Because You 6
Because You Are Mine Karya Beth Kery Bagian 6
membaliknya menghadap pelukannya.
Bibir Ian menutupi bibir Francesca. Francesca menutup kelopak
matanya, memberikan dirinya seutuhnya pada ciuman Ian sama
halnya saat mereka bercinta.
"Kau tahu apa yang akan kulakukan padamu sekarang?" tanya Ian
parau di depan bibirnya beberapa saat kemudian.
Francesca menjilat bibir Ian dan menatapnya dengan pandangan
berat. "Apa?" tanya Francesca parau.
Sesuatu berkilat di mata birunya dan Francesca heran kalau api di
dalam diri Ian belum benar-benar padam. Ian menggelengkan
kepalanya, seolah menjelaskan padanya, dan meraih tangannya.
Mereka meninggalkan kamar dan Ian mengunci kamar itu di
belakangnya. "Berpakainlah dan tunggu aku," kata Ian. Francesca terpaku,
ekspresinya bercampur antara bertanya-tanya oleh sikap Ian dan
kekaguman oleh pemandangan dirinya yang teramat seksi, pantat
seksinya yang telanjang - pemandangan yang tidak bisa ia lakukan
sebanyak yang ia suka. Ketika Ian keluar dari ruangan beberapa saat
kemudian, Francesca telah berpakaian. Francesca menatapnya
dengan terkejut. Ian memakai celana jeans yang sangat pas untuknya yang
menggantung rendah di pinggang rampingnya, salah satu kaos putih
ketat yang ia pakai dibawah jaket kulit, perlengkapan anggar yang
menggantung pada lekuk lengannya. Napas Francesca tertahan oleh
pemandangan dari tubuh ramping, berotot yang dipertunjukkan oleh
pengaruh yang mempesona itu. Francesca tidak akan pernah letih
melihat Ian. "Apa yang kau lakukan?" tanya Francesca ragu.
"Aku mengubah pikiranku."
"Tentang apa?" "Tentang bekerja. Ayo kita mengendarai motor. Aku ingin melihat
aksimu." Mulut Francesca menganga, tawa keras meledak dari
tenggorokannya. Francesca tidak bisa memepercayainya. Ian akan
melakukan sesuatu begitu mendadak...begitu spontan"
Ian" Francesca memakai jaket licinnya, kegembiraan menempel padanya,
dan pergi untuk mengambil helm dan sarung tangan barunya.
"Kau bersama dengan pengendara yang sangat baik," kata Francesca
pada Ian sebelum melewati pintu.
"Menurutmu kau mengatakan sesuatu yang aku tidak tahu?"
Francesca mendengar Ian berkata masam dibelakangnya,
menyebabkan seringainya makin lebar.
Bagaimana mungkin hari ini diawali dengan begitu membosankan
dan suram dan di akhiri dengan bahagia" Francesca bertanya-tanya
saat berdiri diseberang lift bersama Ian beberapa saat kemudian. Ian
terlihat sangat seksi dengan jeans dan jaketnya, helmnya mengayun
pada lekuk lengannya. Ian menyadari tatapan Francesca dan
tersenyum, pelan, nikmat...sedikit jahat. Pintu lift terbuka di garasi
bawah tanah, memecah tatapan kekaguman Francesca pada mulut
indahnya. Francesca masuk ke garasi parkir, tidak asing baginya karena garasi
itu merupakan area untuk menyimpan mobil Ian. Kantor Jacob
berada di bawah sini, bersama dengan semua peralatan dan alat
elektronik yang ia gunakan untuk merawat mesin dan memelihara
kendaraan tetap bersih. Francesca berhenti beberapa saat kemudian ketika Ian menaiki
sepeda motor hitam dengan kepercayaan diri yang tenang.
"Well" Naiklah," kata Ian lembut, menyadari Francesca melihat
pada sepeda motor di sampingnya. Sepeda motor itu sedikit lebih
kecil dari milik Ian, tapi terlihat sangat hebat, menampilkan krom
berkilap dan penutup mesin hitam mengkilap dengan garis merah
menyala. "Dari mana ini asalnya?" tanya Francesca bingung.
Ian mengangkat bahu, meletakkan kakinya yang bersepatu boot di
tanah dan memiringkan sepeda diantara paha kuatnya. Bagaimana
mungkin ia terlihat begitu natural pada motor keren seolah ia
memakai setelan tanpa cela yang tersembunyi dari balutan
kemewahan" Pemandangan dari tangannya yang tertutupi oleh
sarung tangan kulit berwarna hitam ketat membuat Francesca
menggigil tak tertahan. "Ini milikmu," kata Ian, menunjuk ke sepeda motor.
"Tidak! Maksudku..." Francesca berhenti, menyesali semburan katakatanya. Francesca
melihat Ian, memohon dengan diam. Sore ini
berjalan dengan baik. Lukisan. Persetujuan Ian untuk mencoba dan
tidak mengontrolnya di luar ranjang, hadiah jaket dan helm
darinya,dan kembalinya Ian, hatinya merasakan satu kesenangan,
kepemilikannya yang kuat...Francesca menyukainya. Francesca
tidak ingin menghancurkannya dengan perdebatan, tapi sepeda
motor ini. Ini terlalu berlebihan bukan" Terutama setelah lukisan dan
perlengkapan motor barunya.
Sebelum Francesca mengeluarkan protesnya, Ian mendahuluinya.
"Ok, ini punyaku. Aku punya beberapa motor. Aku meminjamkan
yang satu ini untukmu untuk sementara waktu," kata Ian,
memberinya tatapan bosan. "Bisakah kau menerimanya, Francesca?"
Francesca menyeringai dan melangkah mendekati sepeda motornya,
kegembiraan meluap di dadanya saat ia menaiki tempat duduk kulit
itu dan melihat dengan senang pada rasa manis dari mesin Ian yang
mengkilap. Oh ya. Ia bisa menerimanya.
*** Jacob mengatakan pada Ian kalau Francesca lebih berbakat pada
sepeda motor ketika Jacob berbicara padanya tentang jenis motor
yang akan ia belikan untuk Francesca. Ian gembira melihat bertapa
tepatnya Jacob. Melihat Francesca menuruni jalanan kota,
melakukan belokan yang sulit, dan menanjak pada pemandangan
kota benar-benar menyenangkan. Ketika Ian sadar padaperasaan
yang ia lihat adalah rasa bangga, jiwanya menertawakan dirinya
sendiri. Apakah salah kalau ia yang mengenalkan Francesca pada
sesuatu yang ia sukai" Satu hal yang peling penting adalah ia
merasakannya...bahwa Francesca menyelami lapisan lain dari apa
yang tidak diragukan lagi adalah bakat tersembunyi dan
kegemilangan. Ian menatap ke samping dan melihat Francesca di sampingnya saat
mereka masuk kembali ke kota dari *Lake Shore Drive sore itu.
Francesca mengangkat jempol untuknya dan ia hanya bisa
membayangkan seringai Francesca di kaca hitam helmnya. Sesuatu
hal tentang sepeda motor yang menyoroti kekuatan alaminya,
kehangatannya,energi yang penting...
...Celana jeans yang membungkus pantatnya membuat Ian ingin
menariknya kembali ke rumah setiap kali Ian melihatnya memakai
jeans itu, menginginkannya terus menerus.
Ian memberi isyarat dan memanggilnya untuk menepi ke garasi
parkir dekat Millenium Park. Beberapa menit kemudian, mereka
berjalan keluar dari garasi ke Monroe Street, diantara Art Institute
dan Millenium Park. Mendung telah buyar, dan berubah menjadi
malam di musim gugur yang sejuk dan sepoi-sepoi.
"Kita mau pergi ke mana?" tanya Francesca pada Ian, menyeringai
lebar, sulur dari rambut pirang strawberrynya menyapu pipinya. Ian
menjauhkan rambut itu dari wajahnya dan mengambil tangannya.
"Kupikir aku akan mengajakmu makan malam."
"Sempurna." Antusiasnya membuat suaranya seperti terengah. Ian
dengan susah payah menyentakkan tatapannya dari tubuh Francesca
yang tersapu angin. "Kau pengendara yang hebat," kata Francesca. "Kau terlihat begitu
berbakat memakai sepeda motor. Umur berapa kau mulai belajar
naik motor?" "Sebelas, kupikir," kata Ian, kelopak matanya menutup saat ia
mencoba mengingat. "Begitu muda!" Ian mengangguk. "Pertama kali aku sampai ke Inggris dari Prancis,
aku mengalami masa sulit bertransisi pada dunia baru. Sebuah dunia
baru dalam hidupku. Ibuku sudah pergi," kata Ian, bibirnya
membentuk garis muram. "Saat itu sangat sullit untuk menyesuaikan
diri. Aku punya sepupu yang lebih tua, jadi aku selalu
memanggilnya paman. Paman Gerard mengetahui kalau aku suka
mesin. Ketika aku menemukan sepeda motor tua yang rusak di
garasi rumahnya, yang dekat dengan rumah kakekku, aku meminta
padanya untuk membiarkan aku memperbaikinya. Ketertarikanku
pada sepeda motor dimulai. Kakekku ikut bergabung, dan aku mulai
untuk dekat dengan mereka berdua."
"Dan kau mulai berubah lebih terbuka?" tanya Francesca,
mengamatinya saat mereka berjalan bersama.
"Ya. Sedikit." Suara musik menggema di udara yang segar dan bersih ketika
mereka tiba di Michigan Avenue. Ian melihat kerumunan orang di
trotoar. "Oh, Naked Thieves manggung di Millenium Park malam ini. Caden
dan Justin ada di suatu tempat di keramaian ini," kata Francesca.
"Naked Thieves?"
Dia bertanya secara beruntun. "Band rock" Naked Thieves?"
Ian mengangkat bahu, merasa sedikit bodoh, meskipun Ian tahu ia
tidak menunjukkannya. Dari ekspresi wajahnya yang terlihat lebih
muda, Ian pastinya ingin tahu siapa itu Naked Thieves. Tatapannya
tertuju pada cekung pipi merah mudanya, dan ia melupakan rasa
malunya. "Bagaimana mungkin kau tidak tahu Naked Tieves" Kau adalah
simbol bagi kaum muda, tapi sepertinya..." Francesca
menggelengkan kepalanya. Tawanya terdengar sedih dan ragu.
"Sepertinya kau terlahir langsung mengenakan setelan dengan tas
kerja di tangan." Itu sedikit menyakitkan. Dia, dan semua orang seharusnya punya
masa kecil yang indah - masa muda yang sebenarnya - sore di
musim panas yang selamanya membentang tanpa peduli pada dunia,
pemberontakan seorang remaja menentang pengawasan orangtua
yang menurutnya tak tertahankan, dan pada kenyataannya, sangat
mencintainya dan tahu bahwa mereka akan selalu ada untuknya...
menyelinap keluar menonton konser rock di taman bersama dengan
gadis mempesona seperti Francesca.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Francesca ketika Ian mengambil
ponselnya dari saku jaketnya.
"Menelpon Lin. Kau bilang ingin melihat konser, ia bisa
mendapatkan tiket terakhir untuk kita di bagian yang ada tempat
duduknya." "Ian, bagian yang ada tempat duduknya pasti selalu terjual habis.
Percayalah padaku, Caden dan aku mencoba mendapatkan tiket."
"Kita akan mendapatkannya," kata Ian, memencet nomor Lin.
Ian berhenti dan menengadah ketika Francesca meletakkan
tangannya di lengannya. Berlatar belakang matahari dan bayangan
dari rambutnya membuat pipi dan bibirnya berwarna lebih merah.
Matanya yang gelap bersinar hanya dengan sedikit tantangan.
"Kita duduk saja di halaman rumput."
"Halaman rumput," ulang Ian bosan.
"Ya, kau memang tidak bisa melihat terlalu banyak, tapi kau bisa
mendengarnya cukup baik. Dan sama seperti yang lainnya," kata
Francesca, meraih tangannya dan mendorongnya menuju ke taman.
"Itulah masalahnya, bukan?"
"Oh berhenti jadi sok Inggris."
Sebuah jawaban tajam terbang ke tenggorokannya reaksi
spontannya. Ian tidak biasanya membiarkan orang lain berbicara
seperti itu padanya seperti yang di lakukan Francesca tanpa
mengerjapkan mata. Ian melihat kegembiraan berkilau ia mata
bidadarinya, dan menahan kata-kata protesnya.
"Aku benar-benar sudah memanjakanmu," kata Ian saat mereka
berjalan menuju kearah kerumunan anak muda di depan mereka.
"Aku tidak pernah melakukannya untuk orang lain. Aku ingin kau
tahu itu." Ian tiba-tiba berhenti saat Francesca berbalik, berjinjit, dan mencium
bibirnya. Ian menangkap wangi dan rasanya, dan rasa terkejutnya
menghilang. Francesca mengerang saat Ian memperdalam ciuman
yang paling nikmat sepanjang hidupnya. Wajah Francesca
menyanggolnya dengan lembut saat ia melihatnya dengan pelupuk
mata sayu beberapa saat kemudian.
"Itu adalah hal termanis yang pernah kau katakan padaku."
Francesca menghembuskan napas.
Mungkin karena kau adalah hal termanis yang pernah terjadi
padaku. Kilatan penyesalan yang ia alami ketika mereka memasuki taman
yang penuh beberapa menit kemudian mengejutkannya.
Dia seharusnya mengatakannya dengan keras.
Ian tidak percaya ia bisa begitu lengah dan jujur, bagaimana pun
juga, dan kebenaran itu mengganggunya lebih dari yang pernah
dialaminya. *** "Hari. Terbaikku," kata Francesca menegaskan, meluap-luap oleh
antusiasme saat mereka memasuki kamar Ian beberapa saat
kemudian. "Pertama lukisanku - terima kasih sekali lagi untuk itu,
Ian. Aku masih tetap terpesona. Kemudian mengendarai sepeda
motor - motor yang sangat mengagumkan - dan kemudian Naked
Thieves di taman!" "Kita tidak bisa mendengar apa pun saat konser. Terdengar seperti
seseorang yang berteriak histeris yang mengganggu pendengaran,"
gumam Ian geli saat ia mengangkat tangannya dengan gerakan
berharap. Francesca berbalik sehingga Ian bisa membuka jaketnya.
Mengabaikan komentar keringnya, Francesca menyadari Ian
tersenyum kecil dan tahu ia tidak terpengaruh oleh apa yang baru
saja Ian ceritakan. "Itu karena kau tidak tahu lagunya," kata Francesca, menolak
merasa apapun selain kegembiraan.
"Kegaduhan itu mereka sebut lagu?" tanya Ian enteng sambil ia
meletakkan jaket Francesca di punggung kursi dan Francesca
berbalik menghadap wajahnya.
"Kau terlihat menikmatinya."
Ian mengangkap perubahan ekspresinya dan menggelengkan
kepalanya. Francesca tertawa. Francesca menunjuk pada kenyataan
bahwa mereka menghabiskan sebagian besar saat di konser, mereka
berdua begitu panas dan bergairah hingga Ian tiba-tiba mengatakan
waktunya untuk pergi sebelum mereka ditangkap karena perbuatan
tidak senonoh di depan umum.
Ian mengejutkan Francesca ketika mereka pertama kali masuk ke
taman dan menemukan area terbuka yang kosong di sana. "Tunggu
sebentar," kata Ian. "Jangan duduk di sana."
Francesca terpaku, heran kagum, saat Ian mendatangi sekumpulan
dari anak muda yang sedang piknik yang duduk dua puluh kaki atau
lebih. Ian berbicara pada mereka, dan menunjuk beberapa barang.
Uang dapat membeli segalanya. Beberapa saat kemudian, Ian pergi,
meninggalkan orang-orang yang terlihat keget dan sangat senang.
Ian tentu saja tidak memberi mereka uang yang sedikit untuk apa
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang ia beli-dua selimut, dua botol air dingin, dan serbet-yang
menutupi piring kertas saat Francesca membukanya isinya empat
potong ayam goreng yang lezat.
"Kupikir kau menyukai konser rock pertamamu," goda Francesca,
mengingat kenyataan yang Ian katakan saat mereka berdua berbaring
santai di bawah salah satu selimut, keramaian liar hanya beberapa
kaki jauhnya terisolasi dari dunia mereka.
"Aku suka menyentuhmu," jawab Ian sederhana, membuat pipi
Francesca memanas oleh rasa senang. Tatapan Ian jatuh ke
Francesca. "Kenapa kau tidak bersiap-siap untuk tidur?"
Francesca gemetar oleh nada suaranya yang rendah dan kehangatan
yang memancar dari matanya. Francesca masuk ke kamar mandi.
"Dan Francesca?"
Francesca berbalik berhadapan dengan Ian. Alisnya terangkat
bersamaan penuh tanya ketika Ian tidak berbicara selama beberapa
detik. "Ini juga berarti bagiku," akhirnya Ian berkata.
Kebingungannya bertambah.
"Hari terbaikku."
Francesca terpaku berdiri disana ketika Ian menghilang ke ruang
gantinya, jantungnya berdenyut tidak percaya dan sesuatu yang amat
dalam pada kejujurannya yang tak terduga.
Dari kegelapan, rasa takut menyelubungi relung pikirannya, sebuah
ingatan muncul untuk mencelanya. Francesca tidak suka rasa takut
akan menodai perasaan menakjubkan oleh kata-kata Ian.
Aku menawarkanmu kenikmatan dan pengalaman. Tidak lebih. Aku
tidak punya hal lain untuk kutawarkan.
Berapa lama sesuatu yang begitu mengagumkan dapat ditahan
mengingat bahwa ia berbagi pengalaman bersama seorang pria yang
enggan membagi dirinya sendiri...
...mengambil resiko bagi perasaannya karena jatuh cinta pada Ian
Noble yang penuh misteri"
*** Beberapa minggu selanjutnya berjalan dengan cepat, semuanya
berjalan dibawah pengaruh suasana perasaan Francesca yang
semakin dalam untuk Ian. Francesca menjadi terbiasa menghadapi
perubahan suasana hati Ian, mengerti kalau meskipun Ian sering
menjaga jarak, ia sedang memproses informasi dalam jumlah besar,
melakukan perencanaan untuk berbagai macam perusahaannya pada
berbagai tingkatan, membuat keputusan dengan begitu singkat dan
cepat. Ian melanjutkan pelajaran di ranjang untuk Francesca,
Francesca berkembang di bawah pengawasannya. Ian seorang
penuntut dan intens seperti biasanya - mungkin lebih-tetapi ia telah
mendapat kenyamanan dengan kepatuhan seksual dan
kepercayaannya pada Ian mulai tumbuh, mereka saling percaya,
terkadang menjadi lebih manis, memberi dan menerima kekuasaan
yang sesungguhnya juga perhatian dan kenikmatan. Francesca
menduga kalau semakin dalamnya keintiman dalam hubungan
mereka menjadi penyebab bertambah kayanya pengalaman
Francesca, dan bertanya-tanya apakah Ian juga merasakannya.
Ian juga mengajarinya pelajaran di samping ranjang dengan baik,
mengajarinya bermain anggar, yang mana Francesca menikmatinya.
Mereka menghabiskan beberapa hari minggu dengan membaca dasar
investasi, Ian menantangnya untuk mengajukan rencana yang layak
terhadap uangnya berdasar pada apa yang ia dapat dari pelajarannya.
Francesca menunjukkan pada Ian dua pilihan dengan dua alasan
berbeda. Ian dengan sopan meragukan dan sedikit mengerutkan dahi
membuat Francesca kembali ke papan tulis kedua kalinya. Pada
presentasi rencana investasinya yang terakhir Francesca tersenyum
kecil, senyum kebanggaan dan tahu akhirnya ia belajar sesuatu yang
berharga tentang bagaimana mengatur keuangannya. Dengan begitu,
Ian mengajarinya bukan hanya tentang gairah dan cinta namun juga
pelajaran dasar dari kehidupan.
Ian bukan hanya satu satunya yang mengajarinya. Dengan dorongan
dari Francesca, Ian terkadang bersikap spontan, menikmati momen
itu...untuk merasakan hidup seperti layaknya orang berusia tiga
puluh bukannya seorang pria letih membosankan beberapa puluh
tahun diatas umurnya. Masalahnya adalah, Ian tidak pernah menunjukkan dan mengatakan
pada Francesca begitu banyak kata tentang persaannya pada
Francesca-tentang mereka-dan Francesca terlalu malu dan kuatir
untuk mengatakan pada Ian kalau ia jatuh cinta padanya. Bukankah
justru bertentangan dari apa yang Ian katakan tentang hubungan
mereka" Apakah ia berpikir Francesca orang bodoh yang naif oleh
gairah yang salah dan tergila pada sesuatu yang mendalam"
Pikiran itu menghantui Francesca. Francesca mendorong pikiran itu
kebelakang berulang kali ketika ia menghabiskan waktu bersama
Ian, tidak ingin menghancurkan saat saat yang ia miliki, khawatir ia
akan membuang pikiran itu dengan merenung tentang kegelisahan
yang bukan untuk sekarang, tapi masa depan. Pikiran itu seperti
sedikit melakukan aksi berjalan di atas kawat, selalu bekerja keras
untuk menjaga keseimbangannya di ujung sempit dari hubungan
penuh gairah mereka, terus menerus kuatir mengetahui dirinya akan
jauh dari Ian...atau Ian yang akan menjauh darinya.
Satu sore yang sejuk di musim gugur, peristiwa menggetarkan itu
terjadi. Francesca bekerja di studio di rumah Ian, sangat sedih oleh detil
bagian akhir dari lukisan. Francesca menarik tangannya ke kanvas
lagi, napasnya menusuk di paru-parunya saat ia mengamati
bayangan hitam kecil-seorang pria membuka jas hujan hitam,
berjalan sepanjang sungai, kepalanya menunduk melawan angin
dingin danau Michigan. Akankah Ian menyadari kalau Francesca telah memasukkannya lagi
ke dalam lukisannya" Bagaimanapun juga Itu masuk akal untuknya,
pikirnya saat ia membersihkan kuasnya. Ian melingkarkan dirinya
kedalam hampir setiap untaian kehidupannya untuk selamanya.
Hati Francesca membengkak saat ia mengamati lukisan.
Selesai. Sesuai tradisi, satu kata yang tercetus di pikirannya dengan catatan
tegas, ia tidak akan pernah membubuhkan kanvas pada kanvas
istimewa itu lagi. Merasa bersemangat oleh pencapaiannya, ia
tergesa gesa keluat dari studio untuk mencari Ian. Hari ini minggu,
dan Ian memilih untuk bekerja di perpustakaan daripada pergi ke
kantor. Francesca hampir sampai di sekitar ujung jalan masuk yang
mengarah ke perpustakaan ketika ia mendengar pintu terbuka dan
suara rendah, tegang-seorang pria dan wanita berbicara.
"...lebih banyak alasan bagiku untuk bertidak cepat, Julia," kata Ian.
"Aku ingin menegaskan sekali lagi bahwa tidak ada jaminan, Ian.
Hanya karena ini adalah periode yang sangat bagus bukan berarti
hasil yang dapat bertahan lama, tapi kami semua di institut sangat
berharap..." Suara wanita berlogat Inggris menghilang saat ia dan Ian berjalan
menuruni ruang masuk menuju ke lift, tapi tidak sebelum Francesca
mellihat sekilas pada wanita itu. Itu adalah wanita aktraktif yang
makan pagi bersama Ian di Paris, salah satu yang Ian sebut dengan
teman keluarga. Hatinya tenggelam saat ia sekali lagi menangkap
ketegangan yang kental dalam percakapan mereka, mirip dengan apa
yang ia rasakan di lobi hotel. Seperti saat itu, ia mundur, berjalan
cepat ke studionya. Francesca tidak tahu bagaimana ia mengetahui, tapi ia hanya tahu
Ian tidak ingin Francesca melihatnya sekarang...menanyainya
pertanyaan...mencoba untuk peduli padanya.
Meskipun Francesca ingin melakukan lebih dari hal yang lain di
dunia. Francesca menghabiskan waktu yang lebih banyak dari biasanya
untuk membersihakn studionya, mencoba untuk memberi Ian waktu
untuk pulih. Pada akhirnya, ia pergi mencari Ian, tapi ia tidak
menemukannya. Francesca melihat Mrs. Hanson di dapur sedang membersihkan
konter dapur. "Aku mencari Ian," kata Francesca. "Aku telah selesai melukis."
"Oh, itu adalah berita yang menakjubkan!" Ekspresi bahagia Mrs.
Hanson jatuh. "Tapi kurasa Ian tidak di sini. Ia baru saja
meninggalkan Chicago. Ada keadaan darurat."
Francesca merasa seolah kekuatan tak terlihat memukul dadanya.
"Tapi...aku tidak mengerti. Ian ada di sini. Aku melihat ia bersama
seorang wanita..." "Dr. Epstein" Kau melihat ia datang?" tanya Mrs. Hanson, terlihat
terkejut. Dr. Julia Epstein. Begitu. Jadi itu namanya. "Aku melihat wanita itu
pergi. Keadaan darurat apa" Apakah Ian baik-baik saja?"
"Oh sayang tentu saja. Jangan kuatir."
"Kemana Ian pergi?" tanya Francesca, kesakitannya dan
ketidakpercayaannya pada kenyataan bahwa Ian telah pergi dan
bahkan tidak repot-repot datang ke studio dan mengatakan sampai
jumpa pada Francesca masih tetap bergetar kurang menyenangkann
dalam dirinya. Mrs. Hanson menghindari tatapan matanya dan meneruskan bersih
bersihnya. "Aku tidak yakin - "
"Anda benar-benar tidak tahu atau anda mengatakannya karena Ian
meminta anda untuk tidak mengatakannya?"
Pengurus rumah tangga itu menatap padanya, terkejut. Francesca
menatapnya sengit. "Aku benar-benar tidak tahu, Francesca. Aku
minta maaf. Ada bagian kecil dalam hidup Ian yang selalu ia simpan
sendiri, meskipun dariku, yang tahu semua kebiasaan dan
keanehannya." Francesca menepuk pundak wanita tua itu. "Aku mengerti," kata
Francesca. Francesca tahu. Jika Mrs. Hanson tidak tahu kemana Ian pergi, ini
semua berarti satu hal. Ian pergi ke London-tempat dari sudut rahasia dunianya, tempat
dimana Jacob tidak pernah diajak-tidak juga Mrs. Hanson...dan
tentu saja tidak untuk Francesca.
Dr. Epstein itu, bagaimana pun juga...dia hampir dipastikan tahu
tentang bagian hidup Ian. Francesca masih mendengar suara Ian
bergema di kepalanya, melihat ekspresi kehilangannya saat ia berdiri
di lobi hotel. Wanita itu dokter" Apakah Ian tidak sehat" Tidak, itu tidak mungkin.
Ian adalah contoh ideal dari pria sehat dan berstamina. Jika
Francesca tidak bisa mengatakan hanya dengan melihatnya, Ian
memberinya bukti dengan hasil tes fisik terakhirnya saat lalu dalam
rangka membuktikan pada Francesca jika ia bersih dari seks.
"Anda mengenal baik Dr. Epstein?" renung Francesca.
"Tidak. Aku hanya bertemu dengannya sebentar satu atau dua kali
saat ia datang kemari. Aku dapat kesan ia praktik di suatu tepat di
London, kalau dipikir-pikir aku juga tidak tahu dokter apa dia.
Francesca" Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Mrs. Hanson
ragu, berharap pengurus rumah tangga itu tidak melihat wajahnya.
"Ya, aku baik-baik saja," Francesca memeluk lengan atas Mrs.
Hanson untuk meyakinkan dan pergi, berjalan keluar
dapur...Sebenarnya berapa harga tiket dari Chicago ke London"
"Tapi kupikir aku juga akan pergi ke luar kota."
*** *Lake Shore Drive: jalan bebas hambatan yang paralel sepanjang garis pantai
Danau Michigan sampai Chicago.
Because I'm Yours Bab 15 Davie menawarkan diri untuk menemaninya ke London, tapi tentu
saja Francesca menolaknya. Ketika ia mengatakan pada Davie
tentang rencananya, tujuannya yang tidak jelas dan menyatakan
bahwa ia tahu dari Mrs. Hanson kalau Ian punya masalah keluarga di
London dan memutuskan untuk memberikan dukungan.
Sebenarnya, Francesca tidak ingin Davie tahu kalau ia melakukan
rencana bodoh tanpa tahu apa yang akan ia lakukan saat turun dari
pesawat di Heathrow. Satu satu hal yang ia tahu adalah apapun yang
Ian lakukan di London, itu menyebabkan Ian menderita, dan Ian
memilih untuk melindungi orang lain dalam hidupnya dari
penderitaan itu. Ian akan sangat marah padanya, jika, karena suatu keajaiban,
Francesca bisa menemukannya. Meskipun ia tidak bisa tahan
memikirkan tentang Ian yang menderita sendirian seperti itu, dan ia
menjadi sangat yakin pada kunjungan "darurat" Ian ke London
berhubungan dengan iblis dalam dirinya yang mengganggunya.
Disamping itu, jika yang terjadi di London ditakdirkan untuk
menghancurkan apapun yang mereka miliki bersama di masa depan,
bukankah lebih baik untuk mencari tahu sekarang daripada menunda
hal-hal yang pasti" Ian menelponnya selama perjalanannya dari O'Hare ke Heathrow,
Francesca menyadari ketika ia turun dari pesawat. Ini adalah yang ia
harapkan, mengingat kalau ia benar-benar tidak punya rencana
apapun waktu ia sampai di London. Bagaimana pun juga, ketika ia
mencoba menelpon Ian, ia hanya diterima oleh pesan suaranya.
Putus asa, ia tetap berada di bandara, menukar uang, mengambil
barangnya, berharap suatu keajaiban terjadi tentang lokasi apartemen
Ian atau di mana dia berada. Ketika tidak ada satu pun hal yang
terjadi padanya dan ia tetap tidak bisa menghubungi Ian, Francesca
memanggil taksi dan mengatakan pada supirnya satu-satunya tempat
yang ia tahu berhubungan dengan Ian dan perjalanannya ke London.
"The Genomics Research and Treatment Institute," katanya pada
supir, menunjuk pada rumah sakit dan fasilitas riset untuk
schizophrenia yang ia baca di tablet Ian. Francesca mengingat
bagaimana dokter Epstein mengatakan "institute". Apakah ia
mengacu pada The Genomics Research and Treatment Institute" Apa
lagi petujuk yang ia miliki untuk mengetahui di mana Ian
kemungkinan berada" Empat puluh menit kemudian, sopir taksi itu masuk ke area fasilitas
yang sangat modern yang tertutup kaca untuk masuk ke tempat itu,
yang mana tempat itu berada di wilayah dengan pemandangan indah
dilengkapi dengan taman yang banyak pepohonan. Dari jarak jauh,
Francesca melihat beberapa pasang orang berjalan di padang rumput
hijau yang subur, salah satu dari pasangan itu selalu baju warna
putih. Apakah mereka perawat atau pengiring pasien"
Ketidakyakinan menghantamnya sekarang saat ia duduk di belakang
jok taksi. Apa yang telah ia lakukan" Kegilaan apa yang
membuatnya melompat ke pesawat dan datang ke rumah sakit
terpencil di London, yang mana ia tidak mengenal siapa pun dan
tidak punya alasan untuk datang"
Supir taksi itu menatapnya dengan tanya.
"Maukah anda menunggu saya?" tanya Francesca gugup pada sopir
itu sambil memberikan uang.
"Saya bisa menunggu sepuluh menit, tidak lebih." katanya dengan
kasar. "Terima kasih," kata Francesca. Jika perjalanan ini berakhir dengan
jalan buntu, ia akan segera mengetahuinya.
Francesca mengerjap ketika ia masuk ke lobi beberapa saat
kemudian. Tidak sama dengan lobi Noble Enterprises di Chicago,
tetapi agak mirip, ruangan elegan dengan kayu hangat, lantai marmer
berwarna pink-krem, dan furnitur berwarna netral.
"Ada yang bisa saya bantu?" seorang wanita muda duduk di
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang meja bundar bertanya padanya saat ia baru masuk.
Selama beberapa detik, Francesca hanya berdiri di sana tanpa
berbicara. Kemudian sesuatu menghantam pikirannya dan ia
berbicara sebelum bisa mencegahnya.
"Ya. Saya ingin bertemu Dr. Epstein, please."
Jantungnya sesaat berhenti di dadanya untuk sepersekian detik saat
ia memandang dengan ekspresi kosong kearah wanita itu.
"Tentu saja. Boleh tahu nama anda?"
Francesca menghembuskan nafas lega dan langsung merasakan
gelombang berikutnya dari keraguan. "Francesca Arno. Aku teman
Ian Noble." Mata wanita itu melebar oleh perkataan Francesca.
"Tunggu sebentar Ms. Arno," katanya, mengangkat telepon.
Francesca menunggu dengan gelisah saat resepsionis itu berbicara
pada beberapa orang, terakhir pada Dr. Epstein sendiri. Apa yang
dipikirkan dokter itu, ada orang asing yang berkata ia adalah teman
Ian Noble yang muncul di Institute untuk bertanya padanya"
Sayangnya, Francesca tidak bisa mendengar banyak dari percakapan
satu arah. Resepsionis itu meletakkan lagi telponnya.
"Dr. Epstein mengatakan ia akan datang ke lobi untuk menemui
anda. Bisakah saya mengambilkan minum sementara anda
menunggu?" "Tidak, terima kasih," kata Francesca. Dia tidak berpikir apapun
akan bertahan di perutnya, perutnya sangat mual. Francesca duduk di
area tempat duduk yang nyaman di belakang resepsionis itu. "Saya
akan duduk dan menunggu."
Resepsionis itu menganguk ramah dan kembali ke pekerjaannya.
Lima menit sebelum Dr. Epstein datang ke lobi-lima menit yang
begitu lama, lima menit yang berliku. Francesca melonjak dari
kursinya seolah berada di atas pegas saat ia mengenali sang dokter,
kini memakai jas lab putih di atas gaun hijau tua yang menawan.
Seorang wanita elegan berjalan di sampingnya, pakaiannya santai
tapi terlihat jelas berkualitas dan berselera tinggi. Francesca punya
kesan sekilas bahwa meskipun pendamping Dr. Epstein adalah lebih
tua, tujuh puluhan, mungkin" Wanita itu memiliki kesehatan yang
prima. "Francesca Arno?" Dr. Epstein bertanya saat ia datang. Ia
mengulurkan tangannya dan Francesca menerimanya.
"Ya, saya minta maaf telah menemui anda disaat yang tak terduga
seperti ini, tetapi-"
"Semua teman Ian diterima." nada suara dokter itu hangat, tetapi ada
keraguan atau pertanyaan yang ia lihat bayangan dari wajah
Francesca saat ia mengamatinya. "Saya mengerti anda belum pernah
bertemu dengan nenek Ian" Francesca Arno, Countess Stratham,
Anne Noble." Francesca memandang dengan terkejut pada wanita tua yang atraktif.
Selama beberapa saat yang mengejutkan, Francesca ragu apakah ia
seharusnya membungkuk atau melakukan sesuatu untuk countess"
Tentu saja ada suatu etika yang tidak ia ketahui, dan
kecanggungannya Amerikanya akan mulai terlihat"
Terima kasih Tuhan countess itu menyadari ketidaknyamanannya
sebelum ia mulai tergagap seperti orang bodoh.
"Tolong, panggil aku Anne," kata nenek Ian hangat, mengulurkan
tangannya. Francesca melihat ke matanya yang langsung mengingatkannya pada
mata Ian yang berwarna biru terang dan tajam.
"Saya rasa saya datang ketempat yang tepat," gumam Francesca saat
ia menjabat tangan lembut Anne.
"Kau tidak yakin?" tanya Anne.
"Tidak, tidak sepenuhnya. Saya...mencari Ian."
"Tentu saja," kata Anne kenyataannya, menanngkap keraguan dan
kebingungan Francesca. "Dia menyebut namamu padaku, meskipun
aku tidak tahu kau akan datang ke London. Ian sedang jalan-jalan di
taman sekarang, jadi aku lebih baik aku menemuimu dulu."
"Jadi Ian di sini?" tanya Francesca, suaranya bergetar terkejut.
Anne dan Dr. Epstein saling memandang.
"Kau tidak tahu ia di mana?" tanya Anne.
Francesca merasa perasaannya tenggelam saat ia menggelengkan
kepalanya tidak tahu. "Tapi kau pasti tahu tentang anakku di sini, paling tidak?"
"Putri...anda?" tanya Francesca, kepalanya berputar. Pintu kaca itu
terlihat seolah terlalu terang, memancarkan cahaya terang pada
apapun. Bukankah Mrs. Hanson bilang kakek nenek Ian hanya
punya satu anak" "Ya, putriku, Helen. Ibu Ian. Ian sedang membawanya jalan-jalan
sekarang. Berkat kerja keras Julia dan institute," Anne memberi
tatapan hangat dari samping pada dokter itu. "Helen mengalami
perkembangan yang menakjubkan. James, Ian dan aku tidak bisa
menjadi lebih bahagia."
"Kami harus memeriksanya setiap hari selama...satu jam," Dr.
Epstein memperingatkan. Kedua wanita itu menatap Francesca. Anne meraih dan menyentuh
sikunya. "Kau sangat pucat, sayang. Kupikir labih baik kita
mempersilahkan wanita muda ini duduk dengan nyaman, benar kan
Dr. Epstein?" "Tentu saja. Kita akan membawanya ke kantor saya. Saya punya jus
jeruk di sana; mungkin gula darahmu sedikit rendah" Haruskah saya
memesankan anda makanan?"
"Tidak...tidak, saya baik baik saja. Ibu Ian masih hidup?" tanya
Francesca parau, pikirannya tertuju pada satu hal.
Sebuah bayangan melintas di wajah Anne. "Ya. Ia masih hidup."
"Tapi Mrs. Hanson...dia mengatakan padaku ibu Ian sudah
meninggal beberapa tahun yang lalu."
Anne mendesah. "Ya, itu yang dipercaya oleh Eleanor." Kata-kata itu
membawa Francesca beberapa detik pada kebingungannya pada
kenyataan bahwa Eleanor adalah nama depan Mrs. Hanson. "James
dan aku membuat keputusan bahwa kembalinya Helen ke Inggris
mungkin yang...terbaik" Paling mudah?" renung Anne, ekspresinya
memilukan saat ia mencoba untuk menemukan kata yang tepat untuk
keputusan yang telah dibuat beberapa tahun lalu itu, selama masa
penuh tekanan dan kegelisahan.
"Bagi orang yang mengenal dan mencintai Helen sebelum ia sakit
untuk mengingat ia seperti lebih baik daripada melihat bagaimana
kutukan ini menghancurkannya, menghilangkan kepribadiannya...
jiwa terdalamnya. Mungkin apa yang kami lakukan salah. Mungkin
juga tidak. Ian sebenarnya tidak setuju dengan keputusan kami."
"Well...dia masih berumur sepuluh tahun ketika Helen kembali ke
Inggris, benar, kan?" Tanya Francesca.
"Hampir," jawab Anne. "Tapi kami tidak mengatakan pada Ian kalau
ibunya masih hidup dan dirawat oleh institusi di East Sussex sampai
di berusia duapuluh-cukup tua memahami mengapa kami membuat
keputusan untuk melindungi dia. Ian, hampir sama seperti
kebanyakan orang, berpikir ibunya sudah meninggal."
Kesunyian berdering di telinga Francesca.
"Ian pasti sangat marah ketika mengetahuinya," kata Francesca
sebelum ia bisa menahannya.
Oh, tentu saja," kata Anne kering, tidak ambil pusing pada kekasaran
kecil dari ucapan Francesca. "Saat itu bukanlah saat yang baik bagi
Ian, James dan aku. Ian hampir tidak berbicara pada kami selama
hampir setahun saat ia sekolah di Amerika. Tapi kami akhirnya
menjelaskan, dan hubungan kami berjalan baik." Anne melambaikan
tangannya samar pada pintu masuk yang elegan. "Dan kemudian Ian
membangun fasilitas ini, dan kami bertiga bekerja untuk
membangunnya, menemukan sebuah titik temu. Institut ini telah
menjadi tempat untuk memulihkan hubungan kami dengan cucu
kami dan juga Helen," kata Anne, memberikan senyum terima kasih
pada Dr. Epstein, meskipun matanya terlihat sedih.
Anne terlihat terpukul dan mengencangkan pegangannya pada siku
Francesca, membawa Francesca berjalan di sisinya. "Aku bisa
melihat kalau kau terkejut oleh berita ini. Kupikir lebih baik jika Ian
yang berbicara padamu lebih jauh tentang masalah ini, mengingat...
keadaan yang tidak biasa ini."
"Ian dan Helen akan muncul dari *morning room (ruang duduk di
pagi hari) lanjutan dari jalan-jalan mereka," Dr. Epstein berkata pada
Anne. "Kalau begitu, kita akan pergi kesana," kata Anne pada Francesca,
dengan cepat dan penuh arti saat mereka berjalan ke lift. "James
sudah ada di sana. Aku akan memperkenalkanmu pada kakek Ian."
Terlalu terkejut untuk menjawab, Francesca mengikuti di belakang,
pikirannya seolah bergetar oleh berita bahwa Helen Noble masih
hidup dan nampaknya dirawat di fasilitas ini, jantungnya tertekan
dalam kesedihan untuk Ian.
Mereka naik lift ke lantai paling bawah. Ketika pintu terbuka, Dr.
Epstein mengucapkan selamat tinggal, mengatakan ia harus kembali
ke lab. "Dia ilmuan yang cerdas." kata Anne pada Francesca pelan saat
mereka menuruni pintu masuk yang berujung pada ruangan yang
dipenuhi cahaya, dan banyak ruangan dengan jendela. Beberapa
pasien melihat pada mereka, menatap penuh ingin tahu pada
Francesca. "Sekarang genom manusia telah terpecahkan, Dr. Epstein
dan rekan rekannya menggunakan informasi itu untuk pengobatan
yang lebih baik bagi schizophrenia. Ian mendanai semua yang ia
kerjakan. Itu benar-benar suatu terobosan. Pengobatan yang
dikembangkan oleh Dr. Epstein baru baru ini telah diakui oleh Badan
Obat-obatan Eropa, dan ia merekomendasikan Helen untuk
memakainya. Ada naik dan turun dengan pengobatan itu sejauh ini,
tetapi ada sedikit kemajuan. Ian begitu bahagia. Helen hampir tidak
mengenali Ian, ayahnya dan aku, penyakit jiwanya begitu berat, tapi
sekarang...sangat berbeda. Ia bisa jalan-jalan ke taman, sesuatu
yang hampir tidak mungkin ia lakukan sejak pertama kali datang
kesini enam tahun lalu. "Mengagumkan," kata Francesca, menatap sekeliling ketika mereka
memasuki kamar yang disebut Dr. Epstein morning room. Banyak
jendela lebar yang mengarah pada area hutan kayu yang indah dan
padang rumput. Pasien, perawat, dan mungkin anggota keluarga
tersebar disepanjang ruangan yang nyaman itu, beberapa dari mereka
memainkan permainan, lainnya ngobrol dan menikmati
pemandangan. Francesca mengira pasien itu adalah beberapa orang
pasien di sini adalah salah satu orang sakit tetapi sekarang lebih
terkontrol. Mereka nampaknya sangat normal dan masuk keluar
ruangan atas kemauan mereka sendiri tanpa perawat mengikuti
mereka. Seorang pria tua-yang masih terlihat sehat berdiri ketika mereka
menghampirinya. Pria itu tinggi, sama seperti Ian menurut
Francesca. "Francesca Arno, Perkenalkan suamiku, James," kata Anne.
"Senang bertemu denganmu," kata James, menjabat tangannya. "Ian
menyebut namamu pada kami kemarin-sesuatu yang kami
perhatikan, karena ia jarang menyebut nama seorang wanita, yang
selama ini membuat Anne dan aku kecewa," kata James,sebuah
kerlipan di mata coklatnya. "Kami sedang bersama Dr. Epstein
ketika ia mendapat panggilan bahwa kau ada di sini. Kami tidak tahu
kau akan datang ke Inggris."
"Itu karena saya datang secara mendadak."
"Ian tidak tahu kau ada di sini?" Tanya James, terlihat sopan namun
bingung. "Tidak," kata Francesca. Mungkin James menyadari kegelisahannya
pada kenyataan, karena ia menepuk pundak Francesca dengan
ramah, tatapannya beralih ke jendela yang mengarah pada padang
rumpung. "Baiklah, ia akan segera mengetahuinya. Aku melihat
Helen dan Ian datang. Ya Tuhan..."
Jemari James mengetat sejenak di pundaknya. Francesca menatap
keluar jendela ketika james berbicara, mengikuti tatapan james.
Francesca mulai bisa melihat dengan baik apa yang ia lihat. Ian
berjalan disamping seorang wanita terlihat rapuh yang memakai baju
biru yang menggantung kebesaran pada tubuh sakitnya yang kurus.
Ketika James berbicara, wanita itu tiba-tiba berputar, tinjunya
mengenai perut Ian. Wanita itu tersandung dan hampir jatuh, tapi Ian
menangkapnya. Namun usahanya untuk menstabilkan ibunya
terganggu, karena Helen meronta seolah ia tiba-tiba takut hidupnya
ada ditangan Ian. "Panggil Dr. Epstein," kata James dengan nada tajam pada salah satu
pelayan yang juga tahu apa yang terjadi di luar jendela. James dan
tiga pelayan pria lainnya berjalan menuju pintu yang menuju ke
padang rumput untuk membantu Ian.
"Oh tidak. Tidak lagi," kata Anne dengan suara tercekat saat ia dan
Francesca melihat, ngeri. Helen memukul dengan liar saat Ian
mencoba untuk menahannya. Helen mengayunkan tangannya pada
rahang Ian. Jantung Francesca seolah kejang di dadanya ketika ia
melihat kenyataan, kesedihan mendalam di wajah tampannya ketika
ia menerima pukulan itu. Berapa kali ia melihat ibunya bersikap
seperti ini" Berapa lama wanita yang ia sayangi, wanita yang baik
itu menghilang dan digantikan oleh kekerasan, orang asing yang
ketakutan" Teriakan tajam terdengar dari morning room saat inisuara ketakutan
dari Helen Noble dan penyakit jiwanya kambuh.
"Tunggu," kata Anne dengan parau, meraih siku Francesca,
menghentikannya ketika ia hendak menuju ke Ian, tidak tahan untuk
diam sementara Ian sedang rentan. "Mereka sudah mengatasinya
sekarang." Francesca dan Anne berdiri berdampingan, menatap sedih saat tiga
orang pelayan dengan terampil mengangkat dan mengendalikan
perlawanan dari wanita yang sakit jiwa itu dan mulai membawanya
masuk kedalam rumah sakit. Ketika mereka melewati Francesca dan
Anne di morning room, bergerak cepat menuju ke pintu masuk,
Francesca menangkap sekilas wajah Helen untuk pertama kalinyawajahnya
menyeringai terlihat mengancam, air liurnya menetes ke
dagunya, mata birunya terbelalak dan berkaca-kaca, yang sepertinya
terfokus pada suatu mimpi buruk mengerikan yang hanya bisa ia
lihat sendiri. Tidak, pikir Francesca. Itu bukan Helen Noble. Pasti bukan.
Perawat memasuki pintu masuk kearah para pelayan, Dr. Epstein
berjalan kecil di belakangnya dengan langkah cepat. Para pelayan
dengan hati-hati membaringkan wanita yang menjerit itu di lantai,
dan perawat memberinya suntikan.
Anne mulai menangis diam-diam saat melihat mereka membawa
putrinya menjauh. Francesca meletakkan tangannya disekeliling pundak perempuan tua
itu, tidak bisa berbicara apa-apa, terlalu syok.
"Ian," seru Francesca ketika ia menatap sekitar dan melihat Ian dan
kakeknya berjalan. Francesca tidak pernah mellihat Ian begitu pucat.
Otot wajahnya mengeras. Ian menatapnya dengan dingin.
"Berani-beraninya kau datang ke sini," kata Ian sambil
mendekatinya, bibirnya hampir tidak bergerak, mulut dan rahangnya
terkatup sangat ketat. Jantung Francesca seolah berhenti di dadanya.
Francesca tidak pernah melihat Ian seperti ini...begitu sedih, begitu
marah...begitu terekspos. Francesca tidak bisa berpikir apa yang
akan ia katakan. Ian mungkin tidak akan pernah memaafkannya
karena datang tak diundang, untuk menemuinya pada situasi yang
mungkin paling rentan dalam hidupnya.
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ian-" Tetapi Ian memotongnya dengan berjalan terus melewatinya menuju
kemana mereka membawa ibunya. James memandang sedih pada
istrinya dan mengikuti cucunya.
Anne meraih tangannya dan membimbingnya menuju ke kursi. Anne
duduk di sampingnya, seluruh semangat Francesca saat melihat
pertemuan pertamanya seolah terkuras habis.
"Jangan salahkan Ian," kata Anne lemah. "Helen dan Ian telah
berbagi pagi yang indah dan sekarang...sekarang semuanya telah
direnggut lagi. Ian marah, tentu saja."
"Saya bisa mengerti kenapa," jawab Francesca. "Saya seharusnya
tidak datang. Saya tidak tahu-"
Anne menepuk pundaknya, "Ini adalah penyakit mematikan. Brutal.
Ini sulit bagi kami semua, tetapi sangat sakit bagi Ian. Dari sejak
kecil, ia tidak punya pilihan selain menjadi satu-satunya orang yang
mengurus Helen. Ian mengatakan padaku setelah ia tinggal bersama
kami untuk sejenak dan mulai terbuka kalau ia secara terus menerus
mengawasinya, karena takut kegilaan Helen akan diketahui
masyarakat karena sikap yang terlalu mencolok, dan mereka
membawa Helen ke rumah sakit dan mengirimnya ke panti asuhan.
Ian hidup dalam kekhawatiran setiap hari, takut Helen akan
merugikan dirinya sendiri atau karena terpisah dari Helen. Ian jarang
pergi ke sekolah seperti anak-anak lain, karena ia harus menjaga
Helen. Di kota di mana Helen hidup-kami, hingga hari ini,tidak tahu
bagaimana atau kenapa ia hidup di sana-kota terpencil dan sedikit
terbelakang. Aku punya sedikit keraguan jika badan perlindungan
anak akan dihubungi tentang sering tidak masuknya Ian di sekolah
jika ia bertempat tinggal di kota yang lebih besar.
Seperti yang terjadi, Ian menjaga penyakit Helen dengan baik,
belajar di mana Helen menjaga simpanan uangnya dan mengaturnya
dengan hemat, mengambil pekerjaan lebih dari satu disekitar desa,
mengantar pesanan, dan suatu hari ia mengetahui jika ia pintar
memperbaiki perlengkapan elektronik, memperbaiki alat-alat rumah
tangga kecil. Ian membelanjakan mereka dan melakukan pekerjaan
rumah tangga, memasak untuk mereka, membuatkan pondok kecil
bagi mereka sebaik yang ia bisa dan menjaga pondok dengan
berbagai macam perlengkapan keamanan, menerima sikap aneh
Helen dan sesekali mendapat kekerasan selama masa kegilaannya...
salah satunya seperti yang kau lihat," renung Anne letih. Anne
menatap dengan berat. "Semuanya, dan akhirnya kami menemukan
Helen dan Ian, Ian melewatkan ulang tahun ke sepuluhnya."
Francesca bergidik oleh emosi. Tidak heran Ian begitu mengontrol.
Oh Tuhan, bocah laki-laki kecil yang malang. Betapa kesepiannya
dia. Betapa mengerikan pengalamannya tentang kasih sayang dan
hubungan selama masa berpikir jernih yang dialami ibunya, satusatunya hal yang
mereka miliki lenyap ketika penyakit jiwa ibunya
kambuh...seperti halnya hari ini. Tiba-tiba, Francesca teringat
ekspresi Ian sesekali yang mengoyak perasaan Francesca dengan
begitu dalam dan begitu membingungkannya, melihat seseorang
yang tidak hanya ditinggalkan dan tersesat tetapi ia tahu dengan baik
bahwa ia akan ditolak lagi.
"Saya turut bersedih, Anne," kata Francesca, merasakan
ketidakmampuannya, ketidakpantasan dari kata-katanya.
"Dr. Epstein mengatakan pada kami jangan terlalu optimis. Tetapi
sulit untuk tidak berharap, dan Helen membuat sebuah kemajuan.
Kami melihatnya, sangat singkat, berbicara padanya-dia, Helen
kami. Sayang, Helen yang manis." Anne menatap dengan berat.
"Well, ada terapi lain yang masih dalam proses penyempurnaan.
Mungkin...suatu hari..."
Bagaimanapun juga Francesca ikut merasakan, mendengar suara
Anne yang tidak berubah dan warna keabuan di kulitnya, yang
menunjukkan ia teramat sangat berharap untuk melihat putrinya
bahagia dan sehat. Ia bertanya-tanya berapa lama keluarga Noble
melihat kemajuan dari Helen, hanya untuk menghancurkan harapan
mereka lagi dan lagi saat kegilaan menampakkan diri.
Francesca berdiri gemetar beberapa menit kemudian saat Ian
kembali dari morning room. "Dia sudah tidur," kata Ian pada
neneknya, tatapan tak senangnya menghindari Francesca. "Julia
memberinya obat. Ibu akan kembali normal seperti sebelumnya.
Paling tidak obat itu membuatnya tetap stabil."
"Jika stabil berarti tenang, kuharap kau benar," kata Anne.
Mulut Ian sedikit mengerucut oleh kata-kata Anne. "Kita tidak punya
pilihan, paling tidak ia tidak menyakiti dirinya sendiri." Ian melihat
Francesca. Francesca segera menarik diri ketika ia melihat kilau
dingin di mata Ian. "Kita akan pergi," kata Ian. "Aku sudah
menghubungi pilotku, dan dia sudah ada di pesawat yang siap
berangkat ke Chicago."
"Baiklah," kata Francesca. Ia mungkin bisa mencoba dan
menjelaskan mengapa ia datang saat mereka berada di pesawat.
Francesca ingin meminta maaf karena datang ke tempat di mana ia
tidak diinginkan. Mungkin ia bisa membuat Ian mengerti...
....meskipun setiap kali ia berpikir betapa rapuhnya Ian...betapa
kasarnya dia, Francesca gemetar, takut jika Ian tidak akan pernah
memaafkannya. *** Ian tidak berbicara padanya di mobil menuju bandara, hanya
menatap lurus kedepan saat ia menyetir, buku jarinya memutih saat
ia menggenggam setir kulit. Ketika Francesca mencoba untuk
memecah kesunyian dengan meminta maaf, Ian segera
memotongnya. "Bagaimana kau tahu di mana aku berada?"
"Aku pernah beberapa kali melihatmu dengan Dr. Epstein...salah
satunya di Paris dan satunya lagi di rumah. Aku dengar di menyebut
"Institut," dan Mrs. Hanson bilang padaku kalau ia seorang dokter."
Tatapan Ian tertuju padanya. "Itu bukanlah penjelasan, Francesca,"
Francesca tenggelam di kursi penumpang. "Aku...aku tahu kalau
kau melihat situs Genomics Research and Treatment Institute
beberapa kali saat aku meminjam tabletmu untuk belajar pada tes
mengemudi." Rasa bersalah membuatnya semakin tak berdaya
ketika ia menyadari tatapan marahnya.
"Kau memeriksa aktivitasku?"
"Ya," ia mengakui dengan buruk, "Aku minta maaf. Aku begitu
khawatir...terutama saat kau pergi tiba-tiba. Kemudian Jacob bilang
padaku kau tidak pernah membawanya ke London, dan aku mulai
menyambungkan semua petunjuk."
"Well, aku tidak akan pernah menyalahkanmu karena bertindak
bodoh," Ian menyembur, tangannya mengencang di setir. "Kau pasti
bangga karena keahlian detektifmu."
"Tidak. Aku sangat sedih. Aku minta maaf, Ian."
Ian tidak berkata apa-apa, tetapi mulutnya tegang dan kulitnya
terlihat pucat berbanding dengan rambut hitamnya. Keheningannya
langsung membuat Francesca terdiam dari semua hubungan sampai
mereka naik pesawat. Suara pilot datang dari interkom, mengatakan mereka telah lepas
landas. "Duduk dan pakai sabuk pengaman saat lepas landas," kata Ian
singkat, memberi isyarat pada kursi dimana ia biasanya duduk, "Tapi
saat kita telah terbang, aku ingin kau berada di kamar tidur,"
Mulut Francesca terbuka oleh kata-kata Ian. Sesuatu dari nada
bicaranya mengatakan dengan tepat padanya mengapa Ian
menginginkannya di kamar tidur. Francesca mengaitkan sabuk
pengamannya dengan jari gemetar. "Ian, ini tidak akan membuatmu
merasa lebih baik untuk mencoba dan mengontrol karena kau merasa
begitu..." Francesca berhenti saat ia melihat kilatan matanya yang hampir tidak
berkurang rasa marahnya. "Kau salah. Ini akan membuatku merasa
fantastis untuk membuat pantatmu memerah dan menyetubuhimu
dengan kasar. Kau telah memakai pil cukup lama. Aku akan
menyetubuhimu dengan kasar dan klimaks ke dalam dirimu, itu akan
tumpah keluar dari selama berhari-hari,"
Francesca tersentak, bukan karena kekasarannya-pada perbedaan
yang berbeda, kata-kata kasarnya telah mambuatnya bergairah. Tapi
ini bukanlah keadaan yang berbeda. Ia bilang apa yang ia katakan
sengaja untuk menyakiti Francesca karena dengan berani telah
melihat kelemahannya. "Kau ingin masuk ke dunia pribadiku, baiklah. Hanya saja ingatlah
kau mungkin tidak suka apa yang kau lihat," kata Ian pelan.
"Tidak ada yang kulihat hari ini yang membuatku berpikir buruk
tentangmu," ia mengatakan dengan semangat, "Jika segalanya
membuatku mengerti tentangmu seratus kali lebih baik...ini juga
akan membuatku mencintaimu seribu kali lebih besar,"
Ekspresi wajahnya biasa saja. Wajah Ian yang pucat semakin pucat
pasi. Jantung Francesca bergemuruh di telinganya dalam suasana
tegang yang menyelimuti mereka. Mengapa Ian tidak bicara"
Francesca hampir tidak menyadari pesawat telah terbang. Ia tidak
bisa percaya ia baru saja mengatakan kebenaran yang coba ia
sembunyikan dari Ian. Keheningan lama terjadi, seolah semakin buruk dengan tekanan di
telinganya saat mereka terbang tinggi.
"Kau kekanak-kanakan," Ian akhirnya bicara, bibirnya terkatup.
"Aku sudah bilang padamu sejak awal hubungan ini hanya seksual
semata." "Ya, tapi kupikir...selama beberapa minggu terakhir, hubungan ini
seolah telah berubah," kata Francesca lemah. Hatinya seolah jungkir
balik saat Ian menggelengkan kepalanya dengan pelan, tatapannya
tidak pernah meninggalkan wajah Francesca. Ian membuka sabuk
pengamannya. "Aku ingin memilikimu, Francesca. Mendominasimu.
Melihat kekeras kepalaanmu menyerah oleh gairah...untuk
memuaskanku. Itu yang aku tawarkan padamu. Kau bersikeras untuk
masuk ke duniaku, sekarang kau bisa berhenti menipu dirimu
dengan fantasi seorang gadis. Itu saja yang bisa aku tawarkan." kata
Ian, menunjuk ke kamar tidur. "Sekarang pergilah kesana, lepaskan
semua pakaianmu, dan tunggulah aku."
Selama beberapa detik, Francesca hanya menatapnya, masih
terhuyung akibat luka yang ditimbulkan kata-katanya. Ia ingin
menolak ketika ia memikirkan tentang kebenaran, rasa sakit di
wajahnya ketika ibunya mulai menyerangnya secara brutal. Lukanya
lebih dalam dari Francesca. Mungkin itu bisa menolongnya, untuk
merasa memegang kendali setelah mengalami begitu banyak
keputusasaan dan rasa sakit" Tidak kah orang-orang memainkan
peran sedih sepanjang waktu selama seks, memakai kekuatan fisik
yang kuat untuk menyadarkan mereka di tengah emosi yang kacau
balau" Ya. Ia ada di sana untuk Ian seperti itu. Ia mengerti bahwa rasa
marahnya terbendung dari rasa sakit karena begitu terlihat...begitu
rapuh. Francesca membuka sabuk pengamannya perlahan.
"Baiklah. Tapi aku melakukannya hanya karena aku benar-benar
jatuh cinta padamu. Dan aku bukanlah gadis kecil yang naif. Kupikir
kau jatuh cinta juga padaku dan hanya karena terlalu angkuh dan
keras kepala-dan terluka tentang apa yang terjadi pada ibumu hari
ini-untuk mengetahuinya."
Rasa sakit terlihat di sepanjang wajah kerasnya meskipun begitu
datar, dan hilang. Ian tidak berkata apa-apa saat Francesca berdiri
dan berjalan ke kamar tidur.
*** Because I Need To Bab 16 Ian memasuki kamar sepuluh menit kemudian. Tubuhnya langsung
menegang dengan nafsu ketika melihat Francesca duduk telanjang di
sudut tempat tidur. Francesca menata rambut ke atas dan entah
bagaimana mengikat rambutnya seperti itu makin menambah
keindahannya. Puting merah mudanya tegak dengan menggiurkan,
dan bukan, Ian menduga, bukan karena bergairah tapi karena suhu
dingin. Dia tahu tidak ada jubah di kamar mandi. Ini kesalahnya
karena membuat Francesca menunggu saat sedang terekspos. Namun
demikian, sesuatu tentang tubuh pucatnya yang telanjang
menghantam Ian sebagai seorang yang sangat rapuh namun sangat
menggairahkan. "Berdirilah," ujarnya tegas, menolak untuk bersikap lunak oleh
pemandangan indah dari tubuh Francesca. Apakah dia akan pernah
bertemu seorang wanita yang lebih cantik darinya"
Apakah dia akan pernah terpengaruh oleh wanita lain seperti dia
telah terpengaruh oleh Francesca" Sebuah emosi bagai gunung
berapi mulai mendidih dalam dirinya ketika Francesca menyerukan
kata-kata penyulut. "Itu membuatku mencintaimu seribu kali lipat."
Ini masih terlalu berat bagi Ian. Dia telah hancur oleh berita yang
James berikan padanya segera setelah petugas membawa pergi
ibunya yang mengoceh, bahwa Francesca berada di morning
room...bahwa Francesca menyaksikan semua yang telah terjadi.
Ian dilanda kebutuhan yang tak tertahankan untuk menghukum
Francesca karena telah melihat tidak hanya ibunya ketika sedang
begitu rapuh, tapi juga Ian sendiri. Dia menghabiskan sebagian besar
hidupnya menjaga Helen dari tatapan ikut campur yang mengerikan.
Entah bagaimana, mengetahui Francesca telah menyaksikan puncak
kegilaan ibunya terasa lebih menyakitkan berkali lipat daripada
pengamatan orang asing. Ian berjalan menuju rak pakaian dan membuka lemari. Sebuah
sentakan kegembiraan melanda dirinya ketika melihat mata
Francesca melebar saat menatap apa yang ia bawa beberapa saat
kemudian. "Ya. Aku hanya menyimpan beberapa barang di dalam
pesawat ini, dan bukan yang biasanya. Kita akan mulai dengan
hukumanmu dan kemudian berganti ke cara lain untuk membuatmu
menggeliat." Pipi Francesca berubah menjadi merah muda mendengar kata-kata
itu, namun Ian tidak tahu apakah reaksinya adalah karena gairah atau
marah mendengar kata-katanya. Tapi dia ingin melihatnya
menggeliat, pikir Ian sambil mengambil tali elastis berwarna hitam.
Dia ingin melihat Francesca menggeliat dalam penyesalan dan
gairah yang tersalurkan, Ian menginginkan dia memohon padanya
melalui bibir merah mudanya yang menghantui mimpimimpinya...Ian ingin mendengar
lagi Francesca berkata bahwa dia
mencintainya. Ian segera menyingkirkan pikiran itu secepat ia memikirkannya. Dia
memindah lemari kecil berbantalan yang terletak di ujung tempat
tidur menuju ke tengah ruangan.
"Melangkah lah ke dalam sini," katanya beberapa detik kemudian,
mendekati Francesca, memegang tali penahan elastis. Berdiri
sedekat ini, Ian bisa mencium aroma bersih shampo beraroma
buahnya. "Pegang bahuku untuk menyeimbangkan tubuhmu."
"Apa itu?" Ian mencoba untuk mengabaikan betapa lembut tapi pasti pegangan
Francesca melalui kemejanya.
"Ini sebuah tali yang akan mengikat kakimu saat aku
menghukummu, membatasi gerakmu. Mungkin sedikit tidak
nyaman, namun akan memberiku kenikmatan yang sangat besar."
"Aku tidak bisa melihat bagaimana caranya," katanya, wajah
Francesca meringis saat Ian meregangkan lingkaran tali elastis hitam
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selebar lima inci, mendekatkannya sampai berada tepat di bawah
pantatnya, mengikat erat pahanya dan mengenyalkan pantatnya
melewati batas, memamerkan daging yang kencang untuk tangan Ian
dan paddle (alat utk memukul berbentuk seperti dayung). Dia
mengulurkan tangan dan mencengkeram pantat di telapak
tangannya. Kejantanannya berkedut.
"Sekarang kau lihat?" Tanya Ian tajam, dengan enggan melepaskan
pantatnya yang montok. Pengikat elastis mempunyai kesamaan
seperti yang bustier lakukan pada payudara, sepenuhnya
menonjolkan pantatnya, bahkan seperti mengikatnya.
"Ian!" Seru Francesca kaget ketika Ian tiba-tiba mengangkatnya ke
udara, membawanya ke arah bangku yang empuk.
"Aku harus mengangkatmu, karena kakimu terikat," katanya,
menurunkan lutut Francesca di atas bantal. "Tetap berlutut sebentar.
Jangan bergerak." Ketika Ian kembali, ia membawa sebuah borgol.
Berbeda dengan borgol kulit lembut yang biasa Ian gunakan
dengannya, mengingat kulit sensitif Francesca, yang ini adalah
borgol logam. "Pergelangan tangan di punggung bawahmu," kata Ian. Ian
mengerutkan kening setelah mengikat tangan Francesca di belakang
punggungnya. "Aku tidak ingin kau meronta melawan borgol itu,
Francesca. Kau mungkin akan membuat memar tanganmu sendiri."
"O...Oke," Ian mendengar Francesca berkata. Ian bertemu dengan
tatapannya, melihat ke dalam bola mata beludru gelapnya.
Gelombang liar dari sesuatu melalui dirinya-nafsu, kebutuhan liar,
kemarahan-ketika ia mengenali apa yang bersinar di mata Francesca.
"Kenapa kau menatapku dengan begitu percaya?" ucap Ian.
"Karena aku percaya padamu."
"Kau bodoh." Dia menyentuh siku Francesca, membimbingnya.
"Tetap berlutut. Membungkuk. Ekspos pantatmu. Sandarkan
payudaramu di atas lututmu. Tekan dahi ke bantal dan tetap seperti
itu sepanjang hukumanmu. Jangan melihat kearahku, atau aku akan
menghukummu lebih berat."
Francesca benar-benar seorang bidadari. Matanya memiliki
semacam sihir terhadap Ian. Jika Ian melihat cukup ke dalamnya,
dengan segera dia mulai percaya pada apa yang dilihatnya, di sana
bersinar stabil seperti suar yang tak tergoyahkan.
Ian berjalan dan mengambil paddle. Dia tahu mengapa mata
Francesca melebar setelah melihat benda itu beberapa saat yang lalu.
Itu terbuat dari kayu yang dipernis, panjang dan sempit-hanya
selebar tiga inci. Itu adalah alat yang lebih serius bagi hukuman fisik
daripada paddle kulit hitam yang lebih dia sukai untuk kulit halus
Francesca. Tapi Ian bertekad untuk membuatnya membayar keputusan
impulsifnya dengan mengikutinya ke London. Dia bertekad untuk
membuatnya membayar karena memicu badai perasaan dalam
dirinya. Ian nyaris tidak menahan erangan saat ia mendekat dan mengamati
pemandangan tubuh Francesca. Pengikat elastis memamerkan pantat
indahnya yang memberikan efek menyentak pada kejantanannya. Ian
membelai satu pipi pantatnya, kemudian yang lain, mengangkat
pantatnya secara penuh keluar dari kekangan sehingga ia bisa
menyentuh dan menghukum setiap bagian kecil berharga dari daging
kencang yang penuh itu. Francesca terkejut ketika Ian mendaratkan paddle pada lekuk bawah
dari pantat indahnya, tapi Ian merasakan Francesca menahan
teriakannya. Pengendalian diri Francesca membuat Ian merasa puas.
Sama seperti segala sesuatu yang Francesca lakukan...segala
sesuatu kecuali sifat impulsifnya, segala sesuatu kecuali kebodohan
dan kepolosannya dengan meyakini bahwa ia mencintai Ian.
Segala sesuatu tentang dirinya...terutama sifat penurut, dan cara
berpikir yang polos yang seharusnya dihargai, bukannya dicemooh.
Ian memukul tiga kali secara berurutan, melenyapkan kebingungan
pikiran dari otaknya. Kemaluannya berdenyut di balik celana yang
seakan semakin ketat. Ya, ini adalah apa yang ia butuhkan. Nafsu
akan membimbingnya melewati emosi membingungkan yang sedang
ia alami. Nafsu selalu begitu. Francesca tidak bisa menahan jeritnya kali ini, dan Ian berhenti
sejenak, membelai pipi pantat mulusnya yang panas dengan ujung
jarinya. "Aku tidak percaya kau datang ke London," kata Ian, suaranya
bergetar karena marah. "Aku akan pergi lebih jauh lagi kemana pun untuk menemukanmu."
Ian berhenti, ekspresinya kaku saat mendengar getaran dalam
suaranya. "Apa kau menangis?" Tanya Ian tajam, mengamati bagian
belakang kepala Francesca.
"Tidak." "Apa kau merasakan sakit yang tidak semestinya?"
"Tidak." Ian mengencangkan genggamannya pada paddle dan menepuk
pantatnya dua kali. "Ini adalah pertama kalinya aku menghukummu tanpa stimulan
klitoris. Mungkin ketidaknyamanan ini mengalahkan kenikmatan,"
katanya, mengayunkan kembali paddlenya dan mendarat,
menggeram saat melihat pukulan erotis bergema mengenai daging
montoknya yang kencang. Ian meraih kejantanannya yang nyeri
melalui celananya, meringis.
"Tidak, bukan itu," dia mendengar Francesca berkata dengan suara
tertahan. Francesca sedikit melonjak dari posisi berlututnya ketika
Ian mem-paddle lagi. Penasaran apa maksud dari kata-katanya, Ian mendorong jemarinya
ke celah di antara pahanya yang erat tepat di atas pengekang yang
mengikat. Cairan basah dan hangat melapisi telunjuknya. Tanpa
berkomentar, ia menarik tangannya dan memukul pantatnya
beberapa kali lagi. Ian tidak akan pernah benar-benar mengendalikan Francesca, karena
dia menghancurkannya setiap kali Ian mencoba.
Pantatnya memerah dan panas untuk disentuh pada saat ia selesai.
Francesca terengah-engah dengan pelan dan pipinya berwarna merah
muda ketika Ian mengangkatnya dari atas lemari kecil dan
menurunkannya. Ian berlutut di depannya, melepas pengikat elastis
hitam dari pahanya kemudian ke bawah kakinya.
Ian melepas borgol. Francesca mengeluarkan suara terkejut ketika
Ian melingkarkan pengikat elastis di lehernya dan mulai
melingkarkan tali lebar ke bawah payudaranya. Itu tidak mudah,
namun pada saat ia selesai, dadanya yang memerah indah terlihat
lebih montok dan terpampang erotis dari atas pengikat tebal seperti
yang terjadi pada pantatnya. Ian mendengus sebagai tanda setuju dan
memborgol pergelangan tangan Francesca lagi di punggungnya.
"Apa yang akan kau lakukan?" Francesca bertanya dengan ragu
ketika Ian mengambil flogger kulit hitam. Itu flogger yang lentur,
yang berarti lebih nyaring dan menyengat daripada cambuk dan
menyebabkan nyeri. Ian mengerti secercah ketakutan dalam nada
suara Francesca. Dia tidak pernah menggunakan flogger pada
Francesca sebelumnya. "Hukumanmu belum selesai. Ini adalah flogger." Ian mengangkatnya
untuk Francesca amati, sebuah tali lentur tipis sepanjang satu kaki
yang melekat pada pegangan pengikat kulit. "Jangan terlihat begitu
takut...ini terlihat lebih menyenangkan dari kelihatannya. Ini cukup
aman, di tanganku. Ini akan menyebabkan sengatan yang bagus dan
membangkitkan sarafmu."
Matanya melebar ketika Ian mengangkatnya, tapi dia tidak protes
ketika ia membawa tali kulit itu ke bawah sisi payudaranya yang
pucat. "Di sana. Apakah itu terlalu berlebihan?" Tanya Ian dengan suara
parau, berhenti sejenak untuk membelai dan meremas dengan lembut
bulatan kencang. Ketika Francesca tidak menjawab, ia menatap
wajahnya. Ekspresinya sedikit tak berdaya, tapi matanya bersinar
dengan gairah. Francesca menggeleng, rupanya ia tak bisa berkatakata.
Ian menyembunyikan senyum muramnya dan menurunkan flogger
pada payudara yang lain, kemudian kembali ke yang lain, menonton
dengan takjub saat bola pucat itu memperdalam warnanya menjadi
merah muda pucat dan putingnya mengencang dan keras,
menggiurkannya. "Apa itu nyeri?" Ian bertanya sesaat kemudian setelah dia
meletakkan flogger dan memijat payudaranya di tangannya.
"Ya," bisiknya.
"Bagus. Kau layak mendapatkannya," gumamnya. Dia mencubit
lembut di kedua putingnya dan Francesca menggigil dalam
kenikmatan. "Jika aku tidak begitu hati-hati padamu, aku akan memberikanmu
jauh lebih buruk dari sekarang untuk apa yang kau berani lakukan."
"Untuk jatuh cinta denganmu?"
Ian menghentikan remasan cabul pada payudaranya dan bertemu
tatapannya. Francesca terengah-engah lebih berat sekarang,
menyebabkan payudaranya naik dan turun dengan susah payah di
telapak tangannya. "Tidak. Karena ikut campur ke dalam urusanku dan mengintai ke
dalam hidupku." Untuk melihat ibuku pada waktu yang paling rentan...untuk melihat
penderitaanku. "Sudah kubilang aku menyesal, Ian," katanya melalui bibir merah
mudanya yang memerah. "Kupikir kau tidak," kata Ian, tiba-tiba marah lagi. Dia membungkuk
dan memerangkap mulut lezatnya dalam sebuah ciuman yang
bergelora. Yang ia pikirkan adalah menenggelamkan kejantanannya
ke dalam kewanitaan ketatnya yang basah dan kehilangan dirinya di
dalam hantaman kenikmatan murni untuk melupakan. Napasnya
terasa hangat dan manis saat terengah-engah melawan bibir Ian
sesaat kemudian. "Kau tidak akan mengubah pikiranku," bisik Francesca.
Ian memejamkan mata seolah-olah untuk mencegah gelombang
perasaan yang melanda dirinya. Keputusasaannya memuncak.
"Kita lihat saja nanti," katanya, berbalik sehingga ia bisa membuka
borgolnya, tatapannya berlama-lama di pantatnya yang masih merah.
Ian mempaddle lebih keras dari yang pernah ia lakukan sebelumnya,
menyadari dengan tikaman penyesalan, tapi Francesca tidak
mengeluh, bahkan ketika ia akan memberinya kesempatan. Dan
limpahan kelembaban yang ia rasakan di antara pahanya telah
mengatakan padanya dengan keras dan jelas gairahnya lebih besar
dari ketidaknyamanannya. "Berbalik dan membungkuk di ujung tempat tidur. Letakkan
tanganmu pada kaki ranjang untuk menahan tubuh."
Francesca mengikuti instruksinya tanpa ragu-ragu, memiringkan
tubuh di atas tempat tidur, membungkuk sambil berdiri. Dia tidak
menengok ketika Ian mendekatinya dari belakang, meskipun begitu
Ian merasakan rasa ingin tahunya dan kecemasannya yang fokus.
Francesca manis yang begitu percaya.
"Jangan takut," gumamnya. "Kali ini aku akan melihatmu dikirim
menuju kenikmatan, bukan kesakitan."
Ian menyalakan Rabbit vibrator ke pengaturan terendah, melebarkan
pantatnya, mengekspos pintu masuk ke vaginanya. Kejantanannya
tersentak, berdenyut tak terkendali ketika ia melihat betapa licin
lubang kecil itu, betapa berkilau bibir seks dan seluruh perineumnya
yang berasal dari gairahnya. Dia mendorong vibrator seluruhnya ke
dalam vaginanya. Francesca tersentak, dan kemudian melonjak
ketika ia menyalakan telinga kelinci vibrator sehingga mereka
bergoyang penuh semangat di atas klitorisnya.
"Oh!" "Enak?" Tanyanya sambil menarik vibrator dari celah Francesca dan
kembali mendorong masuk. Vaginanya mencengkeram di sekitar
silikon seperti mulut penghisap kecil. Oh Tuhan, dia tidak bisa
menunggu untuk masuk ke dalam dirinya...tapi dia akan menunggu.
Dia akan melihat Francesca menyerah terlebih dahulu...memohon
padanya. Mengapa Ian membutuhkan itu seperti ia membutuhkan
napas berikutnya masih menjadi teka-teki baginya, tapi ia tidak bisa
meredam hasratnya yang kuat.
Ian memanipulasi Francesca dengan vibrator, membelai vaginanya,
membiarkan telinga kelinci melakukan pekerjaannya pada
klitorisnya, mendengarkan suaranya yang terengah-engah dan
merintih dan merengek terus-menerus...menerka. Ketika napasnya
menjadi tidak beraturan, Ian mematikan vibrator klitoris dan hanya
memberi kenikmatan pada bibir seks dan vaginanya dengan mainan
seks itu. "Oh, kumohon," desahnya setelah beberapa saat. Ian tahu Francesca
sudah akan klimaks sebelumnya, dan sementara vibrator di
vaginanya menyenangkan, Francesca menginginkan telinga kelinci
vibrator di klitorisnya. "Clitmu terlalu sensitif. Kau akan membuat segalanya berakhir
terlalu cepat." "Kumohon, Ian, " ulangnya, terdengar tanpa pikir panjang saat
Francesca menguatkan pegangannya pada kaki ranjang dan mulai
memompa pinggulnya, menunggangi vibrator.
Ian memukul pantatnya cukup keras hingga terasa menyengat.
Francesca berhenti menggerakkan pinggulnya.
"Siapa yang berkuasa di sini?" Tanyanya pelan.
"Kau," bisik Francesca setelah jeda panjang.
"Kalau begitu tahan pantatmu agar tetap diam," perintahnya,
sebelum Ian mulai meluncurkan vibrator ke masuk dan keluar dari
dirinya lagi, membiarkan gerigi yang berputar dan batang bergaris
melakukan pekerjaannya. Erangannya sesaat kemudian terdengar
kasar dan putus asa. Ian merasa iba dan menyetel motornya ke
getaran yang lebih tinggi.
"Ohhhh," rengeknya, "Oh, Ian...biarkan aku bisa bergerak. "
"Tetap diam, " perintahnya, meluncurkan vibrator jauh ke dalam
dirinya sampai ia merasakan panas dan kelembaban terhadap
punggung telunjuknya di mana ia memegang pegangan vibrator.
Pandangannya hanya tertuju pada gambaran yang sangat erotis dari
batang silikon yang meluncur masuk dan keluar dari celah vagina
yang sempit. Erangan Francesca dan rintihan gairahnya yang frustasi
memenuhi telinganya. Ian menyiksanya, menjaganya tepat di ujung,
menikmati kekuasaannya. "Tolong...biarkan aku klimaks, " pintanya, permohonannya meledak
keluar dari tenggorokannya. Ian menghentikan gerakan tusukannya
ketika mendengar ketegangan dalam suaranya yang pecah. Ian
mendambakan untuk menyangkal Francesca. Ian ingin memberikan
segala yang pernah Francesca minta...dan banyak lagi.
Konflik yang berkecamuk dalam dirinya terlalu banyak. Dia melepas
vibrator dan melemparkannya ke tempat tidur.
"Berdirilah," katanya, gairah membuatnya terdengar lebih keras
daripada yang dia maksudkan. Warna di pipi Francesca telah
menggelap ketika ia memutar tubuhnya ke arahnya. Sebuah kemilau
keringat bersinar di keningnya dan bibir atasnya. Dia cantik luar
biasa. Ian membenamkan punggung telunjuknya ke celah basah di
antara labianya. Francesca tersentak, tapi Ian menjaga tangannya
tidak bergerak. "Jika kau ingin klimaks, tunjukkan padaku," perintahnya.
Francesca menatapnya, matanya berkaca-kaca dengan gairah yang
intens, namun Ian melihat kebingungannya.
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau bisa orgasme dengan tanganku, tapi kau harus menunjukkan
bahwa kau menginginkannya. Aku tidak akan bergerak. "
Francesca menggigit pada bibir bawahnya yang gemetar, dan Ian
hampir saja menyerah. Hampir. "Ayo," pintanya.
Francesca menutup matanya, seolah-olah untuk melindungi diri dari
tatapannya, dan mulai mendorong pinggulnya terhadap jarinya.
Sebuah erangan meluncur melewati bibirnya. Ian melihat, terpesona,
menjaga tangan, jari, dan lengannya tetap tegas, tapi tidak
membelainya, membuat Francesca yang melakukan itu.
"Benar. Tunjukkan padaku bahwa kau tidak malu. Tunjukkan padaku
bahwa kau bisa tunduk pada hasratmu," sergahnya. Francesca
menaik turunkan pinggulnya lebih keras, memantul naik dan turun
terhadap tangannya...sangat ingin mendapat kenikmatannya. Ketika
jeritan kecil tanda frustrasi keluar dari tenggorokannya, Ian hampir
menyerah. Hampir. "Buka matamu, Francesca. Tatap aku, " perintahnya, suaranya
menembus pencarian liar Francesca untuk pelepasan.
Francesca membuka kelopak matanya dengan lamban saat ia terus
menunggangi tangannya yang tak bergerak. Ian melihat
keputusasaan, ketidakberdayaan, ketakutannya pada kebutuhannya
yang lebih besar daripada harga dirinya.
"Jangan takut," bisiknya. "Kau lebih cantik bagiku sekarang
daripada yang pernah kulihat. Sekarang klimakslah terhadap
tanganku." Ian melenturkan otot lengannya, mengerahkan tekanan, memberinya
pelepasan yang sangat Francesca butuhkan dan pantas dia dapatkan.
Ian memejamkan mata sesaat dalam sensasi lezat cairan hangat yang
melumuri jemarinya saat Francesca mencapai klimaks.
Sesaat kemudian, Ian memutar tubuh Francesca dan berhasil
mengeluarkan beberapa kata-kata dari otaknya yang diselimuti
nafsu, menyuruhnya untuk membungkuk dan menahan dirinya lagi
di atas kaki ranjang. Ketika Ian akhirnya memasukkan
kejantanannya ke dalam cairan panas yang melekat, matanya
melebar. Rasanya seperti memasuki wanita untuk yang pertama kali
- bukan, tak terhingga lebih nikmat - arena kehidupan yang
seluruhnya baru, sebuah pengalaman segar dengan intimidasi yang
sangat kuat. Ian kehilangan dirinya dalam diri Francesca, semuanya tampak
menghitam untuk sesaat ketika kenikmatan dan kebutuhan
membanjirinya, menghantam kesadarannya. Ian menggeliat terhadap
tubuhnya seperti pria liar, paru-parunya terbakar, kejantanannya
nyeri, ototnya mengepal...jiwanya terobek.
"Francesca," katanya garang, terdengar marah, meskipun tidak lagi.
Ian membuka tangannya di sekitar tulang rusuknya yang halus dan
menarik Francesca ke atas sehingga ia berdiri di depannya, bagian
atas tubuhnya sedikit membungkuk ke depan. Ian terus
menyetubuhinya, merasakan jantung Francesca berdetak cepat di
tangannya, gemetar menggetarkan tubuhnya saat Francesca
mencapai klimaks, dinding otot vaginanya menjepit dan kejang di
sekitar kejantanannya. Tanpa pikir panjang, Ian mendorong ke bawah bagian atas tubuh
Francesca lagi, tangannya jatuh ke pinggulnya, menyetubuhinya
dengan tusukan pendek yang keras, giginya memamerkan
kenikmatan yang menyilaukan dalam mulutnya. Ian menyentak
Francesca kearah tubuhnya, otot-ototnya menegang begitu kencang
hingga ia mengangkat kaki Francesca dari lantai.
Orgasme merobeknya dengan kekuatan layaknya sambaran petir. Ian
mengerang dalam kenikmatan yang menyiksa batin saat ia mulai
klimaks di dalam jangkauan terjauh Francesca. Sebuah kebutuhan
terpenting yang tajam membuatnya kewalahan, bahkan di tengahtengah krisis dalam
dirinya - sebuah kebutuhan untuk menandainya,
untuk benar-benar menguasainya...membuat Francesca menjadi
miliknya. Ian menyentak kejantanannya yang berkilau keluar dari surga vagina
Francesca dan memompa, ejakulasi di atas pantat dan punggungnya,
sampai spermanya menggenang di atas kulit Francesca.
Ian hanya berdiri di sana selama satu menit penuh setelah badai
siklon berlalu, kejantanannya di cengkeram erat di tangannya,
terengah-engah, dan menatap gambaran kuat tubuh telanjang
Francesca ditetesi dengan spermanya. Ian berpikir tentang betapa
kejamnya ia menghukum Francesca, bagaimana ia memaksanya
untuk menelan harga dirinya dan menyerahkan dirinya di tangannya,
bagaimana ia menyetubuhinya seperti orang gila.
Penyesalan melintas ke dalam kesadarannya. Kemudian menderu.
Ian membantunya berdiri, kemudian menuju ke kamar mandi untuk
mengambil handuk. Dengan lembut mengeringkan tubuh Francesca,
lalu membuka kancing kemejanya dan menyampirkannya di tubuh
Francesca yang telanjang. Ini menjadi salah Ian karena telah
mengekspos tubuh Francesca begitu banyak.
Ian membalas tatapan serius Francesca dengan sekuat tenaga saat
mengancingi kemejanya, menutupi kulit mulusnya yang ia ingin
berlama-lama...untuk di belai. Ian membuka mulutnya untuk bicara,
tapi apa yang bisa ia katakan" Tindakannya kasar dan egois dan
mungkin tak termaafkan. Ian bermaksud membuktikan kebodohan Francesca karena percaya
bahwa dia telah jatuh cinta, tapi sekarang bahwa tampaknya Ian
telah berhasil, ia tidak merasakan apa-apa kecuali penyesalan yang
sangat dalam. Tak mampu menghadapi tatapan mata gelap Francesca lebih lama
lagi, Ian berbalik dan berjalan keluar dari kamar tidur.
*** Sepuluh hari kemudian, Davie berdiri di lemari baju Francesca
mengenakan tuksedo dan mengaduk-aduk gantungan di sepanjang
rak sementara Francesca memandang lesu dari tempatnya duduk di
tepi tempat tidurnya. "Bagaimana dengan ini?" Tanya Davie, keluar dari lemari
memegang sebuah gaun. Dia berkedip ketika melihat Davie memegang gaun bohemian yang
dengan bodohnya dia kenakan pada acara makan malam
perayaannya di Fusion beberapa bulan lalu - di malam ia pertama
kali bertemu Ian. Rasanya mustahil bahwa hidupnya telah berubah
secara drastis sedemikian rupa dalam kurun waktu singkat. Rasanya
tidak mungkin bahwa ia jatuh cinta begitu mendalam, dan kemudian
tersesat di dalamnya dengan keahlian seperti Francesca. Tapi
kemudian ketika ia mempertimbangkan segala sesuatunya, itu
membuat perasaannya menjadi muram.
Davie memperhatikan penilaian Francesca yang kurang antusias dari
gaun itu. Dia mengangkat dan memeriksanya. "Apa" Ini manis."
"Aku tidak pergi, Davie, " katanya, suaranya terdengar serak karena
jarang bicara. "Ya, kau pergi," kata Davie, memberinya lirikan sengit seperti
biasanya. "Kau tidak akan bersembunyi di kamarmu selama liburan
Thanksgivingmu." "Kenapa tidak" Ini liburanku," katanya datar, mengambil bantal
dekoratif dan mengangkat rumbainya. "Aku tidak menelantarkan apa
pun yang seharusnya aku lakukan. Apakah aku tidak mendapatkan
kesempatan untuk bersantai sesuka hati di kamarku, jika aku ingin?"
"Jadi...kebenaran akhirnya keluar. Francesca Arno adalah benarbenar tipe gadis
yang biasanya sangat meremehkan, yang merajuk
dan menolak untuk makan setelah putus dengan seorang pria. "
"Ian dan aku tidak putus. Kami hanya tidak berbicara selama
seminggu setengah." Dan kami sepertinya tidak akan pernah bicara
lagi. Francesca memikirkan bagaiamana Ian menatap sebelum ia
meninggalkannya berdiri di suite kamar tidurnya di pesawat -
penyesalannya, kebingungannya...keputusasaannya. Dia percaya Ian
memiliki sesuatu untuk ditawarkan pada dirinya di luar seks, tapi dia
tidak. Dan bukankah itu spekulasi dua arah" Apa bedanya jika dia
memiliki semua keyakinan di dunia, namun Ian meragukannya"
"Selain itu," lanjutnya, "putus menyiratkan bahwa kita bersamasama sebelumnya,
dan kami tidak. Tidak dalam arti kata tradisional
manapun." "Apa kau pernah mencoba menghubunginya?" Kata Davie,
menggantungkan gaun di kamar mandinya.
"Tidak. Aku masih bisa merasakan amarahnya. Itu seperti memancar
sepanjang perjalanan dari Sungai Chicago ke rumah kami."
"Itu bukan amarah," Francesca pikir ia mendengar temannya
bergumam pelan. "Apa?" Tanyanya, bingung.
"Itu imajinasimu, 'Ces. Kenapa kau tidak meneleponnya?"
"Tidak. Itu tidak akan ada bedanya."
Davie mendesah. "Kalian berdua begitu keras kepala. Kau tidak bisa
terlibat dalam kebuntuan selamanya."
"Aku tidak dalam kebuntuan."
"Oh, aku paham. Kalau begitu kau sudah menyerah sepenuhnya."
Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, kemarahan melintas di
dalam keputusasaan Francesca akibat kata-kata Davie. Francesca
memberikan lirikan jengkel dan Davie menyeringai, sambil
mengulurkan tangannya. "Ayolah. Justin dan Caden sedang menunggu. Ditambah, kami
punya kejutan untukmu."
Francesca mengembuskan napas frustrasi, tapi berdiri. "Aku tidak
ingin dihibur. Dan bahkan jika aku ingin, mengapa kalian
menyeretku ke pertemuan bodoh kaum lajang - *black tie event,
tidak kurang - untuk melakukannya" Kau tahu aku tidak punya
sesuatu yang bagus untuk dipakai. Aku benci acara itu. Kau dulu,
juga." "Aku sudah berubah pikiran. Ini untuk tujuan baik," katanya sambil
melewati Francesca menuju ke kamar mandi.
"Apa, menyelamatkan hatiku yang porak-poranda?"
"Aku akan mengatur untuk membawamu keluar dari rumah ini,"
jawab Davie, tidak terpengaruh oleh kata-kata sindirannya.
*** Black tie event berada di sebuah klub baru yang trendi di utara
Wabash, pusat kota. Caden dan Justin berada di kondisi yang jarang
di dalam mobil dalam perjalanan ke sana, Jumat malam mereka
terlihat tampan namun urakan dalam tuxedo mereka yang baru.
Francesca, di sisi lain, sudah siap untuk pergi, meskipun mereka
bahkan belum sampai di sana. Kenangan indah yang mengerikan
mulai menyerangnya bertubi-tubi ketika mengenakan gaun
bohemian dan teringat dalam detail yang jelas terakhir kali dia
memakainya. Wanita memakai pakaian, Francesca. Bukan sebaliknya. Itulah
pelajaran pertama yang akan aku ajarkan padamu.
Dia menggigil mengenang suara kasar Ian yang tenang. Bagaimana
dia merindukannya. Rasanya seperti luka terbuka dalam dirinya,
tempat dia tidak bisa mencapai untuk menenangkan diri.
Davie kesulitan mencari tempat parkir yang dekat dengan tujuan
mereka, dan mereka sudah berputar-putar untuk sementara waktu.
Francesca melihat keluar jendela mobil saat mereka menyeberangi
Sungai Chicago dan melihat gedung Noble Enterprises menjulang
beberapa blok jauhnya. Apakah dia benar-benar wanita naif muda yang sama yang telah
menghadiri pesta koktail perayaan di sana, dia yang begitu rapuh,
begitu tidak yakin...begitu menantang supaya ada yang
memperhatikan" Dan apakah itu benar-benar dia yang pertama kali
memasuki penthouse Ian, ketertarikannya lebih tertuju pada pria
misterius yang berdiri di sampingnya daripada melihat penthouse
yang megah dan karya seni yang dimilikinya...pemandangan yang
menakjubkan. "Mereka hidup, gedung-gedung itu...beberapa lebih hidup dari yang
lain. Maksudku mereka tampak seperti itu. Aku selalu berpikir
begitu. Masing-masing dari mereka memiliki jiwa. Pada malam
hari, terutama...Aku bisa merasakannya."
"Aku tahu kau bisa merasakannya. Itulah alasannya aku memilih
lukisanmu." "Bukan karena garis lurus yang sempurna dan tiruan yang tepat?"
"Tidak. Bukan karena itu."
Matanya terbakar oleh kenangan yang kuat itu. Ian telah melihat
dirinya begitu baik, bahkan kemudian, melihat hal dalam dirinya
yang tidak bisa dia lihat. Ian menghargai hal-hal itu, melatih
kekuatannya sampai... ...tidak. Jawabannya adalah tidak. Francesca bukan lagi bahwa
wanita muda yang sama. Davie parkir di garasi berbayar di Wacker
Drive, selatan sungai, lebih jauh ke timur dari tujuan yang
diinginkan. Francesca menggigil tak terkendali ketika angin sungai
mengiris langsung melalui mantel wol tipisnya saat mereka
menyeberangi jembatan. Davie melihat dan merangkulnya di bawah
lengannya. Justin masuk dengan semangat dan memeluk dia dari sisi
yang lain, mencangkung di sekelilingnya, tubuh mereka membantu
melindunginya. Caden, juga harus bergabung dalam kegagahan itu,
lebih untuk menghibur Francesca, mengaitkan lengan dengan Justin
untuk membantu memblokirnya dari angin danau timur yang brutal.
Mereka membundelnya begitu erat di antara mereka,
membimbingnya menyusuri trotoar setelah mereka melewati sungai
dan jembatan, Francesca tersandung.
"Kalian ini, aku tidak bisa melihat!"
"Tapi kau hangat, kan?" Tanya Justin riang.
"Ya, tapi..." Tiba-tiba Justin dan Caden mendorongnya ke pintu kaca
berputar. Matanya melebar ketika menyadari ke mana mereka akan
memanuver dirinya. Dia menolak keras, tapi Justin mendorong dari
belakang dan dia tidak punya pilihan selain maju ke dalam lobi
Noble Enterprises. Francesca memandang ke sekitar, terkejut mendapati dirinya berada
di wilayah kekuasaan Ian begitu tiba-tiba...begitu tidak diinginkan.
Beberapa lusin wajah memandang kedatangannya yang kaku. Dia
melihat wajah akrab Lin yang tersenyum, dan Lucien dan Zoe - dan
dia tersentak - Anne dan James Noble tersenyum padanya dari
kejauhan. Pria elegan dengan rambut putih keabu-abuan mengangkat
gelas sampanye padanya untuk memberikan hormat dalam diam,
bukankah itu Monsieur Garrond, kurator Musee de St. Germain yang
telah Ian perkenalkan padanya di Paris" Tidak. Itu pasti bukan.
Matanya melotot tak percaya saat ia mengenali orangtuanya yang
berdiri canggung di samping pohon pakis, ayahnya membisu, tapi
ibunya melakukan yang terbaik untuk mencoba tersenyum hangat.
"Mengapa semua orang menatapku?" Bisiknya pada Justin saat ia
melangkah ke sampingnya. Kepanikan meningkat di dada Francesca
pada adegan tidak nyata di hadapannya. Justin mencium hangat
pipinya. "Ini kejutan. Lihatlah, Francesca. Ini semua untukmu. Selamat." Dia
menganga menatap ke arah di mana Justin menunjuk, ke petak
dinding yang dulunya kosong yang mendominasi lobi. Lukisannya
telah dibingkai dan dipasang. Itu tampak mengagumkan...sempurna.
Justin dengan lembut menutup rahang Francesca ketika dia tidak
bisa berhenti melongo menatap bagian tengah ruangan itu,
mendesaknya untuk melihat apa lagi yang ada di dalam ruangan itu.
Seluruh lobi telah diisi dengan lukisannya, masing-masing dipajang
pada sandaran, semuanya dipasang dan dibingkai secara
professional. Orang-orang yang berjalan-jalan mengenakan pakaian
hitam berdasi, meneguk sampanye, dan tampaknya mengagumi
karyanya. Sebuah kuartet alat musik gesek kecil memainkan Bach
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Brandenburg Concerto No. 2.
Dia melirik dari Justin ke Davie dengan sengit. Davie memberinya
senyum menenangkan. "Ian yang merencanakannya," katanya pelan.
"Beberapa kolektor yang paling kaya, ahli seni terkenal dan kritikus,
kurator museum dan pemilik galeri dari seluruh dunia berada di sini
malam ini. Pesta ini untuk menghormatimu, Francesca...kesempatan
bagi dunia untuk melihat seberapa berbakat kau sebenarnya."
Francesca meringis dalam hati. Oh Tuhan. Semua orang melihat
karyaku" Tapi kelihatannya tidak ada yang tertawa atau meragukan
dengan sindiran, setidaknya, pikirnya sambil memeriksa beberapa
wajah dengan cemas. "Aku tidak mengerti. Apa Ian merencanakan ini sebelum di
London?" Tanyanya. "Tidak. Dia menghubungiku satu atau dua hari setelah kau kembali
dari London dan memintaku untuk membantunya mengatur beberapa
hal. Aku yang memasang dan membingkai semua lukisan. Kami
bahkan berhasil memperoleh empat lukisan untuk menambah
koleksi. Ian tidak sabar untuk menunjukkannya padamu."
Sebuah pengetahuan yang tiba-tiba menghantamnya, dan dia
menatap ke kerumunan. Ian berdiri di samping kakek-neneknya, tampak muram, anggun, dan
amat tampan dalam tuksedo klasik hitam dengan dasi kupu-kupu.
Tatapan Ian menyala saat bertemu dengan tatapan Francesca...penuh
perasaan. Hanya Francesca, yang telah mengenalnya dengan baik,
melihat bayangan dari roman kegelisahan yang menghantui akan
terlihat dingin dan tanpa ekspresi di mata orang lain.
Francesca pikir dia terkena serangan jantung. Dia memegang
dadanya. "Kenapa dia melakukan ini?" Tanyanya pelan pada Davie.
"Kupikir itu caranya untuk mengatakan dia menyesal. Beberapa pria
mengirim bunga, Ian - "
"Mengirim dunia, " bisik Francesca dengan bibir yang mati rasa. Ian
mulai mendekatinya, dan Francesca mengikutinya ke arah yang
sama, bergerak seperti orang yang berjalan sambil tidur menuju pria
yang tidak bisa dia lepas dari pandangannya, dan yang dia dambakan
lebih dari apapun yang ada dalam hidupnya.
"Halo," kata Ian pelan ketika mereka bertemu.
"Hai. Ini cukup mengejutkan," Francesca berhasil mengeluarkan
kata-kata, jantungnya seperti mendesak keluar segala sesuatu yang
lain di tulang rusuknya, meremas paru-parunya. Francesca
menyadari dari kejauhan mungkin puluhan tatapan tertuju pada
mereka, tapi ia hanya bisa fokus pada kehangatan - harapan yang
hati-hati - dalam tatapan Ian.
"Apakah aku sudah menggantungnya sesuai keinginanmu?" Tanya
Ian, dan Francesca tahu maksudnya adalah lukisan itu.
"Ya. Ini sempurna."
Jantungnya berdebar seperti biasa ketika Ian tersenyum. Ian
mengulurkan kedua tangannya. Menyadari gerakannya yang akrab,
Francesca membuka kancing mantelnya dan berbalik. Ketika Ian
melepaskan mantel dari lengannya ia berputar ke arahnya, dagunya
terangkat tinggi, tubuh tegak - ya bahkan di dalam gaun
bohemiannya. Tatapan Ian sekilas berada pada tubuhnya dan
Francesca melihat ia mengenali gaun itu. Senyumnya seluruhnya
mencapai matanya. Ian mengambil dua gelas sampanye dari seorang
pelayan yang lewat dan menggumamkan permintaan sebelum
menyerahkan mantelnya padanya.
Sesaat kemudian, Ian menyerahkan gelas sampanye padanya dan
melangkah lebih dekat. Francesca mempunyau kesan bahwa peserta
pesta yang lain mencoba untuk memusatkan perhatian mereka
kembali ke dalam percakapan mereka sendiri, memberi mereka
sedikit privasi. Ian menyentuh gelasnya terhadap gelas Francesca.
"Untukmu, Francesca. Semoga kau memiliki segalanya yang layak
dalam hidupmu, karena tidak ada satu orang pun yang begitu
berjasa." "Terima kasih," gumamnya sambil menyeruput dengan enggan, tidak
yakin bagaimana seharusnya ia merasa dalam situasi yang
membingungkan. "Maukah kau menghabiskan malam ini denganku, sekarang," Ian
melirik ke sekeliling lobi yang ramai, "dan nanti" Ada hal-hal yang
ingin aku katakan padamu secara pribadi. Aku harap kau akan
mendengarkan." Tenggorokannya tercekat ketika ia menebak apakah beberapa dari
'hal-hal' yang mungkin. Francesca tiba-tiba ragu dia bisa bertahan
beberapa jam ke depan, bertanya-tanya apa yang akan Ian katakan.
Sebuah bagian kecil darinya berkata dia harus menolak, bagian yang
ingin menjaga hatinya tetap aman. Tapi kemudian Francesca
menatap matanya, dan keputusan telah diambil.
"Ya. Aku akan mendengarkan." Ian tersenyum, meraih tangannya
dan mengantarnya ke dalam kerumunan.
*** Sudah lewat tengah malam ketika ia membukakan pintu suitenya
untuk Francesca dan dia berjalan ke dalam kamar elegan yang
menyala remang-remang. "Kupikir mungkin aku tidak akan pernah berada di kamar tidur ini
lagi," kata Francesca terengah, melirik ke sekeliling, menghargai
setiap detail kecil tempat perlindungan pribadi Ian yang tidak pernah
dia lakukan sebelumnya. Mereka pernah bersama-sama sepanjang
malam, Ian tidak pernah meninggalkan sisinya, dia sangat sadar saat
Ian memperkenalkannya kepada penggerak dan pelopor dari dunia
seni atau menunjukkan padanya empat lukisannya yang sudah
diperbaiki, atau mereka berbicara dengan teman-teman dan keluarga.
Sementara itu, Francesca bertanya-tanya apa yang sedang
dipikirkannya...apa yang akan dikatakannya saat mereka hanya
berdua secara pribadi. Francesca telah didekati oleh tiga galeri terkenal untuk koleksi di
masa mendatang dan diminta untuk melakukan pameran di
Barcelona Museum of Contemporary Art. Dia melihat ke Ian untuk
itu, karena ia adalah pemilik lukisannya saat ini, dan Ian mengatakan
dengan tegas itu terserah pada Francesca untuk memutuskan. Empat
kolektor telah membuat tawaran pada lukisannya, meskipun Ian
telah menolak untuk menjual, dengan tegas. Untuk melengkapi
semua itu, salah satu penawar telah dibuat dari perusahaan ayah
Francesca, yang tak percaya dengan harga yang disebutkan telah
membuat ayahnya pucat. Secara umum, efek Ian pada kedua orang
tuanya sudah cukup berbekas. Mereka begitu tak mampu bicara
karena terkejut dan bersemangat untuk bersikap menyenangkan di
hadapan Ian dan dia cukup yakin Ian pasti mengira dia pembohong
tentang semua yang ia ceritakan tentang mereka. Francesca sedikit
terganggu oleh bakat merendahkan diri yang tak terduga ini dalam
karakter mereka, namun sebagian besar agak lega mereka
berperilaku cukup menyenangkan sepanjang malam.
Ian menutup pintu kamar tidur suitenya dan bersandar. Francesca
menghadapnya. "Terima kasih, Ian," katanya terengah. "Aku merasa seperti
primadona pesta dansa malam ini."
"Aku senang kau datang."
"Aku ragu aku akan ada di sana jika Davie dan yang lainnya tidak
menipuku. Aku tidak berpikir kau akan ingin melihatku setelah di
London...setelah itu semua. Kau begitu marah."
"Aku marah, ya. Aku belum pernah marah untuk sementara waktu,
sekalipun." "Tidak?" Tanya Francesca dengan nada berbisik. Ian menggelengkan
kepalanya, tidak pernah melepaskan tatapannya. Mulutnya
menegang. "Tidak. Tapi aku juga tak bisa mencari tahu apa aku benar-benar
marah. Tidak butuh waktu lama untuk tahu, tapi kemudian aku harus
menemukan cara untuk memberitahumu dalam situasi di mana kau
tidak bisa lari dariku terlalu mudah. Aku mohon maaf atas dalih
malam ini." Mulutnya terbelit seakan-akan ia memakan sesuatu yang
pahit. "Maafkan aku, untuk semuanya."
Francesca mulai heran pada pernyataan kasarnya. "Untuk bagian
yang mana?" "Untuk semuanya. Dari hal pertama yang aku katakan padamu
bahwa itu tidak menghargai dan tidak berperasaan sampai hal egois
terakhir yang aku lakukan. Maafkan aku, Francesca."
Francesca menelan ludah dengan susah payah, tidak dapat melihat
tatapannya untuk beberapa alasan. Meskipun dia tahu pertukaran
seperti ini memang diperlukan, mengingat semua yang telah terjadi
di antara mereka, masih tampak begitu sekunder dibandingkan
dengan apa yang dia lihat di London.
"Bagaimana keadaan ibumu?" Tanyanya pelan.
"Stabil," kata Ian, masih bersandar di pintu. Dia menghela napas
setelah beberapa detik dan mengambil langkah ke arah Francesca.
Dia tidak bisa berpaling saat Ian menanggalkan jas tuksedo dan
meletakkannya di belakang kursi, terpesona oleh keindahan
tubuhnya. "Tidak ada banyak harapan dia akan membaik pada pengobatan
khusus ini, tapi dia tidak akan bertambah buruk. Itu sesuatu,
setidaknya." "Ya. Itu sesuatu. Aku tahu kau tidak menginginkan belas kasihanku,
Ian. Aku mengerti itu. Aku tidak pergi ke London untuk menawarkan
simpati." "Lalu kenapa?" Katanya, suara tenangnya membimbing ke sarat
momen yang menundukkan. "Untuk menawarkan dukunganku. Aku tahu bahwa apa pun yang
terjadi di London menyakitimu, meskipun aku tidak tahu apa yang
akan kutemukan di sana. Aku hanya ingin berada di sana untukmu.
Itu saja." Ian tersenyum kecil. "Kau membuat itu terlihat seperti suatu hal
sekali pakai yang kecil. Tidak...aku yang membuatnya tampak
seperti itu. Aku mengambil tindakan peduli dan kebaikanmu dan
melemparkannya di wajahmu," katanya terus terang, rahangnya
kaku. "Aku tahu itu membuatmu merasa terekspos. Maafkan aku."
"Aku harus melindunginya untuk waktu yang lama," katanya tiba-
tiba, setelah jeda panjang.
"Aku tahu. Anne bilang padaku," memahami yang dimaksud Ian
adalah ibunya. Ian mengerutkan kening. "Nenek yang bilang padaku bahwa aku
menjadi brengsek egois yang keras kepala. Dia tidak bicara padaku
selama seminggu ketika aku mengakui beberapa hal yang telah aku
katakan padamu karena muncul di Institut. Dia tidak pernah
melakukan itu sebelumnya," katanya, keningnya berkerut seolaholah dia masih
tidak seratus persen yakin apa yang membuat nenek
tercintanya yang sangat elegan memanggilnya brengsek. Hati
Francesca tergagap oleh kejutan menyenangkan mendengar berita
dukungan dari Anne. "Aku berada di sana bukan untuk menghakimi. Bahkan jika aku
menghakimi, di sana tidak akan ada apa-apa untuk diadili kecuali
seorang wanita yang sangat sakit dan seorang anak yang
menyayanginya dan berharap untuknya, meskipun semuanya."
Ian menyentakkan dagunya, menatap dinding yang jauh. "Aku
memperlakukanmu dengan tidak adil...dengan salah. Aku ingin
menghukummu karena rangsangan seksual, tapi aku tidak pernah
benar-benar ingin menyakitimu. Tapi hari itu di pesawat-aku
menyakitimu. Tidak sepenuhnya, namun bagian dari diriku ingin - "
"Membuatku terluka seperti kau telah terluka?" Tatapannya
menyorot dengan rasa bersalah ke wajah Francesca.
"Ya." "Aku mengerti, Ian," katanya lembut. "Itu bukan apa yang terjadi di
kamar tidur suite pesawat yang membuatku kesal. Kau tidak
menyakitiku, dan kau harus tahu aku menikmatinya. Itu dirimu yang
menjauh dariku sesudahnya."
Dia merasakan ketegangan Ian meningkat.
"Aku merasa malu. Karena dia. Karena kau melihatnya. Pada diriku
sendiri karena masih memiliki perasaan sialan itu yang bangkit
dalam diriku bahwa aku tidak ingin orang lain melihatnya. Kenapa
harus menjadi masalah sekarang?" katanya.
Kata-kata pahit tampak menggantung di udara di antara mereka,
racun yang terbuang, kata-kata rahasia yang ia simpan jauh di dalam
jiwanya sejak masih kanak-kanak, mungkin kata-kata terpenting,
terkuat yang pernah dia katakan kepada Francesca...kepada siapa
pun. Francesca menghampirinya dan memeluk pinggangnya, meletakkan
pipinya di kemeja putihnya. Menghirup aroma unik laki-lakinya, dia
memeluk dengan erat. Dia menutup erat kelopak matanya karena
emosi yang menghinggapinya. Dia mengerti betapa sulitnya ini bagi
Ian untuk mengatakan semua ini, seorang pria yang biasanya
berhati-hati terhadap kerentanan, tetap tabah dan kuat karena ia
percaya ia tidak punya pilihan lain.
"Aku mencintaimu," kata Francesca.
Ian menangkap dagunya dengan jemarinya dan mengangkat
wajahnya. Dia mengusap jemarinya di rahangnya. Francesca melihat
kerutan di dahi Ian saat ia mengamati dirinya.
"Apa yang salah?" Bisik Francesca.
"Aku tidak mengizinkan diriku sendiri untuk jatuh cinta denganmu."
Francesca tertawa pelan saat ia menyerap kata-katanya yang
diucapkan secara blak-blakan. Begitu khas dirinya, mengatakan
sesuatu seperti itu. Perasaan cinta membengkak di dadanya, begitu
besar dan begitu murni, nyaris menyakitkan.
"Kau tidak bisa mengendalikan segala sesuatu, Ian, apalagi ini. Apa
itu berarti kau merasakannya" Mencintaiku?" Tanyanya ragu-ragu.
"Kupikir aku mungkin telah mencintaimu bahkan sebelum kita
bertemu, sejak pertama kali aku menyadari itu kau yang
menangkapku di atas kanvas...Kau yang mengobati rasa sakitku
dengan tanganmu yang ahli. Itu membuatku malu, apa yang kau
lihat, tapi aku tidak bisa menahannya kecuali menginginkanmu
untuk melihat lebih dari diriku. Kau terlalu baik untukku," katanya
parau. "Dan aku yakin aku tidak layak untukmu. Tapi kau milikku,
Francesca. Dan mungkin kau belum tahu...Aku milikmu. Selama kau
akan memilikiku." Kata-kata itu berderak dan mengguncang dunia Francesca,
menghancurkan keseimbangannya. Tapi kemudian bibir Ian
menempel di atas bibirnya, dan ia menemukan pusat dunianya.
tbc... *Black tie event: acara malam di mana pria dan wanita harus berpakaian formal
seperti tuxedo, dasi kupu-kupu hitam, gaun malam, gaun koktail, dll.
Pedang Medali Naga 11 Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang Petaka Seorang Pendekar 2
membaliknya menghadap pelukannya.
Bibir Ian menutupi bibir Francesca. Francesca menutup kelopak
matanya, memberikan dirinya seutuhnya pada ciuman Ian sama
halnya saat mereka bercinta.
"Kau tahu apa yang akan kulakukan padamu sekarang?" tanya Ian
parau di depan bibirnya beberapa saat kemudian.
Francesca menjilat bibir Ian dan menatapnya dengan pandangan
berat. "Apa?" tanya Francesca parau.
Sesuatu berkilat di mata birunya dan Francesca heran kalau api di
dalam diri Ian belum benar-benar padam. Ian menggelengkan
kepalanya, seolah menjelaskan padanya, dan meraih tangannya.
Mereka meninggalkan kamar dan Ian mengunci kamar itu di
belakangnya. "Berpakainlah dan tunggu aku," kata Ian. Francesca terpaku,
ekspresinya bercampur antara bertanya-tanya oleh sikap Ian dan
kekaguman oleh pemandangan dirinya yang teramat seksi, pantat
seksinya yang telanjang - pemandangan yang tidak bisa ia lakukan
sebanyak yang ia suka. Ketika Ian keluar dari ruangan beberapa saat
kemudian, Francesca telah berpakaian. Francesca menatapnya
dengan terkejut. Ian memakai celana jeans yang sangat pas untuknya yang
menggantung rendah di pinggang rampingnya, salah satu kaos putih
ketat yang ia pakai dibawah jaket kulit, perlengkapan anggar yang
menggantung pada lekuk lengannya. Napas Francesca tertahan oleh
pemandangan dari tubuh ramping, berotot yang dipertunjukkan oleh
pengaruh yang mempesona itu. Francesca tidak akan pernah letih
melihat Ian. "Apa yang kau lakukan?" tanya Francesca ragu.
"Aku mengubah pikiranku."
"Tentang apa?" "Tentang bekerja. Ayo kita mengendarai motor. Aku ingin melihat
aksimu." Mulut Francesca menganga, tawa keras meledak dari
tenggorokannya. Francesca tidak bisa memepercayainya. Ian akan
melakukan sesuatu begitu mendadak...begitu spontan"
Ian" Francesca memakai jaket licinnya, kegembiraan menempel padanya,
dan pergi untuk mengambil helm dan sarung tangan barunya.
"Kau bersama dengan pengendara yang sangat baik," kata Francesca
pada Ian sebelum melewati pintu.
"Menurutmu kau mengatakan sesuatu yang aku tidak tahu?"
Francesca mendengar Ian berkata masam dibelakangnya,
menyebabkan seringainya makin lebar.
Bagaimana mungkin hari ini diawali dengan begitu membosankan
dan suram dan di akhiri dengan bahagia" Francesca bertanya-tanya
saat berdiri diseberang lift bersama Ian beberapa saat kemudian. Ian
terlihat sangat seksi dengan jeans dan jaketnya, helmnya mengayun
pada lekuk lengannya. Ian menyadari tatapan Francesca dan
tersenyum, pelan, nikmat...sedikit jahat. Pintu lift terbuka di garasi
bawah tanah, memecah tatapan kekaguman Francesca pada mulut
indahnya. Francesca masuk ke garasi parkir, tidak asing baginya karena garasi
itu merupakan area untuk menyimpan mobil Ian. Kantor Jacob
berada di bawah sini, bersama dengan semua peralatan dan alat
elektronik yang ia gunakan untuk merawat mesin dan memelihara
kendaraan tetap bersih. Francesca berhenti beberapa saat kemudian ketika Ian menaiki
sepeda motor hitam dengan kepercayaan diri yang tenang.
"Well" Naiklah," kata Ian lembut, menyadari Francesca melihat
pada sepeda motor di sampingnya. Sepeda motor itu sedikit lebih
kecil dari milik Ian, tapi terlihat sangat hebat, menampilkan krom
berkilap dan penutup mesin hitam mengkilap dengan garis merah
menyala. "Dari mana ini asalnya?" tanya Francesca bingung.
Ian mengangkat bahu, meletakkan kakinya yang bersepatu boot di
tanah dan memiringkan sepeda diantara paha kuatnya. Bagaimana
mungkin ia terlihat begitu natural pada motor keren seolah ia
memakai setelan tanpa cela yang tersembunyi dari balutan
kemewahan" Pemandangan dari tangannya yang tertutupi oleh
sarung tangan kulit berwarna hitam ketat membuat Francesca
menggigil tak tertahan. "Ini milikmu," kata Ian, menunjuk ke sepeda motor.
"Tidak! Maksudku..." Francesca berhenti, menyesali semburan katakatanya. Francesca
melihat Ian, memohon dengan diam. Sore ini
berjalan dengan baik. Lukisan. Persetujuan Ian untuk mencoba dan
tidak mengontrolnya di luar ranjang, hadiah jaket dan helm
darinya,dan kembalinya Ian, hatinya merasakan satu kesenangan,
kepemilikannya yang kuat...Francesca menyukainya. Francesca
tidak ingin menghancurkannya dengan perdebatan, tapi sepeda
motor ini. Ini terlalu berlebihan bukan" Terutama setelah lukisan dan
perlengkapan motor barunya.
Sebelum Francesca mengeluarkan protesnya, Ian mendahuluinya.
"Ok, ini punyaku. Aku punya beberapa motor. Aku meminjamkan
yang satu ini untukmu untuk sementara waktu," kata Ian,
memberinya tatapan bosan. "Bisakah kau menerimanya, Francesca?"
Francesca menyeringai dan melangkah mendekati sepeda motornya,
kegembiraan meluap di dadanya saat ia menaiki tempat duduk kulit
itu dan melihat dengan senang pada rasa manis dari mesin Ian yang
mengkilap. Oh ya. Ia bisa menerimanya.
*** Jacob mengatakan pada Ian kalau Francesca lebih berbakat pada
sepeda motor ketika Jacob berbicara padanya tentang jenis motor
yang akan ia belikan untuk Francesca. Ian gembira melihat bertapa
tepatnya Jacob. Melihat Francesca menuruni jalanan kota,
melakukan belokan yang sulit, dan menanjak pada pemandangan
kota benar-benar menyenangkan. Ketika Ian sadar padaperasaan
yang ia lihat adalah rasa bangga, jiwanya menertawakan dirinya
sendiri. Apakah salah kalau ia yang mengenalkan Francesca pada
sesuatu yang ia sukai" Satu hal yang peling penting adalah ia
merasakannya...bahwa Francesca menyelami lapisan lain dari apa
yang tidak diragukan lagi adalah bakat tersembunyi dan
kegemilangan. Ian menatap ke samping dan melihat Francesca di sampingnya saat
mereka masuk kembali ke kota dari *Lake Shore Drive sore itu.
Francesca mengangkat jempol untuknya dan ia hanya bisa
membayangkan seringai Francesca di kaca hitam helmnya. Sesuatu
hal tentang sepeda motor yang menyoroti kekuatan alaminya,
kehangatannya,energi yang penting...
...Celana jeans yang membungkus pantatnya membuat Ian ingin
menariknya kembali ke rumah setiap kali Ian melihatnya memakai
jeans itu, menginginkannya terus menerus.
Ian memberi isyarat dan memanggilnya untuk menepi ke garasi
parkir dekat Millenium Park. Beberapa menit kemudian, mereka
berjalan keluar dari garasi ke Monroe Street, diantara Art Institute
dan Millenium Park. Mendung telah buyar, dan berubah menjadi
malam di musim gugur yang sejuk dan sepoi-sepoi.
"Kita mau pergi ke mana?" tanya Francesca pada Ian, menyeringai
lebar, sulur dari rambut pirang strawberrynya menyapu pipinya. Ian
menjauhkan rambut itu dari wajahnya dan mengambil tangannya.
"Kupikir aku akan mengajakmu makan malam."
"Sempurna." Antusiasnya membuat suaranya seperti terengah. Ian
dengan susah payah menyentakkan tatapannya dari tubuh Francesca
yang tersapu angin. "Kau pengendara yang hebat," kata Francesca. "Kau terlihat begitu
berbakat memakai sepeda motor. Umur berapa kau mulai belajar
naik motor?" "Sebelas, kupikir," kata Ian, kelopak matanya menutup saat ia
mencoba mengingat. "Begitu muda!" Ian mengangguk. "Pertama kali aku sampai ke Inggris dari Prancis,
aku mengalami masa sulit bertransisi pada dunia baru. Sebuah dunia
baru dalam hidupku. Ibuku sudah pergi," kata Ian, bibirnya
membentuk garis muram. "Saat itu sangat sullit untuk menyesuaikan
diri. Aku punya sepupu yang lebih tua, jadi aku selalu
memanggilnya paman. Paman Gerard mengetahui kalau aku suka
mesin. Ketika aku menemukan sepeda motor tua yang rusak di
garasi rumahnya, yang dekat dengan rumah kakekku, aku meminta
padanya untuk membiarkan aku memperbaikinya. Ketertarikanku
pada sepeda motor dimulai. Kakekku ikut bergabung, dan aku mulai
untuk dekat dengan mereka berdua."
"Dan kau mulai berubah lebih terbuka?" tanya Francesca,
mengamatinya saat mereka berjalan bersama.
"Ya. Sedikit." Suara musik menggema di udara yang segar dan bersih ketika
mereka tiba di Michigan Avenue. Ian melihat kerumunan orang di
trotoar. "Oh, Naked Thieves manggung di Millenium Park malam ini. Caden
dan Justin ada di suatu tempat di keramaian ini," kata Francesca.
"Naked Thieves?"
Dia bertanya secara beruntun. "Band rock" Naked Thieves?"
Ian mengangkat bahu, merasa sedikit bodoh, meskipun Ian tahu ia
tidak menunjukkannya. Dari ekspresi wajahnya yang terlihat lebih
muda, Ian pastinya ingin tahu siapa itu Naked Thieves. Tatapannya
tertuju pada cekung pipi merah mudanya, dan ia melupakan rasa
malunya. "Bagaimana mungkin kau tidak tahu Naked Tieves" Kau adalah
simbol bagi kaum muda, tapi sepertinya..." Francesca
menggelengkan kepalanya. Tawanya terdengar sedih dan ragu.
"Sepertinya kau terlahir langsung mengenakan setelan dengan tas
kerja di tangan." Itu sedikit menyakitkan. Dia, dan semua orang seharusnya punya
masa kecil yang indah - masa muda yang sebenarnya - sore di
musim panas yang selamanya membentang tanpa peduli pada dunia,
pemberontakan seorang remaja menentang pengawasan orangtua
yang menurutnya tak tertahankan, dan pada kenyataannya, sangat
mencintainya dan tahu bahwa mereka akan selalu ada untuknya...
menyelinap keluar menonton konser rock di taman bersama dengan
gadis mempesona seperti Francesca.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Francesca ketika Ian mengambil
ponselnya dari saku jaketnya.
"Menelpon Lin. Kau bilang ingin melihat konser, ia bisa
mendapatkan tiket terakhir untuk kita di bagian yang ada tempat
duduknya." "Ian, bagian yang ada tempat duduknya pasti selalu terjual habis.
Percayalah padaku, Caden dan aku mencoba mendapatkan tiket."
"Kita akan mendapatkannya," kata Ian, memencet nomor Lin.
Ian berhenti dan menengadah ketika Francesca meletakkan
tangannya di lengannya. Berlatar belakang matahari dan bayangan
dari rambutnya membuat pipi dan bibirnya berwarna lebih merah.
Matanya yang gelap bersinar hanya dengan sedikit tantangan.
"Kita duduk saja di halaman rumput."
"Halaman rumput," ulang Ian bosan.
"Ya, kau memang tidak bisa melihat terlalu banyak, tapi kau bisa
mendengarnya cukup baik. Dan sama seperti yang lainnya," kata
Francesca, meraih tangannya dan mendorongnya menuju ke taman.
"Itulah masalahnya, bukan?"
"Oh berhenti jadi sok Inggris."
Sebuah jawaban tajam terbang ke tenggorokannya reaksi
spontannya. Ian tidak biasanya membiarkan orang lain berbicara
seperti itu padanya seperti yang di lakukan Francesca tanpa
mengerjapkan mata. Ian melihat kegembiraan berkilau ia mata
bidadarinya, dan menahan kata-kata protesnya.
"Aku benar-benar sudah memanjakanmu," kata Ian saat mereka
berjalan menuju kearah kerumunan anak muda di depan mereka.
"Aku tidak pernah melakukannya untuk orang lain. Aku ingin kau
tahu itu." Ian tiba-tiba berhenti saat Francesca berbalik, berjinjit, dan mencium
bibirnya. Ian menangkap wangi dan rasanya, dan rasa terkejutnya
menghilang. Francesca mengerang saat Ian memperdalam ciuman
yang paling nikmat sepanjang hidupnya. Wajah Francesca
menyanggolnya dengan lembut saat ia melihatnya dengan pelupuk
mata sayu beberapa saat kemudian.
"Itu adalah hal termanis yang pernah kau katakan padaku."
Francesca menghembuskan napas.
Mungkin karena kau adalah hal termanis yang pernah terjadi
padaku. Kilatan penyesalan yang ia alami ketika mereka memasuki taman
yang penuh beberapa menit kemudian mengejutkannya.
Dia seharusnya mengatakannya dengan keras.
Ian tidak percaya ia bisa begitu lengah dan jujur, bagaimana pun
juga, dan kebenaran itu mengganggunya lebih dari yang pernah
dialaminya. *** "Hari. Terbaikku," kata Francesca menegaskan, meluap-luap oleh
antusiasme saat mereka memasuki kamar Ian beberapa saat
kemudian. "Pertama lukisanku - terima kasih sekali lagi untuk itu,
Ian. Aku masih tetap terpesona. Kemudian mengendarai sepeda
motor - motor yang sangat mengagumkan - dan kemudian Naked
Thieves di taman!" "Kita tidak bisa mendengar apa pun saat konser. Terdengar seperti
seseorang yang berteriak histeris yang mengganggu pendengaran,"
gumam Ian geli saat ia mengangkat tangannya dengan gerakan
berharap. Francesca berbalik sehingga Ian bisa membuka jaketnya.
Mengabaikan komentar keringnya, Francesca menyadari Ian
tersenyum kecil dan tahu ia tidak terpengaruh oleh apa yang baru
saja Ian ceritakan. "Itu karena kau tidak tahu lagunya," kata Francesca, menolak
merasa apapun selain kegembiraan.
"Kegaduhan itu mereka sebut lagu?" tanya Ian enteng sambil ia
meletakkan jaket Francesca di punggung kursi dan Francesca
berbalik menghadap wajahnya.
"Kau terlihat menikmatinya."
Ian mengangkap perubahan ekspresinya dan menggelengkan
kepalanya. Francesca tertawa. Francesca menunjuk pada kenyataan
bahwa mereka menghabiskan sebagian besar saat di konser, mereka
berdua begitu panas dan bergairah hingga Ian tiba-tiba mengatakan
waktunya untuk pergi sebelum mereka ditangkap karena perbuatan
tidak senonoh di depan umum.
Ian mengejutkan Francesca ketika mereka pertama kali masuk ke
taman dan menemukan area terbuka yang kosong di sana. "Tunggu
sebentar," kata Ian. "Jangan duduk di sana."
Francesca terpaku, heran kagum, saat Ian mendatangi sekumpulan
dari anak muda yang sedang piknik yang duduk dua puluh kaki atau
lebih. Ian berbicara pada mereka, dan menunjuk beberapa barang.
Uang dapat membeli segalanya. Beberapa saat kemudian, Ian pergi,
meninggalkan orang-orang yang terlihat keget dan sangat senang.
Ian tentu saja tidak memberi mereka uang yang sedikit untuk apa
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang ia beli-dua selimut, dua botol air dingin, dan serbet-yang
menutupi piring kertas saat Francesca membukanya isinya empat
potong ayam goreng yang lezat.
"Kupikir kau menyukai konser rock pertamamu," goda Francesca,
mengingat kenyataan yang Ian katakan saat mereka berdua berbaring
santai di bawah salah satu selimut, keramaian liar hanya beberapa
kaki jauhnya terisolasi dari dunia mereka.
"Aku suka menyentuhmu," jawab Ian sederhana, membuat pipi
Francesca memanas oleh rasa senang. Tatapan Ian jatuh ke
Francesca. "Kenapa kau tidak bersiap-siap untuk tidur?"
Francesca gemetar oleh nada suaranya yang rendah dan kehangatan
yang memancar dari matanya. Francesca masuk ke kamar mandi.
"Dan Francesca?"
Francesca berbalik berhadapan dengan Ian. Alisnya terangkat
bersamaan penuh tanya ketika Ian tidak berbicara selama beberapa
detik. "Ini juga berarti bagiku," akhirnya Ian berkata.
Kebingungannya bertambah.
"Hari terbaikku."
Francesca terpaku berdiri disana ketika Ian menghilang ke ruang
gantinya, jantungnya berdenyut tidak percaya dan sesuatu yang amat
dalam pada kejujurannya yang tak terduga.
Dari kegelapan, rasa takut menyelubungi relung pikirannya, sebuah
ingatan muncul untuk mencelanya. Francesca tidak suka rasa takut
akan menodai perasaan menakjubkan oleh kata-kata Ian.
Aku menawarkanmu kenikmatan dan pengalaman. Tidak lebih. Aku
tidak punya hal lain untuk kutawarkan.
Berapa lama sesuatu yang begitu mengagumkan dapat ditahan
mengingat bahwa ia berbagi pengalaman bersama seorang pria yang
enggan membagi dirinya sendiri...
...mengambil resiko bagi perasaannya karena jatuh cinta pada Ian
Noble yang penuh misteri"
*** Beberapa minggu selanjutnya berjalan dengan cepat, semuanya
berjalan dibawah pengaruh suasana perasaan Francesca yang
semakin dalam untuk Ian. Francesca menjadi terbiasa menghadapi
perubahan suasana hati Ian, mengerti kalau meskipun Ian sering
menjaga jarak, ia sedang memproses informasi dalam jumlah besar,
melakukan perencanaan untuk berbagai macam perusahaannya pada
berbagai tingkatan, membuat keputusan dengan begitu singkat dan
cepat. Ian melanjutkan pelajaran di ranjang untuk Francesca,
Francesca berkembang di bawah pengawasannya. Ian seorang
penuntut dan intens seperti biasanya - mungkin lebih-tetapi ia telah
mendapat kenyamanan dengan kepatuhan seksual dan
kepercayaannya pada Ian mulai tumbuh, mereka saling percaya,
terkadang menjadi lebih manis, memberi dan menerima kekuasaan
yang sesungguhnya juga perhatian dan kenikmatan. Francesca
menduga kalau semakin dalamnya keintiman dalam hubungan
mereka menjadi penyebab bertambah kayanya pengalaman
Francesca, dan bertanya-tanya apakah Ian juga merasakannya.
Ian juga mengajarinya pelajaran di samping ranjang dengan baik,
mengajarinya bermain anggar, yang mana Francesca menikmatinya.
Mereka menghabiskan beberapa hari minggu dengan membaca dasar
investasi, Ian menantangnya untuk mengajukan rencana yang layak
terhadap uangnya berdasar pada apa yang ia dapat dari pelajarannya.
Francesca menunjukkan pada Ian dua pilihan dengan dua alasan
berbeda. Ian dengan sopan meragukan dan sedikit mengerutkan dahi
membuat Francesca kembali ke papan tulis kedua kalinya. Pada
presentasi rencana investasinya yang terakhir Francesca tersenyum
kecil, senyum kebanggaan dan tahu akhirnya ia belajar sesuatu yang
berharga tentang bagaimana mengatur keuangannya. Dengan begitu,
Ian mengajarinya bukan hanya tentang gairah dan cinta namun juga
pelajaran dasar dari kehidupan.
Ian bukan hanya satu satunya yang mengajarinya. Dengan dorongan
dari Francesca, Ian terkadang bersikap spontan, menikmati momen
itu...untuk merasakan hidup seperti layaknya orang berusia tiga
puluh bukannya seorang pria letih membosankan beberapa puluh
tahun diatas umurnya. Masalahnya adalah, Ian tidak pernah menunjukkan dan mengatakan
pada Francesca begitu banyak kata tentang persaannya pada
Francesca-tentang mereka-dan Francesca terlalu malu dan kuatir
untuk mengatakan pada Ian kalau ia jatuh cinta padanya. Bukankah
justru bertentangan dari apa yang Ian katakan tentang hubungan
mereka" Apakah ia berpikir Francesca orang bodoh yang naif oleh
gairah yang salah dan tergila pada sesuatu yang mendalam"
Pikiran itu menghantui Francesca. Francesca mendorong pikiran itu
kebelakang berulang kali ketika ia menghabiskan waktu bersama
Ian, tidak ingin menghancurkan saat saat yang ia miliki, khawatir ia
akan membuang pikiran itu dengan merenung tentang kegelisahan
yang bukan untuk sekarang, tapi masa depan. Pikiran itu seperti
sedikit melakukan aksi berjalan di atas kawat, selalu bekerja keras
untuk menjaga keseimbangannya di ujung sempit dari hubungan
penuh gairah mereka, terus menerus kuatir mengetahui dirinya akan
jauh dari Ian...atau Ian yang akan menjauh darinya.
Satu sore yang sejuk di musim gugur, peristiwa menggetarkan itu
terjadi. Francesca bekerja di studio di rumah Ian, sangat sedih oleh detil
bagian akhir dari lukisan. Francesca menarik tangannya ke kanvas
lagi, napasnya menusuk di paru-parunya saat ia mengamati
bayangan hitam kecil-seorang pria membuka jas hujan hitam,
berjalan sepanjang sungai, kepalanya menunduk melawan angin
dingin danau Michigan. Akankah Ian menyadari kalau Francesca telah memasukkannya lagi
ke dalam lukisannya" Bagaimanapun juga Itu masuk akal untuknya,
pikirnya saat ia membersihkan kuasnya. Ian melingkarkan dirinya
kedalam hampir setiap untaian kehidupannya untuk selamanya.
Hati Francesca membengkak saat ia mengamati lukisan.
Selesai. Sesuai tradisi, satu kata yang tercetus di pikirannya dengan catatan
tegas, ia tidak akan pernah membubuhkan kanvas pada kanvas
istimewa itu lagi. Merasa bersemangat oleh pencapaiannya, ia
tergesa gesa keluat dari studio untuk mencari Ian. Hari ini minggu,
dan Ian memilih untuk bekerja di perpustakaan daripada pergi ke
kantor. Francesca hampir sampai di sekitar ujung jalan masuk yang
mengarah ke perpustakaan ketika ia mendengar pintu terbuka dan
suara rendah, tegang-seorang pria dan wanita berbicara.
"...lebih banyak alasan bagiku untuk bertidak cepat, Julia," kata Ian.
"Aku ingin menegaskan sekali lagi bahwa tidak ada jaminan, Ian.
Hanya karena ini adalah periode yang sangat bagus bukan berarti
hasil yang dapat bertahan lama, tapi kami semua di institut sangat
berharap..." Suara wanita berlogat Inggris menghilang saat ia dan Ian berjalan
menuruni ruang masuk menuju ke lift, tapi tidak sebelum Francesca
mellihat sekilas pada wanita itu. Itu adalah wanita aktraktif yang
makan pagi bersama Ian di Paris, salah satu yang Ian sebut dengan
teman keluarga. Hatinya tenggelam saat ia sekali lagi menangkap
ketegangan yang kental dalam percakapan mereka, mirip dengan apa
yang ia rasakan di lobi hotel. Seperti saat itu, ia mundur, berjalan
cepat ke studionya. Francesca tidak tahu bagaimana ia mengetahui, tapi ia hanya tahu
Ian tidak ingin Francesca melihatnya sekarang...menanyainya
pertanyaan...mencoba untuk peduli padanya.
Meskipun Francesca ingin melakukan lebih dari hal yang lain di
dunia. Francesca menghabiskan waktu yang lebih banyak dari biasanya
untuk membersihakn studionya, mencoba untuk memberi Ian waktu
untuk pulih. Pada akhirnya, ia pergi mencari Ian, tapi ia tidak
menemukannya. Francesca melihat Mrs. Hanson di dapur sedang membersihkan
konter dapur. "Aku mencari Ian," kata Francesca. "Aku telah selesai melukis."
"Oh, itu adalah berita yang menakjubkan!" Ekspresi bahagia Mrs.
Hanson jatuh. "Tapi kurasa Ian tidak di sini. Ia baru saja
meninggalkan Chicago. Ada keadaan darurat."
Francesca merasa seolah kekuatan tak terlihat memukul dadanya.
"Tapi...aku tidak mengerti. Ian ada di sini. Aku melihat ia bersama
seorang wanita..." "Dr. Epstein" Kau melihat ia datang?" tanya Mrs. Hanson, terlihat
terkejut. Dr. Julia Epstein. Begitu. Jadi itu namanya. "Aku melihat wanita itu
pergi. Keadaan darurat apa" Apakah Ian baik-baik saja?"
"Oh sayang tentu saja. Jangan kuatir."
"Kemana Ian pergi?" tanya Francesca, kesakitannya dan
ketidakpercayaannya pada kenyataan bahwa Ian telah pergi dan
bahkan tidak repot-repot datang ke studio dan mengatakan sampai
jumpa pada Francesca masih tetap bergetar kurang menyenangkann
dalam dirinya. Mrs. Hanson menghindari tatapan matanya dan meneruskan bersih
bersihnya. "Aku tidak yakin - "
"Anda benar-benar tidak tahu atau anda mengatakannya karena Ian
meminta anda untuk tidak mengatakannya?"
Pengurus rumah tangga itu menatap padanya, terkejut. Francesca
menatapnya sengit. "Aku benar-benar tidak tahu, Francesca. Aku
minta maaf. Ada bagian kecil dalam hidup Ian yang selalu ia simpan
sendiri, meskipun dariku, yang tahu semua kebiasaan dan
keanehannya." Francesca menepuk pundak wanita tua itu. "Aku mengerti," kata
Francesca. Francesca tahu. Jika Mrs. Hanson tidak tahu kemana Ian pergi, ini
semua berarti satu hal. Ian pergi ke London-tempat dari sudut rahasia dunianya, tempat
dimana Jacob tidak pernah diajak-tidak juga Mrs. Hanson...dan
tentu saja tidak untuk Francesca.
Dr. Epstein itu, bagaimana pun juga...dia hampir dipastikan tahu
tentang bagian hidup Ian. Francesca masih mendengar suara Ian
bergema di kepalanya, melihat ekspresi kehilangannya saat ia berdiri
di lobi hotel. Wanita itu dokter" Apakah Ian tidak sehat" Tidak, itu tidak mungkin.
Ian adalah contoh ideal dari pria sehat dan berstamina. Jika
Francesca tidak bisa mengatakan hanya dengan melihatnya, Ian
memberinya bukti dengan hasil tes fisik terakhirnya saat lalu dalam
rangka membuktikan pada Francesca jika ia bersih dari seks.
"Anda mengenal baik Dr. Epstein?" renung Francesca.
"Tidak. Aku hanya bertemu dengannya sebentar satu atau dua kali
saat ia datang kemari. Aku dapat kesan ia praktik di suatu tepat di
London, kalau dipikir-pikir aku juga tidak tahu dokter apa dia.
Francesca" Apakah semuanya baik-baik saja?" tanya Mrs. Hanson
ragu, berharap pengurus rumah tangga itu tidak melihat wajahnya.
"Ya, aku baik-baik saja," Francesca memeluk lengan atas Mrs.
Hanson untuk meyakinkan dan pergi, berjalan keluar
dapur...Sebenarnya berapa harga tiket dari Chicago ke London"
"Tapi kupikir aku juga akan pergi ke luar kota."
*** *Lake Shore Drive: jalan bebas hambatan yang paralel sepanjang garis pantai
Danau Michigan sampai Chicago.
Because I'm Yours Bab 15 Davie menawarkan diri untuk menemaninya ke London, tapi tentu
saja Francesca menolaknya. Ketika ia mengatakan pada Davie
tentang rencananya, tujuannya yang tidak jelas dan menyatakan
bahwa ia tahu dari Mrs. Hanson kalau Ian punya masalah keluarga di
London dan memutuskan untuk memberikan dukungan.
Sebenarnya, Francesca tidak ingin Davie tahu kalau ia melakukan
rencana bodoh tanpa tahu apa yang akan ia lakukan saat turun dari
pesawat di Heathrow. Satu satu hal yang ia tahu adalah apapun yang
Ian lakukan di London, itu menyebabkan Ian menderita, dan Ian
memilih untuk melindungi orang lain dalam hidupnya dari
penderitaan itu. Ian akan sangat marah padanya, jika, karena suatu keajaiban,
Francesca bisa menemukannya. Meskipun ia tidak bisa tahan
memikirkan tentang Ian yang menderita sendirian seperti itu, dan ia
menjadi sangat yakin pada kunjungan "darurat" Ian ke London
berhubungan dengan iblis dalam dirinya yang mengganggunya.
Disamping itu, jika yang terjadi di London ditakdirkan untuk
menghancurkan apapun yang mereka miliki bersama di masa depan,
bukankah lebih baik untuk mencari tahu sekarang daripada menunda
hal-hal yang pasti" Ian menelponnya selama perjalanannya dari O'Hare ke Heathrow,
Francesca menyadari ketika ia turun dari pesawat. Ini adalah yang ia
harapkan, mengingat kalau ia benar-benar tidak punya rencana
apapun waktu ia sampai di London. Bagaimana pun juga, ketika ia
mencoba menelpon Ian, ia hanya diterima oleh pesan suaranya.
Putus asa, ia tetap berada di bandara, menukar uang, mengambil
barangnya, berharap suatu keajaiban terjadi tentang lokasi apartemen
Ian atau di mana dia berada. Ketika tidak ada satu pun hal yang
terjadi padanya dan ia tetap tidak bisa menghubungi Ian, Francesca
memanggil taksi dan mengatakan pada supirnya satu-satunya tempat
yang ia tahu berhubungan dengan Ian dan perjalanannya ke London.
"The Genomics Research and Treatment Institute," katanya pada
supir, menunjuk pada rumah sakit dan fasilitas riset untuk
schizophrenia yang ia baca di tablet Ian. Francesca mengingat
bagaimana dokter Epstein mengatakan "institute". Apakah ia
mengacu pada The Genomics Research and Treatment Institute" Apa
lagi petujuk yang ia miliki untuk mengetahui di mana Ian
kemungkinan berada" Empat puluh menit kemudian, sopir taksi itu masuk ke area fasilitas
yang sangat modern yang tertutup kaca untuk masuk ke tempat itu,
yang mana tempat itu berada di wilayah dengan pemandangan indah
dilengkapi dengan taman yang banyak pepohonan. Dari jarak jauh,
Francesca melihat beberapa pasang orang berjalan di padang rumput
hijau yang subur, salah satu dari pasangan itu selalu baju warna
putih. Apakah mereka perawat atau pengiring pasien"
Ketidakyakinan menghantamnya sekarang saat ia duduk di belakang
jok taksi. Apa yang telah ia lakukan" Kegilaan apa yang
membuatnya melompat ke pesawat dan datang ke rumah sakit
terpencil di London, yang mana ia tidak mengenal siapa pun dan
tidak punya alasan untuk datang"
Supir taksi itu menatapnya dengan tanya.
"Maukah anda menunggu saya?" tanya Francesca gugup pada sopir
itu sambil memberikan uang.
"Saya bisa menunggu sepuluh menit, tidak lebih." katanya dengan
kasar. "Terima kasih," kata Francesca. Jika perjalanan ini berakhir dengan
jalan buntu, ia akan segera mengetahuinya.
Francesca mengerjap ketika ia masuk ke lobi beberapa saat
kemudian. Tidak sama dengan lobi Noble Enterprises di Chicago,
tetapi agak mirip, ruangan elegan dengan kayu hangat, lantai marmer
berwarna pink-krem, dan furnitur berwarna netral.
"Ada yang bisa saya bantu?" seorang wanita muda duduk di
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belakang meja bundar bertanya padanya saat ia baru masuk.
Selama beberapa detik, Francesca hanya berdiri di sana tanpa
berbicara. Kemudian sesuatu menghantam pikirannya dan ia
berbicara sebelum bisa mencegahnya.
"Ya. Saya ingin bertemu Dr. Epstein, please."
Jantungnya sesaat berhenti di dadanya untuk sepersekian detik saat
ia memandang dengan ekspresi kosong kearah wanita itu.
"Tentu saja. Boleh tahu nama anda?"
Francesca menghembuskan nafas lega dan langsung merasakan
gelombang berikutnya dari keraguan. "Francesca Arno. Aku teman
Ian Noble." Mata wanita itu melebar oleh perkataan Francesca.
"Tunggu sebentar Ms. Arno," katanya, mengangkat telepon.
Francesca menunggu dengan gelisah saat resepsionis itu berbicara
pada beberapa orang, terakhir pada Dr. Epstein sendiri. Apa yang
dipikirkan dokter itu, ada orang asing yang berkata ia adalah teman
Ian Noble yang muncul di Institute untuk bertanya padanya"
Sayangnya, Francesca tidak bisa mendengar banyak dari percakapan
satu arah. Resepsionis itu meletakkan lagi telponnya.
"Dr. Epstein mengatakan ia akan datang ke lobi untuk menemui
anda. Bisakah saya mengambilkan minum sementara anda
menunggu?" "Tidak, terima kasih," kata Francesca. Dia tidak berpikir apapun
akan bertahan di perutnya, perutnya sangat mual. Francesca duduk di
area tempat duduk yang nyaman di belakang resepsionis itu. "Saya
akan duduk dan menunggu."
Resepsionis itu menganguk ramah dan kembali ke pekerjaannya.
Lima menit sebelum Dr. Epstein datang ke lobi-lima menit yang
begitu lama, lima menit yang berliku. Francesca melonjak dari
kursinya seolah berada di atas pegas saat ia mengenali sang dokter,
kini memakai jas lab putih di atas gaun hijau tua yang menawan.
Seorang wanita elegan berjalan di sampingnya, pakaiannya santai
tapi terlihat jelas berkualitas dan berselera tinggi. Francesca punya
kesan sekilas bahwa meskipun pendamping Dr. Epstein adalah lebih
tua, tujuh puluhan, mungkin" Wanita itu memiliki kesehatan yang
prima. "Francesca Arno?" Dr. Epstein bertanya saat ia datang. Ia
mengulurkan tangannya dan Francesca menerimanya.
"Ya, saya minta maaf telah menemui anda disaat yang tak terduga
seperti ini, tetapi-"
"Semua teman Ian diterima." nada suara dokter itu hangat, tetapi ada
keraguan atau pertanyaan yang ia lihat bayangan dari wajah
Francesca saat ia mengamatinya. "Saya mengerti anda belum pernah
bertemu dengan nenek Ian" Francesca Arno, Countess Stratham,
Anne Noble." Francesca memandang dengan terkejut pada wanita tua yang atraktif.
Selama beberapa saat yang mengejutkan, Francesca ragu apakah ia
seharusnya membungkuk atau melakukan sesuatu untuk countess"
Tentu saja ada suatu etika yang tidak ia ketahui, dan
kecanggungannya Amerikanya akan mulai terlihat"
Terima kasih Tuhan countess itu menyadari ketidaknyamanannya
sebelum ia mulai tergagap seperti orang bodoh.
"Tolong, panggil aku Anne," kata nenek Ian hangat, mengulurkan
tangannya. Francesca melihat ke matanya yang langsung mengingatkannya pada
mata Ian yang berwarna biru terang dan tajam.
"Saya rasa saya datang ketempat yang tepat," gumam Francesca saat
ia menjabat tangan lembut Anne.
"Kau tidak yakin?" tanya Anne.
"Tidak, tidak sepenuhnya. Saya...mencari Ian."
"Tentu saja," kata Anne kenyataannya, menanngkap keraguan dan
kebingungan Francesca. "Dia menyebut namamu padaku, meskipun
aku tidak tahu kau akan datang ke London. Ian sedang jalan-jalan di
taman sekarang, jadi aku lebih baik aku menemuimu dulu."
"Jadi Ian di sini?" tanya Francesca, suaranya bergetar terkejut.
Anne dan Dr. Epstein saling memandang.
"Kau tidak tahu ia di mana?" tanya Anne.
Francesca merasa perasaannya tenggelam saat ia menggelengkan
kepalanya tidak tahu. "Tapi kau pasti tahu tentang anakku di sini, paling tidak?"
"Putri...anda?" tanya Francesca, kepalanya berputar. Pintu kaca itu
terlihat seolah terlalu terang, memancarkan cahaya terang pada
apapun. Bukankah Mrs. Hanson bilang kakek nenek Ian hanya
punya satu anak" "Ya, putriku, Helen. Ibu Ian. Ian sedang membawanya jalan-jalan
sekarang. Berkat kerja keras Julia dan institute," Anne memberi
tatapan hangat dari samping pada dokter itu. "Helen mengalami
perkembangan yang menakjubkan. James, Ian dan aku tidak bisa
menjadi lebih bahagia."
"Kami harus memeriksanya setiap hari selama...satu jam," Dr.
Epstein memperingatkan. Kedua wanita itu menatap Francesca. Anne meraih dan menyentuh
sikunya. "Kau sangat pucat, sayang. Kupikir labih baik kita
mempersilahkan wanita muda ini duduk dengan nyaman, benar kan
Dr. Epstein?" "Tentu saja. Kita akan membawanya ke kantor saya. Saya punya jus
jeruk di sana; mungkin gula darahmu sedikit rendah" Haruskah saya
memesankan anda makanan?"
"Tidak...tidak, saya baik baik saja. Ibu Ian masih hidup?" tanya
Francesca parau, pikirannya tertuju pada satu hal.
Sebuah bayangan melintas di wajah Anne. "Ya. Ia masih hidup."
"Tapi Mrs. Hanson...dia mengatakan padaku ibu Ian sudah
meninggal beberapa tahun yang lalu."
Anne mendesah. "Ya, itu yang dipercaya oleh Eleanor." Kata-kata itu
membawa Francesca beberapa detik pada kebingungannya pada
kenyataan bahwa Eleanor adalah nama depan Mrs. Hanson. "James
dan aku membuat keputusan bahwa kembalinya Helen ke Inggris
mungkin yang...terbaik" Paling mudah?" renung Anne, ekspresinya
memilukan saat ia mencoba untuk menemukan kata yang tepat untuk
keputusan yang telah dibuat beberapa tahun lalu itu, selama masa
penuh tekanan dan kegelisahan.
"Bagi orang yang mengenal dan mencintai Helen sebelum ia sakit
untuk mengingat ia seperti lebih baik daripada melihat bagaimana
kutukan ini menghancurkannya, menghilangkan kepribadiannya...
jiwa terdalamnya. Mungkin apa yang kami lakukan salah. Mungkin
juga tidak. Ian sebenarnya tidak setuju dengan keputusan kami."
"Well...dia masih berumur sepuluh tahun ketika Helen kembali ke
Inggris, benar, kan?" Tanya Francesca.
"Hampir," jawab Anne. "Tapi kami tidak mengatakan pada Ian kalau
ibunya masih hidup dan dirawat oleh institusi di East Sussex sampai
di berusia duapuluh-cukup tua memahami mengapa kami membuat
keputusan untuk melindungi dia. Ian, hampir sama seperti
kebanyakan orang, berpikir ibunya sudah meninggal."
Kesunyian berdering di telinga Francesca.
"Ian pasti sangat marah ketika mengetahuinya," kata Francesca
sebelum ia bisa menahannya.
Oh, tentu saja," kata Anne kering, tidak ambil pusing pada kekasaran
kecil dari ucapan Francesca. "Saat itu bukanlah saat yang baik bagi
Ian, James dan aku. Ian hampir tidak berbicara pada kami selama
hampir setahun saat ia sekolah di Amerika. Tapi kami akhirnya
menjelaskan, dan hubungan kami berjalan baik." Anne melambaikan
tangannya samar pada pintu masuk yang elegan. "Dan kemudian Ian
membangun fasilitas ini, dan kami bertiga bekerja untuk
membangunnya, menemukan sebuah titik temu. Institut ini telah
menjadi tempat untuk memulihkan hubungan kami dengan cucu
kami dan juga Helen," kata Anne, memberikan senyum terima kasih
pada Dr. Epstein, meskipun matanya terlihat sedih.
Anne terlihat terpukul dan mengencangkan pegangannya pada siku
Francesca, membawa Francesca berjalan di sisinya. "Aku bisa
melihat kalau kau terkejut oleh berita ini. Kupikir lebih baik jika Ian
yang berbicara padamu lebih jauh tentang masalah ini, mengingat...
keadaan yang tidak biasa ini."
"Ian dan Helen akan muncul dari *morning room (ruang duduk di
pagi hari) lanjutan dari jalan-jalan mereka," Dr. Epstein berkata pada
Anne. "Kalau begitu, kita akan pergi kesana," kata Anne pada Francesca,
dengan cepat dan penuh arti saat mereka berjalan ke lift. "James
sudah ada di sana. Aku akan memperkenalkanmu pada kakek Ian."
Terlalu terkejut untuk menjawab, Francesca mengikuti di belakang,
pikirannya seolah bergetar oleh berita bahwa Helen Noble masih
hidup dan nampaknya dirawat di fasilitas ini, jantungnya tertekan
dalam kesedihan untuk Ian.
Mereka naik lift ke lantai paling bawah. Ketika pintu terbuka, Dr.
Epstein mengucapkan selamat tinggal, mengatakan ia harus kembali
ke lab. "Dia ilmuan yang cerdas." kata Anne pada Francesca pelan saat
mereka menuruni pintu masuk yang berujung pada ruangan yang
dipenuhi cahaya, dan banyak ruangan dengan jendela. Beberapa
pasien melihat pada mereka, menatap penuh ingin tahu pada
Francesca. "Sekarang genom manusia telah terpecahkan, Dr. Epstein
dan rekan rekannya menggunakan informasi itu untuk pengobatan
yang lebih baik bagi schizophrenia. Ian mendanai semua yang ia
kerjakan. Itu benar-benar suatu terobosan. Pengobatan yang
dikembangkan oleh Dr. Epstein baru baru ini telah diakui oleh Badan
Obat-obatan Eropa, dan ia merekomendasikan Helen untuk
memakainya. Ada naik dan turun dengan pengobatan itu sejauh ini,
tetapi ada sedikit kemajuan. Ian begitu bahagia. Helen hampir tidak
mengenali Ian, ayahnya dan aku, penyakit jiwanya begitu berat, tapi
sekarang...sangat berbeda. Ia bisa jalan-jalan ke taman, sesuatu
yang hampir tidak mungkin ia lakukan sejak pertama kali datang
kesini enam tahun lalu. "Mengagumkan," kata Francesca, menatap sekeliling ketika mereka
memasuki kamar yang disebut Dr. Epstein morning room. Banyak
jendela lebar yang mengarah pada area hutan kayu yang indah dan
padang rumput. Pasien, perawat, dan mungkin anggota keluarga
tersebar disepanjang ruangan yang nyaman itu, beberapa dari mereka
memainkan permainan, lainnya ngobrol dan menikmati
pemandangan. Francesca mengira pasien itu adalah beberapa orang
pasien di sini adalah salah satu orang sakit tetapi sekarang lebih
terkontrol. Mereka nampaknya sangat normal dan masuk keluar
ruangan atas kemauan mereka sendiri tanpa perawat mengikuti
mereka. Seorang pria tua-yang masih terlihat sehat berdiri ketika mereka
menghampirinya. Pria itu tinggi, sama seperti Ian menurut
Francesca. "Francesca Arno, Perkenalkan suamiku, James," kata Anne.
"Senang bertemu denganmu," kata James, menjabat tangannya. "Ian
menyebut namamu pada kami kemarin-sesuatu yang kami
perhatikan, karena ia jarang menyebut nama seorang wanita, yang
selama ini membuat Anne dan aku kecewa," kata James,sebuah
kerlipan di mata coklatnya. "Kami sedang bersama Dr. Epstein
ketika ia mendapat panggilan bahwa kau ada di sini. Kami tidak tahu
kau akan datang ke Inggris."
"Itu karena saya datang secara mendadak."
"Ian tidak tahu kau ada di sini?" Tanya James, terlihat sopan namun
bingung. "Tidak," kata Francesca. Mungkin James menyadari kegelisahannya
pada kenyataan, karena ia menepuk pundak Francesca dengan
ramah, tatapannya beralih ke jendela yang mengarah pada padang
rumpung. "Baiklah, ia akan segera mengetahuinya. Aku melihat
Helen dan Ian datang. Ya Tuhan..."
Jemari James mengetat sejenak di pundaknya. Francesca menatap
keluar jendela ketika james berbicara, mengikuti tatapan james.
Francesca mulai bisa melihat dengan baik apa yang ia lihat. Ian
berjalan disamping seorang wanita terlihat rapuh yang memakai baju
biru yang menggantung kebesaran pada tubuh sakitnya yang kurus.
Ketika James berbicara, wanita itu tiba-tiba berputar, tinjunya
mengenai perut Ian. Wanita itu tersandung dan hampir jatuh, tapi Ian
menangkapnya. Namun usahanya untuk menstabilkan ibunya
terganggu, karena Helen meronta seolah ia tiba-tiba takut hidupnya
ada ditangan Ian. "Panggil Dr. Epstein," kata James dengan nada tajam pada salah satu
pelayan yang juga tahu apa yang terjadi di luar jendela. James dan
tiga pelayan pria lainnya berjalan menuju pintu yang menuju ke
padang rumput untuk membantu Ian.
"Oh tidak. Tidak lagi," kata Anne dengan suara tercekat saat ia dan
Francesca melihat, ngeri. Helen memukul dengan liar saat Ian
mencoba untuk menahannya. Helen mengayunkan tangannya pada
rahang Ian. Jantung Francesca seolah kejang di dadanya ketika ia
melihat kenyataan, kesedihan mendalam di wajah tampannya ketika
ia menerima pukulan itu. Berapa kali ia melihat ibunya bersikap
seperti ini" Berapa lama wanita yang ia sayangi, wanita yang baik
itu menghilang dan digantikan oleh kekerasan, orang asing yang
ketakutan" Teriakan tajam terdengar dari morning room saat inisuara ketakutan
dari Helen Noble dan penyakit jiwanya kambuh.
"Tunggu," kata Anne dengan parau, meraih siku Francesca,
menghentikannya ketika ia hendak menuju ke Ian, tidak tahan untuk
diam sementara Ian sedang rentan. "Mereka sudah mengatasinya
sekarang." Francesca dan Anne berdiri berdampingan, menatap sedih saat tiga
orang pelayan dengan terampil mengangkat dan mengendalikan
perlawanan dari wanita yang sakit jiwa itu dan mulai membawanya
masuk kedalam rumah sakit. Ketika mereka melewati Francesca dan
Anne di morning room, bergerak cepat menuju ke pintu masuk,
Francesca menangkap sekilas wajah Helen untuk pertama kalinyawajahnya
menyeringai terlihat mengancam, air liurnya menetes ke
dagunya, mata birunya terbelalak dan berkaca-kaca, yang sepertinya
terfokus pada suatu mimpi buruk mengerikan yang hanya bisa ia
lihat sendiri. Tidak, pikir Francesca. Itu bukan Helen Noble. Pasti bukan.
Perawat memasuki pintu masuk kearah para pelayan, Dr. Epstein
berjalan kecil di belakangnya dengan langkah cepat. Para pelayan
dengan hati-hati membaringkan wanita yang menjerit itu di lantai,
dan perawat memberinya suntikan.
Anne mulai menangis diam-diam saat melihat mereka membawa
putrinya menjauh. Francesca meletakkan tangannya disekeliling pundak perempuan tua
itu, tidak bisa berbicara apa-apa, terlalu syok.
"Ian," seru Francesca ketika ia menatap sekitar dan melihat Ian dan
kakeknya berjalan. Francesca tidak pernah mellihat Ian begitu pucat.
Otot wajahnya mengeras. Ian menatapnya dengan dingin.
"Berani-beraninya kau datang ke sini," kata Ian sambil
mendekatinya, bibirnya hampir tidak bergerak, mulut dan rahangnya
terkatup sangat ketat. Jantung Francesca seolah berhenti di dadanya.
Francesca tidak pernah melihat Ian seperti ini...begitu sedih, begitu
marah...begitu terekspos. Francesca tidak bisa berpikir apa yang
akan ia katakan. Ian mungkin tidak akan pernah memaafkannya
karena datang tak diundang, untuk menemuinya pada situasi yang
mungkin paling rentan dalam hidupnya.
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ian-" Tetapi Ian memotongnya dengan berjalan terus melewatinya menuju
kemana mereka membawa ibunya. James memandang sedih pada
istrinya dan mengikuti cucunya.
Anne meraih tangannya dan membimbingnya menuju ke kursi. Anne
duduk di sampingnya, seluruh semangat Francesca saat melihat
pertemuan pertamanya seolah terkuras habis.
"Jangan salahkan Ian," kata Anne lemah. "Helen dan Ian telah
berbagi pagi yang indah dan sekarang...sekarang semuanya telah
direnggut lagi. Ian marah, tentu saja."
"Saya bisa mengerti kenapa," jawab Francesca. "Saya seharusnya
tidak datang. Saya tidak tahu-"
Anne menepuk pundaknya, "Ini adalah penyakit mematikan. Brutal.
Ini sulit bagi kami semua, tetapi sangat sakit bagi Ian. Dari sejak
kecil, ia tidak punya pilihan selain menjadi satu-satunya orang yang
mengurus Helen. Ian mengatakan padaku setelah ia tinggal bersama
kami untuk sejenak dan mulai terbuka kalau ia secara terus menerus
mengawasinya, karena takut kegilaan Helen akan diketahui
masyarakat karena sikap yang terlalu mencolok, dan mereka
membawa Helen ke rumah sakit dan mengirimnya ke panti asuhan.
Ian hidup dalam kekhawatiran setiap hari, takut Helen akan
merugikan dirinya sendiri atau karena terpisah dari Helen. Ian jarang
pergi ke sekolah seperti anak-anak lain, karena ia harus menjaga
Helen. Di kota di mana Helen hidup-kami, hingga hari ini,tidak tahu
bagaimana atau kenapa ia hidup di sana-kota terpencil dan sedikit
terbelakang. Aku punya sedikit keraguan jika badan perlindungan
anak akan dihubungi tentang sering tidak masuknya Ian di sekolah
jika ia bertempat tinggal di kota yang lebih besar.
Seperti yang terjadi, Ian menjaga penyakit Helen dengan baik,
belajar di mana Helen menjaga simpanan uangnya dan mengaturnya
dengan hemat, mengambil pekerjaan lebih dari satu disekitar desa,
mengantar pesanan, dan suatu hari ia mengetahui jika ia pintar
memperbaiki perlengkapan elektronik, memperbaiki alat-alat rumah
tangga kecil. Ian membelanjakan mereka dan melakukan pekerjaan
rumah tangga, memasak untuk mereka, membuatkan pondok kecil
bagi mereka sebaik yang ia bisa dan menjaga pondok dengan
berbagai macam perlengkapan keamanan, menerima sikap aneh
Helen dan sesekali mendapat kekerasan selama masa kegilaannya...
salah satunya seperti yang kau lihat," renung Anne letih. Anne
menatap dengan berat. "Semuanya, dan akhirnya kami menemukan
Helen dan Ian, Ian melewatkan ulang tahun ke sepuluhnya."
Francesca bergidik oleh emosi. Tidak heran Ian begitu mengontrol.
Oh Tuhan, bocah laki-laki kecil yang malang. Betapa kesepiannya
dia. Betapa mengerikan pengalamannya tentang kasih sayang dan
hubungan selama masa berpikir jernih yang dialami ibunya, satusatunya hal yang
mereka miliki lenyap ketika penyakit jiwa ibunya
kambuh...seperti halnya hari ini. Tiba-tiba, Francesca teringat
ekspresi Ian sesekali yang mengoyak perasaan Francesca dengan
begitu dalam dan begitu membingungkannya, melihat seseorang
yang tidak hanya ditinggalkan dan tersesat tetapi ia tahu dengan baik
bahwa ia akan ditolak lagi.
"Saya turut bersedih, Anne," kata Francesca, merasakan
ketidakmampuannya, ketidakpantasan dari kata-katanya.
"Dr. Epstein mengatakan pada kami jangan terlalu optimis. Tetapi
sulit untuk tidak berharap, dan Helen membuat sebuah kemajuan.
Kami melihatnya, sangat singkat, berbicara padanya-dia, Helen
kami. Sayang, Helen yang manis." Anne menatap dengan berat.
"Well, ada terapi lain yang masih dalam proses penyempurnaan.
Mungkin...suatu hari..."
Bagaimanapun juga Francesca ikut merasakan, mendengar suara
Anne yang tidak berubah dan warna keabuan di kulitnya, yang
menunjukkan ia teramat sangat berharap untuk melihat putrinya
bahagia dan sehat. Ia bertanya-tanya berapa lama keluarga Noble
melihat kemajuan dari Helen, hanya untuk menghancurkan harapan
mereka lagi dan lagi saat kegilaan menampakkan diri.
Francesca berdiri gemetar beberapa menit kemudian saat Ian
kembali dari morning room. "Dia sudah tidur," kata Ian pada
neneknya, tatapan tak senangnya menghindari Francesca. "Julia
memberinya obat. Ibu akan kembali normal seperti sebelumnya.
Paling tidak obat itu membuatnya tetap stabil."
"Jika stabil berarti tenang, kuharap kau benar," kata Anne.
Mulut Ian sedikit mengerucut oleh kata-kata Anne. "Kita tidak punya
pilihan, paling tidak ia tidak menyakiti dirinya sendiri." Ian melihat
Francesca. Francesca segera menarik diri ketika ia melihat kilau
dingin di mata Ian. "Kita akan pergi," kata Ian. "Aku sudah
menghubungi pilotku, dan dia sudah ada di pesawat yang siap
berangkat ke Chicago."
"Baiklah," kata Francesca. Ia mungkin bisa mencoba dan
menjelaskan mengapa ia datang saat mereka berada di pesawat.
Francesca ingin meminta maaf karena datang ke tempat di mana ia
tidak diinginkan. Mungkin ia bisa membuat Ian mengerti...
....meskipun setiap kali ia berpikir betapa rapuhnya Ian...betapa
kasarnya dia, Francesca gemetar, takut jika Ian tidak akan pernah
memaafkannya. *** Ian tidak berbicara padanya di mobil menuju bandara, hanya
menatap lurus kedepan saat ia menyetir, buku jarinya memutih saat
ia menggenggam setir kulit. Ketika Francesca mencoba untuk
memecah kesunyian dengan meminta maaf, Ian segera
memotongnya. "Bagaimana kau tahu di mana aku berada?"
"Aku pernah beberapa kali melihatmu dengan Dr. Epstein...salah
satunya di Paris dan satunya lagi di rumah. Aku dengar di menyebut
"Institut," dan Mrs. Hanson bilang padaku kalau ia seorang dokter."
Tatapan Ian tertuju padanya. "Itu bukanlah penjelasan, Francesca,"
Francesca tenggelam di kursi penumpang. "Aku...aku tahu kalau
kau melihat situs Genomics Research and Treatment Institute
beberapa kali saat aku meminjam tabletmu untuk belajar pada tes
mengemudi." Rasa bersalah membuatnya semakin tak berdaya
ketika ia menyadari tatapan marahnya.
"Kau memeriksa aktivitasku?"
"Ya," ia mengakui dengan buruk, "Aku minta maaf. Aku begitu
khawatir...terutama saat kau pergi tiba-tiba. Kemudian Jacob bilang
padaku kau tidak pernah membawanya ke London, dan aku mulai
menyambungkan semua petunjuk."
"Well, aku tidak akan pernah menyalahkanmu karena bertindak
bodoh," Ian menyembur, tangannya mengencang di setir. "Kau pasti
bangga karena keahlian detektifmu."
"Tidak. Aku sangat sedih. Aku minta maaf, Ian."
Ian tidak berkata apa-apa, tetapi mulutnya tegang dan kulitnya
terlihat pucat berbanding dengan rambut hitamnya. Keheningannya
langsung membuat Francesca terdiam dari semua hubungan sampai
mereka naik pesawat. Suara pilot datang dari interkom, mengatakan mereka telah lepas
landas. "Duduk dan pakai sabuk pengaman saat lepas landas," kata Ian
singkat, memberi isyarat pada kursi dimana ia biasanya duduk, "Tapi
saat kita telah terbang, aku ingin kau berada di kamar tidur,"
Mulut Francesca terbuka oleh kata-kata Ian. Sesuatu dari nada
bicaranya mengatakan dengan tepat padanya mengapa Ian
menginginkannya di kamar tidur. Francesca mengaitkan sabuk
pengamannya dengan jari gemetar. "Ian, ini tidak akan membuatmu
merasa lebih baik untuk mencoba dan mengontrol karena kau merasa
begitu..." Francesca berhenti saat ia melihat kilatan matanya yang hampir tidak
berkurang rasa marahnya. "Kau salah. Ini akan membuatku merasa
fantastis untuk membuat pantatmu memerah dan menyetubuhimu
dengan kasar. Kau telah memakai pil cukup lama. Aku akan
menyetubuhimu dengan kasar dan klimaks ke dalam dirimu, itu akan
tumpah keluar dari selama berhari-hari,"
Francesca tersentak, bukan karena kekasarannya-pada perbedaan
yang berbeda, kata-kata kasarnya telah mambuatnya bergairah. Tapi
ini bukanlah keadaan yang berbeda. Ia bilang apa yang ia katakan
sengaja untuk menyakiti Francesca karena dengan berani telah
melihat kelemahannya. "Kau ingin masuk ke dunia pribadiku, baiklah. Hanya saja ingatlah
kau mungkin tidak suka apa yang kau lihat," kata Ian pelan.
"Tidak ada yang kulihat hari ini yang membuatku berpikir buruk
tentangmu," ia mengatakan dengan semangat, "Jika segalanya
membuatku mengerti tentangmu seratus kali lebih baik...ini juga
akan membuatku mencintaimu seribu kali lebih besar,"
Ekspresi wajahnya biasa saja. Wajah Ian yang pucat semakin pucat
pasi. Jantung Francesca bergemuruh di telinganya dalam suasana
tegang yang menyelimuti mereka. Mengapa Ian tidak bicara"
Francesca hampir tidak menyadari pesawat telah terbang. Ia tidak
bisa percaya ia baru saja mengatakan kebenaran yang coba ia
sembunyikan dari Ian. Keheningan lama terjadi, seolah semakin buruk dengan tekanan di
telinganya saat mereka terbang tinggi.
"Kau kekanak-kanakan," Ian akhirnya bicara, bibirnya terkatup.
"Aku sudah bilang padamu sejak awal hubungan ini hanya seksual
semata." "Ya, tapi kupikir...selama beberapa minggu terakhir, hubungan ini
seolah telah berubah," kata Francesca lemah. Hatinya seolah jungkir
balik saat Ian menggelengkan kepalanya dengan pelan, tatapannya
tidak pernah meninggalkan wajah Francesca. Ian membuka sabuk
pengamannya. "Aku ingin memilikimu, Francesca. Mendominasimu.
Melihat kekeras kepalaanmu menyerah oleh gairah...untuk
memuaskanku. Itu yang aku tawarkan padamu. Kau bersikeras untuk
masuk ke duniaku, sekarang kau bisa berhenti menipu dirimu
dengan fantasi seorang gadis. Itu saja yang bisa aku tawarkan." kata
Ian, menunjuk ke kamar tidur. "Sekarang pergilah kesana, lepaskan
semua pakaianmu, dan tunggulah aku."
Selama beberapa detik, Francesca hanya menatapnya, masih
terhuyung akibat luka yang ditimbulkan kata-katanya. Ia ingin
menolak ketika ia memikirkan tentang kebenaran, rasa sakit di
wajahnya ketika ibunya mulai menyerangnya secara brutal. Lukanya
lebih dalam dari Francesca. Mungkin itu bisa menolongnya, untuk
merasa memegang kendali setelah mengalami begitu banyak
keputusasaan dan rasa sakit" Tidak kah orang-orang memainkan
peran sedih sepanjang waktu selama seks, memakai kekuatan fisik
yang kuat untuk menyadarkan mereka di tengah emosi yang kacau
balau" Ya. Ia ada di sana untuk Ian seperti itu. Ia mengerti bahwa rasa
marahnya terbendung dari rasa sakit karena begitu terlihat...begitu
rapuh. Francesca membuka sabuk pengamannya perlahan.
"Baiklah. Tapi aku melakukannya hanya karena aku benar-benar
jatuh cinta padamu. Dan aku bukanlah gadis kecil yang naif. Kupikir
kau jatuh cinta juga padaku dan hanya karena terlalu angkuh dan
keras kepala-dan terluka tentang apa yang terjadi pada ibumu hari
ini-untuk mengetahuinya."
Rasa sakit terlihat di sepanjang wajah kerasnya meskipun begitu
datar, dan hilang. Ian tidak berkata apa-apa saat Francesca berdiri
dan berjalan ke kamar tidur.
*** Because I Need To Bab 16 Ian memasuki kamar sepuluh menit kemudian. Tubuhnya langsung
menegang dengan nafsu ketika melihat Francesca duduk telanjang di
sudut tempat tidur. Francesca menata rambut ke atas dan entah
bagaimana mengikat rambutnya seperti itu makin menambah
keindahannya. Puting merah mudanya tegak dengan menggiurkan,
dan bukan, Ian menduga, bukan karena bergairah tapi karena suhu
dingin. Dia tahu tidak ada jubah di kamar mandi. Ini kesalahnya
karena membuat Francesca menunggu saat sedang terekspos. Namun
demikian, sesuatu tentang tubuh pucatnya yang telanjang
menghantam Ian sebagai seorang yang sangat rapuh namun sangat
menggairahkan. "Berdirilah," ujarnya tegas, menolak untuk bersikap lunak oleh
pemandangan indah dari tubuh Francesca. Apakah dia akan pernah
bertemu seorang wanita yang lebih cantik darinya"
Apakah dia akan pernah terpengaruh oleh wanita lain seperti dia
telah terpengaruh oleh Francesca" Sebuah emosi bagai gunung
berapi mulai mendidih dalam dirinya ketika Francesca menyerukan
kata-kata penyulut. "Itu membuatku mencintaimu seribu kali lipat."
Ini masih terlalu berat bagi Ian. Dia telah hancur oleh berita yang
James berikan padanya segera setelah petugas membawa pergi
ibunya yang mengoceh, bahwa Francesca berada di morning
room...bahwa Francesca menyaksikan semua yang telah terjadi.
Ian dilanda kebutuhan yang tak tertahankan untuk menghukum
Francesca karena telah melihat tidak hanya ibunya ketika sedang
begitu rapuh, tapi juga Ian sendiri. Dia menghabiskan sebagian besar
hidupnya menjaga Helen dari tatapan ikut campur yang mengerikan.
Entah bagaimana, mengetahui Francesca telah menyaksikan puncak
kegilaan ibunya terasa lebih menyakitkan berkali lipat daripada
pengamatan orang asing. Ian berjalan menuju rak pakaian dan membuka lemari. Sebuah
sentakan kegembiraan melanda dirinya ketika melihat mata
Francesca melebar saat menatap apa yang ia bawa beberapa saat
kemudian. "Ya. Aku hanya menyimpan beberapa barang di dalam
pesawat ini, dan bukan yang biasanya. Kita akan mulai dengan
hukumanmu dan kemudian berganti ke cara lain untuk membuatmu
menggeliat." Pipi Francesca berubah menjadi merah muda mendengar kata-kata
itu, namun Ian tidak tahu apakah reaksinya adalah karena gairah atau
marah mendengar kata-katanya. Tapi dia ingin melihatnya
menggeliat, pikir Ian sambil mengambil tali elastis berwarna hitam.
Dia ingin melihat Francesca menggeliat dalam penyesalan dan
gairah yang tersalurkan, Ian menginginkan dia memohon padanya
melalui bibir merah mudanya yang menghantui mimpimimpinya...Ian ingin mendengar
lagi Francesca berkata bahwa dia
mencintainya. Ian segera menyingkirkan pikiran itu secepat ia memikirkannya. Dia
memindah lemari kecil berbantalan yang terletak di ujung tempat
tidur menuju ke tengah ruangan.
"Melangkah lah ke dalam sini," katanya beberapa detik kemudian,
mendekati Francesca, memegang tali penahan elastis. Berdiri
sedekat ini, Ian bisa mencium aroma bersih shampo beraroma
buahnya. "Pegang bahuku untuk menyeimbangkan tubuhmu."
"Apa itu?" Ian mencoba untuk mengabaikan betapa lembut tapi pasti pegangan
Francesca melalui kemejanya.
"Ini sebuah tali yang akan mengikat kakimu saat aku
menghukummu, membatasi gerakmu. Mungkin sedikit tidak
nyaman, namun akan memberiku kenikmatan yang sangat besar."
"Aku tidak bisa melihat bagaimana caranya," katanya, wajah
Francesca meringis saat Ian meregangkan lingkaran tali elastis hitam
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selebar lima inci, mendekatkannya sampai berada tepat di bawah
pantatnya, mengikat erat pahanya dan mengenyalkan pantatnya
melewati batas, memamerkan daging yang kencang untuk tangan Ian
dan paddle (alat utk memukul berbentuk seperti dayung). Dia
mengulurkan tangan dan mencengkeram pantat di telapak
tangannya. Kejantanannya berkedut.
"Sekarang kau lihat?" Tanya Ian tajam, dengan enggan melepaskan
pantatnya yang montok. Pengikat elastis mempunyai kesamaan
seperti yang bustier lakukan pada payudara, sepenuhnya
menonjolkan pantatnya, bahkan seperti mengikatnya.
"Ian!" Seru Francesca kaget ketika Ian tiba-tiba mengangkatnya ke
udara, membawanya ke arah bangku yang empuk.
"Aku harus mengangkatmu, karena kakimu terikat," katanya,
menurunkan lutut Francesca di atas bantal. "Tetap berlutut sebentar.
Jangan bergerak." Ketika Ian kembali, ia membawa sebuah borgol.
Berbeda dengan borgol kulit lembut yang biasa Ian gunakan
dengannya, mengingat kulit sensitif Francesca, yang ini adalah
borgol logam. "Pergelangan tangan di punggung bawahmu," kata Ian. Ian
mengerutkan kening setelah mengikat tangan Francesca di belakang
punggungnya. "Aku tidak ingin kau meronta melawan borgol itu,
Francesca. Kau mungkin akan membuat memar tanganmu sendiri."
"O...Oke," Ian mendengar Francesca berkata. Ian bertemu dengan
tatapannya, melihat ke dalam bola mata beludru gelapnya.
Gelombang liar dari sesuatu melalui dirinya-nafsu, kebutuhan liar,
kemarahan-ketika ia mengenali apa yang bersinar di mata Francesca.
"Kenapa kau menatapku dengan begitu percaya?" ucap Ian.
"Karena aku percaya padamu."
"Kau bodoh." Dia menyentuh siku Francesca, membimbingnya.
"Tetap berlutut. Membungkuk. Ekspos pantatmu. Sandarkan
payudaramu di atas lututmu. Tekan dahi ke bantal dan tetap seperti
itu sepanjang hukumanmu. Jangan melihat kearahku, atau aku akan
menghukummu lebih berat."
Francesca benar-benar seorang bidadari. Matanya memiliki
semacam sihir terhadap Ian. Jika Ian melihat cukup ke dalamnya,
dengan segera dia mulai percaya pada apa yang dilihatnya, di sana
bersinar stabil seperti suar yang tak tergoyahkan.
Ian berjalan dan mengambil paddle. Dia tahu mengapa mata
Francesca melebar setelah melihat benda itu beberapa saat yang lalu.
Itu terbuat dari kayu yang dipernis, panjang dan sempit-hanya
selebar tiga inci. Itu adalah alat yang lebih serius bagi hukuman fisik
daripada paddle kulit hitam yang lebih dia sukai untuk kulit halus
Francesca. Tapi Ian bertekad untuk membuatnya membayar keputusan
impulsifnya dengan mengikutinya ke London. Dia bertekad untuk
membuatnya membayar karena memicu badai perasaan dalam
dirinya. Ian nyaris tidak menahan erangan saat ia mendekat dan mengamati
pemandangan tubuh Francesca. Pengikat elastis memamerkan pantat
indahnya yang memberikan efek menyentak pada kejantanannya. Ian
membelai satu pipi pantatnya, kemudian yang lain, mengangkat
pantatnya secara penuh keluar dari kekangan sehingga ia bisa
menyentuh dan menghukum setiap bagian kecil berharga dari daging
kencang yang penuh itu. Francesca terkejut ketika Ian mendaratkan paddle pada lekuk bawah
dari pantat indahnya, tapi Ian merasakan Francesca menahan
teriakannya. Pengendalian diri Francesca membuat Ian merasa puas.
Sama seperti segala sesuatu yang Francesca lakukan...segala
sesuatu kecuali sifat impulsifnya, segala sesuatu kecuali kebodohan
dan kepolosannya dengan meyakini bahwa ia mencintai Ian.
Segala sesuatu tentang dirinya...terutama sifat penurut, dan cara
berpikir yang polos yang seharusnya dihargai, bukannya dicemooh.
Ian memukul tiga kali secara berurutan, melenyapkan kebingungan
pikiran dari otaknya. Kemaluannya berdenyut di balik celana yang
seakan semakin ketat. Ya, ini adalah apa yang ia butuhkan. Nafsu
akan membimbingnya melewati emosi membingungkan yang sedang
ia alami. Nafsu selalu begitu. Francesca tidak bisa menahan jeritnya kali ini, dan Ian berhenti
sejenak, membelai pipi pantat mulusnya yang panas dengan ujung
jarinya. "Aku tidak percaya kau datang ke London," kata Ian, suaranya
bergetar karena marah. "Aku akan pergi lebih jauh lagi kemana pun untuk menemukanmu."
Ian berhenti, ekspresinya kaku saat mendengar getaran dalam
suaranya. "Apa kau menangis?" Tanya Ian tajam, mengamati bagian
belakang kepala Francesca.
"Tidak." "Apa kau merasakan sakit yang tidak semestinya?"
"Tidak." Ian mengencangkan genggamannya pada paddle dan menepuk
pantatnya dua kali. "Ini adalah pertama kalinya aku menghukummu tanpa stimulan
klitoris. Mungkin ketidaknyamanan ini mengalahkan kenikmatan,"
katanya, mengayunkan kembali paddlenya dan mendarat,
menggeram saat melihat pukulan erotis bergema mengenai daging
montoknya yang kencang. Ian meraih kejantanannya yang nyeri
melalui celananya, meringis.
"Tidak, bukan itu," dia mendengar Francesca berkata dengan suara
tertahan. Francesca sedikit melonjak dari posisi berlututnya ketika
Ian mem-paddle lagi. Penasaran apa maksud dari kata-katanya, Ian mendorong jemarinya
ke celah di antara pahanya yang erat tepat di atas pengekang yang
mengikat. Cairan basah dan hangat melapisi telunjuknya. Tanpa
berkomentar, ia menarik tangannya dan memukul pantatnya
beberapa kali lagi. Ian tidak akan pernah benar-benar mengendalikan Francesca, karena
dia menghancurkannya setiap kali Ian mencoba.
Pantatnya memerah dan panas untuk disentuh pada saat ia selesai.
Francesca terengah-engah dengan pelan dan pipinya berwarna merah
muda ketika Ian mengangkatnya dari atas lemari kecil dan
menurunkannya. Ian berlutut di depannya, melepas pengikat elastis
hitam dari pahanya kemudian ke bawah kakinya.
Ian melepas borgol. Francesca mengeluarkan suara terkejut ketika
Ian melingkarkan pengikat elastis di lehernya dan mulai
melingkarkan tali lebar ke bawah payudaranya. Itu tidak mudah,
namun pada saat ia selesai, dadanya yang memerah indah terlihat
lebih montok dan terpampang erotis dari atas pengikat tebal seperti
yang terjadi pada pantatnya. Ian mendengus sebagai tanda setuju dan
memborgol pergelangan tangan Francesca lagi di punggungnya.
"Apa yang akan kau lakukan?" Francesca bertanya dengan ragu
ketika Ian mengambil flogger kulit hitam. Itu flogger yang lentur,
yang berarti lebih nyaring dan menyengat daripada cambuk dan
menyebabkan nyeri. Ian mengerti secercah ketakutan dalam nada
suara Francesca. Dia tidak pernah menggunakan flogger pada
Francesca sebelumnya. "Hukumanmu belum selesai. Ini adalah flogger." Ian mengangkatnya
untuk Francesca amati, sebuah tali lentur tipis sepanjang satu kaki
yang melekat pada pegangan pengikat kulit. "Jangan terlihat begitu
takut...ini terlihat lebih menyenangkan dari kelihatannya. Ini cukup
aman, di tanganku. Ini akan menyebabkan sengatan yang bagus dan
membangkitkan sarafmu."
Matanya melebar ketika Ian mengangkatnya, tapi dia tidak protes
ketika ia membawa tali kulit itu ke bawah sisi payudaranya yang
pucat. "Di sana. Apakah itu terlalu berlebihan?" Tanya Ian dengan suara
parau, berhenti sejenak untuk membelai dan meremas dengan lembut
bulatan kencang. Ketika Francesca tidak menjawab, ia menatap
wajahnya. Ekspresinya sedikit tak berdaya, tapi matanya bersinar
dengan gairah. Francesca menggeleng, rupanya ia tak bisa berkatakata.
Ian menyembunyikan senyum muramnya dan menurunkan flogger
pada payudara yang lain, kemudian kembali ke yang lain, menonton
dengan takjub saat bola pucat itu memperdalam warnanya menjadi
merah muda pucat dan putingnya mengencang dan keras,
menggiurkannya. "Apa itu nyeri?" Ian bertanya sesaat kemudian setelah dia
meletakkan flogger dan memijat payudaranya di tangannya.
"Ya," bisiknya.
"Bagus. Kau layak mendapatkannya," gumamnya. Dia mencubit
lembut di kedua putingnya dan Francesca menggigil dalam
kenikmatan. "Jika aku tidak begitu hati-hati padamu, aku akan memberikanmu
jauh lebih buruk dari sekarang untuk apa yang kau berani lakukan."
"Untuk jatuh cinta denganmu?"
Ian menghentikan remasan cabul pada payudaranya dan bertemu
tatapannya. Francesca terengah-engah lebih berat sekarang,
menyebabkan payudaranya naik dan turun dengan susah payah di
telapak tangannya. "Tidak. Karena ikut campur ke dalam urusanku dan mengintai ke
dalam hidupku." Untuk melihat ibuku pada waktu yang paling rentan...untuk melihat
penderitaanku. "Sudah kubilang aku menyesal, Ian," katanya melalui bibir merah
mudanya yang memerah. "Kupikir kau tidak," kata Ian, tiba-tiba marah lagi. Dia membungkuk
dan memerangkap mulut lezatnya dalam sebuah ciuman yang
bergelora. Yang ia pikirkan adalah menenggelamkan kejantanannya
ke dalam kewanitaan ketatnya yang basah dan kehilangan dirinya di
dalam hantaman kenikmatan murni untuk melupakan. Napasnya
terasa hangat dan manis saat terengah-engah melawan bibir Ian
sesaat kemudian. "Kau tidak akan mengubah pikiranku," bisik Francesca.
Ian memejamkan mata seolah-olah untuk mencegah gelombang
perasaan yang melanda dirinya. Keputusasaannya memuncak.
"Kita lihat saja nanti," katanya, berbalik sehingga ia bisa membuka
borgolnya, tatapannya berlama-lama di pantatnya yang masih merah.
Ian mempaddle lebih keras dari yang pernah ia lakukan sebelumnya,
menyadari dengan tikaman penyesalan, tapi Francesca tidak
mengeluh, bahkan ketika ia akan memberinya kesempatan. Dan
limpahan kelembaban yang ia rasakan di antara pahanya telah
mengatakan padanya dengan keras dan jelas gairahnya lebih besar
dari ketidaknyamanannya. "Berbalik dan membungkuk di ujung tempat tidur. Letakkan
tanganmu pada kaki ranjang untuk menahan tubuh."
Francesca mengikuti instruksinya tanpa ragu-ragu, memiringkan
tubuh di atas tempat tidur, membungkuk sambil berdiri. Dia tidak
menengok ketika Ian mendekatinya dari belakang, meskipun begitu
Ian merasakan rasa ingin tahunya dan kecemasannya yang fokus.
Francesca manis yang begitu percaya.
"Jangan takut," gumamnya. "Kali ini aku akan melihatmu dikirim
menuju kenikmatan, bukan kesakitan."
Ian menyalakan Rabbit vibrator ke pengaturan terendah, melebarkan
pantatnya, mengekspos pintu masuk ke vaginanya. Kejantanannya
tersentak, berdenyut tak terkendali ketika ia melihat betapa licin
lubang kecil itu, betapa berkilau bibir seks dan seluruh perineumnya
yang berasal dari gairahnya. Dia mendorong vibrator seluruhnya ke
dalam vaginanya. Francesca tersentak, dan kemudian melonjak
ketika ia menyalakan telinga kelinci vibrator sehingga mereka
bergoyang penuh semangat di atas klitorisnya.
"Oh!" "Enak?" Tanyanya sambil menarik vibrator dari celah Francesca dan
kembali mendorong masuk. Vaginanya mencengkeram di sekitar
silikon seperti mulut penghisap kecil. Oh Tuhan, dia tidak bisa
menunggu untuk masuk ke dalam dirinya...tapi dia akan menunggu.
Dia akan melihat Francesca menyerah terlebih dahulu...memohon
padanya. Mengapa Ian membutuhkan itu seperti ia membutuhkan
napas berikutnya masih menjadi teka-teki baginya, tapi ia tidak bisa
meredam hasratnya yang kuat.
Ian memanipulasi Francesca dengan vibrator, membelai vaginanya,
membiarkan telinga kelinci melakukan pekerjaannya pada
klitorisnya, mendengarkan suaranya yang terengah-engah dan
merintih dan merengek terus-menerus...menerka. Ketika napasnya
menjadi tidak beraturan, Ian mematikan vibrator klitoris dan hanya
memberi kenikmatan pada bibir seks dan vaginanya dengan mainan
seks itu. "Oh, kumohon," desahnya setelah beberapa saat. Ian tahu Francesca
sudah akan klimaks sebelumnya, dan sementara vibrator di
vaginanya menyenangkan, Francesca menginginkan telinga kelinci
vibrator di klitorisnya. "Clitmu terlalu sensitif. Kau akan membuat segalanya berakhir
terlalu cepat." "Kumohon, Ian, " ulangnya, terdengar tanpa pikir panjang saat
Francesca menguatkan pegangannya pada kaki ranjang dan mulai
memompa pinggulnya, menunggangi vibrator.
Ian memukul pantatnya cukup keras hingga terasa menyengat.
Francesca berhenti menggerakkan pinggulnya.
"Siapa yang berkuasa di sini?" Tanyanya pelan.
"Kau," bisik Francesca setelah jeda panjang.
"Kalau begitu tahan pantatmu agar tetap diam," perintahnya,
sebelum Ian mulai meluncurkan vibrator ke masuk dan keluar dari
dirinya lagi, membiarkan gerigi yang berputar dan batang bergaris
melakukan pekerjaannya. Erangannya sesaat kemudian terdengar
kasar dan putus asa. Ian merasa iba dan menyetel motornya ke
getaran yang lebih tinggi.
"Ohhhh," rengeknya, "Oh, Ian...biarkan aku bisa bergerak. "
"Tetap diam, " perintahnya, meluncurkan vibrator jauh ke dalam
dirinya sampai ia merasakan panas dan kelembaban terhadap
punggung telunjuknya di mana ia memegang pegangan vibrator.
Pandangannya hanya tertuju pada gambaran yang sangat erotis dari
batang silikon yang meluncur masuk dan keluar dari celah vagina
yang sempit. Erangan Francesca dan rintihan gairahnya yang frustasi
memenuhi telinganya. Ian menyiksanya, menjaganya tepat di ujung,
menikmati kekuasaannya. "Tolong...biarkan aku klimaks, " pintanya, permohonannya meledak
keluar dari tenggorokannya. Ian menghentikan gerakan tusukannya
ketika mendengar ketegangan dalam suaranya yang pecah. Ian
mendambakan untuk menyangkal Francesca. Ian ingin memberikan
segala yang pernah Francesca minta...dan banyak lagi.
Konflik yang berkecamuk dalam dirinya terlalu banyak. Dia melepas
vibrator dan melemparkannya ke tempat tidur.
"Berdirilah," katanya, gairah membuatnya terdengar lebih keras
daripada yang dia maksudkan. Warna di pipi Francesca telah
menggelap ketika ia memutar tubuhnya ke arahnya. Sebuah kemilau
keringat bersinar di keningnya dan bibir atasnya. Dia cantik luar
biasa. Ian membenamkan punggung telunjuknya ke celah basah di
antara labianya. Francesca tersentak, tapi Ian menjaga tangannya
tidak bergerak. "Jika kau ingin klimaks, tunjukkan padaku," perintahnya.
Francesca menatapnya, matanya berkaca-kaca dengan gairah yang
intens, namun Ian melihat kebingungannya.
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau bisa orgasme dengan tanganku, tapi kau harus menunjukkan
bahwa kau menginginkannya. Aku tidak akan bergerak. "
Francesca menggigit pada bibir bawahnya yang gemetar, dan Ian
hampir saja menyerah. Hampir. "Ayo," pintanya.
Francesca menutup matanya, seolah-olah untuk melindungi diri dari
tatapannya, dan mulai mendorong pinggulnya terhadap jarinya.
Sebuah erangan meluncur melewati bibirnya. Ian melihat, terpesona,
menjaga tangan, jari, dan lengannya tetap tegas, tapi tidak
membelainya, membuat Francesca yang melakukan itu.
"Benar. Tunjukkan padaku bahwa kau tidak malu. Tunjukkan padaku
bahwa kau bisa tunduk pada hasratmu," sergahnya. Francesca
menaik turunkan pinggulnya lebih keras, memantul naik dan turun
terhadap tangannya...sangat ingin mendapat kenikmatannya. Ketika
jeritan kecil tanda frustrasi keluar dari tenggorokannya, Ian hampir
menyerah. Hampir. "Buka matamu, Francesca. Tatap aku, " perintahnya, suaranya
menembus pencarian liar Francesca untuk pelepasan.
Francesca membuka kelopak matanya dengan lamban saat ia terus
menunggangi tangannya yang tak bergerak. Ian melihat
keputusasaan, ketidakberdayaan, ketakutannya pada kebutuhannya
yang lebih besar daripada harga dirinya.
"Jangan takut," bisiknya. "Kau lebih cantik bagiku sekarang
daripada yang pernah kulihat. Sekarang klimakslah terhadap
tanganku." Ian melenturkan otot lengannya, mengerahkan tekanan, memberinya
pelepasan yang sangat Francesca butuhkan dan pantas dia dapatkan.
Ian memejamkan mata sesaat dalam sensasi lezat cairan hangat yang
melumuri jemarinya saat Francesca mencapai klimaks.
Sesaat kemudian, Ian memutar tubuh Francesca dan berhasil
mengeluarkan beberapa kata-kata dari otaknya yang diselimuti
nafsu, menyuruhnya untuk membungkuk dan menahan dirinya lagi
di atas kaki ranjang. Ketika Ian akhirnya memasukkan
kejantanannya ke dalam cairan panas yang melekat, matanya
melebar. Rasanya seperti memasuki wanita untuk yang pertama kali
- bukan, tak terhingga lebih nikmat - arena kehidupan yang
seluruhnya baru, sebuah pengalaman segar dengan intimidasi yang
sangat kuat. Ian kehilangan dirinya dalam diri Francesca, semuanya tampak
menghitam untuk sesaat ketika kenikmatan dan kebutuhan
membanjirinya, menghantam kesadarannya. Ian menggeliat terhadap
tubuhnya seperti pria liar, paru-parunya terbakar, kejantanannya
nyeri, ototnya mengepal...jiwanya terobek.
"Francesca," katanya garang, terdengar marah, meskipun tidak lagi.
Ian membuka tangannya di sekitar tulang rusuknya yang halus dan
menarik Francesca ke atas sehingga ia berdiri di depannya, bagian
atas tubuhnya sedikit membungkuk ke depan. Ian terus
menyetubuhinya, merasakan jantung Francesca berdetak cepat di
tangannya, gemetar menggetarkan tubuhnya saat Francesca
mencapai klimaks, dinding otot vaginanya menjepit dan kejang di
sekitar kejantanannya. Tanpa pikir panjang, Ian mendorong ke bawah bagian atas tubuh
Francesca lagi, tangannya jatuh ke pinggulnya, menyetubuhinya
dengan tusukan pendek yang keras, giginya memamerkan
kenikmatan yang menyilaukan dalam mulutnya. Ian menyentak
Francesca kearah tubuhnya, otot-ototnya menegang begitu kencang
hingga ia mengangkat kaki Francesca dari lantai.
Orgasme merobeknya dengan kekuatan layaknya sambaran petir. Ian
mengerang dalam kenikmatan yang menyiksa batin saat ia mulai
klimaks di dalam jangkauan terjauh Francesca. Sebuah kebutuhan
terpenting yang tajam membuatnya kewalahan, bahkan di tengahtengah krisis dalam
dirinya - sebuah kebutuhan untuk menandainya,
untuk benar-benar menguasainya...membuat Francesca menjadi
miliknya. Ian menyentak kejantanannya yang berkilau keluar dari surga vagina
Francesca dan memompa, ejakulasi di atas pantat dan punggungnya,
sampai spermanya menggenang di atas kulit Francesca.
Ian hanya berdiri di sana selama satu menit penuh setelah badai
siklon berlalu, kejantanannya di cengkeram erat di tangannya,
terengah-engah, dan menatap gambaran kuat tubuh telanjang
Francesca ditetesi dengan spermanya. Ian berpikir tentang betapa
kejamnya ia menghukum Francesca, bagaimana ia memaksanya
untuk menelan harga dirinya dan menyerahkan dirinya di tangannya,
bagaimana ia menyetubuhinya seperti orang gila.
Penyesalan melintas ke dalam kesadarannya. Kemudian menderu.
Ian membantunya berdiri, kemudian menuju ke kamar mandi untuk
mengambil handuk. Dengan lembut mengeringkan tubuh Francesca,
lalu membuka kancing kemejanya dan menyampirkannya di tubuh
Francesca yang telanjang. Ini menjadi salah Ian karena telah
mengekspos tubuh Francesca begitu banyak.
Ian membalas tatapan serius Francesca dengan sekuat tenaga saat
mengancingi kemejanya, menutupi kulit mulusnya yang ia ingin
berlama-lama...untuk di belai. Ian membuka mulutnya untuk bicara,
tapi apa yang bisa ia katakan" Tindakannya kasar dan egois dan
mungkin tak termaafkan. Ian bermaksud membuktikan kebodohan Francesca karena percaya
bahwa dia telah jatuh cinta, tapi sekarang bahwa tampaknya Ian
telah berhasil, ia tidak merasakan apa-apa kecuali penyesalan yang
sangat dalam. Tak mampu menghadapi tatapan mata gelap Francesca lebih lama
lagi, Ian berbalik dan berjalan keluar dari kamar tidur.
*** Sepuluh hari kemudian, Davie berdiri di lemari baju Francesca
mengenakan tuksedo dan mengaduk-aduk gantungan di sepanjang
rak sementara Francesca memandang lesu dari tempatnya duduk di
tepi tempat tidurnya. "Bagaimana dengan ini?" Tanya Davie, keluar dari lemari
memegang sebuah gaun. Dia berkedip ketika melihat Davie memegang gaun bohemian yang
dengan bodohnya dia kenakan pada acara makan malam
perayaannya di Fusion beberapa bulan lalu - di malam ia pertama
kali bertemu Ian. Rasanya mustahil bahwa hidupnya telah berubah
secara drastis sedemikian rupa dalam kurun waktu singkat. Rasanya
tidak mungkin bahwa ia jatuh cinta begitu mendalam, dan kemudian
tersesat di dalamnya dengan keahlian seperti Francesca. Tapi
kemudian ketika ia mempertimbangkan segala sesuatunya, itu
membuat perasaannya menjadi muram.
Davie memperhatikan penilaian Francesca yang kurang antusias dari
gaun itu. Dia mengangkat dan memeriksanya. "Apa" Ini manis."
"Aku tidak pergi, Davie, " katanya, suaranya terdengar serak karena
jarang bicara. "Ya, kau pergi," kata Davie, memberinya lirikan sengit seperti
biasanya. "Kau tidak akan bersembunyi di kamarmu selama liburan
Thanksgivingmu." "Kenapa tidak" Ini liburanku," katanya datar, mengambil bantal
dekoratif dan mengangkat rumbainya. "Aku tidak menelantarkan apa
pun yang seharusnya aku lakukan. Apakah aku tidak mendapatkan
kesempatan untuk bersantai sesuka hati di kamarku, jika aku ingin?"
"Jadi...kebenaran akhirnya keluar. Francesca Arno adalah benarbenar tipe gadis
yang biasanya sangat meremehkan, yang merajuk
dan menolak untuk makan setelah putus dengan seorang pria. "
"Ian dan aku tidak putus. Kami hanya tidak berbicara selama
seminggu setengah." Dan kami sepertinya tidak akan pernah bicara
lagi. Francesca memikirkan bagaiamana Ian menatap sebelum ia
meninggalkannya berdiri di suite kamar tidurnya di pesawat -
penyesalannya, kebingungannya...keputusasaannya. Dia percaya Ian
memiliki sesuatu untuk ditawarkan pada dirinya di luar seks, tapi dia
tidak. Dan bukankah itu spekulasi dua arah" Apa bedanya jika dia
memiliki semua keyakinan di dunia, namun Ian meragukannya"
"Selain itu," lanjutnya, "putus menyiratkan bahwa kita bersamasama sebelumnya,
dan kami tidak. Tidak dalam arti kata tradisional
manapun." "Apa kau pernah mencoba menghubunginya?" Kata Davie,
menggantungkan gaun di kamar mandinya.
"Tidak. Aku masih bisa merasakan amarahnya. Itu seperti memancar
sepanjang perjalanan dari Sungai Chicago ke rumah kami."
"Itu bukan amarah," Francesca pikir ia mendengar temannya
bergumam pelan. "Apa?" Tanyanya, bingung.
"Itu imajinasimu, 'Ces. Kenapa kau tidak meneleponnya?"
"Tidak. Itu tidak akan ada bedanya."
Davie mendesah. "Kalian berdua begitu keras kepala. Kau tidak bisa
terlibat dalam kebuntuan selamanya."
"Aku tidak dalam kebuntuan."
"Oh, aku paham. Kalau begitu kau sudah menyerah sepenuhnya."
Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, kemarahan melintas di
dalam keputusasaan Francesca akibat kata-kata Davie. Francesca
memberikan lirikan jengkel dan Davie menyeringai, sambil
mengulurkan tangannya. "Ayolah. Justin dan Caden sedang menunggu. Ditambah, kami
punya kejutan untukmu."
Francesca mengembuskan napas frustrasi, tapi berdiri. "Aku tidak
ingin dihibur. Dan bahkan jika aku ingin, mengapa kalian
menyeretku ke pertemuan bodoh kaum lajang - *black tie event,
tidak kurang - untuk melakukannya" Kau tahu aku tidak punya
sesuatu yang bagus untuk dipakai. Aku benci acara itu. Kau dulu,
juga." "Aku sudah berubah pikiran. Ini untuk tujuan baik," katanya sambil
melewati Francesca menuju ke kamar mandi.
"Apa, menyelamatkan hatiku yang porak-poranda?"
"Aku akan mengatur untuk membawamu keluar dari rumah ini,"
jawab Davie, tidak terpengaruh oleh kata-kata sindirannya.
*** Black tie event berada di sebuah klub baru yang trendi di utara
Wabash, pusat kota. Caden dan Justin berada di kondisi yang jarang
di dalam mobil dalam perjalanan ke sana, Jumat malam mereka
terlihat tampan namun urakan dalam tuxedo mereka yang baru.
Francesca, di sisi lain, sudah siap untuk pergi, meskipun mereka
bahkan belum sampai di sana. Kenangan indah yang mengerikan
mulai menyerangnya bertubi-tubi ketika mengenakan gaun
bohemian dan teringat dalam detail yang jelas terakhir kali dia
memakainya. Wanita memakai pakaian, Francesca. Bukan sebaliknya. Itulah
pelajaran pertama yang akan aku ajarkan padamu.
Dia menggigil mengenang suara kasar Ian yang tenang. Bagaimana
dia merindukannya. Rasanya seperti luka terbuka dalam dirinya,
tempat dia tidak bisa mencapai untuk menenangkan diri.
Davie kesulitan mencari tempat parkir yang dekat dengan tujuan
mereka, dan mereka sudah berputar-putar untuk sementara waktu.
Francesca melihat keluar jendela mobil saat mereka menyeberangi
Sungai Chicago dan melihat gedung Noble Enterprises menjulang
beberapa blok jauhnya. Apakah dia benar-benar wanita naif muda yang sama yang telah
menghadiri pesta koktail perayaan di sana, dia yang begitu rapuh,
begitu tidak yakin...begitu menantang supaya ada yang
memperhatikan" Dan apakah itu benar-benar dia yang pertama kali
memasuki penthouse Ian, ketertarikannya lebih tertuju pada pria
misterius yang berdiri di sampingnya daripada melihat penthouse
yang megah dan karya seni yang dimilikinya...pemandangan yang
menakjubkan. "Mereka hidup, gedung-gedung itu...beberapa lebih hidup dari yang
lain. Maksudku mereka tampak seperti itu. Aku selalu berpikir
begitu. Masing-masing dari mereka memiliki jiwa. Pada malam
hari, terutama...Aku bisa merasakannya."
"Aku tahu kau bisa merasakannya. Itulah alasannya aku memilih
lukisanmu." "Bukan karena garis lurus yang sempurna dan tiruan yang tepat?"
"Tidak. Bukan karena itu."
Matanya terbakar oleh kenangan yang kuat itu. Ian telah melihat
dirinya begitu baik, bahkan kemudian, melihat hal dalam dirinya
yang tidak bisa dia lihat. Ian menghargai hal-hal itu, melatih
kekuatannya sampai... ...tidak. Jawabannya adalah tidak. Francesca bukan lagi bahwa
wanita muda yang sama. Davie parkir di garasi berbayar di Wacker
Drive, selatan sungai, lebih jauh ke timur dari tujuan yang
diinginkan. Francesca menggigil tak terkendali ketika angin sungai
mengiris langsung melalui mantel wol tipisnya saat mereka
menyeberangi jembatan. Davie melihat dan merangkulnya di bawah
lengannya. Justin masuk dengan semangat dan memeluk dia dari sisi
yang lain, mencangkung di sekelilingnya, tubuh mereka membantu
melindunginya. Caden, juga harus bergabung dalam kegagahan itu,
lebih untuk menghibur Francesca, mengaitkan lengan dengan Justin
untuk membantu memblokirnya dari angin danau timur yang brutal.
Mereka membundelnya begitu erat di antara mereka,
membimbingnya menyusuri trotoar setelah mereka melewati sungai
dan jembatan, Francesca tersandung.
"Kalian ini, aku tidak bisa melihat!"
"Tapi kau hangat, kan?" Tanya Justin riang.
"Ya, tapi..." Tiba-tiba Justin dan Caden mendorongnya ke pintu kaca
berputar. Matanya melebar ketika menyadari ke mana mereka akan
memanuver dirinya. Dia menolak keras, tapi Justin mendorong dari
belakang dan dia tidak punya pilihan selain maju ke dalam lobi
Noble Enterprises. Francesca memandang ke sekitar, terkejut mendapati dirinya berada
di wilayah kekuasaan Ian begitu tiba-tiba...begitu tidak diinginkan.
Beberapa lusin wajah memandang kedatangannya yang kaku. Dia
melihat wajah akrab Lin yang tersenyum, dan Lucien dan Zoe - dan
dia tersentak - Anne dan James Noble tersenyum padanya dari
kejauhan. Pria elegan dengan rambut putih keabu-abuan mengangkat
gelas sampanye padanya untuk memberikan hormat dalam diam,
bukankah itu Monsieur Garrond, kurator Musee de St. Germain yang
telah Ian perkenalkan padanya di Paris" Tidak. Itu pasti bukan.
Matanya melotot tak percaya saat ia mengenali orangtuanya yang
berdiri canggung di samping pohon pakis, ayahnya membisu, tapi
ibunya melakukan yang terbaik untuk mencoba tersenyum hangat.
"Mengapa semua orang menatapku?" Bisiknya pada Justin saat ia
melangkah ke sampingnya. Kepanikan meningkat di dada Francesca
pada adegan tidak nyata di hadapannya. Justin mencium hangat
pipinya. "Ini kejutan. Lihatlah, Francesca. Ini semua untukmu. Selamat." Dia
menganga menatap ke arah di mana Justin menunjuk, ke petak
dinding yang dulunya kosong yang mendominasi lobi. Lukisannya
telah dibingkai dan dipasang. Itu tampak mengagumkan...sempurna.
Justin dengan lembut menutup rahang Francesca ketika dia tidak
bisa berhenti melongo menatap bagian tengah ruangan itu,
mendesaknya untuk melihat apa lagi yang ada di dalam ruangan itu.
Seluruh lobi telah diisi dengan lukisannya, masing-masing dipajang
pada sandaran, semuanya dipasang dan dibingkai secara
professional. Orang-orang yang berjalan-jalan mengenakan pakaian
hitam berdasi, meneguk sampanye, dan tampaknya mengagumi
karyanya. Sebuah kuartet alat musik gesek kecil memainkan Bach
Because You Are Mine Karya Beth Kery di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Brandenburg Concerto No. 2.
Dia melirik dari Justin ke Davie dengan sengit. Davie memberinya
senyum menenangkan. "Ian yang merencanakannya," katanya pelan.
"Beberapa kolektor yang paling kaya, ahli seni terkenal dan kritikus,
kurator museum dan pemilik galeri dari seluruh dunia berada di sini
malam ini. Pesta ini untuk menghormatimu, Francesca...kesempatan
bagi dunia untuk melihat seberapa berbakat kau sebenarnya."
Francesca meringis dalam hati. Oh Tuhan. Semua orang melihat
karyaku" Tapi kelihatannya tidak ada yang tertawa atau meragukan
dengan sindiran, setidaknya, pikirnya sambil memeriksa beberapa
wajah dengan cemas. "Aku tidak mengerti. Apa Ian merencanakan ini sebelum di
London?" Tanyanya. "Tidak. Dia menghubungiku satu atau dua hari setelah kau kembali
dari London dan memintaku untuk membantunya mengatur beberapa
hal. Aku yang memasang dan membingkai semua lukisan. Kami
bahkan berhasil memperoleh empat lukisan untuk menambah
koleksi. Ian tidak sabar untuk menunjukkannya padamu."
Sebuah pengetahuan yang tiba-tiba menghantamnya, dan dia
menatap ke kerumunan. Ian berdiri di samping kakek-neneknya, tampak muram, anggun, dan
amat tampan dalam tuksedo klasik hitam dengan dasi kupu-kupu.
Tatapan Ian menyala saat bertemu dengan tatapan Francesca...penuh
perasaan. Hanya Francesca, yang telah mengenalnya dengan baik,
melihat bayangan dari roman kegelisahan yang menghantui akan
terlihat dingin dan tanpa ekspresi di mata orang lain.
Francesca pikir dia terkena serangan jantung. Dia memegang
dadanya. "Kenapa dia melakukan ini?" Tanyanya pelan pada Davie.
"Kupikir itu caranya untuk mengatakan dia menyesal. Beberapa pria
mengirim bunga, Ian - "
"Mengirim dunia, " bisik Francesca dengan bibir yang mati rasa. Ian
mulai mendekatinya, dan Francesca mengikutinya ke arah yang
sama, bergerak seperti orang yang berjalan sambil tidur menuju pria
yang tidak bisa dia lepas dari pandangannya, dan yang dia dambakan
lebih dari apapun yang ada dalam hidupnya.
"Halo," kata Ian pelan ketika mereka bertemu.
"Hai. Ini cukup mengejutkan," Francesca berhasil mengeluarkan
kata-kata, jantungnya seperti mendesak keluar segala sesuatu yang
lain di tulang rusuknya, meremas paru-parunya. Francesca
menyadari dari kejauhan mungkin puluhan tatapan tertuju pada
mereka, tapi ia hanya bisa fokus pada kehangatan - harapan yang
hati-hati - dalam tatapan Ian.
"Apakah aku sudah menggantungnya sesuai keinginanmu?" Tanya
Ian, dan Francesca tahu maksudnya adalah lukisan itu.
"Ya. Ini sempurna."
Jantungnya berdebar seperti biasa ketika Ian tersenyum. Ian
mengulurkan kedua tangannya. Menyadari gerakannya yang akrab,
Francesca membuka kancing mantelnya dan berbalik. Ketika Ian
melepaskan mantel dari lengannya ia berputar ke arahnya, dagunya
terangkat tinggi, tubuh tegak - ya bahkan di dalam gaun
bohemiannya. Tatapan Ian sekilas berada pada tubuhnya dan
Francesca melihat ia mengenali gaun itu. Senyumnya seluruhnya
mencapai matanya. Ian mengambil dua gelas sampanye dari seorang
pelayan yang lewat dan menggumamkan permintaan sebelum
menyerahkan mantelnya padanya.
Sesaat kemudian, Ian menyerahkan gelas sampanye padanya dan
melangkah lebih dekat. Francesca mempunyau kesan bahwa peserta
pesta yang lain mencoba untuk memusatkan perhatian mereka
kembali ke dalam percakapan mereka sendiri, memberi mereka
sedikit privasi. Ian menyentuh gelasnya terhadap gelas Francesca.
"Untukmu, Francesca. Semoga kau memiliki segalanya yang layak
dalam hidupmu, karena tidak ada satu orang pun yang begitu
berjasa." "Terima kasih," gumamnya sambil menyeruput dengan enggan, tidak
yakin bagaimana seharusnya ia merasa dalam situasi yang
membingungkan. "Maukah kau menghabiskan malam ini denganku, sekarang," Ian
melirik ke sekeliling lobi yang ramai, "dan nanti" Ada hal-hal yang
ingin aku katakan padamu secara pribadi. Aku harap kau akan
mendengarkan." Tenggorokannya tercekat ketika ia menebak apakah beberapa dari
'hal-hal' yang mungkin. Francesca tiba-tiba ragu dia bisa bertahan
beberapa jam ke depan, bertanya-tanya apa yang akan Ian katakan.
Sebuah bagian kecil darinya berkata dia harus menolak, bagian yang
ingin menjaga hatinya tetap aman. Tapi kemudian Francesca
menatap matanya, dan keputusan telah diambil.
"Ya. Aku akan mendengarkan." Ian tersenyum, meraih tangannya
dan mengantarnya ke dalam kerumunan.
*** Sudah lewat tengah malam ketika ia membukakan pintu suitenya
untuk Francesca dan dia berjalan ke dalam kamar elegan yang
menyala remang-remang. "Kupikir mungkin aku tidak akan pernah berada di kamar tidur ini
lagi," kata Francesca terengah, melirik ke sekeliling, menghargai
setiap detail kecil tempat perlindungan pribadi Ian yang tidak pernah
dia lakukan sebelumnya. Mereka pernah bersama-sama sepanjang
malam, Ian tidak pernah meninggalkan sisinya, dia sangat sadar saat
Ian memperkenalkannya kepada penggerak dan pelopor dari dunia
seni atau menunjukkan padanya empat lukisannya yang sudah
diperbaiki, atau mereka berbicara dengan teman-teman dan keluarga.
Sementara itu, Francesca bertanya-tanya apa yang sedang
dipikirkannya...apa yang akan dikatakannya saat mereka hanya
berdua secara pribadi. Francesca telah didekati oleh tiga galeri terkenal untuk koleksi di
masa mendatang dan diminta untuk melakukan pameran di
Barcelona Museum of Contemporary Art. Dia melihat ke Ian untuk
itu, karena ia adalah pemilik lukisannya saat ini, dan Ian mengatakan
dengan tegas itu terserah pada Francesca untuk memutuskan. Empat
kolektor telah membuat tawaran pada lukisannya, meskipun Ian
telah menolak untuk menjual, dengan tegas. Untuk melengkapi
semua itu, salah satu penawar telah dibuat dari perusahaan ayah
Francesca, yang tak percaya dengan harga yang disebutkan telah
membuat ayahnya pucat. Secara umum, efek Ian pada kedua orang
tuanya sudah cukup berbekas. Mereka begitu tak mampu bicara
karena terkejut dan bersemangat untuk bersikap menyenangkan di
hadapan Ian dan dia cukup yakin Ian pasti mengira dia pembohong
tentang semua yang ia ceritakan tentang mereka. Francesca sedikit
terganggu oleh bakat merendahkan diri yang tak terduga ini dalam
karakter mereka, namun sebagian besar agak lega mereka
berperilaku cukup menyenangkan sepanjang malam.
Ian menutup pintu kamar tidur suitenya dan bersandar. Francesca
menghadapnya. "Terima kasih, Ian," katanya terengah. "Aku merasa seperti
primadona pesta dansa malam ini."
"Aku senang kau datang."
"Aku ragu aku akan ada di sana jika Davie dan yang lainnya tidak
menipuku. Aku tidak berpikir kau akan ingin melihatku setelah di
London...setelah itu semua. Kau begitu marah."
"Aku marah, ya. Aku belum pernah marah untuk sementara waktu,
sekalipun." "Tidak?" Tanya Francesca dengan nada berbisik. Ian menggelengkan
kepalanya, tidak pernah melepaskan tatapannya. Mulutnya
menegang. "Tidak. Tapi aku juga tak bisa mencari tahu apa aku benar-benar
marah. Tidak butuh waktu lama untuk tahu, tapi kemudian aku harus
menemukan cara untuk memberitahumu dalam situasi di mana kau
tidak bisa lari dariku terlalu mudah. Aku mohon maaf atas dalih
malam ini." Mulutnya terbelit seakan-akan ia memakan sesuatu yang
pahit. "Maafkan aku, untuk semuanya."
Francesca mulai heran pada pernyataan kasarnya. "Untuk bagian
yang mana?" "Untuk semuanya. Dari hal pertama yang aku katakan padamu
bahwa itu tidak menghargai dan tidak berperasaan sampai hal egois
terakhir yang aku lakukan. Maafkan aku, Francesca."
Francesca menelan ludah dengan susah payah, tidak dapat melihat
tatapannya untuk beberapa alasan. Meskipun dia tahu pertukaran
seperti ini memang diperlukan, mengingat semua yang telah terjadi
di antara mereka, masih tampak begitu sekunder dibandingkan
dengan apa yang dia lihat di London.
"Bagaimana keadaan ibumu?" Tanyanya pelan.
"Stabil," kata Ian, masih bersandar di pintu. Dia menghela napas
setelah beberapa detik dan mengambil langkah ke arah Francesca.
Dia tidak bisa berpaling saat Ian menanggalkan jas tuksedo dan
meletakkannya di belakang kursi, terpesona oleh keindahan
tubuhnya. "Tidak ada banyak harapan dia akan membaik pada pengobatan
khusus ini, tapi dia tidak akan bertambah buruk. Itu sesuatu,
setidaknya." "Ya. Itu sesuatu. Aku tahu kau tidak menginginkan belas kasihanku,
Ian. Aku mengerti itu. Aku tidak pergi ke London untuk menawarkan
simpati." "Lalu kenapa?" Katanya, suara tenangnya membimbing ke sarat
momen yang menundukkan. "Untuk menawarkan dukunganku. Aku tahu bahwa apa pun yang
terjadi di London menyakitimu, meskipun aku tidak tahu apa yang
akan kutemukan di sana. Aku hanya ingin berada di sana untukmu.
Itu saja." Ian tersenyum kecil. "Kau membuat itu terlihat seperti suatu hal
sekali pakai yang kecil. Tidak...aku yang membuatnya tampak
seperti itu. Aku mengambil tindakan peduli dan kebaikanmu dan
melemparkannya di wajahmu," katanya terus terang, rahangnya
kaku. "Aku tahu itu membuatmu merasa terekspos. Maafkan aku."
"Aku harus melindunginya untuk waktu yang lama," katanya tiba-
tiba, setelah jeda panjang.
"Aku tahu. Anne bilang padaku," memahami yang dimaksud Ian
adalah ibunya. Ian mengerutkan kening. "Nenek yang bilang padaku bahwa aku
menjadi brengsek egois yang keras kepala. Dia tidak bicara padaku
selama seminggu ketika aku mengakui beberapa hal yang telah aku
katakan padamu karena muncul di Institut. Dia tidak pernah
melakukan itu sebelumnya," katanya, keningnya berkerut seolaholah dia masih
tidak seratus persen yakin apa yang membuat nenek
tercintanya yang sangat elegan memanggilnya brengsek. Hati
Francesca tergagap oleh kejutan menyenangkan mendengar berita
dukungan dari Anne. "Aku berada di sana bukan untuk menghakimi. Bahkan jika aku
menghakimi, di sana tidak akan ada apa-apa untuk diadili kecuali
seorang wanita yang sangat sakit dan seorang anak yang
menyayanginya dan berharap untuknya, meskipun semuanya."
Ian menyentakkan dagunya, menatap dinding yang jauh. "Aku
memperlakukanmu dengan tidak adil...dengan salah. Aku ingin
menghukummu karena rangsangan seksual, tapi aku tidak pernah
benar-benar ingin menyakitimu. Tapi hari itu di pesawat-aku
menyakitimu. Tidak sepenuhnya, namun bagian dari diriku ingin - "
"Membuatku terluka seperti kau telah terluka?" Tatapannya
menyorot dengan rasa bersalah ke wajah Francesca.
"Ya." "Aku mengerti, Ian," katanya lembut. "Itu bukan apa yang terjadi di
kamar tidur suite pesawat yang membuatku kesal. Kau tidak
menyakitiku, dan kau harus tahu aku menikmatinya. Itu dirimu yang
menjauh dariku sesudahnya."
Dia merasakan ketegangan Ian meningkat.
"Aku merasa malu. Karena dia. Karena kau melihatnya. Pada diriku
sendiri karena masih memiliki perasaan sialan itu yang bangkit
dalam diriku bahwa aku tidak ingin orang lain melihatnya. Kenapa
harus menjadi masalah sekarang?" katanya.
Kata-kata pahit tampak menggantung di udara di antara mereka,
racun yang terbuang, kata-kata rahasia yang ia simpan jauh di dalam
jiwanya sejak masih kanak-kanak, mungkin kata-kata terpenting,
terkuat yang pernah dia katakan kepada Francesca...kepada siapa
pun. Francesca menghampirinya dan memeluk pinggangnya, meletakkan
pipinya di kemeja putihnya. Menghirup aroma unik laki-lakinya, dia
memeluk dengan erat. Dia menutup erat kelopak matanya karena
emosi yang menghinggapinya. Dia mengerti betapa sulitnya ini bagi
Ian untuk mengatakan semua ini, seorang pria yang biasanya
berhati-hati terhadap kerentanan, tetap tabah dan kuat karena ia
percaya ia tidak punya pilihan lain.
"Aku mencintaimu," kata Francesca.
Ian menangkap dagunya dengan jemarinya dan mengangkat
wajahnya. Dia mengusap jemarinya di rahangnya. Francesca melihat
kerutan di dahi Ian saat ia mengamati dirinya.
"Apa yang salah?" Bisik Francesca.
"Aku tidak mengizinkan diriku sendiri untuk jatuh cinta denganmu."
Francesca tertawa pelan saat ia menyerap kata-katanya yang
diucapkan secara blak-blakan. Begitu khas dirinya, mengatakan
sesuatu seperti itu. Perasaan cinta membengkak di dadanya, begitu
besar dan begitu murni, nyaris menyakitkan.
"Kau tidak bisa mengendalikan segala sesuatu, Ian, apalagi ini. Apa
itu berarti kau merasakannya" Mencintaiku?" Tanyanya ragu-ragu.
"Kupikir aku mungkin telah mencintaimu bahkan sebelum kita
bertemu, sejak pertama kali aku menyadari itu kau yang
menangkapku di atas kanvas...Kau yang mengobati rasa sakitku
dengan tanganmu yang ahli. Itu membuatku malu, apa yang kau
lihat, tapi aku tidak bisa menahannya kecuali menginginkanmu
untuk melihat lebih dari diriku. Kau terlalu baik untukku," katanya
parau. "Dan aku yakin aku tidak layak untukmu. Tapi kau milikku,
Francesca. Dan mungkin kau belum tahu...Aku milikmu. Selama kau
akan memilikiku." Kata-kata itu berderak dan mengguncang dunia Francesca,
menghancurkan keseimbangannya. Tapi kemudian bibir Ian
menempel di atas bibirnya, dan ia menemukan pusat dunianya.
tbc... *Black tie event: acara malam di mana pria dan wanita harus berpakaian formal
seperti tuxedo, dasi kupu-kupu hitam, gaun malam, gaun koktail, dll.
Pedang Medali Naga 11 Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang Petaka Seorang Pendekar 2