Pencarian

Monk Sang Detektif Genius 3

Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg Bagian 3


"Anda yang membelikan untuknya," tegas Monk. "Mungkin bersamaan dengan kemeja yang Anda tinggalkan di sana. Dia mengenakan kemeja itu waktu kami temui. Kancingnya bermonogram inisial Anda"
"Istri saya sering mendermakan pakaian lama kami untuk amal," ujar Breen. "Dia tak pernah suka kemeja denim itu. Mungkin wanita yang Anda maksud ini suka belanja dan tawar-menawar di toko pakaian bekas."
"Kok tahu kalau kemeja itu berbahan denim"" desak Monk "Kami kan tidak menyebut jenis kemejanya."
"Kancingnya," kilah Breen cepat. "Hanya kemeja denim dan baju olahraga lengan pendek saja yang diberi inisial di kancing. Lainnya di pergelangan tangan, sebagai manset."
"Bagaimana Anda tahu bahwa kami tidak memaksudkan baju lengan pendek"" desak Monk lagi.
"Mr. Monk, harap camkan bahwa saya seorang lelaki beristri dan setia pada istri. Pun bila saya selingkuh, itu tidak melanggar hukum."
"Tapi pembunuhan iya," cecar Monk. "Anda membunuh Esther Stoval."
"Ini keterlaluan," tukas Breen. "Saya tak punya alasan untuk membunuhnya"
"Esther mengetahui hubungan gelap Anda dan berusaha memeras," lanjut Monk. "Jumat malam itu Anda menyelinap keluar dari acara penggalangan dana, membunuh Esther dan membakar rumahnya."
"Anda lupa bahwa saya tidak meninggalkan Hotel Excelsior sampai tengah malam," ujar Breen kalem.
"Tidak, Anda menyelin
ap keluar dan bisa kami buktikan," timpal Stottlemeyer. "Anda ditodong di jalan, sekitar satu blok dari hotel. Kami telah menangkap si penodong, dan kami juga tahu Anda melaporkan kehilangan kartu kredit pada pihak bank. Tapi ada yang
aneh: Anda tidak melaporkan peristiwa penodongan itu kepada polisi. Kenapa begitu ya""
Breen mendesah lelah. "Saya akui, saya keluar sebentar untuk merokok. Saat itulah saya ditodong. Toh, itu kan tidak bisa dibilang menyelinap."
"Lantas kenapa tidak cerita soal ini sejak awal"" tanya Stottlemeyer.
"Karena saya janji pada istri saya untuk berhenti merokok. Kalau dia tahu saya masih mengisap cerutu, bisa celaka"
"Itu sebabnya Anda tidak melaporkan peristiwa penodongan" Karena takut ketahuan istri soal merokok"" tanya Stottlemeyer dengan nada menyindir yang kentara
Lagi-lagi Breen menariki manset pergelangan kemejanya Aku tak tahu ini sekadar kebiasaan saat gugup atau memang caranya agar kami mengagumi manset itu.
"Saya tidak suka nada bicara Anda, Kapten. Saya tidak lapor polisi karena takut tercium wartawan. Peristiwa penodongan saya bakal bikin heboh di koran. Saya tidak ingin membuat kesan bahwa lingkungan ini rawan kejahatan karena saya juga punya saham kepemilikan di Excelsior. Jika sampai tersebar, kami bakal kehilangan pesanan kamar, booking acara dan ruang pernikahan juga konvensi bisnis. Lebih dari itu, saya cinta San Francisco. Saya tidak ingin merusak citra kota atau menyebabkan penurunan arus wisatawan."
"Sungguh cerita yang bagus. Mengharukan sekali," ujar Monk sinis. "Tapi saya rasa beginilah yang sesungguhnya terjadi: Anda meninggalkan sesuatu di rumah Esther. Jadi Anda mencuri mantel dan helm-pemadam kebakaran agar bisa kembali ke rumah itu. Sialnya, Anda tidak tahu bahwa stasiun pemadam punya anjing penjaga, dan saat diterkam, Anda membunuhnya dengan kapak."
"Oh... sekarang saya jadi pembunuh anjing juga"" Breen mendelik. "Benar-benar kelewatan! Apa buktinya""
"Si penodong bilang tubuh Anda bau asap," kataku.
"Bau" Seperti istri saya saja. Demi Tuhan, apa semua orang jadi antirokok sekarang-bahkan para penodong" Seperti saya bilang, saya keluar untuk merokok. Itu yang dia cium. Aroma menyegarkan dari tembakau cerutu Partagas Salamones."
Tatapan Breen teralihkan sesaat ke sesuatu di belakangku. Sesuatu di luar sana menarik perhatiannya. Aku menoleh dan melihat seorang gelandangan berjalan melewati jendela. Gelandangan yang kemarin mencak-mencak diberi beberapa lusin Wet Ones oleh Monk tapi akhirnya tisu-tisu itu dikantongi dan dijejalkan juga ke saku mantelnya. Ia lewat sambil mendorong kereta belanja berisi sampah. Si gelandangan melihatku dan memberi salam kasar dengan jari tengah.
Breen beralih ke Stottlemeyer. Saat bicara, nadanya lebih keras dari sebelumnya. "Anda sudah cukup lama memeras kesabaran saya dengan semua omong kosong ini. Tegaskan maksud Anda sekarang juga."
"Monk benar. Kita semua, yang ada di meja ini, tahu bahwa Anda memang membunuh wanita tua dan anjing itu," ujar Stottlemeyer. "Tapi karena Anda seorang tokoh di departemen kepolisian dan lain sebagainya, saya beri kesempatan untuk membuat semacam perjanjian sebelum kita saling mengumbar waktu dan biaya lebih jauh."
"Saya dengar Anda sedang naik daun di departemen, Kapten. Dan juga Anda, Mr. Monk, konon disebut sebagai detektif brilian. Tapi tampaknya saya salah informasi. Saya benar-benar kecewa pada kalian. Kita sudah selesai di sini."
Breen bangkit dari kursi, memberi hormat dengan menjentik ujung topinya padaku, lalu kembali ke lift.
"Dia kecewa pada kita, Monk," dengus Stottlemeyer sambil menenggak habis kopinya. "Aku terharu. Bagaimana denganmu""
"Dia bakal mempersulit hidupmu, Kapten," jawab Monk.
"Tidak segawat yang akan kulakukan padanya," ketus Stottlemeyer. "Akan kubuat surat penggeledahan malam ini. Kita geledah rumah dan kantornya untuk mencari benda yang ketinggalan di rumah Esther waktu itu-segera setelah kau katakan, benda apa itu""
"Sesuatu yang sangat, sangat, sangat memberatkan."
"Apa kiranya"" desak Stottlemeyer.
"Sesuatu yang bakal menunjuk langsung dan tak terbantahkan bahwa Breen
adalah pembunuh yang kita cari."
"Ya, ya, aku lebih dari tahu konsep barang bukti yang memberatkan" kejar Stottlemeyer. "Tapi, apa persisnya benda itu" Biar bisa kukatakan pada hakim saat meminta surat geledah."
Monk angkat bahu. Stottlemeyer menatap Monk, lalu aku, lalu kembali ke Monk. "Kau tak tahu""
"Sesuatu yang amat merusak dan memberatkan sampai dia rela menembus api untuk mengambilnya kembali."
"Huh... gagal sudah surat geledahku," desah Stottlemeyer lemas. "Jadi, pada prinsipnya, kau mau bilang bahwa kita cuma punya pepesan kosong""
"Sebenarnya...," ujar Monk, "mungkin lebih remeh dari itu."
13 MR. MONK MENGERJAKAN PR Stottlemeyer mengantar kami kembali ke Excelsior. Lencananya dimanfaatkan untuk mengeluarkan mobilku tanpa harus membayar biaya parkir. Huh, pasti enak ya punya lencana polisi. Bisa parkir di mana saja tanpa harus membayar.
Kupaksa Monk berjanji untuk tidak menceritakan apa pun pada Julie tentang peristiwa penodongan terhadap kami. Ia sudah kehilangan ayah. Aku tak ingin membuatnya cemas setiap kali aku keluar bersama Monk. Tak ada komentar keberatan untuk berbohong dari pihak Monk. Pun bila ia sebenarnya enggan.
Setiba di rumah, kami segera mengeluarkan belanjaan dari Pottery Barn. Julie sedang mengerjakan PR di meja sementara Mrs. Throphamner duduk di sofa sambil menonton TV. Gigi palsunya ada di meja ruang tamu, menghadap ke TV. Mungkin agar bisa menikmati acara Diagnosis Murder juga.
Monk kuperkenalkan pada Mrs. Throphamner. "Dia tinggal bersama kami untuk sementara."
Nyonya tua itu memasang kembali gigi palsunya, lalu menyorongkan jabat tangan pada Monk. "Senang sekali akhirnya bisa bertemu Anda."
Monk melirik tangan yang tampak belepotan tanah itu, lalu membalas dengan lambaian tangan.
"Ya, senang sekali," ujar Monk sambil melambai dengan antusias. "Tangan Anda kenapa""
"Oh, tadi saya merawat kebun bunga," jawab si nyonya. "Memang melelahkan. Tapi saya suka."
Kuberi Mrs. Throphamner dua belas dolar untuk jasa menunggui Julie. Ia menyesakkan uang itu ke belahan dada, memberi ciuman pada Julie, lalu segera pulang agar tak ketinggalan acara Dick Van Dyke di TV.
"Mrs. Throphamner itu baik sekali," kataku setelah ia pergi.
"Dia seperti nenek sihir," tukas Monk. "Kau tak lihat tangannya yang panjang berurat dan wajahnya yang tak bergigi""
Julie terkikik senang, setuju dengan pendapat Monk. Kejam sekali mereka ini.
"Dia sudah tua dan sendirian. Itu saja," aku membela Mrs. Throphamner. "Akhir-akhir ini suaminya lebih banyak menghabiskan waktu di kabin memancing dekat Sacramento, Tak banyak yang bisa dikerjakannya selain merawat kebun dan nonton TV."
Sebenarnya aku juga bersyukur, karena dengan demikian ia ada waktu menjaga Julie selama aku mengurus
Monk. Dipikir positif, rasanya selama ini kami saling membantu.
Aku lanjut memanaskan pizza dingin untuk makan malam, menyiapkan piring kertas di meja, dan bicara dengan Julie tentang kegiatan sekolahnya seharian ini, sementara Monk membuang serbet yang tadi dipakai Mrs. Throphamner sebagai alas gigi palsu. Monk mengenakan sarung tangan karet untuk mencuci piring dan capit berbekyu untuk memungut serbet dan membakarnya di perapian. Lalu ia mendesinfektan meja ruang tamu dan udara sekeliling dengan Lysol sampai aku pikir seluruh kuman pasti tewas dalam jarak sekian mil persegi. Aku terpaksa membuka jendela dapur agar kami tak ikut musnah. Julie menonton Monk dengan geli, sekaligus kagum.
"Aku masih mencium bau nenek itu," ujar Monk.
"Itu aroma kebun bunganya," jawabku sambil membuka jendela dapur. "Dia begitu sering menghabiskan waktu di kebun sampai tubuhnya menyerap aroma mawar."
Monk melepas tatapan menyelidik, menebak-nebak apakah aku berkata jujur atau tidak, lalu memutuskan untuk percaya saja. Lysol diletakkannya kembali dan ia membuang sarung tangan ke tong sampah. Kalau aku, pasti kucuci dan nanti kupakai lagi, tapi aku bukan Adrian Monk.
Segera setelah pizza siap, Monk memotongnya menjadi delapan bagian yang sama persis. Kami duduk makan sambil menuturkan peristiwa seharian ini pada Julie-kecuali peristiwa penodongan dan identitas pembunuh Spa
rky tentunya. Tapi kami tegaskan bahwa pokoknya si pelaku sudah hampir tertangkap. Mungkin kedengarannya terlalu optimis, tapi aku yakin pada kemampuan Monk.
Setelah makan, Julie kembali mengerjakan PR sementara aku membongkar dan membersihkan perangkat makan yang baru dibeli. Aku tahu Monk pasti lebih dari senang mencucikannya buatku, tapi Julie punya rencana lain. Ia minta dibantu mengerjakan PR.
"Kau baik sekali," ujar Monk. "Tapi aku tak ingin mengganggu kesenanganmu."
"PR dibilang menyenangkan"" tanya Julie.
"Mengerjakan PR adalah hal favorit keduaku saat sekolah."
"Yang pertama apa""
"Tes mendadak, tentu saja. Kau tahu, hal lain apa yang nyaris sama menyenangkannya" Memperhitungkan hari, kapan tes berikutnya tiba. Para guru berlagak seolah hal ini menyebalkan, tapi sebenarnya itu cara cerdas mereka mendorong kita untuk menantang diri sendiri. Oh, sungguh membangkitkan kenangan. Dulu aku suka sekali meluruskan meja-meja di kelas setiap pagi. Kau pernah begitu""
'Tidak." Julie menggeleng. "Kau kurang agresif kalau begitu," ujar Monk. "Rasanya bukan itu masalahnya." "Rahasianya adalah hadir di kelas satu jam lebih awal, sebelum anak-anak lain datang. Aku tak pernah keduluan."
"Memangnya ada yang ingin datang lebih pagi dari itu""
"Ha ha... kau bercanda, ya" Memangnya mereka tak berebut mendapat nomor loker genap" Ada-ada saja kau ini." Monk menoleh padaku. "Dia suka bercanda, ya""
"Ya," jawabku. "Suka membantah juga."
"Jadi," lanjut Monk, "belajar apa kau malam ini""
"Macam-macam. Tapi ada sesuatu yang rasanya perlu kita bahas," ujar Julie. "Dalam mata pelajaran IPA, kami belajar tentang penyakit menular."
"Nah, kau bicara dengan orang yang tepat kalau begitu," sahut Monk sambil meraih buku teks Biologi Julie. "Waktu SMP, aku malah mengajarkan guru IPA-ku beberapa hal tentang penyakit menular."
"Tidak heran." Julie membuka buku itu dan menunjuk sebuah halaman. "Kami akan mengerjakan proyek ini besok."
Monk membaca keras-keras, "Semua orang di kelas harus berjabat tangan dengan dua orang lain dan mencatat nama-nama mereka..." Ia berhenti.
"Bagaimana mereka tega menyuruh anak-anak melakukan ini" Tidak tahukah betapa bahayanya hal ini" Apa tidak harus izin untuk proyek praktik semacam ini""
"Tidak," jawab Julie. "Memangnya kenapa""
"Kenapa" Kenapa"" Monk menoleh padaku. "Katakan padanya."
"Sepertinya wajar saja," jawabku.
"Benarkah" Hmm... kau tak akan berpikir demikian lagi setelah mendengar yang ini." Monk lanjut membaca keras-keras, "Sekarang berjabat tanganlah dengan dua orang lain lagi, catat nama mereka dan lanjutkan berjabat tangan dengan dua orang yang lain. Guru macam apa ini" Apa mereka gila" Jangan-jangan mereka juga menyuruh murid-murid berlarian di kelas sambil membawa gunting""
"Kenapa diributkan" Ini kan cuma latihan praktik yang mengajarkan murid tentang penyebaran penyakit," aku berkata.
"Dengan menyebarkan penyakit itu sendiri"" timpal Monk. "Berikutnya apa" Menyuruh anak-anak minum jus buah yang diberi sianida untuk melihat bagaimana racun bekerja" Bagaimana bila mereka mengajarkan pendidikan seks""
"Aku punya ide," sela Julie menengahi. Ia mengambil buku dari tangan Monk. "Bagaimana kalau Mr. Monk
membantu mengajukan pertanyaan tes buatku" Ini daftar pertanyaannya."
Julie menyerahkan secarik kertas.
"Kuharap kau membawa sarung tangan ekstra dan lap desinfektan buat ke sekolah besok," ujar Monk.
"Ekstra"" tanya Julie.
"Kau selalu membawa sarung tangan plastik dan lap desinfektan ke sekolah, kan""
Di balik punggung Monk, aku mengangguk kuat-kuat ke arah Julie. Anak itu segera tanggap.
"Ya, tentu saja. Siapa yang tidak"" jawab Julie. "Kupikir yang biasa kubawa saja sudah cukup. Ehem, sekarang mau membantu tesku, tidak""
Monk mendesah lega, mengangguk dan melirik lembaran kertas itu. "Baiklah. Aku mulai. Apakah yang disebut sebagai patogen""
"Patogen adalah organisme yang menyebabkan penyakit," jawab Julie sambil tersenyum yakin.
"Salah," ujar Monk.
Senyum Julie lenyap. "Itu jawaban yang benar. Aku tahu itu."
"Jawaban yang benar adalah semuanya" "Semuanya""
"Semua organisme menyebabkan penyakit Sekaran
g, sebutkan empat sumber patogen."
Julie menggigit bibir, tepekur sebentar, lalu mengeja jawaban satu demi satu diikuti lipatan jari. "Manusia lain, objek yang terkontaminasi, gigitan binatang, dan lingkungan."
"Salah," timpal Monk. "Jawaban yang benar adalah semuanya." "Semuanya""
"Seisi dunia ini adalah patogen. Pertanyaan berikut: Sebutkan empat kelompok utama patogen."
Julie menekan jarinya ke meja sambil menjawab, "Umm... virus, bakteri, jamur, dan protista."
"Salah." Lagi-lagi Monk menggeleng. "Jawaban yang benar adalah...."
"Semuanya," potong Julie.
"Benar." Monk tersenyum sambil mengembalikan kertas pada Julie. "Kau bakal lulus tes ini dengan mudah." "Bagaimana dengan pertanyaan yang lain" Kan masih - ada""
"Hanya ada satu jawaban untuk seluruh pertanyaan
itu." "Semuanya""
Monk mengangguk. "Hidup itu lebih sederhana dari yang kau duga."
Julie menyelesaikan PR dan kembali ke kamar untuk chatting. Semua pekerjaan sengaja kusingkirkan, kalau-
kalau Monk tiba-tiba muncul dan mehguliahiku soal bagaimana mengatur tata letak dandang dan panci yang benar atau apalah, tapi dia tidak muncul.
Telepon berdering. Dari Joe.
"Kita tak sempat ngobrol waktu kau mampir tadi," Kata Joe. "Tahu-tahu kau nyebrang jalan dan tak kembali lagi. Padahal aku menunggu, lho."
"Oh," begitu saja jawabku. Cerdas, ya"
Kami saling diam selama beberapa lama. Gugup. Sesuatu yang tak pernah lagi kualami sejak SMA.
"Kau kelewatan bagian serunya," lantur Joe memecah diam. "Tadi ada orang-orang dari kantor tata kota dan fasilitas umum datang kemari. Ternyata Dumas menggali terowongan dari bawah rumahnya sampai ke got bawah tanah, dan dari situ sampai ke ruang bawah tanah stasiun pemadam kebakaran."
"Sudah tahu. Mr. Monk yang menebak lebih dulu," jawabku. "Selama ini Dumas hidup dari emas curian Roderick Turlock yang didapat dari menggali terowongan itu."
"Apa dia yang membunuh Sparky""
"Bukan, bukan dia," jawabku lagi. "Mr. Monk masih menyelidiki."
"Bagaimana dengan misteri celana dalammu yang konon suka menghilang" Sudah ada kemajuan""
Aku hampir bilang bahwa ia boleh membantu memecahkan misteri itu kalau mau, tapi untung saja tidak jadi. Aku malah berkata, "Aku ingin bertemu lagi Rabu malam nanti."
Kupikir ini juga bisa diterjemahkan sebagai hal yang nyaris sama dengan apa yang tak jadi kusampaikan, meski lebih halus.
Aku tak tahu bagaimana ia menerjemahkan kata-kataku karena tiba-tiba terdengar sirene tanda bahaya meraung di stasiun pemadam kebakaran.
"Aku juga, Natalie. Tapi aku harus pergi dulu," jawab
Joe. "Hati-hati," aku berkata. Telepon pun kututup.
Hatiku berdesir kencang, tapi untuk alasan yang sama sekali lain. Satu, karena aku senang. Dua, karena gugup. Dan ketiga, karena takut-tapi bukan soal kencan kami. Sirene itu. Bunyi yang menandakan bahwa Joe tengah bergegas memadamkan api entah di mana. Aku tahu memang itu pekerjaannya-namanya juga petugas pemadam kebakaran, tapi bayangan ia menembus kobaran api membuatku mual. Aku tak pernah merasa begini sejak kehilangan Mitch. Ia dulu juga sering pergi bertugas entah ke mana, mempertaruhkan nyawa. Kurasakan ini setiap kali, sampai satu misi saat Mitch tak kembali lagi.
Aku menyusuri lorong menuju kamarku, melewati pintu terbuka kamar tamu. Kulihat Monk berbaring di
kasur, menatap langit-langit, kedua tangan bersilang di dada seperti orang tidur di peti mati.
Aku masuk dan duduk di pinggir ranjang. "Anda tidak apa-apa, Mr. Monk""
"Yeah." "Sedang apa""
"Menunggu," jawab Monk. Pandangannya masih ke langit-langit.
"Menunggu apa""
"Menunggu fakta bergerak ke tempatnya masing-masing."
"Apa memang begitu caranya"" "Biasanya begitu." Monk mendesah. "Hanya menunggu."
Monk duduk bersandar ke punggung ranjang. "Yang membingungkan dari pembunuhan ini justru fakta bahwa semuanya begitu sederhana. Kita tahu bagaimana kejahatan dilakukan dan tahu siapa pelakunya. Tantangannya terletak pada bagaimana menemukan bukti yang tampaknya sama sekali tidak ada."
"Anda pernah mengalami kasus yang lebih besar dari ini sebelumnya," aku mengingatkannya. "Pasti bisa."
"Ini beda," bantah Monk. "Biasanya aku punya lebih ba
nyak ruang untuk berpikir."
"Ruang"" "Aku biasa memulai dan mengakhiri hari di rumahku yang kosong. Tak ada orang atau gangguan lain. Semua pada tempatnya. Semua teratur. Hanya ada aku dan pikiranku-dan kadang sedikit LEGO. Saat itulah fakta-fakta kasus bergerak sendiri ke tempat masing-masing, sementara fakta yang janggal menuntunku ke solusi dari misteri yang bersangkutan."
"Sekarang tidak begitu"" aku bertanya.
"Aku masih menunggu."
Dengan kata lain, rumah dan hidup kami yang berantakan menjadi tak tertahankan buat Monk. Ia rindu ketenangan, kesendirian, dan sterilitas rumahnya sendiri. Kangen rumah. Rumahku sama sekali tidak seperti rumahnya
"Mau saya carikan kamar hotel, Mr. Monk"" kucoba menawarkan semanis mungkin, agar ia tak berpikir bahwa aku marah atau tersinggung. Aku tidak tersinggung.
"Tidak, tentu saja tidak," jawab Monk. "Tempat ini sudah bagus."
Semula kupikir ia sekadar basa-basi bersopan santun, tapi lantas kupikir benar juga. Tinggal bersama kami memang jauh lebih baik.
Kamar hotel malah lebih menyiksa-buat Monk. Ia bakal mendengar suara TV di kamar sebelah, lenguhan orang bercinta di lantai atas, atau anak-anak berlarian di lantai bawah. Pun bila tak terdengar apa pun, mungkin dengan sekadar tahu bahwa ada begitu banyak orang
Idalam satu gedung sudah lebih dari cukup mengganggu pikiran. Lebih parah lagi, bagaimana bila ia tak bisa berhenti membayangkan ratusan orang yang pernah menempati kamar hotelnya, tidur di kasur dan memakai Kamar mandinya" Bila semua itu tak cukup mengganggu, bagaimana dengan kengerian dari kertas dinding yang tidak sesuai"
Dibanding semua itu, kamar tamu kami pasti terasa seperti sel kecil yang nyaman.
Dari sudut pandang ini, rasanya yang dimaksud sebagai gangguan sebenarnya adalah kehadiran kami- aku dan Julie. Kamilah yang mengganggu pikiran Monk.
Aku bangkit dari ranjang. "Saya pergi dulu kalau begitu"
"Tidak, jangan. Aku ikut," tukas Monk sambil ikut bangkit.
"Tapi... bagaimana dengan fakta-fakta yang katanya harus ke tempatnya sendiri-sendiri itu""
"Nanti juga bisa," jawab Monk. "Terlalu banyak ruang malah membuatku tak sempat membantu orang mengerjakan PR."
Aku tersenyum dalam hati. Setakut-takutnya Monk terhadap kontak fisik, ternyata ia masih tetap manusia normal yang butuh berhubungan dengan orang lain.
14 MR. MONK DAN HARI HUJAN Waktu aku bangun jam enam pagi di hari Selasa itu, Monk sudah selesai mandi, bercukur, dan berpakaian. Bak mandi begitu mengilap sampai layak dijadikan tempat operasi. Jangan-jangan ia bermalam di kamar mandi hanya untuk memastikan bahwa ia akan dapat giliran pertama. Kalau memang iya, untung saja aku atau Julie tidak bangun tengah malam untuk pipis.
Kami sarapan sereal Chex dengan mangkuk baru sambil membaca koran Chronicle. Ada artikel di halaman belakang tentang kebakaran gudang tadi malam. Keruntuhan atap gudang membuat dua petugas pemadam masuk rumah sakit. Tenggorokanku langsung kering. Mungkinkah itu kebakaran yang kemarin coba dipadamkan Joe" Bagaimana bila ia termasuk salah satu yang terluka"
Jam tujuh tiga puluh. Masih terlalu pagi kalau hendak menelepon stasiun pemadam kebakaran, kecuali kalau
memang iseng ingin membangunkan orang. Kutelepon nanti saja. Atau mungkin akan lebih baik kalau kutelepon sekarang"
Aku tersentak dari kecemasan oleh suara klakson di luar rumah, menandakan bahwa jemputan sekolah Julie sudah tiba.
Julie memasukkan semua buku ke tas, menyambar bekal makan siang lalu berjalan ke pintu. Aku menyergap sebentar.
"Jangan lupa jas hujan," aku berkata sambil mengambil jas yang kumaksud dari gantungan di belakang pintu
Julie benci mengenakan jas hujan. Ia lebih suka basah kuyup. Setahun lalu ia justru sangat mengidamkan jas itu lebih dari apa pun juga. Waktu itu jas hujan sedang trendi dan ia akan merasa malu kalau tidak pakai. Harganya $100 di Nordstrom, tapi aku berhasil dapat separo harga di eBay. Mungkin barang curian atau palsu, tapi yang penting mampu menyelamatkan muka Julie di pergaulannya Julie memakainya ke mana-mana, tak peduli langit mendung atau cerah. Lalu sesuatu terjadi. Sebuah pergeseran kosmik tren
dan budaya besar-besaran. Anak-anak tak lagi mengenakan jas hujan. Basah kuyup jadi mode.
"Ma...," keluh Julie. "Mestikah kupakai""
"Kemungkinannya akan turun hujan enam puluh persen," kataku. "Bawa sajalah. Lebih baik berjaga-jaga."
"Paling cuma basah," ia membantah." Tak apa-apa, kok."
"Bawa saja," desakku.
"Hanya air, Ma," rengek Julie lagi. "Bukan air keras."
Aku mendecak. Kesal. Karena tak punya cukup waktu dan kesabaran untuk debat kusir begini, jadilah kubuka tasnya, kugulung jas hujan jadi bola dan kulesakkan ke dalam tas.
"Kau akan berterima kasih pada mama nanti," kataku.
"Mama seperti dia." Julie menunjuk Monk. Maksudnya bukan memuji.
Aku sudah hendak memarahinya dengan alasan kurang ajar, tapi Monk tak merasa dikurangajari. Ia duduk tegak di kursi, hanyut dalam renungan, menyentak-nyentak bahu seperti orang yang tak merasa pas tinggal dalam kulitnya sendiri.
Julie berangkat dengan kesal dan membanting pintu. Tiada guna melampiaskan kekesalan padaku saat itu karena fokusku sedang beralih ke Monk. Aku tahu arti gerakan bahu itu-fakta-fakta yang disebut Monk tadi malam sedang masuk ke tempatnya masing-masing.
Ia tahu.apa yang ditinggalkan Breen di rumah korban malam itu.
Aku tersenyum kala menyadari bahwa pencerahan yang didapat Monk ini tidak terjadi dalam kesendirian di ruangan yang steril, bersih, dan teratur. Ini terjadi di tengah dapurku yang berantakan habis sarapan pagi. Di tengah perang mulut antara seorang ibu yang waras, sabar, dan rasional dengan putrinya yang sinting, bebal, dan tidak rasional.
"Kau punya komputer dengan koneksi Internet"" tanya Monk.
"Tentu," jawabku. "Kami toh tidak tinggal di gua."
Aku langsung menyesal berkata begitu karena ia pasti tersinggung. Aku tak bermaksud begitu. Hanya lupa bahwa Monk tak punya koneksi Internet di rumahnya Ia takut tertular virus komputer, karena itu ia juga tak punya komputer.
Aku masuk kamar, mengambil laptop dan membawanya ke meja dapur. Ada tetangga jago komputer yang kerjanya mendesain situs Web demi membayar sewa apartemen. Ia kasihan pada kami dan mengizinkan kami membonceng jaringan nirkabelnya yang berkecepatan tinggi. Dalam beberapa detik aku terhubung ke Internet. "Perlu apa"" tanyaku pada Monk.
"Bisa carikan detail informasi tentang kondisi cuaca San Francisco pada Jumat malam lalu""
Gampang sekali. Kupikir ia bakal minta yang aneh-aneh atau bagaimana, pokoknya yang menantang, agar aku bisa pamer kemahiran berselancar di Web.
Cepat kutelusuri Google dan menemukan sebuah situs yang melacak pola cuaca, mengklik opsi hari ke lumat malam di San Francisco, lalu menunjukkan pada Monk pilihan apa saja yang mau dilihat, mulai dari suhu, embun, curah hujan, kelembapan, kecepatan, arah, serta suhu angin. Kalau mau, ia bisa pakai foto satelit,- radar Doppler, dan/atau sudut pandang animasi 3D tentang pola kabut dan pergerakan arusnya.
"Bisa tunjukkan kapan hujan turun, dari jam kejam""
Remeh amat-maksudku, tidak akan semenakjubkan melihat kabut bergulung keluar-masuk dalam tayangan 3D, tapi ya, tentu saja aku bisa menunjukkan yang diminta. hasilnya terlihat dalam barisan kolom grafik biasa. membosankan. Kupikir, kenapa tidak pakai sedikit animasi curah hujan, biar lebih menarik"
"Lihat!" seru Monk girang. "Catatan ini menunjukkan ada sedikit gerimis dan hujan yang sebentar-sebentar turun sampai sekitar pukul sembilan tiga puluh, lalu perlahan berhenti sampai jam dua dini hari."
Menegangkan, pikirku dramatis sambil menggulung mata ke atas. Tapi yang keluar dari mulutku malah, "Apa maksudnya""
"Akan kutunjukkan," jawab Monk. "Sekarang, bisa tolong carikan foto-foto Lucas Breen dari acara penggalangan dana Save The Bay seperti yang pernah ditunjukkan Disher""
Aku kembali ke Google sebentar sampai dapat sekitar selusin foto dari situs Web acara tersebut, dari berbagai situs koran, dan beberapa blog gosip (salah satunya berspekulasi bahwa perjalanan Mrs. Breen ke Eropa pagi hari setelah pesta tersebut sebenarnya merupakan kedok bagi kegiatan 'penyegaran wajah' kesekian kalinya di sebuah resor operasi plastik di Swiss).
Foto-foto itu sama dengan yang pernah
kami lihat sebelumnya dari Disher-merekam Breen tiba di Excelsior berhujan ria bersama istri, dan tengah malam saat mereka pulang bersama gubernur.
Monk menunjuk ke layar. "Waktu Breen tiba, saat itu sedang hujan. Kau lihat sendiri di sini, dia membungkuk di bawah payung, mengenakan mantel."
Lalu Monk menunjuk ke gambar Breen saat meninggalkan acara. "Tapi di gambar ini, payungnya dikempit di ketiak dan dia tidak mengenakan mantel."
"Karena hujan sudah berhenti."
"Oke, lalu ke mana mantelnya" Kenapa tidak dibawa""
Pertanyaan bagus. Berdasarkan penyelidikan kami sejauh ini, jawabannya hanya satu.
"Ketinggalan di rumah Esther Stoval," aku berkata.
"Menurut laporan cuaca, kita tahu bahwa malam itu hujan tidak berhenti turun sampai pukul sembilan tiga puluh, jadi Breen pasti masih mengenakan mantel saat
menyelinap keluar hotel menuju rumah Esther," tutur Monk. "Mungkin Esther menyuruhnya melepas dan menggantung mantel waktu masuk rumah. Lalu mereka bicara selama satu atau dua menit."
"Bagaimana Anda tahu mereka sempat mengobrol""
"Karena posisi tubuh Esther saat ditemukan. Kau ingat, Esther duduk di pojok sofa, menghadap kursi yang diduduki Breen"" ujar Monk. "Esther mengatakan atau melakukan sesuatu yang memancing kemarahan Breen. Breen melompat dari kursi dan membekapnya dengan bantal. Setelah itu, yang terpikir adalah bagaimana menutupi jejak, membuat kebakaran untuk mengalihkan perhatian dan keluar dari rumah itu secepat mungkin. Hujan sudah berhenti waktu dia pergi, jadi mungkin dia tak sadar mantelnya ketinggalan di TKP sampai setengah jalan menuju hotel."
Itu berarti saat ia tiba tepat di depan stasiun pemadam kebakaran.
"Breen tidak mau mengambil risiko dengan hanya berharap bahwa mantel itu telah habis dimakan api," lanjut Monk. "Soalnya mantel itu dibuat persis seperti mantel dan pakaian lain yang dia punya-dijahit khusus dan berkancing monogram inisial namanya. Tak pelak, ini bakal langsung menunjuk hidungnya. Dia harus kembali dan mengambilnya"
Aku berani bertaruh, pikiran ini pasti muncul saat Breen berdiri di depan stasiun pemadam, menatap dengan panik ke garasi yang kosong itu sampai timbul ide untuk menyelamatkan diri. Saat berlari mengambil peralatan pemadam, aku yakin ia pasti tak menyangka bakal ada anjing menggonggong dan menggeram, apalagi sampai diterkam. Sial benar. Apalagi dengan beban pikiran gara-gara mantel ketinggalan di TKP. Nasib begitu tega menambah deritanya dengan terkaman anjing.
Tapi Breen berhasil lolos tanpa cacat, dan semua berlangsung mulus setelah itu. Ia menyelinap ke rumah yang terbakar itu dengan perlengkapan pemadam kebakaran, tak dikenali oleh petugas yang lain, menyambar mantelnya, lalu keluar lagi. Ia kembalikan perlengkapan pemadam ke stasiun tanpa terlihat dan tanpa harus menghadapi serbuan anjing lagi.
Ia pasti berpikir bahwa yang terburuk sudah lewat. Tapi di tengah jalan, tiba-tiba ia ditodong.
Sukar dipercaya. Nasib Breen sungguh sial sampai aku nyaris bersimpati-kalau saja ia tidak membunuh Esther dan Sparky, plus tidak bersikap sombong. Pun, dengan kesialan begitu rupa, ia masih mampu kembali ke pesta tanpa disadari siapa pun. Aku yakin ia langsung menuju bar untuk meredam stres, soalnya aku pasti akan begitu juga.
Memang bukan pembunuhan sempurna. Tapi aku ragu bakal ada yang tahu jika saja tidak ada seorang gadis kecil usia dua belas tahun menyewa seorang detektif untuk menyelidiki kematian seekor anjing.
Lamunanku terlalu jauh. Breen belum lagi tertangkap. Kami tidak punya cukup bukti. Mantel itu belum kami dapatkan.
"Taruhlah Breen berhasil mendapatkan mantelnya kembali," aku berkata. "Apa yang dia lakukan dengan mantel itu""
"Pada titik ini, mau tidak mau kita harus berasumsi bahwa mantel itu telah hangus dan rusak oleh api, dan bahwa dia membuangnya dalam perjalanan antara rumah Esther dan hotel."
"Bagaimana dengan rumah Lizzie Draper" Kenapa tidak disembunyikan di situ""
Monk menggeleng. "Terlalu berisiko. Bagaimana jika terlihat Lizzie sebelum sempat diamankan Breen" Dia pasti tak ingin Lizzie-atau siapa pun, menghubungkannya dengan peristiwa kebakaran itu. Ti
dak... Breen pasti membuangnya ke tempat lain. Suatu tempat antara stasiun pemadam dan hotel."
Aku langsung tahu di mana kami harus mulai mencari.
Aku memang menyimpan motif lain untuk memulai pencarian dari stasiun pemadam kebakaran. Yang pertama, aku tak sudi membayar biaya parkir di Excelsior, dan yang kedua, aku ingin ada alasan menjenguk Joe. Memastikan apakah ia baik-baik saja.
Tapi waktu kami tiba di stasiun, tempat itu kosong. Para penghuninya sedang menjawab panggilan tugas.
"Aku yakin dia baik-baik saja," ujar Monk saat kami berdiri di depan stasiun.
"Siapa"" "Joe. Itu sebabnya kita di sini, kan""
"Tidak. Kita di sini untuk menapak tilas jejak Breen dan menemukan tempat di mana dia membuang mantelnya."
"Bakal sulit kalau begitu," ujar Monk. "Aku sudah menelepon Disher sebelum kita meninggalkan rumah dan minta dia untuk mengecek apakah si penodong ingat Breen membawa mantel atau tidak."
"Jadi sebenarnya kita tidak perlu datang ke mari, ya"" simpulku. "Mestinya menunggu saja di rumah dan mendengar kabar dari Disher."
Monk mengangguk. "Tapi kau ingin menjenguk Joe sejak membaca berita tentang kebakaran gudang di koran pagi ini. Benar""
"Kok tahu""
"Kau terus membaca artikel itu," jawab Monk. "Sepanjang pembicaraan waktu di rumah tadi kau bolak-balik melirik telepon, berdebat dalam hati apakah masih terlalu pagi untuk menghubungi stasiun pemadam."
Kadang aku lupa bahwa Monk itu seorang detektif. Aku juga lupa bahwa kalau ia sedang tidak menjadi manusia paling menyebalkan seantero planet, ia bisa bersikap sangat manis.
"Terima kasih,"'aku berkata.
Ponselku berdering. Dari Disher.
"Kami terpaksa membuat perjanjian dengan Marlon Tolliver agar Monk mendapatkan informasi yang dia inginkan," ujar si letnan muda.
"Marlon Tolliver siapa""
"Penodong kalian waktu itu," jelas Disher. "Pengacaranya pintar. Kami terpaksa setuju menggagalkan dakwaan 'penyerangan dengan senjata mematikan' terhadapnya dengan imbalan kesaksian seputar Lucas Breen."
"Jadi, dia lolos begitu saja setelah mengancam leherku dengan pisau""
"Agar dia mau bicara, kami harus menjanjikan sesuatu, dan hanya itu yang kami punya," jawab Disher. "Cuma itu yang bisa kami lakukan-kecuali kalau kau mau datang dan meremukkan 'kelerengnya' lagi."
"Kalau itu, dengan senang hati akan kulakukan," jawabku.
"Percuma. Perjanjian sudah dibuat, dan dia bilang begini: Breen sedang memeluk mantelnya ketika ditodong."
"Terima kasih," kataku. "Bisa minta tolong"" "Tentu. Toh tugasku memang jadi tangan dan kaki buat Monk."
"Yang ini buatku."
"Kau ingin aku menginjak selangkangan Tolliver""
"Tidak. Dengar dulu. Ada kebakaran di sebuah gudang tadi malam dan melukai beberapa petugas pemadam. Bisa minta tolong mencari tahu apakah salah satunya Joe Cochran""
"Tidak masalah," jawab Disher. "Nanti kutelepon lagi begitu dapat kabar."
Aku mengucap terima "kasih, menutup telepon, dan memberi tahu Monk kabar dari Disher.


Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Breen masih memegang mantelnya ketika berada di gang di luar hotel."
"Kalau begitu, pasti di sanalah mantel itu dibuang," ujar Monk. "Di suatu tempat di gang itu."
Kami berjalan kaki ke hotel. Begini lebih cepat karena tidak harus mencari tempat parkir mobil lebih dulu. Juga lebih murah. Kami melewati beberapa gelandangan yang
kini kapok meminta-minta pada Monk. Aku lega tidak berpapasan dengan lelaki yang menjengkelkan waktu itu.
Banyak orang di jalanan, jadi sebenarnya cukup aman, tapi aku tetap melangkah dengan hati-hati. Mana tahu mendadak dibegal lagi. Monk juga berhati-hati melangkah, hanya beda alasan. Ia sangat berusaha agar tidak menginjak apa pun yang kotor. Tentu saja sulit di gang kumuh begini.
Kami meniti lambat-lambat, mencermati berbagai tempat yang mungkin jadi tempat Breen membuang mantel. Tak lama kami sadar bahwa hanya ada satu tempat yang memungkinkan hal .itu dilakukan tanpa terlihat, yaitu di deretan tong sampah dekat pintu service exit hotel.
Tanpa berkata apa-apa pada Monk lebih dulu, aku langsung memanjat salah satu tong. Monk langsung panik.
"Awas! Menjauh dari tong itu!" seru Monk. "Pelan-pelan."
Aku bergeming. "Cuma tong sampah, Mr. Monk. Buk
an bom." "Jangan sok jadi pahlawan, Natalie. Biar orang profesional yang membongkar sampah itu."
"Saya bukan pakar prosedur kepolisian, tapi rasanya Kapten Stottlemeyer tak mungkin mendatangkan tim forensik ke mari untuk menggeledah tong sampah ini hanya demi mengikuti naluri Anda."
"Aku tidak bicara forensik. Toh mereka memang tidak tepat untuk menangani situasi seperti ini," tandas Monk. "Maksudku, ini butuh sentuhan profesional yang memang menangani sampah setiap hari."
"Anda ingin saya memanggil tukang sampah""
"Itu istilah yang merendahkan. Mereka lebih suka disebut sebagai teknisi sanitasi." "Kok tahu""
"Aku bicara dengan mereka," jawab Monk.
"Masa" Kenapa""
"Mereka kan manusia juga."
"Yang bergumul dengan sampah," tandasku. "Tapi Anda sendiri pasti bakal menyingkir sejauh mungkin kalau mereka datang."
"Aku selalu berjaga-jaga," balas Monk. "Aku memakai sarung tangan, penutup mulut, dan pelindung mata jika mereka datang. Aku harus berada di tempat untuk mengawasi."
"Anda mengawasi pengambilan sampah Anda" Untuk apa""
"Kebutuhanku khusus."
"Kalau itu saya lebih tahu dari siapa pun. Tapi apa hubungannya dengan sampah""
"Aku harus yakin bahwa sampahku tidak dicampur dengan sampah lain," ujar Monk.
"Kenapa begitu" Takut apa""
"Takut sampahku kotor."
"Namanya juga sampah, Mr. Monk. Semua sampah pasti kotor, bahkan sampah Anda."
"Tidak. Sampahku sampah bersih," tukas Monk. "Sampah bersih." Aku jadi tak mengerti. "Apa maksudnya""
"Pertama, setiap sampah dimasukkan ke kantong plastik kedap udara sebelum dimasukkan ke kantong sampah utama-yang berwarna hitam."
"Agar tidak mengotori sampah lain dalam kantong besar itu, ya""
"Tidak semua orang memiliki kesadaran sebesar aku," ujar Monk. "Ini kenyataan yang menyedihkan."
"Tapi kantong-kantong sampah Anda kan tetap saja disesakkan di bak truk sampah bersama sampah-sampah lain,"
Monk menggeleng. "Kantong-kantong sampahku ditaruh di depan, bersama sopir."
"Tapi akhirnya toh sama saja, kan"" aku menyela. "Selalu berujung di tempat pembuangan sampah."
"Sampahku ditaruh di zona sembilan."
"Sampah Anda punya zona khusus""
"Semua sampah bersih ditaruh di sana."
Aku menggeram jengkel. Omong kosong. Kusuruh ia pegang dompetku sebentar lalu aku memanjat lagi ke atas tong sampah.
"Tunggu, tunggu...," protes Monk. "Kau mengekspos diri sendiri."
Aku berhenti. "Apa celana saya melorot""
"Huh" Tentu saja tidak," ujar Monk.
"Lalu apanya yang terekspos""
"Kau berisiko mengekspos tubuhmu terhadap racun mematikan," jawab Monk. 'Terlebih, kau belum disuntik antitoksin dan bahkan tidak memakai sarung tangan. Tidak pula memakai masker penyaring udara. Ini bunuh diri namanya!"
"Mr. Monk, saya hanya ingin membuka tutup tong sampah," aku menjelaskan.
"Bayangkan apa yang kau lepas ke atmosfer dengan membuka tutup itu," tandas Monk. "Kalau enggan memikirkan diri sendiri, pikirkan kemanusiaan, pikirkan putrimu-tapi terutama sekali, pikirkan aku!"
Kuangkat tutup itu. Monk menjerit dan langsung kabur, seolah tong itu bakal meledak dan menyebarkan potongan makanan busuk, pecahan beling, sepatu bekas, dan popok busuk ke sekujur tubuhnya. Tentu saja tidak.
Aku melongok ke dalam tong. Tong ini nyaris kosong. Hanya ada beberapa kantong sampah hitam besar-atau kantong utama, kalau menurut istilah Monk, di dasar tong. Hmm... tak mungkin cuma segini sampah buangan hotel sejak hari Jumat.
Kubuka lebih lebar sampai ujung engsel tutup tong sampah, lalu aku memanjat ke tong sebelah. Kosong. Tong berikutnya juga begitu.
Kalaupun mantel itu tadinya ada di salah satu tong ini, sekarang sudah lenyap. Sial. Padahal hanya itu bukti kami untuk mendakwa Lucas Breen dengan tuduhan pembunuhan.
Kutengok ke belakang mencari Monk. Makhluk itu juga menghilang. Ia berdiri dua puluh meter di seberang jalan dengan sapu tangan menutupi hidung dan mulut.
Aku terpaksa berteriak, "Kita terlambat! Mantelnya sudah tidak ada!"
15 MR. MONK MENGUNJUNGI SAMPAHNYA
Butuh tiga puluh menit untuk meyakinkan Monk bahwa ia tidak perlu memanggil tim darurat khusus antimaterial berbahaya untuk mendekontaminasi aku plus sekujur gang dan blok.
Tapi u ntuk itu aku harus meyakinkannya lebih dulu bahwa aku sudah bersih-ini berarti aku harus mengelap tangan dan wajah dengan tisu Wet Ones sekitar lima puluh kali, menyikat gigi di WC hotel, mencuci mata dengan Visine, dan membersihkan sinus dengan semprotan hidung
Pun setelahnya, saat berkendara ke pusat pembuangan sampah kota, Monk duduk sejauh mungkin dariku di mobil. Kupikir, kenapa tidak sekalian saja membonceng di bagasi.
Sampah yang tak bisa didaur ulang dari seluruh penjuru kota dibawa ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Sampah Padat San Francisco, yang kalau
dibahasakan secara sopan mungkin berarti, "tong sampah yang diberi atap." Sampah dikumpulkan di sini sampai diambil oleh truk-truk besar ke Altamont Landfill di Livermore, sekitar enam puluh mil sebelah timur San Francisco.
TPS ini berupa bangunan raksasa mirip hanggar pesawat, bersebelahan dengan Taman Candlestick yang kini dikenal dengan sebutan Taman Monster, meski taman itu sama sekali tak ada dinosaurusnya. Sebutan ini bukan pula berasal dari angin maut yang pernah menyapu-San Francisco mengingatnya sebagai angin maut yang mengempaskan Stu Miller, pitcher terkenal klub Giants sampai keluar stadion saat All-Star Game 1961. Stadion ini juga tidak dinamakan demikian lantaran posisinya yang berseberangan dengan kompleks pembuangan sampah.
Sebutan tadi diambil dari nama Monster Cable- sebuah perusahaan yang membuat kabel komputer dan membayar jutaan dolar pada San Francisco demi hak memajang namanya di stadion. Kupikir, kenapa tak sekalian memajang nama di TPS ini secara gratis" Karena TPS ini cocok disebut sebagai "Monster Dump" karena baunya memang amit-amit, di samping lebih mudah diingat ketimbang "Tempat Pembuangan Sementara Sampah Padat San Francisco."
Keberadaan kami di sini benar-benar membuktikan keuletan Monk untuk menjerat Breen. Tahu sendiri kan,
bagaimana reaksinya waktu aku mengangkat tutup tong sampah" Sekarang kami malah berada di jantung kegelapan itu sendiri-pusat pembuangan sampah kota.
Monk tak mau keluar dari mobil. Ia duduk kaku menatap hanggar raksasa itu, plus berbaris-baris truk sampah yang keluar-masuk. Jadilah aku terpaksa memanggil Chad Grimsley sang mandor, dan memintanya untuk keluar menemui kami.
Sepuluh menit kemudian, Grimsley muncul mengendarai mobil golf. Orangnya kurus, kecil, berjenggot kambing. Ia juga mengenakan helm khusus berwarna kuning yang tampak lima kali lebih besar dari kepalanya.
Grimsley memarkir mobil golfnya persis di sebelah kursi penumpang mobilku. Monk menurunkan kaca jendela seperempat inci sambil menutup mulut dengan sapu tangan.
"Saya Adrian Monk dan ini asisten saya, Natalie Teeger." Monk menunjukku dari kursinya. Aku melambaikan tangan, memberi salam. "Kami bekerja dengan polisi untuk mengusut kasus pembunuhan. Saya ingin bicara dengan Anda soal pengambilan sampah di luar Hotel Excelsior."
"Asisten Anda sudah mengatakan hal itu di telepon," ujar Grimsley. "Kenapa tidak ke kantor saya saja, kita bicara di sana."
"Lebih baik tidak," jawab Monk.
"Saya berani menjamin bahwa situasinya benar-benar aman untuk keluar dari mobil," sambung Grimsley. "Anda tak akan lagi menyadari baunya setelah beberapa menit."
"Ya, radiasi juga begitu," tandas Monk keras kepala. "Tapi toh tetap membunuh kita."
Grimsley menatapku. Aku cuma bisa angkat pundak.
"Sampah di lingkungan sekitar Excelsior diambil setiap jam tujuh pagi, termasuk pagi ini," lanjut Grimsley.
"Sekarang ditaruh di mana"" tanya Monk.
Grimsley menunjuk gudang. "Di dalam sana. Baru saja ditaruh sekitar dua jam lalu."
Monk menunjukkan salah satu foto Breen saat mengenakan mantel yang kami cetak sebelum meninggalkan rumah.
"Kami mencari mantel ini. Akan sangat kami hargai jika Anda mau ambilkan, taruh di kantung plastik kedap udara, dan bawa kemari."
"Wah, tidak bisa semudah itu. Akan lebih baik kalau saya tunjukkan sendiri." Grimsley menunjuk gedung kantor. "Itu gedung kantor untuk karyawan eksekutif. Silakan parkir di pintu lobi dan masuk saja ke dalam. Hanya satu setengah meter dari parkiran mobil Anda sampai ke pintu lobi, jadi bisa menahan napas selama p
erjalanan." Monk memejamkan mata dan mengangguk padaku. Aku membawa mobil sampai sedekat mungkin dengan pintu lobi. Monk menarik napas dalam-dalam, membuka pintu, dan lari ke lobi.
Aku keluar, bertemu Grimsley di pintu, lalu masuk bersama-sama. Kami naik tangga ke kantor Grimsley di lantai lima. Salah satu dindingnya diberi jendela amat besar agar bisa mengawasi seluruh kegiatan di lokasi.
Gudang pusat transit dan transfer sampah ini benar-benar besar-berukuran beberapa kali hanggar pesawat dan didominasi oleh segunung sampah yang membuat kerdil truk-truk di sekelilingnya saat mengosongkan dan mengisi muatan. Beberapa traktor mengangkut sampah itu ke. serangkaian ban berjalan yang memilah-milah dan memasukkan sampah ke truk-truk yang lebih besar dan panjang di ujung proses.
"Dua ribu seratus ton sampah padat melewati pusat transit ini setiap hari," ujar Grimsley. "Butuh seratus sepuluh kali perjalanan bolak-balik untuk mengangkut semua ini ke Altamont Landfill."
"Begitu, ya," sahut Monk lemah, sambil bersandar tangan ke kaca untuk menahan tubuhnya yang limbung. Melihat begitu banyak sampah di depan mata membuatnya pusing. "Zona sembilan di mana"" "Zona sembilan""
"Tempat Anda menyimpan sampah khusus."
"Sampah daur ulang diproses di fasilitas terpisah, sama dengan bahan-bahan bekas konstruksi dan puing bekas bangunan."
"Bukan, maksud saya zona untuk sampah yang benar-benar bersih, seperti milik saya," kejar Monk. "Saya ingin lihat"
Grimsley menunjuk gunung sampah di luar jendela. "Hanya itu zona yang kami punya. Silakan kalau mau lihat"
Monk ternganga. Wajahnya seperti anak kecil saat mengetahui pada saat bersamaan bahwa sesungguhnya tidak ada yang namanya Sinterklas, Kelinci Paskah, dan Peri Gigi.
"Anda mencampur semua sampah begitu saja"" seru Monk tak percaya.
"Begitu datang, ya langsung ditumpuk saja di atas yang lama. Memangnya harus bagaimana lagi"" Grimsley balik bertanya.
"Ya Tuhan," lenguh Monk gemetar.
"Kalau begitu, di mana kami bisa menemukan sampah dari Excelsior""
"Di pinggir tumpukan utama, persis di depan sini," jawab Grimsley. "Hari masih pagi. Jadi kemungkinan mantel Anda hanya berada sekitar dua puluh atau tiga puluh ton di bawah tumpukan sampah padat kami saat
"Dua atau tiga puluh ton"" seru Monk lagi.
"Anda beruntung," senyum Grimsley.
Kutanya Grimsley apakah ia bisa mengalihkan rute sampah yang masuk hari ini ke tempat lain untuk sementara. Pokoknya tumpukan dua puluh atau tiga puluh ton yang ada sekarang jangan diganggu dulu sampai kami temukan mantel itu. Ia bilang bisa.
Kami tinggalkan kantor Grimsley, berjalan ke bawah dalam diam Monk masih begitu syok sampai tak meminta tisu selembar pun. Ia juga membisu selama perjalanan ke markas polisi. Baguslah. Membuatku sempat berpikir soal Joe tanpa diganggu.
Aku tak tahu apa yang paling membuat Monk syok-kenyataan bahwa sampahnya dicampur dengan milik orang lain atau karena bukti utama yang ia butuhkan terkubur entah di mana di bawah berton-ton sampah.
*** Aku coba menghubungi Kapten Stottlemeyer di markas polisi, tapi dapat kabar bahwa ia dan Disher sedang berada di TKP pembunuhan di Mount Sutro. Petugas yang menjawab telepon mengenali aku dan Monk, jadi ia bersedia memberi alamat lokasi tersebut di Jalan Lawton. Kami segera meluncur ke sana.
Banyak apartemen berbaris berdempetan sepanjang landaian Mount Sutro seperti tumpukan barang di
dermaga, lengkap dengan kabut tebal sebagai terpalnya. Memasuki Lawton, jalan menikung tajam dan aku sempat melihat fondasi raksasa Menara Sutro di atas garis atap-atap rumah, berbayang remang-remang sehingga nyaris tampak seperti fatamorgana.
Bangunan-bangunan apartemen berlantai tiga menanjaki pegunungan Mount Sutro ini dalam jajaran seperti anak tangga, membentuk koridor plester melewati pepohonan dengan hutan di satu sisi dan jurang di sisi lain. Selusin mobil polisi diparkir di depan salah satu gedung, makin mempersempit jalan yang sudah sempit. Tapi tak masalah, karena hanya kami yang ada di jalanan saat itu- kecuali kalau kau menghitung tupai yang kadang menyeberang seenaknya di depan kami.
Aku berhasil mendap at ruang parkir sekitar dua blok dari kerumunan mobil polisi, lalu berjalan kaki ke gedung apartemen tempat Stottlemeyer dan Disher tengah sibuk mengusut kasus pembunuhan.
Gedung itu jelek dan arsitekturnya tak mencerminkan fitur apa pun. Dibangun dengan konstruksi kamar-kamar sempit khas tahun tujuh puluhan untuk memenuhi kebutuhan dasar akan tempat tinggal, berpemandangan tanah datar beraspal Distrik Sunset, dan kadang kalau hari sedang cerah, pemandangan Laut Pasifik.
Aktivitas utama tampak di lantai bawah apartemen nan lengang, berpemandangan gedung-gedung seberang jalan. Aku heran, siapa yang mau tinggal di sini" Begitu
jauh dari mana-mana, yang bisa dilakukan cuma melihat keluar jendela ke gedung-gedung apartemen generik lainnya
Interior gedung sama hambarnya dengan bagian luar. Berupa kotak ukuran delapan ratus meter persegi yang dibagi-bagi menjadi kamar-kamar apartemen, tembok putih kekuningan, furnitur dapur dan lantai yang juga putih kekuningan, karpet cokelat, dan langit-langit berwarna putih popcom.
Korban adalah seorang lelaki berusia empat puluhan, kini terbaring menelungkup di lantai depan dengan sebuah lubang peluru di logo Ralph Lauren dari kemeja biru yang ia kenakan. Wajah mayat itu seperti orang kaget. Matanya masih membuka lebar dalam keterkejutan abadi.
Aku mungkin bukan detektif, tapi dari posisi tubuh ini aku bisa menyimpulkan bahwa korban ditembak oleh seseorang dari balik pintu, saat menjawab ketukan dari luar. Sebuah bantal sulaman tergeletak di sisi mayat dengan sebuah lubang persis di tengah. Isi bahan katunnya menaburi korban seperti butiran salju.
Memasuki TKP rupanya cukup ampuh menggugah Monk dari syok akibat masalah sampah. Buatku sendiri, efeknya justru terbalik. Memang tidak separah syok akut, tapi cukup membuat kikuk dan depresi. Kikuk karena aku tak merasa pantas berada di sini, tak punya kontribusi apa pun dalam tugas penyelidikan dan cenderung menghalangi.
Depresi karena ada mayat di depan mata. Taruhlah aku tak kenal si korban, tapi setiap kali melihat mayat aku selalu berpikir bahwa siapa pun orang itu dan apa yang dilakukannya semasa hidup, pasti ada yang mencintainya. Kematian selalu mengingatkanku pada Mitch dan penderitaan yang kurasakan saat kehilangannya.
Tapi kali ini ada hal lain yang kurasakan, yaitu rasa takut. Begitu samar, tapi terasa. Irasional memang. Si pembunuh toh tak ada di sini dan aku dikelilingi lusinan petugas polisi bersenjata. Namun, atmosfer ruangan kental oleh hawa kekerasan.
Mungkin ketakutanku berasal dari reaksi bawah sadar yang mendalam terhadap bau darah dan asap mesiu. Hawa pembunuhan mengambang di udara, tertangkap oleh setiap indra reseptorku, baik fisik maupun mental.
Di tengah perasaan kikuk, kesedihan, dan ketakutan ini, terselip ketidaknyamanan. Ingin rasanya kabur kembali ke mobil, mengunci semua pintu dan menyalakan radio keras-keras sampai suara musiknya menenggelamkan perasaan.
Tapi tidak kulakukan. Kuberanikan diri melangkah dengan tegar, gagah, dan tegap. Ya, itulah aku.
Petugas di depan pintu mengatakan bahwa Stottlemeyer dan Disher sedang memeriksa kamar tidur. Sambil menelusuri apartemen, Monk mempelajari korban,
memeriksa kecocokan furnitur ruang tengah dan ruang makan, memicingkan mata menatap bingkai-bingkai foto dan lukisan di tembok. Ruangan ini lebih terasa seperti kamar hotel ketimbang apartemen.
Stottlemeyer sedang berdiri di depan sebuah lemari terbuka berisi empat pasang celana pantalon yang tersetrika rapi dan empat pasang kemeja Ralph Lauren di gantungan terpisah.
Disher ada di kamar mandi, memeriksa isi lemari obat di atas wastafel berisi setumpuk sabun yang masih belum dibuka, krim cukur, kolonye, dan pisau cukur.
"Hei, Monk, sedang apa kau di sini"" seru Stottlemeyer.
"Ada perkembangan penting di kasus Breen," sahut Monk.
"Baguslah. Tapi ceritakan nanti saja," ujar Stottlemeyer. "Sekarang aku sibuk."
"Kira-kira, apa yang terjadi di sini"" aku bertanya. Kini setelah jauh dari mayat, aku merasa agak enakan. Hampir lupa bahwa ada orang terbunuh di sini. Hampir.
"Tampaknya seperti pekerjaan profesional," jawab Stottlem
eyer. "Korban bernama Arthur Lemkin, seorang pialang saham. Mungkin ia menggelapkan dana atau ada klien yang tidak suka caranya menangani investasi. Singkat cerita, pintu diketuk, Lemkin membuka pintu dan langsung ditembak. Tidak ada yang mendengar apa pun. Si
pembunuh memakai pistol kaliber kecil dan bantal untuk meredam suara tembakan. Begitu cerdik dan sederhana."
"Kami butuh bantuanmu," potong Monk.
"Monk, kau tak lihat aku sibuk menangani TKP di sini" Satu-satu, dong!"
Monk menggeleng. "Yang ini tak bisa menunggu."
"Korban yang satu ini kau pasti suka, Monk," ujar Disher dari kamar mandi, membiarkan pintu lemari obat terbuka. "Orangnya sangat apik, bersih, dan memakai kemeja yang mirip setiap hari. Sudah lihat seluruh apartemen ini" Semuanya serasi, rapi, dan simetris."
"Tidak juga Lukisan-lukisan di tembok itu ukurannya tidak persis sama." Monk kembali ke Stottlemeyer. "Kapten, tolonglah. Dengarkan aku dulu beberapa menit, lalu beberapa menit lagi untuk sekadar menelepon."
"Aku harus mengumpulkan bukti-bukti yang ada di sini selagi masih baru," tolak Stottlemeyer. "Kau kan tahu betapa pentingnya beberapa jam pertama dalam penyelidikan. Tunggu beberapa jam lagi, baru kita bisa bicara. Jangan sekarang."
"Orang ini dibunuh istrinya," ujar Monk. "Nah, bisa dengarkan aku sekarang""
Stottlemeyer langsung beku. Kami semua beku.
"Kau baru saja memecahkan pembunuhan ini," kata Stottlemeyer dengan nada yang sukses ia buat menjadi pernyataan sekaligus pertanyaan.
"Aku tahu, mestinya lima menit yang lalu sudah bisa aku pecahkan, tapi aku sedang agak syok. Pagi ini berat sekali," tutur Monk dengan sikap biasa. "Kau tahu, kan""
"Tidak, Monk. Sungguh tidak," jawab Stottlemeyer dengan nada lelah. "Kalau soal dirimu, aku berharap bisa paham, tapi sungguh tidak."
"Bagaimana Anda tahu ini perbuatan istrinya"" tanya Disher. "Lagi pula, dari mana Anda tahu kalau Lemkin memang punya istri""
"Karena dia tidak akan butuh rumah cinta ini kalau tidak beristri," jawab Monk.
"Rumah cinta"" tanya Stottlemeyer.
"Tempat yang biasanya dipakai untuk selingkuh."
"Aku tahu itu, Monk. Yang kutanya, bagaimana kau tahu ini rumah cinta."
Aku juga tidak tahu, jadi kupasang telinga baik-baik.
"Semua mebelnya sewaan-itu sebabnya begitu serasi satu sama lain. Plus, saya sempat melihat labelnya di bawah setiap barang."
"Anda melihat sampai ke bawah-bawah begitu"" tanya Disher.
"Dia selalu begitu di mana saja," ujar Stottlemeyer.
Benar sekali. Di rumahku juga begitu, aku pernah lihat sendiri. Mungkin ada sesuatu di bawah situ dan ia tak tahan untuk tidak mengintip. Sekadar lipatan kain atau
gorden yang menumpuk atau apalah, meski tak terlihat. Monk tak tahan digayuti pikiran seperti itu.
"Petunjuk paling mencolok ada pada pakaian dan perlengkapan kamar mandi," sambung Monk. "Lemkin menyimpan empat pasang celana yang sama .dan empat pasang kemeja yang juga satu warna agar selalu bisa berganti pakaian bersih yang mirip setelah berselingkuh, untuk mengelabui istrinya. Ia juga menumpuk sabun dan kolonye untuk-mengusir bau wanita lain dari tubuhnya."
Hmm... aku harus belajar meyakini insting, atau setidaknya bagaimana menginterpretasikan insting. Sejak masuk ke apartemen ini aku sudah merasa seperti masuk kamar hotel. Tapi aku tak mengindahkan apa yang membuatku mendapat kesan demikian. Lain dengan Monk. Ia sangat peka pada hal-hal yang biasanya kita anggap sambil lalu, hal-hal yang kita lihat tapi tidak kita perhatikan. Itulah bedanya Monk dan aku. Oh, satu lagi, aku tak pernah menyaring air minum umum di taman dengan desinfektan seperti Monk.
"Oke, taruhlah dia selingkuh," lanjut Stottlemeyer. "Bagaimana kau tahu istrinya yang membunuh" Bisa saja seorang suami atau pacar yang kalap, atau bahkan pembunuh bayaran "
"Kuncinya adalah memperhatikan mayat korban baik-baik," tandas Monk, lalu berjalan ke ruang tengah.
Kami mengekor. Begitu melihat mayat, rasa kikuk dan ketidaknyamanan kembali menyerbu, mengempas-
kanku seperti gelombang pasang. Dengung samar ketakutan terasa makin keras.
Monk, Stottlemeyer, dan Disher malah berjongkok berkerumun, seolah mayat itu t
ak lebih dari benda mati biasa. Apa pun yang kurasakan, mereka sudah kebal.
"Lemkin ditembak persis di jantung," tunjuk Monk. "Kenapa tidak di wajah atau kepala" Dia ditembak di situ karena telah membuat seseorang patah hati. Implikasi simbolik seperti ini mestinya tak boleh terlewat."
"Ini bukan jam pelajaran bahasa zaman SMA, Monk," protes Disher. "Masalah simbolisme ini rasanya terlalu jauh, bahkan buatmu."
"Tidak juga, kalau melihat bahwa si pembunuh juga mengambil cincin kawin Lemkin." Monk menunjuk lingkaran putih bekas cincin di kulit jari manis korban. "Fakta ini jelas mengandung nilai sentimental."
"Atau nominal-untuk dijual lagi, mungkin," bantah Disher lagi.
"Kalau begitu, kenapa si pembunuh tidak mengambil Rolex ini juga"" Monk menunjuk jam tangan emas di pergelangan tangan korban. "Ada lagi. Si pembunuh memakai pistol kaliber kecil. Ini biasanya punya perempuan. Lihat juga apa yang dipakai si pembunuh sebagai peredam suara-bantal sulam. Benda yang ia sulam sendiri selama berjam-jam ditinggal suami berselingkuh. Simbol ini praktis merupakan pengakuan."
Mendadak aku baru sadar bahwa aku ikut berjongkok. Semua perasaan yang tadi lenyap. Dalam usaha memahami penjelasan Monk, aku mulai melihat mayat Lemkin melalui kacamata yang sama-tidak sebagai manusia, tapi sebagai buku yang harus dibaca, sebagai potongan teka-teki yang harus disusun, sebagai masalah yang harus diselesaikan.
"Guru bahasaku benar, aku pantas dapat nilai C." Stottlemeyer bangkit, lalu menatap Disher. "Cari istri Lemkin, Randy. Tangkap dia dengan tuduhan pembunuhan tingkat satu."
"Baik, Pak," angguk Disher, lalu pergi.
Stottlemeyer menghadap Monk dan tersenyum. "Oke, Monk. Kau butuh apa""
Kami pindah ke luar apartemen. Monk menghabiskan sepuluh menit berikutnya untuk menjelaskan bahwa kami harus menemukan mantel Lucas Breen dan di mana benda itu sekarang.
"Kau ingin menggeledah tiga puluh ton sampah demi sebuah mantel yang mungkin dibuang ke salah satu tong sampah Hotel Excelsior"" ujar Stottlemeyer.
"Aku yakin memang dibuang ke situ," tegas Monk. "Kalau tidak ditemukan sekarang, sebelum alur penumpukan sampah dikembalikan seperti semula, benda itu akan lenyap selamanya."
"Pencarian seperti ini akan menyita tenaga dan jam kerja banyak orang. Aku tidak punya kuasa meluluskan izin. Kalau mau, aku harus menyampaikan sendiri permintaan ini ke Komisaris Polisi dan membuat laporan kasus resmi."
"Bisa kau lakukan sekarang"" desak Monk.
"Tentu bisa. Toh tak ada kesibukan lagi sekarang," senyum Stottlemeyer. "Sudah kau bereskan tadi di apartemen."
"Ah, enteng, kok."
"Yeah, buatmu. Aku tahu itu," ujar Stottlemeyer. "Kau tak tahu betapa kikuknya aku setiap kali kau membantu. Tak tahu harus berterima kasih atau menembakmu saja."
"Omong-omong, tahukah kau bahwa sebenarnya mereka tak punya zona sembilan""
Stottlemeyer cepat melirikku, kembali ke Monk dan mencoba untuk tampak terkejut. "Masa, sih" Yang benar saja."
"Aku juga kaget. Semua sampah dicampur begitu saja. Gila, kan""
"Sulit dipercaya," tukas Stottlemeyer.
"Ini pelanggaran terhadap kepercayaan publik," racau Monk bersemangat, merasa didukung. "Mestinya diusut secara resmi."
"Akan kupastikan keluhan ini sampai ke komisaris," lanjut Stottlemeyer. "Tunggu aku di markas. Aku segera menyusul setelah selesai bicara dengannya." .
16 MR. MONK BERGOYANG Kami menunggu di ruang kantor Stottlemeyer. Aku membolak-balik majalah Sports Illustrated lama edisi pakaian renang yang ada bonus kacamata 3D-nya- meski tak pasti juga apakah benar bonus dari situ atau dari majalah Guns and Ammo edisi bulan lalu. Monk asyik membaca tumpukan berkas kasus di meja sang kapten.
Kupasang kacamata 3D dan mulai menikmati lembar demi lembar. Lusinan buah dada supermodel beken nan seksi melompat dari halaman seperti peluru meriam. Mengejutkan sekali. Kucoba membayangkan seperti apa buah dadaku dari sudut pandang kacamata 3D. Pasti tak beda dengan realitas. Sama sekali tak ada unsur 3D-nya.
Disher muncul ke ruang utama sambil menuntun seorang wanita dengan tangan diborgol yang kuduga sebagai Mrs. Lemkin, walau ternyata tidak sepert
i yang kubayangkan. Sebagai seorang wanita yang diselingkuhi suami sementara ia sibuk merajut, kupikir ia bakal tampak
kesepian, berkulit pucat dengan pakaian sederhana, rambut digelung kencang ke belakang membentuk sanggul. Tapi Mrs. Lemkin tidak tampak seperti itu. Ia pasti sering keluar rumah untuk berjoging dan aerobik, dan tahu bagaimana merias wajah (keahlian yang tak pernah bisa kukuasai). Ia jelas bangga dengan tubuh langsingnya, dan ini ditunjukkan dengan memakai kaos tak berlengan plus celana jins ketat. Rambut hitam panjangnya diikat ke belakang membentuk kuncir, diselipkan di bagian belakang topi merah muda.
Mata kami,bertemu sejenak. Yang kulihat adalah pancaran harga diri dan kemarahan. Sama sekali tak ada penyesalan.
Disher menyerahkan Mrs. Lemkin ke seorang petugas untuk ditahan, lalu memberi isyarat padaku untuk bicara dengannya di luar ruangan Stottlemeyer.
"Itu Mrs. Lemkin"" tanyaku.
"Uh-huh," angguk Disher. "Kami temukan dia sedang duduk di meja makan di dapur, asyik ikut lelang di eBay dengan laptop."
"Ikut lelang apa dia""
"Boneka porselen," jawab Disher. "Belanja menjadi trik ampuh guna menghilangkan kesedihan setelah menembak suami, rupanya."
"Dia sama sekali tidak tampak menderita."
"Mungkin karena kacamata yang kau pakai," unjuk Disher ke mukaku.
Aku lupa masih mengenakan kacamata 3D. Kulepas sambil menyeringai lebar untuk menutupi rasa malu. "Aku tadi iseng membaca artikel di majalah Sports Illustrated."
"Kacamata itu membantu membuat tulisannya melompat keluar, ya""
"Dan banyak hal lain," aku mengangguk. "Kalau saja benda ini bisa dipakai untuk semua majalah, kaum pria pasti tak sungkan untuk lebih banyak membaca."
"Ya, aku juga begitu." Disher menyeringai. "Oh ya, waktu di TKP tadi aku hendak menyampaikan bahwa permintaanmu sudah kulakukan. Joe Cochran memang salah seorang petugas pemadam yang terluka tadi malam."
Aku tahu ini terdengar klise, tapi jantungku serasa mau copot. Kupikir orang sering memakai pengandaian ini karena memang hanya itu cara menggambarkan perasaan saat menerima kabar buruk. Mataku mulai basah. Disher pasti sadar akan hal ini karena ia segera menambahkan.
"Tenang, Natalie. Dia baik-baik saja," katanya, berusaha menenangkan. "Hanya luka bentur ringan dan sedikit tergores. Pagi ini sudah boleh pulang dari rumah sakit."
Aku menghela napas lega sambil menyeka air mata yang tak jadi menetes. Bagaimanapun, aku masih gemetar karena cemas. Sekarang ia mungkin beruntung, tapi lain kali bagaimana" Apa akan tetap selamat" Menjadi
petugas pemadam kebakaran adalah pekerjaannya, dan kalau kami terus berhubungan, mau tak mau aku harus membiasakan diri.
"Terima kasih," aku berkata lirih. "Bantuanmu sangat kuhargai."
"Biasa sajalah. Oh ya, omong-omong," lanjut Disher sambil berbisik menunjukkan buku sakunya, "catatannya bersih. Tak ada berkas penahanan atau pengadilan, tapi dia punya tiga tiket tilang yang belum dibayar. Belum pernah menikah-setidaknya di negeri ini, tapi sempat tinggal bersama seorang wanita tiga tahun lalu. Namanya...."
Aku segera memotong, "Kau memeriksa latar belakang Joe""
Disher mengangguk bangga "Kupikir, mumpung lagi memeriksa kondisi medisnya, kenapa tidak sekalian memeriksa yang lain juga."
"Aku tidak mau tahu."
"Tapi ini penting, kan" Agar tahu siapa dia""
"Justru karena penting mestinya dia yang cerita sendiri," aku berkeras. "Atau biar aku cari tahu sendiri."
"Risikonya besar, Natalie. Aku kenyang dikecewakan," ujar Disher. "Kau tahu, aku tak mau kencan lagi tanpa mengetahui segalanya tentang wanita yang akan kukencani."
"Itu sebabnya kau tak pernah kencan lagi," tandasku. "Setiap hubungan asmara butuh sedikit misteri. Romansa bergulir saat kita menemukan sendiri apa yang ingin kita ketahui tentang seorang kekasih."
"Ah, aku tak suka begitu," geleng Disher.
Kupaksa ia menyobek halaman berisi detail-detail masa lalu Joe dari buku sakunya, lalu kurobek lagi jadi serpihan. Disher tak suka, tapi aku tak peduli. Walau bukan aku yang mengorek, tetap saja aku merasa bersalah karena telah melanggar privasi Joe.
Disher mengalihkan pandangan ke belakangku dan untu
k pertama kalinya sadar apa yang sejak tadi dibaca Monk. Ia langsung bangkit dan menyambar berkas itu dari Monk.
"Sedang apa"" salak Disher.
"Mengisi waktu luang," jawab Monk kalem.
"Dengan membaca berkas-berkas rahasia penyelidikan kasus pembunuhan yang masih aktif""
"Kalian tidak punya edisi terakhir majalah Highlights for Children" Monk membela diri. "Aku jadi iseng. Mestinya status langganan kalian diperbarui lagi." "Kami tidak pernah langganan majalah itu," ketus Disher.
"Aku suka rubrik menemukan objek tersembunyi dalam gambar di majalah itu," lanjut Monk berlagak tuli. "Mengasah otak agar tetap tajam."
Disher mulai merapikan kembali berkas-berkas itu satu per satu di atas meja.
"Tunggu." Monk menunjuk berkas di tangan Disher. "Tukang kebun."
"Apa"" tanya Disher tak mengerti.
"Pembunuhnya si tukang kebun," ujar Monk. "Percayalah."
"Baik, kami catat," jawab Disher tak hirau, sambil meletakkan berkas itu dan mengambil yang lain.
"Ibu mertua," ujar Monk sambil menunjuk berkas di tangan Disher.
"Anda cuma baca berkasnya sekali dan langsung tahu pasti""
"Yakin seratus persen, pembunuhnya si ibu mertua," tegas Monk. "Ini kasus mudah."
Disher mengambil lagi berkas yang lain.
"Si kembar," ujar Monk.
Berkas lain. "Lelaki bersepatu mengilap."
Berkas satu lagi. "Kurir bersepeda."
Disher membanting seluruh sisa berkas sekaligus.
"Si peternak lebah, bibi yang sudah lama hilang, dan podiatris si pakar kaki," ujar Monk tak kalah cepat. "Kau menjatuhkan satu berkas."
Disher membungkuk untuk memungut berkas yang dimaksud.
"Si pelari pagi yang rabun jauh," ujar Monk. "Dia tak mungkin melihat wanita di jendela seperti pengakuannya, karena saat itu sedang tidak pakai kacamata."
"Kuharap kau catat semua itu, Randy," timpal Stottlemeyer saat memasuki ruang kantor dengan wajah kesal.
"Tidak perlu, Pak," jawab Disher. Ia mengetuk kening. "Sudah saya hafal."
"Tulis sajalah," perintah Stottlemeyer.
Disher mengangguk, mengeluarkan buku saku dan mulai menulis.
"Bagaimana hasil pembicaraan dengan komisaris"" tanya Monk.
"Buruk," sungut si kapten. "Dia tidak mengizinkanku mengotorisasi pencarian." "Kenapa"" tanya Monk.
"Karena dia pikir kita tidak punya kasus," jawab Stottlemeyer. "Malah, aku diperintahkan untuk tidak lagi mengganggu Breen-seorang anggota terhormat Dewan Komisi Kepolisian, dengan tuduhan yang menyinggung dan tak berdasar. Aku disuruh mengalihkan penyelidikan ke arah lain."
"Breen menguasai mereka," lirih Monk.
"Benar sekali," angguk Stottlemeyer, lalu menoleh ke Disher. "Randy, minta Lab Kriminal mengunjungi stasiun pemadam kebakaran untuk memeriksa peralatan pemadam. Siapa tahu mereka menemukan sidik jari Breen atau sisa DNA-nya di mantel, helm, sepatu bot, atau sarung tangan yang dipinjam Breen."


Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pak, kita bahkan tidak tahu perangkat mana yang dipakai Breen."
"Aku tahu itu," salak Stottlemeyer. "Tapi setidaknya kita bisa mengeliminasi peralatan yang dipakai petugas pemadam pada malam kebakaran."
"Tapi, Pak, sudah ada pergantian piket beberapa kali sejak malam itu. Jadi, besar kemungkinan semua peralatan sudah dipakai dan dibersihkan lebih dari sekali sejak pembunuhan."
"Aku tidak bilang ini bakal mudah. Peluangnya tipis dan menuntut kerja keras, tapi memang begitulah cara kau, aku, dan semua orang yang bukan Adrian Monk memecahkan kasus. Butuh kerja keras, perasan keringat, dan ketekunan seekor anjing."
Monk berdiri. "Lucas Breen membunuh Esther Stoval dan Sparky. Kalau kita tidak menemukan mantel itu, dia akan lolos dari tuduhan pembunuhan. Kapten, kita harus menggeledah sampah itu!"
"Tidak bisa," tegas Stottlemeyer. "Tapi kalau kau mau cari sendiri, tak ada yang melarang."
"Ada," angguk Monk. "Aku sendiri."
"Tanganku terikat, Monk. Tapi semua itu akan berubah drastis kalau kau... ehem, kebetulan menemukan mantel hangus milik Lucas Breen."
"Butuh berminggu-minggu untuk menyortir seluruh tumpukan sampah itu," aku menyela.
"Aku benar-benar ingin membantu, kau tahu itu. Tapi tidak bisa" Stottlemeyer berkata sekali lagi, "Kalian harus bertindak sendiri."
*** Sebelum meninggalkan kantor Stottlemeyer, aku memintanya untuk men
ghubungi Grimsley agar menahan tiga puluh ton tumpukan sampah yang ada sekarang selama beberapa hari, memberi kami waktu guna melakukan pencarian. Stottlemeyer menjawab diplomatis bahwa ini tidak akan bersifat permintaan resmi, tapi permohonan bantuan secara pribadi.
Grimsley mengatakan bahwa ia akan dengan senang hati membantu polisi menuntaskan penyelidikan.
Masalahnya, kami belum siap mengaduk-aduk sampah siang ini. Monk punya jadwal dengan psikiaternya, Dr. Kroger. Menghadapi prospek menggali gunungan sampah membuat Monk butuh bantuan guna menenangkan diri, jadi sesi konseling kali ini benar-benar vital.
Aku punya kegugupan sendiri. Taruhlah aku tidak sejijik Monk soal kotoran, tapi kalau bisa aku juga tak ingin menghabiskan waktu seharian berkubang di sampah orang lain. Aku menelepon Chad Grimsley dan mengonfirmasi bahwa kami akan ke tempatnya besok pagi.
Sementara Monk konseling, aku menunggu di luar gedung sambil menelepon Joe ke rumahnya. Begitu dering pertama terdengar, telepon langsung diangkat. Suara Joe terdengar riang dan penuh energi.
"Heran kau masih bisa begitu ceria setelah insiden kebakaran gudang," aku memulai.
"Ah, biasa saja. Sudah jadi risiko pekerjaan," jawab
Joe. "Ada yang bisa kubantu"" tanyaku tulus.
"Kau sedang membantu," jawab Joe lagi. "Bagaimana perkembangan penyelidikanmu""
Kuceritakan garis besarnya saja, tanpa menyinggung nama serta pekerjaan Lucas Breen. Aku tak ingin Joe bertindak bodoh, seperti menghajar Breen, misalnya.
Kesengajaanku meninggalkan detail utama cerita tak luput dari perhatian Joe. "Kau lupa menyebut nama orang yang membunuh Sparky dan pemilik mantel itu."
"Memang sengaja," tandasku.
"Kenapa" Kau tidak percaya aku""
"Terus terang, memang tidak," tegasku lagi. "Tapi dengan maksud baik."
"Bagaimana kalau kalian gagal menemukan mantel
itu"" "Yah, si pembunuh lolos dari tuduhan membunuh Sparky dan Esther Stoval."
"Kalau itu terjadi,"*bujuk Joe, "kau mau mengatakan padaku siapa dia""
"Tidak juga," jawabku.
"Pintarnya kau," puji Joe. "Cantik pula. Kencan kita besok malam masih berlaku""
"Masih, kalau kau belum berubah pikiran," aku menjawab. "Dan kalau tidak keberatan jalan-jalan bersama orang yang habis berkubang di tong sampah seharian."
"Stop," ujar Joe. "Kau malah bikin aku bergairah."
Aku tertawa. Joe juga. Sudah lama aku tak bertemu pria yang bisa diajak tertawa bersama. Namun begitu, masih tersisa kegelisahan saat terlintas bayangan dirinya menembus api.
Ah, biasa saja. Sudah jadi risiko pekerjaan. Begitu komentar Joe tadi.
Kami pun sepakat bertemu di rumahku besok malam untuk berkencan, lalu mengakhiri pembicaraan.
*** Kuparkir Jeep di halaman parkir depan rumah. Monk dan aku keluar, melihat Mrs. Throphamner di seberang pagar samping. Ia sedang berkebun di pekarangan belakang, berlutut dengan alas karet di tanah basah, sibuk mengurus kebun mawar nan indah. Semua sedang mekar dan aromanya luar biasa.
"Bunga mawarnya indah sekali," aku berkata.
"Butuh kerja keras, tapi hasilnya sepadan," jawab si nyonya. Tangannya memegang sekop kecil.
"Baunya enak." "Itu aroma Bourbons," ujar Mrs. Throphamner sambil menunjuk dengan sekop ke arah bunga ungu nan besar. "Dari varietas Madame Isaac Pereire. Mawar jenis ini memang paling harum."
Kubuka bagasi belakang mobil, mengeluarkan belanjaan yang kami beli dalam perjalanan pulang, lalu kami bawa masuk ke rumah.
"Apa bunga mawar mekar sepanjang tahun"" tanya Monk.
"Sebenarnya tidak, tapi Mrs. Throphamner mampu membuat seperti itu di kebunnya," jawabku. "Dia selalu menukar-nukar jenisnya sejak mulai berkebun beberapa bulan lalu. Sungguh menyenangkan melihat mawar bermekaran aneka warna."
Sementara aku membongkar belanjaan, Monk memasak air dan berkeras agar ia yang memasak makan
malam untuk kami bertiga. Aku tak membantah. Malah lega bisa santai. Lagi pula, aku tahu pekerjaan Monk pasti rapi, jadi aku tak harus repot beres-beres setelannya.
Saat Julie pulang sekolah, aku membantu mengerjakan PR-nya di meja dapur sementara Monk menyiapkan hidangan kebanggaannya: spaghetti plus bakso. Baru sebentar aku dan Julie melupakan buku yang kam
i tekuni, terpana melihat persiapan memasak Monk yang tidak biasa.
Untuk spaghetti, Monk memakai saus Chef Boyardee ("Buat apa bersaing dengan ahlinya"" ujar Monk), tapi bakso ia buat dengan tangan (tentu saja memakai sarung tangan karet seperti dokter bedah). Dengan hati-hati ia mengukur dan menimbang bobotnya agar benar-benar bulat bin identik.
Monk merebus mi spaghetti, menuang hasilnya ke ayakan, lalu memilih lembaran mi satu per satu, menjejerkan ke piring kami sambil memastikan bahwa panjangnya sama dan jumlahnya tepat empat puluh enam lembar setiap piring.
Saat kami duduk untuk makan malam, Monk menyajikan masing-masing spaghetti kami di tiga piring terpisah: satu untuk mi, satu untuk saus, dan satu piring lagi untuk menampung empat butir bakso. Alhasil, meja kami sesak oleh piring.
"Bukankah mi, saus, dan bakso mestinya diaduk bersama di satu piring"" tanya Julie.
Monk tertawa sambil menggeleng ke arahku. "Dasar anak-anak... ada-ada saja, ya""
Monk mengambil dan menggulung selembar mi di piringnya dengan garpu, mencocol bakso dengan garpu yang sama, lalu dicelup saus sebelum masuk ke mulut.
"Mmm...," gumam Monk dengan nikmat. "Ini baru memasak."
*** Usai makan malam, kami bersantai dengan cara masing-masing. Julie pergi ke ruang tengah untuk menonton TV. Aku duduk di meja dapur, menyesap segelas anggur sambil membaca Vanity Fair. Monk mencuci piring.
Aku suka Vanity Fair, tapi terpikir untuk berhenti langganan. Soalnya setiap kali baca, orang harus melewati lima puluh lembar halaman iklan sebelum sampai di daftar isi. Begitu banyak kartu pos berlangganan yang terselip di dalamnya, plus aroma majalah yang seperti pelacur murahan. Bukan berarti aku pernah mengendusi bau pelacur-murahan ataupun tidak, tapi kupikir mereka pasti juga sarat aroma parfum. Seperti majalah ini.
"Masih sore," ujar Monk. "Kita berpesta, yuk""
Kupingku pasti salah dengar, terbius anggur dan parfum majalah.
"Anda mau pesta""
"Panggil Mrs. Throphamner. Minta dia datang untuk mengawasi Julie." Monk menarik celemek yang dipakainya dan melemparnya dengan gaya tak peduli. "Kita clubbing malam ini."
Kuletakkan majalahku. Tak bisa kubayangkan kenapa Monk mau pergi ke tempat berisi musik berisik dan orang-orang berkeringat yang saling menempelkan tubuh satu sama lain.
"Anda ingin clubbing""
"Aku ingin ke Flaxx dan bicara dengan Lizzie Draper-wanita simpanan Breen," ujar Monk.
"Yakin hanya ingin bicara" Bukan mengintip kancingnya""
"Rasanya aku bisa meyakinkannya untuk bersikap lunak," jawab Monk kalem.
"Anda benar-benar yakin Lizzie akan membantu kita menangkap pacarnya yang superkaya itu""
"Patut dicoba, kan""
Aku tahu alasan sebenarnya dan tak segan mengatakannya langsung. "Anda nekat mencoba apa saja asal tidak harus membongkar sampah besok pagi, ya""
Monk menatapku. "Tentu saja!"
*** Interior klub Flaxx bergaya industrial chic. Tidak pakai penutup langit-langit, banyak pipa udara dan pipa air berseliweran dibungkus lembaran-lembaran aluminium halus, lempengan-lempengan metal berombak dan besi cor. Permukaan peraknya memantulkan cahaya aneka warna di langit-langit ruangan, menciptakan efek retro psychedelic.
Banyak pria-wanita usia dua puluhan mencoba tampil cuek dan tak peduli. Tenggelam di sofa-sofa empuk dan kursi berwarna terang seukuran ranjang raksasa. Kebanyakan datang langsung dari kantor, berdandan seperti orang sukses, sedikit mengendurkan pakaian memamerkan belahan tubuh, tindikan, atau tato- membuktikan sisi liar diri. Mereka kemari untuk lari dari tekanan pekerjaan ke tekanan lain dalam bentuk pesta pora dansa dan tingkah energik.
Monk mencoba mengalihkan pandangan dari mereka yang masyuk berdempet dan saling meraba. Tapi jelas susah. Mengalihkan pandangan dari lantai dansa, berarti bakal melihat sofa. Melengos dari sofa, langsung berhadapan dengan monitor-monitor layar datar di tembok yang menyajikan video musik berisi adegan seks softcore lesbian. Buatku sendiri tidak terlalu mengejutkan. Seksualitas lesbianisme telah menjadi bagian dari gaya hidup dan alat pemasaran ampuh untuk menjual macam-macam, mulai dari pakaian dalam sampa
i deodoran konvensional. Sepanjang proses itu, elemen kejut dan sisi
erotismenya perlahan menghilang. Setidaknya buatku. Yang pasti, tidak buat Monk.
Musik disetel kencang, dalam deburan perkusi yang mengguncang tubuh serta telinga. Aku suka, dan tak sadar bergerak mengikuti alunan musik. Wajah Monk meringis seperti orang dipukuli
"Ini tempat yang sangat, sangat buruk," ujar Monk.
"Biasa saja, kok," timpalku.
"Oh ya" Coba lihat itu!" Monk menunjuk sebuah mangkuk di atas salah satu meja.
"Apa"" "Kacang yang dicampur," katanya prihatin, seolah mengomentari sesuatu yang amat berbahaya. "Memangnya kenapa""
"Kacang mete, kenari, kacang tanah, almond, dicampur dalam satu mangkuk. Benar-benar kejahatan terhadap alam."
"Kita bisa menghubungi Klub Sierra saat keluar nanti."
"Dicampur begini saja sudah cukup buruk," lanjut Monk. "Ini ditaruh pula dalam satu mangkuk untuk dimakan bersama...." Monk merinding. "Bayangkan betapa banyak tangan yang masuk ke mangkuk itu. Tangan-tangan asing yang mencomot makanan setelah memegang...," tatapan Monk jatuh ke salah-satu pasangan di sofa,"... entah apa."
Monk segera mengalihkan pandangan dan kembali menatap mangkuk. Mendadak ia menjerit kecil sampai terdorong ke belakang.
"Kenapa"" tanyaku.
Ia tak mampu melihat lagi apa yang membuatnya kaget barusan. Monk menunjuk dengan kepala ke arah meja.
"Mangkuk itu," ujar Monk. Berbisik, seolah takut si meja tersinggung dan marah.
"Ya, sudah tahu. Kacang campur," kataku. "Kejahatan terhadap alam."
Monk menggeleng. "Lihat lagi. Tolong katakan bahwa di situ tidak ada biskuit dan kue kering juga." Lalu ia menambahkan dengan nada genting, "Dicampur bersama kacang campur!"
Aku melirik mangkuk itu dan langsung tahu bahwa Monk benar. Kacang dan kue kering dicampur jadi satu.
"Ah, Anda salah lihat. Cuma efek cahaya," aku berusaha menenangkan.
Monk mencoba melihat lagi, tapi segera kucegah. "Jangan menyiksa diri. Ingat tujuan kita kemari. Fokuslah."
Monk mengangguk. "Benar. Fokus. Wet Ones"
Kuberi beberapa bungkus tisu basah, lalu kami meretas jalan ke arah bar, melalui jalan berliku (karena banyak orang) sepanjang tembok ruangan. Bar ini lebih mirip jalur catwalk buat penari telanjang ketimbang
tempat bersantai mengistirahatkan siku sambil minum bir. Terlihat dari tiang-tiang mengilap di kedua ujung bar yang melengkung, lelaki-lelaki berjejalan, plus lidah-lidah terjulur menahan air liur.
Kami berhasil mendapat tempat di bar, walau berdesakan dengan orang-orang di kanan-kiri. Monk menciutkan badan dan menyilang tangan, agar tidak menyentuh apa pun atau siapa pun.
Meski tak punya fobia seperti Monk, aku memasang pose serupa. Dari cara lelaki di sebelah membenturkan tubuh ke arahku dan tangannya yang seolah tak sengaja menyentuh dadaku, aku yakin ia pasti sengaja, meski sok pura-pura. Tapi kalau sekali lagi begitu, ia bakal merasakan sikutku bersarang di ginjalnya
Bartendernya ada tiga orang. Semua wanita, berbuah dada besar, mengenakan atasan bikini dan rok pendek. Mereka menari dengan lincah sambil menyiapkan minuman. Salah satu bartender itu adalah Lizzie Draper. Setidaknya kali ini tak ada kancing yang harus dipelototi Monk. Label nama di dua bartender lain memperkenalkan mereka sebagai LaTisha dan Cindy.
Lizzie berhenti di depan kami. Tubuhnya bergoyang mengikuti irama musik. "Kau lagi," ketusnya pada Monk. "Si pria kancing."
"Saya ingin bicara perihal pembunuhan Esther Stoval," ujar Monk.
"Sudah kubilang," jawab Lizzie, "aku tak tahu apa-apa soal itu."
"Anda kenal pembunuhnya," imbuh Monk.
LaTisha membunyikan sebuah bel besar di tembok, menaikkan volume musik, lalu melompat tiba-tiba ke atas bar. Para lelaki di sekeliling kami bersorak. Semua, kecuali Monk.
"Apa dia tidak tahu betapa tak sehatnya melakukan hal ini"" seru-Monk ke telingaku. "Orang kan makan dan minum di bar ini."
"Sepertinya mereka tak peduli," kataku sambil menunjuk kumpulan pabrik hormon di sekeliling kami, yang malah masyuk melompat-lompat dan berseru.
"Ah, tahu apa mereka," bantah Monk. "Pemakan kacang campur."
Lizzie melompat ke atas bar, persis di depan kami. Lalu bersama LaTisha
ia mulai menari, menyorong-nyorongkan pinggul ke wajah Monk.
"Pembunuhnya Lucas Breen," Monk berkata ke sepatu Lizzie.
"Kau tak lihat aku sedang kerja"" ujar Lizzie.
"Saya berusaha tidak melihat," jawab Monk.
Cindy melempar botol tequila berleher panjang ke arah Lizzie, yang segera ditangkap dan diputar-putar seperti tongkat. LaTisha juga menangkap sebotol, lalu mengimbangi Lizzie, gerakan demi gerakan. Tarian ini
tampaknya sudah dilatih dan mungkin selalu diulang lusinan kali setiap malam.
"Kami tahu bahwa Anda punya hubungan gelap dengannya," lanjut Monk.
"Kalau ingin bicara, naiklah kemari," ujar Lizzie.
"Apa"" Monk mendongak.
"Kau dengar, kan"" Lizzie meliuk-liuk di depan Monk beberapa kali. Para lelaki di sekeliling kami berebut menyesakkan dolar ke pinggang roknya, mendesak kami ke bar.
"Lakukan lagi," seru seseorang. Rupanya lelaki di sebelah yang tadi menggesekkan tubuhnya ke tubuhku.
Lizzie meletakkan sebelah kakinya ke bahu lelaki itu, membungkuk mendekat dan menuang tequila ke kepalanya, Si lelaki mengangkat wajah membuka mulut, menerima curahan miras seperti anak ayam menjelang disuapi.
Menghadapi kemungkinan terciprat miras, Monk lekas memanjat bar. Ia berdiri kaku sementara Lizzie dan LaTisha meliuk-liuk di depan dan di belakangnya.
"Goyangkan tubuhmu," ujar Lizzie.
"Saya tidak bisa," jawab Monk.
"Semua orang bisa bergoyang," timpal LaTisha.
"Kalau begitu, saya yakin kemampuan itu sudah tercabut dari saya sejak lahir," jawab Monk. "Atau sejak amandel saya diambil."
Dua bartender seksi di atas bar mulai melempar botol bolak-balik melalui kedua sisi tubuh Monk yang malah berdiri kaku, memejamkan mata. Entah karena takut terkena lemparan botol atau cipratan tequila.
"Ayo goyang, atau aku tak akan bicara," ancam Lizzie sambil melempar dan menerima botol bersama LaTisha. "Kau tahu, berapa besar yang sudi mereka bayarkan untuk berada di atas sini sepertimu"" Matanya melirik rimba hormon di sekeliling bar.
"Kalau perlu malah saya yang akan membayar mereka," timpal Monk.
"Jangan banyak omong. Ayo, goyang!" desak Lizzie. Monk menghentakkan satu kaki, menjentikkan jari, dan menggoyangkan bahu.
"Seperti itu kau sebut goyang"" tanya Lizzie. "Kalau tak bisa mengikuti, ya sudah. Jangan salahkan saya," ketus Monk, lalu lanjut menginterogasi. "Kami tahu bahwa Esther Stoval memeras Lucas Breen soal hubungan kalian. Itu sebabnya dia dibunuh."
"Aku tidak kami punya hubungan." Lizzie melempar" botolnya ke arah Cindy yang berada di bawah. Wanita itu menangkap dengan ahli dan mengembalikannya ke rak.
"Anda mengenakan kemeja dengan kancing berinisial nama Breen saat kita bertemu."
"Kudapat itu dari acara amal," kilah Lizzie. "Siapa tahu aku punya kemejamu juga."
"Orang yang tega membunuh demi menutupi rahasianya pasti akan membunuh lagi," kata Monk. "Anda bisa jadi korban berikutnya."
Lizzie menyambar tiang di ujung bar dan mulai menari naik-turun sambil memunggungi Monk. Penonton bersorak dan bersiul dengan riuh. Bahkan para wanita juga ikut bersorak.
"Hei, mestinya kau selipkan uang ke rokku," seru Lizzie.
Monk merogoh kantong, mengeluarkan sebungkus Wet Ones, lalu dengan mata nyaris terpejam rapat, ia coba menyelipkannya ke pinggang rok. Tapi Lizzie terus bergerak, meliukkan tubuh menggoda penonton. Membuat Monk kesulitan.
"Apa yang kau inginkan dariku"" tanya Lizzie.
"Saya ingin Anda melakukan hal yang benar dan membantu menyeret si pembunuh ke pengadilan. Pasang penyadap di tubuh Anda," jawab Monk. Akhirnya ia berhasil menyelipkan Wet Ones ke pinggang rok dan mundur menjauh. "Jebak dia agar membuat pengakuan."
"Tidak," tegas Lizzie. "Aku tak pernah pakai penyadap."
"Uh, Anda juga nyaris tak memakai apa-apa sekarang," timpal Monk.
Lizzie berbalik dan menari di depan Monk. LaTisha menyusul di belakang Monk. Kedua wanita seksi itu
bergerak mendekat, mendesak. Mengimpit Monk di tengah seperti roti isi sambil menari.
"Kalau aku tidur dengan lelaki seperti Lucas Breen, aku tak akan mengkhianatinya," ujar Lizzie. "Justru rela mati melindungi."
"Kalau begitu, harapan Anda mungkin segera terwujud." Monk menggelepar, berusaha berge
rak menghindari kontak fisik.
"Kau tak akan bisa mengalahkan Lucas Breen," lanjut Lizzie. "Kau bukan tandingannya, pria kancing. Bukan lawan setara."
"Anda sendiri bagaimana"" tanya Monk. "Anda pikir setara dengannya" Anda cuma penari bar. Berapa lama lagi sampai dia membuang Anda seperti membuang kemeja yang Anda pakai""
Lizzie dan LaTisha berpisah, berputar dan turun dari bar lewat tiang di kedua ujung bar. Meninggalkan Monk sendirian.
Pertunjukan berakhir. Mereka kembali sibuk mengisi minuman dan menari di belakang bar. Lizzie berusaha keras untuk tidak mengacuhkan Monk. Tapi jelas sulit.
Monk celingukan mencari tempat tanpa harus menyentuh permukaan bar. Ini juga susah.
Kusikut lelaki di sebelahku. Ia mengaduh. "Hei, kenapa main sikut""
"Kau tahu kenapa," ketusku. "Minggir, brengsek. Kasih dia ruang buat lompat."
Lelaki itu dan temannya yang belepotan tequila segera menyingkir. Monk melompat dan mendarat berdebum dengan kedua kaki.
"Rasanya aku mulai bisa bergoyang," ia berkata.
"Baguslah. Tadinya saya pikir malam ini bakal sia-sia," jawabku sambil berlalu.
17 MR. MONK DAN GUNUNG SAMPAH
Keesokan paginya, Monk duduk di meja dapur sambil makan semangkuk Chex seolah itu adalah makanan terakhir menjelang hukuman mati. Dan persis itu yang kukatakan padanya.
"Setidaknya hukuman mati sungguhan berlangsung cepat," keluh Monk. "Yang ini rasanya seperti hukuman kerja paksa di selokan seumur hidup."
"Tidak akan selama itu," ujarku menenangkan.
"Ya, tapi rasanya begitu."
"Saya senang Anda menghadapi ini dengan tenang dan sikap positif," kataku. "Dr. Kroger kasih nasihat apa""
"Dia mengagumi dedikasi dan keuletanku. Katanya aku harus bisa konsentrasi mencapai tujuan, jangan terlalu menghiraukan kondisi sekitar."
"Itu nasihat bagus. Anda bilang apa""
"Bagaimana kalau tujuan yang ingin kucapai justru melarikan diri dari lingkungan""
*** Sebelum ke penampungan sampah, Monk memaksa mampir ke toko peralatan medis di O'Farrel yang menjual pakaian pelindung seperti yang dikenakan para dokter di National Institute of Health saat ditugaskan ke pedalaman Afrika untuk menangani epidemi virus Ebola.
Mereka membungkus Monk dengan helm bertudung plastik lebar di bagian wajah, plus kostum terusan warna oranye, sarung tangan, dan sepatu. Kostum khusus anti-epidemi ini juga dilengkapi alat pernapasan seperti milik pemadam kebakaran dan segala macam tetek bengek lainnya. Selesai berpakaian lengkap, Monk tampak mencolok seperti makhluk aneh, persilangan antara astronot dan penyelam laut dalam.
Aku menolak tawaran Monk untuk membelikan kostum serupa. Monk terus memaksa, tapi kubalas dengan mengatakan bahwa kalau memang mau membelikan sesuatu, lebih baik beri aku uangnya saja. Ia langsung bungkam.
Tiba di penampungan sampah, Grimsley sudah menunggu. Ia telah menyiapkan pakaian khusus, sarung tangan, sepatu bot, topi pelindung, kacamata plastik, dan penutup mulut dengan filter udara untuk kami. Mulutnya
ternganga melihat Monk keluar dari mobil dalam balutan pakaian anti-epidemi.
"Anda tak perlu seperti ini, Mr. Monk."
"Anda tidak lihat gunung sampah itu"" unjuk Monk berkeras. Suaranya keluar dari speaker di helmnya.
"Perlengkapan yang saya sediakan ini sudah lebih dari cukup, untuk melindungi Anda," ujar Grimsley. "Kami punya sistem penyaring udara canggih, dan kami mengendalikan materi partikel yang beterbangan dengan cara merendam sampah secara teratur."
"Pendek kata, kami bakal kuyup di tengah sampah," timpal Monk. "Mimpi buruk ini makin gawat saja."
Grimsley memberikan perlengkapannya padaku. Sementara aku mengenakannya, ia menyiapkan surat-surat yang harus ditandatangani. Formulir legal yang melepaskan perusahaan dari tanggung jawab terhadap luka-luka yang mungkin menimpa kami akibat kegiatan membongkar sampah.
Monk menandatangani surat-surat itu, lalu menatapku. "Berani bertaruh, kau pasti berharap sekarang sedang sakit dan tak perlu ke sini."
Sebenarnya memang iya, tapi tak bakal aku mengaku terus terang. Setelah selesai dengan surat-surat, Grimsley menunjuk ke perangkat tambahan berupa sekop, pangkur, dan penggaruk di sebuah mobil gerobak m
ini. "Silakan memakai alat apa pun yang dibutuhkan," ujar Grimsley "Selamat berburu, Miss Teeger."
Grimsley menjentikkan topinya dengan sopan seperti pria sejati. Aku hampir membalas dengan merunduk ala putri istana.
"Terima kasih, Mr. Grimsley." Aku mengambil penggaruk dari gerobak, menyerahkannya ke Monk, lalu mengambil satu lagi untuk diriku sendiri.
Aku menonton saja saat Monk ragu-ragu melangkah ke timbunan sampah. Ia menginjak selembar popok kotor dan menjerit.
Satu langkah kecil untuk seorang Monk, sebuah langkah besar buat umat manusia.
Aku menutup hidup dan mulut dengan penutup berfilter, menyesuaikan letak kacamata pelindung dan mulai bergabung.
Satu-dua jam pertama berjalan lamban. Aku berusaha keras untuk tidak memikirkan apa yang sedang kulakukan atau menyimak racauan Monk. Pekerjaan makin lancar begitu aku memutuskan untuk memandang kegiatan ini sebagai penggalian sosiologi-menganggapnya sebagai permainan.
Ketimbang fokus pada hal-hal yang menjijikkan dan berbahaya (seperti tikus mati atau bangkai binatang lain, sobekan surat, pecahan beling, makanan busuk, CD America Online, kertas lembap, pisau cukur bekas, tisu
Kleenex bernoda ingus, remukan kardus bekas susu, dll.), aku mencoba menghibur diri dengan benda-benda menarik seperti mainan rusak, video porno, rekaman vinyl, surat cinta, majalah bekas, kertas gambar, tagihan, cek batal, buku-buku yang habis dibaca, foto-foto keluarga berwarna kekuningan, kartu nama, botol-botol obat tak berlabel, pot dan vas yang sudah pecah, pakaian bayi, pajangan bola kaca yang sudah retak, file-file kantor, gorden kamar mandi... semacam itulah.
Jika menemukan sepasang sepatu yang aneh atau kemeja Hawaii norak, kucoba membayangkan pemiliknya. Kubaca beberapa lembar surat bekas, melihat-lihat foto-foto keluarga, juga kertas-kertas tagihan kartu kredit untuk melihat apa yang suka dibeli orang.
Kadang aku melirik Monk. Ia membongkar sampah sambil tak henti melenguh seperti Darth Vader kala depresi. Suatu ketika, aku melihat Monk berusaha meraih sebuah kantong sampah besar warna biru di tumpukan atas. Ia menyentak menarik-narik, mencoba melepas kantong itu dari tumpukan. Aku langsung sadar apa yang bakal terjadi kalau ia berhasil.
Aku berseru menyuruhnya berhenti, tapi tak terdengar lantaran kupingnya tersumbat helm konyol itu. Aku mulai menyusul ke arahnya, tapi terlambat. Monk sukses menarik kantong itu, jatuh terjengkang dengan pantat lebih dulu, disusul longsoran segunung sampah yang menimpa dan menguburnya dalam sekejap.
Aku bergegas menyusul dan menggali secepat mungkin. Bukan lantaran takut Monk tercekik. Aku tahu ada tabung udara di kostumnya. Aku lebih mencemaskan kewarasannya.
Aku sedang menggali dengan panik ketika selusin petugas pemadam kebakaran datang dalam pakaian lengkap dan ikut menggali. Kutengok petugas terdekat dan mendapati senyum Joe Cochran. Kepalanya masih dibungkus perban di bawah helm yang dikenakan.
"Sedang apa kau di sini"" aku berseru. Kaget, tapi juga senang. Belum pernah aku begitu senang bertemu seseorang.
"Mau memastikan bahwa pembunuh Sparky tidak lolos dari jeratan hukum," jawab Joe. "Mereka ini adalah para petugas yang sedang bebas tugas dan ingin membantu secara sukarela. Kami datang persis saat Mr. Monk tertimpa gunungan sampah."
"Kau kan mestinya istirahat. Memulihkan diri," kataku.
"Ini caraku memulihkan diri," jawab Joe.
"Dengan mengorek-ngorek sampah begini""
"Hei, kalau tidak begini, aku menyelamatkan kucing dari pohon, mengejar pencopet, atau membuat negara aman buat demokrasi."
"Kau baik sekali," ujarku. Mau rasanya menciumnya sekarang juga kalau mulutku tidak tersumbat penutup mulut dan tangan tidak belepotan makanan busuk.
"Terbalik, Natalie," ujar Joe. "Kau sendiri rela jungkir balik sedemikian rupa guna mendapatkan keadilan bagi seekor anjing yang tidak kau kenal. Kaulah yang baik."
"Tolong! Tolong!" seruan tertahan Monk datang dari balik tumpukan sampah sedalam beberapa kaki. Bersama para petugas pemadam, aku segera memfokuskan penggalian. Beberapa saat kemudian kami berhasil menemukan Monk sedang memeluk kantong sampah biru
yang tadi ia tarik, seperti memeluk nyawa saja.
Joe dan kawan-kawan berusaha menarik Monk keluar, tapi ia menolak melepaskan kantong biru itu.
"Anda tidak apa-apa"" aku bertanya, sambil menyingkirkan telur, potongan daging, dan saus daging panggang dari helm agar wajahnya kelihatan.
"Aku menderita sejak tiba di sini," ujar Monk.
"Apa mantelnya ada di dalam kantong biru itu"" tanya Joe sambil menunjuk.
"Tidak." Monk menggeleng.
"Lalu, apa pentingnya kantong itu""
"Ini sampah saya," jawab Monk.
Joe menatapku. Aku menggeleng, menjawab tanpa suara: Jangan tanya.
Joe tidak bertanya. Kami pun kembali bekerja
*** Monk menaruh kantong sampahnya di belakang sebuah mobil gerobak, istirahat sebentar beberapa menit, lalu kembali bergabung bersama kami. Ini membuatku kaget, karena kupikir ia tak akan balik lagi.
Beberapa jam kemudian, Joe dan kawan-kawan menemukan lagi beberapa kantong sampah biru milik Monk dan dengan baik hati menempatkannya di gerobak bersama kantong biru yang tadi.
Aku juga tak berhenti mencari, kecuali saat jeda pipis. Selera makan siang sudah lama lenyap. Monk juga begitu.
Para petugas pemadam pasti sudah sedemikian terbiasa dengan pekerjaan menjijikkan macam ini, karena mereka bisa dengan enteng istirahat makan siang. Masih bisa menikmati hidangan cepat saji tanpa terganggu aroma sampah di sekeliling mereka dan langsung kembali bekerja tanpa kesulitan mengunyah makanan.
Joe bekerja paling keras. Ia lakukan demi aku, demi Monk, dan terutama sekali demi Sparky.
Aku senang ia ada di sini. Kebahagiaan yang sekaligus membawa kegelisahan di relung batin. Kucoba menepis perasaan ini dan menganggapnya sebagai kewajaran rasa " takut memulai hubungan baru, tapi aku tahu ini lebih dari itu. Kucoba untuk tidak mengindahkan kegelisahan sebagaimana pendekatanku terhadap kegiatan yang sedang kulakukan.
Tapi tidak berhasil. Jadi terpikir, apakah begini juga perasaan Monk saat berusaha tidak menghiraukan segala hal dalam sebuah kasus-atau dalam kehidupannya sendiri, yang tidak cocok atau tidak pada tempatnya.
Menjelang sore, terdengar Monk berseru, "Di sini! Di sini!"
Kami pontang-panting bergegas untuk melihat apa yang ia temukan.
Monk mengangkat sehelai serbet berlogo Excelsior, dijepitnya dengan dua jari dan dijauhkan serentangan lengan dari tubuh.
Ini berarti akhirnya kami berhasil mencapai tumpukan sampah yang berasal dari tong sampah di luar hotel. Kami mulai menggali lagi dengan semangat dan energi baru.
Kami menemukan banyak barang yang jelas berasal dari Excelsior-kertas-kertas tagihan, piring pecah, menu jamuan makan, sisa-sisa makanan, kain linen rusak, botol miras, bahkan pakaian, tapi ketika waktu menunjukkan jam lima sore, mantel itu belum ketemu juga.
Monk memutuskan untuk berhenti dulu hari ini. Aku bersyukur. Badan rasanya remuk dan aku ingin segera mandi sebelum kencan dengan Joe. Semangat kami juga sudah luntur.
Sekali lagi kami berterima kasih kepada para petugas pemadam kebakaran atas bantuan mereka. Pada Joe kukatakan bahwa aku menunggunya di rumah beberapa jam lagi.
Saat aku dan Monk berjalan keluar, Chad Grimsley turun dari kantornya dan minta izin bicara sebentar.
Kami masuk ke mobil gerobak yang ada sampah Monk-nya di pojok belakang, lalu Grimsley membawa kami ke ujung lain hanggar tempat pembuangan sampah itu. Ia berhenti di sebuah sudut yang diberi pembatas tali, dengan plang bertanda tulisan: ZONA SEMBILAN. KHUSUS UNTUK SAMPAH PALING BERSIH.
Grimsley menoleh ke arah Monk. "Saya yakin sampah Anda patut ditaruh di sini."
Monk menatap sekeliling area itu cukup lama, lalu melakukan sesuatu yang tak mungkin kupercaya kalau tidak melihat sendiri. Monk melepas sarung tangan dan menyorongkan jabat tangan ke arah Grimsley.
"Terima kasih," ujar Monk.
"Silakan datang memeriksa kemari kapan saja Anda suka." Grimsley membalas uluran tangan Monk. Menjabat dengan erat.
Anak Rajawali 3 Wisma Pedang Seri 4 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pendekar Pemanah Rajawali 2
^