Pencarian

Eldest 6

Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 6


"Astaga," katanya.
Bau busuk yang pekat memenuhi udara. Roran mengertakkan gigi saat perutnya bergolak, lalu menunduk. Kulit di balik ramuannya berubah jadi putih dan lunak, seperti tanda lahir besar berupa daging belatung raksasa. Bekas gigitannya sendiri dijahit sewaktu ia pingsan, jadi ia hanya melihat garis merah muda bergerigi yang berlapis darah kering di bagian depan bahunya. Pembengkakan dan radang memaksa benang usus kucingnya terbenam dal
am di dagingnya, sementara cairan lernih meresap keluar dari lukanya.
Gertrude berdecak sambil memeriksa lukanya, lalu mengembalikan perbannya dan memandang Roran lurus-lurus. "Lukamu pulih dengan baik, tapi jaringannya mungkin rusak. Aku belum tahu. Kalau itu yang terjadi, kita terpaksa membakar bahumu."
Roran mengangguk. "Apa lenganku bisa berfungsi lagi begitu sembuh""
Selama otot-ototnya tersambung dengan benar. Juga tergantung bagaimana kau ingin menggunakannya. Kau--"
"Apa aku bisa bertempur""
"Kalau kau mau bertempur," kata Gertrude perlahan-lahan, "kusarankan kau belajar menggunakan tangan kirimu." Ia menepuk pipi Roran, lalu bergegas kembali ke gubuknya.
Roran menatap lengannya yang terikat seakan bukan lagi bagian dirinya. Hingga saat ini, ia tidak menyadari betapa perasaan tentang identitas dirinya terkait dekat kondisi tubuhnya. Luka pada fisik menimbulkan luka psikis, juga sebaliknya. Roran bangga akan tubuhnya, dan melihat luka di sana memicu kepanikan dalam dirinya, terutama karena kerusakannya permanen. Bahkan seandainya bisa gunakan lengannya lagi, ia akan selalu menyandang ben luka yang besar sebagai kenang-kenangan akan lukanya.
Setelah meraih tangan Roran, Elain membimbingnya kembali ke dalam rumah. Ia meremas daun mint ke dalam ketel, lalu meletakkannya di tungku agar mendidih. "Kau benar-benar mencintainya ya""
"Apa"" Roran memandangnya, terkejut.
Elain menempelkan tangan di perut. "Katrina." Ia tersenyum. "Aku tidak buta. Aku tahu apa yang kaulakukan baginya, dan aku bangga padamu. Tidak setiap pria mau berusaha sejauh itu."
"Tidak penting, kalau aku tidak bisa membebaskan dirinya."
Ketel mulai bersiul melengking. "Kau pasti bisa, aku yakin sekali--dengan satu atau lain cara." Elain menuang teh. "Sebaiknya kita mulai bersiap-siap untuk perjalanan. Aku akan memilah-milah isi dapur terlebih dulu. Sementara itu, bisakah kau naik dan menurunkan semua pakaian, seprai, dan apa pun yang menurutmu mungkin akan berguna""
"Harus kuletakkan di mana"" tanya Roran.
"Ruang makan juga tidak apa-apa."
Karena pegunungan terlalu curam--dan hutannya terlalu lebat--untuk dilewati kereta, Roran menyadari pasokan mereka terbatas pada berapa banyak yang bisa dibawa setiap orang juga yang bisa mereka tumpukkan pada kedua kuda Horst, sekalipun salah satu kuda hanya mengangkut Separo beban agar Elain bisa menungganginya setiap kali jalanan berat baginya karena kehamilannya.
Yang memperberat masalah itu adalah fakta bahwa ada keluarga-keluarga di Carvahall yang tidak memiliki cukup tunggangan baik untuk persediaan makanan maupun masih muda, terlalu tua, dan sakit-yang tidak bisa mengikuti kecepatan yang lainnya dengan berjalan kaki. Semua harus berbagi sumber daya. Tapi yang menjadi pertanyaan, denga siapa" Mereka masih belum tahu siapa lagi yang pergi, selain Birgit dan Delwin.
Dengan begitu, sewaktu Elain selesai mengemasi barang-barang yang menurutnya penting--terutama makanan dan tempat berlindung--ia memerintahkan Roran mencari tahu apakah ada yang membutuhkan tempat penyimpanan tambahan dan, kalau tidak ada, apakah ia bisa meminjam tempat penyimpanan tambahan, karena banyak barang tidak penting yang ingin dibawanya tapi akan ditinggalkannya kalau tidak ada tempat penyimpanan tambahan.
Sekalipun orang-orang bergegas di jalan, Carvahall terasa sesak karena kebisuan yang dipaksakan, ketenangan tidak wajar vang menyembunyikan kesibukan di dalam rumah-rumah. Hampir semua orang membisu dan berjalan sambil menunduk, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Sewaktu tiba di rumah Orval, Roran harus memukulkan pengetuk pintu hampir semenit lamanya sebelum petani itu membukakan pintu. "Oh, kau, Stronghammer." Orval melangkah keluar ke serambi. "Maaf membuatmu menunggu, tapi aku sibuk. Apa yang bisa kubantu"" Ia mengetuk-ngetukkan pipa hitam panjang ke telapak tangannya, lalu memutar-mutarnya dengan gugup di sela jemarinya. Di dalam rurnah, Roran mendengar kursi-kursi didorong menyeberangi lantai dan poci-poci serta panci-panci beradu.
Roran bergegas menjelaskan tawaran dan permintaan Elain. Orval menyipitkan mata
memandang ke langit. "Kurasa aku memiliki cukup tempat untuk barang-barangku sendiri. Tanya saja pada yang lain, dan kalau kau masih membutuhkan tempat, aku ada sepasang sapi yang bisa membawa sedikit beban lagi."
"Jadi kau akan pergi""
Orval bergerak-gerak gelisah. "Well, aku tidak akan berkata "Kami hanya... bersiap-siap seandainya ada serangan lagi."
"Ah," Dengan bingung, Roran berjalan ke rumah Kiselt. Tidak lama kemudian ia mendapati tak seorang pun bersedia mengatakan apakah mereka sudah memutuskan pergi bahkan meskipun kelihatan jelas mereka tengah bersiap-siap.
Dan mereka semua memperlakukan Roran dengan penghormatan yang menurutnya menggelisahkan. Penghormatan itu muncul dalam isyarat-isyarat kecil: pernyataan belasungkawa atas nasib buruknya, kebisuan penuh rasa hormat setiap kali ia berbicara, dan gumam persetujuan untuk setiap pernyataannya. Seolah perbuatannya meninggikan posisinya dan mengintimidasi orang-orang yang telah ia kenal sejak masih anak-anak, menjauhkan dirinya dari mereka.
Aku seperti ditandai, pikir Roran, tertatih-tatih melewati lumpur. Ia berhenti di tepi genangan dan membungkuk untuk memandang bayangannya, ingin tahu apakah ia bisa melihat apa yang telah menjadikannya begitu berbeda.
Ia melihat pria berpakaian lusuh dan berlumuran darah, dengan punggung bungkuk dan lengan terluka yang terikat melintang di dada. Leher dan pipinya dipenuhinya janggut muda, sementara rambutnya kusut bagai tali yang riap-riap di kepalanya. Tapi yang paling menakutkan adalah matanya, yang masuk semakin dalam di rongga, menyebabkan ia tampak seperti hantu. Dari dalam kedua ceruk menakutkan itu, tatap annya membara seperti baja cair, penuh rasa kehilangan, kemurkaan, dan kelaparan yang obsesif.
Senyum miring pelan-pelan tampak di wajah Roran, menyebabkan ia kelihatan lebih mengejutkan lagi. Ia menyukai penampilannya. Penampilannya sesuai dengan perasaannya. Sekarang ia paham mengapa ia bisa mempengaruhi penduduk desa. Ia meringis, menampakkan gigi-giginya. Aku bisa menggunakan citra ini. Aku bisa menggunakannya untuk menghancurkan Ra'zac.
Dengan kepala terangkat, ia menyusuri jalan, senang pada dirinya sendiri. Tepat pada saat itu Thane mendekatinya dan mencengkeram lengan kirinya kuat kuat. Stronghammer! Kau tidak tahu betapa senangnya aku bertemu denganmu."
"Sungguh"" Roran bertanya-tanya apakah seluruh dunia terbalik semalam.
Thane mengangguk-angguk penuh semangat. "Sejak kita menyerang para prajurit, segalanya tampak sia-sia bagiku. Sangat menyakitkan bagiku untuk mengakuinya, tapi begitulah. Hatiku selalu berdebar-debar, seakan aku bakal jatuh ke dalam sumur; tanganku gemetar; dan aku merasa sangat mual. Kupikir ada yang meracuniku! Lebih buruk daripada kematian. Tapi apa kaukatakan kemarin langsung menyembuhkan diriku dan membuatku melihat tujuan dan arti dunia lagi! Aku... aku bahkan tidak bisa menjelaskan kengerian yang telah kauhindarkan dariku. Aku berutang budi padamu. Kalau ada yang kaubutuhkan atau inginkan, katakan saja dan akan kubantu."
Dengan perasaan tersentuh, Roran balas mencengkeram lengan petani itu dan berkata, "Terima kasih, Thane. Thane membungkuk, air mata menggenangi matanya, lalu melepaskan Roran dan meninggalkannya berdiri seorang diri di tengah jalan.
Apa yang telah kulakukan"
MENGUNGSI Udara yang pekat dan berasap menelan Roran saat ia memasuki Seven Sheaves, kedai minuman milik Morn.
Ia berhenti di bawah tanduk Urgal yang dipakukan di atas pintu dan membiarkan matanya menyesuaikan diri dengan keremangan dalam kedai. "Halo"" serunya.
Pintu ke ruang belakang terdobrak membuka saat Tara melangkah maju, diikuti Morn. Mereka berdua memelototi Roran sambil cemberut. Tara menumpukan tinjunya yang gemuk di pinggul dan bertanya, "Mau apa kau kemari""
Roran menatapnya sejenak, mencoba mengetahui penyebab sikap bermusuhannya. "Apa kalian sudah memutuskan ikut bersamaku ke Spine""
Itu bukan urusanmu, sergah Tara.
Oh ya, itu urusanku. Tapi Roran menahan diri, dan akhirnya berkata, "Apa pun niat kalian, kalau kalian ingin pergi, Elain ingin tahu apakah masih ada tempat di tas k
alian untuk beberapa barang lagi, atau apakah kalian sendiri membutuhkan tempat tambahan. Ia--"
"Tempat tambahan!" sembur Morn. Ia melambai ke dinding di belakang bar, di mana terdapat jajaran tong kayu ek. "Aku puny dua belas tong bir musim dingin yang paling jernih, diseliman jerami dan dijaga pada suhu yang sempurna selama lima bulan terakhir. Ini simpanan terakhir Quimby! Apa yang harus kulakukan dengan tong-tong ini" Atau dengan persediaan bir pahit dan bir hitamku" Kalau kutinggalkan, para prajurit akan menghabiskannya dalam seminggu, atau menusuk tong-tongnya dan menumpahkan birnya ke tanah, dan satu-satunya makhluk yang akan menikmatinya hanyalah cacing. Oh!" Morn duduk dan meremas-remas tangan, menggeleng-geleng. "Hasil kerja dua belas tahun! . Sejak Ayah meninggal, kukelola kedainya dengan cara yang sama, setiap hari. Lalu kau serta Eragon menimbulkan masalah ini. Ini...." Ia berhenti, kesulitan bernapas, dan mengusap wajahnya yang tembam dengan tepi lengan baju.
"Tenang, tenang, kata Tara. Ia memeluk Morn dan menunjuk goran. "Siapa yang memberimu hak untuk mengguncang Carvahall dengan kata-kata indahmu" Kalau kami pergi, bagaimana suamiku yang malang mencari nafkah" Ia tidak bisa membawa dagangannya seperti Horst atau Gedric. Ia tidak bisa berjongkok di ladang yang kosong dan menanaminya seperti kau! Mustahil! Semua orang akan pergi dan kami bakal kelaparan. Atau kami akan pergi dan tetap saja kelaparan. Kau menghancurkan hidup kami!"
Roran mengalihkan pandangan dari wajah Tara yang memerah karena marah ke wajah Morn yang sedih, lalu berbalik dan membuka pintu. Ia berhenti sejenak di ambangnya dan berkata dengan suara pelan, "Selama ini kuanggap kalian teman-temanku. Aku tidak akan membiarkan kalian dibunuh Kekaisaran." Setelah melangkah keluar, ia menarik rompinya lebih erat menutupi dirinya dan bergegas meninggalkan kedai, sambil berpikir sepanjang jalan.
Di sumur Fisk, ia mampir untuk minum dan ternyata Birgit datang. Birgit memandanginya bersusah payah memutar tuas Penarik ember dengan satu tangan, lalu mengambil alih dan menaikkan ember air, yang diberikannya kepada Roran tanpa merninumnya. Roran menghirup cairan yang sejuk itu, lalu brkata, "Aku senang kau ikut." Ia mengembalikan embernya.
Birgit menatapnya. "Aku mengenali kekuatan yang mendorongmu, Roran, karena kekuatan itu juga mendorongku; kita berdua ingin menemukan Ra'zac. Tapi sesudah kita menemukan Mereka, aku akan menuntut ganti rugi atas kematian Quimby darimu. Jangan pernah melupakan itu." Ia mendorong ember yang penuh air itu ke dalam sumur dan membiarkannya jatuh tanpa tertahan, tuas penariknya berputar liar. Sedetik kemudian, dari sumur terdengar gema ceburan.
Roran tersenyum sambil mengawasi Birgit yang menjauh. Ia lebih merasa senang daripada gusar karena kata-kata Birgit; ia tahu bahwa kalaupun semua orang lain di Carvahall melupakan tujuan mereka atau mati, Birgit akan tetap membantunya memburu Ra'zac. Tapi sesudah itu--kalau masih ada sesudah itu--ia harus memenuhi tuntutan Birgit atau membunuhnya, Hanya itu satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah seperti ini.
Malam harinya Horst dan kedua putranya pulang, membawa dua buntalan kecil yang dibungkus kain minyak. "Hanya itu"" tanya Elain. Horst mengangguk singkat, meletakkan buntalan-buntalan itu di meja dapur, dan membukanya untuk menunjukkan empat martil, tiga tang, penjepit, peniup berukuran sedang, dan landasan seberat tiga pon.
Sementara mereka berlima duduk untuk makan malam, Albriech dan Baldor membicarakan berbagai orang yang mereka lihat bersiap-siap diam-diam. Roran mendengarkan dengan penuh perhatian, berusaha mengetahui siapa yang meminjamkan keledai pada siapa, siapa yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi, dan siapa yang mungkin membutuhkan bantuan untuk pergi.
"Masalah terbesarnya," kata Baldor," adalah makanan. Kita hanya bisa membawa sedikit, dan di dalam Spine kita akan sulit berburu bagi dua ratus atau tiga ratus orang."
"Mmm." Horst menggoyang-goyangkan jari, mulutnya penuh kacang, lalu menelannya. "Tidak, berburu takkan ada gunanya. Kita harus me
mbawa ternak kita. Kalau digabung, kita mernilild cukup domba dan kambing untuk memberi makan kita semua selama sebulan atau lebih."
Roran mengangkat pisaunya. "Serigala."
"Aku lebih khawatir soal menjaga hewan-hewan itu agar tidak berkeliaran ke dalam hutan," jawab Horst. "Menggembala mereka bukan tugas yang mudah."
Roran menghabiskan keesokan harinya membantu siapa pun yang bisa dibantu, tidak banyak bicara, dan umumnya membiarkan orang-orang melihat dirinya bekerja demi kebaikan desa. Larut malam, ia membaringkan diri di ranjang dengan kelelahan tapi penuh harap.
Merekahnya subuh menembus mimpi Roran dan membangunkan dirinya dengan pikiran akan terjadinya peristiwa penting. Ia berdiri dan berjingkat-jingkat menuruni tangga, lalu keluar dan menatap pegunungan yang tertutup kabut, tenggelam dalam kesunyian pagi. Napasnya membentuk uap putih di udara, tapi ia merasa hangat, karena jantungnya berdebardebar ketakutan dan penuh semangat.
Sesudah sarapan yang senyap, Horst membawa kuda-kuda ke depan rumah, tempat Roran membantu Albriech dan Baldor memuati kuda-kuda itu dengan kantong-kantong pelana dan buntalan-buntalan pasokan lain. Lalu Roran mengambil ranselnya sendiri, mendesis saat tali bahunya yang terbuat dari kulit menekan lukanya.
Horst menutup pintu rumah. Ia berdiri di sana beberapa saat dengan jemari memegang kenop pintu baja, lalu meraih tangan Elain dan berkata, "Ayo berangkat."
Sementara mereka melintasi Carvahall, Roran melihat keluarga-keluarga yang muram berkumpul di dekat rumah masing-masing bersama tumpukan barang milik mereka dan ternak yang ribut. Ia melihat beberapa domba dan anjing yang membawa tas di punggung, anak-anak dengan mata berair di punggung keledai, dan wadah-wadah darurat yang ditambatkan ke setiap sisi kuda-kuda, berisi peti-peti ayam yang ribut. Ia melihat buah keberhasilannya, dan tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis.
Mereka berhenti di ujung utara Carvahall dan menunggu wtuk melihat siapa yang ikut bersama mereka. Semenit berlalu, kemudian Birgit mendekat dari samping, ditemani Nolfavrell dan adik-adiknya. Birgit menyapa Horst dan Elain lalu menempatkan diri di dekat mereka.
Ridley dan keluarganya muncul dari balik dinding pepohon, menggiring seratus lebih domba dari sisi timur Lembah Ku ikir lebih baik membawa mereka keluar dari Carvahall!" teriak Ridley mengatasi keributan hewan-hewan
"Ide yang bagus!" jawab Horst.
Lalu muncul Delwin, Lenna, dan kelima anak mereka; Orval dan keluarganya; Loring bersama para putranya; Calitha dan Thane--yang tersenyum lebar pada Roran; lalu klan Kiseh Para wanita yang baru-baru ini menjanda, seperti Nolla, berkerumun di sekitar Birgit. Sebelum matahari meninggalkan pUnck pegunungan, sebagian besar penduduk desa telah berkumpul di sepanjang dinding. Tapi tidak semuanya.
Morn, Tara, dan beberapa orang lain belum menampakkan diri, dan sewaktu Ivor muncul, ia tidak membawa pasokan apa pun. "Kau tinggal," kata Roran. Ia menepi untuk menghindari kawanan kambing gelisah yang dikendalikan Gertrude dengan susah payah.
"Aye," kata Ivor, mengucapkannya dengan lambat dan kelelahan. Ia menggigil, melipat lengannya yang kurus agar lebih hangat, dan memandang ke matahari terbit, mengangkat kepala agar terkena berkas cahaya tembus pandang itu. "Svart menolak pergi. Heh! Mengajaknya memasuki Spine sama seperti berusaha mengukir biji-bijian. Harus ada yang menjaganya, dan aku tidak memiliki anak, jadi...." Ia mengangkat bahu. "Lagi pula aku ragu apakah bisa meninggalkan tanah pertanianku."
"Apa yang akan kaulakukan waktu para prajurit datang nanti""
"Memberi mereka perlawanan yang akan mereka ingat."
Roran tertawa serak dan menepuk lengan Ivor, berusaha sebaik-baiknya mengabaikan nasib tak terucapkan yang mereka berdua tahu menunggu siapa pun yang tinggal.
Seorang pria parobaya kurus, Ethlbert, berjalan sigap ke tepi kerumunan dan berteriak, "Kalian semua bodoh!" Dengan diiringi suara gemeresik yang terdengar jelas, orang-orang berbalik memandangnya. "Aku berdiam diri selama kesintingan ini, tapi aku tidak akan mengikuti orang gila! Kalau tida
k dibutakan kata-katanya, kalian akan melihat ia akan membawa kalian menuju kehancuran! Well, aku tidak akan pergi! Aku akan mengambil risiko menyelinap melewati para prajurit itu dan mencari perlindungan di Therinsford. Setidaknya mereka orang-orang kita sendiri, bukan orang-orang biadab yang akan kalian temukan di Surda." Ia meludah ke tanah, lalu berbalik dan berderap pergi.
Karena takut Ethlbert mungkin berhasil meyakinkan yang lain untuk membatalkan niat, Roran mengamati orang-orang dan merasa lega melihat hanya ada gumaman-gumaman gelisah.
Sekalipun begitu, ia tidak ingin lengah dan memberi kesempatan pada orang-orang untuk berubah pikiran. Ia bertanya pada Horst dengan suara pelan, "Berapa lama kita harus menunggu""
"Albriech, bersama Baldor periksalah secepat mungkin apakah ada lagi yang ingin ikut. Kalau tidak ada, kita berangkat." Kedua bersaudara itu berlari ke arah yang berlawanan.
Setengah jam kemudian, Baldor kembali bersama Fisk, Isold, dan kuda pinjaman mereka. Setelah meninggalkan suaminya, Isold bergegas mendekati Horst, melambaikan tangan mengusir siapa saja yang menghalangi jalannya, tidak menyadari sebagian besar rambutnya terlepas dari ikatan dan mencuat aneh. Ia berhenti, terengah-engah. "Maaf kami terlambat, tapi Fisk sulit menutup toko. Ia tidak bisa memilih pengasah atau pahat mana yang harus dibawa." Ia tertawa melengking, nyaris histeris. "Rasanya seperti melihat kucing yang dikelilingi tikus berusaha memutuskan mana yang akan dikejarnya. Mula-mula yang ini, lalu yang itu."
Senyum masam tampak di bibir Horst. "Aku mengerti sepenuhnya."
Roran berusaha mencari Albriech, tapi sia-sia. Ia mengertakkan gigi. "Mana dia""
Horst menepuk bahunya. "Di sebelah sana."
Albriech muncul dari sela rumah-rumah membawa tiga tong bir yang terikat di punggungnya dan ekspresinya begitu menyedihkan hingga Baldor dan beberapa orang lainnya tertawa. Morn dan Tara berjalan di kedua sisi Albriech, terhuyung-huyung membawa beban mereka yang besar, begitu juga keledai dan dua kambing yang mereka seret. Yang mengejutkan Roran, hewan-hewan itu membawa tong-tong juga.
Mereka tidak akan bisa bertahan satu mil sekalipun," kata Roran, marah atas kebodohan pasangan itu. "Dan mereka akan memiliki cukup makanan. Apa mereka berharap kita memberi mereka makan atau--"
Sambil tergelak, Horst menyela. "Aku tidak akan mengkhawatirkan makanan. Bir Morn bagus untuk moral, dan manfaatnya lebih daripada beberapa hidangan tambahan. Lihat saja nanti."
Begitu Albriech membebaskan diri dari tong-tong itil, Ror bertanya padanya dan pada saudaranya. "Sudah semuanya"". Sewaktu mereka mengiakan, Roran memaki dan memukul paha dengan tinjunya. Selain Ivor, tiga keluarga telah memastikan tetap tinggal di Lembah Palancar: Ethlbert, Parr, dan Knute. Aku tidak bisa memaksa mereka ikut. Ia mendesah. "Baiklah. Tidak ada gunanya menunggu lebih lama lagi."
Semangat merayapi para penduduk desa; saatnya akhirnya tiba. Horst dan lima pria lain menarik dinding pepohonan hingga terbuka, lalu meletakkan papan-papan melintang di atas parit agar orang-orang dan hewan-hewan bisa menyeberang.
Horst memberi isyarat. "Sebaiknya kau yang berjalan terlebih dulu, Roran."
"Tunggu!" Fisk berlari mendekat dan, dengan kebanggaan yang jelas terlihat, memberi Roran tongkat kayu hawthorn sepanjang enam kaki dengan ujung dari tonjolan akar yang dihitamkan dan tongkat kecil berwarna biru baja yang bawahnya diasah menjadi paku tumpul. "Aku membuatnya semalam," kata tukang kayu itu. "Kupikir kau mungkin membutuhkan nya."
Roran mengelus tongkat itu, mengagumi kehalusannya. Aku tidak bisa meminta yang lebih baik lagi. Keahlianmu luar biasa.... Terima kasih." Fisk tersenyum dan mundur.
Menyadari fakta bahwa seluruh orang memandanginya, Roran menatap pegunungan dan Air Terjun Igualda. Bahunya berdenyut-denyut di bawah tali kulit ranselnya. Di belakangnya ada tulang-belulang ayahnya dan segala sesuatu yang ia kenal seumur hidupnya. Di depannya puncak bergerigi menjulang tinggi ke langit pucat, menghalangi jalan dan tekadnya. Tapi ia tidak mau ditolak. Dan ia tidak akan be
rpaling. Katrina Dengan mengangkat dagu, Roran melangkah maju. Tongkatnya berdetak menghantam papan kayu keras sewaktu ia menyeberangi parit dan keluar dari Carvahall, memimpin para penduduk desa mernasuki alam liar.
DI TEBING TEL'NAFIR Buk Secerah matahari, naga itu melayang di depan Eragon dan semua orang yang berkerumun di Tebing Tel'naeir, memukul-mukul mereka dengan embusan angin dari sayap-sayapnya yang besar. Tubuh naga itu tampak seperti terbakar ketika cahaya subuh yang cemerlang menyinari sisik-sisik keemasannya dan menyirami tanah serta pepohonan dengan serpihan-serpihan cahaya menyilaukan. Naga itu jauh lebih besar daripada Saphira, cukup besar untuk berusia beberapa ratus tahun. Leher, kaki, dan ekornya lebih tebal. Di punggungnya duduk Penunggangnya, dengan jubah putih yang menjuntai pada sisik-sisik naga yang cemerlang.
Eragon berlutut, sambil menengadah. Aku tidak sendirian &. Perasaan terpesona dan lega mengaliri dirinya. Ia tidak lagi harus seorang diri menyandang tanggung jawab atas kaum Varden dan Galbatorix. Di sini ada salah seorang penjaga lama yang dibangkitkan dari kedalaman waktu untuk membimbing dirinya, simbol hidup, dan bukti nyata legenda-legenda yang didengarnya selama ia dibesarkan. Di sini ada gurunya. Disini ada legenda!
Saat naga itu berputar untuk mendarat, Eragon tersentak; kaki kiri depan makhluk itu tampaknya putus akibat pukulan yang sangat kuat, menyisakan tunggul putih tanpa daya sebagai ganti kaki yang dulu perkasa. Air mata menggenangi matanya.
Pusaran ranting dan dedaunan kering menyelimuti melipat bukit saat naga itu mendarat di semanggi manis dan melipat sayapnya. Sang Penunggang dengan hati-hati turun dari tunggangannya, melalui kaki kanan depan naga yang masih untuh, lalu mendekati Eragon, kedua tangan tertangkup di depan. Ia elf berambut perak, amat sangat tua, sekalipun satu-satunya tanda ketuaan hanyalah ekspresi prihatin dan sedih mendalam di wajahnya.
"Osthato Chetowa," kata Eragon. "Si Kebijaksanaan Duka.... Sesuai permintaan Anda, aku datang." Ia tersentak ketika teringat sopan-santun dan menyentuh bibirnya. "Atra esterni ono thelduin."
Penunggang itu tersenyum. Ia meraih bahu Eragon dan menariknya berdiri, menatapnya begitu rupa dengan keramahan hingga Eragon tidak bisa melihat apa-apa lagi; ia tenggelam dalam kedalaman tak berdasar di mata elf itu. "Oromis adalah namaku yang tepat, Eragon Shadeslayer."
"Kau tahu," bisik Islanzadi dengan ekspresi terluka yang dengan cepat berubah menjadi badai kemurkaan. "Kau tahu tentang keberadaan Eragon tapi tidak memberitahuku" Kenapa kau mengkhianatiku, Shur'tugal""
Oromis melepaskan Eragon dari tatapannya dan beralih pada Ratu. "Aku berdiam diri karena tidak yakin apakah Eragon atau Arya akan hidup cukup lama untuk datang kemari; aku tidak ingin memberimu harapan rapuh yang mungkin bisa hancur setiap saat."
Islanzadi berputar, jubah bulu angsanya mengembang seperti sayap. "Kau tidak berhak menyembunyikan informasi seperti itu dariku! Aku bisa mengirim pejuang untuk melindungi Arya, Eragon, dan Saphira di Farthen Dur dan mengawal kedatangan mereka kemari dengan selamat."
Oromis tersenyum sedih. "Aku tidak menyembunyikan apa pun darimu, Islanzadi, hanya apa yang kauputuskan sendiri untuk tidak melihatnya. Kalau kau men-scry daratan ini, yang merupakan kewajibanmu, kau pasti tahu sumber kekacauan yang melanda Alagaesia dan kebenaran tentang Arya dan Eragon. Bahwa kau melupakan kaum Varden dan para kurcaci dalam kedukaanmu masih bisa dipahami, tapi Brom" Vinr Alfakyn" Teman Elf terakhir" Kau membutakan diri terhadap dan bersantai di singgasanamu. Aku tidak bisa mengambil resiko semakin menjauhkan dirimu dengan menghadapkanmu pada kehilangan yang lain."
Kemarahan Islanzadi mereda, menyebabkan wajahnya pucat dan bahunya merosot. "Aku yang salah," bisiknya.
Awan udara yang panas dan lembap mendesak Eragon saat naga emas itu membungkuk untuk mengamatinya derigan mata yang berkilau dan berbinar.
Kita bertemu dengan baik, Eragon Shadeslayer. Namaku Glaedr Suara naga jantan itu--karena jelas ia jantan menggemuruh dan men
gguncang seluruh benak Eragon, seperti gemuruh longsor di pegunungan.
Eragon hanya bisa menyentuh bibir dan berkata, "Aku merasa tersanjung."
Lalu Glaedr mengalihkan perhatian pada Saphira. Saphira tidak bergerak sedikit pun, lehernya melengkung kaku sementara Glaedr mengendus pipinya dan sepanjang garis sayapnya. Eragon melihat otot-otot kaki Saphira yang menegang gemetar tanpa sebab. Baumu mirip manusia, kata Glaedr, dan semua yang kauketahui tentang rasmu sendiri hanya yang diajarkan nalurimu padaku, tapi kau memiliki hati naga sejati.
Selama percakapan tanpa suara ini, Orik memperkenalkan diri pada Oromis. "Sejujurnya saja, ini lebih daripada yang berani kuharapkan. Kau kejutan yang menyenangkan di masa yang gelap ini, Penunggang."
Ia menyatukan tinju di atas jantungnya. Kalau tidak terlalu memberatkanmu, aku ingin meminta berkat atas nama raja dan klanku, sesuai kebudayaan kami." a
Oromis mengangguk. "Dan aku akan memberikannya selama aku bisa."
"Kalau begitu katakan: Kenapa kau bersembunyi bertahun-tahun ini" Kau sangat dibutuhkan, Argetlam!
"Ah," kata Oromis. "Banyak penderitaan di dunia ini, salah satu yang terbesar adalah ketidakmampuan menolong mereka yang menderita. Aku tidak berani mengambil meninggalkan tempat perlindungan ini, karena kalau aku tewas sebelum salah satu telor Galbatorix menetas, maka tidak akan ada seorang pun yang bisa meneruskan rahasia kami kepada penunggang baru, dan dengan begitu akan lebih sulit lagi mengalahkan Galbatorix.
"Itu alasanmu"" sembur Orik. "Itu kata-kata pengecut! Telurnya mungkin tidak akan pernah menetas."
Semua orang membisu, yang terdengar hanya geraman samar dari sela gigi-gigi Glaedr. "Kalau kau bukan tamuku di sini," kata Islanzadi, "aku sendiri yang akan menghajarmu untuk penghinaan itu.
Oromis membentangkan tangan. "Nay, aku tidak tersinggung. Itu reaksi yang tepat. Pahamilah, Orik, bahwa Glaedr dan aku tidak bisa bertempur. Glaedr cacat, dan aku," ia menyentuh sisi kepalanya, "aku juga cacat. Ada yang dihancurkan kaum Terkutuk dalam diriku sewaktu mereka menangkapku, dan sekalipun masih bisa mengajar dan belajar, aku tak lagi bisa mengendalikan sihir, kecuali mantra-mantra terkecil. Aku tidak bisa mengendalikan kekuatan, tidak peduli seberapa keras aku berusaha. Aku lebih buruk daripada tidak berguna dalam pertempuran, aku akan menjadi kelemahan dan ancaman, yang bisa ditangkap dengan mudah dan digunakan untuk membahayakan kalian. Jadi aku menyingkir dari pengaruh Galbatorix demi keuntungan banyak orang, sekalipun aku ingin sekali menantangnya secara terbuka."
"Si Cacat yang Utuh," gumam Eragon.
"Maafkan aku," kata Orik. Ia tampak seperti tercekik.
"Tidak penting." Oromis meletakkan tangan di bahu Eragon. "Islanzadi Drottning, dengan seizinmu""
Pergilah," kata Islanzadi lelah. "Pergilah dan selesaikan tugasmu."
Glaedr berlutut rendah ke tanah, dan Oromis dengan lincah memanjat kaki naga itu dan naik ke pelana di punggungnya. "Ayo, Eragon dan Saphira. Banyak yang harus kita bicarakan." Naga emas itu melompat dari tebing dan terbang berputar-putar di atas kepala, membubung mengikuti arus udara naik. dan Orik berpelukan dengan khidmat. "Jaga kehormatan klanmu, kata si kurcaci.
Saat Eragon naik ke punggung Saphira, ia merasa seperti akan menempuh perjalanan jauh dan seharusnya mengucapkan selamat tinggal pada mereka yang ditinggalkannya. Tapi ia hanya memandang Arya dan tersenyum, membiarkan keheranan dan sukacitanya terlihat. Arya setengah mengerutkan kening, tampak risau, tapi lalu Eragon lenyap, melayang ke langit karena Saphira yang terbang penuh semangat.
Bersama-sama kedua naga itu menyusuri tebing putih ke utara sejauh beberapa mil, hanya ditemani suara kepakan sayap mereka. Saphira terbang mendahului Glaedr. Antusiasmenya menggelegak memasuki benak Eragon, membangkitkan emosinya sendiri.
Mereka mendarat di tempat terbuka lainnya di tepi tebing, tepat sebelum dinding yang terdiri atas batu telanjang itu menurun kembali ke bumi. Jalan setapak memanjang dari tepi tebing ke ambang pintu gubuk rendah yang berdiri di antara batang empat pohon, sala
h satunya tumbuh di atas sungai yang muncul dari dalam hutan. Glaedr tidak akan muat di dalamnya; gubuk itu bisa muat dengan mudah di sela rusuk-rusuknya.
"Selamat datang di rumahku," kata Oromis sambil turun ke tanah dengan kelincahan yang tidak biasa. "Aku tinggal di sini, di tepi Tebing Tel'naeir, karena tempat ini memberiku kesempatan untuk berpikir dan belajar dengan damai. Benakku bekerja lebih baik kalau jauh dari Ellesmera dan orang-orang lain yang mengalihkan perhatian."
Ia menghilang ke dalam gubuk, lalu kembali membawa dua guci dan gelas berisi air dingin bening bagi dirinya sendiri dan Eragon. Eragon menghirup minumannya dan mengapmi pemandangan luas Du Weldenvarden sambil berusaha menyembunyikan keterpesonaan dan kegugupannya saat menunggu elf itu bicara. Aku bersama Penunggang lain! Di sampingnya, Saphira berjongkok dengan pandangan terpaku pada Glaed menginjak-injak perlahan tanah di sela cakar-cakarnya.
Jeda dalam percakapan mereka membentang semakin panjang. Sepuluh menit berlalu... setengah jam... lalu satu jam. Akhirnya Eragon mulai menghitung waktu yang berlalu berdasarkan pergerakan matahari. Mula-mula benaknya dipenuhi pertanyaan dan pikiran, tapi akhirnya pertanyaan dan pikiran itu mereda menjadi penerimaan yang tenang. mengamati hari.
Baru pada saat itulah Oromis berkata, "Kau sudah belajar nilai kesabaran dengan baik. Itu bagus."
Eragon membutuhkan waktu sejenak untuk bisa bersuara.
"Kau ddak bisa memburu rusa kalau tergesa-gesa."
Oromis menurunkan gelasnya. "Benar juga. Coba kulihat tanganmu. Menurut pengalamanku, tangan bisa bercerita banyak mengenai orangnya." Eragon menanggalkan sarung tangan dan membiarkan elf itu mencengkeram pergelangannya dengan jemari yang kurus kering. Ia memeriksa kapalan Eragon, lalu berkata, "Perbaiki kalau pendapatku salah. Kau lebih sering menggunakan sabit dan bajak daripada pedang, sekalipun kau terbiasa menggunakan busur."
"Aye." "Dan kau jarang menulis atau menggambar, mungkin malah tidak pernah."
"Brom mengajariku menulis huruf di Teirm."
"Mmm. Selain alat-alat pilihanmu, tampaknya jelas kau ceroboh dan tidak memerhatikan keselamatanmu sendiri."
"Apa yang menyebabkan Anda mengatakan begitu, Oromiselda"" tanya Eragon, menggunakan panggilan penghormatan tertinggi yang bisa dipikirkannya.
"Bukan elda," kata Oromis. "Kau boleh memanggilku master dalam bahasa ini atau ebrithil dalam bahasa kuno, lainnya tidak. Kau juga akan memanggil Glaedr begitu. Kami guru kalian; kalian murid kami; dan kalian akan bersikap dengan Penghormatan dan kesopanan yang selayaknya." Oromis berbicara lembut, tapi dengan kewenangan orang yang mengharapkan kepatuhan mutlak.
"Ya, Master Oromis."
Kau juga, Saphira." Eragon bisa melihat betapa sulitnya bagi Saphira untuk merendahkan diri dan mengatakan, Ya, Master.
Oromis mengangguk. "Nah. Siapa pun yang memiliki kuman bekas luka seperti ini entah sial setengah mati, berkelahi seperti orang berkelah seperti orang sinting, atau sengaja memburu bahaya. Kau berkelahi seperti orang sinting""
"Tidak." "Dan kau juga tidak tampak sial; justru sebaliknya. Dengan begitu hanya tersisa satu penjelasan. Atau kau memiliki dapat yang berbeda""
Eragon mengingat-ingat pengalamannya di rumah dan di jalan, berusaha menggolongkan kelakuannya. "Menurutku, begitu aku mengabdikan diri untuk tugas atau jalan tertentu, aku akan berusaha menyelesaikannya, tidak peduli akibatnya & terutama kalau orang yang kusayangi terancam bahaya." Tatapannya beralih ke Saphira sejenak.
"Dan kau menerima tugas-tugas yang menantang""
"Aku senang mendapat tantangan."
"Jadi kau merasakan kebutuhan untuk mengadu diri dengan lawan untuk menguji kemampuan."
"Aku senang mengatasi tantangan, tapi aku telah menghadapi cukup banyak kekerasan untuk tahu bahwa aku bodoh kalau mempersulit keadaan yang sudah sulit. Aku hanya bisa berusaha menerimanya."
"Tapi kau memilih mengejar Ra'zac walau lebih mudah bagimu untuk tetap tinggal di Lembah Palancar. Dan kau datang kemari."
"Itu tindakan yang benar... Master."
Selama beberapa menit, tidak ada yang bicara. Eragon berusaha m
enebak pemikiran elf itu, tapi tidak bisa mendapatkan informasi apa pun dari wajahnya yang bagai topeng. Akhimya Oromis bergerak. "Apa kau pernah diberi benda tertentu di Tarnag, Eragon" Perhiasan, baju besi, atau bahkan koin""
"Aye." Eragon memasukkan tangan ke balik tunik dan mengeluarkan kalung berliontin martil perak kecil. "Gannel membuat ini bagiku atas perintah Hrothgar, agar tidak ada yang bisa men-scry diriku atau Saphira. Mereka takut Galbaton" mungkin sudah mengetahui wajahku... Dari mana Anda tahu""
"Karena," kata Oromis, "aku tidak lagi bisa merasakan keh diranmu."
"Ada yang mencoba men-scry diriku di dekat Silthrim sekitar seminggu yang lalu. Apakah itu Anda"
Oromis menggeleng. "Sesudah men-scry dirimu bersama Arya pertama kalinya, aku tidak membutuhkan metode sekasar itu untuk menemukan dirimu. Aku bisa menjangkau benakmu dengan benakku, seperti yang kulakukan sewaktu kau terluka di Farther Dur." Dengan mengangkat kalung itu, ia menggumamkan beberapa kalimat dalam bahasa kuno, lalu melepaskannya. "Benda ini tidak mengandung mantra lain yang bisa kudeteksi. Simpan selalu kalung ini; ini hadiah yang sangat berharga, Ia saling menekankan ujung jemarinya yang panjang, kuku-kukunya sebundar dan secemerlang sisik ikan, dan menatap kaki langit putih melalui lengkungan-lengkungan yang dibentuk jemarinya. "Kenapa kau kemari, Eragon"" "Untuk menyelesaikan latihanku."
"Menurutmu apa yang akan kaupelajari""
Eragon bergerak-gerak gelisah. "Belajar lebih banyak mengenai sihir dan bertempur. Brom tidak bisa tuntas mengajarkan segala yang diketahuinya padaku."
"Sihir, ilmu pedang, dan keahlian-keahlian lain seperti itu pdak ada gunanya kalau kau tak tahu cara dan kapan menggunakannya. Ini yang akan kuajarkan padamu. Tapi, seperti yang ditunjukkan Galbatorix, kekuatan tanpa panduan moral merupakan kekuatan yang paling berbahaya di dunia. Dengan begitu, tugas utamaku adalah membantu kalian, Eragon dan Saphira, memahami prinsip-prinsip yang membimbing kalian, agar kalian tidak mengambil keputusan yang benar karena alasan yang salah. Kalian harus belajar lebih banyak tentang diri kalian sendiri, siapa kalian dan apa yang mampu kalian lakukan. Itu sebabnya kau kemari."
Kapan kita mulai" tanya Saphira.
Oromis hendak menjawab sewaktu ia mengejang dan menjahuhkan gelas. Wajahnya memerah dan jemarinya mengencang membentuk cakar yang mencengkeram jubahnya. Perubahan itu menakutkan dan seketika. Sebelum Eragon bahkan sempat mengernyit, elf itu rileks kembali, sekalipun seluruh tubuhnya sekarang memancarkan kelelahan.
Karena prihatin, Eragon memberanikan diri bertanya, "Anda baik-baik saja""
Rasa geli membuat sudut bibir Oromis terangkat. "Tidak seperti yang kuinginkan. Kami elf menganggap diri abadi, tapi bahkan kami tidak bisa meloloskan diri dari penyakit daging tertentu, kemampuan sihir kami hanya mampu menundanya. langan khawatir... ini tidak menular, tapi aku sendiri tidak bisa menyingkirkannya." Ia mendesah. "Aku menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun untuk mengikatkan diriku pada ratusan mantra yang kecil dan lemah, dengan saling melapisinya menirukan efek mantra yang sekarang berada di luar jangkauanku. Kuikat diriku dengan mantra-mantra itu agar bisa hidup cukup lama untuk menyaksikan kelahiran naga terakhir dan membantu membangkitkan kembali para Penunggang dari puing-puing kesalahan kami." "Berapa lama sebelum...."
Oromis mengangkat alisnya yang tajam. "Berapa lama sebelum aku tewas" Kita memiliki waktu, tapi sangat sedikit dan sangat berharga bagi dirimu atau aku, terutama kalau kaum Varden memutuskan meminta bantuanmu. Akibatnya--untuk menjawab pertanyaanmu, Saphira--kita akan memulai latihanmu secepatnya, dan kita akan berlatih lebih cepat daripada yang pernah atau yang akan pernah dilakukan Penunggang mana pun, karena aku harus mengemas pengetahuan berpuluh-puluh tahun menjadi beberapa bulan dan minggu."
"Anda tahu," kata Eragon, bersusah payah mengatasi perasaan malu yang menyebabkan pipinya membara, "tentang... cacatku sendiri." Ia mengucapkan kata cacat dengan berat, membencinya. "Aku sama cacatnya se
perti diri Anda." Simpati melunakkan tatapan Oromis, sekalipun suarama tegas. "Eragon, kau hanya cacat kalau menganggap dirimu cacat. Aku mengerti perasaanmu, tapi kau harus tetap optimis karena pandangan negatif lebih menghalangi daripada luka fisik apa pun. Aku berbicara berdasarkan pengalaman pribadi Mengasihani diri sendiri tidak ada gunanya bagimu atau Saphira. Aku dan para perapal mantra lain akan mempelajari penyakitmu untuk mencari tahu apakah kita bisa menentukan cara menyingkirkannya, tapi sementara itu, latihanmu akan berjalan seakan tidak ada apa-apa."
Perut Eragon terasa melilit dan ia merasa akan muntah memikirkan implikasinya. Oromis tidak mungkin akan memaksaku menjalani siksaan itu lagi! "Sakitnya tidak tertahankan," katanya panik. "Aku bisa mati karenanya. Aku--"
"Tidak, Eragon. Penyakit itu tidak memmbunuhmu. Itu yang aku tahu tentang kutukanmu. Tapi kita berdua memiliki kewajiban masing-masing; kau pada kaum Varden, dan aku padamu. Kita tidak bisa melupakannya karena kesakitan semata. Resikonya terlalu besar, dan kita tidak boleh gagal." Eragon hanya bisa menggeleng saat panik mengancam akan menguasai dirinya. Ia mencoba mengingkari kata-kata Oromis, tapi kebenaran kata-kata itu tidak terelakkan. "Eragon. Kau harus menerima beban ini dengan bebas. Apakah tidak ada seseorang atau sesuatu yang membuatmu bersedia mengorbankan diri untuknya"
Pikiran pertama Eragon adalah Saphira, tapi ia tidak melakukan ini untuk naga itu. Juga bukan untuk Nasuada. Bahkan bukan untuk Arya. Kalau begitu apa yang mendorongnya" Sewaktu ia mengucapkan sumpah setia pada Nasuada, ia melakukannya demi kebaikan Roran dan orang-orang lain yang terjebak dalam Kekaisaran. Tapi apakah mereka cukup berarti baginya untuk menjalani siksaan ini" Ya, ia memutuskan. Ya, benar, karena aku satu-satunya yang memiliki kesempatan membantu mereka, dan karena aku tidak akan bebas dari bayang-bayang Galbatoix sebelum mereka bebas juga. Dan karena inilah satu-satunya tujuan dalam hidupku. Apa lagi yang akan kulakukan" Ia menggigil sewaktu mengucapkan kata-kata yang menakutkan itu, "Kuterima demi mereka yang kubela: penduduk Alagaesia--dari semua ras--yang menderita di bawah kebrutalan Galbatorix. Tidak peduli sakitnya, aku bersumpah akan belajar lebih keras daripada murid mana pun yang pernah Anda miliki."
Oromis mengangguk suram. "Aku tidak meminta kurang dari itu. Ia memandang Glaedr sejenak, lalu berkata, "Berdirilah dan tanggalkan tunikmu. Coba kulihat kau ini terbuat dari apa."
Tunggu, kata Saphira. Apa Brom mengetahui keberadaan Anda di sini, Master" Eragon diam sejenak, tersentak oleh kemungkinan itu.
"Tentu saja," kata Oromis. "Ia muridku sewaktu masih anak-anak di Ilirea. Aku senang kau memakamkannya dengan layak, karena ia menjalani hidup yang keras dan hanya sedikit yang pernah menunjukkan kebaikan padanya. Kuharap ia menemukan kedamaian sebelum memasuki kehampaan."
Eragon perlahan-lahan mengerutkan kening. "Apakah Anda juga mengenal Morzan""
"Ia muridku sebelum Brom."
"Dan Galbatorix""
"Aku salah seorang Tetua yang menolak memberinya naga lain sesudah naga pertamanya terbunuh, tapi tidak, aku tidak pernah mendapat kesialan mendidik dirinya. Ia memastikan untuk memburu dan membunuh sendiri setiap pelatihnya."
Eragon ingin bertanya lebih jauh, tapi ia tahu lebih baik menunggu, jadi ia berdiri dan membuka ikatan teratas tuniknya.
Tampaknya, katanya pada Saphira, kita tidak akan pernah mengetahui seluruh rahasia Brom. Ia menggigil saat menanggalkan tunik di udara sejuk, lalu menegakkan bahu dan dadanya.
Oromis mengelilinginya, berhenti sambil berseru terkejut sewaktu melihat bekas luka yang melintang di punggung Eragon. "Apakah Arya atau salah seorang tabib kaum Varden tidak menawarkan untuk menyingkirkan bekas luka ini" Kau seharusnya tidak menyandangnya."
"Arya menawarkan, tapi...." Eragon terdiam, tidak mampu menyampaikan perasaannya. Akhirnya, ia hanya berkata, "Ini bagian dari diriku sekarang, sama seperti bekas luka Murtagh merupakan bagian dari dirinya."
"Bekas luka Murtagh""
"Murtagh memiliki bekas luka yang mirip.
Bekas luka itu terjadi sewaktu ayahnya, Morzan, melemparkan Zar'roc kepadanya sewaktu ia masih anak-anak."
Oromis lama menatapnya serius sebelum mengangguk dan melanjutkan. "Kau cukup berotot, dan kau lebih seimbang daripada sebagian besar pengguna pedang. Apa kau bisa menggunakan kedua tanganmu sama baiknya""
"Tidak juga, tapi aku terpaksa belajar bertempur dengan tangan kiri sesudah pergelangan tanganku patah di dekat Teirm."
"Bagus. Dengan begitu menghemat waktu. Genggam tanganmu di punggung dan angkat setinggi mungkin." Eragon mematuhi perintahnya, tapi postur itu menyakiti bahunya dan ia nyaris tidak bisa mempertemukan tangannya. "Sekarang membungkuklah dengan lutut tetap lurus. Cobalah menyentuh tanah." Ini bahkan lebih sulit lagi bagi Eragon; ia akhirnya membungkuk seperti orang bungkuk, dengan kedua lengan terkulai tak berguna di dekat kepalanya sementara otot pahanya terasa sakit dan terbakar. Jemarinya masih sekitar sembilan tau sepuluh inci dari tanah. "Setidaknya kau bisa meregang menyakiti dirimu sendiri. Tadinya aku tidak berani berharap begitu. Kau bisa melakukan beberapa latihan keluwesan tanpa terlalu memaksa diri. Ya."
Lalu Oromis berbicara pada Saphira, "Aku juga ingin tahu kemampuanmu, naga." Ia memerintahkan sejumlah pose rumit yang menyebabkan Saphira terpaksa menggerakkan setiap otot di sekujur tubuhnya dengan cara-cara yang fantastis, mencapai puncaknya dengan serangkaian akrobatik udara yang belum pernah dilihat Eragon. Hanya beberapa perintah yang melebihi kemampuan Saphira, seperti terbang berputar balik ke belakang sambil berpilin.
Sesudah Saphira mendarat, Glaedr yang berkata, Aku takut kita telah memanjakan para Penunggang. Kalau bayi kami yang baru lahir dipaksa menjaga diri sendiri di alam liar--seperti dirimu, begitu pula para leluhur kita--mungkin mereka akan menguasai keahlian seperti dirimu.
"Tidak," kata Oromis, "bahkan kalau Saphira dibesarkan di Vroengard menggunakan metode yang ada, ia tetap penerbang yang luar biasa. Aku jarang melihat naga yang lebih alamiah di langit." Saphira mengerjapkan mata, lalu mengibaskan sayap dan menyibukkan diri membersihkan salah satu cakarnya, begitu rupa hingga kepalanya tidak terlihat. "Kau masih bisa mengembangkan diri, juga kita semua, tapi sedikit, sangat sedikit." Si elf kembali duduk, punggungnya tegak.
Selama lima jam berikutnya, berdasarkan perhitungan Eragon, Oromis memeriksa setiap aspek pengetahuannya dan pengetahuan Saphira, dari botani hingga pertukangan sampai metalurgi dan obat-obatan, sekalipun ia lebih memusatkan perhatian pemahaman mereka tentang sejarah dan bahasa kuno. Wawancara itu menghibur Eragon, karena mengingatkannya pada cara Brom menanyai dirinya selama perjalanan panjang mereka ke Teirm dan Dras-Leona.
Sewaktu mereka berhenti untuk makan siang, Oromis mengundang Wagon ke dalam rumahnya, meninggalkan dua naga itu. Kamar si Elf kosong, hanya ada beberapa barang yang diperlukan untuk makanan, kebersihan, dan kehidupan intelektual. Dua dindingnya dipenuhi lubang-lubang kecil berisi ratusan naskah. Di samping meja tergantung sarung pedang emas--warnanya sama dengan sisik Glaedr--dan pedang yang serasi dengan bilah berwarna kekuningan cerah.
Di sisi dalam pintu, di tengah-tengah kayunya, terdapat panel pipih sehasta tingginya dan dua hasta lebarnya, Di sana terdapat gambar kota menjulang yang indah dan dibangun menempel pada tebing tinggi serta disirami cahaya bulan terbit. Wajah bulan yang bolong-bolong dibelah kaki langit dan tampak seperti duduk di tanah bagai kubah kotor yang sama besarnya dengan pegunungan. Gambar itu begitu jelas dan detailnya sempurna, hingga Eragon mula-mula menganggapnya jendela ajaib; baru sesudah melihat bahwa gambar itu tidak bergerak, ia bisa menerimanya sebagai karya seni.
"Di mana ini"" tanyanya.
Wajah Oromis menegang sejenak. "Sebaiknya kau hafal pemandangan alam itu, Eragon, karena di sanalah terletak inti penderitaanmu. Yang kau lihat itu dulu adalah kota Ilirea kami. Kota itu dibakar dan ditinggalkan selama Du Fyrn Skulblaka dan menjadi ibukota Kerajaan Broddring, dan sekarang ada
lah kota hitam Uru baen. Kubuat fairth itu pada malam aku dan yang lain terpaksa melarikan diri dari rumah kami sebelum Galbatorix tiba."
"Kau yang melukis... fairth ini""
"Tidak, tidak ada yang seperti itu. Fairth adalah gambaran yang dibuat dengan sihir di atas permukaan pelat persegi mengilap yang disiapkan sebelumnya dengan berlapis-lapis pigmen. Pemandangan di pintu itu tepat seperti Ilirea yank kulihat saat aku mengucapkan mantraku."
"Dan," kata Eragon, tidak mampu menghentikan aliran pertanyaan, "apa itu Kerajaan Broddring""
Mata Oromis membelalak kecewa. "Kau tidak tahu"" Eragon mengangguk. "Bagaimana kau bisa tidak tahu" Mengingat situasimu dan ketakutan terhadap Galbatorix yang menguasai rakyatmu, aku mungkin memahami bahwa kau dibesarkan dalam kegelapan, tidak tahu sejarahmu sendiri. Tap, aku tidak bisa memuji Brom karena sesantai itu soal instruksinmu, juga mengabaikan subjek yang diketahui elf dan kurcaci termuda sekalipun. Anak-anak kaum Varden-mu bisa bercerita lebih banyak padaku tentang masa lalu."
"Brom lebih memikirkan usaha mempertahankan nyawaku daripada mengajariku tentang orang-orang yang sudah mati," tegur Eragon.
Komentar ini menyebabkan Oromis terdiam. Akhirnya ia berkata, "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud merendahkan penilaian Brom, hanya saja aku sangat tidak sabar; kita memiliki begitu sedikit waktu, dan setiap hal baru yang harus kaupelajari mengurangi apa yang bisa kaukuasai selama masa latihanmu di sini." Ia membuka serangkaian laci yang tersembunyi dalam dinding melengkung dan mengeluarkan roti gulung dan bermangkuk-mangkuk buah, yang dijajarkannya di meja. Ia berhenti sejenak di depan makanan itu dengan mata terpejam sebelum mulai makan. "Kerajaan Brodding adalah negara manusia sebelum kejatuhan para Penunggang. Sesudah Galbatorix membunuh Vrael, ia terbang ke Ilirea bersama para Terkutuk dan menjatuhkan Raja Angrenost, mengambil alih takhta dan jabatannya bagi dirinya sendiri. Kerajaan Broddring kemudian menjadi inti penaklukan Galbatorix. Ia menambahkan Vroengard dan tanah-tanah lain di timur dan selatan kekuasaannya, menCiptakan kekaisaran yang kau kenal. Secara teknis, Kerajaan Broddring masih ada, sekalipun saat ini kurasa kerajaan itu tidak lebih dari sekadar nama."
Takut menyinggung elf itu dengan pertanyaan lebih jauh, Eragon memusatkan perhatian pada makanannya. Tapi wajahnya pasti mengkhianati dirinya, karena Oromis berkata, "Kau mengingatkanku pada Brom sewaktu memilihnya jadi muridku. Ia lebih muda daripada kau, baru sepuluh tahun, tapi rasa tahunya sama besarnya. Sepanjang tahun aku tidak pernah berhenti mendengarnya bertanya bagaimana, apa, kapan, dan, di atas semua itu, kenapa. Jangan malu menanyakan apa yang ada dalam hatiu,"
"Banyak Yang ingin kuketahui," bisik Eragon. "Siapa Anda" Dari mana Anda berasal"... Dari mana Brom berasal" Bagaimana tampang Morzan" Bagaimana, apa, kapan, kenapa" Dan aku ingin tahu segala sesuatu tentang Vroengard dan para Penunggang. Mungkin sesudah itu jalanku sendiri akan menjadi lebih jelas."
Kebisuan menyelimuti mereka berdua sementara Oromis dengan hati-hati membelah blackberry, mengeruk sebagian demi sebagian. Sewaktu potongan terakhir menghilang di sela bibirnya yang merah, ia menggosok-gosokkan telapak tangan tangannya--"memoles telapaknya", seperti yang biasa dikatakan Garrow--dan berkata, "Ketahuilah ini tentang diriku, kalau begitu; Aku dilahirkan beberapa abad yang lalu di kota kami Luthivira, yang berada di hutan dekat Danau Tiidosten. Pada usia dua puluh tahun, seperti semua anak elf, aku dihadapkan pada telur-telur yang diberikan para naga kepada Penunggang, dan Glaedr menetas bagiku. Kami dilatih sebagai Penunggang, dan selama hampir seabad, kami menjelajahi dunia bersama-sama, memenuhi keinginan Vrael. Akhirnya, tiba hari kami dianggap selayaknya pensiun dan mengalihkan pengalaman kami kepada generasi berikutnya, jadi kami menetap di Ilirea dan mengajar Penunggang baru, satu atau dua orang setiap kalinya, hingga Galbatorix menghancurkan kami."
"Dan Brom""
"Brom berasal dari keluarga guru di Kuasta. Ibunya bernama Neld
a dan ayahnya bernama Holcomb. Kuasta begitu terisolir dari bagian lain Alagaesia karena Spine, hingga menjadi tempat yang ganjil, penuh budaya aneh dan takhayul. Sewaktu masih baru di Ilirea, Brom mengetuk ambang pintu tiga kali sebelum masuk atau keluar ruangan. Para murid manusia menggodanya karena kebiasaan itu hingga ia berhenti melakukannya, juga beberapa kebiasaan lain.
"Morzan adalah kegagalan terbesarku. Brom mengidolakan dirinya. Ia tidak pernah beranjak dari sisi Morzan, tidak pernah menentangnya, dan tidak pernah percaya bisa mengalahkan Morzan dalam kegiatan apa pun. Morzan, aku malu mengakuinya--karena aku sebenarnya bisa menghentikan--menyadari hal ini dan memanfaatkan pemujaan Brom hingga ratusan cara. Ia menjadi begitu sombong dan kejam hingga aku mempertimbangkan untuk memisahkan dirinya dari Brom. Tapi sebelum aku sempat melakukannya, Morzan membantu Galbatorix mencuri naga yang baru menetas, Shruikan, untuk menggantikan naga Galbatorix yang hilang, membunuh Penunggang asli naga itu ketika melakukannya. Morzan dan Galbatorix lalu melarikan diri bersama-sama, memastikan kehancuran kami.
"Kau tidak bisa membayangkan sedikit pun pengaruh pengetahuan Morzan pada Brom hingga kau memahami dalamnya perasaanku Brom padanya. Dan sewaktu Galbatorix akhirnya menampakkan diri dan para Terkutuk membunuh naga, Brom memusatkan seluruh kemarahan dan penderitaannya pada orang yang menurutnya bertanggung jawab atas kehancuran dunianya: Morzan."
Oromis diam sejenak, wajahnya sedih. "Kau tahu kenapa kehilangan nagamu, atau sebaliknya, biasanya membunuh yang selamat""
"Bisa kubayangkan," kata Eragon. Ia gemetar memikirkan hal itu.
"Sakitnya cukup mengejutkan--sekalipun tidak selalu menjadi faktor penentunya--tapi yang benar-benar merusak adalah perasaan bahwa sebagian dari benakmu, sebagian dari identitasmu, tewas. Sewaktu Brom mengalaminya, aku sempat khawatir ia akan jadi sinting. Sesudah aku tertangkap dan bisa melarikan diri, kubawa ia ke Ellesmera demi keselamatannya, tapi ia menolak tinggal, malah berbaris bersama pasukan kami ke dataran Ilirea, tempat Raja Evandar terbunuh.
"Kebingungan yang berlangsung kemudian tidak bisa dijabarkan. Galbatorix sibuk mengkonsolidasi kekuatannya, para kurcaci mengundurkan diri, kawasan barat laut merupakan medan peperangan sementara manusia memberontak dan berjuang membentuk Surda, dan kami baru saja kehilangan raja kami. Didorong keinginan membalas dendam, Brom berusaha memanfaatkan kekacauan ini. Ia mengumpulkan banyak orang yang dibuang membebaskan beberapa yang ditawan, dan bersama mereka membentuk Varden. Ia memimpin mereka selama beberapa tahun, lalu menyerahkan posisinya pada orang lain agar ia bisa melakukan niat sejatinya, yaitu meruntuhkan Morzan. Brom sendiri membunuh tiga kaum Terkutuk, termasuk Morzan, dan ia bertanggung jawab atas kematian lima Terkutuk lain. Ia jarang merasa bahagia sepanjang hidupnya, tapi ia Penunggang dan orang yang baik, dan aku merasa tersanjung bisa mengenalnya."
"Aku tidak pernah mendengar namanya disinggung-singgung sehubungan dengan kematian para Terkutuk," kata Eragon memprotes.
"Galbatorix tidak ingin menyebarluaskan fakta bahwa ada Penunggang yang masih hidup dan mampu mengalahkan para pelayannya. Sebagian besar kekuasaannya berasal dari penampilannya yang seakan tidak terkalahkan."
Sekali lagi Eragon terpaksa merevisi pandangannya tentang Brom, dari anggapan pertamanya bahwa pria tua itu sekadar pendongeng desa, menjadi pejuang dan penyihir yang bersamanya melakukan perjalanan, hingga Penunggang--jati dirinya yang sebenarnya yang akhirnya terungkap, dan sekarang sebagai jagoan, pemimpin revolusi, dan pembunuh. Sulit memadukan semua peran itu. Rasanya seolah aku nyaris tidak mengenalnya.
Kalau saja kami mendapat kesempatan untuk membicarakan semua in: setidaknya sekali saja. "Ia orang yang baik," Eragon menyetujui.
Ia memandang keluar salah satu jendela bulat yang menghadap ke bibir tebing dan membiarkan kehangatan sore mengisi ruangan. Ia memandangi Saphira, menyadari bagaimana sikap naga itu terhadap Glaedr, tampak malu-malu s
ekaligus menggoda. Satu saat Saphira berputar mengamati lapangan, lalu ia mengebaskan sayap dan bergeser mendekati naga yang lebih besar itu, sambil menggoyang-goyang kepala, ujung ekornya tersentak-sentak seakan ia hendak menerkam rusa. Ia memperingatkan Eragon pada anak kucing yang berusaha membujuk kucing jalanan tua agar mau bermain dengannya, hanya saja Glaedr tetap pasif selama Saphira berusaha.
Saphira, kata Eragon. Saphira bereaksi dengan pikiran yang samar dan terpecah, nyaris tidak mengakui kehadiran Eragon. Saphira, jawab aku.
Apa" Aku tahu kau bersemangat, tapi jangan permalukan dirimu.
Kau sendiri sering mempermalukan dirimu sendiri. Sergah naga itu.
Jawaban Saphira begitu tidak terduga hingga Eragon tetegun karenanya. Komentar kasar seperti itu biasa diucapkan manusia, tapi Eragon tidak menduga akan mendengarnya dari Saphira. Dengan susah payah ia akhirnya berkata, Itu tidak akan memperbaiki keadaan. Saphira mendengus dan menutup benaknya dari Eragon, sekalipun Eragon masih bisa merasakan keterkaitan emosi di antara mereka.
Eragon kembali ke dirinya sendiri dan mendapati mata kelabu Oromis menatapnya tajam. Tatapan elf itu begitu perseptif hingga Eragon yakin Oromis memahami apa yang telah terjadi. Eragon memaksa dirinya tersenyum dan memberi isyarat ke arah Saphira. "Sekalipun kami berkaitan, aku tidak pernah bisa memperkirakan apa yang akan dilakukannya. Semakin banyak yang kupelajari tentang dirinya, semakin kusadari betapa berbedanya kami."
Lalu Oromis melontarkan pernyataan pertama yang menurut Eragon benar-benar bijak: "Mereka yang kita sayangi sering kali yang paling asing bagi kita." Elf itu diam sejenak. "Saphira masih sangat muda, seperti dirimu. Glaedr dan aku membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun sebelum kami saling memahami sepenuhnya. Ikatan Penunggang dengan naganya sama seperti hubungan mana pun--terus membutuhkan kerja keras. Kau memercayainya""
"Dengan nyawaku."
"Dan apakah ia memercayaimu""
"Ya." "Kalau begitu turutilah dia. Kau dibesarkan sebagai yatim piatu. Ia dibesarkan dengan keyakinan bahwa dirinya individu waras terakhir dalam seluruh rasnya. Dan sekarang keyakinannya itu terbukti keliru. Jangan terkejut kalau ia membutuhkan waktu beberapa bulan untuk berhenti mengusik Glaedr dan kembali memerhatikan dirimu."
Eragon memutar-mutar sebutir blueberry dengan ibu jari dan telunjuknya; selera makannya lenyap. "Kenapa elf tidak makan daging" Kenapa kami harus makan daging"" Oromis mengacungkan sebutir stroberi dan memutarnya hingga cahaya memantul dari kulitnya yang berceruk dan menerangi bulu-bulu halus hingga memenuhi buah itu. "Segala yang kami butuhkan atau inginkan, kami nyanyikan dari tanaman. termasuk makanan. Menyiksa hewan agar kami memiliki tambahan hidangan merupakan tindakan biadab... Kau akan memahami pilihan kami tidak lama lagi."
Eragon mengerutkan kening. Ia selalu makan daging dan tidak ingin hidup dari buah dan sayuran semata se lama di Ellesmera.
"Anda tidak merindukan rasanya""
"Kau tidak bisa merindukan apa yang tidak pernah kau rasakan."
"Tapi bagaimana dengan Glaedr" Ia tidak bisa hidup dari rumput."
"Ya, tapi ia juga tidak menimbulkan kesakitan yang tidak perlu. Kami masing-masing berusaha sebaik-baiknya dengan apa yang kami miliki. Kau tidak bisa memilih dilahirkan sebagai siapa atau apa."
"Dan Islanzadi" Jubahnya terbuat dari bulu angsa."
"Bulu yang tanggal dengan sendirinya dan dikumpulkan selama bertahun-tahun. Tidak ada burung yang dibunuh untuk dijadikan pakaiannya."
Mereka menyelesaikan makan, dan Eragon membantu Oromis membersihkan piring-piring dengan pasir. Sambil menumpuk piring-piring di laci, elf itu bertanya, "Apa kau mandi tadi pagi"" Pertanyaan itu mengejutkan Eragon, tapi ia menjawab tidak, ia belum mandi. "Kalau begitu, tolong mandilah besok, dan setiap hari sesudahnya."
"Setiap hari! Airnya terlalu dingin. Aku bisa sakit."
Oromis menatapnya dengan pandangan aneh. "Kalau begiwbuat airnya lebih hangat."
Sekarang giliran Eragon yang tertegun. "Aku tidak cukup kuat untuk menghangatkan seluruh sungai dengan sihir," protesnya.
Rumah menggemakan tawa Oromis. Di luar, Glaedr mengayunkan kepala ke jendela dan menatap si elf, lalu kembali ke posisi semula. "Kuanggap kau memeriksa tempat tinggalmu semalam." Eragon mengangguk. "Dan kau melihat kamar yang lantainya berceruk""
"Kupikir itu untuk mencuci pakaian atau linen."
"Itu untuk mencuci dirimu. Ada dua moncong tersembunyi di dinding samping di atas ceruk itu. Buka moncong itu dan kau bisa mandi dengan air pada suhu berapa pun. Selain itu," ia memberi isyarat ke arah dagu Eragon, "selama kau menjadi muridku, kuminta kau bercukur bersih sampai kau bisa menumbuhkan janggut sepenuhnya--kalau kau mau--dan tidak tampak seperti pohon yang separo daunnya gugur tertiup angin. Elf tidak bercukur, tapi akan kucarikan pisau cukur dan cermin lalu mengirimkannya padamu."
Sambil mengernyit karena pukulan terhadap harga dirinya itu, Eragon menyetujui. Mereka kembali keluar, kemudian Oromis memandang Glaedr dan naga itu berkata, Kami sudah memutuskan kurikulum untuk Saphira dan dirimu.


Eldest Seri 2 Eragon Karya Christhoper Paolini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si elf berkata, "Kalian akan mulai--"
--satu jam sesudah matahari terbit besok, pada saat Lili Merah. Kembalilah kemari pada waktu itu.
"Dan bawa pelana yang dibuatkan Brom untukmu, Saphira," lanjut Oromis. "Kalian boleh melakukan apa saja yang kalian inginkan sementara itu; Ellesmera menyimpan banyak keajaiban bagi orang asing, kalau kalian mau melihatnya."
"Akan kuingat," kata Eragon, sambil membungkuk. "Sebelum aku pergi, Master, aku ingin berterima kasih atas bantuan Anda di Tronjheim sesudah aku membunuh Durza. Aku ragu bisa bertahan hidup tanpa bantuan Anda. Aku berutang budi pada Anda."
Kami berdua berutang budi, tambah Saphira.
Oromis tersenyum tipis dan menunduk sedikit.
KEHIDUPAN RAHASIA SEMUT Begitu Oromis dan Glaedr tidak terlihat lagi, Saphira berkata, Eragon, naga lain! Kau percaya"
Eragon menepuk bahu Saphira. Luar biasa. Tinggi di atas Du Weldenvarden, satu-satunya tanda hutan berpenghuni hanyalah kepulan asap tipis yang sesekali membubung dari pucuk pohon dan segera memudar dalam udara yang bersih.
Aku tidak pernah menduga akan bertemu naga lain, kecuali Shruikan. Mungkin menyelamatkan telur-telur dari Galbatorix, ya, tapi hanya sampai sebegitu harapanku. Dan sekarang ini! Saphira menggeliat gembira di bawah Eragon. Glaedr luar biasa, bukan" Ia begitu tua dan kuat dan sisik-sisiknya begitu cemerlang. Ia pasti dua, tidak, tiga kali lebih besar daripada diriku. Kau lihat cakarnya" Cakarnya... .
Saphira terus berceloteh seperti itu selama beberapa menit memuji-muji Glaedr. Tapi yang lebih kuat daripada kata-katanya adalah emosi yang dirasakan Eragon bergulung-gulung dalam naga itu: semangat dan antusiasmenya, berpadu sebegitu rupa hingga ia hanya bisa mengidentifikasinya sebagai pemujaan penuh kerinduan.
Eragon berusaha memberitahu Saphira mengenai apa yang dipelajarinya dari Oromis--karena ia tahu Saphira tidak memperhatikan--tapi ia ternyata mustahil mengubah topik pembicaraan. Ia duduk membisu di punggung Saphira, dunia bagai lautan zamrud di bawah, dan merasa dirinya orang kesepian yang pernah ada.
Sekembalinya di kamar mereka, Eragon memutuskan untuk tidak pergi melihat-lihat; ia terlalu lelah akibat kejadian-kejadian panjang hari ini dan perjalanan selama berminggu-minggu. Dan Saphira tidak keberatan sekadar duduk di ranjang dan berceloteh tentang Glaedr sementara Eragon memeriksa misteri kamar rnandi elf.
Pagi datang, dan bersamanya datang juga bungkusan kertas kulit bawang berisi pisau cukur dan cermin yang dijanjikan Oromis. Pisaunya buatan elf, jadi tidak perlu diasah. Sambil mengernyit, Eragon mula-mula mandi dengan air panas yang mengepulkan uap, lalu mengangkat cermin dan menatap wajahnya.
Aku tampak lebih tua. Lebih tua dan lelah. Bukan hanya itu, tapi raut wajahnya jadi lebih tajam, menyebabkan wajahnya mirip elang. Ia bukan elf, tapi tidak seorang pun akan menganggap dirinya manusia tulen kalau lebih teliti mengamatinya sekarang. Setelah ia menarik rambutnya ke belakang, tampaklah telinganya, yang sekarang mulai agak lancip, bukti lebih lanjut bagaimana hubungannya dengan Saphira tel
ah mengubah dirinya. Ia menyentuh salah satu telinganya, membiarkan jemarinya menjelajahi bentuk yang asing itu.
Sulit baginya menerima perubahan tubuhnya. Sekalipun ia tahu perubahan itu akan terjadi--dan sesekali menerima prospek itu sebagai konfirmasi terakhir bahwa dirinya Penunggang--kenyataan menyebabkan ia bingung. Ia tidak senang karena tidak bisa menentukan perubahan tubuhnya, tapi pada saat yang sama ia penasaran ke mana proses ini akan membawanya. Selain itu, ia juga menyadari dirinya masih berkutat dalam perubahan dirinya sendiri, menuju manusia dewasa, serta berbagai misteri serta kesulitan yang menyertainya.
Kapan aku benar-benar tahu siapa dan apa diriku ini"
Ia menempelkan mata pisau ke pipi, seperti yang dilihatnya dilakukan Garrow dulu, dan menyusurkannya di kulit. Bulu berjatuhan, berjatuhan, tapi potongannya panjang dan tidak rata.
Ia mengubah sudut mata pisau dan mencoba lagi dengan lebih berhasil. Sewaktu tiba di dagu, mata pisaunya terselip dari tangannya dan melukainya dari sudut mulut ke sisi bawah rahang. Ia melolong dan menjatuhkan pisau, memeganginya, yang mengalirkan darah ke lehernya. Sambil menggertakkan gigi, ia berkata, "waise heill." Sakitnya segera mereda saat sihir menjahit kulitnya hingga menyatu kembali, sekalipun jantungnya masih berdebar-debar karena terkejut.
Eragon! seru Saphira. Naga itu memaksa memasukkan kepala dan bahunya ke kamar dan mendorong pintu kamar mandi dengan hidung, mengembangkan cuping hidungnya saat men cium bau darah.
Aku masih hidup, Eragon menenangkannya.
Saphira menatap air yang kemerahan. Hati-hatilah. Aku lebih suka kau sekumuh rusa daripada kau memenggal dirimu sendiri demi cukuran yang licin.
Aku juga. Pergilah, aku baik-baik saja.
Saphira mendengus dan mundur dengan enggan.
Eragon duduk, memelototi pisau cukur. Akhirnya, ia menggumam, "Lupakan saja ini." Setelah menenangkan diri, ia memikirkan kata-kata bahasa kuno yang diketahuinya, memilih yang dibutuhkannya, dan mengucapkan mantra ciptaannya. Bubuk hitam halus berjatuhan dari wajahnya saat bakal janggutnya hancur menjadi debu, meninggalkan pipinya yang mulus sempurna.
Dengan perasaan puas, Eragon melangkah keluar dan memasang pelana Saphira, yang seketika mengudara, menuju Tebing Tel'naeir. Mereka mendarat di depan gubuk dan disambut Oromis dan Glaedr.
Oromis memeriksa pelana Saphira. Ia mengelus setiap talinya, berhenti sejenak di setiap jahitan dan gesper, lalu mengatakan pelana itu merupakan karya yang lumayan mengingat bagaimana dan kapan pelana itu dibuat. "Brom sejak dulu pandai menggunakan tangannya. Gunakan pelana ini kalau kau harus bepergian dengan kecepatan tinggi. Tapi kalau untuk mendapat kenyamanan--" Ia melangkah masuk ke dalam gubuknya sejenak dan muncul kembali membawa pelana tebal berhias ukiran emas di sepanjang bagian tempat duduk dan kakinya." --gunakan ini. Ini dibuat di Vroengard dan diberi banyak mantra hingga tidak akan pernah mengecewakanmu di saat kau butuhkannya."
Eragon terhuyung akibat beratnya pelana itu saat menerimanya dari tangan Oromis. Bentuk pelana itu kurang-lebih sama dengan buatan Brom, dengan sederetan gesper--yang dimaksudkan untuk memantapkan kakinya--menjuntai di kedua sisinya. Kursinya yang dalam diukir dari kulit sebegitu rupa hingga ia bisa terbang berjam-jam dengan mudah, duduk tegak atau berbaring rata di leher Saphira. Selain itu, tali-temali yang meliliti dada Saphira dilengkapi beberapa simpul dan sambungan hingga bisa diperpanjang saat naga itu tumbuh semakin besar. Serangkaian ikatan lebar di kedua sisi kepala pelana menarik perhatian Eragon. Ia menanyakan manfaatnya.
Glaedr menggeram, Itu untuk memantapkan pergelangan dan lenganmu agar kau tidak tewas seperti tikus yang terguncang-guncang sampai mati sewaktu Saphira melakukan manuver-manuver rumit.
Oromis membantu Saphira melepas pelananya. "Saphira, kau akan pergi bersama Glaedr hari ini, dan aku akan bekerja dengan Eragon di sini."
Terserah Anda, kata Saphira, dan menggeram gembira. Setelah mengangkat tubuhnya yang keemasan dari tanah, Glaedr membubung ke utara, diikuti Saphira d
engan rapat. Oromis tidak memberi Eragon waktu yang lama untuk memikirkan kepergian Saphira; elf itu mengajaknya ke sepetak tanah Yang dipadatkan di bawah pohon dedalu di seberang lapangan. Sambil berdiri di hadapannya di petak itu, Oromis berkata, Yang akan kutunjukkan padamu disebut Rimgar, atau Tarian Uar dan Bangau. Ini serangkaian gerakan yang kami kembangkan Untuk mempersiapkan pejuang kami bertempur, sekali pun semua elf sekarang menggunakannya untuk menjaga kesehatan dan kebugaran. Rimgar terdiri atas empat tingkat, masing-masing lebih sulit daripada sebelumnya. Kita mulai dengan yang pertama."
Kengerian pada siksaan yang akan dialaminya menggentarkan Eragon hingga ia nyaris tidak bisa bergerak. Ia mengepalkan tangan dan membungkukkan bahu, bekas lukanya menarik kulit punggunggnya saat ia menatap tanah di sela kakinya.
"Tenang," kata Oromis. Eragon membuka tangan dengan gerakan menyentak dan membiarkannya terkulai di ujung lengannya yang kaku. "Santailah, Eragon. Kau tidak bisa melakukan Rimgar kalau kau sekaku kulit yang belum disamak."
"Ya, Master." Eragon meringis dan dengan enggan mengendurkan otot-otot dan persendiannya, sekalipun perutnya masih terasa tegang.
"Satukan kakimu dan tempelkan lengan di sisi tubuh Pandang lurus ke depan. Sekarang tarik napas dalam dan angkat lenganmu melewati kepala hingga telapakmu bertemu... Ya, seperti itu. Embuskan napas dan membungkuklah sedalam mungkin, tempelkan telapakmu ke tanah, tarik napas lagi & dan tegakkan tubuh dengan cepat. Bagus. Tarik napas dan lengkungkan punggungmu ke belakang, pandang langit... dan embuskan napas, angkat pinggulmu hingga kau membentuk segitiga. Tarik napas melalui belakang tenggorokan.., dan embuskan. Tarik... dan embuskan. Tarik...."
Yang sangat melegakan Eragon, posisi itu ternyata cukup mudah dilakukan tanpa memicu sakit di punggungnya, tapi cukup menantang hingga keringat mulai mengucur di dahinya dan ia terengah-engah. Ia tersenyum gembira karena pikirannya. Kewaspadaannya menguap dan ia melakukan postur-postur berikutnya--sebagian besar jauh melebihi keluwesannya--dengan lebih bertenaga dan yakin daripada yang dirasakannya sebelum pertempuran di Farthen Dur. Mungkin aku sudah sembuh!
Oromis melakukan Rimgar bersamanya, menampilkan tingkat kekuatan dan keluwesan yang menyebabkan Eragon tertegun, terutama bagi orang setua elf itu. Elf tersebut bisa menyentuh jemari kakinya dengan kening. Selama latihan, Oromis tetap sangat rileks, seakan kegiatan itu tidak lebih daripada berjalal-jalan di taman. Instruksinya lebih tenang dan sabar daripada Brom, namun amat menuntut. Eragon tidak dibiarkan menyimpang sama sekali.
"Kita bersihkan keringat dari tubuh kita," kata Oromis sesudah mereka selesai.
Setelah berjalan ke sungai di dekat rumah, mereka bergegas menanggalkan pakaian. Eragon diam-diam mencuri pandang ke elf itu, ingin tahu bagaimana penampilannya tanpa pakaian. Oromis sangat kurus, tapi otot-ototnya terbentuk sempurna, terukir di bawan kulitnya dengan garis-garis keras bagai urat kayu. Tidak ada bulu di dada maupun kakinya, bahkan di sekitar pangkal pahanya juga. Eragon nyaris menganggap aneh tubuhnya, dibandingkan tubuh orang-orang yang pernah dilihatnya di Carvahall--sekalipun tubuh Oromis memancarkan keanggunan tertentu, seperti tubuh kucing liar.
Sesudah mandi, Oromis mengajak Eragon masuk jauh ke Du Weldenvarden, ke lubang di mana pepohonan gelap miring ke dalam, menutupi langit di belakang cabang-cabang dan tirai-tirai tanaman merambat yang saling menjalin. Kaki-kaki mereka terbenam ke dalam lumut hingga hampir melewati mata kaki. Segala sesuatu di sekeliling mereka sunyi.
Setelah menunjuk tunggul putih bepermukaan rata dan licin, berdiameter tiga yard, yang ada di tengah lubang, Oromis berkata, "Duduklah di sini." Eragon mematuhinya. "Silangkan kakimu dan pejamkan mata." Dunia berubah gelap di sekelilingnya. Dari sebelah kanannya, Eragon mendengar Oromis berbisik, "Buka pikiranmu, Eragon. Buka pikiranmu dan dengarkan dunia di sekitarmu, dengarkan pikiran-pikiran setiap makhluk di rawa ini, dari semut di pohon hingga cac
ing di tanah. Dengarkan hingga kau bisa mendengar semuanya dan memahami tujuan serta sifat mereka. Dengarkan, dan sesudah kau tidak mendengar apa-apa lagi, temui aku dan ceritakan apa Yang kaupelajari."
Lalu hutan berubah sunyi.
Tidak yakin Oromis telah pergi, Eragon dengan hati-hati menurunkan penghalang di benaknya dan menjangkau dengan kesadarannya, seperti yang dilakukannya sewaktu berusaha menghubungi Saphira dari jarak jauh. Awalnya hanya kehampaan yang mengelilingi dirinya, tapi lalu bintik-bintik cahaya dan kehangatan mulai muncul dalam kegelapan, semakin kuat hingga ia duduk di tengah galaksi konstelasi-konstelasi yang berputar-putar setiap titik terang mewakili sebuah kehidupan.
Setiap kali ia mengadakan kontak dengan makhluk lain dalam benaknya, seperti Cadoc, Snowfire, atau Solembum, fokusnya selalu pada yang ingin diajaknya berkomunikasi. Tapi ini... ini seolah ia berdiri tuli di tengah keramaian dan sekarang ia bisa mendengar aliran percakapan berputar di sekelilingnya.
Ia tiba-tiba merasa rapuh; ia terbuka sepenuhnya pada dunia. Siapa pun atau apa pun yang mungkin ingin melompat masuk ke benaknya dan mengendalikan dirinya sekarang bisa berbuat begitu. Ia menegang tanpa sadar, menarik diri kembali, dan kesadarannya akan lubang tempatnya berada menghilang. Teringat salah satu pelajaran Oromis, Eragon melambatkan napasnya dan memonitor aktivitas paru-parunya hingga ia cukup santai untuk membukakan kembali benaknya.
Dari semua kehidupan yang bisa dirasakannya, yang paling bisa dirasakannya adalah serangga. Jumlahnya saja sudah menyebabkan ia tertegun. Puluhan ribu serangga menghuni lumut seluas satu kaki persegi, berjuta-juta di bagian lain lubang, dan tidak terhitung jumlahnya di luar itu. Banyaknya jumlah mereka sebenarnya menimbulkan ketakutan Eragon. Sejak dulu ia tahu jumlah manusia sedikit dan terpencar di Alagaesia, tapi ia tidak pernah membayangkan jumlah mereka kalah begitu jauh bahkan dari kumbang.
Karena semut salah satu dari sedikit serangga yang dikenalinya, dan Oromis pernah menyebutnya, Eragon memusatkan perhatian pada sederetan semut merah yang berbaris menyeberangi tanah dan memanjat tangkai rumpun mawar liar. Yang dipelajarinya dari mereka bukanlah pikiran--otak mereka terlalu primitif--tapi dorongan naluri: dorongan menemukan makanan dan menghindari luka, dorongan mempertahankan wilayah, dorongan berpasangan. Dengan memeriksa naluri semut-semut itu, ia mulai bisa memahami tingkah laku mereka.
Ia terpesona ketika mendapati bahwa--kecuali beberapa semut individual yang menjelajah hingga keluar perbatasan wilayah mereka--semut-semut itu tahu persis ke mana tujuan mereka. Ia tidak mampu menentukan mekanisme yang membimbing mereka, tapi mereka mengikuti jalan yang telah ditetapkan dengan jelas dari sarang ke makanan dan kembali. Sumber makanan mereka merupakan kejutan lain. Sebagaimana dugaannya, semut-semut membunuh dan memburu serangga-serangga lain, tapi sebagian besar usaha mereka diarahkan pada pengembangan... sesuatu yang membuat rumpun mawar berbintik-bintik. Apa pun makhluk hidup itu, ia tidak cukup besar sehingga Eragon tak bisa merasakan kehadirannya. Ia memusatkan seluruh kekuatan dalam usahanya mengenali makhluk itu dan memuaskan rasa ingin tahunya.
Jawabannya begitu sederhana hingga ia terbahak-bahak sewaktu memahaminya: kutu. Semut-semut itu bertindak sebagai penggembala kutu, mengarahkan dan melindungi mereka, juga memperoleh makanan dengan memijat-mijat perut kutu itu menggunakan antena. Eragon nyaris tidak bisa memercayainya, tapi semakin lama mengawasi, ia semakin yakin pendapatnya benar.
Ia melacak semut-semut itu ke bawah tanah, ke dalam jaringan liang mereka yang rumit dan mempelajari bagaimana mereka merawat anggota tertentu spesies mereka yang beberapa kali lipat lebih besar daripada semut normal. Tapi, ia tidak mampu menentukan guna serangga itu; ia hanya bisa melihat para pelayan yang mengerumuni semut yang lebih besar, memutarnya, dan memunguti bintik-bintik yang dihasilkan semut besar itu secara teratur.
Sesudah beberapa waktu, Eragon memutuskan ia telah menda
patkan semua informasi yang bisa didapatnya dari semut-semut--kecuali ia bersedia duduk di sana sepanjang sisa hari itu--dan hendak kembali ke tubuhnya sewaktu ada bajing yang melompat datang. Penampilan bajing itu seperti sambaran cahaya baginya, karena Eragon begitu terpaku pada serangga. Dalam keadaan tertegun, ia segera dilanda sensasi dan perasaan dari bajing itu. Ia mengendus hutan dengan hidung bajing, merasakan kulit pohon di bawah cakarnya yang melengkung dan udara mendesir di sekeliling ekornya yang mencuat. Dibandingkan semut, si bajing bagai membara dengan energi dan memiliki kecerdasan yang tidak perlu diragukan lagi.
Lalu bajing itu melompat ke cabang lain dan menghilang dari kesadarannya.
Hutan terasa lebih gelap dan lebih sunyi daripada sebelumnya sewaktu Eragon membuka mata. Ia menghela napas dalam dan memandang sekitarnya, untuk pertama kali menyadari betapa banyak kehidupan yang ada di dunia ini. Setelah meluruskan kakinya yang kesemutan, ia berjalan ke rumpun mawar.
Ia membungkuk dan memeriksa cabang-cabang serta ranting-rantingnya. Dan tampaklah kutu-kutu dan para penjaga merah yang menempel pada mereka. Dan di dekat dasar tanaman terdapat gundukan daun jarum pinus yang menandai pintu masuk liang semut. Aneh rasanya melihatnya dengan mata sendiri; tidak ada yang menunjukkan banyaknya jumlah dan interaksi tak kentara yang sekarang disadari Eragon.
Tenggelam dalam pikiran, Eragon kembali ke lapangan, bertanya-tanya apa yang mungkin diinjaknya seiring setiap langkahnya. Sewaktu muncul dari bawah perlindungan pepohonan, ia terkejut melihat betapa rendahnya matahari di langit. Aku pasti sudah duduk di sana setidaknya tiga jam.
Ia mendapati Oromis dalam gubuknya, menulis dengan pena bulu angsa. Elf itu menyelesaikan kalimatnya, lalu mengusap ujung pena bulu hingga bersih, menutup tintanya, dan bertanya, "Apa yang kaudengar, Eragon""
Eragon bersemangat menceritakannya. Saat menjabarkan pengalamannya, ia mendengar suaranya sendiri semakin keras karena antusias mengenai rincian masyarakat semut. Ia menceritakan segala sesuatu yang bisa diingatnya, hingga pengamatan yang paling kecil dan sepele, bangga akan informasi yang dikumpulkannya.
Sesudah ia selesai, Oromis mengangkat satu alis. "Hanya itu""
"Aku...." Kekecewaan menguasai Eragon saat ia memahami bahwa entah bagaimana dirinya telah melewatkan inti latihan. "Ya, Ebrithil."
"Bagaimana dengan organisme lain di tanah dan udara" Kau bisa menceritakan padaku apa yang mereka lakukan Sementara semut-semutmu menjaga ternak mereka""
"Tidak, Ebrithil."
"Di sana letak kesalahanmu. Kau harus sama menyadari segala sesuatu dan tidak memusatkan perhatian hanya pada objek tertentu. Ini pelajaran inti, dan sebelum kau menguasainya, kau akan bermeditasi di tunggul itu selama satu jam setiap hari."
"Bagaimana aku tahu aku sudah menguasainya"
"Kalau kau bisa mengawasi salah satu dan tahu semuanya."
Oromis memanggil Eragon agar mendekat ke meja, lalu meletakkan sehelai kertas baru di depannya, bersama pena bulu dan sebotol tinta. "Sejauh ini kau berhasil bertahan dengan pengetahuan bahasa kuno yang tidak lengkap. Memang tidak ada di antara kami yang tahu semua kata dalam bahasa itu.
Tapi kau harus menguasai tata bahasa dan strukturnya agar tidak membunuh dirimu sendiri dengan meletakkan kata kerja di tempat yang salah atau kesalahan lain seperti itu. Aku tidak berharap kau bisa menggunakan bahasa kami seperti elf--itu membutuhkan waktu seumur hidup--tapi kuharap kau menguasainya hingga bawah sadar. Yaitu, kau harus bisa menggunakannya tanpa berpikir.
Sebagai tambahan, kau harus belajar menulis dan membaca bahasa kuno. Bukan saja hal ini akan membantumu menghafalkan kata-katanya, tapi ini keahlian utama kalau kau harus menyusun mantra yang panjang dan kau tidak memercayai ingatanmu, atau kalau kau mendapati mantra seperti itu tercatat entah di mana dan ingin menggunakannya.
"Setiap ras mengembangkan sistem penulisan bahasa kunonya sendiri. Para kurcaci menggunakan abjad runic mereka, juga manusia. Tapi itu teknik darurat, dan tidak mampu mengekspresikan nuansa
sejati bahasa ini sebagus Liduen Kvaedhi, Naskah Puitis, kami. Liduen Kvaedhi dirancang untuk seanggun, seindah, dan setepat mungkin. Bahasa itu terdiri atas empat puluh dua bentuk berbeda yang mewakili berbagai bunyi. Bentuk-bentuk ini bisa dikombinasikan dalam rangkaian garis tanpa batas yang mewakili baik kata-kata individual maupun seluruh kalimat. Simbol di cincinmu adalah salah satu contohnya. Simbol di Zar'roc merupakan contoh lain... Mari kita mulai: Apa bunyi-bunyi vokal dasar bahasa kuno""
"Apa"" Ketidaktahuan Eragon mengenai dasar bahasa kuno dengan cepat ketahuan. Sewaktu ia menempuh perjalanan bersama pendongeng tua itu memusatkan perhatian hanya agar Eragon menghafalkan daftar kata yang mungkin diperlukannya untuk bertahan hidup, juga menyempurnakan pengucapannya. Di kedua bidang itu, ia berhasil dengan baik, tapi ia tidak bisa menjelaskan perbedaan kata sandang tertentu dan tidak tentu. Kalau celah dalam pendidikannya ini menyebabkan Oromis merasa frustrasi, elf itu tidak menunjukkannya melalui kata-kata atau tindakan, tapi bersusah payah dengan tekun untuk memperbaikinya Pada tahap tertentu selama pelajaran, Eagon berkometar "Aku tidak pernah menyusun begitu banyak kata dalam mantraku; kata Brom karena bakatlah aku bisa berbuat begitu banyak hanya dengan brisingr. Kupikir kata-kata terpanjang dalam bahasa kuno yang pernah kugunakan adalah sewaktu aku berbicara dengan Arya melalui benaknya dan sewaktu aku memberkati anak yatim di Farthen Dur."
"Kau pernah memberkati anak dengan bahasa kuno"" tanya Oromis, tiba-tiba waspada. "Kau ingat bagaimana susunan kata-kata berkat itu""
"Aye. " "Tolong ulangi." Eragon mematuhinya, dan kengerian hebat menguasai Oromis. Ia berseru, "Kau menggunakan kata skolir! Kau yakin" Bukan skoliro""
Eragon mengerutkan kening. "Tidak, skolir. Kenapa aku tidak boleh menggunakannya" Skolir berarti dilindungi. '...dan kiranya kau dilindungi dari nasib buruk.' Itu berkat yang bagus."
"Itu bukan berkat, tapi kutukan." Belum pernah Eragon melihat Oromis sejengkel sekarang. "Akhiranya menjadikan bentuk lampau kata kerja yang berakhiran r dan i. Skoliro berarti dilindungi, tapi skolir berarti pelindung. Yang kaukatakan adalah 'Semoga keberuntungan dan kebahagiaan mengikutimu dan kiranya kau menjadi pelindung dari nasib buruk.' Bukannya melindungi anak ini dari nasib sial, kau mengutuknya sebagai korban bagi orang lain, untuk menyerap penderitaan mereka agar mereka bisa hidup damai."
Tidak, tidak! Tidak mungkin! Eragon tersentak memikirkan kemungkinan itu. "Pengaruh mantra bukan saja ditentukan susunan katanya, tapi juga oleh niat, dan aku tidak berniat menyakiti --"
"Kau tidak bisa melawan sifat intrinsik kata. Merekayasanya. Membimbingnya, ya. Tapi tidak bisa menentang definisinya untuk menyatakan sebaliknya." Oromis menekankan jemarinya satu sama lain dan menatap meja, bibirnya menipis segaris putih. "Aku percaya kau tidak berniat buruk, kalau tidak aku pasti menolak mengajarimu lebih jauh. Jika jujur dan hatimu murni, berkat ini akan menimbulkan keburukan yang lebih ringan daripada yang kutakuti, walaupun menjadi inti penderitaan yang lebih besar daripada yang bisa kita harapkan."
Eragon gemetar hebat saat menyadari apa yang telah dilakukanya terhadap kehidupan anak itu. "Mungkin aku tidak bisa membatalkan kesalahanku," katanya, "tapi mungkin aku bisa menguranginya; Saphira menandai alis gadis itu, seperti ia menandai telapak tanganku dengan gedwey ignasia."
Untuk pertama kali seumur hidupnya, Eragon melihat elf tertegun. Mata kelabu Oromis membelalak, mulutnya ternganga, dar, ia mencengkeram lengan kursi hingga kayunya berderit memprotes. "Menyandang lambang Penunggang, tapi bukan penunggang," gumamnya. "Sepanjang hidupku, aku belum pernah bertemu orang seperti kalian berdua. Setiap keputusan yang kau ambil tampaknya menimbulkan pengaruh yang jauh melebihi antisipasi siapa pun. Kau mengubah dunia sesuka hatimu."
"Apakah itu bagus atau buruk""
"Bukan dua-duanya, hanya begitulah keadaannya. Di mana bayi itu sekarang""
Eragon membutuhkan waktu sejenak untuk menenangkan pikir
an. "Bersama kaum Varden, entah di Farthen Dur atau Surda. Menurut Anda, tanda yang diberikan Saphira itu apakah akan membantunya""
"Aku tidak tahu," kata Oromis. "Belum pernah ada kejadian seperti ini,"
"Pasti ada cara untuk menyingkirkan berkat itu, menetralkan mantrannya." Eragon nyaris memohon.
Ada. Tapi agar efektif, harus kau sendiri yang menerapkannya dan kau tidak bisa digantikan di sini. Dalam situasi terbaik sekalipun, sisa-sisa sihirmu akan tetap menghantui gadis itu. Begitulah kekuatan bahasa kuno." Ia diam sejenak. "Kulihat kau sudah memahami beratnya situasi ini, jadi aku akan mengatakan ini sekali: kau bertanggung jawab sepenuhnya atas kehancuran gadis ini, dan, karena kesalahan yang kaulakukan padanya, kau berkewajiban membantunya kalau kesempatannya timbul. Berdasarkan hukum Penunggang, ia merupakan aibmu, seburuk kalau kau membatalkan pernikahan dengannya, aib di kalangan manusia, kalau aku tidak salah ingat."
"Aye," bisik Eragon. "Aku mengerti." Aku mengerti telah memaksa bayi yang tak berdaya untuk menjalani takdir tertentu tanpa pernah memberinya pilihan. Bisakah seseorang benar-benar baik kalau tidak pernah mendapat kesempatan untuk berlaku jahat" Aku sudah memperbudaknya. Ia juga tahu jika dirinya diikat seperti itu tanpa seizinnya, ia akan membenci penawannya dengan segenap jiwa.
"Kalau begitu kita tidak akan membicarakan masalah ini lebih jauh lagi."
"Ya, Ebrithil."
Eragon masih tertegun, bahkan tertekan, di akhir hari itu. Ia nyaris tidak menengadah sewaktu mereka keluar untuk menyambut kepulangan Saphira dan Glaedr. Pepohonan terguncang akibat tiupan angin kencang yang ditimbulkan kedua naga itu dengan sayap mereka. Saphira tampak bangga pada dirinya; ia melengkungkan leher dan melangkah ringan mendekati Eragon, membuka mulut membentuk cengiran lebar.
Sebutir batu berderak ditimpa berat tubuh Glaedr saat naga kuno itu memutar matanya--yang sebesar piring makan--ke arah Eragon dan bertanya, Apa aturan ketiga untuk menemukan arus udara turun, dan aturan kelima untuk meloloskan diri darinya."
Tersentak dari lamunan, Eragon hanya bisa mengerjapkan mata seperti orang bodoh. "Aku tidak tahu."
Lalu Oromis menghadapi Saphira dan bertanya, "Makhluk apa yang diternakkan semut, dan bagaimana cara semut mendapatkan makanan dari mereka""
Aku tidak tahu, kata Saphira. Ia terdengar marah.
Kilau kemarahan terpancar di mata Oromis dan ia bersedekap, sekalipun ekspresinya tetap tenang. "Sesudah semua kalian berdua lakukan bersama, kupikir kalian sudah mempelajari pelajaran paling dasar menjadi Shur'tugal: Berbagi segalanya dengan partnermu. Apa kau bersedia memenggal lengan kananmu" Apa kau mau terbang dengan satu sayap" Tidak akan pernah. Kalau begitu, kenapa kalian mengabaikan hubungan yang mengaitkan kalian" Dengan berbuat begitu, kalian menolak karunia dan keuntungan terbesar kalian dari lawan tunggal mana pun. Kalian juga seharusnya tidak hanya bercakap-cakap dengan benak kalian terhadap satu sama lain, menyatukan kesadaran kalian hingga bertindak dan berfikir sebagai satu kesatuan. Kuharap kalian berdua mengetahui apa yang diajarkan pada salah satu dari kalian."
"Bagaimana dengan privasi kami"" Eragon memprotes.
Privasi" kata Glaedr. Simpan pikiranmu untuk dirimu sendiri sewaktu kau pergi dari sini, kalau itu yang kauinginkan, tapi selama kami mengajari kalian, kalian tidak memiliki privasi.
Eragon memandang Saphira, merasa lebih buruk daripada sebelumnya. Saphira menghindari tatapannya, lalu mengentakkan satu kaki dan menghadapinya. Apa"
Mereka benar. Kita telah bersikap tak acuh.
Bukan salahku. Aku tidak mengatakan sebaliknya. Tapi Saphira telah menebak pendapat Eragon. Eragon marah atas perhatian yang ditumpahkan Saphira pada Glaedr dan bagaimana pengalihan perhatian itu menjauhkan Saphira dari dirinya. Kita akan bertindak lebih baik, bukan"
Tentu saja! sergah Saphira.
Tapi ia menolak meminta maaf pada Oromis dan Glaedr, menyerahkan tugas itu pada Eragon. "Kami tidak akan mengecewakan kalian lagi."
Pastikan begitu. Kalian akan diuji besok mengenai apa yang dipelajari yang lain." Oro
mis menunjukkan benda bulat dari kayu yang ada di telapak tangannya. "Selama kalian kemutarnya secara teratur, alat ini akan membangunkan kalian pada waktu yang tepat setiap pagi. Kembalilah kemari setelah kalian mandi dan makan."
Alat itu mengejutkan beratnya sewaktu Eragon mengambil ukurannya sebesar buah walnut, diukir dengan lengkungan-lengkungan dalam di sekeliling tombol yang bentuknya seperti mawar lumut. Ia mencoba memutar tombol itu dan terdengar tiga ceklikan saat tuas tersembunyinya bergerak. "Terima kasih," katanya.
DI BAWAH POHON MENOA Sesudah Eragon dan Saphira mengucapkan selamat tinggal, mereka terbang kembali ke rumah pohon dengan membawa pelana baru Saphira, menjuntai di sela cakar depannya.
Tanpa mengucapkannya, mereka perlahan-lahan membuka pikiran dan membiarkan hubungan mereka melebar dan mendalam, sekalipun tidak satu pun dari mereka secara sadar menjangkau yang lain. Gejolak emosi Eragon pasti cukup kuat hingga Saphira tetap dapat merasakannya, karena ia bertanya, Apa yang terjadi"
Sakit yang berdenyut-denyut bertambah hebat di belakang mata Eragon saat Eragon menjelaskan kejahatan besar yang dilakukannya di Farthen Dur. Saphira sama terkejutnya seperti dirinya. Eragon berkata, Hadiahmu mungkin membantu gadis itu, tapi perbuatanku tidak bisa dimaafkan dan hanya akan menyakiti dirinya.
Kesalahan bukan sepenuhnya padamu. Aku tahu bahasa kuno sebanyak dirimu, dan aku tidak menyadari kesalahannya, seperti kau. Sewaktu Eragon tetap membisu, Saphira menambahkan, setidaknya punggungmu tidak menimbulkan masalah hari ini. Bersyukurlah.
Eragon mendengus, tidak mau menyingkirkan kemuramannya. Apa yang kaupelajari di hari yang cerah ini"
Cara mengidentifikasi dan menghindari pola cuaca yang berbahaya. Saphira diam sejenak, tampaknya siap berbagi ingatan dengannya, tapi Eragon terlalu sibuk mengkhawatirkan berkatnyayang menyimpang sehingga tidak bertanya lebih lanjut. Ia juga tidak tahan membayangkan ikatan seintim itu saat ini. Sewaktu tidak berbicara lebih jauh, Saphira menarik diri dan membisu muram.
Sekembalinya di kamar tidur mereka, Eragon mendapati sebaki makanan di dekat pintu kasa, seperti semalam. Setelah membawa baki itu ke ranjang--yang telah dirapikan dan diganti seprai linennya--ia duduk untuk makan, sambil memaki karena tidak ada daging. Karena tubuhnya sakit setelah melakukan Rimgar, ia menyandar ke tumpukan bantal dan hendak menggigit makanan pertamanya sewaktu terdengar ketukan lembut di pintu kamar. "Masuk," katanya. Ia menenggak air minum.
Eragon nyaris tersedak sewaktu Arya melangkah memasuki ambang pintu. Arya tidak lagi mengenakan pakaian kulit seperti biasanya, melainkan tunik hijau lembut dengan sabuk yang dihiasi batu bulan. Ia juga tidak lagi mengenakan ikat kepala seperti biasa, membiarkan rambutnya tergerai di sekeliling wajahnya dan menutupi bahu. Tapi perubahan terbesarnya bukan pada pakaiannya, namun pada sikapnya; ketegangan yang terpancar dari sikapnya sejak Eragon pertama kali bertemu dengannya telah hilang.
Arya akhirnya tampak santai.
Eragon bergegas bangkit, menyadari Arya juga bertelanjang kaki, "Arya! Kenapa kau kemari""
Sambil menyentuhkan kedua jarinya di bibir, Arya berkata, "Apakah kau berencana menghabiskan malam di dalam""
"Aku--" "Kau sudah tiga hari berada di Ellesmera, tapi belum melihat kota kami sedikit pun. Aku tahu kau sejak dulu ingin menjelajahinya. Sisihkan kelelahanmu sekali ini dan temani aku." Sambil meluncur mendekati Eragon, ia mengambil Zar'roc yang tergeletak di samping Eragon dan memberi isyarat agar Eragon mengikutinya.
Eragon beranjak dari ranjang dan mengikutinya ke ruang di mana mereka turun melalui pintu di lantai dan menuruni tangga yang meliliti batang pohon. Di atas kepala, awan yang semakin banyak berpendar ditimpa cahaya terakhir matahari sebelum padam di balik tepi dunia.
Sepotong kulit kayu menimpa kepala Eragon dan ia menengadah, melihat Saphira mencondongkan tubuh keluar dari kamar tidur mereka, mencengkeram kayu dengan cakarnya.
Tanpa membuka sayap, Saphira melompat ke udara dan jatuh sekitar seratus kaki ke tanah,
mendarat dalam kepulan debu tebal. Aku ikut.
"Tentu saja," kata Arya, seakan tidak mengharapkan kurang dari itu. Eragon merengut; tadinya ia ingin berdua saja dengan Arya, tapi ia tahu ia tidak bisa mengeluh.
Mereka berjalan di bawah pepohonan, tempat senja menjulurkan tangan-tangannya dari dalam batang-batang pohon yang berlubang, ceruk-ceruk gelap dalam bongkahan batu, dan sisi bawah cabang-cabang pohon. Di sana-sini, lentera bagai batu permata berkelap-kelip di sisi sebatang pohon atau di ujung cabang, menebarkan cahaya lembut ke kedua sisi jalan.
Para elf melakukan berbagai tugas di dalam dan di sekitar cahaya lentera, masing-masing seorang diri kecuali beberapa pasangan yang jarang kelihatan. Beberapa elf duduk tinggi di pepohonan, memainkan nada-nada indah pada tongkat buluhnya, sementara yang lain menatap langit dengan ekspresi damai--tidak terjaga maupun tidur. Satu elf duduk bersila di depan roda tembikar yang berputar-putar berirama sementara guci yang rumit terbentuk di tangannya. Si kucing jadi-jadian, Maud, berjongkok di samping elf itu dalam keremangan, memandangi kegiatannya. Matanya menyala keperakan saat memandang Eragon dan Saphira. Elf itu mengikuti tatapannya dan mengangguk kepada mereka tanpa menghentikan pekerjaannya.
Dari balik pepohonan, sekilas Eragon melihat elf--entah pria atau wanita, ia tidak tahu--berjongkok di batu di tengah sungai, menggumamkan mantra pada bola gelas yang ada di tangannya. Eragon memutar kepala agar bisa melihat tanpa terhalang, tapi pemandangan itu menghilang dalam kegelapan.
"Apa," tanya Eragon, menjaga suaranya tetap pelan agar tidak mengganggu siapa pun, "yang dilakukan sebagian elf sebagai mata pencaharian""
Arya menjawab sama pelannya. "Kekuatan sihir memberi kami banyak waktu luang. Kami tidak berburu atau bertani dan, akibatnya, kami menghabiskan hari-hari kami menguasai apa pun yang kami minati, apa pun itu. Sangat sedikit yang membuat kami harus berusaha keras."
Melalui terowongan dogwood yang dipenuhi tanaman rambat, mereka memasuki atrium tertutup sebuah rumah yang tumbur dari lingkaran pepohonan. Gubuk tak berdinding menempati bagian tengah atrium, yang melindungi tungku dan berbagai peralatan yang Eragon tahu pasti sangat diinginkan Horst.
Seorang wanita elf memegang tang kecil di tengah kumpulan bara, menggerakkan peniup dengan tangan kanan. Dengan kecepatan menakutkan, ia menarik tang dari api--menampilkan cincin baja yang memutih karena panas, terjepit di rahang tang, mengaitkan cincin ke tepi jala baja yang belum selesai dan dilampirkan pada landasan, menyambar martil, dan menghantam sambungan cincin hingga menutup diiringi semburan bunga api.
Baru sesudah itu Arya mendekat. "Atra esterni ono thelduin. "
Elf itu memandang mereka, leher dan pipinya diterangi dari bawah oleh cahaya bara yang kemerahan. Seperti kawat-kawat kencang yang tertanam di kulitnya, wajahnya dihiasi kerut-kerut berpola rumit--tanda umur terhebat yang pernah dilihat Eragon pada seorang elf. Elf itu tidak menjawab Arya, Eragon tahu itu tindakan yang menyinggung perasaan dan tidak sopan, terutama karena putri Ratu menghormatinya dengan berbicara terlebih dulu.
"Rhunon-elda, kubawakan Penunggang terbaru padamu, Eragon Shadeslayer."
"Kudengar kau tewas," kata Rhunon pada Arya. Suara Rhunon serak, tidak seperti elf lain. Suaranya mengingatkan Eragon pada pria-pria tua di Carvahall yang duduk di serambi rumah mereka, mengisap pipa dan bercerita.
Arya tersenyum. "Kapan kau terakhir kali meninggalkan rumah, Rhunon""
"Kau seharusnya tahu. Perayaan Tengah Musim Panas sewaktu kau memaksaku hadir."
"Itu tiga tahun yang lalu."
"Sungguh"" Rhunon mengerutkan kening sambil merapikan dan menutupinya dengan tutup berkisi-kisi. "Well, memangnya kenapa" Menurutku kehadiran orang lain hanya mengganggu. Celoteh tanpa arti yang...." Ia memelototi Arya. "Kenapa kita menggunakan bahasa busuk ini" Kurasa kau mau aku membuatkan pedang untuknya" Kau tahu aku bersumpah tidak akan menciptakan alat kematian lagi seserupa apa yang dilakukan Penunggang pengkhianat itu dengan pedangku."
"Eragon sudah memiliki pedang," kata Arya. Ia mengangkat lengan dan memberikan Zar'roc pada tukang besi itu.
Rhunon mengambil Zar'roc dengan ekspresi keheranan, Ia mengelus mata pedang yang merah anggur, agak lama di simbol hitam yang terukir di sana, menggosok sedikit tanah yang mengotori tangkainya, lalu melilitkan jemari di tangkai pedang dan mencabut pedang dengan kewenangan pejuang, Ia mengamati mata Zar'roc dengan teliti dan melekuk bilahnya dengan dua tangan hingga Eragon takut pedangnya akan patah. Lalu, dengan satu gerakan, Rhunon mengayunkan Zar'roc melewati kepalanya dan membelah tang di landasan, memutus alat itu menjadi dua diiringi suara berdentang.
"Zar'roc," kata Rhunon. "Aku ingat dirimu." Ia memeluk senjata itu seperti ibu memeluk anak pertamanya. "Sesempuma hari kau selesai." Setelah berbalik, ia menengadah memandang cabang-cabang yang saling melilit sambil mengelus lengkungan ujung tangkai pedang. "Seluruh hidupku kuhabiskan memalu pedang-pedang ini dari bijih besi. Lalu ia datang dan menghancurkan mereka. Usaha berabad-abad dimusnahkan dalam sekejap. Sepanjang pengetahuanku, hanya empat contoh karya seniku yang masih ada. Pedangnya, pedang Oromis, dan dua lainnya dijaga keluarga-keluarga yang berhasil menyelamatkan keduanya dari Wyrdfell."
Wyrdfell" Eragon memberanikan diri bertanya pada Arya melalui benaknya.
Nama lain untuk kaum Terkutuk.
Rhunon berpaling kepada Eragon. "Sekarang Zar'roc kembali padaku. Di antara semua ciptaanku, ini yang paling tidak kuduga akan kupegang lagi, kecuali pedangnya. Bagaimana kau bisa memiliki pedang Morzan""
"Brom yang memberikannya padaku."
"Brom"" Rhunon mengangkat Zar'roc. "Brom & aku ingat Brom. Ia memohon padaku untuk mengganti pedang yang dihilangkannya. Sejujurnya, aku ingin menolongnya, tapi aku sudah bersumpah. Penolakanku menyebabkan ia marah setengah mati. Oromis terpaksa membuatnya pingsan sebelum ia bersedia pergi."
Eragon mendengar informasi itu dengan penuh minat. "Hasil karya Anda sangat berguna bagiku, Rhunon-elda. Aku pasti sudah lama mati kalau bukan karena Zar'roc. Aku membunuh Shade Durza dengan pedang itu."
"Sungguh" Kalau begitu pedang ini sudah melakukan kebaikan." Setelah menyarungkan Zar'roc, Rhunon mengembalikan pedang tersebut, sekalipun bukannya tanpa keengganan, lalu memandang Saphira di belakang Eragon. "Ah. Selamat bertemu, Skulblaka."
Selamat bertemu, Rhunon-elda.
Tanpa meminta izin, Rhunon naik ke bahu Saphira dan mengetuk sisiknya dengan kukunya yang tumpul, memiringkan kepala ke sana kemari dalam usahanya melihat ke balik sisik tembus pandang itu. "Warna yang bagus. Tidak seperti naga-naga cokelat itu, seperti berlumpur dan gelap. Bicara selayaknya, pedang Penunggang seharusnya sesuai dengan warna naganya, dan warna biru ini akan jadi warna mata pedang yang indah." Pikiran itu seperti menguras energi dari dirinya. Ia kembali ke landasan dan menatap tang yang rusak, seakan keinginan memperbaikinya telah meninggalkan dirinya.
Eragon merasa mengakhiri percakapan dengan nada sesedih itu merupakan kesalahan, tapi ia tidak bisa memikirkan cara yang bagus untuk mengubah pembicaraan. Jala baja yang kemilau menarik perhatiannya dan, saat memandanginya, ia tertegun melihat setiap cincinnya dilas hingga rapat. Karena cincin-cincin mungil itu mendingin begitu cepat, biasanya cincin itu harus sebelum disambungkan ke jala baja utamanya, yang berarti jala baja terbaik--seperti milik Eragon--terdiri atas cincin-cincin yang dilas dan dijepit berselang-seling. Tapi tampaknya tukang besi ini memiliki kecepatan dan ketepatan elf.
Eragon berkata, "Aku tidak pernah melihat jala baja yang menyamai buatan Anda, bahkan di antara para kurcaci. Bagaimana Anda bisa memiliki kesabaran untuk mengelas setiap cincinnya" Kenapa Anda tidak menggunakan sihir saja dan menghemat tenaga""
Ia nyaris tidak menduga semburan semangat yang menyulut Rhunon. Elf itu mengibaskan rambut pendeknya dan berkata, "Dan melewatkan semua kesenangan dari tugas ini" Aye, setiap elf dan aku bisa menggunakan sihir untuk memuaskan keinginan kami--dan beberapa melakukannya--tapi lalu apa ar
tinya hidup ini" Bagaimana caramu mengisi waktu" Katakan."
"Aku tidak tahu," Eragon mengakui.
"Dengan melakukan apa yang paling kausukai. Kalau kau bisa mendapatkan apa pun yang kauinginkan dengan mengucapkan beberapa patah kata, tujuan tidak lagi penting, hanya perjalanan ke sana yang penting. Pelajaran bagimu. Kau akan menghadapi dilema yang sama suatu hari nanti, kalau kau hidup cukup lama.... Sekarang pergilah! Aku bosan dengan percakapan ini." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Rhunon mencabut tutup tunggu, mengambil tang baru, dan menjejalkan cincin ke bara sambil menggerakkan peniup dengan sangat tekun.
"Rhunon-elda," kata Arya, "ingat, aku akan kembali menjemputmu pada malam Agaeti Blodhren." Ia hanya dijawab dengan dengusan.
Irama benturan baja pada baja, sesendiri jeritan burung maut di malam hari, menemani mereka keluar kembali melalui terowongan dogwood ke jalan setapak. Di belakang mereka Rhunon tidak lebih daripada sosok hitam yang membungkuk di atas pendar suram tungkunya.
"Ia yang membuat pedang semua Penunggang"" tanya Eragon. "Semuanya""
"Itu dan lebih lagi. Ia tukang besi terhebat yang pernah hidup. Kupikir sebaiknya kau bertemu dengannya, demi dirinya dan dirimu."
"Terima kasih."
Apa ia selalu sekasar itu" tanya Saphira.
Arya tertawa. "Selalu. Baginya, tidak ada yang penting kecuali ketrampilannya, dan ia terkenal tidak sabar menghadapi apa saja--atau siapa saja--yang mengganggu pekerjaanya. Tapi keeksentrikannya ditolelir dengan baik, karena keahlian dan prestasinya yang luar biasa."
Sementara Arya berbicara, Eragon berusaha memahami arti Agaeti Blodhren. Ia cukup yakin blodh berarti darah, blodhren berarti sumpah darah, tapi ia belum pernah mendengar agaeti.
"Perayaan," kata Arya menjelaskan sewaktu ia menanyakannya. "Kami menyelenggarakan Perayaan Sumpah Darah seabad sekali untuk menghormati persekutuan kami dengan naga. Kalian berdua beruntung berada di sini sekarang, karena perayaan itu sudah dekat." Alis matanya yang miring bertemu saat ia mengerutkan kening. "Nasib memang mengatur kebetulan yang paling aneh."
Ia mengejutkan Eragon dengan mengajak mereka semakin jauh ke dalam Du Weldenvarden, menyusuri jalan setapak yang saling silang dengan sesemakan nettle dan currant, hingga cahaya di sekeliling mereka menghilang dan mereka memasuki alam bebas yang gelisah. Dalam kegelapan, Eragon terpaksa mengandalkan kemampuan Saphira melihat dalam kegelapan agar tidak tersesat. Batang pepohonannya yang kasar semakin lebar, semakin lama semakin rapat dan mengancam membentuk penghalang yang tak tertembus. Tepat pada saat mereka tampaknya tidak bisa pergi lebih jauh lagi, hutan berakhir dan mereka memasuki lapangan bermandikan cahaya bulan dari bulan sabit terang yang menggantung rendah di langit timur.
Sebatang pohon pinus berdiri di tengah lapangan. Tidak lebih tinggi daripada pepohonan sejenis, tapi lebih lebat danpada seratus pohon biasa kalau digabungkan; sebagai perbandingan pohon-pohon biasa tampak seperti batang pohon muda yang meliuk-liuk tertiup angin. Hamparan akar menyebar dari batang raksasa pohon itu, menutupi tanah dengan pembuluh-pembuluh berlapis kulit kayu yang menyebabkan seluruh hutan seolah mengalir keluar dari pohon itu, seakan pohon tersebut merupakan jantung Du Weldenvarden. Pohon itu menaungi hutan seperti pembimbing yang dermawan, melindungi para penghuninya di bawah naungan cabang-cabangnya.
Ini pohon Menoa," bisik Arya. "Kami menyelenggarakan Agaeti Blodhren di bawah keteduhannya."
Perasaan menggelitik yang dingin merayapi sisi tubuh Era saat ia mengenali nama itu. Sesudah Angela memberitahukan ramalannya di Teirm, Solembum mendekatinya dan berkata, Pada saatnya nanti dan saat kau membutuhkan senjata, carilah di bawah akar-akar pohon Menoa. Lalu, kalau semua tampak muram dan kekuatanmu tidak cukup, pergilah ke karang Kuthian dan ucapkan namamu untuk membuka Ruang Jiwa-Jiwa. Eragon tidak bisa membayangkan senjata macam apa yang mungkin terkubur di bawah pohon itu, atau bagaimana cara menemukan senjata itu. Ada yang kau lihat" tanyanya pada Saphira.
Tidak, tapi aku me Pendekar Latah 21 Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan Rahasia Pedang Siluman Darah 1
^