Pencarian

Misteri Kain Kafan Jesus 1

Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro Bagian 1


misteri kain kafan Jesus Konspirasi, Mayat 'Tanpa Lidah',
dan Pencurian di Katedral Turin
MISTERI KAIN KAFAN JESUS Diterjemahkan dari THE BROTHERHOOD OF THE HOLY SHROUD karya Julia Navarro Copyright? 2004, Julia Navarro
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved Hak terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia
ada pada UFUK Publishing House
Pewajah Sampul: Fahmi Ilmansyah
Pewajah Isi: Ahmad Bisri Penerjemah: Meda Satrio & Wawan Eko Yulianto
Penyunting: Haryati Chaerudin
Cetakan I: Desember 2007 ISBN: 979-1238-60-1 UFUK PRESS PT. Cahaya Insan Suci Jl. Warga 23A, Pejaten Barat, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan 12510, Indonesia Phone: 62-21-7976537, 79192366
Homepage: www.ufukpress.com
Blog : http://ufukpress.blogspot.com
Email : info@ufukpress.com
Untuk Fermin dan Alex... karena terkadang mimpi mewujud kenyataan.
Ada dunia-dunia lain, tetapi semua ada di dunia yang satu ini.
PAUL ELUARD 1 30 Masehi Abgar, Raja Edessa, Kepada Yesus Sang Juru Selamat yang baik, yang hadir di Yerusalem,
Salam, Saya telah diberitahu mengenai Anda dan penyembuhan-penyembuhan yang Anda
lakukan tanpa menggunakan obat-obatan maupun ramuan tumbuhan.
Diberitakan bahwa Anda membuat si buta melihat dan si lumpuh berjalan, bahwa
Anda menyembuhkan para penderita kusta, mengusir roh-roh yang tidak bersih dan
setan-setan, serta memulihkan kesehatan orang-orang yang sudah lama sakit, dan,
lebih jauh lagi, bahwa Anda membangkitkan yang sudah mati.
Semua itu, saat sampai di telinga saya, meyakinkan saya akan salah satu dari
dua: bahwa Anda adalah Tuhan sendiri yang turun dari surga dan melakukan semua
hal ini, atau Anda adalah Putra Tuhan.
Oleh karena itulah, saya menulis surat kepada Anda, anda melakukan perjalanan ke
sini dan menyembuhkan penyakit yang menimpa saya.
Sebab saya dengar orang-orang Yahudi mengolok-olok Anda dan berniat jahat pada
Anda. Kota saya memang kecil, namun rapi, dan cukup besar untuk, kita berdua.
Raja meletakkan pena dan mengalihkan pandangannya pada seorang pemuda seusianya,
yang diam menunggu dengan khidmat di ujung terjauh ruangan itu.
"Kau yakin, Josar?" Tatapannya benar-benar langsung dan menusuk.
"Paduka, percayalah padaku..." Pemuda itu hampir tidak bisa menahan diri ketika
berbicara. Dia menghampirinya dan berhenti di dekat meja tempat Abgar menulis.
"Aku percaya padamu, Josar, aku percaya. Kau adalah temanku yang paling setia,
dan begitulah adanya sejak kita masih kanak-kanak.
Kau tidak pernah mengecewakanku, Josar, tetapi keajaiban-keajaiban yang
dikisahkan tentang orang Yahudi ini sangat aneh hingga aku takut keinginanmu
untuk menolongku telah mengacaukan akal sehatmu."
"Paduka, kau harus memercayaiku, karena hanya mereka yang percaya pada orang
Yahudi inilah yang akan diselamatkan. Aku sudah melihat seorang laki-laki buta
yang, ketika Yesus menyentuhkan jemarinya pada mata laki-laki itu, memperoleh
kembali penglihatannya. Aku sudah melihat seorang laki-laki lumpuh, yang kedua kakinya tidak bisa
bergerak, menyentuh pinggiran tunik Yesus dan kulihat Yesus menatap laki-laki
itu dengan ramah dan mengajaknya berjalan. Dan yang membuat semua orang takjub,
laki-laki itu berdiri dan kedua kakinya bisa menahan badannya sebagaimana kedua
kakimu, Paduka, menahan badanmu. Aku sudah melihat seorang perempuan miskin yang
menderita kusta mengamati orang Nazaret ini sambil bersembunyi dalam bayang-
bayang di jalan, karena semua orang menghindarinya, namun Yesus menghampirinya
dan berkata kepadanya, 'Kau sudah sembuh,' dan perempuan itu, masih tidak
percaya, berteriak, 'Aku sembuh, aku sembuh!' Karena memang benar wajahnya
kembali seperti wajah manusia lagi, dan keduatangannya, yang sebelumnya dia
sembunyikan agar tak terlihat, utuh kembali.
"Dan aku sudah melihat dengan dua mataku sendiri keajaiban yang terhebat dari
semuanya, karena ketika aku sedang mengikuti Yesus dan murid-muridnya dan kami
bertemu dengan keluarga yang tengah berkabung atas wafatnya seorang kerabat,
Yesus memasuki rumah mereka dan memerintahkan laki-laki yang sudah meninggal itu
untuk bangkit. Tuhan pastilah ada dalam suara orang Nazaret ini, karena aku
bersumpah kepadamu, Rajaku, bahwa laki-laki itu membuka matanya, dan berdiri,
dan terheran-heran dirinya hidup... "
"Kau benar, Josar, aku harus percaya jika aku ingin sembuh. Aku ingin memercayai
Yesus dan Nazaret ini, yang tentulah Putra Tuhan jika dia bisa membangkitkan
yang sudah mati. Tetapi, maukah dia menyembuhkanseorang raja yang selama ini
menjadi budak hawa nafsu?"
"Abgar, Yesus bukan hanya menyembuhkan tubuh manusia melainkan juga jiwa mereka.
Dia mengajarkan bahwa dengan tobat dan keinginan untuk mulai menjalanihidup yang
bersih dari dosa, seorang manusia bisa mendapat ampunan Tuhan. Para pendosa
menemukan penghiburan dalam diri orang Nazaret ini, Tuanku..."
"Aku sungguh berharap begitu, Josar, meski aku tidak bisa memaafkan diriku
sendiri atas hasratku pada Ania. Perempuan itu telah menimpakan kesengsaraan ini
pada-ku; dia telah membuatku sakit dalam jiwa dan dalam raga."
"Bagaimana mungkin kau tahu, Tuanku, bahwa dia berpenyakit, bahwa hadiah yang
dikirim oleh Raja Tyrus untukmu itu adalah suatu tipu daya" Bagaimana mungkinkau
mencurigai bahwa dia menyimpan benih penyakit dan akan mencemari Anda" Ania
adalah perempuan tercantik yang pernah kita lihat. Setiap laki-laki akan
kehilangan akal sehat dan menyerahkan segenap diri untuk memiliki Ania."
"Tetapi aku ini seorang raja, Josar, dan tidak seharusnya aku kehilangan akal
sehatku, secantik apapun gadis penari itu... Sekarang Ania menangisi
kecantikannya yang sudah hilang karena bercak-bercak penyakit ini muncul di
wajahnya, dan warna putih itu mulai menggerogoti wajahnya. Dan aku, Josar, tak
henti berkeringat, dan penglihatanku mulai kabur, dan di atas segalanya aku
takut bahwa penyakit ini akan memakan kulitku dan membuatku "
Abgar terdiam mendengar suara langkah-langkah kaki yang halus.
Seorang perempuan yang tersenyum, gemulai dengan rambut hitam dan kulit warna
zaitun, masuk. Josar mengaguminya. Ya, Josar mengagumi kesempurnaan raut perempuan itu serta
senyum gembira yang selalu tersungging itu. Lebih dan itu, Josar mengagumi
kesetiaan perempuan itu kepadanya dan fakta bahwa bibir perempuan itu tidak
pernah mengucapkan kecaman sedikit pun kepada pria yang telah dicuri darinya
oleh Ania, si gadis penari dari Kaukasus, perempuan yang telah mencemari
suaminya, sang raja, dengan penyakit yang mengerikan.
Abgar tidak membolehkan dirinya disentuh oleh siapapun karena dia takut akan
menulari semua orang yang bersentuhan dengannya. Dia semakin jarang muncul di
depan umum. Namun, dia tidak sanggup menolak tekad baja sang ratu, yang berkeras
akan merawatnya sendiri dan, bukan hanya itu, yang juga mendorongnya agar
sepenuh hati meyakini kisah yang dibawa Josar mengenai keajaiban-keajaiban yang
dilakukan orang Nazaret itu.
Raja menatap istrinya dengan mata menyorotkan kesedihan.
"Rupanya kau, Sayangku... Aku tadi sedang berbicara dengan Josar tentang orang
Nazaret itu. Josar akan menyampaikan suratku, mengundangnya untuk datang. Aku
telah menawarkan untuk berbagi kerajaan ini dengan Yesus."
"Satu regu pengawal harus mendampingi Josar, untuk memastikan bahwa tidak ada
gangguan apa punselama perjalanan dan juga untuk memastikan bahwa diakembali
dengan selamat bersama orang Nazaret itu." "Aku akan membawa tiga atau empat
orang; kurasa itu cukup,"
ujar Josar. "Orang-orang Romawi tidak percaya pada rakyat mereka dan tidak akan
berkenan melihat sekelompok tentara memasuki kota. Begitu pula Yesus. Aku
berharap, Paduka Ratu, dapat menyelesaikan misiku dan meyakinkan Yesus untuk
kembali bersamaku. Aku akan memakai kuda-kuda yang gesit dan akan mengirim
berita kepadamu dan Paduka Raja bila aku tiba di Yerusalem."
"Aku akan menyelesaikan surat ini, Josar."
"Dan aku akan berangkat saat fajar, Paduka."
2 Api mulai menjilat bangku-bangku jemaat sementara asap bagian tengah gereja
dengan kegelapan. Empat sosok berpakaian hitam bergegas menuju kapel samping.
Orang kelima, yang berpakaian sederhana, berjaga di ambang pintu di dekat altar
utama sambil meremas-remas kedua tangannya. Di luar, lengkingan sirene semakin
keras, truk-truk pemadam kebakaran yang menjawab panggilan alarm. Beberapa detik
lagi pasukan pemadam kebakaran akan menerobos memasuki katedral ini, dan itu
berarti satu kegagalan lagi.
Pria itu cepat turun dari altar, memberi isyarat pada saudara-saudaranya agar
kembali kepadanya. Salah seorang dari mereka terus berlari ke arah kapel,
sementara yang lainnya beringsut mundur menjauhi api yang mulai mengepung
mereka. Waktu sudah habis. Api itu muncul entah dari mana dan membesar lebih
cepat dari yang mereka perhitungkan. Pria itu berusaha begitu keras untuk
menyelesaikan misi mereka sekarang terkungkung lidah-lidah api. Ia berkelejat
ketika api melahap pakaiannya, kulitnya, tetapi entah bagaimana dia menemukan
kekuatan untuk melepas kerudung yang menyembunyikan wajahnya.
Yang lain berusaha meraihnya, mengalahkan lidah-lidah api. Tetapi api ada di
mana-mana dan pintu-pintu katedral mulai lepas karena para pemadam kebakaran
terus merangsek. Saudara mereka terbakar tanpa mengeluarkan satu jeritan pun,
tanpa satu suara pun. Saat itulah mereka mundur dan berlari mengikuti pemandu mereka ke sebuah pintu
samping, dan menyelinap keluar tepat ketika air dari selang pemadam kebakaran
mengguyur katedral. Mereka tidak pernah melihat pria yang bersembunyi dalam
bayang-bayang salah satu mimbar, dengan sepucuk pistol berperedam disisi
badannya. Begitu mereka tidak kelihatan, pria itu turun dari mimbar, menyentuh sebuah
pegas yang tersembunyi di dinding, dan menghilang.
Marco Valoni mengisap rokoknya dalam-dalam, dan asap itu bergabung dalam paru-
parunya dengan asap dari kebakaran. Dia tadi ke luar untuk menghirup udara segar
sementara pasukan pemadam kebakaran menyelesaikan memadamkan bara-bara api yang
masih menyala di dalam dan di sekitar sisi kanan altar utama.
Piazza itu ditutup dengan blokade polisi, dan pasukan carabinieri menghadang
orang-orang yang ingin tahudan prihatin, yang
memanjangkan leher untuk berusaha melihat apa yang terjadi di dalam katedral.
Malam hari ini, kota Turin menjadi kerumunan orang yang sangat penasaran ingin
mengetahui apakah Kafan Suci mengalami kerusakan.
Marco sudah meminta para wartawan yang meliput berita kebakaran untuk mencoba
menenangkan kerumunan orang itu: Kafan Suci masih utuh. Yang tidak ia
beritahukan pada mereka adalah bahwa seseorang meninggal dalam kebakaran. Ia
masih belum tahu siapa orang itu. Satu kebakaran lagi. Kebakaran sepertinya
menjangkiti katedral tua ini. Tetapi Marco tidak percaya pada kebetulan, dan di
Katedral Turin ini sudah terjadi terlalu banyak kecelakaan: percobaan-percobaan
pencurian dan, yang masih hangat dalam ingatan, tiga kebakaran. Dalam kebakaran
pertama, yang terjadi setelah Perang Dunia II,para penyelidik menemukan mayat
dua laki-laki yang hangus oleh api. Otopsi menetapkan bahwa keduanya berusia
sekitar dua puluh lima tahun dan bahwa, meski ada kebakaran, mereka tewas oleh
tembakan senjata. Dan akhirnya, temuan yang sangat mengerikan: Lidah mereka
sudah dipotong lewat pembedahan. Tetapi mengapa" Dan siapa yang menembak mereka"
Tidak seorangpun berhasil menemukan jawaban. Kasus ini masih terbuka, tetapi
sudah terlupakan. Baik mereka yang mengimani maupun masyarakat umum tidak tahu bahwa Kafan Suci
sudah pernah melewatkan periode-periode waktu yang lama di luar katedral selama
seratus tahun terakhir ini. Mungkin itulah sebabnya kain itu selamat dari begitu
banyak kecelakaan. Sebuah ruang penyimpanan dari baja di Banco Nazionale telah menjadi tempat
penyimpanan Kafan Suci. Relik ini dikeluarkan dari tempatnya hanya jika akan
dipajang dalam kesempatan-kesempatan khusus, dan hanya dengan pengamanan yang
paling ketat. Tetapi, meski dengan semua pengamanan itu, Kafan Suci pernah
terpapar pada bahaya-bahaya sungguhan-lebih dari satukali. Baru beberapa hari
yang lalu kain ini dibawa kembalike katedral dalam persiapan acara peresmian
pemugaran besar-besaran. Marco masih ingat kebakaran pada 12 April 1997. Bagaimana dia bisa lupa jika
kebakaran itu terjadi pada malam yang sama-atau esok paginya, ketika dia
merayakan hari pensiunnya bersama rekan-rekannya di DivisiKejahatan Seni.
Waktu itu usianya lima puluh tahun dan dia baru saja menjalani operasi jantung
terbuka. Dua serangan jantung dan satu operasi hidup-atau-mati akhirnya
memaksanya menyimak ketika Giorgio Marchesi, kardiolog yang juga kakak iparnya,
menasihati agar ia mengabdikan diri pada dolce far niente*, atau, paling tidak,
mengambil posisi birokratis yang tenang, jenis pekerjaan yang memungkinkannya
menghabiskan waktu dengan membaca koran dan mengambil jeda untuk menikmati
cappucano dikafe terdekat.
Paola berkeras agar dia pensiun. Istrinya itu memperhalus ancaman dengan
mengingatkan bahwa dia sudah menaiki tangga karier di Divisi Kejahatan Seni ke
tempat tertinggi, dia sudah menjadi kepala divisi itu, dan bahwa dia bisa
mengakhiri kariernya yang gemilang lalu menikmati hidup. Tetapi dia menolak. Dia
lebih suka pergi ke kantor-kantor apa saja, setiap hari daripada berubah menjadi
barang buangan kapal berumur lima puluh tahun yang terdampar di pantai antah
berantah. Kendati begitu, dia tetap mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
Kepala Divisi Kejahatan Seni dan pada malam sebelum kebakaran itu, meski
diprotes oleh Paola dan Giorgio, dia pergi makan malam bersama teman-temannya.
Ketika fajar merekah, mereka masih minum-minum. Orang-orang ini adalah orang-
orang yang sama yang sudah bekerja bersamanya empat belas, lima belas jam sehari
selama dua puluh tahun terakhir ini, melacak mafia-mafia yang memperdagangkan
karya-karya seni, membongkar pemalsuan, dan melindungi, sejauh yang bisa
dilakukan manusia, warisan artistik Italia.
Divisi Kejahatan Seni adalah sebuah badan khusus dibawah Kementerian Dalam
Negeri dan Kementerian Kebudayaan, dan merupakan suatu perpaduan yang unik
antara petugas-petugas kepolisian dan sejumlah besar arkeolog, ahli sejarah,
pakar dalam seni abad pertengahan, seni modern, seni religius... Dia sudah
menyerahkan tahun-tahun terbaik hidupnya bagi divisi ini.
Tidak mudah dia menaiki tangga kesuksesan. Ayahnya dulu bekerja di pompa bensin;
ibunya seorang ibu rumah tangga. Mereka hidup pas-pasan dan dia berhasil masuk
universitas berkat beasiswa. Tetapi ibunya
* nikmatnya tidak melakukan apa-apa.
memohon agar dia mencari pekerjaan yang baik dan aman, bekerja pada pemerintah.
Dan dia menuruti keinginan ibunya itu. Salah seorang teman ayahnya, seorang
polisi yang biasa mengisi bensin di pompa bensin ayahnya, membantunya mendapat
tempat dalam ujian masuk carabinieri.
Marco ikut ujian itu dan lulus. Tetapi dia tidak berbakat menjadi polisi, maka
dia meneruskan kuliah di malam hari, sepulang kerja, dan akhirnya berhasil
mendapat gelar dalam bidang sejarah. Hal pertama yang dia lakukan setelah meraih
gelarnya adalah meminta dipindahkan ke Divisi Kejahatan Seni. Dia menggabungkan
dua keahliannya, sejarah dan pekerjaan polisi, dan sedikit demi sedikit, dengan
bekerja keras dan memanfaatkan berbagai peluang yang menghampirinya, dia menaiki
jenjang-jenjang jabatan hingga ke puncak. Betapa dia menikmati bepergian ke
seluruh Italia, merasakan secara langsung keindahan-keindahan negerinya, dan
mengenal negeri-negeri lain juga sementara kariernya melaju!
Dia berkenalan dengan Paola di Universitas Roma. Saat itu Paola menekuni seni
abad pertengahan. Cinta mereka adalah cinta pada pandangan pertama, dan beberapa
bulan kemudian mereka menikah.
Mereka sudah bersama selama dua puluh lima tahun, mereka punya dua anak, dan
mereka sungguh-sungguh bahagia.


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paola mengajar di universitas dan tidak pernah menunjukkan kekesalan karena
sedikit sekali waktu yang dia lewatkan di rumah. Hanya satu kali mereka pernah
bertengkar hebat. Itu terjadi ketika dia kembali dari Turin musim semi 1997,
setelah kebakaran di katedral, dan memberitahu Paola bahwa dia sama sekali belum
akan pensiun, tetapi tidak usah cemas karena dia akan meninjau kembali batas-
batas pekerjaannya sebagai kepala divisi. Dia akan menangani masalah birokrasi
saja. Dia tidak akan bepergian lagi atau keluar ke lapangan melakukan
investigasi, dia hanya akan menjadi seorang birokrat. Giorgio, dokternya,
menyebutnya gila. Tetapi para laki-laki dan perempuan yang bekerja dengannya
gembira. Kebakaran di katedral itulah yang membuatnya berubah pikiran dan memutuskan
tetap bekerja. Dia yakin bahwa kebakaran itu bukan suatu kecelakaan, tak peduli
sesering apa dia mengatakan begitu pada pers.
Dan di sinilah dia sekarang, menyelidiki satu kebakaran lagi di Katedral Turin.
Belum ada dua tahun yang lalu dia dipanggil untuk menyelidiki percobaan
pencurian,salah satu dari sekian banyak percobaan selama bertahun-tahun ini. Si
pencuri tertangkap hampir secara tak sengaja. Walaupun benar tidak sedang
membawa satu pun barang dari katedral, sudah pasti itu karena di atidak sempat
menyelesaikan rencananya. Karya-karya seni dan benda-benda lain di dekat peti
kafan semuanya berantakan. Seorang pastor yang kebetulan lewat melihat seorang
laki-laki berlari, rupanya karena ketakutan mendengar suara alarm yang lebih
keras daripada lonceng katedral. Pastor itu berlari mengejar sambil berteriak,"
Fermati, ladro! Fermati.'", "Berhenti, Pencuri!
Berhenti!",dan dua pemuda yang sedang lewat menjegal orang itu dan memeganginya
sampai polisi tiba. Pencuri itu tidak punya lidah; lidahnya sudah dipotong lewat
pembedahan. Dia juga tidak punya sidik jari; ujung-ujung jari tangannya hangus
terbakar. Pencuri itu, menurut hasil investigasi, tidak punya negara asal, tidak
punya nama, dan sekarang dia membusuk di penjara Turin. Dia tetap keras kepala
dan tidak tanggap dalam integorasi demi interogasi.Mereka tidak pernah berhasil
mengorek apa pun darinya.
Tidak, Marco tidak percaya pada kebetulan. Bukan kebetulan bahwa semua "pencuri"
di Katedral Turin tidak punya lidah dan sidik jari mereka terbakar. Pola seperti
itu nyaris kocak kalau saja tidak sedemikian janggal.
Sepanjang sejarah, kebakaran selalu membuntuti Kafan Suci. Marco tahu bahwa
selama dalam kepemilikan Keluarga Savoy, kain itu selamat dari beberapa kali
kebakaran. Pada malam dan dini hari tanggal 3 dan 4
Desember 1532, api mulai berkobar di sakristi Sainte Chapelle di Chambery,
tempat Keluarga Savoy menyimpan kafan itu. Pada saat keempat kunci yang menjaga
relik ini berhasil dibuka, peti perak tempat menyimpan kafan, yang dibuat sesuai
pesanan Marguente dan Austria, sudah meleleh, menghanguskan kafan. Yang lebih
buruk, setetes lelehan perak membolongi relik ini.
Pada 1573, Keluarga Savoy menyimpan kafan ini diKatedral Turin, tetapi insiden-
insiden terus berlanjut. Seratus tahun setelah kebakaran 1S32, api kembali
hampir mencapai tempat penyimpanan Kafan Suci. Dua pria tak sengaja terlihat di
kapel, dan keduanya, karena tahu mereka tertangkap basah, melemparkan diri ke
dalam api yang berkobar dan mati terbakar tanpa mengeluarkan suara apa pun,
meski saat-saat menuju kematian mereka penuh siksaan mengerikan. Marco penasaran
apakah mereka punya lidah. Dia tidak akan pernah tahu.
Sejak saat itu, tak ada abad yang terlalui tanpa ada percobaan pencurian atau
kebakaran. Hanya seorang pelaku yang ditangkap hidup-hidup, paling tidak dalam
tahun-tahun terakhir ini- si pencuri yang sekarang berdiam di penjara kota.
Salah seorang anggota tim Marco memotong renungannya.
"Bos, Kardinal ada di sini; dia baru saja tiba dari Roma dan sangat kesal dengan
semua ini. Dia inginmenemuimu."
"Kesal" Aku tidak kaget. Dia sedang mengalami masa sulit, belum sepuluh tahun
yang lalu katedral ini nyaris terbakar habis, dua tahun yang lalu ada percobaan
pencurian, dan sekarang kebakaran lagi."
"Yah, katanya dia menyesal sudah membiarkan dirinya terbujuk melakukan pemugaran
dan bahwa ini terakhir kalinya-katedral ini sudah berdiri di sini selama
ratusantahun, dan sekarang, dengan pekerjaan yang sembarangan dan kecelakaan-
kecelakaan ini, bangunan ini bisa dibilang hancur."
Marco memasuki katedral lewat pintu samping yang dipakai lambang kecil untuk
menunjukkan bahwa itu adalah kantor gereja. Dua perempuan berumur yang berbagi
ruang kantor kelihatan sangat sibuk.
Tiga atau empat pastor mondar-mandir dengan langkah cepat, jelas merasa
terganggu, sementara para agen yang dibawahi Marco keluar masuk, memeriksa
dinding-dinding, mengambil sampel dan foto. Seorang pastor muda, usianya awal
tiga puluhan, mendekati Marco dan mengulurkan tangan. Jabatan tangannya erat.
"Saya Padre Yves."
"Marco Valoni."
"Ya, saya tahu. Silakan ikuti saya, Yang Agung sedang menunggu ingin bertemu
Anda." Pastor itu membuka sebuah pintu berat yang menuju ke sebuah kantor yang luas dan
mewah dengan dinding berpanel kayu gelap.
Lukisan-lukisan di dinding berasal dari masa Renaisans, Madonna, Kristus, orang-
orang suci. Di atas meja tulis terletak sebuah salib perak dengan ukiran Kristus
di atasnya. Marco sadar umur benda itu paling tidak tiga ratus tahun.
Wajah Kardinal yang biasanya ramah sekarang berkabut kekhawatiran.
"Silakan duduk, Signor Valoni."
"Terima kasih, Yang Agung."
"Ceritakan bagaimana kejadiannya. Apakah kita tahu siapa yang mati itu?"
"Kami tidak tahu pasti siapa pria itu atau bagaimana kejadiannya, Sir.
Sepertinya ada hubungan pendek, akibat pemugaran, dan itulah yang menyulut api."
"Lagi!" "Ya, Yang Agung, lagi. Dan jika Anda mengizinkan, saya ingin melakukan
penyelidikan yang mendalam. Kami akan tetap di sini beberapa hari lagi; saya
ingin meneliti setiap inci katedral ini, dan saya beserta orang-orang saya akan
berbicara dengan semua yang ada dalam katedral ini selama beberapa jam dan
beberapa hari terakhir. Saya mengharapkan kerja sama sepenuhnya dari Anda."
"Tentu, Signor, tentu. Kami siap menjawab setiap pertanyaan yang Anda ingin
ajukan, seperti yang sudah kami lakukan sebelumnya.
Selidikilah apa pun dan dimanapun yang Anda rasa perlu. Kejadian ini suatu
malapetaka, sungguh-satu orang tewas, karya-karya seni yang tak tergantikan
terbakar atau rusak tanpa bisa diperbaiki lagi, dan lidah-lidah api itu hampir
mencapai Kafan Suci. Saya tidak tahu akan berbuat apa kita semua jika kain itu
hancur." "Yang Agung, kafan itu..."
"Saya tahu, Signor Valoni, saya tahu yang akan Anda katakan-penarikhan dengan
radiokarbon sudah menetapkan bahwa kafan itu tidak mungkin kain yang dipakai
mengubur Tuhan kita. Tetapi bagi jutaan orang yang mengimani, kain itu otentik,
tak peduli apa yang dikatakan karbon-14, dan Gereja sudah memperbolehkan kain
itu disembah. Dan tentu saja, memang ada beberapa ilmuwan yang tidak bisa
menjelaskan sosok yang kami yakini sebagai Kristus. Selain itu .."
"Maafkan saya, Yang Agung, saya tidak bermaksud mempermasalahkan arti penting Kafan Suci dari segi religi. Kesan yang saya
rasakan ketika pertama kali melihat relik itu sungguh tidak terlupakan, dan
sekarang pun masih membuat saya terkesan."
"Oh. Kalau begitu, apa?"
"Saya tadi ingin bertanya apakah ada yang tidak lazim yang terjadi dalam
beberapa hari terakhir, beberapa bulan terakhir ini, apa saja, tak peduli
seremeh apa hal itu kelihatannya, yang tidak biasa atau yang menarik perhatian
Anda untuk alasan tertentu."
"Wah, tidak ada, sungguh, tidak ada. Setelah kejadian menakutkan dua tahun yang
lalu itu, sewaktu mereka mendobrak masuk dan berusaha mencuri benda-benda dan
altar utama, katedral ini sangat tenang."
"Berpikirlah keras, Sir."
"Apa yang Anda ingin saya pikirkan" Bila saya di Turin, saya menyelenggarakan
Misa di katedral setiap pagi pukul delapan. Hari Minggu pukul dua belas. Saya
melewatkan sebagian waktu saya di Roma.
Tadi, ketika menerima berita kebakaran ini, saya sedang di Vatikan.
Peziarah datang dari seluruh dunia untuk melihat kafan itu-dua minggu yang lalu
serombongan ilmuwan dari Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat datang untuk
melakukan beberapa pengujian dan..."
"Siapa saja mereka?"
"Oh! Sekelompok profesor, semuanya Katolik, yang yakin, terlepas dari semua
penelitian dan keputusan absolut dan penarikhan radiokarbon, bahwa kafan itu
benar yang membalut Kristus saat dikubur."
"Apakah ada dari mereka yang menarik perhatian Anda dalam hal apa saja?"
"Tidak, tidak juga. Mereka saya terima di ruangan saya di istana keuskupan, dan
kami berbicara sekitar satu jam. Saya minta disiapkan makan siang ringan. Mereka
menyampaikan kepada saya beberapa teori mengenai mengapa mereka yakin penelitian
radiokarbon itu tidak sepenuhnya bisa diandalkan... Selain itu hampir tidak ada
masalah lain." "Apakah ada dan profesor-profesor ini yang kelihatan berbeda dari yang lainnya"
Lebih ingin tahu, lebih agresif... ?"
" Signor Valoni, sudah bertahun-tahun saya menerima ilmuwan yang meneliti kafan
itu; Gereja bersikap sangat terbuka dan memberi mereka akses yang sangat luas.
Profesor-profesor kemarin itu sangat menyenangkan, sangat 'ramah,' boleh
dibilang begitu; hanya seorang dari mereka, Dr. Bolard, yang tampak lebih
menahan diri, lebih pendiam dibandingkan rekan-rekannya, tetapi saya
menghubungkan sikapnya itu dengan fakta bahwa dia gugup bila ada pekerjaan di
katedral." "Mengapa begitu?"
"Bukan main pertanyaan Anda ini, Signor Valoni! Karena Profesor Bolard sudah
bertahun-tahun membantu kami dalam konservasi Kafan Suci dan dia takut,
danternyata memang selayaknya dia takut, bahwa kami mungkin memaparkan kain itu
pada risiko yang tidak perlu. Sudah lama saya mengenalnya; dia ilmuwan yang
serius dan tekun, seorang cendekiawan yang termasyhur keseluruh dunia, dan
seorang Katolik yang taat." "Seberapa sering dia ke sini?"
"Oh, tak terhitung. Seperti yang saya katakan, dia bekerja dengan Gereja dalam
konservasi Kafan Suci. Dia sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya kami,
sebenarnya, hingga bila ada ilmuwan-ilmuwan lain yang datang untuk mempelajari
kain itu, sering kali kami memanggilnya supaya dia dapat memastikan bahwa kain
itu tidak terancam kerusakan apa pun. Kami juga punya arsip tentang semua
ilmuwan yang pernah mengunjungi kami, yang sudah meneliti kafan itu, orang-orang
dariNASA, orang Rusia itu siapa, ya, namanya" Saya lupa...Yah, dari semua
ilmuwan terkenal itu, Barnett, Hynek,Tamburelli, Tite, Gonella, semuanya. Oh,
dan Walter McCrone, ilmuwan pertama yang bersikukuh bahwa kafan itu bukan kain
yang membungkus Kristus sewaktu dikubur. Beliau baru meninggal beberapa bulan
yang lalu, semogaTuhan menenangkan arwahnya."
"Saya ingin tahu tanggal-tanggal Dr. Bolard ini berada di sini dan saya ingin
mendapat daftar yang memerinci semua tim ilmuwan yang pernah melakukan
penelitian tentang Kafan Suci dalam tahun-tahun belakangan, ditambah tanggal
mereka berada di Turin. Anda juga boleh memasukkan kelompok-kelompok lain yang
mungkin layak diperhatikan."
"Seberapa jauh kita harus mundur?" tanya Kardinal.
"Dua puluh tahun terakhir, jika mungkin."
"Astaga! Sebenarnya apa yang Anda cari?"
"Saya tidak tahu, Yang Agung, saya tidak tahu."
Kardinal menatapnya lekat-lekat. "Sudah lama Anda bersikeras bahwa kafan itu
entah bagaimana berkaitan dengan semua kecelakaan ini, bahwa kafan itulah
sasaran di balik semuanya, tetapi saya, Signor Valoni yang saya hormati, tidak
bisa memercayai itu. Siapa yang ingin menghancurkan Kafan Suci" Dan mengapa"
Sedangkan percobaan-percobaan pencurian itu, Anda tahu bahwa banyak sekali karya
seni dalam katedral ini yang tak ternilai harganya, dan ada banyak orang yang
tak punya nurani dan tidak punya rasa hormat bahkan untuk rumah Tuhan."
"Anda benar, saya yakin itu, Yang Agung, tetapi Anda harus mengakui bahwa semua
kejadian ini tidak mungkin hanya peristiwa-peristiwa acak yang tidak
berhubungan, mengingat ganjilnya keadaan, berulangnya keterlibatan pria-pria
yang termutilasi ini. Ini tentu semacam upaya yang berkesinambungan, dan bagi
saya tampaknya hanya suatu benda yang amat sangat terkenal sajalah, seperti
Kafan Suci, yang mungkin berada di titik pusatnya."
"Ya, tentu saja itu mengganggu, seperti yang Anda katakan, dan Gereja sangat,
sangat, prihatin. Sebenarnya, saya sudah beberapa kali pergi menengok orang
malang yang mencoba merampok kami dua tahun yangl alu itu. Dia duduk di sana di
hadapan saya dan tidak memberi respons apa pun juga, seolah dia tidak mengerti
sepatah kata pun yang saya ucapkan."
Marco merasa bahwa tidak akan ada lagi informasi konkret darinya, maka dengan
halus ia mencoba membelokkan diskusi itu kembali ke informasi yang dia butuhkan.
"Jadi, Yang Agung, bisakah Anda meminta daftar itu disiapkan untuk saya" Ini
hanya prosedur rutin, tetapi saya harus menindaklanjuti."
"Ya, tentu saja, saya akan memberitahu sekretaris saya, pastor muda yang tadi
mengantar Anda, untuk mengumpulkan bahan-bahan itu secepat mungkin. Padre Yves
sangat efisien; sudah tujuh bulan dia ikut saya, sejak asisten saya sebelumnya
meninggal dunia, dan saya harus mengatakan bahwa kehadirannya sungguh suatu
berkah. Dia pandai, bijak, mengabdi, dia bisa berbicara dalam beberapa bahasa...
" "Dia orang Prancis?"
"Ya, benar, tetapi bahasa Italianya, seperti yang sudah Anda lihat, sempurna;
dia bisa berbicara dalam bahasa Inggris, Jerman, Ibrani, Arab, dia bisa membaca
tulisan Aramaik... "
"Dan siapa yang merekomendasikan dia kepada Anda, Yang Agung?"
"Teman baik saya, asisten penjabat Sekretaris Muda Negara untuk Vatikan,
Monsinyur Aubry, seorang pria yang luar biasa."
Terlintas dalam pikiran Marco bahwa sebagian besar pejabat Gereja yang
dikenalnya adalah orang-orangluar biasa, terutama yang bergerak di Vatikan.
Tetapi dia tetap diam sembari memandangi Kardinal, seorang pria yang baik,
pikirnya, yang lebih bijak dan lebih pandai daripada yang kadang dia perlihatkan
kepada orang-orang, dan sangat lihai berdiplomasi.
Sang kardinal mengangkat telepon dan meminta Padre Yves masuk.
Hampir seketika itu juga si pastor muda muncul di pintu.
"Masuklah, Padre, masuklah. Kau sudah berkenalan dengan teman baik saya, Signor
Valoni. Dia meminta kita menyiapkan daftar semua delegasi ilmiah dan kelompok-
kelompok penting lainnya yang pernah mengunjungi Kafan Suci dalam dua puluh
tahun terakhir dan kapan mereka berada di sini. Bisa kau mulai mengerjakan itu"
Dia ingin secepatnya."
Padre Yves menatap Marco sejenak sebelum bertanya, "Maafkan saya, Signor Valoni,
tetapi bisakah Anda beritahu saya apa sebenarnya yang Anda cari?"
"Padre Yves, bahkan Signor Valoni pun tidak tahu apa yang dia cari, tetapi dia
ingin nama semua orangyang punya hubungan apa pun dengan kafan itu sepanjang dua
puluh tahun terakhir ini, dan kita akan menyediakan informasi itu untuknya."
"Tentu, Yang Agung. Saya akan berusaha menyiapkan sesegera mungkin, meski dengan
semua kehebohan ini tentu tidak mudah. Saya sendiri yang akan memeriksa arsip-
arsip. Jalan kami masih jauh dalam mengomputerisasi arsip-arsip itu."
"Jangan khawatir, Padre," tanggap Valoni, "Saya bisa menunggu beberapa hari,
tetapi semakin cepat Anda bisa mengumpulkan informasi itu semakin baik."
"Yang Agung, boleh saya bertanya apa hubungan Kafan Suci dengan kebakaran ini?"
"Ah! Padre Yves, sudah bertahun-tahun saya menanyakan pertanyaan yang sama
kepada Signor Valoni. Setiap kali hal seperti ini terjadi, dia bersikeras bahwa
sasarannya adalah kafan itu."
"Oh Tuhan, Kafan Suci!"
Marco memerhatikan Padre Yves. Pastor itu tidak kelihatan seperti seorang
pastor, atau paling tidak sebagian besar pastor yang Marco kenal, dan karena
tinggal di Roma berarti banyak yang dia kenal. Padre Yves bertubuh tinggi, cukup
tampan, atletis; kemungkinan besar dia bermain olah raga tertentu secara
teratur. Tidak ada kesan lembut yang biasa timbul dari perpaduan antara kesucian
dan makanan yang baik-perpaduan yang banyak diikuti oleh masyakarat pastor.
Seandainya Padre Yves tidak mengenakan kerah pendetanya, penampilannya akan
seperti salah seorang eksekutif yang berlatih di gym setiap pagi dan bermain
skuas atau tenis setiap akhir pekan.
"Ya, Padre," sang kardinal sedang berbicara, "kafan itu. Tetapi untunglah Tuhan
melindungi. Kain itu tidak pernah rusak parah."
"Saya hanya berusaha menindaklanjuti apa saja yang mungkin bisa menjelaskan
kejadian-kejadian selamaini," Marco meyakinkan mereka,


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"dan mengejar semua hal yang tidak jelas. Sudah terlalu banyak insiden yang
berkaitan dengan katedral ini. Sudah waktunya semua itu berhenti.
Ini kartu nama dan nomor ponsel saya, Padre. Beritahu saya bila Anda sudah
memegang daftar itu, dan jika Anda teringat apa pun yang bisa membantu kami
dalam investigasi ini, tolong telepon saya, kapan saja."
"Ya, tentu saja, Signor Valoni. Tentu," pastor muda itu meyakinkannya.
Ponsel Marco berbunyi saat ia meninggalkan kantor katedral.
Keputusan sang koroner singkat saja: Orang yang tewas itu adalah laki-laki
berusia sekitar tiga puluh tahun, tinggi badan rata-rata, seratus tujuh puluh,
seratus tujuh puluh tiga, kurus. Dan tidak, tidak ada lidah.
"Kau yakin?" "Seyakin yang aku bisa dengan mayat yang sudah berubah jadi arang. Mayat itu
tidak punya lidah, dan itu bukan karena kebakaran, lidahnya dibuang lewat
pembedahan. Jangan tanya kapan, karena dengan keadaan mayat seperti ini hal itu
sukar ditentukan." "Ada lagi lainnya?"
"Laporan lengkapnya akan kukirim. Aku menelepon begitu selesai otopsi."
"Aku akan mampir dan mengambil laporan itu, kalau kau tidak berkeberatan."
"Datang saja dan ambil. Aku akan ada di sini seharian."
Kembali di markas besar carabinieri Turin, tempat unit Kejahatan Seni membuka
sebuah kantor kecil, Marco menemui salah seorang anak buah seniornya.
"Oke, Giuseppe, sejauh ini apa yang kita punya?"
"Pertama-tama, tidak ada benda yang hilang. Mereka tidak mencuri apa pun.
Antonio dan Sofia boleh dibilang sudah melakukan inventarisasi menyeluruh,
lukisan, tempat lilin, patung, semua. Semuanya ada di sana, meski beberapa benda
rusak oleh asap atau air dengan tingkat kerusakan yang bermacam-macam. Api
menghabiskan mimbar di sebelah kanan dan bangku-bangku jemaat, dan yang tersisa
dan patung Perawan Maria karya abad ke-enam belas hanyalah abunya. Pietro sedang
mewawancarai orang-orang yang saat itu sedang mengerjakan instalasi listrik yang
baru; api rupanya dimulai dari hubungan pendek."
"Hubungan pendek lagi."
"Ya, seperti kebakaran 1997. Dia juga sudah berbicara dengan perusahaan yang
bertanggung jawab atas pekerjaan pemugaran, dan dia meminta Minerva untuk
memanfaatkan komputernya dan mencari tahu semua yang bisa diketahui tentang para
pemilik perusahaan itu, juga tentang para pekerja. Sebagian dari mereka adalah
imigran, dan pasti sulit mengorek informasi apa pun dari mereka, tetapi Minerva
akan berusaha." Giuseppe berhenti sejenak dan menatap atasannya.
"Dan aku sudah memintanya mencari informasi apakah ada sekte tertentu yang
memotong lidah para pengikutnya. Aku tahu mungkin ini terlalu jauh, tetapi kita
harus mencari ke segala arah, bukan" Dan Minervalah yang genius dalam urusan
seperti ini." Ketika Marco mengangguk setelah beberapa saat, Giuseppe melanjutkan.
"Sedangkan Pietro dan aku sendiri sudah mewawancarai semua orang dalam staf.
Tidak ada seorang pun didalam katedral waktu api berawal. Pada pukul tiga
katedral selalu ditutup, karena saat itulah mereka semua makan siang."
"Kita punya mayat satu orang. Apa dia bekerja sendirian?"
"Kami tidak yakin, tetapi kami rasa tidak. Sukar sekali bekerja sendirian
mempersiapkan dan melaksanakan pencurian besar di Katedral Turin, kecuali kalau
ini pekerjaan bayaran, seseorang membayar pencuri untuk masuk dan mengambil
benda seni tertentu."
"Tetapi kalau dia tidak sendirian, mana yang lainnya?"
Giuseppe tidak menjawab dan Marco terdiam. Dia punya firasat buruk mengenai
kebakaran ini, dan sebaga ibuktinya adalah perasaan kosong dalam perutnya. Paola
pernah berkata bahwa dia terobsesi dengan kafan itu, dan mungkin Paola benar.
Dia selalu merasa masih ada lebih banyak lagi yang bisa diungkap dari peristiwa-
peristiwa periodik di Turin ini daripada yang sudah berhasil mereka ungkap,
sesuatu "di bawah sana" yang menghubungkan semua peristiwa itu. Faktor janggal
adanya orang-orang yang dimutilasi itu hanya puncak gunung esnya. Dia yakin dia
melewatkan sesuatu, bahwa ada seutas benang yang bisa diikuti ke suatu tempat,
dan bahwa jika dia bisa menemukan benang itu, dia akan menemukan jawaban. Dia
memutuskan untuk pergi ke penjara kota Turin dan mengunjungi si pelaku kejahatan
dari insiden yang terakhir. Selama ini mereka tidak berhasil menemukan
keterangan apa pun tentang orangitu; mereka bahkan tidak yakin orang itu orang
Italia. Dua tahun yang lalu Marco menyerahkan laki-laki itu kepada carabinieri
setelah berminggu-minggu melakukan interogasi yang sia-sia. Tetapi hanya si Bisu
itulah petunjukyang mereka punya, dan seperti orang idiot dia sudah mengabaikan
orang itu. Sambil menyalakan sebatang rokok lagi, Marco memutuskan untuk menghubungi John
Barry, atase kebudayaan di kedutaan besar Amerika Serikat. John sebenarnya
anggota CIA, seperti hampir semua atase kebudayaan di kedutaan-kedutaan besar di
seluruh dunia. Sepertinya pemerintah tidak punya imajinasi yang luas dalam
urusan mencari samaran untuk agen-agen mereka. Betapapun, Barry orang baik. Dia
bukan orang lapangan; dia bekerja untuk Badan Penilaian Intelijen CIA,
menganalisis dan menafsirkan data intelijen yang diterima dari agen-agen
lapangan sebelum data itu dikirim ke Washington. Mereka berdua sudah bertahun-
tahun berteman, suatu pertemanan yang terbentuk melalui pekerjaan, karena banyak
benda seni yang dicuri oleh mafia-mafia seni berakhir di tangan orang-orang kaya
Amerika yang, kadang karena mereka tergila-gila pada karya tertentu, didasari
kecongkakan atau keinginan memperoleh uang secara cepat, tidak terusik nuraninya
dengan membelikarya seni curian. Sungguh suatu wilayah yang gelap dalam
perdagangan internasional, tempat banyak sekali kepentingan sering kali
bersilangan. Barry tidak sesuai dengan citra stereotipe orang Amerika atau agen CIA. Usianya
lima puluh sekian, seperti Marco, dan punya gelar doktor dalam bidang sejarah
seni dan Harvard. Dia mencintai Eropa dan menikahi seorang arkeolog Inggris,
Lisa, perempuan yang ramah dan menawan. Tidak cantik, Marco harus mengakui,
tetapi sangat penuh semangat hingga memancarkan antusiasme dan karisma. Lisa
langsung cocok dengan Paola, maka mereka berempat sekali-sekali makan malam
bersama dan bahkan menghabiskan akhir pekan bersama di Capri.
Ya, dia akan menelepon John begitu dia kembali keRoma. Tetapi dia juga akan
menelepon Santiago Jimenez, wakil Europol di Italia, orang Spanyol yang efisien
dan sangat menyenangkan yang juga punya hubungan kerja yang sangat baik dengan
Marco. Dia akan mengajak mereka makan siang. Dan mungkin, pikirnya, mereka bisa
membantunya dalam pencarian ini, meski dia tidak begitu yakin apa yang dia cari.
3 Akhirnya, mata Josar menatap tembok-tembok kotaYerusalem. Cerahnya sinar
matahari di kala fajar serta pantulan sinar itu di pasir gurun membuat batu-batu
tembok tampak berkerlip dalam kabut keemasan.
Bersama empat orang pengawalnya, Josar terus berkuda ke arah Gerbang Damaskus.
Sepagi ini orang-orang yang tinggal di dekat kota sudah mulai memasuki kota dan
karavan-karavan yang mencari garam mulai bergerak keluar menuju gurun.
Satu peleton tentara Romawi, dengan berjalan kaki, sedang berpatroli
mengelilingi tembok kota.
Betapa rindunya Josar ingin bertemu Yesus, dengan sosoknya yang luar biasa
memancarkan kekuatan, kera-mahan, ketegasan, dan kesalehan yang mendalam.
Dia percaya pada Yesus, percaya bahwa Yesus adalah Putra Tuhan, bukan hanya
karena keajaiban-keajaiban yang sudah dia saksikan tetapi juga karena, ketika
mata Yesus menatapnya, dia bisa merasakan sesuatu yang lebih tinggi daripada
manusia di dalam mata itu. Dia tahu bahwa Yesus bisa melihat menembus dirinya,
bahwa pikiran yang paling remeh dan paling tersembunyipun tidak mungkin
terlewatkan. Tetapi Yesus tidak membuat Josar malu akan keadaan dirinya, karena
mata orang Nazaret itu sarat dengan pengertian dan pengampunan.
Josar mencintai Abgar, rajanya, yang selalu memperlakukannya sebagai saudara.
Harta dan kekayaannya semua pemberian sang raja.
Namun, Josar sudah memutuskan bahwa jika Yesus tidak menerima undangan Abgar
untuk datang ke Edessa, dia akan menghadap rajanya dan meminta izin untuk
kembali ke Yerusalem dan mengikuti orang Nazaret ini. Dia sudah siap untuk
melepas rumahnya, kekayaannya, kenyamanan dan kesejahteraan duniawinya. Dia akan
mengikuti Yesus dan berusaha hidup sesuai dengan ajaran Yesus. Ya, dia sudah
sampai pada keputusan itu.
Josar pergi ke rumah Samuel, orang yang dengan bayaran beberapa koin bersedia
merawat kuda dan menyediakan tempat bermalam bagi Josar dan rombongannya. Begitu
mereka siap di sana, Josar akan pergike jalan-jalan dan mencari Yesus. Dia akan
pergi kerumah Markus, atau Lukas, karena mereka tentu bisa memberitahukan di
mana Yesus berada. Tentu tidak mudah meyakinkan Yesus untuk menempuh perjalanan
ke Edessa, tetapi Josar akan mengajukan alasan bahwa perjalanan itu singkat, dan
begitu rajanya sembuh, Yesus bisa kembali seandainya Ia memutuskan untuk tidak
menetap di Edessa. Setelah meninggalkan rumah Samuel untuk mencari Markus, Josar membeli dua buah
apel dari seorang laki-laki cacat dan menanyakan kabar terbaru di kota kepada
laki-laki itu. "Bagaimana sangkamu, Orang Asing" Setiap hari matahari terbit di timur dan
tenggelam di barat. Orang-orang Romawi, kau bukan orang Romawi, ya" Bukan, kau
tidak berpakaian seperti mereka atau berbicara seperti mereka. Orang-orang
Romawi sudah menaikkan pajak, demi kejayaan sang kaisar, dan sekarang Pilatus
sang gubernur takut akan terjadi pemberontakan. Karenanya dia berusaha mencari
dukungan imam-imam di kuil."
"Apa yang kauketahui tentang Yesus, orang Nazaret itu?"
"Oh! Kau juga ingin tahu tentang dia! Kau bukan mata-mata, kan?"
"Bukan, Temanku yang baik, aku bukan mata-mata. Aku hanya seorang pengelana yang
tahu tentang keajaiban-keajaiban yang dilakukan orang Nazaret ini."
"Kalau kau sakit, dia bisa menyembuhkanmu. Banyak orang yang mengatakan mereka
sudah disembuhkan oleh sentuhan jari-jari orang Nazaret ini."
"Dan kau tidak percaya?"
"Aku, Tuan, bekerja sejak matahari terbit hingga terbit lagi, merawat kebunku
dan menjual apelku. Aku punya seorang istri dan dua putri yang harus kuberi
makan. Aku mematuhi semua aturan yang harus dipatuhi seorang Yahudi yang baik,
dan aku percaya pada Tuhan. Apakah orang Nazaret ini sang Mesias, seperti yang
dikatakan orang-orang, aku tidak tahu, aku tidak bisa mengatakan dialah
orangnya, dan aku tidak bisa mengatakan bukan dia orangnya. Tetapi akan
kukatakan padamu, Orang Asing, bahwa para imam, juga orang-orang Romawi,
memusuhinya, karena Yesus tidak takut pada kekuasaan mereka dan dia menentang
mereka. Tidak ada orang yang bisa melawan orang-orang Romawi dan para imam
sambil mengharapkan kebaikan dan perlawanan itu. Si Yesus ini, menurutku, akan
menyesali kesombongannya."
Josar berjalan melintasi kota hingga ia tiba di rumah Markus. Di sana dia
diberitahu bahwa dia dapat menemukan Yesus di sebelah tembok selatan, sedang
berkhotbah kepada sekelompok besar orang.
Josar segera menemukannya. Orang Nazaret itu,yang mengenakan jubah linen
sederhana, sedang berbicara kepada pengikut-pengikutnya dengan suara yang tegas
namun sangat merdu. Dia merasakan tatapan Yesus singgah padanya. Yesus pernah melihat Josar, dia
tersenyum kepada Josar dan melambaikan tangan memanggilnya
agar mendekat. Yesus memeluknya dan mempersilakannya duduk di sana di sampingnya. Yohanes, yang termuda dari para
murid, bergeser agar Josar bisa duduk di sebelah kiri sang Guru.
Di sanalah mereka melewatkan pagi itu, dan ketik amatahari mencapai titik
tertinggi di langit, Yudas, salah seorang murid, membawakan roti, buah ara, dan
air bagi kelompok itu. Mereka makan dalam keheningan dan kedamaian. Lalu Yesus
berdiri untuk pergi. "Tuanku," ujar Josar halus, "aku membawa surat untukmu dari rajaku, Abgar dari
Edessa." "Dan apa yang diinginkan Abgar dariku, Josar yang baik?"
"Dia sakit, Tuanku, dan memohon agar kau menolongnya. Aku, pun, meminta
kesediaanmu, Tuanku, karena dia orang baik, sungguh, dan seorang raja yang baik,
dan rakyatnya tahu bahwa dia adil dan tulus.
Edessa adalah sebuah kota kecil tetapi Abgar bersedia berbagi kotanya denganmu."
Yesus meletakkan tangannya pada lengan Josar selagi mereka berjalan. Dan Josar
merasa istimewa berada didekat orang yang sungguh dia yakini sebagai Putra
Tuhan. "Aku akan membaca surat ini dan menjawab rajamu."
Malam itu Josar bersantap bersama Yesus dan murid-muridnya, yang gelisah akibat
berita tentang meningkatnya kebencian para imam.
Seorang perempuan, Maria Magdalena, mendengar di pasar bahwa para pendeta
mendesak orang-orang Romawi untuk menangkap Yesus, yang mereka tuduh sebagai
penghasut terjadinya gangguan-gangguan tertentu, termasuk yang keji, terhadap
kekuasaan Roma. Yesus mendengarkan sambil berdiam diri dan makan dengan tenang. Tampaknya semua
masalah yang dibicarakan itu sudah ia ketahui. Setelah selesai makan, ia
mengatakan pada mereka bahwa mereka harus memaafkan orang-orang yang menyakiti
mereka atau berbicara menentang mereka, bahwa mereka harus menunjukkan belas
kasih kepada orang-orang yang berniat buruk pada mereka. Para murid menjawab
bahwa tidaklah mudah memaafkan orang yang menyakiti orang lain, untuk bersika
ppasif tanpa membalas keburukan dengan keburukan. Yesus mendengarkan, tetapi
kembali ia mengemukakan bahwa memaafkan adalah obat penyembuh bagi jiwa orang
yang disakiti. Di penghujung malam itu, Yesus mencari Josar dengan matanya dan melambai
memanggil agar Josar mendekat. Josar melihat bahwa orang Nazaret ini memegang
sepucuk surat. "Josar, ini jawabanku untuk Abgar."
"Apakah kau akan ikut bersamaku, Tuanku?"
"Tidak, aku tidak akan ikut denganmu. Aku tidak bisa, karena aku harus
melaksanakan tugas Bapaku seperti yang telah diperintahkan kepadaku. Sebagai
gantinya, aku akan mengirim salah seorang muridku.
Tetapi, dengarkan aku baik-baik, Josar, rajamu akan melihatku di Edessa, dan
jika dia beriman, dia akan sembuh."
"Siapa yang akan kau kirim" Dan bagaimana mungkin, Tuanku, bahwa kau tetap di
sini tetapi Abgar melihatmu di Edessa?"
Yesus tersenyum dan menatap Josar dengan tenang namun tajam.
"Apa kau tidak mengerti perkataanku" Apa kau tida kmendengarku"
Kau harus pergi, Josar, dan rajamu akan sembuh, dia akan melihatku di Edessa
meski di saat aku sudah tidak lagi di dunia ini."
Josar percaya. Sinar matahari tercurah masuk melalui jendela kecil di kamar tempat Josar duduk,
menulis surat untuk Abgar. Si pengurus penginapan sibuk mondar-mandir,
menyiapkan makanan untuk rombongan Josar.
Josar kepada Abgar Raja Edessa,
Salam, Paduka, pengawal-pengawalku ini membawakan untukmu jawaban si orang Nazaret. Aku
memohon kepadamu, Tuanku, agar memiliki keyakinan karena Yesus berkata bahwa kau
akan sembuh. Aku tahu dia akan menunjukkan keajaiban itu tetapi jangan tanya aku
bagaimana atau kapan dia akan melakukannya.
Aku mohon perkenanmu, Rajaku, untukku tetap di Yerusalem dekat dengan Yesus.
Hatiku berkata bahwa aku harus tetap di sini. Aku merasa perlu mendengarkan
suara-nya mengikutinya sebagai yang paling rendah di antara murid muridnya.
Semua yang kumiliki kaulah yang memberikan kepadaku dan karena itu, Paduka,
berlakulah menurut kehendakmu dengan harta milikku, rumahku, budak-budakku, jika
kau rasa pantas berikanlah kepada orang-orang yang papa dan membutuhkan. Aku
akan tetap di sini dan untuk, mengikuti Yesus. Aku hampir tidak, membutuhkan apa
pun. Aku juga merasa bahwa sesuatu akan terjadi karena para imam di kuil
menghina Yesus karena dia menyebut diri Putra Tuhan dan karena dia hidup sesuai
dengan hukum Yahudi sementara para imam itu sendiri tidak.
Aku memohon kepadamu, Paduka, pengertianmu dan perkenanmu untukku melangkah
mengikuti takdirku Abgar membaca surat Josar dan dirundung perasaan sedih. Orang Yahudi itu tidak
akan datang ke Edessa danJosar akan tetap di Yerusalem.
Orang-orang yang mendampingi Josar telah menempuh perjalanan tanpa istirahat
untuk menyampaikan kedua surat itu kepada sang raja.
Mula-mula Abgar membaca surat Josar dan sekarang ia akan membaca surat Yesus,
tetapi hatinya sudah melepas seluruh harapan, sekarang dia tidak terlalu peduli
lagi apa yang ditulis orang Nazaret itu untuknya.
Ratu memasuki kamar, matanya penuh kecemasan.
"Aku dengar sudah datang berita dari Josar."
"Benar. Orang Yahudi itu tidak akan datang. Josar meminta izinku untuk tetap di
Yerusalem. Dia ingin aku membagi-bagikan hartanya kepada kaum miskin. Dia sudah


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi murid Yesus."
"Jika demikian, apakah orang itu begitu luar biasanya hingga Josar mau
meninggalkan segalanya demi mengikutinya" Betapa ingin aku mengenal orang itu!"
"Kau juga akan meninggalkan aku?"
"Paduka, kau tahu aku tidak akan begitu, tetapi aku sungguh percaya bahwa Yesus
adalah Tuhan. Apa yang dia tulis dalam suratnya?"
"Aku belum membuka segel suratnya; tunggu, akan kubacakan untukmu."
Berkah atasmu, Abgar, karena kau sudah memercayaiku, orang yang belum pernah
kautemui. Mengenai diriku sudah tertulis: mereka yang sudah melihatku tidak akan percaya
padaku, agar mereka yang belum pernah melihatku dapat memercayai, dan
terberkati, dan hidup. Sedangkan mengenai bantuan yang kauminta dariku, agar aku datang menemuimu untuk
berada di sisimu, aku harus tetap di sini dan melaksanakan semua hal yang
menjadi tujuan aku diutus, supaya setelah selesai nanti aku bisa kembali pada
Dia yang telah mengutusku.
Tetapi setelah kebangkitanku, setelah aku kembali kepada-Nya, aku akan mengutus
salah seorang muridku, yang akan menyembuhkan penyakitmu dan memberi kehidupan
kepada dirimu dan semua yang bersamamu.
"Rajaku, orang Yahudi itu akan menyembuhkanmu."
"Bagaimana kau bisa yakin?"
"Kau harus percaya. Kita harus percaya dan berkeyakinan dan menunggu."
"Menunggu" Apa kau tidak lihat bagaimana penyakit ini menggerogotiku" Setiap
hari aku merasa semakin lemah, dan sebentar lagi aku tidak akan sanggup
memperlihatkan diriku bahkan kepadamu.
Aku tahu rakyatku berbisik-bisik dan bahwa musuh-musuhku sedang menunggu, dan
bahkan ada yang membisiki Maanu, putra kita, bahwa dia akan segera jadi raja."
"Waktumu belum tiba, Abgar. Aku tahu itu."
4 Sofia Galloni, sambil duduk di sebuah meja di kantor kejahatan seni di markas
carabinieri turin, sedang berbicara di telepon dengan spesialis komputer unit
itu di Roma. "Marco sedang tidak di sini, Minerva. Dia tadi berangkat pagi-pagi dan pergi ke
katedral. Katanya dia akan di sana hampir sepanjang hari ini."
"Ponselnya mati, yang kudapat hanya voice mailnya."
"Dia benar-benar tenggelam dalam kasus ini. Kau tahu sudah bertahun-tahun dia
mengatakan bahwa seseorang ingin menghancurkan kafan itu. Kadang-kadang aku
bahkan merasa dia benar. Dengan semua katedral dan gereja di Italia, sepertinya
satu-satunya yang pernah kena musibah hanya katedral Turin, begitu banyak
'kecelakaan' sampai-sampai siapa pun bisa curiga. Lalu orang-orang dengan lidah
dipotong ini. Maksudku, mengerikan,kan?"
"Giuseppe memintaku mencari informasi tentang sekte-sekte keagamaan, untuk
melihat apakah ada yang memang senang melakukan hal macam itu. Marco juga
meneleponku soal itu. Katakan pada mereka aku belum dapat apa-apa. Satu-satunya
yang berhasil kutemukan sejauh ini adalah bahwa perusahaan yang ditunjuk untuk
melakukan pemugaran sudah lama beroperasi di Turin lebih dari empat puluh tahun
dan mereka selalu punya banyak pekerjaan. Klien terbesar mereka adalah Gereja.
Belum lama ini mereka memperbaiki sistem kelistrikan disebagian besar biara dan
gereja di daerah itu, dan mereka bahkan merombak tempat kediaman kardinal.
Perusahaan ini berbentuk korporasi, tetapi, salah satu pemegang sahamnya adalah
pengusaha besar dia punya beberapa perusahaan pesawat terbang, perusahaan
kimia... Untuk dia, bisnis pemugaran ini hanya peccato minuto."
"Siapa dia?" "Aku yakin kau pernah dengar. Umberto D'Alaqua. Dia selalu muncul di halaman
bisnis. Benar-benar orang yang piawai dalam bidang keuangan yang perhatikan ini
juga pemilik sebagian besar saham perusahaan yang memasang kabel listrik dan
pipa air, pokoknya urusan saluran air. Tetapi itu belum semua; dia juga pemegang
saham di perusahaan-perusahaan lain yang berumur pendek tapi pada suatu saat
pernah punya hubungan dengan katedral di Turin. Ingat kebakaran-kebakaran lain
sebelum '97, September '83, misalnya, persis sebelum Keluarga Savoy menyerahkan
kafan itu ke Vatikan" Musim panas itu Gereja mulai membersihkan bagian muka
katedral, dan menara tertutup perancah. Tidak ada yang tahu bagaimana
kejadiannya, tetapi api mulai berkobar. D'Alaqua juga pemilik perusahaan yang
mengerjakan pembersihan itu. Dan ingat waktu pipa-pipa pecah di plaza katedral
gara-gara ada pekerjaan perbaikan keramik lantai, dan semua jalan di sekitarnya
jadi terendam" Nah, D'Alaqua juga memiliki sebagian besar saham dalam perusahaan
keramik itu." "Sebaiknya kita jangan gegabah mengambil kesimpulan," ujar Sofia. "Tidak ada
anehnya kalau seseorang memiliki saham di beberapa perusahaan yang mengerjakan
proyek di Turin. Mungkin banyak yang seperti dia."
"Aku tidak gegabah," Minerva protes. "Aku hanyamembeberkan fakta. Marco ingin
mengetahui segalanya dan di dalam 'segalanya' itu nama D'Alaqua muncul beberapa
kali. Orang ini pasti punya hubungan yang baik sekali dengan kardinal di Turin,
yang berarti juga dengan Vatikan. Dan omong-omong, dia masih lajang. Katakan
pada Marco aku akan mengirim semua yang sudah kudapat sejauh ini lewat e-mail.
Berapa lama kalian akan di Turin?"
"Entah. Marco belum bilang. Dia ingin bicara sendiri dengan para pekerja
katedral dan staf di kantor keuskupan, dan dia juga memutuskan untuk menemui
orangdan pencurian dua tahun yang lalu itu. Kurasa kami akan di sini tiga atau
empat hari lagi, tapi kau akan diberitahu."
Sofia memutuskan untuk pergi ke katedral dan berbicara dengan Marco.
Dia sendiri ingin melihat-lihat, untuk lebih merasakan apa yang ada dalam
pikiran atasannya itu. Sebenarnya dia ingin mengajak Pietro, Giuseppe, atau
Antonino, tetapi mereka semua sedang tenggelam dalam tugas mereka sendiri.
Mereka sudah bekerja dengan Marco selama bertahun-tahun dan Marco benar-benar
memercayai mereka. Pietro dan Giuseppe adalah anggota kepolisian Italia, carabinieri, yang tidak
mempan suap dan seperti anjing pelacak dalam menangani kasus. Mereka, beserta
Antonino dan Sofia, yang memegang gelar doktor dalam bidang seni, dan Minerva,
si genius komputer, adalah tim inti Marco. Tentu saja masih ada yang lain,
tetapi Marco paling memercayai dan mengandalkan mereka berlima. Sekian tahun
yang dilalui bersama telah membuat mereka semua berteman.
Sofia sangat sadar bahwa dia menghabiskan lebih banyak waktu di pekerjaan
daripada di rumah. Dia belum pernah menikah, dan dia katakan kepada dirinya
sendiri bahwa dia tidak punya waktu, prioritas pertamanya selama ini adalah
kariernya, gelar doktornya, posisinya di Divisi Kejahatan Seni, perjalanan yang
menjadi bagian dari pekerjaan itu.
Dia baru berulang tahun keempat puluh dan dia tahu, dia tidak membohongi diri
bahwa kehidupan cintanya benar-benar kacau.
Beberapa tahun ini, mungkin hanya karena sekian lamanya waktu yang mereka
lewatkan bersama, dia dan Pietro terhanyut memasuki sesuatu yang lebih dari
sekadar pertemanan, mulai diam-diam berbagi kamar
bila mereka bepergian, pada malam-malam tertentu menghabiskan waktu bersama sepulang kerja. Pietro pulang bersamanya, mereka
minum-minum, makan malam, pergi tidur, dan sekitar pukul dua atau tiga pagi
tanpa banyak suara Pietro bangun dan pergi. Tetapi, meski dia dan Pietro sekali-
sekali tidur bersama, Pietro tidak akan pernah meninggalkan istrinya, dan Sofia
pun tidak begitu yakin dia ingin Pietro mengambil langkah itu. Keadaan seperti
ini saja sudah baik. Di kantor, mereka berusaha menyembunyikan segala sesuatunya.
Tetapi Antonino, Giuseppe, dan Minerva tahu. Dan Marco akhirnya mengajak mereka
bicara dan tanpa tedeng aling-aling berkata bahwa mereka sudah cukup tua untuk
berbuat sesuka mereka, tetapi dia harap kehidupan pribadi mereka tidak akan
mengganggu pekerjaan atau kelancaran kerja tim.
Sofia dan Pietro sepakat bahwa apa pun yang terjadi di antara mereka, itu adalah
rahasia mereka dan tidak bisa dibicarakan dengan rekan-rekan mereka-mereka tidak
boleh mencuci kain bersih atau pun kotor di depan orang-orang. Sejauh ini cara
itu berhasil, meski mereka tidak pernah benar-benar menguji. Mereka jarang
sekali bertengkar, kalaupun ada itu hanya pertengkaran kecil, bukan sesuatu yang
tidak bisa mereka selesaikan. Mereka sama-sama tahu hubungan ini tidak bisa
berlanjut kemana-mana, jadi mereka berdua tidak menyimpan harapan apa pun.
Marco sedang tenggelam dalam pikirannya, duduk hanya beberapa yard dari peti
peraga yang menyimpan Kafan Suci. Dia mendongak, kaget, ketika Sofia menyentuh
lembut bahunya, lalu tersenyum dan menepuk bangku di sebelahnya.
"Mengesankan, bukan?" katanya, selagi Sofia mengambil tempat di sampingnya.
"Ya, memang palsu, tetapi tetap saja mengesankan."
"Palsu" Aku tidak akan setelak itu memberikan penilaian. Ada sesuatu yang
misterius dalam kafan ini, sesuatu yang belum bisa dijelaskan para ilmuwan. NASA
menetapkan bahwa citra pada kain itu tiga dimensi. Ada ilmuwan yang yakin itu
adalah hasil radiasi yang belum diketahui ilmuwan dan ada lagi ilmuwan lain yang
akan bersumpah bahwa yang tercetak itu darah."
"Marco, kautahu sebaik aku bahwa penarikhan radio-karbon tidak pernah berbohong.
Doktor Tite dan laboratorium-laboratorium yang melakukan pengujian tidak mungkin
membiarkan ada kesalahan apa pun.
Kain ini berasal dari abad ketiga belas atau keempat belas, antara 1260
dan 1390, dan tiga laboratorium yang berbeda menyatakan begitu.
Probabilitas kesalahannya sekitar lima persen. Dan Gereja sudah menerima hasil
pengujian karbon keempat belas."
"Tetapi tak seorang pun bisa menjelaskan bagaimana gambaran di kain itu dibuat.
Dan kuingatkan kau bahwa foto-foto tiga dimensi menunjukkan ada kata-kata INNECE
tertulis di wajah itu tiga kali."
"Ya, sampai mati."
"Dan di sisi yang sama, dari atas ke bawah, lebih kedalam, ada beberapa huruf:
SN AZARE." "Yang bisa dibaca NEAZARENUS," ujar Sofia. Mereka sudah pernah melalui jalan ini
sebelumnya. "Di atas, lebih banyak lagi huruf: IBER...."
"Dan sebagian orang berpendapat huruf-huruf yang hilang membentuk kata
TIBERIUS." "Dan koin-koin, lepton-lepton itu?"
"Pembesaran gambar menunjukkan lingkaran-lingkaran di atas mata, dan khususnya
di mata kanan sebagian orang merasa melihat sebuah koin, yang di masa itu biasa
dipakai untuk menahan mata orang meninggal agar tetap terpejam."
"... yang bisa saja dibaca..." desak Marco.
"Ada orang yang mengatakan bahwa dengan menyatukan huruf-huruf itu mereka bisa
membaca tulisan TIBEPIOY CAICAPOC, Tiberius Caesar, yaitu inskripsi yang tampak
pada uang logam yang dibuat pada masa Pontius Pilatus. Koin-koin itu terbuat
dari perunggu dan ditengahnya terdapat gambar tongkat lengkung sang peramal."
"Kau ahli sejarah yang hebat, Dottoressa, yang berarti kau sama sekali tidak
memperhitungkan iman."
Sofia tersenyum, lalu bersikap serius lagi.
"Marco, boleh aku menanyakan sesuatu yang pribadi?"
"Kalau kau tidak boleh, lalu siapa?"
"Yah, aku tahu kau beragama Katolik maksudku, kita semua Katolik, kita ini kan
orang Italia, dan setelah sekian tahun yang dilewatkan dengan katekismus dan
para biarawati, pasti ada yang menempel tetapi apakah kau percaya" Sungguh-
sungguh percaya" Karena memiliki iman itu sesungguhnya lebih dari sekadar 'beragama Katolik,' dan
kurasa kau punya iman itu, kurasa kau yakin bahwa laki-laki di kafan itu adalah
Kristus, jadi kau tidak peduli apa yang dikatakan para ilmuwan kau percaya."
"Yah, memang pelik. Aku tidak yakin, sungguh, apa yang kupercayai dan apa yang
tidak. Ini tidak erat berkaitan dengan apa yang dikatakan Gereja, dengan yang
mereka sebut 'iman,' dan ada beberapa hal yang menurut logikaku tidak sesuai.
Tetapi kain linen satu ini memiliki sesuatu yang istimewa magis, kalau kau mau
menyebutnya begitu. Bukan sekadar sepotong kain."
Mereka berdiam diri, merenungkan potongan linen dengan cetakan gambar seorang
laki-laki yang, jika bukan Yesus, sudah mengalami siksaan yang sama seperti
Yesus. Seorang laki-laki yang, menurut para cendekiawan dan penelitian
antropometrik yang dilakukan oleh Giovanni Battista Judica-Cordiglia, pastilah
mempunyai berat badan antara 87 dan 90 kilogram, tinggi badan antara seratus
tujuh puluh dan seratus tujuh puluh lima senti, dan yang raut mukanya tidak khas
dari kelompok etnik tertentu.
Setelah kebakaran, katedral ini ditutup untuk umum dan akan tetap tutup selama
beberapa waktu, maka sekali lagi kafan ini akan dipindahkan ke ruang penyimpanan
di Banco Nazionale. Keputusan itu diambil oleh Marco, dan Kardinal sudah setuju.
Kafan ini adalah harta yang paling berharga dalam katedral, salah satu relik
agama Kristen yang paling penting, dan melihat situasinya, akan jauh lebih
terlindung jika berada jauh di dalam ruang penyimpanan bank.
Sofia meremas lengan Marco. Dia tidak ingin Marco merasa sendiri; dia ingin
Marco tahu bahwa dia percaya padanya. Sofia mengagumi Marco, nyaris memujanya,
karena integritasnya dan karena, di balik kesan pria yang dingin dan tangguh
yang ditumbuhkannya, Sofia tahu ada seorang pria sensitif yang selalu siap untuk
mendengarkan, seorang pria bersahaja yang selalu siap mengakui bila orang-orang
lain lebih tahu dari dirinya, sekaligus sebagai seorang pria yang cukup yakin
akan dirinya sendiri hingga tidak akan pernah melepaskan wewenangnya.
Bila mereka memperdebatkan keotentikan suatu karya seni, Marco tidak pernah
memaksakan pendapat dan selalu membolehkan anggota-anggota tim menyampaikan
pendapat mereka, dan Sofia tahu Marco terutama menghormati pendapatnya. Beberapa
tahun yang lalu Marco mulai
menyebutnya Dottoressa, untuk menghormati catatan akademisnya: gelar doktor dalam bidang sejarah seni, gelar strata satu dalam
bidang bahasa-bahasa kuno, satu gelar dalam filologi Italia. Dia bisa berbicara
dalam bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, dan Yunani dengan fasih dan juga pernah
mempelajari bahasa Arab, yang bisa dia baca dan pakai untuk berkomunikasi secara
umum. Marco memerhatikan Sofia dari sudut matanya, merasa tenang dengan kehadiran
perempuan itu. Meski dia menghormati prestasi-prestasi akademis Sofia dan
mengandalkan keahlian profesional Sofia yang luas itu, tetap saja dia merasa
bahwa sungguh sayang seorang perempuan seperti Sofia belum menemukan pria yang
tepat. Sofia sangat menarik cantik malah. Pirang, bermata biru, ramping, lucu,
dan cerdas, sangat cerdas meski Sofia sendiri sepertinya tidak sadar betapa luar
biasa dirinya. Paola selalu memasang mata mencarikan seseorang untuk Sofia,
tetapi sejauh ini semua upaya Paola gagal; pria-pria itu entah merasa terancam
atau kalah oleh kecerdasan Sofia. Marco tidak bisa mengerti mengapa seorang
perempuan seperti itu bisa mempertahankan hubungan yang stabil dengan Pietro,
yang kelihatannya sama sekali bukan kelas Sofia. Tetapi Paola memintanya untuk
tidak ikut campur karena Sofia jelas-jelas merasa nyaman dengan hubungan itu.
Pietro adalah orang yang terakhir masuk tim Marco. Dia sudah sepuluh tahun
bergabung dengan divisi ini. Dia seorang penyelidik yang baik, cermat, sangat
teliti, dan tidak mudah percaya yang berarti tidak ada yang dia lewatkan,
sekecil apa pun dan meski kelihatannya tidak penting. Dia pernah bekerja di
Divisi Pembunuhan selama bertahun-tahun tetapi minta dipindahkan bosan, katanya,
melihat darah. Apa pun alasannya, dia meninggalkan kesan baik ketika orang-orang
di atas mengundangnya untuk wawancara dan membuka satu posisi untuknya dalam tim
Marco sebagai jawaban atas keluhan kronis Marco bahwa divisinya kekurangan
tenaga. Marco bangkit dan Sofia mengikuti. Mereka mengitari altar utama dan memasuki
sakristi. Di sana mereka melihat seorang pastor, salah satu pria muda yang
bekerja di kantor keuskupan, sedang masuk dari pintu lain.
"Ah, Signor Valoni, saya sedang mencari-cari Anda! Kardinal ingin bertemu Anda
di kantornya. Van lapis baja akan datang mengambil Kafan Suci sekitar setengah
jam lagi. Salah seorang anak buah Anda Antonino, kurasa tadi menelepon untuk
memberitahu kami. Kardinal berkata dia tidak akan bisa tenang beristirahat
sampai dia tahu kafan itu aman di dalam bank, meskipun tak seorang pun bisa
melangkah tanpa bertabrakan dengan salah seorang carabinieri yang Anda kirim."
"Terima kasih, Padre. Kafan itu akan dikawal sampai memasuki ruang penyimpanan,
dan saya sendiri akan berada di dalam van lapis baja untuk memastikan Kafan Suci
tiba dengan selamat."
"Yang Agung sudah meminta Padre Yves untuk mendampingi Kafan Suci sampai ke
bank, sebagai wakil Gereja dan untuk memastikan bahwa semua yang mungkin
dilakukan sudah dilakukan demi keamanan relik itu." "Boleh saja, Padre, saya


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak berkeberatan."
Kardinal terlihat gugup ketika Marco dan Sofia memasuki kantornya.
" Signor Valoni! Masuklah, masuklah! Dan Dottoressa Galloni! Mari, silakan
duduk." "Yang Agung," kata Marco, " Dottoressa Galloni dan saya akan mendampingi Kafan
Suci ke bank. Saya tahu bahwa Padre Yves akan ikut bersama kami."
"Ya, ya, tetapi bukan itu alasannya saya ingin berbicara dengan Anda. Saya ingin
Anda tahu bahwa Vatikan sangat prihatin dengan masalah ini, kebakaran ini.
Monsinyur Aubry sudah menegaskan bahwa Paus sendiri pun cemas, dan Monsinyur
meminta saya untuk terus menyampaikan kepadanya semua perkembangan baru supaya
dia bisa langsung melapor kepada Bapa Suci. Jadi, Signor Valoni, saya harus
bersikeras bahwa Anda selalu memberitahu saya bagaimana kemajuan penyelidikan
Anda. Tentu saja Anda boleh mengandalkan kebijakan absolut kami."
"Yang Agung, kami masih belum tahu apa-apa satu-satunya yang kami punya adalah
sesosok mayat di kamar jenazah. Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun,
belum teridentifikasi, tanpa lidah. Kami tidak tahu apakah dia orang Italia atau
Swedia atau mana. Kami bekerja duapuluh empat jam sehari untuk mengembangkan
petunjuk-petunjuk lain."
"Tentu, tentu... Saya akan memberi Anda nomor pribadi saya, di tempat kediaman
saya, dan nomor ponsel saya, supaya Anda bisa menghubungi saya dua puluh empat
jam sehari seandainya Anda menemukan apa saja yang penting. Saya ingin tahu
setiap langkah yang Anda ambil."
Kardinal menuliskan nomor-nomor teleponnya di sebuah kartu, yang Marco selipkan
ke dalam saku kemejanya. Dia tidak punya niat memberitahu Kardinal tentang gang-
gang buntu yang ditunjukkan investigasinya, supaya Kardinal sendiri bisa melapor
kepada Monsinyur Aubry, yang akan melapor pada Sekretaris Muda Negara, yang akan
melapor pada Sekretaris Negara, yang akan melapor pada Tuhan tahu siapa-lalu
masih ada lagi Paus sendiri.
Tetapi dia tidak mengatakan itu kepadanya. Dia hanya mengangguk.
"Bila Kafan Suci sudah aman di dalam ruang penyimpanan di bank, Signor Valoni,
saya ingin Anda dan Padre Yves segera menelepon saya."
Marco mengangkat alis keheranan. Kardinal ini memperlakukannya seolah dia
bekerja untuknya, bukan Divisi Kejahatan Seni. Tetapi, dia memutuskan untuk
mengabaikan kelancangan keuskupan ini. Dia berdiri dan Sofia mengikutinya.
"Kami mohon diri, Yang Agung, mobil lapis baja pasti hampir tiba."
5 Ketiga laki-laki itu berbaring di pelbet, beristirahat masing-masing dengan
pikirannya sendiri. Mereka telah gagal, dan mereka harus meninggalkan turin
beberapa hari lagi. Kota itu sekarang berbahaya bagi mereka.
Saudara mereka tewas dalam kebakaran di katedral dan otopsi sudah pasti akan
mengungkap bahwa dia tidak punya lidah. Sama seperti mereka bertiga. Berusaha
kembali memasuki katedral pada tahap ini sama saja dengan bunuh diri; kontak
mereka sudah memberitahu bahwa carabinieri ada di mana-mana, menginterogasi
semua orang, dan bahwa dia tidak akan bisa tenang beristirahat sampai mereka
keluar dari kota ini. Mereka pasti pergi, tetapi selama paling tidak dua hari, sampai carabinieri
melonggarkan jerat pemeriksaan dan media pergi menyerbu bencana lain, mereka
akan tetap bersembunyi dalam tempat perlindungan di bawah tanah ini.
Ruang bawah tanah itu lembap, berbau apak, dan nyaris tidak ada ruang untuk
berjalan. Kontak mereka sudah menyiapkan makanan dan air untuk tiga atau empat
hari. Dia mengatakan bahwa dia baru akan kembali setelah yakin bahaya sudah
lewat. Dua hari sudah berlalu dan rasanya lama sekali.
Ribuan mil dari ruang bawah tanah itu, di New Vork, dalam sebuah menara dan kaca
dan baja, di sebuah kantor yang seluruhnya kedap suara dan dilengkapi alat-alat
pengaman canggih, tujuh pria berpakaian perlente sedang merayakan kegagalan
kelompok di Turin dengan segelas anggur burgundy kualitas terbaik.
Yang melebihi rasa menang itu adalah rasa lega. Mereka sudah mengaji ulang
secara terperinci informasi yang mereka terima. Peristiwa-peristiwa bergulir
hampir menyerempet bencana dan mereka sudah memutuskanuntuk mengambil tindakan-
tindakan lain seandainya ketika kebutuhan itu timbul lagi.
Usia ketujuh pria itu berkisar sekitar lima puluh sampai tujuh puluh tahun. Yang
tertua mengangkat tangannya sedikit dan yang lain terdiam, menanti.
"Satu-satunya kekhawatiran yang masih tersisa dalam pikiranku adalah informasi
yang kita terima tentang detektif ini, Kepala Divisi Kejahatan Seni. Sepertinya
kali ini dia tidak akan cepat-cepat melepas masalah ini dan mungkin akan
memandang melampaui insiden terakhir ini."
"Kita akan melipat duakan tindakan pengamanan dan memastikan bahwa orang-orang
kita terus membaur dengan sempurna ke latar belakang. Aku sudah bicara dengan
Paul. Dia akan berusaha mengikuti apa yang dilakukan si Valoni ini, tetapi itu
tidak akan mudah. Apa pun yang janggal bisa membuat Paul diperiksa. Menurut
hemat saya, Guru, kita sebaiknya tetap di belakang, merendah, tidak melakukan
apa pun hanya mengamati." Si pembicara ini bertubuh tinggi, atletis, berusia
pertengahan lima puluhan, dengan rambut mulai memutih dan raut wajah yang cocok
untuk ukuran seorang kaisar Romawi.
Pria yang diajak bicara memerhatikan pria-pria lainnya.
"Ada pendapat lain?"
Semuanya setuju; untuk saat ini mereka hanya akan mengamati dari jauh sementara
Valoni melakukan pekerjaannya, dan kontak mereka, Paul, akan diperintahkan untuk
tidak terlalu gigih mencari informasi.
Mereka lalu menetapkan tanggal pertemuan berikutnya dan mengubah sandi yang akan
mereka pakai sampai tanggal itu.
Mereka sudah bersiap pergi ketika salah seorang dari mereka, dengan aksen
Prancis, menyuarakan pertanyaan yang ada dalam benak mereka semua:
"Apakah mereka akan mencoba lagi?"
Sang guru menggeleng. "Tidak, tidak dalam waktu dekat. Risikonya terlalu besar.
Kelompok yang ini akan berusaha keluar dari Italia, lalu mengontak Addaio.
Kalaupun mereka beruntung dan berhasil kembali pada Addaio, mereka perlu waktu.
Addaio tidak akan tergesa-gesa mengirim tim baru."
"Yang terakhir kali berjarak dua tahun," kenang si pria yang beraut wajah
Romawi. "Dan kita akan tetap di sana menunggu mereka, seperti yang selama ini kita
lakukan," sahut gurunya.
6 Josar mengikuti Yesus ke manapun Yesus pergi. Para pendamping Yesus sudah
terbiasa dengan kehadiran Josar dan sering mengundangnya untuk ikut meresapkan
rasa persaudaraan bersama mereka. Melalui para pendamping inilah Josar mengerti
bahwa Yesus sendiri tahu akan mati.
Josar juga tahu bahwa, meski para pendamping menasihati agar orang Nazaret ini
melarikan diri, Yesus berkeras akan tetap di Yerusalem, melakukan apa yang telah
ditugaskan Bapanya. Sulit untuk dipahami mengapa sang Bapa menginginkan sang Putra mati, tetapi
Yesus membicarakan hal itu dengan sangat tenang hingga kelihatannya memang seperti itulah seharusnya.
Setiap kali melihat Josar, Yesus menunjukkan sikap bersahabat.
Suatu hari, ia berkata kepada Josar:
"Josar, aku harus melakukan yang diperintahkan kepadaku. Itulah sebabnya aku
diutus ke sini oleh Bapaku. Dan persis seperti itu pulalah kau, Josar, punya
misi yang harus kautuntaskan. Itulah sebabnya kau disini, kau akan mewartakan
seperti apa aku ini, apa yang sudah kaulihat, dan aku akan ada di dekatmu bila
aku tidak lagi ada di antara kalian."
Josar tidak memahami ucapan ini, tetapi tidak punya keberanian untuk meminta
penjelasan atau membantah sang Guru.
Dalam hari-hari terakhir ini kabar angin semakin gencar. Para imam menginginkan
orang Romawi membereskan masalah Yesus dan Nazaret, sementara Pilatus, sang
gubernur, berusaha menghasut orang-orang Yahudi untuk menghakimi pria yang juga
warga mereka. Hanya masalah waktu saja sebelum salah satu pihak bertindak.
Yesus pergi ke gurun, sebagaimana yang biasa ia lakukan. Pada kesempatan ini ia
sudah berpuasa sebelumnya, menyiapkan diri, katanya, untuk melaksanakan kehendak
Bapanya. Suatu pagi Josar dibangunkan oleh pemilik rumah tempatnya menginap.
"Orang Nazaret itu sudah ditangkap."
Josar melompat dari tempat tidur dan menyeka kantuk dari matanya. Ia raih bejana
air dari sudut bilik dan ia siram wajahnya. Lalu ia mengambil jubah dan bergegas
ke kuil. Di sana dia mendapati salah seorang pendamping Yesus sedang berdiri di
antara kerumunan orang, mendengarkan dengan ketakutan.
"Apa yang terjadi, Yudas?"
Yudas mulai terisak lalu cepat-cepat menjauhi Josar, tetapi Josar menangkapnya
dan memeganginya di bahu.
"Apa yang terjadi" Katakan padaku. Kenapa kau lari dariku?"
Yudas, dengan bersimbah air mata, kembali mencoba melarikan diri dari pegangan
Josar tetapi tidak sanggup, dan akhirnya dia menjawab:
"Dia ditangkap. Orang-orang Romawi membawanya pergi, mereka akan menyalibnya,
dan aku..." Air mata mengalir menuruni wajah Yudas seolah dia anak kecil.
Tetapi Josar, anehnya, tidak tergerak oleh kesedihan Yudas dan terus memegang
Yudas erat-erat agar tidak lari darinya.
"Aku... Josar, aku sudah mengkhianatinya. Aku sudah mengkhianati manusia yang
paling mulia ini. Demi tiga puluh keping perak aku sudah menyerahkannya kepada
orang-orang Romawi."
Dengan penuh kemarahan Josar mendorong Yudasdan mulai berlari kalap, tak yakin
harus ke mana. Akhirnya, di halaman di depan kuil, dia bertemu seorang pria yang
sudah beberapa kali dia lihat mendengarkan khotbah Yesus.
"Mana dia?" Josar bertanya, suaranya lemah.
"Orang Nazaret itu" Dia akan disalib. Pilatus akan melakukan seperti yang
diminta para imam." "Tetapi tuduhan apa yang dijatuhkan padanya?"
"Penghujatan, kata mereka, karena dia menyebut dirinya sang Mesias."
"Tetapi Yesus tidak pernah menghujat, tidak pernah mengatakan dirinya adalah
sang Mesias. Dia adalah manusia paling mulia."
"Berhati-hatilah, Teman, karena kau salah satu dari orang-orang yang
mengikutinya, dan mungkin saja seseorang akan mengadukanmu."
"Kau pun mengikutinya."
"Benar, dan itulah sebabnya aku menasihatimu. Takseorang pun laki-laki atau
perempuan yang mengikuti orang Nazaret ini yang aman."
"Katakan, paling tidak, di mana aku bisa melihatnya, ke mana dia dibawa."
"Mereka menahannya. Kau tidak mungkin menemuinya. Dia akan mati hari Jumat,
sebelum matahari tenggelam."
Di wajah Yesus terlihat sakitnya siksaan. Di atas kepalanya mereka meletakkan
sebuah mahkota dari duri, dan duri-duri itu menembus kulitnya. Darah mengalir
menuruni wajahnya, dan janggutnya basah oleh darah. Josar menghitung setiap
lecutan ketika serdadu-serdadu Romawi mencambuk Yesus. Seratus dua puluh.
Sekarang, selagi Yesus memanggul salib kayu yang berat itu, tempat ia akan
disalibkan, di atas punggungnya yang luka-luka, berat salib itu membuatnya
tersuruk ke kedua lututnya di atas bebatuan jalanan, seperti yang sudah terjadi
sekian kali sepanjang perjalanan yang seakan tak berujung itu.
Josar melangkah maju untuk menahannya, untuk menangkapnya, tetapi seorang
serdadu mendorong Josar. Yesus menatapnya, menyampaikan rasa terima kasih tanpa
kata. Josar mengikuti Yesus hingga ke puncak bukit tempat Yesus akan disalib bersama
dua orang pencuri. Air mata membutakan pandangan Josar saat melihat seorang
serdadu merebahkan Yesus di atas salib dan memegang pergelangan tangan kanannya
dan memakunya ke kayu. Lalu serdadu itu melakukan hal yang sama dengan tangan
kiri, tetapi pakunya tidak langsung menembus pergelangan tangan, tidak seperti
ketika dengan tangan kanan. Serdadu itu mencoba dua kali lagi sebelum paku
mencapai kayu. Dia memaku kedua kaki Yesus menjadi satu, dengan satu paku, kaki kiri menyilang
di atas kaki kanan. Waktu seakan tak bergerak, dan Josar berdoa kepada Tuhan agar Yesus segera
wafat. Dia melihat Yesus menderita, bernafas tersengal-sengal.
Yohanes, yang paling dicintai di antara para murid, menangis tanpa suara melihat
siksaan yang diterima gurunya. Josar pun tidak sanggup menahan air matanya.
Ketika hari musim semi itu berganti petang dan awan badai hitam memenuhi langit,
seorang serdadu maju kedepan. Ia menusukkan tombaknya ke sisi tubuh Yesus, dan
dari luka itu menyemburlah darah dan air.
Yesus telah wafat, dan Josar bersyukur kepada Tuhan atas hal itu.
Ketika tubuh Yesus diturunkan dari salib, hanya ada sedikit waktu untuk
menyiapkan jenazah seperti yang disyaratkan hukum Yahudi. Josar tahu bahwa semua
pekerjaan, bahkan membalut jenazah dalam kafan, harus dihentikan saat matahari
terbenam. Dan karena mereka sedang dalam masa perayaan Paskah, jenazah itu harus dikubur
hari itu juga. Josar, dengan pandangan kabur oleh air mata, bergeming mengamati ketika jenazah
Yesus disiapkan dan Yosef dari Arimathea membaringkan tubuh Yesus di atas kafan
linen yang halus. Josar tidak tidur malam itu, dan dia juga tidak bisa beristirahat hari
berikutnya. Kepedihan dalam hatinya amat berat terasa.
Pada hari ketiga setelah penyaliban Yesus, Josar pergi ke tempat jenazah itu
disemayamkan. Di sana dia mendapati Mana, ibunda Yesus, dan Yohanes, serta
pengikut-pengikut Yesus lainnya, dan semuanya berteriak bahwa jasad sang Guru
lenyap. Di dalam makam, di atas batu tempat jasad itu dibaringkan, tergeletak
kafan yang dipakai Yosef dari Arimathea untuk membalut jenazah, meski tak
seorang pun dari yang hadir berani menyentuh kain itu. Hukum Yahudi melarang
menyentuh benda-benda yang tidak bersih, dan kafan seseorang yang sudah mati
tentu tidak bersih. Josar mengambil kain itu. Dia bukan orang Yahudi, dia juga tidak terikat oleh
hukum Yahudi. Dia dekap kain itu erat-erat ke dadanya dan dia merasa dirinya
dipenuhi kedamaian. Dia merasakan sang Guru; memeluk kain sederhana itu terasa
seperti memeluk Yesus sendiri. Pada saat itulah dia sadar apa yang harus dia
lakukan. Dia akan kembali ke Edessa dan mempersembahkan kafan Yesus itu kepada
rajanya, Abgar, dan kain itu akan menyembuhkan sang raja. Sekarang dia mengerti
perkataan sang Guru. Dia keluar dari makam dan menghirup udara yang sejuk, dan kemudian, dengan kafan
terlipat di bawah lengannya, dia melangkah menuju penginapan. Ia akan
meninggalkan Yerusalem secepat ia bisa.
Di Edessa, terik siang hari menggiring penduduk kedalam rumah hingga tibanya
kesejukan senja hari. Di istana, Ratu meletakkan kain-kain basah ke dahi Abgar
yang panas oleh demam, dan menenangkan Abgar dengan meyakinkannya bahwa
penyakitnya belum mulai menggerogoti kulitnya.
Ania, si gadis penari, yang hatinya sarat oleh kesedihan, telah diasingkan ke
sebuah tempat di luar kota. Tetapi Abgar tidak ingin gadis itu ditelantarkan
begitu saja, maka ia mengirim persediaan makanan ke gua tempat Ania berlindung.
Pagi itu salah seorang pembantu Abgar, sewaktu meninggalkan sekarung gandum dan
sekantung air segar di dekat gua, melihat Ania. Dia melapor kepada Raja bahwa
paras Ania yang tadinya cantik sekarang mengerikan dan tak berbentuk, dagingnya
berjatuhan. Abgar tidak ingin mendengar apa-apa lagi dan mencari perlindungan
dalam kamarnya, dan di sana, dalam cengkeraman rasa takut, dia terkapar
terserang demam dan mengigau.
Ratu sendiri yang merawatnya. Dia tidak mengizinkan siapa pun mendekatinya.
Beberapa musuh Raja sudah mulai bersekongkol untuk menjatuhkannya, dan
ketegangan semakin memuncak dengan berlalunya hari. Hal yang terburuk adalah
bahwa tidak ada berita apa pun dari Josar, yang masih tinggal bersama orang
Nazaret itu. Abgar takut bahwa Josar sudah melupakannya, tetapi Ratu berusaha
keras menghidupkan harapan sang Raja, mendorongnya untuk tidak membiarkan
keyakinannya meredup. Namun, saat itu keyakinan sang ratu sendiri pun sudah
goyah. "Paduka Ratu! Paduka Ratu! Josar sudah di sini!"
Seorang gadis budak berlari masuk ke kamar tempat Abgar, yang dikipasi sang
ratu, berbaring lemah diperaduannya.
"Josar" Mana!"
Ratu tergopoh keluar kamar dan berlari cepat melintasi istana, membuat heran
tentara dan petinggi istana, sampai ia menemukan Josar.
Sahabat yang setia itu, masih ditutupi debu dari jalan, mengulurkan tangan
menyambutnya. "Josar, apakah kau mengajaknya" Mana orang Nazaret itu?"
"Paduka Ratu, Raja akan sembuh."
"Tetapi mana dia, Josar" Katakan di mana orang Yahudi itu."
Suara sang ratu mengungkapkan keputus asaan yang sudah begitu lama ia tahan-
tahan. "Bawa aku menemui Abgar, Paduka Ratu."
Suara Josar tegas dan mantap, dan semua yang melihat peristiwa itu terkesima
oleh kekuatannya. Tanpa sepatah kata pun lagi, Ratu berbalik dan membimbingnya


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke kamar tempat Raja terbaring.
Mata sang raja terpaku ke pintu dan ketika melihat Josar, ia menarik nafas
dalam-dalam penuh kelegaan.
"Kau telah kembali, Sahabatku."
"Ya, Paduka, dan sekarang kau akan sembuh."
Di pintu kamar, pengawal Raja berdiri menghalangi petinggi-petinggi istana yang
mendesak-desak ingin menyaksikan pertemuan kembali sang raja dan sahabatnya.
Josar membantu Abgar duduk lalu meletakkan kafan Yesus di tangan Abgar. Ia
mendekap kain itu erat-erat kedada meski tidak tahu benda apa itu.
"Ini Yesus, dan kalau kau percaya, kau akan sembuh. Yesus sudah mengatakan
kepadaku bahwa kau akan kembali sehat, dan dia mengutusku kepadamu dengan kafan
ini." Ketegasan kata-kata Josar, keyakinannya yang dalam, memberi harapan pada Abgar,
yang mendekap kainitu semakin erat ke tubuhnya.
"Aku sungguh percaya," ucap Raja. Dan hatinya memang jujur. Dan kemudian
keajaiban terjadi. Rona kembali menghias wajahnya, dan jejak-jejak penyakitnya
memudar. Abgar merasakan kekuatan kembali mengaliri darahnya dan suatu perasaan
damai merasuki jiwanya. Ratu tersedu lirih, terpukau oleh keajaiban itu, sementara para tentara dan
petinggi istana tidak tahu bagaimana menjelaskan kesembuhan Raja yang tiba-tiba
itu. "Abgar, Yesus telah menyembuhkanmu sebagaimana yang ia janjikan. Ini adalah
kafan yang dipakai membungkus jenazahnya karena kau harus tahu, Paduka, bahwa
Pilatus, bersekongkol dengan para imam, telah memerintahkan agar Yesus disiksa
dan disalib. Tetapi tak perlu bermuram durja, karena ia telah kembali kepada
Bapanya, dan dari tempatnya di surga dia akan membantukita dan menolong seluruh
umat manusia hingga akhir zaman."
Berita ajaibnya kesembuhan sang raja menyebar dengan cepat ke seluruh kota dan
daerah pedesaan disekitarnya. Abgar meminta Josar untuk bercerita tentang Yesus,
untuk meneruskan ajaran-ajaran orang Nazaretini. Ia dan Ratu dan seluruh
rakyatnya, demikian ia bersumpah, akan menganut agama Yesus, dan ia
memerintahkan agar kuil-kuil tempat menyembah dewa-dewa yang lama dirubuhkan dan
agar Josar mengajarinya dan rakyatnya dan menjadikan mereka pengikut Kristus.
"Apa yang harus kita perbuat dengan kafan ini, Josar?" Abgar bertanya kepada
sahabatnya pada suatu hari.
"Rajaku, kau harus menemukan tempat yang amanuntuk benda itu.
Yesus mengirim kain itu kepadamu agar dapat menyembuhkanmu, dan kita harus
melindungi kain itu dari segala bahaya. Banyak rakyatmu yang memintaku
mengizinkan mereka menyentuh kain itu, dan kusampaikan padamu, keajaiban-
keajaiban terus terjadi."
"Aku harus memerintahkan dibangun sebuah kuil, Josar."
"Ya, Paduka." Setiap hari, ketika matahari terbit di timur, Josar bangkit dan mulai menulis.
Niatannya adalah meninggalkan suatu testamen tertulis mengenai keajaiban-
keajaiban yang dilakukan Yesus, baik yang ia saksikan sendiri maupun yang
dikisahkan kepadanya oleh para pendamping sang Guru semasa masih hidup di
Yerusalem. Selesai menulis, Josar pergi ke istana dan berbicara dengan Abgar,
sang ratu, dan banyak lagi lainnya tentang apa saja yang sudah ia pelajari dari
ajaran-ajaran orang Nazaret itu.
Ia melihat ketakjuban di wajah mereka ketika ia menyampaikan bahwa seorang
manusia tidak boleh membenci tetangganya atau mendoakan yang buruk bagi musuh-
musuhnya. Yesus mengajarkan kepada pengikut-nya untuk menyerahkan pipi yang
sebelah lagi. Josar mendapat dukungan dalam hasratnya menanam benih ajaran Yesus bukan hanya
dari sang raja tetapi juga dari sang ratu. Dan dalam waktu singkat Edessa
menjadi sebuah kota Kristen dan Josar mengirim surat kepada beberapa pendamping
Yesus, dan mereka, seperti dirinya, menyampaikan berita baik itu ke kota-kota
dan bangsa-bangsa lain. Ketika Josar telah menyelesaikan tulisannya tentang orang Nazaret itu, Abgar
memerintahkan para penulis istana untuk membuat salinan agar umat manusia tidak
akan pernah melupakan kehidupan dari ajaran orang Yahudi yang luar biasa ini
yang, bahkan setelah wafat, telah menyembuhkan seorang raja.
7 Sewaktu memarkir mobilnya di luar penjara, Marco berpikir mungkin dia hanya
membuang waktu saja. Dua tahun sebelumnya dia tidak berhasil mengorek apa pun
dari laki-laki tak berlidah itu, atau "si bisu," sebutan yang selalu dia pakai.
Dia pernah mengajak seorang dokter, seorang spesialis, yang memeriksa laki-laki
itu dan meyakinkan marco bahwa pendengaran laki-laki itu sempurna, bahwa tidak
ada alasan fisik apa pun mengapa si bisu tidak bisa mendengar. Namun, si bisu
tetap begitu rapatnya mengunci diri hingga sulit untuk mengetahui apakah dia
benar-benar bisa mendengar atau, kalau dia bisa, apakah dia memahami yang
dikatakan kepadanya. Kemungkinan besar sekarang pun akan sama kejadiannya,
tetapi Marco tetap merasa harus menemuinya.
Kepala penjara sedang tidak ada tetapi sudah meninggalkan perintah bahwa Marco
harus diizinkan melakukan apa pun yang ia minta.
Yang Marco minta adalah ditinggalkan berdua saja dengan tahanan itu.
"Tidak masalah," ujar sipir kepala. "Dia itu sangat pendiam. Dia tidak pernah
bikin masalah-sebenarnya, dia agak-agak mistis, kau mengerti" Dia lebih suka di
kapel daripada di luar di halaman bersama tahanan-tahanan lain. Sisa masa
tahanannya sudah hampir habis; mereka memberinya hukuman yang ringan, tiga
tahun. Jadi tinggal satu tahun lagi dan dia bebas. Jika dia punya pengacara, dia
bisa saja minta bebas lebih awal dengan alasan berkelakuan baik, tetapi dia
tidak punya. Tidak ada pengacara, tidak ada yang mengunjungi, tidak ada apa-apa... "
"Apa dia mengerti kalau orang berbicara dengan dia?"
"Ha! Nah, itu baru misteri! Kadang kau merasa begitu, kadang tidak. Tergantung."
"Wah, tidak bikin jelas, ya?"
"Masalahnya dia itu aneh, kau paham" Maksudku, aku tidak pernah menganggap dia
pencuri; dia jelas tidak bersikap seperti pencuri. Dia menghabiskan seluruh
waktunya dengan menatap lurus-lurus ke depan atau duduk di kapel."
"Apa dia pernah membaca atau menulis" Dia tidak pernah meminta buku-buku, koran,
apa saja?" "Tidak, tidak pernah. Dia tidak pernah menonton televisi, dia bahkan tidak
tertarik pada Piala Dunia. Dia tidak pernah dapat surat, dan dia tidak menulis
untuk siapa pun." Ketika si Bisu memasuki ruang wawancara tempat Marco menunggunya, matanya tidak
menampakkan keterkejutan hanya ketidak pedulian. Dia terus berdiri di dekat
pintu, tatapannya terarah sedikit ke bawah, sikapnya siaga tetapi tidak takut.
Marco memberinya isyarat untuk duduk tetapi laki-laki itu tetap berdiri.
"Aku tidak tahu apakah kau mengerti perkataanku atau tidak, tetapi kurasa kau
mengerti." Si Bisu sedikit menaikkan tatapannya dari lantai dalam suatu gerakan yang tidak
akan diketahui oleh orang yang bukan profesional dalam hal perilaku manusia,
tetapiMarco adalah seorang profesional.
"Teman-temanmu kembali membobol katedral. Kali ini mereka menyulut api.
Untungnya, kafan itu selamat."
Laki-laki itu tidak menampakkan reaksi sekecil apapun. Mimiknya tetap diam,
sepertinya tak ada upaya apapun dari dalam dirinya. Namun, Marco mendapat kesan
bahwa usaha-usaha penyelidikannya, lecutannya yang coba-coba itu, mengenai
sesuatu. Mungkin, setelah dua tahun di penjara, si Bisu ini sudah lebih rentan
daripada ketika dia ditangkap.
"Kurasa siapa pun akan putus asa berada di sini. Aku tidak akan membuat-buang
waktumu, karena aku juga tidak ingin membuang waktuku. Tadinya sisa masa
tahananmu tinggal setahun lagi, dan kukatakan 'tadinya' karena kami sudah
membuka kembali kasusmu dalam investigasi kami atas kebakaran di katedral
beberapa hari yang lalu itu. Seorang laki-laki tewas terbakar seoranglaki-laki
tanpa lidah, seperti dirimu. Jadi kau mungkin harus menunggu lama di penjara
sementara kami melanjutkan pemeriksaan, menuntaskan semua urusan yang belum
jelas dua, tiga, empat tahun, sukar dipastikan. Itulah alasanku datang ke sini.
Jika kau membolehkan aku tahu siapa dirimu dan siapa saja teman-temanmu, kita
mungkin bisa mencapai suatu kesepakatan. Aku akan berusaha meyakinkan pihak yang
berwenang agar membebaskanmu lebih cepat, dan kalau kau takut pada teman-
temanmu, kau bisa mengikuti program perlindungan saksi. Itu berarti identitas
baru, dan itu berarti bahwa teman-temanmu tidak akan pernah bisa menemukanku.
Pikirkanlah. Aku mungkin perlu waktu satu minggu atau mungkin sepuluh tahun
untuk menutup kasus ini, tetapi selama kasus ini masih terbuka, kau akan tetap
duduk dipenjara ini, membusuk."
Marco mengajukan sehelai kartu dengan nomor teleponnya.
"Kalau kau ingin menghubungiku, tunjukkan kartu ini pada sipir; mereka akan
meneleponku." Tidak ada reaksi. Marco meninggalkan kartunya di meja.
"Ini hidupmu, bukan hidupku."
Ketika meninggalkan ruang wawancara, Marco menahan godaan untuk menoleh ke
belakang. Ia sudah memainkan peran si polisi jahat dan yang tadi terjadi adalah
satu dan dua hal entah dia sudah membuang sedikit waktunya atau, meski
kemungkinannya sangat kecil, dia sudah berhasil menanam benih keraguan dalam
benak si Bisu dan mungkin saja laki-laki itu akan bereaksi.
Ketika kembali ke selnya, si Bisu menjatuhkan badan ke pelbet dan menatap
langit-langit. Dia tahu kamera pengawas memantau setiap inci bilik itu, maka dia
harus tetap tidak menunjukkan emosi.
Satu tahun, ia memang sudah berpikir akan bebas kembali satu tahun lagi.
Sekarang orang ini mengatakan bisa saja jadi sepuluh tahun.
Mungkin itu hanya gertakan, tetapi mungkin juga benar.
Karena dia sengaja menjauhi televisi dan sumber-sumber berita lainnya di penjara
ini, dia nyaris tidak tahu apa-apa mengenai kejadian di dunia luar. Addaio sudah
memerintahkan agar jika mereka tertangkap, mereka harus mengasingkan diri,
menyelesaikan masa hukuman, dan mencari cara untuk pulang.
Sekarang Addaio mengirim tim lain. Addaio sudah mencoba lagi.
Kebakaran, seorang saudara tewas, dan polisi sekali lagi mencari-cari petunjuk.
Selama di penjara dia punya waktu untuk berpikir, dan kesimpulannya begitu
jelas: Ada pengkhianat diantara mereka. Jika tidak, tidak mungkin setiap kali
mereka merencanakan aksi, ada saja yang tidak beres dan seseorang berakhir di
penjara atau tewas. Ya, ada pengkhianat di antara mereka, dan memang sudah ada seorang di masa lalu.
Dia yakin itu. Dia harus pulang dan membuat Addaio menyadari kenyataan itu,
meyakinkan Addaio untuk menyelidiki, menemukan orang yang bertanggung jawab atas
begitu banyak kegagalan dan atas penderitaannya sendiri, atas tahun-tahun yang
harus ia lalui di penjara.
Tetapi dia harus menunggu, apa pun konsekuensi bagi dirinya pribadi. Jika pria
tadi menawannya kesepakatan, itu karena pria itu tidak tahu ke mana lagi harus
menoleh. Itu hanya gertakan, dan dia tidak akan terjebak. Kekuatannya datang
dari kebisuannya yang penuh tekad, pengasingan yang ketat yang ia berlakukan
pada dirinya sendiri, sumpah yang sudah ia ikrarkan. Dia sudah dilatih dengan
baik untuk keadaan ini. Tetapi betapa beratnya ia sudah menderita selama dua tahun ini tanpa buku, tanpa
berita dari dunia luar, tanpa berkomunikasi, bahkan lewat isyarat, dengan
tahanan-tahanan lain. Dia sudah meyakinkan para sipir bahwa dia adalah kasus mental yang tidak
berbahaya, yang menyesal sudah mencoba mencuri dari katedral, dan itulah
sebabnya ia duduk di kapel dan berdoa. Itulah yang ia dengar ketika mereka
membicarakan dirinya. Dia tahu mereka kasihan padanya. Sekarang dia harus terus
memainkan peran ini dan berharap mereka akan memercayai dan berbicara
didepannya. Mereka selalu begitu, karena bagi mereka dia hanya bagian dari
perabotan. Dia sudah sengaja meninggalkan kartu pria itu diatas meja di ruang wawancara.
Dia bahkan tidak menyentuh kartu itu. Sekarang dia harus menunggu-menunggu
berlalunya satu tahun lagi.
"Dia meninggalkan kartu itu tepat di tempat kau meletakkan, menyentuh pun
tidak." Kepala penjara menelepon Marco untuk melaporkan keadaan tahanannya
seperti yang dijanjikan. "Dan kau tidak melihat apa pun yang tidak biasa beberapa hari terakhir ini?"
"Tidak. Dia sama seperti biasa. Dia pergi ke kapel sewaktu keluar dan selnya,
dan, bila di dalam sel, dia hanya menatap langit-langit.
Kamera-kamera merekamnya dua puluh empat jam sehari. Jika dia melakukan apa saja
yang tidak biasa, kau akan kutelepon."
"Trims." Marco menutup telepon. Dia mengira sudah berhasil mengusik sesuatu, ternyata dia
salah. Investigasi masih belum beranjak ke mana-mana.
Minerva akan tiba sebentar lagi. Marco meminta Minerva datang ke Turin karena
dia ingin seluruh tim disini. Mungkin kalau mereka semua duduk bersama, mereka
akan bisa melihat sesuatu.
Mereka akan tetap di Turin dua atau tiga hari lagi, tetapi setelah itu mereka
harus kembali ke Roma; mereka tidak mungkin hanya mengurusi kasus ini saja itu
tidak akan bisa diterima oleh divisi, apalagi kementrian.
Dan yang terburuk yang bisa terjadi adalah seseorang mulai mengira dia
terobsesi. Orang-orang di atas malah mulai tidak sabar-Kafan Suci selamat, tidak
ada kerusakan, tidak ada yang diambil dari katedral. Tentu saja ada mayat salah
seorang pelaku tetapi tak seorang pun tahu siapa dia, dan sepertinya tak ada
juga yang peduli. Sofia dan Pietro melangkah memasuki ruangan. Giuseppe sudah pergi ke bandara
untuk menjemput Minerva. Dan Antonino, yang selalu tepat waktu, sudah di sana
cukup lama, membaca arsip-arsip.
Sofia mengangkat tangan memberi salam.
"Apa kabar, Bos?"
"Baik sekali. Kepala penjara meyakinkanku si Bisu belum menyambut umpan-seolah
aku tidak pernah ke sana."
"Kedengarannya seperti yang dia lakukan sedari awal," ujar Pietro.
"Yah, kurasa begitu."
Suara gelak dan keletak-keletuk sepatu hak tinggi mengumumkan kedatangan
Minerva. Dia dan Giuseppe masuk sambil tertawa.
Suasana jadi lebih cerah dengan kedatangan Minerva, seperti yang selalu terjadi.
Minerva sudah menikah dan hidup berbahagia dengan seorang insinyur peranti lunak
yang, seperti dia sendiri, benar-benar genius komputer. Dan sepertinya Minerva
selalu bersenang hati. Setelah saling memberi salam, rapat dimulai.
"Baiklah," ujar Marco, "mari kita lihat lagi yang sudah kita punya.
Dan setelah itu aku ingin masing-masing dari kalian menyampaikan pendapat.
Pietro, kau dulu." "Pertama, kebakaran itu. Perusahaan yang melakukan pekerjaan di katedral bernama
COCSA. Aku sudah menanyai semua orang yang mengerjakan sistem kelistrikan semua
tidak tahu apa-apa, dan kurasa mereka mengatakan yang sebenarnya. Sebagian besar
dari mereka orang Italia, meski ada beberapa imigran: dua orang Turki dan tiga
orang Albania. Surat-surat merekasemuanya lengkap, termasuk izin kerja.
"Menurut mereka, mereka tiba di katedral setiap pagi pukul delapan tiga puluh,
waktu Misa pertama selesai. Begitu para jemaat pergi, pintu-pintu ditutup dan
tidak ada kebaktian lagi sampai pukul enam petang, saat para pekerja pulang.
Mereka istirahat untuk makan siang dari pukul satu tiga puluh sampai pukul
empat. Pukul empat tepat mereka kembali dan bubar pukul enam.
"Meskipun sistem kelistrikan di sana belum terlalu tua, mereka mencopot semuanya
untuk memasang pencahayaan yang lebih baik di beberapa kapel. Mereka juga
memperbaiki sebagian dinding lembapnya udara membuat serpihan-serpihan stuko
lepas dan berjatuhan. Mereka memperkirakan akan selesai dua atau tiga minggu
lagi. "Tak satu pun dan mereka yang ingat ada sesuatu yang janggal terjadi pada hari
kebakaran. Di bagian tempat api mulai berkobar waktu itu ada tiga orang yang
sedang bekerja: salah satunya yang dari Turki itu-pria bernama Tariq dan dua
orang Italia. Mereka mengakutidak mengerti bagaimana bisa terjadi hubungan
pendek. Ketiganya bersumpah bahwa mereka meninggalkan kabel-kabel sebagaimana
seharusnya ketika mereka pergi makan siang di restoran kecil dekat katedral.
Mereka tidak punya dugaan apa pun bagaimana itu bisa terjadi."
"Tetapi benar terjadi," ujar Sofia.
Pietro memelototinya dan melanjutkan:
"Para pekerja senang bekerja pada perusahaan ini; menurut mereka bayarannya baik
dan para bos memperlakukan mereka dengan baik. Mereka memberitahu bahwa Padre
Yves mengawasi pekerjaan di katedral, bahwa dia orang yang baik tetapi tidak
melewatkan satu hal pun, dan bahwa dia sangat jelas menyampaikan bagaimana dia
ingin pekerjaan itu dilakukan. Mereka selalu melihat Kardinal ketika beliau
memimpin Misa pukul delapan dan beberapa kali ketika beliau meninjau pekerjaan
bersama Padre Yves."
Marco menyalakan sebatang rokok meski Minerva menatap galak.


Misteri Kain Kafan Jesus The Brotherhood Of The Holy Shroud Karya Julia Navarro di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tetapi," lanjut Pietro, "laporan para ahli sudah konklusif. Rupanya beberapa
kabel yang menggantung diatas altar di Kapel Perawan saling bersentuhan dan
menyebabkan hubungan pendek; di situlah api mulai.
Suatu kecelakaan" Ketidaksengajaan" Kecerobohan" Sulit dipastikan.
Para pekerja bersumpah mereka meninggalkan kabel-kabel dalam keadaan terpisah,
dalam kondisi sempurna, tetapi kita harus bertanya kepada diri kitasendiri
apakah benar begitu atau itu hanya alasan pembenaran diri. Aku sudah menanyai
Padre Yves. Dia meyakinkanku bahwa para pekerja selama ini selalu terlihat
sangat profesional, tetapi dia yakin bahwa ada seseorang yang ngaco. Eh, yang
barusan itu bukan kutipan langsung."
"Siapa yang ada di dalam katedral waktu kebakaran terjadi?" tanya Marco.
"Rupanya," jawab Pietro, "hanya si tukang sapu, seorang laki-laki tua, usia
sekitar enam puluh lima. Staf katedral ada di dalam ruang-ruang kantor sampai
pukul dua, yaitu saatnya mereka pergi makan siang.
Mereka kembali sekitar pukul empat tiga puluh. Api mulai berkobar sekitar pukul
tiga, jadi si tukang sapulah yang satu-satunya ada di sana.
Dia sangat terguncang. Sewaktu kuinterogasi, meledak tangisnya; dia ketakutan,
kau bisa lihat itu. Namanya Francesco Turgut-warga negara Italia, ayah orang
Turki, ibu orang Italia. Lahir dan besar di Turin.
Ayahnya bekerja di Fiat, dan ibunya adalah putri tukang sapu di katedral dan
suka ikut membantu bersih-bersih. Gereja menyediakan sebuah rumah untuk tukang
sapu. Rumah itu sebenarnya menempel langsung pada tembok katedral. Ketika ibu
dan ayah Turgut menikah, mereka pindah ke tempat orangtua si ibu, ketempat
kediaman tukang sapu. Francesco lahir di sana; katedral ini adalah rumahnya, dan dia berkata dia
merasa bersalah karena tidak mampu mencegah kebakaran itu."
"Apa dia mendengar sesuatu?" tanya Minerva.
"Tidak, dia sedang menonton TV dan setengah tertidur. Dia selalu bangun pagi-
pagi sekali untuk membuka katedral dan ruang-ruang kantor. Menurutnya dia
terlompat ketika seseorang membunyikan bel di pintu. Seorang pria yang lewat di
Piazza memperingatkan bahwa ada asap. Turgut berlari masuk dan menemukan tempat
kebakaran dan segera membunyikan alarm dan menelepon pemadam kebakaran. Sejak
itu dia seperti hilang akal-yang dia lakukan hanya menangis. Katanya dia sudah
berjalan ke seluruh katedral sebelum menutup, dan tidak ada siapa-siapa di sana.
Salah satu tugasnya adalah tepat itu tadi memastikan bahwa tidak ada seorang
punyang masih di dalam. Dia bersumpah bahwa sewaktu dia mematikan lampu-lampu,
katedral itu kosong."
"Jadi bagaimana menurutmu?" tanya Marco. "Apakah api itu sengaja disulut, atau
apakah menurutmu api itu disebabkan oleh kecerobohan atau semacam kecelakaan?"
Pietro bimbang. "Seandainya kita tidak menemukan mayat, aku akan mengatakan api
itu kecelakaan. Tetapi kita punya mayat seorang pria yang sama sekali tidak kita
ketahui jati dirinya, kecuali bahwa dia tidak punya lidah, persis seperti pria
yang satu lagi itu. Apa yang sedang dialakukan di sana"
"Plus," Pietro melanjutkan, "seseorang, kenyataannya, benar masuk dengan paksa.
Pintu samping yang menuju kantor dibuka paksa. Kau bisa masuk dari sana ke
katedral. Ada bekas-bekasnya di kusen. Siapa pun orangnya, dia tahu jalan masuk
dan bagaimana masuk ke dalam katedral.
Karena dia melakukannya tanpa menarik perhatian si tukang sapu, kami
mengasumsikan dia bertindak tanpa menimbulkan banyak suara dan setelah dia tahu
tidak ada siapa pun di sana."
"Kami yakin," Giuseppe menyela, "bahwa pencuri, atau pencuri-pencuri itu,
mengenal seseorang yang bekerja di katedral atau punya hubungan dengan katedral.
Seseorang yang memberitahu mereka bahwa hari itu, pada jam itu, tidak akan ada
siapa-siapa di sana."
"Kenapa kita yakin begitu?" tanya Minerva.
"Karena dalam kebakaran ini," tutur Giuseppe, "seperti dalam percobaan pencurian
dua tahun yang lalu, seperti dalam kebakaran 1997, seperti dalam semua
'kecelakaan' lainnya, pencuri-pencuri itu tahu tidak ada siapa-siapa didalam.
Hanya ada satu jalan masuk selain pintu utama yang terbuka bagi publik, pintu
masuk ke kantor. Pintu-pintu lainnya sudah ditutup permanen dengan papan. Dan
selalu pintu samping itu yang dibuka paksa. Pintu itu sudah diberi pengaman
tambahan, tetapi itu bukan masalah bagi mereka yang profesional. Kami menduga
ada beberapa orang lagi selain yang tewas itu dan mereka berhasil kabur.
Membobol katedral bukanlah sesuatu yang dilakukan sendirian. Menurut catatan,
semua insiden ini terjadi ketika di gereja sedang ada pekerjaan.
Siapa pun orang-orang ini, tampaknya mereka memanfaatkan pekerjaan perbaikan
untuk memasukkan orang ke dalam selagi tidak ada siapa-siapa, mungkin mengutak-
atik beberapa kabel supaya terjadi hubungan pendek atau membanjiri tempat itu
atau kalau tidak, menciptakan kerusuhan. Tetapi kali ini, seperti semua
kesempatan sebelumnya, mereka tidak mengambil apa-apa. Itulah sebabnya kita
terus bertanya pada diri sendiri, apa yang mereka cari?"
"Kafan Suci," ujar Marco. "Tapi kenapa" Untuk menghancurkan kain itu" Untuk
mencuri kain itu" Entahlah. Akubertanya-tanya sendiri apakah membuka paksa pintu
itu hanya petunjuk palsu, sesuatu yang mereka lakukanuntuk membingungkan kita.
Urusan pintu itu terlalu gamblang...
entahlah... Minerva, kau sudah dapat apa?"
"Yang bisa kusampaikan padamu adalah bahwa salah seorang pemegang saham utama
dalam perusahaan yang bertanggung jawab atas pekerjaan pemugaran ini, COCSA,
adalah Umberto D'Alaqua. Aku sudah menyinggung masalah ini pada Sofia dan
mengirimimu sebagian lewat email. Perusahaan ini sangat solid dan bekerja untuk
Gereja, bukan hanya di Turin melainkan di seluruh Italia. D'Alaqua sudah dikenal
baik oleh Vatikan dan sangat dikagumi. Dia bekerja dengan mereka sebagai
konsultan dalam beberapa investasi besar dan yang kumaksud benar-benar besar
yang dilakukan Vatikan. Dia pernah memberi pinjaman-pinjaman berjumlah besar
pada Gereja untuk operasi-operasi tertentu bila Vatikan tidak ingin keterlibatan
mereka diketahui khalayak. Dia dipercaya oleh orang-orang di jajaran tertinggi
dan dia juga ambil bagian dalam misi-misi diplomatis yang renik untukGereja.
Usahanya berkisar dan konstruksi hingga baja, termasuk eksplorasi minyak bumi,
dan sebagainya, dan sebagainya. Dia memiliki sebagian besar saham COCSA.
"Dan dia pria yang menarik. Lajang, enak dilihat, umur lima puluh tujuh tahun,
serius. Tidak pernah memamerkan uang atau kekuasaan yang dia miliki. Dia tidak
pernah terlihat di pesta-pesat kaum jetset, tidak diketahui punyapacar."
"Gay?" tanya Sofia.
"Tidak, sepertinya tidak, tetapi bukan main, dia ini benar-benar mengambil jalan
yang lurus dan sempit. Seolah-olah dia sudah mengucapkan sumpah kesucian, meski
dia bukan anggota Opus Dei atau ordo-ordo lainnya yang bisa mengindikasikan
kecenderungan religius tertentu. Hobinya adalah arkeologi, dia pernah membiayai
ekskavasi di Israel, Mesir, dan Turki, dan dia sendiri benar-benar bekerja di
penggalian di Israel selama beberapa musim."
"Kedengarannya Signor D'Alaqua bukan tertuduh utama," komentar Sofia pedas.
"Bukan, tetapi dia sungguh mengesankan," Minerva berkeras. "Seperti juga
Profesor Bolard. Dua orang ini termasuk kelas berat. Nah, Bos, profesor ini
adalah ahli kimia Prancis yang terkenal, salah seorang penyelidik paling
tersohor dalam urusan Kafan Suci. Dia sudah meneliti kain itu selama lebih dan
35 tahun, melakukan berbagai pengujian, menyelisik setiap aspek yang bisa
dibayangkan. Setiap tiga atau empat bulan dia datang ke Turin. Dia salah satu
ilmuwan inti yang dipercaya Gereja untuk mengonservasi kain itu. Mereka tidak
pernah mengambil langkah apa pun tanpa berkonsultasi dengan dia."
"Benar," tambah Giuseppe. "Sebelum memindahkan Kafan Suci ke bank, Padre Yves
berbicara dulu dengan Bolard, yang memberi instruksi yang sangat terperinci
mengenai bagaimana pemindahan itu harus dilakukan. Bertahun-tahun yang lalu
sebuah ruangan kecil dibangun untuk Kafan Suci, benar-benar di dalam ruang
penyimpanan bank, dan ruangan kecil itu dibangun menurut spesifikasi yang
diberikan Bolard dan ilmuwan-ilmuwan lain."
"Oke, nah, jadi Bolard," lanjut Minerva, "adalah pemilik sebuah perusahaan kimia
besar. Dia masih lajang dan kaya seperti Raja Croesus, persis seperti D'Alaqua,
dan tidak pernah diketahui punya hubungan asmara juga."
"Jadi... apakah D'Alaqua dan Bolard saling kenal?" tanya Marco.
"Menurut yang sudah kuperoleh, tidak, tetapi aku masih menyelidiki hal itu.
Tentu saja, tidak ada anehnya jika mereka saling kenal, Bolard juga sangat
meminati dunia purba dan mereka sama-sama berhubungan dengan Vatikan. Mereka
Budha Pedang Penyamun Terbang 14 Animorphs - 42 Petualangan The Journey Pendekar Pendekar Negeri Tayli 14
^