Pencarian

Menyingkap Karen 2

Menyingkap Karen Karya Richard Baer Bagian 2


untukku, yang dibuat di antara sesi pertemuan kami, menunjukkan betapa dia
kewalahan menghadapi kenangan-kenangannya yang bermunculan kembali.
24 Juli 1991 Saya merasa sedih. Saya memikirkan teman saya, Jane, dan teman baru saya, Tammy.
Saya merasa cemburu kepada mereka berdua, bukan hanya karena mereka memiliki
hubung an yang baik dengan dokter mereka, melainkan juga karena dokter mereka
mau memeluk mereka. Saya tidak mengerti mengapa hal ini membuat saya kesal,
karena saya tidak per nah ingin disentuh oleh siapa pun. Saya selalu
berkhayal Anda memeluk saya.
1 Agustus 1991 Semalam, saya bermimpi tenggelam di kolam renang. Tangan seorang pria mendorong
kepala saya ke air. Pria itu menggunakan tangan kirinya, dengan cincin emas
tersemat di jarinya. Saya pernah
berkali-kali bermimpi seperti ini, tapi ini lab pertama kalinya saya melibat
cincin itu. 3 Agustus 1991 Semalam, saya terus-menerus teringat akan masa kecil saya. Saya ingat saat saya
menyembunyikan celana dalam saya yang bernoda darah setelah kakek saya menyiksa
saya. Nenek sayalah yang menemukannya. Saya belum berusia delapan ta hun ketika
itu. Celana itu ada di dalam kotak kain perca dan Nenek menanyakan mengapa saya
menaruhnya di sana. Dia mengira saya malu karena mulai mendapatkan menstruasi.
Hanya saja, kejadian ini berlangsung tiga tahun sebelum saya mendapatkan
menstruasi. Kami membuang celana dalam itu dan tidak pernah membicarakannya
lagi. Saat Karen datang pada S Agustus, kami membicarakan tulisan-tulisan yang
diberikannya kepadaku sejak 24 Juli hingga 3 Agustus. Ada begitu banyak tulisan,
sehingga sulit untuk mengetahui dari mana kami harus memulai. Tetapi, karena
hubungan kami adalah lem yang merekatkan terapi ini, aku akan memulainya dari
sana. "Apakah karena saya tidak memelukmu, kamu merasa saya tidak memedulikanmu?" Dia
mengangguk dan mengatakan bahwa memang itulah yang dirasakannya. Aku mengatakan
kepadanya bahwa aku dapat memahami bagaimana dia bisa merasa seperti itu, dan
bahwa kebanyakan orang yang berada dalam situasinya akan merasakan hal yang
sama. Aku mungkin tampak menyombongkan diri dengan menyampaikan pernyataan ini,
namun aku berusaha menyampaikan, dengan mengatakannya, bahwa meskipun aku tahu
dia merasa aku tidak ingin memeluknya, mungkin terdapat
kemungkinan bahwa aku ingin memeluknya, tapi aku tidak
bisa melakukannya karena beberapa alasan. Secara logika, aku tidak bisa
menjelaskan kepadanya bahwa memeluk bukanlah gagasan yang baik, bahwa tindakan
itu tidak bersifat terapeutik, melanggar batas, dan sebagainya; dia hanya akan
beranggapan aku mencari-cari alasan.
Kadangkadang, aku bertanya kepada diriku sendiri, Bahaya apakah yang mungkin
timbul dengan memberi Karen, yang berada dalam keadaan sangat tertekan, sebuah
pelukan sedikit kenyamanan manusiawi biasa" Sayangnya, meskipun Karen telah ?menyatakan bahwa dirinya mendambakan pelukan layaknya seorang bocah, aku tidak
yakin apakah memang itulah yang akan dirasakannya. Ada kemungkinan dia akan
menganggap pelukan sebagai bagian dari sentuhan melecehkan. Aku memutuskan bahwa
pelukan adalah sebuah tindakan berisiko tinggi.
"Saya penasaran dengan cerita nenekmu yang menemukan noda darah di celana
dalammu," aku mendorongnya. "Saya terkejut saat mengetahui nenekmu tidak
menyelidiki lebih jauh tentang hal ini. Sepertinya dia telah melakukan
kecerobohan besar." Aku mengatakan hal ini kepadanya karena ingin membedakan
diriku dari orangorang dari masa lalu Karen, yang bersekongkol dalam menutup-
nutupi kekerasan yang dialaminya.
Kami juga membicarakan mimpi yang menampilkan tangan seorang pria mendorong
kepalanya ke dalam air. Meskipun aku mencurigai tangan yang mengenakan cincin
kawin itu sebagai tanganku, aku penasaran ingin mengetahui apakah Karen
memikirkan hal yang sama.
"Tangan siapakah menurutmu yang mendorong kepalamu ke air?" tanyaku. Dia menatap
tangan kiriku dan bergerak-gerak canggung di kursinya.
"Saya tidak tahu," katanya, memalingkan wajah. "Bagaimanakah rasanya tenggelam
di dalam air?" "Tercekik. Putus asa."
SEMUA AHLI psikoterapi membutuhkan temperamen wanita masokhis dan pria arogan
sekaligus. Di satu sisi, seorang ahli terapi harus duduk secara pasif dan selalu
menunjukkan sikap toleran dan empatik. Di sisi lain, dia harus memancing pasien
memasuki proses terapeutik dan mengukuhkan diri menjadi pusat emosi kehidupan
pasien. Sepanjang perjalanan karierku, aku dapat menjalankan faktor pertama
dengan baik, namun lemah dalam menjalankan faktor kedua. Aku bisa duduk seharian
bersama pasien, setiap hari, memerhatikan setiap perubahan dalam api emosi
mereka yang menyala-nyala. Yah, baiklah, aku tidak sebaik itu, tapi aku betul-
betul tertarik mengetahui bagaimana cara kerja manusia secara mental, dan aku
bekerja keras dalam hal ini.
Pada 1991, aku telah berpraktik selama sepuluh tahun, dan aku mendapati
keahlianku berbalik; aku tidak sabar lagi duduk seharian bersama pasien.
Meskipun setiap pasien menyampaikan cerita yang berbeda, mereka menggunakan cara
yang sama dalam menyampaikan cerita. Meskipun begitu, tidak semuanya semenarik
Karen. Seperti yang kurasakan saat memandang lalu lintas di 95 Street pada hari
itu, aku takut akan terperangkap di kursiku, mendengarkan ceritacerita para
pasienku, hingga akhirnya aku tak mampu berdiri lagi.
SAAT DATANG pada 4 November 1991, Karen mengatakan bahwa kakeknya telah
meninggal. Dia menghadiri pemakamannya, namun tidak bisa mengingatnya; dia kehilangan waktu
selama enam jam. Dia mengatakan bahwa perasaannya terhadap kakeknya campur aduk,
karena pria itu kadangkadang bersikap baik kepadanya. Selepas upacara pemakaman
tersebut, Karen merasakan dorongan untuk menyakiti dirinya sendiri meningkat.
Dia mengatasinya dengan cara yang buruk, dan sekarang dia semakin membenci
dirinya sendiri. Setelah mendengarkannya menjelaskan tindakannya menoreh-noreh kulitnya sendiri,
aku bertanya, "Apakah menurutmu perasaan ini ada sebagai tanggapanmu atas
kematian kakekmu?" "Saya tidak yakin," katanya. "Mungkin saja begitu." Sepertinya dia tidak
antusias mendengar pertanyaanku.
"Bisakah kamu memikirkan kemungkinan lainnya?" Karen memandang ke luar jendela;
aku tidak yakin apakah dia mendengarkanku.
"Dr. Baer, saya ingin meminta maaf karena telah meminta Anda memeluk saya." Dia
tidak memandangku saat berbicara; dia seolaholah sedang berbicara kepada dirinya
sendiri. "Saya tidak berhak meminta hal itu kepada Anda. Saya merasakan
kebutuhan untuk dipeluk. Saya memikirkan Anda yang tidak ingin memeluk saya.
Sepertinya, hanya hal itulah yang ada di dalam pikiran saya. Saya merasa salah
karena menginginkan sentuhan, tapi saya merasa seperti anakanak yang membutuhkan
pelukan sentuhan aman yang tidak berbahaya hanya sentuhan kasih sayang ? ?nonseksual. Andalah satusatunya orang yang saya kenal yang dapat memberikan
keamanan. Inilah pertama kalinya dalam kehidupan saya saat saya sungguhsungguh
menginginkan sentuhan. Saya tidak pernah memiliki maksud buruk. Mungkin saya
hanya butuh diyakinkan bahwa Anda akan ada untuk saya."
Aku terkejut mendengarnya. Bukan karena dia menginginkan pelukan dan meminta
maaf karena menginginkannya dariku; pernyataan itu sendiri menyentuh dan sangat
mengibakan. Aku justru terkejut ketika dia meminta maaf kepadaku. Biasanya, saat
sebuah asosiasi menyusul sebuah pertanyaan dia meminta maaf karena menginginkan
?pelukan setelah sebelumnya membicarakan tentang alasannya menyakiti diri
sendiri terdapat sebuah hubungan emosional yang tersembunyi. Apakah perasaan
?ingin menyakiti diri sendiri ini bukan reaksi atas kematian kakeknya, melainkan
reaksi atas keenggananku memeluknya" Ataukah karena keduanya" Bagaimanakah
kedunya saling berhubungan" Karen tampak merana dan kikuk. Mungkin aku belum
sungguhsungguh mengapresiasi dilemanya. Dia menginginkan sentuhan dariku, tapi
dia membenci dirinya sendiri karena menginginkan sentuhan itu. Jika dia
menyakiti dirinya sendiri karena menginginkanku menyentuhnya, apakah yang akan
dilakukannya pada dirinya sendiri jika aku betul-betul menyentuhnya"
KETIKA ITU akhir Januari 1992, hari telah sore, dan lampu-lampu jalanan membuat
salju yang turun di taman berkilauan. Aku menantikan Karen. Aku tidak menemuinya
selama dua minggu masa liburanku. Aku cemas memikirkan krisis apa lagi yang akan
dibawanya hari ini. "Adik ipar saya melaporkan ayah saya ke polisi karena dia melecehkan keponakan
saya, Nina, dan juga putri saya, Sara," kata Karen, menghambur memasuki pintu,
mantelnya mengibasngibas. Dia tampak cemas, meskipun kupikir akan sangat
memuaskan jika ayahnya akhirnya dihukum akibat perilaku tidak senonohnya.
"Apa yang membuatmu khawatir?" tanyaku.
"Dia mendapatkan panggilan dari pengadilan, dan ibu saya terus-menerus menelepon
saya. Dia bertanya terus apakah ayah saya pernah melecehkan saya." Karen tampak
ketakutan. "Kalau saya mengatakan yang sebenarnya kepadanya, saya merasa
seseorang akan memotong leher saya."
"Memotong lehermu?"
"Itulah yang selalu dikatakan ayah saya. Katanya, jika saya memberi tahu orang
lain, dia akan memotong leher saya. Dia menekankan pisau ke leher saya dan
'srettt!1, seolaholah dia sungguhsungguh melakukannya." Matanya membelalak.
"Kamu pikir dia akan benar-benar melakukannya?"
"Tentu saja." PADA AKHIR Februari, Karen mengatakan bahwa polisi menjadwalkan penahanan
ayahnya keesokan harinya.
"Kata suami saya, jika ada sesuatu yang menimpa Sara, itu adalah salah saya,"
kata Karen. "Saya tidak pernah meninggalkannya sendirian bersama ayah saya,
karena saya tahu apa yang bisa dilakukannya." Karen tampak merana dan tidak
berdaya. "Tapi, saya mungkin pernah dua kali meninggalkan Sara bersama kedua
orangtua saya. Mungkin kejadiannya waktu itu." Karen tenggelam dalam
perasaannya. Aku duduk dan menunggunya melanjutkan ceritanya. Sering kali, aku memikirkan
mengapa dia tidak melarikan
diri sejauhjauhnya dari orangtuanya bertahuntahun yang lalu. Dia tidak pernah
memiliki jawaban untuk pertanyaan ini dia hanya mengangkat bahu. Karen mulai ?menangis, air mata terkumpul di sudut matanya.
"Suami saya benar," isaknya. "Ini kesalahan saya. Saya seharusnya tidak pernah
meninggalkan Sara di sana, sekali pun." Karen tenggelam dalam keputusasaan. Aku
tidak tahu apakah aku bisa menggapainya untuk membebaskannya.
"Kamu sudah memastikan tidak meninggalkannya sendirian bersama ayahmu," ujarku,
berusaha mengangkat semangatnya. "Kamu yakin jika ibumu ada di sana, ayahmu
tidak akan menyakiti Sara?"
"Ya," kata Karen, masih tampak risau.
"Apa kata Sara?" tanyaku. Karen sedikit mendongakkan kepala.
"Katanya, ayah saya tidak pernah melakukan apa-apa."
"Kamu percaya padanya?" tanyaku. "Itulah yang akan saya katakan saat saya seumur
dia." Karen tersenyum kecut.
"Tapi, semua yang menimpamu tidak menimpa Sara, bukan?"
"Tidak," katanya.
"Apa kamu berpikir Sara akan berkata jujur kepadamu?"
Karen tampak ragu-ragu, dan kupikir dia mulai berusaha keluar dari kubangan yang
menjebaknya. "Entahlah," katanya, bergerak-gerak canggung.
"Saya menanyakan apakah ayah saya mengancam dia, dan dia mengatakan tidak, dia
tidak kelihatan ketakutan."
"Sepertinya dia tidak merasakan yang kamu rasakan saat ayahmu mengancam akan
memotong lehermu jika kamu bercerita pada orang lain," kataku.
"Tidak." "Jadi, ada kemungkinan Sara tidak diapa-apakan oleh ayahmu seperti kamu dan
Nina." Karen mengangguk, masih risau, namun telah merasa lebih baik. Dia masih
sangat depresi, namun tidak lagi mendambakan kematian. Itu cukup untuk saat ini,
karena sesi kami telah berakhir.
PADA AWAL Maret 1992, setelah ayah Karen ditangkap dan dipenjara, ibu dan bibi
Karen mulai menekan Karen untuk bersaksi bahwa ayahnya tidak pernah melecehkan
Sara. Karen tidak memiliki bukti nyata sehingga dia enggan bersaksi. Karen
menyampaikan kepadaku secara mendetail tentang percakapannya dengan Katrina,
ibunya: "Ayahmu tidak akan melakukan hal semacam itu!" jerit Katrina. "Dia tidak akan
menyakiti gadis kecil mana pun!"
"Oh, ya, tentu saja," ujar Karen dengan lirih. "Kau ini bicara apa?" seru
Katrina. Nadanya lebih terdengar menuduh daripada terkejut. "Pasti kau berpikir
dia me ecehkanmu, tidur denganmu!" Karen menunduk tanpa me nanggapi. "Semua itu
hanya ada dalam khayalanmu!" Katrina memiliki cara untuk memaksakan pendapatnya
dan membuat lawan bicaranya tidak berkutik. "Mungkin kau melecehkan dirimu
sendiri! Pasti kau sendiri yang memintanya! Semua itu hanya ada dalam
khayalanmu!" Katrina bersikeras. Karen merasa muak. Pada saat seperti iniah dia
mulai meragukan penahanan ayah77apa yang pernah terjadi padanya. Tetapi,
kemudian Karen mengingat kabel yang digunakan oleh ayahnya untuk meng ikat
perge/angan tangan dan kakinya ke ranjang,
dan semua nya kembali menjadi nyata.
Polisi meminta supaya Sara diperiksa untuk mencari tandatanda adanya pelecehan
seksual. Karen memberikan izin, namun tidak ditemukan apa-apa. Meskipun begitu,
tandatanda trauma seksual ditemukan di tubuh Nina. Katrina dan bibi Karen
mengatakan bahwa mereka tidak percaya ayah Karen melecehkan siapa pun, dan
mereka meminta Karen membayar uang jaminan supaya ayahnya dapat keluar dari
penjara. Katrina, khususnya, tidak sabar menantikan pembebasan suaminya, karena
selama suaminya dipenjara, dia tidak mendapatkan gaji. Katrina berkali-kali
memohon, mengancam, dan menjelek-jelekkan Karen dalam upayanya menyuruh putrinya
itu membayar uang jaminan 1.000 dolar.
Saat berada di dalam penjara, Karen mendapatkan telepon dari ayahnya, dengan
pembayaran darinya, selama beberapa kali setiap malam. Karen menolak
membayarnya. Karena ayahnya terus-menerus menelepon, dia menderita sakit kepala
parah yang membuatnya muntah. Salah seorang polisi, Detektif Flaherty, meminta
Karen melaporkan kepadanya jika ayahnya terus mengganggunya. Karen enggan
melakukan hal ini, karena dia takut ayahnya akan membalas dendam, dan ibunya
akan semakin memarahinya.
Pada awal April 1992, bibi Karen membayar uang jaminan untuk mengeluarkan ayah
Karen dari penjara. Ayah Karen berada di penjara selama enam minggu. Segera
setelah keluar dari penjara, dia menelepon Karen sepanjang malam, berusaha
membujuknya supaya mau menjadi saksi bagi pihaknya. Akhirnya, Karen menelepon
Detektif Flaherty, yang melarang ayahnya
menghubunginya lagi jika tidak ingin dikembalikan ke penjara.
"IBU SAYA menginginkan saya bersaksi dalam persidangan ayah saya," kata Karen,
suaranya melirih, "dan suami saya menyalahkan saya untuk segalanya." Dia
menghela napas berat dan menjatuhkan diri ke kursi. Dia memandangku dengan
tatapan tak berdaya. "Saya tidak ingin berurusan dengan kehidupan lagi."
Ibu, ayah, suami, bunuh diri: cepat aku harus memikirkan yang mana yang harus ?ditangani terlebih dahulu.
"Ibumu menginginkanmu bersaksi?" tanyaku. "Ya, dia ingin saya mengatakan bahwa
ayah tidak pernah melecehkan saya."
"Apa yang ingin kamu lakukan?" tanyaku. "Saya ingin mati! Saya bermimpi tentang
tangan-tangan besar yang mencekik saya; saya tak bisa bernapas. Saya bangun
dengan terengah-engah, dan saat kembali tidur, saya mendapatkan mimpi yang sama
berkali-kali." Karen menarik napas dengan susah payah sambil memegangi lehernya,
seolaholah dia berada di dalam mimpinya.
"Tangan-tangan yang besar itu seperti tangan orang dewasa yang dilihat oleh
anakanak," ujarku. "Saya sudah pernah mengatakan kepada Anda bahwa ayah saya mengatakan, jika saya
memberi tahu orang lain bahwa dia menyakiti saya, dia akan membunuh saya. Dia
tidak bercanda. Sekali waktu, dia pernah mencekik saya hingga saya tak bisa
bernapas. Sebelum saya pingsan, dia berhenti, tapi dia mengatakan bahwa dia bisa
saja tetap meneruskannya jika dia mau."
"Apakah pengacara dari kedua belah pihak sudah memintamu untuk bersaksi?"
tanyaku. Dia menggeleng. "Kalau begitu, kita tidak perlu mengkhawatirkan tentang
keharusan bersaksi sekarang. Kita asumsikan saja bahwa kamu tidak perlu menjadi
saksi kecuali pengadilan memanggilmu. Menurutku kamu tidak perlu memberikan
kesaksian. Jika ibumu memintamu lagi, bilang saja kepadanya bahwa jika kamu
berada di bilik saksi, kamu tidak akan berbohong. Biarkan saja dia menyadari apa
artinya. Oke?" Karen mengangguk, memandangku lekatlekat. Ini tidak bisa
dikatakan sebagai terapi, tapi Karen membutuhkan pengarahan. Aku menggunakan
jeda yang terbentuk untuk melanjutkan penjelasanku.
"Kita pernah membicarakan gagasan kamu untuk meninggalkan suamimu karena caranya
memperlakukanmu. Bagaimana pendapatmu tentang hal itu sekarang?" Aku berusaha
mengangkat topik yang sepertinya berperan memicu keinginannya mengakhiri
kehidupan. Jika aku bisa memberikan dukungan dan pengolahan kenyataan yang lebih
baik, dia mungkin tidak akan semengenaskan ini. Aku harus lebih menyadarkannya
akan situasi di rumahnya.
"Saya tidak siap berurusan dengan masalah pernikahan saya," katanya, kembali
menghela napas. Aku menyaksikannya duduk di sana, bergeming, terkulai, dan aku


Menyingkap Karen Karya Richard Baer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berusaha menahan penularan depresinya. Aku ingin menolongnya untuk terus maju,
tetapi mendorong seorang penderita depresi adalah pekerjaan yang sulit
dilakukan. "Anak lakilaki saya juga tidak menghormati saya," lanjutnya. "Dia
mengikuti contoh ayahnya. Saya tidak berani memukulnya, karena jika saya
melakukannya, saya takut tidak akan bisa berhenti, seperti ayah saya. Suami saya
mencela semua usaha saya untuk
menegakkan kedisiplinan; jika saya menghukum anak lakilaki saya, dia
memperbolehkannya pergi, supaya dia kelihatan seperti pihak yang baik." Dia
terdiam beberapa saat, lalu mengatakan, "Lebih baik saya mati daripada harus
bercerai dan berusaha hidup sendirian."
Oke, ini tidak akan mudah, pikirku. Aku bertanya-tanya apakah dia bisa memulai
dari sini dan setidaknya melangkah maju dengan tertatih-tatih.
"Seandainya kamu boleh memilih satu hal," ujarku, "apakah yang akan kamu ubah
untuk menolong situasimu ini?" Baiklah, mungkin itu pertanyaan bodoh, tapi aku
harus memulai dari suatu tempat untuk membuatnya memikirkan tentang membuat
perubahan, alih-alih menyalahkan dirinya sendiri dan merasa tidak berdaya.
"Josh minum-minum," katanya. "Dia mulai minum setiba di rumah dan tidak berhenti
sampai dia tertidur."
"Ceritakan lagi pada saya, seperti apa dia jika dia minum?"
"Setelah menghabiskan beberapa kaleng bir, dia akan menjadi pendiam, lalu
setelah beberapa kaleng lagi, dia berbahaya." Dia menghindari tatapanku. "Ketika
itulah dia memukuli saya. Setelah kemarahannya terlampiaskan, dia tertidur." Ini
sulit, pikirku. Kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk meredakan kebiasaan minum-
minum Josh. Hanya dia sendiri yang bisa mengubah sikapnya. Mungkin,
bagaimanapun, kami bisa melakukan sesuatu untuk melindungi Karen dari kemarahan
Josh. "Saat dia mulai minum-minum dan menjadi pendiam, apa yang kamu lakukan?"
tanyaku. "Saya berusaha menyuruh anakanak supaya tetap tenang dan menjauh darinya,"
katanya, "dan menunggu."
"Seperti dengan ayahmu," ujarku. Dia memandangku,
dan aku dapat melihat bahwa dia sedang mengolah di dalam benaknya perbandingan
antara kekasaran ayah dan suaminya, dan dia dapat melihat persamaannya.
"Saat kamu menjadi anakanak yang teraniaya," ujarku, "kamu tidak punya pilihan
selain tinggal di rumah dan bersikap sebaik-baiknya. Meskipun sekarang ini kamu
berada di dalam situasi penganiayaan yang sama, kamu adalah orang dewasa, dan
pilihanmu lebih luas. Jika kamu merasa tak bisa bercerai, kamu bisa meninggalkan
rumah pada saat yang kamu anggap paling rawan. Saat suamimu mulai minum-minum,
persiapkan dirimu dan anak-anakmu untuk keluar, dan saat dia mulai menjadi
pendiam, pergilah barang satu jam atau lebih. Kalian bisa membeli es krim atau
menonton flm. Kembalilah saat suamimu telah tidur, dan hindarilah dia saat dia
menjadi kasar." Karen mendengarkanku dan mengangguk-angguk.
"Apa lagi yang akan kamu ubah dari suamimu, kalau kamu bisa?" tanyaku.
"Dia memarahi saya karena saya menemui Anda," katanya. Aku mengangguk,
menyuruhnya melanjutkan. "Kami bertengkar soal ini Sabtu kemarin, dan dia
memukul saya, di sini." Dia menunjuk bagian bawah perutnya. "Saya merasa nyeri
di bagian itu sejak saat itu."
"Apakah kamu pergi ke dokter?" tanyaku. Aku menatapnya dan berusaha membayangkan
organ dalam apa yang membuatnya merasa kesakitan.
"Tidak," jawab Karen dengan suara lirih.
"Mengapa?" tanyaku, sedikit cemas.
Mata Karen mulai basah, dan dia kesulitan berbicara. "Saya berharap akan mati,"
katanya, memalingkan wajah dariku dengan malu. Aku menantinya melanjutkan
ceritanya. "Saya tidak tahu harus melakukan apa," katanya. "Dia terus-menerus membentak-
bentak saya. Katanya, hanya masalah waktu sebelum saya melecehkan anakanak saya
sendiri karena saya tidak berbeda dari ayah saya. Dia berkali-kali menyuruh saya
bunuh diri. Katanya, saya sebaiknya berhenti menemui Anda karena terapi ini
hanya menghabiskan waktu dan uang saja. Dia mengambil cek asuransi yang
seharusnya saya pakai untuk membayar Anda, mencairkannya, dan menyimpan uangnya
untuk membeli bir dan rokok."
"Ada tempat-tempat yang bisa dijadikan tempat perlindungan bagi wanita-wanita
yang teraniaya-" Karen mengangkat tangan untuk memintaku diam.
"Saya tahu," katanya.
"Saya sudah mencari informasinya." "Kalau begitu, mengapa kamu tidak bertindak?"
Lagi-lagi, Karen tampak malu. "Menurut saya, itu tidak ada gunanya; saya rasa,
saya tidak akan hidup selama itu. Sebagian dari diri saya berpikir bahwa saya
lemah karena tidak kunjung melakukan bunuh diri. Seandainya saya lebih kuat,
tentu saya sudah melakukannya."
"Pertama-tama," aku mengatakannya secara langsung supaya dia menyadari bahwa ini
sebuah instruksi, "kau harus memeriksakan perutmu. Kau harus langsung pergi ke
unit gawat darurat setelah ini. Mungkin kau hanya memar, tapi pukulan suamimu
bisa menyebabkan perdarahan dalam."
"Bagaimana saya tahu bahwa bukan saya sendiri pelakunya?" tanyanya. Aku sedikit
bingung, dan dia melihatnya. "Kadangkadang, saya juga menyakiti diri saya
sendiri." Semua ini terlalu banyak untuk diluruskan
dalam sekali waktu. "Apa pun penyebabnya," ujarku, dengan kekesalan yang terdengar jelas dalam
suaraku, "kau harus menemui dokter dan memastikan bahwa semua organ dalammu
baik-baik saja." Karen mengangkat bahu dan bersiap-siap pergi dengan murung.
"Dan teleponlah aku besok," ujarku sebelum dia pergi. Dia tidak mengatakan apa-
apa saat menutup pintu di belakangnya.
PADA SUATU malam di bulan Oktober 1992, pukul 22.30, aku menerima telepon dari
Karen. Suaranya hanya berupa bisikan yang terdengar sayup-sayup.
"Saya ingin menyakiti diri saya sendiri."
"Apa yang terjadi?"
"Suami saya memukuli saya," katanya, terisak-isak di telepon. Aku menantinya
melanjutkan. "... dengan tongkat bisbol .... Saya tidak mau hidup lagi."
"Di bagian mana kamu merasa sakit?"
"Kaki, punggung, entahlah."
Kami membicarakan semua tindakan yang mungkin diambil olehnya: menelepon polisi,
pergi ke rumah perlindungan wanita, kabur bersama anakanaknya ke rumah seorang
temannya, dan lain-lain. Dia tidak mau melakukan semua itu. Suaminya telah
tertidur sekarang dan tidak akan bangun lagi malam ini, katanya kepadaku. Aku
menyuruhnya meminum obat penenang yang kuresepkan untuknya, supaya dia tertidur,
dan aku mengatakan kepadanya bahwa aku akan menelepon Detektif Flaherty.
Meskipun enggan, dia setuju dan memberikan nomor si detektif kepadaku.
Saat aku menelepon, Detektif Flaherty tidak ada di tempat, tapi aku
berkesempatan berbicara dengan
seorang wanita, Sersan Jameson, yang memahami kekhawatiranku setelah aku
menceritakan kepadanya tentang pemukulan yang dilakukan oleh suami Karen;
katanya, dia akan menyampaikan pesanku kepada Flaherty dan menyuruhnya
meneleponku besok pagi. Aku menelepon Karen dan menceritakan kepadanya tentang
percakapanku dengan polisi. Dia sepertinya lega karena tindakanku, dan dia
berjanji tidak menyakiti dirinya sendiri. Kami memastikan janji temu kami
berikutnya. Aku menelepon Jameson, menyampaikan garis besar percakapan
terakhirku dengan Karen, termasuk bahwa Karen telah berjanji untuk tidak
menyakiti dirinya sendiri (meskipun aku harus membujuknya), memastikan bahwa
Flaherty akan meneleponku keesokan paginya, dan bahwa jika dia menghubungiku
malam itu, dia sebaiknya menelepon ke rumah.
Saat aku menutup telepon jam menunjukkan pukul 23.00, tapi sepertinya aku telah
berbicara di telepon selama berjamjam. Semua ini membuatku tertekan, tapi
anehnya tidak pernah terpikir olehku untuk menyingkirkan Karen. Rasanya
seolaholah aku melihat seorang bocah yang jatuh ke sungai dan tak bisa berenang.
Bagaimana mungkin aku tidak terjun untuk menyelamatkannya" Aku sudah berenang di
sungai ini untuk waktu yang lama, berjuang mendapatkannya, namun dia selalu
luput dari peganganku. Aku merasa seolaholah aku sendiri ikut tenggelam, tapi
sepertinya aku selalu berhasil muncul kembali ke permukaan dan mengulurkan
tanganku. Aku memikirkan apakah kami akan bisa sampai ke pinggir sungai ini.
KETIKA ITU akhir November 1992. Karen
menceritakan kepadaku bahwa ayahnya meneleponnya terus-menerus. Pengadilannya
akan dilangsungkan minggu ini. Dia ingin Karen menolongnya. Karen menutup
telepon, namun ayahnya tak henti-henti menghubunginya. Pikiran untuk menyakiti
diri sendiri kembali menderanya.
Katanya, dahulu dia menggunakan pisau lipat, yang kemudian diberikannya
kepadaku, sebagai tempatnya berpegang, sesuatu yang membuatnya merasa nyaman,
namun sekarang dia menginginkan sesuatu yang lain, sesuatu dariku. Dia juga
menggapaikan tangan kepadaku di sungai berarus deras ini. Aku mengatakan
kepadanya bahwa aku akan mencari sesuatu untuk diberikan kepadanya pada
pertemuan kami selanjutnya. Dia meninggalkanku dalam keadaan lebih bahagia
daripada yang pernah kulihat sebelumnya, dan berbalik untuk memberiku senyuman
sebelum menutup pintu. Aku harus memikirkan apa yang bisa kuberikan untuknya.
Pada pertemuan kami berikutnya, Karen masuk dengan ceria, tersenyum sedikit
malu-malu kepadaku, menenteng sebuah kotak sepatu. Dia duduk dan meletakkan
kotak sepatu itu di pangkuannya. Dia menatapku seolaholah menantikan izinku, dan
aku mengangguk, memandang kotak tersebut. Dari dalamnya, Karen mengeluarkan
sehelai saputangan neneknya, sebuah peniti dari sahabatnya semasa SMA, sejumput
rambut adiknya, secarik kain dari salah satu setelan milik suaminya, dan
beberapa pernak-pernik dari pria-pria yang pernah berkencan dengannya.
Bendabenda ini menunjukkan fenomena yang sama, yang juga ditunjukkan oleh
anakanak ketika mereka membawabawa selimut atau boneka binatang kesayangan yang
tidak bisa mereka tinggalkan dan menjadi sumber
kenyamanan bagi mereka. Bagi anakanak itu, objek tersebut, entah selimut entah
boneka, mewakili keberadaan ibu mereka. Bendabenda tersebut memungkinkan
anakanak berusia dini itu untuk mengatasi kesedihan saat berpisah dengan ibu
mereka dengan menikmati kenyamanan yang diterima dari kehadiran sang ibu melalui
selimut mereka. Selimut disebut objek transisional, objek yang membantu transisi
anakanak dari ketergantungan terhadap kehadiran ibu menjadi ketidaktergantungan
terhadap ibu, dan meskipun tidak dialami oleh semua anakanak, hal ini adalah
bagian normal dari masa tumbuh kembang anakanak.
Karen menggunakan bendabenda serupa sejak lama untuk tetap menjaga hubungan
dengan orangorang saat mereka tidak ada untuknya. Karena hal ini adalah sesuatu
yang diandalkan dan diakrabinya, aku berusaha menggunakannya untuk menjadikannya
lebih terhubung denganku, alih-alih dengan gambaran-gambaran internal akan rasa
sakit dan penyiksaan. "Saya sudah mengatakan bahwa saya akan memberimu sesuatu yang akan membantumu
memikirkan saya," ujarku, menggapai ke samping kursiku, yang tidak bisa dilihat
olehnya. "Ini sesuatu yang mungkin akan berhasil." Aku menunjukkan sebuah
pajangan keramik berbentuk beruang setinggi sekitar lima belas senti. Aku
menemukannya di toko cindera mata di bawah. Beruang itu duduk, bertubuh gemuk,
tersenyum, mengenakan rompi kasual dan dasi kupu-kupu, tampak sangat puas dan
bahagia. Mata Karen berbinar-binar saat aku menyerahkan benda itu kepadanya, dan
dia memegangnya dengan kedua tangannya, seolaholah beruang itu sangat berharga.
Mungkin, baginya benda itu
memang sangat berharga. Dia memandangku dengan penuh rasa terima kasih dan malu-
malu. Tatapannya mengatakan bahwa dia tahu sikapnya kekanak-kanakan, tapi dia
bersyukur karena aku memahami betapa dia membutuhkannya.
Karen tetap menolak permohonan ayah dan ibunya untuk bersaksi bagi pihak ayahnya
dalam persidangan. Pada Januari 1993, ayah Karen disidang atas tuduhan melakukan
sembilan belas kali pelecehan seksual terhadap kemenakan Karen, Nina. Karen
tidak sekali pun menghadiri persidangan ayahnya.
Selama beberapa sesi berikutnya, Karen menceritakan beberapa peristiwa selepas
persidangan ayahnya. Tak lama setelah divonis, ayahnya menderita penyakit yang
disebut sebagai serangan jantung oleh ibunya. Sesungguhnya ayahnya hanya panik,
namun dia dirawat di rumah sakit selama beberapa hari.
"Karena salahmulah ayahmu masuk rumah sakit!" Katrina menyalahkan Karen.
"Seandainya kau mau bersaksi untuk ayahmu, dia tidak akan sakit!" Karen
mencurigai motivasi ibunya yang mendesaknya untuk terlibat dalam persidangan
ayahnya sesungguhnya tidak sekadar untuk menolong suaminya. Menurut Karen,
ibunya ingin menjauhkan diri dari suaminya setelah diketahui bahwa pria itu
bersalah, dan dia ingin Karen mendukungnya dalam berpurapura bahwa dia tidak
pernah mendapatkan pelecehan, dan seandainya itu memang terjadi, ibunya tidak
tahu-menahu. Saat ayah Karen berada di rumah sakit dan didiagnosis menderita penyakit
jantung, dokter-dokter yang merawatnya juga menemukan keanehan lain. Kata Karen,
semua orang terkejut saat para dokter menemukan
kanker usus yang telah menyebar ke hati ayahnya. Awalnya, katanya, ibu dan
ayahnya berusaha menyangkal keseriusan diagnosis ini. Tetapi, ketika penyakit
ayahnya semakin parah, ibunya meminta Karen membantu merawat ayahnya. Karen
menolak untuk berurusan dengan ayahnya; dia tidak mau pergi ke pengadilan selama
persidangan ayahnya dan tidak pernah menjenguknya di penjara, namun ibunya
bersikeras menyeret Karen ke dalam cengkeraman ayahnya lagi.
Pada suatu Minggu pagi, saat ayahnya masih dirawat di rumah sakit (hukumannya
untuk tuduhan pelecehan anakanak ditunda hingga perawatan penyakit kankernya
selesai), ibu Karen menelepon dan meminta Karen mengantarnya ke rumah sakit
untuk mengambil mobil ayahnya. Tetapi, ketika mereka tiba di rumah sakit,
ayahnya duduk di bangku luar sambil membawa kopor. Karen mual saat melihat
ayahnya dan secara otomatis menghentikan mobilnya untuk membiarkan ayahnya
masuk. Ibunya bersikap seolaholah tidak ada yang terjadi dan keluar untuk
menolong ayahnya memasukkan koper. Setelah masuk kembali ke mobil, ibunya
berbicara tentang perjalanan ke Hongaria yang akan dilakukannya.
"Selama aku pergi, kau harus menengok ayahmu setiap hari," dia memberi tahu
Karen. Karen tidak menjawab. "Apa kau mendengarku?" tanya ibunya, lebih keras.
"Aku tidak bisa," kata Karen, lirih.
"Dasar anak tidak tahu diri!" tukas ayahnya dari bangku belakang.
"Kau berutang budi kepada ayahmu atas jasa-jasanya kepadamu," kata ibunya.
"Berapa kali kami membawamu ke rumah sakit saat kau sakit, saat ada tumor di
wajahmu" Kami bisa saja membiarkanmu mati.
Tapi kami merawatmu. Kami bisa saja membeli rumah dan mobil baru kalau tidak
harus membayar biaya rumah sakitmu ... kalau kami tidak harus membayar iuran
sekolah Katolikmu. Sekaranglah saatnya kau membalas kebaikan kami. Kau berutang
kepada kami; kau harus membayar apa yang sudah kami lakukan untukmu
Karen mengatakan dia tidak ingat lagi sisa percakapan dalam perjalanan mobil
itu. Dengan dukunganku, dia tidak pernah ikut serta dalam perawatan ayahnya.[]
6 Ibu dan Avah w' IBU KAREN, Katrina, lahir di Hongaria, merupakan bagian dari delapan bersaudara,
dan keluarganya hidup di ambang garis kemiskinan di dekat barak prajurit Amerika
selama Perang Dunia II. Para prajurit sering memberikan makanan dan cokelat
untuk Katrina dan saudari-saudarinya. Katrina ingin melihat Amerika dan selalu
mengatakan bahwa dia akan menikah dengan seorang prajurit Amerika.
Sebagai putri seorang tukang roti, Katrina telah pintar memasak sejak muda. Dia
rajin mengikuti misa di gereja Katolik dan tidak pernah berpacaran hingga
bertemu dengan ayah Karen. Saat bertemu dengan Martin, dia mengira sedang
melihat Elvis Presley, dengan mata biru dan bibir berlekuknya. Katrina tumbuh
tanpa memiliki pengetahuan tentang lelaki, dan dampaknya, dia menjadi tawanan
bagi kenaifannya sendiri.
Saat Karen berusia delapan tahun, ibunya, untuk melarikan diri dari kebrutalan
ayahnya, mulai bekerja dengan sif malam di sebuah pabrik setempat, menugaskan
Karen memanaskan makanan untuk kedua adik laki-lakinya, membantu mereka
mengerjakan PR, dan menyiapkan mereka tidur. Setelah kedua adiknya tidur,
dan saat ibunya masih bekerja, tibalah waktu Martin mendatangi Karen. Katrina
mengabaikan tandatanda penganiayaan Karen yang semestinya akan terlihat oleh
kebanyakan ibu. Karen merasa bahwa untuk menyelamatkan diri, ibunya telah
mengorbankan dirinya sehingga ayahnya melampiaskan kekasaran kepada dirinya. Di
dalam khayalan ibunya, kata Karen, anakanak tidak pernah dianiaya dan hidup
bahagia. Ibunya menyangkal semua yang terjadi pada mereka.
Ayah Karen, Martin, lahir pada 1933, dan merupakan anak pertama dari dua
bersaudara. Adiknya, bibi Karen, Deborah, lahir dua tahun kemudian. Ayah Martin,
Martin Sr., kerap menjelek-jelekkan putranya selama masa kecilnya, dan Martin
tidak pernah cukup baik di mata ayahnya. Sebaliknya, adiknya, Deborah, tidak
pernah dianggap berbuat salah dan selalu dihujani dengan perhatian dan hadiah.
Ibunya, Judith, berusaha memberikan perhatian kepada putranya jika suaminya
pergi, namun dia wanita lemah dan buta huruf yang didominasi suaminya dan hanya
kadangkadang berhasil menunjukkan kasih sayang kepada Martin.
Sebagai seorang anak lakilaki, Martin menjengkelkan, berisik, keras kepala, dan
selalu ingin menang sendiri. Saat duduk di bangku SMA, sifat tersebut berubah
menjadi pintar berbicara dan mampu berbohong tanpa menunjukkan rasa bersalah
ataupun perubahan air muka. Dia berhasil memikat beberapa orang gadis untuk


Menyingkap Karen Karya Richard Baer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkencan dengannya, namun saat mereka menolak ajakannya untuk berhubungan seks,
dia akan marah, memperlakukan gadis yang bersangkutan dengan kasar, dan
mencampakkannya. Karen mendengar dari bibinya bahwa Martin sering membuat gadis
yang dikencaninya memar dengan mencengkeram lengan mereka saat mereka berusaha pergi, dan bahwa
dia kemudian berusaha berbaikan dengan mereka dengan meminta maaf, mengucapkan
janji-janji palsu, dan memohon diberi kesempatan lagi. Dia akan bersikap penuh
kasih sayang dan murung hingga dia kembali frustrasi, dan siklus pun berulang
kembali. Selama Perang Korea berlangsung, Martin ditugaskan ke Hongaria, tempatnya pada
suatu hari melihat Katrina menyusuri jalan bersama saudara-saudara perempuannya.
Katrina berumur enam belas tahun. Meskipun Katrina tidak bisa berbahasa Inggris
dan Martin tidak bisa berbahasa Hongaria, dia berhasil memikatnya dan
mendapatkan persetujuan dari keluarganya. Dia meminta izin kepada ayah Katrina
untuk mempersunting putrinya dan menikahinya begitu dia bebas tugas. Setibanya
di Chicago, tujuh belas tahun, tidak bisa berbahasa Inggris, dan masih perawan,
Katrina tinggal bersama Martin Sr. dan Judith hingga dia dan Martin bisa
menikah. Martin Sr. tertarik kepada Katrina dan berkali-kali mencoba
memerkosanya. Ayah dan anak laki-lakinya itu bertengkar hebat tentang hal ini.
Martin Sr. mengatakan jika dia tidak mendapatkan keinginannya, dia akan mengusir
mereka berdua ke jalanan. Karen tidak tahu apakah kakeknya berhasil atau tidak.
Katrina memberi tahu Karen bahwa pada suatu hari, saat dia disuruh memberi tahu
Martin bahwa waktu makan malam telah tiba, Martin mendorongnya ke ranjang dan
memerkosanya. Katrina menangis dan memohon untuk dikembalikan ke Hongaria, namun
Martin menolaknya. Dia memohon ampun dan memberikan hadiah-hadiah untuknya;
siklus pun dimulai. Kata Katrina, Martin Sr.
mengajarkan kepada putranya cara mengendalikan dan mendominasi istrinya, dan
Martin melakukan apa pun yang diajarkan oleh ayahnya, termasuk memerkosa dan
memukuli Katrina. Setelah mereka menikah, Martin terus-menerus memerkosanya. Katrina hamil tak
lama kemudian dan Karen pun lahir. Neneknya menceritakan bagaimana Martin
berkali-kali memerkosa Katrina semasa dia hamil, dan dia bahkan memerkosa
Katrina tak lama setelah dia pulang dari rumah sakit untuk melahirkan Karen.
Adik lakilaki Karen, yang bernama sama dengan ayahnya, lahir sepuluh bulan
kemudian. Semasa kanak-kanak mereka, Karen dan adik-adiknya berkali-kali mendengar ayah
mereka memerkosa ibu mereka. Martin selalu main mata dengan semua wanita dan
berselingkuh dengan banyak orang. Dia dipecat dari salah satu pekerjaannya
akibat kasus pelecehan seksual. Baginya, semua wanita hanyalah objek seks.
KAREN MEMBAWAKANKU sebuah kaset rekaman berisi percakapan antara ibu dan
ayahnya, yang dibuat oleh ibunya ketika ayahnya sedang menantikan keputusan
sidang. Aku sangat tertarik mendengarkannya. Ibu Karen menyembunyikan alat
perekam untuk merekam percakapannya dengan suaminya. Dia melakukannya, aku dan
Karen memperkirakan, untuk berusaha membebaskan diri dari rasa bersalah akibat
pelecehan yang dilakukan oleh Martin terhadap Nina dan, dengan kata lain, juga
terhadap Karen. Karen mendengarkan sebagian rekaman itu, namun dia merasa jijik.
Katanya, dia telah mendengar pembicaraan semacam ini sepanjang hidupnya, dan dia
tidak mau mendengarnya lagi.
Pada akhir hari itu, sebelum pulang, aku menyalakan tape. Rekaman itu dimulai
dengan percakapan berikut:
AYAH: Berbaringlah di sini.
IBU: Tidak. Aku tidak mau berbaring di situ.
AYAH: Berbaringlah di sini beberapa menit saja, oke" Aku tidak memintamu tidur
denganku atau apa. Memangnya permintaanku ini salah"
IBU: Diamlah! Jangan merayuku. Kau merayuku sepanjang hidupku.
AYAH: Mungkin kau lelah. Tapi kau selalu begitu. Kau merasa berdosa kalau harus
mengisap burungku .... IBU: Ah, diamlah! AYAH: Atau menciumi burungku.
IBU: Tidak, aku tidak selalu begitu! Kau memang kotor....
AYAH: Tidak ada yang salah dengan itu!
IBU: Caramu mengatakan itu! Kau memang kasar!
AYAH: Hei, jangan bicara begitu dengan suamimu aku akan mati, dan aku akan ?dipenjara!
IBU: Kalau kau memang akan mati, ini memang sudah
saatnya! Aku sendiri sudah menanti-nantikannya!
AYAH: Kau seharusnya bilang, "Suamiku sedang sekarat, jadi aku tak akan
melepaskan burungnya." Dan kau seharusnya semakin mencintai burungku karena aku
sedang sekarat. Memangnya kau tidak bisa menunjukkan sedikit saja cintamu"
IBU: Aku akan pergi sekarang!
AYAH: Baiklah, tapi kau tidak akan pergi sekarang juga. Berbaringlah di
sampingku dan kita bisa mengobrol. Aku tak mau bicara dengan punggungmu.
Bersikaplah seperti manusia. Kalau aku menyuruhmu melayaniku, mengisapku,
menciumi burungku, yah ... tidak ada yang salah dengan itu. Tak apaapa. Ayo, ciumi
burungku beberapa menit saja ... kau bahkan tidak mau melakukannya sedetik saja"
Kenapa" Burungku kan tidak buruk rupa. Kenapa kau tidak mau menciumnya"
IBU: Cuma itu saja yang bisa kauomongkan" AYAH: Oke, yah, tapi, Trina .... IBU:
Siapa yang bisa tahan! AYAH: [dengan lembut] Kau tidak bersikap manis padaku.
IBU: [berseru] Kau tidak bersikap manis padaku!
AYAH: Trina, ssttt, apa kau bersikap manis padaku" IBU: Kau bahkan melecehkanku.
AYAH: Tidak, tidak, tidak, tidak, kau penipu! Dasar bajingan penipu!
IBU: Aku bajingan penipu"
AYAH: Bajingan penipu kotor. Kau tidak bersikap manis padaku. Kau tidak
menghormatiku. Karena aku tak punya uang. Aku tak punya uang.
IBU: [berseru] Karena aku tidak tahan bersamamu lagi! Mulutmu ....
AYAH: Ah, tak mungkin begitu.
IBU: Yang ada dalam pikiranmu ....
AYAH: Trina .... IBU: .... cuma seks! AYAH: Sana, pergi saja! Sana, jadilah perempuan jalang tak tahu diri! Tapi,
Trina, kau akan menderita. Kau akan menderita karena kau menyakitiku. Kau bagian
dariku dan aku bagian darimu. Sana, pergi bersenang-senang. Kau bahkan tak mau
lagi menyentuhku. Aku tak berharap kau mau tidur denganku.
IBU: Ah, dasar anjing mesum!
AYAH: Tak ada yang kotor, tidak ada yang salah dengan itu! Aku berbicara dengan
istriku sendiri; bukan dengan orang asing. Aku berbicara dengan istriku,
memintanya mendekatiku, menemaniku.
Aku mendengarkan dengan setengah terpana saat Martin melanjutkan rayuannya
kepada Katrina untuk melakukan apa yang dianggapnya sebagai kewajiban seorang
istri, dan menyebutnya wanita jalang tak tahu diri saat dia menolak. Sikap
Martin berubah-ubah antara memerintah dan merayu, sedang-_4richard Baerkan
Katrina tegas dan galak. Semakin keras Katrina menolak, semakin gigih Martin
memaksanya. AYAH: [menggumam dengan lembut lagi] Bercinta bukan perbuatan mesum, itu tak
apa-apa. Bercinta itu tidak apa-apa. Biarkan aku menyentuh selangkanganmu ... kau
frigid, Trina, kau frigid. Ayolah, jadilah istri yang baik dan biarkanlah aku
menyentuh selangkanganmu, menciumi tubuhmu ... kenapa kau membuatnya seolaholah
sangat buruk, kotor, dan mesum ... ayolah, bukalah bajumu. Ambil posisi yang
nyaman. Kau tidak akan merasa nyaman kalau masih memakai baju seperti itu ....
Jangan merasa murahan karena aku memintamu menyentuhku. Jangan merasa murahan
karena aku memintamu bercinta denganku. Jangan merasa murahan; lakukanlah ini
dari hatimu. Aku tidak terangsang karena menonton flm atau melihat gadis-gadis
telanjang. Aku terangsang saat
melihatmu. Saat aku menyentuhmu .... Kurasa aku tak meminta terlalu banyak.
IBU: Aku tidak ingin berhubungan seks denganmu. Hanya itu yang ada dalam
pikiranmu! Aku duduk terpana mendengarkan si ayah yang terus-menerus memaksakan keinginan
seksualnya, dan kemarahan purapura si ibu. Katrina sendiri yang merekam
percakapan itu. Dia ingin menunjukkan obsesi seksual suaminya dan kedudukannya
sebagai seorang korban setelah Martin terbukti bersalah. Inilah jenis percakapan
yang kerap didengar oleh Karen dan menjadi objek dari seluruh kehidupannya.[]
/ Komit moil yang Semakin Mendalam
PADA AKHIR Februari, Karen mengunjungi kantorku dalam keadaan lebih lesu
daripada biasanya. Saat aku menantinya bercerita, dia bergerak-gerak kikuk di
kursinya, dan akhirnya berkata, "Saya punya beberapa pertanyaan ... ada beberapa
hal yang harus saya ketahui."
"Apakah itu?" tanyaku. Karen merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar kertas.
"Saya menuliskannya," katanya sambil menyerahkan kertas itu kepadaku. Aku
menatapnya dan membaca keras-keras pertanyaan-pertanyaan yang tertulis di sana.
1 Kapankah Anda berulang tahun"
2 Seperti apakah orang tua Anda"
3 Apakah Anda punya saudara "
4 Apakah kewarganegaraan Anda"
5 Apakah Anda pernah dianiaya "
6 Apakah Anda pernah diterapi"
7 Apakah Anda pernah merasa ingin bunuh diri"
8 Apakah Anda punya masa/ah kesehatan"
9 Mengapa Anda memilih menjadi psikiater"
10. Benarkah bahwa Anda belajar untuk tidak memiliki perasaan terhadap pasien
Anda " 11. Bagaimanakah rasanya dicintai"
12. Apakah Anda mendukung eutanasia"
Pertanyaanpertanyaan itu sangat menarik. Aku dapat memahami mengapa Karen ingin
mengetahui hal itu; semua pasien memiliki rasa penasaran terhadap kehidupan
pribadi ahli terapi mereka. Seperti Karen, orangtuaku adalah produk pascaperang
1950-an. Mereka menikah pada akhir '40-an, dan kakak perempuanku lahir pada
1950. Aku lahir pada 1952, dan adik laki-lakiku pada 1957. Setelah perusahaan
pemasangan atap milik ayahku bangkrut, dia bekerja sebagai agen penjualan di
sebuah perusahaan lemari dapur dan sering bepergian. Dia mulai menghabiskan
semakin banyak waktu di luar rumah, dan tidak sendirian; orangtuaku bercerai
saat aku berumur delapan tahun.
Tiga tahun berikutnya adalah masa yang berat bagi ibuku; tekanan dalam
membesarkan tiga orang anak (dengan tunjangan anak mingguan sebesar 50 dolar
dari ayahku yang selalu datang terlambat dan kemudian bahkan tidak bisa
dicairkan) sangat membuatnya kewalahan. Saat aku kelas lima dan enam, ibuku
bekerja sebagai sekretaris di sebuah pabrik kecil pada siang hari dan sebagai
pelayan bagian mantel di sebuah toko swalayan besar pada malam hari. Berkali-
kali aliran listrik di rumah kami diputus, dan aku ingat betapa aku sering
mengaisngais uang receh di dasar dompet dan saku mantelnya supaya dapat membeli
roti untuk bekal sekolah. Selama tiga tahun setelah perceraian, ibuku menderita
darah tinggi, maag, Graves penyakit hipertiroid semuanya akibat stres.? ?Sebagai bocah lakilaki periang, aku mengikuti ujian
dan ditempatkan di program siang hari untuk anakanak berbakat. Terdapat sekitar
dua belas anak dari semua SD di wilayahku, dan program itu menjadi hiburan siang
hari setelah sepagian mengikuti pelajaran sekolah yang membosankan. Kurikulum
khusus yang diberikan kepada kami sebagian besar berupa pembelajaran mandiri
dengan topik yang membuat kami tertarik; kami mempresentasikan laporan hasil
belajar kami di depan kelas. Ibuku sangat bangga kepadaku, terutama karena tidak
ada bagian lain dari kehidupannya yang sukses, dan aku teramat sangat setia
kepadanya. Ibuku menikah kembali pada musim panas sebelum aku memulai kelas tujuh, dan
meskipun aku maupun saudara-saudaraku tidak menjalin hubungan dekat dengan suami
baru ibuku, kami pindah, dan kehidupan kami berangsur-angsur kembali normal.
Krisis fnansial kami teratasi, namun dalam waktu tiga atau empat tahun,
pernikahan kedua ibuku mulai hancur. Aku tetap menjadi siswa berprestasi dan
ibuku tetap bangga kepadaku. Selama menyelesaikan masa SMP, SMA, dan sekolah
kedokteran, aku tumbuh menjadi pria tanpa sosok seorang ayah yang bisa dijadikan
suri teladan. Adikku, yang kutinggalkan sendirian saat aku mulai kuliah, berjuang
menyelesaikan SMA. Dia bisa dibilang tidak mengenal ayah kami. Dan, meskipun satu atau dua kali dalam setahun
kami mengunjungi ayah kami, yang tinggal di Pennsylvania, adikku selalu
mendambakan hubungan ayah dan anak yang stabil. Aku berusaha memberikan hal itu
kepadanya namun tidak berhasil. Dia tinggal bersama ayah kami pada awal tahun
keduanya di SMA. Dia merasa bahagia di sana, namun pada suatu malam, enam bulan
setelah dia pindah, dengan berbekal
SIM baru di tangan, dia menabrak tiang listrik dan meninggal di tempat kejadian.
Ibuku tidak pernah pulih; sejak awal dia tidak ingin adikku tinggal bersama
ayahku, dan selama beberapa tahun kemudian, ibuku yang manis, penuh kasih
sayang, dan rapuh terpuruk dalam alkoholisme. Sepasukan perawat pun tak mampu
menyelamatkannya. Namun, tentu saja aku tidak menceritakan semua itu kepada Karen. Aku telah
terbiasa menangkal pertanyaan-pertanyaan serupa yang muncul selama terapi.
Penting untuk memahami bahwa pertanyaan-pertanyaan Karen menunjukkan bahwa dia
mengalihkan perhatiannya kepadaku dan menanamkan kepercayaannya pada perawatan.
Tetapi, pertanyaan-pertanyaan semacam itu juga mengindikasikan si pasien
berusaha mengarahkan hubungannya dengan ahli terapinya menuju sebuah ikatan yang
memberikan kesenangan, seperti dalam pertemanan. Secara langsung menyenangkan
seorang pasien, seperti dalam sebuah hubungan yang sesungguhnya, hampir selalu
menyabotase keefektifan hubungan terapeutik. Jika aku menyenangkannya, dia akan
berhenti bercerita dan menggali perasaannya, dan justru akan memusatkan usahanya
untuk menarik perhatianku. Triknya adalah menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu dengan cara yang memenuhi alasan si pasien memberikan
pertanyaan tanpa memberikan terlalu banyak informasi pribadi.
"Saya senang karena kamu memberikan pertanyaan-pertanyaan ini, Karen," aku
memulai. "Tapi, sebelum saya menjawab sebagian pertanyaanmu, saya ingin sedikit
membicarakan alasanmu memberi saya pertanyaan itu. Apakah kamu sudah cukup lama
memikirkannya?" "Ya, beberapa di antaranya," kata Karen. Aku tahu dia malu karena berani
memberikan pertanyaan secara langsung kepadaku. Dia memandangku, namun aku balas
memandangnya dan menunggu.
"Saya selalu bertanya-tanya tentang hal-hal itu," lanjut Karen. "Saya ingin tahu
tentang kehidupan Anda di luar kantor ini. Seperti apakah keluarga Anda, mengapa
Anda memilih pekerjaan ini Suaranya menghilang.
"Jika pertanyaan-pertanyaan ini sudah mengganggumu sejak lama, mengapa kamu
menganggap penting untuk menanyakannya sekarang?" Waktunya untuk diam dan
menunggu lagi. Sekali lagi, untuk pertanyaan semacam ini, apa pun yang keluar
dari mulut Karen, meskipun sepertinya tidak berhubungan, adalah jawabannya. Hal
penting yang harus kulakukan adalah menutup mulut. Jika pasien yang bersangkutan
tetap diam, hal terburuk yang mungkin kulakukan adalah menyelamatkannya dengan
memberikan saran atau pertanyaan lain. Alasan mengapa pertanyaan ini sangat
penting adalah karena kupikir jawaban yang sesungguhnya adalah: Karena saya
mulai merasa sangat serius dan terlibat dalam perawatan ini, dan saya ingin
memastikan bahwa Anda adalah orang yang tepat untuk menemani saya dalam
perjalanan yang menakutkan ini. Aku penasaran ingin melihat bagaimana Karen akan
mencari jawabannya. "Saya hanya memikirkan," katanya, dengan bimbang, "bagaimana jika perawatan ini
berlangsung sangat lama?" Dia menatapku untuk mencari penjelasan.
"Maksudmu, apakah aku akan tetap menemanimu?" tanyaku.
"Ya, apakah Anda akan tetap ada ... bahkan jika
Suaranya kembali menghilang. "Jika ...?"
"Yah, saya tidak tahu, jika ..." Dia berjuang mencari katakata yang tepat, namun
aku tidak bisa menyela untuk menolongnya. "Jika Anda tidak menyukai apa yang
saya katakan," katanya pada akhirnya.
"Apakah kamu takut akan mengatakan sesuatu yang menyakiti saya atau membuat saya
meninggalkanmu?" "Ya," katanya lirih. Di dalam kata "ya" itu tersembunyi kemungkinan bahwa dia
memiliki rahasia kelam yang hendak diungkapkannya. Mendengar pengakuan itu, aku
merasa bahwa aku dapat memberikan pertolongan untuknya.
"Kamu bisa menceritakan apa pun yang kamu mau di sini. Kita berada di sini untuk
berbicara. Di sini, kita tidak bertindak tetapi berbicara. Berbicara adalah
perbuatan yang aman. Tidak ada perkataanmu kepada saya yang akan menyebabkan
bahaya. Tindakan dapat menyebabkan bahaya. Kamu bisa membicarakan kepada saya
tentang keinginanmu untuk mati; itu tidak apa-apa. Tapi, melakukan tindakan
untuk memenuhi keinginananmu itu sama sekali tidak benar." Karen memahami
ucapanku dan mengangguk perlahan-lahan.
"Daftar pertanyaanmu sangat menarik," ujarku, mencermati daftar tersebut. "Ada
beberapa pertanyaan biasa, seperti tentang ulang tahun saya, saudara saya, tapi
yang satu ini, apakah saya pernah dianiaya" Saya bertanya-tanya, mungkinkah kamu
penasaran ingin mengetahui apakah saya memiliki pengalaman yang akan membantu
saya dalam mendengar dan memahami apa yang mulai kamu ceritakan kepada saya."


Menyingkap Karen Karya Richard Baer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertanyaan ini berhubungan dengan, pikirku, ketakutan Karen akan
mengatakan sesuatu yang bisa membuatku meninggalkannya.
"Saya sungguh tertarik," lanjutku, "untuk mendengar semua yang perlu kamu
ceritakan kepada saya tentang bagaimana kamu disakiti." Karen memandangku,
sekali lagi mengangguk perlahan. Aku mencermati daftar pertanyaannya. "Apakah
saya pernah diterapi" Ya, saya menjalani psikoanalisis selama sekitar sembilan
tahun dengan seorang pria luar biasa yang mengajarkan banyak hal kepada saya.
Beliau adalah dosen di jurusan psikoanalisis tempat saya mengajar." Karen
membelalakkan mata. Aku memberikan informasi ini kepadanya untuk dua alasan.
Pertama, supaya dia tahu bahwa kuliahku mengharuskanku mengikuti terapi, dan
kedua, supaya dia tahu bahwa aku merasa nyaman dengan perawatan intensif jangka
panjang, yang mungkin dirasa olehnya akan diperlukannya.
"Mari kita lihat," ujarku, "apakah saya punya masalah kesehatan" Tidak. Setahu
saya tidak." Itu adalah pertanyaan lain yang berkaitan dengan "apakah aku akan
tetap menemaninya," dengan kata lain, apakah aku masih akan hidup cukup lama.
Aku kembali mencermati daftar darinya.
"Mengapa saya memilih menjadi psikiater" Karena ini ilmu paling menarik yang
saya pelajari saat saya menjadi dokter. Tidak ada yang lebih menarik daripada
memahami emosi orang lain dan menolong mereka." Itu benar, sesungguhnya, dan aku
mengatakannya kepada Karen untuk memberitahunya mengapa aku bisa terlibat
sepenuhnya dalam perawatannya.
"Benarkah bahwa saya belajar untuk tidak memiliki perasaan terhadap pasien
saya," ujarku. Aku menatap
Karen; aku tahu bahwa pertanyaan ini sangat penting baginya. Mengetahui bahwa
aku tertarik untuk memahami dirinya tidak cukup baginya; dia ingin tahu apakah
aku bisa peduli padanya. Bagaimanakah aku harus menjawabnya"
"Tidak, tidak benar bahwa saya belajar untuk tidak memiliki perasaan terhadap
pasien saya," ujarku. "Tentunya mustahil kita tidak memiliki perasaan." Karen
tampak sedikit lega. "Tapi, saya belajar untuk mencoba memahami perasaan itu
supaya tidak terlalu mengganggu usaha saya dalam melakukan yang terbaik untuk
pasien saya." Aku melihat sisa daftar itu dan mengatakan, "Pertanyaanpertanyaan yang lain ini
juga penting, tapi saya rasa hal terpenting yang harus kita pahami adalah daftar
ini menunjukkan bahwa kamu semakin mencurahkan diri dan terlibat dalam pekerjaan
kita ini, dan semakin kamu membuka dirimu di sini, semakin besar kebutuhanmu
untuk mengetahui apakah saya akan ada untukmu, bersedia menolongmu."
Karen memalingkan wajah dan menggigit bibir bawahnya. "Saya punya satu
pertanyaan lagi," katanya.
"Ya?" Dia terdiam dengan gaya dramatis. "Apa yang salah dengan diri saya?" Dia
memandangku sejenak, lalu bersandar di kursinya. Dia telah memikirkan hal ini
secara cukup mendalam, kurasa. Sekarang, dia akan duduk dan menunggu.
Aku menimbangnimbang cara yang tepat untuk menjawabnya. Aku tidak mau membuatnya
ketakutan. "Jelas bagi saya bahwa masalahmu disebabkan oleh depresi," aku memulai, "dan
bahwa depresi ini dipicu oleh
rasa sakit yang muncul setelah kamu melahirkan Sara, namun penyebab utamanya
adalah hubungan-hubungan menyakitkan yang kamu jalani, dan terus kamu jalani
sepanjang hidupmu." Ini adalah bagian yang mudah. Diagnosis depresi adalah topik
yang telah kami bicarakan secara terbuka selama ini.
"Kamu juga menderita penyakit yang disebut gangguan kepribadian," lanjutku,
"yaitu kerusakan di seluruh struktur kepribadianmu, seperti kehilangan waktu
selama periode stres yang diakibatkan oleh rasa sakit dalam hubungan usia dinimu
dengan ibu dan ayahmu, dan, yang juga berperan, kakekmu."
Penjelasanku masih kabur, aku tahu, tapi aku mengatakannya seolaholah aku tahu
betul apa yang sedang kubicarakan. Aku tidak mengatakan jenis kerusakannya. Aku
sendiri tidak tahu secara pasti jenis kerusakannya. Tetapi, sepertinya dia
menerima penjelasanku. Mengapa aku tidak langsung mengatakan kepadanya bahwa dia menderita sindrom
kekacauan identitas" Karena aku pengecut. Aku tidak tahu bagaimana dia akan
bereaksi, dan aku takut dia akan bereaksi dengan cara yang buruk: bahwa hal ini
akan menjadi pukulan telak yang akhirnya memicunya untuk melakukan bunuh diri.
Aku yakin dia akan bisa melihatnya secara lebih jelas saat dia telah siap.
Sesi berikutnya luar biasa karena fakta bahwa untuk pertama kalinya dalam waktu
lebih dari tiga tahun, Karen menata rambutnya karena akan bertemu denganku. Ini
sepertinya hal sepele, namun peristiwa ini sungguh mengesankan. Dia sedikit
lebih ceria, dan mengatakan kepadaku bahwa dia mengambil pekerjaan malam sebagai
kasir di sebuah toko obat di dekat rumahnya. Katanya, dia berharap bisa
melepaskan diri dari ketergantungan fnansial terhadap suaminya. Dia juga
melaporkan mimpi pada malam sebelumnya.
"Saya bermimpi berada di sebuah rumah sakit," katanya, "dan saya sedang koma.
Kaki saya baru saja diamputasi, dan saya sekarat. Saya tergantung pada mesin
penunjang kehidupan. Dokter mengatakan bahwa saya tidak akan sadar lagi; saya
akan mati. Lalu, Anda datang menjenguk dan meminta kepada semua orang untuk
keluar dari kamar. Anda mulai berbicara kepada saya, membeberkan alasan-alasan
saya untuk tetap hidup. Saya mendengar Anda, tapi saya tak bisa bicara, tak bisa
bergerak. Saya tahu bahwa saya tidak benar-benar koma; saya hanya tidak bisa
berbuat apa-apa. Saya tidak ingin hidup. Kemudian, Anda menggenggam tangan saya
dan menyuruh saya mencoba meremas tangan Anda jika saya mendengar Anda. Saya pun
melakukannya." "Kamu meremas tangan saya?" tanyaku.
"Ya, saya melakukannya," jawabnya.
Karen bersandar di kursinya, larut dalam pikirannya sendiri.
"Menurutmu, peristiwa apa yang berhubungan dengan mimpi itu?" tanyaku.
"Saat berumur sebelas tahun," dia mulai bercerita, "saya menderita radang paru-
paru, dan dokter mengatakan bahwa saya tidak akan mampu bertahan, tapi saya
selalu berpikir akan bisa bertahan. Saya mengalami koma selama dua atau tiga
minggu." Suaranya melirih. Aku tidak yakin apakah Karen memang mengalami koma
selama dua atau tiga minggu saat dia berumur
sebelas tahun; mungkin itu adalah suatu episode disosiatif, namun itu tidak
menjadi masalah sekarang. Inilah yang ada di dalam ingatannya. "Apa lagi?"
tanyaku. Karen berpikir sejenak, lalu melanjutkan, "Kaki saya sakit baru-baru ini, di
tempat kaki saya diamputasi dalam mimpi itu. Saya tidak tahu penyebabnya; saya
rasa tidak ada yang salah dengan kaki saya."
"Kamu koma, tapi kamu masih tetap menyadari bahwa ada orangorang lain di
kamarmu?" tanyaku. "Ya," katanya, "saya tidak sadar, tapi saya bisa mendengar apa yang sedang
terjadi." "Kedengarannya komamu sedikit mirip dengan kehilangan waktu," ujarku.
"Yah," katanya, "saya bisa mendengar, tapi saya tidak betul-betul ada di sana."
"Jadi, setelah saya menyuruh pergi semua orang yang menganggapmu sekarat dan
tidak berdaya, saya membujukmu untuk tetap hidup, dan meskipun sedang berada
dalam keadaan 'koma1, kamu mendengar saya dan meremas tangan saya."
"Betul." "
Aku ingin mengakhiri sesi ini pada gagasan dia meremas tanganku, yang merupakan
gambaran paling kuat untuk menunjukkan bahwa dia terhubung denganku dalam hal
menginginkan dirinya tetap hidup. Bahan penyusun terapi bersama Karen sangat
rapuh pada titik ini. Oleh karena itu, aku ingin terus berusaha melipatgandakan
benang-benang emosi positif di antara kami dan menenunnya menjadi sesuatu yang
lebih kuat untuk menghindarkannya dari kerusakan yang ditimbulkan oleh
orangorang dalam kehidupan Karen, atau dari kekuatan
merusak yang berasal dari dalam diri Karen sendiri.[]
8 Kengerian-kengerian Masa Kecil
11 SAYA RASA saya tidak bisa melakukan ini, Dr. Baer," kata Karen sambil
bersandar di kursinya, terkulai lesu dan diam membeku.
"Ceritakanlah kepada saya," ujarku. Karen selalu putus asa. Ini adalah respons
standar dariku. Karen merana. Aku menanti.
"... saya memang payah," katanya pada akhirnya. Aku diam saja untuk melihat apakah
dia akan melanjutkan ucapannya. "Apa yang membuatmu mengatakan itu?" kemudian
aku bertanya. Sepanjang sesi kami, aku terus berusaha mengulik setiap
pernyataan, keyakinan, atau ingatan yang berkontribusi pada mantra "aku ingin
mati" ini, supaya kami dapat melampaui penghalang ini dan memulai pekerjaan
lainnya. Karen menggeleng, namun melanjutkan.
"Ada begitu banyak alasannya." Dia terdiam. "Saya sangat malu."
"Karena apa?" desakku.
"Saya seharusnya dihukum."
"Karena apa?" aku mendesak lagi.
Karen, tampak jauh lebih risau, mengatakan, "karena mencuri." Aku terkejut;
Karen sangat takut terhadap
tindakan tercela sehingga dia selalu bersikap jujur.
"Mencuri?" tanyaku. Karen mengangguk. Anggukannya cukup untuk menjawab
pertanyaanku, sehingga aku diam dan menanti.
"Ayah saya menyuruh kami mencuri." Aku memberinya anggukan kecil, untuk
menunjukkan bahwa aku siap mendengarkan apa pun yang hendak dikatakannya, tapi
aku tidak akan berpartisipasi secara aktif. Panggung ini sepenuhnya miliknya.
"Ayah saya selalu mencuri bermacammacam benda, pernak-pernik, yang bisa
dimasukkan ke saku." Dia terdiam. "Dia selalu mengatakan bahwa dia mendapat
'diskon lima jari'." Dia kembali terdiam. Aku dapat melihat kejijikan yang
mengumpul di tenggorokannya, dan dia menelannya kembali. "Beberapa di antaranya
mencakup permen, penyegar napas, atau makanan," lanjutnya. "Katanya, 'polisi tak
bisa menahan kita jika kita tertangkap dengan benda yang harganya di bawah
sepuluh dolar.'" Alisnya terangkat dan membentuk seruas garis di atas matanya.
"Dia juga mencuri celana dalam wanita dan bra." Dia menatapku, tapi aku tidak
memberikan respons; aku membiarkannya berjuang melawan perasaannya.
Dia melanjutkan, "Beberapa tahun yang lalu, saya ingat keluar bersama keluarga
saya untuk makan pizza. Anak lakilaki saya berumur sekitar sepuluh bulan. Ayah
saya menawarkan diri untuk menggendongnya dan menyerahkan tas popok yang
sebelumnya dia pegang kepada saya. Saat kami masuk ke mobil, saya mengatakan
bahwa saya ingin mengeluarkan beberapa barang dari dalam tas, dan ayah saya
tertawa. Di dalam tas popok itu ayah saya menyimpan barang-barang
curiannya: sebuah tempat anggur, dua buah gelas anggur, dan empat buah perangkat
makan perak. Katanya, dia membayar bendabenda itu dengan uang tip. Ayah saya
selalu mencuri sesuatu saat kami makan di luar. Wadah garam dan merica, gelas,
perangkat makan perak kami punya selaci penuh barang-barang semacam itu di ?rumah. Seolaholah dia tidak bisa pergi ke restoran tanpa mengutil sesuatu. Dia
memanfaatkan kami saya dan adikadik saya dengan menyelipkan sesuatu ke saku
? ?kami atau menyuruh kami mengambil sesuatu. Saya tidak mau melakukannya, tapi
saya takut dia akan menyakiti saya jika saya menolak, jadi saya pun mau." Karen
terdiam, merasa malu setelah mengungkapkan bahwa pengutilan adalah hal biasa
dalam kehidupan keluarganya.
"Apakah kamu merasa seperti penjahat, sama seperti ayahmu?" aku menggunakan kata
yang berkesan kuat karena itulah yang sepertinya dirasakan oleh Karen. Dia
mengangguk. Bibirnya mengerut, dan air mata meluncur dari sudut matanya.
"Dengan dipaksa berpartisipasi dalam pencurian yang dilakukan oleh ayahmu, kamu
sepertinya merasa bahwa kamu juga seorang pencuri." Karen kembali mengangguk.
"Tapi, jika kamu tidak mematuhinya, dia akan menyakitimu," aku melontarkan
sebuah pertanyaan retoris. Karen mengangguk sekali lagi, sedikit lebih
bertenaga, dan lebih banyak lagi air mata membasahi pipinya. "Apa yang bisa kamu
lakukan?" Karen harus memproses situasi ini dari sudut pandang seorang dewasa.
Dia mengangkat bahu, menangis lebih keras. Aku membiarkannya larut dalam keadaan
ini selama beberapa menit. Aku dapat melihat dia berusaha membebaskan diri dari
beban kenangan-kenangannya.
"Kamu kesulitan melihat dirimu sebagai sosok yang berbeda dari ayahmu, dan
itulah alasan mengapa kamu ingin mati." Karen tidak mengangguk, tapi dia
menangis lebih keras. KETIKA ITU Maret 1993, dan Karen mengatakan kepadaku bahwa ibunya meneleponnya
untuk meminta uang. Dia memberikan sedikit uang seminggu sebelumnya, berharap
ibunya akan berhenti menelepon, namun dipicu oleh kelemahan Karen, ibunya justru
makin sering menelepon. Setelah membuka pesan-pesannya, Karen menyerahkan
ponselnya kepadaku supaya aku bisa ikut mendengarkan. Setiap pesan lebih kasar
daripada sebelumnya. Karen, teleponlah ibumu. Aku harus bicara denganmu. [Bip]
Telepon aku! Aku butuh sesuatu. Setelah semua yang kulakukan untukmu, kau
berutang padaku! Telepon aku! Jangan kasar begitu, dasar jalang! [Bip]
Ini ibumu! Telepon aku! Memangnya kenapa! Setidaknya kau bisa meneleponku. Kau
berutang padaku seluruh uang yang kuhabiskan untukmu sepanjang hidupmu! Telepon
aku, atau kau kuanggap mati! [Bip]
Dasar pemalas gembrot! Jangan pernah minta sesen pun padaku. Kalau kau tak bisa
menolongku, lebih baik cium saja pantatku! [Bip]
Aku akan menelepon Dr.Baer-mu yang hebat itu dan mengatakan padanya bahwa kau
tahi kucing. Andai saja kau mati saat dilahirkan! Dasar sialan! [Bip]
Aku memandang Karen; dia balas memandangku dengan ekspresi malu yang telah
sering kulihat. Dasar sialan, kupikir Tuhanku.?"Saya sudah memberi uang untuknya sepanjang waktu, berharap dia akan menyukai
saya," kata Karen, "tapi dia justru meminta lebih banyak lagi. Dia selalu
mengatakan akan mengembalikannya, tapi dia tak pernah melakukannya. Semua orang
meminta uang kepada saya, semua keluarga dan teman saya. Saya tidak punya uang,
tapi saya tak bisa menolak."
"Apakah kamu pernah menolak ibumu?" tanyaku.
"Ya, dan karena itulah dia marah."
"Seandainya kamu memberikan uang yang dimintanya," lanjutku, "apakah dia akan
berhenti meminta?" Waktunya untuk memproses kenyataan lagi.
"Tidak," Karen langsung menjawab, "dia hanya akan diam selama beberapa hari."
"Seandainya kamu memberikan uang yang dimintanya," aku menekannya, "apakah dia
akan menyukaimu?" Karen terdiam saat mendengar pertanyaan ini.
"Mungkin katanya, namun dia tahu bahwa ini tidak benar. Pengakuan memang
menyakitkan. "Tidak," katanya. Aku menanti sejenak.
"Jika kamu sudah memberinya uang, dan dia tidak lebih menyukaimu, bagaimanakah
perasaanmu?" tanyaku.
"Saya ingin menyakiti diri saya sendiri," jawabnya,
lirih. "Jadi, apakah yang seharusnya kamu lakukan?" Dia menatapku dengan bimbang.
"Tidak ada yang bisa saya lakukan."
"Itulah yang selalu ada dalam pikiranmu," ujarku. "Kamu bisa bilang tidak."
"Dia tidak akan menyerah," Karen pasrah.
"Pada akhirnya, dia akan menyerah."
"Tidak akan." "Kamu sudah dewasa sekarang," ujarku. Karen belum teryakinkan; hal ini sudah
berlangsung sangat lama. Kami harus membiarkannya untuk saat ini; seorang pasien
bisa saja dihadapkan pada kenyataan, namun sulit untuk meyakinkannya. Karen
harus mencerna hal ini. KAREIS) TELAH banyak tertinggal dalam pembayaran tagihanku. Aku mengetahui
dampak yang akan timbul pada Karen jika aku menyebutnyebut hal ini. Aku dan
ibunya, samasama meminta uang kepadanya. Aku berada dalam posisi yang sulit.
Jika aku memintanya untuk membayar tagihan, sebelum jumlahnya menumpuk, aku akan
terlihat seolaholah meminta uang terus-menerus kepadanya, sama seperti ibunya.
Jika aku diam saja, dan tagihannya semakin melambung, pada suatu titik aku harus
mengungkapkannya, dan kemudian aku akan meminta lebih banyak daripada yang bisa
diberikannya, sama seperti ibunya. Terdapat cava-cara yang baik, teknis, dan
psikoterapeutik untuk menangani situasi seperti ini; hanya saja, aku tidak
pernah menguasainya. Jadi, di suatu titik di antara menagih dan membiarkannya
terlalu lama, beberapa sesi setelah Karen mengeluh tentang ibunya, akhirnya aku
mengangkat topik ini. "Saya lihat kamu sudah lama tidak membayar tagihanmu," ujarku sambil menyerahkan
tagihan untuk tiga bulan terakhir kepadanya. Wajah Karen memucat, dan dia mulai
menangis. "Saya memberikan uangnya kepada ibu saya. Saya selalu membayari temanteman
saya," katanya. "Ibu saya selalu mengatakan bahwa saya berutang kepadanya;
sekarang saya juga berutang kepada Anda."
"Menarik sekali melihat apa yang ada di balik keterlambatanmu membayar," ujarku,
berusaha menahan suaraku supaya tidak menunjukkan kejengkelanku akibat dia
memberikan uangku untuk orang lain. "Ini membuatmu merasa bahwa saya tidak
berbeda dari ibumu." Karen berpikir sejenak. Aku melanjutkan, "Ini juga membuat
saya merasa seperti dirimu ibumu meminta uangmu, dan ibumu meminta uang saya; ?kita berdua tidak menyukainya, tapi kita berdua merasa tidak berdaya untuk
mencegahnya." Karen memandangku dan nyaris tersenyum. Alihalih menganggapku sama
dengan ibunya, dia sepertinya justru merasa lebih baik karena aku dan dia
sekarang berada di atas perahu yang sama. Tapi, dia kembali bersedih.
"Bagi Anda, ini sekadar pekerjaan," katanya, "hanya itulah artinya." Artinya,
tentu saja, aku tidak memedulikan dirinya, hanya uangnya.


Menyingkap Karen Karya Richard Baer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini bukan sekadar pekerjaan," ujarku. "Ini pekerjaan yang sangat istimewa." Aku
tidak tahu apakah dia memercayaiku. Dia memikirkan ucapanku beberapa saat, tapi
sepertinya belum merasa tenang. Kami terus berusaha memecahkan masalah keuangan
ini. PENTING BAGI Karen untuk mulai melindungi dirinya sendiri dari orangorang yang
pernah mengasahnya, bahkan jika dia tidak akan secara fsik meninggalkan mereka.
Meskipun kadangkadang dia merasa bagaikan seorang petarung gagal tanpa adanya
wasit yang bertugas menghentikan pertandingan, dia mulai menemukan cara-cara
kecil untuk mempertahankan diri. Dengan ibunya, dia mulai menyaring telepon yang
masuk, dan saat ibunya meninggalkan pesan yang terdengar kasar, Karen akan
menghapusnya sejak awal, sebelum dia mendengar keseluruhannya. Karen mulai
membuat alasan, seperti mengatakan bahwa dia harus berada di sekolah anaknya
saat ibunya minta diantarkan ke suatu tempat. Dengan suaminya, Karen
merencanakan kegiatan bersama anakanaknya di luar rumah di antara waktu suaminya
pulang kerja dan mulai minum-minum serta saat dia telah tertidur.
Manuver-manuver ini adalah upaya baru yang tidak selalu berhasil. Sering kali,
dia masih menggunakan kerangka berpikir anakanak saat berhadapan dengan
orangorang yang pernah mengasahnya: menerima atau mati. Jika penganiayaan yang
dialaminya tidak bisa ditoleransi lagi, dan dia tak mampu menerimanya lagi, dia
ingin melakukan bunuh diri. Dalam menghadapi orangtua atau suaminya yang gemar
menyiksa, dia sangat jarang bersikap dewasa yang mencakup meyakinkan diri ?sendiri, menetapkan batasan, atau mengabaikan. Pilihan tersebut tidak nyata bagi
Karen; dia menganggap tindakan-tindakan dewasa itu berada di luar kemampuannya.
Tugasku adalah berusaha menjadikannya nyata. Meskipun masih diterpa oleh
112richard Baerberbagai kemalangan, Karen semakin kuat. Seiring dengan
kepercayaannya kepadaku yang semakin besar, dia semakin banyak mengungkapkan
rahasianya. KETIKA ITU September 1993. Karen memasuki kantorku, jelas terlihat terguncang.
Udara awal musim gugur menerpanya.
"Saya tidak tahu apa yang menimpa saya semalam," kata Karen. Aku bisa melihat
dia enggan membicarakannya. "Apakah yang bisa kamu ceritakan tentang hal itu kepada saya?" tanyaku.
"Saya pergi ke dokter kemarin; setidaknya itulah yang ada dalam pikiran saya.
Saya tidak ingat saat saya diperiksa, tapi saya menemukan obatnya obat vagina.
?Saya berusaha mengikuti instruksi yang ada pada bungkusnya, dan tangan saya
mulai gemetar; saya merasa panik dan mual. Saya memasukkan obat itu ke dalam
tubuh saya, dan saya muntah saat selesai melakukannya. Saya tidak tahu mengapa
reaksi seperti itu terjadi pada saya."
"Apakah yang ada di dalam pikiranmu ketika itu?" tanyaku.
"Saya merasa seperti sedang disakiti dalam pesta orangtua saya .... Saya ingin
memberi tahu Anda, tapi saya tak bisa membicarakannya." Dia terdiam dan
tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Apakah menurutmu kamu bisa bicara ke alat perekam?" Aku ingin mencari cara
supaya Karen dapat mengatakan apa yang perlu dikatakannya kepadaku; hanya saja,
kami tidak punya cukup waktu untuk menantinya melakukan hal itu di kantor.
"Saya rasa bisa."
MINGGU SELANJUTNYA, Karen membawakan sebuah mikrokaset untukku. Aku membawanya
pulang, dan setelah makan malam, aku naik ke lantai atas rumahku untuk
mendengarkannya. Di sana, secara terpatah-patah, terungkaplah cerita berikut.
Ayah Karen, Martin, seorang kepala di sebuah toko kecil yang menjual perangkat
mesin, menghampiri mesin cetak
yang dioperasikan oleh Harry. "Memangnya siapa yang menyuruhmu mengerjakan ini?"
Martin berseru meningkahi deru mesin. "Kami tidak butuh pekerjaan itu sampai
minggu depan! Bangsat, Harry, kau membuatku menyesal karena telah
mempekerjakanmu!" "Maafkan aku, Martin. Stan menyuruhku mengerjakannya. Dia menyuruhku
mengoperasikan mesin ini," kata Harry. Martin mengetahui hal ini; ini telah
dibacakan dalam rapat pagi itu.
"Bangsat, seharusnya kau lebih tahu. Tapi, karena kau yang memulai, kurasa kau
juga yang harus membereskannya."
"Maafkan aku, Martin. Tolonglah, aku butuh pekerjaan ini. Aku tidak akan
mengulanginya lagi."
"Yah, Harry, kau tahu tidak ada orang lain yang mau mempekerjakanmu, dasar
keparat bodoh! Jika bukan karena aku, kau akan jadi gelandangan. Sekarang, kau
punya pekerjaan bagus. Kau berutang kepadaku. Kau berutang besar kepadaku."
Harry menunduk. "Maafkan aku, Martin. Tolonglah, jangan marahi aku."
"Ah, sudahlah, kau tidak seburuk itu. Bagaimana kalau kau datang ke rumahku
malam ini" Kita akan berpesta. Kita selalu bersenang-senang."
"Oke ... ya ampun, terima kasih, Martin. Jadi, kau tidak marah?"
"Tidak, datanglah pukul delapan; jangan lupa membawa
bir." Harry tiba pukul delapan, lalu dia mendengar gelak tawa dan pekikan seorang
wanita saat berjalan memasuki ruang tamu. Lampu dipadamkan, lalu terdengar suara
desir dan derak proyektor. Di layar, seorang wanita sedang dimasuki dari
belakang saat dia memberikan seks oral kepada pria lain yang menghadap ke
arahnya. Harry melihat Martin duduk menonton flm ini. Terdapat dua pasangan lain
di sana. Seorang wanita duduk dengan payudara terbuka, dan dua orang pria
memainkannya. "Harry, sini! Duduklah di sini." Martin memegang kaleng bir dengan satu
tangannya, dan menunjuk kursi di sebelahnya dengan tangannya yang kosong. Mata
Harry membelalak memandang adegan flm di depannya. Dia duduk di samping Martin, namun
matanya berkeliaran mengamati seluruh ruangan. Dia memandang si wanita yang
memamerkan payudaranya. "Kau mau?" Martin bertanya. Harry menatap Martin dengan terkejut dan ragu. "Aku
punya sesuatu yang istimewa untukmu, Harry, tapi kau harus membayar." Martin
tahu bahwa karena ketika itu hari Jumat, Harry tentu telah mencairkan gajinya
sepulang kerja. Harry membuka sekaleng bir dan menonton flm, tapi tatapannya terus-menerus
kembali ke wanita yang sedang dimainkan oleh dua orang pria di sisi lain
ruangan. Terdapat seorang wanita lain yang duduk di samping salah seorang pria
itu, tampak bosan dan marah. Pria di sampingnya, yang sekarang memasukkan
tangannya ke celana dalam wanita yang berpayudara telanjang, meraba kaki wanita
yang tampak marah itu. "Jangan sentuh aku!" desis wanita itu. Pria di sampingnya tetap membelai
pahanya. Wanita itu cemberut, namun dia membiarkan si pria menyentuhnya. Dia
meneguk bir di tangannya. Martin menyaksikan Harry memandang penuh nafsu pada
kedua pasangan di sisi lain ruangan itu.
"Beri aku lima puluh dolar, Harry, dan aku akan memberikan seorang wanita
untukmu," Martin berbisik di telinga Harry.
"Oh, entahlah "Jangan sok banci, Harry. Kau tak suka wanita" Kau banci?"
"Oke, Martin." Sambil memandang wanita yang sedang dimainkan oleh dua pria,
Harry merogoh dompetnya. Dia berpikir tak ada salahnya jika dia turut menggarap
wanita itu. "Ikuti aku," Martin berjalan ke koridor. Harry mengikutinya, menoleh ke arah
wanita itu, yang sekarang sedang meraba penis salah satu pria yang asyik
dengannya dari balik celana. Martin membawa Harry ke kamarnya.
"Tunggulah di sini," kata Martin. Harry duduk di ranjang dan menunggu wanita di
ruang tamu dipisahkan dari kedua pria yang sedang menggarapnya.
Karen sedang tidur di tempat tidur tingkat bersama kedua adiknya. Ketika itu dia
berumur sebelas tahun. Martin membuka pintu akordeon vinil di kamar sempit
tempat ketiga anaknya tidur itu, lalu menyentuh bahu Karen. Karen terbangun
kaget. "Bangun!" Martin menarik lengan Karen dan menyeretnya ke kamarnya. Harry
mendongak, kaget melihat gadis kecil itu. Dia menatap Martin, dan dari ekspresi
wajah pria itu, Harry menyadari bahwa dia baru saja membayar untuk berhubungan
seks dengan anak perempuan Martin.
"Buka bajumu," Martin memerintah Karen yang tampak ketakutan. Karen cepatcepat
mencopot piyamanya. "Jangan, Martin, sepertinya tidak Harry mulai memprotes.
"Kau sudah membayar," kata Martin. "Aku tidak mau mempekerjakan seorang banci."
Harry, yang takut kepada Martin, memandang Karen. "Sentuh dia; dia menyukainya,"
kata Martin. Harry gemetar dan kebingungan, namun akhirnya dia menggapai dan
meraba paha Karen .... Aku mendengarkan hingga dua menit kemudian, lalu mematikan tape dan duduk
bersandar, merasakan jantungku berdegup kencang. Aku mual. Cerita ini
disampaikan dalam bentuk potongan-potongan, kolase berbagai bayangan, buah
pikiran, dan sensasi yang teringat. Sungguh sulit membayangkan peristiwa ini
sungguhsungguh terjadi dalam kehidupan nyata. Kerusakan apakah yang tentunya
terjadi pada diri Karen karena memiliki orangorang semacam itu sebagai orangtua,
sebagai suri teladan" Bagaimanakah dia harus menilai dirinya sendiri, yang
terpaksa berpartisipasi dalam kehidupan kotor orangtuanya" Tidak heran kalau dia
ingin mati. Sungguh luar biasa dia dapat bertahan melalui semua itu.
Istriku mengantar anakanak tidur. Aku ingin membantunya, menjalani kehidupanku
yang normal, memandang senyuman di wajah anak-anakku saat mereka menjeritjerit dan saling
mencipratkan air di bak mandi, serta memisahkan diriku dari ceritacerita
mengerikan ini. Aku sebaiknya menyingkirkan tape dan mendengarkan kelanjutan
kisah Karen di lain hari. Tetapi, sebagian dari diriku tergerak untuk
melanjutkannya. Bagian itu menang.
Ketika itu musim panas, dan Karen, dua belas tahun, mengenakan celana pendek dan
kaus, berjalan dari ruang tamu menuju dapur untuk kemudian bermain di luar. Ibu
dan ayahnya sedang duduk di meja dapur, bertengkar.
"Aku tidak dihormati di tempat ini. Aku tidak dihormati layaknya seorang suami
di mata istrinya!" Martin memelototi Katrina, lalu menatap Karen yang sedang
memasuki dapur. Katrina bersikeras, "Aku hanya bilang, kita sebaiknya mencari apartemen baru-"
"Kau mau ke mana?" Martin membentak Karen, mengulurkan tangan dan menyambar
payudara kiri Karen, lalu menariknya ke dekatnya. Katrina membuang muka. Karen
mengernyitkan wajah kesakitan, namun tidak bersuara.
"Kamu mau ke mana" Apa kamu tuli?" Martin memeganginya.
"Ke rumah Donna," kata Karen, dan ayahnya pun melepaskannya. Karen memegangi
dadanya, namun ayahnya menepiskan tangannya.
"Lihat dadamu itu!" kata Martin, tatapannya terpaku ke payudara Karen. "Sebesar
apa dadamu" Sebesar ini?" Martin mengacungkan kedua tangannya dan membentuk
mangkuk kecil dengannya. "Coba kita lihat." Dia meraupkan kedua tangan besarnya
di dada kecil Karen, lalu meremasnya dengan keras. "Apa yang sebesar ini bisa
masuk ke mulut" Apa pun yang tidak cukup di mulut tidak ada gunanya." Dia
menertawakan sendiri gurauannya.
Karen berjalan perlahan menyusuri gang di antara rumahnya dan rumah tetangganya,
masih memegangi payudara yang baru saja diremas oleh ayahnya. Dia berjalan
setengah blok menuju halaman belakang Rumah Duka
Pankratz & Sons, tempat tinggal temannya, Donna. Donna berusia sembilan tahun,
tiga tahun lebih muda daripada Karen. Garasi rumahnya terbuka, dan Donna sedang
bermain boneka di dalam. Garasi itu berukuran luas, cukup untuk menampung tiga
buah kendaraan, namun hanya ada sebuah mobil jenazah di sana. Karen menghampiri
Donna, yang sedang duduk di tangga menuju ruangan tempat pembalsaman dilakukan.
Donna memegang dua boneka, berukuran besar dan kecil.
"Hai," sapa Karen sebelum duduk di samping Donna.
"Hai," balas Donna sambil memainkan bonekanya. Donna menempatkan boneka kecilnya
dalam gendongan boneka yang lebih besar. "Betty sedang sedih," kata Donna,
menunjuk boneka yang lebih kecil. Karen duduk memandang Donna yang sedang
membelai rambut boneka kecilnya dengan tangan boneka besarnya.
"Mari kita berpurapura mereka sedang minum teh dan makan kue," kata Karen.
Donna memandang ke sekelilingnya. "Sepertinya perlengkapan minum tehku ada di
dalam." Tepat ketika itu, sebuah mobil jenazah besar bercat kelabu memasuki garasi.
Karen dan Donna menyaksikan tiga orang pria keluar dari mobil: ayah Donna, Pak
Pankratz, yang berteman dengan ayah Karen, dan dua orang pria lain yang
membantunya menjemput jenazah. Ketiga pria itu menghampiri dan membuka bagian
belakang mobil, lalu mengeluarkan brankar tempat mayat. Ayah Donna memandang
kedua pria lainnya, menyeringai dan mengedipkan mata, lalu membuka kantong
mayat. Kantong itu terbuka dan menampilkan mayat seorang pria tua dengan penis
berdiri tegak. Karen terkesiap dan Donna menjerit. Ketiga pria itu tertawa
terbahak-bahak, dan ayah Donna menghampiri mereka, berdiri di antara kedua gadis
kecil itu dan pintu garasi yang masih terbuka.
"Ayo, Anakanak, kalian ingin melihat burung yang kaku, permen loli beku" Ingin
melepas baju dan merasakan enaknya menduduki burung yang sedingin es?" Ayah
Donna menggiring kedua gadis kecil itu, lalu mendorong mereka ke bagian belakang
mobil jenazah. Kedua pria yang lain terkekeh, dan ayah Donna terus mendorong
kedua gadis itu ke arah mayat Pak Stankowski. Mau tidak mau, Karen dan Donna tergiring oleh ayah
Donna hingga keluar dari garasi. Setelah berada di luar, Donna berhenti, duduk,
dan mulai menangis. Karen duduk di sampingnya dan membelai rambutnya. Mereka
berdiam di sana selama beberapa menit.
Karen mendengar pintu mobil jenazah dibanting, dan salah seorang pria
menghampiri mereka sambil membawa sebuah kotak sepatu. Donna tidak mendongak,
tetapi Karen memandang dengan waspada ke arah pria itu. Pria itu mendekat dan
berjongkok di dekat mereka, lalu menunjukkan isi kotak sepatu kepada kedua gadis
itu. Meringkuk di sudut kotak tersebut adalah seekor burung merpati putih yang
sedang bernapas dengan berat. Pria itu memungut binatang tersebut dan
menyodorkannya ke arah Donna, yang menggapai dan memeluknya. Burung merpati itu
tampak sedikit lebih tenang, namun tidak berusaha bergerak.
"Kami menemukannya di pinggir lapangan parkir rumah sakit," kata pria itu. "Ia
tidak bergerak, jadi mungkin ia sakit." Dia kembali mengambil burung itu dari
Donna dan mengulurkannya ke arah Karen, yang mengelus-elusnya, merasakan bulunya
yang lembut dan napasnya yang cepat tapi ringan.
"Mungkin kita bisa merawatnya," kata Karen, memandang wajah pria yang memegang
burung itu. Karen dapat melihat campuran rasa geli dan jahil di wajah pria itu.
Kemudian, pria itu berdiri dan memandang ayah Donna dan kedua pria lainnya, yang
sekarang duduk di bagian depan mobil jenazah, terkekeh-kekeh, menyaksikan adegan
dengan seekor burung tersebut.
"Tentu saja kita bisa merawatnya," kata pria itu, tersenyum dan berjalan kembali
ke garasi. "Lihat ini, mungkin ia bisa terbang!" Pria itu melemparkan burung itu
ke udara, di antara dirinya dan Karen. Karen menggapaikan kedua tangannya.
"Jangan!" Karen menjerit dan melompat ke arah burung itu, namun binatang malang
tersebut jatuh menghantam lantai semen sebelum Karen dapat menjangkaunya.
"Maafkan aku, maafkan aku," Karen terisak-isak. "Maafkan aku karena tidak
menangkapmu." Saat mendengarkan kejadian ini, aku terpaku oleh nada tersiksa dalam suara Karen
ketika dia tidak mampu menyelamatkan burung merpati itu, seolaholah dia
seharusnya bisa melakukannya. Sulit juga bagiku untuk memercayai bahwa para pria
dewasa tersebut dapat bertindak begitu kekanak-kanakan dan sadis dengan menyiksa
seekor burung untuk mengganggu dua orang gadis cilik. Aku tidak tahu mengapa itu
membuatku terkejut. Aku tahu ada orangorang yang memang seperti itu, namun
seluruh kejadian itu menggambarkan tingkatan tinggi dalam sadisme kekanak-
kanakan sehingga aku masih terkejut dibuatnya. Aku kembali menyalakan tape.
Telepon berdering pada pukul 1.30. Martin masih terjaga, menanti panggilan
tersebut. Dia berbicara singkat, menganggukkan persetujuan, dan menutup telepon.
Katrina telah tertidur. Martin memasuki kamar Karen, tempatnya tidur bersama
kedua adiknya, dan mendudukkannya.
"Pakai sepatumu, kita akan keluar," bisik Martin sambil menolong Karen memakai
mantelnya. Karen belum sepenuhnya terjaga, namun dia tidak melawan perintah
ayahnya. Dia pernah dibangunkan seperti ini beberapa kali sebelumnya. Dia
berjalan, bagaikan robot, melewati dapur, dalam balutan sepatu, piyama, dan
mantel musim dingin, tersuruksuruk didorong oleh ayahnya.
Dia merasakan tiupan angin dingin di pipinya saat berjalan dengan pikiran kosong
menuruni tangga belakang rumahnya. Mereka menyusuri gang dan memasuki pintu
garasi rumah duka Pankratz yang terbuka. Karen mendengar pintu luar tertutup
saat dia mencapai pintu bagian dalam. Dia tersandung-sandung menuruni dua anak
tangga memasuki rumah. Dia berusaha tidak membuka matanya saat tiba di dalam.
Mereka berbelok dan mulai menuruni tangga lagi. Semakin mereka turun, aroma
formalin semakin kuat tercium, sementara suarasuara semakin nyaring terdengar.
Cahaya temaram dari beberapa batang lilin menerangi ruangan, dan lima atau enam
orang pria telah berada di
sana. Botol-botol bir kosong berserakan di atas meja baja; di antara botol-botol
plastik terdapat pisau baja dan selang. Di tengah ruangan, terdapat dua buah
meja baja, yang biasa digunakan untuk membersihkan, mengeringkan, membalsem, dan
mendandani mayat. Martin menggandeng Karen ke meja yang terdekat dan membuka


Menyingkap Karen Karya Richard Baer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mantelnya. "Buka celanamu, Karen," kata Martin, "kami akan membuatmu merasa enak." Martin
melontarkan senyuman dingin dan aneh kepada Karen, lalu melemparkan mantelnya ke
sudut ruangan. Karen cepatcepat menurunkan dan melepas celana piamanya. Dia
telanjang dari pinggang ke bawah. Beberapa pria di ruangan itu mendekat dan
memandang Karen yang berdiri di samping meja. Dia memandang sekilas kepada pria-
pria itu, dan melihat tidak seorang pun dari mereka menunjukkan kebaikan, Karen
langsung membuang muka. Pikiran Karen sepertinya berada jauh dari para pria itu
yang selalu menghadiri pertemuan semacam ini sebelumnya.
"Naiklah ke meja, Karen," kata ayahnya. Karen memanjat dan duduk di tengah meja
pembalsaman. Martin menoleh ke arahnya dan membuka kancing atasan piyamanya,
melepasnya melewati bahu, lalu melemparkannya ke sudut ruangan, di dekat
mantelnya. "Apakah kau ingin dicintai oleh kami?" tanya Martin seraya meraba dada dan bahu
Karen. Karen duduk bergeming, tanpa berkata-kata, tapi matanya membelalak
ketakutan. "Hati dan jiwamu hitam," ayahnya melanjutkan. "Kau barang rusak.
Semua orang tahu kau jahat."
Martin menjauhi meja, dan para pria lain menghampiri Karen lalu mulai meraba
tubuhnya. Karen merasa kebingungan antara sentuhan menyenangkan dan penuh kasih
sayang dari para pria itu, dan ketakutannya akan sentuhan. Martin kembali dengan
membawa enam jarum pentul putih. Karen tidak melihatnya; matanya terpejam,
tenggelam dalam ketakutan dan sensasi sentuhan yang tidak tertahankan.
Sementara para pria itu merabai tubuh Karen, Martin dengan cepat menusukkan
salah satu jarum ke perut Karen, lalu menariknya kembali. Karen memekik,
menegang, lalu kembali diam, berusaha menyingkirkan ketakutan dan kesakitannya.
Untuk kedua dan ketiga kalinya, Martin
menusuk perut Karen. Karen berusaha tetap diam, namun setiap tusukan membuatnya
meronta. "Supaya bisa dicintai, kau harus disakiti," kata Martin. "Kau harus merasa sakit
untuk bisa merasakan cinta. Kau tidak bisa mengenal cinta kalau kau tidak tahu
tentang rasa sakit." Karen, yang terbaring tegang, terus memejamkan mata.
"Mungkin kita harus membawa kedua adikmu ke sini supaya mereka bisa menolongmu
mengetahui tentang cinta dengan melihat kesakitan mereka?" Karen membuka matanya
lebarlebar. Dia teringat ketika terakhir kalinya kedia adiknya dihajar oleh
ayahnya. Kata ayahnya, mereka dipukul akibat kesalahan Karen, untuk menebus
dosa-dosa Karen. Itu sangat buruk. Karen berjanji kepada dirinya sendiri untuk
tak akan membiarkan kedua adiknya disakiti karena kesalahannya. Dia akan
bersikap sempurna supaya dapat melindungi mereka. Dia akan menjadi tameng
mereka. "Kau harus berterima kasih kepada kami yang telah mencintaimu," kata Martin,
kembali menusukkan jarum ke perutnya.
Karen membicarakan kejadian ini dalam kaset rekamannya dengan ragu-ragu, letih,
dan terputus-putus. Sepertinya, kenang an itu membuatnya jijik aku mendengar ?keputusasaan dalam suaranya tapi dia tetap melanjutkan ceritanya. Aku
?terheranheran saat memikirkan bahwa peristiwa ini terjadi di lingkungan bagian
barat kotaku. Siapakah orangorang ini" Sepertinya tidak mungkin jika Karen
mengkhayalkan hal ini dalam benak kanak-kanaknya. Kejadian-kejadian tersebut
terlalu sadis dan manipulatif untuk dikarang olehnya.
Rekaman itu belum selesai, masih ada lima belas menit lagi. Anak-anakku tentunya
telah tertidur sekarang, dengan bayangan orangtua yang mencintai mereka serta
ranjang aman dan hangat yang melingkupi mimpi mereka. Aku sangat bersyukur
karena anak-anakku tidak mengetahui kepedihan semacam ini. Benakku penuh
dengan bayangan, reaksi, penyangkalan, kengerian, dan kecemasan. Aku risau
memikirkan usahaku untuk menolong wanita yang telah sangat menderita ini.
Penganiayaan semacam ini dinamakan "pembunuhan jiwa" untuk menggambarkan betapa
tindakan tersebut mematikan keinginan untuk hidup. Apakah Karen tidak mungkin
tertolong lagi" Aku memakai kembali headphone-ku dan menekan tombol Play.
Karen memandang jam dinding. Ibunya telah berangkat kerja sekitar satu jam yang
lalu, dan ayahnya akan pulang dalam beberapa menit. Dia memeriksa ruang tamu dan
dapur untuk memastikan semuanya rapi dan berada di tempatnya. Dia memasuki
kamarnya untuk melakukan pemeriksaan terakhir dan memastikan kedua adiknya tidak
mengacak-acak kamar yang telah dirapikannya setengah jam sebelumnya. Kedua
adiknya sedang bermain tentara plastik hijau di lantai. Karen memunguti mainan-
mainan mereka yang berserakan dan duduk di meja dapur untuk mengerjakan PR-nya.
Saat duduk, dia mendengar pintu depan terbuka, dan langkah berat ayahnya pun
terdengar di koridor. "Rupanya kau di situ!" katanya, menatap tajam ke arah Karen, yang duduk di meja
menghadapi buku pelajarannya. "Rumah ini berantakan sekali! Memangnya apa saja
yang kaukerjakan" Aku tidak tahu buat apa aku memeliharamu. Kau cuma
menghabiskan uang kami saja." Karen membungkuk serendah-rendahnya di meja.
Martin menghampiri kulkas dan membuka pintunya. Dia mengeluarkan sekotak susu.
"Susu ini sudah basi!" serunya sambil melemparkan kotak itu ke bak cuci piring.
Dia mengeluarkan sekaleng bir dan sepotong pizza sisa. Kemudian, dia mencari
piring untuk menempatkan pizzanya. Dia mengeluarkan sebuah piring, lalu sebuah
lagi. "Piring ini masih kotor!" serunya sambil berpaling ke arah Karen. "Sini kamu,
cuci piring-piring ini. Aku tidak mau melihat setitik pun noda di situ!" Karen
cepatcepat menghampiri bak cuci piring, dan Martin membuka kran air panas. Karen mencuci
piring pertama sementara ayahnya berdiri di sampingnya, mengamati, dan air yang
semakin panas memancar dari kran. Martin menyambar pergelangan tangan Karen.
"Kau butuh air panas untuk membersihkan piring-piring ini!"
Karen mengernyitkan wajah sambil cepatcepat mencuci piring dan berusaha tidak
menjatuhkannya, menahan diri dari air yang semakin panas. "Aku harus mengajarkan
semuanya kepadamu." Karen berusaha menahan air mata dan sikapnya, tahu betul
bahwa jika dia mengeluh, nasibnya akan menjadi lebih buruk. Martin menutup kran
setelah Karen mencuci piring kedua. Punggung tangan Karen merah padam. Martin
menunduk memandang Karen, yang menyembunyikan tangannya di balik punggung.
"Kenapa kau memakai sabuk cokelat itu" Bukankah aku sudah bilang bahwa cokelat
adalah warna negro" Memangnya kau pencinta negro" Apa kau mau tidur dengan
negro?" Martin mendekatkan wajahnya ke wajah Karen, yang berdiri di hadapannya,
tidak mampu bergerak maupun berkata-kata. "Kau nakal dan harus dihukum. Masuklah
ke kamarmu dan tidur. Aku ingin kau tidur sekarang juga!"
Pada pukul 2.00, pada malam yang sama, setelah ibunya pulang kerja dan tertidur,
ayah dan kakek Karen memasuki kamar Karen dan mendudukkannya. Ayahnya membawa
mantelnya. "Ayo, Karen, kita akan membeli es krim," kata ayahnya sembari memakaikan
mantelnya. Karen duduk, gugup, tidak ingin bangun, namun membiarkan ayahnya
memakaikan mantel di atas piyamanya. Kedua pria itu menggandeng Karen menuruni
tangga belakang dan memasuki mobil kakeknya. Mereka melakukan perjalanan selama
sepuluh menit menuju pabrik bahan kimia tempat kakeknya bekerja sebagai mandor
pada siang hari. Tidak seorang pun bekerja di sana pada waktu selarut itu. Karen
memejamkan mata nyaris sepanjang perjalanan. Dia telah melewati rute itu
beberapa kali sebelumnya.
Mereka memarkir mobil di dekat gerbang belakang pabrik, di dekat beberapa mobil
lainnya. Kakek Karen menggunakan kuncinya untuk membuka pintu gerbang.
Cahaya di tempat itu remang-remang, namun mereka masih dapat melihat jalan
menuju lift barang. Mereka berjalan menyusuri lantai kayu tua. Mereka melewati
tangki-tangki besar, sebagian di antaranya terbuka dan sebagian yang lain
tertutup, dengan cairan ungu berbau tajam yang membasahi lantai. Mereka tiba di
depan pintu logam besar menuju lift, yang terbuka secara horizontal dari bagian
tengah, disambung oleh kanvas hitam tebal yang menjulur bagaikan lidah.
Kakek Karen menekan tombol Call, dan Karen mendengar derak mesin saat lift itu
bergerak naik dari lantai bawah tanah. Kakeknya menarik lapisan kanvas dan
membuka pintu lift. Pintu itu berderak nyaring saat terbuka. Di balik pintu
terdapat pintu kasa baja yang terbuka dari bagian bawah. Martin membungkuk,
meraih penutup kanvasnya, lalu menariknya. Mereka bertiga memasuki lift yang
luas dan gelap. Martin memegangi lengan Karen, sementara kakeknya menutup pintu
lift, memperdengarkan dentang yang bergema di seluruh pabrik.
Saat lift bergerak turun, Martin melepas mantel Karen dan menyerahkannya kepada
kakeknya. Karen berdiri tegang. Martin membuka kancing atasan piama Karen dan
melepasnya melewati bahunya. Kemudian, Martin menurunkan celana Karen dan
melepasnya melewati satu per satu kakinya. Saat mereka mencapai ruang bawah
tanah, ayah Karen membuka pintu, dan kakeknya menekan tombol Emergency Stop,
mencegah orang lain menarik lift tersebut ke atas.
Kedua pria itu berjalan mengapit Karen memasuki ruang bawah tanah yang luas.
Ruangan itu diterangi oleh belasan batang lilin. Sepuluh orang telah berada di
sana. Tiga atau empat di antaranya wanita, dan dua di antaranya telanjang. Gelak
tawa dan suarasuara nyaring terdengar di sana, dan seorang wanita memekik saat
seorang pria menyambarnya. Ketika Karen digandeng ke tengah ruangan, semua orang
terdiam dan mengalihkan tatapan ke arahnya. Wajah-wajah mereka tampak samarsamar
dan bergoyang-goyang dimainkan pendar cahaya lilin, namun Karen mengenali
sebagian besar di antaranya. Kakek Karen melempar mantelnya ke lantai. Karen
berdiri telanjang di antara kakek dan ayahnya, menghadapi sekelompok orang itu, yang sebagian
tersembunyi, sebagian tampak jelas diterangi cahaya lilin.
"Inilah dia, si gadis jalang keparat," seru kakeknya. "Sekaranglah saatnya
menghukum dia, membersihkan kenistaan jiwanya! Dia harus diberi pelajaran. Dia
harus dihukum. Sekaranglah saatnya!" Si kakek menggandeng Karen ke tengah
ruangan dan mundur, meninggalkan Karen sendirian di bawah tatapan semua orang.
"Sabda Tuhan menyatukan kita!" Si kakek melanjutkan, "Dunia telah kacau balau.
Para manusia kelaparan, bertindak bodoh, dan tunduk oleh wabah penyakit kelamin
garagara anakanak jahat seperti ini. Untuk merasakan kepedihan mereka yang
kelaparan, kalian harus lapar. Untuk merasakan kepedihan mereka yang tak
berdosa, kalian harus menderita. Bawa kemari pisaunya!"
Seorang pria maju membawa sebilah pisau dapur kecil. "Ulurkan tanganmu!" si
kakek memerintah Karen. Dengan mata setengah terpejam, Karen mengulurkan kedua
tangannya. Si pria meletakkan pisau di tangan Karen dan menangkupkan jari-
jarinya. Dia menggenggam tangan Karen yang memegang bilah pisau yang tajam.
Lalu, perlahan-lahan, dia menekankan tangannya di atas tangan Karen. Karen
mengernyitkan wajah kesakitan dan mulai menangis, lalu tiba-tiba terdiam saat
darahnya menetes ke gagang pisau.
"Bunda Maria melakukan kepada bayi Yesus hal yang sama seperti yang kami lakukan
kepadamu," kakeknya melanjutkan. "Beliau harus melakukannya sebelum para pria
bijaksana datang dan mengatakan kepadanya bahwa putranya akan dihukum dalam
kehidupan selanjutnya. Dia meninggal akibat dosa-dosamu." Si kakek mengangguk ke
arah si pria, yang melonggarkan pegangannya pada Karen dan melepaskan pisau dari
tangannya. Karen menurunkan kedua tangannya, darah menetes dari jemarinya.
Kakek Karen melanjutkan, "Kami sepakat bahwa kau harus dihukum, dan kau harus
selamanya menghukum dirimu sendiri selama kau berada di atas bumi ini. Ini
adalah perintah Tuhan. Jika kau memberitahukan perintah Tuhan kepada orang luar,
kau harus membunuh dirimu sendiri,
setelah membunuh orang yang kauberi tahu. Kau harus melakukan ini, atau
kejahatan akan selamanya menyertaimu. Jika berani mengkhianati kami, kau akan
dilemparkan ke neraka dunia maupun akhirat."
Si kakek memandang Martin, lalu mengalihkan pandangan ke meja panjang di dekat
dinding. Martin menghampiri meja itu, yang berbentuk persegi panjang besar
Suling Emas Dan Naga Siluman 28 Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Pukulan Naga Sakti 15
^