Cuma Yang Lihai Yang 2
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter Bagian 2
bicara." "Kenapa Anda datang kemari?" tanya Bex.
"Untuk melacak rubah, kau harus mulai di sarangnya."
"Apa yang Anda ketahui tentang ibu saya?"
Townsend memalingkan kepala ke jendela. Napasnya mem102
buat kaca jendela berkabut. Aku mulai mengira ia nggak mendengarku saat ia berbisik, "Mereka tidak akan melukainya."
Dan dengan kata-kata itu, rasa takut besar yang belum
pernah kualami memenuhi dadaku. "Ada yang menahan ibu
saya?" Kusambar kausnya dan kutarik dia mendekat, memaksanya menatapku. "Siapa?" Aku mengguncang tubuh Townsend.
"Siapa yang menahannya?"
Anehnya, senyum Townsend terlihat tanpa ekspresi.
"Kami." Tanganku berubah kaku, mengepal di kerahnya.
"Kami" Siapa "kami?" Di mana ibu saya?" tanyaku, tapi
Townsend mulai tertidur. Kelopak matanya menurun. Dia menatap ke luar kaca yang bergelombang, seakan belum pernah
melihat jendela. "Di sini memang indah," katanya, lalu memejamkan mata
dan tertidur. Kulepaskan cengkeramanku, dan kulihat bagaimana
Townsend mendarat di bantal-bantal. Kelihatannya dia sedamai
bayi yang tidur. Lalu Liz menamparnya. Ya, tamparan sungguhan.
Townsend bergidik dan bangun, matanya jernih selama satu
detik yang singkat. "Tidak!" seru Liz, menamparnya lagi. "Anda salah!" sergah
Liz. "Liz?" Bex mengulurkan tangan untuk mencegah, tapi Liz
menyerang lagi. "Anda salah!" seru Liz. "Mrs. Morgan akan kembali, dan
kami akan membersihkan nama Mr. Solomon, lalu sekolah ini
akan punya guru sungguhan lagi."
"Oh, aku meragukan itu." Sesuatu dari pria yang dulu
10 3 berada di London merayap kembali ke dalam suara Townsend.
Ia tersenyum. "Kurasa Rachel Morgan tidak akan mau bekerja
bersama pria yang membunuh suaminya."
104 Bab En a m B e l a s dara di dalam mansion terlalu panas. Aku ingat melewati
perapian yang menyala dan jendela-jendela yang berkabut"
bergerak melewati koridor-koridor ramai seakan aku mungkin
nggak akan bisa menghirup udara segar lagi. Terbakar. Rasanya
dunia terbakar. "Cammie!" panggil Bex dari belakang, tapi aku nggak berhenti sampai berada di seberang selasar dan mendorong pintupintu berat itu.
Aku nggak punya mantel. Langit tampak mendung, gelap,
dan kelabu selagi aku menyeberangi halaman yang terbentang
dari mansion sampai hutan.
"Cammie," panggil Bex lagi. Di belakangnya, kulihat Liz
dan Macey berlari mendekat.
"Cam, kau baik-baik saja?" panggil Liz, dan aku berbalik.
"Nggak!" Aku nggak sadar bahwa aku berteriak. Aku hanya
tahu kata itu terperangkap dalam diriku, mendidih. "Nggak!
Aku tidak baik-baik saja."
10 5 Teman-teman sekamarku berhenti, membeku. Sepertinya
mereka takut berdiri terlalu dekat denganku.
"Kita belum tahu apa maksud kata-kata Townsend," kata
Liz padaku. "Kita tidak tahu dari mana dia mendapatkan
informasi itu atau apakah sumber-sumbernya cukup aman. Kita
belum tahu apa arti kata-kata itu."
"Memang betul." Aku menggeleng. "Justru itu. Kita nggak
tahu apa-apa. Aku tahu soal bom, penawar racun, dan cara
mengatakan "parkit" dalam bahasa Portugis, tapi aku nggak
tahu di mana ayahku dimakamkan."
Mata Liz sama merahnya denganku saat menatapku.
"Cammie, nggak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja."
"Mr. Solomon membunuh ayahku. Mr. Solomon?"
Saat kalimatku terputus, Bex melangkah mendekat. Ia mengulurkan tangan padaku, tapi aku menyentakkan diri menjauh.
"Mereka menginginkanku" hidup-hidup." Air mata panas
menyengat mataku. Tenggorokanku terasa terbakar. "Mereka
membutuhkanku hidup-hidup!" teriakku, nggak mampu menghentikan kata-kata itu tersembur. "Bagaimana seharusnya sikapku" Apa yang seharusnya kurasakan?"
"Aku tahu bagaimana perasaanmu, Cam," kata Macey.
"Kau nggak?" "Cammie!" Aku nggak akan pernah melupakan nada suara
Macey saat itu. "Cam," katanya perlahan, menghampiriku,
"Aku tahu bagaimana rasanya diamati setiap detik, setiap hari.
Aku tahu bagaimana rasanya semakin lama memercayai semakin sedikit orang sampai sepertinya kau hanya sendirian di
dunia ini. Aku tahu kaupikir satu-satunya hal yang tersisa dalam hidup adalah hal-hal buruk. Aku tahu apa yang kau106
rasakan, Cam." Tangannya memegangi bahuku. Mata birunya
menatap mataku. "Aku tahu."
Dua bulan terakhir ini aku hidup dengan mengetahui
bahwa Circle of Cavan memburuku, mengira nggak seorang
pun mungkin tahu bagaimana rasanya. Seakan di mana pun
dan dengan siapa aku berada, aku nggak pernah aman. Tapi
aku salah" seseorang mengerti. Dan orang itu berdiri persis di
hadapanku. "Dia nggak mau memberitahu di mana ibuku," kataku
pelan. "Agen Townsend tahu"dia tahu! Tapi dia nggak
mau?" "Kita akan menemukan ibumu, Cam," kata Bex, mengulurkan tangan padaku. "Kita akan menemukan ibumu."
"Yeah," kata Liz, bergabung dengan kami.
"Kita akan melacak ibumu"melacaknya sampai ke ujung
dunia kalau perlu"lalu kita akan menanyainya?"
Udara terasa lebih hangat dengan kehadiran teman-teman
di sekitarku. Kurasakan detak jantungku mulai melambat saat
suara di belakangku berkata, "Menanyaiku apa?"
10 7 Bab Tu ju h B e l a s ia di sana. Mom di sana. Rasanya aneh sekali melihat
Mom"mendengar suaranya, memandang caranya berjalan bersama kami melewati pintu depan dan menaiki Tangga
Utama"seakan nggak terjadi apa-apa sejak Mom memasukkanku ke limusin bersama suami-istri Baxter pada Desember dan
melambai, mengucapkan selamat tinggal.
"Mom, aku?" "Senang melihatmu, Kiddo." Ia merangkul bahuku dan memelukku erat-erat saat kami mencapai Koridor Sejarah.
"Apakah liburanmu dan Bex menyenangkan?"
Mom nggak menelepon pada pagi Natal. Dia juga nggak
datang ke London setelah kejadian di jembatan itu. Dia absen
dari sekolah kami nyaris selama sebulan, walaupun begitu saat
aku melihat Mom membuka kunci pintu kantornya, hanya satu
pertanyaan yang ingin kudengar jawabannya dari Mom.
"Apakah itu benar?"
108 Pasangan Baxter, Aunt Abby, bahkan Agen Townsend sudah memberitahuku fakta-faktanya, tapi hanya Mom yang bisa
membuatku memercayai fakta-fakta itu. "Apakah Mr. Solomon
betul-betul bergabung dengan Circle?"
Kudengar suara-suara obrolan datang dari koridor, tapi
teman-teman sekelasku seakan jutaan kilometer jauhnya saat
Mom melangkah masuk ke ruangan yang gelap dan berbisik,
"Ya." Mom berjalan ke mejanya. Di dalam kantornya, aku merasa
cukup berani untuk bertanya, "Apakah dia membunuh Dad?"
"Circle punya sejarah panjang dalam merekrut para agen
saat mereka masih sangat muda, Cammie. Ketika Mr. Solomon
bergabung, dia?" "Apakah dia membunuh ayahku?"
"Cammie, Sayang?"
Bibirku mulai gemetar. Tekanan yang kurasakan selama berbulan-bulan meningkat dan membengkak, lalu aku nggak bisa
menghentikannya. Dunia berubah menjadi kabur dan pipiku
basah, dan nggak peduli seberapa keras aku mencoba, seakan
aku lupa cara bernapas. "Aku menyesal, Cammie. Aku sungguh-sungguh menyesal."
"Di mana Mom selama ini?" Bisa kudengar suaraku pecah.
"Waktu itu aku butuh Mom."
"Cam," kata Mom lembut. "Aku tahu kau aman, Sayang.
Pasangan Baxter orang-orang baik"mereka mata-mata yang
sangat hebat?" "Mereka bukan keluargaku. Aku butuh Mom!"
"Sayang, percayalah padaku, aku ingin datang menemuimu,
tapi itu tidak mungkin."
10 9 Aku ingin memercayainya, tapi Agen Townsend seakan
berubah jadi hantu yang berbisik di telingaku: Mereka tidak
akan melukainya. "Kenapa kau nggak datang ke London, Mom?"
"Sudah kukatakan padamu, Cammie. Aku tertahan."
Itu frasa yang juga digunakan Townsend maupun Profesor
Buckingham, tapi saat kutatap Mom, aku tahu dia bukannya
ketinggalan pesawat, terjebak dalam rapat, atau kehilangan
paspor. Arti tertahan adalah diborgol, ranjang keras, dan di
dalam fasilitas-fasilitas yang dioperasikan CIA.
"Tertahan bagaimana" Tertahan di mana" Langley?" Kulihat
sinar di mata Mom berubah, dan aku tahu bahwa aku benar.
"Saat ada mata-mata yang dituduh menjadi agen ganda,
prosedur operasi standarnya adalah menginterogasi siapa pun
yang berhubungan dengannya. Itu protokol, Kiddo. Bukan masalah."
"Bagaimana dengan guru-guru lain" Profesor Buckingham"
Mr. Smith" Kenapa mereka nggak?"
"Mereka juga diinterogasi, Cam. Kami semua diinterogasi."
"Lalu kenapa Mom terlambat" Kenapa cuma Mom yang
baru kembali ke sekolah sekarang?"
"Aku yang mengenal Mr. Solomon paling lama." Mom menarik napas panjang. "Akulah yang mempekerjakan dan membawanya kemari, jadi memang?" Kalimatnya terputus. Lama
sekali Mom nggak memandangku. "Tapi aku sudah kembali
sekarang." Ia mengelus rambutku. "Kau aman." Ia menarikku
ke arahnya dan menarik napas dalam-dalam. "Kau aman."
Ada hal-hal yang nggak perlu dikatakan di antara sebagian
orang, kata-kata yang nggak terucap selama berpuluh-puluh
110 tahun, bahkan sepanjang hidup. Kadang aku bertanya-tanya
apakah mata-mata punya lebih banyak atau lebih sedikit halhal semacam itu. Lebih banyak, kurasa. Ada begitu banyak hal
yang"bahkan orang-orang yang paling berani di dunia pun"
nggak cukup berani untuk mengucapkannya keras-keras.
"Mr. Solomon datang menemuiku," bisikku.
Mom melangkah mundur. "Aku tahu."
"Dia bilang mereka salah. Dia bilang dia nggak melakukan
semua itu"bahwa mereka mengejar orang yang salah. Aku?"
Aku mengingat kesedihan dalam diri Mr. Solomon saat dia
memelukku. "Aku percaya padanya."
"Joe Solomon mata-mata luar biasa, Sayang."
"Jadi?" "Mata-mata yang luar biasa merupakan para pembohong
terbaik." Mom terenyak ke sofa kulit, tampak nyaris terlalu
lemah untuk berdiri. "Dia tidak akan kembali lagi, Cammie."
Selama bertahun-tahun sejak Dad meninggal, aku pernah
melihat Mom menangis sekali, mungkin dua kali, tapi nggak
pernah saat ia tahu aku bisa melihatnya. Tapi saat itu, air
mata muncul di mata Mom, dan aku nggak tahu apakah ibuku
memaksudkan Mr. Solomon atau Dad saat berbisik, "Dia tidak
akan kembali lagi." 111 Bab D e l a p a n B e l a s
allagher Girl nggak pernah bolos. Kami nggak membolos,
dan nggak pernah ada hari ketika seluruh anak kelas dua belas
membolos bersama-sama. Itu belum pernah terjadi. Tapi saat
berjalan menyusuri koridor keesokan paginya, aku ingin membuat pengecualian. Aku ingin lari"bersembunyi lebih dalam
daripada sebelumnya. Aku ingin merangkak kembali ke tempat
tidur dan tidur selama berjuta-juta tahun.
Ternyata, bukan hanya aku yang merasa begitu.
"Selamat pagi, Ms. Morgan."
Aku mendengar lantai papan berkeriut di belakangku. Aku
mengenali suara lemah itu. Tapi wajah yang kulihat saat aku
berbalik bukanlah wajah yang kuharapkan.
Tentu saja, rambut Agen Townsend masih basah sehabis
mandi, dan pakaiannya bersih serta disetrika rapi, tapi matanya
merah dan bengkak. Saat berjalan melewatiku dan menuju ke
mejanya di depan ruangan, ia bergerak hati-hati, seperti laki112
laki yang sangat ingin dunia berhenti berputar sejenak. (Namun giginya memang terlihat jauh lebih putih.)
Catatan untuk diri sendiri: jangan pernah menawarkan diri
membantu Elizabeth Sutton mengetes salah satu eksperimennya.
Lampu-lampu di ruang kelas Operasi Rahasia mati, tapi saat
Tina Walters berhenti di pintu dan mengulurkan tangan ke
sakelar, guru kami menggerutu, "Jangan nyalakan lampunya."
Selagi kami berjalan ke kursi masing-masing, Townsend memejamkan mata seakan langkah kami terdengar seperti letusan
senapan di tengah kegelapan.
"Aku tidak peduli apa yang kalian lakukan satu jam ke
depan," katanya pelan, duduk di kursi di balik meja. "Aku
tidak peduli bagaimana kalian melakukannya. Pokoknya lakukan" dengan tenang."
Banyak orang mengalami pagi yang buruk di Akademi
Gallagher"cewek-cewek yang menguap karena belajar semalaman, tubuh-tubuh pegal yang berjuang memanjat tangga
setelah melewati minggu berat di kelas P&P. Waktu pertama
kalinya bertemu Agen Townsend, aku ingin dia merasa seburuk
perasaanku; dan saat dia berdiri di sana pagi itu, kupikir mungkin dia memang merasa seburuk itu.
Terutama saat lampu-lampu menyala tiba-tiba dan kudengar
Mom berkata, "Well, halo."
Aku melihat Agen Townsend menyipitkan mata dan melompat"mengamatinya menoleh untuk menatap wanita di
pintu, tapi aku nggak tahu apakah terkejut merupakan kata
yang tepat untuk mendeskripsikan ekspresi di wajah pria itu.
"Selamat datang di Akademi Gallagher, Agen Townsend.
Kami sangat senang menyambut Anda di sini."
113 Catatan untuk diri sendiri: Rachel Morgan pembohong
yang sangat hebat. "Aku ingin menyapa saat sarapan, tapi?" Mom mengamati
wajah kusut lelaki itu. "Bisa kulihat Anda mungkin perlu tidur
lebih lama." Perlahan-lahan Townsend memalingkan pandangan ke arahku. "Pasti akibat sesuatu yang kumakan."
"Aku sangat menyesal mendengarnya. Biasanya koki kami
hanya menerima komentar yang sangat baik." Mom berjalan
menyusuri depan kelas. Ia tetap bersedekap, menatap ke luar
jendela, sebelum perlahan-lahan menoleh pada anggota kelas
lain. "Halo, Anak-anak."
Terdengar beberapa balasan halo dan selamat datang kembali,
tapi kami lebih banyak diam"menunggu.
"Harus kuakui, saat dewan pengawas Gallagher memberitahuku bahwa CIA dan MI6 merekomendasikan Anda untuk mengisi posisi ini, aku terkejut. Kuharap ritme di sekolah kecil kami
tidak terlalu lambat untuk Anda."
"Tidak," kata Agen Townsend, merosot ke sudut meja.
"Kalau Joe Solomon bisa melakukannya?"
Aku merasakan sengatan kemarahan waktu mendengar
nama itu, tapi kalau Mom merasakan hal yang sama, dia jelas
nggak menunjukkannya.
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan menurut Anda, bagaimana keadaan di sini?" tanya
Mom. "Apakah ada yang Anda perlukan?"
"Maksud Anda selain akses ke lantai sublevel?"
Mom mengangguk. "Ya. Profesor Buckingham sudah menjelaskan masalah keamanan baru sehubungan dengan lantailantai itu. Kami sedang berusaha keras."
114 "Aku mengerti," kata Agen Townsend, tapi kata-katanya
terdengar lebih seperti yeah, yang benar saja.
Lalu semacam ekspresi shock melintas di wajah Mom.
"Oh, maafkan aku, Agen Townsend. Please, lanjutkan kelas
Anda. Jangan biarkan aku menginterupsi pelajaran Anda."
Mom menduduki kursi kosong di barisan depan di pojok
kanan ruangan, dan giliran Agen Townsend-lah yang kelihatan
kaget. "Maaf, Mrs. Morgan. Apakah Anda" akan tinggal?"
"Ya," kata Mom.
"Well, kalau aku tahu, aku pasti akan mempersiapkan pelajaran spesial untuk kesempatan ini."
Mom tersenyum. "Oh, aku yakin apa pun yang Anda siapkan untuk hari ini akan cukup. Kadang aku suka mampir untuk mendengar masing-masing guru di Akademi Gallagher
mengajar. Please, jangan biarkan aku menghentikan Anda."
Kudengar Bex menahan tawa terkikik. Tina Walters menatapku.
"Bagus," kata Townsend sambil tersenyum. "Anda tepat
waktu untuk memulai pelajaran kami mengenai Circle of
Cavan." Di luar, langit tampak biru dan cerah, tapi rasanya ada
badai yang terbentuk di dalam ruang kelas kami. Ada energi
statis yang begitu kuat mengalir di udara, sampai-sampai aku
nyaris nggak berani menyentuh apa pun"karena aku takut
tersetrum. Agen Townsend menoleh dan menatap Mom. "Tentu saja
jika itu bukan masalah bagi Anda, Mrs. Morgan."
"Biasanya topik itu akan dibahas dalam pelajaran Sejarah
Mata-Mata kelas dua belas yang diajar Profesor Buckingham,
115 tapi mengingat situasinya, kurasa kita bisa membuat pengecualian."
Aku setengah berharap saat itu Mom akan memandangku"
tersenyum padaku"sesuatu, apa saja, selain menoleh untuk
menatap seluruh kelas dan berkata, "Begini, Anak-anak, bisa
dibilang Agen Townsend merupakan legenda dalam bisnis
mata-mata. Kurasa tidak ada orang lain yang lebih pantas
untuk memberikan pelajaran ini."
"Joe Solomon pun tidak?" Aku ragu ada teman sekelasku
yang sempat melihat kilatan jahat di mata Townsend.
Kurasa mereka juga nggak mendengar kemarahan dalam
suara Mom saat ia berkata, "Tidak. Dia pun tidak."
Dan setelah mendengar ucapan Mom, Townsend menoleh
pada kami. Ia nyaris terdengar seperti guru sungguhan saat berkata, "Hal terpenting yang perlu kalian semua ketahui mengenai
Circle of Cavan adalah bahwa organisasi tersebut beranggotakan
mata-mata organisasi lain, nyaris seluruhnya"maksudku agen
ganda. Mata-mata yang tidak aktif untuk waktu lama. Organisasi
ini memiliki banyak agen"para pengkhianat"di setiap level,
dalam semua dinas keamanan besar dunia. Mereka bisa berada
di mana saja?" Ia bergerak mengelilingi meja. "Bahkan di
sini." Kuamati mata teman-teman sekelasku saat Circle of Cavan
berubah menjadi lebih daripada sekadar legenda mengenai
Gilly, gaun pesta, pengkhianat, dan sebilah pedang.
"Tentu saja, mereka beroperasi begitu dalam di bawah radar
sehingga sebagian orang dalam bisnis mata-mata mengira
Circle of Cavan hanyalah takhayul"legenda besar. Tapi dalam
beberapa ratus tahun terakhir ini saja, mereka menjadi otak di
balik setidaknya lima pembunuhan"itu yang kita ketahui"
116 dan menjadi pendorong kuat pecahnya tiga perang. Organisasi
ini menjual identitas belasan mata-mata CIA dan MI6 yang
menyamar kepada pemerintah-pemerintah musuh, dan sejauh
yang diketahui Dinas Rahasia, organisasi inilah yang paling
nyaris berhasil membunuh presiden yang masih menjabat di
Amerika Serikat." Agen Townsend bersedekap dan menatap kami. "Jadi
jangan salah, organisasi ini amat sangat nyata."
Kami duduk diam selama lima belas menit, mendengarkannya menyampaikan berbagai fakta seakan Circle hanyalah
kelompok atau gerakan atau organisasi biasa"seakan ini bukan
masalah pribadi. "Apa yang mereka inginkan?" Kudengar diriku bertanya.
"Uang. Kekuasaan. Kontrol?"
"Dari saya?" potongku. "Apa yang mereka inginkan dari
saya?" Aku mengira Agen Townsend bakal memandang Mom atau
menghindari pertanyaanku, tapi sebaliknya, dia duduk di sudut
meja. "Yang itu, kita tidak tahu. Belum." Ia terdiam sejenak.
"Ada yang ingin Anda tambahkan, Rachel?"
Kukira Mom akan memberitahu Agen Townsend bahwa itu
sudah cukup, bahwa pelajaran sudah berakhir. Tapi Mom menyilangkan kakinya yang panjang dan menyandarkan siku di
meja. "Mungkin Anda bisa sedikit membicarakan sejarah mereka."
Townsend mengangguk. "Ioseph Cavan berdarah Irlandia,
dan sejauh yang diketahui publik, para pengikutnya menyingkir
ke tanah leluhurnya setelah Gillian Gallagher diduga membunuhnya."
"Diduga?" kata Bex.
117 Townsend mengabaikan pertanyaan itu. "Tapi sekarang
Circle memiliki banyak markas di setiap sudut dunia. Penting
untuk dimengerti bahwa, tidak seperti kebanyakan kelompok
berbasis politik atau agama, Circle of Cavan tidak memiliki
tujuan"tidak ada panggilan atau maksud selain keuntungan
dan kekuasaan. Organisasi ini cukup besar untuk menjadi berbahaya, dan cukup kecil untuk menyelinap melalui retakanretakan. Mereka selalu berpindah, berhati-hati, dan sangat
terlatih baik. Dan bagian menakutkannya adalah"yang terutama"kitalah yang melatih mereka."
"Apa maksudnya?" tanya Tina.
"Artinya aku tidak berbohong saat bilang anggota mereka
nyaris selalu merupakan agen ganda," jawab Agen Townsend
ketus. "Circle of Cavan sangat baik dalam mengisolasi dan
merekrut agen-agen yang masih muda, rentan, atau keduanya."
"Tapi dari mana Anda tahu?" tanya Tina.
Senyum licik muncul di wajah Agen Townsend saat ia berdiri dan mengamati kami semua bergantian. "Karena akulah
yang melacak mereka."
Kalau kami nggak sangat membencinya, mungkin kami
bakal agak menyukainya saat itu. Tapi kami memang membencinya. Jadi kami tetap nggak menyukainya.
"Jangan salah, Anak-anak, Circle of Cavan berbahaya bukan karena apa mereka, tapi karena siapa mereka. Dan di mana
mereka berada. Dan mereka bisa jadi siapa saja. Mereka bisa
berada?"ia menoleh untuk menatap Mom?"di mana saja."
118 Bab S e m b i l a n B e l a s
umlah jam yang kuhabiskan dengan berjalan mengelilingi
mansion, tanpa tujuan: 6 Jumlah jalan rahasia yang kucari, berharap bisa sampai ke
suatu tempat: 27 Jumlah jalan rahasia yang kutemukan yang memang masih
berfungsi: 1 (Tapi jalan itu cuma menuju dapur.)
Jumlah kue yang kuambil saat di dapur: 1 (Oh, oke, 3"
tapi kuenya amat sangat kecil.)
Jumlah kesempatan aku ingin menangis: 9
Jumlah kesempatan aku berubah pikiran: 9
Jadi aku hanya terus berjalan"melewati perpustakaan dengan barisan buku dan perapian yang nyaris padam, melewati
lift yang nggak bisa lagi membawaku turun ke Sublevel Dua.
Koridor-koridor sepi dan gelap, seakan mansion sedang tidur"
beristirahat untuk mempersiapkan hari baru. Lalu aku berhenti
di Koridor Sejarah dan menatap pedang Cavan, menyadari
119 bahwa, untuk pertama kalinya sejak November, aku betul-betul
sendirian. Well" nyaris. "Halo, Ms. Morgan." Suara dalam mengiris kegelapan di
belakangku. Tentu, waktu itu memang jam dua pagi pada malam sekolah, tapi entah kenapa aku nggak terkejut saat berbalik dan
melihat Mr. Smith. Well" sebenarnya" fakta bahwa dia berjalan berkeliling mengenakan sandal dan baju tidur gaya kuno
itu memang mengejutkanku; tapi fakta bahwa dia masih terjaga
sama sekali tidak. "Saya?" aku memulai. Entah bagaimana, walaupun secara
teknis aku nggak melakukan kesalahan apa-apa, aku merasa
tepergok. "Saya tidak bisa tidur."
"Tidak apa-apa, Ms. Morgan." Mr. Smith mendekat dan
berdiri di sebelahku di depan kilauan hangat dari kotak kaca
yang menyimpan pedang itu. Sinar-sinar pelindung bergulung
di ruangan seperti ombak.
Kulirik guruku. Mungkin gara-gara malam yang begitu larut,
atau fakta bahwa salah satu dari kami memakai gaun (dan itu
bukan aku), tapi aku memberanikan diri bertanya, "Jadi apa
alasan Anda?" "Mata-mata yang baik harus selalu mengecek wilayah mereka pada saat-saat tak terduga dan dengan cara-cara yang juga
tak terduga." Aku memandang gaun tidur"maksudku baju"
baju tidur Mr. Smith. Kalau kau harus selalu melakukan hal
tak terduga agar tetap aman, Mr. Smith jelas bakal hidup
selamanya. "Kau harus mengingat itu, Cammie."
"Ya, Sir." Kutatap pedang itu. "Terima kasih. Sebenarnya
menyenangkan juga?" 120 Tapi kemudian kalimatku terputus. Aku nggak berani mengatakan apa yang ada dalam pikiranku.
"Tidak apa-apa." Mr. Smith mengedip paham. "Kau boleh
mengatakannya." Aku menunduk. "Menyenangkan juga mendapat nasihat
sungguhan soal Operasi Rahasia. Saya kehilangan itu."
"Mr. Townsend mata-mata yang baik, Cammie."
"Ya, tentu saja, saya tidak bermaksud mengatakan?"
"Ambisius. Bangga. Penuh perhitungan" Tapi mungkin dia
kurang cocok di kelas?"
"Ya," aku menyetujui. "Dia tidak akan bisa jadi sebagus?"
Tapi aku terdiam mendadak, tiba-tiba nggak mampu mengucapkan nama itu keras-keras.
"Tidak, kalian memang tidak terbiasa dengan Mr.
Townsend," Mr. Smith menyetujui.
"Dulu saya percaya dia." Aku nggak tahu dari mana katakata itu datang, tapi di sana, dalam cahaya pedang itu, aku
betul-betul harus mengatakannya. "Ternyata Joe Solomon pembohong. Dan pengkhianat. Tapi saya memercayainya. Bahkan
setelah London" Waktu itu dia bicara seperti orang gila, tapi
saya masih?" "Apakah dia gila, Cammie" Apakah dia betul-betul gila?"
Aku menatap mata-mata paling hati-hati yang pernah kukenal"mendongak pada wajah kelima yang kulihat dipakainya,
dan mencoba fokus pada mata yang sama sekali tidak berubah
sejak hari pertamaku di kelas tujuh.
"Joe Solomon memang punya banyak kekurangan, Cammie.
Tapi gila" Untuk satu itu, aku takkan pernah percaya. Bahwa
dia gila." 121 Mr. Smith maju selangkah ke Tangga Utama, ujung baju
tidurnya terayun selagi bergerak.
"Cobalah untuk tidur, Cammie. Dan selamat malam."
Saat berjalan kembali ke lantai atas malam itu, aku memikirkan kata-kata Mr. Smith dan cara Mr. Solomon mencengkeram
tanganku di Menara London, bagaimana dia menarikku ke
balik kegelapan. Saat aku menaiki tangga memutar tua yang
mengarah ke suite anak kelas sebelas, udara dingin menyapu
lenganku, dan aku menatap ke luar kaca jendela bergelombang
yang juga tua itu. semuanya mengingatkanku pada angin dingin di London, gulungan ombak Sungai Thames yang
mengalir di bawahku. Aku ingat betapa bingungnya Mr. Solomon saat memelukku
di jembatan"betapa gerakan itu terasa aneh dan asing.
Ke mana orang-orang seperti Joe Solomon pergi saat jatuh"
aku bertanya pada diri sendiri. Aku bertanya-tanya apakah ada
pertolongan yang menunggunya di tepi sungai.
Aku maju selangkah lagi, tapi selagi bergerak menaiki
tangga spiral itu, sesuatu di luar menarik mataku. Sesuatu membuatku berhenti dan menatap ke luar ke halaman.
Cahaya dari jendela-jendela mansion bersinar menembus
kegelapan, menyinari langit yang gelap dan berawan. Dan saat
itulah aku melihatnya"burung-burung yang terbang ke udara
bebas lalu kembali lagi, mengembangkan sayap mereka.
Sesaat, aku berdiri diam, mendengarkan angin yang melolong dan dekutan samar burung-burung itu, juga ucapan
guruku yang terus berulang dalam benakku selama bermingguminggu.
"Ikuti merpati."
122 Bab Du a P u l u h "T ernyata ada!" Suaraku pecah, dan kata-kata itu keluar
dalam sentakan-sentakan napas pendek seakan aku terengahengah. Kehabisan waktu. "Mr. Smith benar. Dia nggak gila!"
Kudengar langkah-langkah teman-teman sekamarku di
tangga belakangku, saat Bex bertanya, "Cam, kau ini ngomong
apa sih?" "Merpati!" Aku yakin aku pasti kelihatan seperti orang sinting. Dan secara teknis, kepalaku memang sering terbentur, jadi
teman-teman sekamarku punya alasan bagus untuk saling memandang seakan semua trauma otak itu akhirnya memengaruhiku.
"Cam," kata Liz perlahan, matanya masih bengkak karena
baru bangun tidur. "Kita mau ke mana?"
Sesuatu terasa hidup dalam diriku saat itu. Mungkin rasa
takut. Mungkin rasa khawatir. Tapi yang terutama, selagi aku
menaiki tangga, makin lama makin tinggi, kurasa yang kembali
123 hidup adalah harapan. Saat kami mencapai puncak tangga,
kurasakan udara dingin menyusup lewat celah-celah batu, dan
pada detik itu juga jantungku seakan berhenti berdetak. Aku
berdiri di sana, beku karena batu dingin di bawah jari-jariku
dan harapan yang nggak berani kuucapkan selagi aku meraba
pahatan kasar burung yang sedang terbang, dan mendorongnya.
Kelima batu terbesar melesak masuk, memperlihatkan ruangan kecil dan tuas berkarat.
"Cammie!" seru Liz. "Jangan. Kau nggak boleh meninggalkan mansion! Kau mau apa?"
Tapi Liz terlambat, karena pintunya sudah terayun membuka, semburan udara beku bertiup ke wajahku dan kaki
telanjangku, tapi aku nggak merasakan dinginnya.
Aku hanya menoleh untuk menatap sahabat-sahabatku,
yang berdiri dalam cahaya di ambang pintu, dan berkata, "Aku
mau mengikuti merpati."
Kami pernah kemari, tentu saja. Baru beberapa bulan lalu kami
duduk di peti-peti terbalik yang berdebu, sisa-sisa program
peternakan merpati pos rahasia Akademi Gallagher yang dulu
sangat terkenal. Kami duduk di sana selama berjam-jam,
memandang ke lampu-lampu kota Roseville, bicara soal orangorang yang memburu Macey. Memburuku. Tapi sekarang,
tempat itu kelihatan sangat berbeda.
"Apa?" Liz memulai, memandang berkeliling. "Apa ini?"
Banyak papan tulis terpasang di dinding dalam ruang itu,
jauh dari jendela-jendela tak berkaca yang menghadap halaman. Peti-petinya ditumpuk rapi di satu sisi. Sebuah kursi diletakkan sendirian di tengah lantai, menghadap semua papan tulis
124 itu, seakan seseorang menghabiskan berjam-jam di tempat itu,
mencoba memecahkan pertanyaan yang sangat sulit.
"Pasti ini yang Mr. Solomon ingin kita temukan." Aku melangkah mendekat ke semua papan tulis itu, setiap sentinya
penuh kalimat yang ditulis Mr. Solomon. "Dia mengambil risiko yang sangat besar"hanya untuk memberitahuku agar mencari ini," kataku.
"Cammie?" Bex memulai. "Kau sama tahunya denganku
bahwa waktu itu dia seperti orang gila. Dia bukan Joe Solomon
yang kita kenal." "Tapi kita ada di sini," balasku ketus. "Dia nggak gila kalau
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita bisa sampai di sini."
"Apa katanya?" Terdengar suara pelan Liz, matanya terfokus
selagi melangkah perlahan mendekati papan tulis, dan aku
tahu ia bukan bicara pada kami; pikirannya tenggelam dalam
lautan kode, mencoba melihat apa yang ada di balik kekacauan
itu. "Apa, Liz?" tanya Macey.
Liz menggeleng. "Aku" aku nggak tahu. Aku belum pernah melihat yang seperti itu."
"Karena itu sinting, itulah jawabannya." Bex meninju papan.
"Coba pikir, Bex. Pikir. Mr. Solomon merupakan salah satu
orang paling dicari di planet ini, dan aku cewek yang paling
dijaga di dunia. Kenapa menemuiku di London" Kalau dia bekerja untuk Circle, kenapa mengambil risiko itu?"
"Aku nggak tahu, Cam. Kenapa dia membunuh ayahmu"
Kenapa dia bergabung dengan Circle" Mungkin dia kehilangan
kewarasannya atau mengamuk atau?" Kukira Bex bakal menangis. "Mungkin inilah siapa dirinya sekarang."
125 "Apakah dia gila pada minggu ujian akhir" Apakah dia gila
saat di D.C.?" Kata-kata Mr. Smith seakan menyelimutiku.
"Kalau dia nggak gila, Bex, berarti dia datang ke London
untuk alasan bagus." Kubentangkan lengan lalu mendekati
papan-papan itu. "Dia datang ke London untuk ini."
Kami berempat berdiri persis di tempat Joe Solomon pernah
berdiri, menatap berbagai kata, angka, dan diagram yang ditulisnya. Ada jawaban di sini. Petunjuk. Dia mempertaruhkan
kebebasannya"nyawanya"untuk membawaku ke atap ini.
Aku sudah mengikuti merpati, dan malam itu aku berdiri tanpa mantel di tengah udara dingin membeku, mencoba memecahkan kode yang ada di sini.
Di belakangku, seekor merpati berdekut. Suara itu terdengar
menakutkan dan keras selagi aku menyipitkan mata dalam kegelapan ke tepian atap. Burung itu berdekut lagi.
"Dasar burung bodoh," kata Liz, mengibaskan tangan ke
arah merpati yang duduk sendirian di susuran.
Kebanyakan orang nggak tahu bahwa apa pun bisa dijadikan
perantara, pengantar pesan untuk mata-mata. Bagian mansion
ini ada karena dulu merpati merupakan salah satu perantara
terbaik. Mereka nggak akan bicara saat diinterogasi; bahkan
satelit mata-mata terbaik di dunia pun nggak bisa melacak
mereka. "Sana pergi," kata Liz lagi. "Pergi?"
"Tunggu," kataku, menahan tangan sahabatku, menatap
burung kecil yang duduk diam itu, menunggu dalam kegelapan.
"Cam." Suara Bex terdengar pelan. "Cam, ada apa?"
Aku beringsut ke arah burung itu dan meraih lipatan kertas
mungil yang diikat rapi di kakinya.
126 Kalau kau membaca ini, kau sudah menemukannya. Dan kalau
kau sudah menemukannya, kau tahu. Harus bertemu denganmu.
Temui aku di tempat kita melakukan brush pass. Kirimkan waktunya padaku.
Kumohon, datanglah. Dan tolong hati-hati. Kata-kata itu diketik rapi. Nggak ada tanda tangan"nggak ada
nama apa pun. Dan walaupun aku tahu mengirim pesan itu
merupakan tindakan ceroboh, dan membacanya juga merupakan tindakan ceroboh dari sisiku"amat sangat bodoh untuk
bahkan berpikir melakukan permintaan dalam surat itu"kenyataannya adalah hidup mata-mata bukanlah soal tidak
mengambil risiko. Hidup mata-mata justru soal mengambil
peluang yang sepadan dengan risikonya.
127 Bab Du a P u l u h S a t u
"B agaimana dengan terowongan ventilasi tua di lantai
bawah tanah?" tanya Bex saat kami duduk di depan perapian
yang menyala di perpustakaan keesokan malamnya.
Aku menggeleng. "Tertutup dengan semen baru setebal dua
puluh senti." "Perapian berputar di lantai dua?" usul Macey.
"Mungkin." Aku mempertimbangkan gembok dan jerujijeruji yang ditambahkan di sana pada liburan musim dingin.
"Dengan asumsi kita bisa mendapatkan obor las. Kalian punya
obor las?" Liz langsung bersemangat seakan mau bilang ya, bahwa dia
memang punya obor las di belakang lemari.
"Aku bahkan takut untuk tahu jawabannya," kataku, mengangkat tangan untuk menghentikan ucapan Liz.
"Wah, mereka betul-betul ingin menjaga kita tetap di
dalam, ya?" kata Macey.
128 "Bukan." Bex menggeleng dan menatapku. "Mereka ingin
menjaga Circle tetap di luar." Ia diam sejenak, dan kenyataan
itu melingkupi kami bertiga. "Ini berbahaya. Terlalu berbahaya."
"Aku setuju dengan Bex," kata Macey. "Dia memintamu
mengambil risiko yang sangat besar, Cam."
Mereka benar, tapi satu-satunya yang bisa kupikirkan adalah
cara Mr. Solomon berjalan tepat ke tengah orang-orang yang
menyisir seluruh penjuru dunia untuk mencarinya. "Mungkin
ini giliranku." "Oke. Baiklah. Kita anggap saja semua orang salah," tawar
Bex. "Kita anggap saja Mr. Solomon tidak bersalah, semua
tuduhan itu nggak berdasar, dan dia nggak membunuh?" Bex
berpaling, lalu menoleh kembali. "Kita anggap saja dia memang pria yang kita kenal. Apakah Mr. Solomon yang kita
kenal bakal menyuruhmu menyelinap keluar dari Akademi
Gallagher, pergi ke kota, dan bertemu buronan" Apakah Joe
Solomon bakal menyuruhmu bertindak bodoh?"
Jawabannya jelas. Mungkin itu sebabnya nggak satu pun
dari kami menjawab pertanyaan Bex.
"Kenapa bukan kami saja yang pergi?" kata Liz, menunjuk
dirinya, Bex, dan Macey. "Temui dia. Ambil pesannya. Bawa
kembali." "Aku nggak bisa menjelaskannya, Teman-teman," kataku
sambil menggeleng. "Aku hanya tahu aku harus pergi."
"Bukan berarti kau harus bertindak bodoh!" balas Bex, dan
kusadari bahwa Bex bersikap hati-hati. Bex-lah yang berpikir
logis. "Kau nggak melihat, Cammie," ia melanjutkan. "Kau
nggak dipaksa diam dan menonton saat mereka membius dan
menyeretmu pergi seperti boneka. Kau memang di sana, Cam,
129 tapi kau nggak dipaksa melihat temanmu nyaris pergi untuk
selamanya. Kau nggak tahu seperti apa rasanya melihat semua
itu." "Yeah," kata Macey pelan. "Dia tahu."
Aku menatap teman-temanku, kepada mereka aku bisa memercayakan nyawaku. Lalu aku memikirkan Dad dan seorang
pria lain, pria yang mungkin dipercaya Dad untuk menjaga
nyawanya. "Aku harus pergi," kataku. "Ini misiku."
"Dan kau misi kami," balas Bex.
"Sebenarnya apa maksud kita?" seru Liz. "Cam, kita nggak
perlu menyelinap keluar. Kita bahkan nggak perlu pergi sendiri.
Aku bertaruh ibumu?"
"Nggak," kataku, memotong ucapan Liz. "Kalau Mom sampai ketahuan membantu Joe Solomon" Nggak. Kita nggak
bisa minta bantuan orang lain."
"Aku tahu, Cam," kata Bex, menghentikanku. "Aku tahu.
Tapi kalau kita melakukan ini tanpa backup?"
"Bagaimana kalau mereka salah, Bex?" pintaku. "Bagaimana
kalau Mr. Solomon-lah satu-satunya kesempatan yang kita
punya untuk mengetahui apa yang terjadi pada ayahku" Bagaimana kalau sementara semua orang mengejarnya, nggak ada
yang mencoba menghentikan Circle of Cavan" Bagaimana
kalau dia nggak melakukan semua itu?"
Suara Bex terdengar datar, tenang, dan kuat saat menatapku. "Bagaimana kalau dia memang melakukannya?"
130 Bab Du a P u l u h D u a Laporan Operasi Rahasia Para Pelaksana menggunakan skenario kuda Troya dasar. Dan
sebagai ganti kuda, kami menggunakan Minivan Dodge keluaran
1987. ernyata, saat salah satu organisasi teroris paling berbahaya
dan rahasia di dunia sedang memburu salah satu murid di sekolahmu, para staf sekolah lebih peduli untuk menjaga orangorang luar agar tidak masuk daripada menjaga orang-orang
dalam agar nggak keluar. Atau setidaknya itulah yang dikatakan Bex, Macey, dan aku
pada diri sendiri selagi kami meringkuk di bawah kain terpal,
selimut, dan sekitar sepuluh juta buku catatan fisika, berbaring
sediam mungkin di belakang van Liz.
"Mau ke mana malam ini?" tanya penjaga di gerbang depan.
131 Aku bisa membayangkan si penjaga bersandar ke jendela
pengemudi sambil mengunyah permen karet.
Aku harus menahan napas selagi menunggu suara lembut
beraksen Selatan yang menjawab, "Cuma mengecek jalannya
van ini, Walter." "Bagaimana kemajuan van ini, Lizzie?" tanya si penjaga.
Dalam cahaya remang yang merayap masuk melewati lipatan
selimut, kulihat Bex juga menahan napas.
"Nyaris 650 km per galon," sembur Liz. "Maksudku, spesifiknya, 635"itu bisa kulakukan. Lebih spesifik, maksudku. Kau
kan kenal aku, Walter. Aku sangat perhatian pada detail. Aku
cuma pergi untuk mengetesnya. Aku tidak menyembunyikan
apa-apa!" semburnya, dan mata Bex terbelalak.
PRO DAN KONTRA MENYELINAP KELUAR DARI SEKOLAH
(Daftar oleh Pelaksana Morgan, McHenry, dan Baxter)
PRO: Untuk ukuran operasi kuda Troya, belakang minivan
ternyata nggak terlalu buruk.
KONTRA: Rebecca Baxter, meskipun punya banyak kualitas baik dalam dirinya, ternyata suka memonopoli kain penyamaran.
PRO: Tidak ada cara lebih baik untuk mengalihkan pikiran
cewek dari organisasi teroris yang sedang memburunya daripada
melaksanakan operasi rahasia yang tidak diawasi dan mungkin
ilegal"belum lagi PR Budaya & Asimilasi.
KONTRA: Cewek yang dimaksud di atas seharusnya sedang
mengerjakan PR Budaya & Asimilasi.
PRO: Jika kau tidak mendapatkan pelajaran Operasi Raha132
sia sungguhan selama berbulan-bulan, kau bakal memanfaatkan
pengalaman praktik apa pun yang bisa kaudapat.
KONTRA: Jika kau tidak mendapatkan pelajaran Operasi
Rahasia sungguhan selama berbulan-bulan, mau nggak mau kau
bakal merasa keterampilanmu mulai karatan.
Aku kenal jalan-jalan di Roseville. Aku pernah menyusurinya
bersama teman-teman sekelasku. Di sana, aku pernah bergandengan tangan dengan pacar pertamaku (dan secara teknis
satu-satunya). Aku pernah melihat jalanan itu dipenuhi para
penggemar futbol dan penonton parade, lengkap dengan para
wanita yang menjual kue dan permen untuk menggalang dana
bagi gereja, dan anak-anak yang keluar untuk bersenang-senang
pada hari Sabtu. Roseville betul-betul khas Amerika, dengan gazebo putih,
bioskop, dan alun-alun kota, tapi sepertinya semua berbeda
saat aku berdiri di menara lonceng perpustakaan, menatap
alun-alun itu. Tidak ada apa-apa selain aku dan langit"tanpa
dinding, tanpa penjaga"walaupun begitu aku merasa terperangkap. Seperti gagak-gagak di London itu, aku tahu aku
nggak bisa terbang dan pergi.
"Perlindunganmu di sini cukup bagus," kata Bex padaku.
Bisa kudengar suara Macey lewat unit komunikasi di telingaku, mengucapkan apa yang sudah kuketahui: "Alun-alun aman."
Bisa kulihat Liz di dalam van, mengelilingi blok.
"Liz dari van," kata Bex. "Kita punya pemancar cadangan
di luar kota kalau-kalau terjadi sesuatu pada van-nya."
Bex terus bicara, tapi yang bisa kupikirkan hanyalah bagaimana udara terasa lebih dingin. Bintang terlihat lebih terang.
Angin bertiup lebih lembut di pipiku. Seakan semua indraku
13 3 menjadi lebih tajam, dan mau nggak mau aku berpikir terkadang kebanyakan orang bakal merasa begini"saat mereka
sendirian atau berada dalam kegelapan. Saat mendengar suara
di lemari atau derakan di lantai papan, mereka bisa merasakannya. Ini bukan tentang rasa takut"ini tentang merasa benarbenar hidup. Saraf-saraf bekerja lebih keras, membawa pesan
ke otak, mempersiapkan otak untuk bertarung atau lari, dan
malam itu, well, kita anggap saja malam itu saraf-sarafku perlu
bekerja sangat keras. "Cam?" tanya Bex seolah aku nggak mendengar kata-katanya. Tapi dia salah. Malam itu aku mendengar, melihat, dan
mencium segalanya. "Aku akan menempati posisi. Kau puas
dengan posisi ini?" Aku mengamati alun-alun dan mengangguk. "Ya."
"Kau aman di sini." Bex menyentuh lenganku, nyaris seolah
ia mencoba mendapatkan bauku, seakan mungkin tak lama
lagi ia harus mengejarku sampai mengelilingi dunia.
Lalu aku melihat Bex pergi.
Saat berdiri sendirian di menara itu, aku mengingatkan diri
mengenai semua hal di dunia yang aku tahu sungguh-sungguh
benar: Rebecca Baxter merupakan mata-mata terbaik di Akademi Gallagher dan takkan berbohong mengenai keamananku.
Ada pelacak GPS di jam tangan, sepatu, ikat rambut, dan perutku (berkat pelacak model baru yang bisa dimakan yang
sedang diuji coba Liz). Teman-teman sekamarku dan aku membawa tombol panik
yang bisa memanggil sepasukan tentara dalam sekejap mata.
Mereka bisa melacakku, di mana pun di bumi ini (dan, Liz
betul-betul percaya, juga di bulan).
Walaupun begitu, aku nggak bisa mengenyahkan perasaan
134 bahwa alun-alun itu terlihat lebih kecil dari tempatku berdiri,
atau mungkin tepatnya dunia terasa lebih besar saat ini. Kuangkat teropong dan kuamati jalanan, mengatakan pada diri
sendiri bahwa aku sangat aman. Aku siap. Aku bisa menangani
apa saja. Aku siap menghadapi segalanya"
Kecuali melihat sosok tinggi berbahu bidang, muncul entah
dari mana di tepi gazebo, dan berkata, "Halo, Gallagher Girl."
13 5 Bab Du a P u l u h T i g a
erspektif sangatlah penting. Serius. Aku sangat merekomendasikan hal ini. Kau nggak akan bisa melihat beberapa hal
kecuali kau mundur selangkah dan mengamati dengan amat
sangat teliti. Maksudku, kalau aku berdiri di alun-alun itu dan bukan di
menara ini, aku mungkin bakal mendengar cewek itu berkata,
"Well, halo juga," tapi aku mungkin melewatkan cara cowok
itu tersandung ke belakang saat si cewek menoleh. Aku mungkin nggak akan melihat bagaimana bahu si cowok merosot dan
kepalanya tersentak seperti seseorang yang tidak menemukan
apa yang dicarinya. Aku mungkin nggak akan menyadari bahwa Zach kecewa
saat menemukan cewek lain di gazebo.
"Macey?" tanya Zach seakan nggak bisa memercayai penglihatannya. Mungkin sebetulnya itu membuatku tersanjung,
karena nggak ada yang pernah salah mengenaliku sebagai
136 Macey McHenry. Sama sekali. Tapi saat itu gelap, dan bahkan
tanpa akses ke lemari penyamaran dan penipuan terbesar di
dunia, Macey tetaplah putri pewaris perusahaan kosmetik. Dan
saat memakai wig serta jaket lama Zach, Macey merupakan
pemeran pengganti yang bagus, atau setidaknya cukup bagus.
"Di mana Cammie?" tanya Zach.
"Kau tampak kecewa melihatku, Zach," goda Macey. "Memangnya kau nggak suka jaketku?"
"Di mana dia?" desak Zach.
"Di sekolah," Macey berbohong tanpa ragu. "Mengamati
dari siaran video live. Dia aman." Ia beringsut mendekat, menatap Zach.
"Pengacau sinyal di sekolah tidak memungkinkan hal itu,
Macey. Nah, di mana dia?" Zach berbalik. "Aku tahu dia di
suatu tempat di sekitar sini," katanya, mengamati berbagai
gang dan bangunan yang mengelilingi alun-alun.
"Dia aman di tempatnya, Zach." Bex melangkah keluar dari
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ceruk gelap di sebelah bioskop dan menempati posisi di belakang Zach. "Dan kami akan menjaganya tetap aman."
"Aku perlu bicara dengannya," kata Zach pada mereka.
"Kalau begitu bicaralah," kata Macey. "Kami memakai unit
komunikasi. Dia bisa mendengarmu."
"Aku perlu melihatnya langsung."
"Aku turun," semburku, tak sabar lagi berhenti berada di
pinggiran, tapi tangan Bex menyentuh telinganya. Dia berteriak padaku.
"Tetap di tempatmu!"
Tapi aku sudah pergi. "Dia beruntung sekali memiliki kalian," kata Zach setelah
beberapa saat. "Dia butuh kalian."
13 7 "Apa yang kaulakukan di sini, Zach?" tanya Macey, tapi
Zach hanya menggeleng. Dia menunduk menatap tanah.
"Jawabannya rumit."
"Kalau begitu buat jadi nggak rumit." Bahkan saat kuucapkan kata-kata itu, aku tahu aku bakal menyesalinya. Sebentar
lagi. Mungkin Zach hanya umpan dan sekarang ini aku berjalan masuk ke perangkap. Mungkin Bex akan mempermudah
pekerjaan Circle dan membunuhku di tempat itu juga, tapi aku
nggak bisa tetap berada di pinggiran.
"Kau bekerja sama dengan Mr. Solomon," kataku.
"Secara teknis, sekarang ini dia bertugas di sisi lain dunia,"
Zach mencoba bergurau, tapi benakku terus berputar keras.
"Liz dan Macey bilang hanya karena kau bersekolah di
Blackthorne bukan berarti?" Suaraku tersekat. "Tapi kau
betul-betul bekerja sama dengannya."
"Gallagher Girl, dengarkan aku."
"Jadi" apa yang terjadi, Zach" Apakah Circle of Cavan
merekrutmu juga?" Zach menatapku lama sekali sebelum akhirnya menunduk
dan berbisik, "Nggak juga."
Di tepi alun-alun, lampu jalan berkedip. Bayang-bayang
merangkak menyeberangi rumput selama sepersekian detik, dan
aku mengernyit, teringat saat terakhir kalinya aku sendirian
bersama Zach dan semua lampu tiba-tiba padam. Aku teringat
letusan pistol dan pemandangan bibiku yang jatuh ke jalanan
gelap, sementara salah satu agen Circle berdiri di antara diriku
dan kebebasan. Tapi bukannya menembak, si agen malah
menatap Zach dan berkata, "Kau?"
"Apa yang kaulakukan di sini, Zach?" tanyaku, tenggorokanku tiba-tiba sangat kering.
138 "Dia memintaku menyampaikan pesan padamu."
"Kalau begitu, kirim saja pesannya padaku! Apa yang begitu
penting sampai aku harus membahayakan keselamatan temantemanku demi menyelinap ke luar sekolah?" desakku. "Hah"
Apa yang?" "Aku harus melihatmu." Zach menutup jarak di antara kami.
Tangannya terasa hangat dari sakunya saat menangkup jemariku. "Aku perlu tahu bahwa kau baik-baik saja. Aku harus
melihatmu dan menyentuhmu dan" tahu."
Zach menyibakkan rambut dari wajahku, jemarinya terasa
ringan di kulitku. "Di London?" Kalimatnya terputus. "Setelah D.C?"
"Aku baik-baik saja," kataku, beringsut menjauh. "Hasil
CAT scan dan X-ray normal. Tidak ada kerusakan permanen."
Kebanyakan orang akan memercayai kebohonganku. Aku
belajar cara mengucapkan kebohongan dengan tepat. Wajahku
mudah dipercaya. Tapi cowok di depanku adalah mata-mata
terlatih, jadi Zach tahu aku hanya berbohong. Lagi pula, Zach
mengenalku. "Benarkah?" Ia menyentuh wajahku lagi. "Karena aku nggak
baik-baik saja." Aku nggak mengenal Zachary Goode. Aku sudah menyentuhnya, bicara dengannya, dan merasakan bibirnya di bibirku,
tapi aku nggak mengenalnya"tidak sepenuhnya.
Bisa kurasakan jam terus berdetak, dan aku tahu sisi cewek
dalam diriku setahun lalu itu sekarang sudah kehabisan waktu.
"Aku baik-baik saja, Zach," kataku, bergerak mundur. "Tapi
aku harus pergi. Kami cuma punya waktu setengah jam sebelum pihak sekolah menyadari kepergian kami."
13 9 Zach menunjuk kegelapan. "Siapa lagi yang ada di luar
sana?" "Yang biasa," kataku, tetap menolak memberikan terlalu
banyak informasi. "Ibumu?" tanya Zach, tapi aku nggak perlu berkata apaapa"ia bisa membaca jawabannya di mataku. "Bagus," kata
Zach. "Solomon nggak mau ibumu mengambil risiko."
"Apa pedulinya" Kalau dia peduli pada ibuku, seharusnya?"
Dan aku gemetar. "Jadi mereka memberitahumu?" tanya Zach lagi, melangkah
mundur. "Yeah. Mereka bilang dia bagian Circle, dan dia" Ayahku
meninggal karena dia." Jantungku berdebar keras di dada. Tenggorokanku seakan terbakar. "Apa ini bagian ketika kau bakal
menyangkal?" "Nggak." Zach menggeleng. "Ini bagian ketika aku meminta
bantuan." "Berani sekali kau," kata Bex, bergerak mendekat, tapi nggak
sedetik pun tatapan Zach meninggalkan mataku.
"Ada sebuah buku, Gallagher Girl," kata Zach, lalu menelan ludah. "Mungkin itu satu-satunya hal di dunia yang diinginkan Circle sebesar mereka menginginkanmu."
"Buku macam apa?" tanyaku.
"Jurnal. Joe"Mr. Solomon"ingin kau membacanya."
"Kenapa?" tanyaku.
"Buku itu menjelaskan semuanya, Gallagher Girl. Lagi pula,
kalau dia nggak berhasil keluar dari masalah ini" Dia ingin
kau membaca buku itu."
"Di mana buku itu?" tanya Bex.
140 "Kau nggak akan menyukai jawabanku. Tempatnya berbahaya dan?"
"Di mana buku itu?" desak Bex, Macey, dan aku bersamaan.
"Sublevel Dua."
"Lantai sublevel?" Bex menggeleng. "Nggak. Nggak mungkin. Lantai-lantai itu ditutup. Terlarang."
"Oh, dan apakah tempat-tempat terlarang bisa menghentikanmu selama ini?" tanya Zach padanya. "Dengar, lantai-lantai
itu bukannya ditutup secara teknis"lantai sublevel dipasangi
bom yang akan meledak jika seseorang mencoba mendekat,"
katanya seolah kami berhadapan dengan bom superbahaya setiap hari. Dan" well" sebenarnya itu memang benar.
"Dari mana kau tahu soal lantai sublevel?" tanyaku, sudah
yakin apa jawabannya. "Karena seminggu sebelum aku bertemu denganmu di
London, Joe mendengar CIA punya sumber yang mulai bicara.
Dia harus menghilang dari peredaran dan tetap menghilang
dari peredaran"secepat mungkin. Mereka akan datang untuk
menangkapnya, Gallagher Girl, dan dia nggak bisa mengambil
risiko tertangkap di bawah sana, jadi?"
Zach menarik napas dalam-dalam dan menampilkan senyumnya yang paling jail. "Aku tahu soal lantai sublevel karena Joe Solomon-lah yang memasanginya dengan bom."
141 Bab Du a P u l u h E m p a t
oe Solomon nggak memasang jebakan-jebakan di lantai
sublevel Akademi Gallagher untuk Wanita Muda Berbakat
agar ruangan itu meledak atau terisi air dari danau.
Jangan salah, semua itu jelas bisa terjadi! Tapi apa pun yang
telah kaudengar, bukan Mr. Solomon yang memasang protokolprotokol itu"dewan pengawas Akademi Gallagher-lah yang
melakukannya, dulu, dulu sekali. Sebelum aku lahir. Sebelum
Mom lahir. Bagaimanapun, kalau rahasia besar sebanyak itu
tersimpan di satu tempat, sangatlah penting untuk melindungi
tempat tersebut. Dan kalau upaya-upaya perlindungan itu
ternyata gagal, sangatlah penting untuk menghancurkan tempat
tersebut. Jadi aku sangat berharap orang-orang mau meluruskan
ceritanya: Bukan Mr. Solomon yang memasang pemicu-pemicu
untuk meledakkan lantai sublevel!
Dia cuma menyalakannya. 142 Atau setidaknya, itulah yang dikatakan Zach pada kami.
Dan itu" Yeah, itulah masalahnya.
"Ada masalah?" tanya Liz, meskipun di depan ruangan Dr.
Fibs dan Madame Dabney sedang memberikan pelajaran gabungan yang sangat menarik mengenai teknik menulis rahasia
(dan kenapa Gallagher Girl betul-betul perlu mempelajari cara
membuat sendiri tinta tak kasatmata dan menulis kaligrafi).
"Apakah karena sensor-sensor di terowongan lift?" tebak
Liz. Aku menggeleng. "Karena hanya ada waktu dua detik sebelum protokol
antiinvasi menyala dan kita" meledak?"
"Astaga!" seru Dr. Fibs. Aku mendongak dan melihat bahwa tanpa sengaja Dr. Fibs menumpahkan ramuan tak kasatmata
terbarunya pada Madame Dabney, dan blus putih yang dipakai
Madame Dabney semakin lama semakin transparan.
"Aku tahu apa yang kaupikirkan, Cam," lanjut Liz. "Sudah
berminggu-minggu kita mencari cara untuk masuk ke" kau
tahu ke mana" tapi belum berhasil. Tapi itu nggak sepenuhnya
benar!" Di depan ruangan, Madame Dabney (yang, omong-omong,
mengenakan bra yang jauh lebih seksi daripada dugaan siapa
pun) mulai mengusap-ngusap bagian depan blusnya dengan
taplak meja antik, dan Dr. Fibs mengambil pemantik.
"Nah, ingat, Anak-anak, tinta akan terlihat lagi saat terekspos panas!" ujar Dr. Fibs sambil menyalakan pemantik dan
taplak meja yang dipegang Madame Dabney langsung terbakar.
"Kita punya strategi masuk dan keluar dan" kita punya
banyak strategi!" kata Liz, matanya membelalak, dan tepat
14 3 pada saat itu aku tahu sebagian diri Liz nggak peduli bahwa
Zach dan Mr. Solomon meminta kami melakukan hal yang
tidak pernah dilakukan siapa pun selama 150 tahun terakhir.
Bagi Liz, ini hanyalah teka-teki, tes. Dan Liz amat sangat
hebat dalam mengerjakan tes.
"Yeah, Cam," kata Liz lagi begitu asap menghilang (secara
harfiah) dan kami mengumpulkan barang-barang lalu meninggalkan kelas. "Kita pasti bisa mencari cara."
"Mencari cara untuk apa?" tanya Bex, menjajari kami.
"Bukan apa-apa," bisikku.
"Jawaban yang salah," kata Bex, mencondongkan diri mendekat, suaranya nyaris nggak terdengar di tengah aliran cewekcewek yang memenuhi koridor. "Nah, ada masalah apa?"
"Zach," tebak Macey sambil mengangkat bahu. Ia menatapku. "Pasti soal Zach, kan?"
"Jadi semua kamera generasi terbaru di lantai Sublevel yang
bisa berputar 360 derajat dan pemicu yang sensitif terhadap
panas tidak mengganggumu?" tanya Liz. Aku nggak yakin saat
ini Liz sedang mengejekku atau tidak.
"Ada sesuatu yang nggak dikatakan Zach pada kita," bisikku.
"Misalnya apa?" tanya Bex, tertarik lagi.
Misalnya kenapa jurnal itu begitu penting" Misalnya kenapa
laki-laki di D.C. itu tidak menembak Zach dan menculikku
padahal dia punya kesempatan" Setidaknya ada belasan pertanyaan yang memenuhi benakku, tapi koridor sekolah sangat
ramai, dan hanya satu hal yang berani kukatakan.
"Pokoknya" sesuatu."
"Dia cowok, Cam." Macey melewatiku dan memimpin jalan
144 menyusuri koridor. "Dan dia mata-mata. Dia mata-mata cowok.
Akan selalu ada sesuatu yang nggak dia katakan."
"Zach memihak kita"di D.C.," kata Liz. Nggak ada nada
ragu dalam suaranya, nggak ada rasa takut. "Aku tahu waktu
itu kau memang nggak bisa melihat, Cam. Aku tahu mereka
membiusmu, lalu kepalamu terbentur, dan segalanya. Tapi dia
dan Mr. Solomon memihak kita," kata Liz untuk terakhir
kalinya, lalu berbalik dan berlari menuju ruang kelas Mr.
Mosckowitz. Aku menoleh pada Macey. "Dia memang misterius," kata Macey sambil mengangkat
bahu. "Misterius kan seksi." Lalu giliran Macey yang berbalik
dan berlari keluar pintu, menuju kelas P&P.
Saat aku menoleh pada Bex, aku ingin dia berkata semuanya akan baik-baik saja"bahwa kami berempat bisa melakukan
apa pun, dan hanya masalah waktu sebelum kami menemukan
jalan ke Sublevel Dua, membersihkan nama Mr. Solomon, lalu
menghentikan pemanasan global (tidak harus dalam urutan
itu). Aku menatap Bex. Aku menunggu.
"Kita tak bisa memercayai Zach." Bex mendahuluiku, melangkah tenang memasuki Ruang 132. "Kita tak bisa memercayai siapa pun."
Aku ingin memberitahu Bex bahwa dia salah (tapi dia
nggak salah). Kupikir mungkin aku bisa memikirkan suatu cara
untuk membuktikan Zach merupakan perkecualian (tapi sebetulnya aku nggak bisa). Aku ingin Bex berhenti menganggapku sebagai mata-mata dan mulai bicara padaku sebagai remaja
cewek, tapi Gallagher Girl disebut berbakat karena kami adalah remaja cewek dan mata-mata"setiap saat. Aku ingin ma14 5
suk ke kelas Operasi Rahasia dan pura-pura membaca buku
membosankan mana pun yang bakal diberikan Townsend pada
kami dan mengingat kembali setiap pembicaraan antara Zach
dan aku. Tapi sebelum aku bisa maju selangkah, Agen
Townsend sudah muncul di ambang pintu kelas, dengan mantel di tangan, dan berkata, "Kelas sebelas, ikut denganku."
Aku tahu kami memang berada dalam bisnis yang harus siap
menghadapi apa pun"tanpa terkejut sekali pun"tapi biar
kuberitahu sesuatu, secara rutin sebagian besar orang yang
kukenal masih saja membuatku shock setengah mati. (Contohnya, waktu Mr. Mosckowitz dan Liz memanjat tebing bersama-sama dan mereka sama-sama kembali dengan selamat.)
Tapi selama lima setengah tahun belajar di sekolah matamata terbaik dunia, sedikit sekali kejadian yang membuatku
lebih terkejut dibandingkan berjalan bersama murid-murid
kelas sebelas Operasi Rahasia lain, mengikuti Agen Townsend
menyusuri koridor. Agen Townsend jenis pria yang selalu bergerak dengan
tujuan, tidak pernah menyia-nyiakan selangkah pun, tapi hari
itu dia berjalan bahkan dengan lebih cepat. Dia tampak lebih
tinggi. Walaupun kami masih ada di dalam mansion Gallagher,
sesuatu memberitahuku bahwa Agen Townsend akhirnya kembali ke daerah yang dikuasainya.
"Mm" Sir?" sela Tina Walters, menyeruak melewati kerumunan, mencoba maju sedekat mungkin pada pria di depan
barisan. "Apakah kita akan kembali ke Sublevel Dua?" tanyanya, tapi Townsend bersikap seolah Tina nggak mengatakan
apa-apa. "Apa tugas utama agen lapangan?" tanya Agen Townsend
146 dengan cara yang membuatnya terdengar nyaris seperti guru
sungguhan. Nyaris. "Merekrut, menjalankan, dan mempertahankan aset intelijen," jawab Mack Morrison, mengutip halaman dua belas edisi
lama Memahami Spionase: Petunjuk Operasi Rahasia untuk Pemula, Edisi Ketiga, yang kami baca secara bergantian di bawah
selimut waktu kelas tujuh.
Agen Townsend memandang Mack. Selama sepersekian
detik, kupikir ia mungkin akan betul-betul tersenyum, tapi ia
hanya berkata, "Salah."
Rasanya seluruh anggota kelas sedikit terhuyung. Townsend,
sebaliknya, terus berjalan.
"Tugas utama agen lapangan adalah memanfaatkan orang
lain"orang asing, biasanya. Kadang-kadang teman. Sekretaris,
tetangga, pacar, tukang bersih-bersih, dan wanita-wanita tua
yang menyeberang jalan. Kita memanfaatkan semua orang."
Ia berhenti di tengah selasar dan berbalik menghadap kami,
sementara, di belakangnya, pintu-pintu utama berayun membuka. Ada van yang terparkir di tengah jalan masuk. Aku tergoda untuk memejamkan mata dan berpura-pura ini memang
pelajaran Operasi Rahasia sungguhan, bahwa kami punya guru
Operasi Rahasia sungguhan lagi.
Tapi kemudian Townsend berkata, "Tapi, tentu saja, kalau
perbuatan itu terlalu rendah bagi Gallagher Girl?"
"Tidak, Sir!" seru Tina.
Townsend melangkah ke samping dan memberi isyarat ke
arah pintu-pintu yang terbuka. "Kalau begitu, silakan duluan."
Apa yang terjadi berikutnya adalah serbuan emosi dan
adrenalin yang tidak kurasakan selama berminggu-minggu. Begitu memabukkan. Sampai-sampai aku nyaris pusing. Walaupun
14 7
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu aku tetap berdiri diam, mengamati teman-teman sekelasku berlari keluar, menuju van yang menunggu.
"Sepertinya kaupikir ini kegiatan pilihan, Ms. Morgan?"
Agen Townsend berdiri menatapku lewat pintu yang terbuka.
"Tentu saja saya ingin pergi, tapi ada protokol-protokol keamanan?"aku berpaling, entah bagaimana nggak bisa menghadap Agen Townsend saat mengakui, "Profesor Buckingham
bilang saya tidak boleh meninggalkan wilayah sekolah."
"Dan sepertinya kaupikir aku melupakan fakta itu?"
"Tidak, Sir." "Kalau begitu kaupikir aku bodoh."
"Tidak, Sir, saya?"
"Jangan khawatir, Ms. Morgan, aku tahu kau spesial. Dan
karena kau serta ibumu, aku menghabiskan banyak sekali
waktu dan energi untuk membuat pengaturan-pengaturan
spesial," katanya dengan seringai merendahkan. "Tapi kalau kau
ingin tetap tinggal di mansion?"
Aku nggak menunggu Agen Townsend menyelesaikan kalimat. Aku sudah keluar pintu.
148 Bab Du a P u l u h L i m a
ata-mata butuh operasi rahasia. Aku tahu kedengarannya
sinting, tapi itu benar. Karena walaupun otak kami" kau tahu
kan" seukuran otak normal, setiap mata-mata yang menyamar
tahu bahwa pikiran manusia cukup besar sehingga bisa membuat seseorang tersesat di dalamnya"kau bisa sinting kalau
punya terlalu banyak waktu luang dan terlalu banyak ruang
untuk membiarkan ketakutan-ketakutan terbesarmu terbebas
lepas. Jadi, yeah. Mata-mata butuh operasi rahasia. Dan saat aku
duduk di sebelah Bex di van Akademi Gallagher yang membawa kami melewati gerbang-gerbang besi tinggi yang beberapa
waktu terakhir ini berdiri di antara diriku dan dunia luar, aku
harus bertanya, "Kau dengar itu?"
"Apa?" tanya Bex. "Suara kecil yang memberitahu sebaiknya
kau tetap tinggal di tempatmu tadi?"
"Bukan." Aku tersenyum. "Kebebasan."
14 9 Bex menatapku seolah aku mungkin jadi lebih sinting daripada biasa, tapi aku nggak peduli.
Aku naik van! (Dan di kali ini aku duduk di kursi sungguhan, yang, biar kuberitahu, baru akan kaurindukan kalau kursi
itu nggak ada.) Aku di luar sekolah! Aku menjalankan misi! Aku mau ke" Lalu aku melirik ke luar jendela dan menyadari bahwa aku
nggak tahu ke mana kami akan pergi.
Dan fakta itu betul-betul membuat semuanya terasa lebih
baik. Selama dua jam kami naik mobil dalam diam; satu-satunya
suara adalah deruman van dan terkadang dengkuran (ya, dengkuran sungguhan) selagi Townsend duduk merosot di kursi
depan, tertidur. Selagi jalan terbentang dan perjalanan makin lama makin
panjang, aku cukup yakin aku bukanlah satu-satunya Gallagher
Girl di van itu yang sangat menyadari tiga fakta penting. 1)
Kami melewatkan makan siang. 2) Sulit sekali tampil sebagai
superagen yang superkuat dan superterlatih kalau perutmu
keroncongan. Dan 3) Kami belum mendapatkan pelajaran Operasi Rahasia sungguhan selama berbulan-bulan.
Kuregangkan lenganku ke depan dan sepertinya aku
merasakan deritan. Benar-benar kurang latihan.
Kemudian van membelok tajam ke kanan, dan Townsend
tersentak lalu duduk tegak.
"Bagus," kata Townsend, bahkan tanpa melirik ke luar jendela. "Kita sampai."
150 Seandainya aku belum pernah menyebutkan ini, aku bersekolah di sekolah asrama. Dengan gerbang besar. Dan dinding
tinggi. Rok kotak-kotak dan guru-guru yang tegas. Jadi walaupun teman-teman sekelasku dan aku sudah terbiasa menghabiskan waktu di tempat mengasyikkan dan semiberbahaya
namun penuh makanan yang sangat lezat, aku nggak bisa
mengingat sekalipun saat aku berada di tempat semacam ini.
"Oh astaga," kata Tina Walters, mengekspresikan reaksi
semua cewek di van pada momen itu. "Apakah itu?"
Tapi sebelum Tina bisa menyelesaikan kalimatnya, Agen
Townsend membuka pintu van dan kata-kata Tina tertelan
raungan roller coaster yang meluncur di sepanjang jalur dan
orang-orang yang berteriak sekeras mungkin selagi wahana itu
menukik cepat, lalu menanjak lagi.
Entah bagaimana, sambil duduk di bagian belakang van,
sepertinya aku tahu persis bagaimana perasaan mereka.
"Baiklah," kata guru kami sepuluh menit kemudian dengan
cara yang menunjukkan ia hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan semua ini lalu kembali tidur, "semua punya target. Semua
punya tujuan. Semua punya waktu satu jam."
Selagi bicara, tatapan Townsend menyapu pintu masuk taman bermain, seakan tempat yang diisi begitu banyak turis dan
perut yang kosong bisa tetap membuatnya gembira.
"Ini orang-orang baik, kurasa. Tapi dunia penuh orang baik
yang punya informasi berguna, dan kita harus berbohong kepada mereka"kita harus mencuri dari mereka. Kalau ada yang
punya masalah dengan itu" well, kalau kau punya masalah
dengan itu, kusarankan kau memilih pekerjaan lain."
Townsend benar, tentu saja. Nggak ada cara yang lebih ha151
lus untuk mengatakannya. Kami mendekati para sekretaris supaya bisa menyadap kantor bos mereka. Kami berteman dengan
para janda supaya bisa melakukan pengintaian ke halaman
belakang tetangga mereka. Kami ada di bisnis intelijen, dan
kebanyakan orang yang kami manfaatkan agar pekerjaan kami
beres adalah orang-orang yang kebetulan berada di tempat
yang salah pada waktu yang salah.
Jadi kami berbohong, mencopet, dan, yang paling penting,
kami memanfaatkan. "Kau," kata Agen Townsend, menunjuk Mack. "Ada pria
berumur 40 tahun di belakangmu memakai topi bisbol biru."
"Ya, Sir," kata Mack, tapi nggak menoleh untuk melihat ke
arah pria itu. "Kau melihatnya?" tanya Agen Townsend, frustrasi.
"Ya, Sir. Topi biru, kaus polo hijau, ransel biru tua." Mack
menunjuk bayangan pria itu di jendela di belakang kepala guru
kami. Townsend melirik ke belakang dan melihatnya, lalu
selama sepersekian detik"nggak lebih"kurasa dia mungkin
terkesan. Mungkin. "Oke," kata Agen Townsend perlahan, "pria itu baru saja
memasukkan selembar kertas ke saku luar tasnya. Aku tidak
peduli bagaimana caramu melakukannya, tapi kau harus mencari tahu apa yang tertulis di lembaran kertas itu."
Mack nggak perlu disuruh dua kali. Ia berbalik dan berjalan
menembus kerumunan, dan aku menoleh untuk mengamati
pria yang sedang diikutinya.
"Wow, dia betul-betul bisa melebur," aku mengakui. "Saya
tidak mengira dia CIA."
"Dia bukan CIA," kata Townsend pendek, masih mengamati
orang-orang yang memenuhi taman bermain. "Itu, Ms.
152 Walters," katanya, menunjuk wanita yang menaiki skuter elektrik.
"Apakah dia dari Langley?" tanya Tina.
"Aku tidak tahu dari mana dia." Guru kami mengangkat
bahu. "Yang kutahu, dia baru saja memasukkan kartu kreditnya
ke tas, dan tugasmu adalah mendapatkan nomor itu untukku."
"Tapi dia bukan agen?" Tina ragu-ragu. "Dia tidak tahu
ini hanya tugas" Jadi kalau saya tertangkap?"
Townsend menatap Tina. "Kalau begitu, jangan sampai tertangkap."
Ini tetap permainan, aku tahu, tapi untuk pertama kali
dalam sejarah pendidikan kami yang luar biasa, para pemain
di seberang nggak tahu kami sedang bermain. Satu per satu,
teman-teman sekelas kami mendapatkan tugas sampai hanya
tinggal Bex dan aku yang bersama guru kami.
"Baxter," kata Agen Townsend, menoleh pada Bex, "menurutmu kau bisa mencari berapa nomor seri uang kertas lima
dolar yang baru saja dimasukkan pria yang mengoperasikan
wahana Tilt-A-Whirl itu ke kotak terkunci di sana?"
Ekspresi di wajah Bex berkata ya, menurutnya ia memang
bisa, walaupun begitu ia nggak berbalik untuk berjalan pergi.
Ia menunggu sampai tatapan guru kami mendarat padaku.
"Dan kurasa tinggal Cammie Morgan yang belum
mendapatkan penugasan." Ia mengamati kerumunan dengan
hati-hati. "Kurasa mungkin kita bisa menemukan tugas khusus
yang cocok untukmu."
Aku nggak tahu harus bilang apa, jadi aku hanya berdiri
diam, menunggu. "Itu." Agen Townsend menunjuk pria yang memakai
15 3 seragam resmi taman bermain. "Rangkaian kunci di sabuknya"
bawakan seridaknya cetakan tiga kunci milik pria itu."
Townsend tersenyum seolah merasa dirinya sangat pintar.
Aku mengangkat bahu seolah tugasnya sangat mudah. Lalu,
bersama sahabatku di sampingku, aku berbalik dan berjalan
menembus kerumunan. Walaupun sulit untuk mengakui ini, untuk ukuran pelajaran
perdana, Agen Townsend berhasil membawa kami ke salah
satu tempat paling menantang untuk mata-mata. Bagaimanapun, Mr. Solomon menghabiskan satu setengah tahun terakhir
untuk melatih kami melihat segala hal, mendengar segala hal,
dan memperhatikan segala hal. Dan selagi aku berjalan menyusuri taman itu, rasanya ada terlalu banyak rangsangan bagi
indra-indraku yang sangat terlatih.
"Ooh!" seruku, memanjangkan leher saat kami berjalan
melewati kios yang menjual makanan yang ditusukkan ke stik
dan digoreng, sepertinya enak sekali. "Aku mau satu!"
"Kita nggak punya uang, Cam."
"Ooh, aku mau naik itu!"
"Kita cuma punya waktu satu jam."
"Aku mau?" "Aku mau kau menganggap ini serius, oke?" kata Bex, berbalik menghadapku.
"Kau kedengaran seperti ibumu," kataku.
Wajah Bex praktis bersinar-sinar. "Terima kasih."
"Bex?" kataku perlahan. "Aku baik-baik saja."
"Kau bilang begitu?"
"Bex." Aku memotong kata-katanya dan berhenti di tengah
jalan utama yang memanjang menembus seluruh taman itu.
154 "Bukankah kau seharusnya mengikuti laki-laki itu?" Aku menunjuk pekerja yang mendorong gerobak penuh kotak terkunci
ke arah berlawanan. "Aku baik-baik saja di sini," katanya.
"Bex?" "Cammie?" "Cari para pengintai," kataku padanya.
"Apa?" Aku teringat cara orangtuanya mengajak kami berkeliling
London"permainan yang sudah berminggu-minggu tidak kami
mainkan. "Cari para pengintai."
"Pria yang menjual balon di sebelah bom-bom-car," kata
Bex, bahkan nggak berkedip.
"Wanita yang membawa gula-gula kapas," tambahku, menunjuk salah satu dari banyak pengawal yang mengelilingiku
di setiap belokan. Sekarang giliran Bex, tapi aku nggak bisa mengenyahkan
perasaan bahwa sebenarnya permainan ini sudah berakhir.
Kami berhenti menghitung skor di jembatan yang menaungi
Sungai Thames. "Dari hitunganku, ada tiga belas agen yang mengikutiku
sekarang. Dan itu hanya yang berhasil kupergoki. Ada banyak
kamera setiap beberapa ratus meter, dan kalau aku nggak salah,
satu helikopter Blackhawk baru saja terbang lewat."
"Dua helikopter Blackhawk," Bex mengoreksi. "Secara bergantian."
"Betul, kan" Aku baik-baik saja," kataku, dan untuk pertama kalinya sejak lama sekali aku benar-benar serius. Aku
betul-betul serius. Seakan dinding-dinding sekolahku diangkat
15 5 dan dipindahkan kemari. Taman bermain ini seperti sekolahku,
tapi dengan gula-gula kapas. Nggak heran aku nggak bisa menahan senyum saat bertanya, "Menurutmu, apakah ibuku bakal
membiarkan Townsend membawaku kemari kalau tempat ini
bukan taman bermain keluarga ala Fort Knox"salah satu
markas Angkatan Darat Amerika Serikat?" Bex membuka mulut untuk bicara, tapi aku nggak memberinya kesempatan.
"Pergilah," kataku.
Sesaat Bex hanya berdiri di sana, mengamati. Menunggu.
Lalu sahabatku berpaling tanpa sepatah kata pun lagi.
Dua puluh menit berikutnya, aku berjalan sendirian di taman
yang ramai itu"melewati antrean-antrean orang yang menunggu untuk naik bianglala dan membeli gula-gula kapas,
melewati kerumunan yang terbentuk di sekeliling Eva Alvarez
selagi temanku itu menembak 97 bebek mekanik kecil tanpa
jeda. Roller coaster meraung di atas kepalaku, dengan para penumpang yang menjerit-jerit dan jalurnya yang berderit. Rodaroda berputar, air mancur mencipratkan air, dan bau orangorang, junk food, dan udara panas melayang di sekelilingku
sampai aku bertanya-tanya apakah mungkin aku mual karena
overdosis kebebasan. Jadi saat pria yang membawa clipboard itu menyingkir dari
jalan utama, aku nggak keberatan.
Walaupun seharusnya cewek yang memakai seragam sekolah
swasta tampak menonjol di tempat publik seramai ini, aku
tetap si Bunglon, dan aku mengikuti pria itu dengan langkah
santai dalam jarak nyaman"keduanya sama-sama tertanam
dalam DNA-ku (fakta yang pernah dicoba dibuktikan Liz di
laboratorium sampai-sampai mengakibatkan munculnya per156
aturan "tidak boleh lagi mengambil sampel darah semester ini"
waktu kelas sepuluh). Saat ingin berhenti untuk menonton para pemain lempartangkap bola, aku berhenti dan menonton. Saat ingin membuat ekspresi-ekspresi aneh pada diri sendiri lewat cermincermin di rumah kaca, aku melakukannya. Saat ingin mencoba
makanan yang diberi nama Waffle Burger, aku memarahi diri
sendiri karena nggak menaruh 20 dolar untuk keadaan darurat
di kaus kaki, seperti yang selalu diajarkan Grandma Morgan,
dan hanya terus berjalan. Pria yang memakai seragam tetap
menjadi figur konstan di sudut mataku.
Mungkin seharusnya aku menyebutkan bahwa selama aku
mengikutinya, pria itu nggak pernah berbalik. Nggak sekali
pun dia memeriksa apakah dirinya diikuti. Aku mulai berpikir
ini merupakan pelajaran operasi rahasia termudah yang pernah
kudapatkan, tepat saat dia menyelinap melewati gerbang kecil
di pagar yang terbentang di belakang komidi putar, tapi aku
nggak ragu-ragu. Aku bahkan nggak menunggu. Aku hanya
melakukan takdirku: mengikutinya, tahu bahwa para pengawal
yang mengikutiku pasti akan langsung melakukan hal yang
sama. Suasananya lebih sepi di sini, di balik barikade. Danau buatan besar terbentang di sampingku. Bau corn dog dan popcorn
menghilang di balik bau minyak dan oli. Lampu-lampu terang
dan roda-roda berputar taman tidak terlihat lagi, digantikan
labirin pepohonan yang ditempatkan dengan cermat dan perancah yang dibangun sempurna, menjulur tinggi ke langit,
menghalangi sinar matahari.
Aku memikirkan semua alasan yang mungkin kukatakan
kalau seseorang memergokiku: Aku di sana untuk menemui
15 7 pacarku. Teman-teman sekelas mengirimku ke sini untuk
memenuhi tantangan. Aku melihat hewan liar lari ke arah
sini, dan hewan itu kelihatannya terluka.
Jadi aku sama sekali nggak takut waktu pria itu berhenti
dan membuka pintu bangunan panjang yang letaknya tersembunyi di tengah taman. Aku menunggu sepuluh detik, lalu
mengikuti, berharap engsel-engsel pintu nggak akan berderit
saat aku membukanya perlahan dan melangkah masuk.
Dekorasi Natal memenuhi satu dinding, sedangkan kembang
api dan berbagai spanduk Hari Kemerdekaan memenuhi dinding yang lain. Ada mobil-mobil rusak dari wahana bom-bom
car yang catnya sudah pudar, sisa-sisa wahana tua, dan satu
patung badut. Tempat itu seperti kuburan"tempat hiburan
dikumpulkan untuk mati.
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan pikiran itulah yang mengisi benakku saat aku beringsut
menyusuri gang tengah"tenggelam dalam seluruh pemandangan, bau, dan suara yang mengisi udara di sekelilingku. Setiap
selku yang terlatih dan naluriku bekerja sama untuk memberitahuku bahwa pria pekerja itu sudah pergi"hilang, lolos dari
pandanganku. Tapi kemudian kudengar gesekan samar sepatu berat di
lantai semen, dan aku tahu aku tidak sendirian.
"Kau betul-betul tidak seharusnya ada di sini."
158 Bab Du a P u l u h E n a m
ertama kalinya kami melihat Joe Solomon, kami menganggapnya sebagai mata-mata yang sangat terlatih, veteran
Operasi Rahasia penuh pengalaman dan" well" keren. Tapi
satu setengah tahun kemudian aku nyaris nggak mengenali
guruku saat melihat pria yang berdiri di belakangku. Wajahnya
kusut dan pucat. Rambutnya lebih panjang, pakaiannya lebih
lusuh, tapi matanyalah yang paling banyak berubah saat ia
melangkah mendekatiku dan mendesak, "Cammie, kau harus
ikut denganku. Kau harus ikut sekarang juga!"
Saat Mr. Solomon meraihku, aku menjauh. Aku nggak tahu
apakah harus memeluk atau memukulnya (sebenarnya, ini perasaan yang sering kurasakan saat menghadapi para Blackthorne
Boy), jadi aku hanya menggeleng. "Tidak."
"Cammie, kalau aku bisa mendengar kau akan ada di sini,
mereka pasti tahu kau ada di sini. Aku harus membawamu
pergi dari sini. Sekarang!"
15 9 "Itu benar, kan?"
"Circle bisa datang setiap saat."
"Kau anggota Circle!"
Joe Solomon sudah jauh lebih sering melatih keterampilannya dalam berbohong daripada aku melatih keterampilanku
dalam mendeteksi kebohongan, tapi aku bisa melihat
kebenaran di matanya. "Itu benar, kan?" tanyaku, walaupun, jauh di dalam diriku,
aku tahu itu bukanlah pertanyaan sungguhan. Walaupun aku
sudah tahu. "Maaf, Cammie." Ia menyisir rambut dengan jemari.
"Cammie, aku betul-betul?"
"Tidak," kataku, seakan mati rasa. Kurasakan tubuhku
mundur, tangan kiriku menyusuri dinding batu bangunan itu.
Aku mengamati ruangan tersebut, mencari potongan pipa atau
alat"senjata apa pun.
"Cammie, dengarkan aku. Akan kujelaskan semuanya, tapi
kalau sumber-sumberku benar, berarti kau tidak aman di sini.
Kau harus ikut denganku."
"Aku tidak akan ke mana-mana denganmu!"
Aku nggak memikirkan para pengawal yang, hanya beberapa saat sebelumnya, kuyakin mengamati setiap gerakanku.
Aku nggak memencet tombol panik yang kukenakan di
pergelangan tangan seperti jam tangan, atau meminta bantuan
ke unit komunikasi. Aku nggak berpikir saat menghantamkan
tangan ke sisi wajahnya"dengan keras.
Hanya tamparan"gerakan biasa. Sama sekali bukan gerakan yang kupelajari di kelas P&P. Walaupun begitu, rasanya aku
ingin melakukan itu lagi. Dan lagi.
"Aku tidak akan ke mana-mana denganmu!" kataku, sambil
160 menyerang. "Aku tidak mau. Aku tidak mau. Aku?" Aku berhenti dan menatap Mr. Solomon. "Bagaimana kau bisa melakukannya?"
"Waktu itu aku masih muda, Cammie."
"Kau seumurku! Lalu kau tumbuh dewasa dan?" Aku nggak
mau menangis, jadi aku berteriak. "Kau membunuh ayahku!"
Aku setengah berharap Mr. Solomon membalasku, melumpuhkanku tepat di sana. Dia lebih besar, kuat, dan berpengalaman, tapi kemarahan merupakan kekuatan berbeda.
Aku melihatnya tersandung mundur seakan dia tahu itu"seakan aku membuatnya takut.
"Dad mati karena kau!" teriakku, melangkah maju, tapi Mr.
Solomon tidak mempersiapkan diri untuk menahan pukulan
itu. Sebaliknya, ia justru bersandar di dinding, sorot matanya
tampak lebih dalam, gelap, dan sedih daripada apa pun yang
pernah kulihat, selagi sahabat Dad menatapku, lalu berbisik
dengan suara pecah, "Aku tahu."
Apa yang terjadi berikutnya adalah adegan yang kuputar
berulang-ulang di benakku ribuan kali. Aku mungkin akan
mengulangnya ribuan kali lagi. Satu-satunya yang kutahu pasti
adalah pada detik itu, pria yang selama ini kuhormati, kupercaya, kusayang, dan kubenci (dengan urutan tepat seperti itu)
ada di hadapanku, seakan hancur berkeping-keping. Dan pada
momen berikut, waktu seakan membeku ketika pintu terbuka
dan bayangan panjang seakan mengiris lantai semen, lalu kudengar seorang wanita berkata, "Dia memang bilang kami bisa
menemukanmu di sini."
Aku ingat segala hal tentang perjalananku ke Boston musim
161 panas lalu"balon-balon, suara-suara kerumunan orang, dan
yang terpenting, cara seorang wanita bertopeng dan dua pria
berjalan ke arahku, menembus bayangan baling-baling helikopter yang berputar.
"Tidak," kataku, seakan kata sederhana itu bisa mencegah
semuanya terulang kembali.
Wanita itu terlihat begitu tenang selagi berdiri di ambang
pintu yang terbuka, seakan kali ini semua pasti beres. Seakan
semua ini sudah berakhir.
Kuraih jam tanganku, kutekan tombol itu lagi dan lagi,
tidak berani mengalkulasi kemungkinanku bisa mengalahkan
Circle untuk ketiga kalinya"tidak mau menyia-nyiakan satu
detik pun. "Tidak!" seruku. Aku nggak peduli meskipun wanita itu
lebih dewasa, lebih tinggi, dan mungkin jauh lebih berpengalaman dariku"aku berlari menerjangnya, tahu bahwa
satu-satunya harapanku ada di balik pintu yang terbuka itu.
Tapi kemudian aku berhenti, karena wanita itu nggak
sendirian. Agen Townsend ada di sana. Agen Townsend menatap Joe Solomon dan aku seakan Natal datang lebih awal,
seakan dia mendapatkan hadiah besar.
"Kau benar," kata wanita itu pada Agen Townsend sambil
tersenyum. "Ini hampir terlalu mudah."
Kualihkan tatapanku dari wanita yang, aku berani sumpah,
berada di Boston waktu itu pada guru baruku. Ini nggak masuk
akal, tapi sekarang ini aku sama sekali nggak memedulikan
logika, karena Joe Solomon berlari melewatiku, melayang
melalui pintu yang terbuka. Dengan satu gerakan lincah, ia
menjatuhkan Townsend dan wanita itu.
Aku berlari keluar dan melihat mereka bertiga berguling
162 menuruni bukit, berkelahi di antara tanah dan rerumputan liar.
Debu melayang di sekelilingku, dan sambil berdiri di sana, aku
sadar bahwa aku nggak tahu siapa yang harus kupercaya. Yang
kuketahui dengan pasti hanyalah bahwa terkadang mata-mata
hanya punya satu detik"nggak lebih.
Dan aku mulai berlari. 16 3 Bab Du a P u l u h T u j u h
tu jebakan. Itu jebakan. Itu jebakan.
Kata-kata itu bergema dalam benakku, mengimbangi irama
kakiku saat menjejak tanah.
"Bex!" seruku sambil berlari melewati pepohonan tinggi
yang tumbuh di sekitar roller coaster. Jauh di atasku, orangorang seakan terbang di langit, tapi di bawah hanya terdengar
nada statis di unit komunikasiku, juga tanah kasar yang seharusnya nggak dilihat turis mana pun. Kulompati lampu-lampu
sorot dan kuhindari kabel-kabel sambil berlari ke puncak bukit,
nggak sekali pun membiarkan benakku memikirkan Mr.
Solomon atau wanita itu atau Agen Townsend. Aku hanya
terus berlari"menuju danau, menuju pagar, menuju bantuan.
Itu jebakan. Di puncak bukit, bisa kudengar suara-suara taman melayang
menyeberangi danau. Yang harus kulakukan hanyalah terus
berlari, terus berjuang, tapi kemudian aku melihat mereka"para
164 agen yang berada di tengah kerumunan sepanjang hari"mengikutiku, mengamati setiap gerakanku. Mereka turun melewati
hutan"keluar dari balik pepohonan tinggi dan pilar-pilar
raksasa roller coaster, berlari melewatiku.
Melewatiku" Nggak ada yang mencoba membawaku ke tempat aman.
Dan saat itu aku tahu mereka bukan pelindungku. Mereka para
pemburu. Dan aku" Aku umpannya.
Itu jebakan. Kudengar langkah-langkah di belakangku, keras dan cepat.
"Zach," panggilku pada cowok yang berlari ke arahku.
"Di mana dia?" tanya Zach, kehabisan napas. Aku maju dan
menyambarnya. "Lepaskan aku, Gallagher Girl. Aku harus?"
"Kau mau ditangkap juga?" seruku sambil mengguncangnya.
Saat ia berhenti meronta, aku memeganginya lebih erat. "Mereka menangkap Mr. Solomon, Zach." Kudengar kata-kata Mom
seakan melayang kembali padaku. "Dia tidak akan kembali
lagi." Mr. Solomon terbaring di lapangan di bawah sana, berdarah
dan diikat, sementara agen-agen masih berdatangan dari segala
arah. Aku ingat bagaimana, suatu kali di helikopter dalam
perjalanan ke Ohio, Mr. Solomon memberitahu kami bahwa
sering kali hal tersulit yang bisa dilakukan mata-mata adalah
tidak melakukan apa-apa. Saat berdiri di sana hari itu, aku
tahu katanya-katanya benar"bahwa sejak dulu Joe Solomon
selalu benar. "Bodoh!" seru Zach. Ia memukulkan tangan keras-keras ke
batang pohon, dan aku nggak yakin apakah tangannya atau
pohon itu yang lebih terluka. Ia menoleh padaku. "Apa yang
terjadi?" 16 5 "Latihan Operasi Rahasia. Aku mengikuti seorang pria. Lalu
Mr. Solomon ada di sana, bicara tentang Circle, berkata aku
dalam bahaya. Lalu muncul satu wanita. Kupikir dia wanita
yang dari Boston." "Bukan dia, Cammie."
"Aku tahu itu sekarang."
Zach mencengkeram bahuku. Aku bisa melihat rasa takut
muncul di matanya saat ia berbisik, "Nggak mungkin Joe
Solomon bersama wanita itu."
Roller coaster meraung di atas kepala kami, dan kurasakan
tanah bergetar di bawah kakiku.
"Kenapa Mr. Solomon datang?" tanyaku. "Itu jebakan. Joe
Solomon masuk ke jebakan dengan sadar." Percaya atau tidak,
dari semua hal yang kulihat dan kudengar sejak kejadian
London, itulah yang paling mengejutkanku.
"Kau." Zach terdengar nyaris heran karena aku perlu bertanya. "Kalau dia mengira kau akan ada di sini"tidak terlindungi" Dia akan pergi ke mana pun demi menyelamatkanmu."
"Kenapa dia melakukan itu?" sergahku, mencoba melepaskan diri, tapi Zach hanya memegangiku makin erat. "Itu nggak
masuk?" "Penjelasannya ada di jurnal itu, Cammie." Zach menatapku
dalam-dalam. "Semuanya ada di jurnal itu."
"Cammie!" seru seseorang.
"Kurasa aku melihatnya!" seru orang lain.
Bisa kudengar suara teman-teman sekelasku di telingaku.
Aku tahu mereka sudah menyeberangi pagar dan berlari mendekat, tapi nggak sekali pun tatapan Zach berpaling dariku.
"Lihat aku." Tangan Zach terasa seperti penjepit besi. "Baca
jurnal itu, Gallagher Girl. Baca semuanya."
166 Lalu ia menarikku mendekat, mendekapku begitu erat
sampai-sampai aku nyaris nggak bisa bernapas. Ia menempelkan
bibir erat-erat di dahiku selama sepersekian detik"tidak
lebih"dan saat akhirnya Zach melepaskanku lalu menghilang
kembali ke balik pepohonan, kupikir aku bakal jatuh.
"Oh astaga, Cam, kau baik-baik saja?" teriak Eva Alvarez.
"Apakah kau?" Kudengar Eva terdiam, kehabisan napas. Kulihat dia berhenti mendadak dan menoleh untuk menatap, bersama temanteman sekelasku lainnya, pemandangan yang terbentang di
belakangku. Agen-agen itu. Kekacauan itu. Darah itu. Dan
bagaimana mantan guru kami tertelungkup di tengah semuanya, dengan tangan dan kaki terikat. Pingsan.
"Apakah itu Mr. Solomon?" tanya Anna.
"Ya." Suara Bex pelan sekali.
"Apa?" Suara Tina tersekat. "Apa itu?"
"Itu jebakan." 16 7 Bab Du a P u l u h D e l a p a n
au mungkin mengira van penuh cewek remaja nggak
bakal bisa hening selama dua jam perjalanan, tapi malam itu
aku memang nggak mendengar satu suara pun. Di luar turun
hujan rintik-rintik, dan hanya sapuan wiper kaca depan"dan
suara air yang terciprat ke bawah mobil"yang memecahkan
keheningan mencekik itu dalam perjalanan panjang kami
untuk kembali ke sekolah.
Aku kenal keheningan itu. Aku pernah mendengarnya di
townhouse kami di Arlington saat para tetangga membawakan
kaserol dan mengucapkan turut berdukacita. Aku merasakannya
di peternakan selagi para kerabat yang nyaris nggak kukenal
membanjir sampai ke serambi kakek dan nenekku, keempat
dinding rumah itu terlalu tipis untuk menampung kami dan
berita bahwa Dad nggak akan pulang lagi. Seluruh siswi kelas
sebelas Operasi Rahasia berduka, dan satu per satu, setiap
cewek dalam van itu menyadari apa yang telah diketahui
teman-teman sekamarku dan aku sejak berminggu-minggu
168 lalu"bahwa Mr. Solomon bukan pergi menjalankan misi. Kali
ini kepergian Mr. Solomon benar-benar berbeda.
Malam itu, saat kami memasuki gerbang, kelihatannya
semua lampu di mansion menyala. Aku bisa membayangkan
cewek-cewek di dalam sana, tertawa dan menuruni tangga
untuk makan malam, membicarakan berbagai makalah dan tes.
Tapi selagi kami menuruni van dan mengamati Agen Townsend
berjalan melewati pintu depan, kami semua tetap berdiri diam,
gerimis keras dan ingatan mengenai semua yang kami lihat
tadi seakan melingkupi kami, dan nggak seorang pun ingin
membawanya ke dalam mansion.
"Aku sama sekali nggak tahu," kata Anna Fetterman. "Aku
bahkan nggak pernah menebaknya. Aku salah, kan?" Ia menatapku lurus-lurus seakan seharusnya aku tahu. "Seharusnya
aku nggak di jalur Operasi Rahasia. Seharusnya aku nggak"
aku sama sekali nggak tahu."
"Nggak ada yang tahu." Eva Alvarez merangkul Anna.
"Nggak ada yang tahu bagaimana Mr. Solomon dulu."
"Dan sekarang."
Nggak seorang pun mendengar bisikanku, tapi itu nggak
apa-apa. Lagi pula, nggak ada orang lain di tempat mirip
taman bermain tadi yang mendengar Mr. Solomon berkata
Circle akan datang. Nggak ada orang lain yang merasakan
tangan hangat Mr. Solomon di jembatan London. Mungkin
aku satu-satunya Gallagher Girl yang tahu kami nggak bisa
menggabungkan kata dulu dengan Mr. Solomon.
Jadi aku berjalan ke pintu dan melangkah masuk, yakin
akan satu hal: Joe Solomon betul-betul masih hidup.
*** 16 9 Well, sebenarnya, secara teknis, aku mencoba melangkah masuk.
Para siswi memenuhi jalan masuk dan tangga, dan butuh
seluruh kekuatan yang bisa kukumpulkan untuk keluar dari
hujan lalu masuk ke kerumunan yang menonton selagi Mom
serta Agen Townsend berdiri di tengah selasar.
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada ap?" "Ssttt," desis siswi kelas dua belas, menghentikan pertanyaan Tina.
"Omong-omong, terima kasih juga," kata Townsend sambil
berbalik ke tangga, tapi Mom menghalanginya, sama sekali
nggak kelihatan berterima kasih.
"Kau tidak berhak membawa putriku keluar dari sekolahku?"
"Sekolahmu?" Agen Townsend seharusnya takut. Terakhir kali aku melihat
Mom berekspresi seperti itu adalah di jalanan Washington,
D.C., saat adiknya tergeletak dan berdarah.
Seharusnya Agen Townsend ketakutan.
"Putriku bukan pion yang bisa dimanfaatkan seenaknya!"
"Nah, Rachel, jangan menganggapnya sebagai pion. Tepatnya" apa istilah yang kalian, orang Amerika, gunakan" kita
menggantungkan apel di depan Joe Solomon dan?"
"Istilahnya wortel," Mom membetulkan. "Tapi itu tidak berlaku untuk remaja perempuan."
Tampak kilatan paham di mata Townsend saat ia tersenyum.
"Oh, benarkah" Mungkin kalian menggunakan apel untuk hal
lain." Sebagian orang mengira kunci kekuatan adalah mengetahui
cara memukul"cara memindahkan berat badanmu, memper170
hitungkan waktu pukulanmu, mendaratkan tinjumu tepat ke
sasaran. Tapi sebenarnya bukan itu. Saat aku berdiri di kerumunan dan memandang Mom serta pria yang membawaku
keluar dari keamanan mansion, aku tahu kekuatan sesungguhnya adalah tidak memukul saat kau benar-benar ingin membunuh.
Townsend pasti juga merasakannya, karena ada yang berubah dalam dirinya saat itu. "Kami menyiapkan tiga puluh
agen di taman itu dan enam puluh lagi di perimeter taman.
Kami mengawasi putrimu sepanjang waktu. Kami tahu
Solomon akan muncul, dan begitu dia melakukan itu, agenagen kami menangkapnya. Cameron baik-baik saja."
Agen Townsend mencondongkan tubuh pada Mom, nggak
berkedip, nggak menggoda, bahkan nggak mengejek. Ia tertawa, tapi bukan karena ada yang lucu. Lebih mirip tawa keheranan.
"Ms. Morgan, kita menangkap laki-laki itu!"
"Kalau kau sampai membahayakan siswi mana pun di sekolah ini lagi?"
"Oh, kupikir semua Gallagher Girl kebal terhadap bahaya."
Meskipun ada ratusan siswi memenuhi selasar, nggak seorang pun bergerak atau tersentak atau mencoba membela kehormatan kami. Kami tetap diam, menunggu kepala sekolah
kami berkata, "Oh, kami terbiasa dianggap remeh, Agen Townsend. Bahkan, kami mengharapkan hal itu."
Percakapan itu mungkin melanggar semua kode etik matamata, guru, dan kepala sekolah yang dikenal manusia, tapi itu
nggak penting. Mereka bahkan nggak bisa melihat ratusan
siswi yang menonton mereka. Meskipun sangat terlatih, mereka
171 nggak mendengar bagaimana kami semua menahan napas.
Pertarungan ini seperti ombak: sudah tertahan lama dan nggak
ada cara lagi untuk menahannya.
"Joe Solomon setuju mengambil pekerjaan ini hanya setelah
tahu ia akan mengajar putrimu. Benar, bukan?"
Mom bersedekap. "Aku sudah menjawab pertanyaan itu
dengan sangat mendetail kepada orang-orang yang memiliki
otoritas jauh lebih besar daripadamu."
"Dan menurutmu itu tidak aneh" Pria seperti Joe Solomon
datang kemari?" Ia tertawa lagi. "Tapi, tentu saja sejak dulu
Circle memang suka merekrut agen sejak muda. Apa istilah
mereka, semakin hijau buahnya, semakin mudah diubah?"
"Ya," Mom mengakui.
"Dia mengajar di sini selama satu setengah tahun?" tanya
Townsend, tapi suara Mom tenang, seolah itu hanya pertanyaan tentang cuaca.
"Betul." "Itu waktu yang lama"cukup lama untuk merekrut siapa
pun yang mungkin dibutuhkannya. Mengubah kesetiaan seseorang?"
"Seperti yang sudah kuinformasikan pada atasan-atasanmu,
Agen Townsend, kalau Circle of Cavan memiliki sekutu di
sini, sebaiknya mereka berdoa kau menemukan mereka lebih
dulu sebelum aku." Agen Townsend bertubuh besar, untuk ukuran agen operasi
rahasia. Paling tidak dia lima belas senti lebih tinggi dan tiga
puluh kg lebih berat daripada Mom (belum termasuk egonya
yang sangat besar), walaupun begitu, aku sama sekali nggak
ragu bahwa dia tahu betapa benarnya kata-kata Mom.
Ia mengamati saat Mom perlahan berbalik dan menaiki
172 tangga. Mom sudah hampir menghilang saat Townsend berkata,
"Joe Solomon tidak akan melukai putrimu, Ms. Morgan. Kau
tak perlu khawatir dia bakal melukai siapa pun lagi."
Saat itu aku menyadari bahwa Agen Townsend memercayai
hal itu"betul-betul memercayainya"dan selama sedetik aku
ingin memercayai dia. Bagaimanapun, dia mata-mata yang
baik. Agen senior. Guru. Dan saat berdiri di sana, dikelilingi
saudari-saudariku, aku mungkin nyaris meyakinkan diri bahwa
itu benar"bahwa aku aman.
Tapi lalu Mom berhenti dan berbalik.
"Sayangnya, Agen Townsend, Joe Solomon adalah kekhawatiran Cammie yang paling kecil."
Koki kami memasak sup favoritku untuk makan malam, tapi
teman-teman sekamarku dan aku nggak cepat-cepat berlari
menuju Aula Besar. Kami berdiri diam bersebelahan selagi
murid-murid lain perlahan-lahan berjalan menyusuri koridor
dan menaiki tangga, terbawa gelombang gosip, rasa takut, dan
rasa tidak percaya. "Sublevel Dua." Aku nggak berbisik. Sekarang aku tahu itu
perbuatan bodoh, tapi saat itu, aku, Cammie si Bunglon, nggak
kuat lagi bersembunyi. "Kita akan menemukan cara untuk masuk ke Sublevel Dua."
17 3 Bab Du a P u l u h S e m b i l a n
CARA YANG TIDAK BISA DIGUNAKAN UNTUK
MENYUSUP MASUK KE SUBLEVEL DUA
(Daftar oleh Cameron Morgan, dengan
bantuan Macey McHenry) " Menggali: Karena kau harus menggali" banyak hal.
Selain itu, staf perawatan pasti bakal menyadari kalau
ada lubang besar di tengah lapangan lacrosse. (Lagi
pula, kegiatan menggali bisa sangat merusak kuku.)
" Apa pun yang melibatkan terowongan lift: Memang,
masing-masing Gallagher Girl mendapatkan linggis
sendiri pada hari pertama kelas delapan, tapi caranya
nggak sesederhana mengungkit pintu-pintu sampai
terbuka dan kami bisa langsung meluncur turun ke
lantai sublevel. (Lagi pula, berdasarkan pengalaman,
174 pintu-pintu di Akademi Gallagher nggak bisa diungkit.)
" Merayu: Karena merayu mungkin akan membuat
orang yang dirayu curiga mengenai rencana dan motivasi sang perayu"apalagi anggota staf keamanan bertubuh paling besar pun mungkin bakal takut membawa kami ke lantai-lantai sublevel dan" kau tahu"
terbunuh. " Teleportasi: Tentu, Liz memang bilang punya teori
yang sangat bagus, tapi dia belum punya prototipe,
dan tanpa prototipe sama saja ide itu tak ada gunanya.
" Hal yang dilakukan orangtua Bex di Dubai dengan
nitrogen cair, simulator gempa, dan musang: Karena
kami nggak punya musang. Hanya butuh waktu tiga minggu.
Aku tahu kedengarannya lama sekali"dan memang benar.
Tapi sebenarnya itu nggak lama juga. Karena" well" dalam
bisnis mata-mata, nggak ada yang terjadi dengan cepat (kecuali
saat itu memang terjadi ). Nggak ada yang mudah (kecuali
saat itu memang mudah). Dan, yang terpenting dari semuanya,
nggak ada yang berjalan sempurna sesuai rencana (kecuali di
film-film). Ini pekerjaan kotor yang lambat, berat, berulang-ulang, sepele, menyedihkan, dan pokoknya secara umum membosankan
(kecuali untuk bagian-bagian ketika orang bisa mati).
17 5 Kami mungkin bisa melakukannya lebih cepat dan itu pun
tetap akan terasa nggak cukup cepat. Kami mungkin bisa merencanakannya selama bertahun-tahun dan tetap nggak merasa
siap. Jadi, yeah. Butuh waktu tiga minggu.
Bagi Liz untuk memecahkan kode. Bagi Macey dan Bex
untuk mengumpulkan alat-alat. Bagiku untuk merencanakan
jalan masuk kami. Pada jam satu pagi pada malam tersebut, kami berjalan menyusuri koridor lantai tiga secepat dan sehati-hati mungkin,
berusaha sebaik mungkin agar tidak kelihatan bahwa kami
mencoba berjalan secepat dan sehati-hati mungkin.
Para Pelaksana betul-betul mengerti bahwa langkah pertama dalam
Operasi Penyangkalan dan Penipuan adalah menyangkal. Dan jauh
lebih mudah menyangkal bahwa kau terlibat dalam operasi penyamaran tidak resmi kalau kau memakai piama.
"Ada sesuatu yang belum kumengerti," bisik Liz. "Kalau Mr.
Solomon ingin sekali mengambil buku ini atau apa pun itu
yang ada di Sublevel Dua, kenapa dia justru membuat Sublevel
Dua mustahil diakses?"
"Karena dia tidak ingin orang-orang yang tidak tepat sampai bisa mengaksesnya," kataku, sambil mengintip ke balik
belokan, tempat, seakan sesuai aba-aba, Agen Townsend berjalan menuruni tangga.
Kurapatkan tubuh ke dinding, lupa bahwa saat itu kami
belum melanggar peraturan apa pun dan setidaknya ada selusin
alasan yang sangat valid untuk menjelaskan mengapa kami ada
di sana. Tapi aku ini bunglon. Aku lebih suka nggak kelihatan
daripada memberi alasan atas keberadaanku.
176 Langkah Townsend bergema seperti halilintar di koridor
kosong itu. Aku nggak melihatnya saat berbisik, "Sekarang waktunya."
Pada pukul 01:35, Para Pelaksana bergerak ke tangga kecil di
bawah Tangga Utama, tapi mereka tidak berhenti di cermin yang
menyembunyikan lift ke lantai-lantai sublevel.
Pada pukul 01:36, perut Pelaksana Morgan mulai keroncongan,
dan seluruh tim menyadari pentingnya tidak melewatkan waktu
makan sebelum melaksanakan operasi rahasia yang sangat
penting! Bex memimpin kami ke lemari kecil di dasar tangga dan mengeluarkan ransel yang diisi ikat pinggang peralatan, berbagai kabel,
dan alat sangat berguna yang dibuat Macey di kelas Pengantar
Aksesori-nya (pelajarannya sama sekali nggak sesuai dengan
bayangan murid-murid baru).
Saat kami melangkah keluar, kusadari bahwa udara terasa
lebih hangat. Musim semi sebentar lagi tiba, tapi aku nyaris
nggak menyadarinya. "Dengar." Aku berhenti dan menatap ketiga sahabat terbaikku di seluruh dunia. "Kita cuma punya tiga menit sebelum
para penjaga berpatroli di sektor ini, dan aku betul-betul mengerti kalau kalian nggak mau melakukannya. Aku nggak tahu
apakah cara ini akan berhasil, dan kalaupun berhasil, kita
nggak tahu pasti apa yang mungkin kita hadapi di bawah
sana." Dari ekspresi di wajah Bex, aku tahu nggak mungkin dia
mau nggak diikutsertakan dalam kegiatan serahasia ini. Dan
17 7 seberbahaya ini. Dan betul-betul kelabu dalam spektrum hitamputih benar dan salah.
Tetap saja, aku harus melanjutkan. "Kalau terjadi hal buruk
pada satu pun dari kalian?" aku memulai, tapi kemudian aku
nggak bisa menyelesaikan kalimat itu.
"Jadi kalau di bawah sana ada komputer yang harus kita
hack dalam waktu 60 detik, kau yang bakal melakukannya?"
tanya Liz, memasang ikat pinggang di atas piama.
"Dan kau betul-betul mengira aku mau melewatkan ini?"
Bex menarik ikat pinggangnya dari puncak tumpukan.
Kami semua menatap Macey. "Kau perlu aku," katanya, meraih ikat pinggangnya seperti ratu mengambil tongkat kerajaan.
Saat aku membungkuk dan mematikan alat-alat keamanan
di sekitar lubang kecil itu, kurasakan Bex mengamati dari balik
bahuku. "Kupikir lift-lift ke Sublevel Dua membawa kita keluar ke
suatu tempat di sebelah sana." Ia menunjuk ke arah yang
berlawanan. Aku tersenyum padanya. "Tapi kita bukan mau ke lift,
kan?" Tepat pukul 01:47, Para Pelaksana mengetes teori mereka bahwa
cermin di bedak terbaru keluaran McHenry Cosmetics memiliki
ukuran yang tepat untuk diselipkan dan memantulkan sinar laser
yang menutupi lubang di semua titik ventilasi.
(Para Pelaksana benar.) Tepat pukul 02:07, Para Pelaksana mengetes Perealokasi Sinyal
Elektromagnetik baru (Nama Resmi dan Hak Paten Dalam Proses)
yang dikembangkan Pelaksana Sutton untuk kesempatan ini.
178 (Sukses.) Tepat pukul 02:08, Pelaksana Baxter berdoa. Dan melompat.
Terowongan ventilasi itu kecil. Sangat kecil. Begitu kecil sehingga ternyata aku lega tadi melewatkan makan malam.
Nggak mungkin pria dewasa bisa muat ke dalamnya. Itu jalan
masuk yang hanya cocok dilalui cewek. Gallagher Girl, pikirku
sambil meluncur menuruni kabel seakan kabel tersebut tiang
pemadam kebakaran, kait di tanganku semakin panas, membakar sarung tanganku selagi aku meluncur memasuki kedalaman tanah.
Aku tahu Bex ada di bawahku, tapi aku nggak bisa melihat
apa-apa. Macey dan Liz ada di atasku, dan kuharap itulah sebabnya aku nggak bisa melihat cahaya samar apa pun di atasku
selagi meluncur ke dalam terowongan yang terasa seperti
gunung berapi paling mungil sedunia.
Aku meluncur semakin dalam. Aku terjatuh semakin cepat.
Kurasakan udara berembus melewatiku, rambut bertiup dari
wajahku, kabelnya makin panas di tanganku sampai"
"Awas!" seru Bex, saat tiba-tiba aku keluar dari terowongan.
Lenganku rasanya nyaris bakal copot dari engsel sewaktu meremas kaitan dan tersentak hingga berhenti mendadak. Aku
bergantung dari kabel itu, menunduk menatap ruangan raksasa
Sublevel Dua. "Aku nggak percaya cara ini berhasil," aku mengakui dengan terengah-engah.
"Cam!" teriak Bex, menghentikanku sebelum aku melepaskan pegangan pada kabel. "Jangan. Bergerak. Sedikit pun."
Kami tergantung sembilan meter di atas lantai batu keras
ruangan yang"meskipun sudah satu semester penuh aku
17 9 belajar di Sublevel Dua"belum pernah kulihat. Lantai-lantai
sublevel merupakan labirin luas dan berliku yang diisi banyak
ruang kelas dan kantor, perpustakaan sumber data, dan tempat
penyimpanan sebagian rahasia yang paling dilindungi dalam
dunia mata-mata. Dan saat itu, Bex dan aku memandang melalui kilau redup lampu-lampu keamanan di ruangan besar yang
dipenuhi ratusan rak dan lemari arsip, sistem kabel-kabel dan
bahan peledak yang sangat kompleks"
Dan sistem jaring-jaring laser paling kompleks yang pernah
kulihat. "Jadi," ujar Bex, tersenyum padaku dari balik kilauan lampu
sorot darurat yang berkedip-kedip, "mau nongkrong di sini?"
Sesaat kemudian, getaran di kabel bertambah keras, dan
aku mendongak tepat waktu untuk melihat Liz meluncur ke
arahku, berhenti persis di atasku.
Macey dekat sekali di belakangnya dan terengah-engah saat
bertanya, "Apa ini?"
Bex dan aku menunduk melihat barisan informasi top secret
dan bahan-bahan peledak tingkat tinggi yang berjajar di sepanjang ruangan, sama-sama nggak bisa menyembunyikan kekaguman dalam suara kami. "Ini burn bag," kata kami berbarengan.
"Apa itu burn bag?" tanya Macey.
"Hal-hal yang nggak boleh jatuh ke tangan yang salah. Selamanya. Hal-hal yang diatur agar meledak seandainya" seandainya hal terburuk terjadi."
Itu memang benar. Tapi menakutkan. Karena saat itu, secara teknis, hal terburuk yang bisa terjadi adalah kami.
Bex yang pertama kali turun ke lantai, lincah seperti kucing,
180 mendarat di antara sinar-sinar merah itu, lalu bersalto dan melompat di udara, mencari jalan ke panel kecil di sisi ruangan.
Kalau situasinya nggak menakutkan, gerakan Bex pasti terlihat
indah. Nyaris seperti balet. Tapi dengan risiko kematian yang
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jauh lebih tinggi. "Sekarang, Liz!" seru Bex, dan Liz mengeluarkan busur
pendek lalu membidik dinding sekitar lima belas senti di atas
kepala Bex. "Eh" Liz?" Macey memulai.
"Sori," kata Liz, dan menaikkan bidikannya sekitar tiga
puluh senti. Kurasa kami semua menahan napas saat panah itu meluncur
di udara, dengan kabel melayang di belakangnya, lalu mendarat
sempurna persis di atas panel dinding.
"Hebat," kataku. "Nah, persis seperti latihan kita"ambil
klip ekstra di talimu dan pasangkan di kabel Bex. Yeah. Persis
begitu. Bag?" "Aduh, aduh, aduh."
Dan saat itulah Elizabeth Sutton, si supergenius, lupa menutup ritsleting tasnya dan membiarkan buku teks Pengkodean
Tingkat Lanjut miliknya jatuh, berputar-putar, tepat ke pusat
jaringan laser di bawah. "Liz!" seruku, tapi sudah terlambat. Lampu-lampu mulai
berkedip-kedip. Di bawah kami, sinar laser mulai bergerak,
garis-garis merah merayap di lantai, dan kusadari satu-satunya
pilihan kami. "Apa yang harus kita lakukan?" seru Macey.
"Lari!" Saat kami menjatuhkan diri ke lantai, aku nggak bisa mendengar pikiranku sendiri"apalagi langkah teman-temanku yang
181 berlari di sebelahku. Lampu merah berkedip-kedip. Sirenesirene berbunyi. Seolah Sublevel Dua terbakar saat Liz membawa laptopnya ke tempat Bex menunggu di sebelah pusat
saraf elektronik yang mengontrol semua perlindungan modern
Sublevel Dua. Tapi modern" yeah, modern adalah masalah terkecil
kami. Di ujung lain ruangan, ada jendela besar yang terbuat dari
kaca berwarna. Selama sedetik aku berdiri di sana, bertanyatanya mengapa ada yang repot-repot memasang jendela di
ruang bawah tanah. Pasti akan terasa jauh lebih aneh dan
nggak menakutkan kalau ruang di balik kaca itu nggak terisi
air dengan begitu cepat. "Jadi airnya datang dari?" Macey memulai.
"Danau." "Jadi kalau kita nggak menghentikan ini?" ia memulai
lagi. "Kita tenggelam," kataku, tapi Macey sudah pergi"berlari
ke seberang ruangan. "Kita harus bagaimana?" serunya. Ia meraba dinding, mendorong batu-batu"dengan panik mencari cara untuk menghentikan naiknya permukaan air. "Di mana tombolnya" Kupikir
Mr. Solomon memberitahu Zach bahwa ada cara untuk mematikannya."
Selagi permukaan air terus naik, kaca berwarna itu tampak
mengilap. Semakin tinggi permukaan air, lampunya kelihatan
makin berbeda, dan mau nggak mau aku teringat tugas pertama
yang pernah diberikan Joe Solomon padaku: perhatikan semua
hal. "Aku pernah melihat ini," kataku, masih menatap gambar182
gambar familier di kaca itu"berbagai bentuk dan garis berwarna cerah. "Macey, kau pernah melihatnya, kan?"
"Sori, Cam," jawab Macey, masih mencari-cari. "Aku agak
sibuk di sini." "Ini seperti kaca di lantai atas. Tahu kan, yang besar"
Tapi" berbeda. Ini nyaris seperti?" Kalimatku terputus. Suaraku seakan tersangkut. Dan aku tahu apa yang harus kami lakukan. "Ini bukan jendela"ini puzzle!"
Kacanya terasa dingin saat kusentuh. Setidaknya alat itu
sudah berumur seratus tahun, dan saat kudorong bagian berwarna biru tua di kaca itu, awalnya tidak terjadi apa-apa, dan
kukira aku salah. Tapi aku mendorong lebih keras dan" bergerak. Jendela itu seperti kaleidoskop, sekumpulan kaca dan
roda tersembunyi yang bergerak dan berputar selagi kudorong
bagian berwarna biru itu dengan mulus ke tempatnya di tengah
bingkai raksasa tersebut.
"Macey, bantu aku," kataku, dan bersama-sama kami mulai
bekerja, mata dan tangan kami dengan cepat menyentuh
ratusan bagian jendela itu secepat dan setepat yang kami bisa,
mencoba meniru jendela atas yang nggak pernah betul-betul
kuperhatikan sampai Joe Solomon datang ke sekolah kami.
Tapi di sekeliling kami, sirene terus berbunyi. Lampu-lampu
terus berkedip. Dan, yang terburuk dari semuanya, permukaan
air tetap naik. "Lizzie?" kudengar Bex berseru di belakangku.
"Hampir?" kata Liz, jari-jarinya melayang di atas tomboltombol laptop. "Hampir" berhasil!"
Langsung saja, sirene berhenti. Lampu-lampu berhenti berkedip. Dari sudut mataku, kulihat Liz dan Bex saling tos, tapi
pemukaan air terus naik. 18 3 Aku memikirkan apa yang dikatakan Mr. Mosckowitz pada
Agen Townsend malam itu di koridor yang berbayang"bahwa
setiap generasi menambahkan satu lapisan pertahanan pada
tempat terhormat ini"dan aku tahu bahwa generasi Gallagher
Girl awal merupakan yang paling bijaksana, dalam berbagai
cara. "Berhasil!" seru Macey, mendorong bagian terakhir ke tempatnya, tapi nggak terjadi apa-apa.
Rasanya lama sekali sebelum suara mekanis bernada tinggi
terdengar di ruangan yang memantulkan suara itu.
"IDENTIFIKASI. IDENTIFIKASI. IDENTIFIKASI. SIAPA DI
SANA?" tanya suara itu.
Lalu pastilah naluri kami langsung mengambil alih, karena
kami berempat menyerukan kata-kata pertama yang terlintas
di pikiran: "Kami saudara-saudara perempuan Gillian!"
Aku menahan napas dan berdoa sampai permukaan air mulai
surut dan suara mekanis itu berkata, "SELAMAT DATANG
KEMBALI." 184 Bab T i g a P u l u h da hal-hal tentang Akademi Gallagher yang nggak akan
pernah bisa dimengerti orang seperti Townsend. Sampai selamanya. Begini, intinya bukan tentang menjadi Gallagher Girl"
intinya tentang menjadi salah satu Gallagher Girl. Jamak. Kami
semua sebagai kesatuan. Tanpa Bex, aku pasti bakal memicu
sensor-sensornya. Tanpa Macey, aku nggak mungkin bisa memecahkan puzzle itu tepat waktu. Dan tanpa Liz" well, Liz
punya banyak peran dalam misi ini.
"Seberapa tinggi letaknya?" katanya sambil berjalan di sebelahku.
"Nggak setinggi itu," jawabku perlahan, mendongak pada
rak-rak menjulang yang memenuhi dinding-dinding Sublevel
Dua. Itu bukan tempat kami menyimpan zat-zat kimia. Saat aku
memandang berkeliling pada barisan-barisan panjang rak tinggi,
nggak satu senjata pun terlihat. Tapi informasi yang disimpan
18 5 di dalam ruangan ini cukup berbahaya untuk meruntuhkan
sekolahku, cukup kuat untuk meracuni setiap anggota persaudaraan kami. Dan aku tahu kami nggak berani tinggal terlalu lama di sini"bahwa kami menjalani hidup dalam basis
yang-perlu-tahu-saja karena alasan bagus.
Sayangnya, hanya aku yang merasa begitu.
"Ooh! Keren!" terdengar seruan Macey dari baris sebelah,
meskipun faktanya di lantai atas, setengah tim keamanan Akademi Gallagher pasti sekarang sangat waspada, bertanya-tanya
apa yang baru terjadi di Sublevel Dua.
"Hei, Cam," panggil Bex, "kau tahu nggak bahwa Amelia
Earhart menghabiskan dua puluh tahun terakhir hidupnya dalam penyamaran di Istanbul?"
Setengah detik kemudian, Macey datang berlari-lari dari
ujung gang, memegang dokumen. "Cepat, Teman-teman, aku
punya foto-foto Profesor Buckingham" pada Perang Dunia
Kedua" memakai baju renang!"
Bex berlari untuk melihat gambar-gambar itu, tapi tatapanku terkunci pada Liz yang memasangkan kabel di ikat pinggang peralatan yang tergantung di pinggang mungilnya.
"Liz, ini konyol. Aku saja yang melakukannya," kataku
padanya. "Tapi, Cammie, Zach bilang letaknya di tengah rak tertinggi. Sulit sekali menempatkan seseorang di tempat yang
tepat, dan aku yang paling ringan," katanya, mengucapkan
satu-satunya potongan informasi yang dapat dibuktikan secara
ilmiah"dan dengan demikian sangat relevan"yang kami miliki.
"Kau nggak perlu membuktikan apa-apa, Lizzie. Aku bisa?"
"Mereka memerlukanmu, Cammie," kata Liz, suaranya
186 hanya bisikan. "Dan kalau pihak mereka memerlukanmu
hidup-hidup" pihak kita juga memerlukanmu hidup-hidup."
Ia mendongak ke arah rak-rak tinggi itu dan menarik napas
dalam-dalam, seakan berusaha menghilangkan semua pikiran
nggak menyenangkan dan fokus pada satu fakta terukur: "Aku
paling ringan." "Bex, kami siap," seruku. Sedetik kemudian Bex muncul,
busur pendek Liz tergenggam di tangannya. Kelihatannya mudah sekali saat Bex membidik ke langit-langit sekitar lima
belas meter di atas kepala. Kudengar kabelnya melayang, kulihat gulungan di kakiku perlahan menyusut, sampai kudengar
suara metalik yang dikeluarkan titanium saat mengenai batu
solid. "Siap?" tanyaku pada Liz, yang mengangguk.
"Kau bisa melakukannya," bisikku pelan saat Bex menyambar ujung lain kabel dan menariknya. Saat berikut, Liz
sudah melayang anggun (atau seanggun yang bisa dilakukan
Liz) ke rak-rak bertanda: PERINGATAN, BERTEGANGAN
TINGGI. Aku berdiri, menahan napas sambil memandang semuanya.
Mungkin itu sebabnya akulah yang mendengar suara tersebut,
dengungan, begitu jauh sehingga awalnya kukira itu suara
benakku sendiri. Tapi kemudian aku mendengarnya lagi.
"Kalian dengar itu?" tanyaku, menajamkan pendengaranku.
Bex mencoba memanuver Liz ke posisi, dan Liz menatap
tanda bertegangan tinggi itu seakan hidupnya bergantung pada
tanda tersebut, yang" well" mungkin memang benar.
"Kaudengar itu?" tanyaku pada Macey.
18 7 "Kita 450 meter di bawah tanah," jawab Macey sambil
mengangkat bahu. Macey benar, tentu saja. Aku mungkin sama amannya di
sini dengan di tempat mana pun di dunia, tapi ada yang aneh
dalam keheningan mencekam yang meliputi kami. Aku berdiri
lama sekali, mendengarkan suara detak jantungku"ritme yang
belum melambat selama berbulan-bulan sampai"
"Itu," kataku lagi, dan kali ini Macey juga berhenti.
"Mungkin itu tungku pemanas atau semacamnya?" tanya
Macey saat suara itu makin keras.
Aku menahan napas. "Itu bukan unit pemanas."
"Berapa lama lagi, Liz?" tanya Bex.
"Hampir dapat!" seru Liz, mengulurkan tangan sejauh yang
bisa dicapai tubuh kurusnya, tapi tetap saja buku itu ada di
luar jangkauannya. "Liz," kataku lagi. Suara itu makin keras, dan terdengar
lebih teratur. "Liz, kau butuh waktu berapa lama untuk
menyalakan lagi jaringan lasernya?"
"Dua menit," jawab Liz.
Tapi di kedalaman ruangan, suara itu menderum hidup lagi.
Kutatap Bex dan Macey. "Kita nggak punya waktu dua menit."
Saat itu begitu banyak ketakutan terlintas di pikiranku:
Bagaimana kalau ada semacam pengaman cadangan yang
belum kami matikan dan kami bakal terkena gas, tertindih,
tenggelam, tersetrum, terjepit, atau terperangkap"
Bagaimana kalau Circle of Cavan melacakku sampai ke
kedalaman sekolah kami dan, tahu bahwa aku terperangkap
jauh dari Mom dan para penjaga, telah menemukan jalan masuk"
188 Bagaimana kalau itu Mom, dan kami tertangkap" tepergok"
Terlepas dari ketakutan-ketakutan sintingku, ada satu hal
yang kuketahui dengan pasti: ada orang lain yang mencoba
masuk ke Sublevel Dua. "Kau bisa melakukannya, Lizzie," seru Bex ke atas.
"Pokoknya" cepatlah. Dan mungkin bergerak sedikit ke?"
Bex menarik tali ke kanan, tapi entah dia menganggap
remeh kekuatannya sendiri atau menganggap berat badan Liz
lebih daripada yang sebenarnya, karena berikutnya kulihat
kilasan pirang terayun melewati rak-rak itu dan berhenti tergantung di suatu tempat di atas bagian yang didedikasikan
untuk Krisis Misil Kuba. Dengungan mekanis itu makin keras, dan sekarang kami
tahu suara itu datang dari suatu tempat di depan kami.
"Apakah itu?" Macey memulai.
"Terowongan lift?" tebak Bex.
"Kurasa begitu," kataku. "Apakah menurut kalian?"
"Townsend," kata kami semua berbarengan.
"Tapi bagaimana dia bakal mengatasi alat-alat keamanan di
bawah sini?" tanya Macey.
Aku mengangkat bahu. "Entah dia tahu kita sudah melakukan itu untuknya?"
"Atau dia nggak peduli," kata Bex, menatapku, dan aku
bisa tahu dari ekspresi di matanya bahwa kami sama-sama
nggak tahu mana yang lebih menakutkan.
Setumpuk kecil debu mulai berkumpul di lantai, dan aku
melihat lubang kecil yang muncul di dinding batu. Agen
Townsend mengebor jalan dari terowongan lift menuju Sublevel
Dua. 18 9 Aku bicara keras mengatasi suara bor dan kepanikan
jantungku yang berdebar-debar. "Kita harus pergi!"
Para Pelaksana menyadari mereka akan mengalami pertemuan
yang sangat berbahaya dengan guru-garis-miring-mungkin-agenmusuh yang sangat marah, jadi mereka menggunakan sekumpulan taktik rahasia yang sangat direkomendasikan.
1. Pelaksana McHenry berkata, "Kau siap" Kau siap" Kau
siap?" berulang-ulang dengan cepat sampai Pelaksana Sutton
benar-benar siap. 2. Pelaksana Morgan mendorong rak ke depan dinding yang
sedang coba ditembus dengan bor oleh agen musuh, memberikan barikade sementara.
3. Pelaksana Baxter menggunakan kesempatan itu untuk mengucapkan beberapa kata yang dipilih dengan sangat baik
mengenai instruktur Operasi Rahasia baru Akademi
Gallagher. "Dapat!" kata Liz, dan detik berikutnya ia melayang di
udara, jatuh. Macey dan aku menangkap dan menurunkannya
ke tanah, tapi kami nyaris nggak punya waktu sedetik pun
untuk melepaskan kaitan itu"nggak ada waktu untuk mengambil satu pun peralatan kami"sebelum Bex menyambar
lenganku dan berbisik, "Lari!"
Lalu kami berlari, menghindari rak-rak secepat dan sehatihati mungkin.
Saat melirik ke belakang, aku bisa melihat sinar senter
190 menyorot rak-rak di ujung ruangan raksasa itu. Kami sudah jauh
dari jangkauan sinar, tapi kami sama sekali belum aman.
Kabel masih tergantung dari terowongan ventilasi di depan
kami. Kulihat Macey menyambarnya, bergantung pada salah
satu kait yang tadi membawa kami turun, dan memutar-balik
alat itu. Sepersekian detik kemudian, ia terangkat ke udara,
meluncur naik ke terowongan, ke arah langit malam dan kebebasan.
Tapi di Sublevel Dua, terdengar langkah-langkah di belakang kami dan mereka semakin dekat.
Dia belum pernah kemari, kataku pada diri sendiri selagi
mendengarkan pria itu berjalan pelan menyusuri labirin rak.
Bex berdiri di dasar kabel, dengan cepat mengikatkan Liz
ke alat itu, sementara aku tetap membeku, mengamati ayunan
senter di antara rak-rak. Situasinya menakutkan sekaligus
indah. Benda-benda rahasia yang dikumpulkan selama seratus
tahun disimpan dalam ruangan raksasa itu"cetak biru dan
denah, rahasia-rahasia yang begitu berbahaya sehingga matamata terbaik di dunia pun rela mengambil semua risiko demi
memastikan semua itu nggak pernah terungkap.
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi saat itu, hanya ada satu artefak top secret yang penting
bagiku. Sekarang giliranku, jadi kuraih kabel dan kurasakan
diriku naik, makin lama makin cepat, ke arah udara malam
yang segar. 191 Bab T i g a P u l u h S a t u
angitnya nyaris tak berbintang. Awan-awan hitam tergantung tebal di atas kepala kami, menutupi bulan. Tapi setelah kegelapan di lubang mungil tadi, aku harus menyipitkan
mata. Rasanya seperti menatap matahari.
"Padahal kita pikir kita nggak akan bisa melakukan latihan
tugas Operasi Rahasia semester ini," kataku selagi Bex menarik
lenganku keluar dari lubang itu; tapi teman-teman sekamarku
nggak tersenyum. "Apa?" tanyaku. Teman-temanku hanya menatapku. "Apa?"
tanyaku lagi, tapi aku nggak sempat mendengar jawabannya,
karena momen berikutnya udara di sekeliling kami seakan
ditenggelamkan dalam cahaya. Sirene meraung, mengiris udara,
meneriakkan bahwa terjadi sesuatu yang betul-betul nggak
beres. Pintu depan mansion masih berjarak sembilan puluh meter,
tapi aku tahu itu peluang terbaik kami menuju tempat aman,
192 dan Bex serta Liz sudah berlari. Macey dan aku cepat-cepat
mengejar. Para penjaga berlarian dari mansion utama ke pagar, mengecek perimeter, nyaris nggak kuat menahan anjing-anjing
yang menggonggong di ujung tali kekang panjang mereka.
Semua lampu sorot bersinar di langit. Dari kejauhan, kelihatannya mungkin seperti pesta. Para penduduk Roseville
mungkin punya belasan teori sinting tentang apa yang terjadi
di sekolah saat itu, tapi aku tahu nggak satu pun akan mendekati kebenaran.
Begitu teman-teman sekamarku dan aku menerjang memasuki pintu depan dengan terengah, kudengar Profesor
Buckingham memanggil namaku dari puncak tangga.
"Cameron Morgan! Apakah ada yang melihat Cameron?"
"Itu dia!" seru salah satu murid kelas delapan, dan detik
berikutnya aku terperangkap dalam kerumunan tubuh manusia.
Mr. Smith mencapaiku lebih dulu. Laki-laki dari departemen
keamanan menyambarku dari sisi lain.
"Apa yang terjadi?" tanyaku, menatap Mr. Smith.
"Penyusup," katanya sederhana selagi aku diseret (atau praktis digendong) menaiki tangga.
Cewek-cewek memenuhi semua koridor. Mereka memakai
piama dan bertelanjang kaki. Dan membawa senjata. Oh yeah,
mereka membawa banyak senjata.
"Apa itu Circle of Cavan?" seru murid kelas tujuh, suaranya
pecah. "Apakah mereka di sini?"
Tapi para staf menjagaku tetap dalam lingkaran ketat. Aku
nyaris nggak bisa melihat satu wajah pun sampai Tina Walters
menyeruak kerumunan. "Cammie, kau nggak apa-apa?"
19 3 "Aku baik-baik saja!" seruku, mencoba menggeliat untuk
membebaskan diri. Lalu alarm berhenti meraung.
"Kau membuat kami semua sangat khawatir malam ini,
Cameron," Townsend menyambutku di puncak tangga. Temantemanku berdiri di dasar tangga, mendongak menatapku. Rambut mereka kusut dan penuh sarang laba-laba. Wajah mereka
kotor (berarti kemungkinan besar wajahku juga begitu). "Tepatnya di mana kalian tadi?"
"Jalan rahasia," kataku. "Saya baru menemukannya. Jalan
itu hebat tapi?" Aku melirik Macey, di salah satu pipi sempurnanya ada bercak hitam. "Kotor."
"Kau," kata Townsend, menunjuk Liz. "Apa yang kaubawa
dalam tas itu?" Oke, mungkin kelihatannya memang sedikit aneh. Bagaimanapun, ratusan cewek memenuhi koridor dan tangga malam
itu. Ada banyak masker wajah dan kawat gigi, tapi Liz cuma
membawa ransel itu, dan Townsend nggak bakal jadi matamata hebat kalau sampai nggak bertanya-tanya apa yang ada
di dalamnya. "Well?" tanya Townsend lagi, melangkah mendekat.
"PR!" sembur Liz. "Buku-buku."
"Anda mungkin belum tahu ini, Agen Townsend," kata Dr.
Fibs, "tapi Ms. Sutton merupakan salah satu murid kami yang
paling?" "Buka tas itu," tuntut Townsend. Ia menyambar tas itu dan
membaliknya. Aku menahan napas dan mengamati saat dua
buku catatan, sebungkus permen karet, dan empat belas pensil
warna berjatuhan di lantai.
Aku cukup yakin seharusnya aku menghela napas lega, tapi
194 sebaliknya aku justru panik. Teror. Kami membahayakan nyawa
untuk mendapatkan jurnal itu, tapi sekarang jurnal itu nggak
ada. Hilang. "Di mana?" Kusadari diriku berkata keras-keras, tapi Macey
mengangguk samar. Jurnal itu tersembunyi, kata anggukan itu.
Jurnal itu aman. "Cammie!" Aku kenal suara itu. "Mom," kataku, mencoba melihat menembus kerumunan.
"Tidak apa-apa, semuanya," kata Mom"kepala sekolah
kami. "Departemen keamanan meyakinkanku bahwa perimeter
tidak ditembus. Tidak ada orang di dalam mansion atau di
wilayah sekolah yang seharusnya tidak berada di sini. Tidurlah
kembali." Saat ia menatapku, nggak ada keraguan bahwa itu
merupakan perintah. "Langsung tidur."
Yeah. Seandainya kau bertanya-tanya, kami betul-betul nggak
menuruti perintah itu. Tentu, kami memang pergi ke suite. Tentu, kami memang
mematikan semua lampu. Tapi sepuluh detik kemudian kami
berempat berkerumun di kamar mandi, menatap buku yang
tampak sangat gelap di tangan pucat Liz. Saat ia menyerahkannya padaku, selembar kertas terjatuh, melayang, dan mendarat
di lantai. Dear Cammie, Kalau kau sampai membaca ini, berarti aku sudah
Monte Cristo 1 Kucing Di Tengah Burung Dara Cat Among The Pigeons Karya Agatha Christie Api Di Bukit Menoreh 31
bicara." "Kenapa Anda datang kemari?" tanya Bex.
"Untuk melacak rubah, kau harus mulai di sarangnya."
"Apa yang Anda ketahui tentang ibu saya?"
Townsend memalingkan kepala ke jendela. Napasnya mem102
buat kaca jendela berkabut. Aku mulai mengira ia nggak mendengarku saat ia berbisik, "Mereka tidak akan melukainya."
Dan dengan kata-kata itu, rasa takut besar yang belum
pernah kualami memenuhi dadaku. "Ada yang menahan ibu
saya?" Kusambar kausnya dan kutarik dia mendekat, memaksanya menatapku. "Siapa?" Aku mengguncang tubuh Townsend.
"Siapa yang menahannya?"
Anehnya, senyum Townsend terlihat tanpa ekspresi.
"Kami." Tanganku berubah kaku, mengepal di kerahnya.
"Kami" Siapa "kami?" Di mana ibu saya?" tanyaku, tapi
Townsend mulai tertidur. Kelopak matanya menurun. Dia menatap ke luar kaca yang bergelombang, seakan belum pernah
melihat jendela. "Di sini memang indah," katanya, lalu memejamkan mata
dan tertidur. Kulepaskan cengkeramanku, dan kulihat bagaimana
Townsend mendarat di bantal-bantal. Kelihatannya dia sedamai
bayi yang tidur. Lalu Liz menamparnya. Ya, tamparan sungguhan.
Townsend bergidik dan bangun, matanya jernih selama satu
detik yang singkat. "Tidak!" seru Liz, menamparnya lagi. "Anda salah!" sergah
Liz. "Liz?" Bex mengulurkan tangan untuk mencegah, tapi Liz
menyerang lagi. "Anda salah!" seru Liz. "Mrs. Morgan akan kembali, dan
kami akan membersihkan nama Mr. Solomon, lalu sekolah ini
akan punya guru sungguhan lagi."
"Oh, aku meragukan itu." Sesuatu dari pria yang dulu
10 3 berada di London merayap kembali ke dalam suara Townsend.
Ia tersenyum. "Kurasa Rachel Morgan tidak akan mau bekerja
bersama pria yang membunuh suaminya."
104 Bab En a m B e l a s dara di dalam mansion terlalu panas. Aku ingat melewati
perapian yang menyala dan jendela-jendela yang berkabut"
bergerak melewati koridor-koridor ramai seakan aku mungkin
nggak akan bisa menghirup udara segar lagi. Terbakar. Rasanya
dunia terbakar. "Cammie!" panggil Bex dari belakang, tapi aku nggak berhenti sampai berada di seberang selasar dan mendorong pintupintu berat itu.
Aku nggak punya mantel. Langit tampak mendung, gelap,
dan kelabu selagi aku menyeberangi halaman yang terbentang
dari mansion sampai hutan.
"Cammie," panggil Bex lagi. Di belakangnya, kulihat Liz
dan Macey berlari mendekat.
"Cam, kau baik-baik saja?" panggil Liz, dan aku berbalik.
"Nggak!" Aku nggak sadar bahwa aku berteriak. Aku hanya
tahu kata itu terperangkap dalam diriku, mendidih. "Nggak!
Aku tidak baik-baik saja."
10 5 Teman-teman sekamarku berhenti, membeku. Sepertinya
mereka takut berdiri terlalu dekat denganku.
"Kita belum tahu apa maksud kata-kata Townsend," kata
Liz padaku. "Kita tidak tahu dari mana dia mendapatkan
informasi itu atau apakah sumber-sumbernya cukup aman. Kita
belum tahu apa arti kata-kata itu."
"Memang betul." Aku menggeleng. "Justru itu. Kita nggak
tahu apa-apa. Aku tahu soal bom, penawar racun, dan cara
mengatakan "parkit" dalam bahasa Portugis, tapi aku nggak
tahu di mana ayahku dimakamkan."
Mata Liz sama merahnya denganku saat menatapku.
"Cammie, nggak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja."
"Mr. Solomon membunuh ayahku. Mr. Solomon?"
Saat kalimatku terputus, Bex melangkah mendekat. Ia mengulurkan tangan padaku, tapi aku menyentakkan diri menjauh.
"Mereka menginginkanku" hidup-hidup." Air mata panas
menyengat mataku. Tenggorokanku terasa terbakar. "Mereka
membutuhkanku hidup-hidup!" teriakku, nggak mampu menghentikan kata-kata itu tersembur. "Bagaimana seharusnya sikapku" Apa yang seharusnya kurasakan?"
"Aku tahu bagaimana perasaanmu, Cam," kata Macey.
"Kau nggak?" "Cammie!" Aku nggak akan pernah melupakan nada suara
Macey saat itu. "Cam," katanya perlahan, menghampiriku,
"Aku tahu bagaimana rasanya diamati setiap detik, setiap hari.
Aku tahu bagaimana rasanya semakin lama memercayai semakin sedikit orang sampai sepertinya kau hanya sendirian di
dunia ini. Aku tahu kaupikir satu-satunya hal yang tersisa dalam hidup adalah hal-hal buruk. Aku tahu apa yang kau106
rasakan, Cam." Tangannya memegangi bahuku. Mata birunya
menatap mataku. "Aku tahu."
Dua bulan terakhir ini aku hidup dengan mengetahui
bahwa Circle of Cavan memburuku, mengira nggak seorang
pun mungkin tahu bagaimana rasanya. Seakan di mana pun
dan dengan siapa aku berada, aku nggak pernah aman. Tapi
aku salah" seseorang mengerti. Dan orang itu berdiri persis di
hadapanku. "Dia nggak mau memberitahu di mana ibuku," kataku
pelan. "Agen Townsend tahu"dia tahu! Tapi dia nggak
mau?" "Kita akan menemukan ibumu, Cam," kata Bex, mengulurkan tangan padaku. "Kita akan menemukan ibumu."
"Yeah," kata Liz, bergabung dengan kami.
"Kita akan melacak ibumu"melacaknya sampai ke ujung
dunia kalau perlu"lalu kita akan menanyainya?"
Udara terasa lebih hangat dengan kehadiran teman-teman
di sekitarku. Kurasakan detak jantungku mulai melambat saat
suara di belakangku berkata, "Menanyaiku apa?"
10 7 Bab Tu ju h B e l a s ia di sana. Mom di sana. Rasanya aneh sekali melihat
Mom"mendengar suaranya, memandang caranya berjalan bersama kami melewati pintu depan dan menaiki Tangga
Utama"seakan nggak terjadi apa-apa sejak Mom memasukkanku ke limusin bersama suami-istri Baxter pada Desember dan
melambai, mengucapkan selamat tinggal.
"Mom, aku?" "Senang melihatmu, Kiddo." Ia merangkul bahuku dan memelukku erat-erat saat kami mencapai Koridor Sejarah.
"Apakah liburanmu dan Bex menyenangkan?"
Mom nggak menelepon pada pagi Natal. Dia juga nggak
datang ke London setelah kejadian di jembatan itu. Dia absen
dari sekolah kami nyaris selama sebulan, walaupun begitu saat
aku melihat Mom membuka kunci pintu kantornya, hanya satu
pertanyaan yang ingin kudengar jawabannya dari Mom.
"Apakah itu benar?"
108 Pasangan Baxter, Aunt Abby, bahkan Agen Townsend sudah memberitahuku fakta-faktanya, tapi hanya Mom yang bisa
membuatku memercayai fakta-fakta itu. "Apakah Mr. Solomon
betul-betul bergabung dengan Circle?"
Kudengar suara-suara obrolan datang dari koridor, tapi
teman-teman sekelasku seakan jutaan kilometer jauhnya saat
Mom melangkah masuk ke ruangan yang gelap dan berbisik,
"Ya." Mom berjalan ke mejanya. Di dalam kantornya, aku merasa
cukup berani untuk bertanya, "Apakah dia membunuh Dad?"
"Circle punya sejarah panjang dalam merekrut para agen
saat mereka masih sangat muda, Cammie. Ketika Mr. Solomon
bergabung, dia?" "Apakah dia membunuh ayahku?"
"Cammie, Sayang?"
Bibirku mulai gemetar. Tekanan yang kurasakan selama berbulan-bulan meningkat dan membengkak, lalu aku nggak bisa
menghentikannya. Dunia berubah menjadi kabur dan pipiku
basah, dan nggak peduli seberapa keras aku mencoba, seakan
aku lupa cara bernapas. "Aku menyesal, Cammie. Aku sungguh-sungguh menyesal."
"Di mana Mom selama ini?" Bisa kudengar suaraku pecah.
"Waktu itu aku butuh Mom."
"Cam," kata Mom lembut. "Aku tahu kau aman, Sayang.
Pasangan Baxter orang-orang baik"mereka mata-mata yang
sangat hebat?" "Mereka bukan keluargaku. Aku butuh Mom!"
"Sayang, percayalah padaku, aku ingin datang menemuimu,
tapi itu tidak mungkin."
10 9 Aku ingin memercayainya, tapi Agen Townsend seakan
berubah jadi hantu yang berbisik di telingaku: Mereka tidak
akan melukainya. "Kenapa kau nggak datang ke London, Mom?"
"Sudah kukatakan padamu, Cammie. Aku tertahan."
Itu frasa yang juga digunakan Townsend maupun Profesor
Buckingham, tapi saat kutatap Mom, aku tahu dia bukannya
ketinggalan pesawat, terjebak dalam rapat, atau kehilangan
paspor. Arti tertahan adalah diborgol, ranjang keras, dan di
dalam fasilitas-fasilitas yang dioperasikan CIA.
"Tertahan bagaimana" Tertahan di mana" Langley?" Kulihat
sinar di mata Mom berubah, dan aku tahu bahwa aku benar.
"Saat ada mata-mata yang dituduh menjadi agen ganda,
prosedur operasi standarnya adalah menginterogasi siapa pun
yang berhubungan dengannya. Itu protokol, Kiddo. Bukan masalah."
"Bagaimana dengan guru-guru lain" Profesor Buckingham"
Mr. Smith" Kenapa mereka nggak?"
"Mereka juga diinterogasi, Cam. Kami semua diinterogasi."
"Lalu kenapa Mom terlambat" Kenapa cuma Mom yang
baru kembali ke sekolah sekarang?"
"Aku yang mengenal Mr. Solomon paling lama." Mom menarik napas panjang. "Akulah yang mempekerjakan dan membawanya kemari, jadi memang?" Kalimatnya terputus. Lama
sekali Mom nggak memandangku. "Tapi aku sudah kembali
sekarang." Ia mengelus rambutku. "Kau aman." Ia menarikku
ke arahnya dan menarik napas dalam-dalam. "Kau aman."
Ada hal-hal yang nggak perlu dikatakan di antara sebagian
orang, kata-kata yang nggak terucap selama berpuluh-puluh
110 tahun, bahkan sepanjang hidup. Kadang aku bertanya-tanya
apakah mata-mata punya lebih banyak atau lebih sedikit halhal semacam itu. Lebih banyak, kurasa. Ada begitu banyak hal
yang"bahkan orang-orang yang paling berani di dunia pun"
nggak cukup berani untuk mengucapkannya keras-keras.
"Mr. Solomon datang menemuiku," bisikku.
Mom melangkah mundur. "Aku tahu."
"Dia bilang mereka salah. Dia bilang dia nggak melakukan
semua itu"bahwa mereka mengejar orang yang salah. Aku?"
Aku mengingat kesedihan dalam diri Mr. Solomon saat dia
memelukku. "Aku percaya padanya."
"Joe Solomon mata-mata luar biasa, Sayang."
"Jadi?" "Mata-mata yang luar biasa merupakan para pembohong
terbaik." Mom terenyak ke sofa kulit, tampak nyaris terlalu
lemah untuk berdiri. "Dia tidak akan kembali lagi, Cammie."
Selama bertahun-tahun sejak Dad meninggal, aku pernah
melihat Mom menangis sekali, mungkin dua kali, tapi nggak
pernah saat ia tahu aku bisa melihatnya. Tapi saat itu, air
mata muncul di mata Mom, dan aku nggak tahu apakah ibuku
memaksudkan Mr. Solomon atau Dad saat berbisik, "Dia tidak
akan kembali lagi." 111 Bab D e l a p a n B e l a s
allagher Girl nggak pernah bolos. Kami nggak membolos,
dan nggak pernah ada hari ketika seluruh anak kelas dua belas
membolos bersama-sama. Itu belum pernah terjadi. Tapi saat
berjalan menyusuri koridor keesokan paginya, aku ingin membuat pengecualian. Aku ingin lari"bersembunyi lebih dalam
daripada sebelumnya. Aku ingin merangkak kembali ke tempat
tidur dan tidur selama berjuta-juta tahun.
Ternyata, bukan hanya aku yang merasa begitu.
"Selamat pagi, Ms. Morgan."
Aku mendengar lantai papan berkeriut di belakangku. Aku
mengenali suara lemah itu. Tapi wajah yang kulihat saat aku
berbalik bukanlah wajah yang kuharapkan.
Tentu saja, rambut Agen Townsend masih basah sehabis
mandi, dan pakaiannya bersih serta disetrika rapi, tapi matanya
merah dan bengkak. Saat berjalan melewatiku dan menuju ke
mejanya di depan ruangan, ia bergerak hati-hati, seperti laki112
laki yang sangat ingin dunia berhenti berputar sejenak. (Namun giginya memang terlihat jauh lebih putih.)
Catatan untuk diri sendiri: jangan pernah menawarkan diri
membantu Elizabeth Sutton mengetes salah satu eksperimennya.
Lampu-lampu di ruang kelas Operasi Rahasia mati, tapi saat
Tina Walters berhenti di pintu dan mengulurkan tangan ke
sakelar, guru kami menggerutu, "Jangan nyalakan lampunya."
Selagi kami berjalan ke kursi masing-masing, Townsend memejamkan mata seakan langkah kami terdengar seperti letusan
senapan di tengah kegelapan.
"Aku tidak peduli apa yang kalian lakukan satu jam ke
depan," katanya pelan, duduk di kursi di balik meja. "Aku
tidak peduli bagaimana kalian melakukannya. Pokoknya lakukan" dengan tenang."
Banyak orang mengalami pagi yang buruk di Akademi
Gallagher"cewek-cewek yang menguap karena belajar semalaman, tubuh-tubuh pegal yang berjuang memanjat tangga
setelah melewati minggu berat di kelas P&P. Waktu pertama
kalinya bertemu Agen Townsend, aku ingin dia merasa seburuk
perasaanku; dan saat dia berdiri di sana pagi itu, kupikir mungkin dia memang merasa seburuk itu.
Terutama saat lampu-lampu menyala tiba-tiba dan kudengar
Mom berkata, "Well, halo."
Aku melihat Agen Townsend menyipitkan mata dan melompat"mengamatinya menoleh untuk menatap wanita di
pintu, tapi aku nggak tahu apakah terkejut merupakan kata
yang tepat untuk mendeskripsikan ekspresi di wajah pria itu.
"Selamat datang di Akademi Gallagher, Agen Townsend.
Kami sangat senang menyambut Anda di sini."
113 Catatan untuk diri sendiri: Rachel Morgan pembohong
yang sangat hebat. "Aku ingin menyapa saat sarapan, tapi?" Mom mengamati
wajah kusut lelaki itu. "Bisa kulihat Anda mungkin perlu tidur
lebih lama." Perlahan-lahan Townsend memalingkan pandangan ke arahku. "Pasti akibat sesuatu yang kumakan."
"Aku sangat menyesal mendengarnya. Biasanya koki kami
hanya menerima komentar yang sangat baik." Mom berjalan
menyusuri depan kelas. Ia tetap bersedekap, menatap ke luar
jendela, sebelum perlahan-lahan menoleh pada anggota kelas
lain. "Halo, Anak-anak."
Terdengar beberapa balasan halo dan selamat datang kembali,
tapi kami lebih banyak diam"menunggu.
"Harus kuakui, saat dewan pengawas Gallagher memberitahuku bahwa CIA dan MI6 merekomendasikan Anda untuk mengisi posisi ini, aku terkejut. Kuharap ritme di sekolah kecil kami
tidak terlalu lambat untuk Anda."
"Tidak," kata Agen Townsend, merosot ke sudut meja.
"Kalau Joe Solomon bisa melakukannya?"
Aku merasakan sengatan kemarahan waktu mendengar
nama itu, tapi kalau Mom merasakan hal yang sama, dia jelas
nggak menunjukkannya.
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dan menurut Anda, bagaimana keadaan di sini?" tanya
Mom. "Apakah ada yang Anda perlukan?"
"Maksud Anda selain akses ke lantai sublevel?"
Mom mengangguk. "Ya. Profesor Buckingham sudah menjelaskan masalah keamanan baru sehubungan dengan lantailantai itu. Kami sedang berusaha keras."
114 "Aku mengerti," kata Agen Townsend, tapi kata-katanya
terdengar lebih seperti yeah, yang benar saja.
Lalu semacam ekspresi shock melintas di wajah Mom.
"Oh, maafkan aku, Agen Townsend. Please, lanjutkan kelas
Anda. Jangan biarkan aku menginterupsi pelajaran Anda."
Mom menduduki kursi kosong di barisan depan di pojok
kanan ruangan, dan giliran Agen Townsend-lah yang kelihatan
kaget. "Maaf, Mrs. Morgan. Apakah Anda" akan tinggal?"
"Ya," kata Mom.
"Well, kalau aku tahu, aku pasti akan mempersiapkan pelajaran spesial untuk kesempatan ini."
Mom tersenyum. "Oh, aku yakin apa pun yang Anda siapkan untuk hari ini akan cukup. Kadang aku suka mampir untuk mendengar masing-masing guru di Akademi Gallagher
mengajar. Please, jangan biarkan aku menghentikan Anda."
Kudengar Bex menahan tawa terkikik. Tina Walters menatapku.
"Bagus," kata Townsend sambil tersenyum. "Anda tepat
waktu untuk memulai pelajaran kami mengenai Circle of
Cavan." Di luar, langit tampak biru dan cerah, tapi rasanya ada
badai yang terbentuk di dalam ruang kelas kami. Ada energi
statis yang begitu kuat mengalir di udara, sampai-sampai aku
nyaris nggak berani menyentuh apa pun"karena aku takut
tersetrum. Agen Townsend menoleh dan menatap Mom. "Tentu saja
jika itu bukan masalah bagi Anda, Mrs. Morgan."
"Biasanya topik itu akan dibahas dalam pelajaran Sejarah
Mata-Mata kelas dua belas yang diajar Profesor Buckingham,
115 tapi mengingat situasinya, kurasa kita bisa membuat pengecualian."
Aku setengah berharap saat itu Mom akan memandangku"
tersenyum padaku"sesuatu, apa saja, selain menoleh untuk
menatap seluruh kelas dan berkata, "Begini, Anak-anak, bisa
dibilang Agen Townsend merupakan legenda dalam bisnis
mata-mata. Kurasa tidak ada orang lain yang lebih pantas
untuk memberikan pelajaran ini."
"Joe Solomon pun tidak?" Aku ragu ada teman sekelasku
yang sempat melihat kilatan jahat di mata Townsend.
Kurasa mereka juga nggak mendengar kemarahan dalam
suara Mom saat ia berkata, "Tidak. Dia pun tidak."
Dan setelah mendengar ucapan Mom, Townsend menoleh
pada kami. Ia nyaris terdengar seperti guru sungguhan saat berkata, "Hal terpenting yang perlu kalian semua ketahui mengenai
Circle of Cavan adalah bahwa organisasi tersebut beranggotakan
mata-mata organisasi lain, nyaris seluruhnya"maksudku agen
ganda. Mata-mata yang tidak aktif untuk waktu lama. Organisasi
ini memiliki banyak agen"para pengkhianat"di setiap level,
dalam semua dinas keamanan besar dunia. Mereka bisa berada
di mana saja?" Ia bergerak mengelilingi meja. "Bahkan di
sini." Kuamati mata teman-teman sekelasku saat Circle of Cavan
berubah menjadi lebih daripada sekadar legenda mengenai
Gilly, gaun pesta, pengkhianat, dan sebilah pedang.
"Tentu saja, mereka beroperasi begitu dalam di bawah radar
sehingga sebagian orang dalam bisnis mata-mata mengira
Circle of Cavan hanyalah takhayul"legenda besar. Tapi dalam
beberapa ratus tahun terakhir ini saja, mereka menjadi otak di
balik setidaknya lima pembunuhan"itu yang kita ketahui"
116 dan menjadi pendorong kuat pecahnya tiga perang. Organisasi
ini menjual identitas belasan mata-mata CIA dan MI6 yang
menyamar kepada pemerintah-pemerintah musuh, dan sejauh
yang diketahui Dinas Rahasia, organisasi inilah yang paling
nyaris berhasil membunuh presiden yang masih menjabat di
Amerika Serikat." Agen Townsend bersedekap dan menatap kami. "Jadi
jangan salah, organisasi ini amat sangat nyata."
Kami duduk diam selama lima belas menit, mendengarkannya menyampaikan berbagai fakta seakan Circle hanyalah
kelompok atau gerakan atau organisasi biasa"seakan ini bukan
masalah pribadi. "Apa yang mereka inginkan?" Kudengar diriku bertanya.
"Uang. Kekuasaan. Kontrol?"
"Dari saya?" potongku. "Apa yang mereka inginkan dari
saya?" Aku mengira Agen Townsend bakal memandang Mom atau
menghindari pertanyaanku, tapi sebaliknya, dia duduk di sudut
meja. "Yang itu, kita tidak tahu. Belum." Ia terdiam sejenak.
"Ada yang ingin Anda tambahkan, Rachel?"
Kukira Mom akan memberitahu Agen Townsend bahwa itu
sudah cukup, bahwa pelajaran sudah berakhir. Tapi Mom menyilangkan kakinya yang panjang dan menyandarkan siku di
meja. "Mungkin Anda bisa sedikit membicarakan sejarah mereka."
Townsend mengangguk. "Ioseph Cavan berdarah Irlandia,
dan sejauh yang diketahui publik, para pengikutnya menyingkir
ke tanah leluhurnya setelah Gillian Gallagher diduga membunuhnya."
"Diduga?" kata Bex.
117 Townsend mengabaikan pertanyaan itu. "Tapi sekarang
Circle memiliki banyak markas di setiap sudut dunia. Penting
untuk dimengerti bahwa, tidak seperti kebanyakan kelompok
berbasis politik atau agama, Circle of Cavan tidak memiliki
tujuan"tidak ada panggilan atau maksud selain keuntungan
dan kekuasaan. Organisasi ini cukup besar untuk menjadi berbahaya, dan cukup kecil untuk menyelinap melalui retakanretakan. Mereka selalu berpindah, berhati-hati, dan sangat
terlatih baik. Dan bagian menakutkannya adalah"yang terutama"kitalah yang melatih mereka."
"Apa maksudnya?" tanya Tina.
"Artinya aku tidak berbohong saat bilang anggota mereka
nyaris selalu merupakan agen ganda," jawab Agen Townsend
ketus. "Circle of Cavan sangat baik dalam mengisolasi dan
merekrut agen-agen yang masih muda, rentan, atau keduanya."
"Tapi dari mana Anda tahu?" tanya Tina.
Senyum licik muncul di wajah Agen Townsend saat ia berdiri dan mengamati kami semua bergantian. "Karena akulah
yang melacak mereka."
Kalau kami nggak sangat membencinya, mungkin kami
bakal agak menyukainya saat itu. Tapi kami memang membencinya. Jadi kami tetap nggak menyukainya.
"Jangan salah, Anak-anak, Circle of Cavan berbahaya bukan karena apa mereka, tapi karena siapa mereka. Dan di mana
mereka berada. Dan mereka bisa jadi siapa saja. Mereka bisa
berada?"ia menoleh untuk menatap Mom?"di mana saja."
118 Bab S e m b i l a n B e l a s
umlah jam yang kuhabiskan dengan berjalan mengelilingi
mansion, tanpa tujuan: 6 Jumlah jalan rahasia yang kucari, berharap bisa sampai ke
suatu tempat: 27 Jumlah jalan rahasia yang kutemukan yang memang masih
berfungsi: 1 (Tapi jalan itu cuma menuju dapur.)
Jumlah kue yang kuambil saat di dapur: 1 (Oh, oke, 3"
tapi kuenya amat sangat kecil.)
Jumlah kesempatan aku ingin menangis: 9
Jumlah kesempatan aku berubah pikiran: 9
Jadi aku hanya terus berjalan"melewati perpustakaan dengan barisan buku dan perapian yang nyaris padam, melewati
lift yang nggak bisa lagi membawaku turun ke Sublevel Dua.
Koridor-koridor sepi dan gelap, seakan mansion sedang tidur"
beristirahat untuk mempersiapkan hari baru. Lalu aku berhenti
di Koridor Sejarah dan menatap pedang Cavan, menyadari
119 bahwa, untuk pertama kalinya sejak November, aku betul-betul
sendirian. Well" nyaris. "Halo, Ms. Morgan." Suara dalam mengiris kegelapan di
belakangku. Tentu, waktu itu memang jam dua pagi pada malam sekolah, tapi entah kenapa aku nggak terkejut saat berbalik dan
melihat Mr. Smith. Well" sebenarnya" fakta bahwa dia berjalan berkeliling mengenakan sandal dan baju tidur gaya kuno
itu memang mengejutkanku; tapi fakta bahwa dia masih terjaga
sama sekali tidak. "Saya?" aku memulai. Entah bagaimana, walaupun secara
teknis aku nggak melakukan kesalahan apa-apa, aku merasa
tepergok. "Saya tidak bisa tidur."
"Tidak apa-apa, Ms. Morgan." Mr. Smith mendekat dan
berdiri di sebelahku di depan kilauan hangat dari kotak kaca
yang menyimpan pedang itu. Sinar-sinar pelindung bergulung
di ruangan seperti ombak.
Kulirik guruku. Mungkin gara-gara malam yang begitu larut,
atau fakta bahwa salah satu dari kami memakai gaun (dan itu
bukan aku), tapi aku memberanikan diri bertanya, "Jadi apa
alasan Anda?" "Mata-mata yang baik harus selalu mengecek wilayah mereka pada saat-saat tak terduga dan dengan cara-cara yang juga
tak terduga." Aku memandang gaun tidur"maksudku baju"
baju tidur Mr. Smith. Kalau kau harus selalu melakukan hal
tak terduga agar tetap aman, Mr. Smith jelas bakal hidup
selamanya. "Kau harus mengingat itu, Cammie."
"Ya, Sir." Kutatap pedang itu. "Terima kasih. Sebenarnya
menyenangkan juga?" 120 Tapi kemudian kalimatku terputus. Aku nggak berani mengatakan apa yang ada dalam pikiranku.
"Tidak apa-apa." Mr. Smith mengedip paham. "Kau boleh
mengatakannya." Aku menunduk. "Menyenangkan juga mendapat nasihat
sungguhan soal Operasi Rahasia. Saya kehilangan itu."
"Mr. Townsend mata-mata yang baik, Cammie."
"Ya, tentu saja, saya tidak bermaksud mengatakan?"
"Ambisius. Bangga. Penuh perhitungan" Tapi mungkin dia
kurang cocok di kelas?"
"Ya," aku menyetujui. "Dia tidak akan bisa jadi sebagus?"
Tapi aku terdiam mendadak, tiba-tiba nggak mampu mengucapkan nama itu keras-keras.
"Tidak, kalian memang tidak terbiasa dengan Mr.
Townsend," Mr. Smith menyetujui.
"Dulu saya percaya dia." Aku nggak tahu dari mana katakata itu datang, tapi di sana, dalam cahaya pedang itu, aku
betul-betul harus mengatakannya. "Ternyata Joe Solomon pembohong. Dan pengkhianat. Tapi saya memercayainya. Bahkan
setelah London" Waktu itu dia bicara seperti orang gila, tapi
saya masih?" "Apakah dia gila, Cammie" Apakah dia betul-betul gila?"
Aku menatap mata-mata paling hati-hati yang pernah kukenal"mendongak pada wajah kelima yang kulihat dipakainya,
dan mencoba fokus pada mata yang sama sekali tidak berubah
sejak hari pertamaku di kelas tujuh.
"Joe Solomon memang punya banyak kekurangan, Cammie.
Tapi gila" Untuk satu itu, aku takkan pernah percaya. Bahwa
dia gila." 121 Mr. Smith maju selangkah ke Tangga Utama, ujung baju
tidurnya terayun selagi bergerak.
"Cobalah untuk tidur, Cammie. Dan selamat malam."
Saat berjalan kembali ke lantai atas malam itu, aku memikirkan kata-kata Mr. Smith dan cara Mr. Solomon mencengkeram
tanganku di Menara London, bagaimana dia menarikku ke
balik kegelapan. Saat aku menaiki tangga memutar tua yang
mengarah ke suite anak kelas sebelas, udara dingin menyapu
lenganku, dan aku menatap ke luar kaca jendela bergelombang
yang juga tua itu. semuanya mengingatkanku pada angin dingin di London, gulungan ombak Sungai Thames yang
mengalir di bawahku. Aku ingat betapa bingungnya Mr. Solomon saat memelukku
di jembatan"betapa gerakan itu terasa aneh dan asing.
Ke mana orang-orang seperti Joe Solomon pergi saat jatuh"
aku bertanya pada diri sendiri. Aku bertanya-tanya apakah ada
pertolongan yang menunggunya di tepi sungai.
Aku maju selangkah lagi, tapi selagi bergerak menaiki
tangga spiral itu, sesuatu di luar menarik mataku. Sesuatu membuatku berhenti dan menatap ke luar ke halaman.
Cahaya dari jendela-jendela mansion bersinar menembus
kegelapan, menyinari langit yang gelap dan berawan. Dan saat
itulah aku melihatnya"burung-burung yang terbang ke udara
bebas lalu kembali lagi, mengembangkan sayap mereka.
Sesaat, aku berdiri diam, mendengarkan angin yang melolong dan dekutan samar burung-burung itu, juga ucapan
guruku yang terus berulang dalam benakku selama bermingguminggu.
"Ikuti merpati."
122 Bab Du a P u l u h "T ernyata ada!" Suaraku pecah, dan kata-kata itu keluar
dalam sentakan-sentakan napas pendek seakan aku terengahengah. Kehabisan waktu. "Mr. Smith benar. Dia nggak gila!"
Kudengar langkah-langkah teman-teman sekamarku di
tangga belakangku, saat Bex bertanya, "Cam, kau ini ngomong
apa sih?" "Merpati!" Aku yakin aku pasti kelihatan seperti orang sinting. Dan secara teknis, kepalaku memang sering terbentur, jadi
teman-teman sekamarku punya alasan bagus untuk saling memandang seakan semua trauma otak itu akhirnya memengaruhiku.
"Cam," kata Liz perlahan, matanya masih bengkak karena
baru bangun tidur. "Kita mau ke mana?"
Sesuatu terasa hidup dalam diriku saat itu. Mungkin rasa
takut. Mungkin rasa khawatir. Tapi yang terutama, selagi aku
menaiki tangga, makin lama makin tinggi, kurasa yang kembali
123 hidup adalah harapan. Saat kami mencapai puncak tangga,
kurasakan udara dingin menyusup lewat celah-celah batu, dan
pada detik itu juga jantungku seakan berhenti berdetak. Aku
berdiri di sana, beku karena batu dingin di bawah jari-jariku
dan harapan yang nggak berani kuucapkan selagi aku meraba
pahatan kasar burung yang sedang terbang, dan mendorongnya.
Kelima batu terbesar melesak masuk, memperlihatkan ruangan kecil dan tuas berkarat.
"Cammie!" seru Liz. "Jangan. Kau nggak boleh meninggalkan mansion! Kau mau apa?"
Tapi Liz terlambat, karena pintunya sudah terayun membuka, semburan udara beku bertiup ke wajahku dan kaki
telanjangku, tapi aku nggak merasakan dinginnya.
Aku hanya menoleh untuk menatap sahabat-sahabatku,
yang berdiri dalam cahaya di ambang pintu, dan berkata, "Aku
mau mengikuti merpati."
Kami pernah kemari, tentu saja. Baru beberapa bulan lalu kami
duduk di peti-peti terbalik yang berdebu, sisa-sisa program
peternakan merpati pos rahasia Akademi Gallagher yang dulu
sangat terkenal. Kami duduk di sana selama berjam-jam,
memandang ke lampu-lampu kota Roseville, bicara soal orangorang yang memburu Macey. Memburuku. Tapi sekarang,
tempat itu kelihatan sangat berbeda.
"Apa?" Liz memulai, memandang berkeliling. "Apa ini?"
Banyak papan tulis terpasang di dinding dalam ruang itu,
jauh dari jendela-jendela tak berkaca yang menghadap halaman. Peti-petinya ditumpuk rapi di satu sisi. Sebuah kursi diletakkan sendirian di tengah lantai, menghadap semua papan tulis
124 itu, seakan seseorang menghabiskan berjam-jam di tempat itu,
mencoba memecahkan pertanyaan yang sangat sulit.
"Pasti ini yang Mr. Solomon ingin kita temukan." Aku melangkah mendekat ke semua papan tulis itu, setiap sentinya
penuh kalimat yang ditulis Mr. Solomon. "Dia mengambil risiko yang sangat besar"hanya untuk memberitahuku agar mencari ini," kataku.
"Cammie?" Bex memulai. "Kau sama tahunya denganku
bahwa waktu itu dia seperti orang gila. Dia bukan Joe Solomon
yang kita kenal." "Tapi kita ada di sini," balasku ketus. "Dia nggak gila kalau
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita bisa sampai di sini."
"Apa katanya?" Terdengar suara pelan Liz, matanya terfokus
selagi melangkah perlahan mendekati papan tulis, dan aku
tahu ia bukan bicara pada kami; pikirannya tenggelam dalam
lautan kode, mencoba melihat apa yang ada di balik kekacauan
itu. "Apa, Liz?" tanya Macey.
Liz menggeleng. "Aku" aku nggak tahu. Aku belum pernah melihat yang seperti itu."
"Karena itu sinting, itulah jawabannya." Bex meninju papan.
"Coba pikir, Bex. Pikir. Mr. Solomon merupakan salah satu
orang paling dicari di planet ini, dan aku cewek yang paling
dijaga di dunia. Kenapa menemuiku di London" Kalau dia bekerja untuk Circle, kenapa mengambil risiko itu?"
"Aku nggak tahu, Cam. Kenapa dia membunuh ayahmu"
Kenapa dia bergabung dengan Circle" Mungkin dia kehilangan
kewarasannya atau mengamuk atau?" Kukira Bex bakal menangis. "Mungkin inilah siapa dirinya sekarang."
125 "Apakah dia gila pada minggu ujian akhir" Apakah dia gila
saat di D.C.?" Kata-kata Mr. Smith seakan menyelimutiku.
"Kalau dia nggak gila, Bex, berarti dia datang ke London
untuk alasan bagus." Kubentangkan lengan lalu mendekati
papan-papan itu. "Dia datang ke London untuk ini."
Kami berempat berdiri persis di tempat Joe Solomon pernah
berdiri, menatap berbagai kata, angka, dan diagram yang ditulisnya. Ada jawaban di sini. Petunjuk. Dia mempertaruhkan
kebebasannya"nyawanya"untuk membawaku ke atap ini.
Aku sudah mengikuti merpati, dan malam itu aku berdiri tanpa mantel di tengah udara dingin membeku, mencoba memecahkan kode yang ada di sini.
Di belakangku, seekor merpati berdekut. Suara itu terdengar
menakutkan dan keras selagi aku menyipitkan mata dalam kegelapan ke tepian atap. Burung itu berdekut lagi.
"Dasar burung bodoh," kata Liz, mengibaskan tangan ke
arah merpati yang duduk sendirian di susuran.
Kebanyakan orang nggak tahu bahwa apa pun bisa dijadikan
perantara, pengantar pesan untuk mata-mata. Bagian mansion
ini ada karena dulu merpati merupakan salah satu perantara
terbaik. Mereka nggak akan bicara saat diinterogasi; bahkan
satelit mata-mata terbaik di dunia pun nggak bisa melacak
mereka. "Sana pergi," kata Liz lagi. "Pergi?"
"Tunggu," kataku, menahan tangan sahabatku, menatap
burung kecil yang duduk diam itu, menunggu dalam kegelapan.
"Cam." Suara Bex terdengar pelan. "Cam, ada apa?"
Aku beringsut ke arah burung itu dan meraih lipatan kertas
mungil yang diikat rapi di kakinya.
126 Kalau kau membaca ini, kau sudah menemukannya. Dan kalau
kau sudah menemukannya, kau tahu. Harus bertemu denganmu.
Temui aku di tempat kita melakukan brush pass. Kirimkan waktunya padaku.
Kumohon, datanglah. Dan tolong hati-hati. Kata-kata itu diketik rapi. Nggak ada tanda tangan"nggak ada
nama apa pun. Dan walaupun aku tahu mengirim pesan itu
merupakan tindakan ceroboh, dan membacanya juga merupakan tindakan ceroboh dari sisiku"amat sangat bodoh untuk
bahkan berpikir melakukan permintaan dalam surat itu"kenyataannya adalah hidup mata-mata bukanlah soal tidak
mengambil risiko. Hidup mata-mata justru soal mengambil
peluang yang sepadan dengan risikonya.
127 Bab Du a P u l u h S a t u
"B agaimana dengan terowongan ventilasi tua di lantai
bawah tanah?" tanya Bex saat kami duduk di depan perapian
yang menyala di perpustakaan keesokan malamnya.
Aku menggeleng. "Tertutup dengan semen baru setebal dua
puluh senti." "Perapian berputar di lantai dua?" usul Macey.
"Mungkin." Aku mempertimbangkan gembok dan jerujijeruji yang ditambahkan di sana pada liburan musim dingin.
"Dengan asumsi kita bisa mendapatkan obor las. Kalian punya
obor las?" Liz langsung bersemangat seakan mau bilang ya, bahwa dia
memang punya obor las di belakang lemari.
"Aku bahkan takut untuk tahu jawabannya," kataku, mengangkat tangan untuk menghentikan ucapan Liz.
"Wah, mereka betul-betul ingin menjaga kita tetap di
dalam, ya?" kata Macey.
128 "Bukan." Bex menggeleng dan menatapku. "Mereka ingin
menjaga Circle tetap di luar." Ia diam sejenak, dan kenyataan
itu melingkupi kami bertiga. "Ini berbahaya. Terlalu berbahaya."
"Aku setuju dengan Bex," kata Macey. "Dia memintamu
mengambil risiko yang sangat besar, Cam."
Mereka benar, tapi satu-satunya yang bisa kupikirkan adalah
cara Mr. Solomon berjalan tepat ke tengah orang-orang yang
menyisir seluruh penjuru dunia untuk mencarinya. "Mungkin
ini giliranku." "Oke. Baiklah. Kita anggap saja semua orang salah," tawar
Bex. "Kita anggap saja Mr. Solomon tidak bersalah, semua
tuduhan itu nggak berdasar, dan dia nggak membunuh?" Bex
berpaling, lalu menoleh kembali. "Kita anggap saja dia memang pria yang kita kenal. Apakah Mr. Solomon yang kita
kenal bakal menyuruhmu menyelinap keluar dari Akademi
Gallagher, pergi ke kota, dan bertemu buronan" Apakah Joe
Solomon bakal menyuruhmu bertindak bodoh?"
Jawabannya jelas. Mungkin itu sebabnya nggak satu pun
dari kami menjawab pertanyaan Bex.
"Kenapa bukan kami saja yang pergi?" kata Liz, menunjuk
dirinya, Bex, dan Macey. "Temui dia. Ambil pesannya. Bawa
kembali." "Aku nggak bisa menjelaskannya, Teman-teman," kataku
sambil menggeleng. "Aku hanya tahu aku harus pergi."
"Bukan berarti kau harus bertindak bodoh!" balas Bex, dan
kusadari bahwa Bex bersikap hati-hati. Bex-lah yang berpikir
logis. "Kau nggak melihat, Cammie," ia melanjutkan. "Kau
nggak dipaksa diam dan menonton saat mereka membius dan
menyeretmu pergi seperti boneka. Kau memang di sana, Cam,
129 tapi kau nggak dipaksa melihat temanmu nyaris pergi untuk
selamanya. Kau nggak tahu seperti apa rasanya melihat semua
itu." "Yeah," kata Macey pelan. "Dia tahu."
Aku menatap teman-temanku, kepada mereka aku bisa memercayakan nyawaku. Lalu aku memikirkan Dad dan seorang
pria lain, pria yang mungkin dipercaya Dad untuk menjaga
nyawanya. "Aku harus pergi," kataku. "Ini misiku."
"Dan kau misi kami," balas Bex.
"Sebenarnya apa maksud kita?" seru Liz. "Cam, kita nggak
perlu menyelinap keluar. Kita bahkan nggak perlu pergi sendiri.
Aku bertaruh ibumu?"
"Nggak," kataku, memotong ucapan Liz. "Kalau Mom sampai ketahuan membantu Joe Solomon" Nggak. Kita nggak
bisa minta bantuan orang lain."
"Aku tahu, Cam," kata Bex, menghentikanku. "Aku tahu.
Tapi kalau kita melakukan ini tanpa backup?"
"Bagaimana kalau mereka salah, Bex?" pintaku. "Bagaimana
kalau Mr. Solomon-lah satu-satunya kesempatan yang kita
punya untuk mengetahui apa yang terjadi pada ayahku" Bagaimana kalau sementara semua orang mengejarnya, nggak ada
yang mencoba menghentikan Circle of Cavan" Bagaimana
kalau dia nggak melakukan semua itu?"
Suara Bex terdengar datar, tenang, dan kuat saat menatapku. "Bagaimana kalau dia memang melakukannya?"
130 Bab Du a P u l u h D u a Laporan Operasi Rahasia Para Pelaksana menggunakan skenario kuda Troya dasar. Dan
sebagai ganti kuda, kami menggunakan Minivan Dodge keluaran
1987. ernyata, saat salah satu organisasi teroris paling berbahaya
dan rahasia di dunia sedang memburu salah satu murid di sekolahmu, para staf sekolah lebih peduli untuk menjaga orangorang luar agar tidak masuk daripada menjaga orang-orang
dalam agar nggak keluar. Atau setidaknya itulah yang dikatakan Bex, Macey, dan aku
pada diri sendiri selagi kami meringkuk di bawah kain terpal,
selimut, dan sekitar sepuluh juta buku catatan fisika, berbaring
sediam mungkin di belakang van Liz.
"Mau ke mana malam ini?" tanya penjaga di gerbang depan.
131 Aku bisa membayangkan si penjaga bersandar ke jendela
pengemudi sambil mengunyah permen karet.
Aku harus menahan napas selagi menunggu suara lembut
beraksen Selatan yang menjawab, "Cuma mengecek jalannya
van ini, Walter." "Bagaimana kemajuan van ini, Lizzie?" tanya si penjaga.
Dalam cahaya remang yang merayap masuk melewati lipatan
selimut, kulihat Bex juga menahan napas.
"Nyaris 650 km per galon," sembur Liz. "Maksudku, spesifiknya, 635"itu bisa kulakukan. Lebih spesifik, maksudku. Kau
kan kenal aku, Walter. Aku sangat perhatian pada detail. Aku
cuma pergi untuk mengetesnya. Aku tidak menyembunyikan
apa-apa!" semburnya, dan mata Bex terbelalak.
PRO DAN KONTRA MENYELINAP KELUAR DARI SEKOLAH
(Daftar oleh Pelaksana Morgan, McHenry, dan Baxter)
PRO: Untuk ukuran operasi kuda Troya, belakang minivan
ternyata nggak terlalu buruk.
KONTRA: Rebecca Baxter, meskipun punya banyak kualitas baik dalam dirinya, ternyata suka memonopoli kain penyamaran.
PRO: Tidak ada cara lebih baik untuk mengalihkan pikiran
cewek dari organisasi teroris yang sedang memburunya daripada
melaksanakan operasi rahasia yang tidak diawasi dan mungkin
ilegal"belum lagi PR Budaya & Asimilasi.
KONTRA: Cewek yang dimaksud di atas seharusnya sedang
mengerjakan PR Budaya & Asimilasi.
PRO: Jika kau tidak mendapatkan pelajaran Operasi Raha132
sia sungguhan selama berbulan-bulan, kau bakal memanfaatkan
pengalaman praktik apa pun yang bisa kaudapat.
KONTRA: Jika kau tidak mendapatkan pelajaran Operasi
Rahasia sungguhan selama berbulan-bulan, mau nggak mau kau
bakal merasa keterampilanmu mulai karatan.
Aku kenal jalan-jalan di Roseville. Aku pernah menyusurinya
bersama teman-teman sekelasku. Di sana, aku pernah bergandengan tangan dengan pacar pertamaku (dan secara teknis
satu-satunya). Aku pernah melihat jalanan itu dipenuhi para
penggemar futbol dan penonton parade, lengkap dengan para
wanita yang menjual kue dan permen untuk menggalang dana
bagi gereja, dan anak-anak yang keluar untuk bersenang-senang
pada hari Sabtu. Roseville betul-betul khas Amerika, dengan gazebo putih,
bioskop, dan alun-alun kota, tapi sepertinya semua berbeda
saat aku berdiri di menara lonceng perpustakaan, menatap
alun-alun itu. Tidak ada apa-apa selain aku dan langit"tanpa
dinding, tanpa penjaga"walaupun begitu aku merasa terperangkap. Seperti gagak-gagak di London itu, aku tahu aku
nggak bisa terbang dan pergi.
"Perlindunganmu di sini cukup bagus," kata Bex padaku.
Bisa kudengar suara Macey lewat unit komunikasi di telingaku, mengucapkan apa yang sudah kuketahui: "Alun-alun aman."
Bisa kulihat Liz di dalam van, mengelilingi blok.
"Liz dari van," kata Bex. "Kita punya pemancar cadangan
di luar kota kalau-kalau terjadi sesuatu pada van-nya."
Bex terus bicara, tapi yang bisa kupikirkan hanyalah bagaimana udara terasa lebih dingin. Bintang terlihat lebih terang.
Angin bertiup lebih lembut di pipiku. Seakan semua indraku
13 3 menjadi lebih tajam, dan mau nggak mau aku berpikir terkadang kebanyakan orang bakal merasa begini"saat mereka
sendirian atau berada dalam kegelapan. Saat mendengar suara
di lemari atau derakan di lantai papan, mereka bisa merasakannya. Ini bukan tentang rasa takut"ini tentang merasa benarbenar hidup. Saraf-saraf bekerja lebih keras, membawa pesan
ke otak, mempersiapkan otak untuk bertarung atau lari, dan
malam itu, well, kita anggap saja malam itu saraf-sarafku perlu
bekerja sangat keras. "Cam?" tanya Bex seolah aku nggak mendengar kata-katanya. Tapi dia salah. Malam itu aku mendengar, melihat, dan
mencium segalanya. "Aku akan menempati posisi. Kau puas
dengan posisi ini?" Aku mengamati alun-alun dan mengangguk. "Ya."
"Kau aman di sini." Bex menyentuh lenganku, nyaris seolah
ia mencoba mendapatkan bauku, seakan mungkin tak lama
lagi ia harus mengejarku sampai mengelilingi dunia.
Lalu aku melihat Bex pergi.
Saat berdiri sendirian di menara itu, aku mengingatkan diri
mengenai semua hal di dunia yang aku tahu sungguh-sungguh
benar: Rebecca Baxter merupakan mata-mata terbaik di Akademi Gallagher dan takkan berbohong mengenai keamananku.
Ada pelacak GPS di jam tangan, sepatu, ikat rambut, dan perutku (berkat pelacak model baru yang bisa dimakan yang
sedang diuji coba Liz). Teman-teman sekamarku dan aku membawa tombol panik
yang bisa memanggil sepasukan tentara dalam sekejap mata.
Mereka bisa melacakku, di mana pun di bumi ini (dan, Liz
betul-betul percaya, juga di bulan).
Walaupun begitu, aku nggak bisa mengenyahkan perasaan
134 bahwa alun-alun itu terlihat lebih kecil dari tempatku berdiri,
atau mungkin tepatnya dunia terasa lebih besar saat ini. Kuangkat teropong dan kuamati jalanan, mengatakan pada diri
sendiri bahwa aku sangat aman. Aku siap. Aku bisa menangani
apa saja. Aku siap menghadapi segalanya"
Kecuali melihat sosok tinggi berbahu bidang, muncul entah
dari mana di tepi gazebo, dan berkata, "Halo, Gallagher Girl."
13 5 Bab Du a P u l u h T i g a
erspektif sangatlah penting. Serius. Aku sangat merekomendasikan hal ini. Kau nggak akan bisa melihat beberapa hal
kecuali kau mundur selangkah dan mengamati dengan amat
sangat teliti. Maksudku, kalau aku berdiri di alun-alun itu dan bukan di
menara ini, aku mungkin bakal mendengar cewek itu berkata,
"Well, halo juga," tapi aku mungkin melewatkan cara cowok
itu tersandung ke belakang saat si cewek menoleh. Aku mungkin nggak akan melihat bagaimana bahu si cowok merosot dan
kepalanya tersentak seperti seseorang yang tidak menemukan
apa yang dicarinya. Aku mungkin nggak akan menyadari bahwa Zach kecewa
saat menemukan cewek lain di gazebo.
"Macey?" tanya Zach seakan nggak bisa memercayai penglihatannya. Mungkin sebetulnya itu membuatku tersanjung,
karena nggak ada yang pernah salah mengenaliku sebagai
136 Macey McHenry. Sama sekali. Tapi saat itu gelap, dan bahkan
tanpa akses ke lemari penyamaran dan penipuan terbesar di
dunia, Macey tetaplah putri pewaris perusahaan kosmetik. Dan
saat memakai wig serta jaket lama Zach, Macey merupakan
pemeran pengganti yang bagus, atau setidaknya cukup bagus.
"Di mana Cammie?" tanya Zach.
"Kau tampak kecewa melihatku, Zach," goda Macey. "Memangnya kau nggak suka jaketku?"
"Di mana dia?" desak Zach.
"Di sekolah," Macey berbohong tanpa ragu. "Mengamati
dari siaran video live. Dia aman." Ia beringsut mendekat, menatap Zach.
"Pengacau sinyal di sekolah tidak memungkinkan hal itu,
Macey. Nah, di mana dia?" Zach berbalik. "Aku tahu dia di
suatu tempat di sekitar sini," katanya, mengamati berbagai
gang dan bangunan yang mengelilingi alun-alun.
"Dia aman di tempatnya, Zach." Bex melangkah keluar dari
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ceruk gelap di sebelah bioskop dan menempati posisi di belakang Zach. "Dan kami akan menjaganya tetap aman."
"Aku perlu bicara dengannya," kata Zach pada mereka.
"Kalau begitu bicaralah," kata Macey. "Kami memakai unit
komunikasi. Dia bisa mendengarmu."
"Aku perlu melihatnya langsung."
"Aku turun," semburku, tak sabar lagi berhenti berada di
pinggiran, tapi tangan Bex menyentuh telinganya. Dia berteriak padaku.
"Tetap di tempatmu!"
Tapi aku sudah pergi. "Dia beruntung sekali memiliki kalian," kata Zach setelah
beberapa saat. "Dia butuh kalian."
13 7 "Apa yang kaulakukan di sini, Zach?" tanya Macey, tapi
Zach hanya menggeleng. Dia menunduk menatap tanah.
"Jawabannya rumit."
"Kalau begitu buat jadi nggak rumit." Bahkan saat kuucapkan kata-kata itu, aku tahu aku bakal menyesalinya. Sebentar
lagi. Mungkin Zach hanya umpan dan sekarang ini aku berjalan masuk ke perangkap. Mungkin Bex akan mempermudah
pekerjaan Circle dan membunuhku di tempat itu juga, tapi aku
nggak bisa tetap berada di pinggiran.
"Kau bekerja sama dengan Mr. Solomon," kataku.
"Secara teknis, sekarang ini dia bertugas di sisi lain dunia,"
Zach mencoba bergurau, tapi benakku terus berputar keras.
"Liz dan Macey bilang hanya karena kau bersekolah di
Blackthorne bukan berarti?" Suaraku tersekat. "Tapi kau
betul-betul bekerja sama dengannya."
"Gallagher Girl, dengarkan aku."
"Jadi" apa yang terjadi, Zach" Apakah Circle of Cavan
merekrutmu juga?" Zach menatapku lama sekali sebelum akhirnya menunduk
dan berbisik, "Nggak juga."
Di tepi alun-alun, lampu jalan berkedip. Bayang-bayang
merangkak menyeberangi rumput selama sepersekian detik, dan
aku mengernyit, teringat saat terakhir kalinya aku sendirian
bersama Zach dan semua lampu tiba-tiba padam. Aku teringat
letusan pistol dan pemandangan bibiku yang jatuh ke jalanan
gelap, sementara salah satu agen Circle berdiri di antara diriku
dan kebebasan. Tapi bukannya menembak, si agen malah
menatap Zach dan berkata, "Kau?"
"Apa yang kaulakukan di sini, Zach?" tanyaku, tenggorokanku tiba-tiba sangat kering.
138 "Dia memintaku menyampaikan pesan padamu."
"Kalau begitu, kirim saja pesannya padaku! Apa yang begitu
penting sampai aku harus membahayakan keselamatan temantemanku demi menyelinap ke luar sekolah?" desakku. "Hah"
Apa yang?" "Aku harus melihatmu." Zach menutup jarak di antara kami.
Tangannya terasa hangat dari sakunya saat menangkup jemariku. "Aku perlu tahu bahwa kau baik-baik saja. Aku harus
melihatmu dan menyentuhmu dan" tahu."
Zach menyibakkan rambut dari wajahku, jemarinya terasa
ringan di kulitku. "Di London?" Kalimatnya terputus. "Setelah D.C?"
"Aku baik-baik saja," kataku, beringsut menjauh. "Hasil
CAT scan dan X-ray normal. Tidak ada kerusakan permanen."
Kebanyakan orang akan memercayai kebohonganku. Aku
belajar cara mengucapkan kebohongan dengan tepat. Wajahku
mudah dipercaya. Tapi cowok di depanku adalah mata-mata
terlatih, jadi Zach tahu aku hanya berbohong. Lagi pula, Zach
mengenalku. "Benarkah?" Ia menyentuh wajahku lagi. "Karena aku nggak
baik-baik saja." Aku nggak mengenal Zachary Goode. Aku sudah menyentuhnya, bicara dengannya, dan merasakan bibirnya di bibirku,
tapi aku nggak mengenalnya"tidak sepenuhnya.
Bisa kurasakan jam terus berdetak, dan aku tahu sisi cewek
dalam diriku setahun lalu itu sekarang sudah kehabisan waktu.
"Aku baik-baik saja, Zach," kataku, bergerak mundur. "Tapi
aku harus pergi. Kami cuma punya waktu setengah jam sebelum pihak sekolah menyadari kepergian kami."
13 9 Zach menunjuk kegelapan. "Siapa lagi yang ada di luar
sana?" "Yang biasa," kataku, tetap menolak memberikan terlalu
banyak informasi. "Ibumu?" tanya Zach, tapi aku nggak perlu berkata apaapa"ia bisa membaca jawabannya di mataku. "Bagus," kata
Zach. "Solomon nggak mau ibumu mengambil risiko."
"Apa pedulinya" Kalau dia peduli pada ibuku, seharusnya?"
Dan aku gemetar. "Jadi mereka memberitahumu?" tanya Zach lagi, melangkah
mundur. "Yeah. Mereka bilang dia bagian Circle, dan dia" Ayahku
meninggal karena dia." Jantungku berdebar keras di dada. Tenggorokanku seakan terbakar. "Apa ini bagian ketika kau bakal
menyangkal?" "Nggak." Zach menggeleng. "Ini bagian ketika aku meminta
bantuan." "Berani sekali kau," kata Bex, bergerak mendekat, tapi nggak
sedetik pun tatapan Zach meninggalkan mataku.
"Ada sebuah buku, Gallagher Girl," kata Zach, lalu menelan ludah. "Mungkin itu satu-satunya hal di dunia yang diinginkan Circle sebesar mereka menginginkanmu."
"Buku macam apa?" tanyaku.
"Jurnal. Joe"Mr. Solomon"ingin kau membacanya."
"Kenapa?" tanyaku.
"Buku itu menjelaskan semuanya, Gallagher Girl. Lagi pula,
kalau dia nggak berhasil keluar dari masalah ini" Dia ingin
kau membaca buku itu."
"Di mana buku itu?" tanya Bex.
140 "Kau nggak akan menyukai jawabanku. Tempatnya berbahaya dan?"
"Di mana buku itu?" desak Bex, Macey, dan aku bersamaan.
"Sublevel Dua."
"Lantai sublevel?" Bex menggeleng. "Nggak. Nggak mungkin. Lantai-lantai itu ditutup. Terlarang."
"Oh, dan apakah tempat-tempat terlarang bisa menghentikanmu selama ini?" tanya Zach padanya. "Dengar, lantai-lantai
itu bukannya ditutup secara teknis"lantai sublevel dipasangi
bom yang akan meledak jika seseorang mencoba mendekat,"
katanya seolah kami berhadapan dengan bom superbahaya setiap hari. Dan" well" sebenarnya itu memang benar.
"Dari mana kau tahu soal lantai sublevel?" tanyaku, sudah
yakin apa jawabannya. "Karena seminggu sebelum aku bertemu denganmu di
London, Joe mendengar CIA punya sumber yang mulai bicara.
Dia harus menghilang dari peredaran dan tetap menghilang
dari peredaran"secepat mungkin. Mereka akan datang untuk
menangkapnya, Gallagher Girl, dan dia nggak bisa mengambil
risiko tertangkap di bawah sana, jadi?"
Zach menarik napas dalam-dalam dan menampilkan senyumnya yang paling jail. "Aku tahu soal lantai sublevel karena Joe Solomon-lah yang memasanginya dengan bom."
141 Bab Du a P u l u h E m p a t
oe Solomon nggak memasang jebakan-jebakan di lantai
sublevel Akademi Gallagher untuk Wanita Muda Berbakat
agar ruangan itu meledak atau terisi air dari danau.
Jangan salah, semua itu jelas bisa terjadi! Tapi apa pun yang
telah kaudengar, bukan Mr. Solomon yang memasang protokolprotokol itu"dewan pengawas Akademi Gallagher-lah yang
melakukannya, dulu, dulu sekali. Sebelum aku lahir. Sebelum
Mom lahir. Bagaimanapun, kalau rahasia besar sebanyak itu
tersimpan di satu tempat, sangatlah penting untuk melindungi
tempat tersebut. Dan kalau upaya-upaya perlindungan itu
ternyata gagal, sangatlah penting untuk menghancurkan tempat
tersebut. Jadi aku sangat berharap orang-orang mau meluruskan
ceritanya: Bukan Mr. Solomon yang memasang pemicu-pemicu
untuk meledakkan lantai sublevel!
Dia cuma menyalakannya. 142 Atau setidaknya, itulah yang dikatakan Zach pada kami.
Dan itu" Yeah, itulah masalahnya.
"Ada masalah?" tanya Liz, meskipun di depan ruangan Dr.
Fibs dan Madame Dabney sedang memberikan pelajaran gabungan yang sangat menarik mengenai teknik menulis rahasia
(dan kenapa Gallagher Girl betul-betul perlu mempelajari cara
membuat sendiri tinta tak kasatmata dan menulis kaligrafi).
"Apakah karena sensor-sensor di terowongan lift?" tebak
Liz. Aku menggeleng. "Karena hanya ada waktu dua detik sebelum protokol
antiinvasi menyala dan kita" meledak?"
"Astaga!" seru Dr. Fibs. Aku mendongak dan melihat bahwa tanpa sengaja Dr. Fibs menumpahkan ramuan tak kasatmata
terbarunya pada Madame Dabney, dan blus putih yang dipakai
Madame Dabney semakin lama semakin transparan.
"Aku tahu apa yang kaupikirkan, Cam," lanjut Liz. "Sudah
berminggu-minggu kita mencari cara untuk masuk ke" kau
tahu ke mana" tapi belum berhasil. Tapi itu nggak sepenuhnya
benar!" Di depan ruangan, Madame Dabney (yang, omong-omong,
mengenakan bra yang jauh lebih seksi daripada dugaan siapa
pun) mulai mengusap-ngusap bagian depan blusnya dengan
taplak meja antik, dan Dr. Fibs mengambil pemantik.
"Nah, ingat, Anak-anak, tinta akan terlihat lagi saat terekspos panas!" ujar Dr. Fibs sambil menyalakan pemantik dan
taplak meja yang dipegang Madame Dabney langsung terbakar.
"Kita punya strategi masuk dan keluar dan" kita punya
banyak strategi!" kata Liz, matanya membelalak, dan tepat
14 3 pada saat itu aku tahu sebagian diri Liz nggak peduli bahwa
Zach dan Mr. Solomon meminta kami melakukan hal yang
tidak pernah dilakukan siapa pun selama 150 tahun terakhir.
Bagi Liz, ini hanyalah teka-teki, tes. Dan Liz amat sangat
hebat dalam mengerjakan tes.
"Yeah, Cam," kata Liz lagi begitu asap menghilang (secara
harfiah) dan kami mengumpulkan barang-barang lalu meninggalkan kelas. "Kita pasti bisa mencari cara."
"Mencari cara untuk apa?" tanya Bex, menjajari kami.
"Bukan apa-apa," bisikku.
"Jawaban yang salah," kata Bex, mencondongkan diri mendekat, suaranya nyaris nggak terdengar di tengah aliran cewekcewek yang memenuhi koridor. "Nah, ada masalah apa?"
"Zach," tebak Macey sambil mengangkat bahu. Ia menatapku. "Pasti soal Zach, kan?"
"Jadi semua kamera generasi terbaru di lantai Sublevel yang
bisa berputar 360 derajat dan pemicu yang sensitif terhadap
panas tidak mengganggumu?" tanya Liz. Aku nggak yakin saat
ini Liz sedang mengejekku atau tidak.
"Ada sesuatu yang nggak dikatakan Zach pada kita," bisikku.
"Misalnya apa?" tanya Bex, tertarik lagi.
Misalnya kenapa jurnal itu begitu penting" Misalnya kenapa
laki-laki di D.C. itu tidak menembak Zach dan menculikku
padahal dia punya kesempatan" Setidaknya ada belasan pertanyaan yang memenuhi benakku, tapi koridor sekolah sangat
ramai, dan hanya satu hal yang berani kukatakan.
"Pokoknya" sesuatu."
"Dia cowok, Cam." Macey melewatiku dan memimpin jalan
144 menyusuri koridor. "Dan dia mata-mata. Dia mata-mata cowok.
Akan selalu ada sesuatu yang nggak dia katakan."
"Zach memihak kita"di D.C.," kata Liz. Nggak ada nada
ragu dalam suaranya, nggak ada rasa takut. "Aku tahu waktu
itu kau memang nggak bisa melihat, Cam. Aku tahu mereka
membiusmu, lalu kepalamu terbentur, dan segalanya. Tapi dia
dan Mr. Solomon memihak kita," kata Liz untuk terakhir
kalinya, lalu berbalik dan berlari menuju ruang kelas Mr.
Mosckowitz. Aku menoleh pada Macey. "Dia memang misterius," kata Macey sambil mengangkat
bahu. "Misterius kan seksi." Lalu giliran Macey yang berbalik
dan berlari keluar pintu, menuju kelas P&P.
Saat aku menoleh pada Bex, aku ingin dia berkata semuanya akan baik-baik saja"bahwa kami berempat bisa melakukan
apa pun, dan hanya masalah waktu sebelum kami menemukan
jalan ke Sublevel Dua, membersihkan nama Mr. Solomon, lalu
menghentikan pemanasan global (tidak harus dalam urutan
itu). Aku menatap Bex. Aku menunggu.
"Kita tak bisa memercayai Zach." Bex mendahuluiku, melangkah tenang memasuki Ruang 132. "Kita tak bisa memercayai siapa pun."
Aku ingin memberitahu Bex bahwa dia salah (tapi dia
nggak salah). Kupikir mungkin aku bisa memikirkan suatu cara
untuk membuktikan Zach merupakan perkecualian (tapi sebetulnya aku nggak bisa). Aku ingin Bex berhenti menganggapku sebagai mata-mata dan mulai bicara padaku sebagai remaja
cewek, tapi Gallagher Girl disebut berbakat karena kami adalah remaja cewek dan mata-mata"setiap saat. Aku ingin ma14 5
suk ke kelas Operasi Rahasia dan pura-pura membaca buku
membosankan mana pun yang bakal diberikan Townsend pada
kami dan mengingat kembali setiap pembicaraan antara Zach
dan aku. Tapi sebelum aku bisa maju selangkah, Agen
Townsend sudah muncul di ambang pintu kelas, dengan mantel di tangan, dan berkata, "Kelas sebelas, ikut denganku."
Aku tahu kami memang berada dalam bisnis yang harus siap
menghadapi apa pun"tanpa terkejut sekali pun"tapi biar
kuberitahu sesuatu, secara rutin sebagian besar orang yang
kukenal masih saja membuatku shock setengah mati. (Contohnya, waktu Mr. Mosckowitz dan Liz memanjat tebing bersama-sama dan mereka sama-sama kembali dengan selamat.)
Tapi selama lima setengah tahun belajar di sekolah matamata terbaik dunia, sedikit sekali kejadian yang membuatku
lebih terkejut dibandingkan berjalan bersama murid-murid
kelas sebelas Operasi Rahasia lain, mengikuti Agen Townsend
menyusuri koridor. Agen Townsend jenis pria yang selalu bergerak dengan
tujuan, tidak pernah menyia-nyiakan selangkah pun, tapi hari
itu dia berjalan bahkan dengan lebih cepat. Dia tampak lebih
tinggi. Walaupun kami masih ada di dalam mansion Gallagher,
sesuatu memberitahuku bahwa Agen Townsend akhirnya kembali ke daerah yang dikuasainya.
"Mm" Sir?" sela Tina Walters, menyeruak melewati kerumunan, mencoba maju sedekat mungkin pada pria di depan
barisan. "Apakah kita akan kembali ke Sublevel Dua?" tanyanya, tapi Townsend bersikap seolah Tina nggak mengatakan
apa-apa. "Apa tugas utama agen lapangan?" tanya Agen Townsend
146 dengan cara yang membuatnya terdengar nyaris seperti guru
sungguhan. Nyaris. "Merekrut, menjalankan, dan mempertahankan aset intelijen," jawab Mack Morrison, mengutip halaman dua belas edisi
lama Memahami Spionase: Petunjuk Operasi Rahasia untuk Pemula, Edisi Ketiga, yang kami baca secara bergantian di bawah
selimut waktu kelas tujuh.
Agen Townsend memandang Mack. Selama sepersekian
detik, kupikir ia mungkin akan betul-betul tersenyum, tapi ia
hanya berkata, "Salah."
Rasanya seluruh anggota kelas sedikit terhuyung. Townsend,
sebaliknya, terus berjalan.
"Tugas utama agen lapangan adalah memanfaatkan orang
lain"orang asing, biasanya. Kadang-kadang teman. Sekretaris,
tetangga, pacar, tukang bersih-bersih, dan wanita-wanita tua
yang menyeberang jalan. Kita memanfaatkan semua orang."
Ia berhenti di tengah selasar dan berbalik menghadap kami,
sementara, di belakangnya, pintu-pintu utama berayun membuka. Ada van yang terparkir di tengah jalan masuk. Aku tergoda untuk memejamkan mata dan berpura-pura ini memang
pelajaran Operasi Rahasia sungguhan, bahwa kami punya guru
Operasi Rahasia sungguhan lagi.
Tapi kemudian Townsend berkata, "Tapi, tentu saja, kalau
perbuatan itu terlalu rendah bagi Gallagher Girl?"
"Tidak, Sir!" seru Tina.
Townsend melangkah ke samping dan memberi isyarat ke
arah pintu-pintu yang terbuka. "Kalau begitu, silakan duluan."
Apa yang terjadi berikutnya adalah serbuan emosi dan
adrenalin yang tidak kurasakan selama berminggu-minggu. Begitu memabukkan. Sampai-sampai aku nyaris pusing. Walaupun
14 7
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
begitu aku tetap berdiri diam, mengamati teman-teman sekelasku berlari keluar, menuju van yang menunggu.
"Sepertinya kaupikir ini kegiatan pilihan, Ms. Morgan?"
Agen Townsend berdiri menatapku lewat pintu yang terbuka.
"Tentu saja saya ingin pergi, tapi ada protokol-protokol keamanan?"aku berpaling, entah bagaimana nggak bisa menghadap Agen Townsend saat mengakui, "Profesor Buckingham
bilang saya tidak boleh meninggalkan wilayah sekolah."
"Dan sepertinya kaupikir aku melupakan fakta itu?"
"Tidak, Sir." "Kalau begitu kaupikir aku bodoh."
"Tidak, Sir, saya?"
"Jangan khawatir, Ms. Morgan, aku tahu kau spesial. Dan
karena kau serta ibumu, aku menghabiskan banyak sekali
waktu dan energi untuk membuat pengaturan-pengaturan
spesial," katanya dengan seringai merendahkan. "Tapi kalau kau
ingin tetap tinggal di mansion?"
Aku nggak menunggu Agen Townsend menyelesaikan kalimat. Aku sudah keluar pintu.
148 Bab Du a P u l u h L i m a
ata-mata butuh operasi rahasia. Aku tahu kedengarannya
sinting, tapi itu benar. Karena walaupun otak kami" kau tahu
kan" seukuran otak normal, setiap mata-mata yang menyamar
tahu bahwa pikiran manusia cukup besar sehingga bisa membuat seseorang tersesat di dalamnya"kau bisa sinting kalau
punya terlalu banyak waktu luang dan terlalu banyak ruang
untuk membiarkan ketakutan-ketakutan terbesarmu terbebas
lepas. Jadi, yeah. Mata-mata butuh operasi rahasia. Dan saat aku
duduk di sebelah Bex di van Akademi Gallagher yang membawa kami melewati gerbang-gerbang besi tinggi yang beberapa
waktu terakhir ini berdiri di antara diriku dan dunia luar, aku
harus bertanya, "Kau dengar itu?"
"Apa?" tanya Bex. "Suara kecil yang memberitahu sebaiknya
kau tetap tinggal di tempatmu tadi?"
"Bukan." Aku tersenyum. "Kebebasan."
14 9 Bex menatapku seolah aku mungkin jadi lebih sinting daripada biasa, tapi aku nggak peduli.
Aku naik van! (Dan di kali ini aku duduk di kursi sungguhan, yang, biar kuberitahu, baru akan kaurindukan kalau kursi
itu nggak ada.) Aku di luar sekolah! Aku menjalankan misi! Aku mau ke" Lalu aku melirik ke luar jendela dan menyadari bahwa aku
nggak tahu ke mana kami akan pergi.
Dan fakta itu betul-betul membuat semuanya terasa lebih
baik. Selama dua jam kami naik mobil dalam diam; satu-satunya
suara adalah deruman van dan terkadang dengkuran (ya, dengkuran sungguhan) selagi Townsend duduk merosot di kursi
depan, tertidur. Selagi jalan terbentang dan perjalanan makin lama makin
panjang, aku cukup yakin aku bukanlah satu-satunya Gallagher
Girl di van itu yang sangat menyadari tiga fakta penting. 1)
Kami melewatkan makan siang. 2) Sulit sekali tampil sebagai
superagen yang superkuat dan superterlatih kalau perutmu
keroncongan. Dan 3) Kami belum mendapatkan pelajaran Operasi Rahasia sungguhan selama berbulan-bulan.
Kuregangkan lenganku ke depan dan sepertinya aku
merasakan deritan. Benar-benar kurang latihan.
Kemudian van membelok tajam ke kanan, dan Townsend
tersentak lalu duduk tegak.
"Bagus," kata Townsend, bahkan tanpa melirik ke luar jendela. "Kita sampai."
150 Seandainya aku belum pernah menyebutkan ini, aku bersekolah di sekolah asrama. Dengan gerbang besar. Dan dinding
tinggi. Rok kotak-kotak dan guru-guru yang tegas. Jadi walaupun teman-teman sekelasku dan aku sudah terbiasa menghabiskan waktu di tempat mengasyikkan dan semiberbahaya
namun penuh makanan yang sangat lezat, aku nggak bisa
mengingat sekalipun saat aku berada di tempat semacam ini.
"Oh astaga," kata Tina Walters, mengekspresikan reaksi
semua cewek di van pada momen itu. "Apakah itu?"
Tapi sebelum Tina bisa menyelesaikan kalimatnya, Agen
Townsend membuka pintu van dan kata-kata Tina tertelan
raungan roller coaster yang meluncur di sepanjang jalur dan
orang-orang yang berteriak sekeras mungkin selagi wahana itu
menukik cepat, lalu menanjak lagi.
Entah bagaimana, sambil duduk di bagian belakang van,
sepertinya aku tahu persis bagaimana perasaan mereka.
"Baiklah," kata guru kami sepuluh menit kemudian dengan
cara yang menunjukkan ia hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan semua ini lalu kembali tidur, "semua punya target. Semua
punya tujuan. Semua punya waktu satu jam."
Selagi bicara, tatapan Townsend menyapu pintu masuk taman bermain, seakan tempat yang diisi begitu banyak turis dan
perut yang kosong bisa tetap membuatnya gembira.
"Ini orang-orang baik, kurasa. Tapi dunia penuh orang baik
yang punya informasi berguna, dan kita harus berbohong kepada mereka"kita harus mencuri dari mereka. Kalau ada yang
punya masalah dengan itu" well, kalau kau punya masalah
dengan itu, kusarankan kau memilih pekerjaan lain."
Townsend benar, tentu saja. Nggak ada cara yang lebih ha151
lus untuk mengatakannya. Kami mendekati para sekretaris supaya bisa menyadap kantor bos mereka. Kami berteman dengan
para janda supaya bisa melakukan pengintaian ke halaman
belakang tetangga mereka. Kami ada di bisnis intelijen, dan
kebanyakan orang yang kami manfaatkan agar pekerjaan kami
beres adalah orang-orang yang kebetulan berada di tempat
yang salah pada waktu yang salah.
Jadi kami berbohong, mencopet, dan, yang paling penting,
kami memanfaatkan. "Kau," kata Agen Townsend, menunjuk Mack. "Ada pria
berumur 40 tahun di belakangmu memakai topi bisbol biru."
"Ya, Sir," kata Mack, tapi nggak menoleh untuk melihat ke
arah pria itu. "Kau melihatnya?" tanya Agen Townsend, frustrasi.
"Ya, Sir. Topi biru, kaus polo hijau, ransel biru tua." Mack
menunjuk bayangan pria itu di jendela di belakang kepala guru
kami. Townsend melirik ke belakang dan melihatnya, lalu
selama sepersekian detik"nggak lebih"kurasa dia mungkin
terkesan. Mungkin. "Oke," kata Agen Townsend perlahan, "pria itu baru saja
memasukkan selembar kertas ke saku luar tasnya. Aku tidak
peduli bagaimana caramu melakukannya, tapi kau harus mencari tahu apa yang tertulis di lembaran kertas itu."
Mack nggak perlu disuruh dua kali. Ia berbalik dan berjalan
menembus kerumunan, dan aku menoleh untuk mengamati
pria yang sedang diikutinya.
"Wow, dia betul-betul bisa melebur," aku mengakui. "Saya
tidak mengira dia CIA."
"Dia bukan CIA," kata Townsend pendek, masih mengamati
orang-orang yang memenuhi taman bermain. "Itu, Ms.
152 Walters," katanya, menunjuk wanita yang menaiki skuter elektrik.
"Apakah dia dari Langley?" tanya Tina.
"Aku tidak tahu dari mana dia." Guru kami mengangkat
bahu. "Yang kutahu, dia baru saja memasukkan kartu kreditnya
ke tas, dan tugasmu adalah mendapatkan nomor itu untukku."
"Tapi dia bukan agen?" Tina ragu-ragu. "Dia tidak tahu
ini hanya tugas" Jadi kalau saya tertangkap?"
Townsend menatap Tina. "Kalau begitu, jangan sampai tertangkap."
Ini tetap permainan, aku tahu, tapi untuk pertama kali
dalam sejarah pendidikan kami yang luar biasa, para pemain
di seberang nggak tahu kami sedang bermain. Satu per satu,
teman-teman sekelas kami mendapatkan tugas sampai hanya
tinggal Bex dan aku yang bersama guru kami.
"Baxter," kata Agen Townsend, menoleh pada Bex, "menurutmu kau bisa mencari berapa nomor seri uang kertas lima
dolar yang baru saja dimasukkan pria yang mengoperasikan
wahana Tilt-A-Whirl itu ke kotak terkunci di sana?"
Ekspresi di wajah Bex berkata ya, menurutnya ia memang
bisa, walaupun begitu ia nggak berbalik untuk berjalan pergi.
Ia menunggu sampai tatapan guru kami mendarat padaku.
"Dan kurasa tinggal Cammie Morgan yang belum
mendapatkan penugasan." Ia mengamati kerumunan dengan
hati-hati. "Kurasa mungkin kita bisa menemukan tugas khusus
yang cocok untukmu."
Aku nggak tahu harus bilang apa, jadi aku hanya berdiri
diam, menunggu. "Itu." Agen Townsend menunjuk pria yang memakai
15 3 seragam resmi taman bermain. "Rangkaian kunci di sabuknya"
bawakan seridaknya cetakan tiga kunci milik pria itu."
Townsend tersenyum seolah merasa dirinya sangat pintar.
Aku mengangkat bahu seolah tugasnya sangat mudah. Lalu,
bersama sahabatku di sampingku, aku berbalik dan berjalan
menembus kerumunan. Walaupun sulit untuk mengakui ini, untuk ukuran pelajaran
perdana, Agen Townsend berhasil membawa kami ke salah
satu tempat paling menantang untuk mata-mata. Bagaimanapun, Mr. Solomon menghabiskan satu setengah tahun terakhir
untuk melatih kami melihat segala hal, mendengar segala hal,
dan memperhatikan segala hal. Dan selagi aku berjalan menyusuri taman itu, rasanya ada terlalu banyak rangsangan bagi
indra-indraku yang sangat terlatih.
"Ooh!" seruku, memanjangkan leher saat kami berjalan
melewati kios yang menjual makanan yang ditusukkan ke stik
dan digoreng, sepertinya enak sekali. "Aku mau satu!"
"Kita nggak punya uang, Cam."
"Ooh, aku mau naik itu!"
"Kita cuma punya waktu satu jam."
"Aku mau?" "Aku mau kau menganggap ini serius, oke?" kata Bex, berbalik menghadapku.
"Kau kedengaran seperti ibumu," kataku.
Wajah Bex praktis bersinar-sinar. "Terima kasih."
"Bex?" kataku perlahan. "Aku baik-baik saja."
"Kau bilang begitu?"
"Bex." Aku memotong kata-katanya dan berhenti di tengah
jalan utama yang memanjang menembus seluruh taman itu.
154 "Bukankah kau seharusnya mengikuti laki-laki itu?" Aku menunjuk pekerja yang mendorong gerobak penuh kotak terkunci
ke arah berlawanan. "Aku baik-baik saja di sini," katanya.
"Bex?" "Cammie?" "Cari para pengintai," kataku padanya.
"Apa?" Aku teringat cara orangtuanya mengajak kami berkeliling
London"permainan yang sudah berminggu-minggu tidak kami
mainkan. "Cari para pengintai."
"Pria yang menjual balon di sebelah bom-bom-car," kata
Bex, bahkan nggak berkedip.
"Wanita yang membawa gula-gula kapas," tambahku, menunjuk salah satu dari banyak pengawal yang mengelilingiku
di setiap belokan. Sekarang giliran Bex, tapi aku nggak bisa mengenyahkan
perasaan bahwa sebenarnya permainan ini sudah berakhir.
Kami berhenti menghitung skor di jembatan yang menaungi
Sungai Thames. "Dari hitunganku, ada tiga belas agen yang mengikutiku
sekarang. Dan itu hanya yang berhasil kupergoki. Ada banyak
kamera setiap beberapa ratus meter, dan kalau aku nggak salah,
satu helikopter Blackhawk baru saja terbang lewat."
"Dua helikopter Blackhawk," Bex mengoreksi. "Secara bergantian."
"Betul, kan" Aku baik-baik saja," kataku, dan untuk pertama kalinya sejak lama sekali aku benar-benar serius. Aku
betul-betul serius. Seakan dinding-dinding sekolahku diangkat
15 5 dan dipindahkan kemari. Taman bermain ini seperti sekolahku,
tapi dengan gula-gula kapas. Nggak heran aku nggak bisa menahan senyum saat bertanya, "Menurutmu, apakah ibuku bakal
membiarkan Townsend membawaku kemari kalau tempat ini
bukan taman bermain keluarga ala Fort Knox"salah satu
markas Angkatan Darat Amerika Serikat?" Bex membuka mulut untuk bicara, tapi aku nggak memberinya kesempatan.
"Pergilah," kataku.
Sesaat Bex hanya berdiri di sana, mengamati. Menunggu.
Lalu sahabatku berpaling tanpa sepatah kata pun lagi.
Dua puluh menit berikutnya, aku berjalan sendirian di taman
yang ramai itu"melewati antrean-antrean orang yang menunggu untuk naik bianglala dan membeli gula-gula kapas,
melewati kerumunan yang terbentuk di sekeliling Eva Alvarez
selagi temanku itu menembak 97 bebek mekanik kecil tanpa
jeda. Roller coaster meraung di atas kepalaku, dengan para penumpang yang menjerit-jerit dan jalurnya yang berderit. Rodaroda berputar, air mancur mencipratkan air, dan bau orangorang, junk food, dan udara panas melayang di sekelilingku
sampai aku bertanya-tanya apakah mungkin aku mual karena
overdosis kebebasan. Jadi saat pria yang membawa clipboard itu menyingkir dari
jalan utama, aku nggak keberatan.
Walaupun seharusnya cewek yang memakai seragam sekolah
swasta tampak menonjol di tempat publik seramai ini, aku
tetap si Bunglon, dan aku mengikuti pria itu dengan langkah
santai dalam jarak nyaman"keduanya sama-sama tertanam
dalam DNA-ku (fakta yang pernah dicoba dibuktikan Liz di
laboratorium sampai-sampai mengakibatkan munculnya per156
aturan "tidak boleh lagi mengambil sampel darah semester ini"
waktu kelas sepuluh). Saat ingin berhenti untuk menonton para pemain lempartangkap bola, aku berhenti dan menonton. Saat ingin membuat ekspresi-ekspresi aneh pada diri sendiri lewat cermincermin di rumah kaca, aku melakukannya. Saat ingin mencoba
makanan yang diberi nama Waffle Burger, aku memarahi diri
sendiri karena nggak menaruh 20 dolar untuk keadaan darurat
di kaus kaki, seperti yang selalu diajarkan Grandma Morgan,
dan hanya terus berjalan. Pria yang memakai seragam tetap
menjadi figur konstan di sudut mataku.
Mungkin seharusnya aku menyebutkan bahwa selama aku
mengikutinya, pria itu nggak pernah berbalik. Nggak sekali
pun dia memeriksa apakah dirinya diikuti. Aku mulai berpikir
ini merupakan pelajaran operasi rahasia termudah yang pernah
kudapatkan, tepat saat dia menyelinap melewati gerbang kecil
di pagar yang terbentang di belakang komidi putar, tapi aku
nggak ragu-ragu. Aku bahkan nggak menunggu. Aku hanya
melakukan takdirku: mengikutinya, tahu bahwa para pengawal
yang mengikutiku pasti akan langsung melakukan hal yang
sama. Suasananya lebih sepi di sini, di balik barikade. Danau buatan besar terbentang di sampingku. Bau corn dog dan popcorn
menghilang di balik bau minyak dan oli. Lampu-lampu terang
dan roda-roda berputar taman tidak terlihat lagi, digantikan
labirin pepohonan yang ditempatkan dengan cermat dan perancah yang dibangun sempurna, menjulur tinggi ke langit,
menghalangi sinar matahari.
Aku memikirkan semua alasan yang mungkin kukatakan
kalau seseorang memergokiku: Aku di sana untuk menemui
15 7 pacarku. Teman-teman sekelas mengirimku ke sini untuk
memenuhi tantangan. Aku melihat hewan liar lari ke arah
sini, dan hewan itu kelihatannya terluka.
Jadi aku sama sekali nggak takut waktu pria itu berhenti
dan membuka pintu bangunan panjang yang letaknya tersembunyi di tengah taman. Aku menunggu sepuluh detik, lalu
mengikuti, berharap engsel-engsel pintu nggak akan berderit
saat aku membukanya perlahan dan melangkah masuk.
Dekorasi Natal memenuhi satu dinding, sedangkan kembang
api dan berbagai spanduk Hari Kemerdekaan memenuhi dinding yang lain. Ada mobil-mobil rusak dari wahana bom-bom
car yang catnya sudah pudar, sisa-sisa wahana tua, dan satu
patung badut. Tempat itu seperti kuburan"tempat hiburan
dikumpulkan untuk mati.
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan pikiran itulah yang mengisi benakku saat aku beringsut
menyusuri gang tengah"tenggelam dalam seluruh pemandangan, bau, dan suara yang mengisi udara di sekelilingku. Setiap
selku yang terlatih dan naluriku bekerja sama untuk memberitahuku bahwa pria pekerja itu sudah pergi"hilang, lolos dari
pandanganku. Tapi kemudian kudengar gesekan samar sepatu berat di
lantai semen, dan aku tahu aku tidak sendirian.
"Kau betul-betul tidak seharusnya ada di sini."
158 Bab Du a P u l u h E n a m
ertama kalinya kami melihat Joe Solomon, kami menganggapnya sebagai mata-mata yang sangat terlatih, veteran
Operasi Rahasia penuh pengalaman dan" well" keren. Tapi
satu setengah tahun kemudian aku nyaris nggak mengenali
guruku saat melihat pria yang berdiri di belakangku. Wajahnya
kusut dan pucat. Rambutnya lebih panjang, pakaiannya lebih
lusuh, tapi matanyalah yang paling banyak berubah saat ia
melangkah mendekatiku dan mendesak, "Cammie, kau harus
ikut denganku. Kau harus ikut sekarang juga!"
Saat Mr. Solomon meraihku, aku menjauh. Aku nggak tahu
apakah harus memeluk atau memukulnya (sebenarnya, ini perasaan yang sering kurasakan saat menghadapi para Blackthorne
Boy), jadi aku hanya menggeleng. "Tidak."
"Cammie, kalau aku bisa mendengar kau akan ada di sini,
mereka pasti tahu kau ada di sini. Aku harus membawamu
pergi dari sini. Sekarang!"
15 9 "Itu benar, kan?"
"Circle bisa datang setiap saat."
"Kau anggota Circle!"
Joe Solomon sudah jauh lebih sering melatih keterampilannya dalam berbohong daripada aku melatih keterampilanku
dalam mendeteksi kebohongan, tapi aku bisa melihat
kebenaran di matanya. "Itu benar, kan?" tanyaku, walaupun, jauh di dalam diriku,
aku tahu itu bukanlah pertanyaan sungguhan. Walaupun aku
sudah tahu. "Maaf, Cammie." Ia menyisir rambut dengan jemari.
"Cammie, aku betul-betul?"
"Tidak," kataku, seakan mati rasa. Kurasakan tubuhku
mundur, tangan kiriku menyusuri dinding batu bangunan itu.
Aku mengamati ruangan tersebut, mencari potongan pipa atau
alat"senjata apa pun.
"Cammie, dengarkan aku. Akan kujelaskan semuanya, tapi
kalau sumber-sumberku benar, berarti kau tidak aman di sini.
Kau harus ikut denganku."
"Aku tidak akan ke mana-mana denganmu!"
Aku nggak memikirkan para pengawal yang, hanya beberapa saat sebelumnya, kuyakin mengamati setiap gerakanku.
Aku nggak memencet tombol panik yang kukenakan di
pergelangan tangan seperti jam tangan, atau meminta bantuan
ke unit komunikasi. Aku nggak berpikir saat menghantamkan
tangan ke sisi wajahnya"dengan keras.
Hanya tamparan"gerakan biasa. Sama sekali bukan gerakan yang kupelajari di kelas P&P. Walaupun begitu, rasanya aku
ingin melakukan itu lagi. Dan lagi.
"Aku tidak akan ke mana-mana denganmu!" kataku, sambil
160 menyerang. "Aku tidak mau. Aku tidak mau. Aku?" Aku berhenti dan menatap Mr. Solomon. "Bagaimana kau bisa melakukannya?"
"Waktu itu aku masih muda, Cammie."
"Kau seumurku! Lalu kau tumbuh dewasa dan?" Aku nggak
mau menangis, jadi aku berteriak. "Kau membunuh ayahku!"
Aku setengah berharap Mr. Solomon membalasku, melumpuhkanku tepat di sana. Dia lebih besar, kuat, dan berpengalaman, tapi kemarahan merupakan kekuatan berbeda.
Aku melihatnya tersandung mundur seakan dia tahu itu"seakan aku membuatnya takut.
"Dad mati karena kau!" teriakku, melangkah maju, tapi Mr.
Solomon tidak mempersiapkan diri untuk menahan pukulan
itu. Sebaliknya, ia justru bersandar di dinding, sorot matanya
tampak lebih dalam, gelap, dan sedih daripada apa pun yang
pernah kulihat, selagi sahabat Dad menatapku, lalu berbisik
dengan suara pecah, "Aku tahu."
Apa yang terjadi berikutnya adalah adegan yang kuputar
berulang-ulang di benakku ribuan kali. Aku mungkin akan
mengulangnya ribuan kali lagi. Satu-satunya yang kutahu pasti
adalah pada detik itu, pria yang selama ini kuhormati, kupercaya, kusayang, dan kubenci (dengan urutan tepat seperti itu)
ada di hadapanku, seakan hancur berkeping-keping. Dan pada
momen berikut, waktu seakan membeku ketika pintu terbuka
dan bayangan panjang seakan mengiris lantai semen, lalu kudengar seorang wanita berkata, "Dia memang bilang kami bisa
menemukanmu di sini."
Aku ingat segala hal tentang perjalananku ke Boston musim
161 panas lalu"balon-balon, suara-suara kerumunan orang, dan
yang terpenting, cara seorang wanita bertopeng dan dua pria
berjalan ke arahku, menembus bayangan baling-baling helikopter yang berputar.
"Tidak," kataku, seakan kata sederhana itu bisa mencegah
semuanya terulang kembali.
Wanita itu terlihat begitu tenang selagi berdiri di ambang
pintu yang terbuka, seakan kali ini semua pasti beres. Seakan
semua ini sudah berakhir.
Kuraih jam tanganku, kutekan tombol itu lagi dan lagi,
tidak berani mengalkulasi kemungkinanku bisa mengalahkan
Circle untuk ketiga kalinya"tidak mau menyia-nyiakan satu
detik pun. "Tidak!" seruku. Aku nggak peduli meskipun wanita itu
lebih dewasa, lebih tinggi, dan mungkin jauh lebih berpengalaman dariku"aku berlari menerjangnya, tahu bahwa
satu-satunya harapanku ada di balik pintu yang terbuka itu.
Tapi kemudian aku berhenti, karena wanita itu nggak
sendirian. Agen Townsend ada di sana. Agen Townsend menatap Joe Solomon dan aku seakan Natal datang lebih awal,
seakan dia mendapatkan hadiah besar.
"Kau benar," kata wanita itu pada Agen Townsend sambil
tersenyum. "Ini hampir terlalu mudah."
Kualihkan tatapanku dari wanita yang, aku berani sumpah,
berada di Boston waktu itu pada guru baruku. Ini nggak masuk
akal, tapi sekarang ini aku sama sekali nggak memedulikan
logika, karena Joe Solomon berlari melewatiku, melayang
melalui pintu yang terbuka. Dengan satu gerakan lincah, ia
menjatuhkan Townsend dan wanita itu.
Aku berlari keluar dan melihat mereka bertiga berguling
162 menuruni bukit, berkelahi di antara tanah dan rerumputan liar.
Debu melayang di sekelilingku, dan sambil berdiri di sana, aku
sadar bahwa aku nggak tahu siapa yang harus kupercaya. Yang
kuketahui dengan pasti hanyalah bahwa terkadang mata-mata
hanya punya satu detik"nggak lebih.
Dan aku mulai berlari. 16 3 Bab Du a P u l u h T u j u h
tu jebakan. Itu jebakan. Itu jebakan.
Kata-kata itu bergema dalam benakku, mengimbangi irama
kakiku saat menjejak tanah.
"Bex!" seruku sambil berlari melewati pepohonan tinggi
yang tumbuh di sekitar roller coaster. Jauh di atasku, orangorang seakan terbang di langit, tapi di bawah hanya terdengar
nada statis di unit komunikasiku, juga tanah kasar yang seharusnya nggak dilihat turis mana pun. Kulompati lampu-lampu
sorot dan kuhindari kabel-kabel sambil berlari ke puncak bukit,
nggak sekali pun membiarkan benakku memikirkan Mr.
Solomon atau wanita itu atau Agen Townsend. Aku hanya
terus berlari"menuju danau, menuju pagar, menuju bantuan.
Itu jebakan. Di puncak bukit, bisa kudengar suara-suara taman melayang
menyeberangi danau. Yang harus kulakukan hanyalah terus
berlari, terus berjuang, tapi kemudian aku melihat mereka"para
164 agen yang berada di tengah kerumunan sepanjang hari"mengikutiku, mengamati setiap gerakanku. Mereka turun melewati
hutan"keluar dari balik pepohonan tinggi dan pilar-pilar
raksasa roller coaster, berlari melewatiku.
Melewatiku" Nggak ada yang mencoba membawaku ke tempat aman.
Dan saat itu aku tahu mereka bukan pelindungku. Mereka para
pemburu. Dan aku" Aku umpannya.
Itu jebakan. Kudengar langkah-langkah di belakangku, keras dan cepat.
"Zach," panggilku pada cowok yang berlari ke arahku.
"Di mana dia?" tanya Zach, kehabisan napas. Aku maju dan
menyambarnya. "Lepaskan aku, Gallagher Girl. Aku harus?"
"Kau mau ditangkap juga?" seruku sambil mengguncangnya.
Saat ia berhenti meronta, aku memeganginya lebih erat. "Mereka menangkap Mr. Solomon, Zach." Kudengar kata-kata Mom
seakan melayang kembali padaku. "Dia tidak akan kembali
lagi." Mr. Solomon terbaring di lapangan di bawah sana, berdarah
dan diikat, sementara agen-agen masih berdatangan dari segala
arah. Aku ingat bagaimana, suatu kali di helikopter dalam
perjalanan ke Ohio, Mr. Solomon memberitahu kami bahwa
sering kali hal tersulit yang bisa dilakukan mata-mata adalah
tidak melakukan apa-apa. Saat berdiri di sana hari itu, aku
tahu katanya-katanya benar"bahwa sejak dulu Joe Solomon
selalu benar. "Bodoh!" seru Zach. Ia memukulkan tangan keras-keras ke
batang pohon, dan aku nggak yakin apakah tangannya atau
pohon itu yang lebih terluka. Ia menoleh padaku. "Apa yang
terjadi?" 16 5 "Latihan Operasi Rahasia. Aku mengikuti seorang pria. Lalu
Mr. Solomon ada di sana, bicara tentang Circle, berkata aku
dalam bahaya. Lalu muncul satu wanita. Kupikir dia wanita
yang dari Boston." "Bukan dia, Cammie."
"Aku tahu itu sekarang."
Zach mencengkeram bahuku. Aku bisa melihat rasa takut
muncul di matanya saat ia berbisik, "Nggak mungkin Joe
Solomon bersama wanita itu."
Roller coaster meraung di atas kepala kami, dan kurasakan
tanah bergetar di bawah kakiku.
"Kenapa Mr. Solomon datang?" tanyaku. "Itu jebakan. Joe
Solomon masuk ke jebakan dengan sadar." Percaya atau tidak,
dari semua hal yang kulihat dan kudengar sejak kejadian
London, itulah yang paling mengejutkanku.
"Kau." Zach terdengar nyaris heran karena aku perlu bertanya. "Kalau dia mengira kau akan ada di sini"tidak terlindungi" Dia akan pergi ke mana pun demi menyelamatkanmu."
"Kenapa dia melakukan itu?" sergahku, mencoba melepaskan diri, tapi Zach hanya memegangiku makin erat. "Itu nggak
masuk?" "Penjelasannya ada di jurnal itu, Cammie." Zach menatapku
dalam-dalam. "Semuanya ada di jurnal itu."
"Cammie!" seru seseorang.
"Kurasa aku melihatnya!" seru orang lain.
Bisa kudengar suara teman-teman sekelasku di telingaku.
Aku tahu mereka sudah menyeberangi pagar dan berlari mendekat, tapi nggak sekali pun tatapan Zach berpaling dariku.
"Lihat aku." Tangan Zach terasa seperti penjepit besi. "Baca
jurnal itu, Gallagher Girl. Baca semuanya."
166 Lalu ia menarikku mendekat, mendekapku begitu erat
sampai-sampai aku nyaris nggak bisa bernapas. Ia menempelkan
bibir erat-erat di dahiku selama sepersekian detik"tidak
lebih"dan saat akhirnya Zach melepaskanku lalu menghilang
kembali ke balik pepohonan, kupikir aku bakal jatuh.
"Oh astaga, Cam, kau baik-baik saja?" teriak Eva Alvarez.
"Apakah kau?" Kudengar Eva terdiam, kehabisan napas. Kulihat dia berhenti mendadak dan menoleh untuk menatap, bersama temanteman sekelasku lainnya, pemandangan yang terbentang di
belakangku. Agen-agen itu. Kekacauan itu. Darah itu. Dan
bagaimana mantan guru kami tertelungkup di tengah semuanya, dengan tangan dan kaki terikat. Pingsan.
"Apakah itu Mr. Solomon?" tanya Anna.
"Ya." Suara Bex pelan sekali.
"Apa?" Suara Tina tersekat. "Apa itu?"
"Itu jebakan." 16 7 Bab Du a P u l u h D e l a p a n
au mungkin mengira van penuh cewek remaja nggak
bakal bisa hening selama dua jam perjalanan, tapi malam itu
aku memang nggak mendengar satu suara pun. Di luar turun
hujan rintik-rintik, dan hanya sapuan wiper kaca depan"dan
suara air yang terciprat ke bawah mobil"yang memecahkan
keheningan mencekik itu dalam perjalanan panjang kami
untuk kembali ke sekolah.
Aku kenal keheningan itu. Aku pernah mendengarnya di
townhouse kami di Arlington saat para tetangga membawakan
kaserol dan mengucapkan turut berdukacita. Aku merasakannya
di peternakan selagi para kerabat yang nyaris nggak kukenal
membanjir sampai ke serambi kakek dan nenekku, keempat
dinding rumah itu terlalu tipis untuk menampung kami dan
berita bahwa Dad nggak akan pulang lagi. Seluruh siswi kelas
sebelas Operasi Rahasia berduka, dan satu per satu, setiap
cewek dalam van itu menyadari apa yang telah diketahui
teman-teman sekamarku dan aku sejak berminggu-minggu
168 lalu"bahwa Mr. Solomon bukan pergi menjalankan misi. Kali
ini kepergian Mr. Solomon benar-benar berbeda.
Malam itu, saat kami memasuki gerbang, kelihatannya
semua lampu di mansion menyala. Aku bisa membayangkan
cewek-cewek di dalam sana, tertawa dan menuruni tangga
untuk makan malam, membicarakan berbagai makalah dan tes.
Tapi selagi kami menuruni van dan mengamati Agen Townsend
berjalan melewati pintu depan, kami semua tetap berdiri diam,
gerimis keras dan ingatan mengenai semua yang kami lihat
tadi seakan melingkupi kami, dan nggak seorang pun ingin
membawanya ke dalam mansion.
"Aku sama sekali nggak tahu," kata Anna Fetterman. "Aku
bahkan nggak pernah menebaknya. Aku salah, kan?" Ia menatapku lurus-lurus seakan seharusnya aku tahu. "Seharusnya
aku nggak di jalur Operasi Rahasia. Seharusnya aku nggak"
aku sama sekali nggak tahu."
"Nggak ada yang tahu." Eva Alvarez merangkul Anna.
"Nggak ada yang tahu bagaimana Mr. Solomon dulu."
"Dan sekarang."
Nggak seorang pun mendengar bisikanku, tapi itu nggak
apa-apa. Lagi pula, nggak ada orang lain di tempat mirip
taman bermain tadi yang mendengar Mr. Solomon berkata
Circle akan datang. Nggak ada orang lain yang merasakan
tangan hangat Mr. Solomon di jembatan London. Mungkin
aku satu-satunya Gallagher Girl yang tahu kami nggak bisa
menggabungkan kata dulu dengan Mr. Solomon.
Jadi aku berjalan ke pintu dan melangkah masuk, yakin
akan satu hal: Joe Solomon betul-betul masih hidup.
*** 16 9 Well, sebenarnya, secara teknis, aku mencoba melangkah masuk.
Para siswi memenuhi jalan masuk dan tangga, dan butuh
seluruh kekuatan yang bisa kukumpulkan untuk keluar dari
hujan lalu masuk ke kerumunan yang menonton selagi Mom
serta Agen Townsend berdiri di tengah selasar.
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada ap?" "Ssttt," desis siswi kelas dua belas, menghentikan pertanyaan Tina.
"Omong-omong, terima kasih juga," kata Townsend sambil
berbalik ke tangga, tapi Mom menghalanginya, sama sekali
nggak kelihatan berterima kasih.
"Kau tidak berhak membawa putriku keluar dari sekolahku?"
"Sekolahmu?" Agen Townsend seharusnya takut. Terakhir kali aku melihat
Mom berekspresi seperti itu adalah di jalanan Washington,
D.C., saat adiknya tergeletak dan berdarah.
Seharusnya Agen Townsend ketakutan.
"Putriku bukan pion yang bisa dimanfaatkan seenaknya!"
"Nah, Rachel, jangan menganggapnya sebagai pion. Tepatnya" apa istilah yang kalian, orang Amerika, gunakan" kita
menggantungkan apel di depan Joe Solomon dan?"
"Istilahnya wortel," Mom membetulkan. "Tapi itu tidak berlaku untuk remaja perempuan."
Tampak kilatan paham di mata Townsend saat ia tersenyum.
"Oh, benarkah" Mungkin kalian menggunakan apel untuk hal
lain." Sebagian orang mengira kunci kekuatan adalah mengetahui
cara memukul"cara memindahkan berat badanmu, memper170
hitungkan waktu pukulanmu, mendaratkan tinjumu tepat ke
sasaran. Tapi sebenarnya bukan itu. Saat aku berdiri di kerumunan dan memandang Mom serta pria yang membawaku
keluar dari keamanan mansion, aku tahu kekuatan sesungguhnya adalah tidak memukul saat kau benar-benar ingin membunuh.
Townsend pasti juga merasakannya, karena ada yang berubah dalam dirinya saat itu. "Kami menyiapkan tiga puluh
agen di taman itu dan enam puluh lagi di perimeter taman.
Kami mengawasi putrimu sepanjang waktu. Kami tahu
Solomon akan muncul, dan begitu dia melakukan itu, agenagen kami menangkapnya. Cameron baik-baik saja."
Agen Townsend mencondongkan tubuh pada Mom, nggak
berkedip, nggak menggoda, bahkan nggak mengejek. Ia tertawa, tapi bukan karena ada yang lucu. Lebih mirip tawa keheranan.
"Ms. Morgan, kita menangkap laki-laki itu!"
"Kalau kau sampai membahayakan siswi mana pun di sekolah ini lagi?"
"Oh, kupikir semua Gallagher Girl kebal terhadap bahaya."
Meskipun ada ratusan siswi memenuhi selasar, nggak seorang pun bergerak atau tersentak atau mencoba membela kehormatan kami. Kami tetap diam, menunggu kepala sekolah
kami berkata, "Oh, kami terbiasa dianggap remeh, Agen Townsend. Bahkan, kami mengharapkan hal itu."
Percakapan itu mungkin melanggar semua kode etik matamata, guru, dan kepala sekolah yang dikenal manusia, tapi itu
nggak penting. Mereka bahkan nggak bisa melihat ratusan
siswi yang menonton mereka. Meskipun sangat terlatih, mereka
171 nggak mendengar bagaimana kami semua menahan napas.
Pertarungan ini seperti ombak: sudah tertahan lama dan nggak
ada cara lagi untuk menahannya.
"Joe Solomon setuju mengambil pekerjaan ini hanya setelah
tahu ia akan mengajar putrimu. Benar, bukan?"
Mom bersedekap. "Aku sudah menjawab pertanyaan itu
dengan sangat mendetail kepada orang-orang yang memiliki
otoritas jauh lebih besar daripadamu."
"Dan menurutmu itu tidak aneh" Pria seperti Joe Solomon
datang kemari?" Ia tertawa lagi. "Tapi, tentu saja sejak dulu
Circle memang suka merekrut agen sejak muda. Apa istilah
mereka, semakin hijau buahnya, semakin mudah diubah?"
"Ya," Mom mengakui.
"Dia mengajar di sini selama satu setengah tahun?" tanya
Townsend, tapi suara Mom tenang, seolah itu hanya pertanyaan tentang cuaca.
"Betul." "Itu waktu yang lama"cukup lama untuk merekrut siapa
pun yang mungkin dibutuhkannya. Mengubah kesetiaan seseorang?"
"Seperti yang sudah kuinformasikan pada atasan-atasanmu,
Agen Townsend, kalau Circle of Cavan memiliki sekutu di
sini, sebaiknya mereka berdoa kau menemukan mereka lebih
dulu sebelum aku." Agen Townsend bertubuh besar, untuk ukuran agen operasi
rahasia. Paling tidak dia lima belas senti lebih tinggi dan tiga
puluh kg lebih berat daripada Mom (belum termasuk egonya
yang sangat besar), walaupun begitu, aku sama sekali nggak
ragu bahwa dia tahu betapa benarnya kata-kata Mom.
Ia mengamati saat Mom perlahan berbalik dan menaiki
172 tangga. Mom sudah hampir menghilang saat Townsend berkata,
"Joe Solomon tidak akan melukai putrimu, Ms. Morgan. Kau
tak perlu khawatir dia bakal melukai siapa pun lagi."
Saat itu aku menyadari bahwa Agen Townsend memercayai
hal itu"betul-betul memercayainya"dan selama sedetik aku
ingin memercayai dia. Bagaimanapun, dia mata-mata yang
baik. Agen senior. Guru. Dan saat berdiri di sana, dikelilingi
saudari-saudariku, aku mungkin nyaris meyakinkan diri bahwa
itu benar"bahwa aku aman.
Tapi lalu Mom berhenti dan berbalik.
"Sayangnya, Agen Townsend, Joe Solomon adalah kekhawatiran Cammie yang paling kecil."
Koki kami memasak sup favoritku untuk makan malam, tapi
teman-teman sekamarku dan aku nggak cepat-cepat berlari
menuju Aula Besar. Kami berdiri diam bersebelahan selagi
murid-murid lain perlahan-lahan berjalan menyusuri koridor
dan menaiki tangga, terbawa gelombang gosip, rasa takut, dan
rasa tidak percaya. "Sublevel Dua." Aku nggak berbisik. Sekarang aku tahu itu
perbuatan bodoh, tapi saat itu, aku, Cammie si Bunglon, nggak
kuat lagi bersembunyi. "Kita akan menemukan cara untuk masuk ke Sublevel Dua."
17 3 Bab Du a P u l u h S e m b i l a n
CARA YANG TIDAK BISA DIGUNAKAN UNTUK
MENYUSUP MASUK KE SUBLEVEL DUA
(Daftar oleh Cameron Morgan, dengan
bantuan Macey McHenry) " Menggali: Karena kau harus menggali" banyak hal.
Selain itu, staf perawatan pasti bakal menyadari kalau
ada lubang besar di tengah lapangan lacrosse. (Lagi
pula, kegiatan menggali bisa sangat merusak kuku.)
" Apa pun yang melibatkan terowongan lift: Memang,
masing-masing Gallagher Girl mendapatkan linggis
sendiri pada hari pertama kelas delapan, tapi caranya
nggak sesederhana mengungkit pintu-pintu sampai
terbuka dan kami bisa langsung meluncur turun ke
lantai sublevel. (Lagi pula, berdasarkan pengalaman,
174 pintu-pintu di Akademi Gallagher nggak bisa diungkit.)
" Merayu: Karena merayu mungkin akan membuat
orang yang dirayu curiga mengenai rencana dan motivasi sang perayu"apalagi anggota staf keamanan bertubuh paling besar pun mungkin bakal takut membawa kami ke lantai-lantai sublevel dan" kau tahu"
terbunuh. " Teleportasi: Tentu, Liz memang bilang punya teori
yang sangat bagus, tapi dia belum punya prototipe,
dan tanpa prototipe sama saja ide itu tak ada gunanya.
" Hal yang dilakukan orangtua Bex di Dubai dengan
nitrogen cair, simulator gempa, dan musang: Karena
kami nggak punya musang. Hanya butuh waktu tiga minggu.
Aku tahu kedengarannya lama sekali"dan memang benar.
Tapi sebenarnya itu nggak lama juga. Karena" well" dalam
bisnis mata-mata, nggak ada yang terjadi dengan cepat (kecuali
saat itu memang terjadi ). Nggak ada yang mudah (kecuali
saat itu memang mudah). Dan, yang terpenting dari semuanya,
nggak ada yang berjalan sempurna sesuai rencana (kecuali di
film-film). Ini pekerjaan kotor yang lambat, berat, berulang-ulang, sepele, menyedihkan, dan pokoknya secara umum membosankan
(kecuali untuk bagian-bagian ketika orang bisa mati).
17 5 Kami mungkin bisa melakukannya lebih cepat dan itu pun
tetap akan terasa nggak cukup cepat. Kami mungkin bisa merencanakannya selama bertahun-tahun dan tetap nggak merasa
siap. Jadi, yeah. Butuh waktu tiga minggu.
Bagi Liz untuk memecahkan kode. Bagi Macey dan Bex
untuk mengumpulkan alat-alat. Bagiku untuk merencanakan
jalan masuk kami. Pada jam satu pagi pada malam tersebut, kami berjalan menyusuri koridor lantai tiga secepat dan sehati-hati mungkin,
berusaha sebaik mungkin agar tidak kelihatan bahwa kami
mencoba berjalan secepat dan sehati-hati mungkin.
Para Pelaksana betul-betul mengerti bahwa langkah pertama dalam
Operasi Penyangkalan dan Penipuan adalah menyangkal. Dan jauh
lebih mudah menyangkal bahwa kau terlibat dalam operasi penyamaran tidak resmi kalau kau memakai piama.
"Ada sesuatu yang belum kumengerti," bisik Liz. "Kalau Mr.
Solomon ingin sekali mengambil buku ini atau apa pun itu
yang ada di Sublevel Dua, kenapa dia justru membuat Sublevel
Dua mustahil diakses?"
"Karena dia tidak ingin orang-orang yang tidak tepat sampai bisa mengaksesnya," kataku, sambil mengintip ke balik
belokan, tempat, seakan sesuai aba-aba, Agen Townsend berjalan menuruni tangga.
Kurapatkan tubuh ke dinding, lupa bahwa saat itu kami
belum melanggar peraturan apa pun dan setidaknya ada selusin
alasan yang sangat valid untuk menjelaskan mengapa kami ada
di sana. Tapi aku ini bunglon. Aku lebih suka nggak kelihatan
daripada memberi alasan atas keberadaanku.
176 Langkah Townsend bergema seperti halilintar di koridor
kosong itu. Aku nggak melihatnya saat berbisik, "Sekarang waktunya."
Pada pukul 01:35, Para Pelaksana bergerak ke tangga kecil di
bawah Tangga Utama, tapi mereka tidak berhenti di cermin yang
menyembunyikan lift ke lantai-lantai sublevel.
Pada pukul 01:36, perut Pelaksana Morgan mulai keroncongan,
dan seluruh tim menyadari pentingnya tidak melewatkan waktu
makan sebelum melaksanakan operasi rahasia yang sangat
penting! Bex memimpin kami ke lemari kecil di dasar tangga dan mengeluarkan ransel yang diisi ikat pinggang peralatan, berbagai kabel,
dan alat sangat berguna yang dibuat Macey di kelas Pengantar
Aksesori-nya (pelajarannya sama sekali nggak sesuai dengan
bayangan murid-murid baru).
Saat kami melangkah keluar, kusadari bahwa udara terasa
lebih hangat. Musim semi sebentar lagi tiba, tapi aku nyaris
nggak menyadarinya. "Dengar." Aku berhenti dan menatap ketiga sahabat terbaikku di seluruh dunia. "Kita cuma punya tiga menit sebelum
para penjaga berpatroli di sektor ini, dan aku betul-betul mengerti kalau kalian nggak mau melakukannya. Aku nggak tahu
apakah cara ini akan berhasil, dan kalaupun berhasil, kita
nggak tahu pasti apa yang mungkin kita hadapi di bawah
sana." Dari ekspresi di wajah Bex, aku tahu nggak mungkin dia
mau nggak diikutsertakan dalam kegiatan serahasia ini. Dan
17 7 seberbahaya ini. Dan betul-betul kelabu dalam spektrum hitamputih benar dan salah.
Tetap saja, aku harus melanjutkan. "Kalau terjadi hal buruk
pada satu pun dari kalian?" aku memulai, tapi kemudian aku
nggak bisa menyelesaikan kalimat itu.
"Jadi kalau di bawah sana ada komputer yang harus kita
hack dalam waktu 60 detik, kau yang bakal melakukannya?"
tanya Liz, memasang ikat pinggang di atas piama.
"Dan kau betul-betul mengira aku mau melewatkan ini?"
Bex menarik ikat pinggangnya dari puncak tumpukan.
Kami semua menatap Macey. "Kau perlu aku," katanya, meraih ikat pinggangnya seperti ratu mengambil tongkat kerajaan.
Saat aku membungkuk dan mematikan alat-alat keamanan
di sekitar lubang kecil itu, kurasakan Bex mengamati dari balik
bahuku. "Kupikir lift-lift ke Sublevel Dua membawa kita keluar ke
suatu tempat di sebelah sana." Ia menunjuk ke arah yang
berlawanan. Aku tersenyum padanya. "Tapi kita bukan mau ke lift,
kan?" Tepat pukul 01:47, Para Pelaksana mengetes teori mereka bahwa
cermin di bedak terbaru keluaran McHenry Cosmetics memiliki
ukuran yang tepat untuk diselipkan dan memantulkan sinar laser
yang menutupi lubang di semua titik ventilasi.
(Para Pelaksana benar.) Tepat pukul 02:07, Para Pelaksana mengetes Perealokasi Sinyal
Elektromagnetik baru (Nama Resmi dan Hak Paten Dalam Proses)
yang dikembangkan Pelaksana Sutton untuk kesempatan ini.
178 (Sukses.) Tepat pukul 02:08, Pelaksana Baxter berdoa. Dan melompat.
Terowongan ventilasi itu kecil. Sangat kecil. Begitu kecil sehingga ternyata aku lega tadi melewatkan makan malam.
Nggak mungkin pria dewasa bisa muat ke dalamnya. Itu jalan
masuk yang hanya cocok dilalui cewek. Gallagher Girl, pikirku
sambil meluncur menuruni kabel seakan kabel tersebut tiang
pemadam kebakaran, kait di tanganku semakin panas, membakar sarung tanganku selagi aku meluncur memasuki kedalaman tanah.
Aku tahu Bex ada di bawahku, tapi aku nggak bisa melihat
apa-apa. Macey dan Liz ada di atasku, dan kuharap itulah sebabnya aku nggak bisa melihat cahaya samar apa pun di atasku
selagi meluncur ke dalam terowongan yang terasa seperti
gunung berapi paling mungil sedunia.
Aku meluncur semakin dalam. Aku terjatuh semakin cepat.
Kurasakan udara berembus melewatiku, rambut bertiup dari
wajahku, kabelnya makin panas di tanganku sampai"
"Awas!" seru Bex, saat tiba-tiba aku keluar dari terowongan.
Lenganku rasanya nyaris bakal copot dari engsel sewaktu meremas kaitan dan tersentak hingga berhenti mendadak. Aku
bergantung dari kabel itu, menunduk menatap ruangan raksasa
Sublevel Dua. "Aku nggak percaya cara ini berhasil," aku mengakui dengan terengah-engah.
"Cam!" teriak Bex, menghentikanku sebelum aku melepaskan pegangan pada kabel. "Jangan. Bergerak. Sedikit pun."
Kami tergantung sembilan meter di atas lantai batu keras
ruangan yang"meskipun sudah satu semester penuh aku
17 9 belajar di Sublevel Dua"belum pernah kulihat. Lantai-lantai
sublevel merupakan labirin luas dan berliku yang diisi banyak
ruang kelas dan kantor, perpustakaan sumber data, dan tempat
penyimpanan sebagian rahasia yang paling dilindungi dalam
dunia mata-mata. Dan saat itu, Bex dan aku memandang melalui kilau redup lampu-lampu keamanan di ruangan besar yang
dipenuhi ratusan rak dan lemari arsip, sistem kabel-kabel dan
bahan peledak yang sangat kompleks"
Dan sistem jaring-jaring laser paling kompleks yang pernah
kulihat. "Jadi," ujar Bex, tersenyum padaku dari balik kilauan lampu
sorot darurat yang berkedip-kedip, "mau nongkrong di sini?"
Sesaat kemudian, getaran di kabel bertambah keras, dan
aku mendongak tepat waktu untuk melihat Liz meluncur ke
arahku, berhenti persis di atasku.
Macey dekat sekali di belakangnya dan terengah-engah saat
bertanya, "Apa ini?"
Bex dan aku menunduk melihat barisan informasi top secret
dan bahan-bahan peledak tingkat tinggi yang berjajar di sepanjang ruangan, sama-sama nggak bisa menyembunyikan kekaguman dalam suara kami. "Ini burn bag," kata kami berbarengan.
"Apa itu burn bag?" tanya Macey.
"Hal-hal yang nggak boleh jatuh ke tangan yang salah. Selamanya. Hal-hal yang diatur agar meledak seandainya" seandainya hal terburuk terjadi."
Itu memang benar. Tapi menakutkan. Karena saat itu, secara teknis, hal terburuk yang bisa terjadi adalah kami.
Bex yang pertama kali turun ke lantai, lincah seperti kucing,
180 mendarat di antara sinar-sinar merah itu, lalu bersalto dan melompat di udara, mencari jalan ke panel kecil di sisi ruangan.
Kalau situasinya nggak menakutkan, gerakan Bex pasti terlihat
indah. Nyaris seperti balet. Tapi dengan risiko kematian yang
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jauh lebih tinggi. "Sekarang, Liz!" seru Bex, dan Liz mengeluarkan busur
pendek lalu membidik dinding sekitar lima belas senti di atas
kepala Bex. "Eh" Liz?" Macey memulai.
"Sori," kata Liz, dan menaikkan bidikannya sekitar tiga
puluh senti. Kurasa kami semua menahan napas saat panah itu meluncur
di udara, dengan kabel melayang di belakangnya, lalu mendarat
sempurna persis di atas panel dinding.
"Hebat," kataku. "Nah, persis seperti latihan kita"ambil
klip ekstra di talimu dan pasangkan di kabel Bex. Yeah. Persis
begitu. Bag?" "Aduh, aduh, aduh."
Dan saat itulah Elizabeth Sutton, si supergenius, lupa menutup ritsleting tasnya dan membiarkan buku teks Pengkodean
Tingkat Lanjut miliknya jatuh, berputar-putar, tepat ke pusat
jaringan laser di bawah. "Liz!" seruku, tapi sudah terlambat. Lampu-lampu mulai
berkedip-kedip. Di bawah kami, sinar laser mulai bergerak,
garis-garis merah merayap di lantai, dan kusadari satu-satunya
pilihan kami. "Apa yang harus kita lakukan?" seru Macey.
"Lari!" Saat kami menjatuhkan diri ke lantai, aku nggak bisa mendengar pikiranku sendiri"apalagi langkah teman-temanku yang
181 berlari di sebelahku. Lampu merah berkedip-kedip. Sirenesirene berbunyi. Seolah Sublevel Dua terbakar saat Liz membawa laptopnya ke tempat Bex menunggu di sebelah pusat
saraf elektronik yang mengontrol semua perlindungan modern
Sublevel Dua. Tapi modern" yeah, modern adalah masalah terkecil
kami. Di ujung lain ruangan, ada jendela besar yang terbuat dari
kaca berwarna. Selama sedetik aku berdiri di sana, bertanyatanya mengapa ada yang repot-repot memasang jendela di
ruang bawah tanah. Pasti akan terasa jauh lebih aneh dan
nggak menakutkan kalau ruang di balik kaca itu nggak terisi
air dengan begitu cepat. "Jadi airnya datang dari?" Macey memulai.
"Danau." "Jadi kalau kita nggak menghentikan ini?" ia memulai
lagi. "Kita tenggelam," kataku, tapi Macey sudah pergi"berlari
ke seberang ruangan. "Kita harus bagaimana?" serunya. Ia meraba dinding, mendorong batu-batu"dengan panik mencari cara untuk menghentikan naiknya permukaan air. "Di mana tombolnya" Kupikir
Mr. Solomon memberitahu Zach bahwa ada cara untuk mematikannya."
Selagi permukaan air terus naik, kaca berwarna itu tampak
mengilap. Semakin tinggi permukaan air, lampunya kelihatan
makin berbeda, dan mau nggak mau aku teringat tugas pertama
yang pernah diberikan Joe Solomon padaku: perhatikan semua
hal. "Aku pernah melihat ini," kataku, masih menatap gambar182
gambar familier di kaca itu"berbagai bentuk dan garis berwarna cerah. "Macey, kau pernah melihatnya, kan?"
"Sori, Cam," jawab Macey, masih mencari-cari. "Aku agak
sibuk di sini." "Ini seperti kaca di lantai atas. Tahu kan, yang besar"
Tapi" berbeda. Ini nyaris seperti?" Kalimatku terputus. Suaraku seakan tersangkut. Dan aku tahu apa yang harus kami lakukan. "Ini bukan jendela"ini puzzle!"
Kacanya terasa dingin saat kusentuh. Setidaknya alat itu
sudah berumur seratus tahun, dan saat kudorong bagian berwarna biru tua di kaca itu, awalnya tidak terjadi apa-apa, dan
kukira aku salah. Tapi aku mendorong lebih keras dan" bergerak. Jendela itu seperti kaleidoskop, sekumpulan kaca dan
roda tersembunyi yang bergerak dan berputar selagi kudorong
bagian berwarna biru itu dengan mulus ke tempatnya di tengah
bingkai raksasa tersebut.
"Macey, bantu aku," kataku, dan bersama-sama kami mulai
bekerja, mata dan tangan kami dengan cepat menyentuh
ratusan bagian jendela itu secepat dan setepat yang kami bisa,
mencoba meniru jendela atas yang nggak pernah betul-betul
kuperhatikan sampai Joe Solomon datang ke sekolah kami.
Tapi di sekeliling kami, sirene terus berbunyi. Lampu-lampu
terus berkedip. Dan, yang terburuk dari semuanya, permukaan
air tetap naik. "Lizzie?" kudengar Bex berseru di belakangku.
"Hampir?" kata Liz, jari-jarinya melayang di atas tomboltombol laptop. "Hampir" berhasil!"
Langsung saja, sirene berhenti. Lampu-lampu berhenti berkedip. Dari sudut mataku, kulihat Liz dan Bex saling tos, tapi
pemukaan air terus naik. 18 3 Aku memikirkan apa yang dikatakan Mr. Mosckowitz pada
Agen Townsend malam itu di koridor yang berbayang"bahwa
setiap generasi menambahkan satu lapisan pertahanan pada
tempat terhormat ini"dan aku tahu bahwa generasi Gallagher
Girl awal merupakan yang paling bijaksana, dalam berbagai
cara. "Berhasil!" seru Macey, mendorong bagian terakhir ke tempatnya, tapi nggak terjadi apa-apa.
Rasanya lama sekali sebelum suara mekanis bernada tinggi
terdengar di ruangan yang memantulkan suara itu.
"IDENTIFIKASI. IDENTIFIKASI. IDENTIFIKASI. SIAPA DI
SANA?" tanya suara itu.
Lalu pastilah naluri kami langsung mengambil alih, karena
kami berempat menyerukan kata-kata pertama yang terlintas
di pikiran: "Kami saudara-saudara perempuan Gillian!"
Aku menahan napas dan berdoa sampai permukaan air mulai
surut dan suara mekanis itu berkata, "SELAMAT DATANG
KEMBALI." 184 Bab T i g a P u l u h da hal-hal tentang Akademi Gallagher yang nggak akan
pernah bisa dimengerti orang seperti Townsend. Sampai selamanya. Begini, intinya bukan tentang menjadi Gallagher Girl"
intinya tentang menjadi salah satu Gallagher Girl. Jamak. Kami
semua sebagai kesatuan. Tanpa Bex, aku pasti bakal memicu
sensor-sensornya. Tanpa Macey, aku nggak mungkin bisa memecahkan puzzle itu tepat waktu. Dan tanpa Liz" well, Liz
punya banyak peran dalam misi ini.
"Seberapa tinggi letaknya?" katanya sambil berjalan di sebelahku.
"Nggak setinggi itu," jawabku perlahan, mendongak pada
rak-rak menjulang yang memenuhi dinding-dinding Sublevel
Dua. Itu bukan tempat kami menyimpan zat-zat kimia. Saat aku
memandang berkeliling pada barisan-barisan panjang rak tinggi,
nggak satu senjata pun terlihat. Tapi informasi yang disimpan
18 5 di dalam ruangan ini cukup berbahaya untuk meruntuhkan
sekolahku, cukup kuat untuk meracuni setiap anggota persaudaraan kami. Dan aku tahu kami nggak berani tinggal terlalu lama di sini"bahwa kami menjalani hidup dalam basis
yang-perlu-tahu-saja karena alasan bagus.
Sayangnya, hanya aku yang merasa begitu.
"Ooh! Keren!" terdengar seruan Macey dari baris sebelah,
meskipun faktanya di lantai atas, setengah tim keamanan Akademi Gallagher pasti sekarang sangat waspada, bertanya-tanya
apa yang baru terjadi di Sublevel Dua.
"Hei, Cam," panggil Bex, "kau tahu nggak bahwa Amelia
Earhart menghabiskan dua puluh tahun terakhir hidupnya dalam penyamaran di Istanbul?"
Setengah detik kemudian, Macey datang berlari-lari dari
ujung gang, memegang dokumen. "Cepat, Teman-teman, aku
punya foto-foto Profesor Buckingham" pada Perang Dunia
Kedua" memakai baju renang!"
Bex berlari untuk melihat gambar-gambar itu, tapi tatapanku terkunci pada Liz yang memasangkan kabel di ikat pinggang peralatan yang tergantung di pinggang mungilnya.
"Liz, ini konyol. Aku saja yang melakukannya," kataku
padanya. "Tapi, Cammie, Zach bilang letaknya di tengah rak tertinggi. Sulit sekali menempatkan seseorang di tempat yang
tepat, dan aku yang paling ringan," katanya, mengucapkan
satu-satunya potongan informasi yang dapat dibuktikan secara
ilmiah"dan dengan demikian sangat relevan"yang kami miliki.
"Kau nggak perlu membuktikan apa-apa, Lizzie. Aku bisa?"
"Mereka memerlukanmu, Cammie," kata Liz, suaranya
186 hanya bisikan. "Dan kalau pihak mereka memerlukanmu
hidup-hidup" pihak kita juga memerlukanmu hidup-hidup."
Ia mendongak ke arah rak-rak tinggi itu dan menarik napas
dalam-dalam, seakan berusaha menghilangkan semua pikiran
nggak menyenangkan dan fokus pada satu fakta terukur: "Aku
paling ringan." "Bex, kami siap," seruku. Sedetik kemudian Bex muncul,
busur pendek Liz tergenggam di tangannya. Kelihatannya mudah sekali saat Bex membidik ke langit-langit sekitar lima
belas meter di atas kepala. Kudengar kabelnya melayang, kulihat gulungan di kakiku perlahan menyusut, sampai kudengar
suara metalik yang dikeluarkan titanium saat mengenai batu
solid. "Siap?" tanyaku pada Liz, yang mengangguk.
"Kau bisa melakukannya," bisikku pelan saat Bex menyambar ujung lain kabel dan menariknya. Saat berikut, Liz
sudah melayang anggun (atau seanggun yang bisa dilakukan
Liz) ke rak-rak bertanda: PERINGATAN, BERTEGANGAN
TINGGI. Aku berdiri, menahan napas sambil memandang semuanya.
Mungkin itu sebabnya akulah yang mendengar suara tersebut,
dengungan, begitu jauh sehingga awalnya kukira itu suara
benakku sendiri. Tapi kemudian aku mendengarnya lagi.
"Kalian dengar itu?" tanyaku, menajamkan pendengaranku.
Bex mencoba memanuver Liz ke posisi, dan Liz menatap
tanda bertegangan tinggi itu seakan hidupnya bergantung pada
tanda tersebut, yang" well" mungkin memang benar.
"Kaudengar itu?" tanyaku pada Macey.
18 7 "Kita 450 meter di bawah tanah," jawab Macey sambil
mengangkat bahu. Macey benar, tentu saja. Aku mungkin sama amannya di
sini dengan di tempat mana pun di dunia, tapi ada yang aneh
dalam keheningan mencekam yang meliputi kami. Aku berdiri
lama sekali, mendengarkan suara detak jantungku"ritme yang
belum melambat selama berbulan-bulan sampai"
"Itu," kataku lagi, dan kali ini Macey juga berhenti.
"Mungkin itu tungku pemanas atau semacamnya?" tanya
Macey saat suara itu makin keras.
Aku menahan napas. "Itu bukan unit pemanas."
"Berapa lama lagi, Liz?" tanya Bex.
"Hampir dapat!" seru Liz, mengulurkan tangan sejauh yang
bisa dicapai tubuh kurusnya, tapi tetap saja buku itu ada di
luar jangkauannya. "Liz," kataku lagi. Suara itu makin keras, dan terdengar
lebih teratur. "Liz, kau butuh waktu berapa lama untuk
menyalakan lagi jaringan lasernya?"
"Dua menit," jawab Liz.
Tapi di kedalaman ruangan, suara itu menderum hidup lagi.
Kutatap Bex dan Macey. "Kita nggak punya waktu dua menit."
Saat itu begitu banyak ketakutan terlintas di pikiranku:
Bagaimana kalau ada semacam pengaman cadangan yang
belum kami matikan dan kami bakal terkena gas, tertindih,
tenggelam, tersetrum, terjepit, atau terperangkap"
Bagaimana kalau Circle of Cavan melacakku sampai ke
kedalaman sekolah kami dan, tahu bahwa aku terperangkap
jauh dari Mom dan para penjaga, telah menemukan jalan masuk"
188 Bagaimana kalau itu Mom, dan kami tertangkap" tepergok"
Terlepas dari ketakutan-ketakutan sintingku, ada satu hal
yang kuketahui dengan pasti: ada orang lain yang mencoba
masuk ke Sublevel Dua. "Kau bisa melakukannya, Lizzie," seru Bex ke atas.
"Pokoknya" cepatlah. Dan mungkin bergerak sedikit ke?"
Bex menarik tali ke kanan, tapi entah dia menganggap
remeh kekuatannya sendiri atau menganggap berat badan Liz
lebih daripada yang sebenarnya, karena berikutnya kulihat
kilasan pirang terayun melewati rak-rak itu dan berhenti tergantung di suatu tempat di atas bagian yang didedikasikan
untuk Krisis Misil Kuba. Dengungan mekanis itu makin keras, dan sekarang kami
tahu suara itu datang dari suatu tempat di depan kami.
"Apakah itu?" Macey memulai.
"Terowongan lift?" tebak Bex.
"Kurasa begitu," kataku. "Apakah menurut kalian?"
"Townsend," kata kami semua berbarengan.
"Tapi bagaimana dia bakal mengatasi alat-alat keamanan di
bawah sini?" tanya Macey.
Aku mengangkat bahu. "Entah dia tahu kita sudah melakukan itu untuknya?"
"Atau dia nggak peduli," kata Bex, menatapku, dan aku
bisa tahu dari ekspresi di matanya bahwa kami sama-sama
nggak tahu mana yang lebih menakutkan.
Setumpuk kecil debu mulai berkumpul di lantai, dan aku
melihat lubang kecil yang muncul di dinding batu. Agen
Townsend mengebor jalan dari terowongan lift menuju Sublevel
Dua. 18 9 Aku bicara keras mengatasi suara bor dan kepanikan
jantungku yang berdebar-debar. "Kita harus pergi!"
Para Pelaksana menyadari mereka akan mengalami pertemuan
yang sangat berbahaya dengan guru-garis-miring-mungkin-agenmusuh yang sangat marah, jadi mereka menggunakan sekumpulan taktik rahasia yang sangat direkomendasikan.
1. Pelaksana McHenry berkata, "Kau siap" Kau siap" Kau
siap?" berulang-ulang dengan cepat sampai Pelaksana Sutton
benar-benar siap. 2. Pelaksana Morgan mendorong rak ke depan dinding yang
sedang coba ditembus dengan bor oleh agen musuh, memberikan barikade sementara.
3. Pelaksana Baxter menggunakan kesempatan itu untuk mengucapkan beberapa kata yang dipilih dengan sangat baik
mengenai instruktur Operasi Rahasia baru Akademi
Gallagher. "Dapat!" kata Liz, dan detik berikutnya ia melayang di
udara, jatuh. Macey dan aku menangkap dan menurunkannya
ke tanah, tapi kami nyaris nggak punya waktu sedetik pun
untuk melepaskan kaitan itu"nggak ada waktu untuk mengambil satu pun peralatan kami"sebelum Bex menyambar
lenganku dan berbisik, "Lari!"
Lalu kami berlari, menghindari rak-rak secepat dan sehatihati mungkin.
Saat melirik ke belakang, aku bisa melihat sinar senter
190 menyorot rak-rak di ujung ruangan raksasa itu. Kami sudah jauh
dari jangkauan sinar, tapi kami sama sekali belum aman.
Kabel masih tergantung dari terowongan ventilasi di depan
kami. Kulihat Macey menyambarnya, bergantung pada salah
satu kait yang tadi membawa kami turun, dan memutar-balik
alat itu. Sepersekian detik kemudian, ia terangkat ke udara,
meluncur naik ke terowongan, ke arah langit malam dan kebebasan.
Tapi di Sublevel Dua, terdengar langkah-langkah di belakang kami dan mereka semakin dekat.
Dia belum pernah kemari, kataku pada diri sendiri selagi
mendengarkan pria itu berjalan pelan menyusuri labirin rak.
Bex berdiri di dasar kabel, dengan cepat mengikatkan Liz
ke alat itu, sementara aku tetap membeku, mengamati ayunan
senter di antara rak-rak. Situasinya menakutkan sekaligus
indah. Benda-benda rahasia yang dikumpulkan selama seratus
tahun disimpan dalam ruangan raksasa itu"cetak biru dan
denah, rahasia-rahasia yang begitu berbahaya sehingga matamata terbaik di dunia pun rela mengambil semua risiko demi
memastikan semua itu nggak pernah terungkap.
Cuma Yang Lihai Yang Bisa Jadi Mata-mata Only The Good Spy Young Gallagher Girls 4 Karya Ally Carter di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi saat itu, hanya ada satu artefak top secret yang penting
bagiku. Sekarang giliranku, jadi kuraih kabel dan kurasakan
diriku naik, makin lama makin cepat, ke arah udara malam
yang segar. 191 Bab T i g a P u l u h S a t u
angitnya nyaris tak berbintang. Awan-awan hitam tergantung tebal di atas kepala kami, menutupi bulan. Tapi setelah kegelapan di lubang mungil tadi, aku harus menyipitkan
mata. Rasanya seperti menatap matahari.
"Padahal kita pikir kita nggak akan bisa melakukan latihan
tugas Operasi Rahasia semester ini," kataku selagi Bex menarik
lenganku keluar dari lubang itu; tapi teman-teman sekamarku
nggak tersenyum. "Apa?" tanyaku. Teman-temanku hanya menatapku. "Apa?"
tanyaku lagi, tapi aku nggak sempat mendengar jawabannya,
karena momen berikutnya udara di sekeliling kami seakan
ditenggelamkan dalam cahaya. Sirene meraung, mengiris udara,
meneriakkan bahwa terjadi sesuatu yang betul-betul nggak
beres. Pintu depan mansion masih berjarak sembilan puluh meter,
tapi aku tahu itu peluang terbaik kami menuju tempat aman,
192 dan Bex serta Liz sudah berlari. Macey dan aku cepat-cepat
mengejar. Para penjaga berlarian dari mansion utama ke pagar, mengecek perimeter, nyaris nggak kuat menahan anjing-anjing
yang menggonggong di ujung tali kekang panjang mereka.
Semua lampu sorot bersinar di langit. Dari kejauhan, kelihatannya mungkin seperti pesta. Para penduduk Roseville
mungkin punya belasan teori sinting tentang apa yang terjadi
di sekolah saat itu, tapi aku tahu nggak satu pun akan mendekati kebenaran.
Begitu teman-teman sekamarku dan aku menerjang memasuki pintu depan dengan terengah, kudengar Profesor
Buckingham memanggil namaku dari puncak tangga.
"Cameron Morgan! Apakah ada yang melihat Cameron?"
"Itu dia!" seru salah satu murid kelas delapan, dan detik
berikutnya aku terperangkap dalam kerumunan tubuh manusia.
Mr. Smith mencapaiku lebih dulu. Laki-laki dari departemen
keamanan menyambarku dari sisi lain.
"Apa yang terjadi?" tanyaku, menatap Mr. Smith.
"Penyusup," katanya sederhana selagi aku diseret (atau praktis digendong) menaiki tangga.
Cewek-cewek memenuhi semua koridor. Mereka memakai
piama dan bertelanjang kaki. Dan membawa senjata. Oh yeah,
mereka membawa banyak senjata.
"Apa itu Circle of Cavan?" seru murid kelas tujuh, suaranya
pecah. "Apakah mereka di sini?"
Tapi para staf menjagaku tetap dalam lingkaran ketat. Aku
nyaris nggak bisa melihat satu wajah pun sampai Tina Walters
menyeruak kerumunan. "Cammie, kau nggak apa-apa?"
19 3 "Aku baik-baik saja!" seruku, mencoba menggeliat untuk
membebaskan diri. Lalu alarm berhenti meraung.
"Kau membuat kami semua sangat khawatir malam ini,
Cameron," Townsend menyambutku di puncak tangga. Temantemanku berdiri di dasar tangga, mendongak menatapku. Rambut mereka kusut dan penuh sarang laba-laba. Wajah mereka
kotor (berarti kemungkinan besar wajahku juga begitu). "Tepatnya di mana kalian tadi?"
"Jalan rahasia," kataku. "Saya baru menemukannya. Jalan
itu hebat tapi?" Aku melirik Macey, di salah satu pipi sempurnanya ada bercak hitam. "Kotor."
"Kau," kata Townsend, menunjuk Liz. "Apa yang kaubawa
dalam tas itu?" Oke, mungkin kelihatannya memang sedikit aneh. Bagaimanapun, ratusan cewek memenuhi koridor dan tangga malam
itu. Ada banyak masker wajah dan kawat gigi, tapi Liz cuma
membawa ransel itu, dan Townsend nggak bakal jadi matamata hebat kalau sampai nggak bertanya-tanya apa yang ada
di dalamnya. "Well?" tanya Townsend lagi, melangkah mendekat.
"PR!" sembur Liz. "Buku-buku."
"Anda mungkin belum tahu ini, Agen Townsend," kata Dr.
Fibs, "tapi Ms. Sutton merupakan salah satu murid kami yang
paling?" "Buka tas itu," tuntut Townsend. Ia menyambar tas itu dan
membaliknya. Aku menahan napas dan mengamati saat dua
buku catatan, sebungkus permen karet, dan empat belas pensil
warna berjatuhan di lantai.
Aku cukup yakin seharusnya aku menghela napas lega, tapi
194 sebaliknya aku justru panik. Teror. Kami membahayakan nyawa
untuk mendapatkan jurnal itu, tapi sekarang jurnal itu nggak
ada. Hilang. "Di mana?" Kusadari diriku berkata keras-keras, tapi Macey
mengangguk samar. Jurnal itu tersembunyi, kata anggukan itu.
Jurnal itu aman. "Cammie!" Aku kenal suara itu. "Mom," kataku, mencoba melihat menembus kerumunan.
"Tidak apa-apa, semuanya," kata Mom"kepala sekolah
kami. "Departemen keamanan meyakinkanku bahwa perimeter
tidak ditembus. Tidak ada orang di dalam mansion atau di
wilayah sekolah yang seharusnya tidak berada di sini. Tidurlah
kembali." Saat ia menatapku, nggak ada keraguan bahwa itu
merupakan perintah. "Langsung tidur."
Yeah. Seandainya kau bertanya-tanya, kami betul-betul nggak
menuruti perintah itu. Tentu, kami memang pergi ke suite. Tentu, kami memang
mematikan semua lampu. Tapi sepuluh detik kemudian kami
berempat berkerumun di kamar mandi, menatap buku yang
tampak sangat gelap di tangan pucat Liz. Saat ia menyerahkannya padaku, selembar kertas terjatuh, melayang, dan mendarat
di lantai. Dear Cammie, Kalau kau sampai membaca ini, berarti aku sudah
Monte Cristo 1 Kucing Di Tengah Burung Dara Cat Among The Pigeons Karya Agatha Christie Api Di Bukit Menoreh 31