Pencarian

Untuk Orang Pemberani 4

Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock Bagian 4


terjadi dan Leona tidak mencurigainya sebelumnya. Pikiran mengenai
kesendiriannya dalam kebingungan yang menegangkan syaraf itu membangkitkan rasa
kasihan pada diri sendiri. Mengapa semuanya harus terjadi malam ini - pada malam
saat dia benar-benar sendirian - yang bahkan seorang pelayanpun tidak ada" Semua
ini terlalu berat baginya.
Amat sangat berat untuk ditanggung seorang yang cacat dan lemah. Bibirnya
bergetar, dan dia menghubungi operator interlokal untuk di-sambungkan ke Jim
Cotterell di Chicago. Operator di Chicago mengulangi nomer telepon yang diberikan Leona dan dia segera
dapat mendengar suara telepon di rumah Jim Cotterell berdering. Seseorang
mengangkatnya dan Leona berkata, "Halo," tapi sambungan itu langsung terputus.
Keheningan itu membuatnya murka dan dia menyuarakan kejengkelannya. Beberapa
detik berlalu, dan operator itu berkata dengan halus, "Mr. Cotterell tidak
berada di Lake Forest, Nyonya. Saya akan coba mencarinya untuk Anda."
"Apa?" sahut Leona sebal.
"Saya akan menghubungi Anda kembali, Nyonya, " jawab operator itu dan mematikan
teleponnya. Marah oleh kebiasaan ayahnya yang suka pergi ke klub malam atau ke tempat main
kartu semalaman, dia kembali memikirkan siapa kira-kira yang bisa diceritakan
tentang kegelisahannya. Sulit sekali - menjadi seorang asing di New York - untuk
memilih seeorang yang bisa dimintai bantuan. Kurangnya pilihan membuatnya
semakin marah. Akhirnya dia ingat seorang dokter - dokter Alexander. Hanya kenalan biasa. Dia
pernah memeriksanya beberapa kali. Dia pernah beberapa kali membuat beberapa tes
terhadapnya yang hasilnya tidak diketahui Leona.
Dia bisa meminta dokter itu kesini, dan dia harus datang. Setidaknya ada orang
di dekatnya untuk beberapa saat.
Kembali dia meraih gagang telepon, berhenti sesaat ketika didengarnya kereta
melintas dengan suara gaduh di jembatan.
Terkutuk sekali kekacauan ini! Leona berpikir, bodoh sekali hidup di sebuah kota
dimana penduduknya, siapapun dia, tidak bisa menemukan kedamaian dan ketenangan.
Dia juga memikirkan kereta yang diceritakan para pembunuh itu (Pasti seperti
keadaan saat ini!) dan dia merasa ngeri. Lebih baik dia tidak mengingat-ingat
kejadian itu. Suara kereta itu semakin menghilang dan Leona kembali meraih telepon. Di saat
yang sama telepon itu berdering dan Leona segera mengangkatnya.
Itu adalah Evans. Leona tidak kesulitan mengenali suara lelah, bergaung, dan
beraksen kental itu. "Apa Mr. Stevenson ada disana?" tanyanya.
"Tidak," jawab Leona. "Apakah ini Mr. Evans?"
"Ya, Mrs. Stevenson."
Leona berkata dengan riang, "Pertama-tama saya ingin mengetahui kebenaran
tentang apa yang terjadi di Staten Island. Saya baru saja mendengar tentang hal
itu malam ini - dan saya gugup sekali - apalagi Mr. Stevenson sedang tidak ada
di rumah - juga saya mendengar telepon aneh tentang pembunuhan - " Leona
menceracau, dan dia takjub.
Ketika dia bicara, Leona mendengar suara deru angin yang berasal dari telepon
Mr. Evans, dimanapun dia berada. Semakin Leona mencoba mendengarkan, semakin
kencang pula suara itu. Suaranya seperti sering didengar Leona - suara pemadam
kebakaran atau mobil polisi yang berjalan melintasi jalanan di dekat rumahnya.
Dengan gugup dia memanggil,
"Apakah Anda masih disana, Mr. Evans?"
Suara deru angin itu makin kencang terdengar dan Leona berteriak, "Mr. Evans - "
Apakah Anda masih ada?"
Tidak ada jawaban, hanya suara deru angin. Akhirnya telepon itu ditutupnya
dengan putus asa. Tapi segera telepon itu berbunyi lagi.
"Hello" Mr. Evans?" tanyanya dengan cepat. Tidak ada jawaban. Dia malah
mendengar suara ribut dan bergemuruh yang lebih menakutkan dari suara
sebelumnya. "Mr. Evans - " Leona memanggil lagi, hampir berteriak, tapi hanya suara gemuruh
itu yang menjawab. Dengan suara mendekati histeris, Leona berteriak, "Halo! Siapa disana" Siapa ini
yang menelepon?" Leona berhenti beberapa saat, lalu kembali berteriak, "Mengapa
kamu tidak menjawab pertanyaanku?" Lagi-lagi Leona diam beberapa saat. Kemudian,
ketika tidak ada sedikitpun suara yang terdengar, benteng pertahanan Leona
runtuh dan dia berteriak nyaring, "JAWAB!"
Dari kejauhan, hampir terkubur oleh gemuruh suara yang berkepanjangan, dia
mendengar suara kecil berkata, "Leona - ?"
Leona bertanya takut-takut, "Siapa disana?"
Suara itu sepertinya menjadi lebih jelas sekarang, dan lebih jernih, lalu suara
itu berkata, "Ini Sally. Aku menelepon dari stasiun kereta bawah tanah. Semua
toko sudah tutup jam sepuluh di dekat tempat tinggalku. Aku harus bicara padamu,
jadi aku pergi kesini. Aku sudah pulang tadi, Leona - setelah bicara denganmu
-dan ternyata ada lagi yang terjadi."
Leona, dengan wajah tegang dan keras, berkata, "Kali ini, Sally, tolong katakan
semuanya atau jangan kau ganggu aku lagi. Aku sudah cukup mendengar apa yang
terjadi hari ini." "Ada mobil polisi parkir di halaman rumahku tadi," kata Sally terburu-buru.
"Rumah di Staten Island itu terbakar sore ini. Polisi mengepung rumah itu.
Mereka menangkap tiga orang lelaki. Tapi orang yang bernama Evans ini berhasil
lolos." "Tapi siapa Evans ini" Apa hubungannya dengan Henry?" tanya Leona.
"Aku masih belum mengetahuinya, Leona. Yang aku tahu, semua ini ada hubungannya
dengan perusahaan ayahmu..."
"Perusahaan ayahku" Tapi - ini aneh. Ayahku meneleponku dari Chicago malam ini dan
dia sama sekali tidak menyebut-nyebut masalah ini."
Dia berhenti, menunggu sampai suara kereta yang sedang lewat itu menghilang.
Kemudian dia melanjutkan, "Begini. Coba kau runtutkan kembali ceritanya. Siapa
yang ditangkap" Mengapa?"
"Tiga orang lelaki," jawab Sally. "Aku tidak tahu apa alasannya."
"Dan mengapa kau pikir Henry ada diantara mereka?"
"Aku tidak berkata begitu. Aku hanya tahu dia terlibat dalam masalah ini."
kemarahan Leona bangkit lagi. "Apa mereka bilang Henry ditangkap atau akan
ditangkap?" "Tidak, bukan begitu tepatnya."
"Lalu - kau ini bicara apa?" tanya Leona murka. "Mengapa kau meneleponku begini"
Sadarkah kau bahwa kau membuatku takut sampai hampir mati?"
"Aku tahu, tapi - "
"...pertama aku mengangkat telepon dan tanpa sengaja mendengar dua orang bicara
tentang pembunuhan..."
"Pembunuhan - !"
"...mereka merencanakan akan membunuh seorang perempuan... lalu mahluk ini yang
bernama Evans meneleponku, suaranya seolah-olah dia berada di dalam kuburan...
lalu orang-orang yang teleponnya kuhubungi tiba-tiba saja bernada sibuk atau
diputus... dan sekarang kamu - tanpa alasan sama sekali..."
"Maafkan - " "...tanpa alasan sama sekali..." Leona terdiam untuk menarik napas. "Apakah kau
cemburu karena aku mengambilnya darimu" Apakah kau tidak bisa melihatku
bahagia?" "Sungguh, Leona..."
"Kau tidak bisa berhenti mengatakan hal-hal bohong dan menyusahkan sekarang ini
ya" Aku tidak percaya sepatah katapun yang kau ucapkan - kau dengar" Tidak sepatah
katapun! Dia tidak bersalah. Dia sedang dalam perjalanan pulang kesini -
sekarang!" Sebelum Leona sempat berkata-kata lagi, Sally sudah menutup teleponnya.
Leona terbaring sambil menggerak-gerakkan tangannya, bertanya-tanya tentang
teriakan-teriakan tadi. Dengan semua hal tadi terjadi, Sally mungkin mengetahui
sesuatu yang akan melibatkan Henry dalam bahaya. Tapi apa"
Uang" Tentang pasar saham tadi" Ini sukar dimengerti. Leona tahu, tidak ada
seorangpun yang berani bermain di bursa saham tanpa uang. Henry tidak punya
uang. Gajinya sebagai wakil direktur Cotterell Company tidak begitu besar, dan
sebagian besar habis untuk biaya rumahtangga yang bersikeras dibayarkan Henry.
Kebanggaan membuatnya melakukan itu, sebagaimana kejadian konyol tentang
apartemen mereka - apartemen yang dia ingin sewa untuk Leona ketika mereka masih
tinggal bersama Jim di Chicago. Tidak, Henry tidak punya apa-apa sama sekali.
Tapi dia diperbolehkan untuk membiayai rumah tangga mereka. Tapi biaya terbesar
yang dikeluarkan tetap berasal dari kocek Jim Cotterell.
Leona tidak bisa menemukan celah dimana Henry bisa bermain-main masalah
keuangan. Bahkan investasi yang dilakukan Jim selalu berbalik pada Leona - untuk
mengurangi pajak kematian yang suatu saat nanti akan dibebankan pada kekayaannya
- dan terdaftar atas nama Leona, dan sepengetahuan Henry itu sama sekali tak
bisa disentuh. Kecuali, tentu saja, jika istrinya itu meninggal. Jika Leona
meninggal, maka kekayaan itu akan menjadi milik Henry. Wasiat Leona menyatakan
hal-hal semacam itu - dan Leona turut senang untuk Henry. Dan pikiran itu benar-
benar mematikan - untuk saat ini! Dia langsung membuang jauh-jauh pikiran itu.
Terlalu menakutkan baginya.
Tapi pasti ada alasan lain dibalik cerita menakjubkan yang dikatakan Sally.
Kecuali jika itu hanyalah khayalan Sally belaka. Kecuali jika Sally memiliki
rencana busuk dan keji untuk menyakitinya karena apa yang telah terjadi di masa
lalu. Anggaplah dia memang punya rencana seperti itu. Apa dia mampu mengarang-
ngarang cerita seperti tadi" Dan jika memang dia mampu, mengapa dia harus
menceritakannya di malam yang aneh ini"
Misteri itu semakin berkembang di benaknya, berputar dalam awan perkiraan.
Kecurigaan kecil yang menakutkan makin berkembang dan menolak untuk dipadamkan.
Tiap pikiran yang tersembunyi menghasilkan pikiran yang lain, dan imajinasinya
menjadi layar yang menampilkan bayangan-bayangan jahat akan kemungkinan yang
masuk akal. Mungkin! Mungkin! Bagaikan mimpi buruk, teror melimpah yang ditimbulkan
kejadian-kejadian itu menyebabkan reaksi fisik yang kentara. Jantungnya berdebar
kencang, sangat kencang dan itu membuatnya sakit. Untuk bernafaspun dia harus
berusaha keras agar udara yang ada dalam paru-parunya berkeinginan untuk keluar.
Dengan tangan bergetar, dia mengambil saputangan dan melap wajahnya yang
menyiratkan ketakutan dan kekhawatiran yang amat sangat. Dia sudah tidak ingin
mengetahui apa yang terjadi dengan Henry - atau apa yang nanti akan terjadi.
Kepeduliannya akan keadaan dirinya sendiri mengalahkan semuanya. Bayangan
tentang kekacauan yang akan terjadi, runtuhnya ketidakjujuran yang selama ini
dibangunnya, semuanya sudah tidak tertahankan. Tubuhnya mulai bergetar dengan
perasaan tersiksa di atas ranjang, ketika lagi-lagi terdengar suara telepon
berdering. "Apakah ini Plaza 9:2265?" tanya seorang lelaki.
"Ya, ada apa?" sahutnya dengan suara bergetar, hampir seperti bisikan.
"Ini Western Union. Kami ada pesan untuk Mrs. Stevenson. Apakah ada orang yang
bisa menerima pesan ini?"
"Disini Mrs. Stevenson."
"Telegram ini berbunyi: ' Mrs. Henry Stevenson, Sutton Place nomer 43, New York,
New York. Sayang, maaf sekali, aku harus pergi ke pertemuan di Boston pada menit
terakhir. Titik. Naik kereta kesana. Titik. Kembali Minggu pagi. Titik.
Menelepon, tapi selalu sibuk. Titik. Baik-baik ya. Penuh cinta, Henry.
10:15 Leona tertegun. Tangannya bergerak menutupi mulut dengan putus asa. Operator
Western Union itu ingin tahu apakah salinan telegram perlu diantar atau tidak,
dan Leona mengatakan, "Tidak, itu - tidak - perlu," dengan suara lemah, meletakkan
telepon kembali ketempatnya dan bergerak layaknya robot. Dan Leona kembali
mendengar gemuruh ribut dari jembatan dan dia beranjak dari tempat tidur menuju
jendela, perlahan, seakan berjalan dalam mimpi. Dengan satu tangan bertumpu pada
bingkai jendela, Leona memandang siluet jembatan bergaya Gotik dengan latar
belakang langit malam. Sekarang dia bisa melihat kereta, yang serupa deretan
sinar kotak-kotak panjang yang bergerak seperti ulat, dan gemuruhnya semakin
keras saat kereta itu bergerak ke arahnya, makin keras, makin keras, makin
keras, dan suara itu bertambah lemah saat menjauh. Bingkai jendela sedikit
bergetar di bawah tangannya. Dia hanya berdiri seperti terhipnotis. Potongan-
potongan pembicaraan mengalir dari benaknya, "Kemudian aku menunggu... sampai
kereta melintasi jembatan... menurut klien kita tempat itu aman... aku sudah
dapat pesanmu, George, apa semuanya siap malam ini"... Dimana Henry" Bisnis.
Bisnis apa "... kadang-kadang hari berlalu begitu saja ketika Mr. Stevenson
tidak hadir... Henry sedang bermasalah... sangat bermasalah... sayang, maaf
sekali, harus naik kereta... kemudian aku tunggu sampai kereta melintasi
jembatan... Dengan keluhan kecil dia membawa dirinya kembali ke dunia nyata, berjalan
kembali ke tempat tidur, menggenggam dinginnya gagang telepon di tangannya.
Terdorong kebutuhan dari dalam diri, Leona bergerak gugup sambil memutar
piringan nomer telepon. Suara dengung kipas angin yang monoton terdengar diantara hiruk-pikuk suara
dalam ruang tamu sederhana di sebuah apartemen kecil. Anginnya diarahkan
langsung ke arah papan kontrol yang berjajar dalam satu tembok.
Kipas angin itu menawarkan kenyamanan pada empat orang gadis yang duduk dekat
papan pengendali yang sibuk memindahkan colokan telepon, memencet tombol, dan
mencatat pesan dengan cepat yang kemudian akan di sampaikan ke para pelanggan
Layanan Penjawab. Di sebuah sofa dekat jendela yang terbuka, pegawai kelima
sedang beristirahat, Dari arah arah jendela, gadis itu bisa melihat tangga
darurat, dengan salah satu batang tanaman geranium yang miring di dalam salah
satu pot di sudut. Si gadis, yang tidak terlalu suka tanaman, hanya berbaring
dan mengawasi teman-temannya yang sedang bertugas.
Ketika sinyal terdengar, dia berdiri dan duduk di salah satu kursi, bergantian
dengan salah seorang pegawai lain yang keluar. Dia memasang kabel penghubung
corong bicara ke sekitar lehernya serta alat penerima melalui kepalanya. Matanya
melihat cahaya berkedip di papan pengendali, dan dia langsung bekerja dengan
berkata, "Tidak, Nyonya. Dokter Alexander tidak ada di tempat. Apakah Anda ingin
meninggalkan pesan?"
Dia mendengarkan beberapa saat, wajahnya menyiratkan kewaspadaan. "Bagaimana,
Nyonya" Tidak - saya tidak bisa mengatakan... Bila Anda memberikan nama dan alamat
Anda" Ya, Nyonya. Ya - Mrs. Stevenson. Mrs. Henry Stevenson. Plaza 9:2265. Saya
pasti akan mencoba menghubungi beliau."
Alexander meletakkan kartu-kartu di atas meja, mengaturnya dalam jajaran panjang
dan rapi dengan tangannya yang lentik dan bersih. "Sudah, partner," ujarnya
sambil tersenyum. "Coba lihat apa yang dapat kau lakukan dengan kartu-kartu itu."
"Sempuma!" "Kurasa memang sempurna - kalau saja aku tahu tawaranmu."
Dia menoleh ke arah tuan rumah yang duduk di sebelah kirinya. "Jika boleh, aku
mohon permisi sebentar, Mona. Aku ingin menelepon - "
"Tentu saja, Philip," sahutnya. "Kau tahu dimana teleponnya, 'kan?"
"Sayangnya..." ujarnya sambil bangkit dari kursi.
"Di seberang lorong di ruang kerja. Kau akan lihat telepon itu ada di atas meja
Harry. Kau tidak mungkin tidak melihatnya."
"Sekarang aku ingat. Bodohnya diriku..."
Dengan langkah kaki panjang-panjang, postur tubuhnya yang tegap keluar dari
ruangan. Tanpa sadar, dua perempuan yang berada di meja kartu menoleh saat
memandangnya pergi. Dia memang selalu menjadi perhatian para perempuan. Sebagai
konsekuensinya, dia menarik bayaran besar lumayan besar, untuk kemampuannya yang
setara dengan penampilannya.
Ketika dia sudah duduk di meja kerja, dengan telepon di hadapannya, lampu di
meja itu membuat bayangan menarik di sekitar wajahnya. Wajah serupa elang,
hidup, sehat, dengan garis-garis di sudut bibir tipis dan mata abu-abunya yang
terbentuk semakin dalam oleh waktu dan rasa humor. Rambutnya tebal dan hitam,
dengan bayangan abu-abu di sekitar pelipis. Dia itu, sebagaimana biasa dikatakan
para suami saat pembayaran tagihan yang biasa, adalah seorang dokter Kerah
Arrow, dokter rapi dan gaya - seorang pemeran dokter beralatkan pisau bedah, bukan
naskah. Tapi mereka harus mengakui kehebatannya - meskipun istri-istri mereka
kadang memancarkan raut wajah seperti orang melamun yang memandang nanar ke
depan, sejalan dengan aura sehat yang terpancar dari dalam diri mereka.
Dokter itu memutar nomer Layanan Penjawab secara mekanis sambil berpikir betapa
menyenangkan jika malam itu dia tidak terganggu oleh hal-hal sepele. Dia sedang
menikmati malam - sebuah hal yang jarang ditemui oleh seorang dokter sukses.
"Dokter Alexander," kata si dokter pada seorang gadis yang menjawab teleponnya.
"Apa ada pesan untukku" - kuharap tidak ada..."
"Oh - ada, dokter," jawab si gadis. "Dari Mrs. Stevenson. Mrs. Henry Stevenson.
Dia bilang dia sangat sakit dan khawatir. Salah satu pasienjantung Anda,
katanya. Kedengarannya dia agak panik."


Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada lagi?" tanya si dokter lagi.
"Tidak, dokter. Hanya Mrs. Stevenson."
"Baik, saya akan segera menghubungi Mrs. Stevenson. Terima kasih."
Dari dalam saku jasnya, dokter itu mengambil sebuah buku alamat yang bagus
sekali dan mencari-cari nama Leona di dalamnya. Dia ragu sejenak sebelum memutar
nomer telepon, dengan rasa putus asa berpikir ini mungkin saja hanya telepon
yang merepotkan. Mrs. Stevenson kadang-kadang bersikap sombong.
Dan kesombongan itu akan bertahan lama, sedangkan si dokter tidak berniat untuk
mendengarkan kondisi kesehatannya yang tidak berkesudahan itu. Sambil tersenyum,
dokter itu berpikir, sepertinya Mrs. Stevenson sudah membuat gadis operator di
Layanan Penjawab itu ketakutan, meskipun kemungkinan keadaannya benar-benar
mengkhawatirkan itu kecil sekali - Well, mungkin saat ini tidak terlalu buruk.
Sudah saatnya dia tahu keadaan yang sesungguhnya.
Diputarnya nomer telepon Leona.
Leona menjawab telepon tepat pada dering pertama. Merengek sesaat, kemudian
marah-marah, dan semua masalah langsung membanjiri telinga si dokter.
"Aku amat sangat ketakutan," ujarnya lemah. "Jantungku seperti terjepit.
Debarannya menyakitkan sekali - aku - aku tidak tahan lagi. Paru-paruku seolah
mau meledak setiap kali aku menarik napas panjang. Dan aku terus saja gemetar.
Aku hampir tidak dapat memegang telepon ini, sakit sekali."
"Oh, ayolah - ayo, Mrs. Stevenson," sahutnya menenangkan. "Saya rasa kondisi
Anda tidak separah itu. Dimana pelayan Anda malam ini" Bisakah dia datang
menemani Anda" Saya yakin jika ada seseorang yang menemani maka Anda tidak akan
begitu tersiksa." "Tidak ada seorangpun disini - semua tidak ada," teriak Leona, hampir menangis.
"Dan kurasa aku tidak begitu sehat. Aku ingin kau datang kesini malam ini. Kau
dokterku dan aku perlu kau - malam ini."
"Wah - saya rasa saya tidak bisa kesana," ujarnya, masih dengan nada lembut yang
profesional. "Saya akan datang jika memang sangat mendesak - dan saya rasa
sekarang kondisi Anda tidak begitu mendesak. Anda hanya sedang gugup, itu saja.
Jika Anda memaksa diri untuk rileks dan duduk diam-diam untuk beberapa menit,
maka akan merasa lebih baik. Jika Anda mau, minumlah beberapa butir bromide.
Obat itu akan membantu menenangkan kegugupan Anda."
Leona menangis, "Tapi kau tahu saya sedang sakit. Untuk apa aku datang padamu
selama beberapa bulan ini" Bagaimana mungkin kau menolak untuk menemuiku
sekarang - saat aku sedang memerlukanmu" Dokter macam apa kamu ini?"
Rahang dokter itu mengeras. Ini sudah terlalu jauh, bahkan untuk Mrs. Stevenson
yang kaya itu. "Begini, Mrs. Stevenson," sahutnya dingin. "Bukankah sekarang
sudah saatnya bagi Anda untuk menghadapi secara jujur dan mulai bekerjasama
dengan suami Anda dan juga saya?"
"Kau ini bicara apa?" tanya Leona. "Apa yang kau maksud dengan - bekerjasama?"
Pertanyaannya mengagetkan dokter Alexander. "Apa yang saya bicarakan" Mrs.
Stevenson, Anda tahu betul sebagaimana saya juga mengetahuinya. Saya sudah
menjelaskan semuanya pada suami Anda - seminggu yang lalu."
"Suami saya" Anda pasti sedang ingin membuat saya jengkel seperti yang lain.
Saya yakin, suami saya tidak mengatakan apapun..."
Dokter Alexander menjadi semakin heran. "Anda yakin suami Anda... Saya sudah
menceritakan semuanya... Dia berjanji... Dan dia belum bilang apa-apa?"
"Cerita semua tentang apa?" tanya Leona mendesak. "Cerita apa" Ada apa sih
dengan semua ini?" Dokter Alexander berhenti bicara. Semua ini agak membingungkannya.
"Well, ini benar-benar aneh, sangat aneh, Mrs. Stevenson. Saya sudah membahas
masalah kesehatan Anda dengan suami Anda - semuanya - kira-kira sepuluh hari
yang lalu. Dia datang ke kantor saya."
"Dan apa yang kau katakan padanya, dokter?"
"Sungguh, Nyonya yang baik, sekarang bukan waktunya untuk membahas semua ini.
Jika Anda sudah bisa menguatkan diri - cobalah untuk tidur - mungkin kita bisa
membicarakan masalah ini besok."
"Kita akan membahas masalah ini sekarang - SEKARANG! Kau dengar!" jerit Leona.
"Kau pikir bagaimana saya bisa melewati malam ini tanpa tahu - dengan hati
bertanya-tanya tentang kejadian buruk apa lagi yang akan terjadi padaku
selanjutnya" Saya tidak akan mendengar Anda..."
Dokter Alexander mengangkat bahu dan sebelah alisnya naik seolah melecehkan
sambil mendengarkan telepon.
"Baiklah, Mrs. Stevenson. Tolong tunggu sebentar..."
Dia meletakkan telepon itu di atas meja dan berjalan keluar ruang kerja untuk
kembali ke ruang tamu. Di pintu, dokter itu berhehti. Kartu sudah dibagi dan
mereka menunggunya. "Maaf," ujarnya ke arah mereka. "Aku masih harus bicara di telepon agak lama..."
"Penaklukanmu lagi ya, Philip?" tanya rekannya dengan senyum menyiratkan
keriangan yang berlebih. "Tentu saja. Tapi hanya sebentar. Sebenarnya saya tidak suka membuat kalian
menunggu seperti ini."
Dia kembali ke ruang kerja. "Terima kasih sudah menunggu, Mrs. Stevenson."
"Aku harap kau bisa menjelaskan semuanya sekarang," desaknya, merajuk. "Aku
tidak habis pikir mengapa suamiku sampai menemuimu."
"Dia datang ke kantor saya untuk mengetahui diagnosis penyakit Anda. Dia bilang
ayah Anda memperingatkan tentang penyakit jantung yang Anda derita dan Anda
gampang sekali terkena serangan sejak kecil. Katanya, sebagai jawaban pertanyaan
yang saya ajukan, keadaan Anda sudah sejak lama membaik, dan dia tidak
mengetahui kondisi jantung Anda sampai kalian berdua menikah. Ayah Anda yang
mengatakannya pada hari pernikahan kalian. Itu membuatnya terkejut."
"Ayah saya memang agak-agak - bebal."
"Suami Anda mengatakan Anda tidak mengalami serangan jantung sampai kira-kira
sebulan setelah pernikahan dan kalian baru saja kembali dari berbulan madu.
Apakah itu benar, Mrs. Stevenson?"
"Ya," jawab Leona. "Saya menyesalkan hal itu."
"Suami Anda mengatakan serangan itu terjadi ketika dia ingin berpisah dari
perusahaan ayah Anda, dan Anda tidak ingin mendengarnya."
"Kurasa - kurasa memang seperti itu," jawab Leona mengakui. "Henry menginginkan -
kalau dipikir-pikir memang konyol kedengarannya - dia menginginkan untuk
berusaha sendiri. Dia memang agak tidak sabar dalam hal ini - kadang-kadang."
"Menurutnya lebih daripada itu, Mrs. Stevenson."
"Oh" Lebih dari itu?"
"Ya, sepertinya ada semacam pertengkaran dengan ayah Anda - apakah benar?"
"Well, iya..." jawab Leona enggan. "Menurut Henry, ayah tidak memberinya cukup
tanggung jawab. Pernyataan bodoh."
"Tapi menurut suami Anda itu tidak bodoh."
"Tetap saja bodoh. Ayah mengangkatnya jadi wakil direktur dan memberikan salah
satu kantor yang paling indah..."
"Bagaimanapun kejadiannya, dia telah bertengkar dengan ayah Anda dan kemudian
dengan Anda sendiri. Dan karena itu Anda jadi sakit keras."
"Ya," jawabnya. "Saya tidak tahan menghadapi pertengkaran."
"Suami Anda sepertinya sudah memperkirakan hal itu," ujar si dokter kering. "Dia
juga tidak memperdulikan pertengkaran itu - setelah apa yang terjadi.
Kelihatannya suami Anda seorang pria yang kuat dan cerdas menurut saya. Katanya,
sejak saat itu tidak ada lagi serangan jantung sampai dia mengejutkan Anda
dengan apartemen - yang dia ingin untuk Anda tempati."
"Oh - ya," sahutnya. "Dia itu sangat konyol.
Dia ingin membawaku pergi dari rumah Ayah dan tinggal di tempat kontrakan. Henry
yang malang. Dia tidak tahu apa-apa mengenai hal itu. Dia bahkan tidak bisa
menghargai bagaimana enaknya tinggal bersama Ayah, tidak ada masalah bagaimana
menjalankan rumahtangga. Ayah tidak pernah mengganggu kami. Hanya saja Henry
punya pikiran konyol untuk menjadi kepala rumah tangga - seperti layaknya
pegawai atau tenaga penjual kebanyakan yang tinggal di pinggir kota."
"Anda juga bertengkar tentang hal itu, bukan?"
"Ya," sahutnya. "Dan meskipun aku mencoba sekuat tenaga, tetap saja aku jadi
sakit." "Hal itu tepat seperti yang dikatakan suami Anda," ujar dokter Alexander. "Hal
itu membuatnya berpikir untuk tidak bertentangan dengan apa yang Anda inginkan.
Tapi kondisi kesehatan Anda menurun sejak saat itu, dan semakin memburuk
menurutnya sampai sekarang Anda menjadi hampir invalid begini. Tentu saja dia
ingin tahu apa yang akan terjadi di masa depan."
"Aku yakin dia khawatir," sahut Leona. "Dia selalu menjagaku. Dia sangat
mencintaiku." Dokter Alexander terbatuk. "Saya sepakat dengannya mengenai tidak tersedianya waktu untuk dia bisa bersenang-senang. Saya
bahkan bertanya apa pernah terlintas di benaknya untuk meninggalkan Anda." Dia
mendengar Leona tersentak, dan buru-buru melanjutkan ucapannya. "Dia menatap
saya terkejut. Katanya hal itu bahkan tidak pernah dipertimbangkannya. Aku
mengatakan, itu mungkin hal yang paling Anda perlukan, Mrs. Stevenson. Jelas
sekali, dia adalah sumber semua gangguan emosional yang Anda alami selama
sepuluh tahun belakangan ini. Jika dia keluar dari kehidupan Anda, mungkin
kesehatan Anda akan membaik."
"Itu - ucapanmu itu jahat sekali - sangat jahat," bisik Leona sambil menahan
tangis. "Menurutnya hal itu mungkin malah akan membunuh Anda," lanjut dokter Alexander
dengan tenang. "Dan saya langsung menyetujuinya untuk satu hal itu. Menurut saya
hal ini mungkin akan menjadi tahap yang menakutkan bagi Anda, Mrs. Stevenson,
tapi seiring dengan berjalannya waktu Anda akan menjadi pulih - bila Anda
menginginkannya, tentu. Dengan kata lain, saya akan mengatakan yang
sesungguhnya, Nyonya yang baik. Jantung Anda itu sama sekali tidak
bermasalah..." "Apa?" "Betul, Mrs. Stevenson. Secara medis, jantung Anda sehat walafiat."
"Berani sekali kau berkata seperti itu!" bentaknya. "Kau tahu, aku ini perempuan
yang sakit keras..."
"Semua ini bukan sebagaimana penyakit yang Anda rasakan," ujarnya. "Penyakit ini
hanya ada dalam pikiran Anda saja..."
"Pikiran saya! Saya rasa Anda bersekongkol dengan - dengan orang-orang yang lain
yang mencoba mengacaukan pikiran saya."
"Saya mohon, Mrs. Stevenson, Anda harus menggunakan akal sehat Anda. Tidak ada
seorangpun yang berusaha menyakiti Anda."
"Ada!" teriaknya. "Mereka ingin menyakitiku!"
"Saya rasa saya tidak mengerti maksud Anda," sahutnya tenang. "Saya sarankan
Anda membicarakan semua hal ini dengan suami Anda, Mrs. Stevenson..."
"Membicarakan" Bagaimana saya membicarakannya" Dia tidak ada disini. Aku tidak
tahu kemana dia pergi."
"Mungkin besok Anda dapat..."
"Oh, Anda..." Dokter Alexander hampir bisa merasakan keterkejutan yang dirasakan Leona ketika
telepon itu dibanting dari seberang. Nada panggil mendadak berdengung pelan di
telinganya. Dia menurunkan gagang telepon, tangannya berada di atas piringan
nomer. Meneleponnya kembali" Tidak. Dia tersenyum sinis, mengangkat bahu, dan dengan
lembut meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Saat dia baru saja menuju
pintu, sebuah suara dari ruangan lain mengambang di udara.
"Philip! Kau sudah terlalu lama berada disana, sayang!"
Leona - terkejut, merasa semuanya tidak masuk akal - menatap ke pesawat telepon,
sebuah mesin celaka yang khusus dirancang untuk menyiksanya tanpa henti melebihi
batas kemampuannya. Kemarahan, rasa kebanggaan yang terluka, keraguan, bertempur
dalam batinnya. Itu sangat tidak mungkin!
Semasa kecil memang dia membesar-besarkan masalah kesehatannya. Tapi sekarang
dia benar-benar sakit! Dia tidak berpura-pura! Dia memang sakit! Tangan Leona
meraba jantungnya, menekan dengan keras di tempat yang terasa sakit. Dia menarik
napas dalam-dalam, merasakan sakit yang mengiris tajam.
Alexander bodoh. Orang bodoh yang jahat.
Mengatakan semua gagasannya mengenai hal-hal yang buruk, menyatakan bahwa
dirinya adalah penyebab ketidakbahagiaan Henry.
Apakah dia sengaja membuatnya kesal, membuatnya mengalami semacam krisis" Dia
akan melaporkannya ke Asossiasi Kedokteran nanti.
Dan kebohongannya tentang Henry!
Semua itu dusta dan dia akan mengajak Henry menemui dokter itu dengan semua
kebohongan-kebohongan yang telah dia sampaikan tadi.
Semua itu hanya kebohongan belaka. Dia seorang perempuan yang sakit keras. Henry
mencintainya dan ingin membantu. Memang sudah seperti itu. Tidak bisa tidak.
Tiba-tiba matanya memancarkan sikap menantang. Leona menyibakkan selimut tipis,
mengayunkan sebelah kakinya ke lantai dan kemudian satunya lagi. Dia berdiri,
menahan napas, dan berjalan ke arah jendeia. Jantungnya berdebar kencang.
Dadanya ditekan, seakan apa yang dilakukannya akan membuat jantungnya berhenti
berdebar-debar karena tekanan jemarinya. Dan sekali lagi telepon itu berbunyi!
Keterlaluan! Dia terjatuh ke atas tempat tidur, megap-megap, tersiksa oleh rasa
sakit karena penderitaannya.
"Pembohong!" isaknya. "Pembohong... pembohong... pembohong
Telepon itu terus berdering, dan dia menolehkan wajahnya yang terkejut, sambil
menangis. "Aku tidak ingin bicara dengan siapapun. Aku benci kalian semua!"
Tapi deringan yang berkelanjutan itu seakan mengejek kemarahannya. Lalu,
diantara deringan itu dia mendengar suara yang dikenalnya. Leona bisa merasakan
getaran halus dari bangunan apartemennya ketika kereta kembali melintasi
jembatan. Kedekatannya memulihkan akal sehat Leona, membuang semua gerakan
tergesa-gesa yang dihasilkan oleh syarafnya yang terguncang. Sementara telepon
itu terus saja berbunyi. Dia mengangkatnya.
10:30 "Halo,"sahutnya. Suara itu keluar dari mulutnya dengan lemah.
"Mrs. Stevenson?"
Tidak sukar baginya untuk mengenali suara itu. "Ya, Mr. Evans, ini Mrs.
Stevenson." "Apa Mr. Stevenson sudah pulang?"
"Belum," jawabnya tegang. "Dia tidak akan pulang sampai besok." Lalu mendadak
dia menambahkan, "Maukah Anda - tolong, saya mohon dengan sangat, Mr Evans,
katakan pada saya apa arti semua ini. Mengapa Anda meneleponnya setiap lima
menit?" Evans menyahut dengan suara penuh penyesalan, "Maafkan saya. Saya tidak
bermaksud mengganggu Anda."
"Well, Anda sudah mengganggu saya. Saya meminta Anda untuk - "
"Ini adalah saat yang agak genting - terutama bagi Mr. Stevenson," sahut Evans
sedih. "Saya rasa jika Anda bisa mengatakannya..."
"Saya tidak bisa menerima pesan sekarang," teriak Leona. "Saya terlalu
jengkel..." "Sayang sekali, Anda harus melakukannya, Mrs. Stevenson. Ini sangat penting."
"Anda punya hak apa untuk..." tanya Leona.
Tapi Evans melanjutkan dengan tenang, "Tolong katakan pada Mr. Stevenson bahwa
rumah di Dunham Terrace nomer 20 - dieja D-U-N-H-A-M - Dunham Terrace nomer 20 -
sudah dibakar. Saya sudah membakarnya sore ini."
"Apa" Apa maksud Anda?" teriak Leona terkejut.
"Ada lagi - tolong katakan pada Mr. Stevenson," lanjutnya dengan tenang, "saya
tidak percaya pada Mr. Morano - ejaannya M-O-R-A-N-0 - menghianati kita ke
polisi karena Mr. Morano sudah ditangkap. Jadi sekarang ini tidak ada gunanya
untuk mengangkat uangnya."
"Siapa itu Morano?" tanya Leona sambil gemetar.
Evans mengacuhkan pertanyaannya dan melanjutkan pesannya. "Ketiga, tolong
katakan pada Mr. Stevenson bahwa saya melarikan diri dan sekarang berada di
Manhattan. Lagipula seharusnya saya tidak berada disini sebelum tengah malam -
tapi jika beliau ingin bertemu dengan saya - beliau bisa menghubungi Caledonia
5:1133." "Tapi - apa maksud semua ini sebenarnya?" teriak Leona memprotes.
"Saya rasa cukup sekian," ujar Evans dengan tenang. "Jika Anda tidak keberatan,
saya ingin Anda mengulanginya - "
"Mengulanginya! Saya tidak akan melakukannya!" pekik Leona. "Apakah Anda tidak
sadar saya invalid, Mr. Evans" Sakit keras" Saya - saya tidak tahan menghadapi
semua ini..." nada kasihan dan pengertian di dalam suara lelah Mr. Evans saat dia berkata,
"saya sangat sadar akan kondisi Anda yang memprihatinkan, Mrs. Stevenson. Bahkan
saya sudah cukup lama mengetahui keadaan Anda."
"Anda mengetahui keadaan saya?" tanya Leona murka. "Well, seumur hidup saya sama
sekali belum kenal Anda - sama sekali!"
Dengan penuh rasa hormat Evans berkata,
"Saya menyesal atas apa yang terjadi dengan Anda, Mrs. Stevenson. Tapi saya
pastikan bahwa semua hal ini bukanlah kesalahan Mr. Stevenson - seutuhnya."
"Demi Tuhan! Berhentilah berteka-teki! Sesungguhnya apa yang telah terjadi?"
desak Leona.

Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin akan lebih baik jika saya memberitahu Anda," sahut Evans bijak,
"sebelum fakta yang sesungguhnya dikatakan oleh - ah - polisi."
"Polisi... Evans terdiam, kemudian bicara dengan perlahan, "Apakah Anda punya pensil, Mrs.
Stevenson" Ada beberapa nama dan tempat yang harus Anda catat yang mungkin
berguna - jika Anda - ehm - menulisnya..." Saya akan mulai pada saat saya pertama kali
mengenal Mr. Stevenson (kata Evans).
Saya rasa waktu itu tanggal 2 Oktober 1946, tempatnya di pabrik ayah Anda di
Cicero, Illinois. Saat itu pabrik sedang sibuk-sibuknya dan saya bekerja terlalu
larut di laboratorium - menguji beberapa catatan formula obat-obatan.
Suara pelan di belakang punggung menarik perhatian saya dan saya menoleh dan
melihat seseorang sedang memandang ke arah saya melalui jendela pengintai di
pintu. Sesaat kemudian pintu itu terbuka dan seorang lelaki muda masuk.
"Selamat malam," sapa si lelaki muda. "Bukankah sekarang sudah terlalu malam
untuk bekerja?" "Ya, Mr. Stevenson," kata saya. "Memang sudah larut."
Saya jelaskan, saya terbiasa bekerja sampai larut malam.
"Saya hanya sedang berjalan-jalan," ujar beliau, sambil melangkah pelan
mengelilingi laboratorium. "Baru kali ini saya berkesempatan melihat-lihat."
Saya sangat senang mendengarnya. Saya jarang dikunjungi oleh orang yang tertarik
dengan hasil kerja saya, dan harus saya akui, kesempatan untuk pamer amat sangat
dinanti-nanti. Karena Mr. Stevenson itu menantu Mr. Cotterell, maka kunjungannya
membuat suasana hati saya tambah terangkat.
Laboratorium itu adalah tempat yang menyenangkan. Saya memiliki peralatan
terbaik, dan semua peralatan itu berada dalam jajaran yang teratur dan efisien
di bawah pendar lampu neon di langit-langit yang dengan lembut dibiaskan lantai
keramik di bawahnya. "Apakah ada yang ingin Anda lihat secara khusus?" tanya saya.
"Tidak - tidak - saya hanya penasaran," ujarnya. "Saya selalu bertanya-tanya ada apa
di dalam departemen ini. Apa yang Anda kerjakan disini?"
"Pekerjaan kami disini meliputi kimiawi narkotika. Narkotika itu tidak selalu
berbahaya sebagaimana yang sering kita baca. Banyak manfaatnya juga bagi manusia
jika digunakan dalam dosis yang tepat - seperti pada produk-produk Cotterell." .
Kelihatannya sikap saya membuatnya senang. Beliau tersenyum pada saya. "Begini,
Evans, saya telah berurusan dengan obat-obatan hampir seumur hidup saya.
Sekarang katakan, apa yang sedang terjadi disini?"
"Well, di laboratorium ini kami memecahkan opium mentah menjadi berbagai macam
senyawa alkaloid. Saya rasa Anda tahu opium itu terdiri dari 24 alkaloid - morpin,
kodein..." "Baik," sahutnya menyela. "Candu. Pasti banyak sekali disini."
"Memang. Boleh dibilang, tanggung jawab yang berat, Pak."
"Apa yang Anda lakukan dengan berbagai macam alkaloid itu?" tanyanya.
"Digunakan dalam produk-produk Cotterell, tentu saja."
"Tidak, bukan, maksud saya apa yang Anda lakukan sebelum alkaloid-alkaloid itu
dipergunakan dalam Cotterell Industry" Tidak mungkin disini Anda menyimpannya
begitu saja dalam staples."
"Well - saya rasa hal itu rahasia, Mr. Stevenson."
"Memang sudah begitu peraturannya. Mungkin saya bisa bertanya sendiri pada
Mr.Cotterell..." "Oh, jangan," jawab saya. "Saya hanya ingin membuat Anda terkesan dengan cara
kami memperlakukan semua informasi disini dengan sangat hati-hati. Tidak ada
alasan bagi menantu Mr. Cotterell untuk tidak mengetahuinya."
Saya berjalan diatas lantai keramik menuju pintu dan membuka sebuah celah di
atas saklar lampu dengan sebuah kunci. Sebagian dinding itu bergeser ke samping,
menampakkan brankas yang sangat besar tempat persediaan narkotika kami disimpan.
Mr. Stevenson kelihatan sangat terkesan.
"Apakah ini membuatmu khawatir?" tanya beliau ingin tahu. "Menyimpan bom manusia
ini sendirian?" "Sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, ini adalah tanggung jawab. Lemari
besi ini tidak akan terbuka kecuali dengan kombinasi nomer yang tepat."
"Maksud saya bagaimana jika terjadi kesalahan" Misalnya saja Anda salah
menjumlahkan zat yang Anda lepaskan untuk produk tertentu. Apakah itu tidak
membahayakan?" "Kejadian seperti itu bisa dibilang hampir tidak mungkin terjadi," jawab saya
yakin. "Zat yang kami lepaskan sangat tepat dan sesuai dengan formula yang kami
buat. Saya sudah bekerja disini selama lima belas tahun dan tidak pernah
sekalipun terjadi kesalahan seperti itu."
"Tentu saja," sahutnya sambil tersenyum. "Saya hanya penasaran."
Beliau datang ke laboratorium beberapa kali setelah itu - selalu bersikap ramah
dan baik pada saya. Saya menunjukkan berbagai proses yang sedang berlangsung,
dan pengalaman selama bertahun-tahun bekerja di apotik membuatnya cepat mengerti
apa yang mungkin dirasa sulit bagi orang kebanyakan. Saya sangat tersanjung, ada
orang penting di kantor yang sangat ramah pada saya.
Kau sama sekali belum mengatakan apa yang tidak aku tahu, pikir Leona. Henry
memang seperti itu. Penasaran. Cermat. Dan untuk tahu apa yang terjadi di
perusahaan itu sudah menjadi urusannya. Yang diistilahkan ayah sebagai
pengintai. Itu adalah salah satu hal yang mereka perdebatkan. Henry merasa ayah
membencinya dan ingin menjatuhkannya. Dia bahkan membicarakannya pada dokter
Alexander. Mungkin ayah terlalu keras.
Sekitar sebulan setelah pertemuan pertama dengan Mr. Stevenson, saya sedang
berada di luar, menunggu bis untuk pulang ke rumah.
Sore itu cuaca agak buruk, dengan angin bertiup kencang yang membuat hujan turun
hampir horisontal di sepanjang jalan di kota.Payung yang saya pegang tidak
memberi cukup perlindungan. Saya benar-benar terlihat menyedihkan sambil
menunggu di sudut itu. Tapi tidak lama kemudian sebuah mobil sedan yang mengagumkan berhenti di depan
saya, dan seseorang memanggil, "Evans!"
Saya menyipitkan mata untuk bisa melihat dengan jelas dalam rinai hujan, dan
saya melihat Mr. Steveson di dalam mobil itu. "Ayo masuk. Kuantar kau."
"Anda baik sekali. Tapi saya tidak ingin merepotkan. Mungkin Anda bisa mengantar
saya untuk menunggu bis di tempat yang lebih baik. Saya rasa saya tidak berminat
untuk menunggu sambil berhujan-hujan."
"Lupakan saja. Aku akan senang mengantarmu sampai rumah. Sebenarnya, aku tidak
begitu suka bermobil sendirian."
Kami meluncur dengan tenang, dan saya tidak bisa menahan diri untuk tidak
mengagumi keanggunan mobil itu.
"Ini milik istriku," ujarnya ketika kekaguman itu terucap.
"Saya tidak pernah punya mobil. Kelihatannya mobil itu terlalu - well - mekanis.
Secara pribadi, saya ingin punya kuda dan kereta saja."
Mr. Stevenson tidak menghentikan pembicaraan saya, jadi saya kira saya terus
saja mengoceh selama beberapa saat mengenai kuda. Saya dibesarkan di tempat
kuda-kuda dikembangbiakkan, di Surrey. Dan saya rasa tidak seorangpun yang bisa
mengingkarinya. "Kuda itu binatang yang baik. Mereka kuat - dan juga sangat lembut. Saya kadang
berharap bisa memiliki ratusan kuda."
Ketika saya berkata demikian, Mr. Stevenson memandang saya dengan tatapan aneh.
"Maksudmu...?" "Ya," saya meyakinkannya. "Tidak ada yang lebih saya sukai selain kuda. Saya
bahkan ingin punya peternakan kuda sendiri. Istal yang bersih dan bagus. Dengan
hamparan padang rumput menghijau. Dan ternak terbaik di seluruh Inggris."
"Inggris?" tanya Mr. Stevenson.
"Oh, ya. Saya heran dengan setiap orang Inggris yang tinggal di luar negeri.
Mereka selalu berharap untuk bisa menghabiskan masa tua di daerah kelahiran
mereka. Selalu ada sesuatu yang menarik kami kembali kemanapun kami pergi."
Mr. Stevenson kembali menatap saya, dengan seulas senyum samar membayang.
"Tidak ada salahnya menginginkan sesuatu. Yang salah adalah jika kau tidak
melakukan apapun untuk mendapatkannya."
"Bicara memang mudah. Maaf jika ucapan saya kurang sopan, tapi tidak setiap
orang bisa mewujudkan keinginan dengan tenaga yang dimilikinya - dan uang,
terutama. Kadang seseorang tidak tahu apa yang diinginkan sampai semuanya sudah
terlambat. Misalnya saja - saya sedang bermain sedikit dengan diri saya sendiri."
"Kau...?" Wajah Mr. Stevenson memancarkan rasa senang.
"Ya. Saya pergi berlibur ke Inggris beberapa tahun yang lalu, dan saya tertarik
dengan sebuah tempat di dekat Dorking. Tempat sempurna. Ada sebidang tanah
disana, padang rumput membentang dengan pohon-pohon besar dan rindang, dan
sungai kecil yang indah. Kuda suka sekali hidup di dekat sungai kecil. Saya memikirkan harganya setiap
waktu - hanya untuk bersenang-senang saja -tapi saya tahu saya tidak akan pernah
mampu membelinya. Saya mendapatkan kesenangan hanya dengan membuat rencana untuk
tempat itu jika saya memilikinya."
"Kau benar," sahut Mr. Stevenson agak sinis. "Kau tidak akan pernah mampu
membeli tempat itu dengan bekerja untuk bapak mertuaku."
Hal ini agak membuat saya malu. "Menurut saya juga begitu," ujar saya, mengakui.
Lagi-lagi dia menatap saya sekilas, dan kali ini saya melihat pandangannya
menyiratkan sebuah spekulasi, seakan-akan dia sedang berpikir untuk mengatakan -
atau tidak mengatakan - sesuatu. Apa yang beliau katakan, akhirnya, membuat saya
kaget. "Kau dan aku, Evans, memiliki banyak kesamaan."
Fantastis! Ujar Leona dalam hati. Henry dan bapak tua yang membosankan! Mengapa
Henry menghubungkan dirinya sendiri dengan orang yang melelahkan ini"
Kedengarannya bapak tua ini sedikit aneh.
"Tapi - tapi, Mr. Stevenson, itu omong kosong! Saya pikir..."
"Jangan berpikir, Evans, kecuali tentang pekerjaanmu dan peternakan di Inggris
itu." Beliau mengucapkannya dengan agak muram.
Untuk beberapa saat, kami hanya terdiam.
Sesampainya di rumah, aku membuka pintu mobil dan akan keluar. Tiba-tiba aku
merasakan tangan Mr. Stevenson memegang lenganku.
"Sebentar, Evans. Aku ingin bicara denganmu."
"Silahkan, Mr. Stevenson," jawabku dan kembali menutup pintu mobil.
"Evans, aku ada ide. Jika menurutmu ini ide bagus, maka peternakan di Inggris
itu akan jadi milikmu. Bagiku, itu berarti - well - tidak penting apa artinya
bagiku. Kau yang akan memutuskan apakah ini ide yang bagus atau bukan, Evans.
Tidak ada seorangpun yang bisa memutuskan selain kau."
Beliau sama sekali tidak tersenyum. Wajah beliau memancarkan kegelapan sekelam
malam. Matanya menatap tajam menembus mata saya. Cekalannya di lengan saya
mengeras, hampir menyakitkan.
"Maksud Anda?" tanya saya dengan cepat, karena sikapnya itu sangat menakutkan
saya. "Maksudku, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan di Inggris, atau
dimanapun, hanya dengan membuat beberapa kesalahan."
"Kesalahan" Maaf, tapi saya rasa saya tidak mengerti maksud Anda."
"Kesalahan," sahutnya datar. "Kesalahan dalam mengukur jumlah candu yang kau
atur untuk produk-produk Cotterell. Tidak dilebihkan, Evans -kurang. Hanya
dikurangi sedikit." "Demi Tuhan, tidak," sahut saya dengan gemetar. "Saya belum pernah mendengar..."
"Tidak ada seorangpun kecuali kau - dan aku - yang akan mengetahuinya, Evans,"
ujarnya. "Kau tahu betul sebagaimana aku mengetahuinya bahwa obat ajaib murahan
itu akan lebih baik bagi penyakit yang diderita manusia jika diberikan lebih
sedikit candu di dalamnya. Tidak ada seorangpun - apalagi di Cotterell
Industries -yang akan tahu perbedaannya. Dan candu yang ada padamu nanti, Evans,
akan mampu memberimu peternakan yang kau bicarakan itu - di inggris."
Tidak! Teriak Leona dalam hati. Itu tidak mungkin. Lelaki ini gila. Apa yang
berusaha dilakukannya" Dia pikir, siapa yang akan percaya ceracaunya" Dengan
mengatakan Henry melakukan hal seperti ini! Dia gila.
Sudah pasti. Gila! Pasti ada sesuatu dibalik semua omong kosong ini. Henry pasti
membuat semacam perjanjian dengan lelaki ini.
Miss Jennings mengatakan lelaki ini menelepon Henry beberapa kali.
Aku amat ketakutan -dan terpesona. Beliau menjelaskan semuanya dengan sangat
cepat sehingga saya hampir tidak bisa berpikir. Saya perlu sedikit waktu untuk
berpikir. "Saya tidak yakin semua itu bisa dilakukan dengan begitu mudah."
"Apa! Bagi seorang kimiawan sepertimu semuanya akan menjadi mudah."
Pujian beliau membuat perasaan saya jadi hangat, dan itu harus saya akui. Tidak
ada seorangpun yang mau bersusah payah menghargai atau memahami keajaiban kimia
yang dengan sangat hati-hati diproduksi dibawah pengawasan saya di laboratorium
Cotterell. Apalagi Mr. Cotterell sendiri.
"Apa Anda benar-benar percaya saya seorang kimiawan yang baik?" tanya saya
bodoh. "Saya tahu kamu adalah yang terbaik disini," jawab beliau dengan cepat. "Saya
mengawasi pekerjaanmu. Saya melihat catatanmu. Dan saya benci melihat mereka
yang hanya menghargai otakmu seharga kacang."
Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Godaan merupakan sesuatu yang
sangat buruk, apalagi bila yang harus saya lakukan sangat mudah - menjadi
seorang kimiawan yang baik. Saya ragu-ragu - dan memain-mainkan pegangan pintu.
Tapi ada lagi yang dikatakan Mr. Stevenson.
"Ayolah, Evans - jangan bodoh. Aku sudah membicarakan semuanya dengan
seseorang." Saya terperanjat. "Orang lain" Ya Tuhan! Itu tolol sekali!"
"Bukan tolol," jawab beliau sambil tersenyum suram. "Hanya indera yang peka.
Harus ada seseorang yang menjual barang itu setelah kita mendapatkannya. Aku
tidak akan tahu apa yang harus kulakukan dengan benda itu. Belum tahu - begitu
tepatnya. Tapi orang yang kutemui tahu betul bagaimana melakukannya. Namanya
Morano. Dia akan menjual apapun yang kita berikan padanya - dan hasilnya dibagi
tiga." Gila, pikir Leona. Sekarang sudah tidak diragukan lagi. Mungkin dia hanya
seorang pegawai yang sudah dipecat dan pikirannya sedang kacau. Cerita gila.
Seperti dalam film saja. Kejahatan berdarah dingin yang terdapat dari rencana itu akhirnya membunyikan
bel tanda bahaya di benak saya. Jika yang mengatakan itu orang lain selain Mr.
Stevenson, saya tidak akan begitu kaget. Tapi lelaki muda tampan dan berkuasa
ini, yang hidup di tengah-tengah keluarga kaya, adalah hal yang menakjubkan jika
sampai memiliki rencana jahat seperti itu.
"Anda - Anda benar-benar membuat saya kaget setengah mati, Mr. Stevenson," ujar
saya dengan suara lemah. "Bagaimana mungkin Anda - dari semua orang yang ada
disini - mau melibatkan diri dalam urusan sepele tapi membahayakan seperti ini"
Saya yakin Anda hanya menguji integritas saya saja - dan saya menolaknya, Pak."
Wajah beliau cemberut, dan seringai di wajah itu sangat tidak sedap dipandang.
"Evans, kau menginginkan sesuatu - peternakan itu. Aku juga menginginkan
sesuatu. Uang. Uangku sendiri. Aku akan mendapatkannya. Dan lebih cepat lebih
baik Itu saja. Aku menginginkannya. Aku mendapatkannya. Sekarang mari kita masuk
ke dalam rumahmu dan membicarakan semuanya."
"Tunggu," ujar saya memohon. "Bagaimana jika kira tertangkap nanti?"
"Tidak akan. Ayo kita masuk."
Dan kami memang tidak tertangkap, Mrs. Stevenson. Dari tanggal 15 Desember 1946
sampai 30 April 1947 kami tidak pernah tertangkap. Saya melaksanakan bagian
pekerjaan saya dengan kemudahan yang menakjubkan. Gampang sekali mengganti
sejumlah besar alkaloid morfin dengan bubuk dan cairan yang tidak berbahaya.
Biasanya saya melakukan penggantian itu di malam hari, saat para pegawai tidak
ada. Tidak ada seorangpun yang memperhatikan. Dan paket barang haram saya
serahkan pada Mr. Stevenson tiap Jumat.
Lalu Mr. Stevenson menyerahkannya pada Morano, yang saya sendiri tidak tahu
dimana dia berada. Saya tidak pernah bertemu dengan Morano sama sekali.
Tanggal 30 April saya telah mengumpulkan hampir lima belas ribu dollar. Luar
biasa sekali. Rasanya mimpi saya jadi kenyataan.
Kemudian, pada suatu hari saya menerima pemberitahuan dari Cotterell Company
yang isinya saya harus dimutasi ke pabrik di Bayonne, New Jersey. Menurut surat
itu saya juga akan bertanggung jawab untuk laboratorium narkotik disana, sama
seperti disini. Meskipun begitu saya tetap takut.
Kelihatannya kepindahan saya ke tempat baru untuk mengerjakan pekerjaan dan
bayaran yang sama sangat tidak penting. Saya langsung menemui Mr. Stevenson
secepatnya. Ketika kami hanya berdua di kantor, saya memperlihatkan surat itu.
"Apakah kau meminta pemindahan itu?" tanya beliau tajam.
"Tidak, sama sekali tidak pernah," jawab saya meyakinkan. "Karena itulah saya
agak khawatir dengan hal ini. Saya yakin ada sesuatu yang dicurigai disini."
"Omong kosong," ujar beliau. "Kau pasti sudah lama diangkut polisi jika ada yang


Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

salah. Perpindahan ini pastilah hanyalah masalah rutin. Aku akan mengeceknya
sendiri, tapi untuk apa kita menarik perhatian orang dengan hal itu" Tidak usah
khawatir mengenai hal ini."
Saya sama sekali tidak tenang dengan keyakinan dingin beliau. Mr. Stevenson
memiliki sifat sekeras besi dalam dirinya, tapi saya tidak.
"Ini adalah sebuah isyarat," ujar saya dengan gugup. "Sebuah petanda. Saya yakin
sekali." "Pertanda - apa?" tanya Mr. Stevenson.
"Untuk berhenti," jawab saya. "Ini - ini adalah bisnis yang jelek, Mr. Stevenson.
Saya tidak bisa meneruskannya. Saya sudah tua, Mr. Stevenson. Di satu sisi saya
sudah tidak muda lagi. uang saya sudah hampir cukup untuk berhenti sekarang dan
kembali ke Inggris. Mungkin saya akan melakukannya segera setelah pemindahan
saya ke Bayonne dilaksanakan."
Mr. Stevenson memandang saya dengan senyum licik. Bukan tatapan yang sedap
dipandang, menurut saya. "Evans," ujar beliau lembut. "Kau boleh berhenti saat
aku bilang berhenti. Kita harus memperjelas semuanya ini - saat aku bilang
berhenti. Bukan sebelumnya."
Beliau bangkit dari meja kerjanya dan berjalan ke pintu untuk memastikan tidak
ada orang yang mendengar pembicaraan kami.
Kemudian beliau kembali dan duduk di ujung meja dekat kursi yang saya duduki.
Bibirnya masih saja tersenyum, tapi matanya sedingin es.
"Aku memerlukanmu, Evans, dan aku tidak bermaksud melepaskanmu. Mungkin kau
merasa cukup dengan uang untuk membeli pakan ternak yang berhasil kita
kumpulkan. Tapi aku belum. Aku menginginkan lebih. Lebih banyak, Evans, dan aku
akan mendapatkannya. Dan kurasa aku tahu bagaimana cara untuk mendapatkannya -
dengan cepat. Lebih cepat daripada yang kita dapatkan selama ini."
"Maksud Anda?" "Kau memberiku gagasan, Evans. Gagasan besar - gagasan yang membuatku tertarik.
Kau benar dengan mengatakan pemindahan itu adalah sebuah pertanda. Itu adalah
pertanda terbesaryang pernah kau rasakan. Dan semua ini menunjuk tepat pada
tumpukan uang terbanyak yang pernah kau lihat. Saat aku mendapatkan tumpukan itu
- kau juga dapat memilikinya, Evans. Tidak perlu waktu lama untuk mendapatkannya -
jika kau melakukan apa yang kusuruh."
Beliau bicara dengan suara rendah, tapi ketegasannya tidak diragukan lagi.
Matanya bersinar dengan ketegasan itu dan saya merasakan sedikit kegilaan
disana. "Tolonglah, Mr. Stevenson," kata saya sambil memohon. "Apakah Anda yakin untuk
melanjutkan semua ini lebih jauh adalah hal yang bijaksana" Saya akui sejauh ini
semuanya masih sederhana bagi saya. Tapi tidakkah kemudahan yang ada di awal ini
mengacaukan penilaian Anda" Lagipula, sejauh mana Anda mempercayai Mr. Morano?"
Beliau mendengus. "Morano. Gangster kecil-kecilan. Dia memanfaatkan kita
sebagaimana dia memanfaatkan kroco-kroconya, Evans. Kita yang menanggung
resikonya sementara dia yang mengangguk untung banyak."
Beliau bangkit dan berjalan menujujendela, memandang ke arah pabrik besar itu.
Sambil berdiri memunggungi saya, beliau berkata,
"Aku tidak melihat Morano lagi dalam gambaran ini. Tidak, aku tidak lagi
melihatnya - si penipu kecil itu." Beliau berbalik menatap saya.
"Dengan keberadaanmu di Bayonne, Evans, kurasa Mr. Morano harus mencari orang
lain untuk bisa memasoknya."
Saya sama sekali tidak mengerti apa yang beliau maksud. "Tidak begitu mudah
untuk berhenti berurusan dengan orang seperti Morano.
Aku bisa membayangkannya," kata saya.
"Orang-orang ini bekerja dalam kelompok, dan biasanya mereka agak sulit - mereka
menyukai kontak fisik - untuk menangani hal-hal semacam ini."
"Aku akan menangani Morano," ujar Mr. Stevenson. "Jika dia mengetahui
kepindahanmu ke Bayonne, memotong pasokanku, dia tidak akan berpikir dua kali.
Dia itu orang bodoh, Evans. Dan seluruh orang-orangnya itu sama sekali tidak
punya otak. Dia tidak akan membuat masalah."
Beliau kembali duduk di atas meja.
"Sekarang, begini rencananya. Masalah narkotik ini adalah hal besar. Aku tidak
menyadari seberapa besar hal ini sampai aku lihat apa yang didapat penjahat
kecil-kecilan seperti Morano itu dari kita. Dan jangan lupa transaksinya dengan
orang lain. Baiklah, kita akan menutup toko sekarang, melenyapkan Morano dan
sepertiga bagiannya. Kita akan mulai usaha kita sendiri di Bayonne,
menjajakannya di New York, pasar terkaya di negara ini. Usaha kita akan
berkembang, dengan keuntungan yang lebih besar untuk kita berdua.
Yang harus kau lakukan adalah hal-hal seperti biasanya. Kecuali mungkin kita
harus menyimpannya di gudang di suatu tempat. Kita akan mencari tempat lain
untuk - showroom. Dan kita kembali berbisnis!"
"Ini fantastis, Mr. Stevenson. Tapi misalkan saja - ini sekedar berandai-andai -
misalnya saya membantu Anda dengan cara ini. Bagai- mana Anda bisa - bisa
menghubungi para pembeli" Terlalu riskan. Lebih baik kita tetap berbisnis kecil-
kecilan tapi aman, dan tetap terpelihara," kata saya.
"Begini, Evans. Waktu itu aku masih kecil, pekerjaanku menuang soda dan
membungkus beberapa paket di apotik, aku selalu berhasil mengutil beberapa
barang, beberapa botol parfum, barang-barang kecil semacam itu.
Selalu ada orang yang mau membelinya dariku, dengan harga murah, tanpa bertanya.
Aku hanya pernah tertangkap sekali. Dan seorang lelaki tua bernama Dodge, yang
kebetulan menyukaiku dan memahami keadaanku yang miskin serta harus membantu
keluarga, mengentaskanku dari masalah. Aku tertangkap karena aku tidak berhati-
hati dalam melangkah - dan hal itu menjadi pelajaran bagiku.
Kau bisa lolos dari apapun jika kau pintar dan berhati-hati dalam melangkah.
Well, Evans, aku sudah cukup cerdas untuk membuat beberapa penghubung di New
York. Kau serahkan saja hal itu padaku. Dan percayalah padaku, orang-orangpun
tidak akan memimpikan kau dan aku ada hubungannya dengan hal ini."
Ya Tuhan! Semua ini busuk sekali! Leona hampir mempercayai ucapannya. Dia
membuat semuanya seakan nyata. Semua tergabung dengan sangat rapih. Tapi dia
tidak boleh berpikiran seperti itu, sama sekali tidak boleh mempercayainya.
Semua ini tidak mungkin terjadi. Leona tidak akan membiarkan hal ini terjadi.
Satu setengah bulan kemudian kami mulai operasi kami di Staten Island, New York.
Markas kami adalah sebuah rumah kuno di Dunham Terrace nomer 20. Saya membeli
rumah itu untuk Mr. Stevenson. Saya berhasil menyewa bocah-bocah sekitar - anak-
anak yang tidak terlalu cerdas, Anda tahu kan -
anak-anak yang mengira saya sedang mengerjakan proyek ilmiah untuk pemerintah.
Salah seorang bocah itu bertindak sebagai semacam pengintai untuk saya,
memperingatkan akan adanya orang asing, dan semacamnya.
Yang lainnya, si bungkuk, menjaga tempat itu agar selalu bersih dan menjalankan
perahu motor yang saya beli untuk pergi ke rumah itu lewat jalan air. Keduanya
sangat setia dan sangat menjaga rahasia, meskipun saya tetap memiliki sedikit
ketakutan, tapi di dalam rumah itu memang tidak ada apa-apa yang bisa membuat
mereka curiga. Rumah itu hanya sebagai tempat distribusi - showroom, menurut
istilah Mr. Stevenson - dan obat terlarang itu dibawa dari " gudang " dan langsung
dilepaskan. Gudang yang dimaksud adalah kamar saya, kamar darimana saya menelepon sekarang
ini. Disini adalah rumah pribadi dengan lingkungan yang cukup terpandang -
pemilik rumah saya adalah seorang pensiunan menteri dengan sikap hidup sangat
sederhana. Koper saya berguna sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang kami jual.
Sepertinya tidak ada tempat seaman ruangan yang menyenangkan ini, dimanapun.
Saya mengunjungi State Island beberapa kali dalam seminggu, dimana saya akan
bertemu dengan klien yang dikirimkan oleh Mr. Stevenson. Bagaimana beliau bisa
mendapatkannya, saya sama sekali tidak tahu. Kami memiliki semacam kode rahasia
untuk mengidentifikasi klien-klien tersebut sampai saya mengenal sebagian besar
dari mereka saat saya melihatnya. Para lelaki ini - dan beberapa perempuan - adalah
para pedagang kecil. Mereka membeli dalam jumlah tertentu dan mendistribusikan barang-barang itu
kembali ke - ah - para konsumen utama.
Mungkin Anda pikir saya menabung cukup banyak uang setiap minggunya dan Anda
memang benar. Tapi kelihatannya Mr. Stevenson tidak begitu senang dengan
kemajuan yang saya buat. Beberapa bulan yang lalu - sebagaimana yang Anda ketahui - Mr. Stevenson tiba di New
York, bertindak seolah beliau sudah mulai bekerja di tempatnya yang baru, kantor
Cotterell Company di New York. Dan seperti yang Anda duga, tujuan sebenarnya
adalah untuk mengambil alih penjualan obat-obatan itu, karena beliau percaya
peningkatan volume bisnis kami bisa distimulasikan lebih jauh jika kami dekat
dengan sumber. Saya mengetahui hal itu sesaat setelah Mr. Stevenson merasa
terdesak untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin, secepatnya. Nyatanya, Mr.
Stevenson sedang bermain-main di bursa saham, mempergunakan hasil dari
keringatnya yang tidak begitu halal itu sebagai modalnya. Sayang, beliau tidak
begitu cerdik dalam spekulasi pasar saham, tidak seperti di bisnis kami yang
ilegal itu. Beliau sedang berada tingkat kesulitan tinggi. Yang lebih
disayangkan lagi adalah, beliau tidak berhenti, sesampainya di New York, untuk
terus mengucurkan uang lebih banyak lagi untuk operasi pasar yang tidak berguna
itu, sehingga tiap sen yang beliau miliki segera saja berpindah tangan ke
pialang saham. Sally! Sally menyebut-nyebut tentang kantor pialang. Dan lelaki itu - Freeman
atau siapapunlah namanya - bersimpati pada Henry atas kekalahannya. Ini bukan
suatu kebetulan. Evans tidak mengada-ada pada bagian ini. Semuanya jadi lebih
masuk akal dari waktu ke waktu, dan itu menakutkan
Mungkin Evans memang tidak gila.
Semuanya ini sangat mengejutkan saya, apalagi saya melihat tidak adanya
kesempatan melepaskan diri dari cengkeraman Mr. Stevenson. Kesombongan beliau
yang meluap-luap itu - yang benar-benar sudah mengakar pada kegelisahannya untuk
berhasil dengan cara yang halal - membuat beliau berusaha menutupi kekalahannya,
berulang-ulang. Ketika saya menyarankan untuk berhenti dan mengumpulkan keuntungan dari bisnis
kami yang lumayan itu, beliau hanya memandang saya dengan tatapan dingin yang
akhirnya sudah saya kenal dengan amat baik, dan beliau berkata untuk tidak usah
turut campur. Suatu hari saya bertanya pada beliau, "Mr. Stevenson, mengapa Anda terus
bersikeras untuk berjudi di pasar saham" Belakangan ini kesempatan untuk
mendapatkan keuntungan berlebih dengan cara begitu sangat terbatas -
dibandingkan dengan bisnis yang kita jalankan."
Beliau hanya tersenyum aneh dan memandang saya. "Kau tahu aku menginginkan uang.
Bukan sembarang uang. Tapi uang yang bisa kupamerkan kemana-mana - uang yang
bisa membelikanku penghormatan walau sedikit. Aku menginginkan banyak sekali
uang seperti itu. Dan aku tidak mau menunggu uang itu seumur hidupku. Baiklah -
bagaimana caraku menjelaskan; bagaimana caraku mendapatkan uang dari penipuan
ini" jawabannya - tidak bisa. Yang bisa kulakukan adalah menggunakannya untuk
mendapatkan sesuatu yang terhormat. Jadi aku main-main dengan bursa saham. Saat
aku sudah berhasil, tidak akan ada satupun yang tahu dari apa aku memulainya.
Aku akan bilang pada mereka, aku menabung sedikit uang dari Mr. Cotterell untuk
menghangatkan kursinya. Kemudian, jika semuanya terlaksana sebagaimana mestinya,
aku akan kaya, terhormat, dan operator yang cerdas - dan kemudian aku bisa
mengatakan pada Cotterell apa yang bisa dilakukannya dengan kursi wakil
direkturku." Mr. Stevenson, sebagaimana yang bisa Anda rasakan, sangat getir - dan sangat
sombong. Hasratnya untuk dipandang lebih amat sangat dimengerti jika saja hal
itu terjadi pada lelaki muda selain beliau. Tapi lelaki muda yang lain akan
bekerja dengan jujur untuk mencapai tujuannya, dimana Mr. Stevenson berusaha
untuk mendapatkan tujuannya tanpa bekerja. Saya dapat menarik pelajaran moral
malam ini dari keadaan Mr. Stevenson yang kurang bermoral itu. karena -
sebagaimana yang Anda perkirakan - saya akhirnya melepaskan diri dari ikatan itu.
Saya bukan lagi miliknya. Saya tidak akan membiarkan lagi tindakan saya yang
seperti ini. Tapi tingkah laku saya ini adalah kelemahan seorang lelaki tua yang
hilang harapan dan mudah sekali tergoda.
Di sisi lain, Mr. Stevenson adalah sebuah produk yang tidak bahagia dari sebuah
pikiran yang sesat dan berahlak buruk di dalam tubuh tegap dan kuat. Dengankata
lain: saya adalah si jahat - beliau si berbahaya.
Untungnya - atau sayangnya, tergantung bagaimana cara Anda memandang - bab
terakhir'dari cerita kami ini sedang ditulis bahkan pada saat Mr. Stevenson
sedang merencanakan untuk meningkatkan penjualan obat-obatan terlarang yang saya
pasok. Sekitar sebulan yang lalu kami kedatangan tamu.
10:40 Pada suatu malam saya harus menemui Mr.
Stevenson di rumah Dunham Terrace. Saya datang agak terlambat daripada biasanya.
Kali ini saya datang dengan ferry dari Manhattan, dan kabut di sungai membuat
kedatangan jadi terlambat. Saya terburu-buru menaiki tangga dan masuk ke dalam
rumah. Mr. Stevenson sedang duduk di salah satu kursi reyot yang melengkapi
ruangan itu. Sebuah lampu minyak berdiri di meja sebelahnya, dan cahayanya
membuat saya dapat melihat wajah beliau dengan jelas. Pucat seperti kapas, dan
senyum aneh itu berkelap-kelip di wajahnya. Beliau menatap saya, kemudian
memandang ke sudut ruangan di belakang pintu yang saya buka.
Saya masuk, menutup pintu - dan melihat seorang lelaki dibaliknya!
Dia mengangkangi kursi dapur, lengannya terlipat di belakang sandaran kursi.
Dengan sinar lampu yang remang-remang itu saya tidak begitu jelas melihat
wajahnya. Yang saya tahu saya belum pernah melihat orang itu sebelumnya.
Perawakannya kecil, pakaiannya rapih.
Rambutnya yang hitam berminyak memantulkan cahaya lampu. Dia melihat ke arah
saya, dan yang dapat saya lihat dari wajahnya sangat tidak menyenangkan tajam,
dengan garis-garis wajah yang biasa, dengan warna kulit kehitaman, dan sepasang
mata kecil yang hampir tidak pernah berkedip. Sesaat setelah saya menutup pintu,
tidak ada satupun diantara kami yang bicara. Kemudian si lelaki kecil itu
menoleh ke arah Mr. Stevenson. "Dia?" tanyanya.
Mr. Stevenson menjawab. "Dia." Dan beliau berkata, "Evans, kenalkan kawan lama
kita - Morano." Lelaki kecil itu memandangku. "Duduk,"
perintahnya. Saya duduk - dengan rasa lega. Keterkejutan atas pertemuan yang tidak disangka ini
membuat saya lemas. Saya sangat gusar dengan kejadian ini.
"Morano tidak senang dengan kita," ujar Mr.
Stevenson mengejek. "Beliau ini sakit hati memikirkan bahwa kita telah
mendepaknya dari dewan direksi."
Saya menatap cemas ke arah Morano demi melihat reaksinya terhadap ucapan Mr.
Stevenson. Kalaupun ada, maka saya tidak bisa melihatnya. Dia hanya duduk diam-
diam di tempatnya, menunggu Mr. Stevenson menyelesaikan kalimatnya.
"Saya baru saja memberitahukan Mr. Morano bahwa kita tidak dapat menerima
lamarannya untuk kembali duduk dalam jajaran kepengurusan ini," lanjut Mr.
Stevenson. "Beliau baru akan mengomentari keputusan ini ketika kau baru saja masuk." Sambil
bicara, ujung-ujung jemarinya disatukan, bertumpu pada bibirnya, dan matanya
menatap Morano dengan kesopanan yang menjengkelkan.
Morano masih menatap sesaat lebih lama seolah-olah sedang merencanakan sesuatu
dalam benaknya. Kemudian dia mulai bicara
Kata-katanya seperti tertelan ketika dia bicara dengan bibir yang hampir tidak
bergerak. Tapi kami tidak kesulitan menangkap ucapannya.
"Hati-hati," ujarnya. "Mungkin semua ini tidak terlalu lucu. Mungkin jika kau
menyimak dan mendengarkan maka kau akan mempelajari sesuatu, Stevenson. Bahkan
terkadang orang pintar sepertimu juga harus belajar sesuatu... misalnya saja
belajar bagaimana untuk tetap hidup." Ucapannya terhenti sesaat.
"Kau pikir ini bisnis macam apa" Barang kelontong" Apa tiap orang bisa buka
toko" Bisa langsung pindah dan bekerja begitu saja" Apa otak pintarmu itu
mengatakannya, Stevenson" Sebagaimana otakmu itu menyuruhmu untuk menghianatiku"
Aku tidak akan mengawasimu?"
"Satu kemenangan bagimu," jawab Mr.
Stevenson malas-malasan . "Saya salah menilaimu."
"Semua itu bukan murni kesalahanmu," bentak Morano. "Jika bukan karena aku,
mungkin kau sudah mati sekarang. Setiap mafia yang bergerak di bidang ini tahu
apa yang kau lakukan. Atau barangkali kau pikir mereka tidak tahu" Kau itu mudah
dijatuhkan segera setelah mereka tahu siapa profesor dibalik ini semua. Mereka
menginginkannya. Segera setelah mereka mendapatkannya, dan terus dapat memasok
barang, sesuatu akan terjadi padamu, Stevenson. Sesuatu yang amat menyedihkan.
Tadi aku sudah mengurusnya. Aku punya banyak teman disini. Jadi mereka akan
membiarkanmu sendiri - dengan hanya sedikit luka kecil."
Mr. Stevenson tidak tersenyum lagi. "Saya rasa kami tidak tertarik, Mr. Morano.
Saya rasa kami akan meneruskannya tanpa bantuan Anda. Jika kami ingin membuat
perjanjian maka kami akan membuatnya secara langsung. Kau punya bisnis di
Chicago. Seharusnya itu sudah cukup."
"Lucu," sahut Morano, "tapi tidak cukup. Kau ini bertindak sangat bodoh,
Stevenson. Kurasa kau tidak punya banyak pilihan dalam perjanjian ini. Rasanya


Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau sama sekali tidak punya pilihan apapun."
"Dan itu artinya adalah...?"
"Artinya kau bisa memilih mau memasukkan aku kembali atau biarkan aku meniup
peluit di toilet ini. Semudah itu. Aku ambil alih sekarang - atau nanti tidak akan
ada bisnis sama sekali."
Mr. Stevenson berdiri tegak. "Kau tidak akan melakukannya, Morano. Kau sendiri
termasuk dalam perjanjian Chicago waktu itu. Kau akan jatuh bersama kami."
"Tidak - " jawab Morano. "Tidak ada seorangpun yang akan menggangguku. Tidak ada
seorangpun yang memiliki bukti dan membuatku tertangkap. Aku belum pernah
melihat kalian sama sekali seumur hidupku, bukan begitu" Terlebih lagi, tidak
akan ada seorangpun yang tahu siapa yang menyanyikan lagu tentang menantu Mr.
Cotterell yang menjalankan bisnis obat terlarang. Sebuah persenan seperti itu
bisa membeli berbagai macam perlindungan."
Lalu terjadilah hal itu. Mr. Stevenson serentak bangkit dari kursinya, pucat karena marahnya dan
meneriaki Morano. Tinjunya menghantam pelipis si lelaki kecil itu dan membuatnya
terjungkal. Bagaikan binatang murka, Mr. Stevenson mengikuti arah jatuhnya,
menghempaskan diri ke tubuh Morano dan mencekik lehernya saat mereka jatuh
berbarengan. Saya yakin beliau pasti sudah membunuh si Morano saat itu juga -
semua setara kini. Tapi sebagaimana yang sudah saya ketahui, dan menurut
perkataan Morano sendiri, tidak ada apapun yang setara.
Ketika dua lelaki itu menghantam lantai, tiba-tiba pintu terbuka lebar dan Mr.
Stevenson langsung berdiri tegak, kedua lengannya dicengkram oleh anak buah
Morano. Mereka adalah bandit-bandit bertampang kejam, dan saya takut mereka akan
memukuli Mr. Stevenson sampai babak belur. Tapi Morano berkata, dari lantai
tempatnya duduk, "Anak-anak, biarkan dia. Aku tidak mau dia sampai kenapa-
kenapa. Aku tidak mau kalau sampai dia harus menjelaskan apapun pada siapapun."
Morano berdiri, menepis-nepis pakaiannya yang rapi itu dan meluruskan dasi di
lehernya. Dari sakunya dia mengambil sebuah sisir dan secara hati-hati dia
kembali merapihkan rambut hitam berkilatnya agar berkilau dengan sempurna.
Kemudian dia berkata, "Dudukkan dia di kursi itu - dan sana pergi."
Mereka menyorong-nyorongkan Mr. Stevenson kembali ke kursinya. Saya melihat
salah satu anak buah Morano itu meraba-raba pakaian Mr. Stevenson, sepertinya
mencari senjata. Mr. Stevenson duduk dengan wajah pucat dan tubuh gemetar,
sementara orang-orang itu keluar ruangan. Morano menghampiri Mr. Stevenson dan
berdiri di hadapan beliau.
"Kau mengerti maksudku, 'kan?"
Mr. Stevenson mengangguk sambil merengut.
"Oke. Sekarang kita sudah sama-sama mengerti. Kita tidak perlu lagi main jambak-
jambakan. Kau lakukan apa yang kuperintah-kan dan aku akan mengurusmu. Peraturan
ini juga berlaku untuk si profesor." Dia menatapku sambil menyeringai jahat.
"Mulai sekarang aku yang mengambil alih urusan ini. Hasilnya akan dibagi separo-
separo. Setengah untukku dan setengahnya lagi kalian bagi berdua. Mungkin tidak
sebanyak yang kalian dapatkan seperti sebelumnya - tapi pengeluaranku banyak."
"Ini - ini tidak adil," ujar Mr. Stevenson lemah. "Jumlahnya tidak akan cukup..."
"Ini sudah adil," bentak Morano. "Adil karena aku bilang begitu. Kalau kau tidak
suka maka kau dipersilahkan untuk keluar, asal si profesor tetap tinggal." Lalu
dia menoleh padaku. "Atau mungkin profeesor lebih suka itu" Setengah bagian
penuh" Profesor ini tidak akan menghianati siapapun - kecuali mungkin kau,
Stevenson." Tapi omongan Morano yang sok lucu itu tidak berlangsung lama. Tatapan dinginnya
kembali ke Mr. Stevenson. "Sekarang kita tahu tempat kita berdiri dari sekarang.
Hanya ada satu masalah kecil yang harus diselesaikan - masalah kecil sebesar
seratus ribu dollar."
Mr. Stevenson menegang di kursinya.
"Seratus ribu dollar" Untuk apa?"
"Sebagai ganti rugi saat ini sampai kau memutuskan untuk mendepakku tadi."
"Kau gila," teriak Mr. Stevenson. "Aku tidak punya uang sebanyak itu. Aku hampir
kehilangan semua uangku dalam bisnis ilegal ini."
"Sial sekali," ujar Morano berlagak sedih.
"Ini benar-benar sial." Lalu tatapannya kembali dingin. "Kau akan bisa
mengumpulkan uang sejumlah itu. Dan kau harus bisa mengumpulkannya dalam waktu
sebulan." Mr. Stevenson memucat. "Kau gila, Morano. Aku tidak akan bisa mengumpulkan uang
sebanyak itu dalam waktu sebulan. Aku perlu waktu lebih. Kemudian mungkin
istriku akan..." Morano berkata dengan penuh penghinaan, "Istrimu! Kau tidak mungkin tidak bisa
mendapatkan uang sepeserpun dari istrimu."
"Kau tidak mengerti," sahut Mr. Stevenson serak. "Dia itu sedang sakit. Dia akan
segera meninggal... sebentar lagi. Dia akan mewaris-kan semuanya padaku... Semua
ada pada surat wasiatnya. Tunggulah beberapa bulan lagi... Itu saja, aku yakin
itu..." "Aku tidak akan menunggu siapapun meninggal - tidak akan," sahut Morano. "Dan kau
juga tidak akan seperti itu - jika kau cerdas. Bila ada orang yang akan mati - maka
dia akan mati." "Ya Tuhan!" teriak Mr. Stevenson. "Aku tidak bisa..."
"Aku tidak peduli apa yang kau bisa atau tidak bisa," bentak Morano. "Kau harus
membawa uang sejumlah itu dalam tiga puluh hari."
"Tapi - " " Begini - " kata Morano sambil menyeringai. "Aku tidak ingin terlalu keras
terhadapmu, Stevenson..."
"Ya?" tanya Mr. Stevenson penuh harap.
"Kau datang padaku dengan beban berat. Mungkin aku bisa memberimu - bantuan."
Malam itu tanggal 17 Juli. Dan sejak saat itu saya belum melihat Mr. Stevenson
maupun Morano. Dan sekarang - seperti saya menyampaikan pesan terakhir ini pada
Anda, saya yakin sisa cerita ini akan dapat Anda lanjutkan sendiri...
Telepon itu bergetar dalam genggaman tangan Leona. Air mata ketakutan menggenang
di pelupuk matanya. Tubuhnya terasa kosong dan energinya tersedot, dan Leona
hampir tidak bisa mengendalikan rahangnya yang gemetar hebat
"Melanjutkan - bagaimana?" tanya Leona pada akhirnya. "Dimana suami saya" Dimana
Mr. Stevenson saat ini?"
"Saya harap saya bisa memberitahu dimana beliau berada, Mrs. Stevenson," jawab
suara lelah itu. "Mungkin jika Anda coba menghubungi nomer di Caledonia..."
"Nomer - Caledonia?"
"Nomer yang tadi saya berikan sebagai pesan," jawab Evans. "Dan sekarang - jika
Anda ingin mengeceknya bersama saya..."
"Saya tidak bisa," sahut Leona sambil menangis. "Saya tidak bisa, saya lupa
menuliskannya." "Saya akan mengulanginya sekali lagi untuk Anda, Mrs. Stevenson. Pertama: rumah
di Dunham Terrace nomer 20 sudah dibakar oleh Mr. Evans sore ini. Kedua: Mr.
Evans berhasil lolos. Ketiga: Mr. Morano sudah ditangkap. Keempat: uang itu
sudah tidak diperlukan lagi karena bukan Morano yang menghubungi polisi."
"Semua itu tidak penting," sahut Leona. "Semuanya sudah tidak penting lagi
sekarang. Berikan saja padaku nomer Caledonia itu - nomer untuk menghubungi Mr.
Stevenson." "Kelima," lanjut Mr. Evans datar. "Kelima: Mr. Evans ada di alamat Manhattan,
tapi dia sudah pergi sekarang dan bisa ditemukan di alamat Caledonia 5:1133."
"Caledonia 5:1133," sahut Leona mengulang, menulisnya dengan lipstik di atas
selembar kertas yang dirobeknya dari buku notes.
"Setelah tengah malam - " kata Evans dengan suara pelan. Kemudian, dengan suara
menghembuskan napas karena lega, dia menambahkan, "Terima kasih banyak, Mrs.
Stevenson. Dan selamat malam."
Setelah Evans menutup teleponnya, Leona hanya menatap kosong pada nomer telepon
berwarna merah tua yang seperti membara di atas kertas putih itu, seolah-olah
jika dia menolehkan matanya memandang ke arah lain maka angka-angka itu akan
menghilang. Secara otomatis, tanpa perasaan sama sekali, dia memutar nomer itu. Pertama dia
mencobanya, jemarinya terpeleset karena gemetar dan dia harus mengulanginya
lagi. Saat dia sedang memutar piringan nomer, ketegangannya memuncak dan
menyebabkan tiap tarikan napasnya terasa sakit. Kali ini dia berhasil memutar
nomer telepon itu dan setelah terdengar nada panggil mendengkur dua kali,
telepon itu diangkat. Seorang lelaki menjawab, "Caledonia 5:1133."
Takut dan cemas membuat suara Leona meninggi mendekati histeris. "Caledonia
5:1133" Apakah Mr. Stevenson ada disana?"
tanya Leona. "Siapa, Bu?" "Mr. Stevenson. Mr. Henry Stevenson. Saya diberi nomer ini - oleh Mr. Evans."
"Anda bilang Stevenson" Tunggu sebentar - saya carikan."
Leona mendengar suara tumbukan pelan ketika lelaki itu meletakkan teieponnya.
Leona mendekatkan gagang telepon itu di telinganya dan mencoba mendengarkan
suara selain langkah kaki si lelaki itu yang semakin jauh.
Lalu hening. Detik demi detik berlalu pelan.
Jantungnya berdebar kencang sekali seolah sedang berusaha untuk terbang dari
dadanya. Dia mengepal-ngepalkan tangan yang tidak memegang telepon berulang-ulang kali,
meremasnya sampai kuku jemarinya yang panjang terbenam di telapak tangan. Di
luar, suara siulan rendah seperti rengekan dari arah sungai terdengar sayu-
sayup, dan dibawah sana, seseorang - polisikah" - menggeser-geser kayu di pagar
besi. Tiba-tiba suara lelaki itu kembali terdengar.
"Tidak, Mr. Stevenson tidak ada disini, Bu."
"Oh, Mr. Evans bilang dia mungkin ditunggu disini. Apa saya bisa meninggalkan
pesan?" "Pesan" Kami tidak mencatat pesan disini, Bu." Suara lelaki itu terdengar heran -
dan sedikit terhibur. "Disini pesan tidak berguna, Bu."
"Tidak" Memang ini nomer apa" Siapa -saya menghubungi nomer apa ya?"
"Caledonia 5:1133," ujar si lelaki. "Kamar Mayat."
Leona duduk tidak bergerak di tempat tidur, dengan putus asa berusaha untuk
menyatukan bagian demi bagian gambar puzzle dari kejadian-kejadian malam ini.
Kekacauan yang bagai mimpi itu membuat keterkejutannya makin menumpuk, tapi dia
berhasil merangkai semuanya menjadi satu bentuk kebenaran yang utuh. Dan ketika
kebenaran itu terasa makin nyata, hal itu makin membuatnya menggigil. Bagaimana
mungkin hal seperti ini terjadi padanya! Bagaimana mungkin hal jahat seperti ini
bisa menimpa dirinya! Telepon jahat, pikirnya. Mengapa harus dia yang mendengar para penjahat itu
bicara" Mengapa teleponnya ke kantor Henry - telepon yang dihubungi tanpa bantuan operator
- harus dijawab oleh nada sibuk" Siapa yang ada di kantor Henry kalau bukan dia"
Kalaupun ada seseorang - siapapun dia - sedang mempergunakan telepon di kantor
Henry, bukankah dia bisa saja menghubungi para penjahat yang suaranya
terdengar..." Tidak - dia tidak akan memikirkan hal itu. Dia akan memaksa diri
untuk membuang hal itu dari benaknya. Banyak hal lain yang harus dipikirkan.
Bagaimana dengan cerita dari Sally"
Tentang keterlibatan Henry dengan pihak yang berwajib" Dia harus percaya juga -
setidaknya sebagian dari hal itu - karena Evans sudah melengkapi kebenaran cerita
itu. Kalau saja semua itu benar adanya dan bukan sebuah rencana jahat untuk
membuatnya gila. Kalau memang apa yang diceritakan Evans memang benar, berarti
Henry ditekan untuk segera mengumpulkan uang sebegitu banyak, seratus ribu
dollar. Dan dia tidak akan bisa, kecuali Henry menceritakan semua hal busuk ini
ke ayah mertuanya, Jim Cotterell! Dan ini sangat tidak mungkin terjadi! Leona
masih terheran-heran bagaimana Henry bisa tampak begitu - begitu normal selama
beberapa minggu ini. Ketika Leona mengingat-ingat kembali, dia kembali ingat apa yang dikatakan Sally
bertahun-tahun yang lalu, saat Sally berusaha memperingatkan Leona akan sifat
Henry yang misterius. Sally tidak bohong saat itu!
Apa yang sekarang harus dilakukan Henry"
Tentu saja Leona tahu apa jawaban pertanyaan itu. Dia tahu hal itu ketika Evans
sudah menyelesaikan ceritanya. Dia tidak lagi bisa melenyapkan pikiran itu dari
benaknya, juga pikiran tentang apa yang didengarnya dari para penjahat di
saluran telepon tadi. Dan ketika kesadaran yang menakutkan itu sedang merobek-robek akal sehatnya,
Leona kembali mendengar suara desing dan dentang kereta yang melaju di atas
jembatan. Potongan-potongan percakapan melintas dengan bebas di alam bawah
sadarnya... klien kami...Lalu aku akan menunggu kereta yang melintas di atas
jembatan...kalau-kalau dia nanti menjerit...apakah aku boleh memakai
pisau...klien kami...klien kami...dia akan mati...aku tidak mau menunggu orang
mati...klien kami...klien kami...
Leona gusar dengan ketakutannya sendiri dan dia kembali menyambar telepon dan
menghubungi operator. "Silahkan sebutkan nomer yang Anda tuju."
Mulus sekali! Dan tanpa keramahan!
"Tolong sambungkan saya dengan polisi," teriaknya tanpa sadar.
"Menghubungi Kepolisian..."
Dalam beberapa detik telepon itu diangkat.
"Kepolisian. Markas Tujuhbelas. Dengan Sersan Duffy disini."
"Ini Mrs. Stevenson lagi," sahut Leona.
"Saya tadi menelepon Anda kesini.."
"Ya, Bu. Anda bilang Mrs. Stevenson?"
"Mrs. Henry Stevenson. Sutton Place nomer 43. Saya menelepon karena secara tidak
sengaja saya mendengarkan percakapan di telepon..."
"Ya, Bu. Saya ingat itu."
"Well, saya bertanya-tanya tentang apa -
apa yang kalian lakukan untuk mengatasinya?"
"Semuanya sudah dicatat, Bu," jawab Duffy waspada.
"Berarti - Anda belum...?"
"Well, kami akan melakukan apapun yang kami bisa, Bu. Jika ada sesuatu yang
terjadi - " "Jika ada sesuatu yang terjadi?" ulang Leona. "Maksud Anda jika sesuatu terjadi
maka baru Anda akan melakukan sesuatu?"
"Saya sudah katakan sebelumnya, Bu, bahwa informasi samar seperti ini tidak
begitu banyak membantu..."
"Tapi..." Ucapannya terhenti. Dia tidak mungkin mengatakannya pada polisi.
Bahkan jika mungkin semua itu benar, Leona tidak mungkin mengatakannya. Dalam
keadaan apapun, itu tidak mungkin terjadi. Dan jika dia mengatakannya sekarang
maka semua itu tidak bisa ditarik kembali. Dia tidak akan menarik ucapannya. Itu
akan menjadi akhir mimpinya. Dia tidak bisa mengatakannya pada polisi. Dia harus
mencari cara lain... "Maafkan jika saya menyusahkan," ucapnya dengan suara lemah. "Saya rasa Anda
mungkin bisa mengabarkan lewat radio polisi..."
"Itu semua terserah keputusan Markas Besar," ujar Sersan Duffy. "Kami hanya
mengatakan pada mereka dan semua terserah bagaimana mereka memperlakukan
informasi yang telah kami beri. Sejauh ini tidak ada satupun laporan yang
masuk." "Terima kasih," kata Leona. "Saya - saya harap semua ini hanya kesalahan saja."
Telepon ditutup, dan Leona memikirkan langkah apa yang harus dilakukan dengan
rasa takut. Dia harus melakukan sesuatu, sesuatu yang bisa melindunginya jika
ada sesuatu terjadi... Agen detektif" Mungkin itu salah satu cara untuk mendapatkan seseorang yang bisa
melindunginya, seseorang yang dijamin bisa menjaga kerahasiaan. Dia melihat
sekilas ke jam meja di samping tempat tidur. Jam sebelas!
Dia tidak punya cukup waktu. Tubuhnya kembali gemetar, dan dia kembali memutar
nomer telepon dan menghubungi operator.
"Tolong sambungkan saya dengan agen detektif," pinta Leona dengan gugup.
"Anda bisa mencari daftar nama agen-agen detektif di buku telepon, Nyonya."
"Saya tidak punya buku telepon - maksud saya - saya tidak punya waktu - untuk mencari-
cari - ini - sekarang hampir terlambat."
"Saya akan sambungkan Anda dengan bagian informasi."
"Jangan!" teriak Leona dengan marah. "Kau tidak peduli dengan apa yang terjadi
padaku, bukan" Saya bisa mati - dan kau sama sekali tidak peduli...!"
"Bagaimana, Nyonya...?"
"Sambungkan saya dengan rumah sakit kalau begitu," ujar Leona.
"Apa ada rumah sakit khusus yang ingin Anda hubungi?"
"Rumah sakit manapun! Pokoknya rumah sakit! Kau dengar?" teriak Leona.
"Silahkan tunggu sebentar."
11:00 Dia menunggu sementara telepon berbunyi, melihat ke sekeliling ruangan dengan
rasa tidak nyaman dan menatap pintu kamar yang setengah terbuka dengan gugup, ke
arah gambar-gambar yang membayang di dinding, ke jejeran barang-barang anggun
yang kacau balau di meja dan kaca riasnya. Deringan itu segera berhenti dan


Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang perempuan menjawab teleponnya. "Disini Rumah Sakit Bellevue."
"Tolong hubungkan saya dengan bagian Perawat Terdaftar."
"Anda ingin bicara dengan siapa?"
"Saya ingin dihubungkan dengan bagian Perawat Terdaftar. Saya perlu seorang
perawat terlatih. Saya ingin mempekerjakan seorang perawat malam ini, segera."
"Begitu. Saya akan meneruskan telepon Nyonya kesana," jawab perempuan itu.
"Kantor Perawat Tedaftar," sahut sebuah suara lain menjawab.
"Saya ingin mempekerjakan seorang perawat malam ini, segera," jawab Leona
mengulang. "Saya perlu seorang perawat secepatnya. Penting sekali untuk saya
untuk memperoleh soorang perawat malam ini."
"Apa kasusnya, Nyonya?"
"Kasus" Saya - saya invalid - dan saya sendirian - saya - saya tidak kenal siapapun di
kota ini - dan saya baru saja mengalami keterkejutan yang amat sangat - saya tidak
bisa sendirian malam ini."
"Apakah Anda sudah diinstruksikan untuk memanggil salah satu dari anggota kami
disini, Nyonya?" "Tidak," jawab Leona jengkel dengan nada suara semakin meninggi. "Tapi saya
tidak mengerti mengapa - mengapa semua pertanyaan ini harus diajukan pada saya"
Lagipula saya pasti akan membayar siapapun yang akan datang..."
"Saya mengerti, Nyonya," jawab suara itu tenang. "Tapi ini adalah rumah sakit
kota. Bukan swasta. Kami tidak mengutus perawat tanpa ada kasus tertentu kecuali
untuk urusan darurat dan harus atas instruksi salah seorang dokter kami. Saya
sarankan Anda menghubungi nomer telepon Perawat Terdaftar swasta yang lainnya
saja." "Tapi saya tidak tahu nomer lainnya," ujar Leona setengah merengek. "saya tidak
bisa menunggu. Saya betul-betul memerlukan bantuan saat ini."
"Saya akan memberikan nomer yang bisa Anda hubungi. Schuyler 2:1037. Mungkin
disana ada orang yang bisa membantu Anda."
"Schuyler 2:1037. Terima kasih."
Lagi-lagi Leona memutar nomer telepon, detaknya seolah palu yang menghantam
kepalanya. Dering telepon seakan tidak berkesudahan, walaupun hanya beberapa
detik sebelum telepon itu diangkat.
"Pusat Perawat Terdaftar. Dengan Miss Jordan disini."
"Saya ingin mempekerjakan seorang perawat malam ini - secepatnya."
"Dengan siapa saya bicara?"
"Mrs. Stevenson. Mrs. Henry Stevenson, Sutton Place nomer 43. Dan ini sangat
mendesak." "Apakah Anda menghubungi nomer ini atas instruksi seorang dokter, Mrs.
Stevenson?" "Tidak," jawab Leona tidak sabar. "Saya orang baru disini - dan saya sakit. Dan
malam ini saya melewati malam yang berat. Saya sudah tidak tahan tinggal
sendirian di rumah."
"Well," sahut Miss Jordan ragu-ragu.
"Sekarang ini kami sedang kekurangan perawat disini. Mengirimkan perawat tanpa
sepengetahuan dokter adalah hal yang tidak biasa, kecuali ada dokter yang
menyatakan bahwa kasusnya sangat penting."
"Tapi ini memang sangat penting," sahut Leona setengah memohon. "Penting sekali.
Saya sedang sakit dan saya sendirian di rumah - saya tidak tahu dimana suami saya
berada - saya tidak bisa menghubunginya.
Dan saya sangat ketakutan. Jika tidak ada seorangpun yang datang dengan segera -
jika tidak ada seorangpun yang bisa datang kesini, saya rasa saya akan jadi
gila." "Begitu, ya," jawab si perempuan dengan penuh perhatian. "Well - saya akan
meninggalkan pesan untuk Miss Phillips untuk menghubungi Anda secepatnya jika
dia sudah datang." "Miss Phillips" Kapan dia datang?"
"Kira-kira pukul sebelas tiga puluh..."
"Sebelas tiga puluh!"
Saat itulah Leona mendengar suara berdetik. Detik pelan yang terdengar dari
telepon. Leona merasa suara itu sering didengarnya di telepon.
"Apa itu?" tanya Leona, tanpa sadar berteriak.
"Apa, Nyonya?" "Suara klik - yang baru saja kudengar - di telepon. Sepertinya ada orang yang
mengangkat telepon di bawah..."
"Saya tidak mendengar apapun, Nyonya."
"Tapi saya mendengarnya! " seru Leona dengan suara tercekat saking takutnya.
"Ada orang di rumah inL.ada seseorang di dapur...dan mereka sedang mendengarkan
apa yang kubicarakan sekarang. Mereka..." Kengerian melingkupinya dan dia
berteriak, meletakkan telepon begitu saja dengan gerakan mekanis.
Dengan tangan mencengkram seprai dengan kengerian yang tak terkatakan, Leona
berkonsentrasi dengan kesunyian di sekitarnya. Tiba-tiba dia mendengar suara
langkah kaki di lantai - pelan - teratur. Tubuhnya gemetar, dengan mata nyalang, dan
tangan terangkat menutupi wajah.
"Siapa itu?" panggilnya panik. "Siapa disana?"
Saat suara langkah itu berlanjut - perlahan tapi pasti - dia hanya menatap d e n g
a n pandang ketakutan yang amat sangat ke arah pintu kamar - menunggu - menunggu.
Tiba-tiba Leona berteriak keras, "Henry! HENRY!"
Tidak ada jawaban. Suara langkah yang teratur dan tanpa ragu itu terus saja
terdengar. Dihentaknya selimut dan berusaha bangkit dari tempat tidur. Tapi rasa takut yang
melumpuhkan itu menyedot semua tenaganya. Dia berusaha keras menarik dirinya
untuk bangkit, tapi lagi-lagi dia terhempas ke atas bantal - membeku karena
ngeri - tidak dapat bergerak.
Pandangan matanya yang liar memandang ke sekeliling ruangan, dan langsung
tertumbuk ke arah pintu kamar yang setengah terbuka dan memandang ke arah luar,
takut akan apa yang nantinya akan dia lihat. Terdengar gemuruh suara mesin truk
di bawah, dan sambil memandang ke jendela akhirnya Leona mengetahui sumber suara
yang mirip langkah kaki itu - tirai jendela yang diberi pemberat dan sedang
melambai-lambai karena angin yang bertiup agak kencang!
Dia merasa lega untuk sesaat. Debar jantungnya sedikit berkurang. Dokter
Alexander mungkin benar, pikirnya. Jantung ini baik-baik saja. Dan tiba-tiba
saja Leona menangis saking senangnya. Jika dia bisa melewati malam ini dan tetap
hidup, dia tidak akan terus tinggal di tempat tidur, tidak akan pernah! Dia akan
sembuh dan kuat secepat mungkin. Tapi aroma bahaya masih tercium dimana-mana.
Dia harus cepat-cepat melakukan sesuatu. Dia harus keluar dari ruangan itu!
Secara otomatis Leona meraih gagang telepon. Tapi mendadak tangannya terhenti di
udara. Siapa yang akan dia hubungi" Siapa yang akan membantunya sekarang"
Pendengar bisu yang berada di suatu tempat di dalam rumahnya sudah mendengarnya
bicara dengan perawat itu. Seberapa besar kesempatan Leona untuk bisa lolos
darinya" Dari mereka" Dia terbaring sambil memikirkan keputusan apa yang harus diambil. Kengerian
telah mengambil alih kemampuannya untuk memilah-milah semua hal yang membanjiri
pikirannya sekarang. Kemudian, sebagaimana yang sering terjadi malam itu,
kesunyian yang suram dan mencekam itu ditingkahi oleh suara dering telepon yang
memekakkan. Dia segera menyambarnya, mencoba tetap bertahan pada akal sehatnya.
"Halo," jawabnya, dengan suara yang mengundang belas kasihan.
Suara menyebalkan si operator yang tanpa perasaan itu menyapanya. "Sambungan
telepon dari New Haven untuk Mrs. Henry Stevenson. Apa Mrs. Stevenson ada?"
"Ya," teriak Leona dengan hati mencelos.
"Saya tidak punya waktu sekarang... telepon kembali beberapa menit lagi. Saya
tidak bisa bicara - "
"Ini sambungan telepon pribadi untuk Mrs. Henry Stevenson dari Mr. Henry
Stevenson. Anda tidak ingin menerimanya, Nyonya?"
Seakan disambar petir Leona mendengarnya. "Mr. Henry Stevenson...?" tanya Leona
hampir menangis. 'Apa Anda tadi bilang -
Mr." - Dari New Haven?"
"Apa Anda bisa menerimanya, Nyonya?"
Dan saat itulah muncul sebuah harapan besar - bahwa semua ini hanyalah mimpi
buruk. Tidak ada hal buruk setitikpun yang terjadi dengan lelaki yang sudah
berbagi kehidupan bersamanya beberapa tahun ini.
Tapi di sisi lain dia tahu ini bukanlah mimpi.
Kalau saja ada jawaban untuk semuanya ini!
Well, setidaknya dia bisa minta tolong Henry untuk segera menghubungi polisi.
Itu akan menyelesaikan semua masalah.
"Ya... saya akan menerimanya."
Dia menunggu dengan tegang, hampir tak bernapas. Leona mendengar suara dering
telepon ditempat operator telepon interlokal itu, kemudian, "New Haven,
silahkan." 11:05 Stasiun kereta di New Haven adalah sebuah tempat yang sepi di malam selarut ini.
Hanya beberapa orang saja yang berjalan-jalan di luar, atau duduk-duduk di
bangku taman, terlihat bagai titik-titik di tempat seluas itu. Langkah kaki
berdetak-detak di atas lantai batu dan bergaung ke langit-langit jauh di atas.
Kekosongan itu hampir bisa dirasakan, keadaan maya yang hampir terasa nyata -
seolah-olah stasiun tersebut kelelahan oleh kesibukan siang hari dan saat ini
sedang beristirahat dengan nyenyak.
Dibawah sebuah jam dinding raksasa jejeran telepon umum berderet di sepanjang
dinding, semua dalam keadaan kosong dan gelap, kecuali satu. Di sebelah pintu
bilik yang sedang terisi terdapat sebuah tas yang cantik - terbuat dari kulit
babi yang halus dengan inisial "H. S." tercetak dalam huruf emas di dekat kunci
utamanya. Di dalam bilik terang itu Henry Stevenson sedang berusaha menghubungi
istrinya. Kepalanya tanpa topi. Dengan rambut acak-acakan berwama coklat, lelaki itu
sangat tampan - seraut wajah menarik dengan dandanan rapih, bulu mata panjang
dan bagus, dan bentuk rahang dan mulut yang sesuai. Saat dia berdiri sambil
memandangi telepon, raut wajahnya memancarkan rasa sedih dan khawatir. Dia
seperti seorang yang mengerti betul apa yang sedang dilakukannya, dan apapun
yang dilakukannya harus diselesaikan.
Akhirnya didengarnya suara operator interlokal itu berkata, "Silahkan, New
Haven." "Halo. Kaukah itu, sayang?" tanya Henry hampir berbisik.
"Henry! Henry, dimana kau?" Lelaki hampir bisa merasakan genggaman istrinya dari
jarak ratusan kilometer. "Aku sedang dalam perjalanan ke Boston, sayang. Singgah sebentar di New Haven.
Apakah kau sudah menerima pesanku?"
"Ya, sudah...Tapi - tapi aku tidak begitu mengerti - "
"Tidak ada yang perlu dimengerti, sayang. Aku tidak bisa menghubungimu
sebelumnya. Teleponmu sering sekali sibuk. Kupikir lebih baik kutelepon sekarang
untuk mengetahui bagaimana keadaanmu. Aku minta maaf -
karena meninggalkanmu tanpa kabar - tapi aku percaya kau akan baik-baik saja."
"Aku tidak baik-baik saja - aku..." Kemudian Leona mulai bicara menggeragap. "Ada
seseorang yang masuk ke dalam rumah - aku yakin sekali."
Selarik sinar jahat berkilat di matanya untuk sesaat. Dia mendengus dan dia
menghembuskan napas dengan keras.
"Tidak mungkin, sayang. Bagaimana mungkin ada orang yang bisa masuk" Kau tidak
sendirian disana, bukan?" ujarnya.
"Aku memang sendirian," jawabnya, merengek. "Hanya aku sendiri disini, tidak ada
siapapun. Kau meliburkan Larsen..."
"Iya,ya..." "Dan kau berjanji untuk pulang tepat pukul enam."
"Oh ya?" tanyanya tanpa dosa. "Aku tidak ingat."
"Kau sudah janji, dan aku berada di rumah sendirian selama berjam-jam. Aku
banyak menerima telepon-telepon jahat yang aku tidak mengerti... dan Henry...
kuminta kau menelepon polisi... kau dengar kan, Henry" Katakan pada mereka untuk
segera datang kesini..."
Dia bertanya-tanya demi mendengar suara istrinya yang panik. Leona betul-betul
ketakutan. Tapi yang dikatakannya itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin dia
tahu" Kalau Cuma marah, dia bisa mengerti - Leona memiliki kapasitas berlebih untuk
marah. Tapi ketakutan yang dirasakannya ini adalah masalah lain. "Dengar, Leona.
Kau tidak perlu gugup..."
"Gugup!" "Kau tahu betul, kau benar-benar aman di dalam rumah. Larsen pasti sudah
mengunci semua pintu sebelum dia pergi..."
"Aku tahu," jawabnya dengan suara lemah.
"Tapi - aku dengar - suara - ada orang yang mengangkat telepon di dapur. Aku yakin aku
mendengarnya." "Tidak mungkin. Rumah itu terkunci. Lagipula ada satpam pribadi yang mengurusi
keamanan disana. Dan telepon itu juga berada di samping tempat tidurmu. Terlebih
lagi, kau berada di jantung kota New York, Leona.Tempat teraman di seluruh
dunia." "Aku akan merasa lebih baik jika kau menelepon polisi, Henry. Aku sudah
menghubungi mereka. Tapi mereka tidak mempedulikan aduanku." Leona mulai
menangis dan mengasihani dirinya sendiri.
"Begini, aku sekarang berada di New Haven. Jika aku menelepon dari sini mereka
pasti mengira aku gila. Lagipula mengapa harus sampai memanggil polisi" Mengapa
kau tidak menghubungi dokter Alexander saja?"
Teruskan, pikirnya sambil melihat ke jam yang melingkar di pergelangan
tangannya. Biarkan dia terus bicara - hanya beberapa menit lagi. Apa yang bisa dilakukannya
saat itu" Dia tersenyum, sebuah senyum aneh yang mengubah wajah muramnya menjadi serupa
topeng setan yang sedang marah. Sambil merubah posisi berdirinya dalam bilik
telepon, dia melirik sekilas ke arah pintu, kemudian kembali memandang telepon.
Ada seorang lelaki tua ubanan berkulit gelap dengan sepasang mata berair
berwarna hitam yang sedang mondar-mandir beberapa langkah dari biliknya dan
hampir tidak diperhatikannya.
Apa yang dikatakan Leona ini"
"Henry! Apa kau kenal seseorang bernama Evans?"
"Evans?" Henry terperanjat.
"Ya. Waldo Evans."
"Aku belum pemah mengenalnya seumur hidupku, Leona. Memangnya ada apa?"
"Dia meneleponku - tadi - dan dia bercerita banyak... tentang kau."
11:10 Lelaki bertubuh besar dengan rambut beruban, berkulit hitam dan raut wajah sedih
itu bergerak cukup jauh dari bilik telepon Henry. Kalau tidak, mungkin dia akan
bisa melihat wajah Henry yang tiba-tiba berubah pucat seperti mayat - dan
mempertegas bentuk rahangnya yang semakin mengeras. Tapi lelaki itu sama sekali
tidak tertarik dengan percakapan Henry di telepon, dia hanya tertarik dengan
Henry. Lelaki itu menunggu dengan sabar, mengawasi barisan bilik-bilik telepon
umum itu, dan tanpa sadar meraba lambang polisi di sakunya.
"Tentang aku?" tanya Henry, berusaha terdengar datar. "Apa yang dikatakannya
tentangku?" "Dia mengatakan beberapa hal yang menakutkan, Henry. Bahkan kedengaran seperti -
orang gila. Tapi ada sebagian yang kedengarannya sungguhan..."
"Orang iseng," ujar Henry. "Seharusnya kau tidak usah mendengarkan setiap orang
yang iseng menelepon ke rumah. Sekarang lebih baik kau coba lupakan saja
kejadian itu..." "Dia mengatakan padaku bahwa kau mencuri obat-obatan terlarang dari pabrik Ayah.
Apakah itu benar?" Henry mendengus. "Benar" Begini, Leona. Aku sedikit tersinggung dengan apa yang
barusan kau ucapkan. Kau pasti bermimpi buruk tadi..."
"Mimpi!" jerit Leona. "Aku sama sekali tidak bermimpi! Dia meninggalkan beberapa
pesan untukmu. Dia bilang dia sudah membakar rumah di Staten Island - dan polisi
sudah mengetahui semuanya. Dia bilang seseorang bernama Morano sudah
ditangkap..." "Apa?" bentak Henry. "Apa yang kau katakan?"
"Aku - aku sama sekali tidak percaya ucapannya - kecuali tadi ada telepon dari
Mrs.Lord - kau ingat" Sally Hunt - dan dia mengatakan padaku hal yang sama..."
Hening beberapa saat, sampai terdengar suara Leona memanggil, "Apa kau masih
disana - Henry?" Dia membasahi bibirnya. "Ya," sahutnya.
"Ya, aku disini."
"Mereka bilang kau penjahat," lanjut Leona menceracau. "Mereka bilang kau putus
asa... dan Evans bilang kau - kau - kau ingin agar aku - mati!"
"Aku - " Dia berusaha mengatakan sesuatu, tapi banjir kata-kata dari istrinya
tidak bisa dihentikan.

Untuk Orang Orang Pemberani Karya Alfred Hitchcock di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Uang itu, Henry - uang sebanyak seratus ribu dollar. Mengapa kau tidak minta saja
padaku" Aku akan dengan senang hati memberikannya padaku - kalau saja aku tahu."
"Lupakan saja," gumamnya.
"Apakah sudah terlambat?" tanya Leona sambil menangis. "Aku akan memberikannya untukmu - jika belum terlambat."
"Tidak apa-apa,"jawabnya. "Lupakan saja."
Airmata mengalir deras di pipinya. Suaranya serak dan tercekat.
"Aku tidak bermaksud jahat padamu, Henry," ujarnya. " A k u - melakukannya -
karena - aku mencintaimu. Aku takut kau tidak benar-benar mencintaiku. Kurasa aku
takut jika kau tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Aku takut - aku takut kau pergi
begitu saja - dan meninggalkanku sendirian..."
11:11 Sekarang Henry ingat siapa orang yang berdiri di dekat bilik teleponnya. Dia
melirik ke arah pintu dan ketika dia tidak melihat siapapun, pintu itu dibuka
lebih lebar agar pandangannya bisa lebih leluasa. Leiaki itu sedang berdiri
disana, tidak terlalu jauh. Dia sedang mengawasi biliknya. Henry segera menutup
pintu dan memanggil Leona di telepon.
"Leona?" "Ya." "Leona, ada sesuatu yang harus kau lakukan."
"Apakah kau mau memaafkanku - Henry?" tanya Leona sambil terisak. "Maukah kau
memaafkanku"' "Demi Tuhan," bentak Henry kasar. "Hentikan semua omong kosong itu dan dengarkan
aku!" "Baiklah," sahut Leona berbisik.
"Lakukan seperti yang kusuruh, mengerti" Aku mau kau beranjak dari tempat
tidur..." "Aku - aku tidak bisa," keluh Leona. "Aku tidak bisa melakukannya."
"Kau harus berdiri, Leona," perintahnya. "Kau harus bangkit dari tempat tidur -
dan berjalan keluar dari kamar. Pergilah ke kamar depan. Berjalan ke jendela dan
berteriaklah - berteriaklah ke jalanan."
Henry menunggu dengan tegang, melawan rasa takut yang bersarang dalam dirinya.
Dia bisa mendengar suara istrinya yang bernapas dengan berat dari gagang
telepon. "Aku tidak bisa!" gumam Leona lemah. "Aku tidak bisa bergerak, Henry. Aku
terlalu takut. Aku sudah berusaha, tapi aku tidak bisa bergerak."
"Teruslah berusaha," sahut Henry memohon. "Aku akan celaka jika kau...jika kau
tidak..." "Bakar!" jeritnya. "Apa...?"
"Kau harus bergerak, Leona. Ayo coba terus. Jika tidak, kau hanya punya waktu
tiga menit untuk hidup!"
11:12 "Apa...?" Suaranya tercekat di kerongkongan.
"Jangan bicara lagi, Leona." Kini suaranya sendiri terdengar sangat ketakutan.
Keringat dingin membasahi bajunya. Berat tubuhnya disandarkan sepenuhnya ke
dinding, agar lututnya yang gemetar tidak terlalu kentara.
"Tidak usah banyak bicara, berdirilah dari tempat tidursekarang. Semua itu
benar, Leona. Semuanya, kau dengar" Aku sedang dalam masalah besar. Aku sangat
putus asa - aku bahkan mencoba - malam ini - mengutus seseorang - untuk..."
"Henry!" Jeritan ngeri terdengar dari bibirnya. "Henry! Ada seseorang - naik ke
atas!" "Keluar!" teriak Henry bagai orang gila.
"Bangunlah dari tempat tidur! Jalan, Leona!"
"Aku tidak bisa!"
"Kau harus bisa! Kau harus bisa!"
"Henry!" Lagi-lagi Leona berteriak. "Henry! Selamatkan aku! Selamatkan aku!"
Henry tidak mampu lagi mengendalikan diri - nasib buruk yang datang dengan pasti
yang akan menimpa istri dan dirinya sendiri menyedot habis semua keberaniannya -
tubuhnya bergetar hebat. "Tolong, Leona. Aku mohon. Mereka akan menangkapku.
Mereka akan tahu - mereka mengetahuinya dari Morano."
Kemudian, melalui telepon, Henry mendengar suara - samar-samar - yang
kemungkinan berasal dari kereta yang lewat di atas jembatan. Dan diantara suara
itu, dia bisa mendengar suara Leona dengan jelas, berteriak memanggil namanya.
"Henry!" 11:15 Sesaat setelah dia berteriak, Leona mencengkram erat-erat telepon di
genggamannya. Kemudian dia membanting telepon itu ke tempatnya. Matanya menyiratkan ketakutan
yang tidak terkatakan, debaran jantungnya berdentam tanpa ampun, dan dia
mendengar gemuruh suara kereta yang memekakkan telinga. Dengan tenggorokan
tercekat Leona berusaha menarik diri untuk bangkit dari tempat tidur. Tapi
tubuhnya seperti terikat pada besi baja yang berat sekali. Dia sama sekaii tidak
bisa bergerak. Suara itu semakin keras, dan dari kekelaman malam kereta itu
muncul, dan udara dipenuhi gemuruhnya yang meninggi bagai guntur. Tidak ada
suara apapun yang bisa menandingi kerasnya suara kereta itu.
Bahkan desahan napas Leona yang putus asa... dan untuk terakhir kalinya.
Kereta itu melintas, dan ruangan itu menjadi sunyi kembali, hanya suara desahan
napas yang kasar terdengar disana dan gerakan mengendap menjauhi tempat tidur.
Tiba-tiba telepon itu kembali berbunyi.
Terdengar suara sol sepatu karet yang sedang melangkah di atas lantai. Sebentuk
tangan dengan sarung ternoda darah meraih gagang telepon itu dan mengangkatnya.
Terdengar suara Henry yang gemetar, putus asa. "Leona!LEONA!"
Sunyi sesaat. Kemudian terdengar suara kasar yang dalam, menjawab...
"Maaf, salah sambung..."
11:16 [] Saksi Bisu 3 Lauw Pang Vs Hang Ie Kejatuhan Dinasti Cin Dan Kebangkitan Dinasti Han Peristiwa Merah Salju 11
^