Pencarian

Ratu Pilihan 7

Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella Bagian 7


Otaknya mengulang kembali kejadian yang baru saja dialaminya.
Ia merasa sangat gembira ketika kereta mulai bergerak meninggalkan
Fyzool. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan Quinn. Namun ia mulai
merasa curiga ketika melihat laut melalui jendela kereta. Ia tidak
mendengar dengan jelas di mana Quinn menantinya namun ia yakin
Quinn tidak akan membawanya ke laut. Quinn sudah berjanji padanya.
"Berhenti!" Eleanor berteriak pada kusir kuda. Kereta terus melaju
dengan kencang. "Berhenti, kataku!" serunya keras-keras. Melihat kusir
kuda yang sengaja mengacuhkannya, Eleanor mulai merasa tidak tenang.
Ia mencoba membuka pintu kereta namun pintu itu terkunci rapat. Ia
juga tidak dapat membuka jendela kereta.
Eleanor langsung sadar ia sudah masuk dalam perangkap. Karenanya
Eleanor langsung menerjang ketika pintu kereta terbuka.
Sayangnya, bagi Eleanor, seorang pria bertubuh besar menghadangnya.
Sebelum ia sempat memberikan perlawanan, seseorang memukul
kepalanya dari belakang hingga ia pingsan.
"Kau sudah bangun?"
Eleanor terkejut mendengar suara itu. "Mengapa kau ada di sini?"
tanyanya kemudian ia merasakan tubuhnya terayun-ayun. "Di...di... mana
kita?" tanyanya panik.
"Kita sudah jauh dari Viering," jawab Mathias sambil mendekati Eleanor,
"Quinn tidak akan menganggu kita."
"A-apa yang kaulakukan?" Eleanor menghindari Mathias ke sisi ranjang
yang lain. Ayunan ombak laut membuatnya kembali sadar saat ini ia
berada di tempat yang paling ditakutinya, laut!
Mathias memanfaatkan kelengahan Eleanor itu untuk menarik gadis itu ke
dalam pelukannya. Eleanor langsung tersadar. "Lepaskan!" rontanya, "Lepaskan aku!
Lepaskan!" "Sekarang kau tidak bisa kabur. Di tempat ini hanya ada aku dan kau!
Tidak akan ada yang menganggu kita," Mathias menjatuhkan ciumannya
di sekujur tubuh Eleanor sementara tangannya terus menggerayangi
tubuh gadis itu. "TIDAAAKKK!" ronta Eleanor, "LEPASKAN! LEPASKAN AKU!!!" Kepanikan
dan ketakutan Eleanor langsung pecah dalam tangisannya. "Quinn!"
serunya memanggil, "Quinn!!"
Mata Mathias langsung membelalak penuh kemarahan mendengar nama
itu. "DIAM!" Mathias menampar Eleanor dengan keras hingga Eleanor
terpelanting ke atas ranjang.
Eleanor memegang pipinya yang memerah karena sakit sambil menatap
Mathias dengan mata nanarnya.
"Quinn! Quinn! Selalu Quinn! Semua wanita memilih Quinn. Setiap orang
mengelu-elukannya. Mengapa setiap orang selalu menyanjung Quinn!!"
MENGAPA!" Katakan mengapa!?"" Mathias memprotes tanpa dapat
dihentikan, "Apa bagusnya Quinn" Apa kekuranganku!?"
Eleanor tidak berani mengeluarkan suara melihat pemuda yang sudah
lepas kendali itu. "Quinn tidak lebih dari seorang pemerintah, pemarah, dan penghancur
kebahagian orang lain! Ia suka memerintahku melakukan segala
keinginannya. Ia melarangku menikahi wanita yang kucintai. Ia
mencacatiku karena menikahi Simona. Sekarang ia merampas Simona
dariku. Katakan, apa salahku!" Apa salahku menikahi wanita yang
kucintai!" Mengapa kalian tetap saja memilih Quinn!?""
"Kau sudah gila," komentar Eleanor.
"Ya, aku sudah gila. Dunia ini sudah gila!" balas Mathias, "Simona benar.
Bila aku menjadi raja, tidak akan ada yang berani menghinaku."
Eleanor sadar pemuda ini sudah lebih gila dari Simona.
"Jangan khawatir, setelah aku membunuh Mathias, aku akan
menjadikanmu ratuku."
"Matipun aku tidak sudi!" sahut Eleanor.
Mathias menertawakan Eleanor. "Apa kau pikir aku bodoh" Kau menikahi
Quinn karena statusnya."
"Aku menikahinya karena aku mencintainya!"
"Quinn hanya menginginkan keturunan darimu."
"Tidak! Ia mencintaiku!"
"Tidak akan lagi setelah ini," Mathias mendekati Eleanor, "Aku akan
membuatmu melahirkan anakku."
Eleanor kembali panik. Ia meronta-ronta sekuat tenaganya dari pelukan
Mathias. Hanya nyeri yang tiba-tiba muncul di perutnyalah yang
melemahkan perlawanannya. "Quinn! Quinn!" Eleanor memanggilmanggil suaminya
dalam tangisan paniknya. "Panggilah sesukamu. Ia tidak akan datang," Mathias dengan kasar
merobek gaun Eleanor. Tiba-tiba terdengar suara ketukan panik di pintu.
"Aku tidak ingin diganggu!" seru Mathias murka.
Ketukan itu tidak berhenti. "Keadaan sangat gawat, Yang Mulia. Kapal
perang kerajaan sudah mengejar kita."
"PERSETAN!" Mathias mengumpat kasar sambil melemparkan tubuh
Eleanor ke atas tempat tidur. Kemudian ia melangkah ke pintu.
Eleanor memanfaatkan kesempatan itu untuk mencari jalan kabur.
"Apa kaukira kau dapat kabur!?" Mathias mencengkeram tangan Eleanor.
Eleanor kaget. "Quinn tidak akan selamat. Ia akan mati sebelum ia mencapai kapal ini!"
Mathias mengumumkan. "Tidak!" bantah Eleanor, "Quinn bukan seorang yang lemah. Ia pasti akan
menyelamatkanku." Eleanor tahu ia harus mencari cara untuk mengulur
waktu hingga Quinn tiba. "Ia pasti akan menghukummu!"
"DIAM!" Mathias menampar Eleanor lagi.
Eleanor jatuh tersungkur di lantai karena kerasnya tamparan itu.
"Mengapa!" Mengapa tidak seorang pun menghargaiku!" Mengapa Quinn
selalu mendapatkan yang terbaik sedangkan aku selalu dihina!?"
Eleanor melihat ke pintu. Ia sadar itulah satu-satunya pintu keluar dan
satu-satunya kesempatan untuk kabur adalah saat ini, saat Mathias
kembali kehilangan kendali atas emosinya!
"Kau pun begitu."
Eleanor terperanjat. Ketika ia membalikkan badan, Mathias sedang
melihat ke arahnya. "Aku begitu mencintaimu, tetapi mengapa engkau membenciku?"
Eleanor merasakan bahaya ketika Mathias berjalan ke arahnya. Ia
berjalan mundur menjauhi pemuda itu. Sedetik pun ia tidak berani
memindahkan matanya dari Mathias.
Bahaya yang dirasakannya semakin mendekati kenyataan ketika Mathias
mengeluarkan sebilah pisau dari sakunya.
"Aku akan mengantarmu ke dunia sana," Mathias menghunuskan
pisaunya. "Aku tidak akan membiarkan seorang pun yang menolakku,
hidup." Eleanor jatuh tersungkur karena gugupnya. Tiba-tiba luka di perutnya
terasa sangat perih. Eleanor memegang perutnya.
"Sekarang kau tidak bisa lari."
Eleanor kaget menyadari Mathias sudah berada di depannya. Pedangnya
yang berkilat tertimpa sinar matahari, terangkat tinggi-tinggi. Eleanor
memejamkan matanya - sadar ia tidak bisa lari dari takdirnya.
BAB 29 Quinn mendobrak pintu dari mana ia mendengar suara Eleanor.
Menyadari bahaya yang mengancam Eleanor, ia langsung melemparkan
pedangnya ke tangan Mathias sambil berseru, "Jauhkan tangan kotormu
dari Eleanor, Mathias!"
Pisau di tangan Mathias jatuh. Mathias merintih kesakitan memegang
tangannya yang tergores pedang Quinn.
Eleanor terkejut. Ia terperangah melihat Quinn berdiri di pintu.
"Apa yang kaulakukan, Eleanor!" seru Quinn, "Cepat menjauh!"
Teriakan itu langsung membangkitkan akal sehat Eleanor. Eleanor
langsung berlari menjauh.
"Apa kau pikir aku akan melepaskanmu!?" Mathias mencabut pedang
Quinn yang tertancap di dinding.
Quinn melihat gelagat tidak baik.
Mathias melemparkan pedang itu ke Eleanor.
Quinn langsung menerjang tubuh Eleanor tepat sebelum pedang itu
mengenai gadis itu. Pedang itu menggores lengannya sebelum menancap
di lantai. Eleanor terkejut. Sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, Quinn
berdiri di depannya dan membentak murka, "Apa yang kaulakukan,
Mathias!!?" Tinju Quinn melayang di wajah Mathias. Begitu keras tinjunya sehingga
Mathias jatuh tersungkur.
"Apa kau sadar apa yang sudah kau," Quinn terperanjat.
Eleanor memeluk tubuhnya erat-erat.
Mathias memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur.
"Quinn... Quinn...," panggil gadis itu di sela-sela tangisnya.
Kemarahan Quinn langsung sirna.
Quinn membalikkan badan. "Eleanor," panggilnya lembut. "Sudah aman,"
ia memeluk Eleanor erat-erat. "Keadaan sudah aman, Eleanor."
Di sela-sela air matanya, Eleanor melihat seseorang di belakang Quinn.
Sebilah pisau menancap di punggung Quinn.
"Quinn!" pekiknya.
Quinn jatuh menimpa Eleanor.
"Kalian berdua akan mati di sini," Mathias tertawa, "Kalian akan mati!"
Quinn mencabut pedang di punggungnya. "Eleanor," katanya perlahan
sambil menahan sakit. Tangannya memegang wajah pucat itu. "Tetaplah
di sini." "Kalian adalah pasangan yang menyedihkan. Kalian akan mati di sini."
"Kau...," bertumpu pada lututnya, Quinn berusaha berdiri.
"Kau memang menyedihkan, Quinn," Mathias mengejek, "Kau semakin
lemah." "Rupanya wanita jalanan itu sudah merubahmu. Sekarang kau tidak lebih
dari seorang pembunuh."
Wajah Mathias memerah oleh kemarahan. "DIAM!!!" Mathias
mengayunkan pedangnya dengan brutal.
Quinn membawa Eleanor menjauhi pemuda yang sudah kehilangan
kontrol itu sambil melindungi Eleanor.
"Kau tidak mengerti apa-apa! Kau tidak mengerti berapa lama aku
menunggu hingga hari ini. Kau tidak mengerti betapa aku ingin membalas
dendam padamu. Semua orang selalu mengaung-angungkanmu. Selalu,
selalu, dan selalu! Di mata mereka kau adalah segalanya dan aku adalah
sampah! Tapi semua akan segera berubah. Aku akan menjadi raja setelah
kalian tidak ada. Aku akan membunuh kalian."
Eleanor mencengkeram kemeja Quinn.Tubuhnya bergetar oleh takut -
takut Mathias akan mengambil Quinn darinya.
"Kalau kau memang mengincar tahta, lakukan secara jantan!" seru
Quinn, "Ambil pedangmu. Kita selesaikan secara jantan."
"Kaupikir aku takut!?" Mathias mengambil pedang Quinn yang masih
menancap di lantai. "Quinn..." "Jangan khawatir, Eleanor," Quinn melepaskan pegangan Eleanor dan
segera bersiap menerima serangan Mathias, "Aku tidak akan kalah oleh
seorang pengecut seperti ini."
Mathias menerjang maju. Quinn menyambut serangan Mathias.
Eleanor mematung melihat permainan pedang keduanya. Matanya nanar.
Kakinya lemas. Alam bawah sadarnya terus mengingatkan dirinya di
mana ia berada sekarang. Otaknya terus memerintahkannya untuk
membantu Quinn. Quinn sadar mereka dapat membahayakan Eleanor bila mereka berkelahi
di tempat ini. Perlahan namun pasti, ia menggiring Mathias meninggalkan
ruangan itu. Eleanor terus mendengar suara pertempuran yang mulai mereda di luar.
Ia dapat mendengar bunyi pedang saling beradu. Ia dapat mendengar
teriakan kesakitan. Ia dapat mendengar suara hantaman benda. Namun
di atas semua itu, ia mendengar jelas bunyi hantaman ombak laut di
dinding kapal. Tubuh Eleanor bergetar keras. Mereka berada di tengah laut! Mereka jauh
dari daratan! Otak Eleanor terus memerintahkan tubuhnya untuk membantu Quinn.
Alam bawah sadarnya melumpuhkan tubuhnya.
"PADUKA!!!" Eleanor terperanjat. Ia dapat mendengar bunyi seseorang jatuh ke dalam
laut. Kaki Eleanor langsung menerjang ke luar.
Beberapa prajurit melihat ke laut dengan panik.
Seseorang prajurit yang melihat kemunculan Eleanor langsung berseru,
"Lindungi Paduka Ratu! Lindungi Paduka Ratu!"
Mereka langsung berada di sekitar Eleanor, melindunginya dari para
perampok yang masih belum mereka ringkus.
Eleanor melihat dua sosok yang berkelahi dengan seru di laut. Mereka
berdua menghilang ke dalam laut.
"QUINN! QUINN!" Eleanor berseru panik di pagar dek.
Sesosok tubuh muncul dari dalam laut.
"QUINNN!" pekik Eleanor histeris.
Eleanor melihat wajah orang yang terapung itu. Ia langsung mengenali
wajah Mathias yang tidak sadar itu.
"Quinn, di mana Quinn?" Eleanor bertanya panik, "Di mana Quinn?"
Prajurit-prajurit itu terus melawan penjahat sewaan Mathias yang
berusaha membunuh Eleanor.
Eleanor memutuskan. Ia telah memutuskan untuk mencari Quinn sendiri.
Quinn muncul dari dalam laut.
Eleanor melangkahi pagar dek.
Mata Quinn membelalak lebar melihat dek. "Jangan ke sini!" Quinn
berseru, "Aku baik-baik saja!"
Eleanor menerjunkan diri.
"PADUKA RATU!!" teriak para prajurit yang tidak sempat menghentikan
gadis itu. "ELEANOR!" Quinn cepat-cepat berenang mendekati gadis itu.
"Quinn!" kepala Eleanor muncul di permukaan dan sesaat kemudian ia
kembali tenggelam. Eleanor menggerak-gerakkan tangan dan kakinya mencoba untuk tetap
berada di permukaan. Eleanor merasa gaunnya membelit kakinya.
"Quinn!" Eleanor mencoba meraih permukaan.
Tubuh Eleanor tenggelam. Eleanor tidak dapat mempertahankan dirinya
di permukaan laut. Eleanor merasa ia sungguh tidak berguna. Ia telah
menarik Quinn dalam bahaya.
Quinn melihat Eleanor hilang dari permukaan laut dan ia menjadi semakin
panik. Mencoba untuk tetap tenang, Quinn menyelam ke dalam laut dan
mencari Eleanor. "Quinn...," Eleanor merasa lehernya tercekik.
Eleanor seolah-olah melihat Quinn. Eleanor melihat Quinn mendekat.
Quinn segera meraih tubuh Eleanor dan membawanya ke permukaan.
"BODOH!!!" hardiknya marah, "Bukankah kau sudah kuperintah untuk
tetap di sana!" Bagaimana kalau lukamu bertambah parah!?"
Eleanor terbatuk-batuk memuntahkan air laut yang tertelan olehnya.
Quinn menatap tajam gadis itu.
"Quinn...," Eleanor memeluk Quinn erat-erat. Tubuhnya kembali bergetar
hebat. Quinn tertegun. "Kau memang benar-benar liar," bisiknya dan membawa
gadis itu mendekat ke kapal perang kerajaan.
Sementara itu pertempuran di atas kapal penculik Eleanor itu sudah
hampir usai. "Paduka Raja dan Paduka Ratu ada di sana!" seseorang awak kapal yang
bertugas di menara berseru sambil menunjuk ke arah Quinn dan Eleanor.
"Arahkan kapal mendekati mereka!" perintah Houghton, sang komandan,
"Siapkan tali untuk menarik mereka."


Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para prajurit yang bertahan di kapal perang langsung bertindak. Mereka
melemparkan tali ke arah Quinn.
Dengan satu tangannya yang bebas, Quinn menangkap tali itu.
"Eleanor, jangan melepaskan diri dari aku," katanya sambil membelitkan
tangan kanannya di tali itu. Tangan kirinya merapatkan tubuh Eleanor di
tubuhnya. Lalu ia memberi sinyal pada prajurit di dek untuk mulai
menarik mereka. "Tarik mereka!" Houghton memberi aba-aba.
Para prajurit itu langsung menarik tali sekuat tenaga. Beberapa bersiap
sedia di dek. Begitu keduanya mendekat, mereka langsung mengulurkan
tangan. "Paduka Ratu!" mereka mengulurkan tangan.
Eleanor menyambut uluran tangan itu.
Quinn membiarkan prajurit membantu Eleanor terlebih dulu. Kemudian
mengulurkan tangannya. Ia begitu lega melihat Eleanor berdiri di antara
para prajurit yang gembira melihatnya itu.
"Paduka, punggung Anda...," Houghton cemas melihat darah di kemeja
Quinn. "Tidak mengapa. Ini hanya luka kecil," Quinn tidak ingin membuat
Eleanor cemas. "Saya akan memerintahkan orang untuk segera menangani luka Anda,"
Houghton segera mengambil tindakan.
Eleanor mematung. Quinn selamat. Quinn baik-baik saja. Quinn berdiri di depannya sekarang.
Eleanor merasa sangat lega. Seluruh tenaganya menguap begitu saja.
Quinn terkejut. Ia cepat-cepat menangkap tubuh Eleanor.
"Paduka Ratu!!!" Houghton dan para prajuritnya juga ikut cemas.
Eleanor mencengkeram kemeja Quinn. "Aku takut. Aku takut kau pergi,"
bisiknya di sela-sela air mata.
Quinn terperangah. "Jangan khawatir," Quinn mendekapnya erat-erat,
"Aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Quinn mengangkat tubuh
Eleanor dan memberi perintah, "Bereskan tempat ini dan segera kembali
ke Tognozzi!" "Siap melaksanakan perintah, Paduka!" Houghton memberi hormat.
Eleanor melingkarkan tangannya di leher Quinn dan memeluk pemuda itu
erat-erat. Ia tidak ingin melepaskan diri dari Quinn lagi.
Quinn membawa Eleanor ke dalam kabin kapal.
Houghton segera menyuruh dokter kapal pergi memeriksa keadaan
Eleanor dan Quinn lalu membagi tugas kepada bawahannya. Sebagian ia
perintahkan untuk mengambil alih kapal Duke Binkley, sebagian ia
tugaskan untuk mengikat bawahan Duke Binkley dan sebagian lagi
mengangkat tubuh-tubuh yang mengapung di laut termasuk tubuh sang
Duke yang entah masih bernyawa atau tidak.
Melihat pertempuran di atas kapal sudah selesai, beberapa perahu kecil
yang berada di sekitar dua perahu besar itu segera turun tangan
memungut tubuh-tubuh yang terjatuh ke laut. Mereka bahkan tidak
segan-segan menghajar mereka yang masih sadar.
Houghton mengawasi pekerjaan mereka dari dek tertinggi kapal perang.
Ketika mendapat tugas dari utusan Istana, ia sangat panik. Secepat
mungkin ia menyiapkan pasukan dan kapal perang. Beberapa saat
kemudian ketika ia dan kapal perangnya tiba di Tognozzi, rakyat segera
menghampiri kapal. "Kami melihat Paduka Ratu dibawa masuk sebuah kapal," lapor mereka,
"Kami sudah mengutus beberapa orang untuk mengejar mereka."
Houghton sadar keadaan benar-benar gawat.
Sesaat kemudian ia melihat Quinn dan pasukan Istana mendekat.
Rakyat segera melaporkan apa yang baru saja mereka saksikan pada
Quinn. "Tunjukkan jalan pada kami!" Quinn segera memberi perintah pada
mereka kemudian ia berbalik pada Jancer. "Jancer, bawa pasukan
menggempur Arsten." Quinn sudah kehilangan kesabarannya, "Aku tidak
ingin seorang pun meninggalkan tempat itu sampai masalah ini tuntas!"
"Baik, Paduka," Jancer segera melaksanakan perintah itu dengan
membawa pasukannya meninggalkan Tognozzi.
Sejurus kemudian Quinn memimpin langsung kapal perang mengikuti
petunjuk kapal-kapal rakyat. Mereka tidak mengalami kesulitan yang
berarti untuk menemukan kapal yang membawa Eleanor itu. Setiap
beberapa meter, sebuah kapal rakyat menanti mereka untuk
menunjukkan arah kepergian kapal itu. Karena itulah mereka dapat
dengan segera mengejar kapal yang kemudian diketahui sebagai kapal
keluarga Soyoz. Houghton dapat melihat muka Quinn dipenuhi kemurkaan yang luar biasa
ketika melihat bendera kapal itu. Kemurkaan yang tidak pernah dilihatnya
itu membuatnya tidak berani melihat pemuda itu. Karena itu pula ia tidak
tahu ketika pemuda itu sudah beranjak dari sisinya dan menyerbu ke
kapal Duke Binkley bersama prajurit.
Houghton dapat memahami kemurkaan Quinn. Satu-satunya keluarga
dekatnya telah mengancam jiwa gadis yang dicintainya.
Di atas kapalnya, rakyat terlihat menghajar bawahan Duke dengan puas.
Mereka sangat marah para orang-orang yang berashil mereka pungut itu.
Houghton tidak mengerti mengapa mereka bisa semarah itu" Rakyat
marah pada orang yang telah mengancam keluarga kerajaan adalah
wajar. Namun kemarahan mereka ini tidak wajar.
"Karena dia adalah Eleanor."
Houghton terperanjat melihat Quinn di belakangnya. Houghton adalah
kapten kapal yang beberapa bulan lalu mengantar Quinn beserta para
undangannya ke Corogeanu. Sepanjang perjalanan pergi ke pulau itu,
Quinn tidak pernah meninggalkan sisi Eleanor. Demikian pula ketika
mereka kembali ke Arsten. Sekarang ia juga tidak mengharapkan
kemunculan Quinn. "Apakah Jancer belum memberitahumu?"
Houghton teringat pembicaraannya dengan Jancer tak lama setelah
drama penculikan Eleanor di Pittler.
"Aku tidak meragukan pilihan Grand Duke lagi," kata Jancer saat itu,
"Ratu Eleanor memang seorang ratu pilihan, gadis yang terpilh dari gadis
terbaik Viering." Houghton kembali melihat rakyat yang mengiringi kapal perang.
Sekarang ia dapat berkata pada Jancer, "Aku sependapat denganmu."
Dalam sejarah Viering, tidak ada seorang Ratu yang seliar Eleanor.
Namun juga tidak ada Ratu yang begitu dicintai rakyat seperti Ratu
Eleanor. "Bagaimana luka Anda, Paduka?" kini seluruh perhatian Houghton tertuju
pada pemuda yang hanya mengenakan celana panjangnya yang masih
basah. Perban putih membalut dadanya yang telanjang.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," jawab Quinn, "Aku akan segera
pulih. Daripada mengkhawatirkan aku, lebih baik kau mengkhawatirkan
mereka," Quinn merunjuk pada penjahat-penjahat yang ada di tangan
rakyat, "Aku tidak ingin kehilangan terdakwa-terdakwaku."
Houghton langsung menyadari rakyat sudah membuat kawanan Mathias
babak belur. "Saya akan segera memerintahkan mereka untuk berhenti."
"Beritahu aku bila kita tiba di Tognozzi," kata Quinn.
"Baik, Paduka." Houghton tersenyum melihat kepergian pemuda itu. Pada
akhirnya Quinn tidak tega meninggalkan Eleanor seorang diri.
"Baiklah," ia kembali memperhatikan keadaan sekitar, "Ini akan menjadi
pekerjaan besar." -----0----- Quinn tersenyum memperhatikan Eleanor. Gadis itu sudah tertidur
sebelum mereka tiba di kabin kapal. Ia sama sekali tidak terbangun
ketika ia menanggalkan gaunnya. Pun ketika dokter kapal merawat luka
di perutnya yang kembali terbuka.
"Kau pasti sangat lelah," Quinn membelai wajah Eleanor, "Terlalu banyak
hal yang terjadi hari ini."
Eleanor mengeluarkan erangan panjang. Tangannya terangkat untuk
mengusap mata. Quinn tersenyum. "Kau bangun lebih cepat dari dugaanku."
Eleanor melihat Quinn kemudian ia menyadari tubuhnya hanya tertutup
oleh selimut. "Mengapa...?" Eleanor malu melanjutkan pertanyaannya. Ia
mencengkeram selimutnya erat-erat untuk menutupi pundaknya yang
telanjang. "Ada apa, Eleanor" Kau malu?" Quinn heran, "Kita pernah tidur telanjang
berdua." "Kapan!?" Eleanor panik, "Kau penipu! Kau membohongiku!"
"Kau tidak ingat?" Quinn mengerutkan dahinya. "Apakah aku perlu
mengingatkanmu?" lanjutnya sambil mendekat.
"Kau maniak!" Eleanor melempar bantal.
Quinn menangkapnya dan tersenyum nakal sambil terus mendekat
dengan membawa segala bahaya yang dikenalnya.
Eleanor geram. Ia meraih bantalnya yang lain dan melemparkannya
sekuat tenaga ke arah Quinn.
Lagi-lagi Quinn menangkapnya dengan sukses.
Eleanor tidak terima. Ia menggenggam selimut yang menutupi tubuhnya
dan melempar bantal-bantal putih yang lain ke arah Quinn.
"Maniak!" seru Eleanor murka.
Ketika bantal keempat dan terakhirnya sudah melayang ke arah Quinn,
Eleanor bergerak mengambil barang-barang di atas meja.
"Hentikan, Eleanor! HENTIKAN!"
Eleanor meraih gelas - benda pertama yang teraih olehnya dari atas meja
kecil semester di dari tempat tidur.
"Aku bilang hentikan!" Quinn menangkap tangan Eleanor sebelum ia
mengambil gelas itu dan menindihnya.
Eleanor menatap tajam pria itu. "Aku membencimu!"
Quinn menempelkan dahinya di atas dahi Eleanor. "Syukurlah," ia
merangkum wajah Eleanor. "Melihat keliaranmu, aku tahu kau sudah
pulih." Eleanor cemberut. Quinn tersenyum lembut. Mata abu-abunya menatap Eleanor penuh
kelegaan. "Kau benar-benar membuatku cemas. Rasanya aku hampir
mati melihat kau menceburkan diri ke laut," Quinn membelai Eleanor
dengan hati-hati dan menciumnya dengan lembut.
Eleanor terlena. Ciuman Quinn membuatnya merasa ia seolah-olah
mabuk. Pipinya terasa panas. Tubuhnya seperti terbakar.
Quinn merasakan perubahan suhu tubuh Eleanor. "Kau butuh istirahat,"
Quinn menjauhkan diri dari Eleanor. "Aku akan memerintahkan mereka
bersiap-siap berlabuh."
"Kita masih di kapal?" Eleanor terkejut.
"Aku tidak punya pilihan lain. Gaunmu basah kuyup dan aku tidak
mempersiapkan baju ganti untukmu. Aku tidak mau tiap orang mengira
aku memperkosamu." Eleanor tertawa geli. "Sekarang kau menertawakanku," Quinn tidak senang. "Kita lihat apa kau
masih bisa tertawa jika aku benar-benar memperkosamu."
"Kau sudah mermperkosaku," Eleanor mengingatkan.
"Tidak, Eleanor," Quinn membenarkan, "Aku hanya menelanjangimu." Ia
tersenyum nakal, "Untuk yang kedua kalinya."
Eleanor geram. "Sekarang, istriku yang manis," Quinn tersenyum nakal, "Jangan kau
memamerkan tubuhmu yang molek itu. Tetaplah di sini. Aku akan melihat
apakah gaunmu sudah kering.."
"Aku tidak peduli!" Eleanor sengaja membantah, "Aku ikut!" Eleanor
mencengkeram selimut dan berdiri.
Quinn mengangkat Eleanor dan menidurkannya kembali di tempat tidur.
"Dengarkan aku, istriku tercinta, kau benar-benar membuatku bergairah.
Kau benar-benar cantik dan molek sehingga aku harus menahan sekuat
tenaga untuk tidak memperkosamu. Percayalah padaku aku bisa
melakukan segala yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya." Quinn
menatap Eleanor dengan penuh kasih. "Kau bisa membuatku melupakan
segalanya dan aku ingin engkau mempunyai kenangan manis yang akan
kauingat seumur hidupmu di saat pertamamu."
Wajah Eleanor memerah. "Karena itu, Eleanor, tetaplah di sini dan jangan membuat pertahananku
goyah," Quinn berkata serius, "Engkau tidak berada dalam kondisi yang
sehat." "Aku janji," kata Eleanor lirih.
Quinn mencium Eleanor. "Ini baru gadis manisku," ia tersenyum.
Eleanor tidak dapat mengutarakan kebahagiaannya. Ia gembira dapat
menyentuh Quinn lagi. Ia merasa begitu aman menyadari Quinn selalu
ada untuknya. Ini sungguh aneh. Dulu ia begitu takut akan lautan. Sekarang, walau
menyadari ia tengah berada di atas lautan, ia sama sekali tidak takut.
Eleanor tersenyum. Ini semua karena Quinn. Quinn membuatnya merasa
aman. Eleanor percaya Quinn akan selalu menolongnya ketika ia dalam
bahaya. Pikiran itu membuatnya merasa sangat damai.
Quinn menutup pintu kamar kabin dengan hati-hati.
"Paduka, apa yang terjadi?" Houghton mendekat dengan cemas. "Saya
mendengar seruan Anda."
Quinn hanya tersenyum. "Houghton, sekarang kau bisa berlabuh. Kirim
orangmu untuk memanggil kereta sewaan. Kami akan segera kembali ke
Istana." "Apakah Paduka Ratu sudah bangun?" tanya Houghton.
"Ialah penyebab seruan yang kau dengar itu."
Houghton pun tersenyum penuh arti. Sebagai seorang yang tidak pernah
tinggal di Fyzool, ia hanya sering mendengar kisah Raja dan Ratu Viering.
Quinn meninggalkan Houghton ke tempat ia menjemur gaun Eleanor.
Secepat mungkin ia kembali ke sisi Eleanor. Ia masih menyadari
ketakutan Eleanor akan lautan.
"Gaunmu masih belum terlalu kering," ujar Quinn sambil melangkah
masuk. Quinn tertegun. Eleanor tidur meringkuk dengan nyenyaknya.
Quinn mengeluh panjang. "Rasanya aku seperti mempunyai bayi sendiri."
"Mama..." Quinn tersenyum menatap wajah tidur yang damai itu. "Kau benar-benar
bayi besar," ujarnya dan ia menambahkan, "Aku bukan 'Mama'."
BAB 30 Quinn merasakan Eleanor bergerak dalam tidurnya. Ia menutup buku
yang sedang dibacanya dan meletakkannya di atas meja di sisi tempat
tidur. Sepasang mata biru jernih Eleanor menatap Quinn dengan bingung dan
heran. "Kau sudah bangun?" Quinn tersenyum lembut sambil merapikan rambut
di kening Eleanor. "Mengapa kau di sini?" tanya Eleanor. Matanya menjelajahi sekelilingnya
dengan bingung, "Di mana aku?"
"Kita sudah berada di Istana dan sekarang kau tidur di atas tempat tidur
kita." "Tempat tidur kita?" ulang Eleanor heran.
Quinn tersenyum lembut. "Aku tidak bisa membiarkanmu terbangun di
malam hari dan tidak seorang pun berada di sisimu." Quinn
membaringkan diri di sisi Eleanor. "Aku ingin menjadi orang pertama
yang kau lihat di saat kau membuka matamu yang indah itu."
Eleanor teringat luka tusuk di punggung Quinn. "Lukamu?"
"Sudah tidak apa-apa," katanya, "Lawrence telah mengobatinya. Untung
pedang itu tidak melukai daerah vital. Dalam beberapa hari ia akan
sembuh." Dan Quinn tersenyum penuh kemenangan, "Lukaku masih lebih
baik dari lukamu." Mata Eleanor menjadi sendu. Ini semua karena tindakannya yang
gegabah.

Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tidak apa-apa," Quinn menarik Eleanor ke dalam pelukannya.
Sepasang tangan Eleanor menyentuh dada Quinn. "Kau tidak boleh
berada di dekatku," katanya sambil menjauhkan diri, "Aku tidak mau
membuatmu sakit." "Tidak apa," Quinn memeluk Eleanor erat-erat, "Aku tidak mudah sakit
sepertimu," senyum nakal tersungging di wajah tampannya, "Aku bahkan
ingin menyerap penyakitmu itu. Melihatmu terbaring tidak berdaya di
tempat tidur sungguh membuat hatiku sakit daripada melihat tingkah
liarmu." "Aku dengan senang hati akan menularkannya padamu," Eleanor mencari
tempat yang nyaman di dalam pelukan Quinn.
"Lawrence memintaku menyuruhmu minum obat begitu kau sadar."
Senyum bahagia di wajah Eleanor langsung hilang.
"Aku tahu kau tidak menyukainya. Sejujurnya, sayangku," Quinn
merangkum wajah Eleanor, "Aku ingin sekali menggantikanmu tetapi
tidak untuk saat ini. Kau lebih membutuhkannya daripada aku."
Eleanor memasang muka masamnya.
"Jangan membuat hatiku sakit dengan melihatmu terbaring tanpa daya di
tempat tidur, sayangku," bujuk Quinn, "Jadilah gadis manis yang penurut
hingga kau pulih." Eleanor melingkarkan tangan di leher Quinn - menahannya beranjak dari
tempat tidur. "Aku tidak mau kau tinggalkan," rengek Eleanor manja.
"Jangan menggodaku, Eleanor," Quinn memperingatkan, "Kau tahu
bagaimana ampuhnya godaanmu padaku hingga aku harus menahan diri
sekuat tenaga untuk tidak berubah menjadi seorang monster."
"Jangan pergi," mata biru Eleanor menatap Quinn dengan sendu.
Quinn mengeluh panjang. "Tuhan akan menghukumku karena ini,"
keluhnya. Ia membaringkan Eleanor di tempat tidur, menindihnya dan
membuainya dengan cara-cara manis yang ia ketahui.
Eleanor pasrah. Ia menyerahkan diri sepenuhnya pada Quinn. Ia
membiarkan Quinn menuntunnya ke dunia yang belum pernah ia masuki.
-----0----- Sinar mentari yang menyusup melalui tirai jendela menyilaukan mata
Eleanor. Eleanor membuka matanya.
Quinn bersandar di atas tumpukan bantal-bantal, sedang menatap
Eleanor lekat-lekat. Wajah Eleanor bersemu melihat dada telanjang Quinn.
"Aku tidak dapat mempercayai diriku sendiri," gumam Quinn, "Aku telah
bercinta sepanjang malam dengan orang sakit!" Quinn tersenyum
bahagia, "Aku benar-benar kalah darimu. Kau benar-benar..."
Mata Eleanor bersinar geli melihat Quinn seperti kesulitan
mengungkapkan pikirannya.
"Seorang penggoda," akhirnya Quinn menemukan kata yang tepat.
Alis mata Eleanor terangkat. "Kukira kau akan mengatakan pelacur."
"Kukira, sayangku," Quinn menunduk, "Aku telah berjanji untuk tidak
mengatakan hal itu. Walaupun sebenarnya aku ingin sekali."
"Apakah aku telah berhasil?" Eleanor merangkul leher Quinn, "Apakah
aku berhasil menggodamu?"
"Tentu, sayangku?" Quinn mencumbu Eleanor lagi, "Kau sangat berhasil."
Eleanor kembali luluh dalam cumbuan Quinn.
"Kau begitu menggairahkan sehingga tidak ada hal lain yang terpikirkan
olehku selain berada di sisi dan bercinta denganmu sepanjang hari," bisik
Quinn tanpa menghentikan cumbuannya.
Eleanor tersenyum bahagia.
"Setelah semua ini selesai," bisik Quinn, "Aku harus membantumu
mengenakan kembali pakaianmu dan membuatmu meminum obatmu
atau Lawrence akan memenggalku."
Eleanor tertawa geli mendengarnya.
"Kau berani menertawakanku?" ancam Quinn sambil menatap Eleanor
tajam. "Mengapa tidak?" Eleanor mendekatkan wajahnya, "Aku yakin ia pasti
akan menghukummu karena telah bercinta dengan pasiennya."
"Aku akan mengatakan padanya bahwa kaulah yang memulainya."
"Sekarang, mungkin," Eleanor tersenyum penuh kemenangan, "Tetapi
tidak selalu." "Kau ini," geram Quinn sambil menindih Eleanor.
Eleanor tertawa geli. Ia tidak pernah merasa sebahagia ini dalam
hidupnya. Beberapa saat kemudian ketika Quinn akhirnya muncul di ruangannya,
matahari hampir mencapai tahta tertingginya di langit. Ia segera
memanggil bawahan-bawahannya, sebuah tugas yang seharusnya telah
ia lakukan pagi ini. "Kami sudah mengamankan Arsten," lapor Jancer, "Tidak seorang pun
bisa meninggalkan Arsten tanpa seijin dari Anda."
"Kami sudah mengirim seluruh awal kapal Duke ke kepolisian Loudline.
Kepala kepolisian Loudline, Wayne berjanji akan segera memproses
tindakan kejahatan mereka," lapor Houghton pula. "Dan Duke Mathias
sudah kami masukkan ke dalam penjara bawah tanah Fyzool."
"Berkas-berkas Simona sudah kami tarik kembali dan sekarang kami
sedang menyelesaikan pemeriksaan terhadap Mathias," Derrick
melaporkan perkembangan tugasnya, "Saat ini kami masih meminta
keterangan dari Mathias. Kami yakin dalam waktu singkat ini kami akan
segera menyelesaikan laporannya."
"Jancer, kau bisa menyerahkan pengamanan Arsten kepada Geert. Suruh
ia mengirim prajurit terbaiknya mengawasi tempat itu. Kita masih
memerlukan kesaksian tiap orang di sana," setelahnya Quinn beralih pada
Houghton, "Houghton, tugasmu dalam masalah ini sudah selesai. Dan
untukmu, Derrick, aku ingin kau segera menyelesaikan laporanmu."
"Kami mengerti," sahut mereka bersamaan.
"Kalian bisa pergi sekarang," kata Quinn.
Sepeninggal mereka, Quinn mengeluarkan pedang keluarga Soyoz yang
masih ada di bawah mejanya. Matanya terpaku pada ukiran di pedang itu.
Pikirannya kacau balau. Quinn tidak tahu dengan wajah apakah kelak ia harus bertemu ayah ibu
Mathias. Ia tidak tahu lagi bagaimana ia harus bertanggung jawab pada
keluarga Soyoz. Selama ini ia selalu berusaha mencegah Mathias
melakukan perbuatan yang akan mengecewakan mendiang orang tuanya.
Ia selalu memperingatkan Mathias ketika tindakannya menjadi bahan
pembicaraan Viering. Mathias sudah mencoreng nama baik Binkley ketika
ia menikahi Simona. Sekarang ia bukan hanya mencoreng wajah Binkley
namun juga mempermalukan keluarga Soyoz.
Sudah dapat dipastikan Mathias tidak dapat menghindarkan diri dari
hukuman mati. Ia bukan hanya telah mencoba membunuh Eleanor
namun juga telah mencoba membunuhnya. Luka di punggungnya adalah
bukti yang paling jelas. Quinn juga tidak dapat mengingkari perbuatan
Mathias lagi. Ia tidak dapat lagi menutup ebelah mata atas perbuatan
Mathias ini. Quinn teringat masa-masa kecilnya bersama Mathias yang sangat
dikaguminya. Saat itu tidak terpikirkan olehnya Mathias akan menjadi
seperti apa ia hari ini. ia sama sekali tidak pernah menduga setelah
kematian orang tua mereka, Mathias mulai berubah hingga menjadi,
seperti kata Mathias sendiri, sampah. Ketika mereka bermain bersama,
sedikitpun tidak pernah terlintas di pikiran Quinn, suatu hari nanti ia akan
menjadi orang yang mengirim Mathias ke ajalnya. Mungkin orang-orang
akan menyuruhnya marah pada Mathias namun ia tidak dapat. Ia masih
menyayangi kakak sepupunya itu. Ia bersedih atas kelemahan Mathias
hingga ia terpengaruh oleh Simona.
Ketukan di pintu mengagetkan Quinn.
Quinn dengan cepat menyembunyikan pedang itu di bawah mejanya.
"Lady Irina dan Earl Hielfinberg ingin bertemu," lapor prajurit.
"Biarkan mereka masuk."
Prajurit segera memberi jalan pada kedua tamunya.
"Selamat siang, Paduka," sambut Irina dengan wajah panik yang tidak
dapat ditutupi oleh senyumannya.
"Eleanor baik-baik saja," Quinn langsung menjawab kecemasan Irina itu.
"Di mana dia?" tanya Irina, "Kami tidak dapat menemukan Eleanor di
kamarnya. Nicci juga tidak ada."
"Sejak kemarin malam Eleanor telah aku pindah ke Ivory Room," Quinn
memberitahu. "Ivory Room?" Irina mengulangi. Ruangan itu adalah kamar terbesar dan
termewah Fyzool. Seperti namanya, seluruh lantai hingga dinding
ruangan itu terbuat dari marmer. Marmer itu pula yang membuat ruangan
itu dingin dan sejuk di hari-hari panas. Namun di musim dingin seperti ini,
tanpa pemanasan yang memadai, ruangan itu bukanlah pilhan yang
bagus. Sejauh yang Irina ketahui, sudah lama ruangan itu kosong. Tidak ada
raja-raja terdahulu Viering yang suka menempati ruangan itu. Entah apa
tujuan ruangan itu dibangun. Mungkin raja yang memerintahkan
pembangunan Istana Fyzool adalah satu-satunya orang yang pernah
menempati ruangan itu. "Nicci ada di sana," lanjut Quinn, "Ia bisa membukakan pintu untuk
kalian." Quinn menatap Earl dan tersenyum, "Saya senang Anda mau
datang lagi." "Irina telah menyadarkan saya. Saya tidak bisa terus menghidari
ketakutan saya. Semakin saya menghindari Eleanor, semakin ingin saya
menemuinya dan semakin takut saya kehilangannya."
"Anda bisa tinggal di sini selama yang Anda inginkan. Namun untuk kali
ini, saya bersikeras mengundang Anda tinggal setidaknya hingga Eleanor
sudah cukup sehat untuk mengunjungi Anda di Schewicvic."
Earl Ruben tertawa. "Saya khawatir Anda perlu menyiapkan ruangan
untuk Bernard." "Saya tidak keberatan. Istana mempunyai lebih dari cukup ruangan untuk
menampung kalian. Bila kau menginginkannya, Irina, kau juga bisa
tinggal di sini." "Saya menerima tawaran Anda dengan senang hati, Paduka," Irina
berterima kasih, "Namun saya khawatir saya tidak bisa meninggalkan
Mangstone. Ayah dan adik saya masih memerlukan saya untuk mengurusi
hal-hal kecil." "Kau bisa," Quinn bersikeras, "Mereka harus mulai terbiasa mengurusi diri
mereka sendiri. Suatu hari nanti kau juga akan meninggalkan Mangstone
ke sisi orang yang kaucintai."
Wajah Irina memerah mendengarnya. "Saya masih belum menemukan
orang itu." "Tinggallah di sini. Jangan terus mengurung diri di Mangstone. Aku
percaya kau akan segera menemukan orang itu."
Irina semakin tersipu mendengarnya.
"Mengenai tawaran Anda, Paduka," kata Earl, "Saya akan memikirkannya
dengan serius." "Eleanor pasti akan sangat senang bila Anda mau tinggal di sini," Quinn
memahami keputusan Earl, "Segeralah temui Eleanor. Aku yakin saat ini
ia sudah bangun." Mereka pun segera mengundurkan diri dari ruang kerja Quinn dan segera
menuju Ivory Room. "Paduka benar, Irina," kata Earl, "Kau tidak boleh terus menghabiskan
waktumu memikirkan Eleanor. Eleanor sudah bukan anak kecil. Ia sudah
dewasa dan sudah menikah. Aku sangat berterima kasih atas semua yang
telah kaulakukan untuknya."
"Mengapa Anda tiba-tiba berkata seperti itu?" tanya Irina, "Saya tidak
pernah merasa terbebani oleh Eleanor. Saya menyayanginya seperti adik
saya sendiri." "Aku tahu. Namun apakah kau pernah berpikir Bernard juga sangat ingin
melihatmu menikah?" "Saya masih belum memikirkannya," Irina membela diri.
"Engkau memang seorang gadis yang baik. Engkau lebih mementingkan
Eleanor dan Derrick daripada dirimu sendiri. Aku dapat memahami
mengapa Bernard begitu membanggakanmu. Tidakkah kau pikir Bernard
akan semakin bahagia bila engkau menikah?"
Irina segera mencari jalan untuk menghidari pembicaraan ini. Pernikahan
bukanlah hal yang saat ini ada dalam pikirannya. Ia masih belum berpikir
untuk menikah bukan saja karena ia masih belum menemukan pasangan
yang cocok tetapi juga karena ia masih mencemaskan Derrick. "Saya
yakin jalan tercepat ke Ivory Room adalah ini," Irina membelok tiba-tiba.
Dari arah yang berlawanan, muncul seorang pria yang juga tampak
tergesa-gesa. Seperti Irina, pria itu tidak melihat Irina sampai mereka
bertubrukan dengan keras. Begitu kerasnya tubrukan mereka hingga
Irina jatuh terpelanting.
"Irina, kau tidak apa-apa?" Earl Hielfinberg dengan cemas membantunya
berdiri. "Irina?" pria itu melihat Irina lekat-lekat, "Apakah Anda adalah Irina, putri
Grand Duke Bernard yang terkenal itu?"
Mata Irina bertemu sepasang mata biru yang dalam itu. Tanpa dapat
dikendalikannya, jantungnya berdegup kencang melihat wajah menarik
pria itu. "Ah, maafkan ketidaksopanan saya," pria itu segera berlutut, "Nama saya
adalah Stariy Yarichiv, putra dari seorang bangsawan kecil Rusia," pria itu
mengambil tangan Irina dan menciumnya, "Saya sungguh merasa
beruntung dapat bertemu dengan Anda. Sudah lama saya mendengar
kecantikan Anda." Ia menatap Irina lekat-lekat. "Saya minta maaf yang
sedalam-dalam atas kecerobohan saya beberapa saat lalu. Saya tidak
melihat Anda. Apakah Anda bersedia mengampuni saya, M'lady?"
"T-tentu saja," wajah Irina merah padam. Jantungnya sudah tidak dapat
lagi dikontrolnya. Irina terperanjat. Ia sudah benar-benar melupakan tujuan mereka
semula. "Maafkan saya, er..."
"Stariy, Stariy," pria itu mengulang namanya.
"Maafkan saya, Tuan Yarichiv," Irina mengulang, "Saya ingin segera
menemui Eleanor." "Apakah orang ingin Anda temui itu adalah Ratu Eleanor?" tanya Stariy.
"Benar," Irina membenarkan.
"Bagaimana keadaan Ratu?" tanya Stariy, "Apakah benar ia hampir
dibunuh oleh Duke Mathias" Saya mendengar berbagai macam desasdesus tentangnya
di Tognozzi." Walaupun mengetahui kebenarannya, Irina memilih untuk bersikap hatihati.
"Maafkan saya. Saat ini saya tidak mempunyai wewenang untuk
membicarakan hal tersebut. Namun saya dapat memberitahu Anda
Eleanor baik-baik saja. Saat ini ia sedang beristirahat."
"Dapatkah saya menjenguk Ratu Eleanor?"
"Saya khawatir Anda memerlukan ijin Yang Mulia Raja Quinn."
"Kau bisa mengantarnya meminta ijin Raja, Irina," Earl memotong
pembicaraan mereka, "Aku bisa pergi sendiri ke Ivory Room."
"Apakah Anda berkenan mengantar saya menemui Yang Mulia Raja
Quinn?" pria itu bertanya penuh harap.
"T-tentu," lagi-lagi pandangan pria itu membuatnya kehilangan kontrol
atas emosinya. Earl Ruben tersenyum melihat Irina menunjukkan jalan kepada pria itu
dan meneruskan langkahnya ke kamar baru Eleanor.
Penjagaan di kamar baru Eleanor lebih ketat dari sebelumnya. Prajurit
yang menjaga pintu Ivory Room sudah bertambah hingga 6 orang. Tiga
berjejer di sisi kiri dan tiga berjejer di sisi kanan pintu putih besar yang
berdaun dua itu. Prajurit yang tepat berada di kanan kiri pintu Ivory Room langsung
menyilangkan tombak mereka - menghadang jalannya.
"Aku adalah Earl of Hielfinberg, ayah Ratu Eleanor," Earl memberitahu
mereka. Prajurit segera mengetuk daun pintu. Tanpa membuka pintu, ia
melaporkan kedatangannya, "Seorang pria yang mengaku sebagai Earl of
Hielfinberg, ayah Ratu Eleanor, ingin menemui Ratu."
Earl Ruben dibuat kaget oleh kecurigaan mereka. Namun ia dapat
memahaminya. Setelah kejadian demi kejadian yang menimpa Eleanor,
Quinn tentu tidak ingin kecurian lagi. Andai Eleanor masih di Schewicvic,


Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia pun akan melakukan hal yang sama. Bahkan mungkin ia akan
melarang seorang pun menemui Eleanor.
Sebagai jawaban, Nicci muncul membuka pintu.
"Selamat siang, Yang Mulia," sambut wanita itu ramah, "Paduka Ratu
sangat senang mendengar kedatangan Anda."
Baru setelah itulah prajurit menurunkan tombak mereka dan
mempersilakan Earl masuk.
Ketika kakinya menginjak lantai marmer Ivory Room, Earl merasakan
hawa dingin dari setiap sisi ruangan yang didominasi warna putih itu.
Seperti namanya, seluruh bagian ruangan ini terbuat dari marmer putih.
Meja kecil di sisi kanan kiri ranjang dan meja rias yang terletak tak jauh
dari sisi tempat tidur terbuat dari marmer. Perapian besar yang berada di
dinding seberang tempat tidur juga terbuat dari marmer. Hanya tempat
tidur dan kursi-kursi yang tidak terbuat dari marmer.
Tempat tidur Eleanor melintang di tembok kiri, tepat di depan pintu kaca
besar menuju serambi. Ranjang yang ukurannya hampir dua kali ranjang
di kamar lama Eleanor itu berdiri kokoh di atas karpet putih tebal.
Tiangtiangnya yang berlapis emas putih dihiasi oleh ukiran artis terampil. Tali
keemasan mengikat rapi kelambu putih yang menaungi tempat tidur di
keempat tiang tempat tidur. Hanya kelambu pada sisi kepala tempat tidur
yang bersandar pada tembok yang dibiarkan jatuh lembut.
Tirai pintu kaca menuju serambi dibiarkan terbuka sehingga sinar
matahari bisa memasuki kamar. Demikian pula tirai jendela-jendela di sisi
pintu serambi. "Papa," Eleanor yang bersandar di atas tumpukan bantal, mengulurkan
tangannya. Earl segera memeluk putrinya erat-erat.
"Aku merindukanmu, Papa," kata Eleanor.
Ketika melihat sisi luar tempat tidur yang dekat pintu serambi kosong,
Earl Hielfinberg mengerti mengapa Quinn memilih kamar yang lebih
dingin ini. "Bagaimana keadaanmu?" Earl bertanya penuh perhatian.
"Aku sudah lebih baik."
"Lebih baik apanya?" Nicci memprotes, "Demam Anda masih belum turun
tetapi Anda sudah ingin turun tempat tidur. Tak heran Raja memilih
kamar ini. Dari ruang kerjanya, Raja bisa terus mengawasi setiap gerakan
Anda" Mata Eleanor membelalak. "Ruang Kerja Quinn ada di depan kamar ini?"
"Ruang Kerja Raja ada di seberang kamar," Nicci membenarkan, "Anda
bisa melihatnya dari serambi." Tepat setelah Nicci menyelesaikan kalimat
itu, ia menyadari kesalahannya. Eleanor sudah melompat dari tempat
tidur sebelum ia bisa menyadarinya dan menuju serambi.
Eleanor tersenyum lebar melihat punggung Quinn di jendela sisi lain
gedung Istana yang berseberangan dengan serambi Ivory Room. Ia
menarik nafas dalam-dalam dan berteriak, "QUINN!!!"
Di Ruang Kerjanya, Quinn terkejut mendengar panggilan itu. Kepalanya
langsung menoleh ke jendela di belakangnya. Ia melompat dari tempat
duduknya ketika melihat Eleanor berdiri di serambi hanya dengan
mengenakan gaun tidurnya.
"APA YANG KAUPIKIR SEDANG KAULAKUKAN!!?"" Quinn membuka
jendela lebar-lebar. Irina dan Stariy yang masih berada di ruangan itu terperanjat.
Eleanor melambai-lambaikan tangannya dengan gembira.
"MASUK KE DALAM SEKARANG JUGA!!"
Orang-orang yang berada di halaman juga terperanjat. Mereka
menengadah melihat asal seruan marah itu.
"TIDAK!!" Eleanor berseru keras kepala, "Aku bosan!"
"Aku tidak peduli kau bosan atau tidak. MASUK SEKARANG JUGA ATAU..."
"ATAU APA!?" tantang Eleanor.
Semua orang menengadah melihat keduanya saling berseru dari
kejauhan. "Sudah lama kita tidak mendengarnya," seseorang menceletuk.
"Benar. Rasanya sudah bertahun-tahun Istana tidak seramai ini," yang
lain tertawa geli. Stariy benar-benar keheranan melihat Raja muda yang beberapa saat lalu
terlihat penuh wibawa itu kini berteriak marah-marah tanpa kendali.
"Eleanor...," Irina tidak sanggup lagi mengutarakan keluhannya atas sikap
Eleanor. Earl terbengong melihat ulah Eleanor dan Quinn.
"Mereka sering seperti ini," Nicci memberitahu.
"Tidak ada bantahan! Kembali ke dalam sekarang juga!" Quinn
memperingatkan dengan tajam, "Jangan biarkan aku mengucapkannya
untuk yang ketiga kalinya!"
"Aku tidak mau!" Eleanor membantah keras kepala, "Jangan biar..."
Pandangan Eleanor mengabur.
"ELEANOR!!!!" Quinn berteriak panik.
Tubuh Eleanor jatuh lemas di pagar pembatas serambinya.
Irina pingsan. Stariy dengan cepat menangkap Irina.
Earl berdiri kaku karena kagetnya.
Nicci segera berlari menangkap tubuh Eleanor sebelum gadis itu jatuh
bebas dari lantai tiga. -----0----- "Maafkan saya. Maafkan saya. Maafkan saya, Paduka," Nicci menyatakan
penyesalannya sedalam-dalamnya. "Maafkan saya."
Quinn duduk di sisi Eleanor dengan tangan menyangga kepalanya yang
berat oleh beban pikiran akan Eleanor.
"Aku tidak sengaja," Eleanor membela diri.
"TIDAK SENGAJA APANYA!!!!?" Quinn menyahut marah, "Kurang sedikit
saja kau sudah mati."
"Jangan berteriak sekeras itu!" Eleanor memegang kepalanya, "Kau
membuat kepalaku semakin sakit. Bagaimana pun juga, aku adalah orang
sakit." "KALAU KAU MEMANG SADAR KAU MASIH SAKIT, MENGAPA KAU BERANI
KE SERAMBI!!!!?"?""
Kepala Eleanor berdenyut semakin keras oleh teriakan itu.
Quinn mendesah panjang. "Aku tidak tahu sampai kapan jantungku bisa
bertahan. Aku ingin kau cepat sembuh dan berkeliaran seperti dulu
daripada setiap saat membuat jantungku copot."
"Maafkan kelalaian saya, Paduka."
"Ini bukan salahmu, Nicci. Aku sudah tahu Eleanor akan membuat ulah."
Eleanor sama sekali tidak senang mendengar tuduhan itu.
"Aku akan mengunci pintu serambi dan menambah orang untuk
membantumu mengawasi Eleanor sampai ia benar-benar sembuh," Quinn
memutuskan untuk mengambil tindakan tegas, "Aku juga akan
menambah prajurit di setiap pintu kamar ini termasuk pintu serambi dan
jendela-jendela." "Aku bukan penjahat!" Eleanor memprotes.
"Aku bisa meyakinkanmu. Engkau akan menjadi penjahat terbesar Viering
dalam waktu dekat," Quinn memperingatkan dengan tidak senang.
"Kau tidak akan apa-apa. Kau adalah iblis!"
"Tutup mulutmu, Eleanor!"
Nada dalam suara Quinn membuat Eleanor sadar pemuda itu tidak dalam
suasana hati untuk berdebat.
Quinn meletakkan kedua sikunya di atas paha. Jari-jarinya yang saling
bertautan, menumpu dahi kepalanya yang tertunduk.
"Nicci," dalam suaranya terdengar kelelahannya, "Katakan pada Bernard
aku tidak akan muncul untuk sisa hari ini. Lalu katakan pada Jancer aku
minta ia menambah pasukan untuk Eleanor. Beritahu Vicenzo pula aku
ingin pelayan Eleanor ditambah. Pilihlah sendiri berapapun pelayan yang
kau pikir bisa membantumu mengawasi Eleanor, Nicci."
"Saya mengerti, Paduka."
Tak lama setelah kepergian Nicci, Irina membungkuk dalam-dalam.
"Maafkan saya, Paduka. Saya tidak bisa mendidik Eleanor dengan benar."
Quinn sama sekali tidak bersuara.
"Maafkan kegagalan saya. Saya yakin Eleanor tidak bermaksud membuat
keributan." "Benar. Dia hanya ingin mencabut nyawaku secepat mungkin," Quinn
bergumam. "Aku!" protes Eleanor terhenti oleh lirikan tajam Quinn.
"Saya benar-benar tidak menyangka Ratu bisa berbuat seperti itu,"
komentar Stariy. "Aku juga tidak bisa menduga kapan dia akan membuat jantungku
berhenti," Quinn sependapat lalu ia melihat keduanya, "Tinggalkan kami
berdua. Hari ini aku sudah cukup lelah untuk melakukan yang lain.
Maafkan aku, Stariy. Bisakah besok kita membicarakannya lagi?"
"Saya mengerti, Paduka," Stariy dapat memahami kepenatan pemuda itu
dan ia berpaling pada Eleanor, "Semoga Anda cepat sembuh, Paduka
Ratu." Sesuai dengan perintah Quinn, mereka bergegas meninggalkan tempat
itu. Eleanor tidak berani bergerak juga tidak berani mengeluarkan suara. Ia
tidak pernah melihat Quinn sedemikian murkanya. Eleanor tahu Quinn
tidak membutuhkan bantahan.
"Eleanor...," Quinn menjatuhkan diri di atas Eleanor dan menyusupkan
kepalanya dalam-dalam di lekukan leher gadis itu. "Kumohon... kumohon
padamu, Eleanor, jangan membuat sesuatu yang mengkhawatirkanku."
Eleanor tidak pernah mendengar Quinn begitu putus asa. Ia tidak pernah
melihatnya begitu tidak bertenaga seperti ini.
"Berjanjilah padaku kau akan menurutiku. Berjanjilah kau akan
beristirahat dengan tenang dan tidak membuat ulah apa pun sampai
engkau benar-benar sembuh. Berjanjilah padaku, Eleanor."
Eleanor terpaku. "Aku tidak bisa hidup dengan ini. Aku tidak sanggup kehilanganmu. Aku
tidak sanggup lagi menanggung beban pikiran akan kehilanganmu. Aku
sungguh takut, Eleanor. Aku sungguh takut kehilanganmu. Setiap saat
aku berpikir kegilaan apa yang tengah kau lakukan. Jangan biarkan aku
hidup dalam ketakutan ini. Aku tidak sanggup."
Sang Raja Viering yang ditakuti setiap orang di Viering, ketakutan. Quinn
yang penuh wibawa itu memohon padanya!
Bunga kegembiraan dalam hati Eleanor mekar. Ia dapat merasakan
besarnya cinta Quinn padanya. Eleanor menaikkan tangannya memeluk
Quinn. "Maafkan aku," katanya bersungguh-sungguh. "Aku tidak akan
melakukannya lagi. Aku berjanji akan menuruti perintah dokter. Aku
berjanji padamu aku akan berdiam diri di tempat tidur sampai aku pulih.
Aku berjanji tidak akan membuat keonaran lagi."
Quinn mengangkat tubuhnya mendengar rentetan janji Eleanor. "Aku
tidak sekedar membutuhkan janji."
"Aku juga tidak sekedar berjanji," Eleanor tersenyum melihat
ketidakpuasan di mata Quinn. Ia tahu Quinn benar-benar
mencemaskannya. Quinn hanya menatap ke dalam mata Eleanor. "Katakan, Eleanor."
Eleanor memberikan senyumannya yang termanis dan mengatakannya,
"Aku mencintaimu."
Quinn pun menyambutnya dengan ciuman yang panjang.
-----0----- "Selamat pagi, Paduka."
"Selamat pagi, Bernard," balas Quinn.
"Bagaimanakah keadaan Paduka Ratu?"
"Ia sudah membaik tetapi panasnya masih belum turun. Sekarang ia
sedang tidur nyenyak."
"Tidur nyenyak?" Grand Duke tidak percaya. Ia tahu benar bagaimana
sulitnya membuat Eleanor bertahan di atas tempat tidur sepanjang hari.
Hingga detik lalu ia yakin Quinn pun tidak dapat apalagi setelah
mendengar keributan yang dibuat Eleanor kemarin.
"Ia tidak mempunyai tenaga untuk berbuat apa pun selain tidur," Quinn
tersenyum penuh arti. Grand Duke menangkap arti yang tersembunyi dalam kalimat itu dan ia
tersenyum pula. Sering ia merasa keputusannya tepat. Namun Eleanor
juga sering membuatnya khawatir telah mengambil keputusan yang
salah. Namun sekarang tiada lagi yang perlu ia khawatirkan tentang
kedua orang ini. Hanya Quinn yang bisa mengatasi Eleanor. Demikian
pula Eleanor. Hanya ia yang bisa memberikan kebahagiaan pada Quinn.
"Bernard," Quinn tiba-tiba berubah menjadi serius, "Sudah waktunya kita
menyelesaikan masalah ini. Segera kumpulkan orang-orang yang terlibat.
Secepatnya lusa besok aku tidak ingin mendengarnya lagi. Dan, Bernard,
panggil Stariy menemuiku."
BAB 31 "Tidak, Eleanor," Quinn berkata tegas, "Aku punya rapat penting besok
pagi." "Ayolah," rengek Eleanor manja, "Kau telah membuat aku tidur
sepanjang hari. Sekarang kau harus menemaniku."
"Kau membutuhkan banyak istirahat. Demikian pula aku saat ini," Quinn
kembali menegaskan, "Atau aku harus memperpanjang kurunganmu di
sini." "Kau telah mengurungku sepanjang hari di sini," Eleanor menyilangkan
tangan di depan dada dan memasang wajah cemberut, "Kau telah
berjanji untuk segera melepaskanku tetapi kau terus mengurungku."
"Dengar, istriku tercinta," Quinn bangkit. Ia merangkum wajah Eleanor
dan berbicara dengan lembut seolah-olah sedang membujuk anak kecil,
"Aku tidak mau mengambil resiko apa pun. Tindakan heroikmu yang
berbahaya itu telah membuat lukamu kembali terbuka. Untungnya, kau
tidak memperparah lukamu. Kau masih belum sepenuhnya pulih.
Sejujurnya, bila ada yang harus marah, itu adalah aku. Kau telah
membuat jantungnya berhenti berdetak ketika melihatmu melompat ke
dalam laut dengan kondisi yang seperti itu. Lalu kau terus membuat ulah.
Terakhir, kau hampir jatuh dari beranda. Aku tidak tahu berapa nyawa
yang harus kumiliki untuk tetap bisa berada di sini."
Eleanor membuang wajah cemberutnya.
"Aku berjanji begitu kau membaik, aku akan membiarkanmu melakukan
segala yang kauinginkan."
Eleanor sama sekali tidak mau melihat Quinn.
Quinn mengeluh panjang. "Aku lelah. Aku ingin tidur." Quinn kembali
membaringkan diri di atas tempat tidur dan menutup matanya.
"HEI!" protes Eleanor, "Aku belum selesai!"
Quinn pura-pura tidur. "Quinn!" panggil Eleanor.
Quinn sengaja mengeluarkan dengkurannya.
Eleanor kesal. Wajah tidur Quinn tampak begitu damai.
Mata Eleanor menatap lekat-lekat wajah tampan pria yang menjadi
suaminya itu dan senyum manis merekah di bibirnya. Tangan Eleanor
menelusuri setiap lekukan wajah tampan itu dan mengukirnya dalamdalam di lubuk
hatinya. Eleanor menyukai setiap lekukan di wajah pria
yang dicintainya itu. Ketika jari-jemarinya menyentuh bibir Quinn,
kenangan-kenangan akan cumbuan Quinn mengalir deras di dalam
benaknya. Eleanor menyukai cara Quinn mencumbunya. Eleanor
menikmati setiap sentuhan bibir Quinn. Quinn sungguh pandai dalam hal
ini, Eleanor harus mengakui itu dan ia pun menyukainya. Quinn benarbenar tahu
bagaimana mencumbunya. Eleanor menyukai segala yang berhubungan dengan Quinn.
Eleanor suka mendengar pria itu berbicara baik ketika ia sedang gembira,
marah ataupun kesal. Eleanor suka melihat pria itu berjalan mendekatinya.
Eleanor suka melihat pria itu kewalahan menghadapi sikap keras
kepalanya. Eleanor suka cara pria itu menatapnya.
Eleanor menyukai pelukan pria itu yang hangat.
Eleanor tersenyum bahagia. Tidak pernah ia membayangkan kebahagian
seperti ini. Ia merasa dadanya sesak oleh kebahagiaan hingga ia tidak


Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yakin ia akan sanggup menampungnya.
Eleanor membaringkan diri di atas Quinn. Ia mencintai pria ini dengan
segenap jiwa raganya. Quinn melingkarkan tangan di atas punggung Eleanor. "Begini lebih baik,"
katanya lembut. "Kau belum tidur?" tanya Eleanor.
"Aku harus meyakinkan kau tidur nyenyak sebelum aku tidur. Aku tidak
mau kecurian lagi." "Quinn...," Eleanor bertanya, "Bagaimana kabar Mathias dan Simona?"
Quinn terdiam. Ia tahu cepat atau lambat Eleanor pasti menanyakan
nasib orang-orang yang berusaha membunuhnya dan ia tidak berniat
menutupinya. "Mereka sudah diserahkan ke pengadilan. Sekarang pihak pengadilan
sedang memeriksa berkas-berkas yang telah disiapkan pihak Istana."
Eleanor sudah dapat menduga akhir dari nasib mereka. Percobaan
membunuh seorang Ratu bukanlah kejahatan kecil.
Sering dalam hari-hari belakangan ini ia memikirkan nasib keduanya.
Sering ia mengetahui bagaimana keadaan dua orang yang telah mencoba
membunuhnya. Namun Nicci maupun Irina bukanlah orang tepat untuk
ditanyai. Derrick juga tidak bersedia memberitahunya. Sekarang Quinn
menjawab pertanyaan yang sering menghantuinya dan ia merasa tidak
seharusnya ia bertanya. Eleanor bersedih untuk mereka. Andai saja Simona dapat menyesuaikan
dirinya dengan baik... Andai saja Mathias dapat berpikir jernih...
Quinn mendengar Eleanor mendesah.
"Kau kasihan pada mereka?"
"Apakah itu aneh?"
Quinn tersenyum menatap wajah tanpa dosa Eleanor. "Tidak. Itu
membuktikan betapa pemurahnya kau. Sejujurnya, aku juga sering
memikirkan nasib Mathias. Ketika kami masih kecil, aku tidak pernah
berpikir ia akan menjadi seperti saat ini. Ia adalah seorang kakak yang
penyayang dan penuh tanggung jawab."
"Setiap orang bisa berubah," Eleanorpun tersenyum, "Sekarang tidurlah.
Jangan memikirkan Mathias lagi. Ia adalah seorang pria dewasa yang
mampu bertanggung jawab atas segala tindakannya. Aku tidak akan
membiarkanmu tidur sendirian." Dan Eleanor mengingatkan, "Besok kau
harus bangun pagi." "Aku tidak bisa tidur ketika tahu kau masih terjaga."
"Aku telah tidur sepanjang hari. Sekarang aku tidak mengantuk."
"Aku tahu cara yang paling ampuh untuk membuatmu tidur nyenyak,"
Quinn membalik badan dan menindih Eleanor. Gadis satu ini memang
gadis yang selalu merepotkan. Namun ia juga adalah gadis yang telah
memberi warna dalam hidupnya yang monoton.
-----0----- Quinn menghempaskan diri di kursi - memperhatikan tumpukan kertas di
meja. Hari ini ia bekerja seperti prajurit tempur. Pagi ini, setelah meninggalkan
Eleanor yang masih tidur pulas, ia disibukkan oleh rapat rutin dengan
para menteri kemudian disusul oleh pertemuan dengan Derrick dan
Jancer. Kemudian ia memberi pengarahan kepada Stariy Yarichiv sebagai
satu-satunya penerus Mathias. Siang hari ia mengurung diri di dalam
ruang kerjanya menyelesaikan tugas-tugas kerajaan. Sorenya ia masih
harus mengatur tugas-tugas yang akan diwakilkannya pada para menteri
dan Bernard. Quinn lega baik hari ini maupun kemarin Eleanor tidak membuat ulah.
Gadis itu telah menepati janjinya dan kini saatnya ia melaksanakan
janjinya. Karena itulah ia harus segera menyelesaikan semua tugasnya
sehingga besok ia bisa pergi dengan tenang.
Quinn memeriksa tumpukan kertas di mejanya untuk terakhir kali dan
beranjak menemui Eleanor.
Seharian ini ia terus menahan keinginan menemui Eleanor. Sekarang ia
sudah tidak sabar lagi untuk merasakan gadis itu di pelukannya. Ia ingin
mengubur semua keletihannya dalam kehangatan Eleanor. Namun ketika
ia melihat raut wajah Lawrence, ia sadar keinginannya bukanlah sesuatu
yang mudah untuk didapatkan. Tidak dari seorang Eleanor.
"Aku tidak mengharapkan berita bagus darimu," Quinn menyapa sang
dokter yang bertanggung jawab atas Eleanor.
"Anda terlalu memahami Paduka Ratu," Lawrence tersenyum penuh arti.
"Apa kau pikir Eleanor bisa bertahan lebih dari 2 hari?"
Lawrence tertawa. Sejak ulah terakhirnya yang membuat seisi Istana
panik, Eleanor berubah menjadi seorang gadis manis yang penurut.
Kemarin Lawrence merasa heran melihat kelakuan Eleanor yang berubah
total itu. Hari ini ketika melihat wajah cemberutnya, Lawrence sadar pasti
Quinn yang membuatnya menjadi penurut.
"Bagaimana keadaan Eleanor?"
"Paduka Ratu pulih lebih cepat dari yang saya perkirakan. Luka-lukanya
sudah hampir menutup sempurna. Namun Paduka Ratu masih perlu
mewaspadai kesehatannya sampai ia benar-benar pulih."
"Siapkan obat-obatan yang diperlukan Eleanor untuk jangka waktu yang
tak terbatas. Mulai besok kau tidak perlu datang lagi."
Quinn membuat Lawrence khawatir ia telah melakukan kesalahan hingga
Quinn perlu melarangnya mendekati Eleanor lagi.
"Aku harus memikirkan cara menyenangkan hati Eleanor sebelum ia
mencabut nyawaku." Lawrence tersenyum mendengarnya.
Melihat langkah-langkah gembira Quinn, ia tahu pemuda itu telah
menemukan kebahagiaan sejatinya. Ia turut gembira karenanya. Ia yakin
masa depan kerajaan ini cerah di tangan pasangan itu.
Eleanor melihat ke pintu ketika mendengar pintu terbuka.
Quinn tersenyum. Eleanor memalingkan wajah. Ia mengacuhkan Quinn dengan pura-pura
tidur. "Aku mendengar akhir-akhir ini kau dalam suasana hati muram," Quinn
melangkah masuk. "Lawrence memarahiku karena aku tidak bisa
membuat pasien istimewanya tersenyum," Quinn duduk di sisi Eleanor.
Eleanor segera membalik badan memunggungi Quinn.
Quinn membungkuk, mengurung Eleanor di antara kedua tangannya.
"Apakah kau ingin bermain kucing-kucingan denganku?"
"Kau penipu!" Eleanor menatap tajam pria itu.
"Penipu" Aku?"
"Kau telah berjanji untuk tidak mengurungku di sini."
"Lukamu belum sembuh total, Eleanor, dan suhu badanmu masih belum
turun. Aku tidak mau mengambil resiko."
Eleanor membuang wajah. "Dengarlah, Eleanor, istriku tercinta," Quinn mengulurkan tangan meraih
wajah Eleanor. "Aku juga tidak ingin mengurungmu di sini tetapi aku
tidak dapat membahayakan dirimu." Mata Quinn menatap lembut wajah
kesal itu. "Aku berjanji padamu. Aku janji akan membawamu ke tempat
yang menyenangkan setelah lukamu benar-benar kering dan kau sudah
cukup sehat untuk berpergian."
"Kau pasti akan mengingkari janjimu lagi," gerutu Eleanor.
"Tidak," Quinn meyakinkan, "Aku tidak pernah mengingkari janjiku
terutama janjiku padamu." Quinn menarik Eleanor ke dalam pelukannya.
"Katakan, sayangku, ke mana kau ingin melewatkan bulan madu kedua
kita?" "Bulan madu?" "Apakah kau ingin mengulangi bulan madu pertama kita?"
"Tidak," Eleanor segera menyahut, "Aku tidak mau ke sana lagi."
"Kau harus mengatasi ketakutanmu, Eleanor."
"Tidak sekarang," Eleanor cemberut.
"Baiklah," Quinn mengalah, "Apakah kau mempunyai tempat yang ingin
kau kunjungi?" "Apa kau serius?" Eleanor masih tidak percaya.
"Kau tidak mempercayaiku?" Quinn tidak senang. "Setelah semua
kejadian yang menguras tenagaku ini, aku ingin melewatkan waktu
bersamamu seorang." Eleanor diam memperhatikan Quinn baik-baik. "Hanya kita berdua?"
"Hanya kau dan aku."
"Kau akan selalu bersamaku?"
"Aku tidak akan meninggalkanmu."
Eleanor semakin tidak mempercayai Quinn. "Tidak ada tugas kerajaan?"
"Tidak akan ada," Quinn menjawab mantap, "Aku berjanji padamu, istriku
tercinta. Aku tidak akan meninggalkan sisimu barang sedetik pun walau
pun itu demi Viering. Bulan madu ini hanyalah untuk kita berdua. Aku
ingin menikmati saat-saat bahagia bersamamu tanpa gangguan apa pun."
Eleanor tersenyum bahagia.
"Jadi, ke mana kau ingin melewatkan bulan madu kedua kita?"
"Aku menyerahkannya padamu," Eleanor bergelayut manja, "Boleh ke
mana pun asal tidak ke Corogeanu."
"Ya, Paduka Ratu," Quinn tersenyum. "Hamba akan melaksanakan
perintah Anda sebaik-baiknya."
-----0----- "Kami sudah mendapat kepastian dari pengadilan," lapor Grand Duke,
"Dalam waktu dekat mereka akan dihadapkan pada pengadilan."
"Terima kasih, Bernard," Quinn tersenyum puas. "Aku masih punya satu
tugas lagi untukmu."
"Apakah itu, Paduka?" tanya Grand Duke.
"Aku sudah meminta Derrick untuk membantuku menjalankan tugastugasku untuk
beberapa waktu selama aku meninggalkan Loudline.
Kuharap kau mau mengawasinya."
Grand Duke dan Derrick terperanjat.
"Bernard, kau adalah orang yang paling kupercaya dan Derrick adalah
orang yang paling tepat untuk melanjutkan tugasmu menjadi penasehat
Kerajaan yang utama."
Grand Duke Bernard terperangah.
Quinn berdiri dan berjalan menghampiri mereka.
"Eleanor percayamu, Derrick. Dan aku percaya pada Eleanor."
Derrick tidak dapat berkata-kata. Tugas ini terlalu tiba-tiba. Quinn sama
sekali tidak mengatakan apa-apa ketika memanggilnya menghadap.
"Mulai saat ini sampai beberapa waktu mendatang, kuserahkan Viering
pada kalian," ia menepuk pundak Bernard dan berjalan ke pintu.
"Anda mau ke mana?" Derrick langsung bertanya.
"Membawa Eleanor pergi sebelum ia membuat ulah," jawab Quinn tanpa
menghentikan langkah kakinya, "Kali ini aku bisa benar-benar tamat
kalau aku tidak segera membawa Eleanor pergi."
Quinn membuka pintu. "Satu hal lagi," Quinn menoleh, "Aku tidak tahu kapan aku akan pulang."
Keduanya terkejut. "Kalian tidak ingin aku kehilangan nyawaku sebelum kembali ke Fyzool,
bukan?" tanyanya sambil tersenyum.
Keduanya memperhatikan Quinn menutup pintu rapat-rapat diiringi suara
tawanya. "Tugas ini tidak akan mudah, Derrick," Grand Duke berkata serius,
"Apakah kau sudah siap?"
"Aku selalu siap kapanpun juga, Papa," Derrick pun menjawab dengan
serius. -----0----- Quinn mengulurkan tangan memegang dahi Eleanor. "Panasmu sudah
mulai turun." Eleanor yang duduk bersandar di bantal-bantal memasang wajah masam.
"Kau tidak senang mendengarnya?" Quinn heran.
"Kau bohong!" Eleanor kesal, "Katamu tidak akan mengurungku. Kau
ingkar janji!" "Eleanor," Quinn meraih gadis itu dalam pelukannya, "Ketahuilah aku pun
tidak suka mengurungmu, tapi aku harus yakin kau cukup sehat dan
lukamu cukup kering. Aku tidak mau melihatmu berbaring di sini berharihari tanpa
reaksi." Wajah masam Eleanor tidak berubah.
"Percayalah padaku, sayang."
"Aku," Quinn menutup mulut Eleanor dengan tangannya.
"Jangan katakan aku membencimu karena aku tidak suka
mendengarnya." Eleanor membuang wajah. Quinn mendesah. "Aku selalu kalah darimu."
Eleanor melihat Quinn dengan senyum manisnya.
"Aku akan menyuruh pelayan membantumu berganti baju. Kita akan
pergi ke rumah musim semiku. Aku yakin kau akan menyukainya."
Eleanor tersenyum gembira. Ia melingkarkan tangan di leher Quinn. "Aku
suka sekali," Eleanor bergelayut manja.
"Tidak ada hadiah untukku?" Quinn bertanya heran.
"Hadiah?" Eleanor ikut-ikutan heran tapi matanya bersinar nakal.
"Kau ini," Quinn mendorong Eleanor ke tempat tidur dan mencium
bibirnya dengan lembut. Eleanor memeluk badan Quinn yang menindihnya. Eleanor kecewa ketika
Quinn langsung melepaskan diri.
"Kalau aku terus menerus di sini, aku khawatir kita tidak akan segera
berangkat. Kau ingin segera ke sana, bukan?"
Senyum ceria langsung menghiasi wajah manis Eleanor.
"Jangan bertindak gegabah atau itu hanya akan membuatku menahanmu
di sini lagi!" Quinn memperingati Eleanor ketika melihat gadis itu siap
meloncat dari tempat tidurnya.
Lagi-lagi Eleanor memasang wajah cemberut.
Quinn tidak dapat lagi menahan tawa gelinya. Gadis ini memang sungguh
mudah ditebak. "Kau...." Quinn melihat Eleanor dengan tajam.
Eleanor ingat Quinn tidak suka mendengar kata 'benci'. Saat ini ia juga
tidak berani mengambil resiko memilih kata itu.
"Kau menyebalkan!" akhirnya ia memilih kata ini.
"Menyebalkan?" Quinn termenung, "Bagus. Aku sudah setingkat lebih
maju." Eleanor ingin sekali memaki Quinn namun ia sadar saat ini hal itu terlalu
beresiko. Belakangan ini ia sadar ada saatnya kemarahan Quinn tidak
boleh dilawan. Quinn tertawa geli melihat raut wajah Eleanor. "Tunggulah di sini. Aku
akan segera memanggil Nicci." Ia menyematkan ciuman di kening Eleanor
sebelum meninggalkan kamar Eleanor.
Tak sampai semenit setelah kepergian Quinn, Nicci datang dengan
tergesa-gesa. "Anda harus bergegas, Paduka Ratu," Nicci dengan cepat
merapikan rambut Eleanor, "Semua sudah siap kecuali Anda. Baju-baju
Anda dan obat-obatan sudah dikirim ke Pinhiero pagi ini."
"Pagi ini?" "Kemarin malam Paduka Raja menyuruh kami mempersiapkan segalanya
agar pagi ini Anda bisa segera ke Pinhiero."
Quinn telah mempersiapkan semua ini untuknya!
Pengetahuan itu membuat Eleanor semakin bahagia. Eleanor makin
mencintai pria itu. "Eleanor sudah siap?" Quinn melangkah masuk.
Eleanor melihat Quinn dengan senyum termanisnya. Pria itu telah
menanggalkan pakaian dinasnya. Sebagai gantinya, ia mengenakan
kemeja putih dipadu celana hitam. Ia tampak begitu santai dan elegant.
Nicci menyematkan hiasan terakhir di rambut Eleanor. "Sudah, Yang
Mulia," katanya kemudian.
Eleanor mengulurkan tangan.
Quinn menyambutnya dengan membopong Eleanor. "Segeralah bersiap-
siap, Nicci," katanya pada pelayan pribadi Eleanor, "Segera susul kami
begitu kalian siap."
"Baik, Paduka."
Quinn membopong Eleanor keluar.
Eleanor meletakkan kepala di pundak Quinn. Tangannya melingkari leher


Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Quinn dengan mesra. Di dalam kereta, Eleanor duduk merapat di sisi Quinn. Ia menyandarkan
kepala di pundak Quinn dengan mesra.
"Apa-apaan kau ini?"
"Rasanya aku makin mencintaimu."
"Tentu saja kau harus. Kalau tidak, aku akan mengurungmu," goda
Quinn. Raut wajah Eleanor menjadi masam.
Quinn tertawa geli. "Aku akan menyukai liburanku ini."
Sadar telah dipermainkan, Eleanor kesal. Eleanor bergerak menjauh.
"Kau tidak akan bisa menjauh dariku," Quinn menarik gadis itu merapat.
Eleanor menjulurkan lidahnya.
"Hidup bersamamu memang menyenangkan," desis Quinn tersenyum
bahagia, "Selalu dipenuhi hal-hal baru yang tidak pernah terpikirkan
olehku." Eleanor bergelayut manja.
Quinn menunduk mencium Eleanor.
Epilog "SEEEBBB!!" Seb melihat ke arah datangnya panggilan itu.
Seorang gadis berlari mendekat. Tubuh rampingnya terbungkus gaun katun
coklat. Rambut panjang yang bersinar keemasannya di bawah sinar matahari
siang membingkai wajah cerianya.Tidak ada yang berbeda dari gadis itu namun
sesuatu membuat setiap orang yang mendengar suaranya, melihat ke arahnya.
"Selamat siang, semuanya!" Eleanor melambaikan tangan dengan penuh
semangat. "Hi, Eleanor! Bagaimana kabar Anda?"
"Di mana Anda bersembunyi selama ini?"
"Anda masih tetap saja cantik."
"Lama tidak bertemu."
"Hi, Eleanor. Apa hari ini Anda mencari daging?"
"Kenapa Anda tidak mampir?"
"Ke mana saja Anda, Eleanor?"
Setiap pedagang kenalan Eleanor menyapa gadis itu dan Eleanor pun dengan
gembira menjawab setiap panggilan itu.
"P-Pa...," lirikan tajam orang-orang di sekelilingnya langsung menyadarkannya,
"Dristol... Eleanor, apa yang Anda lakukan di sini?" Sejak ia menyadari siapakah
sebenarnya Eleanor yang dikenalnya, ia tidak pernah bertemu dengannya. Ia
hanya mendengar Eleanor berulang kali hampir kehilangan nyawanya dan tiga
bulan lalu Paduka Raja membawanya pergi ke Pinhiero. Ia sama sekali tidak
menyangka setelah berbulan-bulan tidak mendengar kabar Eleanor, gadis itu
tiba-tiba muncul di tengah kota seorang diri!
"Tentu saja menemui kalian," Eleanor tersenyum lebar, "Aku merindukan kalian.
Apa kau tidak merindukanku?"
"T-tentu saja saya merindukan Anda!" Seb menyahut. Tiba-tiba ia tidak tahu
bagaimana ia harus bersikap di depan sang Ratu. Lirikan tajam orang-orang
mengingatkannya akan pesan Raja Quinn untuk tetap berpura-pura tidak tahu
siapa jati diri Eleanor yang sebenarnya. Namun kepalanya terus mengingatkan
gadis ini bukan lagi Eleanor sang pelayan Earl Hielfinberg. Kepalanya dengan
cepat mencari topik pembicaraan. "K-kapan Anda tiba" Mengapa saya tidak
mendengar kabar kepulangan Anda?"
Eleanor keheranan mendengar Seb kalimat sopan itu. Pemuda itu tidak pernah
bertanya padanya dengan nada seperti ini. "Apa yang terjadi padamu" Mengapa
kau tiba-tiba menjadi terpelajar?"
"Ia jatuh cinta pada seorang gadis kaya," Mrs. Brandrick memberitahu, "Karena
itu ia belajar menjadi seorang yang terpelajar."
"Benarkah itu?" Eleanor tertarik, "Siapakah dia?" Eleanor mendesak, "Katakan
padaku. Siapa tahu aku bisa membantu."
Seb benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana.
"Percuma, Eleanor. Seb tidak akan memberitahumu."
"Sejak kapan kau bermain rahasia-rahasiaan denganku?" Eleanor cemberut.
Mrs. Brandrick tertawa melihatnya. Tidak akan ada yang percaya gadis ini
adalah ratu kerajaan ini. "Katakan Eleanor, mengapa kau di sini sendirian. Apa
suamimu mengijinkanmu ke sini?"
Eleanor langsung memasang wajah cemberut. "Jangan menyebut namanya di
depanku. Pagi ini dia pergi tanpa membangunkanku."
"Kau tidak boleh berkata seperti itu tentang suamimu," Mrs. Brandrick
menasehati, "Aku lihat ia sangat mencintaimu. Ia tentu tidak ingin mengganggu
tidurmu sehingga pergi tanpa berpamitan padamu." Mrs. Brandrick bukan
sekedar berkata. Ia telah melihat sendiri cinta raja yang begitu besar. Ia telah
mendengar cintanya yang begitu dalam. Mereka yang dulu digunjingkan
sekarang menjadi contoh pasangan ideal tiap orang.
"Huh!" Eleanor mendengus, "Apa yang percaya pada alasannya. Ia pasti pergi ke
tempat yang menyenangkan seorang diri. Setan seperti dia memang suka
melihatku menderita."
Mrs. Brandrick mendesah. Ia mengenal Eleanor bukan sehari dua hari. Gadis ini
bisa menjadi sangat keras kepala bila ia sedang marah dan saat ini adalah salah
satunya. "Dia pasti sedang bersenang-senang!" Eleanor memberitahu Mrs. Brandrick
dengan mantap. Tentu saja hal itu salah besar. Quinn jauh dari senang mendengar perbuatan
Eleanor. "M-maafkan kami, Paduka," Nicci tidak berani melihat wajah tegang pemuda itu,
"Kami sudah mencegah Paduka Ratu tetapi beliau terlalu cepat untuk kami.
Begitu Ratu memerintahkan kusir kuda berhenti, ia langsung menghilang ke
keramaian." "Seharusnya kau sudah menduganya semenjak ia meninggalkan Pinhiero."
Nicci melihat Quinn dengan tidak mengerti.
"Eleanor tidak terlalu bodoh untuk berkeliaran di kota dengan baju mewah."
Nicci makin menyadari kebodohan dirinya. Seharusnya ia curiga ketika Eleanor
menolak gaun yang telah dipersiapkannya. Seharusnya ia sudah tahu apa yang
akan dilakukan Eleanor ketika gadis itu bersikeras mengenakan gaun katun
usang yang ditemukannya di antara baju-baju bekas di gudang Pinhiero.
"Seharusnya aku sudah tahu akan begini akhirnya," Quinn mendesah panjang.
Seharusnya ia sudah menduga Eleanor pasti akan langsung melesat ke pusat
kota Loudline, kepada teman-temannya setelah hampir setengah tahun tidak
bertemu mereka. Bila diruntut ke belakang, semua ini adalah tanggung jawabnya. Kemarin ia
telah memberitahu Eleanor pagi ini mereka akan kembali ke Fyzool. Namun ia
membuat gadis itu tidak dapat tidur nyenyak semalaman. Akibatnya, Eleanor
belum bangun ketika rombongan siap meninggalkan Pinhiero. Ia sendiri juga
hampir ketiduran bila ia tidak mendengar ketukan di pintu.
Selama musim dingin ini mereka tinggal di Pinhiero. Selama itu pula ia
melewatkan hari-harinya bersama Eleanor, jauh dari tugas-tugas kerajaan.
Quinn sadar tiga bulan bukanlah waktu yang singkat. Walaupun ia telah
mewakilkan wewenangnya pada Grand Duke, jiwanya sebagai seorang Raja
masih tidak bisa tutup mata tutup telinga pada urusan kerajaan. Setiap pagi
ketika Eleanor masih tidur, ia menyempatkan diri untuk membaca laporan Grand
Duke. Bahkan dalam beberapa kesempatan ketika Eleanor pergi, ia memanggil
pejabat kerajaan untuk memberikan pengarahan. Namun itu semua belum
cukup. Masih banyak urusan yang harus ia tangani sendiri. Sudah sejak dua
minggu lalu Quinn ingin kembali ke Fyzool namun ia tidak tega merusak wajah
bahagia Eleanor. Keinginannya itu baru terkabul beberapa hari lalu ketika
Eleanor mengkhawatirkan keabsenannya di puncak pemerintahan Viering. Dan
hari inilah mereka memutuskan untuk kembali ke Fyzool. Teringat banyaknya
tugas yang menantinya dan juga Eleanor sebagai Ratu Viering, Quinn tidak
sanggup melepas saat-saat damai ini. Semalam ia memanfaatkan waktu sebaikbaiknya
untuk memadu kasih dengan Eleanor.
"A...apakah saya perlu meminta prajurit untuk menjemput Paduka Ratu?" Nicci
memberanikan diri untuk bertanya.
"Tidak perlu," Quinn berdiri. "Selesaikan tugasmu dan Bernard, urusan ini bisa
menunggu sampai aku kembali."
"Anda akan pergi ke mana?" sang Grand Duke keheranan.
"Ke tempat seharusnya aku pergi," jawab Quinn sambil meninggalkan Ruang
Kerjanya. "Kalau Anda ingin menjemput Ratu, Anda tidak perlu turun tangan. Saya bisa
meminta Jancer mengatur prajurit untuk menemukan Ratu."
"Menurutmu itu berguna?" Quinn bertanya.
"Percuma melarangnya, Papa," komentar Derrick, "Quinn benar. Selain dia, tidak
ada yang bisa membawa Eleanor pulang."
"Tapi... membiarkan mereka seorang diri di Loudline tanpa seorang
pengawalpun?" Derrick tersenyum. "Papa perlu merubah pandangan terhadap hal satu ini."
"Membiarkan Raja dan Ratu seorang diri di luar Istana tanpa pengawalan adalah
hal tergila yang tidak bisa aku bayangkan!"
"Mereka jauh lebih aman tanpa pengawal," Derrick meyakinkan ayahnya dan ia
menekankan, "Apalagi setelah peristiwa Pittler."
Derrick tahu Eleanor mempunyai banyak kawan baik di Loudline. Setelah
percobaan pembunuhan Eleanor oleh Simona, tak mungkin teman-teman
Eleanor itu tidak mengetahui siapa sang Ratu Viering. Quinn, tentu saja, tidak
mungkin membiarkan mereka berterus terang. Kini teman-teman Eleanor itu
bukan hanya menjadi sumber informasi Eleanor tetapi juga pengawalnya yang
paling tangguh di pusat kota Loudline.
Dan memang itulah yang terjadi. Setiap orang menyapa Eleanor dengan ramah.
Mereka tetap bersenda gurau dengannya seperti biasa. Di saat bersamaan
mereka juga meyakinkan diri peristiwa yang lalu tidak terulang.
"Benarkah itu?" Eleanor tidak percaya.
"Semua orang membicarakannya. Duke Binkley dan Lady Irina sering terlihat
bersamaan." "Anda sebagai pelayan Earl Hielfinberg, mengapa tidak mengetahui gosip ini?"
seorang di antara mereka sengaja menyinggung.
Eleanor tertawa panik. "Itu semua salah Quinn," kepalanya dengan cepat
mencari alas an, "Dia mengurungku."
Tentu saja mereka tahu penyebab yang sebenarnya.
"Benarkah?" Mrs. Brandrick mendesak, "Bukannya kau paling suka mendengar
gossip." "Mengapa kalian semua hari ini tidak mempercayaiku?"
Semua orang langsung gugup.
"Aku merasa hari ini kalian semua bertambah aneh. Apakah ini hanya
perasaanku saja?" Eleanor bergumam, "Namun kalian terasa menjaga sikap dan
tutur kata." "Ya. Ya itu pasti hanya perasaan Anda saja," Seb panik.
Eleanor melihat pemuda itu dengan curiga. Ia tidak pernah bertanya pada Quinn
bagaimana hari itu ia menemukannya. Ia tidak pernah memikirkannya hingga
detik ini. Hari itu ia berada di antara mereka. Hari itu pula di hadapan mereka
ia diculik. Apakah mungkin Quinn menemukannya tanpa menginterogasi mereka"
Apakah mungkin Pedro dan para pengawal yang mengikutinya tidak melihatnya
bersama mereka" Tidak itu tidak mungkin!
Sesuatu! Quinn pasti telah melakukan sesuatu terhadap mereka sehingga
mereka bersikap seaneh ini padanya. Tetapi apakah itu"
Eleanor mengerang geram. Ia tidak dapat memikirkan jawabannya.
Erangannya itu membuat tiap orang yang mengerumuninya kaget.
"Aku pasti akan membuatnya mengatakan...," tiba-tiba Eleanor merasa perutnya
mual. "Anda tidak apa-apa?" Mrs. Brandrick bertanya cemas melihat wajah Eleanor
yang tiba-tiba pucat. "Tidak. A...," Eleanor merasa mual di perutnya naik ke tenggorokannya. Ia tidak
dapat memuntahkan isi perutnya di sini. Baru saja Eleanor berdiri ketika
pandangannya kabur. "Paduka Ratu, Anda tidak apa-apa?" Seb benar-benar panik melihat tubuh
Eleanor yang limbung. Eleanor memelototi pemuda itu.
Mrs. Brandrick segera bertindak dengan menangkap tubuh Eleanor. "Paduka
Ratu!" "Paduka Ratu! Paduka Ratu!"
"Mengapa" Mengapa kalian tahu?" Eleanor ingin mengutarakan pertanyaan itu
pada orang-orang yang panik namun pandangannya kian kabur.
Ketika ia membuka matanya kembali, Quinn tengah memelotot tajam padanya.
"Apakah hari ini kau sudah cukup membuat keributan?" tanyanya geram.
Eleanor melihat sekelilingnya dengan bingung. Ayahnya duduk di sisi kanannya
sambil menggenggam tangannya erat-erat dengan sepasang mata terharu.
Quinn berdiri di belakang Earl dengan wajah geramnya namun ia tidak dapat
menutupi senyum bahagianya. Di sisinya tampak pula Duke yang tak mampu
menahan senyum bahagianya. Nicci berdiri di kaki ranjang dengan wajah
gembiranya. Derrick berdiri di sisinya dengan senyum nakalnya yang khas. Di
sampingnya, Irina yang cemas didampingi Stariy.
Duke Binkley!" Eleanor langsung teringat gosip yang didengarnya dari kota.
"Irina! Apakah benar kau dan Stariy akan segera menikah?" tanyanya
bersemangat. Wajah Irina langsung memerah.
"Apakah itu satu-satunya hal yang bisa kaulakukan setelah membuat kami
semua cemas!?" bentak Quinn murka.
"Memangnya apa yang telah aku lakukan?" Eleanor melihat mereka dengan
penuh tanda tanya. Ia mulai mengulang kembali kejadian yang baru saja
berlalu. Ia ingat ia berada di Loudline di antara Mrs. Brandrick dan kemudian...
"Quinn!" Eleanor teringat kecurigaannya, "Katakan apa yang kau lakukan pada
mereka!" Mengapa mereka tahu aku adalah Ratu!?""
"Kalau kau sadar kau memang seorang Ratu, bersikaplah semestinya!" senyum
di wajah Quinn menghilang.
Derrick tidak dapat lagi menahan tawa gelinya. "Kau benar-benar Eleanor, Yang
Mulia Paduka Ratu." Lalu ia melihat pada Quinn. "Sudahlah, Quinn, jangan kau
marahi dia. Engkau tidak benar-benar ingin memarahinya, bukan?"
"Aku sangat ingin melakukannya," Quinn membantah. Mereka tidak tahu betapa
paniknya ia ketika penduduk Loudline menyambut kedatangannya. Ia tahu
sesuatu telah terjadi pada Eleanor ketika serombongan orang dengan wajah
panik melesat ke arah Istana.
"Aku benar-benar kaget ketika mendengar kabar itu. Berita kedatangan Eleanor
belum sampai tetapi berita Eleanor pingsan di Loudline sudah menyebar. Aku
benar-benar tidak menduga," Irina melihat Eleanor dengan perasaan bangga
dan haru yang tidak dapat diungkapkannya.
"Bagaimana pun juga Eleanor seorang wanita," Duke Bernard menegaskan.
"Wanita liar yang tidak mau diam dan suka membuat keributan," Quinn
membenarkan. "Berkat itu Eleanor menjadi satu-satunya Ratu Viering yang begitu dekat dengan
rakyat," timpal Derrick, "Tidak akan ada seorang Ratu yang pingsan di Loudline
dan pulang dengan segerobak penuh sayur-mayur yang cukup untuk sebulan."
Eleanor tidak mengerti apa yang tengah mereka bicarakan.
"Aku tidak sabar menanti kehadirannya di antara kita," Earl meremas tangan
Eleanor. Ia kian tidak mengerti. "Countess Virgie pasti turut gembira di alam sana," Nicci terharu.
Quinn mendesah panjang. "Kurasa mulai detik ini aku harus berdoa setiap hari
untuk keselamatan mereka sampai dia benar-benar muncul di dunia ini."
Mereka langsung tertawa lepas.
"Apa yang kalian tertawakan?" Eleanor menuntut jawaban, "Apa yang kalian
bicarakan?" Quinn duduk di sisi istrinya dan tersenyum lembut padanya. "Aku akan
memberitahukannya padamu, istriku," ia meraih Eleanor ke dalam pelukannya,
"Aku akan memberitahumu pelan-pelan."
Mereka langsung sadar sudah saatnya mereka meninggalkan Ivory Room.
"Aku percaya seluruh penduduk Viering sudah mengetahui kehamilan sang
Ratu," Derrick tersenyum geli membayangkan kembali kepulangan Eleanor yang
masih belum sadar diantar penduduk Loudline yang gembira dan raut wajah
cemas namun bahagia Quinn yang tidak dapat digambarkan dengan lukisan
maupun kata-kata. "Kita masih perlu membuat pengumuman resmi," Grand Duke menegaskan.
"Aku sungguh tidak percaya Eleanor akan menjadi seorang ibu!" Irina
menyatakan ketakjubannya ketika mereka melangkah di sepanjang koridor.
Derrick berbicara serius, "Sekarang yang perlu dikhawatirkan adalah tingkah


Ratu Pilihan Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laku Eleanor. Kita harus menjaganya dengan ketat setidaknya sampai bayi itu
lahir. Untuk itu ," ia beralih pada sang Duke Binkley dan kakaknya, "Kalian
harus segera melangsungkan pernikahan kalian."
"Derrick benar," Earl sependapat. "Kalian harus bertindak cepat."
"A-apa yang kau bicarakan, Derrick?" Irina panik karena malu, "I-itu itu..."
"Kau tidak ingin Eleanor melahirkan di pesta pernikahanmu, bukan?" Duke
Bernard tersenyum pada Irina kemudian pada Stariy, sang calon menantunya.
Irina terperanjat, "I-itu... itu tidak mungkin terjadi. Eleanor... Eleanor... dia...."
"Mungkin saja," Derrick membenarkan, "Kau juga tahu Eleanor. Aku tidak akan
kaget bila Eleanor melahirkan di Loudline."
Ucapan Derrick yang sekedar basa-basi itu menjadi kenyataan tujuh bulan
berikutnya. Seisi Loudline dan Fyzool kalang kabut mengetahui Eleanor
melahirkan. Bila penduduk Loudline sibuk membantu kelahirkan sang Putra
Mahkota, Fyzool sibuk mempersiapkan penyambutan sang Ratu dan sang Putra
Mahkota. Quinn, lagi-lagi tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaannya. Ia panik,
marah, cemas namun ia juga bahagia.
Eleanor memang suka membuatnya panik. Eleanor suka membuatnya marah.
Namun Eleanor juga yang membuat hidupnya penuh sensasi. Eleanor
membuatnya bahagia. "Eleanor memang ratu pilihan," gumamnya melihat Eleanor berbaring di ranjang
sambil menggendong putra mereka yang baru saja lahir.
Pedang Pusaka Dewi Kahyangan 14 Wiro Sableng 085 Wasiat Sang Ratu Sang Penebus 5
^