Pencarian

Keliling Dunia Dibawah Laut 1

Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne Bagian 1


Berkeliling Dunia Di Bawah Laut
Jules Verne Djvu: BBSC Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
BAGIAN SATU I KARANG SILUMAN PADA tahun 1866, dunia Barat menjadi gempar karena adanya kejadian aneh. Di kalangan pelayaran tersebar desas-desus mengenainya. Sampai-sampai di pedalaman, semua orang yang memiliki hubungan dengan usaha pelayaran ramai membicarakan persoalan itu. Para pedagang, pemilik-pemilik kapal serta nakhoda sampai ke kelasi, para perwira Angkatan Laut dari semua negara di Eropa dan Amerika serta kalangan pemerintahan beberapa negara di kedua benua tersebut sangat menaruh minat. Tapi tak ada yang mampu menjelaskan duduk perkara.
Sejumlah kapal, selama beberapa waktu yang lewat memberitakan telah berjumpa dengan sebuah benda aneh. Bendanya besar sekali, berbentuk lonjong seperti serutu raksasa, dan kadang-kadang memancarkan sinar berpendar-pendar. Geraknya di air jauh lebih laju dari ikan paus, sedang ukurannya pun sekian kali lipat lebih besar.
Hampir semua laporan yang tertulis dalam buku jurnal berbagai kapal mengatakan bahwa benda tak dikenal itu memiliki tenaga yang sangat kuat, dan kelihatannya hidup. Hidup, tapi aneh! Jika benda tersebut ternyata ikan paus, maka ukurannya jauh melebihi jenis-jenis yang sudah dikenal. Dalam
5 penaksiran ini, sudah dikecualikan laporan pihak yang terlalu hati-hati, yang mengatakan bahwa panjangnya sekitar enam puluh sampai tujuh puluh meter. Tapi juga dikesampingkan laporan berlebih-lebihan, yang menyebut lebarnya satu mil. Dan menurut laporan yang satu ini, benda rahasia tersebut panjangnya tiga mil! Pokoknya, jika benda aneh ada - hal mana merupakan kenyataan yang tak bisa dibantah - maka besarnya benar-benar luar biasa.
Pada tanggal 20 Juli 1866, kapal uap 'Governor Higginson' milik perusahaan 'Calcutta and Bur-nach Steam Navigation Company' berjumpa dengan raksasa laut itu sekitar lima mil di depan pantai timur Australia. Mula-mula nakhodanya yang bernama Baker mengira bahwa dia melihat suatu gosong pasir yang tak dikenal. Ia berniat hendak menentukan posisinya yang tepat, untuk dicatat, dalam peta laut. Tapi tiba-tiba kelihatan air mancur ke atas, pada dua tempat dari benda asing. Disertai bunyi mendesis, kedua pancuran air itu menjulang setinggi lima puluh meter. Tidak diketahui, apa yang menyebabkan air dapat membubung sebegitu tinggi. Kalau awak kapal itu bukan sedang melihat pancaran air panas pada gosong pasir, maka kemungkinan lain adalah bahwa mereka berjumpa dengan seekor hewan menyusui yang hidup di laut, yang menyemburkan air tercampur udara dan uap dari lubang-lubang pada tubuhnya.
Kejadian serupa dicatat pada tanggal 23 Juli tahun yang sama. Terjadinya di Lautan Pasifik, sedang yang melihat peristiwa itu awak kapal 'Columbus' dari perusahaan 'West India and Pacific Steam Navigation Company'. Bukan main laju geraknya, jika diingat bahwa selisih waktu antara kedua perjumpaan cuma tiga hari, padahal jarak antara kedua tempat lebih dari tujuh ratus mil laut.
Lima belas hari kemudian, dan dua ribu kilometer lebih jauh lagi, menyusul catatan dalam jurnal kapal 'Helvetia' dari "Compagnie Nationale' dan 'Shannon' dari 'Royal Mail Steamship Company' yang sedang berlayar di Samudera Atlantik sebelah utara. Pada garis lintang utara 42"15 dan bujur barat 60"35' kedua kapal saling memberi isyarat, bahwa masing-masing melihat benda atau makhluk raksasa. Panjangnya diperkirakan lebih dari seratus meter. Dugaan berdasarkan pada kenyataan bahwa masing-masing kapal panjangnya sembilan puluh meter, sedang benda atau makhluk asing yang muncul di permukaan air masih lebih panjang lagi. Ikan paus yang banyak berkeliaran di perairan sekitar pulau-pulau Aleut, Kulammak dan Um-gullich, paling besar hanya bisa dua puluh meter panjangnya.
Pendapat khalayak ramai sangat terpengaruh oleh laporan yang susul-menyusul. Ada yang menertawakan, tapi banyak pula yang menanggapinya secara bersungguh-sungguh. 'Momok' itu menjadi bahan pembicaraan hangat di tempat-tempat umum, dinyanyikan di kedai-kedai minum, dinyanyikan di atas panggung dan bahkan menjadi bahan ejekan dalam
surat kabar; kemudian menyusul persengketaan yang berlarut-larut dalam berbagai perhimpunan kaum terpelajar serta majalah ilmu pengetahuan. 'Persoalan momok lautan' menghantui benak setiap orang. Tapi lama kelamaan persoalannya mereda juga.
Dalam bulan-bulan pertama tahun 1867, kelihatannya orang sudah lupa akan peristiwa yang menghebohkan tersebut. Namun kemudian datang lagi fakta-fakta baru. Dengannya persoalan tidak lagi merupakan masalah ilmiah yang harus dipecahkan, melainkan menjadi bahaya nyata yang harus dielakkan. Benda aneh berubah wujud menjadi
7 pulau kecil, batu atau gosong karang, tapi yang ukurannya tak dikenal dan berubah-ubah.
Pada malam tanggal 5 Maret 1867, kapal 'Moravian' dari perusahaan 'Montreal Ocean Company' sedang berada pada posisi pelayaran garis lintang 27"30' dan garis bujur 72"15'. Tiba-tiba lambung kanannya terbentur sesuatu, yang mestinya karang. Hanya di daerah perairan itu tak tercatat ada karang sama sekali! Pada saat kecelakaan, kapal sedang berlayar dengan kecepatan tiga belas knot. Untung saja lambungnya kokoh. Kalau tidak, pasti tenggelam bersama 237 penumpang yang sedang dalam perjalanan ke Kanada.
Kecelakaan itu terjadi menjelang fajar, kira-kira pukul lima pagi. Begitu mengalami benturan, para opsir kapal yang berdinas di anjung lari tergopoh-gopoh ke buritan. Mereka meneliti permukaan laut dengan saksama, tapi tak ada yang nampak. Hanya kira-kira enam ratus meter di belakang nampak air bergolak. Apakah mereka membentur karang terendam, atau bangkai kapal yang besar sekali" Mereka tak tahu. Tempat kecelakaan terjadi diukur dengan tepat, lalu kapal 'Moravian' melanjutkan pelayaran, tanpa nampak mengalami kerusakan. Namun dalam pemeriksaan yang dilakukan kemudian, ternyata sebagian dari lunasnya patah.
Kejadian ini pun mungkin saja akan cepat dilupa-pakan, jika tidak menyusul peristiwa sejenis tiga minggu kemudian. Dan karena perusahaan yang memiliki kapal yang terlibat adalah 'Cunard Company' yang kenamaan, maka kabarnya cepat tersiar ke mana-mana.
Sore tanggal 13 April 1867, pukul empat lewat tujuh belas menit. Kapal 'Scotia' sedang melaju
8 dengan kecepatan tiga belas setengah knot, pada posisi lintang 45"37' dan bujur 15"12'. Laut tenang dan angin bertiup mendorong kapal ke tempat tujuan. Para penumpang sedang bersantap di ruang makan besar. Tiba-tiba terasa guncangan enteng, yang berasal dari benturan pada lambung sebelah buritan, agak di belakang roda dayung sebelah kiri.
Nyata sekali bahwa bukan kapal 'Scotia' yang menubruk, melainkan ditubruk oleh sesuatu; benda tersebut tajam dan runcing! Kejutan yang terasa sangat enteng, sehingga tidak menimbulkan kekagetan penumpang. Tepatnya, seharusnya penumpang tak akan kaget, kalau tidak tukang kayu yang berdinas datang berlari-lari ke anjung nakhoda sambil berteriak-teriak bahwa kapal karam. Tentu saja para penumpang menjadi panik. Tapi Nakhoda Anderson berhasil menenangkan suasana, dengan mengemukakan bahwa tak mungkin ada bahaya yang begitu besar. Ruang palka kapal 'Scotia' terbagi dalam tujuh kompartemen. Masing-masing dipisahkan oleh dinding kuat, yang tak mungkin tembus jika terjadi kebocoran pada salah satu daripadanya. Setelan penumpang tenang kembali, Nakhoda Anderson dengan segera turun untuk memeriksa. Ternyata air laut membanjir masuk ke dalam kompartemen kelima. Melihat cepatnya air naik, dapat diduga, bahwa lubang kebocoran cukup besar. Untung saja ketel uap tidak terdapat dalam kompartemen itu, karena pasti akan segera padam tersiram air. Nakhoda Anderson memerintahkan agar semua mesin dihentikan dengan segera. Salah seorang awak kapal turun, untuk melihat apakah keadaannya parah atau tidak. Beberapa menit kemudian ditemukan sebuah lubang besar, berukuran garis tengah hampir dua meter, menganga di dasar kapal. Lubang sebesar itu tak mungkin ditambal dengan segera.
9 Jadi kapal 'Scotia' terpaksa melanjutkan pelayaran, dengan roda-roda dayung setengah terbenam dalam air. Pada saat terjadi kecelakaan, posisinya sekitar tiga ratus dari Tanjung Clear. Akhirnya, sesudah terjadi kecemasan yang cukup besar di Liverpool, kap
al masuk ke dermaga perusahaan dengan terlambat tiga hari.
Dengan segera kapal 'Scotia' diangkat untuk diperbaiki di dok kering. Para ahli teknik yang memeriksa, hampir-hampir tak mempercayai mata mereka: pada suatu tempat, dua setengah meter di bawah garis air, terdapat robekan besar. Robekan-nya berbentuk segi tiga sama kaki, kelihatan jelas sekali pada pelat besi. Bekas robekannya begitu rata, sehingga tak mungkin merupakan akibat benturan biasa. Pasti ada suatu alat yang menumbuknya dengan kekuatan besar, sehingga dapat menembus pelat besi yang tebalnya tiga setengah senti. Dan yang lebih menakjubkan, sesudah melakukan benturan itu alatnya bisa mundur lagi.
Hal-hal itu menyebabkan khalayak ramai sibuk membicarakannya, dan semua kecelakaan yang tak dapat dijelaskan sebab-sebabnya sampai saat itu semuanya ditimpakan pada benda atau makhluk aneh. Padahal dari kerugian sekitar tiga ribu kapal yang dilaporkan pada perusahaan asuransi Lloyds, lebih dari dua ratus dianggap hilang karena tak ada kabar beritanya!
Sekarang semua kesalahan dilemparkan pada 'momok'. Dan sebagai akibatnya, hubungan antara berbagai benua semakin lama semakin berbahaya saja. Kalangan umum dengan tandas mengajukan tuntutan, agar lautan dibebaskan dari ancaman benda raksasa itu.
10 II PRO DAN ANTI PADA saat terjadi peristiwa-peristiwa genting itu, aku baru saja kembali dari perjalanan. Aku ikut dalam regu yang melakukan penyelidikan ilmu pengetahuan di daerah Nebraska di Amerika Serikat. Aku ditugaskan oleh pemerintah Perancis untuk menyertai ekspedisi, dalam kedudukanku selaku pembantu profesor pada Museum Sejarah Alam di Paris. Enam bulan lamanya aku sibuk bekerja di daerah yang tidak enak itu. Menjelang akhir bulan Maret aku tiba kembali di New York, dengan membawa benda-benda penemuan yang berharga dari Nebraska. Menurut rencana, aku akan berangkat pulang ke Perancis pada hari-hari pertama bulan Mei. Sementara menunggu, aku sibuk dengan pekerjaan menggolongkan berbagai hasil ekspedisi. Pada saat itu terjadi peristiwa kecelakaan kapal 'Scotia'.
Aku sangat tertarik pada persoalan itu. Koran-koran, baik terbitan Eropa maupun Amerika yang membahasnya, kubaca semua. Tapi tak mungkin dapat ditarik kesimpulan jelas. Rahasia itu merangsang diriku. Yang pasti adalah bahwa benar-benar ada sesuatu. Barang siapa tak mau percaya, terbentur pada kenyataan yang terjadi pada peristiwa kecelakaan dengan kapal 'Scotia'.
Persoalan sedang sehangat-hangatnya, ketika aku tiba di New York. Sangkaan bahwa benda tak dikenal itu berupa pulau terapung, begitu pula perkiraan yang membayangkannya sebagai gosong pasir, sudah disingkirkan. Karena bagaimana mungkin benda itu berpindah-pindah tempat dengan kecepatan luar biasa, kalau tidak digerakkan mesin"
11 Berdasarkan pertimbangan sama, juga sudah disingkirkan gagasan yang mengatakan bahwa benda itu pasti bangkai kapal besar yang terapung.
Jadi tinggal dua pemecahan saja yang mungkin dari rahasia tersebut. Dengan segera terbentuk dua kelompok. Yang satu mengatakan benda itu pasti hewan raksasa yang tenaganya luar biasa. Sedang pihak kedua mendukung anggapan, bahwa benda siluman dalam kenyataannya merupakan kapal bermesin kuat yang bisa menyelam.
Anggapan terakhir sebetulnya dapat diterima akal. Tapi setelah dilakukan pertanyaan ke mana-mana, akhirnya tak dapat dipertahankan. Kiranya kecil sekali kemungkinannya, ada orang yang dapat memiliki kendaraan bermesin serupa itu. Di mana dibangunnya" Begitu pula kapan serta dengan jalan bagaimana" Bagaimana mungkin dapat dijaga rahasia sewaktu membangunnya" Kalau pemerintah salah satu negara, mungkin saja. Dalam jaman penuh bencana, di mana kepintaran akal manusia telah melipatgandakan tenaga alat-alat perang, mungkin saja ada negara yang secara sembunyi-sembunyi mencoba alat yang menyeramkan serupa itu.
Tetapi dugaan ini pun ternyata tak dapat dipertahankan, setelah datang pernyataan dari berbagai negara. Kebenaran pernyataan-pernyataan tak dapat diragukan, mengingat persoalannya menyangkut kepentingan umum, dan sebagai akibatnya perhubungan laut menjadi kacau. Lagipula mustahil
ada salah satu negara yang bisa membangun alat serupa itu, tanpa berhasil diketahui oleh mata-mata negara saingan. Jadi dugaan yang mengatakan bahwa benda aneh itu sebuah kendaraan yang bisa menyelam, akhirnya disingkirkan.
12 Sewaktu aku tiba di New York, beberapa orang mengajukan pertanyaan mengenai peristiwa aneh itu. Di Perancis aku menerbitkan karangan yang terdiri dari dua jilid. Judulnya 'Rahasia dasar samudera'. Buku itu mendapat penghargaan tinggi di kalangan ilmiah. Dan berkatnya aku lantas dipandang sebagai seorang ahli di bidang yang tak begitu dikenal tersebut. Karena itu aku dimintai nasihat. Mula-mula aku mengambil sikap membantah dugaan-dugaan dengan tandas. Tapi itu hanya mungkin, selama masih dapat dibantah hal-hal yang bukan merupakan kenyataan. Namun dengan segera aku sudah terdesak ke pojok. Aku terpaksa menyatakan sikap dengan jelas. Surat kabar 'New York Herald' meminta agar aku mau menulis artikel mengenainya. Dalamnya kukatakan bahwa benda aneh yang menghantui samudera, menurut dugaanku mestinya sebangsa ikan paus yang memiliki semacam tombak di moncongnya. Ikan-ikan serupa itu hidupnya di perairan kutub utara. Tapi paling panjang, ukurannya hanya bisa mencapai dua puluh meter saja. Jadi makhluk rahasia mestinya merupakan jenis raksasa dari padanya. Kalau dipertimbangkan laporan dari kapal 'Shannon' serta melihat kerusakan yang terjadi pada kapal 'Scotia', maka dapat diduga bahwa makhluk itu memiliki kekuatan sepuluh kali lebih besar. Sedang tombaknya paling kurang enam kali lipat dari ukuran yang biasa.
Dalam artikel itu aku mengatakan bahwa kesemuanya merupakan dugaan belaka, selama tak ada bukti-bukti lain yang membantahnya. Aku bersikap hati-hati, untuk menjaga martabat selaku profesor. Aku tak mau ditertawakan oleh orang Amerika! Walaupun begitu, aku mengakui bahwa ada kemungkinan terdapatnya makhluk raksasa. Artikelku diperbincangkan dengan hangat, dan
13 mengumpulkan banyak pendukung. Pikiran manusia menyenangi gambaran adanya makhluk-makhluk yang luar biasa. Sedang lautan merupakan satu-satunya di mana binatang-binatang serupa itu bisa hidup.
Berbagai surat kabar industri dan niaga umumnya membahas persoalan, dengan meninjaunya dari segi pandangan yang kuajukan. Kalangan umum memiliki pendapat bulat: makhluk menyeramkan harus dimusnahkan! Amerika Serikat merupakan perintis untuk melaksanakan tuntutan tersebut. Di New York diadakan persiapan-persiapan untuk mengirim ekspedisi yang akan memburu ikan paus raksasa. Kapal 'Abraham Lincoln', sebuah kapal perang bertiang tiga yang sangat laju dipersiapkan dengan selekas-lekasnya. Commander Farragut, nakhoda kapal itu diberi keleluasaan untuk memperlengkapi diri dengan segala persenjataan yang diperlukan.
Tetapi seperti sering terjadi, pada saat diambil keputusan untuk memburunya, raksasa siluman itu tak muncul-muncul lagi. Dua bulan lamanya tak terdengar berita mengenainya. Tak ada kapal yang melaporkan berjumpa. Seakan-akan dia tahu, ada niat untuk menumpas. Sampai-sampai ada kelakar yang mengatakan bahwa karena begitu banyak pembicaraan mengenainya, bahkan lewat kawat menyeberangi Samudera Atlantik, maka mestinya makhluk itu sempat membaca satu telegram dan kini menyembunyikan diri.
Kapal perang sudah siap untuk mengadakan ekspedisi berjangka waktu lama. Segala peralatan untuk menangkap sudah tersedia. Tapi tidak diketahui, apa yang harus diburu. Orang-orang semakin tak sabar. Namun pada tanggal 2 Juli terdengar kabar, bahwa sebuah kapal uap yang berlayar dari Kalifornia menuju Shanghai, melihat binatang rak-
14 sasa itu tiga minggu sebelumnya di Lautan Pasifik sebelah utara. Bukan main gemparnya orang mendengar berita itu. Kapal 'Abraham Lincoln' diperlengkapi kembali dengan perbekalan dan bahan bakar.
Tiga jam sebelum kapal meninggalkan dermaga pelabuhan di Brooklyn, aku menerima sepucuk surat yang isinya seperti berikut:
"Kepada Monsieur Aronnax, Profesor pada Museum di Paris,
"Hotel Fifth Avenue, New York.
"Dengan hormat, Bersama ini pemerintah Amerika Serikat mengundang Tuan untuk turut serta dalam ekspedisi kapal 'Abraham Lincoln' selaku
wakil negara Perancis. Commander Farragut telah menyediakan sebuah kabin untuk keperluan Tuan,
Wassalam, J.B. Hobson Menteri Perhubungan Laut
III AKU MENGAMBIL KEPUTUSAN TIGA detik sebelum menerima surat dari J.B. Hobson, sama sekali tak terdapat keinginan pada diriku untuk memburu raksasa siluman. Tapi tiga detik sesudah kubaca surat dari menteri perhubungan laut Amerika Serikat, timbul perasaan seakan-akan satu-satunya yang penting dalam hidupku adalah memburu momok yang menghantu itu dan menyingkirkannya dari muka bumi ini.
Aku baru saja kembali dari suatu perjalanan melelahkan. Badanku letih, dan aku ingin beristirahat. Aku sangat ingin pulang ke negeriku, berjum-
15 pa dengan sahabat-sahabat. Aku rindu pada rumahku yang kecil di Jardins des Plants, serta bergaul dengan benda-benda kumpulanku yang berharga. Namun begitu kubaca surat undangan, tak ada lagi yang dapat menahan diriku! Semuanya kulupakan: keletihan tubuh, sahabat-sahabat serta kumpulan benda-benda ilmiah di rumah. Tanpa ragu, kuterima undangan pemerintah Amerika Serikat itu.
"Lagipula semua jalan yang ditempuh mengarah ke Benua Eropa," pikirku. "Barangkali saja ikan paus raksasa bertanduk tunggal itu baik hati, dan mau bergerak mendekati pesisir Perancis. Mudah-mudahan saja tertangkapnya di daerah perairan Eropa! Aku belum puas, jika tak berhasil membawa paling sedikit setengah meter dari tanduknya untuk Museum Sejarah Alam." Tetapi untuk sementara aku harus ikut mencarinya di perairan Pasifik sebelah utara. Jadi aku harus berlayar ke balik bumi, apabila hendak kembali ke Perancis.
"Conseil!" Aku memanggil dengan suara tak sabar.
Conseil adalah pelayanku. Ia berasal dari daerah Flanders di Belgia. Conseil sangat setia, dan selalu ikut dengan aku ke mana-mana. Aku senang padanya, dan sikapku itu dibalas dengan setimpal olehnya. Orangnya sangat tenang, dan menyukai tata tertib. Ia tak pernah terkejut menghadapi berbagai hal yang aneh-aneh. Cekatannya bukan main, setiap tugas dikerjakannya dengan memuaskan. Meski namanya berarti 'penasihat', tapi ia tak pernah melakukannya - juga apabila diminta.
Sudah sepuluh tahun Conseil ikut dengan aku, ke mana saja aku pergi untuk melakukan tugas demi ilmu pengetahuan. Belum pernah orang itu berkeluh kesah karena perjalanan terlalu jauh, atau terlalu melelahkan. Belum sekali ia segan mengemaskan
16 barang-barangnya untuk berangkat mengiringi aku ke mana saja. Orangnya sehat sekali, berbadan kuat dan tak kenal gentar. Umurnya tiga puluh tahun, dan perbandingannya dengan umurku adalah lima belas banding dua puluh. Dengan lain perkataan: aku saat ini berumur empat puluh tahun.
Ada cacat pada diri Conseil, yaitu orangnya terlalu menjaga tata pergaulan. Kadang-kadang menjengkelkan juga sikapnya.
"Conseil," panggilku sekali lagi. Sementara itu aku sudah mulai mempersiapkan diri untuk berangkat.
Biasanya aku tak menanyakan pada pelayanku itu, apakah dia mau ikut atau tidak apabila aku bepergian. Tapi kali ini ekspedisi mungkin akan lama, lagipula berbahaya. Bukan merupakan hal remeh, berburu seekor binatang yang mampu menenggelamkan kapal perang! Dalam persoalan ini, seorang yang paling tenang pun perlu berpikir-pikir dulu. Ingin kuketahui, bagaimana pendapat Conseil.
"Conseil!" Aku memanggil untuk ketiga kalinya. Akhirnya orang itu muncul juga. "Tuan memanggil saya"" katanya sambil masuk ke ruangan.
"Betul. Kemaskan barang-barang untuk aku, dan juga untukmu sendiri. Dua jam lagi kita akan berangkat."
"Baiklah, Tuan."
"Jangan buang-buang waktu lagi. Masukkan semua perlengkapan yang kuperlukan di perjalanan ke dalam kopor. Begitu juga jas, kemeja, kaos kaki. Jangan hitung-hitung lagi, masukkan saja sebanyak-banyaknya. Cepat sedikit!"
"Bagaimana dengan benda-benda kumpulan Tuan"" tanya Conseil.
"Nanti saja dipikirkan."
17 "Wah, kan sayang barang-barang yang dicari-cari dan ditemukan dengan susah payah!"
"Hotel ini pasti akan mau menyimpankannya selama aku pergi."
"Lalu, bagaimana halnya dengan hewan babi rusa""
"Mereka juga akan menguruskan makannya. Di samping itu, aku juga telah memesan agar kumpulan binatangku dikirim sa
ja terlebih dulu ke Perancis."
"Kalau begitu, kita ini bukan pulang ke Perancis, Tuan"" tebak Conseil.
"Ah, tentu saja!" kataku mengelak. "Cuma kita melingkar sedikit."
"Apakah perjalanan melingkar itu akan menyenangkan bagi Tuan""
"Ah, sebetulnya kita bukan melingkar. Hanya perjalanannya tidak langsung menuju ke Perancis. Kita akan menumpang kapal 'Abraham Lincoln'."
"Baiklah, Tuan." Conseil tetap bersikap tenang.
"Soalnya begini, Sobat. Perjalanan kita ada hubungannya dengan momok yang banyak diributkan orang selama ini. Kita akan mengenyahkan ikan paus raksasa itu dari samudera. Aku, sebagai pengarang buku 'Rahasia dasar samudera' yang terdiri dari dua jilid, tak mungkin mengelakkan diri, jika diajak berlayar dengan Commander Farragut. Tugasnya memang mulia, tapi juga berbahaya! Kita tak dapat menentukan sebelumnya, ke mana kita akan pergi; binatang yang kita buru, cepat sekali berpindah-pindah. Tapi kita akan terus membuntuti. Nakhoda kepal 'Abraham Lincoln' sangat cekatan!"
Kutinggalkan uang ongkos memberi makan pada babi rusa peliharaanku di hotel. Sudah itu aku: bergegas naik ke kereta sewaan, diikuti oleh Conseil yang setia. Sesampai di dermaga, barang-barang
18 kami dengan segera dibawa ke kapal perang. Aku cepat-cepat naik, sambil menanyakan di mana Commander Farragut. Seorang kelasi mengantar ke geladak buritan. Di sana aku berhadapan dengan seorang perwira berwajah tampan. Ia mengulurkan tangan.
"Monsieur Pierre Arronax"" katanya. "Betul," jawabku. "Anda Commander Farragut""
"Selamat datang, Profesor. Kabin Anda telah dipersiapkan."
Aku membungkukkan badan sebagai ucapan terima kasih. Sesudah itu aku meminta ditunjukkan kabin yang telah ditentukan untukku.
Kapal perang 'Abraham Lincoln' nampak cocok sekali untuk melakukan tugas khusus itu, begitu juga dengan perlengkapannya. Geraknya laju sekali, berkat mesin-mesin uap yang memiliki daya tekan sebesar tujuh atmosfir. Kecepatan rata-ratanya mendekati delapan belas sepertiga knot sejam. Mengagumkan, tapi belum memadai jika hendak mengejar ikan paus raksasa.
Susunan di dalamnya bersesuaian dengan mutu pelayarannya. Aku puas melihat keadaan dalam kabinku. Letaknya di sebelah belakang, berhadapan dengan ruang mesiu.
"Kita pasti akan senang di sini," kataku pada Conseil.
"Kalau Tuan mengatakan demikian," sambut pelayanku itu.
Dia kutinggalkan sendiri, sibuk mengeluarkan isi kopor dan mengaturnya dengan rapi di tempat yang sudah tersedia. Aku naik kembali ke geladak buritan, untuk memperhatikan persiapan keberangkat-an kami.
Commander Farragut memerintahkan agar tali-tali pengikat terakhir dilepaskan. Kalau aku terlam-
19 bat datang seperempat jam saja, pasti 'Abraham Lincoln' akan berlayar tanpa Profesor Arronax. Akan hilang kesempatan bagiku untuk turut dalam ekspedisi yang luar biasa dan menakjubkan. Tapi Commander Farragut tak mau kehilangan waktu satu jam saja, untuk mulai melakukan usaha pencarian binatang raksasa di samudera tempatnya dilihat orang. Ia memanggil masinis kepala,
"Ketel uap sudah penuh"" tanyanya.
"Ya, Sir!" jawab masinis.
"Baiklah. Kita berangkat!" seru Commander Farragut.
Dermaga pelabuhan Brooklyn penuh dengan penonton. Begitu pula halnya dengan bagian kota New York yang terletak di tepi East River. Sekitar lima ratus ribu orang bersorak-sorak, menyerukan "hura!" tiga kali berturut-turut. Beribu-ribu sapu tangan dilambai-lambaikan, sebagai ucapan selamat jalan pada kapal kami, sampai dilewati ujung semenanjung yang merupakan pusat kota. 'Abraham Lincoln' menyusuri pantai negara bagian New Jersey, sepanjang tepi kanan Sungai Hudson yang ditaburi dengan rumah-rumah yang serba cantik. Kami melalui perbentengan, yang memberi salam dengan tembakan-tembakan meriam. Commander Farragut' memerintahkan agar bendera Amerika Serikat dikerek ke atas tiang tiga kali berturut-turut sebagai jawaban. Ketiga puluh sembilan bintang yang menghiasi sudut seakan-akan berkilauan di puncak tiang
Sepanjang pantai pasir yang panjang dekat Sandy Hook Point, beberapa ribu orang memberikan salam perpisahan dari darat. Kapal-kapal kecil dan tongkang-tongkang mengiringi s
ampai ke kapal suar, yang menjadi tanda alur pelayaran memasuki perairan New York.
20 Lonceng kapal dibunyikan enam kali. Pandu kapal turun kembali ke perahunya dan mendatangi kapal sekunar kecil yang menunggu di sisi bawah angin. Api di kamar mesin berkobar, baling-baling berputar semakin cepat. Kapal 'Abraham Lincoln' berlayar di depan pantai Long Island, dengan haluan diarahkan ke Samudera Atlantik yang airnya dalam.
IV NED LAND NAKHODA Farragut adalah seorang pelaut yang baik, sesuai dengan kapal yang dipimpin olehnya. Ia merasa sejiwa dengan fregat-nya. Ia yakin bahwa binatang yang hendak diburu itu benar-benar ada, sehingga tak diizinkannya persoalan itu dipertengkarkan di atas kapal. Ia percaya bahwa ikan paus raksasa bertanduk tunggal ada, dan dia sudah bersumpah untuk membebaskan samudera dari bahaya itu. Baginya hanya ada dua pilihan: kalau Nakhoda Farragut tidak berhasil membinasakan, maka dia sendirilah yang akan binasa. Tidak terdapat pilihan ketiga untuknya.
Para perwira di kapal sependapat dengan nakhoda mereka. Setiap saat mereka selalu bercakap-cakap dan membicarakan kemungkinan berjumpa dengan binatang raksasa. Sementara itu tak henti-henti mereka menatapkan mata, meneliti permukaan samudera luas. Beberapa di antara mereka secara sukarela berjaga-jaga di atas tiang utama, siang maupun malam. Pada waktu siang, tali temali kapal penuh dengan kelasi-kelasi, yang tak tahan lagi berdiri di lantai geladak yang panas dibakar sinar matahari terik. Seluruh isi kapal sangat mengharapkan, akan dapat lekas-lekas berjumpa dengan ikan
21 paus tunggal bertanduk tunggal. Mereka ingin menombaknya dengan seruit, lalu mengangkat ke geladak dan membinasakannya. Karena itu mereka mengawasi permukaan laut dengan penuh gairah.
Kecuali itu Nakhoda Farragut juga menjanjikan hadiah sebesar dua ribu dollar, pada barang siapa yang pertama-tama melihat binatang raksasa itu. Jadi dapat dibayangkan, betapa nyalang mata-mata yang ada di atas kapal 'Abraham Lincoln'.
Aku pun tak mau kalah, ikut berjaga-jaga. Hanya satu orang saja yang acuh tak acuh, yaitu pelayan-ku Conseil. Dengan sikapnya itu, ia seakan-akan hendak memprotes kegairahan kami semua.
Nakhoda Farragut memperlengkapi kapalnya dengan segala peralatan yang dapat dipakai untuk menangkap ikan paus raksasa. Belum pernah ada kapal penangkap paus yang demikian lengkap: kami membawa semua alat yang dikenal, mulai dari seruit biasa yang dilontarkan dengan tangan, sampai-sampai senapan dan meriam. Di atas geladak haluan terpasang sebuah meriam istimewa. Pangkalnya besar sekali, dan menyempit di bagian laras. Model itu diperkenalkan dalam Pameran Dunia tahun 1867. Asalnya dari Amerika, dan dengan mudah mampu melontarkan peluru ber bentuk kerucut seberat sembilan pon sampai sejauh sepuluh mil.
Jadi kapal 'Abraham Lincoln' benar-benar serba lengkap alat pemusnahnya. Apalagi Ned Land juga turut dalam ekspedisi, Ned Land yang tersohor sebagai raja di kalangan tukang tombak.
Ia seorang Kanada. Tangannya gesit sekali, tak ada yang bisa membandingi. Orangnya sangat cekatan, tenang, tabah dan cerdik. Hanya ikan paus yang sangat cerdik sekali, yang mungkin mengelakkan diri dari lemparan seruitnya.
22 Umur Ned Land sekitar empat puluh tahun. Badannya jangkung dan tegap. Wataknya serius dan pendiam. Tapi kadang-kadang ia dapat bertindak keras dan kasar jika dibantah. Parasnya yang gagah, sangat menarik perhatian.
Dia orang Kanada keturunan Perancis. Meski pendiam, tapi terasa bahwa dia senang padaku. Rupanya sikap itu terdorong oleh kebangsaanku, yang memberikan kemungkinan padanya untuk memakai bahasa nenek moyangnya. Senang sekali mendengar dia berbicara dalam bahasa rakyat Perancis kuno yang segar, yang masih dipakai di beberapa daerah Kanada. Keluarga Ned Land berasal dari sekitar Quebec, dan sudah sejak turun temu-run menjadi nelayan ketika kota itu masih termasuk wilayah Perancis.
Pelan-pelan Ned Land mulai membuka mulut, yang mula-mulanya enggan bersuara. Asyik sekali mendengar kisah-kisah pengalamannya di perairan kutub. Ia bercerita, dengan gaya penuturan yang indah sekali. Aku terp
esona, seakan-akan sedang menikmati seorang pujangga memantunkan hikayat.
Menarik juga untuk mengetahui pendapat Ned Land, tentang persoalan momok samudera. Terus terang, ia tak percaya bahwa makhluk itu ada. Ia satu-satunya orang di kapal, yang tak ikut-ikut meyakini. Bahkan pokok persoalan itu dielakkan-nya, ketika pada suatu hari aku mendesak menanyakan. Pada suatu petang yang indah, tanggal 30 Juli, kapal 'Abraham Lincoln' telah berada pada posisi di depan Tanjung Putih, sekitar tiga puluh mil di bawah angin ke arah pesisir Patagonia. New York sudah tiga minggu kami tinggalkan. Garis balik selatan telah dilintasi, dan tak sampai tujuh ratus mil lagi ke selatan, kami akan sampai di Selat Magellan. Dalam waktu delapan hari berikut,
23 haluan kapal 'Abraham Lincoln' akan mengiris ombak Samudera Pasifik.
Aku dan Ned Land sedang duduk-duduk di geladak buritan. Kami mengobrol kian ke mari, sambil melayangkan pandangan pada permukaan samudera luas yang penuh rahasia. Belum pernah mata manusia melihat keadaan di kedalamannya yang tak terhingga. Sudah sewajarnya jika pembicaraan kemudian dicurahkan pada persoalan ikan paus raksasa. Kukemukakan berbagai kemungkinan gagal atau berhasilnya ekspedisi. Namun Ned Land tak berkata apa-apa. Dibiarkannya saja aku berbicara sendiri. Karena itu dia kudesak untuk membuka mulut.
"Nah, Ned," kataku, "barangkali Anda ini tak yakin, bahwa ikan paus raksasa yang sedang kita buru sekarang ini memang sungguh-sungguh ada. Adakah alasannya bagi Anda untuk bersikap tak percaya""
Ahli penombak itu menatap ke arahku untuk beberapa saat sambil berdiam diri. Kemudian ia melakukan suatu gerak yang merupakan kebiasaannya: tangannya menepuk dahi yang lebar, seakan-akan hendak memusatkan pikiran. Sudah itu barulah ia berkata,
"Mungkin saja aku punya alasan, Tuan Aron-nax.
"Ned! Anda ini kan pekerjaannya berburu ikan paus. Anda mengenal baik peri kehidupan gajah-gajah samudera itu. Mestinya dengan mudah Anda bisa menerima sangkaan, bahwa mungkin saja ada ikan paus raksasa. Mestinya Anda yang paling tidak ragu lagi!" Aku agak bingung melihat sikapnya.
"Justru kenyataan itu yang menyebabkan Tuan keliru, Profesor," jawab Ned. "Sudah lumrah, jika seorang awam percaya akan adanya bintang-bintang berekor luar biasa, yang melintas di angkasa
24 luar. Sudah biasa jika mereka itu mempercayai adanya binatang-binatang raksasa purba di perut bumi. Tapi tanyakan pada ahli perbintangan atau ahli ilmu tanah: pasti mereka hanya geleng kepala saja! Begitu juga halnya dengan diriku. Sudah banyak sekali ikan paus yang kuburu. Tidak sedikit yang berhasil kutombak dengan seruit, sedang beberapa ekor di antaranya mati oleh tanganku. Memang ikan paus sangat besar tenaganya. Tetapi betapapun kuatnya, ekor ataupun senjata lain yang dimiliki binatang-binatang itu takkan mampu menggores pelat besi pada lambung kapal uap. Apalagi menembusnya !"
"Tetapi saya pernah mendengar cerita-cerita tentang berbagai kapal yang tembus kena tombak ikan paus bertanduk."
"Memang, hal itu mungkin terjadi pada kapal-kapal kayu," jawab Ned Land, "tapi aku sendiri belum pernah melihatnya. Dan selama belum terbukti, aku tak percaya bahwa ada jenis ikan paus yang mampu melakukan hal seperti yang Tuan lukiskan tadi!"
"Ned! Sekali lagi saya ulangi berdasarkan pertimbangan kenyataan yang ada. Saya percaya bahwa ada binatang menyusui raksasa, yang hidup dalam laut. Binatang itu mestinya sejenis dengan ikan paus dan lumba-lumba, tapi jauh lebih besar dan kuat. Dan dia juga memiliki semacam tanduk atau taring tunggal yang kokoh sekali, sehingga mampu menembus pelat besi."
"Hm!" Hanya itu saja jawabannya, tapi dengannya telah dinyatakan sikap yang masih tetap tak yakin.
"Satu hal patut Anda ketahui, Ned," kataku menyambung keterangan. "Jika binatang sebesar itu benar-benar ada, dan jika hidupnya bermil-mil di bawah permukaan laut, maka mestinya badan binatang itu sangat kuat."
25 "Kenapa harus sangat kuat"" tanya Ned Kelihatannya ia kurang mengerti.
"Karena untuk dapat tinggal di situ, serta menahan tekanan yang terdapat di sana, diperlukan tenaga luar biasa. Be
gini sajalah," kataku lagi Mungkin perlu diberikan keterangan yang lebih terperinci, agar dia dapat memahami. "Dikatakan bahwa tekanan dalam atmosfir di mana kita hidup ini, sama dengan tekanan air setinggi kira-kira tiga puluh dua kaki. Itu kalau air tawar, kalau air laut tidak sebanyak itu. Sebabnya karena berat jenis air laut lebih besar daripada air tawar. Nah, sekarang jika Anda menyelam dalam sekali, maka tekanan yang membebani badan akan naik pula sekian kali lipat. Artinya, jika Anda menyelam sedalam tiga ratus dua puluh kaki, Anda akan mengalami tekanan air seberat sepuluh atmosfir. Bayangkanlah, jika ada makhluk yang hidup di tempat sedalam enam mil di bawah permukaan laut. Betapa besar tekanan yang harus ditahannya!"
Nampak kekaguman terbayang di wajah Ned Land. Aku melanjutkan keterangan.
"Jika seekor binatang yang besarnya melebihi seratus meter mampu hidup di sana, maka mau tak mau badannya harus kuat sekali!"
"Kalau begitu, kulitnya seharusnya setebal sepuluh senti atau bahkan dua puluh senti. Jadi seperti kapal berlapis baja."
"Betul kata Anda, Ned. Sekarang bayangkanlah kerusakan yang dapat diakibatkan, apabila binatang sebesar itu meluncur dengan kecepatan kereta api ekspres, kemudian menubruk sebuah kapal."
"Ya, mungkin juga," jawab penombak itu. Sikapnya mulai goyah, tapi ia masih tetap belum mau mengalah.
"Nah, telah berhasilkah saya meyakinkan Anda""
26 "Satu hal yang berhasil Tuan yakinkan padaku. Jika binatang sebesar itu memang sungguh-sungguh ada dan hidup di dasar laut, maka tenaganya mau tidak mau harus sebesar yang Tuan katakan."
"Anda ini keras kepala sekali. Jika mereka tidak ada, bagaimana harus diterangkan kecelakaan yang dialami kapal 'Scotia'""
V PERBURUAN DIMULAI SELAMA beberapa waktu, pelayaran kapal 'Abraham Lincoln' tak mengalami hal-hal istimewa. Tapi satu peristiwa membuktikan ketangkasan Ned Land yang luar biasa.
Pada tanggal 30 Juni kami berpapasan dengan beberapa buah kapal penangkap ikan paus. Kapal-kapal itu berasal dari Amerika. Dari mereka kami dengar, bahwa mereka sama sekali tak tahu-menahu tentang ikan paus raksasa. Tapi nakhoda salah satu kapal tersebut, yakni kapal 'Monroe', ketika mendengar bahwa Ned Land ikut berlayar dengan 'Abraham Lincoln', lantas meminta bantuan. Mereka memerlukan tenaga ahli penombak itu, untuk menangkap seekor ikan paus yang sedang dikejar. Commander Farragut juga ingin melihat Ned Land beraksi. Karena itu diberinya izin untuk membantu. Ternyata penombak bangsa Kanada itu sedang bernasib mujur: bukan seekor ikan paus saja yang berhasil ditangkapnya, melainkan dua. Yang satu ditombak tepat kena jantung, sedang ikan paus kedua berhasil ditangkap setelah berlangsung perburuan selama beberapa menit saja.
Lantas timbul keyakinan pada diriku, jika binatang raksasa sampai berhadapan dengan tombak se-ruit di tangan Ned Land, maka pasti tak akan ada harapan lolos.
27 Kapal kami melaju terus, mengitari pesisir tenggara Benua Amerika. Tanggal 3 Juli kami sampai di ujung Selat Magellan, kira-kira sejajar dengan Tanjung Virgenes. Namun Nakhoda Farragut tak mau lewat selat yang berliku-liku. Ia memilih jalan mengitar lewat Tanjung Tanduk.
Awak kapal menyetujui keputusannya. Banyak yang beranggapan, bahwa binatang raksasa yang mereka kejar tak mungkin ditemukan di Selat Magellan, karena dianggap terlalu sempit. Sedang bisa saja mereka berpapasan dengannya di Tanjung Tanduk.
Tanggal 6 Juli, kapal 'Abraham Lincoln' mengitari daratan Benua Amerika yang paling selatan itu. Kemudian haluan diarahkan menuju barat laut. Keesokan hari, kapal kami mulai menjelajah perairan Samudera Pasifik.
"Nyalangkan mata!" seru para kelasi.
Dan mata mereka benar-benar terbuka lebar, terdorong oleh bayangan hadiah dua ribu dollar. Sesaat pun mereka tak beristirahat. Siang malam mereka mengawasi permukaan samudera.
Dan mata mereka benar-benar terbuka lebar, terdorong oleh bayangan hadiah dua ribu dollar. Sesaat pun mereka tak beristirahat. Siang malam mereka mengawasi permukaan samudera.
Aku pun tak kalah awas, meskipun uang sama sekali tak menarik bagiku. Istirahatku hanya beberap
a menit saja untuk makan, dan beberapa jam untuk tidur. Waktu-waktu selebihnya, geladak buritan hampir tak pernah kutinggalkan, baik dalam keadaan cuaca baik maupun buruk. Aku ikut-ikut ribut, jika ada yang melihat punggung ikan paus meluncur memotong ombak. Dalam sekejap mata saja, geladak buritan sudah penuh dengan awak kapal, Aku menatapkan mata, kuperhatikan dengan pandangan tajam, sampai hampir-hampir buta ra-
28 sanya. Tapi aku tak dapat melihat apa-apa. Dengan sikap tenang seperti biasa, Conseil mengatakan berulang-ulang,
"Jika Tuan tidak terus-terusan memicingkan mata, mungkin penglihatan Tuan akan lebih baik!"
Tapi tiap kali, keributan kami ternyata percuma! Kapal 'Abraham Lincoln' memperlambat jalan dan mengubah haluan ke arah benda hitam yang terlihat. Sesudah dekat, selalu ternyata bahwa binatang itu seekor ikan paus biasa saja, yang dengan segera menyelam diiringi maki-makian ramai.
Tetapi keadaan cuaca baik sekali. Laut tenang, dan kami dapat memandang dengan leluasa sampai ke ujung mata.
Tanggal 20 Juli kami kembali melintasi garis balik selatan, pada garis bujur 105". Tanggal 27 bulan yang sama, kami melintasi garis khatulistiwa, pada garis meridian 110". Sudah itu arah kapal ditujukan lebih ke barat. Kami berkeliling di daerah tengah Samudera Pasifik. Menurut pertimbangan Commander Farragut, lebih baik kami tetap bergerak di perairan dalam, dan menjauhi tepi-tepi benua serta pulau-pulau. Pertimbangan ini beralasan baik, karena binatang siluman yang kami cari tak pernah nampak di dekat-dekat situ. Menurut pendapat kebanyakan awak kapal, hal itu pasti karena airnya dangkal.
Kapal lewat agak jauh dari pulau-pulau Marquesas dan Sandwich, kemudian melintasi garis balik utara dalam pelayaran menuju ke Laut Cina. Kami menuju ke tempat di mana binatang raksasa itu nampak untuk terakhir kali. Tak seorang pun di atas kapal yang tak berdebar-debar jantungnya. Tak ada yang masih bisa tidur, tak seorang pun merasa lapar. Dalam sehari ada dua puluh kali barangkali, terdengar seruan seorang kelasi yang ber-
29 tugas di atas tiang layar; ada dua puluh kali, semua bergegas ke tepi untuk melihat. Ternyata salah lihat! Keadaan begitu, berulang-ulang, mengakibatkan perasaan kami sudah tak menentu lagi. Tak lama lagi, pasti terjadi sesuatu sebagai reaksi terhadap keadaan serupa itu.
Dan ternyata reaksi itu muncul juga. Selama tiga bulan, yang dirasakan oleh setiap orang sebagai jauh lebih lama, kapal 'Abraham Lincoln' mengarungi seluruh perairan Pasifik sebelah utara; memburu ikan-ikan paus, mengganti arah haluan dengan cepat, berhenti dengan tiba-tiba, melaju kembali. Boleh dikatakan tak ada satu tempat di samudera depan pantai Jepang dan Amerika yang belum dijelajah kapal kami.
Para pendukung ekspedisi yang mula mulanya paling bersemangat, berganti sikap menjadi pence-lanya yang tersengit. Reaksi begitu bermula di kalangan awak kapal, dan menjalar sampai-sampai ke nakhoda. Kalau bukan berkat kekerasan hati Commander Farragut, 'Abraham Lincoln' pasti sudah membelokkan arah pelayaran, kembali ke selatan. Usaha pencarian sia-sia tak mungkin dilanjutkan lebih lama, walau sudah dilakukan dengan sepenuh hati. Belum pernah ada awak kapal Amerika yang menunjukkan kerajinan serta kesabaran seperti di 'Abraham Lincoln'. Bukan salah mereka jika ekspedisi tak berhasil. Tinggal satu lagi pilihan yang dapat ditempuh, yaitu pulang kembali.
Pertimbangan itu diajukan ke hadapan nakhoda. Para kelasi tak mampu menyembunyikan kekecewaan, dan mereka pun tak begitu beres lagi bekerja. Aku tak dapat mengatakan bahwa di kapal terjadi pemberontakan, tapi perkembangan sudah nyaris ke situ. Nakhoda Farragut meminta, agar awak kapal mau bersabar dulu selama tiga hari. Kalau dalam waktu tiga hari itu, binatang raksasa masih
30 belum muncul juga, maka kelasi yang memegang kemudi hendaknya membelokkan arah kapal. 'Abraham Lincoln' akan kembali ke perairan tanah air.
Janji itu diberikan oleh Nakhoda pada tanggal 2 Nopember. Sebagai akibatnya, semangat awak kapal timbul kembali. Sekali lagi mereka memperhatikan permukaan laut dengan saksama. Teropong-tero
pong dipergunakan dengan rajin. Semuanya seakan menantang raksasa siluman, agar menampilkan diri.
Dua hari berlalu secara demikian. Kapal berlayar dengan setengah tenaga. Bermacam-macam akal dicoba untuk menarik perhatian ikan paus raksasa bertanduk, sekiranya dia memang berada dalam laut sekitar situ. Banyak sekali daging babi yang diikatkan pada tali, dan dihela dalam air untuk memikatnya. Tapi yang bersorak gembira (kalau memang bisa!), cuma ikan-ikan hiu belaka. Kalau kapal berhenti sebentar, dengan segera sekoci-sekoci berkeliaran sekelilingnya. Seluruh penjuru samudera diperiksa dengan tekun. Tapi sampai menjelang malam tanggal 4 Nopember, siluman yang dicari-cari tetap tak menampakkan batang hidung.
Keesokan harinya, jadi tanggal 5 Nopember, ba-ias waktu menunggu akan berakhir tepat pukul dua belas siang. Sesudah saat itu, Nakhoda Farragut harus menepati janji. Arah haluan kapal harus dibelokkan kembali menuju tenggara, meninggalkan perairan Pasifik sebelah utara.
Saat itu fregat sedang berada pada posisi lintang utara 31"15' dan bujur timur 136"42'. Kami masih berada di perairan yang tak sampai dua ratus mil jaraknya dari pesisir Jepang. Hari sudah mulai malam. Lonceng kapal berdenting delapan kali. Awan bergumpal menutupi wajah bulan yang saat
31 itu masih muda. Di belakang buritan, laut kelihatan mengalun lembut.
Waktu itu aku sedang bersandar pada jala pengaman di sisi kanan kapal. Conseil berdiri di sampingku. Pandangannya ditatapkan lurus ke depan. Para kelasi berdiri di tangga tali yang membentang dari sisi kapal ke atas tiang. Mereka pun asyik memperhatikan tepi langit, yang makin lama semakin menjadi gelap. Para perwira dengan teropong malam mereka, meneliti permukaan laut yang semakin menjadi kelam. Sekali-sekali kelihatan air laut berkilauan, apabila awan yang menutupi bulan muda tiba-tiba merenggang sebentar. Tapi sudah itu sekeliling kami gelap kembali.
Aku memperhatikan pelayanku, Conseil. Kelihatannya ia terpengaruh juga oleh suasana sekeliling. Setidak-tidaknya, demikian perkiraanku. Mungkin untuk pertama kali syarafnya ikut tergetar. Barangkali bangkit juga rasa ingin tahu pada dirinya.
"Ayo, Conseil," kataku, "ini kesempatan terakhir, untuk dapat mengantongi hadiah dua ribu dollar."
"Jika Tuan perkenankan saya mengatakannya," sambut Conseil dengan gayanya seperti biasa, "saya tidak pernah berharap akan mendapat hadiah itu. Dan jika pemerintah Amerika Serikat pernah menjanjikan hadiah seratus ribu dollar sekalipun, uang itu pasti takkan ada yang menerimanya."
"Betul katamu itu, Conseil. Memang kita sudah terlalu terburu nafsu, ikut dalam usaha gila-gilaan ini. Banyak waktu terbuang, lagipula perasaan bergolak tanpa guna. Seharusnya kita sudah enam bulan yang lalu berada kembali di Perancis."
"Dalam kamar Tuan yang mungil," jawab Conseil, "dan bekerja kembali dalam museum. Sedang saya saat ini pasti sudah siap dengan pekerjaan
32 menentukan semua bekas binatang purba yang Tuan kumpulkan. Babi rusa akan sudah masuk kandang di Jardin des Plantes, serta menarik perhatian orang-orang dari ibu kota yang ingin melihatnya!"
"Benar, Conseil. Aku rasa, besar kemungkinannya perbuatan kita ini akan menjadi bahan tertawaan."
"Itu dapat dikatakan sudah pasti," balas Conseil dengan nada datar. "Saya rasa orang-orang akan mengejek Tuan. Dan, kalau Tuan mengizinkan saya berbicara terus -"
"Teruskan saja, Conseil."
"Maaf, tapi saya rasa sudah wajar jika Tuan ditertawakan." "Apa katamu"!"
"Seseorang yang berilmu seperti Tuan, seharusnya tak boleh-"
Tapi Conseil tak sempat menyelesaikan kecamannya. Satu suara lantang tiba-tiba memecah kesunyian di kapal, Ned Land berseru,
"Lihatlah! Itu dia yang kita cari-cari, bergerak di sisi dari mana angin bertiup!"
IV DENGAN KECEPATAN PENUH Mendengar seruan itu, seluruh isi kapal berge-gas mendatangi juru tombak. Semuanya datang, mulai dari nakhoda, perwira, sampai-sampai kelasi terendah. Bahkan para masinis juga meninggalkan mesin mereka, begitu pula halnya dengan semua juru api.
Nakhoda sudah memerintahkan agar semua mesin dihentikan, namun kapal masih meluncur juga sedikit
sebagai akibat kelajuannya semula. Keadaan sudah gelap gulita. Meski penglihatan penom-
33 bak bangsa Kanada itu tajam sekali, masih timbul juga keheranan pada diriku. Bagaimana mungkin ia bisa melihat sesuatu, dan benda apa yang terlihat olehnya itu. Jantungku berdebar keras. Tapi ternya ta Ned Land memang tidak salah lihat. Akhirnya nampak juga oleh kami benda yang ditunjuk-tun juk. Pada jarak kurang lebih empat ratus meter di sisi belakang kapal sebelah kanan, permukaan laut seakan-akan bersinar-sinar. Cahaya yang nampak bukan merupakan pantulan sinar binatang-bina tang kecil, seperti yang sering kelihatan. Makhluk ajaib rupanya berenang beberapa meter di bawah permukaan air, dan memancarkan sinar aneh yang sangat terang. Benar juga rupanya laporan sekian banyak nakhoda kapal, yang berjumpa dengan makhluk itu. Cahaya yang begitu kemilau, mestinya ditimbulkan oleh sumber yang sangat besar tenaga sinarnya. Bagian laut yang terang menunjukkan jejak berbentuk lonjong. Bagian tengah bercahaya putih, dan semakin memudar ke arah tepi.
"Ah, itu kan cuma sekumpulan besar binatang! binatang laut kecil yang dapat bercahaya," seru seorang perwira.
"Tidak, mustahil," kataku membantahnya "Tidak mungkin ada golongan binatang kecil yang mampu menimbulkan sinar begitu terang. Lagipu la cahayanya tidak dingin. Pasti pembangkitnya lis trik, bukan fosfor. Kecuali itu makhluknya berge rak. Itu, lihat! Dia mundur, maju ke depan. Dia meluncur cepat ke arah kita!" Orang-orang di kapal berteriak ramai. "Diam!" seru Nakhoda. "Banting kemudi, m sin-mesin mundur!"
Katup uap ditutup, dan 'Abraham Lincoln' ber gerak ke kiri membentuk setengah lingkaran "Luruskan kemudi! Sekarang maju!" Perintah Nakhoda diikuti. Fregat kami bergerak
34 dengan laju, menjauhkan diri dari cahaya yang bersinar.
Tidak, aku keliru! 'Abraham Lincoln' memang berusaha menjauhkan diri, tapi makhluk ajaib terus mendekat dengan kecepatan lipat dua.
Nafas kami terhenti sejenak. Kami melongo, tanpa mampu bergerak. Perasaan takjub pada diri kami lebih besar dari ketakutan. Binatang raksasa berlomba melawan ombak, makin lama semakin dekat. Kapal kami yang bergerak dengan kecepatan empat belas knot dikelilinginya dengan cepat. Air seputar kami berkilauan, seperti gelang sinar. Kemudian binatang itu menjauh sampai dua atau tiga mil, dengan meninggalkan jejak berpendar pendar. Kelihatannya persis seperti kereta api yang mengepulkan uap.
Tiba-tiba momok itu bergerak dengan cepat meninggalkan tempatnya, meluncur ke arah kapal 'Abraham Lincoln'. Namun dengan sekonyong-konyong pula dia berhenti, sekitar enam sampai tujuh meter dari lambung kapal kami. Kemudian cahaya kemilau lenyap. Makhluk itu tidak menyelam, karena cahayanya tidak berkurang pelahan-lahan, melainkan padam dengan seketika, seolah-olah sumber cahaya tidak bekerja lagi. Tapi tahu-tahu makhluk ajaib sudah muncul di sisi lain dari kapal. Seakan-akan tadi dia memutar tubuh, lalu menyusup di bawah lambung. Sebentar lagi mungkin akan terjadi benturan, yang pasti berarti kebinasaan bagi kami. Tapi aku heran melihat gerak fregat. Bukannya menyerang, tapi melarikan diri.
Wajah Nakhoda yang biasanya tak menampakkan gerak perasaan, kali ini menunjukkan keheranan luar biasa.
"Tuan Aronnax," ujarnya, "saya tak tahu binatang besar apa yang harus saya hadapi ini. Saya tak mau nekat, membahayakan keselamatan kapal di
35 tengah kegelapan. Lagipula, bagaimana cara menyerang makhluk aneh itu" Bagaimana cara mempertahankan diri" Kita tunggu saja sampai hari siang kembali. Keadaannya pasti akan berubah."
"Anda sudah tidak ragu-ragu lagi, binatang apa yang kita hadapi""
"Tidak, Tuan. Mestinya itu seekor ikan paus raksasa bertanduk tunggal, yang bisa membangkitkan cahaya."
"Barangkali kita hanya bisa mengalahkannya dengan torpedo," saranku.
"Sudah pasti dia binatang terseram di muka bumi ini, jika tenaganya begitu besar," jawab Nakhoda. "Karena itu saya harus berjaga-jaga."
Sepanjang malam, semua isi kapal berjaga. Tak ada yang memikirkan tidur. Karena tidak mampu melawan laju binatang raksasa, kapal 'Abraham Lincoln' lantas memperlambat jalan
dan bergerak dengan setengah tenaga. Tapi ikan paus raksasa ikut melambatkan diri, sambil tergoyang-goyang ombak. Seakan-akan makhluk itu bertekat untuk mengiringi. Tapi menjelang tengah malam dia menghilang, atau lebih tepat jika dikatakan padam - seperti kunang-kunang raksasa. Sudah larikah dia" Mudah-mudahan saja tidak. Tapi tiba-tiba, pada pukul satu malam kurang tujuh menit, terdengar bunyi desingan nyaring. Seakan-akan bunyi air menyembur deras.
Waktu itu aku sedang berada di geladak buritan, bersama Nakhoda dan Ned Land. Kami menajamkan mata, mencoba menembus gelap.
"Ned Land," tanya Nakhoda, "pernahkah kau mendengar suara ikan paus""
"Sudah sering, Sir. Tapi kalau ikan paus, yang menyebabkan aku mendapat hadiah dua ribu dol-lar karena melihatnya, belum pernah! Coba aku
36 bisa mendekati, sampai jarak empat tombak dari padanya."
"Tapi untuk mendekati, tentunya aku harus menyediakan sebuah sekoci khusus, bukan"" tanya Nakhoda Farragut.
"Betul, Sir." "Itu berarti mempertaruhkan nyawa anak buahku."
"Dan nyawaku juga," sambut si penombak sebagai jawaban.
Menjelang pukul dua pagi, cahaya kemilau kelihatan lagi. Pancarannya tetap terang benderang, kira-kira lima mil dari kami. Posisinya di atas angin. Meski jaraknya cukup besar, namun dapat terdengar jelas bunyi deburan air terpukul ekornya. Begitu pula nafasnya yang berat, mengalahkan bunyi angin dan ombak. Rupanya ikan paus raksasa sedang menarik nafas. Udara memburu masuk paru-parunya yang besar, terdengar- seperti bunyi uap dalam mesin berkekuatan dua ribu daya kuda.
"Hm," kataku dalam hati, "sudah pasti binatang siluman itu kuat sekali!"


Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kami waspada terus, sampai saat matahari terbit. Kemudian mulai dilakukan persiapan untuk menangkapnya. Alat-alat pengail ditaruh sepanjang jala pengaman di sisi kapal. Letnan kedua memasukkan obat mesiu ke dalam senapan besar, yang mampu melontarkan seruit sampai sejauh satu mil. Juga dipersiapkan meriam panjang, yang pelurunya dapat meledak. Binatang yang paling ganas sekali pun, pasti akan tewas jika kena peluru itu. Sedang Ned Land mempersiapkan diri, dengan jalan menajamkan senjata ampuhnya, yaitu tombak-tombak seruit.
Begitu matahari mulai memancarkan cahaya pukul enam pagi, padam pula cahaya listrik yang dipancarkan ikan paus. Pukul tujuh pagi, hari seha-
37 rusnya sudah terang. Tapi kabut tebal menghalangi pandangan. Teropong yang paling baik di kapal, juga tak mampu menembusnya. Hal itu menimbulkan rasa kecewa dan marah.
Aku memanjat tiang kedua dari belakang. Di palang teratas sudah duduk beberapa perwira kapal. Pukul delapan pagi, kabut yang menyelimuti ombak yang mengalun, mulai terangkat pelan-pelan.
Kami dapat memandang berkeliling dengan lebih leluasa. Tiba-tiba terdengar lagi suara Ned Land, seperti sehari sebelumnya,
"Itu dia, di arah kiri buritan!"
Mata kami semua tertuju ke titik yang ditunjukkan olehnya. Sebuah badan berbentuk panjang kehitam-hitaman muncul di permukaan air, kira-kira satu setengah mil dari fregat. Ekornya memukul-mukul dengan keras, sehingga air berkisar hebat sebagai akibatnya. Belum pernah kulihat sirip ekor yang dapat menggolakkan laut seperti itu. Ikan paus raksasa berenang, meninggalkan bekas putih menyilaukan yang membentuk lengkungan besar.
Fregat kami mendekat. Aku memperhatikan binatang raksasa, yang menimbulkan huru-hara samudera luas.
Berdasarkan penglihatan mataku, kurasa lapor-an-laporan yang diberikan kedua kapal 'Shannon' dan 'Helvetia' melebih-lebihkan ukurannya. Menurut penaksiranku sendiri, panjangnya cuma sekitar delapan puluh meter saja. Sedang bentuknya, kudu ga serasi sekali. Sementara aku sedang asyik memperhatikan, binatang raksasa menyemburkan air tercampur uap dari dua buah lubangnya. Sem-
burannya tinggi sekali, menjulang sampai sekitar empat puluh meter ke atas. menurut dugaanku, begitulah caranya bernafas. aku menarik kesimpulan pasti, bahwa makhluk aneh yang sedang berenang
38 menghampiri tergolong binatang bertulang pung-pung, jenis menyusui. Awak kapal sudah tak sabar lagi menunggu pe-
rintah Nakhoda. Sesudah mengamati dengan sak-sama, dia memanggil masinis. Den
gan segera masinis datang berlari-lari.
"Apakah uap sudah ada dalam ketel"" tanya Nakhoda.
"Ya Sir!" jawab masinis dengan sigap. "Baiklah. Besarkan api, dan alirkan uap yang ada."
Perintah itu disambut dengan sorak-sorai. Akhir-nya tiba juga saatnya untuk berjuang. Beberapa saat kemudian, kedua cerobong kapal 'Abraham Lincoln' sudah mengepulkan asap hitam. Anjung Nakhoda berderik-derik karena getaran ketel uap. Fregat kami melaju, bergerak lurus menghampiri ikan paus raksasa. Binatang itu membiarkan kami mendekat, sampai sekitar seratus meter lagi; kemu-dian memutar tubuh - bukannya menyelam - dan-berenang agak menjauh. Sudah itu dia berhenti la-
"Nah, Tuan Land," tanya Nakhoda, "bagaimana pendapat Anda" Apakah aku harus menurunkan sekoci-sekoci""
"Tidak, Sir," jawab Ned Land. "Takkan begitu mudah mengalahkan binatang itu." "Kalau begitu, apa yang harus kita perbuat"" "Kalau bisa, tambah uap lagi. Dan jika Nakhoda mengizinkannya, aku ingin bersiap di bawah tong-gak haluan. Jika sudah cukup dekat, akan kulem-parkan seruit."
"Pergilah, Ned," ujar Nakhoda. "Masinis, tam-
bah uap lagi!" Ned pergi ke pos penjagaannya. api dikobarkan, tekanan uap semakin membesar, dan baling-baling berputar sebanyak empat puluh tiga putaran per
39 menit. Alat pengukur menunjukkan bahwa 'Abraham Lincoln' melaju dengan kecepatan delapan belas setengah mil sejam.
Tapi binatang jahanam berenang sama lajunya.
Sejam lamanya kapal bergerak dengan kecepatan begitu. Tapi jarak antara kami dan ikan paus raksasa, tetap tak berubah. Benar-benar memalukan bagi salah satu kapal layar tercepat yang dimiliki Angkatan Laut Amerika Serikat. Kemarahan awak kapal bangkit; para kelasi memaki-maki binatang laknat, yang tetap bersikap tak peduli. Nakhoda sudah bukan memilin misai lagi, penghias wajah itu sudah digigit-gigit olehnya karena geram.
Sekali lagi masinis dipanggil.
"Katup ketel uap sudah dibuka sebesar-besarnya""
"Ya Sir!" jawab masinis.
Kapal 'Abraham Lincoln' semakin laju. Tiang-tiang layarnya bergetar sampai ke pangkal. Asap hitam yang mengepul sudah hampir tak tertampung, lagi oleh kedua cerobong sempit.
Alat penunjuk kecepatan menunjukkan sembilan belas tiga persepuluh mil sejam.
"Tambah uap lagi!" perintah Nakhoda.
Masinis menurut. Alat pengukur tekanan uap menunjukkan sepuluh derajat. Tapi ikan paus raksasa juga mulai panas badannya. Dengan mudah dia ikut berenang, dengan kecepatan sembilan belas tiga persepuluh mil sejam.
Wah, bukan main ramainya perburuan! "Tak dapat kulukiskan betapa tegang perasaan saat itu Ned Land tetap berada di posnya, dengan tangan yang siap melontarkan seruit. Beberapa kali binatang raksasa membiarkan dirinya didekati sedikit,
"Kita berhasil mengejarnya!" teriak Ned dengan girang. Tapi pada saat tangannya terangkat untuk
melontar, ikan paus aneh itu melesat dengan kecepatan paling sedikit tiga puluh mil sejam. Dia bahkan berani mengejek kami, berenang berputar-putar mengelilingi kapal yang berjalan dengan kecepatan tertinggi. Setiap orang yang ada di kapal berteriak karena marah !
Pada saat tengah hari, jarak yang memisahkan tak berkurang; masih sama jauhnya seperti pada pukul delapan pagi.
Nakhoda memutuskan, untuk mengambil tindakan tegas.
"Ah! Rupanya binatang itu lebih laju dari 'Abraham Lincoln'," katanya. "Sekarang kita lihat, apakah dia bisa meloloskan diri dari peluru-peluru kerucut. Kerahkan awak meriam ke depan!"
Meriam yang terpasang pada geladak atas di haluan diisi lekas-lekas, lalu diputar. Tapi tembakan meleset, peluru melayang lebih dari semeter di atas ikan paus raksasa, yang saat itu berenang setengah mil di depan kami.
"Sekali lagi! Kali ini agak ke kanan," seru Nakhoda, "dan kuberi hadiah lima dollar, pada orang yang berhasil mengenai binatang jahanam itu!"
Seorang penembak tua, dengan janggut beruban dan mata awas serta wajah serius pergi ke meriam. Lama sekali ia membidik. Kemudian terdengar bunyi letusan nyaring, disusul oleh sorak yang ribut.
Peluru mengenai sasaran, tapi tak menyebabkan dia mati. Kerucut maut tergelincir dari kulitnya yang melengkung, dan jatuh masuk ke laut.
Pengejaran dimulai l agi. Sambil mencondongkan badan mendekati, ia berkata padaku,
"Binatang itu akan saya kejar, sampai fregat ini pecah berantakan."
"Ya," jawabku. "Anda mengambil keputusan yang benar!"
41 Kuharapkan agar ikan paus raksasa lama-kelamaan kehabisan tenaga, dan bukannya tak kenal letih seperti mesin uap! Tapi harapan itu sia-sia: waktu berlalu berjam-jam, tanpa kelihatan bahwa kecepatannya berenang agak berkurang.
Tapi 'Abraham Lincoln' juga tak mau menyerah kalah. Entah berapa mil yang ditempuh pada hari sial, pada tanggal 6 Nopember itu. Akhirnya malam tiba, dan samudera berombak menjadi gelap.
Kukira ekspedisi kami telah berakhir. Kusangka kami tidak akan lagi melihat binatang luar biasa itu. Tapi ternyata dugaanku itu keliru. Kira-kira sepuluh menit sebelum pukul sebelas malam, cahaya listrik muncul lagi, kira-kira tiga mil di atas angin dari tempat kami berada saat itu. Cahayanya memancar bersih sekali, persis seperti malam sebelumnya.
Kelihatannya ikan paus raksasa tak bergerak sama sekali. Mungkin sedang tidur, karena lelah berenang sehari penuh. Dia terapung, dibuaikan ombak yang mengalun. Suatu kesempatan baik untuk menyergapnya. Dan Nakhoda Farragut memanfaatkannya.
Diberikannya perintah pada seluruh anak buah. Kapal 'Abraham Lincoln" maju dengan setengah tenaga, bergerak dengan hati-hati agar jangan sampai membangunkan musuh. Bukan suatu hal asing, untuk menemukan ikan paus yang sedang tidur nyenyak di tengah samudera, sehingga memudahkan pekerjaan menangkapnya. Sudah lebih dari satu yang berhasil ditombak oleh Ned Land, sewaktu terlelap begitu. Dan kali ini orang Kanada itu kembali menempati posnya di depan haluan.
Fregat mendekat dengan hati-hati, lalu mesin-mesin dihentikan. Kami meluncur ke depan, makin lama makin dekat. Tak seorang pun berani bernafas. Keadaan di geladak sunyi sepi. Jarak kami dari
42 ikan paus raksasa tak sampai tiga puluh meter lagi. Kelihatan jelas pusatnya, yang bersinar menyilaukan mata.
Aku menjulurkan kepala, sambil bersandar pada pagar geladak atas di haluan. Di bawah kelihatan Ned Land. Dengan satu tangan ia berpegangan pada sebuah tiang penopang, sedang tangannya yang lain mengacungkan tombak seruit. Jaraknya dari binatang raksasa yang tidak bergerak-gerak, tak sampai sepuluh meter. Tiba-tiba lengannya diluruskan, dan seruit melayang. Kudengar ujungnya berdentang, seperti mengenai sesuatu yang keras. Cahaya listrik padam seketika itu juga. Dua pancaran air menyembur ke atas anjung fregat. Arusnya deras, menyemprot dari haluan sampai ke buritan. Orang-orang di geladak berpelantingan, tali-temali tiang habis putus-putus. Kemudian menyusul benturan keras. Tanpa dapat menyelamatkan diri lagi, aku terlempar dari kapal dan jatuh ke laut.
VII JENIS IKAN PAUS YANG TAK DIKENAL
BEGITU tiba-tiba aku terpelanting ke air, sehingga sesaat tak kuketahui apa yang terjadi. Mula-mula aku terbenam, sampai kira-kira sedalam lima meter atau lebih. Aku pandai berenang, karena itu tidak menjadi bingung. Dengan dua kali mengayunkan lengan kuat-kuat, aku sudah muncul kembali di permukaan. Begitu kepalaku tersembul ke luar, mataku segera mencari fregat. Apakah anak buahnya melihat aku lenyap kena semburan air" Apakah 'Abraham Lincoln' memutar haluan" Adakah sekoci yang diturunkan Nakhoda untuk menyelamatkan aku"
43 Malam itu gelap sekali. Mataku hanya mampu menangkap bayangan gelap suatu benda besar yang menghilang ke timur. Lampu-lampu buritan semakin lama semakin samar saja nampaknya. Itu dia fregat kami, bergerak menjauhi tempatku menggapai-gapai di air.
"Tolong! Tolong!" Aku berteriak keras-keras, sambil berenang dengan panik mengejar kapal.
Pakaianku terasa membebani badan, karena menempel di tubuh sehingga menghalangi gerakan.
Aku tenggelam! Aku akan mati lemas!
"Tolong!" Hanya sekali itu saja aku dapat terpekik, Mulutku penuh air asin. Aku meronta-ronta, karena tak mau tenggelam. Tiba-tiba pakaianku dipegang tangan kuat, dan aku merasa ditarik kembali ke permukaan laut. Dan aku mendengar kata-kata di telinga,
"Jika Tuan berkenan menyandarkan diri ke bahu saya, maka Tuan akan bisa berenang dengan lebi
h leluasa." Kupegang lengan Conseil yang setia.
"Kaukah ini"" tanyaku penuh harap.
"Betul, Tuan," jawab orang itu, "adakah yang Tuan perintahkan""
"Benturan tadi juga melemparkan kamu ke laut""
"Tidak. Tapi karena saya bekerja pada Tuan, saya lalu menyusul." Ia berkata begitu, seakan-akan perbuatannya merupakan hal yang sudah sewajarnya.
"Bagaimana dengan fregat"" tanyaku lagi.
"Kapal 'Abraham Lincoln"" balas Conseil, sambil memutar badan. Ia kini berenang sambil telentang. "Saya rasa, lebih baik Tuan jangan terlalu mengharapkannya."
"Kenapa begitu""
44 "Saya berkata demikian, karena sewaktu saya melompat ke laut, masih sempat tertangkap kata kelasi yang memegang kemudi, bahwa baling-baling dan papan kemudi patah."
"Patah"" tanyaku heran.
"Ya, patah disambar gigi si raksasa. Cuma itu saja satu-satunya kerusakan yang terjadi pada 'Abraham Lincoln'. Tapi karena kemudinya tak bekerja lagi, sukar bagi mereka memutar haluan untuk mencari kita."
"Kalau begitu, kita tak mungkin tertolong oleh mereka. Kita akan mati tenggelam."
"Mungkin," ujar Conseil dengan tenang. "Namun, sebelum itu terjadi, kita masih punya waktu berjam-jam. Selama itu masih banyak yang dapat dicoba."
Sikap Conseil yang tetap berkepala dingin, menenangkan diriku kembali. Aku mulai berenang lebih cepat. Tapi karena pakaian yang menempel, kurasakan sukar untuk dapat tahan berenang. Conseil melihat kesukaran yang kualami.
"Permisi, saya hendak menyobek pakaian Tuan," katanya.
Diselipkannya sebilah pisau ke pakaianku, yang kemudian dipotongnya dari atas sampai ke bawah dengan satu gerakan cepat. Sementara aku berenang sambil menyeret Conseil, dia membuka pakaianku dengan cekatan.
Sudah itu kulakukan hal sama pada Conseil. Setelah bebas dari pakaian yang mengganggu gerak, kami lantas melanjutkan berenang berdampingan.
Walau sudah bisa lebih leluasa bergerak, namun keadaan kami masih tetap gawat. Mungkin di kapal tak diketahui bahwa kami hilang dari geladak. Dan kalaupun tahu, 'Abraham Lincoln' tak bisa mengubah arah, karena kemudinya sudah tak berdaya lagi. Conseil mempertahankan sangkaan itu.
45 Ia menyusun rencana berdasarkan padanya. Dia itu berdarah dingin, dan sungguh-sungguh mampu mengendalikan perasaan. Satu-satunya kemungkinan yang ada bagi kami untuk diselamatkan, adalah ditolong oleh sekoci sekoci yang diturunkan dari fregat. Karena itu, kami harus bertahan selama mungkin, menunggu kedatangan mereka. Aku memutuskan untuk menghemat tenaga kami. Kami tak boleh sampai kehabisan tenaga pada saat bersamaan. Karena itu kucari akal untuk menghindarkan kemungkinan itu. Caranya adalah sementara salah seorang dari kami terapung menelentang dengan lengan disilangkan dan kaki terjulur lurus, yang seorang lagi berenang sambil mendorong temannya. Berenang sambil mendorong ini, masing-masing berlangsung paling lama sepuluh menit. Kami bisa berenang ganti berganti selama berjam-jam, barangkali sampai malam berlalu. Sebetulnya harapan tipis sekali, namun manusia memang selalu tak lepas dari pengharapan! Lagipula, kami berdua. Juga apabila aku berusaha melenyapkan segala harapan, jika aku ingin berputus asa, hal itu tak dapat terjadi.
Benturan fregat dengan ikan paus raksasa terjadi pukul sebelas malam. Kuperhitungkan, kami harus berenang selama delapan jam sampai saat matahari terbit. Itu dapat saja dilakukan, jika kami berenang ganti berganti. Laut saat itu tenang sekali, jadi menguntungkan bagi kami. Kadang-kadang kucoba melihat dalam gelap. Yang nampak hanya sinar berpendar, yang diakibatkan oleh gerakan kami. Kuperhatikan gerak ombak-ombak kecil kemilau, terdorong tangan yang kucidukkan ke depan. Kami seakan-akan sedang mandi dalam air raksa.
Menjelang pukul satu subuh, tubuhku terasa letih sekali. Anggota badanku mengejang. Conseil ter-
46 paksa menopang, dan keselamatan kami tinggal tergantung pada dia seorang diri. Kudengar nafasnya terengah-engah. Kurasa, ia tak mungkin tahan lebih lama lagi.
"Tinggalkan saja aku," kataku padanya.
"Meninggalkan majikan saya! Tak mungkin!" jawabnya tegas. "Lebih baik saya tenggelam, sebelum hal itu terjadi."
Tepat pada saat itu b ulan muncul dari balik awan tebal yang terdorong angin ke arah timur. Permukaan laut berkilau-kilauan kena sinarnya. Cahaya lembut membangkitkan semangat kami lagi. Pikiranku segar kembali. Kutatapkan mata, memandang segala penjuru. Dan aku melihat fregat, kira-kira lima mil dari kami. Kelihatannya hanya sebagai bayangan gelap yang samar-samar belaka. Tapi aku tak melihat sekoci sama sekali!
Hampir saja aku berteriak memanggil. Tapi apalah gunanya, karena jarak yang memisahkan terlalu besar. Lagipula bibirku bengkak, sehingga tak mampu mengeluarkan suara. Conseil masih sanggup mengucapkan beberapa patah kata. Kudengar suaranya mengatakan berulang-ulang, "Tolong! Tolong!"
Sesaat lamanya gerakan kami terhenti. Kami memasang telinga. Mungkin hanya telinga kami sendiri yang mendesing, tapi aku seakan-akan mendengar orang menjawab teriakan Conseil.
"Kaudengar juga"" gumamku.
"Ya! Ya!" Sekali lagi Conseil berteriak minta tolong.
Kali ini kami tak keliru! Ada suara yang membalas seruan. Apakah kami mendengar suara seseorang malang lainnya, yang juga terapung-apung di tengah samudera" Mungkinkah dia itu juga korban benturan yang dialami kapal kami" Atau mungkinkah panggilan balasan yang datang dari kegelapan
47 itu berasal dari sebuah sekoci, yang diturunkan fregat"
Conseil mencoba untuk terakhir kali. Sementara aku berenang, dia bersandar pada bahuku lalu menjunjung badan ke atas, agar bisa melihat lebih jelas. Sudah itu tercebur kembali ke air, karena kehabisan tenaga.
"Apa yang kaulihat""
"Saya melihat -" gumamnya terputus-putus,
"saya melihat - tapi jangan bicara - simpan tena-ga -"
Apa yang dilihatnya tadi" Entah kenapa, tiba-tiba aku teringat pada makhluk raksasa! Tapi, kalau begitu suara siapa yang terdengar" Masakan Nabi Nuh, yang bermukim dalam perut ikan paus!
Tapi Conseil sudah berenang lagi, sambil mendorong aku. Sekali-sekali ia mengangkat kepala dan menatapkan pandangan ke depan. Ia berseru menyapa, dan dibalas oleh suara yang terdengar makin lama makin dekat. Aku hanya mendengarnya samar-samar. Tenagaku sudah habis sama sekali. Jari-jariku kejang. Lengan sudah tak mampu bergerak, dan mulutku mengap-mengap sehingga tiap kali aku menelan air asin. Tubuhku mulai terasa beku kedinginan. Untuk kali terakhir aku mengangkat kepala. Sudah itu aku tenggelam.
Aku merasa terbentur pada badan yang keras, lalu cepat-cepat kudekapkan lengan memagutnya. Terasa bahwa aku ditarik ke atas, ke permukaan laut kembali. Dadaku serasa hendak meledak, dan aku jatuh pingsan.
Sudah pasti tak lama sesudah itu aku siuman kembali, berkat tangan yang menggosok-gosok tubuhku dengan kuat. Mata kubuka dengan kuyu.
"Conseil"" gumamku lemah.
"Tuan memanggil saya"" tanya Conseil.
Pada saat itu aku melihat wajah, bukan wajah
48 Conseil, diterangi cahaya bulan yang hampir terbenam. Tapi dengan seketika aku mengenali wajah itu.
"Ned!" seruku. "Betul, Tuan," jawab penombak yang berasal dari Kanada itu.
"Apakah Anda juga terlempar ke laut, sebagai akibat benturan""
"Ya, Profesor. Tapi aku lebih mujur, karena bisa menemukan tempat berpijak pada sebuah pulau terapung."
"Pulau, kata Anda""
"Tepatnya, aku berdiri di punggung ikan paus raksasa yang kita buru."
"Jelaskan lebih lanjut, Ned!" Aku heran sekali.
"Dengan segera kulihat, bahwa seruit yang kulontarkan menjadi tumpul ujungnya, tanpa berhasil menembus kulit binatang itu."
"Kenapa bisa begitu, Ned""
"Ya, sebabnya karena kulit makhluk yang kita kira ikan paus, ternyata terbuat dari pelat besi!"
Ucapan Ned Land yang terakhir, menyebabkan aku melonjak. Cepat-cepat aku merayap naik ke atas makhluk besar yang dipijak orang Kanada itu. Punggungnya muncul sedikit ke luar air. Kuten-dangkan kaki kuat-kuat, mengenai sesuatu yang sudah pasti keras sekali; tidak kenyal, seperti biasanya kulit tubuh ikan paus. Tapi mungkin badan keras itu merupakan kerangka tulang yang menyelubuhi tubuh seekor binatang purba. Aku cenderung untuk menggolongkannya pada kelas binatang ampibi, seperti penyu atau buaya.
Tapi tak mungkin! Dasar kehitam-hitaman yang terdapat kakiku licin mengkilat. Sama sekali tak nampak bersisik. Tendang
anku menimbulkan bunyi berdenting, seperti bunyi logam. Meski sukar ma-
49 suk akal, aku mendapat kesan seakan-akan kulit itu terbuat dari pelat-pelat yang dikeling.
Tak ada keragu-raguan lagi mengenainya! Raksasa ini, keajaiban alam yang membingungkan kalangan ilmu pengetahuan, mestinya ada pemiliknya. Kaum pelaut ternyata telah terpedaya. 'Makhluk' lebih mengajaibkan lagi, karena merupakan ciptaan tangan manusia.
Tapi kami tak banyak waktu. Kami berada di atas punggung semacam kapal yang bisa menyelam, yang kelihatannya seperti ikan raksasa terbuat dari baja. Ned Land sudah yakin sekali mengenainya, dan aku serta Conseil hanya dapat setuju saja.
Pada saat itu, di bagian belakang benda yang kami pakai sebagai tempat berpijak mulai nampak gelembung-gelembung. Pasti penyebabnya sebuah baling-baling! Benda itu mulai bergerak. Kami bertiga masih sempat berpegang pada bagian atas yang menonjol sekitar dua meter di atas air. Untung saja geraknya tak begitu laju.
"Selama benda ini bergerak mendatar," gumam Ned Land, "aku sama sekali tak keberatan. Tapi jika dia mulai menyelam, mampuslah kita!"
Kami harus mencari hubungan dengan makhluk-makhluk yang ada dalam mesin itu, biar bagaimanapun wujudnya. Aku mencari-cari sekeliling permukaan punggung, untuk menemukan salah suatu lubang. Mungkin pintu, dan dapat pula katup atau apa saja. Tapi permukaan pelat-pelat ke-lingan itu licin, tanpa menunjukkan adanya tanda lubang. Kecuali itu bulan juga sudah terbenam, dan kami diselubungi kegelapan.
Namun akhirnya malam berlalu juga. Ingatanku hanya samar-samar saja mengenai saat itu, sehing-ga tak mungkin kulukiskan semua kesan yang kuda. pat. Hanya satu peristiwa yang masih kuingat jelas
50 Pada saat bunyi angin dan ombak agak berkurang, aku seakan-akan mendengar bunyi-bunyi samar, seperti suara perintah yang diberikan di kejauhan. Apakah rahasia yang tersembunyi dalam kapal yang dapat menyelam ini" Seluruh dunia berusaha menebaknya, tapi sia-sia. Makhluk-makhluk apa yang ada dalam kendaraan aneh ini" Tenaga penggerak bagaimana, yang menyebabkan dia dapat begitu laju"
Fajar menyingsing. Kabut pagi menyelaputi kami, tapi tak lama kemudian lenyap lagi. Aku beranjak dari tempatku, dengan maksud memeriksa kulit yang berwujud semacam landasan datar. Tapi tiba-tiba terasa bahwa benda raksasa mulai menyelam!
"Eh! Bajingan terkutuk!" teriak Ned Land, sambil menendangkan kaki ke pelat, "ayo buka, cepat!"
Untungnya gerakan menyelam terhenti. Tiba-tiba terdengar bunyi keras di dalam kendaraan air itu, seperti ada pintu-pintu besi terbuka. Kemudian nampak sebuah pelat besi tergeser. Dari dalam lubang muncul kepala seseorang. Dia berteriak kaget, dan seketika itu juga menghilang kembali.
Beberapa detik kemudian muncul delapan orang yang kelihatan kuat-kuat. Mereka memakai topeng menutupi muka. Kami diseret masuk ke dalam mesin raksasa.
VIII MOBILIS IN MOBILI PENYERGAPAN kasar itu berlangsung secepat kilat. Badanku gemetar. Dengan siapa kami ini berurusan" Sudah pasti mereka itu bajak laut model baru!
51 Begitu pelat tertutup lagi, mataku tak dapat melihat apa-apa, karena masih silau kena cahaya matahari di luar. Hanya terasa kakiku yang tak beralas menginjak anak tangga dari besi. Ned Land dan Conseil didorong supaya menyusul. Sesampai di kaki tangga, sebuah pintu terbuka dan tertutup kembali dengan bantingan keras.
Kami ditinggal sendiri. Aku tak dapat membayangkan, di mana kami berada. Sekeliling kami gelap gulita. Bahkan sesudah beberapa menit berada dalam tempat itu, kegelapan tetap pekat.
Sementara itu Ned Land memaki-maki, karena marah diperlakukan dengan kasar.
"Terkutuk!" serunya, "memang mereka tadi tak kenal ramah-tamah. Seperti kanibal saja. Aku tak heran, kalau mereka ternyata pemakan orang! Tapi aku pasti melawan, kalau mau dijadikan makanan!"
"Tenang, Sobat, tenanglah sedikit," sambut Conseil, dengan suara tenang. "Jangan ribut-ribut, sebelum terjadi apa-apa. Kita belum mati."
"Memang belum," jawab orang Kanada itu dengan sengit, "tadi sudah nyaris! Semua kelihatan gelap. Untung aku masih punya pisau belati.
Bajak laut pertama yang beran
i menjamah, pasti" "Jangan cepat naik darah, Ned," potongku menenangkan penombak yang sudah mau mengamuk itu. "Janganlah keadaan ini Anda persukar, mengamuk tak menentu! Siapa tahu mereka tak mau mendengar kita" Lebih baik kita selidiki, di mana kita berada sekarang."
Aku bergerak meraba-raba. Baru lima langkah, aku sudah tertumbuk pada dinding yang terbuat dari pelat-pelat besi, dikeling dengan baut. Ketika memutar badan, aku membentur meja kayu. Sekelilingnya ada beberapa bangku kecil. Lantai
52 ruang tempat kami dikurung dilapisi dengan permadani tebal, terbuat dari serat rami halus, meredam bunyi kaki berjalan. Dinding kosong, sama sekali tak terasa ada jendela atau pintu. Aku terbentur pada Conseil, yang bergerak ke arah berlawanan. Kami bersama-sama kembali ke tengah ruangan, yang menurut dugaanku berukuran kira-kira enam kali tiga meter. Meski Ned Land berbadan jangkung, ia tak berhasil menyentuh plafon, sehingga tak dapat diduga berapa tinggi bilik tempat kami terkurung.
Sudah setengah jam kami di situ, tanpa mengalami perubahan nasib. Tapi sekonyong-konyong gelap gulita berganti cahaya terang benderang. Sel penjara kami tiba-tiba diterangi oleh sesuatu yang bercahaya kemilau, sehingga mula-mula aku tak mampu membuka mata. Berdasarkan pada kecerahan dan kekuatan sinarnya, aku mengenali cahaya listrik. Cahaya inilah yang menyebabkan kapal selam seperti bersinar pendar. Aku membuka mata pelan-pelan. Kulihat bahwa cahaya terang datang dari sebuah benda berbentuk setengah bola, yang terpasang di plafon.
"Nah, akhirnya kita bisa melihat juga," seru Ned Land. Ia bersikap siaga, dengan pisau di tangan.
"Ya," kataku, "tapi tentang keadaan kita, semuanya masih gelap."
"Sabarlah, Tuan," ujar Conseil. Ketenangannya tetap tak tergoyahkan.
Karena bilik kami sudah terang, aku dapat memeriksanya dengan saksama. Isinya cuma sebuah meja, dan lima kursi bundar. Aku tak melihat pintu. Mungkin ruangan ditutup rapat sekali. Tak ada bunyi asing terdengar. Semua seakan-akan mati dalam kapal aneh ini. Apakah kami sekarang sedang bergerak" Apakah kapal sedang terapung di
53 permukaan, atau menyelam" Aku tak dapat menduga sama sekali.
Sewaktu aku sedang berpikir begitu, terdengar bunyi gerendel disorong. Sebuah pintu membuka, dan dua orang pria muncul di ambangnya.
Yang satu pendek tegap, berbahu bidang. Lengan dan kakinya kekar. Rambut hitam tebal dan kumis melintang menghiasi kepala yang kokoh. Pandangan matanya tajam, sedang gerak-geriknya lincah. Kelihatannya seperti berasal dari Perancis daerah selatan.
Yang seorang lagi menunjukkan sikap yakin pada diri sendiri. Hal itu terlihat dari sikapnya yang tegak, serta mata hitamnya yang memandang dingin. Dia pasti seorang yang tenang dan berkemauan keras, serta tabah!
Aku tak dapat menduga, berapa umurnya: mungkin tiga puluh lima, tapi barangkali juga sudah lima puluh. Tubuhnya tinggi, berdahi lebar, hidung mancung, garis mulut tegas menutupi baris gigi yang teratur. Orang itu sungguh-sungguh menarik perhatian. Tapi yang paling mengesankan, adalah matanya yang agak jauh satu dari lainnya.
Ternyata kemudian bahwa berkat mata yang begitu itu, dia memiliki penglihatan yang jauh lebih tajam daripada Ned Land. Jika orang yang tak kukenal itu menatapkan pandangan pada sesuatu, alisnya lalu bertemu, di atas mata yang agak terpi-cing.
Kedua orang yang baru masuk itu mengenakan topi yang terbuat dari bulu berang-berang laut, sedang kaki mereka terbungkus sepatu tinggi dari kulit anjing laut. Mereka mengenakan pakaian, yang memungkinkan anggota badan bergerak leluasa. Orang yang tertinggi dari keduanya, yang menarik perhatianku, kelihatannya pemimpin di kapal. Dia memperhatikan kami dengan teliti, tapi tanpa
54 mengatakan apa-apa. Sudah itu dia berpaling pada temannya, sambil berbicara dalam bahasa asing. Meski aku tak memahaminya, tapi enak didengar.
Yang lain membalas dengan gelengan kepala, lalu menambahkan dengan beberapa patah kata yang juga tak kumengerti. Kemudian ia memandang ke arahku, seakan-akan bertanya.
Dalam bahasa Perancis yang sopan, aku menjawab bahwa bahasanya tak kumengerti. Namun
ia pun tak memahami balasanku itu. Aku menjadi kikuk.
"Apabila Tuan menceritakan hal ihwal kita, mungkin tuan-tuan yang kita hadapi akan mengenal beberapa patah kata dari padanya," demikian usul Conseil padaku.
Aku pun mulai menceritakan pengalaman kami. Setiap suku kata kuucapkan dengan jelas. Semua kupaparkan pada mereka berdua, serta kuperkenal-kan diri kami dengan menyebut nama dan kedudukan: Profesor Aronnax, pelayannya Conseil, serta Tuan Ned Land, juru tombak ikan paus.
Pria berbadan tinggi mendengarkan dengan tenang dan saksama. Matanya menatap dengan pandangan lembut. Tapi dari wajahnya tak dapat kulihat, apakah dia mengerti atau tidak. Dia tetap membisu, ketika aku selesai bercerita.
Kini tinggal satu kemungkinan bagi kami, yaitu berbicara dalam bahasa Inggris. Mungkin mereka berdua mengenal bahasa itu, yang dipakai di mana-mana di dunia. Aku memahaminya, seperti kemampuanku berbahasa Jerman: mencukupi untuk bisa membaca dengan lancar, tapi tak memadai untuk berbicara dengan baik. Tapi yang penting saat ini adalah agar kami dimengerti oleh mereka.
"Sekarang giliran Anda," kataku pada juru tombak, "berbicaralah dalam bahasa Inggris sebaik mungkin. Pokoknya lebih baik daripada saya!"
55 Ned Land melanjutkan kisah pengalaman kami. Namun timbul kejengkelannya, ketika melihat bahwa penuturannya pun tak nampak memberikan kesan. Kedua orang asing itu tak bergerak-gerak. Rupanya, baik bahasa Perancis maupun Inggris tak mereka kuasai.
Aku semakin kikuk. Tak tahu lagi apa yang harus kami lakukan, karena kedua bahasa yang banyak terpakai di bumi, ternyata tak mereka pahami. Conseil membuka mulut, lalu bertanya,
"Apabila Tuan mengizinkan, saya ingin mencoba dalam bahasa Jerman."
Aku mengangguk, dan Conseil mencoba untung. Walau ia sudah bersusah payah menggali perbendaharaan kata serta menyusun kalimat yang serba terpilih, namun bahasa Jerman pun tak menimbulkan reaksi pada keduanya. Akhirnya kucoba berkisah dalam bahasa Latin. Hampir pusing kepalaku, karena harus memeras otak mengingat-ingat pelajaran bahasa yang diberikan semasa aku masih sekolah. Tapi bahasa Latin juga tak membekas! Kedua orang tak dikenal saling bercakap dalam bahasa mereka sendiri, sudah itu mereka keluar.
Pintu ditutup lagi. "Benar-benar keterlaluan," seru Ned Land. Untuk kesekian kalinya ia mengumpat. "Kita sudah bicara baik-baik, dalam bahasa Perancis, Inggris, Jerman dan Latin. Tapi tidak satu dari kedua bajingan itu yang cukup sopan, dan mau menjawab!"
"Tenang sajalah," ujarku padanya, "tidak baik, jika Anda marah-marah."
"Tapi lihat sajalah, Profesor," tukas kawan yang pemarah itu, "kita akan pasti mati kelaparan dalam kurungan ini!"
"Ah," sambut Conseil dengan sikap tawakal, "kita masih mampu bertahan agak lama."
56 "Kita jangan cepat-cepat putus asa," nasihatku. "Sebelumnya, keadaan kita lebih buruk lagi. Aku minta, agar kalian mau menunggu dulu. Jangan terburu nafsu, memberikan pendapat mengenai komandan kapal ini beserta anak buahnya."
"Pendapatku sudah pasti," jawab Ned Land Ketus. "Mereka semuanya bajingan!"
"Begitu! Dan asal mereka dari negara mana"" "Dari negeri bangsat!"
"Ned yang budiman! Negeri yang Anda sebutkan itu tak tertera dengan jelas pada peta dunia. Tetapi memang, harus kuakui bahwa sukar menentukan jenis kebangsaan kedua orang tadi. Yang sudah pasti, mereka bukan orang Inggris maupun Perancis. Dan juga bukan orang Jerman! Tapi aku cenderung untuk menduga, bahwa komandan serta pengantarnya berasal dari negeri dataran rendah. Mereka kelihatan mempunyai corak daerah selatan benua Eropa. Tapi dari muka mereka, aku tak dapat menentukan apakah keduanya orang Spanyol, Turki, Arab, atau mungkin pula orang India. Sedang bahasa mereka sama sekali tak dapat kuterka."
"Memang rugi, jika tak menguasai semua bahasa," ujar Conseil, "begitu pula sayang tak ada satu bahasa, yang dikenal di seluruh permukaan bumi."
Sementara ia sedang bicara begitu, pintu terbuka. Seorang pelayan masuk, membawa pakaian untuk kami. Aku tak tahu, dari bahan apa terbuatnya. Dengan cepat aku berganti pakaian, diikuti oleh kedua temanku sekamar. Sementara itu pela
yan mengatur meja, dan meletakkan tiga piring di atasnya. Tapi ia bekerja tanpa membuka mulut sama sekali. Mungkin orang itu bisu.
"Nah, beginilah yang saya sukai," kata Conseil.
"Cih," cerca juru tombak yang masih jengkel, "apalah yang mereka makan di tempat seperti ini!
57 Hati penyu, ikan hiu goreng, dan barangkali bistik anjing laut."
"Kita lihat saja nanti," ujar Conseil menyabarkan.
Hidangan dalam tempat yang terbuat dari logam campuran sejenis kuningan, diletakkan ke atas meja. Kami duduk menghadapinya. Mestinya orang-orang tak dikenal itu tergolong manusia beradab. Kalau tidak ada cahaya listrik yang terang benderang, dengan mudah dapat kubayangkan bahwa kami sedang duduk di ruang makan Hotel Adelphi di Liverpool, atau Grand Hotel di Paris. Tapi kami tak mendapat hidangan roti maupun minuman anggur. Air yang disediakan memang jernih dan menyegarkan. Tapi air tetap air, dan bukan anggur. Kenyataan itu sama sekali tak menyenangkan hati Ned Land. Di antara berbagai hidangan yang disajikan, aku mengenali beberapa jenis ikan yang diolah dengan sangat enak. Beberapa hidangan lain tak dapat kutebak jenisnya, meski rasanya sedap sekali. Aku tak tahu, apakah termasuk hewan atau tumbuh-tumbuhan. Sedang perabot makan yang kami pakai sangat indah dan menunjukkan selera tinggi. Baik sendok, garpu, pisau dan piring, semuanya berhiaskan sebuah huruf. Di atas huruf tertulis semboyan. Kelihatannya begini :
MOBILI IN MOBILI N. Tak pelak lagi, huruf N merupakan huruf pertama dari nama orang penuh rahasia, yang menjadi komandan kapal yang bisa menyelam ini.
Ned dan Conseil, kelihatannya tak banyak berpikir. Keduanya makan dengan lahap. Dengan segera aku mengikuti teladan mereka, karena mendapat sedikit kepastian mengenai nasib kami. Sudah nya-
58 ta, tuan rumah tak menghendaki kami mati kelaparan!
Semua hal selalu mempunyai akhir: juga rasa lapar orang-orang yang perutnya kosong selama lima belas jam. Kami mulai mengantuk, karena kekenyangan.
"Sungguh, pasti akan nyenyak tidur saya," ujar Conseil.
"Begitu juga dengan aku," jawab Ned Land.
Keduanya membaringkan diri di atas permadani. Tak lama kemudian mereka sudah pulas. Sedang aku sendiri masih tetap setengah terjaga, karena berbagai macam pikiran yang memenuhi benak. Di mana kami ini" Tenaga aneh apa yang menggerakkan mesin kapal" Aku merasa - atau tepatnya, seakan-akan kurasa kami sedang bergerak menurun ke dasar laut terdalam. Bermacam-macam bayangan buruk menghantu: dalam alam penuh rahasia, kubayangkan hidup berbagai jenis binatang serba aneh. Dan kapal yang kami tumpangi, seakan-akan satu dari mereka. Namun kemudian pikiranku menjadi tenang. Khayalanku terlena, dan tak lama kemudian aku pun sudah tidur nyenyak.
IX NED LAND MARAH AKU tak tahu, berapa jam aku pulas. Tapi mestinya cukup lama, karena ketika kami bangun lagi, rasa letih sudah lenyap. Aku yang paling dulu terjaga. Kedua temanku masih belum bergerak. Mereka masih tetap terbujur di atas permadani.
Ketika aku bangkit, terasa otakku jernih. Dengan segera aku mulai memeriksa kamar dengan saksama. Keadaan tak berubah. Bilik penjara masih te-
59 tap bilik penjara, dan kami masih tetap terkurung di dalamnya. Namun selama kami tidur, pelayan sudah membereskan meja kembali. Aku agak susah bernafas, paru-paru seakan sesak. Walau bilik tempat kami berada cukup besar, namun rupanya udara segar yang ada di dalamnya sudah banyak terpakai.
Udara dalam kamar, begitu pula di seluruh kapal sudah harus diganti. Pertimbangan itu menimbulkan pertanyaan pada diriku. Apakah yang akan dilakukan oleh komandan" Apakah dia akan menghasilkan udara segar dengan jalan kimia" Atau mungkinkah dia mengambil jalan yang lebih gampang dan lebih masuk di akal, yaitu timbul kembali ke permukaan, lalu menghirup udara seperti dilakukan ikan paus"
Pernafasanku sudah semakin menyusutkan cadangan zat asam yang ada dalam kamar. Tapi tiba-tiba badanku terasa segar kembali, karena ada arus udara segar. Baunya enak, aku merasa seperti sedang berada di pantai. Aku membuka mulut lebar-lebar, untuk mengalirkan udara nyaman ke dalam paru-paru.
Pada saat sama, ka pal terasa agak oleng. Rupanya raksasa berkulit besi muncul ke permukaan laut untuk menarik nafas, persis seperti ikan paus.
Sesudah badanku segar benar, mulailah kucari penyalur udara. Dengan cepat sudah berhasil kutemukan. Di atas pintu ada semacam pintu angin. Dari situ mengalir udara yang menyegarkan bilik tempat kami masih terkurung.
Ketika aku masih asyik memeriksa, Ned dan Conseil bangun hampir serempak. Rupanya juga karena terasa aliran udara segar. Mereka menggosok-gosok mata sambil menggeliat. Detik berikut, keduanya sudah bangkit berdiri.
60 "Tuan bisa enak tidur"" tanya Conseil dengan kesopanan yang biasa.
"Enak sekali, Conseil. Dan bagaimana dengan Anda, Tuan Land""
"Wah, pulas sekali, Profesor. Mungkin aku keliru, tapi rasanya seperti ada angin laut bertiup."
Seorang pelaut tak mungkin keliru. Kuceritakan pada orang Kanada itu, apa yang terjadi sewaktu ia masih tidur.
"Bagus!" katanya puas. "Itu rupanya bunyi yang kita dengar, ketika kapal yang kita sangka ikan paus bertanduk ini berjumpa dengan 'Abraham Lincoln'!"
"Betul, Tuan Land. Ketika itu kapal sedang mengambil udara segar."
"Tapi aku tak tahu, sekarang pukul berapa. Cuma perutku mengatakan, pasti sudah waktunya makan malam!"
"Makan malam, kata Anda" Lebih tepat kalau dikatakan waktu sarapan. Karena pasti sudah satu hari lewat, sejak kita masuk ke sini."
"Menurut pendapat Tuan, kita tidur dua puluh empat jam"" tanya Conseil.
"Memang begitu pendapatku."
"Aku tak mau membantahnya," jawab Ned Land. "Tapi tak peduli makan malam atau sarapan, pelayan pasti kusambut dengan senang hati. Tak peduli apa yang dihidangkan olehnya!"
"Tuan Land, kita harus menuruti peraturan di atas kapal ini. Dan saya rasa selera makan kita terlalu besar!" Conseil menyabarkan.
"Begitulah kau itu, Sobat," balas Ned dengan ketus. "Kau tak pernah naik darah, selalu tenang. Kau
61 lebih senang mati kelaparan, daripada marah-marah."
Waktu semakin berlanjut. Perut kami terasa makin lapar. Namun pelayan tetap tak kunjung muncul. Jika mereka sungguh-sungguh tak berniat jahat terhadap kami, maka terlalu lama kami dibiarkan sendiri. Ned Land makin marah saja, karena tersiksa lapar. Dan walau ia sudah berjanji akan tenang, tapi kukhawatirkan dia akan mengamuk, jika ada seorang awak kapal masuk.
Kami masih harus menunggu dua jam berikutnya, dengan perut keroncongan. Kemarahan Ned Land semakin memuncak. Dia berseru, berteriak, bahkan menjerit: tetapi semuanya tak membawa hasil. Dinding-dinding sekeliling kami bisu. Keadaan sunyi sepi, seperti di pekuburan. Kapal tak bergerak, karena aku tak merasakan getaran di lantai sebagai akibat putaran baling-baling. Kami terbenam di bawah air. Kesunyian yang menyeramkan!
Aku merasa takut, Conseil tetap tenang, sedang Ned Land berteriak-teriak.


Berkeliling Dunia Di Bawah Laut Karya Jules Verne di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba terdengar bunyi langkah-langkah di luar, disusul oleh kunci terputar. Pintu membuka, dan pelayan muncul di kamar.
Sebelum aku sempat menahan, Ned Land sudah menerpa dan membanting orang itu, sambil mencekik lehernya. Pelayan tak dapat bernafas, karena tenggorokannya terjepit jari-jari kuat.
Conseil berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan tangan juru tombak dari leher korban. Aku memburu untuk memberikan bantuan, tapi langkahku tertegun. Kudengar suara berbicara dalam bahasa Perancis,
"Jangan ribut, Tuan Land. Dan Anda, Profesor, maukah mendengar sebentar ""
62 X LANGLANG SAMUDERA AKU menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata komandan kapal yang bicara itu. Mendengar kata-kata tadi, Ned Land melepaskan cekikan lalu bangkit. Pelayan hampir saja tewas di bawah tangannya. Rupanya Komandan sangat berkuasa, sehingga pelayan sama sekali tak menampakkan rasa benci sama sekali. Padahal ia hampir mati dicekik Ned Land! Conseil yang biasanya bersikap acuh tak acuh, kali ini tak mampu menahan minat. Sedang aku berdiri dengan bingung, membisu sambil menantikan kelanjutannya.
Komandan berdiri menyandar ke tepi meja, sambil menyilangkan lengan. Ia memandang kami dengan penuh perhatian. Kenapa dia ragu-ragu untuk bicara" Mungkinkah dia menyesal, tadi sudah berbicara dalam bahasa Perancis" Kelihatannya memang begitu.
B eberapa saat lamanya semua membisu. Tak seorang pun dari kami berniat untuk memecah kesunyian dalam kamar. Akhirnya Komandan juga yang pertama-tama membuka mulut,
"Tuan-tuan," ujarnya dengan suara pelan tapi jelas, "bahasa-bahasa Perancis, Inggris, Jerman dan Latin, semua saya kuasai dengan sempurna. Karenanya sewaktu kita berjumpa untuk pertama kali, saya bisa saja memberikan jawaban. Namun sayang ingin mengenal Tuan-tuan terlebih dulu, untuk kemudian merenungkannya. Masing-masing laporan, Tuan memberikan keyakinan pada saya bahwa Tuan-tuan tak berbohong, karena pokok-pokoknya saling bersesuaian. Sekarang saya tahu, bahwa nasib telah mempertemukan saya dengan Tuan Pierre
4 Aronnax, profesor ilmu sejarah alam pada Museum kota Paris, begitu pula dengan pelayannya yang bernama Conseil. Sedang Tuan Ned Land benar-benar seorang juru tombak di kapal fregat 'Abraham Lincoln' dari Angkatan Laut Amerika Serikat."
Aku mengangguk, untuk membenarkan ucapannya. Komandan tak mengajukan pertanyaan, karena itu aku pun tak perlu memberikan jawaban. Orang itu berbicara dengan lancar, gayanya bersih dari logat yang mana juga. Walau begitu, aku masih tetap tak dapat mengatakan, bahwa dia temanku sebangsa.
Komandan melanjutkan bicaranya,
"Tentunya Tuan berperasaan, saya mengulur-ulur saat kunjungan kedua ini. Hal itu ada sebabnya. Sesudah saya mengetahui siapa Tuan-tuan, saya ingin mempertimbangkan masak-masak dulu, tindakan mana yang harus saya ambil. Lama sekali saya ragu-ragu. Tuan-tuan memasuki kehidupan seorang yang sudah memutuskan segala hubungan dengan umat manusia, dengan cara yang menjengkelkan sekali. Tuan-tuan datang, untuk mengganggu kehidupan saya!"
"Tapi tidak dengan sengaja!" kataku memotong.
"Tak sengaja"" balasnya, dengan suara yang agak keras. "Tidak sengajakah 'Abraham Lincoln' memburu-buru" Tanpa sengajakah Tuan ikut dengan fregat itu" Apakah peluru-peluru meriamnya tanpa sengaja membentur kulit pelapis kapal saya" Apakah Tuan Ned Land tak sengaja berusaha menghujamkan seruitnya ke tubuh kapal ini""
Aku agak merasa jengkel mendengar kata-kata itu. Tapi kutahan diri, dan jawaban yang kuberikan adalah yang sewajarnya.
"Rupanya Tuan sama sekali tak mengetahui keributan yang terjadi di Benua Amerika dan Eropa mengenai diri Tuan. Tuan tak tahu, bahwa berba-
64 gai kecelakaan tubrukan yang terjadi dengan kapal selam Tuan, telah menimbulkan kegemparan khalayak ramai di kedua benua. Tak perlu saya kemukakan di sini, betapa banyak sangkaan yang timbul untuk menerangkan peristiwa penuh rahasia, yang kuncinya berada di tangan Tuan. Tapi hendaknya Tuan pahami, bahwa pada saat kapal 'Abraham Lincoln' memburu-buru ke segala sudut samudera, kami mengira berhadapan dengan sejenis binatang laut raksasa. Kami merasa berkewajiban untuk memusnahkan binatang itu dengan segala kemampuan yang ada pada kami."
Senyum kecil nampak sekilas di wajah komandan. Kemudian ia membuka mulut lagi, berbicara dengan suara agak tenang,
"Tuan Aronnax," ujarnya, "sanggupkah Tuan membantah, bahwa baik binatang raksasa maupun kapal selam, akan tetap diburu dan ditembaki oleh fregat""
Pertanyaannya menyebabkan aku agak kikuk, karena memang pasti Nakhoda Farragut takkan bersikap ragu untuk memusnahkan. Dia akan merasa berkewajiban untuk memusnahkan alat penemuan seperti ini, sama saja seperti kewajibannya membasmi ikan paus raksasa.
"Karena itu mestinya Tuan mengerti," kata orang asing itu melanjutkan kata-katanya, "saya memiliki hak untuk memperlakukan Tuan-tuan sebagai musuh."
Aku sengaja tak menjawab. Apalah gunanya mempercakapkan hal itu, jika kekerasan bisa mengalahkan pertimbangan-pertimbangan yang paling baik"
"Saya agak lama ragu-ragu," ujar Komandan lagi. "Tak ada yang mengharuskan saya untuk bersikap ramah. Jika saya memutuskan untuk menyingkirkan Tuan, maka saya tak perlu mena-
65 ruh minat untuk berjumpa lagi. Tuan-tuan bisa saja saya taruh di geladak, di mana Tuan-tuan mencari perlindungan pada awal mulanya. Sudah itu kapal kuselamkan, dan kuhapuskan ingatan bahwa Tuan-tuan pernah ada. Bukankah itu merupakan hak saya""
"Mungkin untuk orang-orang liar
," jawabku, "tapi itu tak sepantasnya dilakukan oleh seorang beradab."
"Profesor," kata Komandan dengan cepat, "aku ini bukan orang, yang menurut perumusan Tuan merupakan manusia beradab! Aku telah memutuskan hubungan dengan masyarakat. Sebab-sebabnya merupakan urusanku sendiri! Karena itu aku tak patuh pada hukum yang berlaku. Janganlah Tuan menyinggung-nyinggungnya lagi di hadapanku!"
Kata-katanya tandas sekali. Sambil berbicara, mata Komandan memancarkan kilatan marah dan menghina. Aku mendapat kesan, bahwa dia mengalami masa silam yang sangat tak enak. Sehingga sebagai akibatnya, dia bukan saja menjauhkan diri dari hukum yang berlaku bagi umat manusia, tapi juga tak mengacuhkannya. Ia membebaskan diri secara mutlak dari padanya! Karena siapalah yang berani mengejarnya ke dasar laut, jika di atas permukaannya saja dia sudah mampu menangkis setiap percobaan" Kapal mana yang akan tahan terhadap benturannya"
Pikiran-pikiran serupa itu melintas dalam benakku, sementara Komandan ikut berdiam diri, seakan-akan sedang merenung. Aku memandangnya dengan rasa takut bercampur ingin tahu.
Sesudah membisu cukup lama, Komandan melanjutkan pembicaraan,
"Saya ragu-ragu," ujarnya, "tapi kemudian saya merasa, bahwa setiap manusia berhak mendapat-
66 kan belas kasihan. Karena nasib telah membawa ke mari, Tuan-tuan akan tetap berada di kapal saya. Tuan-tuan akan bebas. Sebagai imbalan, saya minta satu persyaratan. Janji Tuan untuk menaati syarat itu, akan sudah mencukupi."
Sebutkanlah syarat itu," jawabku. "apakah syarat itu dapat diterima orang baik-baik""
"Ya, hal itu dapat diterima. Ada kemungkinan, bahwa kejadian-kejadian tertentu yang tak terduga sebelumnya akan memaksa saya untuk melarang Tuan-tuan keluar dari kamar ini. Larangan itu bisa untuk beberapa jam, tapi mungkin pula selama beberapa hari. Saya tak ingin mempergunakan kekerasan. Karenanya saya harapkan kepatuhan dari Tuan. Dengannya, saya memikul seluruh tanggung jawab; tuan bebas, karena saya menyebabkan Tuan tak mungkin melihat hal-hal yang tak boleh Tuan lihat. Maukah Tuan menerima persyaratan itu""
Rupanya di kapal ini terjadi hal-hal aneh, yang tak boleh dilihat oleh orang-orang yang masih terikat pada hukum. Di antara berbagai hal yang akan kualami di masa mendatang, mungkin hal yang ini termasuk yang paling mengejutkan !
"Kami bersedia menerima syarat itu," jawabku, "hanya saya minta izin untuk mengajukan pertanyaan. Satu saja !"
"Katakanlah." "Tuan katakan, kami boleh bebas di kapal ini." "Sebebas-bebasnya."
"Kalau begitu saya bertanya, apa yang Tuan maksudkan dengan kebebasan""
"Kebebasan bergerak, melihat dan memperhatikan segala hal yang terjadi - kecuali pada saat-saat tertentu yang telah saya katakan tadi. Pokoknya Tuan-tuan mendapat kebebasan yang sama seperti kami."
Rupanya kami tak sepaham.
67 "Maaf, tapi kebebasan serupa itu juga didapat oleh seorang terhukum, yang mondar-mandir dalam bilik penjara," sambungku. "Hal itu tak cukup bagi kami."
"Tapi itu harus mencukupi."
"Apa! Kami harus melepaskan kemungkinan untuk kembali ke negara kami, tak bisa lagi berjumpa dengan para sahabat dan handai tolan"" '
"Betul! Tapi melepaskan beban duniawi yang Tuan sangka berarti kebebasan itu, mungkin takkan seberat perkiraan Tuan."
"Aku tak bersedia memberikan janji demi kehor-matanku, untuk tidak mencoba melarikan diri," ujar Ned Land dengan ketus.
"Aku juga tidak meminta Anda berjanji demi kehormatan Anda, Tuan Land," balas komandan dengan suara dingin.
Aku mulai marah, meski sudah kucoba menahan diri. Kulontarkan kecaman, "Tuan menyalahgunakan kekuasaan yang berada di tangan Tuan. Itu merupakan kekejaman !"
"Tidak, yang kulakukan merupakan tindakan pengampunan. Tuan-tuan tawanan perangku. Jika aku mau, Tuan-tuan dapat saja kujerumuskan ke dalam laut. Tuan yang menyerang aku. Tuan datang untuk membongkar rahasia yang tak boleh diketahui oleh siapa pun juga, Tuan ingin membongkar rahasia kehidupanku di bawah laut ini. Dan kini Tuan menyangka, aku akan mengizinkan Tuan kembali ke dunia yang tak boleh mengetahui bahwa aku hidup" Mustahil! Aku menahan, bukan untuk mengasingk
an Tuan, tapi diriku sendiri."
Kata-kata itu diucapkan Komandan dengan tegas, sehingga tak memberikan kemungkinan untuk membantahnya.
68 "Kalau begitu, Tuan hanya menyodorkan dua pilihan: hidup atau mati"" tanyaku. "Tepat!"
Aku berpaling pada Ned Land dan Conseil. "Jika persoalan diajukan secara demikian, kita tak mempunyai pilihan lagi. Tapi tak ada janji demi kehormatan kita, agar patuh pada komandan kapal ini."
"Betul," jawab Komandan singkat.
Dengan suara yang lebih ramah, ia melanjutkan,
"Sekarang izinkanlah aku meneruskan perkataan. Aku kenal pada Anda, Tuan Aronnax. Kurasa Tuan beserta kedua teman takkan merasa kekurangan di kapal ini. Di antara buku-buku yang paling kugemari, akan Tuan-tuan temukan buku mengenai 'dasar laut' yang Tuan tulis. Aku sering membacanya. Tuan mengarangnya dengan lengkap, berdasarkan pengetahuan yang mungkin Tuan dapatkan di daratan. Tapi Tuan tak mengetahui segala-galanya, dan juga belum melihat semuanya. Karenanya dapat kukatakan sekarang, Tuan takkan menyesali waktu yang berlalu di kapal ini. Tuan-tuan akan kuajak berkunjung ke negeri ajaib."
Harus kuakui, kata-kata Komandan mengesan bagiku. Ia berhasil menyentuh kelemahanku. Sesaat aku lupa, bahwa hal-hal menarik itu tak sebanding dengan kebebasan yang hilang. Karena itu aku hanya menjawab dengan pertanyaan,
"Bagaimanakah saya harus menyebut Tuan""
"Bagi Anda, cukup apabila aku dikenal dengan nama Kapten Nemo," jawabnya. "Dan bagiku, Tuan beserta kedua pengiring Anda adalah penumpang-penumpang kapal 'Nautilus'."
Kapten Nemo memanggil pelayan. Begitu yang dipanggil muncul, dia memberikan perintah dalam bahasa asing yang tak kukenal. Kemudian dia berpaling dan berbicara pada Ned Land dan Conseil.
69 "Dalam kamar Tuan-tuan sudah tersedia hidangan," katanya. "Silakan ikut dengan orang ini." Kedua orang itu keluar.
"Dan sekarang, Tuan Aronnax," sambungnya padaku. "Sarapan untuk kita sudah siap. Izinkan aku mendului."
"Silakan, Kapten."
Aku mengikuti Kapten Nemo. Begitu keluar pintu, kulihat kami berada dalam semacam lorong yang diterangi dengan cahaya listrik. Sesudah berjalan barang sepuluh meter, sebuah pintu lain terbuka di hadapan kami. Aku masuk ke dalam sebuah kamar makan. Perhiasan dan perabotnya di dalam cocok sekali dengan wujud pemiliknya: semua serba keras dan bersahaja, tanpa kelembutan sama sekali.
Di tengah ruangan terdapat meja makan yang telah dipersiapkan dengan lengkap. Kapten Nemo menunjukkan tempatku duduk.
Makanan sarapan kami semuanya terdiri dari bahan-bahan yang dipetik dari lautan. Beberapa di antaranya sama sekali tak kukenal jenisnya, begitu pula dengan cara pengolahannya. Rasanya enak, meskipun agak aneh juga; tapi dengan cepat aku terbiasa dengan rasa itu. Kelihatan semuanya tinggi kadar fosfornya.
Kapten Nemo memandang ke arahku. Aku tak bertanya, tapi rupanya dia dapat menebak jalan pikiranku. Pertanyaan yang sudah terasa membakar di ujung lidah, sebelum diajukan sudah dijawabnya sendiri.
"Sebagian besar dari hidangan-hidangan ini asing bagi Tuan," ujarnya. "Tapi percayalah, Tuan dapat memakannya tanpa khawatir. Semuanya sehat dan banyak mengandung vitamin. Aku sudah lama tak memakan hasil bumi lagi, dan selama itu aku tak pernah jatuh sakit. Awak kapalku juga sehat semua-
70 nya. Dan mereka memakan makanan yang sama seperti aku."
"Jadi semua yang ada di meja ini merupakan hasil lautan"" tanyaku.
"Ya, Profesor. Lautan memenuhi segala kebutuhanku. Kadang-kadang aku menebarkan jala, dan kalau kutarik kembali selalu terisi penuh sesak. Kadang-kadang aku berburu dalam laut, yang oleh manusia dikira tak dapat dimasuki. Ternakku berkeliaran dengan leluasa di padang rumput dasar samudera luas. Aku memiliki tanah pertanian luas yang kupelihara sendiri. Sedang yang menyemai adalah Tuhan!"
"Saya mengerti. Jala Tuan menangkap ikan yang Tuan perlukan untuk makan. Tuan berburu hewan laut di rimba dasar laut. Tapi yang tak saya mengerti adalah, di mana Tuan bisa mendapat daging""
"Ini, yang Tuan kira daging, adalah tak lain daripada daging penyu, Profesor. Dan itu paru-paru dari ikan lumba-lumba. Mungkin Tuan mengiranya d
aging babi cah. Koki saya pintar memasak! Tuan coba saja semuanya. Kalau ini, sejenis teripang. Dan krem ini terbuat dari susu ikan paus, sedang gula kuhasilkan dari sejenis ganggang laut yang banyak terdapat di Laut Utara. Dan akhirnya, silakan mencoba yang ini. Rasanya tak kalah dengan buah-buahan yang paling segar."
Aku mencobanya, lebih banyak didorong rasa ingin tahu. Sementara itu Kapten Nemo terus bercerita.
"Anda senang pada laut, Kapten""
"Ya, aku cinta pada laut. Lautan adalah segala-galanya. Tujuh persepuluh dari permukaan bumi ini adalah lautan. Udaranya bersin dan menyehatkan tubuh. Laut merupakan gurun luas, di mana orang takkan pernah merasa sunyi, karena di segala pen-
71 juru terdapat kehidupan. Lautan merupakan gudang kehidupan yang tak terhingga kayanya. Dapat dikatakan bahwa kehidupan dimulai dari laut. Dan siapa tahu, mungkin berakhirnya juga di sini" Berakhir dalam ketenangannya yang luar biasa" Lautan bukan milik orang-orang lalim. Di daratan, orang-orang masih tetap mempraktekkan hukum-hukum yang tak adil. Mereka masih berkelahi, berperang saling musnah-memusnahkan. Permukaan bumi penuh dengan kengerian, yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang tak mengenal peri kemanusiaan. Tapi kekuasaan orang-orang itu berakhir sepuluh meter di bawah permukaan laut. Di sini pengaruh mereka hilang, lenyap kekuasaannya. Ah! Hiduplah -dalam pangkuan samudera. Hanya kemerdekaan yang terdiri di sini. Di bawah laut, aku tak mengenal yang dipertuan. Di sini aku bebas!"
Naga Dari Selatan 10 Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus Darah Dendam Ratu Air 1
^