Kekayaan Yang Menyesatkan 6
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet Bagian 6
untuk membantunya di 334 bank... seorang karyawan administrasi yang akan setia padanya dan menjaga
kepentingan-kepentingannya."
Augusta berpikir sebentar. "Benar sekali," katanya. "Seseorang yang kita kenal
dan bisa kita percaya."
"Tepat." Augusta berkata, "Siapakah yang kauusulkan?"
"Aku punya seorang sepupu yang bekerja di Kedutaan. Namanya Simon Oliver.
Sebenarnya namanya Olivera, namun dia menginggriskannya. Dia anak yang pintar
dan betul-betul bisa dipercaya."
"Ajak dia datang minum teh," ujar Augusta. "Kalau aku menyukai penampilannya,
aku akan bicara dengan Joseph."
"Baiklah." Babak terakhir mulai. Ia dan Augusta sering sependapat, pikir Micky. Augusta-lah
yang seharunya dikawininya. Mereka berdua dapat menaklukkan dunia. Tapi ia
membuang jauh-jauh pikiran fantastis itu dari benaknya. Siapa yang akan
dikawininya" Calon mempelai tidak boleh merupakan ahli waris, karena ia tidak
punya apa-apa untuk ditawarkan pada gadis seperti itu. Ada beberapa ahli waris
yang dengan mudah dapat dijeratnya, tapi memenangkan hati mereka baru
permulaannya: akan ada pertempuran berkepanjangan dengan mertua, dan tidak ada
jaminan hasil yang tepat. Tidak, ia memerlukan seorang gadis dengan latar
belakang sederhana, seseorang yang menyukainya dengan tulus. Matanya menerawang
malas ke sekitar deretan kursi teater dan berhenti pada sosok Rachel Bodwin.?Gadis itu pas sekali untuknya. Rachel sudah setengah jatuh hati padanya dan
sudah putus asa mencari suami. Ayahnya tidak menyukai Micky, tapi ibunya
sebaliknya. Ibu dan anak bisa mengatasi tentangan sang ayah.
Tapi yang paling penting: gadis itu membangkitkan gairahnya.
Gadis itu pasti masih lugu dan takut-takut. Micky
335 akan melakukan hal-hal yang membuatnya bingung dan jijik. Gadis itu akan
melawan; itu bahkan lebih baik. Pada akhirnya, seorang istri harus mengalah pada
tuntutan seksual suami, betapapun aneh dan menjijikkannya, karena gadis itu tak
punya siapa-siapa untuk mengadu. Sekali lagi ia mengkhayalkan gadis itu terikat
di ranjang, menggeliat, entah karena sakit atau nafsu atau keduanya....
Pertunjukan berakhir. Ketika meninggalkan teater, Micky mencari keluarga Bodwin.
Mereka bertemu di trotoar, ketika keluarga Pilaster sedang menunggu kereta kuda
mereka dan Albert Bodwin tengah memanggil sebuah kereta. Micky melemparkan
senyum memikat pada Mrs. Bodwin dan berkata, "Bolehkah saya menerima kehormatan
untuk mengunjungi Anda besok siang?"
Wanita itu jelas terkejut. "Itu merupakan kehormatan bagi saya, Senor Miranda."
"Anda baik sekali." Ia berjabat tangan dengan Rachel, menatap matanya, dan
berkata, "Sampai besok."
"Kutunggu," kata gadis itu.
Kereta kuda Augusta tiba dan Micky membuka pintunya. "Bagaimana pendapatmu
tentang dia?" gumamnya.
"Matanya terlalu berdekatan," kata Augusta sambil memasuki kereta. Ia duduk dan
berkata pada pemuda itu melalui pintu yang terbuka. "Selain itu, dia mirip aku."
Wanita itu menutup pintu dan kereta kuda bergerak menjauh.
Sejam kemudian, Micky dan Edward tengah menikmati makan malam di kamar pribadi
rumah bordil Nellie's. Selain meja, di kamar itu terdapat sebuah sofa, lemari
pakaian, tempat cuci muka, dan tempat tidur besar. April Tilsley telah
mendekorasi ulang seluruh tempat tersebut dan kamar ini dilengkapi bahan kain
yang SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY sedang mode dari toko William Morris, dan seperangkat gambar berbingkai yang
melukiskan orang-orang sedang bercinta dengan berbagai buah dan sayur. Namun
karena sifat usaha ini pengunjung menjadi mabuk dan berperilaku buruk; akibatnya
kertas dinding sudah robek-robek, tirainya bernoda, dan karpetnya koyak.
Meskipun demikian, cahaya lilin yang temaram menyembunyikan kekumuhan kamar itu
serta membuat para wanita di situ kelihatan lebih muda.
Micky dan Edward sedang dilayani oleh dua gadis favorit mereka, Muriel dan Lily,
yang mengenakan sepatu sutra merah dan topi besar penuh hiasan, namun tanpa
busana. Dari luar kamar terdengar bunyi nyanyian serak dan pertengkaran sengit,
tapi di ruangan ini suasana tenang, diselingi bunyi gemeretak api batu bara dan
gumam kata-kata kedua gadis itu ketika mereka menghidangkan makanan. Suasana
kamar mengendurkan ketegangan Micky dan mengurangi kecemasannya tentang pinjaman
untuk proyek jalan kereta api. Setidaknya ia mempunyai rencana. Ia cuma bisa
mencoba-coba. Pandangannya jatuh ke seberang meja, pada Edward. Persahabatan
mereka telah membuahkan hasil selama ini, pikirnya. Ada saat-saat ia merasa
hampir menyukai Edward. Ketergantungan Edward menjemukan, namun itulah yang
membuat Micky dapat menguasainya. Ia telah menolong Edward, Edward telah
menolongnya, dan bersama-sama mereka menikmati semua kemaksiatan kota paling
canggih di dunia. Ketika mereka selesai makan, Micky menuangkan segelas anggur
lagi dan berkata, "Aku bermaksud mengawini Rachel Bodwin."
Muriel dan Lily tertawa cekikikan.
Edward menatapnya beberapa lama, lalu berkata, "Aku tak percaya."
Micky angkat bahu. "Terserah. Aku tidak main-main."
"Kau sungguh-sungguh?"
"Ya." 337 "Babi kau." Micky memandang temannya dengan heran. "Apa kauhilang" Salahkah kalau aku
kawin?" Edward bangkit dan mencondongkan tubuhnya dengan agresif. "Kau babi sialan,
Miranda, itu saja yang bisa kuucapkan."
Micky sama sekali tidak menduga reaksi seperti itu. "Kau kerasukan, ya?"
katanya. "Apa kau tidak bermaksud kawin dengan Emily Maple?"
"Siapa bilang begitu?"
"Ibumu." "Aku tidak akan kawin dengan siapapun."
"Mengapa tidak" Umurmu sudah dua puluh sembilan tahun. Juga umurku. Sudah
waktunya membangun rumah tangga terhormat."
"Persetan dengan rumah tangga terhormat!" Edward berkoar dan menjungkirbalikkan
meja. Micky meloncat mundur ketika piring dan cangkir terempas dan anggur
tumpah. Kedua wanita bugil itu merunduk ketakutan.
'Tenang!" teriak Micky.
"Walaupun kita bersahabat sudah puluhan tahun!" Edward menggelegak. "Dan selama
ini aku selalu berbuat baik padamu!"
Micky tak habis pikir melihat kemurkaan Edward. Ia sadar bahwa ia harus
menenangkan temannya. Adegan seperti ini bisa berdampak buruk atas rencana
perkawinannya, dan itu berlawanan dengan keinginan Micky. "Perkawinan bukanlah
bencana," katanya dengan nada meyakinkan. "Kawin atau tidak, tak ada bedanya
bagi kita." "Pasti ada bedanya!"
"Tidak ada bedanya. Kita tetap datang ke sini."
Edward kelihatan curiga. Dengan suara lebih perlahan ia bertanya, "Benar?"
"Ya. Kita tetap pergi ke klub. Justru itulah gunanya klub. Laki-laki pergi ke
klub untuk menjauhi istri."
338 "Kurasa begitu."
Pintu terbuka dan April bergegas masuk. "Ada apa ribut-ribut?" tanyanya.
"Edward, kau memecahkan piring-cangkir keramikku?"
"Maaf, April. Akan kuganti." Micky berkata kepada April: "Kami baru saja
menerangkan kepada Edward bahwa dia bisa datang ke sini sesudah kawin."
"Syukurlah. Kuharap demikian," kata April. "Kalau laki-laki yang sudah
berkeluarga tidak datang ke sini, bangkrut aku." Ia berpaling ke arah pintu dan
berteriak, "Sidney! Ambil sapu."
Kemarahan Edward cepat reda, dan hal itu melegakan Micky. Micky berkata, "Pada
hari-hari pertama kawin, mungkin kita harus tinggal di rumah, dan sekali-sekali
-mengadakan acara makan malam, tapi setelah beberapa waktu kita bisa kembali ke
kebiasaan lama." Edward merengut. "Apakah istri kita tidak keberatan?"
Micky angkat bahu. "Siapa peduli apakah mereka keberatan" Istri bisa apa?"
"Kalau istri tidak puas, kukira dia bisa menyulitkan suaminya."
Micky menyadari bahwa Edward menyamakan semua wanita seperti ibunya. Sayangnya
hanya segelintir wanita yang berkemauan keras atau pintar seperti Augusta.
"Siasatnya begini, jangan terlalu baik pada mereka," ujar Micky, yang berbicara
berdasarkan pengamatannya terhadap sobat-sobatnya yang sudah berkeluarga di
Cowes Club. "Kalau kau baik pada istri, bisa-bisa dia ingin kau terus berada di
dekatnya. Coba kasari dia dan dia akan senang kalau kau pergi ke klubmu malam-
malam dan membiarkannya hidup tenang."
Muriel melingkarkan lengannya ke leher Edward. "Tidak akan ada yang berubah
setelah kau kawin, aku janji," katanya.
"Benar?" kata Edward dengan senyum agak tolol.
330 "Tentu saja." "Jadi, sebenarnya tidak ada yang berubah," katanya sambil memandang Micky.
"Ada," ucap Micky. "Ada satu hal yang akan berubah. Kau akan jadi mitra di bank
keluargamu." 340 BAB DUA April SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY RUANG MUSIK itu sepanas tempat mandi Turki. Udara berbau bir, kerang, dan orang-
orang yang tidak mandi. Di panggung, seorang wanita muda berpakaian compang-
camping berdiri di depan latar belakang yang menggambarkan sebuah pub. la
menggendong boneka untuk menggambarkan bayi yang baru lahir, dan bernyanyi
tentang bagaimana ia termakan rayuan gombal lelaki dan ditelantarkan. Penonton
yang duduk di bangku di hadapan meja-meja panjang, saling bergandengan tangan
dan bersama-sama menyanyikan koor:
Dan kita cuma perlu setetes gin!
Hugh bernyanyi keras-keras. Ia merasa nyaman. Ia telah makan sedikit kerang dan
menenggak beberapa gelas bir hangat. Sekarang ia berimpitan dengan Nora
Dempster, gadis yang menyenangkan untuk diimpit. Tubuhnya montok dan empuk,
senyumnya menggoda, dan barangkali wanita ini telah menyelamatkan hidupnya.
Sepulangnya dari Kingsbridge Manor, ia mengalami depresi berat. Melihat Maisie
telah membangkitkan kenangan lama dan semenjak wanita itu menolaknya lagi,
341 hantu-hantu masa silam itu kembali mendatanginya tanpa putus.
Ia telah mampu menghabiskan siangnya, karena pada waktu bekerja ada tantangan
dan problem yang "mengalihkan perhatiannya dari kesedihannya. Ia sibuk menyusun
usaha patungan dengan Madler and Bell, yang akhirnya disetujui oleh para mitra
Pilaster, la sendiri akan menjadi mitra, sesuai impiannya. Tapi pada malam-
malamnya ia tidak antusias untuk melakukan apa pun. Ia diundang ke berbagai ?
pesta besar, pesta dansa, dan acara makan malam, karena ia salah satu anggota
kelompok Marlborough berkat persahabatannya dengan Solly. Ia sering pergi
memenuhi undangan, tapi kalau Maisie tidak hadir, ia merasa bosan, dan kalau
wanita itu ada, ia merasa tersiksa. Karenanya sebagian besar malamnya ia duduk
di kamar memikirkan Maisie atau menjelajahi jalan-jalan, berharap akan
berpapasan dengannya. Di jalanlah ia bertemu dengan Nora. Ia pergi ke toko Peter Robinson's di Oxford
Street toko yang dulu menjual tirai, tapi sekarang disebut toko serba ?ada untuk membeli hadiah ulang tahun bagi adiknya, Dotty. Ia punya rencana naik
?kereta api ke Folkestone segera sesudahnya, namun ia begitu kalut, sehingga tak
tahu bagaimana harus menghadapi keluarganya dan tidak mampu memilih kado. Ia
keluar dari toko dengan tangan kosong setelah hari gelap, dan bertumbukan dengan
Nora. Gadis itu terjerembab dan Hugh menyambar tubuhnya.
Ia tak akan melupakan bagaimana rasanya memegang gadis itu. Walaupun terbungkus
pakaian, tubuhnya empuk dan lentur, dan mengeluarkan bau hangat dan wangi.
Sejenak jalan kota London yang dingin dan gelap sirna dan Hugh serasa berada
dalam dunia tertutup yang penuh dengan kegembiraan. Kemudian barang belanjaan
gadis itu, sebuah pot kembang, jatah dan hancur
342 berantakan di trotoar. Gadis itu berteriak kesal dan seperti hendak menangis.
Hugh tentu saja bersikeras ingin membelikan gantinya.
Gadis itu satu atau dua tahun lebih muda dari Hugh, usianya mungkin dua puluh
empat atau dua puluh lima. Wajahnya bulat dan cantik, dengan rambut pirang ikal
menyembul dari topi kerudungnya; pakaiannya murah namun menyenangkan: pakaian
wol merah muda bersulam bunga-bunga, gaunnya mengembang di belakang, dan
mantelnya dari beledu model angkatan laut Prancis yang ketat, yang tepinya
dihiasi bulu kelinci. Ia berbicara dengan aksen Cockney yang kental.
Sementara mereka membeli pot bunga pengganti, Hugh sambil lalu mengatakan pada
gadis itu bahwa ia* tak dapat memutuskan apa yang akan diberikannya pada adiknya
untuk hadiah ulang tahun. Nora menyarankan membeli payung warna-warni, dan ia
bersikeras hendak membantu Hugh memilihkan payung itu.
Akhirnya ia mengantar gadis itu pulang dengan kereta kuda. Gadis itu bercerita
bahwa ia tinggal dengan ayahnya, seorang penjual keliling yang menawarkan obat
paten. Ibunya sudah meninggal. Lingkungan tempat tinggalnya lebih sederhana
daripada yang diduga Hugh lebih tepat dikatakan lingkungan kaum pekerja miskin
?daripada kelas menengah.
Ia mengira tidak akan bertemu lagi dengan gadis itu, dan pada hari Minggu itu di
Folkestone ia merenungkan Maisie seperti biasa. Pada hari Senin di bank ia
menerima sepucuk surat pendek dari Nora, yang isinya berupa ucapan terima kasih
atas kebaikannya; tulisan tangannya kecil rapi dan kekanak-kanakan. Hugh
membacanya, lalu meremas-remas kertas itu dan melemparkannya ke dalam keranjang
sampah. Hari berikutnya, ia keluar dari bank pada tengah hari untuk makan siang dan
melihat gadis itu melangkah menyusuri jalan, menuju ke arahnya. Mula-mula ia
tidak 343 mengenali gadis itu, hanya merenung betapa menarik wajahnya; kemudian gadis itu
tersenyum padanya dan barulah ia ingat. Ia melepaskan topinya, gadis itu
menghentikan langkah dan menyapanya. Dengan malu-malu gadis itu berkata pada
Hugh bahwa ia bekerja sebagai asisten pembuat korset, dan ia dalam perjalanan
kembali ke toko tempatnya bekerja setelah mengunjungi seorang pelanggan. Entah
kenapa, tiba-tiba Hugh terdorong untuk mengajaknya berdansa malam itu. Gadis itu
berkata ia ingin pergi, namun tidak memiliki topi yang layak, karenanya Hugh
membawanya ke sebuah toko tas dan membelikannya topi, dan selesailah masalah
itu. Sebagian besar kencan mereka dilakukan sambil berbelanja. Gadis itu tidak banyak
memiliki harta benda dan tanpa malu-malu ia sangat senang dengan kekayaan Hugh.
Hugh sendiri senang membelikannya sarung tangan, sepatu, baju, gelang, dan
barang lain yang disenangi gadis itu. Adiknya, Dotty, dengan segenap
kebijaksanaan gadis berusia dua belas tahun, berkata bahwa Nora menyukai
kakaknya karena uangnya. Hugh hanya tertawa dan berkata, "Tapi siapa yang mau
mencintaiku karena wajahku?"
Maisie tak bisa hilang dari pikirannya. Ia memikirkannya setiap hari, namun
kenangan itu tidak lagi menjerumuskannya ke dalam keputusasaan. Ada yang
diharapkannya sekarang, pertemuan berikutnya dengan Nora. Dalam beberapa minggu
gadis itu telah membangkitkan semangat hidupnya.
Pada salah satu acara berbelanja, mereka bertemu dengan Maisie di sebuah toko
penjual pakaian bulu di Bondstreet. Dengan agak tersipu, Hugh memperkenalkan
keduanya. Nora sangat senang dikenalkan pada Mrs. Solomon Greenbourne. Maisie
mengundang mereka ke acara minum teh di Piccadilly House. Malam itu Hugh melihat
Maisie kembali di suatu pesta dansa, dan ia heran karena Maisie tidak begitu
menaruh simpati pada 344 Nora. "Maaf, tapi aku tidak menyukainya," kata Maisie. "Gadis itu tampaknya
keras hati dan mata duitan, dan aku tak percaya dia mencintaimu sedikit pun.
Demi Tuhan jangan kawin dengannya."
Hugh merasa terluka dan terhina. Maisie cuma cemburu, pikirnya. Walau
bagaimanapun, ia tidak berpikir akan mengawini Nora.
Ketika pertunjukan di gedung musik berakhir, mereka keluar menembus kabut tebal
yang berpusing dan terasa seperti lengas. Mereka melilitkan syal ke leher dan
mulut dan pergi ke rumah Nora di Camden Town.
Rasanya seperti berada dalam air. Semua bunyi menjadi kedap, manusia dan benda-
benda muncul dari kabut dengan tiba-tiba, seorang pelacur yang menjajakan diri
di bawah cahaya lampu gas, seorang pemabuk yang berjalan sempoyongan dari sebuah
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pub, seorang polisi yang tengah berpatroli, seorang tukang sapu yang tengah
menyeberang, sebuah kereta kuda berlampu yang merayap menyusuri jalan, seekor
anjing yang basah kuyup di got, dan seekor kucing yang menyusuri sebuah lorong
dengan mata berkilat. Hugh dan Nora berpegangan tangan dan sekali-sekali
menghentikan langkah dalam kegelapan malam yang pekat untuk menurunkan syal
mereka dan berciuman. Bibir Nora lembut dan responsif, dan ia membiarkan Hugh
menyelipkan tangan ke dalam bajunya, meremas payudaranya. Kabut membuat segala-
galanya senyap, penuh rahasia dan romantis.
Biasanya Hugh meninggalkan Nora di sudut jalan tempat tinggalnya, namun malam
ini karena adanya kabut, ia mengantar gadis itu hingga ke pintu. Ia ingin
menciumnya kembali di sana, namun takut kalau-kalau ayahnya membuka pintu dan
memergoki mereka. Ternyata Nora memberinya kejutan dengan berkata, "Maukah kau
mampir?" Hugh belum pernah masuk ke rumahnya. "Apa nanti kata ayahmu?" katanya.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ayah pergi ke Huddersfield," kata gadis itu dan membuka pintu.
Jantung Hugh berdetak lebih cepat ketika ia melangkah ke dalam. Ia tak tahu apa
yang akan terjadi, tapi pasti menggairahkan. Ia membantu Nora melepaskan
jubahnya, matanya dengan bergairah tertuju pada lekuk-lekuk di balik gaun biru
langit gadis itu. Rumah itu kecil, bahkan lebih kecil daripada rumah di Folkestone yang ditempati
ibu Hugh setelah kematian ayahnya. Tangga rumahnya memakan sebagian ruang sempit
itu. Ada dua pintu dekat ruang utama, yang mungkin menuju ruang duduk depan dan
dapur belakang. Di atas pasti ada dua kamar tidur. Ada sebuah bak timah di dapur
dan sebuah kakus di halaman belakang.
Hugh menggantungkan topi dan mantel pada sebuah sangkutan. Seekor anjing
menggonggong di dapur. Nora membuka pintu untuk melepaskan anjing terrier
Skotlandia hitam kecil yang mengenakan pita biru di lehernya. Anjing itu
menyambut Nora dengan antusias, kemudian mengelilingi Hugh dengan rasa waswas.
Blackie melindungiku kalau Pa pergi," ujar Nora, dan Hugh merenungkan makna
ganda ucapannya. Ia mengikuti Nora ke ruang duduk. Perabot rumahnya tua dan aus, namun Nora
membuat kamar itu cemerlang dengan barang-barang yang telah dibeli bersama:
bantal-bantal dengan motif meriah, selembar permadani warna-warni, dan sebuah
lukjsan Puri Balmoral. Gadis itu menyalakan sebatang lilin dan menarik tirai.
Hugh berdiri termangu di tengah kamar, tidak tahu apa yang harus dilakukan,
sampai gadis itu berkata, "Tolong, mungkin kau bisa menyalakan api," Ada sedikit
bara di tungku; Hugh menambahkan kayu bakar dan meniup api itu hingga menyala
kembali dengan menggunakan peniup kecil.
Setelah selesai dengan pekerjaannya, ia membalikkan
346 badan dan melihat gadis itu duduk di sofa tanpa topi, dan dengan rambut terurai.
Nora menepuk bantal di sebelahnya dan Hugh duduk dengan patuh. Blackie melotot
cemburu padanya dan Hugh bertanya dalam hati, bisakah ia segera mengeluarkan
anjing itu dari kamar. Mereka berpegangan tangan dan memandangi api. Hugh merasa tenteram. Rasanya ia
tak ingin melakukan apa pun yang lain seumur hidupnya. Setelah beberapa lama, ia
mencium Nora kembali. Dengan coba-coba ia menyentuh payudaranya. Gadis itu
menarik napas berat. Hugh belum pernah merasa senikmat ini. namun ia mendambakan
lebih -dari itu. Ia mencium Nora lebih keras, sambil tetap menyentuh
payudaranya. Perlahan-lahan gadis itu bersandar ke belakang, hingga Hugh setengah berbaring
di atas tubuhnya. Mereka berdua mulai terengah-engah. Suara hati Hugh berkata
bahwa tak pantas ia mengambil keuntungan dari seorang gadis ketika ayahnya tak
ada di rumah, namun suara itu lemah sekali dan tidak dapat bertahan melawan
nafsu yang meluap dalam dirinya, bagaikan gunung api.
Ia ingin sekali menyentuh bagian-bagian paling intim pada tubuh gadis itu. Ia
meletakkan tangannya di antara betis Nora, namun tubuh Nora mengejang seketika
dan anjingnya menggonggong karena mengendus ketegangan yang mereka hadapi. Hugh
menjauh sedikit dan berkata, "Mari kita keluarkan anjing ini."
Nora tampak terganggu. "Mungkin sebaiknya kita berhenti."
Hugh tidak mau berhenti namun demikian kata mungkin itu menambah semangatnya.
"Aku tak bisa berhenti sekarang," katanya. "Keluarkan anjing itu."
"Tapi... kita bertunangan pun belum, atau ikatan apa misalnya."
"Kita bisa bertunangan," kata Hugh tanpa pikir panjang.
347 Gadis itu menjadi agak pucat. "Kau sungguh-sungguh?"
Hugh menanyai dirinya sendiri dengan pertanyaan serupa. Sejak awal ia menganggap
ini hanya iseng-iseng, bukan hubungan serius; namun baru beberapa saat yang lalu
ia berpikir betapa ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan menggenggam tangan
Nora di depan perapian. Apakah ia benar-benar ingin mengawininya" Ia sadar bahwa
memang demikian halnya; sesungguhnya tak ada lagi yang lebih diinginkannya.
Tentu saja akan terjadi keributan. Keluarganya akan berkata ia kawin dengan
orang yang lebih rendah derajatnya. Tapi persetan. Ia sudah berusia dua puluh
enam tahun, gajinya seribu pound setahun, dan ia akan diangkat menjadi mitra
salah satu bank paling bergengsi di dunia; ia bisa mengawini siapa pun yang
diinginkannya. Ibunya akan cemas, namun memberikan dukungan; ia akan merasa
khawatir, namun senang melihat anaknya hidup bahagia; yang lainnya bisa mengoceh
semaunya. Mereka belum pemah melakukan sesuatu untuknya.
Hugh memandang Nora yang segar, cantik, dan menyenangkan, tergolek di sofa tua
dengan rambut terurai di bahunya yang terbuka. Ia sangat mendambakan gadis itu
sekarang, secepatnya. Ia sudah terlalu lama hidup sendiri. Maisie sudah tenteram
dengan Solly dan takkan pernah menjadi miliknya. Sudah waktunya ia memiliki
seseorang yang hangat dan lembut untuk mengisi hidupnya. Dan mengapa tidak Nora
saja" Ia menjentikkan jemarinya pada anjing itu. "Ayo, ke sini, Blackie." Ia mengelus
kepala binatang itu, kemudian menggenggam pita di lehernya. "Ayo, jaga ruang
depan," katanya sambil menempatkan anjing itu di luar, lalu menutup pintu.
Anjing itu menggonggong dua kali, lalu diam.
Hugh duduk di samping Nora dan memegang tangannya. Gadis itu kelihatan waswas.
Hugh berkata, "Nora, maukah kau kawin denganku?"
348 Pipi Nora menjadi merah. "Ya, aku mau."
Hugh menciumnya. Gadis itu membalas dengan penuh nafsu. Hugh menyentuh lututnya.
Gadis itu memegang tangannya dan menuntunnya. Bibir Nora menelusuri pipinya,
menuju telinganya, dan gadis itu berbisik, "Hugh sayang, jadikan aku milikmu
malam ini, sekarang juga."
"Aku bersedia," kata Hugh dengan suara serak. "Aku bersedia."
[II] PESTA KOSTUM yang diadakan oleh Duchess Tenbigh adalah peristiwa besar pertama
dalam musim London tahun 1879. Setiap orang membicarakannya berminggu-minggu
sebelumnya. Banyak uang dihabiskan untuk keperluan pakaian pesta, dan orang
berusaha keras mendapatkan undangan.
Augusta dan Joseph Pilaster tidak diundang. Itu tidak mengherankan: mereka tidak
termasuk dalam eselon tertinggi masyarakat London. Namun Augusta ingin pergi
juga, dan ia membulatkan pikirannya bahwa ia harus menghadiri pesta itu.
Begitu mendengar tentang pesta itu, ia menyinggungnya pada Harriet Morte, yang
menanggapi dengan sikap kikuk tanpa berkata sepatah pun. Sebagai dayang Ratu,
Lady Morte memiliki pengaruh sosial yang besar; selain itu, ia sepupu jauh
Duchess Tenbigh. Namun wanita itu tidak berusaha agar Augusta diundang.
Augusta memeriksa rekening Lord Morte pada Pilasters Bank dan mendapati
kelebihan tarikan sebesar seribu pound. Pada hari berikutnya, bangsawan itu
menerima sepucuk surat yang menanyakan kapan ia dapat menutup kekurangan pada
rekeningnya. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Augusta mengunjungi Lady Morte pada hari itu juga. Ia memohon maaf. Katanya
surat itu merupakan kekeliruan dan karyawan administrasi yang mengirimkannya
telah dipecat. Lalu ia menyinggung soal pesta itu lagi.
Wajah Lady Morte yang biasanya tanpa emosi, sesaat menunjukkan kebencian ketika
ia memahami maksud Augusta. Augusta tidak bergeming. Ia tak punya keinginan agar
disukai oleh Lady Morte, ia hanya ingin memperalatnya. Dan Lady Morte dihadapkan
pada pilihan sederhana; menggunakan pengaruhnya agar Augusta diundang ke pesta,
atau mencari seribu pound untuk menutupi kelebihan dana yang ditariknya. Wanita
bangsawan itu mengambil pilihan yang lebih mudah, dan beberapa lembar kartu
undangan tiba pada hari berikutnya.
Augusta merasa berang karena Lady Morte tidak menolongnya dengan tulus.
Sangatlah menyakitkan bahwa Lady Morte harus dipaksa. Karena dendam, Augusta
memaksa agar Edward diundang juga.
Augusta datang sebagai Ratu Elizabeth dan Joseph sebagai Earl Leicester. Pada
malam pesta itu mereka makan malam di rumah, kemudian berganti busana. Selesai
berpakaian, Augusta masuk ke kamar Joseph untuk menolongnya mengenakan kostumnya
dan berbicara padanya tentang keponakannya, Hugh.
Ia merasa berang karena Hugh akan dijadikan mitra di bank keluarga bersamaan
dengan Edward. Lebih buruk lagi, setiap orang lebih tahu bahwa Edward diangkat
sebagai mitra hanya karena ia telah kawin dan diberi investasi sebesar 250.000
pound, sementara Hugh diangkat karena telah menggolkan suatu transaksi yang
sangat menguntungkan dengan Madler and Bell dari New York. Orang sudah ramai
membicarakan Hugh sebagai Mitra Senior yang potensial. Pikiran itu membuat
Augusta mengenakkan gigi.
Pengangkatan mereka dijadwalkan berlangsung pada akhir April, saat perjanjian
kemitraan tahunan secara 35(5 resmi diperbarui. Namun di awal bulan, yang membuat Augusta melonjak kegirangan,
Hugh melakukan ketololan yang sulit dipercaya, karena mengawini seorang gadis
mungil yang montok dari kelas pekerja Camden Town.
Episode Maisie enam tahun yang lalu telah menunjukkan bahwa pemuda itu mudah
tertarik pada gadis-gadis dari golongan bawah, namun Augusta tidak berani
berharap ia akan mengawini salah seorang dari mereka. Hugh menikah diam-diam di
Folkestone, hanya dihadiri oleh ibu dan adiknya serta ayah mempelai wanita.
Keluarganya terpaksa menerima.
Sambil membetulkan kerah baju model Elizabeth milik Joseph, Augusta berkata,
"Kuharap kau akan memikirkan kembali rencana pengangkatan Hugh sebagai mitra,
karena dia telah mengawini pembantu rumah tangga."
"Wanita itu bukan pembantu rumah tangga, dia seorang pembuat korset. Dulu.
Sekarang dia Mrs. Pilaster."
"Tapi seorang mitra dalam keluarga Pilaster tidak bisa beristri seorang pelayan
toko." "Kurasa dia bisa mengawini siapa pun yang dia suka."
Augusta sebelumnya takut Joseph akan berkata demi-kan. "Kau tidak akan bilang
begitu kalau dia jelek, kerempeng, dan tidak ramah," katanya kecut. "Hanya
karena wanita itu cantik dan suka bermain api maka kau begitu toleran."
"Aku tak mengerti masalahnya."
"Seorang mitra harus bertemu dengan menteri kabinet, diplomat, para pemuka
bisnis besar. Wanita itu tidak akan tahu cara membawa diri. Dia bisa membuat
suaminya malu setiap saat."
"Dia bisa belajar." Joseph bimbang, kemudian menambahkan, "Kadang-kadang kupikir
kau lupa pada latar belakangmu sendiri, Sayang."
351 Augusta berdiri tegak." Ayahku punya tiga toko!" katanya dengan murka.
"Beraninya kau membandingkan aku dengan anak jalanan itu!"
Joseph mengurungkan perlawanannya. "Baiklah, aku minta maaf."
Augusta menggelegak. "Lagi pula, aku tidak pernah bekerja di toko ayahku,"
katanya. "Aku dibesarkan untuk menjadi seorang lady."
"Aku sudah minta maaf, sudahlah jangan kita ungkit lagi soal itu. Sekarang
waktunya berangkat."
Augusta mengatupkan mulutnya, namun hatinya masih membara.
Edward dan Emily menunggu mereka di ruang utama, berpakaian sebagai Henry II dan
Eleanor dari Aquitaine. Edward tengah menghadapi kesulitan dengan tali penyangga
kaus kakinya yang terbuat dari jalinan benang emas, dan ia berkata, "Ibu pergi
saja dulu, dan suruh kereta kembali ke sini untuk menjemput kami."
Tapi Emily dengan cepat memotong, "Oh, jangan, aku ingin pergi sekarang.
Betulkan tali kaus kakimu di dalam kereta nanti."
Emily memiliki sepasang mata biru bulat dan wajah jelita seorang anak kecil.
Dengan busana model abad dua belas berleher tinggi dan topi kecil di kepala,
penampilannya sangat memikat. Hanya saja Augusta mendapati wataknya ternyata
tidak selembut penampilannya. Pada waktu mempersiapkan pernikahan, tampak sekali
Emily memiliki pendirian sendiri. Ia dengan senang hati membiarkan Augusta
mengatur makan pagi pesta, tapi dengan keras kepala ia tidak mau didikte soal
model busana dan siapa-siapa yang menjadi pengiringnya.
Setelah mereka masuk ke dalam kereta, Augusta samar-samar teringat betapa
pernikahan Henry II dan Eleanor merupakan pernikahan petaka. Ia berharap Emily
tidak akan menyulitkan Edward. Ia agak curiga bahwa ada yang tidak beres dalam
kehidupan pernikahan 352 mereka, karena selama ini tampak jelas Edward uring-uringan. Beberapa kali ia
mencoba menanyakan secara halus, tapi hasilnya nihil.
Yang melegakan, Edward sekarang sudah menikah dan sudah menjadi mitra di bank.
Ia mulai mapan. Pasti semuanya akan beres dengan sendirinya.
Pesta topeng dimulai pada jam setengah sebelas dan keluarga Pilaster datang
tepat waktu. Rumah Tenbigh gemerlapan oleh lampu. Di luar halaman berjejal para
penonton, dan kedua sisi Park Lane dipenuhi kereta kuda para tamu. Para penonton
di luar bertepuk tangan menyambut para tamu yang turun dari kereta dengan aneka
busana pesta topeng yang aneh-aneh. Sambil menunggu, melihat pasangan Anthony
dan Cleopatra, rombongan bangsawan Roundhead dan Cavalier, dua dewi Yunani,
serta tiga Napoleon masuk ke dalam rumah.
Akhirnya kereta mereka tiba di depan rumah. Begitu turun, ternyata mereka sudah
harus antre di pintu masuk untuk memberi salam pada tuan rumah, pasangan Duke
dan Duchess Tenbigh yang malam itu berbusana seperti Solomon dan Sheba. Ruang
pesta semerbak oleh aroma .bunga segar dan alunan musik dari band yang mencoba
menghibur para tamu. Keluarga Pilaster diikuti oleh Micky Miranda diundang karena status ?diplomatnya bersama istrinya, Rachel. Micky tampak sangat memukau, dengan
?busana Kardinal Wosley berwarna merah. Melihatnya sekejap saja sudah membuat
hati Augusta berdebar. Tapi saat melihat Rachel, istri Micky, pandangannya
seketika berubah sinis. Wanita itu berpakaian sebagai seorang budak. Agak
mengejutkan. Dulu Augusta mendukung Micky untuk menikah, tapi ia tetap saja
cemburu pada Rachel yang tidak cantik. Merasa ditatap Augusta, Rachel balas
menatap dengan dingin. Dengan posesif ia meraih lengan suaminya ketika Micky
selesai mencium tangan Augusta.
Saat mereka menaiki tangga, Micky berkata pada
353 Rachel, "Duta Spanyol juga hadir. Bersikaplah manis padanya."
"Kau saja yang bermanis padanya," potong Rachel cepat. "Bagiku dia kampungan."
Micky agak jengkel, tapi diam saja. Dengan sikapnya yang ekstrem dan agresif,
Rachel lebih cocok menjadi istri anggota Partai Radikal di Parlemen atau
wartawan. Augusta merasa Micky berhak memiliki istri yang tidak eksentrik dan
lebih cantik. Di depan mereka, Augusta melihat sepasang pengantin baru lainnya, Hugh dan Nora.
Hugh adalah anggota kelompok Marlborough karena ia sahabat keluarga Greenbourne,
karenanya ia selalu diundang ke semua pesta. Hal ini membuat Augusta kecewa.
Malam ini ia berdandan seperti raja India dan Nora berbusana sebagai seorang
penari ular. Gaunnya terbelah tinggi sekali, sehingga celana panjang gaya harem-
nya tampak setiap kali ia melangkah. Ular-ularan bergelantungan di tubuh dan
lengannya. Augusta berkomentar sinis ke arah Joseph, "Istri Hugh benar-benar
vulgar." Joseph malah bereaksi sebaliknya, "Ah, ini kan pesta topeng."
"Tapi lihat saja... mana ada wanita di pesta ini yang sampai mempertontonkan
kakinya." "Bagiku tidak ada bedanya antara celana panjang longgar dan rok panjang."
Mungkin saja dia senang melihat kaki Nora, pikir Augusta sengit. Perempuan
seperti itu memang bisa mengaburkan penilaian para pria. "Kupikir dia tidak
cocok menjadi istri seorang mitra Pilasters Bank."
"Nora tak perlu membuat keputusan keuangan di bank kita."
Augusta serasa ingin menjerit jengkel. Jelas tidak cukup hanya menjelek-jelekkan
Nora sebagai gadis dari kelas pekerja. Ia harus merencanakan sesuatu agar Joseph
dan para mitra lainnya memusuhi Hugh.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Tiba-tiba timbul idenya.
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemarahannya surut. Mungkin ada jalan untuk membuat Nora mengalami masalah. Ia
melihat ke lantai atas dan mempelajari setiap gerak mangsa barunya.
Nora dan Hugh sedang berbincang-bincang dengan atase Hungaria, Count de Tokoly,
pria yang terkenal mata keranjang dan malam ini berbusana sebagai raja Henry
VIII. Nora tampaknya cocok menjadi mangsa baru si atase. Para wanita terhormat
sengaja menghindari atase mata keranjang ini. Hanya saja ia selalu harus
diundang ke setiap pesta, karena statusnya sebagai diplomat senior. Hugh
tampaknya sama sekali tidak keberatan melihat istrinya bercakap-cakap genit
dengan atase itu. Yang tampak di wajahnya hanyalah ekspresi sayang. Mungkin dia
masih mabuk cinta, sehingga di matanya sang istri tak ada celanya sedikit pun.
Lihat saja, ini tidak akan berlangsung lama, pikir Augusta. "Nora sedang
berbincang-bincang dengan Tokoly," bisiknya pada Joseph. "Dia harus hati-hati
dengan reputasinya."
"Hmmm, jangan sekali-kali bersikap kasar pada atase itu," jawab Joseph cepat."
Bank kita sedang menggarap pinjaman dua juta pound ke pemerintahnya."
Augusta sama sekali tak peduli pada de Tokoly. Yang penting soal Nora. Tampaknya
dia bisa dijadikan korban malam ini, karena dia belum biasa bergaul serta belum
sempat mempelajari tata cara kaum kelas atas. Kalau saja dia bisa" mempermalukan
dirinya sendiri malam ini, mungkin di depan Pangeran Wales....
Bertepatan dengan itu tepuk tangan meriah terdengar di luar rumah, menandakan
datangnya Pangeran Wales beserta rombongannya.
Beberapa saat kemudian, rombongan kerajaan masuk ke dalam rumah: Pangeran Wales
dan Putri Alexandra, berbusana bagai Raja Arthur dan Ratu Guinevere, diikuti "
oleh rombongannya yang berpakaian seperti ksatria abad
355 pertengahan dan para istri mereka. Iringan musik waltz Strauss berhenti
mendadak, lalu terdengar lagu kebangsa-an kerajaan. Semua tamu membungkuk
memberi hormat, dan kerumunan orang di tangga menepi ke kanan dan ke kiri bagai
ombak, menyongsong datangnya tamu kerajaan. Sang pangeran tampak makin tambun
saja, pikir Augusta sewaktu memperoleh giliran memberi hormat. Jenggotnya belum
berubah, hanya saja rambutnya makin botak saja. Kasihan istrinya yang cantik,
yang harus banyak bersabar pada suaminya yang boros dan gila wanita.
Di tangga atas, tuan rumah menyambut tamu kerajaan dan langsung membawa mereka
ke ruang dansa. Para undangan lain bergegas mengikuti.
Di dalam ruang dansa, bau semerbak bunga-bunga segar yang dipetik langsung dari
rumah pedesaan keluarga Tenbigh memenuhi ruangan; lilin-lilin gemerlapan
memantulkan sinarnya di sekitar cermin-cermin tinggi yang dipasang di antara
celah jendela kaca ruangan. Para pelayan pria yang berdandan sebagai pelayan
kerajaan zaman Ratu Elizabeth berkeliling tanpa henti menyuguhkan sampanye.
Pangeran dan istrinya diajak ke panggung kehormatan di ujung ruangan. Sebelumnya
telah diatur agar begitu Pangeran mulai duduk, beberapa pemakai kostum yang
paling spektakuler berjalan di depan Pangeran. Segera prosesi berlangsung, dan
secara tak sengaja Augusta berdampingan dengan Count de Tokoly.
"Sungguh menyenangkan istri keponakan Anda, Mrs. Pilaster," sapa de Tokoly.
Augusta memberikan senyum hambar." Betapa murah hati Anda mengatakannya."
De Tokoly mengangkat alisnya. "Sepertinya Anda kurang senang. Benarkah" Tentunya
Anda mengharapkan Hugh menikah dengan wanita yang sekelas dengannya."
356 "Anda tahu sendiri jawabannya tanpa perlu kukatakan."
"Tapi... kuakui daya tariknya memang hebat sekali." "Tidak salah."
"Aku akan memintanya melantai nanti. Apakah menurut Anda dia mau menerima
ajakanku?" Augusta tak bisa menahan rasa jengkelnya. "Ya, saya yakin dia akan bersedia." Ia
berjalan menjauh. Rasanya terlalu berlebihan mengharapkan adanya skandal dalam
dansa mereka nanti.... Tiba-tiba saja ia memperoleh inspirasi.
Yang menjadi faktor penentu adalah count itu sendiri. Kalau saja ia bisa
memanfaatkan pertemuannya dengan Nora, rencana busuknya pasti berhasil.
Pikiran liciknya segera berputar cepat. Malam ini benar-benar suatu peluang
sempurna. Ia harus memanfaatkannya.
Dengan bersemangat Augusta melihat ke sekeliling, melihat Micky, lalu bergegas
ke arahnya. "Aku perlu bantuanmu. Sekarang, dan cepat," bisiknya.
Micky menatap Augusta penuh arti. "Apa saja," jawabnya.
Augusta telah mengacuhkan rayuan Micky. "Kau kenal Count de Tokoly?"
"Pasti. Kami para diplomat saling kenal."
"Katakan padanya bahwa Nora memang murahan."
"Hanya itu?" tanya Micky dengan senyum dikulum.
"Kau boleh menambah-nambahkan kalau mau."
"Bisakah kubisikkan bahwa aku tahu dari pengalaman pribadiku sendiri dengan
Nora?" Pembicaraan ini sudah melantur jauh, tapi ide Micky memang bagus. Augusta
mengangguk setuju. "Lebih baik malah."
"Kau tahu kira-kira apa yang akan dilakukan oleh si tua?" tanya Micky.
"Aku yakin dia akan merayu Nora."
357 "Kalau memang itu yang kauinginkan..." "Ya."
Micky mengangguk. "Aku adalah budakmu, dalam hal ini dan dalam segala hal."
Augusta mengibaskan tangan dengan tak sabar; ia terlalu tegang' untuk
mendengarkan gombal-menggombal saat ini. Pandangannya tertuju pada Nora yang
tampak sedang terkagum-kagum melihat interior rumah dan aneka kostum dalam
pesta; jelas ia tak pernah melihat suasana seperti ini dalam hidupnya. Tampak
sekali ia sangat terkesima. Tanpa ragu lagi Augusta berjalan mendekati Nora.
Ia berbisik. "Sedikit nasihat, Nora."
"Terima kasih banyak," jawab Nora.
Hugh mungkin saja pernah memperingatkan soal kelicikan Augusta pada istrinya,
tapi Nora tidak menunjukkan sikap bermusuhan. Mungkin ia belum yakin benar,
seperti apa Augusta, jadi sikapnya terhadap wanita itu biasa-biasa saja.
Augusta berkata, "Kulihat kau tadi bicara dengan Count de Tokoly."
"Si tua cabul itu," sahut Nora cepat.
Augusta agak terpana dengan kekasaran Nora, tapi racunnya terus berlanjut.
"Hati-hati dengan dia, jika kau mau menjaga reputasimu."
"Hati-hati?" tanya Nora. "Apa maksudmu?"
"Kau harus sopan, tentunya, tapi apa pun yang terjadi, dia jangan terlalu diberi
hati. Kalau dia merasa mendapat lampu hijau sedikit saja, dia akan maju terus...
dan kalau tidak dihentikan, dia bisa sangat memalukan."
Nora mengangguk, paham. "Jangan khawatir, aku tahu cara menghadapi laki-laki
macam dia " Hugh sedang berdiri di dekat mereka, berbincang dengan Duke of Norwich ketika
dilihatnya Augusta sedang berbincang pelan dengan istrinya. Dengan curiga ia
mendekati Nora. Terlambat, Augusta telah menanam-
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY kan benih bencana. Dengan ringan ia melangkah menjauhi Nora. Ia tinggal menanti
dengan penuh harap agar yang terjadi nanti adalah yang terbaik bagi dirinya.
Di depan Pangeran Wales beriringan beberapa orang dari kelompok Malborough,
termasuk Duke dan Duchess of Kingsbridge dan Solly dengan Maisie Greenbourne. Pasangan ini berbusana sebagai bangsawan dari Timur.
Bukannya sedikit menekuk lutut dan mengangguk, di depan pangeran dan istrinya
mereka berlutut penuh serta memberi salam hormat. Tingkah mereka membuat
keluarga kerajaan tertawa geli dan senang, disusul dengan tepukan tangan para
tamu lainnya. Augusta sangat membenci Maisie Greenbourne, hanya saja kali ini ia
tak sempat memikirkannya. Benaknya sedang dipenuhi pelbagai kemungkinan. Kendati
sudah dipersiapkan, masih banyak kemungkinan gagal: de Tokoly bisa saja terpikat
wanita cantik lainnya, Nora bisa menghadapinya dengan anggun dan sopan, Hugh
mungkin selalu berdiri dekat istrinya, sehingga de Tokoly tidak bisa berbuat
apa-apa. Namun, dengan sedikit keberuntungan, ia yakin rencananya akan berhasil.
Prosesi di depan keluarga kerajaan hampir selesai. Tiba-tiba dari kejauhan
Augusta melihat David Middleton sedang menuju ke arahnya. Ia merasa cemas.
Enam tahun yang lalu ia pernah bertemu David yang ketika itu menanyakan tentang
kematian adiknya di Wienfield. Waktu itu Augusta mengatakan bahwa dua saksi,
Hugh Pilaster dan Antonio Silva, sudah berada di luar negeri. Tapi sekarang Hugh
sudah kembali ke London. Soal Middleton pasti akan terungkit kembali. Bagaimana
David yang hanya pengacara biasa bisa sampai diundang ke pesta para bangsawan
ini" Lalu samar-samar ia ingat bahwa David masih kerabat jauh keluarga Tenbigh.
Ia tidak memperhitungkan hal ini. Benar-benar malapetaka. Bingung! Ia tak bisa
memikirkan jalan keluarnya!
359 Dengan panik ia melihat Middleton berjalan ke arah Hugh.
Dengan diam-diam Augusta mencoba mendekati Hugh. Samar-samar ia mendengar sapaan
Middleton, "Halo, Pilaster. Kudengar kau baru saja pulang ke Inggris. Masih
ingat aku" Kakak Peter Middleton?"
Augusta perlahan membalikkan tubuh agar mereka berdua tidak menyadari
kehadirannya. Di tengah dengung celoteh tamu, ia berusaha keras menangkap apa
yang mereka bicarakan. "Ya, aku ingat... kau hadir waktu diadakan penyelidikan," jawab Hugh. "Perkenankan
kuperkenalkan istriku."
"Apa kabar, Mrs. Pilaster?" sapa Middleton sopan, lalu kembali memusatkan
perhatian pada Hugh. "Aku tidak pernah puas dengan hasil penyelidikan sebab-
musabab kematian adikku."
Augusta merasa tercekik. Middleton benar-benar terobsesi dengan soal kematian
adiknya, sehingga tanpa ragu lagi berani mengutarakan perasaannya dalam pesta
kostum semeriah ini. Benar-benar mencemaskan. Apakah Teddy tersayang tidak akan
pernah terlepas dari kecurigaan masa lalunya"
Ia tak mendengar jawaban Hugh, tapi nadanya terdengar netral.
Suara Middleton agak meninggi, sehinggav ia bisa mendengar dengan jelas ucapan
selanjutnya. "Kau perlu tahu, seisi sekolah waktu itu sama sekali tak percaya
tentang cerita Edward yang katanya mencoba menyelamatkan nyawa Peter."
Augusta menjadi takut mendengar jawaban Hugh. Untung Hugh hanya menjawab bahwa
ia sudah tidak ingat kejadian saat itu yang sudah lama sekali berlalu.
Tiba-tiba Micky sudah berdiri di samping Augusta. Wajahnya tampak tenang, tapi
gerakan tubuhnya terasa tegang. Dengan berbisik ia bertanya. "Apakah dia si
Middleton?" 360 Augusta mengangguk pelan.
"Sudah kuduga. Wajahnya masih bisa kukenali."
"Hush... dengarkan," sergap Augusta ketus.
Middleton terdengar makin agresif. "Kukira kau tahu kejadian sebenarnya."
Nadanya terasa menantang.
"O ya?" Nada Hugh sudah tidak bersahabat lagi.
"Maafkan jika aku terlalu mendesak, Pilaster. Peter adalah adikku. Selama
bertahun-tahun aku penasaran tentang kejadian sebenarnya. Aku berhak untuk tahu,
bukan?" Hening sebentar. Augusta tahu bahwa mempersoalkan siapa yang salah dan siapa
yang benar dalam kasus almarhun Peter bisa menggerakkan nurani Hugh yang
moralis. Ia sangat ingin bergabung untuk membentak kedua pria itu agar diam atau
mengubah topik pembicaraan, tapi segera sadar bahwa tindakan seperti itu akan
membangkitkan kecurigaan bahwa ia menyembuyi-kan sesuatu tentang kasus ini;
jadi, ia hanya bisa berdiri terpaku, memasang telinga untuk terus mendengarkan.
Akhirnya Hugh menjawab, "Aku sendiri tidak menyaksikan Peter meninggal,
Middleton. Jadi aku tidak bisa menceritakan apa sebenarnya yang terjadi. Bahaya
untuk berspekulasi, karena bisa salah."
"Jadi, kau juga punya sedikit kecurigaan" Kau bisa mengira-ngira bagaimana
kejadian sebenarnya?"
"Kurasa untuk kasus seperti ini tidak pantas jika kita menduga-duga. Akan sangat
tidak bertanggung jawab. Kau mengatakan ingin mengetahui kejadian sebenarnya...
begitu juga aku. Seandainya aku tahu, kuanggap sudah kewajibanku untuk
menceritakan semuanya. Hanya sayang, aku tidak tahu apa-apa."
"Kurasa kau memang ingin membela sepupumu."
Hugh tersinggung. "Sialan, Middleton, itu sudah keterlaluan. Kau memang berhak
kecewa, tapi sama sekali tidak berhak meragukan kejujuranku."
361 "Kalau begitu, pasti ada yang berbohong," tukas Middleton ketus sambil pergi
menjauh. Augusta bernapas lega. Kakinya jadi terasa lemas, dan dengan agak gontai ia
menyandarkan diri ke tubuh Micky. Kali ini prinsip Hugh berpihak pada dirinya.
Hugh mungkin juga curiga akan peran Edward dalam kasus kematian Peter, tapi
karena selama ini tidak ada bukti, ia tidak bersedia mengutarakannya. Dan
sekarang Middleton telah membuat Hugh marah. Seorang gentlemen tak pernah
berbohong, dan bagi anak muda seperti Hugh, kecurigaan akan kejujuran dirinya
sudah merupakan hinaan. Syukurlah, mulai sekarang rasanya Middleton tidak akan
mengusik-usik Hugh lagi. Krisis tadi datang secara tiba-tiba, seperti badai musim panas, juga pergi
begitu cepat, sehingga perasaan Augusta yang semula ngeri tiba-tiba berubah
menjadi kelegaan luar biasa. Hatinya serasa kosong tapi aman.
Prosesi sudah berakhir. Band mulai memainkan musik dansa. Sang pangeran menuntun
istri tuan rumah ke lantai dansa, dan sang putri dituntun si tuan rumah. Mereka
berempat mengawali di depan. Yang lain segera menyusul. Dansanya sendiri
terlihat agak lamban, mungkin karena para tamu memakai kostum berat dan aneka
hiasan kepala. Augusta berkata pada Micky, "Mungkin Middleton tidak akan menjadi duri lagi bagi
kita." "Ya, jika Hugh tetap menutup mulutnya."
"Dan sepanjang temanmu si Silva tetap di Kordoba."
"Keluarganya makin lama makin kehilangan pengaruh di negaraku, jadi aku yakin
dia tidak akan muncul kembali di Eropa."
"Bagus." Augusta kembali ke rencananya semula. "Apa kau sudah bicara dengan de
Tokoly?" "Ya, sudah." "Bagus."
"Kuharap kau tahu apa yang akan kaulakukan."
Augusta menatap tak senang pada Micky.
"Oh, betapa bodohnya aku," kata Micky. "Tentu saja kau selalu tahu apa yang akan
kaulakukan." SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Dansa kedua diringi musik waltz, dan Micky meminta Augusta untuk turun melantai.
Semasa Augusta remaja, dansa waltz dianggap tidak sopan karena tubuh kedua
pasangan sangat erat berdekapan, tangan si lelaki mendekap pinggang si wanita.
Tapi sekarang lain, bahkan keluarga kerajaan juga berdansa.
Begitu tangan Micky melekat di pinggangnya, Augusta serasa kembali menjadi tujuh
belas tahun, melantai dengan Strang. Saat melantai, Strang selalu memikirkan
pasangannya, bukan bagaimana seharusnya melangkah. Micky juga punya bakat yang
sama. Ia membuat Augusta merasa muda, cantik, dan bebas melayang. Augusta
menikmati kehalusan tangan Micky, aroma maskulin tembakau dan parfumnya, serta
kehangatan tubuhnya. Tiba-tiba ia merasa cemburu dan iri terhadap istri Micky,
Rachel, yang bisa tiap malam tidur bersama pemuda ini. Sejenak ia mencoba
mengingat kembali kejadian di kamar Seth enam tahun silam, tapi bayangan itu
begitu kabur, seperti mimpi yang tidak nyata, dan ia tak percaya semua itu
pernah terjadi. Beberapa wanita yang mengalami hal seperti dirinya akan segera menjalin hubungan
gelap dengan si pemuda. Augusta pun kadang-kadang membayangkan untuk berkencan
diam-diam dengan Micky, tapi tidak tahan harus sembunyi-sembunyi seperti itu.
Apalagi perselingkuhan rahasia semacam itu biasanya ketahuan. Ia lebih suka
meninggalkan Joseph dan menikah dengan Micky. Kemungkinan besar Micky akan
bersedia melakukannya. Dengan segala cara, ia bisa membuat Micky bersedia
melakukannya. Tapi jika dipikirkan lebih jauh, ia akan kehilangan segala
kemewahan seperti tiga rumahnya, kereta kuda, tunjangan untuk busana, posisi
sosial, dan undangan ke pesta mewah seperti malam ini. Strang
363 bisa memberikan semua itu padanya, tapi Micky hanya bisa menawarkan tubuhnya,
dan itu tidak cukup bagi Augusta.
"Lihat itu," kata Micky tiba-tiba.
Augusta mengikuti arah yang ditunjuk Micky. Nora sedang melantai dengan Count de
Tokoly. Augusta jadi tegang. "Mari kita mendekati mereka," katanya pada Micky.
Tidak begitu mudah, karena di dekat Nora juga sedang berdansa pasangan kerajaan.
Semuanya mencoba melantai dekat-dekat mereka; tapi Micky dengan lihainya
menggiring Augusta mendekati Nora.
Sejauh ini, Nora dan de Tokoly melantai dengan wajar, seperti pasangan lainnya.
Irama waltz masih menggema dengan indahnya. Tampak de Tokoly membisikkan sesuatu
ke telinga Nora, yang disambut dengan senyum wajar. Dekapannya sedikit terlalu
erat, tapi tidak cukup untuk membuat Nora marah. Seiring dengan alunan musik,
Augusta bertanya-tanya apakah ia telah salah menilai kedua korbannya. Perasaan
tak menentu itu membuatnya tegang dan ia tidak bisa berdansa dengan baik.
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Musik makin meninggi, mendekati akhir. Augusta masih terus memperhatikan Nora
dan de Tokoly. Tiba-tiba terjadi sesuatu. Wajah Nora mendadak tegang dan kaku.
De Tokoly pasti telah mengatakan sesuatu yang tidak disukainya. Harapan Augusta
bangkit kembali. Tapi mungkin ucapan laki-laki itu tidak begitu serius. Mereka
masih terus melantai. Augusta sudah siap menyerah dengan rencana busuknya, dan iringan .musik sudah
mendekati akhirnya, ketika peristiwa mengejutkan itu terjadi.
Augusta satu-satunya yang melihat awal dari ledakan itu. De Tokoly mendekatkan
bibirnya ke telinga Nora dan membisikkan sesuatu. Wajah Nora berubah merah, lalu
memucat. Ia menghentikan langkah dansanya de -
364 ngan tiba-tiba dan mendorong tubuh pasangannya dengan kasar; tidak ada orang
lain yang memperhatikan peristiwa ini, karena bertepatan dengan akhir dari musik
pengiring dansa. Tapi de Tokoly masih mencoba peruntungannya, ia berbicara
dengan ekspresi kurang ajar. Pada saat itu musik usai, dan dalam keheningan
sesaat itu, Nora menampar de Tokoly.
Suara tamparan itu meledak begitu keras, di segenap penjuru ruang dansa. Benar-
benar bukan suara tamparan main-main, tapi tamparan kemarahan yang amat sangat.
Si bangsawan terjengkang ke belakang tubuhnya menumbuk tubuh Pangeran Wales.?Semua pasangan tertegun, terkesima. Sang pangeran agak limbung, untung sempat
disangga oleh Duke of Tenbigh. Dalam suasana mencekam itu meledaklah umpatan
Nora dengan aksennya yang kental, "Jangan sekali-kali berani mendekati aku lagi,
tua bangka tak tahu malu."
Untuk sesaat semua orang membisu: wanita yang marah itu, dan si bangsawan yang
merasa terhina, dan sang pangeran yang terperanjat. Augusta serasa ingin
berteriak penuh kemenangan. Rencananya telah berjalan sempurna, bahkan lebih
sempurna dari yang ia bayangkan!
Lalu Hugh datang ke sisi Nora dan menggamit lengannya; si bangsawan berdiri
tegap kembali dan berjalan keluar ruangan; sekelompok orang melingkari Pangeran
Wales, seakan-akan ingin melindunginya. Kesenyapan berganti dengan dengung suara
manusia. Dengan penuh kemenangan Augusta memandang Micky.
"Brilian," bisik Micky penuh kekaguman. "Kau benar-benar brilian, Augusta," puji
Micky sambil meremas tangannya, mengajaknya keluar dari lantai dansa.
Joseph sudah menunggu istrinya. "Perempuan sialan!" umpatnya. "Membuat skandal
memalukan seperti itu di 365 depan sang pangeran... benar-benar membuat malu seluruh keluarga, dan pasti akan
membuat bank kita kehilangan kontrak bernilai tinggi!"'
Memang reaksi seperti itulah yang diharapkan Augusta. "Nah, benar kan, sekarang
kau baru percaya kata-ktfaku... perlu mempertimbangkan kembali apakah Hugh pantas
dijadikan mitra bank," katanya dengan nada penuh kemenangan.
Joseph memandang istrinya dengan tatapan menilai. Sesaat Augusta khawatir
suaminya marah karena ia terlalu mencampuri urusan bank, atau ia curiga
istrinyalah yang menjadi dalang insiden tadi. Tapi rupanya tidak, karena ia
malah berkata, "Kau memang benar, Sayang. Kau selama ini selalu benar mengenai
Hugh." Hugh menggiring Nora ke arah pintu keluar. "Kami akan pulang," katanya ketika
melewati pasangan Joseph dan Augusta.
"Sudah sepantasnya, kita semua memang harus pulang sekarang," jawab Augusta.
Tapi ia tidak ingin mereka pulang secepat ini. Jika suasana malam ini tidak
dimanfaatkan sekarang juga, besok keadaan bisa berbalik karena orang-orang akan
cepat lupa. Bisa saja mereka menganggap insiden malam ini adalah insiden biasa.
Untuk mencegah terjadinya hal ini, ia menginginkan sesuatu yang lebih panas
lagi, sesuatu yang emosional, penuh kata-kata makian serta tuduhan yang sangat
menyakitkan hati dan tidak mudah dilupakan. Ia menahan tangan Nora. "Aku tadi
sudah memperingatkanmu tentang Count de Tokoly," katanya setengah menuduh.
Hugh yang menjawab, "Kalau laki-laki seperti itu menghina seorang wanita di
lantai dansa, memang tidak ada tindakan lain yang bisa dilakukan selain
menamparnya di muka umum."
"Jangan macam-macam," sambar Augusta cepat. "Setiap wanita muda yang terdidik
pasti tahu apa yang seharusnya dilakukannya. Sebenarnya bisa saja dia bilang
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY sedang tidak enak badan, lalu mundur dari lantai dansa dan pulang."
Hugh tahu ucapan itu benar, maka ia tidak mencoba membantahnya. Augusta masih
khawatir insiden malam ini akan cepat terlupakan. Tapi rupanya suaminya masih
marah. Ia berkata pada Hugh, "Tuhan tahu betapa besar kerugian yang telah
kaulakukan pada bank dan keluarga malam ini."
Hugh menjadi emosioanal, "Apa maksud Paman?"
Dengan menantang tuduhan Joseph, Hugh membuat suasana makin panas, pikir
Augusta. Hugh masih terlalu hijau untuk tahu kapan ia harus diam dan kapan harus
menyangkal. Seharusnya ia diam seribu bahasa dan pulang ke rumah.
Benar saja, Joseph makin panas. "Kita sudah pasti akan kehilangan calon nasabah
kelas kakap dari orang Hungaria itu, dan lebih hebat lagi kita tidak akan
diundang dalam pesta bangsawan kerajaan lagi."
"Ya, saya tahu akibatnya," jawab Hugh tak mau kalah.. "Tapi saya ingin tahu,
kenapa saya yang disalahkan?"
"Karena kau menikahi wanita yang tidak tahu tata krama."
Nah, ini lebih baik lagi, pikir Augusta puas.
Hugh menjadi merah padam, tapi tetap bisa mengendalikan diri. "Izinkan saya
meluruskan hal ini. Seorang istri dari keluarga Pilaster diharuskan menelan
hinaan pria di pesta dansa dengan diam seribu bahasa daripada berontak demi
mempertahankan kehormatan dirinya, kendati hal itu akan berakibat kerugian
bisnis... itukah prinsip hidup Paman?"
Joseph sangat tersinggung. "Kau... kau anak tak tahu diuntung," bentaknya. "Apa
yang kumaksud adalah dengan menikahi wanita di bawah kelasmu, kau telah membuang
kesempatanmu untuk menjadi kandidat mitra-bank keluarga!"
367 Dia mengatakannya! teriak Augusta dalam hati, penuh kemenangan. Dia sendiri yang
mengatakan ini! Hugh ternyak kaget. Lidahnya kelu. Tidak seperti Augusta, ia tak pernah
membayangkan akibat dari insiden malam ini. Sekarang sudah terlambat. Augusta
memperhatikan wajah Hugh berubah dari emosional menjadi putus asa, setelah
memahami akibat yang lebih dalam ini.
Augusta mencoba dengan susah payah untuk tidak menyunggingkan senyum kemenangan.
Ia telah berhasil memperoleh apa yang diinginkannya: kemenangan prima. Mungkin
nanti Joseph akan menyesali hardikannya tadi, tapi sebagai orang yang sombong,
ia tidak akan mau menjilat ludahnya kembali.
"Jadi, beginilah akhirnya," kata Hugh, matanya tertuju ke arah Augusta, bukan
Joseph. Augusta agak heran melihat pemuda itu. "Baiklah, Augusta, kau menang.
Aku tidak tahu bagaimana caramu melakukannya, tapi aku yakin kau ikut berperan
atas insiden malam ini." Lalu pandangannya kembali pada Joseph. "Tapi Paman
Joseph perlu merenungkan hal ini. Paman harus memikirkan, siapa yang benar-benar
peduli pada kemajuan Bank dan... siapa yang menjadi musuhnya." Untuk kalimat
terakhir ini, pandangannya tertuju langsung ke arah Augusta.
[Ill] BERITA tentang gagalnya Hugh diangkat menjadi mitra segera menyebar bagai virus
ke seluruh London. Keesokan siangnya, kalangan bisnis yang biasanya mengerumuni
dan membuat janji temu bisnis dengan Hugh, mengenai keuangan proyek rel kereta
api. kilang 368 cor besi baja, proyek real estate semuanya dengan cepat menunda janji temu ?mereka. Di dalam bank sendiri, Hugh diperlakukan sebagai manajer biasa. Saat
makan siang, ia tidak lagi dikerumuni para investor yang ingin menanyakan
tentang proyek jalan kereta api Grand Trunk, harga obligasi Louisiana, dan utang
piutang yang dilakukan pemerintah Amerika.
Di kalangan para mitra sendiri terjadi perdebatan soal posisi Hugh. Paman
Samuel, seperti biasa, tetap mendukung Hugh. Hanya saja ia kalah suara karena
Young William memihak kakaknya, Joseph, begitu pula Mayor Hartshorn.
Jonas Mulberry-lah yang menceritakan pada Hugh tentang perdebatan di ruang para
mitra. "Saya ikut menyesal atas keputusan mereka, Mr. Hugh." Nada suaranya jujur
dan polos. "Ketika dulu menjadi bawahan saya, tidak pernah sekali pun Anda
mengkambinghitamkan kesalahan Anda pada diri saya... tidak seperti yang dilakukan
anggota lain dari keluarga Pilaster."
"Aku tidak akan berani melakukan itu, Mr. Mulberry," jawab Hugh, tersenyum.
Nora menangis selama seminggu. Hugh tidak mau menyalahkan istrinya tentang
insiden malam itu. Bukankah tidak ada seorang pun yang memaksanya untuk
mengawini Nora" Jadi, ia harus bertanggung jawab sepenuhnya, apa pun
konsekuensinya. Jika keluarga besar Pilaster punya sedikit saja kesetiaan,
mereka pasti akan membelanya dalam krisis demikian. Tapi mereka memang tak bisa
diharapkan. Setelah puas menangis, sikap Nora malah berubah menjadi tidak simpatik. Ia tak
bisa memahami artinya menjadi mitra bagi suaminya. Hugh merasa heran bagaimana
seorang istri bisa bersikap begitu. Ia kecewa istrinya tak bisa memahami
perasaannya. Mungkin karena ia dulu berasal dari keluarga miskin dan telah
kehilangan ibu sejak kecil, jadi ia terbiasa untuk egois. Kendati
369 kecewa dengan perangai istrinya, Hugh bisa melupakannya, apalagi pada malam-
malam mereka bercinta. Kekecewaan terhadap bank makin dalam di benak dan sanubari Hugh, tapi ia
terpaksa mempertahankan pekerjaannya, karena sekarang ia punya tanggungan
seorang istri, enam pelayan, dan rumah besar yang baru. Ia tetap memperoleh
ruang kerja sendiri di atas ruang para mitra, dan di dindingnya ia letakkan peta
besar Amerika Utara. Setiap Senin pagi ia membuat ringkasan aktivitas bisnis
minggu lalu di Amerika Utara dan melalui telegram ia mengirimkannya ke Sidney
Madler di New York. Pada Senin kedua setelah insiden di pesta malam itu, di
ruang telegram lantai bawah Hugh bertemu dengan seorang pria berkulit gelap dan
berambut hitam. Usianya sekitar dua puluh satu, dan dari penampilannya, ia jelas
berasal dari suatu negara di Amerika Selatan. Hugh tersenyum dan menyapa, "Halo,
siapa Anda?" "Simon Oliver, "jawab si pria dengan aksen Spanyol.
"Anda pasti baru di sini," kata Hugh sambil mengulurkan tangan. "Saya Hugh
Pilaster." "Apa kabar?" sapa Oliver dengan sopan.
"Saya menangani pinjaman Amerika Utara," kata Hugh. "Kalau Anda?"
"Saya klerk Mr. Edward."
Hugh segera paham. "Anda dari Amerika Selatan?" "Ya, Kordoba."
Masuk akal. Spesialisasi Edward adalah Amerika Selatan, terutama Kordoba,-jadi
bermanfaat jika bisa punya asisten yang berasal dari negara itu, apalagi Edward
tidak bisa berbahasa Spanyol. "Saya dulu satu sekolah dengan Duta besar Kordoba,
Micky Miranda," kata Hugh. "Anda pasti kenal dia."
"Dia sepupu saya."
"Ah." Sebagai keluarga, sebenarnya kurang mirip, tapi Oliver tampak berasal dari
keluarga mampu. Dari 370 sisiran rambutnya yang berminyak licin, pakaiannya s yang rapi dan berkelas,
sampai semiran sepatunya yang mengilap. Tidak diragukan lagi, ia mencoba
mencontoh saudara sepupunya yang sukses. "Oke, saya harap Anda senang bekerja
dengan kami." "Terima kasih."
Hugh mencoba merenungkan hal itu sambil naik ke ruang kerjanya sendiri. Edward
memang membutuhkan banyak bantuan, hanya saja Hugh kurang senang jika saudara
sepupu Micky bekerja pada posisi yang begitu penting di bank.
Beberapa hari kemudian, kekhawatirannya terbukti. Sekali lagi Jonas Mulberry-Iah
yang menceritakan padanya apa yang terjadi di ruang para mitra. Mulberry datang
ke ruang kerja Hugh dengan jadwal pembayaran bank di London untuk kepentingan
pemerintah Amerika Serikat. Tapi itu hanya alasan, karena tujuan utamanya adalah
bicara. Wajahnya yang tirus tampak makin memanjang saat ia bicara. "Saya benar-
benar cemas, Mr. Hugh. Obligasi Amerika Selatan tidak pernah sehat selama ini."
"Tapi kita tidak membeli obligasi pemerintah Amerika Selatan, bukan?"
Mulberry mengangguk. "Mr. Edward yang mengusulkan, dan mitra yang lain setuju."
"Apa persisnya?"
"Proyek jalan kereta api dari ibukota Kordoba, Palma, ke Provinsi Santamaria."
"Yang gubernurnya adalah ayah Micky, Papa Miranda."
"Ya, ayah teman Mr. Edward." "Dan paman Simon Oliver yang sekarang menjadi klerk
Edward." Mulberry menggelengkan kepala dengan gundah. "Saya menjadi klerk pada waktu
obligasi pemerintah Venezuela hancur lima belas tahun yang lalu. Almarhum ayah
saya bisa ingat bagaimana obligasi pemerintah
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Argentina bangkrut pada tahun 1828. Dan lihat saja nasib obligasi pemerintah
Mexico mereka terpaksa mencicil sedikit demi sedikit kewajibannya. Siapa bisa ?menanggung obligasi yang cuma dibayar sesekali?"
Hugh mengangguk. "Selain itu, bukankah para investor bisa memilih proyek jalan
kereta api di Amerika Serikat yang bisa menjamin perolehan sekitar lima sampai
enam persen" Kenapa mesti beli dari Kordoba?"
'Tepat sekali." Hugh menggaruk kepalanya. "Aku akan mencari informasi, apa sebenarnya motif para
mitra?" Mulberry segera mengeluarkan seberkas dokumen. "Mr. Samuel minta dibuatkan
ringkasan utang dari proyek-proyek Timur Jauh. Anda bisa sekalian membawakannya
ke ruang mitra." Hugh menyeringai. "Anda memang sudah memikirkan semuanya." Ia mengambil
berkasnya dan pergi ke ruang mitra di lantai bawah.
Hanya ada Samuel dan Joseph di dalam. Joseph sedang mendiktekan surat-surat pada
juru tulisnya dan Samuel sedang mempelajari peta negara Cina. Hugh meletakkan
laporan Timur Jauh di meja Samuel. "Mulberry minta saya memberikan berkas ini
pada Paman." "Terima kasih." Samuel memandang Hugh sambil tersenyum. "Ada yang ingin
kaukatakan?" "Ya, saya memikirkan kenapa kita mendukung proyek jalan kereta api Santamaria."
Hugh mendengar Joseph berhenti mendiktekan.
Samuel menjawab. "Proyek ini memang tidak terlalu bagus, tapi dengan dukungan
nama besar keluarga Pilaster, semuanya akan berjalan oke."
"Anda memang bisa mengatakan begitu untuk semua proyek yang ditawarkan pada
kita," bantah Hugh. "Alasan utama kenapa kita memiliki reputasi tinggi saat ini,
karena kita tidak pernah menawarkan kepada para investor obligasi yang hanya
akan 'oke' saja." 372 "Menurut pamanmu Joseph, Amerika Selatan mungkin sudah siap melakukan perubahan
positif." Mendengar namanya disebut, Joseph bergabung. "Ya, ini semacam... mencelupkan ujung
kaki ke dalam air untuk merasakan hangatnya temperatur."
"Kalau begitu, masih coba-coba, penuh risiko."
"Kalau kakek buyutku dulu tidak berani mengambil risiko, tidak akan pernah ada
nama Pilasters Bank sekarang."
"Ya, itu benar," jawab Hugh lagi. "Tapi sejak itu Pilasters Bank selalu
membiarkan bank-bank lain yang lebih kecil dan senang berspekulasi untuk
mengambil transaksi berisiko tinggi."
Rupanya Joseph tidak senang dibantah; dengan nada tersinggung ia menukas, "Satu
perkecualian tidak akan menyebabkan kita celaka."
"Tapi kemauan untuk membuat perkecualian seperti inilah yang bisa mencelakakan."
"Kau tidak berhak membuat penilaian."
Dahi Hugh berkerut. Nalurinya tepat: investasi proyek ini sama sekali tidak akan
menguntungkan, dan Joseph berupaya keras untuk tidak memperlihatkan aspek ini.
Jadi, kenapa para mitra yang lain setuju" Benaknya berputar keras, dan tiba-tiba
ia sadar motif pamannya. "Paman melakukan ini demi Edward. Benar, bukan" Paman
ingin mendukung dia yang belum pernah punya proyek sejak menjadi mitra di bank
ini. Jadi. kendati proyek ini akan merugi, Paman tetap mendukungnya."
"Sekali lagi bukan hakmu mempertanyakan motifku!"
"Juga bukan hak Paman untuk membahayakan uang orang lain demi kepentingan anak
Paman. Para investor kecil di Brighton dan Harrogate akan bersedia menanamkan
uang ke dalam proyek ini, dan mereka akan bangkrut jika proyek ini ternyata
gagal total." "Kau bukan mitra, jadi pendapatmu tentang proyek ini tidak diminta."
373 Hugh sangat tidak senang jika orang lain mengalihkan dasar pembicaraan di
tengah-tengah debat penting. Karena itu, ia menukas ketus, "Saya juga seorang
Pilaster, dan bila Paman menghancurkan reputasi bank ini, berarti Paman juga
menghancurkan reputasi saya."
Samuel memotong. "Menurutku kau sudah cukup mengeluarkan pendapatmu, Hugh."
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hugh sadar bahwa ia harus berhenti, tapi emosinya sudah naik tinggi. "Saya
khawatir belum cukup." Suaranya melengking tinggi dan ia mencoba merendahkan
nadanya. "Paman membahayakan reputasi bank dengan mendukung proyek ini. Nama
baik kita adalah harta terbesar yang kita miliki. Mengabaikannya berarti sama
saja dengan membuang modal kita."
Paman Joseph sudah tidak peduli akan sopan santun lagi. "Jangan sekali-kali kamu
berani berdiri di bankku dan menguliahi aku tentang prinsip investasi, kau... kau
anak muda tak tahu diuntung... keluar dari sini!"
Hugh memandang pamannya agak lama. la sangat marah dan kecewa. Si tolol Edward
dijadikan mitra dan sekarang membawa proyek yang akan merugikan, atas dukungan
ayahnya yang tidak punya pendirian mantap dalam bisnis uang. Dan tak ada yang
mampu melakukan apa-apa untuk menolong menyadarkannya.
Dengan frustrasi Hugh berbalik dan meninggalkan ruang mitra, membanting pintu
sekuat tenaga. Sepuluh menit kemudian, ia minta pekerjaan pada Solly Greenbourne.
la tidak tahu pasti apakah keluarga Greenbourne mau menerimanya. Ia memang
merupakan aset yang andal dengan jaringan kontaknya di Amerika Utara serta
Kanada. Tapi para bankir merasa kurang pantas untuk saling membajak manajer
senior dari saingan mereka. Lagi pula ia bukan orang Yahudi, dan bisa saja
374 ia dikhawatirkan membocorkan rahasia bank keluarga Greenbourne pada keluarga
Pilaster. Tapi ia tak punya alternatif lain. Ia harus keluar, karena keluarga Pilaster
sudah tak bisa diharapkan lagi.
Sejak pagi hujan turun, tapi menjelang tengah hari cuaca mulai cerah. Jalanan
kota London dipenuhi aroma kotoran kuda. Di depan gedung bank keluarga
Greenbourne, Hugh mencoba membandingkan arsitektur bangunannya dengan gedung
Pilasters Bank. Gedung di depannya tidak seanggun dan sebesar gedung Pilasters
Bank, kendati dari segi aset dan aktivitas, Pilasters Bank masih di bawah
Greenbourne Bank yang dimulai sejak tiga generasi yang lalu, berawal hanya dari
dua ruangan di sebuah rumah tua di Thames Street. Dalam perkembangannya, jika
butuh ruang kantor lagi, mereka mulai membeli rumah-rumah di kiri-kanannya.
Sekarang mereka menempati empat rumah berjejer dengan tiga rumah lagi di
dekatnya. Aktivitas bisnis di dalamnya jauh lebih banyak daripada di dalam
gedung Pilasters Bank yang megah dan wewah.
Di dalam gedung tidak ada suasana sunyi senyap seperti di dalam gedung Pilasters
Bank. Hugh harus bersusah payah menerobos kerumunan orang dan nasabah di lobi
utama. Mereka percaya bahwa jika bisa bertemu sebentar saja dengan Ben
Greenbourne, mereka akan mampu mewujudkan proyeknya dan akhirnya meraih
keuntungan besar. Karena itu, mereka tidak segan menunggu dan menunggu seperti
layaknya orang yang menunggu raja di abad pertengahan. Di kiri-kanan gang
berjejer kotak-kotak arsip lama, dan di setiap sudut tak peduli sekecil apa ?pun pasti ada para klerk yang duduk dan bekerja. Hugh akhirnya tiba di ruang
?kerja Solly yang besar serta menghadap ke Sungai Thames. Mejanya dipenuhi kertas
dan berkas yang tersusun tinggi, hampir menutupi tabuhnya yang tambun. "Kau
tahu, Pilaster," sapa Solly ramah dan setengah bergurau,"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY rumahku seperti istana, tapi ruang kerjaku seperti sarang tawon. Berulang kali
aku membujuk ayahku untuk membangun gedung yang lebih besar dan anggun seperti
gedung Pilaster, tapi dia menolak, dengan alasan bangunan kantor tidak akan
menghasilkan laba dalam bisnis properti."
Hugh duduk di sebuah sofa kecil dan menerima segelas sherry mahal. Ia merasa tak
nyaman, karena benaknya dipenuhi oleh Maisie. Ia pernah bercinta dengan Maisie
sebelum menjadi nyonya Solly, dan bisa saja ia menggodanya lagi seandainya
diberi peluang. Malam itu, di pesta Kingsbridge Manor, ia pernah mencoba
mengetuk pintu kamar Maisie. Tak ada reaksi sama sekali. Karena itu, ia lalu
menikahi Nora dan ia tidak mau menjadi suami yang tidak setia.
Namun ia tetap merasa canggung.
"Aku datang ke sini untuk membicarakan bisnis."
Solly membuka tangannya lebar-lebar, "Kau datang pada orang yang tepat."
"Seperti kau ketahui, spesialisasiku adalah kawasan Amerika Utara."
"Tidak diragukan lagi. Kau begitu menguasai semuanya di sana, sehingga tidak
menyisakan sedikit pun untuk kami."
"Benar. Sampai kalian kehilangan banyak peluang yang menguntungkan."
"Ya, sampai-sampai ayahku mengatakan kenapa aku tidak punya kemampuan seperti
kau." "Yang kalian butuhkan sebetulnya orang yang ahli dan menguasai kawasan Amerika
Utara, lalu membuka kantor perwakilan di New York, dan semuanya akan berjalan
mulus." "Benar, plus satu keajaiban untuk bisa meraih laba."
"Aku serius, Greenbourne. Karena akulah orang itu."
"Kau!" "Ya. Aku. Tepatnya, aku mau bekerja di bank ini."
376 Solly terenyak kaget. Ia memandang melalui gelas sherry-nya, seakan sedang
memeriksa benarkah yang bicara ini Hugh. Kemudian ia berkata, "Karena insiden di
pesta malam itu, kukira."
"Mereka memutuskan tidak akan menjadikanku mitra, hanya karena perilaku
istriku." Solly pasti akan bersimpati, pikir Hugh, karena ia sendiri menikah
dengan gadis dari kelas bawah.
"Aku ikut prihatin," kata Solly tulus.
"Tapi aku tidak datang minta belas kasihan. Aku tahu harga kemampuanku, karena
itu kalian harus membayar sesuai dengan keahlianku jika kalian memang
menghendaki diriku. Aku memperoleh seribu per tahun sekarang dan kuharap setiap
tahun akan terus meningkat, seiring dengan kontribusiku pada bank."
"Tidak masalah." Solly berpikir sejenak. "Jika ini terlaksana, akan jadi
prestasi tersendiri bagiku pribadi. Aku senang kau datang padaku. Kau teman yang
baik, sekaligus pelaku bisnis yang andal." Mendengar ungkapan Solly "teman yang
baik". Hugh merasa bersalah lagi. "Tak ada hal lain yang lebih kuinginkan,
selain punya teman kerja sepertimu di sisiku."
"Aku masih merasakan ada 'tapi' dalam kalimatmu tadi," kata Hugh sedikit cemas.
Solly menggelengkan kepala dengan pasti. 'Tidak ada tapi, sepanjang itu
menyangkut pendapatku pribadi. Sudah tentu aku tidak bisa mempekerjakanmu
seperti kalau aku mempekerjakan seorang klerk. Untuk kasusmu, aku harus bicara
dengan ayahku dulu. Tapi jangan ragu, kau kan tahu dalam bisnis perbankan tidak
ada pameo lainnya sel melepaskan peluang masuk dan merebut pasar Amerika Utara pada saat ini."
Hugh tidak mau kedengaran terlalu bersemangat, tapi ia tak tahan untuk tidak
bertanya, "Kapan kau akan bicara dengan ayahmu?"
377 "Kenapa tidak sekarang juga?" jawab Solly mantap. Ia berdiri, "Cobalah lagi
sherry-nya." Ia keluar kamar.
Hugh meminum sherry-nya, tapi lehernya serasa tersumbat. Sukar untuk menelan. Ia
begitu tegang. Ia belum pernah melamar pekerjaan. Betul-betul menegangkan
memikirkan nasibnya sangat tergantung pada keputusan Ben Greenbourne. Untuk
pertama kalinya ia tahu bagaimana perasaan para anak muda yang pernah
diwawancarainya untuk menjadi klerk di Pilasters Bank. Ia terlalu gelisah untuk
duduk terus. Ia berdiri dekat jendela, memandang tepi sungai yang dipenuhi
kesibukan bongkar-muat tembakau: jika semua itu tembakau Virginia, kemungkinan
besar dialah yang menangani pembiayaan transaksinya.
Kegalauannya serasa seperti sewaktu pertama kali ia pergi ke Boston enam tahun
yang lalu; ada perasaan bahwa semuanya akan berubah total.
Solly datang, kali ini bersama ayahnya. Ben Greenbourne bertubuh tegap dan
wajahnya seperti seorang jendral Prussia. Hugh menyambutnya dengan mengulurkan
tangan sambil mengamati wajahnya. Tetap dingin dan acuh. Apakah itu berarti
"tidak?" Ben berkata, "Solly mengatakan keluargamu memutuskan untuk tidak menawarkan
kemitraan padamu." Nada suaranya hambar dengan aksen tajam. Ia begitu berbeda
dibanding anaknya pikir Hugh.
"Sebenarnya mereka menawarkan, lalu membatalkan," jawab Hugh.
Ben mengangguk. Ia orang yang sangat menghargai ketepatan. "Aku tidak berhak
mengritik penilaian mereka. Tapi, jika keahlian Amerika Ufara-mu ditawarkan, aku
bersedia membelinya."
Hati Hugh berdebar keras. Itu sudah merupakan tawaran kerja baginya. "Terima
kasih," katanya. "Tapi sebelumnya perlu kutegaskan, untuk tidak mem -
378 berimu gambaran semu. Kau tidak akan pernah bisa menjadi mitra di bank ini."
Hugh sudah memperkirakan soal ini sebelumnya. "Aku tahu," jawabnya mantap.
"Ini perlu kutekankan sejak dini, agar kau tidak menaruh harapan untuk menjadi
mitra. Mitra bank ini hanya orang Yahudi, dan prinsip ini akan berlaku
seterusnya. "Kuhargai keterusterangan Anda," jawab Hugh. Tapi pikirnya: Ya Tuhan, kau benar-
benar sekeras batu karang.
"Kau masih menginginkan pekerjaan itu?" "Ya, pasti."
Ben Greenbourne menyalaminya lagi. "Kalau begitu, aku menantikan bekerja
bersamamu," tukasnya pendek, lalu meninggalkan ruangan.
Solly tersenyum lebar. "Selamat datang."
Hugh duduk kembali. "Terima kasih." Hatinya sekarang tenang dan lega tapi
bercampur sedih karena tahu ia tidak akan pernah menjadi mitra. Hidupnya memang
akan terjamin, tapi ia tidak akan pernah menjadi mil-yader, karena untuk
mendapatkan uang sebanyak itu, ia harus menjadi mitra.
"Kapan kau bisa mulai?" tanya Solly tak sabar.
Hugh belum memikirkan hal ini. "Mungkin sekitar tiga bulan lagi. Persyaratan
bank." "Cobalah lebih cepat dari itu, kalau bisa."
"Tentu. Solly, terima kasih atas semuanya. Tak bisa kukatakan betapa senangnya
aku bisa bergabung di bank keluargamu."
"Ya, begitu juga aku."
Rasanya tak ada lagi yang perlu dikatakan, maka Hugh bangkit dari kursi untuk
pamit, tapi Solly berkata cepat, "Boleh aku memberimu sedikit saran?"
"Sudah tentu." Ia duduk kembali.
"Ini soal Nora. Kuharap kau tidak tersinggung."
Hugh ragu. Mereka memang teman lama, tapi untuk membicarakan soal istrinya
dengan Solly, ia kurang senang. Ia masih merasa malu dengan insiden malam itu,
tapi ia membenarkan reaksi istrinya terhadap si tua bangka. la memang kadang
kurang bahagia dengan asal-usul isterinya yang dari kelas bawah, aksennya yang
kampungan, dan tingkah lakunya, tapi ia bangga dengan kecantikan dan pesona
istrinya. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Tapi ia tidak mau membuat kecewa sahabatnya yang baru saja membukakan karier
masa depannya. "Ya, katakan saja."
"Seperti kau ketahui, aku juga menikah dengan gadis yang... tidak biasa hidup di
kalangan atas." Hugh mengangguk, la tahu pasti soal ini, hanya ia tidak tahu bagaimana Solly dan
Maisie bisa mengatasi kesenjangan kelas dan latar belakang keluarga mereka.
Mereka pasti telah menangani hal ini dengan baik, karena sekarang Maisie bisa
menjadi salah satu nyonya rumah kalangan atas yang populer di London, dan
seandainya ada yang tahu atau ingat latar belakang kelas bawahnya, mereka tidak
pernah menyinggung atau mengungkapkannya. Memang agak luar biasa, namun tidak
unik. Hugh pernah mendengar kasus serupa yang terjadi pada beberapa wanita macam
Maisie. Solly meneruskan, "Maisie tahu apa yang dialami Nora. Dia bisa membantu:
memberitahukan apa yang harus dilakukan dan katakan, kesalahan apa yang harus
dihindari, di mana bisa membeli busana dan topi yang sesuai, bagaimana mengelola
para kepala rumah tangga dan pelayan, segala tetek bengek semacam itulah. Kau
tahu Maisie menyukaimu, Hugh. Jadi, kupikir dia tidak akan keberatan jika
kuminta membantu Nora. Aku yakin Nora bisa berhasil seperti Maise dan kelak
menjadi sosok panutan dalam masyarakat."
Hugh serasa ingin menangis. Tawaran tulus dari sahabatnya membuat hatinya
tersentuh. "Akan kusarankan
380 pada Nora," jawabnya, sambil mencoba menyembunyikan perasaannya, la berdiri
untuk pamit. "Kuharap aku tidak terlalu jauh mencampuri urusan rumah tanggamu," kata Solly
penuh harap sambil menyalam tangan sahabatnya.
Hugh melangkah ke pintu keluar, "Sebaliknya, Solly. Kau benar-benar sahabat yang
baik." Ketika Hugh tiba kembali di kantornya, ia melihat selembar pesan bagi dirinya.
Isinya: 10.30 siang. Pilaster yang baik,
Aku harus menemuimu secepatnya. Kau bisa menemui aku di Kedai Kopi Plage di
sudut jalan. Akan kutunggu kedatanganmu. Dari teman lamamu?Antonio Silva.
Jadi, Tonio kembali ke London! Kariernya telah hancur sejak peristiwa ia kalah
judi dengan Edward serta Micky dan tak mampu membayarnya. Sejak itu ia
meninggalkan Inggris, sekitar enam tahun yang lalu, bersamaan dengan saat Hugh
pergi ke Boston. Apa yang terjadi sejak itu" Dipenuhi.rasa ingin tahu, Hugh
segera pergi ke kedai kopi.
Di sana ia menemui Tonio yang lebih tua, lebih kurus, dan berwajah letih sedang
membaca koran The Times. Rambutnya masih kemerahan seperti wortel, hanya itu
yang tidak berubah. Wajah dan penampilannya enam tahun yang lalu telah tak
bersisa, malah terlihat ada lingkaran kelelahan di sekitar matanya, kendati
usianya baru sekitar dua puluh enam tahun, sebaya dengan Hugh.
"Ya, aku beruntung karena berhasil di Boston," jawab Hugh ketika ditanya oleh
Tonio mengenai dirinya. "Aku kembali ke sini Januari lalu, tapi sekarang aku
sedang 381 menghadapi masalah dengan keluarga besarku. Bagaimana dengan kau sendiri?"
"Banyak sekali perubahan yang terjadi di negaraku. Keluargaku sudah banyak
kehilangan pengaruh di sana. Kami memang masih mengendalikan provinsi asal
keluargaku, Milpita, tapi di ibukota ada keluarga lain yang menghalangi hubungan
kami dengan Presiden Gracia."
"Siapa?" "Keluarga Miranda." "Oh, keluarga Micky?"
"Tepat sekali. Mereka mengambil alih tambang nitrat di utara negeri dan ini
membuat mereka kaya sekali. Mereka juga memonopoli perdagangan dengan Eropa
?berkat koneksi mereka dengan bank keluarga kalian."
Hugh terkejut. "Aku tahu Edward memang banyak melakukan perdagangan dengan
Kordoba, tapi aku tidak tahu Micky yang menjadi perantaranya. Tapi tentunya ini
tidak menjadi masalah."
"Oh, keliru. Ada masalah," sambar Tonio cepat. Ia mengambil setumpuk kertas dari
dalam mantelnya. "Coba baca ini. Artikel yang kutulis untuk koran The Times."
Hugh mengambil naskah itu dan mulai membacanya. Isinya sebuah gambaran di
tambang nitrat yang dimiliki oleh keluarga Miranda. Gambaran yang sangat
negatif, terutama dalam segi perlakuan tidak manusiawi terhadap pekerja tambang,
dan karena tambang ini dibiayai oleh Pilasters Bank, Tonio menyebutkan bahwa
semua yang terjadi di sini adalah tanggung jawab Pilasters Bank. Mulanya Hugh
tidak terpengaruh. Jam kerja panjang, upah sangat rendah, dan pekerja di bawah
umur itu gambaran biasa untuk pertambangan di seluruh dunia. Tapi jantungnya
?serasa berhenti ketika ia membaca bahwa para mandor tambang memakai cambuk dan
senjata untuk menegakkan disiplin pekerja. Wanita, anak-anak,
382 dan pria dewasa dicambuk dan ditembak jika mereka mencoba lari sebelum masa
kontrak selesai. Tonio mewawancarai banyak saksi hidup untuk mendukung artikel
ini. "Tapi ini sama saja dengan pembunuhan," komentar Hugh.
"Ya, tepat sekali."
"Apakah presiden kalian tidak tahu hal ini?" "Dia tahu. Tapi keluarga Miranda
adalah favoritnya sekarang."
"Dan keluargamu sendiri..."
"Dulu kami bisa saja menghentikan ini. Tapi sekarang, untuk tetap bertahan di
provinsi kami sendiri saja sudah habis-habisan."
Hugh sangat sedih menyadari bank keluarganya ikut andil dalam perlakuan brutal
kepada para pekerja tambang. Tapi akal sehatnya segera kembali. Ia memikirkan
akibat dari artikel ini bagi citra Pilasters Bank. Koran The Times pasti senang
sekali memuat artikel Tonio. Lalu akan disusul dengan debat di Parlemen dan
surat-surat pembaca yang bernada negatif. Para pelaku bisnis yang sebagian besar
anggota gereja Methodist akan ragu berhubungan dengan Pilasters Bank. Bank akan
menderita kesulitan.
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa peduliku" pikir Hugh. Bukankah mereka sudah memperlakukan dia dengan
seenaknya" Tapi ia masih bekerja di situ saat ini dan sudah kewajibannya mencoba
membahas masalah ini dengan para mitra. Ia masih harus menunjukkan kesetiaan,
setidaknya sampai gaji terakhir ia terima. Jelas ia harus melakukan sesuatu.
Apa yang dikehendaki Tonio" Pasti ia menginginkan sesuatu, kalau tidak mengapa
ia repot-repot menunjukkan artikel karangannya sebelum dikirimkan ke The Times"
"Apa sasaranmu?" tanya Hugh. "Kau mau kami menghentikan pembiayaan tambang
nitrat itu?" Tonio menggeleng. "Jika keluarga Pilaster menghenti-
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY kan bank, pihak lain akan segera menggantikannya. Kita perlu lebih halus lagi
dari itu." "Kau punya rencana lain?"
"Keluarga Miranda merencanakan membangun jalan kereta api."
"Ah, ya. Jalan kereta api Santamaria."
"Jalan kereta api itu akan membuat keluarga Miranda menjadi keluarga terkaya di
Kordoba. Juga yang paling berkuasa, kecuali tentunya keluarga Presiden. Dan
dengan kekuatan seperti itu, Papa Miranda akan makin ganas. Aku mau rencana
pembiayaan kereta api dihentikan."
"Itulah sebabnya kau mau mengirim artikel ini."
"Beberapa artikel... tidak hanya ini. Juga akan kuadakan acara tanya-jawab dengan
wartawan, berbicara di pelbagai kesempatan, acara dengar-pendapat di Parlemen,
dan menemui Menteri Luar Negeri Inggris segala tindakan, asalkan bisa ?menghentikan proyek jalan kereta api ini."
Ya, kemungkinan bisa berhasil, pikir Hugh. Para investor akan mundur karena
tidak mau terlibat dengan proyek yang menghebohkan. Heran, Tonio yang dulu, yang
senang hura-hura sampai habis-habisan dalam judi satu malam, bisa berubah
menjadi pembela para pekerja tambang. "Lalu, kenapa kau datang padaku?"
"Kita harus potong kompas di awal proses. Jika bank tidak bersedia menanggung
obligasi jalan kereta api itu, aku tidak akan menerbitkan artikelnya. Dengan
begitu, kalian terhindar dari skandal nasional dan aku mencapai tujuanku ke
sini." Di wajahnya tersungging senyum malu-malu. "Kuharap kau tidak menganggap
aku pemeras. Rencanaku memang terdengar agak kasar, tapi tidak sekasar perlakuan
mereka atas para pekerja tambang nitrat."
Hugh menggeleng. "Tidak, tidak kasar sama sekali. Kuhargai semangat pembelaanmu.
Lagi pula, apa pun akibatnya, rencanamu terhadap bank Pilaster tidak akan
384 menyentuh kepentingan pribadiku, karena aku akan mengundurkan diri dari sana."
"O ya!" tanya Tonio kaget. "Kenapa?"
"Ceritanya panjang. Akan kuceritakan lain waktu. Nah, mengenai kasusmu, aku
hanya bisa menceritakannya pada para mitra. Merekalah yang akan memutuskan, dan
aku yakin mereka tidak akan menanyakan pendapatku sama sekali." Sambil tetap
memegang naskah artikel, ia bertanya, "Boleh kubawa ini?"
"Ya, tentu. Aku sudah membuat salinannya."
Di kertas artikel tersebut tertera nama Hotel Russe, Berwick Street, Soho. Hugh
belum pernah mendengar nama hotel ini; bukan salah satu hotel elite London.
"Akan segera kuberitahukan pendapat para mitra."
"Terima kasih." Tonio mengganti topik pembicaraan. "Maaf, sejak tadi kita hanya
bicara bisnis. Mari kita cerita-cerita tentang masa sekolah kita dulu."
"Kau mesti bertemu istriku."
"Ya, tentu." "Akan kukabari segera." Hugh meninggalkan kedai kopi dan berjalan kembali ke
bank. Ketika melihat jam besar di lobi bank, ia agak heran. Belum pukul satu
siang: begitu banyak yang dialaminya dalam setengah hari ini. Ia langsung pergi
ke ruang para mitra di lantai atas. Di sana ia melihat Samuel, Joseph, dan
Edward. Ia memberikan artikel Tonio pada Samuel, yang segera membacanya, lalu
memberikannya pada Edward.
Belum selesai membaca seluruh isinya, Edward sudah meledak emosional. Sambil
menunjuk ke arah Hugh, ia berteriak. "Kau... pasti bekerja sama dengan teman
lamamu itu! Kau berusaha merendahkan pentingnya bisnisku di Amerika Selatan! Kau
sebenarnya hanya iri karena tidak menjadi mitra!"
Hugh bisa memahami kenapa Edward begitu histeris. Bisnis Amerika Selatan memang
satu-satunya sumbangan Edward pada bank. Jika sampai gagal, berarti Edward
385 tidak berguna sebagai mitra. Hugh mendesis pelan. "Sejak dulu kau selalu keras
kepala. Sampai sekarang pun demikian. Masalahnya sekarang, apakah bank mau
dianggap bertanggung jawab dengan meningkatkan kekuatan Papa Miranda yang begitu
kejam telah membunuh anak-anak dan wanita di tambang nitratnya."
"Aku tetap tidak mempercayai ini!" jawab Edward. "Keluarga Silva dari dulu musuh
keluarga Miranda. Artikel ini hanya propaganda licik belaka."
"Ya, pasti itulah yang akan dikatakan sahabatmu Micky. Masalahnya, apakah ini
memang benar propaganda belaka?"
Paman Joseph memandang curiga ke arah Hugh. "Kau baru saja ke sini beberapa jam
yang lalu, dan mencoba menggagalkan proyek ini. Tiba-tiba ada artikel ini. Aku
curiga, jangan-jangan kau memang merencanakan sesuatu untuk menggagalkan proyek
besar pertama dari Edward."
Hugh berdiri. "Jika Paman mencurigai niat saya, baiklah... saya akan pergi
sekarang juga." Paman Samuel mencegah. "Duduk, Hugh," katanya. "Kita tidak perlu mencari
kebenaran berita ini. Kita ini bankir, bukan hakim. Yang penting, proyek jalan
kereta api Santamaria akan menjadi isu kontroversial, dan penerbitan obligasinya
akan penuh risiko. Ini berarti kita harus mempertimbangkan ulang proyek ini."
Paman Joseph menjadi agresif. "Aku tidak sudi diteror. Biarkan saja artikel yang
ditulis orang Amerika Selatan sialan ini diterbitkan... peduli setan."
"Ya, itu salah satu cara," sela Samuel dengan tenang. "Kita bisa menunggu dan
melihat akibat dari artikel ini, khususnya terhadap harga saham yang sudah ada
dari beberapa proyek Amerika Selatan: tidak banyak, tapi bisa dijadikan
barometer. Jika sampai terus-menerus turun, kita akan tunda proyek jalan kereta
api, jika tidak, proyek kita teruskan."
386 Joseph, agak tidak enak hati, berkata, "Ya, sebaiknya begitu. Aku setuju dengan
mekanisme pasar." "Ada pilihan lain yang perlu kita pertimbangkan," lanjut Samuel. "Kita bisa
mengajak bank lain untuk bergabung dengan kita dalam pembiayaan proyek jalan
kereta api ini. Obligasinya kita terbitkan bersama, sehingga jika ada serangan
publik, sasaran mereka akan terbagi dua."
Ya, kedengarannya masuk akal, pikir Hugh, sekalipun bukan itu yang ia inginkan.
Secara pribadi, ia ingin proyek ini dibatalkan saja. Tapi strategi yang
diusulkan Samuel tadi memang akan mengurangi risiko, dan bukankah ini memang
prinsip utama bisnis perbankan" Samuel memang bankir yang lebih andal daripada
Joseph. "Baiklah," sambut Joseph agak emosional, seperti biasa. "Edward, cari segera
siapa yang bisa kita ajak menjadi mitra proyek ini."
"Siapa yang harus kudekati?" tanya Edward bersemangat. Hugh tahu sepupunya sama
sekali tidak punya pengalaman dalam hal ini.
Samuel yang menjawab, "Ini akan melibatkan uang dalam jumlah besar. Tidak akan
banyak bank yang mau ikut di dalamnya, apalagi menyangkut negara Amerika
Selatan. Sebaiknya kau pergi ke bank keluarga Greenbourne; mereka mungkin mau
mempertimbangkannya. Kau kenal Solly Greenbourne, kan?"
"Ya, aku kenal dia."
Hugh berpikir apakah sebaiknya ia memberitahu Solly agar menolak ajakan Edward,
tapi ia segera memandangnya dari sisi lain: ia dipekerjakan sebagai profesional
dalam bisnis di Amerika Utara, dan efeknya akan merugikan dirinya jika ia ikut
campur dalam bisnis di kawasan Amerika Selatan. Jangan-jangan ia akan dianggap
sok tahu. Ia memutuskan akan mencoba sekali lagi membujuk Paman Joseph agar
membatalkan proyek ini. "Kenapa kita tidak mundur saja dari proyek jalan kereta api Santamaria ini"
Kadar bisnisnya rendah sekali dan risikonya sangat tinggi, dan kita terancam
akan dipublikasikan secara negatif. Apakah sebaiknya tidak kita tinjau ulang
secara lebih serius?"
Edward menyambar cepat, "Para mitra sudah memutuskan, dan bukan hakmu
mempertanyakannya kembali."
Hugh menyerah, "Ya, kau benar. Aku bukan mitra, dan sebentar lagi juga bukan
karyawan di bank ini."
Paman Joseph mengernyit, "Apa maksudmu?"
"Saya mengundurkan diri dari bank ini."
Joseph tersentak kaget, "Kau tidak boleh melakukannya!"
"Kenapa tidak" Saya hanya dianggap pegawai biasa, jadi sudah sewajarnya jika
saya mencari pekerjaan yang lebih baik."
"Di mana?" "Sejujurnya, saya akan bekerja di bank keluarga Greenbourne."
Kedua bola mata Paman Joseph serasa akan meloncat keluar. "Tapi hanya kau yang
tahu bisnis di Amerika Utara!"
"Justru karena itulah Ben Greebourne begitu bersemangat untuk mempekerjakan saya
sesegera mungkin," jawab Hugh tenang. Ia senang melihat pamannya begitu panik.
"Tapi itu berarti kau akan membawa jaringan bisnis di sana bersamamu?"
"Seharusnya Paman sudah memikirkannya ketika Paman membatalkan dukungan atas
kemitraan saya di sini."
"Berapa mereka akan membayarmu?"
Hugh berdiri, siap-siap pergi, "Itu bukan urusan Paman," jawabnya tegas.
Edward berseru marah, "Beraninya kau bicara seperti itu pada ayahku!"
Joseph menahan emosinya dengan susah payah, tapi
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY herannya ia bisa menjawab dengan tenang. "Diam, Edward. Untuk menjadi bankir
andal, perlu kelicikan tertentu. Kadang-kadang aku ingin kau bisa seperti Hugh.
Dia memang kambing hitam dalam keluarga, tapi paling tidak dia punya indra
bisnis yang tajam." Lalu ia berpaling ke arah Hugh, "Baiklah. Silakan keluar.
Mudah-mudahan kau berhasil, tapi aku tidak yakin."
"Sudah kuduga, hanya ucapan itu yang akan kudapatkan dari keluarga ini," jawab
Hugh. "Selamat siang."
[IV] " I "\AN bagaimana kabar Rachel?" tanya Augusta
_l_-/pada Micky sambil menuang tehnya.
"Dia baik-baik saja," jawab Micky. "Nanti dia menyusul kemari."
Kenyataannya ia tetap tak bisa memahami istrinya. Pada waktu menikah. Rachel
masih suci, tapi setelah menikah sikapnya seperti pelacur. Ia bersedia bercinta
di mana saja, kapan saja, dan selalu dengan antusias. Micky pernah membuat
percobaan dengan mengikat kedua tangan istrinya ke tiang ranjang, tapi ternyata
istrinya bisa menikmatinya. Sampai sekarang belum ada tindakannya yang bisa
membuat istrinya menolak hasratnya. Pernah mereka melakukannya di ruang duduk,
dengan risiko dilihat pelayan, tapi Rachel malah kelihatan senang.
Tapi dalam aspek-aspek lainnya, Rachel tak pernah mau mengalah. Ia selalu
mendebat Micky tentang rumah, pembantu, uang, politik, bahkan agama. Kalau sudah
bosan meladeninya, Micky mencoba mengabaikan dan bahkan menghinanya, tapi tidak
ada perubahan. Rachel 389 tetap menganggap persamaan hak antara wanita dan pria di atas segalanya.
"Kuharap dia bisa membantu pekerjaanmu," kata Augusta.
Micky mengangguk. "Ya, dia sangat membantu sebagai istri Duta Besar... anggun dan
ramah, penuh perhatian."
"Ya, kulihat dia sangat berfungsi ketika kalian menyelenggarakan pesta bagi Duta
Besar Portillo," kata Augusta. Duta Besar Portillo adalah duta negara Portugis
di London. Augusta dan Joseph diundang ketika Micky menyelenggarakan makan malam
baginya. "Dia punya rencana konyol... membuka rumah sakit khusus bagi wanita tanpa suami,"
kata Micky dengan kesal. Augusta menggeleng tak setuju. "Tidak pantas bagi wanita dengan posisi seperti
dia. Selain itu, di sini sudah ada satu-dua rumah sakit semacam itu."
"Katanya rumah penampungannya tidak akan melakukan khotbah seperti penampungan-
penampungan yang sudah ada."
"Lebih celaka lagi. Coba pikirkan, bagaimana tanggapan para wartawan."
"Tepat sekali. Aku menentang niatnya itu dengan keras dan tegas."
"Dia beruntung punya suami seperti kau," goda Augusta dengan senyum genit.
Micky sadar Augusta sedang menggodanya, tapi kali ini ia tidak membalasnya.
Selama ini ia terlalu terlibat dengan istrinya, padahal ia tidak mencintai
Rachel. Tapi Rachel menyerap habis seluruh energinya. "Ah, kau menggodaku,"
jawabnya lembut sambil memegang erat tangan Agusta ketika ia menyerahkan cangkir
teh padanya. "Tentu saja, tapi aku merasakan ada yang kaurisaukan."
390 "Yang terhormat Mrs. Pilaster, selalu penuh perhatian, seperti biasa. Bagaimana
aku bisa menyembunyikan sesuatu darimu" Memang benar, aku sedang tegang
menantikan proyek jalan kereta api Santamaria."
"Kukira para mitra sudah setuju."
"Memang, tapi masih butuh waktu lama untuk mewujudkannya."
"Dunia keuangan memang selalu lambat jalannya."
"Aku bisa mengerti, tapi ayahku tidak bisa. Setiap minggu dia mengirim telegram
dua kali. Kukutuk hari tersambungnya kabel telegram di Santamaria."
Edward tiba-tiba masuk dan berkata geram, "Antonio Silva datang lagi di London."
Augusta jadi pucat. "Bagaimana kau tahu?"
"Hugh menemuinya."
"Benar-benar sial," tukas Augusta gemas. Micky heran melihat tangan Augusta
gemetar ketika meletakkan cangkir tehnya.
"Dan David Middleton masih penasaran, ke sana kemari menanyakan kasus almarhum
adiknya," komentar Micky, karena teringat kejadian di pesta malam itu, ketika
David berbicara serius dengan Hugh Pilaster. Ia pura-pura khawatir, padahal
dalam hati ia senang karena ia tetap punya senjata untuk menguasai Edward dan
ibunya. "Bukan hanya itu," tukas Edward. "Dia mencoba melakukan sabotase atas proyek
jalan kereta api kita."
Micky mengernyitkan dahi. Keluarga Tonio memang menentang proyek itu, tapi
mereka sudah dibungkam oleh Presiden Gracia. Apa lagi yang bisa dilakukan Tonio
di London ini" Pertanyaan yang sama juga ada di benak Augusta. "Apa yang bisa dia lakukan di
sini?" Edward menyorongkan berkas artikel ke tangan ibunya. "Bacalah ini."
"Apa itu?" tanya Micky.
391 "Artikel yang akan dikirim Tonio ke koran The Times. Isinya tentang tambang
nitrat keluargamu." Augusta membaca inti artikel dengan cepat. "Dia menulis bahwa kehidupan para
pekerja tambang nitrat sangat tidak menusiawi dan membahayakan nyawa." Lalu
dengan sinis ia bertanya, "Memangnya apa yang mereka harapkan?"
Edward menimpali, "Dia juga menulis bahwa para wanita dan anak-anak ditembak dan
disiksa jika tidak menuruti perintah para mandor."
"Tapi apa hubungannya dengan obligasi?" tanya Augusta.
"Jalan kereta api itu akan digunakan untuk mengangkut nitrat ke ibukota, dan
para investor tidak akan menanamkan uangnya di proyek yang menjadi bahan
perdebatan nasional. Banyak dari mereka yang sebenarnya sudah ragu melakukan
investasi di obligasi pemerintah Amerika Selatan. Dengan adanya ribut-ribut di
koran, mereka akan ketakutan dan membatalkan semua investasinya."
Micky sangat khawatir. Ini sungguh mencemaskan. Ia bertanya pada Edward, "Apa
pendapat ayahmu soal ini?"
"Kita akan mencoba mencari bank lain untuk ikut mendukung proyek ini, tapi soal
artikel... kita akan membiarkan Tonio mengirimkannya ke koran dan melihat reaksi
publik nanti. Jika berdampak jelek pada saham Amerika Selatan, terpaksa kita
akan membatalkan dukungan atas proyek jelan kereta api ini."
Tonio sialan. Ternyata dia punya otak juga dan Papa begitu bodoh, memperlakukan?para pekerjanya seperti tawanan kerja paksa, sekaligus mengharapkan meminjam
uang dari dunia beradab seperti Inggris.
Ia harus melakukan sesuatu secepatnya. Benaknya berputar. Jelas Tonio harus
dibungkam, sebab ia tidak akan mau dibujuk atau disogok dengan uang. Bulu
392 kuduknya meremang ketika ia menemukan jalan tercepat untuk membungkan Tonio.
Tapi ia pura-pura tenang. "Boleh kulihat artikelnya?" katanya.
Augusta memberikannya. Yang pertama ia perhatikan adalah nama dan alamat hotel di kertas artikel. Lalu
dengan pura-pura keheranan ia berkata, "Kuras ini tidak akan menimbulkan masalah
besar." Edward memprotes. "Tapi kau kan belum membaca seluruh isinya?"
"Tidak perlu, yang penting aku sudah melihat tempat dan alamat Tonio."
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu apa?" "Aku akan mencoba bicara dan menyelesaikannya," jawab Micky tenang." Serahkan
saja padaku. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY BAB TIGA Mei m SOLLY gemar memperhatikan Maisie berpakaian. Setiap sore Maisie akan mengenakan
mantel kamarnya, lalu memanggil pelayan wanita untuk membantu menata rambutnya
dengan sisipan bunga atau hiasan kecil lainnya; lalu ia akan menunggu suaminya.
Malam ini mereka merencanakan untuk keluar, seperti biasanya acara rutin mereka
berdua. Mereka tinggal di rumah hanya jika sedang menyelenggarakan pesta. Antara
waktu Paskah dan akhir Juli, mereka hampir selalu keluar menghadiri acara pesta
atau makan malam. Solly datang pada jam 18.30, mengenakan setelan, dan membawa segelas besar
sampanye. Malam ini rambut Maisie dihiasi bunga kuning dari sutra. Di depan
suaminya ia melepaskan mantel kamarnya, lalu berdiri telanjang di depan kaca
besar. Ia berputar satu kali di hadapan Solly, lalu mulai berdandan.
Pertama, ia mengenakan pakaian dalam bersulam bunga-bunga di sekeliling leher.
Di bagian bahu ada tali sutranya guna pengikat ke gaun luar, agar tidak
terlihat. Lalu ia mengenakan stocking putih halus dan garter untuk penahan.
Kemudian ia memakai celana katun longgar sebatas lutut, dan akhirnya memakai
sandal sutra berwarna kuning.
394 Solly mengambilkan korset dari kerangkanya dan membantu istrinya mengenakannya
sambil merapikan tali-temalinya. Kebanyakan wanita akan dibantu satu atau dua
pembantu jika berdandan, karena mustahil mereka mengenakan korset dan gaun
malamnya sendirian. Tapi Solly telah mempelajari cara mengikat korset wanita,
agar bisa menikmati sewaktu istrinya berdandan.
Model gaun kaku dan mekar sudah lama menghilang, tapi Maisie mengenakan gaun
dalam dari katun dengan bagian bawah mengembang dan tepinya berwiru-wiru. Solly
membantu mengikatkan pita di bagian belakang gaun dalam istrinya.
Sekarang Maise siap memakai gaun malamnya yang terbuat dari sutra kuning
bergaris-garis putih. Bagian dadanya berbelah rendah, sehingga menonjolkan
payudaranya, dan bagian bawahnya melembung lebar. Lipatan bawahnya berteras-
teras dan tersetrika rapi. Pelayan wanitanya butuh waktu seharian untuk
menghaluskan bagian ini. Maisie duduk di lantai dan Solly memasukkan gaun dari atas dengan hati-hati.
Lalu Maisie berdiri dengan hati-hati pula, sambil memasukkan kedua lengan dan
kepalanya. Setelah selesai, ia dan Solly mematut diri di depan kaca sambil
merapikan lipatan-lipatan gaunnya.
Maisie membuka kotak perhiasan, mengambil kalung berlian dan zamrud serta
anting-anting yang diberikan suaminya sebagai hadiah ulang tahun pertama
pernikahan mereka. Sambil lalu suaminya berkata, "Mulai sekarang, kita akan
sering bertemu dengan teman kita, Hugh Pilaster."
Maisie terperanjat. Kepolosan suaminya kadang membuatnya kaget dan galau. Suami
yang normal pasti akan curiga melihat hubungan istrinya dengan Hugh. Tapi lain
dengan Solly. Ia terlalu polos, sehingga tidak sadar akan godaan yang dirasakan
istrinya. "Memang kenapa?" tanya Maisie dengan nada senetral mungkin.
"Oh, dia akan bekerja di bank kita."
Kedengarannya tidak terlalu buruk. Semula ia khawatir Solly telah mengundang
Hugh tinggal di rumah mereka. "Kenapa dia keluar dari Pilasters Bank" Kukira dia
punya prestasi bagus di sana."
"Mereka menolaknya menjadi mitra bank."
"Oh, tidak!" Ia kenal Hugh melebihi siapa pun; ia tahu betapa menderitanya Hugh
sewaktu ayahnya bangkrut, lalu bunuh diri. Ia bisa merasakan betapa hancurnya
hati Hugh dengan penolakan itu. "Keluarga Pilaster memang tak punya nurani
kekeluargaan," komentarnya nada getir.
"Semuanya disebabkan oleh istri Hugh sendiri."
Maisie mengangguk. "Aku tidak heran." Ia menyaksikan insiden malam itu. Ia tahu
bahwa entah bagaimana, pasti Augusta punya andil dalam skandal di pesta malam
itu, sebagai bagian dari rencananya menjatuhkan Hugh.
"Kau seharusnya simpati pada Nora."
"Mmmm." Maisie pernah bertemu Nora, beberapa minggu sebelum pernikahan mereka,
dan secara naluriah, langsung tidak menyukainya. Bahkan ia dengan terus terang
memberitahu Hugh bahwa Nora adalah pemburu harta dan sebaiknya Hugh mengurungkan
niatnya menikahi wanita itu.
"Dan kusarankan pada Hugh agar kau membantu Nora."
"Apa?" kata Maisie tajam. Ia memalingkan wajahnya dari kaca. "Membantu dia?"
"Meningkatkan citra dirinya. Kau tahu sendiri bagaimana rasanya dipandang rendah
dalam pergaulan hanya karena beda latar belakang sosial. Kau berhasil
menanggulangi semua ini."
"Dan sekarang kau mengharapkan aku menolong setiap wanita kelas bawah yang
kebetulan menikah dengan pria kelas atas?" tukas Maisie ketus.
"Oh. maaf. Kalau begitu aku salah," jawab Solly
396 dengan nada menyesal. "Kukira kau akan senang membantu Nora, karena" kulihat kau
simpati pada Hugh selama ini."
Maisie mengambil sarung tangan dari lemari sambil berkomentar, "Kuharap kau
berkonsultasi dulu denganku sebelum melakukan hal itu." Di depannya, di balik
pintu lemari, masih tergantung poster peninggalan zaman ia masih bermain di
sirkus. "Maisie yang Mengagumkan". Tiba-tiba ia merasa malu pada dirinya
sendiri. Ia menghambur ke tubuh Solly sambil mengisak. "Oh, Solly, betapa tidak
tahu berterima kasihnya aku padamu...."
"Sudah... sudah," hibur suaminya, mengusap bahunya yang masih terbuka.
"Selama ini kau begitu baik dan murah hati padaku dan keluargaku. Sudah tentu
aku akan melakukan permintaanmu."
"Aku tidak mau kau melakukan ini karena terpaksa."
"Tidak... tidak sama sekali, kau tidak memaksaku. Kenapa aku tidak mau menolong
dia memperoleh apa yang t^lah kuperoleh?"
Ia memperhatikan wajah suaminya yang bulat lucu dan dihiasi gurat-gurat
kecemasan. Diusapnya pipi Solly. "Jangan cemas, Sayang... tadi aku memang agak
egois, tapi sekarang tidak lagi. Ayolah, kenakan jasmu. Aku sudah siap." Dengan
berjingkat ia mencium bibir suaminya, lalu berbalik seraya mengenakan sarung
tangannya. Ia tahu apa yang membuatnya sangat jengkel. Situasi ironi ini. Ia diminta
suaminya melatih Nora untuk berfungsi sebagai istri terhormat Hugh Pilaster,
sebuah posisi yang sebenarnya sangat ia dambakan sejak dahulu. Jauh di lubuk
hatinya dia masih ingin menjadi istri Hugh dan ia membenci wanita yang sekarang
menempati posisi itu. Sekarang ia diminta suaminya yang baik untuk melatih
saingan utamanya. Apa yang mesti ia lakukan" Seharusnya ia bahagia Hugh telah
menikah. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia tahu pria itu selama ini tidak bahagia, dan ini sebagian karena kesalahan
Maise. Sekarang ia tak perlu mencemaskan Hugh lagi. Memang terasa ada yang
hilang dari lubuk hatinya, bukan kesedihan, lebih menyerupai kepedihan yang
harus ia tekan sedalam mungkin. Sebagai kompensasi, ia akan melakukan tugasnya
melatih Nora dengan penuh semangat, agar wanita itu bisa diterima kembali di
kalangan atas kota London.
Solly kembali dengan mengenakan jas, lalu bersama-sama mereka ke kamar anak-
anak. Bertie sedang asyik bermain dengan kereta api dari kayu. Ia sangat senang
melihat ibunya berbusana pesta, dan akan kecewa jika ibunya bepergian tanpa
memperlihatkan busana yang ia kenakan. Dengan antusias ia menceritakan bagaimana
ia berteman dengan seekor anjing besar di taman pagi tadi. Ayahnya ikut mencoba
kereta api kayunya. Lalu tiba saatnya tidur. Maisie dan Solly mencium dahinya,
lalu keduanya pergi ke kereta kuda yang sudah siap menunggu di depan rumah.
Mereka akan pergi ke jamuan makan malam, lalu ke pesta dansa. Keduanya
diselenggarakan di kawasan Piccadilly, sekitar setengah mil dari rumah.
Sebenarnya mereka bisa berjalan kaki, tapi Maisie merasa kesulitan karena gaun
malamnya begitu besar dan panjang; belum lagi debu jalan akan membuat gaun dan
sepatu sutranya kotor. Tanpa terasa ia tersenyum sendiri karena ia, yang dulu
sanggup berjalan selama empat hari empat malam ke Newcastle, sekarang tak
sanggup berjalan setengah mil saja.
Di pesta malam itu ia mulai melakukan tugasnya demi Nora. Ketika masuk ke ruang
tamu Marquis of Hatchford, orang pertama yang dilihatnya adalah Count de Tokoly.
Ia sudah lama kenal laki-laki ini karena de Tokoly selalu mencoba merayunya.
Karena itu, tanpa sungkan ia langsung ke inti persoalan. "Kuminta Anda memaafkan
Nora Pilaster karena telah menampar Anda malam itu."
398 "Memaafkan?" tanya de Tokoly. "Oh, aku justru tersanjung! Pria setua diriku
masih bisa membuat seorang wanita muda menamparku benar-benar kejutan."
Ya, tapi bukan begitu yang kaurasakan malam itu, pikir Maisie dalam hati. Tapi
ia senang de Tokoly tidak mempermasalahkan lebih jauh skandal malam itu.
Lalu de Tokoly melanjutkan, "Kalau dia tidak menganggap serius sikapku malam
itu, baru aku akan sangat tersinggung."
Mestinya Nora memang tidak menanggapinya, pikir Maisie. "Coba ceritakan,"
pintanya halus. "Apakah Augusta Pilaster yang menyarankan Anda untuk merayu
menantu perempuannya?"
"Pertanyaan yang menggelikan. Sudah tentu wanita terhormat itu tidak pernah
melakukan apa yang Anda curigakan! Sama sekali tidak."
"Lalu siapa yang menyarankan?"
Dengan mata disipitkan de Tokoly menatap Maisie. "Anda memang cerdik, Mrs.
Greenbourne. Aku selalu menghormati wanita yang cerdik macam Anda. Anda jauh
lebih cerdik daripada Nora Pilaster. Dia tidak akan bisa menyamai Anda."
"Tapi Anda belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Baiklah, aku akan menceritakannya karena aku begitu kagum pada Anda. Duta besar
Kordoba, Senor Miranda, yang membisikkan... Nora adalah wanita yang... apa
istilahnya ya... gampangan."
Jadi, itu akar penyebabnya. "Dan Micky Miranda sudah pasti hanya suruhan
Augusta. Aku yakin. Kedua orang itu sangat dekat, bagai dua pencuri."
De Tokoly agak bingung. "Kuharap aku tidak dijadikan umpan rencana busuk
mereka." "Memang itulah yang mereka inginkan. Risiko menjadi orang yang mudah ditebak
macam Anda," tukas Maisie gemas.
Keesokan harinya ia mengajak Nora ke tukang jahit langganannya.
Saat Nora sedang mengepas, Maisie mencoba mengorek lebih lanjut tentang insiden
malam itu. "Apakah Augusta mengatakan sesuatu tentang de Tokoly sebelum kau
menamparnya?" "Dia mengingatkan agar aku tidak memberi peluang sedikit pun padanya," jawab
Nora. "Jadi, kau sudah berjaga-jaga sebelum bertemu dengannya?"
"Ya." "Dan jika Augusta tidak mengatakan apa pun, apakah kau akan berani menampar si
tua itu?" Nora merenung sejenak. "Mungkin aku tidak berani melakukannya. Augusta begitu
meyakinkan saat mengatakan aku harus berani mengambil sikap."
Maisie mengangguk. "Itulah. Dia memang merencanakan insiden malam itu. Dia juga
menyuruh orang lain membisikkan pada si tua bahwa kau wanita gampangan."
Nora kaget, "Kau yakin itu?"
"Si tua sendiri yang menceritakan padaku. Kau harus hati-hati. Augusta benar-
Seruling Perak 2 Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Mentari Senja 2
untuk membantunya di 334 bank... seorang karyawan administrasi yang akan setia padanya dan menjaga
kepentingan-kepentingannya."
Augusta berpikir sebentar. "Benar sekali," katanya. "Seseorang yang kita kenal
dan bisa kita percaya."
"Tepat." Augusta berkata, "Siapakah yang kauusulkan?"
"Aku punya seorang sepupu yang bekerja di Kedutaan. Namanya Simon Oliver.
Sebenarnya namanya Olivera, namun dia menginggriskannya. Dia anak yang pintar
dan betul-betul bisa dipercaya."
"Ajak dia datang minum teh," ujar Augusta. "Kalau aku menyukai penampilannya,
aku akan bicara dengan Joseph."
"Baiklah." Babak terakhir mulai. Ia dan Augusta sering sependapat, pikir Micky. Augusta-lah
yang seharunya dikawininya. Mereka berdua dapat menaklukkan dunia. Tapi ia
membuang jauh-jauh pikiran fantastis itu dari benaknya. Siapa yang akan
dikawininya" Calon mempelai tidak boleh merupakan ahli waris, karena ia tidak
punya apa-apa untuk ditawarkan pada gadis seperti itu. Ada beberapa ahli waris
yang dengan mudah dapat dijeratnya, tapi memenangkan hati mereka baru
permulaannya: akan ada pertempuran berkepanjangan dengan mertua, dan tidak ada
jaminan hasil yang tepat. Tidak, ia memerlukan seorang gadis dengan latar
belakang sederhana, seseorang yang menyukainya dengan tulus. Matanya menerawang
malas ke sekitar deretan kursi teater dan berhenti pada sosok Rachel Bodwin.?Gadis itu pas sekali untuknya. Rachel sudah setengah jatuh hati padanya dan
sudah putus asa mencari suami. Ayahnya tidak menyukai Micky, tapi ibunya
sebaliknya. Ibu dan anak bisa mengatasi tentangan sang ayah.
Tapi yang paling penting: gadis itu membangkitkan gairahnya.
Gadis itu pasti masih lugu dan takut-takut. Micky
335 akan melakukan hal-hal yang membuatnya bingung dan jijik. Gadis itu akan
melawan; itu bahkan lebih baik. Pada akhirnya, seorang istri harus mengalah pada
tuntutan seksual suami, betapapun aneh dan menjijikkannya, karena gadis itu tak
punya siapa-siapa untuk mengadu. Sekali lagi ia mengkhayalkan gadis itu terikat
di ranjang, menggeliat, entah karena sakit atau nafsu atau keduanya....
Pertunjukan berakhir. Ketika meninggalkan teater, Micky mencari keluarga Bodwin.
Mereka bertemu di trotoar, ketika keluarga Pilaster sedang menunggu kereta kuda
mereka dan Albert Bodwin tengah memanggil sebuah kereta. Micky melemparkan
senyum memikat pada Mrs. Bodwin dan berkata, "Bolehkah saya menerima kehormatan
untuk mengunjungi Anda besok siang?"
Wanita itu jelas terkejut. "Itu merupakan kehormatan bagi saya, Senor Miranda."
"Anda baik sekali." Ia berjabat tangan dengan Rachel, menatap matanya, dan
berkata, "Sampai besok."
"Kutunggu," kata gadis itu.
Kereta kuda Augusta tiba dan Micky membuka pintunya. "Bagaimana pendapatmu
tentang dia?" gumamnya.
"Matanya terlalu berdekatan," kata Augusta sambil memasuki kereta. Ia duduk dan
berkata pada pemuda itu melalui pintu yang terbuka. "Selain itu, dia mirip aku."
Wanita itu menutup pintu dan kereta kuda bergerak menjauh.
Sejam kemudian, Micky dan Edward tengah menikmati makan malam di kamar pribadi
rumah bordil Nellie's. Selain meja, di kamar itu terdapat sebuah sofa, lemari
pakaian, tempat cuci muka, dan tempat tidur besar. April Tilsley telah
mendekorasi ulang seluruh tempat tersebut dan kamar ini dilengkapi bahan kain
yang SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY sedang mode dari toko William Morris, dan seperangkat gambar berbingkai yang
melukiskan orang-orang sedang bercinta dengan berbagai buah dan sayur. Namun
karena sifat usaha ini pengunjung menjadi mabuk dan berperilaku buruk; akibatnya
kertas dinding sudah robek-robek, tirainya bernoda, dan karpetnya koyak.
Meskipun demikian, cahaya lilin yang temaram menyembunyikan kekumuhan kamar itu
serta membuat para wanita di situ kelihatan lebih muda.
Micky dan Edward sedang dilayani oleh dua gadis favorit mereka, Muriel dan Lily,
yang mengenakan sepatu sutra merah dan topi besar penuh hiasan, namun tanpa
busana. Dari luar kamar terdengar bunyi nyanyian serak dan pertengkaran sengit,
tapi di ruangan ini suasana tenang, diselingi bunyi gemeretak api batu bara dan
gumam kata-kata kedua gadis itu ketika mereka menghidangkan makanan. Suasana
kamar mengendurkan ketegangan Micky dan mengurangi kecemasannya tentang pinjaman
untuk proyek jalan kereta api. Setidaknya ia mempunyai rencana. Ia cuma bisa
mencoba-coba. Pandangannya jatuh ke seberang meja, pada Edward. Persahabatan
mereka telah membuahkan hasil selama ini, pikirnya. Ada saat-saat ia merasa
hampir menyukai Edward. Ketergantungan Edward menjemukan, namun itulah yang
membuat Micky dapat menguasainya. Ia telah menolong Edward, Edward telah
menolongnya, dan bersama-sama mereka menikmati semua kemaksiatan kota paling
canggih di dunia. Ketika mereka selesai makan, Micky menuangkan segelas anggur
lagi dan berkata, "Aku bermaksud mengawini Rachel Bodwin."
Muriel dan Lily tertawa cekikikan.
Edward menatapnya beberapa lama, lalu berkata, "Aku tak percaya."
Micky angkat bahu. "Terserah. Aku tidak main-main."
"Kau sungguh-sungguh?"
"Ya." 337 "Babi kau." Micky memandang temannya dengan heran. "Apa kauhilang" Salahkah kalau aku
kawin?" Edward bangkit dan mencondongkan tubuhnya dengan agresif. "Kau babi sialan,
Miranda, itu saja yang bisa kuucapkan."
Micky sama sekali tidak menduga reaksi seperti itu. "Kau kerasukan, ya?"
katanya. "Apa kau tidak bermaksud kawin dengan Emily Maple?"
"Siapa bilang begitu?"
"Ibumu." "Aku tidak akan kawin dengan siapapun."
"Mengapa tidak" Umurmu sudah dua puluh sembilan tahun. Juga umurku. Sudah
waktunya membangun rumah tangga terhormat."
"Persetan dengan rumah tangga terhormat!" Edward berkoar dan menjungkirbalikkan
meja. Micky meloncat mundur ketika piring dan cangkir terempas dan anggur
tumpah. Kedua wanita bugil itu merunduk ketakutan.
'Tenang!" teriak Micky.
"Walaupun kita bersahabat sudah puluhan tahun!" Edward menggelegak. "Dan selama
ini aku selalu berbuat baik padamu!"
Micky tak habis pikir melihat kemurkaan Edward. Ia sadar bahwa ia harus
menenangkan temannya. Adegan seperti ini bisa berdampak buruk atas rencana
perkawinannya, dan itu berlawanan dengan keinginan Micky. "Perkawinan bukanlah
bencana," katanya dengan nada meyakinkan. "Kawin atau tidak, tak ada bedanya
bagi kita." "Pasti ada bedanya!"
"Tidak ada bedanya. Kita tetap datang ke sini."
Edward kelihatan curiga. Dengan suara lebih perlahan ia bertanya, "Benar?"
"Ya. Kita tetap pergi ke klub. Justru itulah gunanya klub. Laki-laki pergi ke
klub untuk menjauhi istri."
338 "Kurasa begitu."
Pintu terbuka dan April bergegas masuk. "Ada apa ribut-ribut?" tanyanya.
"Edward, kau memecahkan piring-cangkir keramikku?"
"Maaf, April. Akan kuganti." Micky berkata kepada April: "Kami baru saja
menerangkan kepada Edward bahwa dia bisa datang ke sini sesudah kawin."
"Syukurlah. Kuharap demikian," kata April. "Kalau laki-laki yang sudah
berkeluarga tidak datang ke sini, bangkrut aku." Ia berpaling ke arah pintu dan
berteriak, "Sidney! Ambil sapu."
Kemarahan Edward cepat reda, dan hal itu melegakan Micky. Micky berkata, "Pada
hari-hari pertama kawin, mungkin kita harus tinggal di rumah, dan sekali-sekali
-mengadakan acara makan malam, tapi setelah beberapa waktu kita bisa kembali ke
kebiasaan lama." Edward merengut. "Apakah istri kita tidak keberatan?"
Micky angkat bahu. "Siapa peduli apakah mereka keberatan" Istri bisa apa?"
"Kalau istri tidak puas, kukira dia bisa menyulitkan suaminya."
Micky menyadari bahwa Edward menyamakan semua wanita seperti ibunya. Sayangnya
hanya segelintir wanita yang berkemauan keras atau pintar seperti Augusta.
"Siasatnya begini, jangan terlalu baik pada mereka," ujar Micky, yang berbicara
berdasarkan pengamatannya terhadap sobat-sobatnya yang sudah berkeluarga di
Cowes Club. "Kalau kau baik pada istri, bisa-bisa dia ingin kau terus berada di
dekatnya. Coba kasari dia dan dia akan senang kalau kau pergi ke klubmu malam-
malam dan membiarkannya hidup tenang."
Muriel melingkarkan lengannya ke leher Edward. "Tidak akan ada yang berubah
setelah kau kawin, aku janji," katanya.
"Benar?" kata Edward dengan senyum agak tolol.
330 "Tentu saja." "Jadi, sebenarnya tidak ada yang berubah," katanya sambil memandang Micky.
"Ada," ucap Micky. "Ada satu hal yang akan berubah. Kau akan jadi mitra di bank
keluargamu." 340 BAB DUA April SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY RUANG MUSIK itu sepanas tempat mandi Turki. Udara berbau bir, kerang, dan orang-
orang yang tidak mandi. Di panggung, seorang wanita muda berpakaian compang-
camping berdiri di depan latar belakang yang menggambarkan sebuah pub. la
menggendong boneka untuk menggambarkan bayi yang baru lahir, dan bernyanyi
tentang bagaimana ia termakan rayuan gombal lelaki dan ditelantarkan. Penonton
yang duduk di bangku di hadapan meja-meja panjang, saling bergandengan tangan
dan bersama-sama menyanyikan koor:
Dan kita cuma perlu setetes gin!
Hugh bernyanyi keras-keras. Ia merasa nyaman. Ia telah makan sedikit kerang dan
menenggak beberapa gelas bir hangat. Sekarang ia berimpitan dengan Nora
Dempster, gadis yang menyenangkan untuk diimpit. Tubuhnya montok dan empuk,
senyumnya menggoda, dan barangkali wanita ini telah menyelamatkan hidupnya.
Sepulangnya dari Kingsbridge Manor, ia mengalami depresi berat. Melihat Maisie
telah membangkitkan kenangan lama dan semenjak wanita itu menolaknya lagi,
341 hantu-hantu masa silam itu kembali mendatanginya tanpa putus.
Ia telah mampu menghabiskan siangnya, karena pada waktu bekerja ada tantangan
dan problem yang "mengalihkan perhatiannya dari kesedihannya. Ia sibuk menyusun
usaha patungan dengan Madler and Bell, yang akhirnya disetujui oleh para mitra
Pilaster, la sendiri akan menjadi mitra, sesuai impiannya. Tapi pada malam-
malamnya ia tidak antusias untuk melakukan apa pun. Ia diundang ke berbagai ?
pesta besar, pesta dansa, dan acara makan malam, karena ia salah satu anggota
kelompok Marlborough berkat persahabatannya dengan Solly. Ia sering pergi
memenuhi undangan, tapi kalau Maisie tidak hadir, ia merasa bosan, dan kalau
wanita itu ada, ia merasa tersiksa. Karenanya sebagian besar malamnya ia duduk
di kamar memikirkan Maisie atau menjelajahi jalan-jalan, berharap akan
berpapasan dengannya. Di jalanlah ia bertemu dengan Nora. Ia pergi ke toko Peter Robinson's di Oxford
Street toko yang dulu menjual tirai, tapi sekarang disebut toko serba ?ada untuk membeli hadiah ulang tahun bagi adiknya, Dotty. Ia punya rencana naik
?kereta api ke Folkestone segera sesudahnya, namun ia begitu kalut, sehingga tak
tahu bagaimana harus menghadapi keluarganya dan tidak mampu memilih kado. Ia
keluar dari toko dengan tangan kosong setelah hari gelap, dan bertumbukan dengan
Nora. Gadis itu terjerembab dan Hugh menyambar tubuhnya.
Ia tak akan melupakan bagaimana rasanya memegang gadis itu. Walaupun terbungkus
pakaian, tubuhnya empuk dan lentur, dan mengeluarkan bau hangat dan wangi.
Sejenak jalan kota London yang dingin dan gelap sirna dan Hugh serasa berada
dalam dunia tertutup yang penuh dengan kegembiraan. Kemudian barang belanjaan
gadis itu, sebuah pot kembang, jatah dan hancur
342 berantakan di trotoar. Gadis itu berteriak kesal dan seperti hendak menangis.
Hugh tentu saja bersikeras ingin membelikan gantinya.
Gadis itu satu atau dua tahun lebih muda dari Hugh, usianya mungkin dua puluh
empat atau dua puluh lima. Wajahnya bulat dan cantik, dengan rambut pirang ikal
menyembul dari topi kerudungnya; pakaiannya murah namun menyenangkan: pakaian
wol merah muda bersulam bunga-bunga, gaunnya mengembang di belakang, dan
mantelnya dari beledu model angkatan laut Prancis yang ketat, yang tepinya
dihiasi bulu kelinci. Ia berbicara dengan aksen Cockney yang kental.
Sementara mereka membeli pot bunga pengganti, Hugh sambil lalu mengatakan pada
gadis itu bahwa ia* tak dapat memutuskan apa yang akan diberikannya pada adiknya
untuk hadiah ulang tahun. Nora menyarankan membeli payung warna-warni, dan ia
bersikeras hendak membantu Hugh memilihkan payung itu.
Akhirnya ia mengantar gadis itu pulang dengan kereta kuda. Gadis itu bercerita
bahwa ia tinggal dengan ayahnya, seorang penjual keliling yang menawarkan obat
paten. Ibunya sudah meninggal. Lingkungan tempat tinggalnya lebih sederhana
daripada yang diduga Hugh lebih tepat dikatakan lingkungan kaum pekerja miskin
?daripada kelas menengah.
Ia mengira tidak akan bertemu lagi dengan gadis itu, dan pada hari Minggu itu di
Folkestone ia merenungkan Maisie seperti biasa. Pada hari Senin di bank ia
menerima sepucuk surat pendek dari Nora, yang isinya berupa ucapan terima kasih
atas kebaikannya; tulisan tangannya kecil rapi dan kekanak-kanakan. Hugh
membacanya, lalu meremas-remas kertas itu dan melemparkannya ke dalam keranjang
sampah. Hari berikutnya, ia keluar dari bank pada tengah hari untuk makan siang dan
melihat gadis itu melangkah menyusuri jalan, menuju ke arahnya. Mula-mula ia
tidak 343 mengenali gadis itu, hanya merenung betapa menarik wajahnya; kemudian gadis itu
tersenyum padanya dan barulah ia ingat. Ia melepaskan topinya, gadis itu
menghentikan langkah dan menyapanya. Dengan malu-malu gadis itu berkata pada
Hugh bahwa ia bekerja sebagai asisten pembuat korset, dan ia dalam perjalanan
kembali ke toko tempatnya bekerja setelah mengunjungi seorang pelanggan. Entah
kenapa, tiba-tiba Hugh terdorong untuk mengajaknya berdansa malam itu. Gadis itu
berkata ia ingin pergi, namun tidak memiliki topi yang layak, karenanya Hugh
membawanya ke sebuah toko tas dan membelikannya topi, dan selesailah masalah
itu. Sebagian besar kencan mereka dilakukan sambil berbelanja. Gadis itu tidak banyak
memiliki harta benda dan tanpa malu-malu ia sangat senang dengan kekayaan Hugh.
Hugh sendiri senang membelikannya sarung tangan, sepatu, baju, gelang, dan
barang lain yang disenangi gadis itu. Adiknya, Dotty, dengan segenap
kebijaksanaan gadis berusia dua belas tahun, berkata bahwa Nora menyukai
kakaknya karena uangnya. Hugh hanya tertawa dan berkata, "Tapi siapa yang mau
mencintaiku karena wajahku?"
Maisie tak bisa hilang dari pikirannya. Ia memikirkannya setiap hari, namun
kenangan itu tidak lagi menjerumuskannya ke dalam keputusasaan. Ada yang
diharapkannya sekarang, pertemuan berikutnya dengan Nora. Dalam beberapa minggu
gadis itu telah membangkitkan semangat hidupnya.
Pada salah satu acara berbelanja, mereka bertemu dengan Maisie di sebuah toko
penjual pakaian bulu di Bondstreet. Dengan agak tersipu, Hugh memperkenalkan
keduanya. Nora sangat senang dikenalkan pada Mrs. Solomon Greenbourne. Maisie
mengundang mereka ke acara minum teh di Piccadilly House. Malam itu Hugh melihat
Maisie kembali di suatu pesta dansa, dan ia heran karena Maisie tidak begitu
menaruh simpati pada 344 Nora. "Maaf, tapi aku tidak menyukainya," kata Maisie. "Gadis itu tampaknya
keras hati dan mata duitan, dan aku tak percaya dia mencintaimu sedikit pun.
Demi Tuhan jangan kawin dengannya."
Hugh merasa terluka dan terhina. Maisie cuma cemburu, pikirnya. Walau
bagaimanapun, ia tidak berpikir akan mengawini Nora.
Ketika pertunjukan di gedung musik berakhir, mereka keluar menembus kabut tebal
yang berpusing dan terasa seperti lengas. Mereka melilitkan syal ke leher dan
mulut dan pergi ke rumah Nora di Camden Town.
Rasanya seperti berada dalam air. Semua bunyi menjadi kedap, manusia dan benda-
benda muncul dari kabut dengan tiba-tiba, seorang pelacur yang menjajakan diri
di bawah cahaya lampu gas, seorang pemabuk yang berjalan sempoyongan dari sebuah
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pub, seorang polisi yang tengah berpatroli, seorang tukang sapu yang tengah
menyeberang, sebuah kereta kuda berlampu yang merayap menyusuri jalan, seekor
anjing yang basah kuyup di got, dan seekor kucing yang menyusuri sebuah lorong
dengan mata berkilat. Hugh dan Nora berpegangan tangan dan sekali-sekali
menghentikan langkah dalam kegelapan malam yang pekat untuk menurunkan syal
mereka dan berciuman. Bibir Nora lembut dan responsif, dan ia membiarkan Hugh
menyelipkan tangan ke dalam bajunya, meremas payudaranya. Kabut membuat segala-
galanya senyap, penuh rahasia dan romantis.
Biasanya Hugh meninggalkan Nora di sudut jalan tempat tinggalnya, namun malam
ini karena adanya kabut, ia mengantar gadis itu hingga ke pintu. Ia ingin
menciumnya kembali di sana, namun takut kalau-kalau ayahnya membuka pintu dan
memergoki mereka. Ternyata Nora memberinya kejutan dengan berkata, "Maukah kau
mampir?" Hugh belum pernah masuk ke rumahnya. "Apa nanti kata ayahmu?" katanya.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ayah pergi ke Huddersfield," kata gadis itu dan membuka pintu.
Jantung Hugh berdetak lebih cepat ketika ia melangkah ke dalam. Ia tak tahu apa
yang akan terjadi, tapi pasti menggairahkan. Ia membantu Nora melepaskan
jubahnya, matanya dengan bergairah tertuju pada lekuk-lekuk di balik gaun biru
langit gadis itu. Rumah itu kecil, bahkan lebih kecil daripada rumah di Folkestone yang ditempati
ibu Hugh setelah kematian ayahnya. Tangga rumahnya memakan sebagian ruang sempit
itu. Ada dua pintu dekat ruang utama, yang mungkin menuju ruang duduk depan dan
dapur belakang. Di atas pasti ada dua kamar tidur. Ada sebuah bak timah di dapur
dan sebuah kakus di halaman belakang.
Hugh menggantungkan topi dan mantel pada sebuah sangkutan. Seekor anjing
menggonggong di dapur. Nora membuka pintu untuk melepaskan anjing terrier
Skotlandia hitam kecil yang mengenakan pita biru di lehernya. Anjing itu
menyambut Nora dengan antusias, kemudian mengelilingi Hugh dengan rasa waswas.
Blackie melindungiku kalau Pa pergi," ujar Nora, dan Hugh merenungkan makna
ganda ucapannya. Ia mengikuti Nora ke ruang duduk. Perabot rumahnya tua dan aus, namun Nora
membuat kamar itu cemerlang dengan barang-barang yang telah dibeli bersama:
bantal-bantal dengan motif meriah, selembar permadani warna-warni, dan sebuah
lukjsan Puri Balmoral. Gadis itu menyalakan sebatang lilin dan menarik tirai.
Hugh berdiri termangu di tengah kamar, tidak tahu apa yang harus dilakukan,
sampai gadis itu berkata, "Tolong, mungkin kau bisa menyalakan api," Ada sedikit
bara di tungku; Hugh menambahkan kayu bakar dan meniup api itu hingga menyala
kembali dengan menggunakan peniup kecil.
Setelah selesai dengan pekerjaannya, ia membalikkan
346 badan dan melihat gadis itu duduk di sofa tanpa topi, dan dengan rambut terurai.
Nora menepuk bantal di sebelahnya dan Hugh duduk dengan patuh. Blackie melotot
cemburu padanya dan Hugh bertanya dalam hati, bisakah ia segera mengeluarkan
anjing itu dari kamar. Mereka berpegangan tangan dan memandangi api. Hugh merasa tenteram. Rasanya ia
tak ingin melakukan apa pun yang lain seumur hidupnya. Setelah beberapa lama, ia
mencium Nora kembali. Dengan coba-coba ia menyentuh payudaranya. Gadis itu
menarik napas berat. Hugh belum pernah merasa senikmat ini. namun ia mendambakan
lebih -dari itu. Ia mencium Nora lebih keras, sambil tetap menyentuh
payudaranya. Perlahan-lahan gadis itu bersandar ke belakang, hingga Hugh setengah berbaring
di atas tubuhnya. Mereka berdua mulai terengah-engah. Suara hati Hugh berkata
bahwa tak pantas ia mengambil keuntungan dari seorang gadis ketika ayahnya tak
ada di rumah, namun suara itu lemah sekali dan tidak dapat bertahan melawan
nafsu yang meluap dalam dirinya, bagaikan gunung api.
Ia ingin sekali menyentuh bagian-bagian paling intim pada tubuh gadis itu. Ia
meletakkan tangannya di antara betis Nora, namun tubuh Nora mengejang seketika
dan anjingnya menggonggong karena mengendus ketegangan yang mereka hadapi. Hugh
menjauh sedikit dan berkata, "Mari kita keluarkan anjing ini."
Nora tampak terganggu. "Mungkin sebaiknya kita berhenti."
Hugh tidak mau berhenti namun demikian kata mungkin itu menambah semangatnya.
"Aku tak bisa berhenti sekarang," katanya. "Keluarkan anjing itu."
"Tapi... kita bertunangan pun belum, atau ikatan apa misalnya."
"Kita bisa bertunangan," kata Hugh tanpa pikir panjang.
347 Gadis itu menjadi agak pucat. "Kau sungguh-sungguh?"
Hugh menanyai dirinya sendiri dengan pertanyaan serupa. Sejak awal ia menganggap
ini hanya iseng-iseng, bukan hubungan serius; namun baru beberapa saat yang lalu
ia berpikir betapa ia ingin menghabiskan sisa hidupnya dengan menggenggam tangan
Nora di depan perapian. Apakah ia benar-benar ingin mengawininya" Ia sadar bahwa
memang demikian halnya; sesungguhnya tak ada lagi yang lebih diinginkannya.
Tentu saja akan terjadi keributan. Keluarganya akan berkata ia kawin dengan
orang yang lebih rendah derajatnya. Tapi persetan. Ia sudah berusia dua puluh
enam tahun, gajinya seribu pound setahun, dan ia akan diangkat menjadi mitra
salah satu bank paling bergengsi di dunia; ia bisa mengawini siapa pun yang
diinginkannya. Ibunya akan cemas, namun memberikan dukungan; ia akan merasa
khawatir, namun senang melihat anaknya hidup bahagia; yang lainnya bisa mengoceh
semaunya. Mereka belum pemah melakukan sesuatu untuknya.
Hugh memandang Nora yang segar, cantik, dan menyenangkan, tergolek di sofa tua
dengan rambut terurai di bahunya yang terbuka. Ia sangat mendambakan gadis itu
sekarang, secepatnya. Ia sudah terlalu lama hidup sendiri. Maisie sudah tenteram
dengan Solly dan takkan pernah menjadi miliknya. Sudah waktunya ia memiliki
seseorang yang hangat dan lembut untuk mengisi hidupnya. Dan mengapa tidak Nora
saja" Ia menjentikkan jemarinya pada anjing itu. "Ayo, ke sini, Blackie." Ia mengelus
kepala binatang itu, kemudian menggenggam pita di lehernya. "Ayo, jaga ruang
depan," katanya sambil menempatkan anjing itu di luar, lalu menutup pintu.
Anjing itu menggonggong dua kali, lalu diam.
Hugh duduk di samping Nora dan memegang tangannya. Gadis itu kelihatan waswas.
Hugh berkata, "Nora, maukah kau kawin denganku?"
348 Pipi Nora menjadi merah. "Ya, aku mau."
Hugh menciumnya. Gadis itu membalas dengan penuh nafsu. Hugh menyentuh lututnya.
Gadis itu memegang tangannya dan menuntunnya. Bibir Nora menelusuri pipinya,
menuju telinganya, dan gadis itu berbisik, "Hugh sayang, jadikan aku milikmu
malam ini, sekarang juga."
"Aku bersedia," kata Hugh dengan suara serak. "Aku bersedia."
[II] PESTA KOSTUM yang diadakan oleh Duchess Tenbigh adalah peristiwa besar pertama
dalam musim London tahun 1879. Setiap orang membicarakannya berminggu-minggu
sebelumnya. Banyak uang dihabiskan untuk keperluan pakaian pesta, dan orang
berusaha keras mendapatkan undangan.
Augusta dan Joseph Pilaster tidak diundang. Itu tidak mengherankan: mereka tidak
termasuk dalam eselon tertinggi masyarakat London. Namun Augusta ingin pergi
juga, dan ia membulatkan pikirannya bahwa ia harus menghadiri pesta itu.
Begitu mendengar tentang pesta itu, ia menyinggungnya pada Harriet Morte, yang
menanggapi dengan sikap kikuk tanpa berkata sepatah pun. Sebagai dayang Ratu,
Lady Morte memiliki pengaruh sosial yang besar; selain itu, ia sepupu jauh
Duchess Tenbigh. Namun wanita itu tidak berusaha agar Augusta diundang.
Augusta memeriksa rekening Lord Morte pada Pilasters Bank dan mendapati
kelebihan tarikan sebesar seribu pound. Pada hari berikutnya, bangsawan itu
menerima sepucuk surat yang menanyakan kapan ia dapat menutup kekurangan pada
rekeningnya. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Augusta mengunjungi Lady Morte pada hari itu juga. Ia memohon maaf. Katanya
surat itu merupakan kekeliruan dan karyawan administrasi yang mengirimkannya
telah dipecat. Lalu ia menyinggung soal pesta itu lagi.
Wajah Lady Morte yang biasanya tanpa emosi, sesaat menunjukkan kebencian ketika
ia memahami maksud Augusta. Augusta tidak bergeming. Ia tak punya keinginan agar
disukai oleh Lady Morte, ia hanya ingin memperalatnya. Dan Lady Morte dihadapkan
pada pilihan sederhana; menggunakan pengaruhnya agar Augusta diundang ke pesta,
atau mencari seribu pound untuk menutupi kelebihan dana yang ditariknya. Wanita
bangsawan itu mengambil pilihan yang lebih mudah, dan beberapa lembar kartu
undangan tiba pada hari berikutnya.
Augusta merasa berang karena Lady Morte tidak menolongnya dengan tulus.
Sangatlah menyakitkan bahwa Lady Morte harus dipaksa. Karena dendam, Augusta
memaksa agar Edward diundang juga.
Augusta datang sebagai Ratu Elizabeth dan Joseph sebagai Earl Leicester. Pada
malam pesta itu mereka makan malam di rumah, kemudian berganti busana. Selesai
berpakaian, Augusta masuk ke kamar Joseph untuk menolongnya mengenakan kostumnya
dan berbicara padanya tentang keponakannya, Hugh.
Ia merasa berang karena Hugh akan dijadikan mitra di bank keluarga bersamaan
dengan Edward. Lebih buruk lagi, setiap orang lebih tahu bahwa Edward diangkat
sebagai mitra hanya karena ia telah kawin dan diberi investasi sebesar 250.000
pound, sementara Hugh diangkat karena telah menggolkan suatu transaksi yang
sangat menguntungkan dengan Madler and Bell dari New York. Orang sudah ramai
membicarakan Hugh sebagai Mitra Senior yang potensial. Pikiran itu membuat
Augusta mengenakkan gigi.
Pengangkatan mereka dijadwalkan berlangsung pada akhir April, saat perjanjian
kemitraan tahunan secara 35(5 resmi diperbarui. Namun di awal bulan, yang membuat Augusta melonjak kegirangan,
Hugh melakukan ketololan yang sulit dipercaya, karena mengawini seorang gadis
mungil yang montok dari kelas pekerja Camden Town.
Episode Maisie enam tahun yang lalu telah menunjukkan bahwa pemuda itu mudah
tertarik pada gadis-gadis dari golongan bawah, namun Augusta tidak berani
berharap ia akan mengawini salah seorang dari mereka. Hugh menikah diam-diam di
Folkestone, hanya dihadiri oleh ibu dan adiknya serta ayah mempelai wanita.
Keluarganya terpaksa menerima.
Sambil membetulkan kerah baju model Elizabeth milik Joseph, Augusta berkata,
"Kuharap kau akan memikirkan kembali rencana pengangkatan Hugh sebagai mitra,
karena dia telah mengawini pembantu rumah tangga."
"Wanita itu bukan pembantu rumah tangga, dia seorang pembuat korset. Dulu.
Sekarang dia Mrs. Pilaster."
"Tapi seorang mitra dalam keluarga Pilaster tidak bisa beristri seorang pelayan
toko." "Kurasa dia bisa mengawini siapa pun yang dia suka."
Augusta sebelumnya takut Joseph akan berkata demi-kan. "Kau tidak akan bilang
begitu kalau dia jelek, kerempeng, dan tidak ramah," katanya kecut. "Hanya
karena wanita itu cantik dan suka bermain api maka kau begitu toleran."
"Aku tak mengerti masalahnya."
"Seorang mitra harus bertemu dengan menteri kabinet, diplomat, para pemuka
bisnis besar. Wanita itu tidak akan tahu cara membawa diri. Dia bisa membuat
suaminya malu setiap saat."
"Dia bisa belajar." Joseph bimbang, kemudian menambahkan, "Kadang-kadang kupikir
kau lupa pada latar belakangmu sendiri, Sayang."
351 Augusta berdiri tegak." Ayahku punya tiga toko!" katanya dengan murka.
"Beraninya kau membandingkan aku dengan anak jalanan itu!"
Joseph mengurungkan perlawanannya. "Baiklah, aku minta maaf."
Augusta menggelegak. "Lagi pula, aku tidak pernah bekerja di toko ayahku,"
katanya. "Aku dibesarkan untuk menjadi seorang lady."
"Aku sudah minta maaf, sudahlah jangan kita ungkit lagi soal itu. Sekarang
waktunya berangkat."
Augusta mengatupkan mulutnya, namun hatinya masih membara.
Edward dan Emily menunggu mereka di ruang utama, berpakaian sebagai Henry II dan
Eleanor dari Aquitaine. Edward tengah menghadapi kesulitan dengan tali penyangga
kaus kakinya yang terbuat dari jalinan benang emas, dan ia berkata, "Ibu pergi
saja dulu, dan suruh kereta kembali ke sini untuk menjemput kami."
Tapi Emily dengan cepat memotong, "Oh, jangan, aku ingin pergi sekarang.
Betulkan tali kaus kakimu di dalam kereta nanti."
Emily memiliki sepasang mata biru bulat dan wajah jelita seorang anak kecil.
Dengan busana model abad dua belas berleher tinggi dan topi kecil di kepala,
penampilannya sangat memikat. Hanya saja Augusta mendapati wataknya ternyata
tidak selembut penampilannya. Pada waktu mempersiapkan pernikahan, tampak sekali
Emily memiliki pendirian sendiri. Ia dengan senang hati membiarkan Augusta
mengatur makan pagi pesta, tapi dengan keras kepala ia tidak mau didikte soal
model busana dan siapa-siapa yang menjadi pengiringnya.
Setelah mereka masuk ke dalam kereta, Augusta samar-samar teringat betapa
pernikahan Henry II dan Eleanor merupakan pernikahan petaka. Ia berharap Emily
tidak akan menyulitkan Edward. Ia agak curiga bahwa ada yang tidak beres dalam
kehidupan pernikahan 352 mereka, karena selama ini tampak jelas Edward uring-uringan. Beberapa kali ia
mencoba menanyakan secara halus, tapi hasilnya nihil.
Yang melegakan, Edward sekarang sudah menikah dan sudah menjadi mitra di bank.
Ia mulai mapan. Pasti semuanya akan beres dengan sendirinya.
Pesta topeng dimulai pada jam setengah sebelas dan keluarga Pilaster datang
tepat waktu. Rumah Tenbigh gemerlapan oleh lampu. Di luar halaman berjejal para
penonton, dan kedua sisi Park Lane dipenuhi kereta kuda para tamu. Para penonton
di luar bertepuk tangan menyambut para tamu yang turun dari kereta dengan aneka
busana pesta topeng yang aneh-aneh. Sambil menunggu, melihat pasangan Anthony
dan Cleopatra, rombongan bangsawan Roundhead dan Cavalier, dua dewi Yunani,
serta tiga Napoleon masuk ke dalam rumah.
Akhirnya kereta mereka tiba di depan rumah. Begitu turun, ternyata mereka sudah
harus antre di pintu masuk untuk memberi salam pada tuan rumah, pasangan Duke
dan Duchess Tenbigh yang malam itu berbusana seperti Solomon dan Sheba. Ruang
pesta semerbak oleh aroma .bunga segar dan alunan musik dari band yang mencoba
menghibur para tamu. Keluarga Pilaster diikuti oleh Micky Miranda diundang karena status ?diplomatnya bersama istrinya, Rachel. Micky tampak sangat memukau, dengan
?busana Kardinal Wosley berwarna merah. Melihatnya sekejap saja sudah membuat
hati Augusta berdebar. Tapi saat melihat Rachel, istri Micky, pandangannya
seketika berubah sinis. Wanita itu berpakaian sebagai seorang budak. Agak
mengejutkan. Dulu Augusta mendukung Micky untuk menikah, tapi ia tetap saja
cemburu pada Rachel yang tidak cantik. Merasa ditatap Augusta, Rachel balas
menatap dengan dingin. Dengan posesif ia meraih lengan suaminya ketika Micky
selesai mencium tangan Augusta.
Saat mereka menaiki tangga, Micky berkata pada
353 Rachel, "Duta Spanyol juga hadir. Bersikaplah manis padanya."
"Kau saja yang bermanis padanya," potong Rachel cepat. "Bagiku dia kampungan."
Micky agak jengkel, tapi diam saja. Dengan sikapnya yang ekstrem dan agresif,
Rachel lebih cocok menjadi istri anggota Partai Radikal di Parlemen atau
wartawan. Augusta merasa Micky berhak memiliki istri yang tidak eksentrik dan
lebih cantik. Di depan mereka, Augusta melihat sepasang pengantin baru lainnya, Hugh dan Nora.
Hugh adalah anggota kelompok Marlborough karena ia sahabat keluarga Greenbourne,
karenanya ia selalu diundang ke semua pesta. Hal ini membuat Augusta kecewa.
Malam ini ia berdandan seperti raja India dan Nora berbusana sebagai seorang
penari ular. Gaunnya terbelah tinggi sekali, sehingga celana panjang gaya harem-
nya tampak setiap kali ia melangkah. Ular-ularan bergelantungan di tubuh dan
lengannya. Augusta berkomentar sinis ke arah Joseph, "Istri Hugh benar-benar
vulgar." Joseph malah bereaksi sebaliknya, "Ah, ini kan pesta topeng."
"Tapi lihat saja... mana ada wanita di pesta ini yang sampai mempertontonkan
kakinya." "Bagiku tidak ada bedanya antara celana panjang longgar dan rok panjang."
Mungkin saja dia senang melihat kaki Nora, pikir Augusta sengit. Perempuan
seperti itu memang bisa mengaburkan penilaian para pria. "Kupikir dia tidak
cocok menjadi istri seorang mitra Pilasters Bank."
"Nora tak perlu membuat keputusan keuangan di bank kita."
Augusta serasa ingin menjerit jengkel. Jelas tidak cukup hanya menjelek-jelekkan
Nora sebagai gadis dari kelas pekerja. Ia harus merencanakan sesuatu agar Joseph
dan para mitra lainnya memusuhi Hugh.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Tiba-tiba timbul idenya.
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemarahannya surut. Mungkin ada jalan untuk membuat Nora mengalami masalah. Ia
melihat ke lantai atas dan mempelajari setiap gerak mangsa barunya.
Nora dan Hugh sedang berbincang-bincang dengan atase Hungaria, Count de Tokoly,
pria yang terkenal mata keranjang dan malam ini berbusana sebagai raja Henry
VIII. Nora tampaknya cocok menjadi mangsa baru si atase. Para wanita terhormat
sengaja menghindari atase mata keranjang ini. Hanya saja ia selalu harus
diundang ke setiap pesta, karena statusnya sebagai diplomat senior. Hugh
tampaknya sama sekali tidak keberatan melihat istrinya bercakap-cakap genit
dengan atase itu. Yang tampak di wajahnya hanyalah ekspresi sayang. Mungkin dia
masih mabuk cinta, sehingga di matanya sang istri tak ada celanya sedikit pun.
Lihat saja, ini tidak akan berlangsung lama, pikir Augusta. "Nora sedang
berbincang-bincang dengan Tokoly," bisiknya pada Joseph. "Dia harus hati-hati
dengan reputasinya."
"Hmmm, jangan sekali-kali bersikap kasar pada atase itu," jawab Joseph cepat."
Bank kita sedang menggarap pinjaman dua juta pound ke pemerintahnya."
Augusta sama sekali tak peduli pada de Tokoly. Yang penting soal Nora. Tampaknya
dia bisa dijadikan korban malam ini, karena dia belum biasa bergaul serta belum
sempat mempelajari tata cara kaum kelas atas. Kalau saja dia bisa" mempermalukan
dirinya sendiri malam ini, mungkin di depan Pangeran Wales....
Bertepatan dengan itu tepuk tangan meriah terdengar di luar rumah, menandakan
datangnya Pangeran Wales beserta rombongannya.
Beberapa saat kemudian, rombongan kerajaan masuk ke dalam rumah: Pangeran Wales
dan Putri Alexandra, berbusana bagai Raja Arthur dan Ratu Guinevere, diikuti "
oleh rombongannya yang berpakaian seperti ksatria abad
355 pertengahan dan para istri mereka. Iringan musik waltz Strauss berhenti
mendadak, lalu terdengar lagu kebangsa-an kerajaan. Semua tamu membungkuk
memberi hormat, dan kerumunan orang di tangga menepi ke kanan dan ke kiri bagai
ombak, menyongsong datangnya tamu kerajaan. Sang pangeran tampak makin tambun
saja, pikir Augusta sewaktu memperoleh giliran memberi hormat. Jenggotnya belum
berubah, hanya saja rambutnya makin botak saja. Kasihan istrinya yang cantik,
yang harus banyak bersabar pada suaminya yang boros dan gila wanita.
Di tangga atas, tuan rumah menyambut tamu kerajaan dan langsung membawa mereka
ke ruang dansa. Para undangan lain bergegas mengikuti.
Di dalam ruang dansa, bau semerbak bunga-bunga segar yang dipetik langsung dari
rumah pedesaan keluarga Tenbigh memenuhi ruangan; lilin-lilin gemerlapan
memantulkan sinarnya di sekitar cermin-cermin tinggi yang dipasang di antara
celah jendela kaca ruangan. Para pelayan pria yang berdandan sebagai pelayan
kerajaan zaman Ratu Elizabeth berkeliling tanpa henti menyuguhkan sampanye.
Pangeran dan istrinya diajak ke panggung kehormatan di ujung ruangan. Sebelumnya
telah diatur agar begitu Pangeran mulai duduk, beberapa pemakai kostum yang
paling spektakuler berjalan di depan Pangeran. Segera prosesi berlangsung, dan
secara tak sengaja Augusta berdampingan dengan Count de Tokoly.
"Sungguh menyenangkan istri keponakan Anda, Mrs. Pilaster," sapa de Tokoly.
Augusta memberikan senyum hambar." Betapa murah hati Anda mengatakannya."
De Tokoly mengangkat alisnya. "Sepertinya Anda kurang senang. Benarkah" Tentunya
Anda mengharapkan Hugh menikah dengan wanita yang sekelas dengannya."
356 "Anda tahu sendiri jawabannya tanpa perlu kukatakan."
"Tapi... kuakui daya tariknya memang hebat sekali." "Tidak salah."
"Aku akan memintanya melantai nanti. Apakah menurut Anda dia mau menerima
ajakanku?" Augusta tak bisa menahan rasa jengkelnya. "Ya, saya yakin dia akan bersedia." Ia
berjalan menjauh. Rasanya terlalu berlebihan mengharapkan adanya skandal dalam
dansa mereka nanti.... Tiba-tiba saja ia memperoleh inspirasi.
Yang menjadi faktor penentu adalah count itu sendiri. Kalau saja ia bisa
memanfaatkan pertemuannya dengan Nora, rencana busuknya pasti berhasil.
Pikiran liciknya segera berputar cepat. Malam ini benar-benar suatu peluang
sempurna. Ia harus memanfaatkannya.
Dengan bersemangat Augusta melihat ke sekeliling, melihat Micky, lalu bergegas
ke arahnya. "Aku perlu bantuanmu. Sekarang, dan cepat," bisiknya.
Micky menatap Augusta penuh arti. "Apa saja," jawabnya.
Augusta telah mengacuhkan rayuan Micky. "Kau kenal Count de Tokoly?"
"Pasti. Kami para diplomat saling kenal."
"Katakan padanya bahwa Nora memang murahan."
"Hanya itu?" tanya Micky dengan senyum dikulum.
"Kau boleh menambah-nambahkan kalau mau."
"Bisakah kubisikkan bahwa aku tahu dari pengalaman pribadiku sendiri dengan
Nora?" Pembicaraan ini sudah melantur jauh, tapi ide Micky memang bagus. Augusta
mengangguk setuju. "Lebih baik malah."
"Kau tahu kira-kira apa yang akan dilakukan oleh si tua?" tanya Micky.
"Aku yakin dia akan merayu Nora."
357 "Kalau memang itu yang kauinginkan..." "Ya."
Micky mengangguk. "Aku adalah budakmu, dalam hal ini dan dalam segala hal."
Augusta mengibaskan tangan dengan tak sabar; ia terlalu tegang' untuk
mendengarkan gombal-menggombal saat ini. Pandangannya tertuju pada Nora yang
tampak sedang terkagum-kagum melihat interior rumah dan aneka kostum dalam
pesta; jelas ia tak pernah melihat suasana seperti ini dalam hidupnya. Tampak
sekali ia sangat terkesima. Tanpa ragu lagi Augusta berjalan mendekati Nora.
Ia berbisik. "Sedikit nasihat, Nora."
"Terima kasih banyak," jawab Nora.
Hugh mungkin saja pernah memperingatkan soal kelicikan Augusta pada istrinya,
tapi Nora tidak menunjukkan sikap bermusuhan. Mungkin ia belum yakin benar,
seperti apa Augusta, jadi sikapnya terhadap wanita itu biasa-biasa saja.
Augusta berkata, "Kulihat kau tadi bicara dengan Count de Tokoly."
"Si tua cabul itu," sahut Nora cepat.
Augusta agak terpana dengan kekasaran Nora, tapi racunnya terus berlanjut.
"Hati-hati dengan dia, jika kau mau menjaga reputasimu."
"Hati-hati?" tanya Nora. "Apa maksudmu?"
"Kau harus sopan, tentunya, tapi apa pun yang terjadi, dia jangan terlalu diberi
hati. Kalau dia merasa mendapat lampu hijau sedikit saja, dia akan maju terus...
dan kalau tidak dihentikan, dia bisa sangat memalukan."
Nora mengangguk, paham. "Jangan khawatir, aku tahu cara menghadapi laki-laki
macam dia " Hugh sedang berdiri di dekat mereka, berbincang dengan Duke of Norwich ketika
dilihatnya Augusta sedang berbincang pelan dengan istrinya. Dengan curiga ia
mendekati Nora. Terlambat, Augusta telah menanam-
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY kan benih bencana. Dengan ringan ia melangkah menjauhi Nora. Ia tinggal menanti
dengan penuh harap agar yang terjadi nanti adalah yang terbaik bagi dirinya.
Di depan Pangeran Wales beriringan beberapa orang dari kelompok Malborough,
termasuk Duke dan Duchess of Kingsbridge dan Solly dengan Maisie Greenbourne. Pasangan ini berbusana sebagai bangsawan dari Timur.
Bukannya sedikit menekuk lutut dan mengangguk, di depan pangeran dan istrinya
mereka berlutut penuh serta memberi salam hormat. Tingkah mereka membuat
keluarga kerajaan tertawa geli dan senang, disusul dengan tepukan tangan para
tamu lainnya. Augusta sangat membenci Maisie Greenbourne, hanya saja kali ini ia
tak sempat memikirkannya. Benaknya sedang dipenuhi pelbagai kemungkinan. Kendati
sudah dipersiapkan, masih banyak kemungkinan gagal: de Tokoly bisa saja terpikat
wanita cantik lainnya, Nora bisa menghadapinya dengan anggun dan sopan, Hugh
mungkin selalu berdiri dekat istrinya, sehingga de Tokoly tidak bisa berbuat
apa-apa. Namun, dengan sedikit keberuntungan, ia yakin rencananya akan berhasil.
Prosesi di depan keluarga kerajaan hampir selesai. Tiba-tiba dari kejauhan
Augusta melihat David Middleton sedang menuju ke arahnya. Ia merasa cemas.
Enam tahun yang lalu ia pernah bertemu David yang ketika itu menanyakan tentang
kematian adiknya di Wienfield. Waktu itu Augusta mengatakan bahwa dua saksi,
Hugh Pilaster dan Antonio Silva, sudah berada di luar negeri. Tapi sekarang Hugh
sudah kembali ke London. Soal Middleton pasti akan terungkit kembali. Bagaimana
David yang hanya pengacara biasa bisa sampai diundang ke pesta para bangsawan
ini" Lalu samar-samar ia ingat bahwa David masih kerabat jauh keluarga Tenbigh.
Ia tidak memperhitungkan hal ini. Benar-benar malapetaka. Bingung! Ia tak bisa
memikirkan jalan keluarnya!
359 Dengan panik ia melihat Middleton berjalan ke arah Hugh.
Dengan diam-diam Augusta mencoba mendekati Hugh. Samar-samar ia mendengar sapaan
Middleton, "Halo, Pilaster. Kudengar kau baru saja pulang ke Inggris. Masih
ingat aku" Kakak Peter Middleton?"
Augusta perlahan membalikkan tubuh agar mereka berdua tidak menyadari
kehadirannya. Di tengah dengung celoteh tamu, ia berusaha keras menangkap apa
yang mereka bicarakan. "Ya, aku ingat... kau hadir waktu diadakan penyelidikan," jawab Hugh. "Perkenankan
kuperkenalkan istriku."
"Apa kabar, Mrs. Pilaster?" sapa Middleton sopan, lalu kembali memusatkan
perhatian pada Hugh. "Aku tidak pernah puas dengan hasil penyelidikan sebab-
musabab kematian adikku."
Augusta merasa tercekik. Middleton benar-benar terobsesi dengan soal kematian
adiknya, sehingga tanpa ragu lagi berani mengutarakan perasaannya dalam pesta
kostum semeriah ini. Benar-benar mencemaskan. Apakah Teddy tersayang tidak akan
pernah terlepas dari kecurigaan masa lalunya"
Ia tak mendengar jawaban Hugh, tapi nadanya terdengar netral.
Suara Middleton agak meninggi, sehinggav ia bisa mendengar dengan jelas ucapan
selanjutnya. "Kau perlu tahu, seisi sekolah waktu itu sama sekali tak percaya
tentang cerita Edward yang katanya mencoba menyelamatkan nyawa Peter."
Augusta menjadi takut mendengar jawaban Hugh. Untung Hugh hanya menjawab bahwa
ia sudah tidak ingat kejadian saat itu yang sudah lama sekali berlalu.
Tiba-tiba Micky sudah berdiri di samping Augusta. Wajahnya tampak tenang, tapi
gerakan tubuhnya terasa tegang. Dengan berbisik ia bertanya. "Apakah dia si
Middleton?" 360 Augusta mengangguk pelan.
"Sudah kuduga. Wajahnya masih bisa kukenali."
"Hush... dengarkan," sergap Augusta ketus.
Middleton terdengar makin agresif. "Kukira kau tahu kejadian sebenarnya."
Nadanya terasa menantang.
"O ya?" Nada Hugh sudah tidak bersahabat lagi.
"Maafkan jika aku terlalu mendesak, Pilaster. Peter adalah adikku. Selama
bertahun-tahun aku penasaran tentang kejadian sebenarnya. Aku berhak untuk tahu,
bukan?" Hening sebentar. Augusta tahu bahwa mempersoalkan siapa yang salah dan siapa
yang benar dalam kasus almarhun Peter bisa menggerakkan nurani Hugh yang
moralis. Ia sangat ingin bergabung untuk membentak kedua pria itu agar diam atau
mengubah topik pembicaraan, tapi segera sadar bahwa tindakan seperti itu akan
membangkitkan kecurigaan bahwa ia menyembuyi-kan sesuatu tentang kasus ini;
jadi, ia hanya bisa berdiri terpaku, memasang telinga untuk terus mendengarkan.
Akhirnya Hugh menjawab, "Aku sendiri tidak menyaksikan Peter meninggal,
Middleton. Jadi aku tidak bisa menceritakan apa sebenarnya yang terjadi. Bahaya
untuk berspekulasi, karena bisa salah."
"Jadi, kau juga punya sedikit kecurigaan" Kau bisa mengira-ngira bagaimana
kejadian sebenarnya?"
"Kurasa untuk kasus seperti ini tidak pantas jika kita menduga-duga. Akan sangat
tidak bertanggung jawab. Kau mengatakan ingin mengetahui kejadian sebenarnya...
begitu juga aku. Seandainya aku tahu, kuanggap sudah kewajibanku untuk
menceritakan semuanya. Hanya sayang, aku tidak tahu apa-apa."
"Kurasa kau memang ingin membela sepupumu."
Hugh tersinggung. "Sialan, Middleton, itu sudah keterlaluan. Kau memang berhak
kecewa, tapi sama sekali tidak berhak meragukan kejujuranku."
361 "Kalau begitu, pasti ada yang berbohong," tukas Middleton ketus sambil pergi
menjauh. Augusta bernapas lega. Kakinya jadi terasa lemas, dan dengan agak gontai ia
menyandarkan diri ke tubuh Micky. Kali ini prinsip Hugh berpihak pada dirinya.
Hugh mungkin juga curiga akan peran Edward dalam kasus kematian Peter, tapi
karena selama ini tidak ada bukti, ia tidak bersedia mengutarakannya. Dan
sekarang Middleton telah membuat Hugh marah. Seorang gentlemen tak pernah
berbohong, dan bagi anak muda seperti Hugh, kecurigaan akan kejujuran dirinya
sudah merupakan hinaan. Syukurlah, mulai sekarang rasanya Middleton tidak akan
mengusik-usik Hugh lagi. Krisis tadi datang secara tiba-tiba, seperti badai musim panas, juga pergi
begitu cepat, sehingga perasaan Augusta yang semula ngeri tiba-tiba berubah
menjadi kelegaan luar biasa. Hatinya serasa kosong tapi aman.
Prosesi sudah berakhir. Band mulai memainkan musik dansa. Sang pangeran menuntun
istri tuan rumah ke lantai dansa, dan sang putri dituntun si tuan rumah. Mereka
berempat mengawali di depan. Yang lain segera menyusul. Dansanya sendiri
terlihat agak lamban, mungkin karena para tamu memakai kostum berat dan aneka
hiasan kepala. Augusta berkata pada Micky, "Mungkin Middleton tidak akan menjadi duri lagi bagi
kita." "Ya, jika Hugh tetap menutup mulutnya."
"Dan sepanjang temanmu si Silva tetap di Kordoba."
"Keluarganya makin lama makin kehilangan pengaruh di negaraku, jadi aku yakin
dia tidak akan muncul kembali di Eropa."
"Bagus." Augusta kembali ke rencananya semula. "Apa kau sudah bicara dengan de
Tokoly?" "Ya, sudah." "Bagus."
"Kuharap kau tahu apa yang akan kaulakukan."
Augusta menatap tak senang pada Micky.
"Oh, betapa bodohnya aku," kata Micky. "Tentu saja kau selalu tahu apa yang akan
kaulakukan." SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Dansa kedua diringi musik waltz, dan Micky meminta Augusta untuk turun melantai.
Semasa Augusta remaja, dansa waltz dianggap tidak sopan karena tubuh kedua
pasangan sangat erat berdekapan, tangan si lelaki mendekap pinggang si wanita.
Tapi sekarang lain, bahkan keluarga kerajaan juga berdansa.
Begitu tangan Micky melekat di pinggangnya, Augusta serasa kembali menjadi tujuh
belas tahun, melantai dengan Strang. Saat melantai, Strang selalu memikirkan
pasangannya, bukan bagaimana seharusnya melangkah. Micky juga punya bakat yang
sama. Ia membuat Augusta merasa muda, cantik, dan bebas melayang. Augusta
menikmati kehalusan tangan Micky, aroma maskulin tembakau dan parfumnya, serta
kehangatan tubuhnya. Tiba-tiba ia merasa cemburu dan iri terhadap istri Micky,
Rachel, yang bisa tiap malam tidur bersama pemuda ini. Sejenak ia mencoba
mengingat kembali kejadian di kamar Seth enam tahun silam, tapi bayangan itu
begitu kabur, seperti mimpi yang tidak nyata, dan ia tak percaya semua itu
pernah terjadi. Beberapa wanita yang mengalami hal seperti dirinya akan segera menjalin hubungan
gelap dengan si pemuda. Augusta pun kadang-kadang membayangkan untuk berkencan
diam-diam dengan Micky, tapi tidak tahan harus sembunyi-sembunyi seperti itu.
Apalagi perselingkuhan rahasia semacam itu biasanya ketahuan. Ia lebih suka
meninggalkan Joseph dan menikah dengan Micky. Kemungkinan besar Micky akan
bersedia melakukannya. Dengan segala cara, ia bisa membuat Micky bersedia
melakukannya. Tapi jika dipikirkan lebih jauh, ia akan kehilangan segala
kemewahan seperti tiga rumahnya, kereta kuda, tunjangan untuk busana, posisi
sosial, dan undangan ke pesta mewah seperti malam ini. Strang
363 bisa memberikan semua itu padanya, tapi Micky hanya bisa menawarkan tubuhnya,
dan itu tidak cukup bagi Augusta.
"Lihat itu," kata Micky tiba-tiba.
Augusta mengikuti arah yang ditunjuk Micky. Nora sedang melantai dengan Count de
Tokoly. Augusta jadi tegang. "Mari kita mendekati mereka," katanya pada Micky.
Tidak begitu mudah, karena di dekat Nora juga sedang berdansa pasangan kerajaan.
Semuanya mencoba melantai dekat-dekat mereka; tapi Micky dengan lihainya
menggiring Augusta mendekati Nora.
Sejauh ini, Nora dan de Tokoly melantai dengan wajar, seperti pasangan lainnya.
Irama waltz masih menggema dengan indahnya. Tampak de Tokoly membisikkan sesuatu
ke telinga Nora, yang disambut dengan senyum wajar. Dekapannya sedikit terlalu
erat, tapi tidak cukup untuk membuat Nora marah. Seiring dengan alunan musik,
Augusta bertanya-tanya apakah ia telah salah menilai kedua korbannya. Perasaan
tak menentu itu membuatnya tegang dan ia tidak bisa berdansa dengan baik.
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Musik makin meninggi, mendekati akhir. Augusta masih terus memperhatikan Nora
dan de Tokoly. Tiba-tiba terjadi sesuatu. Wajah Nora mendadak tegang dan kaku.
De Tokoly pasti telah mengatakan sesuatu yang tidak disukainya. Harapan Augusta
bangkit kembali. Tapi mungkin ucapan laki-laki itu tidak begitu serius. Mereka
masih terus melantai. Augusta sudah siap menyerah dengan rencana busuknya, dan iringan .musik sudah
mendekati akhirnya, ketika peristiwa mengejutkan itu terjadi.
Augusta satu-satunya yang melihat awal dari ledakan itu. De Tokoly mendekatkan
bibirnya ke telinga Nora dan membisikkan sesuatu. Wajah Nora berubah merah, lalu
memucat. Ia menghentikan langkah dansanya de -
364 ngan tiba-tiba dan mendorong tubuh pasangannya dengan kasar; tidak ada orang
lain yang memperhatikan peristiwa ini, karena bertepatan dengan akhir dari musik
pengiring dansa. Tapi de Tokoly masih mencoba peruntungannya, ia berbicara
dengan ekspresi kurang ajar. Pada saat itu musik usai, dan dalam keheningan
sesaat itu, Nora menampar de Tokoly.
Suara tamparan itu meledak begitu keras, di segenap penjuru ruang dansa. Benar-
benar bukan suara tamparan main-main, tapi tamparan kemarahan yang amat sangat.
Si bangsawan terjengkang ke belakang tubuhnya menumbuk tubuh Pangeran Wales.?Semua pasangan tertegun, terkesima. Sang pangeran agak limbung, untung sempat
disangga oleh Duke of Tenbigh. Dalam suasana mencekam itu meledaklah umpatan
Nora dengan aksennya yang kental, "Jangan sekali-kali berani mendekati aku lagi,
tua bangka tak tahu malu."
Untuk sesaat semua orang membisu: wanita yang marah itu, dan si bangsawan yang
merasa terhina, dan sang pangeran yang terperanjat. Augusta serasa ingin
berteriak penuh kemenangan. Rencananya telah berjalan sempurna, bahkan lebih
sempurna dari yang ia bayangkan!
Lalu Hugh datang ke sisi Nora dan menggamit lengannya; si bangsawan berdiri
tegap kembali dan berjalan keluar ruangan; sekelompok orang melingkari Pangeran
Wales, seakan-akan ingin melindunginya. Kesenyapan berganti dengan dengung suara
manusia. Dengan penuh kemenangan Augusta memandang Micky.
"Brilian," bisik Micky penuh kekaguman. "Kau benar-benar brilian, Augusta," puji
Micky sambil meremas tangannya, mengajaknya keluar dari lantai dansa.
Joseph sudah menunggu istrinya. "Perempuan sialan!" umpatnya. "Membuat skandal
memalukan seperti itu di 365 depan sang pangeran... benar-benar membuat malu seluruh keluarga, dan pasti akan
membuat bank kita kehilangan kontrak bernilai tinggi!"'
Memang reaksi seperti itulah yang diharapkan Augusta. "Nah, benar kan, sekarang
kau baru percaya kata-ktfaku... perlu mempertimbangkan kembali apakah Hugh pantas
dijadikan mitra bank," katanya dengan nada penuh kemenangan.
Joseph memandang istrinya dengan tatapan menilai. Sesaat Augusta khawatir
suaminya marah karena ia terlalu mencampuri urusan bank, atau ia curiga
istrinyalah yang menjadi dalang insiden tadi. Tapi rupanya tidak, karena ia
malah berkata, "Kau memang benar, Sayang. Kau selama ini selalu benar mengenai
Hugh." Hugh menggiring Nora ke arah pintu keluar. "Kami akan pulang," katanya ketika
melewati pasangan Joseph dan Augusta.
"Sudah sepantasnya, kita semua memang harus pulang sekarang," jawab Augusta.
Tapi ia tidak ingin mereka pulang secepat ini. Jika suasana malam ini tidak
dimanfaatkan sekarang juga, besok keadaan bisa berbalik karena orang-orang akan
cepat lupa. Bisa saja mereka menganggap insiden malam ini adalah insiden biasa.
Untuk mencegah terjadinya hal ini, ia menginginkan sesuatu yang lebih panas
lagi, sesuatu yang emosional, penuh kata-kata makian serta tuduhan yang sangat
menyakitkan hati dan tidak mudah dilupakan. Ia menahan tangan Nora. "Aku tadi
sudah memperingatkanmu tentang Count de Tokoly," katanya setengah menuduh.
Hugh yang menjawab, "Kalau laki-laki seperti itu menghina seorang wanita di
lantai dansa, memang tidak ada tindakan lain yang bisa dilakukan selain
menamparnya di muka umum."
"Jangan macam-macam," sambar Augusta cepat. "Setiap wanita muda yang terdidik
pasti tahu apa yang seharusnya dilakukannya. Sebenarnya bisa saja dia bilang
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY sedang tidak enak badan, lalu mundur dari lantai dansa dan pulang."
Hugh tahu ucapan itu benar, maka ia tidak mencoba membantahnya. Augusta masih
khawatir insiden malam ini akan cepat terlupakan. Tapi rupanya suaminya masih
marah. Ia berkata pada Hugh, "Tuhan tahu betapa besar kerugian yang telah
kaulakukan pada bank dan keluarga malam ini."
Hugh menjadi emosioanal, "Apa maksud Paman?"
Dengan menantang tuduhan Joseph, Hugh membuat suasana makin panas, pikir
Augusta. Hugh masih terlalu hijau untuk tahu kapan ia harus diam dan kapan harus
menyangkal. Seharusnya ia diam seribu bahasa dan pulang ke rumah.
Benar saja, Joseph makin panas. "Kita sudah pasti akan kehilangan calon nasabah
kelas kakap dari orang Hungaria itu, dan lebih hebat lagi kita tidak akan
diundang dalam pesta bangsawan kerajaan lagi."
"Ya, saya tahu akibatnya," jawab Hugh tak mau kalah.. "Tapi saya ingin tahu,
kenapa saya yang disalahkan?"
"Karena kau menikahi wanita yang tidak tahu tata krama."
Nah, ini lebih baik lagi, pikir Augusta puas.
Hugh menjadi merah padam, tapi tetap bisa mengendalikan diri. "Izinkan saya
meluruskan hal ini. Seorang istri dari keluarga Pilaster diharuskan menelan
hinaan pria di pesta dansa dengan diam seribu bahasa daripada berontak demi
mempertahankan kehormatan dirinya, kendati hal itu akan berakibat kerugian
bisnis... itukah prinsip hidup Paman?"
Joseph sangat tersinggung. "Kau... kau anak tak tahu diuntung," bentaknya. "Apa
yang kumaksud adalah dengan menikahi wanita di bawah kelasmu, kau telah membuang
kesempatanmu untuk menjadi kandidat mitra-bank keluarga!"
367 Dia mengatakannya! teriak Augusta dalam hati, penuh kemenangan. Dia sendiri yang
mengatakan ini! Hugh ternyak kaget. Lidahnya kelu. Tidak seperti Augusta, ia tak pernah
membayangkan akibat dari insiden malam ini. Sekarang sudah terlambat. Augusta
memperhatikan wajah Hugh berubah dari emosional menjadi putus asa, setelah
memahami akibat yang lebih dalam ini.
Augusta mencoba dengan susah payah untuk tidak menyunggingkan senyum kemenangan.
Ia telah berhasil memperoleh apa yang diinginkannya: kemenangan prima. Mungkin
nanti Joseph akan menyesali hardikannya tadi, tapi sebagai orang yang sombong,
ia tidak akan mau menjilat ludahnya kembali.
"Jadi, beginilah akhirnya," kata Hugh, matanya tertuju ke arah Augusta, bukan
Joseph. Augusta agak heran melihat pemuda itu. "Baiklah, Augusta, kau menang.
Aku tidak tahu bagaimana caramu melakukannya, tapi aku yakin kau ikut berperan
atas insiden malam ini." Lalu pandangannya kembali pada Joseph. "Tapi Paman
Joseph perlu merenungkan hal ini. Paman harus memikirkan, siapa yang benar-benar
peduli pada kemajuan Bank dan... siapa yang menjadi musuhnya." Untuk kalimat
terakhir ini, pandangannya tertuju langsung ke arah Augusta.
[Ill] BERITA tentang gagalnya Hugh diangkat menjadi mitra segera menyebar bagai virus
ke seluruh London. Keesokan siangnya, kalangan bisnis yang biasanya mengerumuni
dan membuat janji temu bisnis dengan Hugh, mengenai keuangan proyek rel kereta
api. kilang 368 cor besi baja, proyek real estate semuanya dengan cepat menunda janji temu ?mereka. Di dalam bank sendiri, Hugh diperlakukan sebagai manajer biasa. Saat
makan siang, ia tidak lagi dikerumuni para investor yang ingin menanyakan
tentang proyek jalan kereta api Grand Trunk, harga obligasi Louisiana, dan utang
piutang yang dilakukan pemerintah Amerika.
Di kalangan para mitra sendiri terjadi perdebatan soal posisi Hugh. Paman
Samuel, seperti biasa, tetap mendukung Hugh. Hanya saja ia kalah suara karena
Young William memihak kakaknya, Joseph, begitu pula Mayor Hartshorn.
Jonas Mulberry-lah yang menceritakan pada Hugh tentang perdebatan di ruang para
mitra. "Saya ikut menyesal atas keputusan mereka, Mr. Hugh." Nada suaranya jujur
dan polos. "Ketika dulu menjadi bawahan saya, tidak pernah sekali pun Anda
mengkambinghitamkan kesalahan Anda pada diri saya... tidak seperti yang dilakukan
anggota lain dari keluarga Pilaster."
"Aku tidak akan berani melakukan itu, Mr. Mulberry," jawab Hugh, tersenyum.
Nora menangis selama seminggu. Hugh tidak mau menyalahkan istrinya tentang
insiden malam itu. Bukankah tidak ada seorang pun yang memaksanya untuk
mengawini Nora" Jadi, ia harus bertanggung jawab sepenuhnya, apa pun
konsekuensinya. Jika keluarga besar Pilaster punya sedikit saja kesetiaan,
mereka pasti akan membelanya dalam krisis demikian. Tapi mereka memang tak bisa
diharapkan. Setelah puas menangis, sikap Nora malah berubah menjadi tidak simpatik. Ia tak
bisa memahami artinya menjadi mitra bagi suaminya. Hugh merasa heran bagaimana
seorang istri bisa bersikap begitu. Ia kecewa istrinya tak bisa memahami
perasaannya. Mungkin karena ia dulu berasal dari keluarga miskin dan telah
kehilangan ibu sejak kecil, jadi ia terbiasa untuk egois. Kendati
369 kecewa dengan perangai istrinya, Hugh bisa melupakannya, apalagi pada malam-
malam mereka bercinta. Kekecewaan terhadap bank makin dalam di benak dan sanubari Hugh, tapi ia
terpaksa mempertahankan pekerjaannya, karena sekarang ia punya tanggungan
seorang istri, enam pelayan, dan rumah besar yang baru. Ia tetap memperoleh
ruang kerja sendiri di atas ruang para mitra, dan di dindingnya ia letakkan peta
besar Amerika Utara. Setiap Senin pagi ia membuat ringkasan aktivitas bisnis
minggu lalu di Amerika Utara dan melalui telegram ia mengirimkannya ke Sidney
Madler di New York. Pada Senin kedua setelah insiden di pesta malam itu, di
ruang telegram lantai bawah Hugh bertemu dengan seorang pria berkulit gelap dan
berambut hitam. Usianya sekitar dua puluh satu, dan dari penampilannya, ia jelas
berasal dari suatu negara di Amerika Selatan. Hugh tersenyum dan menyapa, "Halo,
siapa Anda?" "Simon Oliver, "jawab si pria dengan aksen Spanyol.
"Anda pasti baru di sini," kata Hugh sambil mengulurkan tangan. "Saya Hugh
Pilaster." "Apa kabar?" sapa Oliver dengan sopan.
"Saya menangani pinjaman Amerika Utara," kata Hugh. "Kalau Anda?"
"Saya klerk Mr. Edward."
Hugh segera paham. "Anda dari Amerika Selatan?" "Ya, Kordoba."
Masuk akal. Spesialisasi Edward adalah Amerika Selatan, terutama Kordoba,-jadi
bermanfaat jika bisa punya asisten yang berasal dari negara itu, apalagi Edward
tidak bisa berbahasa Spanyol. "Saya dulu satu sekolah dengan Duta besar Kordoba,
Micky Miranda," kata Hugh. "Anda pasti kenal dia."
"Dia sepupu saya."
"Ah." Sebagai keluarga, sebenarnya kurang mirip, tapi Oliver tampak berasal dari
keluarga mampu. Dari 370 sisiran rambutnya yang berminyak licin, pakaiannya s yang rapi dan berkelas,
sampai semiran sepatunya yang mengilap. Tidak diragukan lagi, ia mencoba
mencontoh saudara sepupunya yang sukses. "Oke, saya harap Anda senang bekerja
dengan kami." "Terima kasih."
Hugh mencoba merenungkan hal itu sambil naik ke ruang kerjanya sendiri. Edward
memang membutuhkan banyak bantuan, hanya saja Hugh kurang senang jika saudara
sepupu Micky bekerja pada posisi yang begitu penting di bank.
Beberapa hari kemudian, kekhawatirannya terbukti. Sekali lagi Jonas Mulberry-Iah
yang menceritakan padanya apa yang terjadi di ruang para mitra. Mulberry datang
ke ruang kerja Hugh dengan jadwal pembayaran bank di London untuk kepentingan
pemerintah Amerika Serikat. Tapi itu hanya alasan, karena tujuan utamanya adalah
bicara. Wajahnya yang tirus tampak makin memanjang saat ia bicara. "Saya benar-
benar cemas, Mr. Hugh. Obligasi Amerika Selatan tidak pernah sehat selama ini."
"Tapi kita tidak membeli obligasi pemerintah Amerika Selatan, bukan?"
Mulberry mengangguk. "Mr. Edward yang mengusulkan, dan mitra yang lain setuju."
"Apa persisnya?"
"Proyek jalan kereta api dari ibukota Kordoba, Palma, ke Provinsi Santamaria."
"Yang gubernurnya adalah ayah Micky, Papa Miranda."
"Ya, ayah teman Mr. Edward." "Dan paman Simon Oliver yang sekarang menjadi klerk
Edward." Mulberry menggelengkan kepala dengan gundah. "Saya menjadi klerk pada waktu
obligasi pemerintah Venezuela hancur lima belas tahun yang lalu. Almarhum ayah
saya bisa ingat bagaimana obligasi pemerintah
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Argentina bangkrut pada tahun 1828. Dan lihat saja nasib obligasi pemerintah
Mexico mereka terpaksa mencicil sedikit demi sedikit kewajibannya. Siapa bisa ?menanggung obligasi yang cuma dibayar sesekali?"
Hugh mengangguk. "Selain itu, bukankah para investor bisa memilih proyek jalan
kereta api di Amerika Serikat yang bisa menjamin perolehan sekitar lima sampai
enam persen" Kenapa mesti beli dari Kordoba?"
'Tepat sekali." Hugh menggaruk kepalanya. "Aku akan mencari informasi, apa sebenarnya motif para
mitra?" Mulberry segera mengeluarkan seberkas dokumen. "Mr. Samuel minta dibuatkan
ringkasan utang dari proyek-proyek Timur Jauh. Anda bisa sekalian membawakannya
ke ruang mitra." Hugh menyeringai. "Anda memang sudah memikirkan semuanya." Ia mengambil
berkasnya dan pergi ke ruang mitra di lantai bawah.
Hanya ada Samuel dan Joseph di dalam. Joseph sedang mendiktekan surat-surat pada
juru tulisnya dan Samuel sedang mempelajari peta negara Cina. Hugh meletakkan
laporan Timur Jauh di meja Samuel. "Mulberry minta saya memberikan berkas ini
pada Paman." "Terima kasih." Samuel memandang Hugh sambil tersenyum. "Ada yang ingin
kaukatakan?" "Ya, saya memikirkan kenapa kita mendukung proyek jalan kereta api Santamaria."
Hugh mendengar Joseph berhenti mendiktekan.
Samuel menjawab. "Proyek ini memang tidak terlalu bagus, tapi dengan dukungan
nama besar keluarga Pilaster, semuanya akan berjalan oke."
"Anda memang bisa mengatakan begitu untuk semua proyek yang ditawarkan pada
kita," bantah Hugh. "Alasan utama kenapa kita memiliki reputasi tinggi saat ini,
karena kita tidak pernah menawarkan kepada para investor obligasi yang hanya
akan 'oke' saja." 372 "Menurut pamanmu Joseph, Amerika Selatan mungkin sudah siap melakukan perubahan
positif." Mendengar namanya disebut, Joseph bergabung. "Ya, ini semacam... mencelupkan ujung
kaki ke dalam air untuk merasakan hangatnya temperatur."
"Kalau begitu, masih coba-coba, penuh risiko."
"Kalau kakek buyutku dulu tidak berani mengambil risiko, tidak akan pernah ada
nama Pilasters Bank sekarang."
"Ya, itu benar," jawab Hugh lagi. "Tapi sejak itu Pilasters Bank selalu
membiarkan bank-bank lain yang lebih kecil dan senang berspekulasi untuk
mengambil transaksi berisiko tinggi."
Rupanya Joseph tidak senang dibantah; dengan nada tersinggung ia menukas, "Satu
perkecualian tidak akan menyebabkan kita celaka."
"Tapi kemauan untuk membuat perkecualian seperti inilah yang bisa mencelakakan."
"Kau tidak berhak membuat penilaian."
Dahi Hugh berkerut. Nalurinya tepat: investasi proyek ini sama sekali tidak akan
menguntungkan, dan Joseph berupaya keras untuk tidak memperlihatkan aspek ini.
Jadi, kenapa para mitra yang lain setuju" Benaknya berputar keras, dan tiba-tiba
ia sadar motif pamannya. "Paman melakukan ini demi Edward. Benar, bukan" Paman
ingin mendukung dia yang belum pernah punya proyek sejak menjadi mitra di bank
ini. Jadi. kendati proyek ini akan merugi, Paman tetap mendukungnya."
"Sekali lagi bukan hakmu mempertanyakan motifku!"
"Juga bukan hak Paman untuk membahayakan uang orang lain demi kepentingan anak
Paman. Para investor kecil di Brighton dan Harrogate akan bersedia menanamkan
uang ke dalam proyek ini, dan mereka akan bangkrut jika proyek ini ternyata
gagal total." "Kau bukan mitra, jadi pendapatmu tentang proyek ini tidak diminta."
373 Hugh sangat tidak senang jika orang lain mengalihkan dasar pembicaraan di
tengah-tengah debat penting. Karena itu, ia menukas ketus, "Saya juga seorang
Pilaster, dan bila Paman menghancurkan reputasi bank ini, berarti Paman juga
menghancurkan reputasi saya."
Samuel memotong. "Menurutku kau sudah cukup mengeluarkan pendapatmu, Hugh."
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hugh sadar bahwa ia harus berhenti, tapi emosinya sudah naik tinggi. "Saya
khawatir belum cukup." Suaranya melengking tinggi dan ia mencoba merendahkan
nadanya. "Paman membahayakan reputasi bank dengan mendukung proyek ini. Nama
baik kita adalah harta terbesar yang kita miliki. Mengabaikannya berarti sama
saja dengan membuang modal kita."
Paman Joseph sudah tidak peduli akan sopan santun lagi. "Jangan sekali-kali kamu
berani berdiri di bankku dan menguliahi aku tentang prinsip investasi, kau... kau
anak muda tak tahu diuntung... keluar dari sini!"
Hugh memandang pamannya agak lama. la sangat marah dan kecewa. Si tolol Edward
dijadikan mitra dan sekarang membawa proyek yang akan merugikan, atas dukungan
ayahnya yang tidak punya pendirian mantap dalam bisnis uang. Dan tak ada yang
mampu melakukan apa-apa untuk menolong menyadarkannya.
Dengan frustrasi Hugh berbalik dan meninggalkan ruang mitra, membanting pintu
sekuat tenaga. Sepuluh menit kemudian, ia minta pekerjaan pada Solly Greenbourne.
la tidak tahu pasti apakah keluarga Greenbourne mau menerimanya. Ia memang
merupakan aset yang andal dengan jaringan kontaknya di Amerika Utara serta
Kanada. Tapi para bankir merasa kurang pantas untuk saling membajak manajer
senior dari saingan mereka. Lagi pula ia bukan orang Yahudi, dan bisa saja
374 ia dikhawatirkan membocorkan rahasia bank keluarga Greenbourne pada keluarga
Pilaster. Tapi ia tak punya alternatif lain. Ia harus keluar, karena keluarga Pilaster
sudah tak bisa diharapkan lagi.
Sejak pagi hujan turun, tapi menjelang tengah hari cuaca mulai cerah. Jalanan
kota London dipenuhi aroma kotoran kuda. Di depan gedung bank keluarga
Greenbourne, Hugh mencoba membandingkan arsitektur bangunannya dengan gedung
Pilasters Bank. Gedung di depannya tidak seanggun dan sebesar gedung Pilasters
Bank, kendati dari segi aset dan aktivitas, Pilasters Bank masih di bawah
Greenbourne Bank yang dimulai sejak tiga generasi yang lalu, berawal hanya dari
dua ruangan di sebuah rumah tua di Thames Street. Dalam perkembangannya, jika
butuh ruang kantor lagi, mereka mulai membeli rumah-rumah di kiri-kanannya.
Sekarang mereka menempati empat rumah berjejer dengan tiga rumah lagi di
dekatnya. Aktivitas bisnis di dalamnya jauh lebih banyak daripada di dalam
gedung Pilasters Bank yang megah dan wewah.
Di dalam gedung tidak ada suasana sunyi senyap seperti di dalam gedung Pilasters
Bank. Hugh harus bersusah payah menerobos kerumunan orang dan nasabah di lobi
utama. Mereka percaya bahwa jika bisa bertemu sebentar saja dengan Ben
Greenbourne, mereka akan mampu mewujudkan proyeknya dan akhirnya meraih
keuntungan besar. Karena itu, mereka tidak segan menunggu dan menunggu seperti
layaknya orang yang menunggu raja di abad pertengahan. Di kiri-kanan gang
berjejer kotak-kotak arsip lama, dan di setiap sudut tak peduli sekecil apa ?pun pasti ada para klerk yang duduk dan bekerja. Hugh akhirnya tiba di ruang
?kerja Solly yang besar serta menghadap ke Sungai Thames. Mejanya dipenuhi kertas
dan berkas yang tersusun tinggi, hampir menutupi tabuhnya yang tambun. "Kau
tahu, Pilaster," sapa Solly ramah dan setengah bergurau,"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY rumahku seperti istana, tapi ruang kerjaku seperti sarang tawon. Berulang kali
aku membujuk ayahku untuk membangun gedung yang lebih besar dan anggun seperti
gedung Pilaster, tapi dia menolak, dengan alasan bangunan kantor tidak akan
menghasilkan laba dalam bisnis properti."
Hugh duduk di sebuah sofa kecil dan menerima segelas sherry mahal. Ia merasa tak
nyaman, karena benaknya dipenuhi oleh Maisie. Ia pernah bercinta dengan Maisie
sebelum menjadi nyonya Solly, dan bisa saja ia menggodanya lagi seandainya
diberi peluang. Malam itu, di pesta Kingsbridge Manor, ia pernah mencoba
mengetuk pintu kamar Maisie. Tak ada reaksi sama sekali. Karena itu, ia lalu
menikahi Nora dan ia tidak mau menjadi suami yang tidak setia.
Namun ia tetap merasa canggung.
"Aku datang ke sini untuk membicarakan bisnis."
Solly membuka tangannya lebar-lebar, "Kau datang pada orang yang tepat."
"Seperti kau ketahui, spesialisasiku adalah kawasan Amerika Utara."
"Tidak diragukan lagi. Kau begitu menguasai semuanya di sana, sehingga tidak
menyisakan sedikit pun untuk kami."
"Benar. Sampai kalian kehilangan banyak peluang yang menguntungkan."
"Ya, sampai-sampai ayahku mengatakan kenapa aku tidak punya kemampuan seperti
kau." "Yang kalian butuhkan sebetulnya orang yang ahli dan menguasai kawasan Amerika
Utara, lalu membuka kantor perwakilan di New York, dan semuanya akan berjalan
mulus." "Benar, plus satu keajaiban untuk bisa meraih laba."
"Aku serius, Greenbourne. Karena akulah orang itu."
"Kau!" "Ya. Aku. Tepatnya, aku mau bekerja di bank ini."
376 Solly terenyak kaget. Ia memandang melalui gelas sherry-nya, seakan sedang
memeriksa benarkah yang bicara ini Hugh. Kemudian ia berkata, "Karena insiden di
pesta malam itu, kukira."
"Mereka memutuskan tidak akan menjadikanku mitra, hanya karena perilaku
istriku." Solly pasti akan bersimpati, pikir Hugh, karena ia sendiri menikah
dengan gadis dari kelas bawah.
"Aku ikut prihatin," kata Solly tulus.
"Tapi aku tidak datang minta belas kasihan. Aku tahu harga kemampuanku, karena
itu kalian harus membayar sesuai dengan keahlianku jika kalian memang
menghendaki diriku. Aku memperoleh seribu per tahun sekarang dan kuharap setiap
tahun akan terus meningkat, seiring dengan kontribusiku pada bank."
"Tidak masalah." Solly berpikir sejenak. "Jika ini terlaksana, akan jadi
prestasi tersendiri bagiku pribadi. Aku senang kau datang padaku. Kau teman yang
baik, sekaligus pelaku bisnis yang andal." Mendengar ungkapan Solly "teman yang
baik". Hugh merasa bersalah lagi. "Tak ada hal lain yang lebih kuinginkan,
selain punya teman kerja sepertimu di sisiku."
"Aku masih merasakan ada 'tapi' dalam kalimatmu tadi," kata Hugh sedikit cemas.
Solly menggelengkan kepala dengan pasti. 'Tidak ada tapi, sepanjang itu
menyangkut pendapatku pribadi. Sudah tentu aku tidak bisa mempekerjakanmu
seperti kalau aku mempekerjakan seorang klerk. Untuk kasusmu, aku harus bicara
dengan ayahku dulu. Tapi jangan ragu, kau kan tahu dalam bisnis perbankan tidak
ada pameo lainnya sel
Hugh tidak mau kedengaran terlalu bersemangat, tapi ia tak tahan untuk tidak
bertanya, "Kapan kau akan bicara dengan ayahmu?"
377 "Kenapa tidak sekarang juga?" jawab Solly mantap. Ia berdiri, "Cobalah lagi
sherry-nya." Ia keluar kamar.
Hugh meminum sherry-nya, tapi lehernya serasa tersumbat. Sukar untuk menelan. Ia
begitu tegang. Ia belum pernah melamar pekerjaan. Betul-betul menegangkan
memikirkan nasibnya sangat tergantung pada keputusan Ben Greenbourne. Untuk
pertama kalinya ia tahu bagaimana perasaan para anak muda yang pernah
diwawancarainya untuk menjadi klerk di Pilasters Bank. Ia terlalu gelisah untuk
duduk terus. Ia berdiri dekat jendela, memandang tepi sungai yang dipenuhi
kesibukan bongkar-muat tembakau: jika semua itu tembakau Virginia, kemungkinan
besar dialah yang menangani pembiayaan transaksinya.
Kegalauannya serasa seperti sewaktu pertama kali ia pergi ke Boston enam tahun
yang lalu; ada perasaan bahwa semuanya akan berubah total.
Solly datang, kali ini bersama ayahnya. Ben Greenbourne bertubuh tegap dan
wajahnya seperti seorang jendral Prussia. Hugh menyambutnya dengan mengulurkan
tangan sambil mengamati wajahnya. Tetap dingin dan acuh. Apakah itu berarti
"tidak?" Ben berkata, "Solly mengatakan keluargamu memutuskan untuk tidak menawarkan
kemitraan padamu." Nada suaranya hambar dengan aksen tajam. Ia begitu berbeda
dibanding anaknya pikir Hugh.
"Sebenarnya mereka menawarkan, lalu membatalkan," jawab Hugh.
Ben mengangguk. Ia orang yang sangat menghargai ketepatan. "Aku tidak berhak
mengritik penilaian mereka. Tapi, jika keahlian Amerika Ufara-mu ditawarkan, aku
bersedia membelinya."
Hati Hugh berdebar keras. Itu sudah merupakan tawaran kerja baginya. "Terima
kasih," katanya. "Tapi sebelumnya perlu kutegaskan, untuk tidak mem -
378 berimu gambaran semu. Kau tidak akan pernah bisa menjadi mitra di bank ini."
Hugh sudah memperkirakan soal ini sebelumnya. "Aku tahu," jawabnya mantap.
"Ini perlu kutekankan sejak dini, agar kau tidak menaruh harapan untuk menjadi
mitra. Mitra bank ini hanya orang Yahudi, dan prinsip ini akan berlaku
seterusnya. "Kuhargai keterusterangan Anda," jawab Hugh. Tapi pikirnya: Ya Tuhan, kau benar-
benar sekeras batu karang.
"Kau masih menginginkan pekerjaan itu?" "Ya, pasti."
Ben Greenbourne menyalaminya lagi. "Kalau begitu, aku menantikan bekerja
bersamamu," tukasnya pendek, lalu meninggalkan ruangan.
Solly tersenyum lebar. "Selamat datang."
Hugh duduk kembali. "Terima kasih." Hatinya sekarang tenang dan lega tapi
bercampur sedih karena tahu ia tidak akan pernah menjadi mitra. Hidupnya memang
akan terjamin, tapi ia tidak akan pernah menjadi mil-yader, karena untuk
mendapatkan uang sebanyak itu, ia harus menjadi mitra.
"Kapan kau bisa mulai?" tanya Solly tak sabar.
Hugh belum memikirkan hal ini. "Mungkin sekitar tiga bulan lagi. Persyaratan
bank." "Cobalah lebih cepat dari itu, kalau bisa."
"Tentu. Solly, terima kasih atas semuanya. Tak bisa kukatakan betapa senangnya
aku bisa bergabung di bank keluargamu."
"Ya, begitu juga aku."
Rasanya tak ada lagi yang perlu dikatakan, maka Hugh bangkit dari kursi untuk
pamit, tapi Solly berkata cepat, "Boleh aku memberimu sedikit saran?"
"Sudah tentu." Ia duduk kembali.
"Ini soal Nora. Kuharap kau tidak tersinggung."
Hugh ragu. Mereka memang teman lama, tapi untuk membicarakan soal istrinya
dengan Solly, ia kurang senang. Ia masih merasa malu dengan insiden malam itu,
tapi ia membenarkan reaksi istrinya terhadap si tua bangka. la memang kadang
kurang bahagia dengan asal-usul isterinya yang dari kelas bawah, aksennya yang
kampungan, dan tingkah lakunya, tapi ia bangga dengan kecantikan dan pesona
istrinya. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Tapi ia tidak mau membuat kecewa sahabatnya yang baru saja membukakan karier
masa depannya. "Ya, katakan saja."
"Seperti kau ketahui, aku juga menikah dengan gadis yang... tidak biasa hidup di
kalangan atas." Hugh mengangguk, la tahu pasti soal ini, hanya ia tidak tahu bagaimana Solly dan
Maisie bisa mengatasi kesenjangan kelas dan latar belakang keluarga mereka.
Mereka pasti telah menangani hal ini dengan baik, karena sekarang Maisie bisa
menjadi salah satu nyonya rumah kalangan atas yang populer di London, dan
seandainya ada yang tahu atau ingat latar belakang kelas bawahnya, mereka tidak
pernah menyinggung atau mengungkapkannya. Memang agak luar biasa, namun tidak
unik. Hugh pernah mendengar kasus serupa yang terjadi pada beberapa wanita macam
Maisie. Solly meneruskan, "Maisie tahu apa yang dialami Nora. Dia bisa membantu:
memberitahukan apa yang harus dilakukan dan katakan, kesalahan apa yang harus
dihindari, di mana bisa membeli busana dan topi yang sesuai, bagaimana mengelola
para kepala rumah tangga dan pelayan, segala tetek bengek semacam itulah. Kau
tahu Maisie menyukaimu, Hugh. Jadi, kupikir dia tidak akan keberatan jika
kuminta membantu Nora. Aku yakin Nora bisa berhasil seperti Maise dan kelak
menjadi sosok panutan dalam masyarakat."
Hugh serasa ingin menangis. Tawaran tulus dari sahabatnya membuat hatinya
tersentuh. "Akan kusarankan
380 pada Nora," jawabnya, sambil mencoba menyembunyikan perasaannya, la berdiri
untuk pamit. "Kuharap aku tidak terlalu jauh mencampuri urusan rumah tanggamu," kata Solly
penuh harap sambil menyalam tangan sahabatnya.
Hugh melangkah ke pintu keluar, "Sebaliknya, Solly. Kau benar-benar sahabat yang
baik." Ketika Hugh tiba kembali di kantornya, ia melihat selembar pesan bagi dirinya.
Isinya: 10.30 siang. Pilaster yang baik,
Aku harus menemuimu secepatnya. Kau bisa menemui aku di Kedai Kopi Plage di
sudut jalan. Akan kutunggu kedatanganmu. Dari teman lamamu?Antonio Silva.
Jadi, Tonio kembali ke London! Kariernya telah hancur sejak peristiwa ia kalah
judi dengan Edward serta Micky dan tak mampu membayarnya. Sejak itu ia
meninggalkan Inggris, sekitar enam tahun yang lalu, bersamaan dengan saat Hugh
pergi ke Boston. Apa yang terjadi sejak itu" Dipenuhi.rasa ingin tahu, Hugh
segera pergi ke kedai kopi.
Di sana ia menemui Tonio yang lebih tua, lebih kurus, dan berwajah letih sedang
membaca koran The Times. Rambutnya masih kemerahan seperti wortel, hanya itu
yang tidak berubah. Wajah dan penampilannya enam tahun yang lalu telah tak
bersisa, malah terlihat ada lingkaran kelelahan di sekitar matanya, kendati
usianya baru sekitar dua puluh enam tahun, sebaya dengan Hugh.
"Ya, aku beruntung karena berhasil di Boston," jawab Hugh ketika ditanya oleh
Tonio mengenai dirinya. "Aku kembali ke sini Januari lalu, tapi sekarang aku
sedang 381 menghadapi masalah dengan keluarga besarku. Bagaimana dengan kau sendiri?"
"Banyak sekali perubahan yang terjadi di negaraku. Keluargaku sudah banyak
kehilangan pengaruh di sana. Kami memang masih mengendalikan provinsi asal
keluargaku, Milpita, tapi di ibukota ada keluarga lain yang menghalangi hubungan
kami dengan Presiden Gracia."
"Siapa?" "Keluarga Miranda." "Oh, keluarga Micky?"
"Tepat sekali. Mereka mengambil alih tambang nitrat di utara negeri dan ini
membuat mereka kaya sekali. Mereka juga memonopoli perdagangan dengan Eropa
?berkat koneksi mereka dengan bank keluarga kalian."
Hugh terkejut. "Aku tahu Edward memang banyak melakukan perdagangan dengan
Kordoba, tapi aku tidak tahu Micky yang menjadi perantaranya. Tapi tentunya ini
tidak menjadi masalah."
"Oh, keliru. Ada masalah," sambar Tonio cepat. Ia mengambil setumpuk kertas dari
dalam mantelnya. "Coba baca ini. Artikel yang kutulis untuk koran The Times."
Hugh mengambil naskah itu dan mulai membacanya. Isinya sebuah gambaran di
tambang nitrat yang dimiliki oleh keluarga Miranda. Gambaran yang sangat
negatif, terutama dalam segi perlakuan tidak manusiawi terhadap pekerja tambang,
dan karena tambang ini dibiayai oleh Pilasters Bank, Tonio menyebutkan bahwa
semua yang terjadi di sini adalah tanggung jawab Pilasters Bank. Mulanya Hugh
tidak terpengaruh. Jam kerja panjang, upah sangat rendah, dan pekerja di bawah
umur itu gambaran biasa untuk pertambangan di seluruh dunia. Tapi jantungnya
?serasa berhenti ketika ia membaca bahwa para mandor tambang memakai cambuk dan
senjata untuk menegakkan disiplin pekerja. Wanita, anak-anak,
382 dan pria dewasa dicambuk dan ditembak jika mereka mencoba lari sebelum masa
kontrak selesai. Tonio mewawancarai banyak saksi hidup untuk mendukung artikel
ini. "Tapi ini sama saja dengan pembunuhan," komentar Hugh.
"Ya, tepat sekali."
"Apakah presiden kalian tidak tahu hal ini?" "Dia tahu. Tapi keluarga Miranda
adalah favoritnya sekarang."
"Dan keluargamu sendiri..."
"Dulu kami bisa saja menghentikan ini. Tapi sekarang, untuk tetap bertahan di
provinsi kami sendiri saja sudah habis-habisan."
Hugh sangat sedih menyadari bank keluarganya ikut andil dalam perlakuan brutal
kepada para pekerja tambang. Tapi akal sehatnya segera kembali. Ia memikirkan
akibat dari artikel ini bagi citra Pilasters Bank. Koran The Times pasti senang
sekali memuat artikel Tonio. Lalu akan disusul dengan debat di Parlemen dan
surat-surat pembaca yang bernada negatif. Para pelaku bisnis yang sebagian besar
anggota gereja Methodist akan ragu berhubungan dengan Pilasters Bank. Bank akan
menderita kesulitan.
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apa peduliku" pikir Hugh. Bukankah mereka sudah memperlakukan dia dengan
seenaknya" Tapi ia masih bekerja di situ saat ini dan sudah kewajibannya mencoba
membahas masalah ini dengan para mitra. Ia masih harus menunjukkan kesetiaan,
setidaknya sampai gaji terakhir ia terima. Jelas ia harus melakukan sesuatu.
Apa yang dikehendaki Tonio" Pasti ia menginginkan sesuatu, kalau tidak mengapa
ia repot-repot menunjukkan artikel karangannya sebelum dikirimkan ke The Times"
"Apa sasaranmu?" tanya Hugh. "Kau mau kami menghentikan pembiayaan tambang
nitrat itu?" Tonio menggeleng. "Jika keluarga Pilaster menghenti-
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY kan bank, pihak lain akan segera menggantikannya. Kita perlu lebih halus lagi
dari itu." "Kau punya rencana lain?"
"Keluarga Miranda merencanakan membangun jalan kereta api."
"Ah, ya. Jalan kereta api Santamaria."
"Jalan kereta api itu akan membuat keluarga Miranda menjadi keluarga terkaya di
Kordoba. Juga yang paling berkuasa, kecuali tentunya keluarga Presiden. Dan
dengan kekuatan seperti itu, Papa Miranda akan makin ganas. Aku mau rencana
pembiayaan kereta api dihentikan."
"Itulah sebabnya kau mau mengirim artikel ini."
"Beberapa artikel... tidak hanya ini. Juga akan kuadakan acara tanya-jawab dengan
wartawan, berbicara di pelbagai kesempatan, acara dengar-pendapat di Parlemen,
dan menemui Menteri Luar Negeri Inggris segala tindakan, asalkan bisa ?menghentikan proyek jalan kereta api ini."
Ya, kemungkinan bisa berhasil, pikir Hugh. Para investor akan mundur karena
tidak mau terlibat dengan proyek yang menghebohkan. Heran, Tonio yang dulu, yang
senang hura-hura sampai habis-habisan dalam judi satu malam, bisa berubah
menjadi pembela para pekerja tambang. "Lalu, kenapa kau datang padaku?"
"Kita harus potong kompas di awal proses. Jika bank tidak bersedia menanggung
obligasi jalan kereta api itu, aku tidak akan menerbitkan artikelnya. Dengan
begitu, kalian terhindar dari skandal nasional dan aku mencapai tujuanku ke
sini." Di wajahnya tersungging senyum malu-malu. "Kuharap kau tidak menganggap
aku pemeras. Rencanaku memang terdengar agak kasar, tapi tidak sekasar perlakuan
mereka atas para pekerja tambang nitrat."
Hugh menggeleng. "Tidak, tidak kasar sama sekali. Kuhargai semangat pembelaanmu.
Lagi pula, apa pun akibatnya, rencanamu terhadap bank Pilaster tidak akan
384 menyentuh kepentingan pribadiku, karena aku akan mengundurkan diri dari sana."
"O ya!" tanya Tonio kaget. "Kenapa?"
"Ceritanya panjang. Akan kuceritakan lain waktu. Nah, mengenai kasusmu, aku
hanya bisa menceritakannya pada para mitra. Merekalah yang akan memutuskan, dan
aku yakin mereka tidak akan menanyakan pendapatku sama sekali." Sambil tetap
memegang naskah artikel, ia bertanya, "Boleh kubawa ini?"
"Ya, tentu. Aku sudah membuat salinannya."
Di kertas artikel tersebut tertera nama Hotel Russe, Berwick Street, Soho. Hugh
belum pernah mendengar nama hotel ini; bukan salah satu hotel elite London.
"Akan segera kuberitahukan pendapat para mitra."
"Terima kasih." Tonio mengganti topik pembicaraan. "Maaf, sejak tadi kita hanya
bicara bisnis. Mari kita cerita-cerita tentang masa sekolah kita dulu."
"Kau mesti bertemu istriku."
"Ya, tentu." "Akan kukabari segera." Hugh meninggalkan kedai kopi dan berjalan kembali ke
bank. Ketika melihat jam besar di lobi bank, ia agak heran. Belum pukul satu
siang: begitu banyak yang dialaminya dalam setengah hari ini. Ia langsung pergi
ke ruang para mitra di lantai atas. Di sana ia melihat Samuel, Joseph, dan
Edward. Ia memberikan artikel Tonio pada Samuel, yang segera membacanya, lalu
memberikannya pada Edward.
Belum selesai membaca seluruh isinya, Edward sudah meledak emosional. Sambil
menunjuk ke arah Hugh, ia berteriak. "Kau... pasti bekerja sama dengan teman
lamamu itu! Kau berusaha merendahkan pentingnya bisnisku di Amerika Selatan! Kau
sebenarnya hanya iri karena tidak menjadi mitra!"
Hugh bisa memahami kenapa Edward begitu histeris. Bisnis Amerika Selatan memang
satu-satunya sumbangan Edward pada bank. Jika sampai gagal, berarti Edward
385 tidak berguna sebagai mitra. Hugh mendesis pelan. "Sejak dulu kau selalu keras
kepala. Sampai sekarang pun demikian. Masalahnya sekarang, apakah bank mau
dianggap bertanggung jawab dengan meningkatkan kekuatan Papa Miranda yang begitu
kejam telah membunuh anak-anak dan wanita di tambang nitratnya."
"Aku tetap tidak mempercayai ini!" jawab Edward. "Keluarga Silva dari dulu musuh
keluarga Miranda. Artikel ini hanya propaganda licik belaka."
"Ya, pasti itulah yang akan dikatakan sahabatmu Micky. Masalahnya, apakah ini
memang benar propaganda belaka?"
Paman Joseph memandang curiga ke arah Hugh. "Kau baru saja ke sini beberapa jam
yang lalu, dan mencoba menggagalkan proyek ini. Tiba-tiba ada artikel ini. Aku
curiga, jangan-jangan kau memang merencanakan sesuatu untuk menggagalkan proyek
besar pertama dari Edward."
Hugh berdiri. "Jika Paman mencurigai niat saya, baiklah... saya akan pergi
sekarang juga." Paman Samuel mencegah. "Duduk, Hugh," katanya. "Kita tidak perlu mencari
kebenaran berita ini. Kita ini bankir, bukan hakim. Yang penting, proyek jalan
kereta api Santamaria akan menjadi isu kontroversial, dan penerbitan obligasinya
akan penuh risiko. Ini berarti kita harus mempertimbangkan ulang proyek ini."
Paman Joseph menjadi agresif. "Aku tidak sudi diteror. Biarkan saja artikel yang
ditulis orang Amerika Selatan sialan ini diterbitkan... peduli setan."
"Ya, itu salah satu cara," sela Samuel dengan tenang. "Kita bisa menunggu dan
melihat akibat dari artikel ini, khususnya terhadap harga saham yang sudah ada
dari beberapa proyek Amerika Selatan: tidak banyak, tapi bisa dijadikan
barometer. Jika sampai terus-menerus turun, kita akan tunda proyek jalan kereta
api, jika tidak, proyek kita teruskan."
386 Joseph, agak tidak enak hati, berkata, "Ya, sebaiknya begitu. Aku setuju dengan
mekanisme pasar." "Ada pilihan lain yang perlu kita pertimbangkan," lanjut Samuel. "Kita bisa
mengajak bank lain untuk bergabung dengan kita dalam pembiayaan proyek jalan
kereta api ini. Obligasinya kita terbitkan bersama, sehingga jika ada serangan
publik, sasaran mereka akan terbagi dua."
Ya, kedengarannya masuk akal, pikir Hugh, sekalipun bukan itu yang ia inginkan.
Secara pribadi, ia ingin proyek ini dibatalkan saja. Tapi strategi yang
diusulkan Samuel tadi memang akan mengurangi risiko, dan bukankah ini memang
prinsip utama bisnis perbankan" Samuel memang bankir yang lebih andal daripada
Joseph. "Baiklah," sambut Joseph agak emosional, seperti biasa. "Edward, cari segera
siapa yang bisa kita ajak menjadi mitra proyek ini."
"Siapa yang harus kudekati?" tanya Edward bersemangat. Hugh tahu sepupunya sama
sekali tidak punya pengalaman dalam hal ini.
Samuel yang menjawab, "Ini akan melibatkan uang dalam jumlah besar. Tidak akan
banyak bank yang mau ikut di dalamnya, apalagi menyangkut negara Amerika
Selatan. Sebaiknya kau pergi ke bank keluarga Greenbourne; mereka mungkin mau
mempertimbangkannya. Kau kenal Solly Greenbourne, kan?"
"Ya, aku kenal dia."
Hugh berpikir apakah sebaiknya ia memberitahu Solly agar menolak ajakan Edward,
tapi ia segera memandangnya dari sisi lain: ia dipekerjakan sebagai profesional
dalam bisnis di Amerika Utara, dan efeknya akan merugikan dirinya jika ia ikut
campur dalam bisnis di kawasan Amerika Selatan. Jangan-jangan ia akan dianggap
sok tahu. Ia memutuskan akan mencoba sekali lagi membujuk Paman Joseph agar
membatalkan proyek ini. "Kenapa kita tidak mundur saja dari proyek jalan kereta api Santamaria ini"
Kadar bisnisnya rendah sekali dan risikonya sangat tinggi, dan kita terancam
akan dipublikasikan secara negatif. Apakah sebaiknya tidak kita tinjau ulang
secara lebih serius?"
Edward menyambar cepat, "Para mitra sudah memutuskan, dan bukan hakmu
mempertanyakannya kembali."
Hugh menyerah, "Ya, kau benar. Aku bukan mitra, dan sebentar lagi juga bukan
karyawan di bank ini."
Paman Joseph mengernyit, "Apa maksudmu?"
"Saya mengundurkan diri dari bank ini."
Joseph tersentak kaget, "Kau tidak boleh melakukannya!"
"Kenapa tidak" Saya hanya dianggap pegawai biasa, jadi sudah sewajarnya jika
saya mencari pekerjaan yang lebih baik."
"Di mana?" "Sejujurnya, saya akan bekerja di bank keluarga Greenbourne."
Kedua bola mata Paman Joseph serasa akan meloncat keluar. "Tapi hanya kau yang
tahu bisnis di Amerika Utara!"
"Justru karena itulah Ben Greebourne begitu bersemangat untuk mempekerjakan saya
sesegera mungkin," jawab Hugh tenang. Ia senang melihat pamannya begitu panik.
"Tapi itu berarti kau akan membawa jaringan bisnis di sana bersamamu?"
"Seharusnya Paman sudah memikirkannya ketika Paman membatalkan dukungan atas
kemitraan saya di sini."
"Berapa mereka akan membayarmu?"
Hugh berdiri, siap-siap pergi, "Itu bukan urusan Paman," jawabnya tegas.
Edward berseru marah, "Beraninya kau bicara seperti itu pada ayahku!"
Joseph menahan emosinya dengan susah payah, tapi
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY herannya ia bisa menjawab dengan tenang. "Diam, Edward. Untuk menjadi bankir
andal, perlu kelicikan tertentu. Kadang-kadang aku ingin kau bisa seperti Hugh.
Dia memang kambing hitam dalam keluarga, tapi paling tidak dia punya indra
bisnis yang tajam." Lalu ia berpaling ke arah Hugh, "Baiklah. Silakan keluar.
Mudah-mudahan kau berhasil, tapi aku tidak yakin."
"Sudah kuduga, hanya ucapan itu yang akan kudapatkan dari keluarga ini," jawab
Hugh. "Selamat siang."
[IV] " I "\AN bagaimana kabar Rachel?" tanya Augusta
_l_-/pada Micky sambil menuang tehnya.
"Dia baik-baik saja," jawab Micky. "Nanti dia menyusul kemari."
Kenyataannya ia tetap tak bisa memahami istrinya. Pada waktu menikah. Rachel
masih suci, tapi setelah menikah sikapnya seperti pelacur. Ia bersedia bercinta
di mana saja, kapan saja, dan selalu dengan antusias. Micky pernah membuat
percobaan dengan mengikat kedua tangan istrinya ke tiang ranjang, tapi ternyata
istrinya bisa menikmatinya. Sampai sekarang belum ada tindakannya yang bisa
membuat istrinya menolak hasratnya. Pernah mereka melakukannya di ruang duduk,
dengan risiko dilihat pelayan, tapi Rachel malah kelihatan senang.
Tapi dalam aspek-aspek lainnya, Rachel tak pernah mau mengalah. Ia selalu
mendebat Micky tentang rumah, pembantu, uang, politik, bahkan agama. Kalau sudah
bosan meladeninya, Micky mencoba mengabaikan dan bahkan menghinanya, tapi tidak
ada perubahan. Rachel 389 tetap menganggap persamaan hak antara wanita dan pria di atas segalanya.
"Kuharap dia bisa membantu pekerjaanmu," kata Augusta.
Micky mengangguk. "Ya, dia sangat membantu sebagai istri Duta Besar... anggun dan
ramah, penuh perhatian."
"Ya, kulihat dia sangat berfungsi ketika kalian menyelenggarakan pesta bagi Duta
Besar Portillo," kata Augusta. Duta Besar Portillo adalah duta negara Portugis
di London. Augusta dan Joseph diundang ketika Micky menyelenggarakan makan malam
baginya. "Dia punya rencana konyol... membuka rumah sakit khusus bagi wanita tanpa suami,"
kata Micky dengan kesal. Augusta menggeleng tak setuju. "Tidak pantas bagi wanita dengan posisi seperti
dia. Selain itu, di sini sudah ada satu-dua rumah sakit semacam itu."
"Katanya rumah penampungannya tidak akan melakukan khotbah seperti penampungan-
penampungan yang sudah ada."
"Lebih celaka lagi. Coba pikirkan, bagaimana tanggapan para wartawan."
"Tepat sekali. Aku menentang niatnya itu dengan keras dan tegas."
"Dia beruntung punya suami seperti kau," goda Augusta dengan senyum genit.
Micky sadar Augusta sedang menggodanya, tapi kali ini ia tidak membalasnya.
Selama ini ia terlalu terlibat dengan istrinya, padahal ia tidak mencintai
Rachel. Tapi Rachel menyerap habis seluruh energinya. "Ah, kau menggodaku,"
jawabnya lembut sambil memegang erat tangan Agusta ketika ia menyerahkan cangkir
teh padanya. "Tentu saja, tapi aku merasakan ada yang kaurisaukan."
390 "Yang terhormat Mrs. Pilaster, selalu penuh perhatian, seperti biasa. Bagaimana
aku bisa menyembunyikan sesuatu darimu" Memang benar, aku sedang tegang
menantikan proyek jalan kereta api Santamaria."
"Kukira para mitra sudah setuju."
"Memang, tapi masih butuh waktu lama untuk mewujudkannya."
"Dunia keuangan memang selalu lambat jalannya."
"Aku bisa mengerti, tapi ayahku tidak bisa. Setiap minggu dia mengirim telegram
dua kali. Kukutuk hari tersambungnya kabel telegram di Santamaria."
Edward tiba-tiba masuk dan berkata geram, "Antonio Silva datang lagi di London."
Augusta jadi pucat. "Bagaimana kau tahu?"
"Hugh menemuinya."
"Benar-benar sial," tukas Augusta gemas. Micky heran melihat tangan Augusta
gemetar ketika meletakkan cangkir tehnya.
"Dan David Middleton masih penasaran, ke sana kemari menanyakan kasus almarhum
adiknya," komentar Micky, karena teringat kejadian di pesta malam itu, ketika
David berbicara serius dengan Hugh Pilaster. Ia pura-pura khawatir, padahal
dalam hati ia senang karena ia tetap punya senjata untuk menguasai Edward dan
ibunya. "Bukan hanya itu," tukas Edward. "Dia mencoba melakukan sabotase atas proyek
jalan kereta api kita."
Micky mengernyitkan dahi. Keluarga Tonio memang menentang proyek itu, tapi
mereka sudah dibungkam oleh Presiden Gracia. Apa lagi yang bisa dilakukan Tonio
di London ini" Pertanyaan yang sama juga ada di benak Augusta. "Apa yang bisa dia lakukan di
sini?" Edward menyorongkan berkas artikel ke tangan ibunya. "Bacalah ini."
"Apa itu?" tanya Micky.
391 "Artikel yang akan dikirim Tonio ke koran The Times. Isinya tentang tambang
nitrat keluargamu." Augusta membaca inti artikel dengan cepat. "Dia menulis bahwa kehidupan para
pekerja tambang nitrat sangat tidak menusiawi dan membahayakan nyawa." Lalu
dengan sinis ia bertanya, "Memangnya apa yang mereka harapkan?"
Edward menimpali, "Dia juga menulis bahwa para wanita dan anak-anak ditembak dan
disiksa jika tidak menuruti perintah para mandor."
"Tapi apa hubungannya dengan obligasi?" tanya Augusta.
"Jalan kereta api itu akan digunakan untuk mengangkut nitrat ke ibukota, dan
para investor tidak akan menanamkan uangnya di proyek yang menjadi bahan
perdebatan nasional. Banyak dari mereka yang sebenarnya sudah ragu melakukan
investasi di obligasi pemerintah Amerika Selatan. Dengan adanya ribut-ribut di
koran, mereka akan ketakutan dan membatalkan semua investasinya."
Micky sangat khawatir. Ini sungguh mencemaskan. Ia bertanya pada Edward, "Apa
pendapat ayahmu soal ini?"
"Kita akan mencoba mencari bank lain untuk ikut mendukung proyek ini, tapi soal
artikel... kita akan membiarkan Tonio mengirimkannya ke koran dan melihat reaksi
publik nanti. Jika berdampak jelek pada saham Amerika Selatan, terpaksa kita
akan membatalkan dukungan atas proyek jelan kereta api ini."
Tonio sialan. Ternyata dia punya otak juga dan Papa begitu bodoh, memperlakukan?para pekerjanya seperti tawanan kerja paksa, sekaligus mengharapkan meminjam
uang dari dunia beradab seperti Inggris.
Ia harus melakukan sesuatu secepatnya. Benaknya berputar. Jelas Tonio harus
dibungkam, sebab ia tidak akan mau dibujuk atau disogok dengan uang. Bulu
392 kuduknya meremang ketika ia menemukan jalan tercepat untuk membungkan Tonio.
Tapi ia pura-pura tenang. "Boleh kulihat artikelnya?" katanya.
Augusta memberikannya. Yang pertama ia perhatikan adalah nama dan alamat hotel di kertas artikel. Lalu
dengan pura-pura keheranan ia berkata, "Kuras ini tidak akan menimbulkan masalah
besar." Edward memprotes. "Tapi kau kan belum membaca seluruh isinya?"
"Tidak perlu, yang penting aku sudah melihat tempat dan alamat Tonio."
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lalu apa?" "Aku akan mencoba bicara dan menyelesaikannya," jawab Micky tenang." Serahkan
saja padaku. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY BAB TIGA Mei m SOLLY gemar memperhatikan Maisie berpakaian. Setiap sore Maisie akan mengenakan
mantel kamarnya, lalu memanggil pelayan wanita untuk membantu menata rambutnya
dengan sisipan bunga atau hiasan kecil lainnya; lalu ia akan menunggu suaminya.
Malam ini mereka merencanakan untuk keluar, seperti biasanya acara rutin mereka
berdua. Mereka tinggal di rumah hanya jika sedang menyelenggarakan pesta. Antara
waktu Paskah dan akhir Juli, mereka hampir selalu keluar menghadiri acara pesta
atau makan malam. Solly datang pada jam 18.30, mengenakan setelan, dan membawa segelas besar
sampanye. Malam ini rambut Maisie dihiasi bunga kuning dari sutra. Di depan
suaminya ia melepaskan mantel kamarnya, lalu berdiri telanjang di depan kaca
besar. Ia berputar satu kali di hadapan Solly, lalu mulai berdandan.
Pertama, ia mengenakan pakaian dalam bersulam bunga-bunga di sekeliling leher.
Di bagian bahu ada tali sutranya guna pengikat ke gaun luar, agar tidak
terlihat. Lalu ia mengenakan stocking putih halus dan garter untuk penahan.
Kemudian ia memakai celana katun longgar sebatas lutut, dan akhirnya memakai
sandal sutra berwarna kuning.
394 Solly mengambilkan korset dari kerangkanya dan membantu istrinya mengenakannya
sambil merapikan tali-temalinya. Kebanyakan wanita akan dibantu satu atau dua
pembantu jika berdandan, karena mustahil mereka mengenakan korset dan gaun
malamnya sendirian. Tapi Solly telah mempelajari cara mengikat korset wanita,
agar bisa menikmati sewaktu istrinya berdandan.
Model gaun kaku dan mekar sudah lama menghilang, tapi Maisie mengenakan gaun
dalam dari katun dengan bagian bawah mengembang dan tepinya berwiru-wiru. Solly
membantu mengikatkan pita di bagian belakang gaun dalam istrinya.
Sekarang Maise siap memakai gaun malamnya yang terbuat dari sutra kuning
bergaris-garis putih. Bagian dadanya berbelah rendah, sehingga menonjolkan
payudaranya, dan bagian bawahnya melembung lebar. Lipatan bawahnya berteras-
teras dan tersetrika rapi. Pelayan wanitanya butuh waktu seharian untuk
menghaluskan bagian ini. Maisie duduk di lantai dan Solly memasukkan gaun dari atas dengan hati-hati.
Lalu Maisie berdiri dengan hati-hati pula, sambil memasukkan kedua lengan dan
kepalanya. Setelah selesai, ia dan Solly mematut diri di depan kaca sambil
merapikan lipatan-lipatan gaunnya.
Maisie membuka kotak perhiasan, mengambil kalung berlian dan zamrud serta
anting-anting yang diberikan suaminya sebagai hadiah ulang tahun pertama
pernikahan mereka. Sambil lalu suaminya berkata, "Mulai sekarang, kita akan
sering bertemu dengan teman kita, Hugh Pilaster."
Maisie terperanjat. Kepolosan suaminya kadang membuatnya kaget dan galau. Suami
yang normal pasti akan curiga melihat hubungan istrinya dengan Hugh. Tapi lain
dengan Solly. Ia terlalu polos, sehingga tidak sadar akan godaan yang dirasakan
istrinya. "Memang kenapa?" tanya Maisie dengan nada senetral mungkin.
"Oh, dia akan bekerja di bank kita."
Kedengarannya tidak terlalu buruk. Semula ia khawatir Solly telah mengundang
Hugh tinggal di rumah mereka. "Kenapa dia keluar dari Pilasters Bank" Kukira dia
punya prestasi bagus di sana."
"Mereka menolaknya menjadi mitra bank."
"Oh, tidak!" Ia kenal Hugh melebihi siapa pun; ia tahu betapa menderitanya Hugh
sewaktu ayahnya bangkrut, lalu bunuh diri. Ia bisa merasakan betapa hancurnya
hati Hugh dengan penolakan itu. "Keluarga Pilaster memang tak punya nurani
kekeluargaan," komentarnya nada getir.
"Semuanya disebabkan oleh istri Hugh sendiri."
Maisie mengangguk. "Aku tidak heran." Ia menyaksikan insiden malam itu. Ia tahu
bahwa entah bagaimana, pasti Augusta punya andil dalam skandal di pesta malam
itu, sebagai bagian dari rencananya menjatuhkan Hugh.
"Kau seharusnya simpati pada Nora."
"Mmmm." Maisie pernah bertemu Nora, beberapa minggu sebelum pernikahan mereka,
dan secara naluriah, langsung tidak menyukainya. Bahkan ia dengan terus terang
memberitahu Hugh bahwa Nora adalah pemburu harta dan sebaiknya Hugh mengurungkan
niatnya menikahi wanita itu.
"Dan kusarankan pada Hugh agar kau membantu Nora."
"Apa?" kata Maisie tajam. Ia memalingkan wajahnya dari kaca. "Membantu dia?"
"Meningkatkan citra dirinya. Kau tahu sendiri bagaimana rasanya dipandang rendah
dalam pergaulan hanya karena beda latar belakang sosial. Kau berhasil
menanggulangi semua ini."
"Dan sekarang kau mengharapkan aku menolong setiap wanita kelas bawah yang
kebetulan menikah dengan pria kelas atas?" tukas Maisie ketus.
"Oh. maaf. Kalau begitu aku salah," jawab Solly
396 dengan nada menyesal. "Kukira kau akan senang membantu Nora, karena" kulihat kau
simpati pada Hugh selama ini."
Maisie mengambil sarung tangan dari lemari sambil berkomentar, "Kuharap kau
berkonsultasi dulu denganku sebelum melakukan hal itu." Di depannya, di balik
pintu lemari, masih tergantung poster peninggalan zaman ia masih bermain di
sirkus. "Maisie yang Mengagumkan". Tiba-tiba ia merasa malu pada dirinya
sendiri. Ia menghambur ke tubuh Solly sambil mengisak. "Oh, Solly, betapa tidak
tahu berterima kasihnya aku padamu...."
"Sudah... sudah," hibur suaminya, mengusap bahunya yang masih terbuka.
"Selama ini kau begitu baik dan murah hati padaku dan keluargaku. Sudah tentu
aku akan melakukan permintaanmu."
"Aku tidak mau kau melakukan ini karena terpaksa."
"Tidak... tidak sama sekali, kau tidak memaksaku. Kenapa aku tidak mau menolong
dia memperoleh apa yang t^lah kuperoleh?"
Ia memperhatikan wajah suaminya yang bulat lucu dan dihiasi gurat-gurat
kecemasan. Diusapnya pipi Solly. "Jangan cemas, Sayang... tadi aku memang agak
egois, tapi sekarang tidak lagi. Ayolah, kenakan jasmu. Aku sudah siap." Dengan
berjingkat ia mencium bibir suaminya, lalu berbalik seraya mengenakan sarung
tangannya. Ia tahu apa yang membuatnya sangat jengkel. Situasi ironi ini. Ia diminta
suaminya melatih Nora untuk berfungsi sebagai istri terhormat Hugh Pilaster,
sebuah posisi yang sebenarnya sangat ia dambakan sejak dahulu. Jauh di lubuk
hatinya dia masih ingin menjadi istri Hugh dan ia membenci wanita yang sekarang
menempati posisi itu. Sekarang ia diminta suaminya yang baik untuk melatih
saingan utamanya. Apa yang mesti ia lakukan" Seharusnya ia bahagia Hugh telah
menikah. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia tahu pria itu selama ini tidak bahagia, dan ini sebagian karena kesalahan
Maise. Sekarang ia tak perlu mencemaskan Hugh lagi. Memang terasa ada yang
hilang dari lubuk hatinya, bukan kesedihan, lebih menyerupai kepedihan yang
harus ia tekan sedalam mungkin. Sebagai kompensasi, ia akan melakukan tugasnya
melatih Nora dengan penuh semangat, agar wanita itu bisa diterima kembali di
kalangan atas kota London.
Solly kembali dengan mengenakan jas, lalu bersama-sama mereka ke kamar anak-
anak. Bertie sedang asyik bermain dengan kereta api dari kayu. Ia sangat senang
melihat ibunya berbusana pesta, dan akan kecewa jika ibunya bepergian tanpa
memperlihatkan busana yang ia kenakan. Dengan antusias ia menceritakan bagaimana
ia berteman dengan seekor anjing besar di taman pagi tadi. Ayahnya ikut mencoba
kereta api kayunya. Lalu tiba saatnya tidur. Maisie dan Solly mencium dahinya,
lalu keduanya pergi ke kereta kuda yang sudah siap menunggu di depan rumah.
Mereka akan pergi ke jamuan makan malam, lalu ke pesta dansa. Keduanya
diselenggarakan di kawasan Piccadilly, sekitar setengah mil dari rumah.
Sebenarnya mereka bisa berjalan kaki, tapi Maisie merasa kesulitan karena gaun
malamnya begitu besar dan panjang; belum lagi debu jalan akan membuat gaun dan
sepatu sutranya kotor. Tanpa terasa ia tersenyum sendiri karena ia, yang dulu
sanggup berjalan selama empat hari empat malam ke Newcastle, sekarang tak
sanggup berjalan setengah mil saja.
Di pesta malam itu ia mulai melakukan tugasnya demi Nora. Ketika masuk ke ruang
tamu Marquis of Hatchford, orang pertama yang dilihatnya adalah Count de Tokoly.
Ia sudah lama kenal laki-laki ini karena de Tokoly selalu mencoba merayunya.
Karena itu, tanpa sungkan ia langsung ke inti persoalan. "Kuminta Anda memaafkan
Nora Pilaster karena telah menampar Anda malam itu."
398 "Memaafkan?" tanya de Tokoly. "Oh, aku justru tersanjung! Pria setua diriku
masih bisa membuat seorang wanita muda menamparku benar-benar kejutan."
Ya, tapi bukan begitu yang kaurasakan malam itu, pikir Maisie dalam hati. Tapi
ia senang de Tokoly tidak mempermasalahkan lebih jauh skandal malam itu.
Lalu de Tokoly melanjutkan, "Kalau dia tidak menganggap serius sikapku malam
itu, baru aku akan sangat tersinggung."
Mestinya Nora memang tidak menanggapinya, pikir Maisie. "Coba ceritakan,"
pintanya halus. "Apakah Augusta Pilaster yang menyarankan Anda untuk merayu
menantu perempuannya?"
"Pertanyaan yang menggelikan. Sudah tentu wanita terhormat itu tidak pernah
melakukan apa yang Anda curigakan! Sama sekali tidak."
"Lalu siapa yang menyarankan?"
Dengan mata disipitkan de Tokoly menatap Maisie. "Anda memang cerdik, Mrs.
Greenbourne. Aku selalu menghormati wanita yang cerdik macam Anda. Anda jauh
lebih cerdik daripada Nora Pilaster. Dia tidak akan bisa menyamai Anda."
"Tapi Anda belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Baiklah, aku akan menceritakannya karena aku begitu kagum pada Anda. Duta besar
Kordoba, Senor Miranda, yang membisikkan... Nora adalah wanita yang... apa
istilahnya ya... gampangan."
Jadi, itu akar penyebabnya. "Dan Micky Miranda sudah pasti hanya suruhan
Augusta. Aku yakin. Kedua orang itu sangat dekat, bagai dua pencuri."
De Tokoly agak bingung. "Kuharap aku tidak dijadikan umpan rencana busuk
mereka." "Memang itulah yang mereka inginkan. Risiko menjadi orang yang mudah ditebak
macam Anda," tukas Maisie gemas.
Keesokan harinya ia mengajak Nora ke tukang jahit langganannya.
Saat Nora sedang mengepas, Maisie mencoba mengorek lebih lanjut tentang insiden
malam itu. "Apakah Augusta mengatakan sesuatu tentang de Tokoly sebelum kau
menamparnya?" "Dia mengingatkan agar aku tidak memberi peluang sedikit pun padanya," jawab
Nora. "Jadi, kau sudah berjaga-jaga sebelum bertemu dengannya?"
"Ya." "Dan jika Augusta tidak mengatakan apa pun, apakah kau akan berani menampar si
tua itu?" Nora merenung sejenak. "Mungkin aku tidak berani melakukannya. Augusta begitu
meyakinkan saat mengatakan aku harus berani mengambil sikap."
Maisie mengangguk. "Itulah. Dia memang merencanakan insiden malam itu. Dia juga
menyuruh orang lain membisikkan pada si tua bahwa kau wanita gampangan."
Nora kaget, "Kau yakin itu?"
"Si tua sendiri yang menceritakan padaku. Kau harus hati-hati. Augusta benar-
Seruling Perak 2 Pendekar Jembel Karya Liang Ie Shen Mentari Senja 2