Name Of Rose 13
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco Bagian 13
dalam setiap biara atau abbey, masih ada kenangan tentang Abad Pertengahan yang
tak terhitung jumlahnya, sehingga saya mulai mengobrakabrik semua arsip saya.
Bagaimanapun juga, saya seorang pakar zaman pertengahan yang sedang bertapa
(saya telah menerbitkan sebuah buku tentang estetika zaman pertengahan pada
1956, buku seratus halaman lain tentang hal itu pada 1969, kemudian beberapa
esai di manamana, dan kembali menekuni tradisi zaman pertengahan pada 1962 untuk
buku saya tentang Joyce; pada 1972 muncul suatu studi lama tentang Kitab Wahyu
dan ilustrasi komentar oleh Beatus dari Liebana4: sehingga Abad Pertengahan
tetap ada dalam benak saya). Saya membongkar banyak sekali bahan (kartu arsip,
fotokopi, catatan), yang saya kumpulkan sejak 1952 dan aslinya dimaksudkan untuk
tujuan lain yang masih samarsamar: suatu sejarah tentang monster, atau suatu
analisis tentang ensiklopedi zaman pertengahan, atau suatu teori tentang daftar
.... s Pada suatu saat tertentu
4 Sebagian dari naskah ini telah diterbitkan dalam terbitan kedua majalah FMR
edisi Amerika. 5 Alamat dari Fakultas Seni pada zaman pertengahan Paris, Rue du Fouarre,
seperti disebutkan oleh Dante, Paradiso, X, 137 ("Straw Street" dalam terjemahan
Sayers-Reynolds). saya berkata dalam hati bahwa, karena Abad Pertengahan adalah angan-angan saya
dari hari-kehari, saya juga bisa menulis sebuah novel yang benarbenar disusun
dalam periode tersebut. Seperti sudah saya katakan dalam wawancara, saya hanya
mengenal masa kini lewat layar televisi, sementara saya punya pengetahuan
langsung tentang Abad Pertengahan. Waktu kami biasa membuat api unggun di atas
rumput di desa, istri saya menuduh bahwa saya tidak pernah mau memerhatikan
percikan api yang beterbangan di antara pepohonan dan meluncur sepanjang kawat
listrik. Lalu ketika membaca bab tentang kebakaran, ia berkata, "Jadi, kau
memang memerhatikan percikan api itu!" Dan saya menjawab, "Tidak, tetapi aku
tahu bagaimana cara seorang rahib Abad Pertengahan menyaksikan."
Sepuluh tahun lalu, dalam sepucuk surat dari pengarang kepada penerbit yang
mengiringi komentar saya tentang komentar terhadap Apocalypse oleh Beatus dari
Liebana, saya mengaku (kepada Franco Maria Ricci): Apa pun cara yang kauambil
untuk memerhatikannya, aku sampai pada ilmu pengetahuan dengan menyeberangi
hutanhutan simbolis yang didiami unicorn dan grifon, dan dengan membandingkan
konstruksi katedral yang segiempat dan berpuncak-puncak sementara dengan tajam
mengejek kejahatan tafsir yang tersembunyi dalam formula tetragonal dari
Summulae, sambil berjalanjalan di antara "Vico de le Strami" dan jalan-tengah
gereja Cisterian, melakukan perdebatan dengan
rahibrahib Cluny yang pandai dan cerdas, di bawah pengawasan seorang Aquinas
yang rasionalistik dan gemuk, tergoda oleh Honorius Augustoduniensis, oleh
geografinya yang fantastis, yang secara bersamaan menjelaskan quare in pueritia
coitus non contingat dan caranya mencapai Lost Island (Pulau yang Hilang) atau
bagaimana menangkap seekor kadal kalau kau hanya punya senjata cermin kecil
dalam iman yang tak tergoyahkan oleh Iblis.
Selera ini dan hasrat ini tetap saja ada padaku, bahkan jika kelak, karena
alasan moral dan juga alasan material (menjadi seorang pakar zaman pertengahan
biasanya secara tidak langsung kaya raya dan punya peluang untuk berkelana di
antara perpustakaan-perpustakaan yang jauh, membuat mikrofilm naskahlangka), aku
mengejar hal-hal lain. Dan dengan begitu Abad Pertengahan tetaplah, jika bukan
pekerjaanku, hobiku dan suatu godaan yang terus menerus: aku menyaksikan periode
itu di manamana, secara transparan membayangi urusanku sehari-hari, yang tidak
terlihat seperti zaman pertengahan, meskipun memang begitu.
Saat mencuricuri berlibur di bawah kubah Au-tun, di mana Abbe Grivot sekarang
menulis manual tentang iblis, kehadiran mereka disertai bau belerang; ekstase
gopoh di Moissac dan Conques, dibuat silau oleh Para Penatua dari Apocalypse
atau oleh iblis-iblis yang melemparkan jiwa-jiwa terkutuk ke dalam panci
mendidih; dan, bersamaan dengan itu, studi menyegarkan dari rahib Bede yang
mendapat pencerahan, hiburan rasional yang
diperoleh di Ockham, untuk memahami misteri Salib di mana Saussure masih
samarsamar. Dan seterusnya dan seterusnya, dengan rindu pulang tak ada habisnya
untuk Peregrinatio Sancti Brandani, verifikasi pikiran kita yang dilakukan
melalui Buku Kells, munculnya kembali Borges dalam kenningars (metafora) orang
Keltik, hubungan antara kekuasaan dan massa yang selama ini dibujuk untuk
dihentikan terhadap buku harian Uskup Suger ....
Topeng Terus terang, waktu itu saya memutuskan untuk tidak hanya bercerita tentang Abad
Pertengahan. Saya memutuskan untuk bercerita dalam Abad Pertengahan, dan melalui
mulut seorang penulis kronik zaman itu. Saya bertindak sebagai seorang narator
novis, dan di masa lalu saya sudah memandang para narator dari sisi sebaliknya
barikade itu. Saya malu bercerita. Saya merasa seperti seorang kritisi drama
yang tibatiba menunjukkan diri di balik lampu-lampu bawah dan ternyata dirinya
diamati oleh mereka yang, sampai saat itu, menjadi anteknya di kursi paling
depan. Mungkinkah untuk mengatakan, "Waktu itu pagi yang indah di akhir November" tanpa
merasa seperti Snoopy" Tetapi bagaimana kalau saya menyuruh Snoopy
mengatakannya" Jika, yaitu, "Waktu itu pagi yang indah ..." diucapkan oleh
seseorang yang mampu mengatakannya, karena pada zamannya masih mungkin, masih
bukan barang simpanan lama" Sebuah topeng: itu yang saya
butuhkan. Saya mulai membaca dan membaca lagi kronik-kronik zaman pertengahan, untuk
memahami ritme mereka dan kemurnian mereka. Mereka akan bicara atas nama saya,
saya akan bebas dari kecurigaan. Bebas dari kecurigaan, tetapi tidak bebas dari
gema-gema intertekstualitas.
Jadi, saya menemukan kembali apa yang selalu diketahui oleh penulis (dan sudah
berulang kali mengatakan kepada kita): buku selalu bicara tentang buku lainnya,
dan setiap kisah menceritakan suatu kisah yang sudah diceritakan. Homer tahu
ini, dan Ariosto tahu ini, apalagi Rabelais dan Cervantes. Kisah saya,
karenanya, hanya bisa dimulai dengan naskah yang ditemukan itu, dan bahkan ini
akan berupa (tentu saja) suatu kutipan. Maka saya langsung menulis pengantar
itu, sambil menempatkan narasi saya pada rak keempat suatu almari, di dalam tiga
narasi lainnya: Saya akan mengatakan apa yang dikatakan oleh Valet bahwa
Mabillon bilang bahwa Adso mengatakan ....
Sekarang saya bebas dari ketakutan apa saja. Dan pada titik ini saya berhenti
menulis selama dua belas bulan. Saya berhenti karena menemukan sesuatu yang lain
yang sudah saya ketahui (dan setiap orang tahu), tetapi bahwa jadi saya pahami
secara lebih jelas sementara bekerja.
Saya menemukan, misalnya, bahwa yang pertama-tama, sebuah novel tidak ada
hubungannya dengan katakata. Menulis sebuah novel adalah suatu masalah
kosmologis, seperti kisah yang diceritakan oleh Kitab Kejadian (kita semua harus memilih model-model
peran kita, begitu kata Woody Allen).
Novel sebagai Peristiwa Kosmologis
Yang saya maksudkan adalah: untuk menceritakan sebuah kisah pertama-tama kau
harus membangun sebuah dunia, melengkapinya sebanyak mungkin, sampai ke
bendabenda paling kecil. Andai saya harus membangun sebuah sungai, saya akan
memerlukan dua tepi sungai; dan andaikan di tepi kiri saya menaruh seorang
pemancing ikan, dan andaikan saya harus memberi pemancing itu suatu sifat
pemarah dan pernah berurusan dengan polisi, maka saya bisa mulai menulis, sambil
menerjemahkan ke dalam katakata segala sesuatu yang tak pelak lagi bisa terjadi.
Apa yang dilakukan orang itu"
Ia memancing ikan (dan mulai dari situ seluruh urutan aksi, sedikit banyak yang
merupakan keharusan). Dan kemudian apa yang terjadi" Baik ikan itu tertangkap
atau tidak. Jika tertangkap, orang itu menangkapnya dan kemudian pulang ke rumah
dengan gembira. Ceritanya selesai. Jika tidak ada ikan, karena pemarah maka mungkin ia jadi
marah. Mungkin ia akan mematahkan pancingnya. Ini tidak banyak; toh ini sudah
berupa suatu sketsa. Tetapi ada pepatah Indian yang mengatakan, "Duduklah di
tepi sungai dan tunggulah: mayat musuhmu sebentar lagi akan mengapung lewat."
Dan bagaimana seandainya ada mayat terbawa arus karena kemungkinan ini sudah tercakup dalam
suatu kawasan intertekstual seperti sebuah sungai" Kita juga harus ingat bahwa
orang tadi pernah berurusan dengan polisi. Apa ia mau menanggung risiko mendapat
kesulitan" Apa yang akan ia lakukan" Apa ia akan lari dan pura-pura tidak melihat mayat
itu" Apa ia akan merasa rentan, karena ini, bagaimanapun juga, mayat orang yang
ia benci" Karena ia pemarah, apa ia akan marah besar karena tidak mampu
melampiaskan keinginan besarnya sendiri untuk membalas dendam" Seperti Anda
lihat, begitu dunia bentukan seseorang itu dilengkapi sedikit saja, sudah ada
awal sebuah cerita. Juga sudah ada awal suatu gaya, karena penantian seseorang
yang sedang memancing ikan harus membuatnya mengambil langkah yang berirama,
lembut dan pelan, yang seharusnya sabar tetapi juga ditandai oleh kemarahan
tidak sabar yang tibatiba muncul. Masalahnya adalah membangun dunia itu:
katakata praktis akan keluar sendiri. Rem tene, verba sequentur: pahami
katakatanya, dan subjeknya akan mengikuti.
Tahun pertama dalam menggarap novel itu sepenuhnya saya kerahkan untuk membangun
dunia tersebut. Daftar panjang semua buku yang bisa diperoleh dalam kepustakaan
zaman pertengahan. Daftar nama dan data pribadi untuk banyak tokoh, sejumlah
dari mereka kelak tidak akan dipakai dalam cerita itu. Dengan kata lain, saya
harus tahu siapa saja rahib yang masih ada, yang tidak muncul dalam buku itu. Pembaca tidak perlu
mengenal mereka, tetapi saya harus kenal mereka. Siapa yang pernah bilang bahwa
fiksi harus bersaing dengan buku pedoman kota" Mungkin harus bersaing dengan
dewan perencana. Oleh karena itu, saya mengadakan penelitian arsitektural yang
lama, dengan mempelajari foto-foto dan rancangbangun dalam ensiklopedi
arsitektur, untuk menetapkan tata bangunan biara itu, jarak-jaraknya, bahkan
jumlah anak tangga dalam suatu tangga melingkar. Sutradara film Marco Ferreri
pernah mengatakan kepada saya bahwa dialog saya seperti sebuah film karena
panjangnya pas dengan waktu yang dibutuhkan. Ini harus.
Ketika dua tokoh saya berbicara sambil berjalan dari ruang makan ke kloster,
saya menulis sambil memandangi rancangbangun itu hingga saat mereka sampai ke
tempat mereka berhenti bicara.
Pengendalian diri perlu diciptakan, dengan tujuan mencipta secara bebas. Dalam
puisi, pengendalian diri itu bisa ditetapkan oleh sanjak, suku kata, rima, oleh
apa yang selama ini disebut "sanjak yang enak didengar" itu (lihat Charles
Olson, "Projective Verse", Poetry New York 3 [1950]). Dalam fiksi, dunia sekitar
telah menyediakan kendali itu. Ini tidak ada hubungannya dengan realisme
(meskipun menjelaskan realisme juga). Suatu dunia yang sepenuhnya tidak nyata
bisa dibangun, yang di dalamnya debu beterbangan dan putri-putri raja dihidupkan
kembali oleh suatu ciuman; tetapi dunia
itu, benarbenar dimungkinkan dan tidak realistis, harus ada menurut struktur
yang ditetapkan sejak awal (kita harus tahu apakah itu suatu dunia di mana
seorang putri raja bisa dihidupkan kembali hanya oleh ciuman seorang pangeran,
atau juga oleh ciuman seorang tukang sihir, dan apakah ciuman putri raja hanya
mengubah katak menjadi pangeran atau juga, misalnya saja armadilo).
Satu unsur dari dunia saya adalah sejarah, dan itulah sebabnya saya membaca dan
membaca lagi begitu banyak kronik Abad Pertengahan; dan ketika membacanya, saya
menyadari bahwa novel itu harus meliputi hal-hal yang, pada mulanya, belum
pernah terlintas dalam benak saya, misalnya saja perdebatan tentang kemiskinan
dan kekejaman Inkuisitor terhadap Fraticelli itu.
Sebagai contoh: mengapa ada Fraticelli pada abad keempat belas dalam buku saya"
Jika saya harus menulis cerita zaman pertengahan, seharusnya saya menempatkan
cerita itu dalam abad kedua belas atau tiga belas, karena kedua abad itu saya
kenal lebih baik daripada abad keempat belas. Tetapi saya memerlukan seorang
penyelidik, jika mungkin orang Inggris (kutipan intertekstual), yang amat
berbakat mengadakan observasi dan punya kepekaan luar biasa dalam menafsirkan
bukti. Kualitas ini hanya dapat ditemukan di kalangan imam Fransiskan, dan hanya
setelah Roger Bacon; lebih jauh lagi, suatu teori yang sudah maju tentang tanda
yang hanya ditemukan di kalangan pengikut aliran Ockham.
Atau, dapat dikatakan, juga ada sebelumnya, tetapi interpretasi tanda waktu itu
hanya bersifat simbolis, dan juga cenderung untuk membaca ide dan pandangan
dalam tanda. Hanya di antara Bacon dan Ockham maka tanda itu dipakai untuk
mendapatkan pengetahuan dari individu-individu. Jadi, saya harus menempatkan
cerita itu dalam abad keempat belas ini amat menjengkelkan karena saya tidak
bisa bergerak dengan leluasa dalam masa itu. Saya membaca lebih banyak, dan
menemukan bahwa seorang Fransiskan abad keempat belas, bahkan seorang Inggris,
tidak bisa mengabaikan perdebatan tentang kemiskinan, terutama jika seorang
teman, pengikut, atau kenalan Ockham. (Saya bisa menambah bahwa mulamula
penyelidik itu adalah Ockham sendiri, tetapi gagasan itu saya singkirkan, karena
sebagai seorang manusia, Pemula Suci itu tidak terlalu menarik.)
Tetapi mengapa segala sesuatunya terjadi pada akhir November 1327" Karena pada
bulan Desember, Michael dari Cesena sudah berada di Avignon. (Ini yang saya
maksud memperlengkapi suatu dunia dalam suatu novel historis: beberapa unsur,
misalnya saja jumlah anak tangga, bisa ditentukan oleh pengarang, tetapi yang
lainnya, misalnya saja gerakan Michael, tergantung pada dunia nyata, yang, dalam
macam novel ini, kebetulan cocok dengan dunia yang mungkin dari cerita itu.)
Namun, November terlalu awal. Saya juga butuh babi-babi disembelih. Mengapa"
Jawabannya sederhana: untuk memberikan alasan agar mayat itu bisa dibenamkan,
dengan kepala di bawah, ke dalam belanga besar berisi darah babi itu. Dan
mengapa saya memerlukannya"
Karena sangkakala kedua dari Kitab Wahyu mengatakan .... Bagaimanapun juga, saya
tidak bisa mengubah Kitab Wahyu; itu bagian dari dunia ini. Sekarang, ternyata
(saya menanyai orangorang) babi baru disembelih setelah musim dingin tiba, dan
November mungkin terlalu awal kecuali saya meletakkan biara itu di pegunungan,
sehingga di sana sudah mulai ada salju. Kalau tidak, ceritaku mungkin harus
terjadi di dataran rendah, di Pomposa, atau di Conques.
Dunia yang sudah dibangun itu kemudian akan memberi petunjuk kepada kita
bagaimana cerita itu harus berlangsung. Setiap orang menanyakan mengapa tokoh
saya yang bernama Jorge, namanya memberi kesan Borges, dan mengapa Borges begitu
mengerikan. Tetapi saya tidak bisa menjawab. Saya menginginkan seorang lelaki
buta yang menjaga sebuah perpustakaan (kelihatannya suatu ide naratif yang bagus
buat saya), dan perpustakaan plus orang buta hanya bisa setara dengan Borges,
juga karena utang harus dibayar. Dan, lebih jauh lagi, lewat komentar dan gambar
yang menerangkan itulah maka Kitab Wahyu memengaruhi seluruh Abad Pertengahan.
Namun, ketika saya menaruh Jorge dalam perpustakaan itu, saya belum lagi tahu
bahwa dia pembunuhnya. Boleh dikata, dia
bertindak sendiri. Dan tidak boleh dibayangkan bahwa ini suatu posisi yang
"idealistik", seakan saya mau mengatakan bahwa tokoh-tokoh itu punya kehidupan
swatantra dan pengarang, dalam semacam keadaan kesurupan, menyuruh mereka
bertindak seakan mereka sendiri yang mengarahkannya.
Omong kosong semacam itu hanya ada dalam paper semesteran.
Nyatanya, tokoh-tokoh tersebut harus bertindak menurut hukum-hukum dunia di mana
mereka hidup. Dengan kata lain, narator adalah tawanan dari pikiran dasarnya
sendiri. Yang juga bagus adalah cerita tentang labirin itu. Semua labirin yang pernah
saya dengar dan saya sudah punya hasil studi bagus sekali tentang labirin oleh
Santarcangeli biasanya di tempat terbuka. Labirin itu bisa teramat rumit dan
penuh lorong menyesatkan. Tetapi saya membutuhkan suatu labirin di dalam gedung
(apa ada perpustakaan di udara terbuka"), dan jika akan terlalu rumit, dengan
terlalu banyak gang dan ruang bagian dalam, maka sirkulasi udaranya tidak akan
mencukupi, padahal sirkulasi udara perlu untuk menghidupkan api. (Ini, fakta
bahwa akhirnya Aedificium itu harus terbakar, amat jelas bagi saya, tetapi juga
untuk alasanalasan historis-kosmologis: dalam Abad Pertengahan, katedral dan
biara terbakar seperti kawul: membayangkan suatu kisah zaman pertengahan tanpa
api sama seperti membayangkan suatu film Perang Dunia II di Pasifik tanpa sebuah
pesawat tempur menukik dalam
kondisi terbakar.) Jadi, setelah bekerja selama dua atau tiga bulan untuk
membangun suatu labirin yang cocok, saya memutuskan untuk menambah beberapa
celah untuk benarbenar memastikan tempat itu mendapat cukup udara.
Siapa Bicara" Saya mendapat banyak kesulitan. Saya menginginkan suatu tempat tertutup, suatu
jagat utuh yang terkonsentrasi. Dan agar lebih tertutup, saya memperkenalkan, di
samping suatu kesatuan tempat, juga kesatuan waktu (karena kesatuan tindakan
meragukan) agaknya suatu ide yang bagus. Oleh karena itu, suatu biara
Benediktin, yang kehidupannya ditandai oleh jam-jam kanonik (mungkin Ulysses
secara tidak sengaja bisa dijadikan contoh, karena strukturnya dengan ketat
diikat oleh jam-jam hari itu; tetapi yang lain adalah The Magic Mountain, dengan
situasinya yang bergununggunung dan tenang, di tempat bisa diadakan begitu
banyak percakapan. Percakapan itu menimbulkan banyak masalah bagi saya, tetapi saya menyelesaikan
ini semua sementara menulis. Ada suatu tema yang selama ini jarang didiskusikan
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam teori-teori naratif: teori tentang turn ancillaries sarana, yakni, melalui
itu narator memberikan kesempatan bicara kepada berbagai tokoh. Perhatikan
perbedaan di antara lima percakapan di bawah ini:
1. "Apa kabar?"
"Tidak buruk. Dan kau?"
2. "Apa kabar?" kata John.
"Tidak buruk. Dan kau?" kata Peter.
3. "Bagaimana," kata John, "kabarmu?" Dan Peter langsung menjawab: "Tidak buruk.
Dan kau?" 4. "Apa kabar?" tanya John ingin tahu. "Tidak buruk. Dan kau?" Peter langsung
mencerocos. 5. John berkata: "Apa kabar?"
"Tidak buruk," jawab Peter dengan suara enggan.
Lalu, dengan senyum penuh tekateki, ia menambahkan, "Dan kau?"
Dalam semua kasus kecuali dua yang pertama, kita melihat bahwa penulis menyela
cerita itu, dengan memasukkan sudut pandangannya sendiri. Ia menyela dengan
komentar pribadi, untuk memberi kesan bagaimana katakata kedua pembicara itu
harus diinterpretasi dengan perasaan. Tetapi apakah keinginan pengarang ini
memang tidak ada pada kedua kalimat pertama, yang jelas merupakan contoh yang
"steril?" Dan apakah pembaca lebih "bebas" dalam kedua kasus yang "steril" ini,
di mana ia bisa melakukan suatu pemaksaan emosional tanpa menyadarinya (ingat
netralitas yang tampak dalam dialog Hemingway), atau apa ia lebih bebas dalam
kasus lainnya, yang paling sedikit ia tahu permainan yang sedang dilakukan oleh
pengarang" Ini adalah masalah gaya, suatu masalah ideologis, suatu masalah "puisi", seperti
pilihan suatu rima bagian dalam atau suatu asonansi, atau pembukaan satu
paragram. Suatu hubungan tertentu harus ditemukan. Dalam kasus saya, hubungan
itu mungkin jadi lebih mudah karena semua dialog dilaporkan oleh Adso, dan jelas
sekali bahwa Adso memaksakan pandangan matanya sendiri atas seluruh narasi itu.
Namun dialog itu menciptakan masalah lain bagi saya: seberapa mungkin itu bisa
menjadi gaya zaman pertengahan" Dengan kata lain, sementara menulis buku itu,
saya menyadari bahwa buku itu mulai mengambil struktur satu opera-buffa, dengan
resitasi panjang dan aria yang berlebihan. Aria itu (penjelasan tentang pintu
yang besar tersebut, misalnya) meniru retorika khidmat dari Abad Pertengahan,
dan model untuk ini tidak sedikit. Tetapi dialognya" Pada titik tertentu saya
khawatir itu akan terdengar seperti Agatha Christie, sementara aria-aria itu
seperti Suger atau Santo Bernard. Saya membaca lagi romansa zaman pertengahan,
karya-karya dan abad kesatria, dan saya menyadari bahwa, meskipun baru punya
sedikit lisensi, saya masih menghargai suatu narasi dan pemakaian puitika yang
bukannya tidak dikenal oleh zaman pertengahan.
Tetapi masalah itu lama sekali mendera batin saya dan saya tidak yakin apa saya
bakal pernah mengatasi perubahanperubahan register di antara aria dan resitasi
ini. Masalah lain: ekasemen suarasuara itu, atau, tepatnya, dari sudut pandangan
naratif itu. Saya tahu bahwa saya tengah menceritakan sebuah kisah dengan
katakata orang lain, karena dalam pendahuluan saya sudah menyatakan bahwa
katakata orang ini sudah diserang melalui paling sedikit dua sudut pandangan
naratif lainnya, yaitu dari Mabillon dan dari Abbe Vallet, bahkan jika mereka
dianggap hanya bekerja sebagai filolog (tetapi siapa yang percaya"). Toh timbul
masalah lagi di dalam narasi orang-pertama Adso. Adso, pada usia delapan puluh
tahun, akan menceritakan tentang apa yang ia lihat pada usia delapan belas.
Siapa yang bicara, Adso yang umur delapan belas atau yang delapan puluh"
Keduanya, itu jelas; dan ini disengaja. Muslihatnya adalah membuat Adso tua itu
terus hadir sementara merenungkan apa yang ia ingat telah ia saksikan dan
rasakan sebagai Adso muda. Model semacam itu (saya tidak membaca kembali buku
tersebut: memori jauh yang mencukupi) adalah Serenus Zeitblom dalam Doctor
Faustus. Ucapan mendua ini amat memesona dan menyenangkan saya.
Juga karena kembali kepada apa yang saya katakan tentang topeng itu dalam
mendobel Adso, sekali lagi saya mendobel rangkaian celah, rangkaian tabir, yang
dipasang di antara saya sebagai seorang pribadi yang biografis, saya sebagai
pengarang yang bercerita, narator orang pertama, dan tokoh-tokoh yang
diceritakan, termasuk suara naratif. Saya merasa makin lama makin terselubung, dan seluruh
pengalaman itu mengingatkan saya (maksud saya secara fisik, akan jernihnya
madeleine yang dicelupkan ke dalam teh lemon-bunga) akan permainan masa kecil
yang di dalamnya saya pura-pura berada dalam sebuah kapal selam di bawah selimut
dan dari situ mengirim pesan kepada saudara perempuan saya, di bawah selimut di
ranjang sebelah, kami berdua terputus dari dunia luar dan sepenuhnya bebas
melakukan perjalanan bagaikan sepasang kuku gerigis tersaruk-saruk melintasi
lantai-lantai dari laut-laut yang diam.
Adso amat penting bagi saya. Dari awal saya ingin menceritakan seluruh cerita
itu (dengan misteri-misterinya, kejadiankejadian teologis dan politisnya,
ambiguitasnya) melalui suara seseorang yang mengalami peristiwa-peristiwa itu,
mencatat semuanya dengan ketelitian dan kemurnian fotografik seorang remaja,
tetapi tidak memahami semua itu (dan tidak akan sepenuhnya memahami semua itu
bahkan setelah menjadi orang tua, karena kemudian ia memilih melarikan diri ke
dalam alam hampa suci, yang bukan seperti yang diajarkan gurunya) untuk membuat
segala sesuatunya dipahami melalui katakata seseorang yang tidak memahami apa-
apa. Waktu membaca ulasan-ulasan, saya menyadari bahwa inilah salah satu aspek novel
yang paling tidak mengesankan bagi pembaca yang tekun; atau, toh boleh saya
katakan bahwa hanya sedikit yang akan memperhatikan. Tetapi sekarang saya ingin tahu apakah ini
bukan salah satu segi yang membuat novel itu mudah dibaca bagi pembaca yang
tidak canggih. Perasaan tidak bersalah mereka sama dengan ketidaktahuan narator
itu, dan merasa tidak bersalah bahkan kalau tidak memahami segala sesuatunya.
Saya mengembalikan ketakutan dan kegemetaran mereka dalam bentuk seks, bahasa
tak dikenal, kesulitan pikiran, misteri kehidupan politik. Ini semua hal-hal
yang sekarang saya pahami, apres coup; tetapi mungkin waktu itu saya mau
memindahkan banyak ketakutan masa remaja saya kepada Adso, sudah tentu dalam
degup asmaranya (tetapi selalu dengan jaminan bahwa saya bisa bertindak melalui
orang lain; nyatanya, Adso mengalami penderitaan cintanya hanya melalui kata
kata yang dipakai para doktor Gereja untuk mendiskusikan cinta). Seni adalah
suatu khayalan dari emosi pribadi, seperti yang diajarkan Joyce sekaligus Eliot
kepada saya. Perjuangan melawan emosi itu berat. Saya menulis sebuah doa indah, mencontoh
Plaint of Nature dari Alanus de Insulis, yang akan diucapkan William dalam suatu
momen gawat. Lalu saya menyadari bahwa kami berdua bisa dikuasai oleh emosi.
Saya sebagai pengarang dan dia sebagai tokoh. Saya sebagai pengarang tidak boleh menyerah, untuk alasan puitika. Ia sebagai
tokoh tidak bisa, karena terbuat dari bahan yang berbeda, dan emosinya semua
mental, atau ditekan. Jadi, halaman itu saya gunting. Setelah seorang teman
saya membaca buku itu, ia berkata, "Satusatunya keberatanku adalah bahwa William
tidak pernah punya greget rasa kasihan." Saya mengutip ini kepada teman lain,
dan katanya, "Betul, itu gaya belas kasihannya." Mungkin begitu. Dan biarkan
saja. Pretention Adso juga amat berguna bagi saya dalam mengurus masalah lain. Seharusnya kisah
itu dapat saya ungkap dalam suatu Abad Pertengahan di mana setiap orang tahu apa
yang sedang dibicarakan, seperti dalam suatu kisah kontemporer, yang di
dalamnya, jika seorang tokoh mengatakan bahwa Gereja tidak akan menyetujui
perceraiannya, tidak perlu dijelaskan itu Gereja apa dan mengapa tidak
menyetujui perceraian tersebut. Tetapi dalam novel historis ini tidak bisa
dilakukan, karena tujuan narasi itu juga untuk lebih menjelaskan bagi kita,
orang kontemporer tentang apa yang terjadi waktu itu dan bagaimana yang terjadi
pada waktu itu juga menggelisahkan kita.
Yang dimaksud adalah risiko dari apa yang akan saya sebut Salgarisme6.
Ketika para tokoh dalam petualangan Emilio Salgari melarikan diri lewat hutan,
dikejar musuh, dan tersandung akar baobab, narator menunda aksi itu dengan
tujuan memberi kita suatu pelajaran botani tentang baobab. Sekarang ini sudah
menjadi 6 Emilio Salgari adalah seorang pengarang Italia populer yang terkenal dari
akhir abad kesembilan belas yang menulis banyak sekali buku tentang pengalaman
eksotis. topos, menarik, seperti cacat-cacat dari mereka yang sudah kita cintai; tetapi
seharusnya tidak boleh dilakukan.
Saya menulis kembali ratusan halaman untuk menghindari jarak waktu semacam itu,
tetapi saya tidak ingat apa saya pernah menyadari tentang cara saya mengatasi
masalah itu. Saya baru menyadari hal itu dua tahun kemudian, sewaktu saya sedang
berusaha membayangkan mengapa buku itu dibaca oleh orangorang yang jelas tidak
mungkin menyukai bukubuku "pedas" semacam ini.
Gaya narasi Adso berdasarkan pada apa yang oleh sarana retorika disebut
pretention atau paralepsis, atau "sudah lewat". Ada satu contoh dari zaman
Tudor: "I doe not say that thou receaved brybes of thy fellowes, I busie myself
not in this thing ("I do not say that you received bribes of your fellows, I
busy myself not in this thing ....").7 Pembicara itu, dengan kata lain, menyatakan
bahwa ia tidak akan bicara tentang sesuatu yang setiap orang sudah tahu betul,
dan sementara mengatakan ini, ia justru membicarakan hal tersebut. Ini sedikit
banyak cara Adso menyebut orang dan kejadian yang sudah diketahui umum tetapi
masih membicarakannya. Akan halnya orangorang atau kejadian yang tidak bisa
diketahui oleh pembaca Adso, seorang Jerman pada akhir abad itu, karena terjadi
di Italia pada awal abad itu, Adso mendiskusikan itu semua tanpa ragu, dan
7 "Aku tidak bilang bahwa kau menerima uang suap dari teman-temanmu, aku tidak
peduli akan hal itu ..." -penerj
dalam nada didaktik, karena inilah gaya penulis kronik zaman pertengahan, setiap
kali ada sesuatu disebutkan, ia ingin sekali memperkenalkan pandangan
ensiklopedik. Setelah seorang teman (bukan teman yang sama seperti sebelumnya)
membaca naskah itu, dia menceritakan bahwa ia tersentak oleh nada jurnalistik
cerita itu, yang bukan nada sebuah novel tetapi nada artikel surat kabar.
Mulamula saya tersinggung; lalu menyadari bahwa ia telah menerima secara tidak
sengaja. Beginilah caranya penulis kronik abadabad itu menceritakan apa saja.
Dan jika orang Italia masih mengunakan kata cronaca untuk menyebut halaman
berita-lokal di koran, ini karena para penulis kronik melanjutkan apa yang telah
tertulis selama berabadabad.
Kecepatan Langkah Namun, ada alasan lain untuk memasukkan tulisan-tulisan didaktik yang panjang
itu. Setelah membaca naskah itu, teman-teman dan editor menyarankan agar saya
meringkas seratus halaman pertama.
Tanpa berpikir dua kali, saya menolak, karena, seperti yang saya katakan dengan
tegas, jika seseorang ingin memasuki biara itu dan tinggal di sana selama tujuh
hari, ia harus menerima kecepatan langkah biara itu sendiri. Jika tidak bisa, ia
tidak akan pernah berhasil membaca seluruh buku itu. Oleh karena itu, seratus
halaman pertama tersebut seperti suatu masa tobat atau inisiasi, dan
jika seseorang tidak menyukai itu semua, keadaannya akan jauh lebih buruk lagi.
Lebih baik ia tinggal saja di kaki bukit itu.
Memasuki sebuah novel seperti melakukan pendakian di pegunungan : Anda harus
mempelajari ritme pernapasan, mempelajari kecepatan langkah; kalau tidak Anda
akan langsung berhenti. Ini juga terjadi dengan puisi. Coba ingat saja, betapa
puisi menjadi begitu membosankan kalau dideklamasikan oleh aktor, yang, karena
ingin "menginterpretasi", mengabaikan sanjak puisi itu, membuat enjambe-ment
(membaca dengan melanjutkan satu baris ke baris lainnya) seperti sedang
membacakan prosa, memusatkan pikiran pada isi dan bukan pada ritme. Untuk
membaca suatu puisi klasik yang punya rima, Anda harus menerima nyanyian ritme
itu seperti yang diinginkan penyairnya. Lebih baik mendeklamasikan Dante seakan
ia telah menulis lagu kanak-kanak daripada hanya mencari artinya sampai membuang
segala sesuatu yang lain.
Dalam narasi, tarikan napas tidak diambil dari kalimat kalimat itu tetapi dari
unit-unit yang lebih luas, dari scansion (analisis syair ke dalam pola sanjak)
kejadian kejadian. Beberapa novel bernapas seperti kijang, lainnya seperti ikan
paus atau gajah. Harmoni tidak terletak dalam panjangnya napas tetapi dalam
keteraturannya. Dan jika, pada suatu titik tertentu (namun ini tidak terlalu
sering terjadi), tarikan napas berhenti dan satu bab (atau satu urutan) berhenti
sebelum napas itu ditarik habis, ketidakteraturan ini bisa memainkan suatu peran
penting dalam ekonomi cerita itu; ini bisa menandai suatu titik balik, suatu
perkembangan mengejutkan. Paling sedikit inilah yang kita temukan dalam karya-
karya penulis hebat. Sebuah novel yang hebat adalah novel yang di dalamnya
pengarang selalu tahu persis kapan mau ngebut, kapan menginjak rem, dan caranya
menangani kopling, dalam lingkup satu ritme dasar yang tetap ajek. Dalam musik
ada rubato, tetapi jika dipakai terlalu banyak, Anda berakhir seperti para
pemain jelek yang percaya bahwa yang dibutuhkan untuk memainkan Chopin hanyalah
rubato yang berlebihan. Saya tidak akan membicarakan bagaimana saya mengatasi
masalah saya, tetapi tentang bagaimana saya menghadapinya. Dan jika mau
mengatakan bahwa saya menghadapinya dengan sadar, mungkin saya bohong. Ada satu
pendapat kompositif agar justru berpikir dalam ritme jarijari yang mengetuk
kunci mesin tulis. Saya ingin memberi satu contoh tentang betapa bercerita berarti berpikir dengan
jarijari Anda. Jelaslah, adegan bercinta dalam dapur itu sepenuhnya disusun atas
dasar kutipan dari teks religius, dari Kidung Salomon sampai Saint Bernard dan
Jean de Fecamp, atau Saint Hildegard of Bingen. Bahkan pembaca yang tidak kenal
baik dengan mistik zaman pertengahan menyadari ini, jika mereka mau mendengar.
Tetapi sekarang, jika seseorang menanyakan kepada saya sumber dari kutipan atau
di mana satu berakhir dan lainnya mulai, saya tidak bisa menjawab.
Terus terang saya punya berlusinlusin kartu arsip yang mencatat segala macam
naskah, dan terkadang halaman bukubuku, fotokopi tak terhitung banyaknya, jauh
lebih banyak daripada yang saya gunakan. Tetapi waktu menulis adegan itu, saya
menulisnya semua dalam sekali duduk (kelak saya besut, seakan untuk menutupinya
dengan suatu penyelesaian yang seragam, sehingga tambalannya akan tidak terlalu
tampak). Jadi, sementara menulis, semua naskah itu morat-marit, dilempar
seenaknya; dan mata saya mulamula akan menangkap yang ini dan kemudian yang itu,
waktu menyalin satu bagian, langsung menghubungkannya dengan bagian lain. Dalam
draf pertama, saya menulis bab ini lebih cepat daripada bab lainnya mana saja.
Kelak saya menyadari bahwa saya sedang berusaha mengikuti ritme permainan cinta
Adso dengan jarijemari saya, dan karenanya saya tidak bisa berhenti sebentar
untuk menyeleksi kutipan yang paling kuat. Pada titik ini, apa yang membuat
kutipan itu paling kuat adalah kecepatan langkah saat saya menyelipkannya.
Dengan mata saya, saya menolak kutipankutipan yang bakal menahan ritme
jarijemari saya. Saya tidak bisa mengatakan bahwa penulisan aksi itu berlangsung
selama aksi itu terjadi (karena permainan cinta kadang berlangsung cukup lama),
tetapi saya berusaha sebisa mungkin memperpendek perbedaan antara durasi adegan
itu dan durasi penulisannya. Dan saya tidak mengatakan "penulisan" dalam artian
gaya Barth, tetapi dalam artian mesin ketik: maksud saya menulis sebagai tindakan jasmaniah, material,
dan saya mau membicarakan tentang ritme tubuh, bukan ritme emosi. Emosi, pada
titik ini tersaring, semua sudah muncul sebelumnya, dengan keputusan untuk
menyamakan ekstase mistik dengan ekstase erotis; emosi itu sudah muncul waktu
saya membaca untuk pertama kalinya dan memilih teks yang akan dipakai. Sesudah
itu, tidak ada emosi lagi: Adso yang bermain cinta, bukan saya. Saya hanya
menerjemahkan emosinya ke dalam gerakan mata dan jari, seakan saya sudah
memutuskan untuk menceritakan suatu kisah cinta dengan memainkan drum.
Mengonstruksi Pembaca Ritme, kecepatan langkah, masa tobat .... Buat siapa" Buat saya sendiri" Tidak,
jelas tidak. Buat pembaca. Sementara menulis, kita mulai memikirkan tentang
seorang pembaca, seperti pelukis, sementara melukis, mulai memikirkan seorang
pengamat yang akan memandang lukisan itu. Setelah membuat satu coretan kuas, ia
mundur dua atau tiga langkah dan mempelajari efeknya: ia memandangi gambar itu,
maksudnya, dengan cara pengamat akan mengagumi gambar itu, dalam cahaya yang
pas, ketika digantung pada dinding. Kalau satu karya selesai, terjadi dialog
antara naskah itu dan pembacanya (pengarang tidak ikut). Sementara suatu karya
dalam progres, dialognya dobel: ada dialog antara naskah dan semua naskah
lain yang sudah ditulis sebelumnya (bukubuku ditulis hanya dari buku lainnya dan
di seputar buku lainnya).
Saya sudah membuat teori tentang ini dalam buku lain, misalnya The Role of the
Reader dan, sebelum itu, dalam Opera aperta: namun saya bukan penemu ide itu.
Mungkin saja terjadi bahwa ketika menulis, pengarang punya semacam hadirin
empirik dalam benaknya; beginilah cara perintis novel modern menulis Richardson,
Fielding, Defoe yang waktu itu menulis untuk para saudagar dan istri mereka.
Namun Joyce, pula, waktu itu menulis bagi seorang hadirin, membayangkan seorang
pembaca ideal yang terkena suatu insomnia ideal. Dalam kedua kasus itu, entah
penulis percaya bahwa ia sedang menulis untuk suatu publik yang sedang berdiri
di sana, sambil membawa uang, persis di luar pintu, atau entah ia bermaksud
menulis bagi seorang pembaca yang bakal datang, menulis berarti mengonstruksi,
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melalui naskah itu, model pembacanya sendiri.
Apa maksudnya, membayangkan seorang pembaca yang mampu mengatasi rintangan
potensial dari seratus halaman pertama" Maksudnya, persisnya, menulis seratus
halaman dengan tujuan membangun seorang pembaca yang cocok untuk apa yang kelak
diceritakan. Apa ada seorang pengarang yang menulis hanya untuk anak-cucu"
Tidak, bahkan jika pengarang itu bilang sendiri
begitu, sebab, karena bukan Nostradamus, ia bisa menerima anak-cucu hanya
menurut model apa yang ia ketahui dari teman sezamannya. Apa ada seorang
pengarang yang menulis hanya untuk segelintir pembaca"
Ya, jika ini yang dimaksud adalah membayangkan model pembaca yang kemungkinan
kecil hanya terdiri atas manusia yang jumlahnya berapa saja. Namun, pengarang
ini menulis bahkan dengan harapan, sama sekali bukan rahasia, bahwa bukunya itu
sendiri akan menciptakan, dan dalam jumlah besar sekali, banyak contoh baru dari
pembaca ini, yang diinginkan dan diupayakan dengan semacam ketepatan seperti
perajin, yang mau menerimanya sebagai dalil, terhibur, oleh naskahnya.
Jika ada suatu perbedaan, perbedaan itu terletak di antara naskah yang berusaha
menghasilkan seorang pembaca buku dan teks yang berusaha memenuhi keinginan
pembaca yang sudah siap membeli.
Dalam kasus kedua, buku itu sudah ditulis, dikonstruksi, menurut suatu formula
produksi-massa yang efektif; pengarang mengerjakan semacam analisis pasar dan
menyesuaikan karyanya dengan hasil analisis itu. Bahkan dari kejauhan, jelaslah
bahwa ia sedang bekerja dengan suatu formula: kita tinggal menganalisis berbagai
novel yang sudah ditulisnya dan akan melihat bahwa dalam semua novel itu,
setelah mengganti nama, tempat, segi-segi mencolok, ia telah menceritakan kisah
yang sama kisah yang sudah diharapkan publik dari dia.
Tetapi kalau seorang pengarang merencanakan sesuatu yang baru, dan menerima
jenis pembaca yang berbeda, ia ingin menjadi, bukan seorang analis pasar, yang
mengatalog tuntutan yang dinyatakan, namun, justru, seorang filsuf, yang
merasakan pola-pola Zeitgeist (jiwa zaman) itu. Ia ingin mengungkapkan kepada
publiknya apa yang seharusnya diinginkan publik, bahkan jika publik tidak
mengetahuinya. Ia ingin mengungkap pembaca kepada dirinya sendiri.
Andaikan Manzoni selama itu memikirkan keinginan publik, tentu ia sudah punya
formula yang siap-pakai: novel historis dengan suatu latar zaman pertengahan,
dengan tokoh-tokoh terkenal seperti dalam tragedi Yunani, raja dan putri raja
(dan bukankah ini yang ia kerjakan dalam Adelchi"), gairah yang agung dan hebat,
peperangan heroik, dan suatu perayaan kejayaan Italia dari suatu periode ketika
Italia adalah suatu negeri orang kuat.
Bukankah ini yang dilakukan oleh begitu banyak novelis historis, sekarang paling
sedikit sudah dilupakan, pada zamannya atau sebelum dia: pengarang seperti
d'Azeglio si pengrajin itu, Guerrazzi yang bergairah dan pedas itu, Cantu yang
tidak bisa dibaca itu"
Tetapi apa yang justru dikerjakan oleh Manzoni" Ia memilih abad ketujuh belas,
suatu periode perbudakan, dan tokoh-tokoh golongan rendah, dan satusatunya
kesatria adalah seorang bajingan.
Manzoni tidak bercerita tentang peperangan, dan berani menurunkan bobot
ceritanya dengan dokumen dan proklamasi .... Dan orang menyukainya, setiap orang
menyukainya, orang pandai dan orang bodoh, tua dan muda, saleh dan antigereja,
karena ia merasakan bahwa pembaca dari zamannya tentu punya itu, bahkan jika
tidak mengetahuinya, bahkan jika mereka tidak menuntut itu, bahkan jika mereka
tidak percaya itu cocok untuk dikonsumsi. Dan ia harus bekerja amat keras,
dengan godam dan gergaji dan pesawat, dan kamus, agar produknya bisa dibaca.
Untuk memaksa pembaca sungguhan menjadi model pembaca yang ia dambakan.
Mazoni tidak menulis untuk menyenangkan publik seperti kenyataannya, tetapi
menciptakan suatu publik yang tidak mungkin tidak akan menyukai novelnya. Dan
malanglah mereka jika belum menyukainya.
Dengan amat hipokrit dan saleh ia mengacu kepada "dua puluh lima pembaca"-nya;
padahal yang ia inginkan adalah dua puluh lima juta.
Model pembaca apa yang saya inginkan waktu menulis" Seorang antek, tentu saja,
seseorang adil dan jujur. Saya ingin benarbenar menjadi orang zaman pertengahan
dan hidup di Abad Pertengahan seakan itu zaman saya sendiri (dan vice versa).
Tetapi pada saat yang sama, dengan segala kemampuan, saya ingin menciptakan
seorang tipe pembaca yang, setelah melewati inisiasi itu, bersedia menjadi
korban saya atau tepatnya, korban naskah itu dan akan berpikir bahwa ia tidak
menginginkan apa saja kecuali yang ditawarkan naskah itu kepadanya. Suatu naskah
yang bertujuan menjadi suatu pengalaman transformasi bagi pembacanya.
Anda yakin bahwa Anda menginginkan seks dan suatu persekongkolan kriminal di
mana pihak yang bersalah akhirnya ditemukan, dan semua dengan banyak aksi,
tetapi pada saat yang sama Anda akan merasa malu menerima rongsokan gaya-kuno
yang terdiri atas orang mati yang gentayangan, biara-biara penuh mimpi-buruk,
dan penitensi kotor. Baiklah kalau begitu, saya akan memberi Anda bahasa Latin,
praktis tidak ada tokoh perempuan, banyak teologi, bergalon-galon darah dalam
gaya Grand Guignol, sampai Anda harus mengatakan, "Tetapi semua ini bohong; aku
tidak mau menerimanya!"
Dan pada titik ini Anda akan harus menjadi milik saya, dan merasakan kengerian
dari kemahakuasaan Tuhan yang tak terbatas, yang membuat aturan bumi ini sia-
sia. Dan kemudian, jika Anda orang baik, Anda akan menyadari betapa saya
menggiring Anda masuk jebakan ini, karena saya sungguhsungguh menceritakan
tentang ini pada setiap langkah. Dengan hatihati saya memperingatkan bahwa saya
sedang menyeret Anda menuju kutukan Anda; tetapi hal yang baik tentang
kesepakatan dengan iblis adalah bahwa ketika Anda menandatanganinya, Anda
benarbenar menyadari persyaratannya.
Kalau tidak, mengapa Anda mau berkompensasi
lagi dengan neraka" Dan karena saya ingin Anda juga merasa menikmati satu hal
yang menakutkan kita misalnya, getaran metafisik itu saya hanya tinggal memilih
(dari antara rancangan model) yang paling metafisik dan filosofis: novel
detektif. Metafisik Detektif Bukannya kebetulan bahwa buku itu dimulai sebagai suatu misteri (dan terus
memperdaya pembaca yang rajin menyelesaikannya sampai akhir, sehingga pembaca
yang tekun mungkin bahkan tidak menyadari bahwa ini suatu misteri yang di
dalamnya hanya sedikit sekali yang diketemukan dan detektifnya kalah). Saya
percaya bahwa orang menyukai cerita ngeri bukan karena ada mayat-mayat atau
karena akhirnya ada kemenangan besar dari keteraturan (intelektual, sosial,
hukum, dan moral) atas kekacauan iblis. Nyatanya, novel kriminal mewakili
semacam sulapan, murni dan biasa saja. Tetapi diagnosis medis, riset ilmiah,
penyelidikan metafisik, juga contoh dari sulapan. Bagaimanapun juga, masalah
mendasar dari filsafat (seperti masalah psikoanalisis) sama seperti masalah
novel detektif: siapa yang bersalah" Untuk mengetahui ini (karena mengira Anda
mengetahui ini), Anda harus menerka bahwa semua kejadian itu punya satu logika,
logika bahwa pihak yang bersalah telah dipaksakan kepada mereka. Setiap cerita
investigasi dan sulapan menceritakan kepada kita sesuatu yang selama ini selalu
hampir kita ketahui (acuan pseudo-Heideggerian). Pada titik ini
jelaslah mengapa kisah dasar saya (siapa yang melakukan") bercabang-cabang ke
dalam begitu banyak cerita lainnya, semua cerita dari terkaan lainnya, semua
berkait dengan struktur terkaan semacam itu.
Suatu model abstrak yang bersifat sulapan adalah labirin itu.
Tetapi ada tiga macam labirin. Pertama adalah labirin Yunani, labirin Theseus.
Labirin macam ini tidak memungkinkan orang tersesat: Anda masuk, sampai ke
tengah, dan kemudian dari tengah Anda mencapai pintu keluar. Itulah sebabnya di
tengahnya ada Minotaurus; jika tidak ada, maka cerita itu tidak akan ramai,
hanya sekadar menggelinding. Teror itu muncul, andaikan memang muncul, dari
kenyataan bahwa Anda tidak tahu bakal sampai ke mana atau apa yang akan
dilakukan Minotaurus itu. Namun, jika labirin klasik itu dibongkar, Anda akan
menemukan bahwa ternyata tangan Anda memegang seutas benang, benang Ariadne.
Labirin klasik adalah benang-milik Ariadne itu sendiri.
Kemudian ada kesimpangsiuran perangai: jika dibongkar, Anda akan mendapatkan
bahwa ternyata tangan Anda memegang sebuah pohon, suatu struktur dengan akar-
akar, dengan banyak lorong buntu.
Hanya ada satu pintu keluar, tetapi Anda bisa salah duga. Anda memerlukan
benang-milik Ariadne agar tidak tersesat. Labirin ini adalah suatu model proses
mencoba coba. Dan akhirnya ada jaring itu, atau, lebih tepatnya, yang oleh Deleuze dan
Guattari disebut "rhizoma (umbi)". Rizoma itu begitu abstrak sehingga setiap
jalur bisa berhubungan dengan setiap jalur lainnya. Tidak ada pusatnya, tidak
ada tepiannya, tidak ada jalan keluarnya, karena pada dasarnya tak terbatas.
Ruang terkaan itu adalah suatu ruang rizoma. Labirin perpustakaan saya tetap
suatu labirin bersifat perilaku, tetapi dunia yang di dalamnya William menyadari
bahwa ia tinggal di sana, sudah mempunyai suatu struktur rizoma: yakni, bisa
distruktur, tetapi tidak pernah distruktur secara tegas.
Seorang pemuda berusia tujuh belas mengatakan kepada saya bahwa ia sama sekali
tidak memahami argumentasi teologis, tetapi argumentasi-argumentasi itu
bertindak sebagai cabang-cabang dari labirin luas (seakan mereka berada dalam
musik "suspens" dalam film Hitchcock). Saya percaya bahwa sesuatu seperti ini
bisa terjadi: bahkan pembaca yang tekun merasakan bahwa ia sedang membaca sebuah
kisah tentang labirin, dan tidak hanya tentang labirin luas. Boleh kita katakan
bahwa, anehnya, pembacaan paling suntuk adalah yang paling "struktural": pembaca
yang tekun itu masuk ke dalam kontak langsung, tanpa apa saja yang menengahi
isinya, dengan kenyataan bahwa di sana, ketidakmungkinan (fiksi) adalah satu
cerita. Penikmatan Saya ingin pembaca menikmati sendiri, paling sedikit seperti yang saya nikmati
sendiri. Ini hal yang amat penting, yang seakan berbenturan dengan ide-ide lebih
matang yang kita yakin kita miliki tentang novel itu.
Pembaca harus dialihkan, tetapi tidak diselewengkan, dicabut dari masalah-
masalah. Robinson Crusoe bertujuan mengalihkan model pembacanya sendiri, dengan
menceritakan kepada pembaca itu tentang kalkulasi dan kehidupan sehari-hari
seorang homo oeconomicus yang berakal sehat, hampir seperti dirinya sendiri.
Tetapi kemampuan kemiripan Robinson, setelah menikmati membaca tentang dirinya
sendiri dalam novel itu, entah bagaimana kita tentu akan memahami sesuatu lagi,
menjadi orang lain. Dalam menghibur diri, entah kenapa, ia sudah belajar.
Seharusnya pembaca juga mempelajari sesuatu tentang dunia atau tentang bahasa:
perbedaan ini membedakan berbagai puitika naratif, tetapi intinya tetap sama.
Pembaca ideal dari Finnegans Wake harus, akhirnya, menikmati dirinya seperti
halnya pembaca dari Erie Stanley Gardner. Persis sama banyak, tetapi dalam suatu
cara yang berbeda. Sekarang, konsep hiburan itu bersifat historis. Ada berbagai cara menghibur dan
terhibur yang berbeda untuk setiap musim dalam sejarah novel. Tak perlu
dipersoalkan lagi, novel modern telah berusaha menghilangkan hiburan yang
dihasilkan dari plot dengan tujuan mendorong jenis hiburan
lainnya. Sebagai pengagum Poetics karya Aristoteles, saya selalu berpikir bahwa,
apa pun yang terjadi, sebuah novel juga harus terutama menghibur lewat plotnya.
Tidak diragukan lagi bahwa jika memukau, sebuah novel akan mendapat sambutan
meriah dari publik. Nah, untuk suatu periode tertentu, sambutan meriah ini
dianggap satu tanda buruk: jika sebuah novel jadi populer, ini karena novel itu
tidak bicara tentang sesuatu yang baru dan hanya memberikan apa yang sudah
diharapkan oleh publik. Bagaimanapun juga, saya percaya bahwa mengatakan, "Jika sebuah novel memberi
pembaca apa yang tengah ia harapkan, novel itu jadi populer," lain dengan
mengatakan, "Jika sebuah novel populer, ini karena novel itu memberi pembaca apa
yang ia harapkan dari itu."
Pernyataan kedua itu tidak selalu betul. Cukup kalau kita ingat Defoe atau
Balzac atau, yang lebih mutakhir, The Tin Drum dan One Hundred Years of
Solitude. Boleh dikatakan bahwa persamaan "popularitas = kurang bermutu" itu
didukung oleh sikap polemik dari sebagian penulis, termasuk saya sendiri, yang
membentuk Gruppo 63 di Italia. Dan bahkan sebelum 1963, buku yang sukses
dibuktikan sebagai novel khayalan, dan novel khayalan bersama novel plot;
meskipun bersifat eksperimental, novel-novel yang menimbulkan skandal dan
ditolak oleh banyak pembaca, mendapat pujian. Ini semua kata orang, dan tidak
ada alasan untuk menyebutkannya. Ada pernyataan-pernyataan
yang paling mengejutkan pembaca yang terhormat, dan para reporter tidak pernah
melupakannya dan betul, karena hal-hal ini dikatakan persisnya untuk mencapai
efek semacam itu. Yang sedang kita bicarakan ini adalah novel tradisional dengan
struktur yang pada dasarnya khayalan, tanpa inovasi menarik berkaitan dengan
masalah yang dibicarakan dalam novel abad kesembilan belas. Dan tak pelak lagi
terbentuk golongan-golongan, dan baik dan buruk sering menumpuk bersama,
kadangkadang dengan alasan pertikaian antargolongan. Saya ingat bahwa musuh
waktu itu adalah Lampedusa, Bassani, dan Cassola. Sekarang ini, secara pribadi,
saya bisa memperhalus perbedaan di antara ketiganya. Lampedusa telah menulis
satu novel anakronistik yang bagus, dan pertikaian kami adalah dengan mereka
yang mencanangkannya sebagai pembukaan satu jalur baru untuk khazanah sastra
Italia, sementara itu, sebaliknya, merupakan akhir gemilang dari suatu jalan
lama. Pendapat saya tentang Cassola tetap tidak berubah. Dengan Bassani, sebaliknya,
sekarang saya akan bersikap jauh lebih berhatihati; dan jika kami berada pada
1963 lagi, saya akan menyapanya sebagai teman seperjalanan. Tetapi masalah yang
akan saya diskusikan ini sesuatu yang lain.
Tak seorang pun ingat apa yang terjadi pada 1965, ketika Gruppo mengadakan
pertemuan untuk kedua kalinya, di Palermo, untuk mendiskusikan novel
eksperimental (dan jalannya diskusi itu sudah
dibukukan, berjudul II romanzo sperimentale, diterbitkan oleh Feltrinelli,
bertahun 1965 pada sampul dan 1966 dalam kolofon). Nah, selama perdebatan itu
muncul banyak hal menarik.
Yang pertama, dalam makalah pembukaannya, Renato Barilli, pakar teori semua
eksperimentalisme dari Nouveau Roman, harus berusaha mengalahkan Robbe-Grillet,
Grass, Pynchon (jangan lupa bahwa meskipun sekarang Pynchon dianggap sebagai
salah seorang penemu posmodernisme, waktu itu istilah tersebut belum muncul
setidaknya di Italia dan John Barth baru saja mulai di Amerika). Barilli
menyebutkan penemuan kembali Roussel, yang menyukai Verne, tetapi tidak
menyebutkan Borges, karena penemuannya-kembali belum muncul.
Dan apa yang dikatakan oleh Barilli" Bahwa sampai saat itu plot dan aksi
didorong untuk dihilangkan, demi epifani (pengejawantahan) murni dalam bentuk
ekstremnya dari "materialistik ekstase" (kita boleh mengatakan, "Akan
kutunjukkan kau surga dalam segenggam debu," seperti dalam lukisan Pollock atau
Dubuffet atau Fautrier). Tetapi sekarang, satu fase naratif baru sudah dimulai:
aksi mulai diberi sanksi lagi, meskipun berupa suatu aksi autre (jasmaniah).
Keesokan harinya saya mulai menganalisis kesan yang kami peroleh, sambil
menonton satu film kolase aneh karya Baruchello dan Grifi yang berjudul Verifica
incerta, suatu cerita yang terdiri atas potongan-potongan cerita, atau, lebih
tepatnya, merupakan situasi-situasi, topo standar, dari film
komersial. Dan saya menunjukkan bahwa tempat-tempat yang di dalamnya para
pengamat telah bereaksi dengan kenikmatan paling besar adalah yang, baru
beberapa tahun silam, mereka tentu akan bereaksi dengan kaget dan marah
misalnya, di mana konsekuensi temporal dan logikal dari aksi tradisional
dihilangkan dan harapan publik mungkin seakan telah dibuat amat jengkel. Avant-
garde mulai menjadi tradisi: apa yang beberapa tahun sebelumnya bernada sumbang
mulai berubah menjadi balsem bagi telinga (atau bagi mata). Dan dari observasi
ini hanya satu kesimpulan yang bisa ditarik: ketidakterimaan pesan itu bukan
lagi kriteria utama untuk suatu fiksi (atau seni lain apa saja) eksperimental,
karena ketidakterimaan sekarang sudah dikodifikasi sebagai sesuatu yang
menghibur. Dan saya menegaskan bahwa sementara pada masa program futuris,
hadirin sangat diperlukan untuk mengejek, "steril, pada masa kini, dan polemik
dari mereka yang menganggap suatu eksperimen itu gagal adalah tolol, karena
nyatanya ini diterima sebagai sesuatu yang lazim: ini berarti kembali mundur ke
Utopia usang dari avant-garde awal. Kami bersikeras bahwa ketidakmampuan
menerima pesan di pihak penerima adalah suatu jaminan nilai hanya dalam suatu
momen historik khusus .... Saya duga kita mungkin akan harus melepaskan
arrierepensee itu, yang secara ajek mendominasi diskusi kita, yang dengan itu
setiap skandal eksternal akibat suatu karya bisa dianggap suatu jaminan dari
nilainya. Dikotomi antara keteraturan
dan kekacauan itu sendiri, antara suatu karya untuk konsumsi populer dan suatu
karya untuk provokasi, meskipun tetap sahih, mungkin seharusnya diperiksa-
kembali dari sudut pandang lain.
Dengan kata lain, saya percaya akan mungkin menemukan unsurunsur revolusi dan
perjuangan dalam karya-karya yang jelas memberi kemungkinan untuk mudah
dikonsumsi, dan juga akan mungkin untuk menyadari, di lain pihak, bahwa karya-
karya tertentu, yang tampaknya provokatif dan masih membuat publik berang,
sebenarnya tidak memperjuangkan apa-apa .... Belum lama ini saya bertemu dengan
seseorang yang, karena teramat menyukai suatu produk tertentu, telah
menurunkannya ke satu zona kecurigaan ..." dan seterusnya.
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sembilan belas enam lima. Waktu itulah Seni Pop dimulai, dan perbedaan
tradisional antara seni nonfiguratif, eksperimental, mulai hilang. Waktu inilah
ketika Pousseur, sambil mengacu kepada the Beatles, mengatakan kepada saya,
"Mereka bekerja untuk kita" namun tanpa menyadari, bahwa dia juga bekerja untuk
the Beatles (dan dibutuhkan inisiatif dari Cathy Berberian untuk menunjukkan
kepada kami bahwa the Beatles, berkait dengan Purcell, dan satusatunya yang
berhak atas lagunya, juga bisa memainkan resital Monteverdi dan Satie).
Posmodernisme, Ironi, yang Bisa Dinikmati
Antara 1965 dan hari ini, ada dua ide yang sudah diklarifikasi secara jelas:
bahwa plot juga bisa ditemukan dalam bentuk kutipan dari plot lainnya, dan bahwa kutipan bisa tidak
terlalu khayal dibandingkan plot yang dikutip. Pada 1972 saya menyunting
Almanacco Bompiani, yang mencanangkan "Kembali ke Plot", meskipun kembalinya via
suatu pemeriksaan-kembali yang ironis (bukannya tanpa kekaguman) terhadap Ponson
du Terrail dan Eugene Sue, dan kekaguman (dengan sedikit sekali ironi) terhadap
beberapa buku tebal Dumas. Masalah sebenarnya yang dipertaruhkan waktu itu
adalah, apa mungkin ada satu novel yang bukan khayalan, dan, toh, tetap
menyenangkan dibaca"
Hubungan ini, dan bukan hanya penemuan-kembali plot tetapi juga kemampuan
dinikmati, harus disadari oleh para teoretisi posmodernisme Amerika.
Sayangnya, "posmodern" adalah suatu istilah bon a tout faire.
Saya mendapat kesan bahwa pada zaman sekarang istilah ini diterapkan kepada apa
saja yang kebetulan disukai oleh pemakai istilah itu. Lebih-lebih lagi, agaknya
ada suatu upaya untuk membuatnya makin banyak menyangkut masa lalu; pertama ini
jelas diterapkan kepada penulis atau seniman tertentu yang aktif selama dua
puluh tahun terakhir, kemudian lambat laun mencapai awal abad ini, lalu masih
mundur lebih jauh lagi. Dan prosedur pembalikan ini berkelanjutan; tidak lama
lagi Homer bisa masuk kategori posmodern.
Terus terang, saya percaya bahwa posmodernisme bukan suatu tren untuk dijelaskan
secara kronologis, tetapi, justru, suatu kategori yang ideal
atau, lebih baik lagi, suatu Kunstwollen, suatu cara kerja. Dapat kita katakan
bahwa setiap periode punya posmodernisme sendiri, sama seperti setiap periode
tentunya punya manerismenya sendiri (dan, nyatanya, saya membayangkan apakah
posmodernisme bukan nama baru dari manerisme sebagai kategori metahistoris).
Saya percaya bahwa dalam setiap periode ada momenmomen krisis seperti yang
dijelaskan oleh Nietzsche dalam bukunya, Thoughts Out of Season, yang di
dalamnya ia menulis tentang kesalahan akibat studi historis. Masa lalu
mengondisi kita, merusak kita, memfitnah kita. Avant-garde historik itu (tetapi
di sini saya juga harus mempertimbangkan avant-garde sebagai satu kategori
metahistoris) berusaha membalas dendam atas kesalahan masa lalu. "Peduli amat
dengan sinar rembulan" suatu slogan futuris merupakan suatu podium khas dari
setiap avant-garde; Anda tinggal mengganti "sinar rembulan" dengan kata benda
apa saja yang cocok. Avant-garde menghancurkan, membalik wajah masa lalu: Les
Demoiselles d'Avignon adalah lakon avant-garde yang khas. Kemudian avant-garde
itu bergerak lebih jauh lagi, menghancurkan bentuk-bentuk itu, menundanya,
sampai pada kanvas putih, informal, abstrak, kanvas yang dicoret-coret, kanvas
yang dihitamkan. Dalam arsitektur dan seni visual, akan ada dinding korden, bangunan sebagai seni
minimal, murni berpipa paralel, bagai baja; dalam literatur, dirusaknya alur
cerita, kolase bak Burroughs, sunyi, halaman kosong; dalam musik, perjalanan
dari tidak adanya tone sampai bunyi sampai sunyi senyap (dalam artian ini, karya awal Cage
boleh disebut modern). Namun tiba saatnya ketika avant-garde (yang modern) tidak bisa maju lagi, karena
sudah menghasilkan suatu bahasa-meta yang bicara tentang teksnya yang mustahil
(seni konseptual). Posmodern menjawab kepada yang modern dengan sikap mengakui
bahwa masa lalu, karena tidak bisa benarbenar dihancurkan, karena
penghancurannya membawa kepada sikap diam, harus dikunjungi kembali: tetapi
dengan ironi, tanpa sikap tidak bersalah. Saya memikirkan sikap posmodern
sebagai sikap seorang laki-laki yang mencintai seorang perempuan yang amat
terpelajar dan tahu bahwa ia tidak bisa mengatakan kepada perempuan itu, "I love
you madly," karena tahu bahwa perempuan itu tahu (dan bahwa perempuan itu tahu
bahwa laki-laki itu tahu) bahwa katakata ini sudah ditulis oleh Barbara
Cartland. Toh masih ada solusinya. Laki-laki itu bisa mengatakan, "Seperti yang
dikatakan oleh Barbara Cartland, I love you madly." Pada titik ini, karena telah
menghindari rasa tidak bersalah palsu, karena sudah mengatakan dengan jelas
bahwa tidak mungkin lagi bicara tanpa rasa bersalah, ia seharusnya mau
mengatakan bahwa ia ingin mengatakan kepada perempuan itu: bahwa ia
mencintainya, tetapi mencintainya dalam suatu masa tanpa rasa bersalah. Jika
perempuan itu setuju, tentunya ini sama dengan ia menerima pernyataan cinta. Tak
seorang pun dari kedua orang itu yang akan merasa tidak bersalah, keduanya sudah tentu akan menerima
tantangan dari masa lalu, dari apa yang sudah diucapkan, yang tidak bisa
dihapuskan; keduanya akan dengan sadar dan dengan gembira memainkan permainan
ironi .... Tetapi keduanya sudah tentu akan berhasil, sekali lagi, bicara tentang
cinta. Ironi, lakon metalinguistik, ucapan disesuaikan. Jadi, dengan yang modern, siapa
saja yang tidak memahami permainan itu bisa sekadar menolaknya, tetapi dengan
yang posmodern, ada kemungkinan untuk tidak memahami permainan itu dan toh
menerimanya dengan serius. Yang adalah, bagaimanapun juga, kualitas (risiko)
ironi. Selalu ada seseorang yang menerima wahana ironik dengan serius.
Saya mengira bahwa kolase Picasso, Juan Gris, dan Braque adalah modern: ini
sebabnya orang normal tidak bakal menerima mereka. Di lain pihak, kolase dari
Max Ernst, yang berupa tempelan potongan kecil-kecil ukiran abad kesembilan
belas, adalah posmodern: karya-karya itu bisa dibaca sebagai cerita fantastik,
bagaikan penceritaan mimpi, tanpa kesadaran apa saja sehingga masuk ke dalam
suatu diskusi tentang sifat ukiran itu, dan mungkin bahkan kolase tersebut. Jika
"posmodern" berarti ini, jelaslah mengapa Sterne dan Rabelais adalah posmodern,
mengapa Borges jelas ya, dan mengapa momen modern dan momen posmodern bisa hidup
bersama dalam diri seniman yang sama, atau bergantian, atau saling mengikuti
dari dekat. Lihat saja Joyce. Portrait adalah cerita tentang suatu upaya pada momen modern.
Dubliners, meskipun muncul lebih dulu, lebih modern daripada Portrait of a Lady.
Ulysses berada di garis batas. Finnegans Wake sudah posmodern, atau setidaknya
memulai wahana posmodern itu: ini menuntut, agar bisa dipahami, bukan negasi
dari yang sudah dikatakan, tetapi pemikiran kembali ironiknya.
Tentang masalah posmodern, hampir segala sesuatunya sudah dikatakan, dari yang
paling awal (misalnya, dalam esai-esai seperti "The Literature of Exhaustion"
oleh John Barth, yang bertahun 1967). Bukan karena saya sepenuhnya sepakat
dengan jenjangjenjang yang diberikan oleh teoretisi posmodernisme (termasuk
Barth) kepada penulis dan pelukis, dengan menetapkan siapa yang posmodern dan
siapa yang belum menjadi posmodern. Namun, saya tertarik dalam teorem yang
diambil oleh teoretisi tren itu dari dasar pikiran mereka: "Penulis
posmodernisku yang ideal bukan yang sekadar mengakui atau sekadar meniru baik
orangtua modernisnya abad kedua puluh maupun kakek modernisnya abad kesembilan
belas. Ia membawa setengah dari abad kita di bawah sabuknya, tetapi tidak
menggendongnya di atas punggung ....
Mungkin ia tidak akan berharap untuk mencapai dan menarik penggemar James
Michener dan Irving Wallace apalagi untuk menyebut media massa tuna aksara yang
lobotomized (lob = bola yang dipukul tinggi ke arah sebelah lawan). Tetapi ia
seharusnya berharap untuk mencapai dan bergembira, paling sedikit sebagian
waktu, di luar lingkaran yang oleh Mann disebut Early Christians: penggemar
profesional dari seni agung .... Novel posmodernis yang ideal akan sedikit banyak
naik di atas pertengkaran antara realisme dan irealisme, formalisme dan
'contentisme1, khazanah sastra murni dan peran serta, fiksi untuk kalangan
tertentu dan fiksi murahan .... Saya sendiri akan menganaloginya dengan jazz bagus
atau musik klasik: orang menemukan banyak dengan mendengarkan terusmenerus atau
meneliti dengan cermat skor yang tidak bisa ditangkap orang itu pada saat
pertama kali mengikuti; tetapi saat pertama mengikuti itu seharusnya begitu
menggetarkan dan tidak hanya bagi spesialis sehingga orang senang waktu
dimainkan kembali." Ini yang ditulis oleh Barth pada 1980, sebagai ringkasan diskusi tersebut, namun
kali ini dengan judul "The Literature of Replenishment: Posmoder-nist Fiction".s
Tentu saja, subjeknya bisa didiskusikan lebih lanjut, dengan suatu selera lebih
besar untuk paradoks; dan ini yang dikerjakan oleh Leslie Fiedler. Pada 1980,
Salmagundi (no. 50-51) memuat satu perdebatan antara Fiedler dan penulis Amerika
lainnya. Fiedler, nyata-nyata, tidak bisa dibujuk. Ia memuji The Last of the
Mohicans, kisah petualangan, novel Gothik, yang oleh para kritisi dicela sebagai
murahan, yang bagaimanapun juga mampu
8 Kedua esai itu dicetak kembali dalam The Literature of Exhaustion (Northridge,
California: Lord John Press, 1982).
menciptakan mitos dan menawan imajinasi selama lebih dari satu generasi. Ia
ingin tahu apakah sebuah novel seperti Uncle Tom's Cabin bakal pernah muncul
lagi, suatu buku yang bisa dibaca dengan hasrat yang sama di dapur, di ruang
tamu, dan di kamar anak-anak. Ia memasukkan Shakespeare di antara mereka yang
tahu caranya menghibur, bersama dengan Gone with the Wind. Kita semua tahu bahwa
ia seorang kritisi yang terlalu tajam untuk memercayai hal-hal ini. Ia sekadar
ingin menghancurkan halangan yang selama ini telah didirikan di antara seni dan
kemampuan menikmati. Ia merasa bahwa masa kini mulai mencapai publik luas dan
mulai menawan mimpi-mimpinya mungkin berarti akting sebagai avant-garde, dan ia
masih membiarkan kita dengan bebas mengatakan bahwa menawan mimpi-mimpi pembaca
tidak perlu berarti mendorong khayalan: ini juga bisa berarti menghantui mereka.
Novel Historis Selama dua tahun saya menolak untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang buang
waktu mengenai aturan tentang "Apakah novel Anda suatu karya terbuka atau
tidak?" Bagaimana saya tahu" Itu urusan kalian, bukan urusanku. Atau "Dengan apa
Anda mengidentifikasi tokoh-tokoh Anda?" Demi Tuhan, dengan siapa seorang
pengarang mengidentifikasi" Jelas dengan kata keterangan.
Dari semua pertanyaan omong kosong, yang paling berengsek adalah pertanyaan yang
diajukan oleh mereka yang menyarankan bahwa menulis tentang masa lalu adalah suatu cara
untuk menghindari masa kini. "Apa itu betul?" tanya mereka kepada saya. Kira-
kira begitu, jawab saya: jika Manzoni menulis tentang abad ketujuh belas, itu
berarti abad kesembilan belas tidak menarik baginya.
Shakespeare menuliskan kembali orangorang zaman pertengahan dan tidak tertarik
pada zamannya sendiri, sedangkan Love Story dengan tegas menceritakan masanya
sendiri, namun La Chartreuse de Parme hanya menceritakan kejadiankejadian yang
telah terjadi lebih dari dua puluh lima tahun sebelumnya ....Tidak ada gunanya
mengatakan bahwa semua persoalan Eropa modern mengambil bentuk yang di dalamnya
kita masih merasakannya selama Abad Pertengahan: demokrasi komunal dan
perekonomian perbankan, monarki nasional dan kehidupan kota, teknologi baru dan
pemberontakan kaum miskin.
Abad Pertengahan adalah masa kanak-kanak kita, ke sana kita harus selalu
kembali, untuk anamnesis. Tetapi juga ada Abad Pertengahan gaya-Excalibur. Dan
dengan begitu masalahnya jadi lain dan tidak bisa disusuri. Apa arti menulis
satu novel historis" Saya percaya ada tiga cara untuk menceritakan masa lalu.
Pertama adalah roman, dan contohnya berkisar dari siklus Breton sampai Tolkien,
juga termasuk novel Gothik, yang bukan sebuah novel tetapi sebuah roman. Masa
lalu adalah pemandangan, preteks, konstruksi dongeng-peri, agar imajinasi bisa
melayang dengan bebas. Dalam artian ini, sebuah roman tidak perlu harus terjadi
pada masa lalu; ini hanya harus terjadi sekarang dan di sini, dan sekarang dan
di sini ini tidak boleh disebutkan, bahkan tidak sebagai alegori.
Banyak fiksi sains merupakan roman murni. Roman adalah cerita dari suatu tempat
lain. Lalu muncul novel jagoan, cerita mantol dan-belati, seperti karya Dumas. Jenis
novel ini memilih suatu masa lalu yang bisa dikenali dan "nyata", dan agar bisa
dikenali, novelis itu mengisinya dengan tokoh-tokoh yang sudah ditemukan dalam
ensiklopedi (Richelieu, Mazarin), sementara membuat mereka melakukan aksi yang
tidak dicatat dalam ensiklopedi (dengan menemui Milady, bergaul dengan seseorang
yang bernama Bonacieux) tetapi yang tidak berlawanan dengan ensiklopedi itu.
Dengan sendirinya, untuk memperkuat ilusi realitas itu, tokoh-tokoh historis itu
juga harus melakukan apa (seperti disepakati historiografi) yang benarbenar
mereka lakukan (mengepung La Rochelle, punya hubungan erat dengan Anne dari
Austria, berurusan dengan Fronde). Para tokoh imajiner tersebut diperkenalkan ke
dalam gambar ("nyata") ini, meskipun mereka memperagakan perasaan yang juga bisa
dikaitkan dengan tokoh dari periode lainnya. Apa yang dilakukan oleh d'Artagnan,
dalam menemukan kembali perhiasan Ratu di London, mungkin juga bisa ia lakukan
dalam abad kelima belas atau kedelapan belas. Tidak perlu hidup dalam abad
ketujuh belas untuk memiliki psikologi dari d'Artagnan.
Dalam novel historis, sebaliknya, tokoh tidak perlu dapat dikenali dalam
ensiklopedia biasa untuk muncul. Contohnya, The Betrothed: tokoh nyata yang
paling terkenal adalah Kardinal Federigo, yang, sebelum Manzoni muncul,
merupakan sebuah nama yang hanya dikenal oleh beberapa orang (Imam Borromeus
lain, Santo Charles, adalah seorang yang terkenal). Tetapi segala sesuatu yang
dilakukan oleh Renzo, Lucia, atau Fra Cristoforo hanya dapat dikerjakan di
Lombardia pada abad ketujuh belas. Apa yang dilakukan tokoh-tokoh itu membantu
membuat sejarah, apa yang telah terjadi, lebih mudah dipahami. Kejadian dan
tokoh itu membentuk, namun mereka menceritakan kepada kita hal-hal tentang
Italia pada periode yang tidak pernah diceritakan secara begitu jelas oleh
bukubuku sejarah itu. Dalam artian ini, tentu saja, saya ingin menulis satu novel historis, dan bukan
karena Ubertino atau Michael benarbenar ada dan sudah mengatakan kurang lebih
apa yang mereka katakan, tetapi karena segala sesuatu yang dikatakan oleh tokoh-
tokoh fiksi seperti William seharusnya dikatakan pada masa itu.
Saya tidak tahu sampai di mana kesetiaan saya kepada tujuan ini. Saya tidak
percaya bahwa saya mulai melupakannya waktu saya menyamarkan kutipan dari para
pengarang (misalnya saja Wittgenstein), dengan menyampaikannya sebagai
kutipan masa itu. Dalam contoh-contoh tersebut saya tahu betul bahwa itu bukan karena tokoh Abad
Pertengahan saya yang menjadi modern; andaikan ya, justru orang modern yang
berpikir dalam kerangka pikir Abad Pertengahan. Lebih-lebih lagi, saya bertanya
kepada diri sendiri apakah berkali-kali saya tidak memperkaya tokoh-tokoh fiksi
dengan suatu kapasitas untuk mengumpulkan menjadi satu, dari disiecta membra
pikiran-pikiran yang sepenuhnya zaman pertengahan itu, semacam hircocervuses
konseptual yang, dalam bentuk ini, Abad Pertengahan tidak bakal mengakui itu
sebagai miliknya. Tetapi saya percaya bahwa suatu novel historis seharusnya melakukan ini, pula:
tidak hanya mengenali masa lalu masalah dari apa yang datang kemudian, tetapi
juga melacak proses yang melaluinya masalah-masalah ini pelanpelan mulai
menghasilkan efek mereka.
Jika, dengan membandingkan dua ide zaman pertengahan, menghasilkan ide ketiga,
yang lebih modern, seorang tokoh saya melakukan persis apa yang dilakukan
kebudayaan; dan jika tak seorang pun pernah menulis apa yang ia katakan,
seseorang, meskipun dengan bingung, sudah tentu telah mulai memikirkannya
(mungkin tanpa mengucapkannya, karena terhalang oleh banyak sekali rasa takut
dan rasa malu). Bagaimanapun juga, adalah satu masalah yang amat menyenangkan saya: sekali tempo
ada seorang kritisi atau seorang pembaca yang menulis untuk mengatakan bahwa seorang
tokoh saya menyatakan halhal yang terlalu modern, dan dalam setiap contoh ini,
dan hanya dalam contoh-contoh ini, saya sungguhsungguh mengutip teks abad
keempat belas. Dan ada halaman lainnya yang di dalamnya pembaca menghargai kualitas zaman
pertengahan yang amat indah, sementara saya merasa halamanhalaman itu secara
tidak sah modern. Dalam kenyataan, setiap orang punya ide sendiri tentang Abad
Pertengahan, yang biasanya kacau. Hanya para rahib masa itu yang tahu
kebenarannya, tetapi mengatakannya kadang bisa membawa pertaruhan.
Penutup Saya menemukan lagi dua tahun setelah menulis novel ini catatan yang saya buat
pada 1953, waktu saya masih mahasiswa.
Horatio da temannya mengundang Count dari P. untuk menyelesaikan misteri hantu
itu. Count dari P., seorang laki-laki terhormat yang eksentrik dan tenang. Di
hadapannya, seorang kapten muda dari pengawal Denmark, dengan metode FBI.
Perkembangan normal dari aksi itu mengikuti garis-garis tragedi tersebut. Pada
babak terakhir, Count dari P. itu, setelah mengumpulkan seluruh keluarga,
menjelaskan misteri tersebut: pembunuhnya adalah Hamlet. Sudah terlambat, Hamlet
mati. Bertahuntahun kemudian saya menemukan bahwa Chesterton pernah menyarankan suatu
gagasan semacam itu, saya lupa di mana. Agaknya kelompok Parisian Oulipos belum
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lama ini menyusun satu matrik dari semua kemungkinan situasi cerita-pembunuhan
dan telah menemukan bahwa masih harus ditulis satu buku yang di dalamnya,
pembunuhnya adalah si pembaca.
Moral: ada ide-ide obsesif, ide-ide itu tidak pernah pribadi; buku saling
bercakapcakap di antara mereka sendiri, dan deteksi saya yang betul akan
membuktikan bahwa kita adalah pihak yang bersalah. []
9 Ouuroir de Litterature Potentielle, diorganisasi oleh Queneau, Le Lyonnais,
Perec, dan lainlainnya untuk menghasilkan khazanah sastra dengan cara kombinasi
matematikal. Umberto Eco lahir pacta 5 Januari 1932 di Alessandria, Italy. Tesis doktoralnya,
// Problema estelic in Tommaso d'Aquino (Estetika Tltomas Aquinas), terbit pada
1956. Pada tahun yang sama, dia memulai karier akademisnya sebagai dosen di University
of Turin, tempat dia belajar filsafat dan estetika Abad Pertengahan. Kedekatan
dan ketertarikan Eco pada kebudayaan populer terjadi lebih awal; dia' mulai
menulis kolom bulanan "Diario ininimo~ pada 1959 dan aktif memberikan komentar
tentang kebudayaan dan peristiwa aktual sejak saat itu. Eco mengajar di berbagai
universitas di seluruh dunia dan menjabat sebagai ketua jurusan Semiotika di
University of Bologna. Italy, selama bertahuntahun. Awal 1999, dia menjabat
sebagai Presiden Scuola Supetion di Studi Umanistici di University of Bologna.
Eco dikenal juga sebagai ahli Abad Pertengahan, pakar semiotika, filsuf, dan
novelis. Selain The Name of Hie Rose, karya-karya Eco lainnya adalah Foucault's
Pendulum. Ttic Island of the Day Before, Baudolino, dan The Mysterious Flame of
Queen Loana. Ratu Peri Selat Sunda 2 Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit Mrs Mcginty Sudah Mati 4
dalam setiap biara atau abbey, masih ada kenangan tentang Abad Pertengahan yang
tak terhitung jumlahnya, sehingga saya mulai mengobrakabrik semua arsip saya.
Bagaimanapun juga, saya seorang pakar zaman pertengahan yang sedang bertapa
(saya telah menerbitkan sebuah buku tentang estetika zaman pertengahan pada
1956, buku seratus halaman lain tentang hal itu pada 1969, kemudian beberapa
esai di manamana, dan kembali menekuni tradisi zaman pertengahan pada 1962 untuk
buku saya tentang Joyce; pada 1972 muncul suatu studi lama tentang Kitab Wahyu
dan ilustrasi komentar oleh Beatus dari Liebana4: sehingga Abad Pertengahan
tetap ada dalam benak saya). Saya membongkar banyak sekali bahan (kartu arsip,
fotokopi, catatan), yang saya kumpulkan sejak 1952 dan aslinya dimaksudkan untuk
tujuan lain yang masih samarsamar: suatu sejarah tentang monster, atau suatu
analisis tentang ensiklopedi zaman pertengahan, atau suatu teori tentang daftar
.... s Pada suatu saat tertentu
4 Sebagian dari naskah ini telah diterbitkan dalam terbitan kedua majalah FMR
edisi Amerika. 5 Alamat dari Fakultas Seni pada zaman pertengahan Paris, Rue du Fouarre,
seperti disebutkan oleh Dante, Paradiso, X, 137 ("Straw Street" dalam terjemahan
Sayers-Reynolds). saya berkata dalam hati bahwa, karena Abad Pertengahan adalah angan-angan saya
dari hari-kehari, saya juga bisa menulis sebuah novel yang benarbenar disusun
dalam periode tersebut. Seperti sudah saya katakan dalam wawancara, saya hanya
mengenal masa kini lewat layar televisi, sementara saya punya pengetahuan
langsung tentang Abad Pertengahan. Waktu kami biasa membuat api unggun di atas
rumput di desa, istri saya menuduh bahwa saya tidak pernah mau memerhatikan
percikan api yang beterbangan di antara pepohonan dan meluncur sepanjang kawat
listrik. Lalu ketika membaca bab tentang kebakaran, ia berkata, "Jadi, kau
memang memerhatikan percikan api itu!" Dan saya menjawab, "Tidak, tetapi aku
tahu bagaimana cara seorang rahib Abad Pertengahan menyaksikan."
Sepuluh tahun lalu, dalam sepucuk surat dari pengarang kepada penerbit yang
mengiringi komentar saya tentang komentar terhadap Apocalypse oleh Beatus dari
Liebana, saya mengaku (kepada Franco Maria Ricci): Apa pun cara yang kauambil
untuk memerhatikannya, aku sampai pada ilmu pengetahuan dengan menyeberangi
hutanhutan simbolis yang didiami unicorn dan grifon, dan dengan membandingkan
konstruksi katedral yang segiempat dan berpuncak-puncak sementara dengan tajam
mengejek kejahatan tafsir yang tersembunyi dalam formula tetragonal dari
Summulae, sambil berjalanjalan di antara "Vico de le Strami" dan jalan-tengah
gereja Cisterian, melakukan perdebatan dengan
rahibrahib Cluny yang pandai dan cerdas, di bawah pengawasan seorang Aquinas
yang rasionalistik dan gemuk, tergoda oleh Honorius Augustoduniensis, oleh
geografinya yang fantastis, yang secara bersamaan menjelaskan quare in pueritia
coitus non contingat dan caranya mencapai Lost Island (Pulau yang Hilang) atau
bagaimana menangkap seekor kadal kalau kau hanya punya senjata cermin kecil
dalam iman yang tak tergoyahkan oleh Iblis.
Selera ini dan hasrat ini tetap saja ada padaku, bahkan jika kelak, karena
alasan moral dan juga alasan material (menjadi seorang pakar zaman pertengahan
biasanya secara tidak langsung kaya raya dan punya peluang untuk berkelana di
antara perpustakaan-perpustakaan yang jauh, membuat mikrofilm naskahlangka), aku
mengejar hal-hal lain. Dan dengan begitu Abad Pertengahan tetaplah, jika bukan
pekerjaanku, hobiku dan suatu godaan yang terus menerus: aku menyaksikan periode
itu di manamana, secara transparan membayangi urusanku sehari-hari, yang tidak
terlihat seperti zaman pertengahan, meskipun memang begitu.
Saat mencuricuri berlibur di bawah kubah Au-tun, di mana Abbe Grivot sekarang
menulis manual tentang iblis, kehadiran mereka disertai bau belerang; ekstase
gopoh di Moissac dan Conques, dibuat silau oleh Para Penatua dari Apocalypse
atau oleh iblis-iblis yang melemparkan jiwa-jiwa terkutuk ke dalam panci
mendidih; dan, bersamaan dengan itu, studi menyegarkan dari rahib Bede yang
mendapat pencerahan, hiburan rasional yang
diperoleh di Ockham, untuk memahami misteri Salib di mana Saussure masih
samarsamar. Dan seterusnya dan seterusnya, dengan rindu pulang tak ada habisnya
untuk Peregrinatio Sancti Brandani, verifikasi pikiran kita yang dilakukan
melalui Buku Kells, munculnya kembali Borges dalam kenningars (metafora) orang
Keltik, hubungan antara kekuasaan dan massa yang selama ini dibujuk untuk
dihentikan terhadap buku harian Uskup Suger ....
Topeng Terus terang, waktu itu saya memutuskan untuk tidak hanya bercerita tentang Abad
Pertengahan. Saya memutuskan untuk bercerita dalam Abad Pertengahan, dan melalui
mulut seorang penulis kronik zaman itu. Saya bertindak sebagai seorang narator
novis, dan di masa lalu saya sudah memandang para narator dari sisi sebaliknya
barikade itu. Saya malu bercerita. Saya merasa seperti seorang kritisi drama
yang tibatiba menunjukkan diri di balik lampu-lampu bawah dan ternyata dirinya
diamati oleh mereka yang, sampai saat itu, menjadi anteknya di kursi paling
depan. Mungkinkah untuk mengatakan, "Waktu itu pagi yang indah di akhir November" tanpa
merasa seperti Snoopy" Tetapi bagaimana kalau saya menyuruh Snoopy
mengatakannya" Jika, yaitu, "Waktu itu pagi yang indah ..." diucapkan oleh
seseorang yang mampu mengatakannya, karena pada zamannya masih mungkin, masih
bukan barang simpanan lama" Sebuah topeng: itu yang saya
butuhkan. Saya mulai membaca dan membaca lagi kronik-kronik zaman pertengahan, untuk
memahami ritme mereka dan kemurnian mereka. Mereka akan bicara atas nama saya,
saya akan bebas dari kecurigaan. Bebas dari kecurigaan, tetapi tidak bebas dari
gema-gema intertekstualitas.
Jadi, saya menemukan kembali apa yang selalu diketahui oleh penulis (dan sudah
berulang kali mengatakan kepada kita): buku selalu bicara tentang buku lainnya,
dan setiap kisah menceritakan suatu kisah yang sudah diceritakan. Homer tahu
ini, dan Ariosto tahu ini, apalagi Rabelais dan Cervantes. Kisah saya,
karenanya, hanya bisa dimulai dengan naskah yang ditemukan itu, dan bahkan ini
akan berupa (tentu saja) suatu kutipan. Maka saya langsung menulis pengantar
itu, sambil menempatkan narasi saya pada rak keempat suatu almari, di dalam tiga
narasi lainnya: Saya akan mengatakan apa yang dikatakan oleh Valet bahwa
Mabillon bilang bahwa Adso mengatakan ....
Sekarang saya bebas dari ketakutan apa saja. Dan pada titik ini saya berhenti
menulis selama dua belas bulan. Saya berhenti karena menemukan sesuatu yang lain
yang sudah saya ketahui (dan setiap orang tahu), tetapi bahwa jadi saya pahami
secara lebih jelas sementara bekerja.
Saya menemukan, misalnya, bahwa yang pertama-tama, sebuah novel tidak ada
hubungannya dengan katakata. Menulis sebuah novel adalah suatu masalah
kosmologis, seperti kisah yang diceritakan oleh Kitab Kejadian (kita semua harus memilih model-model
peran kita, begitu kata Woody Allen).
Novel sebagai Peristiwa Kosmologis
Yang saya maksudkan adalah: untuk menceritakan sebuah kisah pertama-tama kau
harus membangun sebuah dunia, melengkapinya sebanyak mungkin, sampai ke
bendabenda paling kecil. Andai saya harus membangun sebuah sungai, saya akan
memerlukan dua tepi sungai; dan andaikan di tepi kiri saya menaruh seorang
pemancing ikan, dan andaikan saya harus memberi pemancing itu suatu sifat
pemarah dan pernah berurusan dengan polisi, maka saya bisa mulai menulis, sambil
menerjemahkan ke dalam katakata segala sesuatu yang tak pelak lagi bisa terjadi.
Apa yang dilakukan orang itu"
Ia memancing ikan (dan mulai dari situ seluruh urutan aksi, sedikit banyak yang
merupakan keharusan). Dan kemudian apa yang terjadi" Baik ikan itu tertangkap
atau tidak. Jika tertangkap, orang itu menangkapnya dan kemudian pulang ke rumah
dengan gembira. Ceritanya selesai. Jika tidak ada ikan, karena pemarah maka mungkin ia jadi
marah. Mungkin ia akan mematahkan pancingnya. Ini tidak banyak; toh ini sudah
berupa suatu sketsa. Tetapi ada pepatah Indian yang mengatakan, "Duduklah di
tepi sungai dan tunggulah: mayat musuhmu sebentar lagi akan mengapung lewat."
Dan bagaimana seandainya ada mayat terbawa arus karena kemungkinan ini sudah tercakup dalam
suatu kawasan intertekstual seperti sebuah sungai" Kita juga harus ingat bahwa
orang tadi pernah berurusan dengan polisi. Apa ia mau menanggung risiko mendapat
kesulitan" Apa yang akan ia lakukan" Apa ia akan lari dan pura-pura tidak melihat mayat
itu" Apa ia akan merasa rentan, karena ini, bagaimanapun juga, mayat orang yang
ia benci" Karena ia pemarah, apa ia akan marah besar karena tidak mampu
melampiaskan keinginan besarnya sendiri untuk membalas dendam" Seperti Anda
lihat, begitu dunia bentukan seseorang itu dilengkapi sedikit saja, sudah ada
awal sebuah cerita. Juga sudah ada awal suatu gaya, karena penantian seseorang
yang sedang memancing ikan harus membuatnya mengambil langkah yang berirama,
lembut dan pelan, yang seharusnya sabar tetapi juga ditandai oleh kemarahan
tidak sabar yang tibatiba muncul. Masalahnya adalah membangun dunia itu:
katakata praktis akan keluar sendiri. Rem tene, verba sequentur: pahami
katakatanya, dan subjeknya akan mengikuti.
Tahun pertama dalam menggarap novel itu sepenuhnya saya kerahkan untuk membangun
dunia tersebut. Daftar panjang semua buku yang bisa diperoleh dalam kepustakaan
zaman pertengahan. Daftar nama dan data pribadi untuk banyak tokoh, sejumlah
dari mereka kelak tidak akan dipakai dalam cerita itu. Dengan kata lain, saya
harus tahu siapa saja rahib yang masih ada, yang tidak muncul dalam buku itu. Pembaca tidak perlu
mengenal mereka, tetapi saya harus kenal mereka. Siapa yang pernah bilang bahwa
fiksi harus bersaing dengan buku pedoman kota" Mungkin harus bersaing dengan
dewan perencana. Oleh karena itu, saya mengadakan penelitian arsitektural yang
lama, dengan mempelajari foto-foto dan rancangbangun dalam ensiklopedi
arsitektur, untuk menetapkan tata bangunan biara itu, jarak-jaraknya, bahkan
jumlah anak tangga dalam suatu tangga melingkar. Sutradara film Marco Ferreri
pernah mengatakan kepada saya bahwa dialog saya seperti sebuah film karena
panjangnya pas dengan waktu yang dibutuhkan. Ini harus.
Ketika dua tokoh saya berbicara sambil berjalan dari ruang makan ke kloster,
saya menulis sambil memandangi rancangbangun itu hingga saat mereka sampai ke
tempat mereka berhenti bicara.
Pengendalian diri perlu diciptakan, dengan tujuan mencipta secara bebas. Dalam
puisi, pengendalian diri itu bisa ditetapkan oleh sanjak, suku kata, rima, oleh
apa yang selama ini disebut "sanjak yang enak didengar" itu (lihat Charles
Olson, "Projective Verse", Poetry New York 3 [1950]). Dalam fiksi, dunia sekitar
telah menyediakan kendali itu. Ini tidak ada hubungannya dengan realisme
(meskipun menjelaskan realisme juga). Suatu dunia yang sepenuhnya tidak nyata
bisa dibangun, yang di dalamnya debu beterbangan dan putri-putri raja dihidupkan
kembali oleh suatu ciuman; tetapi dunia
itu, benarbenar dimungkinkan dan tidak realistis, harus ada menurut struktur
yang ditetapkan sejak awal (kita harus tahu apakah itu suatu dunia di mana
seorang putri raja bisa dihidupkan kembali hanya oleh ciuman seorang pangeran,
atau juga oleh ciuman seorang tukang sihir, dan apakah ciuman putri raja hanya
mengubah katak menjadi pangeran atau juga, misalnya saja armadilo).
Satu unsur dari dunia saya adalah sejarah, dan itulah sebabnya saya membaca dan
membaca lagi begitu banyak kronik Abad Pertengahan; dan ketika membacanya, saya
menyadari bahwa novel itu harus meliputi hal-hal yang, pada mulanya, belum
pernah terlintas dalam benak saya, misalnya saja perdebatan tentang kemiskinan
dan kekejaman Inkuisitor terhadap Fraticelli itu.
Sebagai contoh: mengapa ada Fraticelli pada abad keempat belas dalam buku saya"
Jika saya harus menulis cerita zaman pertengahan, seharusnya saya menempatkan
cerita itu dalam abad kedua belas atau tiga belas, karena kedua abad itu saya
kenal lebih baik daripada abad keempat belas. Tetapi saya memerlukan seorang
penyelidik, jika mungkin orang Inggris (kutipan intertekstual), yang amat
berbakat mengadakan observasi dan punya kepekaan luar biasa dalam menafsirkan
bukti. Kualitas ini hanya dapat ditemukan di kalangan imam Fransiskan, dan hanya
setelah Roger Bacon; lebih jauh lagi, suatu teori yang sudah maju tentang tanda
yang hanya ditemukan di kalangan pengikut aliran Ockham.
Atau, dapat dikatakan, juga ada sebelumnya, tetapi interpretasi tanda waktu itu
hanya bersifat simbolis, dan juga cenderung untuk membaca ide dan pandangan
dalam tanda. Hanya di antara Bacon dan Ockham maka tanda itu dipakai untuk
mendapatkan pengetahuan dari individu-individu. Jadi, saya harus menempatkan
cerita itu dalam abad keempat belas ini amat menjengkelkan karena saya tidak
bisa bergerak dengan leluasa dalam masa itu. Saya membaca lebih banyak, dan
menemukan bahwa seorang Fransiskan abad keempat belas, bahkan seorang Inggris,
tidak bisa mengabaikan perdebatan tentang kemiskinan, terutama jika seorang
teman, pengikut, atau kenalan Ockham. (Saya bisa menambah bahwa mulamula
penyelidik itu adalah Ockham sendiri, tetapi gagasan itu saya singkirkan, karena
sebagai seorang manusia, Pemula Suci itu tidak terlalu menarik.)
Tetapi mengapa segala sesuatunya terjadi pada akhir November 1327" Karena pada
bulan Desember, Michael dari Cesena sudah berada di Avignon. (Ini yang saya
maksud memperlengkapi suatu dunia dalam suatu novel historis: beberapa unsur,
misalnya saja jumlah anak tangga, bisa ditentukan oleh pengarang, tetapi yang
lainnya, misalnya saja gerakan Michael, tergantung pada dunia nyata, yang, dalam
macam novel ini, kebetulan cocok dengan dunia yang mungkin dari cerita itu.)
Namun, November terlalu awal. Saya juga butuh babi-babi disembelih. Mengapa"
Jawabannya sederhana: untuk memberikan alasan agar mayat itu bisa dibenamkan,
dengan kepala di bawah, ke dalam belanga besar berisi darah babi itu. Dan
mengapa saya memerlukannya"
Karena sangkakala kedua dari Kitab Wahyu mengatakan .... Bagaimanapun juga, saya
tidak bisa mengubah Kitab Wahyu; itu bagian dari dunia ini. Sekarang, ternyata
(saya menanyai orangorang) babi baru disembelih setelah musim dingin tiba, dan
November mungkin terlalu awal kecuali saya meletakkan biara itu di pegunungan,
sehingga di sana sudah mulai ada salju. Kalau tidak, ceritaku mungkin harus
terjadi di dataran rendah, di Pomposa, atau di Conques.
Dunia yang sudah dibangun itu kemudian akan memberi petunjuk kepada kita
bagaimana cerita itu harus berlangsung. Setiap orang menanyakan mengapa tokoh
saya yang bernama Jorge, namanya memberi kesan Borges, dan mengapa Borges begitu
mengerikan. Tetapi saya tidak bisa menjawab. Saya menginginkan seorang lelaki
buta yang menjaga sebuah perpustakaan (kelihatannya suatu ide naratif yang bagus
buat saya), dan perpustakaan plus orang buta hanya bisa setara dengan Borges,
juga karena utang harus dibayar. Dan, lebih jauh lagi, lewat komentar dan gambar
yang menerangkan itulah maka Kitab Wahyu memengaruhi seluruh Abad Pertengahan.
Namun, ketika saya menaruh Jorge dalam perpustakaan itu, saya belum lagi tahu
bahwa dia pembunuhnya. Boleh dikata, dia
bertindak sendiri. Dan tidak boleh dibayangkan bahwa ini suatu posisi yang
"idealistik", seakan saya mau mengatakan bahwa tokoh-tokoh itu punya kehidupan
swatantra dan pengarang, dalam semacam keadaan kesurupan, menyuruh mereka
bertindak seakan mereka sendiri yang mengarahkannya.
Omong kosong semacam itu hanya ada dalam paper semesteran.
Nyatanya, tokoh-tokoh tersebut harus bertindak menurut hukum-hukum dunia di mana
mereka hidup. Dengan kata lain, narator adalah tawanan dari pikiran dasarnya
sendiri. Yang juga bagus adalah cerita tentang labirin itu. Semua labirin yang pernah
saya dengar dan saya sudah punya hasil studi bagus sekali tentang labirin oleh
Santarcangeli biasanya di tempat terbuka. Labirin itu bisa teramat rumit dan
penuh lorong menyesatkan. Tetapi saya membutuhkan suatu labirin di dalam gedung
(apa ada perpustakaan di udara terbuka"), dan jika akan terlalu rumit, dengan
terlalu banyak gang dan ruang bagian dalam, maka sirkulasi udaranya tidak akan
mencukupi, padahal sirkulasi udara perlu untuk menghidupkan api. (Ini, fakta
bahwa akhirnya Aedificium itu harus terbakar, amat jelas bagi saya, tetapi juga
untuk alasanalasan historis-kosmologis: dalam Abad Pertengahan, katedral dan
biara terbakar seperti kawul: membayangkan suatu kisah zaman pertengahan tanpa
api sama seperti membayangkan suatu film Perang Dunia II di Pasifik tanpa sebuah
pesawat tempur menukik dalam
kondisi terbakar.) Jadi, setelah bekerja selama dua atau tiga bulan untuk
membangun suatu labirin yang cocok, saya memutuskan untuk menambah beberapa
celah untuk benarbenar memastikan tempat itu mendapat cukup udara.
Siapa Bicara" Saya mendapat banyak kesulitan. Saya menginginkan suatu tempat tertutup, suatu
jagat utuh yang terkonsentrasi. Dan agar lebih tertutup, saya memperkenalkan, di
samping suatu kesatuan tempat, juga kesatuan waktu (karena kesatuan tindakan
meragukan) agaknya suatu ide yang bagus. Oleh karena itu, suatu biara
Benediktin, yang kehidupannya ditandai oleh jam-jam kanonik (mungkin Ulysses
secara tidak sengaja bisa dijadikan contoh, karena strukturnya dengan ketat
diikat oleh jam-jam hari itu; tetapi yang lain adalah The Magic Mountain, dengan
situasinya yang bergununggunung dan tenang, di tempat bisa diadakan begitu
banyak percakapan. Percakapan itu menimbulkan banyak masalah bagi saya, tetapi saya menyelesaikan
ini semua sementara menulis. Ada suatu tema yang selama ini jarang didiskusikan
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam teori-teori naratif: teori tentang turn ancillaries sarana, yakni, melalui
itu narator memberikan kesempatan bicara kepada berbagai tokoh. Perhatikan
perbedaan di antara lima percakapan di bawah ini:
1. "Apa kabar?"
"Tidak buruk. Dan kau?"
2. "Apa kabar?" kata John.
"Tidak buruk. Dan kau?" kata Peter.
3. "Bagaimana," kata John, "kabarmu?" Dan Peter langsung menjawab: "Tidak buruk.
Dan kau?" 4. "Apa kabar?" tanya John ingin tahu. "Tidak buruk. Dan kau?" Peter langsung
mencerocos. 5. John berkata: "Apa kabar?"
"Tidak buruk," jawab Peter dengan suara enggan.
Lalu, dengan senyum penuh tekateki, ia menambahkan, "Dan kau?"
Dalam semua kasus kecuali dua yang pertama, kita melihat bahwa penulis menyela
cerita itu, dengan memasukkan sudut pandangannya sendiri. Ia menyela dengan
komentar pribadi, untuk memberi kesan bagaimana katakata kedua pembicara itu
harus diinterpretasi dengan perasaan. Tetapi apakah keinginan pengarang ini
memang tidak ada pada kedua kalimat pertama, yang jelas merupakan contoh yang
"steril?" Dan apakah pembaca lebih "bebas" dalam kedua kasus yang "steril" ini,
di mana ia bisa melakukan suatu pemaksaan emosional tanpa menyadarinya (ingat
netralitas yang tampak dalam dialog Hemingway), atau apa ia lebih bebas dalam
kasus lainnya, yang paling sedikit ia tahu permainan yang sedang dilakukan oleh
pengarang" Ini adalah masalah gaya, suatu masalah ideologis, suatu masalah "puisi", seperti
pilihan suatu rima bagian dalam atau suatu asonansi, atau pembukaan satu
paragram. Suatu hubungan tertentu harus ditemukan. Dalam kasus saya, hubungan
itu mungkin jadi lebih mudah karena semua dialog dilaporkan oleh Adso, dan jelas
sekali bahwa Adso memaksakan pandangan matanya sendiri atas seluruh narasi itu.
Namun dialog itu menciptakan masalah lain bagi saya: seberapa mungkin itu bisa
menjadi gaya zaman pertengahan" Dengan kata lain, sementara menulis buku itu,
saya menyadari bahwa buku itu mulai mengambil struktur satu opera-buffa, dengan
resitasi panjang dan aria yang berlebihan. Aria itu (penjelasan tentang pintu
yang besar tersebut, misalnya) meniru retorika khidmat dari Abad Pertengahan,
dan model untuk ini tidak sedikit. Tetapi dialognya" Pada titik tertentu saya
khawatir itu akan terdengar seperti Agatha Christie, sementara aria-aria itu
seperti Suger atau Santo Bernard. Saya membaca lagi romansa zaman pertengahan,
karya-karya dan abad kesatria, dan saya menyadari bahwa, meskipun baru punya
sedikit lisensi, saya masih menghargai suatu narasi dan pemakaian puitika yang
bukannya tidak dikenal oleh zaman pertengahan.
Tetapi masalah itu lama sekali mendera batin saya dan saya tidak yakin apa saya
bakal pernah mengatasi perubahanperubahan register di antara aria dan resitasi
ini. Masalah lain: ekasemen suarasuara itu, atau, tepatnya, dari sudut pandangan
naratif itu. Saya tahu bahwa saya tengah menceritakan sebuah kisah dengan
katakata orang lain, karena dalam pendahuluan saya sudah menyatakan bahwa
katakata orang ini sudah diserang melalui paling sedikit dua sudut pandangan
naratif lainnya, yaitu dari Mabillon dan dari Abbe Vallet, bahkan jika mereka
dianggap hanya bekerja sebagai filolog (tetapi siapa yang percaya"). Toh timbul
masalah lagi di dalam narasi orang-pertama Adso. Adso, pada usia delapan puluh
tahun, akan menceritakan tentang apa yang ia lihat pada usia delapan belas.
Siapa yang bicara, Adso yang umur delapan belas atau yang delapan puluh"
Keduanya, itu jelas; dan ini disengaja. Muslihatnya adalah membuat Adso tua itu
terus hadir sementara merenungkan apa yang ia ingat telah ia saksikan dan
rasakan sebagai Adso muda. Model semacam itu (saya tidak membaca kembali buku
tersebut: memori jauh yang mencukupi) adalah Serenus Zeitblom dalam Doctor
Faustus. Ucapan mendua ini amat memesona dan menyenangkan saya.
Juga karena kembali kepada apa yang saya katakan tentang topeng itu dalam
mendobel Adso, sekali lagi saya mendobel rangkaian celah, rangkaian tabir, yang
dipasang di antara saya sebagai seorang pribadi yang biografis, saya sebagai
pengarang yang bercerita, narator orang pertama, dan tokoh-tokoh yang
diceritakan, termasuk suara naratif. Saya merasa makin lama makin terselubung, dan seluruh
pengalaman itu mengingatkan saya (maksud saya secara fisik, akan jernihnya
madeleine yang dicelupkan ke dalam teh lemon-bunga) akan permainan masa kecil
yang di dalamnya saya pura-pura berada dalam sebuah kapal selam di bawah selimut
dan dari situ mengirim pesan kepada saudara perempuan saya, di bawah selimut di
ranjang sebelah, kami berdua terputus dari dunia luar dan sepenuhnya bebas
melakukan perjalanan bagaikan sepasang kuku gerigis tersaruk-saruk melintasi
lantai-lantai dari laut-laut yang diam.
Adso amat penting bagi saya. Dari awal saya ingin menceritakan seluruh cerita
itu (dengan misteri-misterinya, kejadiankejadian teologis dan politisnya,
ambiguitasnya) melalui suara seseorang yang mengalami peristiwa-peristiwa itu,
mencatat semuanya dengan ketelitian dan kemurnian fotografik seorang remaja,
tetapi tidak memahami semua itu (dan tidak akan sepenuhnya memahami semua itu
bahkan setelah menjadi orang tua, karena kemudian ia memilih melarikan diri ke
dalam alam hampa suci, yang bukan seperti yang diajarkan gurunya) untuk membuat
segala sesuatunya dipahami melalui katakata seseorang yang tidak memahami apa-
apa. Waktu membaca ulasan-ulasan, saya menyadari bahwa inilah salah satu aspek novel
yang paling tidak mengesankan bagi pembaca yang tekun; atau, toh boleh saya
katakan bahwa hanya sedikit yang akan memperhatikan. Tetapi sekarang saya ingin tahu apakah ini
bukan salah satu segi yang membuat novel itu mudah dibaca bagi pembaca yang
tidak canggih. Perasaan tidak bersalah mereka sama dengan ketidaktahuan narator
itu, dan merasa tidak bersalah bahkan kalau tidak memahami segala sesuatunya.
Saya mengembalikan ketakutan dan kegemetaran mereka dalam bentuk seks, bahasa
tak dikenal, kesulitan pikiran, misteri kehidupan politik. Ini semua hal-hal
yang sekarang saya pahami, apres coup; tetapi mungkin waktu itu saya mau
memindahkan banyak ketakutan masa remaja saya kepada Adso, sudah tentu dalam
degup asmaranya (tetapi selalu dengan jaminan bahwa saya bisa bertindak melalui
orang lain; nyatanya, Adso mengalami penderitaan cintanya hanya melalui kata
kata yang dipakai para doktor Gereja untuk mendiskusikan cinta). Seni adalah
suatu khayalan dari emosi pribadi, seperti yang diajarkan Joyce sekaligus Eliot
kepada saya. Perjuangan melawan emosi itu berat. Saya menulis sebuah doa indah, mencontoh
Plaint of Nature dari Alanus de Insulis, yang akan diucapkan William dalam suatu
momen gawat. Lalu saya menyadari bahwa kami berdua bisa dikuasai oleh emosi.
Saya sebagai pengarang dan dia sebagai tokoh. Saya sebagai pengarang tidak boleh menyerah, untuk alasan puitika. Ia sebagai
tokoh tidak bisa, karena terbuat dari bahan yang berbeda, dan emosinya semua
mental, atau ditekan. Jadi, halaman itu saya gunting. Setelah seorang teman
saya membaca buku itu, ia berkata, "Satusatunya keberatanku adalah bahwa William
tidak pernah punya greget rasa kasihan." Saya mengutip ini kepada teman lain,
dan katanya, "Betul, itu gaya belas kasihannya." Mungkin begitu. Dan biarkan
saja. Pretention Adso juga amat berguna bagi saya dalam mengurus masalah lain. Seharusnya kisah
itu dapat saya ungkap dalam suatu Abad Pertengahan di mana setiap orang tahu apa
yang sedang dibicarakan, seperti dalam suatu kisah kontemporer, yang di
dalamnya, jika seorang tokoh mengatakan bahwa Gereja tidak akan menyetujui
perceraiannya, tidak perlu dijelaskan itu Gereja apa dan mengapa tidak
menyetujui perceraian tersebut. Tetapi dalam novel historis ini tidak bisa
dilakukan, karena tujuan narasi itu juga untuk lebih menjelaskan bagi kita,
orang kontemporer tentang apa yang terjadi waktu itu dan bagaimana yang terjadi
pada waktu itu juga menggelisahkan kita.
Yang dimaksud adalah risiko dari apa yang akan saya sebut Salgarisme6.
Ketika para tokoh dalam petualangan Emilio Salgari melarikan diri lewat hutan,
dikejar musuh, dan tersandung akar baobab, narator menunda aksi itu dengan
tujuan memberi kita suatu pelajaran botani tentang baobab. Sekarang ini sudah
menjadi 6 Emilio Salgari adalah seorang pengarang Italia populer yang terkenal dari
akhir abad kesembilan belas yang menulis banyak sekali buku tentang pengalaman
eksotis. topos, menarik, seperti cacat-cacat dari mereka yang sudah kita cintai; tetapi
seharusnya tidak boleh dilakukan.
Saya menulis kembali ratusan halaman untuk menghindari jarak waktu semacam itu,
tetapi saya tidak ingat apa saya pernah menyadari tentang cara saya mengatasi
masalah itu. Saya baru menyadari hal itu dua tahun kemudian, sewaktu saya sedang
berusaha membayangkan mengapa buku itu dibaca oleh orangorang yang jelas tidak
mungkin menyukai bukubuku "pedas" semacam ini.
Gaya narasi Adso berdasarkan pada apa yang oleh sarana retorika disebut
pretention atau paralepsis, atau "sudah lewat". Ada satu contoh dari zaman
Tudor: "I doe not say that thou receaved brybes of thy fellowes, I busie myself
not in this thing ("I do not say that you received bribes of your fellows, I
busy myself not in this thing ....").7 Pembicara itu, dengan kata lain, menyatakan
bahwa ia tidak akan bicara tentang sesuatu yang setiap orang sudah tahu betul,
dan sementara mengatakan ini, ia justru membicarakan hal tersebut. Ini sedikit
banyak cara Adso menyebut orang dan kejadian yang sudah diketahui umum tetapi
masih membicarakannya. Akan halnya orangorang atau kejadian yang tidak bisa
diketahui oleh pembaca Adso, seorang Jerman pada akhir abad itu, karena terjadi
di Italia pada awal abad itu, Adso mendiskusikan itu semua tanpa ragu, dan
7 "Aku tidak bilang bahwa kau menerima uang suap dari teman-temanmu, aku tidak
peduli akan hal itu ..." -penerj
dalam nada didaktik, karena inilah gaya penulis kronik zaman pertengahan, setiap
kali ada sesuatu disebutkan, ia ingin sekali memperkenalkan pandangan
ensiklopedik. Setelah seorang teman (bukan teman yang sama seperti sebelumnya)
membaca naskah itu, dia menceritakan bahwa ia tersentak oleh nada jurnalistik
cerita itu, yang bukan nada sebuah novel tetapi nada artikel surat kabar.
Mulamula saya tersinggung; lalu menyadari bahwa ia telah menerima secara tidak
sengaja. Beginilah caranya penulis kronik abadabad itu menceritakan apa saja.
Dan jika orang Italia masih mengunakan kata cronaca untuk menyebut halaman
berita-lokal di koran, ini karena para penulis kronik melanjutkan apa yang telah
tertulis selama berabadabad.
Kecepatan Langkah Namun, ada alasan lain untuk memasukkan tulisan-tulisan didaktik yang panjang
itu. Setelah membaca naskah itu, teman-teman dan editor menyarankan agar saya
meringkas seratus halaman pertama.
Tanpa berpikir dua kali, saya menolak, karena, seperti yang saya katakan dengan
tegas, jika seseorang ingin memasuki biara itu dan tinggal di sana selama tujuh
hari, ia harus menerima kecepatan langkah biara itu sendiri. Jika tidak bisa, ia
tidak akan pernah berhasil membaca seluruh buku itu. Oleh karena itu, seratus
halaman pertama tersebut seperti suatu masa tobat atau inisiasi, dan
jika seseorang tidak menyukai itu semua, keadaannya akan jauh lebih buruk lagi.
Lebih baik ia tinggal saja di kaki bukit itu.
Memasuki sebuah novel seperti melakukan pendakian di pegunungan : Anda harus
mempelajari ritme pernapasan, mempelajari kecepatan langkah; kalau tidak Anda
akan langsung berhenti. Ini juga terjadi dengan puisi. Coba ingat saja, betapa
puisi menjadi begitu membosankan kalau dideklamasikan oleh aktor, yang, karena
ingin "menginterpretasi", mengabaikan sanjak puisi itu, membuat enjambe-ment
(membaca dengan melanjutkan satu baris ke baris lainnya) seperti sedang
membacakan prosa, memusatkan pikiran pada isi dan bukan pada ritme. Untuk
membaca suatu puisi klasik yang punya rima, Anda harus menerima nyanyian ritme
itu seperti yang diinginkan penyairnya. Lebih baik mendeklamasikan Dante seakan
ia telah menulis lagu kanak-kanak daripada hanya mencari artinya sampai membuang
segala sesuatu yang lain.
Dalam narasi, tarikan napas tidak diambil dari kalimat kalimat itu tetapi dari
unit-unit yang lebih luas, dari scansion (analisis syair ke dalam pola sanjak)
kejadian kejadian. Beberapa novel bernapas seperti kijang, lainnya seperti ikan
paus atau gajah. Harmoni tidak terletak dalam panjangnya napas tetapi dalam
keteraturannya. Dan jika, pada suatu titik tertentu (namun ini tidak terlalu
sering terjadi), tarikan napas berhenti dan satu bab (atau satu urutan) berhenti
sebelum napas itu ditarik habis, ketidakteraturan ini bisa memainkan suatu peran
penting dalam ekonomi cerita itu; ini bisa menandai suatu titik balik, suatu
perkembangan mengejutkan. Paling sedikit inilah yang kita temukan dalam karya-
karya penulis hebat. Sebuah novel yang hebat adalah novel yang di dalamnya
pengarang selalu tahu persis kapan mau ngebut, kapan menginjak rem, dan caranya
menangani kopling, dalam lingkup satu ritme dasar yang tetap ajek. Dalam musik
ada rubato, tetapi jika dipakai terlalu banyak, Anda berakhir seperti para
pemain jelek yang percaya bahwa yang dibutuhkan untuk memainkan Chopin hanyalah
rubato yang berlebihan. Saya tidak akan membicarakan bagaimana saya mengatasi
masalah saya, tetapi tentang bagaimana saya menghadapinya. Dan jika mau
mengatakan bahwa saya menghadapinya dengan sadar, mungkin saya bohong. Ada satu
pendapat kompositif agar justru berpikir dalam ritme jarijari yang mengetuk
kunci mesin tulis. Saya ingin memberi satu contoh tentang betapa bercerita berarti berpikir dengan
jarijari Anda. Jelaslah, adegan bercinta dalam dapur itu sepenuhnya disusun atas
dasar kutipan dari teks religius, dari Kidung Salomon sampai Saint Bernard dan
Jean de Fecamp, atau Saint Hildegard of Bingen. Bahkan pembaca yang tidak kenal
baik dengan mistik zaman pertengahan menyadari ini, jika mereka mau mendengar.
Tetapi sekarang, jika seseorang menanyakan kepada saya sumber dari kutipan atau
di mana satu berakhir dan lainnya mulai, saya tidak bisa menjawab.
Terus terang saya punya berlusinlusin kartu arsip yang mencatat segala macam
naskah, dan terkadang halaman bukubuku, fotokopi tak terhitung banyaknya, jauh
lebih banyak daripada yang saya gunakan. Tetapi waktu menulis adegan itu, saya
menulisnya semua dalam sekali duduk (kelak saya besut, seakan untuk menutupinya
dengan suatu penyelesaian yang seragam, sehingga tambalannya akan tidak terlalu
tampak). Jadi, sementara menulis, semua naskah itu morat-marit, dilempar
seenaknya; dan mata saya mulamula akan menangkap yang ini dan kemudian yang itu,
waktu menyalin satu bagian, langsung menghubungkannya dengan bagian lain. Dalam
draf pertama, saya menulis bab ini lebih cepat daripada bab lainnya mana saja.
Kelak saya menyadari bahwa saya sedang berusaha mengikuti ritme permainan cinta
Adso dengan jarijemari saya, dan karenanya saya tidak bisa berhenti sebentar
untuk menyeleksi kutipan yang paling kuat. Pada titik ini, apa yang membuat
kutipan itu paling kuat adalah kecepatan langkah saat saya menyelipkannya.
Dengan mata saya, saya menolak kutipankutipan yang bakal menahan ritme
jarijemari saya. Saya tidak bisa mengatakan bahwa penulisan aksi itu berlangsung
selama aksi itu terjadi (karena permainan cinta kadang berlangsung cukup lama),
tetapi saya berusaha sebisa mungkin memperpendek perbedaan antara durasi adegan
itu dan durasi penulisannya. Dan saya tidak mengatakan "penulisan" dalam artian
gaya Barth, tetapi dalam artian mesin ketik: maksud saya menulis sebagai tindakan jasmaniah, material,
dan saya mau membicarakan tentang ritme tubuh, bukan ritme emosi. Emosi, pada
titik ini tersaring, semua sudah muncul sebelumnya, dengan keputusan untuk
menyamakan ekstase mistik dengan ekstase erotis; emosi itu sudah muncul waktu
saya membaca untuk pertama kalinya dan memilih teks yang akan dipakai. Sesudah
itu, tidak ada emosi lagi: Adso yang bermain cinta, bukan saya. Saya hanya
menerjemahkan emosinya ke dalam gerakan mata dan jari, seakan saya sudah
memutuskan untuk menceritakan suatu kisah cinta dengan memainkan drum.
Mengonstruksi Pembaca Ritme, kecepatan langkah, masa tobat .... Buat siapa" Buat saya sendiri" Tidak,
jelas tidak. Buat pembaca. Sementara menulis, kita mulai memikirkan tentang
seorang pembaca, seperti pelukis, sementara melukis, mulai memikirkan seorang
pengamat yang akan memandang lukisan itu. Setelah membuat satu coretan kuas, ia
mundur dua atau tiga langkah dan mempelajari efeknya: ia memandangi gambar itu,
maksudnya, dengan cara pengamat akan mengagumi gambar itu, dalam cahaya yang
pas, ketika digantung pada dinding. Kalau satu karya selesai, terjadi dialog
antara naskah itu dan pembacanya (pengarang tidak ikut). Sementara suatu karya
dalam progres, dialognya dobel: ada dialog antara naskah dan semua naskah
lain yang sudah ditulis sebelumnya (bukubuku ditulis hanya dari buku lainnya dan
di seputar buku lainnya).
Saya sudah membuat teori tentang ini dalam buku lain, misalnya The Role of the
Reader dan, sebelum itu, dalam Opera aperta: namun saya bukan penemu ide itu.
Mungkin saja terjadi bahwa ketika menulis, pengarang punya semacam hadirin
empirik dalam benaknya; beginilah cara perintis novel modern menulis Richardson,
Fielding, Defoe yang waktu itu menulis untuk para saudagar dan istri mereka.
Namun Joyce, pula, waktu itu menulis bagi seorang hadirin, membayangkan seorang
pembaca ideal yang terkena suatu insomnia ideal. Dalam kedua kasus itu, entah
penulis percaya bahwa ia sedang menulis untuk suatu publik yang sedang berdiri
di sana, sambil membawa uang, persis di luar pintu, atau entah ia bermaksud
menulis bagi seorang pembaca yang bakal datang, menulis berarti mengonstruksi,
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melalui naskah itu, model pembacanya sendiri.
Apa maksudnya, membayangkan seorang pembaca yang mampu mengatasi rintangan
potensial dari seratus halaman pertama" Maksudnya, persisnya, menulis seratus
halaman dengan tujuan membangun seorang pembaca yang cocok untuk apa yang kelak
diceritakan. Apa ada seorang pengarang yang menulis hanya untuk anak-cucu"
Tidak, bahkan jika pengarang itu bilang sendiri
begitu, sebab, karena bukan Nostradamus, ia bisa menerima anak-cucu hanya
menurut model apa yang ia ketahui dari teman sezamannya. Apa ada seorang
pengarang yang menulis hanya untuk segelintir pembaca"
Ya, jika ini yang dimaksud adalah membayangkan model pembaca yang kemungkinan
kecil hanya terdiri atas manusia yang jumlahnya berapa saja. Namun, pengarang
ini menulis bahkan dengan harapan, sama sekali bukan rahasia, bahwa bukunya itu
sendiri akan menciptakan, dan dalam jumlah besar sekali, banyak contoh baru dari
pembaca ini, yang diinginkan dan diupayakan dengan semacam ketepatan seperti
perajin, yang mau menerimanya sebagai dalil, terhibur, oleh naskahnya.
Jika ada suatu perbedaan, perbedaan itu terletak di antara naskah yang berusaha
menghasilkan seorang pembaca buku dan teks yang berusaha memenuhi keinginan
pembaca yang sudah siap membeli.
Dalam kasus kedua, buku itu sudah ditulis, dikonstruksi, menurut suatu formula
produksi-massa yang efektif; pengarang mengerjakan semacam analisis pasar dan
menyesuaikan karyanya dengan hasil analisis itu. Bahkan dari kejauhan, jelaslah
bahwa ia sedang bekerja dengan suatu formula: kita tinggal menganalisis berbagai
novel yang sudah ditulisnya dan akan melihat bahwa dalam semua novel itu,
setelah mengganti nama, tempat, segi-segi mencolok, ia telah menceritakan kisah
yang sama kisah yang sudah diharapkan publik dari dia.
Tetapi kalau seorang pengarang merencanakan sesuatu yang baru, dan menerima
jenis pembaca yang berbeda, ia ingin menjadi, bukan seorang analis pasar, yang
mengatalog tuntutan yang dinyatakan, namun, justru, seorang filsuf, yang
merasakan pola-pola Zeitgeist (jiwa zaman) itu. Ia ingin mengungkapkan kepada
publiknya apa yang seharusnya diinginkan publik, bahkan jika publik tidak
mengetahuinya. Ia ingin mengungkap pembaca kepada dirinya sendiri.
Andaikan Manzoni selama itu memikirkan keinginan publik, tentu ia sudah punya
formula yang siap-pakai: novel historis dengan suatu latar zaman pertengahan,
dengan tokoh-tokoh terkenal seperti dalam tragedi Yunani, raja dan putri raja
(dan bukankah ini yang ia kerjakan dalam Adelchi"), gairah yang agung dan hebat,
peperangan heroik, dan suatu perayaan kejayaan Italia dari suatu periode ketika
Italia adalah suatu negeri orang kuat.
Bukankah ini yang dilakukan oleh begitu banyak novelis historis, sekarang paling
sedikit sudah dilupakan, pada zamannya atau sebelum dia: pengarang seperti
d'Azeglio si pengrajin itu, Guerrazzi yang bergairah dan pedas itu, Cantu yang
tidak bisa dibaca itu"
Tetapi apa yang justru dikerjakan oleh Manzoni" Ia memilih abad ketujuh belas,
suatu periode perbudakan, dan tokoh-tokoh golongan rendah, dan satusatunya
kesatria adalah seorang bajingan.
Manzoni tidak bercerita tentang peperangan, dan berani menurunkan bobot
ceritanya dengan dokumen dan proklamasi .... Dan orang menyukainya, setiap orang
menyukainya, orang pandai dan orang bodoh, tua dan muda, saleh dan antigereja,
karena ia merasakan bahwa pembaca dari zamannya tentu punya itu, bahkan jika
tidak mengetahuinya, bahkan jika mereka tidak menuntut itu, bahkan jika mereka
tidak percaya itu cocok untuk dikonsumsi. Dan ia harus bekerja amat keras,
dengan godam dan gergaji dan pesawat, dan kamus, agar produknya bisa dibaca.
Untuk memaksa pembaca sungguhan menjadi model pembaca yang ia dambakan.
Mazoni tidak menulis untuk menyenangkan publik seperti kenyataannya, tetapi
menciptakan suatu publik yang tidak mungkin tidak akan menyukai novelnya. Dan
malanglah mereka jika belum menyukainya.
Dengan amat hipokrit dan saleh ia mengacu kepada "dua puluh lima pembaca"-nya;
padahal yang ia inginkan adalah dua puluh lima juta.
Model pembaca apa yang saya inginkan waktu menulis" Seorang antek, tentu saja,
seseorang adil dan jujur. Saya ingin benarbenar menjadi orang zaman pertengahan
dan hidup di Abad Pertengahan seakan itu zaman saya sendiri (dan vice versa).
Tetapi pada saat yang sama, dengan segala kemampuan, saya ingin menciptakan
seorang tipe pembaca yang, setelah melewati inisiasi itu, bersedia menjadi
korban saya atau tepatnya, korban naskah itu dan akan berpikir bahwa ia tidak
menginginkan apa saja kecuali yang ditawarkan naskah itu kepadanya. Suatu naskah
yang bertujuan menjadi suatu pengalaman transformasi bagi pembacanya.
Anda yakin bahwa Anda menginginkan seks dan suatu persekongkolan kriminal di
mana pihak yang bersalah akhirnya ditemukan, dan semua dengan banyak aksi,
tetapi pada saat yang sama Anda akan merasa malu menerima rongsokan gaya-kuno
yang terdiri atas orang mati yang gentayangan, biara-biara penuh mimpi-buruk,
dan penitensi kotor. Baiklah kalau begitu, saya akan memberi Anda bahasa Latin,
praktis tidak ada tokoh perempuan, banyak teologi, bergalon-galon darah dalam
gaya Grand Guignol, sampai Anda harus mengatakan, "Tetapi semua ini bohong; aku
tidak mau menerimanya!"
Dan pada titik ini Anda akan harus menjadi milik saya, dan merasakan kengerian
dari kemahakuasaan Tuhan yang tak terbatas, yang membuat aturan bumi ini sia-
sia. Dan kemudian, jika Anda orang baik, Anda akan menyadari betapa saya
menggiring Anda masuk jebakan ini, karena saya sungguhsungguh menceritakan
tentang ini pada setiap langkah. Dengan hatihati saya memperingatkan bahwa saya
sedang menyeret Anda menuju kutukan Anda; tetapi hal yang baik tentang
kesepakatan dengan iblis adalah bahwa ketika Anda menandatanganinya, Anda
benarbenar menyadari persyaratannya.
Kalau tidak, mengapa Anda mau berkompensasi
lagi dengan neraka" Dan karena saya ingin Anda juga merasa menikmati satu hal
yang menakutkan kita misalnya, getaran metafisik itu saya hanya tinggal memilih
(dari antara rancangan model) yang paling metafisik dan filosofis: novel
detektif. Metafisik Detektif Bukannya kebetulan bahwa buku itu dimulai sebagai suatu misteri (dan terus
memperdaya pembaca yang rajin menyelesaikannya sampai akhir, sehingga pembaca
yang tekun mungkin bahkan tidak menyadari bahwa ini suatu misteri yang di
dalamnya hanya sedikit sekali yang diketemukan dan detektifnya kalah). Saya
percaya bahwa orang menyukai cerita ngeri bukan karena ada mayat-mayat atau
karena akhirnya ada kemenangan besar dari keteraturan (intelektual, sosial,
hukum, dan moral) atas kekacauan iblis. Nyatanya, novel kriminal mewakili
semacam sulapan, murni dan biasa saja. Tetapi diagnosis medis, riset ilmiah,
penyelidikan metafisik, juga contoh dari sulapan. Bagaimanapun juga, masalah
mendasar dari filsafat (seperti masalah psikoanalisis) sama seperti masalah
novel detektif: siapa yang bersalah" Untuk mengetahui ini (karena mengira Anda
mengetahui ini), Anda harus menerka bahwa semua kejadian itu punya satu logika,
logika bahwa pihak yang bersalah telah dipaksakan kepada mereka. Setiap cerita
investigasi dan sulapan menceritakan kepada kita sesuatu yang selama ini selalu
hampir kita ketahui (acuan pseudo-Heideggerian). Pada titik ini
jelaslah mengapa kisah dasar saya (siapa yang melakukan") bercabang-cabang ke
dalam begitu banyak cerita lainnya, semua cerita dari terkaan lainnya, semua
berkait dengan struktur terkaan semacam itu.
Suatu model abstrak yang bersifat sulapan adalah labirin itu.
Tetapi ada tiga macam labirin. Pertama adalah labirin Yunani, labirin Theseus.
Labirin macam ini tidak memungkinkan orang tersesat: Anda masuk, sampai ke
tengah, dan kemudian dari tengah Anda mencapai pintu keluar. Itulah sebabnya di
tengahnya ada Minotaurus; jika tidak ada, maka cerita itu tidak akan ramai,
hanya sekadar menggelinding. Teror itu muncul, andaikan memang muncul, dari
kenyataan bahwa Anda tidak tahu bakal sampai ke mana atau apa yang akan
dilakukan Minotaurus itu. Namun, jika labirin klasik itu dibongkar, Anda akan
menemukan bahwa ternyata tangan Anda memegang seutas benang, benang Ariadne.
Labirin klasik adalah benang-milik Ariadne itu sendiri.
Kemudian ada kesimpangsiuran perangai: jika dibongkar, Anda akan mendapatkan
bahwa ternyata tangan Anda memegang sebuah pohon, suatu struktur dengan akar-
akar, dengan banyak lorong buntu.
Hanya ada satu pintu keluar, tetapi Anda bisa salah duga. Anda memerlukan
benang-milik Ariadne agar tidak tersesat. Labirin ini adalah suatu model proses
mencoba coba. Dan akhirnya ada jaring itu, atau, lebih tepatnya, yang oleh Deleuze dan
Guattari disebut "rhizoma (umbi)". Rizoma itu begitu abstrak sehingga setiap
jalur bisa berhubungan dengan setiap jalur lainnya. Tidak ada pusatnya, tidak
ada tepiannya, tidak ada jalan keluarnya, karena pada dasarnya tak terbatas.
Ruang terkaan itu adalah suatu ruang rizoma. Labirin perpustakaan saya tetap
suatu labirin bersifat perilaku, tetapi dunia yang di dalamnya William menyadari
bahwa ia tinggal di sana, sudah mempunyai suatu struktur rizoma: yakni, bisa
distruktur, tetapi tidak pernah distruktur secara tegas.
Seorang pemuda berusia tujuh belas mengatakan kepada saya bahwa ia sama sekali
tidak memahami argumentasi teologis, tetapi argumentasi-argumentasi itu
bertindak sebagai cabang-cabang dari labirin luas (seakan mereka berada dalam
musik "suspens" dalam film Hitchcock). Saya percaya bahwa sesuatu seperti ini
bisa terjadi: bahkan pembaca yang tekun merasakan bahwa ia sedang membaca sebuah
kisah tentang labirin, dan tidak hanya tentang labirin luas. Boleh kita katakan
bahwa, anehnya, pembacaan paling suntuk adalah yang paling "struktural": pembaca
yang tekun itu masuk ke dalam kontak langsung, tanpa apa saja yang menengahi
isinya, dengan kenyataan bahwa di sana, ketidakmungkinan (fiksi) adalah satu
cerita. Penikmatan Saya ingin pembaca menikmati sendiri, paling sedikit seperti yang saya nikmati
sendiri. Ini hal yang amat penting, yang seakan berbenturan dengan ide-ide lebih
matang yang kita yakin kita miliki tentang novel itu.
Pembaca harus dialihkan, tetapi tidak diselewengkan, dicabut dari masalah-
masalah. Robinson Crusoe bertujuan mengalihkan model pembacanya sendiri, dengan
menceritakan kepada pembaca itu tentang kalkulasi dan kehidupan sehari-hari
seorang homo oeconomicus yang berakal sehat, hampir seperti dirinya sendiri.
Tetapi kemampuan kemiripan Robinson, setelah menikmati membaca tentang dirinya
sendiri dalam novel itu, entah bagaimana kita tentu akan memahami sesuatu lagi,
menjadi orang lain. Dalam menghibur diri, entah kenapa, ia sudah belajar.
Seharusnya pembaca juga mempelajari sesuatu tentang dunia atau tentang bahasa:
perbedaan ini membedakan berbagai puitika naratif, tetapi intinya tetap sama.
Pembaca ideal dari Finnegans Wake harus, akhirnya, menikmati dirinya seperti
halnya pembaca dari Erie Stanley Gardner. Persis sama banyak, tetapi dalam suatu
cara yang berbeda. Sekarang, konsep hiburan itu bersifat historis. Ada berbagai cara menghibur dan
terhibur yang berbeda untuk setiap musim dalam sejarah novel. Tak perlu
dipersoalkan lagi, novel modern telah berusaha menghilangkan hiburan yang
dihasilkan dari plot dengan tujuan mendorong jenis hiburan
lainnya. Sebagai pengagum Poetics karya Aristoteles, saya selalu berpikir bahwa,
apa pun yang terjadi, sebuah novel juga harus terutama menghibur lewat plotnya.
Tidak diragukan lagi bahwa jika memukau, sebuah novel akan mendapat sambutan
meriah dari publik. Nah, untuk suatu periode tertentu, sambutan meriah ini
dianggap satu tanda buruk: jika sebuah novel jadi populer, ini karena novel itu
tidak bicara tentang sesuatu yang baru dan hanya memberikan apa yang sudah
diharapkan oleh publik. Bagaimanapun juga, saya percaya bahwa mengatakan, "Jika sebuah novel memberi
pembaca apa yang tengah ia harapkan, novel itu jadi populer," lain dengan
mengatakan, "Jika sebuah novel populer, ini karena novel itu memberi pembaca apa
yang ia harapkan dari itu."
Pernyataan kedua itu tidak selalu betul. Cukup kalau kita ingat Defoe atau
Balzac atau, yang lebih mutakhir, The Tin Drum dan One Hundred Years of
Solitude. Boleh dikatakan bahwa persamaan "popularitas = kurang bermutu" itu
didukung oleh sikap polemik dari sebagian penulis, termasuk saya sendiri, yang
membentuk Gruppo 63 di Italia. Dan bahkan sebelum 1963, buku yang sukses
dibuktikan sebagai novel khayalan, dan novel khayalan bersama novel plot;
meskipun bersifat eksperimental, novel-novel yang menimbulkan skandal dan
ditolak oleh banyak pembaca, mendapat pujian. Ini semua kata orang, dan tidak
ada alasan untuk menyebutkannya. Ada pernyataan-pernyataan
yang paling mengejutkan pembaca yang terhormat, dan para reporter tidak pernah
melupakannya dan betul, karena hal-hal ini dikatakan persisnya untuk mencapai
efek semacam itu. Yang sedang kita bicarakan ini adalah novel tradisional dengan
struktur yang pada dasarnya khayalan, tanpa inovasi menarik berkaitan dengan
masalah yang dibicarakan dalam novel abad kesembilan belas. Dan tak pelak lagi
terbentuk golongan-golongan, dan baik dan buruk sering menumpuk bersama,
kadangkadang dengan alasan pertikaian antargolongan. Saya ingat bahwa musuh
waktu itu adalah Lampedusa, Bassani, dan Cassola. Sekarang ini, secara pribadi,
saya bisa memperhalus perbedaan di antara ketiganya. Lampedusa telah menulis
satu novel anakronistik yang bagus, dan pertikaian kami adalah dengan mereka
yang mencanangkannya sebagai pembukaan satu jalur baru untuk khazanah sastra
Italia, sementara itu, sebaliknya, merupakan akhir gemilang dari suatu jalan
lama. Pendapat saya tentang Cassola tetap tidak berubah. Dengan Bassani, sebaliknya,
sekarang saya akan bersikap jauh lebih berhatihati; dan jika kami berada pada
1963 lagi, saya akan menyapanya sebagai teman seperjalanan. Tetapi masalah yang
akan saya diskusikan ini sesuatu yang lain.
Tak seorang pun ingat apa yang terjadi pada 1965, ketika Gruppo mengadakan
pertemuan untuk kedua kalinya, di Palermo, untuk mendiskusikan novel
eksperimental (dan jalannya diskusi itu sudah
dibukukan, berjudul II romanzo sperimentale, diterbitkan oleh Feltrinelli,
bertahun 1965 pada sampul dan 1966 dalam kolofon). Nah, selama perdebatan itu
muncul banyak hal menarik.
Yang pertama, dalam makalah pembukaannya, Renato Barilli, pakar teori semua
eksperimentalisme dari Nouveau Roman, harus berusaha mengalahkan Robbe-Grillet,
Grass, Pynchon (jangan lupa bahwa meskipun sekarang Pynchon dianggap sebagai
salah seorang penemu posmodernisme, waktu itu istilah tersebut belum muncul
setidaknya di Italia dan John Barth baru saja mulai di Amerika). Barilli
menyebutkan penemuan kembali Roussel, yang menyukai Verne, tetapi tidak
menyebutkan Borges, karena penemuannya-kembali belum muncul.
Dan apa yang dikatakan oleh Barilli" Bahwa sampai saat itu plot dan aksi
didorong untuk dihilangkan, demi epifani (pengejawantahan) murni dalam bentuk
ekstremnya dari "materialistik ekstase" (kita boleh mengatakan, "Akan
kutunjukkan kau surga dalam segenggam debu," seperti dalam lukisan Pollock atau
Dubuffet atau Fautrier). Tetapi sekarang, satu fase naratif baru sudah dimulai:
aksi mulai diberi sanksi lagi, meskipun berupa suatu aksi autre (jasmaniah).
Keesokan harinya saya mulai menganalisis kesan yang kami peroleh, sambil
menonton satu film kolase aneh karya Baruchello dan Grifi yang berjudul Verifica
incerta, suatu cerita yang terdiri atas potongan-potongan cerita, atau, lebih
tepatnya, merupakan situasi-situasi, topo standar, dari film
komersial. Dan saya menunjukkan bahwa tempat-tempat yang di dalamnya para
pengamat telah bereaksi dengan kenikmatan paling besar adalah yang, baru
beberapa tahun silam, mereka tentu akan bereaksi dengan kaget dan marah
misalnya, di mana konsekuensi temporal dan logikal dari aksi tradisional
dihilangkan dan harapan publik mungkin seakan telah dibuat amat jengkel. Avant-
garde mulai menjadi tradisi: apa yang beberapa tahun sebelumnya bernada sumbang
mulai berubah menjadi balsem bagi telinga (atau bagi mata). Dan dari observasi
ini hanya satu kesimpulan yang bisa ditarik: ketidakterimaan pesan itu bukan
lagi kriteria utama untuk suatu fiksi (atau seni lain apa saja) eksperimental,
karena ketidakterimaan sekarang sudah dikodifikasi sebagai sesuatu yang
menghibur. Dan saya menegaskan bahwa sementara pada masa program futuris,
hadirin sangat diperlukan untuk mengejek, "steril, pada masa kini, dan polemik
dari mereka yang menganggap suatu eksperimen itu gagal adalah tolol, karena
nyatanya ini diterima sebagai sesuatu yang lazim: ini berarti kembali mundur ke
Utopia usang dari avant-garde awal. Kami bersikeras bahwa ketidakmampuan
menerima pesan di pihak penerima adalah suatu jaminan nilai hanya dalam suatu
momen historik khusus .... Saya duga kita mungkin akan harus melepaskan
arrierepensee itu, yang secara ajek mendominasi diskusi kita, yang dengan itu
setiap skandal eksternal akibat suatu karya bisa dianggap suatu jaminan dari
nilainya. Dikotomi antara keteraturan
dan kekacauan itu sendiri, antara suatu karya untuk konsumsi populer dan suatu
karya untuk provokasi, meskipun tetap sahih, mungkin seharusnya diperiksa-
kembali dari sudut pandang lain.
Dengan kata lain, saya percaya akan mungkin menemukan unsurunsur revolusi dan
perjuangan dalam karya-karya yang jelas memberi kemungkinan untuk mudah
dikonsumsi, dan juga akan mungkin untuk menyadari, di lain pihak, bahwa karya-
karya tertentu, yang tampaknya provokatif dan masih membuat publik berang,
sebenarnya tidak memperjuangkan apa-apa .... Belum lama ini saya bertemu dengan
seseorang yang, karena teramat menyukai suatu produk tertentu, telah
menurunkannya ke satu zona kecurigaan ..." dan seterusnya.
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sembilan belas enam lima. Waktu itulah Seni Pop dimulai, dan perbedaan
tradisional antara seni nonfiguratif, eksperimental, mulai hilang. Waktu inilah
ketika Pousseur, sambil mengacu kepada the Beatles, mengatakan kepada saya,
"Mereka bekerja untuk kita" namun tanpa menyadari, bahwa dia juga bekerja untuk
the Beatles (dan dibutuhkan inisiatif dari Cathy Berberian untuk menunjukkan
kepada kami bahwa the Beatles, berkait dengan Purcell, dan satusatunya yang
berhak atas lagunya, juga bisa memainkan resital Monteverdi dan Satie).
Posmodernisme, Ironi, yang Bisa Dinikmati
Antara 1965 dan hari ini, ada dua ide yang sudah diklarifikasi secara jelas:
bahwa plot juga bisa ditemukan dalam bentuk kutipan dari plot lainnya, dan bahwa kutipan bisa tidak
terlalu khayal dibandingkan plot yang dikutip. Pada 1972 saya menyunting
Almanacco Bompiani, yang mencanangkan "Kembali ke Plot", meskipun kembalinya via
suatu pemeriksaan-kembali yang ironis (bukannya tanpa kekaguman) terhadap Ponson
du Terrail dan Eugene Sue, dan kekaguman (dengan sedikit sekali ironi) terhadap
beberapa buku tebal Dumas. Masalah sebenarnya yang dipertaruhkan waktu itu
adalah, apa mungkin ada satu novel yang bukan khayalan, dan, toh, tetap
menyenangkan dibaca"
Hubungan ini, dan bukan hanya penemuan-kembali plot tetapi juga kemampuan
dinikmati, harus disadari oleh para teoretisi posmodernisme Amerika.
Sayangnya, "posmodern" adalah suatu istilah bon a tout faire.
Saya mendapat kesan bahwa pada zaman sekarang istilah ini diterapkan kepada apa
saja yang kebetulan disukai oleh pemakai istilah itu. Lebih-lebih lagi, agaknya
ada suatu upaya untuk membuatnya makin banyak menyangkut masa lalu; pertama ini
jelas diterapkan kepada penulis atau seniman tertentu yang aktif selama dua
puluh tahun terakhir, kemudian lambat laun mencapai awal abad ini, lalu masih
mundur lebih jauh lagi. Dan prosedur pembalikan ini berkelanjutan; tidak lama
lagi Homer bisa masuk kategori posmodern.
Terus terang, saya percaya bahwa posmodernisme bukan suatu tren untuk dijelaskan
secara kronologis, tetapi, justru, suatu kategori yang ideal
atau, lebih baik lagi, suatu Kunstwollen, suatu cara kerja. Dapat kita katakan
bahwa setiap periode punya posmodernisme sendiri, sama seperti setiap periode
tentunya punya manerismenya sendiri (dan, nyatanya, saya membayangkan apakah
posmodernisme bukan nama baru dari manerisme sebagai kategori metahistoris).
Saya percaya bahwa dalam setiap periode ada momenmomen krisis seperti yang
dijelaskan oleh Nietzsche dalam bukunya, Thoughts Out of Season, yang di
dalamnya ia menulis tentang kesalahan akibat studi historis. Masa lalu
mengondisi kita, merusak kita, memfitnah kita. Avant-garde historik itu (tetapi
di sini saya juga harus mempertimbangkan avant-garde sebagai satu kategori
metahistoris) berusaha membalas dendam atas kesalahan masa lalu. "Peduli amat
dengan sinar rembulan" suatu slogan futuris merupakan suatu podium khas dari
setiap avant-garde; Anda tinggal mengganti "sinar rembulan" dengan kata benda
apa saja yang cocok. Avant-garde menghancurkan, membalik wajah masa lalu: Les
Demoiselles d'Avignon adalah lakon avant-garde yang khas. Kemudian avant-garde
itu bergerak lebih jauh lagi, menghancurkan bentuk-bentuk itu, menundanya,
sampai pada kanvas putih, informal, abstrak, kanvas yang dicoret-coret, kanvas
yang dihitamkan. Dalam arsitektur dan seni visual, akan ada dinding korden, bangunan sebagai seni
minimal, murni berpipa paralel, bagai baja; dalam literatur, dirusaknya alur
cerita, kolase bak Burroughs, sunyi, halaman kosong; dalam musik, perjalanan
dari tidak adanya tone sampai bunyi sampai sunyi senyap (dalam artian ini, karya awal Cage
boleh disebut modern). Namun tiba saatnya ketika avant-garde (yang modern) tidak bisa maju lagi, karena
sudah menghasilkan suatu bahasa-meta yang bicara tentang teksnya yang mustahil
(seni konseptual). Posmodern menjawab kepada yang modern dengan sikap mengakui
bahwa masa lalu, karena tidak bisa benarbenar dihancurkan, karena
penghancurannya membawa kepada sikap diam, harus dikunjungi kembali: tetapi
dengan ironi, tanpa sikap tidak bersalah. Saya memikirkan sikap posmodern
sebagai sikap seorang laki-laki yang mencintai seorang perempuan yang amat
terpelajar dan tahu bahwa ia tidak bisa mengatakan kepada perempuan itu, "I love
you madly," karena tahu bahwa perempuan itu tahu (dan bahwa perempuan itu tahu
bahwa laki-laki itu tahu) bahwa katakata ini sudah ditulis oleh Barbara
Cartland. Toh masih ada solusinya. Laki-laki itu bisa mengatakan, "Seperti yang
dikatakan oleh Barbara Cartland, I love you madly." Pada titik ini, karena telah
menghindari rasa tidak bersalah palsu, karena sudah mengatakan dengan jelas
bahwa tidak mungkin lagi bicara tanpa rasa bersalah, ia seharusnya mau
mengatakan bahwa ia ingin mengatakan kepada perempuan itu: bahwa ia
mencintainya, tetapi mencintainya dalam suatu masa tanpa rasa bersalah. Jika
perempuan itu setuju, tentunya ini sama dengan ia menerima pernyataan cinta. Tak
seorang pun dari kedua orang itu yang akan merasa tidak bersalah, keduanya sudah tentu akan menerima
tantangan dari masa lalu, dari apa yang sudah diucapkan, yang tidak bisa
dihapuskan; keduanya akan dengan sadar dan dengan gembira memainkan permainan
ironi .... Tetapi keduanya sudah tentu akan berhasil, sekali lagi, bicara tentang
cinta. Ironi, lakon metalinguistik, ucapan disesuaikan. Jadi, dengan yang modern, siapa
saja yang tidak memahami permainan itu bisa sekadar menolaknya, tetapi dengan
yang posmodern, ada kemungkinan untuk tidak memahami permainan itu dan toh
menerimanya dengan serius. Yang adalah, bagaimanapun juga, kualitas (risiko)
ironi. Selalu ada seseorang yang menerima wahana ironik dengan serius.
Saya mengira bahwa kolase Picasso, Juan Gris, dan Braque adalah modern: ini
sebabnya orang normal tidak bakal menerima mereka. Di lain pihak, kolase dari
Max Ernst, yang berupa tempelan potongan kecil-kecil ukiran abad kesembilan
belas, adalah posmodern: karya-karya itu bisa dibaca sebagai cerita fantastik,
bagaikan penceritaan mimpi, tanpa kesadaran apa saja sehingga masuk ke dalam
suatu diskusi tentang sifat ukiran itu, dan mungkin bahkan kolase tersebut. Jika
"posmodern" berarti ini, jelaslah mengapa Sterne dan Rabelais adalah posmodern,
mengapa Borges jelas ya, dan mengapa momen modern dan momen posmodern bisa hidup
bersama dalam diri seniman yang sama, atau bergantian, atau saling mengikuti
dari dekat. Lihat saja Joyce. Portrait adalah cerita tentang suatu upaya pada momen modern.
Dubliners, meskipun muncul lebih dulu, lebih modern daripada Portrait of a Lady.
Ulysses berada di garis batas. Finnegans Wake sudah posmodern, atau setidaknya
memulai wahana posmodern itu: ini menuntut, agar bisa dipahami, bukan negasi
dari yang sudah dikatakan, tetapi pemikiran kembali ironiknya.
Tentang masalah posmodern, hampir segala sesuatunya sudah dikatakan, dari yang
paling awal (misalnya, dalam esai-esai seperti "The Literature of Exhaustion"
oleh John Barth, yang bertahun 1967). Bukan karena saya sepenuhnya sepakat
dengan jenjangjenjang yang diberikan oleh teoretisi posmodernisme (termasuk
Barth) kepada penulis dan pelukis, dengan menetapkan siapa yang posmodern dan
siapa yang belum menjadi posmodern. Namun, saya tertarik dalam teorem yang
diambil oleh teoretisi tren itu dari dasar pikiran mereka: "Penulis
posmodernisku yang ideal bukan yang sekadar mengakui atau sekadar meniru baik
orangtua modernisnya abad kedua puluh maupun kakek modernisnya abad kesembilan
belas. Ia membawa setengah dari abad kita di bawah sabuknya, tetapi tidak
menggendongnya di atas punggung ....
Mungkin ia tidak akan berharap untuk mencapai dan menarik penggemar James
Michener dan Irving Wallace apalagi untuk menyebut media massa tuna aksara yang
lobotomized (lob = bola yang dipukul tinggi ke arah sebelah lawan). Tetapi ia
seharusnya berharap untuk mencapai dan bergembira, paling sedikit sebagian
waktu, di luar lingkaran yang oleh Mann disebut Early Christians: penggemar
profesional dari seni agung .... Novel posmodernis yang ideal akan sedikit banyak
naik di atas pertengkaran antara realisme dan irealisme, formalisme dan
'contentisme1, khazanah sastra murni dan peran serta, fiksi untuk kalangan
tertentu dan fiksi murahan .... Saya sendiri akan menganaloginya dengan jazz bagus
atau musik klasik: orang menemukan banyak dengan mendengarkan terusmenerus atau
meneliti dengan cermat skor yang tidak bisa ditangkap orang itu pada saat
pertama kali mengikuti; tetapi saat pertama mengikuti itu seharusnya begitu
menggetarkan dan tidak hanya bagi spesialis sehingga orang senang waktu
dimainkan kembali." Ini yang ditulis oleh Barth pada 1980, sebagai ringkasan diskusi tersebut, namun
kali ini dengan judul "The Literature of Replenishment: Posmoder-nist Fiction".s
Tentu saja, subjeknya bisa didiskusikan lebih lanjut, dengan suatu selera lebih
besar untuk paradoks; dan ini yang dikerjakan oleh Leslie Fiedler. Pada 1980,
Salmagundi (no. 50-51) memuat satu perdebatan antara Fiedler dan penulis Amerika
lainnya. Fiedler, nyata-nyata, tidak bisa dibujuk. Ia memuji The Last of the
Mohicans, kisah petualangan, novel Gothik, yang oleh para kritisi dicela sebagai
murahan, yang bagaimanapun juga mampu
8 Kedua esai itu dicetak kembali dalam The Literature of Exhaustion (Northridge,
California: Lord John Press, 1982).
menciptakan mitos dan menawan imajinasi selama lebih dari satu generasi. Ia
ingin tahu apakah sebuah novel seperti Uncle Tom's Cabin bakal pernah muncul
lagi, suatu buku yang bisa dibaca dengan hasrat yang sama di dapur, di ruang
tamu, dan di kamar anak-anak. Ia memasukkan Shakespeare di antara mereka yang
tahu caranya menghibur, bersama dengan Gone with the Wind. Kita semua tahu bahwa
ia seorang kritisi yang terlalu tajam untuk memercayai hal-hal ini. Ia sekadar
ingin menghancurkan halangan yang selama ini telah didirikan di antara seni dan
kemampuan menikmati. Ia merasa bahwa masa kini mulai mencapai publik luas dan
mulai menawan mimpi-mimpinya mungkin berarti akting sebagai avant-garde, dan ia
masih membiarkan kita dengan bebas mengatakan bahwa menawan mimpi-mimpi pembaca
tidak perlu berarti mendorong khayalan: ini juga bisa berarti menghantui mereka.
Novel Historis Selama dua tahun saya menolak untuk menjawab pertanyaanpertanyaan yang buang
waktu mengenai aturan tentang "Apakah novel Anda suatu karya terbuka atau
tidak?" Bagaimana saya tahu" Itu urusan kalian, bukan urusanku. Atau "Dengan apa
Anda mengidentifikasi tokoh-tokoh Anda?" Demi Tuhan, dengan siapa seorang
pengarang mengidentifikasi" Jelas dengan kata keterangan.
Dari semua pertanyaan omong kosong, yang paling berengsek adalah pertanyaan yang
diajukan oleh mereka yang menyarankan bahwa menulis tentang masa lalu adalah suatu cara
untuk menghindari masa kini. "Apa itu betul?" tanya mereka kepada saya. Kira-
kira begitu, jawab saya: jika Manzoni menulis tentang abad ketujuh belas, itu
berarti abad kesembilan belas tidak menarik baginya.
Shakespeare menuliskan kembali orangorang zaman pertengahan dan tidak tertarik
pada zamannya sendiri, sedangkan Love Story dengan tegas menceritakan masanya
sendiri, namun La Chartreuse de Parme hanya menceritakan kejadiankejadian yang
telah terjadi lebih dari dua puluh lima tahun sebelumnya ....Tidak ada gunanya
mengatakan bahwa semua persoalan Eropa modern mengambil bentuk yang di dalamnya
kita masih merasakannya selama Abad Pertengahan: demokrasi komunal dan
perekonomian perbankan, monarki nasional dan kehidupan kota, teknologi baru dan
pemberontakan kaum miskin.
Abad Pertengahan adalah masa kanak-kanak kita, ke sana kita harus selalu
kembali, untuk anamnesis. Tetapi juga ada Abad Pertengahan gaya-Excalibur. Dan
dengan begitu masalahnya jadi lain dan tidak bisa disusuri. Apa arti menulis
satu novel historis" Saya percaya ada tiga cara untuk menceritakan masa lalu.
Pertama adalah roman, dan contohnya berkisar dari siklus Breton sampai Tolkien,
juga termasuk novel Gothik, yang bukan sebuah novel tetapi sebuah roman. Masa
lalu adalah pemandangan, preteks, konstruksi dongeng-peri, agar imajinasi bisa
melayang dengan bebas. Dalam artian ini, sebuah roman tidak perlu harus terjadi
pada masa lalu; ini hanya harus terjadi sekarang dan di sini, dan sekarang dan
di sini ini tidak boleh disebutkan, bahkan tidak sebagai alegori.
Banyak fiksi sains merupakan roman murni. Roman adalah cerita dari suatu tempat
lain. Lalu muncul novel jagoan, cerita mantol dan-belati, seperti karya Dumas. Jenis
novel ini memilih suatu masa lalu yang bisa dikenali dan "nyata", dan agar bisa
dikenali, novelis itu mengisinya dengan tokoh-tokoh yang sudah ditemukan dalam
ensiklopedi (Richelieu, Mazarin), sementara membuat mereka melakukan aksi yang
tidak dicatat dalam ensiklopedi (dengan menemui Milady, bergaul dengan seseorang
yang bernama Bonacieux) tetapi yang tidak berlawanan dengan ensiklopedi itu.
Dengan sendirinya, untuk memperkuat ilusi realitas itu, tokoh-tokoh historis itu
juga harus melakukan apa (seperti disepakati historiografi) yang benarbenar
mereka lakukan (mengepung La Rochelle, punya hubungan erat dengan Anne dari
Austria, berurusan dengan Fronde). Para tokoh imajiner tersebut diperkenalkan ke
dalam gambar ("nyata") ini, meskipun mereka memperagakan perasaan yang juga bisa
dikaitkan dengan tokoh dari periode lainnya. Apa yang dilakukan oleh d'Artagnan,
dalam menemukan kembali perhiasan Ratu di London, mungkin juga bisa ia lakukan
dalam abad kelima belas atau kedelapan belas. Tidak perlu hidup dalam abad
ketujuh belas untuk memiliki psikologi dari d'Artagnan.
Dalam novel historis, sebaliknya, tokoh tidak perlu dapat dikenali dalam
ensiklopedia biasa untuk muncul. Contohnya, The Betrothed: tokoh nyata yang
paling terkenal adalah Kardinal Federigo, yang, sebelum Manzoni muncul,
merupakan sebuah nama yang hanya dikenal oleh beberapa orang (Imam Borromeus
lain, Santo Charles, adalah seorang yang terkenal). Tetapi segala sesuatu yang
dilakukan oleh Renzo, Lucia, atau Fra Cristoforo hanya dapat dikerjakan di
Lombardia pada abad ketujuh belas. Apa yang dilakukan tokoh-tokoh itu membantu
membuat sejarah, apa yang telah terjadi, lebih mudah dipahami. Kejadian dan
tokoh itu membentuk, namun mereka menceritakan kepada kita hal-hal tentang
Italia pada periode yang tidak pernah diceritakan secara begitu jelas oleh
bukubuku sejarah itu. Dalam artian ini, tentu saja, saya ingin menulis satu novel historis, dan bukan
karena Ubertino atau Michael benarbenar ada dan sudah mengatakan kurang lebih
apa yang mereka katakan, tetapi karena segala sesuatu yang dikatakan oleh tokoh-
tokoh fiksi seperti William seharusnya dikatakan pada masa itu.
Saya tidak tahu sampai di mana kesetiaan saya kepada tujuan ini. Saya tidak
percaya bahwa saya mulai melupakannya waktu saya menyamarkan kutipan dari para
pengarang (misalnya saja Wittgenstein), dengan menyampaikannya sebagai
kutipan masa itu. Dalam contoh-contoh tersebut saya tahu betul bahwa itu bukan karena tokoh Abad
Pertengahan saya yang menjadi modern; andaikan ya, justru orang modern yang
berpikir dalam kerangka pikir Abad Pertengahan. Lebih-lebih lagi, saya bertanya
kepada diri sendiri apakah berkali-kali saya tidak memperkaya tokoh-tokoh fiksi
dengan suatu kapasitas untuk mengumpulkan menjadi satu, dari disiecta membra
pikiran-pikiran yang sepenuhnya zaman pertengahan itu, semacam hircocervuses
konseptual yang, dalam bentuk ini, Abad Pertengahan tidak bakal mengakui itu
sebagai miliknya. Tetapi saya percaya bahwa suatu novel historis seharusnya melakukan ini, pula:
tidak hanya mengenali masa lalu masalah dari apa yang datang kemudian, tetapi
juga melacak proses yang melaluinya masalah-masalah ini pelanpelan mulai
menghasilkan efek mereka.
Jika, dengan membandingkan dua ide zaman pertengahan, menghasilkan ide ketiga,
yang lebih modern, seorang tokoh saya melakukan persis apa yang dilakukan
kebudayaan; dan jika tak seorang pun pernah menulis apa yang ia katakan,
seseorang, meskipun dengan bingung, sudah tentu telah mulai memikirkannya
(mungkin tanpa mengucapkannya, karena terhalang oleh banyak sekali rasa takut
dan rasa malu). Bagaimanapun juga, adalah satu masalah yang amat menyenangkan saya: sekali tempo
ada seorang kritisi atau seorang pembaca yang menulis untuk mengatakan bahwa seorang
tokoh saya menyatakan halhal yang terlalu modern, dan dalam setiap contoh ini,
dan hanya dalam contoh-contoh ini, saya sungguhsungguh mengutip teks abad
keempat belas. Dan ada halaman lainnya yang di dalamnya pembaca menghargai kualitas zaman
pertengahan yang amat indah, sementara saya merasa halamanhalaman itu secara
tidak sah modern. Dalam kenyataan, setiap orang punya ide sendiri tentang Abad
Pertengahan, yang biasanya kacau. Hanya para rahib masa itu yang tahu
kebenarannya, tetapi mengatakannya kadang bisa membawa pertaruhan.
Penutup Saya menemukan lagi dua tahun setelah menulis novel ini catatan yang saya buat
pada 1953, waktu saya masih mahasiswa.
Horatio da temannya mengundang Count dari P. untuk menyelesaikan misteri hantu
itu. Count dari P., seorang laki-laki terhormat yang eksentrik dan tenang. Di
hadapannya, seorang kapten muda dari pengawal Denmark, dengan metode FBI.
Perkembangan normal dari aksi itu mengikuti garis-garis tragedi tersebut. Pada
babak terakhir, Count dari P. itu, setelah mengumpulkan seluruh keluarga,
menjelaskan misteri tersebut: pembunuhnya adalah Hamlet. Sudah terlambat, Hamlet
mati. Bertahuntahun kemudian saya menemukan bahwa Chesterton pernah menyarankan suatu
gagasan semacam itu, saya lupa di mana. Agaknya kelompok Parisian Oulipos belum
The Name Of The Rose Karya Umberto Eco di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lama ini menyusun satu matrik dari semua kemungkinan situasi cerita-pembunuhan
dan telah menemukan bahwa masih harus ditulis satu buku yang di dalamnya,
pembunuhnya adalah si pembaca.
Moral: ada ide-ide obsesif, ide-ide itu tidak pernah pribadi; buku saling
bercakapcakap di antara mereka sendiri, dan deteksi saya yang betul akan
membuktikan bahwa kita adalah pihak yang bersalah. []
9 Ouuroir de Litterature Potentielle, diorganisasi oleh Queneau, Le Lyonnais,
Perec, dan lainlainnya untuk menghasilkan khazanah sastra dengan cara kombinasi
matematikal. Umberto Eco lahir pacta 5 Januari 1932 di Alessandria, Italy. Tesis doktoralnya,
// Problema estelic in Tommaso d'Aquino (Estetika Tltomas Aquinas), terbit pada
1956. Pada tahun yang sama, dia memulai karier akademisnya sebagai dosen di University
of Turin, tempat dia belajar filsafat dan estetika Abad Pertengahan. Kedekatan
dan ketertarikan Eco pada kebudayaan populer terjadi lebih awal; dia' mulai
menulis kolom bulanan "Diario ininimo~ pada 1959 dan aktif memberikan komentar
tentang kebudayaan dan peristiwa aktual sejak saat itu. Eco mengajar di berbagai
universitas di seluruh dunia dan menjabat sebagai ketua jurusan Semiotika di
University of Bologna. Italy, selama bertahuntahun. Awal 1999, dia menjabat
sebagai Presiden Scuola Supetion di Studi Umanistici di University of Bologna.
Eco dikenal juga sebagai ahli Abad Pertengahan, pakar semiotika, filsuf, dan
novelis. Selain The Name of Hie Rose, karya-karya Eco lainnya adalah Foucault's
Pendulum. Ttic Island of the Day Before, Baudolino, dan The Mysterious Flame of
Queen Loana. Ratu Peri Selat Sunda 2 Wiro Sableng 068 Pelangi Di Majapahit Mrs Mcginty Sudah Mati 4