Pencarian

Separuh Bintang 1

Separuh Bintang Karya Evline Kartika Bagian 1


Separuh Bintang Karya : Evline Kartika "KASIHAN sekali gadis itu. Ayahnya dulu kabur, kakaknya overdosis, sekarang ibunya
meninggal. Sekarang pasti dia sebatang kara."
Gadis itu berdiri mematung di hadapan makam ibunya. Peti sudah bergerak turun memasuki
lubang makam. Tapi gadis itu tetap tidak menunjukkan apa pun. Hanya diam.... Diam.... Dan
diam saja. Seakan tak ada seorang pun di sekelilingnya.
Dua tahun yang lalu..... Suara bantingan barang menjadi backsound keadaan rumah itu. Suara tangisan mamanya
mengiris-iris hari Chiara. Sejak sebulan yang lalu, orangtuanya selalu bertengkar. Chiara sendiri
tidak tahu apa penyebab pastinya pertengkaran itu. Yang dia tahu, dia benci keadaan ini. Dia
benci suasana rumah yang kacau seperti ini. Dia kangen papanya yang dulu! Ke mana perginya
Papa yang sangat menyayanginya itu" Ke mana perginya Papa yang selalu membawa keceriaan
dan kebahagiaan" Sosok setengah baya muncul di hadapannya, memandanginya dengan tatapan jijik.
Dia bukan Papa! Dia bukan Papaku! Chiara selalu menanamkan kata-kata itu dalam hatinya.
Papanya pasti telah mati. Ya, pasti begitu. Papanya tidak mungkin seperti ini.
"Chiara, kau anak haram! Kau bukan anak Papa!"
TARRR!!! kata-kata itu meluncur begitu saja. Kata-kata yang terdengar seperti umpatan dibandingkan
pernyataan. Mendadak Chiara tidak bisa berpikir. Jangankan berpikir sekarang, bernapas pun rasanya sulit.
Chiara ingin sekali tertidur. Dia ingin tidur dan saat bangun dia akan mendapatkan semuanya
kembali seperti semula. Ini pasti mimpi.
Chiara memandang mamanya, meminta dukungan. Cepat katakan padaku bahwa semua ini
cuma mimpi! Chiara berteriak dalam hati. Tapi mamanya hanya bisa terisak, dan terus terisak.
Chiara beralih memandang kakaknya. Tapi Billy hanya memeluknya.
Sayangnya, semuanya ini nyata....
Tanpa menjelaskan apa pun, setelah mengucapkan dua kalimat itu. Papanya benar-benar
menghilang. Setiap hari, Chiara melihat mamanya selalu menunggu di depan pintu, menunggu
dan menunggu. Tapi papanya tidak pernah kembali.
Setahun yang lalu..... "Billy, gue pinjem kamus lo ya...." Chiara masuk dan mendapati kamar Billy kosong melompong.
Akhir-akhir ini dia memang jarang melihat kakaknya. Setelah kepergian papa, kakaknyalah yang
menjadi tulang punggung keluarga. Beban Billy pasti sangat berat. Selain harus mencukupi
kebutuhan sehari-hari, Billy juga harus menanggung biaya pengobatan mamanya yang mengidap
penyakit jantung. Semua itu pasti tidak sedikit jumlahnya, apalagi jika harus ditanggung oleh
remaja yang baru berumur 18 tahun.
Tiba-tiba pandangan Chiara membuka plastik kecil itu dan ia mengerutkan dahinya. Apa
hubungan Billy dengan benda ini" Chiara berpikir keras. Ini jelas bukan obat Mama. Lalu apa ini"
Jangan-jangan..... Chiara mencoba menepis semua pikiran buruknya. Tapi bayangan kakaknya dan tablet-tablet itu
bergantian muncul dalam otaknya. Chiara ingin teriak, dia ingin menangis, dia ingin marah. Dia
sudah benar-benar lelah menghadapi semuanya. Tanpa sadar, sebilah tablet memotong nadinya
begitu saja, tidak hanya sekali.... Dua kali.... Tiga kali....
"Chiara!!!!! Apa-apaan"! Lo gila ya!" Chiara mendengar teriakan Billy tiba-tiba, terputus-putus.
Perasaannya panas dan dingin tidak keruan. Sinar lampu pun terlihat nyala dan padam
bergantian. Sebelum akhirnya semua menjadi gelap.
Chiara membuka mata. Semua tampak putih. Sekilas saja, dia tahu ini rumah sakit.
"Kita butuh uang. Gue cuma punya cara itu. Gue cuma anak SMA, ra. Gue butuh kerja apa"
Cuma itu satu-satunya jalan. Gue nggak make kok. Sumpah! Gue cuma ngedarin."
Chiara tak habis berpikir mendengar perkataan Billy. Chiara tidak habis berpikir tentang
semuanya. "Gue sayang sama lo!" kata-kata Billy membuat Chiara gemetar. Memang bukan hanya sekali
Billy mengucapkan empat mata tadi. Dan Chiara tahu, Billy menyatakan perasaan sayang yang
bukan hanya sekadar dari mulut seorang kakak. Untuk sekeian detik berikutnya, mereka
berpelukan. Dua minggu kemudian, Chiara menemukan kakaknya telah terbujur kaku dengan busa
memenuhi mulut. Chiara menjerih sekeras-kerasnya, menangis sekencang-kencangnya. Chiara
mengguncang-guncang tubuh Billy sekeras mungkin, memanggil-manggil nama Billy tanpa henti.
Chiara merasa mulutnya sudah kering, suaranya pun sudah tidak mampu keluar lagi. Tapi Billy
tetap bergeming. Billy overdosis.
Tiga bulan yang lalu.....
Kesehatan Mama semakin memburuk. Sudah tidak ada obat yang bisa dimakan. Hampir setiap
malam Chiara bermimpi semua orang meninggalkannya. Dan hari itu, mimpinya benar-benar
menjadi kenyataan. Tiba-tiba Mama pingsan dan berhenti bernapas. Chiara hanya menatap
tubuh mamanya ambruk ke tanah. Dia tidak melakukan apa pun. Dia tidak berteriak seperti saat
Billy meninggal, dia tidak menangis seperti saat menemukan Billy yang sudah terbujur kaku, dia
bahkan tidak berlaro menghampiri mamanya untuk memastikan apakah mamanya masih hidup
atau tidak. Dia hanya tahu dia benar-benar ingin mati saat itu juga.
Chiara menatap peti itu tersiram tanah. Dan dia tetap bergeming.
"Chiara....." satu sosok merangkul pundaknya. Terlihat sangat prihatin. Tetapi, Chiara
menepisnya. "Mulai sekarang, jangan panggil gue Chiara."
Part* 1 Tujan dari semua kehidupan.... Hanya Dia yang tahu.....
JARUM jan sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Bintang-bintang mulai menunjukkan
sinarnya setelah hujan mulai berganti menjadi gerimis kecil. Tapi jendela kamar itu masih
terbuka, menunjukkan dengan jelas wajah penghuninya yang masih sibuk komat-kamit
menghafal. Buku dengan tulisan GEOGRAFI besar-besar di sampulnya tergenggam di
tangannya. Sesekali dia melirik ke arah tulisan di buku itu, tapi selebihnya matanya jelajatan
melihat bintang-bintang melalui jendela kamar. Karena gerimis, dia malas beranjak ke balkon.
Lagi pula hari ini bintang tidak begitu terang sinarnya, tidak bagus. Angin malam yang sepoisepoi sesekali mengibaskan rambut hitamnya yang lurus sebahu.
"Huuff... Akhirnya selesai juga," gumamnya seraya menutup buku dan meletakkannya di meja
belajar. Saat ingin berbalik, pandangannya menyapu sekilas sebingkai foto yang terpajang di
meja belajarnya. Dia mengambil foto itu dan membawanya ke ranjang. Sesaat pandangannya
menerawang jauh. Jauuhhh ke masa lima tahun silam.
Ada empat sosok dalam foto itu. Foto sebuah keluarga yang terlihat sangat bahagia. Di tengahtengah, seorang gadis mungil berdiri sambil membawa boneka beruang besar. Itu dirinya saat
berumur sebelas tahun. Terkadang dia sering merasa iri pada dirinya sendiri di foto itu. Dia masih bisa tersenyum bebas
dan tertawa lepas tanpa beban. Entah sejak kapan dia lupa rasanya punya keluarga yang
bahagia. Di sebelahnya berdiri sesosok wanita dengan tubuh kurus dan kelihatan pucat. Namun,
senyumnya tidak dapat memungkiri perasaan tulus yang yang terpancar dari sosok seorang
bunda. Seorang bunda dengan senyum emas dan hati seindah pelangi. Bunda terbaik yang
pernah dia miliki. Lalu sosok jangkung yang merangkulnya. Pandangan yang begitu ramah, begitu hangat.
Seorang yang telah menempatkan dirinya lebih daripada sekadar seorang kakak. Sebuah cinta
yang telah mengisi kotak hatinya yang terdalam walaupun kemudian berubah menjadi mimpi
buruk sepanjang masa. Mereka.... Dua orang yang paling dicintainya, dua orang yang selalu bilang sangat mencintainya.
Tetapi mereka jugalah yang pergi meninggalkannya. Pergi jauh.... Lebih jauh dari embusan angin
dan bentangan awan. Mereka telah menemukan tangga.... Ke surga.
Terakhir, sosok pria yang paling dewasa di foto itu. Sosok dengan kehangatan seorang ayah.
Sosok yang membawanya bermimpi menjadi putri kecil dengan baju dan istana indah. Namun,
sosok itu pula yang melemparkannya ke tempat penyihir jahat yang penuh ular berbisa.
Dia mendesah. Senyum sinis tersungging di bibir cewek itu.
"Foto yang menipu," gumamnya.
Dia beranjak dari tempat tidurnya, meletakkan kembali foto tadi di meja belajar. Sesaat dia
tercenang, sebelum akhirnya setetes air bening mengalir melintasi pipinya.
"Ciya......" Ketukan dan panggilan dari arah pintu membuat Ciya buru-buru menghapus air mata dan
merapikan rambut di depan cermin, sebelum melangkahkan kaki membukakan pintu.
Ciya mengangguk pelan begitu melihat sosok di depannya ini.
"Masuk, Oom....," ujarnya seraya mundur beberapa langkah memberikan jalan, dan kembali
menutup pintu saat sosok itu sudah duduk di sofa di sebelah tempat tidur. Ciya tersenyum lalu
ikut duduk. "Kamu suka sama kamar kamu?" tanya pria itu.
Ciya mengangguk. "Suka, Oom."
Jelad aja suka, gimana nggak suka samar kamar yang besarnya aja empat kali lipat besar
kamarnya yang dulu. Bukan hanya lebih besar, isinya juga lebih banyak. Kamar Ciya tepat
berada di sudut kiri lantai dua. Di tengah-tengah kamar terdapat double-bed, berseprai biru
dengan motif kotak-kotak, di sebelah kirinya ada meja belajar superbesar berbentuk huruf L.
Lengkap dengan dengan laci-laci dan rak buku. Di sebelah kanan tempat tidur masih ada sofa
yang superempuk, lengkap dengan boneka-boneka. Di depan sofa bertengger dengan gagah
sebuah TV flat ukuran 34 inch berikut DVD/VCD/CD player dan mini compo. Di sekeliling sofa
dan tempat tidur tergelar permadani yang kalau diinjak kakimu akan tenggelam beberapa senti
saking tebalnya. Di pojokan samping meja belajarnya, Iya menaruh meja kecil yang dipasangi
taplak biru tua untuk meletakkan cermin kecil dan peralatan cewek lainnya. Biasanya dia
menyebut tempat itu "pojokan dandan". Di sebelahnya ada pintu menuju kamar mandi. Dan
dinding di bagian kanan, yang letaknya bersebelahan sengan sofa, terbuat dari kaca dengan
pintu geser yang juga dari kaca, untuk menjadi pemisah antara kamar dan balkon. Dari sofa
itulah, Ciya selalu menghabiskan malamnya memandangi bintang-bintang. Di langit-langit
kamarnya pun banyak bertempelan bintang-bintang dan bulan glow in the dark. Coba aja,
dengan kamar sepert ini mana bisa Ciya nggak bilang suka.
Priya tadi adalah Henry. Dia ayah angkat Ciya sejak tiga minggu yang lalu. Sejak mamanya
meninggal tiga bulan yang lalu, Ciya diangkat anak olehnya. Tidak jelas apa alasannya dan apa
hubungan Henry dengan keluarganya. Ciya pun baru bertemu dengannya sekali ini. Pria itu
hanya bilang bahwa dia teman lama mamanya. Ciya memang sudah tidak punya siapa-siapa
lagi. Kakek dan nenek sudah tidak ada. Papanya anak tunggal, jadi tidak punya saudara. Satusatunya saudara mamanya sudah meninggal sejak Ciya belum lahir. Sulit baginya menerima
semua kenyataan yang tergelar di hadapannya sekarang ini. Sejak kepergian papanya, yang
berlanjut dengan kematian kakak dan mamanya, Ciya benar-benar sebatang kara. Sehingga saat
ada sesosok pahlawan yang menawarkan rumah, makanan, pakaian, uang, dan segala
kebutuhan lainnya, mana mungkin Ciya menolak. Apalagi saat ini dia hanya seorang anak
berumur emam belas tahun. Belum lulus SMA, mana bisa cari kerja"
Henry sendiri seorang pria berusia 48 tahun. Pekerjaannya direktur sebuah industri teksil.
Dengan perusahaan yang sudah bertaraf internasional, tidak mengherankan kalau dia jarang ada
di rumah. Sering bepergian ke luara kota maupun ke luar negeri, mengurus anak-anak
perusahaannya, yang sudah menjadi makanannya selama dua belas tahun ini. Jangan heran
kalau dalam satu tahun dia hanya berkunjung ke Indonesia (ke Jakarta tepatnya) sekali-dua kali
saja. Itu pun paling satu atau dua minggu.
Istrinya, Fatma, juga tidak ada bedanya. Dia lebih pantas disebur wanita karier daripada seorang
istri. Sifatnya sangat tegas, berkarakter, elegan, benar-benar mencerminkan wanita kelas atas.
Hanya saja, dia tidak pantas disebut ibu yang baik. Kesibukannya dalam mengurus bisnis tidak
ada bedanya dengan Henry. Walaupun tidak sampai harus terus-menerus ada di luar negeri, dia
jarang sekali ada di rumah.
Makanya, Ciya sendiri sebenarnya merasa sangat bingung dan heran. Seorang pengusaha kelas
atas, yang banyak kenal dengan menteri-menteri di sana-sini, sibuknya setengah mati, datang ke
rumahnya dua bulang yang lalu untuk menghadiri pemakaman mamanya sekaligus menawari
Ciya untuk menjadi anak angkatnya. Ciya sendiri tidak terlalu mengerti alasannya. Setiap Ciya
bertanya, jawabannya hanya lima patah kata. "Nanti kamu juga kan tahu." tadinya Ciya juga
agak-agak takut menerima tawarannya. Tetapi, setiap hari Henry membujuknya, datang ke
rumahnya dan memastikan bahwa dia memang tidak punya maksud tertentu. Dia benar-benar
ingin mengangkat Ciya tanpa alasan yang terselubung.
Sempat sih terpikir oleh Ciya kalau ujung-ujungnya dia akan dijadikan istri simpanan, sekarang
kan banyak penjahat kelas atas yang mengambil istri muda yang beda umurnya dua puluh
sampai tiga puluh tahun. Tapi akhirnya, karena Ciya merasakan ketulusan pria yang terusmenerus membujuknya tanpa henti selama satu bulan, dia menyetujui tawaran mengangkatan
anak itu. Dengan satu syarat, dia tidak mau memanggil Henry dengan sebutan papa dan Fatma
dengan sebutan mama. Henry langsung menyetujuinya. Prosedur pengangkatan tidak terlalu
lembar berkas, kemudian dia resmi diangkat anak. Seminggu kemudian semua barang miliknya
sudah diangkut ke kamar barunya di rumah itu. Dan dimulailah kehidupan Ciya yang baru.
Oh, ya, Henry dan Fatma mempunyai satu anak. Namanya Enrico Leman. Maklum kakek buyut
mereka orang Jerman, jadi namanya masih berbau-bau Jerman. Ciya tahu dari awal
kehadirannya di sini, Enrico dan Fatma sangat tidak menyukainya. Memang sih, mereka tidak
menyuruh Ciya bekerja yang berat-berat seperti layaknya ibu dan kakak tiri Cinderella. Jelas aja,
pelayan mereka segudang kok. Bik Nah khusus memasak, Bik Tum khusus mencuci baju, Bik
Imah khusus membersihkan rumah, Mang Ujang khusus mengurus kebun dan kolam renang,
ada juga Mang Asep yang jadi satpam. Apa coba yang mesti dikerjakan Ciya lagi"
Hanya saja sikap mereka sangat-sangat tidak bersahabat. Mereka sering kali menganggap Ciya
hanya bayangan yang tidak kelihatan, sehingga menyapa pun mereka tidak pernah. Sebenarnya
Ciya juga itdka terlalu pusing dengan persoalan ini, dia juga tidak mau pedulu. Ada yang ngasih
makan aja udah bagus. Dia lebih menganggap semuanya itu sebagai anugerah dibanding
penyiksaan mental. Biarpun begitu, siapa coba yang nggak keki kalau terus-terusan dicuekin.
Emangnya dia tembok" Tapi harus diakui, kehidupan materinya sangat berubah sembilan puluh
derajat. Kehidupan Ciya sebelumnya tidak tergolong miskin. Papanya bekerja sebagai karyawan swasta.
Penghasilannya cukup besar. Mamanya memang tidak bekerja, lebih banyak meluangkan waktu
di rumah mengurus rumah tangga dan anak-anaknya. Dia dan kakaknya, Billy, bersekolah di
sekolah unggulan. Dia juga bisa membeli barang-barang yang dia inginkan. Memang tidak
berlebihan, tapi hidupnya bisa dibilang sangat berkecukupan. Apalagi Ciya tidak pernah
kekurangan kasih sayang. Baik dati Mama, Papa, maupun kakaknya. Hanya saja semua itu
terjadi sebelum tragedi itu datang.
Sekarang dia pindah sekolah ke SMA yang setingkat di atas golongan elite. Makan makanan
mewah setiap hari (kecuali sarapan yang cuma roti panggang), tidur di kasur empuk dengan
bantal dari bulu angsa, bisa berenang kapan saja dia mau (mmm... Nggak juga sih, soalnya Ciya
nggak bisa berenang), dan tidak perlu mengurus rumah. Sebelum ini, mamanya tidak suka
dengan pembantu, bukan karena tidak mampu membayar, hanya saja dia lebih suka mengurus
rumah sendiri, sehingga Ciya dididik untuk mandiri.
"Luda Oom akan berangkat ke Singapura," ujar Henry lagi. "Oom harap kamu bisa cepat kerasan
tinggal di sini." Ciya hanya tersenyum kecut. Sepertinya akan susah. Sebenarnya Ciya masih ingin menanyakan
alasan kenapa Oom Henry mengangkatnya menjadi anak, tapi Ciya melihat hari ini tampang
Henry sangat letih sehingga dia mengurungkan niat tersebut. Dia malas mencari masalah hari ini.
"Sebenarnya Oom berencana ingin menjual rumahmu."
Kalimat yang cukup membuat Ciya membelalakkan mata. "Apa?"
Yang benar saja! Dia sudah kehilangan Mama, Papa, Kakak, dia sudah kehilangan semua orang
yang dicintainya. Sekarang, satu-satunya benda yang dimilikinya juga harus hilang"
Melihat mata Ciya yang lebih membulat dibanding biasanya, mau tak mau Henry melepaskan
senyum tipis. " Oom belum menjualnya kok. Oom mau meminta persetujuan kamu dulu. Lagi
pula, rumah itu kosong. Kan repot juga ngurusnya. Belum lagi bayar PBB, biaya iuran ini, iuran
itu...." Ciya mendengus. Emangnya semahal apa sih iuran-iuran itu dibandingkan kekayaan yang
dimiliki pria itu. Paling juga nggak sampe seperseratus dari kekayaannya. Tapi sedtik kemudian
dia tersadar, buru-buru dia menepis pikiran jeleknya tadi. Udah numpang, masa nggak tahu diri
sih. "Mmm, gimana ya.... Gimana ya" Soalnya.... Itu kan.....," Ciya menggaruk-garuk kepalanya.
Sebenarnya dia sangat tidak ingin kehilangan rumah itu, tapi dia juga merasa tidak enak kalau
ingin tetap mempertahankannya.
"Oh iya, Oom...." tiba-tiba dia mendapatkan akal. "Kalo dikontrakin aja gimana, Omm" Jadi kan
ada yang ngurus. Terus Oom juga nggak repot tapi kepemililkan masih tetep milik papa saya,
gimana, Oom?" Henry hanyan tersenyum. Biasanya kalau dia tidak berkata apa-apa tandanya setuju. "Oke kalau
begitu. Sekarang kamu tidur deh, udah malem. Besok sekolah, kan" Oom keluar dulu. Maaf ya
udah ganggu kamu. Oom harap kamu bisa betah tinggal di sini. Tante Fatma sama Rico memang
agak keras kepala. Tapi sebenarnya mereka baik kok. Mereka belum kenal kamu saja. Jangan
sungkan-sungkan ya," ujar Henry sambil mengelus rambut Ciya. Sekilas tebersit kembali pikiran
jeleknya tentang istri simpanan. Tapi dia buru-buru menepisnya.
"Iya, Oom. Tenang aja. Makasih, Oom. Ciya udah banyak ngerepotin Oom."
Setelah Oom Henry keluar, Ciya beranjak ke balkon. Gerimis sudah berhenti. Bintang sudah
mulai bermunculan. Bulan separuh bersinar tidak begitu terang.
"Bintang, mudah-mudahan besok lebih baik daripada hari ini."
part* 2 Rico membanting buku gegrafinya ke kasur. Sinting! Baru seminggu masuk sekolah, udah ada
ulangan. Sekolah apaan tuh" Gedungnya aja yang bagus, tapo semua gurunya nggak
berperasaan. Apalagi ditambah harus sekelas dengan saudara tirinya yang menurutnya cukup
aneh! Tolong dicatat besat-besar! ANEH!!! Masih terngiang di benaknya saat kemunculan cewek
itu pertama kali di rumahnya.
Dia datang dengan membawa koper superbesar dan rambut lurus tergerai. Tadinya Rico pikir,
anak angakt itu identik dengan pakaian lusuh, tubuh superdekil, tampang yang mengenaskan
karena hidup sebatang kara dan kurus ceking karena kurang makan, and guess what" He's
totally wrong! Kenyataannya amat sangat berbeda dari apa yang dibayangkannya. Cewek itu
jauh sekali dari kesan lusuh, apalagi dekil. Kulitnya putih, bajunya juga layaknya anak
ABG___tank top pink, celana jins, dan sepatu pump biru cerah. Wajahnya memang terlihat pucat,
tapi senyumnya masih melekat di wajahnya. Tubuhnya juga tidak bisa dibilang ceking, walau
untuk ukuran Rico, dia masih termasuk kurus.
"Rico, mulai sekarang dia jadi adik angkat kamu. Jangan galak-galak! Dia bakal tidur di kamar
atas, sebelahan sama kamar kamu," kata Papa saat memperkenalkan cewek itu.
What"! Masuknya ceweknya cewek asing ke rumah ini aja sudah membuat Rico pusing setengah
mati. Dan sekarang makhluk aneh itu harus tidur di kamar sebelahnya" Memang sih di rumah


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar itu ada enam kamar. Di lantai bawah terdapat empat kamar. Yang satu, kamar yang paling
besar, kamar mama dan papa Rico. Yang satu lagi, kamar tamu. Kadang-kadang kalau sedang
berada di Jakarta, Papa sering mengundang rekan bisnisnya makan malam dan menginap.
Sisanya, yang dua lagi itu, kamar pembantu. Sedangkan di lantai atas ada dua kamar. Yang satu
miliknya, sedangkan yang satu lagi memang tidak terisi. Dan dia tidak ibsa membayangkan,
lantai dua yang biasanya menjadi daerah kekuasaannya kini harus dibagi dua dengan cewek
asing yang sama sekali tidak dikenalnya.
"Kenalin. Gue Vannesa Chiara. Panggil aja Ciya. Maaf ya udah ngerepotin. " Ciya mengulurkan
tangan kanannya. Mau tak mau Rico membalasnya sekilas. "Enrico Leman."
Belum lagi ras herannya hialng, tiba-tiba Ciya nyerocos. "Wah, namanya bagus banget! Tapi
kepanjangan ah, nggak enak manggilnya. Gimana kalo.... mm.... Enrico.... Ah iya, gue panggil
Kyo aja ya" Bagus kan, Kyo" Dulu gue punya kura-kura kecil. Namanya juga Kyo. Lucu, kan?"
Rico melotot. Sinting! Masa dia disamain sama kuyya" Jadi begini nih keadaan anak angkatnya
Papa yang katanya baru kehilangan nyokapnya" Sama sekali nggak ada kesan kalau dia sedang
berkabung. Sejak kehadiran Ciya di rumah ini, Rico tidak bisa tidur nyenyak dan makan dengan enak.
Bayangkan saja, Papa yang tidak pernah ingat ulang tahunnya (ulang tahun Rico maksudnya),
Papa yang di kepalanya hanya ada bisnis, Papa yang pulang hanya setahun sekali itu, tiba-tiba
balik ke Jakarta hanya untuk ngurusin pengangkatan anak yang boro-boro punya hubungan
darah, yang bahkan Rico sendiri pun nggak kenal.
"Kan kasihan dia udah nggak punya siapa-siapa lagi," ujar Papa beberapa hari lalu saat Rico
memperotes tindakan papanya itu. Cih, baru kali ini dia mendengar papanya yang gila uang itu
berbicara tentang makna kasihan. Siapa sih sebenarnya cewek itu" Yang Rico tahu hanya
sebatas: 1. Papa Ciya pergi dari rumahnya dua tahun yang lalu,
2. Kakak Ciya meninggal setahun yang lalu karena overdosis, dan
3. Mama Ciya tiba bulang yang lalu meninggal karena sakit jantung.
Yang bener aja! Masa Papa ngangkat anak yang asal-usulnya aja berantakan"
Rico berjalab keluar kamar. Buku geografinya ditinggal begitu saja. Lampu kamar Ciya sudah
padam. Maklumlah, semuap pintu di rumah itu terbuat dari kaca yang digrafir. Jadi, Rico bisa
melihat lampunya sudah padam atau belum. Dia beranjak turun mengambil minum. Langkahnya
terhenti saat melihat papanya duduk di sofa.
"Papa belum tidur?" tanya Rico.
Pria itu tersenyum dan menyururhnya duduk di sebelahnya. "Kamu masih marah sama Papa
karena mengangkat anak tanpa menanyakan pendapatmu dulu?"
Rico hanya diam. Bukannya memang selalu begitu" Nggak pernah ada pendapat!
Pria setengah baya itu mengembuskan napas panjang memandangi putra semata wayangnya.
"Papa tahu Papa udah bikin kamu sama mama kamu kecewa banget sama Papa. Tapi, Papa
punya alasan kuat di balik semua ini. Hanya saja, Papa nggak bisa bilang sekarang. Mama kamu
juga masih keki tuh sama Papa. Makanya dia tidur duluan."
Rico memandang wajah papanya. Dia benar-benar tidak habis pikir. Selama ini papanya orang
yang paling terbuka perhadapnya. Tapi kenapa mendadak jadi misterius begini" "Yah,
kecewalah. Aku kan sama sekali nggak kenal sama dia. Anaknya aneh begitu, lagi. Kenapa sih
Papa nggak ngangkat anak yang laen aja" Yang bagusan dikit gitu."
Papanya tergelak mendengar ocehan anaknya. "Rico, dia nggak seburuk itu kok. Oh ya, lusa
Papa mau berangkat ke Singapura sama Mama. Abis itu mungkin ke Korea. Kamu baik-baik
sama dia ya. Kalian juga kan baru satu minggu masuk sekolah, jadi jangan berkelakuan anehaneh. Ciya itu selalu dapat peringkat kelas, jadi kalau kamu kesulitan pelajaran, tanya aja sama
dia. Dan kalau visa, kalian pulang-pergi sekolah sama-sama saja. Kamu kan bawa motor. Papa
sengaja memasukkan dia ke SMA yang sama dengan kamu biar kalian bisa saling membantu."
Rico melongo . Heh" Enak aja! Ngapain juga ngeboncengin dia ke sekolah" Sesaat Rico
mengingat kejadian tepat seminggu yang lalu.
Rico membaca deretan huruf yang tertera pada selembar kertas yang dia pegang. Senyum puas
muncul di wajahnya. Kemudian dia berjalan dan masuk ke kamar Ciya tanpa mengetuk pintu
terlebih dahulu. Rico bengong melihat kamae itu kosong. Masih jam enam pagi kok udah gak ada
orangya sih" Tapi semenit kemudian matanya melotot melihat Ciya yang baru keluar dari kamar
mandi hanya dengan mengenakan selemar handuk!
Rico tidak begitu jelas mendengar umpatan apa yang keluar dari mulut Ciya. Yang jelas, segala
jenis bantal dan perabotan beterbangan ke arahnya, membuat dia lari tunggang-langgang keluar
kamar. Setengah jam kemudian....
Mereka duduk berhadapan di sofa yang terdapat di depan kamar mereka berdua. Di depan
kamar Ciya dan Rico terdapat terdapat semacam perpustakaan kecil. Pada salah satu sisi
dinding penuh berbagai buku. Di sisi yang lain terdapat komputer dan sofa hijau. Di sofa itulah
mereka duduk saat ini. "Ini....." Rico menyerahkan selembar kertas.
"Apaan nih?" Ciya mulai membaca kata per kata.
PERATURAN 1. Di sekolah harus pura-pura saling tidak kenal apalagi ngaku-ngaku sodara.
2. Pulang dan pergi sekolah sendiri-sendiri.
3. Kalau di rumah nggak boleh nanya-nanya persoalan peribadi.
4. Pemakaian komputer harus keizin Rico.
5. Harus menjaga privasi satu sama lain, jadi nggak boleh masuk kamar orang lain
sembarangan. Ciya mengerutkan dahinya kemudian tertawa.
"Apaan nih" Masih zaman ya, pake peraturan-peraturan segala" Kyo lucu deh....."
Mata Rico hampir keluar beberapa senti. Bukan hanya karena Ciya tidak menanggapi perjanjian
itu, tetapi lebih karena dia dipanggil "Kyo".
"Jangan panggil gue Kyo!" Rico hampir berteriak, tapi Ciya hanya senyam-senyum.
"Kalo gitu gue juga punya peraturan," ujar Ciya dengan senyum licik. "Kalo gue boleh manggil elo
dengan panggilan Kyo, apa pun peraturan yang elo buat pasti gue turutin. Gimana?"
Rico merasa darahnya sudah hampir sampai ubun-ubun. Bener nggak sih nyokapnya anak ini
bar meninggal" Kok nggak ada sedih-sedihnya" Mimpi apa pula dia, kok bisa dapet adik angkat
kayak gini" Bayangan Rico sebelumnya karena dia anak tunggal, seorang adik adalah sosok
yang manis, ramah, lucu, cantik, dan pintar. Tapi begitu melihat Ciya, semua pikiran itu langsung
kabur entah ke mana. Sebenarnya nggak bisa dibilang kalau Ciya itu adik angkat, karena toh
mereka seumur. Rico hanya lebih tua dua bulan dibanding Ciya.
"Eh, jangan bengong!" Suara Ciya membuatnya terkejut.
"Gimana" Gue kan cuma punya satu aturan. Masa nggak mau" Lagian nama Kyo kan lucu."
Rico menelengkan kepalanya. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, dia kembali mengambil kertas
tadi dengan kasar dan berjalan masuk ke kamar.
"Hei...." Belum lagi tiga langkah, suara Ciya membuat langkahnya terhenti. Rico berbalik. Ciya
menyungging senyum penuh kemenangan. Sesaat Rico ingin sekali menghajarnya kalau tidak
pngat makhluk yang ada di hadapannya itu berjenis kelammin perempuan.
"Lo tuh aneh ya?" Ciya menyilangkan kakinya ke atas sofa. "Pertama, gue nggak pernah ngerasa
punya saudara selain kakak gue sendiri. Lagian emangnya gampang nganggep orang yang
sama sekali belom gue kenal jadi kakak gue"
"Kedua, gue bakal dianter-jemput sama temen gue. Dan yang lebih penting lagi, dia itu bawa
mobil. Jadi, mau sebagus apa pun motor li, tetep aja yang namanya mobil lebih bagus daripada
motor. Dan gue juga nggak butuh dianter-jemput sama lo.
"Ketiga, emangnya gue mau tahu apa soal perbadi lo" Tenagn aja, lo bukan tipe gue kok. Lo tuh
cuma bagus di tampang doang, tapi...." Ciya menunjuk-nunjuk dahinya. "Otak lo kosong."
Rico melotot. Tapi Ciya tak peduli.
"Keempat, gue juga tahu diri kok. Komputer itu kan emang punya lo. Gue juga nggak bakal make
punya orang lain tanpa izin.
"Kelima, bukannya tadi lo yang masuk duluan ke kamar gue sembarangan" Untung tadi gue
pake handuk. Coba kalo gue nggak pake apa-apa?"
Masih dengan senyumnya, Ciya berjalan masuk ke kamar, meninggalkan Rico yang saat itu
mengeluarkan asap dari berbagai lubang di tubuhnya. Cewek itu bukan saja membuatnya kesal,
tapi juga sudah membuat harga dirinya habis sampai tetes terakhir.
Sejak saat itu, Rico sangat ingin membunuh Ciya.
1) Sebuah perkenalan SUASANA makan hari ini sangat tidak mengenakkan. Setelah seminggu yang lalu papa dan
mama Rico berangkat ke Singapura, suasana rumah jadi hening. Sebenarnya tadinya
suasananya juga sudah hening, tapi sekarang jadi lebih hening lagi. Sejak pertama kali masuk ke
rumah ini, Ciya merasa sedikit heran. Keluarga ini suka sekali dengan keheningan ya" Jarang
banget Ciya melihat Rico ngobrol dengan mama dan papanya. Dia lebih suka menghabiskan
waktu di kamar dan di depan komputernya. Sedangkan Ciya, mulutnya sudah gatal pengen
ngomong, meskipun tentang hal-hal yang nggak penting.
Rico sendiri masih tidak begitu memahami apa yang ada di pikiran cewek yang sekarang tinggal
serumah dengannya. Terkadang Rico mendapati cewek itu melamun dengan tatapan sedih
menyayat hati. Tapi di saat lain, dengan gampangnya cewek itu tertawa riang tanpa peduli apa
pun yang ada di sekitarnya. Bukan cuma sekali-dua kali Rico memperhatikan Ciya, mulai dari
cara bicara, cara berjalan, dan cara mengekspresikan sesuatu. Rico tahu, apa pun itu, ada yang
tersamar dari setiap tingkah lakunya.
Dan yang jelas, walaupun Rico tahu, dia tidak peduli..... Dan tidak mau peduli. Karena cewek ini
yang merebut perhatian papanya. Huh!
"Kyo....," panggil Ciya.
Tapi Rico tetap asyik menikmati roti bakarnya tanpa peduli Ciya memanggilnya.
Ciya mendengus. "Kyoooo!!!" kali ini panggilan Ciya terdengar lebih panjang dan lebih lama. Dan
sepertinya tetap tidak berhasil. Rico tetap bergeming. Akhirnya Ciya melemparkan serpihan roti
ke muka cowok itu. Sekali..... Tak ada reaksi.
Dua kali.... Tetap tak ada reaksi.
Tiga kali.... Dan BERHASIL!
Rico akhirnya melihat ke arah Ciya. Sayangnya, dengan mata yang hampir copot keluar. "Mau
apa sih"!" Ciya mendelik saat tahu dia dibenak. "Galak amat sih! Emangnya kenyang apa makan roti
doang" Nggak ada makanan lain apa" Orang kaya kok makannya cuma roti" Gue aja dulu biar
nggak kaya-kaya banget, tiap pagi makan nasi."
"Cerewet! Kalo masih mau makan, masak aja sendiri. Perut kok kayak gentong!"
"Eh! Gue kasian sama lo, tau! Nggak liat ya, badan lo kaya cicak kering" Heran gue, kok banyak
ya cewek yang mau sama lo"!"
Patut diketahui, Rico tingginya 180 cm dengan berat 53 kilo. Untuk ukuran cowok, itu termasuk
sangat kurus. Tapiiii, ternyata Rico sangat terkenal PLAYBOY! Sampai saat ini, rekornya yang
tertinggi adalah empat kali putus dan empat kali jadian dalam satu bulan. Bisa dibilang, waktu
jadian sama satu cewek cuma satu minggu. Sinting ya" Walaupun rekor itu terjadi setahun yang
lalu, bersadarkan isu yang beredar, nggak ada tuh masa jadian yang lebih dari satu bulan.
Kerennya lagi, Rico itu dinobatkan sebagai cowok populer di sekolah biarpun waktu itu baru kelas
1. Mantan-mantannya itu memiliki sepuluh kategori:
1. Populer 2. Cantik 3. Mesti pake rok mini 4. Tinggi 5. Putih mulus 6. Berdada ukuran minimal 34B
7. Ramping 8. Rambut bonding (masih zaman ya")
9. Berpinggul besar dan berpinggang kecil
10. Tapi goblok! Iya lah.... Mau-maunya aja jadian sama orang gila kayak Kyo. Seenggaknya, itu menurut Ciya.
Sebenarnya Rico itu tampan. Sangat tampan malah. Hidungnya mancung, matanya cokelat
terang, kulitnya putih. Maklum, gitu-gitu Rico kan ada darah Jerman-nya. Tapi jujur saja, selain
cakep, Ciya tidak Okelah, dia termasuk salah satu gitaris di band sekolah___ini juga yang
membuat cewek-cewek lebih histeris___tapi kalau hanya ditunjang dengan sifatnya yang
pemarah dan emosian, apalagi suka nyuekin orang, menurut Ciya nggak ada bagusbagusnya. Pokoknya, menurut kamu Ciya, Rico itu belagu! BELAGU!!!
Rico hendak membalas ucapan Ciya. Namun, baru saja mulutnya mau terbuka....
"Ciya....." Ada orang asing yang masuk ke ruang makan itu. Ciya mengembangkan senyumnya
melihar siapa yang datang.
"Hei, Yoyo!! Tunggu ya, gue ambil dulu di atas," ujarnya sambil berlari tanpa memedulikan
rotinya baru setengah dimakan dan Rico yang sedang menahan geram.
Ini dia nih, teman yang dibilang Ciya bakal mengantar-jemput. Namanya Ryonaldy Hartanu.
Biasanya dipanggil Aldy. Pengecualian untuk Ciya, Ciya lebih suka memanggil dia Yoyo. Biar
lebih gampang manggilnya, kilah Ciya. Tapi emang dasarnya Ciya aja yang suka ganti-ganti
nama orang seenaknya. Aldy lebih tua satu tahun darpada Ciya. Sejak pindah ke SMA-nya yang "baru", mereka memang
tidak bersekolah di tempat yang sama lagi, tapi masih dalam kategori searah, jam masuk dan
pulang sekolahnya pun sama. Jadi dia menyempatkan untuk menjemput Ciya dulu.
Bisa dibilang Aldy itu kecil sekaligus cinta pertamanya Ciya. Sayangnya, cinta Ciya hanya
bertepuk sebelah tangan. Waktu itu Ciya kelas 5 SD.
"Yoyo, Chiara suka sama Yoyo." saat itu, entah keberanian dari mana yang membuat Ciya berani
mengungkapkan perasaan yang telah dirasakannya sejak umur lima tahun. Aldy adalah satusatunya orang yang selalu ada di samping Ciya, selain Billy. Dari TK, mereka bersekolah di
sekolah yang sama dan tinggal di rumah yang berhadapan. Tetanggaan maksudnya. Rumah
Ciya yang dulu berada di depan rumah Aldy. Waktu kecil, hampir setiap hari mereka main
bertiga. Mau melakukan apa dan pergi ke mana selalu bertiga. Setiap menangis dan tidak ada
Billy yang menghiburnya, Ciya pasti akan datang pada Aldy.
Pernah suatu hari, saat berumur tujuh tahun, Ciya digigit anjing. Waktu itu Billy sedang
menemani mamanya ke supermarket sedangkan papanya juga belum pulang kerja. Akhirnya,
Aldy-lah mengoleskan obat merah, menempalkan tensoplas, dan membujuk Ciya berhenti
menangis. Karena Ciya tidak mau berhenti menangis, Aldy mengajak Ciya ke taman, di sana ada
rumah-rumahan kecil tempat mereka bersembunyikan kalau sedang dimarahin. Aldy
mendongengkan cerita dan bernyanyi sampai Ciya tertidur. Aldy ikut tertidur dan baru terbangun
saat matahari sudah terbenam.
Saat mereka pulang ke rumah, mamanya hampir-hampir memarahi Ciya karena pergi tanpa izin.
Namun berkat bujukan Aldy, mama Ciya tidak jadi marah.
Aldy adalah orang yang paling berarti buat Ciya. Sejak kecil, Billy dan Aldy adalah sabuk
pengaman bagi Ciya. Tetapi semua rasa "berarti" dari Ciya hanya dibalas dengan kata-kata,
"Chiara, Chiara kan masih kecil. Belom boleh suka-sukaan dulu."
Jeng.... Jeng.... Jeng....
Masih kecil apaan" Aldy kan cuma lebih tua setahun" Dasar cowok sok tua!
Buat Ciya itu hal paling memalukan seumur hidupnya. Walaupun Aldy tidak mengatakan hal-hal
yang menjurus pada penolakan, buat Ciya itu penolakan terbesar yang pernah diterimanya.
Sejak saat itu Ciya tidak pernah lagi menggunakan kata-kata "Chiara dan Yoyo" dalam
percakapannya. Berganti dengan kata-kata "gue dan elo". Kalaupun setelah itu Ciya menemukan
seseorang yang lebih berarti dalam hidupnya, tetap saja Aldy adalah cinta pertamanya.
Wajah Aldy juga tidak kalah tampan dibandingkan dengan wajah Rico. Bedanya, Aldy lebih
bertampang orintal khas Asia. Kulitnya juga lebih cokelat. Tapi justru itu yang membuat Ciya
suka. Dia tidak suka dengan cowok berkulit putih, kesannya penyakitan.
"Dahh, Kyo....!" teriak Ciya sambil berlari dari tangga dan menggandeng Aldy keluar. Tapi sedetik
Ciya berbalik lari menghampiri Rico. Rico sudah bersiap menerima permintaan maaf. Tetapi dia
salah besar! Ciya hanya mau mengambil sisa rotinya yang belum termakan, kemudian kembali
berlari menyusul Aldy, meninggalkan Rico melotot.
Deru mobil terdengar menjaug. Rico masih bengong dengan kejadian yang membuat amarahnya
kembali meledak. Kalau saja dia tidak ingat jarum sudah menunjukkan pukul setengah tujuh,
mungkin dia masih sempat mematahkan sendok yang ada di tangannya menjadi dua bagian.
PART 3 Rico melepas helm dan turun dari motornya. Beberapa motor lain sudah berjajar di sampingnya.
Ah, tetep nggak ada yang bisa nyaingin motor Harley gue, ujarnya dalam hati menghibur diri
sendiri. Sejenak dia tersenyum, sebelum, dua detik kemudian , sebuah motor lain parkir di
sampingnya. "Hey, what's up, man" Tampang lo kusut banget. Kenapa lagi?" Christian melepas helmnya dan
mematikan mesin motor. Christian adalah teman dekat Rico sejak kelas 1 SMP. Jadi jangan
heran, dengan sekali lihat, Christian bisa tahu suasana hati sahabatnya yang lagi kacau-balau
itu. Sebenarnya Rico pengen banget cerita soal kekesalannya pagi ini. Tapi nggak mungkin dong.
Bisa-bisa seisi sekolah tahu bahwa dia dan teman cewek sekelasnya tinggal di bawah atap yang
sama. Turun harga dong ntar! Jadi, yang keluar dari mulutnya cuma, "Biasalah...." sambil
menyelempangkan tasnya dan berjalan ke arah sebaliknya. Sebenarnya, para sisiwa sekolah ini
sangat jarang ada yang membawa motor. Rata-rata kalau nggak dianter-jemput, ya bawa mobil.
Rico juga bukannya nggak punya mobil, hanya saja dia lebih suka naik motor. Menurutnya, naik
motor lebih berseri. Entah dalam segi mananya yang dimaksud dengan seni.
Christian menyandang ranselnya dan berjalan mengikuti Rico. Nah, dari sini penderitaan para
pengendara motor di sekolah ini dimulai. Bayangkan saja! Sekolah ini luasnya sepuluh hektar,
terdiri atas Play Group, TK, SD, SMP, SMA, dan SMK Pariwisata. Semuanya berada dalam
gedung-gedung yang berbeda (masing-masing berjarak kira-kira sepuluh meter satu sama lain).
Gedung SMK Pariwisata terletak di sebelah utara, di kanannya terdapat gedung SMA (di lantai
tiga) dan SMP (di lantai dua), dan kirinya terdapat gedung SD dan TK. Di sebelah selatan
terbentang lapangan bola yang dikelilingi area running track dengan ukuran sebenarnya.
Di antara lapangan bola dan gedung SMK, terdapat___juga dengan ukuran yang sebenarnya___
dua lapangan basket, dua palangan tenis, dan dua lapangan voli. Belum lagi kantin yang
berukuran 10x10 meter persegi, perpustakaan dengan buku superlengkap mulai dari buku
pelajaran sampai resep makanan, laboratorium kimia, fisika, dan biologi yang terpisah, ruangan
kelas seluas band, serta gimnasium yang dilengkapi panggung besar. Sementara area parkir
mobil seluas dua puluh lima kali dua puluh meter persegi terletak di sebelah barat. Mantep nggak
tuh! Masalahnya, lapangan parkir motor terdapat di dekat gerbang masuk. Dari situ mereka harus
berjalan melewati gedung TK, SMK, lapangan basket, dan lapangan voli, yang kalau diukur
dengan garis lurus, panjangnya mencapai seratus meter. Lumayang juga sih olahraga pagi-pagi.


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh, lo bukannya udah putus sama si Jessica?" tanya Christian saat melewati lapangan basket.
Rico manggut-manggut. "Emangnya kenapa" Lo mau" Ambil aja!"
Christian mencibir. "Bukan! Tuh liat! Dia lagi nungguin lo!" ujung bibir Christian yang agak
dimonyongkan tepat menunjuk ke arah cewek dengan seragam ungu SMK Pariwisata, yang
sedang menyandarkan punggungnya dan sesekali berjalan-jalan kecil mengelilingi ring basket.
Untuk catatan, TK, SD, SMP, SMK Pariwisata ,dan SMA memiliki seragam yang coraknya
berbeda. TK mengenakan baju bebas, SD mengenakan kemeja putih dan bawahan (celana
pendek untuk cowok dan rok lipit untuk cewek) kotak-kotak biru, SMK Pariwisata mengenakan
kemeja dan bawahan ungu (lengkap dengan skarf dan dasi) yang mirip pelayang restoran, SMA
mengenkan kemeja putih dan rok kotak-kotak biru dengan satu belahan, sedangkan cowoknya
mengenakan kemeja kotak-kotak biru dengan celana panjang biru.
Rico menarik napas panjang. Nggak bosen-bosennya nih cewek ngejar-ngejar dia. Mulut Rico aja
udah hampir berbusa untuk melancarkan berbagai penolakan. Ketika melihat Rico, cewek itu
langsung berhenti mondar-mandir dan memamerkan sederetan gigi putihnya.
"Gue duluan ya, bro!" ujar Christian seraya berbisik. "Dia itu cewek tercakep di SMK lho!"
kemudian Christian menggabungkan diri bersama beberapa anak cowok lain yang juga sedang
berjalan menuju gedung SMA. Sementara Rico mau tak mau harus membelokkan arah tujuannya
ke kanan menuju cewek yang notabene adalah mantannya.
Tanpa disadari siapa pun, ada sepasang mata yang memperhatikan gerak-gerik Rico tadi.
"Lagi liat apa, Ci?" Natya ikut melongokkan kepalanya melalui jendela, berusaha melihat apa
yang dilihat Ciya. Ciya mengangkat bahu. Baru saja ingin mencari-cari jawaban, tiba-tiba Natya sudah berteriak
histeris. "Oh my God, Rico ganteng sekali ya?"! Lo juga lagi liatin dia ya, Ci?"
Ciya melongo. Yang bener aja! Masa nggak ada sih cewek di sekolah ini yang nggak ngefans
sama Rico. Ciya mau bilang nggak, tapi memang kenyataannya dia sedang memerhatikan Rico
dari jendela kelasnya. "Siapa cewek itu?" tanya Ciya kemudian, menunjuk sosok yang kini sedang berbicara dengan
Rico. Kini giliran Natya yang melongo. " Hah" Lo nggak tahu" Dia kan mantannya Rico. Namanya
Jessica. Baru putus dua bulan yang lalu. Katanya sih gara-gara si Jessica ketauan ngeduain Rixo
sama si Yudy. Lo tahu si Yudy anak kelas 3 itu, kan?" Natya mengguncang-guncang bahu Ciya
semangat. "Gila aja! Yudy tuh nggak ada apa-apanya dibandingin Rico. Kalo gue jadi dia, gue sih
nggak bakal ngelirik cowok lain selain Rico." Natya mendekapkan kedua tangannya di dada,
mendramatisir. "Seandainya gue bsa jadian sama dia....."
Ciya menatap Natya dengan tatapan aneh seakan memohon, "Please deh!! Nggak ada cowok
lain apa ya?" tapi sepertinya Natya tidak peduli, buktinya dia tetap nyerocos. "Oh iya, si Jesse,
panggilannya Jessica, itu kan cewek paling cakep di SMK. Pantes aja dia sombong. Pake acara
ngeduain Rico segala. Sekarang pas diputusin beneran, malah pengen minta balik lagi. Gimana
sih"!" Mau tidak mau Ciya harus melebarkan bibirnya melihat tingkah sahabatnya itu. Natya dan Rico
adalah lulusan SMP sekolah sini juga. Sekadar catatan, Rixo udah bergelut dengan sekolah ini
sejak zaman SD. Tidak seperti Ciya yang anak pindahan dari SMA lain. Jadi.... Jelas Natya tahu
tentang Rico jauh lebih banyak daripada yang Ciya ketahui.
Menurut Natya, sejak SMP Rico memang sudah menjadi idola. Jangankan cewek-cewek SMP,
cewek-cewek SMA sampai guru cewek pun terpikat dengan wajahnya. Iya sih, Ciya sendiri juga
mengakui Rico itu sangat tampan. Otaknya memang tidak terlalu pintar, tapi Rico memang
memiliki karisma yang bisa membuat semua orang terkagum-kagum dengan ucapan dan tingkah
lakunya. Itu juga, masih menurut Natya, yang membuat Rico terpilih menjadi ketua OSIS waktu di
SMP dulu. Dan patut diketahui, walaupun sedemikian besarnya Natya mengidolakan Rico, dia
sudah punya cowok kok. Namanya Victor.
Ceritanya begini, gara-gara naksir sama Rico tiga tahun silam, Natya berusaha mendekati Victor
yang notabene teman dekatnya Rico. Tapi ujung-ujungnya, dia malah jadian sama Victor. Lucu
ya" Ciya melihat Rico sudah berjalan meninggalkan lapangan basket. Sepertinya mereka bertengkar,
karena Jesse berlari ke gedung SMK sambil menangis.
Ciya mengangkat bahu, tak mau ambil pusing dengan urusan mereka.
"Eh, jangan-jangan lo naksir Rico juga ya, Ci?" Natya melayangkan pandangan curiga.
Ciya melotot mendengar kata-kata Natya barusan. "Iya, gue naksir dia. Tapi kalo otak gue udah
ketuker sama dengkul."
Rico membanting tasnya ke meja. Otomatis mata semua makhluk di kelas itu (termasuk Ciya)
menatap ke arahnya. Tampangnya lebih kusut dibandingkan saat Ciya meninggalkannya di meja
makan. Sebelum menyadari keadaan di sekelilingnya itu, Rico sudah ngacir ke WC.
"Heh, kenapa lo" Masuk-masuk malah banting-banting tas," ujar Christian yang mengikuti Rico
ke WC, sekarang dia berdiri di samping Rico sambil merapikan rambutnya. Rico menyemprotkan
air ke wajahnya. Maksudnya sih biar bisa mengurangi rasa kesalnya. Tapi sepertinya nggak
ngefek tuh. Rico menghela napas sambil mengelap wajahnya dengan tangan. "Sinting ya tuh cewek! Garagara gue nggak mau balik lagi sama dia, masa dia tadi bilang gue cowok murahan! Dia yang
nyeleweng, kenapa malah jadi gue yang salah" Emangnya kalo sekarang dia putusin sama
Yudy, itu salah gue" Enak aja!"
Christian tersenyum. Sebenarnya dia ingin mengatakan bahwa ucapan Jessica itu tepat sekali!
Tetapi bukan hanya akan memperburuk suasana hati Rico, hal itu bisa-bisa membuat lidahnya
juga bakal kena potong. Sehingga kata-kata yang keluar dari mulutnya diubah menjadi, "Terus
tadi lo bilang apa ke dia?"
Rico berjalan keluar WC, tidak peduli dengan wajahnya yang masih basah. Kata orang, kalau
cowok habis cuci muka, kesannya seksi. Dan Rico memang menerapkan pepatah itu sejak dia
duduk di bangku SD. Tahu deh orang mana yang bilang. Orang luar angkasa, kali ya"
"Gue bilang aja kalo dia juga sama murahannya sama gue."
Christian malah tertawa ngakak mendengar pilihan kalimat Rico.
"Eh, kok lo malah ketawa sih?" ujar Rico tidak terima.
"Sori..... Sori.... Lagian, kalo lo bilang kayak gitu, tandanya lo setuju sama dia kalo lo itu murahan.
Dasar bego!" Christian membelok ke kelas masih dengan cekikikan. Sementara Rico
memandang sahabatnya itu masih dengan tatapan tidak senang.
"Udahlah, Ric. Masa cuma gara-gara gitu aja lo banting-banting tas segala" Cuekin ajalah! Entar
juga dia bosen sendiri kalo ditolak lo terus-terusan. Kalo gue jadi lo sih gue bangga bisa dikejarkejar cewek tercakep se-SMK." Christian duduk di belakang bangku Rico. Sekolah mereka
menerapkan sistem satu meja untuk satu orang. Jadi nggak ada tuh istilah teman semeja.
Kemudian Christian berujar lagi, "Daripada lo uring-uringan kayak gitu, mendingan juga lo cari
cewek baru." Rico mendengus. "Gue lagi bete sama yang namanya cewek!"
Christian melongo. Serius nih?" Enrico Leman yang selalu merasa mati dan selalu dikelilingi
cewek-cewek, bete sama makhluk yang namanya cewek"
"Heh, lo salag makan ya?" Christian memandang Rico terheran-heran.
Rico mengibaskan tangannya, tanda tidak menginginkan komentar. "Asal lo tahu ya, di rumah,
gue mesti berhadapan sama cewek aneh yang baru dibawa sama bokap gue. Dan di sekolah,
gue mesti ketemu sama cewek yang lebih aneh lagi yang tiap hari kerjaannya cuma bilang, 'Rico,
kita balikan lagi yuk!' lama-lama gue bisa gila." Rico menelungkupkan kepalanya ke meja.
Christian masih terbahak melihat tingkah sahabatnya yang satu ini. "Lo mau taruhan berapa
sama gue" Gue yakin nggak nyampe seminggu, lo bakal udah lupa sama ucapan lo barusan."
Dia menepuk punggung Rico agar kembali duduk tegak karena Pak Agus sudah masuk ke kelas.
"Asal lo inget aja ya, cewek itu inceran gue! Jangan lo ambil!" Telunjuk Christian menunjuk ke
salah satu cewek yang duduk di pojokan.
Mata Rico melotot begitu tahu siapa yang dimaksud. "Hah?"!!!"
Menyadari bahwa seluruh kelas memandanginya akibat teriakannya barusan, Rico mengubah
ucapannya menjadi bisikan. "Mata lo juling ya?"
Christian mengangkat bahu. "Tipe gue kan emang beda sama lo. Ciya itu manis kok."
Rico benar-benar mau pingsan dengan tiga kejadian yang dialaminya berturut-turut pagi ini.
"Eh iya, cewek yang bibawa sama bokap lo itu siapa" Jangan bilang kalo itu istri kedua!"
Rico benar-benar merasa lemas sekarang. Tadinya Rico mau bilang, "Cewek yang lo taksir tuh,
yang dibawa ke rumah gue." tapi berhubung gengsinya cukup tinggi, dan memang belum ada
yang tagu dia dan Ciya tinggal serumah, dia hanya menjawab sekenanya.
"Pembokat." What is love?" HARI ini cukup panas. Matahari memang sudah tidak muncul. Tapi udara malam ini cukup
membuat Rico tergoda untuk berenang. Sambil ditemani orange juice yang tadi dibuatkan Bik
Nah, Rico menikmati suara percikan air serta suara penyiar Prambors___Rico membawa radio
ke pinngir kolam renang biar nggak terlalu sepi___yang sedang berceloteh tentang makna cinta.
Rico mendengus. Apaan tuh makna cinta" Iya sih, sejak kecil Rico memang kekurangan yang
namanya cinta. Asal tahu aja, kata pertama yang berhail diucapkan oleh Rico bukan "mama"
seperti anak-anak lainnya, tetapi "bibik". Fatma dan Henry memang jarang sekali mengunjungi
anak semata wayangnya itu. Mereka terlalu sibuk dengan bisnis, bisnis, dan bisnis. Rico
memang tidak mengenal apa itu cinta orangtua. Makanya, saat dia tahu papanya sangat
memperhatikan Ciya, dia uring-uringan. Dari sekian banyak cewek yang jadian dengannya pun,
nggak ada tuh yang terhitung "jadian karena cinta". Selama cewek itu memenuhi sepuluh kriteria
yang telah dijelaskan, Rico sih oke-oke saja.
Tiba-tiba Rico teringat pada satu sosok.
Raisha Wellina.... Cewek yang selalu menemaninya semasa kecil. Rico lebih suka memanggil cewek itu Sha-Sha
yang menghiburnya. Saat Rico kesal, kesepian, Sha-Sha selalu ada untuknya. Saat Rico sakit
pun, Sha-Sha yang paling panik. Kehidupannya sampai kelas 6 SD hanya dipenuhi dengan ShaSha, Sha-Sha, dan Sha-Sha. Kalau mau membahas makna cinta, mungkin satu-satunya cewek
yang mengenalkan kata cinta hanya Sha-Sha.
Dahulu mereka tinggal bersebelahan. Rico masih ingat dengan jelas awal mula pertemuan
mereka. Rico baru kelas satu SD saat menemukan seekor anjing pudel kecil yang tanpa sengaja masuk
ke dalam rumahnya. "Minie.... Minee...." tiba-tiba seorang gadis kecil melongokkan wajahnya dari balik pagar. "Itu
Minie!!" gadis itu tertawa pada baby sitter-nya saat melihat anjing yang dipegang Rico. Tawa
yang lucu. Tawa yang polos. Tawa yang membuat Rico tidak bisa melepaskan pandangannya
sedetik pun. Rico membuka pintu pagar. "Ini anjing kamu?"
Gadia itu mengangguk bersemangat. Sejak itu mereka berteman, menghabiskan waktu bersama,
bermain dan tertawa bersama.
Namun, sejak Papa Sha-Sha memusatkan bisnisnya ke Taiwan, tepat pada saat kenaikan SMP,
Sha-Sha dan keluarganya pindah ke sana. Tidak ada tangis perpisahan, tidak ada pelukan
perpisahan, tidak ada benda kenangan, tidak tersisa apa pun tentang kepergian Sha-Sha. ShaSha hanya tersenyum sambil melambaikan tangan saat Rico mengantarnya ke airport.
"Aku pasti kembali lagi!"
Hanya lima patah kata itu yang keluar dari mulut Sha-Sha. Entah kenapa, saat itu Rico sangat
percaya. Rico merasa sangat percaya Sha-Sha akan kembali lagi. Dia menunggu, menunggu,
dan terus menunggu. Kepergian Sha-Sha cukup membuat Rico sangat kesepian. Awalnya mereka terlalu rutin
mengirim surat. Maklum, dulu kan SMS dan internet belum populer. Ada sih, tapi kan belum
setenar sekarang. Kalau telepon, bisa-bisa papanya bangkrut gara-gara ngebayarin anaknya
telepon Jakarta-Taiwan tiap hari. Jadi, alat paling populer untuk berhubungan jaraj jauh cuma
surat. Pertama, seminggu sekali.... Lama-lama dua minggu sekali, sebulan sekali, sampai
akhirnya tidak ada kabar sama sekali.
Rico capek menunggu. Dia ingin Sha-Sha kembali. Dia benci sendirian.
Nah, dari sinilah awal masa-masa ke-PLAYBOY-an Rico dimulai. Saat masuk SMP, banyak
cewek yang mendekatinya. Sebenarnya Rico tidak tertarik pada mereka. Tapi merekalah yang
membuat Rico tidak lagi kesepian. Setiap dia bosan dengan satu cewek, cewek yang lain sudah
mengantre untuk menjadi pacarnya. Dan Rico menikmati itu. Setidaknya dia merasa tidak
sendirian. Tanpa sengaja. Pandangan Rico tertuju pada kamar Ciya. Cewek itu membuka pintu balkon dan
menarik bangku ke sana. Tadinya Rico ingin menenggelamkan kepalnya ke bawah air agar Ciya
tidak melihatnya, tetapi sepertinya Ciya memang tidak tertarik melihat ke bawah. Pandangannya
tertuju ke langit dan bintang-bintang di atas sana.
Rico mengecilkan suara radionya. Sekilas dia melihat Ciya berkomat-kammit seperti orang yang
sedang ngomong sendiri. Tapi tiba-tiba..... Ada sesuatu yang berkilau tertimpa sinar lampu di pipi
Ciya. Air matakah" Hah" Yang bener aja! Masa sih cewek itu bisa nangis juga"
Rico mengucek-ngucek matanya. Memastikan penglihatannya tidak salah. Tapi itu benar-benar
air mata..... Ciya menangis?"
Rico cepat-cepat memasukkan tubuh dan kepalanya ke dalam air ketika pandangan Ciya beralih
ke bawah setelah tidak kuat lagi menahan napad, dengan hati-hati dia memunculkan matanya untuk
melihat keadaan Ciya. Rico melongo. Ciya menopang kepalanya dengan kedua lengan yang dilipat dan disandarkan ke
pagar balkon. Yang benar aja! Dia tidur" Ngapain dia tidur di balkon begitu"
Rico mengambil handuknya dan bergegas ke atas. Dia mendapati pintu kamar Ciya terbuka
setengah. Dengan mengendap-endap, Rico masuk dan menemukan Ciya benar-benar tertidur di
balkon. Rico menggumam setelah melihat wajah Ciya lebih dekat, "Beneran air mata."
Sesaat dia tergugah untuk menghapus air mata di pipi Ciya. Dan bertepatan dengan itu, suara
SMS membuat Ciya terbangun.
Jeng.... Jeng.... Jeng....
Bisa ditebak, Ciya membuka mata dan mulutnya ternganga lebar-lebar melihat Rico masuk ke
kamarnya dengan setengah telanjang.
"KYOOOOOOOOO!!!"
Lemparan sandal menerjang tubuh Rico. "Mau apa ke sini" Kenapa nggak pake baju?" Ciya
mengambil gunting dan menyorongkannya. "Dengar ya! Gue ini cewek baek-baek. Belom pernah
begituan. Jangan macem-macem!"
Mendenar itu, bukannya marah, Rico malah timbul isengnya. Dia malah berjalan mendekati Ciya.
"Kyoooo.... Jangan ke sini. Ini liat!" jari Ciya menunjuk gunting yang dipegangnya. "Jangan maju
lagi! Gue takuut!" Rico berusaha menahan tawa melihat tingkah cewek di depannya itu. Tapi dengan tampang sok
serius, dia tetap berjalan mendekati Ciya, merebut gunting kemudian mendorong tubuh Ciya
sampai terentang di ranjang. Kedua tangannya memegang kedua tangan Ciya erat-erat. Saking
dekatnya wajah mereka berdua saat ini, Ciya memejamkan mata erat-erat sambil menyerukan
berbagai gumaman. "Tuhan, bunuh cowok ini, Tuhan. Biar dia disambar petir, disambar geledek, disambar apa pun
boleh. Mau pake kayu, martil, gergaji, pisau, obeng, semuanya boleh. Tuhan, cowok ini memang
kurang ajar. Lempar dia, Tuhan. Ayo, Tuhan...."
Mendengar itu, tawa Rico meledak. Dia melepaskan kedua tangan Ciya dan tertawa sampai
terjongkok-jongkok di lantai. Ciya membuka mata. Dahinya berkerut melihat tingkah cowok itu.
Apaan lagi nih" "Heh! Kenapa ketawa?"" Cya berdiri dan mengambil jarak agak jauh. Rico masih tetap dengan
posenya sambil cekikikan.
"Elo lucu banget!! Tadi gue cuma bercanda! Lagian gue juga nggak nafsu sama cewek kayak lo!"
Ciya mengatupkan bibir. Sedetik kemudian dia menangis. "Tadi gue beneran ketakutan setengah
mati, tau nggak!!" Kontan Rico menghentikan tawanya. Dia berjalan menghampiri Ciya.
"Jangan deket-deket! Keluar sana! Dasar jahat!"
Rico merasa bersalah. "Sori, tadi gue cuma bercanda."
Tapi Ciya masih memandangnya dengan tatapan curiga. "Terus ngapain lo nggak pake baju?"
Rico memperhatikan badannya yang hanya mengenakan celana renang. Iya sih, dengan
penampilan kayak gini, siapa yang bakalan nyangka perbuatannya tadi nggak serius. "Ini... Ini
tadi gue abis berenang. Terus gue lihat lo tidur di balkon. Jadi...."
Rico menghentikan perkataannya saat melihat mata Ciya yang sangat tidak bersahabat. "Iya
deh, gue salah. Maaf...."
Nggak dimaafin!" ujar Ciya sambil mengusap air matanya. "Bawain gue cokelat dulu, bru
dimaafin!" Rico bengong. Beneran nih cewek ini udah umur enam belas tahun?" Ngapain
bengong"! Cepetan ambilin cokelat sana!"
Rico mendengus, tapi kakinya tetap melangkah keluar menuju lemari es.
Rico menepuk-nepuk kepalanya. Sepertinya telanjang dalam waktu cukup lama malam tadi baru
terasa efeknya sekarang kepalanya terasa pening.
Dia turun dari motoe dan merapikan seragamnya yang lecek terkena sapuan angin. Hari ini dia
juga tidak memakai jaket, yang membuat pusingnya semakin menjadi-jadi karena saking
kerasnya angin yang menerpa tubuhnya saat naik motor.
Rico masih memijit-mijit dahinya saat melewati lapangan basket dan.... Yaak.... Kembali dia
menemukan sosok cewek yang paling tidak ingin ia temui.
"Tidaaakk!!! Jangan lagi!" teriaknya dalam hati.
Entah sudah berapa minggu cewek itu terus-terusan memburunya dengan pertanyaan yang
sama, "Rico, mau nggak kita balikan lagi?" Rico saja sudah bosan mendengar kata-kata itu.
Bukan hanya karena dia memang nggak ada feeling dengan Jessica, tetapi hal itu juha
mengurangi jumlah cewek yang mendekatinya karena takut kehidupan SMA mereka terancam.
Jessica kan terkenal suka ngelabrak siapa pun yang mendekati Rico. Dan bagi Rico, kehilangan
fansnya adalah bencana besar! Oleh karena itu, dia memutuskan harus menghentikan Jessica
saat ini juga. Begitu melihat Rico, Jessica langsung berlari ke arahnya. Niat Rico yang ingin menyelesaikan
masalah tiba-tiba lenyap begitu saja. Dia malah refleks ikut berlari menghindari kejaran Jessica.
Sekilas mereka tampak seperti pasang kekasih di film-film India yang sedang kejar-kejaran.
Untung hari itu masih terhitung sangat pagi, sehingga belum banyak murid yang datang. Kalo
nggak, bisa-bisa mereka jadi tontonan.
Sampai di gedung SMA, akhirnya Rico menghentikan langkahnya. Dia sudah tidak kuat berlari
lagi. Dengan napas terengah-engah, dia duduk di bangku panjang di depan laboratorium biologi.
Jessica, juga dengan napas terengah-engah, duduk di sampingnya.
"jesse, kita temenan ajalah. Gue capek tiap hari terus-terusan kayak gini. Gue yakin lo pasti bisa
nemuin cowok lain yang lebih baik dari gue," kata Rico setelah berhasil menenangkan detak
jantungnya. Jesse memandangnya, seakan sudah bosan dengan kata-kata yang Rico ucapkan. Sama
bosannya dengan Rico yang sudah dapat menebak kata-kata apa yang akan Jessica katakan.
"Kenapa?" Tuh, bener kan" Rico mengembuskan napas panjang, "soalnya gue udah jadian sama cewek


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gue yang baru. Jadi, plleeeeaaaasssseeeee!!! Jangan ganggu gue lagi! Jangan ngejar-ngejar
gue lagi!" kata-kata itu tiba-tiba tanpa sadar terucap begitu saja.
Jessica mengerutkan kening mendengar perkataan Rico barusan. Jadian?" Kok nggak pernah
ada beritanya" " Sama siapa?"
Toeeng!!! Rico sama sekali tidak memikirkan hal itu. Kata-kata jadian benar-benar di luar
pikirannya. Tapi tiba-tiba sebuah nama melintas.
"Namanya Ciya."
Waduh! Kok bisa dia ya" Rico menepuk dahinya sendiri, tapi dia cepat-cepat memamerkan
senyum lagi___lebih tepatnya menyeringai___saat menyadari Jessica memperhatikan
perubahan wajahnya. "Ngerti kan sekarang alasannya" Jadi jangan ganggu gue lagi!" ujarnya sambil berlalu menuju
tangga. Belum lagi tiga langkah, Rico berbalik. "Oh ua, jangan sekali-kali merusak ketenangan
cewek gue! Kalo sampe gue tahu macem-macem sama dia, lo bakal berhadapan sama gue!
Ngerti"!" Rico menepuk kepalanya kencang-kencang. Haduh! Gimana ini" Kenapa bisa nama Ciya yang
kusebut" Mau nggak mau mesti ngajak dia buat kerja sama.
Tapi, kemudian Rico teringat peristiwa dua jam yang lalu....
Wangi nasi goreng menggelitik hidung Rico saat memasuki ruang makan. Dia melihat Ciya,
masih memakai celemek renda-renda, sedang menuangkan susu ke dalam dua gelas. Memang,
Ciya tidak suka sarapan hanya dengan roti bakar, jadi sejak dua minggu yang lalu Ciya selalu
membantu Bik Nah menyiapkan sarapan. Kadang-kadang masak bubur, kadang-kadang masak
nasi goreng. Sebenarnya tidak dibantu Ciya pun, asalkan Ciya memberi perintah, Bik Nah pasti
akan memasakkan apa pun yang mereka inginkan.
"Lo, nggak kasihan ya! Bik Nah kan udah 60 tahun. Bantuin sedikit nggak ada salahnya, kan?"
ujar Ciya saat Rico bertanya kenapa Ciya ikut memasak. Baru kali ini Rico melihat ada cewek
seumuran dia yang bisa masak. Semua mantan pacarnya biasanya nggak ada yang bisa masak.
Sebenarnya, Rico menikmati masakan Ciya. Memang tidak seenak masakan restoran, tapi
benar-benar memberi kesan masakan rumah. Sesuatu yang sangat jarang dirasakan Rico.
Sejak dua minggu yang lalu itu juga, Rico mulai merasakan adanya perasaan sedikit akrab
dengan Ciya. Memang sih, masih tersisa rasa cemburu tentang perlakuan papanya yang agak
berbeda, tapi mereka sudah mulai banyak bicara. Seenggaknya, lebih banyak bicara dibanding
pertama kali Ciya datang.
Namun, pagi tadi Rico hanya melihat ada satu piring di meja.
"Lo nggak makan?" tanya Rico pada Ciya.
"Makan kok. Tapi gue nggak mau makan satu meja sama lo! Gue mau makan di ruang TV aja.
Mulai sekarang, jangan deket-deket gue kurang dari dua meter! Awas lo!" lalu Ciya ngeloyor
membawa piring dan gelasnya ke ruang TV.
Rico benar-benar lupa peristiwa itu. Tapi, pokoknya dia harus berhasil mengajak Ciya kerja
sama. Apa pun caranya! part* 4 CHocolate and You SORENYA, sepulang sekolah, Rico pergi ke supermarket dan membeli cokelat sebanyakbanyaknya. Malam ini dia harus berhasil menjalankan rencananya.
Pukul sembilan malam.....
Ciya baru saja selesai menyikat gigi. Sekarang, dia bersiap kembali meneruskan membaca novel
All-American Girl-nya Meg Cabot yang baru saja dibeli sore tadi.
Ciya mendengus. Seandainya kehidupan itu bisa dilewati seindah cerita-cerita dongeng yang
sangat mengharumkan dan membahagiakan itu, seandainya dirinya bisa menjadi seorang
Cinderella, seandainya dia bisa menjalani kehidupan selayaknya film Princess Diaries,
seandainya dia bisa menjadi Harry Potter. Kehidupan mereka yang secara tiba-tiba berubah
menjadi sangat berbesa. Dari upik aku menjadi putra raja, dari cewek biasa-biasa saja menjadi
calon ratu, dari seorang pecundang menjadi pahlawan. Alangkah baiknya kalau perubahan
hidupnya pun seperti itu. Bukannya dari sebuah keluarga menjadi sebatang kara. Oke, sekarang
memang dia memiliki keluarga baru. Tapi, please deh, keluarganya sekarang bukan orangtua
dengan dua anaknya, melainkan lima pembantu dan dua anak yang kesepian. Ditambah lagi,
kelakuan saudara tiri yang tidak___sama sekali tidak___menyenangkan.
Terdengar ketukan di pintu.
Ciya menelengkan kepalanya lemas. Siapa sih" Dia sebenarnya malas beranjak, tapi mau tak
mau dia harus merosot dari duduknya semula untuk membukakan pintu. Tapi dia mengunci
pintunya, untuk berjaga-jaga agar "insiden telanjang" tidak terjadi lagi. Setidaknya, terhindar
untuk terjadi yang kedua kali. Dia terpaksa menutup novelnya dan menggeser ke arah permadani
sebelum akhirnya benar-benar tegak berdiri untuk berjalan.
Ciya buru-buru merapatkan pintu kembali saat mendapati sosok Rico yang sedang berdiri di
depan pintu. Tapi sebelum daun pintu itu kembali menutup. Tangan Rico sudah mendorong
duluan sambil terus-terusan mengumandangkan berbagai rayuan, seperti "jangan ditutup!",
"Biarkan gue masuk!", "Gue nggak bakalan macem-macem lagi, gue janji!", dan yang sejenis
seperti itu. Sejenak mereka terlibat dorong-dorongan pintu yang cukup seru, sampai akhirnya
Ciya menyerah. Bukan karena tidak kuat, tapi dia tiba-tiba merasa konyol, Ngapain coba, dorongdorongan pintu sama cowok geblek itu" Jadi kayak orang bego aja.
Akhirnya Ciya mundur beberapa langkah dan membiarkan Rico masuk. Dengan senyum lebar,
Rico melenggang masuk dan langsung duduk di sofa empuk itu.
"Heh! Duduk di sana!" Ciya menunjuk ke ujung sofa yang terletak menempel dengan dinding
kaca yang mengarah ke balkin. Saat itu dinding kacanya sudah tidak tampak, tertutup tirai pink
bermotif percikan bunga, yang terbuat dari sutra. Sementara dia sendiri duduk di ujung yang lain.
Rico merengut, tapi tetap beringsut satu meter ke kanan.
"Ini...." sebelum sempat Ciya bertanya, Rico sudah lebih dulu mengulurkan sebatang cokelat
yang dibelinya tadi siang.
Dahi Ciya berkerut. "Apa lagi nih" Lo kasih racun ya?"
Bibir Rico kembali merengut. Dia udah capek-capek beli, malah dikira yang nggak-nggak. Iya sih,
dia emang pengen ngebujuk Ciya, tapi kan cokelatnya nggak dikasih racun. "Kalo nggak mau ya
udah....," sahutnya sambil kembali beranjak keluar.
"Eeh.... Tunggu.... Tunggu...." Ciya memang selalu tidak tahan dengan benda yang satu itu. "Sini,
duduk lagi. Gue mau kok. Sini.... Sini cokelatnya," ujarnya sambil menyambar cokelat tadi
sebelum Rico kembali duduk di tempatnya semula.
Rico tersenyum. Terkadang, dia merada lucu dengan tingkaj Ciya. Cewek itu sangat kekanakan.
"Bantuin gue ya!" kata Rico setelah kembali duduk.
Ciya mencibir, pantesan aja tadi baik. Ada maunya sih" Ciya menggelengkan kepalanya
beberapa kali. Rico melotot. Belum juga bilang disuruh bantuin apa, masa udah nolak duluan. "Yakin nggak
mau?" Rico lalu keluar sebentar dan masuk lagi membawa sekeranjang besar penuh cokelat. Ada yang
chocochips, ada yang chocomilk, ada yang.... Macem-macem. Ciya hanya melongo melihat
cokelat sebanyak itu. Air liurnya mulai menetes-netes. Iyalah, keranjangnya aja segeda
keranjang buat naruh pakaian kotor. Melihat cokelat sebanyak itu, tiba-tiba saja Ciya seperti
kehilangan kesadaran. "Apa pun boleh...., ucapnya dengan mata berbinar-binar, seperti anak anjing yang baru saja
diberi tulang. Tangannya mencomot satu bungkus cokelat yang berbentuk segitiga. Tanpa
sengaja tangannya bersentuhan dengan tangan Rico.
Ciya memandang Rico dengan tatapan aneh. Rico pikir Ciya tersadar dan akan menarik kembali
ucapannya barusan. Tapi ternyata bukan.
"Hei!" tiba-tiba Ciya beringsut mendekati Rico. Rico memandangnya sedikit takut. Kenapa cewek
yang nggak mau deket-deket sama dia kurang dari dua meter, sekarang malah mendekatinya"
Bahkan tangan terjulur ke wajahnya.
Plek! Tangan Ciya tepat menyentuh dahi Rico. Ciya tampak agak terperanjat.
"Gila, badan lo panas banget! Kenapa nggak bilang dari tadi?" Ciya beranjak, mengorek-ngorek
lacinya mencari termometer. "Sini.... Tidur di sini!" ujar Ciya kemudian setelah menemukan
termometernya. Dia menepuk-nepuk ranjangnya. Tapi Rico hanya melongo. Masa dia di suruh
tidur di sana" "Buruan!" Mata Ciya nyaris keluar melihat Rico diam saja.
"Gue nggak papa kok. Abis tidur juga ntar....." Rico menghentikan perkataannya melihat Ciya
yang semakin melotot. Rico tahu, semakin dia menolak, mata cewek itu akan semakin keluar.
Jadi, dia pasrah saja berbaring di ranjang Ciya.
Tangan Ciya kembali terulur memegang dahinya. Rasanya dingin.
"Badan lo panas banget! Pasti gara-gara kemaren lo telanjang malem-malem. Makanya jadi
orang jangan suka iseng." Ciya menyodorkan termometer itu kemulut Rico. "Ayo gue ukur dulu.
Gue ke bawah dulu ambil air hangat."
Selepas pintu ditutup, Rico mengembuskan napas panjang, Iya sih, peningnya makin menjadijadi saat ini. Dari tadi siang badannta terasa tidak enak. Tapi biasanya ia cukup minum obar saja.
Diperlakukan begini malah rasanya jadi aneh.
Rico membalikkan badannya ke kiri, sepintas matanya menatap tiga foto berbingkai manis. Masih
dengan termometer di mulutnya, dia beringsut bangun untuk melihat foto di meja belajar itu
dengan lebih jelas. Di tengah-tengah ada foto empat orang, sudah jelas itu pasti foto Ciya
dengan keluarganya. Foto yang terletak paling kiri memuat foto cowok yang sudah dikenal Rico,
itu Aldy. Tapi Rico mengerutkan dahi saat melihat foto yang paling kanan. Siapa ya" Tunggu
dulu, cowok ini mirip dengan cowok yang ada di foto keluarga Ciya
"Siapa ya?" ujar Rico dalam hati.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki, cepat-cepat Rico membanting tubuhnya ke kasur,
mengambil posisi seperti semula. Ciya membawa dua baskom dan dua handuk kecil.
Setelah meletakkan dua baskom tadi ke meja kaca yang ada di depan sofa, Ciya mengambil
kembali termometer dari mulut Rico.
"Tuh kan, 39,1 derajat. Masih bilang nggak papa, lagi. Buka baju gih!" ujarnya sambil mencelup
dan memeras salah satu handuk kecil.
Ciya mendengus. "Dasar cowok mesum! Kenapa otak lo cuma ada yang begituan-begituan
doang sih" Emangnya gue nafsu apa sama cowok belagu kayak lo. Nih, cium!" Ciya
menyodorkan handuk yang ada di tangannya itu. Wangi aroma jeruk nipis. "Kalo badan lo
dibalurin ini, panasnya lebih cepet turun. Masa gitu aja nggak tahu."
Rico menelengkan kepalanya. Emang iya" Dia baru tahu jeruk nipis bisa membantu menurunkan
panas. Akhirnya, setelah berpikir beberapa menit, Rico membuka bajunya juga.
"Balik badannya!" perintah Ciya. Tidak sampai dua detik, Rico sudah merasakan handuk itu
berjalan di sekujur punggungnya. Rasanya sejuk. Pantes aja, cewek-cewek suka make jeruk
nipnis buat maskeram. "Enak ,kan?" ujar Ciya melihat Rico tidak mengeluarkan protes lagi. "Balik lagi sini!" Ciya lalu
menggosok-gosokkan handuk itu di kala dada Rico sampai air jeruk nipis di baskom itu habis.
"Udah, pake baju lagi deh."
Ciya beralih ke baskom di sebelahnya. Melakukan hal yang sama seperti pada handuk yang
pertama, kemudiam melipatnya dan menaruhnya di dahi Rico. Kali ini rasanya hangat. Dia lalu
beringsut mengambil selimut dari samping ranjang (maklum ranjangnya kan duoble bed) dan
membentangkannya dia atas tubuh Rico.
Sejenak, Rico merasa sangat nyaman. Seumur hidupnya belum pernah dia merasa senyaman
ini. Biasanya, kalau dia sakit, mamanya pasti hanya akan memanggil dokter dan mencekoki dia
dengan obat. Setelah itu, dia pasti tertidur dan terbangun keesokan harinya dengan keadaan
membaik. Tapi dia tidak pernah merasakan perlakuan seperti ini sebelumnya. Apa mama Ciya
selalu melakukan ini setiap Ciya sakit" Rico bertanya dalam hati. Apa begini bentuk perhatian
seorang ibu yang sebenarnya"
Pikiran Rico agak-agak buyar saat melihat Ciya berjalan ke lemari dan mengambil satu selimut
lagi. Dia meletakkannya di sofa.
"Udah enakan?" tanya Ciya sambil bersimpuh di samping Rico.
Rico mengangguk. Dan kali itu, entah mengapa, Rico merasa senyum Ciya manis sekali.
"Bagus deh. Kalo besok pagi panasnya udah turun, nggak perlu minum obat. Kalo masih panad,
baru minum obat. Kalo tiap sakit minum obat melulu, ntar badan lo penuh bahan kimia. Ya udah,
tidur deh. Gue jagain lo di sini." Ciya mematikan lampu kamar, dan hanya menyalakan lampu
baca di samping tempat tidur, kemudian duduk di sofa sambil mengambil kembali novel yang tadi
tertunda dibaca. Tiba-tiba Rico tersadar. Dia hanya berdua dengan Ciya di kamar ini dan mereka tidur di kamar
yang sama. Rico mendongak, memandang Ciya yang duduk di sofa yang letaknya empat puluh
sentimeter di belakang ranjang. Dia menaikkan sebelah alisnya saat mendapati Ciya sedang
membaca dengan selimut yang disampirkan di pahanya.
"Lo tidur di sofa?" tanyanya pada Ciya.
Ciya menatap Rico dari balik novelnya. Dia meneleng. "Gue kan mesti ganti kompresan lo kalo
udah kering. Untung aja besok hari sabtu. Jadi kita libur sekolah dan gue nggak perlu takut
bangun kesiangan. Udah deh, lo tidur aja."
Rico melongo. Maksudnya, Ciya jadi nggak tidur ya" Rico jadi merasa nggak enak. Dia kembali
mendongak untuk melihat Ciya, tapi Ciya sudah kembali tenggelam dalam novelnya.
"Ci, itu siapa?" ujung telunjuk Rico mengarah ke foto-foto di meja belajar.
Ciya menggerakkan bola matanya tanpa menggerakkan kepalanya. "Itu Kak Yoyo."
"Iya, gue tahu. Maksud gue, yang di paling kanan."
"Oh, itu Billy, kakak gue. Ganteng, kan" Kalo dibanding elo sih, lo nggak ada apa-apanya."
Rico mendesis. Dasar Ciya! "Yoyo itu siapa lo, Ci?" tanya Rico kemudian.
Pertanyaan itu rupanya bisa membuat Ciya menurunkan novelnya dan memandang Rico.
"Kenapa tanya-tanya?"
Rico mengangkat bahu. "Nggak papa, gue pikir dia cowok lo." Dalam hati Rico berharap Ciya
mengatakan tidak. Kalo nggak, gagal total rencananya.
Ciya mendengus dengan bibir yang dimonyongkan. "Kalo dulu dia nggak nolak gue sig mungkin
sekarang dia itu mantan cowok gue."
Rico agak terkejut mendengar ucapan Ciya. Wah, hebat juga nih cewek bisa nembak duluan.
Tapi.... "Kok mantan?"
Ciya mengerutkan dagunya kemudian melebarkan bibirnya ke satu sisi. "Soalnya sekarang udah
punya cowok lain?" Ciya meneleng, walaupun Rico tidak bisa melihatnya. Kemudian Ciya bangun untuk mengambil
kompresan Rico yang sudah agak kering. "cowok itu...." Ciya mencelupkan lagi handuk kecil itu
ke air, memerasnya, dan meletakkannya kembali ke dahi Rico. Sejenak pandangannya
menerawang , tnpa sadar air matanya menetes. Ciya langsung buru-buru menghapusnya.
Matanya mendapati Rico sedang memandanginya.
"Heh!" bentak Ciya. "Apa liat-liat" Kenapa dari tadi nanya-nanya melulu" Cepet tidur.
Keesokan harinya.... Pukul tujuh pagi.
Rico membuka mata. Perasaannya sudah jauh lebih enakan dibanding kemarin. Ciya sedang
tidur di atas permadani bulu dengan kepala bersandar pada dudukan sofa. Selimut hanya
tersampir di kakinya. Entah mengapa,Rico meraa ada sesuatu yang aneh yang bergetar dalam
hatinya saat memandang Ciya. Tidak sama seperti saat dia memandang mantan-mantannya,
tidak sama seperti saat dia memenangkan pemilihan ketua OSIS, tidak sama seperti saat dia
mendapat hadiah-hadiah ulang tahun.
Ciya menggeliat, mengucek-ngucek matanya kemudian menguap lebar-lebar. Melihat itu, Rico
kembali pura-pura tidur. Dengan mata yang baru seperempat terbuka, tangan Ciya terulur
memegang dahi Rico. "Udah nggak panas."
"Ciya membereskan baskom-baskom bekas air kompresan. Dia menumpuk baskom bekas air
jeruk nipis di bagian paling bawah, handuknya disampirkan di pinggir baskom yang paling atas.
Dengan mata terpejam, Ciya berjalan membungkuk ke arah pintu. Dia baru tidur jam empat pagi.
Jadi nggak heran kalau saat berjalan pun dia seperti berada di alam mimpi.
"Adaww.....!" Ciya menjerit saat kepalanya menabrak pintu. Salah sendiri, jalan kok merem.
Cipratan air mengenai piamanya. Dia melenguh kesal. Udah nggak tidur, pake acara kepentok
pula. Akhirnya dia membuka setengah matanya dan berjalan membungkuk ke dapur. Sementara
Rico yang menikmati pertunjukan tadi malah sibuk cekikikan di balik bantal.
"Rico masih dalam posisi tidur saat Ciya kembali dari dapur. Ciya mengguncang-guncang tangan
kanan R ico walaupun matanya sendiri sudah tinggal tiga watt.
"Kyo, bangun...." tapi Rico tetap di posisinya.
"Kyo..... Bangun...."
"Kyoooooo!!!" Mendengar teriakan Ciya yang lebih parah daripada suara kuntilanak, Rico bukan hanya
membuka mata, tapi langsung duduk menepuk-nepuk dadanya. Kaget.
"Bangun! Gue mau tidur. Lo pindah ke kamar lo sana! Gue baru tidur tiga jam," omel Ciya.
"Tapi, Rico malam tersenyum tanpa rasa bersalah. "Lo mau bantuin gue, kan?"
"Ciya menatapnya bingung. "Kan gue udah bantuin elo."
Detik itu juga, Rico mengerti bahwa Ciya ternyata salah paham. Akhirya dia menceritakn awal
mulanya saat dia berkejar-kejaran dengan Jessica sampai adegan saat dia mengaku bahwa Ciya
adalah ceweknya. Ciya melongo. Tadinya dia pengen banget meninju hidung Rico saat itu juga. Namun behubung
rasa kantuknya saat ini sudah merajalela, dia hanya bisa merosot ke lantai. Ciya mengaduh lirih.
Kenapa saudara angkatnya itu bisa menjadi sebego itu sih?" jadi, maksudnya bukan ngebantuin
buat ngerawat lo ya?"
Rico menggeleng. "Haduh! Kalo gitu ngapain gue capek-capek begadang semaleman."
Rico mendelik, dia agak tersinggung mendengar ucapan Ciya barusan.
"Kenapa mesti nyebut nama gue sih" Kenapa bukan Nia kek, Mia kek, Dhea kek" Kan lo tinggal
bilang kalo cewek lo itu nggak satu sekolah. Kan beres. Kenapa mesti nyebut nama gue?"
Ciya menyandarkan kepalanya ke soga sambil memeluk boneka panda yang ditaruhnya di sana.
Rico merengut. "Jadi, mau apa nggak?"
"Nggak!" Rico melotot. "Bener nggak mau?"
"Nggak!" "Eh, semua cewek di sekolah pengen jadi cewek gue lho. Kenapa elo malah nggak mau" Lagian,
ini kan cuma bohonga. Gue juga nggak nafsu sama cewek gepeng kayak lo."
Ciya mencibir. "Emang gue pikirin. Mau yang ngejar lo banyak kek, mau semua cewek pengen
jadi pacar lo kek@ mau boongan kek, mau dada gue rata kek. Pokoknya nggak deh!"
Rico kembali merengut. Lagian, siapa juga yang ngomong soal dada rata?" "Nggak bisa, lo mesti
setuju." Ciyam mendengus. "Heh"! Kenapa gue mesti setuju?"
"Liat tuh!" telinjuk Rico mengarah ke bungkus-bungkus cokelat yang berserakan di meja kaca.
Benar sekali, Ciya hampir menghabiskan setengah keranjang pakaian cokelat yang diberikan
Rico tadi malam. "Lo udah ngabisin cokelat yang gue kasih. Jadi lo mesti setuju sama perjanjina
kita. Gue kasih lo cokelat dan elo mesti bantuin gue."
Ciya memoyongkan bibirnya sambil memandang Rico dengan mata hampir tertutup. "Tapi kan


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gue udah ngerawat lo. Cokelatnya jadi upah buat ngerawat lo aja ya?" Ciya menguap tanpa
menutupnya. "Gua ngantuuukk."
Saking kesalnya, Rico malah memangggil nama Ciya keras-keras, "Chiara!"
Begitu mendengar nama itu, Ciya kontan menghentikan segala gerakan di tubuhnya. Rahangnya
mengera. Matanya membuka lebar-lebar.
Rico menatap mata Ciya. Sesaat dia merasa ngeri menatap sepasang mata itu. Bukan karena
mata itu menatapnya dengan penuh kemarahan, bukan karena mata itu menatapnya dengan
penuh kebencian, juga bukan karena mata itu menatapnya dengan kesedihan. Justru Rico tidak
menemukan perasaan apa pun dalam tatapan Ciya. Tatapannya.... Hampa.
Ciya berkata lirih, "Jangan pernah panggil gue Chiara."
Mulut Rico terbuka, tapi sejurus kemudian menutup kembali. Sepertinya dia tidak menemukan
kata-kata yang tepat untuk menyelesaikan keadaan ini. Sejenak keheningan menyelimuti aura di
sekeliling mereka berdua. Rico sibuk menebak-nebak apa lagi yang ada di pikiran cewek tu.
Untung saja saat itu HP Ciya bunyi. Rico menarik napas lega saat Ciya beranjak mengangkat
HP-nya. "Halo, Yo....."
Rico menahan napas saat Ciya menyebutkan nama cowok itu. Nama cowok yang lumayan
menyita perhatiannya sejak pertama kali Ciya pindah ke sini. Ia ingin tahu apa hubungan Ciya
yang sebenarnya dengan cowok itu.
"Mau ke mal?" Ciya melanjutkan. "Boleh.... Tapi gue mau tidur dulu ya. Soalnya...." Mata Ciya
mendelik menatap Rico, yang saat ini dianggap Ciya sebagai sumber penderitaannya tadi
malam. "Gue kurang tidur semalem. Jam empat sore aja ya?" Ciya tersenyum, pertanda Aldy
memberikan kata setuju, sebelum akhirnya Ciya memencet tombol berwarna merah. "Bye...."
Ciya mendapati Rico masih memandangnya dengan tatapan minta persetujuan. "Apa liat-liat?"
"Bener nggak mau?"
"NGGAAAAKKKK!!!"
part* 5 SESUATU TENTANG BILLY CIYA menyendok es krim vanilanya sambil tersenyum puas. Dia sudah tidur selama kurang-lebih
eman jam. Jadi kalau ditambah dengan waktu tidurnya tadi malam yang hanya tiga jam itu,
berarti dia sudah tidur sembilan jam. Cuma ada empat hal yang bisa membuat Ciya senang:
1. Cokelat 2. Es krim 3. Tidur 4. Mawar putih Untuk yang keempat itu, hanya Aldy dan Billy yang tahu. "Sebenarnya....," tiba-tiba Aldy berkata,
"ada yang pengen gue omongin sama lo."
Keadaan Va-Lauch Cafe saat ini cukup lengang. Hanya ada beberapa pasangan yang duduk di
meja pojok. Tadinya sih rencananya mau ke mal, tapi Ciya berubah pikiran. Dia pengen makan
es krim. Va-Lauch kafe yang khusus menjual es krim dalam berbagai macam rasa. Mulai dari
Vannila-Spongecake (es krim vanila yang dicampur dengan remah-remah spongecake yang
mengandung rum), Rocky Way (es krim cokelat berpadu dengan marshmalloe dan potongan
kacang almond), Ferrero Rochio (es krim dengan kandungan gelatin yang lebih banyak sehingga
lebih pekat dan lebih lembut dibandingkan es krim biasa, yang dikolaborasi dengan cokelat putih,
cokelat, dan remah-remah sereal) sampai es krim yang berbentuk kue bertingkat-tingkat pun ada.
Menurut Ciya, di kafe ini bukan hanya es krimnya yang enak, tapi ruangannya juga sangat
hangat. Warna dindingnya cokelat bergaris putih, lampunya bernuansa kertas yang bergulunggulung, suasananya agak temaran. Banyak bintang buatan yang bergelantungan di langit-langit
kafe. Di tengah-tengha ruangan ada tangga melingkar yang ditiliti lampu-lampu kecil, tirainya
bernuansa sixties, dengan motif segitiga transparan. Pokoknya, menurut Ciya, kafe ini is the best
lah..... Ciya tersenyum. "Gue juga pengen ngomongin sesuatu sama lo." kemudian dia mengubek-ubek
isi tasnya dan menyodorkan secarik kertas berwarna hijau. Aldy melihat tulisan yang sangat
dikenalnya. Tulisan Billy....
Aldy meletakkan kembali surat itu ke meja setelah selesai membacanya. Ciya menggelenggeleng.
"Gue sama sekali nggak ngerti apa maksudnya!" Ciya menarik kertas itu hingga hurufnya tidak
dalam posisi terbalik. "Walaupun udah baca surat itu ribuan kali sampe mulut gue berbusa, gue
masih tetep nggak ngerti apa maksud dia ngelakuin semua ini." Ciya mendesis. "Orang yang
pertama kali bilang sayang ke gue, orang yang selalu bilang bakal selalu ada buat gue, orang
yang pertama kali bilang nggak bakal pergi dari gue, malah jadi orang yang pertama kali
ninggalin gue!" Aldy menatap cewek di hadapannya itu dengan tatapan nanar. "Apa cuma dia satu-satunya
cowok di hati lo?" "Apa" Ciya mengerutkan dahinya. "Maksudnya?"
"Chiara...." Ciya berjerit mendengar nama itu. "Jangan panggil gue Chiara! Jangan pernah panggil gue lagi
dengan sebutan itu!"
"Kenapa" Kenapa nggak boleh?" Aldy setengah berteriak. Walaupun sebenarnya Aldy-lah yang
memberikan panggilan Ciya, tapi sampai sekarang dia tidak pernah mengerti alasannya.
Saat pemakaman.... "Mulai sekarang, jangan panggil gue Chiara!"
Aldy mengerutkan kening saat Ciya menepis tangannya. Tapi dia hanya bisa diam. Tangannya
kembali merengkuh bahu cewek itu. Saat itu dia tidak ingin berkomentar apa pun. Dia cuma ingin
berada di sisi Chiara, menemaninya melewati proses pemakaman mamanya.
"Chi...." Aldy menghentikan kalimatnya. Sesaat dia bingung. "Ya.... Ciya.... Kalo panggil Ciya
boleh?" Chiara tidak mengangguk. Tapi juga tidak menggeleng. Namun sejak saat itu, nama Chiara
berganti dengan panggilan Ciya.
Ciya memandang Adly dengan tatapan tak suka. "Lo kenapa sih?"
"Kenapa gue nggak boleh manggil lo Chiara lagi?"
Ciya mendesis menatap cowok di hadapannya. "Lo kenapa sih, Yo?"
Tapi Aldy tetap mengulang pertanyaan yang sama. Untuk beberapa saat mereka mengucapkan
kata-kata, "kenapa sih?" dan "kenapa nggak boleh?" secara berulang-ulang.
Aldy benar-benar merasa asing dengan teman masa kecilnya ini. Dalam beberapa hal, dia sudah
menemukan dia sudah menemukan separuh Chiara yang menghilang. Tapi sering kali Aldy tidak
memahami pemikiran Ciya. "Udah berapa lama lo kenal gue?" akhirnya Ciya angkat bicara. "Dan lo sama sekali nggak ngerti
apa alasan gue" Nama itu ngingetin masa lalu gue, Yo. Nama itu ngingetin gue sama Billy, sama
nyokap gue, sama bokap gue.... Tiap kali gue ngedenger nama itu, gue selalu berharap Billy
yang manggil gue. Tapi nyatanya bukan! Dan gue benci harapan kosong kayak gitu. Harapan
yang nggak mungkin bakal ada."
Sesaat hening..... Ternyata Billy.... Ternyata semua perubahan itu terjadi hanya karena satu orang. Billy....
Sering kali, Aldy merasa benci pada dirinya sendiri. Seandainya saja waktu itu dia tidak menolak
Ciya, mungkin keadaannya tidak seburuk ini. Semua itu memang semata-mata karena gengsinya
yang kelewat tinggi. Dia memang sok jadi pahlawan.
Tapi nyatanya..... Dia malah kehilangan dua-duanya. Seorang sahabat dan seorang cewek yang
paling disayanginya. Aldy memandang tepat ke manik hitam mata Ciya. "Apa gue nggak bisa ngegantiin posisi Billy?"
Ciya mendelik. "Apa?" tapi sedetik kemudian dia tersadar. "Yo.... Lo...."
"Gue sayang sama lo. Lebih dari apa yang lo bayangin."
Ciya tertawa sinis. "Jangan bercanda, Yo! Lo sendiri kan yang bilang waktu itu kalo...."
"Gue bisa bilang apa lagi"! Billy sahabat gue. Memutar ingatannya ketika ia berumur sebelas
tahun. Seperti biasa, mereka sedang bermain layangan di taman___waktu itu memang sedang
pertengahan tahun ketika angin sedang berembus kencang___saat Billy tiba-tiba menceritakan
sesuatu yang sangat membuat Aldy terkejut.
"Dy, aku mau kasih tahu kamu sesuatu. Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa ya!"
Aldy hanya mengangguk saat Billy bilang begitu.
"Aku suka sama Chiara."
"Hah?" Aldy membelalakkan mata. Tadi layangannya terlepas sehingga benangnya
bergelundung-gelundungan ke tanah. Dia kocar-kacir mengejar layangannya yang mulai menjauh
terbawa angin. Billy tertawa di belakangnya.
"Kok kaget gitu sih?" tanya Billy sambil menggulung benang layangan miliknya.
"Dia kan adik kamu" Kata Mama, kita nggak boleh suka sama adik sendiri," kilah Aldy setelah
berhasil mendapatkan kembali layangannya. Tapi Billy hanya tertawa sambil membisikkan
sesuatu di telinganya. "Aku kan anak angkat Mama dan Papa. Jadi kalau aku anak angkat, aku kan nggak punya
hubungan darah. Kata Mama, kalo nggak punya hubungan darah, bisa pacaran."
Aldy hanya melongo. Tapi dia tidak bisa mengatakan tentang perasaan yang sesungguhnya
terhadap adik sahabatnya itu. Dia terlalu menyayangi Billy. Dia terlalu bersikap seperti malaikat.
Jadi dia hanya mendengarkan Billy bercerita dengan mata berbinar-binar, sambil menarik-ulur tali
layangannya dengan jemari bergetar. Bukan hanya karena Billy dan dia menyukai cewek yang
sama, tapi kenyataan yang dibisikkan Billy cukup membuatnya tidak percaya.
"Sekarang emang masih kecil sih. Aku juga belom tahu orang pacaran itu kayak apa. Tapi kalo
udah gede, aku pengen kawin sama Chiara kayak yang di film-film itu loh...." Billy tertawa
memamerkan giginya yang berderet rapi.
Sejak saat itu, Aldy memutuskan untuk melupakan Chiara. Dia berusaha menganggap Chiara
hanya sebagai adik. Sampai saat dia kelas 6 SD, Chiara menyatakan perasaannya. Sebenarnya,
waktu itu Aldy tidak mau menolaknya. Hanya saja, dia tidka mampu mengkhianati Billy.
Setahun kemudian, walaupun tidak ada ucapam yang resmi, tanpa ada siapa pun yang
menyadari, kedekatan Billy dan Chiara jauh melebihi dari apa yang dinamakan suka. Saling
ketergantungan mereka lebih dari apa yang mereka sadari sendiri. Seandainya semua tragedi itu
tidak pernah terjadi, Billy dan Chiara pasti masih pacaran sampai sekarang. Dan Aldy juga
menyadari, tidak ada apa pun yang bisa membuat Ciya melupakan Billy.
Tapi sekarang Billy sudah tidak ada. Aldy sudah tidak mempunyai alasan apa pun untuk tidak
mengutarakan perasaannya. Dan dia juga tidak mau menjadi pengecut untuk yang kedua
kalinya. "Kenapa lo suka sama Billy" Apa karena gue?"
"Hah?" Ciya berusaha mencerna pertanyaan Aldy tadi. Kemudian dia menggeleng. "Gue sayang
sama Billy. Bukan karena gue patah hati sama.... Iya sih, gue emang patah hati, tapi gue sama
sekali nggak mikir kalo Billy itu pengganti lo. Tanpa sadar, keberadaan dirinya jadi semakin kuat.
Gue semakin susah menjga hubungan sebagai kakak dan adik, lagian gue dan dia kan emang
bukan kakak-adik kandung. Dia kan anak angkatnya paman dan bibi gue. Dia juga jarang bilang
perasaannya secara langsung ke gue. Tapi, nggak perlu dibilang pun, gue tahu seberapa besar
rasa sayang dia ke gue." Ciya menyuapkan sesendok es krim ke mulutnya.
"Sebenernya gue sempat merasa beruntung karena kita nggak jadi pacaran. Karena akhirnya
gue punya Billy." Ciya tersenyum. "Cuma...."
"Billy udah nggak ada," Aldy menyambung cepat.
Ciya mengangguk pelan kemudian berkata lirih. "Iya, dia udah nggak ada."
"Kalo gitu, biar gue nunggu....."
Ciya menaikkan alisnya. "Gue bakal nunggu lo, sampai lo bisa ngelupain Billy."
Pukul delapan malam.... Ciya berjalan gontai masuk ke kamarnya tanpa memedulikan Rico yang sedang asyik di meja
komputer walaupun Ciya berjalan melewatinya___melewati Rico maksudnya. Rico juga
sebenarnya tidak tertarik dengan cewek itu, tapi dia melihat ada selembar kertas hijau yang
terjatuh dari tas Ciya. Dia menelengkan kepalanya sambil mengambil kertas tadi. Sedetik kemudian, matanya mulai
menekuri deretan huruf yang tertera di sana.
Sekarang pukul sebelas malam kurang sepuluh menit.
Di hari kesembilan belas di bulan januari.
Dulu gue pernah bilang kalo gue benci dengan cinta yang tidak bisa memiliki. Tapi sekarang
akhirnya gue sadar, ternyata memang ada cinta yang tidak harus memiliki. Gue mungkin bukan
Kahlil Gibran yang bisa menyerukan kata-kata cinta dengan lantang, gue juga bukan
Shakespeare yang bisa membuat kata-kata cinta dengan mendayu-dayu. Tapi saat ini, gue
mencoba menjadi seorang Billy yang ingin menyatakan sayang untuk yang terakhir kalinya pada
seorang cewek bernama Chiara.
Selama lima tahun ini ternyata gue terjerat cinta yang oleh kebanyakan orang disebut sebagai
cinta terlarang. Cinta yang mengatasnamakan kakak dan adik. Cinta yang melanggar batas
norma dan aturan. Cinta yang sampai mati pun nggak akan pernah gue lupakan. Cinta terakhir
yang selalu membuat gue merasa she's the one.
Tapi sekarang gue harus pergi. Pergi jauh..... Gue harus pergi meninggalkan cinta itu.
Meninggalkan semua kenangan, menghapus semua waktu.
Jangan tanya seberapa sedihya gue! Karena gue pun nggak bisa menghitung tetes kesedihan
itu. Maaf.... Gue nggak bisa ada di samping lo lagi. Maaf... Gue nggak bisa nepatin janji gue buat
selalu ngejagain lo. Maaf.... Atas kekecewaan lo karena gue.
Terima kasih.... Atas semua cinta. Terima kasih.... Atas senyun dan kesabaran. Terima kasih....
Atas semua pengertian. Terima kasih.... Telah membuat gue menjadi cowok paling beruntung di
dunia. Terima kasih... Atas lima belas tahun yang penuh kebahagiaan. Terima kasih... Atas
semua kehidupan yang ada.
Chiara, apa pun yang terjadi setelah ini, lo mesti percaya kalo yang gue lakuin ini bukan hal yang
konyol. Gue tahu lo pasti marah.... Lo pasti sangat marah. Tapi satu hal yang gue pengen lo
percaya, lo adalah anugerah paling berharga yang pernah gue punya. Ada alasan di balik semua
ini. Maaf...sekarang gue nggak bisa ada di samping lo setiap kali lo butuh gue. Tapi lo nggak perlu
setegar itu! Setiap kali menangis, cari bintang dan liat ke langit. Bintang-bintang itu yang akan
menjadi pengganti bahu gue buat lo. Jangan lupa, di mana pun itu, ada seseorang yang sayang
banget sama lo. Satu hal yang gur minta sama lo. Setelah ini, apa pun yang terjadi, lo harus
bahagia.... Lo mesti bahagia....
I lovee you, Billy NB: Chiara, capi papa! Dia adalah keping puzzle yang tertinggal.
Rico melangkahkan kakinya masuk ke kamar Ciya. Dia mendapati Ciya berada di balkon
memandangi bintang-bintang. Jadi, inikah alasan yang membuat cewek itu selalu berada di sana
setiap malam" Sedikit demi sedikit, Rico jadi mengerti tentang sesuatu yang terselubung dari
setiap tingkah laku Ciya. Cewek itu berusaha menutup air mata dengan mata. Dan keberadaan
cowok yang menulis surat inilah yang membuat seorang Chiara berubah menjadi seorang Ciya.
"Cowok itu Billy, kan?"
Ciya terperanjat saat mendengar suara Rico tepat dari balik punggungnya.
"Cowok yang lo suka itu Billy, kan?" Rico memperlihatkan kertas hijau yang dia pungut barusan.
Ciya merampasnya dari tangan Rico dengan kasar. "Lo baca ya"!"
Tatapan Ciya seakan memaksa untuk berkata "nggak", tapi jawaban yang didapatkan Ciya hanya
bahu Rico yang terangkat. Ciya mengembuskan napas panjang sambil kembali membalikkan
badannya. Rico menyandarkan tubuhnya di pagar di samping Ciya. "Kalo mau nangis, nangis aja...." Rico
memandang Ciya. "Nggak usah ngeliat bintang lagi. Pake bahu gue aja."
Ciya memutar bola matanya menatap Rico. Kalo mau jujursih, dia sedikit terharu juga mendengar
Rico bilang begitu. "Tapi lo mesti pura-pura jadi cewek gue...." Rico nyengir.
Detik berikutnya, Rico kembali terusir keluar dengan lemparan benda-benda yang melayang.
part* 6 Pacar?" Bukan Pacar?"
CIYA baru saja keluar dari WC saat dua makhluk dengan kecepatan tinggi berlari ke arahnya.
Belum sempat Ciya merasa ngeri, Rico sudah merangkul pundaknya dan mendorongnya maju
dua langkah. "Kenalin, ini Ciya," sahut Rico sambil terengah-engah. Di hadapan Ciya saat ini berdiri cewek
dengan rambut sepunggung yang dicat warna pirang. Skraf ungunya tertiup angin. Tanpa berpikir
dua kali pun Ciya tahu dia itu Jessica. Ciya melotot segarang-garangnya kepada Rico. Tapi
cowok itu, lagi-lagi, hanya menunjukkan senyum tak bersalahnya.
"Oh, jadi ini cewek lo?" Nada bicara Jessica sangat tidak enak didengar. "Demi cewek macem ini
lo ninggalin gue, Ric?"
Ciya melongo mendengar kata-kata tadi. Darahnya jadi naik ke kepala. "Eh! Cewek macem ini
apaan maksud lo?" Jessica menaikkan alisnya, tidak percaya ada adik kelas yang berani membentaknya. (Jessica itu
lebih tua setahun daripada Rico. Rico kan playboy yang tidak pandang bulu. Mau kakak kelas,
mau adik kelas, mau sepantaran, hajar teruus.) "Lo itu masih kecil! Jangan nggak sopan begitu
dong!" Ciya yang salah mengartikan ucapan Jessica___Ciya pikir, ucapan Jessica mengarah ke organ
tubuh tertentu___langsung memelototi Jessica. "Terus kenapa kalo gue masih kecil"
Seenggaknya gue nggak perlu takut ngegabruk ke depan gara-gara punya dada tempayan kayak
lo!" Mendengar itu, kontan Rico tertawa terpingkal-pingkal. Tapi tawanya langsung berhenti begitu
tempelengan Ciya mendarat di kepalanya. "Lo juga! Ngapain ketawa-ketawa?" Ciya kembali
menatap Jessica. "Gue bilangin ya, gue itu bukan ce.... mmpphhh.... ffff...."
Belum sempat Ciya menjelaskan, tangan Rico, yang tadinya digunakan untuk merangkul, sudah
menutup mulutnya duluan. "Dia ini cewek gue." Rico memeluk Ciya erat-erat dari belakang
sehingga Ciya tidak bisa berontak, salah satu tangan Rico masih menutup mulut Ciya. "Iya kan,
sayang?" tangan Rico yang satunya lagi mendorong kepala Ciya sehingga cewek itu terlihat
membuat anggukan. Dan sepertinya, mantan-mantan Rico emang pada goblok seperti yang Ciya bilang, buktinya
Jessica percaya aja tuh dengan sandiwara yang ada di hadapannya itu. Dengan menahan tangis,
Jessica berlari menuruni tangga, kembali ke gedung SMK.
Begitu Jessica hilang dari hadapan, Ciya menggigit tangan Rico yang mendekap mulutnya.
"Adaaawww!!!" Ciya menatap Rico dengan tampang ingin menerkam. Dan yang ditatap hanya nyengir sambil
mengusap-usap jarinya yang berukir garis-garis kecil bekas gigitan.
"Makasih ya, sayang," kata Rico sambil berlari masuk ke kelas sebelum sepatu Ciya sempat
mendarat di kepalanya. Bisa ditebak.... Dalam tempo dua jam, semua kelas sudah tahu bahwa Rico dan Ciya jadian!!


Separuh Bintang Karya Evline Kartika di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ci, kok lo nggak bilang-bilang gue sih?" ujar Natya sambil menghentikan suapan baksonya. Saat
ini rasanya semua pasang mata di kantin ini tidak ada yang terlepas dari Ciya. Kuping Ciya juga
sudah mulai panas. Bayangin saja, mulai dari waktu di kelas, di koridor, di kantin, Ciya harus
mendengar bisikan orang-orang tentang dirinya. "Itu tuh, ceweknya Rico yang baru," atau "Hebat
juga ya dia!" atau "ceweknya Rico kok beda banget sama Jesse." "Ada lagi "Selera Rico kok
turun ya...." "Kyo emang sialaaan!!" Ciya menggebrak meja kantin. Otomatis keadaan yang tadinya ramai
berubah sunyi senyap. Melihat itu, Natya langsung menarik tangan Ciya, ngacir dari sana.
"Lo apa-apaan sih" Bikin malu gue aja. Mana bakso gue belom abis, lagi. Goceng tuh tahu
nggak?" kata Natya sambil memasuki ruang gimnasium. Pada jam istirahat panjang
begini___sebutan untuk istirahat ketiga yang lamanya satu jam___biasanya gimnasium sepi.
Murid-murid kebanyakan bermain bola atau basket di lapangan. Ciya mengekor di belakangan
Natya dengan langkah gontai seperti seorang tahanan. Mulai deh, pikir Ciya. Natya memang
suka menceramahi Ciya dengan nasihat-nasihatnya.
Tiba-tiba Viktor berlari-lari kecil menghampiri mereka. "Hei, sayang...." dia berjalan sejajar
dengan Natya. Ciya memang paling malas kalau ada Viktor. Soalnya Viktor suka memonopoli
Natya, sehingga Ciya jadi kayak kambing congek nemenin mereka pacaran. Viktor sebenarnya
baik, tapi kalo udah berurusan sama Natya, dia menjadi cowok menyebalkan.
Namun, sepertinya kali ini Ciya puasa jadi kambing congek karena Viktor langsung beralih
menatapnya. "Ci, lo beneran jadian sama Rico?" tanya Viktor sambil duduk di tangga di depan
panggung. Gimnasium ini memang dipakai kalo ada acara-acara tertentu, seperti malam kesenian, pentas
seni, yah.... Pokoknya acara-acara seperti itulah. Jadi di sana terdapat panggung superbesar
yang di depannya terbentang tangga yang juga superbesar.
Ciya mengempaskan tubuhnya di samping Natya yang juga sedang menantikan jawabannya. Dia
memandang Viktor dengan tatapan malas. "Elo kan temennya. Kenapa lo nggak tanya sendiri aja
sama dia?" Ciya mengusap-usap tangannya yang tadi ditarik Natya terlalu keras sehingga
meninggalkan bekas kemerahan. "Liat nih, tangan gue jadi merah. Sakit, kan" Elo malah ribut
soal bakso. Nih, goceng." Ciya menarik selembar uang dari saku seregamnya.
"Udahlah...." Natya mendorong balik tangan Ciya. "Sekarang jelasin ke gue. Beneran lo jadian
sama Rico?" Iya memonyongkan bibirnya. "Ya enggak laahh.... Dia cuma pura-pura, biar si Jesse nggak
ngejar-ngejar dia lagi. Sialan emang tuh cewek! Masa dada gue dibilang kecil!" Ciya masih tetap
salah pengertian. Mendengar itu, Natya dan Viktor berpandangan. Sedetik kemudian mereka
tergelak bersamaan. "Kenapa lo" Malah ketawa....! Ciya menampakkan muka jeleknya.
"Eh, mestinya lo beruntung bisa jadi ceweknya Rico biar cuman pura-pura. Ada kemungkinan dia
tertarik beneran sama lo. Buktinya, dari sekian banyak cewek, dia malah milih lo buat jadi pacar
gadungannya," ujar Viktor sambil mengeluarkan satu bungkus cokelat dari sakunya.
"Wah, cokelat. Minta dong." tanpa ba-bi-bu lagi, Ciya menyambar cokelat itu dari tangan Viktor.
"Apanya yang beruntung" Pasaran gue turun, tahu," ujarnya sambil menguyah cokelat tadi. Ciya
sendiri juga heran, kenapa sih Rico malah nyebut nama dia. Hih!!
"Eh, gue mau bilangin nih. Bulan depan bakal ada acara Art and Science," ujar Viktor mengambil
satu blok cokelat. Ciya menatap cokelat tadi melayang ke mulut Viktor dengan tatapan tidak rela.
Tapi ini kan emang cokelatnya Viktor, jadi mau tak mau Ciya harus rela.
"Apaan tuh?" Natya mengerutkan dahinya. Sekolah ini memang suka mengadakan kegiatan
dengan nama yang keliatannya sih keren, tapi acaranya banyak yang nggak sebanding sama
namanya. "semacem pensi gitu deh....."
Tuh kan bener! Bilang aja pensi, pake istilah Art and Science segala.
"Band gue bakal manggung nih. Jangan lupa nonton ya...." Ciya mencibir. "Masih satu bulan.
Latihan dulu yang bener sana."
Viktor balas mencibir. "Cowok gadungan lo juga manggung tuh. Eh iya, soal itu, jangan sampe
ada yang tahu loh. Kalau Jesse sampai tahu lo cuma pura-pura, dia pasti ngelabrak lo abisabisan. Sekarang dia nggak berani ngapa-ngapain karena dia takut sama Rico."
Ciya langsung melotot ke anak tangga paling bawah. Dia bukannya takut sama Jessica. Hanya
saja, dia memang tipe yang nggak suka mencari masalah.
"Udah tahu kayak gitu, lo masih bilang gue beruntung lagi."
** Di ruang band.... Christian masih memandangi Rico dengan tatapan marah. Baru kali ini Rico mendapati temannya
semarah itu. Nggak sih, waktu kelas 2 SMP dulu, Christian juga pernah marah gara-gara Rico
matahin stik drumnya. Akibatnya mereka batal manggung gara-gara Christian ngambek dan
nggak mau latihan band sampai sebulan.
"Gue kan udah bilang berkali-kali kalo Ciya itu inceran gue. Lagian ngapain juga sih lo pura-pura
pacaran segala. Kenapa nggak nyebut si Henny aja, dia kan naksir berat sama lo. Kenapa mesti
Ciya?" "Gue juga nggak tahu!!" Rico berhenti memainkan senar gitarnya. Lama-lama darahnya mulai
naik ke kepala. "Nama dia keluar begitu aja dari mulut gue."
Untung saja di ruang band cuma ada mereka berdua. Jadi mau teriak-teriak macam apa pun,
nggak bakalan kedengeran keluar. Ruang band kan kedap suara.
"Lo suka dia, kan?" tanya Christian.
"Ampun deh, Chris. Udah berapa kali gue bilang, gue beneran nggak ada apa-apa sama dia.
Suer!" Chris membuat gerakan mengusir lalat di udara___mengibaskan tangan maksudnya. "Gue tuh
kenal lo sama lo udah empat taun. Empat taun, Ric! Dari gaya ngomong lo sampe cara lo
kencing ,gue tahu semua."
Rico mendesis. Entah gimana lagi cara meyakinkan temennya ini. Kemarahan Christian
sebenarnya beralasan sih. Sebab sepanjang hidupnya, sepanjang enam belas tahun ini, Rico
naksir tujuh cewek. Tapi..... Ketujuh cewek tadi, semuanya naksir sama Rico. Intinya, setiap
cewek yang dia taksir, selalu buntut-buntutnya malah jadian sama Rico. Hahaha.... Kasian yaa.
Rico juga nggak bisa dibilang salah sih. Toh cewek-cewek itu yang naksir Rico duluan.
Dan di saat dia menemukan cewek yang nggak naksir dia___Christian dapat informasi ini dari
Natya___ternyataaa.... Masih juga dia harus berhadapan dengan sahabatnya itu. Bagus sekali!!!
"Udahlah, gue nggak mau persahabatan kita ancur cuma gara-gara cewek." Christian bangkit
dari antara simbal-simbalnya. "Gue nggak mood latihan hari ini. Bentar lagi juga Viktor sama
Rangga___vokalis band___dateng. Lo latihan sama mereka aja dulu." dia melangkah menuju
pintu. Rico baru saja mau bangkit ketika Christian tiba-tiba berbalik. "Soal pura-pura lo tenang aja. Gue
nggak bakal bilang siapa-siapa."
PART 7 Art and Science.... Art and Science.... Art and Science....
CIYa pusing melihat spanduk dan poster-poster yang semuanya bertuliskan kata-kata itu. Baru
seminggu lagi acara itu dimulai, tapi semua orang sibuknyaa kayak acaranya bakal dimulai besok
aja. "Acaranya ternyata gede ya, Nat?" tanya Ciya sambil mengecat styrofoam yang berbentuk angka
1___kelas Ciya 2-1. Sudah dari tiga hari yang lalu pelajaran ditiadakan, diganti dengan acara itu.
Anak-anak kelas IPA sibuk membuat proyeknya di laboratorium. Pernah sekali Ciya memergoki
adanya letusan di lab kimia saat seorang cowok___dengan kacamata supertebal dan behel
warna-warni___sedang mencoba membuat kembang api. Berhasil sih, tapi ujung-ujungnya
hampir aja seluruh gedung kebakaran. Akibatnya di penemu kembang api tadi dihukum untuk
mengganti barang-barang di lab kimia yang dia hanguskan.
Beda lagi dengan anak-anak IPS yang membuat peta dunia selebar 2x2 meter. Mereka
menggunakan bungkus semen, yang entah diapain, untuk membuat benua dan pulau-pulau.
Sedangkan untuk lautan, mereka menggunakan cairan lilin yang berwarna biru. Niat banget deh
intinya! Nah, buat anak-anak kelas satu dan dua biasanya mereka mempersiapkan games-games yang,
menurut Ciya, nggak penting banget. Bayangin aja, masa games-nya makan krupuk. Emangnya
tujuh belasan Agustusan" Kalo nggak makan krupuk, paling lempar gelang ke gambar Mickey
Mouse. Dan kalau menang, hadiahnya___yang lebih nggak penting lagi___cuma dapat permen
lolipol dan tiket games (lagi). Haah.... Plis deh!
Dan kabar baiknya, proyek-proyek tadi yang bakal dipamerkan di acara Art and Science.
"Lumayan lah.... Kan orang luar juga boleh dateng," ujar Natya dengan tangan berlepotan cat.
Ciya tersenyum. Kalo gitu, dia bisa ngundang Yoyo, ujarnya dalam hati.
"Eh, beliin double tape lagi dong, Ci. Kurang nih....," sahut Danny, cowok bertubuh tinggi besar
mirip beruang yang sedang menempelkan gambar-gambar Mickey Mouse ke gelas Aqua untuk
keperluan games nanti. "Iya deh." Ciya lalu beranjak menuruni tangga menuju "Warkol". Di sekolah itu memang ada
semacam warung yang menjula berbagai macam peralatan. Dari baju seragam, kaus kaki, alat
tulis, buku, sampai pembalut wanita. Murid-murid di sana menyingkatnya sengan sebutan Warkol
alias warung sekolah. Saat hendak melewati ruang band, Ciya refleks menyingkir ke kiri saat ada seorang cewek yang
hampir saja menabraknya dari belakang. Salah, ternyata bukan seorang, tapi.... Banyak amat!
Berkali-kali Ciya merapatkan tubuhnya ke dinding kalo nggak mau kedorong-dorong.
Setelah gerombolan cewek itu lewat, Ciya melongokkan wajahnya ke atas kepala cewek-cewek
tadi yang semuanya berkumpul di jendela kaca ruang band. Ada apaan tuh" Ingin tahu apa yang
diributkan, Ciya menjulurkan lehernya tinggi-tinggi. Dan dia melongo saat melihat Rico bermain
gitar di dalam sana. Ya'elah... Kirain apaan, batinnya, kemudian berlalu.
** Hari H tiba. Ciya masih mengeringkan rambutnya saat Rico membuka pintu kamarnya.
"Nggak bisa ketok pintu dulu ya?" omel Ciya saat melihat Rico melenggang duduk di sofa. Dia
sudah mengenakan kaus Rip Curl warna hitam dan jins belel. Rambutnya diacak-acak dengan
gel. Mau tak mau Ciya harus mengakuo bahwa hari ini___okelah, hampir setiap hari___Rico
terlihat lebih dari sekadar keren.
Acara Art and Science memang membebaskan murid-murid dari ketentuan seragam. Waktu Rico
latihan aja cewek-cewek histerisnya udah setengah mati. Apalagi ntar pas manggung beneran.
"Hari ini pergi bareng gue ya?"
Ciya yang terkejut tanpa sengaja mengarahkan hair Dryernya terlalu sekat dekat dengan
rambutnya. "Aduh.... Aduh...." Dia mematikan hair dryer-nya saat merasakan batok kepalanya
terasa panas. "Kenapa emang?" Hair dryer-nya kembali dinyalakan.
"Ini kan acara sekolah. Semunya kan tahunya kita nggak tinggal serumah. Ntar semuanya curiga
gara-gara gue nggak pernah jemput lo. Apalagi lo malah dateng sama cowok lain."
"Oh... Ya udah, bilang aja kita putus," ujar Ciya enteng.
"Lo mau dilabrak Jesse?"
Ciya merengutkan bibirnya. "Nggak mau sih... Tapi ya udahlah. Mau dilabrak, dilabrak lah.
Emang gue peduli." "Nggak bisa!" Rico bangkit dari duduknya kemudian mengambil HP Ciya. "Nih, telepon Aldy!
Bilang hari ini nggak usah jemput lo."
ciya mematikan lagi hair dryer-nya. "Kok gitu sih?" Dia menatap Rico dengan tatapan tidak suka.
"Nggak mau. Gue nggak mua naik motor. "Kan, pake helm, bego!"
"Kalo pake helm, ntar rambut gur kayak mangkok, tahu. Udah gitu duduknya miring. Gue takut
jatuh. Lagian kalo naik motor sersa makan angin...."
"Cerewet!" bentak Rico. "Ya udah, hari ini gue bawa mobil."
Ciya menggigit bibirnya. "Tapi.... Hari ini sebenernya gue ngajak Yoyo."
Rico mendesisi kesal. "Gue kan cuma bilang pergi bareng lo! Gue kan nggk bilang kalo Aldy
boleh dateng." Rico kembali menyodorkan HP cewek itu. "Nih...."
Ciya mendecakkan lidahnya. Dasar cowok rese....!
** Ciya buru-buru masuk ke mobil setelah menyambar tas selempangnya. Dia melihat Rico sedang
memasukkan gitar elektriknya ke mobil.
"Ayo, jalan," sahut Ciya setelah memasang sabuk pengaman. Tangannya memencet tombol
untuk menyalakan radio. Suara penyiar siaran pagi-paginya Prambors berkumandang. Sesekali Ciya bersenandung kecil
mengikuti lagu yang diputar. Rico juga tidak banyak bicara. Sudah lama tidak nyetir, jadi dia agak
kagok. Baru saja keluar dari pagar rumah, Rico sudah hampir menabrak tukang bakso yang
mangkal di perempatan jalan. Dan kadang-kadang___sebenarnya hampir dua menit
sekali___Rico menyuruh Ciya untuk memeperhatikan apakah ada mobil di kiri atau kanan.
Karena kalau nengok ke kaca spion, dia tidak akan memperhatikan jalanan di depannya dan
kagoknya semakin menjadi-jadi.
Ciya juga jadi menyesal menuruti keinginan Rico. Seandainya dia menolak, mungkin saat ini dia
sudah selamat sampai di sekolah. Sejak empat puluh lima menit yang lalu___waktu dari rumah
Crazy 1 Kuda Kudaan Kumala Seri Oey Eng Burung Kenari Karya Siau Ping Perintah Maut 2
^