Pencarian

Jingga Dan Senja 1

Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih Bagian 1


Jingga dan Senja situs baca secara online ini dibuat oleh Saiful .... admin http://cerita-silat.mywapblog.com Pedang Sakti Cersil Istana Pendekar Dewa Naga Raja Iblis Racun Ceritasilat.... thank.
Tari meluruskan diri dengan barisan di depannya, lalu berdiri dengan tertib.
Diperiksanya rok dan baju seragam, kaus kaki, sepatu, juga semua aksesori
yang dipakainya. Jam tangan, anting-anting, gelang, cincin, dan ikat rambut
yang semua bernuansa oranye. Setelah yakin penampilannya rapi, cewek itu
tersenyum puas. Ini upacaranya yang kedua sebagai anak SMA. Upacara kedua dalam balutan
seragam putih abu-abu. Jadi ia masih patuh dan tertib, juga masih bersemangat
meskipun matahri kelihatnnya bakalan terik.
Jam tujuh tepat bel berbunyi, tanda upacara akan dimulai.
@@@ Jam tujuh tepat! Ari melompat turun dari bus yang ditumpanginya.sambil merutuki motornya
yang sudah dua hari masuk bengkel dan taksi kosong yang tidak juga lewat
meskipun dia sudah berdiri lebih dari setengah jam di pinggir jalan, cowok itu
berjalan dengan langkah cepat menuju gedung sekolah, meskipun dia tahu
sudah terlambat. Upacara sudah dimulai. Tapi masih ada waktu kira-kira lima
menit sebelum Bu Sam "guru yang doyan banget patrol ke barisan belakang
setiap kelas , yang kalau sudah ngomel bisa bikin kuping budek " sampai di
kelas yang akan ditujunya. Nggak tahu kelas sepuluh berapa, yang pasti kelas
itu berada tepat di depan jeruji pagar sekolah yang bisa dicopot.
Sebenarnya Ari bisa saja menyelinap ke barisan kelasnya sendiri, meskipun
kelas-kelas dua belas berbaris tepat di depan barisan para guru.soalnya, dating
terlmbat sudah sering dilakukannya baik disengaja ataupun tidak. Tapi pagi ini
dia sedang malas mendengarkan ceramah Bu Sam, guru yang palinh terobsesi
pada tata tertib, kepatuhan, dan keteraturan.
Apalagi di sekolah itu juga da guru model Bu Ida, yang nggak kawin-kawin juga
padahal umurnya "menurut rumor yang beredar " sebentar lagi mau lima puluh.
Makanya tu guru sering ngomong bahwa murid-muridnya sudah dianggapnya
kayak anak sendiri. Yang artinya, Bu Ida akan ngomel, yang menurut dia,
selayaknya ibu kandung mereka di rumah.
Yang terakhir ini yang bikib anak-anak SMA Airlangga,sebisa mungkin di luar
jam pelajaran biologi, mending nggak berrusan dengan Bu Ida. Soalnya dia
kalau ngomel lebih cerewet, lebih heboh, dan lebih lama daripa ibu mereka di
rumah. Malah banyak yang bilang suara Bu Ida juga lebih nyaring.
Menjelang mendekati pagar sekolah, Ari berjalan dengan punggung sedikit
membungkuk dan berusaha tidak menimbulkan suara, langsung ke tempat yang
dituju. Dengan cermat dipandanginya besi-besi jeruji pagar di depannya dan
dengan cepat dia menemukan yang dicari.
Suara gemerisik semak membuat siswi-siswi yang berada di barisan belakang
menoleh. Mereka tercengang mendapati seorang cowok sedang menarik salah
satu jeruji pagar dengan paksa, kemudian menyelinap masuk ke halaman.
"Liat apa!?" Tanya Ari galak.
Cewek-cewek itu tersentak dan seketika memalingkan kembali muka mereka ke
depan. Ari menahan senyum. Setelah mengembalikan jeruji itu ke tempatnya, ia
menyembunyikan tasnya di dalam kerimbunan asoka yang tumbuh di sepanjang
tepi halaman. Kemudian dengan cepat cowok itu menyelinap ke tengah barisan,
berusaha mencapai bagian depan tanpa kentara.
Kebijaksanaan sekolah, cowok-cowok harus berbaris di bagian depan. Cewekcewek di belakang. Alasannya, cowok tukang bikin rebut. Alasan yang kontan
bikin semua siswa cowok protes keras. Cewek juga sama. Coba aja denger kalo
mereka lagi nggosip sambil cekikikan. Berisiknya malah lebih parah daripada
cowok. "Mundur dong!" bisik Ari ke cewek terdepan. Tari, cewek yang berambut
panjang dan penuh nuansa oranye itu, menoleh kaget dan langsung mundur
selangkah. Nada otoritas dalam suara Ari membuatnya patuh tanpa sadar.
Cewek-cewek yang berbaris di belakangnya terpaksa mengikuti. Ari segera
mengisi tempat kosong itu.
"Thanks." Sesaat Ari menoleh ke belakang dan tersenyum. Tari membalasnya
dengan ragu. Kayaknya pagi ini matahari sedang bersemangat melaksanakan tugasnya.
Upacara baru berjalan kira-kira dua puluh menit, tapi setiap siswa yang sedang
berbaris di lapangan mersa sedang berdiri persis di depan kompor.
Ari menoleh ke belakang. Dilihatnya Tari sedang menunduk dalam-dalam,
menghindari sengatan matahari sebisanya. Mukanya sudah merah, sementara
keringat mengalir deras di kedua pelipisnya. Ari mundur selangkah.
Dihalanginya sinar matahari itu dengan tubuhnya. Sekali lagi dia menoleh ke
belakang, meyakinkan diri bahwa cewek di belakangnya telah terlindungi
sepenuhnya. Terkejut, Tari mengangkat muka. Ditatapnya Ari dengan
pandangan bertanya. Cowok itu cuma tersenyum datar dan mengangkat kedua
alisnya. Jam delapan kurang sedikit, upacara bendera selesai. Pada cewek yang selama
hampir satu jam ini telah dilindunginya dari panas matahari, Ari menatapnya
sesaat kemudian pergi. Pada tubuh tinggi dibalut kemeja yang kini basah kuyup karena keringat, yang
telah melindunginya dari panas matahari selama hampir satu jam tadi, Tari
terus menatap kepergiannya dalam ketersimaan.
@@@ Tari memperhatikan salah satu contoh soal di buku yang terbuka di hadapannya
dengan serius. Namun, keseriusan itu hanya mampu bertahan beberapa detik.
Detik berikutnya pikirannya kembali melayang ke peristiwa tadi pagi.
"Ck!" dia menggeleng keras-keras lalu mencoba kembali memusatkan
perhatian pada buku di depannya. Tetapi, lagi-lagi dia hanya mampu bertahan
beberapa detik dan peristiwa tadi pagi kembali mengambila alih.
"Aduuuh, kok gue jadi nggak bisa konsen gini sih?" diketuk-ketuknya dahinya
dengan pensil, jadi kesal sendiri.
Sekali lagi dipaksanya otaknya berkonsentrasi pada buku di depannya. Bukan
apa-apa. PR matematika yang berjumlah du puluh soal itu belum satu pun
dikerjakannya. Sementara kalau mau dikerjakan di sekolah, nyontek punya
temen gitu, datangnya kudu subuh-subuh karena pelajaran Pak Yakob, guru
matematika, mengatakan bahwa itu PR perkenalan makanya sengaja dia
berikan dalam jumlah bejibun.
"Perkenalan apaan" Ini sih PR permusuhan," dengus Jimmy dengan suara
pelan, membuat seisi kelas meringis lebar.
Awalnya berhasil. Hampir lima menit Tari sanggup memusatkan perhatiannya
pada deretan angka di depannya tanpa interupsi. Sampai kemudian tanpa dia
sadari, satu pikiran menyelinap perlahan dan tercetus keluar dalam bentuk
bisikan tanpa sadar. "Tuh cowok cakep ih. Sayang gue nggak tau nama sama kelasnya."
Tari langsung tercengang.
"Ya ampuuuuun!" serunya sambil bangkit berdiri. Dengan gemas dibantingnya
pensil mekaniknya. "Kok gue jadi mikirin dia mulu sih" Hiiih! Kacau nih!"
dengan jengkel ia memukul dahinya dengan telapak tangan.
Kemudian Tari memejamkan mata. Berusaha menenangkan diri dan
mengenyahkan bayangan cowok tadi secepat mungkin. Belum lagi usaha itu
membuahkan hasil, ponselnya berdering. Ada SMS masuk dari teman
sebangkunya, Fio. Bsk gw mo cr tau sapa tu cowok. Gw pnsrn!
Tak lama masuk lagi satu SMS. Dari Maya, cewek yang duduk di belakang Fio.
Isinya hampir sama dengan SMS Fio.
Tar, bsk mo gw slidikin sapa tu cwok. Gw pnsrn! Bnran lo gak knl dy"
Beberapa saat kemudian masuk lagi satu SMS. Sekarang dari Sari.
Gw pnsrn sm tu cwok! Bsok mo gw slidikin. Bnran lo gak knl tar"
Tari jadi bengong. Baru saja akan dibalasnya SMS-SMS itu, masuk lagi satu
SMS baru. Yang ini dari Lia.
Dy gbtan lo ya ta" Kok diem2 aj siy" CRITA DWOOOONG!!!
Masuk lagi satu SMS baru. Dia Utari. Yang punya nama panggilan sama dengan
dirinya, Tari juga. Nm kt kan hmpr sm tuh. Mdh2an aja ntr dy slh kira. Gw tu lo, huehehehe"
"Apaan lagi ni anak?" desis Tari saat membaca SMS Utari itu. Masuk lagi satu
SMS baru. Dari Devi. Masa siy lo gak knl dy" Boong lo! Blg aja lo gak mo knlin dy ke kt2.
"Iiiih!" Tari berseru kesal. "Pada nggak percayaan amat sih" Orang gue udah
bilang gue nggak kenal tu orang," Tari mengomel sambil memelototi layar
ponselnya. Tadi pagi begitu upacara selesai, Tari memang langsung dikerumuni cewekcewek teman sekelasnya. Dengan nada nyaris histeris mereka berebut nanya,
"Siapa, Tar!" Siapa, Tar!?" padahal jelas-jelas Tari sedang ternganga-nganga
menatap cowok jangkung yang berjalan meninggalkan lapangan tanpa menoleh
ke belakang sama sekali itu. Yang artinya, Tari nggak kenal juga.
Makanya Tari jadi kesal dan memutuskan untuk tidak menjawab SMS beruntun
dari teman-teman sekelasnya itu. Percuma, bakalan cuma buang-buang pulsa.
Besok paginya, begitu memasuki kelas, Tari langsung di sambut protes.
"Kok SMS kami nggak lo bales sih, Tar?" Tanya Maya, mewakili yang lain.
Tari berjalan menuju bangkunya sambil melirik teman-temannya, agak kesal.
"Ya lagian sih, kemaren kan udah gue bilang berkali-kali, gue nggak kenal tu
cowok. Eh, ditanyain lagi." Tari memasukkan tasnya ke laci lalu sepasang
matanya mencari-cari Devi. Ketika dia temukan temannya itu, diangkatnya alis
tinggi-tinggi. "Asli, gue ggak kenal siapa tu cowok. Bukannya nggak mau
ngenalin ke elo." Devi meringis. "Iya, gue tau, sori. Abis gue penasaran banget."
"Sama. Gue juga penasaran."
"Kalo gitu, ayo kita cari tau!" seru Devi dan langsung mendapatkan sambutan
sangat antusias dari teman-temannya. Semuanya juga langsung sepakat bahwa
cowok itu pasti anak kelas sebelas atau kelas dua belas. Nggak mungkin kelas
sepuluh, karena dia bisa masuk ke barisan kelasnya sendiri waktu terlambat
datang pas upacara itu. Kelas sepuluh memang satu-satunya angkatan yang
berbaris di depan pagar sekolah. Barisan kelas sebelas sejajar dengan barisan
kelas sepuluh, tapi sebuah tembok yang tinggi tidak memungkinkan siapa pun
yang datang terlambat bisa memanjat dari luar lalu melompat ke dalam tanpa
ketahuan. Sementara posisi paling nggak pewe adalah kelas du belas. Berhadapan
dengan barisan para guru! Jadi jangankan terlambat dating, nyengir aja
keliatan. Sejak hari itu, setiap pagi sebelum pelajaran jam pertama dimulai dan setiap
jam istirahat setelah kembali dari kantin, Tari dan cewek-cewek teman
sekelasnya berdiri di sepanjang tepi koridor. Tubuh mereka menempel erat di
tembok pagar pembatas dengan kepala terjulur panjang-panjang, mengamati
deretan kelas di lantai dasar. Seluruh kelas sebelas memang berada di lantai
dasar gedung berbentuk L itu.
Mereka berusaha menemukan cowok yang menyelinap masuk barisan saat
upacara bendera waktu itu. Tapi sampai hampir seminggu mereka melakukan
pencarian, sampai leher jadi sakit gara-gara tiap hari dijulurkan sepanjang
mungkin, cowok itu tidak juga ditemukan.
Dengan lesu gerombolan pengintai gagal itu melangkah menuju bangku
panjang di luar kelas mereka dan menjatuhkan diri di sana. Tidak berapa lama
Nyoman muncul di ujung koridor dan langsung menghampiri teman-temannya
dengan langkah tergopoh. "Gue udah tau siapa tu cowok!" katanya dengan ekspresi muka tegang.
"Siapa!" Siapa!?" semuanya langsung menegakkan badan dan bersery
bersamaan. "Lo semua pasti nggak bakalan nyangka deh. Gue aja kaget banget begitu tau
siapa tu cowok!" "Emang tu cowok siapa?" lagi-lagi kalimat Nyoman membuat semua temannya
melontarkan pertanyaan bersamaan.
"Wah, pokoknya elo semua nggak bakalan nyangka deh. Untung aja selama ini
kita nyari taunya Cuma dengan cara ngelongok ke kelas-kelas sebelas di lantai
bawah. Nggak pake nanya-nanya untuk cari informasi. Kalo sampe kayak gitu,
trust u cowok sampe tau, abis deh kita." Nyoman menjelaskan panjang-lebar
tanpa menjawab pertanyaan teman-temannya. "Untung! Untung!" dia lalu
menepuk-nepuk dada dengan ekspresi lega.
"Jadi dia itu siapa Mamaaan?" Tanya Fio kesal. Nyoman langsung cemberut. Tu
cewek emang sering diledek teman-temannya dengan panggilan "Maman".
"Ya udah deh. Nggak gue kasih tau." Nyoman langsung ngambek.
"Ya jangan dooooong!" semuanya berseru bersamaan.
"Elo sih, Fi," Tari menyikut teman semejanya itu. "Minta map gih."
"Taelah, Man. Gitu aja marah. Map deh. Map ya, Man" Man-nya Nyoman nih,
bukan Maman. Alo jadi rancu bukan salah gue, kan?"
Nyoman melirik Fio, masih dengan tampang kesal. Tapi sesaat kemudian
ekspresinya kembali normal.
"Nih, dengerin lo semua pada ya" Pasang kuping." Nyoman memandang
teman-temannya lalu terdiam. Ditariknya napas panjang-panjang, bikin semua
temannya jadi semakin semakin tegang. "Dia itu cowok yang namanya Ari, tau!"
"HAAA!!!?" lagi-lagi semuanya berseru bersamaan. Ekspresi-ekspresi kaget
seketika muncul dalam waktu yang bersamaan. Semuanya menatap Nyoman
dengan mulut ternganga. Suasana kontan jadi hening. Kesenyapan total
merayap di antara cewek-cewek itu.
Ari. Nama ngetop di SMA Airlangga. Biang onar sekolah. Salah satu panglima
perang saat tawuran, yang berani memimpin teman-temannya sampai ke jalan
raya, bahkan menyerang sekolah yang dianggap cari gara-gara.
Siswa yang paling sering menyebabkan para guru terserang sakit kepala,
migraine, atau darah tinggi. Juga sering membuat gruu yang sedang
menjalankan ibadah puasa Senin-Kamis atau puasa-puasa yang lain, buka jam
12 siang, habis zuhur, gara-gara baru saja memarahi Ari sampai tenggorokan
kering kerontang. Bukan hausnya yang jadi masalah, tapi tampang nggak peduli
Ari itu yang membuat guru yang bersangkutan jadi ingin melanjutkan marahmarahnya.
Setahun lalu, beberapa guru yang relatif masih muda dan belum punya
pengalaman, guru-guru cewek pastinya, malah dibikin nangis sama Ari!
Ari juga membuat MOS jadi neraka untuk siswa-siswa baru, nggak cewek nggak
cowok, meskipun MOS itu dimana-mana emang neraka. Tapi Ari itu beda. Tu
cowok terkenal nggak jelas. Tidak mengerjakan apa-apa yang dia perintahkan,
belum tentu akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya, mengerjakan semua
yang diperintahkan, dengan patuh dan nyaris tanpa kesalahan, malah bisa
membuat Ari ngamuk dan langsung menyiapkan sederet hukuman.
Tampang cantik bisa bikin Ari jadi galak. Tapi cewek yang tampangnya paspasan, kalo nggak tega mau bilang jelek, malah pernah bikin tu cowok jadi
baiiik banget. Kathy, cewek paling cantik di kelas sebelas, dulu waktu MOS dibantai sama Ari.
Sampai sekarang, katanya, Ari males banget kalo udah ngeliat dia. Padahal
cowok-cowok lain justru bersikap sebaliknya. Bingung, kan"
Setelah MOS selesai, dari info yang nggak sengaja didapat dari sana-sini, Tari
dan teman-teman sekelasnya baru tahu bawa angkatan mereka beruntung
banget. Karena pada saat MOS Ari masih ada di Lombok, traveling bersama
teman-temannya. Tapi akibatnya, mereka jadi nggak tau tampang tu cowok.
Makanya mereka sama sekali nggak nyangka kalau yang menyeruak barisan
pas upacara waktu itu adalah Ari.
"Tapi waktu itu dia baik banget kok. Nggak kayak yang diceritain. Lo semua juga
liat, kan?" pembelaan Tari memecah keheningan.
"Ya iyalah. Waktu itu kan lagi upacara, bukan lagi MOS," kata Devi.
Kembali semuanya membisu. Suasana di antara mereka kembali menjadi
hening. Nyoman menghadapkan diri kearah teman-temannya, berdeham tiga
kali, lalu berbicara dengan nada khidmat.
"Teman-teman, mulai detik ini marilah kita bersama-sama melupakan perasaan
cinta ini. Demi kebaikan diri kita sendiri."
Kalimatnya membuat teman-temannya jadi meringis. Semuanya lalu
menganggukan kepala hampir bersamaan, sambil ketawa-ketawa. Antara geli
dan agak-agak nggak ikhlas. Kemudian mereka berjalan masuk kelas karena
bel sudah berbunyi. Tari masih berdiri di tempatnya. Masih nggak percaya. Fio merangkul bahu Tari
lalu membawa teman semejanya itu memasuki kelas.
"Bener tuh Nyoman bilang. Lupain aja. Naksir cowok kayak gitu cuma cari
penyakit, lagi." Tari berjalan santai menyusuri trotoar menuju sekolahnya. Trotoar itu lengang
karena saat ini jam pelajaran sedang berlangsung. Dia terpaksa madol jam
pelajaran pertama dan kedua karena harus ke dokter gigi. Menemani adiknya,
Geo, yang sudah dua hari teriak-teriak sakit gigi tapi tetap nggak mau diajak ke
dokter.geo takut gigi yang sudah senut-senut itu dibor atau malah dicabut
sekalian. Setelah Mama mengancam akan mencabut sendiri dengan tang milik Papa,
baru Geo mau diajak ke dokter. Itu juga dengan syarat Kak Tari juga ikut. Dia


Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nggak mau kalau cuma diantar Mama, karena katanya, Mama kejam. Jadilah
pagi ini Tari madol dua jam pertama.
Tari melihat arlojinya. Masih duapuluh menit lagi sebelum bel ketiga. Enaknya
nongkrong diaman ya" Gumamnya pelan.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh orang-orang berlari. Tari balik badan dan
terpana. Segerombolan besar cowok-cowok SMA Brawijaya, musuh bebuyutan
sekolah Tari , muncul dari tikungan. Beberapa orang dengan tongkat kayu
tergenggam di tangan kanan. Beberapa orang membawa kantong plastik hitam.
Tari tahu pasti apa isinya. Batu!
Refleks, Tari bersembunyi di balik sebatang pohon peneduh jalan tidak jauh
darinya. Disapukannya pandangannya berkeliling dengan panic. Dia harus
mencari tempat bersembunyi yang aman secepatnya, karena pohon itu terlalu
langsing. Soalnya pernah ada cerita bahwa anak-anak Brawijaya menyerang
cewek juga. Bukan dibikin bonyok sih, tapi untuk memancing cowok-cowok SMA
Airlangga keluar dari area sekolah dan menjawab tantangan mereka. Dijadiin
sandera gitu deh. Tantangan itu langsung dijawab karena kebetulan yang
disandera waktu itu ceweknya ketua OSIS.
Sayangnya, satu-satunya tempat bersembunyi yang paling dekat cuma bak
sampah yang terletak di depan pagar sebuah gedung instansi milik pemerintah,
yang memang bersebelahan dengan gedung sekolahnya, yang posisinya
kebetulan sejajar dengan tempatnya bersembunyi.
Tidak ada pilihan. Mumpung mereka masih lumayan jauh, Tari buru-buru berlari
ke bak sampah itu lalu meringkuk dalam-dalam di sebelahnya. Dipeluknya
kamus Bahasa Inggris-nya erat-erat di dada. Cewek itu makin menciutkan tubuh
sekecil-kecilnya saat gerombolan cowok-cowok Brawijaya berlarian
melewatinya, meninggalkan gemuruh suara yang membuat Tari mati-matian
berdoa semoga tidak ada satu pun dari mereka yang melihatnya.
Tapi sial, cowok yang berlari paling belakang memergokinya. Cowok itu tidak
sengaja menoleh dan seketika menghentikan larinya. Keduanya sama-sama
tertegun. Tari langsung bersikap waspada. Cowok itu melirik cepat pada badge
di lengan kanan baju seragam Tari. Nama SMA musuh yang tertera di sana
membuat cowok itu berdecak. Dengan langkah lebar dan tergesa dihampirinya
Tari. Tubuhnya kemudian membungkuk seiring tangan kanannya yang terulur.
"Lo pergi cep?"
Kalimatnya tidak sempat selesai. Tari mendadak berdiri. Dengan kamus InggrisIndonesia-nya yang tebal, dipukulnya cowok itu sekuat tenaga. Cowok itu
tersentak kaget dan tidak sempat mengelak. Tubuhnya terhuyung. Cepat-cepat
dia menyambar bibir bak sampah dan mencengkeramnya erat-erat karena Tari
memukulinya bertubi-tubi dengan kamus tebal tadi.
"Heh, sst! Denger!" cowok itu berseru tertahan sambil berusaha mengelak dari
setiap serangan Tari. Tapi Tari yang sedang ketakutan jelas tidak mengacuhkan
kata-kata itu. Serangannya makin membabi buta.
Cowok itu jadi gusar. Direbutnya kamus itu dari tangan Tari lalu dilemparnya ke
tanah. Tari tertegun. Serangannya kontan terhenti. Tapi detik berikutnya dia
membuka mulut, siap menjerit sekeras-kerasnya. Cowok itu langsung
merengkuhnya. Dipeluknya Tari dengan tangan kiri sementara tangan kanannya
membekap mulut Tari kuat-kuat.
"Diem, bego! Lo mau temen-temen gue kesini!?" bisiknya. Tapi kalimatnya
justru membuat Tari tambah panik dan ketakutan.
"Diem!" bentak cowok itu. Dia perketat pelukannya.
"Hhmmff! Hhmmff!" Tari berontak mati-matian.
Cowok itu mulai kewalahan. Dengan paksa ditariknya Tari ke sisi lain bak
sampah, sementara matanya menatap ruas jalan di depan SMA Airlangga yang
sudah menjadi arena pertempuran. Suasana riuh oleh pekik dan teriakan, juga
butiran batu yang melayang dari dua arah. Raut muka cowok itu terlihat lega
saat menyadari tidak ada satu pun mata terarah pada mereka berdua saat ini.
Namun, akibatnya cowok itu jadi lengah. Pelukannya sedikit mengendur. Tari
langsung memanfaatkan kesempatan itu tanpa buang waktu. Digigitnya tangan
yang membekap mulutnya. Cowok itu memekik. Seketika dekapan dan bekapan
kuatnya merenggang. Tari buru-buru melepaskan diri. Dia berlari ke sisi lain bak sampah, meraih
kamusnya yang tergeletak di tanah, kembali ke tempat semula, lalu memukuli
cowok itu tanpa ampun. Sekuat tenaga, membabi buta, dan hampir-hampir di
luar kesadaran. Cowok itu sampai kewalahan menghindari setiap serangan Tari
hingga akhirnya jatuh terjerembap ke tanah.
"Cukup!" Tiba-tiba dua buah tangan terulur dari arah belakang dan mencengkeram kedua
tangan Tari. Cewek itu menoleh dan terpana. Cowok itu cowowk yang telah
melindunginya dari matahari saat upacara. Ari!
Tanpa sadar Tari menjatuhkan kamusnya. Bukan hanya karena kedatangan Ari
yang tiba-tiba, tapi juga karena genggaman kedua tangan cowok itu. Dan yang
paling membuat Tari jadi menahan napas, karena tanpa sadar Ari sudah
merengkuhnya. Dia bisa merasakan tubuh cowok itu menempel di
punggungnya. Posisi itu juga membuat tatapan cowok SMA Airlangga itu jadi
menajam. Sementara itu Ari menatap ke ruas jalan di depan sekolahnya. Tanpa sadar
genggaman kedua tangannya pada Tari menguat saat menyadari situasi di sana
semakin kacau. Jalan yang dibuka teman-temannya tadi, yang membuatnya
bisa mencapai tempat ini, telah tertutup. Dilihatnya anak-anak SMA Brawijaya
sudah hampir mencapai area di depan pintu gerbang. Pasti para guru sudah
menutup gerbang dalam, mengantisipasi agar tidak semakin banyak siswa yang
terlibat tawuran. Akibatnya, kelompok SMA Airlangga jadi kalah jumlah.
Bagi Ari, tawuran bukan hal baru. Tapi sekarang ada cewek bersamanya. Dia
tidak bisa tidak peduli. Jadi, mau tidak mau mereka harus masuk sekolah lewat
gerbang samping yang jaraknya lumayan jauh karena selain harus memutari
gedung sekolah, mereka juga harus memutari gedung milik pemerintah yang
berdiri tepat di samping area sekolah.
Anak-anak SMA Brawijaya tidak pernah menyerang dari gerbang samping.
Karena selain temboknya tinggi "jadi diperlukan keahlian sekelas atlet lempar
lembing untuk bisa melemparkan batu sampai melewatinya "juga karena guruguru selalu langsung bersiaga disana.
"Cepet pergi dari sini!" bisik Ari di telinga Tari. Dia melepaskan rengkuhannya,
lalu tangan kanannya menggengggam pergelangan tangan kiri Tari. Sebelum
meninggalkan tempat itu, Ari menoleh ke arah cowok Brawijaya yang sudah
bangkit berdiri dari posisi terjerembap. Sesaat kedua cowok yang jadi pentolan
sekolah masing-masing itu saling tatap. Tepat di manic mata masing-masing.
Kemudian Ari menarik Tari ke arah perempatan jalan. Dengan tatapan yang
semakin menajam, cowok Brawijaya tadi mengikuti kepergian keduanya sampai
hilang dari pandangan. Pontang-panting Tari berusaha menyamai langkah-langkah Ari yang panjang
dan tergesa. Begitu mereka telah menikung dan cowok Brawijaya yang tadi
dipukulinya habis-habisan sudah tidak terlihat lagi, baru ketakutan Tari
pecah.ditariknya tangannya dari genggaman Ari sampai terlepas.
"Balik lagi yuk" Tadi tu cowok saya pukulin kenceng banget. Takut dia kenapanapa."
Sesaat Ari tertegun menatap wajah pucat Tari yang sarat kecemasan dan
ketakutan. Kedua mata Tari mulai digenangi butiran air bening, yang menempel
di bulu-bulu mata saat kedua mata itu mengerjap. Ari lalu mendengus geli,
hampir tertawa. "Tenang aja. Tu anak nggak bakalan kenapa-napa. Lo kira yang tadi lo pukulin
itu siapa?" Ari menatap Tari dengan kedua alis terangkat tinggi. "Pentolannya
anak Brawijaya, tau!"
Kecemasan pekat yang tadi menyelimuti muka Tari kontan lenyap. Ditatapnya
Ari dengan kedua mata terbelalak. Sekali lagi cowok itu mengangkat kedua
alisnya. "Kalo elo balik, kayaknya elo yang nanti bakalan kenapa-napa deh."
Suara riuh yang samar-samar terdengar menandakan anak-anak Brawijaya
telah pergi dari depan sekolah SMA Airlangga.
"Cepet lari. Mereka kesini!" refleks Ari meraih tangan Tari. Keduanya berlari
cepat menyusuri trotoar. Tari sudah merasa seperti terbang, karena Ari
menggenggam erat tangannya dan setengah menariknya. Tari terpaksa
mengerahkan seluruh tenaga untuk menyamai kecepatan cowok itu.
Ketika trotoar itu menikung ke arah gerbang samping sekolah, mendadak Ari
menghentikan larinya. Dua orang guru yang sedang berjaga di sana adalah
formasi yang paling menyebalkan: Bu Sam dan Bu Ida.
Tari yang tidak mengira Ari akn berhenti, tak ayal menbraknya keras. Nyaris saja
dia jatuh tersungkur kalau saja Ari tidak buru-buru menangkap tubuhnya.
"Balik! Balik!" bisi Ari.
"Kok?"" Tari menatapnya bingung.
"Yang jaga Bu Sam sama Bu Ida. Repot urusannya kalo sama mereka. Gue sih
nggak pa-pa. Udah bad record lama. Elo tuh, baru kelas sepuluh, cewek pula."
"Tapi saya kan nggak ikut tawuran?"
"Nggak ada bukti lo nggak iktu tawuran. Apalagi nongolnya bareng gue."
"Tapi saya izin kok. Izin mendadak sih. Tadi sama Mama udah dibikinin surat."
"Gitu" Oh, kalo gitu sih nggak pa-pa. Ya udah, yuk!"
"Ya ampun"!" seru Tari tiba-tiba. "Suratnya ada di dalam kamus!"
"Hm!" Ari memutar kedua bola matanya. "Berarti, no choice. Ya udah, buruan
balik. Ntar keburu mereka ngeliat."
Mereka balik arah, menuju bagian belakang sekolah. Pembangunan tembok
tinggi itu belum selesai. Jadi sedikit pagar besi yang tersisa masih berdiri.
Kebetulan posisinya ada di belakang tembok ruang-ruang laboratorium, jadi
kemungkinan kepergok guru sangat kecil. Kecuali kalau memang lagi sial. Ari
segera memanjat pagar itu.
"Cepet naik!" dia ulurkan kedua tangannya. Tari langsung geleng kepala kuatkuat.
"Saya nggak bisa manjat pagar."
Ari berdecak tak sabar. "Kalo nembus pagar, bisa nggak?"
"Ya nggaklah"," Tari menjawab agak kesal.
"Nyabut pagar sampe lepas dari beton?"
"Nggak." Tari menggeleng.
"Ngerayap di tembok kayak Spiderman?" kejar Ari.
Tari mnggeleng lagi, kali ini tidak mengeluarkan suara.
"Berarti nggak ada pilihan, kan?"
"Ng?" "Cepetan!" Ari nyaris membentak saking tidak sabar lagi. Tari menatap pagar di
depannya dan menelan ludah. Pagar itu tinggi, jadi nggak mungkin dipanjat
tanpa mengangkat rok tinggi-tinggi juga. Ari tahu apa yang berkecamuk di
dalam kepala Tari. Cowok itu menatapnya lurus-lurus.
"Nggak usah mikir yang macem-macem deh. Ini emergency. Cepet. Keburu ada
guru yang patrol nih!" Cowok itu mengulurkan kedua tangannya rendah-rendah.
Terpaksa Tari menyingsingkan roknya lalu memanjat besi-besi pagar itu dengan
bantuan Ari. "Pegangan yang kenceng." Setelah Tari berada di puncak pagar, Ari
melepaskan pegangannya perlahan karena bisa dia rasakan tubuh cewek di
sebelahnya itu gemetar. Kemudian dia melompat turun ke halaman sempit di
sebelah dalm. "Lompat!" perintahnya sambil merentangkan kedua lengannya.
Belum lagi Tari sempat melompat, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
"HEI, KALIAN BERDUA!" Seorang guru melangkah cepat ke arah mereka.
"Ck, pas banget, lagi!" desis Ari sambil menoleh sesaat ke asal suara. "Loncat
cepet!" cowok itu semakin merentangkan kedua lengannya lebar-lebar.
Tanpa sempat berpikir lagi, Tari melompat turun. Dengan sigap Ari menangkap
tubuh yang melayangtanpa kestabilan untuk mendarat itu.
"Lari!" perintahnya sambil meraih satu tangan Tari. "Itu Pak Arman. Guru anak
IPS. Aman kalo dia sih. Rabun jauh."
"ARI! BAPAK TAU KAMU ARI! BERHENTI!" seru Pak Arman.
"IYA, PAK! INI SAYA!"Ari balas berseru, tapi tetap sambil terus berlari.
"BERHENTI KAMU!!!" bnetak Pak Arman dengan suara makin keras.
"IYA, PAK! NTAR! TANGGUNG NIH!" Ari menjawab tanpa rasa takut.
"Tapi dia kenal Kakak?" tanya Tari di sela napas yang tersengal.
"Siapa sih yang nggak kenal gue?"
Begitu mereka sampai di tempat sepi dan Pak Arman tertinggal di belakang, Ari
menghentikan larinya. Tari mengikuti. Cewek itu menepuk-nepuk dadanya yang
terasa sakit karena kehabisan napas.
"Lepas semua pernak-pernik lo yang serba oranye itu," perintah Ari.
"Emangnya kenapa?" Tari menatapnya dengan kening berkerut.
"Mencolok, tau" Percuma aja dari tadi berusaha menghindar kalo akhirnya
kecatet juga di black list. Elo, bukan gue."
"Katanya dia rabun jauh?"
"Iya. Tapi dia nggak buta warna. Kita bukan cuma mau menghindari Pak Arman,
kita mau ngelewatin ruang guru nih."
Tari menurut. Dilepasnya semua pernak-pernik yang dipakainya. Ari terpaksa
ikut turun tangan setelah memperhitungkan akan makan waktu lumayan lama
kalau tidak dibantunya cewek penggila aksesori ini.
"Wali kelas lo siapa?" Tanya Ari setelah pekerjaan mereka selesai dan Tari
sedang memasukkan semua aksesori ke dalam salah satu kantong tasnya.
"Bu Pur." Ari kontan bersiul. "Kebeneran. Dulu ibu guru cantik itu juga wali kelas gue. Gampang kalo gitu.
Ntar gue yang ngomong."
"Kakak mau nganter sampe kelas?" Tari tercengang.
"Trus lo mau ngomong apa" Masih bawa-bawa tas gitu. Kalo nongol bareng gue,
tuduhannya akan ke gue. Kecil itu sih."
"Ntar saya ngomong terus terang aja sama Bu Pur deh. Pasti dia ngerti." Tari
berusaha menolak dengan cara halus. Bukan apa-apa. Menurutnya, nongol
bersama Ari justru urusannya bakalan lebih ribet ketimbang nongol sendirian.
"Udah, ikutin aja. Lo tuh cerewet banget ya." Ari tidak peduli penolakan Tari,
membuat Tari menghela napas panjang-panjang.
"Bu Pur pasti udah kenal banget sama Kakak deh."
"Yang lebih tepat, udah tobat!" Ari menyeringai lalu terkekeh geli.
Seisi kelas X-9 menatap dengan muka terpana, ketika terdengar ketukan pintu
dan mereka dapati Ari dan Tari berdiri di ambangnya.
"Ada apa kamu kesini?" Tanya Bu Pur dengan nada tajam.
"Nganterin anak Ibu," jawab Ari dengan nada manis. Tari melangkah masuk
dengan kepala tertunduk dan muka pucat.
"Maaf, Bu. Saya?"
"Duduk!" perintah Bu Pur dingin. Tari langsung tutup mulut dan berjalan ke
bangkunya dengan kepala tetap tertunduk. Ari menatapnya dengan senyum
tipis. "Ini salah saya, Bu. Bukan?"
"Ibu sudah tau kalau itu. Pasti ulah kamu!" Bu Pur mamotong ucapan Ari.
Cowok itu meringis lebar.
"Ibu tuh mengerti banget saya , ya" Jadi terharu. Ibu kenapa nggak ngajar kelas
dua belas sih" Kan bisa jadi wali kelas saya lagi."
"Nanti kalau kamu sudah lulus!" jawab Bu Pur getas. Ari kadi tertawa, pelan
tapi geli. "Kalo gitu saya nggak usah lulus deh. Ntar pas UAN jawabnya asal-asalan aja.
Biar ngulang setaun lagi. Tapi janji ya, Ibu jadi wali kelas saya?"
Bu Pur menatap Ari dengan tatapan dingin yang mulai menyimpan kemarahan.
Dia tersinggung karena merasa wibawanya telah dilecehkan. Apalagi di depan
murid-murid yang belum genap satu bulan bergabung di SMA Airlangga, yang
menyaksikan peristiwa itu dengan ternganga-nganga. Meskipun berusia muda
dan masih lajang pula, statusnya tetaplah guru!
Ari menghentikan tawanya melihat muka marah guru cantik di depannya itu. Bu
Pur memang terkenal di kalangan murid cowok. Selain cantik, ibu guru satu ini
punya bentuk betis yang sempurna. Bak bulir padi!
"Kalo gitu saya permisi, Bu. Selamat pagi." Masih sambil menahan senyum, Ari
membungkukkan tubuhnya lalu berjalan keluar kelas dengan langkah-langkah
tenang. Benar-benar tipikal murud pembuat masalah.
"Teruskan catatan kalian!" perintah Bu Pur galak, ketika dilihatnya murid-murid
di depannya masih ternganga-nganga memandangi pintu. Satu setengah jam
kemudian bel berbunyi. Pelajaran kimia itu berakhir.
"Laper banget," desah Tari sambil menutup buku-bukunya. Tapi impiannya
melahap siomay di kantin langsung musnah begitu mendengar perintah Bu Pur.
"Tari, kamu ikut Ibu ke ruang guru!"
Dan di ruang guru itu, Tari kemudian diceramahi Bu Pur habis-habisan.
Meskipun dia sudah menceritakan kejadian yang sebenarnya, alasan
keterlambatannya, dan bahwa pertemuannya dengan Ari bersifat insidental,
murni faktor kebetulan, wali kelasnya itu tidak peduli.
"Kalau nggak mau dapet masalah, kamu harus jaga jarak dengan Ari!" perintah
Bu Pur dengan nada final. "Ngerti, Tari?"
"Iya, Bu." Tari mengangguk patuh.
Begitu Tari keluar dari ruang guru, bel tanda jam istirahat telah berakhir,
berbunyi. Nggak ada lagi kesempatan ke kantin buat ngisi perut. Terpaksa dia
menahan lapar sampai jam istirahat kedua tiba.


Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Istirahat kedua, sambil melahap siomay, Tari dipaksa menceritakan lagi
kronologi kejadian tadi pagi. Kali ini di depan teman-teman cewek sekelas dan
beberapa teman cowok yang tertarik dengan peristiwa itu. Berbeda dengan Bu
Pur, teman-teman Tari berpendapat kisah pertemuan keduanya dengan Ari yang
lagi-lagi insidental itu keren banget. Dan romantis. Lebih romantis daripada
cerita-cerita dongeng atau film.
"Gila ih! Lebih menggetarkan dibandingin film-film Korea. Gue sampe
merinding dengernya," desah Devi. Kedua tangannya tertangkup di depan dada.
Yang lain langsung setuju.
"Apa kata elo deh," ucap Tari masa bodo. Dia masih shock dengan rentetan
kejadian pagi tadi yang di luar dugaan. Tari jadi malas memikirkan reaksinya
teman-temannya. "Ntar certain lagi ya, Tar?"
"Ogah!" @@@ Kemunculan Ari di kelas, apa yang sudah dilakukannya untuk Tari, juga sikap
kurang ajarnya pada Bu Pur, membuat keputusan yang telah dibuat Tari dan
teman-temannya untuk memetieskan nama Ari waktu itu dianulir.
Bukan hanya karena cowok itu terlalu ganteng untuk cuma dianggap sebagai
angin lewat, tapi juga karena banyak hal menarik muncul kalau sudah menyebut
satu nama itu. Nyoman yang paling getol nyari info tentang Ari. Soalnya emang cuma dia yang
punya beberapa teman di kelas sebelas, angkatan yang jelas tahu banyak
tentang Ari. Dan dengan girang cewek itu akan menyampaikan setiap info baru
yang dia dapatkan kepada teman-temannya.
Seperti siang ini, Tari dan semua teman-teman cewek sekelas tetap berkumpul
di kelas pada saat jam istirahat, karena Nyoman punya info baru tentang Ari
yang sangat-sangat penting dan sanga-sangat perlu untuk diketahui.
Saking krusialnya info itu, cewek-cewek itu sampai rela nggak makan. Mereka
membeli satu kantong plastik gorengan dari kantin dan satu gelas air mineral
per orang. "Pasti mau ngomongin Ari lagi," kata Jimmy sambil berjalan ke pintu.
"Tau aja. Kalo lo sekong, lo boleh ikutan," kata Nyoman. Jimmy menyeringai.
"Mending gue sama lo aja deh, Man. Biar jelek, lo cewek tulen."
"Kurang ajar!" Nyoman mencomot sepotong bakwan dari kantong plastik lalu
melemparnya ke arah Jimmy. Dengan sigap cowok itu berkelit. Disambarnya
bakwan itu sesaat sebelum mendarat di lantai dan langsung dilahapnya sambil
berjalan ke pintu. "Thanks!" katanya sebelum menghilang.
"Kurang ajar tuh si Jimmy," gerutu Nyoman dengan tampang cenberut. Dia
tersinggung. Jelaslah. Mana ada cewek yang nggak bakal marah kalo dibilang
jelek, meskipun kenyataannya emang jelek.
"Bercanda doang dia, Man," hibur Tari.
"Iya. Tapi nggak lucu." Nyoman mencomot bakwan lagi dari kantong plastik di
tengah meja, lalu melahapnya bersama cabe rawit. "Ntar ya, gue makan dulu.
Takutnya gue bakalan terus ngomong sampe jam istirahat kelar. Elo-elo mah
tinggal dengerin doang," katanya saat dilihatnya tatapan-tatapan tak sabar di
sekelilingnya. "Oooh, okeeee." Teman-temannya mengangguk mengerti. Mereka langsung
ikutan makan juga. Takut nanti keselek kalau ternyata info yang akan
disampaikan Nyoman benar-benar mencengangkan.
"Jadi begini?" Nyoman memulai konferensi pers nggak resmi itu, setelah
melahap sepotong bakwan dan seotong tahu isi. "Gue nggak bisa memulai dari
info yang nggak penting. Karena info-info yang gue dapet semuanya penting dan
uuh" pokoknya mencengangkan deh!"
"Lo dapet dari temen-temen lo yang anak kelas sebelas itu lagi?" sela Maya.
"Ya iyalah. Kalo gue nyari infonya ke kelas dua belas mah mati konyok namanya,
May." Nyoman menatap Maya, seolah-olah temannya itu manusia paling bego
di seluruh jagat raya. "Iya, iya, sori." Maya meringis.
"Jadi begini?" Nyoman menatap berkeliling dengan ekspresi muka yang
sekarang jadi sangat serius. "Ari itu ternyata waktu baru-baru masuk udah
menunjukkan gejala bakalan jadi tukang rusuh. Waktu MOS, dia tuh kayak
anak-anak baru yang lain. Nurut disuruh apa aja. Begitu MOS kelar, baru deh
keliatan kalo dia suka ngelawan. Kalo dimintain duit seribu-dua ribu, dia masih
mau ngasih. Lebih dari itu, dia pilih ribut."
Nyoman menghentikan sejenak ceritanya untuk minum.
"Anak-anak kelas sebelas mulai nggak seneng tuh sama Ari. Terus mereka bikin
rencana mau gencet dia. Tapi dari situ jadi ketauan, Ari tuh kalo udah marah
banget, bisa kalap. Bisa kayak orang nggak sadar atau kesurupan gitu. Pertama
kali ketauan waktu dia dikeroyok anak-anak kelas sebelas di belakang, pas
pulang sekolah. Dia di jemput di kelas trus di bawa ke belakang sekolah. Disana
dia dihajar. Tau nggak" Si Ari emang babak belur parah. Sampe masuk rumah
sakit. Tapi anak-anak kelas sebelas yang ngeroyok dia babak belurnya juga
sama. Kayaknya dia ngelawan mati-matian sebelum akhirnya pingsan."
Nyoman berhenti sejenak untuk minum lagi.
"Nah, abis itu namanya mulai ngetop tuh. Anak-anak kelas sebelas mulai mikir
kalo mau ngapa-ngapain dia. Soalnya pernah sekali lagi Ari di keroyok, tapi di
luar sekolah. Dia dicegat di jalan gitu. Dihajar sampe babak belur lagi. Tau
nggak" Begitu dia sembuh, anak-anak kelas sebelas yang ngeroyok dia, dia
datengin satu-satu. Satu anak dia hajar di toilet sekolah. Pas tu anak lagi
sendirian. Satu dia datengin ke rumahnya pas lagi kosong, trus dia tarik ke
halaman dan dia hajar disana. Tiga anak dicegat di jalan, trus?"
Nyoman berhenti untuk mengingat-ingat sementara teman-temannya menatap
dengan muka terkesima. "Oh, yang dia datengin ke rumahnya ada dua orang ding. Satu dia hajar di ruang
tamu. Di deoan nyokap tu cowok! Abis itu Ari jelasin kenapa dia mukulin
anaknya. Yang paling keren, ini menurut gue ya, salah satu cowok yang dia
cegat di jalan lagi boncengan berdua sama ceweknya. Anak sekolah kita juga.
Sama Ari tu cewek disuruh turun dari motor trus dicegatin taksi. Sopirnya
dikasih ongkos trus dia suruh nganterin tu cewek sampe depan rumah. Baru
setelah itu cowoknya dia hajar abis-abisan. Gentle, kan" Menurut gue, dari
kasus ini, Ari tuh gentle banget."
Untuk yang kesekian kali, Nyoman berhenti bercerita lagi. Kali ini untuk
membuka segelas air mineral lagi. Para pendengarnya penasaran, tapi nggak
mau mendesak. Mereka menunggu dengan sabar.
"Dan ini ceritanya kenapa Ari itu bisa jadi pentolan sekolah kita kayak sekarang
ini," lanjut Nyoman. "Waktu itu dia masih kelas sepuluh juga. Pas pulang
sekolah anak-anak Brawijaya nyerang. Kayak kemaren itu. Tiba-tiba aja mereka
udah sampe di depan gerbang gitu. Ari ngeliat ada satu anak sekolah kita yang
diculik. Diseret ke mobil trus dibawa pergi. Langsung Ari ngejar pake motor. Tu
cowok bawa besi. Tau nggak, besinya dari mana?" Nyoman memandang temantemannya yang serentak menggelengkan kepala tapi nggak satu pun
mengeluarkan suara. "Dari pagar depan yang bisa dicopot itu. Yang dia pake
menyelinap pas upacara itu. Yang terus dia berdiri di depan elo, Tar."
"Ooooooh!" semuanya ber-oh bersamaan.
"Gitu, ya?" Tari mengangkat kedua alisnya.
"Iya, jadi nggak tau deh, apakah tu besi emang tadinya udah copot, atau
dicopot sama Ari. Katanya sih mobil anak Brawijaya itu dipukulin sampe ringsek
sama Ari. Kacaunya abis. Ya gitu, dia ngamuk kayak kesurupan. Ternyata cowok
yang diculik itu anak kelas dua belas, udah gitu sahabatnya pentolan sekolah
kita waktu itu. Abis itu Ari langsung dijadiin anggota kelompok mereka. Pastinya
kelompok perusuh di sekolah. Dan dia bergaulnya jadi sama anak-anak kelas
dua belas. Sejak itu anak-anak kelas sebelas nggak berani ngusik Ari lagi. Nah,
waktu kelas du belas lulus, hierarki kepemimpinanya lompat tuh. Langsung ke
Ari. Kelas sebelas yang naik kelas dua belas dilewatin. Tapi mereka nggak
berani protes. Soalnya beberapa anak kelas sebelas yang naik kelas dua belas
itu udah jadi anggota gerombolannya Ari."
Lagi-lagi Nyoman berhenti bercerita sesaat. Kali ini untuk menarik napas
panjang-panjang. "Dan ini info yang paling penting. Yang gue berani jamin lo-lo pada bakalan
kaget." Nyoman menatap teman-temannya dengan senyum puas terkembang
lebar-lebar. "Apaan tuh?" semuanya bertanya serentak. Nyoman tersenyum-senyum lagi
sebelum menjawab. "Lo-lo pasti nggak percaya kalo gue bilang Ari tuh nggak pernah, selama ini ya,
punya pacar!" "BOHONG!!!" semuanya berseru bersamaan.
"Tul, kaaan?" Nyoman terkekeh-kekeh.
"Bohong lo, Man! Nggak mungkin! Ngarang!" kata Tari. Kedua matanya yang
menatap Nyoman membulat maksimal.
"Bener!" "Nah, terus itu, cewek-cewek yang sering bareng dia itu, siapa?"
"Bareng gerombolannya, maksud lo?" ralat Nyoman.
"Ya apalah. Mereka itu siapa?"
"Ya cewek-cewek yang naksir Ari. Sama kayak kita-kita ginilah."
"Elo doang, kaleeee!" kata-kata Nyoman langsung disambut koor bantahan.
Cewek itu meringis. "Urusan elo-elo deh kalo mau nyangkal. Kalo gue sih ngaku, gue suka tu cowok.
Cakep sih. Tinggi, lagi. Masalah dia bendel, cowok yang bener tuh emang kudu
bandel, lagi." "Serius, Man?" Tari masih penasaran, mewakili rasa yang menghinggapi semua
teman-temannya yang mendengar cerita itu.
"Iya!" Nyoman menjawab tegas.
"Perasaan, banyak banget ceweknya. Gue malah jarang banget ngeliat nggak
ada cewek di sebelahnya."
"Tapi ganti-ganti, kan?"
"Iya sih." "Itu dia. Ari tuh nggak peduli kalo ada cewek yang mau bergabung di
gerombolannya. Silakan aja. Meskipun tujuannya jelas-jelas buat pedekate ke
dia, tu cowok tutup mata. Belagak nggak ngeh. Buntutnya tuh selalu cewekcewek itu yang akhirnya nggak tahan trus pada pergi. Sambil patah hati
biasanya. Ari tetep nggak peduli." Nyoman terkekeh-kekeh. Kelihatan girang
banget dia. "Jangan-jangan dia homo?" kata Okta.
"Nggak mungkin!!!" semuanya membantah dengan seruan nyaring.
"Lo nggak inget waktu dia nggodain Bu Pur" Bu Pur mukanya sampe merah
gitu." Nyoman memelototi Okta. "Kalo homo, nggak bakalan dia mau godain Bu
Pur, tau!" "Maksud gue homo sapiens," jawab Okta sambil nyengir.
"Itu lebih nggak mungkin lagi. Manusia purba mana ada yang ganteng sih"
Mulutnya kan pada monyong-monyong." Ada juga yang menanggapi candaan
Okta, si Devi. "Atau nggak, dia pernah ngalamin patah hati yang sampe parah. Jadinya
trauma, trus nggak mau punya pacar lagi," giliran Maya mengajukan hipotesis.
Nyoman langsung membantah.
"Kapan pacarnnya" Waktu SMP gitu" Taelah" sampe segitunya. Se-broken
heart-broken heart-nya anak SMP, paling seminggu-dua minggu. Abis gitu juga
lupa." "Gue nggak," Maya membantah. "Waktu putus sama cowok gue, pas kelas
delapan, gue patah hatinya sampe empat bulanan."
"Elo bego!" cela Nyoman. "Ngapain, lagi" Rugi!"
"Kok jadi ngomongin Maya sih?" sela Okta. "Jadi kenapa dong si Ari nggak
pernah punya cewek?"
"Itu dia yang masih jadi pertanyaan besar!" Nyoman menjentikkan jarinya
keras-keras. "Ad saru lagi yang lo-lo juga pasti bakalan kaget. Percaya nggak"
Nggak ada satu orang pun yang tau dimana Ari tinggal."
"Haaa" Masa sih?" lagi-lagi info Nyoman itu membuat teman-temannya
tercengang. "Beneran!" "Temenya segitu banyak bejibun. Masa nggak ada satu aja yang tau di mana
rumahnya?" Tari mengerutkan keningnya rapat-rapt.
"Nggak ada, makanya, aneh kan?"
"Nggak ada yang coba nanya atau cari, gitu?"
"Gue nggak tau kalo itu. Ntar deh, gue cari info lagi."
Saking mencengangkannya semua info tentang Ariyang dibawa Nyoman, cewekcewek itu sampai tidak mendengar bel masuk sudah berbunyi. Mereka bahkan
juga tidak menyadari bahwa Pak Yakob sudah ada di depan kelas.
"Sedang rapat apa kalian?" tanya Pak Yakob dengan suara keras sambil
mengetuk-ngetuk whiteboard dengan spidol.
Cewek-cewek itu tersentak dan menoleh ke depan bersamaan. Mereka
langsung bubar dan kembali ke tempat masing-masing.
"Rapat apa?" ulang Pak Yakob.
"Rapat soal Ari, Pak!" Jimmy yang menjawab. Kontan cewek-cewek itu menoleh
ke arahnya dengan tampang kesal.
"Oh, mau ikut-ikutan bandel, begitu ya?" tampang Pak Yakob langsung berubah
galak. "Buka buku catatan kalian!"
Tari kembali ke bangkunya dengan pikiran berkecamuk hebat. Pak Yakob dan
uraiannya yang panjang-lebar terabaikan karena Tari nggak bisa mengenyahkan
Ari dari dalam kepalanya. Meskipun info yang disampaikan Nyoman tentang Ari
serbagelap, serbaseram, dan bikin ngeri, entah kenapa Tari merasa cowok itu
sebenarnya baik. Hanya saja sisi baiknya itu sepertinya sengaja dia tidurkan.
Karena, Tari sempat merasakannya, ketika sisi baik Ari sesaat menyeruak di
antara sisi buruknya yang lebih aktif dan dominan. Mungkin karena dia pernah
merasakan pertolongan Ari. Mungkin karena dia juga telah merasakan
perlindungan yang diberikan cowok itu. Genggaman tangannya, sekilas tatapan
lembutnya, rasa kuatir yang terselip di antara nada tajamnya, dan di balik
sikapnya yang sering kurang ajar, cowok itu juga punya batas kesopanan.
Pasti ada yang salah dengan informasi yang tadi dikatakan Nyoman. Atau bisa
jadi, semua info itu memang benar, tapi ada sesuatu yang tidak diketahui
siapapun kecuali Ari sendiri.
Di dalam kamarnya yang sengaja dibiarkannya hening, tanpa alunan musik
seperti biasanya, pentolan SMA Brawijaya itu, Angga, terduduk diam di depan
meja belajarnya. Cowok itu menatap kamus di depannya, pada sebuah nama
yang tertulis di lembar kosong pertama. TARI, X-9.
Banyak cewek di sekitar Ari. Sama seperti dulu. Ari yang dikenalnya selama tiga
tahun di SMP. Namun, pada satu nama ini Angga mendapati ada yang beda
dengan Ari. Sedikit. Samar. Namun bukan disembunyikan. Lebih karena Angga
sendiri sepertinya juga tidak menyadari. Atau belum menyadari. Setelah dua
tahun lebih akhirnya dia temukan juga sesuatu yang bisa direbutnya dari Ari.
Sesuatu yang bisa digunakannya untuk ganti menyakiti cowok itu.
Ini memang dendam pribadi. Tidak ada hubungannya dengan permusuhan
kedua sekolah mereka. Murni sakit di masa lalu. Murni karena
ketidakberdayaannya pada saat itu. Mungkin Ari sudah lupa. Bahkan bisa jadi
cowok itu tidak pernah menyadari apa yang sudah dilakukannya.
Tapi kini" kedua rahang Angga mengeras. Kedua matanya yang sedari tadi
menatap dinding kosong di depan meja belajarnya namun tidak terfokus di
sana, perlahan menyipit. Akan dibantunya Ari untuk ikut merasakan rasa sakit
itu. Juga rasa kehilangan yang menyertainya. Yang bahkan tidak tersembuhkan
meskipun dua tahun lebih telah lewat.
Tiba-tiba alarm ponsel Angga berbunyi, menarik benaknya dari pengembaraan
ke masa lalu. Jam sebelas tepat. Ditariknya napas panjang-panjang. Harus
secepatnya dicari kepastian supaya bisa dia tentukan tindakan apa yang harus
diambil. Disandarkannya punggungnya ke sandaran kursi. Kedua matanya menerawang
menatap langit-langit kamar. Otaknya berputar. Tidak butuh waktu terlalu lama
ketika satu ide muncul di kepala.
"Boleh juga." Angga tersenyum tipis. Tinggal besok dilihat gimana hasilnya.
Angga meraih memo di depannya dan merobek lembar teratas. Setelah menulis
satu kalimat pendek dan meletakannya di halaman pertama, ditutupnya kamus
milik Tari itu. Setelah mengeset alarm tepat pada pukul lima pagi, cowok itu
berdiri lalu mematikan lampu kamar.
@@@ Pulang sekolah Tari dan Fio berjalan menyusuri tepi lapangan basket menuju
pintu gerbang, masih dengan pembicaraan seputar Ari. Info yang disampaikan
Nyoman dua hari yang lalu rupanya membuat Ari tetap menjadi objek
pembicaraan hangat sampai hari ini.
"Gue yakin dia tuh sebenernya baik, Fi."
"Mungkin aja. Tapi kan nggak ada yang tau gimana dia sebenernya. Gue masih
nggak percaya cerita Nyoman. Ajaib banget nggak ada yang tau di mana
rumahnya." "Iya, ya?" Tari mengangguk. "Kenapa nggak ada yang nyoba ngikutin dia diemdiem gitu ya?"
"Gue rasa sih nggak ada yang berani. Atau nggak, menghargai hak dia untuk


Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merahasiakan di mana dia tinggal."
"Iya juga sih." Tari mengangguk lagi.
Mendadak muka kedua cewek itu menegang. Pembicaraan tentang Ari juga
langsung berhenti, karena sang objek pembicaraan berada tidak jauh di depan.
Berdiri di trotoar di depan sekolah bersama teman-temannya.
"Sst, Ari!" bisik Fio.
"Udah tau!" balas Tari. "Jangan diliatin dong!"
"Siapa juga yang ngeliatin?"
Kedua cewek itu berjalan dengan tatapan lurus-lurus ke depan. Tapi Tari nggak
mampu menahan diri untuk nggak melirik. Bahkan saat didapatinya cowok itu
dengan sebatang rokok terselip di bibir, terang-terangan merokok di area
sekolah, Tari tetap merasa sebenarnya Ari baik.
Tiba-tiba Ari menoleh. Tari terkesiap. Tatapan mereka bertumbukan tak
terhindarkan. Muka Tari langusng merah. Tapi Ari terlihat tak acuh. Sambil
mengisap rokoknya dengan tarikan panjang, cowok itu menatap Tari dengan
sinar datar. Hanya sesaat, kemudian perhatiannya kembali ke teman-temannya.
Tari menarik napas panjang diam-diam. Lega, tapi agak sedih juga. Dua
kejadian yang telah membuat hati dan pikirannya kacau ternyata bagi Ari
sepertinya bukan apa-apa.
"Ya ampun!" seru Fio tiba-tiba, seketika berhenti melangkah. "Buku cetak
matematik gue tadi kan dipinjem Nana, anak kelas sebelas. Belom dibalikin.
Gawat! Besok ada matematik juga. Mana ada PR, lagi. Lo tunggu di sini bentar
ya, Tar. Kali aja tu anak masih ada."
"Telepon aja dulu. Ntar nggak taunya udah pulang, lagi. Dia kan pulangnya
lewat pintu belakang."
"Oh iya." Fio segera mengeluarkan ponselnya lalu menekan sederet angka.
"Masih ada. Dia nunggu di gerbang belakang," katanya kemudian. "Bentar ya,
Tar." Fio langsung balik badan dan berlari kembali ke halaman sekolah.
Tari terpaksa menunggu. Cewek itu menatap jalan di depannya dengan gelisah,
karena Ari hanya berjarak kira-kira sepuluh meter dari tempatnya berdiri.
Teman-temannya sudah pergi. Tinggal tersisa satu orang yang bediri tepat di
depan Ari. Kedua cowok itu sedang terlibat pembicaraan serius.
Tiba-tiba sevuah motor berhenti di depan Tari. Begitu sang pengendara
membuka kaca helmnya, kedua bola mata Tari kontan terbelalak. Cowok
pentolan SMA Brawijaya itu!
"Hai," cowok itu menyapa dan tersenyum. "Mau balikin kamus." Diturunkannya
risleting jaketnya. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia milik Tari langsung
menyembul dalam posisi berdiri bersandar di dada cowok itu. "Nih." Diambilnya
kamus itu kemudian dia ulurkan kepada sang pemilik.
Tari langsung teringat lagi peristiwa pemukulan membabi buta yang
dilakukannya. Diterimanya kamusnya dengan muka yang sekarang jadi merah.
"Eeeh" itu" waktu itu maaf ya" Maaf banget," ucapnya terbata-bata.
"Nggak pa-pa." Angga tersenyum lunak. "gue ngerti kok. Waktu itu lo pasti
refleks, kan?" "Iya." Tari tersenyum malu.
Di tempatnya berdiri, Ari langsung menghentikan isapan rokoknya begitu dia
mengenali wajah terbungkus helm itu. Kedua matanya langsung menajam.
Angga pura-pura nggak melihat. Namun, lewat sudut mata dipantaunya setiap
gerak-gerik Ari dengan waspada.
"Kepala lo nggak sampe benjol, kan" Apa tulang-tulang lo ada yang patah?"
Tanya Tari dengan nada cemas. Cowok di depannya menggeleng.
"Nggak, cuma kata dokter, gue agak-agak kena gegar otak ringan," jelasnya
dengan muka serius. "Iya!" Sumpah lo!?" Tari terpengarah. Seketika ekspresi penyesalan muncul di
mukanya. Benar-benar terlihat jelas, membuat Angga jadi ketawa geli.
"Bercanda. Bercanda. Nggaklah. Cuma kamus Inggris doing. Sempet nyutnyutan sih. Tapi cuma sebentar kok. Sekarang udah nggak pa-pa."
"Gue serius nanyanya. Lo tuh ya, nakutin aja." Tari menarik napas lega. Cowok
di depannya menyeringai. Menyaksikan keakraban itu, Ari jadi geram. Dibantingnya rokoknya ke trotoar
jalan. "Kurang ajar tu anak. Gue udah sengaja diem biar nggak bonyok, malah
nantang!" desisnya. Ari mengahmpiri keduanya dengan langkah-langkah panjang. Angga segera
menghidupkan mesin motornya. Bukannya takut, tapi tindakannya ini memang
atas nama pribadi dan ditujukan untuk Ari pribadi. Sama sekali bukan dari SMA
Brawijaya untuk SMA Airlangga.
"Gue balik ya, Tar."
"Sori ya," sekali lagi Tari meminta maaf.
"It"s okay. Nggak usah dipikirin." Angga tersenyum sambil mengacungkan
jempol kanannya, kemudian melesat pergi. Satu seringai lebar menghiasi
bibirnya, menggantikan senyum yang tadi diberikannya untuk Tari.
"Ngapain dia"!" tiba-tiba saja Ari sudah berada tepat dibelakang Tari. Cewek
itu menoleh kaget. "Ngembaliin kamus," jawab Tari spontan.
Tanpa merasa perlu minta izin, Ari mengambil kamus itu dari tangan Tari lalu
membukanya. Selembar kertas kecil meluncur dari sana. Dengan cepat Ari
menahannya dengan satu jari. Keningnya sedikit mengerut membaca tulisan
yang tertera di sana. Hai, Tari. Salam kenal ya. Gue Angga. Anggada.
Tari melirik takut-takut. Dia sendiri belum sempat memeriksa kamusnya, untuk
mencari surat izin yang dituliskan mamanya untuk diserahkan pada Bu Pur. Jadi
dia tidak tahu bahwa cowok tadi menyelipkan secarik kertas di dalamnya.
"Dia ngajak kenalan," kata Ari pendek. Tapi tidak dia tunjukkan kertas itu
kepada pemilik sahnya. "Jadi nama lo Tari?"
"Ng". iya." Tari mengangguk. Rasa takut yang perlahan merayap membuat
dadanya berdebar. Ari mengangguk-angguk.
"Tau nama gue, kan?"
"Iya." Tari mengangguk lagi.
"Bagus. Jadi gue nggak perlu memperkenalkan diri."
Tari tetap yakin cowok yang berdiri di belakangnya sebenarnya baik, tapi tetap
aja Ari adalah biang keroknya SMA Airlangga. Tari tidak bisa mencegah dirinya
untuk tidak merasa waswas.
"Nih." Ari mengembalikan kamus yang dipegangnya pada Tari, tapi tidak lembar
kertas itu. Dia melipatnya lalu memasukkannya ke saku kemeja. Cowok itu
kemudian pergi begitu saja. Meninggalkan Tari yang menatapnya dengan mulut
ternganga. Cewek itu sudah akan mengucapkan "Tu kertas kan buat gue?" , tapi
urung. Biarin aja deh. Daripada ntar urusannya malah jadi runyam. Tak lama Fio
muncul. "Payah tu si Nana. Dasar pikun. Masa dia lupa udah pinjem"," kalimatnya
nggak sempat selesai, karena Tari keburu menarik satu tangannya dan berbisik
di telinganya dengan nada tegang.
"Yuk, pulang cepetan! Ada yang mau gue certain!"
Keduanya berjalan menyusuri trotoar dengan langkah cepat. Tari dengan muka
tegang, Fio dengan tampang tegang.
@@@ Penyerangan itu terjadi saat pulang sekolah. Tanpa prasangka, siswa-siswa
SMA Airlangga berjalan keluar dari gerbang sekolah mereka. Sampai tiba-tiba
dari arah perempatan berhamburan anak-anak SMA Brawijaya, musuh
bebuyutan mereka, yang berlari kea rah sekolah mereka dengan teriakan dan
lemparan-lemparan batu. Seketika suasana menjadi kacau. Siswa-siswa SMA Airlangga yang masih
berada dekat gerbang sekolah seketika berhamburan kembali ke dalam area
sekolah. Sementara yang sudah terlalu jauh dari gerbang, tidak mungkin
kembali, berlarian dengan panic ke segala arah. Jerit dan teriakan terdengar di
sana-sini. Yang pertama kali merespons serangan itu jelas anak-anak kelas dua
belas, yang udah terbiasa terlibat tawuran, yang tidak peduli risiko apa pun
yang menanti di depan. Sementara yang nggak pengin terlibat, pilih menunggu
tawuran usai di dalam ruang-ruang kelas.
Ari yang saat itu berada tidak jauh dari gerbang sekolah segera mengoordinasi
teman-temannya. Yang pertama dia perintahkan untuk menyambut serangan itu
adalah sekelompok cowok yang disebut "Pasukan Kamikaze". Sekelompok
cowok yang bangga balik ke sekolah dalam keadaan benjol, memar-memar,
babak-belur, bahkan berdarah-darah, tidak peduli sanksi apa pun yang akan
mereka terima dari pihak seklah nantinya. Mereka rata-rata penembak jitu,
alias timpukan batunya jarang meleset.
Mereka di-backup seksi perlengkapan tempur, yang segera mengeluaran bombom Molotov padat alias batu, dari tempat-tempat penyimpanan rahasia di
dalam dan di sekitar area sekolah.
Kemudian Ari memerintahkan junior-juniornya yang masih kelas sepuluh untuk
masuk ke ruang-ruang kelas. Mereka belum lama menjadi anggota keluarga
baru di SMA Airlangga, jadi bisanya baru panik doing. Sama seklai nggak
berguna dan cuma bikin repot. Sementara siswa-siswa kelas sebelas yang telah
terdoktrin atau terjangkit virus patriotisme salah kaprah menyambut serangan
itu bersama senior-senior mereka.
Ari memandang berkeliling. Area depan sekolah yang terdiri atas dua lapangan
futsal, satu lapangan voli, dan satu lapangan basket itu sudah clear. Hanya
berisi anak-anak yang akan menggantikan mereka yang kembali dalam
keadaan luka-luka. Sementara itu para guru hanya bisa menatap dari mulut koridor utama tanpa
bisa berbuat apa-apa. Dalam situasi tawuran, beberapa anak didik mereka
seperti Ari dan teman-temannya itu memang sama sekali tidak mempan
bentakan, teriakan, pukulan penggaris besi, bahkan ancaman hukuman dari
skala ringan sampai sangat berat.
Ari segera menggabungkan diri ke kancah pertempuran. Berlari menembus
kekacauan dan hujan batu. Tiba- tiba langkahnya terhenti. Kedua matanya
menyipit, menatap tajam ke kejauhan.
Tari dan Fio berdiri saling merapat dengan wajah pucat pasi. Keduanya terjebak
di tempat yang sangat strategis. Trotoar jalan antara sekolah dan perempatan,
tepat di pertengahan jarak. Rasa takut"terlebih-lebih panik karena ini untuk
pertama kalinya mereka berada tepat di tengah-tengah tawuran"membuat
keduanya tidak melihat peluang untuk melarikan diri yang sebenarnya sangat
besar, lari secepat-cepanya kembali ke sekolah.
Mereka berdiri rapat di balik satu-satunya pelindung, kalau bisa disebut begitu.
Sebatang pohon peneduh jalan yang belum lama ditanam. Yang batangnya
Cuma sedikit lebih besar dari butiran batu-batu yang beterbangan. Singkat
kata, Tari dan Fio berdiri di tempat yang paling pewe. Ditimpuk batu dari arah
mana pun dijamin kena. Ari langsung mengenali Tari yang memang selalu penuh dengan nuansa oranye.
"Sial! Si oranye itu kena kutuk, kali ya" Lagi-lagi kejebak tawuran!" desisnya.
Ari lalu menoleh ke arah teman-temannya. "WOI! COVER-IN GUE!" teriaknya.
Teman-temannya langsung mengerti. Dengan perlindungan teman-temannya,
Ari berlari menembus hujan batu, berusaha mencapai tempat Tari dan Fio
berdiri. Bukan apa-apa. Dia paling malas kalau ada cewek yang terlibat, apalagi
terjebak tawuran. Soalnya mereka sering jadi korban, tapi lebih sering lagi
dijadikan sandera. Akibatnya, Ari dan teman-temannya terpakasa mengaku
kalah. Harga kompensasi agar cewek yang dijadikan sandera tidak diapaapakan. Yang terakhir itu yang selalu membuat Ari kesal.
Sementara itu dari arah berlawanan, juga dengan perlindungan beberapa
temannya, Angga berlari cepat menuju titik yang sama.
Tiba-tiba cowok yang berada di sebelah kanan Ari roboh. Satu lemparan batu
yang benar-benar jitu membuatnya terkapar di aspal jalanan dengan lengan
kanan berdarah. Beberapa orang segera maju untuk melindunginya, juga
melindungi Ari yang posisinya jadi sedikit terbuka. Sementara dua orang segera
menarik cowok yang roboh itu sampai berdiri lalu memapahnya menuju sekolah.
Tapi, seberapa cepat pun usaha penyelamatan itu dilakukan, mereka tetap
kehilangan waktu. Begitu Ari menoleh karena teriakan beberapa orang
temannya, dilihatnya Angga sudah hampir mencapai tempat Tari dan Fio. Dua
orang teman Angga dengan mengendarai motor, membayanginya di kiri-kanan.
"MAJU! MAJU!!!" teriak Ari keras.
Serentak seluruh anak-anak Airlangga yang berada di posisi depan berlari
kencang ke arah lawan. Sementara yang berada di posisi tengah semakin
gencar menghujani lawan dengan lemparan batu supaya teman-temannya bisa
maju lebih cepat. Sayangnya mereka sudah kalah jarak.
Angga bersama kedua temannya yang mengendarai motor sudah sampai di
depan Tari dan Fio. Melihat itu Ari dan teman-temannya berlari seperti kalap.
Namun jarak yang masih terbentang cukup jauh, membuat mereka tidak bisa
berbuat apa-apa saat kedua cewek itu diseret ke motor dan dipaksa naik. Jerit
dan pemberontakan mereka sama sekali sia-sia. Kedua motor itu segera
melesat pergi, dengan Tari dan Fio di boncengan masing-masing.
Di tengah hujan batu, di tengah teriakan, di antara teman-temannya yang siap
melindungi, Angga berdiri menyongsong Ari. Kedua alisnya terangkat tinggitinggi. Senyum mengejek bercampur kemenangan tercetak di bibirnya, yang
bahkan bisa dilihat Ari dari jarak yang cukup jauh. Membuat kemarahannya
semakin menggelegak. Angga yang bisa melihat kemarahan Ari memuncak, semakin menikmati
kemenangannya. Dia berdiri tenang dengan kedua tangan terlipat di depan
dada dan senyum tercetak semakin lebar di bibirnya. Meskipun demikian,
cowok itu tetap waspada. Menjelang Ari mencapai jarak yang dianggapnya
batas siaga, Angga memerintahkan teman-temannya untuk mundur.
Serentak seluruh cowok-cowok SMA Brawijaya itu balik badan, berlari ke arah
perempatan dan menghilang di sana. Ari dan teman-temannya tersentak dan
semakin mempercepat lari mereka. Tapi saat sampai di perempatan jalan dan
berbelok ke kanan, mereka hanya melihat sisa-sisa anak-anak Brawijaya masuk
ke sebuah jalan kecil. Tak lama kemudian delapan unit mobil melesat keluar
dari sana, dengan teriakan dan tawa kemenangan yang bisa didengar Ari dan
teman-temannya. Mereka terpaksa menghentikan pengejaran. Ari berdiri di tempat dengan kedua
rahang terkatup rapat. Mati-matian menahan kemarahannya agar tidak
semakin membludak. Kemudian dia balik badan.
"Oji, ambil motor gue!" serunya sambil melempar kunci. Oji menangkap kunci
itu dan segera berlari ke sekolah. Anak-anak yang lain, yang rata-rata juga
membawa kendaraan ke sekolah, langsung mengikuti. Tak lama terdengar deru
nyaring di kejauhan. Tapi yang kembali Cuma Oji.
"Semua kendaraan ketahan, Ri," lapor Oji sambil menyerahkan motor itu pada
sang pemilik. Kemudian dia ulurkan jaket yang diambilkan Rido, salah seorang
teman mereka, dari kelas.
"Udah tau," jawab Ari pendek sambil mengenakan jaket hitamnya. Setiap kali
terjadi tawuran, pihak sekolah memang selalu langsung menutup kedua akses
ke sekolah. Alasan kenapa motor itu bisa lolos adalah karena motor itu milik Ari,
plus ancaman ke mas-mas sekuriti yang berjaga di gerbang depan.
"Nanti kalo Ari ngamuk, Mas yang tanggung jawab ya?"
"Jadi gimana nih?" Oji menatap Ari, menunggu instruksi selanjutnnya.
"Biar gue sendiri yang ke Brawijaya."
"Gila lo!" Oji melotot. "Jangan! Jangan! Tunggu bentar deh. Anak-anak lagi
nyetop taksi." "Bego! Mana ada taksi yang mau ngangkut anak-anak yang mau tawuran" Usul
siapa sih?" "Hehe, gue." Oji meringis malu.
"Ck! Duduk di sebelah gue nggak ada gunanya ya?" sesaat Ari menatap Oji
dengan lirikan tajam. Kemudian cowok itu menggas motornya dan langsung
melesat pergi. "WOI, ARIIIII!!!!" teriak Oji, melengking keras. Jelas sia-sia.
Ari memacu motornya, membelah kepadatan lalu lintas Jakarta dengan
kecepatan tinggi. Berbagai macam dugaan buruk berkelebat di kepalanya.
Untuknya, tawuran itu mutlak urusan cowok. Dari dulu dia pantang melibatkan
cewek. Sepertinya Angga juga mempunyai prinsip yang sama. Karena itu Ari
heran melihat Angga sampai melakukan ini. Karena kejadian ini baru yang
pertama kali ini. Angga memang bukan nama baru buat Ari. Cowok itu satu SMP dengannya, tapi
tidak pernah satu kelas. Ari mulai merasakan kebencian Angga kira-kira dua
atau tiga bulan menjelang lulus-lulusan.
Sayangnya, kesibukan PM"pendalaman materi"dan seabrek kegiatan
tambahan untuk menghadapi ujian akhir yang dipaksakan pihak sekolah
membuat Ari tidak sempat lagi memikirkan keanehan Angga itu. Tahu-tahu
mereka sudah merayakan acara lulus-lulusan kemudian berpencar ke sekolah
lanjutan tujuan masing-masing. Masalah itu pun terlupakan.
Sampai pada suatu hari Ari menemukan Angga di antara anak-anak SMA
Brawijaya yang menyerang sekolahnya. Masih dengan tatap kebencian yang
sama. Dan sama seperti dirinya, masih berstatus junior yang tentu saja harus
mematuhi setiap perintah para senior. Ketika Ari telah menjadi pentolan di
sekolahnya, Angga ternyata juga berdiri diposisi yang sama. Sudah tidak
mungkin lagi untuk bertanya baik-baik.
Karena itu sejak dulu Ari selalu merasa serangan-serangan anak-anak Brawijaya


Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang dipimpin Angga secara pribadi ditujukan untuk dirinya.
Sementara itu di salah satu ruang kelas di SMA Brawijaya, Tari dan Fio duduk
saling merapat. Satu tangan mereka saling menggenggam kuat. Tak lama pintu
terbuka. Angga berjalan masuk dan langsung menghampiri keduanya.
"Hai," sapanya ramah. Tidak ada sahutan. Angga menatap keduanya. Cowok itu
kemudian berjalan ke pintu dan berseru keluar dari sana.
"Ben, ambilin air mineral gelas, dua!"
Tak lama seorang cowok muncul. Dia mengulurkan dua air mineral kemasan
gelas pada Angga sambil melirik ke arah Tari dan Fio.
"Nggak lo apa-apain kan tadi?" tanya Angga pada Benny, cowok yang
membawakan air mineral itu.
"Nggak. Cuma gue liatin doang. Abis cakep-cakep sih."
"Itu udah termasuk lo apa-apain, lagi. Kan gue udah bilang, tampang preman
terminal lo itu bikin cewek ketakutan."
"Hehe?" Benny meringis. "Yang penting kan nggak dicolek-colek."
"Ya udah, sana!" Angga menggerakkan dagu, menyuruh Benny keluar. Sekali
lagi Benny menatap Tari dan Fio, kemudian menghilang di ambang pintu.
Kembali Angga menghampiri kedua cewek itu.
"Minum dulu deh. Biar kalian agak tenang," ucapnya lembut. Diulurkannya
kedua air mineral gelas itu dengan sedotan yang sudah dia tusukkan hingga
menembus penutup kemasan. Ragu-ragu Tari dan Fio menerima uluran air
mineral itu. "Sori cara gue tadi ya," Angga meminta maaf. "Tapi tadi posisi kalian berdua
tuh bahaya banget. Gue udah minta temen-temen gue untuk ati-ati supaya
nggak salah timpuk. Tapi tetep dalam situasi kayak gitu kemungkinan salah
timpuk gede banget. Entah dari temen-temen gue, atau bisa juga dari tementemennya Ari. Jadi mendingan kalian diselamatkan untuk mencegah hal-hal
yang nggak diinginkan."
Angga menjelaskan panjang-lebar. Sebagian dari penjelasan itu jelas tidak
benar. Dia memang sengaja menculik kedua cewek itu, terutama Tari, untuk
memancing kedatangan Ari.
"Udah pernah ngerasain ketimpuk batu, belom" Apalagi kalo pas kena kepala."
Dia tersenyum dengan gaya lucu.
Cara Angga menjelaskan, nada ramah dalam suaranya dan sorot kedua
matanya yang hangat, membuat rona ketakutan mengendur dari wajah Tari dan
Fio. Keduanya tersenyum meskipun masih terlihat ragu dan takut-takut.
"Gitu dong!" Angga mengacungkan jempol kanannya.
"Tampang lo berdua tuh kayak gue mau apain aja. Oh, iya. Siapa nama temen lo
ini, Tar?" "Oh, ini Fio." Tari menoleh ke Fio. "Kenalin, Fi, ini?" ganti Tari menoleh ke
Angga. "Nama lo siapa sih?"
Seketika kedua alis Angga terangkat.
"Kan udah gue kasih tau" Di kertas kecil yang gue selipin di dalem kamus lo."
"Eh, itu" kertasnya diambil Ari," jawab Tari dengan perasaan nggak enak.
"Oh, ya?" Angga berlagak kaget. Tapi dalam hati dia bersiul puas. Ini lebih dari
yang dia harapkan. "Ya udah. Nggak pa-pa. Gue Angga. Anggada." Dia
mengulurkan tangan kanannya pada Fio. "Salam kenal ya."
Fio menyambut uluran tangan itu.
"Salam kenal juga. Gue Fio. Temen semeja Tari," katanya sambil
menyunggingkan senyum. "Oke." Angga bals tersenyum. Kemudian cowok itu duduk di meja sebelah Tari.
Tak lama dua orang cowok pengendara motor yang menculik Tari dan Fio
muncul di pintu dan langsung mengahmpiri mereka. Salah seorang menenteng
tas kresek hitam. Muka Tari dan Fio langsung tegang lagi. Angga yang bisa
melihat itu jadi menahan senyum.
"Ini Mokoginta, panggilannya Moko. Dan ini Bambang Wijatmoko, panggilannya
Bako," Angga memperkenalkan keduanya. "Yang tadi bawain air mineral
namanya Benny." "Sori tadi kami terpaksa ngebut. Soalnya takut kalian loncat," ucap Moko
dengan senyum lebar. Dia letakkan tas kresek yang ternyata berisi minuman
kaleng dingin ke tengah meja. Kemudian cowok itu duduk di bangku depan Fio,
sementara Bako duduk di bangku depan Tari.
"Baru kelas sepuluh, ya?" Bako bertanya sambil mengeluarkan minuman
kaleng itu dari dalam plastik lalu membaginya satu orang satu.
"Kok tau?" Tari balik bertanya dengan nada terdengar masih malu-malu.
"Mukanya masih kayak anak SMP sih," jawaban Bako membuat Angga dan
Moko ketawa. "Selain itu masih bego pula," lanjut Bako. "Udah tau lagi ada
tawuran, bukannya menghindar, kabur ke mana kek gitu, malah diem di
tempat." "Mau kabur ke mana?" kali ini Fio yang bicara. "Orang jalannya lurus gitu.
Nggak bercabang. Udah gitu tawurannya kan dari dua arah. Mau lari ke mana?"
"Bercanda. Bercanda." Bako menyeringai.
Ketiga cowok itu ternyata asyik banget diajak ngobrol. Sekejap kemudian Tari
dan Fio larut dalam pembicaraan seru, tanpa menyadari bahwa Angga memang
sengaja menciptakan situasi itu.
Musik, film, anime berikut soundtrack-nya, komik jepang, dan topik-topik lain,
membuat kedua cewek itu lupa bahwa mereka berada di tempat yang paling
diharamkan. Selama obrolan itu diam-diam Angga mengamati Tari. Mencoba menemukan
apa yang membuat Ari tertarik pada cewek satu ini. Manis, sudah pasti. Tidak
perlu harus menatapnya lekat-lekat dan dari jarak dekat untuk menyadari fakta
itu. Senyum membuat cewek ini jadi semakin manis lagi. Bulu matanya panjang.
Lurus dan hitam. Yang membuat Tari eyes-catching adalah pernak-perniknya
yang serbaoranye. "Lo suka warna oranye ya" Fanatik malah, menurut gue," tanya Angga.
Tari meringis. Terlihat jadi semakin manis, juga jadi bikin gemas. Angga jadi
ingin mengulurkan tangannya untuk mencubit satu saja pipi di depannya.
"Soalnya itu warna matahari terbenam. Gue kan lahirnya sore, pas matahari
mau tenggelam. Kata Nyokap, waktu gue lahir pantulan matahari yang mau
tenggelam itu bikin ruangan jadi berwarna oranye, jingga," Tari menerangkan
dengan nada riang. Dia memang bangga dengan nama dan latar historis
momen kelahirannya. Jadi setiap kali ada yang bertanya tentang namanya yang
unik, cewek itu akan bercerita panjang-lebar.
"Oh, gitu." Angga mengangguk-angguk, jga kedua temannya. "Jangan-jangan
nama lengkap lo ada kata jingganya?"
"Emang," Tari mengangguk. "Jingga Matahari."
Jingga Matahari! Angga tersentak, tapi cepat-cepat menutupinya. Akhirnya dia temukan alasan
utama kenapa Ari menyukai cewek ini. Persamaan nama.
Sepertinya ini bukan soal hati. Hanya soal sepele. Persamaan nama. Tapi masa
iya Ari semelankolis itu" Pasti ada hal lain. Tapi tidak ada waktu untuk
memikirkan hal itu saat ini. Yang jelas, dati reaksi Ari tadi, berlomba dengannya
untuk mencapai tempat Tari berdiri, Angga yakin ada apa-apa di antara mereka
berdua. Berarti harus benar-benar direbutnya cewek ini dari Ari. Soal hati, itu urusan
nanti. Pasti mudah untuk jatuh hati pada cewek manis seperti Matahari di
depannya ini. Di tengah-tengah obrolan ramai itu, Angga meninggalkan teman-temannya dan
berjalan ke depan deretan jendela. Lima belas menit yang lalu dia menerima
SMS yang melaporkan kedatangan Ari. Sekaran dia ingin melihat sampai di
mana kemajuan yang dicapai teman-temannya.
Dan apa yang dilihatnya membuat bibir Angga seketika menyunggingkan
senyum lebar. Segera dia kirimkan satu SMS singkat. Setelah menunggu
beberapa saat, cowok itu kembali ke tempat Tari, Fio, dan kedua temannya
duduk. Keempatnya masih terlibat pembicaraan seru.
Kali ini tentang Naruto. Fio ngotot bahwa si Samurai X, Kenshin Himura, lebih
keren ke mana-mana daripada si Naruto njegrik itu. Padahal rambut Kenshin
juga sama njegriknya. Di sebelahnya, Tari mengangguk-angguk mengiyakan.
Dengan bertelekan kedua telapak tangan, Angga mengangkat kedua tubuhnya
ke meja yang tadi didudukinya dan kembali bersila di atasnya. Dia sudah
mengatur posisi mereka berlima sedemikian rupa, sehingga ketika nanti Ari
datang dan melihat dari luar jendela, cowok itu hanya berhadapan tubuh
dengannya. @@@ Ketika Ari sampai di depan SMA Brawijaya, suasana terlihat sepi. H
anya beberapa anak yang masih tersisa. Dan mereka bukan dari jenis yang doyan
tawuran. Tapi di pintu gerbang, beberapa teman Angga yang sudah dikenalnya
terlihat berjaga-jaga. Begtu melihat kemunculan Ari, mereka langsung bersikap
siaga. Ari menepikan motornya lalu melangkah menghampiri mereka. Dua orang
segera menyambutnya dengan tatapan yang benar-benar terfokus padanya,
sementara sisanya menatap ke are sekitar dengan kewaspadaan yang sama
tingginya. "Gue dateng sendiri!" tegas Ari, menatap cowok di depannya yang kayaknya
orang kepercayaan Angga, tepat di manik mata.
"Bersikap kayak tamu dong. Mana sopan santun lo?" cowok itu membalas
tatapan Ari sama tajamnya.
"Apa"!" "Jangan angkat dagu lo tinggi-tinggi gitu. Lo bikin gue marah, tau" Tundukin
kepala lo!" Dengan kedua rahang terkatup erat, Ari menuruti perintah itu.
"Buka jaket lo. Kan gue udah bilang tadi, kalo bertamu yang sopan!" bentak
cowok Brawijaya itu. Sekali lagi sambil merapatkan kedua rahangnya, Ari
menuruti perintah itu. Dia lepaskan jaket hitamnya. Sepasang mata cowok di
depannya langsung bergerak ke sisi kanannya. Dia mendesis tajam.
"Ini lepas!" tiba-tiba cowok itu mengulurkan tangan kanannya. Dan dengan
sekali entakan, badge nama sekolah yang terjahit di lengan kanan baju Ari
terlepas. Cowok itu kemudian maju selangkah dan mengacungkan badge itu
tepat di depan muka Ari. "Lo nantang?" tanyanya. Kedua matanya menusuk tajam. Ari membalas tatapan
itu tapi pilih tidak menjawab. Cowok itu kemudian membanting badge di
tangannya ke tanah. Mati-matian Ari menahan gelegak kemarahannya saat
bedge itu kemudian diinjak kuat-kuat.
Cowok Brawijaya itu kemudian mundur selangkah menjauhi Ari. Utnuk pertama
kalinya dia mengalihkan tatapanntya ke tempat lain.
"Lo tau, gue paling seneng nonton film yang setting-nya zaman kerajaan. Tau
adegan favorit gue?" cowok itu menoleh dan menatap Ari dengan kedu alis
terangkat. "Adegan berlutut!"
Penghinaan kali ini benar-benar sudah menyentuh harga diri Ari. Tapi dengan
adanya dua orang sandera di tangan mereka, Ari tahu tidak ada jalan lain
baginya selain bersikap kooperatif. Di samping itu, saat ini dia berada di
kandang lawan, sendirian pula. Jadi lebih baik sadar diri dan menghentikan niat
untuk berlagak ala superhero. Karena selain akan berakhir konyol, itu sia-sia
pula. Melihat keterdiaman Ari, cowok Brawijaya itu mengangkat kedua alisnya
tinggi-tinggi. "Lo perlu info soal dua cewek itu, kan?"
"Gimana mereka?" tanya Ari dengan desisan dan gigi-gigi terkatup.
"Eeem?" cowok itu berlagak berpikir. Kemudian dia geleng kepala. "Nggak tau.
Waktu mereka dibawa ke dalem, gue nggak ikut. Soalnya gue kebagian jadi
satpam sih, jadi kudu satndby di gerbang."
Dia menerangkan seolah-olah itu percakapan biasa. Dan dinikmatinya raut
muka cemas yang muncul di muka Ari, terang-terangan.
"Cepet bayar harganya supaya bisa cepet gue cari informasinya."
Penghinaan itu sudah tidak bisa lagi dihindari. Dengan mengatupkan kedua
rahangnya kuat-kuat, dengan mengepalkan kesepuluh jarinya erat-erat, Ari
berusaha menahan agar katup kemarahannya tidak sampai terbuka.
Dengan sepasang mata terarah lurus-lurus pada cowok di depannya, perlahan
Ari menekuk lutut kirinya. Dan seiring dengan itu, tubuhnya merendah. Dan
sempurnalah kerendahan cowok itu saat kemudian Ari menekuk lutut kanannya.
Cowok Brawijaya itu menatap teman-temannya lalu bersiul keras. Seketika
sorak kemenangan bercampur tawa cemooh untuk Ari berkumandang di
gerbang SMA Brawijaya. Fakta bahwa Ari berlutut bukan di depan Angga, tapi di depan salah satua anak
buahnya, adalah kekalahan yang benar-benar telak. Karena berlututnya Ari
adalah juga berlututnya SMA Airlangga!
Berdiri di depan jendela di salah satu ruang kelas, Angga menyaksikan peristiwa
itu dengan senyum puas yang tersungging lebar-lebar. Dia memang sudah
meminta teman-temannya untuk jangan menghajar Ari, karena penghinaan
lebih tepat" dan lebih menyenangkan untuk dilakukan!
Senyum Angga mengembang semakin lebar. Berarti dia harus mendapatkan
kehormatan yang lebih besar daripada apa yang didapatkan anak buahnya.
Cowok itu lalu mengeluarka ponselnya dan mengetik satu SMS singkat.
Diabadikan dong. Kejadian langka tuh!
Cowok Brawijaya yang sedang menghadapi Ari kembali bersiul keras saat
membaca SMS itu. Kemudian dia memanggil salah satu temannya sengan
jentika jari dan menyerahkan ponsel itu padanya.
"Rekam!" Dan terabadikanlah kekalahan itu!!!
"Terima kasih banyak untuk kerandahan hati lo." Cowok itu menyeringai, lalu
balik badan dan berjalan ke arah deretan ruang-ruang kelas.
Ari menatap kepergian cowok Brawijaya itu sambil bangkit berdiri. Dan
terciptalah satu dendam baru. Angga dan cowok itu kan jadi target utamanya.
Tak lama cowok itu kembali.
"Ikut gue," katanya sambil menggerakkan dagu. Ari berjalan mengikutinya
menuju deretan ruang kelas dan berhenti di luar salah satunya.
Apa yang dilihatnya membuat Ari diam-diam menarik napas lega. Tari dan
temannya itu baik-baik saja. Malah lebih dari baik-baik saja. Keduanya
sepertinya lupa bahwa ini markas besar musuh bebuyutan sekolah mereka.
Mereka lupa bahwa ada begitu banyak orang yang mengkhawatirkan kondisi
mereka saat ini. Dirinya bahkan telah berlutut demi terjaminnya keselamatan
mereka. Tapi Ari tidak menyesal telah melakukan itu, karena dia tidak tahu perlakuan
apa yang akan diterima kedua cewek itu seandainya perintah itu tidak dia
patuhi. Dan dia tidak mau gambling untuk sesuatu yang sangat serius seperti
kehormatan, karena dia tidak mau menanggung rasa bersalah seumur hidup.
Setelah kecemasannya akan keselamatan kedua cewek itu mereda, baru Ari
menyadari ada sepasang mata yang lekat mengawasinya sejak dia muncul di
depan jendela. Mata milik Angga.
Menembus bening kaca jendela, kedua bola mata hitam itu menusuk tepat di
kedua matanya. Sarat dengan kebencian yang bagi Ari selalu jadi tanda tanya.
Kedua cowok itu saling tatap. Tepat di manik mata lawan masing-masing. Ari
yakin Angga tahu perlakuan apa yang telah dia terima di gerbang sekolah tadi,
bahkan bisa jadi semua itu atas perintahnya. Dan sebagai ganti, Ari minta
kepastian atas keselamatan kedua sandera.
Sementara itu empat orang di dekat Angga tetap asyik dengan obrolan seru
mereka. Tari dan Fio memang tidak menyadari posisi duduk mereka membuat
kedatangan Ari tidak mereka ketahui.
Sementara kedua teman Angga jelas menyadari kehadiran sosok menjulang
yang berdiri di luar ruangan itu. Tapi sesuai perintah Angga, keduanya tidak
mengacuhkan sama sekali. Kemudian Angga menggerakkan dagunya,
memerintahkan temannya untuk membawa Ari pergi.
"Time is up!" kata cowok yang berdiri di sebelah Ari.
Ari bergeming. Sekali lagi lewat sorot mata yang menembus bening kaca
jendela, Ari meminta kepastian pada Angga atas keselamatan Tari dan Fio.
Namun cowok di sebelahnya memetahkan pandangan Ari dengan berdiri tepat
di depan jendela. Tatapan mata yang tadi ditujukan Ari untuk Angga otomatis
kini jadi tertuju pada cowok di depannya. Terhalang punggung temannya, Angga
menahan senyum kemenangan agar tidak tercetak di bibir, karena diapastikan
itu akan berkembang jadi tawa.
"Kalo lo mau tu cewek-cewek tetep cuma diajak ngobrol doang, lo pergi
sekarang!" cowok yang berdiri di depan Ari memberi perintah dengan nada
tegas. "Lo bisa kasih jaminan?" ada nada ancaman dalam suara Ari.
"Cewek yang namanya Tari, nanti Angga yang nganter pulang."
"Satunya?" "Gue yang nganter."
"Bisa ngasih jaminan tu cewek dua selamet sampe rumah masing-masing?"
"Atas nama Angga" iya!" cowok itu menjawab, lagi-lagi dengan nada tegas.
Atas nama Angga. Satu kalimat pendek itu akhirnya meyakinkan Ari, ini


Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang urusan pribadi antara dirinya dan cowok itu. Sayangnya, dia tidak tahu
akar permasalahannya. Akhirnya tidak ada lagi yang bisa dilakukan Ari selain sepenuhnya bergantung
pada janji itu. Dia mengangguk meskipun kecemasan masih menggantung di
dada dan kepalanya. Cowok di depannya menggerakkan dagu ke arah gerbang,
kemudian berjalan pergi. Ari kembali bisa melihat ke dalam ruangan.
Angga masih duduk bersila di atas meja yang sama. Kali ini dengan sebatang
rokok terselip di bibir. Amat sangat sadar dengan kemenangannya. Lagi-lagi Ari
hanya mampu menatapnya dengan menekan seluruh kemarahannya kuat-kuat.
Ari kemudian mengarahkan pandangannya pada Tari dan Fio, yang masih belum
juga menyadari kehadiran pentolan sekolah mereka.
Dengan perasaan berat Ari terpaksa memalingkan muka dan menyusul cowok
tadi, berjalan ke arah pintu gerbang SMA Brawijaya. Ditinggalkannya sekolah itu
dengan perasaan yang semakin berat lagi, karena sepenuhnya dia hanya bisa
menggantungkan pada janji lawan.
Ari tidak tahu pasti apa motivasi Angga terhadap Tari. Mungkin soal hati. Kalu
dilihat dari kenekatannya mendatangi sekolahnya seorang diri, bahkan sampai
benar-benar sampai ke depan sekolah. Hanya untuk mengembalikan kamus
milik Tari. Kalau memang ini murni soal hati, dirinya tidak pernah peduli. Tapi belum tentu
teman-temannya. Kalau mereka menganggap Tari pengkhianat karena pacaran
dengan cowok dari sekolah yang jadi musuh bebuyutan, kemungkinan tu cewek
bisa dipermak. Bukan oleh teman-temannya yang cowok, tapi yang cewekcewek. Dan perseteruan sesama cewek sama sadisnya dengan perseteruan
sesama cowok. Apalagi kalau senioritas ikut bicara. Sebab dan alasan tidak lagi
penting. Kalau sudah begitu, dirinya tidak bisa menolong.
Di balik helmnya, Ari menarik napas panjang dan mengembuskannya melalui
mulut dengan keras. Untuk sementara yang harus dia lakukan pertama kali
adalah memastikan keselamatan Tari. Selanjutnya, kalau ini ternyata memang
cuma soal hati, dia akan menyarankan pada cewek itu untuk menjaganya agar
jangan sampai tercium di sekolah. Itu saja. Masalah selesai.
Setibanya Ari di sekolah suasana sudah sepi. Pintu gerbang juga sudah dibuka
kembali. Diparkirnya motornya di tempat biasa. Tiba-tiba Oji muncul dari balik
salah satu mobil yang terparkir dan menghampiri Ari dengan langkah cepat.
"Gimana tu cewek dua?" tanya Oji langsung.
"Ngapain lo ngumpet di situ?" Ari bertanya balik setelah melepas helmnya. Oji
meringis. "Males gue di sana. Bu Sam ngomelnya pake kalimat yang itu-itu melulu. Nggak
inovatif tu guru." Ari tertawa mendengus mendengar kalimat itu. "Berapa orang yang keciduk?"
tanyanya. "Lumayan, man. Tapi yang berhasil kabur lebih banyak lagi."
"Bagus deh. Jadi Bu Sam nge-print SP-nya nggak perlu banyak-banyak."
"Gue belom dapet info tu cewek-cewek kelas berapa," Oji melaporkan dengan
perasaan sedikit bersalah.
"Gue udah tau," jawab Ari pendek. Yang sangat dia perlukan adalah info
tentang alamat rumah Tari berikut nomor teleponnya. Sayangnya memang tidak
mungkin mendapatkan kedua info itu saat ini. Karena itu dia bisa memaklumi
kegagalan Oji. Ruang sekretariat tepat bersebelahan dengan ruang guru, bahkan ada pintu
penghubung di antara kedua ruangan itu. Dan saat ini kedua ruangan itu pasti
sedang digunakan untuk mengumpulkan siswa-siswa yang terlibat tawuran tadi.
Siswa kelas dua belas di ruang guru, sedangkan siswa kelas sebelas di ruang
sekretariat. Menanyakan alamat Tari hanya akan menimbulkan kecurigaan. Ari
tidak ingin pihak sekolah mengetahui bahwa ada dua siswi yang disandera. Dan
dia masih berharap Angga menepati janjinya.
"Jadi tu cewek dua nasibnya gimana?" Oji mengulang pertanyaannya.
"Sampe tadi gue tinggal sih masih baik-baik aja."
"Lo dapet jaminan pasti, kalo tu cewek-cewek nggak bakal diapa-apain?"
Pertanyaan Oji itu membuat kedua rahang Ari mengeras.
"Kalo tu cewek diapa-apain, gue kejar si Angga biar sampe ke mana juga!"
Kening Oji berkerut. Tu cewek" Berarti singular, bukan plural. Jangan-jangan"
"Jadi gimana?" tanya Oji kemudian, setelah sejenak mengingat-ingat,
sepertinya Ari memang sedikit peduli pada cewek bernuansa oranye itu.
"Sekarang nggak bisa apa-apa. Terpaksa tunggu besok. Lagi pada dikumpulin,
kan?" "Iya." "Lo udah kasih tau semuanyauntuk sementara jangan ngomong kalo ada cewek
uang disandera?" "Udah." Oji mengangguk, lagi-lagi jadi heran karena Ari cuma menyebut
"cewek" dan bukan "dua cewek" atau "cewek-cewek?"
"Tapi bener nggak apa-apa tuh?"
"Mudah-mudahan nggak. Yang diincer Angga tuh gue. Tu cewek cuma pion."
Tuh, kan" Tu cewek lagi" Oji langsung membatin karena lagi-lagi mendengar
kata yang merujuk pada jumlah tunggal. Sementara itu Ari nggak yakin dengan
alasan yang dia ucapkan, tapi untuk saat ini lebih baik itu saja yang diketahui
Oji. Dia enggan menceritakan yang sebenarnya. Bahwa kedua cewek itu lebih
dari sekedar nggak apa-apa. Juga peristiwa dia berlutut demi meminta
kepastian atas keselamatan keduanya. Soalnya, kedua hal itu dipastikan akan
membuat permusuhan sekolah merek jadi makin meruncing. Kecuali kalau ini
bukan soal hati seperti dugaan sementaranya.
"Yuk!" Ari mengajak Oji ke ruang guru. Keduanya meninggalkan area parkir
menuju koridor utama sekolah.
Begitu berbelok ke koridor, mereka langsung melihat Bu Sam dan Bu Ida. Bu
Sam berdiri di depan sekretariat. Kedua pintu ruangan itu tertutup. Senyum Ari
mengembang, tapi kedua guru itu membalasnya dengan tatapan galak.
"Dari mana kamu"!" tanya Bu Sam begitu Ari sampai di depannya.
"Dari membela nama baik dan kehormatan sekolah, Bu," jawab Ari dengan
tenang. Di sebelahnya Oji berdiri dengan kepala sedikit tertunduk. Bu Sam tidak
berkata apa-apa lagi. Pandangannya beralih ke Oji.
"Masuk kamu, Ji!" perintahnya sambil menggerakkan dagu.
"Iya, Buuu," Oji mengangguk patuh. Dia berjalan ke pintu ruang guru,
membukanya, lalu masuk. Ari mengikuti dengan senyum geli. Oji itu paling jago
bersikap patuh, manis, dan penurut di depan paar guru. Sementara kalau
sedang di arena tawuran, sikapnya akan berubah seratus delapan puluh derajat.
Makanya para guru sering berpendapat, Oji itu sebenarnya anak yang baik, tapi
sudah kena pengaruh dari teman-temannya yang nggak baik terutama, tentu
saja, Ari. "Kamu ditunggu Pak Rahardi," ucap Bu Sam, lalu menyusul Oji ke ruang guru.
Begitu Bu Sam masuk ruangan, Bu Ida masuk ke ruang sekretarian di depannya,
setelah sebelumnya melancarkan pandangan sebal pada Ari.
Seperti biasa, Ari membalas pandangan itu dengan senyum, kemudian berjalan
ke ruangan Pak Rahardi, sang kepsek. Ketiak melewati deretan jendela ruang
guru, kemudian ruang sekretariat, cowok itu menyeringai ke arah wajah-wajah
yang menatapnya dari dalam kedua ruangan itu. Teman-temannya kontan
membalas dengan seringai juga.
Setiap kali terjadi tawuran, khusus untuk Ari memang selalu diisolasi ke ruang
kepsek. Terpisah dari teman-temannya. Sama sekali bukan untuk kepentingan
cowok itu, tapi lebih demi kepentingan siswa-siswa yang lain.
Pihak sekolah memang sudah menyerah terhadap siswa yang satu itu.
Menghubungi pihak orang tua "dalam hal ini adalah ayah Ari, karena Ari hanya
hidup berdua dengan sang Ayah- juga tidak banyak membantu.
Semua guru sudah tahu jurang yang terentang antara Ari dan ayahnya. Teramat
dalam dan nyaris menjadikan mereka seperti dua orang yang tidak saling kenal.
Para guru juga telah mengetahui penyebab terbentuknya jurang itu, karena ayah
Ari telah menceritakannya. Meskipun singkat dan hanya garis besar, mereka
akhirnya bisa memahami kenapa Ari bisa menjadi seperti sekarang ini.
Yang jadi masalah, ketenangan Ari dan ketidakpeduliannya terhadap hukuman
apa pun yang kemudian dijatuhkan, menular. Ketenangan sang biang onar itu
jelas membuat teman-temannya ikut tenang juga. Para siswa yang kerap telibat
tawuran rata-rata memang siswa-siswa yang bermasalah di rumah. Namun,
para guru berharap mereka masih bisa diselamatkan.
Sementara seluruh siswa yang terlibat tawuran diceramahi panjang-lebar
selama hampir satu jam, Ari duduk santai di tuang kepsek. Baca koran. Pak
Rahardi yang mondar-mandir di antara ruangannya dan ruang guru cuma bisa
geleng-geleng kepala melihat itu.
Setelah ceramah selesai, hukuman pun dijatuhkan. Beberapa anak hanya
mendapatkan peringatan lisan, beberapa yang lain mendapatkan peringatan
tertulis yang dimasukkan dalam amplop tersegel dan harus diserahkan kepada
orangtua masing-masing. Sedangkan hukuman terberat yaitu skorsing, diberikan kepada siswa yang
dianggap sebagai penghasut dan penggerak masa. Lima orang terkena
hukuman ini, masing-masing selama dua hari. Termasuk Oji. Harapan para guru
selain menimbulkan efek jera, juga supaya Oji tidak terlalu akrab lagi dengan
Ari. Para guru itu tidak tahu fakta yang sebenarnya. Oji itu bukan hanya sekedar
akrab dengan Ari. Cowok itu sudah sampai pada taraf memuja Ari! Di mata Oji,
Ari tuh keren banget. Nggak takut apa pun. Untuk katagori biang kerok sekolah
dan langganan dipanggil ke ruang guru, prestasi akademiknya termasuk
lumayan. Jarang keluar dari lima besar kelas. Ari punya banyak banget teman,
doyan bercanda dan sangat aktif, tapi tetap misterius, karena tidak satu pun
yang tahu di mana dia tinggal. Yang pasti, tu cowok tajir, karena selalu punya
banyak duit. Namun, seakrab apa pun hubungan Oji dengan Ari, cowok itu tidak pernah
berhasil menembus sisi pribadi Ari. Privasi Ari terkunci sangat rapt. Ada sisi
macan tidur dalam diri Ari yang bisa dirasakan oleh semua orang yang
mengenalnya. Memaksa menembus area pribadinya sepertinya akan
membangunkan sang macan tidur tersebut.
Hal lain yang juga misterius, Ari sering dikelilingi cewek dengan berbagai tipe,
tapi tidak satu pun yang berhasil menembus pertahanannya. Di balik senyum
dan tawanya, cowok itu gunung es yang kokoh.
Ada satu hal lagi yang membuat semua temannya juga bertanya-tanya. Bisa
dibilang, Ari nyaris tidak pernah mendapatkan hukuman. Apa pun tindak
kenakalan dan tindak pelanggaran yang dia lakukan, cowok itu selalu lolos.
Paling-paling cuma mendapatkan omelan yang disambung dengan ceramah
dan nasihat panjang-lebar, yang sering kali sia-sia.
Kenyataan itu memang tidak bisa dibantah. Tapi alasan utama pihak sekolah
tidak pernah memberikan hukuman seperti Surat Peringatan adalah, karena
hubungan Ari dan ayahnya tidak harmonis, jadi SP tersebut tidak akan
membawa perubahan apa pun. Sementara hukuman skorsing hanya akan
membuat cowok itu berkeliaran di luar tanpa terpantau.
Kemunculan Ari dan kesediaan cowok itu untuk berlutut, bahkan di kaki salah
satu temannya untuk keselamatan Tari, akhirnya meyakinkan Angga bahwa Tari
memang punya arti penting untuk Ari.
Dan saat Brahmana atau yang biasa disapa Bram, teman karibnya yang
bertugas untuk menghadapi Ari tadi muncul di pintu, Angga sudah tahu
tindakan apa yang harus diambilnya.
"Dia udah pergi," lapor Bram. Angga mengangguk. Diliriknya jam di
pergelangan tangan. "Yuk, Tar. Gue anter lo pulang. Fio, lo dianter Bram ya," ucapnya sambil
melompat turun dari meja yang sedari tadi didudukinya. Tari dan Fio menatap
Angga dengan bingung. "Kenapa heran" Lo berdua masih mikir kami tu jahat
ya?" Tari melirik Fio. Keduanya saling tatap dengan cemas. Angga tersenyum geli
sementara Bram cuma tersenyum tipis.
"Nggaklah. Kalo emang niat mau diapa-apain udah dari tadi, lagi," Angga
menenangkan. "Yuk, udah sore nih."
Cowok itu kemudian berjalan ke pintu, menyusul Bram yang sudah keluar lebih
dulu. Di belakangnya, Bako dan Moko menyusul. Tari dan Fio kembali saling
pandang, lalu bangkit berdiri dan menyusul keempat cowok tadi. Di halamna
depan, di sisi lapangan basket, Bram sudah berdiri di samping motornya.
Diulurkannya jaketnya pada Fio begitu cewek itu sampai di sebelahnya.
"Sekarang emang udah sore, tapi matahari masih panas," ucap Bram dengan
gaya kalemnya yang khas. Angga melakukan hal yang sama. Dia ulurkan jaketnya pada Tari.
"Nama lo emang Matahari, tapi kalo kepanasan kulit lo tetep jadi gosong,
kan?" "Ya iyalah." Tari ketawa agak dipaksa mendengar joke garing Angga itu.
Diterimanya jaket yang diulurkan cowok itu.
Bram sudah duduk di atas jok motornya, mesin motornya juga sudah menyala.
Melihat itu, Tari dan Fio saling pandang dengan raut muka semakin cemas.
Angga yang bisa melihat itu sekali lagi berusaha menenangkan.
"Gue yang jamin Bram nggak bakalan ngapa-ngapain elo di jalan, Fi."
Bram cuma tersenyum tipis. Dia lalu menoleh dan menatap Fio. "Yuk!" ajaknya.
Dengan canggung Fio duduk di boncengan motor Bram, setelah sebelumnya dia
kenakan jaket yang diberikan cowok itu tadi.
"Duluan ya!" ucap Bram dan langsung tancap gas.
"Yuk." Angga menepuk satu bahu Tari, mengakhiri tatapan cewek itu pada ruas
jalan di depan sekolah tempat Bram dan Fio menghilang.
Angga sudah duduk di atas motornya yang juga sudah dalam keadaan mesin
menyala. Sama seperti Fio, dengan canggung Tari duduk di boncengan. Segera
mereka tinggalkan halaman SMA Brawijaya. Tapi di tengah perjalanan Angga
menepikan motornya. Dia menoleh ke belakang.
"Kalo motornya Bako ada besi di belakangnya, jadi bisa dijadiin pegangan.
Motor gue nggak ada. Jadi daripada ntar lo jatoh, mendingan pegangan gue aja
deh, Tar. Nggak usah takut gue apa-apain. Yang ada malah elo yang bisa ngapangapain gue."
"Mmmm?" Tari bingung.
"Mana lo duduknya nyamping gitu, lagi. Kayak emak gue aja. Gue tuh paling
males boncengin cewek yang duduknya nyamping begini. Kecuali nyokap. Ya
sutralah kalo dia mah. Soalnya keseimbangan motor jadi nggak bagus."
"Nggak pa-pa deh. Gue duduknya gini aja," Tari menolaknya.
"Tapi gue nih yang apa-apa. Bawa motornya jadi nggak tenang. Takut lo jatoh.
Tolong tuker posisi dong. Please?" Angga memohon. "Serius, gue takut lo jatoh.
Nggak ada maksud apa-apa."
Tari mengalah. Iya sih. Dia juga deg-degan dari tadi, soalnya nggak pernah
duduk di boncengan motor dengan posisi menyamping. Mana di belakang
nggak ada besi buat pegangan. Udah gitu ban motornya Angga tuh tinggi. Jadi
serasa kayak nangkring dia atas pagar yang diakasih jok.
"Gitu dong." Angga tersenyum senang saat Tari menuruti permintaannya. "Oke,
lanjut. Pegangan ya. Pegangan jaket gue aja kalo lo nggak mau pegangan
pinggang gue." Kembali Tari menuruti permintaan Angga. Mereka melanjutkan perjalanan. Kirakira satu kilometer menjelang rumah Tari, Angga menghentikan motornya di
depan sebuah warung makan.
"Makan dulu, yuk" Gue dari pagi belom makan, nih," katanya sambil
mematikan mesin. "Nggak ah," kali ini Tari menolak. Ni cowok ada-ada aja deh, batinnya. "Gue
pulang aja deh. Tinggal deket tuh. Ntar kan lo bisa makan sendiri."
"Ya ampun, kejamnya. Gue disuruh makan sendirian. Gue Cuma minta
ditemenin aja kok, biar nggak kayak orang bego. Bener. Bukan minta
dibayarin." "Ntar gue bisa diomelin Nyokap nih. Pulang telat banget."
"Ntar gue yang ngomong ke nyokap lo. Tenang aja. Gue bukan model cowok
nggak tanggung jawab."
"Nggak ah. Gue mau pulang aja," Tari tetep ngotot.
"Ya udahlah kalo gitu. Nih kuncinya. Lo bawain motor gue sampe ke rumah lo,
ya" Ntar gue ambil. Deket, kan?" Angga mengulurkan kunci motornya dengan
tampang bego. "Soalnya gue laper banget. Asli, dari pagi belom makan. Dan
pingsan pas lagi bawa motor tuh bahaya banget, tau. Bisa menyebabkan
kecelakaan beruntun."
Hiiihhh! Tanpa sadar Tari menepuk pundak Angga dengan gemas, kemudian
turun dari motor. "Ya udah deh. Tapi jangan lama-lama ya?"
"Oke!" Angga mnyeringai. Cowok itu sepertinya tahu persis bagaimana caranya
agar Tari meluluskan setiap permintaannya.
"Tapi hue nggak makan lho. Nemenin aja," kata Tari sambil mengekor langkah
Angga memasuki warung makan itu.
"Iya, nemenin aja."
Makan memang bukan tujuan Angga. Kesediaan Tari untuk menemaninya,
itulah tujuan utamanya. Dan waktu dua puluh menit, dengan sepiring nasi
sebagai alasan digunakan Angga untuk pendekatan. Alhasil, banyak info
tentang cewek itu yang berhasil dia dapatkan. Terutama yang paling krusial.


Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nomor telepon rumah dan ponsel. Kemudian diantarnya cewek itu sampai di
depan rumah. "Udah deh, lo nggak usah bilang ke nyokap gue. Biar gue sendiri aja," kata Tari
ketika dilihatnya Angga bersiap turun dari motor.
"Nggak apa-apa nih?"
"Nggak." "Oke kalo gitu."
Kali ini Angga memaksa. Dalam hati dia malah bersyukur, karena sebenarnya
dia juga belum menemukan alasan apa yang akan dikatakannya pada mama
Tari atas keterlambatan anaknya pulang sekolah ini.
Tiga puluh menit setelah Tari sampai di rumah, Angga mengirimkan SMS,
mengabarkan bahwa dia baru saja sampai di rumah dengan selamat. Cowok itu
juga mengucapkan terima kasih karena Tari sudah bersedia menemaninya
makan, sekaligus minta maaf karena sudah memaksa. Membaca SMS Angga,
senyum Tari mengembang lebar.
"Cowok aneh," katanya dengan nada yang mungkin tidak disadarinya, terdengar
senang. @@@ Berkilo-kilo meter dari situ, keadaan yang sangat berbeda terjadi. Di sebuah
gedung olahraga untuk umum yang berisi tiga lapangan futsal, Ari duduk gelisah
di tribun penonton. Sama sekali tidak tertarik untuk ikut bermain.
Kepalanya dipenuhi kecemasan akan kondisi Tari. Meskipun dia merasa janji
yang diberikan Angga lewat sorot mata dan ungkapan lisan salah satu temannya
bisa dipegang, itu tidak bisa dijadikan jaminan. Ditambah lagi, Tari berada di
luar jangkauan jaringan komunikasinya. Oji yang bolak-balik dikontaknya belum
juga berhasil mendapatkan nomor telepon Tari atau orang-orang yang mengenal
cewek itu. Ari jadi makin senewen lagi.
"Ri, gantiin Didit tuh. Dia mau pulang!" seru Ridho dari lapangan. Ari
menggeleng. "Lagi males gue!" balasnya berseru. Tapi tak lama dia berubah pikiran, setelah
masuk SMS baru dari Oji, yang lagi-lagi melaporkan bahwa pelacakannya
belum membuahkan hasil. Ari berdecak keras sambil menutup fitur pesan.
"Bisa sinting gue nih!" desisnya sambil meletakkan poselnya di bangku
terdekat. Kemudian dia mlepaskan kausnya dan melemparkannya begitu saja
ke deretan bangku terdekat. Dengan bertelanjang dada, cowok itu berlari
menuruni tangga tribun lalu melompati pagar pembatas.
"Gue ikutan!" serunya sambil berjalan ke tengah lapangan.
Ridho dan delapan cowok yang berdiri di lapangan menyambut bergabungnya
Ari dengan senang hati. Bukan saja mereka bisa meneruskan permainan, tapi
juga setelah ini mereka punya alasan untuk minta traktir. Ari memang sudah
terkenal banyak duit dan asyiknya, nggak pelit.
"Gitu dong. Kami udah mau bubaran nih gara-gara jumlahnya nggak
berimbang," kata Rachman. Sementara Didit berjalan ke luar lapangan.
"Gue balik dulu ya!" serunya.
"Oke!" balas semuanya. Ari mengambil bola dari tangan Eki.
"Sampe pagi, ya?" katanya.
"Haaah?" teman-temannya menatap ternganga, tapi tidak sempat bertanya
karena Ari keburu menendang bola yang tadi dipegangnya.
Kecemasan dan kegelisahan itu hanya miliknya sendiri, tapi sembilan orang
teman diajaknya untuk ikut menanggungnya. Semula mereka mengira Ari hanya
bercanda. Tapi ternyata cowok itu benar-benar memaksa semua temannya
bermain futsal selama berjam-jam. Dihadangnya keinginan mereka untuk
pulang dengan satu kalimat yang sebenarnya membuat kesembilan cowok itu
dalam hati merasa kesal. "Lo-lo kayak cewek aja sih. Baru jam segini udah ribut minta pulang."
Sama sekali bukan karena Ari yang membayar sewa lapangan ditambah
berbotol-botol minuman dingin yang membuat kesembilan temannya kemudian
terpaksa menuruti kemauannya itu. Tapi karena mereka tahu Ari nggak punya
ibu, melainkan hanya punya seorang ayah yang hubungannya juga sama sekali
jauh dari baik apalagi hangat.
Jadi, tidak akan ada yang menelepon Ari lalu berteriak di seberang sana,
bertanya kenapa belum pulang juga. Tidak akan ada yang menyambutnya di
teras atau di pintu rumah dengan muka marah, yang akan disusul dengan
rentetan pertanyaan menyelidik yang harus dijawab. Dari mana, dengan siapa,
dan aoa saja yang dilakukan sampai harus pulang sangat sangat terlambat.
Tidak ada hukuman berupa pengurangan uang saku, pemberlakuan jam malam,
penghapusan uang pusa, bahkan penyitaan ponsel. Intinya, Ari nggak tahu, kalo
udah marah, seorang Ibu tuh bisa nyebelin banget.
Setelah bermain futsal sampai kelelahan, Ari menggelandang kesembilan
temannya ke tempat karaoke. Lomba cempreng-cemprengan nyanyi sambil
makan sekenyang-kenyangnya. Tapi acara itu hanya berlangsung kurang dari
setengah jam. Bombardir telepon masuk dan SMS membuat kesembilan
temannya memaksa untuk pulang.
Ari tidak lagi bisa menahan karena waktu memang sudah menunjukkan
beberapa menit menjelang tepat pukul sebelas malam. Ruangan yang tadi
ingar-bingar kini lengang. Tak ayal, kecemasan itu muncul lagi, juga perasaan
sunyi dan sendirian yang sudah sangat akrab dengannya selama ini.
Akhirnya Ari memutuskan untuk membuat dirinya lelah, bukan pikirannya.
Dikendarainya motornya tak tentu arah. Bernyanyi-nyanyi sendiri di atas kedua
roda yang berputar itu, dibelahnya malam Jakarta dengna berbagai macam
suasananya. Sudut-sudut yang sepi dan lengang. Pasar Induk yang justru riuh dan ingarbingar. Deretan rumah dengan tirai tertutup rapat dan lampu remang-remang.
Pos-pos jaga yang berisi orang-orang yang sedang bermain catur atau sejkedar
mengobrol ringan. Begitu dirasakannya tubuhnya mulai letih dan matanya mulai
berat, baru cowok itu memutuskan untuk pulang.
@@@ Besoknya Ari berangkat ke sekolah pagi-pagi. Kecemasan membuat tubuhnya
tetap kuat meskipun hanya tidur kurang dari tiga jam. Dua orang petugas
sekuriti yang berjaga di pintu gerbang sampai terheran-heran. Mereka
kemudian malah curiga, jangan-jangan Ari sengaja dating pagi untuk
menggalang kekuatan guna membals serangan SMA Brawijaya kemarin siang.
Setelah memarkir motornya, Ari langsung menuju kelas Tari. Baru satu orang
yang dating, yaitu Jimmy, yang memang terkenal rajin datang pagi. Ari
menghampiri cowok itu dan langsung bertanya tanpa prolog apalagi salam
perkenalan. "Tari dating jam berapa?"
Jimmy yang sedang tenggelam dalam novel grafis V for Fendetta mendongak
kaget. Dan jadi lebih kaget lagi begitu tahu siapa yang berdiri di depannya.
"Iya, Kak?" tanyanya dengan sikap duduk yang langusng berubah.
"Tari dating jam berapa?" Ari mengulang pertanyannya .
"Tari yang mana, Kak" Soalnya ada dua Tari."
Meskipun Jimmy merasa yakin Tari mana yang dicari Ari, dia memutuskan untuk
bertanya. Biar lebih jelas. Soalnya yang sedang berdiri di depannya ini senior
yang paling ditakuti para junior, jadi dia tidak ingin sampai membuat
kesalahan. "Gitu?" Ari terlihat agak kaget.
"Iya. Kakak nyari Tari yang mana" Uteri atau Tari yang satunya?"
"Yang rambutnya lurus panjang. Yang sering pake aksesori warna oranye."
"Oh, kalo dia sih nggak tentu. Kadang pagi-pagi gini udah dating. Kadang jam
setengah tujuh. Kadang udah mau bel baru nongol."
"Itu yang namanya Utari?"
"Bukan. Uteri yang rambutnya pendek. Yang rambutnya panjang itu namanya
Matahari." Kedua mata Ari seketika membelalak.
"Namanya Matahari?" desisnya.
"Iya," Jimmy ketawa. "Tau tuh cewek, namanya aneh banget."
"Matahri siapa?"
Jimmy tidak langsung menjawab. Dari dalam saku celana, poselnya
mengeluarkan ringtone pertanda ada SMS masuk. Dikeluarkannya benda itu.
"Bentar ya, Kak. Ada SMS dari ibu saya," katanya. Ari mengangguk. "Nama
lengakpnya sih unik. Indah malah," kata Jimmy. Kepalanya menunduk,
menekan-nekan tombol poselnya.
"Siapa?" Tanya Ari.
"Jingga Matahari."
Jingga Matahari! Ari terkesiap. Tubuhnya terhuyung. Cepat-cepat disambarnya tepi meja Jimmy.
Kekagetan itu tak tersembunyikan. Ari membeku di depan Jimmy. Shock. Pucat
pasi. "Jingga Matahari!?" desisnya, di luar kesadaran.
"Iya," Jimmy mengangguk sambil tertawa. Kepalanya masih menunduk,
membaca deretan kalimat di layar poselnya. "Waktu pertama kali denger, kami
juga?" Kalimat Jimmy tidak selesai, tawanya juga langsung terhenti begitu
mendongak dan mendapati kondisi Ari. Tatapan heran Jimmy membuat Ari
tersadar. "Jangan bilang kalo gue nyari dia," ucap Ari dengan suara kering. Jimmy
mengangguk. Diiringi tatapan heran Jimmy, Ari balik badan dan berjalan ke luar kelas. Cowok
itu melangkah menuju tempat parker dengan muka pucat dan langkah gamang.
Tatapannya terarah lurus ke depan, tapi semua orang yang berpapasan
dengannya bisa melihat, focus Ari tidak ada di sana, karena cowok itu seperti
tidak mendengar setiap sapaan yang ditujukan untuknya di sepanjang jalan.
"Jingga Matahari!?" desis Ari. Masih dengan efek yang sama. Sesuatu seperti
menghantam dadanya kuat-kuat dan membuatnya sesak napas.
Pantas saja ada begitu banyak warna jingga yang melekat pada Tari. Cewek itu
begitu mencintai warna matahari, karena ternyata namanya memang Matahari!
Begitu keluar dari koridor utama dan melihat motornya di kejauhan, Ari
merogoh saku celana panjangnya dan mengeluarkan kunci. Sekolah, belajar,
buku-buku, dan para guru, bahkan teman-teman akrabnya, semua telah
terlempar dari benaknya karena satu nama itu. Dia hanya ingin pergi dan
menyendiri. Baru saja Ari menyalakan mesin motornya, terdengar satu seruan keras.
"Ari, mau ke mana kamu!?" Bu Sam ternyata sudah berdiri di mulut koridor.
"Cabut, Bu!" Ari balas berseru.
Bu Sam tercengang. "Ari, turun dari motor! Sekarang!" bentaknya.
Tidak peduli dengan bentakan keras Bu Sam, Ari memacu motornya kea rah
pintu gerbang. Meninggalkan bunyi raungan mesin yang membuat siapa pun
yang berada di area depan sekolah jadi menoleh sambil tutup kuping.
"ARI! ARII!!!" teriak Bu Sam, tapi sia-sia. Akhirnya guru itu Cuma bisa gelenggeleng kepala ketika Ari hilang dari pamdangan.
Membelah lalu lintas pagi Jakarta yang mulai padat, Ari memacu motornya kea
rah luar kota. Ada satu tempat yang selalu ditujunya tiap kali dia merasa kacau.
Satu tempat yang membuatnya bisa melepaskan semua emosi yang
menyesakkan dada, yang bisa membuatnya meninggalkan topeng yang selama
ini dia kenakan. Satu-satunya tempat yang masih tersisa dari banyak tempat
yang telah menghilang dalam kenangannya.
Di satu ruas jalan Ari menepikan motornya karena ada yang harus dia lakukan.
Dikeluarkannya sehelai T-shirt dari dalam tas. Cowok itu memang selalu
membawa baju ganti karena rumahnya ada di mana-mana. Rumah dalam arti
harfiah, yang bagi sebagian besar teman-temannya adalah tujuan utama
setelah bel pulang berbunyi, atau tujuan pada saat hati dan pikiran sedang
galau. Bagi Ari, rumah justru jadi terminal paling akhir. Because there"s nobody
at home. Just silence. Selesai mengganti baju seragamnya dengan kaus, dikeluarkannya ponsel dari
saku celana dan dikontaknya Oji. Teman semejanya itu terkenal punya
kebiasaan aneh. Biarpun kena hukuman skorsing, tu anak tetep aja berangkat
sekolah. Lengkap dengan seragam dan buku-buku pelajaran sesuai dengan
jadwal hari itu. Kalau guru memaksanya keluar ruangan, dengan tampang
memelas Oji akan ngomong, "Yaah, Ibu kok tega sih" Saya kan pengin
belajar?" Oji tetap keluar kelas, tapi nggak jauh-jauh. Dia lalu akan berdiri di depan salah
satu jendela, melanjutkan menyimak pelajaran dan tetap mencatat dengan
posisi buku dia letakkan menempel di kaca jendela. Persis kayak anak nggak
mampu yang pengin sekolah tapi nggak bisa.
Perbuatan Oji itu bikin setiap orang yang ngeliat jadi terenyuh dan bikin guru
yang menyuruhnya keluar kelas jadi merasa bersalah. Buntutnya, Oji disuruh
masuk kelas lagi. Kalo lagi kena skorsing, Oji juga jadi betah duduk anteng di bangkunya. Dia juga
jadi rajin mencatat dan menyimak setiap penjelasan guru dengan serius.
Padahal kalo hari-hari biasa, maksudnya kalo dia lagi nggak kena hukuman, tu
cowok seneng banget menciptakan huru-hara yang membuat kelasnya riuh,
apalagi kalo Ari yang nyuruh.
"Ji, lo masuk?" Tanya Ari. Di seberang, Oji langsung terkekeh geli.
"Masuk lah, Bos. Lo kan tau di rumah gue kagak ada siapa-siapa. Sepi banget."
"Tolong gue kalo gitu. Tu cewek kelas sepuluh sembilan, Ji. Namanya Jingga
Matahari." "HAAA!?" Oji kontan memekik. Ari sampai menjauhkan poselnya sesaat dari
telinga. "Tadi gue udah ke kelasnya, tapi tu cewek belom dating. Sekarang tolong lo cek
barangkali dia udah dating. Kalo udah, liat kondisinya gimana. Baik-baik aja
atau gimana. Trus lo bilang sama dia, jangan cerita apa-apa soal kemaren. Oke,
Ji?" "Oke. Cewek yang satunya lagi?"
Oji bukannya bego, tetapi karena dia terus menerus mendengar kata benda
dalam bentuk tunggal, juga karena ada getar hebat yang coba diredam Ari saat
menyebut nama lengkap Tari dan Oji tetap bisa mendengarnya dengan jelas.
Kini Oji nmengerti kenapa Ari peduli pada Tari. Karena dia bernama Matahari.
"Ya iyalah," terdengar nada heran dalam suara Ari. "Suruh mereka jangan cerita
apa-apa dulu. Soalnya ini masalah sensi."
"Sensi?" kening Oji mengerut. "Maksudnya?"
"Ck. Udah deh, nggak usah banyak Tanya. Kerjain aja yang gue suruh. Lo masih
mau subsidi makan siang sama rokok nggak?"
"Oke, Bos!" Oji langsung sadar diri. "Lo mau ke mana?"
"Cabut!" jawab Ari pendek dan langsung menutup telepon. Diubahnya status
menjadi silent, karena dia benar-benar tidak ingin diganggu. Benar-benar ingin
sendirian. Oji bengong, tapi sesaat kemudian segera melangkah menuju kelas Tari.
Ternyata Tari dan Fio belum datang. Oji segera menuju pintu gerbang. Begitu
Tari muncul, langsung dicegatnya cewek itu. Diamatinya lekat-lekat.
Dipandanginya dari ujung rambut sampai ujung sepatu, membuat Tari
ketakutan dan hampir saja kabur. Setelah yakin cewek di depannya baik-baik
saja, baru Oji buka mulut.
"Kata Ari, lo sama temen lo jangan cerita apa-apa dulu soal kemaren. Dia mau
liat apa tujuan Angga yang sebenarnya," ucapnya tanpa basa-basi. Setelah
mengatakan itu, Oji langsung pergi. Meninggalkan Tari yang berdiri di pintu
gerbang, menatap kepergiannya dengan tampang bingung.
Berpuluh-puluh kilometer dari situ, Ari tengah memacu motornya meninggalkan
Jakarta. Menyusuri jalan aspal yang menanjak menuju ketinggian. Membawa
serta emosi yang kacau, penat pikiran yang melelahkan, dan hati yang tidak
bisa lagi ditenangkan sejak didengarnya satu nama itu.
Perjalanan berakhir di mulut sebuah jalan kecil. Dua bangunan yang berfungsi
sebagai loket mengapit jalan itu di kiri-kanan. Ari kembali memacu motornya
setelah membayar sebesar jumlah yang tertera. Diparkirnya motornya di area
parker yang saat itu sepi, karena saat ini memang bukan hari libur.
Dengan langkah pelan dimasukinya tempat wisata yang merupakan bagian dari
taman nasional itu. Banyak yang telah berubah. Sesuatu yang pasti dan tak
terhindari. Namun, ini masih tempat yang sama, karena pohon-pohon yang
berdiri di sana adalah pohon-pohon yang sama yang tegak sejak belasan tahun
lalu. Dan di antara bangunan-bangunan baru, masih tersisa satu dari banyak saung
yang dulu pernah menjadi cirri khas tempat ini. Saung favorit Ari. Saat melihat
saung tua itu masih berdiri, Ari seperti mendapatkan kekuatannya kembali.
Cowok itu lalu berdiri tidak jauh di depan saung itu. Kelu. Bisu. Kue-kue dan
cokelat susu panas pernah dinikmatinya di sana. Juga nasi dan beragam laukpauknya. Tawa dan celoteh seseorang yang dul ernah jadi bagian dari hati dan
hidup Ari seperti bergema. Seseorang yang menjadi bayangan Ari dan Ari juga
menjadi bayangan orang itu. Gema tawa itu memberikan perih yang baru untuk
lukanya yang memang selalu menganaga.
Ari mengehela napas panjang dan menghembusakannya dengan cara seolaholah ingin mengeluarkan semua sesak yang menekan dadanya. Cowok itu
melangkah mendekati saung, kemudian duduk bersila di terasnya setelah
sebelumnya dia lepaskan kedua sepatunya.
Saung ini jadi saung favorit karena ini satu-satunya saung yang menghadap ke
langit barat. Cowok itu melirik jam tangannya. Masih jam sembilan pagi. Masih


Jingga Dan Senja Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sembilan jam lagi sebelum matahari tenggelam di belahan langit itu.
Berkali-kali disaksikannya matahari tenggelam dari tempat ini. Semburat
jingganya memenuhi seluruh langit barat. Indah, megah, dan tak berubah. Dia
masih matahari jingga yang sama. Namun matahri jingga yang lain telah
tenggelam bertahun-tahun lalu. Pergi dari hidupnya.
Apakah Matahari yang muncul di depannya kini adalah pengganti untuk
Matahari-nya yang sudah lama pergi" Atau-kah justru pertanda bahwa dia akan
muncul kembali" @@@ Keesokan harinya, begitu Ari memasuki tempat parker, dilihatnya Oji sedang
duduk di atas salah satu motor yang diparkir. Begitu melihat Ari, Oji langsung
Gelang Kemala 6 Dewi Ular 46 Misteri Bocah Jelmaan Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 36
^