Pencarian

Bulir Bulir Pasir Waktu 4

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon Bagian 4


Mereka tiba di sebuah desa kecil, tempat para wanita
petani berpakaian warna hitam. Wanita-wanita itu sedang mencuci pakaian di sebuah sumber air. Sungguh
pemandangan yang penuh kedamaian,
Rubio berkata pada diri sendiri. Suasana itu mengingatkannya pada perusahaan pertanian yang telah
ditinggalkannya. Seperti inilah Spanyol dulunya. Tidak ada
bom, tidak ada pembunuhan. Apakah kita akan menemukan kembali perdamaian itu"
"Buenos dias." "Buenos dias." "Bolehkah kami minum di sini" Perjalanan jauh
membuat oran g sangat dahaga. "
"Oh, tentu saja boleh. Silakan."
Air itu dingin dan menyegarkan.
"Gracias, terima kasih. Adios, sampai berjumpa lagi."
Rubio ingin sekali tinggal di tempat itu.
Rombongan empat orang itu berjalan terus.
Rubio dan Tomas berjalan di depan, bercakap-cakap.
Ah, mereka membicarakan diriku. Mereka mengira aku
tidak mengetahui rencana mereka. Suster Teresa berjalan mendekati kedua pria itu, agar dapat mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan,
". . hadiah lima ratus ribu peseta dipasang di atas kepala kita. Tentu saja kolonel Acoca bersedia membayar lebih banyak lagi untuk mendapatkan Jaime. Namun bukan
kepala Jaime yang dimaukannya. Yang dikejamya adalah
cojones Jaime." Kedua pria itu tertawa. Semakin banyak yang didengarnya, semakin kuat
keyakinan suster Teresa. Orang-orang ini pembunuh-
pembunuh yang melakukan pekeriaan iblis. Utusan-utusan kebatilan yang dikirim untuk membawa diriku ke dalam
neraka abadi. Tetapi Tuhan lebih kuat daripada mereka.
Tuhan tidak akan membiarkan mereka membawa diriku
pulang. Raoul Giradot berada di sisinya, tersenyum dengan gaya yang telah begitu dikenalnya.
Suara itu! Maafkan aku" Telah kudengar suaramu menyanyi sungguh luar biasa.
Bolehkah aku membantumu"
Aku memerlukan tiga yard kain muslin.
Tentu saja. Silakan" Bibiku yang memiliki toko ini dan ia memerlukan bantuan, maka aku bekeria di sini untuk
beberapa waktu lamanya. Aku yakin kau dapat mendapatkan pria mana saja yang
kausukai, Teresa, tetapi aku mengharap kau akan memilih diriku.
Ia tampak begitu tampan. Aku belum pernah bertemu dengan seseorang seperti
dirimu, kekasihku. Raoul memeluk dirinya dan menciumnya.
Kau akan menjadi seorang pengantin yang cantik sekali.
Tetapi sekarang aku ini pengantin Kristus. Aku tidak bisa kembali pada Raoul.
Lucia memperhatikan suster Teresa. Suster itu berbicara pada diri sendiri, namun Lucia tidak dapat menangkap yang dikatakan itu.
Ah, suster Teresa dalam keadaan gawat, pikir Lucia. Ia tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Aku harus
secepatnya memiliki salib emas itu.
Hari sudah menjelang senja ketika mereka tiba di dekat kota Olmedo.
"Masih beberapa mil lagi." Rubio Arzano berkata. "Lalu kita akan dapat beristirahat."
Mereka mencapai puncak sebuah bukit ketika Tomas
Sanjuro tiba-tiba mengangkat tangan. "Tahan dulu,"
bisiknya. Di lembah di bawah sana ada sebuah perkemahan
serdadu. "Mierda! Sialan!" Rubio berkata. "Pasti tidak kurang dari sebuah peleton. Kita terpaksa di sini saja malam ini.
Mungkin mereka akan bubar esok pagi sehingga kita bisa melanjutkan perjalanan." Rubio berpaling pada kedua wanita itu, "Kita lewatkan malam ini di sini, suster. Kita tidak boleh menimbulkan suara sedikit pun. Ada serdadu-serdadu di bawah sana, sedangkan kita tidak menghendaki mereka mengetahui bahwa kita berada di sini."
Itu berita terbaik yang hingga saat itu didengar Lucia. Ini sempurna sekali, pikirnya. Aku akan menghilang dengan salib itu, malam ini. Mereka tidak akan berani mengejarku dengan adanya serdadu-serdadu itu.
Bagi suster Teresa berita itu mempunyai arti lain. Ia telah mendengar bahwa seseorang bernama kolonel Acoca sedang mencari mereka. Mereka menyebutkan kolonel
Acoca itu musuh. Tetapi orang-orang inilah yang musuh, sehingga kolonel Acoca pastilah seorang sahabat. Terima kasih, Tuhan, telah mengirimkan kolonel Acoca itu padaku.
Pria jangkung yang bernama Rubio itu berbicara pada
dirinya. "Kau mengerti, suster" Kita jangan sedikit pun
menimbulkan suara berisik."
"Aku mengerti." Suster Teresa menjawab. Aku lebih daripada mengerti yang kau katakan itu. Mereka tidak
mengetahui bahwa Tuhan telah memperkenankan dirinya
melihat ke dalam hati mereka yang jahat itu!
Tomas Sanjuro berkata dengan ramah, "Aku memahami betapa sulitnya keadaan itu bagi kau berdua. Tetapi jangan khawatir, kau berdua akan sampai di biara itu dengan
selamat." Ke Eze, maksudnya! Ah, sungguh licik orang-orang ini.
Pria itu mengucapkan kata-kata yang begitu manis, kata-kata iblis. Tetapi Tuhan bersama diriku dan Ia membimbing diriku. Ia menyadari yang harus dilakukannya. Namun ia haruslah bertindak sangat berhati-hati. .
Kedua pria itu mengatur kantong-kantong tidur untuk
kedua wanita itu. "Kalian berdua tidurlah sekarang."
Lucia memandang ke langit berbintang itu. Ah, tidak
lama lagi. Cuma beberapa jam lagi, dan aku akan sudah dalam perjalanan menuju kebebasan. Segera setelah
mereka semua tertidur. Lucia menguap. Tidak disadarinya betapa letih dirinya. Perjalanan panjang dan jauh itu, serta tekanan emosional selama itu, telah menuntut biaya. Lucia merasakan matanya menjadi amat berat. Biar aku
beristirahat sebentar, Lucia berpikir.
Dan ia tertidur. Suster Teresa yang terbaring di dekat Lucia, sepenuhnya jaga. Menghadapi iblis-iblis yang berusaha menguasai
dirinya, yang berusaha mengirimkan rohnya ke neraka. Aku
harus kuat. Tuhan sedang menguji diriku. Aku telah
diasingkan agar aku dapat menemukan jalanku kepada-
Nya. Dan orang-orang ini berusaha menghalangi diriku. Aku tidak dapat membiarkan mereka.
Pada pukul empat dinihari, suster. Teresa dengan tidak menimbulkna suara sedikitpun bangkit dan memandang ke sekeliling dirinya. Tomas Sanjuro tertidur hanya beberapa kaki jauhnya dari dirinya. Pria jangkung bernama Rubio sedang berjaga di tepi lapangan sana, membelakangi
dirinya. Suster Teresa bangkit berdiri. Sejenak ragu, mencari
salib itu. Mestikah aku membawanya sekarang" Bukankah aku tidak lama lagi akan kembali ke sini" Harus kucari tempat yang aman untuk menyimpannya sebelum aku
kembali. Ia berpaling ke arah tempat suster Lucia tidur. Ya, akan aman selama berada bersama saudaraku dalam
Tuhan. Suster Teresa menyelipkan salib emas itu ke dalam kantong tidur suster Lucia. Lucia tidak bergeming
sedikitpun. Suster Teresa berbalik dan bergerak memasuki hutan, menjauhi Rubio yang sedang berjaga itu. Dengan berhati-hati suster Teresa menuruni bukit itu, menuju ke perkemahan serdadu itu.
Dari kegelapan di depannya itu, sosok seseorang tiba-
tiba muncul. Suatu suara menegur, "Siapa itu?"
"Suster Teresa."
Suster Teresa mendekati penjaga yang mengenakan
seragam tentara dan mengarahkan senapannya kepada
suster Teresa. "Dari manakah kau wanita tua?" Penjaga itu bertanya.
"Tentu saja!" Suster Teresa berbalik dan menunjuk ke arah daerah perbukitan itu. "Mereka berada di atas perbukitan sana, bersembunyi menghindari kalian."
-odwo- BAB DELAPAN BELAS ALAN TUCKER tiba di Avila, sehari setelah percakapannya dengan Ellen Scott.
Ada sesuatu yang ganjil dalam urusan ini Alan Tucker
berpikir. Dan kalau aku memainkan kartu-kartuku dengan tepat, maka kurasa urusan ini akan mendatangkan
keuntungan besar bagi diriku.
Alan Tucker menginap di hotel Cuatro Postes dan
kepada resepsionis hotel itu ia bertanya "Apakah di sini ada kantor surat kabar?"
"Di ujung jalan ini, senor. Ke arah kiri. Anda pasti
menemukannya." "Terima kasih."
"De nada. Terima kasih kembali."
Tucker merenung mengenai gadis misterius yang
dirinyalah ditugaskan pencariannya itu. Ini pasti sesuatu yang teramat penting. Hanya, mengapa penting" Masih
mengiang di telinganya, kata-kata Ellen Scott.
Jika ia masih hidup, bawalah ia kepadaku. Bawalah ia
kepadaku. Jangan kau membicarakan hal ini dengan siapa pun.
Tidak, nyonya. Apakah yang harus kukatakan kepada
gadis itu" Bilang saja bahwa seorang teman dari ayahnya ingin
bertemu dengannya. Ia pasti akan mau.
Di kantor surat kabar itu, Tucker meminta bertemu
dengan manager pengelola surat kabar itu.
"Maafkan aku, aku ingin bertemu dengan manager
saudara. " "Ruangan kerjanya di sana itu, senor." Orang itu menunjuk.
"Gracias. Terima kasih."
Seorang pria berusia tiga puluhan duduk di belakang
meja, sibuk menyunting copy-copy cetakan.
"Bagaimana aku dapat membantu saudara?"
Orang itu bertanya. "Aku sedang mencari seorang gadis."
Orang itu tersenyum lebar. "Tidakkah kita semua
mencari seorang gadis, senor?"
"Gadis yang kumaksudkan adalah seorang bayi yang ditinggalkan disebuah rumah pertanian di sekitar sini. "
Senyum di wajah pria itu menghilang. "Oh. Ditinggalkan begitu saja ketika masih bayi?"
"Betul. " Suster Teresa menatap dengan mata yang berkilat-kilat pada orang itu. "Tuhan yang mengutus diriku. "
Penjaga itu terbengong memandang. "Betulkah itu"
Sekarang ini?" "Ya. Tuhan mengutus diriku untuk menemui kolonel Acoca."
Penjaga itu menggelengkan kepala. "Sebaliknya kau mengatakan kepada-Nya, bahwa dirimu bukanlah tipe
untuk kolonel Acoca. Adios, senora."
"Saudara tidak mengerti. Aku adalah suster Teresa dari biara Cistercian. Aku telah ditawan oleh Jaime Miro dan orang-orangnya."
Suster Teresa melihat airmuka tercengang serdadu itu. "Kau. . kau dari biara itu?"
"Ya. " "Yang di Avila itu?"
"Ya." Suster Teresa berkata tidak sabaran. Ada apa sebenarnya dengan orang itu" Tidak sadarkah orang itu betapa pentingnya ia suster Teresa, lolos dari cengkeraman orang-orang jahat itu"
Penjaga itu berkata dengan berhati-hati, "Kolonel saat ini tidak berada di sini, suster. ."
Wah, suatu pukulan yang di luar segala perhitungan.
"Tetapi kolonel Sostelo yang bertanggung jawab dan berwenang. Dapat kubawa kau kepadanya. "
"Apakah ia dapat menolong diriku?"
"Oh, pasti. Ikutlah aku."
Mereka sampai di tenda perkemahan kolonel Fal Sostelo.
Kolonel itu dan wakilnya sedang meriksa sebuah peta
lapangan. "Maafkan aku, kolonel. Ini adalah suster Teresa dari biara Cistercian."
Kolonel Sostelo memandang dengan tak percaya pada
suster itu. Selama tiga hari terakhir telah dikerahkannya seluruh tenaga dan akalnya untuk mendapatkan tempat
beradanya Jaime Miro dan anak buahnya serta para suster itu. Dan kini, di hadapannya, seorang dari suster itu!
Memang Tuhan ada! "Silakan duduk, suster."
Tidak ada waktu untuk itu, suster Teresa berpikir. Harus segera diyakinkannya kolonel itu betapa mendesaknya
situasi. "Kita harus cepat-cepat. Mereka
mencoba membawa diriku kembali ke Eze."
Kolonel itu menjadi bingung. "Siapakah yang mencoba membawa dirimu kembali ke Eze?"
"Orang-orangnya Jaime Miro itu."
Kolonel Sostelo bangkit berdiri. "Suster. . apakah kau barangkali mengetahui di mana orang-orang itu kini
berada?" Dengan tidak sabaran suster Teresa berkata,
"Dan saudara berusaha menemukannya."
"Betul. " "Berapa tahun berselang itu terjadi, senor?"
"Dua puluh delapan tahun."
Pria itu mengangkat bahunya. "Ah itu sebelum aku bekerja di sini."
Ah, mungkin tidak akan semudah yang kubayangkan,
pikir Tucker. "Apakah saudara dapat menyarankan padaku, kepada siapa aku sebaiknya pergi bertanya?"
Pria itu bersandar ke belakang di kursinya, berplkir. Ah, memang
dapat kuberikan saran kepada saudara. Kusarankan saudara berbicara dengan romo Berrendo."
Romo Berrendo mendengarkan dengan cermat kisah
tamunya, yang seorang asing itu.
Akhirnya, "Mengapa kau ingin mengetahui hal itu, senor"
Itu telah terjadi lama berselang. Apakah kepentingan
saudara dalam urusan ini "
Tucker sangsi sejenak, dan dipilihnya kata-katanya
dengan berhati-hati. "Aku tidak bebas mengatakannya. Aku hanya dapat memberi jaminan bahwa tidak ada sedikitpun iktikad buruk terhadap bayi yang kini sudah wanita dewasa itu. Kalau romo dapat memberitahukan kepadaku di mana rumah pertanian itu, yaitu tempat bayi itu ditinggalkan. .?"
Rumah pertanian itu. Dan rumah yatim piatu itu.
Ketika romo Berrendo membawa bayi itu ke rumah
yatim piatu, Mercedes Angeles telah bertanya, "Apakah bayi ini mempunyai nama?"
"Entahlah." "Tidak ada selimut atau apa saja yang menyebut sesuatu nama?"
"Tidak ada." Mercedes Angeles memandang pada bayi dalam
gendongan romo itu. "Kalau begitu, mesti kita berikan nama pada bayi ini."
Mercedes Angeles belum lama berselang telah membaca
sebuah buku novel, dan disukainya nama pahlawan dalam buku itu.
"Megan." Mercedes Angeles berkata. "Kita berikan nama Megan kepadanya."
Dan empat belas tahun kemudian, romo Berrendo telah
membawa Megan ke biara Cistercian itu. .
Dan kini, sekian banyak tahun kemudian, orang asing ini mencarinya. Kehidupan senantiasa membentuk suatu
lingkaran penuh, pikir romo Berrendo. Dan dengan suatu cara misterius kehidupan telah menjadi suatu lingkaran penuh bagi Megan. Tidak, bukan Megan. Sebab itu cuma
sebuah nama yang diberikan oleh rumah yatim piatu itu.
"Silakan duduk, senor." Romo Berrendo berkata.
"Banyak yang harus diceritakan kepada saudara. "
Dan ketika ia selesai bercerita, Tucker duduk terdiam di situ, hanya pikirannya yang bekerja keras. Pasti ada alasan kuat bagi perhatian Ellen Scott akan seorang bayi yang telah ditinggalkan di sebuah rumah pertanian di Spanyol, dua puluh delapan tahun berselang itu. Seorang wanita bernama Megan, menurut romo itu.
Katakan padanya bahwa seorang teman ayahnya ingin
bertemu dengannya. Sejauh ingatan Tucker, Byron Scott dan istrinya dan
anak perempuannya telah mati dalam suatu kecelakaan
pesawat terbang sekian banyak tahun yang lalu di Spanyol.
Mungkinkah adanya hubungan di situ" Alan Tucker
merasakan suatu gelombang dahsyat sedang pasang dalam dirinya.
"Romo.. Aku ingin ke biara itu untuk menemuinya. Ini urusan amat penting."
Romo Berrendo menggelengkan kepala. "Aku khawatir bahwa kedatangan saudara sudah terlambat. Biara itu dua hari yang lalu telah diserang oleh agen-agen pemerintah."
Alan Tucker memandang bengong pada romo itu.
"Diserang" Apa yang terjadi atas diri para biarawati di sana?"
"Mereka ditangkap dan dibawa ke Madrid."
Alan Tucker bangkit berdiri. "Terima kasih, romo." Ia masih sempat naik pesawat terbang pertama ke Madrid.
Romo Berrendo meneruskan, "Empat dari para
biarawati itu telah lolos. Suster Megan seorang dari
keempat suster itu."
Ah. Urusan telah menjadi amat rumit. "Di manakah ia sekarang?"
"Tidak ada yang mengetahui. Polisi dan tentara mencari para biarawati itu."
"Oh, begitu." Dalam keadaan biasa, Alan Tucker tentu menelepon Ellen Scott dan memberitahukan bahwa ia,
Tucker, telah sampai pada suatu jalan buntu. Tetapi seluruh nalurinya sebagai seorang detektif berkata padanya, bahwa ada sesuatu di sini yang membenarkan penyelidikan lebih lanjut.
Alan Tucker menelepon Ellen Scott.
"Ada suatu komplikasi, nyonya Scott." Dan Alan Tucker menceritakan percakapannya dengan romo Berrendo.


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hening. Lama. "Tidak ada yang mengetahui di mana ia sekarang berada?"
"Ia dan yang tiga lainnya dalam pencarian, tetapi mereka tidak mungkin bersembunyi lebih lama lagi. Polisi dan separoh tentara Spanyol sedang melakukan pencarian itu.
Kalau mereka muncul aku pasti berada di sana."
Hening lagi. "Ini suatu urusan yang amat penting bagiku, Tucker. "
"Aku mengetahui, nyonya Scott."
Alan Tucker balik ke kantor persurat-kabaran itu. Ia
mujur. Masih buka. Kepada manager itu dikatakannya. "Aku ingin melihat-lihat berkas surat kabar saudara, jika saudara tidak
berkeberatan." "Adakah sesuatu yang khusus saudara cari?"
"Betul. Pernah terjadi suatu kecelakaan pesawat terbang di sini."
"Berapa lama berselang, senor?"
"Dua puluh delapan tahun yang lalu. Tahun 1948. "
Alan Tucker memerlukan lima belas menit untuk
menemukan berita yang dicarlnya itu.
KECELAKAAN PESA WA T TERBANG MENEWASKAN
SEORANG EKSEKUTIF. 1 Oktober 1948 - Byron Scott, Presiden Scott Industries, istrinya, Susan, dan bayi perempuan mereka berusia satu tahun, Patricia, mati terbakar dalam suatu kecelakaan pesawat terbang...
Yah, Dewa! Tucker merasakan denyut nadinya berlari-
lari. Jika ini seperti yang kuperkirakan, maka aku akan menjadi seorang yang kaya raya. . sangat kaya.
-odwo- BAB SEMBILAN BELAS IA TERBARING DALAM KEADAAN BUGIL DI TEMPAT
TIDURNYA, dan ia dapat merasakan kejantanan Benito
Patas yang keras itu menekan pada selangkangannya.
Tubuh pria itu terasa nikmat sekali, dan ia merapatkan dirinya pada pria itu, mendesakkan pinggulnya pada pria itu, merasakan panas birahi kian menggalak pada bagian bawah perutnya. Ia mulai membelai-belai pria itu,
membangkitkan gairahnya. Tetapi ada sesuatu yang tidak benar. Aku telah membunuh Patas, pikir Lucia. Benito Patas sudah mati.
Lucia membuka mata dan terduduk, tubuhnya bergemetar, melihat ke sekeliling dirinya dengan gugup.
Benito tidak ada di situ. Ia berada di dalam suatu hutan, di dalam sebuah kantong tidur. Sesuatu menekan pada
pahanya. Lucia merogoh ke dalam kantong tidur itu dan
ditariknya ke luar salib terbungkus kanvas itu. Sejenak lamanya dipandangnya barang itu dengan tidak percaya.
Tuhan telah melakukan mukjijat bagiku, Lucia berpikir.
Lucia tidak bisa membayangkan bagaimana salib itu bisa berada di dalam kantong tidurnya. Dan ia juga tidak peduli.
Yang terpenting, salib itu kini berada di tangannya. Yang harus dilakukannya sekarang adalah menyelinap pergi
meninggalkan yang lain-lainnya itu.
Lucia keluar dari kantong tidurnya dan melihat ke arah tempat suster Teresa. Suster Teresa tidak ada di situ. Lucia melihat ke sekelilingnya dan hanya dapat melihat Tomas Sanjuro yang kini menjalankan tugas berjaganya di tepian lapangan itu, membelakangi Lucia. Ia tidak mengetahui pasti tempat beradanya Rubio. Itu tidak menjadi soal, pikir Lucia.
Lucia mulai bergerak ke arah hutan, menjauhi Sanjuro.
Dan pada saat itulah seakan-akan neraka menimpa.
Kolonel Fal Sostelo harus mengambil suatu keputusan
komando. Perdana Menteri sendiri yang memerintahkan
pada dirinya agar bekerja sama dengan kolonel Ramon
Acoca dalam tugas menangkap Jaime Miro dan para
biarawati itu. Kini, nasib baik telah membantu dirinya dengan menyerahkan seorang dari para biarawati itu ke dalam tangannya. Buat apa berbagi jasa dengan kolonel Acoca, jika ia sendiri dapat menangkap para teroris itu"
Persetan dengan kolonel Acoca. Yang satu ini adalah
miliknya. BarangkaIi Opus Mudo selanjutnya akan memakai dirinya gantinya Acoca. Acoca yang penuh omong kosong mengenai permainan catur dan menyelami pikiran rakyat
itu. Tidak, sudah waktunya memberi pelajaran kepada
kolonel dengan wajah penuh cacat bekas luka itu. .
Kolonel Sostelo memberikan perintah-perintah terperinci kepada anak buahnya.
"Tidak usah membawa tawanan. Kalian berurusan
dengan kaum teroris. Tembaklah untuk menghabisi
mereka." Mayor Ponte ragu. "Kolonel, di sana ada para biarawati itu bersama orang-orangnya Miro. Tidakkah kita. ."
"Membiarkan kaum teroris itu bersembunyi dan
berlindung di belakang jubah para biarawati itu" Tidak, kita jangan mengambil resiko."
Sostelo memilih selusin anak buahnya menyertai dirinya dalam serangan itu. Semuanya bersenjata lengkap. Mereka bergerak dalam kegelapan malam, menaiki bukit itu.
Rembulan telah bersembunyi di balik awan. Hampir tidak tampak benda yang cuma beberapa meter jauhnya. Bagus.
Mereka tidak akan dapat melihat kita datang.
Ketika orang-orangnya sudah mengambil posisi masing-
masing, kolonel Sostelo berseru agar masuk dalam laporan kelak. "Letakkan senjata kalian. Kalian sudah terkepung."
Dan serempak dengan itu ia mengeluarkan perintahnya:
"Tembak. Tembak terus!"
Selusin senjata otomatik mulai menyapu lapangan di
depan itu. Tomas Sanjuro tidak sempat bergerak. Berondongan
senapan otomatik itu menghantamnya di dadanya, dan ia sudah mati sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Rubio
Arzano berada di pinggiran lapangan
itu ketika penembakan dimulai. Rubio sempat melihat Tomas roboh, dan ia sendiri berputar dan mulai mengangkat senapannya untuk membalas tembakan-tembakan itu. Tetapi ia
membatalkan itu. Keadaan tempat itu gelap, hitam kelam dan para serdadu itu menembak secara ngawur. Jika
dibalasnya tembakan-tembakan itu, ia bahkan akan
memberitahu kepada anjing-anjing pemerintah itu tempat dirinya berada.
Dan demi keterkejutannya, dilihatnya Lucia merangkak
kira-kira dua kaki jauhnya dari tempatnya ia berada.
"Di mana suster Teresa?" Rubio berbisik.
"Ia" ia telah menghilang."
"Bertiaraplah." Rubio memerintahkan.
Sesaat kemudian ia menyambar tangan Lucia dan
dengan merunduk rendah mereka berlari dengan cara zig-zag ke arah hutan, menjauhi tembakan-tembakan musuh.
Sesaat kemudian Rubio dan Lucia sudah berada di antara pepohonan.
Mereka berlari terus. "Jangan lepaskan tanganku, suster."
Rubio berkata. Mereka mendengar suara-suara yang menunjuk-kan
bahwa penyerang mereka berada di belakang mereka,
tetapi suara-suara itu lambat laun menghilang. Memang serba sulit kalau tidak mau dikatakan mustahil melakukan pengejaran dalam kegelapan hutan itu.
Rubio berhenti sejenak agar Lucia dapat mengatur
kembali pernafasan. "Kita sudah berhasil meloloskan diri, untuk sementara ini." Rubio berkata. "Tetapi kita harus terus bergerak."
Pernafasan Lucia memburu.
"Jika kau mau beristirahat sebentar ?"
"Tidak." Lucia berkata. Ia memang sudah hampir kehabisan tenaga, tetapi ia tidak berniat dirinya sampai tertangkap oleh serdadu-serdadu itu. Jangan itu terjadi, pada saat ia sudah menguasai salib itu.
"Aku tidak apa-apa." Lucia berkata. "Ayo, kita segera tinggalkan tempat ini. "
Kolonel Sal Sostelo menghadapi krisis, bencana. Seorang teroris mati, tetapi hanya Tuhan yang mengenali berapa banyak yang telah meloloskan diri. Ia tidak berhasil
menangkap Jaime Miro dan ia cuma menguasai seorang
dari antara biarawati itu. Ia menyadari bahwa dirinya harus segera memberitahukan kepada kolonel Acoca mengenai
tindakan yang telah dilakukannya itu, dan Fal Sostelo enggan sekali melakukan itu.
Telepon kedua dari Alan Tucker lebih menggelisahkan
daripada yang pertama. "Aku telah menemukan informasi yang sangat menarik, nyonya Scott." Tucker berkata dengan berhati-hati.
"Ya?" "Telah kuperiksa surat-surat kabar lama di sini dengan harapan memperoleh keterangan lebih lanjut mengenai
gadis itu." "Dan?" Ellen Scott menyiapkan diri terhadap yang disadarinya akan datang.
Tucker menjaga suaranya terdengar biasa-biasa saja.
"Agaknya gadis itu ditinggalkan di rumah pertanian itu pada sekitar waktu pesawat yang Anda tumpangi
mengalami kecelakaan."
Hening. Tucker melanjutkan. "Kecelakaan pesawat yang menewaskan kakak-ipar Anda bersama istri dan anak
perempuan mereka, Patricia."
Pemerasan. Tidak ada penjelasan lain. Ah, Tucker telah menemukan inti persoalannya.
"Tepat sekali." Ellen Scott berkata dengan nada tidak acuh. "Semestinya kusinggung hal itu. Akan kujelaskan segala sesuatunya jika kau telah kembali. Masih ada berita baru lainnya mengenai gadis itu?"
"Tidak ada, tetapi ia tidak mungkin bersembunyi lebih lama lagi. Seluruh negeri ini mencarinya."
"Beritahukanlah padaku secepatnya ia ditemukan. "
Hubungan telepon itu diputus.
Alan Tucker terduduk di situ, memandang pesawat
telepon di tangannya. Wanita itu sungguh hebat, Tucker berkata pada diri sendiri, penuh kekaguman. Bagaimana gerangan perasaannya kalau ia menyadari akan mendapat seorang mitra usaha"
Telah kulakukan suatu kesalahan dengan mengirim Alan
Tucker, Ellen Scott berpikir sendiri.
Kini harus kuhentikan orang itu. Dan apakah yang harus dilakukannya dengan gadis itu" Seorang biarawati! Ah, jangan aku menghakiminya sebelum aku bertemu
dengannya. Sekretarisnya berbicara lewat interkom.
"Mereka semua sudah siap menantikan Anda di ruangan sidang, nyonya Scott."
"Baiklah, aku segera datang."
Lucia dan Rubio bergerak terus. Dan setiap langkah
membawa diri mereka lebih jauh dari para pengejarnya.
Akhirnya, Rubio berkata. "Kita dapat berhenti di sini.
Mereka tidak akan berhasil mengejar kita."
Mereka berada tinggi sekali di daerah pegunungan itu, di tengah-tengah sebuah hutan lebat.
Lucia membaringkan diri di atas tanah, berusaha
mengatur pernafasannya. Dan membayangkan yang baru
saja mereka alami. Tomas ditembak mati tanpa peringatan apa pun.
Dan sial setan-setan itu berniat membunuh mereka
semua, Lucia berpikir. Satu-satunya sebab dirinya masih hidup adalah pria yang duduk di samping dirinya itu.
Lucia memperhatikan Rubio yang bangkit berdiri dan
memeriksa daerah mereka kini berada.
"Kita dapat melewatkan malam ini di sini, suster. "
"Baiklah." Lucia sebenarnya tidak sabaran lagi, ingin terus bergerak. Namun ia juga menyadari dirinya
memerlukan istirahat. Seakan-akan dapat membaca pikirannya, Rubio berkata,
"Kita akan melanjutkan perjalanan menjelang fajar."
Sesaat kemudian Rubio berkata, "Suster tentunya
merasa lapar. Akan kucari sesuatu yang dapat kita makan.
Kau tidak akan apa-apa jika kutinggalkan dirimu sebentar, bukan?"
"Ya, aku tidak akan apa-apa."
Pria bertubuh besar itu berjongkok di samping Lucia.
"Janganlah suster khawatir atau merasa takut. Aku mengetahui betapa sulitnya bagi suster berada di dunia lagi setelah sekian lama di dalam biara. Segala sesuatu tentunya tampak asing bagi suster."
Lucia memandang pada pria itu dan berkata dengan
suara tanpa bernada, "Aku akan berusaha untuk
membiasakan diri dengan keadaan ini."
"Kau sangat tabah, suster." Pria itu bangkit berdiri. "Aku akan segera kembali."
Lucia melihat Rubio menghilang ke dalam hutan itu.
Sudah saatnya ia mengambil keputusan, dan padanya ada dua pilihan: Ia dapat meloloskan diri sekarang juga,
mencoba mencapai kota terdekat dan menjual salib emas itu untuk mendapat sebuah pasport dan cukup uang untuk mencapai Swiss, atau. . ia terus bersama pria itu sampai jarak antara mereka dan serdadu-serdadu itu cukup jauh.
Itu akan lebih aman, Lucia memutuskan.
Rubio muncul kembali, datang mendekati Lucia dengan
tersenyum. Di tangannya topi baretnya yang penuh dengan tomat, anggur dan buah appel.
Rubio duduk di atas tanah di samping Lucia.
"Ini untuk sarapan. Sebetulnya tersedia seekor ayam, namun api yang harus kita nyalakan untuk memasaknya
akan mengungkapkan tempat kita kepada serdadu-serdadu itu. Tidak jauh dari sini, di kaki gunung ini ada sebuah perusahaan pertanian.
Lucia memandang pada isi topi baret itu. "Itu tampak lezat sekali. Aku sudah merasa kelaparan."
Rubio menyerahkan sebuah appel. "Cobalah
Mereka telah selesai makan dan Rubio sedang berbicara.
Tetapi Lucia tenggelam dalam pikirannya sendiri, tidak memperhatikan kata-kata Rubio.
"Sepuluh tahun lamanya, kau berada di dalam biara itu, suster?"
Lucia tergugah dari lamunannya. " Apa?"
"Kau telah berada di dalam biara itu selama sepuluh tahun?"
"Oh, ya." Pria itu menggelengkan kepala. "Kalau begitu kau tidak mempunyai bayangan tentang apa pun yang terjadi selama jangka waktu itu."
"Uh. . tidak." "Dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini, telah banyak perubahan terjadi di dunia, suster."
"Apa betul?" "Si. Ya." Rubio berkata dengan bersungguh-sungguh.
"Franco sudah mati."
"Ah! Apakah betul?"
"Ya, tahun yang lalu."
Dan menunjuk Don Juan Carlos sebagai penerusnya,
Lucia berkata dalam hati.
"Mungkin kau tidak percaya, tetapi seseorang telah berjalan di atas bulan untuk pertama kalinya. Ini betul-betul telah terjadi."
"Oh, ya?" Sebenarnya dua orang, Lucia berkata sendiri.
Ya, siapakah nama-nama mereka" Neril Armstrong dan
Buzz anu. . "Ya, orang Amerika. Dan kini sudah ada pesawat terbang untuk penumpang yang terbangnya lebih cepat dari suara. "
"Luar biasa!" Dan aku sendiri tidak sabaran lagi untuk dapat terbang dengan Concorde.
Rubio sungguh seperti seorang anak, sangat senang
menceritakan yang telah terjadi di dunia selama sepuluh tahunnya Lucia di dalam biara.
"Dan telah terjadi revolusi di Portugal, sedangkan di Amerika Serikat, presidennya, Nixon, telah terlibat dalam suatu skandal besar dan terpaksa mengundurkan diri dari kepresidenan."
Rubio benar-benar seorang yang baik, Lucia menyimpulkan. Rubio mengeluarkan sebungkus sigaret Ducados, rokok
dengan tembakau berat Spanyol. "Aku mengharap tidak mengganggumu kalau aku merokok, suster."
"Tidak." Lucia berkata. "Silakan merokok."
Lucia memperhatikan Rubio menyalakan sebatang
rokok, dan seketika asap rokok itu tercium oleh hidungnya, timbul hasratnya yang kuat untuk ikut merokok.
"Kau tidak berkeberatan kalau aku mencoba sebatang?"
Pria itu terkejut memandang pada Lucia. "Kau mau merokok?"
"Ya, hanya untuk mencobanya." Lucia berkata, cepat-cepat.
"Oh tentu saja boleh."
Rubio mengulurkan bungkus rokok itu, dan Lucia
mengambil sebatang, meletakkannya di bibir dan Rubio
memberikan api kepadanya. Lucia mengisap dalam-dalam, dan merasa nikmat sekali.
Rubio memandang terheran-heran padanya.
Lucia terbatuk-batuk. "Ah, jadi seperti inilah rasanya rokok itu."
"Kau menyukainya?"
"Tidak begitu, tetapi. ."
Lucia menyedot lagi dalam-dalam. Ah, betapa nikmatnya.
Kemudian dimatikannya rokok itu. Ia telah berada di biara itu hanya beberapa bulan, namun begitu Rubio memang
benar. Terasa asing sekali berada di dunia kembali. Ia bertanya-tanya sendiri apa gerangan yang ini dilakukan oleh suster Megan dan Graciela. Dan apakah yang telah terjadi dengan suster Teresa" Apakah suster Teresa telah tertangkap oleh serdadu-serdadu itu"
Lucia merasa matanya menjadi pedas. Memang telah
dilewatkannya malam panjang yang berat sekali. Penuh
ketegangan. "Kurasa sebaiknya aku tidur."
"Jangan khawatir. Aku akan berjaga melindungimu, suster."
"Terima kasih." Lucia berkata dengan tersenyum. Dalam beberapa detik ia sudah tertidur pulas.
Rubio Arzano memandang pada suster Lucia dan
berpikir. Belum pernah aku bertemu dengan seorang
wanita seperti yang seorang ini. Ia spiritual, mengabdikan hidupnya kepada Tuhan, namun begitu, dan bersamaan
waktu, ia memiliki keduniawian pada dirinya. Dan malam ini ia telah berkelakuan setabah seorang pria yang mana pun. Kau memang seorang wanita istimewa, Rubio Arzano berkata sendiri sambil melihat suster Lucia itu tidur.
Biarawati mungil dari Jesus.
-odwo- BAB DUA PULUH SATU JAIME MIRO seketika terbangun, ketika terjadi suatu
gerakan di tepi lapangan terbuka itu. Jaime keluar dari kantong tidurnya dan bangkit berdiri, senjata di tangan.
Ketika mendekat tempat timbulnya suara gerakan itu,
dilihatnya Megan dalam keadaan berlutut, berdoa. Jaime berdiri di situ, memperhatikan suster itu. Ada suatu
keindahan khas melihat wanita cantik itu berdoa di tengah hutan gelap, dan Jaime merasakan suatu kekesalan hati melanda dirinya. Seandainya Felix Carpio tidak terlanjur mengatakan bahwa mereka sedang menuju ke San
Sebastian, tentu ia tidak akan menanggung beban
menyertakan biarawati itu dalam perjalanan ini.
Sangatlah penting ia, Jaime, harus ke San Sebastian
secepat mungkin. Kolonel Acoca dan anak buahnya ada di mana-mana, dan menyelinap menembus pagar betis
serdadu itu seorang diri saja sudah cukup sulit. Dengan tambahan beban ikutnya wanita itu makin besarlah bahaya.


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jaime melangkah mendekat, marah, dan suaranya lebih
kasar daripada yang menjadi maksudnya sendiri.
"Telah kukatakan agar kau tidur. Aku tidak menghendaki kau memperlambat perjalanan kita esok. "
Megan mengangkat kepala dan memandang pada pria
itu. "Maafkan aku, jika aku telah membuat Anda marah."
"Suster, aku menyimpan amarahku untuk urusan-urusan yang lebih penting. Kau cuma mengesalkan aku. Kau
melewatkan hidupmu dalam persembunyian di balik
dinding-dinding batu, menanti perjalanan gratis ke dunia lain. Kalian, orang-orang
seperti dirimu, sungguh memuakkan aku." "Karena kami percaya akan dunia dan kehidupan
sesudah ini?" "Bukan, suster. Karena kau tidak percaya akan dunia nyata ini. Kalian cuma melarikan diri dari dunia ini."
"Untuk berdoa bagimu. Kami melewatkan hidup kami berdoa untuk kalian."
"Dan kau pikir itu akan memecahkan masalah-masalah dunia ini?"
"Pada waktunya, ya."
"Tidak ada 'pada waktunya' itu. Tuhanmu tidak dapat mendengar doa-doamu karena bisingnya meriam-meriam
dan jeritan anak-anak yang dirobek-robek oleh bom-bom."
"Kalau orang percaya. ."
"Oh, kepercayaanku kuat, suster. Aku percaya akan tujuan yang kuperjuangkan. Aku percaya pada orang-
orangku, dan pada senapan-senapanku. Yang aku tidak
percaya adalah orang-orang yang berjalan di atas air. Jika kau mengira bahwa Tuhan-mu sekarang ini mendengar,
katakanlah padanya agar kita dapat mencapai biara di
Mendova itu, agar aku cepat bebas dari tanggungan atas dirimu."
Jaime marah pada diri sendiri karena telah kehilangan kesabarannya. Memang bukan kesalahan wanita itu bahwa Gereja berpeluk tangan ketika kaum Falangis Franco
menyiksa dan memperkosa dan membunuhi kaum Basque
dan Catalian. Itu bukan kesalahannya, Jaime berkata pada diri sendiri, bahwa keluargaku ada di antara korban-korban itu.
Jaime ketika itu cuma seorang anak-anak. Tetapi masa
itu terukir dalam benaknya, tanpa dapat dihapus lagi.
Ia telah dibangunkan di tengah malam buta oleh
jatuhnya bom-bom. Bom-bom itu jatuh dari langit bagaikan bunga-bunga maut, yang menanamkan benih kehancuran
di mana-mana. "Bangun, bangunlah segera, Jaime. Cepat!"
Ketakutan dalam suara ayahnya itu lebih menakutkan
daripada gelegar pemboman dari udara itu.
Guernica merupakan benteng kaum Basque dan jenderal
Franco telah memutuskan menjadikan kota itu suatu
pelajaran: "Hancurkan Guernica."
Ligiun Condor Nazi yang ditakuti dan setengah lusin
pesawat telah melancarkan serangan itu, dan mereka
bertindak tanpa ampun. Penduduk kota berusaha lari dari
hujan kematian yang turun dari langit itu, teatapi tidak ada jalan untuk meloloskan diri.
"Ke gereja." Ayah Jaime telah berkata. "Mereka tidak akan mengebomi gereja."
Ia benar. Semua orang mengetahui bahwa gereja
memihak kaum Caudillo, menutup mata terhadap
perlakuan Franco yang biadab terhadap lawan-lawannya.
Keluarga Miro menuju ke gereja, berjuang dalam jubelan dan desakan orang banyak yang telah panik.
Anak laki-laki kecil itu bergayut pada tangan ayahnya dan berusaha tidak mendengar bunyi mengerikan di
sekeliling itu. "Apakah akan pecah perang, ayah?" Jaime pernah bertanya pada ayahnya.
"Tidak, Jaime. Itu cuma omong kosong surat kabar. Yang kita minta hanyalah agar pemerintah memberikan
kemerdekaan selayaknya pada kita. Kaum Basque dan
Catalian berhak memakai bahasanya sendiri, bendera dan hari liburnya. Kita tetap satu bangsa. Dan orang Spanyol tidak akan pernah memerangi orang Spanyol."
Ketika kekuatan-kekuatan Franco yang lebih superior itu mengalahkan kaum Republikan dan kaum nasionalis
menguasai keadaan di Spanyol, maka Franco mengalihkan perhatiannya pada kaum Basque yang membangkang.
"Hukumlah mere- ka." Dan darah mengalir terus.
Sekelompok pemimpin Basque telah mendirikan ETA
suatu gerakan untuk suatu Negara Basque merdeka, dan
ayah Jaime diminta bergabung di situ.
"Tidak. Itu salah. Kita harus mendapatkan yang menjadi hak kita itu dengan cara-cara damai. Peperangan tidak akan membawa hasil apa pun."
Tetapi yang haus perang ternyata lebih kuat, dan dalam waktu singkat ETA telah menjadi suatu kekuatan perkasa.
Jaime mempunyai teman-teman yang ayahnya anggota
ETA, dan Jaime suka mendengarkan kisah-kisah kepahlawanan pejuang-pejuang ETA itu.
"Jangan mendengarkan teman-temanmu, Jaime." Ayahnya berkata padanya. "Yang mereka lakukan itu merupakan kejahatan."
"Tetapi, Franco telah memerintahkan selusin orang Basque ditembak mati tanpa diadili. Kami sekarang
mengadakan suatu pemogokan umum yang melipu ti
seluruh negeri. Apakah ayahmu akan bergabung dengan
kami?" kata teman-teman Jaime.
"Papa. .?" "Kita semua adalah orang Spanyol, Jaime. Jangan ada orang yang memisah-misahkan dan memecah belah kita."
Dan Jaime yang masih kecil itulah yang terpecah belah.
Adakah teman-temanku yang benar" Apakah ayahku
seorang pengecut" Jaime percaya akan ayahnya.
Dan kini. . Armageddon. Dunia sedang runtuh di
sekeliling dirinya. Jalan-jalan Guernica penuh dengan orang banyak yang berteriak-teriak dan mencoba lari dari bom-bom yang berjatuhan itu. Di sekeliling mereka, bangunan-
bangunan dan patung-patung dan jalan-jalan meledak-
ledak dalam siraman beton dan darah.
Jaime, ayahnya dan ibunya serta saudara-saudaranya
telah sampai di gereja besar itu, satu-satunya bangunan di medan kota yang masih berdiri utuh dan tegak. Selusin orang sedang menggedor-gedor pintu gerbang gereja itu.
"Biarkan kami masuk! Demi Jesus, bukakanlah pintu!"
"Ada apa" Ada apa?" Ayah Jaime bertanya.
"Para paderi telah mengunci gereja. Mereka tidak memperkenankan kami masuk."
"Kita dobrak saja pintu itu!"
"Jangan!" Jaime memandang dengan heran pada ayahnya.
"Kita tidak mendobrak rumah Tuhan."
Ayah Jaime berkata. "Tuhan akan melindungi kita, di mana pun kita berada."
Terlambat! Ya, terlambat sudah, ketika mereka melihat seregu Falangis muncul di tikungan jalan itu dan mulai melepaskan tembakan ke arah mereka membabat habis
kerumunan pria, wanita dan anak-anak tak bersenjata yang berada di medan kota itu. Selagi Miro tua, ayah Jaime roboh dengan peluru-peluru menyobek tubuhnya, ia masih
sempat mendorong anaknya merunduk dan menyelmatkan
diri, dan dengan tubuhnya sendiri memerisai Jaime dari hujan peluru maut itu.
Suatu keheningan mengerikan seakan-akan menyelimuti
dunia setelah serangan kejam itu.
Ayah Jaime, ibunya dan saudara-saudara perempuan
Jaime, semuanya tewas, bersama ratusan orang lainnya.
Dan di depan tubuh-tubuh yang begelimpangan itu adalah pintu-pintu gerbang gereja yang terkunci itu.
Mereka melangsungkan perjalanan di malam hari,
menembus hutan itu. Mereka menghindari kota-kota dan
jalan-jalan utama, siap siaga dan waspada terhadap tanda-tanda yang mengisyaratkan bahaya.
Jaime tidak mempedulikan Megan. Jaime berjalan
bersama Felix, berkisah tentang pengalaman-pengalaman lalu, dan Megan merasa terpikat. Ia belum pernah bertemu dengan seorang seperti Jaime Miro itu. Pria itu begitu penuh dengan keyakinan diri.
Kalau ada orang yang dapat membawaku dengan
selamat hingga Mendavia, pikir Megan, maka orang itu ialah pria yang seorang ini.
Ada kalanya Jaime merasa kasihan pada suster Megan,
bahkan kadang-kadang timbul rasa kekagumannya atas
ketabahan suster itu menanggung beratnya perjalanan itu.
Jaime juga bertanya sendiri bagaimana gerangan keadaan kawan-kawannya yang juga harus menanggung 'anak-anak
Tuhan' itu. Jaime sendiri, setidak-tidaknya ada Amparo Jiron. Di
malam hari wanita yang seorang itu merupakan hiburan
bagi Jaime. Amparo juga penuh pengabdian, pikir Jaime. Bahkan
Amparo mempunyai alasan lebih kuat daripada diriku
sendiri dalam membenci pemerintah. Seluruh keluarga
Amparo telah disapu bersih oleh tentara nasionalis.
Amparo seorang yang amat berdikari, dan penuh dengan
semangat membara. Menjelang fajar, mereka mendekati Salamanca di tepi
sungai Tormes. "Mahasiswa datang kemari dari seluruh Spanyol." Felix menjelaskan kepada Megan, "Untuk studi di universitas.
Barangkali universitas itu yang terbaik di seluruh Spanyol."
Jaime tidak mendengarkan. Ia sedang memikirkan
langkah-langkah berikutnya yang harus dilakukannya.
Seandainya aku pemburunya, di mana kiranya mesti aku
memasang perangkapnya"
Jaime berpaling pada Felix. "Akan kita lewati saja Salamanca. Ada sebuah parador tempat di pinggiran kota.
Kita akan berhenti di sana."
Parador itu sebuah penginapan kecil yang berada agak di luar jalur wisata.
Ketika rombongan itu mendekati pintu masuk, Jaime
berkata kepada kedua wanita itu, "Tunggulah di sini." Jaime kemudian menghilang bersama Felix.
"Ke mana mereka itu pergi?" Megan bertanya.
Amparo Jiron melemparkan sekilas pandang mengejek
kepada Megan. "Barangkali mereka sedang mencari
Tuhanmu." "Semoga mereka menemukan-Nya." Megan berkata datar.
Sepuluh menit kemudian kedua pria itu muncul kembali.
"Semuanya sudah beres." Jaime berkata kepada Amparo.
"Kau dan suster Megan menempati satu kamar. Felix akan ikut denganku." Jaime menyerahkan sebuah anak kunci kepada Amparo.
Amparo berkata kesal, "Querido, sayangku, aku ingin bersamamu, tidak. ."
"Lakukanlah seperti yang kuminta. Awasilah suster itu."
Amparo berpaling pada Megan. "Bueno, baik. Ayo,
suster." Megan mengikuti Amparo memasuki parador itu.
Megan mengagumi kamar yang mereka dapatkan. "Ah, indah sekali."
Amparo berputar dengan marah padanya, menyangka
bahwa suster Megan menyindirnya. "Siapakah kau, berani mengeluh. ."
"Kamar ini begini besar." Megan berkata melanjutkan.
Amparo memandang padanya sejenak, kemudian
tertawa. Tentu saja kamar itu tampak besar dibandingkan dengan sel yang biasa ditinggali oleh para biarawati.
Amparo mulai melepaskan pakaian.
Megan tidak dapat tidak memperhatikan wanita itu.
Adalah untuk pertama kalinya ia benar-benar
benar melihat Amparo Jiron di siang hari. Wanita itu cantik.
Memiliki ram but merah, kulit putih mulus dan berbuah-dada penuh, dengan pinggang yang kecil dan pinggul yang bergoyang jika berjalan.
Amparo melihat suster itu memandang dirinya.
"Suster. . maukah kau mengatakan sesuatu kepadaku"
Mengapa ada orang yang mau masuk ke dalam biara?"
Sebuah pertanyaan yang mudah dijawab: "Apakah ada yang lebih indah daripada mengabdikan diri seseorang
untuk kejayaan Tuhan?"
"Aku dapat memberikan seribu satu alasan untuk yang sebaliknya." Amparo berjalan ke tempat tidur dan duduk di situ. "Kau dapat tIdur dl sana. Dari yang kudengar mengenai biara-biara, Tuhan-mu tidak menghendaki kau
hidup terlalu nyaman."
Megan tersenyum. "Itu tidak menjadi soal. Aku merasa nyaman di dalam diriku."
Di seberang lorong dari kamar kedua wanita itu Jaime
Miro merentangkan tubuhnya di atas tepat tidur. Felix Carpio berusaha memapan diri di atas sebuah ranjang
sempit. Kedua pria Itu masih memakai pakaian mereka.
Senjata Jaime diletakkan di bawah bantalnya. Senjata Felix di atas sebuah meja kecil di sebelah ranjang itu.
"Menurutmu, apakah yang membuat mereka melakukan itu?" Felix bertanya.
"Melakukan apa, amigo, kawan?"
"Mengurung diri dalam sebuah biara selama hidup, bagaikan tawanan."
Jaime Miro mengangkat bahunya. "Tanyalah sendiri pada suster itu. Betapa inginnya aku, kita melakukan perjalanan ini tanpa beban membawa serta suster itu. Aku mempunyai perasaan buruk mengenai ini."
"Jaime, Tuhan akan membalas baik perbuatan baik ini."
"Kau percaya itu" Jangan membuatku ketawa."
Felix tidak meneruskan pembicaraan itu. Tidaklah
bijaksana membicarakan hal gereja Katolik dengan Jaime.
Kedua orang itu diam, masing-masing sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri.
Pikir Felix: Tuhan telah menitipkan suster itu pada kita.
Kita berwajib mengantar mereka hingga selamat di biara itu.
Jaime berpikir tentang Amparo. Ia menginginkan wanita itu, sangat. Suster sialan itu! Ia mulai menarik selimut ke atas tubuhnya, ketika disadarinya bahwa masih ada sesuatu yang harus dilakukannya.
Di ruangan lobby, di lantai bawah, pegawai penginapan itu duduk menunggu, menunggu hingga dapat dipastikan
bahwa tamu-tamu baru itu sudah tertidur pulas.
Jantungnya berdebar keras ketika diangkatnya gagang
telepon dan diputarnya sebuah
nomor. Suara di seberang sana menjawab, "Markas kepolisian di sini."
Pegawai itu berbisik pada kemenakannya, "Florian, aku di sini mendapatkan Jaime Miro dan tiga anak buahnya.
Apakah kau mau mendapatkan kehormatan sebagai orang
yang berhasil menangkap mereka?"
-odwo- BAB DUA PULUH DUA SEMBILAN PULUH MIL di daerah berhutan sepanjang
jalan menuju Penafiel, Lucia Carmine sedang tidur. Rubio duduk memperhatikannya, enggan membangunkan wanita
itu. Tidurnya bagaikan bidadari, pikir Rubio Arzano.
Tetapi sudah hampir fajar, sudah waktunya melanjutkan perjalanan.
Rubio membungkuk dan dengan lembut berbisik ke
dalam telinga Lucia, "Suster Lucia. ."
Lucia menguap dan merentangkan tubuhnya dengan
malas. Blus yang dipakainya telah terlepas kancingnya, dan sebagian buah dadanya tampak dengan jelas. Rubio cepat-cepat melengos.
Aku harus menjaga pikiran-pikiranku. Ia adalah
pengantin Jesus. "Suster. ." "Ya?" "Aku. . aku bertanya-tanya sendiri, apakah aku dapat meminta tolong padamu." Wajah Rubio itu memerah.
"Ya?" "Su. . sudah lama berselang aku terakhir kali berdoa.
Tetapi aku dibesarkan sebagai seorang Katolik. Maukah kau berdoa. ."
Itu permintaan yang mengejutkan Lucia.
Aku sendiri. . sudah berapa lama aku terakhir kali
berdoa" Lucia bertanya pada diri sendiri. Yang di biara itu
tentu tidak masuk hitungan. Selagi para biarawati lainnya berdoa, ia sibuk dengan rencana meloloskan diri ke Swiss.
"Aku. . aku tidak.. "
"Aku yakin itu akan menenteramkan kita berdua. "
Bagaimana ia dapat menjelaskan kepada pria itu bahwa
dirinya tidak ingat lagi bagaimana caranya berdoa" "Aku. .
em." Ya. Ada yang diingatnya. Dan pelan-pelan kata-kata dari pasal kedua puluh tiga teringat kembali olehnya.
Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku. Ia
membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia
membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan
jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya?"
Dan kenangan-kenanganmembanjir balik. Ia
dan ayahnya telah memiliki dunia. Dan ayahnya bangga akan dirinya.
Kau dilahirkan di bawah bin tang keberuntungan,
manisku berwajah bidadari.
Dan mendengar itu, Lucia merasa beruntung dan cantik.
Tidak ada yang dapat mengganggu dirinya, menyakiti
dirinya. Bukankah ia putri cantik dari Angelo Carmine yang besar"
"Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya?"
Yang jahat-jahat itu adalah musuh-musuh ayahnya dan
kakak-kakaknya. Dan ia telah membuat mereka harus
membayar mahal. "Sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu,
itulah yang menghibur aku?"
Di manakah Tuhan, ketika

Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku membutuhkan kenyamanan dan hiburan"
"Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan
lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak;
pialaku penuh melimpah?"
Ah, masa depan tampaknya begitu cemerlang. Entah
bagaimana, semuanya telah hancur. Segala sesuatunya. Aku telah kehilangan ayahku dan kakak-kakakku, dan diriku sendiri.
Di dalam biara itu ia tidak memikirkan Tuhan.
Tetapi kini, bersama dengan pria petani sederhana ini. .
Sudikah kau berdoa" Rubio memandang padanya, terharu.
"Terima kasih, suster."
Lucia mengangguk, tidak sanggup mengucapkan sepatah
kata. Ada apakah dengan diriku ini" Lucia bertanya pada diri sendiri.
"Kau kini sudah siap, suster?"
Dipandangnya Rubio Arzano dan ia berkata, "Ya, aku sudah siap."
Lima menit kemudian mereka sudah melanjutkan
perjalanan panjang mereka.
Mereka tiba-tiba dihadang hujan lebat, dan mereka
berteduh di sebuah gubuk yang telah lama ditinggalkan penghuninya.
"Kau pikir badai ini akan cepat reda?"
Rubio tersenyum. "Ini sebetulnya bukan suatu badai, suster. Ini yang oleh kami, orang Basque disebut suatu sirimiri. Akan berhenti secepat ia mulai turun. Tanah pada saat ini kering. Memerlukan hujan ini."
"Oh, ya?" "Ya. Aku seorang petani."
Itu tampak sekali, Lucia berpikir.
"Maafkan aku suster. Tetapi aku ada banyak
kesamaannya." Lucia memandang ke luar gubuk itu, dan pikirnya.
Banyak kesamaannya" Ya, Tuhan! "Apakah betul?"
"Ya. Aku benar-benar beranggapan bahwa tinggal di sebuah perusahaan pertanian adalah sangat mirip dengan tinggal di sebuah biara."
Hubungan atau persamaan itu tidak ditangkap oleh
Lucia. "Aku tidak mengerti."
"Begini, suster. Di sebuah biara orang banyak berpikir tentang Tuhan dan mukjijat-mukjijatnya. Benar atau
tidak?" "Ya. " "Dapat dikatakan juga, bahwa sebuah perusahaan
pertanian itu Tuhan. Seseorang dikeliling oleh penciptaan.
Semua yang tumbuh adalah dan tanah Tuhan, gandum
ataupun anggur, semuanya berasal dari Tuhan. Semua itu mukjijat, dan orang dapat melihatnya setiap hari. Dan karena membantu itu semua tumbuh, orang menjadi juga
bagian dari mukjijat itu."
Lucia tersenyum mendengar antusiasme dalam suara
pria itu. Tiba-tiba hujan telah berhenti.
"Kita dapat meneruskan perjalanan kita, suster."
"Tidak lama lagi kita akan sampai di sungai Duero."
Rubio berkata. "Air Terjun Penafiel tidak jauh di depan kita sana. Kita akan terus ke Aranda de Duero dan kemudian ke Logrono, di sana kita akan bertemu dengan yang lain-lainnya."
Kau yang akan pergi ke tempat-tempat itu Lucia
berpikir. Dan selamat jalan padamu. Aku sendiri akan
berada di Swiss sobatku Mereka mendengar suara dari air terjun itu setengah
jam sebelum mereka sampai di tempat air terjun itu
sendiri. Air Terjun Penafiel memang suatu pemandangan yang indah: jatuhnya air dari ketinggian ke dalam sungai yang mengalir cepat dan deras itu. Gemuruh air itu
memekakkan telinga. "Aku mau mandi." Lucia berkata. Rasanya sudah bertahun-tahun ia tidak mandi.
Rubio memandang terkejut padanya. "Di sini?"
Tidak, goblok. Di Roma. "Ya."
"Kau berhati-hatilah. Sungai ini sedang meluap karena hujan."
"Jangan khawatir." Lucia berdiri di situ menunggu dengan sabar.
"Oh. . Aku akan pergi selagi kau melepaskan pakaian. "
"Jangan pergi jauh-jauh." Lucia cepat berkata.
Ada problem binatang-binatang buas di hutan itu.
Selagi Lucia mulai melepaskan pakaian, Rubio cepat-
cepat berjalan pergi, membalikkan badan membelakangi
Lucia. "Jangan masuk terlalu jauh, suster." Rubio berseru.
"Sungai ini berbahaya."
Lucia meletakkan salib dalam bungkusan itu di tempat
yang dapat diawasinya. Udara pagi yang sejuk itu terasa nikmat sekaIi pada tubuhnya yang telanjang. Setelah
menanggalkan semua pakaiannya, Lucia melangkah masuk
ke dalam sungai itu dan dilihatnya bahwa Rubio dengan teguh memandang ke arah lain, membelakangi dirinya.
Lucia tersenyum sendiri. Semua pria pernah dikenalnya sudah pasti memberi kesempatan berpesta pora pada
pengelihatan mereka. Lucia melangkah lebih jauh, menghindari batu-batu
karang yang terdapat di mana-mana itu. Ia menyirami
tubuhnya dengan air sejuk itu, merasa air sungai itu dengan derasnya menarik-narik dan mendesak-desak keras pada
kedua kakinya. Beberapa kaki jauhnya dari situ, sebatang pohon kecil sedang diseret air deras itu. Selagi Lucia memperhatikan batang
kayu itu, secara tiba-tiba ia kehilangan keseimbangan badannya, dan terpeleset, sambil menjerit.
Lucia jatuh dengan keras, membenturkan kepalanya pada pinggiran sungai yang berbatu itu.
Rubio berputar secepat kilat dan dengan ngeri melihat Lucia menghilang diseret oleh air deras mengamuk itu.
-odwo- BAB DUA PULUH TIGA KETIKA SERSAN FLORIAN SANTIAGO meletakkan
kembali gagang telepon di kantor kepolisian Salamanca itu, kedua tangannya bergemetar.
Jaime Miro dan tiga orang anak buahnya! Pemerintah
telah menjanjikan hadiah besar atas kepala Jaime Miro, dan kini pemberontak Basque itu ada di dalam jangkauan
genggamannya. Hadiah uang itu akan mengubah seluruh
hidupnya. Tentu, ia harus membagi bagian uang hadiah itu dengan pamannya. Akan kuberikan 20 persen, Santiago
berkata pada diri sendiri: Atau, barangkali sepuluh persen saja.
Ia menyadari akan reputasi Jaime Miro, dan ia tidak
berniat mengambil resiko bagi nyawanya sendiri dengan mencoba menangkap sendiri pemberontak itu. Biar orang lain saja yang menghadapi bahaya itu, dan menyerahkan hadiah itu padaku.
Santiago mengangkat gagang telepon itu, dan sepuluh
menit kemudian ia berbicara langsung dengan kolonel
Acoca. "Di sini sersan Florian Santiago, menelepon Kolonel dari kantor kepolisian di Salamanca. Telah kulacak jejak Jaime Miro."
Acoca berusaha keras menjawab dengan tenang. "Kau pasti akan hal itu?" .
"Betul, kolonel. Jaime Miro kini berada di Parador Nacional Raimundo de Borgon, di pinggiran kota. Ia
menginap di sana. Pamanku adalah pegawai di penginapan
itu. Baru saja pamanku menelepon aku. Ada seorang pria lain dan dua orang wanita bersama Jaime Miro."
"Pamanmu memastikan bahwa orang itu benar-benar
Jaime Miro?" "Betul, kolonel. Jaime Miro dan anak buahnya itu tidur di dua kamar belakang di lantai dua penginapan itu."
Acoca berkata, "Dengarkan aku dengan seksama, sersan.
Aku meminta kau segera pergi ke parador itu dan
mengawasi dari luar, agar memastikan bahwa tidak
seorang pun dari mereka itu meninggalkan penginapan itu.
Aku sudah akan tiba di sana dalam waktu satu jam. Jangan kau memasuki paradol itu. Dan jangan sampai dirimu
terlihat oleh mereka. Jelas?"
"Baik, tuan. Aku akan segera berangkat." Santiago ragu sejenak, "Kolonel, mengenai uang hadiah. ."
"Kalau kita menangkap Miro, uang itu adalah milikmu. "
"Terima kasih, kolonel. Aku sangat. ."
"Berangkatlah. "
"Baik, tuan." Kolonel Ramon Acoca meletakkan gagang telepon itu
dan otaknya bekerja keras. Kali ini tidak akan terjadi kesalahan langkah. Ini merupakan langkah final dalam
permainan catur di antara dirinya dengan Jaime Miro.
Acoca memanggil ajudannya.
"Ya, kolonel?" "Pilihlah dua puluh empat orang dari penembak-
penembak jitumu. Bekali mereka dengan senjata-senjata
otomatik. Kita berangkat ke Salamanca dalam waktu lima belas menit."
"Baik, tuan." Kali ini Miro tidak akan dapat meloloskan diri.
Lima belas menit kemudian, ajudannya menghadap lagi.
"Kami siap untuk bergerak, kolonel."
Sersan Santiago tidak membuang-buang waktu. Bahkan
tanpa peringatan kolonel itu, ia tidak berniat melakukan sendiri penangkapan atas kaum teroris itu. Dan kini, sesuai perintah dari Acoca, ia berdiri di tempat yang gelap, kira-kira dua puluh yard jauhnya dari penginapan itu.
Truk tentara itu bergerak ke arah parador itu. Setelah berada kira-kira satu mil dari penginapan itu, kolonel Acoca memerintahkan, "Berhenti di sini. Kita akan menempuh jarak berikutnya dengan berjalan kaki. Jagalah agar tidak menimbulkan kebisingan."
Santiago tidak mengetahui kedatangan pasukan itu
sebelum suatu suara di dekatnya mengejutkannya dengan:
"Siapakah kau?"
Santiago berbalik dan mendapatkan dirinya berhadapan
dengan kolonel Ramon Acoca. Ya, Tuhan! Betapa
mengerikan wajah dan penampilan kolonel itu.
"Aku sersan Santiago, tuan."
"Tidak ada orang yang meninggalkan tempat itu?"
"Tidak ada, tuan. Semuanya masih berada di dalam.
Mungkin telah tidur."
Kolonel Acoca berpaling pada ajudannya. "Separuh pasukan ini agar mengepung hotel itu. Jika ada orang
mencoba meloloskan diri, tembaklah. Yang selebihnya ikut aku. Pemberontak-pemberontak itu berada di dua kamar
bagian belakang di lantai dua. Ayo, kita berangkat
sekarang." Santiago hanya menyaksikan pasukan itu mecah diri.
Ketika kolonel Acoca dan anak buahnya mencapai
puncak tangga, Acoca berbisik, "Jangan mengambil resiko.
Tembaklah seketika kalian melihatnya. "
Ajudannya bertanya, " Kolonel, apakah tidak sebaiknya aku bergerak di depan kolonel?"
"Tidak." Acoca berniat meraih kenikmatan membunuh sendiri Jaime Miro.
Di ujung lorong itu adalah dua kamar yang ditempati
Jaime Miro dan anak buahnya. Acoca memberikan isyarat kepada enam orang anak buahnya agar meliput pintu yang satu dan enam orang lainnya pintu yang sebuah lagi.
"Sekarang!" Acoca berteriak.
Itu saat yang telah dinanti-nantikannya. Mendengar
perintah itu, para serdadu itu secara serentak mendobrak pintu-pintu itu dan menyerbu masuk ke dalam kamar-kamar itu, senjata siap ditembakkan. Mereka berdiri di situ, di tengah kedua kamar yang ternyata kosong. Mereka
terbengong memandang pada tempat-tempat tidur yang
kusut. "Menyebarlah. Cepat! Ke lantai bawah!" Acoca berteriak lagi.
Para serdadu itu segera bergerak dan memeriksa setiap kamar hotel itu, tanpa menghiraukan para tamu penghuni kamar-kamar itu.
Jaime Miro dan anak buahnya tidak ada di situ.
Kolonel Acoca sendiri menyerbu menuruni tangga
bermaksud berkonfrontasi dengan pegawai penginapan itu.
Tidak ada orang di lobby itu.
"Hello." Acoca berseru. "Hello." Tidak ada jawaban.
Pengecut itu bersembunyi.
Seorang di antara para serdadu itu tampak memandang
ke bawah di belakang meja resepsi. "Kolonel. ."
Acoca mendekati meja resepsi itu dan melihat ke
belakang meja itu, ke lantai. Tubuh pegawai penginapan yang diikat kedua tangan dan kakinya, serta mulutnya
disumbat itu tampak terkulai bersandar pada dinding.
Selembar karton tergantung pada leher pegawai itu.
Tertulis di atas lembaran kartun itu: HARAP TIDAK
DIGANGGU. -odwo- BAB DUA PULUH EMPAT RUBIO ARZANO dengan ngeri menyaksikan Lucia
terbawa oleh air sungai yang deras itu. Seketika itu juga ia melesat berlari di sepanjang tepian sungai itu, dan di belokan pertama aliran sungai itu ia sempat melihat tubuh Lucia terseret ke arah dirinya. Rubio terjun ke dalam sungai itu dan berenang sekuat tenaga untuk mencapai Lucia.
Lucia hanya sepuluh kaki jauhnya, namun jarak itu seakan-akan sepuluh kali lipat jauhnya. Rubio mengerahkan
segenap tenaganya dan menyambar lengan Lucia.
Pegangannya nyaris terlepas. Dengan susah payah
diseretnya Lucia ke tepian.
Ketika akhirnya tiba di tepian, Rubio menarik Lucia ke atas rerumputan dan ia sendiri tergeletak di situ, berusaha mengatur pernafasannya.
Lucia tidak sadarkan diri dan tampak seperti tidak
bernafas. Rubio membalikkan tubuh Lucia dan dengan
menekan punggungnya, berusaha menekan ke luar air yang telah ditelan Lucia.
Rubio sudah hampir berputus-asa ketika akhirnya air
menyembur ke luar dari mulut Lucia dan wanita itu
mengerang pelan. Kelegaan Rubio tiada taranya.
Ketika Lucia mulai menggigil kedinginan, Rubio cepat
berlari ke serumpun pepohonan dan menarik lepas
beberapa genggam dedaunan. Dibawanya itu kembali ke
tempat Lucia terbaring dan mulailah Rubio mencoba
mengeringkan tubuh Lucia itu dengan dedaunan itu. Rubio sendiri basah kuyup dan kedinginan, tetapi itu. tidak dihiraukannya. Ia telah dilanda kepanikan khawatir bahwa biarawati itu akan tidak tertolon lagi dari kematian. Kini, sambil dengan lembut menggosok tubuh telanjang itu,
bermacam-macam pikiran menyerang benaknya.
Suster Lucia ini memiliki tubuh seorang dewi. Ah,
maafkanlah aku, Tuhan, ia milik-Mu. Dan aku tIdak
selayaknya mengandung pikiran-pikiran buruk ini. .
Lucia berangsur-angsur dibangunkan oleh usapan-
usapan lembut atas tubuhnya. Ia berada di pantai bersama Ivo, dan lidah pria itu bergerak menuruni tubuhnya. Ay,
ya. . Pikirnya. Ah, ya. Jangan berhenti, caro, kekasih. Nafsu Lucia telah dibangkitkan bahkan sebelum ia membuka
matanya. Ketika ia terpeleset di derasnya air sungai itu, pikiran terakhir yang terkilas di benak Lucia adalah, bahwa dirinya akan mati. Namun, ternyata, ia masih hidup dan ia
mendapatkan dirinya memandang pada pria yang telah
menyelamatkan dirinya. Tanpa berpikir panjang, Lucia mengulurkan kedua
tangannya dan ditariknya Rubio kepada dirinya.
Tampak keterkejutan sangat pada wajah Rubio itu.
"Suster. ." Rubio memrotes. "Kita tidak dapat. ."
"Shhh! " Bibir Lucia telah menempel pada bibir Rubio, galak,
penuh nafsu dan menuntut, dan lidah Lucia menjelajahi kedalaman mulut pria itu. Itu semua tidak tertahankan lagi bagi Rubio.
"Cepat." Lucia berbisik. "Cepat."
Ia melihat Rubio dengan gugup melepaskan pakaiannya
yang basah. Ia berhak mendapatkan balas-jasa, pikir Lucia.
Aku sendiri juga. Selagi Rubio dengan penuh keraguan mendekat, pria itu berkata, "Suster, kita tidak. ."
Lucia tidak dalam suasana hati untuk bercakap-cakap, Ia merasa pria itu menyatukan tubuhnya kepada tubuhnya di dalam suatu ritual yang melampaui segala waktu,
melampaui segala ingatan, dan Lucia menyerahkan dirinya kepada sensasi-sensasi yang melanda dirinya. Dan semua
itu semakin terasa manisnya karena dirinya telah
bersentuhan begitu dekat dengan maut.
Rubio ternyata seorang yang pandai bercinta lembut dan ganas secara berbarengan. Pria itu memiliki kejantanan yang mencengangkan Lucia. Dan sorot kelembutan di mata pria itu membuat Lucia terharu hingga ke lubuk hatinya.
Mudah-mudahan pria sederhana dan sekaligus perkasa
ini tidak jatuh cinta pada diriku. Ia begitu berhasrat menyenangkan diriku. Yah, kapankah terakhir kalinya
seorang pria acuh dan berkeinginan menyenangkan diriku"
Dan di dalam benak Lucia terkilaslah pikiran akan
ayahnya. Dan ia bertanya sendiri, apakah ayahnya akan menyukai Rubio Arzano. Dan kemudian ia sendiri heran
mengapa seakan-akan penting baginya untuk mengetahui
apakah ayahnya akan menyukai Rubio. Sudah sintingkah
aku ini" Pria ini seorang petani. Sedang aku adalah Lucia Carmine anak perempuan Angelo Carmine. Kehidupan
Rubio tidak ada sangkut paut apa pun dengan kehidupanku.
Kita berdua cuma dilemparkan yang satu ke pelukan yang lainnya oleh ulah tolol dari nasib.
Rubio mendekap Lucia, dan dari mulut pria itu terucap berulang-ulang, "Lucia. Luciaku yang manis." .
Dan mata pria yang bersinar-sinar itu mengatakan
segalanya mengenai perasaan pria itu kepada Lucia. Ia begitu baik, begitu menyayang, pikir Lucia. Kemudian, Ada apa gerangan dengan diriku" Mengapa aku sampai berpikir seperti ini mengenai pria ini" Aku ini sedang melarikan diri dari kejaran polisi dan. . Tiba-tiba Lucia teringat akan salib emas itu, dan dengan terengah ia berpikir: Ya, Tuhan!
Mengapa aku dapat melupakan hal itu, biar cuma untuk
sekejap" Lucia cepat-cepat bangkit dan duduk. "Rubio, telah kutinggalkan. . telah kutinggalkan sebuah bungkusan di tepi sungai di sana tadi. Maukah kau mengambilkannya
untukku" Dan pakaianku?"
"Tentu saja. Aku akan segera kembali."
Lucia terduduk di situ, menanti, gelisah akan
kemungkinan sesuatu bisa terjadi atas salib emas itu.
Bagaimana kalau salib itu hilang" Bagaimana kalau ada seseorang yang kebetulan lewat di sana, melihat bungkusan itu dan memungutnya"
Dengan kelegaan luar biasa Lucia melihat Rubio kembali dengan salib terbungkus itu dibawa di bawah ketiaknya.
Jangan sedetik pun barang itu teriepas dari pengawasanku, pikir Lucia.


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Terima kasih." Lucia berkata kepada Rubio.
Rubio menyerahkan bungkusan itu dan pakaian Lucia.
Lucia memandang sejenak pada pria itu, kemudian berkata pelan, "Aku belum memerlukan sekarang juga pakaian ini."
Sinar matahari di atas kulit tubuhnya yang telanjang
membuat Lucia malas dan hangat, dan berada dalam
pelukan Rubio sungguh nikmat sekali. Seolah-olah mereka telah menemukan suatu oase yang damai. Bahaya-bahaya
yang mengejar mereka seakan-akan terjadi lama berselang.
"Ceritakan tentang perusahaan pertanianmu kepadaku."
Lucia berkata iseng. Wajah pria itu cerah, dan suaranya memperdenarkan
kebanggaan. "Cuma sebuah pertanian kecil di luar sebuah desa kecil di dekat Bilbao. Pertanian itu sudah generasi demi generasi dalam keluargaku."
"Apa yang terjadi atas pertanianmu itu?"
Wajah pria itu kini muram. "Karena aku seorang Basque, pemerintah di Madrid menghukumku dengan pajak-pajak
tambahan. Ketika aku menolak membayarnya, mereka
menyita pertanianku. Ketika itulah aku bertemu dengan Jaime Miro. Aku bergabung untuk berjuang melawan
pemerintah, demi kebenaran. Aku mempunyai seorang ibu dan dua saudara perempuan, dan pada suatu hari kelak
kami akan mendapatkan kembali pertanian kami dan aku
akan mengelolanya kembali."
Lucia mengenang ayahnya dan kedua saudara laki-
lakinya yang dipenjarakan selama hidup itu.
"Kau senantiasa dekat dengan keluargamu?"
Rubio tersenyum hangat. "Tentu saja. Keluarga
merupakan cinta pertama kita, bukan?"
Ya, Lucia berpikir. Tetapi aku tidak akan berjumpa lagi dengan keluargaku." .
"Sekarang ceritakan padaku mengenai keluargamu,
Lucia." Pria itu berkata. "Sebelum kau masuk biara. Apakah kau dekat dengan keluargamu itu?"
Percakapan itu mengambil alur berbahaya. Apakah yang
dapat kuceritakan padanya" Ayahku dan kedua kakakku
berada di dalam penjara karena pembunuhan. "Ya. . kami dekat sekali."
"Apakah yang dikerjakan ayahmu?"
"Ia. . ia seorang pengusaha."
"Kau mempunyai kakak-kakak perempuan dan laki-
laki?" "Aku mempunyai dua kakak laki-laki. Mereka bekerja untuk ayah."
"Lucia, mengapa kau masuk biara?"
Karena polisi mencarl diriku, karena aku telah
membunuh dua orang laki-laki. Ah, harus kuhentikan
pembicaraan ini, Lucia berpikir. Dan berkatalah ia, "Aku merasa harus pergi." Itu tidak merupakan kebohongan sepenuhnya.
"Kau merasa bahwa dunia ini dunia ini kurang sesuai bagi dirimu?"
"Ya, kira-kira begitulah."
"Aku tidak berhak mengatakannya, Lucia, tetapi aku cinta padamu."
"Rubio. ." "Aku ingin kawin denganmu. Selama hidupku, belum pernah aku berkata seperti ini kepada seorang wanita."
Memang mengharukan sekali pria itu. Rubio tidak bisa
diajak bermain-main, pikir Lucia. Aku harus menjaga agar jangan sampai melukainya. Tetapi. . gagasan anak
perempuan Angelo Carmine menjadi istri seorang petani"
Lucia nyaris tertawa terbahak-bahak.
Rubio salah mengartikan senyum di wajah Lucia itu.
"Aku tidak akan selamanya hidup dalam persembunyian.
Pemerintah tidak bisa tidak harus berdamai dengan kami.
Lalu aku akan kembali ke pertanianku. Querida, sayangku. .
aku ingin melewatkan sepanjang hidupku dengan
membahagiakan dirimu. Kita akan mempunyai banyak
anak, dan yang gadis-gadis semuanya akan mirip dengan dirimu?"
Aku tidak dapat membiarkannya menjadi-jadi seperti ini, Lucia memutuskan. Semestinya aku menghentikannya
sekarang. Namun, entah bagaimana, ia tidak dapat
membuat dirinya melakukannya. Didengarkannya Rubio
melukiskan gambaran-gambaran romantikal dari kehidupan bersama mereka, dan Lucia mendapatkan
dirinya nyaris mengharap-harap bahwa itu semua dapat
terjadi. Ia sudah lelah harus berlari-lari dan melarikan diri.
Sungguh akan nyaman sekali menemukan suatu tempat
berlabuh, tempat dirinya akan aman, diperhatikan oleh seseorang yang mencintai dirinya. Ah, aku ini mungkin sudah sinting.
"Sudahlah, jangan kita membicarakannya sekarang."
Lucia berkata. "Kita seharusnya melanjutkan perjalanan kita."
Mereka berjalan terus ke arah timur laut, mengikuti tepi sungai Duero yang berkelok-kelok, lewat daerah pedesaan yang berbukit dan penuh pepohonan hijau. Mereka
berhenti di desa Villalba de Duero yang elok untuk membeli roti, keju dan anggur, dan mereka berpiknik di sebuah lapangan berumput. . ..
Lucia merasa nyaman berada di sisi Rubio. Dan pria itu memancar kekuatan yang penuh ketenangan yang seakan-akan memberikan kekuatan pada dirinya. Pria ini bukan untukku, tetap pada suatu ketika ia akan membuat
seseorang wanita yang mujur menjadi sangat berbahagia, pikir Lucia.
Selesai makan, Rubio berkata, "Kota berikutnya adalah Aranda de Duero. Sebuah kota yang lumayan besarnya.
Adalah lebih baik jika kita menempuh jalan menghindari kota itu, yaitu berarti menghindari GOE dan serdadu-serdadu."
Saat ini adalah saat harus berpisah. Sudah waktunya ia meninggalkan pria itu. Telah dinanti-nantikannya saat mencapai sebuah kota besar. Rubio Arzano dan
pertaniannya itu hanyalah sebuah impian; meloloskan diri ke Swiss: itulah yang merupakan kenyataan. Lucia
menyadari betapa ia akan menyakiti pria itu, dan ia tidak sanggup menatap mata pria itu ketika ia berkata, "Rubio . .
aku ingin sekali kita masuk ke kota itu."
Rubio mengerutkari dahi. "Itu akan berbahaya sekali, querida. Pasukan pemerintah?"
"Mereka tidak akan mencari kita di sana." Lucia cepat berpikir. "Lagi pula, aku.. aku memerlukan pakaian untuk berganti. Aku tidak dapat terus memakah yang hanya ini?"
Gagasan memasuki kota itu mengganggu pikiran Rubio,
tetapi yang dikatakan hanyalah: "Kalau memang itu yang kau maukan."
Dari kejauhan sudah tampak dinding-dinding dan
bangunan-bangunan kota Aranda de Duero itu.
Rubio mencoba sekali lagi, "Lucia" kau benar-benar ingin masuk ke kota itu?"
"Ya. Aku mau masuk kota itu."
Mereka menyeberangi jembatan panjang yang menuju
jalan utama kota, Avenida Castilia, dan dari situ menuju ke pusat kota. Dan berjalan di jalanan pusat kota itu, dengan perasaan lega, Lucia menemukan yang dicari-carinya:
papan yang berbunyi Casa de Empenos - Rumah Gadai.
Lucia diam saja. Mereka tiba di medan kota, dengan toko-toko dan
pasarnya dan bar-bar, dan mereka melewati Tuberna
Cueva. Lucia melihat peluangnya. "Aku haus, Rubio. Dapatkah kita masuk di situ?"
"Tentu saja." Ada kira-kira setengah lusin pria mengerumuni bar.
Lucia dan Rubio mengambil tempat di sebuah meja di sudut ruangan itu.
"Kau ingin minum apa, sayangku?"
"Pesanlah segelas anggur untukku. Aku akan segera kembali. Ada sesuatu yang harus kulakukan."
Lucia bangkit berdiri dan berjalan ke luar dan kedai
minum itu, meninggalkan Rubio di meja itu.
Lucia bergegas berjalan balik menuju ke Casa de
Empenos, memegang salib terbungkus terpal itu erat-erat.
Di seberang jalan dilihatnya papan nama bertuliskan
Policia. Sejenak dipandangnya itu, jantungnya seakan-akan berhenti sedenyutan, kemudian ia cepat melangkah dan
memasuki rumah gadai itu.
Seorang pria bongkok dengan kepala yang besar duduk
di belakang meja toko. "Buenos dias, senorita."
"Buenos dias, senor. Aku ada sesuatu yang ingin kujual."
"Ya?" Lucia membuka bungkusan itu dan mengulurkan salib
emas itu kepada pemilik toko itu.
Tukang gadai itu memegang salib itu, dan Lucia
memperhatikan betapa mata orang itu tiba-tiba berkilat-kilat.
"Bolehkah aku bertanya dari
mana Anda mendapatkan benda ini?"
"Itu peninggalan seorang pamanku yang telah meninggal belum lama berselang." Lucia merasa tenggorokannya tiba-tiba menjadi kering sehingga ia sulit berbicara.
Pria itu mengelus-elus salib itu. "Berapa Anda minta untuk ini?"
Ah, impiannya hampir menjadi kenyataan.
"Aku menginginkan dua ratus lima puluh ribu peseta."
Pria itu mengerutkan dahi dan menggelengkan kepala.
"Tidak. Benda ini harganya paling mahal seratus ribu peseta."
"Daripada mendapat harga seperti itu, lebih baik aku menjual tubuhku."
"Barangkali aku bisa naik hingga paling tinggi seratus lima puluh ribu peseta."
"Lebih baik kulebur benda itu dan membuang emasnya di selokan."
"Dua ratus ribu peseta. Ini penawaranku terakhir. "
Lucia mengambil kembali salib emas itu dari tangan pria itu. "Kau merampok diriku, tetapi baiklah, aku terima."
Lucia dapat melihat kegirangan di wajah pria itu.
"Bueno, senorita." Pria itu mengulurkan tangannya, meminta salib itu.
Lucia melangkah mundur. "Ada satu syarat."
"Syarat apa, senorita?"
"Pasportku dicuri orang. Aku memerlukan sebuah
pasport baru untuk dapat keluar dari negeri ini dan
mengunjungi bibiku yang sedang kesusahan itu."
Pria itu kini memperhatikan Lucia dengan lebih cermat.
Akhirnya ia mengangguk. "Oh, begitu."
"Kalau Anda dapat menolongku memecahkan kesulitanku itu maka salib emas ini milik Anda."
Pria itu mnghela nafas. "Pasport sulit diperoleh dewasa ini, senorita. Para pembesar kini sangat ketat."
Lucia cuma memandang pada pria itu, lalu berkata-kata.
"Yah, aku sungguh tidak tahu bagaimana dapat
membantu Anda." "Baiklah, terima kasih, senor." Lucia mulai bergerak ke arah pintu.
Pria itu membiarkan Lucia sampai di pintu sebelum
berkata, "Sebentar, senorita."
Lucia berhenti. "Aku baru saja ingat. Aku mempunyai seorang
kemenakan yang kadang-kadang berurusan dengan
masalah serumit ini. Ia seorang kemenakan jauh, Anda
tentu mengerti." "Aku mengerti."
"Aku dapat coba berbicara dengannya. Kapan Anda
memerlukan pasport Anda?"
"Hari ini." Pria itu mengangguk. "Dan kalau aku berhasil, urusan antara Anda dan aku beres?"
"Setelah aku mendapatkan pasportku."
"Baiklah. Kembalilah ke sini pada pukul delapan dan kemenakanku akan berada di sini. Ia akan mengurus segala
sesuatunya. Ia sendiri yang akan membuat foto Anda dan memasangnya di atas pasport itu. "
Lucia merasakan debar jantungnya berpacu. "Terima kasih, senor."
"Apakah Anda tidak mau meninggalkan salib Itu di sini, agar kusimpan?"
"Akan aman denganku."
"Jadi, pukul delapan."
Lucia meninggalkan rumah gadai itu. Dihindarinya
kantor polisi itu dan ia balik ke bar, tempat Rubio
menunggu. Entah mengapa, langkah-langkah kakinya tanpa disadarinya melambat. Ia akhirnya berhenti. Dengan uang yang diperolehnya dari salib itu, ia akan dapat mencapai Swiss dan kebebasan. Ia semestinya merasa gembira,
namun nyatanya ia merasakan suatu kesedihan menggigit dalam dirinya.
Ada apakah dengan diriku" Tidakkah aku di ambang
keberangkatanku ke kebebasan" Rubio tidak memerlukan
waktu lama untuk melupakan diriku. Ia pasti dapat
menemukan seorang wanita lain.
Kemudian teringat olehnya, dan terbayang padanya
sorot mata pria itu, ketika berkata, "Aku ingin kawin denganmu.
Selama hidupku belum pernah aku mengucapkan kata-kata ini pada seorang wanita."
Sialan benar, pria itu! Ah, sudahlah, ia bukan masalahku.
-odwo- BAB DUA PULUH LIMA MEDIA MASSA SEDANG DALAM KEHEBOHAN. Induk-
berita induk-berita berlomba dan bersaing. Ada itu
serangan atas biara, penangkapan besar-besaran atas
biarawati-biarawati karena memberi tempat bersembunyi pada kaum teroris, lolosnya empat orang biarawati,
penembakan mati lima serdadu oleh salah seorang
biarawati sebelum biarawati itu sendiri ditembak dan
terbunuh. Pers internasional seperti dalam kebakaran.
Wartawan-wartawan telah tiba di Madrid dari seluruh
penjuru dunia, dan perdana menteri Leopoldo Martinez, dalam suatu usaha meredakan situasi telah menyetujui
diadakannya suatu konferensi pers. Hampir lima puluh
wartawan dari seluruh dunia berkumpul di kantor perdana menteri.
Kolonel Ramos Acoca dan kolonel Fal Sostelo
mendampingi sang perdana menteri. Perdana menteri telah membaca induk berita dalam London Times: Para Teroris dan Biarawati Tidak Berhasil Ditangkap oleh Tentara dan Polisi Spanyol.
Seorang wartawan dari Paris Match mengajukan
pertanyaan, "Tuan Perdana Menteri, adakah
tuan mempunyai perkiraan di mana beradanya biarawati-
biarawati yang hilang itu?"
Perdana menteri Martinez menjawab, "Kolonel Acoca yang bertanggung jawab atas pencarian itu. Biar kolonel Acoca yang menjawab pertanyaan saudara. "
Acoca berkata, "Kami mempunyai alasan untuk
beranggapan bahwa mereka berada dalam tangan kaum
teroris Basque. Aku juga terpaksa menyatakan di sini
bahwa telah terdapat bukti yang menandakan bahwa para biarawati itu berkolaborasi dengan kaum teroris."
"Bagaimana mengenai penembakan terhadap suster
Teresa dan serdadu-serdadu itu?"
"Kami mempunyai informasi bahwa suster Teresa
bekerja sama dengan Jaime Miro. Dengan berpura-pura
membantu kami dalam menemukan Miro, suster Teresa
telah memasuki sebuah kamp tentara dan menembak mati
lima orang serdadu sebelum ia dapat dicegah. Aku dapat memastikan kepada saudara bahwa tentara dan GOE
melakukan usaha maksimal untuk menyeret para penjahat itu ke pengadilan."
"Dan para biarawati telah ditangkap dan dibawa ke Madrid?"
"Mereka sedang diperiksa." Acoca berkata.
Perdana Menteri Martinez sangat mendambakan
berakhirnya konferensi pers itu. Sungguh sulit baginya menahan diri. Kegagalan untuk mengetahui tempat
beradanya para biarawati atau penangkapan kaum teroris itu telah membuat pemerintah yang dipimpinnya - dan
dirinya sendiri - buah tertawaan umum. Dan pers berpesta pora dengan keadaan itu.
"Dapatkah tuan memberikan data latar belakang
keempat biarawati yang telah lolos itu, tuan Perdana
Menteri?" Wartawan dari Oggi bertanya.
"Maafkan aku. Aku tidak dapat memberikan informasi lebih jauh. Kuulangi, tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
pemerintah berusaha semaksimalnya untuk mencari dan
menemukan para biarawati itu. "
"Tuan Perdana Menteri, telah ada laporan-laporan mengenai kekejaman pada waktu dilancarkannya serangan terhadap biara di Avila. Dapatkah tuan menyatakan sesuatu mengenai hal itu?"
Itu merupakan titik lemah bagi Martinez, karena ia
mengetahui bahwa laporan itu benar adanya. Kolonel
Acoca telah melanggar batas-batas kewenangannya. Tetapi ia akan membereskan hal itu kelak dengan kolonel itu. Kini saatnya memperlihatkan persatuan.
Perdana menteri itu berpaling kepada kolonel Acoca.
"Kolonel Acoca dapat menerangkan hal itu. "
Acoca berkata, "Aku sendiri juga telah mendengar tentang
laporan-laporan yang sama sekali tidak mempunyai dasar itu. Kenyataannya sebenarnya sederhana sekali. Kami telah menerima informasi yang dapat
dipercaya, bahwa Jaime Miro dan selusin anak buahnya
telah bersembunyi di biara Cistercian itu, dan bahwa
mereka itu bersenjata lengkap. Ketika kami menyerbu biara itu, mereka ternyata sudah lari."
"Kolonel kami mendengar bahwa ada anak buah kolonel yang mengganggu. . "
"Itu merupakan suatu fitnah."
Perdana Menteri Martinez berkata, "Terima kasih tuan-tuan dan nyonya-nyonya. Untuk saat ini sekian dulu. Tuan-tuan sekalian akan diberitahu jika ada perkembangan lebih lanjut."
Ketika para wartawan sudah pergi, perdana menteri itu berpaling pada kolonel Acoca dan kolonel Sostelo. "Mereka membuat kita tampil sebagai orang-orang biadab di mata dunia."
Acoca sedikitpun tidak menaruh perhatian atas


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pendapat perdana menteri itu. Yang meminta perhatian
dan pikirannya sepenuhnya adalah telepon yang telah
diterimanya di tengah malam buta
"Kolonel Acoca?"
Suara yang sudah ia kenal. Seketika ia terjaga penuh.
"Ya, tuan." "Kami sangat kecewa denganmu. Kami telah mengharapkan melihat hasil sebelum ini."
"Tuan, usahaku sudah tidak jauh lagi dari keberhasilan.
Acocaa merasa peluh mengalir deras. "Aku cuma meminta agar tuan sudi bersabar. Aku tidak akan mengecewakan
tuan." "Waktumu sudah hampir habis."
Telepon itu diputus begitu saja oleh seberang sana.
Kolonel Acoca meletakkan gagang telepon itu terduduk
situ dalam frustrasinya. Di manakah setan Miro itu"
-odwo- BAB DUA PULUH ENAM Akan kubunuh wanita itu, Ricardo Mellado berpikir. Aku dapat
mencekiknya dengan kedua tanganku, melemparkannya dari atas gunung, atau - gampang saja -
menembaknya mati: Ah, tidak. Kurasa mencekiknya adalah yang paling memuaskan diriku. .
Suster Graciela adalah manusia paling menjengkelkan
yang pernah dijumpainya. Pada mulanya, ketika Jaime Miro menugaskan padanya untuk mengawal suster itu, Ricardo merasa senang. Memang wanita itu seorang biarawat,
tetapi ia juga wanita paling cantik yang pernah dilihatnya.
Ricardo bertekad akan lebih mengenalnya, mencari tahu mengapa wanita itu telah memilih untuk membelenggu
kecantikannya itu di balik dinding-dinding biara selama hidupnya. Ricardo dapat membayangkan bahwa di balik
rok dan blus yang dipakainya itu, tubuh suster Graciela kaya dengan lekuk-lekuk
dan kepadatan kewanitaan. Ya, pasti merupakan suatu
perjalanan bersama yang menarik sekali Ricardo telah
memutuskan. Tetapi segala sesuatunya telah berjalan di luar segala perkiraan. Yang menjadi soal adalah, bahwa suster Graciela itu sama sekali tidak mau berbicara dengan Ricardo. Sejak awal perjalanan mereka itu tidak satu pun ucapan yang keluar dari mulut suster Graciela yang tertuju pada
Ricardo. Dan suster itu sama sekali tidak memperlihatkan kemarahan ketakutan atau kebingungan. Seakan-akan ia
cuma menarik diri ke dalam suatu bagian jauh di dalam dirinya sendiri dan tidak mempunyai perhatian atau minat pada Ricardo atau apa saja yang terjadi di sekeliling dirinya.
Ketika mereka menyeberang Sungai Moros, Ricardo
bertanya, Maukah Suster beristirahat sejenak"
Diam. Membisu. Mereka mendekati Segovia sebelum menuju ke arah
timur laut ke pegunungan Guadarrama yang puncaknya
tertutup salju. Ricardo berusaha berbasa-basi, tetapi itu semua sia-sia belaka.
"Tidak lama lagi kita akan sampai di Segovia suster."
Tiada reaksi. Mungkinkah aku telah menyinggung perasaannya"
"Tidak merasa laparkah, suster?"
Diam. Seakan-akan ia, Ricardo Mellado, tidak berada di situ.
Belum pernah Ricardo merasakan frutrasi seperti yang
dirasakannya sekarang. Barangkali wanita ini seseorang yang terbelakang, Plkir Ricardo. Yah, mungkin itu sebabnya.
Tuan telah memberikan padanya kecantikan luar biasa dan kemudian mengutuknya dengan memberikan jiwa yang
lemah, otak terbelakang. Namun, Ricardo sendiri tidak yakin akan itu.
Ketika mereka mencapai pinggiran kota Segovia Ricardo meIihat kota itu sedang ramai. Yang berarti bahwa Guarda Civil akan ada di mana-mana dan bersiaga. Ketika mereka mendekati Plaza el Conde de Cheste dilihatnya serdadu-serdadu berjalan ke arah mereka berada. Ricardo berbisik,
"Peganglah tanganku, suster. Kita harus tampak sebagai dua orang kekasih yang sedang berjalan-jalan. Suster
Graciela tidak mempeduIikannya.
Jesus, pikir Ricardo. Barangkali ia ini bisu dan tuli.
Ricardo mengulurkan tangannya dan memegang tangan
suster itu, dan perlawanan yang tiba-tiba dan galak dari wanita itu mencengangkan. Suster Graciela menyentakkan tangannya bagaikan telah disengat.
Serdadu-serdadu itu telah makin mendekat.
Ricardo mencondongkan badannya ke arah Graciela.
"Kau jangan marah." Ia berkata lantang. "Kakak perempuanku seperasaan. Setelah makan malam tadi
malam, ketika ia menidurkan anak-anaknya, ia mengatakan lebih baik kami kaum pria tidak duduk-duduk berkumpul dan mengisap cerutu. Aku berani bertaruh. ."
Serdadu-serdadu itu telah lewat. Ricardo berpaling,
memandang pada Graciela. Wajah wanita itu tidak
menunjukkan perasaan apa pun. Dalam hatinya, Ricardo
mulai mencaci-maki Jaime Miro: mengapa kepada dirinya tidak ditugaskan membawa seorang dari suster-suster yang lainnya itu! Yang seorang ini terbuat dari batu. Tidak ada alat sekeras dan setajam apa pun yang dapat menembus
kulit luar yang dingin beku itu.
Dengan segala kerendahan hati Ricardo mengetahui
bahwa dirinya menarik bagi kaum wanita. Cukup banyak
yang telah menyatakan dan membuktikan hal itu. Ricardo berasal dari suatu keluarga Basque yang terkemuka.
Ayahnya seorang bankir di daerah Basque utara dan
mengusahakan diperolehnya pendidikan yang baik bagi
putranya. Ricardo masuk Universitas Salamanca, dan
ayahnya mengharapkan pada suatu hari kelak putranya
akan bergabung dalam bisnis keluarga. Selesai studinya Ricardo pulang dan bekerja di bank ayahnya. Nmnun dalam waktu singkat ia terlibat dengan persoalan-persoalan
rakyatnya. Ia menghadiri rapat-rapat dan gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah dan tidak lama kemudian
menjadi salah seorang pimpinan ETA. Mendengar tentang kegiatan putranya, Mellado senior memanggil anaknya.
"Aku pun seorang Basque, Ricardo, tetapi aku juga seorang pengusaha. Kita tidak boleh menghancurkan
sumber pencarian kita dengan menganjurkan suatu
revolusi di negeri yang memberi makan pada kita."
"Kami sama sekali tidak berupaya merobohkan
pemerintah, ayah. Yang kami minta hanyalah kemerdekaan.
Penindasan pemerintah terhadap kaum Basque dan Catalan tidak dapat ditenggang lagi."
"Dengarkan aku, Ricardo. Ketika aku masih muda aku pun berdarah panas. Tetapi ada cara-cara lain untuk
menyalurkan itu. Kau masih harus memikirkan masa
depanmu. . Kau pun bertunangan dengan seorang gadis
yang cantik." "Tidakkah ayah memahami. ."
"Aku lebih memahaminya daripada kau, anakku. Bakal ayah-mertuamu
sangat cemas dengan kegiatan- kegiatanmu. Aku tidak ingin terjadi sesuatu yang
menggagalkan perkawinanmu. Jelaskah ini bagimu?"
"Ya, ayah." Hari Sabtu berikut Ricardo Mellado ditangkap selagi
memimpin suatu rapat kaum Basque di Barcelona. Ia
menolak ayahnya memberikan uang jaminan untuk
pembebasan dirinya, kecuali kalau uang jaminan juga
diberikan untuk para demonstran lainnya yang ikut
tertangkap. Ayahnya tidak bersedia. Karir Ricardo berakhir, demikian juga pertunangannya. Itu terjadi lima tahun
berselang. Lima tahun penuh bahaya, lima tahun penuh
perjuangan untuk cita-cita yang diyakininya. Kini ia sedang dalam pelarian lagi, seorang yang dikejar-kejar polisi, mengawal seorang biarawati bisu dan terbelakang
menyeberangi Spanyol. "Kita akan mengambil jalan yang ini." Ricardo berkata pada suster Graciela. Kali ini Ricardo tidak mau menyentuh badan suster itu.
Mereka berbelok dari jalan utama dan memasuki Calle
de San Valentin. Di sudut jalan ada sebuah toko yang
menjual alat-alat musik. Ricardo berkata, "Aku ada ide, suster. Tunggulah di sini sebentar."
Ricardo memasuki toko itu.
"Buenos dias. Dapatkah aku membantu Anda?"
"Ya. Aku ingin membeli dua buah gitar."
"Ah, Anda sedang mujur. Kami baru saja menerima gitar-gitar baru. Ramireze. Itu yang terbaik."
"Barangkali yang tidak berkualitas setinggi itu.
Temanku dan aku sendiri cuma amatir."
"Oh terserah Anda, senor. Bagaimana kalau yang ini?"
Pelayan toko itu menunjuk. "Aku dapat memberikan dua buah Konos untuk lima ribu peseta sebuahnya."
"Kupikir yang ini saja." Ricardo memlhh dua buah gitar yang tidak mahal.
Beberapa saat kemudian Ricardo keluar dan toko itu
dengan menjinjing dua buah gitar. Ia sebenarnya
mengharapkan suster Graciela telah pergi meninggalkannya. Namun biarawati itu masih di tempat ia tinggalkan tadi, menunggu dengan sabar.
"Ini, suster. Kau bawakah yang sebuah ini?"
Suster Graciela memandang penuh pertanyaan pada
Ricardo. , . "Anda tidak perlu memainkannya." RIcardo berkata dengan sabar. "Hanya untuk penyamaran." Mereka
melanjutkan perjalanan dan tiba dl bawah waduk raksasa yang dibangun oleh bangsa Romawi berabad-abad yang
lalu. Ricardo mencoba lagi, "Kaulihat waduk itu, suster" Di antara batu-batunya itu tidak dipergunakan semen.
Menurut legenda, waduk itu dibangun dua ribu tahun yang lalu oleh Iblis. Batu ditumpukkan ke atas batu, hanya dengan daya magi Iblis sebagai perekatnya." Ricardo memandang pada suster itu, melihat reaksinya.
Tidak ada. Ah, persetan dengannya, Ricardo berpikir. Aku
menyerah kalah. Dengan segala sikapnya yang menjengkelkan dari suster Graciela itu, Ricardo ternyata merasa terharu setiap kali memandang pada wanita itu. Dan Ricardo cuma dapat
mencaci diri sendiri sebagai seorang tolol yang romantikal.
Wanita itu sungguh suatu misteri, sepertinya tertanam di belakang suatu dinding yang tidak dapat ditembus. Apakah yang sebenarnya terdapat di balik permukaan yang cantik tiada taranya itu" Kepintaran atau kedunguan" Memikat atau menyebalkan" Dingin atau penuh gairah" Ah, aku
mengharap ia tolol, dungu dan dingin, Ricardo berpikir.
Kalau tidak, maka aku tidak akan tahan kehilangan dirinya.
Seakan-akan ia akan pernah dapat memiliki wanita itu! Ia milik Tuhan. Ricardo memalingkan mukanya, khawatir
suster Graciela dapat merasa dan menebak yang sedang
dipikirkannya itu. Selama perjalanan itu, Ricardo juga memperhatikan
bahwa suster Graciela berjalan dengan agak pincang.
Mesti kuusahakan alat angkutan, pikir Ricardo.
Perjalanan kita masih jauh.
Ketika tiba di Manzanares el Real, bertemu mereka
dengan suatu karavan gipsi. Di bagian kereta-kereta gipsi itu tampaklah kaum wanita dan anak-anak, semuanya
berpakaian layaknya kaum gipsi.
Ricardo berkata, "Tunggu di sini, suster. Aku akan mencoba mendapatkan boncengan."
Ricardo mendekati pengemudi kereta terdepan. "Buenas tardes, senor. Kami akan sungguh berterima kasih kalau saudara sudi memperkenankan tunanganku dan aku
numpang naik kereta saudara dalam perjalanan kami."
Pria itu memandang ke arah Graciela berdiri menunggu.
"Oh, boleh saja. Ke mana kalian menuju?"
"Ke pegunungan Guadarrama."
"Aku dapat membawa kalian hingga sejauh Cerezo de Abajo."
"Itu pun sddah amat menolong. Terima kasih."
Ricardo berjabatan tangan dengan pengemudi itu.
"Kalian naiklah ke atas kereta paling belakang."
"Terima kasih."
Ricardo kembali ke tempat Graciela berdiri.
"Kaum gipsi itu dapat membawa kita sampai Cerezo de Abajo. Kita akan menumpang di kereta paling belakang."
Sesaat lamanya, Ricardo yakin bahwa suster itu akan
menolak. Tampak ragu, dan kemudian melangkah ke kereta yang dimaksudkan.
Penumpang kereta terakhir itu ada kurang lebih enam
orang gipsi. Mereka memberikan tempat kepada Ricardo
dan Graciela. Ketika naik ke atas kereta, Ricardo dapat melihat sekilas kedua kaki Graciela. Ah, ia memiliki kaki terindah yang pernah kulihat.
Mereka berusaha memapankan diri sebaik mungkin di
atas dasar kereta yang dari kayu keras itu, dan perjalanan jauh itu pun dimulai. Graciela duduk di sudut, matanya terpejam dan bibirnya bergerak-gerak dalam berdoa.
Ricardo tidak dapat melepaskan pandangan matanya dari wanita itu.
Menjelang petang karavan gipsi itu berhenti dan
pemimpin rombongan itu mendatangi kereta yang paling
belakang. "Sampai di sinilah kami dapat membawa kalian." Ia berkata pada Ricardo. "Kami akan menuju ke Vinvelas."
Jurusan yang salah. "Kami dapat sampai di sini saja sudah suatu pertolongan yang besar. Terima kasih."
Ricardo berkata. "Kami akan berterima kasih sekali kalau Anda dapat menjual sedikit makanan untuk tunanganku
dan aku." Pemimpin rombongan itu berbicara dalam suatu bahasa
asing kepada seorang di antara wanita gipsi itu, dan
beberapa saat kemudian dua bungkusan makanan
diserahkan kepada Ricardo.
"Muchas gracias. Terima kasih." Ricardo mengeluarkan uangnya.
Pemimpin gipsi itu memandang sejenak lamanya pada
Ricardo. "Anda dan suster sudah membayar untuk
makanan itu." Anda dan suster. Ah, pemimpin gipsi itu tahu! Namun
Ricardo tidak merasakan adanya bahaya. Kaum gipsi
merupakan golongan yang ditindas oleh pemerintah,
seperti halnya kaum Basque dan Catalan.
"Vaya con Dios."
Ricardo berdiri di situ menyaksikan karavan itu
menghilang dari pemandangan, kemudian ia berpaling
pada Graciela. Suster itu sedang memperhatikan dirinya, diam.
"Sebentar lagi kau tidak akan merasa terganggu oleh kehadiranku." Ricardo berkata. "Sebab kita akan sampai di Logrono. Kau akan bertemu dengan teman-temanmu di
sana dan dari sana kau sudah akan dalam perjalanan ke biara di Mendavia."
Tidak ada reaksi. Seakan-akan ia berbicara pada dinding batu.
Aku berbicara pada sebuah dinding batu.
Mereka berada di suatu lembah yang kaya dengan
pohon-pohon appel, per dan tidak jauh dari tempat mereka berdiri itu adalah sungai Duration. Di masa lalu, Ricardo suka memancing ikan di sungai itu.
Ricardo berbalik dan memperhatikan pegunungan
Guadarrama yang menjulang di hadapan mereka.
"Nah, sebaiknya kita berangkat." Ricardo berkata. "Masih ada pendakian panjang di depan kita."
Ricardo tidak ingin bersisipan dengan kawan-kawannya
di Logrono. Biar nanti suster yang membisu itu menjadi tanggungan dan sebab sakit kepalanya orang lain.
Ketika mereka mulai mendaki jalan gunung yang curam
itu, Graciela terpeleset karena batu-batu kerikil dan secara naluri Ricardo menyambar lengan Graciela untuk
mencegab terjatuhnya suster itu. Dengan satu sentakan, Graciela melepaskan lengannya dari pegangan pria itu.
Baiklah, Ricardo berpikir dengan marah, Tanggunglah
sendiri kalau lehermu patah.
Mereka terus bergerak naik, menuju ke puncak yang
tinggi di atas sana. Jalanan pegunungan itu semakin curam dan sempit dan udara semakin tipis. Mereka menuju ke
arah timur, melewati hutan pinus. Di depan mereka
terdapat sebuah desa yang biasa menjadi tempat hampiran pendaki-pendaki gunung. Akan cukup makanan dan
minuman di sana, juga kehangatan dan tempat beristirahat.
Sungguh menggoda. Terlalu berbahaya, Ricardo memutusk-an. Akan merupakan tempat yang cocok sekali bagi Acoca memasang perangkap di sana.
Ricardo berpaling pada suster Graciela. "Akan kita ambil jalan mengitar dan menghindari desa itu.
"Kau masih dapat melanjutkan perialanan sebentar lagi sebelum kita beristirahat?"
Suster Graciela memandang padanya, dan sebagai
jawabannya, ia berbalik dan mulai berjalan lagi.
Sikap dan cara yang kasar itu sungguh menyinggung
perasaan Ricardo, dan pikirnya: Puji Tuhan, di Logrono aku akan terbebas dari wanita yang seorang ini. Tetapi" ya
Tuhan, mengapa perasaan-perasaanku menjadi kacau
karenanya" Menjelang petang mereka mencapai sebuah daerah yang
terkenal akan goa-goanya. Dan setelah itu jalanan akan mulai menurun.
Dari sini akan lebih ringan. Yang terburuk sudah kita lewati, pikir Ricardo.
Tiba-tiba terdengar olehnya suara mendengung itu. Ia
menengadahkan kepala, mencari sumber suara itu. Sebuah pesawat militer tiba-tiba tampak di atas puncak gunung itu, terbang ke arah tnereka berada.
"Bertiarap!" Ricardo berseru. "Bertiaraplah!"
Graciela berjalan terus. Pesawat itu berputar dan mulai menukik.
"Bertiaraplah!" Ricardo berteriak lagi.
Ricardo meloncat dan mendorong suster itu ke atas
tanah, tubuhnya menindih tubuh suster itu. Yang terjadi kemudian sungguh di luar segala dugaan Ricardo. Tanpa canang sedikitpun, Graciela mulai menjerit-jerit histeris, meronta
dan berlawan. Suster itu menendang selangkangan Ricardo, mencakar muka Ricardo, mencoba
mencukil mata Ricardo dengan jari-jari dan kuku jari
tangannya. Tetapi yang paling mengejutkan adalah yang terucap keluar dari mulutnya. Suster itu meneriakkan


Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangkaian kata-kata kotor yang melempar Ricardo dalam suatu guncangan: banjir kata-kata kotor yang menyerang pendengaran Ricardo. Ricardo hampir tidak percaya bahwa kata-kata itu keluar dari mulut yang indah dan suci itu.
Ricardo berusaha menangkap kedua tangan suster
Graciela itu, demi untuk melindungi dirinya dari kuku-kuku
ganas itu. Suster Graciela itu bagaikan seekor kucing hutan di bawah tindihan tubuhnya.
"Hentikan ini!" Ricardo berteriak. "Aku bukannya hendak menyakiti dirimu. Yang terbang di atas itu adalah sebuah pesawat militer. Pesawat pengintai. Mungkin
mereka telah melihat kita. Kita harus segera pergi dari sini."
Ricardo terus menahan wanita itu di bawah tindihannya, sampai rontaan dan perlawanan itu akhirnya mereda dan berhenti. Suara-suara ganjil dan tersumbat terdengar dari wanita itu, dan Ricardo menyadari bahwa suster Graciela itu
menangis terisak-isak. Ricardo, dengan
segala pengalamannya dengan kaum wanita, sungguh terbengong.
Ia sedang dalam posisi menunggangi seorang suster yang histeris, yang memiliki kamus seorang pengemudi truk.
Dan ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya selanjutnya.
Ricardo berusaha berbicara dengan suara setenang
mungkin. "Suster, kita harus segera mencari tempat persembunyian. Pesawat itu mungkin sudah melaporkan
keberadaan kita dan dalam beberapa jam saja para serdadu sudah akan berkerumun di sini. Kalau kau benar-benar
ingin sampai di biara itu, maka bangkitlah dan ikutlah aku."
Ricardo menunggu sesaat, kemudian mengangkat
dirinya sendiri dari atas wanita itu. Duduk di samping suster Graciela hingga isaknya itu mereda. Akhirnya
Graciela pun duduk. Wajahnya kotor karena debu campur air mata, rambutnya kusut, matanya merah karena
tangisnya, namun kecantikannya masih juga membuat
Ricardo pilu tidak tertahankan.
Cepat-cepat Ricardo berkata, "Maafkan aku kalau aku telah membuatmu ketakutan. Aku sepertinya tidak tahu
bagaimana harus berkelakuan di hadapan dirimu. Aku
berjanji akan lebih berhati-hati di masa mendatang."
Suster Graciela cuma memandang padanya dengan
matanya yang besar dan hitam kelam, penuh airmata itu.
Dan Ricardo tidak mampu membayangkan apa gerangan
yang ada dalam pikiran wanita itu. Ricardo menghela nafas dan bangkit berdiri. Graciela mengikutinya.
Satu mil jauhnya dari tempat mereka melihat pesawat
militer itu, Ricardo menemukan sebuah goa yang
dianggapnya cocok sebagai tempat persembunyian. Jalm
masuk goa itu nyaris tertutup rapat oleh semak-semak.
"Tunggu sebentar." Ia berkata pada suster Graciela.
Dengan cukup sulit Ricardo memasuki goa itu. Gelap
gulita di dalam situ, hanya sinar samar-samar yang
menyelinap masuk lewat semak-semak di depan pintu goa itu.
Ricardo keluar lagi dari goa itu.
"Tampaknya aman." Ricardo berkata. "Kau masuklah dan tunggulah di situ. Akan kucari cabang-cabang dan
ranting-ranting pohon untuk menyempurnakan penutup
pintu goa itu. Aku akan kembali dalam beberapa menit."
Ricardo memperhatikan Graciela masuk ke dalam goa
itu, dan ia bertanya-tanya sendiri apakah akan ditemukannya wanita itu masih di situ jika ia kembali nanti.
Ricardo menyadari bahwa yang paling diharapkan dan
diinginkannya adalah mendapatkan suster Graciela masih ada di situ . .
Di dalam goa itu, Graciela memperhatikan perginya
Ricardo. Ia terkulai ke atas tanah yang dingin itu, dirundung keputus-asaan.
Aku tidak tahan lagi, pikirnya. Oh, di manakah Dikau, Jesus" Tolonglah aku, bebaskanlah aku darl neraka ini.
Memang nerakalah yang dialaminya itu. Sejak awalnya,
Graciela telah berlawan terhadap daya tarik yang
dirasakannya memancar dari diri Ricardo. Ia teringat akan Moor itu. Aku takut akan diriku sendiri. Akan kebatilan yang terdapat dalam diriku. Aku menghasratkan pria ini, dan aku tidak harus. Maka dibangunnya suatu batas
kebungkaman di antara mereka, keheningan yang menjadi bagian hidupnya dalam biara itu. Tetapi kini, tanpa disiplin biara, tanpa doa, tanpa cambuk kerutinan yang ketat,
Mempelai Liang Kubur 1 Sleep With The Devil Karya Santhy Agatha Dalam Derai Hujan 5
^