The Demigod Files 3
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan Bagian 3
miring ke satu sisi, dan Annabeth merasa tubuhnya melayang.
"Ayo bangunlah," hardik gadis itu. "Kita harus bergerak."
Annabeth membuka mata. Dunia berputar. Sirine tanda bahaya melengking dari
kejauhan. Annabeth terlentang di permukaan rumput yang tajam. Gadis pirang dari kereta
membungkuk di atasnya, menarik lengannya.
Annabeth bangkir. Dia merasa seolah seseorang sedang memalu paku panas ke
dalam bilah rusuknya. Saat penglihatannya membaik, dia menyadari dia beruntung
masih hidup. Sekitar lima puluh meter darinya, kereta subway terguling dari
relnya. Gerbong-gerbong itu kini tak lebih dari rongsokan yang tergeletak miring,
zig-zag, dengan asap yang terus mengepul. Hal itu mengingatkan Annabeth pada
karkas seekor drakon (sialnya, Annabeth telah beberapa kali melihat bangkai
binatang itu.) Dia tak melihat adanya korban manusia biasa. Semoga mereka semua telah
meninggalkan kereta di stasiun Fulton Street. Meskipun begitu"tetap saja ini
bencana besar. Annabeth mengenali tempat itu: Rockaway Beach. Beberapa puluh meter di
sebelah kiri, lahan kosong dan pagar kawat ayam roboh di atas pasir pantai yang
kekuningan dan penuh bercak hitam serta sampah. Laut bergelora di bawah langit
yag kelam. Di sebelah kanan Annabeth, tak jauh dari rel kereta, berdirilah jajaran
menara apartemen yang begitu bobrok, hingga seluruhnya tampak seperti gedung
mainan yang dibentuk dari kardus lemari es.
"Yoo-hoo." Si Gadis Karate mengguncang bahu Annabeth. "Aku tahu mungkin
kau masih terguncang, tapi kira harus segera pergi. Aku tak mau diinterogasi polisi
saat aku masih menyeret makhluk ini."
Gadis itu berlari kecil di sebelah kiri Annabeth. Di belakangnya, di atas permukaan
aspal yang pecah si monster Labrador Hitam melompat-lompat mirip ikan yang
keluar dari air, moncong dan kakinya diikat dengan tali yang berpendar keemasan.
Annabeth menatap gadis muda itu. Lehernya dikalungi sebuah rantai berkilau
dengan bandul jimat perak"sebuah simbol mirip ankh Mesir yang digabung dengan
manusia kue jahe. Tongkat dan bumerang tergeletak di sebelahnya"keduanya diukir dengan aksara
hieroglif dan gambar yang aneh, jelas bukan gambar monster Yunani.
"Siapa kau?" hardik Annabeth
Gadis itu mengulas senyum tipis. "Biasanya aku tak memberitahukan namaku pada
orang asing. Demi alasan keamanan terhadap sihir dan semacamnya. Tapi aku
harus menghormati seseorang yang nekat berduel melawan monster kepala dua
dengan sebuah ransel biasa." Dia mengulurkan tangannya. "Sadie Kane."
"Annabeth Chase." Mereka bersalaman.
"Senang bertemu denganmu, Annabeth," ucap Sadie. "Sekarang mari kita ajak
anjing kita ini jalan-jalan."
Mereka pergi tepat pada waktunya.
Beberapa menit kemudian, truk damkar dan mobil polisi telah mengelilingi
bangkai kereta. Ratusan orang berkumpul untuk menonton dari gedung apartemen
tak jauh dari sana. Annabeth tak kuasa menahan rasa mual. Bintik-bintik merah menari-nari di depan
matanya, tapi dia tetap membantu Sadie menyeret ekor anjing itu secara terbalik di
sepanjang permukaan pasir. Sadie tampak senang menyeret monster itu di atas
sebanyak mungkin batu dan pecahan botol yang tertangkap oleh matanya.
Makhluk itu menggeram dan menggekuat-menggeliut. Aura merahnya berpendar
kian terang, sementara tali keemasan pengikatnya memudar.
Biasanya Annabeth senang berjalan-jalan di pantai. Laut mengingatkannya kepada
Percy. Tapi hari ini dia kelaparan dan kelelahan. Tas ranselnya terasa lebih berat
dari biasanya, dan disihir si monster anjing membuatnya ingin muntah.
Selain itu, Rockaway Beach memang tempat yang suram. Setahun yang lalu angin
topan besar meluluh-lantahkan tempat itu dan hingga kini jejaknya masih terlihat
jelas. Beberapa gedung apartemen di kejauhan tinggal puing-puing, jendela-jendela
yang ditambal papan dan dinding batako penuh dengan coretan grafiti. Balok kayu
lapuk, bongkahan aspal dan batang besi bengkok mengotori pantai. Tiang-tiang
dari dermaga yang telah hancur mencuat dari permukaan air. Laut sendiri
menampar-nampar pesisirnya dengan jengkel, seolah ingin mengatakan: Jangan
acuhkan aku. Bisa saja aku kembali dan menyempurnakan kerusakan itu.
Akhirnya mereka tiba di sebuah truk es krim yang diabaikan dan setengah
terpendam di dalam pasir. Terlukis di sisinya, gambar kusam jajanan lama yang
seketika membuat perut Annabeth semakin keroncongan.
"Berhenti dulu," gumamnya.
Annabeth melepaskan si monster anjing dan berjalan terhuyung-huyung mendekati
truk, lalu melorot dengan bahu bersandar di pintu penumpang.
Sadie duduk bersila di depannya. Dia merogoh ke dalam ranselnya dan
mengeluarkan sebuah botol keramik kecil dengan tutup sumbat kayu.
"Ini." Dia mengulurkannya kepada Annabeth. "Rasanya enak. Minum saja."
Annabeth mencermati botol itu dengan saksama. Terasa berat dan hangat, seolah
botol itu dipenuhi kopi panas. "Uh ... cairan ini tak akan memancarkan kilat emas
dan meledak bumm lalu menghancurkan wajahku, kan?"
Sadie mendengus. "Itu ramuan penyembuh, Bodoh. Temanku, Jaz, dia pembuat
ramuan penyembuh terbaik sedunia."
Annabeth masih ragu. Sebelumnya dia pernah mencicipi berbagai ramuan yang
dibuat oleh anak-anak Hecate. Biasanya ramuan mereka terasa seperti air
comberan, tapi paling tidak ramuan itu dibuat khusus untuk demigod. Apa pun itu,
ramuan pemberian Sadie jelas tidak diperuntukkan bagi demigod.
"Aku tidak yakin mau mencobanya," ucap Annabeth. "Aku ... berbeda denganmu."
"Tak seorang pun sama denganku," tanggap Sadie. "Keistimewaanku sangat unik.
Tapi jika maksudmu kau bukan penyihir, yah, aku langsung menyadari itu.
Biasanya kami berduel dengan tongkat panjang dan tongkat sihir." Dia menepuk
tongkat putih berukir bumerang gading yang tergeletak disisinya. "Meskipun kita
berbeda, aku yakin ramuanku cukup manjur untukmu. Kau baru bergulat dengan
monster. Kau juga bertahan dari reruntuhan kereta itu. Tak mungkin kau gadis
biasa." Annabeth tertawa lemah. Dia merasa kekurangajaran gadis itu menyegarkan
hatinya. "Tidak, aku jelas bukan gadis biasa. Aku seorang demigod."
"Ah." Sadie mengetukkan jemarinya pada tongkat sihir lengkungnya. "Maaf, ini
hal baru bagiku. Seorang demon god?"
"Demigod." Annabeth membetulkan. "Setengah dewa, setengah manusia."
"Oh, baiklah." Sadie menghembuskan napas lega. "Aku menampung Isis di dalam
kepalaku beberapa kali. Siapa teman spesialmu?"
"Teman"bukan begitu. Aku tidak menampung siapa pun. Ibuku adalah seorang
dewi Yunani, Athena."
"Ibumu." "Ya." "Seorang dewi. Dewi Yunani."
"Ya." Annabeth menyadari wajah teman barunya memucat. "Sepertinya tak ada
hal semacam itu dalam, um, dari tempat asalmu."
"Brooklyn?" Sadie tercenung. "Tidak. Sepertinya tidak ada. Di London. Di Los
Angeles. Seingatku aku tidak pernah ketemu satu demigod Yunani pun di semua
tempat itu. Meski begitu, untuk orang yang pernah berurusan dengan babun ajaib,
dewi kucing, dan kurcaci yang memakai Speedos, seharusnya aku tidak gampang
terkejut mendengar hal semacam itu."
Annabeth meragukan pendengarannya. "Ada kurcaci yang memakai Speedos?"
"Mmm." Sadie melirik si monster anjing yang masih menggeliat-menggeliut dalam
belitan tali emas. "Tapi masalahnya begini. Beberapa bulan lalu ibuku memberiku
peringatan. Dia menyuruhku untuk mewaspadai dewa-dewi dan berbagai jenis
lain." Botol di tangan Annabeth menghangat. "Dewa-dewi lain. Tadi kau menyebutkan
nama Isis. Dia adalah dewi sihir Mesir. Tapi ... dia bukan ibumu?"
"Bukan," jawab Sadie. "Maksudku, ya. Isis memang dewi sihir Mesir. Tapi dia
bukan ibuku. Ibuku adalah sesosok hantu. Sebenarnya ... dia adalah penyihir dalam
Dewan Kehidupan, seperti aku, tapi dia meninggal. Jadi?"
"Tunggu sebentar." Kepala Annabeth berdenyut-denyut tak tertahankan, dia pikir
tak ada lagi hal yang membuat sakitnya lebih parah. Dia mencabut sumbat botol
dan menenggaknya. Dia menduga lidahnya akan segera mengecap air comberan, tapi sebaliknya
ramuan itu terasa seperti sari apel hangat. Seketika, pandangannya jadi lebih jelas.
Perutnya tidak lagi bergolak.
"Wow," ucap Annabeth.
"Sudah kubilang." Sadie menyeringai. "Jaz adalah ahli ramuan terhebat."
"Jadi tadi kau bilang ... Dewan Kehidupan. Sihir Mesir. Kau seperti anak yang
dijumpai pacarku." Senyum Sadie luntur. "Pacarmu ... bertemu seseorang seperti aku" Penyihir lain?"
Beberapa meter dari mereka, si monster anjing menggeram dan meronta. Sadie
tampak tak peduli, tapi Annabeth mulai cemas sebab cahaya tali sihir itu kian
redup. "Kejadiannya beberapa minggu lalu," lanjut Annabeth, "Percy menceritakan hal
konyol tentang pertemuannya dengan seseorang bocah di dekat Moriches Bay.
Tampaknya anak itu menggunakan aksara hieroglif untuk melontarkan kutukan.
Dia membantu Percy meringkus monster buaya raksasa."
"Putra Sobek!" sembur Sadie. "Tapi kakakkulah yang berduel dengan monster itu.
Dia tidak bercerita jika?"
"Apakah kakakmu bernama Carter?" tanya Annabeth.
Auta terang keemasan berpendar di sekeliling kepala Sadie"sebuah halo aksara
hieroglif yang melambangkan kerutan dahi, kepalan tangan, dan gambar garis
orang mati. "Hingga saat ini," gerutu Sadie, "nama kakakku adalah si Karung Tinju.
Tampaknya dia belum memberi tahuku semua yang dialaminya."
"Ah." Annabeth memendam hasratnya untuk segera menyingkir dari teman
barunya. Dia takut hieroglif itu bisa meledak. "Maaf."
"Tidak perlu minya maaf," sergah Sadie. "Aku mau saja menonjok wajah kakakku
hingga menjadi bubur. Tapi sebelum itu, ceritakan padaku semuanya"tentang
dirimu, demigod, Yunani, dan segala hal yang mungkin berhubungan dengan
anjing iblis itu." Annabeth menceritakan segala yang diketahuinya.
Biasanya dia tidak gampang percaya, tapi dia telah memiliki banyak pengalaman
dalam menilai orang. Dia langsung menyukai Sadie: sepatu bot, rambut bergaris
ungu, ceplas-ceplos .... Menurut pengalaman Annabeth, orang yang tak bisa
dipercaya tak akan berkata terus terang saat ingin menghancurkan wajah
seseorang. Orang yang tidak bisa dipercaya tak akan membantu seseorang yang
pingsan dan menawarkan ramuan penyembuh,
Annabeth memberikan gambaran tentang Perkemahan Blasteran. Dia menceritakan
sebagian petualangannya saat berduel denga dewa-dewi, raksasa, dan Titan. Dia
menjelaskan saat dia melihat sesosok monster singa-serigala-kelomang di stasiun
West Fourth Street dan memutuskan untuk membuntutinya,
"Hingga sekarang aku di sini." Annabeth mengakhiri ceritanya.
Bibir Sadie bergetar. Tampaknya dia hendak menjerit atau menangis. Tapi yang
terjadi sebaliknya, dia tertawa cekikikan.
Annabeth memberengut. "Ada yang lucu dari ceritaku?"
"Tidak, tidak ...," dengus Sadie. "Tapi ... ini memang lumayan lucu. Lihat saja, kita
duduk di pantai sambil membicarakan dewa-dewi Yunani. Dan sebuah
perkemahan untuk demigod, dan?"
"Semua itu nyata!"
"Oh, aku percaya padamu. Ini terlalu konyol jika tidak nyata. Hanya saja, setiap
duniaku menjadi lebih aneh, kupikir: Baiklah. Kini keanehan yang aku alami sudah
maksimal. Paling tidak aku menduga aku sudah tahu semuanya. Pertama, aku
menemukan bahwa aku dan adikku adalah turunan dari firaun dan kami memiliki
kekuatan sihir. Oke. Tidak masalah. Lalu aku mengetahui bahwa ayahku yang
telah mati menyatukan jiwanya dengan Osiris dan menjadi raja orang mati. Luar
biasa! Kenapa tidak" Lalu pamanku mengambil alih Dewan Kehidupan dan
membawahi ratusan penyihir di seluruh dunia. Lalu pacarku ternyata adalah
seorang pemuda penyihir hibrifa/dewa pemakaman abadi. Sampai disitu aku
membatin, Tentu saja! Ayo tenangkan dirimu dan maju terus! Aku akan
menyesuaikan diri! Kemudian pada suatu hari, Kamis, tiba-tiba kau muncul, la-dida, dan berkata: Oh, omong-omong, dewa-dewi Mesir adalah sebagian kecil dari
kemustahilan kosmik. Kita juga harus mencemaskan keberadaan dewa-dewi
Yunani! Horeee!" Annabeth tak sanggup mengikuti seluruh ucapan Sadie"seorang pacar dewa
pemakaman?"tapi diakuinya, menertawakan kegilaan ini jauh lebih sehat daripada
bergelung dan menangis. "Oke." Annabeth mengakuinya. "Semua ini terdengar mustahil, tapi sepertinya
masuk akal juga. Guruku, Chiron ... bertahun-tahun dia bilang padaku bahwa
dewa-dewi zaman dulu hidup abadi sebab mereka adalah bagian dari hasil
peradaban. Jika dewa-dewi Yunani bertahan beberapa milenium ini, kenapa dewadewi Mesir tidak bertahan juga?"
"Semakin ramai, semakin meriah," seloroh Sadie. "Tapi, omong-omong,
bagaimana dengan anjing kecil ini?" Dia memungut sebutir kerang kecil dan
melemparkannya tepat di kepala si monster Labrador, membuatnya jengkel.
"Beberapa saat lalu ia dipajang di meja perpustakaan kami"artefak yang tak
berbahaya, mungkin cuma pecahan batu dari sebuah patung. Beberapa saat
kemudian ia hidup dan kabur dari Brooklyn House. Ia mengoyak ruang sihir kami,
melabrak penguin-penguin Felis, dan menangkis mantra-mantraku seolah itu angin
lalu." "Penguin?" Annabeth menggelengkan kepalanya. "Tidak. Lupakan pertanyaanku."
Dia mencermati monster anjing yang menggeliat dalam jerata tali itu. Aksara
Yunani merah dan hieroglif berpusar mengelilinginya seolah berusaha membentuk
simbol-simbol baru"sebuah pesan yang hampir bisa dibaca Annabeth.
"Apakah tali itu sanggup menahannya lebih lama?" tanya Annabeth. "Tampaknya
tali itu melemah." "Jangan cemas." Sadie meyakinkannya. "Tali itu pernah mengikat dewa-dewi
sebelumnya. Dan bukan dewa-dewi minor. Tapi yang luar biasa besar."
"Um, oke. Kau bilang anjing itu adalah bagian dari sebuah patung. Kau tahu
patung apa?" "Tidak tahu." Sadie mengangkat bahunya. "Cleo, pustakawan kami, baru mulai
mencari informasinya saat di Fido ini terbangun."
"Tapi anjing ini pasti ada hubunganya dengan monster yang satunya"si kepala
serigala dan singa. Aku menduga mereka juga baru saja terbangun. Keduanya baru
saja bersatu dan belum terbiasa bekerja sama sebagai satu tim. Mereka
menumpang kereta itu untuk mencari sesuatu"kemungkinan anjing ini."
Sadie memain-mainkan bandul kalung peraknya. "Sesosok monster dengan tiga
kepala: satu kepala singa, satu kepala serigala, dan satu kepala anjing. Ketiganya
menyembul dari sebuah ... apa nama benda kerucut itu" Cangkang" Obor?"
Kepala Annabeth kembali berputar. Sebuah obor.
Dia berusaha menggali ingatan lamanya"mungkin sebuah gambar yang pernah
dilihatnya dalam buku. Sebelumnya dia tidak menduga bahwa contong monster itu
adalah sesuatu yang bisa dipegang, sesuatu yang bisa dipegang oleh sebuah tangan
raksasa. Tapi sebuah obor kurang sesuai ....
"Contong itu adalah ujung tongkat raja." Dia sadar. "Aku tidak ingat dewa mana
yang memilikinya, tapi tongkatnya berkepala tiga adalah simbol dewa itu.
Barangkali dia adalah dewa ... Yunani, tapi dia juga berasal dari sekitar Mesir?"
"Alexandria," saran Sadie.
Annabeth menatap matanya. "Kau tahu dari mana?"
"Yah, meski aku bukan penggila sejarah seperti kakakku, tapi aku pernah
mengunjungi Alexandria. Aku ingat sesuatu tentang kota itu pernah menjadi ibu
kota saat Yunani menguasai Mesir. Penguasa kala itu Alexandria Agung, kan?"
Annabeth mengangguk. "Itu benar. Alexandria menaklukkan Mesir. Setelah dia
mati, jendralnya, Ptolemy mengambil alih kekuasaannya. Dia memaksa orang
Mesir untuk menganggapnya sebagai firaun atau raja mereka. Jadi, dia
menggabungkan dewa-dewi Mesir dan Yunani lalu menciptakan dewa-dewi baru."
"Sepertinya berantakan sekali," ucap Sadie. "Aku lebih suka jika dewa-dewiku
tidak digabung seperti itu."
"Tapi ada satu dewa tertentu ... aku lupa namanya. Makhluk berkepala tiga ini ada
di puncak tongkatnya ...."
"Berarti tongkatnya besar sekali," tambah Sadie. "Aku tidak akan senang bertemu
seseorang yang mampu membawa tongkat semacam itu."
"Ya ampun." Annabeth menegakkan punggung. "Itu dia! Tongkat itu bukan hanya
ingin menyatukan dirinya"ia juga sedang mencari tuannya."
Sadie memberengut. "Aku tidak suka dengan semua ini. Kita harus memastikan?"
Monster anjing itu menggonggong. Tali ajaib pengikatnya meledak bak granat,
menyemburkan utas-utas keemasan di seluruh penjuru pantai.
Ledakan itu melontarkan Sadie hingga jungkir balik berkali-kali di atas bukir pasir.
Annabeth terempas menghatam truk es krim. Sekujur tubuhnya kaku bak timah.
Udara tersedot habis dari paru-parunya.
Jika monster anjing itu berniat membunuhnya, kini ia bisa melakukannya dengan
mudah. Tapi ia malah berlari ke daratan, lalu lenyap di antara rerumputan.
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa sadar yang tangan Annabeth mencari-cari sesuatu untuk dijadikan senjata.
Jemarinya menggenggam erat tongkat sihir lengkung Sadie. Rasa ngilu
membuatnya megap-megap. Tongkat gading itu membakar kulitnya seperti es
kering. Annabeth berusaha melepas tongkat itu, tapi jemarinya tak mau menurut.
Kini tongkat gading itu mengeluarkan asap panas dan bentuknya berubah hingga
panasnya mereda sampai akhirnya Annabeth memegang belati perunggu langit"
persis seperti belati yang dimilikinya selama bertahun-tahun.
Dia mencermati belati di tangannya. Lalu dia mendengar eragan dari bukit pasir
tak jauh darinya. "Sadie!" Annabeth berusaha berdiri.
Saat dia sudah dekat dengan si penyihir, Sadie telah duduk tegak, meludahkan
pasir dalam mulutnya. Banyak rumput laut tersangkut di rambutnya, dan tas
ranselnya menjerat salah satu sepatu botnya, tapi tampangnya berang alih-alih
terluka. "Dasar Fido tolol!" makinya. "Aku tak akan memberinya biskuit anjing!" Dia
mengerutkan dahi saat melihat pisau Annabeth. "Dari mana kau dapat belati itu?"
"Uh ... ini tongkat sihirmu," jawab Annabeth. "Aku memegangnya dan ... aku tidak
tahu. Tongkat itu berubah menjadi belati yang biasa kugunakan."
"Huh. Benda sihir memang punya pemikirannya sendiri. Simpan saja pisau itu.
Aku masih punya banyak di rumah. Kau tahu Fido lari ke mana?"
"Ke sana." Annabeth mengacungkan belati barunya.
Sadie melirik ke daratan. Matanya melebar. "Oh ... baiklah. Ke arah badai. Ini hal
baru." Annabeth mengikuti arah pandang Sadie. Setelah rel subway, dia tak melihat apa
pun kecuali menara apartemen yang diabaikan, dipagari, dan tampak merana
diterangi warna senja. "Badai apa?"
"Kau tak bisa melihatnya?" tanya Sadie. "Tunggu sebentar." Dia mengurai tas
ransel dari sepatunya lalu merogoh ke dalamnya. Dia mengeluarkan sebuah botol
kecil yang lain, yang ini lebih gemuk dan lebar mirip wadah krim pelembab wajah.
Dia membuka penutupnya dan mencolek lendir pink dari dalam wadah. "Biar
kuoleskan ini ke kelopak matamu."
"Waduh, tidak deh."
"Jangan manja. Ini sangat aman ... yah, paling tidak untuk penyihir. Mungkin juga
aman untuk demigod."
Annabeth belum yakin, tapi dia menutup matanya. Sadie mengoleskan lendir itu,
kelopak mata Annabeth terasa menggelenyar dan hangat, seperti balsam mentol.
"Baiklah," ucap Sadie. "Kau boleh membuka mata sekarang."
Annabeth membuka mata dan jantungnya serasa copot.
Dunia tampak disaput oleh aneka warna. Permukaan tanah menjadi rembus
pandang"serupa agar-agar yang beringkat-tingkat hingga ke bawah. Udara beriakriak penuh dengan tirai-tirai yang berpendar, masing-masing tampak berbeda tapi
begitu ketara, bak video berkualitas gambar tinggi yang ditata membelakangi satusama lain. Aksara Yunani dan hieroglif melayang dan berpusar mengelilingi
Annabeth, menyatu lalu pecah saat bertabrakan. Annabeth merasa seolah sedang
melihat dunia dalam tingkatan atomik, segala yang tak kasatmata kini terungkap,
disaput cahaya ajaib. "Kau"selama ini kau selalu melihat dunia seperti ini?"
Sadie mendengus. "Demi dewa-dewi Mesir, ya tidaklah! Ini akan membuatku
sinting. Aku harus berkonsentrasi untuk melihat Duat. Itulah yang sedang kau
lakukan"mengintip ke dalam sisi magis dunia."
"Aku ...." Annabeth terbata-bata.
Biasanya Annabeth adalah orang yang percaya diri. Setiap kali dia berurusan
dengan manusia biasa, dia memiliki kebanggaa pribadi karena pengetahuan rahasia
yang diketahuinya. Dia memahami dunia para dewa-dewi dan monster. Manusia
biasa tak mengetahui hal itu. Bahkan dibanding demigod yang lain, Annabeth
selalu menjadi yang paling berpengalaman. Dia menyelesaikan jauh lebih banyak
misi daripada yang pernah dibayangkan oleh pahlawan lain, dan dia masih hidup.
Kini, saat menatap tirai-tirai warna yang terus beralih, Annabeth merasa bak
kembali menjadi gadis berumur enam tahun, yang baru saja menyadari betapa
mengerikan dan berbahayanya dunia ini.
Dia terpuruk di atas pasir. "Otakku buntu saat ini."
"Jangan berpikir," saran Sadie. "Tarik napas. Matamu akan menyesuaikan. Ini
mirip berenang. Jika kau membiarkan tubuhmu mengambil alih, secara naluriah
kau langsung tahu apa yang harus dilakukan. Jika kau panik, kau akan tenggelam."
Annabeth berusaha rileks.
Dia mulai memahami pola ganjil di udara: arus mengalir di antara lapisan-lapisan
realitas, jejak asap sihir menguar dari mobil-mobil dan gedung-gedung. Rongsokan
kereta berpendar hijau. Sadie punya aura keemasan, dengan kabut yang
membentang di punggungnya mirip sayap.
Tempat yang tadi diduduki si monster anjing kini berpendar merah seperti arang
yang terbakar. Sulur semerah darah mengular dari tempat itu, terus menjulur ke
arah kaburnya si monster.
Annabeth memusatkan pandangannya ke gedung apartemen terlantar di kejauhan,
dan detak jantungnya semakin cepat. Bagian dalam menara itu meyala merah"
cahaya menyorot melalui jendela yang diganjal papan dan retakan dinding. Awan
kelabu pekat berpusar di atas kepala, dan lebih banyak lagi sulur-sulur energi
merah mengular ke arah gedung, dari segala penjuru, seolah mereka tertarik ke
dalam sebuah vorteks. Pemandangan itu mengingatkan Annabeth pada Charybdis, monster pusaran air
laut yang pernah dihadapinya di Lautan Monster. Itu bukan ingatan yang
menyenangkan. "Gedung apartemen itu," ucap Annabeth. "Menarik cahaya merah dari segala
penjuru." "Betul," tanggap Sadie. "Dalam dunia sihir Mesir, merah artinya buruk. Itu berarti
iblis dan chaos." "Jadi si monster anjing itu mengarah ke arah sana," tebak Annabeth. "Untuk
bersatu dengan bagian lain dari kepala tongkat?"
"Dan menemukan tuannya, aku berani bertaruh."
Annabeth sadar dirinya harus bangkit. Mereka harus bergegas. Tapi saat melihat
lapisan-lapisan sihir yang berpusar, dia ragu untuk bergerak.
Dia menghabiskan sepanjang hidupnya untuk mempelajari Kabut"batas sihir yang
memisahkan dunia manusia biasa dari dunia dewa-dewi dan monster Yunani. Tapi
dia tak pernah menduga Kabut benar-benar serupa dengan tirai.
Tadi Sadie menyebutnya apa"Duat"
Annabeth bertaya-tanya apakah Kabut dan Duat ada hubungannya, atau mungkin
adalah hal yang sama. Jumlah lapisan yang sanggup dilihatnya sungguh
mengherankan"mirip permadani yang dilipat-lipat ratusan kali.
Annabeth tak yakin sanggup berdiri. Jika panik, kau akan tenggelam.
Sadie mengulurkan tangan. Matanya memancarkan simpati sepenuhnya. "Dengar,
aku tahu ini terlalu sulit untuk dipercaya, tapi tak ada yang berubah. Kau masih
seorang demigod tanggung yang bersenjatakan tas ransel, sama seperti
sebelumnya. Dan sekarang kau malah memiliki belati yang cantik."
Annabeth merasakan pipinya memerah. Biasanya dia yang memberikan nasihat
dan motivasi. "Ya. Ya, tentu saja." Dia menggenggam tangan Sadie. "Ayo pergi mencari dewa
itu." Gedung itu dikelilingi pagar kawat ayam, tapi mereka bisa menyelinap melalui
sebuah lubang dan berjalan melintasi padang alang-alang dan puing-puing
bangunan. Efek lendir ajaib pada kelopak mata Annabeth mulai hilang. Dunia tidak lagi
tampak berlapis-lapis dan bercorak warna-warni, tapi dia tidak
mempermasalahkannya. Dia tidak membutuhkan penglihatan khusus untuk
mengetahui bahwa gedung itu penuh dengan sihir jahat.
Di hadapannya, pendar merah di jendela tampak semakin terang. Papan tripleks
bekertak. Dinding batako berderak. Burung hieroglif dan manusia garis mewujud
di udara dan melayang-layang di dalam. Bahkan grafiti tampak bergetar di dinding,
seolah berbagai simbol itu ingin hidup.
Makhluk apa pun yang ada di dalam sana, kekuatannya menarik Annabeth juga,
sama seperti daya tarik si Kelontang di atas kereta.
Dia mencengkeram belati perunggu barunya. Dia sadar bahwa belati itu terlalu
kecil dan pendek untuk memberikan perlindungan yang layak. Tapi itulah alasan
mengapa Annabeth menyukai belati: Belati membuat pikirannya tetap terfokus.
Putri Athena tak boleh mengandalkan senjata tajam jika dia masih bisa
menggunakan kecerdasannya. Kecerdasan memenangkan peperangan, bukan
kekuatan otot belaka. Celakanya otak Annabeth sedang buntu saat ini.
"Andai aku tahu apa yang akan kuhadapi," gumamnya saat mengendap-endap ke
arah gedung. "Aku suka mengumpulkan banyak informasi dulu"mempersenjatai
diriku dengan pengetahuan."
Sadie menggerutu. "Kau sama saja dengan kakakku. Katakan padaku, seberapa
sering para monster memberimu kesempatan mencari tahu tentang mereka lebih
dulu sebelum mereka menyerang?"
"Tidak pernah," aku Annabeth.
"Nah, benar, kan" Carter"dia selalu duduk berjam-jam di perpustakaan, membaca
segala sesuatu tentang iblis jahat yang mungkin akan kami hadapi, mencatat segala
informasi penting dan membuatkan lembar catatan khusus agar aku mau
mempelajarinya. Padahal saat iblis menyerang, mereka bahkan tak memberi kami
peringatan apa pun, dan mereka tak mau bersusah-payah memperkenalkan diri
mereka terlebih dahulu."
"Jadi, apa prosedur operasi standar yang biasa kau lakukan?"
"Hantam langsung," sahut Sadie. "Berpikir sambil berjalan. Jika diperlukan,
meledakkan musuh hingga berkeping-keping."
"Hebat. Kau pasti cocok dengan teman-temanku."
"Aku anggap itu sebuah pujian. Ke pintu itu, bagaimana menurutmu?"
Satu set anak tangga mengarah ke pintu masuk ruang bawah tanah. Sebilah papan
selebar sepuluh sentimeter dipaku melintang di ambang pintu, tampak seperti
usaha menjauhkan penerobos dengan setengah hati, tapi pintunya sendiri sedikit
terbuka. Annabeth baru akan meyarankan agar mereka meneliti ruangan itu dengan
seksama. Dia tidak memercayai jalan masuk yang semudah itu, tapi Sadie tidak
menunggu. Penyihir muda itu berlari kecil menuruni tangga dan menyelinap ke
dalam. Satu-satunya pilihan Annabeth adalah mengikutinya.
Sesaat kemudian terungkap, seandainya mereka melewati pintu yang lain, mereka
pastilah langsung tewas. Bagian dalam gedung mirip tempurung, tingginya tiga puluh lantai, berbagai benda
berpusar mengelilingi ruangan, batu bata, pipa, papan, dan berbagai macam
reruntuhan lain, bersama dengan simbol Yunani, hieroglif, serta pendar neon
merah energi yang memusat. Pemandangan itu sangat mengerikan sekaligus
indah"seolah sebuah tornado berhasil dikurung, disinari cahaya dibagian
tengahnya, dam dipajang secara permanen.
Karena tadi mereka masuk di tingkat bawah tanah, Sadie dan Annabeth terlindungi
oleh tangga yang menjorok ke dalam"semacam parit di dalam beton. Jadi tadi
mereka memasuki pusaran lewat pintu lantai pertama, tubuh mereka pasti langsung
tercerai-berai. Saat Annabeth memandangi pusaran itu, sebuah baja penopang bangunan terbang
di atas kepalanya dengan kecepatan mobil balap. Lusinan batu bata melesat seperti
merah menabrak selembar tripleks terbang, seketika lembaran kayu padat itu
terbakar bak tisu toilet.
"Lihat ke atas," bisik Sadie.
Dia menunjuk ke puncak gedung. Di atas sana lantai ke tiga puluh belum ambruk
sepenuhnya"lantai remuk mencuat di udara. Sulit untuk melihat tembus pusaran
puing dan kabut merah, tapi Annabeth dapat melihat wujud manusia kekar yang
berdiri tepat di tubir, kedua lengannya terentang seolah menyambut kedatangan
badai. "Apa yang dilakukanya?" gumam Sadie.
Annabeth berjengit saat pipa tembaga spiral berdesing beberapa sentimeter di atas
kepalanya. Dia memandangi reruntuhan terbang itu dan mulai menyadari pola-pola
di dalamnya, seperti yang dilakukannya saat melihat Duat: pusaran lembaran papan
dan paku terbang bersamaan untuk membentuk sebuah rangka dasar, sekumpulan
batu bata menata diri seperti bongkah Lego hingga membentuk bangunan
lengkung. "Dia sedang membangun sesuatu." Annabeth menyimpulkan.
"Membangun apa, sebuah bencana?" tanya Sadie. "Tempat ini mengingatkanku
pada Dunia Chaos. Dan percayalah kepadaku, itu bukan tempat berlibur yang
menyenangkan." Annabeth memandang sekilas. Dia bertanya-tanya apakah Chaos artinya sama bagi
orag Mesir dan Yunani. Annabeth nyaris celaka saat berada di Dunia Chaos, dan
jika Sadie pernah ke sana juga ..., para penyihir pasti jauh lebih tangguh dari
penampilannya. "Pusaran ini tidak acak," ucap Annabeth. "Lihat ke sana" Dan ke sana" Puingpuing menjadi satu, membentuk semacam struktur di dalam gedung ini."
Sadie mengerutkan kening. "Bagiku ini tampak seperti batu di dalam blender."
Annabeth masih bingung cara menjelaskannya, tapi dia sudah cukup lama
mempelajari teknik arsitektur hingga mampu mengenali detail kecil dari fenomena
di depannya. Pipa-pipa tembaga saling menyambung seperti arteri dan vena dalam
sebuah sistem sirkulasi. Bagian-bagian dari dinding saling menyatu hingga
membentuk sebuah bentuk yang baru. Di banyak tempat, batu bata atau besi
penompang lepas dari dinding luar dan masuk ke dalam pusaran.
"dia sedang menganibalkan gedung ini," terang Annabeth. "Aku tak tahu berapa
lama dinding luar itu akan bertahan"
Sadie mengutuk pelan. "Tolong katakan kepadaku dia tidak sedang membangun
sebuah piramida. Apa saja, pokoknya jangan piramida."
Annabeth heran kenapa seorang penyihir Mesir membenci piramida, tapi dia
menggelengkan kepala. "Perkiraanku ini bentuknya seperti menara kerucut. Hanya
ada satu cara untuk memastikannya."
"Kita tanya orang yang membangunnya." Sadie mendongak ke arah sisa lantai ke
tiga puluh. Pria di tubir belum bergerak, tapi Annabeth berani bersumpah pria itu membesar.
Cahaya merah berputar mengelilinginya. Dalam siluet, tampaknya dia mengenakan
topi tabung panjang ala Abraham Lincoln.
Sadie menyandang tas ranselnya. "Jika dialah dewa misterius kita cari, mana
mons?" Sebelum Sadie menyelesaikan kalimatnya, raungan monster tiga kepala menembus
keriuhan di dalam gedung. Di ujung gedung yang berlawanan, satu set pintu logam
menjeblak terbuka dan si Kelomang melompat masuk.
Sayangnya, kini monster itu telah berkepala tiga"serigala, singa, dan anjing.
Cangkang spiral panjangnya memendarkan inskripsi hieroglif dan Yunani. Sama
sekali tak memedulikan puing-puing terbang, si monster menerjang ke dalam
ruagan dengan enam kaki depannya, lalu melompat ke udara. Badai
mengangkatnya ke atas, dan terbang berputar di tengah kekacauan itu.
"Dia menghampiri tuannya," ucap Annabeth. "Kita harus menghentikannya."
"Asyik," gerutu Sadie. "Ini akan menguras tenagaku."
"Apa yang menguras tenagamu?"
Sadie mengangkat tongkat panjangnya. "N"dah."
Sebuah aksara hieroglif emas berkobar di atas mereka:
Seketika mereka berdua mengelilingi gelembung cahaya.
Tulang belakang Annabeth menggelenyar. Dia pernah terkurung dalam gelembung
perlindungan seperti sebelumnya, saat dia, Percy dan Grover menggunakan
mutiara ajaib untuk melarikan diri dari Dunia Bawah. Pengalaman itu membuatnya
... klaustrofobia. "Gelembung ini akan melindungi kita dari pusaran itu?" tanya Annabeth.
"Semoga saja." Butiran keringat sebesar biji jangung menghiasi wajah Sadie. "Ayo
jalan." Dia menaiki tangga terlebih dahulu.
Tak perlu menunggu lama, gelembung itu segera mendapat ujian. Sebuah meja
dapur terbang pasti akan menebas kepala mereka, tapi meja itu hancur saat
menghantam gelembung pelindung Sadire. Pecahan marmer terbang di sekitar
tempat melukai mereka. "Bagus sekali," seru Sadie. "Sekarang kau tahan tongkat ini sementara aku berubah
menjadi seekor burung."
"Tunggu. Apa?" Sadie menatapnya jengkel. "kita berpikir sambil berjalan, bukan" Aku akan
terbang ke atas dan menghentikan monster dengan tongkat itu. Kau berusaha
mengalihkan perhatian dewa itu ... entah siapa dia. Coba dapatkan perhatiannya."
"Baiklah, tapi aku bukan penyihir. Aku tak bisa mempertahankan sebuah mantra."
"Gelembung ini akan bertahan beberapa menit, selama kau masih menggunakan
tongkat itu." "Tapi bagaimana denganmu jika kau keluar dari gelembung?"
"Aku punya ide. Mungkin bisa berhasil"
Sadie mengambil sesuatu dari dalam ranselnya"patung binatang kecil. Dia
membungkus patung itu dengan jarinya dan mulai berubah wujud.
Annabeth pernah menyaksikan orang berubah wujud menjadi binatang
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelumnya, tapi tetap saja dia hampir tak sanggup melihatnya. Sadie mengerut
sepuluh kali lebih kecil dari ukuran aslinya. Hidungnya memanjang hingga
menjadi paruh. Rambut, pakaian, dan raselnya lumer menjadi lapisan bulu yang
mengilat. Dia menjadi seekor burung pemangsa kecil"mungkin seekor elang"mata
birunya kini kuning keemasan. Cakarnya masih mencengkeram patung kecil itu.
Lalu Sadie membentangkan sayap dan melontarkan dirinya ke dalam pusaran
badai. Annabeth berjengit saat serangkaian batu bata menabrak temannya"tapi entah
bagaimana benda pejal itu menembus tanpa mengubah Sadie menjadi bubur bulu.
Sosok Sadie berkedip seolah dia sedang melayang di lapisan perairan yang dalam.
Annabeth menyadari bahwa Sadie berada di dalam Duat"terbang ke dalam
tingkatan realitas yang berbeda.
Kejadian itu membuat berbagai gagasan meruah dalam benak Annabeth. Jika
seorang demigod bisa belajar menembus dinding seperti itu, berlari menembus
tubuh monster, maka .... Tapi itu bisa dibicarakan lain waktu. Sekarang dia harus bergerak. Dia menaiki
tangga dan memasuki pusaran badai. Batang besi dan pipa tembaga berdentangan
saat menanabrak gelembung perlindungannya. Cahaya keemasan gelembung
berkedip semakin lemah setiap kali dihantam benda-benda pejal itu.
Dia mengangkat tongkat Sadie dengan tangan kiri dan belati barunya dengan
tangan kanan. Di tengah pusaran arus sihir, bilah perunggu Langit mengerjap
lemah mirip obor yang kehabisan minyak.
"Hei!" pekiknya ke arah tubir di atas sana. "Tuan Manusia Dewa!"
Tak ada tanggapan. Suaranya mungkin tak sanggup menembus badai.
Atap lengkung gedung itu mulai berderak. Plester berjatuhan dari dinding dan
terbang bersama benda lainnya, mirip gula kapas yang diputar.
Si Elang Sadie masih hidup, melayang ke arah monster berkepala tiga yang terus
terbang spiral ke atas. Makhluk itu sudah setengah jalan ke puncak bangunan,
kaki-kakinya terus memancal dan pendar cangkangnya kian terang, ia seolah
menyerap tenaga dari badai.
Annabeth kehabisan waktu.
Dia mencoba mengaktifkan lagi ingatannya, menyaring berbagai mitos kuno,
kisah-kisah tersamar yang pernah diceritakan Chiron padanya di pekemahan. Saat
dia lebih muda, otaknya berfungsi bagai spons, menyerap berbagai fakta dan nama.
Tongkat dengan tiga kepala. Dewa Alexandria, Mesir.
Nama dewa itu muncul dalam benaknya. Paling tidak, dia berharap dugaannya
benar. Salah satu pelajaran pertamanya sebagai seorang demigod: Nama memiliki
kekuatan. Jangan pernah mengucapkan nama sesosok dewa atau monster kecuali
kau sudah siap untuk menarik perhatiannya.
Annabeth menarik napas panjang. Dia berteriak sekuat tenggorokannya:
"SERAPIS!" Badai mereda. Rangkaian besar pipa mengambang di tengah udara. Awan batu
bata dan kayu berhenti seketika bak tertahan tangan tak kasatmata.
Setelah terhenti di tengah badai, si monster berkepala tiga berusaha berdiri. Sadie
menukik di atasnya, membuka cakarnya, dan menjatuhkan patungnya, yang
langsung tumbuh menjadi unta berukuran normal.
Unta arab berambut kasar itu terempas di atas punggung si monster. Kedua
makhluk itu bergulung-gulung di udara dan terbanting di lantai dengan kepala dan
anggota badan saling membelit. Si monster kepala tongkat terus meronta-ronta,
tapi unta itu menindihnya dengan kaku mengangkang, melenguh dan
menyemburkan ludah dan melunglaikan tubuhnya bak bayi seberat lima ratus
kilogram yang sedang merajuk.
Dari tubir di lantai ke tiga puluh terdengar dentuman suara seorang pria: "SIAPA
YANG BERANI MENYELA KEBANGKITANKU?"
"Aku yang menyelamu!" pekik Annabeth. "Turun kau dan hadapi aku!"
Annabeth ingin memastikan dewa itu memusatkan perhatian kepadanya supaya
Sadie bisa ... melakukan apa pun yang hendak dilakukannya. Penyihir muda itu
jelas menguasai berbagai trik hebat.
Dewa Serapis melompat dari tubirnya. Dia terjun bebas setinggi tiga puluh lantai
dan mendarat sempurna di tengah lantai dasar, jarak yang strategis bagi Annabeth
untuk melempar pisau. Tapi Annabeth tidak berniat menyerang.
Tubuh Serapis setinggi hampir lima meter. Dia hanya mengenakan celana renang
dengan pola bunga khas Hawaii. Tubuhnya berotot padat. Kulitnya yang sewarna
perunggu penuh dengan tato hieroglif yang berkilauan, aksara Yunani, dan
beberapa bahasa lain yang tak dikenali Annabeth.
Wajahnya berbingkai oleh rambut gimbal panjang ala Rasta. Jenggot keriting
Yunani tumbuh hingga sepanjang tulang selangkanya. Matanya berwaena hijau
laut"sangat mirip mata Percy hingga membuat Annabeth merinding.
Normalnya Annabeth tidak menyukai pria berambut panjang dan berjenggot, tapi
dia harus mengakui kedewasaan dan keliaran dewa ini malah membuatnya
menarik. Tapi tutup kepalanya merusak penampilannya. Benda yang dikira topi panjang
biasa, ternyata adalah keranjang anyaman silinder yang disulam dengan berbagai
gambar bunga. "Maaf," ucap Annabeth. "Apa yang dikepalamu itu pot bunga?"
Kedua alis cokelat tebal Serapis terangkat. Dia menepuk kepalanya seolah dia telah
melupakan keberadaan keranjang itu. Beberapa biji gandum tumpah dari lubang
bagian atas. "Ini namanya modius, dasar gadis tolol. Salah satu simbol suciku!
Keranjang biji merepresentasikan Dunia Bawah, tempat yang kukuasai."
"Uh, benarkah?"
"Tentu saja!" Serapis memelototinya. "Yah dulu, tapi tak lama lagi aku akan
kembali menguasainya. Memangnya kau siapa" Berani-beraninya mengkritik
pilihan busanaku" Demigod Yunani, dinilai dari baumu, membawa senjata
perunggu Langit dan tongkat Mesir dari Dewan Kehidupan. Sebenarnya kau yang
mana"pahlawan atau penyihir?"
Tangan Annabeth gemetar. Entah mengenakan pot bunga atau tidak, yang jelas
Serapis memancarkan kekuatan. Berdiri di dekat dewa itu, Annabeth merasa tubuh
bagian dalamnya mencair, seolah jantung, lambung, dan segenap keberaniannya
meleleh. Tenangkan dirimu, batin Annabeth. Kau pernah menghadapi banyak dewa-dewi
sebelumnya. Tapi Serapis berbeda. Kehadirannya jelas terasa salah"seolah dengan berada di
tempat itu saja, dia telag menjungkirbalikkan dunia Annabeth.
Sekitar tujuh meter di belakang dewa itu, si Burung Sadie telah mendarat dan
berubah kembali menjadi manusia. Dia memberikan isyarat kepada Annabeth:
telunjuk menempel bibir (Shh), lalu memutar tangannya (buat dia terus berbicara).
Lalu Sadie merogoh ke dalam tasnya dengan hati-hati.
Annabeth tidak mengerti apa yang direncanakan temannya, tapi dia memaksakan
diri untuk menatap langsung mata Serapis. "Siapa bilang aku bukan keduanya"
penyihir dan demigod" Sekarang jelaskan kenapa kau di sini!"
Wajah Serapis mengeruh. Lalu, dia mengejutkan Annabeth dengan mendongakkan
kepalannya dan terbahak-bahak, menumpahkan lebih banyak biji dari modius-nya.
"Aku mengerti! Kau berusaha membuatku terkesan, ya" Menurutmu dirimu layak
menjadi pendeta wanita pendampingku?"
Annabeth menelan ludah. Hanya ada satu jawaban untuk sebuah pertanyaan
semacam itu. "Tentu saja aku layak! Dulu aku adalah magna mater"ibu besar dari
klan pemuja Athena! Tapi pertanyaannya, apakah kau layak mendapatkan
pelayananku?" "HA!" Serapis menyeringai. "Ibu besar dari klan pemuja Athena, ya" Ayo kita
buktikan seberapa kuat dirimu."
Serapis mengibaskan tangannya. Sebuah bak mandi melesat ke arah gelembung
Annabeth. Bak porselen itu hancur berkeping-keping saat menghantam gelembung
keemasan, tapi tongkat Sadie menjadi sangat panas, Annabeth terpaksa
menjatuhkannya. Kayu putih itu terbakar menjadi abu.
Bagus, batin Annabeth. Baru dua menit dan aku sudah merusakkan tongkat Sadie.
Gelembung pelindungnya lenyap. Kini Annabeth berhadapan dengan dewa
setinggi lima meter dengan senjatanya yang biasa"belati mungil dan lagak yang
berlebihan. Di sebelah kiri Annabeth, si monster berkepala tiga masih berusaha melepaskan
diri dari tindihan si unta, tapi si unta sangat berat, gigih, dan luar biasa kikuk.
Setiap kali si monster berusaha menjatuhkannya, dengan bersemangat unta itu
bunga angin dan kian melebarkan keempat kakinya.
Sementara itu, Sadie mengambil sepotong kapur tulis dari tas ranselnya. Dengan
berapi-api dia mencorat-coret lantai beton di belakang Serapis, mungkin dia sedang
menuliskan epitaf yang puitis untuk mengenang kematian mereka berdua sebentar
lagi. Annabeth teringat sebuah kutipan yang pernah diucapkan temannya, Frank"sebuah
kalimat dari buku Sun Tzu The Art of War.
Ketika lemah, berlagaklah kuat.
Annabeth membusungkan dada dan terbahak-bahak di hadapan Serapis.
"Lemparlah segala macam benda sesukamu, Tuan Serapis. Aku bahkan tak butuh
sebuah tongkat untuk melindungi diriku. Kekuatanku terlalu besar! Mungkin kau
mau berhenti menghabiskan waktuku dan kayakan saja langsung bagaimana aku
bisa melayanimu, yah anggap saja aku telah setuju untuk menjadi pendeta wanita
tinggimu yang baru."
Wajah dewa itu memancarkan api kebencian.
Annabeth yakin Serapis berencana menjatuhkan seluruh puing terbang itu diatas
kepalanya, dan tak ada cara untuk menghentikannya. Dia mempertimbangkan
untuk melemparkan belatinya tepat ke mata Serapis, seperti ketika temannya,
Rachel mencoba mengalihkan perhatian Titan Kronos, tapi Annabeth tidak
mempercayai ketepatan bidikannya.
Akhirnya Serapis tersenyum menyeringai. "Kau punya nyali, Nona. Aku akan
mengabulkan permintaanmu. Lagi pula kau menemukanku dengan sangat cepat.
Mungkin kau bisa melayaniku. Kau akan menjadi yang pertama memberikan
kekuatanmu, kehidupanmu, dan jiwamu!"
"Tampaknya seru."
" Annabeth menatap Sadie sekilas, berharap dia mempercepat
lukisan kapurnya. "Tapi pertama-tama," ucap Serapis, "aku harus memegang tongkatku!"
Dia menunjuk ke arah si unta. Sebuah hieroglif merah membara di kulit makhluk
itu dan dengan satu kentut terakhir, unta arab malang itu lebur menjadi setumpuk
pasir. Monster berkepala tiga bangkit, mengibaskan pasir dari tubuhnya.
"Tunggu!" pekik Annabeth.
Si monster berkepala tiga menggeram ke arahnya.
Serapis memandangnya marah. "Sekarang apa lagi?"
"Sebaiknya aku ... yah, mempersembahkan tongkat itu padamu, sebagai seorang
pendeta tinggimu! Kita harus melakukan semuanya secara resmi!"
Annabeth menyergap monster itu. Annabeth tak sanggup mengangkatnya tapi dia
menyarungkan belatinya di ikat pinggang dan menggunakan kedua tangan untuk
mencengkeram ujung cangkang kerucut makhluk itu, menarik ke belakang,
menjauh dari Serapis. Sementara itu, Sadie telah menggambar sebuah lingkaran besar seukuran hulahoop di lantai beton. Sekarang dia menghiasinya dengan berbagai aksara hieroglif
dari kapur warna-warni. Baiklah, batin Annabeth semakin frustasi. Santai saja dan percantik gambarmu!
Dia berhasil mengulas senyum ke arah Serapis sambil menahan monster kepala
tongkat yang mencakar-cakar ke depan.
"Tuanku," ucap Annabeth, "ceritakan kepadaku rencana barumu! Sesuatu tentang
jiwa dan kehidupan?"
Monster kepala tongkat protes dengan meraung-raung, mungkin karena ia dapat
melihat Sadie bersembunyi di belakang dewa itu, sambil terus menyelesaikan
lukisan jalanannya. Serapis tampak tidak menyadarinya.
"Lihatlah!" Serapis merentangkan tangan kekarnya. "Pusat baru dari kekuatanku!"
Percikan api merah melesat menembus pusaran badai yang mematung itu. Sebuah
jaringan menyatukan setiap titik hingga Annabeth melihat skema utuh struktur
yang sedang dibangun Serapis: menara raksasa setinggi seratus meter, didesain
dengan tiga tingkatan"persegi dibagian dasar, oktagonal di bagian tengah, dan
bulat di bagian puncak. Pada titik zenit terlihat kobaran api seterang tungku
Cyclop. "Sebuah mercusuar," ucap Annabeth. "Mercusuar Alexandria."
"Benar, Pendeta Mudaku." Serapis berjalan mondar-mandir mirip seorang guru
yang sedang mengajar, kolor bermotif bunga yang dikenakannya sangat mengusik
mata. Keranjang anyaman di kepalanya berkali-kali miring dan menumpahkan bijibijian. Entah mengapa dia masih belum menyadari kehadiran Sadie yang jongkok
di belakangnya, mengguratkan kapurnya menjadi lukisan cantik.
"Alexandria!" pekik dewa itu. "Dulu adalah kota terbesar di dunia, paduan terbesar
dari kekuasaan Yunani dan Mesir! Dulu akulah dewa utama kota itu, dan sekarang
aku bangkit lagi. Aku akan menciptakan ibu kota baruku di sini!"
"Uh ... di Rockaway Beach?"
Serapis diam da menggaruk jenggotnya. "Kau benar juga. Nama itu kurang
mengena. Kita akan menamakan tempat ini ... Rockandria" Serapaway" Yah, nanti
saja kita menamakannya! Langkah pertama kita adalah menyelesaikan
pembangunan mercusuar baruku. Ini akan menjadi lampu pemandu dunia"menarik
dewa-dewi dari Yunani kuno dan Mesir ke sini, kepadaku, seperti yang terjadi di
masa lalu. Aku akan menyedot kekuatan inti mereka dan menjadi dewa yang
terkuat di antara semuanya!"
Annabeth merasa seolah baru saja dipaksa menelan sesendok penuh garam.
"Menyedot kekuasaan inti mereka. Maksudmu, kau akan menghancurkan
mereka?" Serapis mengibaskan tangannya tak acuh. "Menghancurkan adalah kata yang cela.
Aku lebih suka menyebutnya menggabungkan. Kau tahu sejarahku, kan" Saat
Alexander Agung menaklukkan Mesir?"
"Dia mencoba menggabungkan agama Yunani dan Mesir," ucap Annabeth.
"Mencoba dan gagal." Serapis tergelak. "Alexander memilih seorang dewa
matahari Mesir, Amun, untuk menjadi dewa utamanya. Rencana itu tidak berjalan
mulus. Orang Yunani tidak menyukai Amum. Orang Mesir juga tidak menyukai
Nile Delta. Mereka memandang Amun sebagai dewa hulu. Tapi setelah Alexander
tiada, jendralnya mengambil alih Mesir."
"Ptolemy Yang Pertama," ucap Annabeth.
Serapis tersenyum lebar, jelas senang. "Ya ... Ptolemy. Senang mengetahui ada
manusia biasa yang memiliki visi!"
Annabeth harus berjuang keras menahan keinginan untuk menatap Sadie, yang kini
telah menyelesaikan lingkaran ajaibnya dan mengetuk aksara hieroglif dengan
jarinya, lalu komat-kamit seolah untuk mengaktifkan semuanya.
Si monster berkepala tiga menggeram protes. Ia mencoba menerjang ke depan, dan
Annabeth hampir tak sanggup menahan entakannya. Cengkeramannya mulai
melemah. Aura makhluk itu membuatnya ingin muntah seperti biasa.
"Ptolemy menciptakan sesosok dewa baru," ucap Annabeth, mempererat
tarikannya. "Dia menciptakanmu."
Serapis mengangkat bahunya. "Tapi bukan dari nol. Sebelumnya aku seorang dewa
desa minor. Tak seorang pun mendengar namaku! Tapi Ptolemy menemukan
patungku dan membawanya ke Alexandria. Dia menyuruh para pendeta Yunani
dan Mesir meramal dan merapalkan berbagai macam mantra dan tindakan kecil
lainnya. Mereka semua sepakat aku adalah dewa agung Serapis, dan aku harus
dipuja melebihi dewa-dewi yang lain. Aku menjadi terkenal seketika!"
Sadie bangkit dalam lingkaran ajaibnya. Dia melepas kalung peraknya dan mulai
mengayun-ayunkannya seperti tali laso.
Raungan monster berkepala tiga itu mungkin dimaksudkan untuk memperingatkan
tuannya: Awas! Tapi Serapis sedang asyik mengisahkan kesuksesannya. Saat dia berbicara, tato
aksara hieroglif da Yunani di kulitnya berpendar kian terang.
"Aku menjadi dewa yang paling penting bagi orang Yunani dan Mesir!" lanjutnya.
"Saat semakin banyak orang yang menyembahku, aku menyedot habis kekuatan
dewa-dewi yang lebih tua. Perlahan tapi pasti, aku mengambil alih posisi mereka.
Dunia Bawah" Aku menjadi rajanya, menggantikan Hades dan Osiris sekaligus.
Anjing penjaga Cerberus berubah menjadi tongkatku, yang sekarang kau pegangi.
Tiga kepalanya melambangkan masa lalu, masa kini, dan masa depan"yang
semuanya bisa aku kontrol setelah tongkat itu kembali ke genggamanku."
Serapis mengulurkan tangan. Si monster kian berontak ingin mencapai tuannya.
Otot lengan Annabeth serasa terbakar. Cengkeraman jemarinya mulai terlepas satu
demi satu. Sadie masih mengayunkan bandul kalungnya, mulutnya berkomat-kamit
merapalkan mantra. Hecate yang Suci, batin Annabeth, berapa lama yang dibutuhkan untuk
melontarkan mantra sinting itu"
Dia menatap pandangan Sadie dan melihat pesan yang tergurat di matanya:
Tunggu. Beberapa detik lagi.
Annabeth tak yakin dia sanggup menahannya beberapa detik lagi.
"Dinasti Ptolemic ...." Annabeth mengertakkan gigi. "Runtuh beberapa abad yang
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu. Kaum pemujamu telah dilupakan. Bagaimana kau bisa kembali seperti
sekarang?" Serapis mendengus. "Itu tak penting. Orang yang membagunkanku ... yah, dia
memiliki angan-angan tinggi. Dia mengira akan bisa mengendalikanku hanya
karena dia menemukan beberapa mantra kuno dari Kitab Thoth."
Di belakang Serapis, Sadie berjengit seolah seseorang baru saja menampar
keningnya. Tampaknya, fakta tentang "Kitab Thoth" itu sangat mengejutkannya.
"Dengar," lajut Serapis, "kembali ke masa lalu, Raja Ptolemy merasa tidak cukup
dengan menjadikan aku sebagai dewa utama. Dia juga ingin abadi. Dia
mendeklarasikan bahwa dirinya seorang dewa, tapi sihirnya malah menjadi
bumerang. Setelah kematiannya, seluruh keluarganya dikutuk hingga beberapa
generasi. Kian lama keturunan Ptolemic kian melemah hingga si gadis tolol,
Cleopatra bunuh diri dan menyerahkan semuanya ke orang Roma."
Serapuis menyeringai. "Manusia ... selalu serakah. Penyihir yang
membangunkanku kali ini merasa dia bisa berbuat lebih baik daripada Ptolemy.
Membangkitkanku hanyalah salah satu ekspresinya dengan paduan sihir MesirYunanu. Dia berencana menjadikan dirinya seorang dewa, tapi hasil perbuatannya
telah melampaui kemampuannya sendiri. Kini aku telah bangkit. Aku akan
mengendalikan semesta."
Serapis menatap tajam Annabeth dengan mata yang hijau terang. Sosoknya seolah
berubah-ubah, mengingatkan Annabeth pada beberapa dewa Olympia: Zeus,
Poseidon, Hades. Sesuatu dalam senyumannya bahkan mengingatkan Annabeth
pada ibunya, Athena. "Bayangkan saja, Demigod Kecil," ucap Serapis, "mercusuar ini akan menarik
dewa-dewi kepadaku seperti ngengat tertarik pada sebatang lilin. Setelah aku
menyedot kekuatan mereka, aku akan mendirikan kota yang megah. Aku akan
membangun sebuah perpustakaan Alexandria yang baru dengan segenap
pengetahuan dunia masa lalu, baik dari Yunani dan Mesir. Sebagai putri Athena,
kau pasti menyukai rencana ini dan sebagai pendeta tinggiku, bayangkan segala
kekuatan yang akan kau miliki!"
Sebuah perpustakaan Alexandria yang baru.
Annabeth tak bisa berpua-pura bahwa gagasan itu tidak menggodanya. Begitu
banyak pengetahuan dunia masa lalu yang hancur saat perpustakaan itu terbakar.
Serapis pasti menangkap kilatan gairah di mata Annabeth.
"Ya." Serapis mengulurkan tangannya. "Cukup bicaranya, Nona. Berikan tongkat
itu padaku!" "Kau benar," tanggap Annabeth parau. "Cukup bicaranya."
Dia menghunus belatinya dan menancapkannya ke cangkang monster.
Begitu banyak hal mungkin berakhir keliru. Sebagian besar memang keliru.
Annabeth berharap belatinya akan membelah cangkang monster itu, mungkin
bahkan menghancurkannya berkeping-keping. Nyatanya, belati itu cuma membuka
rekahan kecil yang menyemburkan sihir merah yang sama panasnya dengan aliran
magma. Annabeth terjengkang, matanya nyeri tak terperi.
Serapis memekik, "PENGHIANATAN!" Monster kepala tongkat itu meraung dan
meronta-ronta, ketiga kepalanya berusaha meraih belati yang tertancap di
punggungnya dengan sia-sia.
Pada saat yang bersamaan, Sadie melontarkan mantranya. Dia melemparkan
kalung peraknya dan berteriak, "Tyet!"
Bandul kalungnya meledak. Sebuah hieroglif perak raksasa membungkus Serapis
laksana peti mati tembus pandang:
Serapis meraung marah saat kedua lengannya terjepit di ssi tubuhnya.
Sadie berteriak, "Aku menamakanmu Serapis, dewa dari Alexandria! Dewa ... uh,
topi konyol dan tongkat kepala bertiga! Aku mengikatmu dengan kekuatan Isis!"
Puing-puing mulai berjatuhan dari atas, mendarat di sekeliling Annabeth. Dia
mengelak dari sebuah dinding bata dan sebuah kotak sekring yang menjatuhinya.
Lalu dia memperhatikan monster kepala tongkat yang terluka merangkak ke arah
Serapis. Annabeth menerjang ke arah monster itu, tapi kepalanya tertimpa sepotong kayu.
Dia jatuh menghantam lantai dengan keras, tempurung kepalanya berdenyutdenyut, dan seketika dia terkubur puing-puing yang lain.
Dia menarik napas dengan gemetar. "Ow, ow, ow."
Masih lumayan dia tidak terkubur pecahan batu bata. Dia memandang setumpuk
tripleks yang menindihinya dan mencabut serpihan kayu sepanjang lima belas
sentimeter dari balik bajunya.
Monster itu telah mencapai kaki Serapis. Annabeth sadar seharusnya tadi dia
menikam salah satu kepala monster itu, tapi dia tidak tega melakukannya. Dia
selalu bersikap lunak dengan binatang, meski jika binatang itu adalah bagian dari
makhluk sihir jahat yang berusaha membunuhnya. Sekarang sudah terlambat.
Serapis meregangkan otot-ototnya yang kekar. Penjara perak tercerai-berai di
sekelilingnya. Si tongkat berkepala tiga melayang ke tangannya, dan Serapis
berbalik menghadapi Sadie Kane.
Lingkaran pelindung Sadie telah menguap menjadi asap merah.
"Kau hendak membelengguku?" pekik Serapis. "Kau hendak menamakanku" Kau
bahkan tak menggunakan bahasa yang layak untuk menamakan Penyihir Kecil!"
Annabeth berjalan maju dengan goyah. Napasnya tersendat-sendat. Setelah Serapis
memegang tongkatnya, auranya terasa sepuluh kali lebih kuat. Telinga Annabeth
berdengung. Kedua mata kakinya bak menjadi agar-agar. Dia bisa merasakan
kekuatan hidup dalam dirinya mengalir keluar"tersedot ke dalam halo merah dewa
itu. Secara mengejutkan, Sadie kembali bangkit, raut wajahnya menantang. "Baiklah,
Tuan Mangkuk Sereal. Kau ingin bahasa yang layak" HA-DI!"
Sebuah hieroglif baru berkobar di wajah Serapis:
Tapi dengan mudah Serapis menangkapnya dengan tangan kosong. Dia
mengepalkan tangannya dan asap mengepul di antara jemarinya, seolah dia baru
saja meremukkan sebuah miniatur mesin uap.
Sadie menelan ludah. "Tak mungkin. Bagaimana kau?"
"Kau mengharapkan sebuah ledakan?" gelak Serapis. "Maaf aku
mengecewakanmu, Nak, tapi kekuatanku adalah gabungan Yunani dan Mesir.
Kombinasi keduanya, dan menyedot keduanya, menggantikan keduanya.
Sepertinya kau pendukung Isis" Sempurna. Dulu dia adalah istriku."
"Apa?" pekik Sadie. "Tidak. Tidak, tidak, tidak."
"Oh, ya! Saat aku memakzulkan Osiris dan Zeus, Isis dipaksa untuk melayaniku.
Sekarang aku akan menggunakanmu sebagai portal untuk memanggilnya ke sini
dan mengikatnya. Sekali lagi Isis akan menjadi ratuku!"
Serapis menyodokkan tongkatnya. Ketiga mulut monster itu menyembutkan sulur
cahaya merah, mengitari tubuh Sadie laksana ranting berduri.
Sadie menjerit, dan akhirnya Annabeth berhasil mengatasi keterkejutannya.
Annabeth memungut lembar tripleks terdekat"tripleks persegi rapuh seukuran
sebuah tameng"dan dia berusaha mengingat pelajaran Lempar Cakram dari
Perkemahan Blastera. "Hei, Kepala Biji!" sahutnya.
Dia memelintir tubuh hingga pinggang untuk memaksimalkan kekuatan lemparan.
Tripleks itu melesat di udara tepat saat Serapis menoleh ke arahnya, dan pinggiran
tripleks menghantam kening di antera matanya.
"GAH!" Annabeth menukik ke samping saat Serapis menyodokkan tongkat di arahnya
secara membabi buta. Tiga kepala monster itu menyemburkan uap super panas,
melelehkan sebuah lubang di lantai beton tempat Annabeth berdiri sebelumnya.
Annabeth terus bergerak, menyelinap di antara gundukan puing-puing yang kini
memenuhi lantai. Dia menunduk di belakang sebuah gundukan toilet pecah saat
tongkat Serapis meledakkan uap panas tiga lajur ke arahnya, karena sangat dekat,
Annabeth merasakan kulit tengkuknya melepuh.
Annabeth melihat Sadie sekitar dua puluh lima meter darinya, berdiri terhuyunghuyung dan berusaha menjauhkan diri dari Serapis. Setidaknya dia masih hidup.
Tapi Annabeth tahu Sadie butuh waktu untuk memulihkan diri.
"Hei, Serapis!" sahut Annabeth dari balik tumpukan kayu, "Bagaimana rasa
tripleks itu?" "Putri Athena!" lolong dewa itu. "Aku akan menelan habis kekuatan hidupmu!
Aku akan menggunakannya untuk menghancurkan ibumu yang laknat! Kau kira
dirimu pintar" Kau sekecil kutu jika dibandingkan dengan orang yang
membangunkanku, dan dia bahkan tak mengerti kekuatan yang dilepaskannya.
Kalian semua tak akan mendapatkan makhota keabadian. Aku mengendalikan
masa lalu, masa kini, dan masa depan. Aku sendirilah yang akan memimpin dewadewi dunia!
Terima kasih atas pidato panjangmu, batin Annabeth.
Saat Serapis meledakkan persembunyiannya, mengubah tumpukan toilet menjadi
gundukan debu porselen, Annabeth telah merangkak melintasi separuh ruangan.
Dia sedang mencari-cari temannya saat penyihir itu menyembul dari tempat
persembunyiannya, tiga meter darinya, dan Sadie berteriak: "Suh-FAH!"
Annabeth berbalik saat sebuah hieroglif baru setinggi jutuh meter, berkobar di
dinding belakang Serapis:
Plester bangunan itu luruh. Salah satu sisi gedung berderak, dan saat Serapis
memekik, "TIDAK!" seluruh bagian dinding ambruk menimpanya bak amukan
gelombang batu bara, menguburnya di bawah ribuan ton puing-puing.
Annabeth tercekik oleh kepulan debu di sekitarnya. Matanya pedih. Dia merasa
seperti baru dimasak setengah matang dalam sebuah penanak nasi, tapi akhirnya
dia tersandung di sebelah Sadie.
Tubuh penyihir muda itu dibaluti serbuk kapur, mirip donat yang ditaburi gula
halus. Sadie menatap lubang menganga yang baru dibuatnya di sisi gedung.
"Mantra itu berhasil," gumamnya
"Mantra yang genius." Annabet meremas bahunya. "Mantra apa itu?"
"Melonggarkan," jawab Sadie. "Aku pikir ... yah, biasanya membuat benda
terlepas satu-sama lain lebih mudah daripada menyatukannya lagi."
Seolah turut menyetujui, bagian dinding lain gedung itu berderik dan bergemuruh.
"Ayo jalan." Annabeth menggamit tangan Sadie. "Kita harus keluar dari sini.
Dinding-dinding ini?"
Fondasi bangunan bergetar. Dari balik tumpukan puing terdengar raungan teredam.
Bilah-bilah cahaya merah melesat dari celah-celah puing.
"Ya ampun!" keluh Sadie. "Dia masih hidup?"
Hati Annabeth mencelos, tapi dia tak terlalu terkejut. "Dia seorang dewa. Dia
makhluk abadi." "Terus bagaimana?""
Tangan Serapis, masih mencengkeram tongkatnya, menyodok tumpukan batu bata
dan papan. Tiga kepala monster itu menyemburkan uap panas ke segala penjuru.
Belati Annabeth masih terbenam hingga gagangnya di cangkang monster itu, luka
berlubang di sekitarnya mencurahkan aksara hieroglif dan Yunani yang menyala
merah, dan kata makian Inggris"bahasa tercela yang terhimpun selama ribuan
tahun meruah bebas. Mirip sebuah lini masa, batin Annabeth.
Sekonyong-konyong sebuah gagasan terbit dalam benaknya. "Masa lalu, masa
kini, dan masa depan. Dia mengendalikan semuanya."
"Apa?" tanya Sadie.
"Tongkat itu adalah kuncinya," ucap Annabeth. "Kita harus menghancurkannya."
"Ya, tapi?" Annabeth berlari ke arah tumpukan puing. Matanya terpaku pada gagang belatinya,
tapi dia terlambat. Tangan Serapis yang satunya terbebas, lalu kepalanya. Topi keranjang bunganya
penyok dan membocorkan biji-bijian. Cakram tripleks Annabeth mematahkan
hidungnya dan menghitamkan matanya, wajahnya bak mengenakan topeng rakun.
"Aku bunuh kau!" lolong Serapis, tepat saat Sadie memekikkan lagi mantranya
"Suh-FAH!" Annabeth mundur secepatnya. Serapis menjerit, "TIDAK!" saat dinding setinggi
tiga puluh tingkat kembali ambruk menimpanya.
Mantra sihir yang baru dilontarkannya pasti terlalu berat bagi Sadie. Kini dia
lunglai laksana boneka kain yang kusut, untungnya Annabeth sempat menahan
tubuh Sadie tepat sebelum dinding yang tersisa berderak dan doyong ke dalam,
Annabeth membopong gadis yang lebih muda itu dan membawanya keluar.
Entah bagaimana caranya, Annabeth berhasil menyingkir dari gedung itu sebelum
gedung itu ambruk sepenuhnya. Annabeth mendengar gelegar-gelegarnya, tapi dia
tidak seratus persen yakin tu suara gedung yang ambruk di belakangnya atau suara
batok kepalanya yang meletup-letup karena kelelahan dan ngilu.
Dia berjalan terhuyung-huyung hingga mencapai rel subway. Dengan perlahan dia
menurunkan Sadie di atas rumput,
Mata Sadie terbalik hingga putihnya terlihat. Mulutnya merancau tak keruan.
Kulitnya terasa panas, Annabeth harus berjuang melawan serangan panik dalam
dirinya. Uap panas mengepul dari lengan baju penyihir itu.
Tak jauh dari bangkai kereta, orang-orang mulai menyadari terjadinya bencana
yang baru. Kendaraan polisi dan pemadam kebakaran bermunculan dan mengarah
ke gedung yang ambruk itu. Sebuah helikopter berita berputar-putar di atas kepala.
Annabeth tergoda untuk berteriak meminta bantuan, tapi sebelum mulutnya
terbuka, Sadie menarik napas tajam. Kelopak matanya berdenyut-denyut.
Dia membuyarkan sekeping batu dari dalam mulutnya, bangkit dengan lemah, lalu
menatap tonggak debu yang menyongsong langit, hasil dari petualangan kecil
mereka barusan. "Baguslah," gumam Sadie. "Apa yang harus kita hancurkan selanjutnya?"
Annabeth terisak lega. "Terima kasih dewa-dewi, kau baik-baik saja. Tubuhmu
tadi berasap." "Risiko pekerjaan." Sadie mengibaskan debu dari wajah. "Jika terlalu banyak
menggunakan sihir, tubuhku bisa terbakar. Aku nyaris kehilangan nyawaku hari
ini." Annabeth mengangguk. Tadinya dia iri dengan Sadie yang bisa melontarkan
berbagai mantra keren, tapi kini dia lega dirinya cuma seorang demigod. "Kau tak
boleh merapalkan mantra lagi."
"Untuk beberapa saat." Sadie meringis. "Sepertinya Serapis belum musnah?"
Annabeth menatap ke arah tempat yang sebelumnya akan dibangun mercusuar. Dia
berharap dewa itu musnah, tapi dia tahu kenyataan yang sebenarnya. Dia masih
bisa merasakan aura Serapis mengacaukan semesta, menarik jiwanya, da menyedot
energi tubuhnya. "Paling banyak kita cuma punya waktu beberapa menit," tebak Annabeth. "Dia
akan kembali membebaskan dirinya. Lalu dia akan memburu kita."
Sadie mengerang. "Kita butuh bala bantuan. Celakanya, aku tak punya cukup
energi untuk membuka sebuah portal, itu juga kalau aku bisa menemukannya. Isis
tidak menanggapi panggilanku. Dia jelas memilih bersembunyi daripada muncul
dan kekuatan intinya disedot oleh Tuan Mangkuk Sereal." Dia mendesah. "Aku
tebak tidak ada demigod yang bisa kau telepon dengan cepat?"
"Tidak ada ...," desah Annabeth.
Dia menyadari bahwa tas ranselnya masih tersandang di punggung. Bagaimana
bisa tas itu tidak terlepas saat pertarungan tadi" Dan kenapa kini rasanya sangat
ringan" Dia menurunkan ransel dan membuka risleting bagian atas. Buku-buku
arsitekturnya lenyap. Alih-alih, di dasar tas tergeletak sebongkah ambrosia yang
terbungkus plastik selofan, dan di bawahnya ....
Bibir Annabeth gemetar. Dia mengeluarkan sesuatu yang lama tidak dibawanya:
topi New York Yankee biru dan kusut.
Dia mendongak ke langit yang keruh. "Ibu?"
Tak ada jawaban; tapi Annabeth tak menemukan alasan yang lain. Ibunya
mengirimkan bantuan padanya. Hal itu membesarkan hatinya sekaligus
membuatnya takut. Jika Athena tertarik secara pribadi dalam situasi ini, Serapis
memang adalah ancaman yang monumental"bukan saja terhadap Annabeth, tapi
terhadap dewa-dewi yang lainnya.
"Itu topi bisbol," sahut Sadie. "Apakah ada gunanya?"
"Sepertinya begitu," jawab Annabeth. "Terakhir kali aku mengenakan topi ini,
sihirnya tidak berfungsi. Tapi jika sekarang berfungsi ... aku bisa merencanakan
sesuatu. Kini giliranmu yang mengalihkan perhatian Serapis."
Sadie mengerutkan keningnya. "Kan sudah aku bilang aku tidak bisa merapal
mantra lagi?" "Tidak masalah," balas Annabeth. "Apa kau pintar menggertak, membohongi, dan
membual?" Kedua alis Sadie terangkat. "Orang bilang itulah keahlian utamaku."
"Sempurna," lanjut Annabeth. "Kalau begitu inilah waktunya aku mengajarimu
sedikit bahasa Yunani." Kesempatan yang mereka dapatkan terlalu singkat.
Annabeth nyaris selesai melatih Sadie saat reruntuhan gedung bergetar, puingpuing terlempar keatas, dan Serapis muncul, meraung dan memaki-maki.
Para tim penyelamat terkejut dan lari tunggang-langgang dari tempat itu. Tapi
tampaknya mereka tidak menyadari adanya dewa setinggi lima meter berjalan
menjauh dari reruntuhan. Tongkatnya yang berkepala tiga menyemburkan uap dan
cahaya sihir merah ke angkasa.
Serapis berjalan lurus ke arah Sadie dan Annabeth.
"Siap?" tanya Annabeth.
Sadie mengembuskan napas. "Apa aku punya pilihan?"
"Ini." Annabeth memberinya sebongkah ambrosia. "Ini makanan demigod.
Makanan ini mungkin bisa memulihkan kekuatanmu."
"Mungkin, ya?" "Jika ramuan penyembuhmu manjur untukku, ambrosia ini pasti manjur untukmu."
"Kalau begitu, selamat makan." Sadie menggigit satu kali. Rona merah kembali
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersemburat di pipinya. Matanya kembali terfokus. "Rasanya mirip kue scone
bikinan nenekku." Annabeth tersenyum. "Ambrosia selalu terasa seperti makanan rumahan
kesukaanmu." "Memalukan sekali." Sadie menggigit sekali lagi dan menelannya. "Scone bikinan
nenekku selalu gosong dan rasanya mengerikan. Ah"teman kita sudah datang."
Serapis menendang sebuah truk pemadam kebakaran yang menghalangi jalannya
dan berjalan tertatih-tatih ke arah rek kereta. Tampaknya dia belum melihat
keberadaan Sadie dan Annabeth, tapi Annabeth yakin dia mampu merasakan
mereka. Dia memindai sepenjuru kaki langit. Raut wajahnya penuh kemurkaan.
"Kita mulai." Annabeth mengenakan topi Yankee-nya.
Mata Sadie melebar. "Mengagumkan. Kau jadi tak kasatmata. Kau tak akan mulai
menembakkan bunga api, kan?"
"Kenapa aku harus melakukannya?"
"Oh ... kakakku pernah melontarkan mantra tak kasatmata. Tidak begitu keren
hasilnya. Baiklah, semoga beruntung."
"Kau juga." Annabeth berlari ke samping saat Sadie melambaikan kedua tangannya dan
berteriak. "Oi, Serapis!"
"MATI KAU!" lolong dewa itu.
Dua berlari limbung ke depan, kaki raksasanya menciptakan kawah di permukaan
aspal. Seperti yang telah mereka rencanakan, Sadie akan mundur ke arah pantai.
Annabeth menunduk di belakang sebuah mobil bobrok dan menunggu Serapis
lewat. Kasatmata atau tidak, dia tak mau mengambil risiko.
"Hanya segitu kemampuanmu!" Sadie memanas-manasi dewa itu. "Hanya segitu
kemampuan larimu, bocah desa tolol?"
"RAR!" Serapis berlari melewati Annabeth.
Annabeth mengejar Serapis, yang telah berhadapan dengan Sadie di pinggiran
ombak. Serapis mengangkat tongkatnya yang membara, ketiga kepala monster
menyemburkan uap panas. "Ada ucapan terakhir, Penyihir?"
"Untukmu" Ya!" Sadie memutar kedua tangannya dalam gerakan seharusnya mirip
gerakan menyihir"atau mungkin kung fu.
"Meana aedei thea!" Dia merapalkan kalimat yang telah diajarkan Annabeth. "En
... ponte pathen algae!"
Annabeth berjengit. Pengucapan Sadie lumayan buruk. Kalimat pertamanya
lumayan, kurang lebih artinya: Nyanyian kemurkaan, oh dewiku. Tapi kalimat
kedua seharusnya berati: Di lautan, rasakanlah kesengsaraan. Tapi, yang diucapkan
Sadie barusan berarti: Di lautan, rasakanlah ganggang!
Untungnya, pekikan kalimat Yunani Kuno cukup untuk mengejutkan Serapis.
Dewa itu mulai bimbang, tongkat tiga kepalanya masih terangkat. "Apa yang kau"
" "Isis, dengarkan aku!" lanjut Sadie. "Athena, bantulah aku!" Dia mencerocoskan
beberapa kalimat lain"sebagian bahasa Yunani, sebagian Mesir Kuno.
Sementara itu, Annabeth menyelinap di belakang Serapis, matanya terpaku pada
belati yang tertancap di cangkang si monster tongkat. Jika Serapis sedikit
menurunkan tongkatnya ....
"Alpha, Beta, Gamma!" pekik Sadie. "Gyros, spanakopita. Presto!" Dia
menyeringai puas. "Itu dia. Tamat riwayatmu!"
Serapis memandang Sadie, jelas kebingungan. Tato merah di kulitnya meredup.
Beberapa simbol berubah menjadi tanda tanya dan wajah sedih. Annabeth
mengendap-endap kian mendekat ... kini enam meter darinya.
"Tamat riwayatmu?" ulang Serapis. "Kau bicara apa, Nona" Aku yang akan
menghancurkanmu." "Jika kau menghancurkanku," ancam Sadie, "kau akan mengaktifkan titian
kematian dan kau pun akan musnah!"
"Titian kematian" Tidak ada hal semacam itu!" Serapis menurunkan tongkatnya.
Tiga kepala monster itu kini setinggi mata Annabeth.
Jantung Annabeth berpacu. Tiga meter lagi. Lalu, jika dia melompat, dia mungkin
bisa meraih belati itu. Dia hanya memiliki satu kesempatan untuk mencabutnya
Kepala monster tongkat tampaknya tidak menyadari kedatangan Annabeth. Mereka
terus menggeram dan mencaplok, menyemburkan uap ke segala arah. Serigala,
singa, anjing"masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Untuk menghasilkan kerusakan maksimum, dia tahu kepala mana yang harus
ditikamnya. Tetapi kenapa masa depan dilambangkan seekor anjing" Labrador hitam itu kenapa
kepala monster yang paling tidak berbahaya. Matanya besar keemasan dan
telinganya terkulai, ia mengingatkan Annabeth pada banyak binatang peliharaan
lucu yang pernah dikenalnya.
Ia bukan binatang sungguhan, batin Annabeth. Ia adalah bagian dari tongkat sihir.
Saat jaraknya telah cukup dekat untuk menyerang, lengan Annabeth terasa berat.
Dia tak sanggup memandang anjing itu tanpa merasa bersalah.
Masa depan adalah hal yang baik, anjing itu seolah mengucapkannya. Ia sangat
lucu dan bulunya halus! Jika Annabeth menikam kepala Labrador itu, bagaimana jika membunuh masa
depannya sendiri"rencana-rencana yang dibuatnya saat kuliah nanti, rencanarencananya dengan Percy ..."
Sadie masih berbicara. Nada suaraya mengisyaratkan bahwa dia kian terdesak.
"Ibuku, Ruby Kane." Sadie memberi tahu Serapis, "memberikan nyawanya untuk
menyegel Apophis dalam Duat. Apophis, jangan tersinggung"dia dua ribu tahun
lebih tua darimu, dan jauh lebih kuat. Jadi jika kau pikir aku akan membiarkan
dewa kelas dua sepertimu mengambil alih dunia, coba kau renungkan lagi!"
Gentar kemarahan dalam suaranya bukanlah gertak sambal, dan seketika Annabeth
bersyukur dia memberikan Sadie tugas menghadapi Serapis. Penyihir itu bisa
tampak mengerikan jika dia mau.
Serapis bergerak-gerak gelisah. "Aku akan menghancurkanmu!"
"Semoga beruntung," ucap Sadie. "Aku telah mengikatmu dengan mantra Yunani
dan Mesir yang sangat kuat, ikatan itu akan meleburkan atommu menjadi bintangbintang."
"Kau bohong!" hardik Serapis. "Aku tidak merasakan mantra apapun. Orang yang
membangkitkanku juga tak memiliki sihir semacam itu."
Annabeth telah berhadapan lagsung dengan si anjing hitam. Belatinya tepat di atas
kepalanya, tapi setiap molekul tubuhnya menolak gagasan untuk membunuh
binatang itu ... membunuh masa depan.
Sementara itu, Sadie memaksakan diri untuk tertawa. "Orang yang
membangkitkanmu" Maksudmu si tukang tipu Setne itu?"
Nama itu asing di telinga Annabeth, tapi Serapis jelas mengenalnya. Udara di
sekelilingnya memanas. Si kepala singa menggeram. Si serigala memamerkan gigigiginya.
"Oh, ya," lanjut Sadie. "Aku sangat mengenal Setne. Aku yakin dia tidak memberi
tahumu siapa yang mengizinkannya kembali ke dunia. Dia masih hidup karena aku
mengampuninya. Menurutmu sihir Setne sangat kuat" Ayo uji kekuatanku.
Lakukan SEKARANG!" Annabeth tersentak. Dia menyadari Sadie sedang berbicara dengannya, bukan
dengan dewa itu. Gertak sambalnya mulai hambar. Dia kehabisan waktu.
Serapis mencemoohnya. "Usaha yang basus, Penyihir."
Saat Serapis mengangkat tongkatnya sebelum menyerang, Annabeth melompat.
Tangannya mencengkeram gagang belati, lalu dia menariknya hingga tercabut.
"Apa?" raung Serapis.
Annabeth terisak parau dan menikam belatinya ke leher anjing itu.
Annabeth menduga akan ada ledakan.
Tapi kenyataannya, belati itu terisap ke dalam leher si anjing seperti penjepit kertas
terisap penyedot debu. Annabeth nyaris tak sempat melepaskannya.
Annabeth bergulung bebas saat anjing itu melolong, mengempis dan mengerut
hingga meledak dari cangkangnya. Serapis meraung murka. Dia mengguncang
tongkatnya tapi tampaknya tak sanggup melepaskannya.
"Apa yang kau lakukan?" runtuknya.
"Menghancurkan masa depanmu," jawab Annabeth. "Tanpa itu, kau bukan apaapa."
Tongkat itu merekah. Benda itu menjadi sangat panas hingga Annabeth merasa
rambut di lengannya mulai terbakar. Dia merangkak mundur di permukaan pasir
saat si kepala singa dan serigala tersedot ke dalam cangkang. Seluruh bagian
tongkat berubah menjadi bola api merah di telapak Serapis.
Serapis berusaha mengibaskannya. Tapi sinar bola api itu kian terang. Jemarinya
melekuk ke dalam. Tangannya termakan api. Keseluruhan lengannya mengerut dan
menguap saat tertarik ke dalam kobaran api.
"Aku tak bisa dihancurkan!" pekik Serapis. "Aku adalah kulminasi gabungan
dunia-dunia kalian! Tanpa petunjukku, kalian tak akan pernah mendapatkan
mahkota kekuasaan! Kalian semua akan musnah! Kalian akan?"
Kobaran bola api itu kian membesar dan menyedot seluruh tubuh Serapis ke dalam
inti vorteksnya. Lalu bola itu berkedip dan lenyap, seolah tak pernah ada.
"Ugh," ucap Sadie.
Mereka duduk di pantai saat matahari terbenam, memandangi gelombang pasang
dan mendengarkan raung berbagai kendaraan darurat di belakang mereka.
Rockaway yang malang. Pertama angin topan. Lalu kecelakaan kereta, sebuah
gedung ambruk, dan amukan seorang dewa, semuanya terjadi dalam sehari.
Daerah-daerah tertentu kadang mengalami bencana yang beruntun.
Anabeth menyesap Ribena-nya"minuman ringan Inggris yang dikeluarkan Sadie
dari "tempat penyimpanan pribadinya" di dalam Duat.
"Jangan khawatir." Sadie menyakinkannya. "Memanggil makanan dan minuman
ringan bukanlah sihir yang berat."
Karena Annabeth begitu haus, Ribena di tangannya terasa lebih nikmat daripada
nektar. Sadie kian membaik. Ambrosia itu telah menunjukkan kemujarabannya. Kini, alihalih tampak seolah berada di ambang pintu kematian, dia hanya terlihat baru saja
digilas oleh sekawanan keledai.
Ombak membelai-belai kaki Annabeth, membantunya rileks, tapi dia masih
merasakan sisa kegalauan dari pertemuan dengan Serapis"sebuah dengungan aneh
di dalam tubuhnya, seolah seluruh tubuhnya telah berubah menjadi garpu tala.
"Kau tadi menyebutkan sebuah nama." Dia mengingat. "Setne?"
Sadie membesarkan lubang hidungnya. "Ceritanya panjang. Penyihir jahat, bangkit
dari kematian." "Menyebalkan sekali jika ada orang jahat bangkit dari kematian. Kau bilang ... kau
yang membebaskan dia?"
"Yah, kakakku dan aku membutuhkan bantuannya. Pada waktu itu kami tidak
punya pilihan lain. Akhirnya, Setne kabur membawa Kitab Thoth, kumpulan
mantra paling berbahaya di dunia."
"Dan Setne menggunakan mantra itu untuk membangkitkan Serapis."
"Sepertinya memang begitu." Sadie mengangkat bahu. "Monster buaya yang
dilawan kakakku dan pacarmu beberapa waktu lalu, Putra Sobek ... aku tak terkejut
jika itu adalah salah satu eksperimen Setne. Dia mencoba mengombinasikan sihir
Yunani dan Mesir." Setelah hari berat yang dilaluinya, Annabeth ingin kembali mengenakan topi tak
kasatmatanya, merangkak ke dalam sebuah lubang, dan tidur selamanya. Dia telah
terlalu banyak menyelamatkan dunia. Dia tidak mau lagi memikirkan
kemungkinan adanya ancaman dunia yang lain. Tapi dia juga tak bisa
mengacuhkannya begitu saja. Dia mengelus pinggiran topi Yankee-nya dan
merenungkan mengapa ibunya memberikan topi itu kembali padanya hari ini"
kekuatan sihirnya telah dipulihkan.
Athena tampaknya mengiriminya sebuah pesan: Akan selalu ada ancaman yang
terlalu berat untuk dihadapi. Kau masih harus punya kemampuan mengendapendap. Kau harus melangkah dengan hati-hati di sini.
"Setne ingin menjadi dewa," ucap Annabeth.
Embusan angin dari laut mendadak terasa beku. Baunya tidak lagi terasa seperti
udara laut segar, lebih mirip reruntuhan yang terbakar.
"Seorang dewa ...." Sadie bergidik. "Pria tua kurus nyentrik bercawat dan
berambut Elvis. Gambaran yang menjijikkan."
Annabeth berusaha memvisualkan pria yang dijelaskan Sadie. Lalu segera
dienyahkannya gambaran itu.
"Jika tujuan Setne adalah keabadian," ucap Annabeth. "membangkitkan Serapis
bukanlah kejahatan yang terakhir dilakukannya."
Sadie tertawa hambar. "Oh, jelas tidak. Dia sekadar bermain-main dengan kita saat
ini. Putra Sobek ... lalu Serapis. Aku berani bertaruh Setne merencanakan kedua
insiden ini hanya untuk melihat apa yang akan terjadi, melihat bagaimana reaksi
para demigod dan penyihir. Dia menguji sihir barunya, dan kemampuan kita,
sebelum dia meluncurkan aksi terhebatnya demi mendapatkan kekuatan."
"Dia tak mungkin berhasil," ucap Annabeth penuh pengharapan. "Tak seorang pun
bisa menjadikan dirinya dewa cuma dengan merapalkan sebuah mantra."
Ekspresi Sadie tidak meyakinkan. "Kuharap kau benar. Sebab seorang dewa
menguasai sihir Yunani dan Mesir, yang bisa mengendalikan kedua dunia ... aku
bahkan tak sanggup membayangkannya."
Perut Annabeth terpelintir bak sedang melakukan gerakan yoga baru. Dalam
perang mana pun, perencanaan yang baik jauh lebih penting daripada kekuatan
belaka. Jika Setne mendalangi pertempuran Percy dan Carter dengan buaya itu,
jika dia merekayasa kebangkitan Serapis supaya Sadie dan Annabeth
menghadapinya ... seorang musuh yang merencanakan kejahatannya begitu
sempurna pasti sulit untuk dihentikan.
Annabeth membenamkan ibu jari kakinya di pasir. "Serapis mengucapkan sesuatu
sebelum lenyap"kalian tak akan pernah mendapatkan mahkota kekuasaan. Kukira
itu cuma bahasa kiasan. Lalu aku teringat hal yang diucapkannya tentang Ptolemy,
raja yang berusaha menjadi seorang dewa?"
"Mahkota keabadian," kenang Sadie. "Mungkin sebuah pschent."
Annabeth mengerutkan kening. "Aku tidak tahu artinya. Sebuah shent?"
Sadie mengejanya. "Sebuah mahkota Mesir, lebih mirip seperti pin boling. Bukan
desain yang cantik, tapi sebuah pschent menganugerahkan kekuatan Tuhan pada
firaun pemakainya. Jika Setne berusaha menciptakan ulang sihir pembuatan-dewa
yang dilakukan raja zaman dahulu, aku berani mempertaruhkan lima quid dan
sepiring scones gosong nenekku bahwa dia sedang mencoba menemukan mahkota
Ptolemy." Annabeth memutuskan tidak akan menerima taruhan itu. "Kita harus
menghentikannya." "Benar." Sadie menyesao Ribenanya. "Aku akan kembali ke Brooklyn House.
Setelah aku menggetok kepala kakakku karena tidak menceritakan tentang
keberadaan demigod seperti kalian. Aku akan memerintahkan para peneliti kami
untuk bekerja dan kita lihat apa yang bisa kita pelajari tentang Ptolemy. Mungkin
mahkotanya tersimpan di sebuah museum entah di mana." Sadie memonyongkan
bibir. "Meski sebenarnya aku sangat membenci museum."
Annabeth mengguratkan jarinya di permukaan pasir. Tanpa benar-benar
memikirkannya, dia menggambarkan simbol hieroglif Isis: tyet. "Aku juga akan
melakukan penelitian. Teman-temanku di kabin Hecate mungkin tahu sesuatu
tentang sihir Ptolemy. Mungkin aku bisa meminta saran dari ibuku."
Memikirkan ibunya membuat Annabeth gelisah.
Hari ini, Serapis nyaris melenyapkan Annabeth dan Sadie. Serapis mengancam
akan menggunakan mereka berdua sebagai portal untuk menyeret Athena dan Isis
pada kebinasaan. Sadie tercenung, seolah dia sedang memikirkan hal yang sama. "Kita tak boleh
membiarkan Setne terus bereksperiman. Dia akan mengoyakkan dunia kita. Kita
harus menemukan mahkota ini, atau?"
Dia mendongak dan suaranya melemah. "Ah, kendaraanku tiba."
Annabeth menoleh. Untuk sesaat dia mendyga Argo II turun dari balik awan, tapi
ini adalah perahu terbang yang berbeda jenisnya"perahu layar Mesir kecil dengan
lukisan mata di haluan dan sebuah layar putih yang dihiasi simbol tyet.
Perahu itu mendarat pelan di pinggir pantai.
Sadie bangkit dan mengibaskan pasir dari celananya. "Mau menumpang?"
Annabeth membayangkan perahu semacam ini terbang ke Perkemahan Blasteran.
"Um, sepertinya tidak. Aku bisa pulang sendiri."
"Baiklah." Sadie menyandang tas ranselnya, lalu membantu Annabeth berdiri.
"Kau bilang Carter menggambarkan sebuah hieroglif di tangan pacarmu. Itu bagus,
tapi aku lebih suka berhubungan langsung denganmu."
Annabeth menyeringai. "Kau benar. Cowok tidak bisa dipercaya untuk
berkomunikasi." Mereka bertukar nomor telepon.
"Jangan menelpon kecuali situasi darurat." Annabeth memperingatkan. "Aktifitas
ponsel menarik perhatian monster."
Sadie tampak terkejut. "Sungguh" Aku tak tahu hal itu. Jadi aku tak boleh
mengirimimu foto selfie dari Instagram, ya."
"Sebaiknya tidak."
"Baiklah, sampai jumpa lagi." Sadie memeluk Annabeth.
Annabeth sedikit terkejut karena mendapatkan pelukan dari seseorang yang baru
saja ditemuinya"seorang gadis yang bisa dengan mudah menganggap dirinya
musuh. Tapi sikap Sadie membuatnya nyaman. Dalam situasi yang melibatkan
kehidupan dan kematian, Annabeth mempelajari bahwa orang bisa menemukan
sahabat dengan cepat. Dia menepuk bahu Sadie. "Jauh-jauhlah dari bahaya."
"Andai bisa." Sadie naik ke perahunya, dan perahu itu pun melaju ke lautan. Kabut
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
naik entah dari mana, memekat di sekeliling perahu. Saat kabut mereda, perahu itu
dan Sadie Kane telah lenyap.
Annabeth memadang lautan yang kosong. Dia memikirkan Kabut dan Duat dan
bagaimana keduanya terhubung.
Lalu dia memikirkan tongkat Serapis, dan lolongan anjing hitam itu saat Annabeth
menikamkan belatinya. "Bukan masa depanku yang kuhacurkan." Dia meyakinkan dirinya sendiri.
"Akulah yang menentukan masa depanku sendiri."
Tapi di sebuah tempat di luar sana, seorang penyihir bernama Setne memiliki
gagasan lain. Jika Annabeth berniat menghentikannya, dia harus segera membuat
perencanaan yang matang. Dia berbalik dan berjalan melintasi pantai, mengarah ke timur dan melanjutkan
perjalanan panjangnya kembali ke Perkemahan Blasteran.
End Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia
Edited: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Cowok Misterius 3 Trio Detektif 37 Misteri Merpati Berjari Dua Jejak Di Balik Kabut 46
miring ke satu sisi, dan Annabeth merasa tubuhnya melayang.
"Ayo bangunlah," hardik gadis itu. "Kita harus bergerak."
Annabeth membuka mata. Dunia berputar. Sirine tanda bahaya melengking dari
kejauhan. Annabeth terlentang di permukaan rumput yang tajam. Gadis pirang dari kereta
membungkuk di atasnya, menarik lengannya.
Annabeth bangkir. Dia merasa seolah seseorang sedang memalu paku panas ke
dalam bilah rusuknya. Saat penglihatannya membaik, dia menyadari dia beruntung
masih hidup. Sekitar lima puluh meter darinya, kereta subway terguling dari
relnya. Gerbong-gerbong itu kini tak lebih dari rongsokan yang tergeletak miring,
zig-zag, dengan asap yang terus mengepul. Hal itu mengingatkan Annabeth pada
karkas seekor drakon (sialnya, Annabeth telah beberapa kali melihat bangkai
binatang itu.) Dia tak melihat adanya korban manusia biasa. Semoga mereka semua telah
meninggalkan kereta di stasiun Fulton Street. Meskipun begitu"tetap saja ini
bencana besar. Annabeth mengenali tempat itu: Rockaway Beach. Beberapa puluh meter di
sebelah kiri, lahan kosong dan pagar kawat ayam roboh di atas pasir pantai yang
kekuningan dan penuh bercak hitam serta sampah. Laut bergelora di bawah langit
yag kelam. Di sebelah kanan Annabeth, tak jauh dari rel kereta, berdirilah jajaran
menara apartemen yang begitu bobrok, hingga seluruhnya tampak seperti gedung
mainan yang dibentuk dari kardus lemari es.
"Yoo-hoo." Si Gadis Karate mengguncang bahu Annabeth. "Aku tahu mungkin
kau masih terguncang, tapi kira harus segera pergi. Aku tak mau diinterogasi polisi
saat aku masih menyeret makhluk ini."
Gadis itu berlari kecil di sebelah kiri Annabeth. Di belakangnya, di atas permukaan
aspal yang pecah si monster Labrador Hitam melompat-lompat mirip ikan yang
keluar dari air, moncong dan kakinya diikat dengan tali yang berpendar keemasan.
Annabeth menatap gadis muda itu. Lehernya dikalungi sebuah rantai berkilau
dengan bandul jimat perak"sebuah simbol mirip ankh Mesir yang digabung dengan
manusia kue jahe. Tongkat dan bumerang tergeletak di sebelahnya"keduanya diukir dengan aksara
hieroglif dan gambar yang aneh, jelas bukan gambar monster Yunani.
"Siapa kau?" hardik Annabeth
Gadis itu mengulas senyum tipis. "Biasanya aku tak memberitahukan namaku pada
orang asing. Demi alasan keamanan terhadap sihir dan semacamnya. Tapi aku
harus menghormati seseorang yang nekat berduel melawan monster kepala dua
dengan sebuah ransel biasa." Dia mengulurkan tangannya. "Sadie Kane."
"Annabeth Chase." Mereka bersalaman.
"Senang bertemu denganmu, Annabeth," ucap Sadie. "Sekarang mari kita ajak
anjing kita ini jalan-jalan."
Mereka pergi tepat pada waktunya.
Beberapa menit kemudian, truk damkar dan mobil polisi telah mengelilingi
bangkai kereta. Ratusan orang berkumpul untuk menonton dari gedung apartemen
tak jauh dari sana. Annabeth tak kuasa menahan rasa mual. Bintik-bintik merah menari-nari di depan
matanya, tapi dia tetap membantu Sadie menyeret ekor anjing itu secara terbalik di
sepanjang permukaan pasir. Sadie tampak senang menyeret monster itu di atas
sebanyak mungkin batu dan pecahan botol yang tertangkap oleh matanya.
Makhluk itu menggeram dan menggekuat-menggeliut. Aura merahnya berpendar
kian terang, sementara tali keemasan pengikatnya memudar.
Biasanya Annabeth senang berjalan-jalan di pantai. Laut mengingatkannya kepada
Percy. Tapi hari ini dia kelaparan dan kelelahan. Tas ranselnya terasa lebih berat
dari biasanya, dan disihir si monster anjing membuatnya ingin muntah.
Selain itu, Rockaway Beach memang tempat yang suram. Setahun yang lalu angin
topan besar meluluh-lantahkan tempat itu dan hingga kini jejaknya masih terlihat
jelas. Beberapa gedung apartemen di kejauhan tinggal puing-puing, jendela-jendela
yang ditambal papan dan dinding batako penuh dengan coretan grafiti. Balok kayu
lapuk, bongkahan aspal dan batang besi bengkok mengotori pantai. Tiang-tiang
dari dermaga yang telah hancur mencuat dari permukaan air. Laut sendiri
menampar-nampar pesisirnya dengan jengkel, seolah ingin mengatakan: Jangan
acuhkan aku. Bisa saja aku kembali dan menyempurnakan kerusakan itu.
Akhirnya mereka tiba di sebuah truk es krim yang diabaikan dan setengah
terpendam di dalam pasir. Terlukis di sisinya, gambar kusam jajanan lama yang
seketika membuat perut Annabeth semakin keroncongan.
"Berhenti dulu," gumamnya.
Annabeth melepaskan si monster anjing dan berjalan terhuyung-huyung mendekati
truk, lalu melorot dengan bahu bersandar di pintu penumpang.
Sadie duduk bersila di depannya. Dia merogoh ke dalam ranselnya dan
mengeluarkan sebuah botol keramik kecil dengan tutup sumbat kayu.
"Ini." Dia mengulurkannya kepada Annabeth. "Rasanya enak. Minum saja."
Annabeth mencermati botol itu dengan saksama. Terasa berat dan hangat, seolah
botol itu dipenuhi kopi panas. "Uh ... cairan ini tak akan memancarkan kilat emas
dan meledak bumm lalu menghancurkan wajahku, kan?"
Sadie mendengus. "Itu ramuan penyembuh, Bodoh. Temanku, Jaz, dia pembuat
ramuan penyembuh terbaik sedunia."
Annabeth masih ragu. Sebelumnya dia pernah mencicipi berbagai ramuan yang
dibuat oleh anak-anak Hecate. Biasanya ramuan mereka terasa seperti air
comberan, tapi paling tidak ramuan itu dibuat khusus untuk demigod. Apa pun itu,
ramuan pemberian Sadie jelas tidak diperuntukkan bagi demigod.
"Aku tidak yakin mau mencobanya," ucap Annabeth. "Aku ... berbeda denganmu."
"Tak seorang pun sama denganku," tanggap Sadie. "Keistimewaanku sangat unik.
Tapi jika maksudmu kau bukan penyihir, yah, aku langsung menyadari itu.
Biasanya kami berduel dengan tongkat panjang dan tongkat sihir." Dia menepuk
tongkat putih berukir bumerang gading yang tergeletak disisinya. "Meskipun kita
berbeda, aku yakin ramuanku cukup manjur untukmu. Kau baru bergulat dengan
monster. Kau juga bertahan dari reruntuhan kereta itu. Tak mungkin kau gadis
biasa." Annabeth tertawa lemah. Dia merasa kekurangajaran gadis itu menyegarkan
hatinya. "Tidak, aku jelas bukan gadis biasa. Aku seorang demigod."
"Ah." Sadie mengetukkan jemarinya pada tongkat sihir lengkungnya. "Maaf, ini
hal baru bagiku. Seorang demon god?"
"Demigod." Annabeth membetulkan. "Setengah dewa, setengah manusia."
"Oh, baiklah." Sadie menghembuskan napas lega. "Aku menampung Isis di dalam
kepalaku beberapa kali. Siapa teman spesialmu?"
"Teman"bukan begitu. Aku tidak menampung siapa pun. Ibuku adalah seorang
dewi Yunani, Athena."
"Ibumu." "Ya." "Seorang dewi. Dewi Yunani."
"Ya." Annabeth menyadari wajah teman barunya memucat. "Sepertinya tak ada
hal semacam itu dalam, um, dari tempat asalmu."
"Brooklyn?" Sadie tercenung. "Tidak. Sepertinya tidak ada. Di London. Di Los
Angeles. Seingatku aku tidak pernah ketemu satu demigod Yunani pun di semua
tempat itu. Meski begitu, untuk orang yang pernah berurusan dengan babun ajaib,
dewi kucing, dan kurcaci yang memakai Speedos, seharusnya aku tidak gampang
terkejut mendengar hal semacam itu."
Annabeth meragukan pendengarannya. "Ada kurcaci yang memakai Speedos?"
"Mmm." Sadie melirik si monster anjing yang masih menggeliat-menggeliut dalam
belitan tali emas. "Tapi masalahnya begini. Beberapa bulan lalu ibuku memberiku
peringatan. Dia menyuruhku untuk mewaspadai dewa-dewi dan berbagai jenis
lain." Botol di tangan Annabeth menghangat. "Dewa-dewi lain. Tadi kau menyebutkan
nama Isis. Dia adalah dewi sihir Mesir. Tapi ... dia bukan ibumu?"
"Bukan," jawab Sadie. "Maksudku, ya. Isis memang dewi sihir Mesir. Tapi dia
bukan ibuku. Ibuku adalah sesosok hantu. Sebenarnya ... dia adalah penyihir dalam
Dewan Kehidupan, seperti aku, tapi dia meninggal. Jadi?"
"Tunggu sebentar." Kepala Annabeth berdenyut-denyut tak tertahankan, dia pikir
tak ada lagi hal yang membuat sakitnya lebih parah. Dia mencabut sumbat botol
dan menenggaknya. Dia menduga lidahnya akan segera mengecap air comberan, tapi sebaliknya
ramuan itu terasa seperti sari apel hangat. Seketika, pandangannya jadi lebih jelas.
Perutnya tidak lagi bergolak.
"Wow," ucap Annabeth.
"Sudah kubilang." Sadie menyeringai. "Jaz adalah ahli ramuan terhebat."
"Jadi tadi kau bilang ... Dewan Kehidupan. Sihir Mesir. Kau seperti anak yang
dijumpai pacarku." Senyum Sadie luntur. "Pacarmu ... bertemu seseorang seperti aku" Penyihir lain?"
Beberapa meter dari mereka, si monster anjing menggeram dan meronta. Sadie
tampak tak peduli, tapi Annabeth mulai cemas sebab cahaya tali sihir itu kian
redup. "Kejadiannya beberapa minggu lalu," lanjut Annabeth, "Percy menceritakan hal
konyol tentang pertemuannya dengan seseorang bocah di dekat Moriches Bay.
Tampaknya anak itu menggunakan aksara hieroglif untuk melontarkan kutukan.
Dia membantu Percy meringkus monster buaya raksasa."
"Putra Sobek!" sembur Sadie. "Tapi kakakkulah yang berduel dengan monster itu.
Dia tidak bercerita jika?"
"Apakah kakakmu bernama Carter?" tanya Annabeth.
Auta terang keemasan berpendar di sekeliling kepala Sadie"sebuah halo aksara
hieroglif yang melambangkan kerutan dahi, kepalan tangan, dan gambar garis
orang mati. "Hingga saat ini," gerutu Sadie, "nama kakakku adalah si Karung Tinju.
Tampaknya dia belum memberi tahuku semua yang dialaminya."
"Ah." Annabeth memendam hasratnya untuk segera menyingkir dari teman
barunya. Dia takut hieroglif itu bisa meledak. "Maaf."
"Tidak perlu minya maaf," sergah Sadie. "Aku mau saja menonjok wajah kakakku
hingga menjadi bubur. Tapi sebelum itu, ceritakan padaku semuanya"tentang
dirimu, demigod, Yunani, dan segala hal yang mungkin berhubungan dengan
anjing iblis itu." Annabeth menceritakan segala yang diketahuinya.
Biasanya dia tidak gampang percaya, tapi dia telah memiliki banyak pengalaman
dalam menilai orang. Dia langsung menyukai Sadie: sepatu bot, rambut bergaris
ungu, ceplas-ceplos .... Menurut pengalaman Annabeth, orang yang tak bisa
dipercaya tak akan berkata terus terang saat ingin menghancurkan wajah
seseorang. Orang yang tidak bisa dipercaya tak akan membantu seseorang yang
pingsan dan menawarkan ramuan penyembuh,
Annabeth memberikan gambaran tentang Perkemahan Blasteran. Dia menceritakan
sebagian petualangannya saat berduel denga dewa-dewi, raksasa, dan Titan. Dia
menjelaskan saat dia melihat sesosok monster singa-serigala-kelomang di stasiun
West Fourth Street dan memutuskan untuk membuntutinya,
"Hingga sekarang aku di sini." Annabeth mengakhiri ceritanya.
Bibir Sadie bergetar. Tampaknya dia hendak menjerit atau menangis. Tapi yang
terjadi sebaliknya, dia tertawa cekikikan.
Annabeth memberengut. "Ada yang lucu dari ceritaku?"
"Tidak, tidak ...," dengus Sadie. "Tapi ... ini memang lumayan lucu. Lihat saja, kita
duduk di pantai sambil membicarakan dewa-dewi Yunani. Dan sebuah
perkemahan untuk demigod, dan?"
"Semua itu nyata!"
"Oh, aku percaya padamu. Ini terlalu konyol jika tidak nyata. Hanya saja, setiap
duniaku menjadi lebih aneh, kupikir: Baiklah. Kini keanehan yang aku alami sudah
maksimal. Paling tidak aku menduga aku sudah tahu semuanya. Pertama, aku
menemukan bahwa aku dan adikku adalah turunan dari firaun dan kami memiliki
kekuatan sihir. Oke. Tidak masalah. Lalu aku mengetahui bahwa ayahku yang
telah mati menyatukan jiwanya dengan Osiris dan menjadi raja orang mati. Luar
biasa! Kenapa tidak" Lalu pamanku mengambil alih Dewan Kehidupan dan
membawahi ratusan penyihir di seluruh dunia. Lalu pacarku ternyata adalah
seorang pemuda penyihir hibrifa/dewa pemakaman abadi. Sampai disitu aku
membatin, Tentu saja! Ayo tenangkan dirimu dan maju terus! Aku akan
menyesuaikan diri! Kemudian pada suatu hari, Kamis, tiba-tiba kau muncul, la-dida, dan berkata: Oh, omong-omong, dewa-dewi Mesir adalah sebagian kecil dari
kemustahilan kosmik. Kita juga harus mencemaskan keberadaan dewa-dewi
Yunani! Horeee!" Annabeth tak sanggup mengikuti seluruh ucapan Sadie"seorang pacar dewa
pemakaman?"tapi diakuinya, menertawakan kegilaan ini jauh lebih sehat daripada
bergelung dan menangis. "Oke." Annabeth mengakuinya. "Semua ini terdengar mustahil, tapi sepertinya
masuk akal juga. Guruku, Chiron ... bertahun-tahun dia bilang padaku bahwa
dewa-dewi zaman dulu hidup abadi sebab mereka adalah bagian dari hasil
peradaban. Jika dewa-dewi Yunani bertahan beberapa milenium ini, kenapa dewadewi Mesir tidak bertahan juga?"
"Semakin ramai, semakin meriah," seloroh Sadie. "Tapi, omong-omong,
bagaimana dengan anjing kecil ini?" Dia memungut sebutir kerang kecil dan
melemparkannya tepat di kepala si monster Labrador, membuatnya jengkel.
"Beberapa saat lalu ia dipajang di meja perpustakaan kami"artefak yang tak
berbahaya, mungkin cuma pecahan batu dari sebuah patung. Beberapa saat
kemudian ia hidup dan kabur dari Brooklyn House. Ia mengoyak ruang sihir kami,
melabrak penguin-penguin Felis, dan menangkis mantra-mantraku seolah itu angin
lalu." "Penguin?" Annabeth menggelengkan kepalanya. "Tidak. Lupakan pertanyaanku."
Dia mencermati monster anjing yang menggeliat dalam jerata tali itu. Aksara
Yunani merah dan hieroglif berpusar mengelilinginya seolah berusaha membentuk
simbol-simbol baru"sebuah pesan yang hampir bisa dibaca Annabeth.
"Apakah tali itu sanggup menahannya lebih lama?" tanya Annabeth. "Tampaknya
tali itu melemah." "Jangan cemas." Sadie meyakinkannya. "Tali itu pernah mengikat dewa-dewi
sebelumnya. Dan bukan dewa-dewi minor. Tapi yang luar biasa besar."
"Um, oke. Kau bilang anjing itu adalah bagian dari sebuah patung. Kau tahu
patung apa?" "Tidak tahu." Sadie mengangkat bahunya. "Cleo, pustakawan kami, baru mulai
mencari informasinya saat di Fido ini terbangun."
"Tapi anjing ini pasti ada hubunganya dengan monster yang satunya"si kepala
serigala dan singa. Aku menduga mereka juga baru saja terbangun. Keduanya baru
saja bersatu dan belum terbiasa bekerja sama sebagai satu tim. Mereka
menumpang kereta itu untuk mencari sesuatu"kemungkinan anjing ini."
Sadie memain-mainkan bandul kalung peraknya. "Sesosok monster dengan tiga
kepala: satu kepala singa, satu kepala serigala, dan satu kepala anjing. Ketiganya
menyembul dari sebuah ... apa nama benda kerucut itu" Cangkang" Obor?"
Kepala Annabeth kembali berputar. Sebuah obor.
Dia berusaha menggali ingatan lamanya"mungkin sebuah gambar yang pernah
dilihatnya dalam buku. Sebelumnya dia tidak menduga bahwa contong monster itu
adalah sesuatu yang bisa dipegang, sesuatu yang bisa dipegang oleh sebuah tangan
raksasa. Tapi sebuah obor kurang sesuai ....
"Contong itu adalah ujung tongkat raja." Dia sadar. "Aku tidak ingat dewa mana
yang memilikinya, tapi tongkatnya berkepala tiga adalah simbol dewa itu.
Barangkali dia adalah dewa ... Yunani, tapi dia juga berasal dari sekitar Mesir?"
"Alexandria," saran Sadie.
Annabeth menatap matanya. "Kau tahu dari mana?"
"Yah, meski aku bukan penggila sejarah seperti kakakku, tapi aku pernah
mengunjungi Alexandria. Aku ingat sesuatu tentang kota itu pernah menjadi ibu
kota saat Yunani menguasai Mesir. Penguasa kala itu Alexandria Agung, kan?"
Annabeth mengangguk. "Itu benar. Alexandria menaklukkan Mesir. Setelah dia
mati, jendralnya, Ptolemy mengambil alih kekuasaannya. Dia memaksa orang
Mesir untuk menganggapnya sebagai firaun atau raja mereka. Jadi, dia
menggabungkan dewa-dewi Mesir dan Yunani lalu menciptakan dewa-dewi baru."
"Sepertinya berantakan sekali," ucap Sadie. "Aku lebih suka jika dewa-dewiku
tidak digabung seperti itu."
"Tapi ada satu dewa tertentu ... aku lupa namanya. Makhluk berkepala tiga ini ada
di puncak tongkatnya ...."
"Berarti tongkatnya besar sekali," tambah Sadie. "Aku tidak akan senang bertemu
seseorang yang mampu membawa tongkat semacam itu."
"Ya ampun." Annabeth menegakkan punggung. "Itu dia! Tongkat itu bukan hanya
ingin menyatukan dirinya"ia juga sedang mencari tuannya."
Sadie memberengut. "Aku tidak suka dengan semua ini. Kita harus memastikan?"
Monster anjing itu menggonggong. Tali ajaib pengikatnya meledak bak granat,
menyemburkan utas-utas keemasan di seluruh penjuru pantai.
Ledakan itu melontarkan Sadie hingga jungkir balik berkali-kali di atas bukir pasir.
Annabeth terempas menghatam truk es krim. Sekujur tubuhnya kaku bak timah.
Udara tersedot habis dari paru-parunya.
Jika monster anjing itu berniat membunuhnya, kini ia bisa melakukannya dengan
mudah. Tapi ia malah berlari ke daratan, lalu lenyap di antara rerumputan.
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa sadar yang tangan Annabeth mencari-cari sesuatu untuk dijadikan senjata.
Jemarinya menggenggam erat tongkat sihir lengkung Sadie. Rasa ngilu
membuatnya megap-megap. Tongkat gading itu membakar kulitnya seperti es
kering. Annabeth berusaha melepas tongkat itu, tapi jemarinya tak mau menurut.
Kini tongkat gading itu mengeluarkan asap panas dan bentuknya berubah hingga
panasnya mereda sampai akhirnya Annabeth memegang belati perunggu langit"
persis seperti belati yang dimilikinya selama bertahun-tahun.
Dia mencermati belati di tangannya. Lalu dia mendengar eragan dari bukit pasir
tak jauh darinya. "Sadie!" Annabeth berusaha berdiri.
Saat dia sudah dekat dengan si penyihir, Sadie telah duduk tegak, meludahkan
pasir dalam mulutnya. Banyak rumput laut tersangkut di rambutnya, dan tas
ranselnya menjerat salah satu sepatu botnya, tapi tampangnya berang alih-alih
terluka. "Dasar Fido tolol!" makinya. "Aku tak akan memberinya biskuit anjing!" Dia
mengerutkan dahi saat melihat pisau Annabeth. "Dari mana kau dapat belati itu?"
"Uh ... ini tongkat sihirmu," jawab Annabeth. "Aku memegangnya dan ... aku tidak
tahu. Tongkat itu berubah menjadi belati yang biasa kugunakan."
"Huh. Benda sihir memang punya pemikirannya sendiri. Simpan saja pisau itu.
Aku masih punya banyak di rumah. Kau tahu Fido lari ke mana?"
"Ke sana." Annabeth mengacungkan belati barunya.
Sadie melirik ke daratan. Matanya melebar. "Oh ... baiklah. Ke arah badai. Ini hal
baru." Annabeth mengikuti arah pandang Sadie. Setelah rel subway, dia tak melihat apa
pun kecuali menara apartemen yang diabaikan, dipagari, dan tampak merana
diterangi warna senja. "Badai apa?"
"Kau tak bisa melihatnya?" tanya Sadie. "Tunggu sebentar." Dia mengurai tas
ransel dari sepatunya lalu merogoh ke dalamnya. Dia mengeluarkan sebuah botol
kecil yang lain, yang ini lebih gemuk dan lebar mirip wadah krim pelembab wajah.
Dia membuka penutupnya dan mencolek lendir pink dari dalam wadah. "Biar
kuoleskan ini ke kelopak matamu."
"Waduh, tidak deh."
"Jangan manja. Ini sangat aman ... yah, paling tidak untuk penyihir. Mungkin juga
aman untuk demigod."
Annabeth belum yakin, tapi dia menutup matanya. Sadie mengoleskan lendir itu,
kelopak mata Annabeth terasa menggelenyar dan hangat, seperti balsam mentol.
"Baiklah," ucap Sadie. "Kau boleh membuka mata sekarang."
Annabeth membuka mata dan jantungnya serasa copot.
Dunia tampak disaput oleh aneka warna. Permukaan tanah menjadi rembus
pandang"serupa agar-agar yang beringkat-tingkat hingga ke bawah. Udara beriakriak penuh dengan tirai-tirai yang berpendar, masing-masing tampak berbeda tapi
begitu ketara, bak video berkualitas gambar tinggi yang ditata membelakangi satusama lain. Aksara Yunani dan hieroglif melayang dan berpusar mengelilingi
Annabeth, menyatu lalu pecah saat bertabrakan. Annabeth merasa seolah sedang
melihat dunia dalam tingkatan atomik, segala yang tak kasatmata kini terungkap,
disaput cahaya ajaib. "Kau"selama ini kau selalu melihat dunia seperti ini?"
Sadie mendengus. "Demi dewa-dewi Mesir, ya tidaklah! Ini akan membuatku
sinting. Aku harus berkonsentrasi untuk melihat Duat. Itulah yang sedang kau
lakukan"mengintip ke dalam sisi magis dunia."
"Aku ...." Annabeth terbata-bata.
Biasanya Annabeth adalah orang yang percaya diri. Setiap kali dia berurusan
dengan manusia biasa, dia memiliki kebanggaa pribadi karena pengetahuan rahasia
yang diketahuinya. Dia memahami dunia para dewa-dewi dan monster. Manusia
biasa tak mengetahui hal itu. Bahkan dibanding demigod yang lain, Annabeth
selalu menjadi yang paling berpengalaman. Dia menyelesaikan jauh lebih banyak
misi daripada yang pernah dibayangkan oleh pahlawan lain, dan dia masih hidup.
Kini, saat menatap tirai-tirai warna yang terus beralih, Annabeth merasa bak
kembali menjadi gadis berumur enam tahun, yang baru saja menyadari betapa
mengerikan dan berbahayanya dunia ini.
Dia terpuruk di atas pasir. "Otakku buntu saat ini."
"Jangan berpikir," saran Sadie. "Tarik napas. Matamu akan menyesuaikan. Ini
mirip berenang. Jika kau membiarkan tubuhmu mengambil alih, secara naluriah
kau langsung tahu apa yang harus dilakukan. Jika kau panik, kau akan tenggelam."
Annabeth berusaha rileks.
Dia mulai memahami pola ganjil di udara: arus mengalir di antara lapisan-lapisan
realitas, jejak asap sihir menguar dari mobil-mobil dan gedung-gedung. Rongsokan
kereta berpendar hijau. Sadie punya aura keemasan, dengan kabut yang
membentang di punggungnya mirip sayap.
Tempat yang tadi diduduki si monster anjing kini berpendar merah seperti arang
yang terbakar. Sulur semerah darah mengular dari tempat itu, terus menjulur ke
arah kaburnya si monster.
Annabeth memusatkan pandangannya ke gedung apartemen terlantar di kejauhan,
dan detak jantungnya semakin cepat. Bagian dalam menara itu meyala merah"
cahaya menyorot melalui jendela yang diganjal papan dan retakan dinding. Awan
kelabu pekat berpusar di atas kepala, dan lebih banyak lagi sulur-sulur energi
merah mengular ke arah gedung, dari segala penjuru, seolah mereka tertarik ke
dalam sebuah vorteks. Pemandangan itu mengingatkan Annabeth pada Charybdis, monster pusaran air
laut yang pernah dihadapinya di Lautan Monster. Itu bukan ingatan yang
menyenangkan. "Gedung apartemen itu," ucap Annabeth. "Menarik cahaya merah dari segala
penjuru." "Betul," tanggap Sadie. "Dalam dunia sihir Mesir, merah artinya buruk. Itu berarti
iblis dan chaos." "Jadi si monster anjing itu mengarah ke arah sana," tebak Annabeth. "Untuk
bersatu dengan bagian lain dari kepala tongkat?"
"Dan menemukan tuannya, aku berani bertaruh."
Annabeth sadar dirinya harus bangkit. Mereka harus bergegas. Tapi saat melihat
lapisan-lapisan sihir yang berpusar, dia ragu untuk bergerak.
Dia menghabiskan sepanjang hidupnya untuk mempelajari Kabut"batas sihir yang
memisahkan dunia manusia biasa dari dunia dewa-dewi dan monster Yunani. Tapi
dia tak pernah menduga Kabut benar-benar serupa dengan tirai.
Tadi Sadie menyebutnya apa"Duat"
Annabeth bertaya-tanya apakah Kabut dan Duat ada hubungannya, atau mungkin
adalah hal yang sama. Jumlah lapisan yang sanggup dilihatnya sungguh
mengherankan"mirip permadani yang dilipat-lipat ratusan kali.
Annabeth tak yakin sanggup berdiri. Jika panik, kau akan tenggelam.
Sadie mengulurkan tangan. Matanya memancarkan simpati sepenuhnya. "Dengar,
aku tahu ini terlalu sulit untuk dipercaya, tapi tak ada yang berubah. Kau masih
seorang demigod tanggung yang bersenjatakan tas ransel, sama seperti
sebelumnya. Dan sekarang kau malah memiliki belati yang cantik."
Annabeth merasakan pipinya memerah. Biasanya dia yang memberikan nasihat
dan motivasi. "Ya. Ya, tentu saja." Dia menggenggam tangan Sadie. "Ayo pergi mencari dewa
itu." Gedung itu dikelilingi pagar kawat ayam, tapi mereka bisa menyelinap melalui
sebuah lubang dan berjalan melintasi padang alang-alang dan puing-puing
bangunan. Efek lendir ajaib pada kelopak mata Annabeth mulai hilang. Dunia tidak lagi
tampak berlapis-lapis dan bercorak warna-warni, tapi dia tidak
mempermasalahkannya. Dia tidak membutuhkan penglihatan khusus untuk
mengetahui bahwa gedung itu penuh dengan sihir jahat.
Di hadapannya, pendar merah di jendela tampak semakin terang. Papan tripleks
bekertak. Dinding batako berderak. Burung hieroglif dan manusia garis mewujud
di udara dan melayang-layang di dalam. Bahkan grafiti tampak bergetar di dinding,
seolah berbagai simbol itu ingin hidup.
Makhluk apa pun yang ada di dalam sana, kekuatannya menarik Annabeth juga,
sama seperti daya tarik si Kelontang di atas kereta.
Dia mencengkeram belati perunggu barunya. Dia sadar bahwa belati itu terlalu
kecil dan pendek untuk memberikan perlindungan yang layak. Tapi itulah alasan
mengapa Annabeth menyukai belati: Belati membuat pikirannya tetap terfokus.
Putri Athena tak boleh mengandalkan senjata tajam jika dia masih bisa
menggunakan kecerdasannya. Kecerdasan memenangkan peperangan, bukan
kekuatan otot belaka. Celakanya otak Annabeth sedang buntu saat ini.
"Andai aku tahu apa yang akan kuhadapi," gumamnya saat mengendap-endap ke
arah gedung. "Aku suka mengumpulkan banyak informasi dulu"mempersenjatai
diriku dengan pengetahuan."
Sadie menggerutu. "Kau sama saja dengan kakakku. Katakan padaku, seberapa
sering para monster memberimu kesempatan mencari tahu tentang mereka lebih
dulu sebelum mereka menyerang?"
"Tidak pernah," aku Annabeth.
"Nah, benar, kan" Carter"dia selalu duduk berjam-jam di perpustakaan, membaca
segala sesuatu tentang iblis jahat yang mungkin akan kami hadapi, mencatat segala
informasi penting dan membuatkan lembar catatan khusus agar aku mau
mempelajarinya. Padahal saat iblis menyerang, mereka bahkan tak memberi kami
peringatan apa pun, dan mereka tak mau bersusah-payah memperkenalkan diri
mereka terlebih dahulu."
"Jadi, apa prosedur operasi standar yang biasa kau lakukan?"
"Hantam langsung," sahut Sadie. "Berpikir sambil berjalan. Jika diperlukan,
meledakkan musuh hingga berkeping-keping."
"Hebat. Kau pasti cocok dengan teman-temanku."
"Aku anggap itu sebuah pujian. Ke pintu itu, bagaimana menurutmu?"
Satu set anak tangga mengarah ke pintu masuk ruang bawah tanah. Sebilah papan
selebar sepuluh sentimeter dipaku melintang di ambang pintu, tampak seperti
usaha menjauhkan penerobos dengan setengah hati, tapi pintunya sendiri sedikit
terbuka. Annabeth baru akan meyarankan agar mereka meneliti ruangan itu dengan
seksama. Dia tidak memercayai jalan masuk yang semudah itu, tapi Sadie tidak
menunggu. Penyihir muda itu berlari kecil menuruni tangga dan menyelinap ke
dalam. Satu-satunya pilihan Annabeth adalah mengikutinya.
Sesaat kemudian terungkap, seandainya mereka melewati pintu yang lain, mereka
pastilah langsung tewas. Bagian dalam gedung mirip tempurung, tingginya tiga puluh lantai, berbagai benda
berpusar mengelilingi ruangan, batu bata, pipa, papan, dan berbagai macam
reruntuhan lain, bersama dengan simbol Yunani, hieroglif, serta pendar neon
merah energi yang memusat. Pemandangan itu sangat mengerikan sekaligus
indah"seolah sebuah tornado berhasil dikurung, disinari cahaya dibagian
tengahnya, dam dipajang secara permanen.
Karena tadi mereka masuk di tingkat bawah tanah, Sadie dan Annabeth terlindungi
oleh tangga yang menjorok ke dalam"semacam parit di dalam beton. Jadi tadi
mereka memasuki pusaran lewat pintu lantai pertama, tubuh mereka pasti langsung
tercerai-berai. Saat Annabeth memandangi pusaran itu, sebuah baja penopang bangunan terbang
di atas kepalanya dengan kecepatan mobil balap. Lusinan batu bata melesat seperti
merah menabrak selembar tripleks terbang, seketika lembaran kayu padat itu
terbakar bak tisu toilet.
"Lihat ke atas," bisik Sadie.
Dia menunjuk ke puncak gedung. Di atas sana lantai ke tiga puluh belum ambruk
sepenuhnya"lantai remuk mencuat di udara. Sulit untuk melihat tembus pusaran
puing dan kabut merah, tapi Annabeth dapat melihat wujud manusia kekar yang
berdiri tepat di tubir, kedua lengannya terentang seolah menyambut kedatangan
badai. "Apa yang dilakukanya?" gumam Sadie.
Annabeth berjengit saat pipa tembaga spiral berdesing beberapa sentimeter di atas
kepalanya. Dia memandangi reruntuhan terbang itu dan mulai menyadari pola-pola
di dalamnya, seperti yang dilakukannya saat melihat Duat: pusaran lembaran papan
dan paku terbang bersamaan untuk membentuk sebuah rangka dasar, sekumpulan
batu bata menata diri seperti bongkah Lego hingga membentuk bangunan
lengkung. "Dia sedang membangun sesuatu." Annabeth menyimpulkan.
"Membangun apa, sebuah bencana?" tanya Sadie. "Tempat ini mengingatkanku
pada Dunia Chaos. Dan percayalah kepadaku, itu bukan tempat berlibur yang
menyenangkan." Annabeth memandang sekilas. Dia bertanya-tanya apakah Chaos artinya sama bagi
orag Mesir dan Yunani. Annabeth nyaris celaka saat berada di Dunia Chaos, dan
jika Sadie pernah ke sana juga ..., para penyihir pasti jauh lebih tangguh dari
penampilannya. "Pusaran ini tidak acak," ucap Annabeth. "Lihat ke sana" Dan ke sana" Puingpuing menjadi satu, membentuk semacam struktur di dalam gedung ini."
Sadie mengerutkan kening. "Bagiku ini tampak seperti batu di dalam blender."
Annabeth masih bingung cara menjelaskannya, tapi dia sudah cukup lama
mempelajari teknik arsitektur hingga mampu mengenali detail kecil dari fenomena
di depannya. Pipa-pipa tembaga saling menyambung seperti arteri dan vena dalam
sebuah sistem sirkulasi. Bagian-bagian dari dinding saling menyatu hingga
membentuk sebuah bentuk yang baru. Di banyak tempat, batu bata atau besi
penompang lepas dari dinding luar dan masuk ke dalam pusaran.
"dia sedang menganibalkan gedung ini," terang Annabeth. "Aku tak tahu berapa
lama dinding luar itu akan bertahan"
Sadie mengutuk pelan. "Tolong katakan kepadaku dia tidak sedang membangun
sebuah piramida. Apa saja, pokoknya jangan piramida."
Annabeth heran kenapa seorang penyihir Mesir membenci piramida, tapi dia
menggelengkan kepala. "Perkiraanku ini bentuknya seperti menara kerucut. Hanya
ada satu cara untuk memastikannya."
"Kita tanya orang yang membangunnya." Sadie mendongak ke arah sisa lantai ke
tiga puluh. Pria di tubir belum bergerak, tapi Annabeth berani bersumpah pria itu membesar.
Cahaya merah berputar mengelilinginya. Dalam siluet, tampaknya dia mengenakan
topi tabung panjang ala Abraham Lincoln.
Sadie menyandang tas ranselnya. "Jika dialah dewa misterius kita cari, mana
mons?" Sebelum Sadie menyelesaikan kalimatnya, raungan monster tiga kepala menembus
keriuhan di dalam gedung. Di ujung gedung yang berlawanan, satu set pintu logam
menjeblak terbuka dan si Kelomang melompat masuk.
Sayangnya, kini monster itu telah berkepala tiga"serigala, singa, dan anjing.
Cangkang spiral panjangnya memendarkan inskripsi hieroglif dan Yunani. Sama
sekali tak memedulikan puing-puing terbang, si monster menerjang ke dalam
ruagan dengan enam kaki depannya, lalu melompat ke udara. Badai
mengangkatnya ke atas, dan terbang berputar di tengah kekacauan itu.
"Dia menghampiri tuannya," ucap Annabeth. "Kita harus menghentikannya."
"Asyik," gerutu Sadie. "Ini akan menguras tenagaku."
"Apa yang menguras tenagamu?"
Sadie mengangkat tongkat panjangnya. "N"dah."
Sebuah aksara hieroglif emas berkobar di atas mereka:
Seketika mereka berdua mengelilingi gelembung cahaya.
Tulang belakang Annabeth menggelenyar. Dia pernah terkurung dalam gelembung
perlindungan seperti sebelumnya, saat dia, Percy dan Grover menggunakan
mutiara ajaib untuk melarikan diri dari Dunia Bawah. Pengalaman itu membuatnya
... klaustrofobia. "Gelembung ini akan melindungi kita dari pusaran itu?" tanya Annabeth.
"Semoga saja." Butiran keringat sebesar biji jangung menghiasi wajah Sadie. "Ayo
jalan." Dia menaiki tangga terlebih dahulu.
Tak perlu menunggu lama, gelembung itu segera mendapat ujian. Sebuah meja
dapur terbang pasti akan menebas kepala mereka, tapi meja itu hancur saat
menghantam gelembung pelindung Sadire. Pecahan marmer terbang di sekitar
tempat melukai mereka. "Bagus sekali," seru Sadie. "Sekarang kau tahan tongkat ini sementara aku berubah
menjadi seekor burung."
"Tunggu. Apa?" Sadie menatapnya jengkel. "kita berpikir sambil berjalan, bukan" Aku akan
terbang ke atas dan menghentikan monster dengan tongkat itu. Kau berusaha
mengalihkan perhatian dewa itu ... entah siapa dia. Coba dapatkan perhatiannya."
"Baiklah, tapi aku bukan penyihir. Aku tak bisa mempertahankan sebuah mantra."
"Gelembung ini akan bertahan beberapa menit, selama kau masih menggunakan
tongkat itu." "Tapi bagaimana denganmu jika kau keluar dari gelembung?"
"Aku punya ide. Mungkin bisa berhasil"
Sadie mengambil sesuatu dari dalam ranselnya"patung binatang kecil. Dia
membungkus patung itu dengan jarinya dan mulai berubah wujud.
Annabeth pernah menyaksikan orang berubah wujud menjadi binatang
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelumnya, tapi tetap saja dia hampir tak sanggup melihatnya. Sadie mengerut
sepuluh kali lebih kecil dari ukuran aslinya. Hidungnya memanjang hingga
menjadi paruh. Rambut, pakaian, dan raselnya lumer menjadi lapisan bulu yang
mengilat. Dia menjadi seekor burung pemangsa kecil"mungkin seekor elang"mata
birunya kini kuning keemasan. Cakarnya masih mencengkeram patung kecil itu.
Lalu Sadie membentangkan sayap dan melontarkan dirinya ke dalam pusaran
badai. Annabeth berjengit saat serangkaian batu bata menabrak temannya"tapi entah
bagaimana benda pejal itu menembus tanpa mengubah Sadie menjadi bubur bulu.
Sosok Sadie berkedip seolah dia sedang melayang di lapisan perairan yang dalam.
Annabeth menyadari bahwa Sadie berada di dalam Duat"terbang ke dalam
tingkatan realitas yang berbeda.
Kejadian itu membuat berbagai gagasan meruah dalam benak Annabeth. Jika
seorang demigod bisa belajar menembus dinding seperti itu, berlari menembus
tubuh monster, maka .... Tapi itu bisa dibicarakan lain waktu. Sekarang dia harus bergerak. Dia menaiki
tangga dan memasuki pusaran badai. Batang besi dan pipa tembaga berdentangan
saat menanabrak gelembung perlindungannya. Cahaya keemasan gelembung
berkedip semakin lemah setiap kali dihantam benda-benda pejal itu.
Dia mengangkat tongkat Sadie dengan tangan kiri dan belati barunya dengan
tangan kanan. Di tengah pusaran arus sihir, bilah perunggu Langit mengerjap
lemah mirip obor yang kehabisan minyak.
"Hei!" pekiknya ke arah tubir di atas sana. "Tuan Manusia Dewa!"
Tak ada tanggapan. Suaranya mungkin tak sanggup menembus badai.
Atap lengkung gedung itu mulai berderak. Plester berjatuhan dari dinding dan
terbang bersama benda lainnya, mirip gula kapas yang diputar.
Si Elang Sadie masih hidup, melayang ke arah monster berkepala tiga yang terus
terbang spiral ke atas. Makhluk itu sudah setengah jalan ke puncak bangunan,
kaki-kakinya terus memancal dan pendar cangkangnya kian terang, ia seolah
menyerap tenaga dari badai.
Annabeth kehabisan waktu.
Dia mencoba mengaktifkan lagi ingatannya, menyaring berbagai mitos kuno,
kisah-kisah tersamar yang pernah diceritakan Chiron padanya di pekemahan. Saat
dia lebih muda, otaknya berfungsi bagai spons, menyerap berbagai fakta dan nama.
Tongkat dengan tiga kepala. Dewa Alexandria, Mesir.
Nama dewa itu muncul dalam benaknya. Paling tidak, dia berharap dugaannya
benar. Salah satu pelajaran pertamanya sebagai seorang demigod: Nama memiliki
kekuatan. Jangan pernah mengucapkan nama sesosok dewa atau monster kecuali
kau sudah siap untuk menarik perhatiannya.
Annabeth menarik napas panjang. Dia berteriak sekuat tenggorokannya:
"SERAPIS!" Badai mereda. Rangkaian besar pipa mengambang di tengah udara. Awan batu
bata dan kayu berhenti seketika bak tertahan tangan tak kasatmata.
Setelah terhenti di tengah badai, si monster berkepala tiga berusaha berdiri. Sadie
menukik di atasnya, membuka cakarnya, dan menjatuhkan patungnya, yang
langsung tumbuh menjadi unta berukuran normal.
Unta arab berambut kasar itu terempas di atas punggung si monster. Kedua
makhluk itu bergulung-gulung di udara dan terbanting di lantai dengan kepala dan
anggota badan saling membelit. Si monster kepala tongkat terus meronta-ronta,
tapi unta itu menindihnya dengan kaku mengangkang, melenguh dan
menyemburkan ludah dan melunglaikan tubuhnya bak bayi seberat lima ratus
kilogram yang sedang merajuk.
Dari tubir di lantai ke tiga puluh terdengar dentuman suara seorang pria: "SIAPA
YANG BERANI MENYELA KEBANGKITANKU?"
"Aku yang menyelamu!" pekik Annabeth. "Turun kau dan hadapi aku!"
Annabeth ingin memastikan dewa itu memusatkan perhatian kepadanya supaya
Sadie bisa ... melakukan apa pun yang hendak dilakukannya. Penyihir muda itu
jelas menguasai berbagai trik hebat.
Dewa Serapis melompat dari tubirnya. Dia terjun bebas setinggi tiga puluh lantai
dan mendarat sempurna di tengah lantai dasar, jarak yang strategis bagi Annabeth
untuk melempar pisau. Tapi Annabeth tidak berniat menyerang.
Tubuh Serapis setinggi hampir lima meter. Dia hanya mengenakan celana renang
dengan pola bunga khas Hawaii. Tubuhnya berotot padat. Kulitnya yang sewarna
perunggu penuh dengan tato hieroglif yang berkilauan, aksara Yunani, dan
beberapa bahasa lain yang tak dikenali Annabeth.
Wajahnya berbingkai oleh rambut gimbal panjang ala Rasta. Jenggot keriting
Yunani tumbuh hingga sepanjang tulang selangkanya. Matanya berwaena hijau
laut"sangat mirip mata Percy hingga membuat Annabeth merinding.
Normalnya Annabeth tidak menyukai pria berambut panjang dan berjenggot, tapi
dia harus mengakui kedewasaan dan keliaran dewa ini malah membuatnya
menarik. Tapi tutup kepalanya merusak penampilannya. Benda yang dikira topi panjang
biasa, ternyata adalah keranjang anyaman silinder yang disulam dengan berbagai
gambar bunga. "Maaf," ucap Annabeth. "Apa yang dikepalamu itu pot bunga?"
Kedua alis cokelat tebal Serapis terangkat. Dia menepuk kepalanya seolah dia telah
melupakan keberadaan keranjang itu. Beberapa biji gandum tumpah dari lubang
bagian atas. "Ini namanya modius, dasar gadis tolol. Salah satu simbol suciku!
Keranjang biji merepresentasikan Dunia Bawah, tempat yang kukuasai."
"Uh, benarkah?"
"Tentu saja!" Serapis memelototinya. "Yah dulu, tapi tak lama lagi aku akan
kembali menguasainya. Memangnya kau siapa" Berani-beraninya mengkritik
pilihan busanaku" Demigod Yunani, dinilai dari baumu, membawa senjata
perunggu Langit dan tongkat Mesir dari Dewan Kehidupan. Sebenarnya kau yang
mana"pahlawan atau penyihir?"
Tangan Annabeth gemetar. Entah mengenakan pot bunga atau tidak, yang jelas
Serapis memancarkan kekuatan. Berdiri di dekat dewa itu, Annabeth merasa tubuh
bagian dalamnya mencair, seolah jantung, lambung, dan segenap keberaniannya
meleleh. Tenangkan dirimu, batin Annabeth. Kau pernah menghadapi banyak dewa-dewi
sebelumnya. Tapi Serapis berbeda. Kehadirannya jelas terasa salah"seolah dengan berada di
tempat itu saja, dia telag menjungkirbalikkan dunia Annabeth.
Sekitar tujuh meter di belakang dewa itu, si Burung Sadie telah mendarat dan
berubah kembali menjadi manusia. Dia memberikan isyarat kepada Annabeth:
telunjuk menempel bibir (Shh), lalu memutar tangannya (buat dia terus berbicara).
Lalu Sadie merogoh ke dalam tasnya dengan hati-hati.
Annabeth tidak mengerti apa yang direncanakan temannya, tapi dia memaksakan
diri untuk menatap langsung mata Serapis. "Siapa bilang aku bukan keduanya"
penyihir dan demigod" Sekarang jelaskan kenapa kau di sini!"
Wajah Serapis mengeruh. Lalu, dia mengejutkan Annabeth dengan mendongakkan
kepalannya dan terbahak-bahak, menumpahkan lebih banyak biji dari modius-nya.
"Aku mengerti! Kau berusaha membuatku terkesan, ya" Menurutmu dirimu layak
menjadi pendeta wanita pendampingku?"
Annabeth menelan ludah. Hanya ada satu jawaban untuk sebuah pertanyaan
semacam itu. "Tentu saja aku layak! Dulu aku adalah magna mater"ibu besar dari
klan pemuja Athena! Tapi pertanyaannya, apakah kau layak mendapatkan
pelayananku?" "HA!" Serapis menyeringai. "Ibu besar dari klan pemuja Athena, ya" Ayo kita
buktikan seberapa kuat dirimu."
Serapis mengibaskan tangannya. Sebuah bak mandi melesat ke arah gelembung
Annabeth. Bak porselen itu hancur berkeping-keping saat menghantam gelembung
keemasan, tapi tongkat Sadie menjadi sangat panas, Annabeth terpaksa
menjatuhkannya. Kayu putih itu terbakar menjadi abu.
Bagus, batin Annabeth. Baru dua menit dan aku sudah merusakkan tongkat Sadie.
Gelembung pelindungnya lenyap. Kini Annabeth berhadapan dengan dewa
setinggi lima meter dengan senjatanya yang biasa"belati mungil dan lagak yang
berlebihan. Di sebelah kiri Annabeth, si monster berkepala tiga masih berusaha melepaskan
diri dari tindihan si unta, tapi si unta sangat berat, gigih, dan luar biasa kikuk.
Setiap kali si monster berusaha menjatuhkannya, dengan bersemangat unta itu
bunga angin dan kian melebarkan keempat kakinya.
Sementara itu, Sadie mengambil sepotong kapur tulis dari tas ranselnya. Dengan
berapi-api dia mencorat-coret lantai beton di belakang Serapis, mungkin dia sedang
menuliskan epitaf yang puitis untuk mengenang kematian mereka berdua sebentar
lagi. Annabeth teringat sebuah kutipan yang pernah diucapkan temannya, Frank"sebuah
kalimat dari buku Sun Tzu The Art of War.
Ketika lemah, berlagaklah kuat.
Annabeth membusungkan dada dan terbahak-bahak di hadapan Serapis.
"Lemparlah segala macam benda sesukamu, Tuan Serapis. Aku bahkan tak butuh
sebuah tongkat untuk melindungi diriku. Kekuatanku terlalu besar! Mungkin kau
mau berhenti menghabiskan waktuku dan kayakan saja langsung bagaimana aku
bisa melayanimu, yah anggap saja aku telah setuju untuk menjadi pendeta wanita
tinggimu yang baru."
Wajah dewa itu memancarkan api kebencian.
Annabeth yakin Serapis berencana menjatuhkan seluruh puing terbang itu diatas
kepalanya, dan tak ada cara untuk menghentikannya. Dia mempertimbangkan
untuk melemparkan belatinya tepat ke mata Serapis, seperti ketika temannya,
Rachel mencoba mengalihkan perhatian Titan Kronos, tapi Annabeth tidak
mempercayai ketepatan bidikannya.
Akhirnya Serapis tersenyum menyeringai. "Kau punya nyali, Nona. Aku akan
mengabulkan permintaanmu. Lagi pula kau menemukanku dengan sangat cepat.
Mungkin kau bisa melayaniku. Kau akan menjadi yang pertama memberikan
kekuatanmu, kehidupanmu, dan jiwamu!"
"Tampaknya seru."
" Annabeth menatap Sadie sekilas, berharap dia mempercepat
lukisan kapurnya. "Tapi pertama-tama," ucap Serapis, "aku harus memegang tongkatku!"
Dia menunjuk ke arah si unta. Sebuah hieroglif merah membara di kulit makhluk
itu dan dengan satu kentut terakhir, unta arab malang itu lebur menjadi setumpuk
pasir. Monster berkepala tiga bangkit, mengibaskan pasir dari tubuhnya.
"Tunggu!" pekik Annabeth.
Si monster berkepala tiga menggeram ke arahnya.
Serapis memandangnya marah. "Sekarang apa lagi?"
"Sebaiknya aku ... yah, mempersembahkan tongkat itu padamu, sebagai seorang
pendeta tinggimu! Kita harus melakukan semuanya secara resmi!"
Annabeth menyergap monster itu. Annabeth tak sanggup mengangkatnya tapi dia
menyarungkan belatinya di ikat pinggang dan menggunakan kedua tangan untuk
mencengkeram ujung cangkang kerucut makhluk itu, menarik ke belakang,
menjauh dari Serapis. Sementara itu, Sadie telah menggambar sebuah lingkaran besar seukuran hulahoop di lantai beton. Sekarang dia menghiasinya dengan berbagai aksara hieroglif
dari kapur warna-warni. Baiklah, batin Annabeth semakin frustasi. Santai saja dan percantik gambarmu!
Dia berhasil mengulas senyum ke arah Serapis sambil menahan monster kepala
tongkat yang mencakar-cakar ke depan.
"Tuanku," ucap Annabeth, "ceritakan kepadaku rencana barumu! Sesuatu tentang
jiwa dan kehidupan?"
Monster kepala tongkat protes dengan meraung-raung, mungkin karena ia dapat
melihat Sadie bersembunyi di belakang dewa itu, sambil terus menyelesaikan
lukisan jalanannya. Serapis tampak tidak menyadarinya.
"Lihatlah!" Serapis merentangkan tangan kekarnya. "Pusat baru dari kekuatanku!"
Percikan api merah melesat menembus pusaran badai yang mematung itu. Sebuah
jaringan menyatukan setiap titik hingga Annabeth melihat skema utuh struktur
yang sedang dibangun Serapis: menara raksasa setinggi seratus meter, didesain
dengan tiga tingkatan"persegi dibagian dasar, oktagonal di bagian tengah, dan
bulat di bagian puncak. Pada titik zenit terlihat kobaran api seterang tungku
Cyclop. "Sebuah mercusuar," ucap Annabeth. "Mercusuar Alexandria."
"Benar, Pendeta Mudaku." Serapis berjalan mondar-mandir mirip seorang guru
yang sedang mengajar, kolor bermotif bunga yang dikenakannya sangat mengusik
mata. Keranjang anyaman di kepalanya berkali-kali miring dan menumpahkan bijibijian. Entah mengapa dia masih belum menyadari kehadiran Sadie yang jongkok
di belakangnya, mengguratkan kapurnya menjadi lukisan cantik.
"Alexandria!" pekik dewa itu. "Dulu adalah kota terbesar di dunia, paduan terbesar
dari kekuasaan Yunani dan Mesir! Dulu akulah dewa utama kota itu, dan sekarang
aku bangkit lagi. Aku akan menciptakan ibu kota baruku di sini!"
"Uh ... di Rockaway Beach?"
Serapis diam da menggaruk jenggotnya. "Kau benar juga. Nama itu kurang
mengena. Kita akan menamakan tempat ini ... Rockandria" Serapaway" Yah, nanti
saja kita menamakannya! Langkah pertama kita adalah menyelesaikan
pembangunan mercusuar baruku. Ini akan menjadi lampu pemandu dunia"menarik
dewa-dewi dari Yunani kuno dan Mesir ke sini, kepadaku, seperti yang terjadi di
masa lalu. Aku akan menyedot kekuatan inti mereka dan menjadi dewa yang
terkuat di antara semuanya!"
Annabeth merasa seolah baru saja dipaksa menelan sesendok penuh garam.
"Menyedot kekuasaan inti mereka. Maksudmu, kau akan menghancurkan
mereka?" Serapis mengibaskan tangannya tak acuh. "Menghancurkan adalah kata yang cela.
Aku lebih suka menyebutnya menggabungkan. Kau tahu sejarahku, kan" Saat
Alexander Agung menaklukkan Mesir?"
"Dia mencoba menggabungkan agama Yunani dan Mesir," ucap Annabeth.
"Mencoba dan gagal." Serapis tergelak. "Alexander memilih seorang dewa
matahari Mesir, Amun, untuk menjadi dewa utamanya. Rencana itu tidak berjalan
mulus. Orang Yunani tidak menyukai Amum. Orang Mesir juga tidak menyukai
Nile Delta. Mereka memandang Amun sebagai dewa hulu. Tapi setelah Alexander
tiada, jendralnya mengambil alih Mesir."
"Ptolemy Yang Pertama," ucap Annabeth.
Serapis tersenyum lebar, jelas senang. "Ya ... Ptolemy. Senang mengetahui ada
manusia biasa yang memiliki visi!"
Annabeth harus berjuang keras menahan keinginan untuk menatap Sadie, yang kini
telah menyelesaikan lingkaran ajaibnya dan mengetuk aksara hieroglif dengan
jarinya, lalu komat-kamit seolah untuk mengaktifkan semuanya.
Si monster berkepala tiga menggeram protes. Ia mencoba menerjang ke depan, dan
Annabeth hampir tak sanggup menahan entakannya. Cengkeramannya mulai
melemah. Aura makhluk itu membuatnya ingin muntah seperti biasa.
"Ptolemy menciptakan sesosok dewa baru," ucap Annabeth, mempererat
tarikannya. "Dia menciptakanmu."
Serapis mengangkat bahunya. "Tapi bukan dari nol. Sebelumnya aku seorang dewa
desa minor. Tak seorang pun mendengar namaku! Tapi Ptolemy menemukan
patungku dan membawanya ke Alexandria. Dia menyuruh para pendeta Yunani
dan Mesir meramal dan merapalkan berbagai macam mantra dan tindakan kecil
lainnya. Mereka semua sepakat aku adalah dewa agung Serapis, dan aku harus
dipuja melebihi dewa-dewi yang lain. Aku menjadi terkenal seketika!"
Sadie bangkit dalam lingkaran ajaibnya. Dia melepas kalung peraknya dan mulai
mengayun-ayunkannya seperti tali laso.
Raungan monster berkepala tiga itu mungkin dimaksudkan untuk memperingatkan
tuannya: Awas! Tapi Serapis sedang asyik mengisahkan kesuksesannya. Saat dia berbicara, tato
aksara hieroglif da Yunani di kulitnya berpendar kian terang.
"Aku menjadi dewa yang paling penting bagi orang Yunani dan Mesir!" lanjutnya.
"Saat semakin banyak orang yang menyembahku, aku menyedot habis kekuatan
dewa-dewi yang lebih tua. Perlahan tapi pasti, aku mengambil alih posisi mereka.
Dunia Bawah" Aku menjadi rajanya, menggantikan Hades dan Osiris sekaligus.
Anjing penjaga Cerberus berubah menjadi tongkatku, yang sekarang kau pegangi.
Tiga kepalanya melambangkan masa lalu, masa kini, dan masa depan"yang
semuanya bisa aku kontrol setelah tongkat itu kembali ke genggamanku."
Serapis mengulurkan tangan. Si monster kian berontak ingin mencapai tuannya.
Otot lengan Annabeth serasa terbakar. Cengkeraman jemarinya mulai terlepas satu
demi satu. Sadie masih mengayunkan bandul kalungnya, mulutnya berkomat-kamit
merapalkan mantra. Hecate yang Suci, batin Annabeth, berapa lama yang dibutuhkan untuk
melontarkan mantra sinting itu"
Dia menatap pandangan Sadie dan melihat pesan yang tergurat di matanya:
Tunggu. Beberapa detik lagi.
Annabeth tak yakin dia sanggup menahannya beberapa detik lagi.
"Dinasti Ptolemic ...." Annabeth mengertakkan gigi. "Runtuh beberapa abad yang
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lalu. Kaum pemujamu telah dilupakan. Bagaimana kau bisa kembali seperti
sekarang?" Serapis mendengus. "Itu tak penting. Orang yang membagunkanku ... yah, dia
memiliki angan-angan tinggi. Dia mengira akan bisa mengendalikanku hanya
karena dia menemukan beberapa mantra kuno dari Kitab Thoth."
Di belakang Serapis, Sadie berjengit seolah seseorang baru saja menampar
keningnya. Tampaknya, fakta tentang "Kitab Thoth" itu sangat mengejutkannya.
"Dengar," lajut Serapis, "kembali ke masa lalu, Raja Ptolemy merasa tidak cukup
dengan menjadikan aku sebagai dewa utama. Dia juga ingin abadi. Dia
mendeklarasikan bahwa dirinya seorang dewa, tapi sihirnya malah menjadi
bumerang. Setelah kematiannya, seluruh keluarganya dikutuk hingga beberapa
generasi. Kian lama keturunan Ptolemic kian melemah hingga si gadis tolol,
Cleopatra bunuh diri dan menyerahkan semuanya ke orang Roma."
Serapuis menyeringai. "Manusia ... selalu serakah. Penyihir yang
membangunkanku kali ini merasa dia bisa berbuat lebih baik daripada Ptolemy.
Membangkitkanku hanyalah salah satu ekspresinya dengan paduan sihir MesirYunanu. Dia berencana menjadikan dirinya seorang dewa, tapi hasil perbuatannya
telah melampaui kemampuannya sendiri. Kini aku telah bangkit. Aku akan
mengendalikan semesta."
Serapis menatap tajam Annabeth dengan mata yang hijau terang. Sosoknya seolah
berubah-ubah, mengingatkan Annabeth pada beberapa dewa Olympia: Zeus,
Poseidon, Hades. Sesuatu dalam senyumannya bahkan mengingatkan Annabeth
pada ibunya, Athena. "Bayangkan saja, Demigod Kecil," ucap Serapis, "mercusuar ini akan menarik
dewa-dewi kepadaku seperti ngengat tertarik pada sebatang lilin. Setelah aku
menyedot kekuatan mereka, aku akan mendirikan kota yang megah. Aku akan
membangun sebuah perpustakaan Alexandria yang baru dengan segenap
pengetahuan dunia masa lalu, baik dari Yunani dan Mesir. Sebagai putri Athena,
kau pasti menyukai rencana ini dan sebagai pendeta tinggiku, bayangkan segala
kekuatan yang akan kau miliki!"
Sebuah perpustakaan Alexandria yang baru.
Annabeth tak bisa berpua-pura bahwa gagasan itu tidak menggodanya. Begitu
banyak pengetahuan dunia masa lalu yang hancur saat perpustakaan itu terbakar.
Serapis pasti menangkap kilatan gairah di mata Annabeth.
"Ya." Serapis mengulurkan tangannya. "Cukup bicaranya, Nona. Berikan tongkat
itu padaku!" "Kau benar," tanggap Annabeth parau. "Cukup bicaranya."
Dia menghunus belatinya dan menancapkannya ke cangkang monster.
Begitu banyak hal mungkin berakhir keliru. Sebagian besar memang keliru.
Annabeth berharap belatinya akan membelah cangkang monster itu, mungkin
bahkan menghancurkannya berkeping-keping. Nyatanya, belati itu cuma membuka
rekahan kecil yang menyemburkan sihir merah yang sama panasnya dengan aliran
magma. Annabeth terjengkang, matanya nyeri tak terperi.
Serapis memekik, "PENGHIANATAN!" Monster kepala tongkat itu meraung dan
meronta-ronta, ketiga kepalanya berusaha meraih belati yang tertancap di
punggungnya dengan sia-sia.
Pada saat yang bersamaan, Sadie melontarkan mantranya. Dia melemparkan
kalung peraknya dan berteriak, "Tyet!"
Bandul kalungnya meledak. Sebuah hieroglif perak raksasa membungkus Serapis
laksana peti mati tembus pandang:
Serapis meraung marah saat kedua lengannya terjepit di ssi tubuhnya.
Sadie berteriak, "Aku menamakanmu Serapis, dewa dari Alexandria! Dewa ... uh,
topi konyol dan tongkat kepala bertiga! Aku mengikatmu dengan kekuatan Isis!"
Puing-puing mulai berjatuhan dari atas, mendarat di sekeliling Annabeth. Dia
mengelak dari sebuah dinding bata dan sebuah kotak sekring yang menjatuhinya.
Lalu dia memperhatikan monster kepala tongkat yang terluka merangkak ke arah
Serapis. Annabeth menerjang ke arah monster itu, tapi kepalanya tertimpa sepotong kayu.
Dia jatuh menghantam lantai dengan keras, tempurung kepalanya berdenyutdenyut, dan seketika dia terkubur puing-puing yang lain.
Dia menarik napas dengan gemetar. "Ow, ow, ow."
Masih lumayan dia tidak terkubur pecahan batu bata. Dia memandang setumpuk
tripleks yang menindihinya dan mencabut serpihan kayu sepanjang lima belas
sentimeter dari balik bajunya.
Monster itu telah mencapai kaki Serapis. Annabeth sadar seharusnya tadi dia
menikam salah satu kepala monster itu, tapi dia tidak tega melakukannya. Dia
selalu bersikap lunak dengan binatang, meski jika binatang itu adalah bagian dari
makhluk sihir jahat yang berusaha membunuhnya. Sekarang sudah terlambat.
Serapis meregangkan otot-ototnya yang kekar. Penjara perak tercerai-berai di
sekelilingnya. Si tongkat berkepala tiga melayang ke tangannya, dan Serapis
berbalik menghadapi Sadie Kane.
Lingkaran pelindung Sadie telah menguap menjadi asap merah.
"Kau hendak membelengguku?" pekik Serapis. "Kau hendak menamakanku" Kau
bahkan tak menggunakan bahasa yang layak untuk menamakan Penyihir Kecil!"
Annabeth berjalan maju dengan goyah. Napasnya tersendat-sendat. Setelah Serapis
memegang tongkatnya, auranya terasa sepuluh kali lebih kuat. Telinga Annabeth
berdengung. Kedua mata kakinya bak menjadi agar-agar. Dia bisa merasakan
kekuatan hidup dalam dirinya mengalir keluar"tersedot ke dalam halo merah dewa
itu. Secara mengejutkan, Sadie kembali bangkit, raut wajahnya menantang. "Baiklah,
Tuan Mangkuk Sereal. Kau ingin bahasa yang layak" HA-DI!"
Sebuah hieroglif baru berkobar di wajah Serapis:
Tapi dengan mudah Serapis menangkapnya dengan tangan kosong. Dia
mengepalkan tangannya dan asap mengepul di antara jemarinya, seolah dia baru
saja meremukkan sebuah miniatur mesin uap.
Sadie menelan ludah. "Tak mungkin. Bagaimana kau?"
"Kau mengharapkan sebuah ledakan?" gelak Serapis. "Maaf aku
mengecewakanmu, Nak, tapi kekuatanku adalah gabungan Yunani dan Mesir.
Kombinasi keduanya, dan menyedot keduanya, menggantikan keduanya.
Sepertinya kau pendukung Isis" Sempurna. Dulu dia adalah istriku."
"Apa?" pekik Sadie. "Tidak. Tidak, tidak, tidak."
"Oh, ya! Saat aku memakzulkan Osiris dan Zeus, Isis dipaksa untuk melayaniku.
Sekarang aku akan menggunakanmu sebagai portal untuk memanggilnya ke sini
dan mengikatnya. Sekali lagi Isis akan menjadi ratuku!"
Serapis menyodokkan tongkatnya. Ketiga mulut monster itu menyembutkan sulur
cahaya merah, mengitari tubuh Sadie laksana ranting berduri.
Sadie menjerit, dan akhirnya Annabeth berhasil mengatasi keterkejutannya.
Annabeth memungut lembar tripleks terdekat"tripleks persegi rapuh seukuran
sebuah tameng"dan dia berusaha mengingat pelajaran Lempar Cakram dari
Perkemahan Blastera. "Hei, Kepala Biji!" sahutnya.
Dia memelintir tubuh hingga pinggang untuk memaksimalkan kekuatan lemparan.
Tripleks itu melesat di udara tepat saat Serapis menoleh ke arahnya, dan pinggiran
tripleks menghantam kening di antera matanya.
"GAH!" Annabeth menukik ke samping saat Serapis menyodokkan tongkat di arahnya
secara membabi buta. Tiga kepala monster itu menyemburkan uap super panas,
melelehkan sebuah lubang di lantai beton tempat Annabeth berdiri sebelumnya.
Annabeth terus bergerak, menyelinap di antara gundukan puing-puing yang kini
memenuhi lantai. Dia menunduk di belakang sebuah gundukan toilet pecah saat
tongkat Serapis meledakkan uap panas tiga lajur ke arahnya, karena sangat dekat,
Annabeth merasakan kulit tengkuknya melepuh.
Annabeth melihat Sadie sekitar dua puluh lima meter darinya, berdiri terhuyunghuyung dan berusaha menjauhkan diri dari Serapis. Setidaknya dia masih hidup.
Tapi Annabeth tahu Sadie butuh waktu untuk memulihkan diri.
"Hei, Serapis!" sahut Annabeth dari balik tumpukan kayu, "Bagaimana rasa
tripleks itu?" "Putri Athena!" lolong dewa itu. "Aku akan menelan habis kekuatan hidupmu!
Aku akan menggunakannya untuk menghancurkan ibumu yang laknat! Kau kira
dirimu pintar" Kau sekecil kutu jika dibandingkan dengan orang yang
membangunkanku, dan dia bahkan tak mengerti kekuatan yang dilepaskannya.
Kalian semua tak akan mendapatkan makhota keabadian. Aku mengendalikan
masa lalu, masa kini, dan masa depan. Aku sendirilah yang akan memimpin dewadewi dunia!
Terima kasih atas pidato panjangmu, batin Annabeth.
Saat Serapis meledakkan persembunyiannya, mengubah tumpukan toilet menjadi
gundukan debu porselen, Annabeth telah merangkak melintasi separuh ruangan.
Dia sedang mencari-cari temannya saat penyihir itu menyembul dari tempat
persembunyiannya, tiga meter darinya, dan Sadie berteriak: "Suh-FAH!"
Annabeth berbalik saat sebuah hieroglif baru setinggi jutuh meter, berkobar di
dinding belakang Serapis:
Plester bangunan itu luruh. Salah satu sisi gedung berderak, dan saat Serapis
memekik, "TIDAK!" seluruh bagian dinding ambruk menimpanya bak amukan
gelombang batu bara, menguburnya di bawah ribuan ton puing-puing.
Annabeth tercekik oleh kepulan debu di sekitarnya. Matanya pedih. Dia merasa
seperti baru dimasak setengah matang dalam sebuah penanak nasi, tapi akhirnya
dia tersandung di sebelah Sadie.
Tubuh penyihir muda itu dibaluti serbuk kapur, mirip donat yang ditaburi gula
halus. Sadie menatap lubang menganga yang baru dibuatnya di sisi gedung.
"Mantra itu berhasil," gumamnya
"Mantra yang genius." Annabet meremas bahunya. "Mantra apa itu?"
"Melonggarkan," jawab Sadie. "Aku pikir ... yah, biasanya membuat benda
terlepas satu-sama lain lebih mudah daripada menyatukannya lagi."
Seolah turut menyetujui, bagian dinding lain gedung itu berderik dan bergemuruh.
"Ayo jalan." Annabeth menggamit tangan Sadie. "Kita harus keluar dari sini.
Dinding-dinding ini?"
Fondasi bangunan bergetar. Dari balik tumpukan puing terdengar raungan teredam.
Bilah-bilah cahaya merah melesat dari celah-celah puing.
"Ya ampun!" keluh Sadie. "Dia masih hidup?"
Hati Annabeth mencelos, tapi dia tak terlalu terkejut. "Dia seorang dewa. Dia
makhluk abadi." "Terus bagaimana?""
Tangan Serapis, masih mencengkeram tongkatnya, menyodok tumpukan batu bata
dan papan. Tiga kepala monster itu menyemburkan uap panas ke segala penjuru.
Belati Annabeth masih terbenam hingga gagangnya di cangkang monster itu, luka
berlubang di sekitarnya mencurahkan aksara hieroglif dan Yunani yang menyala
merah, dan kata makian Inggris"bahasa tercela yang terhimpun selama ribuan
tahun meruah bebas. Mirip sebuah lini masa, batin Annabeth.
Sekonyong-konyong sebuah gagasan terbit dalam benaknya. "Masa lalu, masa
kini, dan masa depan. Dia mengendalikan semuanya."
"Apa?" tanya Sadie.
"Tongkat itu adalah kuncinya," ucap Annabeth. "Kita harus menghancurkannya."
"Ya, tapi?" Annabeth berlari ke arah tumpukan puing. Matanya terpaku pada gagang belatinya,
tapi dia terlambat. Tangan Serapis yang satunya terbebas, lalu kepalanya. Topi keranjang bunganya
penyok dan membocorkan biji-bijian. Cakram tripleks Annabeth mematahkan
hidungnya dan menghitamkan matanya, wajahnya bak mengenakan topeng rakun.
"Aku bunuh kau!" lolong Serapis, tepat saat Sadie memekikkan lagi mantranya
"Suh-FAH!" Annabeth mundur secepatnya. Serapis menjerit, "TIDAK!" saat dinding setinggi
tiga puluh tingkat kembali ambruk menimpanya.
Mantra sihir yang baru dilontarkannya pasti terlalu berat bagi Sadie. Kini dia
lunglai laksana boneka kain yang kusut, untungnya Annabeth sempat menahan
tubuh Sadie tepat sebelum dinding yang tersisa berderak dan doyong ke dalam,
Annabeth membopong gadis yang lebih muda itu dan membawanya keluar.
Entah bagaimana caranya, Annabeth berhasil menyingkir dari gedung itu sebelum
gedung itu ambruk sepenuhnya. Annabeth mendengar gelegar-gelegarnya, tapi dia
tidak seratus persen yakin tu suara gedung yang ambruk di belakangnya atau suara
batok kepalanya yang meletup-letup karena kelelahan dan ngilu.
Dia berjalan terhuyung-huyung hingga mencapai rel subway. Dengan perlahan dia
menurunkan Sadie di atas rumput,
Mata Sadie terbalik hingga putihnya terlihat. Mulutnya merancau tak keruan.
Kulitnya terasa panas, Annabeth harus berjuang melawan serangan panik dalam
dirinya. Uap panas mengepul dari lengan baju penyihir itu.
Tak jauh dari bangkai kereta, orang-orang mulai menyadari terjadinya bencana
yang baru. Kendaraan polisi dan pemadam kebakaran bermunculan dan mengarah
ke gedung yang ambruk itu. Sebuah helikopter berita berputar-putar di atas kepala.
Annabeth tergoda untuk berteriak meminta bantuan, tapi sebelum mulutnya
terbuka, Sadie menarik napas tajam. Kelopak matanya berdenyut-denyut.
Dia membuyarkan sekeping batu dari dalam mulutnya, bangkit dengan lemah, lalu
menatap tonggak debu yang menyongsong langit, hasil dari petualangan kecil
mereka barusan. "Baguslah," gumam Sadie. "Apa yang harus kita hancurkan selanjutnya?"
Annabeth terisak lega. "Terima kasih dewa-dewi, kau baik-baik saja. Tubuhmu
tadi berasap." "Risiko pekerjaan." Sadie mengibaskan debu dari wajah. "Jika terlalu banyak
menggunakan sihir, tubuhku bisa terbakar. Aku nyaris kehilangan nyawaku hari
ini." Annabeth mengangguk. Tadinya dia iri dengan Sadie yang bisa melontarkan
berbagai mantra keren, tapi kini dia lega dirinya cuma seorang demigod. "Kau tak
boleh merapalkan mantra lagi."
"Untuk beberapa saat." Sadie meringis. "Sepertinya Serapis belum musnah?"
Annabeth menatap ke arah tempat yang sebelumnya akan dibangun mercusuar. Dia
berharap dewa itu musnah, tapi dia tahu kenyataan yang sebenarnya. Dia masih
bisa merasakan aura Serapis mengacaukan semesta, menarik jiwanya, da menyedot
energi tubuhnya. "Paling banyak kita cuma punya waktu beberapa menit," tebak Annabeth. "Dia
akan kembali membebaskan dirinya. Lalu dia akan memburu kita."
Sadie mengerang. "Kita butuh bala bantuan. Celakanya, aku tak punya cukup
energi untuk membuka sebuah portal, itu juga kalau aku bisa menemukannya. Isis
tidak menanggapi panggilanku. Dia jelas memilih bersembunyi daripada muncul
dan kekuatan intinya disedot oleh Tuan Mangkuk Sereal." Dia mendesah. "Aku
tebak tidak ada demigod yang bisa kau telepon dengan cepat?"
"Tidak ada ...," desah Annabeth.
Dia menyadari bahwa tas ranselnya masih tersandang di punggung. Bagaimana
bisa tas itu tidak terlepas saat pertarungan tadi" Dan kenapa kini rasanya sangat
ringan" Dia menurunkan ransel dan membuka risleting bagian atas. Buku-buku
arsitekturnya lenyap. Alih-alih, di dasar tas tergeletak sebongkah ambrosia yang
terbungkus plastik selofan, dan di bawahnya ....
Bibir Annabeth gemetar. Dia mengeluarkan sesuatu yang lama tidak dibawanya:
topi New York Yankee biru dan kusut.
Dia mendongak ke langit yang keruh. "Ibu?"
Tak ada jawaban; tapi Annabeth tak menemukan alasan yang lain. Ibunya
mengirimkan bantuan padanya. Hal itu membesarkan hatinya sekaligus
membuatnya takut. Jika Athena tertarik secara pribadi dalam situasi ini, Serapis
memang adalah ancaman yang monumental"bukan saja terhadap Annabeth, tapi
terhadap dewa-dewi yang lainnya.
"Itu topi bisbol," sahut Sadie. "Apakah ada gunanya?"
"Sepertinya begitu," jawab Annabeth. "Terakhir kali aku mengenakan topi ini,
sihirnya tidak berfungsi. Tapi jika sekarang berfungsi ... aku bisa merencanakan
sesuatu. Kini giliranmu yang mengalihkan perhatian Serapis."
Sadie mengerutkan keningnya. "Kan sudah aku bilang aku tidak bisa merapal
mantra lagi?" "Tidak masalah," balas Annabeth. "Apa kau pintar menggertak, membohongi, dan
membual?" Kedua alis Sadie terangkat. "Orang bilang itulah keahlian utamaku."
"Sempurna," lanjut Annabeth. "Kalau begitu inilah waktunya aku mengajarimu
sedikit bahasa Yunani." Kesempatan yang mereka dapatkan terlalu singkat.
Annabeth nyaris selesai melatih Sadie saat reruntuhan gedung bergetar, puingpuing terlempar keatas, dan Serapis muncul, meraung dan memaki-maki.
Para tim penyelamat terkejut dan lari tunggang-langgang dari tempat itu. Tapi
tampaknya mereka tidak menyadari adanya dewa setinggi lima meter berjalan
menjauh dari reruntuhan. Tongkatnya yang berkepala tiga menyemburkan uap dan
cahaya sihir merah ke angkasa.
Serapis berjalan lurus ke arah Sadie dan Annabeth.
"Siap?" tanya Annabeth.
Sadie mengembuskan napas. "Apa aku punya pilihan?"
"Ini." Annabeth memberinya sebongkah ambrosia. "Ini makanan demigod.
Makanan ini mungkin bisa memulihkan kekuatanmu."
"Mungkin, ya?" "Jika ramuan penyembuhmu manjur untukku, ambrosia ini pasti manjur untukmu."
"Kalau begitu, selamat makan." Sadie menggigit satu kali. Rona merah kembali
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersemburat di pipinya. Matanya kembali terfokus. "Rasanya mirip kue scone
bikinan nenekku." Annabeth tersenyum. "Ambrosia selalu terasa seperti makanan rumahan
kesukaanmu." "Memalukan sekali." Sadie menggigit sekali lagi dan menelannya. "Scone bikinan
nenekku selalu gosong dan rasanya mengerikan. Ah"teman kita sudah datang."
Serapis menendang sebuah truk pemadam kebakaran yang menghalangi jalannya
dan berjalan tertatih-tatih ke arah rek kereta. Tampaknya dia belum melihat
keberadaan Sadie dan Annabeth, tapi Annabeth yakin dia mampu merasakan
mereka. Dia memindai sepenjuru kaki langit. Raut wajahnya penuh kemurkaan.
"Kita mulai." Annabeth mengenakan topi Yankee-nya.
Mata Sadie melebar. "Mengagumkan. Kau jadi tak kasatmata. Kau tak akan mulai
menembakkan bunga api, kan?"
"Kenapa aku harus melakukannya?"
"Oh ... kakakku pernah melontarkan mantra tak kasatmata. Tidak begitu keren
hasilnya. Baiklah, semoga beruntung."
"Kau juga." Annabeth berlari ke samping saat Sadie melambaikan kedua tangannya dan
berteriak. "Oi, Serapis!"
"MATI KAU!" lolong dewa itu.
Dua berlari limbung ke depan, kaki raksasanya menciptakan kawah di permukaan
aspal. Seperti yang telah mereka rencanakan, Sadie akan mundur ke arah pantai.
Annabeth menunduk di belakang sebuah mobil bobrok dan menunggu Serapis
lewat. Kasatmata atau tidak, dia tak mau mengambil risiko.
"Hanya segitu kemampuanmu!" Sadie memanas-manasi dewa itu. "Hanya segitu
kemampuan larimu, bocah desa tolol?"
"RAR!" Serapis berlari melewati Annabeth.
Annabeth mengejar Serapis, yang telah berhadapan dengan Sadie di pinggiran
ombak. Serapis mengangkat tongkatnya yang membara, ketiga kepala monster
menyemburkan uap panas. "Ada ucapan terakhir, Penyihir?"
"Untukmu" Ya!" Sadie memutar kedua tangannya dalam gerakan seharusnya mirip
gerakan menyihir"atau mungkin kung fu.
"Meana aedei thea!" Dia merapalkan kalimat yang telah diajarkan Annabeth. "En
... ponte pathen algae!"
Annabeth berjengit. Pengucapan Sadie lumayan buruk. Kalimat pertamanya
lumayan, kurang lebih artinya: Nyanyian kemurkaan, oh dewiku. Tapi kalimat
kedua seharusnya berati: Di lautan, rasakanlah kesengsaraan. Tapi, yang diucapkan
Sadie barusan berarti: Di lautan, rasakanlah ganggang!
Untungnya, pekikan kalimat Yunani Kuno cukup untuk mengejutkan Serapis.
Dewa itu mulai bimbang, tongkat tiga kepalanya masih terangkat. "Apa yang kau"
" "Isis, dengarkan aku!" lanjut Sadie. "Athena, bantulah aku!" Dia mencerocoskan
beberapa kalimat lain"sebagian bahasa Yunani, sebagian Mesir Kuno.
Sementara itu, Annabeth menyelinap di belakang Serapis, matanya terpaku pada
belati yang tertancap di cangkang si monster tongkat. Jika Serapis sedikit
menurunkan tongkatnya ....
"Alpha, Beta, Gamma!" pekik Sadie. "Gyros, spanakopita. Presto!" Dia
menyeringai puas. "Itu dia. Tamat riwayatmu!"
Serapis memandang Sadie, jelas kebingungan. Tato merah di kulitnya meredup.
Beberapa simbol berubah menjadi tanda tanya dan wajah sedih. Annabeth
mengendap-endap kian mendekat ... kini enam meter darinya.
"Tamat riwayatmu?" ulang Serapis. "Kau bicara apa, Nona" Aku yang akan
menghancurkanmu." "Jika kau menghancurkanku," ancam Sadie, "kau akan mengaktifkan titian
kematian dan kau pun akan musnah!"
"Titian kematian" Tidak ada hal semacam itu!" Serapis menurunkan tongkatnya.
Tiga kepala monster itu kini setinggi mata Annabeth.
Jantung Annabeth berpacu. Tiga meter lagi. Lalu, jika dia melompat, dia mungkin
bisa meraih belati itu. Dia hanya memiliki satu kesempatan untuk mencabutnya
Kepala monster tongkat tampaknya tidak menyadari kedatangan Annabeth. Mereka
terus menggeram dan mencaplok, menyemburkan uap ke segala arah. Serigala,
singa, anjing"masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Untuk menghasilkan kerusakan maksimum, dia tahu kepala mana yang harus
ditikamnya. Tetapi kenapa masa depan dilambangkan seekor anjing" Labrador hitam itu kenapa
kepala monster yang paling tidak berbahaya. Matanya besar keemasan dan
telinganya terkulai, ia mengingatkan Annabeth pada banyak binatang peliharaan
lucu yang pernah dikenalnya.
Ia bukan binatang sungguhan, batin Annabeth. Ia adalah bagian dari tongkat sihir.
Saat jaraknya telah cukup dekat untuk menyerang, lengan Annabeth terasa berat.
Dia tak sanggup memandang anjing itu tanpa merasa bersalah.
Masa depan adalah hal yang baik, anjing itu seolah mengucapkannya. Ia sangat
lucu dan bulunya halus! Jika Annabeth menikam kepala Labrador itu, bagaimana jika membunuh masa
depannya sendiri"rencana-rencana yang dibuatnya saat kuliah nanti, rencanarencananya dengan Percy ..."
Sadie masih berbicara. Nada suaraya mengisyaratkan bahwa dia kian terdesak.
"Ibuku, Ruby Kane." Sadie memberi tahu Serapis, "memberikan nyawanya untuk
menyegel Apophis dalam Duat. Apophis, jangan tersinggung"dia dua ribu tahun
lebih tua darimu, dan jauh lebih kuat. Jadi jika kau pikir aku akan membiarkan
dewa kelas dua sepertimu mengambil alih dunia, coba kau renungkan lagi!"
Gentar kemarahan dalam suaranya bukanlah gertak sambal, dan seketika Annabeth
bersyukur dia memberikan Sadie tugas menghadapi Serapis. Penyihir itu bisa
tampak mengerikan jika dia mau.
Serapis bergerak-gerak gelisah. "Aku akan menghancurkanmu!"
"Semoga beruntung," ucap Sadie. "Aku telah mengikatmu dengan mantra Yunani
dan Mesir yang sangat kuat, ikatan itu akan meleburkan atommu menjadi bintangbintang."
"Kau bohong!" hardik Serapis. "Aku tidak merasakan mantra apapun. Orang yang
membangkitkanku juga tak memiliki sihir semacam itu."
Annabeth telah berhadapan lagsung dengan si anjing hitam. Belatinya tepat di atas
kepalanya, tapi setiap molekul tubuhnya menolak gagasan untuk membunuh
binatang itu ... membunuh masa depan.
Sementara itu, Sadie memaksakan diri untuk tertawa. "Orang yang
membangkitkanmu" Maksudmu si tukang tipu Setne itu?"
Nama itu asing di telinga Annabeth, tapi Serapis jelas mengenalnya. Udara di
sekelilingnya memanas. Si kepala singa menggeram. Si serigala memamerkan gigigiginya.
"Oh, ya," lanjut Sadie. "Aku sangat mengenal Setne. Aku yakin dia tidak memberi
tahumu siapa yang mengizinkannya kembali ke dunia. Dia masih hidup karena aku
mengampuninya. Menurutmu sihir Setne sangat kuat" Ayo uji kekuatanku.
Lakukan SEKARANG!" Annabeth tersentak. Dia menyadari Sadie sedang berbicara dengannya, bukan
dengan dewa itu. Gertak sambalnya mulai hambar. Dia kehabisan waktu.
Serapis mencemoohnya. "Usaha yang basus, Penyihir."
Saat Serapis mengangkat tongkatnya sebelum menyerang, Annabeth melompat.
Tangannya mencengkeram gagang belati, lalu dia menariknya hingga tercabut.
"Apa?" raung Serapis.
Annabeth terisak parau dan menikam belatinya ke leher anjing itu.
Annabeth menduga akan ada ledakan.
Tapi kenyataannya, belati itu terisap ke dalam leher si anjing seperti penjepit kertas
terisap penyedot debu. Annabeth nyaris tak sempat melepaskannya.
Annabeth bergulung bebas saat anjing itu melolong, mengempis dan mengerut
hingga meledak dari cangkangnya. Serapis meraung murka. Dia mengguncang
tongkatnya tapi tampaknya tak sanggup melepaskannya.
"Apa yang kau lakukan?" runtuknya.
"Menghancurkan masa depanmu," jawab Annabeth. "Tanpa itu, kau bukan apaapa."
Tongkat itu merekah. Benda itu menjadi sangat panas hingga Annabeth merasa
rambut di lengannya mulai terbakar. Dia merangkak mundur di permukaan pasir
saat si kepala singa dan serigala tersedot ke dalam cangkang. Seluruh bagian
tongkat berubah menjadi bola api merah di telapak Serapis.
Serapis berusaha mengibaskannya. Tapi sinar bola api itu kian terang. Jemarinya
melekuk ke dalam. Tangannya termakan api. Keseluruhan lengannya mengerut dan
menguap saat tertarik ke dalam kobaran api.
"Aku tak bisa dihancurkan!" pekik Serapis. "Aku adalah kulminasi gabungan
dunia-dunia kalian! Tanpa petunjukku, kalian tak akan pernah mendapatkan
mahkota kekuasaan! Kalian semua akan musnah! Kalian akan?"
Kobaran bola api itu kian membesar dan menyedot seluruh tubuh Serapis ke dalam
inti vorteksnya. Lalu bola itu berkedip dan lenyap, seolah tak pernah ada.
"Ugh," ucap Sadie.
Mereka duduk di pantai saat matahari terbenam, memandangi gelombang pasang
dan mendengarkan raung berbagai kendaraan darurat di belakang mereka.
Rockaway yang malang. Pertama angin topan. Lalu kecelakaan kereta, sebuah
gedung ambruk, dan amukan seorang dewa, semuanya terjadi dalam sehari.
Daerah-daerah tertentu kadang mengalami bencana yang beruntun.
Anabeth menyesap Ribena-nya"minuman ringan Inggris yang dikeluarkan Sadie
dari "tempat penyimpanan pribadinya" di dalam Duat.
"Jangan khawatir." Sadie menyakinkannya. "Memanggil makanan dan minuman
ringan bukanlah sihir yang berat."
Karena Annabeth begitu haus, Ribena di tangannya terasa lebih nikmat daripada
nektar. Sadie kian membaik. Ambrosia itu telah menunjukkan kemujarabannya. Kini, alihalih tampak seolah berada di ambang pintu kematian, dia hanya terlihat baru saja
digilas oleh sekawanan keledai.
Ombak membelai-belai kaki Annabeth, membantunya rileks, tapi dia masih
merasakan sisa kegalauan dari pertemuan dengan Serapis"sebuah dengungan aneh
di dalam tubuhnya, seolah seluruh tubuhnya telah berubah menjadi garpu tala.
"Kau tadi menyebutkan sebuah nama." Dia mengingat. "Setne?"
Sadie membesarkan lubang hidungnya. "Ceritanya panjang. Penyihir jahat, bangkit
dari kematian." "Menyebalkan sekali jika ada orang jahat bangkit dari kematian. Kau bilang ... kau
yang membebaskan dia?"
"Yah, kakakku dan aku membutuhkan bantuannya. Pada waktu itu kami tidak
punya pilihan lain. Akhirnya, Setne kabur membawa Kitab Thoth, kumpulan
mantra paling berbahaya di dunia."
"Dan Setne menggunakan mantra itu untuk membangkitkan Serapis."
"Sepertinya memang begitu." Sadie mengangkat bahu. "Monster buaya yang
dilawan kakakku dan pacarmu beberapa waktu lalu, Putra Sobek ... aku tak terkejut
jika itu adalah salah satu eksperimen Setne. Dia mencoba mengombinasikan sihir
Yunani dan Mesir." Setelah hari berat yang dilaluinya, Annabeth ingin kembali mengenakan topi tak
kasatmatanya, merangkak ke dalam sebuah lubang, dan tidur selamanya. Dia telah
terlalu banyak menyelamatkan dunia. Dia tidak mau lagi memikirkan
kemungkinan adanya ancaman dunia yang lain. Tapi dia juga tak bisa
mengacuhkannya begitu saja. Dia mengelus pinggiran topi Yankee-nya dan
merenungkan mengapa ibunya memberikan topi itu kembali padanya hari ini"
kekuatan sihirnya telah dipulihkan.
Athena tampaknya mengiriminya sebuah pesan: Akan selalu ada ancaman yang
terlalu berat untuk dihadapi. Kau masih harus punya kemampuan mengendapendap. Kau harus melangkah dengan hati-hati di sini.
"Setne ingin menjadi dewa," ucap Annabeth.
Embusan angin dari laut mendadak terasa beku. Baunya tidak lagi terasa seperti
udara laut segar, lebih mirip reruntuhan yang terbakar.
"Seorang dewa ...." Sadie bergidik. "Pria tua kurus nyentrik bercawat dan
berambut Elvis. Gambaran yang menjijikkan."
Annabeth berusaha memvisualkan pria yang dijelaskan Sadie. Lalu segera
dienyahkannya gambaran itu.
"Jika tujuan Setne adalah keabadian," ucap Annabeth. "membangkitkan Serapis
bukanlah kejahatan yang terakhir dilakukannya."
Sadie tertawa hambar. "Oh, jelas tidak. Dia sekadar bermain-main dengan kita saat
ini. Putra Sobek ... lalu Serapis. Aku berani bertaruh Setne merencanakan kedua
insiden ini hanya untuk melihat apa yang akan terjadi, melihat bagaimana reaksi
para demigod dan penyihir. Dia menguji sihir barunya, dan kemampuan kita,
sebelum dia meluncurkan aksi terhebatnya demi mendapatkan kekuatan."
"Dia tak mungkin berhasil," ucap Annabeth penuh pengharapan. "Tak seorang pun
bisa menjadikan dirinya dewa cuma dengan merapalkan sebuah mantra."
Ekspresi Sadie tidak meyakinkan. "Kuharap kau benar. Sebab seorang dewa
menguasai sihir Yunani dan Mesir, yang bisa mengendalikan kedua dunia ... aku
bahkan tak sanggup membayangkannya."
Perut Annabeth terpelintir bak sedang melakukan gerakan yoga baru. Dalam
perang mana pun, perencanaan yang baik jauh lebih penting daripada kekuatan
belaka. Jika Setne mendalangi pertempuran Percy dan Carter dengan buaya itu,
jika dia merekayasa kebangkitan Serapis supaya Sadie dan Annabeth
menghadapinya ... seorang musuh yang merencanakan kejahatannya begitu
sempurna pasti sulit untuk dihentikan.
Annabeth membenamkan ibu jari kakinya di pasir. "Serapis mengucapkan sesuatu
sebelum lenyap"kalian tak akan pernah mendapatkan mahkota kekuasaan. Kukira
itu cuma bahasa kiasan. Lalu aku teringat hal yang diucapkannya tentang Ptolemy,
raja yang berusaha menjadi seorang dewa?"
"Mahkota keabadian," kenang Sadie. "Mungkin sebuah pschent."
Annabeth mengerutkan kening. "Aku tidak tahu artinya. Sebuah shent?"
Sadie mengejanya. "Sebuah mahkota Mesir, lebih mirip seperti pin boling. Bukan
desain yang cantik, tapi sebuah pschent menganugerahkan kekuatan Tuhan pada
firaun pemakainya. Jika Setne berusaha menciptakan ulang sihir pembuatan-dewa
yang dilakukan raja zaman dahulu, aku berani mempertaruhkan lima quid dan
sepiring scones gosong nenekku bahwa dia sedang mencoba menemukan mahkota
Ptolemy." Annabeth memutuskan tidak akan menerima taruhan itu. "Kita harus
menghentikannya." "Benar." Sadie menyesao Ribenanya. "Aku akan kembali ke Brooklyn House.
Setelah aku menggetok kepala kakakku karena tidak menceritakan tentang
keberadaan demigod seperti kalian. Aku akan memerintahkan para peneliti kami
untuk bekerja dan kita lihat apa yang bisa kita pelajari tentang Ptolemy. Mungkin
mahkotanya tersimpan di sebuah museum entah di mana." Sadie memonyongkan
bibir. "Meski sebenarnya aku sangat membenci museum."
Annabeth mengguratkan jarinya di permukaan pasir. Tanpa benar-benar
memikirkannya, dia menggambarkan simbol hieroglif Isis: tyet. "Aku juga akan
melakukan penelitian. Teman-temanku di kabin Hecate mungkin tahu sesuatu
tentang sihir Ptolemy. Mungkin aku bisa meminta saran dari ibuku."
Memikirkan ibunya membuat Annabeth gelisah.
Hari ini, Serapis nyaris melenyapkan Annabeth dan Sadie. Serapis mengancam
akan menggunakan mereka berdua sebagai portal untuk menyeret Athena dan Isis
pada kebinasaan. Sadie tercenung, seolah dia sedang memikirkan hal yang sama. "Kita tak boleh
membiarkan Setne terus bereksperiman. Dia akan mengoyakkan dunia kita. Kita
harus menemukan mahkota ini, atau?"
Dia mendongak dan suaranya melemah. "Ah, kendaraanku tiba."
Annabeth menoleh. Untuk sesaat dia mendyga Argo II turun dari balik awan, tapi
ini adalah perahu terbang yang berbeda jenisnya"perahu layar Mesir kecil dengan
lukisan mata di haluan dan sebuah layar putih yang dihiasi simbol tyet.
Perahu itu mendarat pelan di pinggir pantai.
Sadie bangkit dan mengibaskan pasir dari celananya. "Mau menumpang?"
Annabeth membayangkan perahu semacam ini terbang ke Perkemahan Blasteran.
"Um, sepertinya tidak. Aku bisa pulang sendiri."
"Baiklah." Sadie menyandang tas ranselnya, lalu membantu Annabeth berdiri.
"Kau bilang Carter menggambarkan sebuah hieroglif di tangan pacarmu. Itu bagus,
tapi aku lebih suka berhubungan langsung denganmu."
Annabeth menyeringai. "Kau benar. Cowok tidak bisa dipercaya untuk
berkomunikasi." Mereka bertukar nomor telepon.
"Jangan menelpon kecuali situasi darurat." Annabeth memperingatkan. "Aktifitas
ponsel menarik perhatian monster."
Sadie tampak terkejut. "Sungguh" Aku tak tahu hal itu. Jadi aku tak boleh
mengirimimu foto selfie dari Instagram, ya."
"Sebaiknya tidak."
"Baiklah, sampai jumpa lagi." Sadie memeluk Annabeth.
Annabeth sedikit terkejut karena mendapatkan pelukan dari seseorang yang baru
saja ditemuinya"seorang gadis yang bisa dengan mudah menganggap dirinya
musuh. Tapi sikap Sadie membuatnya nyaman. Dalam situasi yang melibatkan
kehidupan dan kematian, Annabeth mempelajari bahwa orang bisa menemukan
sahabat dengan cepat. Dia menepuk bahu Sadie. "Jauh-jauhlah dari bahaya."
"Andai bisa." Sadie naik ke perahunya, dan perahu itu pun melaju ke lautan. Kabut
The Demigod Files Buku Pendamping Percy Jackson And The Olympians Karya Rick Riordan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
naik entah dari mana, memekat di sekeliling perahu. Saat kabut mereda, perahu itu
dan Sadie Kane telah lenyap.
Annabeth memadang lautan yang kosong. Dia memikirkan Kabut dan Duat dan
bagaimana keduanya terhubung.
Lalu dia memikirkan tongkat Serapis, dan lolongan anjing hitam itu saat Annabeth
menikamkan belatinya. "Bukan masa depanku yang kuhacurkan." Dia meyakinkan dirinya sendiri.
"Akulah yang menentukan masa depanku sendiri."
Tapi di sebuah tempat di luar sana, seorang penyihir bernama Setne memiliki
gagasan lain. Jika Annabeth berniat menghentikannya, dia harus segera membuat
perencanaan yang matang. Dia berbalik dan berjalan melintasi pantai, mengarah ke timur dan melanjutkan
perjalanan panjangnya kembali ke Perkemahan Blasteran.
End Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia
Edited: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Cowok Misterius 3 Trio Detektif 37 Misteri Merpati Berjari Dua Jejak Di Balik Kabut 46