Pencarian

Beautiful Disaster 6

Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire Bagian 6


"Aku tahu sangat sulit untuk tidak menyalahkannya, tapi kau harus mencintainya, bagaimanapun, Abby. Kau adalah satu-satunya wanita yang dia cintai selain ibunya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padanya kalau kau meninggalkan dia juga."
Aku menahan airmataku dan mengangguk, tidak mampu untuk menjawab. Jim meletakkan tangannya di atas bahuku dan meremasnya. "Aku belum pernah melihat dia tersenyum seperti saat dia sedang bersamamu. Aku h
arap semua anak lelakiku menemukan 'Abby-nya' suatu hari nanti."
Langkah kakinya menghilang di lorong dan aku berpegangan pada ujung wastafel tempat cuci piring, berusaha untuk bernafas. Aku tahu menghabiskan liburan bersama Travis dan keluarganya akan sesulit ini, namun aku tidak berpikir aku akan patah hati untuk kedua kalinya. Para pria bercanda dan tertawa di ruangan sebelah saat aku mencuci dan mengeringkan piring, menyimpannya. Aku membersihkan dapur lalu mencuci tanganku, berjalan menuju tangga untuk tidur.
Travis menarik tanganku. "Ini belum terlalu terlalu malam, Pidge. Kau tidak akan pergi tidur, kan""
"Ini hari yang panjang. Aku lelah."
"Kami sedang bersiap nonton film. Kenapa kau tidak turun dan bergabung""
Aku melihat ke atas tangga dan melihat ke bawah ke arah senyum penuh harapnya. "Baiklah."
Dia menuntun tanganku ke sofa, lalu kami duduk bersama saat nama para pemain berputar.
"Matikan lampunya, Taylor," perintah Jim.
Travis meletakkan tangannya di atasku, di atas bagian belakang sofa. Dia masih berpura-pura sambil tetap memenuhi keinginanku. Dia sangat berhati-hati untuk tidak mengambil keuntungan dari situasi ini, dan aku merasa bertentangan, antara bersyukur dan kecewa.
Duduk begitu dekat padanya, mencium wangi campuran tembakau dan cologne nya, sangat sulit bagiku untuk menjaga jarak, baik itu secara fisik maupun emosional. Seperti yang aku takutkan, keteguhan hatiku mulai goyah dan aku berusaha untuk memblokir semua yang Jim katakan tadi di dapur. Setelah film berjalan setengahnya, pintu depan terbuka dan Thomas muncul di pojok, tas di tangannya.
"Happy Thanksgiving!" dia berkata sambil meletakan tasnya di lantai.
Jim berdiri dan memeluk anak tertuanya, dan semua kecuali Travis berdiri untuk menyambutnya.
"Kau tidak akan menyapa Thomas"" bisikku.
Dia tidak melihat padaku ketika dia bicara, memperhatikan keluarganya berpelukan dan tertawa. "Aku punya satu malam bersamamu. Aku tidak akan menyia-nyiakan satu detikpun."
"Hai, Abby. Sangat senang bertemu denganmu lagi," Thomas tersenyum.
Tangan Travis menyentuh lututku dan aku melihat ke bawah, lalu ke arah Travis. Menyadari ekspresiku, Travis menarik tangannya dari kakiku lalu meletakkannya di pangkuannya.
"Uh oh. Ada masalah di surga"" tanya Thomas.
"Tutup mulutmu, Tommy," Travis menggerutu.
Mood di ruangan itu berubah, dan aku merasakan semua mata melihat ke arahku, menunggu penjelasan. Aku tersenyum gugup dan memegang tangan Travis dengan kedua tanganku.
"Kami hanya lelah. Kami mempersiapkan makanan sepanjang sore," kataku, menyandarkan kepalaku di bahu Travis.
Travis melihat tangan kami di bawah lalu meremasnya, alisnya ditarik sedikit.
"Bicara tentang lelah, aku kehabisan tenaga," aku menarik nafas. "Aku akan tidur, Sayang." Aku melihat ke semua orang. "Selamat malam, guys."
"Selamat malam, Sis," kata Jim.
Semua kakaknya Travis mengucapkan selamat malam, dan aku berjalan menuju tangga.
"Aku akan menyerah juga," aku mendengar Travis bicara.
"Aku yakin kau begitu," Trenton menggodanya.
"Bajingan yang sangat beruntung," Tyler menggerutu.
"Heh. Kita tidak akan membicarakan saudara perempuanmu seperti itu," Jim memperingatkan.
Perutku merosot. Satu-satunya keluarga yang aku punya selama bertahun-tahun adalah orangtua America, dan meskipun Mark dan Pam selalu merawatku dengan kebaikan yang tulus, mereka hanya pinjaman. Enam pria yang sulit di atur, suka bicara kasar, namun mudah untuk dicintai di bawah telah menerimaku dengan tangan terbuka, dan besok aku akan mengucapkan selamat tinggal untuk terakhir kalinya.
Travis menahan pintu kamar sebelum tertutup lalu terdiam. "Apa kau ingin aku menunggu di lorong saat kau berganti pakaian""
"Aku akan mandi dulu. Aku akan ganti baju di kamar mandinya saja."
Dia mengusap leher belakangnya. "Baiklah. Aku akan menyiapkan alas tidurku kalau begitu."
Aku mengangguk, berjalan menuju kamar mandi. Aku menggosok tubuhku yang telanjang di bawah pancuran yang bobrok, fokus pada noda air dan busa sabun untuk melawan rasa cemas berl
ebih yang aku rasakan pada malam ini dan pagi hari nanti. Ketika aku kembali ke kamar, Travis menjatuhkan bantal ke lantai ke atas alas tidurnya. Dia memberi senyuman lemah sebelum meninggalkanku untuk mandi.
Aku naik ke tempat tidur, menarik selimut menutupi dadaku, berusaha tidak peduli pada selimut yang ada di lantai. Ketika Travis kembali, dia menatap alas tidurnya dengan tatapan sedih seperti aku tadi, lalu mematikan lampu, membaringkan kepalanya di bantal.
Hening untuk beberapa saat, lalu aku mendengar Travis menarik nafas sedih. "Ini malam terakhir kita bersama, ya kan""
Aku menunggu sesaat, berusaha memikirkan kata yang tepat untuk diucapkan. "Aku tak ingin bertengkar, Trav. Tidurlah."
Mendengar dia bergeser, aku berbalik di tempat tidur agar bisa melihatnya, menekan pipiku di atas bantal. Dia menahan kepala dengan tangannya dan menatap mataku.
"Aku mencintaimu."
Aku menatapnya beberapa saat. "Kau sudah berjanji."
"Aku berjanji ini bukan usaha agar kita kembali bersama. Ini bukan itu." Dia mengangkat tangannya ke atas untuk menyentuh tanganku. "Tapi jika ini berarti bersama denganmu lagi, aku tidak bisa mengatakan aku tidak akan memikirkannya."
"Aku peduli padamu. Aku tak ingin menyakitimu, tapi aku seharusnya menuruti kata hatiku dari awal. Kalau ini tidak akan berhasil."
"Tapi kau mencintaiku, kan""
Aku menekan bibirku. "Aku masih."
Matanya berkilau dan dia meremas tanganku. "Bolehkah aku minta sesuatu""
"Aku memang sedang melakukan hal terakhir yang kau minta aku lakukan," aku tersenyum.
Wajahnya sudah terlatih, tidak terpengaruh oleh ekspresiku. "Jika ini benar-benar itu &jika kau merasa cukup denganku &akankah kau membiarkan aku memelukmu malam ini""
"Kurasa itu bukan ide yang bagus, Trav."
Tangannya mencengkram tanganku lebih erat. "Aku mohon" Aku tidak bisa tidur mengetahui kau hanya beberapa kaki jauhnya, dan aku tidak akan mendapatkan kesempatan ini lagi."
Aku menatap ke dalam matanya yang putus asa untuk beberapa saat lalu merengut. "Aku tidak akan berhubungan seks denganmu."
Dia menggelengkan kepala. "Itu bukan yang aku minta."
Aku mencari cahaya remang di kamar dengan mataku, memikirkan konsekuensinya, bagaimana jika aku tidak bisa berkata tidak ketika dia berubah pikiran. Aku menutup mataku lalu bergeser dari ujung tempat tidur, dan menurunkan selimut. Dia naik ke tempat tidur di sampingku, dengan cepat menarikku erat di tangannya. Dada telanjangnya turun naik karena nafasnya yang tidak teratur, dan aku memaki diriku karena merasa sangat damai berdekatan dengan kulitnya.
"Aku akan merindukan ini," kataku.
Dia mencium rambutku dan menarikku lebih dekat, tidak dapat lebih dekat lagi padaku. Dia menenggelamkan kepalanya di dadaku dan aku meletakan tanganku di punggungnya dengan nyaman, meskipun aku patah hati seperti dirinya. Dia menarik nafas dari hidungnya, dan menekan dahinya di leherku, menekankan jarinya ke dalam kulit punggungku. Sama menderitanya seperti saat malam terakhir taruhan, ini jauh &jauh lebih buruk.
"Aku &aku pikir aku tidak bisa melakukan ini, Travis."
Dia menarikku lebih dekat dan aku merasakan air mata pertama jatuh dari mata ke pelipisku. "Aku tidak bisa begini," kataku, menutup rapat mataku.
"Kalau begitu jangan," dia berkata di dekat kulitku. "Berikan aku satu kesempatan lagi."
Aku mencoba menjauh darinya, tapi cengkeramannya sangat kuat untuk mencegah aku melepaskan diri. Aku menutup wajah dengan dua tanganku saat isakan pelanku mengguncang kami berdua. Travis melihat ke atas ke arahku, matanya bengkak dan basah.
Dengan jarinya yang besar, dan lembut, dia menarik tanganku menjauh dari mataku lalu mencium telapak tanganku.
Aku menarik nafas saat dia menatap bibirku lalu kembali menatap mataku. "Aku tidak pernah mencintai seseorang seperti aku mencintaimu, Pigeon."
Aku bergeser dan menyentuh wajahnya. "Aku tidak bisa."
"Aku tahu," kata Travis, suaranya terbata. "Aku tak pernah sekalipun merasa yakin kalau aku cukup pantas untukmu."
Wajahku mengkerut dan aku menggelengkan kepala. "Itu bukan hanya kar
ena dirimu, Trav. Kita tidak cocok satu sama lain."
Dia menggelengkan kepala, ingin mengatakan sesuatu, namun memikirkannya lagi. Setelah menarik nafas dalam, dia mengistirahatkan kepalanya di dadaku. Ketika angka berwarna hijau di jam menunjukan jam sebelas, nafas Travis akhirnya menjadi pelan dan teratur. Mataku menjadi berat, dan aku berkedip beberapa kali sebelum hilang kesadaran.
*** "Ow!" jeritku, menarik tanganku dari kompor dan secara otomatis aku menghisap luka bakar dengan mulutku.
"Kau baik-baik saja, Pidge"" tanya Travis, berjinjit di lantai dan memasukan kaos ke kepalanya. "Sialan! Lantainya sangat dingin!" aku menahan senyum geliku saat aku melihatnya melompat dengan satu kaki lalu kaki satu lagi hingga telapak kakinya terbiasa dengan lantai yang dingin.
Matahari baru saja mengintip di tirai, dan Maddox yang lain masih tertidur dengan nyenyak di kamar mereka. Aku mendorong panci timah antik lebih jauh ke dalam oven lalu menutup pintunya, berbalik untuk mendinginkan jariku di wastafel.
"Kau boleh kembali tidur. Aku hanya harus meletakkan kalkun ke dalam oven."
"Apa kau akan ikut tidur"" dia bertanya, memeluk dadanya dengan tangan untuk menangkal rasa dingin di udara.
"Ya." "Silahkan duluan," kata Travis, mengayunkan tangannya ke arah tangga.
Travis menarik lepas kaosnya saat kami berdua memasukan kaki di bawah selimut, menariknya hingga leher. Dia mengencangkan tangannya di sekelilingku saat kami berdua menggigil, menunggu panas tubuh kami menghangatkan jarak kecil di antara kulit kami dan selimut.
Aku merasakan bibirnya di rambutku, lalu tenggorokannya bergerak saat dia berbicara. "Lihat, Pidge. Salju turun." Aku memalingkan wajahku ke jendela. Butiran putih hanya terlihat di bawah cahaya lampu jalan. "Rasanya seperti Natal," kataku, kulitku akhirnya menjadi hangat di dekatnya. Dia menghela nafas dan aku berpaling untuk melihat ekspresinya. "Kenapa""
"Kau tidak akan di sini saat Natal."
"Aku di sini, sekarang." Dia menarik ke atas satu sisi bibirnya lalu mendekat untuk mencium bibirku. Aku menjauh ke belakang dan menggelengkan kepala. "Trav &"
Cengkeramannya semakin erat dan dia merendahkan dagunya, matanya yang coklat sudah bertekad. "Aku punya kurang dari dua puluh empat jam bersamamu, Pidge. Aku akan sering menciummu hari ini. Sepanjang hari. Setiap ada kesempatan. Jika kau ingin aku berhenti, tinggal katakan saja, tapi hingga kau mengatakannya, aku akan membuat setiap detik hari terakhirku bersamamu berarti."
"Travis-," aku memikirkannya beberapa saat, dan aku beralasan bahwa dia sedang merasa kecewa tentang apa yang akan terjadi saat dia mengantarku pulang. Aku harus datang ke sana berpura-pura, dan sesulit apapun untuk kami berdua nantinya, aku tidak ingin mengatakan tidak padanya.
Ketika dia menyadari aku menatap bibirnya, ujung bibirnya naik lagi, dan dia mendekat untuk menekan bibir halusnya di bibirku. Awalnya lembut dan murni, namun setelah bibirnya terbuka, aku membelai lidahnya dengan lidahku. Tubuhnya langsung menegang, dan dia menarik nafas dari hidungnya, mendekatkan tubuhnya padaku. Aku membiarkan lututku jatuh ke samping dan dia berada di atasku, tidak melepaskan bibirnya dari bibirku.
Dia tidak membuang waktu untuk membuka pakaianku, dan pada saat tidak ada lagi kain di antara kami, dia mencengkeram ornamen tumbuhan merambat yang terbuat dari besi di kepala tempat tidur dengan kedua tangannya, dan dengan gerakan cepat, dia sudah berada di dalam tubuhku. Aku menggigit bibirku dengan kuat, menahan jeritan yang merangkak ke atas tenggorokanku. Travis mengerang di bibirku, dan aku menekan kakiku ke tempat tidur, menahan tubuhku sehingga aku dapat mengangkat pinggulku untuk bertemu pinggulnya.
Satu tangan di besi dan satu lagi di tengkukku, dia bergoyang di atasku berkali-kali, dan kakiku bergetar karena gerakannya yang kuat dan keras. Lidahnya mencari bibirku, dan aku bisa merasakan getaran erangannya yang dalam di dadaku saat dia menepati janjinya untuk membuat hari terakhir kami tidak akan terlupakan. Aku dapat menghabiskan seribu tahun m
encoba menghalangi momen itu dari ingatanku, dan itu akan tetap membekas di pikiranku.
Satu jam telah berlalu saat aku menutup rapat mataku, setiap urat sarafku fokus pada getaran di dalam tubuhku. Travis menahan nafasnya saat dia mendorong ke dalam tubuhku untuk terakhir kalinya, aku ambruk di atas tempat tidur, benar-benar kehabisan tenaga. Travis mendesah dengan nafas yang dalam, terdiam dan berkeringat.
Aku dapat mendengar suara-suara di bawah dan aku menutup mulutku dengan tangan, tertawa geli karena kelakuan nakal kami. Travis menyamping, memeriksa wajahku dengan matanya yang berwarna coklat dan lembut.
"Kau bilang hanya akan menciumku," aku tersenyum.
Saat aku berbaring di dekat tubuhnya yang telanjang, melihat cinta yang tulus di matanya, aku menghilangkan rasa kecewa, kemarahanku, dan pendirianku yang keras kepala. Aku mencintainya, dan tak peduli apapun alasanku untuk hidup tanpa dirinya, aku tahu bukan itu yang aku mau. Bahkan jika aku tidak berubah pikiran, sangat tidak mungkin bagi kami untuk menjauhi satu sama lain.
"Kenapa kita tidak diam di tempat tidur saja seharian"" dia tersenyum.
"Aku datang kemari untuk memasak, ingat""
"Bukan, kau datang kemari untuk membantuku memasak, dan aku baru akan mengerjakan tugasku delapan jam lagi."
Aku menyentuh wajahnya, dorongan untuk mengakhiri penderitaan kami menjadi tidak tertahankan. Saat aku mengatakan padanya aku merubah pikiranku dan keadaan itu akan kembali normal, kami tidak harus menghabiskan hari dengan berpura-pura. Sebaliknya kami dapat menghabiskannya dengan merayakannya.
"Travis, aku pikir kita &"
"Jangan katakan itu, ok" Aku tak ingin memikirkan tentang itu hingga pada saatnya." Dia berdiri dan mengenakan celana boxernya, berjalan menuju tasku. Dia melemparkan pakaianku ke atas tempat tidur lalu menarik masuk kaos ke kepalanya. "Aku ingin mengingat ini sebagai hari yang indah."
Aku memasak telur untuk sarapan dan sandwiches untuk makan siang, dan ketika pertandingan dimulai, aku menyiapkan makan malam. Travis berdiri di belakangku dalam setiap kesempatan, lengannya memeluk pinggangku, bibirnya di leherku. Aku menangkap basah diriku melirik jam, ingin sekali menemukan momen berdua dengannya untuk memberitahunya keputusanku. Aku tidak sabar untuk melihat ekspresi wajahnya dan untuk kembali ke keadaan semula.
Hari itu diisi dengan suara tawa, mengobrol, dan keluhan yang terus menerus dari Tyler karena Travis yang terus menunjukan rasa sayangnya.
"Carilah kamar kosong, Travis! Ya Tuhan!" Tyler mengeluh.
"Kau berubah jadi iri setengah mati," Thomas menggodanya.
"Itu karena mereka membuat aku mual. Aku tidak iri, brengsek," Tyler mendesis marah.
"Biarkan mereka, Ty," Jim memperingatkan.
Saat kita duduk untuk menikmati makan malam, Jim memaksa Travis untuk memotong kalkunnya, dan aku tersenyum saat dia dengan bangga berdiri dan mematuhinya. Aku sedikit cemas hingga pujian menghilangkan rasa cemasku. Pada saat aku menghidangkan pie, tidak ada sepotong makanan pun yang tersisa di meja.
"Apa aku cukup membuatnya" Aku tertawa.
Jim tersenyum, menarik garpu dari mulutnya untuk bersiap memakan makanan penutup. "Kau membuatnya cukup banyak, Abby. Kami hanya memuaskan diri hingga tahun depan lagi &kecuali kau ingin melakukan ini lagi saat Natal. Kau seorang Maddox sekarang. Aku mengharapkan kedatanganmu setiap hari libur, dan bukan untuk memasak."
Aku melirik ke arah Travis yang senyumannya telah hilang, dan hatiku tenggelam. Aku harus cepat memberitahunya. "Terima kasih, Jim."
"Jangan bilang begitu padanya, Ayah," kata Trenton. "Dia harus masak. Aku belum pernah makan seperti ini sejak aku berumur lima tahun!" Dia memasukkan setengah potong pie kacang pikan ke dalam mulutnya, bersenandung dengan penuh kenikmatan.
Aku merasa seperti di rumah, duduk di meja bersama sekumpulan pria yang semuanya bersandar di kursi, mengusap perutnya yang penuh. Emosi membanjiriku saat aku membayangkan Natal, dan Paskah, dan semua hari libur yang akan aku habiskan di meja ini. Aku tidak menginginkan lain selain ingin menjadi
bagian dari keluarga kacau dan berisik yang aku kagumi ini.
Ketika pie habis, saudaranya Travis membersihkan meja dan si kembar bertugas mencuci piring.
"Aku yang akan mengerjakannya," aku berkata sambil berdiri.
Jim mengelengkan kepala. "Tidakk usah. Mereka akan mengerjakannya. Kau ajak saja Travis ke sofa dan beristirahat. Kalian berdua sudah bekerja keras, Sis."
Si kembar saling mencipratkan air cucian piring dan Trenton mengumpat ketika dia tergelincir di atas genangan air dan menjatuhkan satu piring. Thomas memarahi saudaranya, mengambil sapu dan pengki untuk membersihkan pecahan kaca. Jim menepuk bahu anaknya, lalu memelukku sebelum masuk ke kamarnya untuk tidur.
Travis menarik kakiku ke atas pangkuannya dan melepaskan sepatuku, memijit telapak kakiku dengan ibu jarinya. Aku menyandarkan kepalaku ke belakang dan menghela nafas.
"Ini adalah Thanksgiving terbaik kami setelah ibu meninggal."
Aku mengangkat kepalaku untuk melihat ekspresinya. Dia tersenyum, namun diwarnai oleh kesedihan. "Aku senang aku berada di sini untuk melihatnya."
Ekspresi Travis berubah dan aku menyiapkan diriku pada apa yang akan dia katakan. Jantungku berdebar di dadaku, berharap dia akan memintaku kembali sehingga aku bisa mengatakan ya. Las Vegas tampak seperti sudah sangat lama, duduk di rumah keluarga baruku.
"Aku berbeda. Aku tidak tahu apa yang terjadi padaku di Vegas. Itu bukan diriku. Aku berpikir tentang segala sesuatu yang bisa kita beli dengan uang itu, dan hanya itu yang aku pikirkan. Aku tidak melihat betapa itu menyakitimu karena aku ingin mengajakmu kembali ke sana, tapi di dalam hatiku, aku pikir aku tahu. Aku pantas untuk ditinggalkan olehmu. Aku pantas menerima semua waktu tidurku yang hilang, dan rasa sakit yang aku rasakan. Aku membutuhkannya untuk menyadari betapa aku membutuhkanmu, dan apa yang akan aku lakukan untuk membuatmu tetap berada dalam hidupku."
Aku menggigit bibirku, tidak sabar menunggu saat aku akan berkata ya. Aku ingin dia membawaku kembali ke apartemennya dan menghabiskan sisa malam ini dengan merayakannya. Aku tidak sabar untuk bersantai di sofa barunya bersama Toto, menonton film dan tertawa seperti kita yang dulu.
"Kau bilang kau sudah merasa cukup denganku, dan aku menerima itu. Aku orang yang berbeda setelah bertemu denganmu. Aku berubah &menjadi lebih baik. Tapi tidak peduli sekeras apapun aku berusaha, aku sepertinya tidak dapat melakukan hal yang benar di matamu. Kita berteman awalnya, dan aku tidak bisa kehilanganmu, Pigeon. Aku akan selalu mencintaimu, tapi jika aku tidak bisa membuatmu bahagia, tidak masuk akal untukku berusaha mendapatkanmu kembali. Aku tidak bisa membayangkan untuk bersama orang lain, tapi aku akan bahagia selama kita masih berteman."
"Kau ingin kita berteman"" tanyaku, kata itu membakar mulutku.
"Aku ingin kau bahagia. Apapun resikonya."
Bagian dalam diriku terluka karena kata-katanya, dan aku terkejut akan rasa sakit yang sangat besar yang aku rasakan. Dia melepaskan diriku, dan itu tepat pada saat aku tidak menginginkannya. Aku dapat mengatakan padanya bahwa aku telah merubah pikiranku dan dia akan menarik kembali semua yang telah dia katakan, tapi aku tahu kalau itu tidak adil untuk kami berdua untuk bertahan pada saat dia telah melepaskan.
Aku tersenyum untuk menahan air mata. "Lima puluh dolar kau akan berterima kasih padaku untuk ini pada saat kau bertemu calon istrimu nanti."
Alis Travis menyatu saat wajahnya terlihat sedih. "Itu taruhan yang mudah. Satu-satunya wanita yang aku ingin nikahi baru saja mematahkan hatiku."
Aku tidak dapat tersenyum setelah itu. Aku mengusap mataku lalu berdiri. "Aku pikir sudah waktunya kau mengantarku pulang."
"Ayolah, Pigeon. Aku minta maaf, itu tadi tidak lucu."
"Bukan karena itu, Trav. Aku hanya lelah, dan aku sudah siap untuk pulang."
Dia menarik nafas dan mengangguk, berdiri. Aku memeluk saudaranya untuk berpamitan, dan meminta Trenton untuk mengatakan selamat tinggal pada Jim untukku. Travis berdiri di pintu dengan tas kami saat mereka semua setuju untuk pulang saat Natal,
dan aku menahan senyumku cukup lama untuk keluar dari pintu.
Ketika Travis mengantarku ke asrama, wajahnya masih tetap terlihat sedih, namun rasa tersiksanya sudah hilang. Akhir pekan ini bukan satu usaha untuk mendapatkanku kembali. Melainkan penutupan.
Dia membungkuk untuk mencium pipiku dan menahan pintu terbuka untukku, memperhatikan saat aku berjalan masuk. "Terima kasih untuk hari ini. Kau tak tahu betapa kau telah membuat keluargaku bahagia."
Aku berhenti di dasar tangga. "Kau akan memberitahu mereka besok, kan""
Dia melihat keluar ke tempat parkir lalu melihat ke arahku. "Aku sangat yakin mereka sudah mengetahuinya. Kau bukan satu-satunya yang bisa poker face (wajah yg tak menunjukkan emosi), Pidge."
Aku menatapnya, terpana, dan untuk pertama kalinya sejak aku bertemu dengannya, dia pergi meninggalkanku tanpa melihat ke belakang.
*** Bab 18 KOTAK Ujian akhir semester adalah sebuah kutukan bagi semua orang, kecuali diriku. Aku tetap sibuk, belajar bersama Kara dan America di kamarku atau di perpustakaan. Ketika jadwal kuliah berubah saat ujian, aku bertemu Travis hanya sambil lalu. Aku pulang bersama America saat liburan musim semi, bersyukur karena Shepley tetap tinggal bersama Travis sehingga aku tidak harus menderita karena melihat pertunjukan kasih sayang mereka.
Empat hari sebelum liburan usai aku terkena flu, memberiku alasan bagus untuk tetap di atas tempat tidur. Travis bilang dia ingin menjadi teman, tapi dia belum menelepon. Sangat lega memiliki beberapa hari untuk berkubang dalam perasaan kasihan pada diri sendiri. Aku ingin mengeluarkan ini dari sistemku sebelum kembali kuliah.
Perjalanan kembali ke Eastern terasa sangat lama. Aku sudah tidak sabar ingin memulai semester di musim semi ini, namun aku lebih tidak sabar untuk bertemu dengan Travis lagi. Meskipun aku menyadari beberapa kali bertemu dengannya dia tidak terpengaruh oleh beberapa wanita yang mendekatinya setelah mendengar kabar tentang putusnya kami, dia tampak puas dengan pertemanan baru kami. Kami menghabiskan waktu satu bulan berjauhan, membuatku cemas dan tidak tahu bagaimana harus bersikap di dekatnya.
Aku gelisah menunggu Travis saat makan siang, namun saat dia datang dia hanya mengedipkan satu matanya padaku lalu duduk di ujung meja bersama teman-teman perkumpulannya. Aku berusaha untuk berkonsentrasi pada pembicaraan America dan Finch tentang pertandingan football terakhir di musim ini, namun suara Travis terus menarik perhatianku. Dia sedang menceritakan petualangan dan gesekannya dengan hukum yang dia alami saat liburan, dan tentang kekasih barunya Trenton, mereka bertemu suatu malam saat mereka sedang berada di di The Red Door. Aku menguatkan diri untuk mendengar nama seorang wanita yang dia bawa pulang atau temui, tapi jika dia begitu, dia tidak menceritakan itu pada teman-temannya.
Bola berwarna merah dan emas metalik masih tergantung di langit-langit kafetaria, tertiup oleh pemanas ruangan yang menyala. Aku menarik cardiganku, dan Finch melihatnya, memelukku di dekatnya dan menggosok-gosok lenganku. Aku tahu aku terlalu banyak melihat ke arah Travis, menunggunya melihat ke arahku, tapi dia tampak sudah lupa kalau aku duduk di meja ini.
Setelah dia menyelesaikan makan siangnya, hatiku bergetar saat dia berjalan di belakangku dan meletakan tangannya di bahuku.
"Bagaimana pelajaranmu, Shep"" tanyanya.
Wajah Shepley seperti dicubit. "Hari pertama sangat menyebalkan. Berjam-jam kurikulum dan peraturan kelas. Aku bahkan tak tahu mengapa aku kuliah pada minggu pertama. Bagaimana denganmu""
"Ehm &itu semua bagian dari permainan. Bagaimana denganmu, Pidge"" tanyanya.
"Sama," kataku, menjaga suaraku tetap kasual.
"Apakah liburanmu menyenangkan"" dia bertanya sambil mengoyangkanku ke kanan dan ke kiri.
"Lumayan menyenangkan," aku tersenyum.
"Baguslah. Aku ada kelas lain. Sampai nanti."
Aku melihatnya berlari menuju pintu, mendorong keduanya hingga terbuka, lalu menyalakan rokok sambil jalan.
"Huh," kata America dengan nada tinggi. Dia memperhatikan Travis memotong jalan be
rumput melewati salju, lalu menggelengkan kepalanya.
"Ada apa, Sayang"" tanya Shepley.
America meletakan dagunya di atas telapak tangannya, merasa penasaran. "Itu sangat aneh, kan""
"Kenapa"" Shepley bertanya sambil mengibaskan kepang pirang America ke belakang agar dia bisa menyapukan bibirnya di leher America.
America tersenyum dan lebih mendekat pada ciuman Shepley. "Dia kelihatan hampir normal &senormal yang Travis bisa. Ada apa dengannya""
Shepley menggelengkan kepala dan mengangkat bahunya. "Aku tak tahu. Dia sudah seperti itu lumayan lama."
"Bagaimana bisa terbalik denganmu, Abby" Dia baik-baik saja, sedangkan kau menderita," kata America, tidak merasa khawatir akan terdengar orang lain.
"Kau menderita"" tanya Shepley dengan ekspresi terkejut.
Mulutku menganga dan wajahku terbakar karena rasa malu. "Aku tidak menderita!"
America memainkan salad di mangkuknya. 'Well, dia hampir sangat gembira."
"Sudahlah, Mare," aku memperingatkan.
Dia mengangkat bahunya dan memakan saladnya lagi. "Aku rasa dia berpura-pura."
Shepley menyikut America. "America" kau akan pergi ke pesta kencan pada hari Valentine bersamaku atau tidak""
"Tidak bisakah kau bertanya padaku seperti seorang kekasih yang normal" Dengan baik-baik""
"Aku sudah menanyakannya padamu &berkali-kali. kau terus mengatakan padaku untuk bertanya lagi nanti."
America merosot di kursinya, cemberut. "Aku tidak ingin pergi tanpa Abby."
Wajah Shepley menjadi kacau karena frustrasi. "Dia selalu bersama Travis sepanjang waktu terakhir kali kita datang ke pesta itu.Kau hampir tidak bertemu dengannya."
"Berhentilah bersikap seperti anak kecil, Mare," kataku, melemparkan sebatang seledri padanya.
Finch menyikutku. "Aku ingin mengajakmu, Cupcake, tapi aku tidak menyukai semua hal tentang kelompok persaudaraan mahasiswa, maaf."
"Itu merupakan ide yang sangat bagus," kata Shepley, matanya berbinar.
Finch meringis pada pemikiran itu. "Aku bukan Sig Tau, Shep. Aku bukan apa pun. Kelompok persaudaraan bertentangan dengan agamaku."
"Aku mohon, Finch"" America meminta.
"D"j" vu," gerutuku.
Finch melihatku dari ujung matanya lalu menghela nafas. "Ini bukan masalah pribadi, Abby. Aku tidak bisa mengatakan aku pernah pergi berkencan &dengan seorang wanita."
"Aku tahu." Aku menggelengkan kepala dengan acuh, menghilangkan rasa maluku. "Tidak apa-apa. Serius."
"Aku membutuhkanmu di sana," kata America. "Kita sudah bersumpah, ingat" Tidak boleh datang ke pesta sendirian."
"Kau tidak benar-benar sendirian, Mare. Berhentilah menjadi terlalu dramatis," kataku, menjadi merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini.
"Kau ingin yang dramatis" Aku membuang sampah dari tempat sampah yang ada di samping tempat tidurmu, memegangi satu kotak tisu untukmu semalaman, dan terbangun untuk mengambilkan obat batuk untukmu dua kali waktu kau sakit saat liburan! kau berhutang padaku!"
Aku merengut. "Aku sangat sering memegangi rambutmu agar tidak terkena muntahmu, America Mason!"
"kau bersin di wajahku!" kata America, menunjuk ke hidungnya.
Aku meniup poni dari mataku. Aku tidak bisa berdebat dengannya apabila dia sudah bertekad untuk mendapatkan keinginannya. "Baiklah," kataku sambil menutup rapat gigiku.
"Finch"" aku bertanya padanya dengan senyuman terbaikku yang di paksakan. "Maukah kau pergi ke pesta Valentine bodohnya Sig Tau bersamaku""
Finch memelukku di sampingnya. "Ya. Tapi hanya karena kau menyebutnya pesta bodoh."
*** Aku berjalan bersama Finch ke kelas setelah makan siang, mendiskusikan tentang pesta kencan dan bagaimana kami berdua mencemaskan itu. Kami memilih sepasang meja di kelas Fisiologi, dan aku menggelengkan kepala saat Profesor memulai kurikulum keempatku hari itu. Salju mulai turun lagi, melayang mengenai jendela, yang dengan sopan memohon masuk lalu jatuh dengan rasa kecewa ke tanah.
Setelah kuliah usai, seorang pria yang aku temui hanya satu kali di Sig Tau mengetuk mejaku saat dia berjalan melewatiku, mengedipkan satu matanya padaku. Aku memberinya senyuman sopan lalu melihat ke arah F
inch. Dia melemparkan satu senyuman masam padaku, dan aku membereskan buku dan laptopku, memasukkannya ke dalam tas ranselku dengan sedikit usaha.
Aku menyeret tas di atas bahuku, berjalan dengan susah payah menuju asrama di sepanjang jalan yang di beri garam (agar salju mencair). Sekelompok kecil mahasiswa mulai saling melempar salju di atas rumput, dan Finch bergidik karena penampilan mereka yang berlumuran bubuk putih.
Lututku gemetar, saat menemani Finch menghisap rokoknya. America bergegas ke samping kami, mengosok-gosokkan kedua telapak tangannya yang memakai sarung tangan.
"Di mana Shep"" tanyaku.
"Dia pulang ke rumah. Travis membutuhkan bantuannya untuk sesuatu, kurasa."
"kau tidak pergi bersamanya""
"Aku tidak tinggal di sana, Abby."
"Hanya dalam teori," Finch mengedipkan sebelah matanya pada America.
America memutar matanya. "Aku senang menghabiskan waktu bersama kekasihku, tuntut saja aku."
Finch membuang rokoknya ke salju. "Aku akan pergi dulu, Ladies. Sampai bertemu saat makan malam""
Aku dan America mengangguk, tersenyum saat Finch mencium pipiku lalu pipi America. Dia berjalan di jalan yang basah, berhati-hati agar dia tidak terpeleset dan menginjak salju.
America menggelengkan kepalanya saat melihat usahanya. "Dia sangat konyol."
"Dia orang Florida, Mare. Dia tidak terbiasa dengan salju."
Dia tertawa geli lalu menarikku ke pintu.
"Abby!" Aku melihat ke belakang dan melihat Parker berlari melewati Finch. Dia berhenti, terengah berusaha mengatur nafasnya beberapa saat sebelum mulai bicara. Jaket abu gembungnya bergerak naik turun pada setiap tarikan nafasnya, dan aku tertawa geli melihat tatapan rasa ingin tahu America saat dia memperhatikan Parker.
"Aku ingin &whew! Aku ingin bertanya apakah kau mau makan malam bersamaku malam ini."
"Oh. Aku ehm &Aku sudah berjanji pada Finch untuk makan bersamanya nanti malam."
"Baiklah, tidak masalah. Aku hanya ingin mencoba tempat burger baru di pusat kota. Semua orang bilang sangat enak."
"Mungkin lain kali," kataku, lalu menyadari kesalahanku. Aku harap dia tidak akan menganggap jawabanku yang asal sebagai penangguhan. Dia mengangguk dan memasukkan tangan ke sakunya, berjalan kembali ke arah dia datang dengan cepat.
Kara sedang membaca buku barunya, meringis saat melihat aku dan America melangkah masuk. Sikapnya tidak berubah sejak kami kembali dari liburan.
Sebelumnya, aku menghabiskan sebagian besar waktuku di apartemen Travis sehingga komentar dan sikap Kara yang ketus dapat ditoleransi. Menghabiskan sore dan malam hari bersamanya selama dua minggu sebelum semester berakhir, dan aku mulai menyesali keputusanku untuk tidak satu kamar dengan America.
"Oh, Kara. Betapa aku merindukanmu," kata America.
"Aku juga sama," Kara bergumam, matanya tetap pada buku.
America membicarakan tentang hari dan rencananya dengan Shepley untuk akhir pekan ini. Kami menjelajahi internet mencari video lucu, tertawa sangat kencang hingga kami menghapus air mata di mata kami. Kara mendengus beberapa kali karena kami mengganggunya, tapi kami mengabaikannya.
Aku bersyukur atas kunjungan America. Beberapa jam berlalu dengan cepat sehingga aku tidak menghabiskan waktu sedikit pun untuk bertanya-tanya apakah Travis akan menelepon hingga America memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
America menguap dan melihat jam tangannya. "Aku akan pergi tidur, Ab &aw, sialan!" katanya, menjentikkan jarinya. "Aku meninggalkan tempat make-up ku di apartemen Shepley."
"Itu bukan sebuah tragedi, Mare." Aku berkata, masih tertawa geli karena video terakhir yang kami tonton.
"Itu tidak akan menjadi tragedi jika aku tidak menyimpan pil KB-ku di situ. Ayo. Aku harus mengambilnya."
"Tidak bisakah kau menyuruh Shepley mengantarnya kemari""
"Travis meminjam mobilnya. Travis sedang di The Red bersama Trent."
Aku merasa mual. "Lagi" Kenapa dia sering hang out bersama Trent""
America mengangkat bahunya. "Apakah itu penting" Ayolah!"
"Aku tidak ingin bertemu Travis. Itu akan terasa aneh."
"Apakah kau pernah mendengarkan aku"
Dia tidak ada di sana, dia sedang berada di The Red. Ayolah!" dia merengek, menarik-narik lenganku.
Aku berdiri dengan sedikit perlawanan saat dia menarikku keluar dari kamar.
"Akhirnya," kata Kara.
*** Kami menepi di apartemen Travis, dan aku perhatikan motor Harley terparkir di bawah tangga dan bahwa mobil Charger Shepley tidak ada. Aku bernafas lega, dan mengikuti America naik ke tangga yang licin.
"Hati-hati," dia memperingatkan.
Jika aku tahu betapa resahnya untuk kembali menginjakkan kaki di apartemen lagi, aku tidak akan membiarkan America memaksaku datang kemari. Toto berlari dari pojok dengan kecepatan penuh, menerjang kakiku ketika cakar kecilnya tidak dapat berhenti di lantai pintu masuk. Aku mengangkatnya, membiarkannya menciumku dengan ciuman kecil. Setidaknya dia tidak melupakanku. Aku membawanya berkeliling apartemen, menunggu saat America mencari tas itu.
"Aku tahu aku meninggalkannya di sini!" dia berkata dari kamar mandi, berjalan ke lorong menuju kamar Shepley.
"Apa kau sudah mencari di lemari yang di bawah wastafel"" tanya Shepley.
Aku melihat jam tanganku. "Cepatlah, Mare. Kita harus pergi."
America menarik nafas frustrasi di kamar tidur.
Aku melihat jam tanganku lagi, lalu melompat kaget saat pintu depan terbuka di belakangku. Travis melangkah masuk, tangannya memeluk Megan, yang cekikikan di depan mulutnya. Kotak di tangan Megan menarik perhatian mataku, dan aku merasa mual saat aku menyadari itu apa: kondom. Tangan satu laginya di belakang leher Travis, dan aku tidak dapat membedakan lengan siapa menggantung pada siapa.
Travis terkejut saat dia melihatku berdiri sendirian di tengah ruang tamu, dan ketika dia membeku, Megan melihat ke atas dengan senyuman yang masih tersisa di wajahnya.
"Pigeon," kata Travis, terpana.
"Aku menemukannya!" kata America, berlari dari kamar Shepley.
"Apa yang kau lakukan di sini"" tanya Travis. Bau whiskey tercium bersamaan dengan salju yang tiba-tiba turun, dan rasa marahku yang tidak terkontrol mengalahkan rasa tidak peduliku yang pura-pura.
"Senang melihatmu sudah merasa seperti dirimu yang dulu, Trav," kataku. Rasa panas yang terpancar dari wajahku membakar mataku dan mengaburkan penglihatanku.
"Kami baru saja akan pergi," America menggeram, menarik tanganku saat kami melangkah melewati Travis.
Kami berlari menuruni tangga menuju mobil, dan aku bersyukur karena tinggal beberapa langkah lagi, air mata menggenang di mataku. Aku hampir terjatuh terjengkang saat jaketku tersangkut di tengah tangga. Tangan America terlepas dari tanganku dan dia berbalik ke belakang bersamaan denganku.
Tangan Travis mencengkeram jaketku, dan telingaku terbakar, tersengat udara malam yang dingin. Di bibir dan tulang leher Travis terdapat bekas lipstick norak berwarna merah tua.
"Kau mau kemana"" tanya Travis, matanya terlihat setengah mabuk, dan setengah bingung.
"Pulang," bentakku, merapikan jaketku saat dia melepaskanku.
"Apa yang kau lakukan di sini""
Aku dapat mendengar tumpukan salju yang hancur di bawah kaki America saat dia melangkah di belakangku, dan Shepley berlari menuruni tangga untuk berdiri di belakang Travis, mata waspadanya melihat ke arah kekasihnya.
"Maafkan aku. Jika aku tahu kau akan berada di sini, aku tidak akan datang."
Dia memasukkan tangan ke saku jaketnya. "Kau boleh datang kemari kapan saja kau mau, Pidge. Aku tidak pernah menginginkanmu menjauh."


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tidak bisa mengendalikan keasaman dalam suaraku. "Aku tidak ingin mengganggu." Aku melihat ke puncak tangga di mana Megan berdiri dengan ekspresi sombong. "Selamat menikmati malammu," aku berkata sambil berbalik ke belakang.
Dia mencengkeram tanganku. "Tunggu. kau marah""
Aku menarik jaketku dari genggamannya. "Kau tahu &aku bahkan tidak tahu mengapa aku terkejut."
Alisnya ditarik masuk. "Aku tidak bisa menang denganmu. Aku tidak bisa menang denganmu! kau bilang kau sudah muak &aku sangat menderita di sini! Aku harus menghancurkan teleponku menjadi kepingan kecil agar tidak meneleponmu setiap menit setiap hari - aku harus berpura-p
ura semuanya baik-baik saja di kampus agar kau bahagia &dan kau marah padaku" kau menghancurkan hatiku!" kata terakhirnya itu bergema di kegelapan malam.
"Travis, kau mabuk. Biarkan Abby pulang," kata Shepley.
Travis mencengkram bahuku dan menarikku ke arahnya. "Kau menginginkan aku, atau tidak" kau tak bisa terus melakukan ini padaku, Pidge!"
"Aku tidak datang untuk menemuimu," kataku, mendelik padanya.
"Aku tidak menginginkan Megan," kata Travis, menatap bibirku. "Aku sangat tidak bahagia, Pigeon." Pandangannya tidak peduli lalu dia mendekat, memiringkan kepalanya untuk menciumku.
Aku memegang dagunya, menahannya. "Ada bekas lipstiknya di bibirmu, Travis," kataku, merasa jijik.
Dia mundur satu langkah dan menarik kaosnya, mengelap bibirnya. Dia menatap garis merah di kain putih lalu menggelengkan kepala. "Aku hanya ingin melupakannya. Hanya untuk satu malam."
Aku mengelap air mata yang lolos. "Kalau begitu jangan biarkan aku menghentikanmu."
Aku mencoba untuk mundur ke mobil, tapi Travis menarik tanganku lagi. Pada saat berikutnya, America dengan keras memukulkan kepalan tangannya ke lengan Travis. Travis melihat ke arah America, mengedipkan matanya beberapa kali, tertegun tidak percaya. America mengepalkan tangannya lalu memukulkannya ke dada Travis hingga dia melepaskanku.
"Tinggalkan dia sendiri, brengsek!"
Shepley menarik tangan Mare dan dia mendorongnya, berbalik untuk menampar wajah Travis. Suara tangannya di pipi Travis sangat cepat dan kencang, dan aku tersentak mendengarnya. Semua orang membeku beberapa saat, terkejut atas kemarahan America yang tiba-tiba.
Travis meringis, namun dia tidak membela dirinya sendiri. Shepley mencengkeram America lagi, memegang pergelangan tangannya dan menariknya ke dalam mobil saat America memaki-maki.
America melawan, rambut pirangnya bergerak-gerak karena usahanya untuk melepaskan diri. Aku merasa takjub pada tekadnya untuk memukul Travis. Rasa benci yang murni terpancar dari mata yang biasanya manis dan riang.
"Teganya dirimu" Dia pantas mendapatkan yang lebih baik darimu, Travis!"
"America, STOP!" teriak Shepley, lebih kencang dari yang biasa aku dengar.
Lengannya jatuh di samping tubuhnya saat dia menatap tidak percaya pada Shepley. "kau membelanya""
Walaupun dia terlihat gugup, dia berdiri tegak. "Abby sudah putus dengan dia. Dia hanya berusaha untuk melanjutkan hidupnya."
Mata America menyipit lalu menarik lengannya dari genggaman Shepley. "Kalau begitu kenapa kau tidak pergi mencari PELACUR secara acak-," dia melihat ke arah Megan, "-di The Red lalu membawanya pulang untuk ditiduri, lalu beritahu aku jika itu membantumu melupakanku."
"Mare," Shepley menariknya tapi America menghindarinya, membanting pintu saat dia duduk di belakang kemudi. Aku duduk di sampingnya, berusaha untuk tidak menatap Travis.
"Sayang, jangan pergi," Shepley memohon sambil membungkuk di jendela.
America menyalakan mobil. "Ada pihak yang benar dan ada pihak yang salah di sini, Shep. Dan kau berada di pihak yang salah."
"Aku berada di sisimu," dia berkata, matanya terlihat putus asa.
"Sudah tidak lagi," dia berkata sambil memundurkan mobil.
"America" America!" Shepley memanggilnya saat dia melaju dengan cepat, meninggalkan Shepley di belakang.
Aku menarik nafas. "Mare, kau tidak bisa putus dengannya karena hal ini. Dia benar."
America menyentuh tanganku dan meremasnya. "Tidak, dia salah. Tidak ada satu pun hal yang benar dari apa yang terjadi tadi."
*** Saat kami menepi di tempat parkir samping asrama, telepon America berbunyi. Dia memutar mata saat menjawabnya. "Aku tidak ingin kau meneleponku lagi. Aku serius, Shep," kata America. "Tidak kau tidak akan &karena aku tidak ingin kau melakukannya, itu alasannya. Kau tidak bisa membela apa yang telah dia lakukan, kau tidak bisa membenarkannya menyakiti Abby seperti itu dan tetap bersamaku &itulah yang aku maksud, Shepley! Itu bukan alasan! kau tidak melihat Abby meniduri pria pertama yang dia lihat! Bukan Travis yang jadi masalahnya, Shepley. Dia tidak memintamu untuk membelan
ya! Ah &aku muak membicarakan ini. Jangan menelepon aku lagi. Selamat tinggal."
Dia mendorong dirinya keluar dari mobil dan melompat ke jalan lalu menaiki tangga, aku mencoba untuk mengikuti langkahnya, menunggu untuk mendengar sisi lain pembicaraan.
Ketika teleponnya berbunyi lagi, dia mematikannya. "Travis meminta Shepley untuk mengantar Morgan pulang. Dia ingin mampir saat dia menuju pulang."
"kau harus mengizinkannya, Mare."
"Tidak. kau sahabatku. Aku tidak bisa menerima apa yang telah aku lihat malam ini, dan aku tidak bisa bersama seseorang yang membelanya. Akhir dari pembicaraan, Abby, aku serius."
Aku mengangguk dan dia memeluk bahuku, menarikku ke sampingnya saat kami berjalan menaiki tangga menuju kamar kami. Kara sudah tidur, dan aku tidak mandi, naik ke tempat tidur dengan masih memakai pakaian lengkap, jaket dan semuanya. Aku tidak bisa berhenti memikirkan saat Travis melangkah masuk bersama Megan, atau bekas lipstik di wajahnya. Aku mencoba untuk memblokir bayangan menjijikkan tentang apa yang akan terjadi jika aku tidak berada di sana, dan aku melintasi beberapa emosi, menetap di keputusasaan.
Shepley benar. Aku tidak berhak untuk marah, namun itu tidak membantu untuk mengabaikan rasa sakitnya.
*** Finch menggelengkan kepalanya ketika aku duduk di sampingnya. Aku tahu aku terlihat berantakan; aku hampir tidak mempunyai energi untuk berganti pakaian atau menggosok gigi. Aku hanya tidur selama satu jam tadi malam, tidak mampu menghilangkan pemandangan lipstik merah di bibir Travis dan rasa bersalah karena mengakibatkan America dan Shepley putus.
America memilih untuk tetap berada di atas tempat tidur, menyadari setelah rasa marahnya hilang, rasa sedih akan muncul. Dia mencintai Shepley, dan meskipun dia bertekad untuk mengakhirinya karena Shepley telah memilih pihak yang salah, dia telah siap untuk merasakan reaksi dari keputusannya.
Setelah kelas usai, Finch berjalan bersamaku menuju kafetaria. Seperti yang aku takutkan, Shepley sedang menunggu America di pintu. Ketika dia melihatku, dia tidak sungkan.
"Di mana Mare""
"Dia tidak kuliah pagi ini."
"Dia di kamarnya"" dia berkata sambil berjalan ke asrama.
"Maafkan aku, Shepley," aku memanggilnya.
Dia berhenti dan berbalik arah, dengan wajah orang yang sudah mencapai batasnya. "Aku harap kau dan Travis akan menyelesaikan masalah kalian! kau seperti tornado yang menyebalkan! Saat kau bahagia, penuh cinta, kedamaian, dan kupu-kupu. Saat kau marah, kau membawa seluruh dunia menderita bersamamu!"
Dia berderap pergi dan aku menghembuskan nafas yang telah aku tahan dari tadi. "Itu berjalan dengan lancar."
Finch menarikku ke dalam kafetaria. "Seluruh dunia. Wow. kau pikir kau bisa membuat voodoomu bekerja sebelum ujian hari Jumat""
"Aku akan lihat apa yang bisa aku lakukan."
Finch memilih meja yang berbeda, dan aku merasa lebih dari senang mengikutinya ke sana. Travis duduk bersama teman perkumpulannya, namun dia tidak membawa nampan dan dia tidak tinggal lama. Dia melihatku hanya pada saat dia akan pergi, namun dia tidak berhenti.
"Jadi America dan Shepley putus juga, huh"" tanya Finch sambil mengunyah.
"Kami ke rumah Shep tadi malam dan Travis pulang bersama Megan dan &semua menjadi kacau. Mereka masing-masing berpihak.
"Aw." "Tepat sekali. Aku merasa sangat tidak enak."
Finch menepuk punggungku. "kau tidak bisa mengontrol keputusan yang mereka buat, Abby. Jadi aku rasa ini berarti kita tidak akan datang ke acara Valentine di Sig Tau""
"Sepertinya begitu."
Finch tersenyum. "Aku tetap akan mengajakmu keluar. Aku akan mengajak kalian berdua, kau dan America keluar. Itu akan menyenangkan."
Aku bersandar di bahunya. "kau memang yang terbaik, Finch."
Aku tidak peduli tentang Valentine, tapi aku senang aku punya rencana. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana menderitanya perasaan yang akan aku rasakan apabila harus melewatinya hanya berdua dengan America, mendengar ocehannya tentang Shepley dan Travis sepanjang malam. Dia masih akan melakukannya-dia bukan America kalau tidak melakukannya-s
etidaknya itu akan sedikit berkurang apabila kita berada di tempat umum.
*** Minggu demi minggu telah berlalu di bulan Januari, dan setelah usaha Shepley yang patut diacungi jempol namun gagal untuk mendapatkan America kembali, aku menjadi lebih jarang bertemu mereka berdua, Shepley dan Travis. Pada bulan Februari, mereka berdua tidak pernah datang lagi ke kafetaria, dan aku hanya melihat Travis beberapa kali saat aku akan masuk kelas.
Seminggu sebelum hari Valentine, America dan Finch memaksaku pergi ke The Red, dan kami semua naik mobil ke sana, aku sangat takut akan bertemu dengan Travis di sana. Kami melangkah masuk, dan aku bernafas lega ketika melihat tidak ada tanda-tanda Travis berada di sana.
"Putaran pertama aku yang traktir," kata Finch, menunjuk sebuah meja lalu berjalan menerobos kerumunan menuju bar.
Kami duduk dan memperhatikan lantai dansa yang awalnya kosong menjadi sangat penuh oleh mahasiswa/i yang mabuk. Setelah putaran kelima kami, Finch menarik kami ke lantai dansa, dan aku akhirnya merasa cukup santai untuk menikmatinya. Kami tertawa-tawa dan membentur satu sama lain, tertawa histeris ketika seorang pria mengayunkan pasangan dansanya dan dia terlepas dari tangan pria itu, sehingga jatuh dan meluncur di lantai dalam posisi menyamping.
America mengangkat tangan di atas kepalanya, menggoyangkan rambut keritingnya mengikuti musik. Aku tertawa karena dansa ciri khasnya itu, lalu langsung berhenti ketika aku melihat Shepley berjalan di belakang America. Shepley membisikkan sesuatu di telinganya dan America pun melihat ke belakang. Mereka berdebat lalu America menarik tanganku, menuntunku ke meja kami.
"Tentu saja. Malam pertama kita pergi keluar, dan dia muncul," gerutunya.
Finch membawakan kami dua minuman lagi, dan juga tiga sloki minuman untuk kita bertiga. "Aku pikir kalian membutuhkannya."
"Kau benar." America menenggak minumannya sebelum kami sempat bersulang dan aku menggelengkan kepala, mendentingkan gelasku pada gelas Finch. Aku berusaha untuk tetap menatap wajah teman-temanku, khawatir apabila Shepley berada di sini, Travis tidak akan berada jauh di belakangnya.
Lagu berikutnya terdengar dari speaker dan America berdiri. "Masa bodoh. Aku tidak akan duduk di sini sepanjang malam.
"Bagus, girl!" Finch tersenyum, mengikutinya ke lantai dansa.
Aku mengikuti mereka, melihat sekeliling mencari Shepley. Dia telah menghilang, dan aku santai kembali, berusaha menghilangkan perasaan kalau Travis akan muncul di lantai dansa bersama Megan. Seorang pria yang biasa aku lihat di sekitar kampus berdansa di belakang America, dan dia tersenyum, menyambut pengalihan perhatian itu. Aku curiga dia berusaha untuk memperlihatkan bahwa dia menikmatinya, dengan harapan Shepley akan melihatnya. Aku berpaling sebentar, dan saat aku melihat kembali ke arah America, pasangan dansanya telah menghilang. Dia mengangkat bahunya, terus menggoyangkan pinggulnya mengikuti irama.
Lagu berikutnya diputar dan pria berbeda muncul di belakang America, temannya berdansa di sampingku. Setelah beberapa saat, pasangan dansaku bermanuver di belakangku, dan aku merasa sedikit tidak nyaman saat aku merasakan tangannya di pinggulku. Seperti dia membaca pikiranku, tangannya melepaskan pinggangku. Aku melihat ke belakang, dan dia sudah menghilang. Aku melihat ke arah America, dan pria di belakang America juga menghilang.
Finch tampak sedikit gugup, namun saat America menarik naik alisnya karena ekspresinya, Finch menggelengkan kepalanya dan melanjutkan berdansa.
Ketika lagu ketiga, aku sudah berkeringat dan lelah. Aku kembali ke meja kami, meletakkan kepalaku yang terasa berat di atas tanganku, dan tertawa saat aku melihat pria penuh harap lain lagi mengajak America berdansa. America mengedipkan satu matanya padaku dari lantai dansa, dan aku terdiam membeku saat pria itu ada yang menarik ke belakang dan menghilang di kerumunan.
Aku berdiri dan berjalan mengelilingi lantai dansa, mataku tetap menatap ke arah lubang tempat pria itu ditarik, dan merasakan andrenalin terbakar bercampur dengan alkohol
di pembuluh darahku saat melihat Shepley memegang leher pria yang tampak terkejut itu. Travis berada di belakangnya, tertawa histeris hingga dia melihat ke atas dan melihatku memperhatikan mereka. Dia memukul lengan Shepley, dan ketika Shepley melihat ke arahku, dia mendorong korbannya ke lantai.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengerti apa yang sedang terjadi: mereka telah menarik semua pria yang berdansa bersama kami keluar dari lantai dansa dan mengancam mereka agar menjauh dari kami.
Aku memicingkan mataku pada mereka berdua lalu berjalan ke arah America. Kerumunan orang sangat banyak, dan aku harus mendorong beberapa orang agar tidak menghalangi jalanku. Shepley menarik tanganku sebelum aku tiba di lantai dansa.
"Jangan beritahu dia!" kata Shepley, mencoba menahan senyumnya.
"Apa sebenarnya yang kau pikir kau lakukan, Shep""
Dia mengangkat bahunya, masih merasa bangga pada dirinya sendiri. "Aku mencintainya. Aku tidak bisa membiarkan pria lain berdansa dengannya."
"Lalu apa alasanmu untuk menarik pria yang berdansa denganku"" tanyaku, menyilangkan lengan di dadaku.
"Itu bukan aku," kata Shepley, dengan cepat melirik ke arah Travis. "Maaf, Abby. Kami hanya bersenang-senang."
"Tidak lucu." "Apa yang tidak lucu"" tanya America, mendelik ke arah Shepley.
Dia menelan ludah, memberi pandangan memohon padaku. Aku berhutang budi padanya, maka aku menutup mulutku.
Dia menarik nafas lega ketika menyadari aku tidak akan mengadukannya, lalu dia melihat ke arah America dengan tatapan kagum yang manis. "Mau berdansa""
"Tidak, aku tidak mau berdansa," jawabnya, berjalan kembali ke meja kami. Dia mengikutinya, meninggalkan aku dan Travis berdiri bersama.
Travis mengangkat bahunya. "Mau berdansa""
"Apa" Megan tidak ada di sini""
Dia menggelengkan kepala. "Kau dulu manis kalau sedang mabuk."
"Senang rasanya telah mengecewakanmu," kataku, melangkah ke arah bar.
Dia mengikuti, menarik dua pria dari tempat duduknya. Aku menatap tajam ke arahnya beberapa saat, namun dia mengabaikanku, duduk lalu memperhatikanku dengan ekspresi penuh harap.
"Apa kau tidak akan duduk" Aku akan membelikanmu bir."
"Kupikir kau tidak pernah membelikan minuman untuk wanita yang berada di bar."
Dia memiringkan kepalanya ke arahku dan merengut tidak sabar. "Kau berbeda."
"Itu yang selalu kau katakan padaku."
"Ayolah, Pidge. Katanya kita akan berteman""
"Kita tidak bisa berteman, Travis. Sangat jelas."
"Kenapa tidak""
"Karena aku tidak ingin melihatmu melecehkan wanita yang berbeda setiap malam, dan kau tidak membiarkan seorangpun berdansa denganku."
Dia tersenyum. "Aku mencintaimu. Aku tidak bisa membiarkan pria lain berdansa denganmu."
"Oh ya" Seberapa besar kau mencintaiku saat membeli sekotak kondom itu""
Dia meringis dan aku berdiri, berjalan ke meja. Shepley dan America sedang berpelukan erat, dan menarik perhatian saat mereka berciuman dengan penuh gairah.
"Aku rasa kita akan tetap pergi ke pesta kencan Valentine Sig Tau," kata Finch sambil mengernyit.
Aku menghela nafas. "Sialan."
*** Bab 19 HELLERTON America belum kembali lagi ke asrama sejak reuninya dengan Shepley. Dia sering tidak datang saat makan siang, dan jarang menelepon. Aku tidak keberatan mereka menghabiskan waktu untuk menebus waktu yang mereka habiskan saat putus. Sejujurnya, aku senang America terlalu sibuk untuk meneleponku dari apartemen Shepley dan Travis. Terasa canggung bila mendengar suara Travis di belakang, dan aku merasa sedikit iri bahwa dia menghabiskan waktu bersama Travis sedangkan aku tidak.
Aku dan Finch semakin sering bertemu, dan dengan egois bersyukur bahwa dia juga tidak punya kekasih seperti aku. Kami masuk kelas, makan, dan belajar bersama, bahkan Kara mulai terbiasa melihatnya.
Jari-jariku mulai mati rasa karena udara dingin saat aku berdiri di luar gedung asrama sementara Finch merokok.
"Maukah kau mempertimbangkan untuk berhenti merokok sebelum aku terkena hipotermia karena berdiri di sini untuk memberimu dukungan moral"" tanyaku.
Finch tertawa. " Aku mencintaimu, Abby. Sangat mencintaimu, tapi tidak. Aku tidak akan berhenti."
"Abby"" Aku berpaling dan melihat Parker berjalan di trotoar dengan tangan di dalam sakunya. Bibirnya yang penuh terlihat kering di bawah hidungnya yang merah, aku tertawa ketika dia seolah meletakan rokok khayalan di mulutnya dan menghembuskan kepulan udara yang berkabut.
"Kau akan menghemat banyak uang bila seperti ini, Finch," dia tersenyum.
"Kenapa hari ini semua orang mengejek kebiasaan merokokku"" dia bertanya, merasa terganggu.
"Ada apa, Parker"" tanyaku.
Dia mengeluarkan dua tiket dari sakunya. "Film Vietnam baru itu sudah keluar. Tempo hari kau bilang ingin menontonnya, jadi kupikir aku akan membeli tiket untuk kita malam ini."
"Tidak ada tekanan," kata Finch.
"Aku bisa pergi bersama Brad jika kau sudah punya rencana," dia berkata sambil mengangkat bahu.
"Jadi ini bukan kencan"" tanyaku.
"Bukan, hanya teman."
"Dan kita lihat bagaimana ini berhasil untuk kalian." Ledek Finch.
"Tutup mulutmu!" aku tertawa cekikikan. "Itu kedengarannya menyenangkan, Parker, terima kasih."
Matanya berbinar. "Apa kau ingin makan pizza atau sesuatu sebelumnya" Aku tidak terlalu suka makanan di bioskop."
"Pizza boleh," aku mengangguk.
"Itu uh &itu bagus, kalau begitu. Filmnya mulai jam sembilan, jadi aku akan menjemputmu sekitar jam enam tiga puluh""
Aku mengangguk lagi dan Parker melambaikan tangan selamat tinggal.
"Ya Tuhan," kata Finch. "Kau wanita yang rakus, Abby. Kau tahu itu tidak akan berjalan dengan baik saat Travis mendengarnya."
"Kau dengar Parker bilang tadi. Itu bukan kencan. Dan aku tidak bisa membuat rencana berdasarkan apa yang bisa Travis terima atau tidak. Dia juga tidak meminta izinku dulu saat dia membawa Megan pulang."
"Kau tidak akan pernah melupakannya, ya""
"Kemungkinannya tidak, tidak akan."
*** Kami duduk di pojok, dan aku menggosok-gosok tanganku yang memakai sarung tangan, agar hangat. Aku tidak bisa menahan karena mengetahui kami duduk di tempat yang sama dengan aku dan Travis saat kami pertama bertemu, lalu tersenyum karena teringat hari itu.
"Apa yang lucu"" tanya Parker.
"Aku menyukai tempat ini. Saat yang menyenangkan."
"Aku lihat gelangnya di pakai," kata Parker
Aku melihat ke bawah pada berlian yang mengkilap di pergelangan tanganku. "Sudah kubilang padamu aku menyukainya."
Pelayan menyerahkan pada kami daftar menunya dan mengambil pesanan minuman kami. Parker memberitahuku tentang jadwal musim Seminya, dan membicarakan tentang perkembangan pelajarannya untuk MCAT (Ujian MAsuk Fakultas Kedokteran). Pada saat pelayan menyajikan bir pesanan kami, Parker masih terus bicara. Dia terlihat gugup, dan aku bertanya-tanya apakah menurut Parker kami sedang berkencan, mengingat apa yang telah dia katakan.
Dia berdehem. "Maafkan aku. Aku rasa aku memonopoli pembicaraan terlalu lama." Dia meminum birnya dan menggelengkan kepala. "Hanya saja aku sudah lama tidak mengobrol denganmu, sehingga banyak yang ingin aku bicarakan."
"Tidak apa-apa. Memang sudah sangat lama kita tidak mengobrol."
Tak lama kemudian, pintu berdenting. Aku berpaling lalu melihat Travis dan Shepley masuk. Hanya membutuhkan satu detik bagi Travis untuk balik menatapku, namun dia tidak terlihat terkejut.
"Ya Tuhan," aku bergumam.
"Kenapa"" tanya Parker, berpaling ke belakang dan melihat mereka duduk di seberang kami.
"Ada tempat makan burger di seberang jalan yang bisa kita datangi," kata Parker dengan suara berbisik. Dia masih segugup sebelumnya, itu telah membawanya ke level baru.
"Kurasa itu akan semakin canggung apabila kita pergi sekarang," gumamku.
Wajahnya terlihat sedih, merasa kalah. "Kau mungkin benar."
Kami mencoba melanjutkan pembicaraan kami, tapi terasa seperti dipaksakan dan menjadi tidak nyaman.
Pelayan menghabiskan waktu lebih lama di meja Travis, menyisirkan jari ke rambutnya dan bergeser dari satu kaki ke kaki satu lagi. Dia akhirnya ingat untuk mengambil pesanan kami saat Travis menerima telepon.
"Aku pesan tortellini," kata Parker, meli
hat ke arahku. "Dan aku memesan &" aku berhenti bicara. Teralihkan saat Travis dan Shepley berdiri.
Travis mengikuti Shepley ke pintu, namun dia ragu-ragu, berhenti, dan berbalik. Ketika dia melihatku memperhatikannya, dia berjalan lurus menelusuri ruangan. Pelayan itu tersenyum penuh harap, sepertinya dia berpikir Travis mendekat untuk mengucapkan selamat tinggal padanya. Dia langsung kecewa saat Travis berdiri di sampingku tanpa sedikitpun melihat ke arahnya.
"Aku ada pertarungan dalam empat puluh lima menit, Pidge. Aku ingin kau berada di sana,"
"Trav &" Wajahnya sangat pandai mengendalikan emosinya, namun aku dapat melihat rasa tegang di sekitar matanya. Aku tak yakin apa dia tidak ingin meninggalkan makan malamku dengan Parker berlanjut, atau dia benar-benar menginginkanku berada di sana bersamanya, tapi aku sudah membuat keputusan sesaat setelah dia meminta.
"Aku membutuhkanmu untuk berada di sana. Ini pertarungan ulang dengan Bradly Peterson, anak dari State. Penonton akan penuh, banyak uang yang beredar &dan Adam bilang Bradly sudah berlatih."
"Kau sudah pernah melawannya sebelumnya, Travis, kau tahu akan menang dengan mudah."
"Abby," kata Parker pelan.
"Aku membutuhkanmu di sana," kata Travis, rasa percaya dirinya menghilang.
Aku melihat Parker dengan senyuman menyesal. "Maafkan aku."
"Apakah kau serius"" tanyanya, alisnya naik ke atas. "Kau akan pergi di tengah-tengah makan malam""
"Kau masih bisa menelepon Brad, kan"" tanyaku sambil berdiri.
Ujung bibir Travis naik saat dia melemparkan uang dua puluh dolar ke atas meja.
"Ini akan mengganti kerugianmu."
"Aku tidak peduli dengan uangnya &Abby &"
Aku mengangkat bahuku. "Dia sahabat baikku, Parker. Jika dia membutuhkanku di sana, aku harus pergi."
Aku merasakan tangan Travis membungkus tanganku saat dia menuntunku. Parker memperhatikan dengan pandangan terpana di wajahnya. Shepley sudah menghubungi orang-orang dari dalam mobilnya, menyebarkan berita.
Travis duduk di belakang bersamaku, tetap memegang tanganku dengan erat.
"Aku baru menutup telepon dari Adam, Trav. Dia bilang anak-anak State datang dalam keadaan mabuk dan membawa banyak uang. Mereka sudah mulai kesal, jadi mungkin kau ingin menjauhkan Abby dari mereka."
Travis mengangguk. "Kau dapat menjaganya."
"America di mana"" tanyaku.
"Dia sedang belajar untuk ujian Fisika."
"Lab nya sangat bagus," kata Travis. Aku tertawa satu kali lalu melihat ke arah Travis yang sedang tersenyum kecil.
"Kapan kau melihat lab nya" kau tidak mengambil mata kuliah Fisika," tanya Shepley.
Travis tertawa geli dan aku menyikutnya. Dia menutup rapat bibirnya hingga keinginan tertawanya hilang lalu mengedipkan satu matanya padaku, meremas tanganku sekali lagi. Jari-jarinya terjalin dengan jariku, dan aku mendengar desahan pelan dari bibirnya. Aku tahu apa yang dia pikirkan karena aku merasakan hal yang sama. Dalam sepotong waktu itu, seperti tidak ada yang berubah.
Kami menepi di tempat yang gelap di tempat parkir, dan Travis menolak untuk melepaskan tanganku hingga kita merangkak ke dalam jendela bawah tanah di Gedung Sains Hellerton. Gedung itu di bangun setahun yang lalu, sehingga udara belum lembab dan berdebu seperti ruang bawah tanah lainnya yang telah kami masuki.
Saat kita memasuki lorong, gemuruh penonton terdengar di telinga kami. Aku mengintipkan kepalaku keluar untuk melihat lautan manusia, banyak dari mereka yang tidak kukenal. Semua orang memegang satu botol bir di tangannya, namun mahasiswa State sangat mudah di bedakan dalam kerumunan. Mereka yang berjalan terhuyung dengan mata sedikit tertutup.
"Tetap berada di dekat Shepley, Pigeon. Akan menjadi sedikit gila di sini," dia berkata dari belakangku. Dia memeriksa kerumunan, menggelengkan kepala karena penonton yang banyak.
Bawah tanah Hellerton adalah tempat yang paling luas di kampus, sehingga Adam sering menjadwalkan pertarungan di sini saat dia menginginkan penonton yang banyak. Bahkan dengan ruang tambahan, orang-orang masih terhimpit diantara tembok dan harus mendorong orang lain u
ntuk mendapat tempat yang bagus.
Adam muncul di pojok dan tidak berusaha untuk menyembunyikan rasa tidak sukanya saat melihat aku berada di situ. "Kupikir aku sudah bilang padamu bahwa kau tidak bisa membawa kekasihmu ke pertarungan lagi, Travis."
Travis mengangkat bahunya. "Dia bukan lagi kekasihku."
Aku menjaga penampilanku tetap tenang, namun dia telah mengatakan itu dengan blak-blakan, itu mengakibatkan rasa terusuk di dadaku.
Adam melihat ke arah jari kami yang terjalin lalu menatap Travis. "Aku tak akan pernah mengerti kalian berdua." Dia menggelengkan kepala lalu melihat ke arah kerumunan. Orang-orang masih berdatangan dari arah tangga, dan mereka yang di bawah sudah penuh sesak. "Kita melawan penghisap ganja gila malam ini, jadi jangan macam-macam, ok""
"Aku akan memastikan mereka terhibur, Adam."
"Bukan itu yang aku khawatirkan. Brady sudah berlatih."
"Begitu juga aku."
"Omong kosong," Shepley tertawa.
Travis mengangkat bahunya. "Aku berkelahi dengan Trent minggu kemarin. Bajingan itu sangat cepat."
Aku tertawa geli dan Adam menatap tajam ke arahku. "Kau sebaiknya menganggap ini serius, Travis," dia berkata sambil menatap mata Travis. "Aku bertaruh banyak pada pertarungan ini."
"Dan aku tidak"" kata Travis, merasa kesal karena ceramah Adam.
Adam berbalik, memegang pengeras suara di mulutnya saat dia berdiri di atas kursi di atas banyaknya penonton yang mabuk. Travis menarikku ke sampingnya saat Adam menyapa penonton lalu membacakan peraturannya.
"Semoga berhasil," kataku, menyentuh dadanya. Aku tak pernah merasa cemas melihat pertarungannya sejak pertarungannya dengan Brady dulu, namun aku tidak bisa menghilangkan perasaan tidak enak yang aku rasakan sejak kami menginjakan kaki di Hellerton. Ada sesuatu yang salah, dan Travis merasakannya juga.
Travis menarik bahuku dan mendaratkan sebuah ciuman di bibirku. Dia menjauh dengan cepat, mengangguk satu kali. "Hanya itu keberuntungan yang aku butuhkan."
Aku masih terpana pada hangat bibirnya Travis saat Shepley menarik lenganku ke dinding di belakang Adam. Aku ditabrak dan disikut, mengingatkanku pada malam pertama aku menonton pertarungan Travis, namun kerumunan mulai tidak sabar, dan beberapa mahasiswa State mulai berkelahi. Mahasiswa Eastern bersorak dan bersiul pada Travis saat dia menerobos masuk The Circle, sedangkan mahasiswa State antara mencemooh Travis dan bersorak pada Brady.
Aku berada di posisi terbaik untuk melihat Brady yang lebih tinggi dari Travis, berkedut tidak sabar untuk mendengar pengeras suara berbunyi. Seperti biasa, ada seringai kecil di wajah Travis, tidak terpengaruh oleh kegilaan di sekitarnya. Ketika Adam memulai pertarungan, Travis dengan sengaja membiarkan pukulan pertama Brady masuk. Aku terkejut ketika wajahnya tersentak dengan keras ke samping karenanya. Brady telah berlatih.
Travis tersenyum, giginya merah terang, lalu dia fokus mengikuti setiap pukulan yang Brady ayunkan.
"Mengapa dia membiarkan Brady memukulnya beberapa kali"" tanyaku pada Shepley.
"Aku rasa dia bukan membiarkannya lagi," kata Shepley, menggelengkan kepalanya. "Jangan khawatir, Abby. Dia sedang bersiap-siap untuk menyamakan kedudukan."
Setelah sepuluh menit Brady sudah kehabisan nafas, namun dia masih tetap dapat mendaratkan pukulan keras pada Travis. Travis memegang sepatu Brady saat dia mencoba menendangnya, dan menahan kakinya lebih tinggi dengan satu tangan, mengakibatkan dia kehilangan keseimbangan. Penonton meledak saat Brady jatuh, namun dia tidak lama berada di bawah. Dia berdiri, dengan dua garis merah tua mengalir dari hidungnya. Beberapa saat berikutnya, dia mendaratkan dua pukulan lagi di wajah Travis. Darah keluar dari luka di alis Travis dan menetes di pipinya.
Aku menutup mataku lalu berpaling berharap Travis akan mengakhiri pertarungan dengan cepat. Gerakan kecil tubuhku membuatku berada di antara penonton, dan sebelum aku dapat memperbaiki posisiku, aku sudah beberapa kaki jauhnya dari Shepley yang tengah asyik menonton pertarungan. Aku berusaha menerobos kerumunan dengan sia-sia, hing
ga aku dapat merasakan dinding di belakangku.
Seorang pria kehilangan keseimbangannya dan menggunakan bajuku untuk membantunya berdiri, menumpahkan bir di tubuhku. Aku basah kuyup dari leher ke pinggang, berbau pahit dan amis bir murah. Pria itu masih memegang bajuku tergenggam di tangannya saat dia berusaha menarik dirinya dari lantai, dan aku melepaskan dua jarinya sekaligus hingga dia melepaskanku. Dia tidak melihat dua kali ke arahku, mendorong dirinya ke depan menuju kerumunan.
"Hey! Aku mengenal dirimu!" teriak seseorang di telingaku.
Aku menjauh, langsung mengenalinya. Itu adalah Ethan, pria yang Travis ancam di bar-pria yang entah bagaimana caranya lolos dari tuntutan pelecehan seksual.
"Ya," kataku, mencari celah di antara kerumunan saat aku merapikan bajuku.
"Itu gelang yang bagus," dia berkata, jarinya menelusuri lenganku dan menarik pinggangku.
"Heh," aku memperingatkan, menarik lenganku menjauh.
Dia mengusap lenganku, terhuyung dan menyeringai. "Kita dihentikan dengan tidak sopan terakhir kali aku mencoba bicara denganmu."
Aku berjinjit, melihat Travis mendaratkan dua pukulan di wajah Brady, sambil memeriksa kerumunan di sela-selanya. Dia mencariku bukannya fokus pada pertarungan. Aku harus kembali ke tempatku sebelum dia terlalu teralihkan perhatiannya.
Aku hampir berhasil berjalan menuju kerumunan saat jari Ethan masuk ke bagian belakang celana jinsku. Punggungku menabrak dinding sekali lagi.
"Aku belum selesai bicara denganmu," kata Ethan, menatap baju basahku dengan niat cabul.
Aku menarik tangannya dari belakang jinsku, menancapkan kukuku. "Lepaskan!" aku berteriak ketika dia menolak.
Dia tertawa, dan aku mencari wajah yang aku kenal di kerumunan saat dia menarik ku ke arahnya. "Aku tidak akan melepaskanmu."
Aku mencoba mendorong Ethan, namun lengannya sangat berat dan genggamannya sangat erat. Karena panik, aku tidak dapat membedakan mana mahasiswa Eastern mana mahasiswa State. Tidak ada yang menyadari pergumulanku dengan Ethan, dan karena sangat berisik, tidak ada seorangpun yang dapat mendengar protesku juga. Dia mendekat, tangannya meraih bagian belakangku dan meremasnya.
"Aku selalu berpikir pantatmu sangat indah." Dia berkata sambil menghembuskan bau bir basi di wajahku.
"LEPASKAN!" aku berteriak, mendorongnya.
Aku melihat ke arah Shepley, dan melihat Travis akhirnya melihatku di kerumunan. Dia langsung mendorong beberapa orang di sekitarnya.
"Travis!" aku berteriak, namun teredam oleh suara yang bersorak. Aku mendorong Ethan dengan satu tangan dan berusaha meraih Travis dengan tangan lain.
Travis membuat sedikit kemajuan sebelum di dorong kembali ke dalam The Circle. Brady mengambil keuntungan dari perhatian Travis yang teralihkan dan menghunjamkan sikunya ke samping kepala Travis.
Penonton lebih tenang sedikit saat Travis menonjok seseorang di kerumunan, mencoba satu kali lagi mendekat ke arahku.
"Pergi menjauh darinya!" teriak Travis.
Di antara jarak aku dengan usaha putus asa Travis untuk menggapaiku, beberapa kepala berpaling melihat ke arahku. Ethan tidak menyadarinya, tetap berusaha menahanku cukup lama untuk menciumku. Dia mengusapkan hidungnya di sepanjang tulang pipiku lalu menuju leherku.
"Kau sangat wangi," dia melantur.
Aku mendorong wajahnya agar menjauh, namun dia mencengkram pergelangan tanganku, tidak terpengaruh.
Dengan mata terbuka lebar, aku mencari Travis lagi. Dia berusaha keras mengarahkan Shepley padaku. "Bawa dia! Shep! Bawa Abby!" dia berkata, masih berusaha menerobos kerumunan. Bradly menariknya kembali ke The Circle dan menonjoknya lagi.
"Kau sangat seksi, kau tahu itu"" kata Ethan.
Aku menutup mataku saat aku merasakan bibirnya di leherku. Rasa marah muncul di dalam diriku dan aku mendorongnya lagi. "Aku bilang LEPASKAN!" teriakku, menghunjamkan lututku ke selangkangannya.
Dia membungkuk, satu tangan dengan otomatis melayang ke sumber rasa sakit, tangan satunya lagi tetap mencengkram bajuku, menolak untuk melepaskan.
"Sialan kau!" teriaknya.
Beberapa saat berikutnya, aku sudah terlep
as. Mata Shepley tampak liar, menatap Ethan saat dia mencengkram lehernya bajunnya. Dia menahan Ethan di dinding dan meninju wajahnya beberapa kali, berhenti hanya pada saat darah mengalir dari mulut dan hidung Ethan.
Sheple menarikku ke tangga, mendorong siapapun yang menghalanginya. Dia membantuku naik ke jendela yang terbuka, lalu menuruni tangga darurat, menangkapku saat aku melompat beberapa kaki ke tanah.
"Kau baik-baik saja, Abby" Apa dia menyakitimu"" tanya Shepley.
Satu lengan sweater putihku sobek dan hanya tergantung pada seutas benang, selain itu aku tidak terluka. Aku mengelengkan kepala, masih terguncang.
Shepley memegang pipiku dengan lembut, menatap ke dalam mataku. "Abby, jawab aku. Apa kau baik-baik saja""
Aku mengangguk. Saat andrenalin meresap ke aliran darahku, air mata mulai mengalir. "Aku baik-baik saja."
Dia memelukku, menekan pipinya di dahiku, lalu menegang. "Sebelah sini, Trav!"
Travis berlari dengan kecepatan penuh, berhenti hanya pada saat dia mendekapku di pelukannya. Dia berlumuran darah, yang menetes dari matanya dan ada noda darah di bibirnya.
"Ya Tuhan & apa dia terluka"" tanyanya.
Tangan Shepley masih di atas punggungku. "Dia bilang dia baik-baik saja."
Travis berhadapan denganku sambil memegang bahuku dan mengerutkan dahinya. "Apa kau terluka, Pidge""
Pada saat aku menggelengkan kepala, aku melihat gerombolan pertama dari bawah tanah muncul dari tangga darurat. Travis tetap memelukku dengan erat, dengan diam memperhatikan wajah mereka. Seorang pria yang gemuk dan pendek melompat dari tangga dan terdiam membeku saat dia menyadari kami berdiri di trotoar.


Beautiful Disaster Karya Jamie Mcguire di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau," kata Travis, geram.
Dia melepaskanku, berlari menyebrangi rumput, menjatuhkan pria itu ke tanah.
Aku melihat ke arah Shepley, merasa bingung dan ngeri.
"Itu pria yang terus mendorong Travis kembali masuk ke The Circle," kata Shepley.
Kerumunan kecil berkumpul di sekitar mereka saat mereka baku hantam di tanah. Travis memukul wajah orang itu terus-menerus. Shepley menarikku ke dadanya, masih terengah-engah. Pria itu berhenti melawan, dan Travis meninggalkannya di tanah dalam genangan darah. Mereka yang berkerumun di sekitarnya bubar, memberi Travis jalan, melihat kemarahan di matanya.
"Travis!" teriak Shepley, menunjuk ke arah lain gedung.
Ethan tertatih-tatih di tempat gelap, menggunakan dinding bata gedung Hellerton untuk menahannya tetap berdiri. Saat dia mendengar Shepley berteriak pada Travis, dia berbalik tepat pada saat penyerangnya menyerang. Dia terkulai di halaman, melempar botol bir di tangannya ke bawah dan bergerak secepat kaki bisa membawanya ke jalan. Saat dia tiba di mobilnya, Travis menangkap dan membantingnya ke mobil.
Ethan memohon pada Travis, bahkan ketika Travis mencengkram bajunya dan menghantamkan kepalanya ke pintu mobil. Dia berhenti memohon ketika suara bergedebuk yang keras dari kepalanya yang mendarat di jendela depan mobil, lalu Travis menariknya ke depan mobil dan menghancurkan lampu depan mobil dengan wajahnya Ethan. Travis meluncurkan Ethan di atas kap mobil, menekan wajah Ethan ke bemper sambil memaki-makinya.
"Sialan," kata Shepley. Aku berpaling dan melihat Hillerton berkilau berwarna merah dan biru berasal dari lampu mobil patroli polisi yang dengan cepat mendekat. Semua berbondong-bondong melompat dari puncak tangga, seperti air terjun orang-orang menuruni tangga darurat, dan mahasiswa yang kebingungan berlari ke segala arah.
"Travis!" aku berteriak.
Travis meninggalkan tubuh Ethan yang terkulai di kap mobil dan berlari ke arah kami. Shepley menarikku ke tempat parkir, membuka pintu mobilnya. Aku melompat ke kursi belakang, tidak sabar menunggu mereka berdua masuk ke dalam mobil. Mobil seperti terbang dari tempat parkir ke jalan, berdecit saat berhenti karena mobil polisi kedua memblokir jalan.
Travis dan Shepley duduk di kursi mereka, dan Shepley memaki saat dia melihat mobil yang terjebak mundur dari satu-satunya jalan keluar. Dia menginjak gas, dan mobil Charger Shepley naik turun saat melewati trotoar. Dia berputar di atas
rumput, dan melaju diantara dua gedung, mobilnya memantul lagi saat dia mencapai jalan di belakang kampus.
Ban bedecit dan mesin mobil meraung saat Shepley menginjakan kakinya di atas pedal gas. Aku meluncur dari kursi ke badan mobil ketika kita berbelok, sikuku yang sudah bengkak terbentur. Lampu jalan terlihat seperti coretan karena kita melaju dengan cepat ke apartemen, tampak seperti satu jam telah berlalu pada saat kita menepi ke tempat parkir.
Shepley memarkirkan mobilnya lalu mematikan mesin. Mereka membuka pintu mobil dalam keheningan, dan Travis meraih ke kursi belakang, mengangkat tubuhku.
*** "Apa yang terjadi" Ya ampun, Trav, apa yang terjadi pada wajahmu"" tanya America, berlari menuruni tangga.
"Aku akan menceritakannya di dalam," kata Shepley, menuntunnya ke pintu.
Travis mengangkatku ke atas, melewati ruang tamu dan menelusuri lorong tanpa sepatah katapun, menidurkanku di tempat tidur. Toto mencakar-cakar kakiku, melompat ke tempat tidur untuk menjilat wajahku.
"Jangan sekarang, buddy," kata Travis dengan suara pelan, membawanya ke luar lalu menutup pintu.
Dia berlutut di hadapanku, menyentuh lengan bajuku yang sobek. Matanya mulai dalam tahap memar, merah dan bengkak. Kulit marah di atasnya sobek dan basah karena darah. Bibirnya berlumuran darah, dan beberapa ruas jarinya sobek. Kaosnya yang berwarna putih sekarang kotor karena campuran darah, rumput dan tanah.
Aku menyentuh matanya dan dia meringis, menjauh dari tanganku. "Maafkan aku, Pigeon. Aku mencoba untuk meraihmu. Aku mencoba &" dia mendehem karena rasa marah dan cemas yang mencekiknya.
"Aku tidak bisa meraihmu."
"Maukah kau meminta America mengantarku ke asrama"" tanyaku.
"kau tidak bisa kembali kesana malam ini. Tempat itu di kelilingi banyak polisi. Tingalah di sini. Aku akan tidur di sofa."
Aku menarik nafas bimbang, berusaha menahan air mata. Dia sudah cukup merasa buruk. Travis berdiri dan membuka pintu.
"Kau mau kemana"" tanyaku.
"Aku mau mandi. Aku akan segera kembali."
America menerobos masuk melewati Travis, duduk di sampingku di atas tempat tidur, menarikku ke dadanya. "Maafkan aku karena tidak ada di sana!" dia menangis.
"Aku baik-baik saja," kataku, menghapus noda air mata di wajahku.
Shepley mengetuk pintu saat dia masuk, membawakanku gelas kecil yang setengahnya terisi whiskey.
"Ini," dia berkata sambil menyerahkannya pada America. Dia meletakan tanganku di gelas dan membangkitkanku.
Aku menenggak minumanku, membiarkan cairan itu mengalir di tenggorrokanku. Wajahku berkerut saat whiskey membakar jalannya menuju perutku. "Terima kasih," kataku, menyerahkan gelas kembali pada Shepley.
"Aku seharusnya mendapatkan dia lebih cepat. Aku tidak menyadari kau tidak ada. Maafkan aku, Abby. Aku seharusnya &"
"Itu bukan kesalahanmu, Shep. Itu bukan kesalahan siapapun."
"Itu kesalahan Ethan," geramnya. "Bajingan itu menghimpitnya di dinding."
"Sayang!" kata America, menarikku ke sampingnya.
"Aku ingin minuman lagi," kataku, mendorong gelas kosongku pada Shepley.
"Aku juga," kata Shepley, kembali ke dapur.
Travis masuk ke kamar memakai handuk di pinggangnya, memegang bir dingin yang di letakan di atas matanya. America keluar kamar tanpa mengatakan satu patah katapun lalu Travis memakai celana boxernya, kemudian dia menarik bantalnya. Shepley membawa empat gelas kali ini, semua penuh hingga meluap terisi cairan berwarna kuning tua. Kami semua meminumnya tanpa ragu.
"Sampai bertemu besok pagi," kata America, mencium pipiku.
Travis mengambil gelasku, menaruhnya di meja lampu tidur. Dia memperhatikanku beberapa saat lalu berjalan menuju lemarinya, menarik kaos dari gantungan baju dan melemparnya ke tempat tidur.
"Maafkan aku mengacaukan semuanya," dia berkata, memegang bir di matanya.
"kau terlihat berantakan. kau akan merasa sangat sakit besok."
Dia menggelengkan kepala, merasa jijik. "Abby, kau dilecehkan malam ini. Jangan khawatirkan aku."
"Sangat sulit kalau matamu sangat bengkak," kataku, meletakan kaosnya di pangkuanku.
Rahangnya tegang. "Ini s
emua tidak akan terjadi kalau aku meninggalkanmu bersama Parker. Tapi aku tahu jika aku mengajakmu, kau akan ikut. Aku ingin membuktikan padanya kalau kau masih milikku, tapi kau jadi terluka."
Aku tidak siap untuk mendengar kata itu, seolah aku salah mendengar. "Itu alasanmu mengajakku datang malam ini" Untuk membuktikan sesuatu pada Parker""
"Itu sebagian alasanku mengapa mengajakmu," dia berkata dengan sedikit malu.
Darah terkuras dari wajahku. Untuk pertama kalinya sejak kita bertemu, dia membodohiku. Aku pergi ke Hellerton bersamanya berpikir kalau dia membutuhkanku, berpikir terlepas dari semuanya, kita kembali pada keadaan kita sebelumnya. Aku hanya seperti hydrant air; dia sedang menandai wilayahnya, dan aku membiarkannya melakukan itu.
Mataku berkaca-kaca. "Keluar!"
"Pigeon," dia berkata sambil maju satu langkah ke arahku.
"KELUAR!" kataku, mengambil gelas dari meja dan melemparkannya ke arah Travis. Dia menghindar, dan gelasnya hancur terkena dinding menjadi ratusan serpihan kecil. "Aku benci kau!"
Dia menghela nafas seolah udara melumpuhkannya, dan dengan ekspresi terluka, dia meninggalkanku sendiri.
Aku melepas pakaianku dan memakai kaos tadi. Suara yang meledak keluar dari tenggorokanku mengejutkanku. Sudah lama sejak terakhir aku menangis terisak tidak terkendali. Tidak lama kemudian, America berlari masuk ke dalam kamar. Dia naik ke atas tempat tidur dan melingkarkan tangannya di sekelilingku. Dia tidak bertanya ada apa atau mencoba menghiburku, dia hanya memelukku saat aku membiarkan air mata membuat sarung bantal basah kuyup.
*** Bab 20 DANSA TERAKHIR Sesaat sebelum matahari menembus cakrawala, aku dan America diam-diam meninggalkan apartemen. Kami tidak bicara selama perjalanan ke asrama, dan aku merasa bersyukur karena keheningan itu. Aku tak ingin bicara, ataupun berpikir, aku hanya ingin memblokir dua belas jam terakhir ini. Badanku terasa berat dan pegal, seolah aku telah mengalami kecelakaan mobil. Saat kami masuk ke kamarku, aku melihat tempat tidur Kara sudah rapi.
"Bolehkan aku meminjam catokanmu"" tanya America.
"Mare, aku baik-baik saja. Pergilah kuliah."
"Kau tidak baik-baik saja. Aku tidak ingin meninggalkanmu sendirian saat ini."
"Hanya itu yang aku inginkan saat ini."
Dia membuka mulutnya untuk berdebat, namun dia menghela nafas. Tidak akan ada yang dapat mengubah pikiranku. "Aku akan kembali untuk memeriksamu sepulang kuliah. Beristirahatlah."
Aku mengangguk, mengunci pintu di belakangnya. Tempat tidur berderak di bawahku saat aku menjatuhkan diri di atas tempat tidur dengan gusar. Selama ini aku percaya bahwa aku penting untuk Travis; bahwa dia membutuhkanku. Namun saat ini, aku merasa seperti mainan baru Travis seperti yang pernah Parker katakan. Dia ingin membuktikan pada Parker bahwa aku masih miliknya. Miliknya.
"Aku bukan milik siapapun," aku berkata pada kamar yang kosong.
Saat kata-kata itu meresap, aku diliputi kesedihan yang kurasakan dari malam sebelumnya. Aku bukan milik siapa-siapa.
Aku tidak pernah merasa kesepian seperti ini selama hidupku.
*** Finch meletakan botol berwarna coklat di hadapanku. Kita berdua merasa tidak ingin merayakannya, namun setidaknya aku terhibur dengan fakta bahwa, menurut America, Travis akan menghindari pesta kencan ini apapun yang terjadi. Kertas kraf berwarna merah dan pink membungkus kaleng bir kosong yang tergantung di langit-langit, dan gaun berwana merah dalam berbagai model berlalu-lalang. Semua meja di taburi kertas foil kecil berbentuk hati, dan Finch memutar matanya karena dekorasi yang konyol ini.
"Hari Valentine di rumah perkumpulan mahasiswa. Romantis," dia berkata sambil memperhatikan sepasang kekasih yang melintas.
Shepley dan America sudah berada di lantai bawah berdansa dari semenjak kami tiba, aku dan Finch memprotes kehadiran kami dengan cemberut di dapur. Aku meminum isi botol dengan cepat, bertekad untuk mengaburkan ingatan pesta kencan terakhir yang aku datangi.
Finch membuka tutup botol lain dan memberiku satu botol lagi, menyadari kebutuhanku untuk
melupakan. "Aku akan mengambil lagi," kata Finch, kembali menuju kulkas.
"Bir yang di dalam tong yang untuk tamu, yang di botol untuk anggota Sig Tau," kata seorang wanita ketus di sampingku.
Aku melihat ke arah gelas merah di tangannya. "Atau mungkin kekasihmu memberitahumu itu hanya karena ingin kencan yang murah."
Dia memicingkan matanya dan pergi menjauh dari meja dapur, membawa gelasnya ke tempat lain.
"Siapa itu"" tanya Finch, meletakkan empat botol lagi.
"Hanya salah seorang gadis dari perkumpulan mahasiswi murahan," kataku, memperhatikan wanita itu menjauh.
Pada saat Shepley dan America bergabung bersama kami, sudah ada enam botol kosong di meja di sampingku. Gigiku mati rasa, dan terasa lebih mudah untuk tersenyum. Aku sudah lebih merasa lebih nyaman, bersandar ke meja dapur. Travis sudah membuktikan tidak akan muncul, sehingga aku bisa menjalani sisa waktu pesta dengan tenang.
"Apa kalian akan berdansa atau tidak"" tanya America.
Aku melihat ke arah Finch. "Apakah kau mau berdansa denganku, Finch""
"Apa kau akan mampu berdansa"" dia bertanya, mengangkat alisnya.
"Hanya ada satu cara untuk mencari tahu," kataku, mendorongnya menuruni tangga.
Kami melompat dan bergoyang hingga keringat terbentuk di bawah gaunku. Pada saat aku pikir paru-paruku akan meledak, lagu berirama pelan terdengar dari speaker. Finch menatap tidak nyaman ke sekeliling kami, melirik setiap pasangan saling mendekat.
"Kau akan memaksaku berdansa diiringi lagu ini, kan"" tanyanya.
"Ini hari Valentine, Finch. Anggap saja aku seorang pria."
Dia tertawa, menarikku ke pelukannya. "Sangat sulit melakukannya saat kau mengenakan gaun pendek berwarna pink."
"Terserah saja. Seperti kau tidak pernah melihat seorang pria memakai gaun saja."
Dia mengangkat bahunya. "Benar juga."
Aku tertawa geli, menyandarkan kepalaku di bahunya. Alkohol membuat tubuhku terasa berat dan lesu saat aku mencoba bergerak diiringi tempo yang lambat.
"Keberatan jika aku menyela, Finch""
Travis berdiri di samping kami, setengah senang dan setengah bersiap menunggu reaksiku. Darah di pipiku langsung terbakar.
Finch melihat ke arahku, lalu pada Travis. "Tidak."
"Finch," aku mendesis saat dia berjalan menjauh. Travis menarikku mendekat padanya dan aku berusaha menjaga jarak sebisa mungkin. "Kupikir kau tak akan datang."
"Tadinya aku tidak akan datang, tapi aku tahu kau akan berada di sini. Aku harus datang."
Aku melihat sekeliling ruangan, menghindari matanya. Setiap gerakannya, membuatku selalu waspada. Tekanan jari-jarinya berubah saat dia menyentuhku, kakinya bergerak di samping kakiku, lengannya bergerak, mengusap gaunku. Terasa sangat konyol untuk berpura-pura tidak merasakannya. Matanya sudah sembuh, memarnya sudah hampir hilang, bercak merah di wajahnya sudah tidak ada seolah aku hanya mengada-ada. Semua bukti dari malam yang mengerikan itu telah hilang, hanya meninggalkan kenangan yang menyakitkan.
Dia memperhatikan setiap tarikan nafasku, dan saat lagu hampir berakhir, dia menghela nafas. "Kau terlihat sangat cantik, Pidge."
"Jangan." "Jangan apa" Jangan mengatakan kalau kau cantik""
"Pokoknya...jangan."
"Aku tidak sungguh-sungguh."
Aku menarik nafas frustrasi. "Terima kasih."
"Tidak &kau terlihat cantik. Aku sungguh-sungguh. Aku membicarakan tentang yang aku katakan di kamar. Aku tak akan bohong. Aku menikmati menarikmu dari kencanmu bersama Parker &"
"Itu bukan kencan, Travis. Kami hanya makan. Dia tidak mau berbicara denganku sekarang, berkat dirimu."
"Aku sudah dengar. Aku menyesal."
"Tidak, kau tidak menyesal."
"Kau...kau benar," kata Travis, tergagap saat melihat ekspresi tidak sabarku. "Tapi aku &itu bukan satu-satunya alasanku membawamu ke pertarungan. Aku menginginkanmu untuk berada di sana bersamaku, Pidge. Kau adalah jimat keberuntunganku."
"Aku bukan apa-apamu," bentakku, melotot ke arahnya.
Alisnya ditarik ke bawah dan dia berhenti berdansa. "Kau adalah segalanya untukku."
Aku menutup rapat bibirku, berusaha untuk tetap memperlihatkan rasa marahku, namun
sangat sulit untuk tetap marah padanya saat dia menatapku seperti itu.
"Kau tidak sunguh-sungguh membenciku, kan"" dia bertanya.
Aku berpaling darinya, membuat jarak yang lebih jauh di antara kita. "Kadang aku berharap aku membencimu. Itu akan membuat semuanya lebih mudah."
Senyum hati-hati terukir di bibirnya, membentuk garis halus. "Jadi apa yang membuatmu lebih kesal" Apa yang telah aku lakukan hingga membuatmu ingin membenciku" Atau mengetahui kau tidak bisa membenciku""
Rasa marahku kembali. Aku mendorongnya lalu melewatinya, berlari ke atas menuju dapur. Mataku mulai berkaca-kaca tapi aku tidak ingin terlihat berantakan karena menangis terisak di pesta kencan. Finch sedang berdiri di samping meja dan aku menghela nafas lega saat dia memberiku bir lagi.
Satu jam berikutnya, aku melihat Travis menolak semua wanita yang mendekat sambil meminum whiskey di ruang tamu. Setiap kali dia melihat ke arahku, aku berpaling, bertekad untuk melewati malam ini tanpa kejadian yang akan menarik perhatian orang banyak.
"Kalian berdua terlihat menderita." kata Shepley.
"Mereka tidak akan terlihat sebosan itu apabila mereka melakukan ini dengan sengaja," gerutu America.
"Jangan lupa...kami berdua tidak ingin datang," Finch mengingatkan mereka.
America memperlihatkan wajah terkenalnya yang membuatku terkenal karena menurutinya. "Kau bisa berpura-pura menikmatinya, Abby. Demi aku."
Pada saat aku akan membuka mulutku untuk memberinya jawaban yang pedas, Finch menyentuh lenganku. "Kurasa kita sudah cukup menjalankan tugas kita. Kau siap untuk pergi, Abby""
Aku meminum sisa birku dengan ayunan cepat lalu memegang tangan Finch. Secepat apapun aku ingin pergi, kakiku membeku saat lagu yang sama dengan lagu saat aku dan Travis berdansa di pesta ulang tahunku terdengar ke atas. Aku mengambil botol Finch dan meminumnya, berusaha untuk memblokir ingatan yang datang bersama lagu itu.
Brad bersandar di meja dapur di sampingku. "Ingin berdansa""
Aku tersenyum padanya, menggelengkan kepala. Dia akan mulai bicara lagi, namun ada yang memotongnya.
"Dansa denganku." Travis berdiri beberapa kaki dariku, tangannya meraih tanganku.
America, Shepley, dan Finch mereka semua menatapku, menunggu jawabanku dengan cemas sama seperti Travis.
"Tinggalkan aku sendiri, Travis," kataku, menyilangkan tanganku.
"Ini lagu kita, Pidge."
"Kita tidak punya lagu."
"Pigeon &" "Tidak." Aku melihat pada Brad dan memaksakan sebuah senyuman. "Aku ingin sekali berdansa, Brad."
Bintik-bintik di wajah Brad meregang di pipinya saat dia tersenyum, menunjuk agar aku berjalan duluan ke tangga.
Travis mundur, ekspresi terluka Travis sangat jelas terlihat di matanya. "Bersulang!" teriaknya.
Aku terlonjak, menoleh tepat pada saat dia duduk di atas kursi, merebut bir dari salah satu anggota Sig Tau yang terkejut yang berada di dekatnya. Aku melirik America, yang memperhatikan Travis dengan ekspresi sedih.
"Untuk orang bodoh!" dia berkata sambil menunjuk pada Brad. "Dan untuk wanita yang telah menghancurkan hatimu," dia menundukkan kepalanya padaku. Matanya hilang fokus. "Dan untuk ketakutan absolut kehilangan teman baikmu karena kau cukup bodoh untuk jatuh cinta padanya."
Dia meminum lagi birnya, menghabiskan sisanya, lalu membuang botolnya ke lantai. Ruangan itu hening, hanya terdengar suara musik dari lantai bawah, dan semua orang menatap Travis dengan bingung.
Merasa dipermalukan, aku menarik tangan Brad dan menuntunnya ke bawah ke lantai dansa. Beberapa pasangan mengikuti kami, memperhatikanku untuk melihat air mata atau reaksi apapun terhadap ocehan Travis. Aku menenangkan ekspresiku, menolak untuk memberikan apa yang mereka inginkan.
Kami berdansa beberapa langkah kaku dan Brad menghela nafas. "Itu tadi sedikit agak &aneh."
"Selamat datang dalam hidupku."
Travis mendorong pasangan yang ada di lantai dansa untuk memberinya jalan, lalu berhenti di sampingku. Membutuhkan beberapa waktu baginya untuk berdiri tegak. "Aku akan menyela."
"Tidak, ya Tuhan!" kataku, menolak melihat ke arahnya.
Sete lah beberapa saat yang tegang aku melihat ke atas, melihat mata Travis yang menatap tajam mata Brad. "Jika kau tidak menjauh dari kekasihku, aku akan menyobek tenggorokanmu. Di sini, di lantai dansa ini."
Brad tampak kebingungan, matanya dengan gugup melihat ke arahku lalu pada Travis. "Maaf, Abby," dia berkata sambil perlahan menarik lengannya menjauh dariku. Dia mundur ke tangga dan aku berdiri sendirian, merasa di permalukan.
"Bagaimana perasaanku sekarang padamu, Travis...hampir sama dengan benci."
"Berdansalah denganku," dia memohon, sambil berayun untuk menjaga keseimbangannya.
Lagunya berakhir dan aku menghela nafas lega. "Pergi minum sebotol whiskey lagi sana, Trav." Aku berbalik untuk berdansa dengan satu-satunya pria yang berdansa sendiri di lantai dansa.
Iramanya sedikit lebih cepat, dan aku tersenyum pada pasangan baruku yang terkejut, berusaha mengabaikan fakta bahwa Travis berada beberapa kaki di belakangku. Anggota lain Sig Tau berdansa di belakangku, memegang pinggulku. Aku meraih ke belakang, menariknya lebih dekat. Itu mengingatkanku pada bagaimana Travis berdansa dengan Megan di The Red malam itu, dan aku berusaha sebisa mungkin menciptakan kembali pemandangan yang aku harap dalam berbagai keadaan aku dapat melupakannya. Dua pasang tangan berada dekat pada setiap bagian tubuhku, dan sangat mudah untuk mengabaikan sisi pendiamku dengan jumlah alkohol di dalam tubuhku.
Tiba-tiba, aku berada di udara. Travis melemparku ke atas bahunya, pada saat yang sama mendorong teman perkumpulannya dengan keras, menjatuhkannya ke lantai.
"Turunkan aku!" aku berkata sambil memukul-mukul punggungnya.
"Aku tidak akan membiarkanmu mempermalukan dirimu sendiri karena aku," dia menggeram, melompati dua tangga sekaligus.
Setiap pasang mata yang kami temui melihatku menendang dan berteriak saat Travis membawaku melintasi ruangan. "Kau pikir," aku berkata sambil memberontak, "Ini tidak memalukan" Travis!"
"Shepley! Apakah Donnie di luar"" tanya Travis, menghindar dari tanganku yang memukul-mukul.
"Uh...ya"" kata Shepley.
"Turunkan dia!" kata America, maju satu langkah ke arah kami.
"America," aku menggeliat, "Jangan hanya berdiri di situ! Tolong aku!"
Bibirnya naik dan dia tertawa satu kali. "Kalian berdua terlihat konyol."
Alisku tertarik ke dalam karena kata-katanya, antara terkejut dan marah karena dia menganggap situasi ini lucu.
Travis berjalan menuju pintu dan aku melotot ke arah America. "Terima kasih banyak, teman!"
Udara dingin menyerang bagian kulitku yang terbuka, dan aku protes lebih kencang. "Turunkan aku, sialan!"
Travis membuka pintu mobil dan melemparku ke kursi belakang, duduk di sampingku. "Donnie, kau yang mengantar orang-orang yang mabuk malam ini""
"Ya," jawabnya, gugup melihatku yang berusaha untuk kabur.
"Aku ingin kau mengantar kami ke apartemenku."
"Travis...kupikir..."
Suara Travis tenang, tapi menakutkan. "Lakukan, Donnie, atau aku akan memukulkan tinjuku ke belakang kepalamu, aku bersumpah demi Tuhan."
Donnie menjauh dari kekangan Travis dan aku menerjang pegangan pintu. "Aku tak akan pergi ke apartemenmu!"
Travis memegang satu pergelangan tanganku lalu yang satunya lagi. Aku membungkuk untuk menggigit lengannya. Dia menutup matanya, lalu suara mengaduh pelan keluar dari rahangnya yang tertutup rapat saat gigiku menancap di kulitnya.
"Melawanlah sesukamu, Pidge. Aku sudah bosan dengan omong kosongmu."
Aku melepaskan gigitanku dan menarik paksa lenganku, lepas dari genggamannya. "Omong kosongku" Biarkan aku keluar dari mobil ini!"
Dia menarik pergelangan tanganku dekat ke wajahnya. "Aku mencintaimu, sialan! Kau tak akan pergi kemana-mana hingga kau tidak mabuk lalu kita akan coba memahaminya."
"Kau satu-satunya yang belum memahami ini, Travis!" kataku. Dia melepaskan pergelangan tanganku dan aku menyilangkan tanganku di dada, cemberut sepanjang sisa perjalanan ke apartemen.
Ketika mobil berjalan pelan untuk berhenti, aku condong ke depan. "Bisakah kau mengantarku pulang, Donnie""
Travis menarik tanganku agar kel
uar dari mobil lalu dia mengayunku ke atas bahunya lagi, membawaku ke atas. "Selamat malam, Donnie."
"Aku akan mengadukan ini pada ayahmu!" teriakku.
Travis tertawa terbahak-bahak. "Dan dia mungkin akan menepuk bahuku dan mengatakan padaku bahwa sudah waktunya aku melakukan ini."
Dia berusaha untuk membuka kunci pintu saat aku menendang dan menggerak-gerakkan tanganku, berusaha untuk lepas.
"Hentikan, Pidge, atau kita berdua akan jatuh ke bawah!" Setelah dia membuka pintu, dia berjalan ke kamar Shepley.
"Turunkan. Aku. Ke bawah!" teriakku.
"Baiklah," dia berkata sambil menjatuhkanku di atas tempat tidur Shepley. "Tidurlah. Kita akan bicara nanti pagi."
Kamarnya gelap; satu-satunya lampu berasal dari lampu persegi panjang yang menyorot pintu masuk kamar dari lorong. Aku berusaha untuk fokus dalam kegelapan, bir, dan kemarahan, lalu saat dia menyalakan lampu, itu menerangi senyuman puasnya.
Aku memukul tempat tidur dengan kepalan tanganku. "Kau tidak bisa lagi memberitahuku apa yang harus aku lakukan, Travis! Aku bukan milikmu!"
Dalam sekejap itu membuatnya berbalik dan berhadapan denganku, ekspresinya berubah menjadi kemarahan. Dia berjalan ke arahku, meletakkan tangan di atas tempat tidur dan mendekat ke wajahku.
"WELL, AKU MILIKMU!" Urat di lehernya menonjol saat dia berteriak, dan aku menatap balik matanya, tidak bergeming. Dia menatap bibirku, terengah-engah. "Aku milikmu," dia berbisik, kemarahannya hilang saat dia menyadari betapa dekatnya kami.
Sebelum aku dapat memikirkan satu alasan untuk tidak melakukannya, aku memegang wajahnya, dan mencium bibirnya. Tanpa ragu, Travis mengangkatku ke dalam pelukannya. Dengan beberapa langkah panjang, dia membawaku ke kamarnya, kami berdua jatuh di atas tempat tidur.
Aku menarik lepas bajunya, meraba-raba dalam kegelapan membuka ikat pinggangnya. Dia menyentaknya terbuka, melepasnya dan melemparnya ke lantai. Dia mengangkatku dari tempat tidur dengan satu tangan, dan membuka ritsleting gaunku dengan tangan satunya lagi. Aku menariknya dari atas kepalaku, melemparnya ke tempat yang gelap, lalu Travis menciumku, mengerang di bibirku. Dengan beberapa gerakan cepat, celana boxernya pun terlepas dan dia menekan dadanya di dadaku. Aku mencengkeram bagian belakangnya, namun dia menahannya ketika aku berusaha menariknya agar memasukiku.
"Kita berdua sedang mabuk," dia berkata sambil terengah-engah.
"Aku mohon." Aku menekan kakiku di pinggulnya, tidak sabar ingin menghilangkan rasa terbakar yang terasa di antara kedua pahaku. Travis mengatakan kita kembali bersama, dan aku tidak ada keinginan untuk melawan yang tidak terelakkan, maka aku lebih dari siap untuk menghabiskan malam ini terbalut seprai tempat tidurnya.
"Tidak boleh terjadi seperti ini," kata Travis.
Dia berada di atasku, menekan dahinya di atas dahiku. Aku harap ini hanya protes setengah hati, dan entah bagaimana aku akan bisa meyakinkannya bahwa dia salah. Melihat bagaimana kita tidak bisa saling menjauhi satu sama lain tidak dapat dijelaskan, namun aku tidak membutuhkan satu penjelasan lagi. Aku bahkan tidak membutuhkan alasan. Saat ini, aku hanya membutuhkannya.
"Aku menginginkanmu."
"Aku ingin kau mengatakannya," kata Travis.
Bagian dalam dari diriku berteriak membutuhkannya, dan aku tak dapat menahannya lebih lama lagi. "Aku akan mengatakan apapun yang kau mau."
"Kalau begitu katakan kau milikku. Katakan bahwa kau menerimaku kembali. Aku tidak akan melakukan ini kecuali kita bersama lagi."
"Kita tidak pernah benar-benar berpisah, kan"" tanyaku, berharap itu cukup.
Dia menggelengkan kepala, bibirnya menyapu bibirku dengan lembut. "Aku ingin mendengar kau mengatakannya. Aku ingin tahu bahwa kau benar-benar milikku."
"Aku telah menjadi milikmu dari detik pertama kita bertemu."
Suaraku bernada memohon. Pada waktu lain aku mungkin akan merasa malu, namun aku sedang merasa lebih dari menyesal. Aku telah melawan perasaanku, menjaganya, dan menutupnya rapat. Aku telah mengalami momen yang paling menyenangkan dalam hidupku selama di Eastern, semuanya bersama
Travis. Bertengkar, tertawa, mencintai dan menangis, jika itu bersamanya, aku berada di tempat yang aku inginkan.
Satu sisi bibirnya tertarik ke atas saat dia menyentuh wajahku, lalu bibirnya menyentuh bibirku dengan ciuman lembut. Saat aku menarik tubuhnya padaku, dia tidak melawan. Ototnya menegang, dan dia menahan nafasnya saat dia mendorong ke dalam tubuhku.
"Katakan sekali lagi," dia berkata.
"Aku milikmu," aku terengah. Setiap sarafku, di dalam dan di luar terasa sakit karena menginginkan lebih. "Aku tidak ingin berpisah lagi darimu."
Pendekar Sakti Suling Pualam 2 Detektif Ilmiah Einstein Anderson Karya Seymour Simon Bunga Abadi Gunung Kembaran 3
^