Pencarian

Death Dujour 2

Death Du Jour Karya Kathy Reichs Bagian 2


"Ya ampun. Tentu saja aku akan mempelajarinya dulu. Aku 'kan tidak bodoh."
Tidak. Dia tidak bodoh. Tetapi, jika Harry menginginkan sesuatu, dia akan
mengejarnya terus. Dan tidak ada cara
apa pun yang bisa mengubah keputusannya.
Kututup telepon dengan merasa agak gamang. Membayangkan Harry memberikan nasihat
kepada orang lain yang bermasalah benarbenar membuatku gelisah.
Sekitar pukul enam aku memasak hidangan makan malam: tumis dada ayam, kentang
merah rebus dengan mentega dan bawang putih, serta asparagus kukus. Segelas
Chardonnay pasti akan membuat semuanya sempurna. Tetapi, tidak untukku. Minuman
itu telah kutinggalkan selama tujuh tahun. Aku juga bukan orang bodoh.
Setidaknya aku tidak bodoh di saat sedang tidak mabuk. Makanan itu berhasil
mengalahkan menu biskuit tadi malam.
Saat makan, aku memikirkan adikku. Harry tidak pernah betah mengikuti pendidikan
formal. Dia menikah dengan pacarnya di SMA sehari sebelum wisuda, dan menikah
lagi tiga kali setelah pernikahan yang pertama. Dia memelihara anjing Saint
Bernards, menjalankan usaha Pizza Hut, menjual kacamata bermerek, memimpin tur
di Yucatan, menangani Bagian Humas di Houston Astros, memulai dan meninggalkan
bisnis pembersihan karpet, menjual real estate, dan yang terakhir ini
menjalankan bisnis balon udara.
Saat aku berusia tiga tahun dan Harry baru berumur satu tahun, aku tidak sengaja
mematahkan kakinya karena melindasnya dengan sepeda roda tigaku. Dia tidak
pernah kapok. Harry belajar berjalan dengan menggunakan tongkat penopang.
Walaupun sangat menjengkelkan dan benarbenar membuat orang selalu sayang
padanya, adikku memiliki energi yang tidak ada habis-habisnya untuk menutupi
kekurangannya karena tidak pernah ikut pelatihan atau karena tidak sanggup
memusatkan perhatian. Aku benarbenar lelah setiap kali menghadapinya.
Pada pukul setengah sepuluh, aku menonton pertandingan hoki di TV. Saat itu
sudah akhir babak kedua dan Habs kalah empat kosong melawan St. Louis. Don
Cherry dengan berapi-api mengatakan betapa tidak becusnya manajemen Kanada,
wajahnya yang bundar dan merona merah bertengger di atas kerah kemejanya yang
tinggi. Dia terlihat lebih mirip seorang penyanyi tenor pada kelompok kuartet
penyanyi daripada komentator olahraga. Kuamati dia, merasa kagum karena jutaan
orang mendengarkan ocehannya setiap minggu. Pada pukul sepuluh lewat seperempat
kumatikan TV dan kembali tidur.
Keesokan harinya aku bangun pagi-pagi sekali dan langsung mengendarai mobil ke
laboratorium. Senin biasanya hari yang sibuk untuk para peneliti medis. Selama
akhir pekan biasanya terjadi peningkatan jumlah tindak kejahatan, aksi sok jago
yang tidak ada gunanya, sikap membenci diri sendiri, dan sikap uring-uringan
pada waktu yang tidak tepat yang mengakibatkan kematian mengerikan. Mayat para
korban tiba dan kemudian disimpan di kamar mayat untuk diautopsi pada hari
Senin. Tidak ada bedanya pada hari Senin ini. Kuseduh kopi, kemudian mengikuti rapat
pagi di kantor LaManche. Natalie Ayers sedang menghadiri pengadilan pembunuhan
di Val-d'Or, tetapi ahli patologi lainnya hadir dalam rapat ini. Jean Pelletier
baru saja kembali setelah memberikan kesaksian di Kuujjuaq, jauh di Quebec
Utara. Dia sedang menunjukkan serangkaian foto kepada Emily Santangelo dan
Michel Morin. Kucondongkan tubuhku ke depan.
Kuujjuaq terlihat seakanakan baru diterbangkan dan direkonstruksi di malam
sebelumnya. "Apa itu?" tanyaku, menunjuk ke sebuah bangunan prefab yang bagian luarnya
dilapisi plastik. "Aqua center." Pelletier menunjuk sebuah tanda segi-enam berwarna merah dengan
huruf-huruf yang tidak kukenal di atasnya, tulisan Arret dengan huruf putih
tebal tampak di bawahnya. "Semua tanda ditulis dengan bahasa Prancis dan
Inuktitut." Aksennya sangat kental, bagi telingaku dia seakanakan sedang
menggunakan bahasa Inuktitut. Aku sudah bertahuntahun mengenal Pelletier dan
masih sulit memahami bahasa Prancisnya.
Dia menunjuk ke sebuah bangunan lain. "Itu gedung pengadilan."
Mirip seperti kolam renang, tanpa dibungkus plastik. Di belakang kota, tampak
padang tundra luas yang berwarna abu-abu dan kelam, sebuah Serengeti yang
terdiri atas bebatuan dan lumut. Seong gok tulangbelulang karibu (semacam rusa
tundra) berwarna putih tampak di pinggir jalan.
"Apakah karibu sering ditemui di sana?" Tanya Emily, menatap hewan tersebut.
"Hanya kalau sudah mati."
"Ada delapan autopsi hari ini," ujar LaManche, sambil membagikan daftarnya. Dia
membahas semuanya satu per satu. Seorang lelaki berusia Sembilan belas tahun
ditabrak kereta api, tubuhnya terbagi dua. Kejadiannya di sebuah jembatan rel
kereta yang biasa dikunjungi anakanak muda.
Sebuah mobil salju menerobos danau es di Lac Megantic. Dua tubuh ditemukan.
Diperkirakan keduanya mabuk karena minuman keras.
Seorang bayi ditemukan sudah meninggal dan membusuk di tempat tidurnya. Ibunya,
yang berada di lantai bawah sambil menonton acara game di TV saat polisi tiba, mengatakan bahwa
sepuluh hari sebelumnya Tuhan menyuruhnya berhenti member makan kepada bayinya.
Seorang lelaki kulit putih yang tidak dapat diidentifikasi ditemukan di bak
sampah di kampus McGill. Tiga mayat lainnya ditemukan dalam kebakaran di St-
Jovite. Pelletier ditugasi mengautopsi si bayi. Dia mengatakan bahwa mungkin akan
membutuhkan konsultasi dengan ahli antropologi. Walaupun identitas bayi itu
sudah jelas, menemukan penyebab dan waktu kematian pasti akan sulit.
Santangelo mendapatkan kasus mayat dari Lac Megantic, Morin mendapatkan korban
tabrakan kereta api dan kasus bak sampah. Dua korban di kamar tidur di St-Jovite
cukup lengkap sehingga dapat menjalani autopsi yang normal. LaManche yang akan
melakukan autopsi itu. Aku akan memeriksa tulangbelulang yang ditemukan di ruang
bawah tanah. Setelah rapat, aku kembali ke kantorku dan membuka sebuah laporan dengan
memindahkan informasi dari lembaran etiket pagi hari ke formulir kasus
antropologi. Nama: Inconnu, Tidak dikenal. Tanggal lahir: kosong. Nomor
Laboratoire de Medecine Legale: 31013. Nomor Kamar Mayat: 375. Nomor arsip
polisi: 89041. Ahli Patologi: Pierre LaManche. Koroner: Jean-Claude Hubert.
Peneliti: Andrew Ryan dan Jean Bertrand, Escouade de Crimes Contre la Personne,
Surete de Quebec. Kutambahkan tanggal, lalu menyelipkan formulir itu ke dalam map arsip. Kami
menggunakan warna yang berbedabeda. Merah muda milik Marc Bergeron, ahli
odontologi. Hijau adalah Martin Levesque, ahli radiologi. LaManche menggunakan
warna merah. Jaket kuning muda
milik ahli antropologi. Kumasukkan kunci dan lift turun sampai ke ruang bawah tanah. Di situ kuminta
seorang teknisi autopsi untuk meletakkan LML 31013 di kamar nomor tiga, kemudian
aku mengenakan seragam operasi.
Keempat ruangan autopsi di Laboratorie de Medicine Legale berdampingan dengan
kamar mayat. LML mengendalikan lab, sedangkan Bureau du Coroner menangani kamar
mayat. Ruangan autopsy dua cukup luas dan berisi tiga meja. Ruangan lainnya
diisi satu meja. Ruangan nomor empat dilengkapi ventilasi khusus. Aku sering
bekerja di situ karena banyak kasus yang kutangani bukan mayat baru. Hari ini
aku menyerahkan ruangan empat kepada Pelletier dan bayi itu. Tubuh yang hangus
tidak menyebarkan aroma yang terlalu menyengat.
Saat tiba di ruangan tiga, sebuah kantong mayat hitam dan empat wadah plastik
telah diletakkan di atas papan beroda. Kubuka tutup sebuah bak, mengeluarkan
bantalan kapas, dan memeriksa potongan tengkorak. Tidak tampak kerusakan atas
tengkorak itu akibat proses pengangkutan dari lokasi TKP ke tempat ini.
Kuisi sebuah kartu identifi kasi kasus, membuka retsleting kantong mayat, serta
menarik kain yang membungkus tulangbelulang dan sisasisa mayat itu. Kupotret
beberapa kali dengan Polaroid, kemudian mengirimkan semuanya untuk dipotret
dengan sinar-X. Bila ada gigi atau benda dari logam, aku ingin menandainya dulu
sebelum mulai melakukan penelitian selanjutnya.
Saat menunggu, aku memikirkan Elisabeth Nicolet. Peti matinya diletakkan di
sebuah lemari pendingin berjarak tiga meter dariku. Aku penasaran, ingin sekali
melihat apa yang terdapat di dalamnya. Salah satu pesan
yang kuterima pagi ini berasal dari Suster Julienne, Para biarawati juga sudah
tidak sabar. Setelah tiga puluh menit berlalu, Lisa mendorong kereta berisi tulangbelulang
itu kembali dari radiologi dan menyerahkan hasil pemoretan sinar-X kepadaku.
Kupasang beberapa di antaranya di kotak lampu, mulai dari bagian kakinya.
"Apa semuanya OK?" tanya Lisa. "Aku tidak yakin harus menggunakan seting apa
pada semua benda di dalam kantong itu, jadi kupotret beberapa kali dari beberapa
sudut yang berbedabeda."
"Semuanya bagus."
Kami menatap sebuah bercak besar yang dikelilingi dua garis berwarna putih: isi
kantong mayat dan risle-tingnya. Bagian dalamnya dipenuhi bercakbercak kecil,
dan di sana-sini tampak bagian tulang yang pucat di depan latar belakang yang
netral. "Apa itu?" tanya Lisa sambil menunjuk ke sebuah benda putih.
"Sepertinya kuku."
Kuganti beberapa foto yang pertama dengan tiga buah foto berikutnya. Tanah,
kerikil, serpihan kayu, dan kuku. Kami bisa melihat tulang kaki dan pinggul
dengan daging hangus yang masih menempel. Bagian panggul terlihat masih utuh.
"Seperti serpihan logam di bagian femur (tulang paha) sebelah kanan," ujarku,
menunjukkan beberapa titik putih di tulang paha. "Sebaiknya kita berhatihati
saat menangani bagian itu. Kita buat lagi foto sinar-X-nya nanti."
Fotofoto berikutnya menunjukkan bagian rusuk yang sudah hancur. Bagian lengan
terlihat lebih baik, walaupun
sudah retak dan tercerai-berai. Beberapa tulang punggung sepertinya masih bisa
diselamatkan. Sebuah benda logam terlihat di bagian kiri dada. Tidak terlihat
seperti kuku. "Kita juga harus berhatihati saat menangani bagian itu."
Lisa mengangguk. Berikutnya kami meneliti hasil si-nar-X beberapa wadah plastik.
Tidak ada yang terlihat aneh dari foto itu. Bagian rahang terlihat utuh, bagian
gigi terlihat menyatu dengan tulangnya. Bahkan bagian mahkotanya pun masih utuh.
Aku bisa melihat bercak terang di dua gigi geraham. Bergeron pasti akan senang.
Bila ada catatan gigi, bagian tambalan ini akan berguna untuk mengidentifi kasi
jati diri orang ini. Lalu, perhatianku tertarik oleh tulang bagian depan. Tulang itu dihiasi banyak
titik putih, seakan seseorang telah menabuhnya dengan garam.
"Aku juga ingin foto sinar-X bagian itu sekali lagi," ujarku pelan, sambil
menatap berbagai partikel berwarna buram di dekat bagian tulang tempat bola mata
kiri. Lisa menatapku dengan pandangan heran.
"OK. Ayo kita keluarkan lakilaki ini," ujarku.
"Mungkin dia seorang wanita?"
"Ya, mungkin seorang wanita."
Lisa menghamparkan kain di atas meja autopsy dan menyiapkan sebuah ayakan di
atas wastafel. Kuraih sebuah celemek kertas dari salah satu laci meja baja
nirkarat, memasukkannya lewat kepalaku, dan mengikatnya di sekeliling
pinggangku, Lalu, kupakai masker di mulutku, sarung tangan operasi, dan membuka
risleting kantong mayat itu.
Mulai dari bagian kaki ke sebelah utara, kupindahkan
benda dan potongan tulang yang paling besar dan mudah dikenali. Lalu, kuayak isi
kantong untuk mencari berbagai serpihan kecil tulang yang mungkin terlewatkan
sebelumnya. Lisa memeriksa setiap gumpalan tanah di bawah kucuran air. Dia
mencuci dan meletakkan potongan artefak di atas meja, sementara aku menyusun
tulangbelulang itu menurut susunan anatomi di atas kain.
Pada tengah hari Lisa istirahat untuk makan siang. Aku terus bekerja dan pada
pukul setengah tiga proses yang melelahkan ini selesai. Setumpukan kuku,
potongan logam, dan salah sebuah selongsong yang hangus tergeletak di atas meja,
bersama sebuah botol plastik kecil berisi sesuatu yang kuduga sobekan kain.
Sepotong tulang yang hangus dan terlepas juga diletakkan di atas meja, tulang
tengkorak menyebar seperti kelopak bunga aster.
Dibutuhkan waktu lebih dari satu jam lamanya untuk mencatat semuanya,
mengidentifi kasi setiap tulang dan menentukan apakah berasal dari bagian tubuh
sebelah kiri atau kanan. Kemudian, aku memikirkan pertanyaan yang pasti diajukan
Ryan. Umur. Jenis kelamin. Ras. Siapa orang ini"
Kuraih tumpukan tulang panggul dan tulang paha. Api telah membakar habis
jaringan ototnya, membuatnya hitam dan keras seperti kulit. Pisau bermata dua.
Tulang itu telah terlindungi, tetapi akan sangat sulit membersihkannya dari
jaringan otot tersebut. Kuputar bagian panggul itu. Daging di sebelah kiri telah hangus, menyebabkan
femur terbuka. Aku bisa melihat bidang potong sambungan pinggul boladan-wadah-
nya. Ku ukur diameter bagian pangkal paha. Tampak kecil, ukurannya lebih
mengarah ke ukuran wanita.
Kupelajari struktur bagian dalam pangkal paha itu, tepat di bawah permukaannya.
Tonjolan tulang menunjukkan pola sarang lebah yang khas pada orang dewasa, tanpa
adanya garis tebal untuk menandakan batok yang baru berkembang. Hal ini
konsisten dengan bagian gigi geraham yang sudah lengkap di rahang yang kutemukan
sebelumnya. Korban ini bukan anakanak.
Kuamati bagian luar sisi batok yang membentuk wadah pinggul dan bagian bawah
pangkal paha. Pada kedua tempat itu tulang sepertinya meleleh ke bawah, seperti
cairan lilin yang meleleh. Arthritis. Orang ini sudah tidak muda lagi.
Aku sudah menduga bahwa korban ini seorang wanita. Tulang panjang di hadapanku
memiliki diameter yang cukup kecil dengan beberapa otot polos menempel di
permukaannya. Kualihkan perhatianku ke serpihan tengkoraknya.
Tulang rawan di belakang telinga yang kecil dan tulang alis. Bagian pinggiran
yang tajam dari tulang lubang bola mata. Bagian belakang tengkorak itu tampak
halus, sedangkan tengkorak lelaki pada umumnya akan kasar dan bergelombang.
Kuperiksa bagian depan tengkorak tersebut. Bagian atas tulang hidung masih
melekat. Kedua ujung tulang itu bertemu di bagian tengah, seperti sebuah menara
gereja. Kutemukan juga dua potong tulang rahang. Bagian bawah lubang hidung
berakhir di landaian tajam dengan potongan tulang mencuat di tengah-tengahnya.
Hidung itu pasti berbentuk lancip dan tajam, wajah akan tampak lurus saat
dilihat dari samping. Kutemukan potongan tulang rawan dan menyorotkan lampu
senter ke bagian telinga. Bisa kulihat sebuah luang kecil di bagian dalam
telinga. Itu adalah tandatanda orang dari ras Kaukasia.
Wanita. Berkulit putih. Dewasa. Tua.
Aku kembali ke bagian panggul, berharap akan membantuku menegaskan jenis
kelaminnya dan lebih akurat dalam menentukan umurnya. Aku terutama tertarik pada
bagian di mana kedua bagian tulang bertemu di bagian depan.
Pelan-pelan, kubersihkan otot yang terbakar, menampakkan bagian di antara kedua
tulang selangkangan, pubic symphisis. Tulang selangkangan itu cukup lebar, sudut
di bawahnya juga lebar. Keduanya memiliki bum-bungan yang tinggi di kedua
sudutnya. Bagian bawah dari tulang selangkangan itu tampak ramping dan
melengkung dengan mulusnya. Tandatanda khas tulang wanita. Kucatat kembali di
dalam formulir dan mengambil foto Polaroid dari jarak dekat.
Panas yang hebat telah menyebabkan menyusutnya tulang rawan penghubung dan
meregangkan tulang selangkangan di bagian tengahnya. Kuputar bagian yang hangus
itu, mencoba mengintip di sela-selanya. Ke lihatannya bagian permukaan
symphyseal masih melekat, tetapi aku tidak bisa melihat lebih teperinci lagi.
"Ayo kita coba keluarkan bagian selangkangan ini," ujarku kepada Lisa.
Aku mencium bau daging terbakar saat gergaji menembus bagian sayap yang
menghubungkan tulang selangkangan ke sisasisa bagian panggul. Hanya membutuhkan
beberapa detik saja. Bagian symphyseal tampak hangus, tetapi lebih mudah untuk diamati. Tidak ada
tonjolan maupun kerut di kedua permukaannya. Bahkan, keduanya tampak berlubang-
lubang, bagian luarnya melipat dengan anehnya. Serabut
tulang mencuat dari bagian depan selangkangan, mengeras pada jaringan otot di
sekitarnya. Wanita ini telah hidup cukup lama.
Kubalikkan tulang selangkangan itu. Sebuah parut yang dalam tampak di kedua sisi
bagian perut. Dan dia sudah pernah melahirkan.
Kuraih kembali tulang bagian depan. Untuk sejenak aku berdiri di situ, cahaya
terang menampakkan apa yang sudah kuduga di ruang bawah tanah, dan yang sudah
ditegaskan kembali dengan munculnya sebaran potongan logam di foto sinar-X.
Dari tadi aku sudah berusaha mengendalikan emosi, tetapi sekarang kubiarkan
diriku berduka atas korban yang rusak di atas meja di hadapanku. Dan menduga-
duga apa yang telah terjadi padanya.
Wanita itu kira-kira berusia tujuh puluh tahun, tidak diragukan lagi adalah
seorang ibu, mungkin seorang nenek.
Mengapa ada orang menembaknya di kepala dan meninggalkannya terbakar di sebuah
rumah di pegunungan Laurentian"[]
Pada hari Selasa siang aku telah menyelesaikan laporanku. Aku bekerja sampai
lewat dari pukul sembilan di malam sebelumnya karena tahu Ryan pasti


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menginginkan jawaban. Anehnya, aku belum melihatnya sampai sekarang.
Kubaca lagi apa yang telah kutuliskan, memeriksa kalau-kalau ada kesalahan.
Kadangkadang aku menilai pembedaan kata berdasarkan jenis kelamin dan aksen
adalah kutukan Francophone yang khusus dirancang untuk menyiksaku. Aku selalu
mencoba sebaik mungkin, tetapi pasti ada saja beberapa kekurangan di dalam
laporanku. Selain profi I biologis korban yang tak dikenal ini, laporan itu menyertakan
analisis trauma. Saat membedah, kutemukan serpihan berwarna buram di bagian
femur sebagai akibat benturan setelah kematian. Potongan logam kecilkecil yang
melesat menembus tulang mungkin diakibatkan oleh ledakan tangki gas. Kerusakan
selebihnya juga disebabkan oleh kebakaran. Beberapa kerusakan bukan akibat
kebakaran. Kubaca ringkasan yang baru saja kutuliskan.
Luka A adalah kerusakan melingkar, dan hanya setengahnya yang masih terlihat
jelas. Luka ini terletak di bagian tengah depan, kira-kira 2 cm di atas
glabella dan 1,2 cm sebelah kiri garis tengah. Kerusakan itu memiliki diameter
1,4 cm dan menunjukkan karakteristik menyerong di bagian dalam. Bekas hangus
juga tampak di sekeliling kerusakan itu. Luka A konsisten dengan lubang masuk
luka tembak. Luka B adalah kerusakan melingkar dengan karakteristik menyerong ke bagian luar.
Diameternya 1,6 cm di bagian endocranial dan 4,8 cm di bagian ectocrania/.
Kerusakan ini terpusat pada tulang occipital, 2,6 cm di atas opisthion dan 0,9
cm sebelah kiri garis misdagittal. Tampak hangus di sebelah kiri, kanan, dan
bagian dalam kerusakan itu. Luka B konsisten dengan lubang keluar luka tembak.
Walaupun kerusakan akibat kebakaran membuat rekonstruksi mustahil dilakukan, aku
masih mampu meletakkan berbagai potongan cukup banyak untuk menentukan bagian
yang berada di antara lubang masuk dan keluar peluru itu.
Pola ini adalah pola klasik. Wanita tua itu telah ditembak di kepalanya. Peluru
masuk di bagian tengah dahinya, menembus otaknya, dan keluar dari belakang
kepalanya. Ini menjelaskan mengapa tengkoraknya tidak hancur akibat kobaran api.
Sebuah lubang sebagai jalan keluar tekanan dari dalam tengkorak telah tercipta
sebelum api berkobar. Aku berjalan ke bagian administrasi untuk menyerahkan laporan itu dan saat
kembali kudapati Ryan sedang duduk di seberang mejaku, menatap jendela di
belakang kursiku. Kakinya diselonjorkan di sepanjang setengah ruangan kantorku.
"Pemandangan yang indah," katanya dalam bahasa
Inggris. Lima lantai di bawahnya, tampak Jembatan Jacques Cartier melengkung di atas
sungai St. Lawrence. Aku bisa melihat beberapa mobil merayap di punggung
jembatan itu. Pemandangannya memang indah. "Pemandangan itu mengalihkan
pikiranku yang sering memikirkan betapa kecilnya kantor ini." Aku berjalan
melewatinya, mengelilingi meja, dan duduk di kursiku.
"Pikiran yang terganggu bisa berbahaya."
"Tulang keringku yang memar membawaku kembali ke alam nyata." Kuputar kursiku ke
samping dan kuletakkan kakiku ke atas langkan di bawah jendela, dengan tumit
menyilang. "Korban itu wanita tua, Ryan. Ditembak di kepalanya."
"Seberapa tua?"
"Menurutku sekitar tujuh puluh tahun. Bahkan mungkin tujuh puluh lima. Symphyses
selangkangannya memiliki jam terbang yang cukup lama, tapi setiap orang memiliki
karakteristik yang berbedabeda di bagian itu. Dia pengidap arthritis akut dan
sudah mengalami osteoporosis."
Ryan menurunkan dagu dan menaikkan alis matanya. "Dalam bahasa Prancis atau
Inggris, Brennan. Jangan gunakan bahasa dokter." Matanya hamper sama dengan
warna biru layar Windows 95.
"Os-te-o-po-ro-sis." Kueja setiap suku katanya pelan-pelan. "Aku bisa menilai
dari foto sinar-X-nya bahwa tengkoraknya cukup tipis, Aku tidak melihat ada
bagian yang retak, tapi aku hanya mendapatkan beberapa bagian tulang panjangnya.
Bagian panggul adalah bagian yang sering retak pada wanita tua karena menjadi
tumpuan beban tubuhnya. Panggul korban ini baikbaik saja."
"Kaukasia?" Aku mengangguk. "Data lainnya?"
"Dia mungkin sudah melahirkan beberapa anak." Tatapan mata birunya yang tajam
menatap wajahku lekat-lekat. "Tampak torehan yang cukup panjang di bagian
belakang kedua tulang selangkangannya."
"Bagus." "Satu hal lagi, kurasa dia sudah berada di dalam ruang bawah tanah saat
kebakaran itu terjadi." "Tahu dari mana?"
"Tidak ada puingpuing lantai di bawah tubuh korban. Dan kutemukan beberapa
lapisan kain menempel di antara tubuh dan tanah liat. Dia pasti telah tergeletak
di atas lantai." Ryan memikirkan hal itu untuk beberapa saat lamanya.
"Jadi, menurutmu ada orang menembak mati si Nenek, menyeretnya ke ruang bawah
tanah dan meninggalkannya untuk terbakar hangus?"
"Tidak. Aku mengatakan Nenek itu ditembak di kepalanya. Aku tidak tahu siapa
yang menembaknya. Mungkin dia sendiri yang melakukannya. Itu tugasmu, Ryan."
"Kamu menemukan pistol di dekatnya?"
"Tidak." Saat itu Bertrand muncul di pintu. Sementara Ryan terlihat rapi dan necis,
kekusutan baju rekannya cukup tajam untuk memotong batu mulia. Dia mengenakan
kemeja berwarna ungu tua yang disesuaikan dengan nada warna dasinya yang
bermotif bunga, sebuah jaket wol ungu muda dan abu-abu, dan celana wol dengan
warna yang lebih muda sedikit dari warna jaketnya.
"Apa yang kamu dapatkan?" tanya Ryan kepada rekannya.
"Tidak ada tambahan selain yang sudah kita ketahui. Sepertinya orangorang ini
muncul dari luar angkasa. Tidak ada yang tahu siapa yang tinggal di dalam rumah
itu. Kami masih mencoba melacak pemilik rumah itu yang sedang berada di Eropa.
Para tetangga di seberang jalan melihat seorang wanita tua dari waktu ke waktu,
tapi dia tidak pernah berbicara dengan mereka. Menurut tetangga, pasangan
suamiistri dengan anakanak itu baru beberapa bulan di rumah itu. Mereka jarang
melihatnya, tidak pernah tahu nama mereka. Seorang wanita di ujung jalan menduga
mereka anggota kelompok fundamentalis."
"Menurut Brennan korban kita seorang wanita. Septuagenarian."
Bertrand menatapnya. "Berusia tujuh puluh tahunan."
"Seorang wanita tua?"
"Ada peluru bersarang di otaknya."
"Kau bercanda?"
"Aku tidak bercanda."
"Ada orang menembaknya dan membakar rumah itu?"
"Atau si Nenek menembak dirinya sendiri setelah menyalakan barbaque itu. Tapi,
ke mana larinya senjata itu?"
Setelah mereka pergi, aku memeriksa permintaan untuk berkonsultasi denganku.
Sebuah botol berisi abu tiba di Quebec City, hasil kremasi seorang kakek yang
meninggal di Jamaika. Keluarganya menuduh kremasi itu penipuan dan membawa
abunya ke kantor koroner. Dia ingin tahu pendapatku.
Sebuah tengkorak ditemukan di dalam jurang di luar Pekuburan Cote des Neiges.
Tengkorak itu sudah kering dan memutih, dan mungkin berasal dari sebuah kuburan
tua. Koroner membutuhkan konfi rmasi atas hal tersebut.
Pelletier memintaku memeriksa mayat seorang bayi untuk menemukan bukti
kelaparan. Pasti dibutuhkan pengamatan mikroskop!. Bagian tulang yang tipis
harus digerus, ditetesi cairan pewarna, dan diamati di bawah mikroskop sehingga
aku bisa memeriksa sel-selnya dengan perbesaran tertentu. Walaupun sebagian
besar tulang menunjukkan tulang bayi, aku akan mencari tandatanda porositas yang
tidak umum dan pemodelan-ulang abnormal dalam mikro-anatominya.
Beberapa contoh telah dikirimkan ke lab histologi. Aku juga harus mempelajari
foto sinar-X dan tulangbelulangnya, tetapi masih terlalu lembap untuk mengupas
dagingnya. Tulang bayi terlalu rentan untuk direbus.
Nah. Tidak ada yang mendesak. Aku bisa membuka peti mati Elisabeth Nicolet.
Setelah melahap roti-lapis dingin dan segelas yogurt di kantin, aku berjalan
menuju kamar mayat, meminta jenazahnya dipindahkan ke ruangan tiga, kemudian
mengganti pakaianku. Peti mati itu lebih kecil dari yang kuingat, panjangnya kurang dari satu meter.
Sebelah kirinya telah lapuk sehingga menyebabkan tutupnya melesak ke dalam.
Kubersihkan tanah yang ada di situ, kemudian memotretnya.
"Perlu linggis?" tanya Lisa yang berdiri di pintu masuk.
Karena ini bukanlah kasus LML, sebetulnya aku harus bekerja sendirian, tetapi
banyak yang menawarkan bantuan. Rupanya aku bukanlah satu-satunya yang tertarik
oleh Elisabeth. "Boleh juga." Dibutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk melepaskan tutup peti itu, Kayunya
lunak dan mudah hancur, dan pakunya mudah dicabut. Kusekop tanah dari bagian dalam sehingga
menampakkan lapisan timbal dari sebuah peti mati lainnya.
"Mengapa petinya kecil sekali?" tanya Lisa.
"Ini bukan peti mati yang asli. Elisabeth Nicolet telah digali dan dikebumikan
kembali di awal abad ini, jadi hanya diperlukan ruangan seadanya untuk
tulangbelulangnya." "Menurutmu ini dia?"
Aku menatapnya dengan tajam.
"Beri tahu aku kalau kau memerlukan sesuatu."
Aku terus menyekop tanah itu sampai akhirnya tutup peti mati kedua terlihat
jelas. Tidak ada plakat di atasnya, tetapi memiliki lebih banyak ornamen
dibandingkan peti luarnya, dengan bagian pinggir yang diukir sejajar mengikuti
sisi heksagonal di luarnya. Seperti peti mati yang di luarnya, peti ini juga
telah hancur dan dipenuhi tanah.
Lisa kembali dua puluh menit kemudian. "Aku punya waktu sedikit kalau kamu
membutuhkan sinar-X."
"Tidak bisa melakukan sinar-X karena lapisan timbal ini," kataku. "Tapi, aku
sudah siap untuk membuka peti yang di dalam ini."
"Oke." Seperti sebelumnya, kayu itu lunak sekali dan pakunya langsung copot begitu
kucungkil. Ada tanah lagi. Kuciduk dua kali, lalu tampak tengkoraknya. Hore! Ada orangnya!
Pelan-pelan tulangbelulangnya bermunculan, Tulangtulang itu tidak diletakkan
sesuai dengan urutan anatomi, tetapi diletakkan paralel satu sama lain seakan
diikat erat-erat saat diletakkan di dalam peti mati itu. Penem -
patan tulangbelulang itu mengingatkanku pada sebuah situs purbakala yang kugali
di awal karierku. Sebelum masa Columbus, beberapa kelompok aborigin meletakkan
mayat anggota kelompoknya di atas batu di udara terbuka sampai tinggal
tulangbelulang, kemudian membungkusnya untuk dikebumikan. Elisabeth telah
dibungkus persis seperti itu.
Aku mencintai arkeologi. Masih mencintainya sampai sekarang. Aku menyesal karena
hanya memiliki pengalaman yang terlalu sedikit, tetapi selama sepuluh tahun
terakhir ini, karierku berubah haluan. Mengajar dan menangani kasus forensik
sekarang menyita seluruh waktuku. Elisabeth Nicolet membuatku kembali ke karier
lamaku, dan aku benarbenar menikmatinya.
Kukeluarkan dan kutata kembali tulangbelulang itu, seperti yang telah kulakukan
kemarin. Semuanya kering dan rapuh, tetapi orang ini berada dalam kondisi yang
jauh lebih baik dibandingkan dengan wanita kemarin dari St-Jovite.
Sepengetahuanku hanya tulang metatarsal dan enam tulang jari yang hilang.
Tulangtulang itu tidak muncul saat aku mengayak tanah, tetapi aku menemukan
beberapa gigi seri dan taring, kemudian meletakkannya kembali ke tempatnya.
Kuikuti prosedur yang biasa kulakukan, mengisi formulir seperti yang kulakukan
untuk setiap kasus koroner. Aku mulai dengan bagian panggul. Tulang itu milik
seorang wanita. Tidak ada keraguan lagi. Tulang selangkangan symphyses
menunjukkan usia sekitar tiga puluh lima sampai empat puluh lima tahun. Para
biarawati yang baik itu pasti akan senang mendengarnya.
Saat mengukur tulang panjang, kuamati adanya
penipisan yang tidak lazim di bagian depan tibia, tepat di bawah lutut.
Kuperiksa metatarsalnya. Daerah di pangkal jari menunjukkan tandatanda
arthritis. Yahoo! Pola pergerakan kaki yang sama telah meninggalkan tanda di
tulang itu. Elisabeth pasti telah menghabiskan waktu bertahuntahun lamanya
berdoa di lantai batu di dalam kamarnya di biara. Saat berlutut, kombinasi
tekanan lutut dan peregangan jari kaki akan menimbulkan pola yang sedang kutatap
saat ini. Aku teringat pada sesuatu yang kulihat saat menemukan sebuah gigi dari ayakan,
dan memungut rahang itu. Setiap gigi seri bagian tengah bawah memiliki lekukan
tepat di ujungnya. Kutemukan gigi atas. Tampak lekukan yang sama. Saat tidak
sedang berdoa atau menulis surat, Elisabeth pasti rajin menyulam. Hasil
sulamannya masih tergantung di biara di Lac Memphremahog. Giginya ter-pocel
karena selama bertahuntahun menarik benang atau menggigit jarum. Aku benarbenar
menyukai penelitian ini. Lalu, kubalikkan batok tengkoraknya sampai menghadap ke atas dan memotretnya dua
kali. Aku sedang berdiri, menatapnya, saat LaManche masuk ke dalam ruangan.
"Jadi, inikah santa itu?" tanyanya.
Dia berdiri di sampingku dan menatap tengkorak itu.
"Mori Dieu." ttT7"a, analisisnya berjalan lancar." Aku sedang di dalam j_ kantor, berbicara
dengan Pastor Menard. Tengkorak dari Memphremagog diletakkan di atas sebuah
dudukan tengkorak di atas meja kerjaku. "Tulangbelulangnya ternyata sungguh
awet." "Apakah Anda bisa memberikan konfi rmasi bahwa ia adalah Elisabeth" Elisabeth
Nicolet?" "Pastor, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan lagi."
"Apa ada masalah?"
Ya. Mungkin ada masalah. "Tidak, tidak. Aku hanya menginginkan beberapa informasi lagi."
"Informasi apa?"
"Apakah Anda memiliki dokumen resmi mengenai orang tua Elisabeth?"
"Ayahnya adalah Alain Nicolet dan ibunya bernama Eugenie Belanger, seorang
penyanyi terkenal di zamannya. Pamannya, Louis-Philippe Belanger, adalah seorang
wakil rakyat dan dokter yang sangat terkemuka."
"Baik. Apa ada akta kelahirannya?"
Dia terdiam sejenak. Kemudian,
"Kami tidak pernah bisa menemukan akta kelahirannya."
"Apakah Anda tahu di mana Elisabeth dilahirkan?"
"Kurasa dia dilahirkan di Montreal, Keluarganya sudah tinggal di sini selama
beberapa generasi. Elisabeth adalah keturunan Michel Belanger, yang tiba di
Kanada pada 1758, di harihari terakhir Prancis Baru. Keluarga Belanger selalu
memegang jabatan penting dalam permasalahan kota."
"Baik. Apakah ada arsip rumah sakit atau surat baptis, atau apa pun yang secara
resmi mencantumkan tanggal kelahirannya?"
Hening kembali. "Dia dilahirkan lebih dari seratus lima puluh tahun yang lalu."
"Apakah saat itu sudah ada kebiasaan orang menyimpan arsip?"
"Ya. Suster Julienne telah mencarinya. Tapi, bias saja ada benda-benda yang
hilang setelah sekian lama. Sudah lama sekali."
"Betul sekali."
Untuk sejenak kami berdua membisu. Aku baru saja hendak mengucapkan terima kasih
kepadanya saat dia berkata,
"Kenapa Anda mengajukan berbagai pertanyaan ini, Dr. Brennan?"
Aku ragu-ragu. Belum saatnya. Aku bisa saja salah. Aku bisa saja benar, tetapi
hal itu tidak ada artinya. "Aku hanya ingin tahu latar belakang yang lebih jelas
saja." Aku baru saja meletakkan gagang telepon saat telepon berdering kembali. "Oui.
Dr. Brennan." "Ryan." Aku bisa mendengar ketegangan dalam nada suaranya. "Memang kebakaran itu
disengaja. Dan siapa pun yang merencanakannya ingin memastikan bahwa tempat itu
terbakar habis. Sederhana, tapi efektif. Mereka mengaitkan sebuah kumparan
pemanas ke sebuah jam pengatur waktu, seperti yang biasa digunakan untuk
menyalakan lampu saat orang ke spa."
"Aku tidak pernah pergi ke spa, Ryan."
"Kamu mau mendengarkan atau tidak?" Aku tidak memberikan jawaban.
"Jam pengatur waktu itu menyalakan pelat pemanas. Benda itu menyebabkan
kebakaran yang kemudian memicu tangki gas. Jam pengatur waktu itu hampir hancur
seluruhnya, tapi kami berhasil menemukan sisa-sisanya.
Sepertinya beberapa jam itu dinyalakan pada beberapa saat yang berbeda, tapi
begitu api menyebar, semua langsung meledak."
"Ada berapa banyak tangki?"
"Empat belas. Kami menemukan sebuah jam yang tidak hancur di pekarangan. Kurasa


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jam itu tidak berfungsi. Ini jenis jam yang bisa dibeli di took mana pun. Kami
akan mencoba menemukan sidik jari, tapi kurasa kecil kemungkinannya."
"Pemicunya?" "Bensin, seperti yang kuduga." "Kenapa dua-duanya?"
"Karena ada orang yang ingin menghancurleburkan tempat itu dan tidak mau ada
kesalahan. Mungkin pikirnya tidak akan ada kesempatan kedua."
"Bagaimana kamu tahu itu?"
"LaManche berhasil mengambil contoh cairan dari mayat di kamar tidur.
Toksikologi menemukan kadar Rohypnol yang sangat tinggi."
"Rohypnol?" "
"Nanti saja dia yang menceritakan bagian itu. Dikenal sebagai obat bius untuk
memerkosa atau semacamnya karena tidak bisa dideteksi dari korban dan langsung
membuat pingsan sampai berjam-jam."
"Aku tahu apa Rohypnol itu, Ryan. Aku hanya kaget saja. Barang itu 'kan tidak
bisa dibeli di mana saja?"
"Ya. Itu bisa menjadi titik awal penyelidikan kita. Rohypnol dilarang di Amerika
dan Kanada." Begitu juga dengan narkoba, pikirku. "Ada lagi yang aneh. Ternyata bukan Ward
dan June Cleaver yang ada di kamar tidur itu. Kata LaManche, lelaki itu mungkin
berusia sekitar dua puluh tahunan dan wanitanya sekitar lima
puluh tahun." Aku sudah tahu itu. LaManche menanyakan opiniku saat melakukan autopsi.
"Sekarang bagaimana?"
"Kami akan kembali ke tempat itu untuk memeriksa dua gedung lainnya. Kami masih
menunggu kabar dari pemiliknya. Dia semacam petapa yang sekarang berada di
pedalaman Belgia." "Semoga berhasil."
Rohypnol. Nama itu membangkitkan sebuah kenangan di dalam kepalaku, tetapi saat
aku mencoba mengingatnya kembali, langsung lenyap kembali.
Kuperiksa apakah slides untuk kasus bayi yang kurang makan milik Pelletier sudah
selesai. Teknisi histologi mengatakan contoh itu baru akan siap besok.
Kemudian, kuhabiskan waktu satu jam berikutnya untuk memeriksa abu kremasi. Abu
itu ditempatkan di dalam botol selai dengan label tulisan tangan yang menyatakan
nama orang yang meninggal, nama krematorium, dan tanggal kremasi. Bukan jenis
pembotolan abu jenazah yang lazim ditemui di Amerika Utara, tapi aku tidak tahu
bagaimana kebiasaan di Karibia.
Tidak ada partikel yang lebih besar dari satu cm. Sudah lazim. Beberapa kepingan
tulang biasanya selamat dari proses pengabuan yang digunakan crematorium modern.
Dengan menggunakan pisau bedah, aku berhasil mengidentifi kasi beberapa benda,
termasuk sebuah tulang rawan telinga yang lengkap. Aku juga berhasil menemukan
kepingan logam yang sudah terpelintir yang kupikir pasti merupakan bagian dari
gigi palsu. Aku memisahkannya untuk diperiksa dokter gigi.
Biasanya, seorang lelaki dewasa akan menyusut akibat
proses kremasi menjadi sekitar 3.5DD cc debu. Botol ini hanya berisi sekitar 360
cc saja. Aku menulis laporan singkat yang menyatakan bahwa abu ini berasal dari
seorang manusia dewasa dan tidak lengkap. Harapan untuk bisa mengidentifikasi
ada pada Bergeron. Pada pukul setengah tujuh aku bersiap-siap, kemudian pulang. []
Tengkorak Elisabeth membuatku gelisah. Apa yang kulihat seharusnya tidak seperti
itu, tetapi bahkan LaManche pun telah melihatnya. Aku benarbenar penasaran untuk
segera menemukan jawabannya, tetapi pagi berikutnya serangkaian tulang kecil di
dekat tempat pembuangan di lab histo harus kutangani lebih dahulu. Slides kasus
bayi Pelletier juga sudah selesai sehingga aku menghabiskan beberapa jam di pagi
hari itu untuk menangani kasus itu.
Karena tidak ada tugas lain di mejaku, pada pukul setengah sebelas kuhubungi
Suster Julienne untuk menggali informasi sebanyak mungkin mengenai Elisabeth
Nicolet, Kuajukan berbagai pertanyaan yang sama seperti yang kuajukan kepada
Pastor Menard kemarin, dan hasilnya ternyata sama saja. Elisabeth adalah "pure
laine," Orang asli Quebec. Tetapi, tidak ada dokumen yang menyatakan hari
kelahiran atau silsilah keluarganya.
"Bagaimana dengan di luar biara, Suster" Apakah Anda sudah memeriksa berbagai
dokumentasi di luar sana?"
"Ah, oui. Aku sudah memeriksa semua arsip di keuskupan. Kami juga memiliki
perpustakaan yang tersebar di seluruh provinsi. Aku sudah mendapatkanbahan-bahan
dari banyak biara dan gereja lain."
Aku sudah melihat bahan-bahan ini. Kebanyakan dalam bentuk surat atau catatan
pribadi yang mengan dung referensi kepada keluarga itu. Beberapa di antaranya hasil pencarian dari
catatan sejarah, tetapi tidak ada yang mirip dengan sesuatu yang oleh dekanku
disebut sebagai "hasil penelaahan rekan sejawat." Kebanyakan hanya catatan
menarik yang ditulis berdasarkan gosip atau kabar burung.
Aku mencoba cara lain. "Dahulu, gereja menangani semua akta kelahiran di Quebec
'kan?" Pastor Menard telah menjelaskan hal tersebut.
"Ya. Kebiasaan itu baru mengalami perubahan beberapa tahun yang lalu."
"Tapi tidak ada dokumen mengenai Elisabeth?"
"Tidak ada." Dia berhenti sejenak. "Kami mengalami beberapa kali musibah
kebakaran yang tragis selama beberapa tahun ini. Di tahun 1880 Sisters of Notre
Dame membangun sebuah biara khusus untuk biarawati di sebelah Mount Royal.
Sayangnya, gedung itu terbakar habis tiga belas tahun kemudian. Biara khusus
kami sendiri hancur pada tahun 1897. Ratusan dokumen yang berharga hilang pada
musibah tersebut." Untuk sejenak kami berdua tidak berkata apaapa.
"Suster, apakah Anda tahu kira-kira di tempat mana lagi aku bisa mendapatkan
informasi tentang kelahiran Elisabeth" Atau mungkin data tentang orangtuanya?"
"Aku ... yah, kurasa Anda bisa mencoba perpustakaan umum. Atau museum" Atau
mungkin salah satu universitas. Di keluarga Nicolet dan Belanger terdapat
beberapa tokoh penting dalam sejarah Kanada Prancis. Aku yakin mereka pasti
disebutsebut dalam sejarah."
"Terima kasih Suster. Aku akan mencarinya."
"Ada seorang profesor di McGill yang pernah meneliti arsip kami. Keponakanku
mengenalnya. Profesor itu meneliti pergerakan agama, tapi dia juga tertarik pada
sejarah Quebec. Aku tidak ingat apakah dia ahli antropologi atau bukan, atau
seorang sejarawan, atau entah apalah. Dia mungkin bisa membantu." Dia terdengar
ragu-ragu. "Tentu saja, sumber miliknya akan berbeda dengan yang kami miliki."
Aku yakin akan hal itu, tetapi tidak berkomentar apa-apa.
"Anda ingat siapa namanya?"
Suasana hening beberapa saat lamanya. Aku bias mendengar suara beberapa orang
berbicara di saluran telepon, seperti suara orang di seberang danau, Terdengar
tawa orang. "Sudah lama sekali. Maaf. Kalau mau, aku bias menanyakannya kepada keponakanku."
"Terima kasih, Suster. Aku akan mengikuti petunjuk yang Anda berikan."
"Dr. Brennan, kira-kira kapan Anda selesai meneliti tulangtulang itu?"
"Tidak lama lagi. Kecuali kalau ada informasi baru, aku akan bisa menyelesaikan
laporanku pada hari Jumat. Aku akan mencatat semua penilaianku tentang usia,
jenis kelamin, ras, serta berbagai pengamatan lainnya yang kubuat dan berbagai
komentar tentang bagaimana penemuanku dibandingkan dengan berbagai fakta yang
kuketahui tentang Elisabeth.
Anda bisa menambahkan hal-hal yang Anda rasakan pantas untuk dimasukkan dalam
surat Anda ke Vatikan."
"Dan Anda akan menelepon kami?"
"Tentu saja. Segera setelah penelitianku selesai." Sebenarnya, penelitianku
sudah selesai, dan aku tidak meragukan apa yang akan kutulis dalam laporanku.
Jadi, mengapa aku tidak memberi tahu mereka saat ini saja"
Kami mengucapkan salam, kemudian kututup gagang telepon, menunggu nada panggil,
dan menekan nomor telepon lain. Telepon berbunyi di suatu tempat di seberang
kota. "Mitch Denton."
"Hai, Mitch. Ini Tempe Brennan. Kamu masih menjadi boss di tempatmu?"
Mitch adalah pemimpin departemen antropologi yang pernah memintaku mengajar
paruh waktu saat aku pertama kali ke Montreal. Kami terus berteman sejak saat
itu. Spesialisasinya adalah Paleolitik Prancis.
"Masih terjebak di sini. Kamu bersedia mengajar lagi di musim panas nanti?"
"Tidak, terima kasih. Aku punya pertanyaan untukmu."
"Pertanyaan apa?"
"Kamu masih ingat kasus sejarah yang tempo hari kuceritakan" Kasus yang
kulakukan untuk keuskupan?" "Tentang calon santa itu?" "Betul."
"Masih. Kasus yang sampai menyingkirkan semua penelitian yang kamu lakukan. Kamu
menemukancalon santa itu?"
"Ya. Tapi, aku menemukan sesuatu yang aneh dan aku ingin mempelajari dirinya
lebih jauh lagi." "Aneh bagaimana?"
"Tidak terduga, Salah seorang biarawati menceritakan bahwa ada orang di McGill
yang pernah melakukan penelitian tentang agama dan sejarah Quebec. Kamu tahu
tentang hal itu?" "Tahu dongl Pasti Daisy Jean."
"Daisy Jean?" "Dr. Jeannotte. Profesor yang mengajar mata kuliah Kajian Agama dan dia sahabat
mahasiswa." "Tolong diperjelas lagi, Mitch."
"Namanya Daisy Jeannotte. Resminya dia mengajar di Fakultas Kajian Agama, tapi
dia juga mengajar beberapa mata pelajaran sejarah. 'Pergerakan Agama di Quebec'
'Sistem Kepercayaan Kuno dan Modern.' Semacam itulah."
"Daisy Jean?" ulangku.
"Hanya panggilan akrab di antara kami. Bukan untuk konsumsi umum." "Kenapa?"
"Dia bisa sedikit ... aneh, seperti ungkapan yang kamu katakan tadi." "Aneh?"
"Tidak dapat diduga. Dia dari Dixie, kamu ngerti 'kan?"
Aku tidak mengacuhkan komentarnya. Mitch adalah orang dari daerah Vermont, Dia
tidak pernah melupakan asal-usulku dari Selatan.
"Kenapa kamu bilang dia sahabat mahasiswa?"
"Daisy menghabiskan seluruh waktu luangnya dengan mahasiswanya. Dia biasa
mengajak mereka jalan-jalan, memberikan saran, bepergian dengan mereka,
mengundang mereka ke rumahnya untuk makan malam. Selalu saja ada mahasiswa yang
membutuhkan arahan dan konseling yang mengantre di luar pintu rumahnya."
"Sepertinya orang yang patut dikagumi."
Dia hendak mengatakan sesuatu, tetapi kemudian tidak jadi. "Begitulah."
"Apa mungkin Dr. Jeannotte mengetahui sesuatu tentang Elisabeth Nicolet atau
keluarganya?" "Bila ada orang yang bisa menolongmu, Daisy Jean-lah orangnya."
Dia memberikan nomor telepon sang professor dan kami berjanji untuk bertemu
kapan-kapan. Seorang sekretaris menginformasikan bahwa Dr. Jeannotte akan ada di kantornya
pada pukul satu sampai tiga sore, jadi aku memutuskan untuk mampir setelah jam
makan siang. Dibutuhkan keahlian analisis tinggi setingkat insinyur sipil untuk memahami
kapan dan di mana kita boleh memarkir mobil di Montreal. Universitas McGill
terletak di jantung Centre-Ville (pusat kota), jadi bahkan sekalipun kita mampu
memahami di mana letak tempat parkir yang sah, hampir mustahil bisa menemukan
tempat yang kosong. Aku menemukan tempat yang kosong di Stanley yang menurut
perkiraanku boleh ditempati mulai pukul sembilan sampai pukul lima, antara 1
April sampai 31 Desember, kecuali dari pukul 1 sampai 2 siang pada hari Selasa
dan Kamis. Parkir di sini tidak membutuhkan izin darilingkungan se kitarnya.
Setelah lima kali mundur dan memutar-mutar kemudi, akhirnya aku berhasil
menyisipkan Mazdaku di antara sebuah mobil pick up Toyota dan sebuah Oldsmobile Cutlass. Lumayan juga,
padahal tempatnya curam, Saat keluar dari mobil, keringatku mengucur deras
walaupun cuaca dingin. Kuperiksa bemper. Ada ruangan kosong sekitar setengah
meter. Depan dan belakang.
Cuaca tidak sedingin sebelumnya, tetapi peningkatan suhu yang tidak begitu
tinggi diiringi dengan peningkatan kelembapan. Kabut dingin dan udara lembap
menyelimuti kota, dan warna langit menyerupai warna timah tua. Salju yang basah
dan lebat mulai menghujani bumi saat aku berjalan menuruni bukit ke Sherbrooke
dan membelok ke timur. Serpihan salju pertama mencair saat menyentuh trotoar, kemudian yang
lainnya mendarat di atasnya, bersiap-siap membentuk gundukan salju.
Aku bergegas menaiki bukit di McTavish, kemudian masuk ke McGill melalui pintu
gerbang barat. Kampus terlihat menjulang di hadapanku, bangunan batu abu-abu
mulai dari kaki bukit di Sherbrooke sampai Docteur-Penfi eld. Orangorang
berjalan dengan bergegas, dengan bahu dirapatkan menghindari dinginnya dan
lembapnya cuaca, buku dan bungkusan dilindungi dari sentuhan salju. Aku berjalan
melewati perpustakaan dan memotong di belakang Museum Redpath. Setelah keluar
dari gerbang timur, aku membelok ke kiri dan mengarah ke universitas, betisku
seakan baru menempuh jalan lima kilometer jauhnya di Kutub Utara. Di luar Birks
Hall, aku hampir bertabrakan dengan seorang lelaki muda tinggi yang berjalan
sambil menundukkan kepalanya, kacamatanya diselimuti serpihan salju sebesar
kupukupu. Birks terlihat seperti bangunan dari zaman dahulu kala, dengan bagian luar
bergaya Gothic, dinding dan perabotan dari kayu ek yang diukir, dan jendela
bergaya katedral berukuran raksasa. Di tempat ini kita cenderung berbisik, bukan
bercakap-cakap dan saling bertukar catatan yang sering kali terjadi di gedung
universitas. Lobi lantai pertama sangat luas, dindingnya dihiasi potret para
lelaki yang menatap dengan gaya serius cendekiawan penting.
Aku menambahkan jejak salju yang mencair dari sepatuku di atas lantai marmer
yang dipenuhi jejak kaki serupa, kemudian melangkah untuk melihat dari dekat
beberapa karya seni agung. Thomas Cranmer Archbishop of Canterbury. Karya hebat,
Tom. John Bunyan, Immor -
tal Dreamer. Zaman sudah berubah. Saat masih menjadi mahasiswa, bila tertangkap
basah sedang melamun, bisa-bisa kita ditegur dan dipermalukan karena tidak
menyimak. Kunaiki tangga yang melingkar, melewati dua pintu kayu di lantai dua, yang satu
pintu ke kapel, yang satu lagi ke perpustakaan, dan meneruskan ke pintu yang
ketiga. Di sini keanggunan lobi sudah luntur, digantikan oleh tandatanda
bangunan tua. Cat yang sudah terkelupas di sana-sini, baik di dinding maupun di
langit-langitnya, dan di beberapa tempat tampak ubin yang sudah hilang dari
tempatnya. Di puncak tangga aku berhenti sejenak untuk mengatur sikap. Semuanya begitu
hening dan muram, mencekam. Di sebelah kiri bisa kulihat ruangan kecil dengan
pintu ganda menuju balkon kapel. Dua koridor berada di kedua sisi ruangan itu,
dengan beberapa pintu kayu pada jarak tertentu di setiap ruangan. Kulewati
kapel, kemudian mulai berjalan menyusuri koridor tersebut.
Kantor terakhir di sebelah kiri tampak terbuka, namun tidak ada penghuninya.
Sebuah plakat di atas pintu bertuliskan "Jeannotte" dengan huruf yang indah.
Dibandingkan dengan kantorku, ruangan itu mirip dengan ruang sembahyang di St.
Joseph. Panjang dan sempit, dengan jendela berbentuk bel di ujungnya. Melalui
kaca yang sangat jernih, aku bisa melihat gedung administrasi dan jalanan menuju
Strathcona Medical-Dental Complex. Lantai ruangan terbuat dari kayu ek, papannya
sudah menguning akibat diinjak kaki kaum terpelajar selama bertahuntahun. Rak
berjejer di setiap dinding, dipenuhi buku, jurnal, catatan, video, wadah slide,
dan tumpukan kertas serta fotokopi. Sebuah meja kayu terletak di depan jendela
dengan sebuah komputer di sebelah kanannya.
Kulirik jam tanganku. Pukul dua belas lewat empat puluh lima menit. Aku datang
terlalu awal. Aku kembali ke aula dan mulai mengamati deretan foto di koridor.
School of Divinity, Lulusan Angkatan 1937, 1938, dan 1939. Pose yang kaku.
Wajah-wajah yang muram. Aku sedang mengamati foto dari tahun 1942 saat seorang wanita muda muncul. Dia
memakai celana jins, kaus turtleneck, dan kemeja wol kotak-kotak yang memanjang
sampai ke lututnya. Rambut nya yang pirang dipotong sekenanya seleher dengan
poni tebal menutupi alisnya. Wajahnya bersih dari riasan.
"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya dalam bahasa Inggris. Dia menelengkan
kepalanya dan poninya tersibak ke samping.
"Ya. Aku mencari Dr. Jeannotte."
"Dr. Jeannotte belum datang, tapi beliau akan tiba sebentar lagi. Ada yang bisa
kubantu" Aku asisten yang membantunya mengajar." Dengan gerakan cepat dia
menyelipkan rambutnya ke belakang telinga kanannya.
"Terima kasih, aku ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Dr. Jeannotte.
Kalau boleh, aku akan menunggu."
"Uh, oh, ya. OK. Kurasa boleh saja. Hanya saja dia... entahlah. Dia tidak
mengizinkan orang lain masuk ke kantornya." Dia menatapku, melihat melalui pintu
yang terbuka, kemudian kembali pada diriku. "Tadi aku di tempat fotokopi."
"Tidak apa-apa. Aku akan menunggu di sini."
"Ah ya, jangan, dia mungkin masih lama. Dia sering terlambat. Aku ..." Dia
berbalik dan melayangkan pandangannya ke koridor di belakangnya.
"Anda bisa menunggu di kantornya." Lagi-lagi dia mengatur letak rambutnya.


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi, aku tidak tahu apakah dia akan menyukainya."
Dia sepertinya tidak mampu membuat keputusan.
"Tidak apa-apa, aku bisa menunggu di sini saja. Sungguh."
Matanya menatap ke belakangku, kemudian kembali ke wajahku. Dia menggigit
bibirnya dan kembali mengatur rambutnya. Dia sepertinya terlalu muda untuk
menjadi mahasiswa. Penampilannya seperti gadis berusia dua belas tahun.
"Anda siapa ya?"
"Dr. Brennan. Tempe Brennan."
"Anda dosen?" "Ya, tetapi bukan di sini. Aku bekerja di Laboratorie de Medecine Legale."
"Kantor polisi?" Sebuah kerutan muncul di antara kedua matanya.
"Bukan. Itu tempat peneliti medis."
"Oh." Dia menjilat bibirnya, kemudian melirik jam tangannya. Arloji itu satu-
satunya perhiasan yang dikenakannya.
"Silakan masuk kalau begitu. Aku 'kan ada di sini, jadi sepertinya tidak apa-
apa. Aku baru saja dari tempat mesin fotokopi."
"Aku tidak ingin menyebabkan ..."
"Tidak apa-apa. Tidak merepotkan kok." Dia memberikan isyarat dengan gerakan
kepala untuk mengikutinya dan masuk ke dalam kantor. "Silakan masuk."
Aku masuk dan mengambil tempat duduk di sebuah sofa kecil yang ditunjukkannya.
Dia bergerak melewatiku ke ujung ruangan dan mulai membereskan beberapa jurnal di rak buku.
Aku bisa mendengar bunyi suara mesin listrik, tetapi tidak bisa melihat
sumbernya. Aku melihat ke sekeliling ruangan. Belum pernah aku melihat
sedemikian banyak buku memakan tempat di dalam sebuah ruangan. Kupindai judul-
judul buku yang ada tepat di seberangku.
The Elements of Celtic Tradition. The Dead Sea Scrolls and the New Testament.
The Mysteries of Freemasonry. Shamanism: Archaic Techniques of Ecstacy. The
Kingship Rituals of Egypt. Peake's Commentary on the Bible. Churches That Abuse,
Thought Reform and the Psychology of Totalism. Armageddon in Waco. When Time
Shall Be No More: Prophecy Belief in Modern America, Koleksi yang beragam.
Menit-menit berlalu. Kantor itu terlalu panas dan aku mulai merasa sakit di
bagian bawah batok kepala ku. Kubuka jaketku.
Hmmmmmmmm. Kuamati sebuah lukisan di dinding sebelah kananku. Anakanak yang telanjang
menghangatkan diri di perapian, kulit mereka berkilauan diterpa cahaya dari
tungku. Di bawahnya tampak tulisan After the Bath, Robert Peel, 1892. Lukisan
itu mengingatkanku pada sebuah lukisan di ruangan music nenekku.
Kulirik jam tangan. Pukul satu lewat sepuluh. "Sudah berapa lama Anda bekerja
untuk Dr. Jeannotte?"
Gadis itu sedang membungkuk di meja, tetapi segera menegakkan tubuhnya ketika
mendengar suaraku. "Berapa lama?" Kebingungan. "Anda salah seorang mahasiswa S2-
nya?" "SI." Dia berdiri diterangi cahaya dari jendela di belakangnya. Aku tidak bisa
melihat wajahnya, tetapi kurasa tubuhnya sedikit tegang.
"Kudengar dia akrab dengan mahasiswanya."
"Kenapa Anda menanyakannya kepadaku?"
Jawaban yang aneh. "Aku hanya penasaran saja. Aku sendiri tidak pernah punya
banyak waktu untuk mahasiswaku di luar kelas. Aku kagum pada Dr. Jeannotte."
Penjelasanku sepertinya melegakan hatinya.
"Dr. Jeannotte bukan sekadar dosen bagi kebanyakan dari kami."
"Kenapa Anda memilih bidang Kajian Agama?" Untuk sejenak dia tidak menjawab.
Saat kukira dia tidak akan menjawab, dia berbicara perlahan.
"Aku mengenal Dr. Jeannotte saat mengikuti salah satu seminarnya. Dia ..."
Berhenti lagi, agak lama. Sulit juga melihat ekspresi wajahnya karena posisinya
yang diterangi cahaya dari belakang. "... membuatku terinspirasi." "Seperti apa?"
Hening kembali. "Dia membuatku ingin melakukan semuanya dengan benar. Belajar bagaimana
melakukan semuanya dengan benar."
Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, tetapi kali ini aku tidak usah
memancingnya lebih lanjut.
"Dia membuatku menyadari bahwa banyak jawaban yang sudah tertulis, kita hanya
harus belajar untuk menemukannya." Dia menarik napas dalamdalam, kemudian
mengembuskannya. "Sungguh sulit, sungguh sangat sulit, tapi aku mulai menyadari
bahwa kita sudah begitu hebat mengotori dunia, dan hanya beberapa orang yang
mendapat pencerahan ..."
Dia membalikkan tubuhnya perlahan sehingga aku bisa melihat wajahnya kembali,
Matanya tampak melebar dan mulutnya menegang.
"Dr. Jeannotte. Kami hanya sedang ngobrol."
Seorang wanita berdiri di pintu. Tingginya tidak lebih dari satu setengah meter,
dengan rambut hitam disisir ke belakang, disanggul. Warna kulitnya pucat agak
kemerahan, sama seperti warna dinding di belakangnya.
"Aku tadi sedang di tempat fotokopi. Aku hanya keluar kantor beberapa detik
saja." Wanita itu tetap membisu.
"Dia tidak berada di dalam sendirian. Aku tidak akan mengizinkannya." Mahasiswa
itu menggigit bibirnya dan menunduk.
Dr. Jeannotte tidak bergerak sedikit pun.
"Dr. Jeannotte, dia ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu, jadi kupikir
tidak ada salahnya kalau dia menunggu di dalam. Dia seorang peneliti medis."
Suaranya terdengar gemetaran.
Jeannotte tidak menatap ke arahku. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi.
"Aku ... aku sedang merapikan jurnal di rak. Kami hanya mengobrol." Aku bisa
melihat tetesan keringat dari bibir atas gadis itu.
Untuk beberapa saat Jeannotte menatap mahasiswanya, kemudian pelan-pelan
mengalihkan pandangannya kepadaku.
"Anda telah memilih waktu yang kurang tepat, Miss ...?" Lembut. Tennessee, mungkin
Georgia. "Dr. Brennan." Aku berdiri. "Dr. Brennan."
"Aku minta maaf karena datang tanpa membuat janji
sebelumnya. Sekretaris Anda mengatakan bahwa ini adalah jam kerja Anda."
Beberapa saat lamanya dia menatapku, menilai diriku. Matanya menatap tajam,
bagian irisnya begitu pucat sehingga nyaris seperti tidak berwarna. Jeannotte
membuat matanya lebih mencolok dengan menghitamkan bulu mata dan alisnya.
Rambutnya juga terlihat tidak alami, hitam pekat.
"Baiklah," akhirnya dia berkata, "karena Anda sudah di sini. Apa yang Anda
cari?" Dia tetap berdiri tak bergerak di ambang pintu. Daisy Jeannotte termasuk
orang yang memiliki aura ketenangan.
Kujelaskan tentang Suster Julienne, dan tentang ke-tertarikanku pada Elisabeth
Nicolet, tanpa menjelaskan alasan ketertarikan itu.
Jeannotte berpikir sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke asistennya. Tanpa
berkata sepatah kata pun, gadis itu meletakkan jurnal yang sedang dipegangnya
dan bergegas keluar kantor.
"Maafkan asistenku. Dia gampang senewen." Dia tertawa pelan dan menggelengkan
kepalanya. "Tapi, mahasiswa yang hebat."
Jeannotte bergerak mendekati kursi di seberangku. Kami berdua pun duduk.
"Pada jam-jam ini di sore hari aku biasanya menerima mahasiswa, tapi hari ini
sepertinya tidak ada yang datang seorang pun. Mau minum teh?" suaranya manis
sekali, seperti petugas di country club di kampong halamanku.
"Tidak usah merepotkan, terima kasih. Aku baru saja makan siang."
"Anda peneliti medis?"
"Tidak juga, Aku ahli antropologi forensik, staf akademis di Universitas North
Carolina di Charlotte. Aku memberikan konsultasi kepada koroner di sini."
"Charlotte kota yang indah. Aku sering mengunjungi kota itu."
"Terima kasih. Kampus kami sangat berbeda dengan McGill, sangat modern. Aku iri
melihat kantor Anda yang indah ini."
"Ya. Memang memesona. Birks dibangun tahun 1931 dan dulu disebut Divinity Hall.
Gedung ini milik Joint Theological Colleges sampai McGill mengakuisisinya di
tahun 1948. Tahukah Anda bahwa School of Divinity (Sekolah Tinggi Ketuhanan)
adalah salah satu fakultas tertua di McGill?"
"Tidak, aku tidak tahu."
"Sekarang kami menyebut diri kami Fakultas Kajian Agama. Jadi, Anda tertarik
pada keluarga Nicolet." Dia menyilangkan pergelangan kakinya dan menyandarkan
tubuhnya. Aku merasa warna matanya yang terlalu bening itu sedikit
menggelisahkan, "Ya. Aku khususnya ingin tahu di mana Elisabeth dilahirkan dan apa pekerjaan
orangtuanya saat itu. Suster Julienne tidak berhasil menemukan akta
kelahirannya, tapi dia yakin bahwa Elisabeth dilahirkan di Montreal. Menurutnya
Anda mungkin bisa membantuku untuk menemukan beberapa referensi."
"Suster Julienne." Dia tertawa lagi, tawanya seperti air yang menggelegak di
antara bebatuan. Lalu, wajahnya menjadi muram. "Sudah banyak yang ditulis
mengenai keluarga Nicolet dan Belanger, dan oleh anggota keluarga Nicolet dan
Belanger. Perpustakaan kami memiliki banyak sekali dokumen sejarah. Aku yakin
Anda akan menemukan banyak informasi di sana. Anda juga bisa mencoba Arsip
di Provinsi Quebec, the Canadian Historical Society, dan Arsip Publik Kanada."
Aksen Selatannya yang lembut hampir-hampir seperti bunyi mesin. Aku seakanakan
menjadi mahasiswa tingkat dua yang sedang melakukan penelitian.
"Anda bisa memeriksa jurnal seperti Report of the Canadian Historical Society,
the Canadian Annual Review, the Canadian Archives Report, the Canadian
Historical Review, the Transaction of the Quebec Literary and Historical
Society, atau the Transaction of the Royal Society of Canada." Suaranya seperti
suara dari kaset. "Dan tentu saja ada ratusan buku lainnya. Aku sendiri hanya
tahu sedikit tentang sejarah di masa itu."
Wajahku pasti menunjukkan hal yang sedang kupikirkan.
"Jangan kecil hati seperti itu. Memang membutuhkan waktu."
Aku tidak punya banyak waktu untuk menelusuri bahan sebanyak itu. Kuputuskan
untuk mencoba cara lain. "Apakah Anda mengetahui keadaan di masa itu, ketika Elisabeth dilahirkan?"
"Tidak juga. Seperti yang kukatakan, masa itu bukan masa yang kuteliti. Aku tahu
siapa dia, tentu saja, dan perannya dalam menangani epidemi campak di tahun
1885." Dia berhenti sejenak, memilih katakata yang hendak diucapkannya dengan
berhatihati. "Pekerjaanku dipusatkan pada pergerakan messianic dan sistem
kepercayaan baru, bukan agama ecclesiastical yang tradisional." "Di Quebec?"
"Tidak hanya di sini." Dia kembali ke keluarga Nicolet. "Keluarga itu cukup
terpandang di zamannya, jadi Anda mungkin akan lebih tertarik untuk menelusuri
cerita-cerita di surat kabar tua. Ada empat surat kabar berbahasa Inggris waktu itu, The
Gazette, Star, Herald, dan Witness,"
"Semua itu ada di perpustakaan?"
"Ya. Dan, tentu saja, ada juga media berbahasa Prancis, La Minerve, La Monde, La
Patrie, L'Etendard, dan La Presse. Surat kabar berbahasa Prancis kurang
menguntungkan dan sepertinya lebih tipis dari koran berbahasa Inggris, tapi aku
yakin keduanya memuat berita kelahiran."
Tidak pernah terpikirkan olehku untuk mencari informasi di surat kabar. Pasti
hal itu lebih ringan bagiku.
Dia menjelaskan tempat surat kabar itu disimpan dalam bentuk mikrofi lm, dan
berjanji untuk menuliskan daftar sumber informasi untukku. Untuk sejenak kami
mengobrolkan berbagai hal lainnya. Aku menanggapi rasa penasarannya tentang
pekerjaanku. Kami membandingkan pengalaman, dua orang professor wanita di dunia
universitas yang didominasi kaum lelaki. Tak lama kemudian, seorang mahasiswi
muncul di pintu. Jeannotte mengetuk jam tangannya dan mengacungkan kelima
jarinya, dan gadis itu pun menghilang dari pintu.
Kami berdua berdiri pada saat yang bersamaan. Kuucapkan terima kasih, mengenakan
jaket, topi, dan syal. Aku baru saja hendak keluar pintu saat dia menghentikan
langkah kakiku dengan mengajukan sebuah pertanyaan.
"Anda beragama, Dr. Brennan?"
"Aku dibesarkan dalam keluarga Katolik Roma, tapi saat ini aku tidak mengikuti
gereja mana pun." Matanya yang putih itu menatap mataku. "Anda percaya pada
Tuhan?" "Dr. Jeannotte, ada harihari di mana aku bahkan
ti-dak memercayai adanya esok hari."
Dari kantornya, aku mengunjungi perpustakaan dan menghabiskan waktu satu jam
untuk membuka-buka buku sejarah, memindai indeks mencari nama Nicolet atau
Belanger. Kutemukan beberapa buku yang mengandung nama tersebut dan
memeriksanya, bersyukur karena aku masih memiliki hak istimewa sebagai staf
akademis, Hari sudah mulai gelap saat aku keluar dari perpustakaan. Salju turun, memaksa
para pejalan kaki berjalan di jalan atau mengikuti jalur sempit di trotoar,
berhatihati dalam melangkah untuk menghindari tumpukan salju yang tebal. Aku
berjalan di belakang sepasang muda-mudi, yang wanita di depan, teman lelakinya
di belakang, tangannya diletakkan di pundak temannya. Tali ranselnya berayun-
ayun saat pinggul menjaga agar kedua kaki tetap berada di jalur yang aman.
Sesekali mahasiswi itu berhenti untuk mengeluarkan serpihan salju dari mulutnya.
Suhu menukik tajam saat cahaya matahari menghilang dan ketika aku masuk ke
mobil, kipas kaca mobil sudah tertutupi es. Kucari alat pengerik dan mulai
membersihkannya, memaki naluriku yang ingin bermigrasi. Orang lain yang lebih
waras akan memilih bersantai di pantai.
Selama perjalanan pulang ke rumah, kubayangkan lagi kejadian di kantor
Jeannotte, berusaha memahami perilaku aneh sang asisten. Mengapa dia begitu
gugup" Dia sepertinya kagum sekali pada Jeannotte, bahkan melebihi kekaguman
seorang mahasiswi pada umumnya. Dia menyebut-nyebut pergi ke mesin fotokopi tiga
kali, namun saat aku bertemu dengannya di aula, dia tidak membawa apa-apa. Aku
baru sadar bahwa aku tidak menanyakan namanya.
Aku juga memikirkan Jeannotte. Dia benarbenar anggun, begitu menguasai diri,
seakan sudah terbiasa mengendalikan khalayak. Kubayangkan matanya yang tajam
menusuk, benarbenar kontras dengan tubuhnya yang kecil dan aksen suaranya yang
lembut. Dia membuatku merasa menjadi mahasiswi lagi. Mengapa" Lalu, aku ingat.
Selama mengobrol, tatapan mata Daisy Jean tidak pernah meninggalkan wajahku.
Tidak sekali pun dia memutuskan kontak mata di antara kami. Hal itu dan iris
matanya yang aneh menjadi kombinasi yang tidak mengenakkan.
Aku tiba di rumah dan mendapati ada dua pesan telepon. Pesan pertama membuatku
agak gelisah sedikit. Harry telah mendaftarkan diri untuk mengikuti kursus yang
diincarnya dan menjadi guru kesehatan psikis modern.
Pesan kedua membuatku merinding sampai ke relung jiwaku. Kudengarkan pesan itu,
kuamati salju yang menumpuk di dekat dinding tamanku di luar. Serpihan salju
baru menutupi tanah yang kelabu, seperti bayi yang suci di atas hamparan dosa
tahun sebelumnya. "Brennan, kalau kamu ada di situ, cepat angkat. Ini berita penting." Pause. "Ada
perkembangan dalam kasus St-Jovite." Suara Ryan terdengar agak sedih. "Saat
membereskan bangunan luar, kami menemukan empat mayat lagi di belakang tangga."
Aku bisa mendengar suara asap rokok diisap ke dalam paru-parunya, kemudian
diembuskan perlahan. "Dua orang dewasa dan dua bayi. Mereka tidak hangus, tapi
mengerikan. Aku belum pernah melihat hal seperti ini. Aku tidak mau bercerita
terlalu teperinci, tapi kita menghadapi sesuatu yang benarbenar berbeda, dan ini
benarbenar memuakkan. Sampai besok,"[]
1?Bukan hanya Ryan yang merasa muak. Aku sudah pernah melihat anakanak yang
disiksa dan dibiarkan kelaparan. Aku pernah melihat mereka setelah dipukuli,
diperkosa, disiksa, dicekik, diguncangkan tubuhnya kuat-kuat sampai mati, tetapi
aku belum pernah melihat penyiksaan seperti yang telah dilakukan pada kedua anak
kecil yang ditemukan di St-Jovite,
Orang lain sudah menerima kabar itu pada malam sebelumnya. Saat aku tiba pukul
delapan lewat lima belas, beberapa mobil van media massa sudah memenuhi lapangan
parkir di luar bangunan SQ, jendela penuh embun, dan knalpot mengembuskan
asapnya. Walaupun hari kerja biasanya dimulai pukul setengah sembilan, kegiatan sudah
memenuhi ruangan autopsi yang besar. Bertrand sudah ada di situ, bersama
beberapa detektif SQ, dan seorang fotografer dari SIJ, La Section d'Identite
Judiciare. Ryan belum tiba.
Pemeriksaan luar sedang dilakukan, dan serangkaian foto Polaroid tampak
berserakan di meja di sudut ruangan. Jenazah itu telah di sinar-X, dan LaManche
tampak sedang menuliskan catatan saat aku masuk ke ruangan. Dia berhenti dan
mendongak. "Temperance, aku senang kamu ada di sini. Aku mungkin membutuhkan pertolonganmu
untuk menentukan umur anakanak ini." Aku mengangguk.
"Dan mungkin ada peralatan yang" dia mencari kata yang tepat, wajahnya yang
?panjang tampak menegang "tidak lazim, yang digunakan dalam kasus ini."
?Aku mengangguk dan berganti pakaian. Ryan tersenyum dan memberikan isyarat tanda
hormat saat aku berjalan melewatinya di koridor. Matanya tampak sembap, hidung
dan pipinya memerah, seakanakan dia baru berjalan-jalan cukup lama di cuaca yang
dingin.

Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di dalam ruangan ganti pakaian, aku mempersiapkan diri untuk menghadapi apa-apa
yang akan kuhadapi sebentar lagi. Sepasang bayi yang dibunuh dengan mengerikan.
Apa yang dimaksud LaManche dengan peralatan yang tidak lazim"
Kasus yang melibatkan anakanak biasanya selalu sulit kuhadapi. Saat putriku
masih kecil, setiap kali menghadapi kasus pembunuhan anak kecil, aku selalu
memerangi keinginan untuk mengikat Katy ke tubuhku agar aku selalu bisa
mengawasinya. Katy sekarang sudah dewasa, namun aku masih tetap takut membayangkan anak kecil
yang sudah meninggal. Dari semua korban, anak-anaklah yang paling tidak berdaya,
paling mudah percaya, dan paling tak berdosa. Aku selalu menggigil setiap kali
ada jenazah anak yang tiba di kamar mayat. Bukti kualitas kemanusiaan yang
bobrok terpampang di hadapanku. Dan rasa iba tidak berhasil membuatku merasa
nyaman. Aku kembali ke ruangan autopsi, merasa sudah siap untuk mulai bekerja. Lalu, aku
melihat jenazah kecil di atas nampan baja nirkarat,
Sebuah boneka. Itulah kesan pertama yang kurasakan. Boneka bayi plastik seukuran
bayi sungguhan berwarna abu-abu karena sudah usang. Aku pernah punya boneka
seperti itu sewaktu kecil dahulu, boneka bayi berwarna merah muda dan menebarkan
wangi karet yang harum. Aku menyuapinya melalui lubang bulat kecil di antara
bibirnya dan mengganti popoknya saat air mengalir keluar.
Tetapi, ini bukan mainan. Bayi itu ditengkurapkan, lengan di kedua sisinya,
jari-jemari mengepal kecil. Bokongnya rata dan garis putih tampak bersilangan di
punggungnya yang berwarna ungu. Kepalanya yang kecil tampak berwarna merah. Bayi
itu telanjang, hanya tampak gelang berupa balok kecil yang menghiasi pergelangan
tangan kanannya. Aku bisa melihat dua buah luka di dekat tulang belikat bahu
kirinya. Sehelai piyama berkaki tertutup tampak di meja sebelah, gambar truk biru dan
merah tersenyum dari piyama berbahan fl anel itu. Di sampingnya tampak popok
kotor, singlet katun dengan kaitan di selangkangannya, sebuah sweter berlengan
panjang, dan sepasang kaus kaki putih. Semuanya dinodai darah.
LaManche berbicara kepada alat perekam.
"Bebe de race blanche, bien develppe e t bien nourri
Bayi berkulit putih, sudah cukup berkembang dan diberi makan yang cukup, namun
sudah mati, rasa geram mulai memuncak.
"Le corps est bien preserve, avec une legere maceration epidermiquie ..."
Kutatap jenazah mungil itu. Ya, memang terpelihara, hanya sedikit kulit
mengelupas di tangannya. "Kurasa dia tidak usah mencaricari luka akibat pembelaan diri."
Bertrand sudah berdiri di sampingku. Aku tidak menanggapinya. Aku tidak berminat
untuk menanggapi humor di kamar mayat.
"Ada bayi lainnya di dalam alat pendingin," ujarnya melanjutkan.
"Itulah yang dikabarkan kepada kami," ujarku dengan nada agak ketus.
"Yah, tapi, ya Tuhan. Mereka ini 'kan bayi?"
Kutatap matanya dan merasakan perasaan bersalah. Tadi itu Bertrand tidak sedang
melucu. Dia terlihat seakanakan anaknya sendiri yang mati itu.
"Bayi. Ada orang yang dengan tega membunuh mereka dan meninggalkan mereka di
ruang bawah tanah. Itu sama kejamnya dengan digilas di jalan. Bahkan lebih buruk
lagi. Bajingan itu mungkin mengenal anakanak ini."
"Kenapa kau berpikiran begitu?"
"Masuk akal 'kan" Dua anak, dua orang dewasa yang mungkin orangtua anakanak itu.
Se seorang menghabisi seluruh keluarga."
"Dan membakar rumah itu untuk mengelabui kita?"
"Mungkin." "Bisa saja orang yang tak dikenal."
"Bisa saja, tapi aku meragukannya. Tunggu. Kamu akan melihatnya sebentar lagi."
Dia kembali melanjutkan proses autopsi, tangan mengepal erat di belakang
punggungnya. LaManche berhenti berbicara ke alat perekam dan bercakap-cakap dengan teknisi
autopsi. Lisa meraih pita pengukur dari meja, lalu menariknya di sepanjang tubuh
bayi itu. "Cinqitante-huit centimetres," Lima puluh delapan cm.
Ryan mengamati dari seberang ruangan, lengan disilangkan, jempol kanannya
digerak-gerakkan di otot bisep lengan kirinya. Sesekali kulihat rahangnya
mengeras dan jakunnya naik-turun.
Lisa melingkarkan pita pengukur di sekeliling kepala, dada, dan tubuh bayi itu,
menyebutkan ukurannya. Kemudian, dia mengangkat tubuhnya dan meletakkannya di
timbangan. Biasanya timbangan itu digunakan untuk menimbang berat organ tubuh.
Keranjangnya mengayun sedikit dan dia menyeimbangkannya dengan tangan. Bayangan
itu sungguh memilukan. Bayi yang tidak bernyawa di dalam buaian baja nirkarat.
"Enam kilo." Bayi yang meninggal itu beratnya hanya enam kilo. Tiga belas pon.
LaManche mencatat beratnya dan Lisa mengangkat mayat mungil itu, lalu
meletakkannya kembali di atas meja autopsi. Saat Lisa melangkah mundur, napasku
seakan berhenti di tenggorokanku. Aku menoleh pada Bertrand, tetapi sekarang
matanya menatap sepatunya.
Jenazah itu berjenis kelamin lakilaki. Dia berbaring terlentang, tungkai dan
bagian kakinya melebar tajam di sendinya. Matanya menatap lebar dan bulat
sekali, irisnya berwarna abu-abu. Kepalanya bergulir ke samping, dan salah satu
pipinya yang tembam bertumpu pada tulang selangka.
Tepat di bawah pipi kulihat lubang di dadanya sebesar kepalan tanganku. Pinggir
luka itu tampak bergerigi, dan sebuah lingkaran ungu yang dalam tampak di
sekelilingnya. Sayatan berbentuk bintang, masing-masing berukuran satu sampai
dua cm, mengelilingi lubang itu. Beberapa tampak cukup dalam dan yang lainnya
hanya di permukaan. Di beberapa tempat, sayatan itu saling menyilang, membentuk pola
berbentuk L atau V. Tanganku melayang ke dadaku dan aku merasakan perutku mengeras. Aku menoleh pada
Bertrand, tidak mampu mengajukan pertanyaan apa pun.
"Sulit dipercaya!" ujarnya getir. "Bajingan itu mengeluarkan jantungnya."
"Jantungnya tidak ada?"
Dia mengangguk. Aku menelan ludah. "Bagaimana anak yang satunya lagi?"
Dia menganggukkan kepalanya lagi. "Saat kita menganggap sudah pernah melihat
semuanya, ternyata selalu saja ada hal yang baru lagi."
"Ya Tuhan." Aku langsung menggigil. Diam-diam aku berdoa semoga anakanak itu
dalam kondisi pingsan saat mutilasi itu dilakukan.
Kutatap Ryan. Dia sedang mengawasi proses yang berlangsung di meja, wajahnya
tidak memancarkan ekspresi apa pun.
"Bagaimana dengan korban yang sudah dewasa?"
Bertrand menggelengkan kepalanya. "Sepertinya mereka mengalami luka tusuk
berulang kali, leher dirobek, tapi tidak ada yang memanen organnya."
Suara LaManche terus berlanjut, menggambarkan bagian luar luka. Aku tidak harus
mendengarkannya. Aku tahu apa arti hematoma. Kulit akan memar hanya apabila
darah masih beredar. Bayi itu masih hidup saat tubuhnya ditoreh pisau. Masih
bayi. Kupejamkan mata, melawan keinginan untuk berlari keluar dari ruangan itu. Kuasai
dirimu, Brennan. Lakukan tugasmu.
Aku berjalan menuju meja tengah untuk memeriksa pakaiannya. Semuanya berukuran
kecil, membuatku teringat lagi. Kulihat piyama berkaki tertutup, bagian leher
dan pergelangan tangan yang lembut. Katy pernah memakai lusinan piyama seperti
ini. Aku teringat bagaimana membuka dan mengaitkan kancingnya saat mengganti
popoknya, kaki mungilnya yang gemuk menendang-nendang dengan gesitnya. Apa nama
benda itu" Ada nama khusus untuk pakaian ini. Aku mencoba mengingatnya, tetapi
pikiranku tidak mau memusatkan perhatiannya. Mungkin pikiranku berusaha
melindungiku, mendorongku untuk berhenti menghubungkannya dengan kenangan yang
kumiliki dan hanya melakukan tugasku saja sebelum aku mulai menangis atau merasa
kebas. Pendarahan itu kebanyakan terjadi saat bayi berbaring di sisi kirinya. Lengan
kanan dan bahu dari piyama itu dinodai bercak darah, namun darah membasahi sisi
kirinya, membuat fl annel itu menjadi berwarna merah dan cokelat. Singlet dan
sweternya dinodai bercak yang sama.
"Tiga lapisan," ujarku tidak kepada siapa pun.
"Dan kaus kaki."
Bertrand berjalan mendekati meja. "Ada orang yang berusaha menjaga agar bayi itu
tetap hangat." "Ya, begitulah," ujar Bertrand menyetujui ucapanku.
Ryan menghampiri kami, menatap pakaian itu. Setiap pakaian menunjukkan lubang
bergerigi yang dikelilingi sayatan berbentuk bintang, menyerupai luka di dada
bayi itu. Ryan mengeluarkan komentar terlebih dahulu.
"Anak ini berpakaian ketika ..."
"Ya," ucap Bertrand. "Kurasa bajunya tidak mengganggu ritual kejam yang
dilakukan orang itu."
Aku tidak mengucapkan apa-apa.
"Temperance," ujar LaManche, "tolong bawa kaca pembesar ke sini. Aku menemukan
sesuatu. 11 Kami berdiri mengelilingi ahli patologi itu dan dia menunjukkan perbedaan
warna kecil di sebelah kiri di bawah lubang di dada bayi itu. Saat aku
menyerahkan kaca pembesar itu, dia membungkuk dan mengamati memar itu, kemudian
mengembalikan lensa itu kepadaku.
Saat melakukan hal yang sama, aku terperangah. Memar itu tidak menunjukkan
karakteristik memar yang normal. Di bawah lensa pembesar, aku bias melihat
sebuah pola pada kulit bayi itu, bentuk garis silang dengan lingkaran di
ujungnya seperti ankh pada huruf Mesir atau salib bangsa Malta. Gambar itu
dihiasi pinggiran persegi empat yang cukup dalam. Kuserah kan lensa kepada Ryan
dan menatap LaManche dengan penuh tanda tanya.
"Temperance, ini jelas-jelas pola luka yang khas. Jaringan ini harus diawetkan.
Dr. Bergeron tidak ada di sini hari ini, jadi aku akan sangat menghargai
bantuanmu." Marc Bergeron, ahli odontologi di LML, telah mengembangkan sebuah teknik untuk
mengangkat dan memperbaiki luka di jaringan lunak. Awalnya, dia menciptakan
teknik itu untuk mengangkat tanda bekas luka gigitan dari tubuh para korban
penganiayaan seksual yang ganas. Metode itu terbukti berguna untuk mengikis dan
mengawetkan tato dan bekas luka yang berpola di kulit. Aku sudah pernah melihat
Marc melakukannya dalam ratusan kasus, dan pernah membantunya dalam beberapa
kasus. Kukeluarkan kotak peralatan Bergeron dari dalam lemari di ruangan autopsi
pertama, kembali ke ruangan dua, dan meletakkan peralatan itu di atas kereta
baja nirkarat. Pada saat aku sudah memakai sarung tangan, fotografer sudah menyelesaikan
tugasnya dan LaManche sudah siap. Dia mengangguk tanda aku bisa memulai tugasku.
Ryan dan Bertrand mengawasi kami.
Kuambil lima sendok bubuk berwarna merah muda dari botol plastik dan memasukkan
ke dalam vial kaca, kemudian menambahkan 20 cc monomer bening cair ke dalamnya.
Kuaduk dan semenit kemudian campuran itu mengental sampai mirip dengan tanah
liat merah muda. Kubentuk menjadi adonan seperti cincin dan meletakkannya di
atas dada mungil itu, benarbenar mengelilingi memar itu. Adonan akrilik itu
terasa hangat saat aku menepuk-nepuknya agar menutupi luka itu.
Untuk mempercepat proses pengerasan, kuletakkan secarik kain basah di atas
cincin itu, kemudian menunggu. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, akrilik
itu sudah dingin. Kuraih sebuah tube dan mulai mengeluarkan cairan bening ke
sekeliling pinggiran cincin itu.
"Apa itu?" tanya Ryan.
"Sianoakrilat."
"Baunya seperti lem."
"Memang lem." Ketika kurasa lemnya sudah mengering, aku mengujinya dengan menarik cincin itu
pelan-pelan. Beberapa tetesan lagi, menunggu lagi, dan cincin itu mengeras
dengan cepat. Kutuliskan tanggal, nomor kasus serta kamar mayat, dan
mengindikasikan bagian atas, bawah, kanan, dan kiri menurut posisi di dada bayi
itu. "Sudah siap," ujarku sambil melangkah mundur.
LaManche menggunakan pisau pengiris untuk membebaskan kulit di sekeliling donat
akrilik itu, mengiris cukup dalam untuk mengangkat jaringan lemak di bawahnya.
Saat cincin itu akhirnya lepas, kulit yang memar itu sudah menempel dengan
lekatnya, seperti lukisan yang dipaparkan di sebuah bingkai bundar berwarna
merah muda. LaManche memasukkan spesimen itu ke dalam botol berisi cairan bening
yang sudah kusiapkan. "Apa itu?" tanya Ryan lagi.
"Cairan berisi buffer formalin sepuluh persen. Dalam waktu sepuluh sampai dua
belas jam, jaringan itu akan mantap. Cincin itu memastikan tidak akan ada yang
berubah. Sehingga bila nanti kita menemukan senjata, kita akan bisa
membandingkannya dengan luka itu untuk melihat apakah polanya sama. Dan tentu
saja kita masih mempunyai beberapa foto."
"Memangnya tidak cukup kalau hanya menggunakan foto saja?"
"Dengan ini kita bisa melakukan trans-iluminasi bila diperlukan."
"Trans-iluminasi?"
Aku tidak berminat untuk memberikan penjelasan seperti dalam seminar ilmiah,
jadi aku mencoba menyederhanakannya. "Kita bisa menyorotkan lampu menembus
jaringan itu dan melihat apa yang terdapat di bawah kulitnya. Sering kali cara
ini menunjukkan informasi lainnya yang tidak bisa dilihat dari permukaan."
"Menurutmu apa yang menyebabkan luka itu?" tanya Bertrand.
"Entahlah," jawabku, menutup botol itu dan menyerahkannya kepada Lisa.
Saat membalikkan tubuh, aku merasakan kesedihan yang luar biasa, dan tidak bisa
menahan dorongan untuk mengangkat tangan mungil itu. Tangan itu terasa halus dan
dingin. Kuputar gelang balok di pergelangan tangannya. M-A-T-H-I-A-S.
Aku turut bersedih, Mathias.
Aku mendongak dan menyadari LaManche sedang menatapku. Matanya menyorotkan
kepedihan yang sama yang menyelimutiku. Aku melangkah mundur dan dia mulai
melakukan pemeriksaan dalam. Dia akan melakukan irisan dan mengirimkan semua
ujung tulang yang dipotong oleh sang pembunuh, tetapi aku tidak begitu
optimistis. Walaupun aku belum pernah melihat bekas luka akibat alat pada korban
semuda ini, aku menduga bahwa tulang rusuk bayi pasti terlalu kecil sehingga
mustahil meninggalkan petunjuk.
Kubuka sarung tanganku dan kembali mendekati Ryan saat Lisa membuat irisan
berbentuk Y di dada bayi itu.
"Foto dari lokasi ada di sini?"
"Hanya salinannya."
Dia menyerahkan sebuah amplop cokelat besar yang berisi beberapa foto Polaroid.
Aku membawanya ke meja di sudut ruangan.
Foto pertama menunjukkan bagian luar gedung yang terbesar di villa di St-Jovite.
Gayanya sama dengan bangunan utama: Alpine murahan. Foto berikutnya diambil di
bagian dalam, diambil dari puncak tangga mengarah ke bawah. Lorong terlihat
gelap dan sempit, dengan dinding di kedua sisinya, pegangan dari kayu di
dinding, dan tumpukan sampah di kedua ujung setiap anak tangga.
Ada beberapa foto dari ruang bawah tanah yang diambil dari berbagai sudut.
Ruangan itu terlihat redup. Satu-satunya cahaya berasal dari jendela kecil segi
empat di dekat langitlangit. Lantai linolium. Dinding pinus yang rumit. Bak
mandi. Alat pemanas air. Sampah di manamana.
Beberapa foto menyorot alat pemanas air, kemudian ruangan di antara alat itu dan
dinding. Bagian itu dijejali dengan sesuatu yang mirip karpet tua dan beberapa
kantong plastik. Foto berikutnya menunjukkan berbagai benda ini dijejerkan di
linolium, mulamula tertutup, kemudian dibuka untuk menunjukkan isinya.
Korban orangorang dewasa dibungkus dalam kantong plastik bening berukuran besar,
kemudian dimasukkan ke dalam karpet dan ditumpuk di belakang alat pemanas air.
Tubuh keduanya menunjukkan pembengkakan dan pengelupasan kulit, tetapi semuanya
masih terpelihara. Ryan datang mendekat dan berdiri di dekatku.
"Alat pemanas itu pasti dalam keadaan mati," ujarku sambil menyerahkan foto itu.
"Bila masih menyala, pasti akan menyebabkan pembusukan."
"Kami menduga mereka tidak menggunakan bangunan
itu." "Kenapa?" Dia mengangkat bahunya. Aku kembali mengamati fotofoto Polaroid itu.
Pria dan wanita itu berpakaian lengkap, walaupun tidak beralas kaki. Leher
mereka digorok, dan darah membasahi pakaian dan menodai kantong plastiknya. Pria
itu berbaring dengan satu lengan ke belakang dan aku bisa melihat torehan yang
cukup dalam di telapak tangannya. Luka pembelaan diri. Dia mencoba untuk
menyelamatkan dirinya. Atau menyelamatkan keluarganya. Ya Tuhan. Kupejamkan
mataku sejenak. Pembungkus bayi itu lebih sederhana. Mereka dibungkus dengan
kantong plastik, dimasukkan ke dalam kantong sampah, kemudian diletakkan di atas


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bungkusan berisi orang dewasa.
Kutatap tangantangan mungil itu, buku jari yang montok. Bertrand memang benar.
Tidak ada luka pembelaan diri pada bayi itu. Rasa duka dan geram bercampur di
dalam benakku. "Aku ingin menangkap bajingan ini." Kutatap kedua mata Ryan.
"Yeah." "Aku mau kamu menangkapnya, Ryan. Aku serius. Aku ingin bajingan ini ditangkap.
Sebelum kita melihat bayi lainnya terbunuh. Apa gunanya kita kalau tidak bisa
menghentikannya?" Mata biru itu menatapku. "Kita akan menangkapnya, Brennan. Tidak usah ragu."
Kuhabiskan sisa hari itu dengan menaiki lift antara kantor dan ruangan autopsi.
Paling sedikit dibutuhkan waktu dua hari untuk menyelesaikannya karena hanya
LaManche yang memeriksa keempat korban itu. Ini prosedur standar dalam
pembunuhan ganda. Menggunakan satu orang ahli patologi untuk menjamin kesamaan
dalam sebuah kasus, dan memastikan konsistensi bila kasus ini sampai maju ke
pengadilan. Saat aku kembali pada jam satu, Mathias sudah dikembalikan ke dalam alat
pendingin kamar mayat dan autopsi bayi kedua sedang dilakukan. Pemandangan yang
terlihat pagi tadi diulangi lagi. Para pemain yang sama. Lokasi yang sama.
Korban yang sama. Kecuali kali ini sang korban memakai gelang bertuliskan M-A-L-
A-C-H-Y. Pada pukul setengah lima, perut Malachy telah ditutup, batok kepalanya yang
kecil dikembalikan, dan wajahnya diletakkan ke posisi semula. Kecuali irisan
berbentuk Y dan mutilasi di dadanya, kedua bayi itu sudah siap untuk dimakamkan.
Namun, kami tidak tahu di mana pemakaman itu akan dilakukan. Atau oleh siapa.
Ryan dan Bertrand juga menghabiskan hari itu dengan keluar-masuk ruangan. Sidik
kaki kedua bayi telah diambil, tetapi cap kaki dalam arsip kelahiran di rumah
sakit sudah terkenal sulit dibaca, dan Ryan tidak begitu optimistis untuk
mendapatkan kecocokan. Tulang di lengan dan pergelangan tangan mewakili 25 persen tulang di seluruh
tubuh. Seorang manusia dewasa memiliki dua puluh tujuh tulang di setiap tangan,
seorang bayi jauh lebih sedikit, tergantung pada usianya. Kuperiksa fotofoto
sinar-X untuk melihat jumlah tulang dan seberapa jauh pembentukannya. Menurut
penilaianku, Mathias dan Malachy berusia sekitar empat bulan saat dibunuh.
Informasi ini disebarkan ke media, tetapi, selain orang gila yang biasa kami
hadapi, tidak terlalu banyak tanggapannya. Harapan kami yang terbaik terletak
pada jenazah kedua orang dewasa. Kami yakin bahwa di saat identitas kedua orang
dewasa itu sudah diketahui, maka identitas anakanak itu akan diketahui juga.
Untuk saat ini, kedua bayi itu tetap disebut sebagai Bayi Malachy dan Bayi
Mathias.[] 8*P Pada hari Jumat, aku tidak bertemu dengan Ryan maupun Bertrand. LaManche
menghabiskan sepanjang hari di lantai bawah, menggarap kedua mayat orang dewasa
dari St-Jovite. Aku telah merendam tulang rusuk kedua bayi itu di dalam botol
kaca kecil di lab histologi. Setiap lekukan atau garis-garis yang mungkin ada
pasti berukuran sangat kecil sehingga aku tidak mau merusaknya dengan merebus
atau mengeriknya, dan aku tidak bisa mengambil risiko membuat pocelan baru
dengan menggunakan pisau bedah atau gunting. Jadi, saat ini yang bisa kulakukan
hanyalah mengganti airnya secara berkala dan melepaskan daging yang mengelupas.
Kunikmati masamasa istirahat sejenak dalam kegiatanku, dan menggunakan waktu itu
untuk melengkapi laporanku tentang Elisabeth Nicolet, seperti yang kujanjikan
tempo hari. Karena aku harus kembali ke Charlotte pada hari Senin, aku berencana
untuk memeriksa tulang rusuk itu pada akhir pekan. Bila tidak ada hal lainnya,
kurasa aku bisa menyelesaikan tugasku sebelum hari Senin. Aku tidak
memperhitungkan telepon yang kuterima pada pukul setengah sebelas.
"Aku amat sangat menyesal karena terpaksa menelepon Anda seperti ini, Dr.
Brennan." Bahasa Inggris, diucapkan perlahan-lahan, setiap kata dipilih dengan
cermat. "Suster Julienne, senang sekali mendengar kabar dari Anda."
"Sekali lagi, aku minta maaf karena telah berulang kali menelepon Anda."
"Berulang kali?" Kulihat sekilas catatan beberapa pesan di mejaku. Aku tahu
bahwa dia menelepon hari Rabu, tetapi dia hendak menanyakan kembali hasil
percakapan kami sebelumnya. Ada dua carik kertas lainnya bertuliskan nama dan
nomor teleponnya. "Sebenarnya aku yang harus minta maaf. Aku benarbenar sibuk kemarin dan tidak
sempat memeriksa pesan untukku. Maaf sekali."
Tidak ada tanggapan. "Aku sedang menuliskan laporan itu sekarang."
"Tidak, tidak, bukan itu. Maksudku, ya, tentu saja, laporan itu sangat penting.
Dan kami semua tidak sabar..."
Dia terdengar ragu-ragu, dan aku bisa membayangkan alisnya yang gelap
mempertajam mukanya yang serius. Suster Julienne selalu terlihat khawatir.
"Sebenarnya aku merasa agak canggung, tapi aku tidak tahu lagi harus mengadu ke
mana. Tentu saja, aku sudah berdoa dan aku tahu bahwa Tuhan selalu mendengarkan,
tapi rasanya aku harus melakukan sesuatu. Aku mengabdikan diri pada pekerjaanku,
menjaga arsip milik Tuhan, tetapi, yah, aku juga punya keluarga duniawi." Dia
berusaha menyusun katakatanya dengan cermat, memolesnya seperti seorang tukang
roti yang membuat adonan.
Keheningan yang cukup lama berlalu di antara kami. Aku menunggunya.
"Tuhan memang menolong orang yang mau berusaha."
"Ya." "Ini tentang keponakanku, Anna. Anna Goyette. Dia gadis yang kubicarakan hari
Rabu kemarin." "Keponakan Anda?" Aku tidak bisa membayangkan arah pembicaraan ini.
"Dia anak adik perempuanku."
"Oh begitu." "Dia .... Kami tidak tahu di mana dia sekarang ini." 11 Ya ..."
"Biasanya dia anak yang bertanggung jawab, sangat bisa diandalkan, tidak pernah
menginap tanpa pemberitahuan sebelumnya."
"Oke." Aku mulai bisa meraba arah pembicaraannya.
Akhirnya, dia menumpahkan semuanya. "Anna tidak pulang ke rumahnya tadi malam
dan adikku benarbenar panik. Aku sudah menyuruhnya berdoa, tentu saja, tetapi,
yah ..." Suaranya semakin lirih.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Ini bukan arah percakapan yang kuduga
sebelumnya. "Keponakan Anda hilang?"
"Ya." "Kalau Anda terus khawatir, mungkin sebaiknya menghubungi polisi."
"Adikku sudah dua kali menghubungi polisi. Mereka mengatakan bahwa untuk anak
seusia Anna, kebijakannya adalah menunggu empat puluh delapan jam sampai tujuh
puluh dua jam," "Berapa usia keponakan Anda?"
"Sembilan belas tahun."
"Dia mahasiswi di McGill?"
"Ya." Suaranya terdengar cukup tegang, bisa dipakai untuk menggergaji sekeping
besi. "Suster, mungkin bukan apa ..."
Aku bisa mendengarnya menahan tangisan. "Aku tahu,
aku tahu, dan aku minta maaf karena telah mengganggu Anda, Dr. Brennan."
Katakatanya diucapkan di antara tarikan napas yang tajam, seperti sedang
cegukan. "Aku tahu Anda sedang sibuk, aku tahu itu, tapi adikku sudah histeris
dan aku tidak tahu apa yang harus kukatakan kepadanya. Dia kehilangan suaminya
dua tahun yang lalu dan sekarang Anna adalah satu-satunya miliknya yang
berharga. Virginie meneleponku setiap setengah jam, memaksaku untuk menolongnya
menemukan putrinya. Aku tahu ini bukan tugas Anda, dan aku tidak akan pernah
menelepon Anda kecuali benarbenar terpaksa. Aku sudah berdoa, tapi, oh ..."
Aku cukup terkejut saat mendengar tangisnya meledak. Air mata membuat katakata
yang diucapkannya terdengar tidak jelas. Aku menunggu, kebingung an. Apa yang
harus kukatakan" Lalu, tangisnya mereda dan aku mendengar suara tisu diambil dari kotaknya,
kemudian suara hidung dibersihkan.
"Aku ... aku .... Maafkan aku." Suaranya terdengar bergetar.
Konseling bukanlah keahlianku. Bahkan dengan orangorang yang dekat denganku pun,
aku selalu merasa canggung dan kaku saat menghadapi curahan emosi. Aku lebih
senang dengan hal-hal yang praktis.
"Apakah Anna sudah pernah melarikan diri sebelumnya?" Selesaikan
permasalahannya. "Kurasa tidak pernah. Tapi, aku dan adikku jarang berkomunikasi ... dengan baik."
Dia sudah agak tenang dan kembali memerhatikan ucapannya dengan cermat.
"Anna punya masalah di kampusnya?"
"Sepertinya tidak."
"Dengan temannya" Mungkin pacarnya?"
"Entahlah." "Anda pernah melihat perubahan dalam perilakunya akhir-akhir ini?"
"Maksud Anda?" "Apakah kebiasaan makannya berubah" Apakah dia lebih banyak atau mengurangi jam
tidurnya" Apakah dia tiba-tiba susah berkomunikasi?"
"Aku ... aku minta maaf. Sejak dia jadi mahasiswi, aku semakin jarang bertemu
dengannya." "Apakah dia rajin menghadiri kuliahnya?"
"Entahlah." Suaranya mengecil pada ucapannya yang terakhir. Dia terdengar
benarbenar kelelahan. "Apakah hubungan Anna dengan ibunya baikbaik saja?"
Hening untuk beberapa saat lamanya.
"Memang kadang-kadang tegang, tapi aku tahu Anna menyayangi ibunya." Bingo!
"Suster, keponakan Anda mungkin memerlukan waktu untuk menyendiri. Aku yakin
kalau Anda menunggu satu atau dua hari lagi, dia akan muncul atau menelepon."
"Ya, mungkin Anda benar, tapi aku benarbenar tidak berdaya untuk menolong
Virginie. Dia benarbenar kebingungan. Aku tidak bisa menenangkannya dan kupikir
kalau aku bisa mengatakan kepadanya bahwa polisi sedang melakukan penyelidikan,
dia mungkin bisa ... lebih tenang."
Aku mendengar tisu ditarik lagi dari kotaknya dan langsung khawatir kalau
ledakan tangis yang kedua akan segera menyusul.
"Biar aku saja yang mencoba menghubungi polisi. Aku tidak yakin apakah akan ada
gunanya, tetapi akan kucoba."
Dia berterima kasih kepadaku dan menutup gagang telepon. Untuk sejenak aku
termenung, memilah-milah pilihanku. Aku ingat pada Ryan, tetapi McGill terletak
di Montreal. Communaute Urbaine de Montreal Police. CUM. Kutarik napas panjang
dan memutar nomor telepon. Saat resepsionis menjawab, aku langsung menyampaikan
permintaanku. "Monsieur Charbonneau, s'il vous plait"
"Un instant, s'il voul plait."
Dia kembali beberapa saat kemudian dan mengatakan bahwa Charbonneau sedang
keluar siang itu. "Bagaimana kalau ditangani Monsieur Claudel?"
"Boleh." Seakan aku minta anthrax saja. Sialan.
"Claudel," ujar suara yang berikutnya kudengar.
"Monsieur Claudel. Ini Tempe Brennan."
Saat menunggu jawaban, kubayangkan hidung Claudel yang bengkok dan wajahnya yang
seperti burung kaka-tua, biasanya keruh saat berhadapan denganku. Aku sebal
berbicara dengan detektif ini, seperti disuruh mencelupkan jari ke dalam air men
didih. Tetapi, karena tidak tahu bagaimana me nangani anak remaja yang lari dari
rumah, aku tidak tahu harus bicara dengan siapa lagi. Claudel dan aku sudah
pernah menangani kasus CUM sebelumnya, dan dia mulai terbiasa denganku, jadi
kuharap setidaknya dia bisa memberitahukan siapa yang harus kuajak bicara.
"Oui." "Monsieur Claudel. Aku ada permintaan yang sedikit aneh. Aku tahu bahwa ini
sebenarnya bukan..."
"Ada apa, Dr. Brennan?" Tegas. Claudel termasuk orang yang bisa membuat bahasa
Prancis terdengar sangat dingin. Langsung ke permasalahannya saja, Bu.
"Aku baru saja menerima telepon dari seorang wanita yang mengkhawatirkan
keponakannya. Anak ini adalah mahasiswi di McGill dan tidak pulang ke rumahnya
tadi malam. Kurasa-"
"Mereka harus mengisi laporan orang hilang."
"Ibunya mendapat informasi bahwa tidak ada yang bisa dilakukan dalam waktu empat
puluh delapan sampai tujuh puluh dua jam ke depan."
"Usia?" "Sembilan belas tahun."
"Nama?" "Anna Goyette."
"Dia tinggal di kampusnya?"
"Entahlah. Sepertinya tidak. Kurasa dia tinggal dengan ibunya."
"Apa dia ikut kuliah kemarin?" "Entahlah."
"Di mana terakhir kalinya dia terlihat?" "Entahlah."
Berhenti sejenak. Kemudian,
"Rupanya banyak yang tidak Anda ketahui. Ini mungkin bukan kasus CUM dan saat
ini dapat dipastikan bukan kasus pembunuhan." Aku bisa membayangkan Claudel
mengetuk-ngetukkan jarinya, wajahnya terlihat tidak sabar.
"Ya. Aku hanya ingin tahu pihak yang bisa kuhubungi," tukasku. Dia membuatku
merasa tidak siap, membuatku kesal. Dan mengacaukan tata bahasaku. Seperti
biasa, Claudel selalu bisa membuatku kesal, khususnya saat kritikannya tentang
metodologi yang kupakai cukup akurat.
"Coba hubungi bagian orang hilang."
Kudengar nada yang menyatakan telepon sudah ditutup.
Aku masih merasa geram saat telepon bordering kembali.
"Dr. Brennan," aku menyalak dengan geram,
"Oh, apakah ini waktu yang salah?" Suara dengan
aksen Inggris Selatan benarbenar kontras dengan aksen
Prancis sengau milik Claudel. "Dr. Jeannotte?"
"Ya. Dan panggil saja aku Daisy."
"Maafkan aku, Daisy. Aku beberapa hari ini sungguh berat untukku. Apa yang bisa?kubantu?"
"Aku menemukan beberapa bahan menarik tentang Nicolet. Aku tidak ingin
mengirimkannya melalui kurir karena beberapa bahan ini sudah cukup tua dan
mungkin berharga. Apa mungkin kamu bisa dating dan mengambilnya?" "
Kulirik jam tangan. Jam sebelas lewat. Ya, mengapa tidak. Mungkin saat di kampus
nanti aku bias menanyakan tentang Anna. Paling tidak aku punya sesuatu yang bisa
kuceritakan kepada Suster Julienne,
"Aku bisa datang sekitar tengah hari. Apa tidak mengganggu?"
"Silakan. Tengah hari waktu yang baik."
Kembali, aku tiba terlalu awal. Kembali, pintu terbuka dan kantor tampak kosong
kecuali ada seorang wanita muda yang sedang merapikan jurnal di rak. Aku
bertanya dalam hati apakah itu tumpukan yang sama yang dirapikan oleh asisten
Jeannotte Rabu kemarin. "Selamat siang, saya mencari Dr. Jeannotte." Wanita itu membalikkan tubuhnya dan
anting seperti gelang besar mengayun dan memantulkan cahaya. Dia
cukup tinggi, mungkin sekitar dua meter, dengan rambut hitam dipotong pendek.
"Dia sedang turun sebentar. Anda sudah membuat janji?"
"Aku memang datang terlalu cepat. Tidak apa-apa,"
Kantor itu sama panasnya dan penuh sesak seperti kunjunganku yang pertama.
Kulepaskan jaket dan kumasukkan sarung tanganku ke dalam kantongnya. Wanita itu
menunjuk ke sebuah tiang kayu tempat menggantungkan baju dan kugantungkan
jaketku di situ. Dia mengamati diriku tanpa berkomentar apa pun.
"Banyak sekali jurnalnya," ujarku, menunjuk tumpukan kertas di atas meja.
"Aku menghabiskan hidupku untuk memilah-milah semua jurnal ini." Dia meraih dan
menyelipkan salah satu jurnal itu ke dalam rak di atas kepalanya.
"Ada untungnya punya tubuh tinggi, ya?"
"Ada keuntungannya dalam beberapa hal."
"Aku bertemu dengan asisten Dr. Jeannotte hari Rabu kemarin. Dia juga sedang
mengatur ulang isi rak."
"Hmm ..." Wanita muda itu meraih jurnal yang lainnya dan memeriksa judulnya.
"Namaku Dr. Brennan," aku memancingnya.
Dia memasukkan jurnal itu ke barisan yang setinggi matanya.
"Dan Anda ...?" pancingku terus,
"Sandy O'Reilly," ujarnya tanpa membalikkan tubuhnya. Aku bertanya dalam hati
apakah komentarku tentang tinggi tubuhnya telah menyinggung perasaannya.
"Senang bisa berkenalan dengan Anda, Sandy. Sewaktu pulang hari Rabu itu, aku
baru sadar tidak sempat menanyakan nama asisten itu."
Dia mengangkat bahu. "Pasti Anna juga tidak peduli."
Nama itu menghantamku seperti peluru. Apakah aku seberuntung itu"
"Anna?" tanyaku. "Anna Goyette?"
"Yeah." Dia akhirnya menolehkan wajahnya kepadaku. "Kenal dengannya?"


Death Du Jour Karya Kathy Reichs di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, tidak juga. Seorang mahasiswi dengan nama itu memiliki hubungan keluarga
dengan kenalanku, dan aku jadi ingin tahu saja apakah orangnya sama. Apa dia ada
di sini hari ini?" "Tidak. Kurasa dia sedang sakit. Itu sebabnya aku bekerja hari ini. Jadwalku
sebenarnya bukan hari Jumat, tapi Anna tidak bisa datang, jadi Dr. Jeanotte
memintaku untuk menggantikannya hari ini." "Dia sakit?"
"Ya, sepertinya begitu. Sebenarnya, aku tidak tahu. Yang kutahu, dia tidak masuk
lagi. Tidak apaapa. Aku perlu uangnya kok." "Tidak masuk lagi?"
"Ya, begitulah. Dia sering tidak masuk. Aku biasanya yang menggantikannya. Uang
tambahannya lumayan, tapi aku jadi kekurangan waktu untuk menulis tesisku." Dia
tertawa kecil, tetapi aku bisa merasakan kekesalan dalam nada suaranya.
"Apakah Anna memang sering sakit?"
Sandy memiringkan kepalanya dan menatapku. "Kenapa Anda begitu tertarik pada
Anna?" "Tidak juga. Aku ke sini hendak mengambil beberapa dokumen dari Dr. Jeannotte.
Tapi, aku teman bibi Anna dan aku mendapat kabar bahwa keluarganya khawatir
karena sudah tidak bertemu dengannya sejak kemarin pagi."
Dia menggelengkan kepalanya dan mencari jurnal lainnya. "Memang Anna perlu
dikhawatirkan. Dia anak yang aneh."
"Aneh?" Dia menyelipkan jurnal itu, kemudian membalikkan tubuh menghadapku. Matanya
menatap mataku untuk beberapa saat lamanya, menilai diriku.
"Anda teman keluarganya?"
"Ya." Kira-kira begitulah.
"Anda bukan detektif atau wartawan atau semacamnya 'kan?"
"Aku ahli antropologi." Benar, walaupun tidak sepenuhnya akurat. Tetapi, citra
Margaret Mead (ahli antropologi AS yang terkenal) atau Jean Goodall (ahli hewan
primata yang terkenal) mungkin lebih meyakinkan. "Aku menanyakannya karena bibi
Anna meneleponku tadi pagi. Lalu, karena kita membicarakan orang yang sama
Sandy berjalan menyeberangi kantor dan memeriksa koridor, kemudian menyandarkan
tubuhnya di dinding dekat pintu. Jelaslah bahwa tinggi badannya tidak membuat
dirinya malu. Dia menegakkan kepalanya dan berjalan dengan langkah panjang.
"Aku tidak mau mengatakan apa pun yang bias membuat Anna kehilangan
pekerjaannya. Atau aku kehilangan pekerjaanku. Jangan katakan kepada siapa pun
bahwa Anda mendengarnya dariku, khususnya Dr. Jeannotte. Dia tidak suka kalau
aku membicarakan mahasiswinya."
"Anda bisa memercayaiku."
Dia menarik napas panjang. "Menurutku, Anna benarbenar kacau dan butuh
pertolongan. Dan, ini bukan karena aku harus menggantikannya bekerja. Anna dan
aku dahulu berteman, atau paling tidak kami sering jalan samasama tahun lalu.
Lalu, dia berubah. Sering melamun. Aku sudah lama berniat untuk menelepon
ibunya. Harus ada yang tahu tentang hal ini."
Dia menelan ludah dan mengubah posisi.
"Anna menghabiskan setengah waktunya di pusat konseling karena dia merasa tidak
bahagia. Dia kemudian menghilang berharihari lamanya dan saat dia masuk kuliah,
sepertinya tidak punya kehidupan, hanya sering berada di sini saja. Dan dia
selalu terlihat gelisah, seakanakan sewaktu-waktu bisa melompat dari atas
jembatan." Dia berhenti, matanya bertemu dengan mataku, mencoba mengambil keputusan.
Kemudian, "Seorang teman bercerita padaku bahwa Anna terlibat sesuatu."
"Terlibat apa?"
"Aku benarbenar tidak tahu apakah gosip itu benar atau bahkan apakah aku boleh
mengatakannya. Bukan sifatku untuk menyebarkan gosip, tapi kalau Anna terlibat
dalam kesulitan, aku tidak akan pernah memaafkan diriku karena merahasiakannya."
Aku menunggu. "Dan kalau benar, artinya dia dalam bahaya." "Menurutmu, Anna terlibat apa?"
"Kedengarannya pasti aneh sekali." Dia menggelengkan kepala dan antingnya
mengetukngetuk rahangnya. "Maksudku, kita pernah mendengar cerita seperti ini,
tapi tidak pernah menimpa orang yang kita kenal."
Dia menelan ludah lagi dan menoleh ke belakang bahunya ke luar pintu.
"Temanku cerita bahwa Anna bergabung dengan sebuah sekte. Sebuah kelompok pemuja
Setan. Aku tidak tahu apakah ..." Saat mendengar suara papan berderit, Sandy berjalan menyeberangi kantor dan
Rahasia Anak Neraka 1 Pendekar Bloon 12 Perjalanan Ke Alam Baka Keris Pusaka Nogopasung 4
^