Pencarian

Si Badung Jadi Pengawas 3

Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton Bagian 3


menjernihkan udara kelas satu dari segala permusuhan dan kebencian. Tiba-tiba
saja semua merasa bersahabat kembali. Betapa menyenangkan untuk bisa tertawa
bersama, bermain bersama, dan bersahabat. Tiba-tiba saja menyenangkan sekali
berada di kelas satu itu.
19. Julian Mendapat Guncangan Batin
Keberhasilan Julian di kelas Pak Leslie membuat ia semakin merajalela. Ia
mencoba beberapa suara di kelas Mam'zelle dan juga di kelas melukis. Di kelas
Mam'zelle ia menirukan suara sapi, tanpa ia tahu bahwa Mam'zelle sangat takut
pada sapi. Kasihan Mam'zelle. Ia benar-benar mengira bahwa ada sapi berjalan di gang di
luar kelas. Gemetar ia ketakutan berdiri di sudut kelas. "Ada sapi!" katanya
gemetar. "Ada sapi di luar!"
"Moooooooooooo!" seru sapi itu. Tubuh Mam'zelle tampak sekali menggeletar. Ia
memang sangat takut pada sapi. Dan selalu berusaha menjauhinya bila ada sapi di
mana pun. "Biarkan aku mengusir sapi itu, Mam'zelle," kata Jenny. Ia bergegas keluar dan
tak lama terdengar suaranya seolah-olah mengusir sapi. Ini membuat seluruh isi
kelas tertawa tak henti-hentinya. Dan kemudian Mam'zelle jadi curiga. Ia ingat
bahwa tak mungkin ada sapi berjalan di gang sekolah, la memandang tajam pada
Julian. Apakah anak nakal itu menggodanya dengan keahliannya meniru suara"
Anak kelas satu mendapat banyak sekali hiburan dari suara-suara yang dibuat
Julian. Juga muslihat-muslihatnya. Rasanya tak habis-habisnya siasatnya untuk
membuat seluruh kelas tertawa. Otaknya yang cemerlang menemukan tipuan demi
tipuan lucu dan begitu cerdik, sehingga tak pernah ada seorang guru pun yang
bisa dengan pasti menentukan bahwa Julian-lah yang berbuat.
Julian mempergunakan lagi bubuk bersin. Kali ini untuk mengganggu Pak Lewis,
guru musik, waktu mengajar menyanyi. Pada pelajaran tersebut dua atau tiga kelas
biasanya digabung dan tak terkirakan ributnya gabungan kelas tersebut saat semua
terlanda badai tertawa melihat Pak Lewis bersin tak henti-hentinya setiap kali
membuka halaman buku musik Dalam waktu singkat Julian menjadi sangat terkenal di
sekolah itu oleh ulahnya yang luar biasa lucu dan aneh.
Tetapi di pandangan mata para guru ia tidak mempunyai nama baik. Mereka sering
membicarakannya, kadang-kadang dengan marah, kadang-kadang dengan sedih.
"Sesungguhnya ia adalah murid terpandai yang pernah ada di Whyteleafe ini," kata
Bu Ranger. "Tak ada yang menandinginya. Kalau saja ia mau bekerja keras, dan
belajar tekun, dengan mudah ia bisa memenangkan bea siswa apa pun juga yang ada.
Tetapi ia hanya mempergunakan otaknya yang cemerlang untuk bermain-main saja."
"Ia tak pernah menggunakan otaknya itu untuk belajar," kata Pak Leslie gusar. Ia
kini sudah merasa yakin bahwa suara-suara aneh yang didengarnya di pelajaran IPA
dibuat oleh Julian. Setiap kali teringat hal itu, selalu timbul rasa marahnya
pada Julian. Tetapi anak itu, seolah-olah untuk mengganti suasana belajar yang
dirusaknya di laboratorium, telah membuat suatu karangan ilmiah yang sangat
cemerlang, yang bahkan Pak Leslie sendiri akan bangga bila bisa menulisnya. Tak
pelak lagi memang Julian seorang anak yang aneh.
Di Rapat Besar berikutnya, di mana Elizabeth sudah tidak duduk lagi di antara
para juri, gadis kecil itu minta waktu untuk berbicara.
"Aku ingin berkata di sini bahwa segala tuduhanku pada Julian ternyata tidak
benar," katanya dengan nada menyesal. "Hal ini telah kukatakan padanya dan ia
menerima permintaan maafku dengan baik. Kami berdua kini sudah bersahabat
kembali, sebagai bukti bahwa ia memang telah memaafkan aku. Aku minta maaf pula
pada kelasku, bahwa aku berlaku buruk sebagai seorang Pengawas. Kalau kelak aku
memperoleh kesempatan lagi, aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk menjadi
Pengawas yang baik."
"Terima kasih, Elizabeth," kata William saat Elizabeth selesai berbicara. "Kita
semua gembira bahwa Julian telah bersih dari segala tuduhan, dan gembira pula
bahwa ia telah berlapang dada untuk memaafkanmu dan menerimamu sebagai
sahabatnya lagi." William berhenti sejenak. Julian menyeringai pada Elizabeth dan Elizabeth
tersenyum. Kemudian William melanjutkan perkataannya, kali ini suaranya bernada
tajam. "Tetapi aku harus mengatakan sesuatu pada Julian," katanya. "Sesuatu yang
mungkin tak enak. Julian, semua gurumu merasa tidak senang atas kelakuanmu.
Bukan saja karena kau berbuat berbagai ulah di kelas yang cukup mengganggu
pelajaran, tetapi mereka menyayangkan bahwa kau menggunakan otakmu yang
cemerlang hanya untuk melucu. Semua guru sependapat bahwa kecerdasanmu jauh di
atas rata-rata. Kau sering menemukan sesuatu yang sama sekali baru serta sangat
berguna. Kecerdasan semacam itu akan sangat berguna kelak bagi dunia, kalau
mulai sekarang telah dipupuk untuk memikirkan hal-hal yang bermanfaat, dan
bukannya untuk bercanda dan berbuat berbagai hal yang sama sekali tak ada
gunanya." William berhenti sesaat. Merah wajah Julian. Ia memasukkan tangannya dalam-dalam
ke saku. Ini sesuatu yang tak dikehendakinya, ditegur di depan anak banyak.
"Memang menyenangkan untuk membuat seluruh kawanmu tertawa, memang menyenangkan
untuk jadi pahlawan karena leluconmu," kata William, "tetapi akan lebih baik
lagi bila itu kausertai dengan kerja keras agar kelak kau bisa jadi pahlawan
pula di bidang ilmiah atau di bidang penemuan."
"Oh, aku tak peduli apakah kelak bila dewasa aku terkenal atau tidak," kata
Julian agak kurang ajar. Ia memang selalu bersikap kurang ajar bila merasa
tersinggung. "Aku hanya ingin bersenang-senang, mengerjakan apa yang aku sukai
dan membiarkan orang lain melakukan apa yang mereka sukai. Kerja keras bagiku
hanyalah untuk mereka yang tolol saja...."
"Berdirilah bila kau berbicara dan keluarkan tanganmu dari saku," sela William.
Julian mengerutkan kening. Tetapi akhirnya berdiri juga dan mengeluarkan
tangannya dari saku. "Maaf, William," katanya dengan mata hijaunya bersinar agak marah, "tak banyak
yang akan kukatakan lagi. Otakku kan milikku sendiri. Biarkan aku menggunakannya
semauku. Segala nasihatmu tak berarti apa-apa bagiku."
"Bisa kulihat itu," kata William, "dan sayang sekali. Agaknya kau hanya
memperhatikan dirimu sendiri, memperhatikan apa yang kauingini saja. Suatu hari
kau akan berpikiran lain. Tetapi entahlah apa yang akan mengubah pendirianmu.
Kurasa hanya sesuatu yang mengguncangkan batinmu saja yang bisa membuat kau
berubah pendirian," Julian duduk. Wajahnya merah. Enaknya saja, pikirnya. Untuk apa menggunakan
otaknya untuk bekerja keras, padahal ia masih punya begitu banyak waktu untuk
bersantai, bermain, dan membuat kawan-kawannya tertawa. Tidak, terima kasih.
Masih ada waktu baginya untuk menggunakan otak itu kelak, bila ia sudah harus
mencari nafkah sendiri. Elizabeth tak berkata apa-apa pada Julian tentang pembicaraan William. Dulu ia
juga pernah mengatakan hal seperti itu, waktu ia masih menjadi Pengawas. Dan
tanpa hasil. Sesungguhnya itu bukanlah nasihat asal nasihat saja. Itulah akal
sehat. Sungguh keterlaluan Julian tak mau bekerja keras. Ia bisa memenangkan
berbagai bea siswa yang luar biasa dan bisa melakukan berbagai karya besar bila
dewasa nanti. Sungguh aneh bahwa ia tak punya cita-cita seperti itu.
Satu-satunya akibat dari nasihat William adalah bahwa Julian semakin rendah lagi
nilainya di kelas. Biasanya ia hanya dekat dengan kedudukan paling bawah, tetapi
pada minggu berikutnya kedudukannya begitu rendah, bahkan Julian sendiri merasa
heran sewaktu angka-angka hasil pekerjaan mereka dibacakan.
Tapi Julian kemudian hanya menyeringai gembira. Ia sama sekali tak peduli apakah
berada di tempat paling bawah atau tidak.
Hari-hari berlalu. Segera juga pertengahan semester hampir tiba. Anak-anak mulai
berbicara tentang orangtua mereka yang diperkenankan datang menjenguk pada
pertengahan semester. Elizabeth berbicara dengan Julian tentang hal itu.
"Apakah ayah-ibumu datang, Julian?" tanya Elizabeth.
"Kuharap begitu," kata Julian. "Aku ingin memperkenalkanmu dengan ibuku. Manis
sekali! Benar! Selalu riang, gembira, dan manis!"
Julian tampak hangat bila berbicara tentang ibunya. Tak ragu lagi pastilah anak
itu sangat mencintai ibunya. Tentu saja ia mencintai ayahnya juga, namun ia
lebih mencintai ibunya yang cantik dan periang-menurut katanya.
"Karena ibukulah aku memanjangkan rambutku ini," kata Julian pada Elizabeth.
"Ibu menyukai cara bercukurku yang aneh ini, serta rambut panjang yang selalu
terurai ke dahi ini. Karenanya aku takkan mengubahnya agar ia senang. Dan ia
juga sangat suka pada lelucon, muslihat, ataupun suara-suara yang kubuat."
"Apakah ia tidak akan kecewa bila tahu bahwa kau selalu berada di urutan paling
bawah?" tanya Elizabeth ingin tahu. "Ibuku akan sangat malu kalau nilaiku
turun." "Oh, ibuku hanya ingin agar aku bersenang-senang," kata Julian. "Ia sama sekali
tak peduli aku berada di urutan keberapa, atau apakah aku nomor satu dalam
ujian." Elizabeth berpikir bahwa aneh juga ibu Julian. Seperti Julian juga-menyenangkan
tetapi aneh. Hari yang ditunggu itu tiba. Para orangtua murid pun berdatangan. Nyonya Allen
langsung memeluk Elizabeth.
"Kau kelihatan sehat sekali, Sayang," kata Nyonya Allen. "Ayolah, kita harus
mengajak Arabella juga, bukan" Kasihan kan, tak ada yang mengajaknya jalan-
jalan...." "Oh, Ibu," kata Elizabeth agak muram, "apakah kita harus mengajak dia?"
Terpandang olehnya Julian, dan dipanggilnya anak itu, "Julian! Ini ibuku. Ibumu
sudah datang?" "Belum," kata Julian, tampak khawatir. "Ibuku belum datang. Padahal ia berjanji
akan datang agak awal. Mungkin mobilnya mogok di jalan?"
Tepat saat itu telepon di ruang depan berbunyi keras. Pak Johns menerima telepon
tersebut. Beberapa saat kemudian ia memanggil Julian, mengajaknya masuk ke
sebuah kamar terdekat. Elizabeth bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi.
"Ibu, aku harus menunggu sampai Julian keluar sebelum kita berangkat nanti,"
katanya. Ternyata ia tak harus menunggu lama. Pintu terbuka. Julian keluar. Tetapi
alangkah jauh bedanya dengan Julian yang selalu periang!
"Julian! Ada apa" Apa yang terjadi?" tanya Elizabeth.
"Pergilah," kata Julian kasar. Wajahnya pucat dan matanya seakan menderita, dan
seolah tak melihat ia mendorong Elizabeth minggir, dengan kepala tunduk menuju
ke kebun. Heran Elizabeth tertegun. Dan berpaling pada Pak Johns.
"Pak Johns! Pak Johns! Apa yang terjadi" Tolong katakan, apa yang terjadi dengan
Julian," desak Elizabeth.
"Ada berita dari rumahnya," kata Pak Johns. Ibunya sakit keras. Keadaannya
gawat. Kau tahu, ayahnya seorang dokter, dan kini sedang mencoba merawat ibu
Julian dengan bantuan beberapa orang dokter ahli lainnya. Keadaannya gawat
sekali, sehingga bahkan Julian sendiri tak diperkenankan mengunjunginya. Sungguh
suatu pukulan keras bagi Julian. Mungkin kau bisa membantunya, Elizabeth. Kau
sahabatnya, bukan?" "Benar," kata Elizabeth. Hatinya penuh kehangatan ingin menghibur Julian. Julian
begitu bangga akan ibunya, begitu cinta pada ibunya. Bagi dia ibunya itu
merupakan orang yang paling manis di seluruh dunia. Dan kini ibunya sakit
keras!. Elizabeth lari ke ibunya, tergesa-gesa berkata, "Ibu, maaf, aku tak bisa keluar
hari ini. Ibu Julian sakit keras, aku sebagai sahabatnya harus menghiburnya.
Bagaimana kalau Ibu pergi bersama Arabella saja. Kukira aku terpaksa harus di
sini saja dengan Julian."
"Baiklah," kata ibu Elizabeth, dan pergi mencari Arabella. Elizabeth sendiri
sudah berlari mencari Julian. Entah ke mana anak itu tadi bersembunyi. Pasti
bagaikan seekor binatang yang terluka, ia mencoba mencari tempat untuk
bersembunyi dan menyembuhkan lukanya itu. Kasihan sekali Julian. Apa yang bisa
dikatakannya untuk menghiburnya"
20. Julian Berikrar Di mana-mana Julian tak tampak. Ke mana ia pergi" Elizabeth bertanya pada Harry,
"Harry, kaulihat Julian?"
"Ia tadi lari menghambur ke luar pagar," kata Harry. "Kenapa sih dia?"
Elizabeth tidak menjawab. Ia berlari ke luar pagar. Mungkinkah Julian pergi ke
stasiun dan mencoba untuk naik kereta api, mengunjungi ibunya" Elizabeth
kebingungan di tepi jalan. Memandang jauh-jauh ke ujung jalan itu.
Dan... di kejauhan tampak seorang anak lelaki. Itu pasti Julian! Elizabeth
menghambur lari. Ia harus mengejar Julian. Julian sedang sedih. Ia harus bisa
menolongnya. Anak di kejauhan itu, yang juga berlari, telah lenyap di tikungan.
Elizabeth mempercepat larinya.
Di tikungan ia berhenti. Tak tampak ada anak di jalan itu. Bagaimana Julian bisa
lenyap dalam waktu yang begitu cepat" Tak mungkin ia telah mencapai tikungan
yang jauh di depannya itu! Ragu-ragu Elizabeth berlari terus.
Ia sampai di tikungan kedua. Di jalan utama juga tak tampak seorang pun. Ke mana
Julian pergi" Cepat Elizabeth berlari kembali. Mungkin Julian memasuki padang
rumput, menerobos pagar di sisi jalan itu. Dengan kebingungan Elizabeth terus
berlari, tak memperhatikan telepon umum di boks kecil di pinggir, jalan yang
dilewatinya. Ia sangat terkejut saat tiba-tiba didengarnya pintu boks telepon
umum itu terbuka dan terdengar suara Julian memanggilnya tergesa-gesa.
"Elizabeth! Oh, Elizabeth! Kau bawa uang kecil?"
Elizabeth berhenti, berpaling. Ternyata Julian berada di dalam boks telepon umum
itu. Ia segera berlari mendekat, tergopoh-gopoh mencari uang kecil di sakunya.
"Ya. Ini uang enam penny" katanya. "Kau sedang apa?"
"Menelepon ayahku," kata Julian. "Kata Pak Johns aku tak boleh menelepon, sebab
ayahku berkata ia tak ingin diganggu oleh telepon atau apa pun juga. Memang
kukira benar juga. Tetapi aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan saja. Tetapi
aku tak punya uang cukup untuk menghubunginya."
Elizabeth memberikan semua uangnya. Julian menutup pintu tempat telepon, dan
Elizabeth menunggu di luar. Lama juga ia menunggu.
Seperempat jam kemudian telepon ke ayahnya baru tersambung.
Julian nampak gelisah. Hal itu kelihatan dari luar, di mana ia berulang kali
menaikkan rambutnya yang terurai ke depan. Wajahnya begitu pucat dan menderita
hingga ingin sekali Elizabeth ikut masuk ke dalam boks telepon itu dan segera
menghiburnya. Akhirnya Julian berhasil juga bicara dengan ayahnya. Elizabeth dapat melihat
Julian bertanya dengan gaya tegang. Lima menit Julian berbicara dengan ayahnya.
Kemudian ia meletakkan telepon. Dan keluar dengan wajah pucat pasi.
"Aku ingin muntah," katanya, sementara wajahnya yang putih tampak kehijau-
hijauan. Digandengnya tangan Elizabeth, berjalan terhuyung masuk pagar di tepi
jalan, ke padang rumput. Ia duduk. Mukanya masih hijau. Tapi agaknya tak jadi
muntah. Perlahan kesan hijau di wajahnya lenyap.
"Aku sungguh tolol," katanya kemudian dengan kepala tunduk tanpa melihat
Elizabeth, "tetapi aku tak bisa berbuat lain. Tak ada yang tahu betapa aku
mencintai ibuku. Betapa manis dan penuh kasih sikapnya padaku."
Elizabeth melihat bahwa Julian berusaha keras untuk tidak menangis. Ia sendiri
juga ingin menangis. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya duduk rapat-rapat
pada Julian, memegang tangannya.
Tapi akhirnya berkata juga Elizabeth dengan suara lemah, "Apa kata ayahmu?"
"Katanya-katanya-sedikit sekali kemungkinan Ibu bisa sembuh." Julian berkata
terbata-bata, kemudian ia menggigit bibir. "Hanya sedikit sekali kemungkinannya.
Elizabeth, aku tak tahan memikirkan hal itu."
"Julian... dokter zaman ini sangat pandai," kata Elizabeth. "Aku yakin ibumu
pasti tertolong. Mereka pasti berusaha keras untuk menolongnya."
"Kata ayahku mereka mencoba mengobatinya dengan obat baru," gelisah Julian
mencabuti rumput di dekatnya. "Katanya, ia dan dua orang dokter lain telah
bertahun-tahun mengembangkan obat baru itu. Kini obat itu hampir siap. Ia sedang
menyiapkan sejumlah obat tersebut kini untuk dicobakan pada Ibu. Kata ayahku
obat itulah satu-satunya harapan terakhir. Dengan obat itu ada sedikit
kemungkinan bagi ibuku untuk sembuh."
"Julian, ayahmu pasti pandai sekali," kata Elizabeth. "Oh, Julian, pasti senang
sekali untuk bisa menjadi sepandai itu, menemukan obat-obatan yang bisa menolong
orang lain. Bayangkan saja... bayangkan saja... obat penemuan ayahmu berhasil
menolong nyawa ibumu! Aku yakin kepandaian ayahmu menurun padamu, Julian. Kau
juga cerdas. Mungkin suatu hari kau akan berhasil menyelamatkan nyawa seseorang
yang kaucintai dengan obat penemuanmu sendiri!"
Elizabeth menyatakan itu semua untuk menghibur Julian. Tetapi ia jadi sangat
terkejut sewaktu Julian malahan mengempaskan diri ke rumput dan menangis
tersedu-sedu. "Ada apa" Jangan begitu," pinta Elizabeth. Tetapi Julian tidak memperhatikannya.
Setelah beberapa lama ia bangkit, duduk, dan mencari saputangan di sakunya. Ia
tak menemukan saputangan itu. Terpaksa ia menggunakan tangannya untuk menghapus
mukanya yang kotor. Elizabeth mengulurkan saputangannya dan diterima oleh
Julian, dipakai untuk mengusap muka.
"Kalau obat penemuan Ayah yang menyembuhkan ibuku, maka itu karena kerja
kerasnya selama bertahun-tahun, karena ia menggunakan otaknya sebaik mungkin,"


Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kata Julian, seakan-akan pada dirinya sendiri. "Tadinya kupikir sungguh tolol ia
bekerja begitu keras, hampir tak pernah bersantai atau berlibur." Ia mengusap
matanya lagi. Elizabeth mendengarkan penuh perhatian, tak berani menyela. Julian berbicara
dengan bersungguh-sungguh. Mungkin inilah saat yang paling penting dalam
hidupnya, saat ia harus memilih jalan yang nanti akan ditempuhnya: jalan santai
yang selama ini dianutnya, atau jalan kerja keras yang telah ditempuh ayahnya,
kerja keras tak mengenal lelah dan tak mengharapkan upah demi bisa menolong
sesamanya. Julian berbicara lagi, masih seolah-olah pada dirinya sendiri, "Aku juga
dikaruniai otak yang cemerlang. Tetapi aku telah menyia-nyiakan-nya. Dan
karenanya sudah sewajarnyalah aku menerima hukuman seperti ini. Dan ayahku, ia
telah menggunakan otaknya sebaik mungkin selama bertahun-tahun. Mungkin untuk
itu ia akan menerima imbalannya dengan berhasil menyembuhkan ibuku. Imbalan yang
paling indah baginya! Oh, kalau saja ibuku selamat, aku akan bekerja keras
selalu, takkan mengenal istirahat lagi. Ini memang hukuman bagiku. William telah
berkata suatu hari aku akan mengubah pendirianku, dan itu hanya akan kulakukan
bila aku mendapat guncangan hebat. Mungkin inilah yang dimaksudnya." Julian
menyisihkan rambutnya, mengatupkan bibirnya yang gemetar.
"Otakmu sangat cemerlang, Ju," kata Elizabeth perlahan. "Sering kudengar guru-
guru berbicara tentangmu. Mereka berkata kau bisa melakukan apa saja yang
kaukehendaki, apa saja di dunia ini. Dan kupikir, kalau seseorang mempunyai
suatu bakat atau otak yang cemerlang, maka ia akan merasa sangat bahagia bila
bisa menggunakannya. Dan ia juga akan membawa kebahagiaan bagi orang lain. Aku
bukannya mau sok menasihati, Julian. Sama sekali bukan!"
"Aku tahu," kata Julian. "Kau memang benar, dan perkataanmu memang masuk akal.
Oh, mengapa tak kutunjukkan pada Ibu apa yang bisa kulakukan, pada waktu aku
bisa melakukannya" Ia akan begitu bangga padaku. Ia memang selalu berkata bahwa
ia tak peduli apa saja yang kulakukan, bahkan bermalas-malasan pun aku
diperkenankannya tetapi tentu saja ia akan bisa lebih bangga bila aku tidak
berbuat itu, tidak bermalas-malasan dan bercanda terus-menerus. Kini sudah
terlambat bagiku untuk membuatnya bangga."
"Tidak, tidak terlambat," kata Elizabeth. "Kau tahu masih ada harapan bagi ibumu
untuk sembuh. Ayahmu sendiri yang berkata begitu. Betapapun, tak peduli apa yang
akan terjadi, kau toh bisa saja bekerja keras dan menggunakan otakmu sebaik-
baiknya dan melakukan sesuatu untuk umat manusia. Kau bisa jadi apa saja yang
kaukehendaki!" "Aku akan jadi ahli bedah," kata Julian, mata hijaunya bersinar-sinar. "Aku akan
mencari pengobatan terbaik untuk menyembuhkan orang. Aku akan bekerja keras
melakukan ratusan percobaan. Aku akan menemukan obat-obat yang bisa membuat
jutaan orang sehat kembali."
"Kau pasti bisa melakukannya, Julian. Cita-citamu itu pasti terkabul!" kata
Elizabeth. "Aku yakin itu."
"Tetapi bila cita-citaku itu terkabul lalu untuk apa" Ibuku toh tak bisa
menyaksikannya," kata Julian, dan tiba-tiba bangkit, pergi ke pagar. "Oh,
Elizabeth, aku mengerti kini mengapa ini semua terjadi padaku. Hanya dengan cara
beginilah aku bisa mengerti bahwa aku salah, bahwa selama ini .perbuatanku
sungguh memalukan diriku.... Aku ingin... aku ingin..."
Ia berhenti berbicara. Ingin sekali Elizabeth mengetahui apa yang diinginkan
oleh Julian. Sesungguhnya Julian ingin berkata bahwa sebenarnya pelajaran
sekeras itu tak perlu dijatuhkan padanya, toh ia akan mengerti. Tetapi kemudian
ia ragu-ragu. Apakah benar ia bisa mengubah pendiriannya kalau tidak ada
kejadian seperti itu" Perlahan Julian meninggalkan padang rumput tadi. Diikuti
oleh Elizabeth. Mereka berdua berjalan perlahan menuju sekolah, lewat jalan besar. Dan kebetulan
mereka melewati sebuah gereja kecil. Pintunya terbuka.
"Aku akan masuk ke sana," kata Julian. "Aku akan mengikrarkan sesuatu. Rasanya
sangat tepat bila aku berikrar di dalam gereja. Ikrar yang akan mengikatku
seumur hidup. Jangan ikut masuk, Elizabeth,"
Ia memasuki gereja yang bercahaya remang-remang itu. Elizabeth duduk di bangku
kayu di depan gereja, dengan mata kosong memperhatikan bunga-bunga dafodil
pertama yang beterbangan ditiup angin.
"Lebih baik aku berdoa juga," kata Elizabeth dalam hati. "Mudah-mudahan ibu
Julian cepat sembuh. Tetapi aku mendapat firasat itu suatu hal yang tidak
mungkin. Kasihan Julian. Ia akan terpaksa harus bekerja keras tanpa ibunya bisa
merasa bangga akan dia, tanpa dorongan kasih sayang ibunya untuk mencapai cita-
citanya yang begitu mulia."
Beberapa saat kemudian Julian keluar. Kini ia tampak lebih tenang. Matanya yang
hijau seolah memancarkan kedamaian dan kekerasan hati. Elizabeth yakin bahwa apa
pun yang diikrarkan Julian di dalam gereja itu, pasti akan dipenuhinya dan
takkan pernah diingkarinya. Otak Julian tak akan dipakai hanya untuk bercanda
lagi. Kini seluruh hidupnya akan disumbangkannya untuk keperluan umat manusia,
seperti yang telah dilakukan oleh ayahnya. Mungkin seperti yang dikatakannya
tadi ia akan jadi ahli bedah, atau seorang dokter yang mampu berbuat berbagai
mukjizat ilmiah. Tanpa berkata sepatah pun keduanya berjalan menuju sekolah. Sekolah itu sepi.
Anak-anak telah pergi dengan sahabat atau ayah-ibu mereka, berjalan-jalan.
Julian mengembalikan saputangan Elizabeth yang kini telah sangat kotor.
"Sayang sekali kau tak jadi jalan-jalan," katanya dengan tersenyum. "Tetapi
rasanya tanpa kau entah apa jadinya dengan diriku."
"Mari kita bawa makanan ke padang rumput, dan berpiknik sendiri," usul
Elizabeth. Julian menggelengkan kepala. "Tidak," katanya. "Aku ingin berada di sini. Siapa
tahu ada kabar untukku. Mungkin hari ini tak ada. Kata ayahku, ia baru bisa
memberi kabar setelah satu-dua hari. Tetapi siapa tahu...."
"Ya," kata Elizabeth, "baiklah. Biar kutemani kau. Mari pergi ke kebun. Kita
bekerja saja di sana. John mungkin tak ada, tetapi aku tahu apa yang bisa kita
kerjakan. Ada beberapa benih selada yang harus ditanam. Dan ada beberapa lubang
yang harus digali. Kaukira kau bisa melakukan itu?"
Julian mengangguk. Mereka ke luar, ke kebun, dan segera sibuk bekerja di bawah
terik matahari dan embusan angin. Betapa menyenangkan bekerja seperti itu.
Betapa menyenangkan punya sahabat yang siap mendampinginya terus bila kesulitan
tiba. 21. Pengakuan Martin Hari itu tak ada berita dari ayah Julian. Hanya sebuah pesan bahwa keadaan
ibunya tetap saja tidak membaik dan tidak pula memburuk Anak-anak lain ikut
bersedih mendengar keadaan ibu Julian. Mereka berusaha keras untuk menghiburnya.
Dan sungguh aneh, tampaknya Martin yang paling sedih di antara semua anak kelas
satu. Ia pun tampak gelisah. Aneh juga, pikir Elizabeth. Martin bukanlah sahabat
Julian. Bahkan Julian tak begitu menyukai Martin, serta sering menunjukkan
perasaan itu di depan yang lain. Lalu mengapa" Seakan menjawab pertanyaan
Elizabeth itu, tiba-tiba Martin mendekatinya.
"Bisakah aku berbuat sesuatu untuk membantu Julian?" tanya Martin mula-mula.
"Sesuatu... apa saja... yang bisa kulakukan untuk mengurangi kesedihannya?"
"Kurasa tidak ada," kata Elizabeth. "Sungguh baik hatimu punya maksud seperti
itu, Martin, tetapi bahkan aku sendiri tak bisa berbuat apa-apa baginya."
"Bagaimana pendapatmu" Ibunya akan sembuh?" tanya Martin lagi.
"Aku khawatir... hal itu sulit sekali terjadi," kata Elizabeth. "Pasti akan
sangat berat bagi Julian bila berita buruk itu akhirnya datang. Kurasa lebih
baik kita tidak mengganggunya, Martin, walaupun maksud kita sesungguhnya baik."
Martin makin gelisah, bermain-main tak keruan dengan buku dan pensil. Elizabeth
jadi terganggu juga melihat tingkah Martin.
"Kau ini kenapa sih, Martin" Gelisah sekali tampaknya," katanya. "Kau membuat
meja ini terguncang-guncang! Diamlah. Aku ingin menulis."
Di ruang bermain itu hanya ada seorang anak lain kecuali Martin dan Elizabeth,
yaitu Belinda. Tetapi Belinda agaknya sudah selesai dengan entah apa yang sedang
dilakukannya. Ia berdiri dan keluar. Martin menutup pintu dan makin mendekat
pada Elizabeth. "Aku ingin minta nasihatmu tentang sesuatu, Elizabeth," katanya tiba-tiba.
Gugup. "Jangan padaku," kata Elizabeth segera. "Aku bukan lagi seorang Pengawas. Aku
bukan orang yang tepat bagimu untuk dimintai nasihat. Pergilah ke Pengawasmu
yang baru. Ia lebih bisa berpikir tenang."
"Aku tidak kenal Susan, aku hanya kenal kau," kata Martin. "Ada sesuatu yang
sangat mengacaukan pikiranku, Elizabeth dan kini karena Julian sedang mendapat
kesulitan, pikiranku semakin kacau saja. Aku juga sangat mencintai ibuku. Aku
tahu bagaimana perasaan hati Julian. Dengarkanlah apa yang ingin kukatakan,
Elizabeth." "Martin, jangan katakan padaku," kata Elizabeth. "Aku betul-betul takkan bisa
menolongmu. Bahkan aku tak yakin pada diriku sendiri lagi Aku selalu saja
berbuat keliru. Lihat saja betapa aku menuduh Julian mencuri. Aku akan merasa
malu seumur hidupku bila teringat hal itu. Apalagi ternyata Julian begitu baik,
mau memaafkanku. Lebih baik kau pergi saja ke Susan."
"Aku tak bisa minta nasihat seseorang yang tidak kukenal dengan baik," kata
Martin. "Aku tak ingin minta bantuanmu atau minta pertolonganmu. Aku hanya ingin
menceritakan sesuatu, agar tak lagi terlalu berat terasa di hatiku,"
"Baiklah, baiklah," kata Elizabeth akhirnya. "Apakah kau telah melakukan suatu
kesalahan" Sudahlah. Jangan bergerak terus begitu, Martin, kenapa sih kau ini?"
Martin duduk Menopang kepalanya dengan kedua tangannya. Menutupi mukanya dengan
kedua telapak tangannya. Elizabeth melihat wajahnya menjadi merah. Kenapa
Martin" Dan waktu Martin berbicara, mukanya masih ditutupinya dengan telapak
tangan. Suaranya tak begitu jelas terdengar. "Aku... akulah yang mengambil
uang... banyak sekali... dari Arabella... dan Rosemary... dan kau... dan banyak
lagi yang lain.... Aku juga mengambil permen dan cokelat... dan biskuit dan
kue...." Elizabeth ternganga. Terpaku. Heran. Terkejut.
"Kau... kau pencuri!" katanya kemudian dengan sangat gusar. "Kau pencuri tak
tahu malu! Huh! Sok berlagak pemurah segala! Kau bahkan menawarkan untuk
memberiku uang satu shilling sebagai pengganti uangku yang hilang. Padahal kau
sendiri yang mengambilnya! Dan kau juga bermaksud memberi Rosemary uang,
sehingga ia begitu senang padamu. Martin Follett, kau betul-betul jahat. Palsu.
Tak tahu malu. Munafik... pura-pura pemurah tetapi sebetulnya pencuri!"
Martin tak berkata sepatah pun. Terus saja bertopang dagu menutupi mukanya.
Elizabeth begitu marah. Dan jijik.
"Untuk apa kauceriterakan ini padaku" Aku tak ingin mendengarnya. Aku telah
menuduh Julian yang malang itu untuk perbuatan yang sesungguhnya kaulakukan!
Dan, Martin, pasti kau juga yang menaruh uang shilling bertanda itu di saku
Julian dan juga permen itu, agar aku mengira bahwa dialah yang berbuat.
Bagaimana kau bisa begitu kejam?"
Martin mengangguk. Dan masih menutupi mukanya. "Ya, aku yang berbuat itu. Aku
begitu ketakutan waktu kulihat bahwa uang shilling itu bertanda. Lagi pula aku
tak pernah merasa suka pada Julian, karena ia tidak menyukaiku. Aku takut kalau
sampai kesalahanku kauketahui, maka takkan ada yang mau bersahabat denganku
lagi. Padahal aku ingin sekali punya banyak kawan. Hampir tak ada seorang pun
yang benar-benar menyukaiku."
"Astaga!" kata Elizabeth gusar. "Sudah terlalu buruk kelakuanmu, mengambil uang
dan yang lain. Masih juga kautambah dengan memfitnah orang. Itu bukan saja
jahat, tetapi juga sangat pengecut! Aku tak tahu mengapa kau menceritakan ini
semua padaku. Mestinya kau ceritakan langsung pada William dan Rita. Bukan aku!"
"Aku tak sanggup," keluh Martin.
"Pikirkan akibat perbuatanmu itu!" kata Elizabeth keras, makin lama makin marah
bila teringat akibat perbuatan Martin. "Kau membuatku menuduh Julian mencuri. Ia
marah, dan membalas dengan berbagai tipuan sehingga aku dikeluarkan dari kelas,
sehingga aku dicopot dari kedudukanku sebagai Pengawas. Martin Follet, kau ini
anak yang paling busuk hatinya yang pernah kutemui. Alangkah baiknya kalau kau
tidak menceritakan ini semua padaku."
"Aku... aku tak tahan memikirkan bahwa akulah yang telah menjerumuskan Julian
dalam kesulitan... dan makin tak tahan lagi aku kini, saat Julian begitu merasa
sedih," kala Martin. "Karena itulah kuceritakan ini semua padamu, agar lega
sedikit hatiku. Agaknya hanya inilah yang bisa kulakukan untuk Julian."
"Lebih baik lagi bila kau tidak memberi pengakuan ini padaku," Elizabeth bangkit
berdiri. "Aku tak bisa menolongmu, dan walaupun bisa aku tak sudi menolongmu.
Kau busuk hati, pengecut, dan jahat. Tak pantas kau bersekolah di Whyteleafe
ini. Lagi pula, aku kini sedang sibuk memikirkan Julian, tak punya waktu untuk
memikirkan kau!" Dengan marah Elizabeth meninggalkan ruangan itu. Sungguh menjijikkan!
Bayangkan... berbuat serupa itu! Mencuri! Memfitnah! Membiarkan orang lain
menderita! Tepat saat Elizabeth keluar, Rosemary masuk. Elizabeth langsung pergi ke ruang
musik, mengeluarkan buku musiknya dan mulai berlatih sambil berpikir tentang
Julian, dirinya sendiri, dan Martin Follett.
Beberapa lama kemudian, pintu ruang berlatih itu terbuka. Rosemary menjenguk ke
dalam. Mukanya yang lembut manis itu tampak agak ketakutan saat Elizabeth
melotot padanya. Tetapi kali ini agaknya Rosemary berhasil memberanikan diri.
Walaupun kening Elizabeth berkerut, masuk juga ia, dan menutup pintu.
"Mau apa kau"!" kata Elizabeth kasar.
"Kenapa Martin?" tanya Rosemary. "Apakah ia sakit" Tampaknya ia sangat menderita
waktu aku masuk tadi."
"Bagus," kata Elizabeth, meneruskan berlatih kembali. "Syukur!"
"Kenapa?" tanya Rosemary heran.
Elizabeth tak mau menceritakan sebabnya. "Aku tidak suka pada Martin," katanya,
sambil terus bermain. "Kenapa tidak?" tanya Rosemary. "Ia kan baik hati. Kau tahu, ia selalu memberi
permen dan sebagainya. Dan kalau ada yang kehilangan uang, ia sering bersedia
memberi sedikit uangnya. Aku pikir ia anak yang paling murah hati. Ia tak pernah
makan permen. Ia mengumpulkan begitu banyak permen hanya untuk dibagi-bagikan.
Ia anak yang paling tidak pernah memikirkan dirinya sendiri."
"Pergilah, Rosemary, aku sedang berlatih," kata Elizabeth yang merasa tak senang
karena Martin dipuji-puji.
"Tetapi, Elizabeth, sebenarnya Martin yang malang itu kenapa?" desak Rosemary,
untuk kali ini lupa pada sifat pemalunya. "Kasihan betul dia. Apakah kau baru
saja mengatakan sesuatu yang menyakitkan hatinya" Kau tahu betapa kejinya kau
terhadap Julian. Kau tak pernah memberi kesempatan pada anak yang kau kira
berbuat salah, ya?" Elizabeth tidak menjawab. Rosemary keluar, dan di luar kebiasaannya ia
mengempaskan pintu sampai berdebam tertutup. Ia marah sekali pada Elizabeth. Ia
tak mau kembali pada Martin, sebab tadi Martin juga tak mau berbicara dengannya
dan malah akhirnya menyuruhnya pergi. Sungguh membingungkan.
"Aku merasa pasti Elizabeth bertengkar dengan Martin," katanya dalam hati.
"Tetapi ternyata tak ada gunanya bagiku untuk menanyakannya langsung pada
Elizabeth." Tetapi sesungguhnya ada juga gunanya. Sebab begitu Rosemary pergi, Elizabeth
merenungkan kembali kata-kata Rosemary tadi tentang Martin. Tiba-tiba saja
terasa betapa anehnya kata-kata tersebut.
"Rosemary berkata Martin anak pemurah hati, melebihi siapa pun yang dikenalnya,"
pikirnya. "Ia berkata Martin tak pernah makan permen, selalu memberikan
permennya pada anak lain. Dan bila seseorang kehilangan uang, ia selalu bersedia
untuk menggantinya. Memang benar, ia bermaksud memberiku uang dan permen. Aneh
sekali. Mencuri kemudian memberikan hasil curiannya pada anak lain. Sungguh
ajaib!" Elizabeth berhenti berlatih. Berpikir terus tentang Martin. Bagaimana Martin
bisa jahat tetapi juga murah hati" Bagaimana ia tega membuat orang lain sedih
dengan jalan mengambil barang-barang mereka, tetapi mampu membuat orang lain
senang dengan memberi mereka uang dan barang lainnya" Sama sekali tak masuk
akal. Tetapi ini memang terjadi! Tak salah lagi!
"Ia mencuri bukan untuk dirinya sendiri," pikir Elizabeth. "Aneh. Alangkah
senangnya kalau aku bisa bertanya pada seseorang tentang ini. Tetapi aku tak mau
pergi ke Susan. Dan yang pasti aku tak mau sekali lagi menghadap William dan
Rita. Aku tak mau mereka berpikir aku ini suka ikut campur urusan orang. Lagi
pula aku sekarang kan bukan Pengawas. Sialan juga si Martin itu, pakai cerita
segala padaku." Beberapa hari lamanya ia berpikir-pikir terus. Kemudian sesuatu membuatnya lupa
pada persoalan Martin yang terus menghantuinya. Sesuatu yang terjadi di kelas
matematika. Anak-anak sedang tekun belajar waktu itu. Tiba-tiba jauh di ruang depan
terdengar telepon berbunyi. Dua-tiga kali baru diangkat oleh seseorang. Kemudian
terdengar langkah bergegas sepanjang gang, makin lama makin dekat. Terdengar
ketukan di pintu. Seorang pelayan sekolah masuk, berbicara pada Bu Ranger. "Maaf, Bu, ada telepon
penting untuk Tuan Julian. Interlokal. Karenanya saya tidak langsung menghubungi


Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu Belle, takut kalau terputus sebelum Tuan Julian bisa menerimanya."
Bagaikan terbang Julian meninggalkan bangkunya, sebelum pelayan itu
menyelesaikan kalimatnya. Dengan wajah pucat pasi ia berlari di gang, ke ruang
depan. Jantung Elizabeth bagaikan berhenti berdenyut. Akhirnya! Suatu berita
buat Julian! Tetapi apakah berita buruk" Berita baik" Seisi kelas menunggu.
Hening. "Semoga kabar baik... semoga kabar baik...," pikir Elizabeth berulang-ulang.
Begitu gelisah, sehingga ia sama sekali tak merasa penanya membuat noda-noda
tinta besar di halaman buku yang sedang dihadapinya.
22. Martin Semakin Mengherankan
Lamat-lamat terdengar suara gagang telepon ditaruh. Kemudian suara langkah
mendekat tergesa-gesa kembali ke ruang kelas. Pintu kelas terbuka. Julian masuk
Wajahnya berseri-seri. Dengan mata bersinar. Dan bibir tersenyum.
"Kabar gembira!" ia berseru. "Ibuku membaik!"
"Horeeeeee!" tak terasa Elizabeth berteriak, dengan perasaan gembira meluap,
tetapi entah kenapa ia juga ingin menangis.
"Oh, bagus sekali!" seru Jenny.
"Hebat!" teriak Harry mengentak-entakkan kaki ke lantai. Anak-anak lain juga
ribut sekali, seolah-olah mereka merasa harus berbuat ribut untuk menyatakan
kegembiraan hati mereka. Jenny tanpa alasan menghantam punggung Belinda.
Beberapa orang anak bertepuk tangan. Semua merasa gembira!
"Syukurlah, Julian," kata Bu Ranger. "Sungguh tegang tadi kami menanti. Sekarang
kekhawatiran kita bersama telah lenyap. Bagaimana ibumu?"
"Sangat baik," kata Julian dengan wajah cerah. "Dan ini karena obat ajaib
ciptaan Ayah dan kedua orang rekannya, yang telah mereka kembangkan selama
beberapa tahun! Harapan bagi ibuku. Tetapi ternyata memang harapan itu menjadi
kenyataan. Pagi ini masa krisis telah dilewati. Dan ia pasti membaik! Wah,
rasanya aku tak bisa belajar lagi pagi ini!"
Bu Ranger tertawa. "Tinggal lima menit sebelum istirahat. Baiklah. Semua boleh
menyimpan buku masing-masing. Dan pelajaran ini kita anggap selesai saja, untuk
melepaskan rasa tegang kalian. Semua ikut bergembira atas kabar baik ini,
Julian!" Maka kelas satu pun keluar, beristirahat sebelum waktunya, ribut bergembira,
berhamburan ke taman, membuat kelas-kelas lain merasa heran. Elizabeth menyeret
Julian ke sebuah sudut yang sepi.
"Julian! Luar biasa sekali, bukan" Kau sekarang tak usah bersedih hati, bukan?"
katanya. "Tentu! Aku merasa sangat berbahagia," kata Julian. "Aku merasa bahwa aku diberi
kesempatan sekali lagi untuk menunjukkan pada ibuku bahwa ia bisa bangga akan
aku. Wuah! Betapa aku akan bekerja keras nanti. Aku akan merebut semua nilai
tertinggi! Aku akan merebut semua bea siswa yang bisa kudapat! Aku akan menempuh
ujian kedokteran pada usia semuda mungkin! Aku akan menggunakan otakku seperti
belum pernah kugunakan sampai saat ini!"
"Dalam minggu ini kau pasti nomor satu," kata Elizabeth. "Tetapi kau akan tetap
lucu, bukan?" "Yah... aku tak tahu tentang itu," kata Julian. "Mungkin di waktu-waktu
senggangku aku masih bisa memikirkan beberapa lelucon. Tetapi aku takkan
membuang-buang waktuku atau waktu orang lain untuk itu. Aku akan mengubah
pribadiku. Aku akan menjadi anak baik seperti yang selalu kauinginkan."
"Tidak, bukan itu yang kuinginkan," kata Elizabeth. "Aku hanya ingin kau
bersikap wajar saja, tidak sok baik. Tetaplah berbuat lucu, Julian, sebagai
imbangan kerja kerasmu."
Julian tertawa, dan berdua mereka menyertai kawan-kawan mereka yang lain
bermain. Anak itu bagaikan gila oleh rasa gembira. Semua rasa takutnya lenyap.
Ibunya membaik Ia akan segera bertemu dengan ibunya. Masih ada waktu tersisa di
semester ini untuk membuat ibunya bangga akan hasil kerjanya!
Untuk beberapa saat Elizabeth lupa akan Martin. Kemudian ia melihat Martin
muncul dengan wajah penuh penderitaan, seperti kata Rosemary. Martin punya
kebiasaan aneh kini. Ia selalu mengikuti ke mana saja Julian pergi, sehingga
Julian sering merasa kesal, tak bisa melepaskan diri dari Martin.
"Sial, aku lupa tentang Martin!" kata Elizabeth dalam hati. "Aku tak boleh
mengatakan apa yang dikatakannya dulu itu pada Julian. Julian sedang berbahagia
hari ini. Cerita tentang Martin, akan merusak kegembiraannya. Lagi pula, aku
sudah begitu sering berbuat kesalahan hanya karena berpikir bahwa aku bisa
menyelesaikan persoalan-persoalan sendiri, tanpa minta nasihat orang lain. Aku tak boleh mencoba menangani persoalan ini. Jangan-jangan malah aku sendiri nanti
yang mendapat kesulitan lagi."
Maka ia mencoba untuk tidak memikirkan Martin. Tetapi Martin berbuat makin aneh.
Ia tidak lagi membuntuti Julian, ganti membuntuti Elizabeth. Ia tampak sangat
bingung. Elizabeth merasa gembira waktu jam tidur datang dan Martin terpaksa tak
bisa mengikutinya lagi. Kegembiraan yang meluap hari itu membuat Elizabeth sukar tidur. Berbalik ke
sana, berbalik kemari, digemburkannya bantal, dibuangnya selimut, diambilnya
selimutnya lagi... tetapi masih juga ia tak bisa tidur.
Ia terpaksa berpikir tentang Martin. Sungguh aneh. Bagaimana seseorang bisa
punya dua kepribadian sekaligus" Bagaimana seseorang bisa keji tapi juga baik
hati" Bertabiat buruk tapi juga bertabiat baik"
Diingat-ingatnya semua Rapat Besar sekolah yang pernah diikutinya. Diingat-
ingatnya berbagai perbuatan aneh anak-anak yang diungkapkan setiap kali Rapat.
Penyebab perbuatan itu dicari dan diketemukan, kemudian ditunjukkan jalan
keluar, dan menyembuhkan perbuatan aneh tersebut.
"Harry, misalnya. Ia suka berbuat curang di kelas. Mencontek. Tetapi ternyata
itu dilakukannya karena takut pada ayahnya, takut bila dapat nilai rendah,"
pikir Elizabeth. "Kemudian Robert. Semester yang lalu ia suka menindas anak-anak
kecil. Tetapi ternyata itu karena dulunya ia iri pada adik-adiknya dan ia
melampiaskan rasa irinya itu dengan menyiksa anak-anak kecil. Kemudian aku. Aku
dulu juga berkelakuan buruk sekali. Tetapi kini aku sudah cukup baik, walaupun
harus kehilangan kedudukanku sebagai Pengawas."
Ia teringat akan buku besar tempat William dan Rita mencatat apa saja yang
terjadi dalam sebuah Rapat Besar. Di situ tercatat berbagai cerita tentang anak-
anak yang nakal atau melanggar peraturan di Whyteleafe, dari tahun ke tahun.
Semua kesalahan dicatat, cara penanggulangannya pun dicatat, juga cara mencari
sebab kesalahan tersebut.
"Aku tak yakin ada cara untuk menyembuhkan sifat Martin," pikir Elizabeth.
"Mungkin di Buku Besar William ada suatu peristiwa yang mirip kisah Martin.
Ingin sekali aku melihat buku besar itu. Oh, kenapa hari tidak cepat pagi agar
aku bisa memeriksa buku itu."
Anak-anak memang diperkenankan membaca buku tersebut, yang saat ini mereka
namakan Buku Besar William. Banyak sekali pelajaran yang bisa didapat dari buku
itu. Elizabeth makin gelisah. Akhirnya ia bangkit, duduk "Aku akan melihat buku itu
sekarang juga," pikirnya. "Aku toh takkan bisa tidur sebelum pertanyaanku ini
terjawab. Paling tidak aku bisa melewatkan waktu dengan lebih berguna."
Elizabeth memakai gaun kamar dan sandal. Kemudian ia menyelinap keluar kamar
tidur, membawa senter. Semua sudah tidur lelap. Tanpa bersuara Elizabeth
berjalan di gang, dan turun ke ruang senam. Di bagian depan ruang itu terdapat
semacam panggung tempat para hakim dan juri duduk Dan di situ terdapat meja. Di
laci meja itulah disimpan Buku Besar William.
Elizabeth mengeluarkan buku tersebut. Ia menggunakan senternya, sebab tak berani
menyalakan lampu di ruangan itu. Dibukanya buku tadi. Penuh dengan berbagai
macam tulisan-sebab buku tersebut sudah dipegang oleh tiga atau empat orang
Ketua Murid yang berbeda-beda selama Sekolah Whyteleafe ini berdiri.
Sekilas Elizabeth melihat di sana-sini di buku tadi. Namanya tercatat. Ini dia.
Disebut si Cewek Paling Badung, si Badung Bandel Bengal, seperti yang disebutkan
oleh Harry. Dan ini lagi. Ia diberi kehormatan untuk menjadi Pengawas karena
berhasil membuktikan dirinya bisa berkelakuan sangat baik. Dan oh, ini lagi.
Dicopot dari kedudukan Pengawas karena dianggap tidak becus!
"Elizabeth Allen kehilangan kedudukannya sebagai Pengawas karena tanpa beralasan
menuduh seorang teman sekelasnya mencuri. Juga kelakuannya di kelas menunjukkan
bahwa ia tidak pantas menjadi Pengawas", demikian tertulis dengan tulisan kecil
dan rapi, tulisan William.
"Aku cukup sering muncul di buku ini," pikir Elizabeth dan terus membuka-buka
halaman buku tersebut ke arah depan, ke masa-masa Sekolah Whyteleafe yang telah
lewat. Tercatat di situ anak-anak Whyteleafe yang berkelakuan buruk ataupun
berkelakuan begitu baik sehingga mendapat kehormatan khusus- anak-anak yang
telah lama meninggalkan sekolah itu kini. Dan perhatiannya terpaku pada kisah
seorang anak perempuan. Cukup mirip dengan kisah Martin!
Dibacanya dengan teliti sampai selesai. Kemudian ditutupnya buku itu. Termenung.
Berpikir keras. "Sungguh kisah yang aneh," katanya dalam hati. "Sungguh mirip
Martin. Anak ini, Tessie, juga mencuri uang. Tetapi tak pernah ia membelanjakan
uang tersebut. Ia segera memberikannya pada anak lain. Dan ia mengambil bunga
dari taman sekolah. Memberikannya pada guru-guru, mengatakan bahwa bunga-bunga
tadi dibelinya. Dan ternyata ini karena ia merasa tak ada yang menyukainya. Ia
ingin membeli persahabatan dengan bersikap murah hati. Ia mencuri agar bisa
memberi, agar disenangi. Mungkinkah Martin juga begitu?"
Elizabeth kembali ke kamar tidurnya. "Alangkah menderitanya tak punya sahabat.
Apalagi kalau kemudian terpaksa harus berbuat begitu itu," kata Elizabeth dalam
hati lagi. "Rasanya aku harus mengatakan sesuatu pada Martin besok Hari ini ia
memang tampak menderita. Tetapi... aku sudah begitu sering ikut campur urusan
orang. Aku tak boleh memutuskan sendiri apa yang harus kuperbuat pada Martin.
Biarlah kutanyakan saja beberapa hal. Kemudian terserah padanya ia ingin berbuat
apa. Aku tak peduli." Ia langsung tidur. Ia begitu lelah hingga tidurnya lelap
sekali dan hampir terlambat bangun. Begitupun ia masih terus- menerus menguap
waktu makan pagi. Apa yang membuatnya gelisah tadi malam" Bahasa Prancis" Tidak
Ia sudah mempelajari bahasa Prancis dengan baik Julian" Tidak juga.
Kekhawatirannya tentang Julian sudah lenyap.
Oh, ya. Martin. Martin-lah yang memenuhi pikirannya. Ia berpaling pada anak itu.
Pucat sekali wajahnya. Dan tampak kurus.
"Ia berhati busuk," pikir Elizabeth. "Sangat busuk. Tak seorang pun-menyukainya.
Juga Rosemary tidak, walaupun semua anak berkata bahwa ia murah hati dan suka
memberi. Aneh juga ia tak punya sahabat akrab satu pun. Walaupun aku nakal, dan
pada suatu saat banyak sekali anak membenciku, tapi aku masih punya setidaknya
seorang sahabat baik yang menyukaiku."
Elizabeth mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Martin segera setelah
sarapan. Elizabeth harus memberi makan kelincinya, dan Martin memelihara marmut.
Kandang hewan-hewan peliharaan mereka itu bersebelahan, dan kedua anak itu pun
segera sibuk. "Martin," kata Elizabeth langsung pada persoalannya, seperti kebiasaannya,
"mengapa kau memberikan uang dan barang-barang yang kaucuri pada anak-anak lain,
dan bukannya kaupakai sendiri" Mengapa kau mencurinya kalau toh kau sesungguhnya
tak memerlukannya?" "Hanya karena aku ingin orang lain menyukaiku," kata Martin dengan suara
pelahan. "Kita takkan bisa membuat orang lain menyukai kita" kalau kita tidak
baik hati dan murah hati. Itulah yang dikatakan ibuku padaku. Sesungguhnya itu
bukanlah mencuri, Elizabeth. Aku toh langsung memberikan apa yang kuambil pada
orang lain. Seperti... seperti Robin Hood."
"Tidak, sama sekali tidak sama," kata Elizabeth. "Mencuri adalah mencuri, dari
mana pun kita melihatnya. Bagaimana kau bisa begitu tidak jujur dan keji,
Martin" Kalau aku, bisa mati aku karena malu."
"Rasanya aku juga sangat malu, setelah kau berbicara begitu keras padaku
kemarin," kata Martin dengan suara gemetar. "Aku sama sekali tak tahu harus
berbuat apa." "Ada satu hal yang bisa kaulakukan. Tetapi seorang pengecut tak tahu malu
seperti kau takkan berani melakukannya," kata Elizabeth tegas. "Kalau kau memang
menyesal, maka lebih baik kauakui semua perbuatanmu di Rapat Besar mendatang.
Kalau kau ingin membantu Julian, kau harus mengatakan bahwa kau yang memfitnah
dia. Itu yang harus kaulakukan."
23. Pertandingan Sekolah dan Hal-hal Lain
Waktu pun berlalu dengan lebih menyenangkan. Ada pertandingan lacrosse, melawan
regu sekolah lain yang datang berkunjung. Seluruh warga Sekolah Whyteleafe
datang ke lapangan untuk menonton. Dan Elizabeth ikut bermain.
Julian juga ikut main. Ia pandai segala jenis permainan. Ia pandai berlari dan
menangkap bola. Robert juga ikut main.
"Kita pasti bisa menang," kata Eileen, kapten regu Whyteleafe saat membawa
regunya itu ke lapangan. "Semester ini kita punya banyak pemain kuat dari kelas
satu. Cuma, Elizabeth bersikaplah tenang. Cepat membagi bolamu, dan jangan
langsung mengamuk bila tongkat lawan mengenaimu, atau lawan menendangmu. Julian,
kaubayang-bayangi Elizabeth terus, agar ia bisa melemparkan bola padamu bila ada
kesempatan. Kau paling bagus dalam menangkap bola."
Seru sekali pertandingan itu. Regu tamu juga sangat kuat. Pertandingan seimbang.
Elizabeth tersambar tongkat lawan, sakit sekali, hingga hampir saja ia merasa
harus keluar dari lapangan.
Tetapi dari jauh Julian berteriak, "Enak, ya! Ayo, Elizabeth, gempur terus!
Sebentar lagi kita pasti memperoleh satu gol!"
Elizabeth terpaksa tersenyum. Hilang sedikit rasa sakitnya, dan ia menyerbu
maju. Regu tamu memasukkan tiga. Whyteleafe juga tiga. Para penonton mulai
gelisah melihat arloji masing-masing. Tinggal satu menit!
Elizabeth menerima bola. Ia melaju ke arah gawang. "Lempar padaku!" teriak
Julian. "Musuh di belakangmu!"
Elizabeth cepat melempar. Bola ditangkap tepat oleh Julian. Seorang anggota regu
lawan mengejarnya, mencoba menjatuhkan bola dalam jaringnya. Julian melempar
bola ke arah Elizabeth. Elizabeth menerimanya. Tetapi seorang lawan berlari
kencang ke arahnya, agaknya bermaksud menubruknya agar bolanya terjatuh. Takkan
bisa dihindarkannya! Dengan putus asa Elizabeth melemparkan bola kuat-kuat ke
arah gawang lawan. Suatu lemparan yang sedikit ngawur. Tetapi entah bagaimana, mencapai sasaran!
Bola dibelokkan arahnya oleh serumpun rumput di lapangan, melejit melewati
penjaga gawang dan masuk ke sudut gawang!
Seluruh warga Sekolah Whyteleafe bagaikan gila bersorak-sorai. Peluit bertiup
tanda pertandingan selesai. Kedua regu keluar dari lapangan. Julian menepuk
punggung Elizabeth begitu keras sehingga ia terbatuk-batuk
"Hebat, Elizabeth!" serunya. "Tepat pada waktunya pula! Bagus sekali!"
"Sesungguhnya tak sengaja," kata Elizabeth dengan jujur. "Aku tak bisa melihat
ke mana aku harus melempar. Aku hanya melempar saja. Dan -ternyata masuk!"
Teman-teman sekelasnya mengerumuninya, menyorakinya, menepuk-nepuk punggungnya.
Sungguh menyenangkan. Kemudian kedua regu yang bertanding itu dijamu dengan
mewah. "Kupikir kau harus dijadikan Pengawas sekali lagi," kata Rosemary. "Belum pernah
aku merasa begitu bangga seperti saat kau memasukkan gol terakhir itu tadi,
Elizabeth. Hampir bersamaan dengan berakhirnya waktu! Aku sampai tak bisa
bernapas." Elizabeth tertawa. "Kalau kita bisa dijadikan Pengawas hanya karena dapat
memasukkan gol, alangkah mudahnya!"
Malam itu semua anak begitu gembira, sehingga rasanya malas untuk belajar.
Julian ingin sekali bercanda, membuat suara-suara lucu. Saat itu Pak Leslie
sedang mengawasi anak-anak tadi belajar, dan semua sering memandang pada Julian,
menunggu-nunggu ia akan berbuat entah apa.
Julian ingin sekali menyenangkan anak-anak itu. Ia berpikir-pikir. Suara apa
yang akan ditirukannya" Mesin jahit" Kumbang"
Terpandang olehnya bukunya. Ia belum belajar bahasa Prancis. Ia teringat
ikrarnya, yang dibuatnya di gereja kecil beberapa hari yang lalu. Ia berjanji
tak akan melupakan ikrar tersebut.
Julian menutup kedua telinganya dengan tangan, dan mulai belajar. Mungkin nanti
bila masih ada waktu ia akan berbuat sesuatu. Tetapi kini ia harus belajar lebih
dahulu. Belajar sangat mudah bagi Julian. Otaknya cerdas, daya ingatnya tinggi. Ia telah
banyak membaca buku dan banyak yang diketahuinya.
Dengan mudah ia bisa mengalahkan siapa saja di kelasnya, asal saja ia mau
mencobanya. Namun memang sungguh sulit untuk memulai lagi, setelah begitu lama ia bermalas-
malasan. Tetapi di akhir minggu itu telah tampak hasilnya. Julian berada di urutan
teratas! Ia meraih satu angka lebih tinggi daripada Elizabeth yang juga belajar
dengan tekun. Semua merasa heran, terutama Bu Ranger.
"Julian, tampaknya kalau tidak paling bawah, maka kau berada di tempat paling
atas," katanya saat ia membacakan nilai-nilai minggu itu. "Minggu lalu kau
begitu dekat dengan juru kunci, hingga sesungguhnya kukira kau takkan punya
angka lagi untuk dibacakan minggu ini. Tetapi ternyata kau malah satu angka di
atas Elizabeth yang juga mengumpulkan angka-angka luar biasa baiknya! Aku sangat
bangga pada kalian berdua."
Elizabeth berseri-seri senang. Julian pura-pura tak peduli. Tetapi Bu Ranger


Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu bahwa anak itu hanya berpura-pura. Sesuatu telah mengubah Julian. Kini ia
peduli akan apa saja. Ia menggunakan kecemerlangan otaknya untuk melakukan hal-
hal yang benar dan bukan hanya gurauan belaka.
"Mungkin keadaan ibunyalah yang menyebabkan ia berubah," pikir Bu Ranger.
"Kuharap perubahan ini berlangsung selamanya. Sangat menyenangkan mengajar anak
seperti Julian kalau kebetulan ia menaruh minat untuk belajar. Kuharap saja
angkanya tidak turun minggu depan."
Tetapi Julian tak pernah lagi kehilangan angka. Ia bertekad menepati janjinya.
Ia bertekad tidak akan menyia-nyiakan otaknya.
Hanya Martin yang mendapat nilai buruk minggu ini. Bahkan lebih buruk dari nilai
yang biasa diperoleh Arabella! Martin berada tepat di urutan paling bawah. Bu
Ranger terpaksa berbicara tajam padanya.
"Kau bisa memperoleh nilai yang lebih baik dari ini, Martin," katanya. "Belum
pernah nilaimu serendah ini. Minggu ini kau tampak terlalu banyak melamun."
Sesungguhnya Martin bukan melamun. Ia khawatir. Kini ia merasa memang lebih baik
tidak mengatakan rahasianya pada Elizabeth. Elizabeth ternyata malah
menghardiknya dengan kata-kata pedas yang takkan terlupakan olehnya seumur
hidup. Ia sama sekali tak membantunya!
Bu Ranger juga merasa harus berkata tajam pada Arabella. "Arabella, bosan aku
mengatakan bahwa kau harus berusaha lebih keras. Kau salah satu yang tertua di
kelas ini - bahkan memang yang tertua! Kalau saja kau lebih memperhatikan
pelajaranmu, dan bukan memperhatikan dandananmu, pakaianmu, aku yakin kau bisa
berbuat lebih baik."
Merah wajah Arabella. Baginya Bu Ranger terlalu kejam. "Bila ia berbicara
padaku, selalu tajam. Bila pada anak lain, lembut," keluhnya pada Rosemary.
Ini memang benar, karena Bu Ranger mengetahui bahwa satu-satunya cara untuk
menembus kekeraskepalaan Arabella adalah dengan cara berbicara langsung, di
depan anak banyak Arabella yang pesolek dan pembual itu tentu saja sangat benci
bila dimarahi atau dipermalukan di depan teman-temannya.
Arabella bertekad untuk memperbaiki nilainya. Ia tak lagi terlalu sering
membetulkan kerapian rambutnya, letak gaunnya. Paling tidak itu tak dilakukannya
lagi di dalam kelas. "Tak lama kau akan jadi anak manis tetapi wajar, Arabella," goda Robert, yang
biasanya tak pernah punya minat untuk berbicara dengan gadis cilik pesolek itu.
"Hari ini sama sekali belum terdengar kau bertanya pada Rosemary apakah rambutmu
rapi. Itu pertanda bagus!"
Dan sekali ini Arabella ikut tertawa mendengar olokan ini. Ya, kini ia bertambah
manis secara wajar. Rapat Besar berikutnya tiba. "Kurasa tak akan lama," kata Elizabeth pada Julian,
"tak ada perkara penting. Begitu selesai, kita cepat-cepat menduduki meja kecil
di ruang bermain itu. Aku baru dapat kiriman puzzle. Bisa kita kerjakan berdua."
"Baik," kata Julian.
Tetapi ternyata ada "perkara" yang cukup penting di Rapat Besar itu, hingga
Elizabeth tak punya waktu untuk mengerjakan puzzle. Sesuatu yang sama sekali tak
terduga muncul. Dan Elizabeth merasa paling terkejut di antara semua hadirin.
Rapat mula-mula berjalan seperti biasa. Tak banyak uang yang diserahkan,
walaupun beberapa orang anak telah menerima pos wesel. Kemudian uang saku
dibagikan. "Ada permintaan tambahan?"
"Ya, William," seorang anak kecil bernama Quentin berdiri. "Kandang marmutku
kemarin jatuh. Salah satu sisinya rusak. Bolehkah aku minta uang tambahan untuk
membeli kandang baru?"
"Tapi... harganya cukup mahal," kata William. "Saat ini tak begitu banyak uang
di kotak kita. Tidak dapatkah kau memperbaikinya?"
"Telah kucoba, tetapi hasilnya tidak begitu baik," kata Quentin. "Tadinya kurasa
sudah benar, ternyata marmutku bisa keluar. Kini terpaksa kutitipkan dalam
kandang marmut Martin. Tetapi marmut kami berkelahi."
"Akan kubetulkan kandang marmut itu," kata Julian, dan kali ini ia ingat untuk
berdiri serta mengeluarkan tangannya dari sakunya. "Kurasa takkan memakan waktu
lama." "Terima kasih, Julian," kata William. "Saat ini memang begitu sedikit uang kita.
Tetapi kurasa sebentar lagi akan ada beberapa orang yang berulang tahun, minggu
mendatang mungkin sekali uang kita akan banyak kembali. Ada lagi?"
Rasanya tidak ada yang ingin meminta uang tambahan, mengingat keadaan keuangan
seperti yang dikatakan William itu.
"Ada keluhan?" tanya William. Tak ada.
"Baiklah. Rasanya tak ada lagi yang bisa kita bicarakan minggu ini. Kecuali
sesuatu yang cukup menyenangkan untuk diketahui: Julian minggu ini berada di
urutan teratas di kelasnya, padahal minggu lalu di urutan terbawah." Tiba-tiba
William tersenyum, "Teruskan begitu, Julian."
Itulah salah satu hal yang menyenangkan di Sekolah Whyteleafe, pikir Elizabeth.
Bila berbuat salah, dikutuk. Tetapi bila berbuat baik juga dipuji. Sungguh
menyenangkan! "Kukira Rapat Besar ini bisa dibubarkan. Kalian boleh keluar," kata William
lagi. Semua bangkit berdiri dan siap keluar. Tetapi di antara keributan kaki-
kaki bergerak itu, terdengar sebuah suara berseru, "William, ada sesuatu yang
ingin kukatakan." "Semua duduk!" kata William segera. Dan dengan heran anak-anak kembali ke tempat
duduk masing-masing. Siapa yang berbicara" Hanya satu yang berdiri. Martin
Follett! Wajahnya pucat, dan tampak sekali ia gemetar.
"Apa yang ingin kaukatakan, Martin?" tanya William. "Bicaralah agak keras."
24. Martin Memperoleh Kesempatan
Ternganga Elizabeth memandang Martin. Gilakah anak itu" Beranikah ia membuka
rahasianya di depan anak banyak" Beranikah ia berkata bahwa dialah yang mencuri
uang serta memfitnah Julian"
"Ia seorang yang berhati busuk," pikir Elizabeth, "dan sangat pengecut. Apakah
yang akan dikatakannya?"
Martin menelan ludah satu-dua kali. Sulit sekali baginya memulai bicara. William
melihat bahwa anak itu ketakutan, maka ia berkata lebih lembut kini, "Apa yang
ingin kaukatakan, Martin" Jangan takut. Kita selalu siap untuk mendengarkan apa
saja di Rapat seperti ini."
"Ya, aku tahu," kata Martin memperkeras suaranya, seolah-olah dengan begitu ia
bisa mendapatkan keberanian. "Aku tahu... aku... aku yang mengambil uang itu...
dan barang-barang lainnya. ... Dan aku menaruh uang Elizabeth di saku Julian,
juga permennya, agar tak ada yang mengira bahwa akulah yang berbuat... Orang-
orang akan mengira bahwa yang berbuat Julian...."
Ia berhenti berbicara. Tetapi ia masih berdiri. Tak seorang pun bersuara. Dan
tiba-tiba Martin berkata lagi, "Aku tahu perbuatanku busuk. Dan aku merasa aku
takkan mengaku di hadapan kalian kalau saja tidak terdorong oleh dua hal.
Pertama, aku tak tahan melihat Julian sedih karena ibunya sakit. Maksudku
sungguh keterlaluan jahatnya bila seseorang yang sedang sedih harus pula
menderita oleh perbuatanku. Dan kedua - seseorang telah menuduhku pengecut. Dan
aku yakin aku bukan pengecut."
"Kau memang bukan pengecut, Martin, karena kau begitu berani berdiri di sini dan
mengaku bahwa kau telah berbuat suatu kesalahan besar. Tetapi mengapa kau
mencuri?" tanya Rita.
"Aku tak tahu," jawab Martin. "Sesungguhnya sama sekali tak ada alasan bagiku
untuk mencuri." Elizabeth mendengarkan itu semua dengan rasa heran yang tak terhingga.
Bayangkan! Martin berani mengatakan rahasianya di depan Rapat! Kini Julian sama
sekali terbebas dari tuduhannya dulu. Elizabeth melihat pada Martin. Dan hatinya
jadi merasa iba pada anak itu.
"Ia begitu ingin agar orang lain menyukainya, dan ternyata tak ada yang
menyukainya," pikir Elizabeth. Dan kini ia harus mengakui sesuatu yang pasti
akan membuat orang makin tidak menyukainya. "Sungguh suatu perbuatan yang
berani!" William dan Rita saling berbisik Begitu juga para Pengawas. Apa yang harus
dilakukan pada Martin"
Bagaimana perkara ini bisa ditanggulangi" Tiba-tiba Elizabeth teringat akan apa
yang dibacanya di Buku Besar. Ia segera berdiri.
"William, Rita, kukira aku bisa mengerti Martin. Ia memang tak punya alasan
untuk setiap kelakuannya yang salah itu. Tetapi di balik semua itu ada sebuah
alasan, dan alasan itu bukannya sesuatu yang buruk Pencuriannya bukanlah
pencurian biasa." "Apa maksudmu, Elizabeth?" tanya William heran. "Mencuri adalah mencuri."
"Ya, aku tahu. Tetapi pencurian Martin aneh," kata Elizabeth. "Ia mengambil
barang orang lain agar ia bisa memberikan sesuatu pada orang lain pula. Tak
pernah ia menggunakan hasil curiannya untuk keperluannya sendiri."
"Iya, memang betul," tiba-tiba Rosemary ikut berdiri, lupa akan rasa malunya.
"Ia memberiku uang, dan ia sering membagi-bagikan permen. Tak pernah ia makan
permen itu sendiri."
"William, ada suatu perkara yang mirip perkara ini di Buku Besar.... Ya, buku di
depanmu itu...," kata Elizabeth bersemangat. "Aku merasa sangat heran akan
pribadi Martin. Jahat tetapi baik hati. Berlaku buruk tetapi murah hati.
Pokoknya pasangan sifat-sifat yang saling bertentangan. Nah, kulihat Buku Besar
itu. Dan ada suatu peristiwa yang mirip dengan peristiwa sekarang ini."
"Di mana?" tanya William. Elizabeth maju, naik ke panggung dan membuka-buka
halaman buku tersebut sampai ditemukannya tempat yang dicarinya. "Ini," katanya
menunjuk. "Bagaimana kau tahu ini semua?" tanya Rita.
"Martin telah bercerita padaku apa yang dilakukannya. Aku merasa jijik tadinya,
tetapi aku juga merasa heran," kata Elizabeth. "Karena ingin tahu jawabannya,
maka akhirnya kucari-cari di buku ini. Ternyata memang ada."
William membaca bagian itu. Dan memberikannya pada Rita. Mereka berbicara,
berunding. Elizabeth kembali ke tempatnya. Martin tampak sangat menderita.
Menyesal juga ia telah mengaku. Ia merasa semua orang memandang kepadanya.
Rasanya tak enak diperhatikan seperti itu.
William berbicara lagi dan semua mendengarkan penuh perhatian. "Mencuri adalah
perbuatan yang sangat buruk, apa pun alasannya," katanya dengan suaranya yang
jelas. "Apa pun alasannya. Alasannya bisa bermacam-macam, karena serakah, iri,
dan tidak jujur. Semua alasan tadi sama sekali tak terpuji. Alasan Martin memang
agak berbeda. Ia mencuri karena ingin membeli persahabatan. Ia ingin agar
disukai orang, agar dipuji-puji murah hati."
William berhenti sejenak. "Ia mengambil barang orang, agar bisa memberikannya
pada orang lain. Mungkin ia berpikir bahwa memberi adalah baik, karenanya
mengambil juga baik Tetapi yang diambilnya bukanlah miliknya. Dan tindakannya
itu, apa pun alasannya, tetap mencuri."
Setetes air mata mengalir di pipi Martin. "Aku ingin pergi dari sini," katanya
dengan perlahan, tanpa berdiri lagi. "Aku tak pantas berada di Whyteleafe. Tak
ada gunanya aku di sini terus. Di tempat lain pun tak ada gunanya."
"Kau tidak bisa begitu saja melarikan diri," kata William. "Apa gunanya mencoba
melarikan diri dari dirimu sendiri" Kau punya keberanian, kalau tidak kau takkan
berdiri di sini dan mengakui segala perbuatanmu. Kita semua bisa saja berbuat
salah, kadang-kadang kesalahan yang tolol dan sangat buruk. Itu tak penting,
yang penting adalah apakah kita cukup punya keberanian untuk bertekad
memperbaiki kesalahan kita tadi" Memang kau punya alasan untuk perbuatanmu.
Sebuah alasan yang tolol. Dan kini kau tahu bahwa alasanmu tolol. Dan kau lihat
bahwa perbuatanmu buruk. Nah, itulah hasil perbuatan burukmu."
"Apa maksudmu?" tanya Martin sangat heran.
"Hasil kebiasaan burukmu mengambil barang-barang yang bukan milikmu untuk
membeli persahabatan," kata William. "Kini kau tahu bahwa takkan mungkin kau
membeli persahabatan. Orang menyukaimu karena pribadimu, bukan karena
pemberianmu. Nah, kalau kau sudah tahu itu, maka kau takkan mencoba untuk selalu
berusaha memberi. Dengan begitu kebiasaanmu mengambil milik orang lain tidak ada
lagi." "Yah... benar juga katamu," dan Martin duduk, tetapi kini mulai bersemangat
kembali. "Aku telah merasa berdosa, aku telah merasa malu, aku akan mencoba
memulai kehidupan baru."
"Bagus," kata William. "Datanglah ke kamarku nanti malam, untuk membicarakan hal
ini lebih mendalam. Tetapi kukira kau wajib membayar kembali berapa saja jumlah
yang kauambil dari seseorang-bayarlah sedikit demi sedikit setiap minggu. Juga
kau harus membelikan permen anak-anak yang permennya kauambil. Kukira itu adil."
"Ya, baiklah," kata Martin.
"Dan kita semua akan membantunya dengan memberinya kesempatan serta bersikap
bersahabat padanya," tiba-tiba Elizabeth menambahkan, sangat ingin ikut
membantu. Betapa ia dulu membenci Martin. Tetapi kini ia ingin ikut membantunya!
Ada sesuatu di Whyteleafe yang bisa membuat seseorang berubah pandangan secara
mendadak. Sungguh ajaib. "Agaknya," Rita berkata dengan suara perlahan tapi jelas, "agaknya Elizabeth
jauh lebih bagus tindakannya sebagai seorang Pengawas pada saat ia sudah tidak
jadi Pengawas." Semua tertawa keras. Elizabeth juga tersenyum. "Rita benar," pikirnya heran.
"Agaknya aku lebih bijaksana pada saat aku bukan seorang Pengawas. Oh, betapa
kacaunya pribadiku ini."
Akhirnya Rapat berakhir. Martin mendekati Julian dan menggumam, "Maafkan aku,
Julian," sambil menunduk dan tak berani menatap pandangan Julian.
"Pandanglah aku," perintah Julian. "Jangan sampai kau punya kebiasaan untuk
tidak berani memandang mata seseorang pada saat kau berbicara dengannya.
Pandanglah aku, Martin, dan ucapkan kata-kata penyesalanmu."
Martin mengangkat kepala, dan agak takut memandang Julian, mengira akan melihat
pandang penuh marah dan jijik. Tetapi yang terlihat adalah kehangatan dan
persahabatan. Lalu ia mengucapkan permintaan maafnya dengan sebaik-baiknya.
"Maafkan aku. Aku telah bersikap amat memalukan. Aku telah menyesal. Dan takkan
lagi bermuka dua serta mencuri," katanya sambil menatap mata Julian.
"Bagus," kata Julian "Kini aku sedikit lebih menyukaimu daripada sebelumnya.
Baiklah, aku memaafkanmu, kalau itu bisa menenangkan jiwamu. Lihat, itu William
memanggilmu." Martin pergi dengan William. Apa yang dikatakan William padanya tak ada yang
tahu. Tetapi Rosemary yang melihat Martin keluar dari kamar William melaporkan
bahwa anak itu tampak jauh lebih berbahagia.
"Aku akan bersahabat dengannya," kata Rosemary kemudian. "Ia membutuhkan
sahabat. Aku tak pernah membencinya. Aku selalu berpikir dia baik hati. Jadi
mudah saja, aku akan tetap menganggapnya baik hati."
Elizabeth memandang heran pada Rosemary yang biasanya pendiam dan pemalu itu.
Astaga, ini ada lagi anak yang pribadinya berubah! Siapa akan menduga bahwa
Rosemary yang biasanya selalu akur saja pada pendapat orang lain, telah berkata
sedemikian tegas bahwa ia akan menjadi sahabat Martin"
"Kita takkan bisa mengerti perubahan yang bisa terjadi pada pribadi seseorang,"
pikir Elizabeth. "Kita tak bisa menarik kesimpulan bahwa seorang anak yang
pemalu akan menjadi pemalu seterusnya, dan anak nakal akan tetap nakal. Mereka
akan cepat berubah bila mendapat perlakuan yang tepat. Bahkan Arabella mungkin
juga akan meninggalkan sifat pesolek dan pembualnya. Ah, tidak. Itu harapan yang
terlalu berlebihan."
Tak ada waktu lagi untuk mengerjakan puzzle. Waktunya hanya cukup untuk
merapikan ruang bermain, dan kemudian waktu makan tiba. Setelah itu tidur.
"Ada-ada saja, bukan?" kata Julian sambil menyeringai. "Yuk, kita makan."
Di ruang makan Bu Ranger merasa terganggu terus oleh suara lalat hijau yang
mendesis-desis. Tetapi ke mana pun ia mencari, lalat tersebut tak bisa
ditemukannya. "Di mana lalat itu?" tanyanya. "Baru bulan begini kok sudah muncul. Cepat usir,
jangan sampai bertelur di daging kita!"
Lalat itu mendesis makin keras. Pak Leslie yang mejanya berdekatan dengan Bu
Ranger jadi sibuk sendiri, mencari sampai ke bawah meja. Sungguh mengganggu.
Elizabeth tiba-tiba melihat pada Julian. Julian menyeringai dan mengangguk "Oh,
itu suara Julian!" pikir Elizabeth. Dan tiba-tiba ia tertawa. Semua orang jadi
tahu. Dan mereka tertawa juga, bahkan Bu Ranger ikut tertawa.
"Kukira tadi itu tepat sekali untuk bercanda," kata Julian sewaktu berpamitan
dengan Elizabeth, karena waktu tidur telah tiba. "Kita sudah terlalu tegang di
Rapat Besar tadi. Selamat malam, Elizzzzzzzzzzzabeth!"
25. Pengalaman Elizabeth Hari-hari berlalu cepat. Belajar, bekerja, bermain, naik kuda, berkebun, merawat
hewan-hewan peliharaan, dan berjalan-jalan mengamati alam. Tak terasa betapa
minggu demi minggu dilewati.
"Tiba-tiba saja akhir semester sudah begitu dekat!" kata Elizabeth. "Rasanya
tengah semester lewat begitu saja tanpa kesan."
"Mari kita jalan-jalan mengumpulkan bahan untuk kelas pengetahuan alam," ajak
Julian. "Tak usah kau membantu John sore ini. Ia sudah begitu banyak punya
pembantu-satu pasukan anak-anak kecil itu. Dengan begitu kita punya waktu satu
setengah jam sore nanti. Kita bisa menjelajahi bukit dan pergi ke telaga."


Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah," Elizabeth melihat ke luar jendela. Udara cerah di sinar matahari
bulan April ini. "Akan indah sekali di perbukitan. Mungkin kita bisa menemukan
mawar liar." Sore itu keduanya berangkat, membawa kaleng pengumpul bahan untuk kelas IPA
mereka. "Kita bisa cari telur katak di telaga. Pasti banyak sekali," kata Julian. "Juga
kecebong." Berdua mereka mendaki bukit. "Kita harus pulang sebelum saat minum teh," kata
Elizabeth. "Itulah peraturan yang harus kita patuhi, kecuali kalau kita sudah
mendapat izin. Jamku tepat. Aku tak ingin mendapat teguran. Selama dua minggu
ini aku telah berusaha menjadi murid terbaik."
Julian tertawa. Ia berpikir bahwa tak ada yang berusaha begitu keras untuk
menjadi murid terbaik seperti Elizabeth. Namun ternyata ia lebih sering pula
mendapat kesulitan. Tak pernah bisa diramalkan apa yang bisa terjadi pada
Elizabeth. "Selalu saja ia jadi sumber suatu peristiwa," kata Julian dalam hati. "Ia begitu
cepat naik darah, lugas, tapi jujur. Yah, kami berdua semester ini begitu sering
terlibat dalam peristiwa menegangkan. Mudah-mudahan sisa semester ini tenang-
tenang saja." Mereka menjelajahi perbukitan, memetiki bunga-bunga liar yang tumbuh di tempat-
tempat terpencil. Matahari bersinar cukup terik. Elizabeth terpaksa mencopot
jaketnya, dan membawanya saja.
"Indah sekali pemandangan," kata Elizabeth. "Lihat danau itu, Julian! Indah,
bukan?" Memang. Biru bening bagai kaca, memantulkan sinar matahari April. Danau itu
sunyi. Tak seorang pun terlihat. Kedua anak itu gembira karena mereka bisa
berburu telur kodok dan kecebong dengan bebas. Ternyata telur kodok tak mereka
peroleh, tetapi kecebong sangat banyak, hingga tak lama botol yang mereka bawa
telah penuh. "Aku capek sekali," kata Elizabeth. "Yuk kita istirahat dulu."
"Istirahatlah. Aku akan naik bukit itu," kata Julian. "Mungkin ada lumut yang
agak aneh. Duduklah di sini. Tunggu aku."
Julian berangkat. Dan tak berapa lama Elizabeth mengira ia telah kembali. Tetapi
yang datang ternyata bukanlah Julian seorang anak kecil berumur sekitar enam
tahun, berpakaian sangat bagus, dengan mata biru dan pipi merah sehat. Anak itu
terengah-engah seakan baru saja lari jauh.
Heran juga Elizabeth melihat anak itu sendirian. Begitu kecil sudah bermain-main
sendirian dekat danau. Tetapi Elizabeth tidak memikirkannya lagi. Ia
membaringkan tubuhnya dan memejamkan mata, menikmati hangatnya sinar matahari.
Didengarnya anak kecil itu bermain-main sendiri di tempat tak jauh darinya.
Kemudian ia mendengar suara sesuatu tercebur dengan keras, tepat bersamaan
dengan terdengarnya suatu jeritan ketakutan. Elizabeth bangkit.
Anak itu telah lenyap. Tetapi agak jauh dari tepi danau terlihat air
bergelombang. Kemudian sebuah tangan kecil sekilas muncul.
"Ya ampun! Anak itu tercebur!" seru Elizabeth. "Pasti ia merambat di dahan besar
itu, kemudian jatuh ke danau. Mengapa ia di sini sendirian?"
Seorang wanita muncul, berlari dan berseru, "Michael" Di mana kau" Kau tadi yang
menjerit?" Kebingungan ia berpaling pada Elizabeth. "Ia lari dariku. Kau lihat
dia" Seorang anak laki-laki kecil?"
"Ia jatuh ke danau," kata Elizabeth. "Apakah ia dapat berenang?"
"Oh, tidak, tidak! Ya ampun! Dia pasti terbenam! Cepat, cari pertolongan!" jerit
wanita itu semakin kebingungan.
Tak akan cukup waktu untuk minta tolong. Elizabeth cepat-cepat membuka
sepatunya. "Akan kucoba mencari dia," katanya.
Ia berjalan masuk air. Mula-mula masih bisa dijalani, tetapi tiba-tiba dasar
danau jadi curam dan Elizabeth tercebur. Ia harus berenang.
Ia dapat berenang dengan baik. Tetapi berat juga berenang dengan memakai
pakaian. Gerakannya jadi berat. Namun ia bisa maju. Lagi pula ia tak harus jauh-
jauh berenang, segera juga anak itu bisa dicapainya. Cepat ia mengingat-ingat
cara menyelamatkan anak tenggelam.
Dipegangnya anak itu, ditariknya mendekat. Langsung si anak mencengkeramnya,
hampir membenamkannya. "Lepaskan!" teriak Elizabeth. "Lepaskan! Biar aku yang memegang kau, jangan
kaupegang aku! Tetapi anak itu begitu ketakutan. Ia mencengkeram kuat-kuat. Elizabeth terbenam,
megap-megap kemasukan air. Tetapi berhasil juga ia melepaskan rangkulan erat
anak itu di lehernya, dan ia memegang si anak, membalikkannya dan berenang
sambil menyeretnya mundur ke tepi danau.
Segera ia mencapai bagian dangkal, dan ia mencoba berdiri. Si anak terlepas dari
tangannya, terbenam lagi. Dan di dalam air tangannya langsung mencengkeram
rumput di dasar danau, hingga tak bisa mengambang lagi.
Elizabeth hampir putus asa. Ia menyelam. Dilihatnya kaki anak itu dan ditariknya
kuat-kuat ke atas. Untung Si anak terlepas dari rumput-rumput di dasar itu. Tetapi kini ia sama
sekali tak bergerak. "Ya ampun... dia pingsan!" pikir Elizabeth ketakutan, menariknya ke tepi. Lemas
sekali. Tak bergerak Si wanita pengasuh anak tadi meratap-ratap, sangat ketakutan memeluk si anak
Tolol benar, pikir Elizabeth. "Gerakkan lengannya ke atas ke bawah, ke atas ke
bawah, seperti ini," katanya. "Itu akan membuat udara masuk kembali ke paru-
parunya dan ia akan bisa bernapas kembali. Lihat! Nah, lakukan itu ...! Aku
capek sekali." Dengan diawasi Elizabeth, pengasuh tadi mencoba melakukan apa yang dikatakannya.
Kemudian Elizabeth juga turun tangan dan tiba-tiba si anak mulai bernapas lagi!
"Oh. Dia hidup! Dia hidup!" seru pengasuh. "Michael! Mengapa kau lari dariku?"
"Lebih baik cepat dibawa pulang," kata Elizabeth. Ia basah kuyup. Bisa masuk
angin nanti!" Pengasuh tersebut menggendong si Kecil dan bergegas pergi. Ia menangis dan lupa
mengucapkan terima kasih pada gadis kecil yang telah membantunya tadi.
Elizabeth membuka pakaiannya, memerasnya agar kering. Badannya gemetar
kedinginan. Tiba-tiba Julian muncul. Ia ternganga keheranan memandang Elizabeth. "Sedang apa
kau" Kau basah kuyup!" katanya.
"Aku baru saja menolong seorang anak. Ia hampir terbenam." kata Elizabeth. "Wah,
aku bisa dimarahi Ibu Asrama. Untung tadi jaketku sudah kubuka. Paling tidak
jaket ini bisa menutupi bajuku."
"Kita harus cepat pulang," kata Julian, mengambilkan jaket Elizabeth. "Bisa
terlambat nanti. Apalagi kau harus berganti baju! Oh, Elizabeth, jalan-jalan
saja bisa membuatmu terlibat kesulitan seperti ini."
"Masa aku harus membiarkan saja anak itu terbenam?" tukas Elizabeth. "Ia lari
dari pengasuhnya." Mereka bergegas pulang. Lonceng minum teh berbunyi saat mereka mencapai halaman
sekolah. "Aku akan ke ruang makan dulu dan mengatakan kau agak terlambat," kata Julian.
"Tapi cepat-cepatlah!"
Elizabeth berusaha bergerak cepat. Tetapi ia kedinginan dan menggigil, dan lagi
pakaiannya yang basah sulit sekali dibuka. Ditaruhnya semuanya di lemari
pemanas, dan berharap mudah-mudahan Ibu Asrama tak memperhatikan pakaian-pakaian
itu. Mudah-mudahan bisa diambilnya sebelum Ibu Asrama tahu.
"Ini bukan salahku," kata Elizabeth dalam hati. sementara ia mengeringkan diri
dengan handuk. "Kalau tidak ku tolong, anak itu pasti terbenam."
Ternyata Ibu Asrama memang tidak melihat baju basah Elizabeth. Ia bisa
mengambilnya dengan diam-diam. Waktu minum teh, Bu Ranger memang menegurnya,
tetapi tak apalah. "Oh, Julian, botol kecebongku ketinggalan di tepi danau," kata Elizabeth pada
Julian selesai minun teh. "Tolol sekali aku, bukan?"
"Kau bisa memakai sebagian punyaku," kata Julian. "Aku dapat banyak sekali.
Memang, kalau kita sibuk dengan mencebur ke danau dan menolong anak kecil, pasti
ada sesuatu yang kelupaan."
"Jangan katakan pada orang lain," kata Elizabeth tertawa. "Ibu Asrama tak tahu
bajuku basah. Anak-anak lainnya akan selalu menggodaku kalau tahu aku punya
kebiasaan mencebur ke danau hanya untuk menolong seorang anak."
Keduanya tertawa. Julian tidak melihat betapa sulitnya Elizabeth menarik anak itu ke tepi danau,
betapa sulitnya ia mencoba memberikan bantuan pernapasan. Ia hanya menyangka
bahwa ada seorang anak terlalu ke tengah, dan Elizabeth dengan berjalan di dasar
yang dangkal menolongnya ke pinggir. Mungkin Elizabeth kemudian terpeleset
sehingga bajunya basah semua. Demikian pikir Julian. Dan tentu saja karena ia
mengira begitu ringan kejadiannya, ia tak berkata sedikit pun tentang itu pada
siapa saja. Jadi tak seorang pun tahu. Elizabeth juga segera melupakannya, karena ia begitu
rajin belajar kini agar tidak terlalu jauh kalah dari Julian. Karena Julian kini
menggunakan otaknya sebaik-baiknya, Elizabeth harus juga bekerja dan belajar
lebih keras dari biasanya, apalagi Julian dengan santai bisa mencapai nilai-
nilai tertinggi. "Sungguh menyebalkan," kata Elizabeth, main-main menghantam punggung Julian.
"Dulu aku berusaha keras membujukmu agar kau tidak bermalas-malasan, agar kau
menggunakan otakmu, tapi apa yang terjadi" Aku kehilangan kedudukanku di urutan
pertama! Aku akan mengadukanmu di Rapat nanti malam, Julian. Akan kutuduh kau
mencuri kedudukanku, yang menjadi hakku di urutan pertama. Jadi hati-hatilah!"
"Tak akan mengasyikkan Rapat Besar kali ini. Sobat," kata Julian. "Sayang juga
akhir-akhir ini kita tak pernah berbuat keributan lagi. Kita kini bagaikan emas
24 karat!" Tetapi Julian keliru. Rapat Besar malam itu sungguh sesuatu yang tak terlupakan!
26. Akhir yang Membahagiakan
Anak-anak Whyteleafe sangat menyukai Rapat Besar mingguan itu. Bahkan walaupun
tak ada persoalan penting, senang juga berkumpul-kumpul dan mengetahui bahwa
mereka saling membantu dengan uang saku, serta melihat ketua mereka memimpin
Rapat, dibantu dengan para Pengawas yang berwajah bersungguh-sungguh.
"Dengan ikut Rapat Besar kita merasa sebagai suatu kesatuan," kata Jenny. "Kita
merasa menjadi bagian yang penting dari seluruh sekolah kita, dan kita merasa
memiliki andil dalam menjaga nama sekolah kita."
Tinggal dua minggu lagi semester itu berakhir. Tak ada yang memasukkan uang ke
kotak. Tetapi dua-tiga minggu sebelumnya banyak yang berulang tahun, karenanya
kotak uang itu cukup banyak berisi. Maka cukup banyak uang yang bisa diberikan,
bila ada yang meminta tambahan.
Setelah pembagian uang saku, William mengizinkan John memperoleh tambahan
sepuluh shilling untuk membeli ember penyiram. Dua buah. Ukuran besar.
"Ember penyiram yang ada telah bocor dan tak bisa diperbaiki," kata John. "Air
cepat habis. Yang satu terlalu kecil, sehingga tak banyak membantu kami. Musim
panas yang lalu banyak tanaman yang mati karena kekurangan air, maka kali ini
aku ingin kita bersiap-siap. Dengan dua ember baru lagi, kurasa kesulitan air
itu bisa teratasi." Di musim semi itu kebun sekolah tampak indah. Di lereng-lereng bunga-bunga
krokus bagaikan kobaran api indah. Berbagai bunga lain juga merajalela,
menyebarkan keindahan dan keharuman di mana-mana. John dan kawan-kawannya telah
bekerja baik sekali. Seluruh warga sekolah merasa ikhlas untuk membelikannya
ember, gerobak pendorong, sekop-apa saja. Mereka bangga akan John dan hasil
kerja kerasnya. Tak ada lagi yang meminta uang tambahan. Juga tak ada yang mengajukan keluhan.
Agaknya Rapat Besar itu akan segera ditutup. Tetapi, tidak. Tiba-tiba Bu Best,
Bu Belle, dan Pak Johns meninggalkan tempat mereka di barisan paling belakang
dan berjalan ke depan, ke panggung. Ada apa ini" Hening seketika ruangan itu.
Semua heran. Apa yang akan dikatakan oleh para pimpinan sekolah itu"
Tergopoh-gopoh William dan Rita menyiapkan kursi untuk kedua guru kepala serta
Pak Johns. Semua juga bertanya-tanya dalam hati apa yang akan terjadi. Jarang
sekali para pimpinan itu maju dan ikut berbicara. Apalagi tanpa diminta oleh
Rapat. Tetapi agaknya yang akan disampaikan bukanlah sesuatu yang buruk, sebab
Bu Best dan Bu Belle tampak tersenyum-senyum.
Ketiganya duduk, berbicara sebentar, dan kemudian Bu Belle berdiri. "Anak-anak,"
katanya, "jarang sekali kami maju kemari dan berbicara pada kalian dalam Rapat
Besar seperti ini- kecuali bila kalian yang meminta, tentu. Tetapi kali ini kami
ingin mengatakan sesuatu. Sesuatu yang cukup menyenangkan, karenanya aku ingin
mengatakannya di hadapan kalian semua."
Semua menahan napas. Apakah kira-kira" tak ada yang tahu.
Bu Belle mengambil sepucuk surat dari tasnya, membukanya. "Aku baru saja
menerima sepucuk surat," katanya. "Dari Kolonel Helston yang tinggal tak jauh
dari sekolah kita ini. Baiklah kubacakan isinya:
Ibu yang terhormat-empat hari yang lalu anak saya Michael yang masih kecil, lari
meninggalkan pengasuhnya. Ia kemudian jatuh ke dalam danau di dekat sekolah
Anda. Pasti ia akan tenggelam kalau tidak ditolong oleh seorang murid perempuan
dari Whyteleafe. Anak perempuan itu masuk ke dalam danau, dan berenang untuk
mencapai Michael. Michael mencengkeramnya, dan hampir saja membuatnya ikut
tenggelam. Tetapi ia berhasil membalikkan Michael serta menyeretnya ke tepi. Di
tepi Michael lepas dari pegangannya, tenggelam di antara rerumputan di bawah
air. Ia tersangkut di rumput-rumput itu dan tak diragukan lagi sudah benar-benar
tenggelam. Tapi gadis dari Whyteleafe tadi tanpa rasa takut menyelam,
membebaskannya dari rumput-rumput air, dan menariknya ke atas. Pada saat sudah
berada di tepi, ia mengajari pengasuh Michael cara memberi bantuan pernapasan
untuk Michael. Ia juga ikut membantu melakukannya. Akibatnya, Michael siuman
kembali dan pada saat ini ia sehat walafiat bersama saya di rumah.
Sewaktu peristiwa itu terjadi, saya sedang bepergian. Hari ini saya baru saja
pulang dan diberi-tahu tentang kejadian luar biasa ini. Saya tak tahu siapa nama
gadis kecil dari Whyteleafe itu. Pengasuh Michael hanya berkata bahwa jaketnya
sudah pasti jaket Whyteleafe. Karenanya dengan surat ini saya mohon agar Anda
mengatakan nama anak tersebut pada saya, agar saya bisa mengucapkan terima kasih
secara pribadi, serta memberinya hadiah untuk tindakannya yang cepat dan tepat
itu. Ia telah menyelamatkan nyawa anak saya - anak satu-satunya keluarga kami -
dan saya akan selalu merasa berutang budi pada gadis kecil dari Whyteleafe itu,
siapa pun namanya. Hormat saya -Edward Helston Semua mendengar dengan penuh perhatian dan keheranan. Siapa anak Whyteleafe itu"
Tak seorang pun tahu. Tetapi dia pastilah seseorang yang pulang dengan memakai
pakaian basah kuyup. Dengan begitu pastilah menarik perhatian. Tetapi mereka tak
pernah melihat salah seorang kawan mereka basah kuyup! Anak-anak itu saling
pandang. Julian memandang Elizabeth dengan mata bersinar. Ia tahu. Elizabeth
yang disebut di surat tadi. Ia menggamit sahabatnya itu. Muka Elizabeth merah.
"Ah, peristiwa sekecil itu saja diributkan," pikirnya.
"Nah," kata Bu Belle melipat kembali suratnya, "surat ini membuat aku dan Bu
Best merasa bangga tak habis-habisnya. Kami tidak tahu siapa yang dimaksud. Kami
telah bertanya pada Ibu Asrama, apakah ada yang datang memberinya pakaian basah
untuk dikeringkan. Tetapi Ibu Asrama sama sekali tak bisa membantu kami. Tak ada
anak yang datang dengan pakaian basah. Jadi sampai sekarang kami tak tahu siapa
dia." Hening sekali. Elizabeth tak berkata apa-apa sepatah pun. Semua menunggu.
"Aku ingin tahu siapa dia," kata Bu Belle. "Aku ingin mengucapkan selamat atas
perbuatannya yang gagah berani itu, yang tak pernah dikatakannya pada siapa pun.
Seluruh sekolah kita pasti merasa bangga padanya."
Elizabeth diam saja. Ia tak sanggup berdiri dan berkata bahwa dialah yang telah
melakukan perbuatan itu. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa malu. Ia
toh tak berbuat banyak, hanya menyeret anak itu keluar dari air. Begitu saja
kenapa harus diributkan! Isyarat Julian tak dihiraukannya. Hingga akhirnya
Julian tak tahan lagi, dan ia berdiri!
"Anak itu Elizabeth!" kata Julian, begitu keras hingga lebih mirip teriakan.
"Siapa lagi kalau bukan Elizabeth kita" Sesuai sekali dengan kebiasaannya,
bukan, masuk ke air tanpa berpikir lagi?"
Semua berpaling pada Elizabeth. Elizabeth tak berani bergerak, wajahnya serasa
panas. Julian menepuk-nepuk punggungnya, ikut merasa bangga.
Dan tepuk tangan mulailah, makin lama makin gemuruh, diringi sorak-sorai dan
berbagai suara keras lainnya. Begitu ribut, hingga terasa atap akan terbang
karena gemuruh suara mereka. Elizabeth memang pernah nakal. Suka marah. Sering
berbuat salah. Tetapi semua anak tahu, hatinya lembut dan manis, bagaikan apel
segar yang ranum. Plok, plok, plok, horeee, horeee, bang, bang, plok, plok, plok!
Suara gemuruh itu seakan tak henti-hentinya. Gemuruh menggetarkan gedung. Ribut
memekakkan telinga. Sampai akhirnya Bu Belle mengangkat tangannya. Dan suara itu
pun berkurang. Berhenti. "Jadi anak itu... Elizabeth!" kata Bu Belle. "Mestinya sudah kuduga dari semula.
Ada-ada saja yang terjadi pada Elizabeth, bukan" Majulah ke depan, Elizabeth."


Si Badung Jadi Pengawas Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan sangat malu Elizabeth berjalan maju. Dan benar-benar Bu Belle, Bu Best,
dan Pak Johns menjabat tangannya secara resmi, serta berkata bahwa mereka bangga
padanya! "Kau mengharumkan nama Whyteleafe, Elizabeth," kata Bu Belle dengan mata
cemerlang, "dan kau juga membuat dirimu memperoleh suatu kehormatan. Kami juga
ingin memberimu hadiah untuk keberanianmu itu. Apakah ada sesuatu yang sangat
kauinginkan?" "Mmmm.. " Elizabeth berpikir-pikir, "mmm..." Ia tak bisa memutuskan. Semua
menunggu. Julian menunggu, bertanya dalam hati apa kira-kira yang akan diminta
Elizabeth. Mungkinkah ia akan meminta jadi Pengawas lagi"
"Aku ingin agar Anda memberi satu hari liburan tambahan bagi sekolah kita," kata
Elizabeth akhirnya, ragu-ragu sejenak ketika merasa bahwa permintaannya mungkin
terlalu besar. "Begini... di kota tetangga kita akan diadakan sebuah Pasar Malam
besar-besaran. Kalau Anda memberi kami libur sehingga kami bisa mengunjunginya,
alangkah senangnya! Kudengar sebetulnya banyak sekali yang ingin mengunjungi
Pasar Malam itu, sayang tidak ada liburan. Jadi... mungkinkah Anda memberi
liburan itu?" Sorak-sorai gemuruh tiba-tiba bagaikan meledak lagi. "Hidup Elizabeth!" seru
beberapa orang. "Sungguh baik hatinya memintakan sesuatu untuk seluruh murid,
dan bukannya untuk dirinya sendiri," seseorang berkata.
Bu Belle tersenyum dan mengangguk. Dan ketika semua sudah tenang kembali ia
berkata, "Kurasa kita bisa mengabulkan permintaan Elizabeth itu. Bukankah
demikian. Bu Best?" Bu Best mengangguk pula.
Elizabeth tersenyum. Merasa sangat puas. Mungkin saja ia pernah mendapat malu
besar, mungkin saja pernah sebagian besar murid Whyteleafe menganggapnya berhati
buruk, tetapi sekarang ia telah menghapus nama buruk itu dengan memberi hadiah
sehari liburan ke Pasar Malam!
Elizabeth mengucapkan terima kasih dan berpaling untuk berjalan kembali ke
tempatnya. Tetapi seseorang berdiri, minta waktu untuk berbicara. Julian.
"Ada apa, Julian?" tanya Bu Belle.
"Saya berbicara atas nama seluruh anak kelas satu," kata Julian. "Kami ingin
tahu, apakah Elizabeth bisa dipilih kembali menjadi Pengawas, malam ini juga"
Kami berpendapat bahwa ia pantas menerima hadiah lain. Dan kami ingin ia menjadi
Pengawas kami. Sekarang kami mempercayainya dan menyukainya."
"Setuju! Setuju! Setuju!" seru Jenny dan beberapa orang anak kelas satu lainnya.
Mata Elizabeth cemerlang bagaikan bintang. Betapa senangnya dipilih sebagai
Pengawas oleh suara mufakat seluruh kelasnya, karena seluruh temannya
menghendakinya, sangat menghendakinya! Oh, sungguh indah semua ini!
"Tunggu, Elizabeth," kata Bu Belle pada Elizabeth yang tadi telah melangkah
pergi. Dipegangnya tangan gadis kecil itu, ditariknya mendekat, dan ia pun
bertanya, "Apakah kau ingin menjadi Pengawas lagi?"
"Oh, tentu saja," kata Elizabeth dengan kegembiraan meluap. "Aku yakin sekarang
aku bisa berbuat lebih baik. Berilah aku kesempatan lagi untuk mencobanya. Aku
takkan mengecewakan siapa pun lagi. Aku akan bersikap baik dan berpikir lebih
matang." "Baiklah. Aku percaya padamu," kata Bu Belle. "Kita tidak akan melakukan
pemilihan seperti biasanya. Kau boleh jadi Pengawas mulai saat ini juga. Susan
masih tetap sebagai Pengawas juga. Sekali ini bolehlah kita mempunyai seorang
Pengawas tambahan. Seorang Pengawas yang sangat istimewa!"
Maka Elizabeth pun duduk di meja Pengawas, bangga dan bahagia. Semua juga merasa
senang, termasuk Arabella. Bagaimana tak akan senang bila sudah jelas Elizabeth
lebih mementingkan keinginan seluruh murid Whyteleafe daripada kepentingannya
sendiri. Bukannya meminta hadiah untuk dirinya, Elizabeth malah meminta hadiah
untuk seluruh murid! "Sungguh menyenangkan Rapat tadi," kata Julian saat anak-anak keluar dari ruang
senam, ribut berbicara dan tertawa. "Semester ini memang cukup mengasyikkan. Aku
gembira telah masuk ke sekolah ini. Aku yakin Whyteleafe sekolah terbaik di
dunia." "Ya, memang," kata Elizabeth. "Oh, Julian, aku merasa sangat bahagia!"
"Sudah sepantasnya begitu," kata Julian. "Kau ini memang anak aneh. Kau anak
paling nakal. Tetapi juga anak paling baik. Kau musuhku terbesar. Tetapi juga
sahabatku terakrab. Tapi apa pun dirimu, Elizabeth, kau selalu Elizabeth kami,
dan kami bangga punya teman kau."
Djvu: kiageng80 Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Re edited by: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Geger Di Selat Bantai 2 Pendekar Romantis 04 Patung Iblis Banci Mantra Penjinak Ular 2
^