Pencarian

Seribu Musim Mengejar 2

Seribu Musim Mengejar Bintang Karya Charon Bagian 2


menggapai mimpiku" Bertahan seorang diri di negeri asing tempat aku tidak mengenal seorang
pun") "Temanmu menunggu berjam-jam untuk bertemu denganku kemarin," kata Julien lagi sambil
membetulkan letak kacamatanya.
"Ketika memberikan rancangan-rancangan ini kepadaku, dia bilang dia ingin menyerahkan
mimpi seseorang." Tangan Niko berhenti gemetaran. Benaknya dipenuhi wajah Laura, lalu perlahan senyumnya
mengembang. (Laura ingin mewujudkan mimpiku. Mengambil karyaku dari tempat sampah dan
memberikannya pada orang yang kukagumi. Seandainya kau ada disini Laura. Aku pasti akan
lebih bahagia). Dengan tekad dan semangat baru, Niko menatap Julien. "Aku tidak mau menerima pemberian
seseorang secara cuma-cuma. Anda bisa membeli semua karya saya kecuali gambar rancangan
cincin bintang saya", usulnya. "Tentang apartemen anda di New York, saya akan menempatinya,
tapi dengan syarat saya akan bekerja pada anda selama dua tahun setelah kelulusan saya dari
GIA." Julien mengusap dagunya perlahan. (Seseorang yang punya prinsip dan harga diri). Sebelumnya
Julien hanya mengagumi rancangan pemuda ini, kini ia juga menyukai pribadinya. "Kenapa kau
tidak mau menjual karya rancangan yang satu itu padaku?" tanyanya penasaran.
Niko menjawab dengan tenang. "Karena karya itu sudah menjadi milik seseorang." (milik
Laura). Mata Niko menantang Julien. "Jadi, apakah kita telah mencapai kesepakatan?"
Julien mengulurkan tangannya. "Aku sepakat."
Niko menjabat tangan Julien dengan erat.
Malam harinya, Niko menatap kedua orantuanya dengan serius sesudah makan malam. "Aku
tidak akan kuliah kedokteran," ucapnya tenang.
Papa membelalak tidak percaya. "Ada apa lagi ini, Niko" bukankah kita sudah sepakat kau akan
menjadi dokter?" "Maaf," kata Niko tulus. "Aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak pernah ingin menjadi dokter.
Itu mimpi papa, bukan mimpiku."
"Beraninya kau berkata seperti itu!" Teriak papa.
Mama langsung pindah ke sisi papa untuk menenangkannya. "Tenanglah, Pa. Niko, jangan buat
papamu marah. Bukankah kau sudah diterima di fakultas kedokteran" Kalau kau tidak kuliah
kedokteran, kau mau belajar apa?"
"Aku akan belajar perhiasan di GIA." Niko menatap kedua orangtuanya tanpa perasaan takut.
"Maafkan aku, pa, ma. Aku tidak bisa mewujudkan impian kalian. Ini hidupku. Dan kali ini aku
ingin mengejar impianku."
Papa menatap putranya sambil tersenyum sinis. "Kalau kau pergi kuliah disana, papa tidak akan
mendukungmu. Papa tidak akan membantumu secara finansial. Apakah kau mengerti?"
Niko mengangguk. "Aku mengerti. Aku tidak akan meminta dukungan finansial pada Papa
selama aku kuliah disana."
Papa kaget mendengar perkataan putranya. "Kalau kau ingin pergi, pergilah. Papa tidak akan
menahanmu. Kita lihat saja nanti, sampai berapa lama kau bertahan disana."
Niko menarik napas dalam-dalam. "Terima kasih, pa."
Seminggu kemudian Niko pergi meninggalkan rumahnya untuk berangkat ke New
York.Mengejar mimpinya. BAB 8 Bagian dua: Laura Amalia Chef Pasta
Laura, 18,5 tahun Laura tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan. Kakinya pegal setengah mati. Tangannya
membawa nampan berisi piring bekas makan yang beratnya minta ampun. Sebentar lagi
tangannya akan menyusul merasakan apa yang dirasakan kakinya. Ia benar-benar kelelahan.
Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Laura mengistirahatkan kakinya sebentar di kursi
dapur. Dilihatnya para pelayan lain sibuk membersihkan meja dan kursi. Melihat rekan-rekannya
bekerja keras, Laura berdiri kembali dan bergabung dengan mereka.
Sepindahnya ke kota baru, hidup Laura tidak berjalan seperti yang diinginkannya. Ia tidak
pernah memikirkan seberapa mahalw biaya kuliah yang harus dikeluarkan mama untuk
membiayainya. Mama meyakinkan Laura bahwa ia bisa kuliah tanpa harus memikirkan masalah
keuangan. Tapi Laura tahu ia tidak bisa melakukannya. Jadi ia memutuskan untuk mencari kerja.
"Tapi, bagaimana dengan kuliahmu?" tanya mama kecewa.
Laura bersiteguh. "Sampai kini aku belum tahu mau masuk jurusan apa. Lebih baik kuliahnya
ditunda dulu, ma." Untuk pertama kalinya Laura dan mama tidak bersepakat.
"Aku tahu kau ingin membantu mama, tapi tugasmu sekarang adalah kuliah," protes mama.
Akhirnya Laura menemukan jalan tengah. "Bagaimana kalau begini saja. Aku akan bekerja
selama setahun ini. Selama itu aku juga akan menabung untuk membiayai kuliahku nanti."
"Apa kau yakin itu yang kau inginkan?" tanya mama masih ngotot
Laura mengangguk. "Aku ingin membiayai kuliahku sendiri. Sekarang aku sudah dewasa, Ma.
Kurasa aku berhak memutuskan sendiri apa yang ingin kulakukan."
Setelah mendengar putrinya berkata demikian, mama akhirnya mengalah. Beberapa hari
kemudian, dalam perjalanan pulang dari supermarket, Laura melewati sebuah restoran italia yang
memampang tawaran kerja sebagai pelayan disana. Tanpa pikir panjang, Laura langsung
mengambil tawaran itu dan diterima hari itu juga. Ada dua alasan mengapa Laura memutuskan
bekerja direstoran itu. Yang pertama adalah karena letaknya yang dekat dengan rumah. Hanya
sepuluh menit berjalan kaki. Yang kedua adalah karena bekerja di restoran artinya setiap hari ia
harus berurusan dengan makanan. Dan Laura memang sudah menyukai hal itu sejak SMA.
Tetapi kedua alasan itu, terutama yang kedua, membuatnya memikirkan kembali apakah ia sudah
membuat pilihan yang tepat. Terutama saat-saat punggungnya serasa mau patah, kakinya
kesemutan, dan tangannya teramat sangat pegal. Bulan pertama bekerja direstoran, ia dapat
melihat bahwa bosnya adalah seseorang yang cepat naik darah. Setiap tiga bulan sekali, selalu
ada asisten chef baru,k arena Antonio____ namanya dijadikan nama restorannya____selalu
punya alasan untuk memecat mereka. Sebagai seorang chef, Antonio adalah seorang genius yang
bisa membuat makanan italia yang sangat lezat. Laura mengagumi aspek tersebut, tapi tidak
temperamenya. "Kau dipecat!" teriak bosnya tiba-tiba dari dapur restoran.
Laura mendesah kembali sambil mengelap meja. Bosnya memecat asistennya lagi. Kali ini
bahkan belum sampai tiga bulan.
"Dia melakukannya lagi, "keluh maya, seorang pelayan senior yang sudah bekerja hampir lima
tahun, sama seperti umur restoran mereka.
Seorang pria paruh baya keluar dari dapur dengan kesal. Dia berjalan melewati ruang makan,
membuka pintu keluar, dan melenggang pergi tanpa sepatah katapun. Laura merasa sedikit
kasihan pada si asisten. Bekas asisten, maksudnya.
Tak berapa lama kemudian, pintu dapur terbuka. Seorang pria italia, berjanggut putih, berumur
lima puluh tahunan berteriak. "Maya, carikan aku asisten baru! Aku tidak mau idiot seperti yang
tadi. Mengerti?" Maya hanya bisa menelan ludah dan mengangguk. "Oke, Antonio," katanya membalas.
Setelah Antonio keluar dari restoran,para pelayan menarik napas lega.
"Aku tidak tahu harus mencari asisten chef di mana lagi," keluh Maya di dekat Laura.
Laura mendekati Maya. "Jangan menyerah, mbak. Mbak pasti menemukannya."
Maya memandang wajah Laura yang menyemangatinya. Walaupun Laura karyawan baru. Maya
sudah menyukainya sejak awal karena Laura tipe pekerja keras yang tidak pernah menyerah.
"Thanks, Laura. Aku harap begitu."
Pukul setengah satu malam ,restoran Antonio ditutup.Laura berhenti sejenak di depan restoran.
Terdapat sebuah papan tulis disana.
Open. Mon_Thurs: Lunch 11.30 - 14.30 Dinner, 18.00 - 24.00
Fri-Sun: Lunch 11.30 - 14.30 Dinner, 18.30 - 00.30
Laura mendesah panjang. Jam sebelas siang nanti ia akan mengulang kembali semua yang
dikerjakannya tadi. Membersihkan meja, membereskan bangku, melayani pelanggan, membawa
makanan, mengambil piring bekas makanan untuk dicuci, lalu mengulang lagi dari awal. Satusatunya yang membuatnya bertahan bekerja di restoran Antonio adalah kesempatannya untuk
melihat bagaimana seorang juru masak hebat membuat makanan mentah menjadi santapan lezat.
Seperti karya seni. Laura memasukkan tangan ke saku jaketnya. Sehelai kertas kecil berada disana, ia
mengeluarkannya dan membukanya. JANGAN MENYERAH. Tulisan tangan Niko.
Ia tahu, tidak seharusnya ia menyimpan kertas tersebut kalau ingin benar-benar melupakan Niko,
tapi entah mengapa ia tidak sampai hati membuang kertas tersebut. Setelah membacanya, Laura
merasa semangat baru menyelimutinya. Ia meletakkan kertas tersebut hati-hati ke dalam dompet
dan berjalan pulang. Setibanya di rumah sekitar pukul satu dini hari, Laura duduk di sofa sebentar, lalu mandi dan
tidur. Jam kerjanya di restoran membuatnya jarang bertemu dengan mama di sore hari. Ketika
mama pulang, Laura masih di restoran, dan saat Laura pulang, mama sudah tidur. Tapi Laura
masih terbiasa untuk bangun pagi, sehingga masih sempat bertemu mama sebelum berangkat ke
kantor. Minggu-minggu pertama bekerja di restoran Antonio, Laura tidak terbiasa. Jadwal makan dan
tidurnya berubah. Laura harus makan sebelum restoran dibuka, yaitu sebelum jam makan siang,
sedangkan makan malamnya bergeser menjadi makan sore. Awalnya semua itu membuatnya
merana, apalagi sebagai pelayan tahun pertama Laura harus bekerja setiap hari. Ia hanya tidur
selama lima sampai enam jam setiap hari. Tetapi lama kelamaan, ia menjadi terbiasa. Waktu
luangnya sebelum ia pergi ke restoran ia memanfaatkan untuk memasak makanan italia di
rumah. Laura sering memperhatikan Antonio memasak di dapur, lalu mempraktikannya di
rumah. Terkadang para koki lain membantu Laura dengan memberikan tips-tips memasak
makanan italia di sela-sela istirahat mereka.
Selama hampir empat bulan bekerja disana, Laura banyak belajar tentang seni memasak
makanan italia. Setelah cukup menabung nantinya, Laura memutuskan untuk belajar menjadi
seorang chef pasta. Ada beratus-ratus masakan pasta yang dapat dicobanya. Ia bahkan bisa mencoba variasi baru dan
menciptakan masakan baru.
Di tempat tidur, Laura tersenyum puas memikirkan hal itu.
*** Pagi harinya, Laura bertemu mama di ruang makan.
"Pagi,ma," sapanya.
Mama mencium putrinya. "Pagi,sayang."
Laura mengambil nasi dan sayur yang sudah di masak mama.
"Sayur asem buatan mama memang yang paling hebat," kata Laura sambil mencicipinya lagi.
Mama tertawa. "Terima kasih, sayang". lalu menggodanya. "Lebih hebat daripada masakan
restoranmu?" Laura tersenyum simpul. "Ya, tentu saja."
"Mama tidak percaya," kata mama sambil bercanda.
"Benar kok," kata Laura. "Habisnya mana ada sayur asem di restoran italia?"
Mama tertawa lebar. ***************************************
Terdapat perbedaan yang sangat besar antara pelanggan dan pelayan. Seorang pelanggan melihat
menu dan memesan makanan,sedangkan seorang pelayan harus menghafal menu dan mencatat
pesanan. Setiap pelanggan pun punya sifat tersendiri. Kalau mendapat pelanggan yang tidak rewel,
pelayan itu beruntung. Tapi kalau mendapat yang sebaliknya, sang pelayan harus bisa menahan
emosinya. Hari ini bukan hari keberuntungan Laura. Harinya dimulai dengan seorang pelanggan yang
sangat cerewet. Butuh waktu sekitar sepuluh menit sampai si pelanggan selesai memesan.
Kemudian saat Laura membawakan pesanannya, si pelanggan merasa tidak puas dan berteriak
pada Laura. "Aku sudah bilang tidak mau pedas, kenapa kau masih memberiku spageti yang
pedas?" Laura hanya menelan ludah. "Maaf, saya akan mengganti yang baru." Ia tidak bisa balas
memarahi karena walau bagaimanapun pelanggan adalah raja.
Laura masuk kedapur untuk meminta dibuatkan spageti baru pada Antonio. Bosnya melotot
kesal. "Apa" Buat baru" Kenapa kau tidak bisa mencatat pesanan dengan benar?"
"Saya sudah mencatat dengan benar," ucap Laura berusaha memberi penjelasan. Kakinya
melangkah ke meja pesanan dan memperlihatkan tulisan pesanannya pada Antonio. Di pesanan
itu tertulis tidak pedas.
"Bagaimana mungkin aku bisa melihat tulisan sekecil ini?" teriak bosnya lagi pada Laura.
Laura menelan ludah. "Saya mohon, signor(tuan) Antonio. Tolong dibuatkan spageti baru. Yang
tidak pedas." (Dan lain kali, aku akan menulis dengan huruf kapital yang besar kalau ada
pesanan khusus dari pelanggan).
"Ini peringatan pertama untukmu, Laura", kata Antonio kesal.
Laura tidak bisa melawan. Karena bagaimanapun bos selalu benar. Ia juga menyadari sesuatu
hari itu. Seorang pelanggan rewel dan bos temperamental merupakan kombinasi yang
mematikan. "Sabar ya," kata seseorang, menyentuh pundaknya.
Laura berpaling dan melihat Maya tersenyum keibuan. Maya satu-satunya orang yang bisa
membuat Laura tenang kembali. Laura tersenyum sambil mengangguk. Tapi kemarahan Laura
pada Antonio berakhir ketika bosnya itu menyajikan masakan baru di nampannya. Spageti
buatan Antonio selalu membuatnya terpesona.
Hal ini menumbuhkan semangat baru di hati Laura.
"Maaf, sudah menunggu lama," kata Laura pada pelanggan yang tadi mengomel. "ini spageti
barunya." Laura menyuguhkan spageti itu dengan hati-hati. "Saya harap anda menikmatinya".
Si pelanggan mencicipi terlebih dahulu.
"Apakah spagetinya sudah sesuai dengan selera anda?" Tanya Laura memastikan.
Si pelanggan mengangguk. "Ya. Terima kasih."
"Selamat menikmati," kata Laura sambil tersenyum. "Kalau masih ada yang belum puas, anda
bisa memanggil saya lagi."
Selama menjadi pelayan, Laura belajar menahan emosi dan bersikap ramah dalam segala situasi.
Terkadang itu bukan perkara mudah. Tapi untungnya Laura mencoba berpikir positif pada
kondisi terburuk sekalipun.
Keesokan harinya, Laura melihat orang yang sama dengan yang dilayaninya kemarin di sebuah
majalah masakan. Laura cukup terkejut. Ternyata orang tersebut adalah kritikus makanan. Di
majalah tersebut orang itu menjelaskan ia menyantap makanan italia terenak yang pernah
dirasakannya. Ia tidak sabar untuk mencobanya lagi dan merekomendasikan spageti buatan
Antonio kepada para pecinta makanan lain. Di akhir artikelnya, ia berterima kasih pada seorang
pelayan yang telah melayaninya dengan sabar.
Mata Laura berkaca-kaca karena ia tahu si pelanggan telah berterima kasih padanya. Dan saat itu
Laura bangga dengan pekerjaannya. Ia tidak pernah bisa tahu siapa yang akan ia layani esok
harinya. BAB 9 Laura, 20 tahun Hujan deras menyelimuti jalan. Tepat pukul setengah lima sore, Laura keluar dari rumahnya
untuk bekerja. Sesampainya di restoran Antonio, ia melepas jas hujan dan melipat payungnya
perlahan. Restoran masih sepi. Para pelayan lain biasanya baru datang pukul setengah enam.
Setengah jam sebelum restoran dibuka.
Laura memandang restoran yang kini sudah menjadi rumah keduanya selama hampir dua tahun.
Ia tidak menyangka bisa bekerja selama itu. Tadinya ia ingin melanjutkan kuliah, tetapi ia
merasa masih banyak yang bisa dipelajari di restoran Antonio, jadi ia memutuskan menunda
kuliahnya setahun lagi. Laura memulai pekerj?annya dengan membersihkan meja-meja makan. Ia suka saat-saat sepi
seperti ini. Setelah selesai, ia beralih membersihkan meja dapur. Tangannya menyentuh alat-alat
dapur dengan perlahan. Entah kapan ia bisa berdiri di sana dan menggunakan alat-alat tersebut.
Tak berapa lama kemudian terdengar suara pintu depan terbuka. Beberapa pelayan termasuk
Maya masuk dengan tergesa-gesa. Mereka berusaha menghindar dari derasnya hujan.
"Jangan lupa," Maya mengingatkan sebelum mereka semua memulai pekerjaan. "Hari ini jam
setengah tujuh ada tiga puluh orang yang akan merayakan hari ulang tahun pelanggan tetap kita.
Aku mau semuanya berjalan lancar."
"Siap, mbak," kata para pelayan termasuk Laura.
Ketika waktu menunjukkan pukul 18.00 dan Antonio masih belum datang, Laura melihat Maya
merasa khawatir. Maya langsung menelepon Antonio dan mendapat informasi bahwa bosnya itu
terkena macet dan belum tahu kapan bisa tiba di restoran.
Mendengar penjelasan bosnya, Maya mulai panik. Ia mendapat telepon lima menit sebelumnya
bahwa tamu mereka akan datang setengah jam lagi. Acara dibuka dengan tiup lilin dan potong
kue, setelahnya dilanjutkan dengan menu spageti bolognise buatan Antonio. Seharusnya jam
segini Antonio sudah menyiapkan spageti buatannya. Kalau ditunggu sampai tamunya datang
pasti akan terlambat. Maya menatap tiga koki lain yang berada di dapur. "Kalian bisa menggantikan Antonio
memasak spagetinya?"
Ketiga koki berpandangan dan menggeleng. Selama ini Antonio tidak pernah mempercayakan
memasak spageti special buatannya kepada para kokinya. Dan karena asistennya yang terakhir
sudah dipecat minggu kemarin, Maya tidak punya jalan keluar.
"Apa yang harus kulakukan?" tanyanya pada para pelayan. "Antonio meminta untuk menunggu.
Tapi tanpa kepastian. Kalian, para koki, tidak ada yang bisa memasak spageti buatan Antonio.
Aku tidak mungkin membatalkan pesta ulang tahunnya. Restoran kita pasti akan kena
dampaknya." Maya bertanya lagi pada para koki, "kenapa kalian tidak mencoba dulu untuk membuatnya?"
Ketiga koki memandang Maya seakan-akan maya sudah kehilangan akalnya.
"Aku tidak bisa melakukannya," kata salah seorang koki. "Apakah mbak tahu bagaimana sifat
bos menyangkut makanan buatannya" tidak ada seorangpun berani membuat makanannya. Lagi
pula, kami tidak mau kena risiko dipecat."
"Jadi, maksud kalian aku harus membatalkan seluruh pesanannya?" kata Maya kesal.
Para koki mengangguk. Diikuti oleh para pelayan lain. Maya tampak putus asa.
"Jangan dibatalkan," kata Laura tiba-tiba. "kalau para koki tidak mau memasaknya, saya yang
akan memasaknya." Semua memandang Laura tidak percaya, termasuk Maya.
"Kau bisa memasak spageti bolognese seperti kepunyaan Antonio?" tanya Maya bingung.
Laura mengangguk. "Saya sudah mencobanya beberapa kali dirumah. Hasilnya tidak beda
dengan kepunyaan signor Antonio."


Seribu Musim Mengejar Bintang Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para pelayan lain tercengang mendengar keyakinan yang diungkapkan Laura.
"Bagaimana kalau sekarang saya masak satu porsi," saran Laura, "lalu mbak Maya bisa
mencobanya terlebih dulu. Kalau masakan saya sama dengan kepunyaan signor, maka saya bisa
memasak yang sama untuk tiga puluh orang berikutnya. Tapi kalau rasanya beda. Mbak bisa
memutuskan untuk membatalkan pestanya."
"Kau yakin kau bisa melakukannya?" tanya Maya sekali lagi.
Laura mengangguk. "Saya yakin."
"Kalau begitu," kata Maya optimis, "silahkan kau gunakan dapurnya."
Laura tersenyum dan bergegas menuju dapur, lalu mulai mengisi panci dengan air dan
memasaknya. Ia sudah melakukan ini berpuluh-puluh kali di dapur rumahnya. Ini pertama
kalinya ia melakukannya di dapur restoran. Langkah-langkah yang dilakukan Antonio untuk
membuat spageti bolognese sudah terpatri di ingatannya.
Saat mencicipi masakan Laura, Maya menatap Laura dengan senang. "Kau sudah melakukannya.
Kau bisa meniru persis masakan buatan Antonio. Rasanya sangat enak."
"Terima kasih," kata Laura senang.
"Kau sanggup membuat tiga puluh lagi?" tantang Maya.
Laura mengangguk. Tak berapa lama kemudian, para tamu berdatangan. Laura sudah siap dengan spagetinya dan
tinggal membagi-baginya ke dalam tiga puluh piring serta menambah bumbunya.
Antonio baru sampai di restoran pukul 19.30. Para tamu sudah selesai menyantap makanannya.
Dia langsung menuju dapur untuk meminta penjelasan.
"Siapa yang memasak spageti bolignese di depan?" teriaknya tanpa basa-basi sambil memandang
para kokinya. Ketiga koki yang ditatap menundukkan wajah untuk menghindari amarah Antonio.
"Saya yang memasaknya," kata Laura jujur dari belakang para koki.
Antonio berbalik dengan tidak percaya. "Kau" Kau berani memasak makanan buatanku?"
Laura berusaha memberi penjelasan. "Maaf. Tapi kalau saya tidak memasaknya, pesta ulang
tahun di depan bisa batal."
Antonio mengernyit kesal. "Biarkan saja batal. Tidak ada yang boleh memasak spageti
bolognese selain aku. Itu menu special chef."
Laura terdiam. Ia tidak menyangka Antonio akan semarah ini.
"Kau," tunjuk Antonio pada Laura, "jangan pulang dulu nanti malam."
Laura mengangguk perlahan.
Sepanjang malam itu hati Laura gelisah. Ia takut Antonio akan memecatnya. Saat tengah malam
tiba dan restoran ditutup, Antonio melangkah ke ruang makan dan meminta Laura mengikutinya.
Mereka tiba didepan restoran.
"Apakah kau bisa membaca nama restoran yang tertera di atas?" pinta Antonio keras.
Laura menjawab dengab gugup, "....Antonio."
Antonio mengangguk. "Benar. Apakah namamu ada disana?"
Laura menggeleng. "Aku tidak suka masakanku di masak oleh orang lain," Jelasnya marah-marah. "Apalagi kau
tidak punya pengalaman memasak. Apa jadinya kalau orang-orang tadi mengetahui masakannya
di masak oleh pelayan?"
Laura menunduk sedih. "Maaf."
"Katakan padaku," kata Antonio lagi, "kapan terakhir kali kau memasak spageti untuk orang
sebanyak itu?" Laura menelan ludah. "Saat bazar sekolah dulu."
Antonio tersenyum sinis. "Bazar sekolah" Kau samakan restoranku dengan bazar sekolah?"
"Tidak, bukan seperti itu." Laura berusaha memberi penjelasan.
"Saya benar-benar minta maaf. Saya tidak akan melakukannya lagi."
Antonio memandang Laura dengan kejam. "Tentu saja kau tidak akan melakukannya lagi.
Bereskan barang-barangmu. Aku tidak mau melihatmu lagi."
Laura terpaku sesaat mendengar perkataan bosnya. Kakinya gemetar, tangannya lemas.
Bayangan terburuk dipikirannya sudah menjadi kenyataan. Ia kehilangan pekerjaan.
Maya yang sedari tadi melihat mereka tanpa memberi komentar, tiba-tiba berkata pada Antonio.
"Ini semua bukan salah Laura. Aku yang menyuruhnya membuat spageti itu. Tolong maafkan
Laura." Antonio memandang Maya dengan dingin. "Dan bagaimana kau tahu Laura bisa memasaknya?"
Maya terdiam. Ia tidak bisa menjelaskan bahwa Laura yang pertama-tama mengajukan diri.
"Jangan marahi mbak Maya," kata Laura perlahan. "saya yang mengajukan diri untuk
memasaknya." Antonio menatap Laura lagi. "Jadi keputusanku memecatmu sudah tepat."
Laura terdiam. Ia melihat mata Maya yang berkaca-kaca menahan tangis. Lalu ia melihat pintu
depan restoran yang sudah ia lalui ratusan kali. Hatinya tidak mau meninggalkan semua itu.
Saat Antonio hendak melangkah masuk, tiba-tiba Laura berbicara lagi. "Tunggu," ucapnya
sambil mengumpulkan keberaniannya, "beri saya waktu satu minggu."
Antonio berbalik dan keningnya mengernyit keheranan. "Apa" Satu minggu?"
Jantung Laura berdetak kencang. Ia tidak tahu sampai kapan keberaniannya bisa bertahan. Jadi
sebaiknya ia memanfaatkan momen ini untuk berterus terang pada Antonio.
"Kalau dalam satu minggu saya tidak bisa memasak makanan yang sesuai dengan selera anda,
anda bisa memecat saya. Tapi kalau dalam satu minggu itu saya dapat melakukannya, saya ingin
anda menarik kembali pemecatan diri saya... dan... saya ingin menjadi salah satu staf di dapur
anda." Antonio memandang gadis di depannya dengan sedikit kaget. Dia tidak menyangka ada orang
yang berani menantangnya. (menarik juga), pikirnya.
"Baiklah," katanya sambil tersenyum singkat. "satu minggu. Aku memberimu waktu satu minggu
saja. Tidak lebih. Kau kalah Laura. Aku yakin aku akan melihatmu keluar dari pintu ini
seminggu lagi." Mata Laura menantangnya. "Tidak kalau saya yang menang."
"Kita lihat saja nanti." balas Antonio.
Hari pertama Laura memasak lasagna. Antonio memandang sebelah mata. Mencicipinya sekilas lalu membuang masakan buatan Laura
ke tempat sampah tepat di depan mata Laura.
Hari kedua Laura membuat fettucini. Antonio hanya mencium baunya nasibnya berakhir sama dengan masakan Laura di hari
sebelumnya. Hari ketiga Laura membuat ravioli keju.
Antonio mengambil salah satu ravioli buatan Laura tanpa minat dan mengunyahnya. Dia
menghabiskan satu ravioli tanpa memuntahkannya. Harapan Laura sedikit naik saat itu. Tapi lalu
kandas saat Antonio menyuruh salah satu kokinya membuang ravioli buatannya ke tempat
sampah. "Maaf," kata Antonio tersenyum mencibir. "Aku bahkan tidak bisa membuang sendiri
makananmu karena perutku terasa mual setelah mencoba ravioli buatanmu."
Laura mulai berpikir bahwa apa pun makanan yang dimasaknya tidak akan diterima oleh
Antonio. Tapi masih ada waktu empat hari lagi. Ia ingin membuktikan bahwa ia masih bisa
melakukannya. Hari keempat Laura membuat spageti. Antonio hanya memandangnya sambil berkata, "apakah kau tidak mau menyerah juga?"
"Tidak." Laura menggeleng. "Saya tidak akan menyerah."
"Kau sudah hampir kehabisan waktu," katanya mengingatkan.
"Anda belum merasakan makanan saya yang ini," kata Laura sambil menyodorkan piring
spagetinya pada Antonio. Antonio menggeleng. "Aku tidak perlu merasakannya. Aku sudah tahu spageti buatanmu tidak
layak dimakan. Akui saja, kau tidak punya bakat untuk menjadi seorang chef."
Hari kelima Laura membuat pizza. Antonio menyindir Laura. "Dari mana kau belajar membuat pizza" Apakah dari buku tentang
bagaimana membuat pizza untuk orang-orang bodoh" kau sama sekali tidak punya bakat."
Perlahan Antonio mengambil pizza Laura dan membuangnya ke tempat sampah, tanpa
mencicipinya. Hari keenam. Pada hari keenam, Laura sudah lelah, baik secara fisik maupun mental. Penolakan demi
penolakan yang dilakukan Antonio sudah mematahkan semangatnya. Pada hari keenam, Laura
membuat spageti bolognese yang dibuatnya enam hari sebelumnya.
Antonio mengernyit kening ketika spageti itu berada di depannya. Dia mengambil garpu dan
mencicipinya. Saat meletakkan garpunya kembali, dia memandang Laura dengan perasaan tidak
suka. Tak berapa lama kemudian, nasib spageti bolognesenya sudah berada ditempat sampah.
"Kenapa?" protes Laura. "Saya membuatnya sama persis dengan buatan anda. Bahkan rasanya
pun sama." "Benar," kata Antonio tegas. "Kau membuatnya sama persis dengan buatanku. Apakah kau
hanya bisa menjadi peniru" Kau tidak punya kreativitas. Seperti yang kukatakan sebelumnya
berulang-ulang, kau tidak punya bakat. Sebaiknya besok kau menyerah saja dan bereskan
barang-barangmu." Mendengar itu, Laura merasa kecewa pada dirinya sendiri. Walaupun Antonio telah
memperlakukannya dengan kejam, kata-kata pria itu memang ada benarnya. Siangnya, ketika
Laura melayani pelanggan, ia tidak bisa berkonsentrasi, sampai ia tanpa sengaja menjatuhkan
makanan yang dibawanya didepan seorang pelanggan.
Untungnya, Maya cepat-cepat mengatasi hal itu. Ia langsung meminta maaf, bersama dengan
Laura, dan memberikan makanan cuma-cuma kepada si pelanggan.
Melihat semua itu dari jendela dapur, Antonio hanya mendengus. Saat Laura mengambil pesanan
berikutnya dari dapur, Antonio berkata lagi, "Bagaimana mungkin kau bisa menjadi seorang chef
hebat, kalau kau tidak bisa melakukan pekerjaanmu yang sekarang dengan benar?"
Laura meminta maaf. "Pulanglah!" teriak Antonio. "kau hanya akan menambah kekacauan kalau terus berada disini."
Maya melihat muka pucat Laura sekeluarnya dari pintu dapur. Ia menghela napas panjang
kemudian mendekati Laura. "Antonio memarahimu lagi?"
Laura mengangguk. "Tapi kali ini perkataannya benar. Sebaiknya kau pulang beristirahat. Kau benar-benar
kelelahan." Maya menepuk pundak Laura perlahan. "Pelayan yang kelelahan tidak dapat bekerja
dengan maksimal. Sebaiknya sore ini kau tidak usah masuk. Kau benar-benar butuh istirahat."
Laura mengangguk. Sebelum Laura pergi untuk mengganti seragamnya, Maya berkata lagi, "Laura. aku ingin kau
tahu bahwa beberapa hari ini aku sepenuhnya mendukungmu. Sebelumnya tidak pernah ada
orang yang berani melawan Antonio sepertimu. Jadi, pulanglah, istirahatlah, dan besok kejutkan
Antonio dengan makananmu."
Laura tersenyum. " Terima kasih atas dukungannya, mbak."
BAB 10 Setibanya dirumah, Laura menuju dapur. Ia tidak bisa beristirahat. Ia malah mulai memasak lagi.
Beberapa jam kemudian, lima belas piring masakan yang mulai terasa dingin berada
disekitarnya. Tidak satu pun dari kelima belas piring itu yang bisa memuaskan
lidahnya_____apalagi Antonio.
Ia terduduk di lantai dapur dan menangis. Tubuhnya kelelahan. Ia tidak punya tenaga untuk
memasak lagi. Ketika mama pulang malam harinya ,ia melihat putrinya tertidur pulas
dikamarnya. Mama mengusap kening Laura dengan lembut. Ia tahu seminggu belakangan ini putrinya sudah
bekerja keras tanpa henti. Diselimutinya putrinya sambil mematikan lampu kamar.
Ketika Laura terbangun lagi, hari sudah gelap. Ia melihat jam dinding di kamarnya. Pukul 22.00.
"Oh tidak," keluhnya dalan hati. (aku pasti ketiduran)
Ia bergegas menuju dapur dan mulai mencoba memasak lagi. Sekeras apa pun ia berusaha,
hasilnya masih belum memuaskan.
"Kau tidak tidur?" Tanya mama yang terbangun karena mendengar suara-suara dari dapur.
"Maaf,ma. Mama jadi terbangun. Besok hari terakhir. Kalau aku belum bisa memasak sesuatu
yang dapat diterima Antonio, aku akan kehilangan pekerjaanku." Laura mulai mengambil spageti
dan memasukkannya ke panci panas.
Mama mematikan kompor dengan tiba-tiba. "Istirahatlah. Kau tidak akan membuat makanan
sesuai dengan yang kau inginkan kalau kau tidak istirahat."
Laura protes. "Tapi, ma. Besok batas waktunya."
Mama mengangguk. "Mama tahu. Kau butuh istirahat. Lagi pula apa yang kau takutkan" Kau
takut kehilangan pekerjaanmu" Apakah itu masalahnya" Kau sudah menabung cukup banyak
selama dua tahun ini. Mama rasa kau sudah bisa memulai kuliah yang kau inginkan. Kalaupun
kau dipecat, masih banyak pilihan lain yang bisa kau ambil."
"Bukan begitu ma," kata Laura sedih. "Aku bukan takut di pecat."
"Kalau begitu apa masalahnya?" Tanya mama bingung.
"Kalau besok aku gagal, aku tidak tahu apakah aku masih bisa belajar memasak." Laura menatap
mama dengan putus asa. "Aku mengagumi Antonio sebagai seorang chef pasta yang hebat.
Kalau dia mengatakan aku tidak berbakat, bagaimana aku bisa terus belajar di bidang ini?"
"Laura, seharusnya memasak adalah hal yang menyenangkan untukmu," lanjut mama bijak.
"Mama ingat pertama kali saat kau memasak untuk mama. Kini, mama tidak melihat raut wajah
gembiramu lagi setiap kali kau memasak. Kau sudah membuat hal yang menyenangkan menjadi
beban pekerjaan. Mama ingin melihat senyuman putri mama yang sedang memasak. Sekarang
istirahatlah. Biarkan besok kau bangun dengan tubuh yang segar. Dan siapa tahu, kau bisa
mendapatkan ide yang bagus untuk masakanmu."
Kata-kata mama sangat mengena di hati Laura. Mama memang benar. Laura sudah melupakan
bagaimana perasaan menyenangkan yang ia dapatkan saat memasak. Laura membersihkan dapur,
lalu beranjak ke kamar tidurnya.
Di meja kamarnya, Laura membuka tulisan tangan Niko sekali lagi. JANGAN MENYERAH.
Laura tersenyum. (Aku tidak akan menyerah).
Saat kepalanya menyentuh bantal, Laura langsung tertidur pulas.
Hari ketujuh Laura bangun dengan hati ringan. Jam menunjukkan pukul 07.30. Laura tidak mencoba
memasak lagi. Ia malah mengerjakan pekerjaan rumahnya. Mencuci pakaian, menjemur,
membersihkan ruang tamu, dan mengepel lantai. Tepat pukul sepuluh, ia berangkat menuju
tempat kerjanya. Seperti biasa, restoran masih kosong. Ia memandang tempat kerjanya selama
dua tahun itu sambil menarik napas panjang.
Lalu, kakinya melangkah ke dapur, tempat semua makanan dibuat. Ia tersenyum tipis, kemudian
mulai memasak. Selama memasak ia tersenyum bahagia. Ia tidak peduli makanan yang
dimasaknya akan menjadi masakan terakhir di restoran ini. Ia tidak peduli hari ini ia akan
kehilangan pekerjaannya. Saat ini ia berkonsentrasi dengan masakan buatannya. Mamanya
benar. Ia sudah lama tidak merasa gembira saat memasak. Hari ini ia merasakannya kembali.
Hari ini Laura tidak memasak untuk Antonio. Ia memasak untuk dirinya sendiri. Setengah jam
kemudian, spageti buatannya sudah berada di piring dan akan dicicipi oleh bosnya.
"Kelihatannya enak," kata Maya dari belakang Laura.
Laura tersenyum pada Maya. "Terima kasih, mbak, saya ingin mengucapkan terima kasih atas
semua bantuannya selama ini."
"Kau mengatakannya seakan-akan kau mau mengucapkan selamat tinggal." Maya menatap Laura
lekat-lekat. Selama bekerja padanya, Laura adalah salah satu anak buah kesayangannya. Dan
Maya merasa sedih kalau harus kehilangan Laura.
"Saya tidak tahu apakah saya masih bisa bertahan di restoran ini, tapi saya ingin mbak tahu
bahwa saya menghargai semua bantuan mbak selama ini." Laura mengambil sisa spageti dari
pancinya dan menyiapkan satu porsi baru untuk Maya. "Cobalah, mungkin ini masakan terakhir
saya di restoran ini."
Maya mengambil piring yang disodorkan Laura dan mencicipi makanannya. Rasa spageti Laura
membuatnya tercengang. "Spagetimu benar-benar lezat."
Laura tersenyum. Ia berharap Antonio merasakan hal yang sama dengan Maya.
Semua pelayan dan koki berkumpul di dapur. Piring spageti buatan Laura berada di tengahtengah meja. Antonio mengambil piring tersebut dan akhirnya mencicipi masakan Laura.
Laura tidak menyangka hatinya tidak tegang saat melihat bosnya mencicipi masakannya. Padahal
ini momen paling menentukan untuknya, apakah ia akan berhenti atau bertahan.
Setelah mencicipi masakan Laura, Antonio memandang Laura dengan tatapan tajam. Tangannya
menggeser piring Laura. Laura mengerti. Ia telah gagal. Tapi kali ini ia tidak mau Antonio membuang masakan buatannya
ketempat sampah. Ia ingin melakukannya sendiri. Laura berjalan mendekati Antonio.
"Terima kasih atas bantuan anda selama ini. Saya akan membereskan barang-barang saya. Maaf
kalau saya tidak bisa memasak sesuai selera anda." Tangannya bersiap-siap untuk membuang
makanan dipiringnya ketempat sampah.
Tapi tangan Antonio menahannya. "Jang
an dibuang. Aku belum memakannya sampai habis."
Laura tercengang mendengarnya. Baru kali ini Antonio mau menghabiskan masakan buatannya.
Laura melihat Antonio menghabiskan sisa makanannya.
Antonio memandang Laura lagi. "Tehnik memasakmu masih payah. Tapi kau sudah membuat
masakan yang berbeda daripada sebelumnya. Kali ini rasanya enak."
Laura tersenyum gembira. "Tapi, kau juga harus ingat, rasa yang enak saja tidak cukup," kata Antonio tegas.
"Saya mengerti, apakah ini maksudnya anda tidak akan memecat saya?" harap Laura cemas.
"Tidak hari ini." Antonio memberikan sendok makannya pada Laura. "Kau bisa memulai
pekerjaanmu di dapur hari ini."
Laura mengambil sendok yang disodorkan Antonio padanya dan untuk pertama kalinya meraih
tangan bosnya. "Terima kasih,s aya yakin anda tidak akan menyesal sudah memberi kesempatan
ini pada saya." "Kau bisa memulainya dengan dolce (*manis*makanan pencuci mulut italia), kata Antonio.
"Dolce?" Laura kebingungan. "Bukankah saya seharusnya memasak pasta?"
"Jangan serakah, Laura," kata Antonio tegas. "kau mulai dari dolce. Aku memberimu tiga bulan
percobaan. Aku tidak yakin kau bisa bertahan lebih dari tiga bulan." Antonio mendengus
perlahan. "Saya akan berusaha keras. Terima kasih," ucap Laura gembira.
*******************************
Laura menatap delapan piring tiramisu buatannya. Masing-masing dibuat dengan takaran bahan


Seribu Musim Mengejar Bintang Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang berbeda. Selama hampir tiga bulan, ia mencoba membuat berbagai macam makanan
pencuci mulut italia. Ia memulainya dengan biscotti cokelat (kue panggang berbentuk roti),
zeppole (semacam donat italia yang bisa dilapisi gula atau madu), dan sekarang tiramisu.
Ia agak kesulitan membuat tiramisu, karena ia harus mencelupkan kue spon ke dalam kopi
espreso. Menghirup aroma kopi yang kental sudah membuat perutnya berontak. Tapi demi
mendapat hasil terbaik, Laura berusaha menutup hidungnya selama proses itu dan bertahan
berjam-jam dalam aroma kopi.
Setelah sehari di dalam lemari es, tiramisunya sudah jadi dan siap dimakan. Ia tidak berani
mencoba karena takut perutnya mual dengan aroma kopi dari dalam kue. Ia membuat delapan
jenis tiramisu dan berharap mama mau mencobanya satu persatu.
"Jadi bagaimana, ma?" tanya Laura pada mama yang sudah merasakan tiramisu satu persatu dari
kedelapan piring Laura. "Mama rasa tiramisu nomor lima punya rasa yang paling enak."
Laura mengambil sendok dan mengiris sepotong kecil tiramisu nomor lima, lalu mencicipinya.
"Aku setuju dengan selera mama. Besok aku akan mencoba membuat tiramisu ini untuk menu
makanan pencuci mulut di restoran."
Dua hari kemudian, di papan tulis depan restoran tertulis menu makanan pencuci mulut spesial.
Tiramisu #5. Dan pada hari tersebut, banyak pengunjung restoran yang mencoba tiramisu buatan
Laura. Sorenya, Laura dipanggil ke hadapan Antonio. "kau bisa mulai memasak pasta besok."
"Terima kasih. Saya akan berusaha keras memasak makanan yang disukai pelanggan," ujar
Laura sambil tersenyum hangat.
Antonio tertawa pendek. "Jangan yakin dulu. Seperti biasa, percobaan tiga bulan."
Laura mengangguk mengerti.
*********************************
Setelah masa percobaan tiga bulan usai, Antonio memberitahu Laura ia akan memberi masa
percobaan tiga bulan lagi. Dan hal itu berjalan terus-menerus sampai dua tahun. Antonio tidak
pernah memujinya sekali pun selama dua tahun tersebut, tetapi Laura tahu Antonio menyukai
masakannya. Di akhir masa dua tahun Laura sebagai koki, Antonio menghampirinya. "Kau bisa mencoba
sebagai asistenku mulai besok."
Saat itu Laura tahu ia sudah berhasil meyakinkan Antonio atas kemampuan memasaknya.
BAB 11 Laura, 22 tahun "Robi, kau masak baked lasagna untuk meja delapan, Donna kau masak pasta salad untuk meja
lima, Johan kau masak house tortellini untuk meja enam belas, dan aku masak pasta combo
untuk meja sepuluh dan sebelas."
Ruang dapur terasa panas. Restoran dibanjiri pelanggan, hal yang biasa terjadi pada akhir pekan.
Laura membagi-bagi pekerjaan kepada ketiga teman kokinya yang sudah ia kenal selama dua
tahun. Sejak Antonio mengangkatnya menjadi asisten chef beberapa minggu lalu dan mulai
menyuruh Laura memanggil namanya tanpa embel-embel signor', sedikit demi sedikit Laura
mendapat respek dari ketiga koki yang lain. Lagi pula, di ruang dapur Laura tidak pernah
menganggap mereka bawahannya, tetapi rekan kerjanya.
Karena Laura tidak bertemperamen buruk seperti Antonio, ketiga rekan kerjanya ini merasa lebih
nyaman bekerja dengannya. Laura melihat Maya membawa pesanan baru.
"Shrim parmigiana dengan spageti, meja tiga," kata Maya sambil membaca pesanannya.
Laura mengernyitkan dahi. "Mbak, tolong bilang meja tiga, pesanannya mungkin sedikit
terlambat. Aku akan langsung mengerjakan pesanan ini setelah dua pasta combo__nya selesai."
Maya mengangguk penuh pengertian. "Aku akan bilang pada mereka."
"Thanks, mbak," kata Laura disela-sela kesibukan.
"Meat balk spagetti untuk meja tujuh." seorang pelayan lain masuk membawa pesanannya.
"Aku akan ambil pesanan ini," saran Donna. "Aku sudah hampir selesai dengan pasta saladnya."
"Oke," kata Laura lega.
Dalam dua jam berikutnya, tangan Laura tidak pernah beristirahat memasak. Ketika lelah, ia
berhenti sejenak, menarik napas, dan melanjutkan lagi aktivitasnya. Tidak peduli sesibuk atau
selelah apa pun, Laura merasa beruntung karena bisa melakukan hal yang paling disukainya.
Ketika jam menunjukkan pukul sebelas malam, restoran sudah mulai sepi. Hanya tersisa
beberapa pelanggan. Laura memasak pesanan yang terakhir sebelum akhirnya bisa duduk untuk
mengistirahatkan kakinya.
"Hari yang sangat sibuk," komentar Maya dari pintu dapur.
Laura tersenyum kelelahan. "Ya."
"Seandainya Antonio ada di sini sekarang, dia pasti bangga padamu," kata Maya lagi
"Berapa lama lagi Antonio pulang dari italia?" tanya Laura yang terkadang sudah tidak bisa
mengingat lagi hari dan tanggal. "Aku benar-benar berharap dia cepat pulang. Dapur kita
kekurangan orang. Terutama untuk akhir pekan seperti sekarang."
"Dia akan pulang lusa," kata Maya sambil menyodorkan segelas air putih dingin pada Laura. "ini
minumlah. Sepertinya kau benar-benar butuh minum."
"Thanks, mbak." Laura mengambil minuman yang disodorkan Maya. "Mbak juga pasti
kelelahan." "Aku sudah terbiasa," kata Maya.
Laura memandang ketiga teman kokinya. "Kalian bisa pulang lebih awal. Aku yang akan
membereskan dapur nanti."
"Thanks, Laura," kata ketiga temannya berbarengan.
Laura memandang ketiganya satu persatu. "Kerja yang bagus hari ini."
"Kau juga," timpal mereka.
"Kami pulang dulu ya." Donna dan Johan sudah melepaskan celemek dan mengenakan jaket.
"Hati-hati di jalan," kata Laura.
Ketiganya melambaikan tangan lalu keluar dari dapur. Laura tahu mereka pasti ingin cepat-cepat
kembali pada keluarganya.
"Tak terasa waktu cepat berlalu," kata Maya, pikirannya menerawang ke masa lalu.
Laura meminum air dari gelasnya. "yah... hampir empat tahun. Aku tidak pernah menyangka aku
bisa berada di dapur ini."
Maya tersenyum. "Aku tidak pernah meragukan kemampuanmu. Sejak mencicipi spageti
bolognese__mu, aku tahu Antonio sudah menemukan asisten yang dicari-carinya selama ini."
Laura meminum habis air di gelas nya, lalu beranjak ketempat cucian dan mulai mencuci semua
peralatan yang digunakannya.
"Biar kubantu." kata Maya.
"Terima kasih," kata Laura.
Keduanya menutup restoran pukul dua belas malam.
?"?"?"?"?"
Pagi itu. Laura memulai hari seperti biasa. Setelah sarapan ia mandi, kemudian membaca koran
yang ada di meja ruang tamu. Tatapannya jatuh pada bagian halaman iklan. Di situ tertulis
bahwa sekolah SMA nya dulu akan mengadakan reuni untuk angkatannya. Seluruh alumni
diharapkan hadir. Nama dan nomor hp Erika tertera disana sebagai ketua panitia alumni.
(Apakah sebaiknya aku pergi") tanya Laura dalam hati. (Aku bisa datang dan bernostalgia di
sekolahku dulu. Bertemu Niko. Mungkin sekarang dia sudah ditingkat akhir fakultas
kedokteran). Laura meletakkan korannya kembali ke meja, lalu berjalan kekamar tidurnya. Ia membuka kertas
JANGAN MENYERAH dari Niko dengan perlahan. (Aku takut sampai sekarang dia belum
memaafkanku), pikirnya lagi. (Hubungannya dengan Erika pasti semakin erat). Mungkin saja
mereka sudah bertunangan. Apakah aku bisa melihat Niko tanpa perasaan sedih").
Empat tahun. Orang-orang bilang waktu bisa menyembuhkan luka hati. Tapi Laura belum bisa
melupakan Niko. (Apakah empat tahun berikutnya aku baru bisa melupakannya") pikirnya.
Laura mendesah. Ia sungguh tidak tahu. Selama ia masih belum melupakan Niko. Ia tidak bisa
membuka hatinya untuk orang lain. Ia tahu ia memang bodoh karena masih mengingat Niko
setelah sekian lama, tetapi hatinya tidak bisa berbohong.
*********************************
"Kau terlihat sedikit bingung hari ini." Mata Maya mengawasi Laura dengan tajam. "Tidak
seperti biasanya. Apakah ada hal yang mengganggu pikiranmu?"
Waktu menunjukkan pukul tiga sore. Laura sedang mengelap peralatan masaknya. "Aku tidak
pernah bisa menyembunyikannya dari mbak, ya."
Maya tersenyum. "Tidak. Aku memang terbiasa mengamati orang-orang disekitarku. Salah satu
tuntutan pekerjaanku. Kau baik-baik saja?"
Laura tersenyum. "Aku tidak apa-apa. Tadi pagi aku membaca koran, sekolahku mau
mengadakan reuni." "Kau ragu untuk datang?" tanya Maya.
"Yah, begitulah." Laura menarik napas perlahan.
"Ada orang yang tidak ingin kau temui?" Maya melihat tatapan Laura dan menganggap
pertanyaannya telah mendapatkan jawaban. "Kau asisten chef sekarang, masa lalu biarkanlah
menjadi masa lalu." "Aku tahu." Laura menunduk. "Hanya saja, aku takut menemuinya lagi."
Maya terdiam. "Laura yang kukenal berani menantang seseorang yang hampir memecatnya dua
tahun yang lalu." Laura tersenyum. "Aku tidak seperti itu sewaktu sekolah."
Maya menyentuh tangan Laura. "Laura, kau tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi di
reunian itu. Tidakkah kau ingin pergi?"
Laura terdiam. Maya tersenyum lembut. "Kau tidak langsung mengatakan tidak. Apa salahnya bernostalgia
dengan teman lama?" "Thanks, mbak," kata Laura sunguh-sungguh. "Lebih baik datang daripada menyesal di
kemudian hari, bukan?"
*****************************
Sore harinya, Laura memegang HP nya dengan gugup. Ia sudah memasukkan nomor Erika di HP
nya. Jemarinya bergerak ragu antara mau menelepon atau tidak. Tapi sebelum sempat
memutuskan, HP nya sudah berbunyi. Dari kantor mama.
"Halo," katanya.
Tak berapa lama kemudian wajah Laura berubah pucat. Telepon tadi berasal dari teman mama
dikantor. Dia mengatakan bahwa mama pingsan di kantor dan sekarang sedang berada di rumah
sakit. Laura langsung meninggalkan rumah dan bergegas menuju rumah sakit. Di dalam taksi, ia
mengirim pesan pada Maya bahwa ia tidak bisa bekerja malam itu.
Laura berlari menuju kamar rumah sakit tempat mama dirawat. Napasnya terengah-engah. Ia
melihat mama terbaring di ranjang dengan selang infus ditangannya.
"Bagaimana keadaan mama?" tanya Laura panik. "Apanya yang sakit, ma" Apa kata dokter?"
Mama berusaha menenangkan putrinya. "Mama sudah tidak apa-apa. Dokter memperkirakan
mama kena demam berdarah. Jadi perlu dirawat."
"Aku akan menginap disini," kata Laura tegas.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" mama menanyakan dengan cemas.
"Aku sudah memberitahu mbak Maya. Dia bilang tidak usah khawatir. Lagi pula besok Antonio
sudah pulang dari italia. Jadi pekerjaanku sudah ada yang menggantikan." Laura membuka
jaketnya dan duduk disamping ranjang. "mama mau makan sesuatu?"
Mama menggeleng. "Kalau begitu mama istirahat saja." Laura menyelimuti mama dan memperhatikan mama mulai
memejamkan mata. Semalaman Laura tidak bisa tidur. Ia khawatir terjadi sesuatu pada mama.
Pagi harinya, dokter mengatakan kondisi mama sudah membaik dan Laura sedikit lega.
"Pulanglah," kata mama sedikit mengomel. "Kau kelihatan lelah sekali. Istirahat saja."
"Baiklah," kata Laura tanpa berdebat. "Aku akan pulang. Aku akan mengambil baju mama untuk
dibawa kemari. Dan aku akan tinggal dirumah sakit malam ini menemani mama."
Mama hendak menyelanya, tapi Laura sudah berkata lagi.
"Tidak ada bantahan kali ini. Pokoknya aku mau menginap disini sampai mama sembuh."
Melihat tekad putrinya yang tidak tergoyahkan, mama akhirnya menyerah.
?"?"?"?"
"Kau tidak tidur?" tanya mama tiba-tiba.
Laura memandang mama yang terbangun di tengah malam. Sudah tiga hari Laura berada
dirumah sakit menemani mama. Kondisi mama semakin hari semakin baik, dokter sudah
mengatakan besok mama boleh pulang.
"Maaf, aku membangunkan mama." Laura menghampiri mamanya sambil menyuguhkan segelas
air. "Tidurlah. Mama sudah tidak apa-apa," kata mama setengah mengantuk.
"Aku akan tidur sebentar lagi," janji putrinya.
Beberapa saat kemudian, Laura melihat mamanya kembali tertidur pulas. Mata Laura tertuju
pada kalender meja disebelah tempat tidur mama. Hari ini hari reunian. Laura tidak bisa datang,
tapi ia tidak menyesal. Mama orang terpenting baginya, lebih dari sebuah reuni ataupun pekerjaan. Tanpa mama, Laura
tidak tahu harus berbuat apa. Mama mendukung pekerjaannya yang sekarang. Mama bilang
selama Laura bahagia, apapun yang dikerjakan Laura, ia akan mendukungnya seratus persen.
Laura menatap mama dengan haru. Mama telah berhasil membanting tulang membesarkannya
selama ini. Ia mengelus rambut mama dengan perlahan lalu mengecup keningnya.
"Mama ibu terbaik di dunia," bisiknya perlahan.
Setelah itu ia berbalik ke jendela dan menatap langit. Malam bulan purnama. Bintang di langit
bersinar terang. Laura teringat pada kenangan masa lalunya di sekolah. Tentang pertemuannya
dengan Niko, melihatnya dari kejauhan, mengembalikan lukisannya, semobil berdua dengannya,
tertidur di bahunya, sampai perpisahan dengannya. Ia mengambil kertas JANGAN MENYERAH
Niko dari saku celananya.
"Mungkin sudah waktunya aku melupakan masa laluku," katanya perlahan. "Selamat tinggal
Niko. Dimana pun kau berada."
Ketika Laura hendak membuang kertas tersebut, niatnya terhenti. Bagaimanapun kertas tersebut
sudah menemaninya pada saat-saat tersulit dalam hidupnya. Laura melipat kertas tersebut dan
menyimpannya kembali ke dalam saku. (Hanya satu kenangan ini) katanya dalam hati. (Biarkan
aku menyimpan yang satu ini saja dan melupakan yang lain).
*****************************
Satu bulan kemudian, Laura menghadap Antonio dengan gugup. Wajah bosnya terlihat
manakutkan. Itu artinya ia pasti melakukan kesalahan serius.
"Antonio...," katanya perlahan, "begini... soal menu baru restoran hari ini, the mixed spagetti,
aku tahu seharusnya aku berkonsultasi dulu denganmu. Maaf."
Antonio memandang Laura dengan bingung. "Apa yang kau bicarakan?"
Kini giliran Laura yang bingung. "Bukankah kau memanggilku ke sini karena kau tidak suka
dengan menu baruku?"
Antonio tertawa terbahak-bahak. "Tidak. Aku suka menu barumu."
"Kalau begitu, mengapa mukamu menyeramkan begitu?" tanya Laura terus terang.
Antonio cemberut. "Karena sepertinya aku bisa kehilangan asisten terbaikku."
"Kau memecatku?" Laura protes. "Bukankah kau bilang kau suka menu baruku" Jadi mengapa
kau memecatku?" "Laura, duduklah dan dengarkan aku dulu." perintah Antonio.
Laura tidak punya pilihan lain selain duduk dan mendengarkan perkataan bosnya.
"Aku tidak memecatmu," kata bosnya kemudian. "Bulan kemarin ketika aku pergi ke italia, aku
berkunjung ke teman lama sekaligus pelatihku, Alberto Luceri. Aku bercerita tentang kau
padanya. Jadi, kalau kau tertarik, kau bisa belajar banyak padanya."
Laura kaget sampai melongo. "Maksudmu... aku bisa belajar dari gurumu?"
"Jadi, bagaimana" kau tertarik?" tanya Antonio penasaran. "Kau akan mempelajari banyak hal
darinya. Hanya saja kau harus pergi ke Italia. Aku yang akan menanggung akomodasinya."
Laura sangat berminat dengan usul Antonio. "Tapi berapa lama aku harus tinggal di Italia?"
"Mungkin setahun," kata Antonio mengira-ngira. "Aku tidak tahu. Semua terserah pada Alberto
dan kau. Kau mau terima tawaran ini?"
Laura tertawa gembira. "Aku pasti sudah gila kalau menolak tawaran sebagus ini. Hanya saja
aku harus mendiskusikannya dulu dengan mamaku."
Antonio mengangguk mengerti. "Aku harap mamamu mengerti dan mengizinkanmu pergi."
"Aku akan berbicara pada mama hari ini," kata Laura.
"Laura," Antonio memberi peringatan. "Kalau kau jadi pergi ke Italia, jangan lupa untuk pulang
dan bekerja kembali di sini."
Laura tersenyum. "Tentu saja aku akan kembali. Kau tidak usah khawatir."
**********************************
"Apakah kau masih perlu meminta izin mama?" mama memandang putrinya sambil tersenyum
bangga. "Tentu saja mama mengizinkanmu. Ini kesempatan langka. Kau harus meraihnya."
"Aku tahu....," katanya hati-hati. "Tapi..."
Mama menggeleng. "Kau tidak perlu khawatir soal mama. Mama sudah sembuh total kok.
Pergilah. Kejarlah mimpimu untuk menjadi seorang chef pasta."
Laura memeluk mama erat-erat. "Terima kasih ma. Aku berjanji akan sering-sering menelepon.
Dan mama juga harus berjanji harus meneleponku kalau terjadi apa-apa. Aku pasti akan
langsung pulang." "Mama berjanji akan menjaga diri mama baik-baik. Kau tidak usah khawatir." Mama balas
memeluk Laura dengan erat. "Kau juga harus menjaga diri disana."
"Aku berjanji," kata Laura bersungguh-sungguh.
**************************************
Dua minggu kemudian, para pelayan restoran,rekan kerjanya, Antonio,dan mama mengantar
Laura ke bandara. "Telepon mama sesampainya kau disana," kata mama sambil memberikan pelukan terakhir pada
putrinya sebelum berangkat.
Maya juga memeluk Laura dan berbisik, "Jangan lupa untuk kembali. Kau satu-satunya asisten
yang bisa diterima Antonio. Aku tidak tahu berapa lama dia bisa bertahan dengan asisten
barunya yang akan datang besok."
"Aku berjanji akan kembali, mbak. "Laura melepas pelukannya dan mengucapkan selamat
tinggal pada yang lainnya. Kemudian kakinya melangkah pergi menuju pintu masuk
keberangkatan. ?"?"?"?"?"?""
BAB 12 Laura, 23 tahun Laura berdiri di depan restoran Antonio. Satu tahun sudah restoran ini ditinggalkannya. Dari
luar, restorannya masih tampak sama. Pintu kaca berwarna merah yang menjadi pintu masuk
restoran Antonio seakan-akan memintanya masuk. Laura membuka pintu tersebut dan dentingan


Seribu Musim Mengejar Bintang Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lonceng terdengar dari dalam ruangan. Ia melihat ada beberapa perubahan dekorasi meja dan
kursi. Lebih cerah, lebih efesien, dan membuat ruangan terlihat lebih luas.
Terdapat beberapa pelayan sedang berkonsentrasi membereskan meja dan kursi. Mereka tidak
melihat Laura yang sudah berada di dalam ruangan. Laura tersenyum. Maya keluar dari ruangan
pelayan dan terpana. Laura memeluknya.
"Laura!" Seru Maya sambil tersenyum lebar. "kapan kau kembali" Kenapa kau tidak
memberitahuku?" Laura tersenyum lebar. "Rahasia. Aku ingin mengejutkan kalian."
Reaksi Maya menyadarkan pelayan lain yang akhirnya berkerumun mendekati Laura dan
bergantian memeluknya. "Selamat datang kembali," kata mereka.
"Aku senang berada disini lagi." Laura tersenyum memandang rekan-rekan kerjanya.
"No!No!No!" teriak suara dari arah dapur. "Kau dipecat!"
Seorang pria muda keluar dari dapur dengan kesal, dan langsung membanting pintu keluar
restoran. "Dia tidak pernah berubah," Laura berkomentar.
Maya tersenyum kecut. "Hanya kau yang berhasil bertahan lama dengannya."
Laura melihat salah satu pelayan mengumpulkan uang dari teman-temannya. Pelayan itu
tersenyum penuh kemenangan.
"Dua minggu. Aku kan sudah bilang dia tidak akan bertahan lebih dari dua minggu."
Laura mengerti sekarang. Ia lalu berpaling pada Maya. "Mbak ikut taruhan juga?" tanyanya
penasaran. Maya mengangguk sambil menyerahkan uangnya pada si pemenang. "Aku bertaruh satu bulan."
Laura tidak bisa menahan tawanya.
"Maya!" teriak Antonio dari dalam dapur. "Carikan aku asisten baru."
Maya tersenyum kemudian balas berteriak. "Aku sudah menemukannya! Aku yakin kau tidak
akan memecatnya kali ini."
"Itu juga yang kau katakan sebelumnya..." Antonio keluar dari dapur dengan kesal. "Kau
bilang..." suaranya terhenti. Ia menatap Laura dengan kaget.
"Buona sera (selamat malam), Antonio". Laura mendekati bosnya dan memeluknya. "Senang
melihatmu kembali. Kau tidak berubah."
Antonio gembira bukan main. "Kapan kau tiba" Kenapa kau tidak bilang-bilang?"
Laura melepaskan pelukannya. "Aku baru saja tiba pagi ini. Aku ingin memberi kejutan."
"Alberto benar-benar menyukaimu." Antonio melihat anak didiknya dengan bangga. "Apakah
kau tahu bahwa dia berencana menahanmu di Italia selama mungkin?"
Laura tersenyum. "Pantas saja dia berusaha menjodoh-jodohkanku dengan cucu laki-lakinya."
Antonio bersungut-sungut. "Dasar pria tua licik. Dia tidak bisa mengambil asistenku tanpa
perlawanan. Kalau bulan depan kau masih di Italia, tadinya aku mau langsung menjemputmu
pulang." "Aku disini sekarang," kata Laura. "Jadi... mau kumasakkan sesuatu?"
Antonio menatap Laura tajam. "Kau mau membuktikan keahlianmu?"
"Aku cukup yakin kali ini kau akan menyukainya," kata Laura penuh percaya diri.
"Dasar kalian para chef," kata Maya sambil menggeleng. "Belum juga sepuluh menit, kalian
sudah ingin menuju dapur lagi."
Laura memandang Maya sambil tertawa. "Maaf. Aku akan memasak untuk kalian semua, tidak
hanya untuk Antonio."
"Cukup basa-basinya," kata Antonio tidak sabar. "Aku tidak sabar ingin mencicipi masakanmu."
Laura berjalan menuju dapur. Ia mengambil salah satu celemek putih yang ada dilemari dan
mengenakannya. Tangannya mengambil panci dan mulai mendidihkan air. Beberapa saat
kemudian Laura selesai membuat dua masakan. Ia mengambil masing-masing satu porsi
masakannya untuk diberikan pada Antonio.
"Spaghetti ala carbonara dan tagliatelle with tomato sauce and ricotta. Silahkan dinikmati."
Laura menyodorkan kedua piring di depannya pada Antonio.
Antonio menikmati masakan dipiring yang pertama dan berdecak kagum. "Kau benar-benar
mengalami kemajuan besar."
Saat mencicipi masakan di piring yang kedua, Antonio mencoba tidak meneteskan air mata.
"Aku tidak tahu harus berkata apa. Masakanmu sempurna. Alberto benar-benar telah
mengajarimu dengan baik."
Antonio meraih tangan Laura dan mengenggamnya. "Kau seorang chef pasta sekarang. Aku
bangga padamu." Laura balas menggenggam tangan Antonio. "Terima kasih." Mata mereka bertemu. Laura
berhasil menjadi seorang chef pasta berkat kesempatan yang diberikan Antonio. Ia tidak akan
pernah melupakannya seumur hidupnya. Kini Antonio dan Laura memiliki kesamaan. Mereka
berbagi guru yang sama.Alberto.
"Aku tidak akan berhasil tanpa bantuanmu," kata Laura lagi sambil menatap Antonio dengan
serius. "Kau berhasil karena kau punya bakat dan keberanian. Dua hak yang kukagumi darimu," balas
Antonio. Lalu memandang anak buahnya. "Kalian jangan diam saja. Ayo, cicipi masakan Laura."
Tanpa disuruh dua kali, para pelayan berebutan mengambil spageti yang dimasak oleh Laura.
Laura merasa bahagia. Masakannya di makan oleh orang-orang terdekatnya. Dan mereka
menyukainya. BAB 13 Bagian Tiga Niko Fareli G.G Niko, 19 tahun NIKO FARELI menggigil kedinginan. Butiran-butiran salju bulan Januari kota New York jatuh
mengenai mantelnya. Niko memasuki gedung GIA yang terletak di Madison Avenue. Di dalam
ruangan, dia melepaskan mantel dan membiarkan udara hangat mengaliri tubuhnya. Ini musim
dingin pertamanya. Tubuhnya belum terbiasa dengan hawa dingin yang berada dibawah sepuluh
derajat celcius. Pertama kali masuk GIA, Niko merasa sedikit gugup. Tetapi para pengajar dan teman-teman
seangkatannya benar-benar baik padanya. Hampir semua. Kecuali satu orang, George finley.
Niko tidak tahu mengapa George begitu tidak menyukainya. Apalagi setelah Niko mendapat
banyak pujian dari para pengajarnya pada bulan-bulan pertama. Niko merasa kemungkinan
George iri karena Niko mendapat perhatian banyak orang, sedangkan George, sebagai putra
Elliot Finley___ahli perhiasan terkenal di New York, yang namanya sudah melegenda dan
memiliki puluhan cabang Forever Jewelry___tidak bisa menyamai jejak ayahnya.
Butuh lebih dari sekedar bakat untuk bertahan dibidang perhiasan. Niko menyadarinya setelah
masuk GIA. Ada banyak sekali yang harus dipelajarinya tentang perhiasan sebagai hobi.
GIA membagi pelajarannya menjadi dua program utama. Ilmu gemologi dan seni perhiasan.
Dalam program ilmu gemologi, Niko belajar bagaimana menilai berlian dan batu-batu berharga,
berdasarkan warna, kejernihan, potongan, dan berat karatnya. Selain itu, dia juga diajari
bagaimana menggunakan peralatan terbaru untuk menganalisis, menilai, dan mengidentifikasi
batu perhiasan. Saat ini Niko memulai pembelajarannya dengan ilmu gemologi, dan setelah mendapatkan
diplomanya dia akan melanjutkannya pada seni perhiasan. Di bidang ilmu tersebut dia bisa
belajar cara merancang perhiasan menggunakan teknologi komputer terbaru dan membuat
modelnya menjadi nyata. Niko melangkah memasuki kelasnya. GEM 2500. Pengajarnya, Dr. Patrick Evans, merupakan
ahli geologi yang menyukai batu perhiasan dan astronomi sejak berusia sepuluh tahun, seumur
dengan Niko ketika Niko pertama kali tertarik pada perhiasan.
Niko sangat menyukai metode pengajaran Dr. Evans, yang benar-benar menyukai perhiasan dan
mengharapkan anak didiknya menyukainya sebesar dia menyukainya. Pengajar-pengajar lain
juga benar-benar berpengalaman dalam bidangnya dan Niko menyukai setiap pelajaran yang
dilaluinya. Niko tidak bisa membayangkan seandainya dia jadi masuk fakultas kedokteran. Dia pasti akan
putus asa dan membencinya pada tahun pertama.
Jalanan kota New York masih diselimuti salju. Pertama kali datang ke New York, Niko tertarik
dengan keramaian kota itu. Saat didalam bus, taksi kuning melewatinya sepanjang perjalanan.
Niko memejamkan mata sebentar lalu membukanya kembali, melihat pemandangan kota New
York. New York memiliki semuanya. Teater-teater Broadway, museum-museum, aneka restoran,
dan ratusan galeri seni. Niko akan menyelesaikan kuliah gemologi pertamanya pada bulan maret. Dia sudah
mendaftarkan diri untuk program beasiswa yang diberikan GIA. Dia berharap bisa mendapatkan
beasiswa tersebut, bersaing dengan puluhan murid lain yang juga menginginkannya. Terutama
George Finley. Biasanya Niko mudah menyukai seseorang, tapi perilaku George padanya
membuat Niko tidak bisa menolerirnya. Niko tidak suka George yang selalu membawa-bawa
nama ayahnya dalam setiap kesempatan. Seperti ketika mendaftar beasiswa tadi, George amat
yakin akan mendapatkannya karena ayahnya adalah Elliot Finley. Niko yakin George akan
kecewa sekali kalau beasiswa itu jatuh ketangan orang lain.
Niko melangkah pasti menuju kereta bawah tanah. Ia menikmati perjalanannya. Kereta itu
berhenti di sebuah stasiun. Pintu kereta terbuka dan Niko turun. Tak berapa lama kemudian dia
sampai di sebuah kedai makanan. Dia memasuki kedai tersebut, menyapa para pelayan yang
berada disana dan masuk keruangan. Dia mengganti bajunya dengan kemeja putih dan celana
hitam. Sekeluarnya dari sana, dia sudah membawa bolpoin dan buku catatan. Siap menerima pesanan.
Niko tersenyum ramah pada salah seorang pelanggannya dan membacakan menu spesial hari itu.
Setelahnya, dia mencatat pesanan kemudian membErikannya pada juru masak di dapur.
Niko sudah bekerja di kedai makan Mike selama empat bulan. Walaupun gaji per jamnya tidak
besar, tapi bila ditambah tips dari pelanggan, cukup untuk membiayai kehidupannya sehari-hari.
Kedai makan Mike terletak di 9th Avenue, dekat apartemen tempat tinggalnya. Pemiliknya,
Mike, pria gemuk berumur 55 tahun, telah membuka kedainya selama lima belas tahun. Dan
selama itu kedainya tidak pernah sepi pengunjung.
Kedai Mike buka setiap hari dari pukul 08.00 sampai pukul 02.00. Menunya lengkap tersedia,
mulai dari penchakes, omelet, sandwich, egg benedict, sampai burger, tacos, macaroni and
cheese. Niko bekerja di kedai Mike hampir setiap hari, setelah selesai mengikutu kuliahnya di
GIA. Awal Desember lalu Niko memutuskan tidak pulang ke Indonesia. Dia tidak ingin menghadapi
pertengkaran yang sama tentang pilihan yang diambilnya dengan orangtuanya. Dia akhirnya
memilih terus bekerja di kedai Mike selama liburan tersebut. Mike pulang lebih awal untuk
merayakan natal bersama keluarganya. Tidak ada kuliah GIA selama liburan natal dan tahun
baru. Mike memberi bonus kepada pelayan yang bekerja selama hari-hari tersebut, dan Niko
membutuhkan uang tersebut untuk membiayai kursus perhiasan berikutnya.
Walaupun tinggal di apartemen Julien tanpa uang sewa, Niko masih membutuhkan uang
seandainya dia tidak menerima beasiswa yang telah diajukannya. Sebagian lainnya dia sisihkan
untuk menabung. Dia ingin membeli berlian pertamanya dengan uang hasil usahanya sendiri.
Delapan jam berikutnya Niko bergantian dengan pelayan lain dan mengakhiri kerjanya hari itu.
Dia kembali menganti bajunya dan merapatkan mantelnya. Jarak apartemennya dan kedai Mike
hanya berbeda dua blok, dan Niko memilih berjalan kaki menuju apartemennya. Tangannya
menggenggam erat buku sketsa pemberian Laura tahun sebelumnya.
Niko masih merasakan kesedihan mendalam saat memikirkan Laura. Dia tidak tahu sampai
kapan rasa sedih itu akan terus menghantuinya. Laura telah membantunya mewujudkan
mimpinya. Saat ini Niko berharap gadis itu berada disisinya, menyemangatinya. Dia sungguhsungguh ingin bertemu kembali dengan Laura suatu saat nanti.
Sesampai di depan apartemennya, Jack, penjaga pintu apartemen, tersenyum padanya. "Selamat
malam, Jack," sapa Niko.
"Selamat malam, sir," kata Jack. "Ada orang yang hendak bertemu dengan anda."
Niko mengernyit keheranan. "Terima kasih, Jack."
Niko berjalan ke lobi depan apartemen. Sepasang pria dan wanita duduk di sana. Niko
mendesah. Papa dan mama. "Niko!" Sapa mama gembira melihat kedatangan putranya.
Niko menghampiri kedua orangtuanya dan duduk diseberang mereka. "Kapan mama dan papa
saampai di New York?"
"Baru tadi sore," kata mama sambil tersenyum. "Kau tidak pulang liburan, padahal mama
merindukanmu. Mama membujuk papamu untuk datang kemari."
Niko memandang papa yang diam saja sejak kedatangannya. Dia merasa papa masih marah
padanya. "Mama benar-benar kedinginan sejak tadi," kata mama lagi. "Kau pasti tidak tahan juga dengan
hawa dingin di kota ini."
Niko tersenyum dan mengangguk. "Ya, aku juga belum terbiasa. Mungkin tahun depan aku baru
terbiasa." "Jadi kau masih ingin belajar di sini?" potong papa tiba-tiba.
Niko menatap mata papa dengan serius. "Ya.Tentu saja. Aku menyukai apa yang kupelajari
sekarang." Papa memandang Niko dengan kesal. Putranya sudah berani menentang keinginannya tahun lalu.
Dia menyangka seiring berjalannya waktu,putranya tidak akan bertahan dengan pilihannya. Tapi
pilihan Niko untuk tidak pulang saat liburan membuat papa menyangsikan hal itu. Niko tidak
pernah meminta bantuannya dan tidak pernah menghubunginya. "Kalau kau ingin kuliah di sini,
papa bisa mengaturnya. Banyak kuliah kedokteran yang bagus di New York. Kau masih bisa
masuk semester depan."
"Papa masih belum menyerah?" kata Niko keras. Hatinya benar-benar kesal. "Aku tidak akan
masuk kuliah kedokteran, tidak di sini, tidak di mana pun, sampai kapan pun. Kenapa papa tidak
pernah menghargai pilihanku" Aku menyukai perhiasan dan aku tidak akan melepaskan
impianku." Papa mengepalkan kedua tangannya menahan marah. "Kau tidak akan bertahan lama. Suatu saat
nanti kau pasti akan memohon pada papa dan meminta bantuan papa."
"Aku rasa tidak, pa. Aku sudah bisa bertahan sampai sekarang tanpa bantuan papa. Seharusnya
itu menjadi indikasi bahwa aku tidak akan pernah mewujudkan impian papa untuk menjadi
dokter." kata Niko tegas. Ingatannya kembali ke masa lalu. Saat itu usianya baru dua belas tahun,
papa menyuruh Niko menghafal nama latin seluruh anatomi tubuh. Setiap hari, saat sarapan,
papa selalu mengadakan kuis untuk mengetahui perkembangan hafalan putranya. Kalau
melakukan kesalahan, Niko harus menghafal ulang dari awal. Niko tidak pernah menyukai kuis
tersebut. "Sekarang kau sombong sekali." Papa menatap putranya dengan kesal. "Papa ingin lihat sampai
kapan kau bisa seperti ini. Jangan harap papa akan membantumu saat kau menyadari kau telah
membuat pilihan yang salah dan menyesalinya."
Niko kesal bukan main. "Papa tenang saja. Aku tidak akan pernah memohon untuk meminta
bantuan papa." "Hentikan kalian berdua." Mama berdiri dan menengahi keduanya. Mama tahu keduanya samasama keras kepala.
"Maaf, ma." Niko menatap mama dan tahu hati mama sedih melihat kedua orang yang paling
disayanginya bertengkar. "Aku tidak ingin berdebat lagi dengan papa," kata Niko pada papa.
"Sebaiknya papa pergi sekarang."
Papa berdiri dan menatap putranya sekali lagi dengan penuh kekesalan. "Ayo, kita pergi saja!"
katanya pada istrinya. Mama hanya mendesah sambik menarik napas. Ia mengusap wajah putranya dengan lembut,
kemudian mengikuti suaminya keluar dari apartemen.
Niko melihat punggung keduanya lenyap dibalik pintu. Ia merasa sedih dengan pertengkaran
tadi. Bagaimanapun,papa adalah orangtuanya. Di lubuk hatinya yang terdalam, Niko masih
menyayanginya. Niko takut kalau papa masih memaksanya seperti tadi, rasa sayangnya akan
terkikis perlahan-lahan dan digantikan rasa benci. Niko tidak mau itu sampai terjadi. Dia benarbenar berharap papa dapat mengerti pilihannya suatu hari nanti.
?"?"?"?"?""
Aktivitas Niko keesokan harinya sama seperti sebelumnya. Malam harinya ketika dia sudah
sampai di lobi depan apartemen, mama sudah menunggunya. Kali ini tanpa papa. Mama
menggenggam tas belanja. Mama tersenyum melihat putranya, dan Niko balas tersenyum.
"Mama mau minum apa?" tanya Niko setelah mereka berada di apartemennya.
"Teh saja," kata mama sambil melihat-lihat ruangan tempat Niko tinggal beberapa bulan ini.
Ruang tamu yang luas, dua kamar tidur, dan satu dapur." Apartemenmu terlihat sangat nyaman.
Kau betah tinggal disini?"
Niko menghangatkan air untuk membuat teh. "Ya. Papa tidak menemani mama?"
Mama duduk di sofa putih ruang tamu. "Mama yakin kalian pasti bertengkar lagi kalau
bertemu." Niko memutuskan untuk tidak berkomentar.
Suara air mendidih mengalihkan perhatiannya. Dia mematikan kompor dan mulai menyeduh teh
hangat untuk mama. "Kau suka dengan pelajaran gemologimu?" tanya mama sambil menghirup perlahan teh yang
dibuat putranya. Niko mengangguk. "Aku sangat menyukainya."
Mama menaruh gelas tehnya dan menatap Niko dengan serius.
"Kau sungguh-sungguh ingin menjadi perancang perhiasan?"
"Ya," jawab Niko pasti.
Mama melihat keseriusan di mata putranya dan akhirnya mengangguk. "Baiklah mama
mendukung keinginanmu."
"Thanks, ma," seru Niko sambil tersenyum lebar.
"Ada sebagian hati mama yang masih ingin kau meneruskan jejak mama dan papa." Mama
menatap Niko lembut. "Tapi, mama sadar kau harus menemukan jalan hidupmu sendiri."
Niko menarik napas panjang. "Aku berharap papa juga bisa berpikiran seperti mama."
Mama tersenyum kecil. "Papamu sama sepertimu. Kalian berdua sama-sama keras kepala. Mama
akan mencoba berbicara dengan papa."
"Ma, aku masih tetap akan melanjutkan pelajaranku, walaupun sampai akhir papa tetap tidak
menerima pilihanku," kata Niko sungguh-sungguh. "Aku tidak bisa melepaskan impianku."
"Mama mengerti." Mama mengambil tas belanjanya. Dia mengeluarkan sebuah mantel tebal
hitam yang dibelinya siang tadi.
"Untukmu," katanya. "Mama lihat mantelmu tidak cukup tebal untuk menahan hawa dingin
dikota ini. Jadi mama memutuskan untuk membeli mantel ini untukmu."
Niko mengamabil mantel pemberian mama. "Terima kasih ma, aku akan mengenakannya selama
musim dingin ini." Mama mendekati putranya dan memeluknya. "Jaga kesehatanmu, dan sering-sering telepon
mama." "Aku akan melakukannya," kata Niko balas memeluk mama. Mama melepaskan pelukannya.
"sekarang ceritakan tentang kuliah gemologimu di GIA."
Niko tersenyum kemudian menceritakan semuaanya sejak awal sampai sekarang. Mama melihat
mata Niko bersinar-sinar ketika bercerita tentang pelajaran gemologinya. Mama ikut bahagia


Seribu Musim Mengejar Bintang Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat putranya bahagia.
Dua jam kemudian, mama memutuskan untuk pulang. Dan Niko mengantarnya sampai pintu
depan apartemen. "Terima kasih karena sudah mendengarkanku, ma." Niko mengambil mantel mama dari
tangannya dan membantu mama mengenakannya..
"Jangan lupa. Telepon mama," kata mama mengingatkan. "Dan semoga berhasil, Niko."
"Aku akan menelepon mama sering-sering." Niko menghentikan sebuah taksi kuning di depan
jalanan apartemennya,membukakan pintu untuk mama dan melihat mama masuk ke taksi.
Niko melihat mama melambaikan tangan dari dalam taksi. Niko balas melambaikan tangannya.
Hatinya terasa lebih ringan. Setidaknya salah satu orangtuanya sudah bisa menerima
keputusannya. Niko kembali ke apartemennya. Dia duduk disofa kemudian kemudian melihat buku sketsa yang
tergeletak di meja. Halaman demi halaman dibukanya. Saat senggang, dia selalu menyempatkan
diri untuk menggambar rancangan perhiasan yang ada di benaknya. Kini buku sketsa tersebut
sudah terisi berpuluh-puluh rancangannya. Niko kembali pada halaman pertama. Sketsa cincin
bintangnya. Tangannya mengelus gambar itu perlahan-lahan. Gambar tersebut telah membuatnya
berkenalan dengan Laura. Pada kuliah seni perhiasan nanti, dia bertekad untuk membuat cincin
tersebut sebagai karya pertamanya. Tujuh buah bintang dengan lima sudut. Dengan dua
lingkaran yang menghubungkan satu sudut atas dan dua sudut bawah bintang-bintang tersebut.
Tiga puluh lima butir berlian yang akan menghiasi sudut-sudut ketujuh bintangnya. Niko
berharap tidak lama lagi dia bisa membeli berlian pertamanya dan memasangkannya pada cincin
tersebut. ?"?"?"?"?"?""
Dua bulan berikutnya, saat ujian akhir kelas grmologi usai, Niko tertegun melihat pengumuman
di kelasnya. Namanya tertulis sebagai penerima beasiswa GIA. Niko tidak bisa
menyembunyikan kegembiraannya. Dia memang berharap bisa mendapatkannya, tapi juga tahu
bahwa dia harus bersaing dengan siswa lain yang tidak kalah berbakat darinya. Dia benar-benar
tidak menyangka beasiswa tersebut bisa jatuh ketangannya.
Niko tertawa lepas. Teman-teman sekelasnya memberi selamat atas prestasinya. Kecuali George
Finley. Dia melihat Niko seakan-akan Niko sudah merebut hal yang paling berharga darinya.
"Kau harus selalu menang dariku bukan, Fareli?" kecamnya.
Niko memandang George dengan kesal. "Kenapa kau selalu membenciku, Finley?"
"Kau mengambil segalanya dariku," kata George Finley sambil menatap Niko dengan benci.
Niko beranggapan perkataan George tidak masuk akal. Niko tidak merebut beasiswa tersebut
dari siapa pun. Dewan fakultas GIA sudah menentukan pilihannya dan seharusnya George
menghormati keputusan mereka.
"Ucapanmu tidak masuk akal," keluh Niko. Dia tahu George tidak pernah menyukai pelajaran
kelasnya, rancangan gambar perhiasannya tidak bagus, masih kalah jauh dengan temantemannya yang lain.
"Jadi menurutmu kau lebih berbakat dari pada aku?" George menantangnya.
Niko menatap George dengan tajam. Dia memutuskan untuk nengakhiri pertikaiannya dengan
George. "Aku mendapatkan beasiswa ini bukan karena aku lebih berbakat darimu,Finley."
"Kalau begitu karena apa?" tanya George penasaran dan setengah kesal.
"Karena kau sama sekali tidak berbakat di bidang perhiasan," jawab Niko jujur. "Maaf kalau aku
berkata terus terang. Mungkin seharusnya kau mengakuinya juga pada dirimu sendiri."
Muka George Finley merah padam. Disekelilingnya, para siswa lain terdiam mendengar
pertikaian itu. "Berani-beraninya kau berkata seperti itu. Apa kau tidak tahu bahwa ayahku ahli
perhiasan ternama?" "Aku tahu," kata Niko perlahan. "Ayahmu salah seorang ahli perhiasan yang kuhormati. Tapi
maaf, aku tidak bisa menghormati karya putranya. Apalagi tingkahnya."
George terdiam. Lalu Niko pergi meninggalkannya.
************************************
Di dalam kereta yang membawanya menuju tempat kerja, HP Niko berbunyi.
"Selamat," kata suara seseorang dari teleponnya. Aku dengar kau mendapatkan beasiswa dari
GIA." Niko tersenyum. "Thanks, Julien."
"Aku tidak pernah meragukanmu, Niko," kata Julien dari seberang telepon. "Minggu depan kau
akan mendapatkan diploma gemologimu, bukan?"
"Ya. Aku berencana untuk menggunakan uang beasiswa itu untuk mengikuti paket kuliah
berikutnya." "Aku sudah tidak sabar menerima kehadiranmu di Paris."
Niko mendengar suara tawa Julien dari teleponnya. "Ya, aku juga. Tapi masih banyak yang harus
kupelajari di sini."
"Aku tahu," kata Julien perlahan. "Semoga berhasil dengan kuliahmu."
"Thanks, Julien," kata Niko, lalu menutup teleponnya.
Seminggu kemudian, Niko mendapatkan diplomanya. Di situ tertulis Niko Fareli, G.G (Graduate
Gemologist/ lulusan gemologi). Dia menatap diplomanya dengan bangga. Malam itu Niko
menelepon mama untuk memberitahukan hal tersebut, dan mama ikut bahagia. Niko tidak tahu
apakah hati papa sudah melunak, tetapi dia memutuskan untuk tidak merusak momen
bahagianya bersama mama dengan tidak menanyakan pendapat papa.
Kuliah intensif berikutnya di mulai bulan juni sampai Desember. Untuk mengisi kekosongan
waktu, Niko mengambil kursus komprehensif merancang perhiasan menggunakan teknologi
komputer terbaru, yang memakan waktu tujuh minggu. Cukup waktu sebelum memulai kuliah
berikutnya. BAB 14 Niko, 20 tahun "ANDA sudah siap memesan?" Niko memandang seorang pelanggan wanita di depannya.
Si pelanggan wanita tersenyum, kemudian memberikan pesanannya pada Niko.
Niko mengantar pesanan tersebut kedapur. Jam menunjukkan pukul tiga sore. Kedai makan tidak
terlalu di penuhi pengunjung. Di luar jendela,daun-daun mulai berguguran. Sesekali angin
musim gugur menerbangkan daun-daun tersebut. Niko sudah satu tahun di New York. Karena
memang suka merancang, Niko merasa kuliahnya kali ini tidak sesulit sebelumnya. Dia selalu
mendapatkan nilai tertinggi pada setiap tes.
Niko membeli berlian pertamanya beberapa bulan yang lalu. Dan mulai mempraktikkan apa
yang dia pelajari selama kursus dan membuat karya pertamanya. Sebentuk cincin bintang. Kini
cincin tersebut bersematkan berlian pertamanya. Masih tersisa 34 lagi. Niko menyimpan cincin
tersebut di laci meja tidurnya. Setiap hari dia selalu melihat hasil karyanya sebelum pergi belajar
dan bekerja. "Veggie burger dan cafe latte," Niko menyuguhkan pesanan tersebut pada sang pelanggan
wanita. "Terima kasih...." Si pelanggan melihat bagian atas saku Niko dan membaca namanya, "Niko."
"Panggil saya kalau anda masih membutuhkan pesanan lain," kata Niko sopan.
Setengah jam kemudian, Niko menerima tips dari pelanggan wanita itu. "Terima kasih,"
ucapnya. Tiba-tiba wanita itu menyodorkan selembar kertas putih. "Nomor teleponku," katanya. "Namaku
Michelle. Telepon aku kapan-kapan."
Niko tersenyum dan memberikan kembali kertas tersebut pada wanita itu. "Maaf, aku tidak bisa
menerimanya." Michelle mengangguk mengerti. "Kau sudah punya seseorang."
Niko hanya tersenyum tanpa menjawab.
"Baiklah," kata Michelle, lalu mengambil kertas yang ditulisnya dan keluar dari kedai.
Saat Niko duduk beristirahat di meja kasir, Mike mendekatinya.
"Aku sudah sering melihatmu menolak nomor telepon para wanita. "Mike menggelengkan
kepala. " Kau punya pacar?"
Niko menggeleng. "Tidak."
"Kalau begitu, kenapa kau tidak menerima salah satu dari mereka?" Mike menepuk pundak Niko
perlahan. Niko memandang Mike dengan tatapan sedih. "Hatiku belum siap menerima seseorang."
Mike tertawa perlahan. "Masih belum bisa melupakan cinta pertamamu" Tidak ada salahnya kau
mulai bertemu dengan wanita lain. Siapa tahu salah satu dari mereka bisa menyembuhkan luka di
hatimu." Niko tertawa mendengar nasihat Mike. "Cinta pertama" Aku tidak tahu apakah itu cinta pertama
atau bukan. Tapi aku tidak bisa melupakannya."
"Kau benar-benar menyukainya, ya?" Mike melihat mata Niko bersinar sedih saat membicarakan
orang yang disukainya. "Aku baru menyadari aku menyukainya setelah orang itu pergi," kata Niko penuh penyesalan.
"Aku bahkan tidak tahu apakah dia menyukaiku atau tidak."
"Apakah dia ada di sini juga?" tanya Mike penasaran.
Niko menggeleng. "Aku tidak tahu dia di mana sekarang."
Mike mendecak. "Sebaiknya kau mencoba melupakannya."
"Aku rasa aku tidak bisa melakukannya," Niko tersenyum sedih, mengenang masa lalunya. "Dia
membantuku mengejar impianku."
"Ah...." Mike mengangguk. "Apakah dia cantik?"
Niko tertawa mendengar komentar Mike. "Tidak," benak Niko mengingat wajah Laura. "Tapi dia
cantik di mataku. Aku tidak tahu apakah suatu saat nanti aku bisa melupakannya atau tidak. Tapi
saat ini aku tidak ingin memulai hubungan dengan seseorang. Tidak akan adil bagi wanita itu
kalau hatiku tidak bersamanya. Bagaimana dengan istrimu, Mike" Aku dengar kau sudah
menikah lebih dari dua puluh tahun."
Mike tersenyum. "Cinta pada pandangan pertama. Aku tidak pernah bersama wanita lain selain
dengannya." "Wah, aku benar-benar iri padamu, Mike." Niko tersenyum. "Aku harap aku bisa sepertimu."
Mike tertawa lebar. Tapi, sesuatu tampak ganjil. Tiba-tiba tawa Mike terhenti. Dia memegang
dada kirinya lalu jatuh pingsan di lantai.
Niko berlutut di samping tubuh Mike. Para pelayan dan pelanggan yang melihat kejadian
tersebut segera mendekati mereka. Niko menatap salah seorang pelayan dan memerintahkan
dengan tegas. "Telepon 911!"
Niko melepaskan dasi Mike dan melonggarkan kerahnya. Dia mengecek denyut nadi di leher
Mike dan tidak menemukannya. Niko memiringkan kepala Mike perlahan dan mengangkat
dagunya. Dia memberikan napas buatan melalui mulut Mike dua kali. Lalu telinganya mencoba
mendengar napas Mike kembali. Tapi tidak ada bunyi napas.
Niko menyilangkan kedua telapak tangannya di dada Mike dan mulai menekannya. "Satu... dua...
tiga... empat... lima..." Niko menghitung dalam hati. "Ayolah, Mike, bernapaslah... satu....dua"
tiga... empat... lima...." Niko menekan dada Mike.
Niko terus-menerus menekan dada Mike tanpa henti. "Ayolah, Mike. Bernapaslah."
Tak berapa lama kemudian Mike terbatuk. Niko bernapas lega. "Kau akan baik-baik saja, Mike.
Teruslah bernapas perlahan."
Tim paramedis tiba tak lama kemudian dan memberikan bantuan. Setelah itu Mike dibawa
dengan ambulans. Sepulang kerja Niko pergi kerumah sakit untuk menengok Mike.
Niko melihat Mike ditemani istrinya yang terlihat lega bercampur sedih, karena Mike sudah bisa
tertawa dan bercanda. "Hai, Mike." Niko masuk ke kamar tempat Mike dirawat dan meletakkan buah yang dibelinya di
meja samping tempat tidur. "Bagaimana keadaanmu?"
"Niko.....!" seru Mike gembira. "Aku baik-baik saja sekarang. Kenalkan ini istriku. Carie."
Niko tersenyum. "Hai, Carrie."
"Terima kasih telah menyelamatkan suamiku," ujar Carrie sambil menggenggam tangan Niko.
"Sama-sama," jawab Niko.
"Paramedis bilang kau melakukan CPR (Cardiopulmonary Respiratory/ napas buatan) dengan
baik." Mike menekan tombol untuk meninggikan ranjangnya. "Kau masuk kuliah kedokteran?"
Niko tertawa perlahan. "Tidak."
Mike memandang Niko dengan pandangan berbeda. "Kau belajar apa?"
"Gemologi." kata Niko. "Perhiasan," jelas Niko setelah melihat alis Mike yang mengernyit
kebingungan. "Perhiasan?" ungkap Mike tidak menyangka. "Kau pernah berlatih CPR sebelumnya" Para
pelayan lain bilang kau terlihat seperti sudah terlatih melakukannya."
"Aku sudah berlatih melakukan CPR sejak berumur dua belas tahun," Niko memberi penjelasan.
"Ayah dan ibuku dokter. Mereka berharap aku masuk kedokteran juga. Tapi aku tidak bisa
melakukannya. Aku sangat menyukai perhiasan."
Carrie menggenggam tangan Niko. "Aku yakin orangtuamu akan mengerti. Hidupmu adalah
pilihanmu." Niko berharap seandainya papa bisa pengertian seperti Carrie.
"Ibuku mengerti, tapi ayahku... yah, dia masih perlu diyakinkan."
Mata Carrie melembut. "Bagaimana kalau kapan-kapan kau ikut makan malam di rumah kami?"
"Anda tidak usah repot-repot," Niko merasa tidak enak hati. "Aku senang Mike sudah baikan."
Mike membantah perkataan Niko. "Tidak perlu sungkan. Kau harus datang ke rumahku untuk
makan malam sepulangnya aku dari rumah sakit."
"Baiklah," Niko mengalah. Dia yakin Mike akan terus memaksa sampai setuju.
Hubungan Mike dengan Niko sejak saat itu semakin erat. Niko merasa mendapatkan perhatian
seorang ayah yang tidak dia dapatkan dari papa. Dan Carrie sudah seperti ibu kedua baginya.
Beberapa bulan kemudian, di awal tahun barunya, Niko sudah mendapatkan diploma ahli
perhiasan dari GIA. Selanjutnya Niko mengicar program perhiasan untuk menjadikannya
seorang ahli perhiasan profesional.
BAB 15 Niko, 21,5 tahun Musim gugur berganti menjadi musim semi. Niko sudah menyelesaikan hampir semua mata
kuliah perhiasan yang diinginkannya. Hanya tinggal tersisa satu atau dua mata kuliah pilihan.
Rancangan-rancangan perhiasannya telah menjadi bagian dari koleksi musim gugur Julien
Bardeux tahun sebelumnya. Julien sampai kewalahan membuat lebih dari ratusan karya
rancangan Niko sesudah pameran. Rupanya rancangan Niko banyak diminati warga Paris,
terutama kalangan atas. Julien mengatakan karya Niko terlihat elegan, sederhana, tapi memiliki
nilai klasik. Mungkin ketiga kombinasi itu membuat para pelanggannya tidak sabar menunggu
karya-karya Niko selanjutnya.
Niko masih bekerja di kedai Mike. Walau mungkin ini tahun terakhirnya bekerja di sana. Malam
harinya, Niko membuka laci tempat tidur dan membuka kotak cincin bintangnya. Dari hasil
tabungannya juga penjualan rancangan perhiasannya, Niko bisa mengumpulkan uang. Satu
persatu Niko membeli berlian, dan sudah ada dua puluh berlian yang mengisi tempat di lima
sudut empat bintang. Tinggal lima belas lagi. Tiga bintang lagi yang harus diisi.
Kuliah Niko kini lebih banyak berpusat di laboratorium GIA di fith Avenue. Di sana dia belajar
bagaimana membuat gambar sketsa menjadi bentuk nyata. Niko menyukai setiap detik dia
berada di sana. Hari ini ketika sampai di depan kelas lab nya, dia melihat pengumuman kontes merancang
perhiasan. Penyelenggaranya adalah perusahaan perhiasan terkenal di seluruh dunia, Tiffany &
Co. Tema rancangan perhiasannya adalah *Back to Nature*. Pemenang pertama lomba kontes
berhak mendapatkan sejumlah uang dan kesempatan untuk magang selama enam bulan di
perusahaan tersebut. Niko tertarik mengikutinya. Batas waktu pengumpulan rancangannya satu
minggu lagi di salah satu galeri seni New York.
Sepulang kuliah, Niko menelepon Mike bahwa dia tidak bisa bekerja hari itu dan memutuskan
untuk bekerja sepanjang hari di laboratorium karena harus membuat rancangan untuk kontes.
Ketika kelelahan menyelimuti tubuhnya setelah bekerja tanpa henti selama berjam-jam, Niko
keluar dari lab nya sebentar untuk membeli kopi. Di tengah tangga turun tubuhnya menabrak
seseorang. "Fareli!" kata orang tersebut. "Tidak pernah menyangka bertemu denganmu kembali."
Niko menatap mata George Finley dengan kesal. Sudah hampir satu tahun lebih dia tidak
bertemu George. Dia kira George sudah keluar dari GIA, ternyata pemuda itu tetap bertahan.
"Sudah lama tidak bertemu."
"Tahun kemarin aku pindah ke GIA Carlsbad," kata George. Pantas Niko tidak pernah
melihatnya sampai saat ini. "Jadi kau kembali lagi ke New York?"
"Yah," kata George tajam. "Kenapa" kau takut mendapat pesaing?"
"Tidak. Aku tidak takut menghadapimu," kata Niko tenang. "Kurasa malah sebaliknya."
"Masih sombong seperti biasanya," komentar George kesal. "Sifatmu juga masih sana." Niko
bergegas turun. Tubuhnya sudah lelah, dan dia tidak mau menghabiskan energinya untuk
berdebat dengan seseorang yang tidak berhak mendapatkan perhatiannya.
Dari atas tangga George Finley mengeram kesal. Dia mengepalkan kedua tangannya dan salah
satu tangannya memukul tembok. Setelah amarahnya mereda, dia masuk ke salah satu
laboratorium. Terdapat beberapa rancangan gambar di komputer. Buku sketsa Niko berada di
sana. Awalnya George melihat rancangan Niko dengan kesal, tetapi lama-kelamaan dia terdiam.
Dalam rancangan tersebut terdapat seuntai kalung panjang yang di tengahnya terdapat
dedaunnan hijau. Lima kupu-kupu kecil bertengger di daun-daun tersebut. Komposisi warna
yang dipilih Niko semakin memperlihatkan keeleganan dan keanggunan kalung tersebut. George
menyadari Niko akan mengikuti kontes perhiasan yang di selenggarakan Tiffany & Co. Niko
memberi judul kalung tersebut *The Forest Dream*.
Tanpa pikir panjang, George mengambil pilihan untuk mencetak dari program komputer
tersebut. ("Kau akan menyesal karena sudah meremehkanku, Fareli"), geramnya dalam hati.
?"?"?"?"
Hari-hari berikutnya, Niko bekerja tanpa henti untuk membuat kalung seperti yang telah
dirancangnya. Karena dalam kontes disebutkan para peserta juga harus menyiapkan bentuk nyata
perhiasannya, maka boleh menggunakan batu perhiasan sintetis.
Tepat dua hari sebelum batas akhir kontes, Niko bergegas memasuki galeri untuk menyerahkan
rancangannya. Seorang petugas kontes menyuruh Niko mengisi formulir. Setelah melengkapi
formulir, Niko dipersilahkan mengisi daftar peserta. Di atas Niko terdapat nama-nama peserta
yang sudah menyerahkan rancangan beserta judul rancangannya. Ketika Niko hendak menulis
namanya, bolpoin di tangannya jatuh ke lantai. Matanya melihat nama George Finley. Tapi
bukan nama itu yang membuatnya terkejut. Judul rancangan George, *The Forest Dream*.
("Bagaimana mungkin dia memiliki judul rancangan yang sama denganku?") Niko benar-benar
kebingungan. Pikirannya kembali ke minggu sebelumnya ketika dia bertemu George di lab.
("Apakah mungkin dia melihat karyaku di sana?")
"Permisi, Sir," tanya Niko dengan tidak sabar pada petugas kontes. "Apakah saya bisa melihat
rancangan perhiasan karya George Finley?"
Sang petugas menggeleng. "Maaf, saya tidak bisa memperlihatkan karya peserta lain."


Seribu Musim Mengejar Bintang Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak kehabisan akal, Niko mengeluarkan kalung yang telah di buatnya dan menunjukkannya
pada si petugas. "Anda tidak perlu memperlihatkan karya George Finley pada saya. Saya hanya
perlu anda mengecek apakah rancangan kalungnya sama dengan kalung karya saya."
Si petugas kelihatan enggan, tetapi Niko bersikeras. Perasaannya mengatakan George sudah
mengambil ide rancangannya. "Tolonglah, Sir. Saya tidak bisa memberikan karya yang sama
persis dengan orang sebelum saya."
Si petugas akhirnya menyerah. Dia mengecek gambar rancangan George Finley, lalu melihat
kalung yang di genggam oleh Niko. "Ya. Sama persis dengan karya anda."
"Terima kasih." Niko bergegas keluar dari galeri. George pasti melihat karyanya di lab seminggu
yang lalu. Niko benar-benar tidak menyangka Goerge akan meniru persis hasil rancangannya.
Niko tidak bisa menahan amarahnya. Dia pergi menemui George di apartemennya. Ketika
George membuka pintu apartemen Niko langsung mendampratnya. "Kau mencuri rancanganku!"
Goerge tersenyum tanpa rasa bersalah. "Apa maksudmu?"
Niko tahu George berpura-pura tidak tahu. "Karyaku untuk kontes Tiffany. The Forest Dream.
Kau mencurinya dariku."
"Kau tidak bisa seenaknya menuduhku," balasnya enteng. "Kau punya bukti bahwa aku
mencurinya darimu" Bisa saja aku memiliki ide yang sama denganmu."
"Kenapa kau melakukan hal ini?" Niko menantang George tanpa rasa takut. "Kita berdua tahu
kau menggunakan rancanganku untuk kontes kali ini."
George perlahan-lahan menutup pintu apartemennya. "Aku tidak perlu manjelaskan apa-apa
padamu. Selain kalau kau punya bukti, aku tidak mau dituduh macam-macam lagi."
Niko memandang pintu apartemen George yang sudah tertutup. Dia tahu dia tidak bisa
membuktikan The Forest Dream adalah karyanya, karena dia tidak pernah bercerita pada
siapapun bahwa dia membuat rancangan tersebut. Dia juga tidak mungkin mengikuti kontes
dengan karya rancangan yang sama. Satu-satunya solusi adalah menciptakan yang lain. Tapi
waktunya tinggal dua hari. Niko menghabiskan waktu lima hari untuk membuat kalung yang
pertama. Dia tidak tahu apakah dia bisa membuat kalung lain dalam waktu dua hari.
Niko memasuki gedung apartemennya dengan lemas. Wajahnya terlihat tidak bersemangat. Saat
melihat papa yang sedang duduk di lobi, wajahnya semakin murung.
"Niko." Papa berdiri menyapa putranya.
"Apa yang papa lakukan disini?" Niko sudah terlalu lelah untuk berdebat.
Papa melihat keletihan putranya. Wajah Niko pucat, di bawah matanya terdapat lingkaran hitam
tanda kurang istirahat. "Kau tidak apa-apa Niko?" tanya papa khawatir.
Niko memutuskan untuk tidak menjawab. "Papa belum menjawab pertanyaanku."
"Papa diundang menghadiri seminar kedokteran di New York." Papa melangkah mendekati
putranya. "Papa pikir selagi papa disini, papa memutuskan untuk menengokmu."
"Mama tidak ikut?" tanya Niko.
"Tidak. Mamamu tidak ikut. Kau yakin kau baik-baik saja" kau terlihat kelelahan."
"Aku baik-baik saja. Hanya saja hari ini bukan hari terbaikku. Papa mau ke atas?"
"Kalau kau tidak keberatan," jawab papa.
Niko menekan tombol lift. Tak lama kemudian pintu lift terbuka. "Mari kita naik."
Setelah mereka sampai di ruang apartemen, Niko bertanya, "papa mau minum apa?"
Papa menggeleng. "Apakah kau mau menjawab pertanyaan papa sekarang" Kau baik-baik saja?"
"Aku rasa, sebagai seorang dokter papa bisa mendiagnosis sendiri." Niko duduk di kursi ruang
tamu berhadapan dengan papa. "Aku lelah. Aku kurang tidur. Apakah diagnosisku benar?"
"Kau masih marah pada papa." Papa memberi partanyaan atas pertanyaan putranya.
"Ya. Papa tidak pernah menerima teleponku selama dua tahun ini. Apakah menurut papa aku
tidak berhak marah?" Niko mendesah kesal.
"Papa masih berpikir kau melakukan kesalahan. Lihatlah kau sekarang." Papa sebenarnya ingin
berbaikan dengan anaknya, tapi yang keluar malah kemarahan. "Kau bilang kau bahagia dengan
pilihanmu, tapi saat ini kau sama sekali tidak terlihat bahagia."
Niko menarik napas panjang, berusaha menahan diri. "Papa masih belum menyerah juga selama
dua tahun ini" Aku tidak bisa bertengkar lagi soal ini. Terutama tidak saat ini. Lebih baik papa
pergi sebelum kita berdua menyesali perkataan kita selanjutnya."
"Baiklah." Papa berdiri dan keluar dari pintu apartemen Niko dengan emosi.
Begitu ayahnya pergi. Niko berbaring di kamar tidurnya. Matanya memandang cincin bintang
yang berada di telapak tangannya. Tiba-tiba hujan datang membasahi jendela kamar tidurnya.
Butiran-butiran air mengalir secara bergantian di kaca jendela kamarnya. Niko langsung bangkit
dari tempat tidur. Sebuah ide mulai muncul di kepalanya.
Dia langsung mengambil buku sketsanya dan mulai menggambar seuntai kalung dengan satu
garis horisontal, dan garis horisontal tersebut tergantung puluhan garis vertikal yang panjangnya
tak beraturan dan ujungnya berbentuk tetesan air. Niko tersenyum tipis. Dua jam kemudian
rancangan kalung tersebut sudah berbentuk sempurna. Niko menamainya *The Waterdrops*.
Niko mengambil payung lalu bergegas keluar dari apartemennya menuju lab GIA. Dia
mengerjakan karya barunya sampai lab ditutup. Keesokan paginya, ketika lab dibuka, Niko
meneruskan pekerjaannya sampai sore.
Dia berhasil mendaftarkan karyanya untuk kontes Tiffany pada menit-menit terakhir. Kini dia
tinggal menunggu pengumuman tiga hari lagi.
Niko kembali ke apartemennya dengan perasaan lega. Dia menguap kelelahan dan malam itu
tertidur pulas selama sepuluh jam.
?"?"?"?"?"
Tiga hari kemudian, Niko menanti pengumuman pemenang kontes di layar komputernya. Pihak
penyelenggara akan mengumumkan pemenangnya secara online di internet. Jam menunjukkan
pukul 09.59. Satu menit lagi. Niko merasa enam puluh detik berikutnya merupakan detik-detik
terlama dalam hidupnya. Tepat pukul sepuluh, Niko mengetikkan alamat Tiffany & Co. Dia memilih menu pengumuman
pemenang kontes. Sebuah halaman biru terbuka dengan cepat. Niko tidak melihat namanya
diurutan pertama. Dia melihat nama George Finley di situ. Nama Niko berada di urutan kedua.
Niko merasa sedikit kecewa, tapi ia masih senang karyanya mendapat urutan kedua.
Satu jam kemudian, bel pintu apartemennya berbunyi. Niko membuka pintu aparetemennya dan
melihat George Finley berdiri didepannya
"Aku menang," kata George pada Niko.
"Aku tahu, selamat atas kemenanganmu." Niko hendak menutup pintu apartemennya, tapi
ditahan oleh George. "Hanya itu yang ingin kau katakan?" Tanya George heran.
"Ya. Sekarang pergilah." Usir Niko, bersikeras mengabaikan kehadiran George.
George malah masuk ke apartemen Niko. "Aku tidak mengerti kau tidak marah?"
Niko duduk di punggung kursi dan melipat tangannya di depan dada. "Kenapa aku harus
marah?" "Aku menang. Kau kalah. Aku mengalahkanmu. Akhirnya setelah sekian lama aku berhasil
mengalahkanmu," kata George cepat.
Niko tertawa pendek. "Selamat. Kau sudah berhasil mengalahkanku." Sindirnya.
George makin kesal. "Aku mencuri karyamu." Dia berusaha membangkitkan amarah Niko.
"Aku tahu." Niko memandang George dengan santai. "Itulah sebabnya aku tidak marah. Karyaku
tetap menang." "Mengapa?" George melangkah mundur. "Mengapa aku tetap tidak bisa mengalahkanmu?"
Niko balik bertanya. "Kenapa kau selalu ingin mengalahkanku?"
Goerge menatap Niko dengan sedih. "Kau tidak mengerti. Ketika ayahku ditunjuk menjadi
dewan fakultas untuk memberikan beasiswa pertamamu di GIA, dia bertanya padaku kenapa aku
tidak bisa sepertimu. Kenapa bukan aku yang memenrima beasiswa itu dari tangannya. Semakin
dia memujimu, semakin aku membencimu. Itulah sebabnya aku ingin mengalahkanmu. Aku
ingin membuat ayahku memujiku sekali saja."
Niko mengerti sekarang mengapa George membencinya. "Kau salah."
"George mengeryitkan kening. "Apa maksudmu?"
"Aku mengerti semuanya." Niko tersenyum pada George. "Aku mengerti bahwa ayahmu ingin
kau menjadi seperti dirinya, seorang ahli perhiasan terkenal. Ayahku juga ingin aku mengikuti
jejaknya menjadi dokter, tapi aku memilih untuk meraih impianku sendiri. Kau tidak menyukai
bidang perhiasan, bukan" Sampai kapan kau bisa berpura-pura untuk bertahan" Cepat atau
lambat kau akan kelelahan. Aku rasa kau tidak bisa mencuri karya orang lain seumur hidupmu
untuk mendapat pengakuan dari ayahmu. Berhentilah mengejar mimpi ayahmu. Kejarlah
mimpimu sendiri." "Ayahku tidak akan memaafkan kalau aku mengejar mimpiku menjadi pemain teater." George
menelan ludah. Niko menggeleng sambil tertawa perlahan. "Ayahku belum memaafkanku sampai sekarang. Tapi
aku tidak bisa berpura-pura menyukai sesuatu yang tidak kusukai selamanya. Selama delapan
belas tahun ayahku menyiapkanku untuk menjadi dokter. Lama-kelamaan aku kesulitan
bernapas. Aku takut membuka mataku pada pagi hari karena harus melakukan hal yang tidak
kusukai berulang-ulang. Jangan biarkan hal itu terjadi padamu, Finley."
George tertegun mendengar perkataan Niko. Dia tidak menyangka Niko memiliki masalah yang
sama dengannya. "Tapi bagaimana aku bisa berhenti" Bukankah sudah terlambat untuk mengejar
mimpiku?" "Yang kau butuhkan hanya keberanian. Percayalah pada dirimu sendiri, maka kau pasti bisa
melakukannya. Kalau boleh aku berterus terang, sejak pertama aku sudah bilang, kau tidak
berbakat di bidang perhiasan. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak menyukai perhiasan
bisa merancang perhiasan yang indah?" Niko berjalan mendekati George dan menatapnya.
"Jangan menyia-nyiakan hidupmu. Tidak pernah ada kata terlambat untuk mengejar mimpimu."
George tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Niko. "Maaf. Aku telah membencimu
selama ini. Aku tidak menyangka justru kau yang menyadarkanku akan impianku. Hei, Fareli,
apakah kita bisa berteman?"
Niko menjabat tangan George. "Tentu Finley. Dan... semua temanku memanggilku Niko."
George tersenyum. "Kau bisa memanggilku George."
"Aku senang kau menjadi temanku, George," kata Niko sungguh-sungguh.
"Aku juga, Niko." George menjabat tangan Niko dengan erat kemudian melepaskannya.
"Aku akan mengejar mimpiku mulai saat ini," tekad George.
Niko tersenyum. "Semoga berhasil, George. Aku akan menanti tiket undangan pertunjukan
perdanamu nanti." George tertawa. "Pasti. Selamat tinggal, Niko. Aku pergi dulu."
Ketika Niko hendak menutup pintu apartemennya setelah kepergian George, tiba-tiba seseorang
berkata padanya dari luar pintu.
"Apakah hidup dengan papa benar-benar membuatmu tidak bisa bernapas?" tanyanya.
Niko menyimpulkan papa mendengar semua perkataannya dengan George. "Masuklah, pa."
Papa memasuki ruangan apartemen Niko untuk yang kedua kalinya. "Papa tidak pernah
menyangka papa sudah membuatmu menderita."
Niko mengambil dua kaleng bir dari kulkasnya dan memberikan satu pada papa. "Tidak semua
hari-hari bersama papa membuatku tidak bisa bernapas. Aku ingat ketika kita berdua pergi
memancing sewaktu aku mau masuk SMA. Aku benar-benar bahagia saat itu."
Papa tersenyum sebentar. "Maaf karena papa sudah memaksakan keinginan papa padamu."
Akhirnya permohonan maaf terucap dari mulut papa. Niko meminum birnya beberapa teguk.
"Aku banyak memikirkan masa laluku selama dua tahun ini. Tidak ada yang salah dengan
fakultas kedokteran. Aku tidak pernah membencinya. Hanya saja aku lebih menyukai perhiasan.
Mungkin seandainya aku tidak pernah menyukai perhiasan, aku akan masuk fakultas kedokteran.
Maafkan aku juga, pa. Maaf karena aku tidak bisa mewujudkan mimpi papa."
"Kita berdua terlalu keras kepala untuk meminta maaf, bukan?" Papa tersenyum.
"Jangan salahkan aku," canda Niko. "Aku mendapatkan sifat itu dari papa."
Papa menarik napas perlahan. "Papa bangga padamu."
Hati Niko diliputi perasaan gembira. "Terima kasih, pa."
Beberpa saat kemudian, ketika mereka sedang berbicara, HP Niko berbunyi. Pihak
penyelenggara kontes mengatakan George Finley telah mengundurkan diri dari kontes dan
menyerahkan tempat pertamanya pada Niko.
"Selamat, Niko," kata papa setelah mendengar kabar tersebut. Niko memeluk papa sambil
tersenyum kegirangan. Akhirnya dia bisa berbagi kebahagiaan dengan papa.
*************************************
Niko memeluk Mike erat-erat. Ini adalah hari terakhirnya bekerja di kedai Mike. Besok dia akan
memulai masa magangnya di Tiffany.
"Semoga berhasil, Niko." Mike melepaskan pelukannya dan memandang Niko dengan sedih.
"Thanks, Mike. Aku akan selalu mampir ke kedaimu kapanpun aku berada di New York."
"Aku akan selalu menanti kedatanganmu." Air mata mulai menggenangi mata Mike. Selama dua
tahun terakhir Niko sudah seperti putranya sendiri.
Niko mengeluarkan sebuah kotak dari tasnya. "Aku punya sesuatu untukmu. Ini, bukalah."
Mike membuka kotak beludru berwarna hitam yang diberikan Niko. Di dalamnya berisi kalung
perak berbentuk hatim di belakang hati tersebut terukir nama Mike dan istrinya.
"Kau bisa memberikannya untuk Carrie. Untuk ulang tahun perkawinanmu yang kedua puluh
lima bulan depan." Air mata Mike membasahi pipi. "Terima kasih, Niko. Kalung ini indah sekali. Carrie pasti
menyukainya." Setelah itu Niko mengucapkan selamat tinggal dengan teman-teman sekerjanya di kedai Mike.
Ketika menaiki taksi yang akan mengantarnya menuju bandara, Niko tahu kenangannya di kedai
Mike akan menjadi salah satu bagian dari hidupnya.
Selama bulan-bulan berikutnya, Niko benar-benar sibuk dengan rancangan perhiasannya untuk
Tiffany. Di akhir masa magangnya, Tiffany menawari Niko untuk menjadi pegawai tetap, tapi
dengan berat hati Niko menolak. Dia sudah berjanji pada Julien untuk bekerja padanya selama
dua tahun. BAB 16 Niko, 22,5 tahun LANGIT kota Paris berwarna biru cerah. Niko memandang menara Eiffel dari jendela
apartemennya. Sudah mau memasuki musim panas. Niko sibuk merancang koleksi musim panas
untuk Julien. Dia sudah di Paris selama enam bulan. Niko tidak pernah menyangka enam bulan
berlalu dengan cepat. Niko memandang cincin bintang di meja kerjanya. Kini sudah empat bintang yang terisi.Tinggal
tersisa satu bintang lagi.
Niko menyantap roti Prancis dengan selai stroberi sebagai sarapan serta secangkir kopi. Di
kepalanya penuh ide baru untuk koleksi musim panas. Tapi dia memutuskan untuk beristirahat
sejenak setelah sarapan. Dia memutar lagu klasik gubahan Mozart untuk menenangkan
pikirannya. Tiba-tiba HP nya menyala. Niko mengambilnya. Ada pesan masuk.
Dapat nomor ini dari Tante.
Ada pesta reunian sekolah minggu depan.
Datang ya. Aku tunggu. Erika. Niko tersenyum. Sudah empat tahun dia tidak bertemu Erika. Niko mendesah. Dia tidak bisa
datang. Pameran koleksi perhiasan Julien untuk musim panas tinggal sebulan lagi. Sebagai
asisten Julien di Bardeux Jewelry, tuntutan tugasnya tidak pernah berhenti setiap hari.
Niko membalas SMS Erika. Maaf, tidak bisa datang. Sibuk mempersiapkan koleksi musim panas.
Mungkin lain kali. Niko. Mata Niko tertuju pada tumpukan buku di lemari kerjanya. Kebanyakan buku tersebut adalah
buku tentang perhiasan. Kakinya berjalan mendekat. Di paling ujung deretan buku tersebut
terdapat buku tahunan sekolahnya. Niko mengambilnya dan membuka halaman demi halaman.
Kenangannya kembali ke masa sekolah.
Ketika sampai pada halaman yang menampilkan foto-foto teman sekelasnya, Niko menatap
wajah Laura dengan lembut. Di bawah foto tersebut terdapat pesan dan kesan yang ditulis tangan
oleh siswa-siswi sendiri. Niko menyentuh foto Laura perlahan. Satu-satunya foto Laura yang
dimilikinya. ("Apakah Laura akan datang?") tanyanya dalam hati. ("Mungkin sebaiknya aku
pergi ke pesta reunian sekolah. Siapa tahu aku bisa bertemu Laura disana.")
Tanpa sengaja buku tahunannya jatuh ke lantai.Ketika Niko hendak memungutnya kembali,
buku tahunan tersebut terbuka pada halaman terakhir. Niko melihat sebuah kalimat disana. *Aku
menyukaimu.* Niko mengambil buku tahunan itu dan mendekatkan jarak pandangnya. ("Apakah Erika yang
menulis ini" Tapi ini tidak seperti tulisan tangan Erika.") Tangan Niko dengan cepat
mambalikkan halaman ke foto-foto siswa 3 IPA 1. Napasnya terhenti. Tulisan tangan di belakang
buku sama persis dengan tulisan Laura.
("Aku benar-benar bodoh") jantung Niko berdetak kencang. ("Aku tidak pernah menyadarinya").
Selama ini dia menyangka Laura hanya menganggapnya teman baik. Ketika wisuda, Niko baru
menyadari dirinya menyukai Laura, tapi dia tidak tahu bagaimana perasaan Laura padanya.
Niko berlari ke meja tamunya dan menelepon nomor Erika.
"Erika," katanya cepat, "aku akan datang ke pesta reuni."
Erika terdengar senang dengan kabar tersebut. Selanjutnya, Niko mengetuk pintu apartemen
Julien di lantai bawah. "Aku harus pulang," kata Niko ketika Julien membuka pintunya.
"Apa maksudmu, pulang?" tanya Julien bingung.
"Beri aku waktu tiga hari. Aku harus pulang minggu depan," Niko memohon pada Julien.
"Apakah ada yang sakit" Orangtuamu?" Julien tidak pernah melihat Niko sepanik ini, bahkan
pada saat tertekan karena tuntunan pekerjaan sekalipun.
"Bukan itu. Aku harus menemui seseorang. Aku harus menemuinya Julien." Niko menatap
Julien dengan serius. Julien menarik napas. "Seseorang yang istimewa, bukan?"
Niko mengangguk sambil tersenyum. "Seseorang yang telah membantuku mewujudkan
mimpiku." "Ah... gadis itu." Julien mengangguk-anggukan kepala. "Gadis yang memberikan karyamu
beberapa tahun yang lalu. Aku mengerti. Pergilah."
Niko memeluk Julien singkat. "Merci( terima kasih), Julien."
Niko mulai menelepon bagian tiket penerbangan, dan langsung membeli tiket pulang untuk
minggu depan. ?"?"?"?"?"?"?"
Niko memasuki area sekolahnya. Dia tersenyum. Sekolahnya tidak berubah. Ruang kelas masih
mengelilingi lingkungan sekolah. Di tengah-tengah terdapat taman sekolah. Lalu lapangan
basket. Niko berjalan menuju aula sekolah, tempat pesta reuni diadakan.
"Niko!" teriak Erika sambil memeluknya. "Aku senang sekali kau bisa datang."


Seribu Musim Mengejar Bintang Karya Charon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Niko tertawa dan balas memeluknya. "Lama tidak bertemu Erika."
Di belakang mereka seseorang berdehem. Erika langsung melepaskan pelukannya. "Maaf,"
katanya pada Niko. "Kenalkan ini Ari, pacarku."
Niko menjabat tangan Ari. "Halo, Ari. Aku Niko."
Ari mengangguk. "Aku tahu."
Erika merangkul tangan Ari sambil tersenyum. "Ari seorang dokter."
Niko tertawa lebar, "Kau benar-benar menginginkan seorang dokter untuk jadi pacarmu ya."
Erika menonjok pelan lengan Niko. "Hei. Aku juga dokter, tahu! Ehm, maksudku sekitar satu
atau dua tahun lagi."
"Aku tidak pernah menyangka kau masuk kedokteran." Niko terkejut.
"Salah sendiri tidak pernah mengontakku. Aku harus menyambut peserta lain," kata Erika sambil
tersenyum. "Silahkan berkeliling sendiri, oke?"
Niko mengangguk. "Baiklah."
Pandangan Niko menyapu seluruh ruang aula. Dia mengenal teman-teman sekolahnya dulu dan
tersenyum lalu mulai menyapa mereka. Kebanyakan dari mereka sudah bekerja atau ada yang
masih kuliah. Setelah menyapa hampir semua orang yang dia kenal, Niko duduk di sebuah meja yang
menghadap pintu masuk. Setiap ada orang masuk, Niko berharap itu Laura. Ketika wajah yang
diharapkannya tak kunjung muncul, hati Niko sedikit kecewa.
Erika memulai acara pesta reunian dengan meriah. Ada pertunjukan musik, sandiwara, dan
rekaman video tentang aktivitas mereka selama sekolah dulu. Niko menyadari bahwa Laura tidak
pernah berada dalam video rekaman tersebut. Kebanyakan didominasi oleh dirinya dan Erika.
Seakan-akan Laura tidak pernah berada di sekolah yang sama dengannya. Niko sudah putus asa
ketika pesta reuni sudah mencapai puncak acara dan Laura tak kunjung datang.
Jam sebelas malam, acara berakhir. Yang tersisa hanya panitia. Niko duduk di atas panggung.
Erika mendekatinya. "Kopi?" tawarnya.
Niko tertawa dan menerima tawaran kopi dari Erika. "Thanks."
"Dia tidak datang, ya" Laura?" Erika menatap mata Niko yang bersinar sedih.
Niko menggeleng perlahan.
Erika menemani Niko duduk di panggung. "Aku benar-benar egois waktu sekolah dulu. Aku
ingin meminta maaf padanya. Tapi dia tidak datang. Aku bertanya pada teman-teman yang lain,
tapi sepertinya tidak ada yang tahu kabar Laura."
Niko meletakan gelas kopinya. "Laura bukan gadis populer di sekolah."
Erika menarik napas perlahan. "Laura benar-benar menyukaimu. Dia pernah mengatakannya
padaku. Tapi aku tak bisa menerimanya, dan malah menyakitinya. Maafkan aku, Niko."
"Tidak apa-apa," kata Niko lembut. "Kau tidak bisa mengubah masa lalu. Aku hanya berharap
dia datang. Aku ingin mengatakan perasaanku padanya. Walaupun terlambat empat tahun. Maaf,
aku juga telah menyakitimu di acara wisuda sekolah dulu. Dan aku pergi tanpa mengucapkan
selamat tinggal padamu."
Erika tersenyum mengingat waktu tersebut. "Kau tahu, aku... marah dan sedih ketika kau
meninggalkanku dan pergi ke New York. Tapi... aku tidak patah hati. Aku rasa karena kita sudah
bersama sejak kecil, kita pikir itu adalah cinta. Ketika aku kuliah kedokteran di tahun pertama,
aku bertemu Ari dan aku baru benar-benar merasakan bagaimana mencintai seseorang."
"Aku menyayangimu, Erika." Niko tersenyum sambil menyentuh bahu Erika perlahan. "Kita
sudah bersama sejak kecil. Benar seperti katamu, kita sudah terbiasa satu sama lain. Apa yang
kita rasakan waktu itu bukan cinta. Tapi... aku tetap akan memukul pacarmu seandainya dia
menyakitimu." Erika tertawa keras. "Aku rasa itu tidak mungkin terjadi. Kau tidak lihat pacarku" Dia tergilagila padaku."
"Aku senang kau bersama dengan orang yang kau cintai," kata Niko tulus.
"Aku berharap aku bisa berkata yang sama..." Erika tersenyum lemah. "Oh iya, aku dengar kau
sudah menjadi perancang perhiasan hebat di Paris. Aku melihat koleksi musim gugurmu tahun
kemarin. Aku membeli salah satu kalungmu."
"Terima kasih," kata Niko.
"Aku benar-benar bangga padamu," ucap Erika sungguh -sungguh. "Kalau aku menikah nanti,
aku ingin cincin pernikahanku kau yang rancang."
Niko tertawa. "Baiklah. Khusus untukmu tidak usah pakai biaya."
Erika tersenyum senang. "Thanks, Niko. Kau bekerja pada Julien Bardeux sekarang?"
Niko mengangguk. "Ya. Tapi setelah itu aku ingin membuka toko perhiasanku sendiri."
"Kau pasti berhasil." Erika tersenyum pasti. "Aku akan menjadi pelanggan pertama yang
membeli perhiasanmu. Ah... Ari sudah memanggilku. Aku pergi dulu ya. Bye,Niko."
"Bye, Erika," kata Niko.
Niko turun dari panggung dan melihat ruang aula sebelum keluar dari sana. Di pintu depan
terdapat foto-foto semasa mereka sekolah dulu. Niko melihat foto Laura saat sedang bazar
sekolah dulu. Laura tersenyum sambil mengambil spagetinya tanpa tahu bahwa dirinya sedang
difoto. Niko mencopot foto tersebut dari dinding aula. "Aku bisa mengambil foto ini?" tanyanya
pada salah seorang panitia. Setelah mendapat persetujuan dari panitia tersebut, Niko
mengantongi foto itu di sakunya. Setidaknya kini dia memiliki foto Laura selain yang ada dibuku
tahunan. Niko berjalan keluar ruangan dan duduk di taman sekolah. Musik di pengeras suara mengalun
lembut. Sebuah lagu lama berdendang perlahan. Lagu IF yang dinyanyikan oleh bread.
Niko mulai mengingat kenangan-kenangannya bersama Laura.
*if a picture a thousand words, then why cants i paint you"*
Pertama kali Niko menyadari keberadaan Laura ketika dirinya menghadapi ulangan fisika
bersama gadis itu sepulang sekolah. Niko melihat Laura hampir menyerah. Kemudian dia
memberinya semangat dengan kertas bertuliskan JANGAN MENYERAH. Kenangannya
berganti pada saat hujan, saat mereka berduaan di mobilnya.
*If a face could launch a thousand ship ,then where am i to go"*
Menjaga kedai makanan bersama-sama saat bazar sekolah. Piknik sekolah ke pantai.
*If a man could be two places at one time,I'd be with you.*
Kepala Laura tanpa sengaja terjatuh di bahunya selama perjalanan pulang. Wajah Laura yang
sedih saat Niko mengatakan tak bisa jadi temannya lagi sehari sebelum acara wisuda. Perpisahan
terakhirnya dengan Laura.
* Then one by one the stars would all go out,then you and i would simply fly away...*
Musik di pengeras suara berhenti.
Niko memandang bintang di langit yang berkelip tiada henti. Niko menutup matanya perlahan.
(Dimana kau sekarang,Laura").
BAB 17 Bagian Empat (Laura & Luki)
Laura, 24 tahun Laura turun dari taksi dengan terburu-buru. Setelah dua jam terjebak macet di jalan raya, ia
menaiki tangga memasuki Gedung Rafael. Setahun lalu Laura mengusulkan untuk membuka jasa
katering demi menaikkan penjualan restoran. Setelah uji coba beberapa kali dan berhasil,
Antonio memutuskan untuk meneruskan jasa kateringnya untuk pesta ulang tahun, pernikahan
dan pesta kantor. Kini setelah satu tahun mengurus jasa katering tersebut, Laura berhasil mendapatkan klien besar.
Rafael Group bergerak di bidang properti, hotel, supermarket, dan otomotif. Direktur utamanya,
Charles Rafael, yang pernah menyantap makanan di restoran Antonio, sangat menyukai masakan
italia yang di masak Laura. Minggu kemarin ia menelepon untuk menyewa jasa katering restoran
Antonio untuk pesta karyawan kantornya.
Walaupun belum pernah bertemu secara langsung dengan Charles Rafael, Laura bisa
menyimpulkan bahwa beliau pria yang ramah setelah beberapa kali percakapan melalui telepon.
Bahkan setelah mengetahui umur Laura yang masih muda, Charles Rafael bersikeras meminta
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 8 Robinson Crusoe Karya Daniel Defoe Pendekar Sakti 18
^