Pencarian

Malaikat Dan Iblis 8

Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Karya Dan Brown Bagian 8


Kepanikan yang tiba-tiba menyerangnya adalah ketakutan yang luar biasa. Naluri pertamanya adalah keselamatan Vittoria. Apa yang telah dilakukan bajingan ini padanya" Apakah dia terluka" Atau lebih buruk lagi" Pada saat itu juga, Langdon mendengar orang di atasnya berteriak dengan lebih keras. Kardinal itu akan mati. Tidak mungkin untuk menolongnya sekarang. Kemudian ketika si Hassassin menodongkan pistolnya ke arah dada Langdon, kepanikannya berubah menjadi kesiagaan. Ketika pistol itu meledak, dia bereaksi menurut nalurinya. Langdon menjatuhkan diri, lengannya menimpa bangku-bangku. Dia merasa seperti berenang di lautan bangku-bangku gereja.
Ketika dia jatuh menimpa bangku-bangku itu, dia jatuh lebih keras dari yang diduganya. Dengan segera Langdon bergulingan ke lantai. Pualam menerima tubuhnya seperti bantalan dari besi dingin. Langkah kaki mendekati tubuhnya dari sebelah kanan. Langdon memutar tubuhnya ke arah pintu depan gereja dan mulai merangkak di bawah bangku-bangku gereja semampunya untuk menyelamatkan nyawanya.
Tinggi di atas lantai kapel, Kardinal Guidera mengalami siksaan terakhirnya dalam keadaan setengah sadar. Ketika dia melihat ke bawah, ke sekujur tubuhnya yang tanpa busana, dia melihat kulit kakinya melepuh dan mulai terkelupas. Aku di neraka, pikirnya. Tuhan, mengapa Kau abaikan aku" Dia tahu ini pasti neraka ketika dia melihat cap di atas dadanya dengan posisi terbalik ... entah kenapa, seolah-olah disebabkan oleh kekuatan setan, tulisan itu terlihat sangat masuk akal sekarang.
92 PEMILIHAN SUARA KETIGA. Belum ada paus yang terpilih.
Di dalam Kapel Sistina, Kardinal Mortati mulai berdoa memohon keajaiban. Kirimkan pada kami calon-calon terpilih itu! Penundaan ini telah berjalan terlalu lama. Kalau hanya satu orang kardinal yang hilang, Mortati masih bisa memahaminya. Tetapi
bagaimana mungkin bisa empat kardinal pilihan hilang tak tentu rimbanya" Mereka kini tidak mempunyai pilihan lagi. Dalam situasi seperti ini, untuk meraih suara mayoritas dengan dukungan dua pertiga dari semua kardinal yang hadir hanya bisa terjadi dengan campur tangan Tuhan.
Ketika kunci pintu mulai berderak terbuka, Mortati dan seluruh Dewan Kardinal memutar tubuh mereka bersamaan ke arah pintu masuk. Mortati tahu, pintu yang terbuka itu hanya memiliki satu arti. Menurut hukum, pintu itu hanya dapat terbuka karena dua alasan: untuk mengeluarkan kardinal yang sakit keras, atau menerima para kardinal yang datang terlambat.
Preferiti itu datang! Harapan Mortati membubung tinggi. Rapat pemilihan paus berhasil diselamatkan.
Tetapi ketika pintu itu terbuka, suara yang menggema bukanlah suara kegembiraan. Mortati menatap dengan sangat terkejut. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang camerlegno baru saja melanggar aturan suci rapat pemilihan paus setelah mengunci pintu.
Apa yang dipikirkannya! Sang camerlegno berjalan ke altar dan berpaling untuk berbicara kepada para hadirin yang masih terkejut. "Signori," katanya. "Saya sudah menunda kabar ini semampu saya. Kini, Anda berhak untuk mengetahuinya."
93 LANGDON TIDAK TAHU ke mana dirinya menuju. Gerak refleks adalah satu-satunya kompas yang dimilikinya untuk membawanya menjauh dari bahaya. Siku dan lututnya seperti terbakar ketika dia merangkak di bawah bangku-bangku gereja itu. Namun dia terus merangkak. Firasatnya mengatakan dia harus membelok ke kiri. Kalau kamu dapat mencapai gang utama, kamu bisa berlari ke pintu keluar. Tapi dia tahu itu tidak mungkin. Ada lautan api yang menghalangi gang utama! Otaknya memilah-milah berbagai pilihan untuk keluar dengan cepat. Langdon masih terus merangkak tanpa mengetahui arah dengan pasti. Sekarang suara langkah kaki itu terdengar lebih cepat dari arah sebelah kanan.
Ketika hal itu terjadi, Langdon tidak siap. Dia pikir masih ada barisan bangku sejauh sepuluh kaki lagi sampai dia menemukan pintu depan gereja. Ternyata dugaannya salah. Tiba-tiba, bangku-bangku di atasnya telah habis. Dia langsung membeku karena tubuhnya setengah terlihat di bagian depan ruang gereja itu. Langdon berdiri dan berbelok ke sebuah ceruk yang berada di sisi kirinya. Dari tempat persembunyiannya, Langdon melihat benda besar yang membuatnya berlari ke situ untuk bersembunyi.
Dia sama sekali lupa. The Ectasy of St. Teresa karya Bernini menjulang seperti gambar pornografi yang tidak bergerak ... orang suci itu berbaring terlentang dengan punggung melengkung karena kenikmatan yang dirasakannya, mulutnya
mengerang terbuka, dan di atasnya, sesosok malaikat mengarahkan tombak apinya.
Sebutir peluru meletus di bangku dan melewati kepala Langdon. Dia merasa tubuhnya melenting seperti pelari cepat melintasi gawang. Seperti diberi bahan bakar yang hanya berupa adrenalin, Langdon dengan setengah tidak sadar tiba-tiba berlari, membungkuk dengan kepala tertekuk ke bawah, menghambur ke bagian depan ruang gereja lalu membelok ke kanan. Ketika butiran peluru itu meletus di belakangnya, Langdon membungkuk lebih dalam lagi, dan meluncur tak terkendali di atas lantai pualam dan akhirnya menabrak pagar sebuah ceruk di dinding sebelah kanannya dengan keras.
Ketika itu Langdon melihat Vittoria. Perempuan itu terkulai seperti sebuah tumpukan di belakang gereja. Vittoria! Kaki telanjangnya tertekuk di bawah tubuhnya, tetapi Langdon masih melihatnya bernapas. Sayangnya, dia tidak punya waktu untuk menolongnya.
Tanpa basa-basi, si pembunuh segera memutari deretan bangku di ujung sebelah kiri ruang gereja itu dan mengejarnya tanpa ampun. Pada saat itu Langdon merasa yakin kalau inilah akhir hidupnya. Pembunuh itu lalu membidikkan pistolnya, dan Langdon hanya dapat melakukan satu hal. Dia berguling melewati pagar dan memasuki ceruk itu. Ketika dia menumbuk lantai di dalam ceruk, pilar yang terbuat dari pualam meledak karena dihantam peluru.
Langdon merasa seperti seekor hewan yang tersudut ketika dia merangkak di dalam ruangan kecil berbentuk setengah lingkaran
itu. Di depannya, satu-satunya isi dari ceruk itu terlihat sungguh ironis di matanya-sebuah peti mati dari batu. Mungkin inilah peti matiku, kata Langdon dalam hati. Peti mati
itu terlihat cocok. Peti itu adalah sebuah scatola-kotak pualam kecil tanpa hiasan.
Pemakaman dengan biaya minim. Peti mati itu terletak lebih tinggi dari lantai dengan dua balok pualam yang menyangga sisi-sisinya. Langdon melihat celah di bawah peti tersebut dan bertanya-tanya apakah dia dapat menyelinap masuk ke dalamnya.
Suara langkah kaki bergema di belakangnya.
Tanpa memiliki pilihan lain, Langdon merapatkan tubuhnya pada lantai dan merayap ke bawah peti mati itu. Sambil berpegangan pada dua balok pualam yang menyangga peti mati itu dengan kedua tangannya, Langdon bergerak seperti seorang perenang gaya dada, dan mendorong tubuhnya memasuki ruangan di bawah peti mati itu. Suara letusan pistol terdengar
lagi. Bersamaan dengan senjata yang masih memuntahkan pelurunya dengan ganas, Langdon merasakan sebuah sensasi yang belum pernah dirasakannya seumur hidupnya ... sebutir peluru menyerempet tubuhnya. Dia mendengar suara desing angin dan seperti suara ledakan cambuk; peluru itu menerjang angin dan menghantam pualam sehingga menimbulkan debu tebal. Didorong oleh insting untuk bertahan hidup, Langdon mendorong tubuhnya dan melewati bagian bawah peti mati itu. Sambil meraba-raba di lantai pualam, Langdon menarik tubuhnya agar keluar dari peti mati di belakangnya dan bertemu dengan sisi lain dari ruangan itu.
Buntu. Kini Langdon berhadapan dengan dinding belakang ceruk itu. Tidak diragukan lagi, ruangan kecil di belakang makam ini akan menjadi kuburannya. Begitu cepat, katanya dalam hati ketika dia melihat laras pistol muncul dari celah di bawah peti
mati tadi. Si Hassassin membidikkan senjatanya ke arah tubuh Langdon dan mengarah ke perutnya. Tidak mungkin luput.
Langdon masih merasakan sisa-sisa insting untuk mempertahankan diri di dalam alam bawah sadarnya. Dia memutar tubuhnya agar sejajar dengan peti mati. Dengan wajah menghadap ke bawah, dia meletakkan tangannya di lantai. Luka akibat pecahan kaca yang dideritanya di ruang arsip seperti terbuka kembali. Sambil mengabaikan sakit yang dirasakannya, Langdon terus mendorong dan mengangkat tubuhnya seperti push-up dengan gaya yang aneh. Langdon mengangkat perutnya tepat sebelum pistol yang memburunya itu menembakinya. Dia merasakan desiran angin ketika peluru yang ditembakkan si Hassassin meluncur di bawahnya dan menghancurkan bebatuan berpori-pori di belakangnya. Sambil menutup matanya dan berusaha melawan rasa letih yang dideritanya, Langdon berharap rentetan tembakan itu berhenti.
Dan doanya terjawab. Gemuruh suara tembakan diganti dengan suara "klik" dari tempat peluru yang sudah kosong.
Langdon membuka matanya perlahan-lahan, seakan takut gerakan kelopak matanya dapat menimbulkan suara. Dengan melawan rasa sakitnya, dia menahan posisi tubuhnya yang melengkung seperti kucing. Untuk bernapas pun dia tidak berani. Walau gendang telinganya terasa tuli karena suara letusan peluru, Langdon berusaha mendengarkan tanda-tanda apa saja yang menunjukkan bahwa pembunuh itu sudah pergi. Sunyi. Dia ingat Vittoria dan sangat ingin menolongnya.
Ternyata suara selanjutnya sangat memekakkan telinganya. Hampir tidak seperti suara manusia, terdengar teriakan serak dari pengerahan tenaga.
Peti mati batu di atas kepala Langdon tiba-tiba seperti terangkat bagian sampingnya. Langdon terjatuh ke lantai ketika ratusan pon batu diungkit ke arahnya. Daya tarik bumi mempercepat pergerakan itu, dan tutup peti mati batu itu meluncur lebih dulu ke lantai di samping Langdon. Peti matinya menyusul, berguling dari penyangganya dan runtuh ke arah Langdon.
Ketika kotak batu itu berguling, Langdon tahu dia akan terkubur di dalam kotak batu itu atau tergencet oleh sisinya. Sambil menarik kaki dan kepalanya, Langdon menekuk tubuhnya dan merapatkan lengannya ke tubuhnya. Kemudian dia menutup matanya dan menunggu suara hantaman yang menyakitkan itu.
Ketika itu terjadi, seluruh lantai bergetar di bawahnya. Sisi tera
tas peti itu mendarat hanya beberapa milimeter dari kepalanya sehingga membuat giginya bergemertak. Lengan kanannya yang semula diduga akan tergencet, ajaibnya ternyata masih utuh. Dia membuka matanya untuk melihat seberkas cahaya. Sisi kanan peti batu itu tidak jatuh bersamaan ke lantai dan masih tertahan di atas penyangganya. Di atasnya, Langdon betul-betul melihat seraut wajah mayat.
Penghuni asli makam itu masih menempel di dasar peti matinya seperti jenazah pada umumnya, tapi kini dia tertahan di atas tubuh Langdon. Kerangka itu bergantungan sesaat seperti ragu-ragu. Kemudian dengan suara merekah, kerangka itu mulai terlepas dari dasar peti matinya karena ditarik oleh gravitasi.
Mayat itu jatuh dan memeluk Langdon yang berada di bawahnya. Sementara itu serpihan tulang-belulang dan debu masuk ke mata dan mulutnya.
Sebelum Langdon dapat bereaksi, sebuah lengan masuk dari celah di bawah peti mati itu dan meraba-raba, terjulur dari
mayat itu seperti ular piton yang kelaparan. Begitu tangan itu menemukan leher Langdon, dia lalu mencengkeramnya dengan erat. Langdon berusaha melawan cekikan tangan sekeras besi yang sekarang meremas kerongkongannya dengan keras, tapi dia kemudian menyadari lengan bajunya terjepit di bawah sisi peti mati. Dia hanya memiliki satu tangan yang bebas dan ini adalah pertempuran yang tidak mungkin dimenangkannya.
Dengan kaki tertekuk di dalam ruang sempit itu, Langdon berusaha mencari pijakan di dasar peti mati yang melingkupinya. Dia menemukannya. Sambil bergelung, dia menjejakkan kakinya. Kemudian, ketika tangan yang berada di lehernya itu meremas lebih keras lagi, Langdon menutup matanya dan mendorong pijakannya dengan sepenuh tenaga. Peti mati itu bergeser sedikit, tapi itu sudah cukup.
Dengan suara seperti geraman, peti mati itu tergelincir dari penyangganya dan jatuh di lantai. Pinggiran peti mati itu menimpa lengan si pembunuh dan terdengarlah teriakan kesakitan. Tangan itu kemudian terlepas dari leher Langdon, menggeliat dan ditarik keluar dari kegelapan di sekelilingnya. Ketika si pembunuh akhirnya menarik lengannya keluar dari gencetan peti mati, peti itu jatuh dengan suara berdebum di atas lantai pualam.
Gelap gulita lagi. Lalu sunyi senyap. Tidak ada gedoran putus asa di peti mati itu. Tidak ada usaha untuk masuk lagi. Tidak ada apa-apa. Ketika Langdon berbaring di dalam gelap di antara tumpukan tulang-belulang yang melingkupinya, dia memerangi perasaan tidak nyaman yang dirasakannya di antara kegelapan yang menyelimutinya dengan memikirkan Vittoria.
Vittoria, masih hidupkah kamu"
Kalau Langdon tahu keadaan yang sebenarnya-kengerian yang akan segera dialami Vittoria begitu tersadar-lelaki itu pasti berharap Vittoria lebih baik mati saja.
94 DUDUK DI DALAM Kapel Sistina di antara rekan-rekan kardinal yang juga terkejut, Kardinal Mortati mencoba memahami kata-kata yang didengarnya. Di depannya, dengan hanya diterangi oleh cahaya lilin, sang camerlegno baru saja menceritakan sebuah kisah tentang kebencian dan ancaman yang membuat Mortati gemetar. Sang camerlegno berbicara tentang keempat kardinal yang diculik, dicap, dan dibunuh. Dia juga berbicara tentang kelompok kuno Illuminati; sebuah nama yang membangkitkan kembali kengerian yang sudah terlupakan, berikut kebangkitan mereka serta sumpah balas dendam mereka kepada gereja. Dengan nada terluka dalam suaranya, sang camerlegno berbicara tentang mendiang Paus ... yang menjadi satu korban pembunuhan yang dilakukan Illuminati dengan cara diracun. Dan akhirnya, dengan suara yang terdengar hampir seperti bisikan, dia juga menceritakan tentang sebuah teknologi baru yang mematikan, antimateri yang terancam akan meledak dan menghancurkan Vatican City dalam waktu kurang dari dua jam lagi.
Ketika dia sudah selesai berbicara, yang ada hanya keheningan seolah setan telah menghisap udara di ruangan itu. Tidak seorang pun dapat bergerak. Kata-kata sang camerlegno seperti menggantung di dalam kegelapan.
Satu-satunya suara yang dapat didengar Mortati hanyalah dengung aneh dari sebuah kemera televisi di belakang yang merupakan kehad
iran peralatan elektronik pertama dalam
sejarah penyelenggaraan rapat pemilihan paus. Tapi kehadiran mereka berdasarkan permintaan sang camerlegno. Sambil mengundang gumam keheranan dari para kardinal, sang camerlegno memasuki Kapel Sistina bersama-sama dengan dua orang wartawan BBC, satu orang laki-laki dan satu orang perempuan, dan mengumumkan bahwa mereka akan menyiarkan pernyataan sang camerlegno langsung ke seluruh dunia.
Kini, sambil berbicara langsung ke arah kamera, sang camerlegno melangkah ke depan. "Kepada kelompok Illuminati," katanya, suaranya terdengar dalam, "dan kepada mereka, para ilmuwan, izinkan aku mengatakan ini." Dia berhenti sejenak. "Kalian telah memenangkan peperangan ini."
Kesunyian sekarang tersebar hingga ke sudut terdalam dari kapel itu. Mortati bahkan dapat mendengar debaran putus asa dari jantungnya sendiri.
"Roda itu telah berputar sejak lama," kata sang camerlegno. "Kemenangan kalian sudah tidak bisa dihindari lagi. Sebelumnya tidak pernah begitu jelas seperti sekarang ini. Ilmu pengetahuan kini menjadi Tuhan baru."
Apa yang sedang diucapkannya" kata Mortati dalam hati. Apa dia sudah gila" Seluruh dunia mendengarkan ini semua!
"Pengobatan, komunikasi elektronik, perjalanan ke angkasa luar, manipulasi genetika ... ini semua adalah keajaiban yang sekarang kita ceritakan kepada anak-anak kita. Ini semua adalah keajaiban yang kita gembar-gemborkan sebagai bukti bahwa ilmu pengetahuan akan memberikan kita semua jawaban dari semua pertanyaan yang kita ajukan. Kisah-kisah kuno tentang konsep yang suci, seperti semak terbakar dan laut terbelah tidak lagi terlihat relevan. Tuhan sudah usang. Ilmu pengetahuan telah memenangkan pertempuran ini. Kami mengaku kalah."
Gemerisik kebingungan dan ketakutan menyapu seluruh kapel.
"Tetapi kemenangan ilmu pengetahuan," sang camerlegno melanjutkan, suaranya bertambah kuat sekarang, "telah mengorbankan umat manusia. Dan itu merupakan pengorbanan yang berat."
Sunyi. "Ilmu pengetahuan mungkin telah mengurangi misteri dari penyakit dan pekerjaan yang sukar serta menghasilkan berbagai peralatan canggih untuk hiburan dan kenyamanan hidup kita. Tetapi itu membuat kita hidup di dunia tanpa kekaguman. Makna matahari tenggelam telah direduksi menjadi panjang gelombang dan frekuensi. Kerumitan alam semesta telah dijabarkan menjadi persamaan matematika. Bahkan nilai pribadi kita sebagai manusia telah dirusak. Ilmu pengetahuan menganggap planet bumi beserta penghuninya adalah titik yang tidak ada artinya dalam sebuah skema yang luar biasa besar. Sebuah peristiwa kosmis yang terjadi di alam raya." Dia berhenti sejenak. "Bahkan teknologi yang berjanji ingin mempersatukan kita, ternyata justru memisahkan kita. Semua orang sekarang saling terhubung secara elektronik, tapi kita tetap merasa sangat sendirian. Kita dibombardir dengan kekerasan, perpecahan, keretakan, dan pengkhianatan. Sikap skeptis dianggap sebagai nilai yang lebih luhur. Kesinisan dan tuntutan akan bukti dianggap sebagai pikiran yang tercerahkan. Apa kita tidak bertanya-tanya kenapa kita kini merasa lebih tertekan dan terkalahkan dibanding masa lalu dalam sejarah umat manusia" Apakah ilmu pengetahuan mengakui sesuatu yang suci" Ilmu pengetahuan mencari jawaban dengan menyelidiki janin yang belum lahir. Ilmu pengetahuan bahkan berusaha untuk mengatur kembali susunan DNA kita. Ilmu
pengetahuan menghancurkan dunia yang diciptakan Tuhan ke dalam potongan yang lebih kecil dalam usaha mereka mencari makna ... dan itu hanya menghasilkan pertanyaan-pertanyaan
baru." Mortati menatap dengan kagum. Sang camerlegno nyaris menghipnotis mereka sekarang. Dia memiliki kekuatan fisik dalam setiap gerakannya dan suaranya yang belum pernah Mortati lihat di depan altar Vatican. Suara lelaki itu ditempa oleh kesedihan dan keyakinannya.
"Peperangan kuno antara ilmu pengetahuan dan agama telah usai," kata sang camerlegno. "Kalian sudah memenangkannya. Tetapi kalian tidak menang secara jujur. Kalian tidak menang dengan memberikan jawaban. Kalian menang dengan mengubah orientasi masyarakat kita secara radikal sehin
gga kebenaran yang dulu kita lihat sebagai petunjuk kini dianggap tidak berguna lagi. Agama tidak bisa mengejar perubahan zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan adalah hal yang sudah pasti. Dia berkembang biak seperti virus. Tiap terobosan baru membuka terobosan yang lainnya. Umat manusia membutuhkan waktu ratusan tahun untuk maju dari penemuan ban sampai bisa membuat mobil. Tapi kita hanya membutuhkan satu dasawarsa untuk bisa pergi ke ruang angkasa setelah kita mengenal mobil. Kini, kita bisa mengukur kemajuan ilmu pengetahuan dalam hitungan minggu. Kita semakin kehilangan kontrol. Jurang antara kita semakin melebar, dan ketika agama tertinggal, manusia menemukan dirinya di dalam kehampaan spiritual. Kita berusaha keras untuk menemukan arti. Dan percayalah, kita memang benar-benar berusaha dengan keras. Kita melihat UFO, berusaha terhubung dengan arwah, berhubungan dengan hal-hal gaib, pengalaman berada di luar tubuh, pencarian dalam pemikiran-semua ide eksentrik ini diselubungi oleh ilmu
pengetahuan, tapi pada kenyataannya mereka itu tidak rasional. Itu adalah usaha keras jiwa-jiwa modern yang kesepian dan kebingungan yang sedang mencari pencerahan dan berusaha melepaskan diri dari ketidakmampuan mereka untuk menerima arti dari sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan teknologi."
Mortati mencondongkan tubuhnya di atas kursinya. Dia, para kardinal lainnya serta masyarakat di seluruh dunia terpaku ketika mendengar kata-kata pastor itu. Sang camerlegno tidak berbicara dengan gaya berpidato atau menggunakan kata-kata tajam. Tidak ada acuan dari Alkitab atau Yesus Kristus. Dia berbicara menggunakan istilah-istilah modern, lugas dan murni. Kata-kata itu seakan mengalir sendiri dari Tuhan. Sang camerlegno berbicara dengan bahasa modern ... padahal dia sedang menyampaikan pesan yang sudah klasik. Pada saat itu Mortati dapat memahami dengan jelas kenapa mendiang Paus sangat mencintai lelaki ini. Di dalam dunia yang apatis, sinis dan dipenuhi dengan pemujaan terhadap teknologi, lelaki seperti sang camerlegno; orang realis yang bisa mengungkapkan jiwa manusia seperti yang baru saja dilakukannya, menjadi satu-satunya harapan yang dimiliki gereja.
Sang camerlegno berbicara dengan lebih kuat sekarang. "Anda bilang ilmu pengetahuan akan menyelamatkan kita. Menurut saya, ilmu pengetahuan sudah menghancurkan kita. Sejak masa Galileo, gereja sudah berusaha untuk mengerem kecepatan laju ilmu pengetahuan, kadang kala dengan menggunakan cara-cara yang tidak pantas, tapi selalu didasari oleh niat baik. Tapi godaannya terlalu kuat untuk ditolak oleh manusia. Saya mengingatkan Anda semua, lihatlah sekeliling Anda. Janji-janji yang diberikan oleh ilmu pengetahuan belum ditepati olehnya. Janji-janji seperti efisiensi dan kesederhanaan hanya menghasilkan polusi dan kekacauan. Kita terpecah belah
dan menjadi makhluk yang kebingungan ... dan sedang tergelincir ke arah kehancuran."
Sang camerlegno berhenti agak lama dan kemudian menajamkan tatapannya ke arah kamera.
"Siapakah Tuhan ilmu pengetahuan itu" Siapa Tuhan yang menawarkan kekuatan kepada umatnya tetapi tidak memberikan batasan moral untuk mengatakan kepada kalian bagaimana menggunakan kekuatan itu" Tuhan seperti apa yang memberikan api kepada seorang anak tetapi tidak memperingatkan akan bahaya yang ditimbulkannya" Bahasa ilmu pengetahuan datang tanpa petunjuk tentang baik dan buruk. Buku-buku ilmu pengetahuan mengatakan kepada kita bagaimana menciptakan reaksi nuklir, namun buku itu tidak berisi bab yang menanyakan kepada kita apakah itu gagasan yang baik atau buruk.
"Kepada ilmu pengetahuan, dengarkanlah kata-kata saya. Gereja sudah letih. Kami lelah menjadi petunjuk kalian. Kekuatan kami mengering karena usaha kami untuk menjadi suara penyeimbang ketika kalian berusaha dengan membabi buta untuk mencari keping yang lebih kecil dan keuntungan yang lebih besar. Kami tidak bertanya kenapa kalian tidak mau mengendalikan diri, tetapi bagaimana kalian bisa mengendalikan diri" Dunia kalian bergerak begitu cepat sehingga kalau kalian berhenti sekejap saja untuk mempertimbangkan tindak
an kalian, seseorang yang lebih efisien akan mendahului kalian. Jadi kalian berjalan terus. Kalian mengembangkan senjata pemusnah masal, tetapi Pauslah yang berkeliling dunia untuk memohon para pemimpin agar menahan diri. Kalian membuat kloning makhluk hidup, tetapi gereja jugalah yang mengingatkan kita agar mempertimbangkan implikasi moral dari tindakan itu. Kalian mendorong orang-orang untuk saling berhubungan melalui telepon, layar video dan komputer, tetapi gerejalah yang membuka pintunya dan mengingatkan kita untuk berhubungan secara pribadi kalau kita memang betul-betul berniat. Kalian bahkan membunuh bayi yang belum lahir atas nama penelitian yang akan menyelamatkan kehidupan. Lagi-lagi, gerejalah yang menunjukkan kesalahan dari cara berpikir seperti itu."
"Dan sementara itu, kalian berkata gereja tidak peduli. Tetapi siapa sesungguhnya yang tidak peduli" Orang yang tidak dapat menemukan arti dari petir atau orang yang tidak menghormati kekuatannya yang dahsyat" Gereja ini mengulurkan tangannya kepada kalian. Mengulurkan tangan pada semua orang. Namun, semakin kami mengulurkan tangan, semakin kalian menolak kami. Tunjukkan bukti kepada kami bahwa Tuhan ada, kata kalian. Aku katakan, gunakan teleskop kalian untuk melihat surga, dan katakan padaku bagaimana mungkin tidak ada Tuhan!" Air mata sang camerlegno nyaris menetes. "Kalian bertanya, seperti apa Tuhan itu" Aku berkata, dari mana pertanyaan itu datang" Jawabannya hanya ada satu dan akan selalu sama. Apakah kalian tidak melihat Tuhan di dalam ilmu pengetahuanmu" Bagaimana mungkin kalian tidak melihat-Nya! Kalian berkata bahkan perubahan paling kecil yang terjadi pada gaya tarik bumi atau berat sebuah atom bisa sangat memengaruhi alam raya tapi kamu gagal untuk melihat campur tangan Tuhan dalam hal ini. Apakah lebih mudah untuk memercayai bahwa kita hanya tinggal memilih kartu yang tepat dari setumpuk ribuan kartu" Apakah jiwa spiritual kita sudah benar-benar rusak sehingga kita lebih memercayai ketidakmungkinan matematis ketimbang sebuah kekuatan yang lebih agung dari kita semua"
"Entah kalian memercayai Tuhan atau tidak," kata sang camerlegno, suaranya kini terdengar lebih dalam, "kalian harus memercayai ini. Ketika kita sebagai makhluk hidup meninggalkan kepercayaan kita kepada kekuatan yang lebih besar dari kita, maka kita juga akan meninggalkan perasaan tanggung jawab kita. Keyakinan ... apa pun keyakinan itu ... adalah sebuah peringatan bahwa ada sesuatu yang tidak dapat kita mengerti, sesuatu di mana kita harus bertanggung jawab
kepadanya .... Dengan keyakinan, kita bertanggung jawab pada
sesama, kepada diri kita sendiri, dan kepada kebenaran yang lebih tinggi. Agama mungkin tidak sempurna, tetapi itu karena manusia tidak sempurna. Kalau dunia di luar sana dapat melihat gereja seperti apa yang kulihat ... lebih memahami ritual yang dijalankan di balik dinding ini ... mereka akan melihat keajaiban modern ... sebuah persaudaraan dari ketidaksempurnaan, jiwa-jiwa sederhana yang hanya ingin menjadi suara kasih sayang di dalam dunia yang berputar tak terkendali."
Sang camerlegno menunjuk pada Dewan Kardinal. Kamerawati BBC itu secara naluriah mengikuti arah tangannya, dan menggerakkan kameranya ke arah orang-orang itu.
"Apakah kami kuno"" tanya sang camerlegno. "Apakah orangorang ini dinosaurus" Apakah aku dinosaurus" Apakah dunia benar-benar membutuhkan suara untuk membela mereka yang miskin, lemah, tertekan, bayi yang belum lahir" Apakah kita benar-benar membutuhkan jiwa seperti ini yang tidak sempurna tapi ulet, dan menghabiskan masa hidup mereka untuk memohon agar dapat membaca petunjuk moralitas supaya tidak tersesat""
Mortati sekarang tahu bahwa sang camerlegno, entah disadarinya atau tidak, telah bertindak sangat cemerlang. Dengan memperlihatkan para kardinal, dia sedang
memanusiakan gereja. Vatican City bukan lagi sebuah bangunan, tapi manusia-manusia seperti sang camerlegno yang telah menghabiskan masa hidupnya dalam pelayanan bagi kebaikan.
"Malam ini kami berada di atas jurang yang curam," kata sang camerlegno. "Tidak seorang pun dari k
ita yang boleh menjadi apatis. Entah kalian melihatnya sebagai setan, korupsi atau imoralitas ... kekuatan gelap itu hidup dan bertumbuh setiap hari. Jangan abaikan itu." Sang camerlegno merendahkan suaranya sehingga menjadi bisikan, dan kamera bergerak lagi. "Kekuatan itu, walau perkasa tapi tidak mungkin tidak terkalahkan. Kebaikan pada akhirnya pasti akan menang. Dengarkan hati kalian. Dengarkan Tuhan. Bersama-sama kita dapat melangkah menjauhi jurang ini."
Sekarang Mortati mengerti. Inilah alasannya. Aturan yang diterapkan selama rapat pemilihan paus berlangsung memang telah dilanggar, tetapi inilah satu-satunya cara. Ini adalah permintaan tolong yang dramatis dan disampaikan dengan keputusasaan. Sang camerlegno sekarang berbicara kepada musuhnya dan kepada temannya. Dia memohon kepada siapa saja, teman atau musuh, untuk mendengarkan akal sehat dan menghentikan kegilaan ini.
Tentu saja orang yang mendengarkan perkataannya dengan baik akan menyadari kegilaan dari peristiwa ini dan kemudian bertindak. Sang camerlegno lalu berlutut di altar. "Berdoalah bersamaku." Dewan Kardinal ikut berlutut untuk berdoa bersamanya. Di luar, di Lapangan Santo Petrus dan di seluruh dunia ... dunia yang terpaku ikut berdoa bersama mereka.
95 SI HASSASSIN MELETAKKAN hadiah yang sedang tidak sadarkan diri itu di belakang mobil vannya, dan tercenung sejenak untuk mengagumi tubuh yang tergeletak itu. Perempuan itu tidak secantik perempuan-perempuan yang pernah dibelinya, walau demikian perempuan ini memiliki kekuatan hewani yang membuatnya senang. Tubuh perempuan ini dipenuhi dengan vitalitas dan basah oleh keringat. Harum tubuhnya sangat menggoda.
Ketika si Hassassin berdiri sambil mengagumi hadiahnya itu, dia mengabaikan rasa sakit yang berdenyut di lengannya. Luka memar karena tertimpa peti mati dari batu tadi, walau terasa sakit, tapi tidak terlalu parah ... sepadan dengan imbalan yang sekarang tergolek di depannya. Dia merasa lega karena tahu lelaki Amerika yang telah menyakiti lengannya itu mungkin sudah tewas sekarang.
Sambil menatap ke bawah, ke arah tawanannya yang tidak berdaya itu, si Hassassin membayangkan apa yang akan didapatkannya nanti. Dia meraba kemeja perempuan itu. Payudaranya terasa sempurna di balik branya. Ya, dia tersenyum. Kamu lebih daripada sepadan. Sambil berjuang melawan dorongan untuk menidurinya saat itu juga, si Hassassin menutup pintu vannya lalu melaju menembus malam.
Tidak perlu memberi tahu pers tentang pembunuhan ini ... kebakaran itu akan membuat mereka tahu.
Di CERN, Sylvie duduk terpaku karena ucapan sang camerlegno. Dia tidak pernah merasa begitu bangga menjadi seorang Katolik sekaligus begitu malu karena bekerja di CERN. Ketika dia meninggalkan ruang rekreasi, suasana di setiap ruang menonton TV terlihat muram dan bingung. Ketika dia kembali berada di kantor Kohler, tujuh saluran telepon di atas mejanya berdering semua. Telepon dari media tidak pernah singgah di kantor Kohler sebelumnya, jadi telepon yang berdering itu hanya dapat berarti satu hal saja.
Geld. Uang. Teknologi antimateri telah mengundang beberapa peminat.
Di dalam Vatican, Gunther Glick seperti melayang di atas udara ketika dia mengikuti sang camerlegno keluar dari Kapel Sistina. Glick dan Macri baru saja menyiarkan laporan langsung yang sangat penting selama satu dasawarsa ini. Sang camerlegno telah membuat dunia terpesona.
Sekarang mereka berada di sebuah koridor dan sang camerlegno berpaling ke arah Glick dan Macri. "Aku sudah meminta Garda Swiss untuk mengumpulkan foto-foto untuk kalian, foto-foto para kardinal yang dicap berikut foto mendiang Paus. Aku harus memperingatkan kalian, foto-foto itu bukanlah foto-foto yang menyenangkan. Luka bakar yang mengerikan. Lidah menghitam. Tetapi aku ingin kalian menyiarkannya kepada dunia."
Glick menduga Vatican City pasti terus-menerus merayakan natal tiap hari. Dia ingin agar aku menyiarkan foto mendiang Paus secara eksklusif" "Anda yakin"" tanya Glick sambil mencoba menahan nada kegirangan dalam suaranya.
Sang camerlegno mengangguk. "Garda Swiss juga akan memberi kalian
tayangan langsung dari video keamanan yang
menyiarkan tabung antimateri yang sedang menghitung mundur." Glick menatapnya tak percaya. Natal. Natal. Natal!
"Kelompok Illuminati itu akan segera tahu," jelas sang camerlegno, "bahwa mereka telah mengotori tangan mereka secara berlebihan."
96 SEPERTI TEMA BERULANG dalam sebuah simponi yang
kejam, kegelapan yang menyesakkan napas itu telah kembali.
Tidak ada cahaya. Tidak ada udara. Tidak ada jalan keluar.
Langdon berbaring dan terperangkap di bawah peti mati batu yang terjungkir, dan merasa otaknya mulai kehabisan akal. Dia kemudian berusaha mengendalikan pikirannya ke hal lain sehingga tidak terpengaruh dengan keadaan sesak di sekitarnya. Langdon berusaha memikirkan cara berpikir yang logis ... seperti matematika, musik, apa saja. Tetapi tidak ada satu hal pun yang bisa menenteramkan pikirannya. Aku tidak bisa bergerak. Aku tidak bisa bernapas.
Lengan jasnya yang tergencet, untung sudah terbebas ketika peti mati itu jatuh. Sekarang Langdon mempunyai dua lengan yang bebas bergerak. Walau begitu, ketika dia menekan langit-langit sel kecilnya itu, ternyata kotak pualam itu tidak dapat bergerak. Lucunya, dia kemudian berpikir lebih baik lengan bajunya masih terjepit saja. Setidaknya kain tebal itu bisa membuat celah untuk jalan udara.
Ketika Langdon mendorong langit-langit di atasnya, lengan jasnya tertarik sehingga ada cahaya samar yang berasal dari kawan lamanya, Mickey. Wajah tokoh kartun yang sekarang berwarna kehijauan itu kini tampak mengejeknya.
Langdon mengamati kegelapan dan mencari tanda-tanda adanya sinar, tetapi pinggiran peti mati dari batu itu menutup
lantai dengan rapat. Terkutuklah kesempurnaan orang Italia itu, serapahnya. Sekarang dia terjebak di dalam peti mati yang memiliki keunggulan artistik seperti yang selama ini dia katakan kepada muridnya agar mereka hormati ... tepian yang rata tanpa cela, pararel yang sempurna, dan tentu saja pualam Carrara berkualitas tinggi yang tidak memiliki sambungan dan sangat keras.
Kesempurnaan yang dapat membuat orang mati lemas.
"Angkat benda keparat ini," katanya dengan keras kepada dirinya sendiri sambil mendorong lebih kuat di antara tulang belulang yang berserakan. Kotak batu itu bergeser sedikit. Sambil mengeraskan rahangnya, dia mulai mengangkat lagi. Walau peti mati itu terasa seperti bongkahan batu besar, tetapi kali ini kotak batu itu terangkat seperempat inci. Secercah cahaya bersinar di sekitarnya, lalu peti mati itu terhempas lagi. Langdon terbaring terengah-engah di dalam gelap. Dia lalu mencoba menggunakan kakinya untuk mengangkat lagi seperti tadi, tetapi karena sekarang peti batu itu telah jatuh, benda itu menjadi sangat rapat dengan lantai. Tiada ruang lagi untuk meluruskan kakinya.
Ketika kepanikan yang disebabkan oleh claustropbobia-nya muncul, perasaan Langdon dikuasai oleh bayangan peti batu itu mengerut di sekitar tubuhnya. Ditekan oleh perasaan paniknya, Langdon berusaha membunuh bayangan itu dengan tiap keping logika yang masih dimilikinya.
"Sarkofagus," dia berkata dengan keras dengan kemampuan akademis yang dimilikinya. Tapi sepertinya ilmu pengetahuan pun telah memusuhinya hari ini. Kata sarkofagus berasal dari kata bahasa Yunani, "sarx" artinya "daging", dan "phagein" artinya "memakan". Aku terperangkap di dalam sebuah kotak yang secara harfiah dirancang untuk "memakan daging."
Bayangan akan daging dimakan sehingga hanya meninggalkan tulang-belulang, kini menjadi peringatan muram bagi Langdon kalau dirinya sekarang sedang terbaring tertutup bersama jasad manusia. Pemikiran itu membuatnya mual dan merinding. Tetapi juga menimbulkan sebuah gagasan lainnya.
Sambil meraba-raba dalam kegelapan di sekitar peti mati itu, Langdon menemukan sepotong tulang. Tulang iga, mungkin" Dia tidak peduli. Yang dibutuhkannya hanyalah sebilah pengungkit. Kalau dia dapat mengangkat kotak batu itu, walau hanya sebesar sebuah celah, dan menyelipkan sepotong tulang di bawah pinggiran peti itu, mungkin akan ada cukup udara yang dapat ....
Sambil mengulurkan tangannya dan mengungkitkan ujung tula
ng itu ke dalam celah di antara lantai dan peti mati, Langdon menekan langit-langit peti mati dengan tangannya yang lain dan berusaha untuk mendorongnya ke atas. Peti itu tidak bergerak sama sekali. Tidak sedikitpun. Dia berusaha lagi. Untuk sementara, sepertinya peti itu bergetar sedikit, tapi hanya itu saja.
Dengan bau busuk dan kekurangan oksigen yang mencekik kekuatan tubuhnya, Langdon sadar dia hanya dapat mengerahkan tenaganya satu kali lagi saja. Dia juga tahu kalau dia harus menggunakan kedua lengannya.
Sambil mengumpulkan tenanga, Langdon meletakkan ujung tulang itu di balik celah dan menggeser tubuhnya untuk menekan tulang tersebut dengan bahunya, dan menjaganya agar tidak bergeser. Dengan berhati-hati supaya tulang itu tetap berada ditempatnya, dia mengangkat kedua tangannya ke atas. Ketika peti mati yang seakan mencekiknya itu mulai menekannya, dia merasakan kepanikan semakin menguasainya. Ini adalah kedua kalinya dalam hari ini dia terkurung tanpa
udara. Dengan berteriak keras, Langdon menekan ke atas dengan gerakan yang sangat kuat. Peti mati itu terangkat dari lantai dalam sekejap. Tetapi cukup lama. Potongan tulang yang telah ditahan dengan bahunya itu menyelinap keluar, dan mengganjal peti mati itu sehingga membuat celah yang lebih lebar. Ketika peti mati itu jatuh lagi, tulang itu pecah. Tetapi kali ini Langdon dapat melihat peti mati itu terungkit. Sebuah celah tipis terlihat di bawah tepian sarkofagus itu.
Karena sangat letih, Langdon terkulai. Dia berharap rasa sakit di tenggorokannya akan berlalu. Dia menunggu. Tetapi keadaan itu semakin memburuk seiring berjalannya detik demi detik. Apa pun yang muncul dari celah itu tampaknya tidak cukup besar.
Langdon bertanya-tanya apakah celah itu cukup untuk membuatnya bertahan hidup. Tapi, untuk berapa lama" Kalau dia pingsan, siapa yang akan tahu kalau dia masih berada di situ"
Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Langdon kemudian mengangkat jam tangannya lagi: 10:12 malam. Dengan jemarinya yang gemetar, dia berusaha dengan susah payah untuk mengatur jarum jam tangannya. Dia memutar salah satu pemutar kecilnya lalu menekan tombolnya.
Ketika kesadarannya berangsur menghilang, dia merasa dinding di sekitarnya merapat semakin ketat, dan Langdon merasa ketakutan lamanya menghampirinya kembali. Dia berkali-kali berusaha membayangkan kalau dirinya sedang berada di sebuah lapangan terbuka.
Gambaran yang dibuatnya itu ternyata sama sekali tidak membantunya. Bahkan mimpi buruk yang telah menghantuinya sejak dia kecil datang menyerbunya kembali....
Bunga-bunga di sini seperti dalam lukisan, pikir bocah lelaki itu sambil tertawa ketika dia berlarian melintasi lapangan rumput. Dia berharap orang tuanya datang bersamanya. Tetapi orang tuanya sedang sibuk memasang tenda.
"Jangan berkeliaran terlalu jauh," kata ibunya kepadanya.
Dia berpura-pura tidak mendengar ketika dia melompat memasuki hutan.
Sekarang, ketika melintasi lapangan indah itu, anak lelaki kecil itu tiba di tumpukan bebatuan ladang. Dia membayangkan batu itu dulunya pasti menjadi pondasi dari sebuah rumah tua. Dia tidak akan mendekatinya. Dia tahu yang lebih baik. Lagipula matanya lebih tertarik pada hal lainnya-sekuntum bunga lady's slipper yang cantik. Bunga itu adalah bunga terlangka dan tercantik di New Hampshire. Dia hanya pernah melihatnya di dalam buku-buku.
Dengan gembira, anak lelaki itu mendekati bunga tersebut. Dia berlutut. Tanah di bawahnya terasa gembur dan berongga. Dia tahu, bunganya itu telah menemukan tempat yang sangat subur untuk tumbuh. Bunganya tumbuh di atas kayu yang membusuk.
Karena terlalu gembira dengan bayangan akan membawa pulang hadiahnya itu, anak lelaki tersebut meraihnya ... jemarinya terulur ke arah tangkai bunga itu.
Tapi dia tidak pernah berhasil meraihnya.
Dengan suara berderak keras, tanah yang dipijaknya amblas.
Dalam tiga detik yang membuatnya pusing, anak laki-laki itu tahu dia akan mati. Sambil berguling-guling ke bawah, dia berusaha berpegangan pada sesuatu supaya tidak mengalami patah tulang ketika terhempas. Ketika dia tiba di bawah, dia sama sekal
i tidak merasa sakit. Hanya ada kelembutan. Dan dingin.
Dia jatuh dengan wajah menimpa cairan, lalu terbenam dalam kegelapan yang sempit. Sambil berputar, jungkir balik karena kehilangan arah, anak lelaki itu meraih dinding curam yang mengurungnya. Entah bagaimana, seperti didorong oleh insting untuk bertahan hidup, dia berusaha keluar ke permukaan.
Cahaya. Samar-samar. Di atasnya. Seperti bermil-mil jauhnya.
Lengannya menggapai-gapai di dalam air untuk mencari lubang di dinding atau apa pun yang bisa digunakan untuk berpegangan. Namun dia hanya dapat meraih batu halus. Dia sadar dirinya telah terjatuh ke dalam sebuah sumur yang sudah ditinggalkan. Bocah itu berteriak minta tolong, tetapi teriakannya menggaung di dalam terowongan sempit itu. Dia berteriak lagi dan lagi. Di atasnya, lubang kecil itu menjadi tampak samar-samar.
Malam tiba. Waktu seperti berubah bentuk di dalam kegelapan. Rasa kaku mulai terasa ketika dia terus menggerak-gerakkan kakinya di dalam air yang dalam agar bisa tetap mengambang. Memanggil. Menjerit. Anak kecil itu tersiksa oleh bayangan dinding yang dirasakan akan runtuh, dan akan menguburnya hidup-hidup. Kedua lengannya sudah sakit karena letih. Beberapa kali dia merasa seperti mendengar suara. Dia berteriak, tetapi suaranya tidak lagi terdengar ... semuanya terasa seperti dalam mimpi.
Ketika malam tiba, sumur itu terasa semakin dalam. Dindingnya seperti mengerut menelan dirinya. Anak lelaki itu memaksakan diri untuk keluar, mendorong tubuhnya ke atas. Karena letih, dia ingin menyerah. Tapi dia merasa air
mengangkatnya ke atas, menenteramkan rasa takutnya hingga dia tidak merasakan apa pun lagi.
Ketika regu penyelamat datang, mereka menemukan bocah lelaki itu dalam keadaan setengah sadar. Dia telah menggerak-gerakkan kakinya di air supaya tidak tenggelam selama lima jam. Dua hari setelah itu, harian Boston Globe mencetak kisah itu di halaman depan dengan judul: "Perenang Cilik yang Hebat."
97 SI HASSASSIN TERSENYUM ketika memasukkan mobilnya ke dalam bangunan dari batu berukuran raksasa yang menghadap ke sungai Tiber. Dia membawa hadiahnya ke atas dan lebih ke atas lagi ... berputar lebih tinggi dalam terowongan batu. Dia merasa senang karena bebannya lebih ramping. Dia tiba di pintu.
Gereja Pencerahan, dia merenung dengan senang. Ruang pertemuan Illuminati kuno. Siapa yang dapat membayangkan kalau ruangan itu ada di sini"
Di dalam, dia meletakkan perempuan itu di atas sebuah sofa besar yang empuk. Lalu dengan tangkas dia mengikat lengan perempuan itu di balik punggungnya kemudian mengikat kakinya. Dia tahu apa yang sangat diinginkannya itu harus menunggu hingga tugas terakhirnya selesai. Air.
Tapi, dia masih punya waktu untuk bersenang-senang, pikirnya. Dia berlutut di samping perempuan itu lalu meluncurkan tangannya di paha tawanannya itu. Kulitnya terasa halus. Lalu lebih tinggi lagi. Jemari gelapnya meliuk-liuk di balik hak celana pendeknya. Lebih tinggi lagi.
Dia kemudian berhenti. Sabar, katanya pada dirinya sendiri ketika merasa tergugah gairahnya. Ada pekerjaan yang harus dikerjakan.
Sesaat kemudian, dia berjalan keluar menuju ke balkon dari batu di depan ruangan itu. Angin malam perlahan-lahan mendinginkan hasratnya. Jauh di bawahnya, sungai Tiber
menggelegak. Dia menaikkan pandangannya ke arah kubah Santo Petrus yang hanya berjarak tiga perempat mil. Kubah itu telanjang di bawah terpaan lampu-lampu pers.
"Jam terakhirmu," katanya keras sambil membayangkan orang-orang Muslim yang dibantai selama perang Salib. "Pada tengah malam nanti, kalian akan bertemu dengan Tuhan kalian."
Di belakangnya, perempuan itu bergerak. Si Hassassin berpaling. Dia mempertimbangkan untuk membiarkannya terbangun. Melihat sinar ketakutan di mata perempuan itu merupakan rangsangan yang sangat istimewa baginya.
Tetapi dia memilih untuk menggunakan nalarnya. Lebih baik kalau perempuan itu dibiarkan tidak sadar selama dia pergi. Walaupun perempuan itu terikat dan tidak akan dapat melarikan diri, si Hassassin tidak mau kembali dan menemukan perempuan itu dalam keadaan letih karena berjuang
untuk melepaskan diri. Aku ingin kekuatanmu tersimpan ... untukku.
Dia lalu mengangkat kepala perempuan itu sedikit. Lelaki itu meletakkan tangannya di lehernya dan menemukan cekungan di bawah tengkoraknya. Titik tekanan meridian sering digunakannya berkali-kali. Dengan kekuatan penuh, dia mendorong ibu jarinya masuk ke dalam tulang rawan yang lembut dan kemudian menekannya. Perempuan itu langsung terkulai. Dua puluh menit, pikirnya. Tawanannya itu nanti akan menjadi seorang perempuan yang menggoda untuk mengakhiri sebuah hari yang dipenuhi kesempurnaan seperti ini. Nanti, setelah perempuan itu melayaninya dan mati kelelahan, si Hassassin akan berdiri di atas balkon dan melihat kembang api Vatican di tengah malam.
Setelah meninggalkan hadiahnya itu pingsan di atas sofa besar itu, si Hassassin turun ke lantai bawah dan memasuki ruang bawah tanah yang diterangi dengan obor. Tugas terakhir.
Dia berjalan mendekati meja dan menatap takzim ke arah sebentuk logam suci yang ditinggalkan di sana untuknya. Air. Itu adalah tugas terakhirnya.
Sambil memindahkan obor dari dinding seperti yang sudah dikerjakannya sebanyak tiga kali, dia mulai memanaskan ujung logam itu. Ketika ujung benda itu menjadi putih dan menyala karena panas, dia membawanya ke sebuah sel tak jauh dari situ.
Di dalam sel itu, seorang lelaki berdiri dalam diam. Tua dan sendirian.
"Kardinal Baggia," si pembunuh itu mendesis. "Kamu sudah berdoa""
Mata lelaki Italia itu tidak memperlihatkan ketakutannya. "Hanya untuk jiwamu."
98 KEENAM POMPIERI, petugas pemadam kebakaran, yang beraksi setelah melihat kebakaran di Gereja Santa Maria della Vittoria, memadamkan api unggun itu dengan semprotan gas halon. Semprotan air memang lebih murah, namun uap yang berasal dari sisa-sisa pembakaran akan merusak lukisan dinding di kapel itu, dan Vatican sudah membayar pompieri Roma dengan murah hati untuk mendapatkan layanan yang hati-hati di semua gedung yang dimilikinya.
Para pompieri, karena sifat pekerjaan mereka, hampir tiap hari menyaksikan tragedi. Tetapi apa yang terjadi pada gereja ini adalah hal yang tidak akan mereka lupakan. Korban itu setengah disalib, setengah digantung, setengah terbakar, sebuah pemandangan yang hanya cocok untuk mimpi buruk zaman Gothic.
Sayangnya pers, seperti biasanya, sudah tiba duluan sebelum petugas pemadam kebakaran sampai di sana. Mereka telah merekam banyak gambar dalam video mereka sebelum para pompieri membersihkan gereja. Ketika para petugas pemadam kebakaran akhirnya menurunkan korban dan meletakkannya di atas lantai, tidak ada keraguan tentang siapa lelaki itu.
"Cardinale Guidera," seseorang berbisik. "DiBarcelona." Korban itu tanpa busana. Setengah bagian dari tubuhnya hangus, darah menetes dari celah di antara kedua pahanya.
Tulang keringnya terbuka. Seorang petugas pemadam kebakaran muntah. Yang satu lagi keluar untuk menghirup udara segar.
Yang paling menakutkan adalah simbol yang tertera di dada sang kardinal. Kepala regu pemadam kebakaran mengelilingi jasad korban itu dengan ketakutan yang luar biasa. Lavaro del diavolo, katanya pada dirinya sendiri. Pasti setan yang melakukan ini. Lalu dia membuat tanda salib di dadanya sendiri untuk pertama kalinya sejak masa kanak-kanaknya.
"Un' altro corpo!" seseorang berteriak. Salah satu dari petugas pemadam kebakaran itu menemukan mayat yang lain.
Korban kedua adalah seorang lelaki yang segera dikenali oleh kepala regu itu. Komandan Garda Swiss yang keras itu adalah sejenis orang yang disukai oleh sedikit petugas penegak hukum. Kepala regu itu kemudian menelepon Vatican, tetapi semua saluran sedang sibuk. Dia tahu itu tidak masalah. Garda Swiss akan segera tahu tentang hal ini dari televisi dalam beberapa menit lagi.
Ketika kepala regu itu memeriksa kerusakan sambil berusaha membayangkan apa yang telah terjadi di sini, dia melihat sebuah ceruk yang berlubang-lubang karena peluru. Sebuah peti mati telah terguling dari penopangnya dan jatuh tertelungkup dalam keadaan yang berantakan. Kacau balau. Ini adalah bagian polisi dan Tahta Suci Vatican, pikir kepala regu itu sam
bil berpaling dan pergi. Ketika hendak berpaling, tiba-tiba dia berhenti. Dari bawah peti mati itu dia mendengar suara. Itu adalah suara yang tidak pernah disukai oleh petugas pemadam kebakaran mana pun.
"Bombai" dia berteriak. "Tuttifuori!"
Ketika regu penjinak bom membalik peti mati itu, mereka melihat sumber suara elektronis itu. Mereka memandang dengan tatapan bingung.
"Medicol" salah satu dari mereka akhirnya berteriak memanggil petugas paramedis. "Medicol"
99 "ADA KABAR DARI Olivetti"" tanya sang camerlegno yang terlihat sangat letih ketika Rocher mengawalnya kembali dari Kapel Sistina ke Kantor Paus.
"Tidak, signore. Saya mengkhawatirkan yang terburuk."
Ketika mereka tiba di Kantor Paus, suara sang camerlegno terdengar berat. "Kapten, tidak ada lagi yang dapat aku lakukan malam ini di sini. Aku khawatir aku telah melakukan terlalu banyak. Aku akan masuk ke ruangan ini untuk berdoa. Aku tidak ingin diganggu. Sisanya ada di tangan Tuhan."
"Baik, signore."
"Sudah malam, Kapten. Temukan tabung itu."
"Pencarian kami masih terus berlanjut." Rocher ragu-ragu. "Senjata itu terbukti telah disembunyikan dengan sangat baik."
Sang camerlegno berkedip, seolah dia sudah tidak dapat berpikir lagi. "Ya. Pada pukul 11:15, kalau gereja ini masih berada dalam bahaya, aku ingin kamu mengevakuasi para kardinal. Aku menyerahkan keselamatan mereka di tanganmu. Aku hanya meminta satu saja. Biarkan mereka keluar dari tempat ini dengan kehormatan. Biarkan mereka keluar menuju Lapangan Santo Petrus untuk berdiri berdampingan dengan semua orang. Aku tidak mau citra terakhir gereja ini adalah sekumpulan orang tua yang ketakutan dan menyelinap keluar dari pintu belakang."
"Baiklah, signore. Dan Anda" Apakah saya akan menjemput Anda pada pukul 11:15 juga""
"Itu tidak perlu."
"Signore""
"Aku akan pergi ketika jiwaku menggerakkan tubuhku."
Rocher bertanya-tanya apakah sang camerlegno akan pergi dengan menggunakan kapal.
Sang camerlegno membuka pintu Kantor Paus dan masuk. "Sebenarnya ...," katanya sambil berpaling. "Masih ada satu hal
lagi." "Ya, signore""
"Ruang kantor ini sepertinya agak dingin malam ini. Aku gemetar."
"Pemanas listriknya mati. Biar saya menyalakan perapian untuk Anda."
Sang camerlegno tersenyum letih. "Terima kasih. Terima kasih banyak."
Rocher keluar dari Kantor Paus tempat dia meninggalkan sang camerlegno yang sedang berdoa di depan perapian di hadapan patung kecil Bunda Maria yang Diberkati. Itu adalah pemandangan yang menakutkan. Sebuah bayangan hitam berlutut dalam nyala api. Ketika Rocher berjalan di gang, seorang penjaga muncul dan berlari ke arahnya. Walau hanya diterangi nyala lilin, Rocher mengenali Letnan Chartrand, seorang serdadu muda yang belum berpengalaman namun penuh semangat.
"Kapten," seru Chartrand sambil mengulurkan sebuah ponsel. "Kupikir kata-kata sang camerlegno mungkin ada hasilnya. Kita mendapat telepon yang mengatakan kalau dia memiliki informasi yang dapat membantu kita. Dia menelepon ke salah satu sambungan pribadi Vatican. Aku tidak tahu darimana dia mendapatkan nomor itu."
Rocher berhenti. "Apa""
"Dia hanya mau berbicara dengan petugas berpangkat
tinggi." "Ada kabar dari Olivetti"" "Tidak, Pak."
Rocher mengambil ponsel itu. "Ini Kapten Rocher. Aku petugas berpangkat tinggi di sini."
"Rocher," kata suara itu. "Aku akan menjelaskan padamu siapa aku sesungguhnya. Kemudian aku akan katakan padamu apa yang harus kamu lakukan selanjutnya."
Ketika penelepon itu berhenti berbicara dan mematikan teleponnya, Rocher sekarang tahu dari siapa dia menerima perintah itu.
Kembali ke CERN, Sylvie Baudeloque dengan kalut berusaha untuk mencatat semua permintaan lisensi yang terekam ke dalam pesan suara di pesawat telepon Kohler. Ketika sambungan pribadi di atas meja direktur itu mulai berdering, Sylvie terlonjak. Tidak seorang pun mengetahui nomor itu. Dia menjawabnya.
"Ya"" "Nona Beaudeloque" Ini Direktur Kohler. Hubungi pilotku. Jetku harus siap dalam lima menit."
100 ROBERT LANGDON TIDAK tahu di mana dia berada atau berapa lama dia tidak sadarkan diri. Ketika dia mem
buka matanya, dia menemukan dirinya sedang menatap sebuah kubah bergaya zaman barok dengan lukisan di atasnya. Asap masih mengambang di udara. Tapi ada sesuatu yang menutupi mulutnya. Ternyata itu topeng oksigen. Dia menariknya. Ada aroma yang tidak menyenangkan di ruangan itu, seperti bau daging hangus.
Langdon mengernyit ketika merasakan kepalanya berdenyut. Dia berusaha untuk bangun. Seorang berpakaian putih berlutut di sampingnya.
"Riposati!" kata lelaki itu dan merebahkan Langdon lagi. "Sono ilparamedico."
Langdon menyerah, kepalanya berputar-putar seperti asap di atasnya. Apa yang telah terjadi" Kepanikan mulai menembus benaknya.
"Syrcio salvatore," kata paramedis itu. "Tikus ... penyelamat."
Langdon merasa semakin bingung. Tikus penyelamat"
Lelaki itu kemudian menunjuk jam tangan Mickey Mouse yang melilit pergelangan tangan Langdon. Pikiran Langdon mulai jernih sekarang. Dia ingat telah menyalakan alarmnya tadi. Ketika dia menatap dengan kosong pada permukaan jam tangannya, Langdon juga dapat melihat pukul berapa saat itu: 10:28 malam.
Dia duduk tegak. Kemudian semuanya teringat kembali.
Langdon berdiri di dekat altar utama bersama dengan kepala regu petugas pemadam kebakaran itu dan beberapa orang anak buahnya. Mereka menghujani Langdon dengan berbagai pertanyaan. Tapi Langdon tidak mendengarkan mereka. Dia sendiri mempunyai pertanyaan. Seluruh tubuhnya sakit, tetapi dia tahu dia harus segera bertindak.
Seorang pompiero mendekati Langdon dari seberang gereja. "Saya telah memeriksa kembali, Pak. Mayat yang kami temukan hanyalah Kardinal Guidera dan Komandan Garda Swiss. Tidak ada tanda-tanda adanya seorang perempuan di sini."
"Grazie," kata Langdon. Langdon tidak yakin harus merasa senang atau ketakutan. Dia yakin tadi dia melihat Vittoria yang terbaring pingsan di atas lantai. Sekarang perempuan itu telah hilang. Satu-satunya penjelasan yang didapatnya sama sekali tidak menyenangkan. Pembunuh itu berbicara dengan gamblang ketika berbicara di telepon tadi sore. Seorang perempuan yang penuh semangat. Aku suka itu. Mungkin sebelum malam ini berakhir, aku akan menemukanmu. Dan ketika aku menemukanmu ... "
Langdon mengamati sekitarnya. "Di mana Garda Swiss""
"Masih tidak ada kabar. Saluran Vatican sibuk semua."
Langdon merasa sangat kebingungan dan sendirian. Olivetti sudah tewas. Kardinal itu juga tewas. Vittoria menghilang. Setengah jam dalam hidupnya telah menghilang dalam sekejap.
Di luar, Langdon dapat mendengar suara pers berkerumun. Dia menduga rekaman gambar dari kematian kardinal yang sangat mengerikan itu akan segera mengudara, kalau belum mengudara saat ini. Langdon berharap sang camerlegno telah
menduganya dan segera bertindak. Evakuasi Vatican! Sudahi permainan ini! Kita kalah!
Tiba-tiba Langdon menyadari alasan yang membuatnya berada di sini: membantu menyelamatkan Vatican City, menyelamatkan keempat kardinal yang hilang dan berhadapan dengan persaudaraan yang sudah dia pelajari selama bertahun-tahun. Tapi semuanya langsung menguap dari otaknya. Mereka sudah kalah dalam perang ini. Sebuah dorongan baru muncul dari dalam hatinya. Sesuatu yang sederhana, tidak dapat ditawar-tawar dan penting.
Temukan Vittoria. Tiba-tiba, secara tidak terduga dia merasakan kehampaan dalam hatinya. Langdon sering mendengar situasi sulit seperti ini bisa mempersatukan dua orang dengan cara yang belum tentu terjadi dalam waktu puluhan tahun. Dia sekarang memercayainya. Tanpa Vittoria di sisinya, Langdon merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakannya selama bertahun-tahun. Kesepian. Tapi rasa sakit itu memberikan kekuatan.
Sambil berusaha membuang semua pikirannya, Langdon mengerahkan semua konsentrasinya. Dia berdoa supaya si Hassassin memilih untuk menjalankan kewajibannya dulu sebelum bersenang-senang. Kalau tidak, Langdon tahu dia sudah terlambat. Tidak, katanya pada dirinya sendiri, kau masih punya waktu. Penculik Vittoria masih harus melakukan sesuatu. Dia masih harus muncul ke permukaan satu kali lagi untuk terakhir kalinya sebelum menghilang untuk selamanya.
Altar ilmu pengetahuan terakhir, pikir
Langdon. Pembunuh itu mempunyai tugas terakhir. Tanah, Udara, Api, Air.
Dia melihat jam tangannya. Tiga puluh menit lagi. Langdon bergerak melewati petugas-petugas pemadam kebakaran yang berlalu lalang dan berjalan ke arah patung karya Bernini, Ectasy of St. Teresa. Kali ini, ketika dia menatap petunjuk yang ditinggalkan Bernini itu, Langdon tidak ragu akan apa yang dicarinya.
Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian sucimu
Malaikat karya Bernini itu berdiri di atas orang suci yang berbaring terlentang itu dan bersandar pada api yang menyala. Tangan malaikat itu menggenggam sebuah tombak berujung api. Mata Langdon mengikuti arah tangkai tombak yang mengarah ke sebelah kanan gereja itu. Matanya bertemu dengan dinding. Dia terus mengamati titik yang ditunjuk oleh tombak itu. Tidak ada apa-apa di sana. Langdon tahu, tentu saja tombak itu menunjuk ke tempat yang lebih jauh daripada tembok itu, menembus malam, di suatu tempat di Roma.
"Arah ke mana itu"" tanya Langdon sambil berpaling dan bertanya pada kepala regu petugas pemadam kebakaran mengenai arah yang baru saja ditemukannya itu.
"Arah"" Kepala regu itu menatap ke arah yang ditunjuk Langdon. Dia tampak bingung. "Saya tidak tahu ... barat, saya
pikir." "Gereja apa yang berada di arah itu""
Kebingungan sang kepala regu tampak lebih dalam. "Ada belasan. Mengapa""


Malaikat Dan Iblis Angels And Demons Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Langdon mengerutkan keningnya. Tentu saja ada belasan. "Aku memerlukan peta kota ini. Segera."
Kepala regu itu memerintahkan seseorang untuk berlari ke truk pemadam kebakaran untuk mengambil peta. Langdon kembali memandang patung itu. Tanah ... Udara ... Api ...VITTORIA.
Petunjuk terakhir adalah Air, katanya pada dirinya sendiri. Patung Air karya Bernini. Patung itu pasti berada di dalam
sebuah gereja di suatu tempat entah di mana. Seperti mencari sebatang jarum di dalam tumpukan jerami. Dia memutar pikirannya untuk mengingat seluruh karya Bernini yang dapat diingatnya. Aku memerlukan tanda penghormatan pada Air!
Langdon teringat pada patung karya Bernini, Triton atau dewa Yunani yang menguasai laut. Kemudian dia sadar patung itu terletak di lapangan yang berada di luar gereja ini dengan arah yang sama sekali tidak tepat. Bentuk apa yang dipahat Bernini sebagai pemujaan kepada air" Neptune dan Appolo" Sayangnya, patung itu kini berada di Museum Victoria & Albert di London.
"Signore"" kata seorang petugas sambil berlari memberikan peta itu kepadanya.
Langdon berterima kasih kepadanya dan membuka peta itu di atas altar. Dia segera tahu dia telah bertanya kepada orang yang tepat; peta Roma milik lembaga pemadam kebakaran itu sangat rinci. Dia belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya. "Di mana kita sekarang""
Lelaki itu menunjuk. "Di dekat Piazza Barberini."
Langdon melihat tombak malaikat itu lagi untuk menginga-tingat. Perhitungan kepala regu itu ternyata sangat tepat. Menurut peta, tombak itu menunjuk ke arah barat. Langdon menyusuri garis dari tempatnya sekarang ke barat dan melintasi peta itu. Dengan segera harapannya mulai tenggelam. Tampaknya setiap kali jarinya bergerak, dia melewati begitu banyak gedung dengan tanda silang kecil berwarna hitam. Gereja-gereja. Kota ini dipenuhi oleh gereja. Akhirnya, jari Langdon tidak menemukan gereja lagi dan dia terus menyusuri peta hingga ke pinggiran kota Roma. Dia menghela nafas dan mundur dari peta itu. Sialan.
Sambil mengamati seluruh Roma di peta itu, mata Langdon menumbuk tiga gereja tempat di mana ketiga kardinal sebelumnya dibunuh. Kapel Chigi ... Basilika Santo Petrus ... lalu di sini ....
Setelah melihat semua yang terbentang di depannya saat itu, Langdon mencatat keanehan tentang letak gereja-gereja itu. Dia tadi membayangkan gereja-gereja itu tersebar secara acak di seluruh Roma. Tetapi ternyata tidak. Sepertinya ketiga gereja itu tersebar secara sistematis, dalam bentuk segitiga besar seluas kota. Langdon memeriksanya kembali. Dia tidak dapat membayangkannya. "Penna," katanya tiba-tiba tanpa mendongak.
Seseorang memberikan sebuah pena.
Langdon melingkari ketiga gereja itu. Denyut nadinya bertambah cepat. Dia memeriksa
tanda-tanda itu untuk ketiga kalinya. Sebuah segitiga simetris!
Pikiran, Langdon yang pertama adalah the Great Seal yang tertera di lembaran satu dolar Amerika Serikat-segitiga berisi mata yang melihat semuanya. Tetapi itu tidak masuk akal. Dia baru menandai tiga titik. Seharusnya semuanya ada empat titik.
Jadi, di mana penghormatan terhadap Air" Langdon tahu di mana pun dia meletakkan titik keempat, hal itu akan membuat segi tiga tersebut tidak simetris lagi. Satu-satunya pilihan untuk menjaga kesimetrisan segitiga itu adalah menempatkan titik keempat itu di dalam segi tiga itu, tepat di tengah-tengahnya. Dia memeriksa kemungkinan itu pada peta. Tapi tidak ada gereja di sana. Walau demikian, gagasan itu tetap mengganggunya. Empat elemen ilmu pengetahuan dianggap setara. Air tidak istimewa; Air tidak akan berada di tengah-tengah yang lainnya.
Walau begitu, nalurinya mengatakan pengaturan yang simetris itu bisa saja hanya kebetulan. Aku masih belum dapat memahaminya. Hanya ada satu pilihan lain. Keempat titik itu tidak membentuk segitiga, tapi membentuk bentuk lain.
Langdon kembali memeriksa peta di hadapannya itu. Sebuah persegi empat, mungkin" Walau segiempat tidak membuat simbol apa pun, paling tidak segiempat itu simetris. Langdon meletakkan jarinya di atas peta di satu titik yang bisa membuat segi tiga itu menjadi segi empat. Dia langsung menyadari segi empat yang sempurna tidak mungkin terbentuk. Sudut pada segitiga tadi miring dan hanya akan membentuk segi empat yang tidak beraturan.
Ketika dia mempelajari kemungkinan lain di sekitar segitiga itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi. Dia memerhatikan garis yang sebelumnya dia tarik untuk menunjukkan arah tombak malaikat, membentuk satu kemungkinan lain. Dengan terheran-heran, Langdon melingkari titik itu. Dia kini melihat empat titik di atas peta dan membentuk sesuatu yang aneh; berlian atau layang-layang yang janggal.
Dia mengerutkan keningnya. Berlian bukan juga merupakan simbol Illuminati. Dia berhenti sejenak. Tapi....
Langdon segera ingat pada Berlian Illuminati. Gagasan itu tentu saja menggelikan. Dia segera menyingkirkannya. Lagipula, berlian ini berbentuk bujur dan lebih terlihat seperti layang-layang dan bukan contoh bentuk simetris yang sempurna seperti berlian Illuminati itu.
Ketika dia mencondongkan tubuhnya untuk memeriksa tempat dia meletakkan petunjuk terakhir, Langdon heran karena melihat titik keempat itu terletak tepat di tengah Piazza Navona yang terkenal itu. Dia tahu piazza itu berisi sebuah gereja besar, tetapi jarinya sudah menyusuri piazza itu dan
mempertimbangkan gereja yang ada di sana. Setahunya, di sana tidak ada karya Bernini. Gereja itu bernama Saint Agnes in Agony untuk mengenang Santa Agnes, seorang perawan cantik yang diasingkan seumur hidupnya untuk menjadi budak seks karena menolak untuk meninggalkan keyakinannya.
Pasti ada sesuatu di dalam gereja itu! Langdon memeras otaknya dan membayangkan bagian dalam gereja itu. Dia tahu di gereja itu sama sekali tidak ada karya Bernini, apalagi yang berhubungan dengan air. Tapi pengaturan letak titik-titik pada peta itu juga mengganggu pikirannya. Sebutir berlian. Terlalu akurat untuk disebut kebetulan, tetapi tidak cukup akurat untuk masuk akal. Sebuah layang-layang! Langdon bertanya-tanya apakah dia telah salah memilih letak titik. Apa yang tidak aku pahami"
Langdon memerlukan tiga puluh detik untuk mengetahui jawabannya. Tetapi ketika dia tahu, dia merasa begitu gembira sekaligus sadar kalau dirinya belum pernah merasa segembira ini sepanjang karir akademisnya.
Kelompok Illuminati itu jenius. Tampaknya akan selalu begitu.
Bentuk yang sedang dilihatnya sama sekali tidak dimaksudkan untuk berbentuk berlian. Keempat titik itu hanya membentuk sebutir berlian karena Langdon menghubungkan titik-titik yang berdekatan. Kelompok Illuminati percaya pada hal yang berlawanan! Ketika dia menghubungkan titik-titik yang berlawanan dengan penanya, jemari Langdon gemetar. Di depan matanya, di atas peta itu, tergambar sebuah salib besar. Ini sebuah salib. Empat elemen ilmu pengetahuan terh
ampar di depan matanya ... sebuah salib besar terbentang di kota Roma.
Ketika dia sedang berusaha memahami semua ini, sebaris puisi bergema di dalam otaknya ... seperti sahabat lama yang memiliki wajah baru ....
'Cross Rome the mystic elements unfold ... (Seberangi Roma untuk membuka elemen-elemen mistis)
'Cross Rome .... Kabut yang menutupi pikirannya kini mulai menghilang. Langdon menemukan jawaban yang sejak tadi sudah berada di depan matanya itu dengan pemahaman yang berbeda. Puisi Illuminati sudah memberitahunya bagaimana letak keempat altar ilmu pengetahuan itu. Mereka membentuk sebuah salib!
'Cross Rome the mystic elements unfold.
Itu adalah permainan kata yang cerdik. Langdon sebelumnya menganggap kata 'Cross sebagai singkatan dari kata Across sehingga berarti menyeberangi. Dia menduga hal itu disebabkan oleh kebebasan puitis untuk menjaga irama puisi tersebut. Tetapi ternyata lebih dari sekadar itu! Ternyata itu adalah petunjuk tersembunyi lainnya.
Langdon menyadari tanda salib di peta itu adalah dualisme Illuminati yang paling pokok. Ini adalah simbol agama yang dibentuk oleh elemen ilmu pengetahuan. Jalan Pencerahan karya Galileo adalah penghormatan kepada ilmu pengetahuan dan Tuhan!
Dengan segera sisa dari teka-teki ini muncul. Piazza Navona.
Tepat di tengah-tengah Piazza Navona, di luar gereja St. Agnes in Agony, Bernini membuat salah satu dari patung-patung karyanya yang paling terkenal. Setiap orang yang datang ke Roma pasti mengunjunginya.
Air Mancur dari Empat Sungai!
Sebagai bentuk penghormatan yang sempurna terhadap air, Fountain of the Four Rivers karya Bernini itu memuji empat sungai besar dari Dunia Lama: Sungai Nil, Gangga, Danube dan Rio Plata.
Air, pikir Langdon. Petunjuk terakhir. Sempurna.
Langdon baru ingat, bahkan lebih sempurna lagi, di atas air mancur Bernini itu berdiri sebuah obelisk yang menjulang
tinggi. Tanpa bermaksud membuat para petugas pemadam kebakaran bingung, Langdon berlari melintasi gereja menuju tubuh Olivetti yang sudah tidak bernyawa.
10:31 malam, pikirnya. Masih banyak waktu. Ini adalah kali pertama dalam satu hari ini Langdon merasa memenangkan permainan itu.
Sambil berlutut di sisi jasad Olivetti yang tertutup oleh beberapa bangku gereja, diam-diam Langdon mengambil pistol semi otomatis dan walkie-talkie sang komandan. Langdon tahu, dia seharusnya menelepon untuk minta tolong, tetapi ini bukan tempat yang tepat untuk melakukannya. Untuk saat ini, altar ilmu pengetahuan yang terakhir harus menjadi rahasia. Mobil media dan pemadam kebakaran yang berpacu sambil menyalakan sirene mereka ke arah Piazza Navona bukanlah hal yang membantu.
Tanpa mengeluarkan kata-kata, Langdon menyelinap keluar pintu dan melewati para wartawan yang sekarang mulai memasuki gereja secara bergerombol. Langdon kemudian menyeberangi Piazza Bernini. Dalam kegelapan dia menyalakan walkie-talkie itu. Dia mencoba menghubungi Vatican City, namun tidak mendengar apa-apa kecuali nada statis. Entah dia berada di luar jangkauan atau walkie-talkie itu membutuhkan
kode otorisasi tertentu. Langdon memencet-mencet sekumpulan tombol angka dan tombol lainnya, tapi tidak ada hasilnya. Tiba-tiba dia sadar keinginannya untuk meminta tolong tidak akan terpenuhi. Dia berputar untuk mencari telepon umum. Tidak ada. Lagipula, saluran di Vatican City diblokir. Dia sendirian.
Langdon merasa kepercayaan dirinya mulai menghilang. Lelaki itu berdiri sejenak dan mengingat-ingat berbagai kejadian menyedihkan yang menimpanya hari ini: tertimbun dalam debu bersama tulang-belulang, tangannya terluka, merasa luar biasa lelah dan kelaparan.
Langdon melihat gereja itu kembali. Asap berputar di atas kubah yang diterangi oleh lampu-lampu pers dan truk-truk pemadam kebakaran. Dia bertanya-tanya apakah dia harus kembali dan minta bantuan. Namun nalurinya mengingatkan bantuan tambahan, terutama dari seseorang yang tidak terlatih, hanya akan menyusahkannya saja. Kalau si Hassassin melihat kami datang ... Langdon ingat pada Vittoria dan tahu ini akan menjadi kesempatan terakhir untuk bertemu dengan penculik putri
Leonardo Vetra itu. Piazza Navona, pikirnya. Dia tahu dia dapat pergi ke sana dengan cepat dan mengintainya. Langdon mengamati ke sekelilingnya untuk mencari taksi, tetapi jalan itu sangat sunyi. Bahkan pengemudi taksi pun sepertinya telah meninggalkan segalanya untuk menonton televisi. Piazza Navona hanya berjarak satu mil, tetapi Langdon tidak berniat untuk memboroskan tenaganya yang sangat berarti untuk berjalan kaki. Dia menatap gereja itu kembali sambil bertanya-tanya apakah dia dapat meminjam kendaraan dari seseorang.
Truk pemadam kebakaran" Van milik pers" Yang benar saja.
Dia merasa tidak punya pilihan dan waktu terus berjalan. Langdon lalu membuat keputusan. Dia menarik pistol Olivetti dari sakunya dan melakukan tindakan di luar sifat aslinya sehingga dia sendiri menduga kalau jiwanya sudah kerasukan setan. Dia lalu berlari menuju sebuah sedan Citroen yang sedang berhenti sendirian di depan lampu lalu lintas. Langdon kemudian menodongkan senjatanya ke arah jendela di sisi pengemudi yang terbuka. "Fuori!" teriak Langdon dan menyuruh lelaki itu keluar.
Orang itu pun keluar dengan tubuh gemetar.
Langdon segera meloncat ke depan kemudi dan memacu kendaraan itu.
101 GUNTHER GLICK DUDUK di sebuah bangku di sebuah ruang tahanan yang terdapat di kantor Garda Swiss. Dia berdoa kepada semua tuhan yang dapat dia ingat. Kumohon, semoga ini BUKANLAH mimpi. Ini adalah berita utama dalam hidupnya. Berita utama bagi setiap manusia. Semua wartawan di bumi ini pasti berandai-andai kalau dirinya adalah Glick sekarang. Kamu sedang terjaga, katanya pada dirinya sendiri. Dan kamu adalah seorang bintang. Dan Rather sedang menangis karena cemburu sekarang.
Macri duduk di sebelahnya dan tampak agak terpaku. Glick tidak menyalahkannya. Sebagai tambahan dari siaran langsung eksklusif yang berisi tentang pernyataan sang camerlegno, Macri dan Glick melengkapi berita mereka dengan foto-foto menyeramkan dari para kardinal yang tewas, mendiang Paus dengan lidah menghitam, dan tayangan langsung dari siaran video yang menyorot tabung antimateri yang sedang menghitung mundur. Luar biasa!
Tentu saja semuanya itu karena permintaan sang camerlegno, jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk dikurung di dalam ruang tahanan Garda Swiss. Keberadaan mereka di ruang tahanan itu disebabkan oleh berita tambahan dalam liputan mereka yang membuat para Garda Swiss tidak senang. Glick tahu percakapan yang dilaporkannya itu seharusnya tidak boleh didengarnya. Tetapi informasi itu adalah kesempatan bagus bagi Glick. Berita utama Glick lagi!
"The 11th Hour Samaritan"" tanya Macri sinis yang kini duduk di bangku sebelah Glick. Dia jelas tidak terkesan. Glick tersenyum. "Cemerlang, bukan""
"Kebodohan yang cemerlang."
Dia hanya cemburu, kata Glick dalam hati. Tidak lama setelah pernyataan sang camerlegno, Glick sekali lagi mendapat kesempatan emas karena berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat pula. Dia mendengar Rocher memberikan perintah baru kepada anak buahnya. Sepertinya Rocher baru saja menerima panggilan telepon dari seseorang misterius yang menurut Rocher memiliki informasi penting berkaitan dengan krisis yang mereka hadapi. Rocher berbicara seperti orang ini dapat membantu mereka dan menyuruh anak buahnya untuk mempersiapkan kedatangan sang tamu.
Walau informasi itu jelas-jelas merupakan informasi pribadi, Glick bertindak seperti setiap wartawan berdedikasi lainnya-tanpa rasa hormat. Saat itu Glick menemukan sudut gelap, lalu memerintahkan Macri untuk menyalakan kamera jarak jauhnya, dan dia melaporkan berita itu.
"Ada perkembangan baru yang mengejutkan di kota Tuhan, katanya melaporkan sambil menyipitkan matanya untuk menambah kesan ketegangan. Kemudian dia melanjutkan bahwa seorang tamu misterius akan segera datang untuk menyelamatkan Vatican City.
The 11th Hour Samaritan, begitulah Glick menyebut tamu itu. Nama sempurna untuk seorang misterius yang datang pada saat-saat terakhir untuk melakukan perbuatan baik. Stasiun TV lainnya langsung mengutip judul yang menarik itu, dan sekali lagi, Glick tidak dapat dihentikan.
Aku cem erlang, katanya senang. Peter Jennings baru saja meloncat dari jembatan karena cemburu.
Tentu saja Glick tidak berhenti di situ saja. Ketika dia mendapat sorotan dari seluruh dunia, dia memberikan sedikit teori konspirasinya sendiri sebagai tambahan laporannya tersebut.
Cemerlang. Sangat cemerlang.
"Kamu mencelakakan kita," kata Macri. "Kamu betul-betul telah menghancurkan laporan kita." "Apa maksudmu" Aku hebat!"
Macri menatapnya dengan tidak percaya. "Mantan Presiden George Bush" Seorang anggota Illuminati""
Glick tersenyum. "Kurang jelas bagaimana" George Bush berada di urutan ke-33 dalam daftar kelompok Mason dan dia juga pernah menjabat sebagai Kepala CIA ketika badan itu menghentikan penyelidikan tentang Illuminati karena kekurangan bukti. Dan semua pidato yang disampaikannya tentang "ribuan titik cahaya" dan "Tata Dunia Baru" ... menunjukkan kalau Bush adalah anggota Illuminati."
"Dan tentang CERN itu"" Macri mencaci. "Kamu akan menerima daftar panjang berisi nama-nama pengacara di luar pintu rumahmu besok."
"CERN" Ayolah! Itu jelas sekali! Pikirkanlah! Kelompok
Illuminati menghilang dari muka bumi pada tahun 1950-an, hampir bersamaan dengan saat CERN didirikan. CERN adalah surga bagi orang paling tercerahkan di dunia. Dana pribadi dalam jumlah besar. Mereka menciptakan senjata yang dapat menghancurkan gereja, dan waduh ... mereka sekarang kehilangan benda itu!"
"Jadi kamu mengatakan bahwa CERN merupakan markas Illuminati yang baru""
"Jelas! Persaudaraan seperti itu tidak akan menghilang begitu saja. Kelompok Illuminati itu pasti pergi ke suatu tempat.
CERN adalah tempat yang sempurna bagi mereka untuk besembunyi. Aku tidak mengatakan bahwa semua orang di CERN adalah anggota Illuminati. CERN mungkin seperti rumah kayu besar milik kelompok Mason di mana kebanyakan orang di sana tidak berdosa, tetapi eselon tingkat atasnya-"
"Pernah mendengar tentang fitnah, Glick" Dan tanggung
jawab"" "Pernah mendengar tentang jurnalisme yang sesungguhnya""
"Jurnalisme" Kamu menyiarkan kebohongan ke seluruh dunia! Seharusnya aku mematikan saja kameraku! Dan omong kosong apa lagi tentang logo institusi CERN" Simbologi setan" Apa kamu sudah gila""
Glick tersenyum. Kecemburuan Macri tampak jelas. Isu tentang logo CERN adalah spekulasi yang paling cemerlang. Sejak pernyataan sang camerlegno, semua stasiun TV membicarakan tentang CERN dan antimaterinya. Beberapa jaringan memperlihatkan logo perusahaan CERN sebagai latar belakang. Logo itu tampaknya biasa-biasa saja: dua lingkaran yang saling berpotongan yang menggambarkan dua akselerator partikel, dan lima garis singgung yang menggambarkan tabung injeksi partikel. Seluruh dunia mengamati logo tersebut, tetapi Glick-lah, yang sok-sokan menjadi ahli simbologi, yang melihat simbol Illuminati yang tersembunyi di baliknya.
"Kamu bukan ahli simbologi," serapah Macri, "kamu hanya seorang wartawan yang beruntung. Seharusnya kamu berikan saja urusan simbologi itu kepada lelaki dari Harvard itu."
"Lelaki Harvard itu tidak melihatnya," kata Glick.
Gambaran Illuminati dalam logo itu sangat jelas!
Glick merasa sangat bahagia. Walaupun CERN memiliki banyak akselerator, dalam logo mereka hanya terlihat dua saja.
Dua adalah angka Illuminati untuk dualitas. Walau pada umumnya akselerator hanya memiliki satu tabung injeksi, logo itu menunjukkan lima tabung. Lima adalah angka pentagram Illuminati. Kemudian muncullah spekulasi itu dan menjadi hal yang paling cemerlang dari semuanya. Glick menunjukkan bahwa logo itu berisi nomor "6" yang besar dan tampak jelas tergambar dari gabungan garis dan lingkaran. Dan ketika logo itu diputar, angka enam itu muncul lagi ... dan juga angka enam lainnya. Logo itu mengandung tiga angka enam! 666! Angka setan! Pertanda kebuasan!
Glick jenius. Macri tampak siap untuk memukulnya.
Glick tahu kecemburuan itu akan berlalu dan otaknya sekarang melayang ke tempat lain. Kalau CERN adalah markas Illuminati, apakah lembaga itu menjadi tempat Illuminati untuk menyimpan berlian Illuminati yang dipenuhi skandal itu" Glick pernah membacanya di internet-"Se
butir berlian tanpa cela, berasal dari elemen kuno dengan kesempurnaan yang tiada duanya sehingga semua orang yang melihatnya hanya bisa terpana."
Glick bertanya-tanya apakah rahasia keberadaan berlian Illuminati itu akan menjadi misteri yang dapat diungkap olehnya malam ini juga.
102 PIAZZA NAVONA, Fontain of Four Rivers.
Malam di Roma, seperti halnya di gurun pasir, bisa begitu sejuk, bahkan setelah melalui satu hari yang panas. Langdon berhenti di pinggir Piazza Navona, lalu merapatkan jasnya pada tubuhnya. Dari kejauhan terdengar suara hiruk-pikuk lalu lintas bersamaan dengan suara laporan berita yang bergema ke seluruh kota. Langdon melihat jam tangannya. Lima belas menit lagi. Dia merasa senang karena dapat beristirahat selama beberapa menit.
Piazza itu sunyi. Air mancur adikarya Bernini yang berdesis di depannya seakan memiliki kekuatan sihir yang menakutkan. Kolam air mancur yang beriak itu menimbulkan kabut ajaib yang bergerak ke atas, bersinar karena diterangi oleh lampu di bawah air. Langdon merasakan kesejukan yang mengalir di udara.
Yang paling menarik dari air mancur ini adalah ketinggiannya. Pusatnya saja setinggi dua puluh kaki yang terbuat dari pualam travertine kasar yang menjulang tinggi dan dilengkapi dengan gua-gua dan terowongan buatan tempat di mana air mengalir. Seluruh bagian dari air mancur itu dihiasi dengan figur-figur Pagan. Di atasnya berdiri sebuah obelisk yang menjulang setinggi empat puluh kaki. Langdon menyusuri obelisk yang menjulang tinggi itu. Di ujung obelisk terlihat sebuah bayangan samar seperti menggores langit; seekor burung dara bertengger sendirian.
Sebuah salib, pikir Langdon sambil masih merasa kagum pada pengaturan petunjuk-petunjuk di seluruh Roma itu. Fountain of Four Rivers karya Bernini adalah altar ilmu pengetahuan yang terakhir. Hanya beberapa jam yang lalu Langdon berdiri di depan Pantheon dan merasa yakin bahwa Jalan Pencerahan telah rusak dan dia tidak akan sampai sejauh ini. Itu adalah kesalahan besar yang bodoh. Kenyataannya, keseluruhan jalan itu masih utuh. Tanah, Udara, Api, Air. Dan Langdon telah mengikutinya ... dari awal hingga akhir.
Belum betul-betul sampai akhir, dia mengingatkan dirinya sendiri. Jalan itu memiliki lima pemberhentian, bukan empat. Petunjuk keempat yang berupa air mancur ini menunjukkan ke tujuan akhir-tempat suci kelompok itu: markas Illuminati. Langdon bertanya-tanya apakah markas itu masih berdiri utuh. Dia bertanya-tanya ke tempat itukah si Hassassin membawa Vittoria.
Mata Langdon memeriksa berbagai figur di air mancur itu sambil mencari petunjuk apa saja yang dapat membawanya ke markas kelompok Illuminati. Biarkan para malaikat membimbingmu dalam pencarian muliamu. Tiba-tiba dia menjadi waspada. Air mancur itu sama sekali tidak memiliki patung malaikat. Jelas sekali tidak ada sesosok malaikat pun dan Langdon dapat melihatnya dengan pasti dari tempatnya berdiri ... dan dia juga dari dulu tidak pernah melihatnya. The Fountain of the Four Rivers adalah karya Pagan. Seluruh ukirannya terdiri atas bentuk-bentuk duniawi seperti manusia, hewan, bahkan seekor armadilo yang terlihat aneh. Kalau di sini ada malaikat, dia akan tampak menonjol.
Apakah ini tempat yang salah" Dia memperhitungkan bentuk salib dari keempat obelisk yang membentuk Jalan Pencerahan.
Dia mengepalkan tinjunya. Air mancur ini sempurna.
Saat itu baru pukul 10:46 malam, ketika sebuah van hitam muncul dari sebuah gang di ujung piazza itu. Langdon tidak akan memerhatikannya kalau van itu tidak berjalan tanpa menyalakan lampu. Seperti seekor hiu berpatroli di teluk yang disinari rembulan, kendaraan itu mengelilingi pinggiran piazza.
Langdon merunduk lebih dalam, meringkuk di dalam kegelapan di samping tangga besar yang menuju ke arah Gereja St. Agnes in Agony. Dia melihat ke arah piazza, dan denyut nadinya bertambah cepat.
Setelah berkeliling dua kali, van tersebut membelok masuk ke arah air mancur karya Bernini itu. Van itu menepi dan bergerak di tepian air mancur dengan rapat sehingga sisi mobil itu basah oleh air dari air mancur. Kemudian van diparkir d
engan pintu dorong yang berada di sisi mobil hanya berjarak beberapa inci dari semburan air.
Kabut mengombak. Langdon merasakan pertanda yang meresahkan. Apakah si Hassassin datang lebih awal" Apakah dia berada di dalam van itu" Langdon membayangkan pembunuh itu mengawal korban terakhirnya menyeberangi piazza dengan berjalan kaki seperti yang dilakukannya ketika di Lapangan Santo Petrus sehingga memberi kesempatan pada Langdon untuk menembaknya dengan mudah. Tetapi kalau si Hassassin datang dengan menggunakan van, aturannya harus berubah.
Tiba-tiba pintu samping itu bergeser terbuka.
Di lantai van itu, terlihat seorang lelaki yang tergolek tanpa busana dan meringkuk dengan sengsara. Lelaki itu terbungkus oleh rantai berat yang panjangnya beryard-yard. Dia terikat rapat dengan rantai besi itu. Lelaki itu meronta-ronta, tetapi rantai itu terlalu berat. Salah satu mata rantainya dimasukkan ke
dalam mulut lelaki itu seperti kekang kuda sehingga menyumbat teriakan minta tolongnya. Ketika itu Langdon juga melihat sosok kedua bergerak di belakang tawanan itu dari balik kegelapan, seolah sedang membuat persiapan terakhir.
Langdon tahu, dia hanya mempunyai waktu beberapa detik untuk bertindak.
Dia mengambil pistolnya, melepas jasnya dan menjatuhkannya di tanah. Dia tidak mau ada tambahan beban berupa jas wolnya yang tebal. Selain itu, dia juga tidak mau membawa Diagramma Galileo ke dekat air. Dokumen itu harus tetap di sini, di tempat yang aman dan kering.
Langdon bergerak ke sebelah kanannya. Sambil mengelilingi tepian air mancur itu, Langdon menempatkan dirinya tepat di seberang van tersebut. Patung yang terdapat di tengah-tengah air mancur yang besar itu menghalangi pandangannya ke seberang kolam. Dia berharap suara air yang mengelegar dapat menelan suara langkahnya. Ketika dia sampai di dekat air mancur, Langdon melompati pinggirannya dan menceburkan dirinya ke dalam air yang berbuih itu.
Kedalaman kolam itu hanya sampai di pinggangnya tapi airnya sedingin es. Langdon mengeraskan rahangnya untuk melawan rasa dingin dan berjalan di dalam air. Dasar kolam itu licin dan menjadi dua kali lipat berbahaya karena tumpukan uang logam yang dilemparkan para wisatawan yang mengharapkan nasib mujur. Ketika kabut itu naik di sekitar Langdon, dia bertanya-tanya apakah udara dingin atau rasa takutnya yang membuat senjata di tangannya bergetar.
Dia tiba di bagian dalam air mancur itu dan berputar balik ke arah kiri. Dia berusaha berjalan walau terasa sulit dan berpegangan pada pahatan-pahatan pualam. Sambil bersembunyi di balik patung kuda berukuran besar, Langdon
menatap tajam. Van itu hanya berjarak lima belas kaki. Si Hassassin sedang berjongkok di lantai mobilnya, tangannya menempel di tubuh kardinal yang terbungkus rantai besi dan bersiap untuk menggulingkan tubuh kardinal itu keluar melalui pintu yang terbuka agar tercebur ke air mancur.
Sambil terendam sedalam pinggang, Robert Langdon mengangkat pistolnya dan melangkah keluar dari balik kabut sambil merasa seperti koboi yang sedang melakukan aksi terakhirnya. "Jangan bergerak." Suaranya lebih teguh daripada genggaman di pistolnya.
Si Hassassin mendongak. Sesaat dia tampak bingung seolah dia sedang melihat hantu. Kemudian bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman bengis. Dia mengangkat kedua lengannya sebagai tanda menyerah. "Ternyata begini jadinya."
"Keluar dari van."
"Kamu tampak basah kuyup."
"Kamu datang lebih awal."
"Aku ingin segera kembali mengambil hadiahku."
Langdon mengarahkan pistolnya. "Aku tidak ragu untuk menembakmu."
"Kamu sudah ragu-ragu."
Langdon merasa jarinya menegang di pelatuk pistol. Kardinal itu terbaring tidak bergerak sekarang. Dia tampak letih dan sedang sekarat. "Lepaskan ikatannya."
"Lupakan dia. Kamu datang untuk mengambil perempuan itu. Jangan berpura-pura kepadaku."
Langdon menahan diri untuk tidak segera mengakhirinya saat itu juga. "Di mana dia""
"Di suatu tempat. Aman. Menungguku kembali."
Vittoria masih hidup. Langdon merasakan ada harapan. "Di Gereja Pencerahan""
Pembunuh itu tersenyum. "Kamu tidak akan dapat menem
ukan tempat itu." Langdon merasa tidak percaya. Markas Illuminati masih berdiri. Dia mengarahkan senjatanya. "Di mana""
"Tempat itu akan tetap menjadi rahasia selama berabad-abad. Aku saja baru mengetahuinya baru-baru ini. Aku lebih baik mati daripada melanggar kepercayaan yang mereka berikan."
"Aku dapat menemukannya tanpa bantuanmu." "Sombong sekali."
Langdon menunjuk ke arah air mancur. "Aku sudah tiba hingga sejauh ini."
"Banyak orang yang tiba sampai di sini. Langkah terakhirlah yang paling sulit."
Langdon melangkah lebih dekat, kakinya bergerak ragu-ragu di dalam air. Anehnya, Si Hassassin tenang-tenang saja dan tetap berjongkok di dalam van dengan lengan terangkat ke atas. Langdon membidikkan pistolnya ke dadanya sambil bertanya-tanya apakah dia akan menembak begitu saja dan selesailah semuanya. Tidak. Pembunuh ini tahu di mana Vittoria. Dia tahu di mana antimateri itu. Aku membutuhkan informasi itu!
Dari balik kegelapan van, si Hassassin menatap ke luar, ke arah penyerangnya dan tidak dapat menahan diri untuk tidak merasa kasihan sekaligus geli. Lelaki Amerika ini sangat berani, dan dia telah membuktikannya. Tapi, keberanian tanpa keahlian adalah bunuh diri. Ada peraturan-peraturan untuk bertahan hidup. Peraturan kuno. Dan orang Amerika ini telah melanggar semuanya.
Kamu memiliki kesempatan itu-elemen kejutan. Tetapi kamu menyia-nyiakannya.
Orang Amerika itu bimbang ... seperti mengharapkan datangnya bantuan ... atau mungkin kesalahan bicara yang dapat menghasilkan informasi penting.
Jangan pernah menginterogasi sebelum kamu melumpuhkan mangsamu. Musuh yang terpojok adalah musuh yang sangat berbahaya.
Lelaki Amerika itu berbicara lagi. Mengamati. Berjalan-jalan di air.
Si pembunuh itu hampir saja tertawa keras. Ini bukan salah satu dari film Hollywood-mu ... tidak akan ada diskusi panjang di bawah todongan senjata sebelum melakukan tembakan terakhir. Ini adalah akhirnya. Sekarang.
Tanpa berhenti memandang Langdon, pembunuh itu menggerakkan tangannya ke langit-langit van hingga menemukan apa yang dicarinya. Sambil terus menatap lurus ke depan, dia meraih benda itu.
Lalu dia melakukan aksinya.
Gerakan itu sangat tidak terduga. Untuk sesaat, Langdon berpikir hukum fisika sudah tidak berlaku lagi. Pembunuh itu tampak bergantung tanpa beban di udara ketika kedua kakinya mencuat keluar dari bawah badannya. Sepatu botnya menendang sisi tubuh sang kardinal sehingga tubuh yang terantai itu menggelinding ke luar van. Tubuh kardinal itu tercebur ke kolam sehingga air kolam memercik tinggi.
Ketika air kolam membasahi wajahnya, Langdon tahu dia sudah terlambat untuk memahami apa yang tengah terjadi. Si pembunuh meraih pegangan di dalam van dan menggunakannya sebagai alat untuk mengayunkan tubuhnya ke depan. Sekarang si Hassassin bergerak mendekatinya, kakinya melangkah melewati percikan air.
Langdon menarik pelatuk pistolnya, dan peredam suaranya langsung beraksi. Pelurunya meledak menembus jari kaki kiri di balik sepatu bot si Hassassin. Tapi sesaat kemudian, Langdon merasa sol sepatu bot si Hassassin menimpa dadanya dan mengirimkan tendangan yang menghancurkan.
Kedua lelaki itu tercebur di antara hujan darah dan air.
Ketika cairan dingin menelan tubuh Langdon, yang pertama dirasakan olehnya adalah rasa sakit. Setelah itu, yang muncul adalah insting untuk bertahan hidup. Dia sadar dia sudah tidak memegang senjatanya lagi. Senjatanya sudah ditendang jatuh. Sekarang dia menyelam dalam air dan meraba-raba dasar kolam yang licin. Tangannya meraih sesuatu dari logam. Segenggam koin. Dia lalu membuangnya. Dia kemudian membuka matanya dan mengamati kolam yang berkilauan itu. Air bergemicik di sekitarnya seperti Jacuzzi yang dingin sekali.
Walau Langdon merasa harus bernapas, ketakutan membuatnya untuk terus berada di bawah. Terus bergerak. Dia tidak tahu serangan berikutnya akan datang dari mana. Dia harus menemukan senjata itu! Kedua tangannya meraba-raba dengan putus asa di depannya.
Kamu beruntung, katanya pada diri sendiri. Kamu berada di dalam elemenmu. Walau kaus turtleneck-nya basah kuyup Langdon mas
ih tetap menjadi perenang yang tangkas. Air adalah elemenmu.
Ketika jemari Langdon menemukan sesuatu dari logam untuk kedua kalinya, dia yakin nasibnya berubah. Benda di dalam tangannya bukanlah segenggam uang logam. Dia kemudian meraihnya dan mencoba menarik ke arahnya. Tetapi ketika dia menariknya, benda temuannya itu membuatnya menggelinding di bawah air. Benda itu tidak dapat bergerak.
Langdon sadar, bahkan sebelum dia meluncur mendekati tubuh sang kardinal yang sedang menggeliat-geliat itu, dia telah menarik rantai yang memberati lelaki tua itu. Langdon terpaku sejenak, tidak dapat bergerak karena melihat wajah yang dipenuhi ketakutan itu menatapnya dari dasar kolam air mancur.
Tersentak oleh sinar kehidupan di mata lelaki tua itu, Langdon meraih kembali ke bawah dan mencengkeram rantai itu sambil mencoba mengangkat lelaki itu ke permukaan. Perlahan-lahan tubuh itu terangkat ... seperti sebuah jangkar. Langdon menarik lebih kuat. Ketika kepala sang kardinal muncul di permukaan air, lelaki tua itu berjuang untuk bernapas dengan putus asa. Tapi tiba-tiba tubuh tua itu kembali berguling dengan hebat, sehingga cengkeraman Langdon terlepas dari rantai yang licin itu. Seperti sebuah batu, Baggia tenggelam dan menghilang ke bawah air yang berbuih.
Langdon menyelam, matanya terbelalak di dalam kegelapan air. Dia kembali menemukan sang kardinal. Kali ini, ketika Langdon meraihnya, rantai yang membungkus tubuh lelaki tua itu bergeser ... terbuka dan memperlihatkan kekejaman berikutnya ... sebuah kata telah dicapkan sehingga menimbulkan luka bakar yang parah.
Sesaat kemudian, sepasang sepatu bot muncul. Salah satunya mengeluarkan darah.
103 SEBAGAI SEORANG PEMAIN polo air, Robert Langdon telah memberikan lebih dari kemampuannya dalam pertempuran di bawah air. Kebuasan kompetitif yang terjadi di bawah air dalam sebuah pertandingan polo air, jauh dari pengamatan mata wasit, dapat dibandingkan dengan pertandingan gulat terburuk sekalipun. Langdon sudah pernah ditendang, dicakar, dipeluk dan bahkan digigit oleh pemain belakang yang putus asa. Namun Langdon selalu dapat lolos darinya.
Sekarang, ketika terendam di dalam kolam sedingin es di air mancur karya Bernini, Langdon tahu dia berada jauh dari kolam renang Harvard. Dia berkelahi bukan dalam sebuah pertandingan, tetapi untuk mempertahankan hidup. Ini adalah kedua kalinya mereka berdua bertempur. Tidak ada wasit di sini. Tidak ada pertandingan ulang. Lengan-lengan itu dengan kuat menekan wajahnya ke dasar kolam dengan tujuan yang jelas- membunuhnya.
Secara naluriah, Langdon memutar tubuhnya seperti sebuah torpedo. Lepaskan cengkeraman itu! Tetapi cengkeraman itu memutarnya kembali. Penyerangnya itu menikmati keuntungan yang tidak pernah dirasakan oleh para pemain belakang polo air mana pun-dua kaki menjejak dasar kolam dengan kukuh. Langdon merubah posisi tubuhnya, dan berusaha menjejakkan kakinya di dasar kolam. Si Hassassin tampaknya hanya menggunakan satu lengan saja ... walau begitu, cengkeramannya sangat kuat.
Saat itu Langdon tahu dia tidak akan dapat muncul ke permukaan. Dia hanya dapat melakukan satu-satunya cara yang mungkin dilakukannya. Dia berhenti berusaha muncul ke permukaan. Jika kamu tidak dapat pergi ke utara, pergilah ke selatan. Sambil mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, Langdon menendangkan kakinya seperti seekor lumba-lumba dan mengayuhkan lengannya dengan gaya kupu-kupu yang aneh. Tubuhnya terdorong ke depan.
Perubahan perlawanan Langdon yang tiba-tiba itu tampaknya mengejutkan si Hassassin. Gerakan Langdon tadi berhasil menarik tangan si penculik itu ke samping, sehingga menggoyahkan keseimbangannya. Cengkeraman lelaki itu mengendur, dan Langdon menendang lagi. Sensasi saat itu seperti tali kendali yang dihentakkan. Tiba-tiba Langdon bebas. Sambil segera menghembuskan napas yang sudah tertahan lama di dalam paru-parunya, Langdon berusaha mengangkat tubuhnya ke permukaan. Tapi kali ini dia hanya mendapat kesempatan untuk mengambil napas satu kali saja. Dengan kekuatan yang menghancurkan, si Hassassin sudah berada di atasnya lagi. Telapak ta
ngannya berada di bahu Langdon dan seluruh berat tubuhnya menekan Langdon ke bawah lagi. Langdon berusaha untuk menjejakkan kakinya di dasar kolam, tapi kaki si Hassassin menyandung kakinya sehingga membuat Langdon tercebur kembali ke dalam air.
Langdon tenggelam lagi. Tubuh Langdon terasa sakit ketika berputar di bawah air. Kali ini usahanya tidak berhasil.
Di antara gelembung air, Langdon mengamati dasar kolam, mencari senjatanya. Segalanya tampak kabur. Banyak sekali gelembung udara di dalam kolam ini. Secercah sinar menyilaukan menyinari wajah Langdon ketika si pembunuh
menekannya lebih ke dalam. Ternyata itu adalah lampu sorot yang dipasang di lantai kolam air mancur. Langdon mengulurkan tangannya dan berusaha meraih tabung lampu itu. Panas. Langdon mencoba membebaskan diri dari cengkeraman si pembunuh dengan berpegangan pada lampu, tapi lampu itu terpasang di engsel yang kuat dan dengan segera terlepas dari genggaman Langdon. Alat untuk membantunya keluar dari air sudah hilang.
Si Hassassin masih terus menekannya ke bawah.
Saat itulah Langdon melihatnya. Muncul di antara uang-uang logam, tepat di bawah wajahnya, terlihat sebuah silinder hitam ramping. Peredam pistol Olivetti! Langdon meraihnya, tetapi ketika jemarinya menggenggam silender itu, dia tidak merasakan benda logam di tangannya. Dia merasakan sebuah benda dari plastik. Ketika dia menariknya, lubang selang karet yang lentur itu tercabut seperti seekor ular. Panjangnya kira-kira dua kaki dan mengeluarkan gelembung dari ujungnya. Langdon tidak menemukan senjata yang dicarinya sama sekali. Yang dipegangnya hanyalah spumanti yang tidak berbahaya ... sebuah alat pembuat gelembung.
Tak jauh dari situ, Kardinal Baggia merasa jiwanya meronta untuk meninggalkan tubuhnya. Walau dia telah bersiap untuk menghadapi saat seperti itu sepanjang hidupnya, namun dia tidak pernah membayangkan akhirnya akan seperti ini. Tubuhnya kesakitan terbakar, memar, dan tertahan di bawah air oleh beban yang membuatnya tidak dapat bergerak. Dia mengingatkan dirinya sendiri bahwa penderitaan ini tidak ada artinya jika dibandingkan dengan apa yang telah dialami Yesus.
Dia mati untuk menebus dosa-dosaku ....
Baggia dapat mendengar suara gelepar perkelahian sengit di dekatnya. Dia tidak dapat menahan perasaannya. Penculiknya akan mengakhiri hidup orang lain lagi ... lelaki bermata ramah itu, lelaki yang tadi berusaha menolongnya.
Ketika rasa sakitnya bertambah, Baggia berbaring terlentang dan menatap melalui air ke arah langit hitam di atasnya. Untuk sesaat dia mengira, dia melihat bintang-bintang.
Sudah waktunya. Sambil membebaskan semua perasaan takut dan ragunya, Baggia membuka mulutnya dan mengeluarkan apa yang dirasanya sebagai napas terakhirnya. Dia melihat jiwanya melayang ke surga dalam bentuk gelembung tembus pandang. Lalu, secara refleks dia megap-megap. Air masuk ke dalam tubuh Baggia seperti belati dingin. Rasa sakit itu hanya berlangsung beberapa detik.
Kemudian ... damai. Si Hassassin mengabaikan luka tembakan yang terasa seperti membakar kakinya dan memusatkan perhatiannya pada lelaki Amerika yang hampir mati lemas karena dibenamkan di dalam arus air yang deras. Selesaikan hingga tuntas. Dia mengeraskan cengkeramannya, dan dia tahu kali ini Robert Langdon tidak akan selamat. Seperti yang telah diduganya, perlawanan korbannya menjadi semakin lemah.
Tiba-tiba tubuh Langdon menjadi kaku. Kemudian tubuhnya mulai bergetar dengan liar.
Ya, si Hassassin itu merasa senang. Ototnya mulai menjadi kaku. Itulah yang terjadi begitu air memasuki paru-paru. Dia tahu keadaan itu hanya akan berlangsung dalam lima detik.
Ternyata itu berlangsung selama enam detik.
Kemudian, tepat seperti yang diduga si Hassassin, korbannya tiba-tiba menjadi lemah. Seperti balon besar yang kehabisan udara, Robert Langdon menjadi lumpuh. Selesai. Tapi si Hassassin masih tetap membenamkannya di bawah air selama tiga puluh detik lagi untuk membiarkan air membanjiri paru-paru korbannya. Sedikit demi sedikit, dia merasakan tubuh Langdon mulai tenggelam dengan sendirinya ke dasar kolam. Akhirny
a, si Hassassin melepaskannya. Pers akan menemukan dua kejutan di Fountain of the Four Rivers.
"Tabban!" si Hassassin menyumpah sambil memanjat keluar dari kolam air mancur itu dan melihat jari kakinya yang terluka. Ujung sepatu botnya terkoyak dan ujung jempolnya yang besar itu terluka parah. Dia menjadi marah karena keteledorannya. Kemudian si Hassassin menyobek celananya dan menjejalkan kain itu di lubang yang terdapat di ujung sepatunya itu. Rasa sakit menyebar dari ujung kakinya. "Ibn al-kalb!" Dia mengepalkan tinjunya dan menjejalkan kain tadi lebih dalam lagi. Pendarahannya berkurang hingga akhirnya hanya menjadi tetesan darah.
Dia berusaha mengalihkan rasa sakit itu ke gagasan yang lebih menyenangkan. Si Hassassin kemudian masuk ke vannya. Pekerjaannya di Roma telah selesai. Dia tahu pasti apa yang dapat menghibur perasaan tidak nyamannya itu. Vittoria Vetra terikat dan menunggunya. Walau basah dan kedinginan, si Hassassin merasa tubuhnya menegang.
Sekarang aku pantas menerima hadiahku.
Sementara itu, Vittoria terbangun kesakitan. Dia terbaring terlentang. Seluruh ototnya terasa seperti membatu. Lengannya sakit. Ketika dia mencoba bergerak, dia merasakan kekakuan di bahunya. Dia membutuhkan beberapa saat untuk menyadari kalau tangannya terikat di belakang punggungnya. Reaksi pertamanya adalah bingung. Apakah aku sedang bermimpi" Tetapi ketika dia mencoba mengangkat kepalanya, rasa sakit di dasar tempurung kepalanya membuktikan dirinya betul-betul tidak bermimpi.
Ketika kebingungannya berubah menjadi ketakutan, Vittoria mengamati ruangan di sekelilingnya dengan cemas. Dia berada di dalam ruangan berdinding batu yang kasar. Ruangan itu besar dan dilengkapi dengan perabotan, dan diterangi oleh sinar dari obor. Seperti sejenis ruang pertemuan kuno. Bangku-bangku bergaya kuno tertata melingkar di dekatnya.
Vittoria merasa ada hembusan angin dingin yang menerpa kulitnya. Di dekatnya, terlihat dari pintu ganda yang terbuka lebar, balkon menampilkan langit malam yang cerah. Melalui pintu itu, Vittoria yakin dia sedang melihat Vatican.
104 ROBERT LANGDON TERBARING di atas hamparan uang logam di dasar kolam Fountain of the Four Rivers. Mulutnya masih mengulum selang plastik itu. Udara yang terpompa melalui tabung spumanti yang ditujukan untuk menimbulkan gelembung di kolam itu tidak bersih karena telah melalui pompa yang kotor. Kerongkongannya terasa seperti terbakar. Tapi dia tidak mengeluh. Dia masih hidup. Dia tidak yakin dengan kemampuannya meniru korban yang mati karena tenggelam, tapi Langdon sudah bergaul dengan air sejak lama. Tentu saja dia pernah mendengar kisah-kisah tentang orang tenggelam dan dia berusaha semampunya untuk menirunya dengan tepat. Ketika si Hassassin membenamkan tubuhnya, Langdon menghembuskan seluruh udara yang terkandung di paru-parunya dan berhenti bernapas sehingga membuatnya tenggelam.
Untunglah, si Hassassin memercayai tipuannya dan pergi.
Sekarang, sambil terus terbaring di dasar kolam air mancur, Langdon masih harus menunggu semampunya. Dia hampir saja tersedak. Dia bertanya-tanya apakah si Hassassin masih berada di luar sana. Setelah mengambil napas melalui tabung itu, Langdon lalu melepasnya dan berenang melintasi dasar air mancur hingga dia menemukan gumpalan halus di tengah kolam. Tanpa membuat suara, dia mengikuti tonjolan-tonjolan itu ke atas sampai akhirnya dia muncul di permukaan, di balik figur-figur dari batu pualam itu.
Van itu telah pergi. Hanya itu yang perlu dilihat Langdon. Sambil menarik udara segar ke dalam paru-parunya, dia berenang lagi ke tempat Kardinal Baggia tadi tenggelam. Langdon tahu lelaki itu pasti sudah pingsan sekarang dan kemungkinannya untuk hidup juga sangat tipis. Tetapi Langdon harus mencoba menolongnya. Ketika Langdon menemukan tubuh itu, dia menjejakkan kakinya di dasar kolam kemudian meraih ke bawah. Langdon lalu meraih rantai yang membalut tubuh sang kardinal dan menariknya. Ketika sang kardinal muncul di permukaan, Langdon dapat melihat bahwa kedua mata lelaki itu telah bergulung ke atas. Bukan pertanda yang bagus. Selain itu, tid
ak ada pernapasan dan denyut nadi.
Karena tahu dia tidak akan dapat mengangkat tubuh itu hingga ke tepi kolam, Langdon membawa Kardinal Baggia melalui air dan memasuki bagian kosong di bawah gundukan batu pualam. Di sini air menjadi dangkal, dan ada permukaan yang mendaki. Langdon menarik tubuh tanpa busana itu hingga ke lereng itu sejauh mungkin. Ternyata dia tidak mampu menyeretnya hingga terlalu jauh.
Kemudian dia mulai berusaha. Langdon menekan dada sang kardinal yang terbungkus rantai untuk memompa air dari paru-parunya. Kemudian dia mulai memberikan bantuan pernapasan dengan berhati-hati. Berusaha agar tidak meniup terlalu keras dan terlalu cepat. Selama tiga menit, Langdon mencoba menyadarkan lelaki tua itu. Setelah lima menit, Langdon tahu usahanya tidak berhasil.
II preferito. Lelaki yang akan menjadi paus. Terbaring mati di depannya.
Walau begitu, Kardinal Baggia yang terbaring lemah di balik kegelapan di atas lereng pualam dalam keadaan setengah
tenggelam, mendapatkan suasana yang sangat terhormat. Air beriak dengan lembut di dadanya seperti tampak menyesal ... seolah air itu meminta maaf karena telah menjadi penyebab utama kematian lelaki ini ... seolah mencoba membersihkan luka bakar yang menuliskan namanya. Air.
Dengan perlahan, Langdon mengusapkan tangannya di wajah lelaki itu dan menutupkan matanya yang menatap ke atas. Ketika dia melakukannya, Langdon merasa begitu lelah dan getaran air mata mulai mengalir dari pelupuknya. Perasaan itu membuatnya merasa tidak berdaya. Lalu, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun tidak mengalaminya, Langdon menangis.
Asmara Di Ujung Pedang 2 Animorphs - 14 Melacak Pesawat Misterius Candi Murca 1
^