Pencarian

Touche 2

Touche Karya Windhy Puspitadewi Bagian 2


setengah berbohong. "Misalnya?" Mama mengerutkan kening.
"Penyakit menular, bau napas tidak enak, atau..." Riska mengangkat bahu.
"Kemampuan membaca perasaan sepertiku."
Mama mengangguk-angguk "Kurasa Mama mengerti kenapa dia seperti itu," Mama tersenyum sambil
menatap Riska. "Kenapa?" "Coba kaubayangkan jika kau berada di posisinya," kata Mama. "Orangorang terdekatmu yang kauanggap penting, tidak menganggapmu sama
pentingnya. Bahkan mereka menjauhimu karena takut padamu. Ketika
akhirnya datang seseorang yang membalas perasaanmu, menganggapmu
penting sebagaimana kau menganggapnya, apa yang akan kaulakukan?"
Riska mencoba berpikir. "Aku akan melindunginya mati-matian," katanya kemudian.
"Karena...?" Mama tersenyum.
Riska tertegun dan menatap mamanya.
"Karena," katanya. "Jika tidak, aku takut tidak akan ada lagi yang tersisa."
BAB 11 "EH, apa kau dengar gosip terbaru?" tanya Tari begitu Riska datang.
"Apa?" "Ada orang tak dikenal yang memukuli anak kelas tiga sampai babak belur,"
kata Tari dengan wajah dramatis.
"Berapa banyak yang dipukuli?" tanya Riska lalu duduk di kursinya.
"Sekitar empat orang."
"Dan tak satu pun dari mereka yang melihat pelakunya?"
Tari mengangkat bahu. "Kudengar mereka kompak menjawab tidak melihat.
Dan tentang jumlah si pemukul, mereka memberi jawaban yang berbeda-beda,
ada yang tiga, ada yang empat bahkan ada yang bilang mereka dikeroyok
sepuluh orang. Tapi menurutku, mereka berbohong."
"Kenapa kau berpikir begitu?"
"Entahlah," jawab Tari. "Sepertinya kejadian yang sebenarnya mungkin akan
mempermalukan mereka, jadi mereka berbohong. Menurut perasaanku,
pelakunya sih cuma satu tapi sangat hebat. Mungkin selevel dengan Indra."
Riska menatapnya. "Instingmu bagus."
"Hah?" Bel berbunyi. Tari kembali ke tempat duduknya. Sepanjang pelajaran, pikiran
Riska tertuju pada Indra. Dia sudah bisa menebak siapa pelaku pemukulan itu.
Anak-anak kelas tiga yang sekarang babak belur, pastilah yang mengeroyok
Dani semalam. "Indra tidak ada," kata Dani yang tiba-tiba datang ke kelas Riska saat jam
istirahat pertama, wajahnya menegang.
"Apa maksudmu?" tanya Riska. Dani menyeretnya menjauhi keramaian.
"Tadi dia menyuruhku pergi ke kelas lebih dulu tapi sampai pelajaran
berakhir, dia tidak kunjung datang," jawab Dani. Wajahnya gusar. Keringatnya
masih bercucuran, sepertinya dia baru saja mengelilingi sekolah ini.
"Bagaimana dengan tasnya?" tanya Riska yang mulai ikut panik. "Atau
sepeda motornya?" "Itu dia! Tasnya dia bawa tapi saat aku ke tempat parkir, sepeda motornya
masih ada di sana!" Riska menelan ludah. "Berarti mungkin dia masih ada di sekolah."
"Aku sudah mencarinya dan dia tidak ada di mana pun!"
"Sekolah ini tidak selebar daun kelor," sahut Riska. "Mungkin dia berada di
tempat yang luput kau cari."
Dani menghapus keringat di dahinya. "Semoga saja."
Sebenarnya Riska agak ragu dengan perkataannya sendiri tapi dia sangat
tidak ingin membayangkan kemungkinan bahwa Indra diculik seperti Pak
Yunus. *** "Bagaimana?" tanya Riska sepulang sekolah saat berpapasan dengan Dani.
Dani menggeleng. Wajahnya tampak pucat.
"Dia masih belum juga datang," katanya lemah. "Aku akan menunggunya di
tempat parkir. Siapa tahu dia muncul."
Riska mengangguk. "Biarkan aku menemanimu."
Mereka duduk di bangku taman yang menghadap tempat parkir. Waktu
berjalan dan tinggal beberapa sepeda motor yang masih ada di sana tapi Indra
belum juga tampak. Mata Dani menerawang. "Kau benar-benar mengkhawatirkannya ya," desah Riska.
"Pertanyaan bodoh," kata Dani gusar. Riska tersenyum.
Langit sudah memerah dan kini tinggal sepeda motor Indra yang terparkir di
sana. "Kalau kau mau pulang, kau pulang saja," kata Dani pada Riska.
"Aku sudah berkata akan menemanimu," tegas Riska.
Dani tersenyum. "Apakah aku sudah pernah bilang kau dan Indra itu mirip?"
"Apakah aku harus mengucapkan terima kasih?"
"Ucapkan saja," kata Dani. "Ini pujian."
"Terima kasih."
Dani tertawa. Saat langit mulai gelap tiba-tiba mereka mendengar suara yang tidak asing
lagi. "Apa yang kalian berdua lakukan jam segini di sini?"
Riska dan Dani menengok. Indra sudah berdiri di belakang mereka dengan
tatapan heran. "Kau dari mana saja?" Riska bangkit dari tempat duduknya. "Apa kau tahu!
Kami..." Belum selesai Riska melanjutkan kalimatnya, Dani menerjang dan memukul
Indra sekuat tenaga hingga jatuh tersungkur. Darah segar menetes di sudut
bibirnya. Baik Dani maupun Indra tidak mengatakan apa-apa setelahnya. Riska
bergegas mengambil saputangan dari kantongnya lalu mencoba membantu
Indra menghapus darah di bibirnya tapi ditolak dengan halus oleh cowok itu.
Indra berdiri dan melepas sarung tangannya. Dia lalu mengulurkan tangannya
pada Dani. Dani masih menatap tajam dengan penuh kemarahan tapi dia menjawab
uluran tangan Indra. Tepat saat mereka bersentuhan, Riska memperhatikan
wajah Indra seperti terkena hantaman benda yang tidak tampak selama sesaat.
"Maafkan aku," kata Indra kemudian. "Karena telah membuat kalian
khawatir." Dani melepaskan tangannya tanpa mengatakan apa-apa.
Riska akhirnya mengerti, inilah cara mereka berbaikkan. Semua kata-kata
yang tak terucapkan oleh Dani bisa langsung dipahami oleh Indra. Sesaat Riska
agak iri dengan persahabatan mereka.
"Jadi, dari mana saja kau?" tanya Riska setelah suasana agak tenang.
"Aku di perpustakaan," jawab Indra. "Dan sepertinya saat Dani mencariku di
sana, aku sedang berada di ruang geografi. Aku memang bolak-balik di dua
tempat itu." "Untuk apa?" tanya Dani.
"Ayo ikut aku," Indra mengajak mereka kembali ke ruang geografi dan
menghadap peta besar yang tergantung di sana.
"Kurasa..." kata Indra pelan. "Pak Yunus memang ada di Surakarta, seperti
kata Riska." "Tapi bukankah Surakarta di peta tidak terletak di bawah sungai Bengawan
Solo?" tanya Dani bingung. "Apa kali ini mereka menyalahi kode yang mereka
buat sendiri?" Indra menggeleng. "Samping, kiri, kanan, atas, bawah kan sebenarnya
tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Itulah yang dimaksud Pak
Yunus saat mengatakan ceci n'est pas une pipe."
Dani menggaruk-garuk kepalanya. "Aku tak mengerti."
"Idem ditto," timpal Riska.
"Ceci n'est pas une pipe yang dimaksud Pak Yunus adalah lukisan karya
Magritte," Indra menatap mereka. "Itu yang kutemukan setelah berjam-jam di
perpustakaan." "Magritte?" Riska mengernyit karena nama itu terdengar asing di telinganya.
"Siapa itu?" "Ren? Fran?ois Ghislain Magritte," jelas Dani yang telah menyerap buku
tentang orang-orang dan karya seni terkenal sesuai petunjuk Indra. "Pelukis
surealis kelahiran Belgia, 21 November 1898. Salah satu karyanya yang
terkenal adalah The Treachery of images yang menggambarkan pipa rokok
atau cangklong dengan tulisan ceci n'est pas une pipe di bawahnya."
"Yang artinya 'ini bukan pipa' itu tadi ya?" Riska mengangguk-angguk. "Tapi
apa maksudnya tulisan itu" Bukankah yang tergambar memang pipa rokok"
Lagi pula apa hubungannya dengan lokasi tempat yang kita cari?"
"Memangnya kau bisa merokok dengan pipa di gambar itu?" tanya Indra.
"Ha?" "Memangnya pipa dalam gambar itu bisa kau isi tembakau?" ulang Indra.
Riska terdiam, masih tak mengerti.
"Itu bukan pipa melainkan gambar pipa, itulah yang dimaksud Magritte
dalam lukisan ceci n'est pas une pipe-nya," lanjut Indra. "Lalu apa
hubungannya dengan pencarian tempat kita" Dengan begini kita tahu apa yang
dimaksud 'dibawah' bukan berarti terletak 'di bawah' seperti yang sekarang
kita lihat. Seperti halnya lukisan Le Bateau-nya Matisse."
"Siapa lagi itu?" bisik Riska pada Dani.
"Henri ?mile Ben?it Matisse," jawab Dani. "Pemahat dan pelukis terkenal
dari Prancis yang lahir pada tanggal 31 Desember 1869. Lukisannya yang
terkenal adalah Woman with a Hat yang dipajang di Museum of Modern Art."
"Lalu Le Bateu itu apa?" tanya Riska.
"Lukisan dari potongan kertas yang menggambarkan awan, kapal layar, dan
laut," Dani menjelaskan. "Dibuat pada tahun 1953. Pada tahun 1961, Museum
of Modern Art terbalik menggantungnya selama 47 hari. Baru ketika pialang
saham bernama Genevieve Habert menyadari kesalahan itu dan memberitahu
The New York Times, lukisan itu akhirnya digantung dengan benar."
"Hah?" Riska menatapnya tak percaya. "Kok bisa salah gantung?"
"Karena mereka tidak tahu yang mana yang atas dan yang mana yang
bawah," sahut Indra. "Kalau kau melihat lukisannya, aku yakin kau pun sulit
membedakan mana yang atas dan bawah. Faktanya, memang tidak kurang dari
116.000 orang yang datang pada 47 hari itu yang tidak bisa membedakannya.
Begitu juga peta ini."
Indra mengambil kursi di dekatnya lalu menaikinya.
"Sebelumnya kita hanya tahu Pak Yunus pergi ke Budapest dan Bucharest,
lalu Digoin-Dijon," katanya sambil melepas peta itu dari gantungannya. "Tapi
kita tidak pernah benar-benar tahu manakah tempat penculikan dan mana
tempat persembunyian. Misalnya peristiwa di Prancis, tadi kita melihat bahwa
yang berada di bawah sungai Loire adalah Digon tapi jika peta ini kugantung
terbalik, 180 derajat, sekarang di mata kalian kota mana yang berada di bawah
Sungai Loire?" Riska dan Dani menelan ludah, menatap peta yang sudah digantung terbalik
oleh Indra. "Dijon," kata mereka pelan.
"Sekarang jika peta ini kuputar 90 derajat," katanya sambil menurunkan
peta itu lagi lalu memutarnya. Melihat Indra agak kesulitan, Dani segera
membantunya. Sekarang kedua kutub terletak di samping kiri-kanan secara
horizontal. "Apakah Surakarta masih tampak di samping Sungai Bengawan Solo?" tanya
Indra. "Di bawah," Riska menatapnya kagum. "Kalau dilihat dengan posisi seperti
itu, Surakarta berada di bawah sungai Bengawan Solo!"
Indra dan Dani mengembalikan peta itu kembali ke posisi semula. Setelah
mengembalikan kursi yang dia naiki, Indra menghampiri kedua temannya.
"Aku sudah tahu kalau kau hebat," puji Dani. "Tapi aku tak pernah tahu kau
sehebat ini." Riska mengangguk lalu tersenyum. "Mengagumkan."
Indra tidak menunjukkan ekspresi apa pun, dia tetap dingin seperti biasanya.
"Tapi ini belum selesai," katanya. "Bahkan justru baru dimulai."
*** "Riska," Mama mengetuk pintu kamar. "Kau dicari dua temanmu."
Pasti Dani dan Indra, batin Riska.
"Mama tidak tahu ternyata kau laris juga," Mama menyeringai saat Riska
bergegas hendak keluar. "Yah, berarti selama ini Mama meremehkan anak Mama sendiri," Riska
mengangkat bahu. "Jadi, kau pilih yang mana?" tanya Mama.
"Yang paling kaya," jawab Riska asal.
"Kalau Mama sih, pilih yang rambutnya dicat cokelat," Mama meringis.
"Aku nggak mau punya Papa yang seumuran denganku," dengus Riska.
Mama tertawa. "Tapi..." lanjut Mama. "Yang tinggi itu..."
Riska menghentikan langkahnya. "Kenapa dengan yang tinggi?"
"Sorot matanya," Mama tampak serius.
"Kenapa dengan sorot matanya?" tanya Riska mulai tidak sabar.
Mama agak kaget dengan reaksi Riska, tapi kemudian tersenyum.
"Tidak apa," kata Mama. "Dia tadi tampak kaget melihat Mama."
"Kenapa?" Mama mengangkat bahu. "Mana Mama tahu."
Riska mengerutkan kening.
"Jangan-jangan dia orang yang kaumaksud itu, ya?" Mama menatap Riska
penuh selidik. "Yang melindungi mati-matian orang yang dianggapnya
penting." "Bu...bukan," Riska berbohong. Firasat mamanya memang tajam.
"Kau ini tidak pandai berbohong," Mama menyeringai.
Dia lalu berjalan keluar.
"Kau lama sekali," gerutu Dani. Indra yang berdiri di sebelahnya hanya diam
tanpa menunjukkan ekspresi apa pun.
"Sori, tadi ada interupsi," kata Riska. "Ada apa?"
"Kami akan berangkat ke Solo Senin depan, saat anak kelas 12 ujian," jawab
Dani. "Saat itu kan anak-anak kelas 10 dan 11 diliburkan."
"Lalu?" "Kami berencana pergi berdua saja," lanjut Dani. "Kami tidak ingin
menempatkanmu dalam bahaya."
"Tidak bisa!" protes Riska. "Aku ikut! Toh aku memang sudah dalam bahaya
sejak aku punya kemampuan ini."
"Tapi kami..." "Jangan menganggapku anak kecil! Aku tidak akan merepotkan kalian!"
tegas Riska. Dani melirik Indra, mengharapkan dukungan.
Indra mendengus lalu menatap Riska. Riska sudah bersiap-siap melontarkan
berbagai macam alasan jika Indra juga tidak setuju dirinya ikut.
"Pegang kata-katamu. Jangan membuat kami repot," kata Indra dingin.
Dani dan Riska melongo. "Kau serius?" tanya Dani sambil menatapnya tak percaya.
"Bukankah dia bilang dia bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri?"
"Tapi..." "Apa pun yang terjadi padanya bukan urusan kita," Indra lalu mengalihkan
tatapannya lagi pada Riska. "Begitu kan?"
Riska kaget dengan jawaban dingin Indra tapi dia mengangguk keras. Dia
ingin menunjukkan bahwa dia bukan tipe cewek yang tergantung pada orang
lain. Dia memang bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
"Kalau begitu kami pulang dulu," pamit Dani.
Riska mengangguk. "Oke."
Indra tidak berkata apa-apa tapi dia mengacungkan tangannya saat berbalik.
Ini sudah suatu kemajuan bagi hubungan persahabatan mereka.
*** "Benarkah tidak apa-apa mengajaknya?" tanya Dani sambil memakai helm.
Indra mengangguk lalu menyalakan mesin motornya.
"Karena kau pasti akan melindunginya, kan?" Dani meringis.
Indra tidak menjawab. Motor pun melaju menjauhi rumah Riska.
Baru setengah jalan, belum keluar dari kompleks rumah Riska, tiba-tiba dari
arah berlawanan mobil wagon hijau muda datang dengan kecepatan tinggi lalu
berhenti menyamping di depan mereka. Kalau saja refleks Indra tidak bagus,
pasti motornya sudah babak belur berikut penumpangnya. Pintu mobil terbuka


Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan empat orang selain sopirnya keluar. Mereka menarik Indra dan Dani dari
motornya hingga jatuh. Saat Indra mencoba bangkit, perutnya ditendang
hingga tersungkur lagi. Dua orang langsung memegangi kedua tangannya agar
tak melawan. "Bawa yang ini!" perintah pria bertubuh paling gempal dan satu-satunya
orang yang memakai sarung tangan putih sambil menarik Dani. Dia lalu dibantu
seorang lagi untuk memegangi Dani yang meronta-ronta berusaha melepaskan
diri. Sayang sekali, jalan yang mereka lalui termasuk sepi karena saat pulang
mereka memilih jalan pintas yang kanan dan kirinya persawahan.
Indra memberontak, berusaha menolong Dani. Dia berhasil melepaskan
tangan kirinya dari cengkeraman dan berupaya membuka sarung tangannya.
"Pegang tangannya! Jangan biarkan dia membuka sarung tangannya!" teriak
pria gempal itu, suaranya sengau hingga hampir tidak jelas apa yang dia
katakan. "Ingat kata Bos!"
Indra tertegun. Tangannya pun dicengkeram lagi oleh para penyerang. Dia
tidak berdaya tanpa keahliannya membaca pikiran karena penyerangnya kali
ini sepertinya juga menguasai ilmu bela diri. Tapi melihat Dani berhasil diseret
mendekati mobil, mata Indra berkilat. Dia mengerahkan semua tenaganya
untuk melepaskan diri. "UOOOOOOOOOOOGGGHHH...!!!!!"
Indra membanting dua orang yang memegangi tangannya lalu melepas
sarung tangannya. "Lepaskan dia!" geramnya.
"Dia sudah melepas sarung tangannya," orang yang tadi dibanting Indra,
melirik ke arah pria bersarung tangan putih.
Berpikir sejenak, orang itu pun memberi isyarat pada anak buahnya untuk
melepaskan Dani. Dani didorong kuat-kuat hingga menubruk Indra dan para
penculik menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri.
"Kembali ke mobil!" perintah si pria gempal. "Dia sudah melepas sarung
tangannya, bahaya jika dia membaca pikiran kita! Lakukan perintah
selanjutnya!" Para penculik itu bergegas masuk ke mobil lalu melaju dengan kecepatan
tinggi meninggalkan Indra dan Dani.
"Kurasa tebakanmu benar," kata Dani sambil terengah-engah, wajahnya
masih pucat. "Kau lihat plat nomornya" AD, Solo."
Indra tidak mengatakan apa-apa, kepalanya penuh dengan ucapan-ucapan
penyerang itu. Bagaimana mereka tahu dia bisa membaca pikiran" Bagaimana
mereka bisa tahu fungsi dari sarung tangan yang dipakainya" Apakah mereka
orang yang sama yang menculik Pak Yunus" Kenapa hanya Dani" Lalu... apa
perintah selanjutnya"
"Dan, kau pulang duluan saja! Ambil jalan yang ramai!" Indra memberikan
kunci motornya pada Dani. "Aku masih ada urusan."
Tanpa menunggu jawaban Dani, Indra berlari sekencangnya kembali ke
rumah Riska. Dia cemas, jangan-jangan perintah selanjutnya adalah menculik
Riska, apalagi karena mereka gagal menculik Dani. Merasa sekilas melihat
wagon berwarna hijau muda menuju arah yang sama, Indra mempercepat
larinya. Sesampainya di depan rumah Riska dengan terengah-engah, Indra
memencet bel rumah itu. Wanita setengah baya membuka pintu.
"Lho kamu yang tadi, kan?" sapa wanita itu ramah.
"Ri...Riska," kata Indra susah payah karena napasnya masih naik-turun.
"Oh, dia sedang keluar, ke mini market," jawab wanita itu sambil tersenyum.
Indra membeku. "Di...di mana mini marketnya?" tanya Indra setengah membentak.
"Di ujung jalan ini," jawab ibu Riska. "Kau masuk saja dulu, Tante buatkan
teh. Sepertinya kau kelelahan dan..."
"Permisi!" Tidak menggubris tawaran ibu Riska, Indra berlari keluar. Dia
hampir seperti orang kesetanan, lari sekencang itu menuju mini market. Masih
tersengal-sengal dia masuk ke mini market dan berusaha mencari sosok Riska
tapi tidak menemukannya. Dia mulai ketakutan telah terlambat
menyelematkan gadis itu. Setelah melihat wajah ibu Riska, Indra sadar bahwa Riska-lah anak yang
waktu itu ditemuinya di festival kota saat dia berumur enam tahun. Anak yang
kata-katanya menyelamatkan dirinya hingga saat ini. Riska-lah penyelamat
kecilnya dan Indra bertekad tidak akan pernah membiarkan penyelamatnya itu
terluka. Setelah meyakinkan diri bahwa Riska tidak ada di tempat itu, dia keluar. Saat
sudah hampir putus asa, tiba-tiba terdengar suara yang sangat dikenalnya.
"Ndra" Ngapain kamu di sini?"
Indra menoleh dan melihat Riska dengan tangan penuh barang belanjaan.
Melihat Riska baik-baik saja, Indra menghela napas panjang. Rasa lega
menyelimutinya hingga dia berjongkok di tanah saking lemasnya.
"Hoi, kau tidak apa-apa?" tanya Riska khawatir sambil berjongkok di
sampingnya. "Dari mana saja kau?" tanya Indra lemah.
"Aku disuruh belanja," jawab Riska sambil mengacungkan tas belanjanya.
"Lalu tadi aku mampir sebentar ke warung bakso di sebelah, aku lapar."
Indra mengusap keringatnya yang deras mengucur. Riska merogoh sakunya
untuk mengambil saputangan lalu memberikannya pada Indra.
Indra menerimanya tanpa mengatakan apa-apa.
"Apa yang terjadi?" ulang Riska sambil menepuk-nepuk pipinya sendiri
dengan tangan yang terbungkus sarung tangan karena dingin.
"Ayo pulang," Indra bangkit.
"Kau belum menjawab pertanyaanku!" protes Riska.
"Sambil jalan," Indra mengambil tas belanja di tangan Riska. "Aku saja."
"Tadi, dalam perjalanan pulang dari rumahmu, kami di hadang van," Indra
mulai bicara saat dia merasa tidak akan ada yang mendengarkan mereka.
"Eh?" Riska menatapnya kaget. "Mereka hendak menculik kalian?"
"Hanya Dani," lanjut Indra. "Anehnya, hanya Dani padahal mereka tahu aku
juga touch?. Mereka bahkan tahu kemampuanku adalah membaca pikiran."
Riska tertegun. "Tapi untunglah usaha penculikan itu gagal."
Indra mengangguk. "Sekarang di mana Dani?" tanya Riska.
"Aku menyuruhnya pulang dengan motorku."
"Kenapa kau tidak ikut pulang dengannya?" tanya Riska heran. "Keringatmu
sampai seperti itu, jangan-jangan kau kembali ke rumahku dengan berlari?"
Indra tidak menjawab, hanya balas menatap Riska.
"Jangan-jangan kau..." Riska menghentikan langkahnya.
"Mengkhawatirkanku?"
"Sudahlah, ayo pulang, ibumu sudah menunggumu," kata Indra dingin, dia
tidak ikut berhenti tapi berjalan pelan.
Tidak mungkin dia akan mengakui bahwa dia memang mengkhawatirkan
Riska. Indra sudah menganggap Riska sebagai orang yang penting, sama
pentingnya seperti Dani. Bahkan mungkin lebih penting. Sekarang akhirnya dia
memiliki dua orang penopang, dua orang yang membuatnya merasa
dibutuhkan dan dihargai. Dua orang yang menerimanya apa adanya termasuk
kemampuan yang dia miliki. Tidak mungkin dia akan membiarkan orang-orang
ini terluka. Indra masih dapat merasakan ketakutan yang tadi menyergapnya, saat Dani
hampir berhasil dibawa pergi dan saat tidak menemukan Riska di rumahnya.
Tubuh Indra bergidik, dia tidak sanggup membayangkan jika ketakutannya
menjadi kenyataan. Jika dia kehilangan mereka, apa lagi yang tersisa. Kesepian
yang dulu dia rasakan, akan datang kembali padanya. Rasa sepi, sedih, takut
yang tidak bisa diungkapkan kepada orang lain, yang harus dia tanggung
sendiri. Tak ada yang tahu bahwa selama ini dia hanya berpura-pura kuat.
"Tu...tunggu!" Riska menarik tangan Indra.
"Apa yang kau..." kata-kata Indra terhenti melihat air mata yang tiba-tiba
mengalir dari sudut-sudut mata Riska.
Indra menelan ludah, bingung dan terkejut.
"Jangan lagi berpura-pura kuat..." suara Riska bergetar.
Bagaimana mungkin dia...batin Indra tapi dia kemudian teringat kemampuan
Riska. "Jangan seenaknya memakai kemampuanmu untuk membaca perasaanku!"
emosi Indra seketika meledak. Dia menepis tangan Riska dengan kasar lalu
berjalan meninggalkannya. Indra tidak sadar Riska sedang memakai sarung
tangan. BAB 12 "HEI, kenapa tas belanjamu ada pada temanmu?" tanya Mama heran saat
Riska pulang. "Ceritanya panjang," desah Riska. "Dia langsung pulang setelah mengantar
tas itu?" "Dia langsung pamit sih," Mama mengangkat bahu. "Tapi diam-diam Mama
lihat dia terus berdiri di depan pagar dan baru pergi setelah melihatmu
datang." "Benarkah?" Riska tertegun.
Mama mengangguk. Tanpa sadar Riska tersenyum.
"Apa yang terjadi?" Tanya Mama sambil menepuk kursi di sebelahnya. Riska
menurut lalu duduk di sebelah mamanya.
Riska menghela napas panjang, mamanya menunggu dengan sabar. Riska
sedang mencoba mengingat lagi apa yang baru saja terjadi. Tadi untuk pertama
kalinya Riska dapat memahami perasaan orang lain tanpa menyentuhnya. Dia
sendiri tidak mengerti bagaimana hal itu bisa terjadi. Seolah sikap Indra,
kekhawatirannya yang berlebihan, raut wajahnya yang dingin membuat Riska
bisa memahami hebatnya rasa kesepian cowok itu. Termasuk perasaan
terbuang yang dirasakan Indra saat belum bertemu Dani. Semua perasaan itu
entah mengapa bisa dirasakan Riska hingga dia menitikkan air mata.
Riska mengangkat kedua tangannya, memperhatikan dengan saksama.
"Tadi tiba-tiba saja," kata Riska akhirnya, "aku bisa memahami perasaan
orang lain tanpa menyentuhnya."
"Benarkah?" tanya Mama tak percaya.
Riska mengangguk. "Aku sendiri tak mengerti."
"Temanmu tadi yang bisa kaubaca perasaannya tanpa
harus menyentuh?" tanya Mama lagi. "Namanya Indra."
"Lalu bagaimana perasaan yang kaubaca?"
Mata Riska menerawang, dia mencoba mengingatnya lagi. "Aku bisa
merasakan kesepiannya, rasa takut kehilangan, sedikit kemarahan. Aku bahkan
bisa tahu selama ini dia hanya berpura-pura kuat. Itu semua membuatku sedih,
bahkan dadaku rasanya sakit sekali hingga tiba-tiba saja air mataku keluar."
"Apakah itu berarti kemampuanku meningkat atau mengalami evolusi?"
tanyanya. Mama tampak berpikir sejenak lalu tersenyum.
"Itu memang kemampuanmu," kata Mama. Tapi yang ini, datangnya bukan
dari tangan. Kemampuanmu ini datangnya dari hati."
"Apa maksudnya?" Riska mengerutkan kening.
"Sebentar lagi juga kau akan tahu," Mama mengalihkan tatapannya ke
televisi di depan mereka.
"Kenapa Mama tidak langsung memberitahuku saja?" protes Riska.
"Itulah jalan menuju kedewasaan," Mama tersenyum nakal.
Riska mendesah, menyerah.
"Oh iya, Ma," kata Riska agak ragu. "Aku lupa bilang lusa aku berencana
pergi ke Solo dengan dua temanku itu."
Mama menoleh dan menatap tajam Riska. "Untuk apa?"
"Mencari teman lama," jawab Riska.
"Mencari teman lama?"
Riska mengangguk mantap, toh dia tidak sedang berbohong. Dia memang
sedang mencari Pak Yunus, teman yang dikenalnya kurang-lebih dua bulan
yang lalu. Dua bulan adalah waktu yang cukup lama bagi sebagian orang.
Mama masih menatapnya, tapi kali ini tanpa mengatakan apa-apa.
Sepertinya dia ingin mencari tahu apakah Riska tengah berbohong atau tidak.
Kemudian mamanya menghela napas dan mengangguk.
"Berhati-hatilah."
Riska tersenyum. "Jangan khawatir."
"Yah, setidaknya Mama tahu ada orang yang akan melindungimu matimatian," jawab mamanya.
"Hah" Siapa?"
*** "Jadi besok kita berkumpul di Stasiun Gubeng jam 06.00, aku sudah membeli
tiket," terang Dani. "Mengerti?"
Sepulang sekolah, mereka bertiga berkumpul di ruang geografi untuk
merencanakan kepergian di Solo.
Riska mengangguk lalu melirik Indra yang dari tadi hanya diam. Sejak
kejadian waktu itu, Indra terkesan menjauhinya.
"Baiklah!" Dani maju ke papan tulis. "Apa saja menurut kalian yang harus
dipersiapkan selain baju dan uang?"
"Pisau Swiss yang serbaguna," usul Riska.
"Boleh," Dani lalu menulisnya di papan. "Lalu" Hmm bagaimana kalau laptop
dan modemnya?" "Setuju," jawab Riska.
"Tupperware." "Kamera." "Handycam." Dani dan Riska bersemangat sekali mendaftar barang-barang yang harus
dibawa hingga tanpa sadar barang-barang di daftar itu terlalu banyak sampai
mereka berpikir untuk membawa koper.
"Kita bukan mau liburan," kata Indra tajam. Dani dan Riska berpandangan,
lalu Dani meringis. "Seberapa canggih handphone kalian?" tanya Indra lagi. "Punya fitur GPS"
3,5G" Wifi" Peta" Kamera" Perekam video?"
"Semua yang kausebut ada di ponselku," jawab Dani.
"Kalau aku, mungkin hanya kamera, video, peta, dan 3,5G," kata Riska.
"Itu sudah cukup," lanjut Indra. "Ditambah dengan kemampuan Dani, kurasa
kita tidak butuh laptop. Pulang dari sekolah, aku sarankan kau ke toko buku
dan serap peta Surakarta, buku panduan pramuka, dan objek wisata Solo."
Dani mengangguk. "Lalu barang lain yang wajib dibawa," Indra tampak berpikir. "Senter, pisau
lipat, pensil, buku agenda, spidol, tali, dan benda-benda P3K."
"Masing-masing harus membawanya," katanya tegas. "Ada pendapat lain?"
Dani dan Riska menggeleng.
Indra mengambil tasnya. "Ayo, Dan, aku masih ada latihan judo."
"Dia hebat," gumam Riska kagum.
"Kau baru tahu?" Dani menyeringai.
Riska menghela napas. "Kenapa?" tanya Dani melihat perubahan raut wajah Riska.
"Sepertinya Indra membenciku."
"Mana mungkin?" Dani mengangkat alis. Riska kemudian menceritakan apa
yang terjadi. Dani mengangguk-angguk.
"Dia tidak sadar kau memakai sarung tangan saat kau menyentuhnya?"
ulang Dani. Riska mengangguk. Dani tersenyum lalu mengusap-usap rambut Riska.
"Dia tidak membencimu," katanya lembut. "Dia hanya sedikit merajuk.
Mungkin karena kau sudah mengatakan kebenaran yang tidak ingin dia
dengar." "Hanya karena apa yang kukatakan?" Riska tak mengerti.
Dani mengambil tasnya lalu berjalan ke pintu keluar.
"Lebih tepatnya bukan apa yang dikatakan, tapi siapa yang mengatakannya,"
katanya sambil meringis lalu hilang di balik pintu.
Riska mengerutkan kening. Kenapa sepertinya semua orang akhir-akhir ini
senang berteka-teki. Setelah mamanya, sekarang Dani.
*** Riska memegangi lututnya dengan terengah-engah. Dia sudah berusaha
sekuat tenaga tapi entah mengapa masih belum cukup. Hari sudah sore,
padahal ini adalah hari terakhir latihannya sebelum libur karena anak kelas 12
ujian. Minggu depan, pertandingan tingkat kotamadya sudah dimulai.
Pak Joni berjalan mendekatinya. "Hmmm... 13,4 detik. Bagus, Ris, tapi masih
belum cukup kalau kau ingin menang."
"Sekali lagi, Pak," Riska mendongak. Keringatnya mengalir deras.
Pak Joni menggeleng. "Berapa kali pun dicoba, hasilnya tidak akan lebih dari
itu." "Lalu..." Riska menatap lurus pada Pak Joni, napasnya masih terengahengah. "Saya harus bagaimana?"


Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pak Joni balas menatapnya lalu menghela napas. "Hanya kau yang tahu
jawabannya." Lagi-lagi! Lagi-lagi teka-teki yang harus kujawab sendiri! umpat Riska dalam
hati. "Satu hal yang kurang darimu adalah motivasi," lanjut Pak Joni. "Apakah
motivasimu, kau sendiri yang tahu. Jika kau punya motivasi, jangankan juara
pertama, Bapak yakin kau bahkan bisa membuat rekor baru."
"Motivasi saya, saya ingin jadi juara," jawab Riska tegas.
"Benarkah" Kenapa Bapak tidak pernah bisa melihatnya?"
Pak Joni lalu berbalik. "Manfaatkan waktu liburmu untuk memikirkan ulang
motivasimu. Jika ternyata kau mendapati kau tidak punya motivasi, carilah."
Riska berjalan lemah menuju ruang ganti. Saat melewati aula, seperti
sebelumnya, langkahnya tanpa sadar terhenti. Matanya tertuju pada sosok di
sudut yang membanting lawan dengan akurat dan cepat. Rasa kagum
bercampur iri memenuhi dadanya.
Bagaimana Indra bisa sebegitu hebatnya" tanya Riska dalam hati. Dia tahu
itu bukan hanya karena kemampuan cowok itu membaca pikiran. Ada hal lain
yang membuatnya sehebat itu.
Riska melihat Indra sedang bersiap-siap bertarung lagi. Matanya berkilat.
Dengan cepat dia menjegal kaki kiri lawannya dan membantingnya. Indra
menegakkan badan lagi lalu berjalan ke tasnya untuk mengambil handuk. Saat
itulah matanya dan mata Riska tak sengaja beradu. Menyadari hal itu, Riska
mengangguk lalu pergi meninggalkan aula.
"Hei!" Seseorang memanggil Riska saat dia sampai di pintu gerbang.
Riska menoleh. Indra dengan sepeda motornya, berhenti di belakangnya.
"Aku antar," kata Indra sambil menyodorkan helm pada Riska.
Riska mengangguk. "Maaf, aku membentakmu waktu itu," kata Indra saat Riska naik di
belakangnya. "Aku sudah mendengarnya dari Dani, aku tidak sadar kau
memakai sarung tangan."
"Tidak apa," kata Riska. Dia lega akhirnya kesalahpahaman itu berakhir.
Motor pun melaju. "Lalu kenapa kau menangis waktu itu" Dan..." Indra berhenti sejenak.
"Bagaimana kau bisa mengucapkan kata-kata itu?"
"Aku sendiri tak tahu," jawab Riska jujur. "Akhir-akhir ini banyak sekali
pertanyaan yang aku tak tahu jawabannya."
"Aku heran kenapa kau baru menyadarinya sekarang." kata Indra sinis.
Riska sudah mulai terbiasa dengan ketajaman dan kesinisan kata-kata Indra
hingga dia merasa tidak perlu menggubrisnya.
"Kenapa kau tidak pernah mengunci lawanmu?" tanya Riska.
"Maksudmu?" "Bukankah dalam judo, selain bantingan juga ada teknik kuncian?"
Indra terdiam sejenak." Aku sudah pernah melakukannya. Hanya satu kali
dan itu yang terakhir."
"Eh?" "Dengan mengunci, kau pikir berapa lama aku harus menyentuhnya?"
Riska tertegun. "Terlalu banyak pikiran yang diserap dan semuanya bukan kata-kata yang
ingin kudengar," lanjut Indra dingin.
Jadi itu sebabnya Indra memilih teknik membanting, batin Riska. Dengan
begitu, dia tidak perlu menyentuh lawannya terlalu lama.
"Kenapa kau memilih judo?" tanya Riska lagi. "Di antara semua olahraga
yang ada, kenapa memilih judo?"
Indra diam saja. Merasa tidak enak, Riska buru-buru menambahkan. "Tentu saja jika tidak
ingin, kau tak perlu menjawabnya."
"Pertama, karena judo adalah olahraga yang paling cocok untuk orang yang
bisa membaca pikiran sepertiku," jawab Indra kemudian. "Kedua, karena aku
ingin lebih kuat." "Lebih kuat?" Riska mengernyit. "Untuk apa?"
Indra tidak menjawab, Riska pun urung untuk mendesaknya. Setelahnya tak
satu pun dari mereka yang bicara hingga sampai di depan rumah Riska.
"Sampai besok," kata Indra lalu melajukan motornya.
"Sampai besok..." Riska tercenung, dia mendapat satu lagi pertanyaan yang
harus dia jawab sendiri. BAB 13 DANI melirik jam tangannya. Masih setengah jam lagi hingga kereta datang.
Dia dan Indra mencari tempat duduk dekat pintu masuk statiun agar bisa
melihat saat Riska datang.
"Kau yakin, tidak apa-apa mengajaknya?" tanya Dani sambil menawari roti
isi ayam. Indra menolaknya dengan halus.
"Tidak apa-apa."
"Sepertinya akan berbahaya baginya," lanjut Dani sambil mengunyah. "Tadi
saja jika aku tak salah lihat, di tempat parkir stasiun ini ada mobil wagon hijau
muda yang hampir menculikku malam itu."
"Kau yakin?" Indra menatapnya.
Dani mengangguk. "Mereka langsung pergi melihat kita datang. Aku cukup
yakin karena warna hijau seperti itu lumayan langka jadi gampang
mengingatnya. Lagi pula plat nomornya AD."
Indra terdiam. "Mereka sudah membuntuti kita hingga sejauh ini," Dani membuka kaleng
minuman. "Aku jadi agak khawatir dengan Riska."
"Tidak apa-apa," kata Indra yakin. "Dia tidak akan apa-apa."
Dani meneguk minumannya lalu menoleh menatap sahabatnya itu. Rahang
Indra mengeras, tatapannya lurus ke depan. Dani tahu arti wajah itu.
"Dia tidak akan apa-apa karena kau akan melindunginya, kan?" Dani
tersenyum. "Kau ini bicara apa?" dengus Indra. "Bukankah aku sudah bilang dia harus
melindungi dirinya sendiri?"
Dani tertawa. "Aku mungkin tidak punya kemampuan membaca pikiran sepertimu,"
katanya. "Tapi aku tidak bodoh dan apa kau lupa berapa tahun kita
berteman?" Indra tidak menjawab. Lima belas menit sebelum pukul 06.00 barulah Riska datang.
"Maaf, aku terlambat," katanya dengan terengah-engah, dia sampai lupa
membawa jaket dan memakai sarung tangan. Dani menunjuk tempat duduk di
sebelahnya. "Tidak apa," katanya. "Keretanya toh belum datang."
Riska duduk di sebelahnya dan melirik ke arah Indra tapi laki-laki itu diam
saja. Dingin seperti biasanya.
Setelah kereta akhirnya datang, mereka bergegas menuju gerbong mereka.
"Gerbong berapa?" tanya Indra.
Dani mengeluarkan tiketnya. "Gerbong 3, kursi 6A, 6B, dan 7A."
Di dalam kereta, belum sempat Riska bertanya bagaimana pembagian
tempat duduknya, Indra sudah duduk di kursi 7A sehingga mau tak mau Riska
dan Dani duduk di depannya.
Wajah Riska langsung merengut karena mengira Indra masih marah dan
tidak mau dekat-dekat dengannya.
"Dia itu memang begitu," kata Dani tiba-tiba seakan bisa membaca pikiran
Riska. "Eh?" "Sebenarnya di antara kita bertiga, dialah yang paling peduli dengan
keselamatan teman-temannya," ujar Dani setengah berbisik agar Indra tidak
mendengarnya. "Dia tidak ingin kau duduk sendirian dan bermaksud
mengawasi kita berdua dari belakang. Kau kan tahu sendiri, dalam urusan bela
diri dia lebih bisa diandalkan daripada aku."
Riska terdiam. "Jadi itu maksudnya," gumamnya.
"Maksud apa?" "Kemarin aku bertanya kepadanya kenapa dia memilih judo," jelas Riska.
"Dia menjawab karena judo yang paling cocok dengan kemampuannya dan..."
"Dan?" "Karena dia ingin jadi kuat," lanjut Riska. "Tapi dia tidak menjelaskan kenapa
dia ingin jadi kuat."
Dani mengangguk-angguk. "Sekarang kau mengerti?"
"Ya, kurasa aku tahu jawabannya."
"Aku sudah lama tahu," Dani merebahkan kursinya lalu mencoba untuk
tidur. Peluit di stasiun berbunyi dan kereta pun mulai berjalan.
Riska memandang ke arah jendela. Dari jendelanya, dia bisa melihat
bayangan Indra yang sedang mengutak-atik ponselnya. Sekarang dia tahu
kenapa Indra ingin jadi lebih kuat. Laki-laki itu ingin kuat agar bisa melindungi
orang-orang yang penting baginya. Tanpa sadar Riska tersenyum, karena dia
tahu di antara orang-orang itu, ada namanya.
*** Dani meregangkan ototnya begitu mereka sampai di Stasiun Solo Balapan.
"Sekarang ke mana kita?" tanyanya.
"Kita keluar dulu saja," ujar Indra sambil berjalan, tapi langkahnya terhenti
tiba-tiba saat dia melihat tempat parkir.
"Ada apa?" tanya Riska.
"Mobil itu..." Riska dan Dani mengikuti arah pandang Indra dan melihat mobil wagon
berwarna hijau muda tampak bergerak menuju pintu keluar.
"Ya Tuhan! Mereka sudah sampai di sini!" Dani setengah terpekik.
"Memangnya itu mobil siapa?" Riska menatap mereka berdua dengan
bingung. "Itu mobil yang hendak menculikku malam itu," jawab Dani.
Indra memperhatikan sekeliling mereka, lalu berlari menuju taksi di luar
stasiun. "Ayo!" serunya. Riska dan Dani menurut dan mengikutinya dari belakang.
Mereka bertiga langsung masuk ke taksi hingga mengagetkan pak sopir yang
sedang membaca koran. "Ikuti mobil itu, Pak!" perintah Indra. Pak sopir itu masih tampak bingung,
tapi mengangguk saja. Taksi melaju mengikuti mobil wagon hijau muda yang
tidak jauh di depan mereka.
"Kira-kira mereka mau pergi ke mana?" tanya Dani.
"Entah." Mata Indra menatap lurus ke depan, tidak ingin kehilangan jejak.
Mobil hijau itu berputar-putar, untung saja sopir taksi yang mereka
tumpangi cukup lihai sehingga mampu mengikutinya. Tetapi begitu masuk ke
keramaian, mobil itu menghilang.
"Sial!" umpat Dani lalu membuang muka ke jendela.
Riska mengempaskan punggungnya ke kursi, kecewa. Tinggal sedikit lagi.
Hanya Indra yang ekspresinya tidak berubah. Dia sibuk mengutak-atik
ponselnya lalu dengan tenang bertanya pada sopir taksi itu.
"Apakah Keraton Surakarta Hadiningrat berada di dekat sini, Pak?"
"Iya, di depan sana, Dik," jawab sopir itu.
Indra mengangguk. "Antarkan kami ke sana."
Riska dan Dani berpandangan.
"Kenapa ke sana?" tanya Riska.
"Aku hanya menduga saja," jawab Indra kalem. Riska dan Dani menyerah.
Perjalanan kali ini Indra pemimpinnya.
Dugaan Indra tidak meleset. Di tempat parkir objek wisata Keraton
Surakarta, mereka melihat mobil wagon hijau muda itu terparkir di sana.
"Habis berapa?" tanya Dani pada Indra begitu mereka keluar dari taksi.
"Aku akan mengirimkan tagihannya sepulang kita ke Surabaya," jawab Indra.
Dani hanya meringis. "Kau membuatku ingin berdoa yang jelek-jelek untukmu," katanya sambil
terkekeh. Riska mencondongkan badannya pada Indra. "Bagaimana kau tahu mereka
akan ke sini?" Indra menatapnya tapi tidak mengatakan apa-apa. Dia malah berkata,
"Perutku lapar, ayo kita makan dulu."
Dia berjalan meninggalkan Riska.
"Kadang-kadang rasanya aku ingin bertukar kemampuan dengannya,"
dengus Riska. Dani terkikik. "Aku sudah sering merasakannya."
"Ayo!" Dani lalu menarik tangan Riska.
Mereka lalu berhenti di warung nasi liwet tak jauh dari tempat itu. Dani
memesan dua porsi nasi liwet dengan lauk ayam, tempe, dan pindang. Riska
hanya geleng-geleng melihatnya.
"Sebaiknya setelah ini kita jangan terpisah," kata Indra sambil menyesap the
panasnya. "Ama maknyutmou?" tanya Dani dengan mulut penuh.
"Kau ini mau bicara atau makan" Pilih salah satu," kata Indra.
Dani langsung menelan makanannya. "Apa maksudmu?"
"Karena aku tahu kenapa mereka berada di sini. Mereka ingin menjebak
kita," Indra mulai menjelaskan. "Mereka tidak bisa melakukannya di stasiun
karena stasiun tidak begitu ramai. Jika mereka nekat mau membawa kita
dengan paksa, akan ketahuan. Jadi mereka sengaja menunggu kita melihat
mereka di lapangan parkir stasiun."
"Untuk apa?" tanya Riska. Dia kehilangan nafsu makan.
"Tentu saja agar kita mengikuti mereka ke sini," jawab Indra.
"Berarti kita terjebak?" tanya Dani selesai menghabiskan makanannya.
"Begitulah yang mereka pikirkan," jawab Indra kalem.
"Yang mereka pikirkan?" Dani mengerutkan kening. "Bukankah kita memang
terjebak?" "Dari awal aku sudah sadar ini jebakan." Ekspresi Indra datar. "Karena kalau
tidak, mereka tidak mungkin sengaja menunggu kita dan memarkir mobilnya di
tempat yang bisa dilihat banyak orang."
Dani dan Riska langsung melongo.
"Jadi maksudmu kita sengaja datang ke perangkap mereka?" Riska hampir
berteriak histeris. "Aku benar-benar tak tahu apa yang ada dalam pikiranmu."
"Untuk menyelamatkan anak ayam yang disembunyikan oleh ular, kita harus
masuk sarang ular," jelas Indra. "Apakah yang naik mobil itu orang yang sama
dengan yang berniat menculik Dani" Untuk apa mereka menjebak kita ke sini"
Jika memang mereka hendak menculik kita, bagaimana mereka akan
melakukannya di tengah keramaian seperti ini?" Lalu ke mana mereka akan
pergi?" Dani menghela napas. "Kau mengatakannya seakan hal itu adalah hal biasa.
Aku sungguh iri dengan ketenanganmu."
Mereka terdiam. "Sejujurnya aku tidak tenang," Indra kemudian mengaku sambil membayar
pesanan mereka. "Itulah sebabnya aku ingin kita jangan berpisah."
Dani bangkit dari kursinya. "Kau mengkhawatirkan keselamatan kita?"
"Tidak," mata Indra menatap lurus. "Aku mengkhawatirkan keselamatan
kalian." Dani menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu lalu merangkulnya. Riska yang
berjalan di belakang mereka tersenyum. Wajahnya memerah.
*** Dapat dikatakan saat itu adalah musim liburan karena selain murid-murid
kelas 6, 9, dan 12, murid-murid lain diliburkan. Keraton Surakarta pun tampak
penuh sesak dengan pengunjung. Riska menelan ludah melihat pemandangan
itu. Dia lupa membawa jaket maupun sarung tangan. Dia bahkan tak sanggup
membayangkan terjangan bermacam-macam perasaan manusia yang menjadi
satu. Tiba-tiba Indra melepas jaketnya dan memberikannya pada Riska.
"Eh?" "Kau membutuhkannya," jawab Indra datar.
"Bagaimana denganmu?"
Indra tidak menjawab, hanya mengacungkan kedua tangannya yang
terbungkus sarung tangan lalu berjalan menuju pintu masuk keraton.
Riska memakai jaket itu dan memasukkan kedua tangannya ke kantong. Dia
lalu mengikuti Indra dari belakang bersama Dani. Hatinya berdebar-debar.
Mereka masuk melalui alun-alun di sebelah utara yang disebut Alun-alun Lot di
mana di tengahnya ada dua pohon beringin besar. Indra membeli tiket untuk
mereka bertiga. Ada yang menawarkan diri untuk menjadi pemandu tapi dia
menolaknya dengan halus. Mereka masuk ke bangunan yang disebut Sasono
Semowo yang dulu digunakan oleh Raja Surakarta sebagai tempat untuk
menerima perintah dan menerima laporan dari patihnya.


Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mata Indra menyapu sekeliling, mencari wajah yang tidak asing baginya. Dia
tidak akan melupakan wajah orang-orang yang hendak menculik Dani malam
itu. Dia bahkan ingat setiap detailnya.
"Kau melihat mereka?" bisik Dani.
Indra menggeleng. Mereka melangkah lagi ke selatan tempat terdapat bangunan yang letaknya
lebih tinggi dari bagian lainnya dan disebut Siti Hinggil.
Mereka bertiga terus berjalan mengikuti arus, bertingkah selayaknya turis.
Bahkan Dani yang sudah menyerap buku tentang sejarah Keraton Surakarta
serta brosur yang tadi dia dapat, mampu bertindak seperti pemandu.
"Dua pintu ini, disebut Kori Renteng dan Kori Mangu," jelas Dani saat
mereka keluar dari Siti Hinggil dan melewati dua pintu. "Renteng artinya
pertentangan hati dan Mangu artinya ragu-ragu. Kemudian pintu raksasa di
depan kita ini dinamakan Kori Brodjonolo Lor. Kata Brodjo berarti gaman atau
senjata yang sangat tajam dan Nolo berarti berpikir. Jadi kalau kita mau
melewati pintu ini kita diminta agar segala sesuatu harus dipikirkan dalamdalam dulu."
Riska mangut-mangut. Walau mereka bertiga tampak menikmati bendabenda bersejarah di tempat itu, pandangan mereka tetap waspada.
"Eh, anu..." kata Riska pelan saat mereka di pelataran Sri Mangantri, di
belakang Kori Kamandungan.
"Ada apa?" tanya Dani.
"Aku mau ke toilet sebentar, boleh nggak?" tanyanya.
Dani memandang Indra. "Kami akan mengantarmu," jawab Indra.
"Kalian juga ikut masuk?"
Dani terkekeh. "You wish. Kami akan berjaga di depan."
Mereka mengikuti Riska ke toilet. Begitu Riska masuk, mereka berdua
menunggu depan untuk berjaga-jaga. Saat itulah tiba-tiba Dani melihat wajah
yang dia kenal, yang pernah berusaha menculiknya dengan mobil wagon hijau.
"Itu dia!" dikendalikan oleh emosi, Dani spontan mengejar orang itu. "Aku
melihatnya!" "Tunggu, Dan!" teriak Indra, tapi kata-katanya tidak dipedulikan. Sekarang
dia harus memilih antara menjaga Riska dan mengejar Dani. Punggung Dani
mulai menghilang hingga tanpa pikir panjang Indra pun meninggalkan Riska.
Dani berjalan cepat sambil memusatkan pandangan pada orang yang pernah
berusaha menculiknya itu. Berlari hanya akan tampak terlalu mencolok.
Mereka masuk ke museum keraton dan menuju pelatarannya. Pelataran
keraton dipenuhi hamparan pasir dan pohon sawo kecik sehingga pengunjung
harus melepas alas kakinya. Saat harus melepas alas kaki di pelataran keraton
itulah Dani kehilangan jejaknya. Serombongan turis mancanegara menutupi
pandangannya. Setelah rombongan itu melewatinya, dia sudah tak tahu lagi ke
mana perginya penculik itu. Dani berjalan menuju menara yang disebut
Panggung Songgobuwono lalu dari tempat itu menyapu pandangan ke semua
sudut pelataran. "Dan!" Indra mencengkeram bahunya.
Dani menoleh. "Aku hampir berhasil mengejarnya! Tinggal sedikit lagi!"
Indra memperkuat cengkeramannya. "Lalu jika kau berhasil mengejarnya
apa yang akan kaulakukan" Mengajaknya minum lalu bertanya di mana Pak
Yunus" Kau ini bodoh atau apa" Kau tahu, aku bahkan harus meninggalkan
Ris..." Indra menelan ludah lalu berbalik.
"Aku harus kembali ke tempat Riska!" serunya pada Dani sambil berlari.
"Kau harus secepatnya keluar dari tempat ini! Lalu hubungi aku!"
Karena tidak mungkin terus berlari di dalam keraton, dia berjalan cepat.
Mendekati toilet tempat dia meninggalkan Riska, dia sedikit lega karena
melihat gadis itu di sana dengan wajah gusar. Kemudian hatinya langsung
kecut karena tak jauh dari Riska berdiri, salah satu penculik itu sedang berjalan
mendekatinya. Indra baru ingat, Riska tidak pernah melihat wajah penculik itu.
Dia tidak tahu dirinya dalam bahaya.
Riska yang melihat kedatangan Indra langsung mengajukan protes. "Ke
mana saja kalian" Aku sudah..."
Indra mempercepat langkahnya dan tepat saat penculik itu hendak menyapa
Riska, Indra menarik tangan gadis itu dan membawanya pergi menjauh.
"A...aduh..." erang Riska karena cengkeraman Indra di tangannya sangat
kuat, bahkan dia serasa diseret. "Kenapa" Ada apa?"
Indra tidak menjawab, dia bahkan tidak menoleh. Satu-satunya hal yang ada
di pikirannya adalah membawa Riska ke tempat yang aman. Akhirnya mereka
menemukan tempat seperti itu di belakang salah satu pendopo. Setelah
mereka tak akan ada yang mengikuti mereka, barulah Indra melepaskan
tangan Riska. "Sekarang bolehkan aku meminta penjelasan?" tanya Riska sambil
mengusap-usap pergelangan tangannya yang memerah.
Indra menghela napas lalu menatapnya.
"Kelemahan terbesarmu adalah kau tidak pernah melihat wajah para
penculik itu." "Hah?" "Tadi salah satu dari mereka sudah tinggal selangkah lagi darimu."
Riska langsung membeku. "Apa kita perlu menelepon polisi?"
"Untuk apa" Mereka tidak melakukan apa-apa," jawab Indra datar.
"Mereka sudah menculik Pak Yunus dan mencoba menculik Dani," Riska
hampir berteriak. "Mereka sudah melakukan sesuatu."
"Kita tidak punya bukti."
"Biar polisi saja yang mencarinya," Riska masih tidak mau mengalah.
"Jangan gegabah," kata Indra tenang. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku
celana lalu menghubungi Dani.
"Halo?" jawab Dani.
"Di mana kau?" "Aku di Masjid Agung."
"Baik, tunggu kami di sana."
Indra menutup teleponnya.
"Sekarang bagaimana?" Riska menyandarkan punggungnya ke tembok
pendopo. "Kita sudah masuk ke sarang ular, belum menemukan petunjuk
tentang keberadaan ayam, dan sekarang malah ganti dikejar ular."
Indra terdiam sejenak lalu menghela napas. "Kau pernah bertanya kenapa
aku bisa menduga bahwa mereka akan datang ke tempat ini, kan"
"Karena tempat ini dekat dengan aliran Sungai Bengawan Solo," dia mulai
menjelaskan. "Surakarta terhubung dengan kota-kota di Jawa Timur seperti
Gresik dan Tuban melalui Sungai Bengawan Solo. Karena 'hubungan sungai'
inilah Pakubuwono II memilih tempat ini saat mereka memutuskan pindah dari
Kartosuro yang sudah diduduki musuh. Penculikan yang terjadi ini adalah
penculikan simbolis yang dikhususkan untuk kaum touch?. Jadi kupikir tempat
yang mereka pakai pastilah tempat-tempat yang memiliki unsur simbolis
seperti ini dan masih berhubungan dengan puisi kuno itu, yaitu berdekatan
dengan sungai." Riska ternganga mendengar penjelasan Indra. "Berarti Pak Yunus ada di
sekitar sini?" "Aku tidak tahu," Indra menggeleng. "Bisa iya, bisa juga tidak. Mungkin
mereka memang hanya ingin menjebak kita saja karena ternyata masih ada
dua objek lagi yang berada di dekat aliran Sungai Bengawan Solo."
"Di mana itu?" Belum sempat Indra menjawabnya, tiba-tiba tiga orang pria yang dikenal
Indra sebagai orang-orang yang pernah berusaha menculik Dani sudah berdiri
di hadapan mereka. BAB 14 "DI MANA teman kalian, gar?on?" tanya pria yang bertubuh paling gempal,
dia masih mengenakan sarung tangan putih.
Indra bungkam. Dia menarik Riska ke belakang punggungnya.
Pria itu tersenyum sinis. "Kau tidak menjawab pun, kami akan
menemukannya dengan mudah. Kau bisa lihat sendiri kan bagaimana kami bisa
menemukanmu di sini, gar?on?"
Indra tidak menjawab. Sorot matanya menunjukkan perlawanan. Rahangnya
mulai mengeras. Sepertinya pria itu bisa melihat perubahan ekspresi Indra hingga dia sedikit
melunak dan melembutkan suaranya.
"Tidak... tidak... selama kalian patuh dan tidak melawan, kami juga tidak
akan menggunakan kekerasan," kata pria itu masih dengan suara sengau.
"Ah... dan melepas sarung tangan, aku anggap sebagai bentuk perlawanan lho,
gar?on, atau mungkin sebaiknya kupanggil Dik Indra."
Indra terkejut bagaimana pria itu bisa tahu namanya tapi dia berhasil
menutupinya dengan baik. Lain dengan Riska yang spontan bertanya.
"Bagaimana kau bisa tahu namanya?"
Pria itu mengalihkan tatapannya ke balik punggung Indra. "Kau tidak perlu
tahu, Dik Riska. Kalian hanya perlu ikut dengan kami."
Dua pria di samping pria gempal itu langsung maju dan menarik tangan
Indra dan Riska. Riska mengerang kesakitan.
"Lepaskan dia!" geram Indra. "Kami bisa jalan sendiri."
Pria gempal itu menatap Indra lalu memberi isyarat pada dua anak buahnya
untuk melepaskan tangan mereka.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Indra.
Riska mengangguk tapi wajahnya memucat. Dua pria tadi berjalan di
belakang mereka berdua dan si gempal memimpin jalan menuju mobil. Mereka
telah memindahkan mobil mereka ke tempat yang lebih sepi.
"Mereka akan membawa kita ke mana?" bisik Riska.
"Entah," jawab Indra. "Tapi jika kita mencoba kabur sekarang, kita akan
disetrum dengan stun gun yang dia simpan di saku celananya."
Tiba-tiba si gempal tertawa. "Penglihatanmu tajam juga, gar?on."
"Begitu juga pendengaranmu," balas Indra.
Indra melirik ke arah Riska. Dia bisa melihat sebersit ketakutan di wajah
gadis itu walau Riska berusaha tampak tegar.
"Ris..." bisik Indra kemudian.
"Uhm?" "Saat aku menyetujui kepergianmu bersama kami ke kota ini, dalam hati aku
berjanji akan melindungimu," akunya.
"Eh?" Riska menatapnya.
"Dan aku akan menepatinya."
Selesai mengucapkan kalimat itu, Indra menendang kaki kanan pria di
belakangnya dengan tumitnya sambil menarik lengan pria itu lalu
membantingnya. Secepat mungkin, dia melepas ranselnya dan
menghantamkannya ke wajah pria di belakang Riska.
"LARI!" perintahnya pada Riska. Perubahan situasi yang begitu cepat
membuat Riska bingung tapi dia menurut apa kata Indra dan berlari menjauhi
tempat itu. Lengan Indra berhasil ditarik oleh si gempal saat dia berusaha
menyusul Riska. "Kau memaksaku melakukan ini, gar?on," geram si gempal sambil
menyetrumkan stun gun ke tengkuk Indra sebelum dia bisa melawan.
"AAARRRGHH..." erang Indra lalu dia terjatuh. Sayup-sayup dia mendengar
penculik-penculik itu berbicara.
"Gadis itu melarikan diri, apa kita perlu mengejarnya?"
"Terlalu mencolok, sementara ini dia saja. Sial, ada orang datang. YA
AMPUUUN BARU SEGINI SUDAH MABUK SAMPAI PINGSAN! HARUS SEGERA
KEMBALI KE HOTEL!" Indra masih bisa merasakan tubuhnya dipanggul masuk ke mobil.
Mengetahui setidaknya untuk sementara Riska aman, Indra tanpa sadar
tersenyum sebelum kesadarannya menghilang.
*** Riska berlari dan terus berlari tanpa memedulikan pandangan aneh orangorang. Setelah merasa sudah cukup jauh, dia berhenti, menoleh ke belakang
untuk melihat apakah ada yang mengejarnya. Lama ditunggu, tak ada yang
datang. Termasuk Indra. Air matanya menetes dan dia jatuh terduduk. Dia
menangis tanpa suara di pinggir trotoar tapi tidak lama dia bangkit lagi. Riska
merasa tidak boleh seperti ini terus, dia harus melakukan sesuatu yang
menolong Indra. Dia mengusap kedua matanya lalu berlari menuju Masjid Agung. Sambil
berlari, dia berusaha menghubungi Dani.
"Halo?" jawab Dani.
"Dan, Indra diculik!" kata Riska dengan suara serak.
"APA! SERIUS"! SEKARANG KAU DI MANA?"
"Aku sedang menuju tempatmu," jawab Riska dengan terengah-engah.
"Baik, aku akan menunggumu di pintu masuk."
Dari jauh, Riska bisa melihat Dani berdiri di dekat pintu masuk masjid.
Wajahnya tampak cemas. Dani baru menunjukkan kelegaan begitu melihat
Riska menghampirinya. "Kau tak apa-apa?" tanya Dani, menatapnya khawatir. "Apa yang terjadi?"
Riska mencoba menceritakan apa yang baru saja dia dan Indra alami.
Sesekali ceritanya terpotong karena tenggorokannya tercekat. Matanya pun
mulai berkaca-kaca. "Begitu?" Dani manggut-manggut selesai mendengar cerita Riska. "Kau
sudah mencoba menghubunginya?"
Riska tampak terkejut dan menggeleng. "Aku tidak berpikir sampai ke sana."
Dani mengambil ponselnya lalu mencoba menghubungi Indra. Telepon yang
anda tuju sedang tidak aktif.
"Sial!" umpat Dani. "Mereka pasti mematikannya. Kita tidak punya pilihan
lain selain terus bergerak untuk menyelamatkan Indra dan Pak Yunus. Hanya
saja sekarang pertanyaannya adalah ke mana?"
Riska langsung teringat percakapan mereka di keraton sebelum kedatangan
ketiga penculik tadi. "Indra mengatakan, selain keraton sebenarnya masih ada dua tempat lagi
yang dia duga sebagai tempat persembunyian Pak Yunus," kata Riska.
"Di mana itu?" Dani mengangkat alisnya.
Riska mengangkat bahu. "Dia belum sempat mengatakannya. Para penculik
keburu datang." Dani mendesah. "Gawat... otak kita kan tidak sehebat otaknya."
"Tapi..." lanjut Riska. "Kata Indra, petunjuknya terletak pada aliran Sungai
Bengawan Solo. Ketiga tempat itu terletak di aliran Sungai Bengawan Solo."
"Ada banyak tempat di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo!" kata Dani
mulai putus asa. "Penculikan ini adalah penculikan simbolik, pastinya tempat yang dijadikan
persembunyian bukan tempat biasa," kata Riska. "Begitu yang dikatakan
Indra." Dani tiba-tiba tampak serius menatap layar ponselnya.
"Apa yang kaulakukan?" tanya Riska bingung.
"Mencari informasi lewat internet," jawab Dani sambil mengutak-atik
ponselnya. "Objek wisata apa di sini yang berada di dekat aliran Sungai
Bengawan Solo." "Objek wisata?" Riska mengerutkan kening.
"Hanya itu yang terpikir sebagai tempat simbolik," jawab Dani asal. "Berapa
kali harus kubilang kalau aku tidak segenius Indra."
Riska tersenyum. Tidak lama kemudian raut wajah Dani berubah. Dia menyeringai senang.
"Sepertinya aku menemukannya!" serunya.
"Di mana?" "Pasar Klewer dan Taman Jurug," jawab Dani. "Menurutmu kita pergi ke
mana dulu?" Riska berpikir sejenak. "Kurasa Pasar Klewer dulu."
"Karena?" tanya Dani. "Bukankah Pasar Klewer tempat yang ramai" Tidak
mungkin ada yang menyekap orang di sana. Pasti akan sangat mencurigakan."
"Tempat yang paling aman adalah tempat yang paling berbahaya," jelas
Riska sambil memulai perjalanan. "Penjahat yang pintar pasti menerapkan
prinsip membasuh muka dengan batu dan tidur beralaskan aliran air."
"Maksudnya?" Dani berjalan mengikutinya.
"Mereka melakukan hal yang tidak lazim," jelas Riska. "Kata-kata itu berasal
dari Soseki Natsume, aku membacanya di komik Conan."
Dani mengangguk-angguk. "Pemikiran bagus, tapi kurasa para penculik itu
tidak membaca komik."
*** Indra mulai bisa merasakan kesadarannya kemudian. Dia pelan-pelan
membuka matanya. Dia berada di kamar. Kaki dan tangannya diikat dan
mulutnya ditutup lakban. Dia memandang sekeliling berusaha mencari
petunjuk keberadaannya. Kamar itu tidak terlalu besar tapi juga tidak bisa dikatakan kecil. Hanya ada
meja, dua kursi, dan satu tempat tidur tempat dia dibaringkan. Di atas meja di
sudut ruangan, ransel dan ponselnya diletakkan. Mereka telah mematikannya.


Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ada jendela sejajar dengan tempat tidur dan gordennya tidak tertutup. Langit
sore tampak terpapar masuk ke kamar. Jantung Indra serasa berhenti berdetak
ketika tiba-tiba pintu terbuka. Ternyata si gempal yang menculiknya yang
masuk. "Kau sudah sadar?" tanya pria itu. Di tangannya terdapat senampan
makanan dan minuman. "Aku tahu selain berbagai macam pertanyaan yang
ingin sekali kaulontarkan, kau pasti lapar sekali."
Indra menatapnya tajam. "Sudahlah, kau tidak perlu menatapku seperti itu," pria itu tersenyum sambil
meletakkan nampan di depan Indra, Dia membantu Indra duduk lalu membuka
lakban yang menutupi mulut Indra.
"Akh!" erang Indra saat lakban itu ditarik paksa.
"Kau bisa berteriak, tapi aku tahu kau cukup pintar untuk tidak
melakukannya," kata pria itu.
Dia menatap tangan Indra yang diikat ke belakang. "Maaf, aku tidak bisa
melepas ikatan yang itu. Karena tanganmu terlalu berbahaya, seperti kotak
pandora." Indra hanya diam. "Aku akan menyuapimu, kau mau yang mana lebih dulu, gar?on?" tanyanya.
Indra tetap bungkam. "Namaku Arman, selama di sini aku penanggung jawabmu," pria itu
memperkenalkan diri dengan aksen yang aneh, seperti bukan orang Indonesia.
"Siapa yang menyuruh kalian?" Akhirnya Indra membuka suara. "Lalu
kenapa kalian ingin menculik kami?"
Arman mengangkat bahu. "Aku hanya menjalankan perintah. Tentang
mengapa, kautanyakan saja pada orang yang memberi perintah."
"Siapa?" ulang Indra.
"Makan saja makananmu ini," Arman menunjuk nampan yang berisi sepiring
nasi goreng dan air putih.
Arman menyendok nasi goreng dengan telur lalu mendekatkannya ke mulut
Indra. "Buka mulutmu."
Indra tidak bergerak, bahkan mengeraskan rahangnya.
Raut wajah Arman berubah menjadi masam.
"Kau membuatku kesal, gar?on," geramnya. "Selama ini belum pernah ada
yang menolak masakanku."
Dia kembali menutup mulut Indra dengan lakban lalu beranjak sambil
membawa nampan makanan menuju pintu.
"Aku tidak peduli lagi kalau kau sampai mati kelaparan," katanya, lalu
membanting pintu. Indra menghela napas. Sekarang dia harus segera mencari cara agar bisa
menghubungi Dani dan Riska. Dia melirik ponselnya di atas meja. Tapi
bagaimana dia bisa mengambilnya sedangkan kedua kakinya diikat" Bahkan
tangannya pun diikat ke belakang. Kalau berhasil mengambil pun, bagaimana
dia bisa berbicara kalau mulutnya ditutup lakban. Lebih penting lagi, dia harus
berhasil mencari tahu terlebih dahulu di mana posisinya sekarang sebelum
menghubungi dua sahabatnya itu. Indra menoleh ke jendela, melihat bayangan
yang dihasilkan. Matahari sore terpapar masuk dari sana, batinnya. Berarti kamar ini
menghadap ke barat. Dia menutup mata dan mendengarkan deru kendaraan yang lalu lalang.
Rumah ini dekat dengan jalan raya.
Indra sekali lagi memperhatikan sekeliling kamar itu. Temboknya kuning
gading dan sepertinya rumah ini baru dibangun. Satu petunjuk lagi bisa dia
dapat di ponselnya. Indra menjatuhkan guling dan bantal ke lantai dengan kakinya. Untunglah
lantai kamar itu terbuat dari keramik sehingga tidak terlalu menimbulkan
suara. Setelah bantal dan guling tergeletak di lantai, dia menjatuhkan badan ke
atasnya. "Mmmmh..," erangnya. Ternyata walaupun sudah menyiapkan alas, dia
tetap masih merasakan kerasnya lantai.
Masih dengan tangan dan kaki terikat, Indra menggerakkan tubuhnya
perlahan mendekati meja. Ponsel miliknya sudah di depan mata tapi dia
kesulitan untuk mengambilnya karena mejanya terlalu tinggi. Indra
menempelkan punggungnya ke dinding dan menekan dinding itu kuat-kuat
hingga tekanan dinding dan tubuhnya membuatnya berdiri. Dia mempelajari
hal ini saat outbound dengan anggota klub judo beberapa bulan lalu. Setelah
berhasil berdiri, dia mengambil ponselnya dengan tangan terikat di belakang.
Dia juga akhirnya tahu dari jendela di hadapannya, bahwa dia berada di lantai
dua rumah tingkat yang terletak di ujung sebelah barat jalan karena Indra tidak
melihat ada bangunan lain di sebelah rumah ini.
Indra menyandarkan punggungnya lagi ke dinding dan perlahan-lahan
menjatuhkan diri. Dia hanya bisa mengandalkan perasaan saat mencoba
menyalakan ponselnya karena dia harus melakukannya tanpa melihat.
Untunglah Indra hafal letak tombolnya sehingga dia tidak kesulitan. Suara
pembuka terdengar, tanda ponselnya sudah berhasil dihidupkan. Indra
meletakkan telepon itu ke lantai lalu membalikkan badan dan membaca tulisan
di bawah tulisan provider yang dia gunakan yang biasanya menandakan
tempat di mana dia berada. JURUG.
Sudah kuduga, batinnya. Indra spontan tersenyum. Masalah baru muncul
ketika harus menghubungi Dani. Bagaimana mungkin dia bisa menemukan
nama Dani dalam phonebook-nya tanpa melihat layar. Apakah dia harus
membalik-balikkan badannya hingga menemukan nama Dani"
Indra membalikkan badannya lagi kemudian memejamkan mata dan
menghela napas. Bodoh...umpatnya dalam hati sambil membentur-benturkan kepalanya
sendiri ke dinding dengan pelan. Kemudian dia tiba-tiba teringat telepon
terakhir yang dia lakukan sesaat sebelum tertangkap.
Dia menelepon Dani! Indra menegakkan badannya lagi. Sekarang dia tinggal
memencet tombol call dan nama Dani pasti muncul di urutan paling atas.
Karena dia tidak bisa berbicara, berarti satu-satunya cara untuk bisa
berkomunikasi dengan Dani adalah memakai itu. Indra meraba-raba lalu
memencet tombol call dua kali.
BAB 15 "KE MANA kita harus mencari?" Riska memandang sekelilingnya. Hari sudah
hampir malam dan mereka sudah berkeliling Pasar Klewer selama dua jam
tanpa hasil. "Aku juga tak tahu," Dani menggeleng, napasnya naik-turun. "Bahkan
mobilnya pun tak terlihat sama sekali. Bukankah mestinya mobil wagon
dengan warna seperti itu cukup mencolok?"
"Kurasa sebaiknya kita mencari penginapan lebih dulu," usul Dani kemudian
sambil terus berjalan. Rasanya Riska sudah hampir menangis saat tiba-tiba
ponsel Dani berdering. Dani melihat nama yang tertera di layarnya dan
spontan berseru. "INDRA!" Riska mengambil ponsel itu dari tangan Dani.
"Halo" Halo" Indra! Kamu di mana sekarang?" tanya Riska tapi tak ada
jawaban. Riska mengembalikan ponsel itu pada Dani.
"Halo" Ndra?" tanya Dani. Sekali lagi hening tapi telepon masih menyala.
"Apa dia tidak apa-apa?" tanya Riska khawatir.
"Sssst..." Dani memberi tanda agar Riska diam, dia sedang mendengarkan
dengan saksama. Kali ini dia hanya mendengar suara tuts yang ditekan-tekan.
"Mungkin sebaiknya kita menyingkir ke tempat yang agak sepi."
Mereka berjalan menuju lorong pasar yang agak sepi. Dani menekan
pengeras suara ponselnya hingga Riska bisa ikut mendengar. Satu dua orang
yang berlalu lalang menatap mereka dengan aneh karena bunyi suara yang
keluar dari ponsel Indra hanyalah suara tuts. Pendek. Pendek Panjang. Panjang.
Panjang. Panjang. Panjang. Entah apa maksudnya.
"Ndra" Kamu di sana" Kamu baik-baik saja" Tolong jawab," pinta Riska,
suaranya mulai bergetar. Tidak ada jawaban selain suara tuts lagi. Riska benar-benar putus asa.
"I-M-O-K," kata Dani tiba-tiba. "I'm okay."
"Eh?" Dani menatap Riska, matanya berbinar. "Ini Morse!"
"Inilah sebabnya sebelum berangkat Indra menyuruhku menyerap buku
panduan Pramuka." Dani buru-buru mengambil kertas dari dalam tasnya lalu
berjongkok dan meletakkan ponselnya di depan mereka.
"Aku sudah paham, Ndra, sekarang di mana posisimu?" tanya Dani. Bunyi
tuts terdengar lagi dan Dani mulai menulis di kertasnya.
.__/..-/.-./..-/--. "J-U-R-U-G." Dani membacanya untuk Riska.
.-./..-/--/.-/..../-../..-/.-/.-../"Apa bacanya?" tanya Riska.
"R-U-M-A-H-D-U-A-L-T."
"Rumah Dua Lt," ulang Riska. "Rumah dua lantai" Dia dibawa ke rumah
bertingkat duab" -.../.-/.-./.-/"B-A-R-A-T."
"Mungkin maksudnya di sebelah barat?" tanya Riska.
"Mungkin." -.-/..-/-./../-./--./--./.-/-../../-./--.
"K-U-N-I-N-G-G-A-D-I-N-G," Dani membaca sandi morse itu. "Mungkin itu
warna cat rumahnya. Ada lagi, Ndra?"
Tuts terdengar lagi -. "N" No?" tanya Dani. Tak ada jawaban.
"Sepertinya cuma ini petunjuk yang bisa dia sampaikan," Dani menoleh pada
Riska, ternyata gadis itu sedang menangis.
"Syukurlah..." isak Riska. "Syukurlah kau tidak apa-apa..."
Dani terdiam dan tiba-tiba tuts berbunyi lagi.
-../__/-./-/-.-./.-./-.--/
"Apa katanya?" tanya Riska. Belum sempat Dani menjawab, tuts berbunyi
lagi. ../--/__/-.Sekali lagi. ../--/__/-."Don't cry, I'm okay," kata Dani pelan. "I'm okay."
Air mata Riska menetes lagi, tapi kali ini dia cepat-cepat menghapusnya.
Riska mengangguk. "Umh."
Dia bergegas berdiri. "Ayo ke Jurug!"
Dani mengambil ponselnya. "Tunggu kami, Ndra!" lalu memasukkannya ke
saku baju tanpa mematikannya. Takut jika dia melakukannya, akan sulit
baginya untuk menghubungi Indra lagi. Mereka pun keluar dari lorong itu.
*** Indra menghela napas lega karena akhirnya tahu Riska selamat dan dua
sahabatnya itu akan segera menjemputnya. Lengah karena kelegaan itu, Indra
tidak menyadari bunyi langkah kaki yang mendekati kamarnya. Tiba-tiba saja
dia mendengar suara kunci dibuka dan Arman masuk.
"Ya Tuhan! Kau benar-benar tidak bisa dianggap remeh, gar?on," gelegar
suara Arman saat melihat Indra di lantai dengan ponsel di tangannya yang
terikat ke belakang. "Aku tak tahu bagaimana kau bisa melakukannya," Arman menghampiri
Indra dengan marah. "Tapi kau telah melakukan kesalahan besar, gar?on."
Arman mengambil ponsel di tangan Indra lalu membantingnya.
"Pantas saja tiba-tiba temanmu bergerak ke arah sini."
Indra menatapnya heran. Arman yang menyadari tatapan Indra tersenyum sinis.
"Kau heran bagaimana aku tahu?" katanya sambil menarik keras tangan
Indra hingga dia berdiri. Indra mengerang kesakitan. "Percayalah, tidak ada
yang tidak kami ketahui. Sebenarnya tak perlu kami ikat seperti ini pun, kau
tidak akan bisa lari. Ke ujung dunia pun kami bisa menemukanmu."
Indra meronta. Sekuat tenaga dia berusaha melepaskan diri hingga Arman
hampir terjungkal. Teman-temannya akan datang, dia harus bertahan.
Arman mengeluarkan lagi stun gun dari saku celananya. "Sebenarnya aku
tidak suka melakukan ini tapi kau memaksaku, gar?on."
Indra berusaha menghindar tapi tidak berhasil karena ruang geraknya yang
terbatas akibat tangan dan kaki yang terikat. Dia langsung ambruk begitu stun
gun menyengat punggungnya.
Arman mengambil teleponnya. "Cepat ke sini dan bantu aku!"
Tidak lama kemudian, dua anak buah Arman datang.
"Bawa anak ini ke mobil, kita harus segera membawanya pergi dari sini."
Kedua orang itu tanpa banyak bicara langsung membopong tubuh Indra
keluar dari kamar. *** Riska dan Dani sudah sampai di depan Taman Jurug. Di seberangnya
memang banyak sekali rumah yang berderet. Mereka terus menyusur, mencari
rumah berlantai dua, bercat kuning gading dan terletak di ujung barat.
Matahari sudah menghilang dan tergantikan cahaya lampu jalan.
"Ini sudah di ujung barat," kata Dani, Matanya menyapu rumah-rumah di
depannya. Tidak sulit mencari rumah yang dimaksud Indra, karena di situ
hanya ada satu rumah bertingkat dua yang bercat kuning gading.
"Tapi aku tidak melihat mobilnya," Riska menelan ludah. Perasaannya tidak
enak. "Indra menutup teleponnya," Dani mengambil ponsel dari sakunya.
"Dia yang menutupnya atau orang lain?" tanya Riska cemas.
"Entah," Dani mengangkat bahu. "Ayo!"
Dani menarik tangan Riska hingga Riska bisa menyerap kegalauan dan
ketegangan dalam hati Dani. Sangat berbeda dengan ketegaran yang coba
ditampilkan laki-laki itu. Riska pun tersenyum. Dani sudah berusaha keras agar
Riska tenang bahkan sampai menutupi perasaannya yang sebenarnya.
"Apa rencanamu?" tanya Riska, lalu dia menengadah. "Sebentar lagi
malam." Dani tidak mengatakan apa pun, sejujurnya dia sendiri tak tahu apa yang
harus dilakukan. Saat ini dia hanya bisa bertindak sesuai instingnya dan itu
berarti: maju terus, pikir belakangan.
Mereka berdua berdiri tepat di depan pagar rumah itu. Pagar besinya tidak
terlalu tinggi sehingga mereka bisa melihat halaman di dalamnya dan memang
tidak ada apa-apa. Masih ada jejak ban mobil yang berarti kemungkinan besar,
para penculik Indra baru saja pergi dari tempat itu.
"Pertanyaannya sekarang, apakah Indra ikut bersama mereka," kata Dani
pada Riska, menatap rumah di hadapannya.
Riska tidak bisa menjawab.
"Yang bisa kita lakukan hanya mencari tahu secepatnya," Dani membuka
pagar rumah yang ternyata tidak terkunci itu.
"Kau berniat masuk?" tanya Riska panik sambil menarik tangan Dani. Dia
merasakan ketakutan yang amat sangat, tapi kali ini dia tidak mengerti apakah
ini ketakutan Dani atau ketakutannya sendiri. "Bagaimana jika di dalam masih
ada komplotan penculik itu?"
"Makanya, kita tidak akan tahu jika tidak melihatnya sendiri." Dani menepis
tangan Riska lalu masuk. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumah itu. Dani mengetuk pintu
beberapa kali namun tidak mendapat jawaban. Rumah itu hampir bisa
dipastikan sudah kosong. Riska langsung lemas, mereka sudah kehilangan jejak
Indra. Dani duduk di kursi teras depan. Langit sudah mulai gelap.
"Kita sudah kehilangan Indra," kata Dani lemas.
"Tidak!" jerit Riska tiba-tiba. "Kita tidak boleh kehilangan dia!"
Dani tampak kaget melihat reaksi Riska.
"Oi, ada apa dengamu" Kenapa kau tiba-tiba marah-marah seperti itu?"
"Aku juga nggak tahu!" kata Riska lalu pergi meninggalkan Dani.
Riska sendiri tidak tahu kenapa dia jadi emosi mendengar kata-kata Dani.
Mungkin karena hati kecilnya tidak rela jika dia tidak bisa lagi bertemu Indra.
Membayangkannya saja sudah membuat tubuhnya gemetar.
Riska berjalan mengitari rumah itu berusaha mencari petunjuk, tetapi
sayang, selain jejak ban mobil yang masih baru tidak ada lagi yang bisa
didapatkan. Tidak lama kemudian Dani menyusulnya.
"Dapat sesuatu?" tanya Dani.
Riska menggeleng lemah. Dani menghela napas, lalu tampak berpikir. "Jejak mobil itu masih baru, lalu
pintu pagar rumah ini tidak terkunci. Mereka pasti pergi dari sini dengan
terburu-buru. Mungkin mereka sudah tahu akan kedatangan kita."
"Bagaimana mereka bisa mengetahuinya?" tanya Riska tak percaya.
"Cara yang sama dengan bagaimana mereka bisa menemukan kita di
keraton," jawab Dani.
"Yaitu?"

Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dani mengangkat bahu. "Analisisku berhenti sampai di situ."
"Tapi..." Dani berjalan mendekati jendela yang tampaknya merupakan
jendela kamar di ujung bangunan. "Jika mereka terburu-buru, aku yakin masih
ada yang tertinggal selain pagar yang tak terkunci."
Tepat setelah Dani selesai mengatakannya, tiba-tiba mereka mendengar
suara gedebuk seperti benda yang jatuh.
Riska dan Dani berpandangan.
"Masih ada sesuatu di dalam!" kata Riska setengah berbisik.
"Atau seseorang," sahut Dani. Dia meraba pinggir jendela dan
mendorongnya. Ternyata jendela itu pun tidak terkunci. Tanpa berpikir
panjang. Dani masuk ke kamar itu.
"Apa yang kaulakukan?" Riska menarik kaus Dani sambil melotot.
"Sudah kubilang," Dani menepis tangan Riska. "Saat ini aku hanya bisa
mengandalkan instingku. Kalau kau tidak mau, kau bisa menunggu di luar."
"Tidak!" tegas Riska. "Aku ikut bersamamu!"
Dani mendesah. "Kau keras kepala juga." Dia lalu membantu Riska masuk
melalui jendela. Begitu masuk, mereka terpana dengan barang-barang di
kamar itu. Semuanya barang-barang mahal dan terawat dengan baik.
"Yang bisa dipastikan sekarang, rumah ini bukan rumah kosong," kata Dani.
"Ada yang mendiaminya."
"Si penculik?" tanya Riska.
Dani mengangkat bahu. "Sekarang kita cari sumber suara tadi." Dani berjalan menuju pintu diikuti
Riska. Dia memutar kenop sambil berdoa semoga pintu itu tidak dikunci dan
doanya terkabul. Sekarang mereka berdua berjalan menuju ruang yang tampak
seperti ruang keluarga. Dani memberi isyarat pada Riska untuk diam dan
mendengar dengan saksama. Lamat-lamat mereka mendengar erangan dan
desahan dari kamar tepat di sebelah kamar yang tadi mereka masuki.
"Apakah mereka penculiknya?" bisik Riska. "Apakah ini jebakan?"
"Kurasa tidak," jawab Dani. "Mereka pergi dengan terburu-buru. Kau sendiri
melihat jejak ban mobilnya kan?"
Mereka mengendap-endap menuju kamar tersebut. Dani memutar kenop
pintu kamar itu sepelan mungkin sambil menelan ludah. Begitu pintu terbuka,
Dani dan Riska membeku. Mereka melihat sosok pria dengan tangan dan kaki
terikat serta mulut yang tertutup lakban sedang meronta-ronta di lantai.
BAB 16 "PAK YUNUS!" pekik Riska dan Dani hampir berbarengan.
Pak Yunus menatap mereka dengan wajah lega. Secepatnya Dani dan Riska
melepaskan semua ikatan Pak Yunus.
"Bisa tolong kalian ambilkan aku a glass of water?" tanya Pak Yunus begitu
lakban di mulutnya dilepas. Riska mengangguk. Dia keluar dari kamar dan
setelah kebingungan selama beberapa saat akhirnya menemukan dapur rumah
itu. Dia mengambil gelas, mengisinya dengan air yang anehnya terisi penuh di
lemari es, lalu kembali ke kamar dan menyerahkan gelas itu ke Pak Yunus.
"Terima kasih," kata Pak Yunus sambil tersenyum lalu menghabiskan air itu
dalam beberapa teguk. "Bisa tolong ambilkan kacamataku?" pintanya kemudian.
"Di mana?" "There," Pak Yunus menunjuk meja di dekat jendela. "Maaf, aku masih
belum sanggup berdiri."
"Tidak masalah," kata Dani lalu mengambil kacamata Pak Yunus.
Pak Yunus memakai kacamatanya lalu memandang Dani dan Riska
bergantian. "Jadi, bagaimana kalian bisa sampai di sini?" tanyanya. Riska dan Dani duduk
di lantai mengitarinya. Riska memandang Dani, berharap cowok itu yang
menceritakannya. Dani mengangguk tanda mengerti, lalu menceritakan
semuanya pada Pak Yunus. Dari saat Indra berhasil memecahkan kode puisi itu
hingga dia diculik dan sempat memberi petunjuk bahwa dia disekap di rumah
ini. Pak Yunus mengangguk-angguk selesai mendengar penjelasan Dani.
"Dia memberi kalian petunjuk dengan morse karena tidak bisa bicara"
Genius..." gumam Pak Yunus.
"Pak, sekarang bukan saatnya untuk kagum," pinta Riska cemas. "Kita harus
segera menyelamatkan Indra."
"Aku tahu di mana mereka," kata Pak Yunus.
"HEEEEEE..." Dani dan Riska setengah terpekik.
"Mereka menuju Temanggung, more specific place di air terjun Grojogan
Sewu," kata Pak Yunus. "Mereka meneriakkannya saat akan meninggalkan
tempat ini. Aku tidak sengaja mendengarnya. Aku tidak tahu they look Indra
with them." "Kenapa mereka lupa dengan Bapak?" tanya Dani heran.
Pak Yunus mengangkat bahu. "Aku juga tidak tahu, mungkin mereka sangat
terburu-buru dan menganggapku less important than Indra. Jadi daripada
repot, aku ditinggal saja."
"Berarti sekarang kita harus secepatnya ke Tawangmangu!" Riska langsung
berdiri, tapi sebelum dia sempat pergi Dani menarik tangannya.
"Tunggu!" sergah Dani. "Sekarang sudah malam, lebih baik kita tidur di sini
dulu dan baru berangkat besok pagi!"
"Tidak!" Riska menepis tangan Dani. "Kita harus secepatnya menolong Indra
atau semuanya akan terlambat!"
"Kurasa benar kata Dani," kata Pak Yunus.
"Kita sampai ke sana pun pasti sudah larut," lanjut Pak Yunus saat Riska
hendak melancarkan protesnya. "Dan kita tidak bisa mencari tahu rumah mana
tempat Indra disekap dan akan percuma saja. Nevertheless, kurasa untuk
sementara mereka tidak akan berani macam-macam pada Indra."
"Kenapa?" tanya Riska pelan.
"Becaus he's special," kata Pak Yunus. "Much more special than all of us.
Believe me." Riska menatap Pak Yunus dengan tajam lalu menghela napas. "Aku percaya
kata-kata Bapak, tapi jika terjadi apa-apa pada Indra, aku akan membenci
Bapak sebesar aku membenci penculik-penculik itu."
Pak Yunus tersenyum. Riska lalu pergi menuju pintu.
"Kau mau ke mana?" seru Dani.
"Mandi," jawab Riska singkat lalu menghilang dari balik pintu.
"Memangnya kita boleh seenaknya menginap di rumah ini?" tanya Dani
pada Pak Yunus. "Aku tidak melihat seorang pun yang akan melarang kita," jawab Pak Yunus
santai. "Lagi pula kupikir para penculik itu tidak akan kembali ke rumah ini
hanya untuk menagih biaya penginapan. Don't you think so?"
Dani meringis. "Apakah kita perlu melapor polisi?" tanya Dani lagi.
Pak Yunus menggeleng. "Terlalu banyak pihak yang terlibat, tidak menjamin
masalah akan selesai. Lagi pula aku takut jika kita lapor polisi, justru akan
membuka kemampuan touch? kita."
Dani manggut-manggut. "Jadi, Pak Yunus sudah punya rencana apa yang
akan kita lakukan besok?"
Pak Yunus menggeleng lemah. "I have no idea."
*** "Aku sudah menelepon tempat persewaan mobil dan mereka akan
mengantarnya besok pagi-pagi sekali," kata Pak Yunus saat mereka berkumpul
di ruang keluarga sambil menonton televisi.
"Memangnya Bapak membawa uang?" tanya Dani.
"Nope," Pak Yunus menggeleng. "Tapi aku selalu membawa credit card-ku
yang untungnya sama sekali tidak disentuh para penculik itu."
Dani meringis sambil mengacungkan jempol.
"Kenapa Indra?" tanya Riska tiba-tiba. Matanya lurus ke televisi walau bisa
dipastikan pikirannya berada di tempat lain.
"Apa maksudmu?" Dani mengerutkan kening.
"Kenapa dia diculik" Kenapa dia harus dikejar-kejar seperti itu" Indra tidak
memilih untuk mendapatkan kemampuan itu!" kata Riska mulai emosi. "Ini
tidak adil." Matanya mulai berkaca-kaca.
Pak Yunus mengangguk-angguk.
"Tak satu pun dari kita memilih untuk mendapatkan kemampuan ini. Apa
kau tahu, sebenarnya targetnya bukan hanya Indra, but all of us," kata Pak
Yunus dengan kalem, mencoba menenangkan, "Semua kaum touch?."
"Walau memang, Indra yang paling spesial," lanjutnya. "Indra, like all of us
here, tidak memilih untuk mendapatkan kemampuan ini tapi kenyataannya,
kita memilikinya. Hanya itu yang ada dalam pikiran orang-orang yang mengejar
kita." "Kenapa Indra yang paling spesial?" tanya Dani.
"Karena di antara semua kemampuan touch?, kemampuan membaca
pikirannyalah yang paling dicari."
"Karena?" "Karena dia bisa mendeteksi kebohongan."
"Bukankah ada lie detector?" tanya Dani lagi.
"Setiap barang yang dibuat manusia, pasti tidak ada yang sempurna," jawab
Pak Yunus. "Apa kalian tahu, kalau lie detector bisa diakali dengan menusukkan
jarum ke jempol kita" Lie detector mendeteksi penyimpangan denyut nadi, dan
rasa sakit akibat tertusuk jarum cukup ampuh untuk mengelabuinya."
"Jadi Indra dan kemampuan membaca pikirannya dikejar agar bisa
digunakan untuk mencari kebenaran?"
"Kalau saja bisa that simple," desah Pak Yunus. "FBI, CIA, KGB, bahkan
lembaga peradilan kita mungkin menginginkan kemampuannya untuk itu, tapi
bagaimana dengan lawan mereka" Para penjahat" Teroris?"
Pak Yunus mengambil remote TV lalu mengganti salurannya ke saluran yang
sedang menanyangkan konflik antara KPK, kepolisian, dan kejaksaan.
"You see" Masing-masing memiliki versinya sendiri," jelas Pak Yunus. "Kita
tidak tahu siapa yang berbohong dan siapa yang tidak. Indra bisa dengan
mudah mengetahuinya. Tapi karena hal itu pula, ada dua pihak yang berbeda
yang akan mengejar Indra. Pihak pertama adalah pihak yang menginginkan
kebenaran itu terungkap dan pihak kedua sebaliknya, tidak ingin kebenaran itu
terungkap." Dani menelan ludah. "Berarti jika pihak yang tidak ingin kebenaran
terungkap yang pertama kali mendapatkan Indra, kemungkinan besar dia
akan..." Pak Yunus mengangguk. "Aku yakin dia sendiri tidak tahu sebesar apa
bahaya yang mengintainya."
Riska menutup kedua telinganya sambil memejamkan mata. Dia tidak ingin
mendengar lebih jauh lagi. Malam harinya, tidak ada seorang pun yang bisa
memejamkan mata. *** Keesokan paginya setelah mobil sewaan diantar, ketiganya secepatnya
berangkat ke Tawangmangu.
"Bapak tahu tujuan mereka?" tanya Dani sambil mengutak-atik ponselnya,
mencari titik-titik tempat yang mungkin digunakan sebagai tempat Indra
disekap lewat internet. "Menurutku mereka menyekapnya dalam rumah seperti sebelumnya,"
jawab Pak Yunus, dia yang memegang kemudi. "Atau mungkin di vila. Ada
banyak vila di sekitar air terjun itu."
"Tapi bagaimana kita bisa mencari vila yang 'benar'?" Dani menyandarkan
kepalanya ke kursi. "Seperti mencari jarum di tumpukan jerami."
"More than that," sahut Pak Yunus. "Ini seperti mencari jarum yang 'benar'
di antara tumpukan jarum. Karena jarum dan jerami memiliki bentuk yang
berbeda." Riska yang duduk di jok belakang hanya diam dan memandang keluar
jendela. Matanya menerawang, mengkhawatirkan keselamatan Indra.
Setelah sekitar dua jam, akhirnya mereka sampai di Tawangmangu. Pak
Yunus langsung mengemudikan mobilnya menuju kompleks vila di dekat
tempat itu. Sekarang di depan mereka ada deretan vila tapi mereka tidak bisa
mengetahui yang mana yang menjadi tempat persembunyian para penculik itu.
"Sekarang bagaimana?" desah Dani.
Pak Yunus menggeleng. "I don't know."
Tak ada satu pun dari mereka bertiga yang bicara hingga tiba-tiba Riska
membuka mulut. "Mobil," katanya.
Dani dan Pak Yunus menengok ke belakang.
"Apa maksudmu?" Dani mengernyit.
"Mobil wagon hijau muda," jelas Riska. "Mobil wagon berwarna mencolok
seperti itu termasuk jarang. Kita tinggal mengelilingi kompleks ini dan mencari
vila yang terdapat wagon hijau muda terparkir di sana. Atau kita bisa bertanya
pada orang-orang di sini tentang mobil itu."
Pak Yunus tersenyum. "You're right, kenapa aku tidak terpikir sampai di
situ." Dia lalu memasukkan gigi mobil dan membawa mobil melaju mengelilingi
kompleks vila itu. BAB 17 PELAN-pelan Indra mulai siuman. Tubuhnya terasa lemah sekali. Mungkin ini
efek gabungan dari terkena stun gun dan belum makan dari kemarin. Dia mulai
merutuki kebodohannya menolak makanan yang disodorkan oleh Arman
padahal hal utama yang harus dia siapkan jika ingin melarikan diri adalah
stamina. Kali ini para penculik itu tidak menutup mulutnya dengan lakban, namun
kaki dan tangannya masih terikat. Di kamar tempatnya disekap sekarang tidak
ada apa pun. Tidak ada tempat tidur, tidak ada meja. Kosong. Hanya ada dua
botol air mineral dengan sedotan di dekatnya. Indra yang merasa
tenggorokannya kering langsung meneguk air itu lewat sedotan sebanyak
mungkin. Sepertinya ini alasan mulutnya tidak lagi ditutup. Satu hal pasti yang
bisa diketahui, para penculik itu tidak berniat membunuhnya. Setidaknya, tidak
dalam waktu dekat. Indra menyapu pandangan ke semua sudut kamar. Semua jendela ditutup
dan dilapisi gorden. Lampu kamar tidak dinyalakan sehingga cahaya yang
masuk hanya berasal dari sinar matahari yang samar-samar menembus
jendela. Sekarang, apa yang harus kulakukan" tanya Indra dalam hati. Ponselnya
sudah rusak dan karena para penculik itu mengambil risiko melepas penutup
mulutnya, berarti sekarang dia pasti berada di suatu tempat yang bahkan
berteriak minta tolong pun sepertinya akan menjadi tindakan yang sia-sia.
Indra memejamkan mata, mencoba berpikir keras bagaimana caranya
menyelamatkan diri atau setidaknya memberi tanda bagi siapa pun agar bisa
menolongnya. Dengan kaki dan tangan masih terikat, dia beringsut ke jendela. Setelah agak
lama dan menghabiskan cukup banyak tenaga, Indra berhasil juga sampai di
bawah daun jendela. Dia melongokkan kepalanya dan mendapati lagi-lagi dia
berada di lantai dua. Hanya saja kali ini, dia tidak bisa menghubungi siapa pun
untuk memberitahu lokasinya.
Tunggu! serunya dalam hati saat melihat bahwa jendela itu bisa dilihat dari
jalan yang dilalui oleh mobil.
Indra kembali beringsut menuju botol minumannya yang masih utuh. Dia
menjepit botol itu dengan kakinya agar tidak tumpah lalu perlahan-lahan
menuju jendela lagi. Dia mengangkat kakinya untuk melepaskan botol dan
mengambilnya dengan tangan yang terikat ke belakang. Dengan cara yang
sama yang dia lakukan di Jurug, dia menekan dinding dengan punggungnya
untuk membantunya berdiri. Setelah menarik gorden menggunakan mulutnya,
dia menaruh botol minuman itu ke sisi jendela yang terkena sinar matahari.
Dia bermaksud menjadikan botol air itu sebagai pengganti cermin, sehingga
begitu terpapar sinar matahari, air di botol akan memantulkannya dan tampak
berkilat. Dia terduduk lagi. Tenaganya sudah hampir habis.
Semoga ini berhasil, harapnya dalam hati. Semoga ini bisa jadi petunjuk.
*** Mereka bertiga sudah mengitari kompleks itu hampir selama setengah jam
dan belum mendapatkan hasil apa pun. Masalahnya, beberapa vila memiliki
tembok pagar yang tinggi hingga mereka tidak bisa melihat mobil apa yang
terparkir di sana. Pak Yunus menghentikan mobilnya di sisi jalan salah satu sudut kompleks.
"Kita cari udara segar," katanya sambil membuka pintu mobil. "Siapa tahu
bisa menjernihkan pikiran kita."
Dani mengangguk lalu menoleh ke belakang kepada Riska yang dari tadi
bungkam seribu bahasa.

Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayo," katanya.
Riska hanya mengangguk lemah.
Pak Yunus duduk di kap mobil, diikuti Dani. Riska berdiri di dekat mereka.
"Di Amerika, aku punya teman yang bekerja di FBI," kata Pak Yunus tiba-tiba.
"Dia pernah bekerja kepadaku bahwa setiap kali mereka menyelesaikan suatu
kasus, mereka selalu berpikir out of the box."
"Maksudnya?" tanya Dani tak mengerti.
"Mereka tidak berpedoman pada pelajaran yang telah mereka dapatkan
atau kelaziman yang mereka peroleh selama ini," jelas Pak Yunus. "Mereka
juga mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan di luar itu. Anomali.
Seperti saat kita bermain hide and seek. Aku ingat benar, dulu saat aku masih
kecil, tempat paling tepat untuk bersembunyi adalah di atas rak buku."
Dani mengangkat alis. Pak Yunus tersenyum. "Saat itu, aku hanya mengikuti instingku dan
memanjat ke tempat itu. Tapi bertahun-tahun kemudian, aku baru sadar
bahwa sebagian besar manusia mencari setinggi pandangan matanya saja.
Mereka jarang mencari di atas pandangan, karena 'biasanya' tidak begitu.
Itulah yang dinamakan berpikir out of the box."
"Dan apa maksud Bapak menceritakan hal itu semua kepada kami?" tanya
Dani. "Mungkin dari tadi kita salah mencari petunjuk," kata Pak Yunus. "Mungkin,
hal yang kita pikir bisa dijadikan petunjuk berdasar pengalaman malah tidak
bisa diandalkan sama sekali. Sebaliknya, hal yang tidak terpikirkan atau bahkan
terlewatkan malah merupakan petunjuk yang berharga. And we all know, Indra
tidak sebodoh itu dengan tidak memberikan petunjuk."
Riska paham maksud Pak Yunus dan mulai berjalan di sepanjang kompleks
itu. Tapi kali ini matanya tidak hanya menyapu setinggi pandangannya, dia juga
menengadah, mencari petunjuk yang mungkin terlewatkan. Saat matanya
tertuju pada vila berlantai dua, Riska merasa silau. Seperti ada pantulan cahaya
di sana. Dia berjalan menuju vila itu walau dari tempat dia tadi melihat tampak
dekat, ternyata cukup jauh juga jika dilalui dengan berjalan kaki.
Sesampainya di gerbang vila, dia mendongak, ke tempat cahaya itu berasal,
dan melihat botol minuman di pinggir jendela.
"Hanya botol minuman," keluhnya. Saat akan berbalik kembali ke tempat
Pak Yunus, dia melirik sekilas ke dalam vila dan mendapati mobil wagon hijau
muda terparkir di sana. Jantungnya serasa berhenti berdetak, ditambah suara
dering telpon genggamnya yang tiba-tiba berbunyi.
"Ha...halo?" jawabnya.
"Kau di mana?" tanya Dani gusar setengah membentak. "Kami mencarimu
dari tadi!" "Se...sepertinya aku sudah menemukan vila yang kita cari."
"Eh?" hening beberapa saat. "Beritahu aku posisimu."
Riska menjelaskan bagaimana dia sampai ke tempat ini dan tidak sampai
lima menit, Pak Yunus dan Dani datang.
Dani mengintip di sela-sela pagar. "Nomor polisinya... Ya, benar! Itu
mereka!" "Sekarang apa yang akan kita lakukan?" tanya Dani pada Pak Yunus saat
mereka menghampiri Riska.
"Kau bisa bela diri?" Pak Yunus bertanya balik pada Dani.
"Aku bisa memukul," Dani mengangkat bahu.
"Tidak buruk," lalu Pak Yunus mengangkat bahu. "Sedangkan kau, bisa
berlari cepat." Riska mengangguk. "Selama ini seperti itu."
"Good," Pak Yunus mengangguk. "Kita masuk. Jika keadaan gawat, Riska,
kau harus lari secepat mungkin dari sini untuk mencari bantuan."
"Aku mengerti," kata Riska.
"Bagaimana dengan Bapak sendiri?" tanya Dani. "Bapak bisa bela diri?"
"Judo sabuk hitam, karate sabuk hitam, Aikido Dan IV," jawab Pak Yunus
kalem. Dani mengangkat alis. "Kenapa sampai bisa diculik?"
"Mereka memasukkan obat bius ke minumanku," jawab Pak Yunus.
"Tu...tunggu!" Riska mencegah tangan Pak Yunus saat dia hendak membuka
pagar. "Kita langsung masuk begitu saja?"
"Kau punya ide lain?" Pak Yunus balik bertanya.
Riska tidak menjawab, dia melepaskan tangannya dari tangan Pak Yunus.
Sejenak dia tertegun, karena entah mengapa perasaan Pak Yunus yang
diserapnya adalah perasaan senang.
Pintu pagar ternyata tidak terkunci sehingga Pak Yunus dengan mudah
membukanya. "Are you guys ready?" Pak Yunus bertanya kepada Dani dan Riska sebelum
mengetuk pintu. Mereka berdua mengangguk.
Setelah beberapa kali ketukan, mereka mendengar jawaban dari dalam.
"Ya!" Begitu pintu terbuka, Pak Yunus langsung melancarkan tendangannya tepat
ke wajah orang yang pertama tampak. Orang itu terkapar seketika. Dani
mengenalinya sebagai salah seorang yang pernah berusaha menculiknya.
Mereka tidak salah tempat.
Mendengar kegaduhan yang terjadi, para penculik yang lain pun mulai
berdatangan. Entah karena rasa terkejut atau kecepatan Pak Yunus, mereka
semua dengan mudah dapat dilumpuhkan tanpa sempat memberikan
perlawanan. Total empat orang tumbang.
"Masih ada seorang lagi," kata Dani. "Yang beraksen Prancis dan
mengenakan sarung tangan putih, dan sepertinya pemimpin mereka."
Pak Yunus mengangguk. "Aku tahu siapa yang kaumaksud tapi sebaliknya
kita tidak perlu memikirkan di mana dia. Tujuan utama kita adalah
menyelamatkan Indra. Kita harus mencarinya sesegera mungkin."
"Dia di lantai dua," seru Riska, lalu mencari tangga. "Di kamar yang ada botol
di jendelanya." "Hah" Botol di jendela?" gumam Dani bingung sambil mengikuti Riska dari
belakang. Di lantai dua ada beberapa kamar, tapi berdasarkan ingatan Riska akan
posisi jendela dengan botol tadi, dia bisa memperkirakan di kamar yang mana.
Belum sempat memutar daun pintu, samar-samar Riska mendengar namanya
dipanggil dari dalam. "Ris...ka?" Itu suara Indra, pekik Riska dalam hati.
Dia memutar daun pintu, tapi ternyata pintu kamar itu terkunci. Dia
menoleh ke arah Pak Yunus dan Indra.
"Terkunci." "Kita dobrak saja," usul Dani.
"No need," kata Pak Yunus, dia mengamati daun pintu itu dengan saksama
termasuk lubang kuncinya. Dia lalu mengeluarkan dompetnya dan mengambil
kawat dengan lengkungan di ujungnya.
"Aku mempelajarinya saat masih SD," kata Pak Yunus sambil mengutak-atik
lubang kunci dengan kawatnya. "Sewaktu aku sering dihukum agar tidak keluar
kamar. Untungnya tipe pintu ini tidak berbeda dengan pintu kamarku."
Tidak lama, terdengar bunyi klik, dan begitu Pak Yunus memutar daun pintu,
pintu pun terbuka. Kamar di hadapan mereka sangat gelap. Cahaya remang-remang hanya
berasal dari jendela. Walau begitu, mereka semua bisa dengan mudah
mengenali sosok yang terduduk di lantai dengan tangan dan kaki terikat.
Indra mengerjapkan matanya menyesuaikan diri dengan sinar dari pintu
kamar. Melihat Riska dan Dani dia tersenyum karena akhirnya mereka bisa
bertemu kembali, tapi saat matanya tertuju pada Pak Yunus raut mukanya
berubah. "PERGI!" teriaknya. "PERGI DARI SINI SECEPATNYA! LARI!"
Riska dan Dani sangat terkejut dengan reaksi Indra. Apakah dia tidak senang
dengan kedatangan mereka"
"Kami datang untuk menolongmu!" kata Dani agak gusar.
"Kalian tidak mengerti?" Indra mulai panik, baru kali ini dia seperti itu.
"Orang yang berada di balik ini semua adalah PAK YUNUS!"
Dani dan Riska membeku, secara otomatis mereka lalu mengalihkan
tatapannya pada Pak Yunus yang sekarang hanya tersenyum.
"Aku sudah menduga, kau memang cerdas," kata Pak Yunus kalem.
Jantung Riska langsung serasa berhenti berdetak. Berarti itu benar!
Dia sudah bersiap-siap lari, tapi tiba-tiba di belakang mereka sudah berdiri
Arman dengan mengacungkan pistol.
"Jangan berpikir kalian bisa lari dari sini," kata Arman dengan suara sengau.
"Kenapa jadi begini..." keluh Dani pelan.
BAB 18 PAK YUNUS menarik Riska lalu mendekapnya hingga Riska merasa sesak.
"Pak Guru...uhuk...uhuk...lepas..." pinta Riska sambil berusaha melepaskan
diri, tapi Pak Yunus jauh lebih kuat dibanding dirinya. Riska menyentuh tangah
Pak Yunus dan seketika dia merasakan jantungnya berdegup sangat kencang.
Adrenalinnya terpacu. Inilah yang dirasakan Pak Yunus sekarang.
"Lepaskan mereka," pinta Indra. "Hanya kemampuan saya yang Bapak
inginkan, bukan?" Pak Yunus tersenyum. "Kau tidak tahu apa yang kuinginkan."
Suasana tegang. Dani berpikir keras untuk bisa meloloskan diri dari tempat
itu dan meminta bantuan. Tapi keberadaan Arman dengan pistol teracung
padanya menggagalkan semua rencana.
Pantas saja Pak Yunus tidak mau ada polisi yang terlibat, batinnya.
"Jawab pertanyaanku," kata Pak Yunus. "Bagaimana kau akhirnya tahu
tentangku?" "Jika saya jawab, Bapak akan melepaskan mereka?" tanya Indra, dia
menatap Pak Yunus dengan tajam.
"Nope," jawab Pak Yunus santai, lalu mengeluarkan pisau lipat dari saku
celananya dan mengacungkannya ke wajah Riska. "Jika kaujawab, aku tidak
akan melukainya... untuk sementara."
Melihat wajah Riska yang pucat dan ketakutan, Indra menyerah.
"Saya mulai merasa curiga saat Bapak memainkan Hana's Eyes dari Maxim di
restoran itu," Indra mulai menjelaskan. "Bapak bilang, Bapak adalah touch?
yang berkemampuan menyerap ingatan dari alat musik yang Bapak sentuh.
Tapi piano yang Bapak gunakan di restoran itu adalah piano baru yang baru
diantar ke restoran itu siang harinya dan belum ada yang sempat
memainkannya. Jadi ingatan mana yang Bapak serap"
"Lalu saat Bapak memainkan Bengawan Solo di ruang musik sehari
setelahnya," lanjut Indra. "Biola itu dihibahkan oleh violis dari Rusia dan saya
sudah memeriksanya bahwa dia belum pernah memainkan Bengawan Solo,
bahkan dia belum pernah sekali pun mendengar lagu ciptaan Gesang itu.
Kesimpulan saya, Bapak memang ahli memainkan berbagai macam alat musik
dan berbohong tentang kemampuan touch? Bapak. Pertanyaan yang kemudian
muncul, untuk apa Bapak berbohong?"
" "Apakah saat kau memutuskan untuk mengejarku sampai ke Solo," potong
Pak Yunus, "kau sudah tahu bahwa aku adalah otak di balik ini semua?"
"Belum," jawab Indra. "Saya masih mengira Bapak benar-benar diculik oleh
orang-orang yang memburu kaum touch? dan itu membuktikan bahwa Bapak
memang touch? walau saat itu saya tidak tahu kemampuan asli Bapak. Hanya
saja, ada satu kebohongan Bapak lagi yang saya ketahui. Tidak pernah ada
touch? yang berhubungan dengan kuliner yang diculik di Surabaya. Yang ada
justru sebaliknya, juru masak hebat asli Indonesia baru saja pulang dari Prancis
dan langsung terbang ke Surabaya. Belakangan baru saya tahu namanya
Arman." Pak Yunus berdecak. "Kau memang mengagumkan."
"Juru masak yang memiliki kemampuan touch? pastilah juru masak yang
hebat," lanjut Indra. "Di Indonesia, berita kehilangannya pasti akan muncul di
koran atau setidaknya di internet, tapi nihil. Sedangkan berita kedatangan juru
masak Indonesia dari Prancis dan pergi ke Surabaya, bisa dengan mudah
didapatkan dari hampir 100 situs di internet. Lagi pula, Arman selalu
mengenakan sarung tangan padahal seperti Bapak bilang, mind reader dan
empath hanya satu orang. Alasannya pasti hanya satu, karena pekerjaannya
membutuhkan kemampuan touch?-nya. Lalu, walaupun sudah berusaha keras,
karena sudah lama tinggal di Prancis, aksen sengaunya masih tampak. Dia pun
pernah tersinggung saat saya tidak menyentuh makanannya. Apakah
kesimpulan saya salah?"
"Sejauh ini belum," kata Pak Yunus.
"Saya mulai mencurigai Bapak saat Arman mengatakan hanya menerima
perintah," kata Indra. "Orang yang memberinya perintah entah mengapa bisa
dengan mudah melacak jejak kami semua. Kemudian saya ingat, pertemuan
pertama kita di UKS itu bukan karena kebetulan. Bapak memang tahu kami
semua ada di sana. Bapak juga pernah pergi ke Prancis, saya bertaruh di
sanalah Bapak bertemu dengan Arman . Jadi, pemberi perintah selama ini
adalah Bapak dan kemampuan touch? Bapak yang sebenarnya adalah track
finder." Dani dan Riska ternganga. Pantas saja selama ini posisi mereka selalu
ketahuan! Pak Yunus menggeleng sambil tersenyum. "Kau memang tidak bisa
diremehkan, tapi aku yakin bukan itu saja, kan?"
"Kedatangan Bapak bersama mereka memastikan semuanya," aku Indra. "Si
pemberi perintah bukan orang bodoh. Dia bahkan tahu perihal kedatangan
Riska dan Dani menuju rumah di Jurug, jadi tidak mungkin dia meninggalkan
seseorang yang sudah susah payah mereka dapatkan. Orang yang tertinggal
pasti digunakan untuk membawa dua orang lainnya ke sini. Sekarang, saya
akan bertanya pada Riska, siapa yang memberitahumu bahwa aku dibawa ke
sini?" "Pak... Yunus..." jawab Riska terbata-bata. "Dia bilang, dia mendengar para
penculik itu berteriak."
"Tidak mungkin," kata Indra. "Karena perintah membawaku ke sini baru
diberikan saat berada di dalam mobil, aku masih bisa mendengar walau saat
itu kesadaranku mulai menghilang."
"Semua penjelasanmu tidak ada yang salah," Pak Yunus menganggukangguk. "Aku memang track finder. Kemampuan touch?-ku bisa mendeteksi
keberadaan siapa pun, cukup dengan menyentuh peta. Tepat seperti
kemampuan Cerebro yang dikatakan Dani. Tentang bagaimana aku dan Arman
bertemu pun sesuai dengan penjelasanmu. Kami bertemu di Prancis."
"Berarti cerita tentang hilangnya satu per satu kaum touch? semuanya
bohong?" tanya Dani tiba-tiba. Pak Yunus menoleh ke arahnya lalu tersenyum.
"Tidak semua. Beberapa benar-benar menghilang tapi mereka diculik oleh
orang-orang yang berbeda, yang menyadari tentang kemampuan touch?,"
jawab Pak Yunus. "Sisanya hanya rekaanku."
"Tapi ada satu hal yang masih saya tak mengerti," lanjut Indra. "Untuk apa
Bapak melakukan ini semua?"
Terdiam sesaat, Pak Yunus akhirnya menjawab. Kali ini tidak ada lagi senyum
yang tersungging. "Kau pasti sudah tahu tentang kematian kakakku."
Indra mengangguk. "Dia bunuh diri di depan mataku," lanjut Pak Yunus. Semua yang berdiri di
tempat itu langsung terpaku mendengarnya. "Kemampuannya adalah data
absorber. Kemampuan yang sangat penting di zaman digital seperti sekarang
ini. Setebal apa pun lapisan pengamanan komputer, bisa dibobolnya dengan
mudah hanya dengan satu sentuhan. Awalnya, dia sangat senang dengan
kemampuannya itu. Dia bisa membantu banyak orang, pikirnya. Dia menjadi
konsultan di Pentagon dan CIA. Membobol komputer-komputer milik jaringan
teroris dan memecahkan kode-kode yang sangat sulit. Tapi kemudian, dia
bunuh diri." "Ke...kenapa?" tanya Riska.
"Ketika USA memutuskan membombardir Irak, dia tahu itu didasarkan data
yang diserapnya," lanjut Pak Yunus, kali ini sorot matanya muram. "Begitu juga
di Afghanistan. Dengan kemampuannya, dia telah merusak keseimbangan. Di
satu sisi, dia memang telah membantu negaranya, tapi di sisi lain dia juga
memberi penderitaan bagi orang-orang di belahan bumi yang lain. Akhirnya,
karena tak sanggup menanggung rasa bersalah, dia bunuh diri. Musuh kaum
touch? yang sebenarnya bukan berwujud manusia, tapi kegelapan hati."
"Lalu apa yang Bapak ingin lakukan terhadap saya?" tanya Indra lagi walau
sebenarnya dia sudah bisa menduga jawabannya.
"Melenyapkanmu."
Pak Yunus menatapnya dalam-dalam. "Kemampuanmu adalah kemampuan
touch? yang sangat berbahaya. Kau bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang
tidak baik, kau bahkan bisa menghancurkan suatu negara hanya dengan
bersalaman dengan pemimpinnya. Orang dengan kemampuan touch?


Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepertimu memang sebaiknya tidak ada di dunia ini, demi kebaikan kita semua.
Tidakkah kau berpikir seperti itu?"
"HENTIKAAAAAAAAAAN!" jerit Riska. "Bukan Bapak yang berhak
memutuskan itu semua!"
"Jika memang itu yang Bapak inginkan, bukankah Bapak tidak perlu
melibatkan mereka?" kata Indra tajam.
"Perlu," Pak Yunus tersenyum lalu menoleh pada Arman, memberi isyarat.
Arman mengambil sesuatu dari kantongnya lalu melemparkannya ke hadapan
Indra. Sebungkus pil berbentuk bulat dan berwarna kekuningan.
"Minum itu," perintah Pak Yunus.
Arman mendorong Dani. "Buka ikatannya, tapi jika kau macam-macam, aku
tidak akan segan-segan menembakmu."
Dani membuka ikatan Indra, begitu terlepas, Indra langsung ambruk.
Badannya lemas. "Oi! Oiii!" pekik Dani panik.
Indra menggeleng. "Tidak apa-apa."
Dia mengambil bungkusan pil di hadapannya.
"Jadi Bapak ingin agar kematianku tampak seperti bunuh diri?"
"Yes," jawab Pak Yunus tegas. "Ini juga sebabnya aku membutuhkan kedua
temanmu ini. Jika kau tidak melakukannya, aku akan melukai mereka dengan
perlahan-lahan dan menyakitkan. Lagi pula bukankah ini keinginanmu sejak
lama" Untuk apa kau hidup di dunia yang bahkan keluargamu saja tidak mau
menyentuhmu?" "Hentikaaaaaaan..." pinta Riska, entah kenapa dia bisa merasakan perihnya
hati Indra mendengar kata-kata itu.
"Bapak benar," kata Indra setelah terdiam beberapa saat. "Saya memang
pernah ingin menghilang dari dunia ini. Berat memiliki kemampuan touch?
seperti saya. Sangat berat, karena pikiran adalah hal paling pribadi dari
manusia bahkan cerminan hati dan saya bisa dengan leluasa memasukinya.
"Tapi itu dulu, sebelum saya bertemu dengan Dani dan Riska," lanjutnya.
"Sejak bertemu mereka, saya jadi mencintai diri saya sendiri dan bersyukur
hidup di dunia ini. Saya percaya manusia itu hidup demi manusia yang lain. Kita
jadi lebih kuat jika menyangkut orang yang penting bagi kita. Bapak juga
percaya itu, kan" Itu sebabnya Bapak menyandera Riska, karena Bapak tahu
saya akan melakukan apa pun untuknya."
Indra menatap Riska lalu tersenyum. "Terima kasih."
Riska menggeleng, air matanya mulai menetes. Indra menoleh ke Dani dan
menggenggam erat tangan sahabatnya itu, dia bisa mendengar jeritan hati
Dani yang memintanya untuk tidak melakukan itu semua tapi Indra hanya
tersenyum. Indra membuka bungkusan pil itu dan memuntahkan semua isinya ke
tangannya. Dia meminta tolong Dani untuk mengambil botol air yang berada di
jendela. Dani sempat menolak melakukannya, tapi tatapan teguh Indra
melunakkan hatinya. "HENTIKAAAAAAAAAAAAAN," jerit Riska, air matanya tumpah. "Aku tidak
mau! Aku tidak mau! Jika tidak bisa bertemu denganmu lagiiii!!!!"
"Kau benar-benar akan melakukannya?" tanya Pak Yunus hampir tak
percaya. Riska bisa merasakan, sekarang justru panik bercampur sedih yang
dirasakan Pak Yunus. "Saya sudah bilang," tegas Indra. "Saya akan melakukan apa pun untuk
mereka. Jadi sebaiknya Pak Yunus menepati janji untuk melepaskan mereka."
Setelah berkata begitu, Indra meminum semua pil yang berada di
tangannya. Satu menit kemudian, dia terjatuh. Tak bergerak.
"TIDAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAK...!" jerit Riska.
BAB 19 BANGUNLAH... aku mohon... bangunlah...
Suara siapa" batin Indra. Perlahan-lahan dia membuka mata dan melihat
Riska berada di sebelah tempatnya tertidur sambil menggenggam tangannya.
Air mata gadis itu masih menetes walau matanya sudah bengkak.
"Syukurlah..." Melihat Indra sadar, Riska spontan memeluknya.
"Hoi, semua pikiranmu terbaca..." kata Indra lemah.
"Aku tak peduli," kata Riska serak tanpa melepaskan pelukannya.
Aku pikir aku akan kehilanganmu.
Indra tersenyum mendengar suara hati Riska.
Dari menyentuh Riska juga Indra tahu apa yang terjadi sebelum dia tak
sadarkan diri. Ternyata pil-pil yang diminumnya sebagian besar adalah vitamin
dan ada satu butir yang merupakan obat tidur, ditambah stamina Indra yang
memang sudah mencapai batas maka dia pun ambruk. Pistol yang ditodongkan
ke mereka pun hanya pistol angin yang tak berbahaya. Pak Yunus tidak
mengatakan apa-apa kecuali permintaan maaf setelah itu, sambil memberikan
tiket pesawat untuk pulang ke Surabaya besok pagi. Vila yang sekarang mereka
tempati ternyata milik keluarga Pak Yunus, begitu juga rumah bercat kuning
gading di Jurug. Dia juga bisa membaca bahwa perasaan terakhir yang diserap
Riska dari Pak Yunus adalah perasaan sedih dan lega, tak tahu apa sebabnya.
Setelah cukup lama, akhirnya Riska melepas pelukannya.
"Arman sudah menyiapkan makanan," kata Riska. "Mau kuambilkan?"
Indra menggeleng. "Terima kasih, tapi nanti saja."
"Aku tidak mengerti kenapa Pak Yunus melakukan semua ini," kata Dani
tiba-tiba, dia duduk di sisi tempat tidur yang berseberangan dengan Riska.
Indra berusaha untuk duduk, dibantu oleh Riska.
"Aku juga tak mengerti," kata Indra. "Aku rasa sejak semula dia tidak
bermaksud jahat, dia hanya ingin membuktikan sesuatu dengan menyiapkan
'permainan' ini." "Kenapa kau menyebutnya 'permainan'" Lalu, membuktikan apa?"
"Entah tapi kita semua memang bergerak sesuai dengan skenarionya,"
jawab Indra. "Sudah bisa ditebak dari bentuk dan warna mobil yang digunakan
oleh orang-orang yang menculik kita."
Dani mencoba mengingat-ingat. "Wagon hijau muda?"
Indra mengangguk. "Pelaku kejahatan biasanya tidak akan menggunakan
kendaraan yang mencolok seperti itu dan kita semua tahu, Pak Yunus tidak
bodoh. Dia sengaja memakai wagon hijau muda sebagai petunjuk agar kita
mudah melacaknya. Lagi pula, apa kalian ingat, dari mana kita mendapat
petunjuk untuk memecahkan kode puisi itu" Tentang tempat-tempat mana
saja yang pernah dikunjungi Pak Yunus?"
"Pak Taufik?" Dani membelalakkan matanya.
"Pak Yunus sengaja memberitahu Pak Taufik karena dia guru geografi," jelas
Indra. "Dia tahu kita akan pergi ke ruang geografi dan cepat atau lambat akan
bertemu dengan Pak Taufik, itu sebabnya dia menitipkan petunjuk melalui
Bapak itu. Semua sudah direncanakannya. Orang sepintar dia pasti tidak akan
menyusun rencana hingga sedetail itu hanya untuk melenyapkanku."
Dani manggut-manggut," Itukah sebabnya kau mau saja menelan semua pil
itu" Karena kau tahu semua hanya permainan?"
"Belum," jawab Indra. "Aku menelan pil itu untuk mendapatkan
jawabannya. Ternyata seperti yang kaulihat, aku tidak apa-apa."
"Kau sedang berjudi dengan nyawamu sendiri," Dani mendesah.
"Mungkin," kata Indra. "Tapi entah mengapa hati kecilku berkata Pak Yunus
bukan orang jahat. Walau aku tak tahu apa tujuannya, aku sudah bisa
memastikan satu hal: dia sama sekali tidak berniat membunuhku. Karena jika
memang itu tujuannya, seperti yang baru saja kukatakan, dengan
kecerdasannya dia pasti sudah melakukannya sejak awal menemukanku dan
membuatnya tampak seperti kecelakaan. Sebaliknya, yang dia lakukan justru
membuat permainan, menggunakan puisi sebagai hint, dan memaksa kita
pergi ke sini." "Masuk akal," gumam Dani.
"Tapi..." lirih Riska, "kalau ternyata Pak Yunus serius ingin melenyapkanmu,
dengan situasi yang sama, apakah kau akan benar-benar meminum semua pil
itu?" Indra tertegun lalu menatap Riska dalam-dalam.
"Ya," jawabnya tegas.
*** "Benarkah tidak apa-apa begini?" tanya Arman saat mereka berdua berada
di pesawat menuju Jakarta.
"It's okay," Pak Yunus menggeleng sambil tersenyum. "Kekhawatiranku
berlebihan." "Kau mengira Indra akan mempunyai pikiran yang sama dengan kakakmu?"
tanya Arman lagi. "Begitulah," Pak Yunus menghela napas. "Kakakku memutuskan untuk
bunuh diri karena tidak tahu lagi arti hidupnya. Kemampuan yang semula dia
sangka berkah berubah menjadi kutukan. Langsung dan tidak langsung,
ternyata kemampuannya itu sudah melukai banyak orang. Kau pasti pernah
mendengar kalimat ini kan: What is food to one is to others bitter poison. Lalu
dia berpikir, sebelum dia berubah menjadi jahat dan menyalahgunakan
kemampuannya, lebih baik secepatnya mengakhiri hidupnya demi
keselamatan lebih banyak orang. Padahal dia tidak perlu sampai seperti itu.
Seperti yang Indra bilang, manusia hidup untuk manusia yang lain. Kalau saja
kakakku berpikir seperti itu mungkin dia tidak akan secepat itu mengambil
hidupnya sendiri." Arman mengangguk-angguk. "Semua kupikir, jika data absorber saja berpikir seperti itu apalagi mind
reader," lanjut Pak Yunus. "Aku tidak bisa menolong kakakku, jadi aku ingin
menebusnya dengan mencegah orang lain melakukan hal yang sama."
"Untuk itu kau membuat permainan itu?"
Pak Yunus mengangguk. "Aku ingin tahu untuk apa atau siapa mind reader
kita memberikan hidupnya dan seberapa erat hubungannya dengan orangorang itu. Ternyata hasilnya seperti yang sudah kaulihat sendiri."
"Sesuai perkiraanmu?"
"Kurang-lebih," Pak Yunus tersenyum. "Yang salah kuperkirakan adalah
kecerdasan otak Indra karena kupikir akan butuh waktu yang lebih lama."
"Apa yang akan kaulakukan jika rencanamu gagal?" tanya Arman ingin tahu.
"Bahwa ternyata Indra mengalami situasi yang mirip dengan kakakmu yang
tidak punya siapa-siapa?"
Pak Yunus melepas kacamatanya. "Aku akan membawa Indra ke USA dan
menjaganya." Mereka terdiam selama beberapa saat, tapi pandangan Arman masih belum
beralih dari Pak Yunus. "Kau masih menyembunyikan sesuatu dariku, aku tahu alasanmu bukan
hanya itu," desak Arman. "Kau bukan hanya mencari pegangan hidup Indra."
"Jadi sekarang kau juga berniat menjadi mind reader?" Pak Yunus
tersenyum. "Okay, you win," Pak Yunus mengangkat bahu. "Kenapa hanya ada satu
orang mind reader, satu orang empath dan satu orang track finder di tiap
generasi" Itu pun selalu muncul hampir berbarengan. Aku selalu mencari tahu
alasannya dan jawabannya baru kuketahui kemarin. Permainan ini kubuat
untuk mencari jawaban itu.
"Sampai kapan pun, mind reader adalah pedang bermata dua," jelas Pak
Yunus. "Kemampuan itu sangat berbahaya. Dia bisa membaca rahasia terdalam
yang ingin disimpan manusia. Dalam A Study in Scarlet, Sherlock Holmes
pernah bilang bahwa otak manusia seperti loteng kecil dengan banyak barang
di dalamnya. Jadi jika kita bilang kita lupa, sebenarnya tidak sepenuhnya lupa,
hanya saja kenangan itu tertumpuk di bawah kenangan-kenangan lain, atau
mungkin di dalam laci di loteng yang juga sudah tertimbun dengan barangbarang lain. Mind reader punya kunci ke semua loteng, bahkan bisa mengambil
kenangan dari laci paling dalam sekalipun.
"Jika dia bukan orang baik," lanjut Pak Yunus, "dia mungkin sudah
menyalahgunakannya dan menjadi orang paling berbahaya di muka bumi ini.
Itulah sebabnya, jika rencanaku gagal, aku akan membawa Indra dan
menjaganya agar tidak bisa dipengaruhi oleh orang-orang yang berniat jahat."
"Lalu apa hubungannya dengan empath dan track finder?" Arman masih tak
mengerti. "Seperti yang kubilang, mind reader seperti pedang bermata dua," jelas Pak
Yunus. "Tapi jika mind reader adalah pedang, empath adalah sarungnya. Dia
yang berperan mengontrol kemampuan mind reader. Kaulihat sendiri,
bagaimana Riska bisa memasuki kehidupan Indra bahkan membuatnya
mempertaruhkan nyawa. Track finder-lah yang bertugas mempertemukan
empath dan mind reader, sarung dan pedangnya."
"Bukankah itu menjadikan empath sebagai mata kaki Achiles bagi mind
reader" Titik kelemahannya?"
"Kau benar, tapi itulah gunanya track finder," jawab Pak Yunus. "Dia bisa
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Entah itu melindungi
empath maupun segera menjaga si mind reader."
"Jadi maksudmu, kau bertugas sebagai penjaga mereka?" Arman
mengangkat bahu. "Kau tak setuju?"
Arman tersenyum lalu menyandarkan kepalanya ke kursi.
"Kalau itu orang lain mungkin aku tak setuju," Arman mengaku. "Tapi karena
ini kau, aku setuju saja."
"Aku tidak tahu kau memercayaiku sampai seperti itu," Pak Yunus memakai
kacamatanya lagi dan mulai membaca koran.
"Kalau aku tidak memercayaimu, aku tidak akan ikut permainanmu dari
awal." Arman memejamkan mata, mencoba untuk tidur. "Kau orang baik."
"Terima kasih," Pak Yunus tersenyum. "Tapi mestinya kau ingat, di dunia ini
tidak ada orang yang benar-benar baik."
"Dan sebaliknya, tidak ada orang yang benar-benar jahat," timpal Arman.
"Tapi aku masih tidak setuju dengan penggunaan stun gun itu."
Pak Yunus tertawa. "Aku tidak percaya kalimat itu keluar dari orang yang
sudah menggunakannya dua kali pada bocah yang sama."
Epilog PAK Yunus kembali ke Amerika setelah kejadian di Tawangmangu. Dari
berita-berita di koran, dia disebut-sebut menjadi pewaris sah dan harus
mengambil alih bisnis keluarganya. Sesekali dia masih mengirim e-mail pada
Dani, Indra, atau Riska untuk memberitahu tentang lokasi touch? lain di sekitar
mereka. Hingga saat ini, mereka sudah bertemu sesama touch? yang bisa
menyerap ingatan mesin, menyerap ingatan cermin, dan menyerap tulisan,
seperti Dani. Setiap kali ditanya tentang sebenarnya tujuan Pak Yunus
melakukan semua itu, dia selalu menjawab dengan kutipan dari kata-kata
Ralph Waldo Emerson: "All is riddle and the key to a riddle is another riddle."
*** "Selamat berjuang," kata Indra saat Riska hendak memulai pertandingan lari
jarak pendeknya. Indra menemuinya di luar ruang ganti.
"Terima kasih," Riska tersenyum. "Mana Dani?"
"Sedang bersama tiga teman baru kita yang lain, membeli makanan," jawab
Indra. "Kau tidak membawa sarung tangan?" tanya Riska melihat kedua tangan
Indra yang dimasukkan ke saku jaket.
"Terburu-buru."
"Kali ini aku pasti menang," gumam Riska lebih pada dirinya sendiri.
"Kenapa kau bisa sepercaya diri itu?"
"Karena aku sudah menemukan motivasiku," Riska meringis.
"Yaitu?" Riska tampak berpikir sejenak.
"Sampai mati aku tidak akan mengatakannya," jawab Riska kemudian
dengan tegas. Mana mungkin dia mengatakannya, bahwa sebenarnya
motivasinya yang sekarang adalah Indra. Dia ingin menunjukkan pada Indra
walaupun berbeda, touch? bisa melebihi orang biasa tanpa menggunakan
kemampuannya. Dia ingin Indra lebih mencintai dirinya sendiri sebesar rasa
cintanya pada cowok itu yang entah sejak kapan mulai tumbuh.
"Terserah kau," jawab Indra dingin.
"Sepertinya sudah waktunya aku ke lapangan," Riska melirik jam tangannya.
Indra mengangguk, tapi baru beberapa langkah dia spontan menarik tangan
Riska. "Sepatumu," serunya. "Belum kautalikan."
Tiba-tiba dada Riska berdegup kencang, ada sensasi bahagia, cinta hingga
membuat wajahnya memerah. Ini perasaan siapa" Perasaanku atau...
Indra buru-buru melepaskan tangannya.
"Kau membaca perasaanku?" kata mereka berdua hampir berbarengan.
Kedua lalu berdeham. "Aku...maaf..." kata Indra gugup. "Aku tak sengaja membaca pikiranmu."
Wajah Riska langsung memerah. Malu sekali.
"Aku senang," Indra tersenyum.
"Aku harus secepatnya ke lapangan," kata Riska buru-buru, dia sudah tak
sanggup bertemu mata dengan Indra.
"Tapi," sergah Indra hingga Riska menghentikan langkah. "Perasaan yang


Touche Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baru saja kaurasakan tadi. Cinta, sensasi bahagia yang membuatmu bertanyatanya itu perasaan siapa?"
Riska menoleh dan menatap Indra yang dibalas dengan tatapan yang sama
dalamnya. "Itu perasaanku," katanya tegas.
Pendekar Pemetik Harpa 25 Pendekar Bayangan Sukma 7 Pendekar Kedok Putih Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 11
^