Pencarian

Sekali Lagi Sipaling Badung 1

Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton Bagian 1


THE NAUGHTIEST GIRL AGAIN
by Enid Blyton Djvu: kiageng80 Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Re edited: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
SEKALI LAGI SI PALING BADUNG
Alih bahasa: Djokolelono Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Dicetak oleh Percetakan Duta Prima.
Jakarta Daftar Isi 1. Kembali ke Whyteleafe 2. Kehidupan di Sekolah Dimulai
3. Elizabeth Mendapat Musuh
4. Apa yang Terjadi di Rapat Besar
5. Elizabeth Sangat Marah
6. Tikus Putih Jenny 7. Kathleen Terlibat Kesulitan
8. Rapat Sekolah Sekali Lagi
9. Kathleen Mulai Bertindak
10. Keributan di Dalam Kelas
11. Persoalan Semakin Gawat
12. Rapat yang Menegangkan
13. Robert Diberi Kesempatan
14. Hari Pertandingan 15. Kathleen Mengaku 16. Kathleen Melarikan Diri
17. Menjernihkan Suasana 18. Suasana Membaik 19. Minggu yang Damai 20. Pertandingan Lacrosse
21. Akhir Pertandingan 22. Elizabeth Mendapat Kesulitan Lagi
23. Kejutan bagi Joan 24. Pengalaman yang Mengerikan
25. Elizabeth Sangat Mengesalkan
26. Kejutan Manis 1. Kembali ke Whyteleafe Elizabeth begitu gembira. Libur musim panas yang panjang hampir usai. Dan kini
ia mulai bersiap-siap untuk kembali ke sekolah. Ibunya, Nyonya Allen, ikut sibuk
mempersiapkan segala sesuatunya. Elizabeth membantu memasukkan barang-barang ke
dalam kopor besarnya. "Oh, Ibu, bayangkan! Betapa senangnya. Aku akan bertemu dengan sahabat-sahabatku
lagi!" kata Elizabeth. "Betapa senangnya kembali ke Whyteleafe. Masa pelajaran
musim dingin pasti sangat menggembirakan."
Nyonya Allen memandang Elizabeth dan tertawa. "Elizabeth," katanya. "Ingatkah
kau dulu, waktu pertama kali pergi ke Sekolah Whyteleafe" Ribut sekali! Kau
berjanji akan berbuat begitu nakal dan badung agar segera diusir dari sekolah
itu. Sekarang senang hatiku melihatmu hampir tak sabar untuk berangkat ke sana."
"Oh, Ibu, waktu itu aku memang begitu bodoh dan tolol," kata Elizabeth, pipinya
memerah malu bila mengenang tingkahnya beberapa bulan sebelum itu. "Sungguh
memalukan, bila kuingat apa yang kulakuan dan apa yang kukatakan! Ibu tahu, aku
bahkan tak mau membagikan kue dan makanan yang kubawa! Dan aku begitu kurang
ajar dan nakal di dalam kelas dan aku tak mau pergi tidur pada waktu yang
ditetapkan, atau mengerjakan apa pun yang harus kulakukan! Waktu itu aku memang
telah memutuskan untuk bisa segera dikirim pulang!"
"Dan ternyata pada akhirnya kau memilih tinggal di asrama sekolah itu," kata
Nyonya Allen tersenyum. "Yah, kuharap semester ini kau tidak dijuluki si paling badung lagi."
"Kuharap saja tidak," kata Elizabeth. "Tapi aku juga tidak mau berjanji untuk
menjadi anak yang terbaik, sulit bagiku. Ibu sendiri tahu, betapa mudahnya aku
marah, betapa seringnya aku bertindak tanpa berpikir lebih dahulu. Aku yakin aku
akan terlibat dalam suatu kesulitan. Tetapi tak apa. Kesulitan apa pun pasti
bisa kuatasi. Pokoknya aku akan berusaha keras untuk berkelakuan baik semester
ini." "Bagus," kata ibunya sambil menutup rapat-rapat kopor besar Elizabeth.
"Lihatlah, Elizabeth. Ini kotak makananmu. Di sini ada sekaleng permen, sebuah
kue cokelat yang besar, sekaleng biskuit, dan satu botol besar selai. Sudah
penuh, tak bisa kutambah lagi. Tapi cukup, bukan?"
"Oh, ya, cukup. Terima kasih. Ibu." kata Elizabeth dengan riang. "Teman-temanku
juga pasti menyukainya. Mudah-mudahan ibu Joan juga membekalinya kotak makanan
kali ini." Joan sahabat karib Elizabeth. Di libur musim panas ini Joan pernah tinggal di
rumah Elizabeth. Alangkah senangnya mereka berdua. Kemudian Joan pulang,
menghabiskan sisa liburannya yang tinggal seminggu atau dua minggu di rumahnya
sendiri. Elizabeth sudah rindu pada sahabatnya itu. Alangkah senangnya tinggal
satu asrama lagi, duduk di satu kelas dan bermain bersama dalam pertandingan-
pertandingan. Elizabeth telah bercerita tentang kehidupan di Sekolah Whyteleafe kepada ibunya.
Di sekolah itu semua murid bersama-sama membuat peraturan sendiri, mengatur diri
mereka sendiri. Jarang mereka harus dihukum oleh guru-guru mereka. Ketua para
murid terdiri dari dua orang: Ketua Murid Laki-laki dan Ketua Murid Perempuan.
Mereka berdua bertindak sebagai Hakim, dibantu oleh Dewan Juri yang terdiri dari
dua belas orang murid yang dipilih oleh murid-murid lain dan masing-masing
diberi kedudukan sebagai Pengawas. Setiap keluhan atau rasa tidak senang
terhadap sesuatu akan dibicarakan bersama dalam suatu pertemuan yang diberi nama
Rapat Besar. Jika ada murid yang berbuat atau bertindak salah, maka anak-anak
itu sendiri yang memikirkan harus diberi hukuman apa.
Pada awalnya, Elizabeth seakan selalu menderita di Rapat-rapat Besar itu, sebab
ia begitu badung dan bandel, hampir semua peraturan yang ada dilanggarnya.
Tetapi kini ia sadar bahwa berkelakuan baik bukanlah hanya baik untuk dirinya
sendiri, tetapi juga untuk seluruh sekolah. Ia tak sabar untuk memulai itu
semua. Mungkin dalam semester ini ia bisa menunjukkan pada semua kawannya bahwa
bukan saja ia bisa berlaku sangat nakal, tetapi ia juga bisa menjadi sangat
baik. Ia berangkat keesokan harinya. Semuanya telah siap. Di antaranya ia juga membawa
sebuah tongkat lacrosse (Permainan bola, berasal dari pemainan orang Indian
Amerika Dimainkan oleh dua tim masing-masing terdiri dari 10 orang, dengan
membawa tongkat panjang berjaring.) dan tongkat hockey baru. Kedua permainan itu
memang dimainkan di Whyteleafe, dan walaupun Elizabeth sama sekali belum pernah
memainkannya ia bermaksud untuk mempelajarinya serta menguasainya dengan baik.
Pasti ia akan bisa menjadi pelari yang paling cepat. Pasti ia akan menjadi
pencetak gol yang paling banyak.
Nyonya Allen membawa Elizabeth ke London untuk kemudian naik kereta api ke desa
tempat Sekolah Whyteleafe berada. Elizabeth bagaikan menari di peron stasiun
London saat dilihatnya beberapa sahabatnya sudah berada di sana.
"Joan!" serunya. "Kau sudah ada di sini! Oh, apa kabar. Nyonya Townsend" Nyonya
mengantarkan Joan?" "Benar," kata Nyonya Townsend, ibu Joan. "Apa kabar. Nyonya Allen" Girang hatiku
melihat anak paling nakal di sekolah kini nampak begitu gembira untuk kembali ke
sekolah." "Oh, jangan goda aku," tawa Elizabeth. "Aku takkan jadi anak yang paling badung
lagi. Hei, itu Nora! Nora! Nora! Bagaimana liburanmu?"
Si jangkung berambut hitam Nora berpaling dan melambai padanya. "Halo, Dik!"
seru Nora. "Kembali ke sekolah, ya" Wah, wah, wah, bisa-bisa kami akan terpaksa
membuat seperangkat peraturan baru khusus untukmu."
Nyonya Townsend tertawa. "Kaudengar itu, Elizabeth," katanya. "Semua pasti akan
menggodamu. Sungguh sulit untuk melupakan betapa nakalnya kau di semester
pertamamu di Whyteleafe."
"Lihat! Itu Harry!" seru Joan. "Harry! Kau ingat kelinci yang kauberikan pada
Elizabeth dan aku semester yang lalu" Kini kelinci-kelinci itu sudah besar.
Sudah beranak! Dua di antaranya kubawa untuk kupelihara di sekolah."
"Bagus," kata Harry. "Halo, Elizabeth. Wah, kau hangus kena matahari, ya" Hai,
John! Ini Elizabeth! Sebaiknya kau mulai merancang musim tanam kebunmu dengan
dia sekarang juga, untuk musim dingin nanti!"
John Terry mendekat. Ia seorang anak lelaki yang tinggi dan kuat. Umurnya
sekitar dua belas tahun. Ia begitu suka berkebun sehingga diangkat menjadi
kepala tukang kebun di bawah Pak Johns, seorang guru. Ia dan Elizabeth telah
merancangkan berbagai kegiatan berkebun untuk musim dingin nanti.
"Halo, Elizabeth!" seru John. "Kaubawa buku berkebun yang kaujanjikan itu"
Bagus! Banyak kerjaan kita nanti, menggali dan membakar sampah."
Beberapa saat kedua anak ini bercakap-cakap dengan penuh semangat. Kemudian
seorang anak lelaki lain mendekat, berambut hitam dan berwajah serius. Ia
langsung menjabat tangan Elizabeth.
"Halo, Richard!" seru Elizabeth. "Jahat kau ya! Katanya akan berkirim surat
padaku! Kutunggu-tunggu suratmu tak pernah datang. Aku yakin selama liburan ini
kau bermain-main saja, tak pernah berlatih sekali pun."
Richard tersenyum. Walaupun masih termasuk anak-anak, ia sudah begitu pandai
memainkan piano dan biola. Ia dan Elizabeth sama-sama sangat menyukai musik.
Keduanya mendapat sambutan gegap-gempita sewaktu bermain duet dalam pertunjukan
musik di sekolah pada akhir semester. Para penonton meminta agar mereka
mengulangi permainan mereka yang memang begitu indah!
"Aku tinggal bersama kakekku liburan ini," kata Richard. "Ia mempunyai sebuah
biola yang sungguh luar biasa. Dan aku diijinkannya memainkan biola tersebut!
Selama liburan ini hanya musik saja yang kupikirkan. Terima kasih untuk kartu
posmu. Tulisanmu begitu buruk hingga yang bisa kubaca hanyalah tanda tanganmu di
akhir surat itu. Tak apalah. Pokoknya terima kasih."
"Oh!" hampir saja Elizabeth menghardik Richard. Tetapi ia segera melihat mata
Richard yang seakan tertawa, dan ia pun ikut tertawa. "Oh, Richard, mudah-
mudahan Pak Lewis mengajar kita berduet lagi semester ini."
"Ayo, ucapkan selamat tinggal kepada para pengantar," kata Bu Ranger, mendekati
kelompok kecil itu. "Kereta api akan segera berangkat. Harap segera mencari
tempat duduk." Bu Ranger adalah guru kelas Elizabeth. Ia sangat berdisiplin, sangat adil, dan
sering-sering pandai juga melucu. Elizabeth dan Joan gembira sekali bertemu
kembali dengan guru mereka itu. Bu Ranger tersenyum pada mereka dan
memperingatkan kelompok-kelompok lainnya tentang Keberangkatan kereta api
mereka. "Ingat tidak. Bu Ranger pernah mengeluarkan kau dari kelas karena kau
melontarkan penghapus pada teman-teman kita?" kata Joan, sambil tertawa
terkikik-kikik saat keduanya bergegas naik ke dalam gerbong. Elizabeth juga
tertawa. Ia berpaling pada ibunya, melambaikan tangan.
"Selamat tinggal Ibu!" serunya. "Ibu tak usah khawatir semester ini. Kali ini
aku akan berusaha keras untuk menjadi murid yang baik!"
Lokomotif membunyikan peluit, melengking keras. Semua murid kini sudah berada di
dalam gerbong khusus mereka. Para pengantar - ayah, ibu, paman atau bibi -
melambai sebagai ucapan selamat jalan. Kereta api pun mulai meninggalkan
stasiun. Dan segera kota London tertinggal di belakang.
"Kini kita berangkat!" kata Elizabeth. Ia melihat berkeliling. Ada Belinda.
Nora. Harry. Dan John Terry juga. John malah telah mengedarkan sebungkus kembang
gula. Semua mengambil masing-masing satu. Tak lama gerbong itu telah penuh
dengan keributan anak-anak yang bercakap-cakap dan bercanda, ramai membicarakan
masa liburan mereka. "Apakah ada anak baru?" tanya Joan. "Aku kok belum lihat."
"Ya. Dua atau tiga orang," kata John. "Tadi kulihat seorang anak lelaki baru, di
ujung gerbong ini. Juga dua orang anak perempuan. Mungkin mereka akan sekelas
dengan kalian. Aku tak begitu suka pada si anak lelaki. Wajahnya seperti masam
saja." "Anak-anak perempuannya bagaimana?" tanya Joan. Tetapi John tidak mendengar
pertanyaan itu. "Toh kita nanti bisa melihat mereka di sekolah," kata Joan. "Hei, Elizabeth. Apa
yang kaubawa di kotak makananmu" Ibuku mengisi kotakku dengan satu kotak besar
coklat, sebuah kue jahe, satu kaleng sirup kuning, dan roti berlapis selai."
"Kedengarannya lezzzaaat!" kata Elizabeth. Segera juga anak-anak ribut
membicarakan isi kotak makanan mereka, sementara kereta api terus menderu
melaju. Akhirnya perjalanan panjang tersebut berakhir juga. Kereta api berhenti di
sebuah stasiun desa. Anak-anak berlompatan turun, menghambur lari menuju dua bis
yang sudah menunggu. "Ayo kita lihat pemandangan pertama atas sekolah kita," seru Elizabeth saat bis-
bis itu mulai berangkat. "Oh, itu dia! Itu dia! Sungguh indah!"
Anak-anak memandang ke puncak bukit, tempat sekolah mereka berdiri. Semua
gembira bisa melihatnya lagi. Di pagar tembok sekolah itu, di sana-sini tanaman
sulur-sulurannya telah mulai memerah, dan jendela-jendela kaca memantulkan sinar
matahari musim gugur. Gapura besar telah mereka lewati, bis-bis menderu terus dan berhenti di pintu
depan. Elizabeth ingat sekali saat pertama kali ia tiba di sini, lima bulan yang
lalu, pada permulaan semester musim panas. Dahulu ia begitu membenci gedung
tersebut! Kini ia begitu riang melompat menuruni tangga bis bersama anak-anak
lain dan berpacu berlari memasuki sekolah mereka.
la melihat berkeliling, mencari ketiga anak baru yang dikatakan John tadi. Dan
dilihatnya mereka berdiri ragu-ragu, tak tahu harus berbuat apa, tak tahu harus
pergi ke mana. Elizabeth menggamit tangan Joan. "Ayo kita bantu anak-anak baru
itu," katanya. "Mereka bagaikan anak tersesat saja."
"Baiklah." Keduanya mendekati ketiga anak tadi. Umur ketiga anak tersebut
agaknya sekitar sebelas atau dua belas tahun, walaupun si anak lelaki tampaknya
lebih besar daripada anak seumurnya.
"Ikutlah kami. Akan kami tunjukkan tempat membersihkan diri dan tempat makan
malam," kata Elizabeth. Ketiga anak itu memandang dengan rasa terima kasih. Saat
itu Rita, Ketua Murid lewat dan mengangguk setuju pada Elizabeth.
"Agaknya anak-anak baru ini telah memperoleh perlindungan yang tepat," kata
Rita. "Baru saja aku akan mengurus mereka. Bagus! Terima kasih. Elizabeth,
Joan!" "Itu Ketua Murid, salah satu di antara dua orang yang menjadi ketua di sini,"
kata Elizabeth pada anak-anak baru itu. "Dan lihat, itu William, Ketua Murid
yang satunya lagi. Mereka murid-murid teladan. Ayo, ikutilah aku. Akan
kutunjukkan tempat kalian bisa membasuh muka atau tangan, dan merapikan
pakaian." Mereka bergegas ke lantai bawah, tempat mencuci tangan dan muka serta merapikan
pakaian. Kemudian bergegas ke ruang makan, lapar bagaikan berhari-hari tidak
makan. Betapa lezatnya bau sup, betapa indahnya wortel dan bawang terapung-apung
pada sup itu! "Senang sekali kembali bersekolah," kata Elizabeth melihat berkeliling, pada
wajah-wajah yang dikenalnya, yang tersenyum riang seperti dirinya. "Entah
peristiwa apa yang akan kita alami dalam semester ini."
"Rasanya tak akan ada peristiwa yang cukup berkesan seperti dulu," kata Joan.
Tetapi salah dugaan Joan. Banyak sekali peristiwa yang terjadi nanti.
2. Kehidupan di Sekolah Dimulai
Akhirnya semua siap untuk memulai kehidupan di sekolah itu. Kecuali beberapa
orang murid baru, murid-murid lama kebanyakan berada di kelas yang sama seperti
semester yang lalu. Beberapa orang memang pindah ke kelas yang lebih tinggi, dan
untuk beberapa hari mereka merasa dirinya istimewa. Ketiga anak baru yang
ditemui Elizabeth waktu mereka pertama kali datang ke sekolah itu ternyata
memang sekelas dengan Elizabeth.
Bu Ranger mencatat nama mereka. "Jennifer Harris, Kathleen Peters, Robert
Jones." Jennifer tampaknya bersifat periang, dengan rambut lurus dipotong pendek dan
berponi tebal. Matanya yang cokelat selalu berseri. Anak-anak lain segera merasa
bahwa Jennifer akan menjadi teman yang menyenangkan.
Kathleen Peters berwajah agak pucat berbintik-bintik. Rambutnya tak pernah bisa
rapi, wajahnya menggambarkan suatu perasaan yang tak menyenangkan-bagaikan
cemberut terus-menerus. Beberapa hari pertama tak ada yang menyukai Kathleen.
Robert Jones lebih besar dari anak lain seumurnya, wajahnya juga muram. Tetapi
bila tersenyum wajah itu sangat berbeda-lebih menyenangkan.
"Aku tak menyukai bibir Robert. Kalau kau bagaimana?" tanya Joan suatu hari pada
Elizabeth. "Bibirnya terlalu tipis dan selalu cemberut. Tampaknya ia juga agak
kejam."

Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ah, kita toh tak bisa mengubah bentuk bibir kita," kata Elizabeth.
"Kukira dalam hal ini kau salah," kata Joan. "Aku yakin wajah kita cermin
pribadi kita, bisa diubah!"
Elizabeth tertawa. "Kalau begitu alangkah baiknya kalau Kathleen Peters segera
berusaha mengubah wajahnya!" katanya.
"Ssst," kata Joan. "Dia dengar lho!"
Minggu pertama terasa berlangsung lama sekali. Buku-buku baru dibagikan, begitu
juga pensil dan pena baru. Tempat duduk di kelas ditentukan, dan ternyata Joan
ditempatkan berdampingan dengan Elizabeth. Alangkah senangnya mereka. Mereka
duduk dekat jendela, bisa melihat keindahan bunga di kebun.
Siapa pun yang mau boleh bekerja di kebun. John Terry membagikan petak-petak
tanah pada mereka yang ingin ikut bercocok tanam-dengan syarat mereka harus ikut
memeliharanya dengan baik. Petak-petak kecil ini berbatasan dengan dinding
pagar, merupakan petak-petak kecil indah, dengan bunga beraneka warna. Ada juga
yang menanam selada. Atau bunga hias. Malahan seorang anak yang sangat mencintai
mawar menanamkan enam batang bunga mawar di petak bagiannya tanpa tumbuhan
lainnya! Elizabeth tidak mau kalau hanya kebagian satu petak. Ia lebih suka membantu John
di padang yang lebih luas. Elizabeth sudah ingin membuat rencana baru bersama
John tentang kebun sekolah mereka. Ia banyak memiliki rencana tentang berkebun,
dan semasa liburan ia tekun mempelajari buku berkebunnya.
Anak-anak juga diperkenankan memelihara binatang kesayangan mereka-kecuali
anjing atau kucing, sebab keduanya sulit diurus dan tak bisa ditaruh di dalam
kandang. Ada anak yang memelihara kelinci, marmut, burung merpati lengkap dengan
rumah-rumahannya di puncak sebatang tiang tinggi, ada yang membawa burung kenari
atau ikan emas. Sungguh menyenangkan memiliki binatang peliharaan. Tidak semua
anak mempunyai binatang peliharaan, sebab hanya mereka yang sayang binatang
sajalah yang diberi hak untuk mengurus binatang peliharaan mereka.
Binatang-binatang peliharaan itu dikumpulkan dalam sebuah pondok besar dan luas,
tak jauh dari kandang kuda-kuda yang biasa dinaiki oleh anak-anak itu.
Sekolah juga beternak ayam dan itik. Ini bukan termasuk binatang peliharaan
anak-anak, tetapi siapa yang senang boleh ikut membantu mengurus dan memberi
makan unggas-unggas itu. Di padang rumput sekolah juga digembalakan tiga ekor
sapi Jersey yang sehat-sehat, sumber susu yang tak kering-kering. Dua orang anak
perempuan dan seorang anak laki-laki bertugas untuk memerah susu sapi-sapi ini.
Untuk tugas tersebut mereka terpaksa harus bangun lebih pagi tiap hari. Tetapi
ketiganya tidak berkeberatan. Bagi mereka tugas tersebut adalah semacam
kegemaran. Sesuatu yang menyenangkan!
Jennifer Harris memiliki beberapa ekor binatang peliharaan. Tikus-tikus putih
yang kecil-kecil dan lucu-lucu! Jennifer sangat senang pada tikus-tikus
tersebut. Tikus-tikus itu diletakkan di dalam sebuah kandang besar, yang
dibersihkan dengan teliti tiap hari oleh Jennifer, hingga selalu bersih tak
bernoda sedikit pun. Tikus-tikus ini merupakan suatu keunikan-belum pernah
sebelumnya ada yang memelihara tikus. Suatu hari Elizabeth dan Joan berkunjung
ke kandang tikus-tikus tersebut.
"Lucu bukan?" kata Jennifer, dan membiarkan seekor tikus lari di lengannya, di
dalam lengan bajunya. "Lihat matanya. Merah dan lucu! Cobalah, Elizabeth,
biarkan yang ini lari di dalam lengan bajumu. Geli sekali rasanya, tetapi
menyenangkan!" "Oh, terima kasih," kata Elizabeth cepat-cepat. "Bagimu mungkin menyenangkan,
tetapi pasti tidak bagiku."
"Halo! Itukah tikus-tikus putihmu, Jennifer?" tanya Harry yang tiba-tiba muncul.
"Manis-manis sekali! Hei, lihat! Ada seekor di dalam bajumu, mengintip dari
balik leher baju! Kau sudah tahu?"
"Oh, tentu saja," kata Jennifer. "Ambillah, Harry. Ia pasti lari di dalam lengan
bajumu dan muncul di leher."
Memang benar kata Jennifer Tikus tadi berlari menyusuri lengan baju Harry dan
tak lama ujung hidungnya yang kecil-mungil muncul di balik leher baju. Joan
menggigil geli dan takut juga.
"Ih! Rasanya tak mungkin aku tahan dijadikan tempat lari tikus-tikus itu," kata
Joan. Lonceng berbunyi. Tikus-tikus tersebut segera dimasukkan kembali ke dalam
kandang. Joan cepat-cepat menengok kedua ekor kelincinya. Gemuk-gemuk dan
tampaknya tak kekurangan suatu apa pun. Kelinci-kelinci tersebut dirawatnya
bersama Elizabeth. Waktu minum teh dan makan malam terasa lebih menyenangkan di minggu pertama itu.
Anak-anak diperkenankan untuk mengeluarkan apa saja yang mereka sukai dari kotak
penganan yang mereka bawa dari rumah. Kue-kue besar, roti lapis, permen,
cokelat, daging kaleng, selai... apa saja! Semua saling membagikan bawaan mereka
masing-masing, walaupun Robert, si anak baru, tampaknya tidak terlalu gembira
dengan kebiasaan itu. Juga Elizabeth melihat bahwa Kathleen Peters tidak
menawarkan permennya, walaupun tanpa keberatan ia menawarkan daging kalengnya.
Elizabeth teringat betapa pelitnya ia sendiri dulu, tak mau membagikan
makanannya. Mengingat hal itu, maka ia diam saja melihat perbuatan Robert dan
Kathleen. "Aku tak bisa menyalahkan orang lain untuk perbuatan yang dulu juga pernah
kulakukan," katanya dalam hati. "Aku harus bersyukur bahwa kini kelakuanku telah
berubah." Rapat Besar pertama merupakan suatu acara terbesar minggu pertama itu. Semua
murid diharuskan hadir. Guru-guru yang ingin ikut hadir boleh datang. Biasanya
kedua pimpinan sekolah, Bu Best dan Bu Belle, memerlukan untuk hadir. Begitu
juga Pak Johns, salah seorang guru. Tetapi biasanya guru-guru ini duduk di
bagian belakang ruangan dan tidak ikut campur dalam rapat yang sedang
berlangsung, kecuali bila diminta.
Rapat Besar tadi memang semacam Parlemen sekolah. Di situlah anak-anak membuat
peraturan mereka sendiri, mendengarkan laporan tentang pelanggaran peraturan,
keluhan atau kritik. Bila ada yang berbuat salah, mereka sendirilah yang
mengadili serta menentukan hukuman apa yang harus dijatuhkan.
Memang tak menyenangkan bila kesalahan kita dibicarakan secara terbuka oleh
seluruh murid. Tetapi di lain pihak, kita juga harus berterima kasih-jarang
sekali kita tahu bahwa diri kita bersalah, dan bila hal ini tidak segera
diakhiri maka kesalahan tersebut makin hari akan makin besar, makin sulit untuk
dibenarkan lagi. Banyak murid yang dengan cara tadi sama sekali "sembuh" dari kebiasaan buruk
mereka, seperti mencontek, berdusta, nakal, atau perbuatan tak baik lainnya,
dengan petunjuk dan teguran yang dijatuhkan oleh kawan-kawan mereka sendiri di
Rapat Besar. Rapat Besar pertama diadakan sekitar satu minggu setelah sekolah mulai. Anak-
anak berduyun-duyun memasuki ruang senam. Sebuah meja besar disediakan untuk dua
belas Pengawas, yang akan bertindak sebagai Dewan Juri. Mereka ini hasil
pemilihan semester musim panas dan akan terus menjabat sebagai Pengawas selama
sebulan lagi. Setelah waktu sebulan tersebut, diadakan pemilihan lagi. Mungkin
ada yang terpilih kembali, atau mungkin juga tempat mereka digantikan anak lain.
Semua harus berdiri bila William dan Rita, dua orang Ketua Murid yang pada Rapat
Besar menjadi Hakim, memasuki ruangan. Keduanya duduk di tempat yang disediakan
dan hadirin pun duduk kembali.
William mengetuk meja dengan palu kecil. Semua terdiam.
"Tak banyak yang harus kita bicarakan hari ini," Ketua Murid berkata. "Aku yakin
semua anak baru sudah diberitahu mengapa kita mengadakan Rapat Besar ini setiap
minggu, dan apa yang kita lakukan pada setiap Rapat Besar, seperti ini. Kalian
semua melihat, di meja ini duduk dua belas pengawas kita. Kalian semua tahu
mengapa mereka terpilih sebagai Pengawas. Mereka kita pilih karena kita percaya
akan kemampuan mereka untuk berpikir tajam dan adil, setia pada sekolah dan baik
hati. Dan karena kita sendiri yang memilih mereka, maka kita harus mematuhi
mereka dan mengikuti peraturan yang mereka buat."
Kemudian Rita berkata, "Kuharap kalian semua telah membawa semua uang yang
kalian miliki. Mungkin anak baru sudah diberitahu, semua uang yang kita miliki
harus dimasukkan ke dalam kotak uang bersama. Dari kotak tersebut tiap minggu
setiap anak akan diberi uang saku sebesar dua shilling. Dengan uang tersebut
kalian bisa membeli apa saja yang kalian inginkan: prangko, permen, pita rambut,
tali sepatu, dan sebagainya. Kalau ada yang memerlukan uang lebih dari dua
shilling maka ia harus menerangkan apa sebab keperluan berlebih itu. Dan Rapat
Besar akan memutuskan apakah keperluan tersebut patut disetujui.
Bila disetujui maka uang tambahan akan diberikan. Nah. Kini harap siapkan uang
kalian, Nora akan mengedarkan kotak uang."
Nora bangkit. Diambilnya kotak, diberikannya pada anak di ujung tiap baris. Anak
tersebut akan memasukkan uangnya ke dalam kotak dan kemudian memberikannya pada
anak di sampingnya dan begitu seterusnya. Semua memasukkan uang mereka, kecuali
Robert Jones, si anak baru. Ia tampak keberatan.
"Begini," kata Robert. "Aku punya uang satu pound (1 poundsterling = 4 crown =
20 shilling = 240 pence) dari kakekku. Tetapi kurasa tak ada perlunya
memasukkannya ke dalam kotak. Bisa-bisa aku tak dapat melihatnya lagi nanti."
"Robert, di antara kita ada yang punya uang terlalu banyak, ada pula yang
terlalu sedikit," William menerangkan.
"Kadang-kadang bila kita berulang tahun memperoleh hadiah uang banyak sekali,
tetapi kadang-kadang kita juga tak punya uang sama sekali. Dengan memasukkan
uang kita ke dalam kotak uang bersama, maka kita bisa yakin bahwa setiap minggu
kita pasti mempunyai uang saku dua shilling. Semua mendapat uang saku yang tepat
sama, jadi adil. Dan kalaupun kita memerlukan uang lebih dari itu, kita selalu
bisa minta pada Dewan Juri untuk memberi izin memperoleh kelebihan uang itu.
Nah, sekarang masukkan uangmu."
Robert memasukkan uangnya, tetapi tampak sekali ia memasukkannya hanya karena
terpaksa. Mukanya semakin muram saja, lebih muram dari biasanya.
"Jangan cemberut saja," bisik Elizabeth. Tetapi Robert malah memandangnya dengan
marah sehingga Elizabeth tak mau berbicara lagi. Nora mengambil kembali kotak
uang tadi dan membawanya ke meja di depan. Kini kotak itu tampak sangat berat.
Dua shilling dibagikan pada semua anak, langsung mereka simpan di saku atau
dompet. Rita dan William juga mendapat bagian dua shilling seperti anak lainnya.
"Ada yang memerlukan uang tambahan minggu ini?" tanya William, melihat
berkeliling. Kenneth berdiri. "Bolehkah aku mendapat tambahan enam pence?" tanyanya. "Aku
meminjam buku dari perpustakaan sekolah, dan buku tersebut agaknya terselip
entah di mana. Aku didenda enam pence."
"Ambil enam pence dari uang sakumu yang dua shilling itu," kata William dan para
anggota Dewan Juri mengangguk setuju.
"Kurasa tak pada tempatnya bila sekolah harus ikut membayar sesuatu yang terjadi
karena kelalaianmu, Kenneth. Sudah terlalu banyak buku yang hilang. Bayar
sendiri denda enam pence itu, dan uang itu akan kauperoleh kembali bila buku
tersebut sudah kautemukan. Permintaan uang tambahan ditolak."
Seorang anak perempuan berdiri. "Ibuku pergi ke luar negeri. Aku harus menulis
surat padanya seminggu sekali. Tetapi surat ke luar negeri prangkonya tujuh
pence. Bolehkah aku memperoleh sedikit uang tambahan untuk meringankan bebanku
itu" Para anggota Dewan Juri berunding. Mereka setuju bahwa memang kasihan jika Mary
harus menghabiskan begitu banyak uang hanya untuk keperluan membeli prangko.
"Baiklah. Setiap minggu kau akan memperoleh uang tambahan empat setengah pence,"
kata Rita akhirnya. "Itu berarti kau hanya mengeluarkan uang dua setengah pence
seperti biasa untuk prangko dalam negeri, sedang sisanya dibayar oleh sekolah.
Kurasa itu cukup adil."
"Oh, ya!" kata Mary bersyukur. "Terima kasih!" Uang empat setengah pence
diberikan pada Mary dan dimasukkannya ke dalam dompet. "Kukira itu saja acara
kita minggu ini," kata
Rita melihat buku catatannya. "Kalian mengerti bukan, bahwa segala tingkah laku
kasar dan buruk, seperti misalnya keji, keras kepala, berbuat curang di ujian
atau ulangan, mengancam anak yang lebih lemah dan sebagainya, harus dibawa ke
Rapat Besar ini untuk diselesaikan bersama. Kuharap anak-anak baru bisa mengerti
bahwa laporan di Rapat Besar bukan hanya sekadar mengadu. Kalau bingung harap
bertanya pada Pengawas masing-masing."
"Baik," kata Nora.
"Sekarang... ada keluhan atau pengaduan?" tanya William, mengangkat wajahnya.
Tak ada. Maka Rapat Besar itu pun bubar. Anak-anak berhamburan keluar. Elizabeth
agak termenung-menung waktu keluar itu. Ia mengenang saat-saat pahit yang
dialaminya di hampir setiap Rapat Besar semester yang lalu. Begitu keras kepala
dan kasar kelakuannya waktu itu. Ia hampir tak bisa mempercayai itu sekarang.
Ia pergi dengan Joan untuk memberi makan kelinci mereka. Seekor di antaranya
begitu jinak, berbaring diam di gendongan Elizabeth. Senang sekali hati
Elizabeth. "Tampaknya semester ini akan berlalu tenang-tenang saja," kata Joan. "Kuharap
seterusnya suasana seperti ini."
Tetapi ternyata harapan Joan itu tinggal harapan.
3. Elizabeth Mendapat Musuh
Suasana tenang itu ternyata dirusak oleh dua dari anak-anak baru. Anak-anak
segera menyadari bahwa Robert dengki dan keji. Juga segera diketahui bahwa
Kathleen Peters, si anak berwajah pucat dan berbintik-bintik, suka bertengkar
dan sulit bergaul. Sebaliknya, ternyata Jennifer Harris sangat lucu. Ia pandai sekali menirukan
gerak-gerik dan cara berbicara semua guru, terutama Mam'zelle (nona dalam bahasa
Prancis-mademoiselle) yang mengajar bahasa Prancis. Bila bicara Mam'zelle banyak
sekali menggerakkan tangan, dan nada suaranya selalu naik-turun dengan cepat.
Jennifer bisa meniru raut muka, cara bicara, dan cara menggerakkan tangan
Mam'zelle dengan tepat, sehingga seisi kelas bisa terpingkal-pingkal dibuatnya.
"Jenny menyenangkan," kata Elizabeth. "Tetapi kurasa aku tak bisa berteman
dengan Robert dan Kathleen. Menurut pendapatku Robert seorang anak yang kejam,
Joan." "Mengapa?" tanya Joan. "Apakah ia pernah kurang ajar padamu?"
"Tidak... tidak padaku," kata Elizabeth. "Kemarin aku mendengar seseorang
menjerit. Kulihat Janet kecil lari dari Robert, menangis. Kutanyai anak itu,
tetapi ia tak mengaku. Mungkin sekali Robert telah mencubitnya atau entah
diapakan anak itu." "Kurasa sih memang begitu," kata Joan.
Belinda Green mendengar percakapan mereka dan mendekat.
"Kukira Robert merasa dirinya jagoan, paling berani, paling kuat," kata Belinda.
"Ia selalu mengganggu anak kecil, menggertak mereka, mengganggu permainan
mereka, dan bila iseng mencubiti siapa saja."
"Kurang ajar!" desis Elizabeth, yang selalu membenci ketidakadilan. "Awas kalau
sampai kulihat sendiri. Akan kulaporkan dia ke Rapat Besar!"
"Hati-hati saja," kata Belinda. "Kau harus yakin bahwa apa yang kaulaporkan
benar. Kalau tidak kau takkan didengar oleh sidang."
Saat itu Robert muncul. Ketiga gadis tersebut langsung diam. Robert sengaja
menubruk Elizabeth, hingga hampir saja Elizabeth terbanting ke dinding.
"Oh, maaf, aku tak melihat kau!" Robert menyeringai, melanjutkan perjalanan
masuk ke dalam kelas. Marah Elizabeth meluap. Ia sudah melangkah untuk mengejar
Robert, tetapi Joan cepat menangkap tangannya.
"Ia sengaja ingin membuatmu marah," kata Joan. "Jangan sampai kau terpancing
olehnya!" "Bagaimana aku tidak marah. Dia memang kurang ajar!" kata Elizabeth geram.
Bel berbunyi dan pelajaran akan dimulai sehingga tak ada waktu untuk berbuat apa
pun terhadap kejadian tadi. Elizabeth yang sekelas dengan Robert memandang marah
pada anak laki-laki itu. Robert mengejeknya dari jauh. Dan mulai saat itu mereka
pun bermusuhan. Ketika Robert hampir salah semua dalam soal hitungannya, Elizabeth tersenyum
kegirangan. "Syukur!" katanya.
Sayang sekali Bu Ranger mendengar dan melihat tingkah Elizabeth itu. Dengan
tajam ibu guru itu berkata, "Apakah kita perlu senang kalau orang lain berbuat
salah?" Giliran Robert kini yang menyeringai senang.
Baik Robert maupun Elizabeth sama-sama gembira bila salah satu di antara mereka
mendapat nilai buruk. Tetapi Elizabeth lebih sering punya kesempatan untuk
menertawakan Robert, sebab ia termasuk anak cerdas, cepat menguasai pelajaran
dengan baik. Sementara Robert agak lambat berpikir, walaupun tubuhnya lebih
tinggi dan lebih besar Dalam permainan pun mereka berusaha keras untuk saling mengalahkan atau
menyakiti. Dan mereka sering secara kebetulan merupakan pihak-pihak yang berlawanan. Dan
setiap ada kesempatan bagi Robert untuk memukul tangan Elizabeth dengan tongkat
lacrosse, atau menghantam kakinya dengan tongkat hockey, maka itu dilakukannya
dengan senang hati. Begitu juga dengan Elizabeth. Sesungguhnya ia tak suka
menyakiti orang lain, tetapi terhadap Robert ia membuat perkecualian. Setiap
saat ia mengincar kesempatan untuk menyakiti Robert. Dan bila kesempatan itu
ada, maka digunakannya dengan sepenuh tenaganya.


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pak Warlow, guru olah raga, segera melihat hal ini. Dipanggilnya kedua anak
tersebut. "Kalian sedang bertanding, bermain. Bukannya bertempur," kata Pak Warlow tegas.
"Jangan bawa rasa permusuhanmu ke dalam pertandingan hockey dan lacrosse, dan
bermainlah dengan baik."
Elizabeth menjadi malu oleh teguran ini, dan menghentikan usahanya untuk
menyakiti Robert. Tetapi Robert tampaknya semakin bersemangat untuk
menghadiahkan pukulan yang menyakitkan pada Elizabeth, hanya kini ia
melakukannya dengan licik, setiap kali Pak Warlow tak melihat.
"Elizabeth, kau benar-benar bodoh bermusuhan dengan Robert," kata Nora suatu
hari. "Dia lebih besar darimu. Menghindar sajalah darinya. Suatu saat kau akan
kehilangan kesabaranmu, kehilangan akal warasmu dan kau akan terjebak untuk
melakukan suatu perbuatan yang melanggar peraturan. Itulah agaknya yang sedang
direncanakan oleh Robert."
Tetapi Elizabeth sama sekali tak mau mendengar nasihat seperti itu. "Aku tak
takut pada Robert," katanya geram.
"Bukan itu soalnya," kata Nora. "Ia berbuat itu semua hanya untuk membuatmu
marah. Kalau kau tak memperhatikannya, tak membalas apa pun yang dilakukannya,
maka ia akan bosan sendiri."
"Ia seorang yang sok jago dan keji!" kata Elizabeth.
"Kau tak boleh mengatakan seperti itu, kecuali bila kau punya bukti-bukti yang
cukup," kata Nora segera. "Dan bahkan kalau kau mempunyai bukti cukup, kau harus
melaporkannya pada Rapat Besar. Di situlah tempat untuk menegur siapa pun yang
kauanggap bersalah. Kau tahu itu."
Dengan muka cemberut Elizabeth meninggalkan Nora. Mengapa Nora tidak
mempercayainya" Nora memang tidak sekelas dengannya, jadi tak mengetahui betapa
menyebalkannya Robert. Sore hari berikutnya, setelah minum teh, Elizabeth pergi mengunjungi kelincinya.
Dalam perjalanan ia mendengar seseorang menjerit dengan suara memohon, "Jangan
ayunkan aku terlalu tinggi! Jangan!"
Elizabeth mengintip ke arah tempat ayunan. Dilihatnya seorang anak kecil, kira-
kira berumur sembilan tahun, bermain ayunan. Dan Robert mendorong ayunan
tersebut hingga terayun tinggi-tinggi.
"Aku takut sekali!" teriak anak kecil bernama Peter itu. "Aku ingin muntah! Aku
bisa jatuh nanti! Hentikan, Robert! Hentikan! Jangan ayun lagi!"
Tetapi Robert tidak memedulikan jeritan anak kecil itu. Bibirnya yang tipis
terkatup keji, matanya bersinar nakal, dan ia mengayunkan ayunan lebih tinggi
lagi, lebih tinggi, dan lebih tinggi lagi.
Elizabeth marah sekali hingga terpaksa ia mengerjap-ngerjapkan matanya untuk
bisa melihat dengan jelas.
"Hentikan!" ia berteriak, dan berlari mendekat. "Jangan berbuat begitu! Bisa
sakit Peter nanti!" "Jangan ikut campur!" bentak Robert. "Ia sendiri yang minta diayun. Pergi kau,
sok usil! Selalu ikut campur urusan orang lain!"
"Tidak!" seru Elizabeth. Ia mencoba menangkap ayunan waktu berayun ke bawah.
Telapi Robert lebih cepat. Ia mendorong Elizabeth sehingga terbanting ke dalam
semak-semak, kemudian diayunkannya Peter lebih tinggi lagi.
"Akan kukatakan pada yang lain!" teriak Elizabeth, bangkit.
"Tukang ngadu! Tukang ngadu!" Robert berteriak berlagu, kembali mendorong ayunan
tinggi-tinggi. Habis kesabaran Elizabeth. Diserbunya anak yang menjengkelkan itu.
Dicengkeramnya rambut Robert, dientakkannya, sehingga sejumlah rambutnya ikut
tercabut! Kemudian ditamparnya Robert dan ditinjunya perutnya keras-keras!
Robert mengerang lalu roboh, terbungkuk-bungkuk. Elizabeth menghentikan ayunan,
membantu Peter yang gemetar ketakutan turun.
"Kalau ingin muntah, muntahlah," kata Elizabeth. "Jangan minta diayun lagi oleh
Robert." Terhuyung Peter pergi, wajahnya pucat sekali. Elizabeth berpaling pada Robert.
Tetapi saat itu muncul beberapa orang anak, tiga atau empat orang, dan baik
Robert maupun Elizabeth tahu bahwa tak baik berkelahi disaksikan anak lain.
"Akan kulaporkan kau dalam Rapat yang akan datang!" geram Elizabeth masih sangat
marah. "Tunggu saja nanti! Tunggu saja! Kau pasti dihukum, anak kejam!"
Ia menghambur pergi. Robert melihat pada anak-anak yang mendatangi itu dan
berbuat pura-pura heran. "Galak sekali anak itu!" katanya. "Lihatlah! Rambutku dicabutinya!"
Diambilnya beberapa lembar rambutnya yang dibuang Elizabeth, ditunjukkannya pada
anak-anak tersebut. Mereka jadi keheranan.
"Pasti kau berbuat sesuatu yang sangat menggusarkan hatinya sehingga Elizabeth
marah seperti itu," kata Kenneth.
"Aku hanya membantu seorang anak berayun, mendorong ayunannya," kata Robert.
"Dan seperti biasa Elizabeth ikut campur. Mengapa sih ia selalu menggangguku"
Tak heran bila dalam semester yang lalu ia dijuluki gadis yang paling badung di
sekolah." "Kami menempelkan selembar kertas di punggungnya, dan memberikan julukan Si
Badung Bandel Bengal!" seseorang berkata, tertawa, teringat betapa marahnya
Elizabeth waktu itu. "Kau memukul dia, Robert" Kalau kau memukulnya, maka kau
salah, keji. Anak perempuan memang kadang-kadang kelewatan. Tetapi kita sebagai
anak laki-laki tak boleh memukul mereka."
"Tidak, menyentuh sedikit pun tidak," kata Robert, walaupun sesungguhnya ia tadi
akan menyerang Elizabeth kalau anak-anak itu tidak muncul. Ia akan menampar
Elizabeth sebagai balasan.
"Aku tidak melakukan apa-apa," kata Robert. "Tiba-tiba saja ia meledak marah dan
menyerangku! Dasar badung!"
Elizabeth waktu itu sudah berlari menemui Joan, mengatakan apa yang telah
terjadi. Joan mendengarkan dengan perasaan cemas.
"Robert memang seorang anak nakal yang kurang ajar," kata Joan. "Dan ia memang
harus dihentikan. Tetapi, oh, Elizabeth, sayang sekali kau telah menyerangnya
lebih dahulu! Sayang sekali kau kehilangan kesabaranmu! Kau betul-betul terlalu
pemarah!" "Siapa pun akan menjadi marah melihat ia mengayunkan Peter! Diayunkan sampai
hampir mencapai puncak!" kata Elizabeth, marahnya masih menggelegak. "Peter
sampai pucat, ingin muntah."
"Menurut pikiranmu, bila kau melapor pada Rapat Besar nanti, kau yakin laporanmu
akan diterima, tidak dianggap hanya mengadu dan mengarang saja?" tanya Joan
ragu-ragu. "Kalau aku jadi kau, aku akan bertanya dulu pada Nora."
"Untuk apa?" kata Elizabeth, teringat betapa Nora tak mau mempercayainya. "Aku
bisa menentukan sendiri. Aku melihat semuanya itu dengan mata kepalaku sendiri!
Baiklah. Akan kulaporkan perbuatan Robert pada Rapat Besar besok. Kita lihat
saja nanti apa yang akan dikatakan Dewan Juri. Robert pantas mendapat hukuman
yang berat, benar-benar berat!"
Sehari itu Elizabeth marah-marah terus. Dan keesokan harinya tak sabar ia
menunggu sampai Rapat Besar dimulai, untuk melaporkan Robert. Biar tahu rasa
anak itu, apa hukumannya untuk anak yang kejam terhadap anak lain.
Robert tampaknya tidak peduli sama sekali akan kemungkinan Elizabeth
melaporkannya. Setiap kali Elizabeth memandangnya, Robert mengolok-oloknya dari
jauh. Tak heran makin lama Elizabeth makin marah saja.
"Tunggu saja nanti dalam Rapat Besar! Tahu rasa kau nanti!" kata Elizabeth.
Tetapi ternyata nanti Elizabeth-lah yang bahkan "tahu rasa".
4. Apa yang Terjadi di Rapat Besar"
Rapat besar tiba. Elizabeth duduk di samping Belinda dan Joan, tak sabar
menunggu waktu untuk melaporkan Robert. Robert duduk tak jauh darinya, wajahnya
muram dan sama sekali tak tersenyum. Tetapi di mata Robert tampak suatu sinar
licik setiap kali ia berpaling pada Elizabeth.
"Aku takut kalau-kalau Robert juga akan melaporkanmu," bisik Joan pada
Elizabeth. "Tampaknya ia menyembunyikan sesuatu."
"Aku tak peduli," kata Elizabeth. "Tunggu saja sampai rapat ini mendengarkan
laporanku!" William dan Rita masuk, bersama guru-guru. Hadirin berdiri. Kedua Ketua Murid
duduk, dan rapat pun mulai.
Uang dikumpulkan. Jumlahnya tak banyak. Kenneth baru saja berulang tahun dan
memperoleh uang lima shilling. Semua dimasukkannya ke dalam kotak Janet
memasukkan satu shilling. Kemudian setiap anak memperoleh dua shilling. Mary
memperoleh tambahan empat setengah pence untuk uang prangko.
"Telah kautemukan buku perpustakaan yang kauhilangkan itu, Kenneth?" tanya
William. "Minggu lalu kami berjanji akan mengembalikan dendamu yang enam pence
bila buku tersebut telah kautemukan."
"Belum, belum kutemukan," kata Kenneth. "Padahal telah kucari ke mana saja."
"Ada yang menginginkan uang tambahan?" tanya Rita, mengguncangkan kotak uang
untuk mengira-ngira berapa banyak uang di dalamnya.
"Mungkinkah aku mendapat uang tambahan?" tanya Ruth, berdiri. "Minggu lalu
uangku hilang semua, dua shilling. Sungguh kecewa aku, sebab sesungguhnya aku
akan membeli prangko."
"Hilangnya bagaimana?" tanya Rita.
"Kantongku berlubang," kata Ruth. "Uangku agaknya jatuh. Entah di mana "
"Apakah kau sudah tahu bahwa kantongmu berlubang?" tanya Rita.
Ruth ragu-ragu sejenak. Kemudian berkata, "Yah aku tahu ada lubang di kantongku.
Tadinya kecil sekali. Aku tak tahu bahwa akhirnya membesar, cukup besar untuk
dilewati uang." "Siapa pengawasmu?" tanya William. "Oh, kau, Nora. Apakah kaupikir itu karena
kesalahan Ruth sendiri?"
"Yah... begini," Nora mulai berbicara. "Terus terang saja Ruth tak begitu pandai
menjahit baju. Semester yang lalu ia kehilangan pisau lipatnya yang sangat
indah. Juga karena jatuh lewat lubang saku. Betul begitu kan, Ruth?"
"Benar," kata Ruth gelisah. "Ya, memang benar. Seharusnya lubang dalam saku itu
segera kuperbaiki. Aku agak teledor dan tak terlalu memperhatikan hal-hal kecil
seperti itu. Aku berjanji takkan ada sakuku yang berlubang setelah ini. Dan
setelah kupikir-pikir, rasanya lebih baik kubatalkan saja permintaanku tadi.
Kukira uangku hilang karena kesalahanku."
Ruth duduk. Dewan Juri berunding, cukup ramai. Kemudian seorang anak perempuan
berdiri. Eileen, seorang anak'yang baik hati, dengan rambut lebat berombak.
"Bolehkah aku bertanya sedikit?" katanya. "Kukira karena Ruth telah mengaku
bahwa itu kesalahannya sendiri, dan karena biasanya ia sangat pemurah dengan
uangnya, apakah tidak mungkin Ruth mendapat sedikit keringanan dengan memberinya
tambahan dua shilling?"
"Kami baru saja merundingkannya," kata Rita. "Dan keputusannya sebagai berikut.
Kami akan memberimu satu shilling, Ruth, dan bukannya dua shilling, sebab kami
yakin kau takkan berbuat kesalahan seperti itu untuk ketiga kalinya. Dan kau pun
sudah berkata sejujurnya. Baiklah. Terimalah uang tambahan satu shilling ini."
"Oh, terima kasih," kata Ruth, maju untuk menerima uang yang dimintanya itu.
"Aku telah meminjam prangko pada Belinda. Kini aku bisa membayar kembali utangku
tanpa harus mengurangi uang sakuku yang dua shilling. Aku akan lebih berhati-
hati kelak, Rita." "Ada lagi yang memerlukan uang tambahan?" tanya William mengetuk meja, sebab
anak-anak telah mulai ramai bercakap-cakap sendiri. Segera mereka terdiam.
Seorang anak perempuan kecil berdiri. "Minggu ini nenekku berulang tahun,"
katanya. "Aku ingin mengiriminya selembar kartu. Bolehkah aku minta uang
tambahan untuk membeli kartu itu beserta prangkonya?"
"Tidak," kata William. "Kau harus membelinya dengan uang sakumu. Permintaan
tidak dikabulkan. Ada permintaan lain?"
Tak ada yang bersuara. Elizabeth tahu bahwa acara selanjutnya adalah
mendengarkan keluhan dan pengaduan. Dadanya berdebar keras. William berbicara
sejenak dengan Rita, kemudian kembali mengetuk meja agar hadirin diam.
"Ada laporan, keluhan, atau pengaduan?" tanya William. Elizabeth langsung
berdiri. Tetapi Robert juga berdiri, dan ternyata lebih cepat darinya.
"Kau lebih dulu, Robert," kata William. "Duduklah, Elizabeth, giliranmu setelah
Robert nanti." "Oh, tetapi, William, aku harus melaporkan sesuatu yang sangat penting!"
"Nanti juga bisa," kata William. "Duduklah."
"Tetapi, William, aku ingin melapor tentang Robert," kata Elizabeth, suaranya
meninggi. "Elizabeth, lakukan apa yang diperintahkan padamu," kata Rita. "Kau nanti akan
punya cukup banyak waktu untuk mengatakan apa yang ingin kaukatakan."
Tak bisa membantah lagi, Elizabeth duduk. Ia sangat marah. Matanya bersinar
tajam ke arah Robert. Tetapi Robert pura-pura tak melihat, tampak sangat sabar
menunggu waktunya untuk berbicara.
"Nah, Robert, apa yang akan kaukatakan?" tanya William.
"Kuharap saja apa yang kukatakan ini tidak dianggap mengadu," Robert mulai
berbicara dengan suara sopan dan agak malu-malu. "Tetapi aku terpaksa melaporkan
tentang kelakuan Elizabeth Allen padaku. Aku selalu berusaha bersikap baik
padanya...." "Ooooo...," kata Elizabeth kesal. "Kau tahu sendiri kata-katamu itu tak benar!
Kau telah..." "Diam, Elizabeth!" perintah William tajam. "Kau bisa mengatakannya nanti setelah
Robert. Jangan menyela. Teruskan, Robert!"
Dada Elizabeth bagaikan meledak menahan marah. Joan memegang lengan sahabatnya
itu agar bersikap lebih tenang. Tetapi Elizabeth mengibaskan tangan Joan. Tunggu
saja nanti kalau ia punya kesempatan untuk berbicara!
"Aku selalu berusaha untuk berlaku baik padanya," Robert melanjutkan, dengan
suara yang sangat sopan. "Tetapi aku toh tak bisa membiarkannya mencabuti rambut
di kepalaku dan menampar mukaku keras-keras!"
Hening seketika semua. Heran. Semua memandang Elizabeth. Robert melanjutkan
ceritanya, sangat senang karena semua memperhatikan kata-katanya.
"Di amplop ini kusimpan sebagian rambutku yang dicabut olehnya, sebagai bukti,
kalau-kalau kalian tak mempercayai kata-kataku," kata Robert lagi. "Dan ada dua
atau tiga orang anak yang bisa dijadikan saksi tentang apa sebenarnya yang telah
terjadi. Tentu saja karena Elizabeth seorang anak perempuan maka aku tak mau
membalasnya, walaupun aku tahu bahwa di semester yang lalu ia memang terkenal
sebagai anak yang paling nakal di sekolah, dan..."
"Kau tak usah membicarakan hal itu Robert, tak ada hubungannya dengan perkara
ini," tukas William segera. "Selama ini kita mengenal Elizabeth sebagai anak
yang selalu bersikap adil dan baik hati, walaupun ia pernah sangat nakal.
Bisakah kau mengatakan mengapa Elizabeth sampai melakukan hal yang luar biasa
itu?" "Ia tak suka aku mengayunkan seseorang," kata Robert. "Ia selalu ikut campur apa
pun yang sedang kulakukan. Ia selalu tertawa bila aku berbuat kesalahan di
kelas. Tetapi itu tak ada hubungannya dengan peristiwa ini. Aku sedang
mengayunkan Peter, dan Peter menjerit-jerit kegirangan, tiba-tiba saja Elizabeth
menyerbuku, mencengkeram rambutku dan menariknya keras-keras, kemudian aku
ditamparnya dan ditinjunya!"
"Sudah. Terima kasih," kata William. "Duduklah. Elizabeth, mungkin kau bisa
menerangkan apakah yang dituduhkan Robert tadi benar. Apakah kau benar mencabut
rambut Robert dan menamparnya?"
Elizabeth langsung berdiri. Pipinya merah bagaikan api, matanya menyala-nyala
murka. "Benar!" katanya hampir berteriak. "Dan sudah pantas ia menerima hajaran itu!
Kalau perlu aku ingin mencabut rambutnya lebih banyak lagi, menamparinya...."
"Cukup, Elizabeth," Rita memutuskan perkataan Elizabeth. "Kalau kau tak bisa
mengendalikan dirimu, tak bisa menceritakan apa yang terjadi dengan baik, lebih
baik kau tak usah berkata-kata lagi."
Elizabeth tahu tak ada gunanya ia marah-marah. Sekuat tenaga ia mencoba bersikap
tenang. "Baiklah, Rita, akan kuceritakan baik-baik apa yang terjadi," katanya.
"Dan kau akan tahu bahwa sudah sepantasnya aku marah. Dan mungkin kau bisa
memahami bahwa sepantasnya aku tampar dia. Waktu itu aku akan mengunjungi
kelinciku. Tiba-tiba kudengar seseorang menjerit-jerit. Ternyata Peter. Ia duduk
di ayunan, dan berteriak minta agar Robert tidak mengayunnya lagi sebab ia sudah
sangat ketakutan." "Teruskan," kata William dengan nada dingin.
"Aku segera berlari untuk menghentikan ayunan itu. Tetapi Robert menghalangiku,
mendorongku hingga terjatuh," kata Elizabeth, merasakan betapa kemarahannya
makin lama makin meninggi lagi, saat ia menceritakan apa yang terjadi. "Aku
bangkit dan menangkap Robert agar tidak mengayun Peter lagi. Peter sudah begitu
pucat dan terayun sangat tinggi. Aku takut kalau anak itu terjatuh. Oh, William,
Rita, ini bukan pertama kalinya Robert menyiksa anak kecil! Ia benar-benar
seorang anak yang kejam!"
Hening sekali lagi. Setiap orang yang hadir tahu betapa gawatnya persoalan yang
mereka hadapi. Siapa yang benar" Robert ataukah Elizabeth" Bersifat kejam
terhadap yang lemah suatu tindakan yang sangat dibenci di sekolah itu. Tetapi
pemarah dan suka berkelahi juga suatu kesalahan besar.
Joan sangat bingung. Ia tahu benar Elizabeth berniat untuk berkelakuan sangat
baik semester ini, dan ternyata kini si berandalan ini telah terlibat suatu


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesulitan berat! Tak ada gunanya menghentikan Elizabeth. Jika Elizabeth melihat
sesuatu yang dianggapnya tidak adil, ia pasti langsung hilang kesabaran dan
mencoba membenarkannya. Joan tak tahu bagaimana perkara pelik ini bisa
diselesaikan. William dan Rita berunding dengan suara perlahan. Dewan Juri juga membicarakan
perkara tersebut. Robert duduk. Tenang-tenang saja. Sama sekali tak peduli. Ia
bahkan tidak melihat pada Elizabeth, sama sekali.
William mengetuk meja, minta agar hadirin diam. "Kami ingin bertanya pada mereka
yang melihat peristiwa itu. Siapakah yang hadir waktu hal tersebut terjadi?"
Tiga orang anak berdiri. Secara singkat mereka berkata bahwa mereka telah
melihat rambut Robert yang tercabut, serta melihat pipi Robert yang merah kena
tampar. "Apakah Robert balas memukul?" tanya Rita.
"Kami tidak melihatnya berbuat itu," jawab Kenneth, kemudian duduk. Ia merasa
kasihan pada Elizabeth. "Kini kami akan bertanya pada Peter apa yang telah terjadi," kata William dengan
suara yang berubah lembut. "Berdirilah, Peter, dan jawab pertanyaanku."
Si Peter kecil yang baru berumur sembilan tahun itu berdiri. Kakinya gemetar. Ia
sangat ketakutan melihat semua mata tertuju padanya.
"Apakah Robert mengayunmu terlalu tinggi?" tanya William.
Peter berpaling pada Robert. Robert memandangnya dengan pandangan aneh. Dan
Peter berbicara dengan suara semakin gemetar, "Ya, ia mengayunku cukup
tinggi...." "Apakah kau ketakutan?" tanya William.
"Tttttidak...," jawab Peter.
"Apakah kau menjerit minta tolong?" tanya Rita.
"Tidak," kata Peter, melirik ke arah Robert. "Aku hanya... aku hanya menjerit
kegirangan...." "Terima kasih," kata William. "Duduklah."
Elizabeth meloncat berdiri. "Robert pasti telah memaksa Peter untuk mengatakan
itu semua tadi!" serunya. "Coba tanyakan pada anak-anak kecil lainnya, apakah
mereka ingin mengadu tentang Robert, Rita!"
Rita berpaling pada tempat murid-murid kecil duduk.
"Apakah ada di antara kalian yang akan mengadu tentang Robert?" tanyanya. "Kalau
ia pernah berbuat kasar, nakal, atau menyakiti kalian, entah dengan cara apa
pun, harap menceritakan hal itu sekarang juga."
Elizabeth menunggu. Menurut perkiraannya sekitar enam orang anak akan berdiri
dan memberi kesaksian. Tetapi ternyata tidak! Ruang itu sunyi. Tak seorang pun
berdiri dan melapor. Sungguh aneh! Lantas, apa yang akan terjadi"
5. Elizabeth Sangat Marah
Kedua pengaduan yang diajukan dalam Rapat Besar itu begitu berat, sehingga lama
sekali kedua Hakim dan anggota Dewan Juri berunding. Sementara itu anak-anak
lainnya juga sibuk membicarakan persoalan tersebut. Tak banyak yang memihak
Robert, sebab ia memang tak disukai. Tetapi hampir semua juga merasakan bahwa
Elizabeth seharusnya tidak naik pitam dan melakukan pemukulan.
"Lagi pula," kata seseorang pada kawannya, "dulu ia memang anak yang paling
nakal di sekolah kita."
"Memang. Dulu dia kita beri nama Si Badung Bandel Bengal," bisik kawannya.
"Tetapi setelah tengah semester kelakuannya sungguh sangat baik."
"Dan aku yakin benar ia berusaha menjadi murid yang baik semester ini," kata
Harry. "Sering kudengar ia mengatakan itu. Semester yang lalu ia pernah
bertengkar denganku, tetapi kemudian ia minta maaf, dan sejak itu kelakuannya
terhadapku sangat baik."
Begitulah. Pembicaraan terus berlangsung sementara Elizabeth dan Robert duduk
tegak, di hati saling membenci, saling ingin agar yang lain dihukum seberat-
beratnya. Para Hakim dan Juri sulit sekali mengambil kata sepakat Beberapa anggota Juri
berpendapat bahwa Robert memang seorang yang suka menyakiti anak-anak yang lebih
kecil- tetapi mengapa bahkan si Peter tidak memberi kesaksian tentang itu"
Mungkinkah desas-desus bahwa Robert sok jago itu hanya desas-desus belaka" Semua
anggota Dewan Juri memang terbiasa untuk berpikir dan mengambil keputusan
seadil-adilnya. Mereka pun sadar bahwa mereka tidak bisa menjatuhkan keputusan
tanpa suatu bukti. Di lain pihak, semua anggota Dewan Juri tahu betapa nakalnya
Elizabeth semester yang lalu, dan tahu juga betapa gadis kecil itu akhirnya bisa
mengalahkan dirinya sendiri dan mengubah pribadinya menjadi pribadi yang sangat
menyenangkan. Mereka tak bisa percaya bahwa Elizabeth menampar Robert hanya
karena iseng saja, hanya karena ingin berbuat nakal. Sungguh sulit. Mereka tak
ingin menghukum Elizabeth, sebab jangan-jangan Robert memang suka menyiksa anak
kecil. Akhirnya William mengetuk meja, minta agar hadirin diam. Semua hadirin terdiam,
menunggu dengan berdebar-debar apa yang akan diputuskan Hakim. Elizabeth masih
merah pipinya karena marah dan gelisah. Robert tampak pucat namun tenang.
"Menurut kami persoalan ini sungguh pelik, tak mudah untuk diputuskan," kata
William dengan suaranya yang enak didengar. "Memang jelas Elizabeth tak bisa
mengendalikan diri, dan menyerang Robert. Tetapi tak jelas apakah Robert benar-
benar menyiksa Peter. Sebab betapapun kita harus mempercayai kata-kata Peter.
Toh ia mengerti bahwa tak baik bagj kita untuk berdusta. Kita juga sudah
mengetahui pribadi Elizabeth, da tahu benar bahwa ia biasanya bersikap sangat
adil. Jadi, kalau tidak ada suatu hal yang dianggapnya keterlaluan, sulit untuk
percaya bahwa ia menyerang Robert tanpa alasan."
Hening sejenak. Seluruh hadirin seakan menahan napas untuk mendengarkan apa kata
William selanjutnya. William berpikir sejenak, kemudian melanjutkan
perkataannya. "Baiklah. Elizabeth mungkin bersalah, tetapi mungkin sekali ia merasa yakin
Robert melakukan sesuatu yang keji. Karenanya ia tak bisa menahan diri,
menyerang Robert untuk menghentikannya. Di situlah kau salah, Elizabeth. Kalau
kau cepat naik darah, maka kau sulit untuk bisa berpikir secara jernih.
Seharusnya bila kau melihat sesuatu yang kauanggap salah, kau harus berpikir
tenang, agar kau bisa mempertimbangkannya secara wajar, tidak melebih-
lebihkannya, tidak memutar-balikkannya. Kau tadi berbicara dengan sikap sangat
membenci Robert. Dan itu tidak saja melukai hatinya, tetapi juga pasti melukai
hatimu sendiri." "Aku memang benci padanya!" sembur Elizabeth marah.
"Tapi tanpa bukti yang cukup kuat bahwa Robert sering menindas anak-anak kecil,
kami tidak bisa mengadili atau menghukumnya," kata William. "Dan karena kami
yakin bahwa kau sungguh berpendapat bahwa Robert melakukan sesuatu yang salah,
kami pun tidak menghukummu. Tetapi kau harus minta maaf pada Robert karena
berlaku begitu kasar kepadanya."
Semua berpendapat bahwa keputusan ini adil sekali. Tak seorang pun menginginkan
Elizabeth dihukum berat, sebab semua menyukai gadis pemarah ini. Jadi semua
berpendapat bahwa kemungkinan besar Elizabeth salah tafsir tentang Robert, dan
karenanya Elizabeth harus meminta maaf.
Elizabeth tak berkata sepatah pun. Ia duduk kaku, wajahnya masam. Robert tampak
senang. Hebat! William berunding lagi dengan Rita, kemudian ia berbicara untuk
menutup persoalan tersebut, "Itulah keputusan kami, Elizabeth dan Robert.
Elizabeth, kau harus meminta maaf kepada Robert. Dan Robert, kau harus menerima
permintaan maaf itu dengan baik-baik. Elizabeth, kau harus mengendalikan dirimu.
Robert, jangan sampai terdapat kesan bahwa kau menindas anak-anak kecil. Sebab
kalau itu terjadi, maka hu-kumanmu akan sangat berat."
Pertemuan itu pun beralih membicarakan hal lain. Dan setelah beberapa saat,
Rapat Besar dibubarkan, sebab sudah melebihi waktu biasanya. Anak-anak keluar
dari ruang senam tak semeriah biasanya. Persoalan yang tadi mereka hadapi, masih
membekas. Perkelahian dan penindasan! Soal seperti itu sangat jarang muncul.
Robert berjalan dengan riang, tangannya dimasukkan ke dalam saku. Ia merasa
dirinya tiba-tiba jadi anak penting. Dan ia merasa girang. Ia telah menang! Kini
Elizabeth akan terpaksa meminta maaf padanya. Puas!
Tetapi Elizabeth tidak sudi meminta maaf. Joan memperhatikan wajah merah
sahabatnya itu saat mereka pergi ke ruang bermain.
"Elizabeth. Itu Robert di sana. Cepatlah minta maaf, agar persoalan ini segera
selesai," pinta Joan.
"Tak sudi!" tukas Elizabeth, menggoyangkan kepalanya keras-keras. "Tak sudi! Aku
senang telah menampar dia, telah menyakiti dia! Untuk apa berkata menyesal kalau
dalam hati sesungguhnya aku tidak menyesal?"
"Kau kan hanya minta maaf, tak perlu mengatakan menyesal. Itu kan tata cara
kesopanan saja," Joan mencoba membujuk Elizabeth.
"Dekati dia. Dan katakanlah. 'Robert, aku minta maaf! Begitu saja. Tak usah kau
berbicara hal-hal lainnya lagi."
"Tak mau!" kata Elizabeth. "Kali ini para Hakim dan Dewan Juri telah membuat
kesalahan. Tak seorang pun bisa memaksaku minta maaf."
"Elizabeth, tak peduli bagaimana perasaanmu, kau harus mematuhi William dan
Rita," kata Joan gelisah. "Perasaanmu tak penting, yang penting adalah apa yang
dirasakan anak lain terhadap dirimu. Ini adalah soal kau seorang diri menghadapi
pendapat seluruh warga sekolah ini!"
"Mungkin juga. Tetapi harus diingat bahwa kali ini aku di pihak yang benar,"
kata Elizabeth dengan suara gemetar. "Aku yakin Robert memang seorang penindas
anak kecil!" "Elizabeth, kerjakan saja apa yang sudah diputuskan oleh Rapat Besar, kemudian
kita berdua akan terus mengawasi Robert, agar suatu saat kita bisa menangkap
basah dia," pinta Joan. "Cobalah lakukan itu. Demi aku, Elizabeth. Aku akan
sangat sedih bila kau tidak mematuhi Rapat Besar, sebab seisi sekolah pasti
mengira bahwa kau takut minta maaf."
"Aku tak takut!" kata Elizabeth dengan mata bersinar marah.
Joan dalam hati tersenyum. Ia berpaling meninggalkan Elizabeth sambil berkata
lagi, "Kau takut. Kau takut menyakiti hatimu sendiri, meruntuhkan keangkuhanmu
sendiri." Elizabeth langsung berjalan mantap ke arah Robert dan berkata kaku, "Aku minta
maaf." Robert membungkuk sopan dan menjawab, "Kuterima permintaan maafmu."
Elizabeth bergegas meninggalkan tempat itu, begitu cepat sehingga Joan terpaksa
berlari-lari kecil mengikutinya.
"Jangan ikuti aku!" bentak Elizabeth marah. Ia masuk ke ruang berlatih musik,
duduk di kursi piano. Dimainkannya sebuah lagu, dengan keras dan menggambarkan
kemarahan. Pak Lewis, guru musik, dengan heran memasuki ruangan itu.
"Astaga, Elizabeth " kata Pak Lewis. "Belum pernah kudengar lagu itu dimainkan
sedemikian dahsyat. Berdirilah. Biar kumainkan sebuah lagu yang lebih dahsyat
dari itu, penuh rasa marah, dengan hujan badai hebat di dalamnya."
Elizabeth bangkit. Pak Lewis memainkan lagu yang benar-benar dahsyat, penuh
bayangan angin, laut, awan hitam, angin meraung-raung, dan pepohonan yang hampir
bertumbangan. Kemudian badai reda, hujan turun rintik-rintik, angin berhenti
bertiup, matahari terbit. Musik pun menjadi lembut dan teduh.
Elizabeth mendengarkan itu semua. Hatinya menjadi sejuk juga. Teduh dan lembut
pula. Ia begitu mencintai musik. Pak Lewis melirik padanya. Gadis kecil itu kini
tampak tenang, tidak gelisah dan marah seperti tadi. Ia terus memainkan lagunya
sampai terdengar lonceng berbunyi waktu tidur untuk Elizabeth.
"Nah, sudah," kata Pak Lewis, kemudian menutup pianonya. "Sehabis badai, datang
keteduhan. Kini pergilah tidur. Tidurlah dengan nyenyak, tak usah memikirkan
yang tidak-tidak lagi."
"Terima kasih. Pak Lewis," kata Elizabeth benar-benar bersyukur "Sekarang aku
merasa lebih baik. Tadi hatiku panas dan mendendam. Tetapi kini aku lega
kembali. Selamat malam!"
6. Tikus Putih Jenny Elizabeth tak bisa tidur nyenyak malam itu. Ia berguling-guling gelisah di
tempat tidurnya, memikirkan Rapat Besar tadi dan Robert yang begitu dibencinya.
Betapa malunya ia, harus minta maaf pada anak keji itu! Ia harus bisa menangkap
basah anak itu, saat ia berbuat kejam pada anak-anak kecil!
"Ya, aku akan selalu mengawasinya, terus mengawasinya," pikir Elizabeth. "Ia
suka menindas anak kecil, pasti suatu saat ia akan melakukannya, dan aku akan
melihatnya!" Keesokan harinya Elizabeth begitu capek dan matanya terasa sangat berat. Sulit
sekali ia mengikuti pelajaran, terutama pelajaran bahasa Prancis. Mam'zelle
sangat gusar padanya. "Elizabeth! Mengapa tak kauhafalkan kata-kata kerja yang kemarin"!" tegur guru
bahasa Prancis itu. "Sungguh buruk. Kau diam saja, setengah mengantuk, dan kau
tak memperhatikan kata-kataku! Aku kecewa sekali padamu!"
Diam-diam Robert menyeringai senang.
Elizabeth melihat hal itu dan terpaksa menggigit bibir agar tidak mengatakan
kata-kata kasar yang pasti tidak saja akan menyinggung Robert, tetapi juga akan
membuat Mam'zelle lebih gusar lagi.
"Bagaimana" Kau tidak punya lidah?" tanya Mam'zelle tidak sabar. "Mengapa kau
tidak menghafalkan kata kerja kemarin?"
"Kemarin saya sudah menghafalkannya," kata Elizabeth dengan sebenarnya. "Tetapi
entah kenapa hari ini semua terlupa lagi."
'Kalau begitu, hari ini juga kau harus mencoba menghafalkannya!" kata Mam'zelle
dengan mata hitamnya yang bersinar marah. "Kalau kau sudah hafal, datanglah
padaku dan ucapkanlah di depanku."
"Baiklah," kata Elizabeth cemberut. Tetapi Mam'zelle masih merasa tidak puas. Ia
mengetuk meja dan berkata dengan tajam, "Kau tak boleh hanya berkata 'Baiklah'
begitu saja, dengan caramu yang tidak sopan itu. Kau harus berkata 'Baiklah,
Mam'zelle'." "Baiklah, Mam'zelle," kata Elizabeth. Dalam hati, dengan kesal, ia memikirkan
betapa gembiranya Robert melihat ini, melihat ia kena marah terus. Geram sekali
Elizabeth. Mau rasanya ia mencabuti rambut hitam anak kurang ajar itu sekali
lagi. Selanjutnya pelajaran berjalan cukup lancar. Elizabeth bertekad untuk tidak
memberi kesempatan dirinya menjadi bulan-bulanan kemarahan gurunya, sebab itu
pasti akan membuat Robert sangat bergirang hati. Namun ia tak bisa dengan mudah
memusatkan pikiran pada pelajaran. Begitu ia berpikir, yang terpikir olehnya
adalah Robert dan cara bagaimana ia bisa menjebak anak itu pada saat sedang
menindas anak lain. Sorenya, saat Elizabeth sedang berlatih piano, Belinda, Joan, dan Nora
mengadakan pertemuan kecil, merundingkan sahabat mereka itu.
"Kita harus menjaga agar Elizabeth tidak bertemu dengan Robert. Paling tidak
untuk beberapa hari ini," kata Joan. "Elizabeth sangat membenci Robert, dan ia
sungguh sangat mudah marah karenanya. Sedikit saja Robert mencibirkan bibir bila
mereka bertemu, misalnya, Elizabeth bisa langsung menyerang anak lelaki itu."
"Benar. Dan setelah beberapa hari kemungkinan besar kemarahan Elizabeth sudah
bisa mereda, dan dia bisa melupakan ini semua," kata Nora. "Kita harus
memberinya kegiatan, agar selalu jauh dari Robert. Misalnya saja, kita ajak dia
turun ke desa. Atau menyibukkannya dengan kebun John. Atau yang seperti itu.
Lebih jarang bertemu dengan Robert, lebih baik. Aku sendiri sebetulnya muak juga
melihat anak nakal itu."
Begitulah. Hari-hari berikutnya Elizabeth selalu dibuat sangat sibuk oleh teman-
temannya. "Ayo, bantulah aku memilih pita rambut, Elizabeth," pinta Joan. "Aku harus
membeli yang baru." Keduanya pun turun ke desa untuk keperluan itu.
"Elizabeth, yuk latihan menangkap bola lacrosse" ajak Nora. "Makin hari
tampaknya kau makin pandai bermain lacrosse. Bila rajin berlatih, mungkin kau
bisa jadi pemain utama kita."
"Elizabeth, kita diminta John membantunya mengumpulkan sampah untuk api unggun,"
panggil Belinda. "Ayolah!"
Begitulah. Hampir setiap saat Elizabeth harus berlari ke sana, berlari kemari.
Jarang sekali ia melihat Robert, kecuali di dalam kelas tentunya. Tetapi ia tak
pernah melupakan tekadnya untuk terus memata-matai Robert. Setiap ada kesempatan
ia selalu menyelidiki apakah ada anak kecil yang ditindas oleh Robert.
Tetapi hasilnya nihil. Robert seakan tak peduli pada anak lain, dan malahan
selalu menghindari anak-anak kecil. Agaknya ia tahu bahwa Elizabeth terus
mengawasinya, dan ia tak akan memberi kesempatan pada gadis itu untuk
menjebaknya. Ia berpendapat, tak lama Elizabeth akan bosan mengawasinya terus.
Robert sangat suka pada kuda. Setiap ada kesempatan selalu digunakannya untuk
berkuda. Ia tak diperbolehkan merawat kuda-kuda itu sebab tugas tersebut hanya
boleh dilakukan oleh anak-anak yang sudah besar.
Namun Robert sering terlihat menunggui kuda-kuda di kandang mereka, berbicara
dengan mereka, mengusap-usap kepala mereka. Dan kuda-kuda tersebut agaknya juga
sudah mulai mengenal Robert. Setiap kali Robert datang, mereka menjulurkan
kepala lewat pintu kandang. Binatang peliharaan lainnya sama sekali tak menarik
hati Robert. Dan ini sedikit membuat kesal anak lain yang biasanya ingin
memamerkan binatang peliharaan mereka.
Jadi karena Robert sibuk dengan kuda-kudanya, dan Elizabeth disibukkan oleh
sahabat-sahabatnya, maka kedua musuh tadi hampir tak punya kesempatan untuk
bertemu dan bertengkar. Hanya di dalam kelas saja mereka memperlihatkan


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

permusuhan mereka. Robert juga bertekad untuk tidak memberi kesempatan pada Elizabeth untuk
mengejeknya. Ia belajar rajin sekali, berusaha sebaik-baiknya mengerjakan semua
pekerjaan rumahnya. Bu Ranger, wali kelas mereka, sangat heran akan hasilnya.
Girang juga ia melihat bahwa Robert membuat kemajuan besar di semua mata
pelajaran. "Robert, pekerjaanmu baik sekali," puji Bu Ranger. "Aku takkan heran kalau suatu
saat kau memimpin dalam memperoleh angka-angka tertinggi di kelas ini."
Muka Robert merah karena senang. Sesungguhnya ia anak yang malas belajar. Tak
pernah ia menduduki tempat dekat dengan tempat teratas dalam urutan pengumpulan
nilai tertinggi. Bahkan di sekolahnya yang lama, ia tidak terhitung anak pintar.
Elizabeth sangat marah dalam hati mendengar Robert mendapat pujian seperti itu.
Kalau ia mau, dengan mudah ia bisa memimpin dalam pengumpulan angka! Ia bertekad
akan bekerja keras untuk menunjukkan bahwa Robert takkan dapat memperoleh
kedudukan nomor satu sementara Elizabeth masih di kelas itu.
Elizabeth makin rajin dan tekun belajar. Begitu juga Robert. Tetapi mereka giat
belajar untuk suatu alasan yang tidak benar! Hanya untuk bisa mengejek lawannya!
Jadi sesungguhnya mereka rajin belajar bukan karena senang belajar, tetapi
karena merasa terpaksa! Sungguh sayang.
Kemudian untuk beberapa lama Robert dan Elizabeth melupakan permusuhan mereka
karena tertarik pada suatu soal lain. Tikus-tikus Jennifer telah membuat suatu
keributan besar dan Jenny hampir mendapat kesulitan karenanya!
Tikus-tikusnya baru saja punya anak sembilan ekor. Lucu-lucu sekali. Kulitnya
putih lembut, hidungnya runcing lembek, matanya merah, dan ekornya kecil-kecil.
Jenny sangat mencintai binatang peliharaannya. Dan sungguh aneh melihat gadis
cilik ini dengan sekitar setengah lusin tikus berlarian naik turun di lengannya.
"Jenny, cepat kembalikan semua ke dalam kandang," kata Elizabeth suatu hari.
"Cepatlah! Bisa terlambat kita nanti. Dan Bu Ranger agaknya hari ini mudah
sekali marah." "Ya ampun, aku tak bisa menemukan mereka semua!" seru Jenny, meraba-raba seluruh
tubuhnya. "Ke mana saja mereka pergi" Elizabeth, ada yang di punggungku, tidak?"
"Oh, Jenny, bagaimana kau tahan dirambati tikus-tikus itu?" kata Elizabeth.
"Tidak. Di punggungmu tidak ada. Mungkin semua sudah masuk ke kandang. Ayolah.
Akan kutinggal kau kalau tidak segera berangkat juga."
Jenny menutup pintu kandang dengan teliti, dan memasang kancingnya. Kemudian ia
berlari bersama Elizabeth. Hampir saja mereka terlambat. Mereka tiba di ruang
kelas tepat pada saat Bu Ranger juga tiba.
Mereka duduk di tempat masing-masing. Pelajaran ilmu bumi, dan mereka
mempelajari Australia dengan peternakan biri-birinya. Jenny duduk di baris
depan, tepat di hadapan Joan dan Elizabeth.
Dan di pertengahan pelajaran, tiba-tiba Elizabeth melihat ujung hidung seekor
bayi tikus putih muncul di leher baju Jenny. Jenny juga merasakan hal itu. Ia
menggerakkan bahunya, mendorong tikus tersebut masuk kembali ke punggungnya.
Elizabeth hampir tak bisa menahan tawanya, la tak berani melihat ke depan lagi.
Tetapi pada saat ia melihat ke depan, tikus tadi muncul di tangan baju Jenny
sebelah kiri, memandang Elizabeth dengan matanya yang merah jambu. Beberapa saat
kemudian lenyap lagi. Jenny merasa tikus itu bagaikan menggelitiknya. Ia menggerak-gerakkan badan,
mencoba memaksa si tikus untuk ke bahunya, tempat yang mungkin nyaman dan bisa
membuatnya tertidur. Tetapi si tikus tidak mengantuk. Malah sedang lincah-
lincahnya! Ia berlari mengelilingi tubuh Jenny, di bawah bajunya, cium sana-cium
sini, keluar-masuk dari dalam baju dan naik ke bahu. Bolak-balik Jenny harus
menggerakkan badan. Satu kali Bu Ranger melihatnya dan menegur, "Jenny! Kenapa sih kau pagi ini"
Duduklah dengan tenang!"
"Baik, Bu Ranger," kata Jenny. Tetapi sedetik kemudian si tikus masuk ke bawah
ketiak kirinya. Jenny geli sekali. Ia terkikik sehingga kembali Bu Ranger
berpaling. "Jennifer! Kau seperti anak taman kanak-kanak saja! Dan Elizabeth, kau ini
kenapa sih?" Sesungguhnya Elizabeth tidak berbuat apa pun. Ia hanya tidak bisa menahan
tawanya, sebab ia tahu benar mengapa Jenny bersikap seperti itu. Si tikus
sementara itu ternyata telah muncul di balik punggung Jenny, dan memandang heran
pada Elizabeth dan Joan. Kedua anak itu berusaha keras untuk tidak tertawa,
tetapi semakin mereka berusaha, semakin buruk keadaan mereka.
"Sungguh mengesalkan kelas ini," gerutu Bu Ranger, tak sabar. "Jennifer, maju
kau ke papan tulis dan tunjukkan padaku beberapa tempat di peta itu. Kalau kau
tak bisa duduk dengan tenang, mungkin kau bisa berdiri dengan tenang."
Jenny bangkit, berjalan ke depan. Si tikus merasa senang diajak berjalan-jalan.
Dengan gembira ia berlarian di punggung Jenny. Jenny susah payah mencoba
meraihnya. "Jenny, ada apa sih?" tanya Bu Ranger.
Saat itu seluruh kelas sudah tahu apa yang terjadi. Semuanya terpaksa membungkuk
ke buku masing-masing menyembunyikan tawa mereka. Sampai merah padam muka anak-
anak itu berusaha keras untuk tidak tertawa. Lolos juga suara tawa Kenneth. Bu
Ranger meletakkan bukunya dengan putus asa.
"Kalian pasti sedang menyembunyikan sebuah lelucon," kata Bu Ranger. "Coba
ceritakan, biar aku juga ikut mendengar. Kalau memang lucu, marilah kita tertawa
bersama-sama. Kalau tidak, belajarlah dengan baik. Nah, apa yang lucu?"
Tak seorang pun menjawab. Pandang mata Jenny memohon pada teman-temannya agar
mereka tidak membuka rahasianya. Tikusnya juga memandang pada seisi kelas dari
balik lengan baju Jenny. Bu Ranger sangat heran.
Dan saat itu si tikus memutuskan untuk meninjau dunia lebih luas. Ia lari keluar
dari lengan baju Jenny, dan meloncat ke meja Bu Ranger, menggosok-gosok kumisnya
dengan tenang, seolah-olah tempat itu memang khusus untuknya.
Seisi kelas tak tahan lagi. Mereka tertawa terpingkal-pingkal. Bu Ranger
terkejut dan memandang ke mejanya dengan sangat heran. Ia tak melihat bagaimana
tikus itu bisa sampai ke situ.
"Bagaimana tikus ini bisa sampai ke sini?" tanya Bu Ranger.
"Maaf, Bu Ranger, tikus itu melompat keluar dari lengan bajuku," kata Jenny.
"Tadi aku sedang bermain-main dengan tikus-tikusku waktu lonceng berbunyi.
Mungkin yang ini tertinggal di bajuku, tidak ikut masuk ke dalam kandangnya,
bersembunyi di lengan bajuku."
"Jadi itu lelucon kalian!" kata Bu Ranger dan mulai tersenyum. "Baiklah. Aku
setuju, memang lelucon itu lucu. Tak heran bila semua tertawa. Tetapi lelucon
seperti ini tak boleh diulang lagi. Sekali ini memang lucu, Jenny, tetapi lain
kali kalau terjadi lagi seperti ini aku tak akan menganggapnya lucu lagi. Kau
mengerti itu, bukan" Tikus putih lebih baik berada di kandangnya, tidak cocok
berlarian di punggung orang di dalam kelas."
"Oh, ya, aku mengerti, Bu Ranger," kata Jenny bersungguh-sungguh. "Ini sama
sekali tak kusengaja. Bolehkah aku memasukkannya kembali ke lengan bajuku?"
"Lebih baik tidak," kata Bu Ranger. "Aku percaya pelajaran kita tak akan
memperoleh banyak kemajuan selama tikus itu berada di dalam kelas ini. Bawalah
ia kembali ke kandangnya. Pasti banyak yang akan diceritakannya pada saudara-
saudaranya." Jenny segera lari keluar dengan tikusnya, sementara seisi kelas mulai belajar
lagi. Tetapi tertawa lepas tadi telah membuat gembira semua anak. Terutama
Elizabeth. Setelah tertawa itu, ia merasa bahwa dirinya seakan tak punya rasa
dengki lagi. Tidak memikirkan keinginannya untuk membalas dendam.
7. Kathleen Terlibat Kesulitan
Elizabeth sangat menyukai permainan-permainan di semester musim dingin itu. Ia
sampai tak bisa memilih mana yang lebih disukainya, lacrosse atau hockey.
"Kukira aku akan memilih lacrosse," kata Elizabeth pada Joan. "Kalau harus
menentukan mana yang lebih kusukai. Sungguh senang main tangkap bolanya."
"Kalau kau terus saja bermain dengan baik seperti sampai saat ini, mungkin kau
akan dipasang di pertandingan bulan depan," kata Joan. "Aku sendiri mendengar
Eileen berkata begitu."
"Betulkah?" tanya Elizabeth kegirangan. "Oh, sungguh hebat! Tak seorang pun di
kelas kita yang pernah dipasang di tim sekolah. Kalau saja aku bisa terpilih,
alangkah senangnya!"
Tetapi ada anak lain di kelasnya yang juga dapat bermain lacrosse dengan sangat
baik. Robert! Sebetulnya Robert belum pernah bermain lacrosse, tetapi ia sangat
gesit, pandai dan cepat larinya, serta sangat cekatan menangkap bola. Permainan
lacrosse itu dimainkan dengan sebuah bola karet keras, yang dilemparkan dari
seorang pemain kepada pemain lainnya dengan semacam tongkat yang di ujungnya
dipasang jala untuk menangkap bola. Dengan saling melempar itu kemudian bola
dilemparkan ke gawang lawan. Tentu saja lawan takkan tinggal diam dan mencoba
selalu untuk merebut kembali bolanya, atau paling tidak memaksa pemain lawan
yang sedang membawa bola terpaksa melemparkan bola tersebut sehingga bisa
ditangkapnya. Begitu Robert mengetahui bahwa Elizabeth makin baik dalam bermain lacrosse, dan
ada kemungkinan untuk dipilih untuk menjadi anggota tim sekolah, ia memutuskan
untuk menjadikan dirinya jauh lebih baik dari Elizabeth, agar bisa mencuri
kesempatan gadis kecil itu.
Ia tahu, hanya satu orang saja yang akan diambil dari kelas mereka. Regu sekolah
mereka hanya kurang satu orang. Sungguh menyenangkan bila bisa bermain lebih
baik dari Elizabeth agar akhirnya dialah yang dipilih. Maka ia membuat suatu
acara baru bagi dirinya: berlatih menangkap bola kapan saja ia bisa minta
bantuan seseorang untuk melemparkan bola kepadanya! Tetapi ia berlatih dengan
diam-diam, agar Elizabeth tak tahu. Bila Elizabeth tahu, anak itu pasti bisa
menduga tujuannya, dan ia pun akan berlatih lebih tekun lagi.
Sementara itu kehidupan sekolah berlangsung terus. Elizabeth mulai bekerja keras
bersama John di kebun sekolah. Mereka memotong bunga-bunga tua sisa semester
musim panas, menumpuknya di tempat mereka bermaksud akan mengadakan api unggun.
Mereka menggali dan membalik tanah untuk tanaman berikutnya. Keduanya tentu saja
sangat capek dan bermandi keringat, namun mereka senang. Berdua mereka membuat
rencana penanaman musim semi, kemudian saling membandingkan rencana masing-
masing. John berpendapat bahwa rencana Elizabeth lebih baik.
'Tidak terlalu lebih baik," kata John, dengan teliti memeriksa kedua rencana
itu. "Tetapi aku sangat menyukai satu-dua hal dari rencanamu ini. Misalnya saja
usulmu untuk menanam bunga-bunga krokus di rumput di tebing itu, sungguh suatu
usul yang baik sekali. "Rencanamu untuk menanam mawar sulur di atas gudang tua itu juga sangat bagus,"
kata Elizabeth. "Kalau sudah tumbuh dan mekar, alangkah indahnya, John."
"Aku tidak tahu apakah Rapat Besar akan mengizinkan kita memperoleh uang
tambahan untuk membeli umbi krokus," kata John. "Kita mungkin memerlukan paling
sedikit lima ratus buah umbi krokus agar tanaman kita nanti cukup terlihat.
Baiklah kita tanyakan nanti."
"Kau saja yang minta, jangan aku," kata Elizabeth, mukanya langsung cemberut.
"Kau tahu apa yang terjadi minggu lalu. Semuanya begitu kejam padaku saat itu."
"Tidak, tidak begitu, Elizabeth," kata John, bersandar pada sekopnya, memandang
pada Elizabeth di seberang parit yang baru digalinya. "Rapat Sekolah selalu
adil, tak pernah berlaku kejam pada siapa pun. Jangan keras kepala begitu,
Elizabeth. Biasanya kau cerdas, tetapi sering juga kau begitu tolol!"
"Kalau kau memanggilku tolol, aku takkan mau lagi membantumu," kata Elizabeth.
"Terserah," kata John. "Aku akan minta bantuan Jenny saja. Ia juga pandai
berkebun." Tetapi Elizabeth tidak meninggalkan John dengan berang, seperti yang cenderung
ingin ia lakukan. Diambilnya sekop dan ia mulai menggali tanah dengan sekuat
tenaga, hingga tanah beterbangan ke mana-mana. Ia tak sudi memberi kesempatan
pada Jennifer untuk mengambil alih tempatnya di kebun ini!
John tertawa. "Elizabeth, kalau tidak hati-hati, bisa-bisa kau menggali terus
sampai ke Australia. Kalau itu maumu sih, ya terserah, tapi kurasa aku toh tak
usah kaukubur dengan buangan tanahmu itu."
Elizabeth tertegun. Betul juga. Tanah galiannya ada yang terlempar sampai ke
John. Ia pun tertawa. "Begitu lebih bagus," kata John. "Kalau kau sering cemberut, lama-lama mukamu
bisa jadi seperti muka Kathleen Peters."
"Mudah-mudahan jangan!" kata Elizabeth. "Dia salah seorang yang juga tak aku
sukai. Dia amat senang bertengkar! Dan setiap saat selalu mengira bahwa kami
membicarakannya, padahal memikirkannya juga tidak."
"Jangan selalu cari musuh," kata John, mulai menggali lagi. "Sahabat lebih
menyenangkan daripada musuh. Daripada cari musuh lebih baik cari sahabat,
Elizabeth sobatku." "Tapi tak mungkin ada orang yang bisa bersahabat dengan Kathleen," kata
Elizabeth. "Benar-benar tak mungkin! Kau tidak sekelas dengan kami sih, jadi tak
bisa mengetahui betapa menjengkelkannya dia itu."
Memang benar bahwa Kathleen menjengkelkan. Ia selalu menggerutu tentang sesuatu.
Dan ia selalu menghabiskan uang sakunya yang dua shilling untuk membeli permen
yang tak pernah dibagikannya pada siapa pun.
"Tak heran mukanya penuh bintik-bintik," bisik Belinda suatu hari, sambil
menahan tawa. "Terlalu banyak makan permen sih! Ibunya juga mengiriminya banyak
sekali permen, hanya ia tak pernah mengatakannya pada kita. Takut kalau kita
minta! Padahal, bila dikasih pun aku takkan mau."
Bukan saja selalu bertengkar dengan teman-temannya, menuduh mereka
membicarakannya, tetapi Kathleen juga sering bertengkar dengan guru-gurunya.
Bila ada guru yang menyalahkannya, Kathleen langsung membela diri, menyatakan
bahwa dirinyalah yang benar, dan gurunya yang salah.
Mam'zelle tidak sesabar guru yang lain. Suatu hari Kathleen berani mengatakan
pada Mam'zelle bahwa guru Prancis itu tidak memberinya pekerjaan rumah, jadi ia
tidak mengerjakannya sama sekali. Mam'zelle yang juga cepat marah ini langsung
mendampratnya. "Kau lagi, Kathleen!" seru Mam'zelle, telunjuknya melambai ke langit-langit.
"Dikiranya aku ini angsa, ya" Dikiranya aku ini tekukur, ya" Dikiranya aku ini
keledai" Dikiranya aku tak bisa ingat apakah aku memberi pekerjaan rumah atau
tidak" Pasti kau juga berpikir bahwa aku tak pantas mengajar bahasa Prancis, eh,
Kathleen?" Jika Mam'zelle marah, maka bagi yang tidak dimarahi pastilah gerak-geriknya
sangat menggelikan hati. Seisi kelas langsung dengan penuh perhatian
memperhatikan setiap gerak-geriknya, menikmati tontonan gratis ini.
"Tetapi, Mam'zelle," kata Kathleen yang tetap tak mau kalah walaupun dengan
gurunya sendiri. "Waktu itu Anda mengatakan..."
"Bagus! Jadi waktu itu aku mengatakan sesuatu, ya?" kata Mam'zelle hampir
memekik. "Jadi aku mengatakan sesuatu" Bagus, Kathleen-ku, kau sungguh baik hati
untuk bisa mengingat hal itu. Sungguh kau begitu baik hati. Mungkin bila kau
mencoba mengingat-ingat lagi, aku memang pernah memberimu pekerjaan rumah.
Bagaimana" Dan mestinya tak ada alasan sedikit pun bagimu untuk tidak
mengerjakan pekerjaan rumah itu, bukan?"
"Tetapi Anda sama sekali tak memberiku pekerjaan rumah!" kata Kathleen.
Lalu Belinda menepuk bahu Kathleen dan berkata, "Sudahlah, Kathleen. Kau memang
diberi pekerjaan rumah, tetapi kau lupa menuliskan apa yang harus kaukerjakan!"
"Belinda! Kau tidak usah ikut campur," kata Mam'zelle. "Ah, kelas ini. Selalu
bandel! Sebentar lagi seluruh rambutku pasti putih semua memikirkan kalian!"
Rambut Mam'zelle hitam legam, berkilauan. Tak ada yang punya pikiran, bagaimana
bisa membuat rambut itu jadi putih. Jadi lucu juga perkataan Mam'zelle tadi.
Kini mereka bergantian memandang Kathleen dan Mam'zelle, memikirkan apa gerangan
yang akan terjadi. Akhirnya Kathleen diperintahkan untuk pergi ke ruang bermain
dan sendirian mengerjakan pekerjaan rumahnya.
"Anak itu bisa membuatku gila," pikir Mam'zelle setelah Kathleen pergi. "Dengan
mukanya yang pucat berbintik-bintik dan rambutnya yang selalu kotor! Juga
suaranya yang selalu bagai merengek-rengek itu!"
Guru-guru lain selalu bisa menahan diri menghadapi Kathleen. Bahkan Bu Ranger
sesungguhnya mengkhawatirkan gadis itu. Kathleen selalu tampak murung yang
memang sudah sewajarnya sebab ia selalu saja bertengkar dengan seseorang.
Jennifer Harris sangat menyukai adegan Mam'zelle tadi. Dengan teliti
diperhatikannya setiap gerak-gerik Mam'zelle, setiap patah kata dan cara
bicaranya. Kemudian ia berlatih me-nirukannya secara diam-diam. Akhirnya ia bisa
menguasai seluruh adegan tadi. Mula-mula ia menirukan suara Kathleen merengek,
kemudian suara dan gerak-gerik Mam'zelle yang kehilangan kesabaran. Sungguh lucu
kelihatannya. Jenny ingin sekali memainkan adegan yang baru dipelajarinya itu di hadapan anak
banyak Maka pada malam hari berikutnya, pada waktu hampir semua teman sekelasnya
berada di ruang bermain, memutar gramofon, membaca buku atau menulis, ia memulai
menirukan Mam'zelle. Anak-anak menghentikan semua kegiatan mereka dan memperhatikan Jenny dengan
penuh perhatian. Belinda mematikan gramofon. Kathleen tak ada.
Beberapa saat saja semua sudah dibuat ter-gelak-gelak oleh Jenny. Jenny
melambaikan jarinya tepat seperti gaya Mam'zelle. Dan pada waktu ia menirukan
suara dan gerak Mam'zelle saat berkata, "Aku seekor angsa, seekor tekukur,
seekor keledai," semua riuh-rendah tertawa terpingkal-pingkal.


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jenny menirukan suara merengek Kathleen dengan sangat baik. Kalau tidak melihat,
orang akan mengira bahwa yang sedang berbicara adalah Kathleen sendiri. Tetapi
kemudian Jenny berbuat kelewatan, ia mengatakan dengan suara Mam'zelle sesuatu
yang tak pernah diucapkan Mam'zelle, "Ah, betul, Kathleen, aku betul-betul tak
suka bintik-bintik di mukamu, aku tak suka rambutmu yang kotor itu, aku tak suka
tingkah lakumu...." Suaranya sangat mirip dengan suara Mam'zelle, dan lucu
sekali terdengar. Tetapi tepat pada saat itu Elizabeth melihat sesuatu-Kathleen
telah berada di ruangan itu! Tak ada yang melihat ia masuk. Kapan" Berapa lama
ia telah ikut menonton Jenny"
Elizabeth menepuk Jenny. Tetapi Jenny tak memedulikannya. Ia sedang terlalu
gembira karena pertunjukannya sangat berhasil. Semua mendengarkannya. Semua
kagum akan kepandaiannya.
"Jenny, tutup mulut!" desis Elizabeth. "Ada Kathleen!"
Jenny langsung berhenti. Semua berpaling dan jadi kikuk saat melihat Kathleen.
Belinda menghidupkan gramofon. Seseorang bersiul mengikuti lagu dari piringan
hitam. Tak ada yang berani memandang Kathleen.
Elizabeth duduk terpukau di sudut. Mengapa Jenny tadi mengatakan apa yang
sebenarnya tak dikatakan oleh Mam'zelle" Bisa-bisa Kathleen mengira bahwa
Mam'zelle mengatakan hal itu setelah ia pergi dari kelas untuk mengerjakan
pekerjaan rumahnya. Suara Jenny begitu persis, sehingga Kathleen pasti tahu
bahwa Jenny menirukan Mam'zelle. Elizabeth melirik Kathleen.
Sesaat terlihat Kathleen seolah-olah hendak mematikan gramofon dan mengatakan
sesuatu, tapi tak jadi. Ia duduk membanting diri di sebuah kursi, mengeluarkan
kertas dan bersiap-siap menulis, menggigiti ujung tangkai penanya. Wajahnya
tetap pucat putih. Hanya matanya tampak menyala membara karena marah. Wajahnya
kelihatan mengerikan. "Pasti ia takkan bisa memaafkan Jenny," pikir Elizabeth. "Mestinya Jenny tadi
kuhentikan sebelum kelewatan. Tetapi ia begitu lucu. Mungkinkah Kathleen akan
melaporkannya dalam Rapat mendatang. Wah, mungkin juga!"
Kathleen tidak membicarakan kejadian itu pada siapa pun. Ia bahkan tak berbicara
pada siapa pun malam itu. Di kamar tidur, tempat tidurnya bersebelahan dengan
tempat tidur Elizabeth. Dan Kathleen tidak menjawab sewaktu semua saling
mengucapkan selamat malam. Elizabeth mengintip di antara tirai pemisah tempat
mereka, akan mengajaknya berbicara, sebab ia merasa menyesal juga hal seperti
tadi itu terjadi. Kathleen tidak melihat Elizabeth. Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang
wajahnya dalam cermin yang dipegangnya. Ia tampak begitu sedih, dan Elizabeth
tahu sebabnya. Kathleen agaknya sedang memikirkan betapa buruk wajahnya. Tentu
saja sebelum itu ia sudah sadar bahwa wajahnya buruk, tetapi pastilah sangat
menyakitkan hati untuk mengetahui bahwa anak lain juga menyadarinya, dan malah
menertawakannya. Elizabeth cepat mundur, tak jadi mengajak Kathleen berbicara. Apakah Kathleen
punya keberanian untuk mengulangi apa kata Jenny di Rapat Besar nanti"
Kemungkinan tidak. Kathleen punya rencana sendiri. Ia akan membalas dendam pada Jenny dengan
caranya sendiri. Ia berbaring, terus berpikir-pikir apa yang akan dilakukannya.
Pokoknya Jenny harus bersiap-siap menerima pembalasannya!
8. Rapat Sekolah Sekali Lagi
Beberapa hari setelah kejadian itu, keadaan jadi tak begitu menyenangkan. Terasa
banyak sekali permusuhan. Misalnya saja, Kathleen sama sekali tak mau berbicara
dengan Jenny. Tetapi ini sesungguhnya tak mengherankan, mengingat apa yang
dilakukan Jenny. Tetapi di samping tak mau berbicara pada Jenny, ternyata Kathleen mulai
membicarakan Jenny juga! Selalu menjelek-jelekkannya. Umpamanya tentang Jenny
yang sangat suka sekali makan. Jenny memang seakan merasa lapar terus dan bisa
makan sangat banyak- dan Kathleen mengatakan bahwa Jenny rakus.
"Sungguh membuat aku ingin muntah melihat si rakus Jenny makan," kata Kathleen
pada Belinda saat mereka sedang minum teh. "Lihat saja. Ia sudah menghabiskan
tujuh potong roti berlapis mentega, tiga kue kecil, dan sepotong besar kue ulang
tahun pemberian Harriet."
Belinda tidak menanggapi. Ia memang tak suka bertengkar. Tetapi Elizabeth yang
ikut mendengar langsung meluap amarahnya, dan membela Jenny.
"Itu sudah keterlaluan, Kathleen" katanya. "Jenny bukannya rakus! Ia memang
selalu merasa sangat lapar, pada waktu makan. Aku juga begitu. Dan belum pernah
Jenny kulihat makan banyak hanya karena ingin makan saja, dan bukannya untuk
mengisi perutnya yang lapar. Ia juga tak mau makan lebih dari bagiannya, bila
makanan yang ada tidak cukup untuk semua orang. Dan sungguh kau kurang kerjaan
untuk menghitung apa saja yang dimakannya."
"Mengapa tidak," sahut Kathleen. "Kau akan heran bahwa hitunganku ternyata
benar. Jenny memang rakus. Sungguh menjijikkan."
"Kau sendiri bagaimana" Berapa banyak permen yang kauhabiskan tiap hari?" sambut
Elizabeth. "Kau juga rakus... tak pernah menawarkan satu pun pada temanmu!"
"Sudahlah. Jangan teruskan!" tukas Belinda, yang merasa tak enak di antara
pertengkaran itu. "Aku tak tahu apa yang terjadi dengan kelas kita. Selalu saja
ada pertengkaran!" Kathleen meninggalkan tempat itu. Elizabeth mengambil kotak catnya dan
membantingnya keras-keras ke meja, bersiap-siap akan menggambar peta. Wajahnya
sesuram mendung. "Elizabeth! Bisa-bisa kau memecahkan kotak cat itu!" seru Belinda. "Ya ampun,
coba lihat mukamu di kaca! Seram!"
"Paling sedikit kau harusnya ikut membela Jenny," Elizabeth mengaduk catnya
keras-keras sehingga sebagian tertumpah di meja. "Aku takkan mengizinkan siapa
pun mengucapkan kata-kata yang menjelekkan temanku. Aku akan ikut campur
membelanya." "Kurasa kau makin membuat keadaan buruk dengan membela Jenny, lebih buruk
daripada bila kau diam saja seperti aku," kata Belinda. "Aku tak tahu kenapa kau
akhir-akhir ini... kau begitu pemarah!"
'Tidak!" kata Elizabeth. "Bukan aku pemarah, tetapi keadaan di sekelilingku yang
tak keruan. Pokoknya aku takkan membiarkan si muka bintik-bintik itu mengatakan
hal-hal buruk tentang Jenny. Jenny anak baik. Oh, betapa aku tertawa waktu tikus
putihnya muncul di kelas dulu itu. Bahkan Bu Ranger juga menganggapnya lucu."
Sekitar seperempat jam kemudian Jenny masuk ke ruang bermain tersebut dengan
wajah marah. Ia duduk mengempaskan diri di kursi. Belinda berpaling dari
jahitannya. "Astaga! Ini ada lagi yang wajahnya bagaikan mendung!" kata Belinda. "Kau
kenapa, Jenny" Mukamu begitu masam, sekali pandang kau bisa membuat susu masam
juga." "Jangan melucu," tukas Jenny. "Si jahat Kathleen itu! Ia berkata pada Kenneth
bahwa kemarin aku meminjam sepedanya, tanpa minta izin lebih dahulu. Padahal aku
tidak memakai sepeda Kenneth. Aku memakai sepeda Harry. Dan aku telah minta izin
pada Harry! Ban sepedaku bocor."
"Ya ampun, kalau begitu si Kathleen jelas kelewatan!" geram Elizabeth. "Sudah
dua kali ini ia mengatakan hal yang jelek tentang dirimu. Aku akan
menghadapinya, ada di mana dia?"
"Ia ada di gang, di luar, masih juga membicarakan aku dengan Kenneth," kata
Jenny. "Katakan apa yang ingin kaukatakan padanya. Biar kapok dia."
"Jangan, Elizabeth," kata Belinda. "Kau tak usah ikut campur! Bisa lebih gawat
nanti!" Tetapi Elizabeth telah bergegas keluar Dilihatnya Kathleen dan langsung
didekatinya. "Dengar, Kathleen," kata Elizabeth. "Kalau kau tidak berhenti menyebarkan kata-
kata keji dan tak benar tentang Jenny, akan kulaporkan kau dalam Rapat Besar
mendatang." "Bagaimana tentang kata-kata keji dan tak benar yang diucapkan oleh Jenny
tentang aku di depan semua anak itu?" sambut Kathleen dengan suara rendah dan
gemetar. "Berani benar ia mengejekku seperti itu."
"Mungkin kata-kata itu memang keji, tetapi bukannya tidak benar!" tukas
Elizabeth. Tetapi ia segera menyesal telah mengatakan kalimat tadi. Namun
terlambat sudah. Kata-kata itu tak bisa ditariknya kembali. Kathleen berpaling
dan langsung pergi tanpa berbicara lagi.
Kathleen benar-benar takut kalau dilaporkan dalam Rapat Besar. Ia memutuskan
untuk tidak membicarakan Jenny lagi. Tetapi ia akan berbuat berbagai hal untuk
membalas Jenny. Apa saja yang bisa membuat Jenny dihukum. Juga si Elizabeth yang
suka ikut campur urusan orang lain itu.
"Aku akan sangat berhati-hati, agar tak ada yang mencurigaiku," pikir Kathleen.
"Akan kusembunyikan buku mereka... atau kutumpahi tinta pekerjaan rumah
mereka... atau hal-hal kecil lain yang bisa menyebabkan mereka mendapat
kesulitan. Pokoknya aku akan membalas perlakuan mereka padaku!"
Rapat Besar sekolah tiba. Anak-anak mengambil tempat masing-masing, dan rapat
pun dimulai. Pada pengumpulan uang, banyak sekali uang masuk, sebab ada tiga anak yang
berulang tahun dan mendapat kiriman uang dari rumah. Sungguh beruntung!
"Hari ini kita kaya." kata William, sambil mengguncangkan kotak uangnya.
"Bagikan uang saku seperti biasa, Eileen, dan uang tambahan empat setengah pence
untuk Mary. Nah. Ada yang meminta uang tambahan?"
Leonard, salah seorang murid kelas atas, berdiri. "Bolehkah aku mendapatkan
setengah crown untuk biaya mengganti kaca jendela?" tanyanya. "Kemarin
kupecahkan satu, di ruang bermain."
"Tak sengaja atau karena lalai?" tanya William.
"Aku sedang bermain bola kriket," kata Leonard.
"Mestinya kau tahu, pada semester yang lalu kita telah membuat peraturan untuk
tidak membawa bola apa pun ke dalam ruang bermain," kata William. "Bawa bola
berarti ada kaca pecah."
"Aku lupa pada peraturan itu," kata Leonard. "Tetapi kalau bisa aku minta uang
tambahan itu. Setengah crown terlalu banyak bagiku. Maaf, William."
Dewan Juri membicarakan permintaan itu. Mereka tahu bahwa setengah crown memang
terlalu banyak bagi seorang anak yang setiap minggunya hanya mendapat dua
shilling. Tetapi Leonard memang telah melanggar peraturan yang ia sendiri ikut
membuatnya semester lalu. Mengapa uang milik sekolah harus membiayai kerusakan
karena kelalaiannya. Akhirnya mereka mencapai kesepakatan. William mengetuk meja agar semua diam.
"Adakah anak lain yang bermain-main denganmu waktu itu?" tanya William. Leonard
berdiri. "Memang ada," katanya. "Tetapi waktu aku melemparkan bola itulah kaca pecah."
"Dewan Juri berpendapat bahwa uang yang setengah crown itu tak layak keluar dari
kotak uang sekolah," kata William. "Tetapi mereka juga berpendapat tak
sepantasnya kau sendiri yang membayarnya. Rundingkanlah dengan anak-anak yang
bermain denganmu. Ajak mereka iuran untuk membayar kaca itu. Kukira itu cukup
adil." Seorang anak lelaki berdiri, "Aku ikut bermain waktu itu. Aku akan membayar
bagianku. Aku rasa keputusan itu memang adil." Dua anak lagi berdiri, seorang
anak laki-laki dan perempuan. "Kami juga mau membayar," kata mereka.
"Bagus," kata William. "Dua setengah shilling dibagi empat, masing-masing
membayar tujuh setengah pence. Itu takkan terlalu merugikan kalian masing-
masing, bukan" Dan harap ingat bahwa kalian ikut membuat segala peraturan di
sini, jadi janganlah peraturan itu kalian langgar sendiri."
John menepuk Elizabeth. "Mintalah uang untuk membeli umbi krokus itu," bisiknya.
"Ayolah! Aku tak akan memintanya. Itu kan usulmu."
"Aku yakin Rapat tak akan memberiku apa-apa setelah kejadian minggu lalu," bisik
Elizabeth dengan nada gusar.
"Pengecut!" kata John sambil menyeringai. Ia tahu bahwa sepatah kata itu saja
sudah cukup untuk mendorong Elizabeth langsung berdiri. Ia tak pernah bisa
menahan diri bila dikatakan pengecut.
Dari jauh Kathleen memandangnya, agak khawatir. Ia takut kalau-kalau Elizabeth
melaporkannya. "Apa yang kauinginkan, Elizabeth?" tanya Rita. "Uang tambahan?"
"Benar," kata Elizabeth. "Aku dan John punya rencana yang bagus sekali untuk
taman sekolah kita. Kami berpendapat bahwa akan sangat indah bila di tebing
penuh rumput dekat gapura di sana itu, tumbuh bunga-bunga krokus berwarna kuning
dan ungu. Kata John paling sedikit kita memerlukan lima ratus umbi krokus.
Bolehkah kami memperoleh uang tambahan untuk membelinya, Rita?"
William dan Rita berunding beberapa saat, sementara anggota Dewan Juri saling
menganggukkan kepala. Semua berpendapat uang untuk membeli benih bunga itu bisa
diberikan. "Ya, kau boleh menerima uang itu," kata William. "Seluruh sekolah akan gembira
bisa menikmati keindahan krokus itu nanti di awal musim semi, dan sudah
sewajarnya bila uang untuk keperluan itu keluar dari kotak uang sekolah.
Tanyakan berapa biaya yang harus kaukeluarkan untuk krokus itu, Elizabeth. Dan
dengan gembira kami akan memberikan uang untuk itu. Juga aku ingin mengatakan
bahwa seluruh sekolah sangat menghargai hasil karya kau dan John di kebun kita."
Elizabeth memerah pipinya karena kegirangan. Ini benar-benar di luar dugaan. Ia
kembali duduk setelah mengucapkan terima kasih.
John menyeringai senang padanya. "Apa kataku," bisiknya. "Kau boleh selalu yakin
bahwa William dan Rita selalu bersikap adil."
"Ada laporan atau keluhan?" tanya Rita. Seorang anak kecil langsung berdiri.
Agaknya ia telah bersiap-siap dengan keluhannya.
"Aku ingin melaporkan tentang Fred White," katanya. "Ia selalu meminjam barang-
barangku dan tak pernah mengembalikannya."
"Itu pengaduan biasa, dan bukannya laporan," kata William segera. "Untuk perkara
kecil macam itu, pergilah ke pengawasmu. Siapa pengawasmu?"
"Aku," seorang anak bernama Thomas berdiri.
"Terangkan padanya beda laporan atau keluhan, dengan pengaduan biasa," kata
William. "Kami hanya menyelesaikan perkara yang serius di sini."
"Ada keluhan lain?" tanya Rita. Seorang anak bernama William Peace berdiri. Ia
satu kelas di bawah Elizabeth, dan berwajah sangat serius.
"Aku ingin menyampaikan sebuah keluhan kecil," katanya. "Aku ikut pelajaran
biola. Dan ternyata waktu berlatihku diubah sehingga bersamaan dengan kegiatan
pencinta alam. Aku anggota kelompok pencinta alam, dan keberatan bila kehilangan
salah satu acaranya. Dapatkah diusahakan agar kedua waktu itu dipertimbangkan
lagi?" "Itu soal mudah," kata William. "Bicarakan dengan Pak Lewis, guru musik, mungkin
ada anak lain yang mau bertukar waktu denganmu."
"Terima kasih," dan anak itu pun duduk. Tak ada lagi keluhan lain. Kathleen sama
sekali tidak berdiri, padahal teman-teman sekelasnya harap-harap cemas menunggu
dia melaporkan tentang perbuatan Jenny. Tentu saja mereka tak tahu bahwa
Kathleen telah memutuskan untuk turun tangan sendiri menghukum Jenny.
"Rapat Besar dinyatakan berakhir," kata William. Anak-anak pun berduyun-duyun
keluar menuju ruang bermain masing-masing. Elizabeth mendekati John.
"Bagus sekali, kita akan memperoleh uang untuk membeli bibit krokus itu," kata
Elizabeth dengan mata bersinar-sinar. "Mari kita besok ke desa dan kita tanyakan
berapa harganya. Aku sudah tak sabar untuk segera menanamnya. Kau juga, bukan,
John" Oktober adalah waktu yang tepat. Krokus-krokus itu akan tumbuh indah di
musim semi." "Elizabeth, kalau saja kau bisa melihat sendiri wajahmu pada saat bahagia dan
tersenyum seperti ini, sungguh manis sekali!" goda John. "Sebaliknya waktu kau
cemberut dan merengut, tak ada yang mengalahkan seramnya."
"Kau selalu memberiku kuliah, John!" kata Elizabeth. Tapi dalam hati ia merasa
senang sekali bahwa John senang berteman dan bekerja dengannya. Sayang sekali ia
tak tahu bahwa tak berapa lama kemudian John akan sangat marah padanya!
9. Kathleen Mulai Bertindak
Kathleen tak mengubah keputusannya. Ia harus membalas dendam pada Jenny dan
Elizabeth. Ia mulai bertindak. Berbagai akal licik dilakukannya. Begitu cerdik,
sehingga tak ada yang mencurigainya.
Ia menyelinap masuk ke dalam kelas, sesaat setelah selesai acara minum teh.
Ruang kelas kosong. Ia pergi ke meja Jenny. Ia tahu Jenny baru saja membuat
pekerjaan rumah bahasa Prancis dengan rapi dan hati-hati sekali. Dan Jenny telah
menyimpan kembali bukunya di dalam laci meja.
Kathleen mengambil buku tersebut. Membukanya pada bagian pekerjaan rumah yang
baru dikerjakan. Dicelupkannya pen ke dalam tinta. Dan diguncangkannya tepat di
atas pekerjaan rumah itu. Tiga tetes besar tinta jatuh.
Dengan puas Kathleen memandangi hasil kerjaannya. Jenny pasti mendapat teguran!
Ditunggunya sampai titik tinta itu kering, kemudian ditutupnya buku tersebut dan
dimasukkan kembali ke dalam laci. Ia pun bergegas kembali ke ruang bermain.
Dilihatnya Jenny di sana. Dalam hati Kathleen tersenyum puas. Biar tahu rasa
Jenny besok, pikirnya. Elizabeth juga berada di ruang itu, sedang memasang piringan hitam
kesayangannya. Kathleen berpikir-pikir apa yang bisa dilakukannya terhadap
Elizabeth. Beberapa saat kemudian ia menyelinap ke luar. Naik ke kamarnya.
Mengambil mantel dan ke luar. Di luar gelap. Kathleen berjalan menuju pintu
kebun.

Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia pergi ke gudang tempat Elizabeth biasa menyimpan sekop, garpu tanah, dan
cangkul. John punya peraturan bahwa siapa pun yang bekerja dengannya, harus
selalu membersihkan alat berkebun sampai bersih mengilat setelah habis dipakai.
Elizabeth tahu benar hal ini dan selalu mematuhinya. Alat-alat yang digunakan
Elizabeth selalu dirawat dengan sangat baik.
Kathleen mengambil alat-alat berkebun itu. Dibawanya keluar, ke tempat ia tahu
ada tanah yang sangat becek dan berlumpur. Ditancapkannya alat-alat tadi
sehingga semuanya benar-benar sangat kotor.
Kemudian dibawanya kembali alat-alat itu masuk, ditaruhnya di sudut gudang.
Dalam cahaya lampu senternya terlihat betapa kotornya alat-alat tadi. John pasti
marah besar nanti. Dan karena alat-alat itu biasa digunakan oleh Elizabeth, maka
pasti John akan menuduh Elizabeth ceroboh.
"Jenny dan Elizabeth akan segera mendapatkan upah mereka, karena bersikap buruk
padaku," pikir Kathleen. Ia kembali ke kamarnya, untuk menanggalkan mantel.
"Mereka harus dihukum! Mereka begitu keji padaku. Aku membalasnya kini, dengan
berlipat ganda! Biar puas!"
Ia kembali ke ruang bermain. Ia benar-benar lega, merasa menang. Tak sabar ia
menunggu hari esok, saat hasil perbuatannya akan bisa terlihat.
Yang pertama menderita akibat perbuatan Kathleen adalah Jenny. Mam'zelle meminta
agar Kenneth mengumpulkan semua buku pekerjaan rumah bahasa Prancis. Jenny
memberikan bukunya tanpa memeriksanya lagi. Sementara seluruh kelas mengerjakan
pekerjaan terjemahan, Mam'zelle memeriksa buku-buku pekerjaan rumah.
Waktu ia sampai pada buku Jenny, ia tertegun. Tiga buah noda tinta yang besar-
besar hampir menutupi semua pekerjaan rumah Jenny! Dengan putus asa Mam'zelle
melempar tangannya ke atas.
"Apa ini?" serunya. "Buku siapa ini?" Cepat ia melihat nama yang tertulis pada
buku tersebut dan dengan penuh heran melihat pada Jenny.
"Jennifer Harris! Bagaimana kau berani menyerahkan pekerjaan seperti ini"
Sungguh memalukan!" Jenny mengangkat kepala terkejut. Ada apa dengan pekerjaan rumahnya" Ia telah
membuatnya dengan sangat hati-hati. "Ada apa, Mam'zelle?" tanyanya. "Apakah ada
yang salah?" "Jenny anak manisku sayang, kau bukan lagi di taman kanak-kanak!" sela
Mam'zelle, membuka buku Jenny dan menunjukkannya pada Jenny. "Lihat halaman ini!
Apakah tidak memalukan" Kau tahu kau harus mengerjakannya sekali lagi. Dari
kelas ini aku sudah memberi peraturan, tak boleh ada satu titik kotor pun dalam
pekerjaan rumah! Aku benar-benar malu punya murid seperti kau!"
Jenny ternganga melihat bukunya. Ia yakin tak pernah membuat tetesan tinta
sedikit pun. Mungkin itu bukan bukunya!
"Itu bukan buku saya, Mam'zelle," kata Jenny. "Tak mungkin! Pekerjaanku bersih.
Aku tak pernah mengerjakannya sekotor itu!"
"Jenny, aku tidak buta, aku bisa membaca!" seru Mam'zelle mulai naik pitam.
"Kubaca namamu di sini. Lihat, Jennifer Harris! Tak salah lagi, ini pasti
bukumu! Dan kau bilang tidak meneteskan tinta" Lalu bagaimana tetesan tinta
sebesar ini bisa muncul" Muncul dengan sendirinya?"
"Aku sama sekali tidak mengerti mengapa ada noda tinta di situ," kata Jenny
makin kebingungan. "Benar-benar tak mengerti! Aku sangat menyesal, Mam'zelle.
Biarlah kukerjakan sekali lagi pekerjaan itu."
"Dan di waktu-waktu mendatang kau harus hati-hati!" kata Mam'zelle mulai agak
tenang kembali. Jenny tak habis-habisnya berpikir. Mungkin tanpa diketahuinya ia telah
meneteskan tinta. Mungkin waktu ia menutup buku. Ia begitu bingung sehingga tak
melihat betapa gembiranya Kathleen karena salah satu ulahnya mencapai hasil yang
sangat diharapkannya. Dalam hati ia tertawa puas. Ia harus segera memikirkan,
apa lagi yang akan dilakukannya terhadap Jenny.
Sore itu ada setengah jam bebas. Anak-anak boleh berjalan-jalan, berlatih
lacrosse, atau berkebun. Elizabeth memilih berkebun karena ia ingat ada sepetak
tanah yang belum digalinya. Kemarin waktunya telah habis sebelum ia bisa
mengerjakan tempat itu. Ia berlari-lari kecil menuju kebun. Dilihatnya John telah mulai menggali tanah
dengan rajin. Elizabeth memanggilnya, tetapi kelihatan sekali bahwa John sedang
marah. "Elizabeth, kau kemarin menggali dan membalik tanah, bukan?" tanya John.
"Benar," kata Elizabeth. "Kenapa" Aku malah menggunakan hampir semua alatku. Aku
begitu sibuk. Kenapa, John" Kau kelihatannya marah."
"Aku memang marah!" kata John. "Ambil alat-alatmu dan kau akan tahu mengapa!"
Elizabeth tak bisa mengerti apa yang dimaksud John. Ia cepat-cepat masuk ke
dalam gudang, dan tertegun keheranan. Alat-alat berkebunnya penuh dengan lumpur!
Satu pun tak ada yang bersih mengilat. Aneh sekali!
Dibawanya semua keluar. "John!" katanya. "Aku yakin kemarin aku sudah
membersihkannya seperti biasa. Sudah sangat bersih sebelum kusimpan!"
"Tak mungkin," kata John dengan nada tajam. "Mana bisa alat-alat itu jadi kotor
dengan sendirinya. Gunakan otakmu, Elizabeth!"
"Sudah kugunakan!" seru Elizabeth. "Dan otakku bilang bahwa kemarin aku telah
membersihkan semua ini. Bukanlah kesalahanku bahwa sekarang alat-alat ini kotor.
" "Baiklah, tak usah ngotot," kata John dengan geram. "Kalau saja kau mengaku
lupa, Elizabeth, mungkin aku bisa mengerti. Sungguh tak masuk akal kau berani
menyangkal, padahal bukti ada di depan mata! Sungguh munafik!"
"John!" tukas Elizabeth. "Bagaimana kau bisa mengatakan seperti itu padaku" Aku
tak pernah takut mengakui kesalahanku, kalau aku memang bersalah. Kau tahu itu.
Dan aku yakin aku telah membersihkan semua alat-alat ini!"
"Baiklah, baiklah!" kata John, kembali menggali lagi. "Mungkin alat-alat itu
tadi malam iseng keluar jalan-jalan, dan menggali sendiri, dan lupa mencuci diri
Bukit Pemakan Manusia 15 Pendekar Slebor 45 Ajian Sesat Pendekar Slebor Harga Sebuah Kepala 1
^