata-kata kakak Fann: Sekilas pandang saja pada keindahan semacam itu
membuat orang merasa bahwa hidupnya selama ini memiliki arti. "Aku takkan
menjadi orang biasa lagi."
Ibu terjaga sepanjang malam. Sebelum aku pergi tidur, Ibu menjelaskan arti yuan
dalam Taoisme. Yuan adalah bagaimana aku harus mengikuti takdirku dan
mengubahnya seperti sungai yang mengalir di antara bebatuan.
Aku mendengarkan tanpa suara dan berjanji bahwa aku akan mengingat pentingnya
bersikap patuh serta pentingnya mempelajari bagaimana "menelan ludah orang lain,
kalau perlu." Aku diperintahkan untuk berada di Gerbang Puncak sebelum subuh. Ibu menghabiskan
tael terakhirnya untuk menyewa tandu bagiku. Tandu itu diselubungi kain sutra
biru yang indah. Ibu juga menyewa tiga tandu kecil sederhana untuk Kuei Hsiang,
Rong, serta dirinya sendiri, guna menemaniku hingga ke gerbang. Para penandu
akan datang sebelum pekikan pertama ayam jantan. Aku tak mengatakan apa-apa
tentang pemborosan ini. Aku mengerti betul bahwa Ibu ingin melepaskanku dengan
cara yang terhormat. Pukul tiga pagi Ibu membangunkanku. Terpilihnya aku sebagai calon selir Kerajaan
mengisi tubuh tuanya dengan harapan dan tenaga. Dia mencoba menahan air mata
saat mendandani wajahku. Kukatupkan kelopak mataku erat-erat. Aku tahu bahwa kalau aku membuka mata, air
mataku akan membanjir dan merusakkan dandanan yang sudah dipoleskan dengan hati-
hati ini. Ketika adik-adikku bangun, aku sudah siap dalam gaun tunik indah kakak Fann. Ibu
sedang mengikatkan semua talinya. Setelah segalanya siap, kami sarapan bubur.
Rong memberiku dua butir kenari yang disimpannya sejak tahun lalu. Dia memaksaku
untuk memakan keduanya agar keberuntungan memihakku, dan aku menuruti
permintaannya. Para penandu tiba. Rong membantuku memegangi gaun agar tak menyapu tanah, sampai
para penandu mengangkatku ke dalam kursi tandu mereka. Kuei Hsiang mengenakan
pakaian Ayah. Kubilang bahwa dia terlihat seperti seorang prajurit pengembara,
hanya saja dia harus belajar mengancingkan pakaian itu dengan benar.
Semua gadis yang terpilih beserta keluarga mereka berkumpul di Gerbang Puncak.
Aku duduk di tandu. Udara dingin. Jemari tangan dan kakiku mulai kaku. Gerbang
itu tampak mengesankan dalam latar langit ungu menjelang fajar. Ada sembilan
puluh sembilan mangkuk berwarna tembaga tertanam di pintu gerbang, serupa kura-
kura yang ditempelkan pada selembar panel besar. Mangkuk-mangkuk ini menutupi
sekrup-sekrup raksasa yang menyatukan kayu-kayu pintu.
Seorang pelayan memberi tahu Ibu bahwa pintu gerbang yang tebalnya laksana
tembok itu dibuat pada 1420. Pintu itu dibuat dari kayu yang sangat keras. Di
atas gerbang, pada ujung tertinggi dinding, ada sebuah menara kecil dari batu.
Fajar menyingsing. Sepasukan Pengawal Kerajaan keluar dari gerbang. Mereka
diikuti sekelompok kasim berpakaian jubah. Salah seorang kasim itu mengeluarkan
sebentuk buku dan mulai memanggili nama-nama dengan suara melengking tinggi.
Kasim ini seorang lelaki tinggi separuh baya dengan raut muka seperti monyet;
sepasang mata bundar, hidung pesek, bibirnya yang tipis merentang dari telinga
ke telinga, dan ada jarak yang lebar antara hidung dan bibir atas.
Keningnya landai. Dia menyebutkan nama-nama dengan cara melagukan setiap suku
katanya. Pada suku kata terakhir, nada lagunya bertahan selama tiga ketukan.
Pelayan yang bersama kami mengatakan bahwa dia adalah Kepala Kasim Istana.
Namanya Shim. Para kasim memberikan sebuah kotak kuning berisi uang perak kepada setiap
keluarga setelah sebuah nama disebut. "Lima ratus tael dari Yang Mulia Kaisar!"
suara Kepala Kasim Shim menggema lagi.
Ibu menangis saat namaku dipanggil. "Waktunya untuk berpisah, Anggrek. Hati-
hatilah." Aku turun dari tandu dengan hati-hati. Ibu hampir saja menjatuhkan kotak yang
diberikan kepadanya. Para pengawal mengantarnya kembali ke tandu, dan dia pun
diminta untuk pulang. "Anggaplah kau sedang menaiki perahu keberkahan di tengah lautan kesengsaraan!"
pekik Ibu, melambai. "Ruh ayahmu akan menyertaimu!"
Aku menggigit bibir, mengangguk. Kukatakan kepada diriku sendiri untuk
berbahagia karena dengan 500 tael tadi keluargaku akan mampu bertahan.
"Jaga Ibu!" kataku kepada Rong dan Kuei Hsiang. Rong melambai, mengangkat
sehelai saputangan ke mulutnya.
Kuei Hsiang berdiri kaku seperti tiang kayu. "Tunggu, Anggrek.
Tunggu sebentar." Aku menghela napas panjang dan berbalik ke arah gerbang berwarna kemerahan itu.
Matahari pagi muncul dari balik awan ketika aku melangkah masuk ke Kota
Terlarang. "Para Wanita Kerajaan berjalan!" Kepala Kasim Shim menyanyi.
Para pengawal di pintu masuk berbaris di kiri - kanan, membuat semacam lorong
untuk kami lalui. Aku menoleh untuk kali terakhirnya. Orang-orang bermandikan cahaya matahari.
Rong tengah mengayun-ayunkan tangan dengan saputangannya, dan Kuei Hsiang
menjunjung kotak berisi uang perak di atas kepalanya. Ibu tak terlihat di mana-mana. Dia tentulah bersembunyi di dalam tandunya, menangis.
"Selamat tinggal!" air mataku jatuh berderai sementara Gerbang Puncak terempas
menutup. Kalau bukan karena suara Kepala Kasim Shim, yang terus menerus memberikan
perintah untuk berbelok ke kanan atau ke kiri, aku pasti merasa bahwa aku tengah
berada di dunia mimpi. Saat aku berjalan, sekelompok gedung megah mulai tampak.
Gedung-gedung ini beratmosfer penuh keagungan dan berukuran raksasa. Atap yang
diglasir kuning berpendar dalam sinar matahari.
Lempeng-lempeng ubin marmer besar berukir terhampar di bawah kakiku. Aku tak
sadar sepenuhnya bahwa yang kulihat itu barulah awalnya, hingga aku tiba di
Balairung Keselarasan Tertinggi.
Dalam jangka dua pembakaran lilin, kami melalui gerbang-gerbang penuh hiasan,
halaman luas, dan koridor-koridor yang pada setiap tiangnya terdapat ukiran dan
di setiap sudutnya terdapat patung.
"Anda semua tengah melewati jalan samping, yaitu jalan untuk para pelayan dan
pegawai Istana," jelas Kepala Kasim Shim. "Tak seorang pun, kecuali Yang Mulia
Kaisar, menggunakan jalan masuk di tengah Istana."
Kami berjalan melalui ruang kosong demi ruang kosong. Tak ada orang di sana,
yang bisa menyaksikan dandanan kami yang istimewa.
Aku teringat nasihat kakak Fann: "Dinding Istana punya mata dan telinga. Kau
takkan pernah tahu, dinding mana yang menyembunyikan mata Kaisar atau Ibu Suri
Jin." Udara terasa berat di dadaku. Aku melihat ke sekeliling, membandingkan diriku
dengan gadis-gadis lainnya. Wajah kami semua dipulas dengan gaya Manchu yang
sama. Di bibir bawah ada seceplok titik merah, rambut digelung ke atas menjadi
dua bagian. Beberapa gadis menguntai rambut mereka hingga tinggi di atas kepala, dan
menghiasinya dengan permata dan bunga giok, burung atau serangga. Yang lain
menggunakan sutra untuk membentuk semacam piringan, diperkuat dengan jepit
gading. Punyaku berupa wig berbentuk ekor burung layang-layang, kakak Fann
menghabiskan berjam-jam untuk menempelkannya ke sebuah papan hitam tipis.
Sekuntum mawar sutra ungu dijepitkan di tengah papan, didampingi dua mawar merah
muda di kiri dan kanannya. Selain itu, rambutku juga dipenuhi bunga melati dan
anggrek segar. Gadis yang berjalan di sampingku mengenakan hiasan kepala yang dipenuhi renda.
Ditaburi permata dan mutiara, bentuknya seperti angsa terbang. Benang-benang
kuning dan merah-jingga dikepang dalam pelbagai pola. Hiasan kepala ini
mengingatkanku pada hiasan yang biasa dipakai di opera Cina.
Sebagai pembuat sepatu, otomatis aku memerhatikan apa-apa yang dikenakan gadis-
gadis itu di kaki mereka. Aku selalu berpikir bahwa kalaupun aku tak tahu apa-
apa, aku tahu soal sepatu. Akan tetapi, apa yang kulihat membuat pengetahuanku
terasa seperti tak ada apa-apanya. Setiap pasang sepatu yang dikenakan gadis-
gadis ini penuh ditaburi batu kumala, mutiara, permata, dan sulaman indah bunga
lotus, plum, magnolia, jeruk, tangan Buddha, dan bunga persik.
Bagian sisinya dipenuhi simbol panjang umur dan kebahagiaan, ikan dan kupu-kupu.
Sebagai perempuan Manchu, kami tidak mengikat kaki seperti yang dilakukan gadis-
gadis Cina, tetapi kami tak mau kehilangan kesempatan untuk terlihat keren
karena itulah kami mengenakan sepatu dengan alas yang amat tinggi. Maksudnya
agar kaki kami terlihat lebih mungil, seperti kaki gadis Cina.
Kakiku mulai terasa sakit. Kami melalui celah-celah rumpun bambu serta pepohonan
yang lebih besar. Jalanan semakin sempit dan tangga-tangga semakin curam pada
setiap belokan. Kepala Kasim Shim terus menyuruh kami bergegas, dan semua gadis
mulai terengah-engah. Saat kukira kami tiba di jalan buntu, mendadak saja tanpa
terduga suatu pemandangan megah menampakkan diri. Aku menahan napas saat lautan
atap keemasan tiba-tiba terhampar di hadapanku. Bisa kulihat pos-pos penjagaan
berukuran besar pada gerbang Kota Terlarang di kejauhan.
"Kalian tengah berdiri di Bukit Harapan," Kepala Kasim Shim bertolak pinggang
dan menarik napas sepenuh dada. "Ini adalah titik tertinggi di seluruh Peking.
Para ahli feng shui kuno percaya bahwa areal ini memiliki energi serta ruh
terbesar dari Angin dan Air. Gadis-gadis, ingatlah semua ini, karena kebanyakan
dari kalian takkan memiliki kesempatan untuk melihatnya lagi. Kita beruntung
karena hari ini cerah. Badai pasir dan Gurun Gobi sedang beristirahat."
Mengikuti telunjuk Kepala Kasim Shim, aku melihat sebuah pagoda putih. "Kuil
bergaya Tibet itu adalah rumah roh para Dewa yang telah melindungi Wangsa Ch'ing
dari generasi ke generasi. Maka hati-hatilah dengan perilaku kalian, jangan
sampai kalian mengganggu atau menghina roh-roh itu."
Dalam perjalanan menuruni bukit, Shim membawa kami melalui sebuah jalan lain,
yang menuju ke Taman Kedamaian dan Panjang Umur. Baru kali itulah aku melihat
pohon pippala yang sesungguhnya.
Pohon-pohon itu berukuran sangat besar dan daunnya sehijau rumput segar. Aku
sudah pernah melihat lukisan pohon pippala di manuskrip-manuskrip Buddhis dan
lukisan dinding Kuil. Pohon pippala dianggap sebagai simbol Sang Buddha dan amat
langka. Di sini, pohon itu ada di mana-mana, dan usianya sudah ratusan tahun.
Daun-daunnya menyapu tanah bagaikan tirai hijau. Di taman, bebatuan besar dan
indah diatur dalam pola yang menyedapkan pandangan mata. Saat mengangkat mata,
kulihat paviliun-paviliun yang luar biasa indahnya tersembunyi di balik hutan
cemara sipres. Setelah begitu banyak belokan, aku kehilangan orientasi arah.
Agaknya kami sudah melalui sekitar dua puluh paviliun sebelum akhirnya kami
dibawa ke sebuah paviliun kebiruan berhias pola bunga prem. Atapnya berbentuk
keong, gentengnya berwarna biru.
"Paviliun Bunga Musim Dingin," Kepala Kasim Shim memberi tahu. "Ibu Suri tinggal
di sini. Kalian semua segera akan bertemu dengan Ibu Suri dan Kaisar."
Kami disuruh duduk di bangku-bangku batu sementara Kepala Kasim Shim memberi
kuliah singkat tentang tata krama Kekaisaran.
Kami semua diharuskan mengucapkan sebuah kalimat sederhana, menyatakan doa
panjang umur dan kesehatan bagi Kaisar dan Ibu Suri. "Setelah memberi salam,
tutup mulut dan hanya menjawab bila ditanya."
Kegugupan menyebar. Seorang gadis mulai menangis tanpa bisa ditahan. Dia cepat-
cepat dibawa pergi oleh para kasim. Seorang gadis lain mulai komat-kamit
sendiri. Dia juga dibawa pergi.
Aku mulai menyadari kehadiran terus-menerus para kasim.
Hampir sepanjang waktu mereka berdiri di dekat dinding, membisu tanpa ekspresi.
Kakak Fann telah memperingatkanku bahwa kasim yang berpengalaman biasanya
menakutkan dan senang akan nasib buruk orang lain. "Yang muda-muda masih agak
lumayan," katanya, "apalagi yang baru datang, yang masih polos. Sifat keji para kasim tidak muncul
hingga mereka menginjak usia dewasa, saat mereka baru benar-benar menyadari apa
yang telah dirampas dari diri mereka."
Menurut kakak Fann, para kasimlah yang menguasai Kota Terlarang. Mereka
merupakan raja intrik. Karena kesengsaraan yang harus mereka terima sudah
demikian besar, maka daya tahan mereka terhadap derita dan siksa sungguh
menakjubkan. Para kasim baru dicambuk setiap hari. Sebelum membawa anak laki-
laki mereka ke Istana, orangtua para kasim membeli tiga lembar kulit sapi. Kasim
baru itu akan mengikatkan kulit-kulit ini di sekitar punggung dan paha, tempat
cambuk akan mendarat. Kulit sapi ini dijuluki "Sang Buddha Sejati".
Belakangan aku baru tahu bahwa hukuman untuk pelanggaran terberat yang dilakukan
kasim adalah hukuman mati dengan dibekap.
Hukuman dilaksanakan di hadapan seluruh kasim. Si terhukum akan diikat di sebuah
bangku, wajahnya ditutupi dengan sehelai sutra basah. Prosesnya serupa dengan
pembuatan topeng. Di bawah tatapan semua orang, algojo akan menambahkan sutra
basah itu, helai demi helai, sementara korbannya meronta mencoba bernapas.
Lengan dan kaki kasim sial itu akan ditahan kuat-kuat, hingga akhirnya dia
berhenti bergerak. Selama hari-hari awalku di Kota Terlarang, aku membenci hukuman itu sepenuh
hati. Aku ngeri melihat kekejamannya. Tetapi tahun berlalu dan pandanganku mulai
berubah. Aku mendapati bahwa hukuman itu merupakan suatu keharusan. Para kasim
tersebut sungguh lebih dari mampu untuk melakukan kejahatan besar dan kekejaman
yang tak kalah seramnya. Kemurkaan yang mereka pendam begitu tak terkendali
sehingga hanya kematian yang sanggup menghentikannya. Pada masa silam para kasim
telah menimbulkan huru-hara, bahkan yang lebih buruk dari itu. Pada masa Dinasti
Chou para kasim malah membakar seluruh Istana.
Menurut kakak Fann, ketika seorang kasim yang cukup cerdas berhasil merangkak ke
atas dan menjadi kesayangan Kaisar, seperti Kepala Kasim Shim, dia akan
menjalani hidup di bawah satu orang tetapi di atas seluruh bangsa. Karena ada
kemungkinan tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga menjadi legenda seperti
inilah yang membuat tiap tahun ribuan keluarga miskin dari seluruh Cina
mengirimkan anak lelaki mereka ke Ibu Kota.
Dari kakak Fann aku telah belajar untuk menentukan status seorang kasim dari
cara mereka berpakaian, dan inilah saatnya untuk menerapkan pengetahuanku itu.
Kasim berkedudukan tinggi mengenakan jubah beledu dihiasi batu mulia, dan
dilayani oleh kasim pemula. Mereka punya pembuat teh sendiri, perancang baju,
kurir, akuntan, juga istri serta selir bohong-bohongan. Biasanya mereka lantas
mengangkat anak untuk meneruskan nama marga, dan membeli rumah serta tanah di
luar Kota Terlarang. Mereka menjadi kaya dan mengelola rumah tangganya seperti


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang Kaisar. Ada seorang kasim ternama, yang saat mengetahui bahwa istrinya
selingkuh dengan seorang pelayan muda, menghukum istrinya itu dengan
mencincangnya dan memberikan dagingnya kepada anjing.
Saat ini aku sudah kelaparan. Kami, dua ratus orang, dibagi menjadi kelompok-
kelompok yang terdiri atas sepuluh orang dan kemudian disebar ke sudut-sudut
yang berbeda di taman. Kami duduk, atau berdiri, pada ambalan kayu atau batu,
atau pada bebatuan yang dihaluskan sungai. Terhampar di hadapan kami sebuah
kolam buatan yang dihiasi bunga-bunga lotus yang mengapung, airnya sesekali
beriak oleh ikan koi yang muncul ke permukaan. Di antara kami terdapat panel-
panel kayu ukir dan rumpun-rumpun bambu.
Kasim yang bertanggung jawab atas grup kami mengenakan hiasan perunggu pada
topinya, dan sulaman kuau di dada. Dia mengingatkanku pada adikku, Kuei Hsiang.
Kasim ini bibirnya memerah asli dan raut wajahnya seperti seorang gadis.
Tubuhnya kurus dan dia tampaknya pemalu. Dia berdiri jauh-jauh dari kami semua,
matanya terus-menerus berpindah-pindah dari kami para gadis kepada atasannya,
seorang kasim yang memiliki hiasan putih pada topinya dan sulaman burung
kepodang di dadanya. "Namaku Anggrek." Dengan berbisik, aku mendekat ke arah kasim kurus itu dan
memperkenalkan diri. "Aku haus sekali, bisakah kau-"
"Sssst!" Kasim itu menekankan jari telunjuk ke bibir dengan gugup.
"Namamu siapa" Bagaimana aku harus memanggilmu?" aku melanjutkan.
"An-te-hai." "Nah, An-te-hai, bisakah aku minta air?" Dia menggeleng. "Aku tak boleh bicara.
Tolong jangan tanya-tanya."
"Aku akan berhenti kalau-"
"Maaf." Dia berputar di atas tumitnya, buru-buru menghilang di balik semak-
semak. Berapa lama aku bisa bertahan dalam keadaan begini" Aku melihat berkeliling, dan
mendengar keruyuk perut keroncongan gadis-gadis lain.
Suara air dari sebuah parit dekat situ membuatku tambah kehausan. Para gadis ini
perlahan seakan membeku menjadi sebuah tablo kuno. Sebuah lukisan indah yang
terdiri dari pepohonan anggun, tumbuhan rambat yang menjuntai, rumpun bambu yang
bergoyang serta gadis-gadis muda.
Aku memandangi tablo ini sampai kulihat sesosok tubuh berjalan seperti seekor
ular di antara rumpun bambu.
An-te-hai. Kembali dengan sebuah cangkir di tangannya.
Langkahnya gesit dan tanpa suara. Aku baru tersadar bahwa para kasim memang
dilatih untuk berjalan bagaikan hantu. Telapak An-tehai yang halus menapak tanah
sementara kakinya meluncur bagaikan perahu.
Berhenti di hadapanku, dia menyodorkan cangkir itu.
Aku tersenyum, membungkuk.
An-te-hai buru-buru berbalik dan pergi sebelum aku sempat menyelesaikan
bungkukanku. Kurasakan tatapan tajam menyerbuku dari setiap arah saat kuangkat cangkir itu ke
bibir. Paham benar apa yang mereka rasakan, aku meneguk sedikit, lalu
mengedarkan cangkir itu berkeliling.
"Oh, terima kasih banyak," gadis yang berdiri di dekatku menerima cangkir
tersebut. Tubuhnya ramping dan wajahnya bulat telur. Matanya, yang dalam dan
berkelopak ganda, berseri-seri. Dan aksen serta tingkah lakunya yang anggun,
kutebak dia berasal dari keluarga kaya. Gaun sutranya disulam dengan pola yang
paling rumit, permata bergantungan mulai dari ujung kepala hingga ujung kakinya.
Hiasan kepalanya dibuat dari bunga emas. Lehernya jenjang, segala gerak-geriknya
tampak wajar. Cangkir itu beredar dan tangan ke tangan sampai tak setetes pun tersisa. Setelah
itu, gadis-gadis tadi tampak sedikit lebih santai. Si cantik berwajah bulat
telur dengan mata eksotis tadi melambai kepadaku dari bangkunya. Saat aku
mendekat, dia bergeser sedikit.
"Aku Nuharoo," dia tersenyum.
"Yehonala," aku duduk di sampingnya.
Begitulah aku dan Nuharoo saling memperkenalkan diri. Tak satu pun dari kami
saat itu yang dapat meramalkan bahwa kami baru saja merajut sebuah hubungan yang
akan terus berlangsung seumur hidup. Di sini kami dipanggil dengan nama
keluarga, untuk menandai dari klan mana kami berasal. Tanpa penjelasan lebih
lanjut kami segera tahu bahwa kami berdua berasal dari klan yang paling berkuasa
dari bangsa Manchu: Yehonala dan Nuharoo. Kedua keluarga ini adalah saingan
lama, berkali-kali saling memerangi, selama berabad-abad. Baru setelah Raja dari
Klan Nuharoo menikahi putri Raja Yehonala, kedua klan ini bersatu dan pada
akhirnya menaklukkan Cina, menciptakan Dinasti Ch'ing- wangsa 'Kemurnian
Surgawi'. Aku mencium harumnya bakung dari rambut Nuharoo. Dia duduk diam-diam, memandangi
rumpun-rumpun bambu seolah tengah menggambarnya dengan matanya. Gadis ini
memancarkan rasa tenang dan puas. Untuk waktu yang lama, dia tak bergerak-gerak,
seakan-akan tengah mempelajari detail setiap daun yang dilihatnya.
Konsentrasinya sama sekali tak terganggu oleh hilir mudiknya para kasim. Aku
bertanya-tanya apa gerangan yang dipikirkannya, apakah kiranya dia juga
merindukan keluarganya atau mencemaskan masa depannya, seperti aku. Aku ingin
tahu apa yang membuatnya ikut dalam seleksi ini. Pasti bukan karena urusan
perut, atau uang. Apakah dia bermimpi untuk menjadi Permaisuri" Bagaimana dia
dibesarkan" Siapakah orangtuanya" Tak ada sedikit pun kegugupan pada wajahnya. Tampaknya
seakan dia tahu benar bahwa dia pasti akan terpilih. Seakan dia datang hanya
untuk menerima kabar tersebut.
Setelah beberapa lama Nuharoo berpaling padaku dan tersenyum lagi. Senyumnya
nyaris kekanak-kanakan, polos, dan tanpa beban kekhawatiran. Aku yakin dia pasti
belum pernah menderita. Dia pasti punya pelayan di rumah, yang bisa mengipasinya
pada malam-malam pengap musim panas. Gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia amat
terlatih dalam tata krama. Apakah dia masuk sekolah untuk orang kaya" Apa yang
dia baca" Apakah dia menyukai opera" Kalau ya, pasti dia punya idola yang
dikaguminya. Seandainya kami menyukai opera yang sama, dan seandainya kami
berdua cukup beruntung untuk terpilih ..
"Menurutmu, bagaimana kesempatan kita untuk terpilih?"
tanyaku kepadanya setelah Nuharoo menjelaskan bahwa ayahnya adalah paman-jauh
dari Kaisar Hsien Feng. "Aku tak terlalu memikirkannya," ujarnya lirih. Bibirnya membuka seperti kelopak
bunga. "Aku melakukan apa pun yang diminta keluargaku."
"Jadi orangtuamu bisa membaca urat kayu, ya."
"Maaf ..?" "Maksudku meramal masa depan seseorang."
Nuharoo berpaling dariku dan tersenyum lembut ke kejauhan.
"Yehonala, kalau menurutmu, bagaimana kesempatan kita?"
"Engkau berasal dari keluarga yang memiliki hubungan dengan keluarga Kerajaan,
dan kau juga cantik," kataku. "Aku tak yakin dengan kesempatan yang kumiliki.
Ayahku seorang taotai sebelum dia wafat. Kalau bukan karena utang yang melibat
keluargaku, dan kalau bukan karena aku dipaksa untuk menikahi sepupuku yang
terbelakang mental, aku takkan-" aku harus berhenti karena air mataku mengembang
memenuhi kelopak. Nuharoo merogoh saku dan mengeluarkan sehelai saputangan berenda. "Aku ikut
sedih," disodorkannya saputangan itu padaku.
"Ceritamu terdengar mengerikan."
Aku tak mau merusak saputangannya, jadi kugunakan punggung tangan untuk mengusap
air mataku. "Ceritakan lagi," kata Nuharoo.
Aku menggeleng. "Ceritaku tentang kesengsaraan akan berakibat buruk bagi
kesehatanmu." "Tidak apa-apa. Aku ingin mendengarnya. Ini adalah kali pertama aku menginjakkan
kaki di luar rumah. Aku tak pernah melakukan perjalanan seperti engkau."
"Perjalanan" Sebetulnya itu bukan pengalaman yang menyenangkan." Seraya meneruskan bicara, kepalaku dibanjiri ingatan tentang
ayahku. Bau busuk peti mati itu, lalat-lalat yang mengikutinya. Guna mengalihkan
diri dari kesedihan, aku mengganti pokok pembicaraan.
"Kau dulu bersekolah, Nuharoo?"
"Aku punya guru pribadi," sahutnya. "Tiga guru. Masing-masing mengajariku
pelajaran yang berbeda."
"Apa pelajaran kesukaanmu?"
"Sejarah." "Sejarah! Kukira itu hanya untuk anak laki-laki," aku teringat menyembunyikan
sebuah buku dari Ayah, buku Catatan tentang Tiga Kerajaan.
"Bukan sejarah umum seperti yang kaubayangkan," Nuharoo tersenyum seraya
menjelaskan. "Sejarah kerumahtanggaan Istana.
Tentang hidup para Permaisuri dan para selir. Pelajaranku dipusatkan pada tokoh
yang paling banyak pengaruhnya." Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan, "aku
diharapkan meniru Permaisuri Hsiao Ch'in. Sejak aku kecil, orangtuaku sudah
mengatakan bahwa suatu kali lukisan diriku akan digantungkan di samping lukisan
para wanita bangsawan di Galeri Istana."
Tak heran dia terlihat begitu sesuai berada di tempat ini. "Aku yakin kau akan
membuat orang terkesan," ujarku. "Aku khawatir bidang ini merupakan bidang yang
paling tak kukuasai. Aku tidak tahu soal bagaimana kedudukan di kalangan wanita
bangsawan walaupun aku tahu cukup banyak tentang para kasim."
"Aku akan senang sekali berbagi pengetahuan denganmu," mata Nuharoo bercahaya.
Seseorang berteriak, "Berlutut!"
Sekelompok kasim bergegas masuk dan berbaris di hadapan kami. Kami segera
berlutut. Kepala Kasim Shim muncul dan pintu yang melengkung. Dengan penuh gaya, dia
mengangkat sisi kanan jubahnya sedikit dengan tangannya. Melangkah satu kali,
kasim ini terlihat jelas oleh semua yang hadir.
Dari lututku kulihat sepatu birunya yang berbentuk perahu.
Kasim itu terdiam sejenak. Kurasakan kuasa dan pengaruhnya yang besar. Anehnya,
aku mengagumi tingkah lakunya.
"Yang Mulia Kaisar Hsien Feng dan Yang Mulia Ibu Suri Jin memanggil .."
Meninggikan suaranya, Kepala Kasim Shim menyebutkan beberapa nama. "... dan
Nuharoo, dan Yehonala!"[]
Empat AKU MENDENGAR SUARA hiasan kepala serta anting-antingku yang menjuntai-juntai.
Gadis-gadis di hadapanku bagaikan melayang dengan gemulainya dalam gaun sutra
dan sepatu bersol tinggi mereka. Para kasim mondar-mandir di sekitar kami
bertujuh, terus-menerus menanggapi isyarat tangan Kepala Kasim Shim.
Kami melalui begitu banyak halaman luas dan gerbang lengkung. Akhirnya, kami
tiba di balairung masuk menuju Istana Kedamaian dan Panjang Umur. Baju dalamku
basah oleh keringat. Aku takut akan mempermalukan diri sendiri. Kulirik Nuharoo.
Dia setenang pantulan bulan pada permukaan kolam. Sebentuk senyuman indah
mengembang di antara kedua pipinya. Riasannya masih tetap belum ternoda.
Kami dibawa ke sebuah ruang samping dan diberi beberapa saat untuk menyegarkan
penampilan. Konon Yang Mulia Kaisar dan Ibu Suri sudah duduk di dalam. Saat Shim
masuk ke Balairung dan mengumumkan kedatangan kami, terasa betapa udara di
sekitar para gadis ini menegang. Gerakan sekecil apa pun membuat perhiasan kami
berdenting seperti lonceng angin yang buruk buatannya. Aku merasa agak pusing.
Aku mendengar suara Kepala Kasim Shim, tetapi terlalu gugup untuk memahami apa
yang dikatakannya. Setiap suku kata terdengar aneh, seperti seorang penyanyi
opera yang berperan sebagai hantu, bicara dengan nada yang tidak wajar.
Seorang gadis di dekatku mendadak terkulai jatuh. Lututnya tak kuat bertahan.
Sebelum aku sempat menolong, beberapa kasim datang dan membawanya pergi.
Suara berdengung mengisi penuh telingaku. Aku menarik napas panjang beberapa
kali agar tak kehilangan keseimbangan seperti gadis lain. Kaki dan tanganku
kaku, aku tak tahu di mana aku harus meletakkan kedua tanganku ini. Semakin aku
berusaha menenangkan diri, semakin memburuk pula kendali diriku. Tubuhku mulai
bergetar. Untuk mengalihkan perhatian, aku memelototi karya seni di sekitar bingkai pintu.
Kaligrafi emas pada papan kayu hitam menampilkan empat huruf raksasa: awan,
kekhusyukan, bintang, dan kemenangan.
Gadis yang mendadak jatuh tadi kembali. Raut wajahnya sepucat boneka kertas.
"Yang Mulia Kaisar dan Ibu Suri!" Kepala Kasim Shim mengumumkan saat dia masuk.
"Semoga beruntung, nona-nona!"
Dengan Nuharoo di depan dan aku paling belakang, kami bertujuh dibimbing melalui
dinding yang terdiri dari para orang kasim.
Kaisar Hsien Feng dan Ibu Suri Jin duduk pada sebuah kang, kursi seukuran tempat
tidur yang ditutupi dengan sutra kuning cerah.
Ibu Suri duduk di kanan sementara Kaisar di kiri. Kamar segi empat itu sangat
luas, langit-langitnya tinggi. Ada dua batang pohon koral oranye dalam pot di
setiap sisi ruang, dekat dengan dinding. Pohon-pohon itu tampak terlalu sempurna
untuk pohon sungguhan. Para dayang dan kasim berdiri memunggungi tembok dengan
tangan terlipat di depan badan mereka. Empat kasim, masing-masing membawa sebuah
kipas bulu merak bergagang panjang, berdiri di belakang kursi raksasa itu. Di
belakang mereka ada sehelai permadani besar dengan sebuah huruf Cina berwarna
pelangi-shou, panjang umur. Dilihat dari dekat, huruf itu ternyata terbuat dari
ratusan sulaman kupu-kupu. Di samping permadani gantung itu ada sebatang jamur
kuno setinggi seorang lelaki, dalam sebuah panci keemasan. Di depan jamur
tersebut terdapat lukisan berjudul Negeri Abadi Ibu Suri Dunia Tengah. Lukisan
itu menggambarkan seorang Dewi Tao menaiki seekor bangau terbang di angkasa,
seraya melihat ke arah pemandangan menakjubkan di bawah, berupa paviliun,
sungai-sungai deras, hewan serta pepohonan, serta anak-anak yang bermain di
bawah bayangan pepohonan itu. Di depan lukisan ini ada sebuah wadah kayu
cendana, hiruk pikuk oleh ukiran labu kukuk, bunga dan dedaunan yang dipahat
menjadi relief rumit. Bertahun-tahun kemudian akhirnya aku tahu bahwa wadah itu
digunakan sebagai tempat hadiah persembahan bagi Kaisar.
Kami bertujuh melakukan kowtow1 dan tetap berlutut. Aku merasa baru saja
memasuki sebuah panggung sandiwara. Walau terus menunduk, aku bisa melihat
jambangan-jambangan yang indah, ukiran menakjubkan pada kaki tempat air,
lentera-lentera lantai dengan ekor renda yang terjurai ke tanah, serta gembok-
gembok keberuntungan besar yang dibungkus sutra di sudut-sudut dinding.
Aku memberanikan diri mencuri pandang pada Sang Putra Surga.
Kaisar Hsien Feng tampak lebih muda daripada yang kubayangkan. Kelihatannya dia
baru berusia awal duapuluhan, dan berkulit halus. Matanya yang besar menyipit ke
atas pada dua sudutnya. Raut wajahnya lembut dan penuh perhatian, tetapi tanpa
rasa ingin tahu yang berlebihan. Hidungnya khas Manchu, lurus serta panjang, dan
dia punya bibir yang kuat. Pipinya merah sekali, seperti sedang demam. Kaisar
tak tersenyum ketika melihat kami masuk.
Rasanya seperti mimpi. Sang Putra Surga mengenakan jubah panjang keemasan
bersulam naga, awan, ombak, matahari, bulan, dan beberapa bintang. Sehelai sabuk
sutra kuning mengelilingi pinggangnya. Dari sabuk ini bergelantungan batu kumala
hijau, mutiara, batu-batu berharga, dan sebuah tas kecil bersulam. Lengan
bajunya berbentuk kuku kuda.
Sepatu bot yang dikenakan Yang Mulia di kakinya adalah sepatu paling menakjubkan
yang pernah kulihat. Terbuat dari kulit macan dan dicelup hingga berwarna hijau
daun teh, sepatu ini bertatahkan figur kecil hewan-hewan perlambang nasib baik
dari emas: kelelawar, naga berkaki empat, dan chee-lin hewan berupa campuran
antara singa dan kijang, simbol kekuatan gaib.
Kaisar Hsien Feng tidak tampak tertarik untuk bertemu kami semua. Dia bergerak-
gerak gelisah di kursinya seakan-akan merasa bosan, mulanya miring ke kiri,
kemudian miring ke kanan. Berkali-kali dia mengerling ke arah dua buah piring
yang diletakkan di antara dirinya dan ibundanya. Satu terbuat dari perak,
lainnya emas. Pada piring perak itu ada kepingan bambu yang bertuliskan nama-
nama kami. Ibu Suri Jin adalah wanita gemuk dengan wajah seperti labu kering. Meski usianya
baru awal lima puluh, kerut-merut tergantung mulai dari kening hingga lehernya.
Seperti yang pernah dikatakan kakak Fann padaku, Ibu Suri Jin dulu adalah selir
kinasih Kaisar Tao Kuang, kaisar yang berkuasa sebelum Hsien Feng. Konon katanya
Ibu Suri Jin dulu adalah wanita tercantik di seluruh Cina. Ke mana perginya
kecantikan itu" Kelopak matanya menggelambir dan mulutnya yang tidak lurus
tertarik ke sisi kanan wajahnya. Titik merah di bibirnya dilukis begitu besar
hingga tampak seperti sebuah kancing merah raksasa.
Jubah yang dikenakannya terbuat dari satin kuning yang berkilauan, penuh dihiasi
simbol alam dan mitologi. Permata sebesar telur, batu kumala, dan batu berharga
lain dijahitkan pada gaun ini.
Bunga, batu rubi, dan berlian bergantungan dari kepalanya dan menutupi nyaris
separuh dari wajahnya. Kalung emas dan peraknya mestinya berat sekali karena


Empress Orchid Anggrek Ungu Kota Terlarang Karya Anchee Min di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang Mulia Ibu Suri tampak seakan-akan doyong ke depan karena beratnya. Gelang-
gelang disusun padat pada kedua lengannya, mengunci kedua lengan itu tetap di
tempat. Ibu Suri angkat bicara setelah lama sekali mengamati dalam diam. Kerut wajahnya
menari, bahunya terkedik ke belakang seakan terikat pada sebuah tiang.
"Nuharoo," katanya, "dirimu sangat direkomendasikan. Kudengar kau sudah
menyelesaikan pelajaran di bidang Sejarah Rumah Tangga Kekaisaran" Benarkah
itu?" "Benar, Yang Mulia," Nuharoo menyahut dengan penuh kerendahan hati. "Saya
belajar selama beberapa tahun dalam bimbingan guru-guru yang diperkenalkan oleh
paman saya, Adipati Chai."
"Aku kenal Adipati Chai, seorang pria yang sangat berpengetahuan," Ibu Suri
mengangguk. "Dia ahli dalam bidang Buddhisme dan puisi."
"Benar, Yang Mulia."
"Siapa penyair favoritmu, Nuharoo?"
"Li Po, Tu Fu, dan Po Chuyi."
"Dari era akhir Dinasti Tang dan awal Dinasti Sung?"
"Benar, Paduka."
"Mereka juga favoritku. Kau tahu siapa yang mengarang puisi
'Batu Menunggu Suami'?"
"Wang Chien, Yang Mulia."
"Maukah kau membacakan puisi itu untukku?"
Nuharoo bangkit, dan memulai:
Empat Iblis Kali Progo 1 Pendekar Mabuk 025 Naga Pamungkas Perguruan Sejati 7
^