Pencarian

Frostbite 5

Frostbite Vampire Academy 2 Karya Richelle Mead Bagian 5


Ozera, Christian berkata, berusaha keras tidak terdengar takut.
Isaiah memiringkan kepala. Benarkah" Tentunya kau bukan & Isaiah membungkuk lebih dekat pada Christian. Tapi usianya memang cocok & dan rambut itu & Pria itu tersenyum. Putra Lucas dan Moira"
Christian tidak mengatakan apa-apa, tetapi konfirmasi yang tergambar di wajahnya terlihat jelas.
Aku kenal orangtuamu. Orang-orang hebat. Tak ada yang bisa menandingi. Kematian mereka sangat disayangkan & tapi, yah & terpaksa kubilang itu memang kesalahan mereka. Aku sudah menyuruh mereka agar tidak kembali untuk menjemputmu. Karena akan sia-sia saja membangkitkanmu dalam usia semuda itu. Mereka bilang hanya akan menjagamu dan membangkitkanmu kalau sudah lebih besar. Aku sudah memperingatkan mereka bahwa itu hanya akan membawa bencana, tapi & Isaiah mengangkat bahu pelan. Membangkitkan adalah istilah yang mereka gunakan saat berubah menjadi Strigoi. Kedengarannya seperti pengalaman religius. Mereka tak mau dengar, dan bencana pun menghampiri mereka.
Kebencian yang dalam dan gelap membara di mata Christian. Isaiah tersenyum lagi.
Sebenarnya cukup mengharukan, karena setelah sekian lama, akhirnya kau berhasil menemuiku. Mungkin aku memang bisa mewujudkan impian orangtuamu.
Isaiah, si wanita Elena berkata lagi. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar seperti rengekan. Panggil yang lain
Berhenti memerintahku! Isaiah merenggut bahu Elena lalu mendorongnya hanya saja, dorongannya itu sanggup melemparkan tubuh Elena ke seberang ruangan dan hampir menembus dinding. Elena nyaris tidak sempat mengulurkan tangan untuk mencegah tubuhnya menabrak dinding. Strigoi memiliki refleks yang lebih baik daripada dhampir atau bahkan Moroi. Gerakan Elena yang kurang anggun menunjukkan bahwa dia benar-benar sedang lengah. Dan sesungguhnya, tangan Isaiah hampir tidak menyentuh tubuh Elena. Dorongannya pelan tetapi kekuatannya setara dengan tenaga mobil kecil.
Kejadian itu membuatku semakin yakin bahwa Isaiah berada di kelas yang berbeda dari Elena. Kekuatannya jauh melampaui kekuatan Elena. Elena terlihat bagaikan seekor lalat yang bisa disingkirkannya kapan saja. Kekuatan Strigoi bertambah seiring pertambahan usia juga dengan meminum darah Moroi, dan dengan efek
yang lebih rendah, darah dhampir. Kemudian aku baru sadar, pria ini tidak hanya tua. Dia sangat tua. Dan dia sudah meminum banyak darah selama bertahun-tahun. Wajah Elena terlihat ngeri, dan aku bisa memahami ketakutannya. Strigoi sering kali berbalik melawan satu sama lain. Isaiah bisa saja merenggut kepalanya hingga putus kalau mau.
Elena menunduk, menghindari tatapan Isaiah. Aku & maafkan aku, Isaiah.
Isaiah merapikan kemejanya meski kemeja itu sama sekali tidak kusut. Suaranya terdengar ramah namun dingin seperti semula. Kau memang punya hak untuk bersuara, Elena, dan kuharap kau bisa menyampaikannya dengan sopan. Menurutmu, apa yang harus kita lakukan dengan bayi-bayi ini"
Kau harus maksudku, kurasa sebaiknya kita membawa mereka sekarang. Terutama para Moroi. Elena berusaha keras tidak merengek dan membuat Isaiah kesal lagi. Kecuali & kau tidak berniat mengadakan pesta makan malam lagi, kan" Itu sungguh sia-sia. Kita terpaksa berbagi dan kau tahu kan yang lain tidak akan berterima kasih. Mereka tidak pernah melakukannya.
Aku tidak akan menjadikan mereka pesta makan malam, kata Isaiah dengan angkuh. Pesta makan malam" Tapi aku juga tidak akan membunuh mereka sekarang. Kau masih muda, Elena. Kau hanya berpikir mengenai kesenangan sesaat. Kalau sudah setua aku, kau takkan bersikap & seceroboh ini.
Elena memutar bola mata ketika Isaiah sedang tidak melihatnya.
Isaiah berbalik lalu memandangku, Mason, dan Eddie. Sayangnya, kalian bertiga akan mati. Tidak ada cara menghindarinya. Aku ingin bilang aku menyesal, tapi, hmm, aku sama sekali tidak menyesal. Begitulah hidup ini berjalan. Namun, kalian memang bisa memilih cara bagaimana akan mati, dan hal itu ditentukan oleh perilaku kalian. Isaiah menatapku. Aku sungguh-sungguh tidak mengerti mengapa semua orang sepertinya memilihku sebagai si pembuat onar. Yah, mungkin itu benar. Beberapa di antara kalian akan mati dengan cara yang lebih menyakitkan daripada yang lain.
Aku tidak perlu menatap Mason dan Eddie untuk mengetahui bahwa mereka juga sama takutnya denganku. Aku bahkan cukup yakin mendengar Eddie merintih pelan.
Isaiah mendadak membalikkan tubuh dengan gaya militer, lalu menatap Mia dan Christian. Untungnya, kalian berdua punya pilihan. Hanya satu dari kalian yang akan mati. Yang lainnya akan tetap hidup dalam keabadian yang menakjubkan. Aku bahkan akan bermurah hati dan mendidikmu sampai sedikit lebih dewasa. Anggaplah aku beramal.
Aku tak bisa menahannya. Aku mendengus tertawa.
Isaiah berbalik lagi lalu menatapku. Aku terdiam dan menunggunya melemparku ke seberang ruangan seperti yang dilakukannya pada Elena, tetapi dia tidak melakukan apa-apa selain menatapku. Tatapannya saja sudah cukup. Jantungku berdebar kencang, dan aku merasa air mataku menggenang. Ketakutan yang kurasakan membuatku malu. Aku ingin seperti Dimitri. Bahkan mungkin seperti ibuku. Setelah beberapa saat yang terasa lama dan menyiksa, Isaiah kembali menoleh pada para Moroi.
Nah. Seperti yang tadi kubilang, salah satu dari kalian akan dibangkitkan dan hidup untuk selamanya. Tapi bukan aku yang akan membangkitkan kalian. Kalian boleh memilih sesuai kehendak kalian.
Tidak akan, kata Christian. Dia berhasil mengatakan dua kata itu dengan nada sesinis mungkin, tetapi semua orang di dalam ruangan masih bisa melihat betapa takutnya dia.
Ah, betapa aku menyukai semangat keluarga Ozera, kata Isaiah dengan geli. Dia melirik Mia, dan mata merahnya berbinar. Mia mengerut ketakutan. Tapi jangan biarkan dia mengalahkanmu, Sayang. Darah orang biasa juga mengandung kekuatan. Dan inilah cara yang akan digunakan untuk memutuskan hal itu. Isaiah menuding kami para dhampir. Tatapannya membuat seluruh tubuhku merinding, dan aku merasa seperti bisa mencium bau busuk. Kalau kau mau hidup, yang harus kaulakukan hanyalah membunuh salah satu dari mereka. Isaiah berbalik lagi ke arah para Moroi. Hanya itu. Sama sekali tidak sulit. Bilang saja pada pria-pria ini bahwa kau ingin melakukannya. Mereka akan melepas ikatanmu. Lalu, kau minum darah mereka dan terbangkitkan sebagai salah satu dari kami. Sia
pa pun yang pertama melakukannya akan keluar dari sini sebagai orang bebas. Yang lainnya akan menjadi makan malam untukku dan Elena.
Ruangan menjadi sunyi. Tidak, kata Christian. Aku tidak mungkin membunuh salah satu temanku. Aku tak peduli apa pun yang akan kaulakukan. Aku lebih baik mati.
Isaiah melambaikan tangan tanda tak peduli. Sangat mudah bersikap berani saat kau tidak merasa lapar. Cobalah hidup beberapa hari tanpa sokongan lain & dan benar, ketiga orang ini akan mulai terlihat sangat menggiurkan. Dan mereka memang sangat menggiurkan. Para dhampir memang lezat. Beberapa orang bahkan lebih menyukai mereka daripada Moroi, dan meski tidak sependapat, aku jelas tidak keberatan menikmati mereka.
Christian mendengus. Kau tak percaya" tanya Isaiah. Kalau begitu, izinkan aku membuktikannya. Isaiah berjalan kembali ke arahku. Aku menyadari apa yang akan dilakukannya, dan bicara tanpa memikirkannya terlebih dulu.
Aku saja, cetusku. Minumlah darahku.
Wajah angkuh Isaiah sejenak terlihat kaget, dan alisnya terangkat. Kau menawarkan diri"
Aku pernah melakukannya. Maksudku membiarkan Moroi meminum darahku. Aku tak keberatan. Jangan ganggu yang lain.
Rose! Mason berseru. Aku mengabaikan Mason dan menatap Isaiah dengan pandangan memohon. Aku tidak mau dia meminum darahku. Memikirkannya saja sudah membuatku mual. Tetapi aku pernah memberikan darahku, dan aku merasa sebaiknya dia mengambil berliter-liter darahku daripada menyentuh Eddie atau Mason.
Aku tak bisa membaca ekspresi wajah Isaiah saat dia mengamatiku. Sejenak kukira dia akan langsung melakukannya, tetapi dia malah menggelengkan kepala.
Tidak. Bukan kau. Tidak sekarang.
Isaiah berjalan lagi lalu berdiri di hadapan Eddie. Aku menarik tanganku yang terikat dengan begitu kuat sehingga borgol plastiknya mengiris kulitku. Borgol itu bergeming. Tidak! Jangan ganggu dia!
Diam, Isaiah membentak tanpa menatapku. Dia meletakkan satu tangan ke wajah Eddie. Tubuh Eddie gemetar dan terlihat begitu pucat sehingga kusangka dia akan pingsan. Aku bisa membuat semua ini terasa mudah, atau aku bisa membuatnya terasa sakit. Sikap diammu membuatku memilih yang pertama.
Aku ingin berteriak, ingin memaki Isaiah dengan berbagai umpatan dan ancaman. Tetapi aku tak bisa melakukannya. Mataku menyapu sekeliling ruangan, mencari jalan keluar, sama seperti yang kulakukan berkali-kali sebelumnya. Tetapi kali ini sama sekali tidak ada jalan keluar. Hanya dinding-dinding putih polos. Tak ada jendela. Satu-satunya pintu yang sangat berharga selalu dijaga. Aku benar-benar tak berdaya, kami sudah tak berdaya sejak mereka menarik kami masuk ke dalam mobil van. Aku merasa ingin menangis, tangis yang lebih disebabkan oleh frustrasi ketimbang rasa takut. Aku akan menjadi pengawal macam apa jika tak sanggup melindungi teman-temanku sendiri"
Tetapi aku tetap diam, dan wajah Isaiah pun terlihat puas. Cahaya lampu neon menyebabkan kulit Isaiah terlihat kelabu mengerikan, membuat lingkaran gelap di bawah matanya terlihat semakin jelas. Aku ingin menonjok wajahnya.
Bagus. Isaiah tersenyum pada Eddie dan memegangi wajahnya sehingga keduanya saling menatap. Nah, kau takkan melawanku, kan"
Seperti yang sudah kubilang, Lissa memang hebat dalam kompulsi. Tapi dia tidak akan bisa melakukan apa yang dilakukan Isaiah sekarang. Dalam hitungan detik, Eddie sudah tersenyum.
Tidak. Aku takkan melawanmu.
Bagus, ulang Isaiah. Dan kau akan menyerahkan lehermu secara sukarela, bukan"
Tentu saja, jawab Eddie sambil memiringkan kepala.
Isaiah menurunkan mulutnya, dan aku membuang muka, berusaha memusatkan pandangan pada karpet yang sudah usang. Aku tidak mau melihat semua itu. Aku mendengar Eddie mengeluarkan erangan lembut dan bahagia. Prosesnya bisa dibilang cukup sunyi tidak terdengar suara menyeruput atau semacamnya.
Nah. Aku mendongak saat mendengar Isaiah bicara lagi. Darah menetes-netes dari bibirnya, dan dia menjilatinya. Aku tidak bisa melihat luka di leher Eddie, tetapi kuduga juga berdarah dan mengerikan. Mia dan Christian membelalakkan mata karena takut sekaligus takjub. Tatapan
Eddie terlihat menerawang dalam kabut memabukkan dan menyenangkan, teler karena hormon endorfin sekaligus pengaruh kompulsi.
Isaiah berdiri tegak lalu tersenyum pada kedua Moroi, menjilat tetes terakhir darah yang ada di bibirnya. Kalian mengerti" kata Isaiah kepada mereka sambil menghampiri pintu. Semudah itu.
BAB DUA PULUH KAMI PERLU RENCANA untuk kabur, dan kami memerlukannya saat ini juga. Sayangnya, ide-ide yang kumiliki membutuhkan banyak hal yang berada di luar kendaliku. Contohnya, kami ditinggalkan sendirian sehingga bisa menyelinap pergi. Atau, mendapatkan penjaga yang bodoh sehingga kami bisa kabur. Atau setidaknya, tangan kami diikat dengan ceroboh sehingga kami bisa melepaskan diri.
Namun, tak satu pun yang terjadi. Setelah hampir dua puluh empat jam, situasi kami belum berubah. Kami masih menjadi tawanan dengan tangan terikat kencang. Para penculik kami masih waspada, hampir sama efisiennya dengan sekelompok pengawal. Hampir.
Satu-satunya kesempatan untuk melarikan diri yang dijaga dengan ketat dan sangat memalukan adalah saat rehat ke kamar mandi. Mereka sama sekali tidak memberi kami makanan atau air minum. Bagiku ini sangat berat, tetapi campuran manusia dan vampir membuat dhampir lebih tangguh. Aku sanggup menahan ketidaknyamanan ini, meski aku akan segera mencapai titik ketika aku rela mati agar bisa mendapatkan sepotong burger keju dan kentang goreng yang amat berminyak.
Sedangkan Mia dan Christian & yah, keadaannya agak lebih sulit untuk mereka. Moroi tahan berminggu-minggu tanpa makan dan minum selama terus mendapat asupan darah. Tanpa darah, mereka hanya sanggup bertahan beberapa hari sebelum berubah jadi lemah dan sakit, selama mereka masih mendapat makanan lain. Begitulah yang kulakukan bersama Lissa saat melarikan diri dari Akademi, karena aku tak sanggup memberikan darahku pada Lissa setiap hari.
Jika tidak mendapatkan makanan, darah, dan air, ketahanan tubuh Moroi akan merosot tajam. Aku memang lapar, tetapi Mia dan Christian bisa dibilang kelaparan. Wajah mereka langsung terlihat lebih cekung, dan mata mereka nyaris tampak seperti sedang demam. Isaiah memperburuk keadaan dengan berkunjung setiap beberapa saat. Pada setiap kunjungannya, Isaiah akan mencerocos dengan gayanya yang menyebalkan. Kemudian sebelum pergi, dia meminum darah Eddie lagi. Pada kunjungannya yang ketiga, bisa dibilang aku melihat Mia dan Christian meneteskan air liur. Karena pengaruh hormon endorfin dan kurangnya asupan makanan, aku cukup yakin Eddie tidak tahu di mana dirinya sekarang berada.
Dengan kondisi seperti ini, sebenarnya aku tidak bisa tidur, tetapi pada hari kedua aku mulai terkantuk-kantuk. Kelaparan dan kelelahan bisa membuatmu seperti itu. Suatu kali aku bahkan bermimpi, sangat mengejutkan karena aku sama sekali tak menduga bisa tidur lelap dalam kondisi sesinting ini.
Dalam mimpiku dan aku tahu pasti ini hanya mimpi aku berdiri di tepi pantai. Butuh beberapa saat sebelum akhirnya aku mengenali pantainya. Aku sedang berada di pesisir Oregon pantainya berpasir dan hangat, dengan Samudra Pasifik yang bergulung di kejauhan. Aku dan Lissa pernah berkunjung ke tempat ini saat kami tinggal di Portland. Saat itu cuacanya sangat cerah, tetapi Lissa tidak sanggup menahan cahaya matahari seterik itu. Karena itu kami mempersingkat kunjungan, tetapi aku selalu berharap bisa tinggal lebih lama dan menikmati sinar matahari. Sekarang aku bisa mendapatkan cahaya matahari yang hangat itu sebanyak yang kuinginkan.
Dhampir Kecil, sebuah suara di belakangku berkata. Akhirnya kau muncul juga.
Aku berbalik dengan kaget dan mendapati Adrian Ivashkov sedang menatapku. Dia mengenakan celana khaki dan kaus longgar, dan dengan gaya kasual yang tidak biasa baginya tanpa memakai sepatu. Angin mengacak-acak rambut cokelatnya, dan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku, Adrian menatapku dengan cengirannya yang khas.
Kau masih memakai jimat pelindung, tambahnya.
Aku mengernyit, sesaat kupikir dia sedang memandangi dadaku. Kemudian aku sadar dia sedang menatap perutku. Aku memakai celana jins dan atasan bikini, dan lagi-lag
i, liontin mata biru pemberian ibuku bergantung-gantung dari pusarku. Chotki pemberian Lissa melingkari pergelangan tanganku.
Dan kau berada di bawah cahaya matahari lagi, ucapku. Jadi kurasa ini memang mimpimu.
Ini mimpi kita. Aku menyurukkan jari kaki ke dalam pasir. Bagaimana mungkin dua orang yang berbeda bisa berbagi mimpi yang sama"
Semua orang berbagi mimpi setiap saat, Rose.
Aku mendongak menatap Adrian dengan kening berkerut. Aku ingin tahu apa maksudmu. Soal kegelapan yang kaubilang berada di sekelilingku. Apa maksudnya"
Sejujurnya, aku tak tahu. Semua orang memiliki cahaya di sekeliling tubuh mereka, kecuali kau. Kau memiliki bayangan. Kau mendapatkannya dari Lissa.
Aku semakin bingung. Aku tak mengerti.
Aku tak bisa menjelaskannya sekarang, kata Adrian. Bukan itu alasanku datang ke sini.
Kau ke sini karena alasan tertentu" aku bertanya, mataku menerawang ke arah air yang biru kelabu. Aku seperti terhipnotis. Kau tidak hanya & datang untuk berada di sini"
Adrian maju lalu meraih tanganku, memaksaku untuk mendongak menatapnya. Semua ekspresi canda pada dirinya lenyap. Adrian benar-benar serius. Kau ada di mana"
Di sini, aku berkata dengan bingung. Sama sepertimu.
Adrian menggeleng. Tidak, bukan itu yang kumaksud. Di dunia nyata. Kau ada di mana"
Dunia nyata" Pantai yang berada di sekeliling kami tiba-tiba terlihat buram, bagaikan sebuah film yang kehilangan fokus. Beberapa saat kemudian, keadaannya kembali tenang. Aku memeras otak. Dunia nyata. Gambar-gambar berkelebat di dalam otakku. Kursi. Penjaga. Borgol plastik.
Di ruang bawah tanah & kataku perlahan. Rasa cemas mendadak menghancurkan keindahan momen tersebut saat aku mulai bisa mengingat semuanya lagi. Ya Tuhan, Adrian. Kau harus menolong Mia dan Christian. Aku tak bisa
Genggaman Adrian pada tanganku mengencang. Di mana" Dunia seakan berbayang lagi, tetapi kali ini tidak kembali fokus. Adrian mengumpat. Kau ada di mana, Rose"
Dunia mulai terurai. Adrian mulai terurai.
Di ruang bawah tanah. Di sebuah rumah. Di
Adrian menghilang. Aku terbangun. Bunyi pintu yang terbuka menyentakku kembali ke dunia nyata.
Isaiah masuk bersama Elena. Aku berusaha keras menahan cibiran saat melihat wanita itu. Isaiah angkuh, kejam, dan benar-benar jahat. Tetapi Isaiah bersikap seperti itu karena dialah sang pemimpin. Isaiah memiliki kekuatan dan kekuasaan yang mendukung kekejamannya meski aku tidak menyukainya. Tetapi Elena" Dia seorang pesuruh. Elena mengancam kami dan mencetuskan komentar-komentar sinis, tetapi dia bisa melakukannya hanya karena menjadi pendamping Isaiah. Dia benar-benar penjilat.
Halo, Anak-Anak, kata Isaiah. Bagaimana keadaan kalian hari ini"
Tatapan marah menjawab pertanyaannya.
Isaiah mendekati Mia dan Christian, kedua tangannya dilipat di balik punggung. Ada yang berubah pikiran sejak kunjungan terakhirku" Kalian sangat lama memutuskannya, dan itu membuat Elena kesal. Kalian tahu, dia kelaparan, tapi kurasa tidak selapar kalian berdua.
Christian menyipitkan mata. Pergi kau, katanya dengan gigi terkatup.
Elena menggeram dan melompat maju. Berani-beraninya kau
Isaiah mengayunkan tangan pada Elena. Biarkan saja. Ini artinya kita harus menunggu sedikit lebih lama, dan sungguh, penantian ini sangat menghibur.
Elena menatap Christian dengan marah.
Sejujurnya, lanjut Isaiah sambil mengamati Christian, aku tak bisa memutuskan mana yang lebih kuinginkan: membunuhmu atau menyuruhmu bergabung dengan kami. Masing-masing memiliki hiburan tersendiri.
Apa kau tidak bosan mendengar ocehanmu sendiri" tanya Christian.
Isaiah mempertimbangkannya. Tidak. Tidak juga. Dan aku juga tidak bosan melakukan ini.
Isaiah berbalik lalu menghampiri Eddie. Eddie nyaris tidak bisa lagi duduk tegak di kursinya setelah darahnya diminum sesering itu. Parahnya, Isaiah bahkan tidak perlu menggunakan kompulsi. Wajah Eddie langsung terlihat berbinar dan nyengir bodoh, tidak sabar untuk gigitan selanjutnya. Eddie sudah kecanduan menjadi donor.
Amarah dan rasa jijik membanjiri diriku.
Brengsek! teriakku. Jangan ganggu dia!
Isaia h melirikku. Diam, Non. Aku tidak terlalu menyukaimu seperti aku menyukai Mr. Ozera.
Oh ya" semburku. Kalau aku membuatmu kesal, gunakan aku untuk membuktikan ucapan bodohmu itu. Gigit saja aku. Tunjukkan betapa hebatnya dirimu.
Tidak! seru Mason. Gunakan aku saja.
Isaiah memutar bola mata. Ya ampun. Benar-benar sekelompok orang suci. Kalian semua Spartacus, ya"
Isaiah menjauh dari Eddie lalu meletakkan jari di dagu Mason, mendongakkan kepalanya. Tapi kau, katanya, tidak bersungguh-sungguh dengan ucapanmu. Kau hanya menawarkan diri karena dia. Isaiah melepaskan Mason lalu berjalan ke hadapanku, menunduk menatapku dengan matanya yang sangat hitam. Dan kau & awalnya aku juga tidak terlalu memercayaimu. Tapi sekarang" Isaiah berlutut hingga sejajar denganku. Aku tidak mau memalingkan wajah, meski tahu aku bisa terkena kompulsi karenanya. Kurasa kau sungguh-sungguh. Tapi itu bukan karena sikap mulia juga. Kau memang menginginkannya. Kau pernah digigit sebelumnya. Suara Isaiah terdengar magis. Menghipnotis. Sebenarnya dia tidak menggunakan kompulsi, tetapi ada suatu karisma tidak wajar yang mengelilinginya. Seperti Lissa dan Adrian. Aku terpana pada setiap kata yang diucapkannya. Dan kurasa sering, tambahnya.
Isaiah membungkuk ke arahku, napasnya terasa panas di leherku. Di belakangnya, aku bisa mendengar Mason meneriakkan sesuatu, tetapi perhatianku hanya terpusat pada betapa dekatnya gigi Isaiah dengan kulitku. Dalam beberapa bulan terakhir, aku hanya digigit satu kali itu pun saat Lissa sedang benar-benar genting. Sebelum itu, Lissa setidaknya menggigitku dua kali seminggu selama dua tahun, dan baru-baru ini saja aku sadar betapa dulu aku kecanduan gigitan itu. Tidak ada apa pun apa pun di dunia ini yang bisa menyamai gigitan Moroi, rasanya seperti banjir kebahagiaan yang dikirim ke dalam tubuhmu. Tentu saja, menurut orang-orang, gigitan Strigoi jauh lebih kuat &.
Aku menelan ludah, tiba-tiba menyadari napasku yang berat dan jantungku yang berdebar kencang. Isaiah tergelak pelan.
Ya. Kau memang calon pelacur darah. Tapi malangnya dirimu karena aku takkan memberikan apa yang kauinginkan.
Isaiah mundur dan aku merosot di kursi. Tanpa menunda lagi, dia kembali pada Eddie dan meminum darahnya. Aku tidak sanggup melihatnya, tetapi kali ini karena aku merasa iri, bukan jijik. Hatiku serasa membara karena mendambakannya. Aku mendambakan gigitan itu, mendambakannya dengan setiap helai saraf yang ada dalam tubuhku.
Setelah selesai, Isaiah beranjak meninggalkan ruangan, lalu tiba-tiba berhenti. Dia berkata kepada Mia dan Christian. Jangan tunda lagi, Isaiah memperingatkan keduanya. Raih kesempatan untuk menyelamatkan diri. Dia memiringkan kepala ke arahku. Kalian bahkan sudah memiliki korban yang menawarkan diri.
Isaiah pergi. Aku menatap Christian di seberang ruangan. Entah mengapa, wajahnya terlihat lebih cekung daripada beberapa jam yang lalu. Rasa lapar seakan membara di matanya, dan aku tahu tatapanku menunjukkan sebaliknya, sebuah gairah untuk memuaskan rasa laparnya. Ya Tuhan. Kami benar-benar berada dalam masalah. Kurasa pada saat yang sama Christian juga menyadari hal itu. Bibirnya tertekuk menjadi senyum getir.
Kau tidak pernah terlihat semenggoda ini, Rose, Christian sempat berkata sebelum penjaga menyuruhnya diam.
* * * Beberapa kali aku tertidur sepanjang hari itu, tetapi Adrian tidak kembali ke dalam mimpiku. Alih-alih, saat berada di ambang kesadaran, aku mendapati diriku menyelinap ke dalam teritori yang lebih akrab: kepala Lissa. Setelah berbagai hal aneh yang terjadi dalam dua hari terakhir, berada di dalam benak Lissa rasanya seperti pulang ke rumah.
Lissa berada di salah satu ruang pesta penginapan, hanya saja ruangannya kosong. Dia duduk di lantai di ujung ruangan, berusaha tidak terlihat mencurigakan. Lissa merasa gugup. Dia sedang menunggu sesuatu atau tepatnya, seseorang. Beberapa menit kemudian Adrian menyelinap masuk.
Sepupu, kata Adrian dengan gayanya yang khas. Adrian duduk bersila di samping Lissa, sama sekali tidak memedulikan celana rapinya yang mahal. Maaf aku te
lat. Tak masalah, kata Lissa.
Kau tidak tahu aku ada di sini sampai kau melihatku, kan"
Lissa menggeleng kecewa. Aku merasa lebih bingung lagi.
Dan duduk bersamaku & kau tak bisa merasakan apa pun"
Tidak. Adrian mengangkat bahu. Yah. Mudah-mudahan akan segera terjadi.
Memang bagaimana kelihatannya" tanya Lissa dengan rasa penasaran yang membara.
Kau tahu apa itu aura"
Aura itu seperti & berkas cahaya yang ada di sekitar tubuh seseorang, kan" Suatu teori New Age"
Bisa dibilang begitu. Setiap orang memiliki energi spiritual yang terpancar dari dirinya. Yah, hampir setiap orang. Keraguan Adrian membuatku bertanya-tanya apakah dia sedang memikirkan aku dan kegelapan yang menurutnya berada di sekelilingku. Berdasarkan warna dan penampilannya, kau bisa tahu banyak tentang seseorang & em, maksudku kalau kau bisa melihat aura.
Dan kau bisa, kata Lissa. Dan kau tahu aku menggunakan kekuatan roh karena melihat auraku"
Sebagian besar auramu berwarna emas. Sama seperti auraku. Warnanya kadang berganti sesuai dengan situasi yang kaualami, tapi warna emasnya akan selalu ada.
Kau kenal berapa banyak orang yang seperti kita di luar sana"
Tidak banyak. Aku hanya menemukannya sesekali. Mereka biasanya merahasiakan hal itu. Kaulah yang pertama kuajak bicara. Aku bahkan tidak tahu sebutannya roh. Kalau saja aku tahu soal ini saat tidak memiliki spesialisasi sihir. Dulu kupikir aku orang aneh.
Lissa mengulurkan lengan dan memandanginya, berharap bisa melihat cahaya yang bersinar di sekelilingnya. Tidak ada. Lissa mendesah lalu menurunkan lengan.
Pada saat itulah aku menyadarinya.
Adrian pengguna roh juga. Karena itulah dia sangat penasaran soal Lissa, karena itulah dia ingin mengobrol dengan Lissa dan bertanya mengenai ikatan batin kami dan spesialisasi Lissa. Ini juga menjelaskan banyak hal lainnya seperti karisma yang tidak sanggup kuhindari saat berada di dekatnya. Saat aku dan Lissa berada di kamarnya tempo hari, Adrian menggunakan kompulsi itulah yang dilakukannya sehingga Dimitri membebaskannya.
Jadi, akhirnya mereka melepasmu" tanya Adrian kepada Lissa.
Yeah. Akhirnya mereka memutuskan bahwa aku memang tidak tahu apa-apa.
Bagus, kata Adrian. Dia mengerutkan kening, dan kulihat kali ini Adrian tidak mabuk. Dan kau yakin kau memang tidak tahu apa-apa"
Sudah kubilang. Ikatan batinnya tidak bisa bekerja dua arah.
Hmm. Kau harus bisa melakukannya.
Lissa melotot. Apa, kaukira aku sengaja menahannya" Kalau bisa menemukan Rose, aku pasti akan melakukannya!
Aku tahu, tapi untuk melakukan semua itu, kalian harus memiliki ikatan yang kuat. Gunakan ikatan itu untuk bicara dengannya di dalam mimpi. Aku sudah berusaha, tapi aku tak bisa menahannya cukup lama untuk
Apa kaubilang" seru Lissa. Bicara dengannya di dalam mimpi"
Sekarang Adrian yang kelihatan bingung. Tentu saja. Memangnya kau tak tahu cara melakukannya"
Tidak! Apa kau serius" Bagaimana mungkin hal seperti itu bisa dilakukan"
Mimpiku &. Aku ingat Lissa pernah mengatakan soal fenomena Moroi yang tidak bisa dijelaskan, bahwa di luar sana mungkin ada kekuatan roh lainnya selain penyembuhan, hal-hal yang belum diketahui siapa pun. Sepertinya kehadiran Adrian dalam mimpiku bukan kebetulan semata. Adrian bisa memasuki kepalaku, mungkin dengan cara yang sama aku memasuki benak Lissa. Pikiran itu membuatku gelisah. Lissa bahkan kesulitan memahaminya.
Adrian mengusap rambutnya lalu menengadah, menatap lampu gantung kristal sambil termenung. Oke. Jadi. Kau tidak bisa melihat aura, dan kau tak bisa bicara dengan orang lain melalui mimpi. Kalau begitu apa yang bisa kaulakukan"
Aku & aku bisa menyembuhkan orang. Hewan. Tanaman juga. Aku bisa menghidupkan makhluk yang sudah mati.
Benarkah" Adrian kelihatan terkesan. Oke. Kau mendapat pujian untuk itu. Apa lagi"
Em, aku bisa menggunakan kompulsi.
Kita semua bisa melakukannya.
Tidak, aku bisa benar-benar melakukannya. Sama sekali tidak sulit. Aku bisa menyuruh orang melakukan apa pun yang kuinginkan hal-hal jelek sekalipun.
Aku juga bisa. Mata Adrian berbinar. Aku ingin tahu apa yang
akan terjadi kalau kau berusaha menggunakannya padaku &.
Lissa ragu-ragu dan tanpa sadar menyapukan jemari pada karpet merah yang bertekstur. Yah & aku tak bisa.
Kau baru saja bilang bisa melakukannya.
Bisa tapi tidak sekarang. Aku sedang mengonsumsi obat & untuk mengobati depresi dan beberapa hal lain & dan hal itu menyebabkanku terputus dari sihir.
Adrian melontarkan tangan ke udara. Kalau begitu, bagaimana aku bisa mengajarimu cara berjalan melintasi mimpi" Bagaimana lagi kita bisa menemukan Rose"
Dengar, kata Lissa dengan marah. Aku juga tidak mau minum obat-obatan ini. Tapi kalau berhenti meminumnya & aku bisa bertindak gila. Dan berbahaya. Itulah yang dilakukan roh padamu.
Aku tidak meminum obat apa pun. Aku baik-baik saja, kata Adrian.
Tidak, Adrian tidak baik-baik saja, aku tersadar. Lissa menyadarinya juga.
Kau tiba-tiba terlihat aneh saat Dimitri ada di kamarmu, kata Lissa. Kau mulai meracau, dan ucapanmu tidak masuk akal.
Oh, itu" Yeah & itu memang kadang terjadi. Tapi jarang, sungguh. Paling sebulan sekali. Adrian terdengar jujur.
Lissa menatap Adrian, mendadak memikirkan kembali semuanya. Bagaimana kalau Adrian memang bisa melakukannya" Bagaimana kalau Adrian bisa menggunakan kekuatan roh tanpa meminum pil dan tanpa mengalami efek samping yang berbahaya" Semuanya akan persis seperti yang diharapkannya selama ini. Lagi pula, Lissa juga sudah tidak yakin apakah pil-pil yang diminumnya masih berfungsi seperti dulu &.
Adrian tersenyum. Dia sedang menebak-nebak apa yang ada di dalam pikiran Lissa.
Bagaimana, Sepupu" tanya Adrian. Adrian tidak perlu menggunakan kompulsi. Tawaran yang diajukannya sudah sangat menggoda. Aku bisa mengajari semua hal yang kuketahui jika kau bisa menyentuh kekuatan sihirmu lagi. Butuh sedikit waktu untuk menghilangkan pengaruh pil dari dalam tubuhmu, tapi sesudah itu &.
BAB DUA PULUH SATU AKU BENAR-BENAR tidak butuh semua ini sekarang. Aku sanggup menghadapi apa pun yang dilakukan Adrian pada Lissa: merayunya, menyuruhnya mengisap rokok konyolnya, atau apa pun itu. Tapi tidak yang ini. Aku justru sudah berusaha keras agar Lissa tidak berhenti meminum pilnya.
Dengan enggan aku menarik diri keluar dari kepala Lissa dan kembali ke dalam situasiku sendiri yang kelam. Aku ingin melihat kelanjutan yang terjadi antara Lissa dan Adrian, tetapi menonton mereka tidak ada gunanya. Oke. Aku benar-benarbutuh rencana sekarang. Aku harus bertindak. Aku harus mengeluarkan kami semua dari tempat ini. Tetapi saat melirik sekeliling, aku tetap tidak menemukan jalan keluar, dan aku menghabiskan setengah jam berikutnya dengan merenung dan mempertimbangkan semuanya.
Hari ini kami dijaga oleh tiga orang. Mereka kelihatan agak bosan tetapi tidak sampai bersikap lengah. Di dekatku, Eddie kelihatannya tidak sadarkan diri dan Mason menatap lantai dengan pandangan kosong. Di seberang ruangan, Christian entah sedang memelototi apa, dan kurasa Mia sedang tidur. Karena sadar sepenuhnya betapa kering tenggorokanku, aku hampir tertawa saat ingat pernah memberitahu Mia bahwa sihir air sama sekali tidak berguna. Sihir air mungkin tidak akan berguna dalam pertarungan, tetapi aku bersedia memberi Mia apa pun jika dia mau memanggil sedikit
Sihir. Kenapa tidak terpikir olehku sebelumnya" Kami tidak sepenuhnya tak berdaya.
Sebuah rencana mulai terbentuk di benakku rencana yang bisa dikatakan sinting, tetapi juga yang terbaik yang kami miliki. Jantungku tiba-tiba berdebar penuh semangat, dan aku cepat-cepat mengatur wajah agar terlihat tenang sebelum para penjaga menyadari semangat baruku. Christian mengamatiku dari seberang ruangan. Dia sempat melihat wajahku yang berbinar penuh semangat dan menyadari bahwa aku baru saja mendapatkan gagasan. Christian mengamatiku dengan penasaran, dia terlihat sama siapnya denganku untuk beraksi.
Ya Tuhan. Bagaimana kami bisa melakukannya" Aku membutuhkan bantuan Christian, tetapi aku tak tahu cara memberitahukan gagasanku padanya. Bahkan, aku sama sekali tidak yakin Christian sanggup membantuku kondisi tubuhnya cukup lemah.
Aku menatap Christian lekat-lekat, berharap dia
mengerti bahwa aku akan segera bertindak. Wajahnya terlihat bingung, tetapi diiringi tekad bulat. Setelah memastikan tidak satu pun penjaga yang melihat ke arahku, aku bergeser sedikit dan menarik pelan pergelangan tanganku. Aku melirik ke belakang sesering mungkin, lalu menatap mata Christian lagi. Kening Christian berkerut, dan aku mengulangi gerakan tadi.
Hei, ucapku keras-keras. Mia dan Mason sama-sama tersentak kaget. Apa kalian akan terus membiarkan kami kelaparan" Tak bisakah kami minta air sedikit"
Diam, bentak seorang penjaga. Itu jawaban standar setiap kali ada salah satu dari kami yang bicara.
Ayolah. Aku menggunakan gaya bicaraku yang paling menyebalkan. Setidaknya seteguk saja" Tenggorokanku terbakar. Rasanya seperti ada api yang menyala-nyala. Aku mengalihkan tatapan pada Christian saat mengucapkan beberapa kata terakhir, lalu menatap si penjaga yang tadi bicara.
Seperti yang sudah kuduga, pria itu berdiri dari kursinya lalu menghampiriku. Jangan membuatku mengulanginya lagi, pria itu menggeram. Aku tidak tahu apakah dia akan melakukan kekerasan, tetapi aku tidak berniat terus memancing amarahnya, setidaknya bukan sekarang. Lagi pula, aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan. Jika Christian tidak mengerti petunjuk yang kuberikan tadi, tak ada lagi yang bisa kulakukan. Berharap wajahku terlihat ketakutan, aku menutup mulut.
Si penjaga kembali ke tempat duduknya, dan setelah beberapa saat barulah dia berhenti mengawasiku. Aku menatap Christian lagi dan menarik pergelangan tanganku. Ayo, ayo, pikirku. Hubungkan semua petunjuknya, Christian.
Kedua alis Christian tiba-tiba terangkat, dan dia menatapku dengan takjub. Bagus. Kelihatannya dia sudah mengerti. Aku hanya berharap yang dipahami Christian sama seperti maksudku. Tatapan mata Christian berubah dan terlihat bertanya-tanya, seolah bertanya apa aku benar-benar serius. Aku mengangguk dengan sepenuh hati. Selama beberapa saat, kening Christian berkerut sambil berpikir, lalu dia menghela napas dalam-dalam dan mantap.
Baiklah, kata Christian. Semua orang terlonjak lagi.
Diam, salah satu penjaga otomatis berkata. Pria itu terdengar lelah.
Tidak, kata Christian. Aku sudah siap. Siap untuk minum.
Semua orang yang ada di dalam ruangan ini seakan membeku selama beberapa saat, termasuk aku. Sebenarnya, bukan ini yang terlintas dalam benakku.
Si pemimpin berdiri. Jangan macam-macam dengan kami.
Tidak, kata Christian. Wajah Christian terlihat seperti orang yang sedang demam dan putus asa, dan menurutku itu tidak sepenuhnya palsu. Aku sudah muak dengan semua ini. Aku ingin keluar dari tempat ini, dan aku tak mau mati. Aku mau minum dan aku menginginkan dia. Christian mengangguk ke arahku. Mia menjerit pelan saking kagetnya. Mason memanggil Christian dengan sebutan yang akan membuatnya terkena hukuman kalau diucapkan di sekolah.
Ini jelas-jelas bukan yang kumaksud.
Dua orang penjaga lainnya menatap pemimpin mereka dengan pandangan bertanya. Apa sebaiknya kita panggil Isaiah" tanya salah satu dari mereka.
Kurasa dia sedang tidak ada, jawab si pemimpin. Pria itu menatap Christian sejenak, lalu membuat keputusan. Lagi pula aku tak mau mengganggunya kalau ternyata semua ini hanya lelucon. Lepaskan dia dan kita cari tahu.
Salah satu pria mengeluarkan tang. Dia berjalan ke belakang Christian dan membungkuk. Aku mendengar bunyi plastik putus saat borgolnya lepas. Seraya memegangi lengan Christian, si penjaga menyentaknya sampai berdiri lalu menuntunnya ke arahku.
Christian, seru Mason dengan suara penuh amarah. Mason berjuang melepaskan ikatannya sehingga kursinya sedikit bergoyang. Kau sudah gila" Jangan biarkan mereka melakukannya!
Kalian semua pasti mati, tapi aku tidak, bentak Christian, menyingkirkan rambut hitamnya yang menghalangi mata. Tidak ada jalan keluar dari semua ini.
Aku sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi aku yakin harus menunjukkan lebih banyak emosi jika sebentar lagi mati. Dua orang penjaga memegangi Christian, mengawasinya dengan waspada saat membungkuk di atasku.
Christian, bisikku, terkejut saat
menyadari betapa mudahnya berpura-pura terdengar takut. Jangan lakukan ini.
Bibir Christian tertekuk menjadi senyum getir yang dilakukannya dengan sangat baik. Kau dan aku tidak pernah saling menyukai, Rose. Kalau aku terpaksa membunuh seseorang, lebih baik aku membunuhmu. Kata-kata yang diucapkan Christian terdengar sedingin es, dan tepat sasaran. Bisa dipercaya. Lagi pula, kupikir kau memang menginginkannya.
Bukan ini. Kumohon, jangan
Salah satu penjaga mendorong Christian. Cepat selesaikan, atau kembali ke kursimu.
Dengan senyum kelam yang masih tersungging, Christian mengangkat bahu. Maaf, Rose. Bagaimanapun kau tetap akan mati. Jadi bagaimana kalau kau melakukannya untuk tujuan baik" Christian menurunkan wajah ke leherku. Mungkin akan terasa sakit sedikit, tambahnya.
Aku sebenarnya meragukan hal itu &jika dia memang berniat melakukannya. Karena dia takkan benar-benar melakukannya & ya kan" Aku bergerak-gerak gelisah. Menurut orang-orang, jika semua darahmu diisap sampai habis, selama prosesnya berlangsung kau juga akan mendapatkan hormon endorfin yang bertujuan menumpulkan rasa sakit. Rasanya seperti tertidur. Tentu saja, semua itu baru perkiraan. Karena orang-orang yang mati digigit vampir tidak ada yang kembali untuk menceritakan pengalamannya.
Christian menggosokkan hidung pada leherku, menggerakkan wajah di bawah rambutku sehingga dia merasa agak canggung. Bibirnya menyapu kulitku, rasanya selembut yang kuingat saat dia dan Lissa berciuman. Sesaat kemudian ujung taringnya menyentuh kulitku.
Kemudian aku merasa sakit. Sakit sungguhan.
Namun, rasa sakitnya bukan berasal dari gigitan Christian. Giginya hanya menekan kulitku; tidak sampai menembusnya. Lidah Christian menjilati leherku, tetapi tidak ada darah yang diisap. Semua ini justru terasa seperti sebuah ciuman yang aneh dan sinting.
Tidak, rasa sakitnya berasal dari pergelangan tanganku. Rasa sakit yang membara. Christian menggunakan sihir untuk menyalurkan panas ke borgol plastikku, persis seperti yang kuinginkan. Dia memahami pesanku. Plastiknya terasa semakin panas saat Christian terus mengisap darahku yang tidak keluar. Siapa pun yang melihat dari jarak dekat pasti akan sadar Christian sedang berpura-pura, tetapi pandangan para penjaga terhalang rambutku.
Aku tahu plastik sulit dilelehkan, tetapi sekarang aku baru bisa memahaminya. Temperatur yang dibutuhkan untuk menghancurkan plastik sungguh luar biasa. Rasanya seperti mencelupkan tangan ke dalam lava. Borgol plastiknya membakar kulitku, panas dan menyakitkan. Aku bergerak-gerak, berharap bisa menghilangkan rasa sakitnya. Tidak bisa. Namun, aku sadar borgolnya agak melonggar saat aku bergerak. Borgol itu semakin lunak. Oke. Meski menyakitkan, aku hanya perlu bertahan sedikit lebih lama. Dengan putus asa aku berusaha memusatkan pikiran pada gigitan Christian dan mengalihkan perhatian. Usahaku berhasil selama kira-kira lima detik. Christian tidak memberikan efek yang sama seperti hormon endorfin, dan sudah pasti tidak cukup untuk melawan rasa sakit yang bertambah parah. Aku merintih, dan mungkin membuatku terlihat meyakinkan.
Aku tak percaya, salah satu penjaga bergumam. Dia benar-benar melakukannya. Aku bisa mendengar suara Mia yang menangis di balik mereka.
Borgolnya semakin membakar kulitku. Seumur hidup aku belum pernah merasa sesakit ini, dan aku sudah mengalami banyak hal. Kemungkinan besar aku akan segera pingsan.
Hei, salah satu penjaga berkata. Bau apa ini"
Itu bau plastik terbakar. Atau mungkin daging yang terbakar. Sejujurnya, itu tidak masalah karena saat aku menggerakkan tangan lagi, borgol plastik yang meleleh dan mendidih itu langsung terlepas.
Aku memiliki sepuluh detik untuk memanfaatkan elemen kejutan, dan aku menggunakannya. Aku melompat dari kursi, dan pada saat yang sama mendorong Christian ke belakang. Dia diapit oleh dua orang penjaga, dan salah satunya masih memegangi tang. Dalam satu gerakan, aku merebut tang lalu membenamkannya ke pipi pria itu. Dia berteriak, tetapi aku tidak menunggu untuk melihat apa yang terjadi. Elemen kejutanku sudah berakhir, dan aku t
ak bisa menyia-nyiakan waktu. Begitu melepaskan tang, aku meninju pria kedua. Tendanganku pasti lebih kuat dari tinjuku, tetapi aku masih sanggup memukulnya dengan cukup keras dan membuatnya terhuyung.
Pada saat itu, si pemimpin sudah bertindak. Seperti yang sudah kukhawatirkan, dia masih memegang pistol, dan dia memang menggunakannya. Jangan bergerak! teriaknya sambil membidikku.
Tubuhku membeku. Penjaga yang kutonjok bergerak maju dan merenggut lenganku. Di dekat kami, pria yang kutusuk sedang mengerang di lantai. Seraya terus mengarahkan pistolnya padaku, si pemimpin mulai mengatakan sesuatu lalu berteriak kaget. Pistol yang digenggamnya samar-samar berbinar oranye dan terjatuh dari tangannya. Kulit tangan yang memegangi pistol itu terlihat merah membara. Christian pasti telah memanaskan logamnya. Yeah. Mestinya sejak awal kami sudah menggunakan sihir. Kalau kami berhasil selamat dari peristiwa ini, aku akan mendukung rencana Tasha. Tradisi antisihir kaum Moroi sudah terpatri dalam benak sehingga kami bahkan tidak terpikir untuk melakukannya lebih cepat. Benar-benar bodoh.
Aku berbalik menghadapi pria yang memegangiku. Kurasa dia tidak menduga gadis sekecil aku sanggup melawan segigih ini, selain itu dia juga masih terpana melihat yang terjadi pada temannya dan pistol itu. Aku berhasil mendaratkan tendangan ke perutnya, tendangan yang akan memberiku nilai A di kelas bertarung. Pria itu menggeram saat terkena, dan gerakan itu membuatnya terpelanting ke dinding. Secepat kilat aku sudah berada di atas tubuhnya. Seraya menjambak rambutnya, aku menghantamkan kepalanya ke lantai dengan cukup keras hingga membuatnya pingsan tetapi tidak sampai membunuhnya.
Aku cepat-cepat melompat bangun, terkejut karena si pemimpin belum mengejarku. Seharusnya dia tidak membutuhkan waktu lama untuk pulih dari kekagetan yang diakibatkan pistol panas. Namun, saat aku berbalik ternyata ruangannya sepi. Si pemimpin berbaring tak sadarkan diri di lantai dan di atasnya Mason berdiri menjulang, dia baru saja dibebaskan. Di dekatnya, Christian berdiri sambil menggenggam tang di satu tangan dan pistol di tangan lain. Pistol itu masih panas, tetapi kekuatan Christian pasti membuatnya imun. Dia sedang membidik pria yang tadi kutusuk. Pria itu tidak pingsan, hanya berdarah. Tetapi seperti aku tadi, tubuhnya membeku di bawah todongan moncong senjata.
Astaga, gumamku sambil menatap sekeliling ruangan. Aku terhuyung menghampiri Christian, lalu mengulurkan tangan. Berikan padaku sebelum kau melukai orang lain.
Aku menduga akan mendapat jawaban sinis, tetapi ternyata Christian hanya menyerahkan senjata itu dengan tangan gemetar. Aku menyisipkannya ke dalam ikat pinggang. Saat mengamati Christian dengan lebih saksama, aku melihat betapa pucat kulitnya. Dia sepertinya bisa pingsan kapan saja. Christian baru saja melakukan sihir yang cukup besar bagi orang yang kelaparan selama dua hari.
Mase, ambil borgolnya, aku berkata. Tanpa membalikkan badan, Mason mundur beberapa langkah menuju kotak tempat para penculik kami menyimpan borgol plastiknya. Mason mengeluarkan tiga borgol dan sesuatu yang lain. Seraya melirikku dengan pandangan bertanya, dia mengangkat satu gulung pita perekat.
Sempurna, kataku. Kami mengikat pria-pria itu ke kursi. Salah satu dari mereka dalam keadaan sadar, tetapi kami tetap memukulnya sampai pingsan, lalu memasang pita perekat ke mulut mereka. Mereka akan terbangun juga nantinya, dan aku tidak mau mereka membuat keributan.
Setelah melepaskan Mia dan Eddie, kami berlima berkumpul dan merencanakan tindakan selanjutnya. Christian dan Eddie nyaris tidak sanggup berdiri, tetapi setidaknya Christian masih menyadari sekelilingnya. Wajah Mia dibanjiri air mata, tetapi sepertinya dia masih bisa menerima perintah. Hanya aku dan Mason yang masih bisa berfungsi maksimal.
Jam pria itu menunjukkan sekarang pagi hari, kata Mason. Yang harus kita lakukan hanyalah pergi ke luar, dan mereka tidak bisa menyentuh kita. Setidaknya selama tidak ada manusia lain.
Mereka bilang Isaiah sedang pergi, kata Mia pelan. Seharusnya kita bisa langsung k
eluar, kan" Pria-pria itu tidak pernah meninggalkan kita selama berjam-jam, kataku. Bisa saja mereka salah. Kita tak boleh gegabah.
Mason membuka pintu dengan hati-hati lalu mengintip selasar yang kosong. Menurutmu, ada jalan keluar langsung dari bawah sini"
Kalau saja semudah itu, gumamku. Aku melirik ke yang lain-lain. Tunggu di sini. Kami akan pergi untuk memeriksa bagian lain ruang bawah tanah ini.
Bagaimana kalau ada yang datang" seru Mia.
Tidak akan, aku meyakinkannya. Aku cukup yakin tak ada orang lain di ruang bawah tanah ini. Kalau memang ada, mereka pasti sudah berdatangan saat mendengar keributan tadi. Dan jika ada yang turun dari lantai atas, kami pasti lebih dulu mendengar langkah kaki mereka di tangga.
Meskipun begitu, aku dan Mason bergerak dengan hati-hati saat mengintai ke sekeliling ruang bawah tanah, saling menjaga, dan memeriksa setiap sudut ruangan. Ruang bawah tanah ini masih terlihat seperti labirin tikus seperti yang kuingat saat pertama kali dibawa ke sini. Selasar yang berbelok-belok dan banyak kamar. Kami membuka satu per satu pintu yang ada di sana. Semua kamar itu kosong, kecuali satu atau dua buah kursi. Tubuhku menggigil saat memikirkan bahwa semua kamar ini mungkin digunakan sebagai ruang rahasia, sama seperti kamar yang kami tempati.
Sama sekali tak ada jendela di tempat ini, gumamku saat kami selesai menyisir ruangan. Kita harus ke lantai atas.
Kami kembali ke ruangan tempat kami disekap, tetapi sebelum tiba di sana Mason menangkap lengaku. Rose &.
Aku berbalik dan menatapnya. Yeah"
Kedua mata birunya lebih serius dari yang pernah kulihat selama ini menunduk menatapku dengan pandangan menyesal. Aku benar-benar sudah mengacaukan semuanya.
Aku memikirkan semua kejadian yang membawa kami hingga ke tempat ini. Kita memang mengacaukan semuanya, Mason.
Mason mendesah. Kuharap & kuharap saat semua ini sudah beres, kita bisa duduk untuk mengobrol dan membicarakan semuanya. Seharusnya aku tidak marah padamu.
Aku ingin berkata bahwa semua itu takkan terjadi, bahwa saat dia menghilang, aku sebenarnya sedang mencarinya untuk memberitahukan keadaan di antara kami tidak akan pernah membaik. Karena sekarang sepertinya bukan saat maupun tempat yang tepat untuk memutuskan hubungan dengannya, aku berbohong.
Aku meremas tangan Mason. Aku juga mengharapkannya.
Mason tersenyum, lalu kami kembali pada teman-teman kami yang lain.
Baiklah, kataku pada mereka. Ini yang akan kita lakukan.
Kami membahas sebuah rencana dengan cepat, lalu mengendap-endap menaiki tangga. Aku yang memimpin jalan, diikuti Mia yang berusaha menopang Christian yang lemah. Mason paling belakang, bisa dikatakan sambil menyeret Eddie.
Aku saja yang masuk duluan, gumam Mason saat kami berdiri di puncak tangga.
Tidak, bentakku, meletakkan tangan di atas kenop pintu.
Yeah, tapi kalau ada yang terjadi
Mason, aku menyela. Aku menatapnya lekat-lekat, dan tiba-tiba teringat akan ibuku saat serangan keluarga Drozdov terjadi. Tenang dan terkendali, bahkan pada situasi yang sangat mengerikan. Mereka membutuhkan seorang pemimpin, sama seperti yang dibutuhkan kelompok ini sekarang, dan aku berusaha keras menirunya. Kalau ada yang terjadi, kau harus mengeluarkan mereka dari sini. Larilah dengan cepat dan pergilah yang jauh. Jangan kembali tanpa membawa pengawal.
Kaulah yang akan pertama diserang! Lalu apa yang harus kulakukan" desisnya. Meninggalkanmu"
Ya. Kau tak usah memedulikan aku jika bisa mengeluarkan mereka dari sini.
Rose, aku tidak akan Mason. Sekali lagi aku membayangkan ibuku, berjuang mendapatkan kekuatan dan kekuasaan demi memimpin yang lain. Kau bisa melakukannya atau tidak"
Kami saling pandang selama beberapa saat sementara yang lain menahan napas.
Aku bisa melakukannya, Mason berkata kaku. Aku mengangguk dan berbalik.


Frostbite Vampire Academy 2 Karya Richelle Mead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pintu ruang bawah tanah agak berderit saat kubuka, dan aku meringis saat mendengarnya. Nyaris tidak berani bernapas, aku berdiri tegak di puncak tangga; menunggu dan memasang telinga. Rumah dan dekorasinya yang eksentrik masih terlihat sama seperti saat kami dibawa
ke sini. Tirai gelap menutupi semua jendela, tetapi di pinggir-pinggirnya aku bisa melihat cahaya terang yang mengintip. Cahaya matahari tidak pernah terasa semanis saat itu. Bisa mencapai cahaya matahari sama artinya dengan mendapatkan kebebasan.
Di dalam rumah tak ada suara, tak ada gerakan. Aku memandang sekeliling, dan berusaha mengingat letak pintu depan. Pintunya terletak di sisi lain rumah sebenarnya tidak jauh kalau situasinya normal, tetapi pada saat ini rasanya bagaikan dibatasi jurang yang menganga.
Ikutlah denganku, bisikku pada Mason, berharap bisa membuatnya merasa lebih baik dengan melibatkannya.
Mason menyandarkan tubuh Eddie pada Mia sebentar, lalu bersamaku menyisir ruang duduk dengan cepat. Tidak ada apa-apa. Jalan dari sini menuju pintu depan aman. Aku mendesah lega. Mason memegangi Eddie lagi, dan kami pun bergerak maju. Kami semua tegang dan gugup. Ya Tuhan. Kami benar-benar akan melakukannya. Kami benar-benar akan melakukannya. Aku tak percaya betapa beruntungnya kami. Kami sudah sangat dekat dengan bencana dan nyaris tidak sanggup menghindarinya. Ini salah satu kejadian yang membuatmu menghargai hidup dan ingin membalikkan keadaan. Kesempatan kedua yang membuatmu bersumpah tidak akan menyia-nyiakannya. Sebuah kesadaran akan
Aku mendengar gerakan mereka hampir bersamaan dengan saat aku melihat kemunculan mereka di hadapan kami. Rasanya seolah ada penyihir yang memunculkan Isaiah dan Elena begitu saja. Hanya saja kali ini aku tahu tidak ada sihir yang terlibat. Strigoi memang bergerak secepat itu. Mereka pasti berada di salah satu kamar lantai utama yang kami sangka kosong tadi kami tidak ingin membuang-buang lebih banyak waktu untuk memastikannya. Dalam hati aku memarahi diri sendiri karena tidak memeriksa setiap senti rumah ini. Di suatu sudut ingatanku, aku mendengar diriku mengejek ibuku saat berada di kelas Stan: Menurutku kalian melakukan kesalahan. Kenapa kalian tidak menyisir tempat itu sejak awal dan memastikannya terbebas dari Strigoi" Dengan begitu kalian tidak perlu bersusah payah seperti itu.
Karma benar-benar menyebalkan.
Anak-Anak, gumam Isaiah. Permainannya bukan seperti ini. Kalian melanggar aturannya. Senyum kejam melintas di bibirnya. Isaiah menganggap kami sebagai sesuatu yang lucu, sama sekali bukan ancaman. Sejujurnya" Dia memang benar.
Cepat dan jauh, Mason, kataku dengan suara rendah, tanpa melepaskan pandangan dari para Strigoi.
Astaga & kalau saja tatapan bisa membunuh &. Isaiah mengangkat alis seolah terpikir olehnya sesuatu. Kaupikir kau sanggup mengalahkan kami berdua tanpa bantuan siapa pun" Isaiah tergelak. Elena tergelak. Aku mengertakkan gigi.
Tidak, aku tidak berpikir sanggup mengalahkan keduanya. Bahkan, aku cukup yakin aku akan mati. Namun, aku juga yakin sanggup memberikan pengalih perhatian yang cukup hebat sebelum itu terjadi.
Aku melompat ke arah Isaiah tetapi menembakkan pistol ke arah Elena. Kau mungkin bisa menerjang penjaga manusia tetapi kau tidak bisa melakukannya pada Strigoi. Bisa dikatakan mereka sudah melihat gerakanku bahkan sebelum aku bergerak. Namun, mereka tidak menyangka aku punya senjata. Dan saat Isaiah menangkis serangan tubuhku nyaris tanpa bersusah payah, aku berhasil menembak Elena sebelum akhirnya pria itu menangkap lenganku dan menahanku. Bunyi pistol terdengar nyaring di telingaku, dan Elena berteriak kesakitan sekaligus terkejut. Aku membidik perutnya, tetapi meleset dan hanya mengenai pahanya. Bukan berarti itu penting. Dia takkan mati di mana pun aku menembaknya, tetapi luka di perut akan terasa jauh lebih menyakitkan.
Isaiah memegangi pergelangan tanganku dengan begitu kencang sehingga kupikir dia akan meremukkan tulangku. Aku menjatuhkan pistol. Senjata itu menghantam lantai, memantul, dan bergulir ke arah pintu. Elena meratap marah dan mencakarku. Isaiah menyuruhnya mengendalikan diri dan menjauhkanku darinya. Sementara itu, aku mengayunkan tubuh sejauh mungkin, tetapi tidak berhasil membantuku melarikan diri, dan malah membuatku semakin kesakitan.
Kemudian, aku mendengar bunyi terindah yang pernah kudengar.
Pintu de pan membuka. Mason sudah memanfaatkan pengalih perhatian yang kuciptakan. Mason meninggalkan Eddie bersama Mia, lalu berlari mengitariku dan Strigoi yang sedang bergulat, dan bergegas membuka pintu. Isaiah berbalik secepat kilat dan berteriak saat matahari membanjiri tubuhnya. Namun, meski sedang menderita, gerakan refleksnya masih cepat. Isaiah menarik diri menjauh dari berkas cahaya dan masuk ke ruang duduk, menyeret aku dan Elena bersamanya Elena pada lengan, sedangkan aku diseret pada leher.
Keluarkan mereka dari sini! teriakku.
Isaiah Elena mulai bicara, melepaskan diri dari cengkeramannya.
Isaiah mendorongku ke lantai dan berbalik, memandangi korban-korbannya yang melarikan diri. Aku terengah-engah menarik napas karena cengkeramannya pada leherku sudah lepas, dan mengintip ke arah pintu melalui helaian rambutku yang kusut. Aku sempat melihat Mason menyeret Eddie melewati ambang pintu, keluar menuju cahaya yang aman. Mia dan Christian sudah menghilang. Aku hampir menangis saking leganya.
Isaiah berbalik lagi ke arahku dengan amarah sedahsyat badai, mata hitamnya terlihat kejam saat dia berdiri menjulang di atasku. Wajahnya, yang selalu terlihat menakutkan, berubah menjadi sesuatu yang hampir sukar dipahami. Mengerikan bahkan tidak cukup untuk menggambarkannya.
Isaiah menjambak rambutku. Aku menjerit kesakitan, dan pria itu menurunkan kepala sehingga wajah kami saling menempel.
Kau mau gigitan, Nona" tuntutnya. Kau ingin menjadi pelacur darah" Nah, bisa kita atur. Dalam arti sesungguhnya. Dan itu takkan menyenangkan. Kau takkan merasa kebas. Rasanya akan sangat menyakitkan kompulsi bisa dilakukan dalam dua cara, kau tahu" Dan aku akan meyakinkanmu bahwa kau sedang menderita rasa sakit paling buruk seumur hidup. Aku juga akan memastikan kematianmu berlangsung sangat lama. Kau akan menjerit-jerit. Kau akan menangis. Kau akan memohon padaku agar mengakhirinya dan membiarkanmu mati
Isaiah, Elena berteriak putus asa. Bunuh saja dia. Kalau saja kau melakukannya sejak awal, seperti yang sudah kubilang, semua ini takkan terjadi.
Isaiah tetap mencengkeramku, tetapi matanya melirik Elena. Jangan mengangguku.
Sikapmu berlebihan, lanjut Elena. Yeah, wanita itu memang senang merengek. Tak pernah kusangka Strigoi bisa seperti itu. Hampir terlihat menggelikan. Dan sia-sia.
Jangan membantahku juga, kata Isaiah.
Aku lapar. Aku hanya bilang agar kau
Lepaskan dia, atau kubunuh kau.
Kami semua berbalik saat mendengar suara baru yang tiba-tiba terdengar, suara yang kelam dan marah. Mason berdiri di ambang pintu, terbingkai cahaya matahari, mengenggam pistol yang tadi kujatuhkan. Isaiah mengamatinya sejenak.
Tentu, akhirnya Isaiah berkata. Suaranya kedengaran bosan. Coba saja.
Mason tidak ragu. Dia menembak dan terus menembak sampai mengosongkan seluruh isi peluru ke dada Isaiah. Setiap peluru itu membuat si Strigoi sedikit berjengit, tetapi selain itu, dia masih tetap berdiri dan memegangiku. Beginilah seorang Strigoi yang tua dan kuat, aku tersadar. Sebutir peluru yang bersarang di paha sanggup menyakiti vampir muda seperti Elena. Namun Isaiah" Tertembak di dada berulang kali hanyalah gangguan kecil.
Mason menyadarinya juga, dan wajahnya terlihat mengeras saat melemparkan senjata yang kosong itu.
Keluar! aku berteriak. Mason masih berada di bawah cahaya matahari, masih aman.
Namun, dia tidak menuruti perkataanku. Mason berlari menghampiri kami, keluar dari cahaya yang melindunginya. Aku menggandakan perlawananku, berharap bisa mengalihkan perhatian Isaiah dari Mason. Tidak berhasil. Isaiah mendorongku ke arah Elena sebelum Mason setengah jalan menuju kami. Isaiah menghalau dan menangkap Mason dengan gesit, sama persis seperti yang dilakukannya padaku tadi.
Hanya saja, tidak seperti yang dilakukannya padaku, Isaiah tidak mencengkeram lengan Mason. Isaiah tidak mendongakkan kepala Mason dengan menjambak rambutnya, atau mencerocos soal ancaman kematian yang menyakitkan. Isaiah hanya menghentikan serangan, merenggut kepala Mason dengan kedua tangan, lalu memuntirnya dengan cepat. Terdengar bunyi derak memi
lukan. Kedua mata Mason melebar. Lalu tatapannya berubah hampa.
Seraya mendesah tidak sabar, Isaiah melepaskan genggamannya lalu melemparkan tubuh lunglai Mason ke tempat Elena sedang memegangiku. Tubuhnya mendarat di depan kami. Pandanganku menjadi buram saat rasa mual dan pusing meliputi tubuhku.
Nah, kata Isaiah pada Elena. Siapa tahu itu bisa sedikit mengganjal rasa laparmu. Dan sisakan sedikit untukku.
BAB DUA PULUH DUA AKU BEGITU NGERI dan terguncang sehingga kupikir jiwaku akan melayang pergi, dan dunia akan berakhir saat itu juga karena tentunya, tentunya dunia tidak bisa terus berputar setelah peristiwa ini. Tak seorang pun yang sanggup melanjutkan hidup setelah kejadian ini. Aku ingin meneriakkan rasa sakitku ke alam semesta. Aku ingin menangis sampai tubuhku meleleh. Aku ingin terkulai di samping Mason dan mati bersamanya.
Elena melepaskan tubuhku, sepertinya dia tidak menganggapku sebagai ancaman karena berada di antara dirinya dan Isaiah. Dia berpaling menghadap tubuh Mason.
Kemudian, aku melepaskan perasaanku. Dan langsung bertindak.
Jangan. Sentuh. Dia. Aku tidak mengenali suaraku sendiri.
Elena memutar bola mata. Ya ampun, kau ini menyebalkan sekali. Aku mulai mengerti maksud Isaiah kau memang harus menderita dulu sebelum mati. Elena berbalik, berlutut di lantai, lalu menggulingkan tubuh Mason hingga telentang.
Jangan sentuh dia! teriakku. Aku mendorong tubuh Elena tetapi hanya berdampak kecil. Elena balas mendorongku dan hampir menjatuhkan tubuhku. Aku harus berusaha keras menyeimbangkan kaki dan tetap berdiri tegak.
Isaiah menatapku dengan geli, kemudian tatapannya beralih ke lantai. Chotki pemberian Lissa terjatuh dari saku mantelku. Isaiah mengambilnya. Ternyata Strigoi bisa menyentuh benda suci kisah yang menyebutkan bahwa mereka takut pada salib sama sekali tidak benar. Mereka hanya tidak bisa memasuki wilayah suci. Isaiah membalikkan salibnya dan meraba naga yang terukir di sana.
Ah, keluarga Dragomir, Isaiah berseru senang. Aku sudah melupakan mereka. Sangat mudah untuk dilupakan. Mereka tersisa berapa, satu orang" Dua orang" Hampir tidak pantas untuk diingat. Mata merah mengerikan itu terarah padaku. Kau kenal salah satu dari mereka" Aku harus menemui mereka dalam waktu dekat. Takkan terlalu sulit untuk
Tiba-tiba aku mendengar bunyi ledakan. Akuarium meledak saat air menyembur dari dalam, memecahkan wadah kacanya. Serpihan kaca berhamburan ke arahku, tetapi aku nyaris tidak menyadarinya. Air itu menggumpal di udara, membentuk bola yang agak lonjong. Kemudian air itu mulai melayang. Menuju Isaiah. Aku melongo menatapnya.
Isaiah melihatnya juga, tetapi dia lebih terlihat bingung daripada takut. Setidaknya sampai airnya menggulung wajahnya dan mulai mencekiknya.
Seperti halnya peluru, kehabisan udara juga tidak bisa membunuhnya. Tetapi hal itu bisa membuatnya sangat tidak nyaman.
Tangan Isaiah melesat ke wajah, berusaha keras melepaskan air darinya. Usahanya sia-sia. Jemarinya hanya terus-menerus menembus air. Elena melupakan Mason dan langsung melompat bangun.
Apa ini" jerit Elena. Dia menggoyang-goyang tubuh Isaiah untuk membebaskannya, namun melihatnya sama sia-sianya dengan usaha Isaiah tadi. Apa yang terjadi"
Lagi-lagi aku tidak merasa. Aku bertindak. Tanganku menggenggam sepotong besar kaca yang berasal dari akuarium yang pecah. Serpihan kaca itu bergerigi dan tajam, mengiris tanganku.
Seraya berlari maju, aku membenamkan pecahan kaca itu ke dada Isaiah, membidik jantung yang kutemukan dengan susah payah saat latihan. Isaiah mengeluarkan jeritan tercekik di dalam air lalu tumbang ke lantai. Bola matanya mendelik ke atas saat dia tak sadarkan diri akibat kesakitan.
Elena melongo, sama terguncangnya denganku saat melihat Isaiah membunuh Mason. Tentu saja, Isaiah belum mati, tetapi untuk sementara ini dia tidak sadarkan diri. Wajah Elena jelas menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak menduga hal itu bisa terjadi.
Tindakan paling cerdas pada saat itu tentu saja berlari ke pintu dan berlindung di bawah amannya cahaya matahari. Alih-alih, aku berlari ke arah berbeda, menuju
perapian. Aku meraih salah satu pedang antik yang tergantung di sana lalu berbalik menghadap Elena. Aku tidak perlu bergerak terlalu jauh karena Elena sudah pulih dari kekagetannya dan sedang bergegas ke arahku.
Elena menggeram murka, dan berusaha menyambar tubuhku. Aku belum pernah dilatih menggunakan pedang, tetapi aku diajari untuk menggunakan apa pun yang bisa kutemukan sebagai senjata dadakan. Aku menggunakan pedang untuk menjaga jarak di antara kami, gerakanku masih sedikit canggung namun cukup efektif untuk saat ini.
Taring-taring putih menyembul dari mulut Elena. Aku akan membuatmu
Menderita, bertanggung jawab, menyesal aku pernah dilahirkan" aku menantangnya.
Aku teringat saat sedang bertarung dengan ibuku, saat itu aku terus-menerus dalam posisi bertahan. Taktik seperti itu tak bisa kugunakan saat ini. Aku harus menyerang. Aku menusuk ke depan, berusaha memukul Elena. Tidak berhasil. Dia sudah mengantisipasi setiap gerakanku.
Tiba-tiba, dari belakang Elena terdengar erangan Isaiah yang mulai tersadar kembali. Elena melirik ke balik pundaknya, gerakan kecil yang memungkinkanku untuk mengayunkan pedang ke dadanya. Pedang itu menyayat kaus dan kulitnya, tetapi hanya itu. Meski begitu, Elena tetap tersentak dan menunduk dengan panik. Kurasa ingatan akan kaca yang menusuk jantung Isaiah masih segar dalam benaknya.
Dan memang hanya itu yang kubutuhkan.
Aku mengumpulkan kekuatan, menarik mundur pedang, lalu mengayunkannya.
Mata pedang mengenai leher samping Elena dengan keras dan dalam. Wanita itu mengeluarkan jeritan pilu dan mengerikan, ratapan yang membuat kulitku merinding. Elena berusaha menghampiriku. Aku mundur dan menyerang lagi. Kedua tangannya memegangi leher, dan lututnya mulai ambruk. Aku menyerang dan terus menyerang, dan pedangnya terbenam semakin dalam pada lehernya. Memenggal kepala orang ternyata lebih sulit dari yang kuduga. Pedang tua yang tumpul juga sepertinya tidak banyak membantu.
Tetapi akhirnya kulihat Elena sudah tidak bergerak lagi. Kepalanya tergeletak begitu saja, terputus dari tubuhnya, kedua matanya yang mati seolah menatapku dengan pandangan tak percaya. Aku sendiri tak percaya.
Ada orang yang berteriak, dan sejenak kupikir itu suara Elena. Kemudian aku mendongak dan menatap sekeliling ruangan. Mia sedang berdiri di ambang pintu, matanya terbelalak dan kulitnya terlihat kehijauan seperti mau muntah. Jauh dalam benakku, aku tersadar bahwa Mia-lah yang membuat akuarium meledak. Ternyata sihir air sama sekali tidak tak berguna.
Meski masih agak gemetar, Isaiah berusaha bangkit. Tetapi aku sudah menyerangnya sebelum dia sepenuhnya bangun. Pedang menghunjam, menghasilkan darah dan penderitaan dalam setiap serangan. Aku merasa seperti ahli sekarang. Isaiah terkulai ke lantai lagi. Dalam benak, aku terus-menerus melihatnya mematahkan leher Mason, dan aku terus menghunjam sekeras mungkin, seolah menyerangnya dengan ganas sanggup menghilangkan kenangan itu.
Rose! Rose! Aku hampir tidak bisa mendengar suara Mia di tengah kabut kebencian yang menyelimutiku.
Rose, dia sudah mati! Perlahan, dengan tubuh gemetar, aku menahan serangan berikutnya dan menunduk menatap tubuh Isaiah kepalanya tidak lagi menempel ke tubuh. Mia benar. Isaiah sudah mati. Benar-benar mati.
Aku memandang sekeliling. Darah berceceran di mana-mana, tetapi kengerian akan keadaan tersebut tidak bisa kurasakan. Duniaku seolah melambat, melambat menjadi dua tugas yang sangat sederhana. Membunuh Strigoi. Melindungi Mason. Aku tak bisa memikirkan yang lain.
Rose, bisik Mia. Tubuh Mia gemetar, suaranya terdengar takut. Mia takut padaku, bukan pada Strigoi. Rose, kita harus pergi. Ayo.
Aku mengalihkan pandangan dari Mia dan menatap jasad Isaiah. Beberapa saat kemudian, aku merangkak menghampiri tubuh Mason, masih menggenggam pedang.
Tidak, kataku serak. Aku tak bisa meninggalkannya. Mungkin ada Strigoi lain yang akan datang &.
Mataku terasa panas, seolah tak kuat lagi menahan tangis. Tetapi aku tidak yakin. Gairah membunuh masih menggempurku, emosi yang kurasakan saat ini hanyalah kemurkaan.
Rose, kita akan kembali untu
k menjemputnya. Kalau ada Strigoi lain yang datang, kita harus cepat pergi.
Tidak, kataku lagi, bahkan tanpa menatap Mia. Aku takkan meninggalkannya. Aku takkan meninggalkan Mason sendirian. Aku mengusap rambut Mason dengan tanganku yang bebas.
Rose Aku mendongak. Keluar! aku berteriak. Keluar dan tinggalkan kami berdua.
Mia maju beberapa langkah, dan aku mengangkat pedang ke arahnya. Mia terdiam.
Keluar, ulangku. Cari bantuan.
Perlahan Mia mundur ke pintu. Dia menatapku dengan putus asa untuk terakhir kalinya, lalu berlari keluar.
Suasana menjadi sunyi, dan aku melonggarkan genggaman namun tetap tidak mau melepaskan pedang. Tubuhku merosot ke depan lalu aku meletakkan kepala di dada Mason. Aku tidak menyadari apa pun; dunia yang ada di sekelilingku, maupun waktu itu sendiri. Entah berapa detik yang sudah berlalu. Mungkin berjam-jam. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu apa pun, hanya tahu bahwa aku tidak boleh meninggalkan Mason sendirian. Aku berada dalam kondisi teralihkan, kondisi yang mengabaikan kengerian dan kesedihan. Aku tidak percaya Mason sudah mati. Aku tidak percaya aku baru saja membunuh. Selama menolak mengakuinya, aku bisa berpura-pura semua itu tidak terjadi.
Akhirnya terdengar suara dan langkah kaki, dan aku mendongak. Orang-orang berhamburan masuk melalui pintu, jumlahnya sangat banyak. Aku tidak bisa mengenali satu pun dari mereka. Memang tidak perlu. Mereka adalah ancaman; ancaman yang harus kujauhkan dari Mason. Beberapa dari mereka menghampiriku, dan aku melompat bangun. Aku mengangkat pedang dan memegangnya di atas tubuh Mason dengan sikap melindungi.
Menjauh, aku memperingatkan. Menjauhlah darinya.
Mereka terus mendekat. Berhenti! teriakku. Mereka berhenti. Kecuali satu orang.
Rose, sebuah suara lembut berkata. Letakkan pedangnya.
Tanganku gemetar. Aku menelan ludah. Menjauhlah dari kami.
Rose. Suara itu berkata lagi, suara yang akan dikenali oleh jiwaku di mana pun aku mendengarnya. Dengan enggan aku membiarkan diri menyadari keadaan di sekelilingku lagi, membiarkan semua detail kejadian meresap ke dalam pikiran. Aku memfokuskan mata pada sosok pria yang berdiri di hadapanku. Mata cokelat Dimitri yang lembut dan tegas sedang menatapku.
Jangan takut, kata Dimitri. Semuanya akan baik-baik saja. Kau bisa melepaskan pedangnya.
Tanganku bahkan lebih gemetar lagi saat berusaha tetap menggenggam gagang pedang. Aku tak bisa. Kata-kata yang kuucapkan terasa menyakitkan. Aku tak bisa meninggalkannya sendirian. Aku harus melindungi Mason.
Kau sudah melindunginya, kata Dimitri.
Pedang itu terjatuh dari tanganku dan mendarat di lantai kayu dengan bunyi kelontang nyaring. Tubuhku menyusul ambruk ke lantai. Aku merasa ingin menangis tetapi masih belum sanggup melakukannya.
Lengan Dimitri merangkulku saat dia berusaha membantuku berdiri. Suara-suara mulai berdengung di sekeliling kami, dan satu per satu, aku mengenali orang-orang yang kukenal dan kupercaya. Dimitri hendak menuntunku ke pintu, tetapi aku masih tidak mau bergerak. Aku tak bisa. Tanganku menggenggam kaus Dimitri dan meremas kainnya. Masih dengan satu tangan merangkul tubuhku, Dimitri menyapu rambutku agar tidak menutupi wajah. Aku menyandarkan kepala ke tubuh Dimitri, dan dia terus mengusap-usap rambutku dan menggumamkan sesuatu dalam bahasa Rusia. Aku tidak memahami satu kata pun, tetapi nadanya yang lembut membuatku tenang.
Para pengawal menyebar di seluruh penjuru rumah, memeriksanya senti demi senti. Beberapa dari mereka menghampiri kami dan berlutut di dekat mayat-mayat yang tidak mau kulihat.
Dia yang melakukannya" Dua-duanya"
Pedang itu sudah tidak diasah selama bertahun-tahun!
Sebuah suara aneh tersangkut di dalam tenggorokanku. Dimitri meremas pundakku untuk menenangkan.
Bawa dia keluar dari sini, Belikov, aku mendengar seorang wanita berkata di belakang Dimitri, suara wanita itu terdengar tidak asing.
Dimitri meremas pundakku lagi. Ayo, Roza. Saatnya pergi.
Kali ini aku menurut. Dimitri menuntunku keluar dari rumah, tetap memegangiku saat aku berjuang mengambil setiap langkah yang menyakitkan. Be
nakku masih menolak memikirkan apa yang sudah terjadi. Aku belum sanggup melakukan apa pun selain menuruti perintah sederhana yang diberikan orang-orang di sekelilingku.
Akhirnya aku berada di dalam salah satu pesawat milik Akademi. Bunyi mesin menderu di sekeliling kami saat pesawat lepas landas. Dimitri bergumam bahwa dia akan segera kembali, lalu meninggalkanku sendirian. Aku menatap lurus ke depan, mengamati detail tempat duduk di hadapanku.
Seseorang duduk di sampingku lalu menyampirkan selimut ke pundakku. Pada saat itu aku baru menyadari bahwa tubuhku gemetar hebat. Aku merapatkan selimut.
Aku kedinginan, kataku. Kenapa aku sangat kedinginan"
Kau mengalami syok, jawab Mia.
Aku berbalik dan menatap Mia, mengamati rambut ikalnya yang pirang dan mata birunya yang besar. Entah mengapa menatap Mia seakan melepaskan semua ingatanku yang terpendam. Semuanya bermunculan lagi. Aku memejamkan mataku erat-erat.
Ya Tuhan, aku menghela napas. Aku membuka mata dan menatap Mia lagi. Kau menyelamatkanku kau menyelamatkanku dengan meledakkan akuarium. Seharusnya kau tidak melakukannya. Seharusnya kau tidak boleh kembali ke rumah itu lagi.
Mia mengangkat bahu. Kau juga seharusnya tidak boleh mengambil pedang.
Benar juga. Terima kasih, kataku pada Mia. Apa yang kaulakukan itu & tidak akan pernah terpikir olehku untuk melakukannya. Itu benar-benar cemerlang.
Aku tidak yakin soal itu, Mia berkata sambil tersenyum sedih. Air kan tidak bisa digunakan sebagai senjata, kauingat"
Aku tergelak, meski sebenarnya aku tidak menganggap lucu kata-kata yang dulu kuucapkan. Tidak lagi.
Air senjata yang hebat, akhirnya aku menjawab. Saat kembali nanti, kita harus melatih berbagai cara menggunakannya.
Wajah Mia terlihat berbinar. Ketangguhan terpancar dari matanya. Aku setuju. Melebihi segalanya.
Aku ikut berduka & atas kematian ibumu.
Mia hanya mengangguk. Kau beruntung karena ibumu masih ada. Kau tidak tahu betapa beruntungnya dirimu.
Aku berpaling dan menatap punggung kursi lagi. Kata-kata yang selanjutnya keluar dari mulutku benar-benar membuatku terkejut. Kuharap dia ada di sini.
Memang ada, kata Mia dengan suara yang terdengar kaget. Ibumu ada bersama kelompok yang menggeledah rumah. Kau tidak melihatnya"
Aku menggeleng. Kami berdua terdiam. Mia berdiri lalu meninggalkan aku. Satu menit kemudian, seseorang yang lain duduk di sampingku. Aku tidak perlu melihat untuk tahu siapa orangnya. Aku tahu saja.
Rose, ibuku berkata. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ibuku terdengar tidak yakin pada dirinya sendiri. Mungkin dia takut. Mia bilang kau ingin menemuiku. Aku tidak menjawab. Aku tidak menatapnya. Kau & kau butuh apa"
Aku tidak tahu apa yang kubutuhkan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sengatan pada mataku semakin tak tertahankan, dan sebelum menyadarinya aku pun menangis. Sedu sedan yang keras dan menyakitkan mengguncang tubuhku. Air mata yang sejak tadi kutahan membanjiri wajahku. Rasa takut dan sedih yang sejak tadi kutolak akhirnya meledak dan membara di dadaku. Aku nyaris tak bisa bernapas.
Ibuku merangkulku, dan aku membenamkan wajah di dadanya, terisak semakin keras.
Aku tahu, kata ibuku lembut dan mempererat pelukannya. Aku mengerti.
BAB DUA PULUH TIGA UDARANYA HANGAT PADA hari upacara molnija-ku dilangsungkan. Bahkan, cuacanya begitu hangat sehingga salju yang menutupi kampus mulai mencair, dan mengalir di kedua sisi bangunan batu Akademi dalam aliran sungai kecil berwarna keperakan. Akhir musim dingin masih sangat lama, jadi aku tahu semuanya akan kembali membeku dalam beberapa hari. Namun, saat ini rasanya seluruh dunia sedang menangis.
Aku berhasil lolos dari insiden Spokane hanya dengan memar dan luka ringan. Luka bakar yang disebabkan borgol plastik yang meleleh merupakan luka paling parah yang kualami. Tetapi aku masih kesulitan mengatasi kematian yang kusebabkan dan yang kusaksikan. Aku hanya ingin meringkuk seperti bola di suatu tempat tanpa bicara pada siapa pun, mungkin kecuali Lissa. Namun, pada hari keempat kepulanganku ke Akademi, ibuku menemuiku dan berkata sudah saatnya
aku menerima tanda. Perlu beberapa saat sebelum akhirnya aku memahami apa yang dibicarakan ibuku. Kemudian, aku teringat bahwa aku berhak mendapatkan dua tanda molnija karena berhasil memenggal kepala dua Strigoi. Tanda molnija-ku yang pertama. Kesadaran itu membuatku terpana. Seumur hidup, dengan berasumsi akan berkarier sebagai pengawal, aku selalu berharap mendapatkan tanda ini. Aku menganggap tanda ini sebagai lencana kehormatan. Tapi sekarang" Sekarang tanda ini hanya akan menjadi pengingat sesuatu yang ingin kulupakan.
Upacara dilangsungkan di gedung pengawal, di ruangan besar yang biasa digunakan untuk pertemuan dan perjamuan. Ruangannya jauh berbeda dari aula jamuan besar yang ada di resor. Ruangan ini efisien dan praktis, sama seperti karakter pengawal. Karpetnya berwarna abu kebiruan, tenunannya tipis dan rapat. Dinding putih polosnya dihiasi oleh pigura-pigura foto hitam putih St. Vladimir semasa hidup. Selain itu tidak ada dekorasi ataupun hiasan lainnya, tetapi kekhidmatan dan kewibawaan momen ini tampak jelas. Semua pengawal di kampus tapi tidak ada novis menghadirinya. Mereka berkerumun di sekitar ruang pertemuan utama gedung, berdiri berkelompok namun tidak mengobrol. Saat upacara dimulai, tanpa diperintah mereka langsung berbaris rapi, dan menatapku.
Aku duduk di bangku yang diletakkan di sudut ruangan, membungkuk hingga rambutku menutupi wajah. Di belakangku ada seorang pengawal bernama Lionel yang memegang sebuah jarum tato di atas leher belakangku. Aku mengenal Lionel sejak tinggal di Akademi, tetapi tidak tahu bahwa dia terlatih menggambar tanda molnija.
Sebelum mulai menggambar, Lionel bercakap-cakap pelan dengan ibuku dan Alberta.
Dia takkan mendapatkan tanda sumpah, kata Lionel. Dia belum lulus.
Hal seperti ini kadang terjadi, kata Alberta. Dia sudah membunuh Strigoi. Gambarkan tanda molnija-nya saja, dan dia akan mendapatkan tanda sumpahnya belakangan.
Mengingat rasa sakit yang sering kualami, aku tidak menyangka pembuatan tato akan sesakit ini. Namun, aku menggigit bibir dan tetap diam selama Lionel membuat tandanya. Proses pembuatan tato terasa bagaikan berabad-abad lamanya. Setelah selesai, Lionel mengeluarkan dua buah cermin, dan dengan penempatan yang tepat, aku bisa melihat bagian belakang leherku. Dua tanda hitam kecil terukir berdampingan di atas kulitku yang terlihat memerah dan sensitif. Molnija artinya petir dalam bahasa Rusia, dan bentuk bergerigi itu adalah simbol makna tersebut. Dua buah tanda. Satu untuk Isaiah dan satu untuk Elena.
Setelah aku melihatnya, Lionel memasang perban dan memberiku petunjuk cara merawat lukanya sampai sembuh. Aku tidak menangkap sebagian besar petunjuknya, tetapi kurasa aku bisa menanyakannya lagi nanti. Aku masih agak terguncang karena semua kejadian ini.
Setelah itu, semua pengawal yang berkumpul menghampiriku satu per satu. Mereka semua menunjukkan sedikit perhatian pelukan atau ciuman pipi dan kata-kata penuh dukungan.
Selamat datang di jajaran ini, kata Alberta, wajahnya yang keras agak melembut saat memberiku pelukan hangat.
Saat gilirannya tiba, Dimitri tidak mengatakan apa-apa, tetapi seperti biasa, tatapannya sudah mengucapkan banyak hal. Rasa bangga dan kelembutan tergambar di wajahnya, dan aku terpaksa menahan air mata. Dengan lembut Dimitri meletakkan satu tangan di pipiku, menganggukkan kepala, lalu berjalan pergi.
Ketika Stan instruktur yang sering bertengkar denganku sejak hari pertamaku di Akademi memeluk tubuhku dan berkata, Sekarang kau salah satu dari kami. Aku selalu tahu kau akan menjadi salah satu yang terbaik, kupikir aku akan pingsan.
Kemudian, saat ibuku menghampiri, aku tidak sanggup menahan air mata yang mengalir di pipi. Ibuku mengusapnya, dan menyentuh bagian belakang leherku. Jangan pernah lupa, katanya.
Tidak ada yang mengucapkan Selamat, dan aku lega karenanya. Kematian tidak patut dirayakan.
Minuman dan makanan pun disajikan. Aku berjalan menuju meja jamuan dan mengisi piring dengan beberapa potong quiche feta mini, dan sepotong cheesecake mangga. Aku makan tanpa benar-benar merasakannya, dan menjawab p
ertanyaan dari pengawal lain tanpa menyadari apa yang kuucapkan. Aku merasa seperti robot yang melakukan semua gerakan sesuai yang diharapkan. Kulit di belakang leherku terasa menyengat, dan di dalam benakku aku terus-menerus melihat mata biru Mason serta mata merah Isaiah.
Aku merasa bersalah karena tidak bisa menikmati hari besarku ini, tetapi aku lega saat orang-orang mulai membubarkan diri. Ibuku menghampiriku saat yang lain menggumamkan selamat tinggal. Selain ucapannya saat upacara, kami belum mengobrol lagi sejak luapan emosiku di pesawat. Aku masih merasa agak aneh dengan kejadian itu dan agak malu juga. Ibuku tidak pernah menyebut-nyebut soal itu, tetapi hubungan kami sudah sedikit berubah. Selama bisa disebut berteman & tetapi kami juga tidak bisa lagi dikatakan sebagai musuh.
Lord Szelsky sebentar lagi akan meninggalkan tempat ini, kata ibuku saat kami berdiri di dekat pintu, tak jauh dari tempatku berteriak padanya pada hari pertama kami mengobrol. Aku akan pergi bersamanya.
Aku tahu, ucapku. Kepergiannya tidak perlu diragukan lagi. Memang begitulah keadaannya. Para pengawal mengikuti Moroi. Merekalah yang harus diutamakan.
Ibuku menatapku sejenak, mata cokelatnya seperti berpikir. Setelah sekian lama, untuk pertama kalinya kami benar-benar saling memandang, bukan dia memandang rendah aku seperti biasanya. Kurasa memang sudah saatnya mengingat tubuhku yang lima belas senti lebih tinggi darinya.
Kau hebat, akhirnya ibuku berkata. Mengingat keadaannya.
Bisa dikatakan itu hanya setengah pujian, tetapi aku memang tidak berhak mendapatkan lebih dari itu. Sekarang aku memahami semua kekeliruan dan salah perhitungan yang menyebabkan berbagai kejadian di rumah Isaiah. Sebagian kesalahanku, sebagian lagi bukan. Kuharap aku bisa mengubah beberapa hal, tetapi aku tahu ibuku benar. Pada akhirnya aku sudah melakukan yang terbaik untuk memperbaiki kesalahan yang kubuat.
Membunuh Strigoi ternyata tidak seglamor yang kubayangkan, ucapku.
Ibuku tersenyum sedih. Tidak. Memang tidak pernah.
Aku teringat pada semua tanda yang terdapat di balik leher ibuku, semua pembunuhan yang dilakukannya. Tubuhku menggigil.
Oh ya. Aku tak sabar ingin mengubah topik pembicaraan, jadi aku merogoh ke dalam saku lalu mengeluarkan liontin kecil berbentuk mata biru yang diberikannya padaku. Benda yang kauberikan padaku. Ini sebuah n-nazar. Aku tergagap saat mengucapkan namanya. Ibuku kelihatan kaget.
Ya. Bagaimana kau bisa tahu"
Aku tidak mau menjelaskan mimpiku bersama Adrian. Ada yang memberitahuku. Ini jimat pelindung, kan"
Ibuku termenung sejenak, lalu mengembuskan napas dan mengangguk. Ya. Awalnya dari sebuah takhayul di Timur Tengah & Beberapa orang percaya bahwa orang-orang yang ingin menyakitimu bisa mengutuk atau memberimu mata jahat. Nazar ini dimaksudkan untuk melawan mata jahat & dan memberikan perlindungan secara menyeluruh pada siapa pun yang memakainya.
Aku menyentuh potongan kaca itu. Timur Tengah & jadi, tempat seperti, em, Turki"
Bibir ibuku tiba-tiba tertekuk. Tempat seperti Turki. Ibuku ragu-ragu. Benda itu & hadiah. Hadiah yang kuterima sudah lama sekali &. Dia menerawang, tenggelam dalam kenangan. Aku mendapatkan banyak & perhatian dari lelaki saat seumurmu. Perhatian yang pada awalnya terlihat menyanjung, tapi pada akhirnya sama sekali tidak seperti itu. Kadang-kadang sulit untuk membedakan mana yang benar-benar perhatian, mana yang hanya ingin mencari kesempatan darimu. Tapi kalau kau merasakan cinta yang sesungguhnya & yah, kau akan tahu.
Saat itu aku baru mengerti mengapa ibuku berusaha keras melindungi reputasiku saat masih muda dulu reputasinya sendiri sempat terancam. Mungkin lebih parah lagi.
Aku juga tahu siapa yang memberikan nazar itu kepadanya. Ayahku yang memberikannya. Kurasa ibuku tidak ingin membicarakannya lebih lanjut, jadi aku tidak bertanya. Mungkin, hanya mungkin, lebih baik kalau aku cukup tahu bahwa hubungan mereka lebih dari sekadar bisnis dan genetik.
Kami mengucapkan selamat tinggal, dan aku kembali ke kelas. Semua orang tahu keberadaanku pagi ini, dan teman-teman novisku ing
in melihat tanda molnija-ku. Aku tidak menyalahkan mereka. Kalau keadaannya dibalik, aku juga akan berbuat sama.
Ayolah, Rose, Shane Reyes memohon. Kami sedang berjalan keluar dari kelas latihan pagi, dan dia terus-menerus berusaha menggeser kucir rambutku. Dalam hati aku membuat catatan untuk menggerai rambutku besok. Beberapa orang lainnya mengikuti kami dan mengulangi permintaan Shane.
Yeah, ayolah. Biarkan kami melihat apa yang kaudapatkan untuk gelar barumu!
Mata mereka berbinar oleh rasa penasaran dan semangat. Aku adalah sang pahlawan, teman sekelas mereka yang berhasil memenggal kepala pemimpin kelompok Strigoi yang meneror kami selama liburan. Namun, mataku berserobok dengan seseorang yang berdiri paling belakang, seseorang yang tidak kelihatan penasaran ataupun semangat. Eddie. Saat menatapku, Eddie tersenyum sedih. Dia mengerti.
Maafkan aku, Teman-Teman, kataku seraya berbalik. Tandanya masih diperban. Perintah dokter.
Jawabanku ditanggapi oleh gerutu yang segera berubah menjadi pertanyaan mengenai bagaimana caraku membunuh para Strigoi itu. Memenggal kepala merupakan salah satu cara yang paling sulit dan jarang dilakukan untuk membunuh vampir, tetapi memegang pedang juga tidak semudah itu. Jadi, aku berusaha sebisa mungkin memberitahu teman-temanku tentang apa yang terjadi, dan memastikannya tetap sesuai dengan kenyataan dan tidak melebih-lebihkan proses pembunuhannya.
Pelajaran hari itu terasa cepat berlalu, tahu-tahu aku sedang berjalan bersama Lissa menuju asramaku. Aku dan Lissa belum mendapat kesempatan mengobrol sejak semua kejadian di Spokane. Aku harus menjawab banyak pertanyaan, lalu pemakaman Mason. Lissa juga sibuk dengan urusannya sendiri dengan kepergian para bangsawan dari kampus, jadi waktu luangnya juga tidak lebih banyak dariku.
Berada di dekat Lissa membuatku merasa lebih baik. Meski aku bisa memasuki pikiran Lissa kapan saja, rasanya tetap tidak sama dengan sungguh-sungguh berada di dekat manusia lain yang memang peduli padamu.
Saat kami tiba di depan pintu kamarku, aku melihat sebuah buket bunga freesia yang diletakkan di lantai. Aku mendesah, lalu mengambil bunga berbau harum itu tanpa melihat kartu yang menempel di sana.
Apa itu" tanya Lissa saat aku membuka pintu kamar.
Dari Adrian, jawabku. Kami masuk ke kamar, dan aku menuding meja tempat beberapa buket lainnya disimpan. Aku meletakkan bunga freesia di samping buket lainnya. Aku akan sangat lega saat dia meninggalkan kampus. Kurasa aku tak sanggup menghadapinya lagi.
Lissa berbalik lalu menatapku dengan kaget. Oh. Em, kau belum tahu ya"
Aku mendapatkan peringatan melalui ikatan batin kami bahwa aku takkan suka mendengar berita yang sebentar lagi akan disampaikan Lissa.
Tahu apa" Uh, Adrian tidak akan meninggalkan kampus. Dia akan tinggal di sini untuk sementara.
Dia harus pergi, sanggahku. Setahuku, satu-satunya alasan Adrian kembali ke sini adalah untuk menghadiri pemakaman Mason. Dan aku sendiri masih tidak mengerti mengapa dia melakukannya, karena dia hampir tidak mengenal Mason. Mungkin Adrian hanya melakukannya untuk pamer. Atau mungkin agar bisa tetap menguntitku dan Lissa. Dia kan kuliah. Atau mungkin sekolah anak-anak nakal. Entahlah, tapi pasti ada hal lain yang harus dilakukannya.
Dia mengambil cuti selama satu semester.
Aku melongo. Lissa tersenyum melihat kekagetanku, lalu menganggukkan kepala. Adrian akan tinggal di sini dan bekerja sama denganku & dan Ms. Carmack. Selama ini Adrian bahkan tidak tahu roh itu apa. Adrian hanya tahu dirinya tidak memiliki spesialisasi tapi memiliki kemampuan yang tidak biasa. Adrian merahasiakan semua ini, kecuali saat bertemu dengan pengguna roh lainnya. Tapi sama seperti Adrian, mereka juga tidak tahu banyak soal itu.
Seharusnya aku tahu lebih awal, kataku geli. Ada sesuatu yang berbeda saat berada di dekatnya & Aku selalu ingin mengobrol dengannya, kau tahu" Dia memiliki & karisma tertentu. Sama sepertimu. Kurasa semua itu berhubungan dengan roh dan kompulsi, atau entah apa lagi. Semua itu membuatku menyukainya & meski aku tidak menyukainya.
Benarkah kau tida k menyukainya" goda Lissa.
Tidak, jawabku mantap. Dan aku juga tidak suka dengan mimpi-mimpi itu.
Mata hijau giok Lissa melebar takjub. Itu kan keren, katanya. Kau selalu tahu apa yang sedang terjadi padaku, tapi aku tak pernah bisa berkomunikasi denganmu. Aku senang kalian berhasil meloloskan diri & tapi kuharap aku sudah tahu soal mimpi ini supaya bisa membantu menemukan kalian.
Menurutku tidak, ucapku. Aku senang Adrian tidak berhasil membujukmu untuk berhenti minum obat.
Aku baru mengetahuinya beberapa hari setelah kejadian Spokane. Ternyata Lissa menolak saran Adrian untuk menghentikan konsumsi pil agar bisa belajar lebih banyak tentang roh. Namun, Lissa mengakui seandainya aku dan Christian menghilang lebih lama lagi, dia mungkin akan menyerah.
Bagaimana perasaanmu akhir-akhir ini" tanyaku, tiba-tiba teringat pada kekhawatiran Lissa soal pengobatannya. Kau masih merasa pilnya sudah tidak berfungsi"
Mmm & sulit dijelaskan. Aku masih merasa lebih dekat dengan sihir, seakan-akan pilnya sudah tidak menghalaunya lagi. Tapi aku juga tidak merasakan efek samping mental lainnya & aku tidak merasa kesal atau semacamnya.
Wow, itu hebat. Senyum indah membuat wajah Lissa berbinar. Aku tahu. Itu membuatku berpikir bahwa suatu hari nanti aku masih bisa menggunakan sihir.
Melihat Lissa sebahagia ini membuatku tersenyum juga. Aku sama sekali tidak suka saat melihat perasaan kelam itu kembali, dan sekarang aku lega saat melihatnya lenyap. Aku tidak mengerti bagaimana atau mengapa semua itu bisa terjadi, tetapi selama Lissa merasa baik-baik saja
Semua orang dikelilingi cahaya, kecuali dirimu. Kau memiliki bayangan. Kau mendapatkannya dari Lissa.
Kata-kata Adrian itu tiba-tiba menghantam benakku. Dengan gelisah aku teringat pada sikapku beberapa minggu terakhir ini. Ledakan amarah. Sikap memberontakku yang bahkan untuk diriku termasuk tidak biasa. Gulungan emosi kelam yang bergulung di dalam dada &.
Tidak, batinku. Sama sekali tidak ada kesamaan. Perasaan kelam yang dirasakan Lissa disebabkan oleh sihir. Sedangkan yang kurasakan akibat stres. Lagi pula, sekarang aku merasa baik-baik saja.
Menyadari Lissa sedang menatapku, aku berusaha mengingat-ingat pembicaraan kami tadi sampai di mana. Mungkin akhirnya kau bisa menemukan cara menggunakannya" Maksudku, kalau Adrian saja bisa menemukan cara menggunakan roh dan tidak memerlukan pengobatan &
Lissa tiba-tiba tertawa. Kau tidak tahu, ya"
Tahu apa" Tahu bahwa Adrian mengobati dirinya sendiri.
Benarkah" Tapi dia bilang erangku. Tentu saja dia mengobati dirinya sendiri. Dengan rokok. Dengan minuman keras. Entah dengan apa lagi, hanya Tuhan yang tahu.
Lissa mengangguk. Yap. Dia selalu memasukkan sesuatu ke dalam tubuhnya.
Tapi mungkin malam itu dia tidak melakukannya & karena itulah dia bisa menyelinap ke dalam mimpiku.
Ya ampun, kuharap aku bisa melakukannya, desah Lissa.
Mungkin kau akan mempelajarinya suatu hari nanti. Tapi jangan berubah menjadi pecandu alkohol saat kau sedang berusaha melakukannya.
Tidak akan, Lissa meyakinkanku. Tapi aku akan mempelajarinya. Tak ada pengguna roh lain yang bisa melakukannya, Rose yah, selain St. Vladimir. Aku akan belajar untuk melakukannya seperti dia. Aku akan belajar untuk menggunakannya dan aku takkan membiarkannya menyakitiku.
Aku tersenyum dan menyentuh tangan Lissa. Aku benar-benar yakin dia bisa melakukannya. Aku tahu.
Kami mengobrol sampai malam. Saat tiba waktunya latihan rutinku bersama Dimitri, aku berpisah dengan Lissa. Saat berjalan menjauh, aku memikirkan sesuatu yang mengangguku selama ini. Meski kelompok Strigoi yang melakukan serangan itu memiliki lebih banyak anggota, para pengawal yakin Isaiah-lah pemimpin mereka. Bukan berarti di masa yang akan datang tidak ada ancaman lain, tetapi mereka menduga para Strigoi ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berkomplot lagi.
Tetapi aku tak bisa berhenti memikirkan daftar yang kulihat di terowongan Spokane, daftar berisi nama-nama keluarga bangsawan sesuai jumlahnya. Dan Isaiah pernah menyebut nama Dragomir. Dia tahu bahwa keluarga itu hampir pu
nah, dan kedengarannya dia senang sekali jika bisa menjadi orang yang menghabisi mereka. Memang, sekarang dia sudah mati & tetapi apakah di luar sana ada Strigoi lain yang berpikiran sama dengannya"
Aku menggeleng. Aku tidak bisa mengkhawatirkan soal itu. Tidak sekarang. Aku masih harus memulihkan diri. Namun, aku pasti akan segera menghadapinya.
Aku bahkan tidak yakin latihan kami masih dilakukan atau tidak, tetapi aku tetap pergi ke ruang loker. Setelah berganti dengan pakaian olahraga, aku menuju gedung olahraga dan menemukan Dimitri di ruang penyimpanan. Dia sedang membaca novel Western kesukaannya. Dimitri mendongak saat aku masuk. Aku jarang bertemu dengannya beberapa hari terakhir ini, dan menduga dia sedang sibuk bersama Tasha.
Sudah kuduga kau akan datang, kata Dimitri sambil meletakkan pembatas buku di antara dua halaman.
Saatnya latihan. Dimitri menggeleng. Tidak. Hari ini tak ada latihan. Kau masih harus memulihkan diri.
Aku memiliki catatan kesehatan yang bersih. Aku siap berlatih. Sebisa mungkin aku mengatakannya dengan gaya nekat khas Rose Hathaway.
Dimitri sama sekali tidak percaya. Dia menunjuk kursi di sebelahnya. Duduklah, Rose.
Aku hanya ragu sebentar sebelum akhirnya menuruti permintaannya. Dimitri menggeser kursinya sendiri sehingga lebih dekat dengan kursiku dan kami duduk berhadap-hadapan. Jantungku bergetar saat menatap mata gelap Dimitri yang indah.
Tidak ada orang yang sanggup menghadapi pembunuhan pertamanya & dua pembunuhan pertama & dengan mudah. Bahkan dengan Strigoi pun & yah, secara teknis masih disebut mengambil nyawa. Hal itu sangat sulit untuk dihadapi. Dan dengan segala hal lain yang sudah kaulalui & Dimitri mendesah, lalu mengulurkan tangan, meraih tanganku. Jemarinya terasa persis seperti yang kuingat, panjang dan kuat, kapalan akibat latihan bertahun-tahun. Saat aku melihat wajahmu & saat kami menemukanmu di dalam rumah itu & kau tak bisa membayangkan apa yang kurasakan.
Aku menelan ludah. Apa & apa yang kaurasakan"
Putus asa & sedih. Kau memang masih hidup, tapi jika melihat penampilanmu & kusangka kau takkan pulih lagi. Dan aku merasa terpukul saat memikirkan semua itu terjadi padamu dalam usia semuda ini. Dimitri meremas tanganku. Kau pasti akan pulih aku tahu itu, dan aku lega karenanya. Tapi kau belum mencapai titik itu. Belum. Kehilangan orang yang kausayangi memang tidak pernah mudah.
Tatapanku beralih dari mata Dimitri dan menekuni lantai. Ini salahku, kataku pelan.
Hmm" Mason. Terbunuh. Aku tidak perlu menatap wajah Dimitri untuk melihat perasaan sayang yang terpancar darinya. Oh, Roza. Tidak. Kau memang membuat beberapa keputusan yang salah & seharusnya kau memberitahu orang lain saat Mason menghilang & tapi kau tak boleh menyalahkan diri sendiri. Kau tidak membunuh Mason.
Air mataku sudah tergenang saat aku mendongak lagi. Bisa dibilang aku membunuhnya. Alasan Mason pergi ke tempat itu itu salahku. Kami bertengkar & dan aku memberitahunya soal Spokane, meski kau sudah menyuruhku merahasiakannya &.
Sebutir air mata menetes dari sudut mataku. Aku sungguh-sungguh harus belajar menghentikannya. Seperti yang dilakukan ibuku, Dimitri mengusap air mata dari pipiku dengan lembut.
Kau tak boleh menyalahkan diri, kata Dimitri. Kau boleh menyesali keputusanmu dan berharap melakukan semuanya dengan cara berbeda, tapi pada akhirnya, Mason sendiri yang memutuskan. Itu pilihannya. Pada akhirnya itu keputusan Mason, apa pun peran awalmu. Saat Mason kembali untuk menyelamatkanku, aku tersadar, dia sudah membiarkan dirinya dipengaruhi perasaannya padaku. Itulah yang selama ini selalu dikhawatirkan oleh Dimitri. Dia selalu khawatir jika kami memiliki hubungan semacam itu, hal itu akan menyebabkan kami dan Moroi mana pun yang kami lindungi berada dalam bahaya.
Aku hanya berharap aku bisa & entahlah, melakukan sesuatu &.
Aku menahan air mata, menarik tanganku dari genggaman Dimitri, lalu berdiri sebelum mengatakan sesuatu yang bodoh.
Sebaiknya aku pergi, kataku serak. Kabari aku kalau kau ingin memulai latihannya lagi. Dan terima kasih untuk & obrolannya.
Aku hendak be rbalik, lalu mendengar Dimitri tiba-tiba berkata, Tidak.
Aku meliriknya lagi. Apa"
Dimitri menatapku, dan ada sesuatu yang terasa hangat, mengagumkan, dan sangat kuat yang terpancar di antara kami.
Tidak, ulangnya. Aku menolaknya. Tasha.
Aku & Aku menutup mulut sebelum rahangku menyentuh lantai. Tapi & kenapa" Itu kesempatan yang hanya datang sekali seumur hidup. Kau bisa memiliki anak. Dan dia & Tasha, kau tahu kan, dia menyukaimu &.
Sisa-sisa senyum melintasi wajah Dimitri. Ya, memang. Sekarang pun masih. Dan karena itulah aku terpaksa menolaknya. Aku tidak bisa membalas perasaannya & tidak bisa memberikan apa yang diinginkannya. Tidak di saat & Dimitri maju beberapa langkah untuk menghampiriku. Tidak di saat hatiku ada di tempat lain.
Aku hampir menangis lagi. Tapi kelihatannya kau sangat menyukai Tasha. Dan kau sering mengatakan betapa tidak dewasanya sikapku.
Kau bersikap tidak dewasa, kata Dimitri, karena kau memang masih muda. Tapi kau tahu banyak hal, Roza. Hal-hal yang bahkan tidak diketahui oleh orang-orang yang lebih tua darimu. Pada hari itu & Aku langsung tahu hari mana yang dimaksud oleh Dimitri. Hari ketika dia menyudutkanku di dinding ruang latihan dan aku menciumnya. Kau memang benar, soal aku yang selalu berusaha mengendalikan diri. Belum pernah ada orang yang menyadari hal itu dan itu membuatku takut. Kau membuatku takut.
Kenapa" Kau tak mau ada orang lain yang mengetahuinya"
Dimitri mengangkat bahu. Soal mereka tahu atau tidak, sama sekali bukan masalah. Yang menjadi masalah adalah saat ada seseorang yaitu kau yang mengenalku sebaik itu. Rasanya sulit saat ada orang yang bisa melihat ke dalam jiwamu. Hal itu memaksamu untuk terbuka. Rapuh. Jauh lebih mudah untuk menghabiskan waktu bersama orang yang lebih tepat dikatakan sebagai teman dekat.
Seperti Tasha. Tasha Ozera wanita yang mengagumkan. Dia cantik dan pemberani. Tapi dia tidak


Frostbite Vampire Academy 2 Karya Richelle Mead di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia tidak memahami dirimu, aku menyelesaikan ucapannya.
Dimitri mengangguk. Aku tahu itu. Tapi aku masih ingin menjalin hubungan. Aku tahu menjalin hubungan dengan Tasha mudah untuk dilakukan, dan dia bisa menjauhkanku darimu. Kupikir dia bisa membuatku melupakanmu.
Aku juga berpikir seperti itu mengenai Mason. Tapi dia tidak bisa melakukannya.
Ya. Dan, itulah & masalahnya.
Karena kita tidak bisa bersama.
Ya. Karena perbedaan usia di antara kita.
Ya. Tapi yang paling utama adalah karena kita akan menjadi pengawal Lissa, dan harus memusatkan perhatian padanya bukan satu sama lain.
Ya. Aku memikirkannya sejenak, lalu menatap mata Dimitri lekat-lekat. Begini, akhirnya aku berkata, kalau dari sudut pandangku, kita belum menjadi pengawal Lissa.
Tubuhku membeku saat menunggu tanggapan Dimitri selanjutnya. Aku tahu jawabannya pasti salah satu nasihat hidup ala Zen lagi. Sesuatu mengenai kekuatan batin dan kegigihan, bahwa pilihan yang kita buat hari ini merupakan gambaran masa depan, atau omong kosong lainnya.
Alih-alih, Dimitri menciumku.
Waktu seakan berhenti saat Dimitri mengulurkan dan menangkupkan kedua tangan pada wajahku. Dia menurunkan mulut dan menyapukannya pada bibirku. Awalnya sentuhan itu tak bisa disebut sebagai ciuman, tetapi kemudian meningkat dengan cepat hingga semakin dalam dan kuat. Saat Dimitri akhirnya menarik diri, dan mencium keningku. Dimitri membiarkan bibirnya tetap berada di sana selama beberapa saat, dan lengannya memeluk tubuhku dengan erat.
Aku berharap ciuman itu akan berlangsung selamanya. Saat melepas rangkulannya, Dimitri menyapukan jemari pada rambutku dan terus turun ke pipi. Kemudian dia mundur menuju pintu.
Sampai nanti, Roza. Pada latihan kita berikutnya" tanyaku. Kita akan memulainya lagi, kan" Maksudku, masih banyak yang harus kauajarkan padaku.
Seraya berdiri di ambang pintu, Dimitri menoleh padaku dan tersenyum. Ya. Sangat banyak.
===========================
Baca kelanjutannya di: Vampire Academy 3 : Shadow Kiss.
Thanks to. Kumpulan Novel Online Bahasa Indonesia at Facebook
Edited by. Echi https://desyrindah.blogspot.com
Pendekar Bodoh 18 Pedang Siluman Darah 17 Pertarungan Dua Datuk Pendekar Sakti Suling Pualam 18
^