Pencarian

Cowok Rasa Apel 2

Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude Bagian 2


Mangkunegaran. Kami pun sampai. Dan seperti yang kucemaskan,
baru turun dari motor, buka helm, orang-orang langsung
memandangi kami. Denis-nya sih cuek, tapi aku yang nggak
nyaman! Untung nggak terlalu ramai orangnya! Huh, aku coba buat
cuek juga lah! Kraton Mangkunegaran terkenal karena punya bangunan
pendapa yang katanya terbesar di Asia Tenggara. Aku duduk di tepi
kolam di depan pendapa itu, memandangi dengan takjub bangunan
berarsitektur Jawa campuran dengan Klasik itu. Memang megah sih.
Sayangnya agak kusam. "Kok ukiran atapnya kayak gaya-gaya Barat gitu ya?" Denis
ikut duduk di sampingku sambil berkomentar.
"Pengaruh dari Belanda kali," jawabku.
"Bukannya Belanda itu musuhan sama Kraton?"
"Nggak tahu ah. Nggak semua juga kali. Itu Pasar Gede di
Solo arsiteknya juga orang Belanda, yang makai orang-orang
pribumi." "Menarik nih! Masuk ke dalam yuk, Mas...!" ajak Denis.
Aku sendiri juga ikut penasaran. Ingin lihat seperti apa
istana raja Jawa ini! Kami melangkah menuju ke Pendapa
Mangkunegaran, lebih dekat. Aku lihat ada beberapa pengunjung
lainnya yang sepertinya satu rombongan. Aku lihat mereka semua
melepas sandal, sepertinya aturannya memang begitu...
66 "Sandalnya dilepas, Den!" bisikku ke Denis.
Kami melepas sandal. Selanjutnya mulai jalan-jalan ke
dalam pendapa. Aku dan Denis manggut-manggut mencuri dengar
seorang Guide yang sedang memberi penjelasan ke rombongan
pengunjung. Penjelasan tentang sebuah mitos. Mitos tentang tiang
pendapa... "Ada satu mitos tentang tiang pendapa Mangkunegaran
ini, bahwa barang siapa bisa melingkarkan kedua tangannya ke
tiang ini, dan kedua tangan itu dapat bertemu, maka harapan yang
dipanjatkan akan terkabul. Siapa tahu ada yang ingin mencoba"
Tapi sekali lagi ini mitos bapak-bapak, ibu-ibu, benar tidaknya
tergantung bagaimana kita meyakininya..." bla bla bla, Guide itu
menjelaskan ke rombongannya.
Mulai, satu persatu anggota rombongan itu mencoba
memeluk tiang pendapa itu. Ada yang tangannya bisa saling
bertemu, ada yang enggak.
Hmmm... Jadi penasaran juga nih...!
juga. "Mas, mau ikut nyoba nggak?" Denis kelihatan penasaran
"Pingin sih...!" gumamku bersemangat.
Kami menunggu rombongan itu selesai menjajal tiang itu.
Belum mulai aku sudah bingung, nanti kalau aku berhasil, mau
memanjatkan harapan apa ya"
Ummm... boleh nggak yah misalnya... supaya sikap Erik
jadi lebih baik padaku" Atau... Dia membalas cintaku..."
Hehehe... Maksa nggak sih" Makanya dicoba dulu! Sukses
nggaknya biar takdir yang menentukan! Orang wajib usaha kan"
Denis mulai duluan. Perlahan-lahan dia memeluk tiang itu.
Dan... "Woiii! Gue nyampai, Mas!" Denis berbinar-binar.
"Hahhh" Wahhh..." aku terpukau melihat tangan Denis
yang melingkari tiang itu dan ujung kedua tangannya bisa saling
bertemu. "Hehehe... Nyampai kan gue...! Coba sekarang lu...!"
tantang Denis seraya melepaskan pelukannya.
67 Aku gantian ancang-ancang.
Heekkkk... Aku terus berusaha keras!
Kupeluk tiang itu...!! Tapi... "Kok nggak nyampai, Mas?"
"Iya nih...?" Aku heran! Coba lagi, lebih keras! Kutekan tubuhku lebih
erat lagi supaya tanganku yang melingkari tiang bisa saling
bertemu! Ayooo... Terusss...!!! "Hhhhhhhh..." akhirnya kulepaskan tanganku.
Aduhhh... Denis aja bisa..."!! Aku yang lebih tinggi,
mustinya tanganku juga lebih panjang dari tangan dia"! Tapi
tanganku nggak sampai..."!! Kok bisa gitu..."!!
"Nggak nyampai...!" cibir Denis.
"Nggak tahu nih... Jangan-jangan ini tiang memang bukan
sembarang tiang nih..."!" gumamku tercengang-cengang.
"Lu banyak dosa kali?"
"Sialan! Ngaco...!" tukasku kesal.
Emmmhhh... Apa ini tanda kalau semua harapanku
tentang Erik itu... mustahil...?"" Terlalu muluk" Ini sebuah
pertanda..." "Udah, nggak usah dipikirin! Cuma mitos! Gitu aja
stress...!" tukas Denis sambil memijit-mijit pundakku.
"Kamu tadi... harapan apa yang kamu panjatin?" tanyaku
ke Denis. Penasaran. "Nggak ada. Tadi cuma penasaran aja buat meluk!"
"Beneran" Kan untung tuh bisa kesampaian, masa nggak
manjatin apa gitu...?" kulikku.
"Manjatin apa" Manjatin tuh tiang sekalian"! Itu kan cuma
mitos, gue sih nggak percaya...!" celetuk Denis.
"Tapi aneh nggak sih" Aku kan lebih tinggi dari kamu jadi
mustinya tanganku lebih panjang juga, harusnya bisa nyampai juga
dong"!" gumamku masih keheranan.
68 "Kan pernah gue bilang, badan lu tinggi nggak jaminan
bagian yang lain juga ikut panjang!"
"Weii, asem!!! Nyindir nih"!" aku langsung sewot.
"Cuma nyuruh lu introspeksi aja!" kelit Denis sambil melet.
Sialan! Tapi ada benarnya juga sih yang dia bilang... Kok aku jadi
percaya banget sama mitos-mitos gituan ya" Udah ah, nevermind!
Jepret-jepret sebentar pakai kamera HP, hingga akhirnya
kami selesai melihat-lihat pendapa. Lalu aku mengajak Denis ke
museum kereta. Letaknya di seberang pendapa. Ada bangunan
memanjang yang terdiri dari beberapa ruang, di situ kami melihatlihat kereta-kereta yang dulu biasa dipakai keluarga bangsawan di
Mangkunegaran. Setelah itu, sepertinya sudah nggak ada lagi yang bisa
dilihat di tempat ini. "Mau kemana lagi habis ini?" lontarku.
"Nggak tahu. Kemana ya" Harusnya ke Kraton yang
satunya!" gumam Denis.
macet!" "Nggak usah lah! Males jalan ke sana, ramai, kadang
Lalu sesaat Denis mengerling. "Ehhh, katanya Solo ada
bekas benteng juga ya" Ke sana aja kalo gitu!"
"Benteng Vastenburg" Ngapain" Udah nggak terawat
tempatnya!" timpalku, menolak lagi.
"Tapi dulu gue pernah baca di koran, tuh benteng dipakai
buat festival musik internasional gitu! Masa Nggak terawat sih"!"
Weewww... Festival musik internasional" Pasti maksud
Denis itu SIEM Festival, Solo International Ethnic Music Festival! Kok
dia tahu juga ya" Dari koran lagi" Anak macam dia gemar baca
koran" "Memang sih, tahun 2007 ada SIEM Festival di sana. Hari
terakhir aku nonton ada penampilan grup folk dari Belanda, keren
banget! Gratis lagi...!" ceritaku, berbinar penuh kesan. "Tapi sayang,
habis event itu selesai bentengnya nggak diurusin lagi kayaknya...!"
69 "Memangnya cuma sekali itu dipakai?"
"SIEM kedua tahun 2008 diadakan di tempat lain! Mau
tahu, diadakan dimana"!" aku malah jadi antusias untuk bercerita
tentang festival musik itu.
"Dimana?" "Di sini! Di Mangkunegaran!"
"Hah" Masa sih"!" Denis ikut antusias!
"Iya. Panggungnya di-set di lapangan depan itu!" jelasku
sambil menunjuk ke arah lapangan di luar gerbang Kraton. "Sayang
juga, aku pingin nonton Balawan tapi malah batal manggung dia!
Tapi tetap asyik sih, pada hari penutupan ada performance dari artis
Batak... Siapa ya..." Rada lupa namanya..."
"Viky Sianipar!"
"Iya, itu kayaknya...!"
"Gue juga baca ulasannya di koran. Sumpah, kalo ada
kesempatan pingin nonton gue konsernya Viky Sianipar! Hmmmm...
Jadi di sini ya, tempat event itu...?" gumam Denis sambil berdecak,
menyiratkan penuh kesan. "Solo ini sebenarnya kota kecil, tapi
kayaknya meriah ya!"
"Iya lah! Biar kecil, tapi kreatif! Punya event-event kelas
internasional! Selain SIEM masih ada juga Solo Batik Carnival! Malah
yang Batik Carnival baru aja diadakan, sehari sebelum kamu tiba di
Solo ada karnaval di sepanjang Jalan Slamet Riyadi! Keren
pokoknya!" Denis sekarang cemberut. "Lu sengaja bikin gue pingin
kan"!" tukasnya.
"Memang! Hahaha... Udah ah, habis ini makan aja yuk!"
selorohku. Akhirnya sadar kalau perutku lapar!
"Makan dimana?"
"Ya nanti cari lah di jalan!" ujarku sambil melangkah
menuju ke tempat parkir. Akhirnya kami berdua meninggalkan Kraton Mangkunegaran. Kembali duduk di atas motor, meluncur di jalanan
kota Solo yang ramai. 70 Tapi... Sesekali, aku masih saja terpikir soal tiang di Kraton
tadi. Masih bertanya-tanya, apa harapanku tentang Erik itu memang
terlalu muluk" Apa itu memang mustahil buat kuraih, makanya aku
nggak "diloloskan" saat memeluk tiang itu..."
Apa keampuhan tiang itu memang bukan ditujukan
untuk... cowok yang suka sesama cowok...?""
Ahh! Sudah dibilang itu cuma mitos! MITOS...!!!
Jangan dipikirkan lagi! 71 Aku, Denis, dan Erik Dari Mangkunegaran, menyeberang jalan Slamet Riyadi,
bertemu daerah Coyudan. Di situ ada sebuah resto fastfood yang
terkenal dengan burgernya! Yup, lagi pingin beefbuger!
"Yahh, fastfood?" keluh Denis.
"Kenapa?" "Gue pingin nyobain masakan Jawa! Kangen! Yang
tradisional gitu lah...!"
"Halahh! Sok tradisional segala! Kalo mau tradisional nanti
habis ini mampir ke Notosuman, beli Srabi! Tapi sekarang
beefburger dulu!" cetusku nggak mau ngalah.
Akhirnya Denis menurut juga. Kami antri pesan menu.
Lima menit, dapat menunya! Lalu kami mencari tempat duduk di
bagian yang agak belakang, yang agak sepi.
"Doyan amat sama fastfood" Nggak sehat tahu!" Denis
masih ngedumel. "Nggak sehat kalo keseringan! Kalo cuma sekali-sekali
nggak papa lah! Lagi pingin, mumpung lagi ada duit...!" gumamku
sambil siap-siap mencicip burgerku.
Baru asyik melahap burger...
"Lho, Mas...?" tiba-tiba ada yang menyapaku.
Aku langsung menoleh, dan... ASTAGA...!!! Hampir saja
aku keselek! ERIK..."!! Kok dia bisa ada di sini?"" Ini kebetulan apa keajaiban..."!!
"Eh, halo, Rik...!" sapaku gugup.
72 Erik meletakkan nampannya, satu meja dengan aku dan
Denis. Dia pun segera beralih memandangi Denis, dan langsung
nggak kalah kaget dariku...!
"Lho, kalian... kok mirip ya"! Ini adik... atau kakak nih...?"
Erik memandangi kami berdua bergantian, matanya sampai
bengong! Mampus aku, akhirnya ketahuan juga punya kembaran...!!!
Kok yang tahu juga si Erik sihhhh...?""!!!
"Temannya Dimas?" tanya Denis ke Erik.
"Iya... Kamu?" Erik ganti bertanya dengan agak kikuk.
"Sodaranya dia!" jawab Denis cuek sambil mengunyah
frenc fries. "Kalian... kembar...?" Erik menebak-nebak, bingung.
"Ya gitu deh..." jawab Denis cuek.
Denis bisa sesantai itu! Aku..."!! Aku sampai salah
tingkah...!!! Apalagi ini di depan Erik! Kemarin aku habis bertingkah
konyol ngasih dia kado apel, sekarang malah ketahuan aku makan
sama sodara kembarku!!! Haduuhhh...! Gimana yaa...?"" Aku masih malu..."!!
"Wahhh...! Aku baru tahu nih...! Nggak nyangka...!" Erik
manggut-manggut, terus memandangi aku dan Denis bergantian
dengan takjub sekaligus keheranan. "Kok aku baru tahu sih..."!"
"Udah lah! Nggak usah diceritain, panjang ceritanya...!"
kelitku enggan. "Tapi... Exciting...!" decak Erik masih terkagum-kagum.
"Asyik ya kayaknya, punya sodara kembar...?"
"Asyik apanya" Nyebelin punya sodara kayak dia...!"
sahutku sambil nunjuk Denis, mencoba bersikap santai buat
mengatasi gugup. "Ahh, nggak percaya! Ini kalian bisa makan-makan
berdua" Kayaknya asyik-asyik aja...?" Erik membantahku.
Ehhh... Sebentar, sebentar...! Kok kayaknya... Erik jadi
ramah gini sama aku...?"" Seolah-olah dinding tebal yang biasanya
ada di antara kami sekarang lenyap..."!!
73 "Dimas tuh emang jaim orangnya! Dia sebenarnya sayang
kok sama gue...!" balas Denis. Asem nih anak...! Berani ngerjain aku
di depan Erik! "Hahaha... Masa si Dimas jaim sih" Perasaan kalo dia
perhatian suka nunjukin langsung tuh?" sahut Erik sambil melirikku
dengan senyum misterius. Aaaahhh!!! Erik bilang apa..."!! Kalau lagi perhatian aku
suka nunjukin langsung?"" Maksudnya apa nih..."!! Nyindir...?""!!!


Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Teganya! Bikin aku tambah malu...!
"Kalo sama orang lain iya kali. Tapi kalo sama adek sendiri
nggak...!" Denis tambah jahil komentarnya.
"Ohh, jadi kamu adiknya..." Oh iya, sampai
kenalan...! Aku Erik..." Erik mengulurkan tangannya ke Denis.
lupa "Denis..." Denis membalas jabatan Erik setelah dia
membersihkan tangannya dari bekas frenc fries. "Lu temen
sekolahnya Dimas?" "Iya. Beda kelas sih. Tapi akrab kok sama dia!" jawab Erik.
Berdebar-debar jantungku...! Barusan Erik bilang apa" Dia
akrab sama aku?"" Dia mengaku begitu..." Jujur apa basa-basi..."!!
Tapi... Aku tetap senang mendengarnya!!! Akhirnya!!! Setelah
sekian lama menghadapi sikap juteknya...!
"Wew, muka Dimas kok rada merah gitu" Abis kepanasan
ya?" tiba-tiba Erik mengomentari wajahku.
Denis. "Kepanasan apaan" Emang muka gue merah juga?" sela
"Nggak tuh?" jawab Erik.
"Berarti merahnya bukan karena kepanasan! Tapi karena
yang lain...!" sahut Denis.
Erik memandangiku dengan tersenyum-senyum. Aaarrhhhh...!!! Aku dikerjain habis-habisan sama mereka berdua...!!!
Dasar pada nggak punya perasaan!!!
"Burgerku nih, pedes! Kalian jangan pada usil ya!
Terutama kamu, ngeledek aku lagi, aku tinggalin di sini...!" ancamku
74 sambil menunjuk Denis. Berusaha stay cool, menyembunyikan rasa
maluku...! "Tinggalin aja! Palingan ntar lu diomelin sama Mama!
Terus disuruh jemput gue lagi di sini...!" balas Denis cuek.
"Nggak papa. Kalo ditinggal sama Dimas, nanti aku yang
anterin...!" sahut Erik.
AAARRRGGGHHH...!!! Kok Erik malah sekongkol sama Denis"!! Tidaaaaakkkkkk!!!
Aku nggak terima!!! Mereka pakai ketawa-ketawa lagi"!! Kok mereka
berdua jadi lebih akrab dibanding sama aku sih"!!! Kurang ajar...!!!
Tapi... Huhhhh... Kalau dilihat dari segi positipnya, memang sih...
kayaknya Erik jadi lebih ramah dan terbuka padaku... Kayaknya dia
nggak kesal lagi sama aku. Hmmhhh... Tapi biarpun keadaan ini
lebih baik, bukan berarti harus mempermalukan aku seperti ini!
Yah, oke deh, nggak apa-apa... Meski Erik lebih pro sama
Denis, sebaiknya aku tetap berpikir positif aja! Lagian kapan lagi
bisa makan bareng seperti ini..."
Mengalir saja, menikmati waktu ini. Dibikin enjoy aja...!
"Benar nggak sih, sodara kembar itu ikatan batinnya
kuat?" tanya Erik, masih seputar hubunganku sama Denis.
"Nggak. Ada sih hal yang bisa buat berbagi, tapi nggak
semuanya. Pada intinya sih aku nggak mau mikirin urusan dia!
Mending mikirin urusanku sendiri! Biasanya sih aku sama dia malah
banyak berantemnya...!" jelasku cuek.
"Nggak juga ding, si Dimas tuh sering juga kok manjanya
ke gue...!" balas Denis.
"Mulai lagi"!" aku mengepalkan tanganku ke Denis.
"Hahaha... Kelihatan kok! Dimas tuh pura-pura aja jahat
sama kamu...!" komentar Erik.
"Ehh, dari tadi belain Denis terus sih"!" protesku ke Erik.
"Soalnya lu kebanyakan pura-pura! Bilang jujur aja
kenapa, kalo lu sayang sama gue..."!" sahut Denis nyengir main
tunjuk. 75 "Kayaknya kamu lebih pintar menebak perasaan Dimas
ya?" lontar Erik ke Denis.
"Yahhh, kalo perasaan dia sih
ditebak...!" sahut Denis sambil menunjukku.
memang gampang "Apa mungkin karena sodara kembar, kamu lebih mudah
menebak Dimas dibanding kalo misalnya... aku yang nebak dia..."
Tapi Dimas-nya bisa nebak kamu juga nggak?"
"Nggak tahu deh. Tanyain aja ke Dimas...!"
Lalu Erik sama Denis kompak memandangiku...
"Ngapain juga sih diurusin"! Nggak selesai-selesai nih
makannya...!" kelitku dongkol.
Mereka berdua langsung ketawa-ketawa lagi. Dasar
konyol!!! "Kamu bisa menebak perasaan Dimas sekarang nggak...?"
tiba-tiba Erik menantang Denis untuk...
MENEBAK PERASAANKU?""
Maksudnya apa lagi ini..."!!!
"Kayaknya lagi sebel dia. Ngiri kali, nggak dapat teman.
Dari tadi kan kita kompak ngerjain dia...!" celetuk Denis.
"Ngiri sama kita?"
"Hehehe... Udah ah, jangan dikerjain lagi. Kasihan...! Biar
suka badmood, dia tetap kakak gue yang baik!"
Lagi-lagi Erik sama Denis ketawa-ketawa. Mereka benarbenar kompak! Kok bisa gitu sih..."!
Aku iri..." Mungkin. Aku cemburu..." Bisa jadi kali ya..."
Benar-benar sialan mereka berdua!
Tapi memang sih, kayaknya Denis bisa menebakku.
Mungkin ini juga bukan pertama kalinya. Contohnya, pas aku pulang
dari rumah Erik sehabis memberi dia apel, pas aku lagi sedihsedihnya, Denis menyanyi lagu tentang... apel...!
Apa dia memang punya intuisi itu ya" Naluri sodara
kembar" Tapi kok kayaknya aku nggak punya..."
Huhhhh... Sudah lah...! Ribet amat memikirkan itu"! Aku
76 sama Denis sodara, kalau saling perhatian ya wajar! Kalau sering
bertengkar ya wajar juga, namanya juga cowok!
Tapi kalau soal Erik... Kenapa dia jadi ramah begini...?""
Itu yang aku belum mengerti. Dia mau menghampiriku di sini,
padahal biasanya dia lebih suka menghindar dariku... Ada apa ya..."
Biarpun aku senang, tapi ini tetap mengherankan...
Ngobrol, bercanda, mengalir di meja makan ini. Nggak
terasa, makanan dan minuman kami sudah nggak bersisa!
"Udahan yuk!" ucap Denis.
"Habis ini kalian mau kemana lagi?" tanya Erik.
"Kata Dimas mau beli srabi," jawab Denis.
"Ke Notosuman," tambahku.
"Ohh... Ya udah. Aku mau langsung pulang!" sahut Erik.
Akhirnya kami bertiga beranjak dari meja makan kami.
Meninggalkan ruang restaurant.
"Ehh, Mas, apel yang kamu kasih itu beli di mana?" sambil
jalan tiba-tiba Erik bertanya padaku.
Deg...!!! Jantungku kembali berdegup keras! Lagi-lagi apel
itu..."!! "Apel apaan?" Denis menyela.
Erik. "Nggak apa-apa. Dimas kemarin ngasih apel..." gumam
Aduhhh...!!! Ampun...! Kok Erik juga terus terang gitu sih
ke Denis?"" Kalau dia nanti berpikir macam-macam gimana" Aku
nggak mau masalahku sama Erik ada yang tahu di keluargaku...!
Makin kacau saja...!!! "Ohh..." Denis cuma mengangguk-angguk. Untungnya dia
nggak komentar yang aneh-aneh! Semoga dia juga nggak berpikir
macam-macam...! Tapi aku jadi cemas juga soal apel itu, kenapa Erik
menanyakannya" "Memangnya kenapa, Rik?" tanyaku dengan ragu.
"Emm... Enak apelnya. Kecut sama manisnya itu...
77 Biasanya kalo aku sendiri beli nggak sesegar itu...!" cetus Erik.
Ahh... Aneh nggak sih dia mengungkit hal itu" Masa sebiji
apel kesannya seistimewa itu" Perasaan kalau beli di tempat lain ya
sama aja rasanya, kan tinggal pintar-pintar memilihnya..."
Tapi, ya baguslah kalau ternyata kesan dia positif... Benarbenar jauh dari yang kusangka selama ini...!
Aku jadi malu lagi... Kali ini rasa maluku bukan karena aku
merasa telah memberi kado yang salah, tapi karena ternyata Erik
menghargai pemberianku...! Mungkin dia memang perlu basa-basi
mengatakan rasa apelnya enak... Tapi intinya, mungkin dia mau
bilang kalau kado dariku itu bukan pemberian yang salah...
Dan dia menghargainya...!
Sikap Erik yang sekarang terasa welcome padaku,
membuatku berpikir lagi tentang apa yang kulakukan di Pendapa
Mangkunegaran tadi... Seandainya tadi aku berhasil memeluk tiang
di Mangkunegaran itu, pastinya aku bakal percaya kalau ini adalah
tuah dari mitos itu! Tapi, sepertinya itu memang cuma mitos...!
Ohhh... Shocked by this blessing!
And now, I"m blushing...!
masing... Di halaman parkir kami menuju pada motor masing"Aku duluan ya!" Erik menstarter motornya lebih dulu.
"Oke!" sahut Denis.
Aku cuma tersenyum mengangguk, dan termangu
memperhatikan perginya. Sampai sosoknya menghilang, berbelok di
perempatan. bertanya. "Dalam rangka apa lu, ngasih dia apel...?" tiba-tiba Denis
"Bukan urusanmu...!" tukasku.
Tebak saja pakai naluri sodara kembarmu...!
Kalau bisa...! 78 Diary Lagi Sebuah pengalaman indah hari ini. Rasanya terlalu sia-sia
kalau semua kesan yang sudah kudapat itu nggak diabadikan. Ini
adalah hal indah yang harus kutulis!
Kubuka diary di laptopku.
Beberapa saat kemudian, jari-jariku pun mulai bergerak
mengetik kata-kata... "Rasanya seakan nggak bisa habis, segala kesan yang
kurasakan tentang cowok satu ini!
Erik. Jatuh bangun aku bergelut dengan berbagai macam
perasaan sejak aku kenal dia, sejak aku jatuh cinta sama dia. Aku
sudah menulis berulang kali tentang berbagai perasaanku selama
ini. Rasa senang saat melihat dirinya, rasa gemas dan malu saat
mengkhayalkan romantisme dengannya, lalu rasa sedih dan kesal
saat dia berusaha menghindariku, sakit hati saat dia
mengabaikanku... Aku pernah bercerita tentang itu semua di sini.
Tapi hari ini aku punya cerita lain!
Hari ini Erik datang menghampiriku. Dia menyapaku. Lalu
mulai mengajakku bercerita. Rasanya seperti mimpi! Yaaa, mungkin
agak lebay kalau aku hubungkan dengan mimpi... Tapi benar, aku
sangat-sangat terkejut dibuatnya! Nggak nyangka, setelah sekian
lama dia selalu mengacuhkanku tiba-tiba tadi dia mendekatiku. Di
sebuah meja makan, ditemani frenc fries, burger, salad dan cola,
kami mengobrol dengan lepas dan hangat, penuh canda dan tawa.
Hari apa ini" Kebaikan besar apa yang telah kubuat sampai
aku diberkati dengan momen yang begini indah" Aku sangat
senang! Dan sangat bahagia...!
79 Cuma" ya sayangnya saja, tadi ada Denis. Maksudku
"sayang", terus terang aku belum siap ada yang tahu kalau aku
punya sodara kembar. Bukannya aku nggak suka punya sodara
Denis, jahat sekali kalau aku nggak mengakui dia sebagai sodara!
Tapi rasanya ribet aja, selama ini teman-temanku telanjur tahu
seorang Dimas tanpa kembaran! Sialnya, yang pertama kali tahu
kalau aku punya kembaran adalah Erik!
Tanpa bermaksud merendahkan Denis, tapi aku tetap
merasa... emhh... yah, begitulah! Saat Erik tahu aku punya sodara
kembar Denis, kurasakan betapa ribetnya menghadapi ekspresinya
yang ternganga-nganga! Aku nggak peduli kalau Denis bisa cuek,
tapi aku bukan Denis! Aku nggak suka jadi objek perhatian! Aku
nggak nyaman dipandangi orang-orang dengan tatapan dan senyum
aneh mereka, meski itu nggak bermaksud buruk!
Tapi ya sudah lah. Itu sudah terjadi. Mau gimana lagi" Dan
sebenarnya itu hanya sekedar uneg-uneg aja, memang lebih bijak
kalau aku bisa menilai sisi baiknya, bahwa sikap Erik tampaknya
sudah mulai berubah terhadapku. Berubah menjadi lebih baik.
Sekarang dia terasa sangat ramah dan hangat. Dia juga cepat akrab
dengan Denis. Malah berulang kali mereka berdua ngerjain aku!
Memang ada rasa agak cemburu juga... Mereka berdua bisa cepat
akrab, sedangkan aku butuh waktu lama untuk bisa mendapatkan
keramahan Erik! Tapi itu juga bukan cemburu yang serius. Yahh... Mungkin
cuma sedikit rasa kesal! Rasa senang dan bahagia ini juga masih meninggalkan
satu teka-teki untukku. Sebelum kami berpisah, Erik sempat
menanyakan soal apel yang aku berikan padanya di hari ulang
tahunnya. Katanya, apel dariku itu rasanya enak dan segar...
Maksudnya apa ya" Aku sendiri ngasih dia apel secara kebetulan,
malah saat itu aku menganggapnya keteledoran yang konyol! Apa
istimewanya sebuah apel" Siapapun pernah memakannya dan bisa
membelinya di mana saja dengan harga yang nggak mahal juga.
Apa Erik punya maksud tersirat saat dia mengungkit soal apel itu?"
Mungkin nanti akan terjawab juga.
Yang pasti, aku harus mensyukuri semua itu bukan"
Sekian lama memberi Erik perhatian, susah payah bertahan dari
cemoohan, akhirnya dia menghargai perhatianku. Memang aku
belum bisa bilang kalau itu artinya dia juga akan membalas
80 perasaan terpendamku. Terlalu dini buat menganggap seperti itu!
Yang kudapatkan hari ini cukup dimengerti saja, bahwa akhirnya
Erik baik padaku... Sama seperti waktu awal kami berkenalan dulu.
Semoga selanjutnya nanti, semuanya akan makin jelas, dan makin
baik untuk kami. Pada akhirnya, hari ini aku merasa senang. Bahagia.
Thanks, God... Goodnight, my diary. See you later in other stories...!"
Kuakhiri ketikanku. Aku membaca ulang tulisan yang baru
selesai kuketik di diary-ku. Dan aku tersenyum sendiri. Halaman
favoritku di diary ini sepertinya sudah bertambah lagi! Hahaha...
Kualihkan pandanganku ke luar jendela, yang dibatasi oleh
kaca. Aku bisa melihat langit malam yang terang. Cemerlang dengan
taburan bintang-bintang. Ya, bintang-bintang yang selalu berkedip
cahayanya, mungil tapi tak pernah padam. Begitulah sebuah
harapan, jangan pernah mati untuk percaya bahwa segala sesuatu
akan indah pada waktunya...


Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kulirik Denis yang sudah meringkuk di atas kasur. Bantal
dan gulingku juga sudah sejak tadi melambai-lambai padaku. Segera
kututup diary-ku, dan juga laptopku, shut-down!
Lalu seperti biasa... Hoaahhhmm... Saatnya tidur! 81 Pencuri Besok aku berangkat piknik. Ke Bali! Siapa yang nggak
senang ke Bali"! Siapa yang nggak pingin" Haha... Makanya hari ini
aku serba nggak sabar aja bawaannya! Pingin cepat-cepat ganti
hari, pingin cepat-cepat berangkat piknik!
Agendaku hari ini adalah berbelanja buat bekal piknik
besok. Sudah dari tadi aku berputar-putar keliling di supermarket ini.
Beli roti, cemilan, minuman kaleng, pasta gigi, sabun cair, de el el...!
Yah, perlengkapan dan bekal buat piknik!
Baru memilih-milih snack di depan rak, perhatianku tercuri
oleh seseorang di sebelahku...
"Aduuuhhhh! Ini roti semua...!" celetuk orang itu dengan
gaya genit. Seorang cewek tinggi besar berbaju ketat dengan make
up menor...! OHHHH... Astaga!!! Seorang waria...!!! Dan dia sekarang...
melirik padaku...! Aku langsung menarik pandanganku lagi. Pura-pura fokus
dengan belanjaanku. Grogi!
"Ihhhh...! Apaan lirik-lirik"!" cetus Waria itu judes.
O my God...! Sekarang dia malah mendekatiku! Lalu
melongok isi keranjangku...
"Beli apa tuh" Kondom ya" Hihihihihi..."
Semprul nih orang!!! Aku mengumpat dalam hati...!
"Bagian susu di mana sihhh" Dari tadi eike nggak ketemuketemu!" akhirnya Waria itu bertanya padaku dengan gaya
ganjennya yang... haduuhhhhh nggak usah dikomentarin lah!
"Tanya ke penjaganya, aku juga nggak tahu," jawabku
datar, berusaha cuek. 82 Tapi aku makin grogi dan tetap nggak bisa pura-pura cuek,
soalnya Waria ini kayaknya mengikutiku terus! Ke rak ini dia ikut, ke
rak itu dia juga ikut...! Kalau aku meliriknya was-was, dia malah
tersenyum superlebar seolah malah senang!
"Eehhhh...! Ini kok malah di sini"!" tiba-tiba ada satu Waria
lagi yang datang... Ampuunnn!!! "Kesasar, Jeng!" seloroh Waria yang sedang mengikutiku
dengan nyaring! "Alah sengaja nyasar lu, Cong! Cari lekong aja, dasar
gatel! Nggak bisa jaga harga diri lu, Cong!" tukas Waria yang baru
datang, yang wajahnya kelihatan galak.
"Hihihi... Sirik ya, Jeng" Habisna diana imyut...!"
"Yang bener dong kalo cari lekong, diana kan brondong!"
sendiri...! Dua Waria itu akhirnya meninggalkanku sambil ribut
"Aduuuhhh!" seru Waria yang tadi nyamperin aku.
Kepleset! Hahahaha" Rasain!!! Makanya pakai high-heels jangan
tinggi-tinggi! Haduuhhh... Lega, nggak dikerjai sama mereka!
Yah, kota Solo memang bisa dibilang cukup toleran buat
komunitas queer. Di daerah Sriwedari ada tempat yang tiap malam
jadi tempat nongkrong para waria. Di kafe tertentu bahkan punya
jadwal Queer Night! Jadi aku nggak heran kalau di kota ini ada
cukup banyak eksistensi orang-orang non-straight. Tapi aku sendiri
masih belum berani coming out ke tengah-tengah mereka. Masih
harus pikir-pikir, apalagi dengan resiko pergaulan bebas!
Kuteliti lagi belanjaanku. Kayaknya udah cukup! Aku
melangkah menuju kasir. Syukurlah antrinya ngggak panjang. Cuma
menunggu antrian tiga orang. Nggak lama menunggu, giliranku
datang juga. Kutaruh keranjangku di meja kasir.
Pandanganku sekarang jadi teralih lagi. Kali ini ke si Mas
penjaga kasir. Hyuuuuu...! Hahaha... Kadar penyegarnya setara
dengan obat tetes mata! Aku mencuri-curi pandang cowok di
depanku ini yang kayaknya usianya nggak jauh di atasku. Mungkin
sekitar duapuluh tahunan. Wajahnya oval, berkulit sawo matang
83 cerah. Kelihatan kalem dan cool. Dia seolah nggak tahu kalau aku
sedang mengamatinya, dia tetap sibuk mendata belanjaanku,
memilah-milah dan men-scan dengan cekatan...!
"Totalnya tujuhpuluh sembilan ribu empat ratus, Mas!"
suara ringannya langsung memecah lamunanku.
"Ohh... Iya...!" sahutku dengan agak gugup. Aku merogohrogoh uang di dompetku. Lalu menyerahkannya ke penjaga kasir itu.
"Uangnya seratus ribu. Kembaliannya duapuluh ribu
enamratus, yang seratus permen ya, Mas... Terima kasih," ucap
penjaga kasir itu sambil menyodorkan uang kembalian plus satu biji
permen. Aku mengangguk seraya menerima uang kembalianku plus
permen itu, dan juga kantong belanjaanku. Pinginnya masih berdiri
di sini, tapi pasti bakal digampar sama antrian di belakangku!
Dengan agak berat hati, aku beranjak dari depan kasir. Yaaahhhh...
Udah lewat cuci matanya! Nggak apa-apa. Lain kali ke sini lagi!
Hehehe... Kubuka permen kembalian dari kasir tadi. Iseng-iseng
mengamati bungkus permen yang kupegang, ehh... ada tulisan di
bagian belakangnya...! "I SEE YOU..." Huaaaaaaa...!!! Ini kebetulan kaaannn...?""!!!
Dasar!!! Ini si Mas tadi sengaja mau menyindirku yaaa..."!!
Awas kau, Mas...! Lain kali aku akan belanja lagi dan gantian aku
yang bayar pakai permen! Aku akan kasih permen yang tulisannya,
"I SEE YOU AGAIN...!"
Lagian ini permen aneh-aneh juga, pakai tulisan-tulisan
kayak gini segala! Hahahaha... Jadi malu dengan diriku sendiri!
Aku duduk di motorku dan segera men-starternya. Lalu
tanpa menunggu lama aku segera meluncur di jalan.
Pulang! 84 Setelah sepuluh menit perjalanan, aku sudah sampai di
rumah lagi. Rumahku yang sejuk dan menyenangkan dengan pohon
mangga dan belimbing di depannya, dengan halaman berumput
jepang berpadu aneka bunga. Teras kecil berkursi kayu dan berhias
kentongan lombok warna merah, hmmm... Rumahku yang teduh
dan nyaman, yang nggak lama lagi harus kutinggalkan selama piknik
di Bali. Meski Bali pasti menyenangkan, tapi suasana rumah ini pasti
tetap akan bikin kangen juga!
Yup! Sekarang waktunya berkemas-kemas biar besok
nggak terburu-buru, tinggal berangkat! Kujinjing plastik
belanjaanku, menaiki tangga ke lantai dua. Menuju ke kamarku.
Pintu kamar kubuka. Dan... Yang pertama kulihat adalah Denis yang sedang berada di
depan laptopku. Tapi... ada sesuatu yang membuatku segera curiga,
dan wajah Denis langsung kelihatan gugup saat tahu aku datang...!
Tangannya kelihatan grogi berusaha menggerakkan mouse...
Deg! Jantungku seperti berderak keras dalam sesaat...
Sesaat termangu, lalu aku melangkah dengan ragu,
menaruh plastik belanjaanku di dekat pintu. Dan baru kusadari...
tanganku mulai gemetar... Seperti menahan kepanikan!
Suasana hati seketika berubah. Riang ceria tadi lenyap!
Rasa was-was ini tiba-tiba begitu kuat, dan aku benar-benar merasa
gentar untuk tahu apa yang sedang terjadi di sini sekarang...!
Tapi nggak mungkin aku bersikap seolah nggak melihat
apa-apa...! "Kamu buka apa...?" tanyaku pelan dan tegang, seraya
menghampiri Denis dengan langkah ragu.
Kulihat indikasi layar laptop yang hang... Dan ada satu
tampilan yang belum sempat ditutup...!
"Kamu baca diary-ku...?" tanyaku dingin.
Darahku rasanya seperti membeku seketika...!
"Sorry, Mas..." Denis gugup menjawabku. Wajahnya
seperti pencuri yang tertangkap basah.
85 Memang. Dia telah mencuri rahasiaku!
Aku terpaku menatap layar laptop yang hang. Wajahku
meremang. Bibirku gemetar. Rasanya... aku masih sulit
mempercayai ini...! Sulit...!
"Lancang...!" lontarku pelan, menahan gemetar di mulutku. Kuambil alih laptopku, kumatikan dengan paksa!
"Sorry... gue nggak maksud gitu, Mas... Gue nggak
sengaja..." ucap Denis lirih, nada takut...!
"Nggak sengaja" Jadi kamu mau bilang diary-ku kebuka
sendiri terus kamu nggak sengaja baca" Begitu...?" sergahku.
Ya Tuhan! Rasanya ubun-ubunku mau meledak ke atas!
Bagaimana dia bisa bilang "nggak sengaja?"!!
"Iya, sorry... Gue lihat ada diary di laptop lu... Gue iseng
aja pingin baca..." "Kamu tahu passwordnya dari mana...?"
"Dari... gue iseng aja... ketik nama lu, ternyata bisa
kebuka..." jawab Denis kikuk.
OHH!!! DAAAMN!!! Aku punya sodara lancang dan aku sendiri goblok!!! Andai
aku tahu akan ada orang yang berani iseng dengan diary-ku aku
nggak akan bikin password dengan namaku sendiri!!!
Dan... kenapa juga harus Denis"!! Kenapa harus sodara
kembarku yang sudah kupercaya..."!!
"Jadi kamu masih mau bilang kalo kamu nggak sengaja"!
Ternyata salah aku ngasih tempat kamu di kamarku! Dan bodoh
banget aku ya... ngasih ijin kamu pakai laptopku...! Anjjj...!!!"
hampir sebuah umpatan keluar dari mulutku. Ya Tuhannn,
jangann...! Jangan sampai aku mengumpat kata-kata itu...!
Rasanya seperti menelan muntahan yang mau keluar,
kembali masuk ke dalam perutku! Jangan tanya rasanya...!
HARUSNYA SEMUA ORANG TAHU BAGAIMANA RASANYA
DITELANJANGI...!!! 86 Mas..." "Iya, iya... Gue salah. Gue ngelanggar privacy lu... Sorry,
"Apa aja yang udah kamu baca...?"
"Gue..." Denis tergagu. "Gue tahu... soal elu..."
Kepalaku rasanya seperti mau melayang, menguap dan
pecah di langit-langit. Tahu soal aku..." Tahu kalau aku GAY...! Gitu
kan maksudnya"!! "Ibaratnya baju, kamu udah merobek-robek yang aku
pakai... Puas sekarang...?" ucapku, lagi-lagi menelan muakku.
Denis tidak menjawab. Ya, dia cuma bisa membuat
semuanya kacau tapi nggak mampu menjawab apa alasannya
melakukan semua ini! Menghancurkan perasaanku yang sudah
percaya dan menerima dia di sini!
"Maafin gue, Mas... Beneran, gue nyesel..." lagi-lagi cuma
itu yang dia ucap... Lalu dia beringsut mau pergi...
"Tunggu!" aku mencegah Denis. "Nggak usah kamu yang
pergi. Aku aja. Kamu pakai aja kamar ini, sekalian semua isinya!
Kamu memang pingin tahu semuanya kan" Pakai aja selama kamu
di sini, bongkar semua privacy yang aku simpan di sini, semuanya
aja! Biar kamu puas, nggak nanggung...!"
Aku beranjak dengan kakiku yang lesu, angkat kaki
dengan amarahku yang tertahan! Meninggalkan Denis yang telah
mengkhianati, mengiris-iris kepercayaanku...! Sekarang biar semua
jadi miliknya, toh menelanjangiku pun dia tega!
Rahangku mengatup rapat, menahan muaknya rasa yang
ingin berteriak! Kurengkuh daun pintu kamarku, rasanya aku ingin
membantingnya sekeras mungkin!!!
Tapi... tangan yang gemetar ini hanya bisa menepisnya
seperti menghalau selembar tirai... Nggak lebih!
Kutinggalkan kamarku dalam kemarahan yang tak mampu
kuledakkan! Hanya bisa berteriak, dan menangis dalam batin...!
KENAPA SAMPAI TERJADI...?""!!!
87 Topeng Retak Semua seperti bencana yang nggak diundang, datang
merusak suasana hatiku yang selama ini selalu kupertahankan
dalam kenyamanan. Sekarang kenyamanan itu nggak ada lagi...
Sudah hancur! Denis sudah baca semua tentang aku, tentang Erik! Dan
dia pasti cukup pintar buat menyimpulkan kalau aku ini GAY! Tapi
beban pikiran yang terberat adalah, apa aku bisa percaya lagi sama
Denis" Sejak kecil dia suka mengadukan apa saja yang kulakukan,
ke Papa ataupun Mama... Apalagi ini masalah serius!
Ada anak yang gay di keluarga ini!
Rahasia yang dicuri dariku terlalu besar! Dan aku nggak
mungkin memohon kepada Denis untuk menjaganya, karena
bagaimana bisa"!! Dia mencuri dariku dan aku memohon agar dia
menjaga apa yang telah dicurinya" Kelancangannya adalah bukti
bahwa betapa sulit untuk tetap mempercayainya!
Aku sepertinya tinggal menunggu waktu untuk
menghadapi kenyataan yang lebih pahit, di mana rahasiaku yang
sudah tersobek itu akhirnya diketahui nggak cuma oleh Denis, tapi
oleh semua orang di rumah ini! Bukan hal yang nggak mungkin,
Papa dan Mama akan menjadi orang berikutnya yang tahu! Ya,
rahasia yang tersobek ini akan menganga makin sempurna!
Kalau itu benar terjadi, hari-hariku yang nyaman bersama
rahasiaku selama ini... apakah masih bisa bertahan..." Hhhhh...
Apakah ada orang tua yang bisa menerima begitu saja saat anaknya
punya kondisi seperti aku ini..." Adakah orang tua yang senang..."
Nggak mungkin! Sejak semula aku sudah was-was dengan datangnya Denis
di rumah ini! Tapi sikapnya yang begitu simpatik telah mengecohku
untuk melenyapkan semua prasangkaku. Aku menerima dia di
88 rumah ini, di kamarku...! Aku kira rahasia yang kumiliki bisa tetap
aman dengan anggapan bahwa Denis bisa dipercaya. Ternyata,
diary-ku yang dilengkapi sistem password, nekat dibobol oleh
pencuri lancang itu! Aku menyesal pernah bersimpati padanya. Aku menyesal
pernah memeluk dia saat aku merasa kesepian... Oooh, dia tak


Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepolos itu!!! Justru dia memanfaatkan kelengahanku...!
Memperdayaiku! Aku ibarat orang yang memakai topeng retak. Aku sedang
menunggu topengku pecah dengan sempurna, lalu Papa dan Mama
akan tahu anak mereka ini sebenarnya seperti apa. Dan
selanjutnya" Entahlah...
Mungkin aku memang nggak bisa menyembunyikan
rahasia ini selamanya. Tapi jelas bukan sekarang saatnya untuk
membuka rahasia ini! Aku masih merasa rapuh... Aku belum siap
dengan kemungkinan buruk yang bisa terjadi, sebagaimana yang
aku tahu bahwa nggak ada orang tua yang ingin anaknya seperti
aku, cowok suka cowok, gay! Mana ada..."!! Kalau mereka mau
menerima orang sepertiku ini, aku nggak akan memakai topeng ini
demi menepis keresahan mereka, dan memendam keresahanku
sendiri dalam hati...! Hhhhh... Dengan semua kekacauan ini, yang aku bisa
cuma berharap. Berharap semoga semuanya akan baik-baik saja.
Meski harapan itu kedengarannya terlalu lugu...
Memangnya apalagi yang aku bisa..."
Aku termenung sendiri, berbaring di sofa ruang tengah.
Merenungkan semuanya lagi...
Ya Tuhan, apa kondisiku ini memang salah" Aku bingung,
semua pilihan terasa berat buatku... Semua orang ingin hidup
bahagia. Aku pun ingin begitu... Yang aku tahu, inilah diriku, seperti
inilah perasaanku... Kalau ini dosa, kenapa Kau memberiku naluri ini,
Tuhan" Kau memberiku keadaan yang sulit ini, lalu Kau pun akan
menarik orang-orang yang kusayangi dariku..."
Kuusap air mata yang mengembun di pelupuk mataku.
Kukuatkan dadaku menahan sesak yang terus mendesak di rongga
batinku... 89 tengah. "Dimas, kok tidur di sini?" Mama menengokku di ruang
"Nggak apa-apa, tadi habis nonton TV..." jawabku pelan.
sana?" "TV-nya udah mati gitu, kok nggak pindah ke kamar
"Males, Ma... Sekalian aja tidur di sini..."
Mama pun beranjak lagi ke kamarnya, meninggalkanku
yang masih di sini. Aku menatap perginya Mama. Apa aku mampu kehilangan
dia..." Kehilangan Papa juga..." Rasanya nggak mungkin! Aku
takut...! Bisakah aku bertahan dengan rahasia ini..." Setidaknya,
sampai di saat aku lebih siap dengan semua konsekuensinya..." Di
saat aku sudah dewasa, saat aku sudah mampu hidup sendiri... Saat
aku sudah mampu berpisah dengan mereka... Saat...
Ahhhhh...! Apa takdir akan menggubris..."!
Aku bisa apa" Akhirnya juga cuma bisa bermuara pada
rasa pasrah...! Semua kembali pada kata "semoga", sedangkan hati
masih terus resah...! Malam pun kian melahap dan menelanku. Tapi resah dan
kebingungan belum juga berkesudahan...
Hmmmhhh... Doaku juga belum berubah!
"Semoga semua baik-baik saja..."
90 Piknik Aku turun dari mobil. Kurapatkan ransel besar di
punggungku dengan sigap begitu kulihat jajaran bus wisata sudah
nampak diparkir di halaman sekolah. Teman-teman sekolahku dan
juga guru-guru berkerumun, mengkoordinir segala persiapan
keberangkatan. Ahhhh...! Akhirnya tiba juga hari ini! Bersiap ke Bali!
"Gimana, Papa temenin bentar" Sampai
berangkat?" tanya Papa yang ikut turun dari mobil.
busnya "Nggak apa-apa sih kalo Papa nggak sibuk. Tapi bukannya
Papa harus segera ke kantor?"
"Nggak apa-apa, molor dikit aja..."
"Jangan ah, masa ngantar aku aja pakai ngaret jam kantor
sih"! Aku kan bukan anak TK! Lagian tinggal nunggu busnya
berangkat aja kok, udah diurusin sama panitianya!"
"Gitu" Ya udah. Kamu nggak kurang apa-apa lagi?" tanya
Papa, masih tampak berat hati mau meninggalkanku.
"Udah beres semua. Pokoknya aku tinggal berangkat aja
kok!" tegasku. "Ya udah... Kalau gitu Papa tinggal ya?"
"Iya, nggak apa-apa."
Tapi Papa masih saja berdiri melihat ke sekeliling dengan
agak bengong. "Udah, nggak apa-apa! Kayak mau ninggalin anak kecil
aja"!" cibirku dengan agak jengkel melihat tingkah Papa.
"Kok jadi ngusir Papa gitu?" Papa ganti mencibir. Malah
jadi berbelit-belit. 91 "Bukannya ngusir! Papa kan harus ke kantor! Udah jam
berapa nih"!" balasku sambil melihat ke jam tanganku.
"Iya, tapi kamu kan mau pergi jauh, masa nggak boleh sih
Papa nemenin sebentar?" gumam Papa sedikit cengengesan.
"Kan aku nanti juga bakal balik lagi" Cuma lima hari aja...!"
"Hahaha... Tambah gede, tambah pintar ngomelin Papa!"
cetus Papa sambil mengucal rambutku. "Nurun dari Mama!"
"Tambah ngelantur!" gumamku santai tapi juga sedikit
agak kesal. "Ya udah sana, Papa tinggal sekarang!" decak Papa sambil
beranjak dan naik lagi ke mobil. "Met piknik, ya!"
"Iya. Thank you, Pa...!" balasku berseloroh.
Lalu perlahan mobil Papa mulai bergerak lagi. Perlahanlahan meninggalkan halaman sekolah. Aku melambai, hingga mobil
itu benar-benar keluar dari area sekolahan, melintas di jalan dan
akhirnya hilang dari pandangan.
Hmmhhh... Bukannya aku tega mengusir Papa, tapi...
semakin lama ditemani nanti malah semakin berat buat berpisah...!
Ya, meski cuma lima hari...
Sekarang, saatnya aku bergabung dengan kerumunan
teman-temanku, yang juga sama-sama menunggu berangkatnya
bus. Aku duduk di bibir taman, di halaman sekolah ini.
Menyendiri meski di sekitarku penuh orang, guru-guru dan temanteman sekolahku. Ya, beginilah aku. Kenal banyak teman, tapi
nggak pernah benar-benar dekat. Bukan pasif sih, tapi lebih suka
menyendiri. Lagipula, saat ini aku masih terbeban oleh sesuatu yang
berat. Hmmhhh... Meski bisa kubayangkan piknik ini bakal
menyenangkan, tapi perasaan dan pikiranku masih terganjal oleh
masalah di rumah. Apa lagi kalau bukan perbuatan Denis kemarin
itu"! Huhhh...! Aku masih cemas dan gelisah saja! Saat aku
berangkat dari rumah tadi, aku pamitan ke semua orang di rumah.
Kecuali Denis. Aku belum bisa memaafkan kelancangannya padaku!
Kelancangan yang telah melanggar privasiku, mencuri rahasiaku!
92 Mama..." Bagaimana kalau selama aku pergi, dia bilang ke Papa dan
Hhhhhh... Sudah terjadi...! Terus terang, aku nggak bisa
apa-apa lagi! Jadi, lupakan saja dulu...! Lupakan Denis. Lupakan
perbuatannya! Lebih baik aku fokus menikmati suasana piknik ini! Ya,
nikmati saja piknik ini. Bukannya aku sudah menunggu-nunggu
acara ini"!! Go ahead for funs...!
"PERHATIAN, PERHATIAN...! Kepada semua peserta
pariwisata, kami panitia menginformasikan bahwa bus akan segera
diberangkatkan...! Untuk itu dimohon semua mempersiapkan diri...!
Sebelum mengambil tempat duduk di bus masing-masing, kami
informasikan pula bahwa akan ada penggabungan beberapa kelas
dalam satu bus demi efisiensi tempat duduk. Setelah kami
informasikan keterangan bus dan kelas yang menumpangi, silakan
nanti mencari tempat duduk masing-masing dengan rapi dan tidak
berebut...!" Bla bla bla...! Panitia sudah mulai mengkoordinir peserta
piknik...! Aku bangkit mempersiapkan diri. Sesuai koordinasi dari
panitia, busku akan diisi peserta dari kelasku dan kelas sebelah. No
problem. Mulai, peserta piknik berjubal masuk ke bus mencari
tempat duduk masing-masing. Sebagian ada yang memang sudah
punya rencana buat duduk satu deret, sebagian lagi nggak punya
rencana dengan siapa-siapa soal tempat duduk. Aku adalah peserta
di kategori kedua! Mungkin karena aku juga terlalu nyantai soal tempat
duduk, akhirnya dapat kursi di deret agak belakang. Agak menyesal
juga... Tapi ya sudah. Toh aku bukan anak yang gampang mabok
apalagi muntah-muntah kalau naik bus, yang biasanya merengek
nggak mau dapat jatah kursi belakang! Nggak ada masalah bagiku.
Aku sudah memantapkan diri: ini piknik, enjoy aja...!
"Udah ada yang nempatin?" ada anak dari kelas sebelah
b ertanya sambil menunjuk kursi di sampingku yang masih kosong.
Aku tahu dia, namanya Bambang. Tahu namanya aja, kenal sih
nggak! 93 "Belum," jawabku.
"Aku duduk sini ya!"
"Oke." Bambang segera mendudukkan badannya yang tambun di
kursi sebelahku. Duduk satu deret dengan orang yang nggak begitu akrab,
itu juga bukan masalah bagiku. Aku bukan orang yang suka ngegang, jadi nggak menuntut harus berkoloni dengan teman-teman
tertentu saja. Duduk dengan orang yang belum akrab nggak pernah
jadi masalah buatku. "Kamu nggak kencan duduk sama teman semeja gitu?"
tanya Bambang beramah tamah.
"Nggak. Di kelasku duduknya nggak diatur. Berubah tiap
hari, pilih kursi sesukanya. Jadi teman semeja juga gonta-ganti
terus," jawabku juga meramahkan diri.
"Sebenarnya masih ada satu kursi di deret agak depan.
Tapi aku mending pindah ke sini aja...! Males dekat si Eka!" ujar
Bambang setengah berbisik.
"Kenapa?" tanyaku, sekedar ingin tahu.
"Kamu nggak tahu ya" Si Eka... Anak dari kelasku?"
"Ohh..." aku manggut sambil mengingat-ingat.
Emmhhh... Eka, anak kelas sebelah yang katanya pernah
kena kasus itu" Aku cuma dengar-dengar juga sih...
"Dia kan "pemakai", kemarin hampir OD kan dia...!" bisik
Bambang. "Iya, aku juga dengar beritanya," timpalku.
Aku nggak tahu musti komentar apa. Aku nggak suka juga
sih kalau pakai narkoba gitu. Merokok aja nggak doyan! Tapi, itu
kan urusan pribadi orang juga" Aku nggak mau ambil pusing ah...!
Setiap orang punya hal-hal pribadi masing-masing.
Sebenarnya, aku sendiri termasuk malas kalau harus
menggunjingkan masalah pribadi orang lain. Tapi, haknya si
Bambang juga memilih duduk dekat aku. Sama-sama bayar!
94 Rupanya bus masih menunggu satu peserta piknik yang
belum datang. Wahh...! Payah nih, mau senang-senang aja kok
masih ngaret juga"! Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya datang juga
peserta yang ngaret itu. Peserta yang datang ngaret itu dari kelas
sebelah juga. Langsung disoraki anak-anak satu bus. Huuuuuuuu...!
Sudah pada nggak sabar mau berangkat! Untung ditungguin. Kalau
sampai ditinggal, pasti nangis bombay tuh anak...!
"Hahaha... Dia duduk dekatnya si Eka deh...! Tinggal itu
kursi yang sisa!" Bambang langsung berkomentar.
Aku cuma menyahut dengan tawa setengah menggumam.
Bukan urusanku juga! Nggak lama kemudian, bus pun mulai jalan. Akhirnya
berangkat...! Bergerak meninggalkan kota Solo...
Inilah piknik yang sudah kutunggu-tunggu!
JOURNEY TO BALI...!!! Selama perjalanan, semula aku sempat agak risih oleh
anak-anak lain yang mulai genjreng-genjreng gitar, menyanyi
berjamaah di deret bangku panjang paling belakang. Lebih mirip
teriak-teriak daripada nyanyi! Teriak kalau lagunya rock sih pantas.
Aneh, teriaknya nyanyi lagu-lagu pop mellow, yang mustinya lebih
cocok seandainya dinyanyikan dengan gaya keroncong atau
dangdut! Tapi, aku sudah tahu cara mengantisipasinya. Pasang
headset, putar mp3, setel posisi kursi, sandarkan kepala sambil lihat
pemandangan di luar! Inilah cara terbaikku buat menikmati sebuah
perjalanan. Polusi suara, bablasss...!
Aku pasti bisa menikmati piknik ini. Aku pasti bisa
menikmatinya...! Sudah, lupakan saja semua yang ada di rumah.
Saatnya senang-senang! Bali, aku datang"! 95 Titanic on the Picnic Pada dasarnya, sampai saat ini aku bisa menikmati
perjalananku. Pagi dari Solo, dan tengah malam sampai di
Pelabuhan Ketapang. Sempat break, rombongan bus dari sekolahku
harus antri menunggu jatah ferry buat menyeberang ke Gilimanuk.
Cukup lama. Ya harus maklum, soalnya memang musim liburan.
Pelabuhan jelas ramai! Tapi setelah lama menunggu, akhirnya...
Fiuuhhhh... Tiba juga giliran buat menyeberang ke Bali...!
Aku menopangkan siku di atas bibir dek. Menatap
pemandangan selat. Menghirup segarnya udara laut pagi hari.
Mengusap percik-percik ombak yang jatuh di mukaku. Pulau Bali
yang tampak jauh di depan, makin lama makin dekat...
Perjalanan ini sudah terasa surga bagiku...! Apalagi kalau
nanti sudah sampai di sana, di Bali... Ahhh, senangnya!
Tapi di kapal ini kebisingan orang-orang menyisihkanku.
Akhirnya aku mencari tempat yang lebih tenang. Aku menuju ke
salah satu sudut di buritan yang agak sepi. Lebih tenang dan lebih
nyaman buat menikmati suasana di atas air Selat Bali yang terbelah
oleh laju kapal. Debur air terdengar sangat riak dan riang, mengiring
penyeberangan yang semakin merapat ke pantai Pulau Dewata...!
Kutengok ke tiap sudut, memastikan nggak ada orang
yang sedang melihatku. Lalu pelan-pelan aku melangkah ke bagian
yang agak ujung di buritan... Badanku merapat ke bibir kapal, di
depanku terlihat Pulau Jawa yang terpisah oleh selat, makin lama
tampak makin menjauh... Air selat jernih membiru, angin semerbak
sejuk! Lalu semakin jelas apa yang sedang kubayangkan...
Kurentangkan kedua

Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanganku lebar-lebar... Membayangkan diriku seperti adegan di film Titanic, menghayati
suasana laut...! 96 Tapi tiba-tiba tubuhku terasa kurang seimbang, dan...
"AAAHHHHHH...!!!" pekikku.
Aku hampir saja terjelungup...!
Kusadari ada tangan yang memelukku dari belakang,
tangan yang telah menahanku hingga aku tak sampai terjatuh...!
Aku gemetar... Jantungku berdegup keras...! Siapa ini, yang
mendekapku dari belakang" Siapa ini yang telah menolongku..."
Maka segera kupalingkan wajahku...
"ERIK?"" Ya Tuhan...! "Kalo mau gaya seperti itu jangan di buritan! Angin meniup
kamu dari belakang! Untung kamu nggak jatuh...!" ujar Erik, pelanpelan dia pun melepaskan tangannya dari pinggangku...
"Ummmhh..." aku gugup, bingung mau bilang apa!
Bagaimana tidak...?"" Erik tepat di sampingku, sangat
dekat, dan baru saja memelukku...!!!
"Makasih... Aku memang ceroboh...!" aku terbata-bata,
masih sukar percaya! "Apa-apaan kamu gaya seperti itu" Mau meniru film
Titanic"!" Erik mencibirku.
Aku nggak bisa menahan malu di hadapannya! Mukaku
pasti merah...! "Malu juga sih... Tapi ya udah, aku ngaku aja... Ini
pertama kalinya aku nyeberang laut, apalagi ini nyeberang ke Bali!
Aku pingin menghayati aja!" jawabku apa adanya dan sedikit
tersipu. "Belum pernah sama sekali" Hmmm..." Erik memandangiku, pasti masih membayangkan betapa konyolnya
tingkahku! "Kok kamu malah kesini, nggak gabung sama temantemanmu?" tanyaku jadi penasaran dengan kemunculannya yang
tiba-tiba. Jangan-jangan dari tadi dia mengawasiku di luar
kesadaranku..." 97 "Males aja sama orang-orang yang terlalu ramai! Pingin
cari tempat yang tenang aja..." jawab Erik. Dia menopangkan
tangannya di bibir kapal, menatap lepas ke arah laut.
Aku pun ikut memandangi laut lagi, ikut menopangkan
sikuku. Kami sama-sama menatap indahnya laut. Memandangi Pulau
Jawa yang kami tinggalkan. Udara terasa sangat sejuk
menyenangkan, sama dengan rasa hatiku...
Benar-benar nggak menyangka, aku akan menemukan
momen seperti ini... Akrab dengan Erik, berdua di atas kapal yang
melaju di tengah selat biru. Sentuhan tangannya masih
meninggalkan jejak rasa di pinggangku, seolah masih terasa
tangannya mendekapku... Sungguh menghanyutkanku...!
"Memang lebih indah kalo dinikmati dengan ketenangan...
Lebih mudah dihayati...!" aku berbisik di tengah suara deburan
ombak. "Kamu nggak ngelanjutin yang tadi?" tanya Erik. Matanya
menatapku, cerah bagai memantulkan cemerlangnya sinar
keemasan dari mentari pagi yang sedang menembus tirai cakrawala.
Begitu hangat dan lembut...
"Ngelanjutin apa?" gumamku terawang-awang.
"Tadi kamu mau nyobain gaya di film Titanic kan" Nggak
dilanjutin?" "Aaahhh...! Kamu ngeledek ya"! Sekarang kan ada orang
lain di sini...! Malu lah...!" dengusku sedikit kesal sekaligus gemas.
Erik sepertinya sengaja pingin membuat mukaku jadi merah lagi!
"Jadi aku orang lain ya?" Erik malah membalasku...
Dengan kalimat yang makin membuatku tersipu...! Apa
maksudnya dia bilang begitu?""
Erik tertawa pelan. Lalu, dia makin mendekat padaku... O
my God! Dia mau ngapain?"" Jantungku berdegup makin kencang!
Berdesir-desir...! "Kenapa, Rik?" gumamku gugup dan hampir saja
menjauhkan diriku dengan spontan, andai saja aku nggak langsung
ingat kalau yang ada di depanku ini adalah Erik, cowok yang
kucintai! 98 "Kamu lanjutin aja yang tadi...! Ini pertama kalinya kamu
nyeberang laut kan" Aku akan pegangi kamu, biar nggak jatuh...!"
bisik Erik. Astaga...! God, please, jangan mengolok-olok nasibku! Erik
ini Pangeran tampan yang dinanti banyak Puteri! Satu kali tadi dia
boleh memegangiku demi mencegahku jatuh dari kapal! Sekarang
dia sengaja mau memegangiku lagi dan memintaku untuk
menyetujuinya..."!! Yang benaaaarrrr..."!!
DENGAN BAHAGIA AKU BERSEDIA...! TAPI JANGAN
MEMPERMAINKANKU...!!! "Ayo, nggak usah malu"! Nggak ada yang lihat kok! Kamu
rentangkan tanganmu, aku akan pegangi kayak tadi!" bisik Erik, dia
benar-benar mendekapkan tangannya ke pinggangku... Lagi...!
Aku memiliki sejuta kebingungan dan keraguan, tapi aku
nggak bisa menyangkal hatiku yang bersorak-sorak kegirangan
seiring dengan desir jantungku yang makin memburu...! Dengan
ragu, bimbang dan gugup... perlahan mulai kurentangkan
tanganku... Merentang...! Dan tiba-tiba bahagia ini pun terasa penuh...!!! Senyumku
mengembang bagai sayap burung yang pertama kali merasakan
terbang...! "Nggak usah takut. Kamu nggak akan jatuh...!" Erik
berbisik ke telingaku, mendekap punggungku erat. "Sekarang kita
mirip Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet kan...?"
"Kamu Leonardo DiCaprio-nya...?"
"Dia kan favoritku...!" sahut Erik.
"Tapi masa aku jadi Kate Winslet"!" balasku gugup.
"Siapa yang kamu suka...?"
"Mmmmhhh... Mario Maurer..."
"Mario..." Siapa...?"
"Dia adalah..." gumamku sambil mengawang, membayangkan sosok tampan dari Negeri Gajah Putih itu...
99 Tapi kemudian senyumku jadi kecut saat membayangkan:
Leonardo DiCaprio memeluk Mario Maurer di buritan sebuah kapal
ferry..." Dimas, James Cameron pasti akan menggantungmu...!!!
Lalu angin pun tiba-tiba bertiup sangat kencang dari
belakang...! Angin yang menukik ke buritan...! Kencang sekali dan...
"AAAAAHHHHHHHHH...!!!"
Tubuhku terpelanting, terlempar jatuh dari atas kapal
menukik ke permukaan air...
Dan... DUAAAKKKK...!!! "Aduhhhhhhhhh...!!!" aku menjerit.
Barusan tubuhku terayun keras ke depan, membuat
jidatku membentur... KURSI DI DEPANKU...!!! "Ada apa..."!!" aku langsung gelagapan bertanya-tanya.
Kaget setengah mati...! "Busnya hampir nabrak mobil di depan. Rem mendadak
tadi!" jelas Bambang yang duduk di sampingku.
OH... MY... GGGG...!!! Mimpiku pelukan sama Erik di kapal...?""!!!
AAARRGGGHHH!!! BUYAAARRRR...!!!
Rasanya pingin ngomel ke semua orang, nggak peduli
siapa saja!!! Ke sopir bus, ke sopir mobil, ke panitia, ke guru-guru,
ke semua peserta piknik...!!! Aku marah semarah-marahnya!!!
Baru mimpi bagus-bagus, baru dipeluk-peluk, ujungujungnya buyar kejedot kursi...!!!
SIAAAALLLLL...!!! Kesadaranku dengan cepat mengaktifkan semua indra dan
juga pusatnya, otakku! Dengan cepat mengingat perjalanan ini
sampai di mana. Tadi pagi sudah sampai di Gilimanuk, dari
Gilimanuk perjalanan berlanjut dengan bus lagi...
100 Ya ampun, INI SUDAH DI BALI...!!!
Uuuggghhhh...!!! Letih, kebawa tidur, kebawa mimpi...
Pantas lah, MIMPI INDAH...!!!
Takdir benar-benar mengejek
membuatku ingin maraaahhhh...!!!
nasibku!!! Rasanya Tapi... Huhhhhh... Memang sih, mimpi seindah apapun akhirnya
ya cuma sebuah mimpi...! No other choice! Oke deh, get real...!
Meski kecewa! Hmmm, lagian Erik kan juga ikut piknik ini! Amini saja
semoga aku punya kesempatan yang nyata! Kalau aku bisa
menempatkan diri dan tahu setiap peluang, mungkin saja aku bisa
menikmati waktu bersamanya kan"! Malah nggak cuma mimpi!
Piknik ini nyata!!! Aku menarik nafas panjang, mengendapkan emosiku.
Membangun lagi pikiran yang positif dan optimis...!
Dan... Uppsss, aku sekarang mulai menyadari sesuatu!
Rupanya, ada yang kulewatkan selama aku tidur! Sekarang
aku baru tahu ternyata sudah ada seorang Tourist Guide yang stand
by di dalam bus! Laki-laki itu berdiri, dan mulai memperkenalkan dirinya di
hadapan para peserta piknik...
"Perkenalkan, nama saya Wayan Himawan Astika, bisa
memanggil saya Awan..." Tourist Guide itu memperkenalkan dirinya
dengan senyum lebar yang ramah dan sejuk di bibirnya. "Saya akan
memandu adik-adik semua selama perjalanan wisata ini, tapi
terlebih dahulu saya ingin sampaikan dengan penuh rasa bangga
dan terima kasih... SELAMAT DATANG DI BALI...!"
Seorang Tourist Guide yang... Handsome...! Akhirnya
kejengkelanku teralih! Piknik ini mulai menawarkan sensasinya!
Yap! Aku siap dipandu olehmu Mas Tour Guide! Hahaha...!
Makanya, ayo Dimas...! SEMANGAATTT!!!
101 Nuansa dan Romansa di Bali
Obyek pertama piknik di Bali adalah Batu Bulan. Nonton
TARI BARONG!!!! Woowww...! Pandangan dan imajinasiku benar-benar
dimanjakan oleh indahnya Tari Barong! Sebuah tarian yang sangat
ikonik dari Pulau Dewata. Eksotik! Memukau dan langsung memberi
kesan yang nggak mungkin terlupakan tentang indahnya seni
budaya dari Pulau Dewata ini!
Aku memang nggak faham dengan bahasa yang dipakai
dalam folklore Barong itu. Tapi untung ada booklet yang
menjelaskan gambaran tentang apa yang diceritakan dalam tarian
itu. Jadi secara garis besarnya aku faham. Yaitu tentang perselisihan
antara kebaikan dan kejahatan. Kebaikan diwakili oleh Barong,
sedangkan kejahatan diwakili oleh Rangda. Lalu ada tokoh bernama
Sahadewa, anak termuda dari keluarga Pandawa yang diminta oleh
Rangda sebagai tumbal. Melalui Barong, Para Dewa menolong
Sahadewa dengan memberinya kekuatan untuk melawan Rangda.
Menarik! Aku dengan Digicam-ku! nggak mau melewatkannya! Kurekam Tapi, pesona para penari itu akhirnya dapat saingan! Aku
jadi nggak begitu konsen lagi dengan atraksi tari Barong itu garagara ada mahluk lain yang menyita perhatianku. Mahluk yang jelas
lebih cute dibanding Barong ataupun Rangda! Rambut gondrong si
Rangda itu boleh saja menang kontes melawan rambut penyanyi
metal manapun, tapi kalau lawan rambut spike-nya Erik... tunggu
dulu! Erik duduk nggak jauh dariku, di deret depanku dengan
posisi agak samping. Dia itulah, yang bikin aku jadi nggak konsen
nonton Barong! Posisi duduknya memberiku banyak kesempatan
buat mencuri pandang ke wajahnya yang cakep itu.
102 Akhirnya bukan cuma para penari Bali itu yang main liriklirik mata, mataku pun jadi ikut lirik-lirik ke cowok berambut spike
itu! Digicam-ku akhirnya juga ikutan, beberapa kali mencuri wajah
Erik! Lumayan, bisa buat obat kangen sewaktu-waktu! Hahaha...
Erik atau Tari Barong"
Oke, deh... Biar adil, just blend it! Harusnya Erik ikut
menari Barong aja sekalian! Tapi jangan jadi Barong-nya! Jadi
Sahadewa aja, tokoh ksatria protagonis di kisah itu. Yup,
membayangkan Erik pakai kostum tari Bali, dengan bedak dan gincu
lalu ada bintiknya di kening... Bakal jadi Sahadewa paling cakep
sepanjang sejarah kayaknya!
Ngarang! Maksa banget...! Biarin ah, namanya juga suka!
CINTA! Hahaha... Sekitar satu jam di pertunjukan Tari Barong yang
memukau. Akhirnya selesai juga. Pertunjukan yang sangat bagus...!
Kalau suatu saat aku ke Bali lagi, nggak akan kulewatkan
pertunjukkan yang satu ini! Pasti...!
Goodbye, Barong...! Perjalanan piknik harus diteruskan,
aku harus segera kembali duduk di bangku bus. Menuju obyek
wisata berikutnya! Tour Guide kami yang cakep, dengan bersemangat
menjelaskan panjang lebar tentang obyek wisata berikutnya, Goa
Gajah. Aku sebenarnya tertarik buat mendengarnya, tapi gara-gara
suara berisik anak-anak di bangku belakang aku jadi nggak begitu
menangkap penjelasan Tour Guide yang berdiri di depan itu. Aku
cuma bisa melihat wajahnya yang cakep itu, melihat bibirnya yang
terus bergerak tapi tanpa suara yang jelas. Huhhh! Sayang...
"Kamu nangkap nggak Tour Guide itu ngomong apa?"
tanyaku sedikit basa-basi ke Bambang.
Tapi, asem! Aku baru sadar kalau si Bambang pakai
headset! Jangankan suara Tour Guide itu, suaraku yang dekat aja
pasti dia nggak bakal dengar! Mendingan aku juga pakai headset-ku,


Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

putar musikku sendiri! Biar nggak bete! Sayang kalau jauh-jauh
piknik ke Bali tapi malah bete sepanjang jalan!
Entah berapa lama waktu telah terlewat. Akhirnya, sampai
juga di Goa Gajah! Bus berhenti, kami segera turun dan tampaknya
semua antusias menyambut obyek wisata kedua ini.
103 Aku berdiri memandang berkeliling dengan takjub! Goa
Gajah adalah sebuah Pura kuno yang berupa gua. Halaman luarnya
dilengkapi kolam pancuran yang cukup besar dengan pahatanpahatan yang sangat indah! Aku melongok ke dalam bilik kolam dan
bisa kulihat dengan jelas, rupanya air memancur dari badan arcaarca yang berjajar, arca-arca bidadari yang terpahat dengan
sempurna! Benar-benar sebuah nuansa Bali klasik yang sangat
anggun...! "Patung-patung itu asli peninggalan dari jaman kuno,"
tiba-tiba ada yang berbicara di dekatku.
Ooohhh...! Kaget aku! Mas Tour Guide, yang cakep dan...
aku lupa namanya...! Dia sudah berdiri di sampingku, ikut melongok
ke dalam bilik kolam. "Iya, bagus..." sahutku agak gugup.
"Nggak tertarik lihat guanya?" tanyanya ramah.
"Tertarik lah! Tapi nanti aja, kan masih banyak waktu...
Semuanya yang ada di sini kelihatan bagus sih, jadi nggak pingin
buru-buru!" selorohku hangat, jadi tambah semangat didekati masmas yang cakep ini! "Memangnya boleh ya, masuk ke guanya"
Bukannya itu tempat buat sembahyang?"
"Ya boleh lah! Kalo nggak boleh masuk ya nggak akan jadi
tempat wisata!" seloroh Tour Guide itu dengan tawa hangat.
"Nggak ada pantangan atau apa gitu?" tanyaku, sambil
melangkah pelan mengikuti Tour Guide itu.
"Kami punya falsafah, Tri Kaya Parisudha. Jaga pikiran,
ucapan, dan tindakan agar tetap bersih..." jelas Mas Tour Guide
ringan. Aku menyimak dan mengangguk pelan. "Iya, benar. Itu
sebuah nilai universal, di manapun memang sebaiknya begitu..."
gumamku tersenyum, merenung-renung sambil berjalan.
"Ya, di manapun!" sahut Tour Guide itu dengan
bersemangat. "Wahhh... Ngomong-ngomong soal nilai universal,
Goa Gajah ini menyimpan satu pelajaran yang sangat indah!"
"Apa itu"!" tanyaku tertarik.
104 Tour Guide itu berhenti sejenak. Aku juga ikut
menghentikan langkahku. Karena sekarang kami telah berada tepat
di depan mulut gua. "Pura ini dibangun sekitar abad 10 Masehi. Fungsinya
sebagai tempat untuk bertapa," terang Tour Guide itu. "Yang
menarik adalah, di sini ditemukan peninggalan arca-arca, baik dari
agama Hindu maupun Buddha..."
Aku sedikit ternganga. "Jadi, tempat ini dipakai bersamasama, penganut Hindu dan Buddha?" sahutku takjub.
"Ya. Arca-arca itu masih bisa dilihat sampai sekarang,
menandakan bahwa kedua umat bisa hidup berdampingan, berbagi
tempat ibadah!" "Woowww..." aku berdecak kagum.
Luar biasa! Jadi malu rasanya kalau menilik jaman
sekarang dimana seharusnya masyarakat bisa berpikir jauh lebih
maju, tapi malah masih ada saja berita tentang pertikaian antar
umat beragama, yang disiarkan di televisi dan juga media lainnya...!
Ironis. "Kalo nggak masuk ke dalam, nggak lengkap lho!" gurau
Mas Tour Guide. "Hahaha... Ya udah deh, aku masuk!"
bersemangat. "Kamu juga mau masuk kan, Mas?"
balasku Belum sempat pertanyaanku dijawab...
"Emmhhh... Wah, ada yang manggil tuh!" gumam Tour
Guide itu seraya memandang ke arah rombongan teman-temanku
yang lain, yang melambaikan tangan mereka. "Saya nanti pasti
menyusul ke dalam. Itu teman-temanmu memanggil, saya ke sana
dulu..." "Ooo... Ya, udah. Aku masuk dulu aja!" sahutku, dengan
sedikit kecewa. "Maaf ya, Dik..." ucap Tour Guide itu dengan senyum
sedikit masam. "Nggak papa kok. Mas kan udah nemenin aku, udah ceritacerita banyak juga. Sekarang giliran mereka!"
105 "Hahaha... Selamat jalan-jalan ya!" salam Tour Guide itu,
sambil melambaikan tangannya sekilas.
"Makasih!" balasku simpul.
Sejenak masih kupandangi perginya Tour Guide itu, yang
sekarang bergabung dengan teman-temanku yang lain. Aduhhh...!
Udah ngobrol banyak, kok aku nggak tanya namanya sih"!! Lupa
namanya, dan lupa nanya...! Padahal kan orangnya asyik, dan cakep
juga! Lumayan kan buat kenalan baru! Huhhh... Aku memang
payah! Aku mulai melangkah masuk ke dalam gua. Ruangan gua
berupa sebuah lorong dengan ceruk-ceruk di kedua sisi. Aku
melangkah pelan, meresapi suasana gua yang remang-remang,
teduh, dan tenang... Kebetulan agak sepi karena pengunjung
banyak yang sedang berada di luar. Lama-lama suasananya jadi
terkesan angker juga... Aku berhenti di depan sebuah ceruk yang berisi arca
Ganesha. Aku terpaku mengamati arca Dewa Kebijaksanaan itu.
"Dimas...!" tiba-tiba kudengar seseorang menyapaku,
mengejutkanku dengan suaranya yang agak bergaung di dalam gua.
Aku pun menoleh, dan... O my God!!!
bengong. "Ehhh... Hai, Rik...!" balasku gugup, setelah agak lama
"Gimana, asyik nggak pikniknya?" lontar Erik dengan
senyum santainya. "Banget!" gumamku dengan senyum agak tersipu. Gimana
nggak asyik" Ada Erik gini! Asal ini bukan mimpi lagi aja!!!
"Kok menyendiri aja, nggak gabung sama yang lain?"
tanya Erik. "Nggak papa, malah jadi lebih konsen menikmati
suasana..." jawabku. Bukan berarti aku ngarep sendiri terus lah!
Seandainya Erik mau menemaniku kemana-mana, ya jelas mau!
"Emmhh... Nanti malam ada waktu nggak?" tanya Erik.
Ehhh...?"" Nanti malam ada waktu?""
Degup-degup, jantungku mendadak tegang! Erik bertanya
apakah aku ada waktu..." Buat nanti malam?"" Buat apa...?""
106 "Ada lah pastinya...!" jawabku agak gugup.
"Aku pingin ngomong sesuatu sama kamu..." ujar Erik
setengah berbisik. Sesuatu...?"" "Ngomongin apa ya...?" tanyaku deg-degan.
"Ada lah, nanti aja sekalian!" jawab Erik. Tambah bikin
penasaran! "Di mana...?" aku bertanya lagi terburu rasa penasaran.
Ohhh... Jangan-jangan di kamar..."!!
"Ya gampang lah nanti, kita lihat dulu situasinya nanti!"
gumam Erik dengan senyum sarat misteri.
Oh my dear God! Meminta waktu buat bicara berdua..."!
Ini pertanda tentang sesuatu yang PERSONAL...!!!
"Oke. Kapanpun aku siap!" jawabku setengah terpana.
"Oke, deh... Aku duluan ya!" pungkas Erik diiringi senyum
simpulnya. Lalu dia segera melangkah meninggalkanku.
Meninggalkanku bersama rasa penasaran ini!!! Ada apa
dengan nanti malam?""!!! Aku nggak sabar menunggunya...!!!
Waktu benar-benar mulai melambat!
Detik-detik, menit-menit, jam berganti...! Meninggalkan
Goa Gajah, dan menyisakan rasa penasaran yang terus memburu
ini! Penasaran yang makin lama makin berpadu dengan khayalan
penuh harap...! Dinner berdua, candlelight... atau jalan-jalan, atau...
atau apaaa...?""!!!
Angan-angan ini masih terus terbawa hingga di objek
wisata selanjutnya, Museum Bali di Denpasar yang sangat-sangat
indah dan anggun! Dan masih berlanjut lagi di objek berikutnya,
salah satu pantai paling eksotis di Bali!
Pantai Sanur! Debur ombak yang tenang seolah-olah memantulkan suara
Erik, yang kini selalu hadir dengan sapanya yang hangat dan ramah.
Bahkan dia memintaku menyediakan waktu untuk bicara berdua
dengannya...! 107 Pantai Sanur yang menghadap ke timur, tempat matahari
terbit, ibarat pertanda sebuah harapan yang begitu cerah... Ya, saat
cinta telah bertemu...! Itulah yang kutunggu...!
Ya ampun!!! Kapan saat itu tiba?""!!!
Nuansa Pulau Dewata yang indah
ini makin membangkitkan khayalan akan romansa yang manis...! Ya Tuhan,
bagaimana caranya bersabar..."!!
Kusepak-sepakkan kakiku dengan girang dan gemas di
atas air pantai! Bermain sendiri dengan pasir dan ombak, sampai
lelah dan bosan...! Sampai aku akhirnya terdiam sendiri. Berdiri
terpekur di atas pasir pantai yang tergenang ombak...
Semua angan-angan ini benar-benar...
Hahaha" Ya ampun! Konyolnya aku yang telah melarutkan
diri dalam pikiran ini, meresahkan diri dalam lamunan yang begini
muluk! Tentu aku boleh berharap, tapi apa harus dengan cara
seperti ini..." Pantai Sanur yang damai, dengan ombak lembut yang
menyapa tanpa pernah berhenti... Seperti wajah sang waktu yang
selalu terus bergulir. Tidak pernah lebih cepat, tidak pernah lebih
lambat. Sesungguhnya jarak tiap detik tak pernah berubah, ya,
waktu tak pernah melambat! Semua yang ingin kudengar, maka
akan kudengar. Lalu kenapa aku harus jadi gelisah seperti ini..."
Seperti pantai yang menunggu ombak. Ombak selalu
datang. Waktu selalu menjawab bukan..."
Sayup-sayup, suara riuh menyela renunganku...
"Woiii...! Jangan woiii...!!!"
Erik, kulihat dia sedang digotong beberapa temannya
menuju ke tengah air. Lalu...
Byuuuurrrrr...!!! Mereka melemparkan Erik ke air. Mereka tertawa-tawa.
Erik juga, meski bercampur kesal. Aku cuma melihat dari sini,
tempat yang tidak dekat... tapi juga tak terlalu jauh.
"Sialannn...!" maki Erik sambil menyibakkan air menciprati
teman-temannya yang usil itu sambil ketawa-ketawa.
108 Lalu, dia malah membenamkan tubuhnya lagi ke dalam air.
Bermain dengan ombak... Aku seperti melihat sisi lain dari dirinya
yang jarang kulihat selama ini. Sisi kanak-kanaknya yang riang dan
lepas... Dan tanpa aku meminta, tanpa dia mengulurkan, seolah
bahagianya sudah ikut kurasakan...
Hari pun makin sore. Mentari bersinar keperakan dan
langit makin teduh. Angin makin dingin... Mungkin sebentar lagi
saatnya kami harus meninggalkan tempat ini. Pantai yang
melukiskan kesejukan sekaligus kegundahan hatiku...!
Kusibak air dengan tanganku, memburainya... Aku pun
tertawa sendiri, seolah ingin ikut melepas diriku dari segala
kegelisahan ini. Lalu aku kembali menatap ke sisi di mana Erik masih
bermain-main dengan air laut. Dia mulai berdiri. Tangannya
menyapu kaosnya yang kuyup. Lalu... Dia melepas kaos itu...
Sejak aku kenal dia, baru kali ini aku melihat... tubuhnya
itu... Yang putih berkilat oleh air dan sapuan sinar mentari sore,
menegaskan setiap lekuk di tubuhnya yang indah... Dia berjalan
santai sambil setengah merentangkan kedua tangannya, memegangi
kedua ujung kaos basah yang dipuntir dan menempel di
tengkuknya... Sekilas dia menoleh ke arahku.
Dia tersenyum, seolah sudah menyadari keberadaanku di
sini sejak tadi. Ya. Tentu saja dia sudah tahu. Sebagaimana halnya
aku juga tahu. Maka aku pun membalas senyumnya itu...
Ya, kami saling tahu. Aku juga yakin dia sangat mengerti,
bahwa masing-masing dari kami tak ingin orang lain mengolok-olok
keakraban ini. Maka inilah yang kami lakukan, saling berada di
tempat masing-masing, menjaga segala keinginan dalam rasa sabar.
Lalu... Kami saling tersenyum di saat kami harus tersenyum...
Semoga yang kurasakan ini benar.
Dan... Tentu, aku tetap menunggu untuk malam nanti!
109 Makan Malam Selesai menjalani wisata seharian, akhirnya berujung juga
di hotel. Malam ini kami semua menginap di sebuah hotel di
Gianyar. Yaahh... Hotel biasa sih, nggak terlalu mewah tapi bersih
dan rapi, udah lumayan lah buat istirahat menghilangkan capek.
Pembagian kamarnya adalah: tiap kamar ditempati 2
orang. Buat memudahkan koordinasi, teman sekamar disesuaikan
dengan teman duduk di bus. Jadi, aku dengan si Bambang lagi.
Syukurlah, satu kamar udah ada dua tempat tidur. Ya memang
harus begitu! Kalau nggak, mampuslah aku satu kasur dengan si
Bambang yang body-nya jumbo itu! Lagian, terus terang saja, soal
tidur satu kasur aku cuma bisa seratus persen bersenang hati kalau
cowok yang jadi teman tidurku adalah: Erik! Yang lain" Aku nggak
terlalu ikhlas kayaknya. Hehehe...
Setelah soal kamar beres, yang langsung terpikir di
kepalaku adalah: Mandi! Segera kusiapkan pakaian gantiku. Lalu
segera menuju ke kamar mandi.
"Mbang, aku mandi duluan yah!" lontarku ke Bambang.
Nggak usah menunggu jawaban, aku langsung masuk ke kamar
mandi. Buka semua pakaian, dan langsung buka shower-nya.
Pyurrr...! Titik-titik air mengguyur lembut.
Whuuuuhhhhhh... Segaaaaarrrr!!!
Dari Tari Barong, Goa Gajah, Museum Bali, lalu Pantai
Sanur, pikiranku dijejali oleh Erik, Erik, dan Erik! Sekarang, ternyata
lagi-lagi! Sembari mandi pun aku masih kepikiran lagi dengannya!
Wajahnya, senyumnya, dan yang paling jelas adalah: adegan dia
buka baju di Pantai Sanur...!
Kulit putihnya, tubuh bagus yang mulus, dan basah...
110 Lama-lama, jatuhnya rintik air dari shower terasa seperti
menggelitiki kulitku. Geli-geli merinding...!
Andai saja... Erik ikut mandi...
HAIYAAAAHHHHH...!!! Nggak! Nggak! Nggak boleh ngeres! Jangan jadi kebiasaan


Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membayangkan yang enggak-enggak!!!
Duk duk duk! Kupukul-pukul kepalaku yang ngeres dengan
kepalan tanganku. Ini bukan di rumah, ini di hotel, di luar ada yang
menunggu giliran mandi! Kalau sampai cabul benar-benar nggak
punya toleransi namanya! Segera kutuang shampoo ke kepalaku,
lebih baik keramas saja...! Rambut bersih, pikiran jadi jernih!
Mungkin berapa belas menit aku mandi. Selesai.
Kukeringkan badanku pakai handuk. Lalu berpakaian. Aku keluar
dari kamar mandi sambil mengusap-usap rambutku dengan handuk.
"Weh, keramas ya" Habis cabul ya..."! Hahaha...!" nggak
ada angin nggak ada hujan, Bambang langsung nyerocos main
fitnah! "Lambe-mu!" umpatku. Nggak keramas pikiran keruh,
begitu keramas malah difitnah! Siapa yang nggak jengkel"!
sarap! "Wakakakaka...!" Bambang malah tambah ngakak. Dasar
Tiba-tiba ada seorang panitia piknik melongok ke kamarku
sambil woro-woro. "Kalo mau makan malam bisa ambil di ruang
makan ya! Udah disiapin...!" cetus panitia itu, lalu kepalanya segera
menghilang lagi dari balik pintu.
Wahhh, asyikkk! Saatnya makan malam!!! Kurapikan
rambutku pakai tangan, lalu segera bergegas keluar dari kamar!
Berangkat makan...! Udah lapaaaarrr!!!
Ruang makan ada di dekat aula, ramai penuh orang. Antri
prasmanan udah seperti antri sembako aja! Aku mengambil piring
dan sendok, menciduk nasi lalu langsung memilih-milih menu.
Kayaknya enak-enak nih masakan Bali" Kulihat ada sate yang
bentuknya aneh. Kuambil sate yang bentuknya mirip cottonbud
jumbo itu... "Maaf ya, Sate Lilit-nya ambil satu aja!" ada panitia
langsung interupsi pas aku mengambil sate itu.
111 Anak-anak yang lain langsung menoleh padaku. Aduhhhh!
Panitia sialan, bocor banget ngomongnya! Dengan malu-malu aku
kembalikan lagi sebagian sate yang aku ambil. Aku tadi mengambil
tiga biji. Hihihi... Pengen sih...!
Selesai mengambil jatah, aku cari tempat nongkrong yang
enak buat makan. Aku menuju ke taman belakang aula. Ada bangku
panjang yang kosong, dan lumayan agak sepi. Aku duduk
menyendiri, menikmati makan malamku. Yahh, kebiasaan, nggak
suka dengan suasana yang ramai-ramai.
"Boleh gabung...?"
"Hkkkkk...!" aku tersedak, kaget! Karena Erik tiba-tiba
menghampiri dan menyapaku!
"Nah...! Keselek kan"!" tukas Erik.
Aku batuk-batuk. Bagian dalam hidungku terasa sakit
banget! Si Erik kalau nongol kok suka tiba-tiba begini sih"!! Bikin
kaget! "Kamu sih, ngagetin!" sahutku masih agak seret.
"Kamunya aja yang suka bengong. Ada orang datang
nggak nyadar. Begitu nyadar keselek!"
"Tahu aku lagi bengong jangan langsung disamperin lah!
Jelas aja kaget!" "Terus gimana" Harus sungkem dulu gitu?" Erik malah
mengajak bercanda. "Iya! Pakai cium tangan juga harusnya!" aku jadi nyolot,
dengan hati berbunga dan kepala membengkak.
"Cium tangan" Ya udah sini aku cium tangannya!"
Aaaa... Erik..." Beneran apa" Aku cuma bercanda, pasti dia
bercanda juga kan..."!!
"Weew... Aku cuma bercanda kok!" sahutku agak kikuk.
Bukannya nggak mau, tapi malu kalau aku yang harus ngasih
tanganku! Pinginnya sih dia langsung pegang tanganku terus
langsung dia cium, dengan lembut...! Harusnya begitu kan sikap
seorang Pengeran saat mencium Puteri..." Ehhh anu, maksudku...
sesama Pangeran tentunya..."!
Halahhh...! Malah makin kacau pikiranku!
112 "Becanda ya" Aku juga cuma becanda..." Erik langsung
ganti ngeles. Tuh kan..."!! Ya iyalah Erik pasti cuma bercanda! Masa dia
beneran mau mencium tanganku sih..."!! Dimas bego...!
"Udah makan! Malah bengong lagi...!" tukas Erik.
Yaahhh... Malu-malu mau, menerima berkat diakrabi oleh
Erik seperti ini... Kusuapkan nasiku pelan-pelan ke mulutku sambil
tersenyum-senyum sendiri.
Ini, serasa dinner sama Erik jadinya! O My God, harusnya
ada lilin-lilin di sekitar sini!
"Nih, kamu tadi pingin Sate Lilit kan?" tiba-tiba Erik
memindahkan Sate Lilit dari piringnya ke piringku, dua tusuk.
"Lho, kok kamu bisa ngambil banyak" Sampai lima tusuk?"
aku melihati Sate Lilit yang masih ada tiga tusuk di piring Erik.
"Aku kan panitia. Boleh ngatur jatah sendiri!" Erik cuek
menjawab. "Huuuh... Curang! But thanks!" cetusku.
"Panitia kan udah capek-capek ngurus pikniknya, jadi ya
adil lah kalo sedikit diistimewakan!" balas Erik sambil mengunyah
satenya. Hahaha... Ah, apapun yang dia bilang lah! Aku suka dan
merasa senang. Erik yang dulu sering ketus, akhirnya memberi
perhatian juga ke aku. Dan dia yang datang sendiri... Bukan aku
yang minta! Dan ini bukan mimpi, aku sangat yakin! Plukk! Plukk!
Kutampar pipiku pelan-pelan, dan terasa jelas. Yup, ini nyata!
"Kenapa sih kamu suka menyendiri?" tanya Erik.
"Eemmhh... Aku cuma nggak cocok sama suasana yang
terlalu ramai aja sih. Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Cuma kesannya agak aneh aja..."
"Aku lebih suka suasana tenang. Jadi aku juga nggak
merasa kesepian, soalnya memang udah mauku," jelasku ringan.
Kesepian itu baru terasa, kalau orang yang aku sukai,
sayangi dan cintai, mengabaikanku... Aku memang pernah merasa
113 begitu. Tapi tidak lagi untuk saat ini. Karena sekarang dia benarbenar hadir di sini, di dekatku, di sampingku... Hangat dan akrab!
"Terus kamu sendiri, kenapa nggak gabung sama temantemanmu" Kenapa malah di sini?" aku ganti bertanya. Mulai
memancing, terus terang masih sangat penasaran dengannya.
"Nggak apa-apa juga. Kamu nggak suka?"
"Eh... nggak masalah kok...! Aku senang kok..." aku
langsung menimpal. Ahhhh...! Jadi tersipu aku mengakuinya! Sepertinya,
memang sudah saatnya untuk lebih berani mengungkapkan
perasaanku. Karena pintu yang dulu selalu tertutup sekarang sudah
mulai terbuka! Tunjukkan saja rasa senangku, tunjukkan rasa
bahagiaku, semoga dia akan makin mengerti...!
"Senang?" Erik mengulang dengan nada tanya.
Aku cuma mengangguk. Kali ini benar-benar malu untuk
mengucapkan yang kedua kali! Tapi aku memantapkan hati untuk
menatap Erik dan memberinya satu senyuman. Lebih jelas dengan
isyarat ini bukan, bahwa aku bahagia..." Tolong, tangkaplah
perasaanku ini! Erik langsung menunduk. Aku sempat membaca gerak di
bibirnya. Dia tersenyum...! Ya, tersenyum, meski agak aneh...
Ah, bukannya keakraban ini sebenarnya memang aneh..."
Aku faham kalau perasaan seperti ini memang susah buat
diutarakan, sehingga kerap membuat kami canggung. Aku sudah
menjalani perasaan ini sejak aku mengenalnya, aku faham betapa
sulitnya dan juga kadang betapa lucunya. Itulah kenapa saat
keakraban ini tiba, malah terasa aneh! Aneh tapi juga memberi rasa
bahagia...! "Tadi siang kamu bilang mau ngomongin sesuatu, mau
ngomong apa?" akhirnya aku mulai mendesaknya, tentang pesannya
yang telah mengganjal pikiranku selama seharian ini.
"Hmm... Iya. Tapi kayaknya nanti agak malam aja, jangan
sekarang. Suasananya masih agak ribet, habis ini masih ada rapat
juga..." jawab Erik pelan.
Sorot matanya jadi kelihatan gelisah. Ahh, mungkin gelisah
yang sama sepertiku juga.
114 "Kayaknya memang nggak bisa diomongin tergesa-gesa
ya" Penting pasti...!" gumamku setengah bertanya-tanya sendiri.
"Hmmm... Sebaiknya dibicarakan nanti sajalah pokoknya!"
gumam Erik sambil menatapku seolah ingin mengisyaratkanku agar
sabar sedikit lagi. "Oke lah..." gumamku pelan sambil tersenyum tipis. Nggak
berani mendesak Erik lagi.
"Nanti aku SMS," tambah Erik.
"Aku tunggu...!" timpalku dengan senyum simpul.
Sekelumit rasa gelisah. But anyway, nice dinner! Bahkan
Erik seolah-olah nggak lagi menghiraukan orang-orang yang
biasanya mengolok-olok kami. Memang di sini sepi, tapi... yahhh,
memang dia sudah berubah. Sabar saja lah, tunggu nanti, pasti
semua akan jelas juga. Yang penting keakraban kami berdua malam
ini sudah siap tersimpan sebagai kenangan manis di memoriku!
Sweet moment! "Udah?" cetus Erik, piring di tangannya sudah kosong. Lalu
dia juga menghabiskan tehnya. Gelasnya pun kosong juga sekarang.
"Ya," gumamku, dengan piring dan gelas yang sudah
kosong juga. "Aku duluan ya!" Erik mengisyaratkan diri mau beranjak.
Duluan..." Nggak bareng aku..." Ah, iya... Kan harus
kembali ke ruang makan yang ramai orang" Aku rasa dia cuma ingin
menghindari mulut-mulut yang gatal saja. Aku mengerti.
"Oke," balasku tahu diri. "Makasih udah nemenin makan,
buat satenya juga!" Erik cuma menoleh sekilas padaku dengan senyum
simpulnya sebagai sahutan. Ya, aku suka itu, gayanya yang cool itu
setimpal dengan wajah tampannya. Kesan sederhana yang indah di
akhir makan malam...! Aku masih tercenung agak lama setelah perginya Erik. Lalu
akhirnya aku pun mulai berdiri juga dari dudukku, dan perlahan
melangkah juga menuju ke ruang makan.
Suasana di ruang makan ternyata memang masih cukup
ramai. Aku meletakkan piring dan gelasku yang kosong di meja.
115 Sekarang, rasanya aku perlu ke toilet. Mataku menangkap
ada logo toilet, nggak jauh dari aula. Aku segera mengambil langkah
ke sana. I want to pee...!
Selesai buang air kecil, aku menuju ke wastafel di salah
satu sudut ruangan. Baru hendak mencuci tanganku, mataku
menangkap... Astaga...! Sebuah HP tertinggal di ceruk dekat
wastafel, entah milik siapa...
Kuraih HP itu, kuamati. Mataku langsung tersita
memandangi foto wallpaper yang terpajang di layar HP. Foto dua
orang cowok yang berpose akrab! Bisa dibilang, sangat akrab...! Dan
aku kenal salah satunya...!
Aku terkesiap. Dia..."!!
"Aku kembalikan aja lah...!" gagasku di kepala.
Aku baru mau keluar dari toilet, di depan pintu toilet aku
sudah berpapasan dengan...
"Ehh..." orang itu agak kaget berpapasan denganku. Dia
Tour Guide yang memandu rombongan busku...!
"Eh maaf, ini benar HP-nya Mas?" begitu mengenali
wajahnya aku langsung menunjukkan HP yang barusan aku
temukan. "Ahhh...! Iya...! Aduh, syukur deh!" Tour Guide itu
menerima HP dari tanganku. Wajahnya kelihatan lega sekali.
"Lain kali hati-hati dong, Mas! Sayang kalo hilang, HP
mahal kan itu"!" selorohku sambil senyum.
"Iya, lupa tadi. Terima kasih ya, Dik...!" ucap Tour Guide
itu sambil mengulurkan tangannya padaku.
"Hehehe..." aku cuma tersenyum mengangguk, sambil
menjabat tangannya yang terulur padaku.
"Terima kasih ya...!" sekali lagi Tour Guide itu mengucap
sambil mengangguk permisi dengan ramah. Aku ikut mengangguk
dan tersenyum membalasnya. Lalu dia segera menghilang keluar
dari ruang toilet. Aku sekarang berdiri termangu sendirian di muka pintu
toilet. Pikiranku masih iseng menebak-nebak soal Mas Tour Guide
116 itu...! Cowok ramah berwajah cerah sawo matang, senyum yang
manis, mata yang teduh... Dan...
Foto di HP-nya itu...! Dia sama cowok..."!!
Apa dia juga...?""
Yah, cuma dia yang tahu. Tapi nalarnya sih nggak mungkin
kalau bukan seseorang yang spesial fotonya sampai dijadikan
wallpaper di layar HP...!
Ahh, biarin lah...! Itu kan urusan pribadinya! Aku
mengembalikan HP-nya, itu udah cukup dan... end of this case!
Kalau mau sedikit lebih, mungkin semoga saja dia bisa jadi kenalan
baru yang baik. Selanjutnya: Dimas, fokus saja ke Erik! Ingat, nanti dia
mau bicara lagi sama kamu...!!!
BERDUA...!!! 117 Telepon Aku sedang tiduran di kamar hotelku. Sepi sendiri.
Bambang entah kemana, mungkin jalan-jalan di luar. Aku memilih
tetap tinggal di kamarku, menunggu Erik yang katanya mau SMS...
Sebenarnya pingin juga menikmati suasana malam di Bali
di luar hotel. Tapi Erik lebih penting! Katanya saat ini dia masih ada
rapat, dan selesai rapat dia ingin bicara berdua denganku. Kalau
nanti Erik mencariku dan aku malah keluyuran di luar hotel,
takutnya dia jadi bete lagi sama aku!
Sambil menunggu Erik, aku termenung di atas kasur.
Sayup-sayup kudengar suara gamelan Bali yang entah darimana
sumbernya. Jauh dari rumah, di Pulau Dewata, baru sekali ini
seumur hidupku merasakan langsung sentuhan nuansanya...
Tenang, teduh, merdu... Jiwaku rasanya damai dalam
penantian ini. Rasa letih karena seharian jalan-jalan ke objek wisata,
seperti teredam oleh tentramnya suasana.
Sekonyong-konyong lamunanku terpecah oleh bunyi HPku. Cepat-cepat kuraih benda itu, siapa tahu Erik yang sedang
menelponku"!! Oooohh... Ternyata telepon dari rumah...!
"Ya halo?" sapaku, ke siapapun yang ada di sana.
"Gimana pikniknya, Dimas?" suara Tante Hilda...
"Ohh, Tante ya" Asyik-asyik aja. Ada apa, Tante?"
"Oh iya, gini nih... Tante sama Om mau ngasih tahu aja.
Tadi pagi ada telepon dari Medan, katanya Bapaknya Om Frans
masuk rumah sakit... Jadinya, Tante sama Om kayaknya mau balik
ke Medan lebih awal dari rencana..."


Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Haa..." Bapaknya Om Frans sakit" Ummhh... Sakit apa,
Tante...?" 118 "Agak parah... Maag akut, ada pendarahan di lambung
katanya. Jadinya Tante sama Om musti segera balik ke Medan
nih..." "Tapi... bukannya Bapaknya Om Frans tinggal di Jakarta,
Tante...?" "Iya, dulunya. Tapi sekarang Bapak sama Ibunya Om
Frans ikut tinggal di Medan. Di Jakarta dulu kan cuma rumah
kontrakan. Mereka kan udah tua, perlu ada yang jaga. Dan Om
Frans kan anak sulung, syukurnya kondisi ekonomi juga paling
mapan. Kemarin-kemarin sih sehat waktu mau ditinggal ke Solo, tapi
nggak tahunya habis itu maagnya kambuh..." tutur Tante Hilda.
"Ohh, gitu... Jadi, mau balik ke Medan-nya kapan Tante?"
"Ini masih mau pesan tiket pesawat. Mungkin besok atau
lusa lah. Maksud Tante, ini sekalian mau pamitan aja, soalnya
kayaknya nggak akan sempat ketemu Dimas pulang dari Bali nih.
Padahal pingin lho oleh-olehnya dari Bali!" Tante Hilda setengah
cekikikan. "Yaaahhh, gimana lagi" Terus, Denis-nya...?" aku sedikit
mengulik soal sodara kembarku...
"Ya Denis ikut balik ke Medan lah...! Kalo ditinggal di sini,
masa nanti dia mau balik ke Medan sendiri" Ya sekalian aja lah..."
jawab Tante Hilda. "Oohh..." gumamku ambigu. Sebenarnya aku bingung
harus merespon bagaimana. Sedih" Senang" Biasa saja" Ya, kalau
rasa yang muncul dengan sendirinya sih memang biasa saja. Aku
hanya berusaha beramah tamah yang sopan dan sewajarnya saja,
karena bagaimanapun ada kerabat yang sakit, dan ada yang mau
pamitan... "Kamu mau ngomong sama Denis?" lontar Tante Hilda.
"Ahh, nggak, nggak Tante... Nggak usah..." jawabku buruburu, jadi agak gugup lagi.
"Kenapa" Kalian nggak akan ketemu lagi lho...?"
"Yaa... gimana yah" Biar nanti Denis sendiri aja yang
nelpon, kalo misal dia mau ngomong... Atau aku sendiri aja yang
nelpon, nanti..." aku berkilah sebaik mungkin.
119 "Eh, kenapa nih" Kayaknya baru marahan ya?" Tante Hilda
sepertinya tahu gelagatku.
berkilah. "Nggak kok, Tante... Nggak ada apa-apa...!" aku terus
"Emm... Ya udah deh kalo gitu. Tante sama Om nyicil
pamit yaa... Denis juga titip pamit...!"
"Iya, Tante... Hati-hati ya, Tante..."
"Kamu juga, hati-hati di situ! Met piknik yaa...!"
"Iya Tante, makasih...!"
"Daaahh..." suara
pembicaraan di telpon. genit Tante Hilda memungkasi Dan pembicaraan selesai. Aku menghela nafas...
Mereka mau balik ke Medan. Denis juga. Aku nggak tahu
harus merasa bagaimana, tapi... perasaan ini memang biasa saja
waktu mendengar kabar itu. Ada kagetnya juga, tapi jujur saja
nggak meninggalkan sesuatu yang mendalam. Cuma seperti...
ibaratnya suara petasan yang dengan cepat menguap gemanya...!
Mungkin karena perbuatan Denis kemarin yang langsung
menepis semua simpatiku padanya...! Ya, apa lagi kalau bukan
itu..."!! Bahkan sejujurnya, aku berharap dia memang lebih baik
segera pergi. Pergi dari rumahku, dari hidupku...! Dia mencuri
rahasiaku, itu sudah cukup! Jangan sampai dia memberitahu ke
siapapun karena aku pasti akan membencinya seumur hidupku!
Meski dia itu sodaraku sendiri! Ya, apalagi dia itu sodaraku sendiri,
tega-teganya kalau dia sampai melakukan itu! Sebaiknya dia jangan
merepotkanku lagi. Itu saja!
Di tengah aku merenung sendiri, tiba-tiba HP-ku berbunyi
lagi. Kali ini ada SMS masuk. Segera kubuka, dan kali ini seperti
yang kuharapkan! Dari Erik...!
"Ku tggu d taman yg td ya!"
Erik menungguku di taman"!! Senyumku mengembang
lebar, semangatku menyeruak!
Yuppp...! Aku datang, Rik...!!!
120 "Aku cinta kamu, Rik..."
Di taman tempat aku tadi makan malam bersama Erik,
kulihat dia sudah menunggu di sana. Dia duduk sendirian di bangku
yang sama. Membelakangiku...
Jantungku berdegup ragu, dan juga gamang... Apa yang
akan kami bicarakan malam ini..."
Sesaat kuamati sekitarnya. Sepi. Anak-anak lainnya
mungkin sudah beristirahat atau masih jalan-jalan di luar hotel.
Cuma ada seorang dua orang yang sesekali masih lewat dengan
cuek. Cukup aman! Begitu yakin dengan situasi, kuberanikan diri menghampiri
Erik. Melangkah pelan-pelan...
"Hai..." sapaku seraya duduk di samping Erik.
"Hai..." Erik menyambutku disertai senyum teduhnya.
"Tadi udah tidur?"
"Belum," sahutku simpul.
"Nggak jalan-jalan sama yang lainnya?" tanya Erik lagi.
"Nggak. Kamu sendiri, kenapa nggak jalan-jalan ke luar?"
"Aku kan udah bikin janji sama kamu...!"
Aku tersenyum, jadi agak tersipu. "Aku juga nungguin
SMS-mu..." balasku simpul.
Erik cuma mengangguk pelan, disertai senyumnya pula.
Melewati basa-basi sejenak, aku masih berusaha mengatur
diriku untuk mengatasi ketegangan yang mempermainkan detak
jantungku. Melawan rasa gugup!
"Ada yang penting ya, buat diomongin sama aku...?" aku
bertanya dengan agak segan.
121 Erik juga kelihatan mengatur diri sejenak. Melemparkan
pandangan sekilas ke beberapa arah. Menyamankan diri untuk
bicara. Lalu... "Ya. Ada masalah yang... sebenarnya sudah kupikirkan
sejak lama..." desah Erik terdengar sedikit canggung.
"Memikirkan apa?"
"Kamu..." Deg...!!! Jantungku berdentum!
"Aku...?" ulangku, tersenggal oleh tawa kikuk.
"Iya. Mikirin kamu... yang udah lama berusaha ngasih
perhatian ke aku... Dugaanku benar nggak sih...?" ucap Erik seraya
mengerlingkan matanya ke arah yang jauh.
Ya ampun...! Aku sudah sering berandai-andai tentang dia,
tapi aku nggak pernah mengira dia bakal bicara selugas itu! Kami
baru berbasa-basi lima menit sebelum dia mengarahkan
pembicaraan menjadi sangat personal seperti ini...!
Aku terpaku menatap wajah Erik yang tersenyum dengan
sorot matanya yang serius. Kata-kata lugasnya benar-benar
langsung menonjokku. Wajahku pun terasa meremang, aahhh...
mungkin bersemu merah! "Perhatian...?" gumamku gugup.
"Kayaknya sejak pertama kita kenal, aku udah merasa kalo
perhatian kamu itu... nggak seperti teman biasa..." lanjut Erik lirih.
"Nggak seperti teman biasa..." Maksudmu, Rik...?" tanyaku
makin bertambah rikuh dan gugup. Ragu, dan malu untuk mengaku!
Makin lama Erik juga tampak gelisah. "Tolong, aku ingin
sekarang kamu jujur aja sama aku, Mas... Nggak fair kalo cuma aku
yang terus menduga-duga. Kamu juga harus bilang yang
sebenarnya, benar apa enggak, kalo aku menganggap kamu punya
perhatian ke aku...?" cecarnya dengan nada pelan.
Straight to the point...! Kata-kata Erik benar-benar
menggiringku untuk mengaku! Kalau sudah begini, aku cuma punya
dua pilihan: mengaku atau menyangkal..."!
Kalau menyangkal, MUNAFIK!
122 Kalau mengaku, mengatakannya..." ya Tuhan... apa aku bisa Aku... apa yang harus kukatakan..."!!
"Rik... aku..." kalimatku tercekat oleh kebingungan yang
belum pernah kurasakan sebelumnya!
"Mas, apa aku cuma teman biasa buat kamu...?" Erik terus
menggiringku! "Kamu... nyuruh aku ngomong jujur...?" tanyaku, bahkan
oleh telingaku sendiri terdengar begitu bodoh.
"Ya iyalah, apa ada orang minta dibohongi"!" sahut Erik
disertai tawa sedikit geli, sekaligus sinis.
Aku tersenyum gagu menatap Erik. Memandangnya lekatlekat, melewati gurat-gurat sayu wajahnya, menembus ke lorong
matanya yang tajam dan dalam itu...
"Iya... Kamu bukan teman biasa, Rik..." jawabku pelan.
Akhirnya tak mampu lagi melawan kejujuran.
"Bukan teman biasa..." Berarti...?" Erik terus menyeretku,
menuntut kejujuran yang lebih lugas dariku!
Kutarik pandangan mataku darinya. Kupalingkan mukaku.
Menunduk, gelisahku makin jadi! Degup di dadaku makin
kencang...! "Iya... Memang, aku suka kamu..." bisikku dengan susah
payah, menahan wajahku yang terasa makin meremang.
"Suka...?" Erik mengulang lagi, satu kata yang terdengar
ragu, tapi lagi-lagi terasa ingin mengeruk semua kejujuranku...
makin jauh! Ya ampun! Kurapatkan mataku, mengejapkannya berulang
kali...! Mengatur nafas sebaik mungkin...
Dan... Setelah sekian lama, kalau bukan sekarang kapan lagi aku
punya kesempatan untuk mengatakan langsung padanya..."!! Harus
kubulatkan keberanianku! Tak mungkin ada kesempatan lain yang
lebih baik dari sekarang!
Kukuatkan diriku menatap Erik dalam-dalam...
123 Dan... "Aku cinta kamu, Rik..."
Akhirnya... TERUCAP...! Seketika segera kutarik lagi wajahku dan kupejam mataku
rapat-rapat. Ya Tuhan...! Bagaimana caranya agar aku percaya
bahwa ini benar-benar terjadi..."! Lama aku berharap, cuma bisa
berharap! Sekarang aku baru saja membuka pengakuanku dan
ternyata itu cuma dua detik dari sebuah ucapan...! Sekarang, apa
yang akan terjadi setelah dua detik paling gila itu..."!!
Sesaat cuma ada keheningan di antara kami. Kesunyian
yang sulit kugambarkan bagaimana rasanya!
"Ooh..." akhirnya Erik merespon pengakuanku dengan
ekspresinya yang tampak termangu.
Cuma gumaman yang aku belum menangkap maknanya!
Kulirik wajahnya dengan rasa segan dan ragu. Dia terdiam.
Ekspresinya tetap belum bisa kusimpulkan.
Rik, kamu sendiri yang memintaku buat mengakuinya...
Sekarang jawab aku, Rik...!
"Kenapa, Rik...?" tanyaku, masih bisa terselip tawa kecil di
tengah kegundahan. Sejujurnya, aku nggak tahu harus merasa
bagaimana setelah aku membuka semua kejujuranku. Tapi yang
pasti, tolong... jangan permalukan kejujuranku, Rik...!
"Ternyata aku masih bisa kaget juga...!" tiba-tiba Erik
berkomentar dengan tawa datar, seperti ada sesuatu yang konyol.
"Padahal selama ini aku sudah menduganya...!" desahnya terdengar
meringan. Dan itu membuat perasaanku justru mengambang makin
bimbang! "Kamu sudah menduga...?" cekatku masam.
124 "Sejak semula perhatianmu udah kelihatan nggak biasa,
Mas. Wajar kan kalo aku menduga" Tapi aku tetap harus mendengar
pengakuanmu sendiri... Karena yang bisa menjelaskan seutuhnya
cuma kamu... Benar, kan?"
"Dan aku udah jawab jujur... Jadi...?"
Erik menghela nafas seraya tersenyum ringan. "Yaahh...
Kalo udah jelas begini, aku kan jadi lebih yakin buat menyampaikan
ini ke kamu..." ujarnya pelan.
"Menyampaikan... apa...?" aku terbata.
Erik menghela nafas lagi. Dia pun tersenyum lebih tegas.
Lebih tajam, seolah sudah tak ada lagi keraguan di sana. Lalu dia
menatapku sesaat dengan matanya yang jernih itu...
"Kamu udah jujur, aku ingin menghargai perasaanmu..."
bisik Erik, membuat jantungku seperti mau berhenti berdegup.
"Karena itu aku juga akan jujur, bahwa aku..."
Aku langsung menarik wajahku dari tatapan Erik, menahan
nafas untuk mendengar... "Bahwa aku nggak bisa menerima kamu, Mas..."
Ruang dan waktu seperti kosong sesaat.
Lalu... Yang bisa kurasakan setelah itu, jawaban Erik seperti satu
bongkah batu yang jatuh ke permukaan air. Dayaku serasa
terhempas... Lenyap! Dan beberapa saat aku hanya mampu terdiam.
"Aku nggak bisa..." Erik mengulangnya lagi.
"Karena...?" suaraku tertahan pelan, terasa susah payah
untuk keluar. "Karena aku nggak bisa...!"
"Pasti ada alasan yang bisa kamu jelaskan, Rik..."!"
racauku menindih emosi yang hampir panik.
125 Erik menatapku. Sekonyong-konyong matanya seperti
kembali pada sorotnya yang dulu yang hampir selalu
menyudutkanku... Tajam dan dingin!
"Mas, kamu mau aku bicara apa adanya kan" Kalo ini
menyakitkan, sorry... Terus terang, aku nggak bisa cinta dengan
sesama cowok! Nggak mungkin! Aku normal, Mas...!" ucap Erik
pelan, namun nada sinisnya begitu menusuk seperti sebilah pisau
yang beku...! Tubuhku terasa lemas seluruhnya. Semua seperti pupus


Cowok Rasa Apel Karya Noel Solitude di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanpa sisa lagi...! "Terus selama ini..." Terus terang, akhir-akhir ini aku
merasa kamu beda dengan yang dulu... Dulu aku sering merasa
kamu selalu berusaha menghindariku. Tapi akhir-akhir ini kamu
beda, Rik! Aku merasa kita sudah menjadi akrab... Aku merasa
kamu sudah bisa menerimaku...!" desahku kelu, menggugat semua
yang kudengar dari Erik. "Atau... aku sudah keliru menduganya...?"
Perasaanku sekarang terasa seperti dipermainkan!
"Oke, jujur aja, Mas... Sebenarnya selama ini aku memang
nggak nyaman sama kamu. Apalagi kalo kamu sudah menunjukkan
perhatian yang terlalu berlebihan. Please...! Aku nggak seperti
kamu, aku bukan gay...!"
Dengan untaian kalimat yang pelan itu, kata-kata Erik
mengirisku makin dalam! "Aku benar-benar nggak nyaman dibicarakan orang-orang
kalo aku "dekat" sama kamu. Tapi kamu masih saja ngasih perhatian!
Kelihatannya kamu memang terlalu berharap...!" curah Erik
menumpahkan semua kejujurannya yang sangat menamparku. "Aku
udah capek, Mas! Aku udah nggak tahan terus-menerus menghadapi
kamu seperti itu. Tapi gimana caranya agar aku bisa menyadarkan
kamu kalo aku nggak bisa ngasih harapan ke kamu"! Kenyataannya
kamu juga nggak pernah terus terang...!"
Aku tertunduk nanar menatap tanah. Batinku hancur...!
Ternyata begini...?""
"Jangan kamu kira aku nggak merasa "digantung", disukai
orang yang nggak pernah mengaku...! Sedangkan orang lain terus
mengolok-olok kita! Jadi terpaksa, akulah yang harus menanting
126 kamu, Mas... Aku harus berpura-pura, buat menguji perasaan yang
selama ini kamu sembunyikan! Supaya kamu berani bicara jujur...!"
Tenggorokanku terasa kian berat. Tapi, sekecap tawa
terlepas juga. Getir... "Jadi... semuanya pura-pura...?" cetusku pahit. "Dari luar
terlihat akrab, padahal sebenarnya kamu nggak nyaman...?"
"Bagaimana aku harus menolak orang yang tak pernah
mengakui perasaannya padaku" Aku cuma mencari jalan biar kamu
sadar, bahwa kamu berharap pada orang yang salah. Bahwa
sebaiknya kamu berhenti...!" timpal Erik lugas.
Aku bungkam, membisu sesaat.
Akhirnya, aku menelan tawa. Tawa terhadap diriku sendiri,
yang bodoh, naif, dan terlalu muluk berharap...! Membayangkan,
ibarat sebuah pintu maka hatiku kini terpampang tulisan besar:
PECUNDANG...! "Yang aku sangka tulus, ternyata cuma sebuah jebakan..."
ujarku dengan senyum kecut. "Apa soal apel yang pernah aku kasih
dulu, yang kamu terima dan kamu bilang rasanya manis, atau apa
lah... itu bagian dari rencanamu juga...?"
"Justru sejak itu, menurutku perhatianmu udah terlalu
jauh. Aku merasa kamu begitu berniat membayang-bayangi aku..."
jawab Erik, dengan senyum sinis di wajahnya. Keangkuhan lama,
yang dulu sering kulihat darinya...
"Lalu, dengan ini semua... apa sekarang kamu merasa
menang...?" "Nggak ada yang menang, nggak ada yang kalah. Orang
yang disukai punya hak buat menolak, dan orang yang suka
harusnya tahu konsekuensi dari yang namanya "memiliki sebuah
perasaan"! Kamu butuh jawaban, dan aku memberikannya. Sekarang
semua sudah jelas, itulah kenyataan yang harus diterima...!"
Aku menatapnya. Rasa sayang, rasa kecewa, rasa
hancur... Sulit kupilah lagi.
127 "Ya, kamu benar, Rik. Aku tahu aku nggak pernah berterus
terang. Tapi aku masih sulit menerima, bahwa kamu berpura-pura
akrab hanya untuk bilang bahwa kamu nggak bisa menerimaku...
Kamu seperti memancing ikan cuma untuk menceburkannya lagi ke
kolam, hanya karena kamu merasa nggak rugi apa-apa maka kamu
melakukannya tanpa peduli sakitnya sebuah kail menancap di
kerongkongan...! Aku nggak cuma kecewa, Rik, tapi juga merasa
nggak berharga..." "Lalu kenapa kamu nggak terus terang aja sejak awal..."
Siapa yang punya perasaan" Kenapa bukan kamu saja yang
langsung bertanya padaku, apakah aku punya perasaan yang sama
denganmu...?" "Karena memang nggak mudah, Rik, buat orang seperti
aku... Menyatakan perasaan, mengakui sesuatu yang dianggap
nggak wajar oleh orang lain...!" desahku kelu.
"Jadi harus aku yang memancingnya kan"!!"
Hhhhh... Aku mendesah, menghela nafasku yang terasa
begitu berat...! "Rik, mungkin "menolak" itu memang lebih mudah
dibanding "berharap untuk diterima"... Baiklah, ini memang
konsekuensiku. Aku cuma mau bilang, kalo kamu bermaksud
menolak bukan berarti kamu boleh melakukannya dengan cara yang
menyakitkan... Perasaan orang itu bukan mainan..." ucapku lirih.
Erik terdiam. Dia merenung dengan alisnya yang berkerut.
"Oke, aku udah minta maaf sebelum mengatakannya
kan...?" ucapnya kemudian.
Aku sekarang juga hanya membisu. Kepura-puraan yang
tersingkap, harapan yang patah, batin yang terinjak, aku punya apa
lagi untuk berkata..."
Yahh, cuma punya asam pahit untuk menyisakan satu
senyum di bibirku, atau sedetik tawa tanpa suara...
"Semua udah jelas kan, Mas" Nggak ada yang perlu kita
bicarain lagi. Sekali lagi, maaf buat semuanya..." ucap Erik, perlahan
mulai berdiri dari duduknya.
"Rik, bagaimanapun selama ini kita juga sudah berteman
bukan..." Apa ini artinya, kita nggak akan berteman lagi...?" aku
128 masih mencoba, bahwa meski berat tapi aku tetap berusaha untuk
mampu menerima sikapnya. Erik memandangku dengan datar. "Tergantung caramu
menganggap aku teman..." jawabnya, mengambang.
"Apa keadaanku ini jadi masalah buat kamu...?"
"Mas, gay itu "sakit". Tapi... selama nggak menular,
mungkin aku nggak perlu menghindari kamu... Asal kamu bisa jaga
sikapmu. Aku berharap omongan miring dari orang-orang tentang
kita bisa berhenti mulai sekarang."
Sekali lagi, perasaanku dipukul sangat keras...!
Aku mengira sakit hati tadi sudah cukup, ternyata masih
ditambah lagi. Sepertinya perasaanku memang nggak penting ya..."
Baiklah, satu lagi senyum pahit di bibirku...
"Oke... Tapi tolong... Jangan sampai orang lain tahu...
Tolong ya, Rik...?" ucapku lesu. Akhirnya cuma itu yang masih bisa
kuminta darinya... Erik cuma membalasku dengan senyum masamnya. Lalu
dia pun melangkah pergi tanpa berucap lagi.
Meninggalkan aku sendiri di sini.
Hati yang biasanya penuh dengan harapan dan anganangan, sekarang kosong. Kekosongan yang terasa perih. Gemetar di
Hati Budha Tangan Berbisa 4 Pendekar Mata Keranjang 4 Misteri Penari Ronggeng Rahasia Peti Wasiat 10
^