Pencarian

She 3

She Karya Windhy Puspitadewi Bagian 3


Dhinar tersenyu. "Iya deh, kuusahain."
Tiba-tiba Dhinar mendengar teriakan Mbak Von,
"NON DHINAR ADA TAMU!"
"IYA MBAK! BENTAR LAGI AKU KE BAWAH! Eh, aku ada tamu nih," kata Dhinar dengan
rasa menyesal pada Erwan.
"Ooh, nggak apa-apa kok," kata Erwan. "Kasihan pulsaku juga."
"Kamu sih, pake acara telepon HP," komentar Dhinar. "Pake telepon rumah, kenapa?"
"Maklum kaya." "Bohong." "Iya iya lah! Wong kamu nggak ngasih nomor telepon rumah."
"Iya juga ya." Dhinar manggut-manggut. "Sorry, my mistake."
"Dimaafkan," sahut Erwan. "Ya sudah deh, entar kasian tamumu kelamaan nunggu."
"oke." "Oh ya!" seru Dhinar tiba-tiba, teringat akan sesuatu.
"Apa?" "Sudah baca Kisah-kisah Kebijaksanaan China klasik?"
"Belum," jawab Erwan. "Bagus ya?"
"Aku suka kok," kata Dhinar bersemangat. "Mungkin kamu juga suka."
"Hmm... iya sih, kita memang punya selera yang sama soal buku," kata Erwan. "Punya?"
"Punya dong." "Waktu kursus dibawa ya, aku pinjem." pesan Erwan sebelum menutup telepon. "Sekarang boleh
kututup nih teleponya!"
Dhinar tersenyum. "Silahkam."
"Bye." "Bye." KLIK! Dhinar masih memandangi ponselnya sambil tersenyum sudah lama sekali rasanya dia
menantikan-nantikan percakapan semenyenangkan tadi. Lalu dia bergegas turun menemui
tamunya. "Oh kamu," kata Dhinar begitu melihat Flemming di ruang tamu. Sebenarnya dia sudah
menduga karena hanya Flemming yang sering berkunjung ke rumahnya malam-malam.
"Ada apa?" tanya Dhinar.
Flemming mengernyitkan dahi dan mengamat-amati Dhinar dengan pandanga aneh.
"Kayaknya," katanya, "ada yang aneh sama lu."
"Apanya?" tanya Dhinar heran.
"Lu kayaknya berubah deh."
"Jadi Ksatria Baja Hitam?"
Flemming tertawa. "Tuh kan, bahkan sekarang lu bisa ngocol."
"Langsung aja kenapa sih?" geruti Dhinar. "Ada masalah apa" Kan proposalnya udah beres."
Dia melirik ke arah proposal acara pensi yang dipegang Flemming.
"Memang," kata Flemming sambil tersenyum seperti biasa. "Besok gue mau menghadap Pak
Kepsek untuk menyerahkan proposal ini."
"Terus?" "Gue mau minta bantuan lu lagi buat bikin kata-kata pembukaan pas ngomong sama bapak itu."
"hah?" "Denger-denger lu juara pidato juga, kan" Pasti bisa merangkai kata-kata indah dan
mengguncang pikiran."
"Maksudmu memukau nalar mengguncang iman?" timpal Dhinar.
Flemming tertawa lagi. "Memangnya The Da Vinci Code?"
Dhinar mengangkat alisnya. "Kamu baca buku itu juga?"
"Nggak." Flemming menjulurkan lidahnya. "cuma baca di sampulnya aja."
Sudah kuduga. "Heh! Bukannya sudah kuilang kalau tenagaku itu nggak murah?" gerutu Dhinar.
"Gue nggak minta tenaga lu kok, gue minta buah pikiranmu," balas Flemming enteng.
"Memang." bals Dhinar. "Tenagaku yang nggak murah, tapi buah pikiranku sudah bukan murah
lagi, melainkan sangat mahal."
"Matre," cibir Flemming.
"Jangan kuatir, kemarin aku udah jalan-jalan ke laut."
Flemmming tertawa. "Oke, lu minta berapa" Atau pilih mana" Gue cium atau bantuin gue bikin acara ini sampai
selesai?" ancam Flemming.
Dhinar menyipitkan mata mendengar usul Flemming yang bernada ancaman itu. Sinting!
"Iya deh," Dhinar menyerah. Entah kenapa dia sepertinya tidak pernah menang melawan
Flemming. "Tapi nggak janji, kalau kata-kataku bakal bikin proposal ini diterima ya?"
Flemming mengangguk-angguk. "Iya, iya."
"Kayaknya sih walaupun yang merangkai kata-katanya jago banget sepertinya tetep nggak baka
diterima," gumam Dhinar pelang.
"Hah" Lu ngomong apa?"
"Nggak, nggak apa-apa."
BAB 22 DUGAAN Dhinar ternyata tidak meleset. Pak Kepala Sekolah menolak proposal Flemming
mentah-mentah. Tapi tentu saja Flemming tidak menyerah begitu saja. Segera setelah penolakan
itu, dia menggalang temanya untuk berdemo menuntut diadakannya pensi di sekolah. Dan itu
relatif mudah dilaksanakan karena teman-temannya memang sudah lama menginginkan
diadakannya pensi. Bukan hanya teman-temannya, Flemming juga menggalang anak-anak kelas satu dan kelas tiga
dengan bantuan teman-temannya. Mereka berencana melakukan demo besok. Pemberitahuannya
dilakukan melalui telepon berantai dengan kewaspadaan penuh agar tidak bocor dan sampai ke
telinga para guru. Semua murid sekolah itu dihubungi, tak terkecuali Dhinar.
"Non! Ada tamu!" teriak Mbak Von dari bawah.
"Iya!" Siapa sih malam-malam begini" Pasti Flemming lagi! umpat Dhinar dalam hati.
Tetapi begitu Dhinar sampai di teras, dia terkisap karena sosok pertama yang dilihatnya adalah
Anita. "Hai," sapa Anita masam.
Dhinar masih melongo hingga tidak mampu menjawab. Kemudian matanya tertuju pada cowok
yang duduk di sebelah Anita.
Tahu dirinya diperhatikan, Flemming langsung tersenyum nakal. "Hai!"
"Ngapain kalian berdua datang ke sini?" tanya Dhinar heran.
"Ya ampun, sopan bener sepertinya," sindir Flemming.
"Udahlah, Flem, kalau sama dia sih to the point aja deh," kata Anita ketus. "Nggak ada perlunya
basa-basi, lagi pula aku udah tahu kok dia bakal jawab apa."
"Jawab?" Dhinar mengernyitkan dahi. "Emang kalian mau tanya apa?"
"Duduk dulu kenapa?" kata Flemming sambil menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. "Segitunya
nggak mau duduk di sebelah gue."
Dhinar menurut dan duduk. "Jadi" Mau tanya apa?" tanyanya sambil membetulkan letak
kacamatanya dan memandang Flemming dan Anita bergantian dengan pandangan curiga.
"Kami mau ngajak lu demo," ujar Flemming langsung ke pokok permasalahan.
"Hah" Demo?" Dhinar membelalakkan matanya. "Demo masak?"
"Iiih... ini anak bego banget sih," ejek Anita.
"Demostrasi, tahu! Kayak yang di TV itu lho."
Flemming mengangguk. "Buat menuntut diadakannya pensi di sekolah kita."
"Bukannya sudah ditolak?" tanya Dhinar.
"Makanya, kami mau demo," sahut Flemming, "Kalo diterima mah ngapain juga demo-demoan
segala." "Semua anak sudah diberitahu," tambah Anita.
"Demonya dimulai jam 6 pagi."
"Jadi maksudnya kita mogok belajar?" tanya Dhinar.
"Iya lah!" sahut Anita. "Sampai suara kita didengar sama Kepsek. Semua anak udah dikasih tahu,
tinggal kamu doang. Tadinya sih mau lewat telepon aja sama kayak yang lain, tapi pasti kamu
bakal langsung nolak. Walaupun didatangi kayak gini pun paling-paling kamu juga bakal... "
Anita tidak meneruskan ucapannya, malah membuang muka.
Dhinar menetapnya dingin.
"Kami bukan berniat mogok belajar atau mematikan aktivitas belajar di sekolah," tambah
Flemming. "Fokus demo ini cuma biar suara kita didengerin."
"Nggak ada cara yang lebih cerdas, ya?" tanya Dhinar tajam.
"Kalau lu tahu caranya, lu bisa kasih tahi kami?" balas Flemming.
Dhinar terdiam. Mulutnya terkatup rapat. Dia sedang berpikir dan menimbang-nimbang.
"Aku menolak," katanya kemudian.
Anita menghela napas lalu tersenyum sinis seakan-akan mengatkan "apa kubilang", sementara
Flemming hanya terdiam tanpa ekspresi.
"Risikonya terlalu besar buatku," tegas Dhinar.
"Ya sudah," kata Flemming sambil bangkit berdiri.
"Kalau itu memang keputusan lu."
Anita ikut bangkit, tetapi Dhinar masih duduk tak bergerak di kursinya.
"Gue nggak bakalan maksa," lanjut Flemming. "Acara ini diadakan bukan karena paksaan, tapi
lebih untuk memenuhi keinginan sendiri. Jika setelah berpikir masak-masak dan bertanya pada
diri sendiri lu masih merasa nggak menginginkan acara ini, nggak apa-apa.
Gue sadar tiap orang punya pendapat yang berbeda and gue menghormati itu. Gue pulang dulu,
pamitin ke ortu lu. Yuk, Nit."
Anita mengangguk lalu berjalan mengikuti Flemming.
Dhinar masih terduduk, banyak hal memenuhi kepalanya setelah mendengarkan kalimat terakhir
Flemming. Flemming walaupun slengekan dan nggak jelas, ternyata mampu memengaruhi pikiran orang
lain. Di teras, malam itu, Dhinar menghabiskan waktu merenungi semua ucapan Flemming. Dia mulai
bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Bernakah dia tidak menginginkan pensi itu" Selama
hidupnya, pernakah dia memiliki keinginan sendiri" Dan pernakah keinginan itu didengar"
Akhirnya dia menemukan jawabannya: TIDAK.
*** Pagi-pagi sekali di sekolah anak-anak sudah ribut tentang persiapan demo, apalagi di kelas
Dhinar, tempat biang keroknya berada.
Flemming naik ke meja guru lalu berseru. "Kalian sudah siap?""
"YAAA!" jawab anak-anak serempak. Dhinar berusaha tidak mengacuhkannya.
"We have to fight for our ringhts!" teriak Flemming menggebu-gebu, yang langsung disambut
teriakan riuh rendah seisi kelas.
Heh" Kayak perang kemerdekaan '45 aja, pikir Dhinar.
Bel tanda masuk sekolah berbunyi, seketika suasana hening dan mereka semua menoleh ke arah
Flemming meminta petunjuk.
Flemming mengangguk. "It's time!" Dia berjalam ke luar kelas menuju lapangan diikuti
temannya satu persatu. Ketika melewati Dhinar, dia berbisik ke telinganya.
"Sampaikan kapan lu mau menjalani hidup membosankan seperti itu?"
Dhinar tertegun dan menelan ludah. Apa maksudnya"
Tak lama kemudian tinggal tujuh orang yang tersisa di dalam kelas, termasuk Dhinar. Dari
jendela, Dhinar bisa melihat tiga perempat penghuni sekolah berumpul di lapangan depan sambil
mengacung-acungkan spandul, menuntut diadakannya pensi.
Jam pertama di kelas Dhinar adalah Fisika. Pak Edi masuk sambil geleng-geleng.
"Anak-anak sekarang memang hebat-hebat," katanya sambil tersenyum. Dia memandang muridmuridnya yang masi tinggak di kelas. "Kalian kok nggak ikut demo?" tanyanya.
Dhinar dan keenam temannya melongo.
Mengerti kebingungan murid-muridnya, Pak Edi langsung menambahkan, "Kalau saya masih
seumur kalian, pasti saya sudah menjadi salah satu dari anak-anak yg sekarang berada
dilapangan sana." Dhinar mengernyitkan dahi. Aneh bener guru yg satu ini.
Pak Edi memandang Dhinar sambil tersenyum seakan bisa membaca apa yang sedang
dipikirkannya. "Saya dulu tukang bolos lho," katanya. "Tukang palak, langganan dihukum, bahkan hampir diDO. Kalian percaya?"
Ketujuh murid itu serempak menggeleng. Pak Edi salah satu guru teladn tingkat nasional dan
pernah mendapat kesempatan mengikuti program pengembangan guru di Australia. Bahkan
gosipn sebenarnya dia bisa diterima di ITB, tetapi karena panggilannya hatinya adalah mengajar,
dia memilih menjadi guru. Jadi mana mungkin mereka percaya orang seperti itu tadinya anak
nggak bener" "Bener lho," kata Pak Edi mencoba meyakinkan. "Tapi saya juga punya tujuan yang ingin
dicapai, yaitu menjadi guru. Dan saya fokus pada tujuan itu hingga akhirnya bisa seperti
sekarang. Tapi saya tidak menyesal telah melakukan hal-hal buruk saat sekolah dulu. Sama
sekali tidak. Semua yang saya alami itu telah menjadi bagian hidup saya. Malah saya bersyukur
melakukan apa yang telah saya lakukan kerena saya tidak mungkin melakukannya saat ini, saat
umur saya bertambah. Kadang2 saya tertawa sendiri kalau mengingat-ingat masa itu."
"Berarti Bapak menyuruh kami bolos dan malak?" tanya Edhu.
"Ya nggak lah," Pak Edi tertawa. "Kecuali kalian bisa tidak terjerumus dan tetap punya tujuan yg
benar seperti saya."
Edhu tertunduk malu. "Yang ingin saya katakan," Lanjut Pak Edi, "Kalian nikmati masa muda kalian ini. Waktu tidak
bisa diputar lagi, jangan sampai kalian menyesal karena ada hal-hal yg bisa dilakukan pada saat
kalian masih muda. Seperti demo sekarang, misalnya. Di mata saya tidak ada yg salah. Kalian
berhak mengeluarkan pendapat, menuntut hak kalian untuk mendapat perhatian dari sekolah.
Sejarah hidup kalian sedang diukir lho, jadi jangan hanya hal-hal membosankan yg dipahat."
Pak Edi menghela napas lalu menatap tajam ketujuh murid di depannya. "Pesan saya," katanya
dengan nasa serius, "be part of it, kalau kalian memang ingin memiliki masa muda yang indah
bersama teman2. Jangan takut mengambil resiko."
Dhinar dan teman-temannya terdiam, merenungi kata-kata Pak Edi. Dhinar menoleh lagi ke arah
teman-temannya yang sedang berdemo di lapangan, wajah mereka tampak berseri-seri dan
bahagia. Tentu saja! Karena mereka menikmatinya. Mereka menikmati apa yang mereka
lakukan. Mereka sedang mengukir sejarah mereka dengan sesuatu yang indah, yang akan
membuat mereka tertawa atau tersenyum saat mereka mengingat-ingatnya lagi kelak.
Dhinar memandangi mereka dengan iri.
Pak kepala Sekolah, diikuti beberapa guru, tiba-tiba muncul dari pintu dan masuk ke kelas
Dhinar. Matanya terbelalak melihat hanya ada tujuh orang di kelas. Dia mengenali Dhinar, anak
kesayangannya, lalu tersenyum padanya. Atas dasar kesopanan, Dhinar pun membalas
senyumnya. Pak Kepala Sekolah berdehem sebelum bicara, "Saya mengacungkan jempol buat kalian,"
katanya. "Jangan ikuti teman-teman kalian yang nggak bener itu."
"Pak..," Pak Edi ingin menyela kata-kata Pak Kepsek, sepertinya tidak setuju murid-muridnya
disebut "Nggak bener". Tapi guru-guru yang mengikuti Pak Kepsek mencegahnya dan
menyuruhnya diam. "Meraka tidak tahu apa yang terbaik buat mereka,"
Pak Kepsek meneruskan ucapannnya. "Kami, pihak sekolah, yang tahu. Mereka tahunya hanya
bersenang-senang. Kelak mereka pasti menyesal telah melakukan hai ini."
Menyesal" batin Dhinar. Sepertinya tidak.
*** Di luar, Flemming dan teman-temanya tetap bersikukuh pada pendirian mereka walaupun
beberapa guru mulai mengeluarkan ultimatum.
"Kalau kalian tidak segera masuk kelas, kalian akan di-DO!"
"Apa yang kalian lakukan" Hanya demi pensi kalian mengorbankan masa depan kalian?"
"Jika tidsk segera membubarkan diri, sebentar lagi kami akan menelpon orangtua kalian semua,
dan mungki juga polisi!"
Satpam sekolah pun ikut-ikutan mengintimidasi, tapi Flemming bergeming. Begitu juga temantemannya.
*** "Sebenarnya apa sih gunanya pensi?" kata Pak Kepsek.
"Cuma hura-hura begitu saja. Yg penting buat kaliam itu mendapatkan pendidikan. Belajar,
belajar, dan belajar biar masa depan kalian cerah."
Sebagian teman-teman Dhinar mulai terpengaruh dan mengangguk-angguk.
"Lihat saja, yg ikut demo pasti akan menyesal,"
tambah Pak Kepsek dengan nada mengancam. "Dan biang keroknya akan saya keluarkan dari
sekolah. Saya sudah tahu orangnya."
Dhinar terbelalak, dia langusng menoleh ke seberang jendela untuk melihat Flemming.
Flemming akan dikeluarkan!
"Dan kalian," Pak Kepsek memandang anak-anak depannya satu per satu sambil tersenyu
senang, "tentu saja kalian akan saya beri penghargaan. Kalian tahu kenapa" Karena kalian
melakukan hal yang benar."
Wajah anak-anak yg masih berada di kelas langsung menjadi cerah kecuali Dhinar. Dia tertegun
mendengar kalimat terakhir yg diucapkan Pak Kepsek. Di telinganya langsung terngiang kata2
yg tadi dibisikin Flemminh kepadanya.
"Sampai kapan lu mau menjalani hidup membosankan seperti itu?"
Dia pun teringat Dinar, Sapu, dan anak-anak Genki Ji. Bagaimana mereka denagn bangga
mengatakan mereka menyukai anime dan manga tanpa memedulikan pandangan orang,
bagaimana mereka memaknai hidup mereka dengan melakukan apa yang mereka sukai, tak
peduli benar atau salah. Toh bener atau salah itu subjektif alias berbeda-beda untu setiap orang. Mengapa dia harus
menuruti apa yg "benar" menurut pendapat orang kalau dia sendiri sudah tahu yg "benar" bagi
dirinya sendiri" *** Pak Kespek tersenyum puas. Semula ketika dia diberi tahu bahw ada demo menuntut
diadakannya pensi, dia sempat khawatir murid2 terbaiknya juga ikut berdemo. Akhirnya dia
memutuskam untuk inspeksi dari kelas ke kelas lain. Memang ada beberapa murid unggulan yg
ikut berdemo, tetapi yg tidak ikut berdemo juga lumayan banyak. Ia lega mendapati Dhinar,
murid kesayangannya, masih duduk manis di kelas. Sekarang dia bisa menghukum semua murid
yg ada dilapangan dan men-DO siprovokator tanpa beban.
Kenapa juga dulu aku mau menerima murid pindahan dari Jakarta itu, umpatnya dalam hati.
Ketika dia hendak pergi, Dhinar tiba-tiba berdiri, lalu berjalan menuju pintu.
"Lho Dhin mau ke mana?" tanya Pak Kepek heran.


She Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bergabung dengan mereka," jawab Dhinar singkat.
"A,... apa"!" tanya Pak Kepsek.
"Saya akan bergabung dengan mereka," ulang Dhinar.
"Kalau bapak mau menghukum yang berdemo beraryi Bapak juga harus menghukum saya."
Pak Kespsek melongo. "Dan kalau Bapak mau mengeluarkan si biang kerok," tambah Dhinar. "Bapak juga harus
mengeluarkan saya, karena saya ikut merancang proposal acara seumber demo itu."
Pak Kepsek langsung melotot, mulutnya menganga.
"Saya permisi dulu, Pak, saya harus segera ke lapangan," kata Dhinat. Dia sempat menoleh ke
arah Pak Edi, yang langsung mengacungkan jempolnya. Dhinar membalas senyumnya.
Kemudian dengan langkah pasti dia berjalan ke tengah lapangan, tempat demo di lakukan.
*** "Flem, kok masih belum ada tanggapan?" tanya Anita mulai resah.
"Sabar aja," hibur Flemming sambil memasang senyum 100.000 voltnya. Kontan Anita langsung
bersemu merah dan mengangguk.
"HEH! LIHAT ITU!" seru salah seorang anak.
Flemming menoleh ke arah yang ditunjuk anak itu. Dia melihat Dhinar berjalan ke arahnya
sambil tersenyum. Suasana pun langsung berubah riuh. Kedatangan Dhinar seperti memberikan secercah harapan
untuk mereka. "Apa yang membuatmu berubah pikiran?" tanya Flemming sambil tersenyum senang.
"Karena aku tergiur bayaran mahal yang kautawarkan," jawab Dhinar sambil tersenyum licik.
"Ingat, tenagaku nggak murah dan pikiranku sangat mahal."
Flemming balas tersenyum. "Beres, gue bahkan bakal nambahin bonus ciuman."
"No, thanks." Dhinar lalu menoleh ke Anita yang langsung tersenyum kepadanya.
"Selamat datang teman," sambut Anita dengan terentang.
Dhinar tersenyum. "Terima kasih." Mereka pun berpelukan. Tidak lama kemudian Dhniar sudah
dikerubuti teman-temanya seakan mereka baru bertemu lagi setelah sekian lama berpisah. Dhinar
sampai hampir menangis kerena memang sudah lama dia ingin diterima dan merasakan
kehangatan persahabatan seperti ini.
Flemming hanya bisa melihat sambil tersenyum.
Mission accomplished, katanya dalam hati.
BAB 23 PAK KEPSEK memandangi kedua muridyang duduk di depannya secara bergantian dengan
resah. Sudah hampir sepuluh menit mereka berada di ruangan itu tanpa ada yang bicara.
"Ehem," Pak Kepsek mulai berdehem lagi entah untuk yang keberapa kalinya. "Saya sudah
membaca proposal kalian."
Dhinar dan Flemming berpandangan. Mereka berdua diminta mewakili teman-teman berunding
dengan Pak Kepsek tentang kemungkinan diadakannya pensi di sekolah.
"Saya..." pak Kepsek sekali lagi memandangi Dhinar dan Flemming. "Saya sebenarnya setuju
saja diadakan pensi ini, tapi..."
"Tapi apa Pak?" tanya Flemming.
"Sejak dulu belum pernah ada pensi di sekolah ini."
"Lalu?" "Saya tidak mungkin mengubah tradisi," kilah Pak Kepsek.
Flemming tersenyum. "Siapa bilang tidak mungkin, Pak" Justru Bapak bisa jadi pelopor dan
kelak akan dikenang para murid sebagai pendobrak tradisi."
Sial, tidak ada alasan yang lebih bagus, gerutu Pak Kepsek dalam hati. Tapi tiba-tiba dia
mendapat ide. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan sambil tersenyum penuh kemenangan.
"Saya sebenarnya bisa saja mengizinkan pensi itu," katanya "Tapi tidak ada tanggal yang tepat.
Acara apa pun pada hari sekolah jelas tidak diizinkan. Tanggal yang memungkinkan sudah
penuh oleh acar-acara lain seperti lomba, open hause, dan sebagainya. Jadi maaf saja, bukan
maksud saya menghalang-halangi, tapi memang begitulah keadaannya."
"Hari ulang tahun sekolah?" Flemming masih tidak menyerah.
Pak Kepsek tersenyum. "Acara ulang tahun sekolah sudah di persiapkan jauh-jauh hari. Tidak
ada musik, hanya lomba dan reuni."
Sialan! umpat Flemming dalam hati. Sekarang bagaimana dong"
"Saat kelulusan murid-murid kelas tiga, kami diliburkan kan, Pak?" tanya Dhinar tiba-tiba.
Flemming lansung menoleh ke arahnya sambil mengernyitkan dahi.
Pak Kepsek mengangguk, masih tersenyum, merasa di atas angin.
"Kenapa kita tidak pakai momen itu saja?" usul Dhinar.
Pak Kepsek dan Flemming membelalakkan mata.
"Selama ini upacara kelulusan selalu menjadi acara yang membosankan," jelas Dhinar. "Hanya
berisi pidato, pemberian penghargaan, lalu pulang. Begitu terus setiap tahun. Padahal menurut
saya, kelulusan seharusnya menjadi momen yang akan kita kenang seumur hidup. Dan saya rasa
pensi bisa ikut ambil bagian dalam membangun kenangan itu. Jika Bapak tidak memercayai
saya, Bapak bisa membuat angket tentang hal ini untuk anak-anak kelas tiga. Saya yakin mereka
akan berpendapat sama."
"Dengan pensi juga,m loyalitas mereka terhadap almamater yang sebentar lagi mereka
tinggalkan juga akan bertambah," tambah Dhinar. "Dengan mengikat saat kelulusan mereka,
mereka akan teringat masa-masa mereka menghabiskan waktu di sekolah ini, mengingat apa
yang telah sekolah ini berikan, dan tentu saja mereka akan mengingay Bapak yang telah
memberikan semua kebahagian itu untuk mereka."
Bahu Pak Kepsek langsung melorot. Setelah menghela napas, dia berkata sambil tersenyum,
"Kamu memang pantas jadi juara debat."
Dhinar tersenyum. "Terima kasih, Pak"
"Jadi bagaimana keputusaannya, Pak?" tanya Flemming tidak sabar. Pak Kepsek berpikir
sejenak, lagi-lagi sambil memerhatikan Dhinar dan Flemming secara bergantian.
"Tinggal empat bulan lagi," katanya kemudian.
Dhinar dan Flemmming berpandangan bingung.
"Maksud Bapak?" tanya Dhinar.
"Kelulusan anak-anak kelas tiga tinggal empat bulan lagi," jelas Pak Kepsek. "Jadi waktu kalian
untuk menyiapkan pensi itu cuma empat bula!"
Senyum Dhinar dan Flemming lansung merekah.
"Kalau begitu kami permisi dulu, Pak," kata Flemming sambil merapikan kursi yg baru saja
didudukinya. "Dan terima kasih banyak!"
Pak Kepsek tersenyum. "Acaranya harus bagus ya, jangan kecewakan saya," pesannya.
Dhinar dan Flemming serempak menjawab, "Siap, Pak!"
"Oh ya Pak," kata Dhinar, tepat pada saat dia hendak memegang pengangan pintu.
"Ya?" "Apakah kami... akan dikeluarkan?" tanya Dhinar agak khawatir.
Pak Kepsek terdiam sambil menatap tajam selama beberapa saat. Kemudian dia mendesah.
"Kalau saya mengeluarkan kalian pasti akan ada demo lagi, saya bisa pusing berhari-hari."
Dhinar meringis. "Tapi tetap akan ada hukuman," ancam Pak Kepsek dengan wajah serius.
Dhinar dan Felmming menelan ludah.
"Melalui pensi ini, kalian harus membuat sekolah kita terkenal!" perintah Pak Kepsek. "Itu
hukumannya." Lalu seulas senyum kebapakan tersungginh di wajahnya.
Dhinar mengangguk senag. "Pasti, Pak," janji Flemming.
*** "Gue jatuh cinta," ujar Flemming begitu merela keluar dari ruang sekolah. "Tadi lu bener-bener
mengagumkan." "Thanks," Jawab Dhinar dingin sambil membetulkan letak kacamatanya.
Flemming meringis. "Jadi, gimana rasanya?"
"Apanya?" "Rasanya 'memberontak'?" tanya Flemming. "Ini pertama kalinya lu mengambil resiko seperti
ini, kan?" Dhinar diam sejenak. "Yah, lumayan."
"Thrilling and defitely exciting?"
"Pokoknya aku minta balasan setimpal atas semua jerih payah ku ini!" Dhinar menolak
menjawab. "Anything." Flemming menyeringai.
"Heh, kenapa sih kamu ngotot benget pengin ngadain acara pensi ini?" tanya Dhinar heran.
"Everithing I do, I do it for you," jawab Flemming sambil tersenyum nakal.
"Oke, Bryan Adams, then why do you do it for me?"
Flemming mengangkat bahu. "Mungkin kerena gue tertarik sam lu."
"Wah! Terima kasi! Aku merasa tersanjung!" seru Dhinar dengan mata berbinar-binar. Tapi
sejurus kemudian air mukanya berubah lagi menjadi dingin seperti biasa. "Itu kan reaksi yang
kauharapkan?" Flemming cuma tertawa. "Pulang sekolah mau pergi ke mana" Gue traktir makan yuk buat
ngerayain keberhasilan kita ini," ajak Flemming.
"Sori, aku sudah ada acara," jawab Dhinar.
"Ooh, boleh tahu nggak acara apa?"
"Nggak," jawab Dhinar singkat.
"Sadis!" komentar Flemming.
"Emang." "Kalau lu dingin begini terus, nggak bakalan ada cowok yang mau sama lu lho," ancam
Flemming. "Lho, bukannya barusan kamu bilang kam tertarik sama aku?" Dhinar memandangnya sambul
tersenyum kemenangan. Flemming langsung terdiam. Kena dia!
"Beneren nih acara apaan?"
"Beneran nih acara apaan?" Flemming mengalihkan pembicaraan. "Kalau mau, bisa gue anterin."
"Anterin pake angkot?" ejek Dhinar, mengingat selama ini Flemming memang pulang pergi naik
angkot. "Gue bawa motor kok."
Dhinar mengangkat alis. "Tumben."
"Insting," jawab Flemming sambil nyengir. "Mau gue anterin, kan?"
Dhinar pura-pura berpikir lalu menatap menjawab. "Nggak ah,"
Flemming hanya tersenyum mendengar jawaban Dhinar. Dhinar punya firasa nggak enak akan
hal itu. Biasanya kalau Flemming sudah memasang senyum seperti itu, cowok itu punya rencana
busuk. Benar saja, setelah semua murid pulang dan Dhinar baru saja kembali ke kelas dari ruang guru
karena dimintai bantuan oleh Pak Edi, dia mendapati tasnya sudah hilang. Dhinar bergegas
menuju lapangan parkir. Di sana dia melihat Flemming sedang duduk di atas sepeda motornya, tersenyum penuh
kemenangan sambil membawa tasnya. Dhinar menghela napas panjang lalu berjalan malas ke
arah Flemming. Tanpa berkata apa-apa, Flemming menepuk jok belakang sepeda motornya. Dhinar lalu menurut,
demi mendapatkan tasnya kembali dengan utuh.
"Ke mana kita?" tanya Flemming sambil menyalakan mesin motornya.
"Kamu kayak anak kecil banget sih!" protes Dhinar.
Flemming hanya nyengir. Tidak lama kemudia sepeda motor yang mereka tumpangi pun melaju
meninggalkan sekolah. "Hoi, kalau nggak cepet dijawab kita mau kemana, gue bawa lu puter-puter simpang lima lho!"
ancam Flemming. "Kertanegara," jawab Dhinar kesal.
"Mana tuh?" "Yee! Pengin nganterin tapi nggak tahu jalan," ejek Dhinar.
"Yang penting kan niat baiknya," kilah Flemming.
Dhinar terdiam selama beberapa saar lalu mendesah.
"Ini lurus aja, terus belok kiri," katanya pada akhirnya.
Flemming pun tersenyum. *** "Ini tempat kursus, ya?" tanya Flemming begitu mereka sampai di tempat tujuan.
"Yup!" jawab Dhinar singkat seraya turun dari sepeda motor Flemming.
"Selesai kursus jam berapa?" tanya Flemming.
Dhinar menyipitkan mata. "Gue jemput, ya?"
Dhinar mendengus lalu berjalan menuju pintu masuk
Dhinar mendengus lalu berjalan menuju pintu masuk tanpa berkata apa-apa.
"Diem berarti iya lho!" seru Flemming.
Dhinar tak menoleh. "Kalau gitu gue tunngu lu di sini aja!" seru Flemming lagi.
Tunggu saja sampai lumutan! batin Dhinar sambil berjalan masuk melewati pintu depan.
"Dhinar-san, Dhinar-san."
"Hmm?" Dinar menoleh.
"Jadi datang ke Party Pake J?" tanya Dinar ketika kursus sudah dimulai.
Dhinar mengangkat bahu. "Belum tahu, memang kenapa?"
"Chotto matte- tunggu sebentar." Dinar merogoh tasnya lalu mengambil segepok tiket.
"Harganya tujuh ribu lima ratus selembar," kata Dinar sambil meringis dan mengacungacungkan tiket di tangannya.
"Oalah, ini acara pemasaran, ya?"
"Bukan kok," elak Dinar. "Cuma permintaan dengan sedikit paksaan hehehe."
"Iya! Beli dong!" tiba-tiba Arief berseru dari belakang.
"Toh ini acaramu juga. Kan kamu ikut sumbang sara! Tiket model stiker ini saranmu juga lho!"
"Bener! Bener!" Ardhi ikut-ikutan nimbrung.
"Ya ampun, kok jadi main keroyokan gini sih?" Dhinar mengernyitkan dahi.
"Salah satu strategi pemasaran. Hehehe." Ardhi meringis.
"Iya, kalau nggak beli akibatnya gawat, Dhin," kata Arief sok serius. "Belum pernah dicium
banci, kan?" Dia lalu menepuk Ardhi. "Dhi, cium!"
"Kurang ajar lu!" sembur Ardhi.
Dhinar, Dinar dan Arief langsung tertawa, yang mungkin nggak akan berhenti kalau Pak Inos
nggak mendadak masuk dan berteriak, "Kimitachi! Shizukani- kalian! Tenanglah!"
"Gomennasai, sensei- maaf Pak!" jawab mereka serempak.
*** Flemming sudah menunggu di luar selama hapir satu setengah jam. Tidak lama kemudian sebuah
sepeda motor berhenti tepat di sebelah motornya. Seorang cowok tinggi, kurus, dan berambut
cepak turun dari sepeda motor itu lalu duduk di sebelah Flemming, di teras depan tempat kursus.
Flemming hanya menoleh ke arah cowok itu sekilas.
Cowok di sebelahnya itu pun tampaknya tak peduli dan sepertinya memang tipe introver.
Tiba-tiba setelah melihat jam tangannya, cowok cepak itu bangkit dari duduknya berjalan ke arah
pintu. Flemming mengangkat alis. "Oi!" panggil Flemming.
Cowok itu terus berjalan.
"OOIII!" Flemming memperkeras suaranya.
Cowok itu menoleh. "Maksudmu aku?" tanyanya.
"Iya, lu," kata Flemming. "Mau jemput juga?"
Cowok itu mengangguk. "Yang kursus bahasa Jepang?"
Cowok itu mengangguk lagi.
Ini orang bisa ngomong nggak sih"! "Selesainya jam berapa?" tanya Flemming.
"Sudah selesai," jawab cowok itu singkat. "Sebentar lagi juga keluar."
Tapi cowok itu benar. Karena beberapa menit kemudian mulai keluar satu persatu anak-anak
yang sepertinya murid tempat kursus itu. Dimulai dari seorang cewek pendek berambut sebahu,
lalu cowok pendek kurus, lalu cewek berambut yang dicat kuning jeruk,
lalu... Wuih! Warna kuning jeruuuk! Flemming hampir tidak bisa memercayai hingga tidak sadar
mulutnay terbuka dan wajahnya jadi tampak bodoh. Dia bahkan sampai tidak sadar dibelakang
cewek berambut kuning itu ada Dhinar.
"Eh, kamu kenapa?" tanya Dhinar ingin tahu.
Flemming tersentak seakan baru saja disadarkan dan mengerjap-ngerjapkan matanya.
Dhinar mengangkat alis lalu menoleh ke arah yang dipandang Flemming. Lalu seakan mengeri
keheranan Flemming, ia berkata, "Aku juga spertimu waktu pertama melihatnya."
"Dhinar-san!" Cewek berambut kuning itu berjingkat lucu ke arah Dhinar. "Gimana..." Dia
berhenti karena menyadari kehadiran Flemming. Setelah mengamati cowok itu, dia menoleh ke
arah Dhinar sambil tersenyum nakal dan berkata, "Neee, kareshi ka-cowokmu ya?"
"CHIGAU-BUKAN!" jawab Dhinar
"CHIGAU-BUKAN!" jawab Dhinar meringis, lalu menoleh lagi ke arah Flemming sambil
menyodorkan tangannya. "Kenalin," katanya. "Namaku Dinar, tapi nggak pake 'H' lho! But aku
lebih seneng dipanggil Ale!"
Flemming tersenyum lalu menjabat tangan Dinar.
"Flemming." "Pacarnya Dhinar-san?"
Flemming nyengir lalu merangkul Dhinar. "Ya gitu deh."
Kontan Dhinar langsung menepis rangkulan Flemming.
"Dream o." "Wah mesra sekali!" seru Dinar.
"Mesra dari Hongkong"!" teriak Dhinar seketika.
"Oh ya, kukenalin cowokku ya." Dhinar menarik tangan cowok berambut cepak yang tadi
disamping Flemming. "Hai," kata cowok itu sambil mengangkat alisnya.
Padahal Flemming sudah menyodorkan tangannya.
Sialan! umpat Flemming dlm hati. "Hai juga," kata Flemming sambil menarik kembali uluran
tangannya. "Oh ya, Flem," kata Dinar. "Mau datang ke acara Party Pake J nggak?"
"Apa tuh?" "Acata musik biasa, tp khusus mainin lagu2 Jepang."
"Lagu2 Jepang?"
"Iya! Nggak suka ya?"


She Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Flemming terdiam. Sebenarnya dia memang tdk begitu suka lagu2 Jepang. Tapi Ale tidak mau
menyerah begitu saja, bahkan seperti mendapat wangsit, dia menemukan satu cara memaksa
calon pembelinya itu. "Dhinar juga mau dateng lho! Dia sudah beli satu tiket dan janji mau datang!"
"Oh ya?" Flemming mengangkat alis, lalu menoleh ke arah Dhinar yg langsung mendesah dan
memutar bola matanya. "Kalau begitu aku beli juga!" Flemming mengeluarkan dompetnya.
"Siiip!" Dinar meringis.
Ketika mereka berdua sdng asyik bertransaksi, Erwan menghampiri Dhinar. "Aku nemu novel
bagus lagi," kata Erwan.
"Apa?" tanya Dhinar antusias.
"Across the Nightingale Floor," jawab Erwan. "Tentang klan Otori. Trilogi sih, tapi bagus kok"
"Nonfiksi?" "Fiksi. Mana Klan Otori di Jepang."
"Lho, kali aja" Dhinar mengangkat bahu. "Ceritanya gimana?"
"Yah... kalau aku cerita, ga bakal seru lagi pas kamu baca nanti"
"Cerewet, cerita aja kenapa sih?" gerutu Dhinar.
"Harga suaraku nggak murah"
"Emang. Berarti gratis kan?"
Erwan tertawa. Dia menyerah lalu mulai bercerita.
Flemming melihat mereka berdua dgn perasaan aneh. "Eh, cowokmu bisa ketawa jg ya?" tanya
Flemming. Dinar mengangguk sambil pura2 menghitung hasil penjualan tiket. "Tp tertawa yg sprt itu jg
baru kulihat akhir2 ini"
"Eh?" "Ketika dia ngobrol dgn Dhinar"
Flemming terdiam Dinar menghela napas. "Sepertinya mereka cocok"
Lalu dia mendongak menatap Flemming sambil tersenyum getir. "Jgn tersinggung ya, karena aku
sndiri yg merasa begitu, Setiap kali melihat mereka mengobrol, sepertinya akrab sekali sampai
rasanya gimana... gitu"
Flemming menelan ludah. Entah mengapa dia sepertinya sependapat dgn Ale. Tiba2 ia merasa
sakit hingga ke ulu hati, sesuatu yg tak pernah ia rasakan sebelumnya.
BAB 24 Ada yg aneh pada Flemming, pikir Dhinar. Gimana nggak aneh, sepanjang perjalanan pulang
cowok itu diam saja, tanpa ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Bahkan begitu mereka
sampai di depan rumah Dhinar, Flemming masih bungkam seribu bahasa dan langsung ngacir
pulang ke rumahnya. Dhinar hanya bisa mengangkat alis melihatnya.
Malam harinya, ponsel Dhinar berdering.
"Halo," jawab Dhinar.
"Hai, Dhin" "Kenapa, Flem?"
"Boleh main ke rumah lu, nggak?"
"Tumben minta izin dulu" sindir Dhinar, tapi tak ada tanggapan dari Flemming. "Iye, iye boleh.
Mau main apa" Dakon" PS" Poker atau Catur" Monopoli juga ada."
"Gue lagi nggak mood ngelucu."
"Wah, kamu punya mood juga ya?"
Tidak ada tanggapan. Dhinar mendesah. "Kayaknya kamu bener-bener lagi bete ya" Kalau gitu kutarik lagi katakataku. Kamu dilarang keras menginjakkan kaki ke rumahku sebelum mood-mu membaik."
"Eh..." Flemming sudah hendak nggak enak?" jelas Dhinar. "Udah deh, nggak usah aja."
Flemming menghela napas. "Bener juga."
"Ada apa sih?" "Nggak, nggak ada apa-apa, cuma masalah sepele kok."
"Apa?" "Acara pensi." "Lho, bukannya panitianya sudah dibentuk?"
"Iye, makanya gue bilang masalah sepele," sahut Flemming. "Eh, jadi datang ke acara Party Pake
J?" "Entah," jawab Dhinar.
"Lu memang seneng lagu Jepang, ya?"
"Yah... cuma yg jadi soundtrack aja sih," kata Dhinar.
"Tapi alasan utamaku mau datang karena anak Genki Ji-nya."
"Genki Ji?" "Yang bikin acara itu," jelas Dhinar. "Perkumpulan pencinta komik dan kartun Jepang gitu deh."
"Kamu deket dengan mereka?"
"Baru2 ini saja. Mereka ramah dan baik, enak di ajak ngobrol pula. Seperti Ale, Erwan..."
"Kamu deket sama Erwan, ya?" potong Flemming ketus.
"Emang," jawab Dhinar seadanya. "Dia keren, pinter, dan wawasannya luas."
"Tipemu?" "Nggak tahu juga sih. Yang pasti tipeku bukan seperti km yg suka tebar pesona pada semua
cewek." KLIK! Flemming menutup teleponnya.
Dhinar memandangi ponselnya dengan heran. "Dasar orang aneh yg nggak sopan!!!"
*** Flemming membanting poselnya ke kasur.
"SIALAAAN!" teriaknya. Lalu dia mulai mengatur napas untik mengendalikan emosi. Dan
setelah berhasil menguasai diri, dia malah mendapati dirinya bingung dan terheran-heran
mengapa dia harus sekesal itu. Mungkin karena ini pertama kalinya dia benar-benar
memerhatikan seorang cewek, padahal cewek itu sama sekali bukan tipenya.
Dia merasa tidak ada yang boleh akrab dengan Dhinar selain dirinya. Dia tidak pernah
mengalami hal seperti ini sebelumnya. Yang pasti dia sangat tidak suka perasaannya ini.
Perasaan marah dang ingin memukul Erwan ketika cowok itu terlihat akrab dengan Dhinar.
Masa sih dia... cemburu"
*** Beberapa hari ini sikap Flemming bener-bener sangat aneh. Dia tidak lagi murah senyum dan
tebar pesona pada cewek-cewek yang ditemuinya, tidak juga pada teman sekelas ceweknya.
Sekarang dia tampak cool, pendiam, dan misterius. Herannya, perubahannya ini bukannya
membuat para fansnya lari, tapi justru nambah!
Di antara semua anak, mungkin cuma Dhinar yang paling biasa-biasa saja menanggapi
perubahan ini. Dia pikir paling-paling Flemming cuma sedang mempraktikan salah satu jurus
barunya untuk menggaet hati cewek-cewek. Dhinar sibuk membantu panitia pensi membuat
acara, apalagi dia disuruh menyampaikan sambutan perwakilan anak-anak satu dan dua.
"Eh," Flemming membuka percakapan ketika mereka berdua berjalan di koridor. Mereka hendak
menghadap Kepala Sekolah untuk memberitahu kemajuan persiapan acara.
"Hmm?" "Mau pergi ke Party Pake J bareng gue?"
"Tergantung." "Tergantung apa?" Flemming mengernyitkan dahi.
"Tergantung kamu menerima kata 'TIDAK' atau nggak."
Flemming meringis. "Nggak."
"Tuh kan." Dhinar mendesah. "Omong-omong, kamu lagi sakit, ya?"
"Wah! Lu perhatian banget!" komentar Flemming senang.
"Aaa... nggak kok, cuma agak aneh aja ngelihatnya."
"Aneh apa maksudnya?"
"Nggak seperti Flemming si playboy yang sangat biasanya."
Flemming hanya tersenyum kecut.
Mereka sudah sampai di depan pintu ruang Kepala Sekolah.
Sebelum Flemming membuka pintu, dia menoleh ke arah Dhinar lalu berkata, "Lu bilang lu
nggak suka sama cowok yang senang tebar pesona."
Dhinar mengangkat alis. "Oh, jadi itu demi aku?"
Flemming mengangguk, berharap mendapatkan pujian kek, terima kasih kek, atau apa kek...
"Wah, thanks ya. Aku tersanjung," kata Dhinar datar.
Flemming menyepitkan mata. "Dasar lu tuh!" Lalu dia memutar kenop pintu dan membukanya.
*** Tok! Tok! Tok! "Masuk," sahut Dhinar dari dalam kamar.
Pintu dibyka dan kedua orangtuanya masuk. Dari wajah mereka Dhinar tahu ada yang tidak
beres. "Dhin, Mama dan Papa mau bicara," kata Mama dingin.
Dhinar menelan ludah. "Tentang apa?"
Mama duduk disebelahnya di tempat tidur, sedangkan Papa duduk di kursi tepat di depannya.
"Tadi siang Mama mendapat laporan dari wali kelasmu. Katanya kamu ikut demo atau
semacamnya," kata Mama. "Apa itu benar?"
Dhinar mengangguk. "Wali kelasmu juga bilang, mungkin ini gara-gara kamu dipengaruhi murid baru."
Murid baru" Dhinar mengernyitkan dahi. "Flemming?"
"Oh... jadi itu namanya?" kata Papa.
"Dia kan tetangga baru kita," jelas Dhinar.
"Dhin," kali ini Papa tampak serius, "demi kebaikanmu, mulai saat ini Papa melarangmu bergaul
dengan Flemming." Dhinar tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Kenapa?"
"Lihat! Lihat perubahanmu sejak kamu berteman dengan anak itu," kata Papa dengan nada
tinggi. "Dulu kamu bahkan tidak pernah bertanya 'kenapa' setiap kali Papa menyuruhmu
melakukan sesuatu. Sekarang, lihat! Kamu juga jadi ikut-ikutan demo yang nggak jelas
tujuannya gara-gara dia."
"Kami berdemo agar sekolah mau mendengarkan keinginan kami untuk mengadakan pensi!"
Dhinar merasa dirinya mulai emosi. "Dan itu nggak ada hubungannya dengan Flemming! Aku
sendiri yang mau melakukannya!"
"Jangan berteriak pada Papa!" bentak Papa. "Kamu benar-benar sudah berubah!"
"Aku tidak berteriak!" jerit Dhinar. "Kenapa sih" Kenapa kalian selalu mengaturku" Kenapa
Papa dan Mama tidak pernah membiarkan aku melakukan keinginanku" Bahkan sekarang pun
kalian mengatur dengan siapa aku harus berteman!"
Air mata Dhinar tumpah seakan akhirnya dia bisa melepaskan semua beban yang dipendamnya
selama ini. "Ssst..." Mama merangkul dan mengelus-elus kepalanya, mencoba menenangkannya. "Ini semua
demi kebaikanmu. Kalau konsentrasimu pada pelajaran terganggu, kamu mungkin berhasil
mendapatkan beasiswa ke Jepang. Padahal itu keinginanmu, kan?"
"Mama...," kata Dhinar dengan suara tercekat. "Apa Mama sadar, ini pertama kalinya Mama
menanyakan keinginanku?"
Mama terdiam. "Tapi bukankah itu memang keinginanmu?" tanya Papa setelah emosinya reda.
"Selama ini...," lanjut Dhinar sambil terisak, "Mama dan Papa nggak pernah benar-benar
menanyakannya kepadaku. Mama dan Papa selalu menyuruhku melakukan sesuatu dengan
menganggap itu keinginanku, padahal kalian tidak pernah bertanya kepadaku..."
Papa menghela napas. "Kamu ini masih anak kecil," kata Papa. "Kamu tidak tahu apa yang sedang lakukan dan
bagaimana itu akan memengaruhi masa depanmu. Papa dan Mama hanya tidak ingin kamu
menyesal..." Dhinar duduk tegak, lalu mengusap air matanya.
"Tapi jika aku tidak melakukan apa yang benar-benar kuinginkan sekarang, bukankah justru
kelak aku akan lebih menyesal?"
"Kenapa kamu berkata seperti itu?" tanya Mama.
"Karena aku sudah mengalaminya, Ma," jawab Dhianr lirih. "Melihat teman-temanku, aku
merasa telah membuang-buang masa remajaku... " Dhinar lalu menunduk dan membenamkan
wajah ke bantal. Mama tak berkata apa-apa lagi. Selama beberapa saat tidak ada yang bicara sampai Papa berdiri
dari kursinya. "Masalah ini akan kita bicarakan lain kali."
Dhinar hanya terdiam. Ketika Papa sudah akan memutar kenop pintu, dia berhenti sejenak, lalu menoleh dan bertanya,
"Sekarang, katakan pada Papa apa yang kamu inginkan?"
Dhinar menengadah, memandang lurus ke mata Papa.
"Aku masih ingin berteman dengan Flemming, dan..."
Dia terdiam sejenak untuk menimbang-nimbang. "Besok ada acara musik yg diadakan temenku,
aku ingin datang ke sana."
Papa hanya memandang Dhinar, lalu tanpa mengatakan apa-apa, dia memutar kenop pintu dan
keluar bersama Mama, meninggalkan Dhinar sendirian.
*** Ting! Tong! Pintu dibuka. "Mau cari siapa?" tanya perempuan muda berkulit gelap dengan logat Jawa yang
sangat kental. "Dhinarnya ada?" tanya Flemming.
"Mbak Dhinar" Ada. Mas siapa ya?"
"Bilang ke dia, ditunggu Flemming buat berangkat bareng," kata Flemming.
Perempuan itu manggut-manggut lalu menunjuk kursi di depan teras. "Silahkan dudu, Mas
Flemming, saya panggilin Mbak Dhinarnya."
"Makasih, Mbak," kata Flemming.
Tidak lama kemudian seorang keluar. Tapi dia bukan Dhinar. Pria paro baya berkumis,
berkacamat, dan berkulit agak gelap itu berjalan ke arah Flemming. Flemming menelan ludah,
apalagi pria itu menatapnya tajam.
Flemming berdiri. "Saya papanya Dhinar," kata pria itu sambil menyodorkan tagan.
Flemming menyambut sodoran tangan itu sambil tersenyum. "Flemming."
"Kalian mau ke mana?" tanya papa Dhinar setelah mereka duduk.
"Ke acara musik yang diadakan temen kursus Dhinar."
"Kamu yang mengajaknya?"
Flemming menggeleng. "Bukan, Oom, Dhinar sendiri yang mau datang."
Papa Dhinar membuka kacamatanya lalu menatap Flemming lekat-lekat. "Kamu yang memaksa
anak saya ikut-ikutan demo?"
"Bukan, Oom!" sergah Flemming. "Saya memang memintanya, tapi akhirnya dia ikut karena
keinginannya sendiri."
"Saya tidak suka kamu," kta papa Dhinar tiba2.
Glek! Ini sebenarnya ada apa ya" Felmming bertanya dalam hati.
"Sebelum ada km, Dhinar anak yg baik, penurut, dan nggak neko2," jelas papa Dhinar. "Ketika
teman-temannya berlomba-lomba merusak diri mereka sendiri dengan bersenang-senang nggak
jelas, dia sudah memikirkan masa depan, mengisi hari-harinya dengan belajar agar dia tidak
menysal kelak. Dia..."
"Oom yakin itu kenyataan?" potong Flemming.
"Apa maksudmu?" tanya papa Dhinar tajam.
"Apakah Dhinar memang berpikir seperti itu," jawab Flemming, "atau Oom yg mengira dia
berpikir sperti itu" Pernakah Oom benar2 bertanya padanya" Oom mengira Oom tahu yg terbaik
untuknya, apa yg dia inginkan, tapi Oom tidak pernah bertanya kepadanya. Bisa jadi dia hanya
melakukan apa yg Oom inginkan."
Papa Dhianar tampak kaget, lalu mukanya tiba-tiba berubah marah dan suaranya meninggi. "Tau
apa kamu tentang hal itu" Kamu itu masih muda! Masih hijau! Belum tahu apa-apa! Belum tahu
begitu banyak yang bisa membuat kalian menyesal kelak!" Napasnya naik-turun.
Jantung Flemming rasanya mau copot mendapat reaksi di luar dugaan seperti itu. Dia hanya bisa
diam. Suasana hening selama beberapa saat setelah itu.
"Maaf," kata papa Dhinar kemudian setelah berhasil mengendalikan diri. "Entah kenapa tiba-tiba
emosi saya lepas." "Nggap apa-apa, Oom," kata Flemming sambil menghela napas lega.
"Oom...," katanya kemudian, "kalau boleh saya bicara..."
"Silahkan," sahu papa Dhinar.
"Oom benar. Anak-anak sumur kami belum mengenal dunia," kata Flemming. "Kamu kurang
pengalaman maka tak kenal rasa takut. Kami banyak melakuakan kesalahan dan kebodohan walaupun ketika melakukanny kami menganggap hal itu sebagai 'hal yang benar'. Tapi karena
kami masih sangat muda itulah kami juga sadar jika kami melakukan kesalahan, masih dapat
segera diperbaiki. Kami masih punya waktu banyak.
"Oom pasti pernah mengalaminya, kan?" lanju Flemming. "Walaupun zaman berubah, apa yg
dirasakan anak-anak seumur kami tidak berubah. Semuanya masih sama. Kita masih memiliki
ketidakmatangan yg sama. Tapi justru kematangan itulah pesona dan senjata terbesar kami."
Papa Dhinar terdiam selama beberapa saat, lalu mengangguk. "Kata-kata yg sangat bijaksana."
Flemmin "Ya," jawab Flemming sambil tersenyum bangga.
"Itu lah yang beliau katakan tiap kali saya berniat melakukan kebodohan baru.
Papa Dhinar menghela napas lalu tersenyum. "Sepertinya saya harus berkenalan dengan papamu
dan belajar banyak dari beliau."
"Lho, datang saja, Oom, kan cuma tiga rumah dari sini." Flemming menyesrinagi.
Papa Dhianr tertawa. "Hahaha, kamu benar. Mungkin karena saya sok sibuk jadi jarang
bersosialisasai." lalu dia beranjak dari kursinya. "Baik, saya panggilkan Dhianr dulu."
"Oom," sahut Flemming tiba-tiba.
"Ya?" "Apakah Oom masih tidak suka pada saya?"
Papa Dhinar tampak terkejut mendengar pertanyaan Flemming, tapi kemudian tersenyum. "Yah,
saya suka orang-orang yang memberi sesuatu yang tidak saya ketahui. Dan saya belajar sesuatu
dari kamu. Salah satunya: jangan pernah menilai seseorang sebelum kamu berbicara dengannya."
Flemming meringis. "Dan...," papa Dhinar mengacungkan jari telunjuknya, "saya akan lebih menyukaimu jika kamu
mengantarkan anak saya dengan selamat sampai rumah sebelum jam 12 malam."
"Beres, Oom!" seru Flemming sambil mengangkat tangannya ke pelipis, memberi hormat ala
tentara.

She Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Di dalam kamarnya, Dhinar termenung. Dari Mbak Von dia tahu Flemming menunggunya di
bawah, tapi papa melarangnya turun sampai beliau selesai berbicara dengan Flemming.
Jangan-jangan Flemming sudah diusir! Pikirnya khawatir.
Dia sudah mengenakan kemeja biru, celana jins, dan sneakers putih, bersiap-siap pergi. Sekarang
tinggal menunggu keputusan Papa.
Tiba2 pintu kamarnya diketuk.
Dhinar langsung berdiri. "Masuk."
Papa membuka pintu. "Kamu sudah siap?" tanya Papa.
Dhinar mengangguk. "Ng... Flemming?" tanyanya cemas.
"Dia masih di teras, menunggumu," kata Papa.
Selama beberapa detik Dhinar merasa lega Papa tidak mengusir Flemming. Tapi kemudian
muncul lagi kekhawatiran baru dalam benaknya. Jangan2 aku tidak diizinkan pergi!
Seakan bisa m embaca pikiran Dhinar, Papa buru2 mengatakan, "Km boleh pergi, tapi inget!
Jangan lebih jam 12 malam!"
Dhinar tak percaya dengan apa yg baru saja didengarnya hingga tanpa sadar dia melompat dan
memeluk papanya. "Makasih, Papa! Aku sayang papa!" Dhinar melepas pelukannya. "Tapi...
bener nih nggak apa2?"
Papa tersenyum. "Mata dan hati Papa baru saja dibukakan."
"Oleh?" Dhinar mengernyitkan dahi.
"Temenmu Flemming."
"Flemming?" pekik Dhinar tak percaya.
"Mulai sekarang, Papa janji km boleh melakukan apa yg km inginkan," kata Papa lembut sambil
mengusap-usap rambut Dhinar. "Tapi km juga harus berjanji untuk tidak menyia-nyiakan
hidupmu. Papa tahu km cukup pintar untuk tahu apa yg harus km lakukan."
Dhinar tersenyum lalu memeluk Papa lagi. "Makasih, Papa. Jangan kuatir, aku gak akan
mengecewakan Papa dan Mama. Aku pasti tetap jadi lulusan terbaik dan beasiswa ke Jepang
pasti kudapatkan agar kalian bangga."
*** "Benarkah gak apa2 kita biarkan dia begitu?" tanya Mama setelah Dhinar pamit.
Papanya mengangguk. "Sudahlah Ma, kita tdk bisa terus memaksakan kehendak kita padanya.
Dia punya hidupnya sendiri. Kita hanya bertugas menjaga dan melindunginya."
Mama mengangguk lemas seperti setengah sependapat dengan kata2 Papa. "Mungkin Papa
benar." *** Ketika Dhinar membuka pintu, dia melihat Flemming sudah menunggu di atas motornya.
"Lama bener sih!" gerutu Flemming sewaktu Dhinar menghampirinya.
"Nggak ada yang menyuruhmu menunggu," balas Dhinar ketus.
Flemming memasang muka cemberut sambil menyodorkan helm pada Dhinar.
"Flem," kata Dhinar seraya menaiki sepeda motor Flemming.
"Hmm?" Dhinar berhenti sejenak, menimbang-nimbang apakah dia sebaiknya mengatakannya atau tidak.
Tapi akhirnya dia memutuskna untuk mengtakannya juga. "Terima kasih," katanya pelan.
Suasana di kompleks itu sepi sekali hingga mungkin suara kepakan sayap nyamuk pun bisa
didengar dengan jelas. Jadi walaupun Dhinar mengatakannya dengan pela, Flemming bisa
mendengarnya sejernih suara air terjun.
"Untuk apa?" tanya Flemming heran.
"Sudahlah," Dhinar enggan menjawab. "Anggap saja kamu telah memberiku hadiah untukku."
Meskipun Flemming masih tidak mengerti maksud ucapan Dhinar, entah mengapa hatinya
langsung terasa berbunga-bunga. Bahkan di yakin, dia bisa terbang seandainya Dhinar tidak
memegangi jaketnya dari belakang.
"Heh, kapan berangkatnya?" tanya Dhinar sambil menarik-narik jaket Flemming.
"Iyeee." Dia menghidupkan mesin motornya dan beberapa detik kemudia mereka pun melaju
meninggalkan rumah Dhinar.
BAB 25 PARTY PAKE J tak disangka-sangka penuh! Tiket terjual habis alias sold out! Anak-anak Genki
Ji girang bukan kepalang, tak terkecuali Dinar.
"Kita sukses, Le!" seru Ayi senang hingga seperti hendak melompat-lompat andai gengsi tidak
mencegahnya. "Iya!" seru Dinar. Ternyata malah dia yang melompat-lompat.
"Setelah ini apa?" tanya Ayi setengah berteriak, karena suara gemuruh penonton dan lagu
bercampur menyelimuti gedung tempat acara itu berlangsung. Seakan-akan mereka terkurung di
kubah suara. Dinar mengangkat bahu. "Nikmatin aja!" teriaknya, lalu berjalan pergi mencari Sapu.
Setelah lama celingak-celinguk, dia malah menemukan sosok lain yang dikenalnya.
"Dhinaaar!" teriaknya.
Dhinar menoleh lalu tersenyum kepadanya.
"Akhirnya datang juga!" seru Dinar senang sambil berlari-lari kecil menghampirinya. Dinar
menoleh ke cowok yang berdiri di samping cewek itu. "Kamu juga."
Flemming tersenyum. "So pasti dong!"
"Oke, kalau gitu selamat menikmati ya! Aku mau cari Sapu dulu!" Lalu Dianr berjalan
meninggalkan mereka dan mulai celingak-celinguk lagi.
"Sapu?" tanya Flemming heran setelah Dinar pergi.
"Panggilang sayang dia buat cowoknya," jelas Dhinar.
"Oooh..." Flemming manggut-manggut.
"Flem," Dhinar melihat ke arah Dinar yang malah sibuk dengan para panitia lain.
"Hmm?" Flemming menoleh.
"Jahat nggak sih kalau aku merasa iri padanya?" kata Dhinar tanpa sadar. Padahal biasanya dia
tidak mau membuka isi hatinya pada siapa pun, tapi kali ada sesuatu yang mendesaknya.
"Dia?" Flemming mengangkat alis. "Ale?"
Dhinar mengangguk. "Kerena di punya hidup yang ingin kumiliki." Flemming diam. "Sepertinya
dia menjalani hidupnya tanpa beban," lanjut Dhinar. "Dikelilingi teman-teman yang
mencintainya dengan tulus, melakukan apa yang ingin dilakukan tanpa memedulikan ucapan
orang lain. Beda sekali denganku. Dia bahkan bisa mendirikan Genki Ji dan mengadakan acara
musik seperti ini. Hal yang tak bisa kulakukan kerena terlalu takut."
"Lu kan juga ikut serta ngadain pensi," hibu Flemming.
"Tapi bukan aku yang punya ide awalnya," elak Dhinar. "Itu pun berkatmu juga."
Dhinar menghela napas. "Maaf ya, bukanny seneng-seneng malah membanjirimu dengan
keluhan." "Nggak apa2." Flemming tersenyum dan menggeleng. "Justru gue seneng lu mau terbuka sama
gue." Dhinar hanya terdiam seakan kalimat terakhir Flemming tdk punya arti apa pun baginya.
"Lagi pula," kata Flemming, "kurasa Ale pun punya pikiran yg sama denganmu."
"Eh?" Dhinar menatap Flemming heran, tapi Flemming hanya menjawabnya dgn senyuman.
Lambat laun Dhinar mulai merasa aneh dgn suara di tempat itu. Dentuman bas dan drum dari
sound system seakan mampu membuat jantungnya terlontar keluar. Bahkan dia berpikir, begitu
dia keluar dari gedung ini mungkin dia tdk akan mampu mendengar apa2 lagi saking gendang
telinganya sudah pecah. "Nggak mau lebih ke tengah?" usul Flemming.
Dhinar menggeleng. "Di sini sudah cukup, toh suaranya masih terdengar sampai sini." Lagu
Pegasus Fantasy-nya Saint Seiya memang terdengar jelas dari tempat mereka berdiri.
"Kalau begitu aku mau cari minum dulu," kata Flemming. Dhinar mengangguk.
Tiba2 ada yg menepuk Dhinar. Dhinar terkejut dan menoleh.
"Erwan!" pekiknya.
Erwan hanya tersenyum. "Ale mencari-carimu lho," ujar Dhinar.
"Oh ya?" Erwan mengangkat alis. "Padahal aku sudah bilang padanya, aku pergi ke toilet."
"Tugas jaga ya?"
"Bukan, cuma ngintip toilet cewek."
Dhinar tersenyum. "Memang ada tampang sih."
Erwan menyeringai. "Eh, apa asyiknya nonton acara musik jauh gini?" tanya Erwan heran.
"Berisik sih." "Mana ada acara musik yg ga berisik!" Erwan menggamit tangan Dhinar dan menariknya. "Yuk
ke tengah!" Dhinar tidak mampu mengelak, tangan Erwan menggenggamnya sangat erat hingga
dia hanya bisa pasrah mengikuti cowok itu berjalan ke tengah yg lebih dekat dengan panggung.
Dentuman soud system terasa lebih keras dibanding tempat dia tadi berdiri sampai2 ia takut
gedung itu akan roboh sebentar lagi saking kerasnya suara itu.
"Asyik, kan"!" teriak Erwan mencoba mengimbangi suara di panggung agar Dhinar
mendengarnya. "Enak dari Hongkong"!" Dhinar balas berteriak.
"Habis ini aku pasti budheg!"
"Gudeg?" "BUDHEG!" Dhinar memperkeras suaranya.
Erwan tertawa. "Kayaknya kacamataku sudah mulai retak!" tambah Dhinar sambil memegangi gagang
kacamatanya. Erwan tertawa lagi. "Ngayal!"
Tidak butuh waktu lama sampai Dhinar benar-benar bisa menikmati keberisikan itu.
*** Dari kejauhan, Dinar memerhatikan mereka dengan perasaan campur aduk: marah, iri, cemburu,
dan sedih. Tidak ada lagi yang bisa meyakinkan dirinya bahwa dialah yang lebih cocok bagi Sapu
dibandingkan Dhinar. Dhinar lebih serasi untuk Sapu. Dia lebih pandai, lebih tenang, lebih dewasa -semua hal yang
tidak dimilikinya untuk mengimbangi Sapu. Bahkan mereka punya kesamaan minat: buku!
Orang bilang lahir, mati, dan jodoh adalah rahasia Tuhan. Dan sekarang bagi Dinar, rahasia yang
terakhir sudah terkuak. Memang belum seluruhnya, tapi dia tahu dia dan Sapu tidak ditakdirkan
untuk bersama. Ada orang lain, pikirnya, dan dia yakin seratus persen orang itu adalah Dhinar.
"Le!" seru Flemming, mngejutkannya.
"Apa, Flem?" tanyanya lesu.
"Lihat Dhinar, nggak" Gue cari kemana-mana ko nggak ada, padahal udah cape-cape beli
minuman nih," kata Flemming sambil mengacungkan dua kaleng softdrink.
"Tuh," Dinar mengedikkan kepalanya ke arah dua sosok yang tampak asyik bergoyang di tengah
kerumunan penonton. Flemming tertegun. Tiba-tiba dia merasa sesuatu yang aneh menyelimutinya. Sesuatu yang dia
sendiri tidak tahu cara menjelaskannya. Yang dia tahu pasti, dia ingin segera membawa Dhinar
pergi dari tempat itu, jauh-jauh dari Erwan.
Tanpa memedulikan pandangan sedih cewek berambut kuning di sebelahnya, dia berjalan cepet
ke tengah menuju Dhinar dan Erwan.
Flemming menyentuh pundak Dhinar beberapa kali hingga cewek itu menoleh.
"Ah, kamu." Erwan ikut menoleh ke arahnya.
Flemming mengalihkan pandangannya ke Erwan.
"Nih, buat lu," katanya sambil menyodorkan kedua kaleng softdrink. Erwan yang bingung hanya
bisa melongo ketika menerimanya. Lalu Flemming menarik tangan Dhinar dengan kasar dan
menyeretnya pergi. "Aduh, Flem! Sakit!" protes Dhinar. "Kamu kenapa sih"!"
Tapi Flemming bungkam, dia terus berjalan tanpa memedulikan umpatan den derutuan Dhinar.
Mungkin dia bahkan tidak bisa mendengarkannya karena suara musik yang sedemikian kera.
Lagu Haruka Kanata-nya Naruto mulai terdengar samar-samar ketika mereka sampai di lapangan
parkir. "Kamu kenapa sih?" protes Dhinar marah. Kali ini terdengar jelas.
"Sekarang sudah jam sepeluh, kita harus pulang," jawab Flemming dingin.
"Heh, jam malam yang diberikan papaku jam 12," elak Dhinar.
"Kalau kamu memang mau pulang, pulang saja sendiri!"
"Terus lu mau pulang bareng siapa?" tantang Flemmig.
Dhinar berpikir sejenak. "Erwan, mungki."
kontan wajah Flemming memerah.
"KALAU GUE BILANG KITA PULANG SEKARANG, KITA PULANG!" bentaknya sambil
menyodorkan helm. Dhinar kaget bukan main dibentak seperti itu hingga dia mundur beberapa langkah. Akhirnya,
karena masih sayang nyawa, dia menurut apa kata Flemming walaupun masih menggerutu
sepanjang jalan. *** Sapu sudah hendak memasukan gigi sepeda motornya ketika tiba-tiba Dhinar mengajaknya
bicara. "Pu" "Hmm?" Dhinar menundukan kepala. "Kita... kita putus saja ya?"
Sapu membelalakkan matanya dan langsung mematikan mesin sepeda motornya.
"Hah?" Dia mencoba meyakinkan apa yang barusan didengarnya sekali lagi.
"Kita putus saja," kata Dhinar pelan.
Sapu menghela napas. "Kalau memang itu keinginanmu," katanya
Eh" Dinar seketika mendongak. "Kamu nggak keberatan" Nggak bertanya kenapa?"
Erwan tersentum. "Kalau memang kamu pingin putus, aku bisa apa?"
"Berarti kamu memang sudah pindah ke lain hati, ya?" tanya Dinar putus asa. Tenggorokannya
seperti tercekat. "Berarti benar dugaan kalau kamu ada hati sam Dhinar."
Erwan mengangkat alis. "Oh.. jadi ini toh penyebabnya."
Wajah Dinar langsung memerah.
"Ya ampun, Le, kamu pikir aku suka sama Dhinar, ya?" tanya Sapu sambil geleng-geleng. "Apa
yang bikin kamu berpikiran sperti itu" Wong aku saja nggak pernah membayangkannya kok, not
even in my wildest dream." Ia mengacak-acak rambu Dinar sayang.
"Dari dulu, sekarang dan mungkin seterusnya, bagiku sudah cukup kamu saja. Nggak ada lagi
tempat kosong untuk orang lain."
Dinar masih terdiam dan tertunduk. Dia tidak berani menatap Sapu.
"Aduh, Le," kelu Sapu. "Butuh banyak tenaga lho aku mengeluarkan kata-kata romantis tadi.
Aku sampai meriding sendiri mendengar ucapanku itu."
Dalam hati Dinar tersenyum tapi dia masih tidak mau mendongak. "Habisnya...," kata Dinar
akhirnya. "Habisnya kalian kalihatan cocok. Dia punya level kepandaia yang hampir sama denganmu,
tinngi badan yang hampir sama, di tambah hobi yang sama pula. Bahkan aku lihat kalian setipe,
dari sikap sampai cara bicara. Dengan kata lain dia itu Sapu dalam bentuk cewek!"
"Nah, makanya aku nggak bakal jadian sma dia!"
kata Sapu. Dhinar mendongak. "Eh?"
"Kalaupun kami jadian, pasti nggak akan bertahan lama. Mungikin malah sehari jadi, besoknya
sudah putus." Kenapa?" tanya Dinar heram. "Kalian sama."
"Kenapa?" tanya Dinar heran. "Kalian kan sama."
Sapu ternsenyum. "Justru kerna kamu itulah, kami cocok satu sama lain. Yg namanya pasang
kami harus bisa melengkapi satu sama lain," jelasnya.
"Menutupi kekurangan pasangan dengan kelebihan yg kita miliki. Ibaratnya hati terbelah dua,
ada isi kiri dan sisi kanan. Kalau kami sama, seperti aku dan Dhinar, hanya akan menghasilkan
dua sisi kiri atau dua sisi kanan. Tidak akan punya arti apapun.
"Dengan kata lain, " Sapu menatap mata Dinar dalam-dalam, "I'm not perfect and you're not
perfect, but we're perfect thogether."
Dinar tercenung, lebih tepatnya terharu. Tidak lama kemudian perasaan malu dan bodoh
menyelimutinya karena telah meragukan cinta Sapu yang sangat tulus itu. "Tapi kenapa tadi
kamu tidak keberatan kalau kita putus?" tanya Dinar, masih mencoba meyakinkan diri.
Sapu mengangkat bahu. "Kalau kamu memang sudah nggak suka sama aku lagi, nggak mungkin
aku memaksakan perasaanku, kan?"
Sapu memegang tangan Dinar dan meremasnya. "Jadi, kamu masih pinta putus?"
Dinar tersenyum lalu menggeleng. "Kecuali kamu yang minta."
"Dasar bodoh." "Nggak perlu kamu bilang, aku juga sudah tahu kok kalau aku bodoh," Dinar merajuk.
"Cuma sekedar mengingatkan." Sapu nyengir.
"Tapi kamu suka, kan?" tanya Dinar sedikit menggoda.
Sapu hanya mengangkat bahu sambil tersenyum.
"Pu." "Hm?" "Thanks ya." Sapu mengangkat alis. "Untuk apa?"
"Thanks for loving me just the way I am."
Sapu tersenyum. "You're welcome."
*** Malam harinya, Dinar memutuskan untuk menelepon Dhinar. Sebetulnya dia sudah tidak perlu
melakukan itu, mengingat cinta Sapu benar-benar tulus, tetapi dia masih merasa waswas kalau
belum memastikannya sendiri.
"Halo?" jawab suara di seberang.
"Hali" Dhinar?"
"Iya, ini siapa?"
"Ale, Bu," jawab Dinar.
"Oh, kenapa, Le" Tumben telepon."
"Nggak apa-apa, cuma mau tanya."
"Tanya apa?"

She Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dinar ragu-ragu sejenak. "Aku cuma mau tanya,"
katanya, "kamu ada hati sama Sapu, a?"
"HAAAH?"?"
"Adudududuh kupingku," keluh Dinar.
"Dapat pikiran sinting seperti itu dari mana?" tanya Dhinar.
"Sudahlah, jawab jujur aja," desak Dinar. "Nggak apa-apa kok."
Terdengar Dhinar menghela napas. "Oke, tapi jawab dulu pertanyaanku. Dari mana kamu
mendapat kesimpulan gila seperti itu?"
"Aku melihat kalian cocok dan serasi," aku Dinar jujur. "Kepandaian dan minat kalian sama,
bahkan sifat kalian pun mirip."
Dhinar menghela napas lagi. "Seharusnya kamu sudah tahu, karena kami terlalu sama itulah
sampai kapanpun kami nggak bakalan jadian."
"Tuh kan! Bahkan pikiran kalian pun sama!" seru Dinar.
Dhinar mengabaikan kata-kata Dinar. "Apa asyiknya jadian dengan orang yang sama?" Dhinar
melanjutkan kata-katanya.
"Jalan pikiran, hobi, semua sama. Semuanya jadi membosankan karena tidak ada hal baru yang
bisa diambil dan dinikmati. Aku yakin Erwan pun punya pikiran yang sama denganku."
"Itulah sebabnya Erwan memilihmu," jelas Dhinar.
"Kerena kamu bisa dibilang sangat berbeda dengannya, dengan kami. Kamu bisa mengisi
kekosongan-kekosongan hidupnya. Kalau denganku, aku tidak bisa mengisi kekosongannya, aku
bisa mengisi sedikit ruang yang sudah penuh. Hanya itu yang bisa kulakukan, karena kami
setipe. Makanya, sejak pertama bertemu dengan Erwan, aku hanya menganggapnya teman
setipe. Kalaupun aku ingin menyukainya, sepertinya hatiku tidak mengizinkan."
"Kenapa?" "Entahlah, aku juga tidak tahu."
"Jangan-jangan karena sudah ada yang mengisinya?" tebak Dinar.
"Aku belum punya cowok, Non," elak Dhinar.
"Flemming?" Dhinar menghela napas lagi. "Ah, not even in my wildest dream deh."
"Ya ampuuun... kalian benar-benar mirip!"
"Hah?" "Kamu dan Sapu!"
"Oh," sahut Dhinar. "Kan tadi sudah kubilang."
"Hehehe. Oke deh. Thanks ya, sekarang aku bisa tenang. Soeri sudah menganggu."
"Dasar kamu itu."
"Oh ya," kata Dinar sebelum menutup teleponnya.
"Mungkin sebenarnya kamu sudah menyukai seseorang tapi nggak sadar."
"Kesimpulan sinting lagi nih?" cibir Dhinar.
"Bukan," sergah Dinar. "Ini insting."
"Iya deh, terserah."
"Bu.." "Apa lagi?" "Ng... aku... sebenarnya iri padamu," aku Dinar.
"Bahkan pernah ada saat di mana aku rela melakukan apa pun untuk berada di posisimu. Aku
ingi punya kepandaian yang sama denganmu, ingin punya hobi yang sama agar nyambung
dengan Sapu, dan aku ingin akulah yang menjadi calon penerima beasiswa ke Jepang."
Selama beberapa saar tidak ada tanggapan dari Dhinar.
Yang terdengar hanya helaan napas.
"Sebenarnya," kata Dhinar akhirnya, "akulah yang seharusnya mengatakan itu."
"Hah?" "Akulah yang ingin bertukar posisi denganmu."
"Kenapa?" tanya Dinar heran.
"Karena kamu punya hidup yang kuinginkan." jawab Dhinar jujur.
"Kamu ingi punya hidup seperti milikku?"
"Aneh ya?" Dinar termenung sesaat lalu berkata, "Yang aneh bukan kita, tapi hidup itu sendiri. Dua orang
yang memiliki nama hampir sama, memiliki hidup yang sangat berbeda satu sama lain."
"Apa mungkin karena huruf H-nya ya?" tebak Dhinar.
Dinar tersenyum. "Mungkin juga."
"Eh," katanya kemudian. "Teleponnya kututup ya, pulsanya bengkak nih."
"Makanya, jangan punya pikiran macem-macem."
"Hehehe. Bye." "Bye." KLIK! Dinar masih tersenyum, merasa sangat senang. Dia bahkan tidak pernah merasa sesenang ini
sejak ayah dan ibunya mulai mendengarkan keinginannya. Dia yakin, setelah ini akan banyak hal
baik yang datang ke padanya. Dia yakin, hidupnya akan lebih indah daripada sebelumnya.
BAB 26 SEJAK kejadian di Party Pake J, sudah beberapa hari ini Flemming bersikap dingin terhadap
Dhinar. Dhinar heran, kesal, dan kalau mau jujur, agak kehilangan.
Tapi toh dia masih berpura-pura tak ambil peduli. Gengsi dong.
Dalam rapat pensi yang sekarang tiap hari mereka ikutin pun mereka berdua tidak bertegur sapa.
Hingga akhirnya salah satu dari akhirnya salah satu dari mereka tidak tahan lagi..
"Dhin," Flemming menarik tas Dhinar seusai rapat pensi dan ruangan sudah kosong.
"Apaan sih?" protes Dhinar.
"Kok lu masih bisa tenang-tenang aja sih?" tanya Flemming kesal.
"Tenag-tenang apa maksudnya?"
"Kita diem-dieman kayak gini!"
"Hah?" Dhinar mengernyitkan dahi karena tak habis pikir. "Kamu sendiri yang mulai, kok
sekarang malah marah-marah!" kata Dhinar tak kalah kesel.
"Habisnya gue kesel," kata Flemming mencoba membela diri.
"Aku juga," gerutu Dhinar.
"Lu yang nggak pernah memedulikan gue," kata Flemming. "Malah langsung akrab sama si
Erwan itu! Padahal lu kenal sama gue lebih dulu daripada sama dia, kan?"
Sumpah! Sekarang Dhinar benar-benar tak habis pikir.
"Terus, apa salahnya?" tanyanya.
Flemming tampak gusar. "Salahnya"!" Dia diam sejenak. "Salahnya gue juga nggak tahu diaman
salahnya!" Nah lho! batin Dhinar. "Gue hanya tahu kalau gue nggak suka lu deket-deket sama Erwan!" tegal Flemming.
"Apa hakmu?" tanay Dhinar ketus. "Kamu pikir kamu siapa?"
"Gue emang nggak punya hak," kata Flemming.
"Tapi wajar kan kalau orang nggak suka cewek yang disukainya deket dengan orang lain?"
Kali ini Dhinar melongo. "Kamu" Cewek yang disukai?" Sekarang dia merasa seperti orang
tolol. "Aku?" Flemming terlihat tambah gusar. Badannya bergerak ke sana kemari seperti tidak mau diam. "Iya
lu." Dhinar menyipitkan mata. "Ah, yang bener?" Dian tidak mau percaya begitu saja, meningat keplayboy-an Flemming ketika awal-awal masuk sekolah dulu.
"Masa lu nggak sadar sih?" tanya Flemming tak percaya.
"Yee, kamu kan nggak pernah nunjukin perasaanmu,"
kilah Dhinar. Flemming melotot. "Nggak pernah" Lu-nya aja yang nggak nyadar, kali."
"Gue udah berkali-kali nunjukin perasaan gue," lanjutnay. "Lu pikir kenapa gue nggak lagi tebar
pesona seperti biasanya?"
Dhinar mengangkat bahu. "Jurus playboy baru?"
"Itu karena lu bilang, lu nggak suka sama cowok yang suka tebar pesona," jelasnya. "Dan
bukannya gue sudah bilang ribuan kali kalau gue suka sama lu?"
Dhinar mengangkat alis. "Hah" Itu serius ya?"
"Ya ampun!" Flemming menepuk dahinya. "Masa lu nggak bisa ngebedain gue lagi serius atau
nggak?" "Ya mana aku tahu," jawab Dhiar jujur.
Flemming menghela napas. "Sudahlah," katanya menyerah, lalu duduk di meja terdekat. "Gue
juga heran kenapa gue bisa suka sama lu. Inginnya sih, kalau gue suka sama cewek, itu bukan lu
atau orang-orang yang mirip lu. Toh waktu awal-awal gue ngedeketin lu cuma karena penasaran.
Harga diri gue sebagai cowok yang memaksa untuk berusaha menaklukkan lu... Tapi sepertinya
gue kena karam. Entah sejak kapan gue baru sadar kalau gue akhirnya benar-benar suka sama
lu," lanjut Flemming. "Dan gue nggak bisa bohongin hati gue sendiri."
Flemming menatap Dhinar. "Masih nggak yakin?"
Dhinar mengangkat bahu. "Baru tujuh puluh persen sih. Terus, kenapa beberapa hari ini kamu
nyuekin aku?" tanya Dhinar dengan nada menuntut.
Flemming tersenyum kecut. "Gue pikir, kalau lu gue cuekin, lu bakal merasa kehilangan dan
akhirnya menyadari perasaan lu ke gue," akunya jujur. "Kalau ada."
Dhinar terdiam. "Eh, nggak tahunya malah gue sendiri yg nggak kuat," umpat Flemming pada dirinya sendiri
sambil mengalihkan pandangannya ke arah jendela. "Strateginya gagal total."
Mereka kemudian terdiam selam beberapa menit.
"Mmmm...," Dhinar menimbang-nimbang sebelum akhirnya membuka suara. "Mungkin
strategimu itu nggak sepenuhnya gagal."
"Eh?" Flemming mengalihkan pandangannya lagi ke Dhinar, menatapnya tak percaya.
Wajah Dhinar memerah, ini pertama kalinya dia mengalami hal seperti itu.
"Lu juga suka sama gue?" tanya Flemming tak percaya sambil bangkit dari duduknya.
Dhinar mengangkat bahu dengan wajah yang masih memerah.
"Yee, kenapa nggak bilang dari awal" Kan gue jadi nggak perlu buka-bukaan dan malu kayak
gini." "Salah sendiri," komentar Dhinar sambil berjalan ke arah pintu.
"Berarti kita jadian dong?" tanya Flemming riang.
Dhinar berhenti lalu menoleh. "Aku baru memercayaimu tujuh puluh persen, aku baru mau
jadian kalau angka itu sudah mencapai seratus atau setidaknya sembilan pulau persen." Lalu dia
meneruskan langkahnya. Flemming mengejarnya. "Kapan itu?"
"Tergantung kamu," jawab Dhinar. "Tergantung bagaimana kamu meyakinkanku."
Flemming sempat berpikir tentang ciuman, tapi sepertinya Dhinar sudah bisa membaca
pikirannya hingga dia buru-buru menambahkan, "Kalau acara pensi ini sukses, kurasa mungkin
cukup pantas untuk jadi cowokku."
Flemming tersenyum. "Baik, Tuan Putri."
"Jangan panggil aku seperti itu."
"Cukup Nona saja."
Flemming meringis. "Baik, Nona," katanya sambil membungkuk seperti pelayan.
Dhinar ikut menyeringai. "Ternyara bakat playboymu untuk merayu masih belum hilang ya?"
"Itu pujian atau sindiran?"
"Pujian," jawab Dhinar asal.
Flemming sudah hendak merangkul Dhinar, tapi langsung ditepis cewek itu disertai ancama,
"Ingat! Kita belum jadian! Kalau kamu macam-maca, awas saja, kamu bakal menyesal telah
dilahirkan." "Siap, Bos, eh, Nona!" sahut Flemming sambil memberi hormat. Lalu mereka tertawa. Hari itu
Flemming merasa sangat bahagia, kebahagiaan yang tak pernah dia rasalan sebelumnya dengan
siapa pun. Dan kalau saja dia tahu, Dhinar pun merasakan kebahagian yang sama.
BAB 27 AKHIRNYA saat kelulusan anak-anak kelas tiga datang juga. Upacara perpisahan yang
dimeriahkan dengan pensi diadakan suatu hari setelah pengumuman kelulusan. Acara itu terbuka
untuk umum hingga Dinar dan Erwan pun datang untuk menyaksikannya. Tidak disangka, acara
yang baru pertama kali diadakan di sekolah itu mendapatkan sambutan besar dari masyarakat.
Tentu saja, karena Flemming dan teman-temannya tidak main-main dalam mempersiapkan
acaranya. Mereka bekerja keras membuat acara pensi yang spektakuler dan tak terlupakan
walaupun harus pontang-panting mencari sponsor.
Upacara kelulusan plus pensi itu dimulai dengan sambutan dari Kepala Sekolah, ketua OSIS,
ketua panitia, dan terakhir, perwakilan anak-anak kelas satu dan dua. Semua yang ada di situ,
termasuk orang luar datang, ikut mendengarkan dengan khidmat.
Tibalah saat Dhinar menyampaikan pidatonya. Dia berdehem beberapa kali sebelum mulai bicara
untuk mengatasi groginya di depan lautan manusia.
"Ehem. Yang terhormat Bpak Kepala Sekolah,"
Dhinar membuka pidatonya. "Yang terhormat bapak dan ibu guru serta para undangan." Dia
menatap para guru serta para undangan yang duduk di kursi-kursi yg telah disediakan di balkon
depan panggung. "Dan juga," Dhinar memandang orang2 di depannya, "Semua yg hadir di sini.
"Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena kita diberi kesempatan untuk berkumpul di
tempat ini dalam keadaan sehat.
Saya berdiri disini sebagai perwakilan anak-anak kelas satu dan dua yang ingin mengucapkan
selamat kepada kakak-kakak kelas tiga yang telah berhasil menyelesaikan pendidikannya di
SMA kita yg tercinta ini.
"Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk bisa bertahan hingga hari ini. Bisa dikatakan
Kakak-kakak telah berhasil memenangi pertempuran. Tapi ini bukan akhir perjalanan. Setelah
Kakak-kakak lulus dari sekolah ini, masih ada pertempuran lain yang menunggu.
"Setiap pertempuran pasti ada yang menang dan kalah. Tapi usaha yang telah kita lakukanlah
yang menentukan apakah kita layak disebut pahlawan atau tidak. Corazon Aquino pernah
berkata, 'You can never say, "no, I can't do this!". True, you may not be able to do everything
you take on, but you'll undoubtedly accomplish some of it. That may not sound very heroic. But,
believe me, from such a humble notion true heroism is born.'
"Kita tidak perlu melakukan apa yang dilakukan oleh 20 Heroes Under 40 versi majalah Time
seperti Yagira Yuuya, Nigo, Butet Manurung, dan lain-lain agar dapat disebut pahlawan. Cukup
lakukan apa yang ingin kita lakukan dengan sungguh-sungguh, itulah kepahlawanan yang
sebenarnya. Jangan melakukan sesuatu demi orang lain, baik orang tua ataupun sekolah. Tapi lakukan demi
kita sendiri. Hidup kita, bukan orang lain yang menjalaninya. Setiap manusia pada dasarnya dan
sepenuhnya adalah bebas. Jika kita melakukan sesuatu demi orang lain, kita pun akan menjadi
orang lain itu." *** Di antara kerumunan penonton yang terpesona, Dinar menatap kagum sosok di panggung yang
sedang menyampaikan sambutan itu.
"Pu," katanya pada Sapu yang berdiri di sebelahnya.
Erwan menoleh. "Apa?"
"Hidup itu aneh ya."
Erwan mengangkat alis. "Kok tiba-tiba?"
Dinar mendesah. "Selama ini aku selalu iri pada orang-orang seperti Dhinar, bahkan rela
melakukan apa pun agar bisa menggantikan tempatnya."
Erwan terdiam. "Tetapi beberapa waktu lalu dia bilang justru dia yang iri padaku," Dinar melanjutkan katakatanya. "Dia bilang, aku punya hidup yang ingin dia miliku."
Erwan menatap Dianr selama beberapa saat sebelum mengalihkan pandangannya ke arah
panggung. Kemudian sambil mengacak-acak rambut Dinar dengan pelan, dia berkata, "Nggak
ada yang aneh, itu manusiawi kok."
Dinar menatap Erwan dalam-dalam lalu tersenyum.
"Benar, manusiawi," gumamnya.
*** "Mungkin akan banyak rintangan yang akan menghadang dalam perjalanan kita dan mungkin
pula kita akan mengalami banyak pengalaman pahit dan kegagalan,"
Dhinar masih berpidato dengan mantap hingga seakan-akan mampu membius siapa pun yang
mendengarnya. "Tapi jangan pernah menganggap kegagalan dan pengalaman pahit sebagai kenangan buruk yang
harus di lupakan. Pengalaman yang tidak menyakitkan tidak akan ada artinya, karena manusia,
jika belum pernah mengalami pengorbanan, tidak akan ingat. Percayalah, sesakit apa pun,
sesedih apa pun, kenangan buruk itu suatu saat akan membuat kita menjadi orang yg lebih kuat."
Dhinar berhenti sejenak untuk mengambil napas dan mengumpulkan tenaga lagi.
"Jalan manusia itu panjang. Tapi bukan berarti tanpa akhir.
Oleh karena itu, jangan sampai kita menyesal karena tidak melakukan apa yang ingin kita
lakukan ketika kita masih hidup. Dalam hal ini, semua pasti sependapat dengan Thoreau: Aku
ingin hidup penuh makna dan mengisap semua sumsum kehidupan untuk mengusir semua yang
tidak hidup. Jika tidak, aku mati aku tahu aku tak pernah hidup.
"Akhir kata, saya ingin membacakan sesuatu yang saya kutip dari salah satu buku favorit saya,"
Dhinar mengambil napas panjang sebelum mulai melanjutkan.
"Suatu nanti, akan tiba waktunya saat masa muda itu berlalu menjadi kenangan. Namun,
perasaan dan impian masa muda itu takkan hilang. Walaupun tertimbun dalam kehidupan seharihari yang padat, ia akan terus bersinar di suatu tempat yang teristimewa di hati kita. Jadi
janganlah kalian melupakannya, di dalam diri kalian ada batu permata yang akan selalu
bercahaya. Kalau kalian merentangkan tangan dia pasti akan selalu memberi kalian kekuatan.
Dan saat hari esok tidak lagi terlihat, ia akan menjadi obor yang menunjukan jalan. Kemudian...
kalian pun suatu saat nanti akan menjadi pahlawan yang bersinar."
Setelah selesai pidato, Dhinar terdiam sesaat. Tidak ada respon, tapi mata semua orang yang ada
di situ masih tetap tertuju padanya. Tiba-tiba Bapak Kepala Sekolah berdiri sambil bertepuk
tangan, diikuti oleh yang lain.
Dhinar mengangguk, memberi hormat, lalu turun dari panggung. Dia merasa sangat bangga
mendapatkan sambutan seperti itu, sambutan yang belum pernah dia dapatkan walaupun sudah
sering memenangi berpuluh-puluh perlombaan.
Begitu dia turun, Flemming, Dinar, dan Erwan sudah menunggunya.
"Bagus sekaliii!" Dinar meloncat dan memeluk nya.
"Aku sampai terharu."
Dhinar tersenyum. "Thanks."
"Oh ya," Dinar mendekatkan mulutya ke telinga Dhinar. "yag terakhir itu dari komik Harlem
beat, ya?" tanyanya setengah berbisik.
"Sst," Dhinar mendesis. "Jangan bilang siapa-siapa ya."
Dinar menyeringai. "Beres."
"Ada apa sih?" tanya Erwan.


She Karya Windhy Puspitadewi di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Urusan cewek," jawab Dinar.
"Nggak asyik," cibir Erwan.
"Ehem," tiba-tiba Flemming berdehem. "Le, Pu, eh.. Wan, bisa tinggalkan kami berdua
sebentar?" Erwan dan Dinar berpandangan, lalu seakan-akan mengerti apa yang sedang terjadi, mereka
meringis. "Oke, oke tapi habis ini makan-maka ya," kata Dinar.
"Yang all you can eat," tambah Erwan. Lalu mereka berdua pergi sambil sesekali menoleh dan
tersenyum nakal. "Ada apa?" tanya Dhinar ketus. Padahal sebenarnya dalam hati dia deg-degan setengah mati.
"Jadi bagaimana?" tanya Flemming sambil berjalan mendekati Dhinar.
"Apanya?" "Persentasenya" Sudah sampai seratus persen belum?" desak Flemming.
"Hah?" Dhinar menatapnya tak percaya. "Acara ini kan belum selesai, belum bisa dinilai sukses
atau nggak." "Hoi bukannya dari sekarang juga sudah ketahuan kalau acara ini sukses?" Flemming masih
pantang menyerah. "Pokoknya tunggu sampai acara selesai," tegas Dhinar sambil berjalan menuju kerumunan di
depan panggung. Flemming menghela napas, menyerah- asal tahu saja, selama ini dia belum pernah segampang ini
kalah sama cewek- kemudian berjalan di belakang Dhinar.
*** Mendekati akhir acara, panitia membuat hunjan confetti dan balon. Ide ini adalah ide Flemming
yang semula ditolak anggota panitia yang lain karena dinilai terlalu konyol. Ternyata setelah ide
itu benar-benar dijalankan, apalagi diiringi lagu Graduation-nya Vitamin C, mereka bersyukur
Flemming telah memaksakan idenya ini.
"Indah," gumam Dhinar sambil menerawang ke atas, meliaht confetti-confetti yang masih terus
dijatuhkan dan balon-balon yang satu persatu di terbangkan ke langit.
Flemming sependapat dengan Dhinar, tapi dia hanya diam, menikmati hasil kerja kerasnya.
"Flem," kata Dhinar tanpa mengalihkan pandangannya.
"Apa?" "Sekarang sudah 95 persen."
Flemming mengangkat alis, terkejut. Lalu menoleh ke arah Dhinar dan melihat wajah cewek itu
memerah, tapi Dhinar masih tidak mau menoleh ke arahnya.
"Jadi?" tanya Flemming lagi.
"Tapi kalau kamu ketahuan main mata sama cewek lain, kita langsung putus," Dhinar memberi
syarat. Flemming girang bukan kepalang hingga dia tidak mampu berkata dan berbuat apa-apa selain
menggenggam tangan Dhinar.
"Setuju?" akhirnya Dhinar menoleh.
Flemming mengangguk. "Oke, Non." Kemudian niat nakalnya muncul lagi menggoda Dhinar.
Dia tiba-tiba berseru sambil menunjuk ke kerumunan sebelah kiri. "Wah, di sana ada cewek
cantik!" "Oke, kita putus," kata Dhinar enteng sambil menepis tangan Flemming.
Flemming cengengesan. "Bercanda, bercanda. Oh ya, gimana caranya agar tambah lima persen?"
tanya Flemming ingin tahu menatap Dhinar dengan tampang sok menyelidik.
"Gue cium ya?" usul Flemming.
"Kutendang kamu," kata Dhinar tajam.
Flemming tertawa lalu menggemgam tangan Dhinar lagi.
"Bercanda." Ketika Flemming tidak melihatnya, Dhinar mengamati Flemming dan tersenyum.
EPILOG Satu tahun berlalu tanpa terasa. Dhinar lulus sebagai lulusan terbaik seperti janjinya, dan
proposal beasiswanya pun diterima. Setelah mengurus semua prosedur yang diperlukan, akhirnya
saat Dhinar untuk berangkat pun tiba.
Papa dan Mama akan mendampinginya sampai Jepang. Hari itu Dinar, Erwan, dan Flemming
pergi ke bandara untuk melepas kepergiannya.
"Bu, hati-hati di sana ya," pesan Dinar saat memeluk saudara kembar beda nasibnya itu.
Dhinar mengangguk. "Huruf 'H' itu ternyata pengaruhnya besar banget ya," kata Dinar setengah berbisik. "Kalau ada
huruf 'H' dinamaku, mungki akulah yang akan menjadi murid teladan dan berangkat ke Jepang
bukannya stuck disini."
"Dan mungkin kamu nggak akan jadian sama Erwan," ralat Dhinar sambil melepaskan
pelukannya. "Tapi jadian sama Flemming," Dinar menyeringai.
"Dasar," kata Dhinar tersipu.
"Terima kasih banyak ya," kata Dinar kemudian dengan tulus sambil menggemgam tangan
Dhinar. "Aku sangat berterima kasih pada Tuhan telah mempertemukanmu denganku. Kamu
satu-satunya orang yang bisa selalu membuatku mangap saking kagumnya."
Dhinar bisa merasakan air matanya hampir tumpah mendengar kata-kata itu apalagi melihat mata
Dinar juga mulai berkaca-kaca.
"Sama-sama," katanya dengan suara tercekat menahan tangis.
"Sudah, sudah," kata Erwan. "Jangan malah tangis-tangisan di sini kayak mau pisah untuk
selamanya aja. Kita masih akan betemu lagi kan, Dhin?"
Dhinar mengangguk. Erwan tersenyum "Jangan lupa sering kasih kabar ya."
Dhinar mengangguk lagi. "Pasti."
"Sekarang..." Erwan menoleh ke arah ceweknya. "Kita biarkan mereka berdua saja." Lalu dia
menarik tangan Dinar untuk mengajaknya menjauh sambil mengedipkan sebelah mata ke arah
Flemming. Flemming berdehem beberapa kali sebelum mulai berbicara. "Jaga kesehatan lu di sana ya,"
katanya agak canggung. "Wah, perhatian banget. Tumban," sindir Dhinar.
"Sebenarnya itu cuam intro," aku Flemming. "Pesa intinya, jangan macem-macemnya ya di
sana." "Maksudnya?" tanya Dhinar pura-pura bodoh.
"Jangan coba-coba selingkuh!"
Dhinar menatap heran. "Mestinya aku yang ngomong begitu."
"Gue setia kok," kata Flemming tersinggung.
"Pada banyak wanita?"
Flemming menghela napas. "Ya ampun, bahkan setelah satu tahun pacaran pun lu masih belum
seratus persen percaya sama gue?"
Dhinar mengangkat bahu sambil tersenym nakal.
"Yah... gimana ya?"
Flemming berpikir sebentar. "Kalau gitu tunggu saja."
"Tunggu apa?" "Gue juga bakal kuliah di Jepang bareng lu!" janjinya dengan nada yakin.
Dhinar membelalakkan mata. "Kamu juga mau S1 di sana?"
"Bukan," Flemming menggeleng. "S2, lu mau nunngu, kan?"
Dhinar memonyongkan mulutnya. "Ogah, aku bisa lumutan gara-gara kelamaan nunggu."
"Wah, hanya segitukah perasaan cinta diri lu pada gue?" tanya Flemming pura-pura shock.
"Emang," jawab Dhinar enteng.
Flemming tersenyum, lalu menggenggam tangan Dhinar. "I'll miss you."
Wajah Dhinar langsung tersipu mendengarnya, tapi dia hanya mengangguk tanpa berkata apaapa.
Tepat satu jam kemudian pesawat yang ditumpangi Dhinar dan kedua orangtuanya terbang
menuju Jakarta. Dari sana, bersama penerima beasiswa lainnya, Dhinar akan berangkat ke Jepang. Di dalam
pesawat dia merenungi perubahan besar yang dialaminya dua tahun terakhir. Diawali kedatangan
Flemming, kemudian pertemuannya dengan Dinar. Lalu tanpa sadar dia tersenyum sendiri.
Sebentar lagi dia akan meninggalkan tempat dia dilahirkan, dibesarkan, dan belajar.
Meninggalkan orang-orang mengagumkan yang mencintai dan dicintainya, yang telah
mengajarinya banyak hal tentang kehidupan. Begitu banyak kenangan indah yang akan
dibawanya dalam hati. Tapi dia yakin, hal-hal indah tidak berakhir di sini. Justru mungkin semua
itu cuma awal dari semakin banyak hal yang baru dan indah yang bakal dialaminya mulai
sekarang. -END- Sumber: https://www.facebook.com/pages/Kumpulan-cerbungcerpen-dan-novelremaja/398889196838615"fref=photo
Kuda Besi 1 Pendekar Rajawali Sakti 113 Pembalasan Iblis Sesat Rahasia Peti Wasiat 6
^