Pencarian

Kite Runner 3

The Kite Runner Karya Khaled Hosseini Bagian 3


benjolan-benjolan kecil, dan istri muda yang selalu menebarkan aroma parfum dan
berdansa dengan mata tertutup juga kedua anak perempuan kembar Kaka Homayoun.
Aku duduk di bangku paling belakang, merasa pusing dan mual, diapit oleh si
kembar yang berumur tujuh tahun, yang terus-menerus menggang-guku dengan saling
menampar. Semua orang di dalam van itu berbicara dengan suara keras di saat yang
sama, nyaris melengking-lengking, karena begitulah cara orang Afghanistan
berbicara. Aku bertanya pada salah satu anak kembar itu Fazila atau Karima, aku
tak pernah bisa membedakan mereka apakah dia mau bertukar tempatnya di dekat
jendela denganku, supaya aku bisa mendapat udara segar karena aku merasa mual.
Dia menjulurkan lidahnya dan berkata tidak. Aku bilang, tidak apa-apa, tapi aku
tak mau bertanggung jawab kalau sampai memuntahi gaun barunya. Semenit kemudian,
aku melongokkan kepala melalui jendela untuk menghirup udara segar. Aku
memerhatikan tanjakan dan turunan di jalan yang tak rata, berkelok mengelilingi
gunung, menghitung truk-truk beraneka warna yang berpapasan dengan mobil kami, yang
memuat para penebang kayu yang berjongkok di atas kayu tebangan mereka. Aku
mencoba menutup mata, membiarkan angin menerpa pipiku, membuka mulutku untuk
menelan udara segar. Rasa mualku tidak kunjung berkurang. Fazila/Karima mencolek
pinggangku. "Apa?" kataku. "Aku sedang bercerita pada semua orang tentang turnamen itu," kata Baba dari
belakang kemudi. Kaka Homayoun dan kedua istrinya melemparkan senyuman padaku
dari bangku tengah. "Pastinya ada seratus layang-layang di langit hari itu?" kata Baba. "Benar kan,
Amir?" "Sepertinya begitu," gumamku.
"Seratus layang-layang, Homayoun jan. Aku tidak mengatakan taaf. Dan satu-
satunya layang-layang yang tertinggal di langit sore itu, adalah milik Amir. Dia
membawa pulang layang-layang yang terakhir jatuh, layang-layang biru yang
cantik. Hassan dan Amir mengejarnya bersama."
"Selamat," kata Kaka Homayoun. Istri pertamanya, yang tangannya berbenjol-
benjol, bertepuk tangan. "Wah, wah, Amir jan, kami semua sungguh bangga padamu!"
katanya. Istri mudanya ikut menyalamiku. Lalu mereka semua bertepuk tangan,
meneriakkan pujian-pujian, mengatakan betapa aku membuat mereka bangga. Satu-
satunya orang yang tidak bersuara hanyalah Rahim Khan,
yang duduk di sebelah Baba. Dia memandangku dengan tatapan aneh.
"Tolong pinggirkan mobilnya, Baba," aku mendesak.
"Apa?" "Mabuk," gumamku, mencondongkan badanku, menekan tubuh anak-anak Kaka Homayoun.
Fazila/Karima mengernyitkan muka. "Pinggirkan mobilnya, Kaka! Wajahnya pucat!
Jangan sampai dia memuntahi gaun baruku!" lengkingnya.
Baba meminggirkan mobilnya, tetapi aku sudah tak sanggup menahan lagi. Beberapa
menit kemudian, aku duduk di atas batu di pinggir jalan saat yang lain
mengangin-anginkan mobil. Baba merokok bersama Kaka Homayoun yang menyuruh
Fazila/Karima berhenti menangis; dia akan membelikan baju baru lagi untuknya di
Jalalabad. Aku menutup mata, berpaling ke arah matahari. Suatu bentuk membayangi
kelopak mataku, bagaikan tangan yang menghasilkan bentuk-bentuk bayangan di
dinding. Meliuk, meng-gabung, menampilkan satu bentuk: Celana kurduroi cokelat
milik Hassan yang tergeletak di tumpukan batu bata dalam gang itu.
Rumah Kaka Homayoun di Jalalabad bercat putih dan bertingkat dua, dengan balkon
menghadap ke kebun luas bertembok tinggi, yang ditanami
pohon-pohon apel dan persimmon. Di kebun itu terdapat perdu yang pada musim
panas dipotong berbentuk binatang, dan sebuah kolam renang dengan ubin berwarna
zamrud. Aku duduk menggelantungkan kaki di tepi kolam, yang saat itu kosong
kecuali selapis salju di dasarnya. Anak-anak Kaka Homayoun bermain petak umpet
di sisi lain halaman. Para wanita memasak dan saat itu pun aku sudah bisa
mencium semerbak aroma bawang goreng, mendengar desisan panci bertekanan tinggi,
musik, dan gelak tawa. Baba, Rahim Khan, Kaka Homayoun, dan Kaka Nader duduk
bersantai di balkon sambil merokok. Kaka Homayoun memberi tahu mereka bahwa dia
membawa proyektor untuk menunjukkan gambar-gambar yang diambilnya di Prancis.
Dia kembali dari Paris sepuluh tahun yang lalu, dan sampai sepuluh tahun
kemudian dia masih gemar memamerkan gambar-gambar konyol itu.
Seharusnya aku tidak merasa semerana ini. Aku dan Baba akhirnya bisa berteman.
Kami pergi ke kebun binatang beberapa hari sebelumnya, melihat Marjan si singa,
dan aku melontarkan kerikil pada beruang saat tak ada yang memerhatikan.
Setelahnya, kami pergi ke Rumah Kebab Dadkhoda, di seberang Cinema Park,
menyantap kebab daging kambing yang disajikan dengan naan segar yang baru
dikeluarkan dari oven. Baba mengisahkan tentang perjalanannya ke India dan
Rusia, orang-orang yang ditemuinya, seperti pasangan tanpa lengan dan kaki di
Bombay, yang telah menikah selama 47 tahun dan membesarkan 11
anak. Seharusnya perjalanan ini menyenangkan, karena aku akan bisa menghabiskan
waktuku dengan Baba, mendengarkan kisah-kisahnya. Akhirnya aku mendapatkan yang
kudambakan selama bertahun-tahun. Tetapi saat aku telah mendapatkannya, jiwaku
terasa sehampa kolam renang tak terawat, tempatku menggantungkan kaki saat itu.
Saat senja tiba, istri-istri dan anak-anak perempuan menyiapkan hidangan makan
malamnasi, kofta, dan qurma ayam. Kami menyantap makan malam dengan cara
tradisional, duduk di atas bantal yang tersebar di ruangan. Makanan disajikan di
atas nampan besar dan kami menyantapnya dengan tangan, dalam kelompok empat atau
lima orang. Aku tidak merasa lapar namun aku tetap duduk menyantap makanan
bersama Baba, Kaka Faruq, dan dua anak laki-laki Kaka Homayoun. Baba, yang
sebelum makan malam sempat minum scotch, masih saja menggembar-gemborkan
turnamen adu layang-layang, bagaimana aku mengalahkan semua musuhku, bagaimana
aku pulang dengan memboyong layang-layang terakhir. Suaranya yang menggelegar
memenuhi ruangan. Orang-orang meng angkat kepala dari nampan mereka, meneriakkan
ucapan selamat. Kaka Faruq menepuk-nepuk punggungku dengan tangannya yang
bersih. Aku merasa seperti sedang menusukkan sebilah pisau ke mataku sendiri.
Selepas tengah malam, setelah beberapa jam bermain poker bersama Baba dan sepupu
- sepupunya, para pria tidur berbaring pada matras yang disusun berjajar di ruang
yang sama tempat kami menyantap makan malam. Para wanita naik ke lantai atas.
Satu jam kemudian, aku belum juga tertidur. Hanya berguling-guling sambil
mendengar para kerabatku mendesah, menghela napas, dan mendengkur dalam tidur
mereka. Sambil terduduk, aku memerhatikan selarik cahaya bulan yang menerobos
melalui jendela. "Aku melihat Hassan diperkosa," aku berkata dalam kesunyian. Baba membalikkan
badan dalam tidurnya. Kaka Homayoun mengerang. Sebagian dari diriku berharap
seseorang terbangun dan mendengarku, sehingga aku tidak harus melanjutkan
hidupku dengan dibebani kebohongan ini lagi. Tetapi tak ada yang terbangun, dan
dalam kesunyian yang meliputi ruangan itu, aku menyadari kutukan baru yang
menimpaku: Aku harus menanggung beban itu seumur hidupku.
Aku memikirkan mimpi Hassan, tentang kami berdua yang berenang di danau. Tak ada
monster, katanya, hanya ada air. Hanya saja, dia salah. Ternyata memang ada
monster di danau itu. Monster itu mencengkeram dan menarik pergelangan kaki
Hassan, menenggelamkannya ke dasar danau yang suram. Monster itu adalah aku.
Sejak malam itu aku menderita insomnia.
Aku tidak bercakap-cakap dengan Hassan hingga pertengahan minggu selanjutnya.
Aku sedang menyantap makan siang dan Hassan tengah mencuci piring. Saat aku akan
naik ke lantai atas menuju kamarku, Hassan menanyakan, apakah aku mau mendaki
bukit dengannya. Kukatakan padanya bahwa aku lelah. Hassan juga tampak lelah
berat badannya berkurang dan lingkaran gelap membayangi matanya yang berkantung.
Namun saat dia kembali mengajakku, dengan enggan aku menyetujui.
Kami berjalan mendaki bukit, sepatu bot kami terbenam di salju yang berlumpur.
Tidak ada yang berkata-kata. Kami duduk di bawah pohon delima dan aku tahu bahwa
aku telah membuat kesalahan. Seharusnya aku tidak pernah mau mendaki bukit
bersama Hassan. Kata-kata yang kupahat di pohon dengan pisau dapur Ali itu, Amir
dan Hassan: Suitan-Suitan Kabul ... aku tidak mampu lagi memandangnya sekarang.
Hassan memintaku membacakan kisah dari Shahnamah untuknya, dan aku berkata, aku
berubah pikiran. Aku hanya ingin kembali ke kamarku. Dia berpaling dan
mengangkat bahu. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tak sabar menunggu
datangnya musim semi. Aku tidak lagi bisa mengingat dengan baik sisa
musim dingin 1975 itu. Seingatku, aku merasa cukup bahagia saat Baba ada di
rumah. Kami makan bersama, pergi ke bioskop, mengunjungi Kaka Homayoun dan Kaka
Faruq. Terkadang Rahim Khan berkunjung ke rumah, dan Baba memperbolehkanku
bergabung dengan mereka untuk duduk-duduk dan menghirup teh di ruang kerjanya.
Dia bahkan memintaku membacakan beberapa cerita tulisanku untuknya. Rasanya
menyenangkan dan aku bahkan meyakini bahwa keakrabanku dengan Baba akan
berlangsung selamanya. Dan kupikir, Baba pun meyakini hal yang sama. Kami
seharusnya saling mengenal dengan lebih baik. Selama kurang lebih sebulan
setelah turnamen adu layang-layang itu, aku dan Baba bersinggungan dalam suatu
ilusi yang manis, saling memandang dengan cara yang belum pernah kami lakukan
sebelumnya. Meskipun sulit dipercaya, kami bahkan meyakini bahwa sebuah mainan
yang terbuat dari kertas tisu, lem, dan bambu, dapat menyatukan jurang yang
memisahkan kami. Namun saat Baba tidak ada di rumah dan inilah yang lebih sering terjadi aku
mengurung diri di kamar. Aku membaca sebuah buku hingga habis tiap dua hari,
menulis cerita, belajar menggambar kuda. Setiap pagi, aku mendengar Hassan
melakukan pekerjaannya di dapur, dentingan peralatan makan perak, dan siulan
yang ditimbulkan air mendidih dalam cerek. Setelah mendengar Hassan meninggalkan
dan menutup pintu dapur, aku pun turun untuk menyantap sarapan. Kulingkari
tanggal masuk sekolah di kalenderku dan mulai kuhitung hari-hari yang harus kulalui.
Aku merasa kesal karena Hassan terus mencoba memperbaiki hubungan kami. Aku
ingat usahanya yang terakhir. Aku sedang berada di kamarku, membaca novel
Ivanhoe yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Farsi, saat Hassan mengetuk
pintu. "Ada apa?" "Aku akan ke tukang roti untuk membeli naan," dia berkata dari balik pintu. "Aku
pikir mungkin ... mungkin kau mau pergi bersamaku."
"Kupikir aku ingin membaca saja," kataku sambil memijit kening. Akhir-akhir ini,
setiap kali Hassan berada di dekatku, aku mendapatkan sakit kepala.
"Hari ini sangat cerah," katanya.
"Aku tahu." "Sepertinya jalan-jalan akan menyenangkan." "Pergilah."
"Aku berharap kau mau pergi denganku," katanya. Dia terdiam. Sesuatu terantuk ke
pintu, mungkin keningnya. "Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan, Amir agha.
Kuharap kau mengatakannya padaku. Aku tidak tahu kenapa kau tidak mau lagi
bermain denganku." "Kau tidak melakukan apa-apa, Hassan. Pergi sajalah."
"Kau bisa memberitahuku. Aku tidak akan melakukannya lagi."
Aku membenamkan kepalaku ke pangkuan, menekankan keningku ke lutut, seperti
sekrup. "Akan kuberi tahu apa yang aku ingin tidak kau
lakukan lagi," kataku sambil memejamkan mata. "Katakanlah saja."
"Aku ingin kau berhenti mengusikku. Aku ingin kau pergi!" Aku membentaknya.
Kuharap dia membalasku saat itu juga, mendobrak pintu kamarku dan memaki-maki
diriku itu akan membuat segalanya lebih mudah, lebih baik. Tapi dia tidak
melakukannya, dan saat aku membuka pintu beberapa menit kemudian, dia sudah
tidak ada di sana. Aku menjatuhkan diri ke tempat tidur, membenamkan kepalaku ke
tumpukan bantal, dan menangis.
Setelah kejadian itu, Hassan lalu lalang di luar kehidupanku. Aku memastikan
jalan kami bersinggungan sesedikit mungkin, merencanakan kegiatan yang akan
kulakukan sehari-hari, tanpa harus melibatkan Hassan. Karena setiap kali dia
berada di dekatku, sepertinya oksigen terserap keluar dari kamarku. Dadaku sesak
dan aku tidak bisa menarik napas dengan baik; aku hanya akan berdiri, susah
payah mencoba bernapas di dalam ruangan kedap udara. Jejak Hassan tertinggal
pada bajuku yang diletakkan di bangku tinggi, yang dicuci dengan tangannya dan
disetrika olehnya, pada sandal rumah yang selalu tersedia di depan pintu
kamarku, pada kayu yang terbakar di tungku saat aku turun untuk menyantap
sarapan. Kemana pun aku berpaling, aku melihat tanda-tanda kesetiaannya, kesetiaan tanpa syarat
keparatnya. Di awal musim semi itu, beberapa hari sebelum tahun ajaran baru dimulai, aku dan
Baba merencanakan untuk menanam tulip di kebun. Sebagian besar salju telah
mencair dan perbukitan di utara telah diwarnai titik-titik hijau rerumputan.
Pagi itu dingin dan kelabu, dan Baba berjongkok di dekatku, menggali tanah dan
menanam umbi tulip yang kusodorkan padanya. Dia memberitahuku bahwa kebanyakan
orang berpikir bahwa menanam tulip lebih baik dilakukan di musim gugur, meskipun
sebenarnya pendapat mereka itu salah. Saat dia sedang bercerita, aku memotongnya
dengan kalimatku, "Baba, pernahkah Baba berpikir untuk mencari pelayan baru?"
Baba menjatuhkan umbi tulip dan menimbunnya dengan tanah. Dia melepas sarung
tangan berkebunnya. "C/w'" Kau bilang apa?"
"Aku hanya berpikir saja."
"Kenapa aku ingin melakukannya?" tukas Baba dengan ketus.
"Baba tidak akan melakukannya, kupikir begitu. Itu cuma pertanyaan biasa,"
kilahku, suaraku melemah menjadi sekadar bisikan. Aku menyesal mengatakannya.
"Apakah ini tentang masalahmu dan Hassan" Aku tahu ada yang tak beres dengan
kalian, tapi apa pun itu, kalian sendiri yang harus menyelesaikannya, bukan aku.
Aku tidak akan ikut campur."
"Maaf, Baba." Baba kembali mengenakan sarung tangannya. "Aku tumbuh besar bersama Ali,"
katanya dengan gigi terkatup. "Ayahkulah yang membawanya ke keluarga ini,
mencintainya seperti anaknya sendiri. Ali telah 40 tahun bersama keluarga kita.
40 tahun! Dan kaupikir, akan semudah itu aku mengusirnya?" Baba menatapku,
wajahnya semerah bunga tulip. "Aku tidak pernah memukulmu, Amir, tapi kalau
sekali lagi kau mengatakannya Baba memalingkan wajah, menggelengkan kepalanya.
"Kau membuatku malu. Dan Hassan ... Hassan tidak akan kemana-mana, mengerti?"
Aku menunduk dan memungut segenggam tanah dingin. Menekannya hingga lolos
melalui sela-sela jariku.
"Aku bilang, apa kau mengerti?" Baba membentakku.
Aku terkejut. "Ya, Baba."
Kami menanam sisa umbi tulip itu dalam keheningan.
Ketika sekolah dimulai minggu berikutnya, aku merasa lega. Para siswa, dengan
membawa buku-buku tulis baru dan pensil-pensil yang teraut runcing berkumpul di
halaman sekolah, menendangi tanah kering yang berdebu, mengobrol dalam kelompok-
kelompok, menunggu siulan peluit dari ketua kelas. Baba mengantarku hingga ke
jalan kotor menuju gerbang sekolah. Bangunan sekolah tua itu bertingkat dua,
dengan kaca-kaca jendela yang pecah, koridor suram berlantai batu, dan
sisa-sisa cat berwarna kuning pucat yang masih tampak di sela-sela lapisan semen
yang mengelupas. Kebanyakan siswa berjalan ke sekolah, sehingga Mustang hitam
Baba menimbulkan tatapan-tatapan iri. Seharusnya aku meledak karena rasa bangga
saat keluar dari mobil Baba diriku yang dulu akan merasa begitu-namun yang saat
itu kurasakan, diriku diselimuti selubung tipis rasa malu. Rasa malu dan
kehampaan. Baba meninggalkanku tanpa mengucapkan selamat tinggal.
Aku langsung berdiri dalam barisan, melewatkan tradisi saling membandingkan
luka-luka sisa turnamen adu layang-layang. Saat bel berbunyi, kami berbaris dua-
dua menuju ke kelas. Aku duduk di bangku belakang. Saat guru kami yang berbahasa
Farsi membagikan buku-buku pelajaran, aku berdoa supaya dia memberi kami banyak
PR. Sekolah memberiku alasan untuk berlama-lama tinggal di kamar. Dan, untuk
sementara, aku berhasil mengalihkan pikiranku dari peristiwa musim dingin itu.
Peristiwa yang telah kubiarkan terjadi. Selama beberapa minggu, aku menyibukkan
diri dengan mempelajari gravitasi dan momentum, atom dan sel, perang Anglo
Afghan, supaya aku tidak memikirkan Hassan dan peristiwa yang menimpanya.
Tetapi, seperti yang selalu terjadi, pikiranku kembali terbang ke gang itu. Pada
celana korduroi cokelat yang tergeletak di atas tumpukan batu bata. Pada tetesan
darah yang menodai salju dengan warna merah gelap kehitaman.
Pada suatu siang yang terik di awal musim panas itu, aku mengajak Hassan mendaki
bukit. Kukatakan padanya bahwa aku ingin membacakan untuknya cerita yang baru
kutulis. Saat itu, Hassan sedang menjemur baju di halaman. Aku bisa melihat,
ajakanku membuatnya begitu bersemangat menyelesaikan pekerjaannya.
Kami mendaki bukit sambil berbasa-basi. Dia menanyakan tentang sekolah,
pelajaranku, dan aku menceritakan padanya tentang guru-guruku, terutama guru
matematika kejam yang suka menghukum murid-murid yang terlalu banyak bicara
dengan menyelipkan tongkat logam di sela-sela jari mereka lalu menjepitnya
dengan keras. Hassan mengernyitkan muka mendengar ceritaku, katanya, dia
berharap tidak akan pernah mengalami hal seperti itu. Kataku, sejauh ini aku
beruntung, meskipun aku tahu bahwa keberuntungan tidak ada hubungannya dengan
hukuman itu. Aku sering me-ngob-rol di kelas. Tetapi semua orang mengenal ayah-
ku yang kaya. Aku pun selalu selamat dari hukuman tongkat logam.


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami duduk bersandar pada tembok rendah pemakaman, di bawah naungan pohon
delima. Dalam satu atau dua bulan, hamparan rerumputan yang kuning kekeringan
akan menyelimuti bagian bukit itu, namun musim semi tahun itu bertahan lebih
lama daripada biasanya. Hingga awal musim panas, rerumputan masih menghijau,
dengan diselingi rumpun-rumpun bunga liar di sana-sini. Di bawah kami, jajaran
rumah bertembok putih dan
beratap datar di Wazir Akbar Khan berkilauan memantulkan cahaya matahari. Angin
meniup lembut kain-kain cucian yang tergantung pada jemuran di halaman rumah-
rumah itu, membuatnya menari bagaikan kupu-kupu.
Kami memetik selusin buah delima dari pohonnya. Aku membuka lipatan kertas
berisi cerita yang kubawa, memandangi halaman pertamanya, lalu meletakkannya.
Aku berdiri dan memungut buah delima masak yang jatuh ke tanah.
"Apa yang akan kaulakukan kalau aku melempar-mu dengan ini?" kataku seraya
mempermainkan buah delima itu.
Hassan tersenyum lemah. Dia terlihat lebih tua dari yang kuingat. Bukan, bukan
lebih tua, dia terlihat tua. Mungkinkah itu" Garis-garis tersirat di wajahnya
yang kecokelatan dan kerutan-kerutan terlihat di sekeliling mata dan mulutnya.
Seolah-olah aku sendiri yang mengambil pisau dan mengguratkan garis-garis itu.
"Apa yang akan kaulakukan?" ulangku.
Wajahnya tak lagi berwarna. Di dekatnya, kertas bertuliskan cerita yang
kujanjikan akan kubaca u, beterbangan ditiup angin. Aku melemparkan buah
untuknya delima itu pada Hassan. Tepat mengenai dadanya, pecah dan menyebarkan
butiran-butiran biji semerah darah. Keterkejutan dan kesakitan menyatu dalam
teriakan Hassan. "Balas aku!" bentakku. Tatapan Hassan beralih dari noda di dadanya kepadaku.
"Ayo bangun! Lempari aku!" jeritku. Hassan
memang berdiri, namun dia hanya terdiam, terlihat kebingungan, bagaikan
seseorang yang tiba-tiba terseret ombak ke tengah lautan, ketika sesaat
sebelumnya dia sedang menikmati jalan-jalan santai di pantai.
Kulemparkan satu lagi buah delima pada Hassan, kali ini tepat menimpa bahunya.
Cairan semerah darah menciprat ke wajahnya. "Balas aku!" teriakku. "Balas aku,
sialan!" Aku berharap dia membalasku. Aku berharap dia memberiku hukuman yang
kudambakan, yang mungkin akhirnya akan membuatku tertidur malam itu. Mungkin
dengan begitu, semua hal di antara kami akan kembali normal. Namun, bahkan saat
aku melontarkan buah-buah delima itu kepada Hassan, lagi dan lagi, Hassan tidak
berbuat apa-apa. "Dasar pengecut!" ujarku. "Kau memang hanya pengecut keparat!"
Aku tak tahu lagi telah berapa kali melemparinya. Yang kutahu, saat akhirnya aku
berhenti, kelelahan dan terengah-engah, tubuh Hassan berlumuran cairan merah,
seolah-olah satu regu penembak menem-bakinya. Aku jatuh bersimpuh, letih, lemah,
frustrasi. Lalu Hassan benar-benar memungut sebutir delima dan berjalan menghampiriku. Dia
membelah buah itu dan menekankannya ke keningnya. "Lihatlah," serunya parau.
Cairan merah bagaikan darah mengaliri wajahnya. "Kau puas" Merasa lebih baik?"
Hassan membalikkan badannya dan berlari menuruni bukit.
Kubiarkan air mataku mengalir deras, kuayun -
kan tubuhku yang terduduk memeluk lutut. "Apa yang harus kulakukan denganmu,
Hassan" Apa yang harus kulakukan denganmu?" Namun saat air mataku mengering dan
aku berjalan pelahan menuruni bukit, aku telah mengetahui jawaban dari
pertanyaan itu. Pada musim panas 1976, musim panas terakhir yang diselimuti kedamaian dan
ketenangan, aku merayakan ulang tahunku yang ke 13. Hubunganku dengan Baba telah
kembali mendingin. Kupikir, komentar konyol yang kukatakan saat kami menanam
tulip, tentang mencari pelayan baru, itulah penyebabnya. Aku menyesal telah
mengatakannya aku benar-benar menyesal namun kurasa, meskipun aku tidak
mengatakannya, kebahagiaan kecil kami akan tiba pada titik akhir. Mungkin memang
tidak akan secepat itu, tetapi tetap akan berakhir. Pada akhir musim panas,
suara gesekan sendok dan garpu pada piring telah menggantikan percakapan makan
malam dan Baba kembali pada kebiasaan lamanya, segera kembali ke ruang kerjanya
seusai menyantap makanan. Dan menutup pintu ruang kerjanya. Aku kembali
menghabiskan waktu dengan membaca karya-karya Hafez dan Khayyam, menggigiti
kuku, menulis cerita. Kisah-kisah hasil karyaku tertumpuk rapi di kolong tempat
tidur. Aku menyimpannya dengan harapan, meskipun aku meragukannya,
bahwa suatu hari nanti Baba akan memintaku membacakan cerita-cerita itu
untuknya. Prinsip Baba dalam menyelenggarakan pesta adalah: Bukan pesta kalau kau tidak
mengundang semua orang di seluruh dunia. Aku mengingat saat seminggu sebelum
pesta ulang tahunku, aku mengamati daftar undangan tanpa mengenali setidaknya
tiga perempat dari 400 orang yang diundang belum termasuk para Kaka dan Khala
yang akan menghujaniku dengan hadiah dan ucapan selamat karena aku telah
berhasil menjalani hidup hingga 13 tahun. Saat itulah aku menyadari bahwa para
tamu itu tidak benar-benar datang karena aku. Saat itu memang ulang tahunku,
namun aku tahu bintang yang sebenarnya dalam acara itu.
Selama berhari-hari, rumah dipenuhi dengan orang-orang yang dibayar Baba untuk
mempersiapkan pesta. Salahuddin si tukang jagal, yang muncul dengan diikuti
barisan seekor sapi muda dan dua ekor domba, menolak pembayaran ketiga binatang
itu. Dia menyembelih hewan-hewan itu di bawah pohon poplar di halaman. "Darah
bagus untuk pohon," itulah yang dikatakannya saat hamparan rumput di sekeliling
pohon itu basah oleh merahnya darah. Pria-pria yang tidak kukenal memanjati
pohon ek, memasang bermeter-meter rangkaian kabel berlampu mungil. Orang-orang
lain menata meja-meja di halaman dan membentangkan taplak meja di atasnya. Malam
hari sebelum pesta besar perayaan ulang tahunku dilaksanakan, seorang kawan
Baba, Del Muhammad, yang memiliki
rumah makan di Shar e Nau, datang dengan membawa berkantung-kantung rempah-
rempah. Seperti si jagal, Del Muhammad Baba lebih suka memanggilnya Dello
menolak pembayaran untuk pemberiannya itu. Katanya, Baba telah cukup banyak
menolong keluarganya. Saat Dello membumbui daging, Rahim Khan membisikkan padaku
bahwa Baba telah meminjamkan modal pada Dello untuk membuka restorannya. Baba
menolak pembayaran utang Dello, hingga suatu ketika, pria itu muncul dengan
mobil Mercedes Benznya, menutup jalan masuk rumah kami, dan bersikeras tidak
akan meninggalkan tempat itu sebelum Baba menerima uangnya.
Kupikir, secara umum, setidaknya untuk ukuran sebuah pesta, perayaan ulang
tahunku sukses luar biasa. Rumahku belum pernah sepenuh itu sebelumnya. Para
tamu, dengan membawa gelas berisi minuman, mengobrol di aula, merokok di tangga,
bersandar pada pintu. Mereka duduk dimana pun mereka menemukan tempat yang
tersisa, di meja dapur, di koridor, bahkan di bawah tangga. Di halaman belakang,
mereka berbaur di bawah cahaya biru, merah, dan hijau yang berkelap-kelip di
pepohonan. Wajah-wajah mereka memantulkan sinar dari lampu minyak yang
diletakkan di berbagai tempat. Atas permintaan Baba, sebuah panggung didirikan
di balkon yang mengarah ke taman, dan pengeras-pengeras suara diletakkan di
sepanjang halaman. Di panggung itu, Ahmad Zahir menyanyi dan memainkan akordeon
di hadapan para penonton yang berjoget gembira.
Aku harus menyalami sendiri setiap tamu yang datang Baba memastikan hal itu; tak
boleh ada seorang pun yang menggosipkan cara Baba membesarkan anak lelakinya
yang tidak tahu sopan santun keesokan harinya. Aku mencium ratusan pipi, memeluk
orang-orang yang sama sekali tidak kukenal, mengucapkan terima kasih atas hadiah
yang mereka berikan. Wajahku terasa pegal karena terlalu lama menahan senyuman.
Aku dan Baba berdiri di dekat meja minuman di halaman ketika seseorang memberiku
ucapan, "Selamat ulang tahun, Amir." Ucapan itu berasal dari Assef dan kedua
orangtuanya. Mahmood, ayah Assef, bertubuh pendek dan kurus, dengan kulit gelap
dan wajah tirus. Tanya, ibunya, seorang wanita penggugup bertubuh kecil yang
senantiasa tersenyum dan mengedipkan mata. Assef berdiri di antara mereka,
menyeringai, tubuhnya menjulang melampaui tinggi badan keduanya, lengannya
merangkul pundak mereka. Dia membimbing kedua orangtuanya menghampiriku, seolah-
olah dia yang membawa mereka kemari. Seolah-olah dialah orang tua mereka, dan
mereka adalah anak-anaknya. Gelombang rasa pusing menerpaku. Baba mengucapkan
terima kasih atas kedatangan mereka.
"Aku memilih sendiri hadiah untukmu," kata Assef. Wajah Tanya mengerut dan
matanya berjengit, tatapannya melayang dari Assef kepadaku. Dia tersenyum,
meskipun tidak terlihat meyakinkan, dan kembali mengedipkan mata. Aku bertanya-
tanya apakah Baba memerhatikannya.
"Masih bermain sepak bola, Assef jan?" sapa Baba. Dia selalu berharap aku bisa
berteman dengan Assef. Assef menyunggingkan senyum. Menakutkan sekali melihat Assef menampilkan
senyuman palsu yang terlihat begitu tulus. "Tentu saja, Kaka jan."
"Gelandang kanan, bukan?"
"Sebenarnya, saya bertukar posisi sebagai penyerang tengah tahun ini," kata
Assef. "Posisi itu memung-kinkan kami mencetak gol lebih banyak. Kami akan
melawan tim Mekro-Rayan minggu depan. Sepertinya akan jadi pertandingan yang
seru. Pemain mereka bagus-bagus."
Baba mengangguk. "Kau tahu, Nak, saat aku muda dulu, aku juga bermain sebagai
penyerang tengah." "Saya yakin Kaka masih bisa bermain jika mau," balas Assef. Dia mengedipkan satu
matanya untuk Baba. Baba balas mengedipkan satu matanya. "Aku tahu ayahmu telah mengajarkan cara
menyanjungnya yang terkenal di seluruh dunia." Baba menyikut ayah Assef, hampir
menjatuhkan pria kecil itu. Tawa Mahmood sama meyakinkannya dengan senyum Tanya,
dan seketika itu sesuatu terlintas di benakku, mungkin, pada tingkat tertentu,
Assef membuat kedua orangtua-nya ketakutan. Aku berusaha menampilkan senyuman,
namun sejauh itu, yang bisa kulakukan hanyalah mengangkat sudut-sudut bibirku
dengan lemah perutku bergejolak saat kulihat ayahku begitu akrab dengan Assef.
Assef mengalihkan tatapannya padaku. "Wali dan Kamal juga ada di sini. Mereka
tidak mungkin melewatkan pesta ulang tahunmu," katanya sambil tetap
menyunggingkan senyum palsu. Aku mengangguk tanpa mengatakan apa-apa.
"Kami berencana untuk bermain bola voli besok di rumahku," kata Assef. "Mungkin
kau bisa ikut bermain bersama kami. Ajak saja Hassan kalau kau mau."
"Kedengarannya menyenangkan," kata Baba sam-bil tersenyum lebar. "Bagaimana,
Amir?" "Aku tidak begitu suka bola voli," gumamku. Binar di mata Baba segera meredup,
disusul kesunyian yang membuat tidak nyaman.
"Maaf, Assef jan," Baba mengangkat bahu. Permohonan maaf Baba atas kelakuanku
itu membuatku tersengat. "Tidak apa-apa, tidak masalah," kata Assef. "Tapi undanganku tetap berlaku, Amir
jan. Oh ya, kudengar kau suka membaca, jadi aku menghadiahkan sebuah buku
untukmu. Buku ini adalah salah satu kesukaanku." Dia menyodorkan sebuah
bingkisan padaku. "Selamat ulang tahun."
Assef mengenakan kemeja katun dan ikat pinggang biru, dasi sutra merah dan
sepatu hitam yang disemir mengkilap. Aroma cologne menyeruak dari tubuhnya dan
rambut pirangnya disisir rapi ke belakang. Dari luar, dia memang terlihat
bagaikan perwujudan mimpi setiap orangtua. Seorang anak laki-laki yang gagah,
tinggi, berpakaian rapi dan sopan, berbakat dan berpenampilan memikat, belum
lagi kemampuannya untuk bergaul dengan baik di kalangan orang dewasa. Namun
bagiku, pancaran di mata Assef tidak mencerminkan semua hal itu. Saat aku
memandang kedua matanya, kepalsuan itu memudar, menampilkan kilatan kegilaan
yang tersembunyi di baliknya.
"Apa kau tidak menginginkannya, Amir?" kudengar Baba mengatakannya.
"Hah?" "Kadomu," Baba mulai kesal. "Assef jan memberimu hadiah."
"Oh," ujarku. Aku menerima bingkisan dari Assef tanpa memandangnya. Kuharap aku
sendirian di kamar - ku, hanya ditemani buku-bukuku, menjauh dari semua orang ini.
"Nah?" kata Baba.
"Apa?" Baba berbicara dengan nada rendah, nada yang digunakannya saat aku mempermalukan
dirinya di depan umum. "Tidakkah kau ingin mengucapkan terima kasih pada Assef
jan" Dia sudah sangat baik padamu."
Kuharap Baba berhenti memanggilnya dengan sebutan itu. Seberapa sering dia
memanggilku dengan sebutan "Amir jan?" "Terima kasih," ujarku. Ibu Assef
memandangku, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun dia tidak mengatakannya, dan
aku baru menyadari bahwa selama keluarga itu berdiri di depan kami, orangtua
Assef belum pernah mengucapkan satu kata pun. Sebelum aku kembali mempermalukan
diriku dan Baba tapi terutama
untuk menghindari Assef dan seringaiannya aku segera beranjak dari tempat itu.
"Terima kasih atas kedatanganmu," ucapku.
Aku menerobos kerumunan tamu dan menyelinap melewati pagar besi-tempa. Berjarak
dua rumah dari rumah kami, terdapat tanah kosong yang luas. Aku pernah mendengar
Baba mengatakan pada Rahim Khan bahwa seorang hakim telah membeli tanah itu dan
seorang arsitek sedang mengerjakan desain bangun-annya. Namun saat itu, tanah
itu masih kosong; hanya ada sampah, bebatuan, dan rerumputan.
"Nah?" kata Baba.
"Apa?" Baba berbicara dengan nada rendah, nada yang digunakannya saat aku mempermalukan
dirinya di depan umum. "Tidakkah kau ingin mengucapkan terima kasih pada Assef
jan" Dia sudah sangat baik padamu."
Kuharap Baba berhenti memanggilnya dengan sebutan itu. Seberapa sering dia
memanggilku dengan sebutan "Amir jan?" "Terima kasih," ujarku. Ibu Assef
memandangku, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun dia tidak mengatakannya, dan
aku baru menyadari bahwa selama keluarga itu berdiri di depan kami, orangtua
Assef belum pernah mengucapkan satu kata pun. Sebelum aku kembali mempermalukan
diriku dan Baba-tapi terutama untuk menghindari Assef dan seringaiannya aku
segera beranjak dari tempat itu. "Terima kasih atas kedatanganmu," ucapku.
Aku menerobos kerumunan tamu dan menyelinap melewati pagar besi-tempa. Berjarak
dua rumah dari rumah kami, terdapat tanah kosong yang luas. Aku pernah mendengar
Baba mengatakan pada Rahim Khan bahwa seorang hakim telah membeli tanah itu dan
seorang arsitek sedang mengerjakan desain bangun-annya. Namun saat itu, tanah
itu masih kosong; hanya ada sampah, bebatuan, dan rerumputan.
Aku menyobek kertas pembungkus hadiah Assef dan mengamati sampul buku itu di
bawah cahaya bulan. Buku itu berisi biografi Hitler. Aku membuangnya di antara
semak-semak dan rerumputan.
Aku bersandar pada tembok rumah sebelah, membiarkan tubuhku terduduk di tanah.
Hanya itulah yang kulakukan, duduk di sana selama beberapa saat, menarik lututku
ke dada, memandangi bintang-bintang, menanti datangnya akhir dari malam itu.
"Bukankah kau sebaiknya menghibur tamu-tamumu?" sebuah suara yang telah akrab di
telingaku menyapa. Rahim Khan berjalan mendekatiku.
"Mereka tidak membutuhkanku. Ada Baba, kan?" kataku. Butiran-butiran es dalam
gelas minuman Rahim Khan berdenting saat dia mendudukkan diri di sebelahku. "Aku
tak tahu kau juga minum itu."
"Ternyata aku suka," katanya seraya menyikutku pelan. "Tapi hanya saat peristiwa
penting." Senyumku mengembang. "Terima kasih."
Dia bersulang untukku dan meneguk minumannya. Sambil menyalakan sebatang rokok
kretek produksi Pakistan yang selalu diisapnya bersama Baba, Rahim Khan berkata,
"Pernahkah aku memberitahumu bahwa sekali waktu, aku pernah hampir menikah?"
"Benarkah?" ucapku, aku sedikit tersenyum membayangkan Rahim Khan menikah. Aku
selalu menganggapnya sebagai kepribadian yang lebih tenang dari diri Baba,
mentor menulisku, sahabatku, seseorang yang tidak pernah lupa menghadiahkan
saughat, oleh-oleh dari luar negeri, untukku. Tapi sebagai seorang suami"
Seorang ayah" Dia mengangguk. "Benar. Saat itu umurku 18 tahun. Namanya Homaira. Dia adalah
seorang Hazara, anak perempuan pelayan tetanggaku. Gadis itu secantik pari,
rambutnya cokelat terang, mata lebarnya yang berwarna cokelat kehijauan selalu
berbinar ... dan tawanya ... hingga saat ini, terkadang aku masih mendengarnya."
Rahim Khan memutar-mutar gelasnya. "Kami biasa bertemu diam-diam di kebun apel
ayahku, selalu setelah tengah malam saat semua orang telah lelap tertidur. Kami
berjalan di bawah pepohonan dan aku menggenggam tangannya .... Apa aku membuatmu
malu, Amir jan?" "Sedikit," kataku.
"Ini tidak akan membuatmu mati," katanya sam-bil mengepulkan asap rokok. "Omong-
omong, aku selalu berkhayal. Kami melangsungkan pesta pernikahan mewah dan
mengundang kerabat dan kawan-kawan dari Kabul dan Kandahar. Aku akan
membangun rumah yang luas, bercat putih, dengan jendela-jendela lebar. Kami akan
menanam pohon buah-buahan dan berbagai macam bunga-bungaan di taman, memiliki
halaman tempat bermain anak-anak kami. Pada hari Jumat, setelah menunaikan
shalat Jumat di masjid, semua kerabat akan berkumpul di rumah kami untuk
menyantap makan siang di taman, di bawah pohon-pohon ceri, dengan air minum
segar yang langsung diambil dari sumur. Lalu sambil memerhatikan anak-anak kami
bermain bersama sepupu-sepupu mereka, kami akan menyesap teh sambil menikmati
gula-gula Rahim Khan meneguk scotch-nya. Dia terbatuk. "Kau seharusnya melihat ekspresi
wajah ayahku saat aku menceritakan hal ini padanya. Ibuku bahkan benar-benar
jatuh pingsan. Saudara-saudara perempuanku mencipratkan air ke wajahnya. Mereka
mengipasinya dan menatapku tajam, seolah-olah aku telah memotong tenggorokan


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka. Kalau ayahku tidak segera menghentikannya, kakakku, Jalai, akan
menembakkan senapan berburunya." Tawa pahit Rahim Khan meledak. "Hanya ada aku
dan Homaira melawan seluruh dunia. Dan aku memberitahumu, Amir jan: Pada
akhirnya, dunia akan selalu menang. Begitulah dunia berjalan."
"Jadi, apa yang terjadi selanjutnya?"
"Pada hari yang sama, ayahku menumpangkan Homaira dan keluarganya ke lori dan
mengirim mereka ke Hazarajat. Aku tak pernah melihat mereka lagi."
"Aku turut bersedih," ucapku.
"Tetapi, mungkin memang begitulah yang terbaik," Rahim Khan mengangkat bahu.
"Dia akan menderita. Keluargaku tidak akan menganggap dia setara dengan mereka.
Seseorang yang sehari sebelumnya menyemir sepatumu, tidak mungkin menjadi
'saudara perempuanmu' keesokan harinya." Dia memandangku. "Kau tahu, kau bisa
menceritakan apa pun yang ingin kauceritakan padaku, Amir jan. Kapan pun kau
mau." "Aku tahu," kataku tak yakin. Rahim Khan memandangku begitu lama, seolah-olah
menungguku mengucapkan sesuatu, mata hitamnya yang dalam memancingku untuk
mengungkapkan rahasiaku. Selama sesaat, aku hampir memberitahunya. Hampir
mengatakan segalanya pada Rahim Khan, tapi, setelah aku mengatakannya, bagaimana
anggapannya padaku" Dia akan membenciku, dan aku tidak bisa menyalahkannya.
"Ini." Dia menyodorkan sesuatu padaku. "Aku hampir lupa. Selamat ulang tahun."
Hadiah dari Rahim Khan berupa buku catatan bersampul kulit. Kusapukan jariku
pada jahitan benang emas di tepi sampulnya. Kuhirup aroma kulit yang menyeruak.
"Untuk kisah-kisahmu," katanya. Aku baru akan mengucapkan terima kasih padanya,
saat suara ledakan membahana dan nyala api menerangi langit.
"Kembang api!" Kami segera kembali ke rumah dan mendapati semua tamu berdiri di halaman,
menatap ke langit. Lolongan dan teriakan anak-anak mengiringi setiap
ledakan dan desiran. Orang-orang bersorak, bertepuk tangan setiap kali sebuah
kembang api meluncur dan meledak menjadi rangkaian bunga api. Setiap beberapa
detik, halaman belakang diterangi oleh kilatan warna-warna merah, hijau, dan
kuning. Dalam salah satu kilatan cahaya itu, aku melihat sesuatu yang tak akan mungkin
kulupakan: Hassan sedang menyajikan minuman dengan nampan perak pada Assef dan
Wali. Kegelapan, satu desisan, satu ledakan, dilanjutkan dengan satu kilatan
cahaya Jingga: Assef menyeringai, menyo-dokkan kepalannya ke dada Hassan.
Lalu, untunglah, kegelapan.
Sembilan .keesokan paginya, aku duduk di kamarku
membuka satu demi satu hadiah-hadiahku. Aku tak tahu mengapa aku masih bisa
peduli dan bersusah payah seperti itu, karena yang akan kulakukan hanyalah
memandang hadiah-hadiah itu tanpa gairah lalu menimbunnya di sudut kamarku.
Tumpukan hadiah itu semakin tinggi: kamera Polaroid, radio transistor, satu set
mainan kereta api elektrik dan beberapa amplop berisi uang tunai. Aku tahu, aku
tidak akan membelanjakan uang itu atau mendengarkan radio itu, dan kereta api
elektrik itu tidak akan pernah berjalan pada lintasannya di kamarku. Aku tidak
menginginkan semua benda itu tidak ada yang diberikan dengan tulus; Baba tidak akan pernah menyelenggarakan pesta untukku jika aku tidak memenangkan
turnamen itu. Baba memberiku dua hadiah. Yang pertama, a-ku yakin, akan membuat iri semua anak
di lingkunganku: Schwinn Stingray baru, raja semua sepeda. Hanya beberapa anak
di Kabul yang memiliki Stingray baru, dan aku termasuk salah satu dari mereka.
Sepeda itu memiliki pegangan tinggi berlapis karet hitam dan dudukan berbentuk
pisang yang terkenal. Palangnya berwarna emas dan rangka bajanya berwarna merah,
seperti manisan apel berlapis gula. Atau darah. Semua anak selain aku akan
segera melompat ke sepeda itu dan mencobanya berkeliling. Aku mungkin akan
melakukan hal yang sama beberapa bulan yang lalu.
"Kau suka?" kata Baba, bersandar di ambang pintu kamarku. Aku tersenyum kecil
dan dengan cepat mengucapkan, "Terima kasih." Seandainya aku bisa lebih tulus.
"Kita bisa mencobanya," kata Baba. Sebuah ajakan, disampaikan dengan setengah
hati. "Nanti saja. Aku sedikit lelah," kataku.
"Pasti," kata Baba.
"Baba?" "Ya?" "Terima kasih atas kembang apinya," kataku. Sebuah ucapan terima kasih,
disampaikan dengan setengah hati.
"Istirahatlah," kata Baba sambil berlalu menuju kamarnya.
Hadiah kedua yang diberikan Baba padaku dan dia tidak menyertaiku saat aku
membukanya adalah sebuah arloji. Permukaan arloji itu biru dan jarum penunjuknya
berbentuk kilatan petir berwarna keemasan. Aku bahkan tidak mencobanya. Aku
melemparkannya ke sudut, bergabung bersama hadiah-hadiah lain. Satu-satunya
hadiah yang tidak kulemparkan ke dalam timbunan itu adalah buku catatan
bersampul kulit dari Rahim Khan. Perasaanku mengatakan, itulah satu-satunya
hadiah untukku yang diberikan dengan tulus.
Aku duduk di tepi tempat tidurku, menimang-nimang buku catatan itu, memikirkan
Rahim Khan dan perkataannya tentang Homaira, bahwa kepergian gadis itu yang
disebabkan oleh ayahnya akhirnya menjadi keputusan yang terbaik. Dia akan
menderita. Seperti ketika proyektor Kaka Homayoun macet sehingga menampilkan
slide yang sama terus-menerus, gambar yang sama berkelebat di benakku terus-
menerus: Hassan, dengan kepala tertunduk, menyajikan minuman pada Assef dan
Wali. Mungkin ini akan menjadi keputusan terbaik. Meringankan penderita-annya.
Dan penderitaanku juga. Dengan kata lain, jalan keluar dari masalah ini begitu
jelas: Salah satu dari kami harus pergi.
Siang harinya, aku mengendarai Schwinnku untuk yang pertama dan terakhir
kalinya. Kuayuh pedal sepeda itu berkeliling blok beberapa kali. Aku menga-
yuhnya ke halaman belakang, tempat Hassan dan Ali membereskan kekacauan sisa
pesta malam sebelumnya. Gelas-gelas kertas, gumpalan-gumpalan tisu makan, dan
botol-botol soda kosong mengotori halaman. Ali sedang melipat kursi-kursi,
menatanya di sepanjang dinding. Dia melihatku dan melambaikan tangan.
"Assalamu 'alaikum, Ali," kataku sambil membalas lambaiannya.
Dia mengacungkan jarinya, memintaku menunggu, dan berjalan memasuki pondok
tempat tinggalnya. Sesaat kemudian, dia keluar sambil membawa sesuatu. "Semalam,
aku dan Hassan tidak sempat memberikannya untukmu," katanya sambil menyodorkan sebuah
bingkisan. "Harganya murah dan tidak pantas dihadiahkan untuk orang sepertimu,
Amir agha. Tapi kami harap, kau tetap menyukainya. Selamat ulang tahun."
Tenggorokanku terasa tercekat. "Terima kasih, Ali," ucapku. Aku berharap mereka
tidak membelikan apa pun untukku. Aku membuka kotaknya dan menatap buku
Shahnamah baru, bersampul keras dengan ilustrasi mengilap di dalamnya. Terdapat
gambar Ferangis yang sedang memerhatikan putranya, Kai Khosrau, yang baru lahir,
gambar Afrasiyab yang sedang mengendarai kudanya dengan pedang terhunus,
memimpin pasukannya. Dan, tentu saja, Rostam yang sedang menusukkan pedang ke
tubuh anak lelakinya, sang pejuang Sohrab. "Ini buku yang cantik," kataku.
"Kata Hassan, buku milikmu sudah usang dan rusak, dan beberapa halamannya telah
hilang," ujar Ali. "Semua gambar-gambar dalam buku ini digambar tangan dengan
menggunakan pena dan tinta," tambahnya dengan bangga, menatap lekat-lekat buku
yang tidak bisa dibaca baik olehnya ataupun anaknya.
"Benar-benar indah," kataku. Dan memang benar. Dan, menurut perkiraanku, sama
sekali tidak murah. Aku ingin memberi tahu Ali bahwa bukan buku itu yang tidak
pantas dihadiahkan padaku, namun akulah yang tidak pantas menerimanya. Aku
melompat kembali ke sepedaku. "Sampaikan terima kasihku untuk Hassan," kataku.
Akhirnya aku melemparkan buku itu ke tumpukan hadiah di sudut kamarku. Namun,
karena aku tak mampu menahan mataku untuk kembali menatapnya, aku meletakkannya
di dasar tumpukan. Sebelum aku tertidur malam itu, aku menanyakan pada Baba,
apakah dia melihat arloji baruku.
Keesokan paginya, dari kamarku, aku menunggu Ali membersihkan sisa-sisa sarapan
di dapur. Aku menunggunya mencuci semua piring kotor dan mengelap meja dapur.
Aku melongok melalui jendela kamarku dan menunggu hingga Ali dan Hassan pergi
berbelanja ke pasar, berdua mendorong gerobak yang masih kosong.
Aku mengambil beberapa amplop berisi uang tunai dan arloji baruku dari tumpukan
hadiah, lalu berjinkat keluar. Di depan pintu ruang kerja Baba, aku berhenti dan
selama beberapa saat berusaha mendengar suara yang berasal dari dalam ruangan
itu. Baba mengurung diri di sana sepanjang pagi, menelepon rekan-rekannya. Saat
itu Baba sedang berbicara dengan seseorang tentang pengiriman permadani yang
diharapkan tiba minggu selanjutnya. Aku menuruni tangga, melintasi halaman, dan
memasuki tempat tinggal Ali dan Hassan yang terletak di bawah pohon loquat. Aku
mengangkat matras Hassan dan meletakkan arloji baruku dan setumpuk pecahan
Afghani di bawahnya. Selama 30 menit selanjutnya, aku hanya menunggu. Lalu aku mengetuk pintu ruang
kerja Baba dan mengatakan padanya sebuah kebohongan yang kuharap akan menjadi
kebohongan terakhir dalam daftar kebohonganku yang panjang dan memalukan.
Melalui jendela kamarku, aku memerhatikan Ali dan Hassan mendorong gerobak yang
telah dipenuhi dengan daging, naan, buah-buahan, dan sayuran, memasuki
pekarangan rumah. Aku memerhatikan Baba keluar dari rumah dan mendekati Ali.
Bibir-bibir mereka bergerak, meluncurkan kata-kata yang tak bisa kutangkap dari
kamarku. Baba menunjuk ke rumah dan Ali mengangguk. Mereka berpisah. Baba
kembali memasuki rumah; Ali mengikuti Hassan memasuki pondok mereka.
Beberapa saat kemudian, Baba mengetuk pintu kamarku. "Masuk ke ruang kerjaku,"
katanya. "Kita semua akan duduk di sana dan menyelesaikan masalah ini."
Aku memasuki ruang kerja Baba, menduduki salah satu sofa kulit dalam ruangan
itu. Sekira 30 menit kemudian, Hassan dan Ali bergabung bersama kami.
Sebelum menemui kami, mereka berdua menangis; aku bisa mengetahuinya dari
merahnya wajah mereka, sembapnya mata mereka. Mereka berdiri di hadapan Baba,
berpegangan tangan, dan aku berpikir, bagaimana bisa aku menimbulkan kepedihan
sedalam ini. Baba tidak membuang waktu untuk bertanya, "Benarkah kau mencuri uang itu"
Benarkah kau mencuri arloji Amir, Hassan?"
Hassan menjawabnya dengan satu kata, dengan suara serak dan bergetar: "Ya."
Wajahku mengernyit, rasanya seperti baru ditampar. Hatiku teriris dan aku pun
hampir meneriakkan segala kebenaran. Namun tiba-tiba aku memahami: Inilah
pengorbanan terakhir Hassan untukku. Jika dia mengatakan tidak, Baba akan
langsung memercayainya, dan aku pun akan menjadi tertuduh; aku akan harus
menjelaskan segalanya dan membongkar seluruh kedokku. Sampai kapan pun, Baba
tidak akan pernah memaafkanku. Dan aku pun memahami satu hal lagi: Hassan tahu.
Dia tahu bahwa aku melihat semua kejadian di gang itu, bahwa aku berdiri di sana
tanpa berbuat apa-apa. Dia tahu bahwa aku telah mengkhianatinya dan dia tetap
menyelamatkanku sekali lagi, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Saat itulah
aku menyadari bahwa aku menyayangi Hassan, rasa sayangku padanya jauh lebih
besar daripada rasa sayangku pada siapa pun juga, dan aku ingin memberitahunya
bahwa aku adalah ular yang merayap di rerumputan, monster yang bersembunyi di
danau. Aku tidak pantas mendapat anugerah pengorbanannya; aku adalah seorang
penipu, pengkhianat, dan pencuri. Dan aku ingin mengatakan segalanya, hanya saja
sebagian dari diriku merasa lega. Aku merasa lega karena semua ini akan segera
berakhir. Baba akan memecat mereka, akan ada sedikit rasa sakit, namun kehidupan
akan tetap berjalan. Aku menginginkannya, melanjutkan kehidupanku, melupakan,
memulai dengan awal baru. Aku ingin bisa bernapas lagi.
Tetapi Baba membuatku terpana dengan mengatakan, "Aku memaafkanmu."
Memaafkan" Tetapi bukankah mencuri adalah salah satu dosa yang tidak termaafkan,
dosa terbesar yang dilakukan manusia. Kalau kau membunuh seorang pria, kau
mencuri kehidupannya. Kau mencuri seorang suami dari istrinya, merampok seorang
ayah dari anak-anaknya. Kalau kau berbohong, kau mencuri hak seseorang untuk
mendapatkan kebenaran. Kalau kau berbuat curang, kau mencuri hak seseorang untuk
mendapatkan keadilan. Tak ada tindakan yang lebih hina daripada mencuri.
Tidakkah saat itu Baba mendudukkanku di pangkuannya dan mengatakan semua hal
itu" Kalau begitu, mengapa hanya semudah itu Baba memaafkan Hassan" Dan kalau
Baba bisa memaafkan Hassan, mengapa dia tidak bisa memaafkanku karena tidak
mampu menjadi putra yang selalu didambakannya" Mengapa-
"Kami akan pergi, Agha sahib," kata Ali.
"Apa?" sahut Baba, wajahnya memucat.
"Kami tidak bisa tinggal di sini lagi."
"Tapi aku memaafkannya, Ali, tidakkah kau mendengarnya?" kata Baba.
"Kami sudah tidak mungkin bisa menjalani hidup di sini, Agha sahib. Kami akan
pergi." Ali menarik Hassan, merangkulkan lengannya ke bahu putranya. Ali
memberikan perlindungan pada Hassan, dan aku tahu siapa yang membuat Hassan
memerlukan perlindungan. Ali melirik ke arahku, dan dalam tatapannya yang dingin
dan tak kenal ampun, aku bisa melihat bahwa Hassan telah menceritakan semuanya
pada ayahnya. Dia telah menceritakan semuanya pada Ali, tentang perbuatan yang
dilakukan Assef dan pengikut-pengikutnya, tentang layang-layang itu, dan tentang
aku. Anehnya, aku merasa lega karena seseorang akhirnya mengetahui siapa diriku
yang sesungguhnya; aku sudah tak sanggup lagi berpura-pura.
"Aku tak peduli dengan uang atau arloji itu," ujar Baba, lengannya terbuka,
telapak tangannya tertengadah. "Aku tidak mengerti mengapa kau melakukan ini ...
apa maksudmu mengatakan 'tidak mungkin'?"
"Maafkan aku, Agha sahib, namun kami sudah mengemasi barang-barang kami. Kami
sudah membuat keputusan."
Baba berdiri, kesedihan tersirat di wajahnya. "Ali, bukankah aku telah
menghidupimu dengan baik" Bukankah aku telah memberikan kebaikan untukmu dan
Hassan" Kau bagaikan saudara yang tak pernah kumiliki, Ali, kau tahu itu.
Kumohon, jangan lakukan ini."
"Jangan membuat keadaan yang sudah sulit ini semakin sulit, Agha sahib," ucap
Ali. Bibirnya bergetar, dan untuk sesaat, kurasa aku melihat kepedihan terpancar
di wajahnya. Saat itulah aku memahami dalamnya luka yang kusebabkan, besarnya
kesedihan yang kuberikan pada semua orang, bahkan wajah Ali yang tak pernah
menampilkan ekspresi apa pun tidak bisa menyembunyikannya. Aku memaksa diriku
menatap Hassan, namun kepalanya tertunduk, bahunya merosot, jarinya
mempermainkan benang yang terurai dari bajunya.
Baba mulai memohon. "Setidaknya, katakanlah alasannya kepadaku. Aku harus
mengetahuinya!" Ali tidak memberi tahu Baba, sama seperti ketika dia tidak melakukan apa-apa
saat Hassan mengakui pencurian yang tak pernah dilakukannya. Aku tidak pernah
memahami mengapa dia melakukannya, namun aku bisa membayangkan keduanya
bertangisan dalam remang cahaya di pondok mereka, Hassan memohon pada ayahnya
untuk tidak mengatakan kebusukanku pada Baba. Namun aku tidak bisa membayangkan
betapa beratnya beban Ali untuk menepati janjinya pada Hassan.
"Bisakah Agha sahib memberi kami tumpangan sampai ke terminal bus?"
"Aku melarangmu melakukannya!" Baba membentaknya. "Kau dengar aku" Aku
melarangmu!" "Dengan segala hormat, Agha sahib tidak bisa
memberikan larangan apa pun pada kami." kata Ali. "Kami tidak lagi bekerja di
sini." "Ke mana kau akan pergi?" tanya Baba. Suaranya bergetar.
"Hazarajat." "Sepupumu?" "Ya. Bisakah kami mendapatkan tumpangan sampai ke terminal bus, Agha sahib?"
Lalu aku menyaksikan Baba melakukan sesuatu yang tak pernah kulihat
dilakukannya. Baba menangis. Pemandangan itu sedikit menakutkanku, seorang pria
dewasa menangis. Seorang ayah tidak seharusnya menangis. "Kumohon," hanya itulah
yang diucapkan Baba, namun Ali telah berjalan menuju pintu, dengan Hassan
mengikuti di belakangnya. Aku tidak pernah melupakan cara Baba mengatakannya,
kepedihan dalam permohonannya, ketakutannya.
* Di Kabul, hujan jarang turun saat musim panas. Langit biru terbentang luas dan
tinggi, matahari bagaikan cap besi yang menyengat tengkuk. Sungai-sungai kecil
tempatku dan Hassan bermain lempar batu sepanjang musim semi, saat itu telah
mengering, dan setiap kali sebuah becak lewat, debu pun beterbangan. Orang-orang
pergi ke masjid untuk menunaikan shalat siang hari sepanjang sepuluh rakaat lalu
segera berteduh dan melakukan
tidur siang di bawah naungan apa pun, menunggu kesejukan yang tiba bersama
datangnya senja. Musim panas berarti hari-hari sekolah yang panjang, yang
dihabiskan dalam kelas yang terlalu sesak, dengan ventilasi menyedihkan, belajar
melafalkan ayat-ayat Al-Quran, mati-matian berusaha menguasai kata-kata
berbahasa Arab yang eksotis dan sulit diucapkan. Musim panas berarti berusaha
menangkap lalat-lalat yang mengganggu, saat mullah menerangkan pelajaran secara
panjang lebar dan membosankan, dan sapuan udara panas membawa aroma tinja yang
berasal dari kamar kecil di seberang halaman sekolah, menerbangkan debu di
sekeliling ring basket yang reyot.
Namun hujan turun di siang hari saat Baba mengantarkan Ali dan Hassan ke
terminal bus. Awan men-dung berarak, mewarnai langit dengan warna sekelabu besi.
Dalam hitungan menit, hujan pun membasahi bumi, suara curahan air memenuhi


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telingaku. Baba menawarkan diri untuk mengantar Ali hingga ke Bamiyan, namun Ali
menolaknya. Melalui jendela kamarku yang buram karena derasnya hujan, aku
memerhatikan Ali mengangkut satu-satunya koper yang berisi seluruh harta milik
mereka ke mobil Baba yang diparkir di luar pagar. Hassan menyeret matrasnya,
menggulung dan mengikatnya kuat-kuat dengan tali, lalu memanggulnya. Dia
meninggalkan semua mainannya di pondoknya yang tak lagi berpenghuni aku
menemukan mainan-mainan itu keesokan harinya,
tertumpuk di sudut, sama seperti hadiah ulang tahun di kamarku.
Curahan hujan membasahi jendelaku. Aku menyaksikan Baba menutup bagasi mobil.
Tanpa memedulikan tubuhnya yang basah karena hujan, Baba berjalan menuju sisi
pengemudi. Sesaat kemudian, dia melongok ke dalam mobil dan mengatakan sesuatu
pada Ali yang duduk di bangku belakang, mungkin usaha terakhir untuk mengubah
keputusan mereka. Mereka berbicara cukup lama. Baba, dengan tubuh basah kuyup,
membungkukkan badannya, satu tangan diletakkan di atap mobil. Namun saat dia
menegakkan badannya, dari pundak Baba yang melorot, aku tahu bahwa kehidupan
yang kujalani sejak aku dilahirkan telah berakhir. Baba memasuki mobil. Kedua
lampu depan mobil menyala, menghasilkan berkas cahaya kembar yang menembus
derasnya hujan. Kalau saja semua ini hanyalah salah satu adegan dalam film India
yang sering kutonton bersama Hassan, sekaranglah saatnya aku berlari keluar,
dengan kaki telanjang mencipratkan air. Aku akan mengejar mobil itu, meneriakkan
permohonan untuk menghentikan lajunya. Aku akan menarik keluar Hassan dari
bangku belakang dan memberitahunya betapa aku menyesal, sangat menyesal, dan
cucuran air mataku pun bercampur dengan tetesan air hujan. Kami akan berpelukan
di bawah curahan hujan. Namun ini bukanlah film India. Aku menyesal, tetapi aku
tidak menangis dan tidak mengejar mobil itu. Aku menyaksikan mobil Baba
meninggalkan rumah kami, membawa serta seseorang yang kata pertamanya adalah namaku. Untuk terakhir
kalinya, sebelum Baba membelokkan mobilnya ke kiri di tikungan yang begitu
sering kami jadikan tempat bermain kelereng, pandanganku melayang pada sosok
kabur Hassan yang duduk di bangku belakang.
Aku berjalan menjauhi jendela itu, dan satu-satunya pemandangan yang kulihat
melalui jendelaku adalah derasnya curahan hujan, yang tampak bagaikan lelehan
perak. Sepuluh Maret 1981 Seorang wanita muda duduk berseberangan
dengan kami. Gaunnya berwarna hijau buah zaitun dan sehelai syal hitam
membingkai ketat wajahnya, melindunginya dari udara malam yang dingin menusuk.
Setiap kali truk terloncat karena melewati lubang di jalan yang tak rata, wanita
itu meneriakkan doa. Lengkingan "Bismillah!" mengiringi setiap getaran dan
lonjakan truk. Suaminya, seorang pria kekar bercelana longgar dan berserban
biru, memeluk seorang bayi dengan satu tangannya, dan mengurut tasbih dengan
tangan lainnya. Bibirnya bergerak mengucap doa tanpa suara. Penumpang lainnya,
seluruhnya berjumlah sekitar 12 orang, termasuk aku dan Baba, duduk dengan
mengapit koper, berjejalan dengan orang-orang tak dikenal dalam bak belakang
beratap terpal sebuah truk Rusia.
Perutku telah bergolak sejak kami meninggalkan Kabul sesaat setelah jam
menunjukkan pukul dua pagi. Baba tidak pernah mengatakannya, namun aku tahu
bahwa kecenderunganku untuk menderita mabuk perjalanan dianggapnya sebagai
satu lagi kelemahanku aku bisa melihatnya melalui wajah Baba yang mencerminkan
rasa malu setiap kali aku mengerang karena perutku terasa begitu sakit. Saat
pria kekar bercambang itu suami wanita yang selalu berdoa-bertanya padaku,
apakah aku merasa ingin muntah, aku mengatakan bahwa mungkin saja aku akan
muntah. Baba memalingkan wajah. Pria itu mengangkat terpal di dekatnya dan
mengetuk jendela pengemudi, meminta sopir untuk menghentikan truk. Namun si
sopir, Karim, pria kerempeng berkulit gelap dengan muka tirus dan kumis tipis,
menggelengkan kepalanya. "Kita masih terlalu dekat dengan Kabul," teriaknya. "Suruh dia menguatkan
perutnya." Baba menggerutu dengan suara lirih. Aku ingin meminta maaf padanya, namun tiba-
tiba kurasakan air liurku memenuhi mulut, rasa pahit menggumpal di pangkal
kerongkonganku. Aku berbalik, mengangkat terpal, dan memuntahkan isi perutku ke
badan truk yang masih bergerak. Di belakangku, Baba menyampaikan permintaan maaf
kepada seluruh penumpang. Seolah-olah mabuk perjalanan adalah suatu kejahatan.
Seolah-olah mabuk perjalanan adalah sesuatu yang tidak seharusnya diderita oleh
seseorang yang telah berumur 18 tahun. Aku muntah dua kali sesudah itu, hingga
akhirnya Karim setuju untuk berhenti, terutama agar bau mun-tahanku tidak
menempel pada truknya, sumber penghidupannya. Karim adalah seorang penyelundup
pengungsi saat itu, pekerjaan ini menghasilkan uang melimpah. Dia memberikan
tumpangan pada setiap orang yang ingin melarikan diri dari Kabul, yang berada di bawah pendudukan
Shorawi, ke Pakistan yang relatif aman. Saat itu, dia sedang membawa kami ke
Jalalabad, sekitar 170 km di sebelah tenggara Kabul, tempat kakaknya, Toor, yang
memiliki truk lebih besar, menunggu bersama serombongan pengungsi lain untuk
melintasi Celah Khyber menuju Peshawar.
Kami berada beberapa kilometer di sebelah barat Air Terjun Mahipar saat Karim
meminggirkan truknya ke tepi jalan. Mahipar yang berarti "Ikan Terbang" adalah
puncak tinggi dan curam yang menghadap ke arah pembangkit listrik bertenaga air,
dibangun oleh bangsa Jerman untuk penduduk Afghanistan pada 1967. Tidak
terhitung seberapa seringnya aku dan Baba bermobil ke puncaknya dalam perjalanan
menuju Jalalabad, kota yang terkenal dengan pohon cedar dan perkebunan tebunya,
tempat penduduk Afghanistan berlibur saat musim dingin tiba.
Aku melompat keluar melalui bagian belakang truk dan membungkuk di atas selokan
berdebu di sisi jalan. Air liur memenuhi mulutku, suatu tanda bahwa sekali lagi,
isi perutku akan segera termuntahkan. Aku melangkah terseok-seok ke tepi tebing
yang menjorok ke ngarai dalam yang diliputi kegelapan. Aku berjongkok,
meletakkan tanganku di lutut, dan menunggu gumpalan itu melewati kerongkonganku.
Dari suatu tempat, aku mendengar derakan ranting patah dan suara burung hantu.
Angin dingin bertiup lembut, menerobos batang-batang pepohonan dan menggoyang
semak-semak yang tersebar di sana. Di bawah sana, suara samar gemericik air
menembus ngarai. Saat aku berdiri di bahu jalan itu, aku memikirkan cara kami keluar dari rumah
yang telah kutinggali seumur hidupku, seakan-akan kami hanya pergi untuk makan
malam di luar: piring-piring bernoda sisa kofta masih tertumpuk di bak cuci
piring; timbunan cucian masih memenuhi keranjang rotan di ruang depan; tempat-
tempat tidur belum dirapikan. Setelan bisnis Baba masih tergantung di lemari.
Deretan permadani masih tergantung di dinding ruang tamu dan buku-buku koleksi
ibuku masih memenuhi rak di ruang kerja Baba. Jejak yang kami tinggalkan saat
keluar dari tempat itu tidak akan mudah dilacak: Foto pernikahan kedua
orangtuaku dan foto Raja Nader Shah yang berdiri memamerkan rusa hasil buruannya
telah menghilang. Beberapa helai pakaian menghilang dari lemari. Buku catatan
bersampul kulit, hadiah dari Rahim Khan lima tahun sebelumnya, juga menghilang.
Paginya, Jalaluddin pelayan ketujuh kami dalam lima tahun terakhir mungkin akan
menyangka bahwa kami sedang pergi berjalan-jalan atau bermobil di pagi hari.
Kami tidak memberitahunya. Tidak ada lagi seorang pun di Kabul yang bisa
dipercaya untuk mendapatkan imbalan atau saat menderita di bawah ancaman, setiap
orang akan saling menjatuhkan, tetangga menjatuhkan tetangga, anak-anak
menjatuhkan orangtua, pelayan menjatuhkan majikan, teman menjatuhkan teman.
Pikiranku melayang pada Ahmad Zahir, sang penyanyi yang memainkan akordeon pada
pesta ulang tahun yang ke-13. Dia pergi bermobil dengan teman-temannya, dan
selanjutnya, seseorang menemukan mayatnya di pinggir jalan, dengan sebutir
peluru bersarang di bagian belakang kepalanya. Para rafiqs, cecunguk partai
komunis, ada dimana-mana, dan mereka menggolongkan penduduk Kabul dalam dua
kelompok: mereka yang dengan diam-diam menguping pembicaraan orang lain dan
mereka yang tidak melakukannya. Masalahnya, tidak seorang pun mengetahui siapa
termasuk dalam kelompok yang mana. Komentar kecil yang terlontar saat menunggu
penjahit mengepas ukuran baju bisa mengirim seseorang ke penjara bawah tanah
Poleh charki. Keluhan soal pelaksanaan jam malam yang dilontarkan di hadapan
tukang daging bisa mengantarkan seseorang menghabiskan waktunya di balik jeruji,
di hadapan moncong senapan Kalashnikov. Bahkan di meja makan, dalam makan malam
keluarga, semua orang harus menjaga mulut para rafiqs juga ada di dalam kelas;
mereka mengajarkan pada anak-anak untuk memata-matai orangtua mereka, apa yang
harus mereka dengarkan, pada siapa mereka harus melapor.
Apa yang sedang kulakukan di jalan ini di tengah malam buta" Seharusnya aku
berbaring di tempat tidurku, di bawah selimutku, dengan sebuah buku yang kumal
karena sering kubaca tergeletak di sampingku. Aku pasti sedang bermimpi. Pasti.
Besok aku akan terbangun, lalu mengintip ke balik jendela: Tidak akan ada tentara-
tentara Rusia berwajah brutal berpatroli di sepanjang jalan, tidak akan ada
tank-tank baja melaju di jalanan kotaku, dengan pengendali tembakan berputar
layaknya jari yang menudingkan tuduhan, tidak akan ada puing-puing bangunan,
tidak akan ada jam malam, tidak akan ada Kendaraan Pengangkut Pasukan Rusia
menyisir pasar. Lalu, di belakangku, aku mendengar suara Baba dan Karim, yang
sedang merokok sambil mendiskusikan urusan di Jalalabad. Karim sedang meyakinkan
Baba bahwa truk besar yang dimiliki kakaknya berkondisi "istimewa dan
berkualitas nomor satu," dan bahwa jalan menuju Peshawar sudah sangat sering dia
lewati. "Dia bisa membawa Anda ke sana dengan mata tertutup," kata Karim. Aku
mendengarnya memberi tahu Baba bahwa dia dan kakaknya mengenal tentara Rusia dan
Afghanistan yang menjaga pos perbatasan, dan mereka telah mengatur kesepakatan
yang "saling menguntungkan". Ini bukanlah mimpi. Bagaikan sebuah pertanda, deru
mesin pesawat M i G seketika menggemuruh. Karim melemparkan rokoknya dan menarik
pistol yang tersimpan di pinggangnya. Sambil mengarahkan pistolnya ke angkasa
dan berlagak menembak, pria itu meludah dan menyumpahi pesawat M i G yang
berlalu di atas kami. Aku memikirkan Hassan. Di manakah dia berada" Dan aku pun tak sanggup menahannya
lagi. Aku memuntahi belukar, eranganku tenggelam dalam gemuruh MiG yang
menulikan. Dua puluh menit kemudian, kami sampai di pos perbatasan Mahipar. Karim
meninggalkan truk, menyapa suara-suara yang mendekat. Kaki-kaki menjejaki aspal.
Kata-kata bertukar, dalam bisikan dan ketergesaan. Satu nyala korek api.
"Spasseba." Satu lagi korek api menyala. Seseorang terbahak, lengkingan tawa
yang membuatku terlonjak kaget. Tangan Baba mencengkeram pahaku. Suara tawa pria
itu berlanjut dengan sebuah nyanyian, sebuah lagu pernikahan tua berbahasa
Afghan yang dinyanyikan dengan buruk, dengan aksen Rusia kental yang terdengar
jelas: Ahesta boro, Mah-e-man, ahesta boro.
Jangan buru-buru, bulanku tersayang, jangan
buru-buru. Sepatu bot menderap di aspal. Seseorang membuka terpal yang menutup bagian
belakang truk, dan tiga raut wajah mengintip ke dalam. Salah satunya adalah
Karim, dua wajah lainnya dimiliki oleh dua orang prajurit, seorang Afghan dan
seorang Rusia berwajah menyerupai anjing bulldog yang menyeringai dengan
sebatang rokok terselip di mulutnya. Di belakang mereka, bulan yang seputih
tulang menggantung di langit. Karim dan si Afghan membicarakan sesuatu dalam
bahasa Pashtu. Samar-samar aku mendengarnya tentang Toor dan nasib buruk yang
menimpanya. Si Rusia melongokkan kepalanya ke dalam bak truk sambil mengetuk-
ngetukkan jarinya ke badan truk,
mengiringi lagu pernikahan tua yang masih dinyanyikannya. Dalam remang cahaya
bulan, masih bisa kulihat sorot dingin di matanya saat dia melihat berkeliling,
menjatuhkan pandangan dari satu penumpang ke penumpang yang lain. Meskipun saat
itu udara dingin, keringat membanjiri keningnya. Tatapannya tertuju pada si
wanita muda bersyal hitam. Dia berbicara pada Karim dalam bahasa Rusia tanpa
melepaskan tatapan pada wanita itu. Karim menjawabnya dengan ketus, dan si
tentara menukasnya dengan lebih ketus. Si Afghan juga mengatakan sesuatu dengan
lirih dan tidak terburu-buru, namun si Rusia meneriakkan sesuatu yang membuat
keduanya berjengit. Aku bisa merasakan tubuh Baba di sebelahku menegang. Karim
menghela napas dan menundukkan kepala, mengatakan bahwa si Rusia ingin
menghabiskan waktu selama setengah jam bersama wanita yang duduk di depanku itu.
Wanita muda itu menutupkan syalnya ke wajah. Air matanya mengalir. Anak balita
yang duduk di pangkuan suaminya pun mulai menangis. Wajah sang suami sepucat
bulan di langit. Dia meminta Karim mengatakan pada "Tuan Prajurit Sahib" untuk
sedikit mengasihani mereka, mungkin dia sendiri memiliki saudara perempuan, ibu,
atau juga istri. Si Rusia mendengarkan perkataan Karim dan menukasnya dengan
rentetan bentakan. "Ini harga yang ditetapkannya untuk meloloskan kita," kata Karim. Dia tidak
sanggup menatap mata sang suami.
"Tapi kami sudah membayar mahal. Dia sudah dibayar mahal," protes sang suami.
Si Rusia mengatakan sesuatu dan Karim menerjemahkannya. "Katanya ... katanya semua
harga ada pajak-nya."
Saat itulah Baba berdiri. Giliranku mencengkeram pahanya, namun Baba menepiskan
tanganku, mengibaskan kakinya. Tubuh Baba yang menjulang membuatku tak bisa lagi
melihat bulan. "Aku ingin kamu mengatakan sesuatu pada pria ini," katanya. Baba
menujukan kalimat ini pada Karim, namun tatapannya mengarah langsung pada si
Rusia. "Tanyakan padanya, lari kemana rasa malunya."
Mereka menjawab, "Katanya, kita sedang berada dalam peperangan. Dalam masa
perang tidak ada rasa malu."
"Katakan padanya bahwa dia salah. Kesopanan tidak hilang gara-gara perang. Dalam
masa perang, kesopanan dibutuhkan, lebih daripada dalam masa damai."
Haruskah kau selalu menjadi pahlawan" Di tengah gemuruh detak jantungku, aku
berpikir: Tidak bisakah kau membiarkannya, sekali ini saja" Tetapi aku tahu
bahwa Baba tidak akan tinggal diam-itu berlawanan dengan sifatnya. Masalahnya,
sifatnya ini akan membuat kami semua terbunuh.
Si Rusia mengatakan sesuatu pada Karim sambil tersenyum licik. "Agha sahib,"
kata Karim, "Roussi ini tidak seperti kita. Mereka tidak paham tentang
kehormatan." "Apa katanya?" "Katanya, menyarangkan peluru ke kepala Anda akan sama nikmatnya dengan Karim
tidak mengatakannya, hanya menganggukkan kepalanya ke arah wanita muda yang
dikehendaki si Rusia. Prajurit itu menjentikkan rokoknya yang baru setengah
diisap dan mengeluarkan pistolnya. Jadi sekaranglah hidup Baba akan berakhir,
pikirku. Beginilah dia mengakhiri hidupnya. Di benakku, kulafalkan doa yang
pernah kupelajari di sekolah.
"Katakan padanya, biar seribu peluru menembus tubuhku, aku tetap tidak akan
membiarkan perilaku tidak senonohnya," ujar Baba. Pikiranku melayang pada
kejadian musim dingin enam tahun yang lalu. Aku, mengintai di sudut gang. Kamal
dan Ali menahan Hassan. Assef melakukan perbuatan tidak senonohnya. Pahlawan
macam apa diriku, meributkan sebuah layang-layang. Terkadang, aku pun bertanya-
tanya, apakah aku benar-benar putra Baba.
Tentara Rusia berwajah-bulldog itu mengangkat pistolnya.
"Baba, kumohon, duduklah," kataku sambil menarik lengan bajunya. "Sepertinya dia
benar-benar bermaksud menembak Baba."
Baba menepiskan tanganku. "Apa kau tak pernah mempelajari apa pun dariku?"
bentaknya. Dia beralih kembali pada si Rusia yang menyeringai. "Katakan padanya,
lebih baik dia membunuhku dengan peluru pertamanya. Karena kalau aku tidak mati,
aku akan melumat tubuhnya, terkutuklah ayahnya!"
Seringai si Rusia memudar saat dia mendengar terjemahan ucapan Baba. Dibukanya
pengaman pistolnya. Dia membidikkannya ke dada Baba. Detak jantungkuy tertahan
di tenggorokan, aku menangkupkan kedua tanganku ke wajah.
Suara tembakan. Semua sudah berakhir. Umurku 18 dan aku sebatang kara. Tidak ada seorang pun
yang kumiliki di dunia ini. Baba meninggal dan sekarang aku harus menguburkan-
nya. Di mana aku akan menguburkannya" Ke mana aku akan pergi sesudahnya"
Tetapi terpaan kekhawatiran yang melanda benakku terhenti saat aku membuka mata.
Di depanku, Baba masih tegak berdiri. Di hadapannya, berdiri seorang tentara
Rusia lain. Dari pistolnyalah tembakan itu berasal. Prajurit yang akan menembak
Baba menurunkan senjatanya. Dia menyeret kakinya menjauhi tempat itu. Seketika
itu aku merasa ingin menangis sekaligus tertawa, perasaan yang belum pernah
kurasakan sebelumnya. Tentara Rusia yang kedua, seorang pria bertubuh gagah dan berambut kelabu,
dengan terpatah-patah berbicara kepada kami dalam bahasa Farsi. Dia memohon maaf
atas kelakuan rekannya. "Rusia mengirim mereka kemari untuk bertempur," katanya.
"Tapi mereka masih anak-anak, dan setibanya mereka di sini, mereka menemukan
kenikmatan dalam obat-obatan." Dipandangnya prajurit muda itu dengan letih,
bagaikan seorang ayah yang telah muak menghadapi tabiat buruk anaknya. "Saat ini
dia kecanduan obat-obatan. Saya mencoba menghentikannya
Dia melambaikan tangan membiarkan kami lewat.
Beberapa saat kemudian, kami berlalu dari tempat itu. Suara tawa masih
terdengar, lalu suara si Rusia yang menyanyikan lagu pernikahan tua .... Kami
meneruskan perjalanan dalam kesunyian selama sekitar 15 menit, lalu tiba-tiba,


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suami si wanita bersyal itu berdiri dan melakukan sesuatu yang sudah begitu
sering kulihat dilakukan oleh banyak orang lain: Dia mencium tangan Baba.
* Nasib buruk Toor. Bukankah aku telah mendengarnya dalam percakapan Karim dan
para tentara di Mahipar"
Kami sampai di Jalalabad sekitar satu jam sebelum subuh. Karim memburu-buru kami
untuk segera keluar dari truk dan memasuki sebuah rumah tak bertingkat yang
terletak di persimpangan antara dua jalan tanah dengan deretan rumah beratap
datar, pohon akasia, dan toko-toko yang telah ditutup di kanan-kirinya. Saat
kami terburu-buru memasuki rumah sambil menyeret barang-barang bawaan, aku
menarik kerah bajuku ke atas untuk melawan hawa dingin. Entah mengapa, aroma
lobak yang menggantung di tempat itu masih terus menempel di kepalaku hingga
kini. Segera setelah kami semua memasuki ruang tamu tanpa perabotan yang berpenerangan
seadanya dalam rumah itu, Karim mengunci pintu, memungut sehelai seprai kumal
dan menjadikannya tirai untuk menutupi jendela. Lalu dia menarik napas dalam dan
mengatakan kabar buruk itu kepada kami: Kakaknya, Toor, tidak bisa membawa kami
ke Peshawar. Sepertinya, seminggu sebelumnya, mesin truknya meledak, dan saat
ini Toor masih menunggu datangnya suku cadang untuk memperbaiki truk itu.
"Minggu /alu?" seseorang memekik. "Kalau kamu tahu, kenapa kamu tetap membawa
kami kemari?" Dari sudut mataku, aku menangkap sesosok tubuh bergerak. Lalu sosok itu
melintasi ruangan, dan detik berikutnya, dia membenturkan Karim ke dinding. Kaki
Karim yang bersandal menggantung setinggi setengah meter dari lantai. Tangan
Baba mencengkeram lehernya.
"Aku bisa mengatakan alasannya pada kalian," teriak Baba lantang. "Karena dia
telah dibayar untuk membawa kita kemari. Hanya itu yang dipikirkannya." Suara
tercekik keluar dari mulut Karim. Air liur mengumpul di sudut mulutnya.
"Turunkan dia, Agha, Anda bisa menewaskannya," salah satu penumpang berkata.
"Memang itulah yang ingin kulakukan," kata Baba. Tidak ada seorang pun dalam
ruangan itu yang menyangka bahwa Baba bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Wajah
Karim memerah dan kakinya menendang-nendang dengan liar. Baba terus mencekiknya,
hingga si ibu muda, yang sebelumnya diingini si tentara Rusia, memohon padanya
untuk menghentikan tindakannya.
Saat Baba melepaskannya, Karim terjatuh ke lantai dan segera berguling mencari
udara segar. Kesunyian meliputi ruangan. Kurang dari dua jam sebelumnya, Baba
memasrahkan dirinya untuk menerima tembakan demi menjaga kehormatan seorang
wanita yang tak dikenalnya. Sekarang, dengan senang hati, dia hampir mencekik
leher seorang pria hingga tewas, jika wanita yang sama tidak memohon padanya
untuk berhenti. Suara benturan terdengar dari ruang sebelah. Ternyata tidak, bukan dari sebelah,
namun dari bawah. "Apa itu?" tanya seseorang.
"Pengungsi yang lain," Karim masih terengah-engah, berusaha bernapas. "Di ruang
bawah tanah." "Sudah berapa lama mereka menunggu di sini?" tanya Baba, menjulang tinggi di
atas Karim. "Dua minggu." "Tadi kauhilang truk itu rusak seminggu yang
lalu." Karim mengelus tenggorokannya. "Mungkin dua minggu yang lalu," katanya parau.
"Kapan?" "Apanya?"
"Kapan suku cadangnya akan datang?" Baba membentaknya. Karim mengernyitkan
wajah, namun tidak mengatakan apa-apa. Kesuraman ruangan itu membuatku
bersyukur. Aku tak ingin melihat
ekspresi pembunuh yang terpancar dari wajah Baba
Bau lumut yang lembap terendus oleh hidungku saat Karim membuka pintu yang
menampakkan tangga goyah menuju ruang bawah tanah. Kami melangkah satu per satu.
Tangga itu berderak saat Baba melewatinya. Saat berdiri di tengah hawa dingin
yang menyelimuti ruang bawah tanah itu, kurasakan berpasang-pasang mata yang
berkedip dalam kegelapan memerhatikanku. Aku bisa menangkap siluet tubuh-tubuh
mereka yang berkumpul di sudut ruangan, bayangan yang terbentuk karena redupnya
cahaya satu-satunya lampu minyak kecil yang menerangi tempat itu. Terdengar
bisikan-bisikan lirih, diselingi suara tetesan air, dan suara lainnya, suara
garukan. Di belakangku, Baba menghela napas dan menjatuhkan tasnya.
Karim mengatakan pada kami, bahwa kami hanya perlu menunggu truk itu selesai
diperbaiki selama beberapa hari. Lalu kami akan melaju ke Peshawar. Menuju
kebebasan. Menuju keselamatan. Sebelum itu, sampai minggu depan, ruang bawah
tanah ini akan menjadi tempat tinggal kami. Pada malam ketiga, aku mendapatkan
sumber bunyi garukan itu. Tikus.
Saat mataku telah terbiasa dengan kegelapan, aku menghitung jumlah orang yang
menghuni ruangan itu. Sekitar 30 orang. Kami duduk berjajar di sepanjang
dinding, bertahan hidup dengan memakan biskuit, roti dengan kurma, dan apel.
Pada malam pertama, para pria melakukan shalat bersama. Salah satu pengungsi
menanyakan pada Baba, mengapa dia tidak bergabung bersama mereka, "Tuhan akan
menyelamatkan kita semua. Mengapa Anda tidak mau meminta padaNya?"
Baba menghirup aroma sejumput tembakau bubuknya, meluruskan kakinya. "Yang akan
menyelamatkan kita adalah delapan ban dan sebuah karburator yang bagus." Setelah
itu mereka tidak pernah lagi mengajaknya melakukan shalat.
Di malam pertama itu pulalah aku mendapati bahwa dua orang di antara para
pengungsi itu adalah Kamal dan ayahnya. Cukup mengejutkan, menemukan Kamal duduk
dalam ruang bawah tanah ini, hanya berjarak beberapa meter dariku. Tetapi saat
dia dan ayahnya mendekati kami dan aku melihat wajah Kamal, benar-benar
memerhatikannya .... Bagaikan bunga yang layu sungguh, tidak ada lagi kata yang lebih tepat untuk
melukiskannya. Tatapan matanya kosong, dan tidak ada tanda-tanda bahwa dia
mengenaliku. Badannya membungkuk dan pipinya menggelambir, seolah-olah terlalu
lelah untuk berpegang pada tulang yang menyangganya. Ayahnya, sang pemilik
gedung bioskop di Kabul, sedang menceritakan kepada Baba
kejadian yang menimpa mereka tiga bulan sebelumnya; istrinya tewas dengan
sebutir peluru menembus keningnya. Selanjutnya, dia menceritakan keadaan Kamal.
Aku hanya mendengar potongan-potongannya: Seharusnya kami tidak meninggalkannya
sendirian ... dia selalu terlihat tampan, Anda tahu ... keempat-empatnya ... mencoba
melawan ... Tuhan ... menyeretnya ... berdarah ... celananya ... tak mau lagi berbicara ...
hanya melamun .... Tidak akan ada truk untuk mengangkut kami, Karim mengatakannya, setelah selama
seminggu kami menghabiskan waktu di ruang bawah tanah yang dipenuhi tikus itu.
Truk itu sudah tidak bisa diperbaiki. "Ada pilihan lain," kata Karim,
melantangkan suaranya untuk mengatasi gerutuan orang-orang di hadapannya.
Sepupunya memiliki truk tangki pengangkut bahan bakar dan telah beberapa kali
menggunakannya untuk menyelundupkan pengungsi. Saat itu dia sedang berada di
Jalalabad dan truknya mungkin bisa memuat kami semua.
Semua orang, kecuali sepasang suami istri lanjut usia, memutuskan untuk
menyetujui pilihan itu. Malam itu kami pergi, aku dan Baba, Kamal dan ayahnya,
dan semua pengungsi yang lain. Karim dan sepupunya, pria botak berwajah persegi
bernama Aziz, membantu kami memasuki tangki. Satu per satu, kami memanjat tangga
di bagian belakang truk dan masuk ke dalam tangki. Aku ingat, saat Baba telah
memanjat hingga ke tengah tangga, dia kembali melompat ke bawah dan mengeluarkan
kotak tembakaunya. Baba mengosongkan kotak itu dan memungut segenggam tanah dari
tengah jalan. Diciumnya tanah itu. Baba menempatkannya di kotak tembakau,
menyimpannya di saku bajunya, dekat dengan jantungnya.
Panik. Buka mulutmu. Buka selebar-lebarnya, hingga kau mendengar rahangmu berderak.
Perintahkan paru-parumu untuk menghirup udara, SEKARANG, kau butuh udara, kau
membutuhkannya SEKARANG. Namun tenggorokanmu tertutup. Diam, menyempit,
mengerut, dan tiba-tiba, kau bernapas melalui sedotan minuman. Mulutmu tertutup,
bibirmu terkatup rapat, suaramu tercekat. Tanganmu tegang dan gemetar. Di suatu
tempat, seolah-olah bendungan yang menahan keringatmu runtuh, mengalirkan
keringat dingin yang membanjiri sekujur tubuhmu. Kau ingin menjerit. Kau akan
melakukannya jika kau bisa melakukannya. Tetapi kau harus bisa bernapas untuk
bisa menjerit. Panik. Ruang bawah tanah itu gelap. Tangki itu hitam
legam. Ke mana pun pandanganku tertuju, kanan, kiri, atas, bawah, saat aku
mengibaskan tanganku di depan mata, aku tidak bisa menangkap gerakan apa pun.
Berkali-kali kukedipkan mataku. Aku tidak bisa melihat apa pun. Udara di dalam
tangki pun sungguh tidak nyaman, terlalu pekat, nyaris padat. Udara seharusnya
tidak padat. Aku ingin menggapai dengan tanganku, menghancurkannya menjadi
kepingan-kepingan kecil, menjejalkannya ke saluran pernapasanku. Dan aroma
bensin. Mataku terasa terbakar karenanya, seolah-olah seseorang mengelupas
kelopak mataku dan menggosokkan potongan buah lemon di sana. Setiap embusan
napasku adalah api. Tempat macam ini bisa menewaskanmu, pikirku. Aku ingin
berteriak. Teriak, teriak ....
Lalu suatu keajaiban datang. Baba menarik lengan bajuku dan aku melihat sesuatu
menyala dalam kegelapan. Cahaya! Arloji Baba. Aku memusatkan pandanganku pada
tangan Baba yang diselimuti cahaya hijau yang berpendar. Begitu cemasnya aku
akan kemungkinan cahaya itu menghilang, hingga aku tidak berani mengedipkan
mataku. Perlahan-lahan aku bisa menangkap sosok-sosok di sekelilingku. Aku mendengar
erangan dan doa-doa yang dibisikkan. Aku mendengar tangisan bayi, nyanyian
ibunya yang menenangkan. Seseorang muntah. Seseorang mengutuki para Shorawi.
Truk itu bergoyang ke kanan dan ke kiri, naik dan turun. Kepala-kepala
berbenturan dengan logam.
"Pikirkan sesuatu yang menyenangkan," Baba
membisikkan kalimat itu ke telingaku. "Sesuatu yang membahagiakan."
Sesuatu yang menyenangkan. Sesuatu yang membahagiakan. Kubiarkan pikiranku
melayang. Aku mendapatkannya:
Jumat siang di Paghman. Hamparan rumput dan pohon-pohon murbei yang sedang
berbunga. Aku berdiri bersama Hassan, kaki-kaki kami terbenam dalam tebalnya
rumput liar, aku mengendalikan benang, tangan Hassan yang berkapal menggenggam
gulungannya, tatapan kami tertuju pada layang-layang yang menari di langit.
Tidak ada kata yang terucap, tidak ada yang perlu kami katakan inilah harta yang
dimiliki oleh mereka yang menyimpan kenangan yang sama, yang saling menjadi
kenangan pertama, yang menyusu dari payudara yang sama. Semilir angin menyapu
rerumputan, dan Hassan membiarkan benangnya terulur. Layang-layang itu berputar,
menukik, dan mengambang. Bayangan kembar kami menari di atas hamparan rumput
yang bergoyang. Dari suatu tempat di balik tembok rendah yang membatasi tempat
itu, terdengar gemericik air mancur yang menyerupai suara tawa dan celotehan.
Dan musik, alunan musik tua yang begitu akrab di telingaku, Ya Mowlah dalam
petikan rubab. Seseorang memanggil nama kami dari balik tembok. Waktunya
menikmati teh dan kue. Aku tidak ingat lagi dari mana kenangan itu berasal, baik bulan atau pun
tahunnya. Yang kutahu, kenangan itu tersimpan dalam jiwaku,
indahnya serpihan masa lalu yang terbungkus rapi, sapuan warna cerah di atas
kanvas kelabu kosong yang menyelimuti kehidupan kami.
Sisa perjalanan itu hanya kuingat samar-samar, menjadi sebuah kenangan yang
datang dan pergi, kebanyakan hanya berupa suara dan aroma: deru pesawat M i G
yang melayang di atas kami; rentetan tembakan; ringkikan keledai di pinggir
jalan; dentingan lonceng yang diiringi embikan kambing; jalanan batu yang
terlindas roda truk, bayi yang merengek dalam kegelapan; bau bensin, muntahan,
dan kotoran manusia. Yang juga kuingat adalah cerahnya cahaya matahari yang membutakan mata saat aku
memanjat ke luar tangki di pagi hari. Aku menengadahkan wajahku ke langit,
memicingkan mataku, bernapas sebanyak mungkin, seolah tak ada lagi udara di bumi
ini. Aku berbaring di tepi jalan tanah, di dekat selokan berbatu, menatap
kelabunya langit di kala fajar, mengucap syukur atas udara segar, mengucap
syukur atas cahaya, mengucap syukur karena aku masih bisa menjalani hidupku.
"Kita sudah memasuki Pakistan, Amir," kata Baba, yang berdiri di hadapanku.
"Kata Karim, dia akan mencarikan bus yang bisa membawa kita ke Peshawar."
Aku menggulingkan badan, tengkurap di atas
sejuknya jalan tanah, dan menatap koper yang diapit kedua kaki Baba. Melalui
sela-sela kakinya, aku bisa melihat truk tangki yang mengangkut kami terparkir
di sisi jalan, dan para pengungsi memanjat turun melalui tangga belakangnya.
Sejauh mata memandang, jalan tanah itu membentang di bawah langit kelabu,
melewati hamparan tanah lapang suram, dan menghilang di balik deretan bukit.
Jalan itu melalui sebuah desa kecil yang terletak di atas dataran yang terpapar
teriknya sinar matahari. Aku kembali menatap bawaan kami. Koper-koper itu mengingatkanku pada situasi
yang harus dihadapi Baba, melarutkanku dalam kesedihan. Setelah Baba membangun,
merencanakan, memperjuangkan, mengkhawatirkan, dan memimpikan segalanya, yang
tersisa dalam hidupnya hanyalah seorang putra yang mengecewakan dan dua buah
koper. Seseorang menjerit. Tidak, itu bukan jeritan. Lolongan. Aku menyaksikan para
penumpang berkerumun membentuk lingkaran, mendengar ucapan-ucapan dalam nada
cemas yang mereka layangkan. Seseorang mengatakan "keracunan gas." Seseorang
menyetujuinya. Lolongan itu berubah menjadi lengkingan mengoyak-tenggorokan.
Aku dan Baba bergegas mendekati kerumunan itu, menjejalkan diri hingga ke
tengah. Ayah Kamal duduk bersila di tengah lingkaran itu, menggerak-gerakkan
badannya ke depan dan belakang, menciumi wajah pucat pasi putranya.
"Dia tidak bernapas! Putraku tidak bernapas!" air
mata membanjiri wajah pria itu. Tubuh Kamal yang tak bernyawa lagi terbaring di
atas pangkuannya. Tangan kanannya terbujur kaku, bergerak seiring isakan
ayahnya. "Putraku! Tidak bernapas lagi! Allah, bantulah anakku bernapas!"
Baba berlutut di samping pria itu, merangkulkan lengan ke bahunya. Tetapi ayah
Kamal menepiskan lengan Baba, seketika menubruk Karim yang bersama sepupunya
berdiri dalam kerumunan itu. Kejadian selanjutnya begitu cepat, tidak mungkin
disebut sebagai sebuah perkelahian. Karim terkejut, memekik dan melompat ke
belakang. Satu pukulan melayang, disusul satu tendangan. Sesaat kemudian, ayah
Kamal berdiri dengan menggenggam pistol Karim.
"Jangan tembak saya!" teriak Karim.
Namun, sebelum salah satu dari kami mengatakan atau melakukan sesuatu, ayah
Kamal menjejalkan moncong pistol itu ke mulutnya. Aku tak akan pernah melupakan
gema ledakan itu. Atau kilatan cahaya dan muncratan cairan merah pada pagi itu.
Aku segera berlari keluar dari kerumunan itu dan memuntahkan isi perutku di tepi
jalan. Sebelas Fremont, California 1980-an
I3aba tergila-gila pada gagasan tentang Amerika.
Tetapi hidup di Amerikalah yang membuatnya terjangkit maag.
Aku ingat saat kami berdua berjalan menyusuri Lake Elizabeth Park di Fremont,
yang berjarak beberapa blok dari apartemen kami. Kami menyaksikan anak-anak
lelaki berlatih memukul bola, sementara di arena bermain, gadis-gadis kecil
cekikikan sambil bermain ayunan. Selama kami berjalan-jalan, Baba akan berusaha
memberiku pencerahan dengan menjelaskan paham politiknya, tentu saja dengan
disertai argumen yang panjang dan berliku. "Di dunia ini, hanya ada tiga pria
sejati, Amir," ujarnya. Dia menghitung dengan jarinya: Amerika-sang penyelamat
gagah berani, Inggris, dan Israel. "Sisanya" Baba akan melambaikan tangannya dan
mengeluarkan bunyi phht, "mereka sama saja dengan nenek-nenek yang hobi
bergosip." Pendapat Baba tentang Israel pernah memancing kemarahan warga Afghanistan di
Fremont, yang menuduhnya sebagai seorang yang pro Yahudi dan, secara de facto,
berarti anti Islam. Baba akan
menemui mereka sambil menikmati teh dan kue rowt di taman, dan membuat mereka
gila dengan membicarakan keyakinan politiknya. "Yang tidak mereka pahami
adalah," begitulah dia memberitahuku, "semua ini tidak ada hubungannya dengan
agama." Dalam pandangan Baba, Israel adalah sebuah pulau yang dihuni para "pria
sejati", di tengah lautan bangsa Arab yang terlalu sibuk memikirkan produksi
minyak mereka, sehingga tidak peduli pada nasib bangsa sendiri. "Israel begini,
Israel begitu," Baba akan mengatakannya dalam aksen Arab yang berlebihan.
"Lakukanlah sesuatu untuk mengatasi masalah! Bertindaklah. Kalian kan orang
Arab, pergi sana, tolong orang Palestina!"
Baba membenci Jimmy Carter. Dia menjulukinya "Si Pandir Bergigi Tonggos." Pada
198D, saat kami masih tinggal di Kabul, AS mengumumkan bahwa mereka akan
memboikot Olimpiade Moskow. "Wah, wah!" Baba berseru jijik. "Brezhnev sedang
membantai bangsa Afghan dan yang bisa dikatakan oleh pemakan kacang itu
hanyalah, aku tidak akan berenang dalam kolammu." Baba meyakini bahwa tanpa
disadari, Carter telah memberi kontribusi lebih banyak untuk komunisme daripada
Leonid Brezhnev. "Orang itu tidak pantas memimpin negara ini. Sama saja seperti
menempatkan anak kecil yang tak bisa mengendarai sepeda di belakang kemudi


The Kite Runner Karya Khaled Hosseini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cadillac terbaru." Yang dibutuhkan oleh Amerika dan dunia adalah seorang pria
yang tangguh. Seseorang yang pantas diperhitungkan, yang lebih memilih untuk
bertindak daripada mengangkat tangan. Seseorang
itu terwujud dalam bentuk Ronald Reagan. Dan saat Ronald Reagan tampil di TV dan
menyebut kaum Shorawi sebagai "the Evii Empire," Baba segera keluar dan membeli
gambar sang presiden yang sedang tersenyum lebar sambil mengangkat kedua ibu
jarinya. Dia membingkai gambar itu dan menggantungkannya di ruang tamu kami,
tepat di sebelah foto hitam putih bergambar dirinya, yang mengenakan dasi tipis,
yang sedang bersalaman dengan Raja Zahir Shah. Kebanyakan tetangga kami di
Fremont bekerja sebagai sopir bus, polisi, penjaga pom bensin, dan para ibu tak
bersuami yang hidup mengandalkan tunjangan sosial, benar-benar jenis pekerja
kerah-biru yang akan segera kehabisan napas, terbekap oleh bantal Reganomics.
Baba adalah satu-satunya pendukung partai Republik di gedung kami.
Tetapi polusi udara di Bay Area menyengat matanya, berisik lalu lintas
membuatnya sakit kepala, dan serbuk bunga membuatnya menderita batuk. Buah-
buahan selalu kurang manis, air selalu kurang bersih, dan di mana semua
pepohonan dan tanah lapang" Selama dua tahun, aku terus mencoba membujuk Baba
untuk mengikuti kelas-kelas ESL-Engiish as Second Language-untuk memperbaiki
bahasa Inggrisnya yang patah-patah. Tetapi Baba selalu menentangku. "Mungkin aku
akan berhasil mengeja kata cat' dan gurunya akan memberiku sebuah bintang kecil
berkilauan agar aku bisa cepat-cepat pulang dan memamerkannya padamu,"
gerutunya. Pada suatu hari Minggu pada musim semi 1983, aku memasuki sebuah toko buku kecil
yang menjual buku-buku paperback bekas, yang terletak di dekat gedung bioskop
India, di sebelah barat jalur kereta Amtrak yang melintasi Fremont Boulevard.
Aku memberitahu Baba bahwa aku akan keluar selama lima menit dan dia hanya
mengangkat bahu. Baba, yang saat itu bekerja di sebuah pom bensin di Fremont,
sedang libur. Aku mengamatinya berjalan serampangan menyusuri Fremont Boulevard
dan memasuki Fast & Easy, toko kelontong kecil yang dikelola pasangan Vietnam
tua, Mr. dan Mrs. Nguyen. Mereka berdua berambut-kelabu dan sangat ramah; Mrs.
Nguyen menderita Parkinson, dan Mr. Nguyen pernah menjalani operasi pinggul.
"Sekarang dia seperti Six Million Dollar Man," wanita tua itu selalu
mengatakannya padaku, sambil tertawa, memamerkan gusi tak bergigi. "Kamu ingat
Six Million Dolar kan, Amir?" Lalu Mr. Nguyen akan melotot untuk menirukan Lee
Majors, berpura-pura berlari dalam gerakan lambat.
Aku sedang membalik-balik sebuah buku kisah misteri Mike Hammer bekas saat aku
mendengar suara jeritan dan kaca pecah. Saat itu juga, aku meletakkan buku itu
dan bergegas menyeberangi jalan. Pasangan Nguyen berdiri di belakang meja
pajangan, merapat ke tembok, wajah mereka pucat pasi, lengan Mr. Nguyen memeluk
erat istrinya. Di lantai: jeruk-jeruk berceceran, rak majalah terbalik, toples
dendeng sapi pecah berantakan, dan pecahan kaca berserakan di sekeliling kaki
Baba. Ternyata Baba tidak membawa uang tunai untuk membayar jeruk yang dibelinya. Dia
menulis cek untuk Mr. Nguyen, dan Mr. Nguyen menanyakan kartu identitasnya. "Dia
ingin melihat kartu identitasku," Baba berteriak dalam bahasa Farsi. "Sudah dua
tahun kita beli buah di tokonya dan menebalkan sakunya dan si bangsat ini ingin
melihat kartu identitasku!"
"Baba, ini bukan masalah pribadi," aku menenangkannya sambil melemparkan
senyuman pada pasangan Nguyen. "Mereka memang harus menanyakan kartu identitas."
"Keluarlah dari sini," kata Mr. Nguyen, maju ke depan, melindungi istrinya. Dia
menunjuk Baba dengan tongkatnya, lalu mengalihkan perhatiannya padaku. "Kamu
anak muda yang baik, tapi ayahmu, dia memang gila. Dia tidak diterima lagi di
toko ini." "Apa dia pikir aku pencuri?" nada suara Baba meninggi. Di luar toko, orang-orang
berkerumun. Mereka menonton kami. "Negara macam apa ini" Semua orang saling
tidak percaya!" "Aku akan menelepon polisi," kata Mrs. Nguyen, melongokkan kepalanya dari balik
tubuh Mr. Nguyen. "Kalian keluar, atau aku menelepon polisi." "Saya mohon, Mrs.
Nguyen, jangan telepon polisi. Saya akan membawanya pulang. Jangan telepon
polisi, oke" Tolonglah?"
"Ya, bawa dia pulang. Ide bagus," sahut Mr. Nguyen. Dari balik kacamata bifokal
berbingkai kawatnya, tatapannya tidak pernah melepaskan Baba. Aku membimbing
Baba keluar melalui pintu
depan. Saat melangkah keluar, Baba menendang majalah yang tergeletak di lantai.
Setelah aku membuatnya berjanji untuk tidak lagi memasuki toko itu, aku kembali
ke dalam dan meminta maaf pada pasangan Nguyen. Aku mengatakan pada mereka bahwa
ayahku sedang melewati masa-masa sulit. Aku memberikan nomor telepon dan alamat
kami pada Mrs. Nguyen, dan memintanya memperkirakan ganti rugi yang harus kami
berikan untuk kerusakan yang ditimbulkan Baba. "Saya mohon Anda menelepon saya
segera setelah Anda mengetahuinya. Saya akan membayar semuanya, Mrs. Nguyen.
Saya benar-benar mohon maaf." Mrs. Nguyen mengambil lembaran kertas berisi nomor
telepon dan alamat rumah kami itu dari tanganku dan aku mengangguk. Tangan
wanita tua itu lebih gemetar daripada biasanya. Hal itu memunculkan amarahku
pada Baba; dia telah menyebabkan seorang wanita tua gemetar seperti itu.
"Ayah saya masih menyesuaikan diri dengan kehidupan di Amerika," kataku,
berusaha menjelaskan. Aku ingin memberitahunya bahwa, di Kabul, kami hanya perlu mematahkan ranting
pohon dan menggunakannya sebagai kartu kredit. Aku dan Hassan akan membawa
tongkat kayu ke tukang roti. Dia akan menggurat permukaan tongkat itu dengan
pisaunya, satu guratan untuk setiap lembar naan, yang dia tarik langsung dari
tandoor dengan api bergolak untuk diberikan pada kami. Pada akhir bulan, ayahku
akan membayarnya berdasarkan guratan pada tongkat. Begitu saja. Tidak ada
pertanyaan. Tidak ada kartu identitas.
Namun aku tidak mengatakannya pada mereka. Aku mengucapkan terima kasih pada Mr.
Nguyen karena dia tidak menelepon polisi. Setelah itu, aku membawa Baba pulang.
Baba memberengut dan merokok di balkon, sementara aku menyiapkan nasi dengan
lauk setup leher ayam. Sudah satu setengah tahun sejak kami melangkah keluar
dari pesawat Boeing yang membawa kami dari Peshawar, dan Baba masih harus
menyesuaikan diri. Malam itu, kami makan dalam keheningan. Setelah dua suapan, Baba menyingkirkan
piringnya. Aku meliriknya dari seberang meja, memerhatikan kukunya yang tak rata dan
menghitam karena oli mesin, buku-buku jarinya yang penuh goresan, aroma pompa
bensin debu, keringat, dan bensin yang menempel pada pakaiannya. Baba bagaikan
seorang duda yang menikah lagi, namun tetap belum bisa melupakan istrinya yang
telah meninggal. Dia merindukan hamparan kebun tebu di Jalalabad dan taman-taman
di Paghman. Dia merindukan orang-orang yang keluar masuk rumahnya, merindukan
berjalan-jalan di tengah hiruk pikuk gang-gang pasar Shor dan menyapa mereka
yang mengenali dirinya dan ayahnya, yang mengenali kakeknya, mereka yang berasal
dari nenek moyang yang sama dengannya, yang masa lalunya berhubungan.
Bagiku, Amerika adalah tempat untuk mengubur kenangan-kenanganku.
Bagi Baba, tempat untuk meratapi kenangan-kenangannya
"Mungkin lebih baik kita kembali ke Peshawar," ujarku, memandangi butiran es
yang mengambang di gelasku. Kami menghabiskan waktu selama enam bulan di
Peshawar, menunggu IN5 mengeluarkan visa kami. Apartemen berkamar satu kami yang
suram menguarkan bau kaos kaki kotor dan kotoran kucing, namun kami berada di
tengah orang-orang yang kami kenal-setidaknya yang dikenal Baba. Dia pernah
mengundang makan malam tetangga-tetangga yang tinggal di sepanjang koridor kami,
kebanyakan dari mereka adalah warga Afghanistan yang sedang menanti visa.
Seperti biasanya, seseorang akan membawa seperangkat tabla, dan seseorang yang
lain akan membawa seperangkat harmonium. Teh akan diseduh, dan siapa pun yang
kebetulan bisa menyanyi akan menyanyi hingga matahari terbit, nyamuk-nyamuk
berhenti berdengung, dan tepukan tangan melemah.
"Baba lebih bahagia di sana. Rasanya lebih seperti di rumah," ujarku.
"Peshawar baik untukku. Tidak baik untukmu."
"Baba bekerja terlalu keras di sini."
"Sekarang keadaannya tidak seburuk dulu," mak-sud Baba, setelah dia diangkat
menjadi manajer siang hari di pompa bensin itu. Tapi aku memerhatikan caranya
mengernyitkan wajah dan mengurut pergelangan tangannya pada hari-hari lembap.
Butir-butir keringat yang bermunculan di keningnya saat dia meraih obat mag
setelah makan. "Lagipula, aku tidak membawa kita kemari untuk diriku, bukan?"
Aku mengulurkan tanganku ke seberang meja dan menggenggam tangan Baba. Tangan
pelajarku yang bersih dan lembut, tangan buruhnya yang kasar dan berkapal. Aku
memikirkan semua truk-truk mainan, set-set kereta api mainan, dan sepeda-sepeda
yang pernah dia belikan untukku di Kabul. Sekarang Baba memberiku Amerika. Satu
hadiah terakhir untuk Amir.
Hanya sebulan setelah kami tiba di AS, Baba mendapatkan pekerjaan di Washington
Boulevard sebagai petugas di pompa bensin milik seorang warga Afghan kenalannya
dia mulai mencari pekerjaan langsung pada minggu pertama kedatangan kami. Enam
hari dalam seminggu, Baba menjalankan giliran jam kerjanya, selama dua belas jam
memompa bensin, menjaga kasir, mengganti oli, dan mencuci kaca depan mobil.
Kadang-kadang aku membawakan makan siang untuknya dan mendapatinya sedang
mencari-cari rokok di rak, seorang pelanggan menunggu di sisi lain meja kasir
yang dipenuhi noda oli, wajah Baba tampak letih dan pucat di bawah cerahnya
Bidadari Dari Sungai Es 10 Pendekar Naga Putih 34 Mustika Naga Hijau Pedang Darah Bunga Iblis 16
^