Pencarian

Dua Menara 6

Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien Bagian 6


sedang berbunga!" ia mengeluh, lalu diam.
"Andai aku tahu semua ini sebelumnya," kata Pippin. "Aku tak mengerti apa
yang kulakukan." "Kau mengerti," kata Gandalf "Kau tahu kau telah berbuat bodoh dan keliru;
dan kaukatakan itu pada dirimu sendiri, meski kau tidak menghiraukannya. Aku
tidak menceritakan semua ini sebelumnya padamu, karena aku sendiri baru
mengerti setelah merenungi semua yang sudah terjadi, sementara kita naik kuda
bersama-sama. Tapi, kalaupun aku memberitahukannya lebih dulu padamu, itu
tidak akan mengurangi hasratmu, atau membuatmu lebih mudah menolaknya.
Malah sebaliknya! Tidak, tangan yang terbakar justru menjadi pelajaran terbaik.
Setelah itu, barulah nasihat tentang api akan dimasukkan ke dalam hati."
"Memang," kata Pippin. "Seandainya ketujuh batu itu diletakkan di depanku
sekarang, aku akan memejamkan mata dan memasukkan tanganku ke saku baju."
"Bagus!" kata Gandalf "Itu yang kuharapkan."
"Tapi aku ingin tahu ...", Pippin mulai.
"Ya ampun!" teriak Gandalf "Kalau rasa ingin tahumu bisa dipuaskan dengan
penjelasan, akan kuhabiskan sisa hidupku untuk menjawab pertanyaanmu. Apa
lagi yang ingin kauketahui?"
"Nama-nama semua bintang, dan semua makhluk hidup, dan seluruh sejarah
Dunia Tengah dan Langit Atas, dan Samudra Pemisah," tawa Pippin.
"Ya ... Apa lagi" Tapi aku tidak terburu-buru malam ini. Saat ini aku hanya
ingin tahu tentang bayangan hitam itu. Aku mendengarmu berteriak, 'Utusan
Mordor'. Apa itu" Apa yang dilakukannya di Isengard?"
"Itu Penunggang Hitam naik makhluk bersayap. Nazgul," kata Gandalf "Dia
bisa saja membawamu ke Menara Kegelapan."
"Tapi dia bukan datang mencari aku, bukan?" Pippin tergagap. "Maksudku, dia
tidak tahu bahwa aku ..."
"Tentu saja tidak," kata Gandalf "Penerbangan lurus dari. Barad-dur ke
Orthanc jaraknya lebih dari dua ratus league, dan seekor Nazgul juga perlu waktu
beberapa jam untuk menempuhnya. Tapi Saruman pasti sudah melihat ke dalam
Batu itu sejak serangan oleh para Orc, dan pikirannya yang rahasia sudah terbaca
lebih banyak dari yang direncanakannya. Maka Sauron mengirim utusan, untuk
Dua Menara Halaman | 225 mencari tahu apa yang dilakukannya. Dan setelah peristiwa malam ini, kurasa yang
lain akan berdatangan, dengan segera. Maka Saruman akan mendapati dirinya
terpojok sampai ke sudut. Dia tak punya tawanan untuk diserahkan, tak punya Batu
untuk melihat, dan tak bisa membalas panggilan. Sauron hanya bisa menduga
bahwa Saruman menahan si tawanan dan menolak menggunakan Batu itu. Tak
ada gunanya Saruman menceritakan hal yang sebenarnya kepada utusan itu.
Memang Isengard sudah hancur berantakan, tapi dia masih aman berada di
Orthanc. Jadi, mau tak mau, dia akan tampak seperti pemberontak. Meski begitu,
dia menolak kita, justru agar tidak dianggap pemberontak! Apa yang akan
dilakukannya dalam keadaan buruk seperti itu, aku tidak tahu. Selama dia masih
tinggal di Orthanc, kurasa dia masih punya kekuatan untuk menolak Sembilan
Penunggang. Mungkin dia akan mencoba melakukan itu. Mungkin dia akan
mencoba menjebak Nazgul, atau setidaknya menewaskan makhluk yang
ditungganginya di udara. Kalau itu terjadi, Rohan perlu mengawasi kuda-kuda
mereka!" "Tapi aku tidak tahu, apakah itu akan berakibat baik atau buruk untuk kita.
Mungkin saja Musuh menjadi bingung, atau terhalang karena kemarahannya
kepada Saruman. Mungkin juga dia akan tahu bahwa aku berada di sana dan
berdiri di tangga Orthanc dengan beberapa hobbit di belakangku. Atau bahwa
seorang putra mahkota Elendil masih hidup dan berdiri mendampingiku. Kalau
Wormtongue tidak tertipu senjata-senjata Rohan, dia akan ingat Aragorn dan gelar
yang diakuinya. Itu yang aku khawatirkan. Karena itulah kita lari bukan dari
bahaya, tapi memasuki bahaya yang lebih besar. Setiap langkah Shadowfax membawamu
semakin dekat ke Negeri Bayang-Bayang, Peregrin Took." ippin tidak menjawab,
tapi mencengkeram jubahnya, seolah mendadak hawa dingin menerpanya.
Daratan kelabu berlalu di bawah mereka.
"Lihat sekarang!" kata Gandalf. "Lembah-lembah Westfold sudah terbuka di
depan. Kita kembali ke jalan menuju timur. Bayangan gelap di sana adalah mulut
Deeping-coomb. Ke arah sana ada Aglarond dan Gua-Gua Bersinar. Jangan tanya
tentang itu. Tanyakan pada Gimli, kalau kau bertemu dia lagi, dan untuk pertama
kalinya kau akan mendapat jawaban lebih panjang daripada yang kauharapkan.
Kau tidak akan melihat sendiri gua-gua itu, tidak dalam perjalanan ini. Tempat
ini akan segera kita tinggalkan jauh di belakang." .
"Kukira kau akan berhenti di Helm's Deep!" kata Pippin. "Kalau begitu, kau
akan ke mana?" "Ke Minas Tirith, sebelum lautan peperangan mengepungnya."
Halaman | 226 The Lord of The Rings "Oh! Dan seberapa jauhkah jaraknya?"
"League demi league," jawab Gandalf "Tiga kali jarak ke istana Raja Theoden,
dan lebih dari seratus mil ke timur dari sini, sesuai jarak terbang utusanutusan
dari Mordor. Shadowfax harus melintasi jalan yang lebih panjang. Siapa yang akan
terbukti lebih cepat?"
"Kita akan maju terus sampai fajar, dan itu masih beberapa jam lagi.
Kemudian Shadowfax pun perlu istirahat, di suatu lembah perbukitan: di Edoras,
kuharap. Tidurlah, kalau bisa! Mungkin kau akan melihat cahaya pertama fajar di
atas atap emas istana Eorl. Dan dua hari kemudian, kau akan melihat bayangan
merah lembayung Gunung Mindolluin dan tembok menara Denethor yang putih di
pagi hari." "Lari, Shadowfax! Lari, kuda gagah, lari seperti belum pernah kaulakukan! Kita
sudah sampai ke daratan tempatmu dilahirkan, dan kau kenal setiap batu di sini.
Lari! Harapanku terletak dalam kecepatan!"
Shadowfax mengangkat kepalanya dan meringkik keras, seolah dipanggil oleh
terompet maju perang. Kemudian ia melompat maju. Api memercik dan kakinya;
malam memburu melintasinya. Ketika kantuk mulai menjelang, Pippin mempunyai
perasaan aneh: ia dan Gandalf seolah diam bagai batu, duduk di atas patting kuda
berlari, sementara dunia menggelinding berlalu di bawah kakinya dengan bunyi
embusan angin kencang. Dua Menara Halaman | 227 BUKU EMPAT Smeagol Dijinakkan "Well, Master, kita dalam kesulitan, tak salah lagi," kata Sam Gamgee.
Ia berdiri sedih di samping Frodo, mengintai keluar dengan mata dikerutkan ke
dalam kegelapan. Kini malam ketiga sejak mereka melarikan diri dari Rombongan,
sejauh yang mereka ketahui: entah sudah berapa lama mereka mendaki dan
berjalan susah payah di tengah lereng-lereng gersang dan bebatuan Emyn Mull,
kadang menapaki kembali jejak mereka karena tak bisa menemukan jalan maju,
kadang menemukan bahwa mereka sudah berputar-putar di situ-situ juga, dan
akhirnya kembali ke tempat mereka berada berjam-jam sebelumnya.
Tapi secara keseluruhan mereka terus berjalan ke arah timur, sedapat
mungkin tetap mengikuti jalan tersingkat ke pinggir paling luar simpul
perbukitan yang ruwet itu. Tapi mereka selalu menemukan wajah-wajah perbatasannya terjal
sekali, tinggi dan tak mungkin dilalui, seperti mengerutkan kening melihat
padang di bawah; di luar pinggirannya yang terjun ke bawah, terletak rawa-rawa membusuk.
Tak ada yang bergerak di situ, bahkan tak seekor burung pun tampak.
Kedua hobbit itu sekarang berdiri di pinggir batu karang tinggi, gundul, dan
muram, kakinya terselubung kabut; di belakang mereka menjulang dataran tinggi
yang dimahkotai awan berarak. Malam sudah mulai menyelubungi daratan tak
berbentuk di depan mereka; warnanya yang hijau pucat memudar menjadi cokelat
cemberut. Jauh di sebelah kanan, Sungai Anduin yang bersinar tertegun-tegun di
bawah sinar matahari yang terputus-putus sepanjang hari, kini tersembunyi dalam
keremangan. Tapi mata mereka tidak memandang ke seberang Sungai, ke arah
Gondor, ke kawan-kawan mereka, ke negeri Manusia. Mereka memandang ke
selatan dan timur; di sana, pada batas malam yang akan segera tiba, sebuah garis
gelap menggantung, seperti pegunungan asap yang diam di kejauhan. Sesekali
nyala merah kecil nun di sana berkelip naik di batas bumi dan langit.
"Betul-betul kesulitan besar!" kata Sam. "Itu satu-satunya tempat yang tak
ingin kita lihat lebih dekat, di antara semua negeri yang pernah kita dengar;
tapi justru ke sanalah kita menuju! Dan kita justru tak bisa mendekatinya, tak
mungkin. Kita sudah lewat jalan yang salah. Kita tak bisa turun; kalaupun bisa, aku yakin
kita Halaman | 228 The Lord of The Rings akan mendapati seluruh daratan hijau itu berupa rawarawa menjijikkan. Bah! Bisa
kaucium baunya?" ia mendengus mengendus angin.
"Ya, aku bisa menciumnya," kata Frodo, tapi ia tidak bergerak, matanya tetap
terpaku ke satu titik, menatap ke garis gelap dan nyala api yang berkelip.
"Mordor!" ia menggerutu perlahan. "Kalau aku memang harus ke sana, aku
berharap bisa ke sana secepatnya dan mengakhiri semuanya!" ia menggigil.
Angin sangat tajam menggigit, tapi dipenuhi bau pembusukan dingin.
"Well," katanya, akhirnya mengalihkan pandang, "kita tak bisa di sini
semalaman, ada atau tidak ada kesulitan. Kita harus menemukan tempat yang
lebih terlindung, dan berkemah lagi; mungkin besok kita akan menemukan jalan
lain." "Atau besoknya lagi, dan besoknya lagi," gerutu Sam. "Atau mungkin tidak
akan pernah. Kita sudah menempuh jalan yang salah."
"Aku ingin tahu," kata Frodo. "Kurasa sudah suratan takdirku untuk pergi ke
Bayang-Bayang di sana itu, jadi kita pasti akan menemukan jalannya. Tapi
kebaikan atau kejahatankah yang akan menunjukkannya padaku" Kita harus
cepat. Itu satu-satunya harapan kita. Penundaan hanya akan menguntungkan
Musuh dan di sinilah aku berada: tertahan. Kehendak Menara Gelap-kah yang
mengemudikan kita" Semua pilihanku ternyata buruk. Seharusnya aku
meninggalkan Rombongan jauh lebih dulu, dan turun dari Utara, sebelah timur
Sungai dan Emyn Mull, dengan demikian melintasi Padang Pertempuran, sampai
ke celah Mordor. Tapi sekarang tak mungkin kita mencari jalan kembali sendirian,
sementara para Orc berkeliaran di tebing timur. Setiap hari yang berlalu
merupakan waktu berharga yang hilang. Aku letih, Sam. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Makanan apa yang tersisa?"
"Hanya itu ... apa namanya ... lembas, Mr. Frodo. Cukup banyak.
Lumayanlah, daripada tidak ada sama sekali. Ketika pertama menggigitnya, tak
kukira aku akan mengharapkan makanan lain. Tapi sekarang aku berharap ada
sepotong roti biasa, dan secangkir bir atau setengah cangkir cukuplah. Aku
membawa seluruh perlengkapan masakku dari perkemahan terakhir, tapi apa
manfaatnya sampai sekarang" Tak ada yang bisa dibuat api, dan tak ada yang
bisa dimasak, bahkan rumput pun tidak!"
Mereka berbalik dan masuk ke sebuah cekungan berbatu. Matahari yang
sedang terbenam terjebak ke dalam awan-awan, dan malam datang dengan cepat.
Mereka tidur sedapat mungkin, meski sangat kedinginan, bergerakgerak terus
Dua Menara Halaman | 229 dalam sebuah sudut di antara puncak-puncak bergerigi batu karang yang lapuk;
setidaknya mereka terlindung dari angin timur.
"Apa kau melihatnya lagi, Mr. Frodo?" tanya Sam ketika mereka duduk, kaku
dan kedinginan, mengunyah wafer lembas dalam cahaya pagi yang dingin dan
kelabu. "Tidak," kata Frodo. "Sudah dua malam ini aku tidak mendengar apa pun, juga
tidak melihat apa pun."
"Aku juga," kata Sam. "Brrr! Mata itu mengagetkanku! Tapi mungkin kita sudah
lolos darinya. Si makhluk malang. Gollum! Akan kuberi dia gollum di
tenggorokannya, kalau aku bisa menangkapnya."
"Semoga kau tidak perlu melakukan itu," kata Frodo. "Entah bagaimana dia
bisa mengikuti kita; mungkin sekarang dia sudah kehilangan jejak kita lagi,
seperti katamu. Di daratan kering muram ini, kita tak bisa meninggalkan banyak jejak,
juga tidak banyak ball, bahkan untuk hidungnya yang tajam itu."
"Kuharap begitu," kata Sam. "Kuharap kita bisa lepas darinya untuk
seterusnya!" "Begitu pula aku," kata Frodo, "tapi dia bukan masalahku yang utama.
Kuharap kita bisa keluar dari perbukitan ini! Aku benci mereka. Aku merasa
telanjang di sisi timur, terjebak di sini, hanya dipisahkan oleh dataran mati
dengan Bayang-Bayang di sana. Ada Mata di dalamnya. Ayo! Kita harus turun hari ini,
dengan satu dan lain cara."
Tapi hari semakin larut, dan ketika siang sudah menjelang senja, mereka
masih merangkak menyusuri punggung bukit, belum menemukan jalan keluar.
Kadang-kadang, dalam keheningan daratan gersang itu, mereka berkhayal
mendengar bunyi-bunyi samar di belakang mereka, sebuah batu jatuh, atau bunyi
kaki mengepak di atas bebatuan.
Tapi kalau mereka berhenti dan berdiri mendengarkan, mereka tidak
mendengar apa-apa, hanya angin yang mengeluh di atas ujung-ujung bebatuan itu
pun mengingatkan mereka akan napas yang mendesis perlahan melalui gigi-gigi
tajam. Sepanjang hari punggung luar Emyn Mull membelok perlahan ke utara,
sementara mereka terus berjalan.
Halaman | 230 The Lord of The Rings Di sepanjang pinggirnya kini membentang dataran luas penuh batu-batu yang
sudah termakan cuaca, sesekali terpotong selokan-selokan seperti parit yang
menurun terjal ke takikan dalam pada wajah batu karang. Untuk menemukan jalan
di tengah belahan-belahan itu, yang semakin dalam dan semakin sering ditemui,
Frodo dan Sam terdorong makin ke kiri, jauh sekali dari pinggiran, tidak
memperhatikan bahwa untuk beberapa mil mereka sudah berjalan perlahan namun
terus-menerus menuruni bukit: puncak bukit terbenam sampai ke permukaan
dataran rendah. Akhirnya mereka terpaksa berhenti. Punggung bukit membelok tajam ke utara,
dibelah sebuah jurang dalam. Di ujung seberang ia kembali menjulang tinggi, satu
jarak besar, sekali lompatan: sebuah batu karang kelabu besar menjulang di depan
mereka, terjun curam ke bawah, seolah dipotong dengan pisau. Mereka tak bisa
maju lebih jauh lagi, dan harus membelok ke barat atau ke timur. Tapi ke barat
hanya akan membawa mereka pada lebih banyak kerja keras dan penundaan,
kembali ke jantung perbukitan; ke timur akan membawa mereka ke ngarai paling
luar. "Tak bisa lain, kecuali merangkak menuruni parit ini, Sam," kata Frodo. "Mari
kita lihat, ke mana tujuannya!"
"Pasti jauh ke bawah sana," kata Sam.
Parit itu lebih panjang dan dalam daripada tampaknya. Agak jauh dari sana,
mereka menemukan beberapa pohon kerdil yang benjol-benjol, gerumbulan pohon
pertama yang mereka lihat setelah berhari-hari: kebanyakan pohon birch yang
terpelintir, diselingi pohon cemra di sana-sini. Banyak yang sudah mati dan
kurus, termakan habis oleh angin timur.
Mungkin dulu, di masa yang lebih cerah cuacanya, pepohonan itu berupa
gerumbulan indah di jurang, tapi kini, setelah sekitar lima puluh yard,
pepohonan itu berakhir, meski beberapa batang patah masih merangkak terus sampai hampir ke
tepian batu karang. Dasar parit, yang terbentang sepanjang sisi retakan batu
karang, menurun curam dan kasar, dipenuhi pecahan batu. Ketika akhirnya mereka
sampai ke ujungnya, Frodo membungkuk dan mencondongkan badannya keluar.
"Lihat!" katanya. "Kita sudah berjalan jauh sekali, atau mungkin batu
karangnya yang sudah terbenam. Di sini jauh lebih rendah daripada sebelumnya,
dan tampaknya juga lebih mudah."
Dua Menara Halaman | 231 Sam berlutut di sebelahnya, mengintip dengan enggan dari pinggiran. Lalu ia
menoleh ke atas, ke batu karang besar yang menjulang jauh di sebelah kiri
mereka.

Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lebih mudah!" gerutunya. "Well, memang selalu lebih mudah turun daripada
naik. Mereka yang tak bisa terbang bisa melompat!"
"Tapi masih tetap suatu lompatan besar," kata Frodo.
"Sekitar, well" ia berdiri sejenak, mengukur dengan matanya "sekitar delapan
belas fathom, kukira. Tidak lebih."
"Dan itu sudah cukup!" kata Sam. "Uuh! Aku benci memandang ke bawah dari
ketinggian! Tapi melihat lebih baik daripada mendaki."
"Bagaimanapun," kata Frodo, "kurasa kita bisa mendaki di sini; dan menurutku
kita harus mencoba. Lihat ... batu ini berbeda dengan yang ada beberapa mil dari
sini tadi. Batu ini sudah tergelincir dan retak."
Tebing paling luar memang tidak begitu terjal lagi, tapi agak menjorok keluar.
Tampaknya seperti kubu besar atau dinding samudra yang fondasinya beralih
tempat, sehingga arahnya jadi berbelok-belok tidak beraturan, meninggalkan
retakan besar dan pinggiran panjang miring yang di beberapa tempat hampir
selebar tangga. "Dan kalau hendak mencoba turun, sebaiknya segera saja. Sebentar lagi
gelap. Kurasa akan ada badai."
Kekaburan pegunungan di Timur hilang dalam kegelapan yang sudah
menggapai ke arah barat dengan lengannya yang panjang. Di kejauhan terdengar
gemuruh petir terbawa angin yang sedang naik. Frodo mengendusendus udara dan
menengadah ragu ke langit. Ia memasang ikat pinggangnya di luar jubah dan
mengeratkannya, menempatkan ranselnya di punggung, kemudian melangkah ke
pinggiran. "Aku akan mencobanya," katanya.
"Baik!" kata Sam murung. "Tapi aku duluan."
"Kau?" kata Frodo. "Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?"
"Aku tidak berubah pikiran. Ini sekadar akal sehat: biarkan yang paling
mungkin tergelincir, turun lebih dulu. Aku tak ingin jatuh ke atasmu dan
membuatmu jatuh juga jangan sampai dua orang jadi mati dengan sekali jatuh."
Halaman | 232 The Lord of The Rings Sebelum Frodo bisa menghentikannya, ia sudah duduk, mengayunkan kaki
melewati pinggiran, dan berputar, meraba-raba dengan jari kakinya, mencari
injakan. Entah apakah ia pernah melakukan tindakan yang lebih berani, atau lebih
sembrono daripada itu, dengan kepala dingin.
"Jangan, jangan! Sam, tolol kau!" kata Frodo. "Kau bisa mati kalau melompat
seperti itu, tanpa melihat dulu apa yang harus dituju. Kembali!" ia memegang Sam
di bawah ketiaknya dan menariknya lagi ke atas.
"Sabar dulu!" katanya. Lalu ia berbaring di tanah, menjulurkan tubuh, dan
melihat ke bawah; tapi rupanya cahaya cepat meredup, meski matahari belum
terbenam. "Kurasa kita bisa berhasil," katanya akhirnya.
"Setidaknya aku bisa; kau juga, kalau kau tetap memakai akal sehat dan
mengikuti aku dengan cermat."
"Heran, mengapa kau bisa begitu yakin," kata Sam. "Kau kan tak bisa melihat
sampai ke dasar, dengan cahaya ini. Bagaimana kalau kau sampai ke bagian yang
tidak ada tempat untuk meletakkan tangan atau kakimu?"
"Aku akan memanjat ke atas lagi," kata Frodo. "Mudah mengatakannya," kata
Sam. "Lebih baik menunggu sampai pagi dan lebih banyak cahaya."
"Tidak! Tidak kalau aku bisa berupaya," kata Frodo tiba-tiba, berapi-api. "Aku
menyesali setiap jam, setiap menit. Aku akan turun untuk mencobanya. Jangan
ikuti aku sebelum aku kembali atau memanggilmu!"
Sambil mencengkeram bibir berbatu tebing dengan jarinya, ia menurunkan diri
perlahan-lahan. Ketika lengannya sudah hampir sepenuhnya teregang, jari kakinya
menemukan tempat berpijak.
"Satu langkah turun!" katanya. "Dan dataran ini melebar ke kanan. Aku bisa
berdiri di sana tanpa berpegangan. Aku akan ..." kata-katanya terpotong.
Kegelapan yang memburu sekarang bergerak dengan kecepatan tinggi,
muncul dari Timur dan menelan langit. Ada ledakan guruh keras membelah langit,
tepat di atas. Halilintar membakar menghantam bukit-bukit di bawah. Lalu muncul
embusan angin keras, dan bersamaan dengan itu, berbaur dengan raungannya,
terdengar sebuah teriakan tinggi melengking. Para hobbit pernah mendengar
teriakan persis seperti itu, jauh di Marish, ketika mereka lari dari Hobbiton.
Bahkan di sana, di hutan di Shire, bunyi itu membekukan darah mereka.
Dua Menara Halaman | 233 Kini, di daratan gersang itu, terornya terasa jauh lebih besar: menembus
mereka dengan mata pisau kengerian dan keputusasaan, menghentikan jantung
dan napas. Sam jatuh tengkurap. Tanpa sengaja Frodo mengendurkan
pegangannya, menutupi kepala dan telinganya dengan tangan. Ia bergoyang,
tergelincir, dan meluncur ke bawah dengan teriakan meratap. Sam mendengarnya,
dan merangkak dengan susah payah ke pinggiran.
"Master!" teriaknya. "Master!" Ia tidak mendengar jawaban.
Ia menyadari dirinya gemetaran, tapi ia menarik napas dalam-dalam, dan
sekali lagi berteriak, "Master!"
Angin seolah mengembus suaranya kembali ke dalam tenggorokan, tapi
ketika angin berlalu, menderum naik ke pant dan melintasi bukit-bukit, terdengar
teriakan lemah sebagai jawaban:
"Sudah, sudah! Aku di sini. Tapi aku tak bisa melihat." Frodo memanggil
dengan suara lemah. Sebenarnya ia tidak begitu jauh dari sana. Ia tergelincir
dan tidak jatuh, dan terhenti tersentak dengan kaki berpijak di sebuah birai yang
lebih lebar, beberapa meter lebih ke bawah.
Untung permukaan batu di tempat itu agak condong ke belakang, dan angin
menekannya ke batu, sehingga ia tidak terjungkir. Ia mengokohkan dirinya
sedikit, menempelkan wajahnya ke permukaan tembok batu yang dingin, sambil
merasakan jantungnya berdegup kencang.
Tapi entah kegelapan sudah sempurna, atau matanya kehilangan daya
penglihatan sekitarnya tampak hitam pekat. Ia bertanya-tanya, apakah ia sudah
menjadi buta. Ia menarik napas panjang.
"Kembali! Kembali!" ia mendengar suara Sam dari kegelapan di atas. "Aku tak
bisa," katanya. "Aku tak bisa melihat. Aku tak bisa menemukan pegangan. Aku
belum bisa bergerak."
"Apa yang bisa kulakukan, Mr. Frodo" Apa yang bisa kulakukan?" teriak Sam,
menjulurkan badannya jauh sekali. Mengapa majikannya tak bisa melihat"
Memang cahaya remang-remang, tapi tidak sampai gelap sekali. Ia bisa melihat
Frodo di bawahnya, sebuah sosok kelabu menyedihkan yang condong di depan
batu karang. Tapi ia jauh dari jangkauan bantuan tangan siapa pun.
Ada gelegar bunyi guruh lagi; kemudian hujan turun. Deras sekali, berbaur
dengan hujan batu, menghantam batu karang, dingin sekali.
Halaman | 234 The Lord of The Rings "Aku akan turun ke dekatmu," teriak Sam, meski ia tidak tahu bagaimana
harus membantu Frodo. "Tidak, tidak! Tunggu!" Frodo balas berteriak, sekarang lebih kuat. "Aku akan
segera lebih baik. Aku sudah merasa baikan. Tunggu! Kau tak bisa melakukan apa
pun tanpa tambang." "Tambang!" teriak Sam, berbicara sendiri dengan penuh gairah dan kelegaan.
"Wah, aku memang pantas digantung di ujung tambang, sebagai peringatan bagi
orang-orang goblok! Kau benar-benar tolol, Sam Gamgee: itu sudah sering
dikatakan Gaffer padaku. Ya, begitulah katanya. Tambang!"
"Berhenti mengoceh!" teriak Frodo, yang sekarang sudah cukup pulih, hingga
merasa jengkel bercampur geli. "Jangan hiraukan Gaffermu! Jadi, maksudmu, kau
membawa tambang di sakumu" Kalau ya, keluarkan!"
"Ya, Mr. Frodo, di ranselku. Sudah kubawa beratus-ratus mil, dan aku sama
sekali lupa!" "Kalau begitu, cepat ambil dan ulurkan ujungnya!" Cepat Sam melepaskan
ranselnya dan mencari-cari di dalamnya. Memang di dasar ransel ada gulungan
tambang sutra kelabu buatan penduduk Lorien.
Ia melemparkan ujungnya pada majikannya. Kegelapan seolah tersingkap dari
mata Frodo, atau mungkin penglihatannya pulih kembali. Ia bisa melihat garis
kelabu yang turun menjuntai, dan rasanya tambang itu bersinar redup keperakan.
Kini, setelah ada satu titik dalam kegelapan untuk memusatkan pandangan, ia
tidak terlalu pusing lagi. Dengan tetap mencondongkan tubuh ke depan, ia mengikatkan
ujung tambang ke pinggangnya, lalu memegang tambang itu dengan kedua
tangannya. Sam mundur dan menjejakkan kakinya ke sebuah tunggul pohon, sekitar satudua
meter dari pinggir. Setengah ditarik, setengah merangkak, Frodo muncul dan
melemparkan dirinya ke tanah. Petir menggelegar di kejauhan, dan hujan masih
turun deras. Kedua hobbit merangkak kembali ke parit, tapi tidak menemukan
banyak perlindungan di sana. Sungai-sungai kecil mulai mengalir turun, dan
segera berkembang menjadi banjir yang mencebur dan berasap di atas bebatuan,
menyemprot keluar dari batu karang, seperti pancuran-pancuran atap besar.
"Aku bisa setengah tenggelam di bawah sana, atau tersapu bersih," kata
Frodo. "Untung kau membawa tambang itu!"
Dua Menara Halaman | 235 "Lebih beruntung kalau aku ingat sejak, awal," kata Sam. "Mungkin kau ingat
mereka memasukkan tambang-tambang ke dalam perahu ketika kita berangkat: di
negeri kaum Peri. Aku sangat menyukainya, dan aku memasukkan satu gulungan
ke dalam ranselku. Rasanya itu sudah bertahun-tahun yang lalu. 'Ini bisa
membantu dalam berbagai kebutuhan,' kata Haldir, atau salah satu dari mereka.
Dan ternyata omongannya betul."
"Sayang sekali aku tak ingat membawa seutas lagi," kata Frodo, "tapi aku
meninggalkan Rombongan dengan begitu terburu-buru, dan dalam kebingungan.
Seandainya kita punya cukup banyak tambang, kita bisa gunakan untuk turun.
Berapa panjang tambangmu" Aku ingin tahu."
Sam mengukurnya dengan lambat, dengan lengannya,
"Lima, sepuluh, dua puluh, tiga puluh meter, kurang lebih," katanya.
"Siapa sangka!" seru Frodo.
"Ah! Siapa yang tahu?" kata Sam. "Bangsa Peri memang luar biasa.
Tampaknya agak tipis, tapi hati dan lembut seperti susu di tangan. Bisa
dikemas kecil sekali, dan sangat ringan. Mereka memang bangsa hebat!"
"Tiga puluh meter!" kata Frodo. "Kukira cukup panjang. Kalau badai berhenti
sebelum malam, aku akan mencobanya."
"Hujan memang sudah hampir berhenti," kata Sam, "tapi jangan lnengambil
risiko lagi dalam kegelapan, Mr Frodo! Dan aku masih belum pulih setelah
mendengar teriakan yang dibawa angin tadi; kau mungkin sudah. Kedengarannya
seperti Penunggang Hitam tapi di angkasa, kalau mereka bisa terbang. Sebaiknya
kita tetap berbaring di sini sampai malam lewat."
"Aku tidak mau menghabiskan waktu lebih lama daripada yang kubutuhkan,
terjebak di pinggiran ini dengan mata Negeri Gelap memandang melalui rawarawa,"
kata Frodo. Sambil berkata begitu, ia bangkit berdiri dan pergi ke dasar parit lagi. Ia
memandang keluar. Langit sudah mulai jernih lagi di Timur sana. Sisa-sisa badai
sudah terangkat, bergerigi dan basah, dan pertempuran utama sudah berlalu untuk
menebarkan sayapnya yang besar di atas Emyn Mull, di mana pikiran gelap
Sauron merenunginya untuk sementara. Dari sana badai membalik, menghantam
Lembah Anduin dengan hujan batu dan halilintar, menjatuhkan bayangannya ke
atas Minas Tirith dengan ancaman perang. Lalu ia semakin turun di pegunungan,
mengumpulkan puncak-puncak menaranya yang besar, menggelinding perlahan
Halaman | 236 The Lord of The Rings melintasi Gondor dan pinggiran Rohan, sampai jauh di sana, para Penunggang di
padang melihat menara-menaranya yang hitam bergerak ke belakang matahari,
ketika mereka berjalan ke arah Barat.
Tapi di sini, di atas gurun dan rawa-rawa berbau busuk, warna biru gelap
langit sekali lagi tersingkap, dan beberapa bintang pucat muncul, seperti
lubanglubang kecil putih di langit-langit di atas bulan sabit.
"Rasanya menyenangkan bisa melihat lagi," kata Frodo, menarik napas
panjang. "Kau tahu, tadi aku sempat mengira sudah kehilangan penglihatanku.
Mungkin karena halilintar, atau sesuatu yang lebih buruk. Aku tak bisa melihat
apa pun, sampai tambang kelabu itu turun. Tambang itu seperti bersinar."
"Memang agak seperti perak dalam gelap," kata Sam. "Aku tak pernah
memperhatikannya sebelum ini, meski aku tak ingat pernah mengeluarkannya
sejak aku pertama memasukkannya. Tapi kalau kau begitu bertekad memanjat, Mr.
Frodo, bagaimana kau akan menggunakannya" Tiga puluh meter, atau katakanlah,
sekitar delapan belas fathom: itu kan Cuma perkiraanmu tentang ketinggian batu
karang itu!" Frodo berpikir sejenak. "Ikatkan ke tunggul itu, Sam!" katanya. "Kurasa keinginanmu untuk turun lebih
dulu akan terkabul kali ini. Aku akan menurunkanmu, dan kau Cuma perlu
menggunakan tangan dan kakimu untuk menolakkan tubuhmu pada batu karang.
Tapi kalau kau sesekali menjejakkan kakimu di atas birai dan aku bisa istirahat,
itu akan sangat membantu. Kalau kau sudah di bawah, aku akan menyusul. Aku
sudah benar-benar pulih seperti sebelumnya."
"Baiklah," kata Sam dengan berat hati. "Kalau memang harus begitu, biar
secepatnya saja!" ia mengangkat tambang dan mengikatnya pada tunggul yang
terdekat ke pinggiran; ujung satunya diikatkan ke pinggangnya sendiri. Dengan
enggan ia memutar badannya, bersiapsiap melewati ujung untuk kedua kalinya.
Ternyata tidak seburuk yang diduganya. Tambang itu membuatnya merasa
percaya diri, meski ia memejamkan matanya lebih dan sekali ketika memandang ke
bawah dan antara kakinya. Ada satu titik sulit, di mana tak ada birai, tembok
batu karangnya terjal, bahkan cekung untuk suatu jarak pendek; di sana ia tergelincir
dan menggelantung pada garis perak tambang itu.
Tapi Frodo menurunkannya perlahan-lahan dan kokoh, dan akhirnya selesai
sudah. Semula ia takut tambang itu tidak cukup panjang, dan ia akan
tergantunggantung di suatu tempat di atas, tapi ternyata masih ada sisa gulungan
di tangan Dua Menara Halaman | 237 Frodo ketika Sam sampai ke dasar dan berteriak ke atas, "Aku sudah sampai!"
Suaranya naik dengan jelas dari bawah, tapi Frodo tak bisa melihatnya; jubah
Peri yang kelabu membuat sosoknya berbaur dengan cahaya senja.
Frodo agak lebih lama menyusulnya. Ia sudah mengikat tambang di
pinggangnya, ujung di atas juga sudah terikat erat, dan ia sudah memendekkannya
agar tambang itu menariknya ke atas sebelum ia sampai ke tanah; tapi ia tak
ingin mengambil risiko jatuh, dan ia tidak terlalu percaya pada tambang tipis kelabu
itu. Tapi ada dua titik di mana ia sepenuhnya terpaksa bergantung pada tambang
tersebut, yakni di permukaan mulus yang tidak ada pegangan untuk jan hobbit-nya
yang kuat sekalipun, dan birai-birainya saling terpisah jauh. Tapi akhirnya ia
sampai juga di bawah. "Nah!" serunya. "Kita berhasil Kita sudah lolos dari Emyn Muil! Sekarang apa
lagi" Mungkin tak lama lagi kita akan merindukan batu karang keras di bawah kaki
kita." Tapi Sam tidak menjawab: ia menatap ke atas batu karang.
"Tolol!" katanya. "Sialan! Tambangku yang bagus! Tambang itu terikat pada
tunggul, dan kita ada di bawah sini. Ini sama saja dengan meninggalkan tangga
bagus bagi Gollum. Kenapa tidak sekalian memasang papan petunjuk untuk
memberitahu ke arah mana kita pergi! Sudah kupikir, rasanya kok terlalu mudah."
' "Kalau kau bisa menemukan cara lain untuk menggunakan tambang itu dan
membawanya turun bersama kita sekaligus, kau boleh mewariskan sebutan tolol itu
padaku, atau sebutan lain yang diberikan Gaffer padamu," kata Frodo. "Panjatlah
dan lepaskan tambangnya, lalu turunkan dirimu sendiri, kalau kau mau!" Sam
menggaruk kepalanya. "Tidak, aku tak bisa memikirkan caranya, maaf," katanya.
"Tapi aku tak senang harus meninggalkannya."
Ia membelai ujung tambang dan menggoyangkannya dengan lembut.
"Rasanya sulit berpisah dengan apa pun yang kubawa keluar dan negeri Peri.


Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apalagi benda yang mungkin dibuat sendiri oleh Galadriel. "Galadriel," gumamnya,
menganggukkan kepalanya dengan sedih.
Ia menengadah dan menarik tambang itu sekali lagi, seperti hendak
berpamitan. Kedua hobbit itu sangat tercengang ketika tambang itu terlepas. Sam
terjatuh, gulungan panjang kelabu itu meluncur diam-diam ke atasnya. Frodo
tertawa. Halaman | 238 The Lord of The Rings "Siapa yang mengikat tambang ini?" katanya. "Untung saja dia bertahan
selama itu! Bayangkan, aku sudah mempercayakan bobot badanku seluruhnya
pada simpul ikatanmu!" Sam tidak tertawa.
"Mungkin aku tidak begitu pintar memanjat, Mr. Frodo," ia berkata dengan
nada tersinggung, "tapi aku cukup tahu tentang tambang dan simpul-simpul. Sudah
bakat turunan, bisa dikatakan begitu. Kakekku, dan pamanku Andy, kakak tertua
Gaffer, biasa berjalan di atas tambang di Tighfield selama bertahun-tahun. Aku
bisa memasang ikatan lebih kuat pada tunggul, danpada yang bisa dilakukan orang lain,
di dalam maupun di luar Shire."
"Kalau begitu, tambangnya putus-teriris pinggiran batu karang, kurasa," kata
Frodo. "Kukira tidak!" kata Sam dengan nada lebih tersinggung lagi. Ia membungkuk
dan mengamati ujung-ujung tambang. "Dan memang tidak. Bahkan satu untai pun
tidak!" "Kalau begitu, rasanya simpulnya yang salah," kata Frodo. Sam
menggelengkan kepala dan tidak menjawab. Ia meraba tambang itu dengan
jarinya, sambil merenung.
"Terserah kau, Mr. Frodo," akhirnya ia berkata, "tapi menurutku tambang ini
lepas sendiri ketika aku memanggilnya." Ia menggulung tambang itu dan
memasukkannya dengan penuh kasih sayang ke dalam ranselnya.
"Mungkin juga," kata Frodo, "dan itu yang penting. Sekarang kita perlu
memikirkan tindakan selanjutnya. Malam akan segera tiba. Betapa indahnya
bintang-bintang, dan Bulan!"
"Pemandangan yang menghibur hati, bukan?" kata Sam sambil melihat ke
atas. "Entah bagaimana, mereka seperti Peri. Dan Bulan semakin membesar. Kita
sudah sekitar dua malam tidak melihatnya dalam cuaca berawan ini.
Sinarnya sudah cukup terang."
"Ya," kata Frodo, "tapi dia tidak akan purnama selama beberapa hari lagi.
Sebaiknya kita jangan mencoba melewati rawa-rawa di bawah sinar bulan
separuh." Di bawah keremangan pertama malam itu, mereka menempuh tahap kedua
perjalanan mereka. Setelah beberapa saat, Sam menoleh ke jaIan yang sudah
mereka lalui. Mulut parit tampak bagaikan titik hitam di batu karang yang kabur.
Dua Menara Halaman | 239 "Aku senang kita mempunyai tambang," katanya. "Si perampok kecil itu pasti
kebingungan. Dia boleh coba menginjakkan kakinya yang menjijikkan dan
mengepak ngepak pada birai-birai itu!"
Mereka memilih jalan menjauh dari pinggiran batu karang, melewati belantara
bebatuan besar dan batu-batu kasar yang basah dan licin karena hujan deras.
Tanah masih menurun tajam. Belum jauh berjalan, mereka sampai di sebuah
lubang yang tiba-tiba menganga hitam di depan kaki mereka. Memang tidak lebar,
tapi terlalu lebar untuk dilompati dalam cahaya remangremang. Mereka merasa
mendengar air menggeluguk di kedalamannya. Celah itu membelok di sebelah kiri
mereka, ke arah utara, kembali ke perbukitan, dengan demikian menutup jalan
mereka ke arah itu, setidaknya sementara cuaca masih gelap.
"Sebaiknya kita mencoba jalan kemb.ali ke selatan, menyusuri garis batu
karang," kata Sam. "Mungkin kita akan menemukan tempat persembunyian di
sana, gua atau semacamnya."
"Mungkin juga," kata Frodo. "Aku lelah, dan tak mungkin lebih lama lagi
merangkak di antara bebatuan malam ini-meski aku menyesali penundaan ini.
Seandainya ada jalan jelas di depan kita, aku akan terus berjalan sampai kakiku
tidak kuat." Ternyata berjalan di kaki Emyn Mull yang retak-retak tidak lebih mudah. Sam
juga tidak menemukan tempat perlindungan atau gua untuk bernaung: hanya ada
lereng-lereng berbatu gersang yang mendaki terjal di batu karang yang sekarang
menjulang lagi, lebih tinggi dan lebih terjal ketika mereka kembali. Akhirnya,
karena kelelahan, mereka membaringkan diri di bawah tonjolan batu besar yang tidak jauh
dari kaki jurang. Di sana mereka duduk meringkuk untuk beberapa saat, merasa sedih di
malam dingin itu, sementara kantuk mendatangi, meski mereka berupaya
menolaknya sekuat tenaga. Bulan melayang tinggi dan jernih. Cahayanya yang
putih tipis menyinari wajah batu karang dan membanjiri tembok-tembok batu
karang dingin yang cemberut, mengubah kegelapan yang luas membayang
menjadi kelabu pucat dingin, bebercak bayang-bayang hitam.
"Yah!" kata Frodo, bangkit berdiri dan menarik jubahnya lebih rapat ke
tubuhnya. "Kau tidur dulu sebentar, Sam. Pakailah selimutku. Aku akan
mondarmandir sebentar untuk berjaga." Mendadak ia terdiam, dan mencengkeram
lengan Sam. Halaman | 240 The Lord of The Rings "Apa itu?" bisiknya. "Lihat di sana, di batu karang!" Sam memandang, lalu
terkesiap kaget. "Sss!" katanya. "Itu dia. Itu Gollum! Ular keparat! Bayangkan, tadi kupikir kita
sudah membuat dia bingung dengan pendakian kita! Hihat dia! Seperti labah-labah
menjijikkan merayap di dinding."
Menuruni wajah ngarai, tipis dan hampir mulus di bawah sinar bulan pucat,
sebuah sosok kecil hitam bergerak dengan anggota tubuhnya yang kurus
meregang keluar. Mungkin tangan dan jari kakinya yang lembut dan lengket bisa
menemukan celah-celah dan injakan kaki yang tak mungkin terlihat atau digunakan
hobbit, tapi tampaknya ia merayap turun dengan telapak lengket, seperti semacam
serangga besar yang sedang mencari mangsa.
Dan ia turun dengan kepala lebih dulu, seolah sedang mengendus-endus
arahnya. Sesekali ia mengangkat kepalanya perlahan, memutarnya ke belakang
pada lehernya yang kurus panj ang, dan kedua hobbit itu menangkap sekilas dua
cahaya pudar bersinar, matanya yang berkedip melihat bulan sejenak, kemudian
cepat dipejamkan lagi. "Kaupikir dia bisa melihat kita?" kata Sam. "Aku tidak tahu," kata Frodo
tenang, "tapi kukira tidak. Sulit sekali melihat jubah Peri kita, biarpun dengan
mata yang ramah: aku saja tak bisa melihatmu dalam gelap, dari jarak beberapa
langkah. Dan kudengar dia tidak menyukai Matahari maupun Bulan."
"Kalau begitu, mengapa dia turun ke sini?" tanya Sam. "Diam, Sam!" kata
Frodo. "Mungkin dia bisa mencium kita. Dan aku yakin pendengarannya tajam,
seperti Peri. Kurasa dia sudah mendengar sesuatu sekarang: mungkin suara kita.
Tadi kita banyak berteriak di sana; dan kita berbicara terlalu keras barusan,
sampai semenit yang lalu." "Aku sudah muak dengannya," kata Sam. "Dia sudah terlalu sering datang,
dan aku akan bicara dengannya, kalau bisa. Bagaimanapun, kita tak bisa luput
dari perhatiannya sekarang."
Sambil menarik kerudungnya yang kelabu menudungi wajahnya, Sam
merangkak diamdiam menuju batu karang. "Hati-hati!" bisik Frodo yang menyusul
di belakangnya. "Jangan membuatnya kaget! Dia jauh lebih berbahaya daripada
kelihatannya." Sosok hitam yang merayap itu sekarang sudah tiga perempat jalan turun, dan
mungkin sekitar lima puluh kaki atau kurang di atas kaki batu karang. Sambil
Dua Menara Halaman | 241 meringkuk diam bagai batu di dalam bayangan batu besar, kedua hobbit
memperhatikannya. Rupanya Gollum sampai ke suatu tempat yang sulit dilewati, atau
mencemaskah sesuatu. Mereka bisa mendengarnya mendengus, dan sesekali ada
bunyi desis kasar napasnya yang terdengar seperti sumpah serapah. Ia
mengangkat kepala, dan mereka merasa mendengarnya meludah. Lalu ia maju
lagi. Kini mereka bisa mendengar suaranya berkeriut dan bersiul.
"Ahh, sss! Hati-hati, sayangku! Kalau terburu-buru, malah jadi buntu. Jangan
mengambil risssiko, ya, sayangku" Jangan, Sayang gollum!" ia mengangkat
kepalanya lagi, mengedip ke arah bulan, dan cepat memejamkan mata kembali.
"Kita benci itu," desisnya. "Sssinar bergetar menjijikkan-sss-memata-matai
kita, sayangku menyakitkan mata kita." Ia sudah semakin turun, bunyi desis itu
semakin jelas dan tajam. "Di mmana dia, di mmana dia: sayangku, sayangku. Itu milik kita, dan kita
menginginkannya. Pencuri, pencuri, pencuri kecil jorok. Di mana mereka dengan
sssayangku yang berharga" Terkutuklah mereka! Kita benci mereka."
"Sepertinya dia tidak tahu kita berada di sini, bukan?" bisik Sam. "Dan apa
yang dia maksud dengan sayangku yang berharga itu" Apakah maksudnya ..."
"Sst!" bisik Frodo. "Dia sudah dekat sekarang, cukup dekat untuk mendengar
bisikan." Memang Gollum mendadak berhenti lagi, kepalanya yang besar berayun pada
lehernya yang kurus, seolah sedang mendengarkan. Matanya yang pucat setengah
terbuka. Sam menahan diri, meski jarinya berkedut. Matanya yang dipenuhi
kemarahan dan rasa jijik terpaku pada sosok malang itu ketika ia bergerak lagi,
masih berbisik dan mendesis pada dirinya sendiri.
Akhirnya ia tinggal selusin kaki di atas tanah, tepat di atas kepala kedua
hobbit. Dari titik itu ada lereng terjal, karena batu karangnya agak cekung, dan
bahkan Gollum juga tak bisa menemukan injakan untuk kakinya. Ketika sedang
berupaya memutar badan, agar kakinya turun lebih dulu, mendadak ia jatuh
dengan teriakan melengking. Sambil jatuh, ia melingkarkan kaki dan tangan ke
tubuhnya, seperti labah-labah yang talinya sudah putus ketika hendak turun. Sam
keluar dari persembunyiannya, menyeberangi jarak antara dirinya dan kaki batu
karang dengan beberapa lompatan. Sebelum Gollum bisa berdiri, ia sudah di atas
Halaman | 242 The Lord of The Rings makhluk itu. Tapi ternyata Gollum lebih hebat dari yang diperkirakannya, meski
ditangkap dengan mendadak seperti itu, setelah terjatuh.
Sebelum Sam bisa memegangnya dengan kuat, kaki dan lengan Gollum yang
panjang sudah melingkar di tubuhnya, menjepit lengannya; cengkeraman itu
lembut, tapi sangat kuat, memencetnya perlahan seperti tali-tali yang semakin
erat; jari-jari basah mencari lehernya, lalu gigi yang tajam menggigit pundaknya. Ia
hanya bisa menghantamkan kepalanya yang bulat dan keras ke samping, ke wajah
makhluk itu. Gollum mendesis dan meludah, tapi tidak melepaskan Sam. Keadaan akan
buruk sekali bagi Sam, seandainya ia sendirian. Tapi Frodo melompat dan
menghunus Sting dari sarungnya. Dengan tangan kirinya ia menarik kepala Gollum
pada rambutnya yang tipis dan lemas, meregangkan lehernya yang panjang, dan
memaksa matanya yang pucat dan sengit menatap langit.
"Lepaskan! Gollum," katanya. "Ini Sting. Kau sudah pernah melihatnya.
Lepaskan, atau kau akan merasakannya kali ini! Akan kutebas lehermu."
Gollum runtuh dan menjadi lemas seperti tali basah. Sam bangkit berdiri,
meraba pundaknya. Matanya membawa penuh kemarahan, tapi ia tak bisa
membalas dendam: musuhnya yang malang berbaring merendahkan diri di atas
bebatuan, sambil meratap.
"Jangan lukai kami! Jangan biarkan mereka melukai kita, sayangku! Mereka
tidak akan melukai kita, bukan, hobbit kecil manis" Kita tidak bermaksud jelek,
tapi mereka melompat ke atas kita seperti kucing ke atas tikus malang, begitu kan,
sayangku" Dan kita begitu kesepian, gollum. Kita akan bersikap manis pada
mereka, kalau mereka juga manis pada kita, bukan begitu, ya kan, ya kan?"
"Hmm, apa yang harus kita lakukan dengannya?" kata Sam. "Ikat saja, supaya
dia tak bisa lagi mengejar kita dengan diam-diam."
"Tapi itu akan mematikan kita, mematikan kita," ratap Gollum. "Hobbit kecil
kejam. Mengikat kita di daratan keras dingin dan meninggalkan kita, gollum,
gollum." Isak tangis muncul dari tenggorokannya yang ber-gollum-gollum.
"Tidak," kata Frodo. "Kalau mau membunuhnya, kita harus langsung
membunuhnya. Tapi kita tak bisa melakukan itu, tidak dalam keadaan seperti ini.
Makhluk malang! Dia tidak melakukan kejahatan terhadap kita."
Dua Menara Halaman | 243 "Oh, memang tidak!" kata Sam sambil menggosok pundaknya. "Tapi tadi dia
bermaksud begitu, dan masih berniat begitu, aku yakin. Mencekik kita sementara
kita tidur, itu rencananya "
"Mungkin juga," kata Frodo. "Tapi apa yang dia niatkan, itu masalah lain." Ia
diam sebentar, berpikir. Gollum berbaring diam, tapi berhenti meratap. Sam
berdiri memandangnya dengan marah. Frodo merasa mendengar suara-suara dari masa
lalu; jauh, namun sangat jelas:
Sayang sekali Bilbo tidak menusuk makhluk busuk itu, ketika ada kesempatan!
Kasihan" Perasaan Welas Asih-lah yang menahan tangannya. Perasaan Welas
Asih dan Pengampunan: untuk tidak memukul bila tak perlu.
Aku tidak merasa kasihan sama sekali pada Gollum. Dia pantas mati. Pantas
mati! Menurutku memang begitu. Banyak yang hidup sepantasnya mati. Dan
beberapa yang matt sepantasnya tetap hidup. Apa kau bisa memberikan
kehidupan pada mereka" Jadi, jangan terlalu bersemangat menebar kematian atas
nama keadilan, karena mencemaskan keselamatanmu sendiri. Karena bahkan
kaum bijak tidak selamanya tahu apa yang akan terjadi kelak.
"Baiklah," jawab Frodo dengan suara keras, sambil menurunkan pedangnya.
"Tapi aku masih takut. Pokoknya aku tidak mau menyentuh makhluk itu.
Sebab sekarang, setelah melihatnya, aku merasa kasihan padanya."
Sam melongo melihat majikannya yang seperti sedang berbicara pada
seseorang yang tidak terlihat. Gollum mengangkat kepalanya.
"Yaa, memang kita malang, ssayangku," ia merengek. "Sengsara sengsara!
Hobbit tidak akan membunuh kita, hobbit maniss!"
"Tidak, kami tidak akan membunuhmu," kata Frodo. "Tapi kami juga tidak akan
melepasmu. Kau penuh dengan kejahatan dan kenakalan, Gollum. Kau harus ikut
kami, itu saja, tapi kami tetap mengawasimu. Dan kau harus membantu kami, kalau
bisa. Satu perbuatan baik pantas dibalas dengan perbuatan baik juga."
"Yaa, ya, memang," kata Gollum sambil bangkit duduk. "Hobbit maniss! Kita
ikut mereka. Mencarikan jalan aman dalam gelap untuk mereka, ya, akan kita
lakukan. Dan ke mana mereka akan pergi di daratan dingin dan keras ini, kita
ingin tahu, ya, kita ingin tahu."
Ia menatap mereka, matanya yang pucat berkedip-kedip sesaat,
memancarkan sorot redup yang menyiratkan kecerdikan dan semangat. Sam
merengut melihatnya, dan mengisap giginya; tapi ia mengerti ada yang aneh dalam
Halaman | 244 The Lord of The Rings suasana hati majikannya, dan masalah itu tak bisa diperdebatkan. Namun ia kaget
mendengar jawaban Frodo. Frodo menatap langsung ke dalam mata Gollum yang
tersentak dan langsung memalingkan muka.
"Kau sudah tahu, atau kau bisa menduga ke mana kami akan pergi, Smeagol,"
katanya dengan tenang dan keras.
"Kami pergi ke Mordor, tentu. Dan kau tahu jalan ke sana, aku yakin."
"Aah! Sss!" kata Gollum, menutupi telinganya dengan tangan, seolah kejujuran
seperti itu, dan keterbukaan menyebut nama itu, menyakitkan baginya.
"Kita menduga, ya, kita sudah menduganya," bisiknya, "dan kita tak ingin
mereka pergi, bukan begitu" Tidak, ssayangku, hobbit maniss, jangan. Abu, abu,
dan debu, dan kehausan ada di sana; dan sumur, sumur, sumur, dan Orc, ribuan
Orc. Hobbit-hobbit maniss jangan pergi ke-sss-tempat seperti itu."
"Jadi, kau sudah pernah ke sana?" desak Frodo. "Dan kau merasa ditarik
untuk kembali ke sana, bukan?"
"Yaa. Yaa. Tidak!" teriak Gollum. "Satu kali, tidak sengaja, bukan, ssayangku"
Ya, tanpa sengaja. Tapi kami tidak ingin kembali, tidak, tidak!" Lalu mendadak
suara dan bahasanya berubah, dan ia terisak, berbicara tapi bukan pada mereka.
"Lepaskan mereka, gollum! Kau menyakiti aku. Oh, tanganku yang malang,
gollum! Aku, kita, aku tidak mau kembali. Aku tidak bisa menemukannya. Aku


Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah letih. Aku, kita tidak bisa menemukannya, gollum, gollum, tidak, tidak ada
di mana-mana. Mereka selalu bangun. Kurcaci, Manusia, Peri, Peri mengerikan
dengan mata bersinar. Aku tidak bisa menemukannya. Aah!" ia bangkit berdiri dan
mengepalkan tangannya yang panjang menjadi simpul tulang tanpa daging,
mengayunkannya ke arah Timur.
"Kami tidak mau!" teriaknya. "Bukan untukmu."
Lalu ia roboh lagi. "Gollum, gollum," ia mengerang dengan wajah menempel ke tanah. "Jangan
pandangi kami! Pergi! Pergi tidur!"
"Dia tidak akan pergi atau tidur atas perintahmu, Smeagol," kata Frodo. "Kalau
kau benar-benar ingin bebas dari dia, kau harus membantuku. Dan itu berarti kau
harus mencari jalan untuk kami menuju dia. Tapi kau tak perlu ikut selamanya
sampai akhir, tak perlu sampai masuk gerbang negerinya." Gollum duduk lagi, dan
menatap dari bawah kelopak matanya. "Dia ada di sana," ia berkotek. "Selalu di
sana. Orc-Orc akan membawamu sepanjang jalan. Gampang menemukan Orc di
Dua Menara Halaman | 245 sebelah timur Sungai. Jangan tanya Smeagol. Smeagol malang, malang sekali, dia
sudah pernah pergi. Mereka mengambil Kesayangannya, dan dia sudah lenyap
sekarang." "Mungkin kita akan menemukannya lagi, kalau kau ikut kami," kata Frodo.
"Tidak, tidak, tidak pernah! Dia sudah kehilangan Kesayangannya," kata
Gollum. "Bangun!" kata Frodo. Gollum berdiri dan mundur sampai ke batu karang.
"Nah!" kata Frodo. "Kau memilih berjalan siang atau malam" Kami lelah, tapi
kalau kau memilih malam hari, kita akan berangkat malam ini."
"Cahaya besar menyakiti mata kami, begitu," ratap Gollum. "Jangan jalan dulu
di bawah Wajah Putih, jangan dulu. Dia akan segera pergi ke balik bukit, yaa.
Istirahat dulu sebentar, hobbit maniss!"
"Kalau begitu, duduk," kata Frodo, "dan jangan bergerak!"
Kedua hobbit duduk mengapitnya, dengan punggung bersandar pada tembok
batu, mengistirahatkan kaki. Tak perlu pengaturan dengan kata-kata: mereka tahu
mereka tak boleh tidur sekejap pun. Perlahan-lahan bulan berlalu. Bayang-bayang
menyelimuti perbukitan, dan semuanya menjadi gelap di depan.
Bintang-bintang semakin rapat dan terang di langit. Tak ada yang bergerak.
Gollum duduk dengan kedua kaki ditekuk ke atas, lutut di bawah dagu, tangan
datar dan kaki renggang di atas tanah, matanya terpejam; tapi ia tampak tegang,
seolah sedang berpikir atau mendengarkan. Frodo menatap Sam. Mata mereka
bertemu, dan mereka saling memahami. Mereka duduk santai, menyandarkan
kepala ke belakang, dan memejamkan mata, atau pura-pura memejamkan mata.
Dengan segera bunyi napas mereka lembut terdengar. Tangan Gollum agak
berkedut. Hampir tidak kelihatan kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan, mula-mula
satu mata membuka, lalu mata satunya. Kedua hobbit tidak bergerak. Mendadak,
dengan kegesitan dan kecepatan mengejutkan, Gollum lari ke dalam kegelapan,
langsung melompat seperti belalang atau kodok. Tapi justru itu yang
ditunggutunggu Frodo dan Sam. Sam sudah menerkamnya sebelum ia maju lebih dari
dua langkah setelah loncatannya. Frodo, yang menyusul, memegang kakinya dan
merobohkannya. "Mungkin tambangmu bisa berguna lagi, Sam," katanya.
Sam mengeluarkan tambangnya.
Halaman | 246 The Lord of The Rings "Dan ke mana kau akan pergi di negeri dingin dan keras ini, Mr. Gollum?"
geramnya. "Kami bertanya-tanya, ya, kami bertanya-tanya. Untuk mencari beberapa
teman Orc-mu, kurasa. Kau makhluk curang jahat. Seharusnya tambang ini
mengikat lehermu dengan sangat erat." Gollum berbaring diam, tidak mencoba
tipuan lain. Ia tidak menjawab, tapi melemparkan pandangan jahat ke arah Sam.
"Kita butuh sesuatu untuk memegangnya," kata Frodo.
"Kita ingin dia berjalan, jadi tak ada gunanya mengikat kakinya atau
tangannya, sebab duaduanya banyak dia gunakan. Ikat satu ujung tambang pada
pergelangan kakinya, dan pegang ujung lainnya."
Frodo berdiri di dekat Gollum, sementara Sam mengikat simpulnya. Hasilnya
mengejutkan mereka berdua. Gollum mulai menjerit, bunyi tajam mengiris, sangat
mengerikan. Ia menggeliat, mencoba mendekatkan mulut ke pergelangan kakinya,
dan menggigiti tambang. Ia terus menjerit. Akhirnya Frodo yakin ia benar-benar
kesakitan; tapi pasti bukan karena ikatannya. Ia memeriksanya, dan menemukan
simpul itu tidak terlalu erat, bahkan tak bisa dibilang erat.
Sam merasa kasihan, meski tadi ia bicara keras pada Gollum.
"Ada apa denganmu?" katanya. "Kalau kau mencoba lari, kau harus diikat; tapi
kami tidak bermaksud menyakitimu."
"Sakit, sakit," desis Gollum. "Tambang ini membekukan, menggigit! Peri yang
memilinnya, terkutuklah mereka! Hobbit jahat kejam! Karena itu kita mencoba
lari, tentu saja, ssayangku. Kita sudah menduga mereka hobbit kejam. Mereka
mengunjungi kaum Peri, Peri galak dengan mata bersinar. Lepaskan tambang ini!
Ssakit!" "Tidak, aku tidak akan melepaskannya," kata Frodo, "tidak, kecuali" ia berhenti
untuk berpikir sejenak "kecuali kau membuat janji yang bisa kupercayai."
"Kita bersumpah akan melakukan apa yang dia inginkan, ya, ya," kata Gollum,
masih menggeliat dan mencoba meraih pergelangan kakinya. "Ini menyakitkan
kami." "Sumpah?" kata Frodo. "Smeagol," kata Gollum dengan tiba-tiba dan jelas,
membuka lebar-lebar matanya dan memandang Frodo dengan sinar aneh.
"Smeagol akan bersumpah pada Kesayangannya."
Dua Menara Halaman | 247 Frodo berdiri tegak, dan sekali lagi Sam kaget mendengar kata-katanya dan
suaranya yang keras. "Pada Kesayanganmu" Berani-beraninya kau!" katanya. "Pikir!"
Satu Cincin untuk menguasai mereka semua dan mengikat mereka dalam
Kegelapan. "Apakah kau mau mengikat janjimu pada benda itu, Smeagol" Cincin itu akan
mengikatmu. Tapi dia lebih curang daripadamu. Mungkin dia akan memutarbalikkan
kata-katamu. Waspadalah!" Gollum gemetar ketakutan. "Pada
Kesayangan-ku, pada Kesayangan-ku!" ulangnya.
"Dan apa yang akan kau ikrarkan?" tanya Frodo. "Aku akan bersikap baik
sekali," kata Gollum. Lalu sambil merangkak ke kaki Frodo ia merendahkan diri di
depannya, dan berbisik parau; ia menggigil, seolah kata-kata itu menggoyang
tulang-belulangnya dengan kengerian.
"Smeagol bersumpah tidak akan pernah membiarkan Dia memilikinya. Tidak
akan pernah! Smeagol akan menyelamatkannya. Tapi dia harus bersumpah pada
Kesayangan-nya itu."
"Tidak! Tidak padanya," kata Frodo, menatap Gollum dengan iba. "Kau hanya
ingin melihat dan menyentuhnya, kalau bisa, meski kau tahu itu akan membuatmu
gila. Jangan bersumpah pada Kesayanganmu, tapi bersumpahlah demi benda itu,
kalau mau. Karena kau tahu di mana dia. Ya, kau tahu, Smeagol. Dia ada di
depanmu." Untuk beberapa saat, Sam merasa seolah majikannya tumbuh membesar,
sedangkan Gollum mengkerut: Frodo menjadi sebuah sosok tinggi kokoh, seorang
penguasa hebat yang menyembunyikan cahayanya dalam jubah kelabu, dan di
kakinya seekor anjing kecil merengekrengek. Meski begitu, dalam segi tertentu
keduanya mempunyai persamaan dan tidak asing: mereka bisa saling memahami
pikiran masingmasing. Gollum bangkit dan mulai mencakar-cakar Frodo,
merendah-rendah di lutut Frodo.
"Turun! Turun!" kata Frodo. "Sekarang ucapkan janjimu!" "Kita berjanji, ya, aku
berjanji," kata Gollum. "Aku akan melayani penguasa Kesayangan-ku. Majikan
baik, Smeagol baik, gollum, gollum!" Mendadak ia mulai menangis dan menggigit
pergelangan kakinya lagi.
"Lepaskan tambang itu, Sam!" kata Frodo.
Halaman | 248 The Lord of The Rings Dengan enggan Sam mematuhinya. Segera Gollum berdiri dan mulai
berjingkrak jingkrak seperti anjing kampung yang ditepuk-tepuk oleh majikannya
sehabis dicambuk. Sejak saat itu terjadi perubahan pada dirinya, dan bertahan
hingga beberapa lama. Ia tidak terlalu sering lagi mendesis dan meratap, dan ia
berbicara langsung pada pendamping-pendampingriya, bukan pada dirinya sendiri,
Ia akan takut dan tersentak kalau mereka melangkah di dekatnya atau membuat
gerakan tiba-tiba, dan ia menghindari sentuhan jubah Peri mereka; tapi ia ramah,
bahkan sangat ingin menyenangkan, sampai terlihat mengibakan. Ia akan tertawa
terbahak-bahak dan melonjak-lonjak kalau ada kelakar, atau bahkan bila Frodo
berbicara ramah kepadanya, dan menangis kalau Frodo menegumya. Sam tidak
banyak bicara dengannya. Ia lebih curiga daripada sebelumnya, dan tidak begitu
menyukai Gollum yang baru ini, dibandingkan yang lama.
"Well, Gollum, atau apa pun nama panggilanmu," kata Sam, "ayo! Bulan
sudah pergi, dan malam semakin larut. Sebaiknya kita berangkat."
"Ya, ya," Gollum setuju, sambil melompat-lompat ke sana kemari. "Mari kita
pergi! Hanya ada satu jalan melintasi ujung Utara dan ujung Selatan. Aku
menemukannya. Orc tidak menggunakannya, Orc tidak tahu tentang ini. Orc tidak
melintasi Rawa-Rawa, mereka berjalan memutar bermil-mil. Untung sekali kau
lewat jalan ini. Sangat beruntung kau menemukan Smeagol, ya. Ikuti Smeagol!" Ia
maju beberapa langkah, dan menoleh ke belakang dengan sikap bertanya, seperti
seekor anjing mengajak berjalan-jalan.
"Tunggu dulu, Gollum!" teriak Sam. "Jangan terlalu jauh di depan! Aku akan
memukul ekormu, dan tambangku sudah siap."
"Tidak, tidak!" kata Gollum. "Smeagol sudah berjanji." Di tengah malam larut,
di bawah bintang-bintang terang dan tajam, mereka berangkat. Gollum menuntun
mereka kembali ke arah utara untuk beberapa saat, melalui jalan tempat mereka
mula-mula datang; lalu ia membelok ke kanan, menjauhi pinggiran terjal Emyn
Mull, menuruni lereng-lereng berbatu yang hancur, menuju tanah rawa luas di
bawah. Mereka segera menghilang lamat-lamat ke dalam kegelapan. Di tanah
gersang yang luas di depan gerbang Mordor, keheningan yang hitam menggantung
berat. Dua Menara Halaman | 249 Melintasi Rawa-rawa Gollum bergerak cepat, kepala dan lehernya menjulur ke depan. Ia sering
menggunakan tangan dan kakinya. Frodo dan Sam mengikutinya dengan susah
payah; tapi rupanya Gollum sudah tidak berniat melarikan diri lagi. Kalau mereka
ketinggalan, ia akan menoleh dan menunggu mereka. Setelah beberapa saat, ia
membawa mereka ke pinggiran parit sempit yang sudah mereka temui
sebelumnya; tapi kini mereka berada lebih jauh dari bukit-bukit.
"Ini dia!" serunya. "Ada jalan turun ke sana, ya. Sekarang kita mengikutinya
keluar, keluar di sana." Ia menunjuk ke selatan dan timur, ke arah rawa-rawa.
Bau busuknya sampai ke hidung mereka, berat dan sangat keras dalam udara malam
yang dingin. Gollum berjalan turun-naik di tebing, dan akhirnya memanggil
mereka. "Di sini! Di sini kita bisa turun. Smeagol pernah lewat jalan ini: aku lewat
sini, bersembunyi dan para Orc." Ia memimpin jalannya, dan kedua hobbit mengikutinya
turun di kegelapan. Tidak sulit, karena jurang di titik ini hanya sekitar lima
belas kaki dalamnya, dan lebarnya sekitar dua belas kaki. Ada air mengalir di
dasarnya: sebenarnya itu palung dari salah satu sungai yang banyak mengalir turun dan
bukit-bukit untuk mengairi genangan-genangan air dan lumpur yang diam. Gollum
berbelok ke kanan, kurang-lebih ke selatan, dan menceburkan kakinya ke dalam
sungai berbatu yang dangkal. Ia tampak sangat gembira merasakan air, dan
tertawa sendiri, kadang-kadang bahkan menyanyikan semacam lagu dengan
suaranya yang parau. Tanah keras dan beku Menggigit tangan yang kaku, Menggerogoti kaki yang
garing. Bebatuan dan batu karang Seperti tulang-belulang yang lekang Semuanya tak
lagi berdaging. Tapi air sungai dan telaga Basah dan sejuk: Nyaman kaki di air bening! Dan
sekarang kami ingin ... "Ha! Ha! Apa yang kita inginkan?" katanya, melirik kedua hobbit. "Akan kita
ceritakan," ia berkuak.
"Dia sudah lama menebaknya, Baggins menebaknya." Matanya bersinar-sinar,
dan Sam yang meriangkap sinar itu menganggapnya sangat tidak menyenangkan.
Hidup tanpa pernapasan; Sedingin kematian; Tak pernah kehausan,
bersanding minuman; Berbaju logam, tanpa dentingan. Terdampar di tanah
Halaman | 250 The Lord of The Rings gersang, Menyangka pulau rindang Pegunungan yang menjulang; Mengira
pancuran Embusan angin kering. Begitu elok dan ramping! Betapa senang
berjumpa dengannya! Kami hanya menginginkan Berhasil menangkap ikan, Yang
lembut-manis dagingnya! Kata-kata itu membuat Sam semakin gelisah memikirkan suatu masalah yang
memang sudah mengganggunya sejak majikannya berniat membawa Gollum
sebagai pemandu mereka: masalah makanan. Ia menduga majikannya belum
memikirkan hal itu, tapi ia merasa Gollum sudah memikirkannya. Bagaimana
Gollum selama ini mencari makan dalam perjalanannya yang sendirian"
"Tidak begitu baik," pikir Sam. "Dia tampak kelaparan. Aku yakin dia tidak
terlalu pilih-pilih untuk mencoba rasa hobbit kalau tidak ada ikanseandainya dia
bisa menangkap kami kalau sedang tidur. Tapi itu tidak akan terjadi: tidak pada
sam gamgee." Mereka berjalan lama sekali, terseok-seok menyusuri parit panjang berbelokbelok,
atau begitulah rasanya bagi kaki Frodo dan Sam yang letih. Parit itu
membelok ke timur, dan ketika mereka semakin jauh, ia melebar dan lambat laun
menjadi lebih dangkal. Akhirnya langit di atas menjadi pucat oleh sinar kelabu
pertama pagi hari. Gollum belum menunjukkan tanda-tanda lelah, tapi sekarang ia
menoleh dan berhenti. "Pagi sudah dekat," bisiknya, seolah Pagi itu sesuatu yang bisa
mendengarnya dan menerkamnya. "Smeagol akan tinggal di sini: aku akan tinggal
di sini, dan Wajah Kuning tidak akan melihatku."
"Kami akan senang melihat Matahari," kata Frodo, "tapi kami akan tetap di
sini: kami terlalu letih untuk berjalan lebih jauh saat ini." "Kau tidak bijak
kalau senang dengan Wajah Kuning," kata Gollum. "Dia membuatmu kentara. Hobbit
manis pintar tetap bersama Smeagol. Orc dan makhluk-makhluk jahat berkeliaran.
Mereka bisa melihat jauh sekali. Tinggal di sini dan bersembunyi bersamaku!"
Ketiganya berhenti untuk beristirahat di kaki tembok berbatu parit itu.
Sekarang ketinggiannya tidak lebih daripada tinggi manusia, dan di kakinya
ada bidang-bidang datar lebar dari batu kering; airnya mengalir dalam saluran di
sisi yang lain. Frodo dan Sam duduk di atas salah satu bidang datar,
menyandarkan punggung. Gollum mendayung dan berjuang dalam aliran sungai.
"Kita perlu makan sedikit," kata Frodo. "Kau lapar, Smeagol" Makanan kami
sedikit sekali, tapi akan kami sisakan sebisa mungkin bagimu." Mendengar kata
lapar, sinar hijau menyala dalam mata Gollum yang pucat, dan kedua mata itu
Dua Menara Halaman | 251 seolah semakin menonjol di wajahnya yang kurus dan tampak sakit. Untuk sesaat
ia kembali ke gaya Gollum-nya.
"Kita kelaparan, ya kelaparan kita, ssayangku," katanya. "Apa yang mereka
makan" Apakah mereka punya ikan enak?" Lidahnya menjulur keluar dari antara
giginya yang kuning, menjilat bibirnya yang pucat.
"Tidak, kami tidak punya ikan," kata Frodo. "Kami hanya punya ini" _ ia
mengangkat sebatang wafer lembas _ "dan air, kalau air di sini bisa diminum."
"Yaa, air bagus," kata Gollum. "Minum, minum saja, selagi masih bisa! Tapi
apa yang mereka punya, ssayangku" Apakah bisa dikunyah" Apakah rasanya
enak?" Frodo mematahkan sebagian wafer dan memberikannya pada Gollum di
atas daun pembungkusnya. Gollum mencium daun itu, dan wajahnya berubah:
kejang-kejang karena jijik, dan sentuhan kedengkiannya yang lama muncul.
"Smeagol menciumnya!" katanya. "Daun dari negeri Peri, bah! Bau sekali. Dia


Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pernah memanjat pohon itu, dan dia tak bisa mencuci bersih bau itu dari
tangannya, tanganku yang manis." Sambil menjatuhkan daunnya, ia mengambil
sepotong lembas itu dan mengunyahnya. Ia meludah, lalu terbatuk-batuk.
"Aah! Tidak!" ia merepet. "Kau mencoba mencekik Smeagol malang. Debu
dan abu, dia tak bisa makan. Dia akan mati kelaparan. Tapi Smeagol tidak peduli.
Hobbit manis! Smeagol sudah janji. Dia akan mati kelaparan. Dia tak bisa makan
makanan hobbit. Dia akan mati kelaparan. Smeagol malang yang kurus!"
"Aku menyesal," kata Frodo, "tapi aku tak bisa membantumu. Kukira makanan
ini akan baik bagimu, kalau kau mau mencoba. Tapi mungkin kau tak bisa
mencoba, setidaknya belum sekarang."
Kedua hobbit mengunyah lembas mereka dalam keheningan. Sam berpikir,
entah mengapa, rasanya lebih enak daripada sebelumnya: sikap Gollum
membuatnya memperhatikan lagi rasanya. Tapi ia tidak merasa nyaman. Gollum
memperhatikan setiap remah dari tangan sampai ke mulut, seperti anjing yang
menunggu penuh harap, dekat kursi orang yang sedang makan. Baru ketika
mereka selesai dan bersiap-siap istirahat, ia tampak yakin bahwa tak ada makanan
lezat tersembunyi yang bisa ikut dimakannya. Lalu ia pergi duduk sendirian
beberapa langkah dari mereka, dan agak merengek.
"Begini!" bisik Sam pada Frodo, tidak terlalu perlahan: ia tidak begitu peduli
apakah Gollum mendengarnya atau tidak. "Kita perlu tidur sebentar, tapi jangan
berbarengan dengan adanya bajingan lapar di dekat kita. Janji atau tidak.
Smeagol atau Gollum tidak akan serta-merta mengubah kebiasaannya, aku yakin. Kau tidur
Halaman | 252 The Lord of The Rings dulu, Mr. Frodo, dan aku akan memanggilmu kalau kelopak mataku sudah tak bisa
terbuka lagi. Waspadalah, sama seperti sebelumnya, sementara dia berkeliaran
bebas." "Mungkin kau benar, Sam," kata Frodo dengan terang-terangan. "Memang ada
perubahan pada dirinya, tapi perubahan macam apa dan seberapa dalam, aku
belum yakin. Kurasa kita tak perlu khawatir sekarang ini, tapi tetap awasi
sajalah kalau kau mau. Berikan aku dua jam, jangan lebih, lalu bangunkan aku." Frodo
begitu lelah, sampai kepalanya jatuh ke dadanya, dan ia hampir-hampir langsung
tertidur setelah mengucapkan kata-kata itu.
Gollum tampaknya sudah tidak takut lagi. Ia meringkuk dan cepat tertidur,
tanpa menghiraukan apa pun. Tak lama kemudian, napasnya mendesis lembut
melalui giginya yang dikatupkan, tapi ia berbaring diam seperti batu. Setelah
beberapa saat, karena takut tertidur juga kalau mendengarkan napas kedua
pendampingnya, Sam berdiri dan dengan lembut menyodok Gollum. Kepalan
tangannya terbuka dan berkedut, tapi ia tidak membuat gerakan lain. Sam
membungkuk dan mengatakan ikan dekat telinganya, tapi tak ada reaksi, bahkan
napasnya pun tidak tersentak. Sam menggaruk kepalanya.
"Benar-benar tidur," gerutunya. "Dan kalau aku seperti Gollum, dia tidak akan
pernah bangun lagi." Ia menahan diri agar tidak memikirkan pedang dan
tambangnya, lalu pergi duduk dekat majikannya. Ketika ia bangun, langit di atas
redup; tidak lebih terang, tapi lebih gelap daripada ketika mereka sarapan. Sam
melompat berdiri. Dari perasaan segar bercampur lapar yang menyelimuti dirinya,
tiba-tiba ia menyadari bahwa ia sudah tidur sepanjang hari, setidaknya sudah
sembilan jam. Frodo masih tidur lelap, sekarang berbaring miring. Gollum tidak
tampak. Sam memaki-maki dirinya sendiri. Kemudian terlintas dalam benaknya
bahwa majikannya juga benar: untuk sementara, tidak ada yang perlu diawasi.
Setidaknya mereka berdua masih hidup dan tidak dicekik.
"Makhluk malang!" kata Sam, setengah menyesali. "Aku ingin tahu ke mana
dia pergi?" "Tidak jauh, tidak jauh!" kata sebuah suara di atasnya. Sam menengadah dan
melihat bentuk kepala Gollum yang besar, serta telinganya, berlatar belakang
langit senja. "Nah, apa yang kaulakukan?" teriak Sam, kecurigaannya kembali timbul
begitu melihat sosok Gollum. "Smeagol lapar," kata Gollum. "Akan segera
kembali." Dua Menara Halaman | 253 "Kembali sekarang!" teriak Sam. "Hai! Kembali!" Tapi Gollum sudah
menghilang. Frodo bangun mendengar suara teriakan Sam dan bangkit duduk,
menyeka matanya. "Halo!" katanya. "Ada masalah" Jam berapa sekarang?" "Aku tidak tahu," kata
Sam. "Sudah lewat matahari terbenam, kukira. Dan dia pergi. Katanya dia lapar."
"Jangan khawatir!" kata Frodo. "Itu tak bisa dihindari. Tapi dia akan kembali,
lihat saja nanti. Janji itu masih akan mengikatnya untuk sementara waktu. Dan
dia tidak akan meninggalkan Kesayangannya." Frodo menganggap enteng bahwa
mereka tidur lelap selama berjam-jam didampingi Gollum yang sangat lapar, yang
bebas lepas di samping mereka. "Jangan mengomel-omel seperti Gaffer-mu,"
katanya. "Kau sudah letih sekali, dan ternyata semuanya berakhir dengan baik:
sekarang kita berdua sudah cukup istirahat. Masih ada perjalanan sulit di depan,
jalan terburuk sampai sekarang."
"Tentang makanan," kata Sam. "Berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk
melakukan tugas ini" Dan kalau sudah selesai, apa yang akan kita lakukan" Roti
ini memang membuat kita kuat berdiri, tapi tidak cukup memuaskan perut, bisa
dikatakan begitu: setidaknya untukku, tanpa bermaksud menghina mereka yang
membuatnya. Tapi kita harus makan sedikit setiap hari, dan roti itu akan makin
sedikit. Menurut Perhitunganku, persediaan kita cukup untuk sekitar tiga minggu,
itu kalau dihemat-hemat, camkan itu. Kita agak boros sejauh ini."
"Aku tidak tahu berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk. ... untuk
menyelesaikan tugas," kata Frodo. "Kita tertunda dengan menyedihkan di
perbukitan. Tapi Samwise Gamgee, hobbit-ku yang baik, yang paling kusayangi
sahabat di antara sahabat kukira kita tak perlu memikirkan apa yang akan terjadi
setelahnya. Melakukan tugas itu, seperti istilahmu apa harapan kita bahwa kita
akan berhasil" Dan kalau kita berhasil, siapa tahu apa akibatnya" Kalau Cincin
Utama masuk ke dalam Api, dan kita di dekatnya" Coba pikir, Sam, apa kita masih
akan membutuhkan roti" Kukira tidak. Kalau kita bisa merawat anggota tubuh kita
untuk membawa kita ke Gunung Maut, itu saja cukuplah. Itu sudah lebih dari yang
bisa kulakukan, rasanya begitu."
Sam mengangguk diam. Ia memegang tangan majikannya dan membungkuk
di atasnya. Ia tidak menciumnya, meski air matanya jatuh ke atasnya. Lalu ia
berpaling, menyeka hidungnya dengan lengan baju, dan bangkit berdiri,
mengentak-entakkan kaki, mencoba bersiul, dan di tengah upaya itu berkata,
Halaman | 254 The Lord of The Rings "Di mana makhluk keparat itu?" Sebenarnya Gollum sudah kembali, tapi ia
datang begitu diam-diam, sampai-sampai mereka tidak mendengarnya. Jari dan
wajahnya berlumuran lumpur hitam. Ia masih mengunyah dan meneteskan air liur.
Apa yang dikunyahnya, tidak mereka tanyakan atau pikirkan. "Cacing atau
kumbang, atau sesuatu yang berlumpur dari dalam lubang-lubang," pikir Sam. "Brr!
Makhluk menjijikkan; makhluk memelas!" Gollum tidak berkata apa-apa pada
mereka, sampai ia minum sepuasnya dan membasuh dirinya di sungai. Lalu ia naik
kembali menghampiri mereka, sambil menjilat bibirnya.
"Sekarang lebih baik," katanya. "Kita sudah cukup istirahat" Siap melanjutkan
perjalanan" Hobbit-hobbit manis, mereka tidur indah sekali. Percaya Smeagol
sekarang" Sangat, sangat bagus."
Tahap berikutnya perjalanan mereka sangat mirip yang sebelumnya. Ketika
mereka berjalan maju, parit itu semakin dangkal dan kemiringan dasarnya semakin
landai. Dasarnya tidak begitu berbatu dan lebih banyak tanahnya, dan
perlahanlahan sisi-sisinya menjelma menjadi tebing biasa. Parit itu mulai
berliku-liku dan arahnya tidak teratur. Malam itu hampir berakhir, tapi awanawan sekarang
menutupi bulan-bintang, dan mereka mengetahui kedatangan fajar hanya dari
penyebaran cahaya kelabu tipis yang lambat. Pada jam-jam fajar yang dingin,
mereka sampai di ujung aliran air. Tebingtebingnya berubah menjadi gundukan
hijau lumut. Melewati dataran terakhir dengan bebatuan membusuk, sungai
mengalir menggeluguk dan jatuh ke dalam tanah cokelat berlumpur, lalu
menghilang. Ilalang kering mendesis dan berderak, meski mereka tidak merasakan
angin lewat. Di kedua sisi dan di depan, tanah basah dan lumpur luas membentang ke
selatan dan timur, masuk ke cahaya yang kabur. Kabut mengeriting dan naik
seperti asap, dari genangan gelap dan tak menyenangkan. Bau busuknya
menggantung di udara, serasa mencekik. Jauh di sana, hampir ke arah
selatan, tembok pegunungan Mordor menjulang, seperti balok hitam awanawan
bergerigi melayang di atas lautan penuh kabut yang berbahaya.
Kedua hobbit sekarang sepenuhnya berada di tangan Gollum. Mereka tidak
tahu, dan tidak menduga bahwa mereka sebenarnya berada persis di dalam batas
utara rawa-rawa, yang hamparannya terbentang di sebelah selatan mereka. Kalau
mereka kenal daratan itu, mereka bisa berjalan kembali sedikit, lalu membelok ke
timur, berjalan memutar melalui jalan keras, sampai ke padang gersang Dagorlad:
medan pertempuran zaman kuno di depan gerbang-gerbang Mordor. Bukannya
Dua Menara Halaman | 255 ada harapan besar dengan melalui jalan itu. Di padang berbatu itu tak ada tempat
perlindungan, dan jalan raya Orc serta bala tentara Musuh melintasinya.
Bahkan jubah Lorien takkan bisa menyembunyikan mereka di sana.
"Bagaimana arah perjalanan kita sekarang, Nmeagor!" tanya Frodo. "Apakah kita
harus melintasi tanah berbau busuk ini?"
"Tidak perlu, sama sekali tidak perlu," kata Gollum. "Tidak kalau hobbit ingin
sampai di pegunungan gelap dan pergi menemui Dia lekas-lekas. Kembali sedikit
dan berputar sedikit" tangannya yang kurus melambai ke utara dan timur-"dan kau
bisa sampai di jalan keras dan dingin, sampai di gerbang negeri-Nya. Banyak anak
buah Dia di sana, menunggu kedatangan tamu, sangat senang bisa membawa
mereka langsung kepada Dia, oh ya. Matanya memperhatikan jalan itu sepanjang
waktu. Dia menangkap Smeagol di sana, dulu." Gollum menggigil. "Tapi sejak itu
Smeagol menggunakan matanya, ya, ya: aku menggunakan mata dan kaki dan
hidung sejak itu. Aku tahu Parit lain. Lebih sulit, tidak begitu cepat; tapi
lebih baik, kalau kita tak ingin kelihatan olehNya. Ikuti Smeagol! Dia bisa membawamu
melewati rawa-rawa, melalui kabut, kabut tebal bagus. Ikuti Smeagol dengan
hatihati, dan kau bisa berjalan jauh sekali, cukup jauh, sebelum Dia
menangkapmu, ya barangkali." Ketika itu sudah pagi, pagi yang tidak berangin dan muram, asap tengik rawarawa
menggantung berat di udara. Tak ada matahari menembus langit yang
berawan rendah, dan Gollum tampaknya sudah tak sabar untuk segera
melanjutkan perjalanan. Maka, setelah istirahat singkat, mereka berangkat lagi
dan segera masuk ke dunia remangremang sepi, terputus hubungan dengan
pemandangan daratan sekitarnya, baik bukit-bukit yang sudah mereka tinggalkan
atau pegunungan yang mereka tuju. Mereka berjalan perlahan, berbaris satu-satu:
Gollum, Sam, Frodo. Frodo tampaknya yang paling lelah di antara mereka bertiga,
dan meski mereka berjalan lambat, ia sering tertinggal. Kedua hobbit segera
menyadari bahwa apa yang terlihat seperti rawa luas sebenarnya suatu jaringan
kolamkolam tak terhingga dan lumpur lembek, serta aliran air setengah tercekik
yang berkelok-kelok. Di medan ini, sepasang mata dan kaki cerdik bisa mencari jalan. Gollum
memang punya kecerdikan itu, dan membutuhkan semuanya. Kepalanya di atas
lehernya yang panjang selalu berputar ke sana kemari, sementara ia
mengendusendus dan menggerutu sendiri sepanjang waktu. Kadang-kadang ia
mengangkat tangannya dan menghentikan mereka, sementara ia berjalan maju sedikit,
merundukkan badan, menguji tanah dengan jari tangan atau kaki, atau hanya
Halaman | 256 The Lord of The Rings mendengarkan dengan satu telinga ditempelkan ke tanah. Sangat muram dan
melelahkan. Musim dingin yang lembap dan dingin masih menguasai daratan
kosong ini. Satu-satunya warna hijau yang tampak adalah buih rumput liar pucat di atas
permukaan air murung yang gelap berminyak. Rumput mati dan ilalang membusuk
menjulang di tengah kabut, seperti bayangan bergerigi dari musim panas yang
sudah lama terlupakan. Ketika hari semakin larut, cahaya bertambah terang, dan
kabut tersingkap, semakin tipis dan tembus pandang. Jauh di atas pembusukan
dan asap dunia, Matahari melayang tinggi dan keemasan di sebuah negen hening
dengan lantai busa menyilaukan, tapi mereka hanya bisa melihat hantunya lewat di
bawah, muram, pucat, tidak memancarkan warna maupun kehangatan.
Tapi bahkan kehadirannya yang redup sudah membuat Gollum cemberut dan
tersentak. Ia menghentikan perjalanan mereka, dan mereka beristirahat, jongkok
seperti hewan-hewan kecil yang sedang diburu, di tengah gerombolan besar ilalang
cokelat. Kesepian mencekam, hanya dipecahkan oleh getaran lemah bulu-bulu biji
yang kosong, dan helai-helai rumput patah yang bergetar dalam gerakan udara
lembut yang tak bisa mereka rasakan.
"Tak ada satu burung pun!" kata Sam sedih.
"Tidak, tak ada burung," kata Gollum. "Burung manis!" ia menjilat giginya.
"Tak ada burung di sini. Ada ular-ular, cacing, makhluk-makhluk di dalam
kolam. Banyak sekali, banyak makhluk jahat. Tidak ada burung," ia mengakhiri
omongannya dengan sedih. Sam memandangnya dengan jijik.
Begitulah akhir hari ketiga perjalanan mereka bersama Gollum. Sebelum
bayangan senja memanjang di daratan yang lebih cerah, mereka berangkat lagi,
selalu maju dan hanya berhenti sebentar-sebentar. Perhentian itu bukan hanya
untuk istirahat, tapi untuk membantu Gollum; karena sekarang ia pun harus
melangkah maju dengan sangat hatihati, dan kadang-kadang ia agak bingung.
Mereka sudah sampai di tengah Rawa-Rawa Mati, dan cuaca gelap pekat. Mereka
berjalan lambat, membungkuk, berbaris rapat, mengikuti dengan cermat semua
gerakan yang dilakukan Gollum. Rawa-Rawa semakin basah, meluas menjadi
danau yang menggenang diam, dan sekarang semakin sulit menemukan tempat
yang lebih kokoh di antaranya, di mana kaki bisa melangkah tanpa tenggelam ke
dalam lumpur yang berdeguk.
Para pengembara itu ringan bobotnya; kalau tidak, mungkin tak ada di antara
mereka yang bisa melewatinya. Akhirnya cuaca sama sekali gelap: udara tampak
Dua Menara Halaman | 257 hitam, dan sulit untuk bernapas di dalamnya. Ketika muncul cahaya-cahaya, Sam
menyeka matanya: ia menyangka benaknya mulai aneh. Mula-mula ia melihat
seuntai sinar pucat yang meredup lagi; tapi yang lain segera muncul setelahnya:
beberapa seperti asap bersinar redup, beberapa seperti nyala api kabur yang
berkelip perlahan di atas lilin yang tidak tampak; di sana-sini mereka
menggeliat seperti lembaran-lembaran pucat yang dibentangkan tangantangan tersembunyi.
Tapi kawankawan seperjalanannya tak ada yang berbicara. Akhirnya Sam tidak
tahan lagi. "Apa ini, Gollum?" bisiknya. "Lampu-lampu ini" Mereka di sekitar kita
sekarang. Apakah kita terjebak" Siapa mereka?" Gollum menoleh. Air gelap ada di
depannya, dan ia sedang merangkak di tanah, ke sana kemari, ragu-ragu mencari
jalan. "Ya, mereka di sekeliling kita," bisiknya. "Cahaya-cahaya yang penuh tipuan.
Lilin para mayat, ya, ya. Jangan hiraukan mereka! Jangan lihat! Jangan ikuti
mereka! Di mana majikan?"
Sam menoleh, dan menyadari Frodo tertinggal lagi. Ia mundur beberapa
langkah, tidak berani bergerak jauh, dan hanya berani memanggil dengan bisikan
parau. Mendadak ia menabrak Frodo yang sedang berdiri melamun, memandangi
cahaya-cahaya pucat itu. Lengannya tergantung kaku di sisinya; air dan lumpur
mengucur dari tangannya. "Ayo, Mr. Frodo!" kata Sam. "Jangan pandangi mereka! Kata Gollum, jangan
memandang mereka. Mari kita ikuti dia, dan keluar secepat mungkin dari tempat
terkutuk ini kalau bisa!" Sambil bergegas maju lagi, Sam terjungkal, kakinya
tersandung sebuah akar tua atau segumpal rumput. Ia jatuh dengan berat di atas
tangannya, yang terbenam ke dalam lumpur lengket, sehingga wajahnya dekat ke
permukaan rawa gelap itu. Ada bunyi desis samar-samar, bau menusuk keluar,
cahayacahaya berkelip menari-nari dan berputar-putar. Sejenak air di bawahnya
tampak seperti sebuah jendela yang dilapisi kaca sangat kotor, dan ia bisa
mengintip ke baliknya. Sambil merenggutkan tangannya dari lumpur, Sam
melompat mundur dan menjerit.
"Ada mayat-mayat, wajah-wajah mayat di dalam air," teriaknya ngeri.
"Wajah mayat!" Gollum tertawa. "Rawa-Rawa Mati, ya, ya: itu nama mereka,"


Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia berkotek. "Kau jangan melihat ke dalam kalau lilin menyala."
"Siapa mereka" Apa mereka?" tanya Sam sambil menggigil, menoleh pada
Frodo yang sekarang ada di belakangnya.
Halaman | 258 The Lord of The Rings "Aku tidak tahu," kata Frodo dengan suara seperti sedang bermimpi. "Tapi aku
juga melihatnya. Di kolam, kalau lilin-lilin menyala. Aku meiihat mereka:
wajahwajah murung dan jahat, wajah-wajah mulia dan sedih. Banyak wajah angkuh
dan elok, rambut perak mereka terbelit rumput. Tapi semua buruk, semua membusuk,
semua mati. Ada cahaya jahat di dalam mereka." Frodo menyembunyikan matanya
dengan tangan. "Aku tidak tahu siapa mereka, tapi rasanya aku melihat ada
Manusia, Peri, dan Orc di samping mereka."
"Ya, ya," kata Gollum. "Semua mati, semua sudah busuk. Peri, Manusia, dan
Orc. Rawa-Rawa Mati. Ada pertempuran di zaman dahulu kala, ya, begitu ceritanya
ketika Smeagol masih kecil, sebelum Kesayangan-ku datang. Pertempuran besar
sekali. Manusia-manusia tinggi dengan pedang panjang, Peri-Peri yang
mengerikan, dan Orc-Orc yang menjerit. Mereka bertempur di padang selama
berhari-hari dan berbulan-bulan di Gerbang Hitam. Tapi sejak itu Rawa-Rawa itu
sudah membesar, menelan kuburan-kuburan; selalu merayap, selalu merayap."
"Tapi itu sudah lebih dari seabad yang lalu," kata Sam. "Makhluk-makhluk Mati
tak mungkin benar-benar ada di sini! Apakah ini suatu sihir yang dikembangkan di
Negeri Gelap?" "Siapa tahu" Smeagol tidak tahu," jawab Gollum. "Kau tak bisa menghubungi
mereka, tak bisa menyentuh mereka. Kami pernah mencobanya, ya, sayangku.
Aku pernah mencobanya: tapi ternyata tak bisa disentuh. Hanya sosok-sosok untuk
dilihat, barangkali, tapi bukan untuk disentuh. Tidak, sayangku! Semuanya mati."
Sam menatap Gollum dengan murung, dan menggigil lagi. Ia bisa menduga,
mengapa Smeagol mencoba memegang mereka. "Well, aku tidak mau melihat
mereka," katanya. "Tidak mau lagi! Bisakah kita jalan terus dan pergi?"
"Ya, ya," kata Gollum. "Tapi perlahan-lahan, sangat perlahan. Sangat
berhatihati! Atau kalau tidak, hobbit-hobbit akan turun bergabung dengan
MakhlukMakhluk Mati dan menyalakan lilin-lilin kecil. Ikuti Smeagol! Jangan
lihat cahayacahaya!"
Gollum merangkak ke kanan, mencari jalan mengitari kolam. Kedua hobbit
berjalan dekat di belakangnya, membungkuk, sering menggunakan tangan mereka,
seperti Gollum. "Kalau ini berlangsung lebih lama lagi, kita akan segera menjadi
tiga Gollum kecil dalam satu barisan," pikir Sam. Akhirnya mereka sampai di
ujung kolam hitam, dan menyeberanginya dengan nekat, merangkak atau melompat dari
satu pulau rumput berbahaya ke pulau rumput lainnya. Sering kali mereka
tertegun, melangkah atau jatuh dengan tangan lebih dulu ke dalam air yang sangat
menjijikkan bagai sumur jamban, sampai mereka penuh berlumuran lumpur, kotor
Dua Menara Halaman | 259 sampai hampir ke leher, dan saling memancarkan bau busuk ke dalam lubang
hidung masing-masing. Sudah larut malam ketika akhirnya mereka kembali sampai
ke tanah yang lebih kokoh. Gollum mendesis dan berbisik pada dirinya sendiri,
tapi rupanya ia puas: dengan cara misterius, dengan indra peraba, penciuman, dan
ingatannya yang aneh terhadap bentuk-bentuk dalam gelap, tampaknya ia sudah
yakin di mana ia berada, dan sudah yakin akan jalan di depan.
"Sekarang kita maju terus!" katanya. "Hobbit-hobbit manis! Hobbit-hobbit
gagah berani. Tentu sangat letih; begitu juga kita, semuanya. Tapi kita harus
membawa majikan pergi dari cahaya-cahaya jahat, ya, ya, harus." Setelah berkata
begitu, ia berjalan lagi, hampir berlari, menuruni jalur yang tampaknya seperti
jalan panjang di tengah alang-alang tinggi; mereka terhuyung-huyung di belakangnya,
secepat yang dimungkinkan. Tapi, tak lama kemudian, mendadak ia berhenti dan
mengendus-endus udara dengan ragu, mendesis seolah gelisah atau tak senang
lagi. "Ada apa?" geram Sam, menyalah-artikan tanda-tanda itu. "Apa gunanya
mengendus-endus" Bau busuk ini hampir membuatku pingsan, biarpun hidungku
kututup. Kau bau, majikan bau; seluruh tempat ini bau."
"Ya, ya, Sam juga bau!" jawab Gollum. "Smeagol malang mencium itu, tapi
Smeagol yang baik menahan diri. Membantu majikan baik. Tapi itu bukan masalah.
Udara bergerak, perubahan sedang datang. Smeagol bertanyatanya; dia tidak
gembira." La maju lagi, tapi keresahannya semakin menjadi-jadi, dan sebentar-sebentar
ia berdiri tegak, menjulurkan leher ke timur dan selatan. Untuk beberapa lama,
para hobbit tak bisa mendengar atau merasakan apa yang membuatnya gelisah.
Kemudian mendadak ketiganya berhenti, dan mendengarkan dengan tegang.
Frodo dan Sam merasa mendengar teriakan panjang melengking di kejauhantinggi,
tajam, dan kejam. Mereka menggigil. Pada saat yang sama, pergerakan
udara jadi semakin kentara, dan hawa menjadi sangat dingin. Ketika mereka
memasang telinga, serasa terdengar bunyi angin yang berembus dari jauh.
Cahaya-cahaya pucat berkedip, meredup, dan padam. Gollum tak mau
bergerak. Ia berdiri gemetar dan merepet pada dirinya sendiri, sampai angin
mendatangi mereka dalam embusan keras, mendesis dan menggeram melewati
rawa-rawa. Kepekatan malam jadi berkurang, cukup terang bagi mereka untuk
melihat, atau setengah melihat, arus kabut tak berbentuk yang berpusar dan
berputar-putar menggulung di atas mereka, kemudian berlalu. Ketika menengadah,
Halaman | 260 The Lord of The Rings mereka melihat awan-awan memecah dan terkoyak-koyak; tinggi di selatan, bulan
bersinar keluar, menunggangi awan.
Untuk beberapa saat, pemandangan itu menggembirakan hati kedua hobbit;
tapi Gollum gemetaran di bawah, menggerutu dan menyumpahi si Wajah Putih.
Lalu Frodo dan Sam yang sedang memandang langit sambil menghirup dalamdalam
udara yang lebih segar, melihatnya datang: sebuah awan kecil terbang dari
perbukitan; sebuah bayangan hitam yang dilepas dari Mordor; sosok besar
bersayap dan mengancam. Ia bergerak cepat melintasi bulan, dan dengan teriakan
tajam pergi ke barat, melebihi kecepatan angin.
Mereka tersungkur ke depan, telungkup di tanah yang dingin, tanpa
menghiraukan sekitamya. Tapi bayangan maut itu berputar dan kembali, sekarang
melintas lebih rendah, tepat di atas mereka, menyapu bau busuk rawa-rawa
dengan sayapnya yang mengerikan. Kemudian ia menghilang, terbang kembali ke
Mordor dengan kecepatan kemarahan Sauron; di belakangnya angin menderum
buas, meninggalkan Rawa-Rawa Mati gersang dan pucat. Tanah kosong yang
telanjang, sejauh mata memandang, bahkan sampai ke pegunungan jauh yang
mengancam, bebercak sinar bulan yang resah. Frodo dan Sam bangkit berdiri,
menyeka mata seperti anak kecil yang bangun dari mimpi buruk, dan menemukan
malam yang ramah masih menyelubungi dunia. Tapi Gollum berbaring di tanah
seolah terpukau. Mereka membangunkannya dengan susah payah, dan untuk
beberapa saat ia tidak mau mengangkat wajahnya, tapi bertumpu pada sikunya,
menutupi bagian belakang kepalanya dengan tangannya yang besar dan datar.
"Hantu!" teriaknya. "Hantu bersayap! Kesayangan-ku adalah majikan mereka.
Mereka melihat segalanya. Tak ada yang bisa bersembunyi dari mereka.
Terkutuklah Wajah Putih! Dan mereka menceritakan semuanya pada Dia. Dia
melihat, Dia tahu. Aah, gollum, gollum!" Baru setelah bulan terbenam, jauh di
balik Tol Brandir, ia mau bangkit atau bergerak.
Sejak saat itu, Sam merasa melihat perubahan lagi dalam diri Gollum. Ia lebih
bersikap menjilat dan pura-pura ramah, tapi kadang-kadang Sam memergoki
pandangan aneh di matanya, terutama terhadap Frodo; dan semakin lama ia
semakin kembali ke gaya bicaranya yang lama. Ada satu hal lagi yang dicemaskan
Sam. Frodo tampaknya letih, letih sampai hampir kehabisan tenaga. Ia tidak
berbicara, bahkan hampir tidak berbicara sama sekali; ia juga tidak mengeluh,
tapi ia berjalan seperti orang membawa beban yang beratnya makin bertambah;
jalannya pun terseret-seret, semakin pelan dan semakin pelan, sampai Sam sering
harus meminta Gollum menunggu dan jangan meninggalkan majikan mereka.
Dua Menara Halaman | 261 Bahkan dengan setiap langkah menuju Gerbang Mordor, Frodo merasa Cincin
pada rantai yang menggantung di lehernya semakin berat.
Benda itu seperti suatu bobot yang menarilcnya ke bumi. Tapi ia jauh lebih
gelisah karena sang Mata: begitulah ia memberi julukan dalam hatinya. Lebih
karena sang Mata daripada bobot Cincin yang membuatnya gemetar dan
membungkuk ketika berjalan. Sang Mata: perasaan mengerikan yang semakin
besar terhadap suatu hasrat jahat yang berusaha keras menembus bayangan
awan, bumi, dan daging, dan berusaha melihatmu: menjepitmu di bawah
pandangannya yang mematikan, hingga kau merasa telanjang, tak bisa bergerak.
Sudah begitu tipis, lemah dan tipis, selubung-selubung yang masih menahannya.
Frodo tahu persis di mana kedudukan dan hasrat hati itu sekarang berada: sepasti
orang bisa mengatakan arah matahari dengan mata terpejam. Ia sedang
menghadapi kekuatan itu, dan bisa merasakan potensi kekuatan tersebut di
dahinya. Gollum mungkin merasakan hal yang sama. Tapi apa yang berlangsung di
hatinya yang malang, di bawah tekanan sang Mata, dan nafsu yang begitu besar
untuk memiliki Cincin yang begitu dekat, serta janjinya yang dibuat karena
ketakutan pada pedang, kedua hobbit itu tak bisa menebaknya. Frodo tidak
memikirkannya. Benak Sam sebagian besar dipenuhi pikiran tentang majikannya,
dan ia hampir tidak memperhatikan awan gelap yang telah menutupi hatinya
sendiri. Ia menempatkan Frodo di depannya sekarang, mengawasi setiap
gerakannya dengan saksama, menopangnya kalau Frodo terhuyung, dan mencoba
memberinya semangat dengan kata-kata yang canggung.
Ketika akhirnya pagi datang, kedua hobbit kaget melihat betapa dekatnya
sekarang pegunungan yang tampak mengancam. Udara lebih jernih dan lebih
dingin, dan meski masih jauh, tembok-tembok Mordor tidak lagi berupa sosok
mengancam yang hanya tampak samar-samar, melainkan sudah berupa menaramenara
hitam murung di daratan kosong yang menyedihkan. Rawarawa sudah
habis, menghilang dalam tanah gemuk mati dan lempenglempeng lebar lumpur
kering. Daratan di depan menjulang dengan lerenglereng panjang, gersang dan
kejam, menuju gurun yang menghampar di depan gerbang Sauron.
Sementara cahaya kelabu masih ada, mereka gemetaran di bawah sebuah
batu hitam, seperti cacing-cacing, mengerut, khawatir makhluk bersayap
mengerikan itu akan lewat dan melihat mereka dengan matanya yang kejam. Sisa
perjalanan itu merupakan bayangan ketakutan yang semakin besar, dan di
dalamnya ingatan tak bisa mencari sesuatu untuk berpijak. Masih dua malam lagi
Halaman | 262 The Lord of The Rings mereka berjuang melewati daratan menjemukan tanpa jalan setapak. Udara
semakin keras, dipenuhi bau pahit yang mencekik napas dan mengeringkan mulut.
Akhirnya, di pagi kelima sejak menempuh perjalanan dengan Gollum, mereka
berhenti sekali lagi. Di depan mereka, pegunungan tinggi menjulang sampai ke
puncak asap dan awan. Di kaki mereka bertebaran dinding-dinding penopang dan
bukit-bukit yang paling dekat jaraknya sekitar beberapa lusin mil. Frodo melihat
sekelilingnya dengan ngeri.
Rawa-Rawa Mati sudah menyeramkan, begitu pula rawa-rawa kering negeri
tak bertuan, tapi daratan yang sekarang mulai tersingkap perlahan di depan
matanya oleh pagi yang merangkak, jauh lebih memuakkan. Bahkan ke Kolam
Wajah-Wajah Mayat sentuhan kurus musim semi masih mau datang; tapi di sini
musim semi maupun musim panas takkan pernah datang lagi: Di sini tak ada yang
hidup, tidak juga tanaman sakit yang tumbuh dari kebusukan. Kolam-kolam menganga
dipenuhi abu dan lumpur merayap, putih dan kelabu pucat, seolah gununggunung
sudah memuntahkan isi perut mereka yang kotor ke daratan sekitarnya.
Gundukan tinggi batu karang hancur dan berbubuk, kerucutkerucut besar tanah
bekas ledakan api dan bernoda racun, berdiri seperti kuburan jelek dalam barisan
tak terhingga, perlahan-lahan tersingkap dalam cahaya yang redup. Mereka sudah
sampai ke kegersangan yang terletak di depan Mordor: monumen abadi untuk
kerja keras budak-budak yang harus bertahan ketika semua tujuan mereka
ditiadakan; sebuah daratan yang telah dikotori, sakit, dan tak bisa disembuhkan
kecuali kalau Samudra Besar membanjirinya dan menyapu bersih keberadaannya.
"Aku merasa mual," kata Sam. Frodo tidak berbicara. Untuk beberapa saat
mereka berdiri di sana, seperti orang-orang di ambang tidur, di mana mimpi buruk
bersembunyi, menahannya, meski mereka tahu bahwa mereka hanya bisa
mencapai pagi hari melalui kegelapan. Cahaya semakin terang dan keras.
Lubanglubang menganga dan gundukan beracun jadi semakin jelas mengerikan.
Matahari sudah terbit, berjalan di antara awan-awan dan panji-panji asap panjang, tapi
bahkan matahari pun tercemar. Kedua hobbit tidak menyambut gembira cahaya
semacam itu; terasa tidak ramah, menyingkap ketidakberdayaan mereka-hantuhantu
kecil berkuak yang mengembara di antara gundukan abu Penguasa,
Kegelapan. Karena sudah terlalu letih untuk berjalan lebih jauh, mereka mencari tempat
beristirahat. Untuk beberapa saat mereka duduk tanpa berbicara di bawah
bayangan gundukan ampas bijih; tapi uap berbau busuk keluar dari gundukan itu,
mencekik tenggorokan mereka. Gollum yang pertama berdiri. Sambil merepet dan
Dua Menara Halaman | 263 menyumpah ia bangkit, dan tanpa berbicara atau memandang kedua hobbit ia
merangkak pergi pada kaki dan tangannya. Frodo dan Sam merangkak
mengikutinya, sampai mereka tiba di sebuah sumur lebar, hampir bundar,
bertebing tinggi di sebelah barat. Sumur itu dingin dan mati, di dasarnya ada
genangan lumpur berminyak aneka warna yang membusuk.
Dalarn lubang jelek ini mereka duduk gemetaran, berharap bisa menghindari
perhatian sang Mata dalam kegelapannya. Hari itu berlalu lamban. Kehausan besar
mengganggu mereka, tapi mereka hanya minum beberapa tetes dari botol-terakhir
diisi di parit, yang sekarang terasa sebagai tempat yang indah dan damai dalam
bayangan mereka. Kedua hobbit bergantian berjaga. Pada mulanya, karena
kelelahan, mereka tak bisa tidur; tapi ketika matahari sedang turun memasuki
awan-awan yang bergerak perlahan, Sam tertidur sejenak. Giliran Frodo berjaga.
Ia bersandar pada lereng sumur, tapi itu tidak meringankan bobot beban yang
dipikulnya. Ia menengadah memandang langit yang dipenuhi coretan-coretan asap,
dan melihat momok-momok aneh, sosok-sosok gelap melaju, dan wajah-wajah dari
masa lalu. Ia sudah tidak menyadari waktu, melayang antara tidur dan terjaga,
sampai kantuk mengalahkannya.
Mendadak Sam terbangun, mengira majikannya memanggilnya. Hari sudah
senja. Frodo tak mungkin memanggilnya, karena Frodo sudah tertidur, tergelincir
sampai hampir ke dasar sumur. Gollum berdiri di dekatnya. Semula Sam
menyangka ia sedang mencoba membangunkan Frodo, tapi ternyata tidak. Gollum
sedang berbicara sendiri. Smeagol berdebat dengan suatu pikiran lain yang
menggunakan suara yang sama, tapi membuatnya berdecit dan mendesis. Cahaya
pucat dan cahaya hijau bergantian bersinar di matanya ketika ia berbicara.
"Smeagol sudah berjanji," kata pikiran pertama. "Ya, ya, sayangku," terdengar
jawabannya, "kita sudah berjanji: menyelamatkan Kesayangan kita, jangan sampai
Dia mendapatkannya jangan pernah. Tapi Kesayangan kita sedang mendekati Dia,
ya, semakin dekat dengan setiap langkah. Apa yang akan dilakukan hobbit-hobbit
dengannya, kita ingin tahu, ya, kita ingin tahu."
"Aku tidak tahu. Aku tidak berdaya. Majikan yang membawanya. Smeagol
sudah berjanji akan membantu Majikan."
"Ya, ya, membantu Majikan, Majikan Kesayangan. Tapi kalau kita yang jadi
Majikan, kita bisa membantu diri kita sendiri, ya, dan tetap memegang janji."
"Tapi Smeagol sudah bilang akan bersikap baik. Hobbit manis! Dia
melepaskan tambang kejam dari kaki Smeagol. Dia bicara ramah padaku." "Sangat
Halaman | 264 The Lord of The Rings sangat baik, eh, sayangku" Ayo kita bersikap baik, baik seperti ikan, manisku,
tapi untuk diri kita sendiri. Jangan menyakiti hobbit manis, tentu saja, jangan."
"Tapi Kesayangan-ku memegang janji," suara Smeagol terdengar keberatan.
"Kalau begitu, ambil saja," kata pikiran satunya, "dan biar kita menyimpannya
sendiri! Dengan begitu, kita akan jadi Majikan, gollum! Biar hobbit satunya,
hobbit yang jahat dan pencuriga, biar dia merangkak, ya, gollum!"
"Tapi jangan hobbit yang manis?" "Oh tidak, jangan kalau itu tidak


Dua Menara The Two Towers The Lord Of The Rings Buku Dua Karya J.r Tolkien di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyenangkan kita. Tapi, bagaimanapun, dia seorang Baggins, sayangku, ya,
seorang Baggins. Seorang Baggins yang mencurinya. Dia menemukannya dan
tidak mengatakan apa pun, sama sekali tidak. Kita benci kaum Baggins." "Tidak,
Baggins yang ini tidak."
"Ya, semua Baggins. Semua orang yang menyimpan Kesayangan kita. Kita
harus memilikinya!" "Tapi Dia akan melihat, Dia akan tahu. Dia akan mengambilnya dan kita!"
"Dia melihat. Dia tahu. Dia dengar kita bikin janji bodoh melawan perintahnya,
ya. Harus mengambilnya. Hantu-hantu masih mencarinya. Harus mengambilnya."
"Bukan untuk Dia!"
"Tidak, manisku. Begini, sayangku: kalau kita memilikinya, kita bisa lolos,
bahkan dari Dia, heh" Mungkin kita akan menjadi sangat kuat, lebih kuat daripada
Hantu-Hantu. Lord Smeagol" Gollum Agung" Sang Gollum! Makan ikan setiap
hari, tiga kali sehari, segar dari laut. Yang Termulia Gollum! Harus
memilikinya. Kita menginginkannya kita menginginkannya, kita menginginkannya!"
"Tapi mereka berdua. Mereka akan segera bangun dan membunuh kita," ratap
Smeagol dalam upaya terakhir. "Jangan sekarang. Jangan dulu."
"Kita menginginkannya! Tapi" dan di sini ia berhenti lama, seolah pikiran baru
timbul. "Belum, eh" Mungkin tidak. Perempuan itu mungkin akan membantu.
Mungkin dia membantu, ya."
"Jangan, jangan! Jangan dengan cara itu!" erang Smeagol. "Ya! Kita
menginginkannya! Kita menginginkannya!" Setiap kali pikiran kedua berbicara,
tangan Gollum yang panjang perlahanlahan merangkak maju, menggapai ke arah
Frodo, lalu ditarik kembali dengan sentakan ketika Smeagol berbicara lagi.
Akhirnya kedua lengannya, dengan jemari panjang dilenturkan dan berkedut,
terulur ke leher Frodo. Dua Menara Halaman | 265 Selama itu Sam berbaring diam, terpukau pada debat itu, tapi mengawasi
setiap gerakan Gollum dan bawah kelopak matanya yang setengah terpejam. Bagi
pikirannya yang sederhana, ancaman utama dan Gollum adalah kelaparan yang
biasa, hasrat untuk makan hobbit. Sekarang ia menyadari bukan begitu halnya:
Gollum sedang merasakan panggilan mengerikan dan Cincin tersebut. Yang
dimaksudnya dengan Dia tentu saja sang Penguasa Kegelapan; tapi Sam
bertanya-tanya, siapa perempuan yang disebutnya. Salah satu kawan jahat yang
ditemuinya dalam salah satu pengembaraannya, pikir Sam. Lalu ia lupa hal itu,
karena jelas kelakuan Gollum sudah keterlaluan, dan mulai berbahaya. Rasa berat
menekan seluruh tubuhnya, tapi dengan susah payah ia membangunkan dirinya
sendiri dan duduk tegak. Sesuatu memperingatkannya agar berhati-hati dan jangan memperlihatkan
bahwa ia sudah menguping debat itu. Ia mengeluarkan desahan panjang dengan
keras, dan menguap lebar sekali.
"Jam berapa sekarang?" katanya sambil mengantuk. Gollum mengeluarkan
desis panjang melalui giginya. Ia berdiri tegak sejenak, tegang dan mengancam;
kemudian ia roboh, jatuh ke depan pada tangan dan kakinya, dan merangkak
mendaki tebing sumur. "Hobbit manis! Sam manis!" katanya. "Si pengantuk, ya, si pengantuk! Biarkan
Smeagol yang baik berjaga! Tapi sudah sore. Senja sudah merayap. Sudah
waktunya pergi." "Memang sudah waktunya!" pikir Sam. "Dan sudah saatnya kita berpisah
juga." Tapi terlintas dalam pikirannya, apakah Gollum tidak lebih berbahaya
kalau berkeliaran bebas, daripada bila berjalan bersama mereka. "Terkutuklah dia!
Kuharap dia mati tercekik!" gerutu Sam.
Ia terhuyung-huyung melintasi tebing, dan membangunkan majikannya.
Mengherankan sekali, ternyata Frodo merasa segar. Ia sudah bermimpi. Bayangan
gelap sudah lewat, dan pemandangan elok mengunjunginya di negeri bobrok ini.
Tak ada yang tertinggal dalam ingatannya, tapi karena mimpi itu ia merasa
bahagia, dan hatinya terasa lebih ringan. Bebannya tidak begitu berat lagi.
Gollum menyambutnya dengan gembira, bagai seekor anjing. Ia tertawa dan mengoceh,
mengertakkan jari jarinya yang panjang, dan mencakar lutut Frodo. Frodo
tersenyum padanya. "Ayo!" katanya. "Kau sudah menuntun kami dengan baik dan setia. Ini tahap
terakhir. Bawalah kami ke Gerbang, dan aku tidak akan memintamu pergi lebih
Halaman | 266 The Lord of The Rings jauh. Bawalah kami ke Gerbang, dan kau bebas pergi ke mana pun kau mau tapi
jangan ke musuh-musuh kami."
"Ke Gerbang, eh?" decit Gollum, kelihatan heran dan ketakutan. "Ke Gerbang,
kata Master! Ya, dia bilang begitu. Dan Smeagol yang baik melakukan apa yang
dimintanya, oh ya. Tapi kalau kita sudah dekat, kita lihat saja bagaimana, kita
lihat saja nanti. Tidak akan menyenangkan sama sekali. Oh tidak! Oh tidak!"
"Ayo jalan!" kata Sam. "Mari kita selesaikan secepatnya."
Di saat senja turun, mereka merangkak keluar dari sumur dan perlahan-lahan
menapaki jalan mereka melalui daratan mati itu. Belum lagi berjalan jauh, mereka
sudah kembali merasa ketakutan, seperti ketika sosok bersayap itu terbang di
atas rawa-rawa. Mereka berhenti, gemetaran di tanah yang berbau busuk; tapi mereka
tidak melihat apa-apa di langit muram di atas, dan dengan segera ancaman itu
lewat, jauh tinggi di atas, mungkin pergi untuk tugas cepat dari Barad-dur.
Setelah beberapa saat, Gollum bangkit dan merangkak maju lagi, sambil menggerutu dan
gemetaran. Sekitar satu jam setelah tengah malam, ketakutan menimpa mereka
untuk ketiga kalinya, tapi kini rasanya lebih jauh, seolah ia lewat tinggi di
atas awanawan, bergegas dengan kecepatan tinggi ke Barat. Tapi Gollum tak berdaya
karena ngeri. Ia yakin mereka diburu, dan bahwa kedatangan mereka ketahuan.
"Tiga kali!" ratapnya. "Tiga kali sudah sangat gawat. Mereka merasakan kita,
mereka merasakan Kesayangan-ku. Kesayangan-ku adalah majikan mereka. Kita
tak bisa pergi lebih jauh melalui jalan ini, tidak. Tak ada gunanya, tak ada
gunanya!" Memohon-mohon dan kata-kata ramah tidak berguna lagi.
Baru setelah Frodo memerintahkannya dengan marah dan memegang
pangkal pedangnya, Gollum mau bangkit lagi. Ia bangkit sambil menggeram, dan
berjalan di depan mereka seperti anjing yang kalah. Begitulah ... mereka
terseokseok sepanjang akhir malam yang melelahkan, dan sampai datangnya hari
baru, mereka berjalan membisu dengan kepala tertunduk, tidak melihat apa pun, tidak
mendengar apa pun kecuali angin yang mendesis di telinga.
Dua Menara Halaman | 267 Gerbang Hitam Tertutup Sebelum fajar hari berikutnya, perjalanan mereka ke Mordor sudah berakhir.
Rawa-rawa Ban gurun sudah tertinggal di belakang. Di depan mereka, pegunungan
yang tinggi mengangkat kepala dengan garang, tampak gelap berlatar belakang
langit pucat. Di sisi barat Mordor menjulur jajaran muram Ephel Duath,
Pegunungan Bayang-Bayang, dan di utara adalah puncak-puncak hancur dan
pundak gersang Ered Lithui, kelabu seperti abu.
Tapi ketika jajaran ini saling mendekati, karena mereka memang bagian dari
satu tembok besar yang mengelilingi padang-padang murung Lithlad Ban
Gorgoroth, dan lautan pedalaman dingin Nurnen di tengahnya, mereka
menjulurkan lengan-lengan panjang ke arah utara; dan di antara dengan-lengan ini
ada suatu jalan sempit yang dalam. Itulah Cirith Gorgor, Jalan Berhantu, jalan
masuk ke negeri Musuh. Batu-batu karang tinggi menurun dari kedua sisi, dan dari
mulutnya menjorok keluar dua bukit terjal, dengan rusukrusuk hitam dan gundul.
Di atasnya berdiri Gigi Mordor, dua menara kuat dan tinggi.
Di masa lampau, kedua menara itu dibangun oleh Orang-orang Gondor dalam
kebanggaan dan kekuatan mereka, setelah penaklukan Sauron dan pelariannya,
agar ia tidak mencoba kembali ke lingkungannya yang lama. Tapi kekuatan Gondor
gagal, manusia tertidur, dan selama bertahun-tahun kedua menara itu kosong. Lalu
Sauron kembali. Kini menara-menara penjagaan, yang sudah runtuh dan rusak,
diperbaiki dan diisi senjata, dan pasukan tentara siap siaga tanpa henti. Kedua
menara itu tampak kakis seperti batu, dengan lubang-lubang jendela menghadap
ke utara, timur, dan barat, setup jendela penuh dengan mata yang tak pernah
mengantuk. Melintasi mulut jalan, dari bukit batu karang yang seberang menyeberang,
sang Penguasa Kegelapan sudah membangun kubu batu, Di dalamnya ada satu
gerbang besi, Ban di atas temboknya pengawal-pengawal melangkah bolak-balik
tanpa henti. Di bawah perbukitan di kedua sisinya, batu karang dilubangi menjadi
ratusan gua dan lubang belatung: di sana pasukan Orc bersembunyi, siap
menunggu tanda untuk keluar, seperti semut hitam pergi perang. Tak ada yang
bisa melewati Gigi Mordor tanpa merasakan gigitan mereka, kecuali dipanggil oleh
Sauron, atau tahu sandi rahasia untuk membuka Morannon, gerbang hitam negeri
itu. Kedua hobbit menatap menara-menara dan tembok itu dengan putus asa.
Bahkan dari jarak jauh, dalam cahaya kabur mereka bisa melihat gerakangerakan
Halaman | 268 The Lord of The Rings para penjaga di atas tembok, dan patroli di depan gerbang. Mereka sekarang
berbaring mengintai dari atas sebuah lembah berbatu, di bawah juluran bayangan
dinding penopang Ephel Duath paling utara. Seekor burung gagak yang terbang
dalam garis lurus menembus udara berat, mungkin hanya bisa terbang sekitar dua
ratus meter dari tempat persembunyian mereka, sampai ke puncak hitam menara
terdekat. Asap tipis mengepul di atasnya, seakan-akan api berkobar di bukit di
bawahnya. Pagi hari tiba, matahari yang telanjang bersinar di atas pundak-pundak Ered
Lithui yangg tidak bernyawa. Tiba-tiba terdengar bunyi nyaring terompet: meraung
dari menara-menara jaga, dan dari tempat-tempat pertahanan serta pos-pos
terdepan yang tersembunyi di bukit-bukit terdengar panggilan balasan; lebih jauh
lagi, jauh sekali namun besar dan mengancam, di daratan kosong di luar, bergema
terompet-terompet dan genderang-genderang besar Barad-Bur. Hari baru yang
penuh kengerian dan kerja keras sudah datang ke Mordor; para penjaga malam
dipanggil ke ruang bawah tanah dan hall-hall, dan para pengawal pagi yang
bermata kejam dan tajam sedang berbaris ke pos-pos mereka. Baja berkilauan
samar-samar di atas tembok.
"Nah, di sinilah kita!" kata Sam. "Inilah Gerbang-nya, dan kelihatannya hanya
sejauh ini kita bisa berjalan. Gaffer pasti akan mengomel kalau melihatku
sekarang! Dia sudah sering bilang aku akan berakhir menyedihkan, kalau aku tidak waspada.
Rasanya aku tidak akan pernah bertemu lagi dengannya. Dia tidak akan bisa lagi
mengatakan sudah kubilang, Sam. Semakin menyedihkan. Aku tidak keberatan
diomeli terus-menerus olehnya, selama dia masih bernapas, asalkan aku bisa
melihat wajahnya lagi. Tapi aku harus membasuh badan dulu. Kalau tidak dia tidak
bakal mengenaliku." "Kurasa sekarang tak ada gunanya menanyakan ke mana kita mesti jalan. Kita
tak bisa maju terus kecuali kita minta tumpangan kepada para Orc."
"Tidak, tidak!" kata Gollum. "Tak ada gunanya. Kita tak bisa jalan lebih jauh.
Smeagol sudah bilang begitu. Dia bilang: kita akan pergi ke Gerbang, lalu kita
lihat. Dan kita memang melihat. Oh ya, sayangku, kita melihat. Smeagol tahu hobbit tak
bisa lewat jalan ini. Oh ya, Smeagol sudah tahu."
"Kalau begitu, kenapa kau membawa kami ke sini, keparat?" tanya Sam, tidak
merasa perlu bersikap adil atau bijak. "Majikan bilang begitu. Majikan bilang:
Bawa kami ke Gerbang. Jadi, Smeagol yang baik menuruti. Majikan bilang begitu,
Majikan yang bijak."
Dua Menara Halaman | 269 "Memang," kata Frodo. Wajahnya muram dan tegang, tapi tegas. Ia kotor,
kurus, dan keletihan, tapi ia sudah tidak gemetaran lagi, dan matanya jernih.
"Aku memang bilang begitu, karena aku berniat masuk ke Mordor, dan aku tidak tahu
jalan lain. Karena itu, aku akan lewat jalan ini. Aku tidak minta siapa pun ikut
denganku." "Jangan, jangan, Majikan!" erang Gollum, mencakar-cakarnya, dan ia tampak
resah sekali. "Tidak ada gunanya lewat jalan itu! Tidak ada gunanya! Jangan bawa
Kesayangan-ku pada Dia! Dia akan melahap kita semua, melahap seluruh dunia.
Simpanlah, Majikan yang baik, dan baik-baiklah pada Smeagol. Jangan biarkan Dia
memilikinya. Atau pergilah, pergi ke tempattempat bagus, dan kembalikanlah Itu
pada Smeagol kecil manis. Ya, ya, Majikan: kembalikan, ya" Smeagol akan
menyimpannya dengan aman; dia akan melakukan banyak kebajikan, terutama
pada hobbit-hobbit manis. Hobbit pulang. Jangan pergi ke Gerbang!"
"Aku sudah diperintahkan pergi ke negeri Mordor, karena itu aku akan pergi,"
kata Frodo. "Kalau memang hanya ada satu jalan, aku harus menapakinya. Apa
yang akan terjadi sesudahnya, memang harus terjadi."
Sam tidak mengatakan apa-apa. Ekspresi wajah Frodo sudah cukup
untuknya; ia tahu kata-katanya tidak akan bermanfaat. Lagi pula, ia memang tidak
terlalu berharap sejak awal; tapi karena ia hobbit penggembira, ia tidak butuh
harapan, selama keputusasaan masih bisa ditunda. Sekarang mereka sudah
sampai di akhir yang pahit. Tapi ia sudah setia kepada majikannya sepanjang
perjalanan; itu alasan utama ia ikut, dan ia masih akan setia pada Frodo.
Majikannya tidak akan pergi sendirian ke Mordor. Sam akan pergi dengannya dan
Hantu Karang Bolong 1 Pendekar Slebor 40 Tasbih Emas Bidadari Musuh Dalam Selimut 1
^