Pencarian

The Bridesmaids Story 2

The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata Bagian 2


Kayaknya Marco bisa lebih yakin akan perasaannya. Daripada Jansen! Selalu gamang, selalu
ragu, selalu hati-hati... Kali ini hati kecil hitamnya yang berbicara.
Gila kamu! Lagian mana mungkin cowok kayak Marco bisa suka sama Kesya" Hati
kecil putihnya ngomel-ngomel ke hati kecil hitamnya.
Lho kenapa nggak mungkin" Emangnya kamu pikir Kesya nggak cantik apa" balas hati
kecil hitamnya tidak kalah sengit.
"Udah, udah! Berisik!" kali ini Kesya yang memekik.
Baru saja ketemu hari ini, mana mungkin aku bisa langsung suka" batinnya.
Kesya bangkit dari duduknya dan masuk ke kamar. Dia menyimpan sketsa yang
baru saja digambarnya ke dalam brankas idenya, lalu berjalan ke arah tempat tidur
dan merebahkan tubuh. DeeDee sudah tidur di ranjang tambahan. Sebenarnya ada
satu kamar tamu di apartemen Kesya, tapi DeeDee tidak mau menempatinya.
"Kamar itu kan buat tamu. Aku kan bukan tamu. Aku adik kelasmu yang
tersayang," ujar DeeDee dengan kurang ajar saat Kesya menyuruhnya tidur di
kamar tamu. Jadilah DeeDee tidur di ranjang tambahan di kamar Kesya.
Kesya berbaring dengan mata masih terbuka. Dadanya masih berdebar-debar.
Dia berdiri dan meraba dinding di atas tempat tidurnya. Di balik dinding itu ada
kamar Marco. Kamar di Apartemen Magenta memang dirancang bersebelahan
dengan kamar apartemen sebelahnya. Kesya tahu itu saat dia pertama kali melihatlihat apartemen ini. Kamar di apartemen 1523 berada persis di sebelah kamar
apartemen 1525. Dengan hati masih berdebar-debar, Kesya menempelkan telinga ke dinding
pembatas antara kamarnya dan kamar Marco. Tidak terdengar suara apa-apa. Tentu
saja, karena desain kamar memang dibuat kedap suara.
"Ngapain sih aku?" maki Kesya pelan.
"Kesh... kamu nguping, ya?"
Kesya terlonjak kaget mendengar suara itu. Tampak DeeDee duduk dengan
mata terbuka lebar. Senyumnya juga merekah lebar!
"DeeDee, kamu belum tidur?" bisik Kesya pelan.
"Nggak penting!" DeeDee menggeleng cepat. "Kamu barusan nguping, kan?"
Mata DeeDee membulat. Tanda bahwa dia sedang awas akan sesuatu yang sedang
terjadi, atau mungkin akan terjadi.
"Apaan sih" Nggak penting, tau!" bisikan Kesya semakin keras.
Kesya kembali naik ke ranjangnya. Dia menarik selimut sampai menutupi
kepalanya. Menghindari tatapan jail DeeDee.
5 KESYA bangun setengah tujuh pagi keesokan harinya. Dia langsung beranjak ke
dapur untuk membuat sarapan.
"Pagi..." Kesya melonjak kaget. Kenapa ada Marco di dapurnya"
Marco tersenyum. Di tangannya ada segelas kopi yang mengepul. Rambutnya
masih acak-acakan. Mencuat di sana-sini tidak keruan.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Kesya galak.
Marco benar-benar seperti sosok tuyul bergentayang di apartemennya. Bukan,
bukan tuyul. Tuyul terlalu imut untuk ukuran tubuh Marco yang tinggi besar.
Genderuwo" Bukan juga! Nggak cocok juga!
Apa ya" Vampir" Hmm... ya, mungkin juga. Vampir lebih pas jika diasosiasikan
dengan sosok Marco. Terutama vampir ganteng yang ngetop itu. Siapa namanya"
Edward Cullen" Hhmmm... ya ya ya, Edward Cullen.
Kesya tersenyum. "Ngapain kamu senyam-senyum sendirian?"
Kesya tersadar dari lamunan ngawurnya. "Kamu belum jawab pertanyaanku!"
desisnya galak. "Ngapain kamu di sini?"
"Minum kopi...," Marco menjawab dengan polos. Tangannya terangkat,
menunjukkan gelas yang dia gunakan untuk minum kopi.
Mata Kesya melotot melihat gelas yang digunakan Marco. Gelas biru bergambar
beruang Forever Friend! Itu kan gelasnya. Gelas pribadinya. Tidak boleh ada yang
memakai gelas itu kecuali dirinya!
"STOP!" ujar Kesya saat gelas kesayangannya sudah hampir mencapai mulut
Marco. Marco menurunkan gelas itu. Matanya menatap heran ke arah Kesya.
"Itu gelasku! Gelas pribadiku! Gelas kesayanganku! Nggak boleh ada orang
yang pake gelas itu kecuali aku..."
Marco tersenyum kecil dan tanpa merasa bersalah dia kembali mengangkat
gelas itu. "Stop! AKU BILANG ST..."
Terlambat! Gelas itu sudah menempel di bibir Marco!
Aarrgghhh! Kesya geram sekali. Dalam hati dia mengingatkan untuk mencuci
gelas itu dengan sabun cairan antiseptik. Dia juga mempertimbangkan untuk
membuang gelas itu, tapi sayang juga ya. Itu gelas pemberian pacar pertamanya saat
dia ulang tahun sweet seventeen.
Marco menurunkan gelas kesayangan Kesya. Dia tersenyum ke arah gadis itu.
Kesya membuang muka. Kalau tangannya memegang ulekan sambal, rasanya
ingin dia ulek saja wajah usil Marco!
"Kenapa kamu bisa ada di sini sih?" tanya Kesya, masih kesal setengah mati
karena Marco minum dari gelas kesayangannya. "Bukannya apartemen kamu itu di
sebelah?" "DeeDee yang membukakan pintu untukku. Aku kan baru saja sampai di
Jakarta kemarin. Aku belum belanja kopi, dan aku belum tau tempat sarapan yang
enak di sini. Jadi, aku pikir, lebih baik ke sini aja. Lagian, sepi juga sendirian di
sebelah," jawab Marco santai.
DeeDee! rutuk Kesya dalam hati.
"Di mana DeeDee?" tanya Kesya.
"Tuh... di kamar mandi." Marco menunjuk dengan dagunya, lalu kembali
minum dari gelas Kesya! Kesya memalingkan wajah. Tidak sudi melihat pemandangan gelasnya dicium
oleh orang lain. Pintu kamar mandi terbuka dan DeeDee keluar. Sudah berpakaian rapi.
"DeeDee!" Kesya memanggil. Suaranya sarat ancaman.
"Morning, Kesh!" sapa DeeDee tanpa merasa bersalah sedikit pun. "Aku harus
ke toko sekarang juga. Ingat nggak, aku kan ada janji dengan klien besar kita itu!"
DeeDee mengambil tas yang sudah disiapkan di atas sofa lalu beranjak keluar.
"Aku nggak sempet sarapan. Buat kalian berdua, selamat menikmati sarapan ya!
Nanti setelah meeting, aku akan segera kabari kamu ya, Kesh!"
Kesya tidak dapat berkutik. Rencananya untuk mendamprat DeeDee karena
seenaknya saja membiarkan Marco masuk hilang sudah. Dia ingat hari ini telah
menugasi DeeDee untuk bertemu dengan seorang klien penting. Seorang perancang
busana ternama yang berniat menggunakan perhiasan dari toko Kesya sebagai
aksesori dalam pergelaran busananya.
"Ada koran?" tanya Marco tanpa memedulikan hiruk pikuk yang terjadi.
Kesya menggeram lalu menunjuk dengan dagu. Penghuni di apartemen ini
memang mendapatkan fasilitas langganan koran gratis, tapi Kesya tidak pernah
menyentuhnya. Kesya memang paling malas baca koran. Paling baca headline-nya
saja. Habis, paling-paling isinya demo sana demo sini, bencana sana bencana sini,
tindak kekerasan sana tindak kekerasan sini. Kan malas bacanya.
Yang menarik minat Kesya adalah berita tentang kesenian. Kalau ada yang
membahas soal pameran mode, pameran perhiasan, atau apa saja yang
berhubungan dengan seni, baru Kesya akan membaca artikel itu sampai habis.
Marco mengambil koran lalu kembali duduk di tempatnya semula. Sambil
matanya terpaku pada koran di tangannya, dia mengambil gelas dan menuang kopi
untuk dirinya sendiri. Kesya tidak dapat berkata-kata lagi. Dia berjalan ke dapur dan membuat roti
bakar. Selesai membuat roti bakar, dia membawa piringnya dan terpaksa duduk di
hadapan Marco. "Kok dua" Roti bakar ini buat aku?" tanya Marco sambil menunjuk setangkup
roti bakar yang masih tersisa di piring. Kesya sudah menggigit dengan kasar roti
bakar miliknya. "Buhkkannn! Itouh puwnyahhh DihDih...," ujar Kesya sambil mengunyah. Dia
tidak peduli kalau Marco tidak dapat mendengar ucapannya.
"Lho, kan DeeDee sudah pergi."
Oh iya! Dia lupa. Kesya memang selalu membuat dua tangkup roti bakar. Satu
untuknya dan satu untuk DeeDee. Dia lupa sama sekali bahwa DeeDee sudah
berangkat dengan terburu-buru. Sepertinya, rasa kesal memperlambat daya kerja
otaknya. Marco tersenyum senang. "Jadi, roti bakar ini buat aku dong...," ujarnya, alisnya
terangkat. Senyum jail menghiasi wajahnya.
Kenapa jadinya malah begini" Kok Kesya jadi bikinin sarapan untuk Marco"
"Thanks ya, Sayang..." Marco menggigit roti bakarnya dengan penuh perasaan.
Kesya tidak menjawab. Dengan kasar dia mengunyah roti bakarnya, seolah
ingin melampiaskan kekesalannya pada roti bakarnya yang malang.
Sepuluh detik berlalu dalam diam. Kesya masih mengunyah roti bakarnya.
Marco makan sambil membaca koran. Diam-diam, Kesya melirik Marco.
Marco beranjak bangun dari duduknya. Dia rupanya sudah selesai makan.
"Aku mau ke balkon dulu...," ujar Marco sambil beranjak ke balkon apartemen.
Kesya masih terus memperhatikan. Marco mengeluarkan sebungkus rokok dan
pemantik dari balik saku celananya, menyalakan sebatang rokok, dan mengisapnya
dalam-dalam! What" A SMOKER! Mata Kesya melotot hebat. Dia paling tidak suka dengan perokok! Perokok itu
perusak paru-paru, bukan hanya paru-parunya sendiri, tapi juga paru-paru orang
lain. Perokok adalah orang-orang yang egois!
Kesya dongkol sekali. Dia jijik membayangkan asap rokok, yang baunya tidak
enak itu, akan memenuhi ruangan apartemennya. Well, tidak ada yang dapat dia
lakukan sekarang. Dia tidak mungkin mengusir Marco dari apartemennya.
Bagaimanapun, Marco adalah tamu kehormatan Cecil dan Alo. Dan Kesya tidak
akan berbuat suatu hal yang akan menyinggungnya.
Dalam hati dia mencatat, dengan huruf kapital yang diperbesar lagi, untuk
mengingatkan Marco agar tidak merokok di dalam ruangan apartemen.
Ting tong...! Kesya beranjak ke pintu dan membukanya. Tampak Cecil dan Alo tersenyum
ceria. "Hai, Kesya!" sapa Cecil. Dia masuk sambil diikuti Alo.
"Cecil!" Kesya langsung setel wajah jutek dan ngomel-ngomel, "Kamu tuh
keterlaluan ya! Punya ide dari mana suruh bestman Alo yang nyebelin, suka tebar
pesona, perokok, dan nggak tau malu tinggal di sebelah apartemenku" Dan kamu
juga nggak bilang apa-apa sama aku!" Kesya tidak memelankan suaranya,
meskipun dia tahu Alo dan mungkin juga Marco akan mendengarnya. Dia bete
banget. Apalagi mengingat Marco adalah seorang perokok!
Cecil tertawa senang. "Aah, jadi Marco sudah datang, ya" Di mana dia?"
tanyanya dengan nada ceria.
"Dia ada di dalam apartemenku! Keterlaluan banget nggak sih" Masa dia ma..."
Cecil tidak memedulikan Kesya dan langsung masuk untuk menemui Marco.
"Hai, Marco... Long time no see..." Cecil langsung memeluk Marco, yang entah
kapan sudah masuk lagi ke dalam apartemen dengan mulut bau rokok.
"Hai! The beautiful bride-to-be!" Marco mencium pipi Cecil.
Iihh! Marco kan bau rokok!
Alo, di belakang Cecil, tersenyum kecil. "Hai, bro..." Mereka berpelukan erat.
"Oohh... now you are going to be the groom!" Marco menepuk-nepuk pundak Alo.
"Cecil... sini...," bisik Kesya sambil menarik tangan Cecil.
"Apaan sih?" Dahi Cecil mengernyit.
"Kamu tuh apa-apaan sih" Kenapa tanpa bilang-bilang malah menyarankan dia
tinggal di sebelah apartemenku?" Merasa tidak dipedulikan Cecil, Kesya kembali
melancarkan protesnya. "Lho, memangnya kenapa" Daripada dia tinggal sama orang yang belum dia
kenal, kan mendingan dia tinggal di dekat kamu...," ujar Cecil dengan mata
membulat. Hah" Nggak salah dengar nih"
"Lalu aku gimana" Aku kan belum kenal dia!" bisik Kesya dengan suara agak
keras. Cecil tersenyum, maunya sih menampilkan efek menenangkan, tapi yang
terpancar malah efek nyebelin!
"Ooh... itu toh masalahnya. Tenang aja. He is a nice person. Yang pasti, nggak
mungkinlah aku suruh seorang psikopat tinggal di sebelah apartemen kamu. Kalau
itu yang kamu takutin...," jawab Cecil dengan santai.
Ggggrrrr! Ingin rasanya Kesya menjitak kepala Cecil.
"Lagian...," Cecil mengedipkan sebelah matanya, "kalau belum kenal, kamu kan
bisa kenalan sama dia sekarang... Aku punya feeling kamu bakal jadian sama dia..."
Apa sih maksud Cecil" Kenapa tiba-tiba semua orang punya feeling Kesya akan
jadian sama Marco" Tidak mungkin! Benar-benar tidak mungkin!
"Nanti malam kita dinner bareng ya...," ujar Cecil sambil beranjak lagi ke arah
Marco. "Aku nggak bisa," potong Kesya.
"Kenapa?" tanya Alo. "Ayolah, kita dinner sama-sama."
"Aku ada janji..." Wajah Kesya mulai memerah. Pembicaraan mengenai date
memang sesuatu yang sensitif untuknya.
"Sama siapa?" tanya Alo. Wajahnya tersenyum tulus. Benar-benar ingin tahu.
"Sama Jansen, ya?" potong Cecil sambil mencibir. Kalau ini, Kesya percaya,
adalah cibiran yang juga benar-benar tulus.
Kesya mengangguk pelan. "Alaaahhh... udah deh... batalin aja! Mending juga pergi sama kami!" Cecil
mengernyit. Pembicaraan tentang Jansen memang selalu membuat Cecil mengernyitkan wajah, menunjukkan perasaan tidak sukanya pada laki-laki itu.
"Cil, jangan gitu dong. Biarin aja Kesya pergi sama Jansen...," Alo membela
Kesya. Kesya tersenyum penuh terima kasih kepada Alo dan tersenyum penuh cela
ke arah Cecil. "Aduh, Sayang. Kamu nggak tau sih seperti apa Jansen itu!"
Tuh kan, Cecil mulai lagi...
"Hei, hei ,hei! Kenapa malah ngomong begitu soal Jansen!" Kesya membela
Jansen. Tidak sudi laki-laki pujaannya dikomentari secara tidak sopan oleh Cecil.
"Ya sudah, nanti kita pergi bertiga saja," ujar Alo sambil melirik ke arah Marco.
"Sori. Aku juga nggak bisa." Marco menggeleng pelan.
"Kenapa?" tanya Cecil dan Alo berbarengan. Kesya sih tidak peduli. Urusan
laki-laki itu sama sekali bukan urusannya!
"Aku juga ada date...," ujar Marco polos. Tampak terlalu polos di mata Kesya.
*** "Bagaimana kalau yang ini?" Kesya mengeluarkan kalung bertabur berlian sebesar
tiga karat. Bentuknya yang eksotis membuat setiap orang berdecak kagum.
"My lovely", itu nama perhiasan yang kini berada dalam genggaman Kesya.
Nyonya, eh salah, Madame Juliet Anggoro menggeleng-geleng dramatis.
"No no no... saya tidak mau yang ini, tidak mau yang ini. Yang ini terlalu kecil,
terlalu kecil untuk ukuran leher saya..."
Sore ini, Madame Juliet Anggoro mengenakan pakaian berwarna merah
manyala. Menurut Madame Juliet, warna pakaiannya mencerminkan perasaan
hatinya. Perasaan hatinya mencerminkan jenis perhiasan yang akan dia beli.
Kalau hari ini dia mengenakan pakaian berwarna merah, itu artinya perasaan
hatinya sedang marah. Rupanya, kemarin malam Madame Juliet merasa kesal pada
suaminya, Tuan Anggoro, karena suaminya pulang terlambat tanpa memberi kabar.
Madame Juliet merasa marah, dan kalau marah, Madame Juliet akan membeli
kalung. Bingung, kan" Sewaktu pertama kalinya Madame Juliet menjelaskan tentang pengaruh warna
pakaian terhadap perasaan hatinya dan terhadap jenis perhiasan yang akan
dibelinya, Kesya juga geleng-geleng kepala. Dasar orang kaya! Marah beli perhiasan,
sedih beil perhiasan, malu beli perhiasan, senang ya juga pasti beli perhiasan dong!
Tapi... peduli amat deh. Kalau tidak ada orang-orang seperti Madame Juliet,
mungkin toko perhiasan Kesya tidak akan meraup banyak keuntungan. Mungkin
juga Kesya harus banting setir, alih profesi. Sebagai apa ya" Kesya juga bingung.
Rasanya, dia tidak memiliki keahlian lain selain mendesain perhiasan. Ya, dia
lumayan bisa masak, tapi tidak pernah terpikirkan olehnya untuk mencari rupiah
lewat masakannya. Jadi... untung ada orang-orang kaya yang eksentrik seperti Madame Juliet.
"Hmmm... mau yang lebih besar ya..." Awalnya Kesya pikir kalung "My lovely"
itu akan disukai Madame Juliet. Hmm... rupanya dia salah. Sebenarnya Kesya sudah
hafal betul dengan keinginan Madame Juliet. Wanita ini suka yang heboh. Dia
menyukai perhiasan yang bertabur berlian. Semakin banyak berliannya, maka dia
akan semakin suka, tidak peduli walau banyaknya berlian terkadang membuat
tampilan perhiasan berkurang keanggunannya. Rupanya si Madame ingin sesuatu
yang lebih heboh, jauh lebih heboh hari ini!
Mata Kesya dengan tajam mengawasi etalase pribadinya. Madame Juliet kini
berada di ruang kerja Kesya, tanda bahwa perempuan itu adalah salah satu
langganan yang dihormati. Tidak semua pelanggan boleh masuk ke ruang kerja


The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesya dan memilih perhiasan yang baru selesai dibuat. Fresh from the oven.
Kesya tersenyum kecil. Gotcha!
Dia mengeluarkan sebuah kalung panjang. Kalung itu terbuat dari emas 23
karat. Kalung itu menjuntai sepanjang 30 cm dan setiap rantainya diselipi dengan
berlian sebesar 5 karat. Bukan itu saja. Masih ada bandulnya. Bandul bulat dengn
hiasan bintang yang, tentu saja, bertabur berlian juga!
"The Stars Are Always Shining". Itu nama yang diberikan Kesya.
"Bagaimana kalau ini, Nyo... ehm... Madame Juliet?"
See" Mata Madame Juliet kini bersinar-sinar cemerlang.
"Bagus! Bagus! Bagus sekali!" ujarnya sambil tertawa terbahak-bahak. Dia
meraba lembut kalung panjang itu. Merasakan tekstur berliannya.
"Saya ambil yang ini! Ini yang ambil saya, eh maksud saya, ini yang saya
ambil!" Tawanya kembali membahana.
Kesya tertawa geli melihat tingkah Madame Juliet. Ini juga sudah menjadi
sesuatu yang dihafal Kesya. Kalau sudah melihat perhiasan yang disukai, Madame
Juliet akan bertingkah linglung. Bicaranya tidak jelas dan dia selalu tertawa
terbahak-bahak. Persis seperti orang yang berada di bawah pengaruh alkohol. Tapi
Madame Juliet mabuk karena pengaruh perhiasan. Jewelholic!
Kesya tersenyum penuh kemenangan. Karyanya berhasil terjual lagi!
"Terima kasih, Madame...," ujar Kesya sambil tersenyum manis saat Madame
Juliet beranjak keluar dari tokonya.
Dia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Wah sudah setengah
lima, ujarnya dalam hati. Berarti sebentar lagi Jansen akan datang. Lebih baik dia
bersiap-siap dulu. Kesya masuk ke ruang kerjanya. Ruangan itu cukup besar dan, tentu saja,
nyaman sekali. Selain meja kerja dengan penerangan cahaya yang baik, Kesya juga
menempatkan sofa untuk tamu-tamu istimewanya. Selain itu, masih ada lagi cermin
besar, agar tamu-tamunya dapat langsung mematut-matut diri mereka dengan
perhiasan rancangan Kesya.
Kesya berjalan mendekati cermin besar itu. Hari ini dia mengenakan atasan
warna pink dan celana panjang ungu tua. Dipolesnya lipstik yang sudah mulai
memudar. Dari laci meja kerjanya, dia mengeluarkan seuntai kalung mutiara lalu
mengenakannya. Hmm... penampilannya cukup oke. Jansen pasti akan gugup setengah mati
melihat penampilannya ini. Kesya tersenyum kecil membayangkan reaksi Jansen.
"Maaf, kalau Anda belum buat janji, Anda tidak boleh langsung masuk..."
Tiba-tiba terdengar suara gaduh Mona dari balik pintu.
"Saya bilang..."
Dan suara Mona tenggelam, hilang digantikan oleh sosok menjulang. Dahi
Kesya berkerut. Marco! Lagi" Bener-bener deh vampir satu ini! Sekarang sosoknya
menghantui ruang kerja Kesya juga!
Mona masih berusaha menghalang-halangi Marco. Dia tidak mau disemprot
Kesya lagi. "Pak, saya mohon dengan sangat. Bu Kesya sedang tidak ingin diganggu," ujar
Mona dengan suara setegas dan seprofesional mungkin.
Kesya jadi geli sendiri mendengar nada tegas dalam suara Mona. Repot juga ya
pekerjaan Mona. Apalagi kalau bertemu engan orang keras kepala seperti Marco.
"Mona, biarkan saja," ujar Kesya.
Dahi Mona berkerut, namun kemudian dia menepi, memberi jalan masuk untuk
Marco. Marco tersenyum manis ke arah Mona. Dan, walaupun masih kesal, Mona
membalas juga senyum maut Marco.
Marco masuk, dan menutup pintu di belakangnya.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Kesya. Dia tidak merasa perlu menanyakan lagi
dari mana Marco tahu tempat kerjanya. Dia juga tidak mempersilakan Marco
duduk. Dia masih marah teringat insiden gelas pribadinya tadi pagi.
"Kebetulan lewat sini, jadi sekalian mampir. Ingin lihat-lihat gimana tempat
kerja kamu." Marco mengedarkan pandangan ke arah ruang kerja Kesya, lalu
tersenyum kecil. Sedang menilaikah" Sampai saat ini Kesya tidak tahu apa yang dikerjakan Marco. Saat ini Marco juga
membawa-bawa kamera digitalnya.
"Bu Kesya..." Kepala Mona menyembul dari balik pintu. "Pak Jansen datang."
Keysa melirik ke pergelangan tangannya. Jam lima. Jansen memang selalu tepat
waktu. "Aku mau keluar," ujar Kesya singkat kepada Marco.
"Aku boleh ikut?" tanya Marco.
"Tidak, tentu saja," jawab Kesya sambil mengernyit. Ini kan acara nge-date, masa
harus bawa-bawa orang lain"
"Jansen itu pacar kamu, ya?" tanya Marco tidak menyerah.
"Bukan urusan kamu!" Kesya beranja keluar. Marco mengekor.
Jansen sedang duduk dan memandangi etalase yang bertabur perhiasan, namun
dia segera berdiri begitu melihat Kesya.
"Ha... hai, Kesya," sapanya gugup.
Kesya bisa mendengarkan karyawannya tertawa kecil melihat tingkah Jansen.
"Hai," balas Kesya sambil tersenyum. Hal itu tambah membuat Jansen gugup.
Entah bagaimana sepatunya terlepas dari kakinya saat dia berjalan mendekati
Kesya! Jansen tertawa salah tingkah sambil mengenakan kembali sepatunya.
"Kamu... kamu sudah siap?"
Kesya mengangguk. "Yuk, kita pergi."
"Hai, Jansen." Kesya, yang sudah setengah jalan ke arah Jansen, jadi berhenti mendadak. Itu
suara Marco. Makhluk satu ini rasanya tidak akan pernah berhenti mengganggunya.
Jansen memperhatikan sosok Marco. Tadi dia tidak menyadari sosok Marco
berada di belakang Kesya. Seluruh perhatiannya hanya terpusat pada Kesya.
"Hai...," jawab Jansen bingung, merasa tidak mengenal laki-laki tinggi ini.
"Marco." Marco mengulurkan tangan dengan penuh percaya diri. "Saya teman
Kesya. Baru datang dari Singapura. Kata Kesya, kalian akan pergi, ya?"
Kesya memandang Marco dengan tatapan siap melumat laki-laki itu.
Jansen mengangguk dengan gelisah. "Kami mau nonton konser musik La
Rouge." "Boleh ikut" Saya juga suka sekali dengan La Rouge," ujar Marco sambil
tersenyum mantap. Wah, ini benar-benar tidak lucu! Tidak mungkin Marco mau ikut date-nya
Kesya! Marco masih menatap Jansen. Alisnya bertaut. Kesan tegas yang halus kentara
sekali di sana. Kesya menatap Jansen, ingin tahu bagaimana tanggapan laki-laki itu.
Jansen gelisah. Bola matanya berpindah-pindah ke kiri dan kanan. Berkali-kali dia
membasahi bibir. "Ehm... ya... ya sudah ikut saja kalau begitu. Aku... aku punya dua tiket kok..."
Hah" Rasanya isi perut Kesya anjlok semuanya. Dia tidak percaya reaksi Jansen.
Masa dia merelakan laki-laki yang belum lima menit dikenalnya ikut acara date-nya"
Kesya melirik tajam ke arah Marco, si biang kerok. Tapi Marco hanya
tersenyum. Senyum penuh percaya diri khas Marco. Senyum yang sampai sekarang
masih tampak seksi di mata Kesya.
Hei, hei, hei! Stop right now!
*** Dua puluh menit kemudian, dengan hati dongkol bukan main, Kesya duduk satu
meja dengan Marco sementara Jansen sibuk dengan kameranya.
Kenapa jadi begini" rutuk Kesya dalam hati. Seharusnya Jansen yang duduk satu
meja dengannya. Sama-sama mendengarkan musik romantis yang dibawakan band La
Rouge. Kenapa sekarang jadi aku yang duduk sama-sama laki-laki ini"
Suasana di kafe tempat La Rouge manggung agak remang-remang. Kesya dan
Marco duduk di meja bulat dengan diterangi cahaya lilin yang bergoyang-goyang
tertiup angin. Kesya memperhatikan Jansen yang masih sibuk memotret. Dahi
Jansen berkerut-kerut sementara dia memperhatikan hasil bidikannya. Kesya
tersenyum sendiri. Jansen begitu mencintai pekerjaannya, selalu serius dengan
pekerjaannya, dan Kesya suka sekali itu.
Kesya mendengus lagi. Lagu-lagu La Rouge, suasana kafe, lilin kecil di atas meja bundar... semuanya
menciptakan atmosfer yang amat sangat romantis. Kesya tambah menyesal karena
yang duduk bersamanya adalah Marco, bukan Jansen. Tadinya dia berharap Jansen
akan menyatakan cintanya dan mereka akan menjadi sepasang kekasih...
"Sudah lama kenal dia?" suara Marco tiba-tiba membuyarkan lamunan Kesya.
Gara-gara makhluk serupa vampir ini semua impiannya buyar! Apa di zaman
sekarang orang juga sudah tidak boleh bermimpi, ya"
"Sudah lama kenal dia?" Merasa tidak direspons, Marco mengulangi
pertanyaannya. "Sudah," jawab Kesya singkat.
"Kenal di mana?"
"Di pameran." "Pameran apa?" "Pameran perhiasan."
"Sudah berapa lama de..."
"Ssshhhtttt!" Kesya memotong ucapan Marco. Seperti interograsi petugas
pemerintah kalau mau bikin paspor saja!
Marco tersenyum dan kembali memperhatikan La Rouge. Dia mengeluarkan
sebatang rokok dan menyalakannya. Kesya mendelik. Oh no, seharusnya tadi dia
minta tempat duduk di bagian no smoking! Dia memandang Marco dengan gusar.
Marco tampak tidak peduli dengan kegusaran Kesya. Dia mengisap rokoknya
dalam-dalam dan mengembuskan asapnya ke atas.
"Kamu cantik sekali malam ini...," ujar Marco pantang menyerah. "Kamu spesial
berdandan untuk pergi sama dia, ya?"
Kesya menggeram kesal. Masih berani juga Marco menggodanya.
Marco menoleh, memperhatikan ekspresi wajah Kesya.
"Kalau aku yang mengajak kamu pergi, apa kamu akan berdandan secantik ini
juga?" tanyanya sambil tersenyum. Kelihatan jelas senyum itu senyum iseng untuk
menggoda Kesya. Kesya terdiam. Belum sempat dia menjawab pertanyaan itu, Jansen sudah
mengempaskan tubuhnya di bangku kosong sebelah Kesya.
"Selesai juga...," ujar Jansen sambil memperhtaikan hasil bidikan kameranya.
"Bagus-bagus?" tanya Kesya.
"Apanya?" tanya Jansen dengan dahi mengernyit.
"Foto-fotonya?"
"Foto-foto apa ya?" tanya Jansen lagi.
"Lho, bukannya kamu baru saja selesai foto La Rouge?" sekarang Kesya juga
ikut bingung. Marco memperhatikan percakapan itu dengan senyum geli.
"Oh... oh iya... aku... aku lupa." Jansen tersenyum gugup. "Bagus nih... Kamu...
kamu mau lihat?" Jansen menyodorkan kameranya ke arah Kesya. Kesya
merapatkan tubuhnya ke arah Jansen.
Pranngg...! Dengan gugup, Jansen buru-buru berdiri. Gelas di meja bundar itu tersenggol
jatuh olehnya dan pecah. "Maaf... maaf...," ujarnya penuh sesal.
Marco tertawa pelan. Kesya memandang sebal ke arah Marco. Berani-beraninya dia menertawai
Jansen! "Kita... kita pulang saja yuk..." Jansen beranjak dari duduknya.
Kesya mengikuti dengan kecewa. Buyar sudah harapannya akan kencan
romantis dengan Jansen. Kursi Marco bergeser dan Marco juga ikut berdiri.
"An... Anda mau pulang juga?" tanya Jansen.
Marco mengangguk. "Yuk, Jansen!" Kesya menggandeng tangan Jansen. Tindakan itu membuat
Jansen terlonjak kaget. Kameranya tergelincir dari pundaknya dan dengan sigap
ditangkap oleh Marco. "Hati-hati ya... Ini kan kamera mahal." Marco mengembalikan kamera Jansen.
Jansen tertawa gugup. "Eh... oh... iya... Te... terima kasih ya."
Kesya tidak berkomentar. Dia kembali menarik tangan Jansen. Tanpa berkata
apa-apa, Kesya dan Jansen keluar dari kafe dan berlalu pergi.
Marco juga keluar dari kafe dan memanggil taksi. Sepanjang perjalanan pulang,
dia merenung. Berpikir....
6 "SI Kesya itu... menurutmu dia itu gadis yang bagaimana?"
Alo dan Marco saat ini sedang berada di Groom"s Bestfriend, sedang fitting jas
buat Alo juga buat Marco.
"Kenapa kamu tanya-tanya?" Alo memperhatikan Marco dari cermin.
Marco menautkan alis. "Cuma ingin tahu lebih banyak tentang bridesmaid-nya
Cecil." Alo tersenyum kecil. Bayangan Kesya"temannya dan Cecil ketika SMA"
berkelebatan dalam benaknya. "Kesya itu gadis yang sangat manis. Dia selalu ada
untuk menolong siapa saja. Terkadang, sebegitu baiknya dia sampai sering
dimanfaatkan orang lain. Aku sering marah sama Cecil karena terlalu sering minta
tolong sama Kesya. Tapi, Kesya sendiri tidak pernah marah sama Cecil, walau aku
tahu dia kesal sekali..."
Marco ikut tersenyum juga. "Ya, dia memang gadis yang lucu."
Alo berbalik menatap Marco. "You don"t..." dia tidak menyelesaikan kalimatnya.
Alo menatap curiga ke arah Marco.
Senyum Marco bertambah lebar. Matanya bersinar penuh makna.
"Hmmm... boleh juga. Bridesmaid with bestman..." Alo terkekeh.
Marco ikut terkekeh. "Tahu soal si Jansen?" tanya Marco setelah tawanya mereda.
Alo menggeleng. "Kurang... Yang aku tahu, Cecil sangat tidak suka pada Jansen.
Menurut Cecil, Jansen laki-laki yang tidak tepat untuk Kesya. Aku sendiri belum
pernah lihat yang namanya Jansen."
Marco mengangguk-angguk. *** Dahi Kesya berdenyut-denyut. Dia sedang duduk di ruang kerjanya. Di
hadapannya, Finna duduk sambil mengoceh panjang lebar. Sejak peristiwa
bantingan telepon dulu, rupanya Finna nekat datang langsung ke ruang kerja Kesya.
"Wah... kamu lumayan juga ya, Kesh. Tapi masih kurang sih kalau dibandingin
Tania Smith, temanku di Amerika. Dia itu perancang perhiasan yang ngetop banget.
Perhiasan rancangannya sering dipake J-Lo lho!"
Sudah dua jam lebih Finna mengoceh tidak keruan seperti itu. Katanya sih dia
ingin membicarakan dekorasi pelaminan Cecil. Entah bagaimana dia mendapat
kesan bahwa Cecil memercayakan tugas penting itu kepadanya.
Kesya memejamkan mata, berusaha meredakan amarah yang perlahan-lahan
naik ke ubun-ubunnya. "Jadi sekarang kamu ngapain ke sini?" tanyanya dengan suara penuh kendali.
"Ups, ya... sori... Aku jadi lupa..." Finna tersenyum, memamerkan giginya yang
besar-besar. Rambut keritingnya bergoyang-goyang heboh saat dia tertawa. Kesya
bergidik ngeri melihatnya.
"Ini lho, Kesya..." Finna mengeluarkan beberapa gulungan kertas dari dalam
tasnya. Dia menyingkirkan gambar rancangan perhiasan Kesya (Hei!!!) dari atas
meja dan membentangkan gulungan kertasnya.
Kesya memperhatikan apa yang berada di balik gulungan kertas tersebut.
"Nah, ini rancangan pelaminan Cecil yang aku buat. Di sini kita akan taruh
kertas krep warna-warni, di sebelah sana kita akan pakai balon-balon, lalu kita juga
bisa taruh bunga-bunga plastik kecil-kecil di sini..."
Kesya memejamkan mata lagi. Kertas krep warna-warni" Balon" Bunga-bunga
plasti kecil" Apa-apaan sih ini" Memang dia pikir perkawinan Cecil itu pesta ulang
tahun anak-anak" Kenapa tidak sekalian undang badut pesta saja"
"Fin..." Kesya berusaha mengatur volume suaranya. "Ini tuh pesta pernikahan,
bukan..." "Aku tahu ini pesta pernikahan, makanya aku buat seperti ini. Di Amerika lagi
ngetop lho rancangan pelaminan seperti ini..."
Dengan kertas krep warna-warni" Balon" Bunga-bunga plastik" Yang bener"
Kesya berusaha tersenyum. "Kalau begitu, biar kita bicarakan dengan Cecil dulu
ya..." "Tapi kata Cecil, dia memercayakan dekorasi pelaminannya kepada kita
berdua," potong Finna keras kepala.
"Tetap saja. Yang menikah itu Cecil, jadi dia harus tahu seperti apa rancangan
dekorasi pelaminannya."
End of discussion. Suara dering di ponsel Kesya membuat Finna, yang mulai protes, terdiam.
"Halo..." "Kesya, dia ada di sana?" itu suara Cecil. Kesya sudah tahu siapa "dia" yang
dimaksud Cecil. "Sudah dari dua jam yang lalu," jawab Kesya menekan amarahnya.
"Kalau dia tetep masih nekat mau dekor pelaminanku, ajak dia ke decoration


The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

artist-nya aja." "Dia mau?" "Bujuk dia deh..."
"Kenapa harus aku yang bujuk dia?"
"Pleasseee..." Kesya menarik napas panjang. Dia paling tidak bis amenolak permintaan yang
diikuti dengan bunyi please panjang seperti ini.
"Ya udah, aku coba deh."
"Love you, you"re the best... Mmuaah...!" Suara Cecil langsung ceria dan lega.
Kesya meletakkan ponselnya dan menatap Finna. "Kata Cecil, kita harus
berkonsultasi dengan decoration artist-nya."
Mata Finna membulat. "Decoration artist apa" Aku decoration artist-nya! Cecil kan
sudah memercayakan semuanya kepadaku. Kamu pasti bohong!
Lho" Kesya mengembuskan napas, kali ini lebih kencang. "Coba saja kamu telepon
Cecil." Finna langsung menghubungi Cecil. Sambil menekan-nekan nomor pada
ponselnya, mulutnya bergumam kesal.
"Halo, Cecil, kok kamu suruh aku ke decoration artist" Aku kan yang akan
mendekor pelaminanmu?"
Kesya berusaha menajamkan pendengarannya, namun tidak satu pun perkataan
Cecil dapat didengarnya. Cecil dan Finna berbicara lama sekali. Selama
pembicaraan, tampak dahi Finna mengernyit secara dramatis. Beberapa waktu
kemudian, Finna mengakhiri pembicaraan dengan wajah tidak puas.
"So?" Kesya mengangkat alisnya.
Tampang Finna jutek abis. Dia langsung ngomel-ngomel dengan suara tinggi.
"Aku nggak ngerti deh sama Cecil! Aku kan decoration artist-nya, jadi seharusnya
aku yang merancang dekorasi pestanya! Lagi pula..."
"Jadi Cecil bilang apa?" potong Kesya tidak sabar.
Finna mendengus kesal. "Kita harus bicarakan rencana dekornya dengan
decoration artist." Suaranya terdengar amat sangat tidak puas.
"Kita jalan sekarang." Kesya langsung beranjak bangun.
*** Pak James, si decoration artist, adalah orang yang sangat sabar. Sudah empat jam
lebih dia duduk di hadapan Finna dan Kesya, mendengarkan semua ide Finna yang
sangat amat menggelikan. Tidak sekali pun dia terlihat kesal atau tidak sabar. Kesya
jadi takjub melihat kesabarannya. Mungkin Pak James sudah sering mendapat klien
yang ajaib. Padahal Kesya sendiri sudah berulang kali menekan amarah melihat ideide rancangan Finna yang semuanya aneh. Sepertinya wajahnya sudah berubahubah warna, dari ungu jadi hijau bahkan jadi merah juga, dalam usahanya menahan
emosi. "Jadi, kalau yang saya tangkap, Finna ingin dekorasi pesta yang sangat
berkesan?" tanya Pak James perlahan.
"Iya... Itu yang coba saya jelaskan dari tadi. Pesta Cecil ini bukan pesta mainmain, semuanya harus berjalan dengan sempurna. Saya tidak mau pestanya norak,
kampungan. Pesta ini harus jadi pesta yang diingat sepanjang masa," celoteh Finna.
Kesya mendengus kecil, teringat akan ide dekorasi yang dibuat Finna. Balon dan
kertas krep. Itu baru yang dinamakan pesta norak dan kampungan!
Pak James memperlihatkan beberapa dekorasi yang telah dirancangnya. Finna
memperhatikan semuanya dengan cepat lalu menggeleng-geleng dramatis.
"Nggak cocok! Semuanya nggak cocok!" ujarnya sambil melemparkan
rancangan dekorasi Pak James.
Dahi Pak James berkerut. Kalau sejak tadi dia tampak sangat sabar, kini
wajahnya menyiratkan sakit hati.
"Mungkin ada saran lain dari Pak James...," Kesya buru-buru menengahi. walau
dia bete banget sama Finna, dia tidak mau melihat pertumpahan darah antara Finna
dan Pak James. Ralat, dia tidak mau sampai Pak James ngambek dan menolak
menangani dekorasi pelaminan Cecil.
Kalau Finna sih... bodo amat deh!
Pak James menarik napas, tampak berusaha mengendalikan diri.
"Kalau saya bisa bantu, Cecil itu orangnya drama queen. Dia aktif, ceria, dan
selalu ingin jadi pusat perhatian. Sedangkan Alo laki-laki yang sangat matang.
Orangnya tenang dan penuh kendali," jelas Kesya. "Apa Pak James bisa mengirangira rancangan dekorasi seperti apa yang cocok bagi mereka?"
"Boleh juga dengan bunga asli yang berwarna pastel. Untuk menampilkan
kepribadian si mempelai pria." Pak James mengangguk-angguk. "Lalu untuk
mempelai wanita yang aktif dan drama queen..."
"Bagaimana kalau ditambahkan kristal Swarovski" Cecil suka sekali kristal...,"
usul Kesya. Mata Pak James berbinar. "Bagus sekali. Perpaduan antara bunga berwarna
pastel dan kilau kristal. Pasti akan cantik sekali!" katanya bersemangat.
Kesya tersenyum dan melirik Finna. Finna sedang cemberut. Tampak kesal
karena tidak dilibatkan dalam diskusi mereka.
"Hmm... Finna, menurut kamu gimana?" tanya Kesya, berusaha melibatkan
Finna dalam pembicaraan ini.
"Ya terserah kamu aja deh!" balasnya ketus.
Kesya tidak memedulikan balasan Finna yang ketus. "Kalau begitu, apa Pak
James bisa merancang dekorasinya?"
Pak James mengangguk-angguk penuh semangat. "Saat ini saya sudah bisa
membayangkan gambaran kasarnya. Nanti setelah saya gambar, akan saya e-mail ke
Kesya ya." "Baik kalau begitu. Terima kasih banyak, Pak James..."
Semuanya berjalan sangat lancar. Tinggal Finna yang manyun karena tidak
dilibatkan dalam diskusi akhir. Tapi Kesya tidak peduli. Cukup sudah ide-ide norak
dan kampungan yang ditawarkannya. Kesya tidak mau Finna merusak pesta Cecil.
Dia akan mengerahkan segala daya upayanya untuk menghalangi hal itu terjadi.
*** Ketika Kesya pulang, DeeDee sedang duduk di sofa ruang tamu dan mencoret-coret
selembar kertas di hadapannya.
"Hai, Kesh!" sapa DeeDee.
"Lagi ngapain kamu?" Kesya menjulurkan kepala, melihat apa yang sedang
dilakukan DeeDee di atas lembar kertasnya.
"Ini..." DeeDee menyingkirkan tangannya dari kertas. Memperlihatkan gambar
kasar sebuah cincin. "Lagi ada ide."
Kesya mengangguk-angguk. "Menurut kamu gimana?" tanya DeeDee.
Mata Kesya menyipit. "Di sini bisa ditambahin hiasan lagi. Biar nggak terlalu
sepi," ujarnya menunjuk bagian kanan cincin.
DeeDee mengangguk. "Itu yang aku pikirin dari tadi. Cuma belum kepikiran aja
hiasan yang cocok..."
"Motif kebalikannya aja dari yang kiri. Kayaknya oke tuh..."
Mata DeeDee membesar. Dia mengangguk-angguk penuh semangat. "Iya juga
ya. Thanks, Kesh!" Kesya tersenyum membalas antusiasme DeeDee, kemudian masuk ke
kamarnya. Bunyi tanda e-mail masuk membuat Kesya mendekati komputernya.
Rupanya, rancangan Pak James sudah jadi. Kesya membuka file yang diberikan
dan membelalak tidak percaya. Rancangannya indah sekali! Pak James benar-benar
bisa menerjemahkan sebuah ide menjadi rancangan yang sangat indah.
Buru-buru dia mem-print rancangan itu. Sekarang juga dia akan mengantarkannya ke tempat Cecil.
Kesya keluar lagi dari kamarnya.
"Mau ke mana lagi, Kesh?" tanya DeeDee.
"Aku mau ke rumah Cecil. Mau kasih lihat rancangan dekorasi pestanya,"
jawabnya sambil menunjukkan kertas rancangan yang baru di-print.
Kesya membuka pintu apartemen. Tepat di apartemen sebelah, Marco tampak
baru akan masuk ke apartemennya.
"Hai, Kesh...," sapanya. Langkahnya tertahan melihat kehadiran Kesya.
Kesya tersenyum. "Hai!" Keindahan rancangan Pak James membuat hati Kesya
sangat senang. Dia sampai lupa bersikap jutek pada Marco.
"Mau ke mana?" tanya Marco.
"Ke rumah Cecil. Mau ngasih lihat rancangan dekorasi ruangan untuk acara
resepsi nanti," balasnya sambil tersenyum. Dia menunjukkan rancangan yang sudah
di-print-nya. Rancangan yang indah itu.
"Aku ikut ya..."
"Ngapain?" "Aku kan bestman, jadi aku harus terlibat juga dong dengan segala urusan
pernikahan ini." Kesya tidak punya pilihan lain selain mengangguk.
Ketika sampai di rumah Cecil, orangtua Cecil yang menyambut mereka.
Katanya, Cecil baru saja pulang dan sedang mandi. Kesya, Marco, dan kedua
orangtua Cecil duduk di ruang tamu.
"Jadi, ini toh bestman-nya Alo..." Tante Renata, mama Cecil, memandang Marco
dengan tatapan menilai. "Iya, Tante. Saya Marco." Marco mengangguk sopan. Pembawaannya sangat
penuh percaya diri. Kesya mendengus. Kapan sih cowok ini tidak penuh percaya
diri" Tante Renata senyum-senyum sendiri. Tatapannya beralih kepada Kesya, lalu
kembali lagi ke Marco, kemudian kembali lagi kepada Kesya. Hati Kesya langsung
waspada. Dia sudah sangat mengenal tabiat Tante Renata. Maklum... dia dan Cecil
sduah bersahabat sejak TK. Kalau sudah senyum-senyum begitu biasanya sebentar
lagi akan meluncur ide konyol dari mulut Tante Renata. Well, setidaknya konyol
menurut orang lain. Tante Renata sendiri akan sangat serius dengan ide-idenya.
"Kenapa kalian nggak sekalian jadian aja" Siapa tahu nanti bisa langsung
menyusul Cecil dan Alo..."
Tuuuh kan benar! Tidak tahu dari mana datangnya ide super-duper-konyol itu"
Kesya langsung salah tingkah, tidak tahu bagaimana harus merespons. Didengarnya
Marco tertawa kecil di sampingnya.
"Maunya sih begitu, Tante," respons Marco dengan kurang ajarnya.
What"! Siapa yang mau jadian sama dia"
"Saya juga sedang berusaha. Doakan saya ya," sambung Marco lagi.
Tante Renata mengangguk-angguk. Oom Balgi, papa Cecil, juga ikut mengangguk-angguk. Keduanya tersenyum mendukung usaha Marco.
Kesya tidak suka dengan suasana ini. Tante Renata dan Oom Balgi harus tahu
bahwa Kesya sedang menjalin hubungan dengan Jansen. Yah, setidaknya berharap
untuk menjalin hubungan dengan Jansen.
"Oom, Tante... sebetulnya saya..."
"Kesya, Marco!"
Di saat seperti ini, Cecil memanggil mereka. Timing yang sangat tidak tepat,
Cecilia! Kesya tidak menggubris panggilan Cecil dan masih berusaha menjelaskan
duduk perkaranya kepada mama dan papa Cecil. "Jadi sebetulnya..."
"Kesya!" suara Cecil terdengar tidak sabar.
"Ayo, Sayang..." Marco menarik lengan Kesya dengan lembut.
Kesya menatapnya dan menggeram. Di belakangnya, dia dapat merasakan
Tante Renata dan Oom Balgi saling sikut sambil diam-diam tersenyum.
"Apa-apaan sih kamu?" sembur Kesya ketika mereka sudah berada dalam
kamar Cecil. Marco hanya tersenyum dengan wajah polos.
"Kenapa sih kamu selalu bermasalah sama Marco" Kalian kan harus akur,
setidaknya sampai acara pernikahanku selesai." Dahi Cecil mengernyit.
"Dia yang kurang ajar duluan. Bertingkah seolah-olah kami lagi pedekate!"
Kesya pasang tampang sejutek-juteknya.
Cecil tersenyum. "Aku sih setuju kalau kalian emang jadian. Marco jauh lebih
bak dibandingkan Jansen."
Senyum Marco tambah lebar. Senang karena Cecil berada di pihaknya.
Sementara Kesya tampak seperti mau pingsan. Dia mendengus kesal, "Capek deh
ngomong sama orang-orang nggak waras!"
Dia meraih tasnya dan mengeluarkan kertas yang berisi rancangan dekorasi
ruangan dari Pak James. "Udah deh, nggak usah ngomongin hal yang bisa bikin aku marah! Aku ke sini
mau ngasih liat ini! Kalau Marco ke sini cuma ikut-ikutan aja!" cibirnya kepada
Marco. "Ooh..." Napas Cecil tertahan begitu melihat rancangan itu. "Bagus banget,
Kesh... Swarovski, lagi..."
"Ini hasil perdebatan panjang dengan Finna," kata Kesya. Ingat Finna, dia ingat
juga bahwa dia belum memberitahu makhluk satu itu tentang rancangan dekorasi
ini. "Finna" Siapa Finna?" Marco bingung.
"You don"t want to know..." Kesya geleng-geleng kepala.
Cecil tersenyum kecil. "Finna itu sepupu jauhku. Dia baru pulang dari Amerika
dan katanya di sana dia jadi wedding organizer profesional. Jadi dia mendaulat dirinya
sendiri untuk jadi wedding organizer untuk pestaku," jelasnya.
"Masa dia tadi ngusulin dekorasi pesta kamu pak
ai kertas krep dan balon warna-warni" Bisa bayangin nggak?" Kesya masih bete banget teringat perdebatan
panjangnya tadi siang. "Dan dia juga nggak sopan banget sama Pak James ini.
Untung aja Pak James nggak marah, malah bikin rancangan dekorasi yang bagus
banget..." Cecil kembali menatap rancangan dekorasinya. "Bener-bener bagus deh! Aku
harus kasih tau Alo dulu." Dia menyambar ponselnya dan langsung menghubungi
Alo. Sementara Cecil bercerita tentang dekorasi pestanya kepada Alo, Kesya melihatlihat ke sekeliling kamar Cecil. Dulu, dia sering banget menginap di kamar Cecil.
Tapi itu sudah lama sekali. Seingat Kesya, terakhir kali dia menginap di rumah Cecil
saat mereka berdua duduk di bangku SMA. Setelah itu dia pergi ke Jepang untuk
kuliah di sana, dan sepulangnya dari Jepang kesibukan kerja yang tidak ada
habisnya membuat mereka jarang melakukan acara menginap lagi.
Kesya menyambar si Bebe, boneka beruang Cecil yang sering dipinjamnya
untuk tidur kalau dia menginap. Marco memperhatikan Kesya sambil tersenyum
kecil. Kesya, merasa diperhatikan, jadi tersipu sendiri. Tiba-tiba matanya tertumbuk
pada kotak warna pink yang diletakkan di atas meja kerja Cecil. Dia meraba tutup
kotak itu. Kotak cantik dengan detail pita yang manis. Foto Cecil dan Alo ditempel
di atas tutup kotak tersebut.
Kesya ingat kotak ini. Ceritanya, dulu dia dan Cecil menyediakan kotak khusus
untuk menyimpan semua kenangan dengan pacar masing-masing. Baik itu kartu
Valentine, kartu Natal, kartu ulang tahun, puisi-puisi cinta, bon-bon restoran, atau
karcis nonton bareng, semuanya disimpan di sana. Kotak Kesya sendiri sudah entah
ke mana. Hubungan cintanya memang tidak pernah awet. Berbeda sekali dengan
hubungan cinta Alo-Cecil. Walau kotak ini sudah sering kali disimpan di gudang
dan kemudian dikeluarkan lagi, lalu disimpan lagi"karena Cecil dan Alo sering
sekali putus-sambung"toh akhirnya kotak itu menempati singgasananya lagi di
atas meja kerja Cecil. "Liat apa sih?" Cecil menepuk bahu Kesya.
"Aku pinjam ini ya..." Kesya mengangkat kotak itu.
"Buat?" "Buat ide rancangan cincin pernikahan kalian..."
Cecil tersenyum. "Jangan rusak ya..."
"Pasti dong," Kesya balas tersenyum. "Alo bilang apa?"
"Dia sih oke aja. Semua keputusan diserahkan ke aku kok."
Saat mereka pamit dari rumah Cecil, lagi-lagi mama Cecil memperhatikan
Marco dan Kesya sambil senyum-senyum. Namun, kali ini Marco tidak berani lagi
menggoda. Takut Kesya ngambek lagi.
*** Sampai di apartemennya, Kesya langsung membuka kotak Cecil.
"Apa tuh?" tanya DeeDee.
"Ini kotak khusus Cecil-Alo."
Perlahan-lahan, Kesya mengeluarkan isi kotak itu. Ada foto pertama Cecil dan
Alo. Kesya ingat, dialah juru kameranya. Foto itu dibuat seminggu setelah Alo dan
Cecil resmi pacaran, sepuluh tahun yang lalu. Mereka masih sama-sama
mengenakan seragam SMA. Lalu ada juga kartu-kartu dan puisi-puisi cinta yang
ditulis Alo untuk Cecil. Kesya tertawa sendiri melihat itu semua. Alo benar-benar
sayang Cecil. Isi kotak ini mencerminkan semuanya.
"Alo itu romantis, ya?" DeeDee, yang memperhatikan dari samping, ikut
berkomentar. Kesya mengangguk. "Dia juga sabar sekali menghadapi tingkah laku Cecil yang
suka meledak-ledak. Dia memang paling cocok buat Cecil, walaupun sudah sering
diputusin berkali-kali oleh Cecil. Tau sendiri kan, Cecil orangnya impulsif banget.
Alo tetap saja balik lagi sama Cecil. Mereka memang sudah soulmate."
DeeDee mendesah pelan, "Kapan ya aku ketemu soulmate-ku?"
Pikiran Kesya mengelana jauh. Mendengar kata soulmate, Kesya jadi teringat
dirinya sendiri. Di usia yang sudah 26 tahun ini dia juga belum menemukan
soulmate-nya. Siapa ya kira-kira yang akan jadi soulmate-nya"
Bayangan seorang laki-laki tinggi dengan senyum seksi memesona terpeta jelas
di benaknya. Dia" Soulmate-nya"
Kesya menggeleng keras. Tidak mungkin Marco bisa jadi soulmate-nya.
Walau mati-matian menyangkal pikirannya, tak urung jantung Kesya berdebar
juga...

The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

7 MARCO menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda. Dia seorang perancang taman
dan sekarang sedang merancang sebuah taman kota. Taman kota yang ramah
lingkungan. Taman kota tempat berkumpulnya anak-anak, remaja, dan para orang
tua. Marco menghentikan pekerjaannya dan menggerakkan lehernya yang terasa
kaku. Direbahkannya kepalanya di sandaran kursi. Matanya tertumbuk pada kotak
rokok di samping sketsanya. Disambarnya kotak rokok itu, lalu dia beranjak ke
balkon apartemen. Langit gelap sekali dan di kejauhan tampak satu bintang yang bersinar redup.
Marco menyalakan sebatang rokok, mengisapnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Dia memperhatikan bintang yang bersinar redup itu. Dampak dari polusi
udara! Marco tertawa kecil. Sungguh ironis. Dia sedang mengisap sebatang rokok"
yang menyebabkan polusi udara"sementara benaknya mengutuk polusi udara
yang menyebabkan bintang-bintang tidak bersinar cerah lagi.
Marco kembali mengisap rokoknya dalam-dalam. Sebenarnya dia sudah lama
ingin berhenti merokok, namun entah kenapa tidak juga dapat terlaksana.
Ingat rokok, dia teringat Joanelle. Gadis yang luar biasa cantik, juga gadis yang
luar biasa membuatnya patah hati. Karena kisah cinta yang kandas itulah, Marco
mulai merokok. Sebenarnya dia tahu rokok tidak akan menghilangkan rasa gundah
di hatinya. Rokok hanyalah pelarian sesaat. Tapi... memang sulit untuk berhenti dari
kebiasaan buruk ini. Marco lagi-lagi mengisap rokoknya. Entah dari mana datangnya, sosok wajah
Kesya terbayang. Kemarin, saat dia ke balkon untuk merokok, kebetulan Kesya juga
sedang berada di balkon apartemennya. Karena balkon mereka bersebelahan, Kesya
dapat melihat Marco yang sedang mengembuskan asap mematikan dari mulutnya.
Kesya mendelik marah. "Egois!!!" begitu katanya.
Marco berpaling dan mengernyit memandangnya.
"Kalian perokok adalah orang-orang egois! Selain merugikan diri sendiri, kalian juga
merugikan orang lain!"
Marco hanya tersenyum dan berbalik masuk ke apartemennya.
Marco tersenyum sendiri mengingat percakapan singkat itu. Dia selalu
merasakan sesuatu yang hangat dalam hatinya saat dekat dengan Kesya. Entah
mengapa, gadis itu menghadirkan getar-getar aneh di relung hatinya. Walau sampai
sekarang Kesya tidak menunjukkan sikap ramah terhadapnya, Marco tahu Kesya
juga mengalami perasaan yang sama dengan dirinya. Dia yakin sekali bahwa dia
dapat memenangkan Kesya dari Jansen.
Marco menoleh ketika mendengar suara pintu balkon sebelah dibuka. Dia
menjulurkan kepalanya. Melihat siapa yang keluar dari balkon sebelah. Kesya atau
DeeDee" Sosok Kesya keluar dengan mengenakan mantel kamar. Rambut panjangnya
berkibar dipermainkan angin. Kesya merapatkan mantel kamarnya. Tampak
berusaha menghalau dingin malam itu. Satu tangannya memegang gelas kesayangannya. Uap panas mengepul dari gelas itu.
"Halo...," sapa Marco. Asap rokok mengembus dari mulutnya.
Kesya terkesiap. "Marco!" tegurnya. "Ngapain kamu" Bikin aku kaget aja!"
Marco tersenyum kecil. "Aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku, lalu ke
balkon..." "Merokok lagi?" sindir Kesya. Tangannya menggerakkan sendok mengaduk isi
gelasnya. Marco mengangguk, tersenyum kecil melihat reaksi Kesya.
"Nggak baik lho merokok terus. Cobalah untuk hidup sehat..."
Suara Kesya terdengar berbeda. Sepertinya Marco menangkap getar perhatian
pada nada suara itu. Benarkah"
"Iya deh... Aku janji, suatu saat nanti aku pasti berhenti." Marco berbalik, ingin
masuk ke apartemennya. "By the way...," dia berbalik ke arah Kesya, "thanks ya buat
perhatiannya." Dia tersenyum lembut.
Dada Kesya berdebar kencang. Apa maksud perkataan Marco tadi" Dan
mengapa senyumnya begitu lembut"
Bodoh! Mengapa juga dia memperlihatkan perhatian berlebih kepada laki-laki tukang
tebar pesona itu" Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kesya membawa gelas susu cokelatnya masuk dan mengempaskan diri di sofa.
Tangannya meraih remote dan menyalakan televisi, sekadar mengusir rasa sepi.
Di atas meja tergeletak sebuah majalah wanita yang belum sempat dibaca Kesya.
Tanpa tujuan, Kesya membuka-buka majalah itu. Di sebuah halaman iklan, Kesya
melihat gambar seorang anak perempuan sedang duduk di sebuah ayunan.
Matanya terpaku pada gambar ayunan. Pikirannya kembali ke kenangan masa
kecilnya. Dia sangat suka ayunan. Impiannya saat ini adalah memiliki ranjang
gantung, seperti ayunan. Namun, sampai sekarang impian itu belum juga
terlaksana.... *** "Ini semuanya, Kesh...," DeeDee mengakhiri penjelasannya. Kesya menugasi
DeeDee untuk menangani salah seorang kliennya, seorang perancang busana yang
ingin menggunakan perhiasan Kesya untuk pergelaran busananya. DeeDee baru
saja memberikan laporan singkat tentang perhiasan apa saja yang dipilih si
perancang busana itu. "Jadi, kapan pergelaran busananya?" tanya Kesya.
"Dua minggu lagi."
"Semua dokumennya sudah lengkap" Asuransinya" Lalu orang yang
ditugaskan untuk menjaga perhiasanku?"
"Sudah beres semua." DeeDee mengangguk mantap. Biarpun sehari-hari dia
orang yang agak sembrono, tapi kalau urusan pekerjaan"apalagi bekerja sama
dengan Kesya"DeeDee tidak akan main-main.
"Oke, kalau begitu. Kamu tetap pantau ya..."
"Oke, Bos!" DeeDee memberi hormat gaya militer lalu melenggang keluar.
Kesya tersenyum kecil memperhatikan sosok Deedee yang menghilang, lalu
meneruskan kegiatannya sebelum DeeDee datang.
Krriingggggg... Bunyi telepon mengalihkan perhatian Kesya.
"Halo..." "Kesya... jam tiga nanti temani aku ke Bride"s World ya."
Kesya melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Jadi hari ini udah
mau pesen gaun pengantinnya" It"s about time sih. Memang udah seharusnya kamu
udah pesen gaun pengantin."
Cecil tertawa kecil. "Iya... makanya aku mau minta saran kamu lagi."
"Saran?" alis Kesya terangkat. "Memang kamu mau dengar saranku" Waktu
kemarin kita ke Bride"s World aja, kamu nyobain dua puluh tujuh gaun pengantin
tanpa ada satu pun yang kamu suka. Padahal aku udah kasih buanyaaakkkk sekali
saran buat kamu." Tawa Cecil tambah kencang. "Iya deh. Kali ini aku pasti akan dengerin kamu.
Eh, omong-omong, kamu lagi ngapain?"
Kesya menatap kertas corat-coret di hadapannya. "Lagi ngerancang cincin
kawin kalian." "Really?" Suara Cecil terdengar bersemangat sekali. "Kalau begitu, nanti
sekalian bawa rancangannya ya! Aku mau lihat!"
"Sori, nggak bisa. Rancangannya belum jadi, dan kamu nggak boleh ngintip apa
pun sebelum rancangannya benar-benar sempurna!"
"Apaan sih, Kesh" Kok pake serius gitu" Aku jadi deg-degan nih dengernya...,"
kata Cecil dengan nada meluap-luap.
Kesya tertawa kecil. "Iya deh. Aku nggak mau ngerusak rahasia kamu. Oke, sampai ketemu nanti
jam tiga ya! Aku tunggu kamu di Bride"s World."
Kesya meletakkan teleponnya dan kembali melanjutkan rancangannya. Cincin
kawin Alo dan Cecil benar-benar dirancangnya dengan cermat. Semalaman dia
melihat-lihat semua kenangan Alo dan Cecil dari kotak khusus mereka. Berkat kotak
khusus itu, Kesya mendapat ide cincin yang sangat bagus. Kedua cincin itu
merupakan jalinan emas yang tidak terputus. Yah... walaupun selama pacaran ALo
dan Cecil sering sekali putus-sambung, Kesya berharap pernikahan ini untuk
selamanya. Bukankah memang begitu seharusnya hakikat sebuah pernikahan"
Abadi. Satu untuk selamanya.
Kesya kembali menatap rancangan cincin Alo dan Cecil. Cincin ini haruslah
melambangkan pribadi Alo dan Cecil. Pada badan cincin, Kesya merancang butiranbutiran berlian kecil yang jumlahnya cukup banyak. Letaknya rapat-rapat, dan
kalau sekilas dilihat, butiran-butiran berlian itu tampak seperti sparkling pada
sampanye. Butiran-butiran sparkling sampanye itu melambangkan kepribadian Cecil
yang selalu bersinar dan ingin jadi pusat perhatian. Sedangkan warna cincin yang
dibuat lembut mencerminkan kepribadian Alo yang tenang. Kesya tersenyum puas
menatap hasil rancangannya.
"Permisi, Bu Kesya..." Kepala Mona menyembul dari balik pintu.
"Ya." Kesya tersenyum lebar. Pekerjaannya telah selesai dan dia merasa puas
sekali. "Ini ada Pak Jansen."
Kesya langsung bangun dari duduknya.
Jansen. Sepertinya sudah lama dia tidak bertemu Jansen. Kesya mengingatingat, kapan terakhir kali mereka bertemu" Waktu konser La Rouge, hmm... berarti
kira-kira tiga minggu yang lalu. Selama itu tidak ada kontak apa pun. Anehnya,
Kesya tidak merasakan apa pun.
Kesya menghela napas. Apakah rasa itu sudah hilang" Entahlah...
"Hai...," sapa Kesya.
Jansen yang sedang memperhatikan perhiasan dari balik etalase, langsung
berbalik dengan kikuk. "Haaiii... Kesya...," sapanya sambil tersenyum gugup.
"Ayo masuk ke ruang kerjaku." Kesya tidak ingin kegugupan Jansen menjadi
bahan tertawaan anak buahnya.
Jansen mengikutinya. Kreeekkk... Kesya menoleh mendengar suara itu. Di belakangnya, tampak Jansen berdiri
dengan aneh. Entah bagaimana, sebelah kakinya tersangkut pada kaki kursi tempat
dia duduk tadi. Kesya mendengar tawa tertahan para anak buahnya. Jansen
menatap Kesya salah tingkah dan lagi-lagi tersenyum gugup.
"Duduk yuk..." Kesya berusaha terdengar santai. Semoga Jansen juga bisa lebih
santai. Jansen duduk diikuti Kesya.
"Aku... kita... udah lama nggak ketemuan...." Jansen meremas-remas tangannya.
Kesya memperhatikan semua gerak-gerik Jansen. Tingkah lakunya penuh
kegugupan. Tampak sangat tidak percaya diri.
Mata Kesya menerawang. Tanpa sadar, ia kembali membandingkan Jansen
dengan Marco. Perilaku kikuk dan gugup Jansen berbeda sekali dengan perilaku
penuh percaya diri Marco. Kesya tidak pernah melihat Marco nervous sedikit pun.
Rasa percaya diri seolah terpancar begitu kuat dari setiap pori-pori tubuhnya.
"Jadi... aku... aku mau ajak kamu keluar untuk makan siang..."
Kesya melirik jam di pergelangan tangannya. Sebentar lagi jam dua belas,
memang sudah waktunya makan siang. Baiklah, setelah itu dia akan segera
menemui Cecil. Kesya beranjak bangun. "Oke," katanya.
Jansen terlihat bingung. "Kamu mau ke mana, Kesh?"
"Lho... katanya tadi mau ngajak makan siang?"
Jansen tersenyum gugup. "Oh iya... Ayo kita pergi..."
Iih... lama-lama il-fil juga deh dengan gaya Jansen!
Kesya menggeleng cepat, berusaha mengusir il-fil yang baru saja dirasakan. Ini
kan Jansen, laki-laki yang dia sukai. Dia kan sudah menetapkan hati bahwa jansen
adalah yang terbaik untuknya. Seharusnya dia berbahagia dengan ajakan Jansen ini.
Siapa tahu dalam acara kali ini Jansen akan mengutarakan isi hatinya. Isi hatinya
yang sesungguhnya. Jansen mengajak Kesya makan siang di sebuah kafe. Suasana kafe yang remangremang berhasil membangun kesan romantis yang ingin ditunjukkan Jansen.
Selesai makan, Jansen mengelap mulutnya juga kedua tangannya. Berulang kali
dia mengganti-ganti posisi duduknya.
Kesya memperhatikannya dalam diam. Entah apa yang berkecamuk dalam
pikiran Jansen. "Hmm... Kesya yang ayu...," Jansen memulai.
"Hmm?" Kesya menunggu.
"Aku... kita... sudah cukup lama kenal ya..." Jansen meremas tangannya.
Tangannya terulur untuk menggenggam tangan Kesya. Kesya merasakan kedua
tangan Jansen bergetar hebat.
"Aaaaku...," Jansen menarik napas panjang, "aku cin... cinta kamu. Dan aku
ingin kita serius pacaran."
Suasana tiba-tiba terasa hening.
Kesya tertegun. Tidak ada gegap gempita, sorak-sorai, tebaran confetti, atau tabuhan fanfare
dalam hatinya. Hatinya terasa biasa-biasa saja. Semua itu tidak dirasakannya.
Padahal entah sudah berapa kali Kesya menanti-nantikan momen ini.
Entah apa yang dirasakannya kini. Kesya sendiri juga bingung.
"Aku...," ujar Kesya, tergagap.
Jansen menunggu. "Aku..." Kesya memalingkan wajah. Tidak tahan melihat tatapan memohon di
wajah Jansen. "Aku tidak tahu."
"Tidak tahu" Mak... maksud kamu?" Alis Jansen bertaut. Ruwet sekali.
Kesya menghela napas. "Aku tidak tahu. Aku harus memikirkan semua ini.
Aku... minta waktu."
Jansen tampak akan pingsan, tubuhnya bergetar hebat. Namun, tampak sekali
dia berusaha mengendalikan dirinya. "I... iya... aku akan memberi kamu waktu.
Sebanyak... sebanyak yang kamu perlukan, Kesya yang ayu."
*** Kesya disambut oleh Anita saat tiba di Bride"s World.
"Cecil sudah datang?" tanyanya.
Anita menggeleng. "Kata Mbak Cecil, Mbak Kesya boleh lihat-lihat baju
bridesmaid dulu." Kesya mengangguk. Bukankah bridesmaid akan mengenakan baju yang mirip
dengan baju mempelai wanita" Kalau begitu dia harus menunggu baju pilihan Cecil
dulu. "Hai, Kesya sayang..." Seorang wanita berpakaian sari"pakaian khas wanita
India"berwarna pink terang datang menghampiri Kesya. Wanita itu juga memakai
hiasan rambut dan perhiasan ala India, lengkap dengan celak hitam di mata dan
bindh warna merah di dahi. Tangannya juga digambar mehindi dengan motif bunga.
Kesya memandang takjub wanita ini.
Ini kan... Madame Daphne"
"Ha... hai, Madame."
Kesya berusaha menyembunyikan keterkejutan di wajahnya. Di belakangnya,
dia dapat mendengar Anita terkikik pelan. Tampaknya Anita sudah cukup maklum
dengan kelakuan bosnya yang agak ajaib. Lain halnya dengan Kesya. Kesya terkejut
melihat penampilan Madame Daphne. Terakhir dia bertemu dengan perancang
busana pengantin itu, si madame berpakaian ala gadis Gipsi. Sekarang dia
berpakaian ala gadis India. Entah apa lagi yang akan dikenakannya pada pertemuan
berikutnya. Seakan kejutan itu juga belum cukup, tiba-tiba Cecil masuk diikuti oleh... Finna!
Dahi Kesya berkerut. Dia" tanyanya tanpa suara.
Cecil mengangguk pasrah. Wajahnya kusut sekali. Sepertinya dia baru saja
bertarung habis-habisan dengan keinginannya untuk melumat habis sosok Finna.
Sementara itu, Finna sedang beramah-ramah dengan Madame Daphne, tentu saja
dengan menggunakan suara sengaunya.
"Wah... tempat ini... lumayan... Hanya lumayan," ujar Finna, memberikan
penekanan berlebihan pada kata "lumayan". Dia mengedarkan pandangan.
Tingkahnya persis seperti agen properti yang sedang menilai suatu tempat. "Ini
belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan tempat wedding organizer saya di
Amerika sana." Kali ini nadanya terdengar sangat melecehkan. Finna tertawa
sengau. Madame Daphne mengernyit tidak suka. Tentu saja! Siapa yang suka dilecehkan
seperti itu" Dada Cecil turun-naik, pertanda bahwa dia sedang berusaha keras
mengendalikan amarahnya. Kesya menahan lengan Cecil dan menggeleng pelan.
Dia tidak mau terjadi pertumpahan darah di antara dua wanita dewasa, yah,
seorang wanita dewasa dengan seorang wanita yang sangat tidak dewasa, di sini.
"Madame Daphne...," panggil Kesya dengan sopan.
Madame Daphne masih memandang dengan tatapan tidak suka ke arah Finna
sebelum berpaling ke arah Kesya. Senyumnya mengembang tipis sekali.
"Boleh kami langsung melihat rancangan gaun pengantin terbaru Anda?"
Senyum Madame Daphne bertambah lebar. Dia langsung merangkul Cecil dan
Kesya ke ruang berikutnya. Tidak dipedulikannya Finna. Diperlakukan seperti itu,
Finna langsung mengentak-entakkan kaki, namun lagi-lagi tidak ada yang
memedulikannya. "Saya dengar, Madame juga mencoba merancang gaun malam, ya?" Kesya
mengalihkan perhatian Madame Daphne.


The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Madame Daphne tersenyum. "Benar sekali."
"saya melihat hasil rancangan Madame di majalah, dan semuanya bagusbagus..."
Madame Daphne tersenyum lebih lebar lagi. Dia membuka sebuah lemari
berukuran besar, tempat menyimpan rancangan gaun pengantin terbarunya. Dia
merentangkan tangan dengan bangga, memperlihatkan semua gaun pengantin
rancangannya, seolah gaun-gaun itu adalah bayi-bayi yang sangat cantik.
"Ini rancangan saya yang terbaru..." Tangannya terentang, mempersilakan Cecil
untuk memilih gaun pengantin yang cocok untuknya.
Cecil meraba semua gaun pengantin itu. Mencari tahu gaun pengantin mana
yang berjodoh dengannya. "Mau coba yang ini?" Madame Daphne mengeluarkan sebuah gaun. Gaun itu
bergemeresik pelan saat berpindah ke tangan Cecil.
"Saya coba dulu ya," jawab Cecil.
"Anita, tolong bantu Cecil," pinta Madame Daphne.
Anita mengangguk dan mengikuti Cecil ke dalam kamar ganti.
Beberapa saat kemudian, Cecil keluar dari kamar ganti. Dia berputar-putar di
depan Kesya dan Madame Daphne.
"Gimana" Gimana?" tanya Cecil bersemangat.
Gaun itu tampak sederhana, terbuat dari bahan brokat dengan motif bunga.
Bahan brokatnya tidak terlihat berat, malah tampak memeluk mesra tubuh Cecil.
Potongan lehernya yang berbentuk V tampak rendah. Di bagian pinggirnya ada pita
warna pink dari bahan satin. Di tengah pita itu tersemat sebuah bros berbentuk
bunga. Keseluruhan gaun itu memang terlihat sederhana, tapi juga sangat elegan.
"Simple, but yet so elegant," puji Kesya.
Finna terdengar mendengus. Tidak ada yang memedulikannya. Dia mendengus
lebih keras. Lagi-lagi tidak ada yang memedulikannya.
"Aku rasa gaun ini cocok untuk pemberkatan di gereja," komentar Cecil.
Kesya menghela napas lega. Sepertinya pemilihan gaun pengantin kali ini tidak
akan berlangsung selama yang pertama.
"Sekarang aku butuh gaun untuk resepsinya..." Tubuh Cecil memutar, kembali
menghadap ke jajaran gaun yang indah memesona. Dia kembali meraba gaun-gaun
pengantin rancangan Madame Daphne.
"Ini rancangan yang paling saya suka..." Madame Daphne mengeluarkan
sebuah gaun dengan sangat hati-hati.
Napas Cecil tertahan. Tatapannya sarat kekaguman. Dia masuk ke kamar ganti
diikuti oleh Anita. Saat Cecil keluar dari kamar ganti, seolah ada cahaya yang menyorot dan hanya
menyinarinya seorang. Dan gaunnya" Gaun itu menyatu dengan indah pada tubuh
Cecil. Setiap helai kainnya melekuk sempurna, membentuk sebuah siluet yang
membuat semua mata sulit berpaling dari Cecil. Berbentuk bustier yang seksi, bagian
bawahnya menyempit, menampilkan lekuk tubuh Cecil, kemudian ujungnya
melebar membentuk ekor gaun yang dramatis. Bagian bawahnya dihiasi rendarenda kecil dengan desain yang sangat manis. Seluruh gaun dihiasi payet yang
berkilauan. Setiap kali Cecil bergerak, payet itu memantulkan cahaya lampu
sehingga Cecil tampak bersinar cemerlang. Kesya yakin seratus persen, payet-payet
berkilauan itu pasti membuat Cecil jatuh cinta setengah mati.
Perlahan, Cecil meraba gaun itu. Dia bergerak mengamati tubuhnya dalam
balutan gaun pengantin. Sekujur tubuhnya berkelap-kelip heboh. Cecil tersenyum
lebar. Binar kekaguman terpancar kuat dari matanya.
"So beautiful, Cil...," bisik Kesya. Cecil hanya mengangguk, terlalu gembira
untuk dapat berkata-kata.
Cecil menatap Kesya. Dalam hati Kesya tertawa, baru kali ini Cecil terdiam
cukup lama. Biasanya sahabatnya itu tidak pernah diam lebih dari lima detik.
"You look like a queen...," puji Kesya tulus. "Your Majesty..." Kesya membungkuk
hormat, seolah yang berdiri di hadapannya adalah seorang ratu mahaagung.
Cecil tertawa. Dia berpaling kepada Madame Daphne. "Saya ambil yang ini
juga," ujarnya mantap.
"Wait!" Sebuah suara mengejutkan mereka.
Finna! Mereka lupa sama sekali pada wanita itu! Dan wanita itu tidak suka dilupakan
begitu saja! "Masa kamu langsung deal begitu saja sih, Cil" Tanpa melihat gaun-gaun
lainnya" Lagian menurutku gaun itu ngak cocok banget sama kamu! Nggak sesuai
dengan kepribadian kamu!" Finna masih terus nyerocos. "Menurutku, kamu lebih
cocok kalau pakai gaun dengan model seperti ini..." Dia menyodorkan kertas yang
entah dari mana telah berada di tangannya.
Cecil menatap gambar itu, Kesya mengintip dari balik bahu Cecil.
Gaun model apa itu" Entah dari mana Finna mendapatkan potongan gambar
itu. Itu gaun teraneh yang pernah dilihat Kesya. Gaun pilihan Finna sebenarnya
hanyalah gaun putih biasa. Yang membuat gaun itu terlihat aneh adalah di bagian
bawahnya terdapat gambar lidah-lidah api yang menjalar dengan hebatnya, terus
sampai ke bagian pinggung gaun! Dan lidah-lidah api itu berupa sablonan yang
kentara sekali tidak dikerjakan dengan teliti.
Kesya memejamkan mata, tidak mau lebih lama lagi menatap gaun itu. Entah
bagian mana dari gaun tersebut yang, menurut Finna, cocok untuk Cecil.
Memangnya Cecil Medusa, si wanita berambut ular yang tatapannya dapat
membuat orang berubah menjadi batu"
"Anda pasti bisa kan, membuat gaun seperti ini?" Finna berpaling menunjukkan
gambar tersebut kepada Madame Daphne.
Madame Daphne melirik gambar itu dan terkesiap. Raut wajahnya
menampilkan rasa sakit hati yang amat sangat.
"Hei!" Kain sari Madame Daphne bergemeresik saat dia berbalik menghadap
Finna. "Anda kira saya perancang kacangan, ya?" bentaknya. "Saya tidak
mengatakan bahwa gaun dalam gambar yang Anda bawa sama sekali tidak
menarik. Gaun tersebut pasti akan terlihat menarik sekali kalau Anda yang
mengenakannya! Tapi, jangan hina saya seperti ini. Gaun-gaun rancangan saya
adalah gaun-gaun yang berkelas. Tidak seperti dalam gambar ini!"
Madame Daphne berbalik pergi. Wajahnya" Duh, tidak dapat dilukiskan dengan
kata-kata. Asem banget! "Madame..." Cecil buru-buru memanggilnya. Dia kerepotan karena masih
mengenakan gaun pengantin impiannya itu. Dia berbalik ke ruang ganti dan buruburu melepas gaun itu.
"Kesh...," panggil Cecil dengan putus asa. Kesya mengangguk paham. Dia
langsung mengejar Madame Daphne.
"Madame...," panggil Kesya lembut.
Madame Daphne masih terus berjalan. Wajahnya masih tetap ditekuk. Sekarang,
selain asem, wajah itu tampak keras seperti batu!
"Madame Daphne... saya... kami minta maaf." Kesya masih berusaha
mengimbangi jalan si madame. "Teman saya itu memang agak kasar. Saya harap
Madame tidak memedulikannya."
Madame Daphne berpaling tiba-tiba. Sari-nya bergemeresik mengikuti
gerakannya. "Saya sangat menyukai kalian berdua, kamu dan Cecil. Tapi saya sangat tidak
suka dengan perempuan mengerikan itu! Sejak awal dia telah membuat saya sakit
hati!" Suara Madame Daphne bergetar marah.
Yah... bukan cuma Madame Daphne yang sudah dibuat sakit hati oleh Finna, pikir
Kesya. "Maafkan teman saya itu...," kata Kesya merendah. Dia akan melakukan apa
saja untuk membuat hati Madame Daphne luluh.
Madame Daphne mendesah panjang, namun kesan keras dan asem di wajahnya
perlahan-lahan luruh. Senyum Kesya mengembang.
"Oke, saya maafkan dia." Seulas senyum terbit di wajah Madame Daphne.
"Tapi, saya tidak mau dia ikut campur urusan gaun pengantin lagi!" sambungnya
dengan nada tegas. Senyum Kesya bertambah lebar. Dia mengamit lengan Madame Daphne
kembali ke ruang gaun pengantin. Sambil berjalan, dia berdoa dalam hati semoga
Finna sudah tidak berada di sana.
Doanya terkabul. Entah siapa yang menghalaunya pergi, pokoknya Finna sudah
tidak berada di sana. Kesya bernapas lega. Yang ada di ruang gaun pengantin hanya
Cecil yang duduk dengan lesu dan Anita yang tidak tahu harus berbuat apa.
Begitu melihat Kesya dan Madame Daphne, Cecil langsung berdiri. Dia tidak
berkata-kata saking cemasnya. Senyum Kesya menghapus cemas di wajahnya.
"Jadi bagaimana?" tanya Madame Daphne, seolah tidak pernah terjadi insiden
apa pun sebelumnya. "Kamu jadi ambil gaun yang tadi?"
Cecil mengangguk kuat-kuat.
8 CECIL masih mengomel panjang lebar saat mereka sudah berada di mobil masingmasing. Kesya membawa mobilnya sendiri, Cecil juga. Ngomelnya" Ya lewat
telepon! "Nggak ngerti deh gimana jalan pikiran si Finna. Bisa-bisanya dia mengusulkan
aku memakai gaun pengantin mengerikan itu. Kamu liat sendiri kan, betapa
seremnya gaun itu?" "Iya sih...," ujar Kesya pelan. Jalar api yang terdapat pada gambar gaun itu
belum juga sirna dari bayangannya.
"Untung ada kamu, Kesh. Aku nggak tau gimana jadinya kalau kamu nggak
berhasil merayu Madame Daphne. I owe you really big!"
Kesya tersenyum. "I"m your bridesmaid..."
"Gimana kalau aku traktir kamu dinner" Tanda terima kasihku karena sudah
membereskan masalah Finna tadi?"
Kesya melirik jam tangannya. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul tujuh
malam. "Dinner sounds great...," jawabnya. "Di tempat yang biasa aja ya?"
"Oke," jawab Cecil. "Aku harus tegas kali ini. Aku nggak mau lagi Finna bikin
onar di acaraku nanti. Aku harus bersikap benar-benar tegas sama dia!" Cecil masih
menyambung pembicaraan mereka tentang Finna.
Kesya tersenyum lagi. "Udah deh. Nggak usah marah-marah terus. Nanti
keriput lho..." Cecil mengangguk meskipun Kesya tak bisa melihatnya. "Oh ya, aku belum
kabarin Alo soal gaun pengantinku. Aku telepon dia dulu ya..."
"Sekalian suruh dia dateng aja. Aku mau kasih liat rancangan cincin kalian."
Mata Cecil membelalak. "Ya ampun! Aku lupa sama sekali soal cincin itu. Jadi,
rancangannya udah jadi?"
Kesya menjawab santai. "He-eh."
"Sebentar ya, aku telepon Alo dulu..."
Kesya tidak mendengar apa-apa. Cecil menekan tombol hold sementara dia
menghubungi Alo. Tak lama kemudian Cecil kembali bicara dengan Kesya.
"Halo, Kesh..."
"Iya." "Kata Alo, kita dinner bareng aja. Aku, Alo, kamu, dan Marco..."
Kesya mengernyit. Dia tidak suka dengan urutan nama yang disebutkan Cecil.
Kesannya kok dirinya dan Marco berpasangan.
Mobil mereka masing-masing meluncur pelan. Tak lama kemudian mereka
sudah berada di dalam restoran. Alo dan Marco rupanya sudah sampai lebih dulu.
Mereka bangkit dari duduknya ketika Cecil dan Kesya tiba di meja.
"Hai, Sayang..." Cecil mengecup mesra pipi Alo sementara Alo mengusap
lembut pipi Cecil. Kesya jadi jengah sendiri. Ada begitu banyak cinta bertebaran di sekitar Alo dan
Cecil. Dia duduk dengan kikuk di samping Marco.
"Hai, Kesh...," sapa Marco. Kesya mengernyit. Sekilas dia mencium bau rokok
dari desah napas Marco. "Abis ngerokok lagi, ya?" Kernyitan Kesya bertambah banyak.
Marco tersenyum. Dia buru-buru memasukkan permen mint ke dalam mulutnya
dan mengunyahnya dengan gaya berlebihan.
Kesya menampilkan ekspresi jijik di wajahnya.
Alo dan Cecil tersenyum melihat ulahnya.
"Kenapa sih kamu, Kesh?" tanya Alo lembut. "Marco is a very nice person lho."
"Huhh..." Kesya mendengus pelan.
Acara dinner mereka berlalu tanpa insiden yang cukup berarti. Kecuali saat
tangan Kesya tidak sengaja memegang tangan Marco ketika mereka sama-sama
ingin mengambil kecap. Pemukul beduk di hati Kesya beraksi lagi. Kesya memaki
pelan. Mengutuki si pemukul beduk yang kurang ajar. Mukul beduk kok nggak
lihat tempat sih" Toh itu hanya tangan Marco. Tidak lebih. Marco sendiri hanya
tersenyum dan menarik tangannya seolah tidak terjadi apa-apa.
Selama dinner berlangsung, Cecil tidak berhenti bercerita tentang insiden gaun
pengantinnya. Dia juga menceritakan secara detail tentang gaun pengantin yang
dipilihnya dan memaksa Alo datang ke Bride"s World untuk memberikan penilaian
tentang gaun pengantinnya.
Setelah mereka semua selesai makan, Cecil memperbaiki duduknya.
"Nah, Kesh... kami mau liat rancangan cincin yang sudah kamu buat..." Cecil
tidak bisa menyembunyikan nada bersemangat dalam suaranya.
Kesya mengulum senyum. Dikeluarkannya buku sketsanya dari dalam tas.
"Ini..." Dia menunjuk gambar cincin yang tadi siang dibuatnya. Kesya menceritakan
detail-detail yang dibuatnya dalam gambar tersebut, sementara Alo dan Cecil
mendengarkan sambil berusaha memvisualisasikan gambar Kesya dalam benak
mereka. Cecil mengangguk-angguk penuh semangat. Senyum lebar selalu menghiasi
wajahnya, sementara Alo memperhatikan antusiasme Cecil dengan senyum kecil.
"So... gimana?" Kesya mengakhiri presentasi singkatnya sambil berharap-harap
cemas. Bagaimanapun, Cecil dan Alo adalah customer-nya.
"Great!" Cecil buru-buru menjawab. "Aku suka banget detail champagne"s
sparkling-nya. Itu aku banget!"
Kesya tersenyum. Benar, kan"
"Yah, memang harganya akan sedikit lebih mahal karena champagne"s sparklingnya berupa berlian-berlian kecil, kualitas terbaik tentu saja. Dan aku juga akan
meminta pengrajin emas yang khusus untuk membuat cincin kalian."
"Itu sih nggak masalah," sela Alo. "Apa aja yang dia suka...," ujarnya lagi sambil
menatap Cecil. Cecil tersenyum dan memeluk erat Alo.
"Tapi aku kurang begitu setuju kalau kamu membuatkan rancangan yang sama
untuk cincinku," tambah Alo. "Bisa nggak kalau buat aku dibuat lebih simpel lagi?"
Kesya mengangguk. Dia memang sudah menyiapkan rancangan yang lebih
sederhana untuk Alo. "Seperti ini maksud kamu?" Kesya menunjuk gambar cincin pada halaman
berikutnya. Rancangan yang sama dengan rancangan cincin Cecil, bedanya
berliannya hanya satu. "Perfect," ujar Alo mantap.
Kesya tertawa lebar. "Marco, aku udah kasih kamu CD fotonya, kan?" Alo berpaling kepada Marco.
"Yep." Marco menepuk-nepuk kantongnya.
"Oke kalau begitu. It"s a really exhausting day. Kita pulang aja ya..."
Mereka semua beranjak bangun.
Alo dan Cecil pulang dengan mobil masing-masing.
"Marco, kamu langsung pulang sama Kesya aja," ujar Cecil.
Kesya melirik tajam ke arah Cecil, namun Cecil tidak melihatnya. Entah tidak
melihat atau pura-pura tidak melihatnya.
"Oke, Marco?" Alo berpaling meminta persetujuan Marco.
"No problem." Alo langsung beranjak pergi, masih dengan lengan yang digelayuti Cecil. Marco
langsung menggandeng tangan Kesya.
Hei! Kenapa nggak ada yang menanyakan pendapat Kesya"
Kesya mendengus kesal. Terpaksa dia harus berduaan saja dengan laki-laki
bernapas asbak ini! Peugeot merah Kesya meluncur membelah malam yang sudah semakin larut.
Kali ini Marco menawarkan diri untuk menyetir. Kesya diam saja. Dia tidak wajib
beramah tamah dengan Marco.
"You"ve done a great job," kalimat Marco memecahkan kesunyian di antara
mereka. "Hmmm..." Hanya itu komentar Kesya.
"Rancangan kamu tadi benar-benar bagus..." Nada suara Marco terdengar lebih
lembut. Diam-diam Kesya tersenyum. Sekelumit perasaan bangga membuncah di
dadanya. *** Marco tercenung menatap foto-foto mesra pada laptopnya. Foto-foto Alo dan Cecil.
Marco berjanji untuk mengedit foto-foto tersebut. Rencananya nanti, ketika resepsi
pernikahan berlangsung, foto-foto tersebut akan ditampilkan pada sebuah layar
besar, agar semua tamu tahu perjalanan kisah cinta Alo dan Cecil.
Semua foto itu menggambarkan kisah cinta Alo dan Cecil. Ada foto saat mereka
masih mengenakan seragam SMA. Marco bahkan belum mengenal Alo saat itu.
Foto-foto tersebut seperti mengalami metamorfosis. Perlahan-lahan berubah
menunjukkan kedewasaan wajah Alo dan Cecil. Ada foto saat Alo dan Cecil
diplonco saat mahasiswa, lalu foto saat Cecil dan Alo sama-sama diwisuda, foto saat
Alo dan Cecil jalan-jalan bersama, juga foto-foto saat Cecil menemani Alo pertama
kali meeting besar di Malaysia.


The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Marco tersenyum getir. Will I have this kind of romance story" batinnya. Dia
teringat kisah cintanya yang membuat hatinya hancur lebur beberapa tahun silam.
Kisah cinta dengan Joanelle, gadis yang luar biasa cantik itu, gadis yang dipacarinya
selama dua tahun, gadis yang meninggalkannya mentah-mentah.
"Kenapa?" tanya Marco. Matanya merana menatap Joanelle.
"I need more. I want more." Tatapan Joanelle keras. Tidak ada sorot kepedihan di
sana. "Sorry to say that."
Dia lalu beranjak pergi dan naik ke sebuah Jaguar mewah. Milik pacar barunya, seorang
pengusaha beromzet miliaran.
Marco menghela napas. Dia mengeluarkan sebatang rokok dan menyelipkannya
di bibir. Tangannya bergerak, hendak mematikan laptopnya ketika dia melihat sebuah
file yang berjudul video. Rasa ingin tahunya menggerakkan tangannya untuk
membuka file itu. Tampak adegan Alo dan Cecil sedang...
"Kamu selalu keras kepala," ujar Alo. Nadanya tidak terdengar meninggi, tidak
seperti orang yang sedang marah. Tapi, bagi orang yang sudah mengenal Alo
dengan baik, esensi suaranya menandakan ada amarah yang bergejolak dalam
dirinya. "Aku" KERAS KEPALA?"
Tidak diragukan lagi, ini suara Cecil. Tidak ada yang berani melawan Alo,
hanya Cecil yang berani. Marco menahan senyumnya. Entah siapa yang berani merekam adegan ini.
"Kamu tuh maunya apa sih?" tanya Alo.
"Aku cuma mau kamu perhatiin aku!" bentak Cecil.
Alo menggeleng frustrasi. "Memangnya belum cukup perhatianku selama ini?"
Cecil menggeleng cepat. "Belum!" Cecil berpaling, wajahnya tepat menghadap
ke arah layar. "KESYA!" bentaknya. "Matikan handycam-nya!"
Sekarang yang terlihat adalah wajah Kesya, sedang tertawa cekikikan. Kesya
tampak beberapa tahun lebih muda.
"Hihihi.... ini adegan Alo dan Cecil sedang bertengkar," bisik Kesya sambil
tersenyum jail. "Taruhan, sebentar lagi mereka pasti udah sayang-sayangan lagi..."
Sorotan handycam beralih lagi ke Alo dan Cecil yang kini semakin kencang
berteriak. Sebenarnya Cecil yang berteriak-teriak. Alo hanya memandangnya
frustrasi dan berkata beberapa patah kata. Alo kemudian memeluk erat Cecil. Tubuh
Cecil mengejang kemudian lunglai, seperti es batu yang mencair disapu hangatnya
sinar matahari, Cecil kemudian menangis.
Alo mencium pipi Cecil berulang kali.
"Sori deh, Sayang. Aku janji akan lebih merhatiin kamu lagi." Walau diucapkan
cukup lembut, handycam dapat menangkap suara Alo. Cecil tidak menjawab, namun
tangisannya mereda. Sorotan handycam kembali beralih ke Kesya. "Tuh kan bener...," bisiknya, masih
terkikik. "Great job, Alo..." Kesya mengacungkan jempolnya ke arah handycam.
"KESYA!!!" Terdengar teriakan Cecil. Handycam buru-buru dimatikan dan
Marco tidak tahu lagi apa yang terjadi kemudian.
Tawa Marco meledak. Dia tidak menyangka akan melihat adegan yang seperti
itu. Adegan yang sangat intim, sangat hangat, dan bersahabat.
Marco melihat satu lagi file foto yang belum dibuka. Marco mengklik foto
tersebut dan layar laptopnya menampilkan foto Alo dan Cecil sedang mengapit
Kesya di tengah-tengah. Mereka merangkul erat Kesya. Kesya sendiri tersenyum
lebar. *** Kesya, Cecil, Alo, dan Marco terguncang-guncang di dalam mobil Alo. Hari ini,
Kesya dan Marco diminta untuk menemani Alo dan Cecil foto pre-wed di daerah
Puncak. Entah kenapa Cecil begitu ngotot minta Kesya menemaninya. Padahal
Kesya malas banget. Alo dan Cecil pasti akan sibuk foto-foto dan hal itu akan
menyebabkan dia menghabiskan waktu bersama Marco. Berduaan saja. Kesya
curiga, jangan-jangan ini salah satu akal bulus Alo dan Cecil untuk mendekatkan
dirinya dengan Marco. Kesya mengembuskan napas. Padahal dia ingin tidur sampai siang.
Pekerjaannya yang menumpuk, ditambah pekerjaan ekstranya menjadi bridesmaid
yang baik bagi Cecil, membuatnya sangat kurang tidur belakangan ini. Dia
memandang Marco yang asyik mengobrol dengan Cecil dan Alo. Kesya diam saja.
Dia sedang tidak ingin beramah-ramah dengan Alo, Cecil, apalagi dengan Marco!
"Kesh...," panggil Cecil, meliriknya dari kaca depan mobil. "Kok diam aja sih?"
Kesya balas memandangnya. "Aku ngantuk. Kan aku udah bilang dari tadi aku
nggak mau ikut karena aku mau tidur."
"Dasar sapi tukang tidur!" cela Cecil.
Kesya meninju bangku Cecil.
"Eh, omong-omong, kamu tau nggak siapa fotograferku?" kata Cecil tetap
antusias. "Memangnya siapa?"
"Darius!" pekik Cecil.
"Darius?" "Iya, Darius teman kita waktu masih Sma. Dia semangat banget waktu tau bakal
moto aku dan Alo. Dia juga seneng banget waktu aku bilang kamu juga ikut. Udah
lama banget kan, kita nggak ketemu dia?"
Kesya mengangguk. Darius, teman SMA mereka yang sejak dulu memang hobi
banget foto-foto. Darius juga rekan sekerja Jansen.
Ingan Jansen, Kesya teringat dia masih punya utang kepada lelaki itu. Kesya
memutar kembali ingatan saat Jansen menyatakan cintanya. Kembali berusaha
mencari-cari gegap gempita, sorak sorai, tebaran confetti, dan tabuhan fanfare dalam
hatinya. Dia tidak merasakan apa-apa. Kesya melirik Cecil. Cecil pasti senang banget
kalau Kesya cerita soal perasaannya yang kian memudar terhadap Jansen...
"Sudah sampai." Alo mematikan mesin mobil dan keluar.
Kesya keluar dan mengernyit. Panas banget! Hmm... pantas! Mereka sedang
berada di tengah-tengah kebun teh.
Cecil langsung menggandeng tangan Alo dan berlari menghampiri Darius yang
tengah bersiap-siap. Seorang wanita, mungkin juru rias, buru-buru menggiring Cecil
duduk di bawah sebatang pohon. Juru rias itu langsung bekerja cepat, merias Cecil.
Alo tampak mengobrol dengan Darius, kemudian melambai ke arah Marco dan
Kesya. Kesya balas melambai, tersenyum garing, dan menyeret langkahnya
menghampiri Alo dan Darius.
"Ini bridesmaid dan bestman-nya." Alo memperkenalkan mereka. "Kamu masih
ingat Kesya, kan?" Mata Darius terbelalak. "Ya ampun, Kesya! Sudah lama sekali kita nggak
ketemu!" Kesya tersenyum melihat antusiasme Darius.
"Aku dengar, kamu lagi dekat dengan Jansen, ya?" lanjut Darius setelah
menyalami Marco. Kesya merasakan tubuh Marco mengejang di sampingnya. Entah... mungkin
perasaannya saja. Sementara Alo hanya senyum-senyum tidak jelas. Kesya kembali
berkonsentrasi pada pertanyaan Darius.
"Hmmm... y... yah... begitu deh...," sahut Kesya gugup.
Darius tersenyum. Dari raut wajahnya Kesya tahu bahwa responsnya aneh
sekali. Bodo ah! Benaknya. Dia tidak mau repot-repot mengklarifikasi responsnya
tadi. "Hai! Aku cantik nggak?"
Tiba-tiba Cecil sudah berdiri di hadapan Kesya. Wajahnya sudah dirias. Tampak
cantik sekali. Dia juga sudah mengenakan gaun pengantin dengan potongan
sederhana. Cocok sekali untuk suasana perkebunan teh ini.
"Cantik banget, Sayang..." Alo memandang Cecil. Tatapannya lembut, namun
penuh pancaran cinta yang berapi-api.
"Alo, kamu ganti baju dulu aja," ujar Darius. "Biar aku setting tempatnya dulu."
Cecil berpaling kepada Kesya. "Kesh... tolong temenin Marco ya, sementara aku
dan Alo foto-foto," pintanya.
Kesya mengangguk malas-malasan.
Selesai Alo berganti pakaian, mereka meninggalkan Kesya dan Marco berduaan.
Bingung juga harus berduaan saja dengan Marco. Kesya kemudian duduk di tanah
dan mengeluarkan notes kecilnya, buku idenya. Bersyukur sekali karena buku itu
masih sempat dia selipkan di dalam tasnya.
"Lagi ngapain?" Marco juga ikut duduk di sampingnya.
"Corat-coret aja," sahut Kesya singkat.
"Rancangan baru?"
Kesya mengangguk tidak peduli.
Marco merebahkan tubuh di samping Kesya. Matanya terpejam.
Kesya masih terus sibuk mencorat-coret notes kecilnya. Waktu terus bergulir.
Sesekali terdengar tawa Cecil, Alo, dan Darius dari kejauhan. Tampaknya mereka
sangat menikmati sesi pemotretan kali ini dan tidak menyadari waktu yang terus
bergulir. "Bosen nih..." Kesya tersentak mendengar suara itu. Dia kira Marco tidur, tapi ternyata lakilaki itu tiba-tiba bangun.
"Kamu bisa naik sepeda?" tanya Marco.
Kesya mengangguk pelan. Anggukan yang ragu-ragu. Sebenarnya dia tidak bisa
naik sepeda, namun dia gengsi mengakuinya di hadapan Marco.
"Tadi Alo bilang dia bawa sepeda lipatnya. Ada di bagasi. Kita putar-putar aja
yuk." Marco bangkit dan menggandeng tangan Kesya. Kesya langsung panik. Dengan
terburu-buru, dimasukkannya notesnya ke tas. Tersaruk-saruk dia mengikuti Marco.
Marco menggandeng Kesya mendekati Alo dan Cecil. Alo dan Cecil langsung
saling melempar senyum penuh makna saat melihat tangan Kesya dan Marco yang
bertaut. Kesya melepaskan genggaman tangan Marco. Kepalanya tertunduk,
sementara Marco hanya tersenyum.
Dug dug dug! Si pemukul bedug kurang ajar itu kembali beraksi!
"Alo, kami pinjam sepedanya ya. Mau putar-putar aja."
Alo melemparkan kunci mobilnya. "Ambil aja sendiri. Ada dua tuh, tapi Kesya
kan nggak bisa naik sepeda..."
Marco tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Alo. Dan masih terus
terbahak-bahak saat mereka sudah berada di dekat mobil Alo.
"Memangnya kenapa kalau aku nggak bisa naik sepeda?" tanya Kesya ketus.
"Ya nggak apa-apa sih. Tapi kenapa tadi waktu aku tanya, kamu sok-sokan
bilang bisa naik sepeda" Gengsi?" Marco tersenyum menggoda.
Kesya mengangkat dagu tinggi-tinggi dan berjalan menjauh dari Marco.
Rasanya dia sudah berjalan jauh sekali ketika sebuah sepeda meluncur di
sebelahnya. "Kesh... jangan marah dong," bujuk Marco.
Kesya diam saja dan terus berjalan.
"Ayo naik sini...," bujuk Marco lagi.
Kesya tetap tidak memedulikan Marco dan...
"Hhheiii!" Kesya menjerit ketika sepasang tangan kokoh Marco merengkuh tubuhnya dan
mendudukkannya di besi melintang di depan sadel sepeda.
"Jangan keras kepala ya..." Marco menggeleng-geleng. Lagaknya seperti sedang
berbicara dengan anak balita. "Kamu harus nurut sama aku."
Marco mengayuh sepedanya pelan. Kesya kesal, namun pemandangan indah
yang membentang di hadapannya menyurutkan rasa kesalnya. Lagi pula, berada
begitu dekat dengan Marco, begitu intim rasanya.
Dug dug dug dug dug! Si pemukul beduk beraksi lagi!
Kali ini Kesya tersenyum. Menyambut hangat si pemukul beduk. Lama-lama dia
menikmati juga irama tidak teratur si pemukul beduk.
Marco mengayuh sepedanya dengan santai.
"Lihat itu, Kesh..." Marco menunjuk dengan dagunya. "Sunset."
Dan Kesya terpesona dengan pemandangan di hadapannya. Matahari surut
perlahan-lahan, kembali ke peraduannya. Marco menghentikan laju sepedanya dan
terpaku juga melihat keindahan alam tersebut. Keindahan alam yang alami, namun
sering kali terlupakan karena sibuknya aktivitas sehari-hari.
Selesai melihat sunset, mereka kemudian kembali ke lokasi pemotretan. Marco
mengembalikan sepeda lipat Alo ke dalam bagasi mobil. Tepat saat itu juga, Alo dan
Cecil menghampiri mereka. Rupanya mereka sudah selesai.
"Hai... having great time?" tanya Alo.
Tanpa sadar, Kesya mengangguk.
Senyum cerah di wajah Cecil menunjukkan bahwa Kesya terlalu antusias
merespons pertanyaan Alo. Kesya buru-buru mengembalikan posisi wajahnya ke
level "tidak terlalu antusias".
Cecil menarik Alo dan berbisik-bisik di telinganya. Mata Kesya menyipit. Entah
apa lagi yang direncanakan si drama queen ini!
Alo menggeleng-geleng dan mengernyit memandang Cecil. Sebaliknya, Cecil
mengangguk kuat-kuat dan tersenyum lebar sekali!
"Kesya, Marco...," kata Cecil sangat antusias. "Sepertinya kita akan kemalaman,
jadikita menginap saja di sini. Toh hari ini weekend, besok Minggu, dan nggak ada
yang harus kerja." "Cecil! Kamu apa-apaan sih" Menginap tanpa rencana begini" Aku kan nggak
bawa baju ganti!" Cecil tersenyum licik. "Aku bawa baju kamu. Ada di bagasi mobil," ujarnya
penuh kemenangan. DeeDee... Kesya mengumpat dalam hati.
"Marco?" Cecil berpaling kepada Marco.
"Aku sih nggak keberatan," jawab Marco santai.
Dan demikianlah yang terjadi. Kesya kesal sekali dan masih terus marah-marah
saat dia dan Cecil sudah berada di kamar hotel mereka. Alo sekamar dengan Marco.
"Kamu tuh apa-apaan sih, Cil" Aku bilang nggak mau ikut, eh kamu malah
maksa aku nginap di sini. Tanpa rencana, lagi!"
Cecil tersenyum, tidak peduli dengan wajah kusut Kesya.
"Nggak apa-apa kok, sekali-sekali melakukan sesuatu tanpa rencana. Kan seru!"
balasnya sambil melenggang masuk ke kamar mandi. Cecil menutup rapat pintu
kamar mandi. Kesya jadi berhenti marah-marah. Percuma dia marah-marah
sekarang. Cecil sudah menutup pintu, jadi jelas dia tidak akan mendengar omelan
Kesya. Kesya beranjak ke teras kamar. Dengan pasrah dinikmatinya embusan udara
yang semakin dingin. Dan dia tersentak saat melihat sosok tinggi di teras
sebelahnya. Sosok itu berasap!
Hiiyy! "Kesya, ngapain di luar?"
Kesya tersedak. Sesaat dia sempat lupa bernapas. Ternyata sosok tinggi berasap
itu adalah Marco yang sedang merokok.
"Ihhh, Marco!" seru Kesya sambil mengernyit.
Marco buur-buru mematikan rokoknya. Kemudian dia mengeluarkan permen
mint dari dalam kantong celananya lalu mengunyahnya.
"Kamu benar-benar nggak suka sama smokers, ya?" tanya Marco lembut.
Kesya duduk, sejenak melupakan pertikaian mereka. "Aku punya teman baik
yang meninggal karena kanker paru-paru. Dia perokok berat. Sehari bisa
berbungkus-bungkus rokok habis diisapnya. Kasihan banget. Masa depannya hilang
karena nikotin." Marco tersenyum. "I never know that...," ujarnya lembut.
"Makanya aku nggak suka sama perokok! Egois!" Kesya mencibir ke arah
Marco. Marco tergelak. "Iya deh! Aku janji akan quit jadi smoker." Tangannya terkepal
dan diletakkan melintang di dada.
Kesya tersenyum. Lagak Marco seperti kesatria yang bersumpah pada rajanya.
"Kesh?" panggil Cecil. Rambut keritingnya tampak basah. "Kamu mau mandi
nggak?" Kesya menggeleng. "Nanti saja."
"Kalau begitu, kita makan jagung bakar yuk." Cecil berpaling ke arah Marco.
"Alo mana?" "Yup, Sayang?" Alo keluar dari dalam kamar.
"Aku pengin makan jagung bakar nih. Tadi sepertinya aku lihat ada yang jualan
di depan hotel deh."
"Boleh." Alo tidak pernah menolak permintaan Cecil. "Kesya, Marco, kalian
mau ikut?" Kesya menggeleng. "Aku mau makan di sini saja. Males mau keluar-keluar
lagi..." "Kalau begitu aku juga di sini saja. Kalian enjoy aja," Marco menanggapi.
Alo dan Cecil senyum-senyum lagi. Seharian ini mereka ramah sekali. Senyumsenyum terus!
"Kamu mau makan apa, Kesh?" tanya Marco ketika Alo dan Cecil sudah berlalu.
"Mmm... liat di restoran hotel saja."
"Kalau begitu, tunggu sebentar. Aku ke kamarmu lewat pintu depan," kata
Marco cepat, lalu menghilang dari teras kamar. Tak lama kemudian Marco sudah
muncul di ambang pintu kamar Kesya dan menghampiri gadis itu.
"Yuk, aku temani ke restoran..." Marco mengulurkan tangan. Kesya ragu-ragu,


The Bridesmaids Story Karya Irena Tjiunata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

namun kemudian menyambut uluran tangan Marco.
Dug dug dug dug! Si pemukul beduk beraksi lagi. Kali ini Kesya menyambut
hangat si pemukul beduk. Benar-benar menikmati suasana ini.
Namun... Blasss! Tiba-tiba lampu di seluruh hotel mati!
"Marco!" panggil Kesya panik. Dia paling tidak suka berada di kegelapan.
Tangannya menggenggam tangan Marco lebih erat lagi.
"Aku di sini." Kesya merasakan Marco mendekapnya. Tubuh Kesya menegang, lalu perlahanlahan santai. Menikmati sensasi berada di pelukan hangat Marco.
"Lihat deh..." Kesya merasa Marco memegang dagunya, menuntun wajahnya
untuk menengadah. "Bintang. Banyak sekali..."
Kesya terperangah. Berjuta-juta bintang berkelap-kelip indah di langit malam.
Kesya tidak pernah melihat bintang sebanyak ini di langit Jakarta. Indah sekali!
Saat Kesya menoleh dan memandang Marco, di bawah sinar bulan dan cahaya
bintang, dilihatnya tatapan lelaki itu melembut.
"Kesh... may I kiss you?" tanya Marco pelan sambil merengkuh kepala Kesya.
Kesya mengangguk, lalu merasakan bibir Marco menyapu lembut bibirnya.
Desah napas Marco bercampur dengan aroma mint. Kesya membuka bibirnya,
memberi kesempatan pada Marco untuk menjelajah ke dalam relung hatinya. Marco
mencium Kesya dengan lembut. Tangannya merangkul erat pinggang Kesya.
Kesya memejamkan mata dan merasa pusing. Pusing yang menyenangkan. Di
dalam dadanya, bergemuruh sorak-sorai, gegap gempita, dan tabuhan fanfare.
Sekilas Kesya juga dapat melihat tebaran confetti, walaupun matanya terpejam rapat.
"Kesh... Kesya...," panggil Marco lembut.
Kesya merasakan bibir Marco telah lepas dari bibirnya. Dia membuka mata.
"How was that?" tanya Marco sambil tersenyum nakal.
Kesya menjawabnya dengan senyuman, dan Marco menyambutnya dengan
sebuah ciuman yang panjang dan lama....
9 KETIKA mereka pulang keesokan harinya, DeeDee membukakan pintu apartemen
Kesya dengan raut wajah yang sulit ditebak.
"Ada apa?" tanya Kesya waspada.
DeeDee membuka pintu lebih lebar dan Kesya pun tahu apa yang membuat raut
wajah DeeDee seperti itu. Di sofa ruang tamu, Jansen duduk dengan gelisah.
"Dia sudah duduk begitu dari pagi," bisik DeeDee.
Kesya menatap punggung Jansen dengan cemas. Dia melirik Marco sementara
Marco santai saja. Dia mengekor Kesya menemui Jansen.
"Jansen," sapa Kesya pelan.
Jansen berpaling dan terkesiap melihat Kesya dan Marco. Tatapannya tajam,
menghunjam postur Marco yang tampak santai di belakang Kesya.
"Kesh... aku mau bicara dengan kamu...," ujarnya gugup. "Berdua saja..."
Kesya menatap Marco. Marco mengangguk dan beranjak pergi.
Marco menemui DeeDee yang masih menunggu dengan gelisah di pintu masuk.
"Aku... aku lihat foto ini di meja kerja Darius kemarin malam." Jansen
mengeluarkan beberapa lembar foto yang dicetak ukuran besar. Foto Kesya sedang
duduk di depan sadel, tertawa lebar, sementara Marco duduk di belakangnya.
Rambut Kesya tergerai lemas saat sepeda tampak meluncur menuruni jalan yang
melandai. Wajahnya sangat bahagia. Senyum di wajah Marco tidak kalah lebarnya.
Tampak sekali mereka sangat menikmati momen tersebut.
Di foto yang kedua, tampak Kesya masih duduk santai di atas sepeda. Satu kaki
Marco menapak, sementara tangannya di letakkan di bahu Kesya. Kali ini sepeda
terlihat berhenti. Mereka berdua sedang menatap kagum ke pemandangan sunset
yang indah. Kesya terkesiap. Dia tampak cantik sekali di kedua foto itu. Biasanya, hanya
Jansen yang mampu membuat Kesya tampak cantik dalam foto. Ternyata bukan
fotografernya yang membuat Kesya tampak cantik, namun orang yang bersamanya,
yang berada di sisinya yang membuatnya tampak sangat cantik. Orang itu adalah...
Marco. Jepret...! Kesya mengedip. Bunyi itu mengejutkannya. Jansen mengeluarkan hasil
bidikannya dari kamera Polaroid-nya. Dia menatap foto itu dan tersenyum getir.
"Aku... aku tidak membuat kamu tampak ayu lagi di foto...," ujarnya sambil
mengangsurkan foto hasil bidikannya kepada Kesya.
Kesya menatap foto itu, wajahnya tampak murung. Sinar-sinar yang biasanya
terlihat dari sekitar wajahnya sirna. Kesya mengangkat wajah dan menatap Jansen.
"Semua gara-gara... gara-gara laki-laki itu, kan?" tanya Jansen pelan.
"Maaf... aku..." Kesya terdiam. Tidak mampu melanjutkan kalimatnya.
"Sudahlah...," potong Jansen pilu. "Aku... aku mengerti kok, Kesya yang ayu."
Jansen beranjak ke arah pintu. Kesya mengikutinya. Tiba-tiba Jansen berbalik
dan berjalan pelan mendekatinya. Wajahnya condong dan dekat sekali dengan
Kesya. Kesya terkesiap. Dadanya berdebar. Bukan debar menyenangkan yang biasa dia
rasakan ketika bersama Marco. Ini debar yang membuatnya sungguh merasa tidak
nyaman. Kesya bergerak-gerak dengan gelisah sementara tubuh Jansen sudah
merapat ke arah tubuhnya.
"Mau apa kamu?" Marco tiba-tiba berdiri di sebelah mereka. Menatap tajam ke
arah Jansen. Nada suaranya tegas dan berat. Menyurutkan entah apa yang akan
dilakukan Jansen. Marco mendorong Jansen, membentangkan jarak lebar antara tubuh Jansen dan
tubuh Kesya. "Kalau kamu memang mencintainya, perlakukan dia dengan sopan!"
Suara Marco memancarkan getar kemarahan di setiap katanya.
Jansen memandang Kesya dan Marco bergantian. Dia tersenyum getir.
"Rasanya... rasanya aku memang tidak memanfaatkan waktu yang kumiliki
dengan... sebaik-baiknya," ujarnya tercekat.
Jansen kembali memandang Kesya. Kali ini tatapannya lama dan mendalam.
Kesya tidak beranjak dari sisi Marco. Lengan Marco melintang kokoh di
hadapan tubuh Kesya. Melindungi gadis itu dari segala bahaya yang mengancamnya. Tangan Kesya menggamit erat lengan Marco. Mencari perlindungan dari
lengan kokoh itu. Posisi itu sudah sangat jelas bagi Jansen. Dia tahu dia sudah kalah
total! "Aku... aku kalah. Kamu menang." Dia menatap Marco. "Jaga dia baik-baik,"
ujarnya, kemudian beranjak dari apartemen Kesya.
*** "Jadi?" tanya DeeDee sambil tersenyum. "Gimana cerita lengkapnya?"
Siang itu, DeeDee memaksa Kesya untuk mentraktirnya makan siang sekaligus
menodongnya untuk menceritakan versi lengkap kisah jadiannya dengan Marco.
Wajah Kesya memerah. "Ya begitu aja. Pokoknya aku udah jadian sama dia."
DeeDee cemberut. "Masa gitu aja" Nggak percaya!" Dia menggeleng keraskeras. "Masa nggak ada romantis-romantisnya" Marco itu cowok paling romantis
lho!" Wajah Kesya kembali memerah.
DeeDee tersenyum lebar, "Berarti sudah dong?"
Kesya mengangguk, menunduk menyembunyikan wajahnya.
"Serius?" DeeDee melonjak dari duduknya. "Gimana rasanya?"
"Wonderful...," bisik Kesya. Matanya berbinar mengingat kejadian sejuta bintang
Sabtu kemarin. "Terus, kalian pakai gaya apa?"
Wajah Kesya berubah bingung. "Memang ciuman ada gayanya?" tanyanya
polos. "Lho?" Wajah DeeDee juga sama bingungnya. "Jadi cuma kissing doang?"
Kesya mengangguk. "Memang maksud kamu apa?"
DeeDee menggeleng-geleng. Matanya melotot.
Kesya terkesiap begitu menyadari apa maksud DeeDee yang sebenarnya. "Ya
ampun, DeeDee! Kami belum have sex sama sekali!" bisiknya histeris.
"Kamu tuh yang "ya ampun"!" sungut DeeDee. "Baru cerita soal kissing aja udah
blushing begitu! Belon juga ngapa-ngapain!"
DeeDee kemudian memaksa Kesya untuk bercerita apa saja yang terjadi saat
mereka menginap. Kesya menceritakan soal sejuta bintang yang mereka lihat saat
hotel mati lampu. Mata DeeDee berbinar-binar saat mendengar bagian itu.
"Romantis banget, Kesh...," desahnya. "Marco memang tahu saat yang paling
tepat untuk menyatakan cintanya..."
Kesya tersenyum. Hatinya terasa hangat kalau mengingat ciuman Marco saat
itu. Dan perasaan itu tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Tidak dengan Jansen,
tidak juga dengan mantan-mantan pacarnya dulu. Apa ini yang orang bilang "cinta
sejati?" *** Minggu pagi. Kesya dan Alo duduk berdampingan di Groom"s Bestfriend sementara
Marco sedang mencoba jas bestman-nya.
"So..." Alo memulai percakapan sambil tersenyum lebar.
Kesya hanya balas tersenyum.
"Marco itu laki-laki yang baik. Dia berusaha berhenti merokok gara-gara kamu."
"Really?" Kesya memang mengharapkan Marco berhenti merokok, tapi dia tidak
menyangka akan secepat ini.
"Dia merokok karena mantan pacarnya..."
Kesya memperbaiki duduknya. Dia belum tahu cerita ini.
"Diputusin mantannya, terus lari ke rokok. Yah... kira-kira gitu deh." Alo tidak
ingin membahas detailnya. "Tapi, aku seneng dia sama kamu. Kamu gadis yang
baik. Kalian pasti bisa saling jaga."
Kesya tersenyum. Saling jaga... Kesya suka ide itu.
Marco keluar dari balik ruang pas. "Gimana?" Dia mengangkat kedua
tangannya. Memperagakan jas yang sedang dikenakan.
"Tanya sama Kesya dong. She is your girl now...," ujar Alo menggoda.
Marco tersenyum dan memandang Kesya. "Gimana, Sayang?"
Kesya tersenyum. "Bagus. Keliatan gagah banget..."
Marco mematut-matut dirinya di depan cermin. "Gagah, ya" Hmmm..." Dia
tersenyum kepada Kesya dari cermin. "Bener banget penilaian kamu, Yang."
"Ih, ge-er banget sih!" Kesya pura-pura ngambek.
Marco tersenyum. "Omong-omong, gaun bridesmaid kamu modelnya gimana?"
Gaun bridesmaid" "Oh iya ya..." Kesya manggut-manggut sendiri. Dia sama sekali belum
diberitahu Cecil soal gaunnya. "Nanti aku tanya Cecil deh."
Setelah selesai dengan urusannya di Groom"s Bestfriend, Marco kemudian
meminta Kesya untuk mengantarnya ke suatu tempat. Ke Jalan Disco, tanah kosong
di daerah Kelapa Gading yang dulu pernah didatanginya bersama Kesya. Tapi
sekarang di sana bukan tanah kosong saja. Di sana berdiri sebuah taman yang asri.
"Ini kerjaanku selama ini," ujar Marco bangga. Tangannya membentang
memperlihatkan hasil kerja kerasnya selama ini.
Kesya berjalan sambil memperhatikan taman yang masih baru itu. Konsep
taman yang asri dan nyaman. Kesya bisa membayangkan, pada sore hari taman ini
pasti ramai dikunjungi oleh orang-orang. Untuk lari sore, untuk mengajak anak
bermain, atau hanya untuk duduk di ayunan sambil membaca.
Ayunan... Kesya suka sekali ayunan.
"Ada ayunan?" tanyanya.
"Tentu ada dong..."
Marco menggandeng tangannya. Ada rasa geli, seperti aliran listrik ketika
tangan Kesya digandeng Marco. Rasa yang baru muncul setelah perasaannya
terhadap Marco berubah. Kesya tersenyum diam-diam, menikmati kedekatannya
dengan Marco. Marco mengajak Kesya ke area permainan anak. Dia mendudukkan Kesya ke
atas ayunan dan mengayunnya perlahan-lahan.
"Aku suka sekali ayunan," kata Kesya sambil berayun pelan. "Aku kepingin
sekali punya ranjang ayunan. Jadi sambil tidur aku bisa sambil berayun-ayun."
Marco mendengarkan sambil terus mengayun Kesya. Senyumnya mengembang
perlahan, matanya menerawang jauh.
*** Kesya kembali berkutat dengan pekerjaannya. Sudah lama sekali dia duduk dan
mencorat-coret notes kecilnya. Banyak ide yang berlalu-lalang di dalam benaknya.
Berebut untuk minta digambar dan direalisasikan. Sebagian besar diilhami dari
pernikahan Alo dan Cecil, juga dair pengalaman romantisnya bersama Marco. Kesya
masih sering senyum-senyum sendiri jika teringat kembali peristiwa sejuta bintang
itu. "Nih... istirahat dulu..." Marco menyodorkan segelas teh hangat. Marco mampir
untuk menemani Kesya bekerja. Dia menghampiri Kesya dan mengecup ubun-ubun
kepala Kesya. "Biar otakmu yang panas jadi dingin lagi," ujarnya.
Kesya tersenyum, mengangkat tangannya membelai dagu Marco.
"Kamu nggak ngapa-ngapain?" tanya Kesya sambil menyesap teh hangat yang
dibawakan Marco. Marco menggeleng. "Proyekku sudah selesai. Aku ambil cuti dari kantor. Jadi,
sekarang tugasku hanya menjadi bestman Alo dan jadi pacar yang baik buat kamu."
Sekarang Marco meremas bahu Kesya, melemaskan otot yang tegang di
sekitarnya. Kesya tertawa menahan geli.
"Kamu tegang banget lho," bisik Marco cemas. Merasakan ketegangan otot bahu
Kisah Si Rase Terbang 6 Pendekar Rajawali Sakti 8 Iblis Berwajah Seribu Dua Menara 5
^