Pencarian

Pasangan Si Boneka Hidup 1

Goosebumps Pasangan Si Boneka Hidup Bride Of The Living Dummy Bagian 1


1 " JILLIAN... kau sedang apa?"
Aku mendengar suara nyaring adikku dari ambang pintu
kamarku. Kumasukkan seekor lalat mati ke dalam kotak kaca dan
Petey menyambarnya dengan lidahnya yang runcing dan merah muda.
"Mmmm, lalat yang lezat," gumamku padanya. "Sedap dan
jarang ada." "Kau sedang apa sih?" Katie bertanya lagi.
Aku menoleh ke pintu. "Sedang latihan biola," kataku.
Kate memasang tampang muak. "Tidak, kau bohong. Kau
sedang memberi makan kadalmu."
"Memang," kataku sambil memutar-mutar mataku. Kuangkat
seekor lalat mati lagi. "Mau coba" Nyam-nyam lho."
"Kadal itu menjijikkan," erang Katie.
"Aku suka dia," kataku. Lalu aku memasukkan tangan ke kotak
kaca dan menggelitik dagu Petey. "Sudah malam. Kenapa kau belum
tidur?" tanyaku pada Katie.
Katie menguap. "Aku belum capek," sahutnya.
Amanda, saudari kembar Katie, masuk. "Aku juga belum
capek," katanya. "Mary-Ellen juga belum. Mary-Ellen ingin bangun
sampai tengah malam."
Aku mengeluh. "Keluarkan Mary-Ellen dari kamarku, tolong,"
kataku dengan gigi terkatup.
"Mary-Ellen bisa pergi ke mana pun dia suka," bantah Amanda.
"Mary-Ellen tidak suka padamu, Jillian," Katie menambahkan
dengan sinis. "Dia benci padamu dan pada kadalmu."
"Aku juga benci Mary-Ellen!" teriakku. "Keluarkan dia dari
kamarku!" Aku tahu sikapku kekanak-kanakan, seperti kedua adik
kembarku yang baru enam tahun itu. Tapi mau bagaimana lagi" Aku
memang benci pada Mary-Ellen.
Sejak Dad membawa pulang Mary-Ellen, suasana di rumah
kami jadi sangat tidak menyenangkan.
Mary-Ellen adalah sebuah boneka berukuran besar, hampir
setinggi kedua adik kembarku. Rambutnya cokelat kasar, mulutnya
merah berbentuk hati dan menyeringai menyebalkan, matanya dari
kaca berwarna ungu, dan di pipinya yang bundar ada dua lingkaran
merah cerah. Boneka itu benar-benar menakutkan, tapi kedua anak kembar
itu memperlakukannya seperti saudara. Mereka mendandaninya,
mengajaknya bicara, menyanyi untuknya, pura-pura menyuapinya,
dan membawanya ke mana-mana.
Mereka jauh lebih sayang pada Mary-Ellen daripada kepadaku.
Kalau malam aku suka membayangkan apa-apa yang akan kulakukan
pada boneka menyebalkan itu.
Amanda memanggul boneka itu di bahunya. "Kata Mary-Ellen,
kita tidak usah tidur sampai tengah malam," katanya padaku.
Aku memasukkan seekor lalat lagi ke mulut Petey yang terbuka.
"Mom dan Dad tidak peduli apa yang dikatakan oleh boneka jelek
itu," jawabku. Kedua anak itu hendak beranjak. "Kau akan menyesal, jahat
pada Mary-Ellen," Katie memperingatkanku.
"Kata Mary-Ellen, kau akan menyesal," Amanda mengikuti.
Kepala boneka itu berguncang-guncang di bahunya ketika ia berjalan
ke luar.EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Aku membanting pintu dan mendesah panjang. Kenapa sih anak
enam tahun sangat menjengkelkan"
Selesai memberi makan Petey, aku menelepon beberapa orang
teman, membuat rencana untuk akhir pekan.
Aku tidur sekitar pukul setengah dua belas. Aku mimpi tentang
temanku, Harrison Cohen. Dalam mimpiku, kami bisa terbang. Kami
terbang mengitari sekolah dan semua anak terkagum-kagum.
Sebuah suara KLIK yang keras membangunkanku dari mimpi.
Aku terkejut dan mencoba melihat menembus kegelapan
kamarku. Terdengar bunyi KLIK lagi. Lalu suara gesekan tajam.
Sebilah benda tajam berkelebat dalam kegelapan. Apakah itu"
Pisaukah" Aku mencoba bergerak, tapi terlambat.
Bilah itu bergerak ke tenggorokanku... dan aku menjerit.
2 Aku mengulurkan kedua tanganku, berusaha meraih benda itu
dan mendorongnya. Terdengar suara cekikikan pelan.
Lampu mejaku menyala. "Hah?" Aku berseru terkejut melihat kedua adik kembarku yang
sedang tertawa-tawa. Katie memegang sebilah gunting panjang di tangannya.
Senyumnya memudar. "Kau merusak kejutan kami," katanya.
"Kejutan?" Jantungku berdebar kencang. "Kalian sedang apa di
sini?" seruku terengah.
"Kami ingin mengejutkanmu," sahut Katie. "Kami ingin
menggunting rambutmu."
Aku ternganga, tapi tidak ada suara yang keluar. Aku terlalu
kaget untuk berbicara. "Menggunting rambutku?" kataku akhirnya.
"Kenapa sih kau pakai bangun segala?" seru Amanda. "Gagal
deh semuanya." "Akan kubalas kalian!" teriakku. Dengan menjerit marah
kusambar gunting itu dari tangan Katie.
Kedua anak ini selalu iseng padaku. Tapi belum pernah
keterlaluan seperti ini. "Dari mana kalian mendapat gagasan...,"
kataku dengan marah. "Kata Mary-Ellen, rambutmu perlu digunting," sahut Katie
sambil menarik-narik rambutku. "Itu gagasan Mary-Ellen."
Dengan marah kutepiskan tangannya. "Keluar dari kamarku,"
kataku berang. "Akan kubalas kalian nanti. Sungguh, akan kubalas."
Mereka mendesah dan hendak beranjak pergi.
"Mau tahu apa yang akah kulakukan?" seruku pada mereka.
"Akan kugunting rambut Mary-Ellen. Kepalanya kulepaskan."
"Mary-Ellen mendengar lho," kata Katie.
"Kau akan menyesal," Amanda menimpali.
Keduanya kembali ke kamar mereka. Lama aku baru bisa tidur
kembali. "Mungkin aku benar-benar akan melepaskan kepala boneka
itu," pikirku. "Biar tahu rasa mereka."
*********** Sabtu sore aku sedang di kamarku, menunggu kedatangan
Harrison, temanku. Cahaya matahari yang cerah masuk melalui
jendela yang terbuka. Hari musim gugur yang indah.
"Jillian, ayo berangkat," kudengar Amanda memanggilku dari
lorong. "Ya, sudah waktunya berangkat. Waktunya berangkat," Katie
dan Amanda berbicara berbarengan.
Kenapa sih anak enam tahun suka begitu"
"Hei, tunggu dulu dong." Aku menutupi telingaku.
Tanpa menghiraukan seruan mereka, aku bercermin. Rambutku
hitam lurus dan mataku hijau. Aku jangkung dan sangat kurus. Aku
anak paling jangkung di kelas enam. Dad suka memanggilku Tiang,
karena aku sangat kurus dan lurus.
Bayangkan! Kedua adik kembarku juga jangkung, kurus, dan berambut
gelap. Katie selalu mengikat rambutnya menjadi ekor kuda, sementara
Amanda membiarkan rambutnya tergerai di bahu.
Tapi aku tetap saja sulit membedakan mereka. Kecuali kalau
mereka sudah berbicara. Katie bersuara cempreng. Dialah yang lebih
sinting di antara mereka berdua. Dia selalu aneh-aneh.
Amanda biasanya jauh lebih tenang, lebih pendiam, dan lebih
penuh pengertian. Tapi saat ini tidak. Mereka menarik-narikku ke pintu sambil
terus mengoceh, "Waktunya berangkat! Waktunya berangkat!"
"Berangkat ke mana?" seruku.
Mom masuk membawa setumpuk kaus bersih. Ia
meletakkannya di tempat tidurku, lalu mengernyit pada Petey. Ia juga
tidak suka pada Petey. "Jillian, apa kau lupa janjimu untuk mengajak
kedua adikmu ke Teater Kecil?" tanyanya.
"Oh, tidak," erangku. "Aku memang lupa."
Aku memang pernah menjanjikan pada si kembar bahwa aku
akan mengajak mereka nonton pertunjukan boneka matine pada hari
Sabtu. "Kau mesti mengajak kami," kata Katie. Ia menarik tanganku
dengan keras, hingga bahuku serasa mau lepas.
"Ya, mesti," Amanda ikut-ikutan.
"Tapi aku harus bertemu Harrison," protesku pada Mom.
Harrison tinggal di ujung blok. Kami menjadi sahabat karib sejak aku
menyuruhnya makan semangkuk lumpur di kelas satu dulu.
Mom menatapku dengan tajam dan tegas. "Kau sudah janji, dan
kau harus menepatinya," perintahnya.
Si kembar berseru senang.
"Ajak Harrison bersamamu," kata Mom. "Kurasa dia senang
nonton pertunjukan itu."
Yeah. Sudah pasti. Mom menatapku semakin tajam. "Jillian, kau ingin
mengumpulkan uang dengan menghibur anak-anak pada pesta-pesta
ulang tahun, bukan?"
"Ya," sahutku. "Nah, mungkin kau bisa mendapat gagasan bagus dari
pertunjukan boneka itu," kata Mom.
Aku mengerang. "Mom, aku ingin jadi badut, bukan
ventriloquist konyol."
Mom mencondongkan tubuh padaku. "Kau sudah janji pada
mereka," bisiknya. "Oke, oke, kita pergi," kataku.
Si kembar bersorak. "Harrison memang suka pertunjukan boneka," kataku.
"Mungkin dia akan terkagum-kagum."
"Kalau Harrison ikut, Mary-Ellen juga harus ikut," seru Katie.
"Ya," Amanda setuju. "Mary-Ellen juga ingin melihat si
ventriloquist." "Tidak bisa," protesku. "Aku tidak mau membawa monster
jelek itu." Amanda menghilang ke kamarnya. Tak lama kemudian, ia
muncul lagi membawa boneka itu. "Kata Mary-Ellen, dia ingin ikut."
"Tapi... tapi," aku terbata-bata. "Dia terlalu besar. Aku mesti
membeli karcis juga untuknya. Dia mesti duduk sendiri."
"Akan kupangku dia," seru Katie.
"Tidak, aku yang memangkunya," bantah Amanda.
"Aku tidak mau membawanya," aku bersikeras. Lalu aku
melihat jam. "Taruh boneka itu. Ayo kita berangkat," kataku sambil
mengambil tasku. Amanda tidak bergerak. Ia memeluk boneka itu. "Aku tidak
mau pergi tanpa Mary-Ellen."
"Aku juga," tambah Katie dengan cempreng.
"Oke, oke," desahku. Aku mengalah. "Bawalah boneka itu."
Mereka bersorak. Mereka senang kalau menang. Dan karena
mereka dimanja dan hampir selalu menang, mereka jadi sering
bersorak. Sebuah bunyi nyaring memekakkan telinga terdengar. "Bunyi
apa itu?" seruku. "Biasa, ayahmu," sahut Mom.
Suara itu terdengar lagi dan aku mesti menutupi telinga.
"Ayahmu ada di bengkelnya," kata Mom. "Masih mengotakatik meja kopi itu."
"Sudah enam bulan diotak-atik terus," kataku.
"Tapi kalau sudah selesai pasti bagus hasilnya." Mom melihat
jam. "Kalian nanti terlambat."
"Ayo pergi," kataku pada si kembar. "Kita nonton pertunjukan
itu." "Mary-Ellen juga," Katie mengingatkanku.
"Iya, iya," erangku.
Katie mengayunkan boneka itu. Tangan si boneka yang terbuat
dari plastik berat melayang dan menampar wajahku. "Hei!" aku
berseru marah. "Mary-Ellen yang melakukan, bukan aku," kata Katie. Ia
menjulurkan lidahnya padaku.
Harrison sedang memasuki pekarangan. Tubuhnya sangat besar.
Ia tidak gemuk, hanya besaaar. Kepala besar, dada besar, lengan dan
kaki besar berotot. Wajahnya bundar, matanya serius, dan rambutnya
pendek gelap. "Ada apa?" serunya.
"Kita akan nonton pertunjukan boneka," kataku. "Kita semua."
"Asyik," katanya.
Aku tahu ia pasti suka. Aku sendiri bakal bosan setengah mati.
Dan ternyata aku benar. Tapi ada satu hal yang tidak kuketahui.
Pertunjukan ini akan berakibat fatal pada kami.
3 "KAPAN mulainya" Kapan mulainya?" Si kembar melompatlompat di kursi mereka. Mary-Ellen ikut bergoyang di pangkuan
Katie. Tubuhnya berayun dan rambutnya yang kaku masuk ke
mulutku. Kami mendapat tempat di tengah baris ketiga. Aku
melayangkan pandang. Teater Kecil ini dulunya gedung bioskop.
Sekarang lebih banyak digunakan untuk pentas sandiwara anak-anak.
Panggung yang lebar menjulang di atas kami dengan tirai merah
lusuh. Dulu ada dua balkon di bagian belakang, tapi sekarang sudah
ditutup. Kursi-kursinya sudah rusak atau sobek-sobek, tapi anak-anak
kelihatannya tidak peduli.
Ratusan anak memenuhi teater itu. Semuanya berteriak-teriak
dan melompat-lompat seperti Katie dan Amanda, tak sabar ingin
pertunjukan segera dimulai.
Beberapa baris di belakang kami, seorang gadis kecil berambut
merah menangis tersedu-sedu. Seorang anak lelaki ber-sweater kuning
cerah sedang diseret di lorong oleh ibunya. Si ibu menekankan
saputangan ke hidung anaknya, untuk menghentikan mimisannya.
Aku menoleh pada Harrison. "Begini kaubilang asyik?" kataku.
Ia nyengir. "Menurutku nonton ventriloquist asyik."
Harrison memang aneh. Ia tak pernah mengeluh. Semua
dibilang asyik. Kadang-kadang kupikir ia berasal dari bulan.
Sesuatu menimpa leherku. Aku membalikkan tubuh. Si kembar
sedang saling lempar popcorn. "Kalian membuang-buang popcorn,"
kataku. "Mary-Ellen ingin dibelikan juga," kata Katie. "Belikan dong
buat Mary-Ellen." "Tidak," sahutku. "Kau berbagi saja dengannya."
"Kapan pertunjukannya dimulai" Aku bosan nih," rengek
Amanda. "Mary-Ellen juga bosan," tambah Katie.
Aku tidak menghiraukan mereka dan berpaling pada Harrison.
"Ingat rencana kita malam Minggu depan?" tanyaku.
Ia menyipitkan mata padaku. "Hah?"


Goosebumps Pasangan Si Boneka Hidup Bride Of The Living Dummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tok-tok," aku mengetuk dahinya. "Ada orang, tidak" Kita kan
sudah ratusan kali membicarakannya, ingat" Katamu kau mau
membantuku tampil di pesta ulang tahun?"
"Oh iya." Ia menggaruk-garuk rambutnya yang pendek. "Kan
kita jadi badut, ya?"
"Kita mesti berlatih," kataku. "Aku ingin bisa tampil lucu. Ini
order pertamaku, dan Mrs. Henly membayarku tiga puluh dolar."
"Membayar kita," Harrison mengoreksi ucapanku.
"Popcorn-nya tidak cukup," sela Katie. "Mary-Ellen kepingin
dibelikan popcorn sendiri. Beli dong, Jillian. Cepat!" Ia mendorong
boneka itu ke wajahku. Aku meledak marah. "Singkirkan boneka jelek itu!" teriakku. Kutampar wajah MaryEllen. Kepala boneka itu terdorong ke belakang.
Katie terkejut dan menarik bonekanya ke pangkuannya. Ia
cemberut dan meleletkan lidah padaku.
Musik menggelegar dari pengeras suara. "Anak-anak, bapakbapak dan ibu-ibu," kata sebuah suara berat. "Berikan tepuk tangan
untuk Jimmy O'James dan sobat karibnya, Slappy."
Musik membahana; anak-anak bertepuk tangan dan bersoraksorak. Dengan senyum lebar sang ventriloquist berjalan ke depan tirai
merah, membawa bonekanya.
Jimmy O'James duduk di sebuah kursi tinggi di tengah
panggung. Ia masih muda, kelihatannya sebaya dengan pengasuh bayi
yang biasa datang mengurus si kembar.
Ia bertubuh besar dan berbahu lebar. Rambut pendeknya
berwarna cokelat, dan ia selalu tersenyum. Hari ini ia mengenakan
sweater hitam dan celana panjang hitam.
Slappy, si boneka, juga tersenyum terus. Mata birunya yang
bundar bergerak-gerak ke kiri-kanan, seperti memandangi penonton.
Slappy memiliki rambut cokelat yang kaku.
Pakaiannya jaket sport merah-putih kotak-kotak, kemeja putih
dengan dasi kupu-kupu merah-putih, serta celana kelabu longgar dan
sepatu hitam yang sangat besar dan mengilap.
Aku melirik si kembar. Mereka duduk tegak dan diam sambil
memandang ke panggung. Mary-Ellen bertengger di pangkuan Katie.
"Halo, semuanya," si ventriloquist memulai. "Perkenalkan
temanku Slappy." Mulut Slappy yang merah bergerak-gerak. "Memangnya kita
teman?" tanyanya. Suaranya nyaring, seperti suara anak laki-laki
kecil. "Memangnya kita benar-benar teman, Jimmy?"
"Tentu," sahut si ventriloquist. "Kau dan aku teman karib,
Slappy." "Kalau begitu, kau mau tidak memenuhi permintaanku?" tanya
Slappy dengan manis. "Tentu saja," sahut Jimmy. "Kau ingin apa?"
"Bisakah kau melepaskan tanganmu dari punggungku?" geram
Slappy. Anak-anak tertawa. Harrison juga.
"Rasanya tidak bisa," sahut Jimmy. "Kau tahu kan, kau dan aku
benar-benar teman dekat."
Slappy memiringkan kepala. "Teman dekat" Sedekat apa" Mau
menciumku, tidak?" "Kurasa tidak," kata Jimmy.
"Kenapa tidak?" tanya Slappy dengan suaranya yang kecil.
"Aku tidak mau mulutku kemasukan kayu," sahut Jimmy.
Anak-anak tertawa. Katie dan Amanda menganggap ucapan
Jimmy sangat lucu. Mendadak suara Slappy berubah. "Kau tidak mau menciumku"
Aku juga tidak mau menciummu. Aku punya tebakan untukmu,
Jimmy," geramnya. Suaranya kasar dan serak. "Apa bedanya sigung
dan napasmu?" "Aku... aku tidak tahu," sahut Jimmy tergeragap.
"Aku juga tidak tahu!" kata Slappy.
Anak-anak tertawa, tapi kulihat senyum Jimmy memudar. Dari
kursi kami kulihat keningnya berkeringat.
"Slappy, bersikaplah yang manis," ia memarahi bonekanya.
"Kau janji tidak akan berbuat begitu."
"Aku punya tebakan lagi untukmu, Jimmy," kata Slappy.
"Tidak, tidak mau tebak-tebakan lagi," pinta si ventriloquist.
Mendadak ia kelihatannya benar-benar bingung. Aku tahu itu hanya
aktingnya, tapi kenapa Jimmy pura-pura gugup begitu"
"Apa persamaan antara wajahmu dan jagung lumat campur
mentega?" tanya Slappy.
"Aku... aku tidak tahu," protes Jimmy. Ia memaksakan diri
tersenyum dan berkata pada penonton, "Hei, anak-anak, katakan pada
Slappy..." "Apa persamaan antara wajahmu dan jagung lumat campur
mentega?" ulang si boneka.
Jimmy mendesah. "Aku tidak tahu. Apa persamaannya?"
"Dua-duanya kayak muntahan!" jerit Slappy.
Semua anak tertawa. Jimmy juga tertawa, tapi kulihat keningnya semakin
berkeringat. "Lucu sekali, Slappy. Tapi... tidak boleh mengejek lagi.
Bersikaplah yang manis. Kalau tidak, kau kucarikan pekerjaan lain."
"Pekerjaan lain?" tanya Slappy. "Pekerjaan apa?"
"Menjadi boneka percobaan."
"Ha ha. Nggak lucu," geram Slappy.
"Slappy... ayolah, jangan begitu," pinta Jimmy.
Mendadak Slappy bersikap manis lagi. "Mau dengar pujian,
tidak?" tanyanya. "Boleh aku memberikan pujian padamu, Jimmy?"
Jimmy mengangguk. "Pujian" Ya, boleh. Apa?"
"KAU BAU!" teriak Slappy.
Jimmy tampak tersinggung. "Itu bukan pujian," katanya.
"Memang bukan. Aku bohong kok," seru Slappy. Ia
mendongakkan kepalanya dan tertawa mengejek.
Katie dan Amanda terpingkal-pingkal. Kulihat Harrison juga
tertawa. "Dia lucu sekali," kata Harrison. "Bonekanya itu benar-benar
baandeel." "Yeah," sahutku.
"Bibir si ventriloquist tidak kelihatan bergerak," kata Harrison.
"Dia cukup hebat, ya?"
"Jimmy, wajahmu mestinya terpampang di lembaran dolar,"
kata Slappy. "Soalnya wajahmu hijau semua dan lecek."
Si kembar tertawa dan memukul-mukul kursi di depan mereka.
"Atau mungkin mestinya kau dipajang di uang receh," jerit
Slappy. "Tahu sebabnya" Tahu tidak" Sebab kau tidak ada nilainya.
Kau tidak ada nilainya, Jimmy."
Keringat mengaliri dahi Jimmy. Ia mengatupkan gigi dan
memejamkan mata. Kenapa Jimmy begitu cemas" pikirku.
Kenapa ia begitu ketakutan"
4 "SUDAH, hentikan hinaan-hinaanmu. Mari kita bicara pada
penonton," kata Jimmy pada bonekanya. "Yang manis pada anak-anak
itu, ya?" "Ya," sahut Slappy. "Aku memang manis kok."
Jimmy berdiri dan mencondongkan tubuh di depan panggung.
"Siapa yang mau naik kemari dan berbicara dengan Slappy?"
Belasan anak mengacungkan tangan. Sebelum aku menyadari
apa-apa, Katie dan Amanda sudah berdiri, lalu berlari ke panggung.
Katie membawa Mary-Ellen bersamanya.
"Aduh," gumamku. "Bisa menarik, nih."
"Boneka itu hampir sama besar denganmu," kata Jimmy.
Slappy membungkuk ke arah Mary-Ellen. "Kau lumayan,"
katanya pada Mary-Ellen. "Lumayan jelek."
Anak-anak terbahak-bahak. Si kembar tidak tertawa. Katie
berusaha mengangkat bonekanya.
"Kalian kembar, ya?" kata Slappy. "Kalian menyebut diri kalian
apa" Si kembar yang mengerikan?"
Slappy tertawa nyaring. Beberapa anak tertawa, tapi
kebanyakan menganggap ucapan itu tidak lucu.
"Kalian pasti biasa memakai apa-apa berdua, ya?" kata Slappy
pada si kembar. "Hari ini siapa di antara kalian yang memakai otak?"
Slappy tertawa lagi. Jimmy mencengkeramnya dan
mengguncangnya. "Hentikan, Slappy," teriaknya marah. "Hentikan
menghina anak-anak itu."
"Mereka senang kok," kata Slappy. "Mereka suka padaku... dan
benci padamu." Aku mencondongkan tubuh dengan jantung berdebar. Katie dan
Amanda kelihatan sedih sekali. Kenapa Jimmy membiarkan Slappy
bicara begitu pada mereka"
Di sampingku, Harrison terbahak-bahak. "Dia benar-benar
lucu," katanya. "Menurutku tidak," sahutku.
"Hei, menurutku kalian seperti sepasang galah," kata Slappy.
Katie dan Amanda saling pandang.
"Kenapa kau berkata begitu, Slappy?" tanya Jimmy.
"Soalnya mereka kerempeng," seru Slappy.
"Tidak sopan," protes Katie.
Penonton terdiam. "Anak-anak, sebaiknya kalian kembali ke tempat duduk," kata
Jimmy sambil menggelengkan kepala. "Hari ini Slappy sedang tidak
menyenangkan." Si kembar lekas-lekas turun dari panggung. Katie tersandung
dan hampir menjatuhkan Mary-Ellen.
"Hati-hati, rambut bonekamu berkutu," Slappy berseru pada
mereka. Si kembar duduk kembali. Katie merengut marah dan Amanda
menggeleng-geleng. Kulihat pipinya memerah.
Katie berkata padaku, "Dia jahat sekali."
"Dia tidak lucu," Amanda menimpali. Sepertinya ia hampir
menangis. "Aku... aku malu sekali."
"Aku tidak malu. Aku marah," bisik Katie.
Dua air mata mengalir di pipi Amanda. Katie tidak pernah
menangis, tapi Amanda menangis kalau ditertawakan.
"Dia cuma bercanda," kataku. "Ada orang yang menganggap
hinaan semacam itu lucu. Kalau aku yang diejek di panggung sana
oleh Slappy, kalian pasti menertawakanku."
Mereka tidak menjawab dan terus menonton pertunjukan itu.
Amanda menatap ke panggung sambil mengerutkan kening dan
melipat tangan. Katie memeluk Mary-Ellen erat-erat. Keduanya tidak
tersenyum. Hanya Harrison yang masih menikmati pertunjukan itu.
"Kelihatannya asyik juga menjadi ventriloquist," katanya. "Kita bisa
bicara apa saja pada orang lain, dan yang disalahkan si boneka."
Jimmy menutup pertunjukannya dengan sebuah lagu,
bergantian menyanyikannya dengan Slappy.
"Tepuk tangan untuk Jimmy O'James dan temannya, Slappy,"
kata suara dari pengeras suara.
Semua bertepuk tangan, kecuali Katie dan Amanda.
Kemudian kami keluar ke lorong. Katie dan Amanda berjalan di
depan. "Maaf, kalian tidak menikmati pertunjukan tadi," kataku.
"Kami akan mengatakan pada ventriloquist itu bahwa dia
jahat," kata Katie. "Apa?" Teater itu sangat berisik, dan aku tidak yakin telah
mendengar dengan benar. "Kami akan mengatakan bahwa dia mestinya tidak bicara begitu
pada anak-anak," kata Amanda.
"Dia sama sekali tidak lucu," keluh Katie. "Dan menurut kami
dia mestinya minta maaf."
"Tidak, tunggu...," cegahku.
Mereka menerobos di lorong yang penuh itu. Semua orang
menuju pintu keluar. Si kembar mengambil arah berlawanan, menuju
panggung. "Tunggu!" seruku. "Jangan ke sana! Hei... Katie! Amanda!
Kembali!" Terlambat. Kulihat mereka membuka sebuah pintu kecil di sisi
panggung dan menghilang di baliknya.
5 Aku terpaku. Harrison menabrakku.
"Ow!" Tubuh Harrison besar sekali. Rasanya seperti ditabrak
gajah. "Sori," gumamnya. "Ke mana kedua adikmu tadi?"
Aku menunjuk ke pintu di samping panggung.
"Tapi penonton lain sudah keluar," serunya.
"Mereka ingin bicara pada ventriloquist itu," kataku. Aku
terpaksa berteriak, karena ramainya suara anak-anak. Dua anak lelaki
kecil menyelinap ke depanku sambil saling berkarate.
Aku menarik lengan kaus Harrison. "Bantu aku mencari
mereka," kataku. Kutarik dia ke pintu dan kubuka pintu itu. Kami ingin masuk
bersamaan, dan akhirnya malah terjepit di situ.
"Kenapa hari ini sial sekali sih?" keluhku.
Harrison mundur dan aku lewat. Kami sekarang berada di
sebuah lorong panjang dan sempit. Aku mencoba melihat dalam
kegelapan, tapi susah sekali.
"Aneh," kata Harrison. Suaranya bergema. "Di sini seperti di
terowongan. Kau yakin tadi itu pintu panggung?"
"Mana aku tahu?" bentakku. "Aku cuma tahu kedua anak itu
masuk kemari." Kami mulai berjalan. Aku menelusurkan tangan di tembok.
Harrison mengikuti dekat di belakangku.
"Di mana mereka?" seruku. Suaraku bergema. "Tak mungkin
mereka pergi jauh." "Hei... Katie! Amanda!" panggil Harrison.
Kami berhenti dan mendengarkan. Tak ada jawaban.
"Mereka sering sekali begini," kataku kesal. "Ingat tidak waktu
mereka menghilang setelah nonton sirkus" Aku cemas sekali, kalaukalau mereka tersesat atau celaka. Aku terus mencari. Tidak tahunya
mereka bersembunyi dan mengawasiku dari tempat persembunyian
mereka." "Katie" Amanda?" Suara Harrison berkumandang di lorong
gelap itu. Hening. "Kenapa di sini tidak dipasangi lampu?" tanya Harrison. "Kalau
benar ini pintu panggung..."
"YAAAAIIII!" Aku berteriak ketika sesuatu yang lunak dan
tajam menyapu lenganku. Harrison berbalik. "Jillian... ada apa?" serunya.
Aku mengibaskan tanganku keras-keras dan membersihkannya
dengan tangan satunya. "Ini... sarang labah-labah," kataku terbata-bata. "Ih! Tebal amat
sih!" Aku berusaha membuangnya dari tanganku. "Ohhh!" erangku.
Seluruh tubuhku merinding dan gatal.
"Ini tak mungkin pintu panggung," gumam Harrison.
"Katie! Amanda?" teriakku. "Mungkin mereka sembunyi,"
kataku pada Harrison. "Akan kuhabisi mereka kali ini. Sungguh."
Mendadak Harrison mencengkeram lenganku. "Jillian...
menunduklah." Aku menunduk. Di langit-langit banyak sarang labah-labah.
"Hei...," seruku. "Katie! Amanda! Di mana kalian?"
Kudengar suara tawa seseorang. Tapi sepertinya bukan si


Goosebumps Pasangan Si Boneka Hidup Bride Of The Living Dummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembar. "Kurasa ruang ganti ada di belakang sini," kata Harrison. Kami
melewati sebuah pintu bertanda HANYA UNTUK KRU
PANGGUNG, lalu ada pintu bertulisan PROPERTI.
Seorang wanita berseru, "Cepatlah!"
Lalu dua anak lelaki tertawa dan menyanyi.
Kami mulai berlari kecil. Aku tahu tujuan kami sudah dekat.
"Katie! Amanda!" seruku. "Sebaiknya kalian tidak bersembunyi
dariku." Lorong itu terbagi menjadi dua lorong yang lebih sempit. Kami
berhenti dan memandangi kedua percabangan itu. Lorong ke kanan
tampak terang. Aku hendak ke sana, tapi lalu terdengar suara-suara
dari lorong satunya. "Kita berpencar saja," kataku sambil menunjuk ke kanan. "Kau
ke sana. Kalau kau menemukan mereka, bawa mereka ke depan teater.
Aku akan menemuimu di sana."
Aku melangkah ke lorong kiri. "Jangan galak-galak!" seru
Harrison. Lalu ia menghilang dari pandangan.
Aku melewati pintu-pintu dengan nama-nama para bintang di
depannya. Ini pasti ruang ganti, pikirku.
Aku memelankan langkah ketika terdengar suara-suara di
depan. "Kau sudah janji padaku," seorang pria memelas.
Cahaya muncul dari sebuah pintu yang setengah terbuka. Aku
mengendap-endap mendekatinya.
"Kau tak boleh melakukan ini padaku," kata si pria lagi.
Kedengarannya ia sangat marah dan cemas.
"Napasmu panas!" sahut sebuah suara lain. Suara Slappy.
Aku mengendap ke pintu yang setengah terbuka itu, lalu
mengintip. "Kau mengacau semuanya," Jimmy O'James berseru marah. Ia
memegangi Slappy seperti tadi di panggung. "Kau membuatku malu.
Aku serius. Kau membuatku malu."
"Tampangmu membuatku malu," balas si boneka.
Ada apa ini" pikirku. Aku maju lebih dekat ke pintu.
Kelihatannya mereka benar-benar berdebat. Tapi itu mustahil!
Kenapa si ventriloquist berbuat begini"
Jimmy minum dari sebuah botol. "Aku tak bisa
membiarkanmu," katanya. "Aku harus menghentikanmu. Sekarang."
Si boneka menggeram marah. "Coba hentikan ini!" katanya.
Dan aku terperangah ketika ia mengayunkan lengannya dengan
keras. Tinjunya yang terbuat dari kayu menghantam wajah si
ventriloquist. Jimmy mundur dengan terkejut. Ia meraba hidungnya. Darah
menetes ke dagunya. Hah" Aku ternganga. Boneka itu menamparnya sampai
berdarah. Ada yang tidak beres. Ada yang sangat tidak beres.
Aku mengangkat mataku... dan menjerit.
Jimmy O'James sedang menatap ke pintu.
Dan ia melihatku. 6 MATA si ventriloquist terbelalak.
Bonekanya ikut menoleh. Mulutnya ternganga. Lalu mendadak
kepala dan seluruh tubuhnya menjadi lunglai.
Jimmy meletakkan Slappy di meja, lalu menoleh lagi padaku.
"Aku tidak tahu kau ada di situ," katanya. Matanya yang gelap
mengawasiku. Ia mengambil sehelai kertas tisu dari meja dan
menghapus hidungnya yang berdarah.
"Dia... dia memukul Anda," kataku terbata-bata sambil
menunjuk Slappy. "Hah?" Jimmy memandang Slappy, lalu menggeleng. "Tidak,
dia tidak memukulku. Dia lepas dari peganganku, dan tangannya tak
sengaja kena wajahku."
"Tapi... tapi aku melihat kalian berdebat," bantahku.
Jimmy mencibir. "Aku cuma sedang latihan. Aku akan tampil
lagi dengan Slappy nanti malam." Ia menghapus hidungnya lagi
dengan tisu. Aku jadi bingung. "Maaf," kataku. "Kukira..."
"Dia cuma boneka," kata Jimmy. "Dia tidak benar-benar hidup."
Aku memandang Slappy yang duduk lunglai di meja. Di
panggung ia kelihatannya lucu, tapi dilihat dari dekat ia tampak jahat.
Meski tersenyum, wajahnya seperti marah dan matanya dingin.
"Benar lho, kukira Anda bertengkar dengannya," kataku pada
Jimmy. Jimmy tersenyum. "Berarti aku ventriloquist yang hebat, kan?"
katanya. Lalu senyumnya memudar. "Kau tersesat ya?"
"Oh, tidak." Mendadak aku ingat kenapa aku kemari. "Adik
kembarku kabur," kataku. "Mereka mencari Anda. Anda melihat
mereka tidak?" Ia menggeleng. "Tidak. Tidak ada siapa-siapa di sini."
"Kalau begitu, aku mesti mencari mereka," kataku. "Maaf, aku
mengganggu Anda." Aku hendak beranjak.
"Tidak masalah," kata Jimmy.
"Tidak masalah," sebuah suara cempreng serak menimpali.
Suara Slappy. ************ Aku menemukan si kembar di air mancur dekat toilet di bagian
belakang lobi. Kuhampiri mereka dengan terengah-engah. "Aku
mencari kalian ke mana-mana," seruku. "Kalian sedang apa di sini?"
"Mary-Ellen ingin minum," sahut Katie. Ia dan Amanda sedang
memegangi boneka itu di air mancur hingga wajahnya basah oleh air.
"Kalian tidak boleh lari begitu saja," aku memarahi mereka.
"Kami tidak lari. Kami jalan kok," bantah Katie. "Kami tersesat
di sebuah lorong panjang dan tahu-tahu muncul di sini."
Kucengkeram mereka berdua. "Ayo pulang."
"Tapi Mary-Ellen masih minum," seru Amanda.
"Dan kami tidak mau pulang," tambah Katie.
"Apa" Apa maksudmu?" bentakku.
"Kau janji mau mengajak kami makan es krim," jawab Katie. Ia
mengibaskan buntut kudanya. "Kau sudah janji."
"Oke, oke," geramku. Lobi itu hampir kosong. Lampu-lampu di
atas tampak suram. "Kalian melihat Harrison, tidak?" tanyaku.
"Dia sedang bicara dengan beberapa orang," Amanda
melaporkan. Ia mengayunkan bonekanya di bahunya. Wajah boneka
itu basah kuyup. "Mungkin dia bertemu teman-temannya," kataku. "Ayo kita
pergi." Aku mengajak mereka ke Dairy Queen di pojok jalan. Kami
makan es krim cokelat-vanila. Mereka memaksaku membelikan es
krim untuk Mary-Ellen juga.
Kami duduk di kursi pojok dan mereka pura-pura menyuapi
Mary-Ellen. Mereka terus saja mengoceh pada boneka itu dan sama
sekali tidak mengacuhkanku.
Sekarang kalian mengerti kan, kenapa aku benci sekali pada
boneka itu" Sejak Dad membawa pulang boneka jelek itu, si kembar
benar-benar tidak peduli lagi padaku. Dan aku jadi sinting gara-gara
boneka itu. "Mary-Ellen lebih suka cokelat daripada vanila," kata Katie.
Aku mengerang. "Bisa tidak kita bicara yang lain saja" Masa
bodoh Mary-Ellen suka apa!"
Mereka tidak mengacuhkanku dan menyuapi es krim lagi pada
Mary-Ellen. Aku melihat arlojiku. Hari ini benar-benar rusak. PR-ku
banyak sekali, dan aku ingin menelepon beberapa orang teman, ingin
tahu apa saja kegiatan mereka malam ini.
Akhirnya si kembar selesai makan es krim. Wajah mereka
berlepotan. Wajah Mary-Ellen juga. Perlu belasan serbet kertas untuk
membersihkan mereka. Lalu dengan susah payah aku membawa mereka pulang.
Sepanjang jalan mereka terus saja menunjukkan rumah-rumah dan
pepohonan pada Mary-Ellen. Jalan kaki empat blok saja memakan
waktu berjam- jam. Ketika sampai di rumah, ingin rasanya aku mengambil boneka
itu dan memasukkannya ke tong sampah.
Si kembar bergegas menemui Mom. Aku senang bisa bebas dari
mereka. Aku berjalan ke ruang tamu.
Dan terperanjat. Slappy sedang duduk di sofa.
7 Aku terpekik nyaring. "Bagaimana... bagaimana kau bisa ada di sini?" kataku
tergeragap. Boneka itu balas memandangiku dengan senyum dan sorot
matanya yang dingin. Lalu ia mencibir dan tertawa pelan. Makin lama makin keras.
Aku tercekat. Ini tidak sungguh-sungguh terjadi, pikirku.
Tahu-tahu Harrison muncul dari balik sofa. Sepasang matanya
bersinar-sinar nakal. Ia nyengir lebar dari kuping ke kuping.
"Jillian, kaupikir boneka ini benar-benar tertawa?" tanyanya.
"Tentu saja tidak!" aku berbohong.
"Lalu kenapa kau bicara padanya?" tanya Harrison.
Aku maju ke sofa. "Dari mana kau mendapatkan boneka itu?"
seruku. "Kenapa dia ada di sini?"
"Dia mengikutiku pulang," Harrison tertawa.
"Serius nih!" kataku.
Boneka itu menatapku dari sofa. Dari dekat kulihat dahinya
retak-retak sedikit. Rambutnya yang dicat agak rompal dan di
beberapa tempat, catnya yang berwarna cokelat sudah luruh.
Bibir bawahnya yang terbuat dari kayu agak rompal sedikit.
Jaketnya yang kotak-kotak sudah jelek dan ada dua kancing yang
hilang. "Ih, dia jelek sekali," komentarku.
"Kau cakep deh," balas Slappy.
Tidak. Yang bicara itu Harrison, pura-pura menjadi Slappy.
"Hentikan," bentakku. "Tidak lucu. Sekarang jawab! Kenapa
boneka ini bisa ada di sini?"
Harrison duduk di lengan sofa. Ia melepaskan boneka itu dan
Slappy terjatuh lemas. "Di teater tadi, aku bertemu beberapa teman sekolahku,"
Harrison memulai. "Mereka menjadi kru panggung. Membantu-bantu
pertunjukan si ventriloquist. Aku tadi tidak menemukan adik
kembarmu, jadi aku ngobrol sebentar dengan mereka."
"Lalu?" tanyaku. "Lalu kenapa?" Harrison bertele-tele sekali
kalau bercerita. Harrison mengangkat satu kaki si boneka, lalu menjatuhkannya
lagi ke sofa. "Aku mencarimu," ia melanjutkan. "Tapi tidak ketemu.
Mungkin kau sudah pergi."
"Aku terpaksa mengajak dua anak itu makan es krim," keluhku.
"Jadi, aku ngobrol lagi dengan teman-temanku. Lalu aku keluar
lewat pintu belakang."
Ia mengganti posisi duduknya. "Aku hendak ke depan. Ada
sederetan tong sampah di sisi teater itu. Tong pertama tutupnya tidak
ada, dan kulihat Slappy ada di situ."
"Tapi itu mustahil," kataku. "Kenapa Jimmy O'James
membuang bonekanya?"
Harrison angkat bahu. "Mungkin dia punya banyak boneka.
Yang ini kelihatannya sudah agak lama. Mungkin sudah rusak atau
apalah." "Yeah. Mungkin juga," kataku.
Aku mengulurkan tangan untuk menyentuh boneka itu.
Dan boneka itu mengatupkan mulutnya dengan keras di
tanganku. "Lepaskan!" teriakku. "Lepaskan! Harrison, tolong aku! Dia
tidak mau melepaskanku."
8 KUTARIK tanganku sekeras-kerasnya, tapi boneka itu tidak
mau melepaskanku. "Aduh, tolong aku!" teriakku.
Kuangkat tangan satunya dan kucoba mendorong dagu boneka
itu. Tanganku yang digigit terasa sakit sekali.
"Ini keterlaluan!" kataku.
"Jangan ditarik-tarik terus," kata Harrison. "Jillian, berhenti
dulu!" Ia mencengkeram wajah boneka itu dengan dua tangan, lalu
membuka mulutnya dengan paksa agar aku bisa menarik tanganku.
"Sudah kubilang dia agak rusak," kata Harrison.
Aku mengibas-ngibaskan tanganku untuk mengurangi rasa
sakitnya. Ada bekas-bekas gigi di tempat boneka itu tadi menggigitku.
"Hih, dia galak sekali," kataku sambil memeriksa tanganku.
"Aku kaget sekali tadi. Aku kan belum menyentuh mulutnya."
Kukibas-kibaskan lagi tanganku.
"Dia memang sudah rusak," ulang Harrison sambil memandangi
boneka itu. Si boneka balas menatap dengan ekspresi kosong dan
mulut ternganga. "Keluarkan dia," kataku. Kulit tanganku sekarang merah dan
perih. "Aduhh, sakit sekali. Kembalikan saja dia pada Jimmy O'
James." "Tidak usyah, ya!" protes Harrison. Ia mengangkat boneka itu
dengan dua tangan. "Kan Jimmy sudah membuangnya. Aku mau
menyimpannya." "Kita mesti tanya dulu pada Jimmy, dia mengizinkan tidak,"
kataku. "Mungkin saja dia salah buang."
"Kita tidak tahu di mana Jimmy tinggal," sahut Harrison.
Aku merogoh saku jaket boneka itu. "Mungkin dia
meninggalkan alamat atau apalah."
Secarik kertas yang sudah menguning melayang keluar dan
jatuh di sofa. Aku mengambilnya.
"Ada alamatnya?" tanya Harrison.
"Tidak," kataku. "Aneh sekali. Tulisannya dalam bahasa asing."
Harrison menyipitkan mata padaku. "Bisa kaubaca, tidak?"
Aku mulai membaca kata-kata aneh di kertas itu. "Karru marri
odonna..." "Jillian... waktunya makan malam." Mom memanggilku dari
ruang makan. Aku belum selesai membaca kalimat aneh itu. "Sori. Aku mesti
makan," kataku pada Harrison. Kumasukkan kertas itu kembali ke
saku jaket Slappy. "Ayo, Jillian, nanti makanannya dingin," seru Mom.
"Iya," sahutku.
Harrison sedang merapikan dasi kupu-kupu Slappy. Kulihat ia
hati-hati agar tangannya jauh dari mulut boneka itu.
"Hei, aku punya gagasan," katanya. "Ayahmu kan senang
membetulkan barang. Kalau Slappy kutinggal di sini, mungkin
ayahmu bisa membetulkannya, ya?"
Kupandangi boneka itu. "Mungkin," sahutku. "Bisa
kutanyakan." "Bagus. Trims, Jillian." Harrison mendudukkan Slappy di sofa,
lalu bergegas pulang. Aku masuk ke ruang makan... dan terpekik marah. "Yang benar


Goosebumps Pasangan Si Boneka Hidup Bride Of The Living Dummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja!" Si kembar telah mendudukkan Mary-Ellen di kursi di
sampingku. Mereka terkikik-kikik. Mereka tahu aku benci duduk di
samping boneka jelek itu saat makan malam.
"Apa benda itu perlu berada di sini?" tanyaku pada Mom dan
Dad. Dad angkat bahu. Ia sedang sibuk berusaha mengeluarkan
potongan kayu yang terselip di ibu jarinya. Ia tidak pernah memakai
sarung tangan kalau bekerja di bengkelnya, jadi tangannya sering
terkena potongan kayu. "Boneka itu kan tidak mengganggumu," kata Mom.
"Mary-Ellen tidak suka duduk di dekatmu!" kata Katie sambil
mencibir. "Soalnya kau bau."
"Katie, hentikan," Mom memarahinya. "Tadi kau diajak
kakakmu nonton, bukan" Kau mesti manis padanya."
"Pertunjukannya jelek," gerutu Amanda.
"Makan makanan kalian sebelum dingin," kata Mom. Kulihat
Mary-Ellen diberi piring sendiri. Mom dan Dad sama saja dengan si
kembar. Kenapa sih mereka selalu menuruti keinginan si kembar"
Kami mulai makan. Aku bertanya apakah Dad bisa
memperbaiki boneka Harrison. Kata Dad, ia akan melihat boneka itu
setelah selesai dengan proyek meja kopinya.
Mom menanyakan tentang pertunjukan boneka tadi pada si
kembar, tapi mereka tidak mengacuhkan, karena asyik bicara pada
Mary-Ellen. Ketika aku minta diambilkan garam, mereka juga tidak
mengacuhkanku. Mereka terus saja bicara pada boneka itu.
Aku mendesah dan menoleh pada Mom. "Mom, bisa tidak Mom
menyuruh mereka berhenti bicara pada boneka itu" Aku jadi sinting
melihatnya." "Kau sendiri suka bicara pada kadalmu," tuduh Katie. "Sering
sekali malah." "Dan Mary-Ellen lebih manis daripada kadalmu," kata Amanda.
"Aku cuma minta kalian mengambilkanku garam!" teriakku.
Katie menutup kedua telinganya. "Jangan menjerit begitu,"
rengeknya. "Mary-Ellen tidak suka mendengar jeritan."
"Ya, telinganya jadi sakit," tambah Amanda. "Minta maaf pada
Mary-Ellen, Jillian."
"Yeah, minta maaf," kata Katie.
"AAAAAAGH!" Aku tidak tahan lagi. Aku menjerit, lalu kucengkeram kepala
Mary-Ellen dan kudorong ke piring makaroni.
*********** Sesudah makan malam, kubawa Slappy ke kamarku, lalu aku
duduk di depan meja untuk membuat PR. Tapi aku tak bisa
berkonsentrasi. Kurasakan mata boneka itu memandangiku, dan
beberapa kali aku meliriknya.
Akhirnya boneka itu kuhadapkan ke tembok. Begitu lebih baik.
Lalu aku menelepon beberapa orang teman untuk mengobrol. Setelah
itu aku berbaring. Tapi aku tak bisa tidur. Aku masih saja memikirkan si kembar
dan ulah mereka yang menjengkelkan. Juga bagaimana Mom dan Dad
memarahiku karena aku lepas kendali.
Adilkah itu" Menurutku tidak.
Sudah waktunya aku membalas, pikirku.
Sudah berapa malam aku memikirkan pembalasan yang paling
bagus" Aku duduk di ranjang. Malam ini aku mesti melakukannya,
pikirku. Mendadak aku punya gagasan. Dan aku jadi berdecak puas
sendiri. Katie dan Amanda selalu menaruh sepatu mereka di depan
pintu, supaya bisa cepat dipakai kalau hendak berangkat sekolah di
pagi hari. Aku akan mengendap-endap ke bawah dan mengikatkan tali
sepatu mereka, pikirku. Aku terkikik sendiri. Aku pintar membuat
simpul. Akan kubuat banyak sekali simpul di tali sepatu mereka,
supaya tidak bisa dilepas lagi, sehingga mereka terpaksa menggunting
tali itu. Aku tahu rencanaku tidak terlalu brilian dan sebenarnya tidak
sepadan dengan apa yang telah mereka lakukan padaku.
Tapi itu cukup lumayan untuk permulaan.
Aku merapikan baju tidurku, lalu mengendap ke bawah dalam
gelap. Setengah jalan di tangga, aku berhenti. Kudengar suara langkah
kaki pelan dan kriat-kriut papan lantai.
Siapa yang ada di bawah" Apa Mom dan Dad belum tidur"
Kusibakkan rambutku dari dahi. Sambil berpegangan pada birai
tangga, aku terus turun. Kembali kudengar suara langkah pelan dan derit lantai ruang
tamu. "Siapa di situ?" bisikku. "Siapa yang ada di bawah?"
Aku berusaha menajamkan mata.
Kulihat sepasang mata balik menatapku. Menatap tajam tanpa
berkedip. "Siapa di situ?" ulangku dengan tercekat.
Tak ada jawaban. Aku meraba-raba di tembok, sampai menemukan tombol
lampu. Kunyalakan lampu langit-langit.
Kulihat Slappy duduk di sebuah kursi dengan kaki disilangkan.
Tangannya terlipat di pangkuan.
"Hah?" Aku ternganga.
Lalu ia berkata, "Kembalilah ke kamarmu!"
9 "TIDAAAK!" Aku berseru pelan sambil menutup mulut dengan
tangan. Boneka itu berbicara. Jantungku berdebar kencang. Ruangan itu serasa bergoyang.
Si boneka menatap dingin padaku dari kursinya.
Lalu kudengar suara cekikikan dan gesekan di belakang kursi.
"Awas kalian!" seruku. Suaraku masih gemetar.
Katie dan Amanda muncul dari belakang kursi. Mereka tertawa
dan saling ber-high five.
"Ha ha. Kalian berhasil membodohiku. Hebat sekali," kataku
sambil memutar-mutar mata.
"Kau ketakutan setengah mati," kata Katie.
"Kau percaya boneka itu bisa bicara," timpal Amanda.
"Mungkin ya, mungkin tidak," kataku ketus. "Ulah kalian tidak
lucu. Mau apa kalian?"
"Mary-Ellen menyuruh kami menakut-nakutimu," sahut Katie.
"Kau mendorong wajah Mary-Ellen ke piring makaroni, dan
sekarang dia benci padamu," kata Amanda.
"Aku juga benci padanya," seruku. "Aku benci dia! Benci dia!"
Aku lepas kendali. Senyum kedua anak itu memudar dan
mendadak mereka tampak ketakutan. Mereka senang
mempermainkanku, tapi mereka takut kalau aku benar-benar sudah
marah. "Jillian, bisa tidak kami memberitahukan sesuatu padamu?"
tanya Katie pelan. "Ini penting," tambah Amanda dengan ekspresi serius.
"Tidak!" seruku. "Tidak ada konyol-konyolan lagi!"
Kuraih Slappy dan kutarik dari kursi.
Kepala boneka itu tersentak ke belakang dan matanya
menatapku. Mendadak mata itu kelihatan begitu nyata, seolah ia
benar-benar melihatku. Tatapannya begitu nyata dan dingin.
Mulutnya yang merah tertawa lebar padaku.
Aku merinding. Apakah sebelumnya ia juga tersenyum begitu"
Kenapa ekspresi wajahnya sekarang begitu jahat"
"Boleh tidak kami memberitahukan sesuatu?" Katie memohon
dengan suara pelan. "Tidak lama kok," kata Amanda.
"Tidak. Aku sudah cukup kalian permainkan hari ini,"
bentakku. "Pergi tidur sekarang juga!"
Aku berbalik dan dengan marah kembali ke atas sambil
menyeret boneka itu. "Ayolah...," seru Amanda.
"Boleh, ya?" kata Katie.
Sayangnya aku tidak mau mendengarkan mereka.
10 HARI Senin, di sekolah, Harrison berlari-lari mendatangiku di
ruang makan siang. "Ayahmu sudah membetulkan Slappy?" tanyanya.
"Di dagumu ada selai kacang," kataku.
Ia menghapus dagunya dengan tangan, lalu menjilat jari-jarinya.
"Jorok," kataku. "Kenapa sih kau begitu?"
Ia angkat bahu. "Aku suka selai kacang." Ia mengikutiku ke
meja. Aku meletakkan nampanku. Harrison duduk di hadapanku.
"Ayahmu sudah memperbaikinya belum?"
"Belum," kataku. "Dia ingin menyelesaikan mejanya dulu, baru
mengurus boneka itu." Aku mendesah. "Belum apa-apa, Slappy sudah
membuatku susah." Harrison menggaruk-garuk rambutnya yang gelap. Ia
mengambil secuil biskuit cokelatku dan memakannya. "Membuat
susah bagaimana?" "Si kembar menggunakannya untuk mempermainkanku,"
kataku. Di nampanku ada dua potong piza. Harrison mengambil
sepotong dan mulai memakannya.
"Habiskan saja semuanya," kataku.
"Adik-adikmu jahat," katanya.
Aku melotot. "Gombal!"
"Aku sudah memikirkan pembalasan yang setimpal," katanya
dengan mata berbinar. "Kita mesti bertindak terhadap boneka jelek
yang selalu mereka bawa-bawa itu. Siapa namanya" Mary Margaret?"
"Mary-Ellen," kataku. Kuambil sisa piza sebelum ia
menghabiskannya. "Kita lepaskan saja kepala boneka itu," Harrison melanjutkan.
"Lalu kita isi dengan cacing, dan kita pasang lagi."
"Kurang seram," sahutku. "Aku ingin memoles boneka itu
dengan keju, lalu memberikannya menjadi makanan tikus."
"Itu belum seberapa." Harrison tertawa. "Bagaimana kalau kita
isi boneka itu dengan air" Atau rambutnya kita gunting semua, dan
kita katakan pada si kembar bahwa dia mendadak jadi botak?"
"Kurang seru," kataku.
Harrison menghabiskan pizanya. "Kau cuma punya ini buat
makan siang?" tanyanya. "Aku masih lapar."
Aku masih memikirkan pembalasan dendamku pada MaryEllen, tapi lalu kuputuskan untuk mengganti topik. "Harrison, kau
ingat tidak, kita mau ke mana sepulang sekolah?"
Ia ternganga. "Kita?"
Aku mengangguk. "Kita akan pergi ke toko sulap. Ingat" Untuk
membeli beberapa perlengkapan sulap, buat pertunjukan kita Sabtu
malam nanti." Ia meringis. "Iya, ya?" katanya sambil bertopang dagu. "Kita
akan jadi badut." "Kau sudah janji!" seruku. "Ini order pertamaku, dan kau janji
akan membantu." "Aku sebenarnya tidak mau jadi badut," keluhnya. "Rasanya
aku tidak lucu." "Kau lucu," kataku. "Tampangmu lucu."
Ia tidak tersenyum. "Apa itu salah satu leluconmu untuk pesta
nanti?" tanyanya sedih.
"Kita mesti berlatih," kataku. "Supaya bisa tampil lucu. Kita
akan beli banyak perlengkapan. Anak-anak pasti suka."
Harrison mendesah. "Kenapa sih aku mesti ikut?"
"Sebab kau temanku," kataku.
"Tidak. Apa alasan yang sebenarnya?" tuntutnya.
"Sebab Mrs. Henly akan membayarku tiga puluh dolar, dan aku
memberimu setengahnya."
"Oh, iya ya," kata Harrison sambil menjentikkan jarinya.
"Sekarang aku ingat."
********* Sepulang sekolah, kami naik sepeda ke toko sulap itu. Toko itu
kecil dan menjual komik, kaus, serta kartu ucapan juga.
Kami menyandarkan sepeda di tembok samping toko. Di atas
kami terpampang tulisan kuning-merah: TOKO SULAP
Awan kelabu berarak menutupi matahari. Sebuah bayangan
hitam melayang di atas kami ketika kami menuju depan toko.
"Tunggu!" Harrison berhenti dan jongkok untuk menalikan tali
sepatunya. Aku berbelok... dan terkesiap.
Ada Jimmy O'James di situ.
Aku langsung mengenalinya. Ia membawa kantong belanja
TOKO SULAP Ia hanya berjarak dua atau tiga toko dariku, dan
sedang menuju tempat parkir.
"Hei"!" panggilku. "Hei!" Aku melambai-lambai padanya
dengan bersemangat. Ia menoleh dan mengernyit padaku.
"Boneka Anda ada pada kami!" teriakku. "Slappy ada pada
kami." Ekspresi Jimmy berubah. Kulihat ia ternganga dan matanya
terbelalak. "Enyahkan dia! Tolonglah!" serunya. "Singkirkan dia...
sebelum terlambat!" 11 "HAH" Apa maksudmu?" aku berseru. "Jillian?" Harrison
bergegas menghampiri dari balik bangunan. Aku menoleh kepadanya.
"Jimmy O'James," kataku. "Dia ada di sini. Dia..."
Harrison memandang ke belakangku. "Di mana?" Aku
membalikkan tubuh. Jimmy sudah menghilang. "Dia sudah pergi,"
gumamku sambil menggelengkan kepala. "Aku memberitahu dia
bahwa Slappy ada pada kita. Dia menyuruhku menyingkirkan boneka
itu. Sebelum terlambat, katanya."
Harrison mengernyitkan wajah. "Apa maksudnya" Kenapa
dia?" Aku angkat bahu. "Mana aku tahu?"
"Dia aneh," kata Harrison. "Dia tidak menyuruhmu
mengembalikan boneka itu, kan?"
"Tidak sih," sahutku.
"Bagus. Kita simpan saja boneka itu." Harrison membuka pintu
toko. Kami hendak masuk berbarengan... dan terjepit lagi di
ambangnya. "Selalu begini," gerutuku.
Harrison nyengir. "Mungkin ini bisa kita jadikan bagian dari
pertunjukan kita hari Sabtu nanti. Terjepit di pintu, maksudku."
"Cari gagasan lain," kataku.
Di toko itu hanya ada dua orang anak yang sedang mengorekngorek rak komik. Perlengkapan sulap ada di bagian belakang toko.
Kami menuju rak sulap dan melihat-lihat. Ada DOLAR YANG
BISA MENGHILANG, SAPUTANGAN TAK BERUJUNG, TOPI
HIDUP "Ini benar-benar perlengkapan tukang sulap," kata Harrison
sambil mengangkat sebuah kotak. "Bukan mainan anak-anak."
"Aku tahu," sahutku. "Kita ingin jadi profesional, kan" Kita


Goosebumps Pasangan Si Boneka Hidup Bride Of The Living Dummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ingin membuat penonton terkesan."
"Tapi mungkin ini terlalu sulit." Harrison menjentikkan
jemarinya. "Mungkin membuat binatang dari balon lebih baik."
Aku mengerutkan kening. "Memangnya kita tahu cara membuat
binatang dari balon?"
"Yah... tidak juga sih."
"Menurutku sulap lebih mudah," kataku. "Selain itu, binatang
dari balon kedengarannya terlalu kekanak-kanakan."
"Berapa sih usia anak-anak itu?" tanya Harrison.
"Empat," sahutku. Aku mengangkat sebuah kotak. KARTU
YANG MENYEMBURKAN AIR. "Kelihatannya ini oke," kataku
sambil menunjukkan kotak itu pada Harrison. "Kita bisa pura-pura
main kartu dan saling menyemprotkan air. Anak-anak pasti suka."
"Kalau ini bagaimana?" Harrison menarik sebuah kotak dari
rak. GUILLOTINE SUNGGUHAN. "Anak-anak menaruh kepala di
bawah pisaunya, lalu..."
"Jangan." Aku menarik sebuah kotak dari rak bawah. KRIM
KUE KEJUTAN. "Ini bisa digunakan," kataku. "Kuenya diisi dengan
krim, tapi begitu ada yang mendekat, pencet pompa ini dan krimnya
menyemprot ke wajah orang itu."
Harrison tertawa. "Pokoknya semua acara semprot-semprotan
kita pakai. Yang begitu selalu lucu."
"Terutama buat anak empat tahun," tambahku.
Kami membeli kartu semprot itu, juga kue krim semprot dan
beberapa perlengkapan lain. Kulihat Harrison lebih bersemangat
sekarang. Ia mulai bergairah tentang pertunjukan kami.
Mungkin kami bisa membawakannya dengan baik, pikirku.
Mungkin pesta ini baru permulaannya.
Mungkin kami akan menjadi pasangan badut pesta ulang tahun
paling top di kota. Mungkin kami akan menjadi badut-badut yang KAYA.
Kutaruh kantong belanja yang penuh itu di setang sepedaku.
Lalu kami pulang sambil membicarakan acara nanti.
Aku benar-benar merasa senang.
Sampai saat aku masuk ke rumah.
Dan membawa belanjaanku ke kamar.
Aku masuk kamar... dan menjerit terkejut.
Kantong belanjaan itu lepas dari tanganku. Isinya berhamburan
ke lantai. Aku terpaku memandang Slappy. Ia bertengger di meja, di
samping kotak kaca berisi kadalku.
Tutup kotak itu ada di lantai, retak.
Slappy mencondongkan tubuh ke kotak yang terbuka.
Kepalanya berpaling ke arahku. Mulutnya membentuk seringai kejam
mengejek. Kedua tangannya terulur ke dalam kotak, seakan-akan ia
hendak menangkap Petey si kadal.
Dan Petey... Di mana dia" Di mana kadalku" "Apa yang kaulakukan pada Petey?" teriakku.
12 SAMBIL membungkuk di atas kotak yang kosong itu, si
boneka menyeringai padaku.
Aku berlutut dan dengan panik mencari-cari kadalku. Aku
merangkak ke seluruh ruangan, mengintip ke bawah meja, kursi, dan
lemari. Kusibakkan penutup tempat tidur dan aku mencari di kolong
ranjang. "Petey! Petey...?"
Tidak ada tanda-tanda di mana dia.
Aku bangkit berdiri dan berpaling ke pintu kamar. Tadi pintu
itu terbuka lebar ketika aku tiba. Apakah kadalku merayap ke lorong"
Aku bergegas ke lorong, mencari hingga ke ujung-ujungnya.
Tidak ada juga. Aku mendengar suara-suara dan musik di ujung lorong. Dari
kamar si kembar terdengar suara TV Aku membuka pintunya. Katie
dan Amanda sedang duduk di lantai, mengapit Mary-Ellen. Nonton
film kartun. "Mana dia?" teriakku. "Apa yang kalian lakukan padanya?"
Mereka membalikkan tubuh dan menjerit kaget. Mary-Ellen
terjatuh miring. "Ada apa sih?" tanya Katie sambil melompat bangkit.
"Kau tahu ada apa!" jeritku. "Di mana Petey" Mana dia?"
Kucengkeram bahu Katie dan kuguncang-guncang.
"Hentikan! Hentikan!" Amanda berusaha menarikku. "Kami
tidak mengapa-apakan Petey. Jillian... hentikan!"
"Bohong!" teriakku. "Awas, akan kubalas kalian!"
"Ada apa ini?" Suara Dad membahana mengatasi suara TV.
Dad masih mengenakan mantelnya dan masih membawa tas kantor. Ia
baru pulang bekerja. "Jillian, ada apa?"
"Mereka bikin ulah lagi," teriakku sambil melepaskan Katie.
"Kali ini mereka membunuh kadalku."
"Hah?" Dad tampak terkejut. "Membunuhnya?"
"Tidak!" Katie dan Amanda berseru berbarengan.
"Kami tidak mengapa-apakan kadal itu," kata Amanda.
"Sungguh, Dad," Katie menimpali. "Dia sudah sinting. Aduh!
Lenganku sakit!" Katie menggosok-gosok bahunya dengan cemberut.
"Akan kubalas lebih dari itu," ancamku. "Ayo lihat, Dad."
Kuajak Dad ke kamarku dan kuperlihatkan Slappy serta kotak
yang kosong dan terbuka. Si kembar datang berlari. Mereka pura-pura
belum melihat ini. "Aku sudah mencari Petey ke mana-mana," kataku pada Dad.
"Kita mesti menemukannya. Dia tak bisa hidup lama tanpa makanan
dan air." Dad menggeleng sedih. Ia menaruh tasnya di ranjangku dan
menoleh pada si kembar. "Kalian keterlaluan kali ini," katanya.
"Tapi kami tidak melakukan apa-apa!" protes Katie.
"Memang. Kami tidak melakukan apa-apa!" kata Amanda.
"Tapi kan tak mungkin boneka itu yang melakukannya," kata
Dad dengan tegas. "Aku tidak mau kalian berbohong lagi, anak-anak.
Di rumah ini kita harus selalu bicara jujur. Aku serius."
Dad berpaling padaku. "Petey pasti ada di suatu tempat di
rumah ini, Jillian. Dia kan lambat. Dia tak mungkin pergi jauh. Kita
semua akan mencarinya. Kita akan menemukannya sebelum dia
kelaparan." "Tapi bagaimana kalau dia merayap ke dalam radiator atau
apalah?" ratapku. "Bagaimana kalau kita tak bisa menemukannya?"
Sebelum Dad bisa menjawab, Mom menghambur masuk. "Ada
apa sih ribut-ribut?" tanyanya. Ia ternganga ketika melihat Slappy
bertengger di kotak yang terbuka.
"Bukan kami yang melakukannya," kata Katie sebelum Mom
sempat menuduhnya. "Bukan kami," kata Amanda.
"Apa kadal itu tidak apa-apa?" tanya Mom.
"Kami tidak tahu. Dia hilang," seruku.
Mom menggelengkan kepala pada si kembar. "Kalian
keterlaluan kali ini, anak-anak."
Dad memegang bahu si kembar dengan tegas. "Cukup
bicaranya. Kita bahas nanti saja. Sekarang masing-masing mencari di
ruangan yang berbeda."
Katie melipat tangannya di depan dada dan cemberut. "Aku
tidak mau mencari sampai Dad percaya pada Amanda dan aku,"
katanya. "Tidak!" sahut Dad dengan tegas. "Kami tidak percaya padamu,
Katie. Tak mungkin sebuah boneka bisa memanjat ke meja dengan
sendirinya dan?dan... oh, tidak!"
Kami semua melihatnya. Melihat Slappy mulai bergerak.
Kami melihat kepalanya tersentak ke belakang. Dan mulutnya
terbuka. Kami berlima terpaku... dan ternganga kaget ketika boneka itu
bergerak sendiri. 13 "WAH!" Aku mencengkeram lengan Dad. Si kembar berseru
ketakutan. Kepala Slappy miring ke samping dan mulutnya membuka lebih
lebar. Lalu Petey muncul dari antara bibir boneka itu.
"Hah?" Aku tercengang. Kulepaskan lengan Dad, lalu aku lari
melintasi ruangan. Kadal itu menarik kakinya keluar dari atas dagu Slappy.
Kepalanya bergerak kiri-kanan, seperti sedang melayangkan pandang
ke seputar ruangan. "Petey... bagaimana kau bisa masuk ke situ?" seruku.
Dengan hati-hati kutarik kadal itu dari dalam mulut Slappy.
Slappy jatuh dari meja dan mendarat di kakiku. Kubuai Petey dengan
lembut di tanganku, lalu aku menatap Mom dan Dad.
"Dia tidak apa-apa," kataku.
Orangtuaku masih terpaku kaget. Akhirnya Mom mendesah
lega. "Hhhhh! Untunglah."
Dad tertawa dan menggaruk-garuk bagian kepalanya yang
botak. "Tadi kukira boneka itu benar-benar bergerak," katanya.
"Mengagetkan saja."
Si kembar meringkuk di dekat ranjangku. "Bukan kami yang
melakukannya," kata Amanda pelan. "Sungguh, Jillian."
"Tak mungkin," bentak Mom. Ia bertolak pinggang dan melotot
marah pada mereka. "Tak ada orang lain di rumah ini. Aku tidak
melakukannya. Ayah kalian juga tidak. Jadi, siapa pelakunya?"
"Tapi... tapi...," kedua anak itu tergagap-gagap.
"Tapi kami tak mungkin membunuh binatang yang masih
hidup," kata Katie akhirnya.
Mom menggelengkan kepala. "Ini benar-benar serius. Bukan
bahan gurauan. Sekarang ambil Mary-Ellen," perintahnya. "Simpan
boneka itu di lemari kalian."
"Tapi, Mom...," kata Katie.
"Simpan boneka itu di lemari," Mom mengulangi dengan tegas.
"Kalian tidak boleh mengeluarkannya sebelum kalian mengakui apa
yang kalian lakukan... dan meminta maaf pada Gillian."
"Tapi Mary-Ellen tidak akan senang disimpan di lemari," protes
Katie. "Kami tak mungkin menyimpannya," Amanda bersikeras. "Tak
mungkin." Mom hanya melotot memandanginya. Lalu Mom menoleh
padaku. "Jillian, taruh Mary-Ellen di lemari mereka. Sekarang."
Si kembar masih terus memprotes.
Kuletakkan Petey dengan hati-hati di dalam kotaknya.
Kelihatannya ia baik-baik saja. Mungkin ia menikmati
petualangannya. Tutup kotak sudah retak, tapi masih bisa dipasang di kotaknya.
Kututup kotak itu rapat-rapat.
Lalu aku berjalan ke kamar si kembar. Mary-Ellen sedang
duduk di lantai di depan TV. Kuangkat boneka itu dan aku beranjak
ke lemari. "Tidak! Jangan!"
Katie dan Amanda menyerbu ke depanku. "Jangan taruh dia di
sana." "Ini perintah Mom," sahutku pelan. Kumasukkan boneka itu ke
rak atas, agar si kembar tidak bisa menjangkaunya. Lalu kututup pintu
lemari. "Kalau kalian menginginkan dia kembali, ceritakan yang
sebenarnya," kataku.
Lalu aku kembali ke kamarku dan menutup pintu. Petey sedang
berjalan-jalan di kotaknya. Seperti biasa.
Aku menggeleng-geleng memikirkan Katie dan Amanda.
Mereka selalu usil padaku. Mereka memang punya bakat jahat.
Rencana menggunting rambutku di tengah malam dulu itu saja
sudah cukup parah, tapi yang tadi ini lebih parah lagi.
Balas dendam. Pikiran itu melintas di benakku. Sudah lama
sekali aku merencanakan membalas dendam pada mereka.
Sekaranglah saatnya. Tapi apa yang akan kulakukan" Balas
dendam macam apa yang cocok untuk mereka"
Kucoba membayangkan mereka mengendap-endap masuk ke
kamarku, mengeluarkan Petey dari kotaknya, menaruh Slappy di dekat
kotak, lalu memasukkan Petey ke dalam mulut boneka itu.
Sukar dipercaya.... Lalu sebuah bayangan lain melintas di benakku.
Kubayangkan diriku berdiri di lorong gelap Teater Kecil, di luar
ruang ganti Jimmy O'James, mengawasi orang itu berdebat dengan
bonekanya. Lalu sekali lagi kubayangkan Slappy mengayunkan lengannya
dan menghantamkan tinjunya ke hidung ventriloquist itu.
Mustahil, pikirku. Itu tak mungkin terjadi.
Aku memandangi Slappy yang masih tergeletak di lantai
kamarku. Sepasang matanya yang gelap menatap kosong padaku.
Aku merinding. "Kau juga akan kusimpan di lemari," kataku padanya.
Aku membungkuk untuk mengambilnya... dan sekali lagi
mulutnya mengatup di tanganku.
"Aduuh!" Aku terpekik dan berusaha melepaskan tanganku.
Dia tidak menggigitku, kataku pada diri sendiri.
Hanya mulutnya saja yang mendadak mengatup. Mendadak
mengatup.... 14 AKU menepuk lutut kostum badutku yang gombrong dan
berpola polkadot sambil tertawa. "Tampangmu benar-benar wuaah!"
Harrison melotot padaku. Ia menggaruk-garuk gumpalan
rambut merah di puncak kepalanya yang botak. Wajahnya putih
semua, kecuali mulutnya yang besar dan dicat hitam, yang tampak
menonjol di antara sepasang telinganya yang dari karet. Matanya juga
dilingkari bulatan hitam besar.
"Awas kau, Jillian," katanya. Lipit-lipit biru di seputar lehernya
bergerak-gerak saat ia berjalan. "Mudah-mudahan kita tidak
berpapasan dengan teman-teman kita."
Kami berjalan ke pekarangan keluarga Henly sambil menyeret
kantong perlengkapan. Aku menjadi badut periang, sedangkan
Harrison badut pemurung. Mom dan Dad sudah berhari-hari
menyiapkan kostum kami. Dad ingin membuatkan lengan mekanik yang bisa mencuat dari
samping tubuh kami, tapi kata Mom kami tidak akan bisa bergerak
sama sekali kalau di bawah kostum kami ada peralatan berat begitu.
Saat melangkah ke depan pintu, perutku mulai bergolak.
Terdengar suara anak-anak berteriak-teriak dan tertawa-tawa di dalam
rumah. Aku bersiap-siap memencet bel. "Mudah-mudahan mereka suka
pada kita," gumamku pada Harrison.
"Kalau tidak, aku akan mencoba dengan ini," kata Harrison
sambil mengeluarkan peluit besar yang diberikan Dad padanya. Suara
peluit itu nyaring sekali. Entah kenapa Dad menganggap kami akan
membutuhkannya. Aku memencet bel. Lagi dan lagi.
Di dalam berisik sekali. Mungkin tak ada yang mendengar


Goosebumps Pasangan Si Boneka Hidup Bride Of The Living Dummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bunyi bel. "Kalau yang ini, mereka pasti dengar," kata Harrison. Ia
membunyikan peluit itu. Suaranya benar-benar memekakkan telinga.
Pintu terbuka dan Mrs. Henly tersenyum pada kami. "Badutbadutnya sudah datang," katanya.
Mrs. Henly bertubuh gemuk dan berwajah bundar. Ia telah
menyanggul rambut pirangnya ke atas, tapi beberapa helai rambut
jatuh di dahinya. Ia menghapus keringat di dagunya.
"Dasar anak-anak," keluhnya. "Mudah-mudahan kalian bisa
menenangkan mereka. Mereka benar-benar berisik."
Mrs. Henly membawa kami ke ruang tamu. Kulihat beberapa
orangtua berkumpul di sebuah ruangan kecil.
Harrison dan aku berhenti di ambang pintu dan memandangi
sekitar dua puluh orang anak yang sedang berlari-lari dan melompatlompat sambil saling melemparkan mainan.
Mrs. Henly berseru, "Badut-badut sudah datang!" katanya.
"Coba semuanya duduk. Kita menonton pertunjukannya."
Lama kemudian barulah kami berhasil mengatur mereka agar
duduk di lantai. Beberapa masih saling pukul dan dua anak lelaki
sedang adu panco di sofa. Tapi mereka sudah tidak seberisik tadi dan
pertunjukan sudah bisa dimulai.
"Aku Zippy dan dia Zappy," kataku. "Kami akan membuat
kalian tertawa. Mula-mula, kami akan membungkuk memberi
hormat." Harrison dan aku membungkuk dalam-dalam dan kepala kami
beradu, seperti dalam latihan kami selama ini.
Aku menunggu anak-anak tertawa. Tapi tidak ada yang tertawa.
Harrison dan aku mengadu kepala lagi, siapa tahu tadi mereka
tidak melihat. Kali ini Harrison membungkuk terlalu cepat dan kepala
kami benar-benar beradu keras.
Anak-anak memandangi kami dengan diam. "Kapan kita makan
kuenya?" tanya seorang gadis kecil berambut merah.
"Ssst! Nonton dulu, ya?" kata Mrs. Henly.
"Ini kan ulang tahunku. Aku mau kuenya," si anak kecil
menjerit. "Zappy dan aku mau bercerita," kataku. "Tok tok!" Dan aku
mengetuk kepala Harrison yang putih.
Kukira anak-anak akan tertawa saat aku melakukan itu, tapi
mereka diam saja memandangi kami.
"Tok tok!" ulangku sambil mengetuk kepala Harrison lagi.
"Siapa itu?" tanyanya.
"Diki!" "Diki siapa?" "Diki... ra aku tahu?"
Hening. Benar-benar hening.
Beberapa anak mulai saling berbisik. Dua gadis kecil di dekat
sofa saling dorong. "Mereka tidak ngerti, ya?" bisik Harrison. "Mereka masih
terlalu kecil." Ia menunjuk ke kantong kami. "Kita mulai dengan
perlengkapan itu saja."
"Boleh juga." Aku mengeluarkan kartu-kartu semprot itu. Aku
yakin ini bisa membuat mereka tertawa.
Harrison dan aku sudah berulang kali berlatih dengan kartu ini.
Setiap kali mengambil kartu, kami saling menyemprot wajah dengan
air. "Mereka pasti terpingkal-pingkal melihat ini," bisikku. "Ayo
main kartu, Zappy," kataku keras-keras. "Anak-anak, apa kalian
senang main kartu?" "Tidak," sahut si gadis kecil yang berulang tahun. Beberapa
anak tertawa. Tawa pertama sepanjang siang ini.
"Aku yang membagi kartunya," seru Harrison. Ia mengeluarkan
sebilah pisau besar. "Masukkan pisau itu!" seru Mrs. Henly. Seorang anak laki-laki
di dekat perapian mulai menangis.
"Maaf. Cuma bercanda," kata Harrison. Ia memasukkan pisau
itu ke dalam kantong. "Kau payah kalau main kartu, Zappy," kataku sambil
memberikan kartu padanya. "Kau benar-benar payah kalau soal
kartu." Kupencet pompa yang kusembunyikan di saku kostum badutku,
tapi tidak ada air menyemprot. Kupencet lagi pompa itu.
Tidak ada apa pun yang keluar.
"Ini kartumu," seru Harrison. Ia memegang kartu itu di depan
wajahku dan kulihat ia memencet pompa yang disembunyikan di
dalam kostumnya. Tapi tidak ada air yang keluar.
Anak-anak mulai gelisah. Dua gadis cilik mulai berkejaran
keliling sofa. Tiga anak lelaki mulai adu panco.
"Kau mengisi kartu itu dengan air, tidak?" bisik Harrison.
"Aku?" seruku. "Mestinya kau yang mengisinya."
"Tidak. Itu tugasmu, Jillian."
"Sudah boleh makan kue, belum?" tanya si gadis yang berulang
tahun. "Badut-badutnya bodoh, ya?" anak lelaki di sampingnya
berkata. "Sebel!" seorang anak lelaki lain menggerutu sambil
memegangi kepalanya. "Beri mereka kesempatan," bentak Mrs. Henly.
Mendadak perutku terasa berat dan lututku gemetar. Keringat
mulai membasahi rias wajahku.
Kami sudah berusaha keras, tapi tidak berhasil membuat
mereka tertawa. "Mereka tidak suka nonton kita," bisikku pada
Harrison. Ia menunjuk-nunjuk kantong kami dengan liar. "Keluarkan
peralatan lainnya. Cepat!"
Aku mengeluarkan kue krim semprot itu. Tanganku gemetar
ketika membuka bungkusnya.
"Belum waktunya makan kue ultah," kataku. "Tapi siapa yang
mau makan kue ini?" "YAAAY!" Beberapa anak bersorak. Beberapa lagi melompatlompat sambil mengangkat tangan.
"Kue ini enak, lho," kataku pada mereka.
"Kue apa?" Seorang anak perempuan berambut hitam berkata.
"Itu kue apel, ya" Aku benci kue apel."
"Ini kue krim," kataku. "Aku perlu dua sukarelawan. Siapa yang
mau coba kue ini?" Kuletakkan kue itu di meja kopi. Lalu aku memanggil seorang
anak lelaki dan anak perempuan untuk maju ke depan.
Harrison dan aku sebenarnya tidak merencanakan menyemprot
anak-anak itu dengan krim. Kami cuma ingin mereka mendekati kue,
lalu Harrison dan aku akan ikut membungkuk di atas kue, dan saling
semprot dengan krim. Kami tidak sempat berlatih trik yang satu ini, sebab krimnya
mesti dimasukkan menjelang pertunjukan. Tapi kami yakin anak-anak
pasti tertawa geli melihat adegan ini.
"Ayo, cium kuenya," aku menyuruh kedua anak itu.
Mereka benar-benar lucu. Mereka tidak mau terlalu dekat
dengan kue itu. "Kau mau mendorong wajah kami, ya?" tanya si gadis kecil.
"Masa Zappy dan aku akan berbuat begitu?" seruku. "Ayolah,
cium saja." Pelan-pelan mereka membungkuk untuk mencium kue itu.
Dan seberkas krim menyemprot ke wajah mereka.
"Ooops," seru Harrison.
Anak-anak lainnya terperanjat. Beberapa mulai tertawa.
Tapi kedua anak itu menjerit-jerit.
"Mataku! Mataku! Perih sekali!" seru si anak lelaki. Ia
menggosok-gosok wajahnya dengan panik, berusaha menghapus krim
itu. "Mataku juga perih!" seru si anak perempuan. Ia mulai terisakisak. "Hentikan! Kulitku perih!"
Mrs. Henly bergegas mendekat. Beberapa orangtua berlari
mendekat. Anak-anak lainnya banyak yang menangis. Kedua anak
tadi menjerit-jerit keras.
Mrs. Henly melotot marah padaku. "Apa yang kalian lakukan
pada mereka?" bentaknya.
"Pasti ada yang tidak beres," aku menjelaskan dengan lemas.
Mrs. Henly membawa kedua anak tadi ke kamar mandi untuk
mencuci wajah mereka. Para orangtua lainnya berusaha menenangkan anak-anak yang
menangis. Jantungku berdebar kencang dan perutku mulas. "Apa yang
salah, ya?" bisikku pada Harrison.
Aku memasukkan satu jari ke krim itu dan mencicipinya.
"Iih!" erangku. "Ini bukan krim."
"Hah?" Harrison ikut mencicipi. "Ini sabun," katanya sambil
mengernyit. "Sabun cukur atau sabun apalah. Pantas saja mata mereka
perih." "Aku... aku mengisinya sebelum berangkat," kataku terbatabata. "Aneh, kenapa..."
Aku terdiam. Mendadak aku mengerti apa yang terjadi.
Si kembar. Katie dan Amanda.
Pasti mereka berulah lagi. Merekalah yang memasukkan sabun
sementara aku sedang mengenakan kostumku.
"Akan kuhabisi mereka!" jeritku.
Aku merasakan tangan Mrs. Henly memegangi bahuku dengan
keras. Ia menggiring aku dan Harrison ke pintu. "Kalian masih perlu
berlatih," katanya marah. "Aku akan memberitahu ibumu, Jillian."
"Hah" Memberitahu ibuku?" seruku.
"Untuk menjelaskan kenapa aku tak bisa membayarmu. Kau
merusak pesta ulang tahun Joslyn. Benar-benar merusak."
Ia mendorong kami ke luar pintu.
Harrison dan aku keluar. Di luar langit gelap. Butir-butir air
hujan yang dingin menerpa wajah dan bahuku. Rias wajahku luntur,
tapi aku tak peduli. Aku terisak. "Aku mesti bagaimana?" ratapku. "Bagaimana aku
mesti menjelaskan pada ibuku" Aku malu sekali."
"Katakan saja kita gagal," kata Harrison muram.
Dengan sedih kami melangkah ke jalan. Sepatu kami menginjak
kerikil di pekarangan. Angin berubah arah, meniupkan hujan dingin
ke wajah kami. Harrison menoleh padaku. Matanya bersinar-sinar gembira di
balik rias matanya. "Jillian, aku punya gagasan," serunya. "Kita tampilkan Slappy!"
15 AKU berhenti melangkah dan menatapnya. "Apa kau sudah
sinting" Apa katamu?" seruku.
"Mari kita tampilkan pertunjukan boneka pada pesta
berikutnya," sahutnya. Ia mengangkat kantong kami ke trotoar. "Kita
tidak memerlukan trik-trik konyol ini, Jillian. Kita tampilkan saja
pertunjukan boneka yang lucu."
"Yang benar saja," gerutuku. Hujan menerpa kepala dan
bahuku. Rias mataku meleleh masuk ke mata.
"Aku serius," kata Harrison. "Kau bisa memakai Slappy. Aku
akan mencari boneka lain. Kita kumpulkan buku-buku lelucon dan
kita buat menjadi pertunjukan. Pasti hebat. Lebih hebat daripada
pertunjukan Jimmy O'James. Maksudku, dua boneka pasti lebih lucu
daripada satu boneka."
Hujan semakin deras. Aku menggosok-gosok mata, mencoba
mengeluarkan lunturan rias wajahku. Lunturan itu mengalir ke
kostumku dan kostum basah itu terasa lengket di tubuhku.
"Bagaimana?" tanya Harrison. "Kita tampilkan pertunjukan
yang benar-benar baru. Bagaimana?"
"Oke," aku setuju sambil menggosok-gosok mata. "Setidaknya
kita tidak perlu memakai kostum dan rias wajah untuk pertunjukan
boneka." Aku membuka lipit-lipit kostumku yang basah dan
memasukkannya ke kantong. "Pokoknya aku tidak mau jadi badut
lagi!" *********** Sepanjang akhir minggu itu hujan terus turun. Cuaca itu cocok
sekali dengan suasana hatiku yang murung.
Ketika Mom bertanya bagaimana pesta ulang tahunnya, aku
marah. "Jangan tanya-tanya deh, Mom."
Mungkin Mom sudah tahu seluruh ceritanya dari Mrs. Henly,
sebab ia tidak menanyakan apa-apa lagi padaku.
Aku mencegat si kembar di kamar mereka dan dengan marah
menyalahkan mereka karena telah mengacau acaraku. "Anak-anak itu
bisa buta gara-gara sabun yang kalian masukkan!" teriakku.
"Tapi bukan kami yang melakukannya," sanggah Katie. "Kami
sama sekali tidak menyentuh perlengkapanmu."
"Kami kan tidak di rumah," kata Amanda. "Kami sedang pergi
ke rumah Stevie kemarin. Ingat tidak?"
Aku terkesiap. Ia benar. Si kembar memang tidak ada di rumah.
Jadi, siapa yang memasukkan sabun itu"
Siapa" *********** Hari Senin, sepulang sekolah, aku bertemu dengan Harrison. Ia
mengayuh sepedanya dengan penuh semangat. "Aku sudah menelepon
toko sulap itu," lapornya. "Mereka tidak punya boneka untuk
ventriloquist." Aku sedang memperhatikan sepedaku. Ban depan kelihatannya
agak kempes. "Jadi, kau mau cari boneka di mana?" tanyaku.
"Aku menelepon Teater Kecil," sahut Harrison. "Mereka
memberikan alamat Jimmy O'James padaku."
Aku memencet ban sepedaku. "Buat apa?"
"Dia pasti punya boneka untuk dijual pada kita," kata Harrison.
"Atau mungkin dia bisa meminjamkan satu untuk kita."
Aku bangkit berdiri. "Tapi waktu aku melihatnya di jalan itu,
tingkahnya aneh sekali. Ingat, tidak" Dia menyuruhku menyingkirkan
Slappy. Lalu dia pergi begitu saja."
"Mungkin dia sedang terburu-buru," kata Harrison. Ia
mengeluarkan secarik kertas dari saku jaketnya. "Ini alamatnya. Kau
mau ikut aku tidak ke rumahnya?"
Aku ragu. Sebenarnya aku tidak ingin bertemu Jimmy. Tapi aku
ingin menanyakan beberapa hal tentang Slappy. Dan aku tak ingin
Harrison pergi sendirian.
"Baiklah," kataku sambil naik ke sepedaku. "Apa salahnya?"
16 "SEBENARNYA orangtuaku tidak mengizinkan aku naik
sepeda sejauh ini," kataku pada Harrison.
Ia mengayuh dengan kencang sambil memegangi alamat Jimmy
O'James di satu tangan. "Cuma beberapa blok sesudah Dawson,"
katanya terengah-engah. Kami sudah melewati daerah rumah kami, dan beberapa daerah
perumahan di sisi seberang kota. Sesudah melewati beberapa blok
berhutan, rumah-rumah menjadi lebih kecil dan lebih rapat.
"Daerahnya tidak terlalu bagus," kataku ketika sepedaku
membentur rel kereta api. Seekor anjing mengejar kami sejauh
beberapa blok sambil menggonggong dan menyambar-nyambar
kakiku. Kami melewati beberapa rumah mobil yang tampak lusuh.
"Harrison, kau yakin tidak salah jalan?" tanyaku.
"Hmmm..." Ia mengamati alamat di tangannya, seperti
membaca peta. Mendadak ia mengerem. "Hei, itu dia rumahnya. Di
sana itu."

Goosebumps Pasangan Si Boneka Hidup Bride Of The Living Dummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia menunjuk ke sebuah rumah besar di tengah pepohonan.
Hampir tersembunyi oleh cabang-cabang pohon. Rumah itu gelap
gulita. Sebuah gulungan surat kabar bertengger di atapnya,
pekarangannya penuh alang-alang.
"Ya, itu dia." Harrison memasukkan kembali kertas alamat itu
ke saku celananya. Aku memandangi bayang-bayang gelap pepohonan, berusaha
melihat rumah itu dengan lebih jelas. "Rumahnya seram. Kelihatannya
tidak ada orang di rumah," gumamku.
Kami menuntun sepeda kami ke pekarangan yang sudah retakretak. Alang-alang bergemeresik ketika seekor binatang melesat lari.
"Tupaikah itu" Atau kucing"
Aku gemetar. Kami menaruh sepeda di rumput tinggi yang tumbuh di jalan
setapak depan. Lalu kami mendekati beranda depan.
Aku memencet bel. Tapi tidak terdengar deringan di dalam.
Harrison mengetuk dan memanggil. "Mr. O'James... Anda di
rumah?" Kami menunggu, lalu mengetuk lagi. "Ada orang di rumah"
Halooo!" Harrison mengetuk lagi... dan pintu terbuka.
Tapi tidak ada orang di dalam sana.
Aku melongok ke dalam. Hanya ada kegelapan. "Permisiii!"
"Kita masuk saja," desak Harrison sambil mendorongku pelan.
"Mungkin dia ada di belakang."
Aku ragu-ragu. "Masuk ke dalam" Menurutmu tidak apa-apa?"
"Kita periksa saja," kata Harrison.
"Baiklah." Aku menarik napas panjang dan masuk lebih dulu.
Sebuah lorong pendek mengarah ke ruang depan yang panjang
dan sempit. Pepohonan di sekitar rumah menghalangi cahaya matahari
masuk lewat jendela. Tapi dalam keremangan itu pun terlihat bahwa
ruangan itu kosong. "Permisiii!" panggil Harrison. "Mr. O'James" Anda ada di
rumah?" Suaranya menggema di tembok-tembok yang telanjang.
Kami cepat-cepat beralih ke ruang berikutnya. Sesuatu bergerak
di lantai. "Iih!"
Kecoak. Banyak sekali. Berlari di sekitar sepatuku, menggelitik mata
kakiku. "Owww! Singkirkan mereka! Singkirkan!" Aku melompatlompat sambil memukul-mukul binatang-binatang menjijikkan itu.
Lalu aku melompati mereka untuk menyusul Harrison. "Jorok!"
gerutuku. "Tempat ini penuh kecoak."
Kami berada di sebuah ruangan dengan meja panjang di
tengahnya. Mulanya kukira itu ruang makan, tapi ada rak perkakas di
ketiga dindingnya. Rupanya kami berada di semacam bengkel kerja.
Aku menarik-narik lengan baju Harrison. "Kita tidak boleh
masuk ke sini. Kita keluar saja."
Harrison tak peduli. Ia mengambil sesuatu dari sebuah sudut di
meja panjang itu. "Coba lihat." Ia menyorongkan benda itu ke
depanku. "Hei...." Benda itu adalah kepala boneka dari kayu. Mata dan
senyumnya sama seperti mata dan senyum Slappy.
"Ada bagian-bagian tubuhnya di ruangan ini," kata Harrison. Ia
menarik sepasang kaki ramping dari sebuah rak, lalu ada kepala
boneka lainnya. "Dia pasti membuat semua bonekanya di sini," kataku sambil
masuk ke ruang berikutnya.
"Mungkin dia bisa membuatkan satu untukku," kata Harrison.
"Pasti asyik." Aku melongok ke dapur. Kosong. Tidak ada makanan, piring,
atau peralatan lainnya. "Dia sudah pergi," kataku. "Mungkin dia sudah pindah."
"Tak mungkin," protes Harrison. "Kita kan perlu boneka lain."
"Kelihatannya tidak ada yang tinggal di sini," kataku. Aku
berjalan ke ruang makan yang kecil di belakang dapur. "Maksudku,
coba lihat saja. Kaulihat..."
Kata-kataku terhenti. Aku terkesiap ngeri. Tanganku terangkat menutupi mulut.
Harrison melihatnya juga. "Ohhh!" Ia mengeluarkan erangan
ngeri. Kami sama-sama melotot ke meja di ruang makan.
Memandangi kepala manusia yang tergeletak di situ.
Kepala Jimmy O'James. 17 KAMI maju pelan-pelan, selangkah demi selangkah. Aku
mencengkeram lengan Harrison. "Apa dia..."
Harrison menjerit dan mengibaskan lengannya. "Sori," kataku.
Aku tidak sadar bahwa aku mencengkeram lengannya dengan keras.
Kepala Jimmy O'James tergeletak miring. Matanya melotot
terbuka, menatap kosong ke dinding.
Aku tercekat saat kami membungkuk di atas kepala itu.
Harrison mengangkat kepala tersebut. "Kepala boneka,"
serunya. "Oh, wow!" seruku sambil berusaha menenangkan debar
jantungku. "Luar biasa! Kelihatannya seperti kepala sungguhan. Dia
membuat kepalanya sendiri dari kayu."
Dengan tangan satunya Harrison menggerakkan mulut boneka
itu. "Halo, aku Jimmy O'James, dan aku boneka dari kayu," katanya
dengan suara serak, mencoba tidak menggerakkan bibirnya.
"Sudah, berhenti main-main. Kita pergi dari sini," kataku.
"Tempat ini membuatku ngeri."
"Hei, tunggu!" kata Harrison.
"Aku serius nih," kataku. "Pokoknya aku mau keluar sekarang
juga." "Tapi lihat dulu ini!" seru Harrison.
Aku menoleh. Ia telah meletakkan kepala boneka itu di meja
dan sedang membolak-balik sebuah buku kecil yang sudah lusuh.
"Apa itu?" tanyaku sambil mendekatinya.
"Wah, asyik nih," seru Harrison. "Ini semacam buku catatan.
Mungkin buku harian."
"Buku harian siapa?" tanyaku.
"Jimmy O'James," sahut Harrison. Ia mengamati halamanhalamannya. "Wow. Segala sesuatu tentang Slappy ada di sini."
Aku mengambil buku itu dari tangannya. "Slappy" Ada apa
tentang Slappy?" Dengan cepat aku membolak-balik buku itu. Tulisannya kecil
dan rapi. Tinta birunya sudah memudar, tapi tulisannya masih bisa
dibaca, meski cahaya di sini remang-remang.
"Wow! Ini tak mungkin," seruku. "Jimmy pasti sedang menulis
cerita horor. Ini tak mungkin sungguhan."
"Kenapa?" tanya Harrison dengan bersemangat. "Apa katanya?"
"Ini... mustahili" kataku terbata-bata.
"Jillian... apa yang tertulis di situ?" teriak Harrison tak sabar.
Sambil menyipitkan mata, aku mulai membaca....
"Si pembuat boneka bukanlah manusia biasa. Setidaknya
begitulah yang kudengar. Beginilah kisahnya, seperti diceritakan
padaku. Si pembuat boneka adalah tukang sihir yang membuat boneka
untuk maksud jahat. Boneka-boneka dan mainan buatannya membuat
orang tertimpa berbagai penyakit aneh. Ia membuat boneka-boneka
yang melukai pemiliknya. Mainan-mainan yang mencuri barangbarang berharga sementara pemiliknya tidur. Si tukang sihir senang
menyebarkan kesusahan dan kejahatan melalui boneka-boneka yang
tampaknya tidak berbahaya."
"Cerita ini pasti dibuat-buat," sela Harrison. "Kedengarannya
seperti dongeng. Tak mungkin sungguhan."
Aku menggigiti bibir bawahku. "Entahlah," kataku sambil
membalik-balik halaman buku itu. "Aku tidak tahu ini sungguhan atau
tidak." Aku meneruskan membaca keras-keras....
"Boneka bernama Slappy adalah ciptaan si tukang sihir yang
paling jahat. Dia mencuri sebuah peti mati untuk mengambil kayunya,
dan dia mengukir boneka itu dari kayu peti mati tersebut. Lalu si
tukang sihir memasukkan kekuatan jahatnya ke dalam boneka itu,
sehingga kekuatan itu hidup dalam sosok Slappy, dan kekuatan itu
akan mulai beraksi bila ada yang membaca mantra jahat yang
dituliskan si tukang sihir.
"Kekuatan jahat si tukang sihir hidup dalam diri Slappy. "
"Tulisan itu digarisbawahi," kataku pada Harrison. Lalu aku
membacanya lagi.... Kekuatan jahat si tukang sihir hidup dalam diri Slappy.
Aku melanjutkan membaca....
"Mantra sihir yang bisa menghidupkan boneka itu tertulis di
secarik kertas yang ada di dalam saku jaket boneka tersebut. Kalau
mantra itu dibaca, si boneka"dan kekuatan jahatnya"akan hidup.
"Aku berhasil membuat Slappy tidak berdaya. Entah bagaimana
aku melakukannya. Pokoknya dia tidak berdaya. Lalu aku
membuangnya ke tempat sampah, agar dia dibawa pergi dan
dihancurkan. Aku berharap tak ada yang menemukannya. Tak ada
yang membaca mantra jahat yang bisa menghidupkan boneka itu."
"Wah," gumam Harrison sambil menggeleng-geleng. "Kita kan
menemukan kertas itu. Ingat tidak?"
Aku merinding. "Aku pernah membaca tulisannya. Untung
tidak sampai selesai."
Harrison memandangku. "Kalau kisah ini benar, berarti Slappy
bisa hidup. Dan dia bisa saja menelan kadalmu ke mulutnya."
"Dan mengganti krim dalam peralatan sulap kita dengan
sabun," kataku. Kami saling pandang dalam diam.
"Tapi kita tidak membaca mantra itu sampai selesai, kan?"
seruku. Aku menarik napas panjang. "Selain itu, seluruh cerita ini
kedengarannya sinting. Boneka kayu tak mungkin hidup, kan?"
Sebuah suara keras membuat kami terlompat.
Suara pintu depan dibanting.
Kututup buku kecil itu dan Harrison memasukkannya ke saku
celananya. Kami sama-sama terpaku, menatap ke cahaya kelabu.
Mendengarkan langkah kaki terseret yang semakin dekat.
Suara langkah kaki si boneka kayu di lantai.
18 KLIK, serr, klik... serr...
Kubayangkan Slappy melangkah dengan kaki terseret-seret dan
tangan terjuntai-juntai di lantai. Menarik dirinya melangkah untuk
menghampiri kami. Kami terkesiap ketika seorang lelaki berambut putih dalam
pakaian kerja warna gelap masuk ke dalam ruangan. Tangan kanannya
memegang tongkat yang diketuk-ketukkannya di lantai. Jalannya
timpang. Ia ternganga kaget ketika melihat kami. "Kalian sedang apa di
sini?" tuntutnya. Suaranya pelan dan tinggi.
"Kami... kami mencari Mr. O'James," kataku akhirnya.
Orang itu menunjuk ke belakangnya. "Aku tetangganya," ia
menjelaskan. "Kulihat pintu depan terbuka, jadi kupikir sebaiknya
kulihat, siapa tahu ada yang masuk."
"Kami mengira Mr. O'James ada di rumah," kataku sambil
melirik Harrison. "Tapi..." EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
"Dia sedang tur," sela si tetangga sambil menggeleng. "Tur
panjang. Pergi begitu saja. Tidak bilang-bilang."
Ia memindahkan tongkatnya ke tangan satunya. "Entah kenapa
dia terburu-buru sekali. Orang aneh."
"Terima kasih atas pemberitahuannya," kata Harrison.
"Sebaiknya kami pergi saja."
Tak lama kemudian kami sudah kembali naik sepeda untuk
pulang. Matahari mulai tenggelam di balik pepohonan dan angin
bertiup dingin. "Nah, sekarang bagaimana?" tanya Harrison sambil mengayuh
sekencang mungkin. "Di mana aku bisa mendapatkan boneka untuk
acara pesta Sabtu malam?"
Aku mengganti gigi dan mengayuh di sampingnya. "Aku punya
gagasan," kataku. "Kau saja yang jadi boneka. Aku jadi ventriloquistnya, dan kita bisa..."
"Lalu aku duduk di pangkuanmu sambil menggerak-gerakkan
mulut?" seru Harrison. "Yang benar saja!"
"Yah, aku sebenarnya tidak suka pertunjukan boneka," aku
mengakui. Harrison mengernyit padaku. "Kenapa tidak?"
"Aku tidak mau menggunakan Slappy," sahutku. Aku
merinding. "Aku... aku ingin mengenyahkan boneka itu dari
rumahku." Harrison tertawa nyaring. "Kau tidak benar-benar percaya apa
yang tertulis di buku itu, kan?"
"Mungkin saja," sahutku. "Mungkin boneka itu memang jahat,
Harrison. Aku tak ingin berurusan dengannya. Aku..."
"Hei, aku punya gagasan bagus!" katanya. Kami mengerem.
"Bagaimana kalau kita memakai Mary-Ellen?" tanyanya.
Aku menyipitkan mata padanya. "Apa katamu?"
"Mungkin aku bisa meminjam boneka adik kembarmu," saran
Harrison. "Dia kan besar dan aneh, bisa menjadi boneka yang hebat."
"Hmmm..." Aku diam memandanginya.
"Kita bisa katakan bahwa Slappy adalah pasangan Mary-Ellen,"
lanjut Harrison. "Mungkin kita bisa mengatakan mereka akan
menikah. Lucu, kan?"
Aku mengerutkan kening. "Slappy dan Mary-Ellen" Benar juga.
Memang lucu. Tapi aku tidak mau. Aku tidak mau menggunakan
Slappy." "Pikirkanlah," pinta Harrison. "Itu gagasan bagus, Jillian. Kita
kan tidak mau jadi badut lagi. Pikirkanlah, oke?"
"Oke," sahutku. Tapi aku terus terbayang senyum jahat Slappy
dan kisah di buku harian itu.
Kisah itu benar, aku memutuskan.
Boneka itu bisa hidup. Boneka itu menyimpan kejahatan....
Ketika aku tiba di rumah, Mom sudah menunggu di pintu
depan. "Kau terlambat!" serunya saat aku turun dari sepeda. "Kau
harus menjaga si kembar malam ini. Ingat?"
Aku benar-benar lupa. Aku bergegas masuk ke rumah. "Makan malammu ada di
meja," kata Mom. "Aku dan Dad mesti pergi."
"Aku akan turun sebentar lagi," kataku. "Aku cuma akan
menaruh ransel." Aku naik dua anak tangga sekaligus dan masuk ke kamarku,
lalu melemparkan ransel yang berat itu ke lantai.
Aku menoleh ke pintu. Dan terperangah.
"Oh, tidaaak!" erangku sambil melotot ke seberang ruangan.
Slappy duduk di atas meja riasku. Di tangan kanannya ada
tabung lipstik. Dan di cermin tertera tulisan besar berwarna merah:
19 "MOM! Dad!" Aku berteriak-teriak sambil turun tangga.
Orangtuaku ada di depan pintu. Dad sedang membantu Mom
mengenakan mantel. Aku membuka pintu badai. "Aku ingin memberitahu..."
Mom menoleh. "Katie dan Amanda sudah di meja. Mereka
mesti makan." Lalu ia dan Dad bergegas ke mobil.
"Tapi, Mom...," seruku. "Cerminku! Mom mesti lihat..."
"Nanti saja," kata Mom tak sabar. "Kami sudah sangat


Goosebumps Pasangan Si Boneka Hidup Bride Of The Living Dummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlambat, Jillian."
"Kita bicara kalau kami pulang nanti," kata Dad. Ia membuka
pintu mobil dan masuk ke belakang kemudi.
Mom bergegas ke pintu penumpang. "Kau yang bertanggung
jawab," serunya. "Aku percaya padamu, Jillian. Aku tidak mau ada
masalah apa pun." "Tapi... tapi...," aku terbata-bata.
"Kalau ada masalah sekecil apa pun, kalian bertiga akan
dihukum," kata Mom. Lalu ia masuk dan menutup pintu mobil.
Aku berdiri di pintu depan, memandangi mobil itu keluar.
Terbayang olehku tulisan merah di cerminku: MANA
PASANGANKU" Setelah mobil itu tidak kelihatan lagi, aku mendesah dan
kembali ke ruang akan. Katie dan Amanda duduk dengan mangkuk
besar berisi spageti di hadapan mereka. Katie sedang memilin-milin
sejumput besar spageti dengan garpunya, sementara Amanda makan
dengan jarinya. Aku mendatangi mereka dengan berdebar. "Kalian tadi masuk
ke kamarku?" tanyaku dengan berang.
Amanda menyeruput seutas mi panjang. Katie menatapku tanpa
rasa bersalah. "Kapan?" tanyanya.
"Kalian masuk ke kamarku tidak siang tadi?" tanyaku dengan
suara gemetar. "Apa kalian menaruh Slappy di meja riasku" Kalian
menulis di cerminku?"
Mereka mengernyit padaku. "Kau mengigau," kata Katie.
"Kami tidak masuk ke kamarmu," tambah Amanda.
Kali ini aku percaya. Mereka tidak bohong. Buku harian itu juga tidak bohong.
Boneka itu memang hidup. Seseorang telah membaca tulisan di
kertas itu. "Aku... aku akan kembali nanti," kataku pada si kembar.
"Habiskanlah makan malam kalian."
Aku lari naik ke kamarku.
Di meja riasku, Slappy bertengger dengan tangan memegang
tabung lipstik. Kuambil dia dan kuangkat dari meja. Kubawa ke ranjangku dan
kugeletakkan telentang. Lalu aku merogoh saku jaketnya untuk mencari kertas itu.
Aku merogoh. Mencari-cari di saku satunya.
Lalu kembali ke saku pertama.
Tidak ada. Kertas itu lenyap. 20 SAMBIL memandangi boneka itu, mendadak aku memahami
keseluruhan peristiwanya. Aku tahu persis apa yang terjadi.
Katie dan Amanda memainkan boneka itu dan menemukan
kertas tersebut. Mereka membaca mantranya dan membuat boneka itu
hidup. Mereka ketakutan akan apa yang telah mereka lakukan. Dan
tidak berani menceritakannya pada Mom dan Dad.
Mereka mendapati betapa jahatnya Slappy. Mereka tahu ulah
merekalah yang membuatnya hidup. Mereka takut membicarakannya.
Takut mendapat masalah. Kuangkat boneka itu dengan dua tangan dan kupandangi
matanya yang bulat. "Benarkah?" seruku. "Benarkah itu, Slappy"
Apakah kedua adikku yang membuatmu hidup?"
Mata boneka itu memandangiku. Mulutnya yang merah seolah
tertawa mengejekku. "Benarkah?" tanyaku dengan nyaring. "Benarkah?"
Kucengkeram bahu boneka itu dan kuguncang-guncang dengan
keras. Kepalanya yang berat terayun-ayun di bahunya. Sepasang
lengannya terangkat. Kuguncang dia lebih keras dan lebih keras.
Akhirnya aku berhenti. Aku terengah-engah dan berdebardebar.
"Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hidupku,"
kataku terengah. "Aku tidak mau kau menghancurkan keluargaku."
Kubawa ia kembali ke ranjang. Ia terlompat satu kali, lalu
tergeletak telentang, kepalanya miring, mulutnya terbuka.
Sambil berusaha menenangkan diri, aku beranjak ke tangga.
"Kalian sudah selesai makan, belum?" teriakku.
"Kami sedang makan!" Amanda balas berteriak dari ruang
makan. "Kau ada di mana" Kau sedang apa, Jillian?" seru Katie.
"Aku akan turun," kataku.
Aku melintasi lorong, menuju kamar mandi. Sambil
membungkuk di wastafel aku membasahi wajahku dengan air, lalu
mencuci tangan. Aku sedang mengeringkan tangan dan wajahku dengan handuk
besar ketika terdengar suara keras.
Begitu keras, hingga seisi rumah bagai terguncang.
Aku mencengkeram tepi wastafel dengan kaget. Terdengar
suara keras lagi dari bawah.
Aku melompat ke lorong. Terdengar suara keras lagi dari bawah. Dan teriakan ngeri.
Si kembar menjerit dan menangis.
21 AKU turun dari tangga, melompati tiga anak tangga sekaligus.
"Katie" Amanda" Ada apa?" teriakku.
Aku menghambur ke ruang makan... dan berseru terkejut.
Slappy duduk di meja"
Slappy" "Bagaimana... bagaimana dia bisa kemari?" tanyaku terbatabata.
Mataku menyapu keadaan ruang makan yang berantakan.
Piring-piring yang pecah dan spageti yang bertebaran.
Gelas-gelas susu terbalik dan bekas-bekas spageti menempel di
tembok dan tirai-tirai jendela.
"Dia yang melakukan! Dia yang melakukan!" teriak si kembar.
Mereka sama-sama menunjuk Slappy.
Boneka itu duduk lemas di kursi, kepalanya tersungkur ke
depan. Satu lengannya menggantung lemas, satunya lagi tergeletak di
tumpahan saus spageti di meja.
Aku mengalihkan mata kepada si kembar, lalu kembali kepada
boneka itu. "Kapan... bagaimana..." Kalimatku tercekat di
tenggorokan. Kakiku gemetar keras dan aku mesti berpegangan ke
tembok. Benar-benar berantakan. Tumpahan spageti di mana-mana. Dan
bercak-bercak merah... serta pecah belah yang hancur.
"Dia yang melakukan! Boneka itu!" seru Katie.
"Kau mesti percaya pada kami," pinta Amanda.
Aku percaya. Boneka itu duduk lemas di kursi. Tapi bagaimana ia bisa turun
dari kamarku" Si kembar memang suka usil, tapi mereka tak akan berbuat
sejauh ini. Apa yang mesti kulakukan"
Telepon berdering. Aku terlompat kaget, lalu berlari ke ruang tamu untuk
menjawabnya. "Halo?" "Hai, Jillian, ini Mom."
"Mom?" "Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Mom. "Kedengarannya
kau terengah-engah."
"Tidak!" teriakku. "Tidak! Mom... ada masalah."
"Apa?" "Boneka itu hidup, Mom!" teriakku ke telepon. "Cepatlah
pulang. Boneka itu hidup. Dia menumpahkan spageti dan... dan..."
Aku terengah-engah. "Jillian, hentikan!" bentak Mom dengan tegas.
"Hentikan sekarang juga! Aku sangat kecewa padamu."
"Tapi, Mom..." Aku ingin sekali menceritakan semuanya, tapi
Mom memotong ucapanku dengan seruan marah.
"Hentikan, Jillian. Jangan bertengkar lagi dengan si kembar.
Kau mesti lebih dewasa."
"Tapi... tapi, Mom..."
"Jangan bicara lagi," kata Mom. "Aku sangat kecewa padamu.
Kami akan berusaha pulang lebih cepat. Sampai nanti."
Telepon ditutup. Aku tercekat, lalu menarik napas panjang dan bergegas kembali
ke ruang makan. Aku mesti mengunci boneka itu, pikirku. Aku mesti
menguncinya sebelum ia menimbulkan lebih banyak kerusakan.
Aku berhenti di ambang pintu... dan melihat kursi yang sudah
kosong. "Di mana dia?" teriakku. "Apa yang kalian lakukan pada
Slappy?" Katie hendak menjawab, tapi tak ada suara yang keluar.
Amanda terisak dan menggeleng.
"Mana dia?" teriakku. "Mana boneka itu?"
"Dia... dia pergi," sahut Katie akhirnya, dengan berbisik.
"Apa?" seruku. Tapi kemudian kudengar suara langkah kaki pelan di tangga
depan. "Itu dia," bisik Amanda.
"Dia akan ke atas," kata Katie. Ia dan Amanda saling pandang
dengan ketakutan. Aku terpaku. Kudengarkan suara langkah kaki yang menuju ke atas itu.
"Ini mustahil terjadi," gumamku.
Kupaksakan diriku bergerak. Aku menghambur ke ruang tamu,
dan memaksakan diri naik tangga.
Dan aku terhenti di ambang pintu kamarku.
Slappy duduk di tempat tidurku, di kepalanya ada bekas-bekas
spageti dan di bahunya tergantung lembar-lembar spageti.
Aku menatap tabung lipstik di tangannya.
Dan tembok di atas tempat tidurku. Di situ ia menuliskan:
MANA PASANGANKU" 22 "KAMI semua dihukum," kataku pada Harrison. Aku mondarmandir di kamarku sambil memegang telepon. "Orangtuaku marah
sekali, sampai-sampai tidak mau bicara pada kami."
"Kabar buruk," gumam Harrison.
Aku melihat ke luar jendela. Hari yang indah dan cerah.
Sekolah diliburkan karena ada rapat guru, tapi aku tidak bisa ke manamana.
"Belum pernah mereka semarah itu," kataku. "Bekas-bekas
spageti itu tidak bisa hilang dari tirai dan tembok. Kami sudah
mencoba macam-macam cara."
"Apa kau memberitahu orangtuamu bahwa yang melakukan
adalah boneka itu?" tanya Harrison.
"Mereka tidak mau dengar," kataku. "Setiap aku menyebutnyebut Slappy, mereka malah lebih marah lagi. Mereka bilang aku
tidak boleh menyebut-nyebut boneka itu lagi."
"Dan kau yakin dia benar-benar hidup?" tanya Harrison.
Aku merinding. "Aku yakin, Harrison. Aku menguncinya di
koper dan memasang gembok rangkap. Kita mesti mengeluarkannya
dari rumahku. Menyingkirkannya sejauh mungkin."
"Lalu bagaimana dengan pesta ulang tahun Sabtu malam
nanti?" sela Harrison. "Kita perlu boneka untuk pesta itu, kan?" Lalu
ia menambahkan, "Tapi kau sedang dihukum. Apa berarti kau tidak
bisa ikut tampil?" "Mom mengizinkan aku tampil untuk pesta itu," kataku. "Mrs.
Simkin menelepon. Anak lelakinya berulang tahun. Tapi ruang bawah
tanahnya sedang kebanjiran, jadi pestanya diadakan di ruang bawah
tanah rumahku." "Nah, berarti kita memerlukan Slappy," seru Harrison.
"Tidak," cegahku. "Sudah kubilang, aku menguncinya di koper.
Aku tidak akan mengeluarkannya. Tidak akan. Kita mesti tampil
sebagai badut, Harrison."
"Tak mungkin!" kata Harrison. "Anak-anak tidak suka
penampilan kita, Jillian. Pertunjukan badut kita payah, ingat?"
"Tapi boneka itu..."
"Aku sudah menulis skenario untuk boneka itu dan
pasangannya," kata Harrison. "Lucu sekali. Anak-anak pasti suka.
Kita mesti membawakannya."
Aku tidak menjawab. Kubayangkan seringai jahat Slappy ketika
ia duduk di depan meja makan, di tengah pecah belah yang hancur dan
spageti yang berantakan. Dan sekali lagi kubayangkan kalimat di
cermin dan tembok itu: MANA PASANGANKU"
Seluruh tubuhku gemetar. Aku tak bisa menampilkan pertunjukan boneka dengannya. Aku
tak bisa memberi Slappy kesempatan untuk berbuat jahat lebih banyak
lagi. "Cari boneka lain saja," kataku. "Kita bisa menggunakan MaryEllen, tapi aku tidak mau memakai Slappy. Kau mesti mencari boneka
lain." "Oke, oke," sahut Harrison. "Boneka baru. Akan kucari. Tidak
masalah." ************* "Berikan padaku!"
"Tidak, ini punyaku."
"Katanya kau mau bagi!"
"Cari sendiri!"
Baru saja para tamu berdatangan, pertengkaran sudah dimulai.
Anak kecil bisa sangat menjengkelkan. Mestinya aku tahu. Adik
kembarku sendiri selalu menyebalkan.
Sekarang Harrison dan aku berdiri di tengah ruang bawah tanah
rumahku, memandangi sekitar lima belas anak kecil yang berteriakteriak, melompat-lompat, dan saling kejar.
Harrison menggeleng-gelengkan kepala. "Orangtua mereka tak
sabar ingin cepat pergi begitu mengantar mereka kemari."
Aku mendesah. "Tak bisa disalahkan."
Sebuah balon meletus dan seorang gadis kecil berkepang merah
menangis. Harrison bergegas menenangkannya.
Para orangtua sedang berpesta sendiri di rumah sebelah. Mrs.
Simkin sendiri ingin cepat-cepat pergi, padahal yang berulang tahun
adalah Eddie, anaknya sendiri.
"Kami ada di rumah sebelah," katanya sebelum pergi. "Teriak
saja kalau memerlukan kami."
Harrison akhirnya berhasil membujuk anak perempuan yang
menangis itu. Ia bergegas kembali padaku. Sebuah bola terbang
melintasi ruangan dan hampir menimpa kue ulang tahun. "Bayaran
dari Mrs. Simkin kurang besar," desah Harrison.
Aku melayangkan pandang. Katie dan Amanda kelihatannya
senang. Mereka sedang memamerkan koleksi boneka mereka pada
dua gadis lain. Eddie Simkin menarik-narik kausku. "Kapan pertunjukannya
mulai?" tanyanya. "Cepat dong."
Ia mulai berisik dan beberapa anak lain ikut-ikutan. "Cepat
mulai! Cepat mulai!"
"Ayo ambil Maxie dan Mary-Ellen," kataku pada Harrison.
"Setidaknya pertunjukan kita bisa menenangkan anak-anak ini
sebentar."

Goosebumps Pasangan Si Boneka Hidup Bride Of The Living Dummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin," kata Harrison sambil menggeleng.
Maxie adalah boneka bergigi besar dan berwajah bloon yang
ditemukan Harrison di loteng pamannya. Sepanjang minggu kami
berlatih dengan Maxie dan Mary-Ellen, dan kami berhasil dengan
baik. Malah kami tertawa-tawa sendiri dengan skenario yang akan
ditampilkan. Aku tidak sabar ingin cepat tampil.
Kami telah menaruh Maxie dan Mary-Ellen di koper yang kami
letakkan di bengkel ayahku di pojok ruang bawah tanah.
Harrison mengeluarkan Mary-Ellen dan merapikan rambutnya.
Kutarik koper berisi Maxie dari lemari dan kuletakkan pada
sisinya. "Jangan lupa, ada perubahan pada lagunya," aku mengingatkan
Harrison. Ia mengangguk. "Jangan khawatir."
Aku membuka koper berisi Maxie dan mengangkat tutupnya,
lalu meraih hendak mengambil Maxie.
"Tidaaak!" Aku terpekik ngeri.
"Bagaimana DIA bisa ada di sini?" teriakku.
Harrison dan aku sama-sama ternganga memandang Slappy.
Slappy. Slappy. Menyeringai lebar dari kotak tempat Maxie.
23 "CEPAT tampil! Cepat tampil!" Anak-anak itu berseru-seru.
"Aku... aku tidak bisa," kataku pada Harrison. "Aku takut."
"Cepat tampil! Cepat tampil!"
Harrison terperangah memandangi koper itu. "Siapa yang
menukar boneka ini?" tanyanya. "Bagaimana... bagaimana..."
Seringai Slappy tampaknya semakin lebar. Sepasang matanya
berbinar-binar. "Cepat tampil! Cepat tampil!"
Harrison mencengkeram lenganku. "Kita mesti tampil,"
desaknya. "Kalau tidak, anak-anak akan ribut. Bisa kacau."
Di belakang kami, anak-anak itu terus berseru-seru. Mereka
duduk di lantai sambil bertepuk-tepuk dan bersorak-sorak, tak sabar
menunggu pertunjukan kami.
"Tapi... dia sudah dikunci di atas," seruku sambil menatap
wajah yang menyeringai itu. "Dikunci rapat-rapat."
"Ambil sajalah," perintah Harrison. "Kita mesti tampil. Lalu
kita singkirkan dia selamanya. Ambil dia, Jillian. Pegangi erat-erat.
Pasti tidak apa-apa."
Aku menoleh pada anak-anak yang masih berseru-seru itu.
Mereka makin gelisah. Harrison benar. Kami mesti tampil.
Aku menarik napas panjang dan mengangkat Slappy. Harrison
membawa Mary-Ellen. Lalu kami melangkah ke tengah ruangan.
"Ini hari ulang tahunku," kata Eddie sambil menerobos
beberapa anak lain. "Jadi, aku mesti paling depan." Ia duduk persis di
depan Slappy dan aku. Harrison dan aku duduk di bangku-bangku kayu yang tinggi
dan mengangkat boneka masing-masing ke pangkuan. Kupegangi
Slappy erat-erat. Pertunjukan dimulai.
"Hai, boneka," kata Slappy.
"Jangan sebut aku boneka," bentak Mary-Ellen dengan suara
nyaring. "Nanti kutampar kau."
"Tidak apa-apa. Kaupikir kenapa aku diberi nama Slappy, si
tukang tampar?" sahut Slappy.
Beberapa anak tertawa. Tapi kulihat Eddie memasang tampang
sebal. "Kau otak udang," seru Mary-Ellen dengan suaranya yang
nyaring. "Pasti rongga kepalamu kosong."
"Jangan ngeledek!" balas Slappy.
"Memang kenapa?"
"Sebab itu pekerjaanku," seru Slappy. "Kau terlalu bodoh untuk
memaki, Mary-Ellen. Kau tahu tidak bedanya tupai mati dan roti selai
kacang?" "Tidak. Apa bedanya?"
Kugelengkan kepala Slappy. "Kalau begitu, ingatkan aku untuk
tidak minta roti selai kacang padamu."
Beberapa anak tertawa. Tapi kulihat Eddie masih tetap merengut. "Tidak lucu,"
serunya. "Tidak bisa lebih lucu lagi?"
"Mau yang lebih lucu?" mendadak Slappy berteriak. "Akan
kuperlihatkan yang lebih lucu!"
Aku terkesiap. Bukan aku yang bicara begitu.
Sebelum aku sempat bertindak, Slappy memiringkan kepala dan
membuka mulut lebar-lebar.
Kudengar suara menggeluguk dari dalam perut Slappy.
Aku menjerit ketika suara itu semakin keras.
Lalu segumpal cairan hijau kental keluar dari mulut Slappy.
Menyembur seperti air dari selang. Cairan hijau kental yang
menjijikkan. Slappy menyemprotkan cairan itu ke arah anak-anak, dan
mengenai Eddie Simkin yang duduk di dekatku, lalu menyembur ke
tembok, ke lantai, dan ke anak-anak lainnya.
"Ihhhh! Baunya!" seorang gadis cilik berteriak.
Bau yang memuakkan menguar naik.
Slappy menengadahkan kepalanya lagi, lalu memutar kepala.
Semua orang terkena cairan menjijikkan itu.
Anak-anak menjerit jijik. Seorang anak lelaki bangkit dan
berusaha lari, tapi terpeleset dan terjatuh dengan wajah lebih dulu di
tengah cairan itu. "Masuk ke mataku!" teriak seorang anak lelaki. "Mataku perih."
"Ohhh!" Erangan-erangan jijik dan ngeri memenuhi ruangan.
Kucoba menutupi mulut boneka itu dengan tangan untuk
menghentikan semburannya.
Tapi Slappy menyentakkan tubuhnya dan aku berteriak ketika ia
meluncur turun dari pangkuanku. Ia berdiri dengan dua kakinya di
lantai, memiringkan kepala, dan menyemburkan lebih banyak lagi
cairan menjijikkan. Anak-anak berusaha menjauh. Beberapa menangis. Dua anak
lelaki muntah di lantai. Aku bertanya pada Harrison, "Kita mesti bagaimana?"
Sebelum Harrison sempat menjawab, Slappy sudah maju dua
langkah dan menyambar Eddie Simkin dengan kedua tangan kayunya.
Dengan kekuatan mengejutkan Slappy menyeret anak itu
melintasi ruangan. "Slappy... hentikan!" teriakku.
Ia menoleh padaku, seringainya semakin jahat.
"Sekarang ini PESTAKU!" teriaknya. "Aku ingin pasanganku."
24 "DIA menyakitiku!" teriak Eddie. "Lepaskan aku! Lepaskan
aku!" "Menjauh dariku!" bentak Slappy. "Akan kusakiti dia! Akan
kusakiti dia!" Ia menarik Eddie dengan keras dan menyeretnya di
lantai. Aku tertegun. Anak-anak menjerit dan menangis, dan terpeleset
di tengah cairan itu. Ini tidak sungguhan, pikirku.
Aku menoleh pada Harrison. Rambutnya basah oleh cairan
hijau itu. Juga pakaiannya.
"Apa yang mesti kita lakukan?" seruku di tengah teriakan anakanak.
Harrison cuma angkat bahu.
"Aku akan cari bantuan," kataku. Aku bergegas menuju tangga.
"Mau ke mana kau?" tanya Slappy dengan marah. Ia
menyentakkan Eddie. "Ow! Kau menyakitiku!" erang Eddie.
Aku hampir terpeleset, lalu mengangkat tangan untuk menjaga
keseimbangan dan mulai berlari lagi.
Aku tidak melihat Slappy menjulurkan kakinya dan
menjegalku. "Ohhh!" aku berseru jijik ketika aku terjerembap di
cairan bau itu. Aku berguling dan bangkit lagi.
Kuseka cairan hijau itu dari wajahku.
"Kalau kau naik ke atas, akan kusakiti mereka semua," ancam
Slappy. Suaranya yang nyaring membuatku merinding.
Aku berhenti berlari dan membalikkan tubuh. "Jangan sentuh
mereka,"teriakku. "Lepaskan aku! Lepaskan aku!" Eddie meronta-ronta, berusaha
melepaskan diri. Tapi cengkeraman Slappy erat sekali.
Seringai jahatnya semakin lebar dan matanya berbinar-binar.
"Sekarang ini PESTAKU!" serunya. "Tapi aku tidak mau pesta
ulang tahun. Aku mau pesta PERKAWINAN. Aku sudah memilih
pasanganku. Pasangan yang akan menjadi BUDAKKU selamanya!"
Aku memandanginya dengan berdebar. Bau cairan memuakkan
itu membuat perutku bergolak.
"Aku menginginkan PASANGANKU!" jerit Slappy.
"SEKARANG JUGA!"
"Baik!" teriakku dengan suara gemetar. "Kalau kami
memberimu pasangan, kau berjanji akan pergi bersamanya" Dan tidak
akan menyakiti siapa pun di sini?"
Mata boneka itu berkilat-kilat. Ia menganggukkan kepalanya.
"Yaa," desisnya. "Aku akan membawa pasanganku pergi jauh."
"Baiklah." Aku berpikir keras, lalu menoleh pada Harrison.
"Berikan Slappy pasangan," perintahku.
Harrison terperangah. "Apa?"
"Pasangannya," kataku sambil memberi isyarat. "Mary-Ellen."
"Oh." Harrison baru mengerti. Ia mengangkat Mary-Ellen
dengan dua tangan, lalu menghampiri Slappy dan menyodorkan MaryEllen padanya.
Slappy memandangi Mary-Ellen. Lama.
Dan aku terkejut ketika ia mengeluarkan lengkingan marah dan
melemparkan Mary-Ellen. "Apa kau sudah SINTING?" teriaknya. "Masa aku diberi
mainan jelek itu! Aku tidak mau!"
Slappy mengulurkan tangan dan mencengkeram pergelangan
tanganku. "Jillian, KAULAH pasanganku!" serunya.
25 "OW!" teriakku ketika cengkeraman boneka itu semakin erat.
Aku menarik-narik tanganku, tapi tak bisa membebaskan diri.
Di sekitarku anak-anak menjerit-jerit dan menangis. Dua gadis
kecil berpelukan dengan kaki gemetar.
Eddie berdiri di tengah ruangan, memeluk dirinya sendiri
dengan gigi gemeletuk. Aku mencari Katie dan Amanda. Mereka meringkuk di dekat
tangga, tubuh mereka penuh cairan hijau.
Harrison berdiri terkejut dengan mulut ternganga. Ia maju
selangkah ke arahku, sepatunya terkena cairan hijau itu.
Sambil menyeringai jahat, Slappy menarikku lebih dekat dan
menekankan wajahnya ke telingaku.
"Kau akan menjadi budakku," bisiknya. "Kau akan menjadi
budakku sepanjang sisa hidupmu."
"Tidak!" teriakku.
Aku meronta lagi dengan segenap kekuatanku.
Tapi boneka jahat itu malah semakin erat mencengkeramku.
Aku tak bisa bergerak. Aku menoleh pada Harrison dan hendak menyuruhnya lari ke
tangga, memanggil para orangtua.
Tapi sebelum aku sempat berbicara, sebuah suara
berkumandang di ruangan itu.
Suara marah seorang gadis.
"Lepaskan dia, Slappy!" kata suara itu. "Dia bukan
pasanganmu. AKULAH pasanganmu."
Aku menoleh untuk melihat siapa yang berbicara.
Mary-Ellen. 26 ANAK-ANAK menjerit-jerit dan menangis. Empat gadis cilik
meringkuk di tembok, saling berpelukan.
Mary-Ellen melompat-lompat di lantai dengan rambut berkibar.
Sepasang tangannya mengepal.
"Kau boneka kayu tak berguna!" jeritnya pada Slappy. Ia
mendekati boneka itu dan menghantamnya dengan keras.
Terkejut, Slappy mundur. Cengkeramannya lepas dan aku mundur sambil menggosokgosok pergelangan tanganku.
Mary-Ellen mencengkeram tenggorokan Slappy. "Aku
menghidupkanmu bukan untuk DIA!" teriaknya. "Akulah
pasanganmu!" "Hah?" Aku terkesiap dan menyipitkan mata pada Mary-Ellen.
"Kau yang menghidupkan Slappy?" tanyaku.
Mary-Ellen mengangguk. Ia mengguncang Slappy dengan
keras. "Dasar bodoh!" bentaknya. "Akan kubuat kau menjadi serbuk
gergaji kalau kau tidak cepat sadar!"
Sementara aku ternganga kaget, Katie dan Amanda berlari
menghampiriku. "Kami sudah lama ingin menceritakannya padamu, Jillian," isak
Katie. "Tapi Mary-Ellen tidak mengizinkan. Begitu dibawa kemari
oleh Dad, dia langsung bicara pada kami dan memerintah kami.
Katanya dia akan menyakiti kami kalau kami mengadu. Kami tidak
tahu mesti bagaimana. Kami sangat takut. Kami belum pernah punya
boneka yang benar-benar hidup."
"Mary-Ellen-lah yang berulah," kata Amanda. "Dialah yang
memasukkan kadalmu ke mulut Slappy. Dia juga yang
menghancurkan piring-piring dan melemparkan spageti ke manamana. Dialah yang menuliskan pesan-pesan di kamarmu."
"Dia yang membawa Slappy ke mana-mana," tambah Katie.
"Dia memaksa Amanda dan aku mengatakan Slappy-lah yang berulah.
Tapi Slappy baru hidup saat pesta ini. Sebelumnya tidak. Mary-Ellenlah yang mengacau."
"Dia ingin menyakitimu dan membuatmu mendapat masalah,"
kata Amanda. Jadi, Mary-Ellen dan Slappy sama-sama hidup. Dan keduanya
jahat. Ruangan itu serasa berputar di mataku.
Aku menoleh pada Mary-Ellen. "Kenapa?" tanyaku. "Kenapa
kau melakukan itu semua padaku?"
Mary-Ellen menyeringai marah. "Sebab katamu kau benci
padaku," geramnya. "Kau tidak membolehkan anak-anak itu
mengajakku ke mana-mana. Kau menamparku. Kau melemparkanku
dan mendorongku ke piring makaroni."
Mata Mary-Ellen berkilat marah. "Kaukira aku tak bisa
mendengar ucapanmu?" teriaknya marah. "Aku mendengar semua
yang kauucapkan tentang aku, Jillian. Jadi, aku menggunakan Slappy
untuk mengecohmu dan untuk balas dendam. Baru malam ini aku
menghidupkannya. Untuk acara pernikahan kami."
Katie meremas tanganku. "Amanda dan aku ingin menceritakan
semuanya padamu," isaknya, "tapi dia mengancam kami. Katanya
kami mesti mengurus dia selamanya."
"Kami benci padanya, tapi dia memaksa kami mengajaknya ke
mana-mana," ratap Amanda. "Dia jahat sekali pada kami."
"Cukup!" teriak Mary-Ellen. Ia memutar Slappy. "Sekarang
Slappy dan aku akan memerintah bersama-sama. Dan kau, Jillian, kau
akan menjadi budak kami. Aku akan membuatmu menderita
sepanjang sisa hidupmu."
"Tidak!" teriak Slappy. "Tidak bisa!"


Goosebumps Pasangan Si Boneka Hidup Bride Of The Living Dummy di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia mengayunkan kepalannya ke rahang Mary-Ellen dan
memukulnya dengan keras. BUK!
Mary-Ellen terpekik kaget dan jatuh ke lantai.
27 " AKU yang akan memerintah!" seru Slappy sambil
mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi dengan penuh
kemenangan. "Tapi tidak dengan boneka jelek seperti kau!"
Ia memandangi Mary-Ellen yang tergeletak telentang dan
seringainya semakin lebar. "Coba bilang goo-goo," katanya. "Siapa
tahu ada yang suka padamu."
Ia menendang Mary-Ellen dengan keras. "Keluarkan dan habisi
dia," katanya dengan jahat. EBUKULAWAS.BLOGSPOT.COM
Ia menendang Mary-Ellen lagi.
Mary-Ellen tidak bergerak.
Dengan penuh kemenangan Slappy membalikkan tubuh dan
mencengkeram pergelanganku kembali. "Ikut aku!" perintahnya.
"Lepaskan! Lepaskan!" teriakku.
"Tidak akan!" serunya. "Sekarang kau pasanganku, Jillian. Kau
pergi ke mana kuperintah." Cengkeramannya semakin erat.
"Oww! Kau menyakitiku!" ratapku. "Lepaskan! Lepaskan!"
Ia menengadahkan kepala dan tertawa mengejek. "Kau
menyakitiku'." ia meniru dengan suara tinggi mencemooh.
Lalu mendadak ia menumbukkan kepalanya ke dahiku.
"Ohhh!" erangku, sementara rasa sakit menyebar ke seluruh
tubuhku. "Ada apa denganmu, Jillian!" tanya Slappy. "Itu kan tumbukan
sayang!" Ia kembali menengadah dan tertawa nyaring.
Kepalaku pening. Aku berusaha menahan rasa panik yang
menguasai diriku. Aku berusaha membebaskan diri.
Tapi ia menjepit pergelanganku sampai aku menjerit.
"Kau tidak akan bisa lepas dariku," teriaknya. "Tidak akan!"
Mendadak ia melepaskanku. Tangannya teracung ke udara dan
ia terpekik kaget. Aku terhuyung mundur sambil menggosok-gosok
pergelanganku. Apa yang terjadi" Aku menunduk ke lantai dan melihat Mary-Ellen bergerak. Ia
mencengkeram kaki Slappy dan menariknya menjauh dariku, lalu
menyentakkannya ke lantai.
Anak-anak menjerit ngeri. Katie dan Amanda meringkuk di
tembok. Aku mendekati Harrison sementara kedua boneka itu mulai
berkelahi. Mereka berguling-guling di lantai, di tengah cairan menjijikkan
itu. Saling tinju dan gigit.
Mereka lalu berdiri dan saling dorong, menimpa anak-anak
yang ketakutan, menjatuhkan kursi dan kue ulang tahun.
Sambil berteriak-teriak mereka terus berkelahi.
Dan masuk ke bengkel ayahku.
Aku mengejar mereka. Mereka jatuh menimpa meja kopi
buatan Dad dan menyebarkan cairan hijau di seluruh permukaannya.
Lalu... lalu... semuanya terjadi begitu cepat.
Kulihat tangan Slappy teracung dan ia menyalakan tombol
gergaji. Suara gergaji listrik itu memekakkan telinga.
Sementara itu kulihat Slappy mendorong Mary-Ellen ke gergaji
yang tajam itu. Dan Mary-Ellen terbelah dua oleh gergaji yang berbunyi
memekakkan telinga itu. Potongan tubuhnya jatuh ke lantai, di
samping gergaji tersebut.
Slappy menengadahkan kepala dan tertawa menang. Suaranya
mengatasi bunyi gergaji. Lalu mendadak tawanya berhenti dan matanya terbelalak
ketakutan. Bagian atas tubuh Mary-Ellen memegangi Slappy.
Mencengkeramnya erat, dan menariknya ke arah gergaji yang masih
menyala. Gergaji itu membelah pinggang Slappy menjadi dua.
Potongan tubuhnya jatuh ke lantai.
Kupandangi kedua boneka yang terpotong itu.
Sekarang keduanya mati. Sambil berusaha mengatur napas kumatikan gergaji itu.
Aku mendesah lega. Kupandangi kedua boneka yang diam itu.
Dengan kaki gemetar aku menatap Slappy. Lalu aku
membungkuk untuk memastikan dia benar-benar sudah mati.
Tiba-tiba tangannya terulur mencengkeram kakiku.
28 "OHHH!" Aku menjerit ngeri dan mundur. Tangan Slappy
terkulai dan terjatuh lemas ke lantai.
Ia tidak bergerak lagi. Aku menarik napas panjang dan menahannya. Kupejamkan
mata sambil menghitung sampai sepuluh, berusaha menenangkan diri.
Keributan di belakangku membuatku membuka mata dan
membalikkan tubuh. Kulihat Harrison berlari menuruni tangga, diikuti
beberapa orangtua. Rupanya ia lari ke rumah sebelah untuk
memanggil mereka. Anak-anak masih menjerit-jerit dan menangis. Aku memeluk
Katie dan Amanda. Mom dan Dad berhenti di tengah tangga. "Jillian... ada ributribut apa itu?" tanya Mom. "Cairan apa ini?"
"Ini... ceritanya panjang," kataku.
"Harrison, kau sedang apa?" tanyaku.
"Membaca ini," sahutnya.
Malam itu hampir pukul sepuluh. Akhirnya aku merasa lebih
baik. Aku tidak berdebar-debar lagi dan kakiku tidak gemetar.
Kami sudah minta maaf pada Mrs. Simkin dan para orangtua
lainnya, lalu kami bersama-sama membersihkan ruang bawah tanah.
Mom dan Dad masih menuntut penjelasan. Entah bagaimana
aku bisa menjelaskannya. Sekarang Harrison dan aku duduk di sofa di gudang. Katie dan
Amanda duduk di lantai, nonton TV.
Harrison sedang membaca buku harian Jimmy O'James dengan
saksama dan penuh minat. "Kenapa kau mencuri buku itu?" kataku.
Harrison mengangkat satu jari ke bibirnya. "Sst. Ini sangat
menarik." Aku mengerang. "Kenapa kau masih membaca buku itu. Semua
sudah berakhir. Tak ada lagi yang perlu dicemaskan."
"Aku tidak yakin," sahut Harrison pelan.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Coba dengarkan ini," sahut Harrison. "Di sini ditulis bahwa
meski bonekanya sudah dienyahkan, kejahatannya mungkin masih
ada." "Hah" Apa?" seruku.
Harrison memegang buku itu lebih dekat untuk membacanya.
"Katanya meski bonekanya sudah hancur, kejahatannya mungkin
belum lenyap. Mungkin hanya pindah ke tubuh lain."
Aku menggeleng. "Tidak mungkin," kataku. "Slappy sudah
mati. Mati. Mati." Harrison angkat bahu. "Menurut buku ini, kejahatan itu bisa
dialihkan ke orang lain yang berada dekat dengan boneka itu."
Aku menoleh ke Katie dan Amanda. "Konyol, ya?"
Mereka berpaling dan nyengir padaku dan Harrison.
Aku mengamati mereka. Kenapa cengiran mereka begitu aneh"
pikirku. Kupandangi mereka... lama.
"Harrison," bisikku. "Dengar, akhirnya aku bisa balas dendam."
Kutengadahkan kepalaku dan kubuka mulutku lebar-lebar, lalu
aku berpaling pada adik kembarku dan kumuntahkan cairan hijau
kental ke arah mereka.END
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 18 Dewa Arak 66 Pembunuh Gelap Pendekar Pendekar Negeri Tayli 14
^