Pencarian

Mata Elang 4

Mata Elang Karya Hey Sephia Bagian 4


Akan aku lakukan apa saja untuk mendapatkan cintamu.
Jangan buat aku patah hati. Terimalah segala rasa cintaku.
Yang sangat mencintaimu, selamanya.
Pandu. Niken masih ternganga. Masih belum hilang shocknya.
"Niken, kita dari Boss FM, mau ngucapin selamat. Pandu sayang sekali sama kamu. Mbak
Merlin sampai terharu waktu dia telepon barusan, minta suaranya direkam per telepon."
terdengar suara Mbak Merlina dari radio. "Buat Pandu, good luck! You"ve inspired all of us in
Boss FM radio station! Oke, kita nggak mau bikin para penggemar kuis menunggu-nunggu
lebih lama lagi. Kuis malam hari ini?"
"I love you, Fei, and nothing else matters." kata Pandu. Kali ini nggak dari dalam radio. Pandu
mengecilkan volume radio.
"Gila kamu, Ndu." Cuma itu yang bisa keluar dari mulutnya.
Pandu diam saja, sambil memainkan jari-jemari Niken.
"Kenapa mesti lewat radio?" tanya Niken kemudian.
"Aku pasti nggak sanggup lah ngomong langsung di depanmu. Pasti kamu ketawa keras-keras
sebelum aku selesai."
"Tahu nggak, aku tadi kaget setengah mati waktu denger suara kamu di radio, Ndu. Kamu
memang sinting." "Aku cuma mau bilang, aku cinta sekali sama kamu. Kamu sudah merubah definisi kata "cantik"
di duniaku. Karena hanya kamu yang cantik di mataku."
Pandu baru akan mencium pipi Niken, waktu suara Mbak Merlina mengagetkan mereka
berdua. "Hallo Niken, Pandu, kalo kalian masih di situ, selamat menikmati malam yang indah ini. Lagu
ini milik kalian. Nggak gangguin lagi deh... Selamat malam?"
From my youngest years to this moment here
I"ve never seen such a lovely queen
From the skies above to the deepest love
I"ve never felt crazy like this before
Paint my love, you should paint my love
It"s the picture of a thousand sunsets
It"s the freedom of a thousand doves
Baby, you should paint my love"
"Aku jadi pengen bikin puisi, Ndu." kata Niken habis Pandu menciumnya.
"Ya bikin saja." kata Pandu.
"Bikin gimana" Aku nggak punya bolpen dan kertas."
"Ngomong saja. Seperti deklamasi gitu."
"Nggak ah." Niken menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Ayo lah. Buat aku ini." bujuk Pandu.
"Baiklah." kata Niken akhirnya.
Hati ini Ingin jadi milikmu Pahami tiap bilik sanubarimu
Jiwa ini Ingin berkelana, mengembara bersamamu
Jalan seiiring alunan langkahmu
Diri ini Ingin jadi permaisurimu Bertahta membangun dinasti yang agung di istanamu
Cinta ini Ingin selamanya kuberikan untukmu
Menembus segala ruang dan waktu
Untukmu Pandu, Pahlawanku, kekasih hatiku,
Mata Elang ku. *** :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 1
Niken baru saja menyalakan telepon genggamnya setelah beberapa langkah keluar dari
perpustakaan yang terletak di gedung utama Fakultas Kedokteran UI, ketika telepon itu
berdering. Dari nadanya Niken sudah menebak siapa yang menelepon. Nada itu memang
dibuatnya khusus untuk.. "Pandu!" kata Niken menjawab telepon tersebut. Setelah memastikan bahwa dia benar-benar
sudah keluar dari gedung perpustakaan tersebut, Niken lalu meneruskan, "Kamu seperti
tukang ramal saja. Tahu-tahunya kalau aku baru saja menghidupkan telepon ini?"
"Bagaimana tidak tahu" Dari tadi aku berusaha menghubungi kamu. Sudah kira-kira dalam
sejam ini tiap lima menit aku telepon kamu. Apa nggak ingat kalau kita janjian ketemu di
internet sore ini sekitar... hmm.. sejam yang lalu" Kamu ini di mana sih?" tanya Pandu tidak
sabar. "Oh...sori sori, Ndu. Aku lupa. Ada tugas anatomi yang belum aku selesaikan. Baru saja aku
keluar dari perpus, buku-buku yang aku ingin pinjam ternyata sudah 'out' dipinjam semua.
Terpaksa aku ambil materi dari jurnal-jurnal medis. Mudah-mudahan saja boleh. Aku tadi
bermaksud telepon sebelum berangkat ke perpus, tapi aku tergesa-gesa, bahkan belum
sempat makan siang. Ini kamu masih di internet cafe?", tanya Niken yang merasa bersalah
karena mengingkari janjinya. Kalau saja tangannya yang satu tidak membawa hp, dan yang
satunya lagi tidak penuh jurnal dan folder, dia pasti sudah menepuk dahinya berulang-ulang.
"Sudah nggak. Aku cuma bawa uang ngepas untuk satu jam. Karena sudah lewat satu jam, ya
aku pulang. Habis ini kamu langsung pulang" Nanti aku telepon lagi kalau kamu sudah sampai
kost. Lebih murah telepon ke kost kan daripada telepon ke hp, Fei."
"Iya. Ini aku bawa banyak jurnal dan folderku berat sekali. Aku musti pulang. Tapi aku nanti
pergi lagi ada latihan band hari ini. Katanya si Surya mau nraktir anak-anak sehabis latihan
band. Hari ulang tahunnya. Nanti kalau tidak terlalu malam pulangnya, aku telepon kamu,
deh" Bagaimana?"
"Baiklah. Tapi kalau kamu diburu deadline, mustinya kamu di rumah saja kerjain itu tugastugas yang menumpuk. Sekali-sekali nggak hadir latihan band kan nggak dosa." kata Pandu
berusaha menasehati gadisnya yang kelihatannya akhir-akhir ini sibuk sekali itu.
"Mustinya sih iya. Nggak enak sama anak-anak. Aku sudah janji..."
"Ya sudah, ya sudah. Jangan pulang malam-malam. Nanti sakit malah kamu nggak bisa bikin
tugas." "Iya, boss! Sejak kapan kamu suka ngatur-ngatur begini?" sahut Niken setengah bercanda.
"Aku bukan bermaksud..."
"Duh, Pandu, kamu koq serius sekali." potong Niken. "Aku tahu, sayang. Don't worry. I can
take care of myself. Aku buru-buru nih. Sampai nanti yah.. bye.."
Pandu menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memencet tombol 'OFF' di teleponnya. Sudah
tiga kali ini Niken membatalkan janji untuk bertemu dengannya. Tidak tiga kali berturut-turut,
sih, tetapi tiga kali secara total. Pertama sekitar tiga bulan yang lalu, saat Niken berjanji untuk
pergi ke Bandung setelah mendapat libur beberapa hari untuk mid-semester. Kedua kali ketika
ulang tahun Niken dan Pandu berjanji untuk menemuinya di Jakarta. Niken kebetulan ada test
kimia kedokteran besoknya. Ini yang ketiga kali. Tidak separah yang dua sebelumnya, tapi
janji tetap saja janji. "Ah sudahlah", desah Pandu. "Toh liburan Paskah kemarin Niken datang ke Bandung. Pasti
Niken sedang dibanjiri oleh tugas kuliahnya." Pandu menghibur dirinya sendiri.
"Ada apa, Romeo" Koq melongo begitu kayak kulit kacang yang kehilangan isinya?" Gurauan
Erik, teman satu kost Pandu, membuyarkan lamunannya.
"Juliet, oh Juliet.. Di manakah dikau Juliet...?"" sahut Agung yang ternyata datang bersama
Erik, sambil membawa sebungkus makanan di tas plastik.
"Bawa apa kamu, Gung?" tanya Pandu menyelidik sambil mencium-cium bau tas plastik
tersebut. Dari bentuknya sudah kelihatan pasti itu makanan.
"Batagor!!!" seru Pandu yang sensor penciumannya peka sekali pada makanan yang satu itu.
"Bagi dong..." pintanya seperti anak kecil minta permen.
"Bilang dulu, kenapa kamu bermuka masam begitu sambil menatap telepon" Pasti barusan
menelepon Julietmu, ya kan?" tebak Agung sambil menjauhkan tas plastiknya dari hidung
Pandu. "Kalau iya, kenapa" Ayo dong jangan kejam begitu. Perutku langsung protes nih setelah
hidungku mencium bau batagor yang harum."
"Berarti iya kan" Lalu kenapa kamu bermuka masam" Biasanya kalau habis menelpon si Juliet,
kamu seperti macan tutul yang jingkrak-jingkrak kegirangan sampai rontok semua tutultutulnya. Kenapa kali ini seperti macan tutul sakit gigi?" tanya Agung lagi.
Pandu diam saja. Dihempaskannya tubuhnya di sofa panjang di ruang tengah itu.
"Sudahlah, Gung. Kita kan memang beli untuk dimakan bersama-sama." jawab Erik yang bisa
membaca situasi, sambil merampas tas plastik itu dari tangan Agung, lalu sibuk membuka
isinya. "Ayo, kamu ambil piring dan garpu", perintahnya kemudian, sambil menatap Agung.
"Piring?" Garpu?"" Erik, sejak kapan kamu jadi beradab begini" Batagor itu lebih nikmat
dimakan pakai tangan, seperti ini nih caranya...!" kata Agung sambil mempraktekkan gaya
makan batagornya. Diambilnya batagor, langsung dimasukkan ke mulutnya tanpa digigit
terlebih dahulu, dikunyah-kunyah sebentar, lalu sambil setengah melotot, ditelannya. Lalu
ekspresi wajahnya berubah, sekarang terlihat sangat puas. Lidahnya menjilat minyak yang
masih menempel di jemari tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mengelus-elus
perutnya yang agak buncit. "Nikmat...!"
Tanpa dikomando, Pandu dan Erik langsung menyerbu batagor yang memang terlihat
menggoda, memanggil-manggil mereka, seakan tak sabar untuk menjadi bagian dari isi perut
mereka. "Niken tadi sibuk, jadi lupa pada janjinya untuk ketemu di internet sore ini" ujar Pandu seperti
laporan, tanpa ditanya-tanya lagi oleh Erik maupun Agung. Rupanya efek batagor cukup besar
juga sampai bisa membuat orang menumpahkan uneg-unegnya.
"Kuliah kedokteran pasti begitu lah, Ndu. Dia pasti benar-benar lupa lantaran terlalu sibuk.
Jangan terlalu diambil hati begitu." kata Erik.
"Kalau kamu mau yang nggak begitu sibuk, pacari anak yang ambil kuliah di akademi tata
boga. Cantik-cantik, dan ahli bikin perut senang!" Agung menimpali. Biasa anak satu ini, yang
keluar dari mulutnya tidak pernah hal yang serius.
"Hus, Agung!" sahut Erik. "Pandu ini cinta mati sama Niken. Bisa dilihat kenapa. Kita semua
sudah pernah ketemu Nikennya Pandu ini. Cantik dan pintar, cocok sekali jadi pasangan
Pandu. Posisinya nggak bisa digantikan sama siapapun, apalagi sama koleksi ceweq tatabogamu itu." lanjutnya sambil melirik Pandu.
Pandu masih membisu. "Untunglah kalau begitu. Bisa ludes koleksi ceweq tata-bogaku kalau si Pandu mulai tertarik
menggali lubang ke arah situ. Antara aku dan Pandu, jelas mereka bakal pilih Pandu! Pandu
kan mahasiswa Teknik Elektro ITB, IPnya tinggi, ganteng pula! Sedangkan aku" Murid
Akademi Tata Boga, bisaku cuma masak, jelek, gendut pula!" keluh Agung, walaupun
keluhannya itu cuma seperempat hati, karena dia tahu persis Pandu bukan orang yang suka
merebut ceweq temannya. Mau tidak mau, Pandu tersenyum. Lalu menyahut, "Nggak usah kuatir, Gung. Kamu boleh
simpan semua koleksi ceweqmu itu. Aku tidak tertarik sama sekali. Cuma makanannya sering
lempar kemari yah?" "Gitu dong, Ndu. Senyum. Aku sekarang paham kenapa gadis-gadis bisa semaput lihat kamu
tersenyum begitu. Kata mereka, senyummu bisa melumerkan kutub utara!" sahut Agung
sambil tertawa renyah. "Kamu kalau ngomong begitu lagi kita harus menanyakan orientasi seksualmu, Gung. Kamu
masih doyan ceweq atau pilih Pandu saja?" gurau Erik sambil mengedipkan sebelah matanya
ke Agung. Tumben anak ini bisa centil begini. Sepertinya virus lucu Agung sudah mulai
menular. Dekat-dekat Agung terus sih.
"Erik! Kalau aku sudah berubah orientasi, kamu bakal jadi orang pertama yang aku hubungi.
Akan kunyatakan cintaku padamu tanpa ragu-ragu lagi. Kamu pasti mau menerimaku, kan?"
Agung seperti disulut api jadi tambah membara.
Erik yang tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu, langsung terlihat panik,
dan pura-pura pingsan terlentang di sofa. Melihat Erik memejamkan matanya, Pandu dan
Agung langsung menyambar dua batagor yang masih tersisa.
* "Kamu dari mana aja sih, non?" Belum sempat Niken menutup pintu rumah kostnya, Farah
yang sedang duduk di kursi malas ruang tengah tampaknya sudah lama menunggunya.
"Dari perpus. Kenapa kamu koq pasang tampang galak begitu?" tanya Niken heran. Hampir
saja folder yang ditangannya jatuh karena kaget.
"Ini telepon bunyi terus dari tadi nyariin kamu. Siapa lagi kalau bukan Mas Pandu'mu itu.
Kamu janjian sama dia ya" Koq nggak nongol" Dia panik sekali cari kamu terus". berondong
Farah. "Sori Farah. Gangguin tidur siangmu ya" Aku lupa nggak bilang dulu ke dia kalau aku ga bisa
ketemu dia di internet. Makanya dia cariin mungkin dikira aku ada apa-apa."
"Tugas anatomi itu ya?" tanya Farah. "Dari bulan lalu nggak selesai-selesai" Memang
deadlinenya kapan?" "Senin besok." jawab Niken singkat.
"Makanya aku bilang juga itu kegiatan ngeband-mu itu perlu dikurangi. Gimana mau selesai
juga kalau kamu sibuk ngeband dan pulang malam-malam melulu" Pulang-pulang sudah teler
langsung bobok. Mana sempat terjamah tugas anatomi kamu itu?" kritik Farah pedas.
"Iya Farah.. Kamu ini jauh lebih galak daripada dosen anatomiku, deh." sahut Niken yang
sekedar mengiyakan Farah supaya Farah cepat tutup mulut.
Rupanya Farah tidak secepat itu bungkam. Dia merasa perlu menasehati adik kelasnya yang
akhir-akhir ini terlihat seperti orang yang kehilangan semangat belajar. Yang ada diotaknya
tiap hari hanya ngeband saja.
"Kamu banyak berubah, Niken. Tahun lalu kamu rajin sekali belajar dan tidak ada tugas yang
kamu kerjakan pada detik-detik terakhir. Tahun ini sebaliknya. Tidak pernah ada tugas yang
kamu kerjakan tepat waktu. Selalu terlambat." kata Farah setengah mengomel.
"Iya kegiatan band banyak menyita waktu belajarku. Aku juga jadi bingung cara mengatur
jadwal belajar. Tapi sesudah konser gabungan bulan depan, aku akan lebih konsen ke belajar,
deh." janji Niken, sambil buru-buru masuk kamarnya sebelum diinterogasi lebih lanjut.
"Phew!" desah Niken sambil bersandar pada pintu kamarnya yang tertutup. Kata-kata Farah
tadi walaupun pedas memang betul adanya. Entah kenapa dia lebih mengutamakan main
band daripada kuliah belakangan ini. Bahkan membolos pun sudah bukan hal yang aneh
buatnya. Main band dan kumpul-kumpul sama anak-anak band jauh lebih menarik daripada
menenggelamkan diri dalam tugas-tugas kuliahnya yang tumpukannya sudah menjadi bukit
kecil itu. Banyak bahan kuliah yang belum selesai dicatatnya, beberapa catatan milik
temannya yang harus dikembalikan secepatnya juga masih belum selesai disalin. Diliriknya
meja belajarnya itu dengan berat hati.
"Tunggu yah, aku pasti akan selesaikan kamu-kamu semua. Sekarang... aku musti berangkat
ngeband." ujar Niken mengucap janji pada diri sendiri.
* Anak-anak band sudah kumpul semua di studio mini milik Surya yang bapaknya dulu adalah
salah satu personel grup band yang pernah ternama di tanah air. Dari luar ruangan studio tadi
memang tak terdengar suara apa-apa. Begitu Niken membuka pintunya, pekak telinganya.
Leo, yang biasanya memegang keyboard, sedang mencoba kemampuannya main drum. Gaya
main drumnya persis seperti anak TK yang mendapat mainan baru. Semua drum di
hadapannya itu dipukulnya dengan sekuat tenaga. Niken cepat-cepat menghampirinya sambil
menutup kedua telinganya dengan dua jari telunjuknya.
"Leo..!! Apa-apaan sih ini" Kamu bermaksud merusak drum ini?" tanya Niken bingung.
"Aha!" celetuk Dion sambil mengepulkan asap rokoknya. "Serahkan pada ahlinya saja, Leo.
Kamu nggak lulus ujian."
Leo meringis, lalu membela diri. "Kirain kamu nggak jadi datang. Makanya mereka bermaksud
merekrut anggota baru untuk menggantikanmu pegang drum".
"Hah" Busyet.. Baru terlambat setengah jam saja sudah mau ditendang. Kejam kalian, ya?"
Mata Niken memandang tajam rekan-rekan sepermainannya itu satu per satu.
"Kamu aset penting band kita, Niken. Mana mungkin ada yang bisa menggantikan kamu." kata
Surya sambil tersenyum. "Tapi akhir-akhir ini kamu memang sering terlambat latihan. Sibuk
belajar ya" Atau... kedatangan mas-nya dari Bandung?"
Niken tersenyum kecut. "Sori.. sori... aku memang akhir-akhir ini dibanjiri tugas. Tapi nggak
ada yang datang berkunjung koq." Dalam hatinya Niken berpikir, dalam sehari saja dia sudah
mengecewakan tiga orang. Pertama Pandu, karena lupa pada janjinya. Kedua Farah, yang
kecewa akan prestasinya akhir-akhir ini. Sekarang bandnya yang menuntutnya untuk tepat
waktu. "Nih.." Leo menyodorkan sepasang stick millik Surya yang dipegangnya kepada Niken.
"Oh.. Aku punya sendiri koq." kata Niken sambil mengeluarkan dua stick yang ada di dalam
tasnya. Tanpa dikomando, mereka mulai melatih lagu andalan mereka yang diciptakan Niken khusus
untuk konser gabungan. * Seusai latihan band, ruangan studio sudah penuh asap rokok. Tiap mereka latihan memang
biasanya ada beberapa teman yang setia datang menonton karena hobi, ngefans atau karena
tidak ada kerjaan. Hari ini luar biasa ramai karena Surya sudah berjanji akan menraktir semua
orang yang dikenalnya untuk merayakan hari ulang tahunnya.
Latihan band tadi terpaksa dihentikan sebelum waktunya. Terlalu banyak orang, ruangan jadi
panas sekali. Yang merokok juga makin banyak. Sudah dari tadi Niken berasa mual karena
asap rokok ini. Matanya juga memerah, perih. Tampaknya semua teman bandnya juga
merasakan hal yang sama sehingga konsensus untuk selesai latihan mudah tercapai.
"Mau tissue, Niken" Minum?" tawar anak-anak silih berganti. Beberapa anak memang
mendewakan band mereka. Mereka bahkan sudah membuat fan club kecil-kecilan yang
menjual kaos dan CD rekaman band mereka.
"Terima kasih." sahut Niken sambil menerima segelas air dan tissue itu, lalu duduk diantara
mereka. Salah satu menyodorkan sepaket rokoknya yang sudah terbuka dan terlihat lusuh.
Niken menggelengkan kepalanya. "Aku ngga merokok." Sahutnya kemudian. Dipaksakannya
sedikit untuk tersenyum. Yang menyodorkan paket rokok tadi lalu tersenyum simpul. "Tapi ini bukan rokok."
Niken terlihat bingung sambil memandangi rokok yang dipegang orang itu.
"Sudah, jangan menggoda Niken." Surya yang dari tadi memperhatikan percakapan Niken


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bermaksud menyudahinya. "Dia masih polos. Nggak kayak kita-kita."
"Memangnya itu tadi apa?" tanya Niken setelah orang tadi berlalu.
"Ganja." jawab Surya singkat. Dia yakin benar Niken memang sungguh tak tahu. Gadis seperti
dia mana bisa membedakan yang mana rokok, yang mana gulungan marijuana"
Niken memang tahu beberapa teman bandnya kadang-kadang mengkonsumsi obat-obat
terlarang, tapi tak tahu ada yang bisa dihisap seperti rokok begitu. Tiba-tiba dadanya terasa
sesak dan mual. Niken berdiri, agak terhuyung beranjak keluar dari ruangan yang pengap itu.
Begitu membuka pintu, Niken menghela napas panjang untuk melenyapkan rasa sesak di
dadanya. Disandarkannya tubuhnya di tembok putih yang berhadapan dengan ruang band itu.
Dipejamkannya matanya. Paru-parunya masih sibuk mengatur nafasnya ketika dia dikagetkan
oleh ketukan di bahunya. "Ada apa, Surya?" tanya Niken spontan membuka matanya.
"Sepertinya kita akan berangkat sekarang."
"Berangkat" Memangnya kita mau ke mana?" tanya Niken heran.
"Pesta ulang tahunku..."
"Aku kira bakal di sini, di rumahmu " "
"Nggak. Kita mau ke Exodus, clubbing."
Niken mengangkat alisnya. "Kalau begitu aku nggak usah ikut aja yah?"
"Lho" Kenapa" Anak-anak pada kecewa lho kalau kamu nggak ikut..."
"Aku sebetulnya ada banyak tugas yang harus aku kerjain. Deadlinenya besok Senin, lagi."
"Ayo lah.. ikut dong, Niken. Malam ini saja. Janji nggak akan malam-malam selesainya.
Lagipula, kamu boleh pulang jam berapapun kamu mau. Minimal sejam saja rame-rame
bareng kita.. Ayo dong... Please..." bujuk Surya sambil memasang tampang memelasnya.
Persis seperti anak anjing yang sedang merajuk.
"Baiklah, baiklah. Janji nggak akan mengomel kalau aku pulang duluan?"
"Tentu saja. Janji."
* Begitu masuk Exodus Club, Surya, Niken dan gerombolannya lagi-lagi disambut asap rokok
yang menyengat bercampur dengan aroma alkohol. Suara musik remix tanpa vocal
menghentak-hentak seakan meninju-ninju dinding jantung Niken. Kerasnya hentakan itu
membuat kakinya jadi tak bisa berlama-lama menyangga tegak tubuhnya.
"Mau minum apa, Niken?" tanya Surya.
"Lemon jus." jawab Niken setelah berpikir sejenak.
Setelah bertanya-tanya pada orang-orang lain di sekitarnya, Surya beranjak ke arah bar diikuti
beberapa temannya. Beberapa menit kemudian dia sudah kembali lagi kewalahan membawa
tiga gelas penuh minuman dengan kedua tangannya. Niken buru-buru menghampirinya.
"Yang paling kiri ini lemon jus kamu, Nik."
"Thanks." Sejenak saja teman-temannya sudah ramai-ramai menyerbu lantai dansa yang disorot lampulampu kedip-kedip. Merah, hijau, biru, kuning... kalau terlalu lama diperhatikan mata Niken
jadi berkunang-kunang. "Turun yuk Nik..." ajak Leo.
Niken mengangguk. Agak tergesa-gesa dihabiskannya lemon jus itu dengan tiga kali sedot,
lalu mengikuti langkah Leo ke lantai dansa. Lagu-lagu yang diputar di sini bukan lagu-lagu
yang akrab di telinga Niken. Tapi digoyangkannya juga tubuhnya mengikuti nada lagu ini.
Sejenak pikiran Niken benar-benar kosong, lepas dari kejenuhan dan depresi yang akhir-akhir
ini menghimpitnya perlahan-lahan. Tidak pernah disangkanya remang-remang lampu disco
dan musik remix seperti ini bisa menenangkan pikirannya. Lain sekali dari latihan band
sekalipun, karena memukul drum itu masih tetap menyita kerja otaknya.
Tak terasa sudah sejam penuh Niken bergoyang nonstop di lantai dansa. Ketika tiba-tiba
seluruh pengunjung club dikejutkan oleh teriakan panik beberapa orang wanita. Arah suara
sepertinya dari dekat ruang remix. Musik pun tiba-tiba dihentikan. Seperti dikomando, orangorang bergerak ke arah datangnya suara dan mulai mengerumuni daerah itu.
"Ada apa, nih " " bisik Surya pada Niken. Sedari tadi dia memang sengaja berdansa dekatdekat Niken dan mengamatinya setiap saat. Dia tak tahu seberapa sering Niken pergi clubbing
sebelum ini, tapi menurut keyakinannya pasti jarang sekali atau mungkin bahkan tidak pernah.
Dia tak ingin Niken didekati cowoq-cowoq iseng yang sering mangkal mencari mangsa.
Niken mengangkat bahunya. Teriakan tadi begitu memang begitu mengagetkan. Keras sekali,
bahkan suara musik yang sekeras tadi tidak berhasil menenggelamkan suara teriakan itu.
Niken akhirnya berhasil menembus kerumunan ke arah tengah. Ternyata yang dikerumuni ini
adalah seorang gadis muda yang jelas-jelas sudah pingsan, tergeletak di lantai. Sepertinya tak
seorang pun berani mendekatinya atau mengaku kenal dengannya. Niken baru saja hendak
balik kanan karena tak ingin terlibat dalam urusan ini, ketika dia merasa wajah gadis ini sangat
familiar. Dilihatnya dengan lebih seksama. Make-upnya begitu tebal... tapi ini jelas..
"Wulan!!!" Semerta-merta Niken menghamburkan dirinya ke arah tubuh Wulan yang tergolek
tak berdaya, yang hampir tak dikenalinya.
Walaupun hatinya penuh berbagai macam pertanyaan, diantaranya "Bagaimana Wulan bisa
ada di sini" Bukankah Wulan kuliah di Semarang" Kenapa dia bisa seperti ini" Apa yang
terjadi?" "Panggil ambulans, cepat!" Teriak Niken panik. Air matanya mengalir deras di pipinya tanpa
disadarinya, tanpa dapat dikendalikannya. Melihat orang-orang di sekelilingnya terpaku, tak
beranjak sesenti pun, Niken jadi putus asa, paniknya berlipat ganda.
Surya lalu menghampirinya. "Nik, kita bawa ke RSCM aja yang dekat sini. Ayo aku antar. Kita
ke sana sekarang pakai mobilku." usulnya. Niken mengangguk lemah. Surya lalu menjulurkan
tangannya untuk meraih tubuh Wulan, membopongnya pergi dari situ.
"Wulan..." desah Niken meremas jari-jari Wulan yang dingin. Kepala Wulan ada di
pangkuannya. Seribu pertanyaan dan kekuatiran campur aduk di otaknya. Leo dan Surya yang
duduk di jok depan sedari tadi tak berkata sepatahpun. Mereka mengenali jelas gadis yang
dikenali Niken ini sepertinya overdosis, kena serangan jantung. Niken yang murid kedokteran
pasti juga tahu itu. Bagaimana Niken bisa mengenal gadis yang seperti itu, mereka tak habis
mengerti, tapi mereka bisa melihat sepertinya Niken memang sangat dekat hubungannya
dengan si gadis bernama Wulan ini.
"Nama pasien?" tanya perawat yang berjaga di bagian administrasi unit gawat darurat. Tadi
setibanya di rumah sakit, Wulan sudah langsung dibawa ke dalam ruangan.
"Wulan Andari." jawab Niken.
"Alamat?" Niken bingung menjawab pertanyaan ini. Dia tak tahu di mana Wulan tinggal di Jakarta ini. Ini
juga hal yang aneh, pikirnya. Kenapa Wulan tidak menghubunginya kalau dia ada di Jakarta"
Sudah berbulan-bulan ini sejak kesibukannya melonjak memang Niken sudah tidak
menghubungi Wulan sama sekali. Sebelumnya dia masih sering menelepon seminggu sekali
sekadar bertukar kabar. Biar bagaimanapun Wulan masihlah sahabat terbaiknya.
"Alamat?" tanya perawat itu lagi, dengan nada yang sama. Untung kelihatanya perawat itu
cukup sabar. Leo lalu menyenggol siku Niken. Niken tersadar lalu mendiktekan alamat kostnya sendiri.
Selagi menunggu di ruang tunggu yang sepi itu, mendadak Niken teringat untuk mengabari
ibunya Wulan. Diteleponnya rumah Wulan di Semarang.
"Bima?" Niken mengenali suara yang mengangkat telepon. Adik Wulan.
"Kak Niken yah?"
"Iya. Ibu ada?"
"Ibu..." Lalu Niken mendengar Bima terisak-isak.
"Lho, Bim" Ada apa?"
"Kak Niken belum dengar ya" Ibu meninggal dua bulan yang lalu..." Tangis Bima makin keras.
"Sori banget, Bim.. Aku belum dengar. Wulan sudah berbulan-bulan ini nggak kontak aku... "
"Ibu sakit kanker paru-paru, Kak. Ketahuannya sudah parah, jadi cuma beberapa bulan trus
nggak ada. Sejak Ibu sakit itu Kak Wulan nggak kuliah. Sibuk terus cari duit. "
Deg ! Kenapa Wulan nggak cari dia saat dia butuh duit " Niken masih tak habis pikir.
"Ya sudah, Bim... Nanti aku telepon lagi kalau Wulan sudah pulang" Niken merasa percuma
memberitahu Bima tentang kondisi Wulan. Hanya akan membingungkannya saja. Lagipula dia
melihat Leo berjalan ke arahnya. Mungkin sudah ada kabar dari dokter, pikirnya. Segera
disudahinya percakapannya dengan Bima di telepon.
"Nik, kamu dipanggil dokter tuh. Aku di sini dulu yah, merokok. " kata Leo, mengambil sepaket
rokok dari saku bajunya. "Surya ada di dalam." lanjutnya.
Niken mengangguk dan bergegas menuju ke dalam.
Seperti dugaannya, dokter bilang Wulan kena serangan jantung akibat pemakaian
amphetamine yang berlebihan. Tadi di ruang gawat darurat Wulan bahkan sempat kena
serangan jantung yang kedua, dan jantungnya berhenti bekerja. Tapi berhasil diselamatkan
oleh alat kejut. Dokter tadi sudah memberi obat untuk memulihkan detak jantung dan tekanan
darah Wulan, juga sudah menulis resep obat tersebut untuk segera dibeli di apotik rumah
sakit. Sekarang Wulan sudah dipindahkan ke ruang pasien biasa.
"Kamu pulang dulu aja, Nik. " saran Surya.
"Kamu aja yang pulang. Aku mau tinggal di sini menemani Wulan. Aku ingin ada saat dia
bangun." "Kamu butuh tidur juga. Besok pagi-pagi aja ke sini lagi. Nanti aku antar." paksa Surya lagi.
"Suryaaa... Sudahlah. Kamu nggak akan sanggup membujuk aku pulang deh. Buang-buang
energi saja kamu ini."
"Oke oke... terserah kamu. Besok pagi aku kemari pakai mobil kamu yang kamu parkir di
depan rumahku. Supaya besok kamu bisa pulang kost. Tadi bukannya kamu bilang ada
banyak tugas?" "Duh, kamu baik sekali, Surya. Makasih ya. Sorry banget udah ngerepotin, di hari ulang
tahunmu pula!" Niken merasa bersalah sudah "merusak" pesta ulang tahun Surya.
"Nggak papa Nik. Emang tadi udah waktunya pulang, juga. Jangan sungkan-sungkan begitu,
Nik." "Ya sudah, sekali lagi terima kasih, Surya."
* Jam dua belas kurang sepuluh, Wulan masih belum bangun. Tadi dokter sudah bilang bahwa
kondisi Wulan sudah normal, nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Jadi Niken pun sudah
tenang sekarang, tidak panik lagi. Niken sudah mulai mengantuk, apalagi melihat Wulan yang
kelihatannya tidur dengan pulas. Didekatkannya kursi yang didudukinya ke sisi ranjang Wulan
yang tinggi, lalu direbahkannya kepalanya yang berasa berat itu ke kasur di hadapannya. Bau
steril rumah sakit sudah tak tercium lagi karena pengaruh kantuk yang tak tertahankan.
Sekitar jam tiga dini hari, Wulan membuka matanya. Dilihatnya sekeliling. "Ini pasti ruangan
rumah sakit," pikirnya. "Tapi siapa yang membawaku kemari?"
Matanya lalu tertumbuk pada gadis yang tertidur menelungkupkan kepalanya. "Siapa dia?"
Sedetik kemudian dia merasakan pusing yang luar biasa. Erangan lirih Wulan membuat Niken
terbangun. "Kamu sudah bangun, Wulan?" tanya Niken.
"Koq... ka- kamu, Nik?" Wulan terbata-bata sambil masih mengerutkan kening dan memegang
kepalanya. "Iya. Aku. Kaget ya" Kebayang kan betapa kagetnya aku tadi" Sudahlah kita bahas nanti saja.
Kamu kenapa" Pusing" Aku panggilkan suster ya?" tawar Niken.
Wulan mengangguk. Beberapa menit setelah Niken memencet bel, seorang perawat masuk ke ruangan.
"Bagaimana mbak Wulan" Sudah baikan?" tanyanya.
"Pusing sekali, suster." jawab Wulan.
Perawat tadi lalu keluar dan kembali lagi membawa obat dan air minum. Setelah menunggui
Wulan meminum obatnya, perawat itu keluar ruangan.
"Masih pusing?" tanya Niken.
Wulan mengangguk. "Aku nggak papa koq, Nik. Kamu tidur lagi aja, deh."
"Kamu mau tidur lagi?" tanya Niken.
"Nggak. Pusing begini mana bisa tidur?" keluh Wulan.
"Ya udah. Aku temani."
"Udah Nik... tidur ajaaa..."
"Kangen sama kamu, ngga boleh" Kalo ngga boleh aku ngambek lho!" ancam Niken.
"Ah, belagu kamu. Kapan coba terakhir kamu telpon aku?"
"Aduh... sorry banget, Wulan... Satu-satunya alasanku cuma sibuk. Klise banget yah" Nggak
mutu yah" Maafin aku. Aku temen yang ngga pedulian yah" Sorry.. sorry.. sorry......"
Niken melihat airmata Wulan sudah menggenang di pelupuk matanya.
"Nggak kamu aja koq. Aku juga nggak ngontak kamu. Kita sama aja."
"Iya kenapa sih kamu nggak ngontak aku" Pergi ke Jakarta aja nggak bilang-bilang. Padahal
tahu ada sahabatnya di Jakarta. Aku tadi telepon rumah kamu, dari situ aku baru tahu bahwa
ibu kamu sudah nggak ada. Aku kira aku sahabatmu. Bahkan masalah sebesar ini kamu nggak
curhat ke aku, yang katanya sahabatmu ini." protes Niken, berulang kali melontarkan kata
"sahabat" dengan sinis.
Wulan diam saja. Sepertinya dia tak tahu harus menjawab apa.
Merasa tidak ditanggapi, Niken meneruskan, "Kalau kamu butuh, kan aku bisa bantuin."
"Nah!" tuding Wulan.
"Apa?" tanya Niken kaget dan heran melihat perubahan sikap Wulan yang mendadak ini.
"Ya inilah sebabnya kenapa aku nggak cerita ke kamu." jawab Wulan.
"Inilah sebabnya" Apa sebabnya?" Niken tambah bingung.
"Aku nggak ingin dikasihani. Juga nggak ingin bergantung sama orang lain. Termasuk kamu."
jawab Wulan tegas. Niken mendengus. Wulan memang selalu begini. Sok kuat menanggung bebannya sendiri.
Tapi nggak mau mengakui kalau kewalahan dan butuh bantuan.
"Jadi ini jalan keluarmu" Mengagetkanku dengan pingsan hampir mati di lantai dansa. Kamu
tahu nggak sih betapa paniknya aku tadi ?"
"Aku mana tahu kalau kamu bakal pergi clubbing " " Pembelaan Wulan kali ini benar-benar
sangat kabur. "Apa bedanya, Wulan " Bersyukurlah tadi aku ada di situ. Nggak ada orang lain yang
sepertinya mengenalmu, atau berusaha menolongmu. "
"Oh ya?" Jawaban Wulan ini terdengar begitu aneh di telinga Niken.
"Apa maksudmu "oh ya" " Memangnya kamu tadi clubbing sama siapa?" tanya Niken.
"Teman." Niken mengernyitkan dahinya.
"Kamu berkerut-kerut gitu seperti Bu Lydia kalau sedang mikir soal susah buat dilempar ke
murid yang nakal." Wulan berusaha mencairkan suasana. Niken tak bergeming.
"Teman yang mana" Koq aku nggak lihat ada seorang pun?" tanya Niken lagi.
Wulan menyadari, dia jelas kalah keras kepala kalau dibandingkan Niken. Jadi lebih baik dia
menyerah sekarang. Kalau diterus-teruskan, buntut-buntutnya dia tetap saja harus
menjelaskan semuanya. Menyerah sekarang berarti tidak menghabiskan tenaga yang tidak
perlu. "Baik non. Sepertinya aku musti cerita dari awal deh. Janji nggak akan ketiduran sebelum aku
selesai cerita?" "Apa-apaan sih kamu, Wulan " Sejak kapan aku pernah ketiduran waktu kamu cerita " Ayo
cepetan cerita. Dari tadi muter-muter aja." sahut Niken kesal.
Wulan meringis. "Begini ceritanya. Beberapa bulan yang lalu, ibuku sakit. Kamu tahu kan
emang dari dulu ibuku sakit-sakitan. Nah kali ini akhirnya dia mau juga ke dokter setelah aku
paksa-paksa. Ternyata dokter bilang ibuku sakit kanker, Nik. Kanker paru-paru. Udah stadium
ganas lagi. Entah bagaimana koq ibuku bisa tahan sampai saat itu, aku juga tidak mengerti.
Sejak itu ibuku keluar masuk rumah sakit terus, karena kondisinya tambah lama tambah
parah. Dua bulan kemudian, ibuku meninggal. Duit ibuku habis buat biaya dokter dan rumah
sakit." Wulan diam sejenak, menghela napas.
"Kalau itu aku sudah tahu dari Bima."
"Kamu mau diceritain apa nggak sih " " Gantian Wulan yang kesal.
"Oh iya, mau dong. Terusin, terusin..."
"Mau nggak mau aku musti berhenti kuliah. Cari duit. Mau makan apa aku dan adik-adikku
kalau aku ngotot kuliah ?" keluh Wulan.
"Nah ini. Kembali ke permasalahan semula. Kenapa sih kamu nggak bilang" Aku kan bisa
bantuin. Pinjemin lah paling nggak. Kamu bisa kembalikan kapan aja kamu mau. Cuma duit
aja. Kamu tau aku ada."
"Aku tau kamu ada duit. Tapi dari dulu aku nggak pernah minta bantuan kamu atau siapapun.
Dan nggak berniat memulainya." Wulan membela diri.
"Oke lah. Kamu memang selalu punya alasan. Juga selalu punya cara sendiri untuk mengatasi
permasalahanmu. Lalu" Apa yang kamu lakukan?"
"Aku..." Wulan ragu-ragu untuk meneruskan kalimatnya. Ditatapnya mata Niken. Mata yang
lelah itu terlihat begitu memahaminya meskipun dia belum menceritakan separuh dari
permasalahannya, membuatnya untuk memberanikan diri menumpahkan segala-galanya.
"Ada teman kuliahku yang menawari pekerjaan. Waktu itu aku cerita kalau aku butuh kerjaan,
apa saja pokoknya dapet duit. Dia tanya, jadi pengedar mau nggak" Pengedar di sini
maksudnya bukan seperti loper koran. Pengedar obat. Aku bilang oke. Aku nggak menyadari
bahwa setelah itu hidupku jadi tambah gelap aja. Jumlah teman dan kenalanku jadi tambah
banyak. Awalnya aku kuatir sekali. Takut bakal ketahuan polisi, takut adik-adikku tahu, takut
dosa, dan lain-lain. Lama-lama biasa koq."
Melihat Niken yang menatapnya lekat-lekat dengan pandangan tak percaya, Wulan berkata,
"Kaget ya non" Ini belum seberapa. Lama-lama biasa karena aku tidak hanya menjadi
pengedar tapi juga pemakai. Tadinya aku bersumpah tidak akan menyentuh barang-barang
itu. Tugasku hanya mengambil barang dari tempat yang dijanjikan, dan memberikannya
kepada orang yang mengontakku dengan kode tertentu." Wulan menerawang, menatap
langit-langit ruangan yang bercat putih itu. "Ternyata bukan hal yang sulit untuk terjerat di
dalam lingkaran setan itu jika bermain-main di tepiannya." lanjutnya kemudian.
"Ya sudah... ya sudah..." Niken melihat Wulan yang hampir menangis begitu, jadi bingung.
"Yang penting kan sekarang kamu sudah jera."
Wulan tidak menjawab, cuma menatap Niken sedih. Niken tak mengerti apa maksud tatapan
Wulan ini. Terasa begitu asing dan aneh sekali. "Kenapa, Wulan?" tanyanya sambil
menggenggam ujung-ujung jari Wulan.
"Berkali-kali aku berusaha keluar dari lingkaran setan itu, berulang kali aku mengutuk diriku
sendiri betapa bodoh perbuatanku ini. Lingkaran setan ini kayak Hotel California, you can
check out anytime you like, but you can never leave." Wulan mengutip salah satu lagu
kesayangan mereka waktu SMA yang sering diputar berulang-ulang di kamar Niken sampai
mereka hafal liriknya luar kepala.
"Nik, tolong jangan ceramahi aku tentang apa yang baik dan yang buruk. Kepalaku masih
terasa berat sekali. Aku janji akan berusaha lebih kuat menentang arus ini. Aku nggak tahu
entah kapan bisa benar-benar bersih, tapi aku akan terus berusaha." Ketidak-yakinan


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar jelas di nada suara Wulan.
"Jalani saja pelan-pelan. Aku akan bantu kamu, dukung kamu, apapun yang terjadi. Bahkan
walaupun malam ini termasuk malam paling menyedihkan dalam hidupku, bahkan lebih
menyedihkan daripada ketika aku kehilangan orang-tuaku, aku rela mengalami ribuan malam
seperti ini asalkan kamu janji untuk terus berusaha. Aku juga nggak akan menyerah."
Wulan menyangga berat tubuhnya dengan mengepalkan tangan kanannya di ranjang.
Dipeluknya Niken erat-erat. "Sungguh, nggak jarang aku terpikir untuk menghubungimu,
menceritakan semua ini. Terutama di saat-saat aku merasa membutuhkan seorang teman.
Tapi aku takut kamu bakal menjauhiku, memandangku asing. Aku takut sekali, Nik. Terima
kasih kamu masih mau jadi temanku..."
"Huss, Wulan! Sudahlah. Mulai sekarang kamu musti janji untuk nggak segan-segan cerita ke
aku kapanpun. Itu kalau kamu masih mau jadi temanku."
Wulan mengangguk-anggukkan kepalanya dengan semangat, seolah-olah dengan
anggukannya itu sakit kepalanya turut lenyap.
Setelah itu mereka terus berbincang-bincang sampai subuh. Wulan menceritakan beberapa
detail tentang keterlibatannya dengan yang dia sebut "lingkaran setan" itu. Dari orang-orang
baru yang dikenalnya sampai jenis obat yang akhir-akhir ini digemarinya. Niken pun
menceritakan kesibukannya akhir-akhir ini, teman-teman bandnya, dan juga Pandu. Sampai
saat Surya datang, siap untuk mengantar Niken pulang, mereka masih belum selesai melepas
kangen. "Aku harus pulang sekarang. Jangan kuatir. Aku akan datang lagi nanti sore. Aku akan bawa
buku-bukuku supaya aku bisa mengerjakan tugas-tugasku di sini."
Niken memeluk Wulan lagi, erat-erat, untuk kesekian kalinya hari ini, sebelum pergi.
* :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 2
Sore itu Niken bersenandung kecil di koridor rumah sakit sambil menenteng tas ransel merah
di pundaknya yang berisikan pakaian ganti buat Wulan, komplit dengan handuk, sikat gigi,
sabun, dan teman-temannya. Bahkan tak lupa Niken membelikan majalah terbaru dan
beberapa buku komik miliknya yang dia yakin Wulan pasti suka. Beberapa buku diktat yang
tak muat masuk ke dalam ranselnya didekapnya di dada. Sambil berjalan dan terus bernyanyi
kecil, Niken berusaha mengingat-ingat kalau-kalau ada yang terlupa dibawanya. Ketika kirakira sepuluh langkah dari ruangan Wulan, Niken tercenung. "Kenapa banyak perawat
berkerumun di sini?"
Panik, dia setengah berlari mendekati kerumunan perawat di luar kamar Wulan itu. "Ada apa,
sus?" tanya Niken. Tak seorangpun menjawab pertanyaannya, sampai akhirnya perawat yang
memberikan obat pada Wulan semalam mengenalinya, lalu berkata dengan sopan, "Nona...
temannya Wulan penghuni kamar ini ya?"
Niken mengangguk cepat, dengan harapan perawat tadi akan cepat memberikan jawaban
yang dia inginkan. "Nona Wulan tidak ada di kamarnya. Kami sudah berusaha mencarinya tapi tidak
diketemukan. Sampai akhirnya ada yang melapor dari bagian Security, katanya dari rekaman
security camera, Wulan terlihat melangkah keluar rumah sakit dibawa seorang pria."
Tak percaya akan pendengarannya, Niken tetap membuka pintu masuk ke ruangan Wulan.
Melihat ranjang kosong, lutut Niken mendadak lemas. "Pergi ke mana dia?" batinnya cemas.
"Siapa tamu terakhir Wulan, suster?" tanya Niken. Dia teringat, setiap masuk dia harus
melaporkan diri dan dicatat identitasnya dengan menunjukkan KTP atau SIM. Pria yang pergi
bersama Wulan tadi pasti juga melakukan hal yang sama.
"Benar. Karena kasusnya obat-obatan dan ada kemungkinan berhubungan dengan pihak
kepolisian, menurut prosedur kami semua tamu untuk pasien seperti nona Wulan ini harus
dicatat identitasnya. Kami ada catatannya." Perawat itu lalu mengisyaratkan pada Niken untuk
mengikutinya ke arah meja administrasi.
Setelah membalik-balik halaman buku daftar pengunjung yang tebal itu, perawat lalu
menunjukkan nama pengunjung terakhir yang masuk ke kamar Wulan.
"Dion Sahara." ulang Niken diotaknya. Dengan cepat dihafalkannya alamat dan nomer telepon
yang tercatat di situ. "Terima kasih, sus. Saya pergi dulu. Tolong kalau ada kabar tentang Wulan, kabar apa saja,
hubungi saya. Alamat dan nomer telepon saya ada di buku ini juga." Niken menunjuk
namanya di buku daftar pengunjung itu.
Setelah masuk ke mobil, Niken buru-buru mengambil organisernya. Di daftar alamat, ditulisnya
nama, alamat dan nomer telepon Dion Sahara, sebelum dia lupa. "Dion Sahara", gumamnya
lagi. Nama itu asing sekali di telinganya. Dia tak pernah mendengar Wulan menyebut nama
itu. Niken mendesah. "Tapi akhir-akhir ini aku sungguh sudah tidak lagi mengenal Wulan."
Sedih sekali hatinya menyadari kenyataan itu.
Niken lalu menyalakan hp yang dimatikannya saat memasuki gedung rumah sakit tadi.
"Ada apa sayang?" sapa Pandu begitu telepon diangkat. Tak urung Niken yang tadinya panik
jadi tertawa kecil. "Dasar Pandu centil", batinnya.
"Tolong kamu hubungi kak Adit dong" pinta Niken. Aditya, kakak Pandu, sudah menduduki
posisi lumayan di Polri. Dia lalu menceritakan semuanya tentang Wulan dan misteri Dion
Saharanya. Didiktekannya alamat dan nomer telepon Dion Sahara.
"Baiklah. Nanti aku akan suruh kak Adit kontak kamu kalau dia sudah mendapat keterangan
lebih lanjut" janji Pandu.
"Thanks Ndu." Niken lalu diam. Pikirannya melayang ke Wulan. Kemana dia" Apa dia sudah
kuat jalan" Siapa si Dion Sahara ini" Apa dia memaksa Wulan ikut bersamanya" Kenapa Wulan
tidak meninggalkan pesan untukku"
"Fei," Pandu seakan bisa merasakan apa yang dirasakan Niken saat ini. "Aku tahu kamu pasti
cemas sekali. Tenangkan diri dulu. Jangan memikirkan yang terburuk. Nanti malah justru yang
terburuk itu bakal terjadi. Pikirin yang positif-positif aja. Sabtu ini aku ke sana, deh."
"Nggak usah" aku tahu kamu sibuk?"
"Aku mau nengokin cewekku yang manis nggak boleh?" goda Pandu, berusaha menghibur
Niken. Dia merasa tak berdaya mendengar Niken begitu sedih, sementara dia begitu jauh, tak
bisa berbuat apa-apa. Niken tersenyum lagi. Pandu memang pakar dalam hal mencairkan suasana hatinya. "Cewek
yang mana?" serang Niken seperti biasanya.
Lega Pandu mendengar Niken bisa menanggapi guyonannya. Berarti dia masih baik-baik saja.
"Cewek yang sibuk melulu nggak punya waktu buat cowoknya," sahut Pandu pura-pura kesal.
Niken tahu Pandu tidak sungguh-sungguh marah, tapi dia memang merasa bersalah sudah
mengacuhkan Pandu akhir-akhir ini. "Mau datang ya datang saja. Aku kan nggak janji bisa
nemenin." "Nikennn!!! Nggak kangen ya" Udah nggak sayang ya?" Pandu merajuk.
"Iya iya, kangen. Sayang. Duh, kamu tambah galak deh. Nanti kalau di sini jangan galak
begini ya?" "Gitu dong. Oke, aku sebetulnya lagi ada kelas, nih. Waktu telepon bergetar tadi aku lihat
kamu yang telepon, jadi aku keluar ruangan sebentar."
"Oh sorry, sorry. Aku lupa jadwal kamu. Bye Pandu."
* "Kenapa kamu senyam-senyum gitu" Ada cewek yang bisa digaet?" tanya Boneng celingukan
setelah melihat tampang temannya yang meringis terus sejak keluar sebentar tadi. Boneng
memang terkenal mata keranjang, cewek yang dekat dia banyak, dan semuanya ditanggapi
dengan manis dan tangan kaki terbuka. Hanya sampai sekarang dia masih mengeluh tak
pernah menemukan cinta. Semakin terobsesilah dia mengencani banyak cewek.
"Kamu yang dipikir cewek terus," bisik Pandu sambil mengatupkan mulutnya dan
menempelkan telunjuknya vertikal di bibir.
"Pak Hisham boring abisssss.." gerutu Boneng sambil memelototi kertas fotokopinya. Bahan
kuliah hari ini. Di bagian atas tertulis judul "Penguat Diferensial" agak besar, masih bisa
terbaca. Dari judul itu ke bawah, tulisannya kecil-kecil dan rapat-rapat. Seperti biasa,
pengiritan biaya fotokopi. Ada teori lain di balik ini. Mungkin Pak Hisham berniat
mempromosikan optik "Sehat Mata" milik istrinya yang tidak jauh lokasinya dari kampus.
Makin kecil tulisannya, makin banyak jumlah siswa bermata minus.
"Kalau saja minggu depan tidak ada kuis, aku tak akan repot-repot datang sore-sore begini,"
keluh Boneng lagi. "Kenapa memangnya" Berapa cewek yang ngantri kamu pacari malam ini?" tebak Pandu tepat
pada sasaran. Boneng tersenyum bangga. Predikat "Jaka Kampus" memang layak disandangnya. Meskipun
ada tanda tanya besar apakah sang "Jaka Kampus" kita ini masih perjaka, tapi tak ada orang
lain yang bisa mengalahkan Boneng dalam hal menggaet cewek. Bahkan menurut desasdesus, Boneng, yang nama aslinya Priambudi ini, sudah berpengalaman dalam hal bercinta.
Jurus-jurusnya terkenal mematikan. Dia seperti punya ilmu magis. Disentuh ujung jarinya saja
si cewek langsung klengar tergelepar, seperti terhipnotis, rela mau menyerahkan segalagalanya. Menurut legenda tersebut, Boneng juga sangat perkasa. Entah ini fakta atau gosip
murahan, yang jelas Boneng menyukainya. Awalnya Boneng gregetan mendengar namanya
bergaung seperti itu di kampus, tapi setelah dilihat lagi ternyata ini justru menguntungkan
bagi Boneng, karena mendapatkan cewek justru makin mudah!
"Riana, anak tingkat satu jurusan sipil. Masih polos," kata Boneng mengerjap-kerjapkan
matanya. Pandu gantian tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Hari ini Riana, besok pasti
muncul nama baru. Buat apa dihafal"
"Ditanya kok malah tambah parah senyumannya" Hayo kenapa senyum-senyum seperti abis
menang lotere begitu?" desak Boneng.
"Sabtu besok aku berangkat ke Jakarta. Cuma sampai Minggu malam sih, tapi bisa ketemu
Niken sejam saja aku rela capek-capek ngebis dari Bandung."
Boneng melongo. "Kenapa tak terpikir olehku" Kamu bisa senyum-senyum begini pasti garagara Niken seorang!"
Senyum Pandu masih tersungging di bibirnya. Kadang-kadang terlihat giginya terpajang rapi
berderet-deret. Sepertinya hari ini akan sulit menghapus senyum itu dari wajah Pandu.
* Pensil di tangan Niken itu sudah berkali-kali diketuk-ketukkannya di atas meja. Niken masih
tak habis pikir. Dia mengira Dion adalah salah satu orang yang bertanggungjawab atau paling
tidak terlibat dalam dunia obat-obatan yang dikenal oleh Wulan akhir-akhir ini. Tapi menurut
keterangan kakak Pandu, orang yang bernama Dion Sahara ini catatannya kriminalnya bersih,
sama sekali tidak pernah terlibat dalam urusan kepolisian. Niken berusaha mengingat-ingat
apakah Wulan menyebut nama Dion waktu bercerita panjang lebar malam itu, tapi gagal.
Dipandanginya lagi catatan nama dan alamat serta nomer telepon Dion Sahara di organisernya
itu. Sementara otaknya melayang, tak sadar tangannya melingkari bagian nama Dion itu
dengan pensil berkali-kali. Ketika disadarinya, nama Dion itu sudah penuh coret-coretan
pensilnya. Sambil menghapus coret-coretan itu dengan setipnya, Niken meyakinkan dirinya,
dia harus tahu siapa Dion Sahara ini.
Maka besoknya, sesudah selesai mengerjakan tugas laborat, Niken langsung pergi menuju
alamat yang sekarang sudah dihafalnya luar kepala itu. Bukan sengaja dihafal, tapi karena
sudah lebih dari seribu kali dipandanginya.
Jalan Pasir Putih I nomor 3. Rumah berpagar coklat itu biasa-biasa saja kelihatannya dari luar.
Bukan model rumah yang megah dan mewah, tapi juga bukan yang bobrok butuh direnovasi.
Ragu-ragu, Niken meraih gembok di pintu pagar itu lalu diketukkan ke arah pagar coklat itu
sambil memejamkan matanya untuk menenangkan debar jantungnya sambil berdoa singkat.
Seorang wanita dengan bayi di gendongannya muncul dari dalam. Niken menebak usianya
pasti awal tiga puluhan. Ketika lebih dekat, Niken bisa melihat bayi yang digendongnya itu di
sekitar mulutnya berlepotan bubur bayi. Niken cukup lega melihat sosok "manusiawi" yang
berdiri di hadapannya. Tadi dia sudah membayangkan yang tidak-tidak. Lima anjing doberman
yang sedang lapar, atau tukang daging yang menggenggam pisau besar yang berlumuran
darah. "Permisi, Bu, apakah ini rumah Bapak Dion Sahara?" tanya Niken dengan nada sesopan
mungkin. Wanita itu mengangguk, tapi masih tak beranjak membukakan gembok pintu.
"Bapak Dion ada di rumah?" tanya Niken lagi.
Wanita itu memandangi Niken dari ujung rambut ke ujung kaki. Niken merasa jengah
dipelototi seperti itu. Setelah wanita itu puas meneliti figur di hadapannya, ia berkata, "Ada
apa mencari Mas Dion?"
Niken mengambil kesimpulan, wanita ini pasti istri atau adik Dion. Susah payah ia berusaha
menemukan alasan kedatangannya ini. "Sial!" kutuknya dalam hati. "Tadi sudah aku hafalkan
beberapa alasan, tapi mengapa sekarang lupa semua?"
"Saya... ada urusan dengan Bapak Dion Sahara." kata Niken kemudian. "Bodoh sekali Niken,
masa mencari alasan saja begitu sulit?" kritik Niken pada dirinya sendiri.
"Tentu saja semua orang mencari Mas Dion karena ada urusan. Urusan apa?" tegas wanita itu
lagi. Niken sadar, rasanya percuma dia bersandiwara. Mungkin lebih baik jujur, dengan begitu dia
akan mendapatkan petunjuk keberadaan Wulan.
"Saya ingin menanyakan pada Bapak Dion apakah dia mengetahui di mana teman saya
berada. Nama teman saya Wulan. Apakah ibu pernah mendengar nama teman saya?" tanya
Niken hati-hati. Wanita itu diam saja. Sambil mengelap mulut bayinya yang kotor dengan selendangnya, dia
berkata, "Mas Dion sudah lama tidak pulang. Kalau mencari orang hilang, rasanya di sini
adalah tempat yang salah." Sesudah berkata begitu, wanita itu balik kanan dan masuk kembali
ke dalam rumah. Niken tidak sempat mencegahnya. Ia berusaha mengetukkan lagi gembok
itu, tapi percuma saja. Wanita itu tidak muncul-muncul lagi.
* Niken berlari secepat mungkin menuju ruang laborat. Menurut jadwal Niken sudah terlambat
dua puluh lima menit. Begitu sampai di depan pintu, Pak Purba sudah menatapnya dengan
sepasang mata yang menyelidik.
"Terlambat lagi?" tanya Pak Purba.
"Maaf, Pak. Lain kali tidak..."
Belum sempat Niken menyatakan alasan keterlambatannya, Pak Purba sudah menyuruhnya
duduk. Wajahnya menunjukkan rasa tidak senang dan sepertinya tidak ingin tahu mengapa
Niken terlambat. "Tugas praktikum besar kali ini adalah tugas kelompok. Satu kelompok dua orang. Karena
kamu terlambat, semua kelompok sudah terbentuk. Masih tinggal sisa seorang yang belum
mendapatkan kelompok. Kamu satu kelompok dengan Sadu." kata Pak Purba sambil menunjuk
ke arah pojok kanan. "Baik, Pak." Niken mengiyakan. Dia lalu duduk di sebelah Sadu.
"Matilah aku!" batinnya. Niken tahu, anak laki-laki yang duduk di sebelahnya ini aneh
perangainya. Wajahnya selalu tertutup bayangan topinya. Dia tidak pernah balas menyapa
kalau disapa orang. Bajunya selalu berwarna hitam atau abu-abu tua. Entah berapa pasang
baju yang dimilikinya, karena Niken selalu mendapatinya memakai baju yang itu-itu saja.
Padahal dengar-dengar dia anak orang kaya. Motornya selalu bersih mengkilap. Hanya satu
hal yang membuat Niken agak terhibur " prestasi Sadu tahun lalu termasuk cukup baik, di
atas Niken, malah. Pak Purba sudah menulis jadwal penggunaan ruang praktikum untuk masing-masing
kelompok. Niken lalu menyalin waktu-waktu dan ruangan yang ditentukan untuknya ke dalam
organisernya. "Tiga kali dalam seminggu selama satu bulan!", gerutunya dalam hati.
Bagaimana dia harus berkomunikasi sendirian dengan si Drakula ini selama tiga kali dalam
seminggu" Bagaimana kalau si Drakula ini benar-benar akan menggigit dan menghisap
darahnya" Niken merinding. Sedetikpun dia tak berani melirik ke arah sebelahnya. Dia terus
menyalin prosedur dan catatan yang diberikan Pak Purba di papan tulis.
Saat selesai, Niken baru menyadari dia tinggal sendirian di ruangan itu. Bahkan si Drakula
yang duduk di sebelahnya sudah tidak ada di situ. Ada perasaan lega hari ini dia tidak perlu
bertegur-sapa dengan Sadu. Niken cepat-cepat membereskan alat-tulisnya dan beranjak ke
luar kelas. "Hey!" sapaan seseorang di depan pintu ruang praktikum mengejutkan Niken. Jantung Niken
hampir saja copot kalau tidak didekapnya lagi dadanya erat-erat!
"A... aa..?" jawab Niken terbata-bata. Seperti di film horor saja, kutuknya dalam hati. Sosok
yang menakutkan itulah yang menyapanya. Sebetulnya yang akan dikatakannya adalah "ada
apa", tapi begitu melihat yang menyapanya adalah Sadu, detak jantungnya justru bertambah
cepat. "Besok Senin aku akan datang agak terlambat. Kamu mulai dulu saja kalau sudah datang
duluan." kata Sadu sambil berlalu tanpa menunggu jawaban Niken.
Niken yang jantungnya masih berdegup dengan keras karena kehilangan beberapa denyut
barusan cuma bisa melongo. Ketakutan jelas sekali terlihat di wajahnya. Ketika Niken akhirnya
berhasil mengatur detak jantungnya, Sadu sudah berlalu dengan kencang di atas motor
besarnya. * Sore itu, di kamarnya, Niken melampiaskan semua keluh-kesahnya kepada Pandu yang baru
saja datang. Semua diceritakannya panjang lebar. Tentang Wulan, tentang kesibukannya
akhir-akhir ini, tentang band, tentang nilai-nilainya yang merosot, dan tak lupa tentang
Drakula bermotor. Pandu hanya mendengarkan dengan sabar dan dengan ekspresi yang
penuh antusias. "Kamu koq diam saja dari tadi?" tanya Niken. Rupanya dia baru sadar bahwa dia sudah
bercerita nonstop selama hampir sejam, sementara lawan bicaranya tidak menunjukkan ada
tanda-tanda bosan atau keberatan, tapi juga tidak memberikan tanggapan apa-apa selain ah
uh ah uh. "Sudah selesai ceritanya?" Pandu tidak menjawab pertanyaan malah balik bertanya.
"Sudah. Tunggu... Ya, sepertinya sudah."
Pandu lalu melebarkan kedua tangannya seperti sayap malaikat. Lalu didekapnya Niken eraterat sambil berkata, "Aku kangen sekali, Fei! Tak kusangka hidupmu terus berjalan dengan
lancar tanpaku. Aku iri sekali pada orang-orang yang bersentuhan dan bersapaan denganmu
setiap hari, sementara aku cuma jadi penonton di pinggir yang hanya bisa mendengarkan
siaran ulang..." Air mata Niken tumpah karena terharu. Dia juga merasakan hal yang sama. Lelah karena
hidup tanpa orang yang disayangi. Hari-hari terus berlalu, dengan atau tanpa orang yang
disayangi. Pandu melanjutkan, "Kadang kalau aku sedang makan sesuatu yang enak, yang aku yakin
kamu pasti suka, aku jadi inget kamu. Ingin rasanya terbang ke tempatmu membawa
makanan untuk kita makan sama-sama. Aku bahkan nggak tahu gimana wajahmu kalau pas
bangun tidur. Mustinya dulu waktu SMA sih pernah lihat, tapi sudah nggak ingat karena waktu
itu nggak kuperhatikan..."
"Huh?" Niken mendongak. "Maksudmu?"
"Temen sekosku ada yang spesial tiap pagi selalu bangun pagi-pagi lalu ke rumah ceweknya.
Tujuannya cuma ingin melihat ceweknya itu bangun pagi." kata Pandu sambil menghapus air


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mata yang mengalir di pipi Niken.
"Hah" Kenapa begitu?"
"Menurut temenku itu, wajah ceweknya kalau pas bangun tidur itu nggak bisa dilukiskan
dengan kata-kata. Jadi dia rela bangun pagi-pagi untuk melihatnya tiap hari."
"Ah, bohong itu," kata Niken tergelak. "Pasti karena dia dapat sarapan gratis tiap hari di
rumah ceweknya!" Pandu ikut tertawa. Dia tahu walaupun yang keluar dari mulut Niken adalah kata olok-olok,
Niken sudah mengerti maksudnya.
"Begini deh. Besok kamu boleh datang pagi-pagi kemari. Aku janji nggak akan bangun
sebelum kamu datang. Kamu boleh lihat wajah bangun tidurku sepuasnya." Niken
menawarkan diri. "Aku ada ide yang lebih bagus lagi. Bagaimana kalau aku tidak usah pulang" Aku belum bilang
sama kakak kalau aku mau ke Jakarta."
Niken membelalakkan matanya. "Hus! Ranjangnya cuma satu!"
"Aku kan bisa tidur di lantai."
"Nanti masuk angin."
"Biarin." "Masuk angin, masa dibiarin" Nanti nggak bisa pulang balik ke Bandung kalau sakit."
"Biarin. Malah bagus, kan" Aku sakit di sini, kamu temani aku sepanjang hari. Mimpiku jadi
kenyataan." "Pandu!" Malam itu ternyata mereka tidak tidur sampai kira-kira jam lima pagi sampai akhirnya tertidur
berdua di atas lantai beralaskan selimut.
* "Selamat pagi, sayang." Niken tersenyum waktu mendengar tiga kata itu menyambutnya
bangun di pagi hari. Pandangannya masih belum begitu jelas. Tapi beberapa detik kemudian
dia baru menyadari bahwa Pandu sedang memelototinya.
"Sedang apa kamu, Ndu?" tanya Niken heran. Secara refleks ditariknya lagi selimutnya untuk
menutupi tubuhnya. Padahal tidak ada yang perlu ditutupi. Niken masih mengenakan pakaian
tidur lengkap. Pandu sama sekali tidak menjawab, malah terus menatap wajahnya, seperti video kamera
yang sedang merekam gambar. Setelah beberapa saat, Niken baru ingat percakapannya
tentang "wajah bangun tidur" semalam.
"Bagaimana wajah bangun tidurku?" tanya Niken geli.
"Memang betul, nggak bisa dilukiskan dengan kata-kata." jawab Pandu.
"Hah" Seperti apa sih" Coba aku lihat." kata Niken sambil beranjak menuju ke arah meja
riasnya untuk bercermin. Pandu cepat-cepat mencegahnya. "Jangan. Nanti hilang. Tolong biarkan aku melihatnya
sebentar lagi." Niken bengong. Dibiarkannya saja Pandu yang tak berkedip menatapi wajahnya. Lamakelamaan dia merasa jengah dan malu.
"Sudah, ah. Kasihan tuh matamu kering butuh air. Kedip sekali kenapa kek!"
Bukannya menjawab atau berkedip, Pandu malah memagut bibir Niken. Niken yang tidak
menyangka akan dicium spontan meronta, tapi cuma sebentar. Niken membalas ciumannya.
Pagutan hangat Pandu memberikan sensasi yang sangat dirindukannya. Niken membuka
matanya mencari mata Pandu, yang kemudian didapatinya masih terpejam erat, lalu Niken
kembali memejamkan matanya. Bisa dirasakannya cinta Pandu dan dirinya yang menggelora
saling beradu saat itu. Entah berapa lama mereka tenggelam dalam dunia di mana hanya ada mereka berdua. Niken
merasa tubuhnya jadi ringan dan melayang-layang ketika Pandu berkata lirih di telinganya,
"Mungkin kata terdekat untuk menjelaskan wajah bangun tidurmu adalah "seksi". Kamu
sungguh sangat sempurna, Fei..."
Niken baru tersadar kembali ketika dekapan Pandu hampir membuatnya tak bisa bernapas.
Susah payah Niken melepaskan lilitan tubuh tegar itu dari badannya. Niken tahu, Pandu
mendekapnya begitu erat karena tak bisa mengontrol sensasi yang juga dirasakannya.
"Pandu, kamu terlalu baik. Kalau cowok lain dalam posisi seperti ini dengan ceweknya, pasti
sekarang sudah tumpang-tindih di atas ranjang." kata Niken polos.
"Aku bukan orang yang munafik, Fei. Kalau aku mau pasti akan kulakukan. Aku pun bukan
orang yang mengagungkan keperawanan. Aku cuma merasa sekarang ini belum saatnya. Kita
sama-sama belum siap. Lagipula kita masih punya banyak waktu untuk menikmati ini di masa
depan. Aku cukup sabar untuk itu."
Niken mengangguk. Pandu ini memang seperti versi laki-laki dari Niken. Mereka serupa, hanya
berbeda jenis kelamin. Jadi tidak sulit bagi Niken untuk memahami Pandu, dan begitu pula
sebaliknya, karena hampir semua idealisme-idealisme yang dianut Pandu, juga diimani oleh
Niken. "Aku cinta kamu, Ndu." bisik Niken. "Sepertinya aku sekarang sudah jarang mengucapkan
kata-kata ini, dan rasanya kalau didengar seperti klise. Tapi aku mau bilang bahwa aku benarbenar mencintaimu. Jangan pernah lupa itu."
* Senin sore jam empat kurang lima menit, Niken sudah berada di dalam ruang praktikum itu.
Hari ini spesial dia memakai scarf. Gila memang, tapi dia benar-benar takut si Drakula itu akan
mencakar atau menghisap darah dari lehernya. Bahkan semalam dia tak bisa tidur memikirkan
hari ini akan bertatap-muka dengan si Drakula bertopi itu. Karena tahu Sadu hari ini akan
terlambat, dia langsung memulai membuka-buka buku panduannya. Seperti biasa buku
organisernya juga selalu terbuka. Melihat organisernya, ia lalu membuka bagian daftar alamat
dan melihat kembali nama dan alamat Dion Sahara. Guratan bekas coret-coretan pensilnya
masih jelas terlihat melingkari nama Dion. Ia terus berpikir keras bagaimana caranya
menemukan Wulan kembali, siapa dan dimana Dion Sahara saat ini, dan ke mana dia
membawa pergi Wulan. "Sudah sampai mana?" Pertanyaan itu mengagetkan Niken. Sadu sudah berdiri di sampingnya
mengamati apa yang sedang dilakukannya.
"Ah... belum koq, belum mulai." Niken melirik arlojinya. Jam empat lebih lima menit. "Lho"
Katanya akan terlambat" Koq cuma terlambat lima menit?"
"Kalau aku tidak datang awal kamu pasti akan merenung di sini seperti tadi sampai aku
datang. Buang-buang waktu saja. Pantas saja nilaimu semester kemarin jeblok, kerjaanmu
cuma melamun sepanjang hari." sahut yang ditanya dengan nada sinis.
"Orang ini jarang bicara tapi ternyata kalau sudah bicara nadanya sungguh tidak enak
didengar. Lebih baik tidak usah bicara daripada bicara tapi menyakitkan hati," gerutu Niken
dalam hati. "Bukan urusanmu." jawab Niken singkat.
"Tentu saja ini urusanku, nilaiku mungkin akan terpengaruh gara-gara ini."
"Kalau kamu takut, kita bisa bekerja sendiri-sendiri, jadi kamu tidak usah tergantung aku."
tantang Niken. "Jelas kamu yang rugi. Nilaiku jauh di atasmu. Tapi terserah kamu. Aku memang lebih suka
kerja sendiri." Sepertinya Sadu menerima tantangannya dengan berani.
"Ya sudah. Kerja sendiri sana dan jangan menggangguku." sahut Niken ketus. Dalam hati ia
yakin akan berhasil tanpa bantuan drakula tak tahu sopan santun ini.
"Terus saja melamunkan Dion. Aku tidak pernah suka dengan orang yang berhubungan
dengan Dion." "Tunggu!" Niken berseru. Matanya membelalak waktu Sadu menyebut nama Dion seakan dia
akrab dengan nama itu. "Kamu kenal Dion Sahara?" tanyanya.
Yang ditanya tidak menjawab malah menjauh. Sadu lalu duduk di pojok kelas, tempat yang
sepertinya sangat disukainya. Ketakutan Niken akan si Drakula ini mendadak lenyap, bahkan ia
berani menyingkirkan buku yang sedang dibaca Sadu untuk menarik perhatiannya.
"Kamu mengenal orang itu" Kamu mengenal Dion Sahara?" tanyanya lagi dengan nada
mendesak. Sadu masih tidak menjawab dan berusaha menarik bukunya kembali untuk dibacanya. Niken
menekan buku itu di atas meja dengan tangannya supaya tidak bisa diangkat oleh Sadu.
"Hey! Aku bukan di sini untuk membahas kehidupan sosialmu. Kalau kamu tidak
menyingkirkan tanganmu aku bisa merebutnya dengan cara yang kasar," ancam Sadu.
Diancam begitu Niken mengkeret. Kalau yang mengancamnya tidak bertaring panjang dan
suaranya tidak seberat ini, dia masih bisa lebih memberanikan dirinya. Bahkan anak-anak rock
dan metal yang selama ini dikenalnya tidak ada yang mengerikan seperti makhluk yang
dihadapannya saat ini. Pelan-pelan dengan tidak rela Niken melepaskan buku Sadu. "Maaf. Aku... aku benar-benar
ingin tahu di mana Dion berada. Aku harap kamu mau memberitahuku." kata Niken dengan
nada sopan dan berusaha menyembunyikan ketakutannya.
Melihat Sadu lalu asyik membaca bukunya dan tidak mempedulikan pertanyaan Niken, ia lalu
kembali duduk di bangkunya.
Beberapa menit mereka sama-sama diam dan menekuni pekerjaan mereka masing-masing,
pekerjaan yang seharusnya mereka kerjakan bersama-sama. Niken berusaha melupakan
kejadian tadi. Dianggapnya dia tidak mendengar Sadu menyebut nama Dion Sahara.
Walaupun dia sungguh ingin tahu keberadaan orang tersebut, Niken tidak sudi memohonmohon pada si Drakula bertemperamen keras itu. "Pasti akan ada cara lain untuk menemukan
Dion," harapnya dalam hati.
Tiba-tiba telepon genggam Niken bergetar. Nomornya tidak dikenal. Sadu melirik ke arahnya.
"Hallo?" kata Niken setengah berbisik. Dia tidak ingin percakapannya didengarkan oleh Sadu.
"Hallo! Siapa ini?" kata Niken dengan agak keras setelah mendengar tidak ada tanggapan dari
ujung sana. "Wulan... Wulan..." Kamu ada di mana" Kamu bersama Dion Sahara" Kemana dia
membawamu?" Samar-samar Niken mengenal suara orang yang meneleponnya.
Sambungan telepon terputus. Setelah berkali-kali gagal menghubungi nomor yang masuk tadi,
Niken tak ayal menangis tersedu-sedu karena putus asa. Feelingnya mengatakan Wulan
sedang dalam bahaya, tapi ia tak berdaya untuk menolongnya.
"Kamu benar-benar ingin bertemu Dion?" tanya Sadu. Nada suaranya sangat berbeda dari
tadi. Niken mengangkat wajahnya. Sadu sudah duduk di bangku depannya, menghadap ke
arahnya. Niken lalu mengangguk, mengharap Sadu akan membuka tabir misteri yang selama
ini menghantuinya. "Kenapa kamu tidak pergi ke tempat di mana dia selalu mangkal?" tanya Sadu dengan nada
heran. "Bagaimana aku bisa tahu di mana dia selalu mangkal, siapa Dion pun aku tidak tahu!" sahut
Niken masih dengan nada putus asa.
"Jadi kamu tidak mengenal Dion?" Sadu semakin heran.
Niken menggeleng-gelengkan kepalanya. Pikirn
ya, "Apa yang membuat dia yakin aku
mengenal Dion" Semenjak tadi bukannya aku yang mendesaknya untuk memberitahuku di
mana Dion berada?" "Aku cuma tahu dia membawa pergi temanku. Siapa dan orang seperti apa Dion itu, aku sama
sekali tidak tahu. Yang aku tahu, tadi temanku barusan menelepon, dan firasatku mengatakan
dia sedang dalam bahaya. Tapi aku juga tidak punya petunjuk di mana kira-kira dia berada.
Aku... aku bodoh sekali!" Pecah lagi tangisnya karena panik membayangkan apa yang sedang
dialami Wulan saat ini. "Ikut aku." Sadu menarik lengan Niken. Niken cepat-cepat menumpahkan buku dan organiser
di meja ke dalam tasnya dan menggamit tas itu.
"Pakai ini. Naik." Perintah Sadu ketika mereka sampai di depan motor Sadu. Tangannya
menyodorkan sebuah helm ke arah Niken.
Walaupun bingung, Niken menuruti semua kata-kata Sadu. Tanpa berkata-kata lagi, Sadu
melaju ke jalan raya dengan kecepatan tinggi, menyalip semua kendaraan yang dilaluinya dari
kiri dan kanan. Niken tidak berani memejamkan matanya barang sedetikpun. Walaupun ngeri,
dia merasa aman berada di belakang motor besar Sadu. Dia pun merasa harus menghafalkan
route ke mana Sadu membawanya. Beberapa lampu merah diterjang Sadu tanpa sedikitpun
merasa gentar. Sepertinya dia sudah biasa mengendarai motor gila-gilaan seperti ini.
Seandainya ada polisi yang melihat kegilaan Sadu, mau mengejar pun tidak akan sempat.
Sepanjang perjalanan mereka tidak berbicara sepatah kata pun.
Sampai akhirnya Sadu memperlambat laju motornya. Mereka ada di depan sebuah bangunan
tua. "Sebuah motel," tebak Niken dalam hati.
"Ayo turun," kata Sadu, kembali mencekal lengan Niken sambil berlari. Dengan satu tangan,
Niken melepaskan helm yang dipakainya sambil berlari menjajari langkah lari Sadu.
Mereka memutari hotel itu dan masuk dari pintu belakang yang dengan mudah dibuka oleh
Sadu. Sadu lalu membuka satu persatu ruangan hotel itu, sambil meneriakkan nama Dion
berkali-kali dengan nada garang. Sepertinya semua ruangan hotel itu tidak pernah dikunci.
Dion lalu naik ke lantai dua. Niken dengan susah-payah mengikutinya. Langkah kaki Sadu
lebar-lebar, tidak seperti langkahnya yang kecil-kecil.
Seorang laki-laki muncul dari dalam sebuah kamar di lantai dua itu.
"Ada apa?" tanya orang itu.
"Kamu sedang apa?" tanya Sadu galak. Tidak mendapatkan jawaban sepatahpun, dengan satu
tangan masih menggandeng Niken, Sadu masuk ke dalam kamar laki-laki tersebut.
Saat pintu dibuka, Niken langsung menjerit. Sadu lalu membalikkan badan Niken ke arahnya.
Niken membenamkan wajahnya di dada Sadu. Kedua matanya dipejamkannya, tapi ia tak
sanggup menahan air matanya mengalir begitu deras. Sadu terus menepuk-nepuk
punggungnya sementara Niken terus menangis terisak-isak.
Ketika didengarnya tangis Niken mulai mereda, Sadu melepaskan Niken dan memegang kedua
bahu Niken. "Aku baru akan membawanya ke rumah sakit, tapi kulihat dia sudah meninggal..." kata orang
tadi. "Kita keluar dulu." katanya sambil menuntun Niken keluar dari tempat itu.
Sampai di luar, Niken menarik nafas panjang, menghirup udara segar. Di dalam tadi begitu
pengap dan penuh asap rokok. Sadu meninggalkannya beberapa lama, dan ketika kembali ia
membawa teh botol dingin yang belum terbuka. Sadu membuka teh botol itu dengan pisau
Swiss-Army yang menjadi gantungan kunci motornya, lalu diberikannya pada Niken.
"Terima kasih, Sadu." kata Niken. Rasanya baru kali ini dia bisa memanggil nama Sadu tanpa
membayangkan sosok drakula.
"Itu tadi..." Sebelum Sadu menyelesaikan perkataannya, Niken sudah menjawab, "Ya, itu tadi Wulan,
orang yang sedang aku cari-cari. Kenapa dan bagaimana dia bisa berada di sini, aku tidak
tahu." "Aku sudah mengira kamu tidak tahu dari reaksimu yang begitu terkejut seperti tadi. Aku
justru baru mau memberitahumu. Aku bisa menebak apa yang terjadi pada temanmu itu."
Niken tercenung. Sadu lalu menceritakan sekelumit jalan hidup Dion, yaitu laki-laki yang ada
mereka temui di dalam tadi, yang ternyata adalah kakaknya. Menurut Sadu, Wulan pasti
adalah satu dari sekian banyak wanita yang diperalat oleh Dion. Mereka dengan mudah dapat
diperalat karena berhutang banyak uang pada Dion, ditambah dengan ketergantungan mereka
pada obat-obatan, yang memang awalnya adalah perangkap yang sengaja dipasang oleh
Dion. Sejak itu mereka tak dapat melepaskan diri dari cengkeraman Dion. Dion adalah germo
merangkap bandar judi merangkap pemasok narkoba. Wanita-wanita yang berhasil masuk
perangkapnya hampir dipastikan akan menjadi pelacur. Tapi entah apa yang terjadi padanya,
mungkin bunuh diri, mungkin lalai, yang jelas tadi tubuhnya sudah membiru, mati karena
overdosis. Tangannya masih menggenggam telepon. Mungkin Niken adalah orang yang
terakhir mendengarnya hidup.
Niken geram sekali. Seorang yang bernama Dion Sahara ini telah menghancurkan hidup
sahabatnya. Wulan tadinya baik-baik saja sebelum mengenal orang jahat ini. Hidupnya telah
terbuang sia-sia. "Sadu, kamu bisa membantuku?"
"Katakan saja."
"Aku ingin masuk ke dalam hidup Dion. Aku ingin membalas perlakuannya pada Wulan. Aku
cuma ingin kamu bantu aku mendekati Dion. Setelah itu semua adalah urusanku." kata Niken
mantap. Nekad sekali cewek satu ini, pikir Sadu. "Tidak bisa. Terlalu bahaya. Tahukah kamu betapa
bahayanya kakakku ini" Aku jadi seperti ini juga karena dia. Aku takut bukan saja kamu akan
gagal membalas dendam, justru kamu yang akan terjerat dalam perangkapnya."
"Aku tidak peduli. Masuk ke neraka pun aku tidak takut. Aku akan sangat berhati-hati.
Kalaupun aku masuk ke dalam perangkapnya, aku akan mati seperti Wulan. Aku sudah siap."
"Jangan gila, Niken. Kamu tidak akan berkata seperti ini kalau kamu mengenal Dion. Pada saat
kamu menyadarinya nanti, semuanya sudah terlambat. Kamu bisa kehilangan segala-galanya.
Cita-cita, harga diri, kebebasan."
"Bantulah aku, Sadu. Kamu satu-satunya yang dapat menolongku." pinta Niken tidak
menghiraukan kata-kata Sadu.
Melihat Niken tidak bisa dibujuk lagi, Sadu akhirnya berkata, "Baiklah, tapi kamu harus janji,
aku harus kau ikut-sertakan dalam rencana balas dendammu. Aku harus berada di sampingmu
dan bertanggung jawab atas keselamatanmu. Kalau tidak, aku tidak akan membantumu."
Tanpa berpikir panjang lagi, Niken menyanggupi. Dua orang selalu lebih kuat daripada satu.
:: Sequel (Mata Elang) : Chapter 3
Sejak saat itu Niken jadi rajin membuat tugas-tugas kuliahnya. Dia pun menggantungkan
drum sticknya. Tadinya rekan-rekannya menolak dengan keras, tapi akhirnya mereka mau
melepaskan Niken dengan catatan Niken tetap mengaransemen lagu-lagu mereka. Keluarnya
Niken dari band ini juga atas perintah Sadu. Karena Sadu juga tak ingin kuliahnya terganggu,
Niken harus mengikuti syarat-syarat yang diajukan oleh Sadu. Misalnya, siang hari hanya
untuk kuliah. Niken tidak boleh tidak masuk satu jam kuliah pun. Sadu membuat jadwal yang
ekstensif, isinya kegiatan belajar Niken selama seminggu. Jika tugas yang dijadwalkan hari itu
sudah selesai, barulah Sadu mau membantu Niken. Seperti sore ini, Niken sudah
menyelesaikan jadwal tugasnya hari ini yaitu belajar untuk ujian pra-semester. Sadu sendiri
yang menanya-jawabi Niken dan dia cukup puas dengan jawaban-jawaban Niken. Setiap sore
Sadu selalu pergi ke rumah kost Niken dan mengecek tugas hari itu. Kalau Niken melakukan
tugasnya dengan baik, dia akan memberikan informasi yang cukup banyak mengenai Dion.
Hari ini Sadu membawa tas olah raga yang cukup besar. Bunyinya gemerincing waktu
ditaruhnya di atas meja. "Pelajaran sore ini sangat penting. Mungkin aku tidak akan bisa mengulangnya lagi, jadi
perhatikan baik-baik," kata Sadu. Sambil berkata begitu, dia membuka tas olah raga yang di
atas meja itu. Pertama-tama yang dikeluarkannya adalah dua botol anggur merah.
"Lihat ini." kata Sadu kemudian. Tangan kirinya memegang sebotol anggur, tangan kanannya
memegang pembuka botol. Perlahan-lahan, selangkah demi selangkah, dibukanya botol itu.


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pertama-tama plastik penutup bagian atas dirobeknya dengan bagian ujung runcing pembuka
botol. Ditaruhnya botol itu di atas meja, lalu ujung runcing pembuka botol itu ditusukkannya
ke tutup botol itu. Dengan satu tangan, diraihnya mulut botol dan bagian bawah dari pembuka
botol. Dengan tangan yang satunya lagi ia memutar handel atas pembuka botol itu searah
jarum jam, sampai pembuka botol itu sudah masuk seluruhnya ke dalam tutup botol. Lalu
dengan satu tangan ditutupkannya handel kiri-kanan pembuka botol itu, membuat tutup
botolnya mencuat ke atas keluar dari botolnya. Semua dilakukannya dengan sangat hati-hati
tapi sistematik, supaya Niken dapat dengan mudah melihatnya.
"Bagaimana" Mudah kan" Coba kau lakukan." Diacungkannya tutup botol dan botol satunya
yang belum terbuka ke arah Niken.
"Bilang dong dari tadi kalau cuma mau membuka botol. Aku sudah bisa." Niken lalu menerima
kedua benda itu dari tangan Sadu, membuka botol tadi, pelan-pelan menirukan gaya Sadu
tadi. Ketika tutup botol mencuat, Niken lalu berkata geli, "Ayo, tepuk tangan untukku."
"Kenapa tidak kau cegah aku membuka botol tadi?" tanya Sadu bingung.
"Karena kamu nggak bilang mau ngapain. Walaupun aku sudah tidak takut lagi padamu, tapi
kita masih tetap kurang komunikasi. Kamu cuma bicara seperlunya, sementara aku cuma
mendengarkan saja." Niken mengutarakan uneg-unegnya.
Sadu yang dikritik diam saja. Melihat ke arah Niken pun tidak.
"Tuh kan. Coba, tadi kamu pas datang kemari. Ingat-ingat, apa kamu tadi bilang "Hallo Niken"
atau "Selamat sore, Niken?" Mana ada. Kalimat pertamamu selalu "Sudah selesai?". Kamu kaku
sekali, Sadu. Kamu tadi kan menganggap aku belum bisa membuka botol, tanpa menanyakan
apakah aku pernah membuka botol, atau apakah aku pernah melihat orang buka botol."
Panjang lebar Niken berkomentar tentang kekakuan si Drakula. Pakai contoh kalimat, pula.
"Jadi kamu mau aku kalau datang bilang "Hallo, selamat sore, Niken" terlebih dahulu, baru
kemudian "Sudah selesai?"" tanya Sadu kemudian. Dilihatnya Niken begitu berapi-api, mungkin
hal ini sangat penting buat Niken, pikirnya.
Niken tambah gemas. Cowok di depannya ini seperti dibesarkan oleh beruang di dalam hutan.
Sebutan drakula mungkin tidak lagi cocok untuknya. Mowgli lebih cocok.
"Ya sudahlah," Niken mendesah. "Terserah kau."
Sadu mengangkat botol anggur itu, lalu mengambil gelas anggur dari dalam tasnya.
"Seperti kantong Doraemon saja tasmu itu. Apa saja isinya?" tanya Niken menunjukkan
keingin-tahuannya. Sadu diam saja. "Lihat. Begini caranya minum anggur." Baru saja dia mendekatkan mulutnya
ke arah mulut gelas, Niken sudah protes lagi.
"Minum pun harus diajari?"
Sadu meliriknya dengan pandangan yang tajam. Tidak mempedulikan protes Niken, dia lalu
menghirup udara dari dalam gelas itu, baru meminumnya secicip.
"Sekarang kamu."
Diputarnya gelas itu seratus delapan puluh derajat, baru diberikannya kepada Niken.
"Kamu kenapa, sih" Kena AIDS" Kenapa nggak sekalian saja pakai gelas yang baru?"
"Jangan banyak protes." ujar Sadu galak. "Aku cuma bawa satu gelas."
Niken geli melihat ekspresi wajah Sadu. Tapi dia tidak berani tertawa. Dengan serius
ditirukannya cara Sadu meminum anggur tadi. Setelah satu cicip, diangkatnya gelas tadi
sambil bertanya, "Bagaimana" Bisa tepuk tangan sekarang?"
Sadu cuma mengangguk-angguk tanda puas. Dia lalu mencari-cari sesuatu dari dalam tasnya.
"Aku boleh tanya sesuatu?" tanya Niken kemudian.
"Aku paling nggak suka orang yang bertanya apakah dia boleh bertanya sesuatu. Kalau aku
jawabnya nggak boleh, apa kamu benar-benar akan urung bertanya?"
Nah, kan, kalau ditanya selalu malah balas bertanya dengan nada yang tidak enak, batin
Niken. "Kenapa kamu mau membantuku" Biar bagaimanapun, Dion itu kan kakakmu?" Niken
mengemukakan pertanyaannya dengan lugas, bahkan tidak mempedulikan pertanyaan retorik
Sadu tadi. Satu detik, dua detik, tiga detik. Tidak ada reaksi sama sekali dari orang yang ditanya.
"Kamu tidak perlu menjawab pertanyaanku kalau memang tidak mau menjawab," kata Niken
kemudian. "Aku tidak suka orang yang menghindari pertanyaan." Setelah berkata begitu,
Niken lalu duduk membelakangi Sadu. Dalam hati ia resah, baru kali ini dia menghadapi orang
yang sulit diajak berkomunikasi seperti ini. Parahnya, justru orang yang sulit diajak
berkomunikasi itu adalah satu-satunya orang yang dapat membantunya.
"Aku... Sebetulnya..." kata Sadu akhirnya setelah diam beberapa lama.
"Sudahlah." potong Niken. "Anggap saja aku tidak pernah bertanya."
"Aku tidak ingin kau salah paham denganku. Kamu pada satu waktu akan mempertanyakan
motifku. Kenapa Sadu mau membantu Niken menyalahi kakak kandungnya sendiri?"
"Lah, kamu tanya padaku, aku suruh tanya siapa?" tanya Niken masih membelakangi Sadu.
"Aku belum selesai, kamu sudah ribut lagi." keluh Sadu.
Niken lalu membalikkan badannya, diam saja mengigit jarinya sambil menatap kedua bola
mata Sadu, mengharap Sadu akan bercerita lebih banyak. Setidaknya sepatah atau dua patah
kata lagi, lah. Ternyata Sadu tidak hanya meneruskan barang sepatah dua patah kata. Dia bercerita panjang
lebar, bagaimana dari kecil sampai sekarang dia tidak pernah akur dengan kakaknya. Dion
yang delapan tahun lebih tua dari Sadu, adalah kakak pertamanya. Kakak keduanya adalah
wanita dari rumah berpagar coklat yang pernah ditemui oleh Niken. Sejak kecil Dion memang
nakal. Waktu SD dia tinggal kelas tiga kali, SMP dua atau tiga kali. Sadu sudah tidak bisa
menghitung lagi. Sudah berpuluh-puluh kali Dion pindah sekolah karena bermasalah.
Berkelahi, merokok, masalah apa saja pernah dilakukannya. Bahkan waktu SMA mereka
pernah satu sekolah. Sedari kecil dia malu punya kakak yang liar seperti Dion. Semua orang menunggu-nunggu
apakah dia akan jadi seperti Dion. Saat kakaknya yang perempuan sudah kuliah, ada seorang
teman Dion yang naksir dia. Dion memanfaatkan keadaan itu. Dia "menjual" adiknya sendiri,
kakak Sadu itu, dengan harga yang sangat mahal. Tentunya tanpa sepengetahuan dan
sepertujuan kakak Sadu. Dapat uang banyak, dan pergaulannya yang luas, Dion berkembang
pesat menjadi pangeran muda dunia hitam. Kakak Sadu hamil tanpa suami, ayahnya
meninggal karena stroke, dan ibunya bunuh diri tak lama kemudian. Sadu tentu saja
menganggap Dion orang yang bertanggung jawab atas semua hal ini.
Selama ini Sadu mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang kakaknya yang bengal
itu. Setiap kali dia ingin melakukan sesuatu untuk menjatuhkan Dion, niat itu selalu harus
diurungkannya karena Dion selalu sudah selangkah lebih dulu darinya. Entah kenapa Dion
selalu mengetahui rencananya, dan berhasil menyabotasenya sebelum rencana tersebut
dilaksanakan. "Karena itu kali ini aku harus merencanakannya dengan sempurna," tutur Sadu mengakhiri
cerita panjang lebarnya. "Kamu pikir aku membantumu" Aku lah yang sudah ingin
melancarkan serangan ini sejak beberapa tahun yang lalu. Aku harap kamu bisa membantuku.
Maka sekarang tugasmu adalah mengikuti semua petunjukku. Betapapun membosankan.
Setelah aku merasa kamu sudah siap barulah kita beraksi. Aku tidak ingin gagal lagi."
Niken terpana. Tak disangkanya di balik wajah yang muram itu tersimpan kebencian yang
begitu mendalam. "Maafkan aku, Sadu. Aku tidak tahu masa lalumu sepedih itu. Salut deh kamu bisa melalui
semua itu dan masih bisa berdiri tegak begitu."
"O ya," kata Niken lagi, "Akhirnya aku menemukan satu kesamaan di antara kita berdua. Kita
sama-sama yatim piatu."
"Kamu juga...?" Pertanyaan Sadu terhenti ketika hp Niken berdering. Rupanya Pandu yang
sedang kesal karena emailnya sudah berhari-hari tidak dibalas.
Setelah telepon ditutup, Niken menceritakan kisahnya. Latar belakang keluarganya,
bagaimana orang-tuanya bisa meninggal, dan tentang Pandu dan cintanya.
"Kenapa kamu tidak pernah bilang sebelumnya kalau kamu sudah punya pacar?" keluh Sadu.
"Kita harus menghentikan semuanya sebelum terlambat."
"Menghentikan apa" Menghentikan rencana kita" Tidak bisa." Niken menggeleng. Apa-apaan"
Hati dan pikirannya sudah dicurahkan seluruhnya untuk itu.
"Aku cuma bisa mengusahakan keselamatan kita berdua. Itupun aku tidak 100 persen yakin
bisa. Kalau masih harus menyelamatkan cintamu juga, rasanya aku tidak sanggup."
"Maksudmu?" Niken masih tidak mengerti.
"Aku tidak bisa menjamin di akhir semua ini, kamu akan tetap memiliki seorang Pandu."
Mata Niken berkaca-kaca. Baru dihadapkan dengan kemungkinan akan kehilangan Pandu saja
rasanya sudah sedih sekali, apalagi kalau benar-benar harus kehilangan dia. Tapi tekadnya
sudah bulat. Tidak ada yang bisa menghalanginya lagi.
"Aku sudah menceritakan hal ini pada Pandu. Maksudku bukan detailnya, karena kamu sudah
pesan untuk tidak mengatakannya pada siapa-siapa. Tapi dia sudah tahu tentang niatan ini
dan dia bilang dia akan support aku sepenuhnya."
"Jadi kamu sudah yakin" Walaupun dengan resiko kehilangan cintamu" Apakah hasilnya nanti
akan setara dengan pengorbananmu, kita pun masih belum tahu. Apakah Pandu tahu dia
mungkin akan kehilangan kamu" Tidak cuma dalam artian putus, tapi misalnya kamu
meninggal" Apa dia rela?"
"Ini hidupku, bukan hidup Pandu. Rela tidak rela, yang akan terjadi harus terjadi. Aku pasrah
saja. Hidupku kuserahkan dalam tanganmu. Jangan kecewakan aku."
Sadu sebetulnya masih ragu, tapi dilihatnya Niken sangat ngotot, dia lalu ingat akan barangbarang di dalam tasnya. Dia lalu menumpahkan seisi tasnya ke atas meja bundar itu.
"Ini... dari mana kamu dapat barang-barang ini?" tanya Niken. Menyentuh pun dia tidak
berani. Segala macam obat-obatan dan narkotika ada di situ. Ada dua buah jarum suntik di dalam
bungkus sterilnya pula. Ada korek api dan kertas aluminium foil.
"Bukan hal yang sulit untuk mendapatkan semua ini. Tapi aku cuma akan memperagakan
sekali. Kamu harus mengingatnya baik-baik."
Begitulah Niken harus mengingat-ingat semua nama sebutan dari setiap benda, bentuk dan
warnanya, efek sampingnya, cara menggunakannya, cara meraciknya, dan lain lain. Semuanya
dengan sukarela diperagakan oleh Sadu, dalam dosis yang kecil sekali, tentunya. Tapi biarpun
begitu, karena banyaknya, pada akhirnya Sadu kewalahan juga.
"Cukup, Sadu. Kamu tidak perlu memperagakannya." Niken ngeri dan hendak menutup
matanya waktu Sadu menyilet tangannya dan membubuhkan sedikit bubuk putih ke atasnya.
"Jangan tutup matamu. Kamu harus berani. Lihat." perintah Sadu. Dua detik kemudian dia
memejamkan matanya sambil mengejan. Sepertinya efeknya sudah dirasakannya. Sepertinya
sudah dari tadi. "Sadu" Kamu tidak apa-apa?" tanya Niken cemas. Diguncang-guncangkannya badan Sadu.
Sadu memberi isyarat pada Niken untuk diam. "Biarkan aku tidur sebentar." kata Sadu lirih. Ia
lalu menyandarkan tubuhnya pada tembok dan tertidur di situ.
Lama sekali Sadu tertidur duduk di situ. Niken duduk bersimpuh di sampingnya, sejengkalpun
tidak berani beranjak. Dia takut sewaktu-waktu Sadu akan siuman dan membutuhkan
bantuannya. Bola mata Sadu kadang terlihat berdenyut-denyut di balik kelopak matanya. Baru
kali ini Niken membiarkan pria lain, selain Pandu, tidur di dalam kamarnya. Dan Sadu tidur di
situ semalaman, tidak bergeming sedikitpun.
Waktu membuka matanya lagi, Sadu mendapati wajah Niken yang cemas menatapnya.
"Takut?" Niken mengangguk. "Jangan takut. Kamu lihat aku menggunakannya sedikit-sedikit sekali" Nanti aku ajarkan trik
supaya terlihat sudah memakai banyak padahal yang masuk cuma sedikit. Ini karena aku
memakai dalam jumlah lebih banyak dari biasanya. Maaf, tapi kamu harus mencoba supaya
tubuhmu terbiasa. Aku akan mengajarimu dan di sisimu selalu. Jangan pernah melakukannya
saat aku tidak ada. Oke?"
Niken mengangguk lagi. Sebetulnya ia masih merasa gemetaran, tapi memandang wajah Sadu
yang begitu meyakinkannya, kekhawatirannya sedikit terangkat.
Sadu lalu mengetesnya dengan menunjuk dan menanyakan nama-nama benda-benda yang
berserakan di sekitar mereka. Niken seperti biasanya berhasil menyebutkan satu-persatu
dengan sempurna. Diam-diam Sadu kagum akan kepandaian Niken. Lebih kagum lagi akan
ketegarannya. Setelah Niken selesai, Sadu bertepuk-tangan dengan semangat. Niken tadinya bingung dan
kaget melihat Sadu bertepuk tangan begitu. Lalu dia teringat, semalam dia dua kali menggoda
Sadu untuk bertepuk tangan.
"Tidak kusangka sense of humourmu lumayan juga," Niken mengakui kehebatan Sadu.
Bahkan saat tersenyum begitu kau juga terlihat begitu tulus, tambahnya dalam hati.
* Jangan pernah tinggalkan aku
Jangan sekalipun berkata Cinta kasih kita tak punya hari esok
Tinggallah sebentar lagi Temani aku melewatkan malam ini
Aku tak berarti sendiri tanpamu
Jika aku harus menghapusmu
Nafas terakhirku akan mengiringi
Kepergianmu esok hari "Apa ini, Niken?" tanya Sadu waktu mereka belajar bersama siang itu.
Niken mengangkat kepalanya memandang kertas yang dipegang oleh Sadu.
"Oh!" ujar Niken sambil merampas kertas itu dari tangan Sadu. "Ini... lirik lagu, tapi belum
selesai. Kemarin malam aku tidak bisa tidur, iseng-iseng membuat lagu buat anak-anak band."
"Tak kusangka..."
Niken menunggu lanjutan kata-kata Sadu, tapi sia-sia. Sadu sudah menunduk lagi
menenggelamkan diri dalam bukunya.
"Apa yang tak kamu sangka?" tanya Niken penasaran.
Sadu lalu melanjutkan kata-katanya. Soalnya dia melihat Niken sudah mengepalkan tangannya
di atas meja sambil memegang bolpen. Bisa bahaya kalau bolpen itu dijadikan senjata rahasia.
"Kamu sepertinya orang yang nekad dan sangat keras kepala. Tak kusangka ada orang yang
bisa tahan pacaran denganmu. Pada awalnya aku sama sekali tidak mengira kamu punya
pacar, bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana kamu bisa berpacaran."
"Ini hinaan, ya?" tanya Niken bingung.
"Sebetulnya nggak juga. Kan kamu betul-betul pacaran. Aku sudah mendengar sendiri kamu
menelepon Pandu. Cuma aku salut sama dia, dia pasti orang yang sabar luar biasa. Juga
selamat untukmu, berhasil menemukan cowok seperti dia."
"Benar-benar menghina, rupanya!" seru Niken. "Kurasa dia juga beruntung bisa berpacaran
denganku!" tambahnya.
"Iya beruntung sekali tentunya. Kamu makhluk yang spesial, sudah tergolong langka dan
harus dilestarikan. Seperti barang antik. Mendingan dijual ke museum saja, siapa tahu bisa
jadi jutawan." Niken bengong. Sadu tidak pernah mengolok-olok orang seperti ini. Dia terkejut karena tidak
siap sama sekali dikatai seperti itu. Kalau yang dihadapinya adalah orang lain, dia pasti sudah
membalas dengan kata-kata yang sama pedasnya. Kali ini dia benar-benar tak bisa berkata
apa-apa. Setelah terkejutnya lenyap, Niken akhirnya berkata, "Sejak kapan kamu bisa bergurau begitu"
Kukira kamu orang yang dibesarkan oleh beruang, tidak pernah bersosialisasi dengan orang
lain. Masih bingung siapa yang mengajarimu bahasa manusia."
"Kamu kalau bertemu teman-teman eks-SMPku, kalau ditanya apa kenal Sadu Sahara, pasti
bilang aku orang yang ngocol dan ceria." kata Sadu. Sesudah berkata demikian, Sadu heran
pada dirinya sendiri, kenapa musti bilang seperti itu pada Niken. Aneh, dia suka sekali bicara
dengan Niken. Mungkin karena Niken penuh energi dan juga membawa keceriaan pada orang
yang dekat dengannya, sekaligus mengingatkannya pada jati dirinya. Mungkin karena dia
rindu akan gaya hidupnya yang dahulu. Mengenang masa lalu yang begitu penuh warna, Sadu
jadi sedih melihat bayangan sosok gelap dirinya yang sekarang.
Niken percaya. Pasti kepahitan hidupnya lah yang telah merenggut tawa dan keceriaan itu.
Melihat air muka Sadu berubah muram, Niken jadi ingin menghiburnya.
"Kamu tahu tidak, sebelum aku mengenalmu, aku selalu mengasosiasikan kamu dengan
drakula. Drakula penyedot darah... Bahkan pernah muncul di mimpi burukku, mengejarngejarku...." kata Niken sambil menyeringai. Kedua tangannya membentuk cakar, giginya
diperlihatkan semua. "Sekarang masih begitu?"
"Nggak. Drakulanya sudah rada jinak." jawab Niken dengan nada riang.
"Siapa bilang" Aku sedang haus daraaaah..." Suara Sadu dibuat seserak mungkin, ganti kedua
tangannya yang menyakar, dan memperlihatkan gigi-gigi taringnya. Semakin lama kedua
tangannya yang membentuk cakaran itu semakin dekat dengan leher Niken, seperti mau
mencekiknya. "Jangan... tolong...!!! Tolooooooong...!!!" pekik Niken lalu cepat berdiri dan berlarian keliling
kamar. Tentu saja dia tahu Sadu hanya bercanda dengannya, tapi dia juga ingin menanggapi
candanya. Sadu tidak mempedulikan teriakan Niken. Dia terus ikut mengejar Niken. Niken lalu naik ke
atas meja tulisnya. Sadu juga mengejarnya naik ke situ dan mendekatinya, seakan-akan
hendak menghisap darah dari leher jenjang Niken.
Sampai saat mereka sudah begitu dekat, baru Niken sadar, dia tidak pernah sedekat ini
dengan cowok selain dengan Pandu. Kesadaran itu membuatnya gugup, jantungnya berdebardebar. Niken bahkan kuatir Sadu akan dapat mendengar betapa kencang degup jantungnya
saat itu. Karena gugupnya, tanpa sadar dia sudah berada di pinggir meja sementara kaki
kirinya sudah melangkah ke belakang. Karena tahu Niken hampir jatuh, Sadu dengan sigap
meraih pinggang Niken dan membawanya kembali dekat dengannya. Satu dua detik mereka
saling bertatapan begitu dekat.
"Kamu apa-apaan, Niken?" tanya Farah, teman sekostnya, yang tiba-tiba sudah berdiri di
depan pintu kamar Niken. Niken memang tidak pernah mengunci kamarnya bila ada tamu.
Bahkan tadi pintunya dibiarkan terbuka.
Sadu segera melepas pegangannya dari pinggang Niken. Niken juga cepat-cepat melompat
turun dari atas meja, diikuti oleh Sadu.
"Kamu mengejutkan orang sekost, tahu" Kirain kamu diapain, koq berteriak tolong-tolong."
kata Farah lagi. "Tidak ada apa-apa, koq." jawab Niken malu.
"Kami cuma sedang bercanda." sambung Sadu.
"Ya sudah, bercanda jangan keterlaluan ya." kata Farah lalu keluar lagi dari kamar Niken.
Begitu Farah berlalu, Sadu juga cepat-cepat memberesi buku-bukunya dan mengeloyor keluar
dari kamar Niken tanpa pamit.
* Pandu tertawa terbahak-bahak di telepon waktu Niken melaporkan tentang kejadian siang


Mata Elang Karya Hey Sephia di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi. "Koq kamu malah ketawa?" tanya Niken.
"Bisa kubayangkan betapa pucatnya wajahmu saat itu. Bisa-bisa nanti malam kamu mimpi
buruk sampai mengigau dalam tidurmu. Atau malah tidak bisa tidur sama sekali! Aku nggak
heran kalau kamarmu sekarang sudah kamu lumuri bawang putih..." Pandu tak sanggup
menahan gelak tawanya lagi.
Niken cemberut. Bagaimana mungkin Pandu malah tertawa" Reaksi yang dibayangkan oleh
Niken sebelumnya adalah cemburu atau marah, atau lantas melarang Niken bertemu lagi
dengan Sadu. Ini malah..."
"Nggak cemburu?" tanya Niken memancing.
"Cemburu" Cemburu sama Sadu" Perlukah aku cemburu sama dia?" Pandu balik bertanya.
"Siapa tahu kamu cemburu, toh Sadu seorang laki-laki. Kalau kamu bertanya apa aku ada rasa
sama dia, jawabannya jelas tidak." jawab Niken.
"Aku nggak cemburu, dan aku percaya padamu. Apalagi kamu sudah bilang begitu, aku sama
sekali nggak kuatir."
Memang benar, bahkan sebetulnya Pandu merasa bersyukur atas kemunculan seorang Sadu di
dalam hidup Niken. Sepertinya sejak mengenalnya, kuliah Niken jadi jauh lebih teratur. Pandu
jadi tidak perlu mengkuatirkannya lagi. Tadinya ia mengira Niken akan harus mengulang
beberapa mata kuliah, tapi kelihatannya sekarang Niken sudah bisa mengejar ketinggalannya.
Malam itu Sadu datang lagi, seperti biasanya. Layaknya matahari yang setiap hari selalu
dijadwalkan untuk terbenam, Sadu pun setiap hari datang ke rumah kost Niken. Meskipun dari
sore tadi hujan deras mengguyur kota Jakarta sampai beberapa daerah kebanjiran, Sadu tetap
datang dengan motornya. Niken mengira malam ini Sadu tidak akan datang karena kikuk
dengan kejadian tadi siang. Tapi nyatanya tidak, Sadu bersikap sepertinya tidak terjadi apaapa. Karena Sadu sudah datang dan tidak mempermasalahkan peristiwa tadi siang, Niken juga
berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengungkit-ungkitnya lagi.
"Apa kamu tidak takut masuk angin?" gerutu Niken ketika membukakan pintu sambil
membawa payung. Yang dipayungi malah menunjukkan sikap seperti tidak butuh
perlindungan dari hujan. "Payungnya di sini, kamu malah ngeloyor ke sana." teriak Niken berusaha mengalahkan suara
hujan. Ketika keduanya sama-sama sudah masuk ke dalam kamar Niken, Sadu berkata, "Buat apa
aku dipayungi" Toh sudah basah kuyub. Tambah basah sedikit juga tidak apa-apa."
Tubuh Sadu dari atas sampai bawah basah kuyub. Lantai kamar Niken jadi ikut basah karena
air yang menetes dari tubuh Sadu. Niken lalu mengambil handuk dan keset. Ditaruhnya keset
itu tepat di depan kaki Sadu. "Berdiri di sini, jangan ke mana-mana. Aku harus mengepel
lantai dulu." Sambil berkata begitu, diberikannya handuk yang diperuntukkan untuk mengelap
badan Sadu. Sadu menuruti saja kata-kata Niken. Rupanya tadi sepatu boot-nya juga lupa belum dicopot
jadi meninggalkan jejak kotor dari serambi sampai ke dalam kamar Niken. Begitu Niken selesai
mengepel ruang depan, dia langsung kembali masuk ke kamarnya, menyemprot Sadu dengan
galak, "Lihat nih, kamarku belum pernah sekotor ini!"
Tak urung Sadu jadi merasa bersalah. Jarak antara serambi sampai pintu kamar Niken cukup
jauh, kasihan juga Niken harus mengepel jejak sepatu boot-nya yang kotor. "Sini, biar aku
yang mengepel kamar ini," kata Sadu beranjak bermaksud mengambil kain pel itu dari tangan
Niken. Sebelum Sadu sempat menginjakkan kakinya keluar dari area keset, Niken sudah
menghardiknya, "Jangan coba-coba melangkahkan kakimu keluar dari keset!" Sadu sampai
terkejut dan spontan menarik kembali kakinya dan berdiri dengan tegak di atas keset biru itu.
"Kesinikan sepatu maksiatmu itu. Akan aku taruh di luar." ujar Niken kemudian. Sadu pun
mencopot sepatunya satu-per-satu dan diberikannya pada Niken. Dia sadar, meskipun
sepatunya adalah biang kotoran dan sudah disingkirkan, badannya masih penuh air. Jika ia
melangkah keluar dari keset, sia-sialah Niken mengepel ruangan ini, dan ia pasti akan tambah
marah. Jadi sambil terus berdiri di situ, ia membiarkan saja Niken yang sedang mengepel
kamarnya sambil terus bersungut-sungut.
Ketika selesai mengepel lantai, Niken melihat Sadu yang tengah berdiri di atas keset. Ekspresi
wajahnya tak terkatakan lucunya. Takut, menyesal, bingung, kasihan, bercampur menjadi
satu. Basah kuyup pula! Niken tak dapat menahan senyumnya.
"Kalau kamu begitu terus, nanti pasti sakit. Paling tidak ganti bajumu dengan ini," kata Niken
mengambilkan kaos tidurnya yang berukuran besar. Sadu masih tidak berkata apa-apa,
menuruti yang dikatakan Niken. Sekarang wajah lucu itu memakai baju bergambar koala. Baju
itu kalau dipakai Niken begitu longgar, tapi sekarang dipakai oleh Sadu terlihat agak sesak.
Niken tambah geli melihat ekspresi wajah Sadu yang masih belum berubah.
"Wajahmu begitu lucu, Tuhan pun akan tertawa melihat hasil ciptaanNya yang gagal ini."
Niken tertawa melihat pemandangan kocak di hadapannya itu.
"Kau begitu galak, kalau kamu mati, begitu kamu muncul di gerbang akhirat, penjaga pintu
pasti langsung akan membukakan pintu karena takut kamu damprat." balas Sadu tak mau
kalah. Niken membelalakkan matanya. Kata-kata Sadu tadi dianggapnya sebagai tantangan.
Tantangan untuk terus mengolok-oloknya.
"Kamu begitu membosankan, bahkan bayanganmu pun sudah berpikir akan segera
meninggalkanmu." "Nilai-nilai di kertas ujianmu jelek-jelek, bahkan penjual kacang pun malu berdagang memakai
kertas bekas kertas ujianmu."
"Baju yang kamu pake itu-itu saja, pengemis pun enggan memakai baju bekasmu."
"Bajuku kenapa" Bajuku keren.... daripada kaos bergambar koala ini?" tuding Sadu pada kaos
yang dipakainya. "Keren apanya" Kamu sebetulnya punya berapa baju sih" Sepertinya cuma dua. Satu
warnanya item, satu warnanya abu-abu. Mending kaos koalaku itu, cute!" Niken membela
kaos koalanya. Ketika Sadu agak lama terdiam, Niken menyahut lagi, "Kenapa, sedang menghitung berapa
banyak bajumu" Sudah kubilang cuma ada dua!"
"Iya, baru kusadari semua bajuku warnanya gelap, yah?" Sadu menggumam.
"Kaos koala itu kuhadiahkan untukmu untuk membuat iri baju-bajumu yang lain." ujar Niken
kemudian. Dia juga malas memakai kaos itu lagi karena sekarang sudah dipakai oleh Sadu.
"Terima kasih." kata Sadu. Sepertinya dia sudah lupa semenit yang lalu dia masih asyik
menggoda Niken. "Ada apa?" tanya Niken heran melihat perubahan sikap lawannya. "Ada yang mengganggu
pikiranmu?" "Aku baru ingat, aku harus beli baju baru." jawab Sadu.
Niken bengong. Mungkinkah pengaruh dirinya begitu besar terhadap Sadu, sampai satu
cercaan tentang baju darinya saja membuat air muka Sadu berubah begini"
Sadu akhirnya menyadari dia telah membuat Niken bingung. "Sepupuku akan menikah. Dion
pasti akan hadir dalam pernikahan ini. Ini saat yang tepat untuk memperkenalkanmu pada
Dion." Niken terperanjat mendengar perkataan Dion barusan. Dia tahu hari itu akan tiba, tapi tidak
disangkanya akan tiba secepat itu.
"Apakah menurutmu aku sudah siap?" tanya Niken memastikan.
"Anggap saja ini tes untuk menguji kesiapanmu. Ini kesempatan yang baik karena kita akan
bertemu Dion di tempat yang "netral". Dion juga tidak akan macam-macam dalam sebuah
acara keluarga. Aku akan memperkenalkanmu padanya, sebagai pacarku."
"Apa"!" Niken kaget. Apa dia tidak salah dengar"
"Kalau tidak sebagai pacarku, apa tidak aneh aku membawa seorang wanita ke dalam acara
perkawinan seperti itu?"
Niken berpikir sebentar, lalu berkata, "Baiklah, tapi aku harus minta bilang sama Pandu dulu."
"Boleh saja. Tapi nantinya akan ada hal-hal yang kamu harus putusi sendiri, tidak akan
sempat meminta ijinnya. Kamu tahu itu." Sadu mengingatkan.
Niken mengangguk. Hatinya girang sekaligus cemas. Girang karena dia sudah selangkah maju
mendekati arah tujuannya, cemas memikirkan resiko yang terkait untuk meraih yang
ditujunya. Dirinya bagaikan sedang mendayung sebuah perahu di tengah samudra yang luas,
dengan Sadu sebagai penunjuk arahnya. Di sekelilingnya hanya terlihat air, entah kapan
mereka akan berlabuh di pulau tujuan. Yang bisa dilakukannya hanya terus mendayung,
sambil berharap agar daratan akan segera nampak di cakrawala. Apakah daratan itu pulau
yang mereka tuju" * :: Sequel (Mata Elang) : Chapter 4
Bolak-balik Niken menatap jam weker yang ditaruh di meja belajarnya. Setumpuk buku dan
kertas fotocopy-an ada di depannya. Sudah dari subuh tadi dia bangun dan belajar, non-stop,
Kitab Pusaka 16 Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Laron Pengisap Darah 5
^