Eragon 3
Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 3
Tidak sama. Saphira mendekat dan memalingkan kepalanya yang panjang hingga bisa mengamati Brom dengan salah satu mata birunya yang besar. Kau benar-benar makhluk yang aneh, komentarnya, dan terus menatap Brom. Brom tidak bergerak sama sekali sementara Saphira mengendus-endus udara, lalu mengulurkan tangan ke makhluk itu. Saphira perlahan-lahan menundukkan kepala dan membiarkan Brom menyentuh alis matanya. Sambil mendengus, ia menyentakkan kepala dan mundur ke belakang Eragon. Ekornya melecut di atas tanah.
Ada apa" tanya Eragon.
Saphira tidak menjawab. Brom berpaling kepada Eragon dan bertanya dengan suara pelan, "Siapa namanya""
"Saphira." Ekspresi aneh tampak di wajah Brom. Ia menekankan ujung tongkatnya ke tanah begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Dari semua nama yang kau beritahukan padaku, itu satu-satunya yang disukainya. Kurasa nama itu cocok," tambah Eragon tergesa-gesa. "Memang cocok," kata Brom. Ada sesuatu dalam suara Brom yang tidak bisa diidentifikasi Eragon. Apakah itu kehilangan, keheranan, ketakutan, iri hati" Ia tidak yakin mungkin bukan salah satu dari itu. Brom berkata dengan lebih keras, "Salam, Saphira. Aku merasa terhormat bisa bertemu denganmu." Ia menggerak tangannya dalam gerakan yang aneh dan membungkuk.
Aku menyukainya, kata Saphira pelan.
Tentu saja kau menyukainya semua orang senang dipuji.
Eragon menyentuh bahu Saphira dan melangkah ke reruntuhan rumah. Saphira mengikutinya bersama Brom. Pria tua itu tampak cerah dan penuh semangat.
Eragon memanjat masuk ke dalam rumah dan merangkak melalui bawah pintu menuju apa yang tersisa dari kamar tidurnya. Ia nyaris tidak mengenalinya di bawah tumpukan kayu yang hancur berantakan. Dengan dibimbing ingatan, ia mencari-cari di mana dinding dalam tadinya berada dan menemukan ranselnya yang kosong. Sebagian kerangkanya telah patah, tapi kerusakannya mudah diperbaiki. Ia terus mengaduk-aduk dan akhirnya menemukan ujung busurnya, yang masih berada dalam kantong kulit rusanya.
Sekalipun kulitnya tergores-gores dan hangus, ia merasa senang melihat kayu busur yang diminyakinya tidak apa-apa.
Akhirnya, ada keberuntungan. Ia memasang tali pada busurnya dan menariknya beberapa kali. Busurnya melengkung dengan lancar, tanpa berderak atau patah. Setelah puas, ia mencari-cari tabung anak panahnya, yang ditemukannya terkubur di dekat busurnya. Banyak anak panahnya yang patah. Ia melepas tali busurnya dan memberikan busur beserta tabung anak panahnya kepada Brom, yang berkata, "Butuh lengan yang kuat untuk menarik busur ini."
Eragon menerima pujian itu dengan kebisuan. Ia terus membongkar bagian rumah lainnya untuk mencari barang yang berguna dan meletakkannya di samping Brom. Tidak banyak yang ditemukannya. "Sekarang apa"" tanya Brom. Pandangannya tajam dan bertanya-tanya. Eragon membuang muka. "Kita harus menemukan
tempat persembunyian." "Ada yang sudah kau pikirkan""
"Ya." Eragon membungkus semua persediaan itu, kecuali busurnya, erat-erat dan mengikatnya. Setelah mengangkatnya ke bahu, ia berkata, "Lewat sini," dan menuju hutan. Saphira, ikuti kami dari udara jejak kakimu terlalu mudah ditemukan dan dilacak.
Baiklah. Saphira lepas landas di belakang mereka.
Tujuan mereka dekat, tapi Eragon mengambil rute berputar-putar untuk membingungkan siapa pun yang mengikuti mereka. Lebih dari satu jam kemudian barulah ia berhenti di sesemakan berduri yang tersembunyi dengan baik.
Lapangan berbentuk tidak teratur di tengah rumpun hanya cukup untuk api unggun, dua orang, dan seekor naga. Bajing-bajing merah berhamburan ke pepohonan, ribut memprotes gangguan yang mereka dapatkan. Brom melepaskan dio dari belitan sulur dan memandang sekitarnya dengan penuh perhatian. "Apakah ada orang lain lagi yang mengetahui tempat ini"" tanyanya.
Tidak. Kutemukan sewaktu kami pertama kali pindah kemari. Aku membutuhkan waktu seminggu untuk bisa mencapai tengahnya dan seminggu lagi untuk membersihkan semua kayu mati yang ada." Saphira mendarat di samping mereka dan melipat sayapnya, berhati-hati untuk menghindari duri-durinya. Ia meringkuk, mematahkan ranting-ranting dengan sisik-sisiknya yang keras, dan meletakkan kepala di tanah. Matanya yang tidak bisa dibaca mengikuti mereka dengan teliti. Brom menyandar ke tongkat dan tatapannya terpaku pada Saphira. Pengamatannya menyebabkan Eragon merasa gugup.
Eragon mengawasi mereka hingga kelaparan memaksanya bertindak. Ia menyalakan api, mengisi panci dengan salju, lalu meletakkannya di atas api agar mencair.
Sewaktu airnya mendidih, ia menyobek-nyobek daging dan memasukkannya ke panci bersama sepotong garam. Bukan makanan yang sangat lezat, pikirnya muram, tapi cukuplah. Mungkin aku akan makan seperti ini selama beberapa waktu mendatang, jadi sebaiknya aku membiasakan diri.
Sup itu menggelegak pelan, menebarkan aroma sedap di lapangan. Ujung lidah Saphira terjulur dan mencicipi udara. Sewaktu dagingnya telah empuk, Brom mendekat dan Eragon menyajikan hidangannya. Mereka bersantap sambil membisu, saling menghindari pandangan. Sesudahnya, Brom mengeluarkan pipa dan menyulutnya dengan santai.
"Kenapa kau ingin bepergian denganku"" tanya Eragon.
Asap mengepul dari bibir Brom dan membubung melewati pepohonan hingga menghilang. "Aku memiliki kepentingan tersendiri untuk menjaga dirimu tetap hidup," katanya.
"Apa maksudmu"" tanya Eragon. "Terus terang saja, aku tukang cerita dan kebetulan menurutku kau akan menjadi cerita yang bagus. Kau Penunggang pertama yang ada di luar kendali Raja selama
lebih dari seratus tahun. Apa yang akan terjadi" Apakah kau akan tewas sebagai martir" Apakah kau akan bergabung dengan Varden" Atau apakah kau akan membunuh Raja Galbatorix" Semua pertanyaan yang menarik. Dan aku akan ada di sana untuk melihat seluruhnya, tidak peduli apa yang harus
kulakukan untuk itu. Perut Eragon terasa melilit. Ia tidak bisa melihat dirinya sendiri melakukan semua itu, apalagi menjadi martir. Aku ingin membalas dendam, tapi untuk yang lainnya... aku tidak berambisi. "Mungkin begitu, tapi katakan, bagaimana caramu bercakap-cakap dengan Saphira""
Brom berlambat-lambat memasukkan tembakau tambahan ke pipanya. Sesudah pipanya dinyalakan kembali dan terselip mantap di mulutnya, ia berkata, "Baiklah, kalau itu jawaban yang kauinginkan, jawaban itulah yang kau dapatkan, tapi mungkin tidak seperti yang kau inginkan." Ia bangkit, memindahkan ransel ke dekat api unggun, dan mengeluarkan benda panjang yang dibungkus kain. Panjangnya sekitar lima kaki dan, dari cara Brom memegangnya, tampaknya agak berat. Ia membuka kain pembungkusnya, helai demi helai, seperti mumi yang tengah dibuka lilitannya. Eragon tertegun, terpaku, saat tampak sebilah pedang. Ujung gagangnya dari emas berbentuk air mata dengan sisi-sisi dipotong untuk menunjukkan sebutir batu mirah sebesar telur kecil. Gagangnya dililit kawat perak, digosok hingga mengilap seperti bintang. Sarungnya merah anggur dan sehalus kaca, hanya dihiasi simbol aneh berwarna
hitam yang diukirkan di sana. Di samping pedang terdapat sabuk kulit dengan gesper berat. Setelah kain pembungkus terakhir ditanggalkan, Brom memberikan senjata itu kepada Eragon. Tangkainya terasa cocok di tangan Eragon, seakan pedang itu memang dibuat untuk dirinya. Perlahan-lahan ia mencabut pedangnya pedang itu keluar tanpa suara dari sarungnya. Bilah pedangnya merah transparan dan berkilau ditimpa cahaya api unggun. Tepi-tepinya yang tajam melengkung dengan anggun ke ujung yang lancip. Simbol yang sama terukir di logamnya. Keseimbangan pedang itu sempurna, rasanya seperti perpanjangan lengannya, tidak seperti peralatan pertanian yang biasa digunakannya. Pedang tersebut memancarkan kekuasaan seakan ada kekuatan yang tidak terhentikan berdiam di dalam intinya. Pedang itu diciptakan untuk kebrutalan perang, untuk mengakhiri hidup seseorang, tapi pedang itu memiliki keindahan yang menakutkan. "Pedang ini dulu milik Penunggang," kata Brom muram. "Sewaktu Penunggang menyelesaikan pendidikannya, para elf akan menghadiahinya sebilah pedang. Metode yang digunakan para elf untuk membuat pedang sejak dulu merupakan rahasia. Tapi pedang mereka selalu tajam dan tidak pernah karatan. Biasanya warna pedang disesuaikan dengan warna naga Penunggang, tapi kupikir kita bisa mengadakan perkecualian dalam hal ini. Pedang ini bernama Zar'roc. Aku tidak mengetahui apa artinya, mungkin sesuatu yang pribadi bagi Penunggang pemiliknya. Ia mengawasi Eragon mengayun-ayunkan pedang itu.
"Dari mana kau mendapatkannya"" tanya Eragon. Dengan enggan ia menyelipkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya dan berusaha mengembalikannya kepada Brom. Tapi Brom tidak bergerak sedikit pun untuk mengambilnya.
"Tidak penting," kata Brom. "Aku hanya akan mengatakan bahwa aku harus melakukan serangkaian petualangan yang kejam dan berbahaya untuk mendapatkannya. Anggaplah pedang itu milikmu. Kau lebih berhak atas pedang itu daripada diriku, dan sebelum semuanya selesai, kupikir kau akan membutuhkannya."
Tawaran itu mengejutkan Eragon. "Ini hadiah yang sangat mewah, terima kasih." Tidak yakin apa yang harus dikatakannya lagi, ia mengelus-elus sarung pedang. "Simbol apa ini"" tanyanya. "Itu lambang pribadi Penunggang." Eragon berusaha menyela, tapi Brom memelototi dirinya hingga ia diam. "Nah, kalau kau harus mengetahuinya, siapa pun bisa belajar berbicara dengan naga kalau mereka mendapat latihan yang selayaknya. Dan," ia mengangkat satu jari untuk menekankan, "kalaupun mereka bisa, itu tidak berarti apa-apa. Aku lebih tahu tentang naga dan kemampuan mereka daripada orang lain mana pun yang masih hidup. Kalau berusaha sendiri kau mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari apa yang bisa kuajarkan padamu. Kutawarkan pengetahuanku sebagai jalan pintas. Sedang mengenai bagaimana aku bisa mengetahui begitu banyak, aku tidak akan memberitahukannya."
Saphira menegakkan tubuh sewaktu Brom selesai berbicara dan mendekati Eragon. Eragon mencabut pedangnya dan menunjukkannya pada Saphira. Pedang itu memiliki kekuatan, dan Saphira, sambil menyentuh ujung pedang dengan giginya. Warna pedangnya bergelombang bagai air saat bertemu sisik-sisik Saphira. Saphira mengangkat kepala sambil mendengus puas, dan pedang itu tampak normal kembali. Eragon menyarungkannya dengan perasaan terganggu.
Brom mengerutkan alis. "Hal-hal seperti itulah yang kumaksud. Naga akan terus membuatmu terpesona. Berbagai hal terjadi di sekitar mereka, hal-hal misterius yang mustahil terjadi di tempat lain. Walaupun para Penunggang bekerja bersama para naga selama berabad-abad, mereka tidak pernah benar-benar memahami kemampuan naga. Ada yang mengatakan bahkan naga sendiri tidak mengetahui sejauh mana kekuatan mereka. Mereka terhubung dengan tanah ini dengan cara yang memungkinkan mereka mengatasi masalah-masalah besar. Apa yang baru saja dilakukan Saphira mengilustrasikan inti-inti yang kuceritakan tadi ada banyak yang tidak kau ketahui."
Kebisuan bertahan cukup lama. "Mungkin saja begitu," kata Eragon, "tapi aku bisa belajar. Dan orang-orang asing itu merupakan informasi paling penting yang
perlu kuketahui sekarang.
Apakah kau tahu siapa mereka""
Brom menghela napas dalam. "Mereka disebut Ra'zac. Tidak seorang pun mengetahui apakah itu nama ras mereka atau nama pilihan mereka sendiri. Pokoknya, kalau mereka memiliki nama masing-masing, mereka menyembunyikannya. Ra'zac tidak pernah terlihat sebelum Galbatorix berkuasa. Ia pasti menemukan mereka dalam perjalanannya dan merekrut mereka untuk mengabdi padanya. Hanya sedikit, atau bahkan tidak ada, yang diketahui mengenai mereka. Tapi, aku bisa memberitahumu ini mereka bukanlah manusia. Sewaktu aku sekilas melihat kepala salah satunya, tampak ada sesuatu yang mirip paruh dan mata hitam yang sebesar kepalan tanganku walau bagaimana mereka menguasai cara bicara kita masih merupakan misteri bagiku. Tidak diragukan lagi bagian tubuh mereka yang lainnya sama kacaunya seperti wajahnya. Itu sebabnya mereka selalu mengenakan mantel, tidak peduli bagaimana cuacanya. "Sedang mengenai kekuatan mereka, mereka lebih kuat daripada manusia mana pun dan bisa melompat luar biasa tinggi tapi mereka tidak bisa menggunakan sihir. Bersyukurlah untuk itu, karena kalau mereka bisa, kau sudah berada dalam kekuasaan mereka. Aku juga mengetahui mereka sangat menghindari cahaya matahari,meskipun hal itu tidak akan menghentikan mereka kalau sudah bertekad bulat. Jangan melakukan kesalahan dengan meremehkan Ra'zac, karena mereka licin dan menggunakan tipu muslihat."
Berapa jumlah mereka"" tanya Eragon, merasa penasaran bagaimana Brom bisa mengetahui begitu banyak.
"Sepanjang pengetahuanku, hanya dua yang kau lihat. Mungkin masih ada lagi, tapi aku belum pernah mendengarnya. Mungkin mereka yang terakhir dari ras yang hampir punah. Kau mengerti, mereka adalah pemburu naga pribadi Raja. setiap kali Galbatorix mendengar isu adanya naga di tanah ini, ia mengirim Ra'zac untuk menyelidik. Jejak kematian sering mengikuti mereka." Brom mengembuskan serangkaian cincin asap dan mengawasi cincin-cincin itu melayang di sela sesemakan duri. Eragon mengabaikannya hingga menyadari cincin-cincin itu berubah warna dan melesat ke sana kemari. Brom mengedipkan sebelah mata.
Eragon merasa yakin tidak ada yang pernah melihat Saphira, jadi bagaimana Galbatorix bisa mendengar kabar tentang dirinya" Sewaktu ia menyatakan keheranannya, Brom berkata, "Kau benar, tampaknya tidak mungkin ada orang dari Carvahall yang memberitahu Raja. Bagaimana kalau kau ceritakan saja bagaimana kau bisa mendapatkan telurnya dan bagaimana kau membesarkan Saphira itu mungkin memperjelas masalahnya."
Eragon ragu-ragu, lalu menceritakan kejadian-kejadian yang berlangsung sejak ia menemukan telur di Spine. Rasanya luar biasa untuk akhirnya bisa menceritakannya pada seseorang. Matahari sudah hampir terbenam sewaktu Eragon mengakhiri ceritanya. Mereka berdua terdiam sementara awan-awan berubah menjadi merah muda yang lembut. Eragon akhirnya memecahkan kesunyian. "Aku hanya berharap bisa mengetahui dari mana asal Saphira. Saphira juga tidak bisa mengingatnya."
Brom memiringkan kepala. "Entahlah... Kau membuat banyak hal jelas bagiku. Aku yakin tidak seorang pun selain kita berdua yang pernah melihat Saphira. Ra'zac pasti memiliki jaringan informasi di luar lembah ini, sumber yang mungkin sudah tewas sekarang.... Kau sudah mengalami masa-masa sulit dari banyak bertindak. Aku terkesan."
Pandangan Eragon menerawang, lalu bertanya, "Kenapa kepalamu" Tampaknya seperti dipukul dengan batu."
"Tidak, tapi itu tebakan yang bagus." Ia mengisap pipanya dalam-dalam. "Aku menyelinap diam-diam di dekat kamp Ra'zac sesudah gelap, mencoba mempelajari sebisa mungkin sewaktu mereka mengejutkan diriku dalam kegelapan. Jebakan yang bagus, tapi mereka meremehkan diriku, dan aku berhasil mengusir mereka. Tapi, "katanya jengkel," mereka memberiku tanda kebodohanku ini dulu. Aku kalah, jatuh ke tanah dan pingsan hingga keesokan harinya. Pada waktu itu mereka tiba di tanah pertanianmu. Sudah terlambat untuk menghentikan mereka, tapi tetap saja kukejar mereka. Saat itulah kita bertemu di jalan."
Siapa dirinya hingga mengira mampu menghadapi Ra'zac seorang diri saja"
Mereka menyergapnya dalam gelap, dan ia hanya pingsan" Dengan perasaan tidak tenang, Eragon bertanya, "Sewaktu kau melihat tandanya, gedwey ignasia, di telapak tanganku, kenapa kau tidak memberitahuku siapa Ra'zac" Aku pasti akan memperingatkan Garrow terlebih dulu dan bukannya menemui Saphira, dan kami bertiga bisa saja melarikan diri."
Brom mendesah. "Aku tidak yakin apa yang harus kulakukan waktu itu. Kupikir aku bisa menjauhkan Ra'zac dari dirimu dan, begitu mereka pergi, mengkonfrontasi dirimu mengenai Saphira. Tapi mereka lebih cerdas daripada diriku. Itu kesalahan yang sangat kusesali, dan yang sangat merugikan dirimu."
"Siapa kau"" tanya Eragon, tiba-tiba merasa pahit. "Bagaimana tukang cerita desa biasa bisa memiliki sebilah pedang Penunggang" Bagaimana kau bisa mengetahui tentang Ra'zac""
Brom mengetuk-ngetukkan pipanya. "Ku pikir sudah kujelaskan bahwa aku tidak mau membicarakannya."
"Pamanku mati karena hal itu. Mati!' seru Eragon, sambil mengibaskan tangan di udara. "Aku memercayai dirimu sejauh ini karena Saphira menghormati dirimu, tapi tidak lagi! Kau bukan orang yang kukenal di Carvahall selama bertahun-tahun ini. Jelaskan siapa dirimu!"
Brom sangat lama menatap asap yang mengepul di antara mereka, kerut-kerut yang dalam terbentuk di keningnya Sewaktu ia bergerak, itu hanya untuk mengisap pipa. Akhirnya ia berkata, "Kau mungkin tidak pernah memikirkannya, tapi sebagian besar kehidupanku kuhabiskan di luar Lembah Palancar. Hanya di Carvahall aku menyamar sebagai tukang cerita. Aku sudah memainkan banyak peran bagi banyak orang aku memiliki masa lalu yang rumit. Sebagian karena ingin melarikan dirilah alasan aku datang ke sini. Jadi, tidak, aku bukan sebagaimana dugaanmu."
Ha!" dengus Eragon. "Kalau begitu siapa kau""
Brom tersenyum lembut. "Aku orang yang ada di sini untuk membantumu. Jangan mengejek kata-kata itu-itu kata-kata paling benar yang pernah kukatakan. Tapi aku tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Saat ini kau tidak perlu mendengar tentang sejarahku, dan kau juga belum berhak untuk itu. Ya, aku memiliki pengetahuan yang tidak akan dimiliki Brom si tukang cerita, tapi aku lebih daripada dirinya. Kau harus belajar hidup dengan fakta itu dan fakta bahwa aku tidak akan menjabarkan kisah hidupku pada siapa pun yang memintanya!"
Eragon memelototinya sambil cemberut. "Aku mau tidur," katanya, dan meninggalkan api unggun.
Brom tidak tampak terkejut, tapi ada kesedihan dimatanya. Ia menghamparkan kantong tidurnya di samping api unggun sementara Eragon berbaring di samping Saphira. Kebisuan sedingin es menyelimuti kamp malam itu.
MEMBUAT PELANA Sewaktu Eragon membuka mata, kenangan akan kematian Garrow masih membayangi dan menghantam dirinya. Ia menarik selimut hingga menutupi kepala dan menangis diam-diam dalam kegelapan yang hangat. Rasanya enak untuk terus tetap berbaring di sana... bersembunyi dari dunia luar yang kejam dan tak perna peduli akan kehidupan siapa pun. Akhirnya uraian air matanya berhenti mengalir membasahi pipinya. Ia memaki Brom. Lalu dengan enggan ia mengusap pipinya untuk menghapus sisa-sisa lukisan duka di wajahnya dan berdiri. Brom tengah memasak sarapan untuk mereka berdua. "Selamat pagi," katanya dengan ramah. Eragon menggeram sebagai jawaban. Ia menjejalkan jemarinya yang kedinginan ke ketiaknya dan berjongkok di dekat api unggun untuk sekedar menghangatkan diri hingga makanan siap. Mereka makan dengan cepat, mencoba menelan makanan sebelum hilang kehangatannya. Sewaktu selesai, Eragon segera mencuci mangkoknya dengan salju, lalu menghamparkan kulit curian di atas tanah.
"apa yang akan kau perbuat dengan kulit itu"" tanya Brom dengan tatapan keheranan tersirat di wajah tuanya. "Kita tidak bisa membawa-bawanya." "Aku akan membuat pelana untuk Saphira."
"hmmm," kata Brom, sambil mendekat. " Well, naga biasanya memiliki dua macam pelana. Yang pertama keras dan dicetak seperti pelana kuda. Tapi untuk membuatnya memakan waktu dan membutuhkan peralatan, yang tidak kita miliki, satu Pelana yang lain berbantalan tipis dan ringan, tidak lebih daripada sekadar lapisan tambahan
antara Penunggang dan naganya. Pelana tipis digunakan setiap kali kecepatan dan fleksibilitas sangat dibutuhkan, walaupun tidak senyaman pelana cetakan."
"Kau tahu bagaimana bentuknya"" tanya Eragon. Lebih baik lagi, aku bisa membuatnya." "Kalau begitu tolong buatkan," kata Eragon, sambil melangkah ke samping. Baiklah, tapi perhatikan. Suatu hari nanti kau mungkin harus membuatnya sendiri.".
Dengan seizin Saphira, Brom mengukur leher dan dadanya. Lalu ia memotong lima utas tali dari kulit dan menggambar sekitar selusin bentuk pada sisanya.
Begitu potongan-potongannya telah dipotong, ia membuat kulit yang tersisa menjadi tali-tali yang panjang.
Brom menggunakan tali-tali itu untuk menyatukan segala sesuatunya, tapi untuk setiap jahitan, ia harus membuat dua lubang menembus kulitnya. Eragon membantu membuatnya. Simpul-simpul yang rumit dibuat sebagai ganti gesper, dan setiap talinya dibuat lebih panjang agar pelana itu masih tetap bisa digunakan Saphira di bulan-bulan mendatang.
Bagian utama pelananya dibuat dari tiga bagian identik yang dijahit menjadi satu dengan bantalan di antaranya. Di bagian depannya terdapat cincin tebal yang sesuai untuk diselipkan di salah satu duri leher Saphira, sementara pita-pita lebar dijahitkan di kedua sisinya yang akan melilit di perutnya dan diikat di bagian bawah. Sebagai ganti pijakan kaki terdapat serangkaian cincin di kedua pita lebar. Setelah dieratkan, cincin-cincin itu akan menahan kaki-kaki Eragon di tempatnya. Seutas tali kulit yang panjang dibuat melewati sela kaki-kaki depan Saphira, dibelah menjadi dua, lalu dililitkan keluar di belakang kaki depannya dan disambungkan ke pelana.
Sementara Brom bekerja, Eragon memperbaiki ransel dan mengatur persediaan mereka. Hari telah berlalu sewaktu tugas mereka selesai. Sekalipun kelelahan karena bekerja, Brom memasang pelana di Saphira dan memeriksa apakah tali-talinya telah sesuai. Ia melakukan beberapa penyesuaian kecil, lalu menanggalkannya, puas.
"Kau melakukan pekerjaan yang baik," kata Eragon, mengakui dengan jengkel.
Brom memiringkan kepala. "Orang harus berusaha sebaik-baiknya. Seharusnya pelana itu cukup baik untukmu kulitnya cukup kuat."
Apakah kau tidak akan mencobanya" tanya Saphira.
Mungkin besok, kata Eragon, menyimpan pelana itu bersama selimut-selimut. Sekarang sudah malam. Sebenarnya ia tidak bersemangat untuk terbang lagi, tidak sesudah akibat buruk yang diperolehnya dalam penerbangan terakhir.
Makan malam berlangsung cepat. Rasanya lezat walau sederhana. Sementara mereka makan, Brom memandang Eragon dari seberang api unggun dan bertanya, "Kita berangkat besok",,
"Tidak ada alasan untuk tetap tinggal."
"Sepertinya memang begitu..." Brom bergeser. "Eragon, aku harus meminta maaf atas apa yang terjadi. Aku tidak pernah berharap begini kejadiannya. Keluargamu tidak layak mengalami tragedi seperti itu. Kalau ada yang bisa kulakukan untuk mengubahnya, apa pun itu pasti akan kulakukan. Situasi ini mengerikan bagi kita semua." Eragon duduk membisu, menghindari tatapan Brom, lalu Brom berkata, "Kita membutuhkan kuda."
"Mungkin kau membutuhkannya, tapi aku punya Saphira."
Brom menggeleng. "Tidak ada kuda yang mampu mengalahkan kecepatan terbang naga, tapi Saphira masih terlalu muda untuk menggendong kita berdua. Lagi pula, akan lebih aman kalau kita bersama-sama, dan menunggang kuda lebih cepat daripada berjalan kaki."
"Tapi dengan begitu akan lebih sulit mengejar Ra'zac," Eragon memprotes. "Dengan menunggang Saphira, aku mungkin bisa menemukan mereka dalam waktu satu
atau dua hari. Dengan kuda akan memakan waktu lebih lama bahkan ada kemungkinan kita menginjak-injak jejak mereka di tanah!"
Brom berkata perlahan-lahan, "Itu risiko yang harus kau ambil kalau kau mau aku menemanimu."
Eragon memikirkannya. "Baiklah," katanya menggerutu, "kita beli kuda. Tapi kau yang harus membayarnya. Aku tidak memiliki uang, dan aku tidak ingin mencuri lagi. Itu salah."
"Tergantung dari sudut pandangmu," kata Brom sambil tersenyum tipis. "Sebelum kau memulai petualangan ini, ingat bahwa musuh-musuhmu, Ra'zac, adalah pelayan Raja. Mereka akan dilin
dungi ke mana pun mereka pergi. Hukum tidak menghentikan mereka. Di kota-kota besar mereka akan memiliki akses terhadap sumber daya dan bantuan yang melimpah. Juga ingatlah bahwa tidak ada yang lebih penting bagi Galbatorix selain merekrut atau membunuh dirimu-meskipun berita mengenai keberadaanmu mungkin belum didengarnya. Semakin lama kau menghindari Ra'zac, semakin putus asa ia jadinya. Ia mengetahui setiap hari kau akan menjadi lebih kuat dan bahwa setiap saat yang berlalu berarti semakin besar kesempatanmu untuk bergabung dengan musuh-musuhnya. Kau harus sangat berhati-hati, karena kau bisa dengan mudah beralih dari pemburu menjadi yang diburu."
Eragon melunak karena kata-kata yang keras itu. Sambil berpikir, ia memutar-mutar sebatang ranting di sela-sela jemarinya.
"Sudah cukup bicaranya," kata Brom. "Sekarang telah larut dan tulang-belulangku sakit. Kita bisa berbicara lebih banyak lagi besok."
Eragon mengangguk dan menambahkan kayu ke api unggun.
THERINSFORD Subuh kelabu dan mendung diiringi angin yang sangat dingin. Hutan sunyi. Sesudah sarapan ringan, Brom dan Eragon memadamkan api dan menyandang ransel masing-masing, bersiap-siap berangkat. Eragon menggantung busur dan tabung anak panahnya di samping ransel supaya bisa meraihnya dengan mudah. Saphira mengenakan pelana; ia harus memakai pelana hingga mereka mendapatkan kuda. Eragon dengan hati-hati mengikatkan Zar'roc ke punggung Saphira juga, karena ia tidak ingin mendapat beban tambahan. Lagi pula, di tangannya pedang itu tidak akan lebih baik daripada sebatang gada.
Eragon merasa aman sewaktu berada di tengah semak berduri, tapi di luar, kewaspadaan membayangi setiap gerakannya. Saphira lepas landas dan terbang berputar-putar di atas kepala. Pepohonan menipis saat mereka kembali ke tanah pertanian.
Aku akan kembali kemari, pikir Eragon, berkeras pada diri sendiri, memandang bangunan yang telah menjadi puing-puing itu. Pembuangan ini tidak bisa, tidak akan, berlangsung selamanya. Suatu hari nanti keadaan akan aman, dan aku akan kembali... Setelah menegakkan tubuh, ia menghadap ke selatan dan memandang tanah asing dan keras yang membentang di sana.
Sementara mereka berjalan, Saphira berbelok ke barat menuju pegunungan dan menghilang dari pandangan. Eragon merasa tidak nyaman mengawasi kepergian naga itu. Bahkan sekarang, tanpa ada seorang pun di sekitar mereka, mereka tidak bisa menghabiskan hari-hari mereka bersama. Saphira harus tetap tersembunyi untuk berjaga-jaga kalau mereka bertemu sesama pelancong.
Jejak kaki Ra'zac tampak samar di salju yang tergerus, tapi eragon tidak merasa khawatir. Tipis kemungkinan Ra'zac keluar dari jalan, yang merupakan jalan termudah untuk keluar dari lembah karena liarnya alam. Tapi begitu mereka keluar dari lembah, jalan terpecah menjadi beberapa jalur. Akan sulit memastikan jalan mana yang diambil Ra'zac.
Mereka berjalan sambil membisu, memusatkan perhatian pada kecepatan. Kaki-kaki Eragon terus mengucurkan darah di tempat darah keringnya pecah. Untuk mengalihkan perhatian dari ketidak nyamanan itu, ia bertanya, "Jadi apa tepatnya yang bisa dilakukan naga" Katamu ada yang kau ketahui mengenai kemampuan mereka."
Brom tertawa, cincin safirnya berkilau di udara saat ia menggerak-gerakkan tangan. "Sialnya, pengetahuanku jauh lebih sedikit daripada yang ingin kumiliki. Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang sudah dicari jawabannya selama berabad-abad, jadi mengertilah bahwa apa yang kukatakan padamu pada dasarnya tidak lengkap. Naga sejak dulu merupakan misteri, sekalipun mungkin tidak disengaja.
"Sebelum aku benar-benar bisa menjawab pertanyaanmu, kau terlebih dulu perlu menjalani pendidikan dasar mengenai naga. Memulai pembicaraan di tengah topik serumit itu sangat membingungkan tanpa memahami dasar-dasar topik tersebut. Akan kumulai dengan siklus kehidupan naga, dan kalau kau tidak bosan, kita bisa melanjutkan ke topik yang lain."
Brom menjelaskan bagaimana naga kawin dan apa yang diperlukan agar telur-telur mereka bisa menetas. "Kau mengerti," katanya, "sewaktu naga bertelur, bayi di dalamnya siap menetas. Tapi bayi itu menung
gu, terkadang hingga bertahun-tahun, sampai situasinya tepat. Sewaktu naga hidup di alam bebas, situasi itu biasanya ditentukan ketersediaan makanan. Tapi, begitu mereka bersekutu dengan para elf, sejumlah telur mereka, biasanya tidak lebih dari satu atau dua, diberikan kepada para Penunggang setiap tahun. Telur-telur ini, atau lebih tepatnya bayi naga di dalamnya, tidak akan menetas Sebelum orang yang ditakdirkan menjadi Penunggang berada di dekatnya meski bagaimana cara mereka merasakannya tidak diketahui. Orang-orang biasanya antre untuk menyentuh telur itu, dengan harapan salah seorang di antara mereka terpilih."
"Maksudmu Saphira mungkin saja tidak menetas untuk diriku"" tanya Eragon.
"Mungkin saja, kalau ia tidak menyukai dirimu."
Eragon merasa tersanjung karena di antara semua orang di Alagaesia, Saphira memilih dirinya. Ia bertanya-tanya berapa lama Saphira telah menunggu, lalu menggigil saat memikirkan berada di dalam telur, dikelilingi kegelapan.
Brom melanjutkan ceramahnya. Ia menjelaskan apa dan kapan naga makan. Naga dewasa penuh yang hidup santai bisa melewatkan waktu berbulan-bulan tanpa makan, tapi di musim kawin mereka harus makan setiap minggu. Beberapa tanaman bisa menyembuhkan penyakit mereka, sementara tanaman yang lain menyebabkan mereka jatuh sakit. Ada berbagai cara untuk merawat cakar dan membersihkan sisik mereka.
Ia menjelaskan teknik-teknik yang digunakan kalau menyerang dengan naik naga dan apa yang harus dilakukan kalau kau bertempur melawan naga, entah dengan berjalan kaki, menunggang kuda, atau menunggang naga yang lain. Perut naga diberi perisai, ketiak mereka tidak. Eragon terus menyela dengan bertanya, dan Brom tampaknya senang dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Berjam-jam berlalu tanpa terasa saat mereka bercakap-cakap.
Sewaktu malam tiba, mereka telah berada di dekat Therinsford. Sementara langit menggelap dan mereka mencari-cari tempat untuk berkemah, Eragon bertanya, "Siapa Penunggang yang memiliki Zar'roc""
"Pejuang yang perkasa," kata Brom, "yang sangat ditakuti di zamannya dan memiliki kekuatan yang besar." "Siapa namanya""
"Aku tidak akan memberitahukannya." Eragon memprotes tapi Brom tegas. "Aku tidak ingin membiarkan dirimu tetap bodoh, jauh dari itu, tapi beberapa pengetahuan tertentu hanya akan terbukti berbahaya dan mengacaukan perhatianmu untuk saat ini. Tidak ada alasan bagiku untuk membebanimu dengan hal-hal seperti itu hingga kau sudah memiliki waktu dan kekuatan untuk menghadapinya. Aku hanya berharap bisa melindungimu dari mereka yang berniat menggunakan dirimu untuk kejahatan."
Eragon memelototinya. "Tahu, tidak" Kurasa kau senang
berbicara berputar-putar. Ada niatku meninggalkan dirimu agar tidak perlu digangggu dengan pembicaraan yang berbelit-belit. Kalau ada yang ingin kau katakan, katakan saja terus terang dan bukannya berputar-putar dengan kalimat-kalimat yang tidak jelas!"
"Damai. Semuanya akan diberi tahukan pada waktunya," kata Brom lembut.
Eragon menggerutu, tidak yakin.
Mereka menemukan tempat yang nyaman untuk melewati malam dan mendirikan kemah. Saphira bergabung dengan mereka sementara makan malam diletakkan di atas api. Apakah kau sempat berburu mencari makan" tanya Eragon.
Saphira mendengus keheranan bercampur gembira. Kalau kalian berdua lebih lambat lagi, aku pasti sempat terbang menyeberangi lautan dan kembali tanpa tertinggal. Kau tidak perlu menghina. Lagi pula, kami akan lebih cepat begitu mendapatkan kuda.
Saphira mengepulkan asap. Mungkin, tapi apakah cukup cepat untuk mengejar Ra'zac" Mereka sudah mendului beberapa hari dan bermil-mil Dan aku khawatir mereka mungkin curiga kita mengikuti mereka. Kenapa lagi mereka menghancurkan tanah pertanian dengan cara sespektakuler itu, kecuali kalau mereka ingin memprovokasi dirimu agar mengejar mereka"
Entahlah, kata Eragon, dengan perasaan terganggu. Saphira meringkuk di sampingnya, dan ia menyandarkan kepala ke perut Saphira, menyambut kehangatannya. Brom duduk di sisi seberang api, membersihkan dua tongkat panjang. Ia tiba-tiba melemparkan salah satunya kepada Eragon, yang menyambarnya secara refleks
saat tongkat itu berputar-putar melewati api unggun yang berderak-derak.
"Pertahankan dirimu!" raung Brom, berdiri.
Eragon memandang tongkat di tangannya dan melihat tongkat itu berbentuk pedang yang kasar. Brom ingin melawannya" berapa besar kesempatan orang tua itu" Kalau ia ingin memainkan permainan ini, terserahlah, tapi kalau mengira bisa memukul diriku, Ia akan mendapat kejutan.
Ia bangkit sementara Brom mengitari api unggun. Mereka berdiri berhadap-hadapan sejenak, lalu Brom menyerang, mengayunkan tongkatnya. Eragon mencoba menangkis serangan tapi terlalu lamban. Ia menjerit saat Brom menghantam rusuknya, dan jatuh ke belakang. Tanpa berpikir, ia menerjang maju, tapi Brom dengan mudah menghindari serangan itu. Eragon mengayunkan tongkatnya ke arah kepala Brom, memuntirnya pada saat terakhir, lalu mencoba menghantam sisi tubuhnya. Derak keras kayu beradu kayu bergema di seluruh kamp. "Improvisasi-bagus!" seru Brom, matanya berkilau-kilau. Lengannya bergerak begitu cepat hingga tidak jelas, dan sisi kepala Eragon terasa meledak menyakitkan. Ia jatuh seperti karung kosong, pingsan.
Siraman air dingin menyadarkan dirinya, dan ia duduk tegak, tergagap. Kepalanya bagai berdenging, dan ada darah kering di wajahnya. Brom berdiri di depannya dengan sepanci air dari salju yang dicairkan. "Kau tidak perlu berbuat begitu," kata Eragon marah, sambil berdiri. Ia merasa pusing dan goyah.
Brom mengerutkan alis matanya. "Oh" Musuh yang sebenarnya tidak akan memperlunak pukulannya, dan aku juga tidak. Apakah sebaiknya kuanggap kau... tidak kompeten agar kau merasa lebih baik" Kurasa tidak." Ia mengambil tongkat yang dijatuhkan Eragon dan mengulurkannya. "Sekarang, pertahankan dirimu."
Eragon menatap potongan kayu itu dengan pandangan kosong, lalu menggeleng. "Lupakan saja aku sudah muak." Ia berbalik dan terhuyung-huyung saat punggungnya dihajar keras. Ia berputar sambil menggeram.
"Jangan pernah memunggungi musuhmu!" sergah Brom, lalu melemparkan tongkat kepadanya dan menyerang. Eragon mundur mengitari api, menghindari serangan itu. Tarik lenganmu. Lipat lututmu," teriak Brom. Ia terus memberi instruksi, lalu berhenti sejenak untuk menunjukkan kepada Eragon bagaimana tepatnya melakukan gerakan tertentu. Lakukan lagi, tapi kali ini lebih pelan!" Mereka bergerak sangat pelan sebelum kembali bertempur hebat. Eragon cepat belajar, tapi apa pun yang berusaha dilakukannya, ia tidak bisa menahan Brom lebih dan beberapa pukulan. Sewaktu mereka selesai, Eragon terpuruk di selimutnya dan mengerang. Seluruh tubuhnya terasa sakit Brom tidak pernah bersikap lembut dengan tongkatnya. Saphira menggeram panjang bagai batuk, dan menarik bibirnya hingga sederetan gigi yang menakutkan terlihat.
Kenapa kau" tanya Eragon jengkel. Tidak apa-apa, jawab Saphira. Lucu sekali melihat bocah kecil seperti dirimu dihajar orang tua. Ia kembali memperdengarkan geraman bagai batuk, dan wajah Eragon memerah saat ia menyadari Saphira tertawa. Sambil berusaha mempertahankan sebagian harga dirinya, ia bergulir ke samping dan tidur.
Perasaannya bahkan lebih buruk lagi keesokan harinya. Seluruh lengannya memar, dan ia kesakitan setiap kali bergerak. Brom menengadah dari bubur yang disajikannya dan nyengir. "Bagaimana perasaanmu"" Eragon mendengus dan menyantap sarapannya cepat-cepat. Begitu tiba di jalan, mereka berjalan tergesa-gesa agar bisa tiba di Therinsford sebelum tengah hari. Sesudah hampir dua mil, jalan melebar dan mereka melihat asap di kejauhan. "Sebaiknya kau beritahu Saphira agar terbang mendului kita ke sisi seberang Therinsford," kata Brom. "Ia harus berhati-hati di sini, kalau tidak, orang akan melihatnya."
"Bagaimana kalau kau beritahukan saja sendiri"" tantang Eragon.
"Mengurusi naga orang lain dianggap tindakan yang buruk."
"Menurutmu tidak apa-apa waktu di Carvahall.
Bibir Brom merekah membentuk senyuman. "Kulakukan apa yang harus kulakukan."
Eragon menatapnya dengan suram, lalu menyampaikan instruksinya. Saphira memperingatkan, Berhati-hatilah para pelayan Kekaisaran bisa bersembunyi di mana saja.
Saat ceruk-ceruk di jalan semakin dalam, Eragon
melihat jejak kaki lebih banyak. Tanah-tanah pertanian menandai semakin dekatnya mereka dengan Therinsford. Desa itu lebih besar daripada Carvahall, tapi dibangun secara kacau balau, rumah-rumahnya berjajar tidak teratur. Benar-benar kacau " kata Eragon. Ia tidak bisa melihat penggilingan milik Dempton. Baldor dan Albriech pasti sudah menjemput Roran sekarang. Apa pun yang terjadi, Eragon tidak ingin menghadapi sepupunya. Memang buruk," Brom menyetujui.
Sungai Anora mengalir di antara mereka dan kota, dihubungkan jembatan yang kokoh. Saat mereka mendekatinya seorang pria kotor melangkah dari balik semak-semak dan menghalangi jalan mereka. Kemejanya terlalu pendek, perutnya yang kotor mencuat keluar dari atas sabuk tali. Di balik bibirnya yang pecah-pecah, giginya tampak seperti batu-batu nisan yang telah runtuh di sana-sini. "Kalian bisa berhenti di sana. Ini jembatanku. Bayar sebelum lewat.""Berapa"" tanya Brom dengan nada pasrah. Ia mengeluarkan kantong dan wajah penjaga jembatan itu berubah cerah.
"Lima crown," katanya, sambil menarik bibir membentuk senyum lebar. Amarah Eragon meledak mendengar harga yang gila-gilaan itu, dan ia hendak memprotes keras, tapi Brom memerintahkan ia diam dengan pandangan cepat. Koin-koin berpindah tangan tanpa kata. Pria itu memasukkan uangnya ke karung yang tergantung dari sabuknya. "Makasih banyak," katanya dengan nada mengejek, dan menyingkir dari jalan.
Saat Brom melangkah maju, ia terjatuh dan meraih lengan penjaga jembatan itu untuk mendukung diri. "Awas," sergah pria kotor itu, sambil menyingkir.
"Maaf," kata Brom, dan terus melewati jembatan bersama Eragon.
"Kenapa kau tidak mendebatnya" Ia merampokmu habis-habisan!" seru Eragon sewaktu mereka telah cukup jauh sehingga tak bisa didengar. "Ia mungkin bahkan tidak memiliki jembatan itu. Kita bisa menerobosnya."
"Mungkin," Brom menyetujui. "Lalu kenapa kita membayarnya"" "Karena kita tidak bisa mendebat semua orang bodoh di dunia ini. Lebih mudah memenuhi permintaan mereka, lalu menipu mereka saat mereka tidak memperhatikan." Brom membuka tangan, dan setumpuk koin di sana berkilau memantulkan cahaya.
"Kau mencopet isi dompetnya!" kata Eragon takjub.
Brom mengantongi uangnya sambil mengedipkan sebelah mata. "Dan isi dompetnya cukup mengejutkan. Ia seharusnya tahu untuk tidak menyimpan semua uang itu di tempat yang sama." Tiba-tiba terdengar lolongan kemarahan dari sisi seberang sungai. "Menurutku teman kita baru menyadari kehilangannya. Kalau kau melihat penjaga, beri tahu aku." Ia meraih bahu bocah laki-laki yang berlari di antara kuda-kuda dan bertanya "Kau tahu di mana kami bisa membeli kuda"" Bocah menatap mereka dengan pandangan serius, lalu menunjuk lumbung besar di dekat tepi Therinsford. "Terima kasih," kata Brom, sambil melemparkan sekeping koin kecil padanya. Pintu ganda lumbung yang besar terbuka, menampakkan dua deret panjang istal. Dinding seberang dipenuhi pelana, kekang, dan peralatan lainnya. Seorang pria dengan lengan berotot berdiri di ujung lumbung, menyikat kuda jantan putih. Ia mengangkat tangan dan memberi tanda agar mereka mendekat.
Saat mereka datang, Brom berkata, "Hewan yang cantik."
"Ya memang. Namanya Snowfire api salju. Namaku Haberth." Haberth mengulurkan tangan yang kasar dan menjabat tangan Eragon dan Brom dengan mantap. Ia diam sejenak untuk menunggu mereka memberi tahukan nama mereka. Sewaktu mereka tidak melakukannya, ia bertanya, "Ada yang bisa kubantu""
Brom mengangguk. "Kami membutuhkan dua kuda dan seluruh perlengkapannya. Kuda-kuda itu harus cepat dan tangguh kami akan melakukan perjalanan jauh."
Haberth berpikir sejenak. "Aku tidak memiliki banyak hewan seperti itu, dan yang kumiliki tidak murah." Kuda jantannya bergerak-gerak gelisah; pria itu mengelus-elusnya untuk menenangkannya.
"Harga tidak menjadi masalah. Kuambil kuda terbaik yang kau miliki," kata Brom.
Haberth mengangguk tanpa mengatakan apa-apa dan mengikatkan kuda jantannya ke salah satu istal. Ia pergi ke dinding dan mulai menurunkan pelana dan benda-benda lain. Tidak lama kemudian ia membuat dua tumpukan yang identik. Lalu ia berj
alan menyusuri jajaran istal dan mengeluarkan dua kuda. Yang seekor cokelat kemerahan, yang lainnya abu-abu. Si kuda cokelat menarik-narik talinya.
"Ia agak bersemangat, tapi dengan tangan yang kokoh kau tidak akan mendapat masalah dengannya," kata Haberth, sambil memberikan tali kuda cokelat itu kepada Brom.
Brom membiarkan kuda itu mencium tangannya hewan itu membiarkan ia menggosok-gosok lehernya. "Kami ambil yang ini," katanya lalu mengamati kuda kelabunya. "Tapi aku tidak yakin mengenai yang satu ini."
"Ia memiliki kaki yang bagus."
"Hmmm.... Berapa harga Snowfire""
Haberth memandang kuda jantan itu dengan sayang. "Aku lebih suka tidak menjualnya. Ia yang terbaik yang pernah kutemukan-aku berharap bisa menjadikannya pejantan."
"Kalau kau bersedia berpisah dengannya, berapa banyak yang kau minta untuk semua ini"" tanya Brom.
Eragon mencoba menyentuh kuda cokelat kemerahan itu seperti yang tadi dilakukan Brom, tapi hewan itu menjauh. Ia secara otomatis menjangkau dengan pikirannya untuk meyakinkan kuda tersebut, mengejang karena terkejut saat menyentuh kesadaran hewan itu. Kontaknya tidak sejelas atau setajam kontaknya dengan Saphira, tapi ia bisa berkomunikasi dengan kuda cokelat itu hingga batas tertentu. Dengan hati-hati, ia membujuk hewan tersebut agar memahami bahwa dirinya teman.
Kuda itu berubah tenang dan memandangnya dengan mata cokelat basah.
Haberth menggunakan jemarinya untuk menghitung harga pembelian. "Dua ratus crown dan tidak kurang," katanya sambil tersenyum, jelas merasa yakin tidak akan ada yang bersedia membayar semahal itu.
Brom membuka kantongnya tanpa mengatakan apa-apa dan menghitung uangnya.
"Apakah ini cukup"" tanyanya.
Kesunyian cukup lama sementara Haberth bergantian memandang Snowfire dan koin-koinnya. Ia mendesah, lalu, "Ia milikmu, walaupun hatiku menentangnya."
"Akan kuperlakukan ia seakan ia keturunan Gildintor, tunggangan terhebat dalam legenda," kata Brom.
"Kata-katamu menggembirakan diriku," jawab Haberth, sambil membungkuk sedikit. Ia membantu mereka memelanai kuda-kuda. Sewaktu mereka siap berangkat, ia berkata, "Selamat tinggal, kalau begitu. Demi Snowfire, kuharap kesialan tidak menimpa kalian."
"Jangan takut akan kujaga ia dengan baik," Brom berjanji saat mereka berpisah. "Ini," katanya, sambil memberikan kekang Snowfire pada Eragon, "pergilah ke sisi seberang Therinsford dan tunggu di sana."
"Kenapa"" tanya Eragon, tapi Brom telah menyelinap pergi. Dengan jengkel, ia meninggalkan Therinsford bersama kedua kuda itu dan berdiri di tepi jalan.
Di sebelah selatan ia melihat sosok samar Utgard, duduk seperti raksasa di ujung lembah. Puncaknya menembus awan dan tidak terlihat, menjulang mengatasi gunung-gunung yang lebih rendah di sekelilingnya. Gunung yang gelap dan suram itu menyebabkan Eragon bergidik.
Brom muncul tidak lama kemudian dan memberi isyarat agar Eragon mengikutinya. Mereka berjalan hingga Therinsford tidak terlihat di balik pepohonan. Lalu Brom berkata, "Ra'zac jelas melewati jalan ini. Tampaknya mereka mampir di sini untuk membeli kuda, sama seperti yang kita lakukan. Aku bisa menemukan orang yang melihat mereka. Ia bercerita tentang mereka sambil gemetaran dan mengatakan mereka memacu kuda-kuda mereka meninggalkan Therinsford seperti setan yang melarikan diri dari orang suci."
"Mereka meninggalkan kesan yang cukup dalam."
"Memang." Eragon menepuk-nepuk kudanya. "Sewaktu kita di lumbung, aku tanpa sengaja menyentuh benak kuda ini. Aku tidak mengetahui kalau bisa berbuat begitu."
Brom mengerutkan kening. "Tidak biasa bagi orang semuda dirimu untuk memiliki kemampuan itu. Sebagian besar Penunggang harus berlatih bertahun-tahun sebelum cukup kuat untuk menghubungi apa pun selain naga mereka." Wajahnya tampak serius sewaktu memeriksa Snowfire. Lalu ia berkata, "Keluarkan semua benda dari ranselmu, masukkan ke kantong pelana, dan ikat ranselmu di atasnya."
Eragon mematuhi perintah itu sementara Brom menunggangi Snowfire.
Eragon menatap kuda cokelat itu dengan ragu-ragu. Hewan itu jauh lebih kecil daripada Saphira hingga untuk sesaat yang konyol ia merasa penasaran apak
ah kuda tersebut mampu menanggung beban dirinya. Sambil mendesah, ia naik ke pelana dengan kikuk. Selama ini ia berkuda tanpa pelana dan tidak pernah menempuh jarak yang jauh. "Apakah kakiku juga akan terluka Seperti sewaktu menunggang Saphira"" tanyanya.
Bagaimana kakimu sekarang""
"Tidak terlalu buruk, tapi kupikir menunggang apa pun dengan keras akan membuka lukanya lagi."
"Kita berjalan santai saja," kata Brom berjanji. Ia memberi Eragon beberapa petunjuk, lalu mereka memulai perjalanan dengan santai. Dalam waktu singkat, pedalaman mulai berubah saat tanah-tanah yang diolah digantikan tanah-tanah yang lebih liar. Sesemakan duri dan sulur-sulur yang saling menjalin menjajari jalan, bersama sesemakan mawar lebat yang mencengkeram pakaian mereka. Bebatuan tinggi mencuat miring dari tanah-saksi-saksi kelabu kehadiran mereka. Ada suasana tidak bersahabat di udara, keanoniman yang menolak para penyusup.
Di atas mereka, semakin besar seiring setiap langkah, Utgard berdiri menjulang, permukaannya yang bergerigi dihiasi ngarai-ngarai yang dalam dan bersalju. Karang hitam pegunungan menyerap cahaya seperti busa dan meredupkan kawasan di sekitarnya. Di antara Utgard dan jajaran pegunungan yang membentuk sisi timur Lembah Palancar terdapat ngarai yang dalam. Hanya itulah satu-satunya jalan yang praktis untuk meninggalkan lembah. Jalan membentang ke sana.
Kuku-kuku kuda berdetak tajam menginjak kerikil, dan jalan berubah menjadi jalan setapak sempit saat mengitari kaki Utgard. Eragon menengadah memandang puncak yang menjulang di atas mereka dan terkejut melihat menara lancip bertengger di atasnya. Menara itu telah runtuh dan berantakan, tapi masih tampak seperti prajurit penjaga yang tegas di atas lembah. "Apa itu"" tanyanya, sambil menunjuk.
Brom tidak menengadah, tapi berkata dengan sedih dan pahit, "Pos luar para Penunggang-yang masih ada sejak pembentukan mereka. Di sanalah Vrael mengungsi, dan di mana, karena pengkhianatan, ia ditemukan dan dikalahkan Galbatorix. Sewaktu Vrael jatuh, areal ini ternoda. Edoc'sil, 'Tidak Tertaklukkan,' adalah nama kawasan ini, karena pegunungannya begitu curam hingga tidak ada yang mampu mencapai puncaknya kalau tidak bisa terbang. Sesudah kematian Vrael, orang-orang awam menyebut tempat ini Utgard, tapi tempat ini memiliki nama lain, Ristvak'baen-'Tempat Kesedihan'. Tempat ini disebut begitu oleh para Penunggang terakhir sebelum mereka dibunuh Raja."
Eragon menatap dengan terpesona. Di sinilah sisa-sisa kemegahan para Penunggang, walaupun ternoda putaran waktu yang tidak kenal lelah. Pada saat itulah ia menyadari betapa tuanya menara Penunggang. Warisan tradisi dan kepahlawanan yang begitu panjang hingga bisa disebut antik telah jatuh pada dirinya.
Mereka menempuh perjalanan selama berjam-jam mengitari Utgard. Gunung itu membentuk dinding yang kokoh di sebelah kanan mereka sewaktu mereka memasuki celah yang membelah kawasan pegunungan itu. Eragon berdiri pada sanggurdi; ia merasa tidak sabar untuk melihat apa yang ada di luar Palancar, tapi tempatnya masih terlalu jauh. Sejenak jalannya melintasi lereng, berliku-liku melewati bukit-bukit dan ngarai dangkal, mengikuti Sungai Anora. Lalu, saat matahari menggantung rendah di belakang mereka, mereka mendaki tanjakan dan memandang ke balik pepohonan.
Eragon tersentak. Di kedua sisi terdapat pegunungan, tapi di bawah mereka terdapat dataran luas yang membentang hingga kaki langit di kejauhan dan menyatu dengan langit. Dataran itu cokelat rata, seperti warna rumput mati. Awan panjang dan tipis melayang di atas kepala, dibentuk angin kencang. Sekarang ia memahami kenapa Brom berkeras membeli kuda. Mereka akan membutuhkan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk melintasi dataran itu dengan berjalan kaki. Jauh di atas ia melihat Saphira terbang berputar-putar, cukup tinggi untuk keliru dianggap sebagai burung.
"Kita tunggu besok sebelum turun," kata Brom. "Perjalanan turun memakan waktu nyaris sepanjang hari, jadi kita harus mendirikan kemah sekarang."
"Seberapa luas dataran ini"" tanya Eragon, masih tertegun.
"Dua atau tiga hari, tergantung k
e arah mana kita pergi. Selain suku-suku nomaden yang berkeliaran di bagian dataran ini, tempat ini nyaris sama tidak berpenghuninya seperti Padang Pasir Hadarac di sebelah timur. Jadi kita tidak akan menemukan banyak desa. Tapi, sebelah selatan dataran tidaklah segersang ini dan lebih banyak dihuni manusia."
Mereka meninggalkan jalan setapak dan turun di dekat sungai Anora. Saat mereka melepaskan pelana kuda-kuda, Brom memberi isyarat ke arah kuda cokelat kemerahannya. "Kau harus memberinya nama."
Eragon mempertimbangkan hal itu sambil menambatkan kudanya. "Well, aku tidak memiliki nama seanggun Snowfire, mungkin ini cukup." Ia memegang kuda cokelat itu dan berkata, "Kunamai kau Cadoc. Itu nama kakekku, jadi terimalah dengan baik." brom mengangguk setuju, tapi tragon merasa agak bodoh.
Sewaktu Saphira mendarat, Eragon bertanya, Bagaimana dataran tampaknya" Membosankan. Tidak ada apa pun kecuali kelinci dan sesemakan kering di segala arah.
Sesudah makan malam, Brom berdiri dan berteriak, "Tangkap!" Eragon nyaris tidak sempat mengangkat lengan dan menyambar potongan kayu itu sebelum potongan kayu tersebut menghantam kepalanya. Ia mengerang saat melihat pedang darurat lain.
"Jangan lagi," keluhnya. Brom hanya tersenyum dan melambaikan satu tangan. Eragon dengan enggan bangkit. Mereka berputar-putar diiringi derak kayu yang beradu cepat, dan Eragon mundur dengan lengan kesakitan.
Sesi latihan itu lebih singkat daripada yang pertama, tapi tetap cukup lama bagi Eragon untuk mendapatkan memar-memar baru. Sewaktu mereka selesai berlatih-tanding, ia membuang tongkatnya dengan kesal dan menjauhi api unggun untuk merawat luka-lukanya.
RAUNGAN GUNTUR DAN DERAK KILAT
Keesokan paginya Eragon menghindari memikirkan kejadian-kejadian apa pun yang baru saja berlangsung; kejadian-kejadian itu terlalu menyakitkan baginya untuk dipertimbangkan. Ia memfokuskan energinya untuk memperkirakan cara menemukan dan membunuh Ra'zac. Akan kulakukan dengan busurku, pikirnya mengambil keputusan, membayangkan bagaimana tampaknya sosok-sosok bermantel itu kalau ditancapi anak-anak panah.
Ia menemui kesulitan bahkan untuk berdiri. Otot-ototnya terasa sakit bahkan karena gerakan sesedikit apa pun, dan salah satu jarinya terasa panas dan bengkak. Sewaktu mereka siap berangkat, ia naik ke punggung Cadoc dan berkata pedas, "Kalau begini terus, kau bisa menghajarku hingga berkeping-keping."
"Aku tidak akan mendesakmu sekeras itu kalau menurutku kau tidak cukup kuat."
"Sekali ini, aku tidak keberatan dipandang rendah," gumam Eragon.
Cadoc melonjak-lonjak gugup sewaktu Saphira mendekat. Saphira menatap kuda itu dengan ekspresi nyaris jijik dan berkata, Tidak ada tempat bersembunyi di dataran, jadi aku tidak akan bersusah payah berusaha menyembunyikan diri. Aku akan terbang di atas kepala kalian mulai sekarang. Ia terbang, dan mereka memulai perjalanan menuruni lereng yang curam. Di banyak tempat, jalan setapaknya menghilang, memaksa mereka mencari jalan turun sendiri. Terkadang mereka harus turun dan menuntun kuda dengan berjalan kaki, berpegangan pada pepohonan agar tidak jatuh menuruni lereng. Tanah dipenuhi bebatuan lepas, yang menyebabkan pijakan menjadi berbahaya. Kendala itu menyebabkan mereka marah dan jengkel, belum lagi hawa dinginnya.
Mereka berhenti untuk beristirahat sewaktu tiba di kaki pegunungan menjelang tengah hari. Sungai Anora berbelok ke sebelah kiri mereka dan mengalir ke utara.Angin dingin menusuk menjelajahi tanah itu, melecut mereka tanpa kenal ampun. Tanahnya pecah-pecah dan debu beterbangan ke mata mereka.
Eragon tergetar melihat betapa datarnya segalanya; tidak ada rumpun sesemakan atau gundukan tanah yang menghiasi dataran. Ia menghabiskan seumur hidupnya di tempat yang dikelilingi pegunungan dan perbukitan. Tanpa gunung dan bukit ia merasa terbuka dan rapuh, seperti tikus di bawah tatapan tajam elang. Jalan setapaknya pecah menjadi tiga begitu mencapai dataran. Cabang pertama menuju ke utara, ke arah Ceunon, salah satu kota terbesar di utara; yang kedua membentang melintasi dataran; dan yang terakhir menuju ke selatan. Mereka meme
riksa ketiga jalan untuk mencari Ra'zac dan akhirnya menemukan jejak mereka, yang menuju padang rumput. "Tampaknya mereka menuju Yazuac," kata Brom kebingungan.
"Di mana itu"" "Empat hari perjalanan ke timur, kalau semuanya berjalan lancar. Itu desa kecil dekat Sungai Ninor." Ia memberi isyarat ke arah Anora, yang mengalir menjauhi mereka ke utara. "Satu-satunya pasokan air kita ada di sini. Kita harus mengisi tempat-tempat air kita sebelum mencoba menyeberangi dataran. Tidak ada kolam atau sungai di antara tempat ini dan Yazuac." Gairah perburuan mulai bangkit dalam diri Eragon. Beberapa hari lagi, mungkin kurang dari seminggu, ia akan menggunakan anak panahnya untuk membalas kematian Garrow. Lalu... Ia menolak memikirkan apa yang mungkin akan terjadi sesudahnya. Mereka mengisi kantong air masing-masing, memberi minum kuda-kuda, dan minum sebanyak mungkin dari sungai. Saphira bergabung dengan mereka dan menenggak beberapa teguk air. Setelah kenyang, mereka berbelok ke timur dan mulai menyeberangi dataran.
Eragon memutuskan anginlah yang akan membuatnya sinting terlebih dulu. Segala yang menyebabkan ia sengsara-bibirnya yang kering dan pecah-pecah, lidahnya, dan matanya yang terasa seperti terbakar-adalah akibat angin. Hembusan tanpa henti mengikuti mereka sepanjang hari. Malam hanya memperkuat anginnya, bukan meredakan. Karena tidak ada tempat perlindungan, mereka terpaksa mendirikan kemah di tempat terbuka. Eragon menemukan sesemakan, tanaman pendek dan tangguh yang banyak terdapat di daerah gersang, dan mencabutnya. Ia menumpuknya dengan cermat dan mencoba menyulutnya, tapi batangnya hanya mengepulkan asap dan menebarkan bau busuk. Dengan perasaan frustrasi, ia melemparkan pemantik pada Brom. "Aku tidak bisa menyalakannya, terutama karena angin sialan ini. Coba apakah kau bisa menyalakannya, kalau tidak makan malam akan dingin."
Brom berlutut di dekat sesemakan dan menatapnya dengan pandangan kritis. Ia mengatur kembali beberapa batang cabang, lalu menyalakan pemantik, menghamburkan bunga api ke tanaman. Asap mengepul, tapi selain itu tidak ada apa-apa. Brom merengut dan mencoba lagi, tapi keberuntungannya tidak lebih baik daripada Eragon. "Brisinger!" makinya marah, sambil mengadu batu api sekali lagi. Api tiba-tiba muncul, dan ia melangkah mundur dengan ekspresi puas. "Akhirnya. Kayu bagian dalamnya pasti sudah membara."
Mereka kembali berlatih-tanding menggunakan pedang palsu sementara makanan dimasak. Kelelahan menyebabkan latihan Itu terasa berat bagi mereka berdua, jadi mereka hanya berlatih sebentar. Sesudah makan, mereka berbaring di samping Saphira dan tidur, merasa bersyukur karena perlindungan yang diberikan naga itu.
Angin dingin yang sama menyapa mereka di pagi hari, menyapu dataran yang menakutkan. Bibir Eragon pecah di enam hari; jadi setiap kali ia tersenyum atau berbicara, tetes-tetes darah menutupi bibirnya. Menjilat hanya memperburuk lukanya. Hal yang sama juga menimpa Brom. Mereka membiarkan kuda-kuda minum dari persediaan air mereka sebelum menungganginya. Hari itu dilewatkan dengan menempuh perjalanan berat yang monoton.
Di hari ketiga, Eragon terjaga dengan perasaan lebih baik karena telah beristirahat. Itu, ditambah fakta bahwa angin telah berhenti, menyebabkan suasana hatinya berubah riang. Tapi semangatnya kembali merosot sewaktu melihat langit di depan mereka gelap akibat awan mendung.
Brom memandang awan itu dan meringis. "Biasanya aku tidak akan menerobos badai seperti itu, tapi kita akan tetap terhajar, apa pun tindakan kita, jadi sebaiknya kita meneruskan perjalanan dulu sejauh mungkin."
Suasana masih tetap tenang sewaktu mereka tiba di hadapan badai. Ketika mereka memasuki bayang-bayang badai, Eragon menengadah. Awan mendung memiliki struktur yang eksotis, membentuk katedral alamiah dengan atap-atap melengkung raksasa. Dengan imajinasinya ia mampu melihat pilar-pilar, jendela-jendela, menara-menara yang menjulang, dan gargoyle-gargoyle yang menyeringai. Benar-benar keindahan yang liar.
Saat Eragon menurunkan pandangan, gelombang raksasa melesat ke arah mereka di rerumputan,meratakannya
. Ia membutuhkan waktu sedetik untuk menyadari gelombang itu adalah hhembusan angin yang luar biasa kencang. Brom juga melihatnya, dan mereka meringkuk, bersiap menghadapi badai. Anginnya sendiri nyaris mencapai mereka sewaktu pikiran mengerikan melintas di benak Eragon sehingga ia berputar di pelana, berteriak, baik dengan suaranya maupun dengan pikiran, "Saphira! Mendarat!'
Brom memucat. Di atas kepala, mereka melihat Saphira menukik ke tanah. Ia tidak akan berhasil!
Saphira menukik ke arah kedatangan mereka, untuk menghemat waktu. Sementara mereka mengawasi, kemurkaan alam menghantam mereka bagai pukulan palu godam. Napas Eragon tersentak dan ia mencengkeram pelana sementara lolongan menggila memenuhi telinganya. Cadoc bergoyang-goyang dan menghujamkan kuku-kukunya ke tanah, surainya melecut-lecut udara. Angin mencabik-cabik pakaian mereka dengan jemari yang tidak kasatmata sementara suasana sekitar berubah gelap akibat awan debu yang bergulung-gulung. Eragon menyipitkan mata, mencari-cari Saphira. Ia melihat naga itu mendarat dengan berat lalu merunduk, mencengkeram tanah dengan cakarnya. Angin mencapai Saphira tepat pada saat naga itu akan melipat sayap. Dengan sentakan marah, angin mengembangkan sayapnya dan menyeretnya ke udara. Sejenak Saphira tergantung di sana, tertahan kekuatan badai. Lalu ia terempas pada punggungnya. Dengan sentakan kuat, Eragon memutar balik Cadoc dan menderapnya kembali menyusuri jalan, membimbing kuda itu dengan tumit dan pikirannya. Saphira! teriaknya. Cobalah bertahan di tanah. Aku datang! Ia merasakan jawaban suram dari naga itu. Saat mereka mendekati Saphira, Cadoc mogok, jadi Eragon melompat turun dan berlari ke arah naganya.
Busur memukuli kepalanya. hembusan angin yang kuat mendorongnya hingga kehilangan keseimbangan dan ia terbang ke depan, mendarat pada dadanya. Ia meluncur, lalu bangkit kembali sambil mengertakkan gigi, mengabaikan goresan-goresan dalam di kulitnya.
Saphira hanya tiga kaki jauhnya, tapi Eragon tidak bisa maju lebih dekat lagi karena sayap Saphira yang mengepak-ngepak. Saphira berjuang melipat sayapnya menentang angin yang sangat kencang. Eragon bergegas mendekati sayap kanan naga itu, berniat menahannya. Tapi angin menghantam Saphira dan Saphira berjungkir balik melewati Eragon. Duri-duri di Punggungnya nyaris mengenai kepala Eragon. Saphira mencakar tanah, berusaha bertahan. Sayap-sayapnya kembali terangkat, tapi sebelum ia sempat terbalik karenanya, Eragon membuang diri ke sayap kiri. Sayap itu terlipat pada persendiannya dan Saphira menjejalkannya dengan mantap ke tubuhnya. Eragon melompati punggung Saphira dan jatuh ke sayap yang lain. Tanpa peringatan sayap itu tertiup ke atas, menyebabkan Eragon meluncur ke tanah. Ia menghentikan jatuhnya dengan bergulingan, lalu melompat bangkit dan kembali menyambar sayap itu. Saphira mulai melipatnya dan Eragon mendorongnya dengan sekuat tenaga. Angin bertempur melawan mereka selama sedetik, tapi dengan satu sentakan terakhir mereka berhasil mengalahkannya.
Eragon menyandar ke Saphira, terengah-engah. Kau baik-baik saja" Ia bisa merasakan naga itu gemetaran.
Saphira tidak segera menjawab. Ku... kurasa begitu. Ia kedengaran terguncang. Tidak ada yang patah-aku tidak bisa berbuat apa-apa; angin tidak mau melepaskan diriku. Aku tidak berdaya. Sambil menggigil, ia terdiam.
Eragon memandangnya, prihatin. Jangan khawatir, kau aman sekarang. Ia melihat Cadoc agak jauh dari mereka, berdiri memunggungi angin. Dengan benaknya, Eragon memerintahkan hewan itu kembali ke Brom. Ia lalu naik ke punggung Saphira. Saphira merayap di jalan, berjuang melawan hembusan angin sementara Eragon berpegangan di punggungnya dan terus menundukkan kepala.
Sewaktu mereka tiba di tempat Brom, ia berteriak mengatasi suara badai. "Apakah Saphira terluka""
Eragon menggeleng dan turun. Cadoc berlari-lari mendekatinya, meringkik. Sementara ia mengelus pipi panjang kuda itu, Brom menunjuk tirai hujan yang gelap, menyapu ke arah mereka bagai lembaran-lembaran yang bergelombang. "Apa lagi"" jerit Eragon, sambil merapatkan pakaian. Ia mengernyit saat hujan de
ras menghantam. Air hujan yang menyengat terasa sedingin es; dalam waktu singkat mereka basah kuyup dan menggigil. Kilat membelah langit, muncul dan menghilang. Pijaran-pijaran kebiruan setinggi bermil-mil membelah kaki langit, diikuti gemuruh guntur yang mengguncang tanah di bawahnya. Pemandangan yang indah, tapi sangat berbahaya. Di sana-sini, rerumputan berkobar disambar kilat, langsung dipadamkan hujan.
Elemen-elemen liar lambat mereda, tapi seiring berlalunya hari, amarah alam pindah ke tempat lain. Sekali lagi langit terlihat, dan matahari di latar belakang bersinar cemerlang. Sementara berkas-berkas cahaya mewarnai awan dengan warna- warna yang terang benderang, segala sesuatunya tampak sangat kontras: terang benderang di satu sisi, gelap gulita di sisi lain. Benda-benda tampak berubah; batang-batang rumput tampak sekokoh pilar marmer. Benda-benda biasa tampak sangat indah. Eragon merasa seperti duduk dalam lukisan. Tanah yang baru dipulihkan menebarkan aroma kesegaran, membersihkan pikiran mereka dan meningkatkan semangat. Saphira menggeliat, menjulurkan leher, dan meraung gembira. Kuda-kuda bergegas menjauhinya, tapi Eragon dan Brom tersenyum melihat kegembiraan naga itu.
Sebelum cahaya memudar, mereka berhenti di ceruk yang dangkal untuk melewati malam. Karena terlalu kelelahan untuk berlatih tanding, mereka langsung tidur dan larut dalam lelapnya malam yang damai untuk membelai semua letih mereka.
PENCERAHAN DI YAZUAC Walaupun berhasil mengisi sedikit kantong-kantong air selama badai, mereka menenggak air terakhir pagi itu. "Kuharap kita berjalan di arah yang benar," kata Eragon, sambil meremas kantong airnya yang kosong, "karena kita akan mendapat masalah kalau tidak mencapai Yazuac hari ini."
Brom tampaknya tidak terganggu. "Aku pernah melewati jalan ini sebelumnya. Yazuac akan terlihat sebelum senja."
Eragon tertawa meragukan. "Mungkin kau melihat apa yang tidak kulihat. Dari mana kau bisa mengetahuinya padahal segala sesuatu tampak persis sama sejauh bermil-mil di sekitar kita""
"Karena aku tidak dipandu tanah, tapi bintang-bintang dan matahari. Mereka tidak akan menyesatkan kita. Ayo! Sebaiknya kita bergegas. Bodoh sekali membayangkan bencana yang tidak ada. Yazuac akan ada di sana.
Kata-kata Brom terbukti benar. Saphira yang terlebih dulu melihat desa itu, tapi baru beberapa lama kemudian Eragon dan Brom melihat desa tersebut bagai tonjolan gelap di kaki langit. Yazuac masih sangat jauh; desa itu terlihat hanya karena dataran yang begitu rata dan seragam. Saat mereka berkuda semakin dekat, garis gelap yang berliku-liku muncul di kedua sisi kota dan menghilang di kejauhan.
"Sungai Ninor," kata Brom, sambil menunjuk garis itu. Eragon menghentikan Cadoc. "Saphira akan terlihat kalau ia menemani kita lebih lama lagi. Apakah sebaiknya ia bersembunyi sementara kita ke Yazuac""
Brom menggaruk dagu dan memandang desa itu. "Kau lihat tikungan sungai itu" Minta Saphira menunggu di sana. Tempat itu, cukup jauh dari Yazuac jadi tidak ada seorang pun yang bisa menemukannya, tapi cukup dekat agar ia tidak tertinggal. Kita akan melewati kota, mendapatkan apa yang kita butuhkan, lalu menemuinya." Aku tidak menyukainya, kata Saphira sewaktu Eragon menjelaskan rencananya. Ini menjengkelkan, harus bersembunyi terus seperti penjahat.
Kau tahu apa yang akan terjadi kalau keberadaan kita terungkap.
Saphira menggerutu tapi menyerah dan terbang menjauh rendah di atas permukaan tanah.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat karena mengharapkan makanan dan minuman yang akan segera mereka nikmati. Saat mendekati rumah-rumah kecil di sana, mereka bisa melihat asap mengepul dari selusin cerobong, tapi tidak terlihat seorang pun di jalan. Kesunyian yang tidak biasa menyelimuti desa. Berdasarkan persetujuan yang tidak diucapkan, mereka berhenti di depan rumah pertama. Eragon tiba-tiba berkata, "Tidak ada anjing yang menyalak."
"Ya." "Tapi itu tidak berarti apa-apa."
"Ya." Eragon diam sejenak. "Seharusnya ada yang melihat kita sekarang."
"Ya." "Kalau begitu kenapa tidak ada yang keluar"" Brom takut." memicingkan mata memandang mat
ahari. "Bisa jadi "Bisa jadi," kata Eragon. Ia terdiam sejenak. "Dan kalau ini jebakan" Ra'zac mungkin menunggu kita."
""Kita membutuhkan persediaan makanan dan air." "Masih ada Ninor."
"Kita masih membutuhkan persediaan makanan."
Benar". Eragon memandang sekitarnya. "Jadi kita masuk"" Brom bodoh menyentakkan kekang. "Ya, tapi tidak seperti orang bodoh. Ini pintu masuk utama ke Yazuac. Kalau ada penyergapan, mereka pasti melakukannya di sepanjang jalan ini. Tidak ada seorang pun yang mengharapkan kita datang dari arah yang lain."
"Berputar dari samping, kalau begitu"" tanya Eragon.
Brom mengangguk dan mencabut pedang, meletakkan pedang yang telanjang melintang di pelananya. Eragon memasang tali busur dan menyiapkan sebatang anak panah. Mereka berderap tanpa suara mengitari kota dan memasukinya dengan hati-hati. Jalan-jalan kosong, cuma ada rubah kecil yang melesat pergi sewaktu mereka mendekat. Rumah-rumah tampak gelap dan muram, dengan jendela-jendela pecah berantakan. Banyak di antara pintu-pintunya yang terayun-ayun pada engsel yang patah. Kuda-kuda memutar bola mata mereka dengan gugup. Telapak tangan Eragon terasa gatal, tapi ia menahan dorongan untuk menggaruknya. Saat mereka tiba di tengah kota, ia mencengkeram busurnya lebih erat, mengernyit. "Dewa-dewa yang di atas," bisiknya. Tumpukan mayat menjulang hingga lebih tinggi daripada mereka, mayat-mayat yang kaku dan meringis. Pakaian mayat-mayat itu basah kuyup karena darah, dan tanah di bawah mereka ternoda darah juga. Para pria yang terbantai tergeletak di atas para wanita yang tadinya hendak mereka lindungi, para ibu masih memeluk anak-anak mereka, dan para kekasih yang berusaha saling melindungi tewas dalam keadaan berpelukan. Anak-anak panah hitam menancap di tubuh mereka semua. Baik yang muda maupun yang tua, tidak ada yang tersisa. Tapi yang paling buruk adalah tombak berduri yang mencuat di puncak tumpukan, menusuk mayat pucat seorang bayi.
Air mata mengaburkan pandangan Eragon dan ia mencoba membuang muka, tapi wajah-wajah mayat itu memaku perhatiannya. Ia menatap mata mereka yang terbuka dan bertanya-tanya bagaimana kehidupan bisa meninggalkan mereka semudah itu. Apa arti keberadaan kami kalau kami bisa berakhir seperti ini" Gelombang ketidak berdayaan menyapu dirinya.
Seekor gagak menukik dari langit, seperti bayangan hitam dan bertengger di tombak. Hewan itu memiringkan kepala dan dengan rakus mengamati mayat si bayi.
"Oh, tidak, tidak boleh," kata Eragon sambil menarik tali busurnya dan melepaskannya dengan suara berdesing. Diiringi bulu-bulunya yang rontok, gagak itu jatuh ke belakang, sebatang anak panah mencuat dari dadanya. Eragon memasang anak panah yang lain, tapi perasaan mual membubung dari perutnya dan ia muntah di samping Cadoc.
Brom menepuk-nepuk punggungnya. Sesudah Eragon selesai, Brom bertanya lembut, "Kau mau menungguku di luar Yazuac""
"Tidak... aku tetap di sini," kata Eragon goyah, sambil mengusap mulut. Ia menghindari memandang pemandangan yang menjijikkan di hadapan mereka itu. "Siapa yang bisa..." Ia tidak mampu memaksa diri mengatakannya.
Brom membungkuk sedikit. "Mereka yang menyukai kesakitan dan penderitaan orang lain. Mereka memiliki banyak wajah dan mengenakan banyak penyamaran, tapi hanya ada satu nama untuk mereka: kejahatan. Tidak ada yang memahaminya. Kita hanya bisa mengasihani dan menghormati para korbannya."
Ia turun dari Snowfire dan berjalan berkeliling, memeriksa tanah yang terinjak-injak dengan hati-hati. "Ra'zac melewati tempat ini," katanya perlahan-lahan, "tapi ini bukan ulah mereka. Ini pekerjaan Urgal; tombak itu buatan mereka. Sekompi Urgal melewati tempat ini, mungkin sekitar seratus jumlahnya. Aneh; setahuku hanya dalam beberapa kejadian mereka berkumpul se..." Ia berlutut dan memeriksa jejak kaki dengan teliti. Sambil memaki ia berlari kembali ke Snowfire dan melompat ke punggungnya.
"Pergi!" desisnya tegang, menendang Snowfire agar berlari. "Masih ada Urgal di sini!"
Eragon menghunjamkan tumit ke Cadoc. Kuda itu melompat maju dan melesat mengejar Snowfire. Mereka menghambur melewati rumah-rumah dan nyaris
tiba di tepi Yazuac sewaktu telapak tangan Eragon kembali terasa tergelitik. Ia melihat gerakan sekilas di sebelah kanannya, lalu tinju raksasa melontarkan dirinya dari atas pelana. Ia terbang meninggalkan Cadoc dan terempas ke dinding, tetap memegangi busurnya semata-mata karena naluri. Terengah-engah dan tertegun, ia terhuyung-huyung bangkit, memegangi sisi tubuhnya. Sesosok Urgal berdiri menjulang di depannya, wajahnya mencibir menjijikkan. Monster itu jangkung, kekar, dan lebih lebar dari badan ambang pintu, dengan kulit kelabu dan mata kekuningan seperti mata babi. Otot-otot menggembung di lengan dan dadanya, yang tertutup perisai dada yang kekecilan. Topi besi bertengger di atas sepasang tanduk yang melengkung dari keningnya, dan perisai bulat terikat di sebelah lengannya. Tangannya yang kuat memegang sebilah pedang pendek Yang tampak menyeramkan.
Di belakangnya, Eragon melihat Brom menahan Snowfire dan hendak kembali, tapi dihentikan kemunculan Urgal kedua; yang satu ini bersenjatakan kapak.
Eragon Karya Christhoper Paolini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lari, tolol!" teriak Brom pada Eragon sambil membabat musuh.
Urgal di depan Eragon meraung dan mengayunkan pedang dengan kuat. Eragon tersentak mundur sambil berteriak terkejut saat senjata makhluk itu berdesing dekat pipinya. Ia berputar balik dan melarikan diri ke tengah Yazuac, dengan jantung berdebar-debar liar. Urgal itu mengejarnya, sepatu botnya yang berat berdebam-debam. Eragon berteriak minta tolong, dengan putus asa, kepada Saphira, lalu memaksa diri untuk berlari bahkan lebih cepat lagi. Urgal itu dengan cepat berhasil mengejarnya walaupun Eragon telah berusaha menghindar; taring-taring besar terpisah meneriakkan lolongan bisu. Sementara Urgal itu nyaris menangkapnya, Eragon memasang sebatang anak panah, berputar dan berhenti, membidik, dan melepaskan panahnya. Urgal itu mengangkat tangan dan menangkap anak panah dengan perisai. Monster tersebut menabrak Eragon sebelum ia sempat memanah lagi, dan mereka jatuh bertumpukan ke tanah.
Eragon melompat bangkit dan bergegas kembali ke Brom, yang beradu senjata dengan brutal dengan lawannya dari punggung Snowfire di mana Urgal-Urgal yang lain" pikir Eragon panik. Apakah cuma kedua Urgal ini yang ada di Yazuac" Terdengar derak keras, dan Snowfire mengangkat kaki depannya, meringkik. Brom meringkuk di pelana, darah membanjir menuruni lengannya. Urgal di sampingnya melolong penuh kemenangan dan mengangkat kapak untuk mengayunkan pukulan yang mematikan.
Jeritan memekakkan telinga menghambur dari Eragon saat ia menyerang Urgal itu, menyeruduknya. Urgal itu berhenti sejenak karena tertegun, lalu menghadapinya dengan marah mengayunkan kapaknya. Eragon merunduk menghindari pukulan dengan dua tangan itu dan mencakar sisi tubuh Urgal meninggalkan garis-garis yang mengeluarkan darah. walau Urgal itu mengernyit murka. Ia kembali mengayunkan senjatanya, tapi meleset karena Eragon membuang diri ke samping dan bergegas berlari masuk ke lorong.
Eragon memusatkan perhatian untuk membimbing para Urgal meenjauhi Brom. Ia menyelinap memasuki lorong sempit di antara dua rumah, melihat lorong itu buntu, dan bergegas berhenti. Ia mencoba mundur kembali, tapi Urgal-Urgal itu memblokir jalan masuk. Mereka melangkah maju, memaki-maki dirinya dengan suara mereka yang serak. Eragon berpaling ke sana kemari, mencari-cari jalan keluar, tapi tidak ada.
Saat menghadapi kedua Urgal itu, bayangan-bayangan melintas cepat dalam benaknya: para penduduk desa yang tewas bertumpuk-tumpuk di sekitar tombak dan bayi polos yang tidak akan pernah tumbuh dewasa. Saat memikirkan nasib mereka, kekuatan membara, panas, berkumpul dari setiap bagian tubuhnya. Kekuatan yang lebih daripada sekadar keinginan untuk mendapatkan keadilan. Seakan seluruh keberadaan dirinya memberontak terhadap fakta kematian, bahwa ia tidak akan ada lagi. Kekuatan itu semakin lama semakin besar hingga ia merasa siap meledak akibat kekuatan yang terkurung itu.
Ia berdiri tegak, semua ketakutannya hilang. Ia mengangkat busur dengan sigap. Urgal-Urgal itu tertawa dan mengangkat perisai mereka. Eragon membidik sepanjang anak panahnya, sebagaimana
yang dilakukannya ratusan kali, dan menyejajarkan kepala anak panah dengan sasarannya. Energi di dalam dirinya membakar pada tingkat yang tidak tertahankan. Ia harus melepaskannya, kalau tidak kekuatan itu akan melalap dirinya. Sepatah kata tiba-tiba terlontar tanpa tertahan dari sela bibirnya. Ia memanah, sambil berteriak, "Brisingr!"
Anak panahnya mendesing menerobos udara, menyala dengan cahaya biru yang berderak-derak. Anak panah itu menghantam Urgal pertama di kening, dan udara bergetar karena suara ledakan. Gelombang kejut berwarna biru menyambar dari kepala monster itu, langsung membunuh Urgal yang lain. Gelombang itu mencapai Eragon sebelum ia sempat bereaksi, dan melewati dirinya tanpa melukainya, memudar di rumah-rumah.
Eragon berdiri dengan napas terengah-engah, lalu memandang telapak tangannya yang sedingin es. Gedwey ignasianya berpendar seperti logam yang memutih karena panas, tapi bahkan sementara ia mengawasinya, tanda itu memudar kembali ke normal. Ia mengepalkan tinju, lalu gelombang kelelahan menyapudirinya. Ia merasa aneh dan goyah, seakan tidak makan selama berhari-hari. Lutut-lututnya lemas, dan ia merosot ke dinding.
TEGURAN Begitu kekuatannya kembali sedikit, Eragon melangkah terhuyung-huyung keluar dari lorong, mengitari monster-monster yang telah menjadi bangkai itu. Ia belum jauh sewaktu Cadoc berlari-lari kecil ke sampingnya. "Bagus, kau tidak terluka," gumam Eragon. Ia menyadari, tanpa benar-benar peduli, bahwa kedua tangannya gemetar hebat dan gerakannya tersentak-sentak. Ia merasa terpisah, seakan segala yang dilihatnya terjadi pada orang lain.
Eragon menemukan Snowfire, cuping hidung kuda itu mengembang dan kupingnya menempel rata ke kepala, melonjak-lonjak di dekat sudut sebuah rumah, siap melarikan diri. Brom masih terkulai tidak bergerak di pelana. Eragon menjangkau dengan pikirannya dan menenangkan kuda itu. Begitu Snowfire santai, Eragon mendekati Brom.
Ada luka yang panjang dan berlumuran darah di lengan kanan pria tua itu. Darah mengalir deras di sana, tapi lukanya tidak dalam ataupun lebar. Walau begitu, Eragon mengetahui luka tersebut harus diperban sebelum Brom kehilangan terlalu banyak darah. Ia mengelus-elus Snowfire sejenak, lalu menurunkan Brom dari pelana. Tubuh Brom ternyata terlalu berat baginya, dan Brom jatuh berdebum ke tanah. Eragon terkejut dengan kelemahannya sendiri.
Jeritan kemurkaan memenuhi kepalanya. Saphira menukik keluar dari langit dan mendarat keras di hadapannya, dengan sayap separo terangkat. Ia mendesis marah, matanya membara. Ekornya melecut-lecut, dan Eragon mengernyit saat ekor Saphira menyambar di atas kepalanya. Kau terluka" tanya naga itu, kemurkaan terdengar menggelegak dalam suaranya.
"Tidak," kata Eragon menenangkannya sambil memanggul Brom.
Saphira menggeram dan berseru. Di mana mereka yang melakukan ini" Akan kucabik-cabik mereka!
Dengan lelah Eragon menunjuk ke arah lorong. "Tidak ada gunanya; mereka sudah tewas."
Kau yang membunuh mereka" Saphira terdengar terkejut.
Eragon mengangguk. "Entah bagaimana caranya." Dengan beberapa patah kata, ia memberitahu Saphira apa yang terjadi sambil menggeledah kantung kain yang tadinya membungkus Zar'roc.
Saphira berkata serius, Kau Eragon mendengus. Ia menemukan secarik kain panjang dan dengan hati-hati menggulung lengan baju Brom ke atas. Dengan beberapa usapan yang sigap ia membersihkan luka dan memerbannya erat-erat. Coba kita masih berada di Lembah Palancar, katanya kepada Saphira. Setidaknya di sana aku tahu tanaman mana yang bagus untuk penyembuhan. Di sini, aku tidak tahu apa yang akan membantunya. Ia mengambil pedang Brom dari tanah, mengelapnya, lalu mengembalikannya ke sarung di sabuk Brom. Kita harus pergi, kata Saphira. Mungkin masih ada Urgal-Urgal lain yang mengintai di sekitar sini.
Kau bisa membawa Brom" Pelanamu bisa menahan dirinya, dan kau bisa melindunginya.
Ya, tapi aku tidak akan meninggalkan kau sendirian.
Baik, terbanglah di sampingku, tapi kita pergi dari sini. Ia mengikatkan pelana ke Saphira, lalu memeluk Brom dan berusaha mengangkatnya, tapi sekali lagi kekuatannya yang mele
mah mengecewakan dirinya. Saphira-tolong.
Saphira mengulurkan kepala melewati Eragon dan menggigit bagian belakang jubah Brom. Dengan melengkungkan leher, ia mengangkat pria tua itu dari tanah, seperti kucing menggigit anaknya, dan meletakkannya di punggungnya. Lalu Eragon menyelipkan kaki-kaki Brom ke tali pelana dan mengeratkannya. Ia menengadah sewaktu pria tua itu mengerang dan bergerak.
Brom mengerjapkan mata dengan setengah sadar, memegang kepala dengan satu tangan. Ia menatap Eragon dengan pandangan prihatin. "Apakah Saphira tiba di sini tepat pada waktunya"
Eragon menggelengkan kepalanya. "Nanti akan kujelaskan. Lenganmu luka. Aku sudah memerbannya sebisa mungkin, tapi kau membutuhkan tempat yang aman untuk beristirahat."
"Ya," kata Brom, dengan hati-hati menyentuh lengannya. Kau tahu di mana pedangku... Ah, rupanya kau sudah menemukannya.
Eragon selesai mengeratkan tali pelana. "Saphira akan membawamu dan mengikutiku dari udara."
"Kau yakin ingin aku menunggangnya"" tanya Brom. "Aku bisa menunggang Snowfire."
"Tidak dengan lengan seperti itu. Dengan cara ini, bahkan kalau kau pingsan, kau tidak akan jatuh."
Brom mengangguk. "Aku merasa tersanjung." Ia merangkulkan lengannya yang masih sehat di leher Saphira, dan Saphira segera membubung, meluncur tinggi ke langit.
Eragon melangkah mundur, terdorong angin dari kepakan sayap naganya, dan kembali ke kuda-kuda.
Ia mengikat Snowfire di belakang Cadoc, lalu meninggalkan Yazuac, kembali ke jalan setapak dan mengikutinya ke selatan. Jalan itu membawanya ke kawasan berbatu-batu, berbelok ke kiri, dan terus menyusuri tepi Sungai Ninor. Pakis-pakisan, lumut-lumutan, dan sesemakan kecil menghiasi tepi jalan. Kesejukan di bawah pepohonan terasa menyegarkan, tapi Eragon tidak membiarkan udara yang menyegarkan itu membuainya hingga merasa aman. Ia berhenti sejenak untuk mengisi kantong-kantong air dan membiarkan kuda-kudanya minum. Saat memandang ke bawah, ia melihat jejak-jejak gerigi sepatu Ra'zac. Setidaknya kami menuju arah yang benar. Saphira terbang berputar-putar di atas kepala, mengawasi dirinya dengan tajam.
Ia resah karena mereka hanya menemui dua Urgal. Para Penduduk desa dibunuh dan Yazuac diserbu segerombolan besar. tapi di mana mereka" Mungkin Urgal-Urgal yang kami temui merupakan para penjaga belakang atau jebakan yang ditinggalkan bagi siapa pun yang mengikuti pasukan utama.
Pikirannya beralih ke bagaimana ia telah membunuh kedua Urgal itu, Suatu gagasan, pemahaman, perlahan-lahan merasuki benaknya. Ia, Eragon-bocah petani dari Lembah Palancar telah menggunakan sihir. Sihir! Hanya itu satu-satunya kata yang menjelaskan apa yang telah terjadi. Rasanya mustahil tapi ia tidak bisa mengingkari apa yang dilihatnya. Entah dengan cara bagaimana aku telah menjadi penyihir! Tapi ia tidak mengetahui cara menggunakan lagi kekuatan baru tersebut atau apa batasan-batasannya dan seberapa berbahaya kekuatan itu. Bagaimana aku bisa memiliki kemampuan ini" Apakah kemampuan ini umum di kalangan Penunggang" Dan kalau Brom mengetahuinya, kenapa ia tidak memberitahuku" Ia menggeleng penasaran dan kebingungan. Ia bercakap-cakap dengan Saphira untuk memeriksa kondisi Brom dan untuk membagi pikirannya. Saphira sama bingungnya seperti dirinya mengenai sihir. Saphira, kau bisa mencari tempat menginap bagi kami" Aku tidak bisa melihat cukup jauh di bawah sini. Sementara Saphira mencari, Eragon meneruskan perjalanan menyusuri Ninor.
Ia mendengar panggilannya tepat pada saat cuaca mulai berubah gelap. Kemarilah Saphira mengirimkan gambaran lapangan tersembunyi di balik pepohonan di dekat sungai. Eragon membelokkan kuda-kuda ke arah baru dan menyodok mereka dengan kaki agar berlari. Dengan bantuan Saphira tempat itu mudah ditemukan, tapi tempat tersebut tersembunyi begitu baik hingga ia ragu ada orang lain yang menyadari keberadaannya.
Api unggun kecil yang tidak berasap telah berkobar-kobar sewaktu Eragon memasuki lapangan. Brom duduk di sampingnya, merawat lengannya, yang diletakkan dalam posisi yang kikuk. Saphira berjongkok di sebelahnya, tubuhnya tegang. Ia menatap Eragon dengan panda
ngan tajam dan bertanya, Kau yakin tidak terluka"
Dari luar tidak... tapi aku tidak yakin mengenai bagian diriku yang lain.
Aku seharusnya tiba di sana lebih cepat. Jangan merasa tidak enak kami semua melakukan kesalahan hari ini. Kesalahanku adalah tidak berada di dekatmu. Perasaan berterima kasih Saphira atas komentar itu menyapu dirinya Eragon memandang Brom. "Bagaimana keadaanmu""
Pria tua itu melirik lengannya. "Guratan yang besar dan sakitnya setengah mati, tapi seharusnya pulih dalam waktu singkat. Aku membutuhkan perban baru; yang satu ini tidak juga bertahan Selama yang kuharapkan." Mereka merebus air untuk mencuci luka Brom. Lalu Brom mengikatkan kain baru ke lengannya dan berkata, "Aku harus makan, dan kau tampaknya juga lapar. Kita makan malam dulu, baru bercakap-cakap." Sesudah perut mereka penuh dan hangat, Brom menyulut pipa. "Sekarang, kupikir sudah waktunya kau bercerita padaku apa yang terjadi sementara aku pingsan. Aku sangat penasaran." Wajahnya memantulkan cahaya api unggun yang bergoyang-goyang, dan alis matanya yang lebat tampak semakin menonjol.
Eragon dengan gugup menangkupkan kedua tangan dan menceritakan kejadiannya tanpa menguranginya. Brom tetap membisu sepanjang ceritanya, wajahnya tidak bisa ditebak. Sesudah Eragon selesai, Brom menunduk memandang tanah. Lama yang terdengar hanyalah suara api yang berderak-derak. Brom akhirnya sadar kembali.
"Kau pernah menggunakan kekuatan ini sebelumnya""
"Tidak. Ada yang kau ketahui mengenai kekuatan ini""
"Sedikit." Wajah Brom tampak serius. "Tampaknya aku berutang budi padamu karena kau telah menyelamatkan nyawaku. Kuharap suatu hari nanti aku bisa membalasnya.
Kau seharusnya merasa bangga; hanya sedikit orang yang bisa meloloskan diri tanpa terluka sewaktu membantai Urgal pertama mereka. Tapi caramu melakukannya sangat berbahaya. Kau bisa saja menghancurkan dirimu sendiri dan seluruh desa."
"Aku tidak memiliki pilihan," kata Eragon dengan nada membela diri. "Urgal-Urgal itu nyaris menangkapku. Kalau aku menunggu, mereka pasti mencincangku habis-habisan!"
Brom menggigit pipanya kuat-kuat. "Kau sama sekali tidak mengetahui apa yang kau lakukan."
"Kalau begitu beritahu aku," tantang Eragon. "Aku mencari jawaban atas misteri ini, tapi tidak bisa memahaminya. Apa yang terjadi" Bagaimana aku bisa menggunakan sihir" Tidak ada yang pernah mengajariku."
Pandangan Brom menyambar. "Ini bukan sesuatu yang bisa diajarkan-apalagi digunakan sembarangan!"
Well, aku sudah menggunakannya, dan aku mungkin membutuhkannya lagi untuk bertempur. Tapi aku tidak akan bisa menggunakannya kecuali kau membantuku. Ada
apa" Apakah ada rahasia yang seharusnya tidak kuketahui hingga aku tua dan bijak" Atau mungkin kau tidak mengetahui apa-apa mengenai sihir!"
"Bocah!" raung Brom. "Kau menuntut jawaban dengan ke kurang ajaran yang luar biasa. Kalau kau mengetahui apa yang kau minta, kau pasti tidak akan memintanya secepat itu. Jangan mencoba diriku." Ia diam sejenak, lalu sikapnya berubah lebih ramah. "Pengetahuan yang kau minta lebih rumit daripada yang kau pahami."
Eragon bangkit dengan panas. "Aku merasa seperti dijejalkan ke dalam dunia penuh peraturan aneh, tempat tidak seorang pun yang bersedia untuk menjelaskannya."
"Aku mengerti," kata Brom. Ia mempermainkan sebatang rumput. "Sekarang malam sudah larut dan kita harus tidur, tapi kuberitahu kau beberapa hal sekarang,
untuk menghentikan recokanmu. Sihir ini karena ini memang sihir memiliki aturan-aturan sebagaimana apa pun lainnya di dunia. Kalau kau melanggar aturan, hukumannya adalah kematian, tanpa kecuali. Tindakanmu dibatasi kekuatanmu, kata-kata yang kau ketahui, dan imajinasimu."
"Apa maksudmu dengan kata-kata"" tanya Eragon.
"Pertanyaan lagi!" seru Brom. "Sesaat tadi kuharap kau kehabisan pertanyaan. Tapi kau cukup benar untuk bertanya. Sewaktu kau memanah Urgal-Urgal itu, ada yang kau katakan, bukan""
"Ya, brisingr." Apinya berkobar dan Eragon menggigil. Ada sesuatu mengenai kata itu yang menyebabkan ia merasa sangat hidup.
"Sudah kuduga. Brisingr berasal dari bahasa kuno yang dulu digunakan semua benda hidup. Tapi, se
iring dengan waktu, bahasa itu dilupakan dan tidak lagi digunakan selama beribu-ribu tahun di Alagaesia, hingga para elf membawanya kembali dari seberang lautan. Mereka mengajarkannya kepada ras-ras lain, yang menggunakannya untuk membuat dan melakukan hal-hal yang kuat. Bahasa tersebut memiliki nama untuk segala sesuatu, kalau kau bisa menemukannya."
"Tapi apa hubungannya dengan sihir"" sela Eragon.
"Segalanya! Bahasa itu merupakan dasar semua kekuatan. Bahasa itu menjabarkan sifat sejati benda-benda, bukan aspek buatan yang dilihat semua orang. Misalnya, api disebut brisingr. Itu bukan saja nama untuk api, tapi itulah nama api. Kalau kau cukup kuat, kau bisa menggunakan brisingr untuk mengarahkan api ke apa pun yang kau inginkan. Dan itulah yang terjadi hari ini.
Eragon memikirkannya sejenak. "Kenapa apinya biru" Kenapa apinya melakukan tepat seperti yang kuinginkan, kalau yang kukatakan hanyalah api""
Warnanya bervariasi dari orang ke orang. Tergantung siapa yang mengucapkan kata itu. Sebagian besar pemula harus mengucapkan dengan tepat apa yang mereka inginkan untuk terjadi. Seiring semakin bertambahnya pengalaman mereka, mereka tidak perlu lagi berbuat begitu. Pakar sejati bisa saja hanya mengatakan air dan menciptakan sesuatu yang sama sekali tidak berkaitan, seperti batu permata. Kau tidak akan mampu memahami bagaimana cara melakukan hal itu, tapi
pakar tersebut bisa melihat kaitan antara air dan batu permata dan menggunakan kaitan itu sebagai titik tolak bagi kekuatannya. Praktiknya lebih merupakan seni daripada yang lainnya. Apa yang kau lakukan tadi sangatlah sulit."
Saphira menyela pikiran Eragon. Brom penyihir! Begitulah cara Ia bisa menyalakan api unggun di dataran. Ia bukan hanya mengetahui tentang sihir; Ia sendiri bisa menggunakannya!
Mata Eragon membelalak. Kau benar!
Tanyakan padanya mengenai kekuatan ini, tapi hati-hati dengan apa yang kaukatakan. Tidak bijaksana mencari perkara dengan orang yang memiliki kemampuan seperti itu. Kalau ia penyihir, siapa yang mengetahui apa motif sebenarnya. Ia menetap di Carvahall"
Eragon mengingat hal itu saat berkata hati-hati, "Ada yang baru saja aku dan Saphira sadari. Kau bisa menggunakan sihir, bukan" Begitulah caramu menyalakan api di hari pertama kita di dataran."
Brom memiringkan kepala sedikit. "Aku menguasainya hingga tingkat tertentu."
"Kalau begitu kenapa kau tidak melawan Urgal dengan sihir" Malahan, aku bisa memikirkan banyak kesempatan dimana sihir akan berguna, kau bisa saja melindungi kita dari badai dan menyingkirkan debu dari mata kita."
Sesudah mengisi kembali pipanya, Brom berkata, "Alasannya sederhana, sungguh. Aku bukan Penunggang, yang berarti bahwa, bahkan di saat-saat terlemahmu, kau lebih kuat dari pada diriku. Dan aku tidak muda lagi; aku tidak sekuat dulu. Setiap kali aku menggunakan sihir, semakin lama semakin sulit."
Eragon menunduk, malu. "Maaf."
"Tidak perlu," kata Brom sambil menggerakkan lengannya "Semua orang mengalaminya."
"Di mana kau belajar menggunakan sihir""
"Aku lebih suka tidak mengatakannya.... Cukup kukatakan bahwa tempatnya terpencil dan dari guru yang sangat pandai. Aku, setidaknya, bisa mewariskan pelajarannya."
Brom memadamkan pipa dengan sebutir batu kecil. "Aku tahu masih ada lagi yang ingin kautanyakan, dan aku akan menjawabnya, tapi kau harus menunggu hingga besok pagi."
Ia mencondongkan tubuh ke depan, matanya berkilau-kilau. "Sebelum itu, kukatakan ini untuk membatalkan niatmu melakukan percobaan apa pun, sihir menguras tenaga sama seperti kau menggunakan lengan dan punggungmu. Itu sebabnya kau merasa kelelahan sesudah menghancurkan Urgal-Urgal itu. Dan itu sebabnya aku marah. Kau mengambil risiko yang menakutkan. Kalau sihirnya menggunakan energi yang lebih banyak daripada yang ada dalam tubuhmu, kau akan tewas. Kau seharusnya
menggunakan sihir hanya untuk tugas-tugas yang tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara biasa."
"Bagaimana caramu mengetahui mantra akan menguras semua energimu"" tanya Eragon, ketakutan.
Brom mengangkat tangan. "Biasanya kau tidak mengetahuinya. Itu sebabnya penyihir harus mengetahui ba
tasan kemampuan mereka dengan baik, dan walaupun begitu mereka masih tetap berhati-hati. Sekali kau melakukan suatu tugas dan melepaskan sihir, kau tidak bisa menariknya kembali, bahkan seandainya sihir itu akan membunuhmu. Kuberitahukan ini sebagai peringatan: jangan mencoba apa pun hingga kau belajar lebih banyak. Sekarang, cukup untuk malam ini."
Saat mereka menghamparkan selimut, Saphira mengomentari dengan puas, Kita menjadi lebih kuat, Eragon, kita berdua. Tidak lama lagi tak ada yang bisa menghalangi kita.
Ya, tapi jalan mana yang akan kita pilih"
Mana pun yang kita inginkan, kata Saphira sombong, bersiap-siap tidur.
SIHIR ADALAH HAL YANG SANGAT SEDERHANA
Menurutmu kenapa kedua Urgal itu masih ada di Yazuac"" tanya Eragon, sesudah mereka berjalan beberapa waktu lamanya. "Tampaknya tidak ada alasan bagi mereka untuk tetap tinggal disana." "Kuduga mereka meninggalkan kelompok utama untuk menjarah kota. Yang aneh adalah, sepanjang sepengetahuanku, Urgal berkumpul sebanyak itu hanya dua atau tiga kali sepanjang sejarah. Aku merasa tidak tenang karena mereka melakukannya sekarang." "Menurutmu Ra'zac yang menyebabkan serangan itu"" "Entahlah. Sebaiknya sekarang kita terus menjauhi Yazuac secepat mungkin. Lagi pula, ini arah yang ditempuh Ra'zac: selatan."
Eragon menyetujui. "Tapi kita membutuhkan persediaan makanan. Apakah ada kota lain di dekat sini""
Brom menggeleng. "Tidak ada, tapi Saphira bisa berburu untuk kita kalau kita harus bertahan hidup dengan daging semata. Kawasan yang hijau ini mungkin tampak kecil di matamu, tapi ada banyak hewan di sini. Sungai itu satu-satunya sumber air hingga bermil-mil, jadi sebagian besar hewan dataran datang kemari untuk minum. Kita tidak akan kelaparan."
Eragon membisu, merasa puas dengan jawaban Brom. Saat mereka berkuda, burung-burung bersuara keras menyambar-nyambar di sekitar mereka, dan sungai mengalir dengan damai. Tempat itu ribut, penuh kehidupan dan energi. Eragon bertanya, Bagaimana Urgal itu bisa melukaimu" Kejadiannya berlangsung begitu cepat, aku tidak melihatnya."
"Kesialan, sebenarnya," Brom menggerutu. "Ia tidak sebanding dengan diriku, jadi ia menendang Snowfire. Kuda idiot itu mengangkat kaki depannya dan menyebabkan aku kehilangan keseimbangan. Hanya itu yang diperlukan Urgal untuk memberiku luka ini." Ia menggaruk dagu. "Kurasa kau masih merasa penasaran tentang sihir. Fakta bahwa kau mengetahui adanya sihir menimbulkan masalah yang merepotkan. Hanya sedikit orang yang mengetahuinya, tapi setiap Penunggang bisa menggunakan sihir, sekalipun dengan kekuatan yang berbeda. Mereka merahasiakan kemampuan ini, bahkan di puncak kejayaan mereka, karena hal itu memberi mereka keuntungan atas musuh-musuh mereka. Seandainya semua orang mengetahui hal tersebut, akan sulit berurusan dengan orang biasa. Banyak yang mengira kemampuan sihir Raja berasal dari fakta bahwa ia penyihir-penyihir bijaksana-atau sorcerer-penyihir yang menguasai kekuatan alam. Itu tidak benar; ia memiliki kemampuan itu karena ia Penunggang."
"Apa bedanya" Bukankah fakta bahwa aku menggunakan sihir menjadikan diriku sorcerer""
"Sama sekali tidak! Sorcerer, seperti Shade, menggunakan roh untuk memenuhi keinginannya. Itu berbeda sama sekali dengan kekuatanmu. Dan kau juga tidak menjadi magician karenanya, yang kekuatannya tanpa bantuan roh atau naga. Dan kau jelas bukan witch atau wizard, yang mendapatkan kekuatan mereka dari berbagai macam ramuan dan mantra.
"Yang mengembalikan pembicaraan ini ke titik awalku: masalah yang kautimbulkan. Penunggang yang masih muda seperti dirimu harus menjalani pelatihan ketat yang dirancang untuk memperkuat tubuh dan meningkatkan pengendalian mental. Pelatihan ini berlangsung selama berbulan-bulan, terkadang hingga bertahun-tahun, sampai Penunggang itu dianggap cukup bertanggung jawab untuk menangani sihir. Hingga saat itu, tidak seorang murid pun yang diberitahu mengenai kekuatan potensialnya. Kalau ada salah satu dari mereka yang menemukan sihir tanpa sengaja, ia segera disisihkan untuk menjalankan pendidikan pribadi. Jarang sekali ada yang menemukan sihir berdasark
an usahanya sendiri," ia memiringkan kepala ke arah Eragon, "sekalipun mereka tidak pernah mengalami tekanan seperti yang kaualami."
"Kalau beigitu bagaimana mereka akhirnya dilatih menggunakan sihir"" tanya Eragon. "Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa mengajarkannya pada siapa pun. Kalau kau mencoba menjelaskannya padaku dua hari yang lalu, penjelasanmu akan terasa tidak masuk akal bagiku." "Para murid diberi serangkaian latihan yang konyol, dirancang untuk menyebabkan mereka frustrasi. Misalnya, mereka diperintah memindahkan tumpukan batu dengan hanya menggunakan kaki, mengisi bak yang bocor hingga penuh, dan kegiatan-kegiatan yang mustahil lainnya. Sesudah beberapa waktu, mereka akan cukup marah hingga menggunakan sihir. Biasanya cara itu berhasil.
"Arti dari semua ini adalah," lanjut Brom, "kau akan dirugikan kalau bertemu musuh yang sudah mendapat latihan ini. Masih ada beberapa orang seperti itu: Raja misalnya, belum lagi para elf. Siapa pun dari mereka bisa mencabik-cabik dirimu dengan mudah."
"Apa yang bisa kulakukan, kalau begitu""
"Tidak ada waktu untuk instruksi resmi, tapi kita bisa banyak berlatih selama perjalanan," kata Brom. "Aku tahu banyak teknik yang bisa kau latih dan yang akan memberimu kekuatan dan kendali, tapi kau tidak bisa mendapatkan disiplin Penunggang hanya dalam semalam. Kau," ia memandang Eragon dengan sikap bergurau, "terpaksa harus mengumpulkannya dalam pelarian. Pada awalnya akan sulit, tapi imbalannya besar. Mungkin kau akan merasa gembira kalau mengetahui tidak ada Penunggang seusiamu yang pernah menggunakan sihir dengan cara seperti yang kaulakukan kemarin terhadap kedua Urgal itu."
Eragon tersenyum mendengar pujian tersebut. "Terima kasih. Apakah bahasa ini memiliki nama"
Brom tertawa. "Ya, tapi tidak ada yang mengetahuinya. Namanya pasti merupakan kata yang memiliki kekuatan luar biasa, yang dengan nama itu kau bisa mengendalikan seluruh bahasa dan mereka yang menggunakannya. Orang-orang sudah lama mencarinya, tapi belum ada yang berhasil menemukannya."
Aku masih tidak memahami cara kerja sihir," kata Eragon. Tepatnya bagaimana menggunakannya."
Brom tampak tertegun. "Apakah penjelasanku masih kurang"
Masih." Brom menghelanapas panjang dan berkata, "Untuk menggunakan sihir, kau harus memiliki kekuatan dalam tertentu yang sangat jarang ada di antara orang-orang zaman sekarang. Kau juga harus mampu mengerahkan kekuatan ini sesuka hatimu. Begitu kekuatan ini dikerahkan, kau harus menggunakannya atau membiarkannya memudar. Mengerti" Nah, kalau kau ingin menggunakan kekuatan itu, kau harus mengucapkan kata atau kalimat dalam bahasa kuno yang menjabarkan niatnya. Misalnya, kalau kau tidak mengatakan brisingr kemarin, tidak akan ada yang terjadi."
"Jadi aku dibatasi pengetahuan tentang bahasa itu""
"Tepat sekali," kata Brom. "Selain itu, saat kau menggunakan bahasa tersebut, kau mustahil menipu."
Eragon menggeleng. "Tidak mungkin. Orang-orang selalu berbohong. Pengucapan kata-kata kuno tidak bisa mencegah mereka dari berbohong." Brom mengangkat sebelah alis matanya dan berkata, "Fethrblaka, eka weohnata neiat haina ono. Blaka eom iet lam." Seekor burung tiba-tiba menghambur dari cabang pohon dan mendarat di tangannya. Hewan itu agak gemetar dan memandang mereka dengan matanya yang bulat. Sesaat kemudian Brom berkata, "Eitha," dan hewan itu terbang pergi.
"Bagaimana caramu melakukannya"" tanya Eragon penasaran.
"Aku berjanji tidak akan menyakiti dirinya. Ia mungkin tidak mengetahui dengan tepat apa yang kumaksudkan, tapi dalam bahasa kekuatan, arti kata-kataku jelas. Burung itu memercayai diriku karena ia mengetahui apa yang diketahui semua hewan, bahwa mereka yang menggunakan bahasa itu terikat kata-katanya sendiri."
"Dan para elf menggunakan bahasa itu""
"Ya." "Jadi mereka tidak pernah berbohong""
"Tidak juga," Brom mengakui. "Mereka berkeras mereka tidak pernah berbohong, dan boleh dikatakan memang benar begitu, tapi mereka telah menyempurnakan seni untuk mengatakan satu hal tapi memaksudkan hal yang lain. Kau tidak pernah mengetahui dengan tepat apa niat mereka, atau apakah kau memperk
irakan maksudnya dengan benar. Sering kah mereka hanya mengungkapkan sebagian dari kebenaran dan merahasiakan sisanya. Membutuhkan pikiran yang sangat tajam dan halus untuk berurusan dengan kebudayaan mereka.
Eragon mempertimbangkannya. "Apa arti nama-nama pribadi dalam bahasa itu" Apakah nama-nama tersebut memberikan kekuasaan atas orang lain""
Mata Brom berkilau-kilau menyetujui. "Ya, memang. Mereka yang menggunakan bahasa itu memiliki dua nama. Nama pertama untuk penggunaan sehari-hari dan hanya memiliki sedikit kewenangan. Tapi nama kedua adalah nama sejati mereka dan hanya diberitahukan kepada beberapa orang yang dipercaya. Ada saatnya orang-orang tidak menyembunyikan nama aslinya, tapi zaman ini bukanlah saat seperti itu. Siapa pun yang mengetahui namamu yang sejati memiliki kekuasaan yang sangat besar atas dirimu. Rasanya seperti menyerahkan nyawamu ke tangan orang lain. Semua orang memiliki nama rahasia, tapi hanya sedikit yang mengetahui apa nama rahasia mereka."
"Bagaimana caranya menemukan nama sejati kita"" tanya Eragon.
"Para elf secara naluriah mengetahui nama sejati mereka. Tidak ada lagi yang memiliki karunia itu. Para manusia Penunggang biasanya melakukan petualangan untuk menemukannya atau menemui elf yang bersedia memberitahu mereka, yang jarang terjadi, karena para elf tidak memberikan pengetahuan itu secara gratis," jawab Brom.
"Aku ingin mengetahui nama sejatiku," kata Eragon.
Alis mata Brom mengerut. "Hati-hati. Pengetahuan itu bisa sangat menakutkan. Untuk mengetahui siapa dirimu tanpa ilusi atau simpati merupakan saat-saat pengungkapan, di antara mereka yang mengalaminya belum ada yang berhasil melewatinya tanpa terluka. Sebagian berubah menjadi sinting karena realitasnya. Sebagian besar mencoba melupakannya. Tapi sama seperti ketika nama itu akan memberi orang lain kekuasaan, nama itu juga memungkinkan dirimu menguasai diri, kalau kebenarannya tidak menghancurkan dirimu."
Dan aku yakin itu tidak akan terjadi, Saphira menimpali.
Aku masih tetap ingin mengetahuinya," kata Eragon, dengan bulat tekadnya yang tidak mudah dibujuk. Itu bagus, karena hanya mereka yang bulat tekadnya yang mampu menemukan identitas dirinya, tapi aku tidak bisa membantumu dalam hal ini. Pencarian ini harus kau lakukan sendiri." Brom menggerakkan lengannya yang meringis tidak nyaman.
"Kenapa kau atau aku tidak bisa menyembuhkan lukamu dengan sihir"" tanya Eragon.
Brom mengerjapkan mata. "Tidak ada alasan-aku hanya tidak pernah mempertimbangkannya karena sihir seperti itu di luar kekuatanku. Kau mungkin bisa melakukannya dengan kata yang benar, tapi aku tidak ingin kau menguras tenagamu sendiri."
"Aku bisa menjauhkan dirimu dari banyak penderitaan dan masalah," Eragon memprotes.
"Aku bisa menanggungnya," kata Brom datar. "Menggunakan sihir untuk menyembuhkan luka membutuhkan energi yang sama banyaknya seperti membiarkan luka itu sembuh sendiri. Aku tidak ingin kau kelelahan selama beberapa hari mendatang. Kau seharusnya tidak mencoba melakukan tugas seberat itu sekarang."
"Nah, kalau bisa menyembuhkan lengan, apakah mungkin aku bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati""
Pertanyaan itu mengejutkan Brom, tapi ia bergegas menjawab, "Ingat apa yang kukatakan mengenai proyek-proyek yang akan membunuhmu" Itu salah satu di antaranya. Para Penunggang dilarang mencoba menghidupkan kembali orang mati, demi keselamatan mereka sendiri. Ada jurang selepas kehidupan ketika sihir tidak berarti apa-apa. Kalau kau menjangkau ke sana, kekuatanmu akan terkuras dan jiwamu akan hilang ke dalam kegelapan. Penyihir dan Penunggang-semua gagal dan menemui kematian di sana. Tetaplah berpegang pada apa yang mungkin-luka, memar, mungkin patah tulang-tapi jelas bukan orang-orang mati."
Eragon mengerutkan kening. "Ini jauh lebih rumit daripada dugaanku."
"Tepat sekali!" kata Brom. "Dan kalau kau tidak memahami apa yang kaulakukan, kau akan mencoba sesuatu yang terlalu besar dan mati." Ia berputar di pelana dan meraup ke bawah mengambil segenggam kerikil dari tanah. Dengan susah payah ia kembali menegakkan diri, lalu membuang semua kerikil kecuali
sebutir. "Kau lihat kerikil ini""
"Ya." "Ambillah." Eragon mengambilnya dan menatap gumpalan yang biasa saja itu. Kerikil tersebut hitam kusam, halus, dan sebesar ujung ibu jarinya. Tidak terhitung banyaknya batu seperti itu di jalan setapak.
"Ini latihanmu."
Eragon menatap Brom, kebingungan. "Aku tidak mengerti."
Tentu saja kau tidak mengerti," kata Brom tidak sabar. "Itu sebabnya aku mengajari dirimu dan bukan sebaliknya. Sekarang berhentilah bicara atau kita tidak akan pernah tiba ke manapun. Kuminta kau mengangkat batu itu dari telapak tanganmu dan menahannya di udara selama mungkin. Kata-kata yang akan kaugunakan adalah stenr reisa. Katakan."
"Stenr reisa." "Bagus. Sekarang cobalah."
Eragon memusatkan perhatian dengan masam pada kerikil itu, mencari-cari dalam benaknya isyarat adanya energi yang membakar dirinya kemarin. Batu tersebut tetap tidak bergerak sementara ia menatapnya, berkeringat dan frustrasi. Bagaimana aku mestinya melakukannya" Akhirnya, ia melipat tangan dan berkata, "Ini mustahil."
"Tidak," kata Brom dengan suara serak. "Aku yang menentukan apa yang mustahil dan apa yang tidak. Berjuanglah! Jangan menyerah semudah ini. Coba lagi."
Sambil mengerutkan kening, Eragon memejamkan mata, mengesampingkan semua pikiran yang mengalihkanperhatian. Ia menghela napas dalam dan menjangkau sudut-sudut terdalam jiwanya, mencoba menemukan di mana kekuatannya bersembunyi. Saat mencari-cari, ia hanya menemukan pikiran dan kenangan hingga merasakan sesuatu yang berbeda-tonjolan kecil yang merupakan bagian dirinya tapi juga bukan bagian dirinya. Dengan bersemangat, ia menggali ke sana, mencari apa yang disembunyikan tonjolan itu. Ia merasakan perlawanan, halangan dalam benaknya, tapi mengetahui kekuatannya berada di balik hambatanitu. Ia mencoba menerobosnya, tapi halangan tersebut bertahan. Dengan kemarahan yang makin besar, Eragon menerjang hambatan itu, menghantamnya dengan segenap kekuatan hingga halangan itu hancur berantakan bagai sekeping kaca tipis, membanjiri pikirannya dengan sungai cahaya.
Amarah Pedang Bunga Iblis 7 Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal Pendekar Satu Jurus 13
Tidak sama. Saphira mendekat dan memalingkan kepalanya yang panjang hingga bisa mengamati Brom dengan salah satu mata birunya yang besar. Kau benar-benar makhluk yang aneh, komentarnya, dan terus menatap Brom. Brom tidak bergerak sama sekali sementara Saphira mengendus-endus udara, lalu mengulurkan tangan ke makhluk itu. Saphira perlahan-lahan menundukkan kepala dan membiarkan Brom menyentuh alis matanya. Sambil mendengus, ia menyentakkan kepala dan mundur ke belakang Eragon. Ekornya melecut di atas tanah.
Ada apa" tanya Eragon.
Saphira tidak menjawab. Brom berpaling kepada Eragon dan bertanya dengan suara pelan, "Siapa namanya""
"Saphira." Ekspresi aneh tampak di wajah Brom. Ia menekankan ujung tongkatnya ke tanah begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Dari semua nama yang kau beritahukan padaku, itu satu-satunya yang disukainya. Kurasa nama itu cocok," tambah Eragon tergesa-gesa. "Memang cocok," kata Brom. Ada sesuatu dalam suara Brom yang tidak bisa diidentifikasi Eragon. Apakah itu kehilangan, keheranan, ketakutan, iri hati" Ia tidak yakin mungkin bukan salah satu dari itu. Brom berkata dengan lebih keras, "Salam, Saphira. Aku merasa terhormat bisa bertemu denganmu." Ia menggerak tangannya dalam gerakan yang aneh dan membungkuk.
Aku menyukainya, kata Saphira pelan.
Tentu saja kau menyukainya semua orang senang dipuji.
Eragon menyentuh bahu Saphira dan melangkah ke reruntuhan rumah. Saphira mengikutinya bersama Brom. Pria tua itu tampak cerah dan penuh semangat.
Eragon memanjat masuk ke dalam rumah dan merangkak melalui bawah pintu menuju apa yang tersisa dari kamar tidurnya. Ia nyaris tidak mengenalinya di bawah tumpukan kayu yang hancur berantakan. Dengan dibimbing ingatan, ia mencari-cari di mana dinding dalam tadinya berada dan menemukan ranselnya yang kosong. Sebagian kerangkanya telah patah, tapi kerusakannya mudah diperbaiki. Ia terus mengaduk-aduk dan akhirnya menemukan ujung busurnya, yang masih berada dalam kantong kulit rusanya.
Sekalipun kulitnya tergores-gores dan hangus, ia merasa senang melihat kayu busur yang diminyakinya tidak apa-apa.
Akhirnya, ada keberuntungan. Ia memasang tali pada busurnya dan menariknya beberapa kali. Busurnya melengkung dengan lancar, tanpa berderak atau patah. Setelah puas, ia mencari-cari tabung anak panahnya, yang ditemukannya terkubur di dekat busurnya. Banyak anak panahnya yang patah. Ia melepas tali busurnya dan memberikan busur beserta tabung anak panahnya kepada Brom, yang berkata, "Butuh lengan yang kuat untuk menarik busur ini."
Eragon menerima pujian itu dengan kebisuan. Ia terus membongkar bagian rumah lainnya untuk mencari barang yang berguna dan meletakkannya di samping Brom. Tidak banyak yang ditemukannya. "Sekarang apa"" tanya Brom. Pandangannya tajam dan bertanya-tanya. Eragon membuang muka. "Kita harus menemukan
tempat persembunyian." "Ada yang sudah kau pikirkan""
"Ya." Eragon membungkus semua persediaan itu, kecuali busurnya, erat-erat dan mengikatnya. Setelah mengangkatnya ke bahu, ia berkata, "Lewat sini," dan menuju hutan. Saphira, ikuti kami dari udara jejak kakimu terlalu mudah ditemukan dan dilacak.
Baiklah. Saphira lepas landas di belakang mereka.
Tujuan mereka dekat, tapi Eragon mengambil rute berputar-putar untuk membingungkan siapa pun yang mengikuti mereka. Lebih dari satu jam kemudian barulah ia berhenti di sesemakan berduri yang tersembunyi dengan baik.
Lapangan berbentuk tidak teratur di tengah rumpun hanya cukup untuk api unggun, dua orang, dan seekor naga. Bajing-bajing merah berhamburan ke pepohonan, ribut memprotes gangguan yang mereka dapatkan. Brom melepaskan dio dari belitan sulur dan memandang sekitarnya dengan penuh perhatian. "Apakah ada orang lain lagi yang mengetahui tempat ini"" tanyanya.
Tidak. Kutemukan sewaktu kami pertama kali pindah kemari. Aku membutuhkan waktu seminggu untuk bisa mencapai tengahnya dan seminggu lagi untuk membersihkan semua kayu mati yang ada." Saphira mendarat di samping mereka dan melipat sayapnya, berhati-hati untuk menghindari duri-durinya. Ia meringkuk, mematahkan ranting-ranting dengan sisik-sisiknya yang keras, dan meletakkan kepala di tanah. Matanya yang tidak bisa dibaca mengikuti mereka dengan teliti. Brom menyandar ke tongkat dan tatapannya terpaku pada Saphira. Pengamatannya menyebabkan Eragon merasa gugup.
Eragon mengawasi mereka hingga kelaparan memaksanya bertindak. Ia menyalakan api, mengisi panci dengan salju, lalu meletakkannya di atas api agar mencair.
Sewaktu airnya mendidih, ia menyobek-nyobek daging dan memasukkannya ke panci bersama sepotong garam. Bukan makanan yang sangat lezat, pikirnya muram, tapi cukuplah. Mungkin aku akan makan seperti ini selama beberapa waktu mendatang, jadi sebaiknya aku membiasakan diri.
Sup itu menggelegak pelan, menebarkan aroma sedap di lapangan. Ujung lidah Saphira terjulur dan mencicipi udara. Sewaktu dagingnya telah empuk, Brom mendekat dan Eragon menyajikan hidangannya. Mereka bersantap sambil membisu, saling menghindari pandangan. Sesudahnya, Brom mengeluarkan pipa dan menyulutnya dengan santai.
"Kenapa kau ingin bepergian denganku"" tanya Eragon.
Asap mengepul dari bibir Brom dan membubung melewati pepohonan hingga menghilang. "Aku memiliki kepentingan tersendiri untuk menjaga dirimu tetap hidup," katanya.
"Apa maksudmu"" tanya Eragon. "Terus terang saja, aku tukang cerita dan kebetulan menurutku kau akan menjadi cerita yang bagus. Kau Penunggang pertama yang ada di luar kendali Raja selama
lebih dari seratus tahun. Apa yang akan terjadi" Apakah kau akan tewas sebagai martir" Apakah kau akan bergabung dengan Varden" Atau apakah kau akan membunuh Raja Galbatorix" Semua pertanyaan yang menarik. Dan aku akan ada di sana untuk melihat seluruhnya, tidak peduli apa yang harus
kulakukan untuk itu. Perut Eragon terasa melilit. Ia tidak bisa melihat dirinya sendiri melakukan semua itu, apalagi menjadi martir. Aku ingin membalas dendam, tapi untuk yang lainnya... aku tidak berambisi. "Mungkin begitu, tapi katakan, bagaimana caramu bercakap-cakap dengan Saphira""
Brom berlambat-lambat memasukkan tembakau tambahan ke pipanya. Sesudah pipanya dinyalakan kembali dan terselip mantap di mulutnya, ia berkata, "Baiklah, kalau itu jawaban yang kauinginkan, jawaban itulah yang kau dapatkan, tapi mungkin tidak seperti yang kau inginkan." Ia bangkit, memindahkan ransel ke dekat api unggun, dan mengeluarkan benda panjang yang dibungkus kain. Panjangnya sekitar lima kaki dan, dari cara Brom memegangnya, tampaknya agak berat. Ia membuka kain pembungkusnya, helai demi helai, seperti mumi yang tengah dibuka lilitannya. Eragon tertegun, terpaku, saat tampak sebilah pedang. Ujung gagangnya dari emas berbentuk air mata dengan sisi-sisi dipotong untuk menunjukkan sebutir batu mirah sebesar telur kecil. Gagangnya dililit kawat perak, digosok hingga mengilap seperti bintang. Sarungnya merah anggur dan sehalus kaca, hanya dihiasi simbol aneh berwarna
hitam yang diukirkan di sana. Di samping pedang terdapat sabuk kulit dengan gesper berat. Setelah kain pembungkus terakhir ditanggalkan, Brom memberikan senjata itu kepada Eragon. Tangkainya terasa cocok di tangan Eragon, seakan pedang itu memang dibuat untuk dirinya. Perlahan-lahan ia mencabut pedangnya pedang itu keluar tanpa suara dari sarungnya. Bilah pedangnya merah transparan dan berkilau ditimpa cahaya api unggun. Tepi-tepinya yang tajam melengkung dengan anggun ke ujung yang lancip. Simbol yang sama terukir di logamnya. Keseimbangan pedang itu sempurna, rasanya seperti perpanjangan lengannya, tidak seperti peralatan pertanian yang biasa digunakannya. Pedang tersebut memancarkan kekuasaan seakan ada kekuatan yang tidak terhentikan berdiam di dalam intinya. Pedang itu diciptakan untuk kebrutalan perang, untuk mengakhiri hidup seseorang, tapi pedang itu memiliki keindahan yang menakutkan. "Pedang ini dulu milik Penunggang," kata Brom muram. "Sewaktu Penunggang menyelesaikan pendidikannya, para elf akan menghadiahinya sebilah pedang. Metode yang digunakan para elf untuk membuat pedang sejak dulu merupakan rahasia. Tapi pedang mereka selalu tajam dan tidak pernah karatan. Biasanya warna pedang disesuaikan dengan warna naga Penunggang, tapi kupikir kita bisa mengadakan perkecualian dalam hal ini. Pedang ini bernama Zar'roc. Aku tidak mengetahui apa artinya, mungkin sesuatu yang pribadi bagi Penunggang pemiliknya. Ia mengawasi Eragon mengayun-ayunkan pedang itu.
"Dari mana kau mendapatkannya"" tanya Eragon. Dengan enggan ia menyelipkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya dan berusaha mengembalikannya kepada Brom. Tapi Brom tidak bergerak sedikit pun untuk mengambilnya.
"Tidak penting," kata Brom. "Aku hanya akan mengatakan bahwa aku harus melakukan serangkaian petualangan yang kejam dan berbahaya untuk mendapatkannya. Anggaplah pedang itu milikmu. Kau lebih berhak atas pedang itu daripada diriku, dan sebelum semuanya selesai, kupikir kau akan membutuhkannya."
Tawaran itu mengejutkan Eragon. "Ini hadiah yang sangat mewah, terima kasih." Tidak yakin apa yang harus dikatakannya lagi, ia mengelus-elus sarung pedang. "Simbol apa ini"" tanyanya. "Itu lambang pribadi Penunggang." Eragon berusaha menyela, tapi Brom memelototi dirinya hingga ia diam. "Nah, kalau kau harus mengetahuinya, siapa pun bisa belajar berbicara dengan naga kalau mereka mendapat latihan yang selayaknya. Dan," ia mengangkat satu jari untuk menekankan, "kalaupun mereka bisa, itu tidak berarti apa-apa. Aku lebih tahu tentang naga dan kemampuan mereka daripada orang lain mana pun yang masih hidup. Kalau berusaha sendiri kau mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mempelajari apa yang bisa kuajarkan padamu. Kutawarkan pengetahuanku sebagai jalan pintas. Sedang mengenai bagaimana aku bisa mengetahui begitu banyak, aku tidak akan memberitahukannya."
Saphira menegakkan tubuh sewaktu Brom selesai berbicara dan mendekati Eragon. Eragon mencabut pedangnya dan menunjukkannya pada Saphira. Pedang itu memiliki kekuatan, dan Saphira, sambil menyentuh ujung pedang dengan giginya. Warna pedangnya bergelombang bagai air saat bertemu sisik-sisik Saphira. Saphira mengangkat kepala sambil mendengus puas, dan pedang itu tampak normal kembali. Eragon menyarungkannya dengan perasaan terganggu.
Brom mengerutkan alis. "Hal-hal seperti itulah yang kumaksud. Naga akan terus membuatmu terpesona. Berbagai hal terjadi di sekitar mereka, hal-hal misterius yang mustahil terjadi di tempat lain. Walaupun para Penunggang bekerja bersama para naga selama berabad-abad, mereka tidak pernah benar-benar memahami kemampuan naga. Ada yang mengatakan bahkan naga sendiri tidak mengetahui sejauh mana kekuatan mereka. Mereka terhubung dengan tanah ini dengan cara yang memungkinkan mereka mengatasi masalah-masalah besar. Apa yang baru saja dilakukan Saphira mengilustrasikan inti-inti yang kuceritakan tadi ada banyak yang tidak kau ketahui."
Kebisuan bertahan cukup lama. "Mungkin saja begitu," kata Eragon, "tapi aku bisa belajar. Dan orang-orang asing itu merupakan informasi paling penting yang
perlu kuketahui sekarang.
Apakah kau tahu siapa mereka""
Brom menghela napas dalam. "Mereka disebut Ra'zac. Tidak seorang pun mengetahui apakah itu nama ras mereka atau nama pilihan mereka sendiri. Pokoknya, kalau mereka memiliki nama masing-masing, mereka menyembunyikannya. Ra'zac tidak pernah terlihat sebelum Galbatorix berkuasa. Ia pasti menemukan mereka dalam perjalanannya dan merekrut mereka untuk mengabdi padanya. Hanya sedikit, atau bahkan tidak ada, yang diketahui mengenai mereka. Tapi, aku bisa memberitahumu ini mereka bukanlah manusia. Sewaktu aku sekilas melihat kepala salah satunya, tampak ada sesuatu yang mirip paruh dan mata hitam yang sebesar kepalan tanganku walau bagaimana mereka menguasai cara bicara kita masih merupakan misteri bagiku. Tidak diragukan lagi bagian tubuh mereka yang lainnya sama kacaunya seperti wajahnya. Itu sebabnya mereka selalu mengenakan mantel, tidak peduli bagaimana cuacanya. "Sedang mengenai kekuatan mereka, mereka lebih kuat daripada manusia mana pun dan bisa melompat luar biasa tinggi tapi mereka tidak bisa menggunakan sihir. Bersyukurlah untuk itu, karena kalau mereka bisa, kau sudah berada dalam kekuasaan mereka. Aku juga mengetahui mereka sangat menghindari cahaya matahari,meskipun hal itu tidak akan menghentikan mereka kalau sudah bertekad bulat. Jangan melakukan kesalahan dengan meremehkan Ra'zac, karena mereka licin dan menggunakan tipu muslihat."
Berapa jumlah mereka"" tanya Eragon, merasa penasaran bagaimana Brom bisa mengetahui begitu banyak.
"Sepanjang pengetahuanku, hanya dua yang kau lihat. Mungkin masih ada lagi, tapi aku belum pernah mendengarnya. Mungkin mereka yang terakhir dari ras yang hampir punah. Kau mengerti, mereka adalah pemburu naga pribadi Raja. setiap kali Galbatorix mendengar isu adanya naga di tanah ini, ia mengirim Ra'zac untuk menyelidik. Jejak kematian sering mengikuti mereka." Brom mengembuskan serangkaian cincin asap dan mengawasi cincin-cincin itu melayang di sela sesemakan duri. Eragon mengabaikannya hingga menyadari cincin-cincin itu berubah warna dan melesat ke sana kemari. Brom mengedipkan sebelah mata.
Eragon merasa yakin tidak ada yang pernah melihat Saphira, jadi bagaimana Galbatorix bisa mendengar kabar tentang dirinya" Sewaktu ia menyatakan keheranannya, Brom berkata, "Kau benar, tampaknya tidak mungkin ada orang dari Carvahall yang memberitahu Raja. Bagaimana kalau kau ceritakan saja bagaimana kau bisa mendapatkan telurnya dan bagaimana kau membesarkan Saphira itu mungkin memperjelas masalahnya."
Eragon ragu-ragu, lalu menceritakan kejadian-kejadian yang berlangsung sejak ia menemukan telur di Spine. Rasanya luar biasa untuk akhirnya bisa menceritakannya pada seseorang. Matahari sudah hampir terbenam sewaktu Eragon mengakhiri ceritanya. Mereka berdua terdiam sementara awan-awan berubah menjadi merah muda yang lembut. Eragon akhirnya memecahkan kesunyian. "Aku hanya berharap bisa mengetahui dari mana asal Saphira. Saphira juga tidak bisa mengingatnya."
Brom memiringkan kepala. "Entahlah... Kau membuat banyak hal jelas bagiku. Aku yakin tidak seorang pun selain kita berdua yang pernah melihat Saphira. Ra'zac pasti memiliki jaringan informasi di luar lembah ini, sumber yang mungkin sudah tewas sekarang.... Kau sudah mengalami masa-masa sulit dari banyak bertindak. Aku terkesan."
Pandangan Eragon menerawang, lalu bertanya, "Kenapa kepalamu" Tampaknya seperti dipukul dengan batu."
"Tidak, tapi itu tebakan yang bagus." Ia mengisap pipanya dalam-dalam. "Aku menyelinap diam-diam di dekat kamp Ra'zac sesudah gelap, mencoba mempelajari sebisa mungkin sewaktu mereka mengejutkan diriku dalam kegelapan. Jebakan yang bagus, tapi mereka meremehkan diriku, dan aku berhasil mengusir mereka. Tapi, "katanya jengkel," mereka memberiku tanda kebodohanku ini dulu. Aku kalah, jatuh ke tanah dan pingsan hingga keesokan harinya. Pada waktu itu mereka tiba di tanah pertanianmu. Sudah terlambat untuk menghentikan mereka, tapi tetap saja kukejar mereka. Saat itulah kita bertemu di jalan."
Siapa dirinya hingga mengira mampu menghadapi Ra'zac seorang diri saja"
Mereka menyergapnya dalam gelap, dan ia hanya pingsan" Dengan perasaan tidak tenang, Eragon bertanya, "Sewaktu kau melihat tandanya, gedwey ignasia, di telapak tanganku, kenapa kau tidak memberitahuku siapa Ra'zac" Aku pasti akan memperingatkan Garrow terlebih dulu dan bukannya menemui Saphira, dan kami bertiga bisa saja melarikan diri."
Brom mendesah. "Aku tidak yakin apa yang harus kulakukan waktu itu. Kupikir aku bisa menjauhkan Ra'zac dari dirimu dan, begitu mereka pergi, mengkonfrontasi dirimu mengenai Saphira. Tapi mereka lebih cerdas daripada diriku. Itu kesalahan yang sangat kusesali, dan yang sangat merugikan dirimu."
"Siapa kau"" tanya Eragon, tiba-tiba merasa pahit. "Bagaimana tukang cerita desa biasa bisa memiliki sebilah pedang Penunggang" Bagaimana kau bisa mengetahui tentang Ra'zac""
Brom mengetuk-ngetukkan pipanya. "Ku pikir sudah kujelaskan bahwa aku tidak mau membicarakannya."
"Pamanku mati karena hal itu. Mati!' seru Eragon, sambil mengibaskan tangan di udara. "Aku memercayai dirimu sejauh ini karena Saphira menghormati dirimu, tapi tidak lagi! Kau bukan orang yang kukenal di Carvahall selama bertahun-tahun ini. Jelaskan siapa dirimu!"
Brom sangat lama menatap asap yang mengepul di antara mereka, kerut-kerut yang dalam terbentuk di keningnya Sewaktu ia bergerak, itu hanya untuk mengisap pipa. Akhirnya ia berkata, "Kau mungkin tidak pernah memikirkannya, tapi sebagian besar kehidupanku kuhabiskan di luar Lembah Palancar. Hanya di Carvahall aku menyamar sebagai tukang cerita. Aku sudah memainkan banyak peran bagi banyak orang aku memiliki masa lalu yang rumit. Sebagian karena ingin melarikan dirilah alasan aku datang ke sini. Jadi, tidak, aku bukan sebagaimana dugaanmu."
Ha!" dengus Eragon. "Kalau begitu siapa kau""
Brom tersenyum lembut. "Aku orang yang ada di sini untuk membantumu. Jangan mengejek kata-kata itu-itu kata-kata paling benar yang pernah kukatakan. Tapi aku tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Saat ini kau tidak perlu mendengar tentang sejarahku, dan kau juga belum berhak untuk itu. Ya, aku memiliki pengetahuan yang tidak akan dimiliki Brom si tukang cerita, tapi aku lebih daripada dirinya. Kau harus belajar hidup dengan fakta itu dan fakta bahwa aku tidak akan menjabarkan kisah hidupku pada siapa pun yang memintanya!"
Eragon memelototinya sambil cemberut. "Aku mau tidur," katanya, dan meninggalkan api unggun.
Brom tidak tampak terkejut, tapi ada kesedihan dimatanya. Ia menghamparkan kantong tidurnya di samping api unggun sementara Eragon berbaring di samping Saphira. Kebisuan sedingin es menyelimuti kamp malam itu.
MEMBUAT PELANA Sewaktu Eragon membuka mata, kenangan akan kematian Garrow masih membayangi dan menghantam dirinya. Ia menarik selimut hingga menutupi kepala dan menangis diam-diam dalam kegelapan yang hangat. Rasanya enak untuk terus tetap berbaring di sana... bersembunyi dari dunia luar yang kejam dan tak perna peduli akan kehidupan siapa pun. Akhirnya uraian air matanya berhenti mengalir membasahi pipinya. Ia memaki Brom. Lalu dengan enggan ia mengusap pipinya untuk menghapus sisa-sisa lukisan duka di wajahnya dan berdiri. Brom tengah memasak sarapan untuk mereka berdua. "Selamat pagi," katanya dengan ramah. Eragon menggeram sebagai jawaban. Ia menjejalkan jemarinya yang kedinginan ke ketiaknya dan berjongkok di dekat api unggun untuk sekedar menghangatkan diri hingga makanan siap. Mereka makan dengan cepat, mencoba menelan makanan sebelum hilang kehangatannya. Sewaktu selesai, Eragon segera mencuci mangkoknya dengan salju, lalu menghamparkan kulit curian di atas tanah.
"apa yang akan kau perbuat dengan kulit itu"" tanya Brom dengan tatapan keheranan tersirat di wajah tuanya. "Kita tidak bisa membawa-bawanya." "Aku akan membuat pelana untuk Saphira."
"hmmm," kata Brom, sambil mendekat. " Well, naga biasanya memiliki dua macam pelana. Yang pertama keras dan dicetak seperti pelana kuda. Tapi untuk membuatnya memakan waktu dan membutuhkan peralatan, yang tidak kita miliki, satu Pelana yang lain berbantalan tipis dan ringan, tidak lebih daripada sekadar lapisan tambahan
antara Penunggang dan naganya. Pelana tipis digunakan setiap kali kecepatan dan fleksibilitas sangat dibutuhkan, walaupun tidak senyaman pelana cetakan."
"Kau tahu bagaimana bentuknya"" tanya Eragon. Lebih baik lagi, aku bisa membuatnya." "Kalau begitu tolong buatkan," kata Eragon, sambil melangkah ke samping. Baiklah, tapi perhatikan. Suatu hari nanti kau mungkin harus membuatnya sendiri.".
Dengan seizin Saphira, Brom mengukur leher dan dadanya. Lalu ia memotong lima utas tali dari kulit dan menggambar sekitar selusin bentuk pada sisanya.
Begitu potongan-potongannya telah dipotong, ia membuat kulit yang tersisa menjadi tali-tali yang panjang.
Brom menggunakan tali-tali itu untuk menyatukan segala sesuatunya, tapi untuk setiap jahitan, ia harus membuat dua lubang menembus kulitnya. Eragon membantu membuatnya. Simpul-simpul yang rumit dibuat sebagai ganti gesper, dan setiap talinya dibuat lebih panjang agar pelana itu masih tetap bisa digunakan Saphira di bulan-bulan mendatang.
Bagian utama pelananya dibuat dari tiga bagian identik yang dijahit menjadi satu dengan bantalan di antaranya. Di bagian depannya terdapat cincin tebal yang sesuai untuk diselipkan di salah satu duri leher Saphira, sementara pita-pita lebar dijahitkan di kedua sisinya yang akan melilit di perutnya dan diikat di bagian bawah. Sebagai ganti pijakan kaki terdapat serangkaian cincin di kedua pita lebar. Setelah dieratkan, cincin-cincin itu akan menahan kaki-kaki Eragon di tempatnya. Seutas tali kulit yang panjang dibuat melewati sela kaki-kaki depan Saphira, dibelah menjadi dua, lalu dililitkan keluar di belakang kaki depannya dan disambungkan ke pelana.
Sementara Brom bekerja, Eragon memperbaiki ransel dan mengatur persediaan mereka. Hari telah berlalu sewaktu tugas mereka selesai. Sekalipun kelelahan karena bekerja, Brom memasang pelana di Saphira dan memeriksa apakah tali-talinya telah sesuai. Ia melakukan beberapa penyesuaian kecil, lalu menanggalkannya, puas.
"Kau melakukan pekerjaan yang baik," kata Eragon, mengakui dengan jengkel.
Brom memiringkan kepala. "Orang harus berusaha sebaik-baiknya. Seharusnya pelana itu cukup baik untukmu kulitnya cukup kuat."
Apakah kau tidak akan mencobanya" tanya Saphira.
Mungkin besok, kata Eragon, menyimpan pelana itu bersama selimut-selimut. Sekarang sudah malam. Sebenarnya ia tidak bersemangat untuk terbang lagi, tidak sesudah akibat buruk yang diperolehnya dalam penerbangan terakhir.
Makan malam berlangsung cepat. Rasanya lezat walau sederhana. Sementara mereka makan, Brom memandang Eragon dari seberang api unggun dan bertanya, "Kita berangkat besok",,
"Tidak ada alasan untuk tetap tinggal."
"Sepertinya memang begitu..." Brom bergeser. "Eragon, aku harus meminta maaf atas apa yang terjadi. Aku tidak pernah berharap begini kejadiannya. Keluargamu tidak layak mengalami tragedi seperti itu. Kalau ada yang bisa kulakukan untuk mengubahnya, apa pun itu pasti akan kulakukan. Situasi ini mengerikan bagi kita semua." Eragon duduk membisu, menghindari tatapan Brom, lalu Brom berkata, "Kita membutuhkan kuda."
"Mungkin kau membutuhkannya, tapi aku punya Saphira."
Brom menggeleng. "Tidak ada kuda yang mampu mengalahkan kecepatan terbang naga, tapi Saphira masih terlalu muda untuk menggendong kita berdua. Lagi pula, akan lebih aman kalau kita bersama-sama, dan menunggang kuda lebih cepat daripada berjalan kaki."
"Tapi dengan begitu akan lebih sulit mengejar Ra'zac," Eragon memprotes. "Dengan menunggang Saphira, aku mungkin bisa menemukan mereka dalam waktu satu
atau dua hari. Dengan kuda akan memakan waktu lebih lama bahkan ada kemungkinan kita menginjak-injak jejak mereka di tanah!"
Brom berkata perlahan-lahan, "Itu risiko yang harus kau ambil kalau kau mau aku menemanimu."
Eragon memikirkannya. "Baiklah," katanya menggerutu, "kita beli kuda. Tapi kau yang harus membayarnya. Aku tidak memiliki uang, dan aku tidak ingin mencuri lagi. Itu salah."
"Tergantung dari sudut pandangmu," kata Brom sambil tersenyum tipis. "Sebelum kau memulai petualangan ini, ingat bahwa musuh-musuhmu, Ra'zac, adalah pelayan Raja. Mereka akan dilin
dungi ke mana pun mereka pergi. Hukum tidak menghentikan mereka. Di kota-kota besar mereka akan memiliki akses terhadap sumber daya dan bantuan yang melimpah. Juga ingatlah bahwa tidak ada yang lebih penting bagi Galbatorix selain merekrut atau membunuh dirimu-meskipun berita mengenai keberadaanmu mungkin belum didengarnya. Semakin lama kau menghindari Ra'zac, semakin putus asa ia jadinya. Ia mengetahui setiap hari kau akan menjadi lebih kuat dan bahwa setiap saat yang berlalu berarti semakin besar kesempatanmu untuk bergabung dengan musuh-musuhnya. Kau harus sangat berhati-hati, karena kau bisa dengan mudah beralih dari pemburu menjadi yang diburu."
Eragon melunak karena kata-kata yang keras itu. Sambil berpikir, ia memutar-mutar sebatang ranting di sela-sela jemarinya.
"Sudah cukup bicaranya," kata Brom. "Sekarang telah larut dan tulang-belulangku sakit. Kita bisa berbicara lebih banyak lagi besok."
Eragon mengangguk dan menambahkan kayu ke api unggun.
THERINSFORD Subuh kelabu dan mendung diiringi angin yang sangat dingin. Hutan sunyi. Sesudah sarapan ringan, Brom dan Eragon memadamkan api dan menyandang ransel masing-masing, bersiap-siap berangkat. Eragon menggantung busur dan tabung anak panahnya di samping ransel supaya bisa meraihnya dengan mudah. Saphira mengenakan pelana; ia harus memakai pelana hingga mereka mendapatkan kuda. Eragon dengan hati-hati mengikatkan Zar'roc ke punggung Saphira juga, karena ia tidak ingin mendapat beban tambahan. Lagi pula, di tangannya pedang itu tidak akan lebih baik daripada sebatang gada.
Eragon merasa aman sewaktu berada di tengah semak berduri, tapi di luar, kewaspadaan membayangi setiap gerakannya. Saphira lepas landas dan terbang berputar-putar di atas kepala. Pepohonan menipis saat mereka kembali ke tanah pertanian.
Aku akan kembali kemari, pikir Eragon, berkeras pada diri sendiri, memandang bangunan yang telah menjadi puing-puing itu. Pembuangan ini tidak bisa, tidak akan, berlangsung selamanya. Suatu hari nanti keadaan akan aman, dan aku akan kembali... Setelah menegakkan tubuh, ia menghadap ke selatan dan memandang tanah asing dan keras yang membentang di sana.
Sementara mereka berjalan, Saphira berbelok ke barat menuju pegunungan dan menghilang dari pandangan. Eragon merasa tidak nyaman mengawasi kepergian naga itu. Bahkan sekarang, tanpa ada seorang pun di sekitar mereka, mereka tidak bisa menghabiskan hari-hari mereka bersama. Saphira harus tetap tersembunyi untuk berjaga-jaga kalau mereka bertemu sesama pelancong.
Jejak kaki Ra'zac tampak samar di salju yang tergerus, tapi eragon tidak merasa khawatir. Tipis kemungkinan Ra'zac keluar dari jalan, yang merupakan jalan termudah untuk keluar dari lembah karena liarnya alam. Tapi begitu mereka keluar dari lembah, jalan terpecah menjadi beberapa jalur. Akan sulit memastikan jalan mana yang diambil Ra'zac.
Mereka berjalan sambil membisu, memusatkan perhatian pada kecepatan. Kaki-kaki Eragon terus mengucurkan darah di tempat darah keringnya pecah. Untuk mengalihkan perhatian dari ketidak nyamanan itu, ia bertanya, "Jadi apa tepatnya yang bisa dilakukan naga" Katamu ada yang kau ketahui mengenai kemampuan mereka."
Brom tertawa, cincin safirnya berkilau di udara saat ia menggerak-gerakkan tangan. "Sialnya, pengetahuanku jauh lebih sedikit daripada yang ingin kumiliki. Pertanyaanmu adalah pertanyaan yang sudah dicari jawabannya selama berabad-abad, jadi mengertilah bahwa apa yang kukatakan padamu pada dasarnya tidak lengkap. Naga sejak dulu merupakan misteri, sekalipun mungkin tidak disengaja.
"Sebelum aku benar-benar bisa menjawab pertanyaanmu, kau terlebih dulu perlu menjalani pendidikan dasar mengenai naga. Memulai pembicaraan di tengah topik serumit itu sangat membingungkan tanpa memahami dasar-dasar topik tersebut. Akan kumulai dengan siklus kehidupan naga, dan kalau kau tidak bosan, kita bisa melanjutkan ke topik yang lain."
Brom menjelaskan bagaimana naga kawin dan apa yang diperlukan agar telur-telur mereka bisa menetas. "Kau mengerti," katanya, "sewaktu naga bertelur, bayi di dalamnya siap menetas. Tapi bayi itu menung
gu, terkadang hingga bertahun-tahun, sampai situasinya tepat. Sewaktu naga hidup di alam bebas, situasi itu biasanya ditentukan ketersediaan makanan. Tapi, begitu mereka bersekutu dengan para elf, sejumlah telur mereka, biasanya tidak lebih dari satu atau dua, diberikan kepada para Penunggang setiap tahun. Telur-telur ini, atau lebih tepatnya bayi naga di dalamnya, tidak akan menetas Sebelum orang yang ditakdirkan menjadi Penunggang berada di dekatnya meski bagaimana cara mereka merasakannya tidak diketahui. Orang-orang biasanya antre untuk menyentuh telur itu, dengan harapan salah seorang di antara mereka terpilih."
"Maksudmu Saphira mungkin saja tidak menetas untuk diriku"" tanya Eragon.
"Mungkin saja, kalau ia tidak menyukai dirimu."
Eragon merasa tersanjung karena di antara semua orang di Alagaesia, Saphira memilih dirinya. Ia bertanya-tanya berapa lama Saphira telah menunggu, lalu menggigil saat memikirkan berada di dalam telur, dikelilingi kegelapan.
Brom melanjutkan ceramahnya. Ia menjelaskan apa dan kapan naga makan. Naga dewasa penuh yang hidup santai bisa melewatkan waktu berbulan-bulan tanpa makan, tapi di musim kawin mereka harus makan setiap minggu. Beberapa tanaman bisa menyembuhkan penyakit mereka, sementara tanaman yang lain menyebabkan mereka jatuh sakit. Ada berbagai cara untuk merawat cakar dan membersihkan sisik mereka.
Ia menjelaskan teknik-teknik yang digunakan kalau menyerang dengan naik naga dan apa yang harus dilakukan kalau kau bertempur melawan naga, entah dengan berjalan kaki, menunggang kuda, atau menunggang naga yang lain. Perut naga diberi perisai, ketiak mereka tidak. Eragon terus menyela dengan bertanya, dan Brom tampaknya senang dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Berjam-jam berlalu tanpa terasa saat mereka bercakap-cakap.
Sewaktu malam tiba, mereka telah berada di dekat Therinsford. Sementara langit menggelap dan mereka mencari-cari tempat untuk berkemah, Eragon bertanya, "Siapa Penunggang yang memiliki Zar'roc""
"Pejuang yang perkasa," kata Brom, "yang sangat ditakuti di zamannya dan memiliki kekuatan yang besar." "Siapa namanya""
"Aku tidak akan memberitahukannya." Eragon memprotes tapi Brom tegas. "Aku tidak ingin membiarkan dirimu tetap bodoh, jauh dari itu, tapi beberapa pengetahuan tertentu hanya akan terbukti berbahaya dan mengacaukan perhatianmu untuk saat ini. Tidak ada alasan bagiku untuk membebanimu dengan hal-hal seperti itu hingga kau sudah memiliki waktu dan kekuatan untuk menghadapinya. Aku hanya berharap bisa melindungimu dari mereka yang berniat menggunakan dirimu untuk kejahatan."
Eragon memelototinya. "Tahu, tidak" Kurasa kau senang
berbicara berputar-putar. Ada niatku meninggalkan dirimu agar tidak perlu digangggu dengan pembicaraan yang berbelit-belit. Kalau ada yang ingin kau katakan, katakan saja terus terang dan bukannya berputar-putar dengan kalimat-kalimat yang tidak jelas!"
"Damai. Semuanya akan diberi tahukan pada waktunya," kata Brom lembut.
Eragon menggerutu, tidak yakin.
Mereka menemukan tempat yang nyaman untuk melewati malam dan mendirikan kemah. Saphira bergabung dengan mereka sementara makan malam diletakkan di atas api. Apakah kau sempat berburu mencari makan" tanya Eragon.
Saphira mendengus keheranan bercampur gembira. Kalau kalian berdua lebih lambat lagi, aku pasti sempat terbang menyeberangi lautan dan kembali tanpa tertinggal. Kau tidak perlu menghina. Lagi pula, kami akan lebih cepat begitu mendapatkan kuda.
Saphira mengepulkan asap. Mungkin, tapi apakah cukup cepat untuk mengejar Ra'zac" Mereka sudah mendului beberapa hari dan bermil-mil Dan aku khawatir mereka mungkin curiga kita mengikuti mereka. Kenapa lagi mereka menghancurkan tanah pertanian dengan cara sespektakuler itu, kecuali kalau mereka ingin memprovokasi dirimu agar mengejar mereka"
Entahlah, kata Eragon, dengan perasaan terganggu. Saphira meringkuk di sampingnya, dan ia menyandarkan kepala ke perut Saphira, menyambut kehangatannya. Brom duduk di sisi seberang api, membersihkan dua tongkat panjang. Ia tiba-tiba melemparkan salah satunya kepada Eragon, yang menyambarnya secara refleks
saat tongkat itu berputar-putar melewati api unggun yang berderak-derak.
"Pertahankan dirimu!" raung Brom, berdiri.
Eragon memandang tongkat di tangannya dan melihat tongkat itu berbentuk pedang yang kasar. Brom ingin melawannya" berapa besar kesempatan orang tua itu" Kalau ia ingin memainkan permainan ini, terserahlah, tapi kalau mengira bisa memukul diriku, Ia akan mendapat kejutan.
Ia bangkit sementara Brom mengitari api unggun. Mereka berdiri berhadap-hadapan sejenak, lalu Brom menyerang, mengayunkan tongkatnya. Eragon mencoba menangkis serangan tapi terlalu lamban. Ia menjerit saat Brom menghantam rusuknya, dan jatuh ke belakang. Tanpa berpikir, ia menerjang maju, tapi Brom dengan mudah menghindari serangan itu. Eragon mengayunkan tongkatnya ke arah kepala Brom, memuntirnya pada saat terakhir, lalu mencoba menghantam sisi tubuhnya. Derak keras kayu beradu kayu bergema di seluruh kamp. "Improvisasi-bagus!" seru Brom, matanya berkilau-kilau. Lengannya bergerak begitu cepat hingga tidak jelas, dan sisi kepala Eragon terasa meledak menyakitkan. Ia jatuh seperti karung kosong, pingsan.
Siraman air dingin menyadarkan dirinya, dan ia duduk tegak, tergagap. Kepalanya bagai berdenging, dan ada darah kering di wajahnya. Brom berdiri di depannya dengan sepanci air dari salju yang dicairkan. "Kau tidak perlu berbuat begitu," kata Eragon marah, sambil berdiri. Ia merasa pusing dan goyah.
Brom mengerutkan alis matanya. "Oh" Musuh yang sebenarnya tidak akan memperlunak pukulannya, dan aku juga tidak. Apakah sebaiknya kuanggap kau... tidak kompeten agar kau merasa lebih baik" Kurasa tidak." Ia mengambil tongkat yang dijatuhkan Eragon dan mengulurkannya. "Sekarang, pertahankan dirimu."
Eragon menatap potongan kayu itu dengan pandangan kosong, lalu menggeleng. "Lupakan saja aku sudah muak." Ia berbalik dan terhuyung-huyung saat punggungnya dihajar keras. Ia berputar sambil menggeram.
"Jangan pernah memunggungi musuhmu!" sergah Brom, lalu melemparkan tongkat kepadanya dan menyerang. Eragon mundur mengitari api, menghindari serangan itu. Tarik lenganmu. Lipat lututmu," teriak Brom. Ia terus memberi instruksi, lalu berhenti sejenak untuk menunjukkan kepada Eragon bagaimana tepatnya melakukan gerakan tertentu. Lakukan lagi, tapi kali ini lebih pelan!" Mereka bergerak sangat pelan sebelum kembali bertempur hebat. Eragon cepat belajar, tapi apa pun yang berusaha dilakukannya, ia tidak bisa menahan Brom lebih dan beberapa pukulan. Sewaktu mereka selesai, Eragon terpuruk di selimutnya dan mengerang. Seluruh tubuhnya terasa sakit Brom tidak pernah bersikap lembut dengan tongkatnya. Saphira menggeram panjang bagai batuk, dan menarik bibirnya hingga sederetan gigi yang menakutkan terlihat.
Kenapa kau" tanya Eragon jengkel. Tidak apa-apa, jawab Saphira. Lucu sekali melihat bocah kecil seperti dirimu dihajar orang tua. Ia kembali memperdengarkan geraman bagai batuk, dan wajah Eragon memerah saat ia menyadari Saphira tertawa. Sambil berusaha mempertahankan sebagian harga dirinya, ia bergulir ke samping dan tidur.
Perasaannya bahkan lebih buruk lagi keesokan harinya. Seluruh lengannya memar, dan ia kesakitan setiap kali bergerak. Brom menengadah dari bubur yang disajikannya dan nyengir. "Bagaimana perasaanmu"" Eragon mendengus dan menyantap sarapannya cepat-cepat. Begitu tiba di jalan, mereka berjalan tergesa-gesa agar bisa tiba di Therinsford sebelum tengah hari. Sesudah hampir dua mil, jalan melebar dan mereka melihat asap di kejauhan. "Sebaiknya kau beritahu Saphira agar terbang mendului kita ke sisi seberang Therinsford," kata Brom. "Ia harus berhati-hati di sini, kalau tidak, orang akan melihatnya."
"Bagaimana kalau kau beritahukan saja sendiri"" tantang Eragon.
"Mengurusi naga orang lain dianggap tindakan yang buruk."
"Menurutmu tidak apa-apa waktu di Carvahall.
Bibir Brom merekah membentuk senyuman. "Kulakukan apa yang harus kulakukan."
Eragon menatapnya dengan suram, lalu menyampaikan instruksinya. Saphira memperingatkan, Berhati-hatilah para pelayan Kekaisaran bisa bersembunyi di mana saja.
Saat ceruk-ceruk di jalan semakin dalam, Eragon
melihat jejak kaki lebih banyak. Tanah-tanah pertanian menandai semakin dekatnya mereka dengan Therinsford. Desa itu lebih besar daripada Carvahall, tapi dibangun secara kacau balau, rumah-rumahnya berjajar tidak teratur. Benar-benar kacau " kata Eragon. Ia tidak bisa melihat penggilingan milik Dempton. Baldor dan Albriech pasti sudah menjemput Roran sekarang. Apa pun yang terjadi, Eragon tidak ingin menghadapi sepupunya. Memang buruk," Brom menyetujui.
Sungai Anora mengalir di antara mereka dan kota, dihubungkan jembatan yang kokoh. Saat mereka mendekatinya seorang pria kotor melangkah dari balik semak-semak dan menghalangi jalan mereka. Kemejanya terlalu pendek, perutnya yang kotor mencuat keluar dari atas sabuk tali. Di balik bibirnya yang pecah-pecah, giginya tampak seperti batu-batu nisan yang telah runtuh di sana-sini. "Kalian bisa berhenti di sana. Ini jembatanku. Bayar sebelum lewat.""Berapa"" tanya Brom dengan nada pasrah. Ia mengeluarkan kantong dan wajah penjaga jembatan itu berubah cerah.
"Lima crown," katanya, sambil menarik bibir membentuk senyum lebar. Amarah Eragon meledak mendengar harga yang gila-gilaan itu, dan ia hendak memprotes keras, tapi Brom memerintahkan ia diam dengan pandangan cepat. Koin-koin berpindah tangan tanpa kata. Pria itu memasukkan uangnya ke karung yang tergantung dari sabuknya. "Makasih banyak," katanya dengan nada mengejek, dan menyingkir dari jalan.
Saat Brom melangkah maju, ia terjatuh dan meraih lengan penjaga jembatan itu untuk mendukung diri. "Awas," sergah pria kotor itu, sambil menyingkir.
"Maaf," kata Brom, dan terus melewati jembatan bersama Eragon.
"Kenapa kau tidak mendebatnya" Ia merampokmu habis-habisan!" seru Eragon sewaktu mereka telah cukup jauh sehingga tak bisa didengar. "Ia mungkin bahkan tidak memiliki jembatan itu. Kita bisa menerobosnya."
"Mungkin," Brom menyetujui. "Lalu kenapa kita membayarnya"" "Karena kita tidak bisa mendebat semua orang bodoh di dunia ini. Lebih mudah memenuhi permintaan mereka, lalu menipu mereka saat mereka tidak memperhatikan." Brom membuka tangan, dan setumpuk koin di sana berkilau memantulkan cahaya.
"Kau mencopet isi dompetnya!" kata Eragon takjub.
Brom mengantongi uangnya sambil mengedipkan sebelah mata. "Dan isi dompetnya cukup mengejutkan. Ia seharusnya tahu untuk tidak menyimpan semua uang itu di tempat yang sama." Tiba-tiba terdengar lolongan kemarahan dari sisi seberang sungai. "Menurutku teman kita baru menyadari kehilangannya. Kalau kau melihat penjaga, beri tahu aku." Ia meraih bahu bocah laki-laki yang berlari di antara kuda-kuda dan bertanya "Kau tahu di mana kami bisa membeli kuda"" Bocah menatap mereka dengan pandangan serius, lalu menunjuk lumbung besar di dekat tepi Therinsford. "Terima kasih," kata Brom, sambil melemparkan sekeping koin kecil padanya. Pintu ganda lumbung yang besar terbuka, menampakkan dua deret panjang istal. Dinding seberang dipenuhi pelana, kekang, dan peralatan lainnya. Seorang pria dengan lengan berotot berdiri di ujung lumbung, menyikat kuda jantan putih. Ia mengangkat tangan dan memberi tanda agar mereka mendekat.
Saat mereka datang, Brom berkata, "Hewan yang cantik."
"Ya memang. Namanya Snowfire api salju. Namaku Haberth." Haberth mengulurkan tangan yang kasar dan menjabat tangan Eragon dan Brom dengan mantap. Ia diam sejenak untuk menunggu mereka memberi tahukan nama mereka. Sewaktu mereka tidak melakukannya, ia bertanya, "Ada yang bisa kubantu""
Brom mengangguk. "Kami membutuhkan dua kuda dan seluruh perlengkapannya. Kuda-kuda itu harus cepat dan tangguh kami akan melakukan perjalanan jauh."
Haberth berpikir sejenak. "Aku tidak memiliki banyak hewan seperti itu, dan yang kumiliki tidak murah." Kuda jantannya bergerak-gerak gelisah; pria itu mengelus-elusnya untuk menenangkannya.
"Harga tidak menjadi masalah. Kuambil kuda terbaik yang kau miliki," kata Brom.
Haberth mengangguk tanpa mengatakan apa-apa dan mengikatkan kuda jantannya ke salah satu istal. Ia pergi ke dinding dan mulai menurunkan pelana dan benda-benda lain. Tidak lama kemudian ia membuat dua tumpukan yang identik. Lalu ia berj
alan menyusuri jajaran istal dan mengeluarkan dua kuda. Yang seekor cokelat kemerahan, yang lainnya abu-abu. Si kuda cokelat menarik-narik talinya.
"Ia agak bersemangat, tapi dengan tangan yang kokoh kau tidak akan mendapat masalah dengannya," kata Haberth, sambil memberikan tali kuda cokelat itu kepada Brom.
Brom membiarkan kuda itu mencium tangannya hewan itu membiarkan ia menggosok-gosok lehernya. "Kami ambil yang ini," katanya lalu mengamati kuda kelabunya. "Tapi aku tidak yakin mengenai yang satu ini."
"Ia memiliki kaki yang bagus."
"Hmmm.... Berapa harga Snowfire""
Haberth memandang kuda jantan itu dengan sayang. "Aku lebih suka tidak menjualnya. Ia yang terbaik yang pernah kutemukan-aku berharap bisa menjadikannya pejantan."
"Kalau kau bersedia berpisah dengannya, berapa banyak yang kau minta untuk semua ini"" tanya Brom.
Eragon mencoba menyentuh kuda cokelat kemerahan itu seperti yang tadi dilakukan Brom, tapi hewan itu menjauh. Ia secara otomatis menjangkau dengan pikirannya untuk meyakinkan kuda tersebut, mengejang karena terkejut saat menyentuh kesadaran hewan itu. Kontaknya tidak sejelas atau setajam kontaknya dengan Saphira, tapi ia bisa berkomunikasi dengan kuda cokelat itu hingga batas tertentu. Dengan hati-hati, ia membujuk hewan tersebut agar memahami bahwa dirinya teman.
Kuda itu berubah tenang dan memandangnya dengan mata cokelat basah.
Haberth menggunakan jemarinya untuk menghitung harga pembelian. "Dua ratus crown dan tidak kurang," katanya sambil tersenyum, jelas merasa yakin tidak akan ada yang bersedia membayar semahal itu.
Brom membuka kantongnya tanpa mengatakan apa-apa dan menghitung uangnya.
"Apakah ini cukup"" tanyanya.
Kesunyian cukup lama sementara Haberth bergantian memandang Snowfire dan koin-koinnya. Ia mendesah, lalu, "Ia milikmu, walaupun hatiku menentangnya."
"Akan kuperlakukan ia seakan ia keturunan Gildintor, tunggangan terhebat dalam legenda," kata Brom.
"Kata-katamu menggembirakan diriku," jawab Haberth, sambil membungkuk sedikit. Ia membantu mereka memelanai kuda-kuda. Sewaktu mereka siap berangkat, ia berkata, "Selamat tinggal, kalau begitu. Demi Snowfire, kuharap kesialan tidak menimpa kalian."
"Jangan takut akan kujaga ia dengan baik," Brom berjanji saat mereka berpisah. "Ini," katanya, sambil memberikan kekang Snowfire pada Eragon, "pergilah ke sisi seberang Therinsford dan tunggu di sana."
"Kenapa"" tanya Eragon, tapi Brom telah menyelinap pergi. Dengan jengkel, ia meninggalkan Therinsford bersama kedua kuda itu dan berdiri di tepi jalan.
Di sebelah selatan ia melihat sosok samar Utgard, duduk seperti raksasa di ujung lembah. Puncaknya menembus awan dan tidak terlihat, menjulang mengatasi gunung-gunung yang lebih rendah di sekelilingnya. Gunung yang gelap dan suram itu menyebabkan Eragon bergidik.
Brom muncul tidak lama kemudian dan memberi isyarat agar Eragon mengikutinya. Mereka berjalan hingga Therinsford tidak terlihat di balik pepohonan. Lalu Brom berkata, "Ra'zac jelas melewati jalan ini. Tampaknya mereka mampir di sini untuk membeli kuda, sama seperti yang kita lakukan. Aku bisa menemukan orang yang melihat mereka. Ia bercerita tentang mereka sambil gemetaran dan mengatakan mereka memacu kuda-kuda mereka meninggalkan Therinsford seperti setan yang melarikan diri dari orang suci."
"Mereka meninggalkan kesan yang cukup dalam."
"Memang." Eragon menepuk-nepuk kudanya. "Sewaktu kita di lumbung, aku tanpa sengaja menyentuh benak kuda ini. Aku tidak mengetahui kalau bisa berbuat begitu."
Brom mengerutkan kening. "Tidak biasa bagi orang semuda dirimu untuk memiliki kemampuan itu. Sebagian besar Penunggang harus berlatih bertahun-tahun sebelum cukup kuat untuk menghubungi apa pun selain naga mereka." Wajahnya tampak serius sewaktu memeriksa Snowfire. Lalu ia berkata, "Keluarkan semua benda dari ranselmu, masukkan ke kantong pelana, dan ikat ranselmu di atasnya."
Eragon mematuhi perintah itu sementara Brom menunggangi Snowfire.
Eragon menatap kuda cokelat itu dengan ragu-ragu. Hewan itu jauh lebih kecil daripada Saphira hingga untuk sesaat yang konyol ia merasa penasaran apak
ah kuda tersebut mampu menanggung beban dirinya. Sambil mendesah, ia naik ke pelana dengan kikuk. Selama ini ia berkuda tanpa pelana dan tidak pernah menempuh jarak yang jauh. "Apakah kakiku juga akan terluka Seperti sewaktu menunggang Saphira"" tanyanya.
Bagaimana kakimu sekarang""
"Tidak terlalu buruk, tapi kupikir menunggang apa pun dengan keras akan membuka lukanya lagi."
"Kita berjalan santai saja," kata Brom berjanji. Ia memberi Eragon beberapa petunjuk, lalu mereka memulai perjalanan dengan santai. Dalam waktu singkat, pedalaman mulai berubah saat tanah-tanah yang diolah digantikan tanah-tanah yang lebih liar. Sesemakan duri dan sulur-sulur yang saling menjalin menjajari jalan, bersama sesemakan mawar lebat yang mencengkeram pakaian mereka. Bebatuan tinggi mencuat miring dari tanah-saksi-saksi kelabu kehadiran mereka. Ada suasana tidak bersahabat di udara, keanoniman yang menolak para penyusup.
Di atas mereka, semakin besar seiring setiap langkah, Utgard berdiri menjulang, permukaannya yang bergerigi dihiasi ngarai-ngarai yang dalam dan bersalju. Karang hitam pegunungan menyerap cahaya seperti busa dan meredupkan kawasan di sekitarnya. Di antara Utgard dan jajaran pegunungan yang membentuk sisi timur Lembah Palancar terdapat ngarai yang dalam. Hanya itulah satu-satunya jalan yang praktis untuk meninggalkan lembah. Jalan membentang ke sana.
Kuku-kuku kuda berdetak tajam menginjak kerikil, dan jalan berubah menjadi jalan setapak sempit saat mengitari kaki Utgard. Eragon menengadah memandang puncak yang menjulang di atas mereka dan terkejut melihat menara lancip bertengger di atasnya. Menara itu telah runtuh dan berantakan, tapi masih tampak seperti prajurit penjaga yang tegas di atas lembah. "Apa itu"" tanyanya, sambil menunjuk.
Brom tidak menengadah, tapi berkata dengan sedih dan pahit, "Pos luar para Penunggang-yang masih ada sejak pembentukan mereka. Di sanalah Vrael mengungsi, dan di mana, karena pengkhianatan, ia ditemukan dan dikalahkan Galbatorix. Sewaktu Vrael jatuh, areal ini ternoda. Edoc'sil, 'Tidak Tertaklukkan,' adalah nama kawasan ini, karena pegunungannya begitu curam hingga tidak ada yang mampu mencapai puncaknya kalau tidak bisa terbang. Sesudah kematian Vrael, orang-orang awam menyebut tempat ini Utgard, tapi tempat ini memiliki nama lain, Ristvak'baen-'Tempat Kesedihan'. Tempat ini disebut begitu oleh para Penunggang terakhir sebelum mereka dibunuh Raja."
Eragon menatap dengan terpesona. Di sinilah sisa-sisa kemegahan para Penunggang, walaupun ternoda putaran waktu yang tidak kenal lelah. Pada saat itulah ia menyadari betapa tuanya menara Penunggang. Warisan tradisi dan kepahlawanan yang begitu panjang hingga bisa disebut antik telah jatuh pada dirinya.
Mereka menempuh perjalanan selama berjam-jam mengitari Utgard. Gunung itu membentuk dinding yang kokoh di sebelah kanan mereka sewaktu mereka memasuki celah yang membelah kawasan pegunungan itu. Eragon berdiri pada sanggurdi; ia merasa tidak sabar untuk melihat apa yang ada di luar Palancar, tapi tempatnya masih terlalu jauh. Sejenak jalannya melintasi lereng, berliku-liku melewati bukit-bukit dan ngarai dangkal, mengikuti Sungai Anora. Lalu, saat matahari menggantung rendah di belakang mereka, mereka mendaki tanjakan dan memandang ke balik pepohonan.
Eragon tersentak. Di kedua sisi terdapat pegunungan, tapi di bawah mereka terdapat dataran luas yang membentang hingga kaki langit di kejauhan dan menyatu dengan langit. Dataran itu cokelat rata, seperti warna rumput mati. Awan panjang dan tipis melayang di atas kepala, dibentuk angin kencang. Sekarang ia memahami kenapa Brom berkeras membeli kuda. Mereka akan membutuhkan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk melintasi dataran itu dengan berjalan kaki. Jauh di atas ia melihat Saphira terbang berputar-putar, cukup tinggi untuk keliru dianggap sebagai burung.
"Kita tunggu besok sebelum turun," kata Brom. "Perjalanan turun memakan waktu nyaris sepanjang hari, jadi kita harus mendirikan kemah sekarang."
"Seberapa luas dataran ini"" tanya Eragon, masih tertegun.
"Dua atau tiga hari, tergantung k
e arah mana kita pergi. Selain suku-suku nomaden yang berkeliaran di bagian dataran ini, tempat ini nyaris sama tidak berpenghuninya seperti Padang Pasir Hadarac di sebelah timur. Jadi kita tidak akan menemukan banyak desa. Tapi, sebelah selatan dataran tidaklah segersang ini dan lebih banyak dihuni manusia."
Mereka meninggalkan jalan setapak dan turun di dekat sungai Anora. Saat mereka melepaskan pelana kuda-kuda, Brom memberi isyarat ke arah kuda cokelat kemerahannya. "Kau harus memberinya nama."
Eragon mempertimbangkan hal itu sambil menambatkan kudanya. "Well, aku tidak memiliki nama seanggun Snowfire, mungkin ini cukup." Ia memegang kuda cokelat itu dan berkata, "Kunamai kau Cadoc. Itu nama kakekku, jadi terimalah dengan baik." brom mengangguk setuju, tapi tragon merasa agak bodoh.
Sewaktu Saphira mendarat, Eragon bertanya, Bagaimana dataran tampaknya" Membosankan. Tidak ada apa pun kecuali kelinci dan sesemakan kering di segala arah.
Sesudah makan malam, Brom berdiri dan berteriak, "Tangkap!" Eragon nyaris tidak sempat mengangkat lengan dan menyambar potongan kayu itu sebelum potongan kayu tersebut menghantam kepalanya. Ia mengerang saat melihat pedang darurat lain.
"Jangan lagi," keluhnya. Brom hanya tersenyum dan melambaikan satu tangan. Eragon dengan enggan bangkit. Mereka berputar-putar diiringi derak kayu yang beradu cepat, dan Eragon mundur dengan lengan kesakitan.
Sesi latihan itu lebih singkat daripada yang pertama, tapi tetap cukup lama bagi Eragon untuk mendapatkan memar-memar baru. Sewaktu mereka selesai berlatih-tanding, ia membuang tongkatnya dengan kesal dan menjauhi api unggun untuk merawat luka-lukanya.
RAUNGAN GUNTUR DAN DERAK KILAT
Keesokan paginya Eragon menghindari memikirkan kejadian-kejadian apa pun yang baru saja berlangsung; kejadian-kejadian itu terlalu menyakitkan baginya untuk dipertimbangkan. Ia memfokuskan energinya untuk memperkirakan cara menemukan dan membunuh Ra'zac. Akan kulakukan dengan busurku, pikirnya mengambil keputusan, membayangkan bagaimana tampaknya sosok-sosok bermantel itu kalau ditancapi anak-anak panah.
Ia menemui kesulitan bahkan untuk berdiri. Otot-ototnya terasa sakit bahkan karena gerakan sesedikit apa pun, dan salah satu jarinya terasa panas dan bengkak. Sewaktu mereka siap berangkat, ia naik ke punggung Cadoc dan berkata pedas, "Kalau begini terus, kau bisa menghajarku hingga berkeping-keping."
"Aku tidak akan mendesakmu sekeras itu kalau menurutku kau tidak cukup kuat."
"Sekali ini, aku tidak keberatan dipandang rendah," gumam Eragon.
Cadoc melonjak-lonjak gugup sewaktu Saphira mendekat. Saphira menatap kuda itu dengan ekspresi nyaris jijik dan berkata, Tidak ada tempat bersembunyi di dataran, jadi aku tidak akan bersusah payah berusaha menyembunyikan diri. Aku akan terbang di atas kepala kalian mulai sekarang. Ia terbang, dan mereka memulai perjalanan menuruni lereng yang curam. Di banyak tempat, jalan setapaknya menghilang, memaksa mereka mencari jalan turun sendiri. Terkadang mereka harus turun dan menuntun kuda dengan berjalan kaki, berpegangan pada pepohonan agar tidak jatuh menuruni lereng. Tanah dipenuhi bebatuan lepas, yang menyebabkan pijakan menjadi berbahaya. Kendala itu menyebabkan mereka marah dan jengkel, belum lagi hawa dinginnya.
Mereka berhenti untuk beristirahat sewaktu tiba di kaki pegunungan menjelang tengah hari. Sungai Anora berbelok ke sebelah kiri mereka dan mengalir ke utara.Angin dingin menusuk menjelajahi tanah itu, melecut mereka tanpa kenal ampun. Tanahnya pecah-pecah dan debu beterbangan ke mata mereka.
Eragon tergetar melihat betapa datarnya segalanya; tidak ada rumpun sesemakan atau gundukan tanah yang menghiasi dataran. Ia menghabiskan seumur hidupnya di tempat yang dikelilingi pegunungan dan perbukitan. Tanpa gunung dan bukit ia merasa terbuka dan rapuh, seperti tikus di bawah tatapan tajam elang. Jalan setapaknya pecah menjadi tiga begitu mencapai dataran. Cabang pertama menuju ke utara, ke arah Ceunon, salah satu kota terbesar di utara; yang kedua membentang melintasi dataran; dan yang terakhir menuju ke selatan. Mereka meme
riksa ketiga jalan untuk mencari Ra'zac dan akhirnya menemukan jejak mereka, yang menuju padang rumput. "Tampaknya mereka menuju Yazuac," kata Brom kebingungan.
"Di mana itu"" "Empat hari perjalanan ke timur, kalau semuanya berjalan lancar. Itu desa kecil dekat Sungai Ninor." Ia memberi isyarat ke arah Anora, yang mengalir menjauhi mereka ke utara. "Satu-satunya pasokan air kita ada di sini. Kita harus mengisi tempat-tempat air kita sebelum mencoba menyeberangi dataran. Tidak ada kolam atau sungai di antara tempat ini dan Yazuac." Gairah perburuan mulai bangkit dalam diri Eragon. Beberapa hari lagi, mungkin kurang dari seminggu, ia akan menggunakan anak panahnya untuk membalas kematian Garrow. Lalu... Ia menolak memikirkan apa yang mungkin akan terjadi sesudahnya. Mereka mengisi kantong air masing-masing, memberi minum kuda-kuda, dan minum sebanyak mungkin dari sungai. Saphira bergabung dengan mereka dan menenggak beberapa teguk air. Setelah kenyang, mereka berbelok ke timur dan mulai menyeberangi dataran.
Eragon memutuskan anginlah yang akan membuatnya sinting terlebih dulu. Segala yang menyebabkan ia sengsara-bibirnya yang kering dan pecah-pecah, lidahnya, dan matanya yang terasa seperti terbakar-adalah akibat angin. Hembusan tanpa henti mengikuti mereka sepanjang hari. Malam hanya memperkuat anginnya, bukan meredakan. Karena tidak ada tempat perlindungan, mereka terpaksa mendirikan kemah di tempat terbuka. Eragon menemukan sesemakan, tanaman pendek dan tangguh yang banyak terdapat di daerah gersang, dan mencabutnya. Ia menumpuknya dengan cermat dan mencoba menyulutnya, tapi batangnya hanya mengepulkan asap dan menebarkan bau busuk. Dengan perasaan frustrasi, ia melemparkan pemantik pada Brom. "Aku tidak bisa menyalakannya, terutama karena angin sialan ini. Coba apakah kau bisa menyalakannya, kalau tidak makan malam akan dingin."
Brom berlutut di dekat sesemakan dan menatapnya dengan pandangan kritis. Ia mengatur kembali beberapa batang cabang, lalu menyalakan pemantik, menghamburkan bunga api ke tanaman. Asap mengepul, tapi selain itu tidak ada apa-apa. Brom merengut dan mencoba lagi, tapi keberuntungannya tidak lebih baik daripada Eragon. "Brisinger!" makinya marah, sambil mengadu batu api sekali lagi. Api tiba-tiba muncul, dan ia melangkah mundur dengan ekspresi puas. "Akhirnya. Kayu bagian dalamnya pasti sudah membara."
Mereka kembali berlatih-tanding menggunakan pedang palsu sementara makanan dimasak. Kelelahan menyebabkan latihan Itu terasa berat bagi mereka berdua, jadi mereka hanya berlatih sebentar. Sesudah makan, mereka berbaring di samping Saphira dan tidur, merasa bersyukur karena perlindungan yang diberikan naga itu.
Angin dingin yang sama menyapa mereka di pagi hari, menyapu dataran yang menakutkan. Bibir Eragon pecah di enam hari; jadi setiap kali ia tersenyum atau berbicara, tetes-tetes darah menutupi bibirnya. Menjilat hanya memperburuk lukanya. Hal yang sama juga menimpa Brom. Mereka membiarkan kuda-kuda minum dari persediaan air mereka sebelum menungganginya. Hari itu dilewatkan dengan menempuh perjalanan berat yang monoton.
Di hari ketiga, Eragon terjaga dengan perasaan lebih baik karena telah beristirahat. Itu, ditambah fakta bahwa angin telah berhenti, menyebabkan suasana hatinya berubah riang. Tapi semangatnya kembali merosot sewaktu melihat langit di depan mereka gelap akibat awan mendung.
Brom memandang awan itu dan meringis. "Biasanya aku tidak akan menerobos badai seperti itu, tapi kita akan tetap terhajar, apa pun tindakan kita, jadi sebaiknya kita meneruskan perjalanan dulu sejauh mungkin."
Suasana masih tetap tenang sewaktu mereka tiba di hadapan badai. Ketika mereka memasuki bayang-bayang badai, Eragon menengadah. Awan mendung memiliki struktur yang eksotis, membentuk katedral alamiah dengan atap-atap melengkung raksasa. Dengan imajinasinya ia mampu melihat pilar-pilar, jendela-jendela, menara-menara yang menjulang, dan gargoyle-gargoyle yang menyeringai. Benar-benar keindahan yang liar.
Saat Eragon menurunkan pandangan, gelombang raksasa melesat ke arah mereka di rerumputan,meratakannya
. Ia membutuhkan waktu sedetik untuk menyadari gelombang itu adalah hhembusan angin yang luar biasa kencang. Brom juga melihatnya, dan mereka meringkuk, bersiap menghadapi badai. Anginnya sendiri nyaris mencapai mereka sewaktu pikiran mengerikan melintas di benak Eragon sehingga ia berputar di pelana, berteriak, baik dengan suaranya maupun dengan pikiran, "Saphira! Mendarat!'
Brom memucat. Di atas kepala, mereka melihat Saphira menukik ke tanah. Ia tidak akan berhasil!
Saphira menukik ke arah kedatangan mereka, untuk menghemat waktu. Sementara mereka mengawasi, kemurkaan alam menghantam mereka bagai pukulan palu godam. Napas Eragon tersentak dan ia mencengkeram pelana sementara lolongan menggila memenuhi telinganya. Cadoc bergoyang-goyang dan menghujamkan kuku-kukunya ke tanah, surainya melecut-lecut udara. Angin mencabik-cabik pakaian mereka dengan jemari yang tidak kasatmata sementara suasana sekitar berubah gelap akibat awan debu yang bergulung-gulung. Eragon menyipitkan mata, mencari-cari Saphira. Ia melihat naga itu mendarat dengan berat lalu merunduk, mencengkeram tanah dengan cakarnya. Angin mencapai Saphira tepat pada saat naga itu akan melipat sayap. Dengan sentakan marah, angin mengembangkan sayapnya dan menyeretnya ke udara. Sejenak Saphira tergantung di sana, tertahan kekuatan badai. Lalu ia terempas pada punggungnya. Dengan sentakan kuat, Eragon memutar balik Cadoc dan menderapnya kembali menyusuri jalan, membimbing kuda itu dengan tumit dan pikirannya. Saphira! teriaknya. Cobalah bertahan di tanah. Aku datang! Ia merasakan jawaban suram dari naga itu. Saat mereka mendekati Saphira, Cadoc mogok, jadi Eragon melompat turun dan berlari ke arah naganya.
Busur memukuli kepalanya. hembusan angin yang kuat mendorongnya hingga kehilangan keseimbangan dan ia terbang ke depan, mendarat pada dadanya. Ia meluncur, lalu bangkit kembali sambil mengertakkan gigi, mengabaikan goresan-goresan dalam di kulitnya.
Saphira hanya tiga kaki jauhnya, tapi Eragon tidak bisa maju lebih dekat lagi karena sayap Saphira yang mengepak-ngepak. Saphira berjuang melipat sayapnya menentang angin yang sangat kencang. Eragon bergegas mendekati sayap kanan naga itu, berniat menahannya. Tapi angin menghantam Saphira dan Saphira berjungkir balik melewati Eragon. Duri-duri di Punggungnya nyaris mengenai kepala Eragon. Saphira mencakar tanah, berusaha bertahan. Sayap-sayapnya kembali terangkat, tapi sebelum ia sempat terbalik karenanya, Eragon membuang diri ke sayap kiri. Sayap itu terlipat pada persendiannya dan Saphira menjejalkannya dengan mantap ke tubuhnya. Eragon melompati punggung Saphira dan jatuh ke sayap yang lain. Tanpa peringatan sayap itu tertiup ke atas, menyebabkan Eragon meluncur ke tanah. Ia menghentikan jatuhnya dengan bergulingan, lalu melompat bangkit dan kembali menyambar sayap itu. Saphira mulai melipatnya dan Eragon mendorongnya dengan sekuat tenaga. Angin bertempur melawan mereka selama sedetik, tapi dengan satu sentakan terakhir mereka berhasil mengalahkannya.
Eragon menyandar ke Saphira, terengah-engah. Kau baik-baik saja" Ia bisa merasakan naga itu gemetaran.
Saphira tidak segera menjawab. Ku... kurasa begitu. Ia kedengaran terguncang. Tidak ada yang patah-aku tidak bisa berbuat apa-apa; angin tidak mau melepaskan diriku. Aku tidak berdaya. Sambil menggigil, ia terdiam.
Eragon memandangnya, prihatin. Jangan khawatir, kau aman sekarang. Ia melihat Cadoc agak jauh dari mereka, berdiri memunggungi angin. Dengan benaknya, Eragon memerintahkan hewan itu kembali ke Brom. Ia lalu naik ke punggung Saphira. Saphira merayap di jalan, berjuang melawan hembusan angin sementara Eragon berpegangan di punggungnya dan terus menundukkan kepala.
Sewaktu mereka tiba di tempat Brom, ia berteriak mengatasi suara badai. "Apakah Saphira terluka""
Eragon menggeleng dan turun. Cadoc berlari-lari mendekatinya, meringkik. Sementara ia mengelus pipi panjang kuda itu, Brom menunjuk tirai hujan yang gelap, menyapu ke arah mereka bagai lembaran-lembaran yang bergelombang. "Apa lagi"" jerit Eragon, sambil merapatkan pakaian. Ia mengernyit saat hujan de
ras menghantam. Air hujan yang menyengat terasa sedingin es; dalam waktu singkat mereka basah kuyup dan menggigil. Kilat membelah langit, muncul dan menghilang. Pijaran-pijaran kebiruan setinggi bermil-mil membelah kaki langit, diikuti gemuruh guntur yang mengguncang tanah di bawahnya. Pemandangan yang indah, tapi sangat berbahaya. Di sana-sini, rerumputan berkobar disambar kilat, langsung dipadamkan hujan.
Elemen-elemen liar lambat mereda, tapi seiring berlalunya hari, amarah alam pindah ke tempat lain. Sekali lagi langit terlihat, dan matahari di latar belakang bersinar cemerlang. Sementara berkas-berkas cahaya mewarnai awan dengan warna- warna yang terang benderang, segala sesuatunya tampak sangat kontras: terang benderang di satu sisi, gelap gulita di sisi lain. Benda-benda tampak berubah; batang-batang rumput tampak sekokoh pilar marmer. Benda-benda biasa tampak sangat indah. Eragon merasa seperti duduk dalam lukisan. Tanah yang baru dipulihkan menebarkan aroma kesegaran, membersihkan pikiran mereka dan meningkatkan semangat. Saphira menggeliat, menjulurkan leher, dan meraung gembira. Kuda-kuda bergegas menjauhinya, tapi Eragon dan Brom tersenyum melihat kegembiraan naga itu.
Sebelum cahaya memudar, mereka berhenti di ceruk yang dangkal untuk melewati malam. Karena terlalu kelelahan untuk berlatih tanding, mereka langsung tidur dan larut dalam lelapnya malam yang damai untuk membelai semua letih mereka.
PENCERAHAN DI YAZUAC Walaupun berhasil mengisi sedikit kantong-kantong air selama badai, mereka menenggak air terakhir pagi itu. "Kuharap kita berjalan di arah yang benar," kata Eragon, sambil meremas kantong airnya yang kosong, "karena kita akan mendapat masalah kalau tidak mencapai Yazuac hari ini."
Brom tampaknya tidak terganggu. "Aku pernah melewati jalan ini sebelumnya. Yazuac akan terlihat sebelum senja."
Eragon tertawa meragukan. "Mungkin kau melihat apa yang tidak kulihat. Dari mana kau bisa mengetahuinya padahal segala sesuatu tampak persis sama sejauh bermil-mil di sekitar kita""
"Karena aku tidak dipandu tanah, tapi bintang-bintang dan matahari. Mereka tidak akan menyesatkan kita. Ayo! Sebaiknya kita bergegas. Bodoh sekali membayangkan bencana yang tidak ada. Yazuac akan ada di sana.
Kata-kata Brom terbukti benar. Saphira yang terlebih dulu melihat desa itu, tapi baru beberapa lama kemudian Eragon dan Brom melihat desa tersebut bagai tonjolan gelap di kaki langit. Yazuac masih sangat jauh; desa itu terlihat hanya karena dataran yang begitu rata dan seragam. Saat mereka berkuda semakin dekat, garis gelap yang berliku-liku muncul di kedua sisi kota dan menghilang di kejauhan.
"Sungai Ninor," kata Brom, sambil menunjuk garis itu. Eragon menghentikan Cadoc. "Saphira akan terlihat kalau ia menemani kita lebih lama lagi. Apakah sebaiknya ia bersembunyi sementara kita ke Yazuac""
Brom menggaruk dagu dan memandang desa itu. "Kau lihat tikungan sungai itu" Minta Saphira menunggu di sana. Tempat itu, cukup jauh dari Yazuac jadi tidak ada seorang pun yang bisa menemukannya, tapi cukup dekat agar ia tidak tertinggal. Kita akan melewati kota, mendapatkan apa yang kita butuhkan, lalu menemuinya." Aku tidak menyukainya, kata Saphira sewaktu Eragon menjelaskan rencananya. Ini menjengkelkan, harus bersembunyi terus seperti penjahat.
Kau tahu apa yang akan terjadi kalau keberadaan kita terungkap.
Saphira menggerutu tapi menyerah dan terbang menjauh rendah di atas permukaan tanah.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat karena mengharapkan makanan dan minuman yang akan segera mereka nikmati. Saat mendekati rumah-rumah kecil di sana, mereka bisa melihat asap mengepul dari selusin cerobong, tapi tidak terlihat seorang pun di jalan. Kesunyian yang tidak biasa menyelimuti desa. Berdasarkan persetujuan yang tidak diucapkan, mereka berhenti di depan rumah pertama. Eragon tiba-tiba berkata, "Tidak ada anjing yang menyalak."
"Ya." "Tapi itu tidak berarti apa-apa."
"Ya." Eragon diam sejenak. "Seharusnya ada yang melihat kita sekarang."
"Ya." "Kalau begitu kenapa tidak ada yang keluar"" Brom takut." memicingkan mata memandang mat
ahari. "Bisa jadi "Bisa jadi," kata Eragon. Ia terdiam sejenak. "Dan kalau ini jebakan" Ra'zac mungkin menunggu kita."
""Kita membutuhkan persediaan makanan dan air." "Masih ada Ninor."
"Kita masih membutuhkan persediaan makanan."
Benar". Eragon memandang sekitarnya. "Jadi kita masuk"" Brom bodoh menyentakkan kekang. "Ya, tapi tidak seperti orang bodoh. Ini pintu masuk utama ke Yazuac. Kalau ada penyergapan, mereka pasti melakukannya di sepanjang jalan ini. Tidak ada seorang pun yang mengharapkan kita datang dari arah yang lain."
"Berputar dari samping, kalau begitu"" tanya Eragon.
Brom mengangguk dan mencabut pedang, meletakkan pedang yang telanjang melintang di pelananya. Eragon memasang tali busur dan menyiapkan sebatang anak panah. Mereka berderap tanpa suara mengitari kota dan memasukinya dengan hati-hati. Jalan-jalan kosong, cuma ada rubah kecil yang melesat pergi sewaktu mereka mendekat. Rumah-rumah tampak gelap dan muram, dengan jendela-jendela pecah berantakan. Banyak di antara pintu-pintunya yang terayun-ayun pada engsel yang patah. Kuda-kuda memutar bola mata mereka dengan gugup. Telapak tangan Eragon terasa gatal, tapi ia menahan dorongan untuk menggaruknya. Saat mereka tiba di tengah kota, ia mencengkeram busurnya lebih erat, mengernyit. "Dewa-dewa yang di atas," bisiknya. Tumpukan mayat menjulang hingga lebih tinggi daripada mereka, mayat-mayat yang kaku dan meringis. Pakaian mayat-mayat itu basah kuyup karena darah, dan tanah di bawah mereka ternoda darah juga. Para pria yang terbantai tergeletak di atas para wanita yang tadinya hendak mereka lindungi, para ibu masih memeluk anak-anak mereka, dan para kekasih yang berusaha saling melindungi tewas dalam keadaan berpelukan. Anak-anak panah hitam menancap di tubuh mereka semua. Baik yang muda maupun yang tua, tidak ada yang tersisa. Tapi yang paling buruk adalah tombak berduri yang mencuat di puncak tumpukan, menusuk mayat pucat seorang bayi.
Air mata mengaburkan pandangan Eragon dan ia mencoba membuang muka, tapi wajah-wajah mayat itu memaku perhatiannya. Ia menatap mata mereka yang terbuka dan bertanya-tanya bagaimana kehidupan bisa meninggalkan mereka semudah itu. Apa arti keberadaan kami kalau kami bisa berakhir seperti ini" Gelombang ketidak berdayaan menyapu dirinya.
Seekor gagak menukik dari langit, seperti bayangan hitam dan bertengger di tombak. Hewan itu memiringkan kepala dan dengan rakus mengamati mayat si bayi.
"Oh, tidak, tidak boleh," kata Eragon sambil menarik tali busurnya dan melepaskannya dengan suara berdesing. Diiringi bulu-bulunya yang rontok, gagak itu jatuh ke belakang, sebatang anak panah mencuat dari dadanya. Eragon memasang anak panah yang lain, tapi perasaan mual membubung dari perutnya dan ia muntah di samping Cadoc.
Brom menepuk-nepuk punggungnya. Sesudah Eragon selesai, Brom bertanya lembut, "Kau mau menungguku di luar Yazuac""
"Tidak... aku tetap di sini," kata Eragon goyah, sambil mengusap mulut. Ia menghindari memandang pemandangan yang menjijikkan di hadapan mereka itu. "Siapa yang bisa..." Ia tidak mampu memaksa diri mengatakannya.
Brom membungkuk sedikit. "Mereka yang menyukai kesakitan dan penderitaan orang lain. Mereka memiliki banyak wajah dan mengenakan banyak penyamaran, tapi hanya ada satu nama untuk mereka: kejahatan. Tidak ada yang memahaminya. Kita hanya bisa mengasihani dan menghormati para korbannya."
Ia turun dari Snowfire dan berjalan berkeliling, memeriksa tanah yang terinjak-injak dengan hati-hati. "Ra'zac melewati tempat ini," katanya perlahan-lahan, "tapi ini bukan ulah mereka. Ini pekerjaan Urgal; tombak itu buatan mereka. Sekompi Urgal melewati tempat ini, mungkin sekitar seratus jumlahnya. Aneh; setahuku hanya dalam beberapa kejadian mereka berkumpul se..." Ia berlutut dan memeriksa jejak kaki dengan teliti. Sambil memaki ia berlari kembali ke Snowfire dan melompat ke punggungnya.
"Pergi!" desisnya tegang, menendang Snowfire agar berlari. "Masih ada Urgal di sini!"
Eragon menghunjamkan tumit ke Cadoc. Kuda itu melompat maju dan melesat mengejar Snowfire. Mereka menghambur melewati rumah-rumah dan nyaris
tiba di tepi Yazuac sewaktu telapak tangan Eragon kembali terasa tergelitik. Ia melihat gerakan sekilas di sebelah kanannya, lalu tinju raksasa melontarkan dirinya dari atas pelana. Ia terbang meninggalkan Cadoc dan terempas ke dinding, tetap memegangi busurnya semata-mata karena naluri. Terengah-engah dan tertegun, ia terhuyung-huyung bangkit, memegangi sisi tubuhnya. Sesosok Urgal berdiri menjulang di depannya, wajahnya mencibir menjijikkan. Monster itu jangkung, kekar, dan lebih lebar dari badan ambang pintu, dengan kulit kelabu dan mata kekuningan seperti mata babi. Otot-otot menggembung di lengan dan dadanya, yang tertutup perisai dada yang kekecilan. Topi besi bertengger di atas sepasang tanduk yang melengkung dari keningnya, dan perisai bulat terikat di sebelah lengannya. Tangannya yang kuat memegang sebilah pedang pendek Yang tampak menyeramkan.
Di belakangnya, Eragon melihat Brom menahan Snowfire dan hendak kembali, tapi dihentikan kemunculan Urgal kedua; yang satu ini bersenjatakan kapak.
Eragon Karya Christhoper Paolini di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lari, tolol!" teriak Brom pada Eragon sambil membabat musuh.
Urgal di depan Eragon meraung dan mengayunkan pedang dengan kuat. Eragon tersentak mundur sambil berteriak terkejut saat senjata makhluk itu berdesing dekat pipinya. Ia berputar balik dan melarikan diri ke tengah Yazuac, dengan jantung berdebar-debar liar. Urgal itu mengejarnya, sepatu botnya yang berat berdebam-debam. Eragon berteriak minta tolong, dengan putus asa, kepada Saphira, lalu memaksa diri untuk berlari bahkan lebih cepat lagi. Urgal itu dengan cepat berhasil mengejarnya walaupun Eragon telah berusaha menghindar; taring-taring besar terpisah meneriakkan lolongan bisu. Sementara Urgal itu nyaris menangkapnya, Eragon memasang sebatang anak panah, berputar dan berhenti, membidik, dan melepaskan panahnya. Urgal itu mengangkat tangan dan menangkap anak panah dengan perisai. Monster tersebut menabrak Eragon sebelum ia sempat memanah lagi, dan mereka jatuh bertumpukan ke tanah.
Eragon melompat bangkit dan bergegas kembali ke Brom, yang beradu senjata dengan brutal dengan lawannya dari punggung Snowfire di mana Urgal-Urgal yang lain" pikir Eragon panik. Apakah cuma kedua Urgal ini yang ada di Yazuac" Terdengar derak keras, dan Snowfire mengangkat kaki depannya, meringkik. Brom meringkuk di pelana, darah membanjir menuruni lengannya. Urgal di sampingnya melolong penuh kemenangan dan mengangkat kapak untuk mengayunkan pukulan yang mematikan.
Jeritan memekakkan telinga menghambur dari Eragon saat ia menyerang Urgal itu, menyeruduknya. Urgal itu berhenti sejenak karena tertegun, lalu menghadapinya dengan marah mengayunkan kapaknya. Eragon merunduk menghindari pukulan dengan dua tangan itu dan mencakar sisi tubuh Urgal meninggalkan garis-garis yang mengeluarkan darah. walau Urgal itu mengernyit murka. Ia kembali mengayunkan senjatanya, tapi meleset karena Eragon membuang diri ke samping dan bergegas berlari masuk ke lorong.
Eragon memusatkan perhatian untuk membimbing para Urgal meenjauhi Brom. Ia menyelinap memasuki lorong sempit di antara dua rumah, melihat lorong itu buntu, dan bergegas berhenti. Ia mencoba mundur kembali, tapi Urgal-Urgal itu memblokir jalan masuk. Mereka melangkah maju, memaki-maki dirinya dengan suara mereka yang serak. Eragon berpaling ke sana kemari, mencari-cari jalan keluar, tapi tidak ada.
Saat menghadapi kedua Urgal itu, bayangan-bayangan melintas cepat dalam benaknya: para penduduk desa yang tewas bertumpuk-tumpuk di sekitar tombak dan bayi polos yang tidak akan pernah tumbuh dewasa. Saat memikirkan nasib mereka, kekuatan membara, panas, berkumpul dari setiap bagian tubuhnya. Kekuatan yang lebih daripada sekadar keinginan untuk mendapatkan keadilan. Seakan seluruh keberadaan dirinya memberontak terhadap fakta kematian, bahwa ia tidak akan ada lagi. Kekuatan itu semakin lama semakin besar hingga ia merasa siap meledak akibat kekuatan yang terkurung itu.
Ia berdiri tegak, semua ketakutannya hilang. Ia mengangkat busur dengan sigap. Urgal-Urgal itu tertawa dan mengangkat perisai mereka. Eragon membidik sepanjang anak panahnya, sebagaimana
yang dilakukannya ratusan kali, dan menyejajarkan kepala anak panah dengan sasarannya. Energi di dalam dirinya membakar pada tingkat yang tidak tertahankan. Ia harus melepaskannya, kalau tidak kekuatan itu akan melalap dirinya. Sepatah kata tiba-tiba terlontar tanpa tertahan dari sela bibirnya. Ia memanah, sambil berteriak, "Brisingr!"
Anak panahnya mendesing menerobos udara, menyala dengan cahaya biru yang berderak-derak. Anak panah itu menghantam Urgal pertama di kening, dan udara bergetar karena suara ledakan. Gelombang kejut berwarna biru menyambar dari kepala monster itu, langsung membunuh Urgal yang lain. Gelombang itu mencapai Eragon sebelum ia sempat bereaksi, dan melewati dirinya tanpa melukainya, memudar di rumah-rumah.
Eragon berdiri dengan napas terengah-engah, lalu memandang telapak tangannya yang sedingin es. Gedwey ignasianya berpendar seperti logam yang memutih karena panas, tapi bahkan sementara ia mengawasinya, tanda itu memudar kembali ke normal. Ia mengepalkan tinju, lalu gelombang kelelahan menyapudirinya. Ia merasa aneh dan goyah, seakan tidak makan selama berhari-hari. Lutut-lututnya lemas, dan ia merosot ke dinding.
TEGURAN Begitu kekuatannya kembali sedikit, Eragon melangkah terhuyung-huyung keluar dari lorong, mengitari monster-monster yang telah menjadi bangkai itu. Ia belum jauh sewaktu Cadoc berlari-lari kecil ke sampingnya. "Bagus, kau tidak terluka," gumam Eragon. Ia menyadari, tanpa benar-benar peduli, bahwa kedua tangannya gemetar hebat dan gerakannya tersentak-sentak. Ia merasa terpisah, seakan segala yang dilihatnya terjadi pada orang lain.
Eragon menemukan Snowfire, cuping hidung kuda itu mengembang dan kupingnya menempel rata ke kepala, melonjak-lonjak di dekat sudut sebuah rumah, siap melarikan diri. Brom masih terkulai tidak bergerak di pelana. Eragon menjangkau dengan pikirannya dan menenangkan kuda itu. Begitu Snowfire santai, Eragon mendekati Brom.
Ada luka yang panjang dan berlumuran darah di lengan kanan pria tua itu. Darah mengalir deras di sana, tapi lukanya tidak dalam ataupun lebar. Walau begitu, Eragon mengetahui luka tersebut harus diperban sebelum Brom kehilangan terlalu banyak darah. Ia mengelus-elus Snowfire sejenak, lalu menurunkan Brom dari pelana. Tubuh Brom ternyata terlalu berat baginya, dan Brom jatuh berdebum ke tanah. Eragon terkejut dengan kelemahannya sendiri.
Jeritan kemurkaan memenuhi kepalanya. Saphira menukik keluar dari langit dan mendarat keras di hadapannya, dengan sayap separo terangkat. Ia mendesis marah, matanya membara. Ekornya melecut-lecut, dan Eragon mengernyit saat ekor Saphira menyambar di atas kepalanya. Kau terluka" tanya naga itu, kemurkaan terdengar menggelegak dalam suaranya.
"Tidak," kata Eragon menenangkannya sambil memanggul Brom.
Saphira menggeram dan berseru. Di mana mereka yang melakukan ini" Akan kucabik-cabik mereka!
Dengan lelah Eragon menunjuk ke arah lorong. "Tidak ada gunanya; mereka sudah tewas."
Kau yang membunuh mereka" Saphira terdengar terkejut.
Eragon mengangguk. "Entah bagaimana caranya." Dengan beberapa patah kata, ia memberitahu Saphira apa yang terjadi sambil menggeledah kantung kain yang tadinya membungkus Zar'roc.
Saphira berkata serius, Kau Eragon mendengus. Ia menemukan secarik kain panjang dan dengan hati-hati menggulung lengan baju Brom ke atas. Dengan beberapa usapan yang sigap ia membersihkan luka dan memerbannya erat-erat. Coba kita masih berada di Lembah Palancar, katanya kepada Saphira. Setidaknya di sana aku tahu tanaman mana yang bagus untuk penyembuhan. Di sini, aku tidak tahu apa yang akan membantunya. Ia mengambil pedang Brom dari tanah, mengelapnya, lalu mengembalikannya ke sarung di sabuk Brom. Kita harus pergi, kata Saphira. Mungkin masih ada Urgal-Urgal lain yang mengintai di sekitar sini.
Kau bisa membawa Brom" Pelanamu bisa menahan dirinya, dan kau bisa melindunginya.
Ya, tapi aku tidak akan meninggalkan kau sendirian.
Baik, terbanglah di sampingku, tapi kita pergi dari sini. Ia mengikatkan pelana ke Saphira, lalu memeluk Brom dan berusaha mengangkatnya, tapi sekali lagi kekuatannya yang mele
mah mengecewakan dirinya. Saphira-tolong.
Saphira mengulurkan kepala melewati Eragon dan menggigit bagian belakang jubah Brom. Dengan melengkungkan leher, ia mengangkat pria tua itu dari tanah, seperti kucing menggigit anaknya, dan meletakkannya di punggungnya. Lalu Eragon menyelipkan kaki-kaki Brom ke tali pelana dan mengeratkannya. Ia menengadah sewaktu pria tua itu mengerang dan bergerak.
Brom mengerjapkan mata dengan setengah sadar, memegang kepala dengan satu tangan. Ia menatap Eragon dengan pandangan prihatin. "Apakah Saphira tiba di sini tepat pada waktunya"
Eragon menggelengkan kepalanya. "Nanti akan kujelaskan. Lenganmu luka. Aku sudah memerbannya sebisa mungkin, tapi kau membutuhkan tempat yang aman untuk beristirahat."
"Ya," kata Brom, dengan hati-hati menyentuh lengannya. Kau tahu di mana pedangku... Ah, rupanya kau sudah menemukannya.
Eragon selesai mengeratkan tali pelana. "Saphira akan membawamu dan mengikutiku dari udara."
"Kau yakin ingin aku menunggangnya"" tanya Brom. "Aku bisa menunggang Snowfire."
"Tidak dengan lengan seperti itu. Dengan cara ini, bahkan kalau kau pingsan, kau tidak akan jatuh."
Brom mengangguk. "Aku merasa tersanjung." Ia merangkulkan lengannya yang masih sehat di leher Saphira, dan Saphira segera membubung, meluncur tinggi ke langit.
Eragon melangkah mundur, terdorong angin dari kepakan sayap naganya, dan kembali ke kuda-kuda.
Ia mengikat Snowfire di belakang Cadoc, lalu meninggalkan Yazuac, kembali ke jalan setapak dan mengikutinya ke selatan. Jalan itu membawanya ke kawasan berbatu-batu, berbelok ke kiri, dan terus menyusuri tepi Sungai Ninor. Pakis-pakisan, lumut-lumutan, dan sesemakan kecil menghiasi tepi jalan. Kesejukan di bawah pepohonan terasa menyegarkan, tapi Eragon tidak membiarkan udara yang menyegarkan itu membuainya hingga merasa aman. Ia berhenti sejenak untuk mengisi kantong-kantong air dan membiarkan kuda-kudanya minum. Saat memandang ke bawah, ia melihat jejak-jejak gerigi sepatu Ra'zac. Setidaknya kami menuju arah yang benar. Saphira terbang berputar-putar di atas kepala, mengawasi dirinya dengan tajam.
Ia resah karena mereka hanya menemui dua Urgal. Para Penduduk desa dibunuh dan Yazuac diserbu segerombolan besar. tapi di mana mereka" Mungkin Urgal-Urgal yang kami temui merupakan para penjaga belakang atau jebakan yang ditinggalkan bagi siapa pun yang mengikuti pasukan utama.
Pikirannya beralih ke bagaimana ia telah membunuh kedua Urgal itu, Suatu gagasan, pemahaman, perlahan-lahan merasuki benaknya. Ia, Eragon-bocah petani dari Lembah Palancar telah menggunakan sihir. Sihir! Hanya itu satu-satunya kata yang menjelaskan apa yang telah terjadi. Rasanya mustahil tapi ia tidak bisa mengingkari apa yang dilihatnya. Entah dengan cara bagaimana aku telah menjadi penyihir! Tapi ia tidak mengetahui cara menggunakan lagi kekuatan baru tersebut atau apa batasan-batasannya dan seberapa berbahaya kekuatan itu. Bagaimana aku bisa memiliki kemampuan ini" Apakah kemampuan ini umum di kalangan Penunggang" Dan kalau Brom mengetahuinya, kenapa ia tidak memberitahuku" Ia menggeleng penasaran dan kebingungan. Ia bercakap-cakap dengan Saphira untuk memeriksa kondisi Brom dan untuk membagi pikirannya. Saphira sama bingungnya seperti dirinya mengenai sihir. Saphira, kau bisa mencari tempat menginap bagi kami" Aku tidak bisa melihat cukup jauh di bawah sini. Sementara Saphira mencari, Eragon meneruskan perjalanan menyusuri Ninor.
Ia mendengar panggilannya tepat pada saat cuaca mulai berubah gelap. Kemarilah Saphira mengirimkan gambaran lapangan tersembunyi di balik pepohonan di dekat sungai. Eragon membelokkan kuda-kuda ke arah baru dan menyodok mereka dengan kaki agar berlari. Dengan bantuan Saphira tempat itu mudah ditemukan, tapi tempat tersebut tersembunyi begitu baik hingga ia ragu ada orang lain yang menyadari keberadaannya.
Api unggun kecil yang tidak berasap telah berkobar-kobar sewaktu Eragon memasuki lapangan. Brom duduk di sampingnya, merawat lengannya, yang diletakkan dalam posisi yang kikuk. Saphira berjongkok di sebelahnya, tubuhnya tegang. Ia menatap Eragon dengan panda
ngan tajam dan bertanya, Kau yakin tidak terluka"
Dari luar tidak... tapi aku tidak yakin mengenai bagian diriku yang lain.
Aku seharusnya tiba di sana lebih cepat. Jangan merasa tidak enak kami semua melakukan kesalahan hari ini. Kesalahanku adalah tidak berada di dekatmu. Perasaan berterima kasih Saphira atas komentar itu menyapu dirinya Eragon memandang Brom. "Bagaimana keadaanmu""
Pria tua itu melirik lengannya. "Guratan yang besar dan sakitnya setengah mati, tapi seharusnya pulih dalam waktu singkat. Aku membutuhkan perban baru; yang satu ini tidak juga bertahan Selama yang kuharapkan." Mereka merebus air untuk mencuci luka Brom. Lalu Brom mengikatkan kain baru ke lengannya dan berkata, "Aku harus makan, dan kau tampaknya juga lapar. Kita makan malam dulu, baru bercakap-cakap." Sesudah perut mereka penuh dan hangat, Brom menyulut pipa. "Sekarang, kupikir sudah waktunya kau bercerita padaku apa yang terjadi sementara aku pingsan. Aku sangat penasaran." Wajahnya memantulkan cahaya api unggun yang bergoyang-goyang, dan alis matanya yang lebat tampak semakin menonjol.
Eragon dengan gugup menangkupkan kedua tangan dan menceritakan kejadiannya tanpa menguranginya. Brom tetap membisu sepanjang ceritanya, wajahnya tidak bisa ditebak. Sesudah Eragon selesai, Brom menunduk memandang tanah. Lama yang terdengar hanyalah suara api yang berderak-derak. Brom akhirnya sadar kembali.
"Kau pernah menggunakan kekuatan ini sebelumnya""
"Tidak. Ada yang kau ketahui mengenai kekuatan ini""
"Sedikit." Wajah Brom tampak serius. "Tampaknya aku berutang budi padamu karena kau telah menyelamatkan nyawaku. Kuharap suatu hari nanti aku bisa membalasnya.
Kau seharusnya merasa bangga; hanya sedikit orang yang bisa meloloskan diri tanpa terluka sewaktu membantai Urgal pertama mereka. Tapi caramu melakukannya sangat berbahaya. Kau bisa saja menghancurkan dirimu sendiri dan seluruh desa."
"Aku tidak memiliki pilihan," kata Eragon dengan nada membela diri. "Urgal-Urgal itu nyaris menangkapku. Kalau aku menunggu, mereka pasti mencincangku habis-habisan!"
Brom menggigit pipanya kuat-kuat. "Kau sama sekali tidak mengetahui apa yang kau lakukan."
"Kalau begitu beritahu aku," tantang Eragon. "Aku mencari jawaban atas misteri ini, tapi tidak bisa memahaminya. Apa yang terjadi" Bagaimana aku bisa menggunakan sihir" Tidak ada yang pernah mengajariku."
Pandangan Brom menyambar. "Ini bukan sesuatu yang bisa diajarkan-apalagi digunakan sembarangan!"
Well, aku sudah menggunakannya, dan aku mungkin membutuhkannya lagi untuk bertempur. Tapi aku tidak akan bisa menggunakannya kecuali kau membantuku. Ada
apa" Apakah ada rahasia yang seharusnya tidak kuketahui hingga aku tua dan bijak" Atau mungkin kau tidak mengetahui apa-apa mengenai sihir!"
"Bocah!" raung Brom. "Kau menuntut jawaban dengan ke kurang ajaran yang luar biasa. Kalau kau mengetahui apa yang kau minta, kau pasti tidak akan memintanya secepat itu. Jangan mencoba diriku." Ia diam sejenak, lalu sikapnya berubah lebih ramah. "Pengetahuan yang kau minta lebih rumit daripada yang kau pahami."
Eragon bangkit dengan panas. "Aku merasa seperti dijejalkan ke dalam dunia penuh peraturan aneh, tempat tidak seorang pun yang bersedia untuk menjelaskannya."
"Aku mengerti," kata Brom. Ia mempermainkan sebatang rumput. "Sekarang malam sudah larut dan kita harus tidur, tapi kuberitahu kau beberapa hal sekarang,
untuk menghentikan recokanmu. Sihir ini karena ini memang sihir memiliki aturan-aturan sebagaimana apa pun lainnya di dunia. Kalau kau melanggar aturan, hukumannya adalah kematian, tanpa kecuali. Tindakanmu dibatasi kekuatanmu, kata-kata yang kau ketahui, dan imajinasimu."
"Apa maksudmu dengan kata-kata"" tanya Eragon.
"Pertanyaan lagi!" seru Brom. "Sesaat tadi kuharap kau kehabisan pertanyaan. Tapi kau cukup benar untuk bertanya. Sewaktu kau memanah Urgal-Urgal itu, ada yang kau katakan, bukan""
"Ya, brisingr." Apinya berkobar dan Eragon menggigil. Ada sesuatu mengenai kata itu yang menyebabkan ia merasa sangat hidup.
"Sudah kuduga. Brisingr berasal dari bahasa kuno yang dulu digunakan semua benda hidup. Tapi, se
iring dengan waktu, bahasa itu dilupakan dan tidak lagi digunakan selama beribu-ribu tahun di Alagaesia, hingga para elf membawanya kembali dari seberang lautan. Mereka mengajarkannya kepada ras-ras lain, yang menggunakannya untuk membuat dan melakukan hal-hal yang kuat. Bahasa tersebut memiliki nama untuk segala sesuatu, kalau kau bisa menemukannya."
"Tapi apa hubungannya dengan sihir"" sela Eragon.
"Segalanya! Bahasa itu merupakan dasar semua kekuatan. Bahasa itu menjabarkan sifat sejati benda-benda, bukan aspek buatan yang dilihat semua orang. Misalnya, api disebut brisingr. Itu bukan saja nama untuk api, tapi itulah nama api. Kalau kau cukup kuat, kau bisa menggunakan brisingr untuk mengarahkan api ke apa pun yang kau inginkan. Dan itulah yang terjadi hari ini.
Eragon memikirkannya sejenak. "Kenapa apinya biru" Kenapa apinya melakukan tepat seperti yang kuinginkan, kalau yang kukatakan hanyalah api""
Warnanya bervariasi dari orang ke orang. Tergantung siapa yang mengucapkan kata itu. Sebagian besar pemula harus mengucapkan dengan tepat apa yang mereka inginkan untuk terjadi. Seiring semakin bertambahnya pengalaman mereka, mereka tidak perlu lagi berbuat begitu. Pakar sejati bisa saja hanya mengatakan air dan menciptakan sesuatu yang sama sekali tidak berkaitan, seperti batu permata. Kau tidak akan mampu memahami bagaimana cara melakukan hal itu, tapi
pakar tersebut bisa melihat kaitan antara air dan batu permata dan menggunakan kaitan itu sebagai titik tolak bagi kekuatannya. Praktiknya lebih merupakan seni daripada yang lainnya. Apa yang kau lakukan tadi sangatlah sulit."
Saphira menyela pikiran Eragon. Brom penyihir! Begitulah cara Ia bisa menyalakan api unggun di dataran. Ia bukan hanya mengetahui tentang sihir; Ia sendiri bisa menggunakannya!
Mata Eragon membelalak. Kau benar!
Tanyakan padanya mengenai kekuatan ini, tapi hati-hati dengan apa yang kaukatakan. Tidak bijaksana mencari perkara dengan orang yang memiliki kemampuan seperti itu. Kalau ia penyihir, siapa yang mengetahui apa motif sebenarnya. Ia menetap di Carvahall"
Eragon mengingat hal itu saat berkata hati-hati, "Ada yang baru saja aku dan Saphira sadari. Kau bisa menggunakan sihir, bukan" Begitulah caramu menyalakan api di hari pertama kita di dataran."
Brom memiringkan kepala sedikit. "Aku menguasainya hingga tingkat tertentu."
"Kalau begitu kenapa kau tidak melawan Urgal dengan sihir" Malahan, aku bisa memikirkan banyak kesempatan dimana sihir akan berguna, kau bisa saja melindungi kita dari badai dan menyingkirkan debu dari mata kita."
Sesudah mengisi kembali pipanya, Brom berkata, "Alasannya sederhana, sungguh. Aku bukan Penunggang, yang berarti bahwa, bahkan di saat-saat terlemahmu, kau lebih kuat dari pada diriku. Dan aku tidak muda lagi; aku tidak sekuat dulu. Setiap kali aku menggunakan sihir, semakin lama semakin sulit."
Eragon menunduk, malu. "Maaf."
"Tidak perlu," kata Brom sambil menggerakkan lengannya "Semua orang mengalaminya."
"Di mana kau belajar menggunakan sihir""
"Aku lebih suka tidak mengatakannya.... Cukup kukatakan bahwa tempatnya terpencil dan dari guru yang sangat pandai. Aku, setidaknya, bisa mewariskan pelajarannya."
Brom memadamkan pipa dengan sebutir batu kecil. "Aku tahu masih ada lagi yang ingin kautanyakan, dan aku akan menjawabnya, tapi kau harus menunggu hingga besok pagi."
Ia mencondongkan tubuh ke depan, matanya berkilau-kilau. "Sebelum itu, kukatakan ini untuk membatalkan niatmu melakukan percobaan apa pun, sihir menguras tenaga sama seperti kau menggunakan lengan dan punggungmu. Itu sebabnya kau merasa kelelahan sesudah menghancurkan Urgal-Urgal itu. Dan itu sebabnya aku marah. Kau mengambil risiko yang menakutkan. Kalau sihirnya menggunakan energi yang lebih banyak daripada yang ada dalam tubuhmu, kau akan tewas. Kau seharusnya
menggunakan sihir hanya untuk tugas-tugas yang tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara biasa."
"Bagaimana caramu mengetahui mantra akan menguras semua energimu"" tanya Eragon, ketakutan.
Brom mengangkat tangan. "Biasanya kau tidak mengetahuinya. Itu sebabnya penyihir harus mengetahui ba
tasan kemampuan mereka dengan baik, dan walaupun begitu mereka masih tetap berhati-hati. Sekali kau melakukan suatu tugas dan melepaskan sihir, kau tidak bisa menariknya kembali, bahkan seandainya sihir itu akan membunuhmu. Kuberitahukan ini sebagai peringatan: jangan mencoba apa pun hingga kau belajar lebih banyak. Sekarang, cukup untuk malam ini."
Saat mereka menghamparkan selimut, Saphira mengomentari dengan puas, Kita menjadi lebih kuat, Eragon, kita berdua. Tidak lama lagi tak ada yang bisa menghalangi kita.
Ya, tapi jalan mana yang akan kita pilih"
Mana pun yang kita inginkan, kata Saphira sombong, bersiap-siap tidur.
SIHIR ADALAH HAL YANG SANGAT SEDERHANA
Menurutmu kenapa kedua Urgal itu masih ada di Yazuac"" tanya Eragon, sesudah mereka berjalan beberapa waktu lamanya. "Tampaknya tidak ada alasan bagi mereka untuk tetap tinggal disana." "Kuduga mereka meninggalkan kelompok utama untuk menjarah kota. Yang aneh adalah, sepanjang sepengetahuanku, Urgal berkumpul sebanyak itu hanya dua atau tiga kali sepanjang sejarah. Aku merasa tidak tenang karena mereka melakukannya sekarang." "Menurutmu Ra'zac yang menyebabkan serangan itu"" "Entahlah. Sebaiknya sekarang kita terus menjauhi Yazuac secepat mungkin. Lagi pula, ini arah yang ditempuh Ra'zac: selatan."
Eragon menyetujui. "Tapi kita membutuhkan persediaan makanan. Apakah ada kota lain di dekat sini""
Brom menggeleng. "Tidak ada, tapi Saphira bisa berburu untuk kita kalau kita harus bertahan hidup dengan daging semata. Kawasan yang hijau ini mungkin tampak kecil di matamu, tapi ada banyak hewan di sini. Sungai itu satu-satunya sumber air hingga bermil-mil, jadi sebagian besar hewan dataran datang kemari untuk minum. Kita tidak akan kelaparan."
Eragon membisu, merasa puas dengan jawaban Brom. Saat mereka berkuda, burung-burung bersuara keras menyambar-nyambar di sekitar mereka, dan sungai mengalir dengan damai. Tempat itu ribut, penuh kehidupan dan energi. Eragon bertanya, Bagaimana Urgal itu bisa melukaimu" Kejadiannya berlangsung begitu cepat, aku tidak melihatnya."
"Kesialan, sebenarnya," Brom menggerutu. "Ia tidak sebanding dengan diriku, jadi ia menendang Snowfire. Kuda idiot itu mengangkat kaki depannya dan menyebabkan aku kehilangan keseimbangan. Hanya itu yang diperlukan Urgal untuk memberiku luka ini." Ia menggaruk dagu. "Kurasa kau masih merasa penasaran tentang sihir. Fakta bahwa kau mengetahui adanya sihir menimbulkan masalah yang merepotkan. Hanya sedikit orang yang mengetahuinya, tapi setiap Penunggang bisa menggunakan sihir, sekalipun dengan kekuatan yang berbeda. Mereka merahasiakan kemampuan ini, bahkan di puncak kejayaan mereka, karena hal itu memberi mereka keuntungan atas musuh-musuh mereka. Seandainya semua orang mengetahui hal tersebut, akan sulit berurusan dengan orang biasa. Banyak yang mengira kemampuan sihir Raja berasal dari fakta bahwa ia penyihir-penyihir bijaksana-atau sorcerer-penyihir yang menguasai kekuatan alam. Itu tidak benar; ia memiliki kemampuan itu karena ia Penunggang."
"Apa bedanya" Bukankah fakta bahwa aku menggunakan sihir menjadikan diriku sorcerer""
"Sama sekali tidak! Sorcerer, seperti Shade, menggunakan roh untuk memenuhi keinginannya. Itu berbeda sama sekali dengan kekuatanmu. Dan kau juga tidak menjadi magician karenanya, yang kekuatannya tanpa bantuan roh atau naga. Dan kau jelas bukan witch atau wizard, yang mendapatkan kekuatan mereka dari berbagai macam ramuan dan mantra.
"Yang mengembalikan pembicaraan ini ke titik awalku: masalah yang kautimbulkan. Penunggang yang masih muda seperti dirimu harus menjalani pelatihan ketat yang dirancang untuk memperkuat tubuh dan meningkatkan pengendalian mental. Pelatihan ini berlangsung selama berbulan-bulan, terkadang hingga bertahun-tahun, sampai Penunggang itu dianggap cukup bertanggung jawab untuk menangani sihir. Hingga saat itu, tidak seorang murid pun yang diberitahu mengenai kekuatan potensialnya. Kalau ada salah satu dari mereka yang menemukan sihir tanpa sengaja, ia segera disisihkan untuk menjalankan pendidikan pribadi. Jarang sekali ada yang menemukan sihir berdasark
an usahanya sendiri," ia memiringkan kepala ke arah Eragon, "sekalipun mereka tidak pernah mengalami tekanan seperti yang kaualami."
"Kalau beigitu bagaimana mereka akhirnya dilatih menggunakan sihir"" tanya Eragon. "Aku tidak mengerti bagaimana kau bisa mengajarkannya pada siapa pun. Kalau kau mencoba menjelaskannya padaku dua hari yang lalu, penjelasanmu akan terasa tidak masuk akal bagiku." "Para murid diberi serangkaian latihan yang konyol, dirancang untuk menyebabkan mereka frustrasi. Misalnya, mereka diperintah memindahkan tumpukan batu dengan hanya menggunakan kaki, mengisi bak yang bocor hingga penuh, dan kegiatan-kegiatan yang mustahil lainnya. Sesudah beberapa waktu, mereka akan cukup marah hingga menggunakan sihir. Biasanya cara itu berhasil.
"Arti dari semua ini adalah," lanjut Brom, "kau akan dirugikan kalau bertemu musuh yang sudah mendapat latihan ini. Masih ada beberapa orang seperti itu: Raja misalnya, belum lagi para elf. Siapa pun dari mereka bisa mencabik-cabik dirimu dengan mudah."
"Apa yang bisa kulakukan, kalau begitu""
"Tidak ada waktu untuk instruksi resmi, tapi kita bisa banyak berlatih selama perjalanan," kata Brom. "Aku tahu banyak teknik yang bisa kau latih dan yang akan memberimu kekuatan dan kendali, tapi kau tidak bisa mendapatkan disiplin Penunggang hanya dalam semalam. Kau," ia memandang Eragon dengan sikap bergurau, "terpaksa harus mengumpulkannya dalam pelarian. Pada awalnya akan sulit, tapi imbalannya besar. Mungkin kau akan merasa gembira kalau mengetahui tidak ada Penunggang seusiamu yang pernah menggunakan sihir dengan cara seperti yang kaulakukan kemarin terhadap kedua Urgal itu."
Eragon tersenyum mendengar pujian tersebut. "Terima kasih. Apakah bahasa ini memiliki nama"
Brom tertawa. "Ya, tapi tidak ada yang mengetahuinya. Namanya pasti merupakan kata yang memiliki kekuatan luar biasa, yang dengan nama itu kau bisa mengendalikan seluruh bahasa dan mereka yang menggunakannya. Orang-orang sudah lama mencarinya, tapi belum ada yang berhasil menemukannya."
Aku masih tidak memahami cara kerja sihir," kata Eragon. Tepatnya bagaimana menggunakannya."
Brom tampak tertegun. "Apakah penjelasanku masih kurang"
Masih." Brom menghelanapas panjang dan berkata, "Untuk menggunakan sihir, kau harus memiliki kekuatan dalam tertentu yang sangat jarang ada di antara orang-orang zaman sekarang. Kau juga harus mampu mengerahkan kekuatan ini sesuka hatimu. Begitu kekuatan ini dikerahkan, kau harus menggunakannya atau membiarkannya memudar. Mengerti" Nah, kalau kau ingin menggunakan kekuatan itu, kau harus mengucapkan kata atau kalimat dalam bahasa kuno yang menjabarkan niatnya. Misalnya, kalau kau tidak mengatakan brisingr kemarin, tidak akan ada yang terjadi."
"Jadi aku dibatasi pengetahuan tentang bahasa itu""
"Tepat sekali," kata Brom. "Selain itu, saat kau menggunakan bahasa tersebut, kau mustahil menipu."
Eragon menggeleng. "Tidak mungkin. Orang-orang selalu berbohong. Pengucapan kata-kata kuno tidak bisa mencegah mereka dari berbohong." Brom mengangkat sebelah alis matanya dan berkata, "Fethrblaka, eka weohnata neiat haina ono. Blaka eom iet lam." Seekor burung tiba-tiba menghambur dari cabang pohon dan mendarat di tangannya. Hewan itu agak gemetar dan memandang mereka dengan matanya yang bulat. Sesaat kemudian Brom berkata, "Eitha," dan hewan itu terbang pergi.
"Bagaimana caramu melakukannya"" tanya Eragon penasaran.
"Aku berjanji tidak akan menyakiti dirinya. Ia mungkin tidak mengetahui dengan tepat apa yang kumaksudkan, tapi dalam bahasa kekuatan, arti kata-kataku jelas. Burung itu memercayai diriku karena ia mengetahui apa yang diketahui semua hewan, bahwa mereka yang menggunakan bahasa itu terikat kata-katanya sendiri."
"Dan para elf menggunakan bahasa itu""
"Ya." "Jadi mereka tidak pernah berbohong""
"Tidak juga," Brom mengakui. "Mereka berkeras mereka tidak pernah berbohong, dan boleh dikatakan memang benar begitu, tapi mereka telah menyempurnakan seni untuk mengatakan satu hal tapi memaksudkan hal yang lain. Kau tidak pernah mengetahui dengan tepat apa niat mereka, atau apakah kau memperk
irakan maksudnya dengan benar. Sering kah mereka hanya mengungkapkan sebagian dari kebenaran dan merahasiakan sisanya. Membutuhkan pikiran yang sangat tajam dan halus untuk berurusan dengan kebudayaan mereka.
Eragon mempertimbangkannya. "Apa arti nama-nama pribadi dalam bahasa itu" Apakah nama-nama tersebut memberikan kekuasaan atas orang lain""
Mata Brom berkilau-kilau menyetujui. "Ya, memang. Mereka yang menggunakan bahasa itu memiliki dua nama. Nama pertama untuk penggunaan sehari-hari dan hanya memiliki sedikit kewenangan. Tapi nama kedua adalah nama sejati mereka dan hanya diberitahukan kepada beberapa orang yang dipercaya. Ada saatnya orang-orang tidak menyembunyikan nama aslinya, tapi zaman ini bukanlah saat seperti itu. Siapa pun yang mengetahui namamu yang sejati memiliki kekuasaan yang sangat besar atas dirimu. Rasanya seperti menyerahkan nyawamu ke tangan orang lain. Semua orang memiliki nama rahasia, tapi hanya sedikit yang mengetahui apa nama rahasia mereka."
"Bagaimana caranya menemukan nama sejati kita"" tanya Eragon.
"Para elf secara naluriah mengetahui nama sejati mereka. Tidak ada lagi yang memiliki karunia itu. Para manusia Penunggang biasanya melakukan petualangan untuk menemukannya atau menemui elf yang bersedia memberitahu mereka, yang jarang terjadi, karena para elf tidak memberikan pengetahuan itu secara gratis," jawab Brom.
"Aku ingin mengetahui nama sejatiku," kata Eragon.
Alis mata Brom mengerut. "Hati-hati. Pengetahuan itu bisa sangat menakutkan. Untuk mengetahui siapa dirimu tanpa ilusi atau simpati merupakan saat-saat pengungkapan, di antara mereka yang mengalaminya belum ada yang berhasil melewatinya tanpa terluka. Sebagian berubah menjadi sinting karena realitasnya. Sebagian besar mencoba melupakannya. Tapi sama seperti ketika nama itu akan memberi orang lain kekuasaan, nama itu juga memungkinkan dirimu menguasai diri, kalau kebenarannya tidak menghancurkan dirimu."
Dan aku yakin itu tidak akan terjadi, Saphira menimpali.
Aku masih tetap ingin mengetahuinya," kata Eragon, dengan bulat tekadnya yang tidak mudah dibujuk. Itu bagus, karena hanya mereka yang bulat tekadnya yang mampu menemukan identitas dirinya, tapi aku tidak bisa membantumu dalam hal ini. Pencarian ini harus kau lakukan sendiri." Brom menggerakkan lengannya yang meringis tidak nyaman.
"Kenapa kau atau aku tidak bisa menyembuhkan lukamu dengan sihir"" tanya Eragon.
Brom mengerjapkan mata. "Tidak ada alasan-aku hanya tidak pernah mempertimbangkannya karena sihir seperti itu di luar kekuatanku. Kau mungkin bisa melakukannya dengan kata yang benar, tapi aku tidak ingin kau menguras tenagamu sendiri."
"Aku bisa menjauhkan dirimu dari banyak penderitaan dan masalah," Eragon memprotes.
"Aku bisa menanggungnya," kata Brom datar. "Menggunakan sihir untuk menyembuhkan luka membutuhkan energi yang sama banyaknya seperti membiarkan luka itu sembuh sendiri. Aku tidak ingin kau kelelahan selama beberapa hari mendatang. Kau seharusnya tidak mencoba melakukan tugas seberat itu sekarang."
"Nah, kalau bisa menyembuhkan lengan, apakah mungkin aku bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati""
Pertanyaan itu mengejutkan Brom, tapi ia bergegas menjawab, "Ingat apa yang kukatakan mengenai proyek-proyek yang akan membunuhmu" Itu salah satu di antaranya. Para Penunggang dilarang mencoba menghidupkan kembali orang mati, demi keselamatan mereka sendiri. Ada jurang selepas kehidupan ketika sihir tidak berarti apa-apa. Kalau kau menjangkau ke sana, kekuatanmu akan terkuras dan jiwamu akan hilang ke dalam kegelapan. Penyihir dan Penunggang-semua gagal dan menemui kematian di sana. Tetaplah berpegang pada apa yang mungkin-luka, memar, mungkin patah tulang-tapi jelas bukan orang-orang mati."
Eragon mengerutkan kening. "Ini jauh lebih rumit daripada dugaanku."
"Tepat sekali!" kata Brom. "Dan kalau kau tidak memahami apa yang kaulakukan, kau akan mencoba sesuatu yang terlalu besar dan mati." Ia berputar di pelana dan meraup ke bawah mengambil segenggam kerikil dari tanah. Dengan susah payah ia kembali menegakkan diri, lalu membuang semua kerikil kecuali
sebutir. "Kau lihat kerikil ini""
"Ya." "Ambillah." Eragon mengambilnya dan menatap gumpalan yang biasa saja itu. Kerikil tersebut hitam kusam, halus, dan sebesar ujung ibu jarinya. Tidak terhitung banyaknya batu seperti itu di jalan setapak.
"Ini latihanmu."
Eragon menatap Brom, kebingungan. "Aku tidak mengerti."
Tentu saja kau tidak mengerti," kata Brom tidak sabar. "Itu sebabnya aku mengajari dirimu dan bukan sebaliknya. Sekarang berhentilah bicara atau kita tidak akan pernah tiba ke manapun. Kuminta kau mengangkat batu itu dari telapak tanganmu dan menahannya di udara selama mungkin. Kata-kata yang akan kaugunakan adalah stenr reisa. Katakan."
"Stenr reisa." "Bagus. Sekarang cobalah."
Eragon memusatkan perhatian dengan masam pada kerikil itu, mencari-cari dalam benaknya isyarat adanya energi yang membakar dirinya kemarin. Batu tersebut tetap tidak bergerak sementara ia menatapnya, berkeringat dan frustrasi. Bagaimana aku mestinya melakukannya" Akhirnya, ia melipat tangan dan berkata, "Ini mustahil."
"Tidak," kata Brom dengan suara serak. "Aku yang menentukan apa yang mustahil dan apa yang tidak. Berjuanglah! Jangan menyerah semudah ini. Coba lagi."
Sambil mengerutkan kening, Eragon memejamkan mata, mengesampingkan semua pikiran yang mengalihkanperhatian. Ia menghela napas dalam dan menjangkau sudut-sudut terdalam jiwanya, mencoba menemukan di mana kekuatannya bersembunyi. Saat mencari-cari, ia hanya menemukan pikiran dan kenangan hingga merasakan sesuatu yang berbeda-tonjolan kecil yang merupakan bagian dirinya tapi juga bukan bagian dirinya. Dengan bersemangat, ia menggali ke sana, mencari apa yang disembunyikan tonjolan itu. Ia merasakan perlawanan, halangan dalam benaknya, tapi mengetahui kekuatannya berada di balik hambatanitu. Ia mencoba menerobosnya, tapi halangan tersebut bertahan. Dengan kemarahan yang makin besar, Eragon menerjang hambatan itu, menghantamnya dengan segenap kekuatan hingga halangan itu hancur berantakan bagai sekeping kaca tipis, membanjiri pikirannya dengan sungai cahaya.
Amarah Pedang Bunga Iblis 7 Goosebumps - Komplotan Makhluk Kadal Pendekar Satu Jurus 13