Pencarian

Runtuhnya Gunung Es 2

Runtuhnya Gunung Es Karya Sherls Astrella Bagian 2


wajah adiknya seolah tak ingin membiarkan Snow Angel kabur. Ia mengangkat
barang yang dibawanya dan melambai-lambaikan barang itu sambil berkata:
"Kata Nanny, kau meminta kertas dan pena ini. Boleh aku tahu untuk apa kertas
dan pena ini?" "Menulis," jawab Snow Angel singkat.
Frederick menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban adiknya. "Ya,
aku tahu bila seseorang membutuhkan pena dan kertas, ia pasti akan menulis.
Yang kuingin tahu darimu adalah kau ingin menulis apa pada kertas ini?"
"Kau tak perlu tahu," jawab Snow Angel dingin.
Frederick tersenyum lembut pada adiknya, diletakkannya kertas-kertas dan
pena itu di pangkuan Snow Angel. Lalu ia duduk di atas lantai yang
berpermadani itu di samping adiknya sambil tetap memandangi wajah adiknya.
"Kau akan menulis surat?" tanyanya hati-hati.
Snow Angel diam tidak menanggapi pertanyaan Frederick. Ia memandang ke
depan ke perapian yang tak menyala itu. Pandangan matanya menerawang di
keremangan kamarnya terus menembus ke dalam kegelapan perapian itu.
Sesaat kemudian terasa tangannya ditepuk-tepuk lembut penuh kasih sayang
oleh Frederick. Ia diam tak bereaksi - tetap memandang ke depan.
"Kenapa tak kau katakan kepadaku saja?" tanya Frederick lembut.
Snow Angel langsung menoleh - menatap wajah Frederick mendengar
pertanyaan Frederick itu. "Kepadamu?"
"Aku tahu. Aku tahu semuanya..."
"Dari Nanny?" potong Snow Angel tajam.
"Ya," kata Frederick menganggukan kepalanya, "Nanny mengatakan kalau kalian
pergi ke Panti Asuhan Gabriel sebelum berbelanja."
"Lalu?" potong Snow Angel lagi sambil memincingkan matanya hendak
menyelidiki apa saja yang diketahui Frederick.
"Lalu aku mengambil kesimpulan kalau kau akan meminta kepada Papa untuk
membantu Panti Asuhan Gabriel itu saat Nanny muncul ke Ruang Perpustakaan
hendak mengambilkanmu kertas dan pena."
"Oh ya," kata Snow Angel sinis.
Frederick menghela napas dalam-dalam dan menepuk tangan adiknya lagi.
"Nanny juga bercerita kepadaku tentang keadaan panti itu. Dan kau tahu kalau
selama Papa pergi, akulah yang mengurus segala-galanya. Lagipula aku tak
pernah menolak permintaanmu, bukan?"
Snow Angel pandangan matanya ke perapian lagi. Dibiarkannya tangan
Frederick memegang tangannya. Ia merasa lega Nanny tak menceritakan
kepada kakak-kakaknya bahwa tadi ia pergi berbelanja sendiri, dan kini
Frederick menduga ia akan menulis surat pada Earl, ayah mereka.
Tapi ia juga cemas memikirkan ia terpaksa harus berbohong pada Frederick. Ia
tidak ingin membohongi kakaknya.
Frederick diam memandang adiknya. Ia berusaha membaca perasaan adiknya,
berusaha mengerti apa yang sedang dipikirkan adiknya itu.
Sesaat suasana menjadi hening dalam kamar itu, sebelum pada akhirnya
Frederick berkata: "Aku tahu kau marah padaku atas kelakuan kami sewaktu engkau tiba tadi
sehingga engkau tidak mau menceritakannya kepadaku."
Frederick diam sejenak untuk mengetahui reaksi Snow Angel. Adiknya diam saja
- tak bereaksi apa pun, maka ia menduga tebakannya tepat. "Maafkan kami,
Snow Angel. Kau tahu kami tadi berbuat begitu karena kami mengkhawatirkan
dirimu. Kami tak bermaksud menyalahkanmu, kami hanya cemas
menunggumu," lanjutnya.
Snow Angel merasa sedih mendengar kata-kata Frederick yang terasa memohon
itu. Dipandanginya wajah kakaknya dengan pandangan mengiba. "Tak ada suatu
pun yang perlu dimaafkan. Kalian tak perlu minta maaf padaku. Aku sendiri juga
bersalah dalam hal ini, aku membuat kalian cemas. Lagipula aku tidak sedang
marah pada kalian." "Kau tahu aku tidak pernah marah pada kalian. Aku tahu kalian berbuat seperti
itu karena sayang padaku dan tak ingin sesuatu yang tak diharapkan terjadi
padaku. Tapi, Freddy, tak dapatkah kau dan Oscar berhenti memikirkanku atau
setidak-tidaknya pikirkan juga diri kalian."
Frederick terkejut mendengar kalimat terakhir adiknya. Ia terpekik kaget, "Apa
maksudmu berbicara begitu" Kau itu ..."
Frederick tidak dapat melanjutkan kata-katanya, jari-jari adiknya menahan
kata-katanya di mulutnya.
"Oh ... Freddy jangan marah. Bukan maksudku untuk menyinggung perasaanmu.
Aku tahu kau akan selalu memikirkanku karena aku adikmu. Maksudku tak
pernahkah kau dan Oscar berpikir tentang masa depan kalian."
Frederick mengangkat tangan adiknya dari mulutnya dan menggenggamnya.
"Aku tiap hari selalu berpikir tentang itu. Tiap hari aku berpikir mengenai masa
depanmu dengan seorang pria yang tampan dan gagah seperti Vladimer,
misalnya," kata Frederick. Mata Frederick bersinar-sinar membayangkan hal itu,
secercah senyum bahagia tersungging di bibirnya.
Tak disadarinya perubahan muka adknya yang kini menjadi kaku dan tegang.
Adiknya itu tak pernah sekalipun memikirkan masa depan khususnya yang
menyangkut pernikahan bagi dirinya. Ia senantiasa memikirkan kakakkakaknya.
"Freddy, bukan masa depanku yang kumaksudkan," sahutnya kaku, "Yang aku
maksudkan masa depanmu dan Oscar. Tidak sadarkah engkau, kau ini semakin
tua bukan semakin muda begitu juga Oscar. Tahun ini saja umurmu sudah 33
tahun dan Oscar 28 tahun, tetapi kalian tidak ..."
"Berhenti! Aku tahu kelanjutannya, tidak perlu dilanjutkan. Mama Papa sudah
sering mengatakannya," potong Frederick cepat-cepat sebelum adiknya
menyelesaikan kalimatnya.
Ia merasa bosan mendengar kalimat-kalimat yang bernada hampir sama dengan
kalimat adiknya. Memang sudah sering kedua orang tuanya memberi nasehat
padanya mengenai usianya yang semakin tua tetapi belum menikah padahal
ialah yang kelak diharapkan untuk menggantikan ayahnya.
Snow Angel tertegun mendengar kata-kata kakaknya itu, tak pernah dikiranya
orang tuanya sudah sering mengucapkan hal itu pada kedua kakaknya juga,
sebab selama ini tak pernah sekalipun mereka berbicara tentang hal tersebut di
depan matanya. Selama ini ia selalu mengira bahwa kedua orang tuanya merasa bahwa kedua
kakaknya itu sudah mengerti akan hal itu sehingga tak perlu mereka
memperingati kedua kakak-kakaknya itu.
"Mama Papa?" "Ya." "Kapan" Mengapa aku tidak tahu?" tanya Snow Angel heran.
"Mereka membicarakannya padaku dan Oscar bila kau tak ada."
"Mengapa mereka tak membicarakannya selagi aku ada?"
"Karena permintaanku."
"Permintaanmu?" ulang Snow Angel.
"Ya." Frederick menganggguk membenarkan pernyataan tadi.
"Mengapa?" "Karena aku tidak ingin engkau memikirkannya juga. Tapi sungguh tak
kusangka ternyata engkau juga memikirkannya, selama ini kau tampak selalu
acuh. Kau ini memang sulit ditebak," jawab Frederick menggoda adiknya.
"Karena aku juga telah ikut memikirkannya, maka maukah engkau mulai
sekarang memikirkan hal ini juga?"
"Tidak," jawabnya tegas.
"Mengapa?" tanya Snow Angel berusaha memahami jalan pikiran kakaknya.
"Karena janji," jawab Frederick singkat tak mau menjelaskan lebih lanjut.
Namun hal ini membuat adiknya semakin ingin mengetahui jalan pikiran
Frederick yang tak mau memikirkan masa depannya sendiri. "Janji apa?" desak
Snow Angel. Frederick menggelengkan kepalanya menolak menjawab pertanyaan adiknya. Ia
memandang wajah adiknya dalam keremangan cahaya lilin di ruangan itu.
Wajah adiknya menyorotkan keinginan agar pertanyaannya dijawab dengan
jujur. Hati Frederick terombang-ambing antara keinginan menolak pertanyaan itu dan
keinginan untuk mengabulkan keinginan adiknya.
Bukan hanya sekali ini saja ia bimbang karena adiknya yang satu ini. Acap kali
apa yang dianggapnya paling baik bagi Snow Angel bertentangan dengan
keinginan adiknya itu. Dan biasanya pada akhirnya ia mengalah pada keinginan
adiknya. "Karena janjiku pada diriku sendiri," jawab Frederick pada akhirnya," Janjiku
sewaktu engkau lahir."
"Aku?" kata Snow Angel tak mengerti.
"Waktu engkau lahir, aku berjanji pada diriku sendiri untuk selalu menjagamu.
Bahkan ...," jelasnya, "Bahkan ... aku berjanji untuk tidak memikirkan
kepentingan diriku sendiri sampai engkau benar-benar mandiri."
"Aku sekarang telah dewasa, bukan" Kurasa sekarang engkau dapat mulai
memikirkan dirimu sendiri."
"Tidak, aku masih belum dapat melakukannya," bantah Frederick.
"Mengapa?" tuntut Snow Angel.
"Di usiamu yang sekarang ini, engkau memang telah dewasa. Tapi aku masih
menganggap kedewasaanmu itu belum cukup matang untuk membuatku
berhenti mencemaskanmu."
"Apa yang masih kurang pada diriku sehingga kau masih belum dapat berhenti
mencemaskanku?" "Pendamping! Sampai saat itu tiba, aku tidak dapat berhenti. Aku baru rela
berhenti mencemaskanmu bila engkau telah berada di tangan orang yang
tepat." "Freddy, kurasa selama ini aku sudah punya pendamping seperti yang
kaukatakan. Selama ini kau dan Oscar selalu mendampingiku ke mana pun aku
pergi." "Sudahlah, jangan membujukku terus menerus. Sekarang, engkau mau
mengatakan permintaanmu pada Papa?"
"Entahlah." "Mengapa...," kata Frederick terhenti oleh suara ketukan pintu. "Kurasa Nanny
yang datang." Frederick bangkit kemudian meminta penegasan dari adiknya, "Berjanjilah
bahwa kau akan menceritakannya padaku."
Snow Angel memikirkannya apa yang harus dilakukan agar rahasia tetap
menjadi rahasia. Setelah menimbang masak-masak jawaban yang akan
diutarakannya, ia akhirnya menganggukan kepala.
Frederick tersenyum puas melihatnya, "Bila demikian halnya, engkau sudah
tidak memerlukan kertas-kertas itu lagi."
"Tidak, biarkan saja barang-barang ini tetap di sini," sahutnya.
Setelah mencium pipi adiknya dan mengucapkan selamat malam, Frederick
meninggalkan adiknya yang kini ditemani Nanny.
"Silakan makan, Tuan Puteri! Makanan telah saya siapkan."
Gadis itu bangkit kemudian meletakkan barang-barang di pangkuannya itu di
meja rias. Nafsu makannya hilang setelah percakapannya dengan kakaknya tadi.
Namun demi menyenangkan hati wanita tua itu, ia memakan makanan itu.
Nanny segera membawa makanan-makanan itu ke dapur setelah Snow Angel
menyelesaikan makan malamnya.
Kini Snow Angel sendirian di kamarnya. Ia duduk di depan meja rias dan mulai
menulis surat bagi Mrs. Dellas, nenek Charlemagne. Disimpannya surat itu di laci
meja tersebut kemudian ia berbaring di tempat tidurnya.
BAB 7 Matahari bersinar lembut menyibakkan kabut tipis di dalam hutan sekeliling
Troglodyte Oinos. Daun - daun meneteskan embun pagi yang berkilau-kilauan
tertimpa sinar mentari pagi. Udara pagi yang dingin tak menyurutkan keinginan
Snow Angel untuk berjalan-jalan di hutan itu.
Kakinya terus melangkah makin dalam ke hutan itu. Sebentar-sebentar ia
berhenti untuk mengamati alam sekitarnya. Senandung kicau burung pagi
menghilangkan kegundahan hatinya. Bibirnya bersenandung kecil mengikuti
nyanyian burung-burung pagi.
Ketika matahari mulai melenyapkan kabut tipis hutan itu, ia berbalik pulang.
Belum jauh ia berjalan kembali ke rumahnya tatkala ia melihat semak-semak di
depannya bergoyang-goyang dan kemudian muncul sesosok anak kecil.
"Hai," sapanya.
Anak yang disapanya itu berlari keluar dari semak-semak tempatnya semula
menuju ke arahnya. "Hai," balas anak itu.
"Kenalkan namaku Charlemagne, tapi semua orang memanggilku Charlie,"
katanya sambil mengulurkan tangannya pada Snow Angel.
Snow Angel terhenyak mendengar nama anak itu. Bukan main senangnya
hatinya melihat anak itu. Tak disangkanya ia akan bertemu dengannya secepat
ini. Ia tadinya berencana akan menemuinya serta Mr dan Mrs. Boudini sore ini di
Boudini's Theatre tapi nyatanya ia bertemu dengan Charlemagne sekarang
secara kebetulan di hutan sekeliling rumahnya.
Snow Angel menyambut tangan kecil itu. "Saya Angella, orang-orang
memanggilku Snow Angel," katanya memperkenalkan diri.
"Anda Snow Angel yang terkenal itu ya!?" seru Charlemagne.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Snow Angel terheran-heran.
"Kemarin waktu kami baru tiba, saya mendengar banyak orang yang
membicarakan Anda. Kata mereka Anda cantik sekali seperti bidadari tapi saya
tak percaya. Makanya pagi ini saya sengaja datang kemari dan berharap dapat
bertemu Anda." "Sekarang saya percaya pada perkataan mereka. Anda memang seperti malaikat
yang sering Ibu ceritakan padaku. Sayang mereka salah dalam satu hal, mereka
mengatakan Anda dingin. Tetapi saya melihat Anda tidak dingin, buktinya
tangan Anda hangat," jelas Charlemagne panjang lebar.
Snow Angel tersenyum melihat anak itu bercerita panjang lebar seperti tak ada
habis-habisnya. Diam-diam ia mengagumi keberanian dan kecerdasan
Charlemagne. Tidaklah mengherankan baginya melihat keberanian dan kecerdasan anak yang
baru berusia empat tahun itu. Sejak bayi, Charlemagne sudah tinggal dalam
lingkungan teater. Justru akan membuatnya heran bila seseorang yang tinggal
dalam lingkungan teater menjadi penakut.
Namun ia tetap mengagumi keberanian Charlemagne yang berani datang
sendirian ke Troglodyte Oinos yang letaknya agak terpencil dari desa terdekat
sepagi ini. Suasana sekitar Troglodyte Oinos memang terkesan menyeramkan. Rumah ini
dikelilingi oleh hutan yang sekaligus menjadi "tembok pembatas" antara rumah
ini dengan desa terdekat.
Namun, hal ini yang menjadi daya tarik tersendiri dari rumah ini. Rumah yang
dikelilingi hutan ini bagaikan gua tempat tinggal manusia purba di tengah hutan
pada masa purba. Rumah ini dibangun oleh kakek moyangnya. Kakek moyangnya itu senang akan
kesunyian, karena itulah ia mendirikan rumah yang dikelilingi hutan.
Ia juga memberi nuansa Yunani Kuno pada rumah itu karena kakek moyangnya
mengagumi budaya Yunani Kuno antara lain memberi nama yang berasal dari
Bahasa Yunani bagi rumah yang didirikannya itu.
Sewaktu orang-orang mendengar kakek moyangnya itu akan mendirikan rumah
di tengah hutan, banyak dari mereka yang menganggapnya aneh. Tak sedikit
teman-teman kakeknya itu yang menggodanya sewaktu pembangunan rumah
itu mulai dilaksanakan. Tetapi rupanya jerih payah kakek moyangnya dalam mendirikan rumah di
tengah hutan itu tidak sia-sia. Terbukti sejak didirikannya Troglodyte Oinos,
tidak ada seorang pun dari teman-teman kakeknya yang mengejek rumah itu.
Banyak di antara mereka yang mengagumi rumah ini. Beberapa di antara
mereka memberi nama 'Heaven in The Middle of The Jungle' pada Troglodyte
Oinos karena keindahan rumah ini.
Rumah yang dikelilingi hutan ini memang indah. Bangunan utamanya dikelilingi
kebun yang cantik dengan sebuah kolam air mancur indah yang juga turut
menghiasinya di tengah jalan menuju rumah ini.
Pada bagian dalam rumah ini banyak sekali ukiran-ukiran yang bernuansa
Yunani Kuno. Tidak sedikit pula patung dewa-dewi Yunani Kuno yang terdapat di
dalam rumah ini. Kesemuanya itu menambah indahnya rumah ini.
Saat itu Troglodyte Oinos banyak dibicarakan orang, sebab kakeknya itu
merupakan satu-satunya bangsawan yang mendirikan rumah di tengah hutan.
Namun tak seorangpun di antara mereka yang tidak mengagumi keindahan
Troglodyte Oinos. Kakek moyangnya itu memiliki keahlian sebagai seorang arsitektur. Ia-lah yang
merancang pembuatan Troglodyte Oinos dan bagian-bagian dalam rumah ini.
Kakeknya itu merancang sedemikian rupa sehingga siapa pun yang tinggal di
rumah ini tidak akan merasa bosan ataupun terpencil walaupun dikelilingi hutan.
Semua anak-cucunya tidak ada yang mengeluh karena tinggal di rumah yang


Runtuhnya Gunung Es Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikelilingi hutan. Pelayan-pelayan pun tidak ada yang merasa terpencil. Semua
merasa senang tinggal di rumah yang dibangun kakek moyangnya itu.
"Bagaimana kabar Mr dan Mrs. Boudini" Apakah mereka tahu engkau kemari?"
"Mereka baik-baik saja," jawabnya lalu ia meneruskan dengan nada bersalah,
"Mereka tidak mengetahui kepergianku kemari."
"Seharusnya engkau memberitahu mereka tentang kepergianmu ini juga engkau
seharusnya tidak pergi sendirian kemari. Engkau telah membuat Mr dan Mrs.
Boudini cemas," nasehat Snow Angel.
"Saya tahu. Saya meyesal tak memberitahu ayah ibu bahwa saya akan pergi ke
sini, pasti sekarang mereka cemas akan keadaanku. Saya berjanji pada Anda
tidak akan mengulanginya lagi dan juga saya berjanji akan meminta maaf pada
ayah ibu." "Saya senang engkau menyesali tindakanmu itu. Tapi jangan hanya berjanji
padaku bahwa engkau tidak akan mengulanginya lagi. Engkau juga harus
berjanji pada mereka."
"Saya mengerti."
"Nah, Charlie. Tadi engkau mengatakan engkau ingin bertemu denganku,
bukan?" Charlemagne mengangguk kemudian Snow Angel meneruskan,
"Sekarang saya ingin mengundangku ke rumahku. Kau mau?"
"Mau!" seru Charlie girang, "Tapi..."
"Soal orang tua baptismu jangan khawatir. Akan kukirimkan seseorang untuk
memberitahu mereka kalau engkau ada bersamaku."
"Orang tua baptis" Saya tidak mempunyai orang tua baptis," kata Charlemagne
membenarkan ucapannya. Snow Angel termangu-mangu mendengar ucapan Charlie. Ia merasa ada
sesuatu yang salah sepanjang yang diketahui anak ini. Ia memutuskan tidak
bertanya lebih jauh tentang itu kepada Charlie sebelum menanyakannya lebih
dahulu kepada Mr dan Mrs. Boudini.
"Maaf. Maksudku, saya akan mengirim seseorang untuk memberitahu ayah
ibumu bahwa engkau ada bersamaku di sini sehingga mereka tidak cemas
sementara engkau kuundang ke rumahku. Bagaimana engkau setuju?" ulang
Snow Angel. "Setuju!" seru anak itu kembali sambil menarik tangan Snow Angel.
Snow Angel tersenyum melihat kegirangan anak itu. Sepanjang jalan anak itu
bercerita tentang teman-temannya di Boudini's Theatre, tentang
pertunjukanpertunjukan Boudini's Thetre, tempat-tempat yang dikunjunginya dan
berbagai hal yang telah dialaminya.
Sambil bercerita, Charlie sesekali melucu dengan menirukan tingkah temantemannya
yang membuat Snow Angel yang jarang tertawa itu mau tak mau
tertawa melihatnya. Mereka terus berjalan mendekati Troglodyte Oinos. Ketika kolam air mancur di
depan Troglodyte Oinos mulai tampak jelas, Charlie berseru kegirangan dan
berlari mendekati kolam itu.
"Charlie, jangan berlari! Nanti jatuh," seru Snow Angel mencegah Charlie.
Namun Charlie terus berlari mendekati kolam itu. Snow Angel mempercepat
langkahnya mendekati Charlie.
Ketika ia tiba di sisinya, Charlie langsung berseru," Ini rumah Anda" Indah
sekali!" "Kau suka?" tanya Snow Angel.
"Ya," jawabnya, "Apa nama rumah ini?"
"Troglodyte Oinos."
"Trog... Troglog ... Ah, bukan itu. Apa namanya?" kata Charlie sebal.
Snow Angel tertawa melihat kesebalan Charlie hanya karena tak dapat
mengucapkan nama rumah ini dengan tepat.
"Troglodyte Oinos," ulang Snow Angel.
"Sulit sekali mengucapkan nama rumah ini," keluh Charlie.
"Tentu saja sulit. Sebab nama rumah ini dari Bahasa Yunani," kata Snow Angel
membesarkan hati anak itu.
"Bahasa Yunani?" ulang Charlie.
Snow Angel menganggukan kepalanya.
"Pantas namanya sulit kuucapkan dan terdengar aneh," kata Charlie, "Apa
artinya?" "Troglodyte berarti 'seorang memasuki gua' sedangkan Oinos artinya 'rumah'.
Jadi arti Troglodyte Oinos adalah 'rumah manusia gua," jelas Snow Angel.
"Rumah manusia gua" Aneh sekali!"
"Menurutku tidak."
"Mengapa?" "Karena nama itu tepat dengan suasana di sekitar rumah ini yang dikelilingi
hutan. Seperti gua tempat tinggal manusia purba yang letaknya di tengah
hutan." "Aku tak mengerti," kata Charlie.
"Kelak engkau akan mengerti."
Charlie kemudian sibuk memperhatikan kolam di depannya itu sementara Snow
Angel duduk di tepi kolam sambil memperhatikan Charlie tanpa menyadari
sepasang mata yang sedang mengamati mereka.
Rupanya tidak hanya mereka berdua saja yang berada di sekeliling kolam itu.
Agak jauh dari kolam itu di balik sebuah pohon seorang laki-laki mengawasi
mereka dari kejauhan. Orang itu tak lain adalah Vladimer.
Seperti halnya mereka berdua, ia baru saja dari berjalan-jalan di hutan
sekeliling Troglodyte Oinos. Semula ia akan berjalan terus masuk ke dalam
hutan itu, tapi ia tiba-tiba mendengar suara seruan. Segera ia mendekati asal
seruan tersebut dan mendapati Angella bercakap-cakap dengan anak kecil. Ia
memandang takjub pemandangan di depannya itu. Ia merasa sukar
mempercayai apa yang dilihat matanya itu.
Sukar dipercaya memang melihat gadis itu tertawa riang. Gadis itu terkenal
sedemikian dinginnya sehingga orang-orang percaya sukar membuatnya tertawa
bahkan sebagian dari mereka percaya gadis itu tidak dapat tertawa riang.
Namun apa yang dilihatnya kini benar-benar berbeda dengan pendapat orang
mengenai gadis itu. Ia melihat dan mendengar sendiri Angella bercanda dengan
anak kecil itu. "Siapa mereka?" tanya Charlie sambil menunjuk patung dewa-dewi Yunani yang
menghiasi kolam itu. "Mereka adalah dewa-dewi Yunani Kuno," jawab Snow Angel.
"Ini siapa?" tanyanya sambil menunjuk sebuah patung.
"Itu dewa Apollo, putra dewa Zeus. Ia itu dewa kesusastraan sedangkan
ayahnya adalah raja segala dewa. Ini patungnya," kata Snow Angel menunjuk
patung yang lain. "Hebat sekali! Saya juga mau menjadi raja para dewa."
"Tetapi menjadi raja para dewa itu berat sekali."
"Berat?" "Ya, engkau akan mempunyai banyak tugas. Engkau harus berbuat ini... berbuat
itu. Pokoknya banyak sekali sehingga engkau tidak punya waktu untuk
bermain." Charlie termenung murung dan berkata, "Saya tidak lagi berniat ingin menjadi
raja para dewa. Kasihan Dewa Zeus. Ia tidak bisa bermain-main seperti saya.
Pasti sekarang ia repot sekali, ya?"
Snow Angel tersenyum geli melihat keluguan Charlie.
"Mamanya Dewa Apollo mana?" tanya Charlie sambil memandangi patungpatung itu
satu per satu. "Ini. Namanya Dewi Hera," tunjuk gadis itu.
"Lalu yang lainnya ini siapa?" tanya Charlie ingin tahu.
"Yang ini putri Dewa Zeus, Dewi Athena. Di sisi kirinya itu adalah Dewi
Aphrodite. Lalu yang memegang tombak berujung tiga itu Dewa Poseidon."
"Mereka tentu hebat-hebat," seru Charlie kagum.
"Benar, mereka semuanya hebat. Tetapi dewa-dewi Yunani Kuno itu banyak
sekali, tidak hanya mereka ini."
"Benarkah" Maukah Anda memberi tahuku?"
"Tentu, tetapi tidak sekarang. Sekarang kita masuk dulu dan makan pagi.
Engkau belum makan pagi, bukan?"
Charlie mengangguk membenarkan Snow Angel.
"Anda berjanji akan menceritakan tentang dewa-dewi itu pada saya?" mohon
Charlie. "Ya, saya berjanji akan menceritakannya padamu, anak manis," tegas Snow
Angel, "Sekarang mari kita masuk."
Dibimbingnya anak itu meninggalkan kolam air mancur yang sejak tadi
dikaguminya itu, langsung menuju ke kamarnya.
Ketika ia masuk ke kamarnya, ia mendapati Nanny sedang merapikan
kamarnya. Nanny terkejut melihat kedatangannya bersama seorang anak laki-laki. Ia baru
saja hendak bertanya mengenai anak itu ketika Snow Angel berkata:
"Nanny, saya ingin makan pagi bersama anak ini di Ruang Kanak-Kanak."
Snow Angel tidak ingin memberi penjelasan kepada Nanny mengenai anak yang
dibawanya itu. Segera, setelah menyampaikan pesannya pada Nanny, ia
meninggalkan kamarnya dan mengajak Charlie ke Ruang Kanak-Kanak.
Nanny memaklumi sikap gadis itu yang tak ingin memberi penjelasan mengenai
anak yang dibawanya serta dari berjalan-jalan di sekitar Troglodyte Oinos.
"Mungkin Tuan Puteri tidak tahu siapa anak itu sehingga ia tidak berkata apaapa
mengenai anak laki-laki itu," pikir Nanny sambil mengawasi sosok mereka
berdua yang menghilang di balik pintu, "Tapi siapakah anak itu" Dari mana Tuan
Puteri menemukan anak itu" Mengapa sepagi ini anak itu berada di hutan sekitar
rumah ini?" Nanny terus berpikir berusaha menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan yang
muncul di benaknya. Tetapi ia tetap tidak dapat menjawabnya. Ia merasa
kecewa tidak dapat menemukan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dengan segera ditepisnya perasaan itu dan ia mulai menyelesaikan tugasnya
merapikan kamar Snow Angel. Selesai merapikan kamar gadis itu, ia bergegas
ke dapur hendak mengambilkan sarapan pagi bagi Snow Angel dan anak itu.
Juru masak yang melihat Nanny menyiapkan sarapan pagi untuk dua orang,
bertanya heran: "Untuk siapa saja Anda menyiapkan sarapan pagi itu, Nanny?"
"Untuk Tuan Puteri dan seorang anak kecil yang dibawanya," jawab Nanny.
"Anak kecil?" tanya pelayan lain yang mendengar jawaban Nanny.
"Ya. Tadi Tuan Puteri membawa seorang anak laki-laki sepulang berjalan-jalan
di hutan sekitar rumah ini," ulang Nanny.
"Siapa anak itu" Di mana Tuan Puteri menemukannya dan juga mengapa anak
itu berada di hutan sekitar rumah ini sepagi ini?" tanya juru masak.
"Saya tidak tahu. Pertanyaan itu tadi jega muncul dalam benak saya, tapi saya
tidak mampu menjawabnya. Tuan Puteri juga tidak berkata apa pun mengenai
anak itu. Mungkin tadi Tuan Puteri tidak sengaja melihat anak itu di hutan dan
kemudian dibawanya anak itu kemari," ujar Nanny.
"Ya. Itu mungkin saja," kata pelayan tadi menyetujui ucapan Nanny kemudian ia
meninggalkan Nanny dan juru masak itu berdua sebab masih ada tugas yang
harus diselesaikannya. "Di mana orang tua anak itu" Mengapa mereka membiarkan anak itu berada di
sekitar sini sepagi ini?" tanya juru masak tak mengerti.
Nanny mengakui kebenaran ucapan juru masak itu. Walaupun hutan di sekitar
Troglodyte Oinos bukanlah hutan angker, tetapi tetap saja berbahaya bagi
seorang anak kecil untuk berada sendirian di sana pada pagi hari.
"Saya tidak tahu," jawab Nanny sambil mengangkat bahunya, "Tapi sepertinya
anak itu bukan anak terlantar, pakaian anak itu cukup baik. Anak itu juga
tampak sehat." "Saya rasa ada baiknya bila Anda membawakan segelas susu segar bagi anak
itu," usul juru masak.
"Ya, Anda benar. Anak itu pasti senang sekali," kata Nanny menyetujui usul juru
masak itu. Juru masak menyiapkan segelas susu kemudian memberikannya kepada Nanny.
"Bagaimana rupa anak itu?"
"Anak itu lucu dan cukup tampan. Tapi menurut saya, tak selucu dan setampan
Tuan Muda Frederick dan Tuan Muda Oscar sewaktu kecil. Rambut anak itu
warnanya hitam seperti rambut Tuan Muda Frederick, matanya juga berwarna
hitam." Juru masak tertawa mendengar ucapan Nanny. "Tentu saja Anda menganggap
Tuan Muda lebih lucu dan tampan dari anak itu sebab Anda lebih menyayangi
Tuan Muda berdua." "Sudahlah. Saya permisi dulu. Saya akan mengantarkan sarapan ini bagi mereka
berdua," kata Nanny sambil mengangkat nampan berisi makanan itu dan
bergegas menuju Ruang Kanak-Kanak.
Ketika hampir tiba di Ruang Kanak-Kanak, didengarnya suara canda tawa
mereka berdua. Nanny tersenyum bahagia mendengarnya.
Perlahan-lahan dibukanya pintu Ruang Kanak-Kanak itu. Dilihatnya anak
asuhnya itu sedang bermain dengan anak itu. Mereka tampak gembira sekali
bermain di Ruang Kanak-Kanak itu. Hampir semua mainan yang dulu
merupakan milik kakak-kakak Snow Angel dikeluarkan oleh gadis itu untuk
dipakai bermain oleh anak itu.
Nanny terharu melihat kebahagiaan anak asuhnya itu, sudah lama ia tak melihat
gadis itu sebahagia kini, walaupun gadis itu sering bermain bersama anak-anak
Panti Asuhan Gabriel. Dengan hati-hati ditatanya makanan yang dibawanya itu agar tidak menganggu
mereka berdua, di meja yang terletak di tengah ruangan itu.
Nanny tidak ingin mengganggu mereka tapi ia tahu ia harus memberi tahu
mereka bahwa makanan telah siap. Dengan enggan Nanny memanggil anak
asuhnya itu. Snow Angel memalingkan kepalanya mendengar panggilan Nanny. Ia segera
bangkit dan meminta Nanny untuk mengirimkan kedua pucuk surat yang
dibawanya. Nanny menerima surat-surat itu dan bergegas meminta Thompson untuk
mengirimkan kedua pucuk surat itu.
"Thompson, apakah engkau sedang sibuk?"
"Tidak, Nanny. Seperti yang Anda lihat, saya sedang bercanda dengan kudakuda
ini," jawab Thompson, "Ada keperluan apa sehingga Anda mencariku,
Nanny?" "Tuan Puteri meminta Anda untuk mengirimkan kedua pucuk surat ini," jawab
Nanny sambil menyerahkan kedua pucuk surat yang diterimanya dari Snow
Angel itu kepada Thompson.
Thompson mengambil kedua pucuk surat itu dari tangan Nanny dan membaca
alamat surat itu. Ia mengangguk tanda mengerti dan berkata, "Saya mengerti,
Nanny. Akan segera saya kirimkan surat-surat ini."
Nanny meninggalkan Thompson yang sedang mempersiapkan kuda. Tanpa
terburu-buru ia kembali ke Ruang Kanak-Kanak. Nanny terkejut mendapati Lady
Stefanie sedang menangis terharu di depan pintu Ruang Kanak-Kanak.
"Ada apa, Yang Mulia?" tanya Nanny cemas.
"Oh, Nanny... Tak kaudengarkah itu. Sudah lama sekali aku tak mendengar
suara tawa anak itu," jawab Countess terharu.
"Ya, memang telah lama Tuan Puteri tidak tertawa seriang ini."
"Siapakah anak kecil yang bersamanya itu, Nanny" Aku juga mendengar suara
anak kecil yang berasal dari Ruang Kanak-Kanak ini."
"Saya juga tidak tahu. Tadi Tuan Puteri membawa serta anak itu bersamanya
sepulang berjalan-jalan di hutan. Sepertinya anak itulah yang membuat Tuan
Puteri bahagia." "Mungkin juga, Nanny."
Tiba-tiba Nanny terpekik pelan, "Mengapa Anda berada di sini, Yang Mulia"
Bukankah seharusnya Anda beristirahat di kamar, Anda baru saja sembuh dari
sakit." "Aku tahu hal itu, Nanny. Tadi sewaktu aku baru kembali dari Ruang Makan dan
hendak menuju kamar, saya mendengar suara tawa yang berasal dari ruangan
ini. Karena tertarik mendengarnya, maka saya ke mari dan menyadari tawa itu
tak lain adalah tawa anakku," cerita Countess, "Tawa yang selama ini
kurindurindukan." "Nanny, sebaiknya kita biarkan saja mereka berdua. Aku tidak ingin menganggu
kebahagiaan mereka berdua."
"Anda benar, Yang Mulia. Mari saya antarkan Anda ke kamar Anda."
BAB 8 "Ruang Kanak-Kanak?" tanya Charlie.
"Ya, kita akan ke sana."
"Tempat apa itu?"
"Itu adalah tempat tidurku sewaktu masih kecil. Di sana banyak
mainannya. Engkau pasti akan senang."
"Sungguh?" tanya Charlie tak percaya.
"Benar. Percayalah padaku. Engkau akan gembira," kata Snow Angel


Runtuhnya Gunung Es Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meyakinkan Charlie. Snow Angel sengaja meminta Nanny untuk menyiapkan makan pagi di
Ruang Kanak-Kanak yang terletak di ujung lorong ini karena ia ingin
membawa Charlie ke ruang tersebut untuk bermain.
Di ruang itu banyak mainan-mainan baik miliknya maupun milik kedua
kakanya sewaktu mereka masih kecil. Ia ingin membuat Charlie gembira
dengan mainan-mainan tersebut. Ia tahu Charlie juga mempunyai
mainan. Tapi ia tidak yakin anak itu memiliki mainan sebanyak yang ada
di ruangan itu. Walaupun Boudini's Theatre cukup terkenal, namun sebagian besar dari
penghasilan teater itu digunakan untuk meluaskan usahan teater tersebut
dan Snow Angel tahu itu. Karena itulah ia mengajak Charlie ke Ruang
Kanak-Kanak. Ia ingin Charlie gembira dapat bermain sepuas hatinya di
sana. "Banyak sekali mainannya!" seru anak itu kegirangan melihat mainan
yang terdapat di Ruang Kanak-Kanak.
"Engkau boleh bermain dengan mainan-mainan itu sepuas hatimu."
"Sungguh?" tanya Charlie tak percaya.
Snow Angel menganggukan kepalanya yang segera disambut anak itu
dengan berlari ke lemari tempat mainan-mainan itu tersimpan. Dengan
hati-hati dikeluarkannya mainan-mainan tua itu bagi Charlie.
Charlie menerima mainan demi mainan yang diulurkan gadis itu
kepadanya. Ia merasa gembira sekali dapat bermain dengan mainanmainan yang
dikaguminya itu. Begitu banyaknya mainan di ruang itu
sehingga membuatnya bingung memilih mainan yang akan dimainkannya.
Seandainya anak seorang bangsawan yang kini berada di ruang itu
bersama gadis itu, anak itu tidak akan sekagum Charlie. Bagi Charlie ini
pertama kalinya ia melihat begitu banyak mainan dan mainan yang
bagus-bagus seperti yang ada di ruang ini. Tetapi seorang anak
bangsawan, mungkin akan mengejek mainan-mainan itu.
Mainan-mainan yang ada di ruang ini bukanlah mainan terbaru melainkan
mainan tua yang dulu dimainkan oleh ketiga kakak beradik itu sewaktu
mereka masih kecil. Kesemua mainan itu dirawat dengan baik sehingga masih bisa digunakan
oleh Charlie walau telah bertahun-tahun berada di ruangan ini. Bahkan
kuda-kudaan kayu yang dulu merupakan mainan kesayangan Frederick
masih kuat menahan berat Charlie.
Sejak kecil mereka bertiga dididik oleh kedua orang tua mereka untuk
selalu menyayangi benda-benda milik mereka dan merawatnya dengan
baik dan ajaran itu telah melekat di hati mereka sejak kecil hingga kini.
Maka tidaklah mengherankan melihat mainan-mainan bayi pun masih
tersimpan dalam keadaan baik di sini.
Snow Angel memandang sekeliling Ruang Kanak-Kanak. Ruangan tempat
ia dirawat oleh Nanny sewaktu masih kecil ini, masih tetap seperti dulu.
Tak ada yang berubah pada ruangan ini. Tempat tidurnya sewaktu kecil
masih berada di tempatnya, di dekat jendela. Meja tempat ia dulu belajar
pun masih tetap berada di tengah ruangan ini.
Kerinduan muncul di hatinya, ia rindu berada di ruang yang banyak
menyimpan kenangan masa kecilnya yang bahagia. Sudah lama ia tidak
ke ruangan ini sejak ia diminta oleh ibunya untuk menemani anak teman
Earl dan Countess yang kebetulan diajak serta oleh orang tuanya ke
Troglodyte Oinos. Dan itupun sekitar enam tahun yang lampau.
Snow Angel masih dapat mengingat jelas kenakalan dan kesombongan
anak yang bernama Neil itu. Saat itu anak itu baru berusia enam tahun,
tapi ia sudah amat sombong. Anak itu mengejek mainan-mainan yang
ada di ruang ini. "Mainan apa ini! Mainan setua ini tidak seharusnya berada di sini,
seharusnya dibuang saja. Aku tidak mau bermain bermain dengan
barang-barang rongsokan ini," kata Neil waktu itu.
Saat itu Snow Angel merasa lega kedua kakaknya sedang pergi sehingga
tidak mendengar ejekan Neil. Ia yakin kedua kakaknya akan marah besar
bila mendengar ejekan anak ini sebab mereka amat sayang pada mainan
yang ada di ruangan ini. Waktu Snow Angel masih kecil, kedua kakaknya setiap hari menemaninya
bermain di ruangan ini sambil memuji-muji mainan mereka masingmasing. Ia tidak
pernah bosan mendengar mereka memuji-muji mainan
mereka. Setiap saat mereka menemani Snow Angel kecil bermain di ruangan ini
walaupun sudah bukan saatnya lagi bagi mereka berdua untuk bermain.
Vladimer pernah menggoda mereka berdua saat melihat mereka bermain
dengan si kecil Angella. "Kalian ingin menjadi bayi lagi, ya" Tiap hari bermain-main saja dengan si
kecil ini," katanya sambil menunjuk Angella yang duduk di pangkuan
Frederick. Angella yang saat itu masih berusia satu tahun tidak mengerti apa-apa.
Ia menggapai-gapaikan tangan mungilnya hendak meraih jari telunjuk
Vladimer yang diarahkan padanya sambil tertawa-tawa riang menyebut
namanya. "Rupanya anak ini ingin bermain denganmu, Vladimer," kata Frederick
mengacuhkan godaan Vladimer.
Vladimer segera membungkukkan badannya dan menangkap tangan kecil
yang menggapai-gapai itu. Oscar yang juga berada di ruangan itu tertawa
melihat Vladimer bermain dengan Angella kecil.
"Kau sendiri juga senang bermain dengan Angella, bukan?"
"Ya, kuakui itu. Anak ini manis sekali. Siapa pun yang melihatnya pasti
ingin bercanda dengannya," jawab Vladimer.
"Kau benar. Aku iri sekali pada Oscar, ia masih dapat bermain dengan
Angella sepuas hatinya. Sedangkan aku, kau tahu bukan" Aku tidak dapat
bermain terus menerus dengan anak ini. Aku harus belajar, harus
menemani Papa Mama ke pertemuan, dan benyak lagi keharusan yang
kulakukan. Aku ingin sekali menjadi anak kecil lagi agar dapat bermain
dengan Angella sepuas hatiku seperti Oscar," keluh Frederick.
"Sabar, Frederick. Sabar... Usiamu yang sekarang ini sudah tidak dapat
dikatakan anak kecil lagi. Jadi keharusan itu sudah menjadi
kewajibanmu," kata Vladimer menenangkan Frederick.
"Aku tahu itu. Kadang kala aku merasa sedih Angella lahir saat aku
menginjak usia dewasa."
"Frederick!" pekik terkejut Vladimer, "Bibi Stefanie pasti sedih bila
mendengar ucapanmu itu."
"Maafkan aku. Aku hanya cemburu pada Oscar. Dulu waktu Oscar lahir,
aku masih berusia lima tahun jadi aku masih dapat bermain-main
dengannya." v "Dulu aku selalu merasa senang bila Frederick berada di Ruang Kanak -
Kanak ini, tetapi sekarang aku lebih senang bila Frederick tidak ada di
ruangan ini. Sebab bila ia ada di sini maka ia tidak memberiku
kesempatan untuk bermain dengan Angella," sahut Oscar.
"Itu adil. Engkau setiap hari berada di sini sehingga dapat bermain-main
dengan Angella sepanjang waktu sedangkan aku tidak setiap hari
memiliki waktu luang untuk bermain-main dengannya. Kau tahu itu
bukan?" balas Frederick tak mau kalah.
"Ya, aku memang tahu itu. Tapi aku tetap merasa tidak sengang bila
engkau berada di sini, engkau selalu mendominasi Angella. Engkau tahu,
Frederick" Engkau kekanak-kanakan," balas Oscar tak mau kalah juga.
"Tidak, aku tidak kekanak-kanakan. Aku hanya sayang pada Angella.
Betulkan, Angella?" elak Frederick sambil menimang-nimang adik
bungsunya dan sesekali bercanda dengannya.
"Itu kekanak-kanakan namanya. Bukan sayang," kata Oscar menanggapi
tindakan Frederick. "Tidak! Aku tidak kekanak-kanakan!"
"Sudah ... Sudah ... Jangan bertengkar lagi," sela Vladimer di tengah
pertengkaran kedua bersaudara itu.
Vladimer tahu Frederick dan Oscar selalu hidup rukun. Mereka jarang
bertengkar. Keduanya selalu berbagi, saling mengalah, dan mengasihi.
Namun jika mereka bertengkar, akan sulit mendamaikan mereka. Bahkan
bisa berhari-hari lamanya mereka bertengkar dan saling tak berbicara.
Karena itu ia lekas menghentikan pertengkaran mereka selagi mereka
baru mulai bertengkar. "Seharusnya kalian jangan bertengkar. Kalian seharusnya senang
mempunyai saudara. Tidak sepertiku yang anak tunggal."
Frederick dan Oscar segera menghentikan pertengkaran mereka dan
menatap Vladimer. "Jangan bersedih hanya karena tak mempunyai saudara. Aku akan
menjadi kakakmu," kata Frederick membesarkan hati Vladimer.
"Dan aku menjadi adikmu," tambah Oscar.
"Kalian memang sudah kuanggap sebagai saudaraku."
"Lalu bagaimana dengan Angella?" tanya Frederick dan Oscar serempak.
"Tentu saja bayi manis ini juga kuanggap sebagai adik perempuanku,"
jawab Vladimer sambil mengangkat Angella dari pangkuan Frederick.
Snow Angel memandang Charlie yang duduk di lantai sambil bermain.
Tak bosan-bosannya ia mengagumi mainan yang di hadapannya itu. Anak
itu tampak gembira sekali. Perlahan-lahan didekatinya anak itu, "Charlie,
tetaplah di sini. Jangan ke mana-mana. Saya akan pergi sebentar."
Charlie mengangguk mendengar kata-kata Snow Angel. Segera ia
tenggelam lagi ke dalam keasyikannya bermain.
Snow Angel meninggalkan Charlie yang masih sibuk bermain itu dan
bergegas menuju kamarnya. Ia meraih pena yang semalam
digunakannya untuk menulis surat kepada Nenek Charlie dan mulai
menulis surat kepada Mr. dan Mrs. Boudini untuk mengabarkan
keberadaan Charlie. Tak lama kemudian ia meninggalkan kamarnya dengan membawa dua
pucuk surat. Di Ruang Kanak - Kanak, ia melihat Charlie masih asyik
bermain. Semula ia hanya ingin mengamati Charlie yang sibuk dengan
mainan-mainan di sekelilingnya, namun karena Charlie memintanya
untuk bermain bersamanya maka ia turut bermain pula.
Mereka begitu sibuknya bermain, bercanda hingga tak menyadari
keadaan sekelilingnya. Mereka sama-sama terkejut ketika Nanny
memanggil mereka berdua. "Oh ... kau, Nanny. Kau membuatku terkejut. Ada apa?"
"Hidangan sudah tersedia. Anda bisa makan sekarang."
"Terima kasih, Nanny," katanya sembari mengajak Charlie ke meja
tempat Nanny menyipkan makan pagi mereka, "Nanny, tolong kauminta
Thompson untuk mengirimkan kedua surat ini."
"Untuk siapa saja, Tuan Puteri?" tanya Nanny ingin tahu.
"Alamatnya sudah kutulis pada surat itu. Thompson pasti tahu,"
jawabnya. Nanny membaca alamat masing-masing surat dan kemudian memandang
heran pada Snow Angel, "Untuk Mrs. Dellas... ibu Jenny?"
"Berikan saja pada Thompson agar dapat segera sampai pada yang
bersangkutan," tegas Snow angel.
"Baik, Tuan Puteri," begitu Nanny pergi, Snow Angel membantu Charlie
duduk di kursi di depan meja tempat Nanny meletakkan makan pagi
mereka dan membantu Charlie mengambil hidangan. Snow Angel
bergembira melihat nafsu makan anak itu yang cukup besar dari
perkiraannya semula. Setelah makan, Charlie hendak bermain lagi tapi ditahan oleh Snow
Angel. Menurutnya, tidak baik bermain setelah makan. Persis seperti yang
biasa Nanny ajarkan padanya sewaktu ia kecil.
Charlie cemberut ketika dilarang bermain, namun ia gembira lagi ketika
gadis itu berjanji akan memperbolehkan Charlie bermain lagi kapan pun
juga di sini, di Ruang Kanak-Kanak ini.
Dibawanya anak itu kembali ke kamarnya. Sepanjang jalan, Charlie
memastikan janji Snow Angel dengan berulang kali bertanya
kesungguhan janji Snow Angel padanya. Berulang kali pula gadis itu
meyakinkan anak itu bahwa ia bersungguh-sungguh dengan janjinya
yang tadi itu. "Charlie, engkau mau kuberi hadiah?"
"Mau!" seru Charlie kegirangan, "Mana?"
"Sebentar," jawab Snow Angel sambil membuka kotak yang berisi
pakaian untuk Charlie yang kemarin dibelinya dari Shawky Market. "Ini.
Engkau suka?" Ditunjukannya baju itu satu per satu pada Charlie yang
tampak gembira sekali. Dengan hati-hati dicobakannya baju itu satu per
satu pada Charlie dan ia bersyukur baju-baju tersebut semuanya cocok
pada tubuh Charlie, tidak ada yang kekecilan maupun kebesaran.
"Bila aku pulang dengan memakai baju ini, Ayah dan Ibu pasti terkejut
melihatku," katanya sambil berputar-putar di depan cermin yang
memantulkan bayangannya sendiri.
Snow Angel tertawa melihat ulah Charlie itu, "Tentu saja, engkau tampak
semakin tampan dengan baju itu. Engkau boleh memakai pakaian itu saat
pulang nanti." "Sungguh?" tanya Charlie memastikan kata-kata Snow Angel.
"Sungguh. Baju itu milikmu."
"Milikku?" "Iya. Bukankah tadi aku mengatakan akan memberimu hadiah" Itulah
hadiahku untukmu." "Baju-baju ini?" tanya Charlie meyakinkan dirinya untuk kesekian kalinya.
Melihat Snow Angel menganggukan kepalanya, Charlie melompat-lompat
gembira hingga membuat Snow Angel kewalahan. Ia berusaha keras
mendiamkan anak itu, namun Charlie tetap saja tidak mau berhenti.
Hingga pada akhirnya ia berkata,
"Charlie, bila engkau tidak bisa diam, aku tidak akan mengantarmu ke
Ruang Kanak-Kanak untuk bermain lagi."
Mendengar ancaman itu, Charlie seketika itu juga berhenti melompatlompat dan
mendekati Snow Angel, "Kita akan bermain di Ruang KanakKanak lagi?"
"Tentu, bila engkau dapat diam. Tetapi bila engkau tidak dapat diam,
maka kita tidak jadi ke Ruang Kanak-Kanak."
"Baiklah, aku akan diam. Aku janji!" kata Charlie bersungguh-sungguh.
Kemudian ia duduk di lantai, menunggu Snow Angel yang memasukkan
baju-baju itu kembali ke kotaknya. Baju yang dikenakan Charlie sewaktu
datang ke Troglodyte Oinos dibungkus tersendiri. Kotak-kotak yang lain
diambilnya dari bawah meja rias kemudian ditumpuk jadi satu dengan
kotak yang tadi dibukanya dan bungkusan yang berisi baju Charlie di atas
meja rias. Setelah selesai dengan segala kesibukannya, ia mengajak Charlie ke
Ruang Kanak-Kanak lagi. Di sana, segala sesuatunya telah dibereskan
termasuk mainan-mainan yang dikeluarkan oleh Snow Angel untuk
Charlie. Ia meminta Charlie memilih mainan dan mengeluarkannya dari lemari.
Snow Angel menemani Charlie bermain di ruangan itu sambil menanti
Nanny. Sesekali ia bercerita tentang mainan-mainan tersebut pada
Charlie. Dari seluruh mainan-mainan itu. Charlie paling menyukai orangorangan
dari kayu yang berbaju prajurit.
Mainan itu diberikan oleh orang tua Snow Angel sebagai hadiah ulang
tahun kakak keduanya yang ke lima. Orang-orangan dari kayu yang
seluruhnya berjumlah sepuluh butir itu dulu pernah menjadi mainan
kesayangan Oscar. Namun hal ini tidak dapat bertahan lama, ketika Oscar
mendapat mainan baru pada hari Natal, ia melupakan orang-orangan
tersebut. Charlie bermain perang-perangan dengan orang-orangan tersebut. Selain
itu kereta kayu dan berbagai macam mainan yang ada digunakannya pula
daalam perangnya. Snow Angel-pun tak mau berpangku tangan melihat
peperangan Charlie. Berulang kali ia ikut ambil andil dalam perang itu.
Charlie tidak mengeluh ketika gadis itu ikut mengambil peran dalam
perangnya, ia senang ketika Snow Angel turun tangan dalam
peperangannya. Sungguh tak disangka, walaupun Snow Angel seorang gadis, namun ia
pandai menyusun strategi perang. Charlie yang melihat hal ini tak mau
kalah, ia turut menyusun strategi-strategi perang untuk melawan
musuhnya. Perang besar pun tak terelakkan. Banyak korban berjatuhan
di kedua belah pihak.

Runtuhnya Gunung Es Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dor... dor ... dor...! Jatuh lagi seorang korban. Keluhan sedih pihak yang
kalah terdengan mengiringi tawa senang pihak yang menang.
Keduanya saling memberi perlawanan sengit tanpa menghiraukan
sekelilingnya. Mereka sama-sama tak mau menjadi pihak yang kalah.
Satu sama lain berusaha menghancurkan "musuh"-nya. Mereka sangat
sibuk memusatkan pikiran pada "peperangan" mereka. Benar-benar
"pertempuran" yang seru!
Mereka bermain tanpa menyadari matahari yang semakin tinggi. Ketika
matahari mulai memasuki ruangan itu, mereka baru menyadari hari yang
mulai siang, "Hari sudah siang. Sebaiknya aku mengantarkanmu pulan
sekarang." "Sekarang" Tapi saya tidak ingin pulang sekarang, saya ingin bermain."
Charlie mengeluh sedih. Snow Angel memahami perasaan Charlie. Ia tersenyum lembut padanya
dan berkata dengan sabar untuk memberi pengertian padanya, "Aku rasa
aku telah mengatakan padamu bahwa engkau boleh bermain di sini
sepuas hatimu kapanpun kau mau. Engkau boleh datang lagi ke mari
dengan syarat atas ijin Mr. dan Mrs. Boudini. Sekarang engkau lebih baik
pulang, jangan membuat mereka semakin cemas."
"Tapi Anda sudah memberi tahu mereka kalau saya berada di sini
bersama Anda," kata Charlie mengingatkan, "Mereka pasti tidak cemas
lagi. Mereka pasti mengijinkan saya bermain lebih lama lagi di sini.
Percayalah!" "Hal itu mungkin juga. Tetapi aku belum tentu mengijinkanmu bermain di
sini." "Anda tidak mengijinkanku" Tapi tadi Anda bilang...," kata Charlie panik.
Snow Angel terkejut melihat reaksi Charlie. Ia tidak bermaksud membuat
Charlie kecewa, ia hanya main-main saja sewaktu mengucapkan kalimat
itu. Ia merasa bersalah karenanya.
"Maafkan aku. Aku hanya main-main tadi. Aku sama sekali tidak
bermaksud melarangmu. Engkau boleh bermain di sini kapan pun engkau
mau. Tapi untuk hari ini bermainnya cukup sampai di sini saja, besok
datanglah lagi. Mereka pasti sedang menunggu kedatanganmu sekarang."
"Baiklah. Aku akan pulang sekarang. Tapi besok aku akan kemari lagi,"
akhirnya Charlie menyetujui gadis itu.
Snow Angel merasa lega karena pada akhirnya ia bisa meyakinkan Charlie
untuk pulang. Ia meminta Charlie menunggunya sebentar. Setelah itu ia
segera meninggalkan ruangan itu.
Ia melihat Nanny berjalan mendekat.
"Tolong jaga anak itu, Nanny!" katanya ketika Nanny sudah dekat.
"Anda hendak pergi ke mana?" tanya Nanny.
"Aku akan mengantar anak itu pulang," jawab Snow Angel.
"Tapi Thompson belum kembali, Tuan Puteri," kata Nanny memberi tahu,
"Atau begini saja, saya akan memanggil sebuah kereta kuda untuk Anda."
"Terima kasih atas sarannya, Nanny. Tapi sebenarnya hal itu tidak perlu
karena aku sendiri yang akan mengantar anak itu."
"Sendirian!" pekik Nanny, "Tapi..., Tuan Puteri, berbahaya bila Anda pergi
sendirian dan juga bagaimana bila kakak-kakak Anda tahu" Apa yang
harus saya katakan?"
"Karena itu, Nanny, jangan biarkan mereka mengetahui hal ini.
Berjanjilah kepadaku, engkau akan membuat hal ini menjadi rahasia di
antara kita berdua," kata Snow Angel setengah memaksa setengah
memohon. Nanny kebingungan. Ia harus memilih membiarkan gadis itu pergi
sendirian untuk mengantar anak yang tak dikenalnya itu atau tidak.
Sungguh suatu pilihan yang sulit. Di satu sisi, ia ingin menuruti segala
keinginan anak kesayanganya itu. Tapi di sisi lain, ia mengkhawatirkan
keselamatan mereka berdua.
Nanny benar-benar dibuat bingung karenanya. Snow Angel yang
mengetahui kebingungan Nanny, terus menerus membujuk Nanny.
Berkali-kali ia berusaha meyakinkan Nanny kalau ia akan baik-baik saja
walau pergi sendirian. Siapa yang tahan dibujuk gadis semanis Angella" Nanny" Tentu saja
Nanny tidak akan tahan mendengar bujukan gadis itu, ia begitu
menyayangi gadis itu. Semula Nanny hendak menyertainya, namun Snow Angel melarangnya.
Ia mengingatkan Nanny pada tugasnya mengelabuhi kakak-kakaknya bila
mereka menayakan dirinya. Dengan terpaksa Nanny membatalkan
niatnya. "Anda sangat memperhatikan anak itu," komentar Nanny, "Sebenarnya,
siapa dia?" "Rahasia," kata Snow Angel sambil bergegas menuju kamarnya.
Tak lama kemudian Snow Angel sudah keluar dari kamarnya dengan
membawa tumpukan kotak yang diletakkannya di meja rias tadi.
Diletakkannya kotak-kotak itu di depan kamarnya kemudian ia menuju
Ruang Kanak-Kanak. Seperti biasanya, Nanny duduk di kursi goyang kesayangannya di depan
jendela sambil mengawasi Charlie. Kursi yang disediakan khusus untuk
Nanny itu diletakkan di depan jendela atas permintaan Nanny sendiri.
"Anda akan mengantarnya sekarang?" tanya Nanny melihat kedatangan
Snow Angel. "Ya, Nanny. Aku tidak ingin membuat orang tua anak ini semakin cemas,"
jawabnya. "Ayo kembalikan mainan-mainan itu pada tempatnya," katanya
pada Charlie. "Jangan, Tuan Puteri! Antarkan saja anak itu, mainan itu biar saya yang
mengembalikannya," kata Nanny, "Hari sudah siang. Jangan membiarkan
orang tua anak itu menunggu lebih lama lagi. Di samping itu Anda harus
buru-buru, jangan sampai kakak-kakak Anda tiba sebelum Anda."
"Kau benar, Nanny. Aku memang harus buru-buru, jangan sampai
mereka tiba lebih dulu. Terima kasih, Nanny." Kemudian ia berpaling
pada Charlie, "Mari kita pulang sekarang. Sebelumnya ucapkan selamat
tinggal dulu pada Nanny."
Mereka berpamitan pada Nanny dan kemudian meninggalkan Nanny
sendirian. Mereka berjalan meyusuri koridor dan berhenti sebentar di
depan kamar Snow Angel untuk mengambil kotak-kotak yang ada di
depan kamar. Charlie membantunya membawa barang-barang itu, ia
membawa bungkusan yang berisi bajunya. Sisanya dibawa oleh Snow
Angel. Charlie tampak senang sekali ketika mereka tiba di kandang kuda.
Penjaga kuda segera memasang pelana pada seekor kuda ketika melihat
Tuan Puteri mereka datang. Penjaga kuda itu menaikkan Charlie di depan
pelana atas perintah Snow Angel. Mereka memperingati untuk berhatihati sebab ini
pertama kalinya Snow Angel berkuda dengan membawa
seorang anak. Sebenarnya Snow Angel sendiri merasa ragu-ragu pada kemampuan
berkudanya dengan membawa Charlie. Ini pertama kalinya ia berkuda
dengan membawa seorang anak, namun ia tidak mau menyerah pada
keragu-raguannya. Ia yakin ia dapat melakukannya bila ia berhati-hati.
"Kau takut?" tanyanya ketika mereka mulai meninggalkan Troglodyte
Oinos. Sebagai jawaban, Charlie menggelengkan kepalanya. Berlainan sekali
dengan Snow Angel. Sewaktu ia diajak naik kuda untuk pertama kalinya,
ia menangis ketakutan sampai kedua kakaknya kewalahan membujuknya
agar berhenti menangis. Saat itu usianya lebih muda daripada Charlie.
"Jangan takut! Aku ada di sini, nanti aku akan memegangimu agar kamu
tidak jatuh," bujuk Frederick.
Angella menolak tangan Frederick yang terulur padanya dan mempererat
pegangannya pada gendongan Oscar sambil terus menangis. Oscar
membelai-belai rambut adiknya, "Jangan menangis! Jangan takut, Oscar
juga akan menjagamu. Frederick pandai berkuda, kamu pasti tidak akan
jatuh." "Kalau Tuan Puteri tidak mau, jangan dipaksakan," tegur Nanny yang
mengawasi mereka sejak tadi.
"Tidak apa-apa, Nanny. Kalau ia tidak dibiasakan sejak sekarang, nanti ia
akan takut kuda untuk selama-lamanya," bantah Frederick.
"Ya, itu betul, Nanny. Seorang putri bangsawan harus bisa berkuda,"
tambah Oscar mantap. "Kalau begitu terserah kalian tapi jangan sampai Tuan Puteri jatuh," kata
Nanny. "Jangan khawatir, Nanny. Kami juga tidak ingin Angella jatuh," kata
mereka serempak. "Ayo, Angella duduk di depanku. Aku akan mengajakmu jalan-jalan
mengelilingi rumah ini," bujuk Frederick sambil menarik tubuh Angella
dari gendongan Oscar. "Tidak apa-apa, Angella. Kamu tidak akan jatuh. Aku akan ikut jalan-jalan
juga. Jangan takut, ya?" Oscar ikut membujuk Angella sambil melepaskan
tangan adiknya yang melingkari lehernya, "Kasihan Frederick yang sudah
dari tadi duduk di atas kuda."
Tiba-tiba Frederick dan Oscar berseru serempak melihat Vladimer datang
mendekat, "Jangan membela Angella lagi!"
Vladimer terkejut mendengar teriakan mereka itu. Ia segera mengerti
masalahnya ketika melihat Angella menangis di gendongan Oscar
sedangkan kedua kakaknya sibuk melepaskan gendongannya sambil
terus membujuk Angella. Yang satu melepaskan tangan Angella, yang
satunya lagi menarik tubuh Angella dari atas kuda.
"Jangan khawatir! Untuk kali ini aku setuju dengan kalian. Angella tidak
boleh takut pada kuda, ia harus belajar berkuda. Kelak bila ia sudah bisa,
kita tidak lagi bertiga bila berjalan-jalan, melainkan berempat. Pasti akan
sangat menyenangkan!" kata Vladimer menyetujui tindakan mereka.
Angella yang berharap Vladimer membelanya lagi, menangis semakin
keras ketika mendengar Vladimer menyatakan persetujuannya atas
tindakan kakak-kakaknya. Angella merasa sedih. Vladimer yang selalu
membelanya, kini tidak mau membelanya.
Akhirnya Angella berhasil didudukkan di depan Frederick dengan sedikit
paksaan dan bujukan. Angella menangis ketakutan walau badannya
sudah dipegangi Frederick. Ia meminta tolong pada Nanny, namun karena
Nanny sudh berjanji akan membiarkan mereka, maka ia diam saja.
Angella menangis terus sambil memeluk erat-erat tangan kanan Frederick
yang melingkari badannya.
Berkat kesabaran kedua kakaknya dan Vladimer, ketakutan Angella pada
kuda hilang. Ia mulai meyukai kuda. Berkat mereka pula ia dapat
berkuda. Sejak saat itulah ia sering diajak bepergian oleh mereka.
Snow Angel dan Charlemagne akhirnya tiba di lapangan rumput tempat
tenda 'Boudini's Theatre' berdiri. Charlie berteriak-teriak memanggil
kedua orang tua baptisnya dari atas kuda ketika mereka semakin
mendekat. Dari sebuh kereta yang bertuliskan 'Boudini's Theatre' muncul dua orang
yang sudah cukup umur. Merekalah Mr. dan Mrs. Boudini. Mrs. Boudini
bertubuh gemuk, rambutnya yang mulai memutih itu disanggul rapi,
wajahnya senantiasa menunjukkan keramahan. Mr. Boudini bertubuh
tegap, wajahnya tampak menyeramkan dengan jenggot yang
dipeliharanya itu. Namun sebenarnya ia tidak segalak yang terlihat, ia
penuh keramahan seperti istrinya.
Snow Angel turun dari kuda dan mengambil alih kotak-kotak yang
dipegang Charlie di depannya. Setelah meletakkannya di tanah, ia
membantu Charlie turun dari kuda. Mr. Boudini mengambil alih kudanya
dan mengikatkannya paa sebuah tiang.
"Ibu! Ibu!" teriak Charlie sambil berlari mendekati Mrs. Boudini.
Mrs. Boudini memeluk Charlie. "Ke mana saja engkau" Ibu
mencemaskanmu ketika mengetahui engkau pergi tanpa pamit," katanya
lega. "Maafkan aku, Ibu. Tadi aku pergi ke rumah Tuan Puteri. Aku berjanji
tidak akan pergi tanpa pamit lagi," kata Charlie menyesal. "Lihat, Bu!
Tuan Puteri memberiku pakaian ini."
Mrs. Boudini tengah mengamati baju baru Charlemagne yang diberi Snow
Angel ketika Mr. Boudini tiba-tiba berbicara, "Charlie, pergilah bermain!"
"Baik," Charlie berlari mendekati sekelompok anak yang bermain di
lapangan itu. Setelah kepergian Charlie, Mrs. Boudini mengajak Snow Angel masuk ke
sebuah tenda yang cukup besar. Snow Angel memberikan kotak-kotak
yang dibawanya kepada Mrs. Boudini.
"Kami telah menerima surat Anda. Thompson yang mengantarkannya,"
kata Mr. Boudini. "Anda tentunya telah mengetahui tujuan saya datang kemari," kata Snow
Angel langsung menuju pokok permasalahan.
"Maafkan kami, Tuan Puteri. Kami tidak sanggup mengatakan padanya
bahwa kami bukan orang tua kandungnya," kata Mrs. Boudini.
"Anda berdua tidak perlu meminta maaf. Saya rasa sayalah yang terlalu
egois. Saya meminta bantuan Anda untuk merawatnya tanpa memikirkan
perasaan Anda berdua."
"Anda tidak perlu cemas, Tuan Puteri. Kami menyayanginya seperti
menyayangi anak kandung kami. Kami merasa senang dapat merawat
anak sebaik Charlie," kata Mr. Boudini.
"Di situlah letak permasalahannya. Seharusnya saya tahu Anda tidak
sanggup mengatakan yang sebenarnya padanya karena Anda
menyayanginya. Tapi saya masih terlalu muda saat itu sehingga saya
tidak mampu berpikir lebih jauh. Maafkan saya karena waktu itu saya
terlalu egois, memaksa anda berdua mengatakan yang sebenarnya pada
anak itu." "Sekarang saya ingin secara perlahan-lahan mengatakan segala
kebenaran yang menyangkut dirinya pada Charlie. Anda berdua tidak
berkeberatan, bukan" Dalam waktu dekat ini saya akan mengajaknya
menemui neneknya." "Kami tidak keberatan sama sekali, Tuan Puteri. Cepat atau lambat
Charlie pasti tahu segala sesuatunya. Kami menyadari hal itu. Kami tidak
dapat terus membohongi anak itu seumur hidup," kata Mr. Boudini.
"Terima kasih atas pengertian Anda berdua."
------0----- Sementara itu di suatu desa kecil, beberapa mil dari Troglodyte Oinos,
seorang wanita tua yang sedang duduk termenung di depan rumahnya,
dikejutkan suara orang yang memanggilnya.
"Mengapa Anda termenung di sini, Mrs. Dellas?"
"Tidak ada apa-apa. Mengapa kau ada di sini, Thompson?"
"Tuan Puteri meminta saya mengantar surat ini pada Anda," kata
Thompson. Mrs. Dellas mengambil surat itu dari Thompson, "Mengapa Tuan Puteri
mengirim surat" Apakah ada kabar mengenai cucuku?"
"Mengapa Anda tidak membaca surat itu agar Anda tahu tujuan Tuan
Puteri mengirim surat," usul Thompson.
Mrs. Dellas membuka surat itu dan mulai membacanya. Tangannya
tampak gemetar membayangkan isi surat itu. Tiap-tiap kata membuat
hatinya semakin berdebar karena senang. Isi surat itu pendek namun
dapat membuatnya melupakan semua kesedihannya.
Mrs. Dellas, saya mempunyai kabar gembira bagi Anda sekeluarga. Cucu
Anda, Charlemagne ada di kota ini. Dalam waktu dekat, saya akan
membawanya mengunjungi Anda sekeluarga.
"Cucuku ada di sana, Thompson. Dan Tuan Puteri akan membawanya
kemari dalam waktu dekat," Mrs. Dellas menerangkan isi surat tersebut
pada Thompson dengan gembira, "Aku akan memberi tahu Jenny."
"Saya permisi dulu, saya harus segera kembali," kata Thompson.
"Masuklah dulu untuk beristirahat. Anda baru menempuh perjalanan
jauh." "Terima kasih, tetapi saya harus buru-buru. Tuan Puteri mungkin
memerlukan saya." "Kalau begitu halnya, silakan."
Mrs. Dellas masuk ke dalam rumahnya setelah kepergian Thompson. Ia
duduk mendekati putrinya yang duduk di atas tempat tidur. Pandangan
matanya tampak kosong. "Anakmu ada di sana, Jenny. Tuan Puteri akan
membawanya berkunjung kemari," katanya mencoba memberi tahunya.
Wanita muda itu diam saja. Hati Mrs. Dellas terasa pilu melihat putrinya


Runtuhnya Gunung Es Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. "Mengapa engkau diam saja, anakku" Bergembiralah karena engkau
akan bertemu anakmu." Wanita itu memalingkan wajahnya kepada
ibunya dan mulai bertingkah seperti anak kecil.
"Semoga Charlemagne dapat membuatmu pulih," harap sang Ibu melihat
tingkah putrinya. BAB 9 Snow Angel berdiri di serambi kamarnya memandang langit yang semakin
memerah di kaki gunung. Ia merasa senang telah menyelesaikan segalanya
tanpa sepengetahuan orang lain. Ia telah bertemu keluarga Boudini dan
Charlemagne serta memberi tahu Mrs. Dellas. Kini tibalah ia pada masalah yang
paling sulit. Bagaimana mempertemukan Jenny dengan Carlemagne"
Tiba-tiba ia mendapat perasaan buruk ketika ia sedang memikirkan cara untuk
mempertemukan mereka. Ia segera memalingkan kepalanya ke arah lapangan
rumput tempat tenda Boudini's Theatre berdiri. Dilihatnya asap hitam mengepul,
membumbung ke atas. "Charlemagne!" pikirnya panik.
Ia membalikkan badan dan berlari panik. Dibukanya pintu kamarnya dengan
tergesa-gesa dan hampir menabrak Nanny yang akan membuka pintu
kamarnya. Ia terus berlari tanpa menghiraukan Nanny yang kebingungan
melihatnya. Demikian pula ketika ia bertemu kakak-kakaknya dan Vladimer di
luar rumah. Ia terus berlari menuju kandang kuda.
Mereka berjalan menuju rumah dengan bercakap-cakap ketika Snow Angel
muncul dengan tergesa-gesa. Ketiganya terkejut karenanya. "Apa yang terjadi"
Mengapa engkau terburu-buru?" tanya Frederick. Namun gadis itu terus berlari
menuju ke belakang rumah.
Snow Angel beruntung, pelana kuda yang dipakai mereka bertiga belum dilepas.
Segera ia meraih seekor kuda yang masih berpelana itu dan melompat ke
punggung kuda itu. Thompson dan para penjaga kuda itu terkejut melihatnya
datang dengan tiba-tiba dan kemudian pergi dengan tergesa-gesa.
Ketiga pria yang masih bingung melihat tingkah Snow Angel sangat terkejut
ketika gadis itu tiba-tiba muncul. Snow Angel memacu kudanya dengan cepat
menuju kota. "Engkau akan pergi ke mana?" tanya Frederick dengan suara keras. Namun
adiknya terus memacu kudanya. Ketiganya berpandang-pandangan bingung
melihatnya. "Aku akan mengikutinya," kata Vladimer ketika sosok Snow Angel menghilang di
tikungan menuju kota dan berlari ke kandang kuda. Sesaat kemudian ia muncul
dan tanpa menghiraukan kakak beradik yang masih kebingungan itu, ia pergi
menyusul Snow Angel. "Mengapa kita diam saja" Mari kita menyusul mereka," kata Frederick sesaat
setelah Vladimer meninggalkan Troglodyte Oinos.
Api dengan ganasnya melahap tenda-tenda Boudini's Theatre. Banyak orang
yang menyaksikan kebakaran itu. Sebagian dari mereka mencoba memadamkan
api itu. Sebagian mencoba menyelamatkan barang yang belum terbakar habis.
Snow Angel memacu kudanya mendekati seorang anak yang memandang
kobaran api di depannya. Ia melihat Charlie menangis. "Ayah... Ibu...," katanya.
"Di mana Mr. dan Mrs. Boudini?" tanyanya.
"Mereka ... mereka ... ada di ... sana," jawab Charlie menunjuk kobaran api itu.
Snow Angel memandang kobaran api di depannya. Samar-samar ia melihat
sosok seseorang yang mencoba menyelamatkan diri dari kobaran api. Snow
Angel segera menaikkan Charlie ke atas kuda dan memukul kuda itu menjauhi
kobaran api. Ia memanggil-manggil Mr. dan Mrs. Boudini dengan panik. Namun tak ada
jawaban. Ia terus memanggil mereka. Hingga samar-samar terdengar teriakan.
"Tolong selamatkan Charlie, Tuan Puteri!"
Ia terus memanggil kedua orang itu hingga tenda itu roboh dan terdengar
jeritan dari dalam kobaran api itu. Ia termangu di depan kobaran api itu. Ia
terus menatap kobaran api yang terus mengganas itu. Entah berapa lama ia
diam memandangi api yang menjalar semakin dekat. Lidah-lidah api itu berada
dekat sekali dengannya. Tiba-tiba ada sepasang tangan kekar yang meraih pinggangnya dan
mengangkatnya ke atas kuda. Ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika orang itu
membawanya menjauhi kobaran api yang semakin mengganas itu. Matanya
terus memandang lidah-lidah api yang menari-nari itu.
"Apa yang kaulakukan!" Apakah kau tidak menyadari api itu bisa melahapmu
juga," kata pria itu dengan marah karena cemas.
Snow Angel tersadar dari keterkejutannya karena bentakan pria itu. "Charlie" Di
mana dia?" tanyanya panik.
"Ia selamat." Pria itu membawanya mendekati seorang anak yang duduk ketakutan di atas
kuda, memandangi kobaran api yang melahap semua yang ada di dekatnya.
Anak itu menangis ketika melihatnya mendekat.
Snow Angel mengulurkan tangannya pada Charlie dengan gemetar. Ia memeluk
Charlie dan berkata, "Jangan sedih! Ibumu masih hidup." Suaranya terdengar
makin lemah dan akhirnya hilang sama sekali.
Charlie memanggil-manggilnya sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Namun gadis itu tetap saja tak bergerak.
Pria itu melepaskan pelukan Snow Angel dengan hati-hati. "Jangan khawatir! Ia
hanya pingsan," katanya pada anak itu. Kemudian ia memeluk gadis itu dengan
satu tangannya, sedangkan tangan yang lainnya memegang tali kendali
kudanya. Dari kejauhan muncul Frederick dan Oscar yang datang tergesa-gesa. Mereka
memacu kudanya semakin cepat ketika melihat Vladimer duduk di atas kuda
sambil memeluk adik mereka.
"Apa yang terjadi" Angella kenapa" Siapa anak itu?" tanya mereka panik melihat
kepala Snow Angel terkulai lemah di bahu Vladimer.
"Tenang dulu. Aku akan menjelaskannya satu per satu. Pertama, aku tidak tahu
apa yang terjadi. Ketika aku tiba di sini kulihat Angela berdiri di dekat
kobaran api. Aku segera membawanya menjauhi api dan tiba-tiba ia pingsan. Pertanyaan
kedua telah kujawab, sekarang yang terakhir. Aku tidak tahu siapa anak ini.
Tapi yang pasti Angella terburu-buru ke sana untuk menolong anak ini," jelas
Vladimer. Kakak beradik itu memandang Charlie dan memikirkan tujuan Angella
menolongnya. Mereka merasa pernah melihat anak itu sebelumnya, tetapi
mereka tidak ingat kapan dan di mana.
"Aku tidak tahu apa tujuan Angella menolong anak ini. Tapi kurasa sebaiknya ia
kita bawa ke rumah," kata Frederick.
"Mengapa kalian lama sekali?" tanya Vladimer.
"Kami harus menunggu kuda-kuda ini dipasangi pelana sebelum kami bisa
menaikinya," jelas Oscar.
"Sekarang kita tidak punya banyak waktu untuk bercakap-cakap. Vladimer,
kenakan mantel ini pada Angella dan bawalah ia pulang ke rumah. Oscar, kau
pergilah memanggil dokter dan aku akan mencari tahu apa yang terjadi di sini,"
perintah Frederick. "Nanny yang menyuruh kami membawanya. Katanya udara di luar sangat
dingin, kami disuruh membawakannya untuk Angella agar ia tidak sakit," jelas
Oscar ketika melihat Vladimer yang kebingungan.
"Anak ini bagaimana?" tanya Vladimer setelah menyampirkan mantel itu di
pundak Angella. "Untuk sementara anak ini ada di sini bersamaku. Nanti bila urusanku di sini
sudah selesai, aku akan membawanya pulang," kata Frederick. "Sekarang lekas
pergi!" Mereka bertiga berpencar. Frederick tetap berada di sana untuk mencari tahu
apa yang terjadi. Vladimer membawa Angella pulang dan Oscar pergi memanggil
dokter. Sepanjang jalan Vladimer memeluk erat-erat tubuh Angella. Tangan kanannya
memeluk erat-erat pinggang gadis yang menyandar lemah pada tubuhnya itu
dan yang lainnya memegang tali kendali kuda.
Ia mencemaskan keadaan gadis itu tetapi ia tidak dapat mempercepat lari
kudanya. Ia menyesalkan Troglodyte Oinos yang terletak di tengah hutan
sehingga semakin membuatnya semakin lama mencapai rumah itu untuk segera
membaringkan Angella yang pingsan.
Seisi rumah terkejut ketika Vladimer datang dengan membawa Angella yang
pingsan. Countess tampak sangat cemas melihat Angella tak sadarkan diri,
demikian pula Nanny. "Cepat bawa Angella ke kamar," kata Countess panik.
"Dokter" Apakah sudah memanggil dokter?" tanya Nanny tak kalah paniknya.
"Sudah, Nanny. Oscar sekarang pergi memanggil dokter," jawab Vladimer.
"Lekas bawa Angella ke kamarnya," kata Countess lagi.
Nanny berjalan mendahului Vladimer. Berulang kali ia memperingatkan Vladimer
agar berhati-hati ketika mereka menaiki tangga. Vladimer berjalan perlahanlahan
agar dapat membuat Nanny sedikit lega.
Nanny membuka pintu kamar Angella lebar-lebar dan menyiapkan tempat
tidurnya. Vladimer meletakkan Angella dengan hati-hati di atas tempat tidurnya.
Nanny menyelimuti tubuh Angella dan meraba keningnya. "Tidak panas," kata
Nanny, "Apa yang terjadi pada Tuan Puteri?"
"Aku tidak tahu, Nanny. Kita tunggu saja Frederick yang sekarang sedang
mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi," jawab Vladimer.
Nanny duduk di samping Angella yang terbaring lemah di tempat tidurnya. Dari
wajahnya tampak ia sangat mencemaskan keadaan Angella. Ia tampak sangat
gelisah sekali menanti Oscar yang sedang memanggil dokter.
"Jangan cemas, Nanny. Oscar pasti segera datang," Vladimer mencoba
mengurangi kecemasan Nanny.
Kata-kata Vladimer terbukti. Sesaat kemudian, terdengar derap kaki kuda.
Nanny bangkit dari duduknya dan segera menuju serambi kamar Angella untuk
melihat siapa yang datang. Nanny tampak sangat lega sekali melihat Oscar
datang bersama seorang dokter.
Oscar dengan terburu-buru mengajak dokter itu segera memasuki rumah.
Sementara itu para pelayan yang menanti kedatangan Tuan Muda mereka
tampak lega melihat kedatangan Oscar bersama seorang dokter.
Countess yang menanti kedatangan Oscar tampak lega melihat putranya datang
bersama Dokter Leo yang menjadi dokter keluarga mereka. Countess dengan
segera mengantarnya ke kamar Angella.
Vladimer dan Oscar menanti dengan cemas di luar kamar. Sementara Dokter
Leo memeriksa Angella. Nanny dan Countess berada di dalam kamar untuk
membantu dokter itu apabila memerlukan sesuatu.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Countess ketika dokter itu selesai memeriksa
Angella. "Saya masih belum dapat menjelaskannya sebelum mengetahui sebab Angella
pingsan," jawab dokter yang rambutnya sudah memutih semuanya itu.
"Saya tidak tahu sebab Angella pingsan, tetapi mungkin anak saya
mengetahuinya," kata Countess.
Oscar mengajukan pertanyaan yang sama seperti Countess ketika ia melihat
Dokter Leo keluar kamar bersama ibunya. Dokter Leo kembali memberi jawaban
yang sama seperti yang diberikannya kepada Countess.
Namun sayang penjelasan yang diberikan Vladimer dan Oscar kurang lengkap
sebab mereka kurang mengetahui kejadian yang sebenarnya. Untunglah,
Frederick segera datang tak lama setelah kedatangan Oscar.
Frederick menceritakan semua hasil penyelidikannya kepada mereka semua di
Ruang Perpustakaan. Ia mengatakan api mulai membakar tenda Boudini's
Theatre sejak sore tadi. Asal api itu masih belum diketahui, namun polisi
menduga api itu berasal dari sebuah tenda yang khusus didirikan bagi para
pekerja. Masyarakat sekarang masih berusaha memadamkan api itu.
Ia juga mengatakan api telah membakar habis Boudini's Theatre. Pemilik
Boudini's Theatre, Mr. dan Mrs. Boudini ikut terbakar di dalam kebakaran itu. Ia
juga menambahkan bahwa ia membawa Charlemagne, anak Mr. dan Mrs.
Boudini pulang bersamanya sebab Angella tadi terburu-buru ke sana ketika
melihat asap hitam membumbung ke atas untuk menolong anak itu.
Ia tidak dapat menjawab pertanyaan Countess yang ingin mengetahui alasan
Angella menolong anak itu sebab ia sendiri juga tidak tahu pasti. Namun
berdasarkan apa yang berhasil didapatnya dari Charlie, ia mendapat kesimpulan
adiknya menolongnya karena merasa cemas.
"Rupanya Angella memang sangat menyukai anak-anak sehingga ia menjadi
sangat cemas ketika melihat kebakaran itu terjadi," komentar Countess
mendengar jawaban Frederick. "Nanny, sebaiknya engkau segera membawa
anak itu beristirahat di Ruang Kanak-Kanak. Ia kelihatannya lelah sekali dan
tentunya ia masih sangat terpukul mengetahui apa yang terjadi pada orang
tuanya." "Baik, Yang Mulia. Mari, kita pergi Charlie." Nanny segera membawa Charlie
keluar meninggalkan Ruang Perpustakaan.
Frederick melanjutkan lagi ceritanya. "Anak itu tidak hanya mengatakan bahwa
ia baru bertemu dengan Angella pagi ini. Tetapi ia juga mengatakan sesuatu
yang membuatku sangat terkejut."
"Apa itu," tanya Oscar ingin tahu.
"Ia mengatakan ketika Angella datang, ia berdiri di depan kobaran api yang
membakar tenda, menanti Mr. dan Mrs. Boudini keluar dari tempat yang
terbakar itu. Angella kemudian menaikkannya ke atas kuda dan menjauhkannya
dari api. Sementara itu Angella berdiri di depan kobaran api itu
memanggilmanggil mereka berdua." Frederick menghela nafasnya kemudian sambil
mengangkat bahunya ia berkata, "Dan menurut dugaanku ..."
"Angella melihat sendiri bagaimana Mr. dan Mrs. Boudini itu tewas terbakar api,"
sahut Vladimer. "Ya, itulah dugaanku."
"Sekarang aku mengerti mengapa Angella diam saja seperti patung ketika aku
membawanya menjauhi api," kata Vladimer lagi.
"Oh... Kasihan Angella, ia pasti sangat shock sekali," kata Countess terkejut
mendengar cerita Frederick.
"Berdasarkan cerita kalian, saya menyimpulkan Angella terlalu shock dan terlalu
banyak menghirup asap sehingga ia pingsan. Saya sarankan sebaiknya ia
beristirahat untuk beberapa hari untuk menghindari hal-hal yang buruk yang
dapat menimpa paru-parunya, seperti radang paru-paru," kata Dokter Leo usai
mendengar cerita Frederick. "Udara segar di sekitar hutan yang mengelilingi
rumah ini akan sangat membantu penyembuhannya."
"Apakah itu berarti kami harus sering membawanya ke hutan untuk menghirup
udara segar?" tanya Oscar.
"Jangan konyol, Oscar! Tentu saja bukan itu yang dimaksudkan Dokter Leo.
Maksud Dokter Leo, lebih baik Angella sering menghirup udara segar untuk
mempercepat penyembuhannya tetapi tetap tidak meninggalkan kamarnya,"
kata Frederick memarahi kekonyolan Oscar. "Entah apa yang akan terjadi nanti
bila engkau sering membawanya berkeliling hutan sementara badannya masih
lemah." "Ya, itulah yang hendak saya katakan," kata Dokter Leo.
Dokter itu mengeluarkan sesuatu dari tas yang berisi perlengkapan dokternya
dan mulai menulis. "Ini obat yang harus diminum Angella."
Setelah memberikan obat itu kepada mereka, Dokter Leo berpamitan kepada
mereka. "Tunggulah sebentar, Dokter. Saya akan menyuruh Thompson mengantar Anda
pulang," kata Countess.
Dokter Leo menggelengkan kepala menolak usul Countess.
"Tidak apa-apa, Dokter. Kami telah merepotkan Anda, sudah selayaknya kami
mengantar Anda pulang. Kereta yang Anda tumpangi tadi sudah pergi, lagipula
Thompson juga akan pergi membelikan obat untuk Angella," kata Frederick
mendesak. Akhirnya dokter tua itu mengalah. Frederick, Oscar serta Vladimer mengantar
dokter itu menuju kereta yang telah menantinya. Frederick memberikan resep
obat itu kepada Thompson dan memberikan perintah kepadanya untuk
mengantar Dokter Leo. Sebelum naik ke kereta, Dokter Leo berkata, "Saya memberikan obat penenang
kepada Tuan Puteri sebab saya khawatir ia masih dihantui kejadian yang
membuatnya shock itu."
Setelah kereta menghilang di dalam kepekatan malam, Frederick, Oscar serta
Vladimer masuk ke dalam rumah. Mereka berjalan menuju kamar Angella. Di
sana, Countess duduk dengan sedih di tepi tempat tidur putrinya.
"Mama, jangan cemas. Pergilah beristirahat biar kami yang menjaga Angella.
Mama kelihatan sangat lelah," kata Frederick.
Countess menggelengkan kepala menolak usulan Frederick, ia bersikeras
menjaga Angella hingga gadis itu sadar.
"Mama, bila Mama ikut sakit pula. Kami akan menjadi sangat cemas, kami tak
ingin Mama sakit. Saat ini kami sudah cukup mencemaskan Angella, janganlah


Runtuhnya Gunung Es Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mama menambah kecemasan kami," bujuk Frederick. "Biarlah kami yang
menjaga Angella sementara Mama beristirahat. Percayalah kami akan menjaga
Angella dengan baik."
Oscar mengantarkan ibunya kembali ke kamarnya setelah ibunya menyatakan
persetujuannya. Sebelum kembali ke kamar Angella, ia pergi ke Ruang KanakKanak
dulu. Dilihatnya Nanny sedang berusaha membujuk anak itu agar lekas
tidur. "Tidurlah yang nyenyak agar engkau besok menjadi segar kembali," bujuk
Nanny. Charlie menggelengkan kepala dan berkata dengan keras kepala, "Aku ingin
bertemu dengan Tuan Puteri dulu."
"Tuan Puteri baik-baik saja, sekarang ia sedang beristirahat," kata Nanny
berbohong. "Engkau juga harus beristirahat."
Anak itu menggelengkan kepalanya lagi. Ia berlari mendekati Oscar ketika
melihat pria itu datang. "Bagaimana keadaan Tuan Puteri?" tanyanya kepada
Oscar. "Ia baik-baik saja. Engkau harus menuruti kata-kata Nanny," kata Oscar kepada
anak itu. "Tidak! Saya tidak bisa tidur, saya ingin bertemu Tuan Puteri."
"Angella sekarang sedang tidur. Ia akan sedih sekali bila melihat engkau keras
kepala seperti ini. Ia tadi terburu-buru datang ke lapangan rumput yang
terbakar itu karena mencemaskanmu. Sekarang engkau turutilah kata-kata
Nanny, jangan membuatnya semakin cemas. Kata dokter ia memerlukan
istirahat. Besok engkau boleh menjenguknya," kata Oscar.
"Apakah itu benar?" tanya Charlie.
"Ya." "Baiklah saya akan menuruti Nanny. Anda berjanji akan mengijinkan saya
menemui Tuan Puteri lagi?"
"Ya, saya berjanji. Engkau juga harus berjanji kepada saya akan selalu menuruti
Nanny," kata Oscar. "Saya janji selama Anda tidak ingkar janji," kata Charlie.
"Saya tidak akan mengingkari janji saya," kata Oscar menyakinkan Charlie.
Anak itu menurut ketika Nanny menggantikan bajunya dengan baju tidur yang
tak jelas milik siapa, milik Frederick atau Oscar semasa kecilnya. Sesaat
kemudian anak itu sudah tertidur dengan nyenyak.
"Bagaimana keadaan Tuan Puteri?" tanya Nanny lirih.
"Kata dokter ia baru mengalami suatu kejutan dan ia memerlukan istirahat yang
cukup dan udara segar," jawab Oscar.
"Saya akan menjaga Tuan Puteri," kata Nanny.
"Tidak perlu, Nanny. Sekarang Nanny mempunyai seorang anak yang harus
Nanny perhatikan dan jaga baik-baik," kata Oscar sambil memandang Charlie
yang tertidur nyenyak. "Tetapi merawat Tuan Puteri adalah tugas saya," bantah Nanny.
"Sekarang tidak lagi, Nanny. Tugas itu kami yang mengambil alih. Sekarang
tugas Nanny adalah merawat anak itu." Oscar menepuk pundak Nanny. "Angella
sekarang benar-benar memerlukan pengawasan yang ketat agar hal ini tidak
terjadi lagi. Percayakanlah anak kesayangan Nanny itu pada kami. Kami janji
akan menjaganya dengan baik"
Nanny menengadahkan kepalanya untuk melihat wajah Oscar. Anak yang dulu
paling nakal itu kini telah banyak berubah. Ia menjadi semakin dewasa setiap
harinya. Ia mulai mengerti tanggung jawabnya. Ia telah berubah dari anak yang
nakal menjadi seorang pria yang mengerti apa yang dilakukannya.
Nanny menyayangi mereka bertiga. Frederick yang penuh tanggung jawab.
Oscar yang periang dan adik mereka, Angella, gadis manis yang menjadi
kebanggaannya. Ia menyayangi mereka semua.
"Baiklah. Saya mempercayakan Tuan Puteri kepada kalian," kata Nanny. "Tapi
hati-hati bila kalian tidak menjaganya dengan baik seperti yang kalian
janjikan." Oscar ingin tertawa mendengar ancaman Nanny yang seolah menyerahkan
Angella dengan terpaksa kepada sekelompok penjahat. Ia menahannya kuatkuat
hingga perutnya terasa sakit karenanya. "Jangan khawatir, Nanny sayang,"
ia mencium pipi wanita tua itu.
Ia segera meninggalkan Ruang Kanak-Kanak sebelum ia tidak dapat menahan
lagi keinginannya untuk tertawa. Ia mengingatkan dirinya untuk tidak tertawa
karena dapat membangunkan orang-orang yang sedang beristirahat malam itu.
Kemudian dengan menegakkan punggung ia menuju kamar adiknya.
"Mengapa engkau lama sekali?" tanya Frederick saat melihat Oscar menutup
pintu kamar Angella. "Aku pergi ke Ruang Kanak-Kanak dulu sebelum kemari untuk memberitahukan
Nanny keadaan Angella. Semula kukira aku tidak akan lama berada di sana,
tetapi ternyata aku salah. Aku masih harus menghadapi seorang anak keras
kepala yang tidak mau tidur," kata Oscar.
Kemudian ia menceritakan kejadian yang dialaminya selama berada di Ruang
Kanak-Kanak. Sekali lagi ia berusaha menahan tawanya ketika mengulangi
ancaman Nanny. "Ada apa, Fred" Apakah aku salah mengatakan kepada Nanny bahwa sekarang
kitalah yang akan mengawasi Angella?" tanya Oscar ketika melihat wajah
kakaknya yang aneh. "Tidak, engkau benar. Aku hanya terkejut mendengar apa yang kaukatakan
kepada Nanny itu sama persis dengan apa yang sedang kupikirkan. Semula aku
ingin membicarakan masalah ini dulu di antara kita bertiga sebelum
memberitahu Nanny. Tetapi karena engkau telah memberitahu Nanny dulu,
maka kurasa hal itu tidak perlu," kata Frederick.
"Aku kira itu ide yang bagus. Aku mulai merasa ada yang ganjil dalam hubungan
Angella dengan anak itu. Ada baiknya kita sendiri yang mengawasi Angella,"
kata Vladimer. "Apa maksudmu dengan ada yang ganjil dalam hal hubungan Angella dengan
anak itu?" tanya Oscar tak mengerti.
"Tadi pagi aku melihat Angella bersama anak itu berbincang-bincang di kolam
depan rumah. Waktu itu aku sedang berjalan-jalan setelah sekian tahun aku
tidak kemari. Aku sedang berjalan masuk ke arah hutan ketika aku tiba-tiba
mendengar suara teriakan dan aku mendekati arah asal suara itu," cerita
Vladimer. "Dan aku melihat mereka sedang berbincang-bincang di kolam itu.
Aku juga melihat Angella membawa anak itu masuk ke dalam rumah."
"Di mana letak keganjilannya?" tanya Oscar.
"Mereka berbincang-bincang seperti sahabat akrab yang sudah saling kenal. Dan
juga cara Angella menatap anak itu. Aku merasa caranya menatap anak itu tidak
seperti seseorang yang baru saja bertemu tetapi seperti seseorang yang baru
bertemu kembali setelah sekian lama."
"Maksudmu mereka sebelumnya sudah saling mengenal?" kata Oscar.
"Tidak aku tidak mengatakan mereka sudah saling mengenal sebelumnya. Aku
hanya ingin mengatakan bahwa aku menduga mereka saling mengenal
sebelumnya" "Tetapi bagaimana mungkin. Terakhir kalinya Boudini's Theatre mengadakan
pertunjukkan di sini adalah sekitar empat atau lima tahun yang lalu. Dan aku
menduga umur anak itu belum genap empat tahun. Itu yang pertama. Kedua,
mereka baru tiba kemarin sore dan kita sendiri telah mengetahuinya sewaktu
kita pergi berkuda."
"Dugaanmu sama sepertiku, Vladimer." Kata Frederick.
"Engkau juga, Fred" Sebenarnya, apa yang telah kalian ketahui tentang anak
itu" Aku tidak mengerti sama sekali apa yang membuat kalian mempunyai
dugaan bahwa mereka telah bertemu sebelumnya."
"Kami tidak mengetahui apa-apa mengenai anak itu," kata mereka serempak.
"Apa yang membuatmu menduga demikian, Fred?" tanya Vladimer.
"Hal yang berhasil kudapat dari anak itu," jawab Frederick.
"Apakah ia mengatakan kepadamu bahwa ia telah mengenal Angella sebelumnya
atau ia mengatakan ia sudah dapat berbicara sejak bayi?" tanya Oscar marah
karena ia tidak dapat mengerti jalan pikiran Frederick dan Vladimer.
"Tidak, ia tidak mengatakan banyak hal kepadaku. Sulit membuat anak itu mau
menceritakan segalanya. Untuk mendapatkan keterangan dari anak itu benarbenar
membutuhkan banyak waktu," kata Frederick.
"Tadi aku hampir putus asa mendapatkan sedikit keterangan dari anak itu ketika
tiba-tiba aku mendapatkan gagasan untuk menggunakan nama Angella agar ia
mau bercerita kepadaku. Dan usahaku itu berhasil. 'Engkau harus mau
menceritakan apa yang terjadi padaku bila engkau ingin menolong Angella,'
kataku padanya." "Mendengar itu, anak itu tidak henti-hentinya bertanya, 'Apakah benar bila aku
mau menceritakan segala yang kuketahui, Tuan Puteri akan tertolong"' Aku
sampai merasa bosan meyakinkan anak itu bahwa segala yang kukatakan itu
benar." "Anak itu rupanya tidak mudah mempercayai orang lain," komentar Vladimer
setelah mendengar cerita panjang Frederick.
"Apakah kehidupan di teater dapat membuat seorang anak menjadi sukar
mempercayai orang lain?" tanya Oscar.
"Kukira tidak, kebanyakan orang yang hidup dalam llingkungan teater menjadi
mudah mempercayai orang lain karena dalam kehidupan sehari-harinya ia telah
biasa bertemu banyak orang," jawab Vladimer.
"Anak itu termasuk golongan anak aneh rupanya." Oscar itu memberi pendapat.
"Ia tadi juga berulang-ulang menanyakan kesungguhanku memberinya ijin
untuk menemui Angella esok pagi."
"Ia memberiku keterangan seperti yang telah kuceritakan kepada kalian.
Sebenarnya, masih ada lagi satu keterangan yang belum kuceritakan kepada
kalian," kata Frederick.
"Apakah itu?" tanya Oscar ingin tahu.
"Ia mengatakan sesuatu yang membuatku mempunyai dugaan yang hampir
sama seperti Vladimer," kata Frederick.
"Engkau tadi mengatakan dugaanmu sama dengan Vladimer sekarang hampir
sama, mana yang benar?" tuntut Oscar.
"Keduanya. Aku menduga Angella dan anak itu telah berkenalan sebelumnya
tetapi Angella lebih mengenal anak itu daripada anak itu mengenal Angella,"
kata Frederick menanggapi kata-kata Oscar yang bernada menuduh itu.
"Apa maksudmu?" tanya Oscar tak mengerti.
"Katakan saja apa yang dikatakan anak itu sehingga engkau mempunyai dugaan
seperti itu," kata Vladimer.
"Ia mengatakan, sebelum pingsan Angella membisikkan sesuatu di telinganya."
"Ayolah Frederick jangan berteka-teki. Katakan apa yang dibisikkan Angella
kepada anak itu," kata Oscar mulai tak sabar.
" Jangan sedih! Ibumu masih hidup," kata Frederick.
Vladimer dan Oscar tampak terkejut sekali mendengar kata-kata Frederick.
"Mungkin Angella mengatakan itu hanya karena tidak menginginkan anak itu
sedih," kata Oscar setelah pulih dari keterkejutannya.
"Tidak mungkin. Bila ia bermaksud tidak membuat anak itu sedih, mengapa ia
tidak mengatakan orang tuamu melainkan ibumu" Selain itu ia masih terlalu
shock setelah melihat sendiri Mr. dan Mrs. Boudini tewas terbakar di depan
matanya," bantah Frederick.
"Aku tadi juga ikut mendengarnya sewaktu Angella memeluk anak itu. Sehingga
dapat kupastikan anak itu berkata benar. Tapi aku tadi tidak mendengar secara
lengkap sebab suara Angella semakin lemah. Aku hanya mendengar 'Jangan
sedih! Ibumu masih...,' "kata Vladimer memperkuat perkataan Frederick.
"Benar juga kata-katamu itu," gumam Oscar. "Mengapa tadi tidak engkau
katakan sewaktu kita semua berkumpul di Ruang Perpustakaan?"
"Apakah engkau ingin membuat Bibi Stefanie terkejut?" tanya Vladimer.
"Kalian sendiri sudah sangat terkejut seperti itu. Bagaimana dengan Mama bila
ia ikut mendengarnya," kata Frederick.
"Siapa nama anak itu" Berapa usianya?" tanya Oscar.
"Ia mengatakan nama aslinya Charlemagne, namun semua orang memanggilnya
Charlie. Mengenai usianya, ia tidak berkata apa-apa," jawab Frederick.
"Charlemagne" Raja dari Frank dan pendiri kerajaan Romawi Kuno," kata
Vladimer. "Kau tahu sejarah Charlemagne?" tanya Oscar tertarik.
"Sedikit. Aku mendengar ia bertahta di Perancis dan ia juga memerangi bangsa
Moor dalam usahanya membebaskan Spanyol dari bangsa itu," jawab Vladimer.
"Cukup! Jangan bercerita lagi mengenai Charlemagne. Sekarang yang harus kita
pikirkan adalah bagaimana membuat Angella mengatakan segala yang
diketahuinya tentang anak itu kepada kita," kata Frederick.
"Sebenarnya apa tujuanmu berusaha mencari keterangan lebih banyak lagi
mengenai anak itu dari Angella?" tanya Oscar.
"Aku merasa pernah melihat anak itu dan itulah yang membuatku tertarik untuk
mengetahui lebih banyak lagi mengenai anak itu," jawab Frederick.
"Aku juga merasa pernah melihat anak itu. Tapi aku rasa akan sulit berusaha
mendapatkan keterangan dari Angella mengingat sikapnya yang sangat dingin
itu," kata Oscar. "Aku melihat ia tidak sedingin yang kudengar," kata Vladimer.
"Mungkin karena ada engkau, maka ia tidak bersikap sedingin biasanya," kata
Frederick. "Mungkin karena aku belum lama tinggal di sini," kata Vladimer. "Tapi aku masih
percaya ia memang sedingin yang kalian katakan. Aku masih ingat bagaimana ia
menatapku pada hari kedatanganku."
"Engkau kecewa karena tidak mendapat sambutan yang ramah darinya?" tanya
Oscar ingin tahu. Vladimer diam saja. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Dalam kehidupan
sehari-harinya yang penuh kebosanan karena dikagumi banyak wanita, ia
menginginkan semua wanita itu menjauh darinya. Tetapi ketika ia mendapatkan
keinginannya itu di sini, di rumah ini, ia merasa aneh. Ia merasa kecewa, sedih,
dan entah macam apa lagi perasaan yang muncul bila ia mengingat tatapan
Angella yang begitu dingin hingga terasa menusuk kulit setiap kali ia
memandangnya. BAB 10 Angella membuka matanya perlahan-lahan. Melalui keremangan cahaya
kamarnya ia melihat kedua kakaknya tertidur di samping tempat
tidurnya. Di kursi depan perapian, ia melihat Vladimer yang tengah
tertidur. Ia mulai mengingat-ingat kejadian yang baru dialaminya sore itu. Api
yang melahap tenda-tenda Boudini's Theatre dengan rakusnya. Suara
hiruk-pikuk orang yang panik. Lidah-lidah api yang terasa panas di
depannya. Jeritan Mr. dan Mrs. Boudini serta ucapan terakhir mereka.
'Tolong selamatkan Charlie, Tuan Puteri!'
"Charlie! Di mana dia?" pikirnya panik.
Angella membuka selimut yang menutupi tubuhnya. Dengan sekuat
tenaganya ia mencoba berdiri di tepi tempat tidurnya. Tangannya
memegang meja kecil tempat ia biasa meletakkan vas bunga, tangannya
yang lain berpegangan pada tepi tempat tidur.
Tiba-tiba ia merasa kakinya lemas dan tanpa dapat ditahannya lagi ia
terjatuh di karpet. Meja kecil yang dipenggangnya ikut terjatuh hampir
bersamaan dengan jatuhnya. Vas bunga yang berada di atasnya, terjatuh
dengan suara yang cukup keras sehingga membangunkan ketiga pria
yang tertidur itu. "Apa yang kaulakukan?" tanya Frederick terkejut melihat adiknya duduk
di karpet. Vladimer yang tiba terlebih dulu di sisinya, segera mengangkatnya ke
tempat tidur ketika melihat air vas bunga itu membasahi karpet dan
bunga dari vas itu berserakan di dekat Angella.
Angella mau tidak mau teringat kembali saat pria itu meraih pinggangnya
dan mengangkatnya ke atas kuda serta membawanya menjauhi api.
Jantung Angella berdebar-debar karenanya dan ia merasa pipinya
menjadi panas. "Char... Charlie...! Di... ma...na di...a?" tanyanya terbata-bata dengan suara
yang amat lemah. "Dia baik-baik saja. Sekarang dia sedang tidur di Ruang Kanak-Kanak dan
Nanny menjaganya. Engkau tidak perlu khawatir lagi," kata Oscar.
"Engkau tidurlah lagi ini masih tengah malam."
"Aku... ti... dak... i... ngin ti... dur," kata Angella terbata-bata. "A... ku...
ingin... me... li...hat Charlie."
"Jangan berbicara banyak, engkau terlihat seperti orang yang baru
belajar bicara. Lebih baik sekarang engkau beristirahat, besok kami akan
membawa Charlie kemari. Engkau masih terlalu lemah untuk pergi ke
Ruang Kanak-Kanak," kata Frederick.
Melihat adiknya yang seperti memaksakan diri untuk dapat berbicara
dengan jelas, membuat Frederick teringat kembali saat Angella baru
belajar bicara. Saat itu ia merasa sangat senang. Ia dan Oscar berlombalomba


Runtuhnya Gunung Es Karya Sherls Astrella di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuat Angella dapat menyebut namanya.
"Ayo, Angella. Sebut namaku, Frederick," kata Frederick mendahului
Oscar. "Fredlick... Fredlick," kata Angella sambil bertepuk tangan.
Oscar tertawa terbahak-bahak melihat kakaknya cemberut melihat
Angella tidak dapat menyebut namanya dengan benar. "Sudah! Sekarang
giliranku. Panggil aku, Angella. Oscar."
"Tidak! Aku belum selesai. Ayo, Angella! Sebut namaku dengan benar F...
r... e... d... e... r... i... c... k..., Frederick," kata Frederick tak mau berputus
asa. Sekali lagi Angella tidak dapat menyebut nama Frederick dengan benar.
Frederick terus berusaha agar adiknya menyebut namanya dengan benar,
tetapi tetap saja sang adik tidak dapat menyebut namanya dengan benar.
Frederick menjadi kesal karena Oscar menertawakan kekalahannya.
"Jangan tertawa dulu, belum tentu Angella dapat menyebut namamu
dengan benar," kata Frederick.
"Pasti Angella dapat menyebutnya dengan benar," kata Oscar percaya
diri, "Ayo, Angella. Panggil aku, Oscar."
"Oscar... Oscar...," kata Angella bertepuk tangan.
Frederick menjadi semakin jengkel melihat Angella dapat menyebut nama
Oscar dengan benar. "Bagaimana, Fred" Engkau kalah," ejek Oscar.
"Tidak, aku belum kalah. Walaupun Angella dapat menyebut namamu
dengan benar, tetapi ia lebih sayang padaku. Betulkan, Angella?" kata
Frederick bermain dengan Angella.
"Tidak! Ia lebih sayang padaku," bantah Oscar.
"Fredlick... Fredlick... Oscar... Oscar...," kata Angella.
"Aku tahu," kata Frederick tiba-tiba. "Kalau engkau tidak dapat menyebut
namaku dengan benar, panggil saja aku Freddy," katanya kepada
Angella. Angella diam sebentar, ia tampak bingung. Kemudian ia memanggil nama
kakaknya, "Freddy... Freddy... Oscar... Oscar...," katanya senang.
"Kau curang!" tuduh Oscar.
"Biar saja. Asalkan ia dapat memanggilku," kata Frederick.
Oscar memperhatikan Angella yang kelihatan senang sekali dengan katakata
barunya. Berulang kali ia menyebut-nyebut nama kedua kakaknya.
"Fred, aku juga akan memanggilmu Freddy. Nama itu kelihatannya lebih
menyenangkan dan mudah daripada Frederick."
"Tidak boleh! Hanya Angella yang boleh memanggilku Freddy," kata
Frederick. "Kau tidak adil!" kata Oscar jengkel karena keinginannya tidak dikabulkan
kakaknya. Sejak saat itu Angella selalu memanggil kakak tertuanya dengan Freddy.
Nama itu sudah menjadi nama kesayangannya.
"Oscar, tolong ambilkan segelas air untuk Angella. Ia sebaiknya minum
obat yang diberikan dokter agar dapat tidur nyenyak," kata Vladimer.
Angella membuka mulut hendak menyatakan penolakannya. Namun
tangan kakaknya sudah menutupi mulutnya sebelum ia berbicara.
"Engkau harus minum obat bila engkau ingin lekas sembuh dan bertemu
anak itu," katanya. Angella memandang bunga yang berserakan di karpet. Frederick yang
Tengkorak Maut 19 Pendekar Pulau Neraka 37 Hantu Bukit Angsa Kemelut Blambangan 9
^