Pencarian

Matahari Esok Pagi 16

Matahari Esok Pagi Karya S H Mintardja Bagian 16


Tetapi anak pere mpuan itu menggeleng "Tidak ka kang. Nanti kau juga tidak ke mbali seperti kakang Ireng. Aku tidak me mpunyai lagi kawan berma in. Tidak ada lagi yang me mbuat golek kayu dan bandulan. Kakaknya mengangguk-anggukkan kepa lanya "Marilah. Biyung sudah menunggu. Bukankah kau belum ma kan?" "Aku tida k ma kan ka kang" "Kenapa" Kau akan lapar" "Biarlah disediakan untuk kakang Ireng, kalau tiba-tiba saja ia pulang mala m nanti" "Sudah. Kakang Ireng sudah mendapat bagiannya sendiri. Biyung sudah menyediakan buatnya" Gadis kecil itu tidak menjawab. Di tatapnya mata kakaknya yang tiba-tiba saja menjadi buram. Tetapi kaka knya itu ke mudian me mbimbingnya di sepanjang jalan padukuhan, pulang kepada ibunya. Dala m pada itu, iring-iringan anak-anak muda Kepandak itu sudah me masuki induk padukuhan dari Kademangan Kepanda k. Sejenak kemudian mere kapun telah menyelusuri jalan yang me mbelah padukuhan itu langsung menuju ke Kade mangan. Berita kedatangan anak-anak muda itu telah tersebar di seluruh Kademangan, secepat kalimat yang berloncatan dari mulut ke mulut. Orang-orang yang berada di sawah segera pulang menyimpan alat-alatnya. Setelah membersihkan kakinya yang kotor oleh lumpur, mereka yang merasa me mpunyai salah seorang anggauta keluarganya ikut di dalam pasukan pengawal khusus yang dikirim ke Mataram itupun segera pergi ke Kademangan. Bahkan mereka yang tidak me mpunyai seorang keluargapun ingin juga melihat, siapakah yang telah berhasil pulang ke mbali ke ka mpung hala man. Anak-anak mudapun berlari-larian ke hala man Kademangan. Mereka ingin menyambut kawan-kawan mereka
yang baru pulang dari arena perjuangan meskipun kali ini mereka belum berhasil. Lamat yang duduk di bela kang rumah Manguripun telah mendengar pula berita itu. Anak muda yang berlari-larian di jalan sebelah dinding berkata "Mereka telah ke mbali" "Kapan?" bertanya yang lain dari hala man rumah sebelah. "Baru saja" Lamat me narik nafas dala m-dala m. Ia t idak tahu, siapa saja yang ikut di dala m barisan, dan siapa saja yang telah gugur di dalam perjuangan. Sejenak terbayang olehnya wajah Pa mot yang sura m. Kemudian terbayang wajah Sindangsari dan Ki De mang di Kepandak. Lamat menarik nafas dalam-da la m. Katanya di dalam hatinya "Persoalan di da la m kepalaku benar-benar persoalan yang sangat pelik. Kenapa tidak terbayang betapa dahsyatnya perjuangan untuk mengatasi segala maca m kesulitan yang timbul karena pengkhianatan itu" Perjuangan melawan orangorang asing yang ganas dan perjuangan menghadapi diri sendiri, menghadapi pengkhianat-pengkhianat" La mat menarik nafas dalam-dala m "Aku belum pernah melihat perjuangan sedahsyat itu. Aku baru melihat perjuangan untuk merebut seorang perempuan di ha la man Kade mangan. Aku baru me lihat perjuangan untuk merebut kedudukan seorang Demang di Kepanda k. Lamat menundukkan kepalanya. Tiba-tiba saja ia terkejut ketika dari kejauhan ia mendengar Manguri berteriak "La mat ke mari kau" Dengan ma lasnya Lamat berdiri dan berjalan ke gandok. Tetapi ia tidak mene mui Manguri disitu. Agaknya ia telah pergi ke pringgitan. Dari pringgitan ia berteriak "Aku disini. Apakah kau sedang tidur atau sudah mati sa ma sekali?"
Lamatpun pergi ke pringgitan pula. Dengan wajah yang tegang Manguri berkata. "Aku harus, menunggumu sa mpai tua. Apakah kau tidak me ndengar?" Lamat t idak me njawab. "Duduklah" Lamatpun ke mudian duduk diatas tikar pandan. Sekali di tatapnya wajah Manguri yang tegang. Namun ke mudian iapun menundukkan wajahnya. "Dima na kau sela ma ini?" bertanya Manguri. "Aku berada di bela kang, di sisi dapur" Manguri me mandanginya dengan taja m, seolah-olah ia tidak sabar lagi menunggu La mat datang kepadanya. "Apakah kau sudah mendengar berita tentang anak yang pergi ke Mataram itu?" Lamat menganggukkan mendengar" kepa lanya "Ya, aku sudah
Dari mana kau mendengarnya?" "Anak anak yang lewat di ja lan sebelah saling berbicara tentang anak-anak yang telah ke mba li itu" "Kau bertanya kepada mereka?" Lamat mengge lengkan bertanya kepada mereka" "Kenapa?" Lamat t idak segera menjawab. "Kenapa?" Manguri berteriak. "Mereka bersikap kurang baik kepada kita. Aku segan untuk berbicara dengan anak-anak itu" kepalanya "Tida k. Aku tidak
Manguri menggera m. Na mun ke mudian ia berkata "Aku juga sudah mendengar. Anak-anak itu sudah kembali, termasuk Pa mot " Lamat mengangkat wajahnya "Jadi Pamot juga sudah ke mbali?" "Ternyata ia tidak mati di perjalanannya. Ia sempat kembali dan melihat Sindangsari hilang" Lamat kini menjadi tegang pula tanpa diketahuinya sendiri, apakah sebabnya. Ia tidak takut kepada Pamot. Ia tidak me mbenci Pa mot dan ia t idak begitu berkepentingan. Seandainya Pamot marah karena Sindangsari hilang, maka persoalannya akan berkisar pada Ki Demang di Kepandak. Bahkan mungkin mere ka akan saling tuduh menuduh sehingga keduanya akan berbenturan. Sudah tentu Pamot tidak akan berarti apa-apa bagi Ki De mang di Kepandak. "Aku pasti tidak akan tersentuh oleh persoalan ini. Apalagi Pamot, sedang Ki De mang di Kepandakpun t idak tahu, bahwa aku telah terlibat di dala m persoalan hilangnya Sindangsari ini" berkata Lamat di da la m hatinya. Namun ia tidak dapat lari dari perasaan sendiri. Ia merasa berdebar-debar dan dikejar-kejar oleh kece masan yang tidak dimengertinya sendiri. "La mat" berkata Manguri ke mudian "apa kata mu tentang Pamot yang telah ke mbali itu?" Seperti yang mendesak di hatinya, maka seakan-akan tidak berpikir lagi La mat menyahut "Mungkin akan terjadi sesuatu karena kedatangannya" "Apa" Apakah anak itu akan menuduh kita?" "Mungkin. Tetapi me mbuktikan?" bukankah mereka tidak dapat
"Bagaimana me nurut pertimbanganmu?"
Tiba-tiba Manguri me mbentak "Akulah yang bertanya kepadamu" "Ya, ya. Mungkin karena perasaan cintanya, Pamot akan ikut serta merasa kehilangan. Me mang mungkin ia akan ikut mencari pere mpuan itu. Tetapi bukankah ia dapat me libatkan kita seperti Ki De mang juga tidak berhasil menyeret kita di dalam persoalan ini?" "Jawablah dengan tegas. Dengan pasti. Kau sendiri tidak yakin akan jawabanmu. Nada kata-katamu sangat meragukan" "Maksudku, Pamot tidak akan dapat membuktikan bahwa kita terlibat di dalam persoalan ini. Ya, begitulah. Kita tidak usah cemas, siapapun yang akan ikut serta mencari Sindangsari" Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya ke mudian "Aku mengharap suruhan ayah akan datang mala m ini. Aku harus segera tahu dimana perempuan itu dise mbunyikan" "Ya, Aku kira ma la m ini suruhan itu pasti akan datang. Waktunya sudah cukup lama. Tetapi sebaiknya ia tidak datang terlampau ma la m supaya tidak menumbuhkan kecurigaan" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya iapun ke mudian berjalan hilir mudik dengan ge lisahnya. "Ya, suruhan ayah tidak boleh datang pada waktu yang dapat menumbuhkan kecurigaan" Lamat tida k menyahut. Di biarkan saja Manguri berjalan hilir mudik sa mbil se kali-se kali mengusap keringat dinginnya. Dala m pada itu, maka senjapun perlahan-lahan turun menyelimuti Kade mangan di Kepanda k. Di hala man rumah Ki Demang, sepasukan anak-anak muda Kepandak berbaris rampak diatas punggung kuda. Di paling depan, adalah Ki Tumenggung Dipanata diapit oleh kedua pengawalnya. Di
hadapan mereka adalah Ki De mang di Kepandak yang kebetulan me mang duduk pula diatas punggung kuda. Di sampingnya para bebahu Kade mangan dan Ki Reksatani yang duduk diatas kudanya pula. Di bela kang mereka adalah para bebahu yang lain, para pengawal Kademangan dan rakyat Kepandak yang tidak sabar menyambut anak-anak mereka yang baru saja ke mbali. Di hadapan Ki De mang di Kepandak Ki Tumenggung Dipanata menceriterakan segala sesuatu mengenai anak-anak muda dari Kepandak. Ia sengaja berkata lantang, agar rakyat di Kepandak dapat mendengar langsung dari mulutnya, apa yang sebenarnya telah terjadi di perjalanan. Dengan demikian maka mereka akan dapat mengga mbarkan betapa berat perjuangan anak-anak Kepandak itu sela ma mereka menuna ikan tugas negara. Tugas yang merupakan tanggung jawab bagi setiap orang yang lahir di bumi Mataram, yang minum sumber air Tanah Mataram, dan yang makan hasil bumi Tanah Mataram. "Ka mi sa ma sekali tida k dapat menghindarkan diri dari ke mungkinan yang pahit" berkata Ki Tumenggung Dipanata "Jer Basuki Mawa Bea. Karena itulah maka ada diantara anakanak kami yang kini tidak dapat pulang bersama-sa ma dengan kami" Wajah-wajahpun segera yang tidak dapat melihat mereka yang belum la ma mereka dan ke kasih-ke kasih menjadi tegang. Apalagi mereka anak-anak mereka, suami-sua mi mengikat perkawinan, adik-adik mereka.
Sejenak Ki Dipanata terdia m. Iapun melihat, diantara wajah-wajah orang Kepandak, adalah wajah-wajah yang kecemasan. Dan merekapun harus menerima suatu kenyataan, bahwa ada diantara anak-anak Kepandak yang me mang tidak ke mba li dan tidak akan pernah ke mba li. Akhirnya Ki Tumenggung Dipanata berkata "Aku kira, aku me mang lebih baik berterus terang. Aku tidak ingin
menyangkutkan harapan pada hati yang gelisah. Apalagi harapan yang tidak akan pernah datang" Ki Tumenggung berhenti sejenak, lalu "Memang ada diantara anak-anak kami yang gugur di peperangan atau karena sebab-sebab la in. Tetapi semuanya itu merupakan korban bagi perjuangan yang agaknya masih panjang" Wajah-wajah orang Kepandakpun menjadi sema kin tegang. Bahkan mereka yang telah me lihat keluarga mereka di antara anak-anak muda yang datang, menjadi berdebar-debar pula. Ki Tumenggung Dipanatapun ke mudian menyebutkan nama-na ma dari mereka yang tidak dapat kembali. Di antara yang berangkat, seperempat yang tidak dapat melihat kampung ha la mannya ke mbali. Hala man Kade mangan itu menjadi hening sejenak. Tidak seorangpun yang mengucapkan kata-kata ketika' Ki Tumenggung Dipanata menyebutkan nama-na ma itu. Na mun sejenak ke mudian me ledaklah tangis diantara mereka. Ibuibu, isteri-isteri yang masih muda, saudara kandung dan kekasih-kekasih yang menjadi pasti bahwa yang mereka tunggu tidak akan pulang tidak dapat menahan air mata mereka. Mereka telah kehilangan yang mereka kasihi. Anak yang dipelihara sejak bayi, hilang ketika ia meningkat dewasa. Anak-anak yang masih sangat muda harus sudah meninggalkan hijaunya dedaunan dan beningnya air sumur di Kepandak. "Mereka telah mat i" desis seorang pere mpuan tua. Dan tiba-tiba seorang pere mpuan muda me loncat maju sambil menyingsingkan ka innya. Dengan air mata yang me mbanjir ia berlari mendekati Tume nggung Dipanata. Sambil menunjuk dengan jarinya ia berteriak "Kau, kau adalah pembunuh. Kau jerumuskan sua miku itu ke dala m neraka yang paling jahat. Sekarang ia mati, sedang aku lagi mengandung. Siapakah yang akan dapat menunjukkan kepada
anak ini, betapa wajah ayahnya yang sejuk. Suamiku kau bunuh sebelum ia me meluk bayinya" Ki Tumenggung Dipanata mengerutkan keningnya. "Sekarang kau tanpa perasaan apapun menyebut namanama orang yang telah kau jerumuskan ke dalam ke matian itu. Kenapa bukan kau sendiri yang mati" Kenapa?" Ki Tumenggung Dipanata masih tetap berdiam diri, sementara suasana menjadi se ma kin tegang. Ki Reksatani yang memang sedang berhati gelap, meloncat turun dari kudanya sambil berkata "He, perempuan bodoh. Bukan kau sendiri yang kehilangan. Kau harus rela sua mimu mati. Bukan Ki Tumenggung Dipanatalah yang me mbunuhnya. Tetapi peperangan. Peperangan itu sendirilah yang telah me mbunuh, bukan saja sua mimu, tetapi berpuluh-puluh orang yang la in, bahkan beratus-ratus" "Tetapi prajurit itulah yang telah menjerumuskan sua miku ke dala m peperangan. Ialah yang pantas mati. Ia seorang prajurit. Bukan sua miku, bukan sua miku" Perempuan itu berteriak-teriak sambil menunjuk wajah Ki Tumenggung Dipanata. "Pergi, pergi kau" teriak Ki Reksatani sambil me langkah mende katinya. Wajahnya menjadi merah pada m dan giginya gemeretak. Tetapi langkahnya tertegun ketika ia mendengar Ki Tumenggung Dipanata berkata "Biarlah. Biarlah ia mencurahkan isi hatinya. Kita dapat membayangkannya, betapa sakitnya seseorang yang kehilangan" Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia berpaling me mandang wajah Ki De mang. Tetapi wajah itu tertunduk dala m-dala m. Sedang Ki Tumenggung masih me lanjutkannya "Dan perempuan ini telah kehilangan suaminya. Tanpa harapan untuk dapat mene mukan ke mbali"
Suasana di hala man itu menjadi hening. Ki Jagabayapun telah turun dari kudanya. Perlahan-lahan ia melangkah maju mende kati pere mpuan yang sedang menangis itu. Perempuan itu adalah ke manakannya. "Sudahlah" berkata Ki Jagabaya "jangan menangis lagi. Kita tidak dapat menuntut atas ke matian seseorang, karena hidup dan mati itu bukan terletak di tangan kita. Dimanapun kita dapat dijemput oleh maut. Di rumah, di sawah, disungai dan bahkan selagi kita tidur sekalipun. Apalagi sua mimu sedang berada di peperangan" "Kenapa suamiku dibawa ke peperangan paman?" bertanya perempuan itu. "Bukan sua mimu sendiri yang dibawa kepeperangan. Seperti kau me mpertahankan milikmu sendiri, maka sua mimu telah me mpertahankan miliknya pula. Milik kita semua. Dan karena itu, maka anak-anak muda kita sudah berangkat. Tetapi hidup dan mati bukanlah kita yang menentukan" Perempuan itu masih menangis. Tetapi Ki Jagabaya ke mudian me mbimbingnya menepi. Diserahkannya perempuan itu kepada seorang pere mpuan tua tetangganya. "Apakah mertuanya tidak datang?" ia bertanya kepada perempuan tua itu. Perempuan tua itu menggeleng. "Kenapa?" "Ia takut menga la mi kejutan seperti ini. Ia sedang mencoba mengatur perasaannya, karena ia mendengar dari anak-anak yang melihat iring-iringan ini, bahwa anaknya tidak ada di antara mereka" Ki Jagabaya menarik nafas dalam-da la m. Namun ke mudian iapun ke mbali ke sa mping kudanya. Tetapi ia tidak me loncat naik, se mentara Ki Reksatanipun masih juga berdiri di sa mping kudanya pula.
"Kita tidak dapat mengingkari perasaan itu" berkata Ki Tumenggung Dipanata "bukankah di dala m hati kita masingmasing juga melonjak perasaan yang serupa, meskipun dala m ukuran yang berbeda" Kita masih se mpat me mpertimbangkannya dengan nalar, tetapi agaknya perempuan itu tida k" Suasana di halaman Kademangan itu menjadi hening. Sekali-seka li mereka masih mendengar isak yang semakin menjauh Pere mpuan yang kehilangan sua minya itu telah dibimbing oleh tetangganya meninggalkan hala man Kademangan. "Sudahlah" perempuan tua itu mencoba meredakan tangisnya "berdoalah kepada Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, agar bayimu yang hampir lahir itu mendapat perlindungannya" "Tetapi ia tidak akan pernah melihat ayahnya" "Kita me mang tidak dapat ingkar dari keharusan yang telah tergores di sepanjang perjalanan hidup kita masing-masing. Percayalah kepada kebesaran Tuhan. Pasti bukan maksudnya untuk sekedar menyiksa perasaan kita tanpa arti. Memang mungkin seka li a kal dan nalar kita yang picik tida k akan pernah dapat mengerti isyarat yang diberikan oleh Tuhan kepada kita masing-masing" Perempuan itu tidak menyahut. Tetapi ia masih me nangis dan suara isaknya telah menyelusuri jalan-jalan di padukuhan Kepandak. Di hala man Kademangan Ki Tumenggung Dipanata masih me mberikan beberapa petunjuk dan penjelasan. Dengan hati yang tersayat ia menyaksikan wajah-wajah yang pucat dan mata yang basah. Akhirnya Ki Tumenggung Dipanata itu berkata kepada Ki Demang di Kepandak "Ki De mang. Aku menyesal sekali bahwa aku tidak dapat menyerahkan kembali anak-anak muda
Kepandak sejumlah yang pernah kalian serahkan kepada Mataram. Tetapi seluruh Mataram tidak a kan pernah me lupakan perjuangan mereka. Mungkin para pe mimpin dike mudian hari sa ma seka li t idak mengenal dan tidak pernah mendengar na ma-na ma anak-anak muda yang telah gugur, tetapi jasa yang pernah diberikan tidak akan dapat terhapus, walaupun tidak seorangpun yang akan menyebutnya lagi. Darah yang pernah menitik di bumi Tanah Air akan tetap seperti yang pernah terjadi. Diakui atau tidak diakui orangorang yang akan datang ke lak" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. Cahaya senja yang merah mulai me mbayang di langit, sehingga wajah-wajah mere ka yang berada di ha la man Kade mangan itupun menjadi ke merah-merahan pula. Namun dala m pada itu, hati Ki Demang sendiri justru perlahan mula i mengendap. Seolah-olah ia mendapatkan beberapa orang kawan sepenanggungan. Beberapa orang yang telah kehilangan seperti dirinya sendiri. Bahkan mereka dapat menyebut diri mereka, ke luarga seorang pahlawan. Ki De mang di Kepandak menundukkan kepalanya. Kini baru terasa, bahwa ia telah terdorong oleh perasaannya tanpa pertimbangan nalar yang bening. Untunglah bahwa Ki Tumenggung Dipanata seorang perwira yang bertanggung jawab. Kalau tidak, seandainya saja ia menyerahkan Pamot kepadanya selagi hatinya gelap, ia tidak dapat me mbayangkan, apa yang telah dila kukannya. Ia pasti berusaha untuk me meras anak itu agar ia mengakui, bahwa ia telah menga mbil Sindangsari. Benar atau tidak benar. Kalau ia sudah mengucapkan pengakuan, meskipun terpaksa, maka pengakuan itu akan menjadi alasan untuk berbuat apa saja atasnya lebih jauh lagi. "Nah" berkata Ki Tume nggung Dipanata kemudian "terimalah anak-ana k ka lian ke mbali. Aku masih akan sering datang ke Kade mangan ini karena tugasku belum selesai.
Anak-anak yang tidak dapat kembali kepada keluarganya, akan sekedar mendapat pernyataan terima kasih dari Sinuhun Sultan Agung. Mereka akan mendapat sebidang tanah yang akan diserahkan kepada ke luarganya. Tanah yang akan dibe li oleh Sinuhun Sultan Agung di daerah mereka masing-masing" Ki De mang mengangkat wajahnya. Dengan kata-kata yang dalam ia menerima anak-anak muda di Kepandak ke mba li ke rumah masing-masing, meskipun tidak sebanyak pada saat mereka berangkat. Setelah penyerahan itu selesai maka anak-anak muda yang baru saja kembali itupun ke mudian diperkenankan pulang. Mereka mendapat hadiah masing-masing seekor kuda, Kuda yang cukup ba ik bagi ana k-anak di Kepandak. Namun dala m pada itu, Pamot masih termangu-mangu di luar regol hala man. Betapa ia ingin segera pulang, tetapi rasarasanya sesuatu telah me mbebani hatinya. "Marilah Pamot" ajak ayahnya yang menjemputnya di halaman itu pula. "Silahkan ayah pulang dahulu. Aku akan segera menyusul" "Seisi rumah me nunggumu Pa mot" "Ya, ya ayah. Aku tahu. Aku akan segera pulang. Tetapi aku akan menunggu dahulu. Aku persilahkan ayah mendahului" Ayahnya menjadi berdebar-debar. Teringat olehnya beberapa saat yang lampau, beberapa orang telah mencari anaknya yang saat itu belum datang. "Apakah ada sesuatu yang penting?" ia bertanya "Silahkan ayah mendahului" berkata Pamot ke mudian "aku akan segera menyusul" Ayahnya tidak dapat me maksanya. Karena itu, maka ditinggalkannya Pamot di depan regol dengan hatinya yang
berat. Bahkan langkahnyapun kadang-kadang tertegun. Ketika ia berpaling, dilihatnya Punta telah berada di samping anaknya. "Kau tidak pulang" bertanya Punta. "Hatiku serasa dibebani oleh sesuatu. Aku akan menghadap Ki De mang di Kepandak. Barangka li hal itu akan menjadi lebih baik bagiku daripada aku harus menunggu ia menga mbilku di rumah. Apalagi dengan pa ksa" Punta menarik nafas dala m-dala m. Ia masih me lihat Ki Tumenggung Dipanata dija mu dipandapa. "Apakah kau akan menghadap sekarang?" bertanya Punta. Pamot mengangguk. "Marilah. Aku antar kau menghadap Ki De mang, mumpung Ki Tumenggung masih ada" "Apakah kau tidak segera pulang?" "Aku menunggumu sebentar. Aku akan me mpersilahkan ayah mendahului" "Ayahku juga sudah dahulu pulang" Punta yang me mpersalahkan ayahnya mendahului, ke mudian mengantarkan Pamot masuk ke mbali ke hala man Kademangan Kepandak. Meskipun mere ka agak ragu-ragu, namun merekapun ke mudian meloncat turun dari punggung kuda mereka, dan mengikat kuda itu di hala man. Di pendapa Kade mangan, Ki De mang di Kepandak yang sedang menja mu Ki Tumenggung Dipanata bersama para bebahu Kademangan me njadi heran melihat Pa mot dan Punta yang tidak segera pulang dan justru ke mbali ke pendapa. Berbeda dengan nafsu Ki De mang yang me luap-luap untuk menangkap Pamot ketika ia baru datang, kini ia justru menjadi berdebar-debar melihat Pamot ke mba li. Meskipun ia belum
me lakukan tuduhan apapun yang ditekankannya kepada anak muda itu, tetapi rasa-rasanya Pamot akan mengajukan keberatannya atas tuduhan itu. Karena itu, maka justru Ki De mang seakan-akan telah terbungkam karenanya. Hanya perasaannya sajalah yang bergolak di dala m dadanya. Yang mula-mula bertanya kepada Pamot justru adalah Ki Tumenggung Dipanata "Kenapa kau ke mbali lagi Pa mot?" Pamot masih berdiri di bawah tangga pendapa bersama Punta. Sejenak ia termangu-mangu. Namun ke mudian ia menjawab "Tuan, aku menjadi bimbang untuk meninggalkan Kademangan. Terasa sesuatu telah me mberati langkahku. Aku ingin pulang dengan tenang dan dapat berist irahat dengan tenang pula" "Kenapa kau me njadi ge lisah. Kau sudah dapat pulang sekarang. Pulanglah. Tidak ada persoalan lagi yang perlu kau gelisahkan" "Tetapi rasa-rasanya aku tidak akan dapat tidur. Setiap saat aku dapat diambil dari rumahku. Karena itu, aku ingin semuanya menjadi jernih dahulu. Dengan de mikian aku akan dapat pulang dengan tenang. Punta akan menjadi saksi dari semua persoalanku" "Kau me mang bodoh" Ki Reksatanilah yang menyahut "kau sudah mendapat kesempatan pulang. Sekarang kau menantang kakang De mang. Apakah kau sangka bahwa setelah kau pulang dari perjuanganmu itu kau menjadi kebal?" "Bukan begitu Ki Reksatani" jawab Pamot "aku hanya ingin, bahwa aku dapat pulang dan beristirahat dengan tenang, Aku ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa aku t idak akan terganggu lagi karenanya" "Itu tidak mungkin. Selama persoalan mBok-Ayu Demang di Kepandak belum se lesai, ke mungkinan yang de mikian masih ada" sahut Ki Reksatani pula "ka mi masih tetap mencurigai
kau, sebelum kau benar-benar dapat membuktikan bahwa kau tidak bersalah" "Nah, yang aku inginkan, biarlah hal-ha l yang de mikian itu menjadi jernih sa ma seka li" "Kalau begitu kau ingin aku tangkap he?" bentak Ki Reksatani "atau kau ingin me manfaatkan kehadiran Ki Tumenggung Dipanata, agar kau mendapat Perlindungannya?" "Ki Reksatani agaknya menjadi salah paha m" berkata Punta la mbat "bukan ma ksudnya menantang persoalan. Tetapi justru karena ia merasa terganggu oleh persoalan itu, ia ingin mencoba untuk mendapat penyelesaian sehingga ia benarbenar dapat pulang dengan hati tenteram" "Persetan kau" bentak Ki Reksatani "kau tidak tahu apapun tentang persoalan ini" Ki Tume nggung Dipanata mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak senang me lihat sikap Ki Reksatani sejak ia bertemu di ja lan. Tetapi karena Ki Reksatani adalah adik KiDe mang di Kepandak, maka Senapati Mataram itu masih mencoba menahan hatinya. Ki De mang yang sela ma itu hanya berdia m diri saja, ke mudian mengangkat wajahnya sambil menarik nafas dalamdalam. Ke mudian katanya "Sudahlah Reksatani, biarlah aku menyelesaikannya" "Sekarang?" bertanya adiknya. "Ya. Sekarang" Ki Reksatani menjadi heran. Bahkan orang-orang lain yang ada di pendapa itupun me njadi heran pula. "Pamot " berkata Ki De mang "ke marilah, dan duduklah bersama ka mi sebentar. Aku tahu, seluruh keluarga mu menunggu kedatanganmu"
Pamot ragu-ragu sejenak. Namun ke mudian iapun naik ke pendapa diikuti oleh Punta. Sejenak ke mudian kedua anak-anak muda itu telah duduk sambil me nundukkan kepalanya. "Pamot " berkata Ki De mang dengan nada suara yang dalam. Sa ma sekali t idak lagi terbayang di dalam getaran suaranya, nafsu yang menyala di dadanya untuk me ma ksa anak itu mengatakan sesuatu tentang Sindangsari "Sebelum kau datang, aku me mang me nyimpan kecurigaan atasmu. Apalagi setelah aku mendengar bahwa kau telah berada beberapa hari di Mataram. Dan kini aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau telah menga mbil Sindangsari dari Kademangan ini?" Pamot mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka bahwa begitu tiba-tiba Ki De mang bertanya kepadanya di hadapan sekian banyak orang termasuk Ki Tumenggung Dipanata. "Cobalah, jawablah pertanyaanku itu Pa mot?" "Sejak aku datang Ki De mang, aku sa ma sekali tidak boleh keluar dari barak, dan akupun me matuhinya" "Ya, aku sudah menduga. Dan aku percaya bahwa kau telah me matuhi peraturan itu. Karena itu, aku juga percaya bahwa kau tida k menga mbil Sindangsari dari Kade mangan. Pamot menjadi se makin heran. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu. Dan Ki Demanglah yang berkata kemudian "Sekarang, semua persoalan sudah se lesai bagimu. Kau boleh pulang dengan hati yang lapang. Aku tidak akan mengganggumu lagi" "Kakang De mang" potong Ki Re ksatani "apakah cukup begitu saja?" "Aku sudah menganggapnya cukup"
"Tunggu" Ki Reksatani bergeser setapak mendekati kakaknya "aku masih belum puas. Masih banyak seka li ke mungkinan dapat terjadi. Ia dapat me minja m tangan orang lain untuk me lakukannya, meskipun anak itu sendiri tidak meninggalkan baraknya" Ki De mang merenung sejenak. Namun ke mudian ia berkata "Aku percaya kepadanya. Ia sudah mengatakan bahwa ia tidak menga mbil isteriku" Ki Reksatani masih akan berkata sesuatu, tetapi Ki Jagabaya mendahuluinya "Kalau pendapat Ki De mang ternyata keliru, lain kali kita dapat me mperbaikinya. Sekarang, aku kira Pamot me mang sudah boleh pulang. Ke luarganya pasti sudah menunggunya. "Ia me mang sudah diijinkan pulang sejak se mula" bantah Ki Reksatani "tetapi ia datang sendiri menantang kakang Demang untuk me mbuka persoalan mengena i Sindangsari. Kalau ia sejak se mula tidak lagi me mbuat ribut disini, akupun tidak akan mengganggunya" "Jangan diperbincangkan lagi" berkata ke mudian "aku menganggap sudah cukup" Ki De mang
Lalu katanya kepada Pamot "pergilah sebelum aku merubah keputusanku" Pamot beringsut surut. Tetapi tampa knya Ki Reksatani masih belum puas sama sekali. Na mun de mikian ketika Ki Demang berpaling menatap matanya, Ki Reksatani tidak mengatakan sesuatu lagi. Ki Tume nggung Dipanata menarik nafas dalam-da la m. Dengan susah payah ia menahan hatinya. Dibiarkan Ki Demang di Kepandak mencegah adiknya sendiri ka lau ia ikut campur betapapun perasaannya melonjak-lonjak ma ka harga diri Ki Reksatani pasti akan lebih me mpersulit penyelesaian.
Pamotpun ke mudian minta diri bersama Punta yang selalu mengawaninya. Dengan hati yang masih diliputi oleh keraguraguan Pamot me ningga lkan hala man Kade mangan. "Ternyata aku masih belum mendapatkan ketenangan itu" berkata Pamot kepada Punta. "Tetapi kau dapat beristirahat dengan lebih ba ik. Setidaktidaknya sekarang kau mengetahui, siapakah sebenarnya yang masih berkeras hati mencurigaimu. Aku mengharap bahwa sikap Ki De mang itu tidak segera berubah" "Apakah ia akan tetap berpendirian begitu seandainya Ki Tumenggung Dipanata sudah ke mba li ke Mataram?" Punta termenung sejenak. Lalu "Aku kira demikian. Ki Demang bukan seorang pengecut. Kalau ia me mpunyai sikap pribadi, ia tidak akan mudah terpengaruh oleh kehadiran siapapun juga. Agaknya ia mene mukan persoalan baru di dalam dirinya, sehingga ia telah mengurungkan niatnya. Aku, Ki Jagabaya dan Ki Tumenggung Dipanata telah mencoba menyentuh perasaannya, sehingga mungkin sekali persoalanpersoalan baru itu telah dapat merubah sikapnya" Pamot angguk. tidak menyahut. Tetapi kepalanya terangguk-
Keduanyapun ke mudian berpisah di ujung ja lan yang me masuki padukuhan Ge mulung. Mereka telah me milih jalan ke rumah masing-masing. Mala m itu Ki Tumenggung Dipanata bermala m satu mala m di Kademangan Kepandak. Ki De mang bahkan telah menyanggupi, bahwa di kesempatan yang dekat, ia akan menyelenggarakan mala m-ma la m penya mbutan resmi bagi anak-anak Kepandak yang telah ke mbali itu. "Lain kali a ku akan menga akan pertunjukan di hala man ini untuk mereka " berkata Ki Demang "tetapi sementara ini aki ingin mengatur perasaanku lebih dahulu.Aku me mang harus
ma lu terhadap mereka yang kehilangan sua mi mereka. Mereka terpaksa menerima keadaan itu, sama sekali tanpa harapan bahwa suami mere ka itu akan datang ke mbali" "Justru karena itu" sahut Ki Reksatani yang duduk di belakangnya "seandainya mBokayu sudah dikete mukan mati sama sekali, kita tidak akan bersusah payah mencarinya. Tetapi kita sekarang sela lu dibayangi oleh ga mbarangambaran apakah yang sedang terjadiatasnya kini. Saat ini. Mala m ini dan mala m-ma la m berikutnya, selagi ia mengandung tua" Ki De mang menarik nafas dalam-dala m. Tetapi ia tidak menjawab. Dala m pada itu, Manguri dengan gelisahnya menunggu pesuruh ayahnya yang akan memberi tahukan, dimanakah kini Sindangsari itu dise mbunyikan. "Mala m ini pesuruh itu harus datang" desis Manguri. Lamat, yang diajaknya berbincang hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengulangi katakata Manguri "Ya, mala m ini pesuruh itu harus datang" Sejak senja Manguri tidak beringsut dari tangga pendapa rumahnya. Matanya melekat pada pintu regolnya yang tertutup. Hatinya berdesir setiap kali daun pintu regol itu bergerit. Tetapi yang lewat bukanlah orang yang ditunggunya. Mereka adalah pe layan-palayan yang sedang pulang dari sawah, atau dari sungai atau dari manapun juga. Juga anakanak yang menyabit rumput buat ternak di kandang. "Kalau ia datang terla mpau mala m, ia pasti dicurigai oleh para peronda yang seakan-akan ikut menjadi gila pula sekarang" berkata Manguri. Ke mudian "Ka lau salah seorang dari pesuruh itu tertangkap, dan tidak dapat menyimpan rahasia lagi, maka semuanya akan hancur berantakan. Usaha yang kita la kukan sampai saat ini a kan menjadi sia-s ia saja"
http://www.mardias.mywapblog.com
"Bukan saja sia-sia "sambung La mat "tetapi Kademangan ini pasti akan dibakar oleh kerusuhan yang tidak mudah teratasi, kecuali apabila Pasukan Mataram datang untuk me lerainya" "He" Manguri me mbe lalakkan matanya "jadi kau pikir, apabila keadaan me ma ksa, kita tidak akan dapat menyelesaikan persoalan ini sehingga kita harus menyerahkannya kepada orang-orang Mataram?" Lamat me ngerutkan keningnya. "Kau sangka mereka a kan berbuat sebaik-baiknya disini" Tidak. Mereka justru akan mena mbah kekeruhan saja. Mereka akan me meras kita kedua-belah pihak. Mereka akan mera mpas apa saja yang mereka kehendaki. Bahkan termasuk Sindangsari sendiri" "Itu tidak mungkin" tiba-tiba saja Lamat me mbantah, sehingga Manguri me njadi terheran-heran. "Kenapa tidak mungkin?" "Ayah Sindangsari me lanjutkannya. juga seorang prajurit" Lamat
Jawaban Lamat itu ternyata dapat dimengerti pula oleh Manguri, Sindangsari me mang anak seorang prajurit. Na mun tiba-tiba ia berkata pula "Mungkin kau benar. Sindangsari me mang anak seorang prajurit meskipun prajurit itu sudah mati. Tetapi masalah yang lain kecuali Sindangsari, akan terjadi seperti yang aku katakan" Lamat mengge lengkan kepalanya Desisnya "Mudahmudahan tida k. Me mang mungkin ada satu dua orang prajurit yang berbuat demikian. Tetapi kawan-kawan mereka pasti akan mencegahnya dan bahkan pemimpin mereka pasti akan menghukumnya" Manguri menjadi heran mendengar kata-kata Lamat. Karena itu ia bertanya "Dari siapa kau dengar hal itu?"
Lamat tiba-tiba saja menjadi bingung. Tetapi ia ke mudian menjawab "Aku sering mendengar pe mbicaraan orang-orang yang lewat di jalan sebelah apabila aku sedang berada di regol atau sedang memperbaiki dinding batu yang pecah atau aku sedang berjalan ke sawah. Sejak anak-anak Ge mulung pergi ke Mataram, hampir setiap orang berbicara tentang prajurit dan anak-anak muda yang pergi itu" Manguri mengerut kan keningnya. Namun ke mudian ia menggera m "Persetan. Tetapi pesuruh ayah itu harus datang" Lamat tidak menyahut. Tetapi ia menjadi berdebar-debar pula. Bahkan ke mudian terbayang di rongga matanya apa yang akan terjadi di Kademangan ini seandainya permainan Manguri dan Ki Reksatani gagal. Tetapi seandainya permainan itu berhasil apa kah yang akan terjadi dengan Sindangsari dan Ki De mang di Kepandak?" Lamat ke mudian duduk me mbisu ketika Manguri berjalan hilir mudik dengan gelisahnya. Bahkan ketika mala m menjadi gelap. Ia berkata "Kita menunggu di depan regol" Lamat tidak me mbantah. Diikutinya saja Manguri yang berjalan ke regol hala man rumahnya. Namun sebelum mereka sa mpai keregol, mereka melihat pintu regol yang sudah tertutup itu tersiba k. Seorang laki-la ki yang menuntun seekor kuda me langkah me masuki hala man. "Siapa?" Manguri bertanya. "Aku, Bandil" "O, kau" desis Manguri "apakah kau me mbawa pesan ayah?" "Ya" "Bagus. Bagus.Marilah, masuk sajalah ke pringgitan"
Setelah me mbawa kudanya ke belakang, laki-laki yang bernama Bandil itupun dibawa masuk oleh Manguri dan La mat ke pringgitan. "Apakah kau baru saja datang?" "Ya. Aku ke ma la man di ja lan" "Kenapa?" "Aku agak terla mbat me masuki Kade mangan Kepandak. Aku takut dicurigai. Karena itu, aku mene mpuh jalan-jalan sempit dan bahkan menuntun kuda ku di jalan setapak. Aku menghindari gardu-gardu peronda supaya tidak ada seorangpun yang melihat aku datang" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. bertanya "Kenapa kau datang terla mpau ma la m?" Orang itu tidak segera menjawab. "Kenapa he?" Manguri me ndesak. Sejenak orang itu menatap wajah Manguri, na mun ke mudian ia menundukkan kepalanya. Namun ia masih tetap dia m. "Kenapa?" akhirnya Manguri me mbentak. Tetapi orang itu justru tersenyum tersipu-sipu. Sambil beringsut sedikit ia berkata "Me mang, me mang aku agak ke mala man" "Apakah berangkat?" Orang itu berangkat" ayah memang terla mbat aku menyuruhmu tidak terlambat Tetapi ia
mengge leng "Tidak "Jadi bagaimana?" "Aku singgah sejenak" "Singgah dimana?"
"Di rumah isteri mudaku" "Gila. Kau benar-benar gila. Ka mi yang menunggu disini serasa berdiri diatas bara. Kau seenaknya singgah di rumah isteri muda mu. Kau sungguh-sungguh sudah gila. Kalau ayah mendengar, kau a kan dihajarnya habis-habisan" Manguri menggeretakkan giginya. Tangannya sudah menjadi gatal. Kalau saja orang itu bukan orang yang disuruh ayahnya me mbawa kabar penting dan rahasia, orang itu pasti sudah dipukulnya "Kau tahu akibat dari kela mbatanmu karena kau singgah di rumah isteri muda mu itu he" Kalau kau tertangkap dan kau dipaksa berbicara, semuanya akan berantakan" "Sebenarnya aku juga tidak ingin singgah di rumah isteri muda ku itu. Tetapi jalan yang aku la lui lewat tepat di muka rumahnya. Dan kebetulan sekali isteri mudaku itu baru berada di regol hala man" "Kau dapat mengatakan bahwa kau sedang bergegas" "Aku sudah mengatakan" "Kenapa kau singgah juga" "Ia menangis ka lau aku tidak mau singgah" "Menangis?" "Ya. Isteriku itu baru berumur e mpat be las tahun" "Gila. Kau benar-benar gila. Kau sudah setua itu masih me mpunyai seorang isteri berumur e mpat belas tahun" "O, itu masih belum mengherankan. Apakah kau tidak heran kalau salah seorang isteri Ki Sukerta, baru berumur tiga belas tahun. Jadi setahun lebih muda dari isteriku itu?" "Persetan. Persetan. Aku tidak berurusan dengan isteriisteri muda itu. Aku ingin segera mendengar keterangan tentang Sindangsari"
Laki-laki yang bernama Bandil itu menarik nafas dalamdalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata "Ya, aku me mang mendapat tugas untuk menyampaikan pesan tentang. Nyai Demang" "Dima na dia sekarang?" "Ki Sukerta telah menyembunyikannya baik-baik" "Ya, tetapi dimana ayah menyembunyikannya" "Ki Sukerta me mbawanya ke Se mbojan" "Se mbojan" Dimana kah Se mbojan itu?" "Di sebelah Te mu Agal, Kade mangan Pra mbanan" "Begitu jauh?" "Ya. Tentu semula Ki Sukerta menganggap bahwa tempat itu adalah tempat yang paling aman. Cukup jauh, tetapi masih dapat dicapai dala m waktu yang tidak terla mpau la ma " "Se mula, kenapa kau mengatakan menganggap tempat itu paling a man?" "Agaknya Ki Sukerta me mbawanya ke tempat lain" "Kenapa?" "Dengan berpindah-pindah te mpat, maka jejaknya tidak akan mudah diketahui oleh orang lain" "Tetapi bagaimana aku harus menghubunginya" "Setiap kali akan ada seseorang yang me mberitahukan kepadamu disini" "Tetapi ka mi harus menetap. Kami akan hidup seperti manusia sewajarnya. Tidak seperti seekor burung yang me mbuat sarangnya di se mbarang te mpat dan berpindahpindah" se mula ayah akan
me mpertimbangkan "Tentu. Tetapi kau me merlukan waktu. Setelah semua orang melupakannya, kau dapat menetap di suatu tempat yang kau pilih dari antara sekian banyak yang ditentukan oleh ayahmu" Manguri me ngangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kapan waktu itu akan datang. Kapan semua orang akan melupakan hilangnya Nyai De mang di Kepandak" Sejenak Manguri berdia m diri. Ternyata tidak semudah yang disangkanya untuk me mperisteri Sindangsari. Tidak sekedar melarikannya dan menyingkir dari lingkungan orangorang Kepandak. Ternyata untuk waktu yang lama orangorang Kepandak pasti masih berusaha mene mukan Nyai Demang yang hilang. Apalagi kini Pa mot telah t iba ke mba li di Kademangan. Bagaimanapun juga ia pasti akan ikut ca mpur di dalam persoalan ini. Tetapi ia sudah bertekad, bahwa ia tidak akan mundur setapak. "Mungkin aku akan tetap tinggal disini. Aku akan dapat mengunjunginya setiap pekan sekali" berkata Manguri di dalam hatinya. Tetapi ke mudian "Tidak mungkin. Siapakah yang akan menungguinya sela ma aku tida k ada di te mpat itu. Tidak seorang pere mpuanpun yang dapat dipercaya untuk mengatasi kekerasan hati Sindangsari. Ia pasti akan berusaha me larikan dirinya. Tetapi tidak seorang laki-lakipun yang dapat dipercaya menunggui pere mpuan secantik Sindangsari. "Gila" a khirnya Manguri me ngumpat-umpat. Dala m kebingungan ia berkata di dala m dirinya "Biarlah a ku akan me ma ksanya secara kasar. Kalau semuanya sudah terjadi, ia tidak akan dapat lari lagi. Ia justru akan merasa malu menjumpai orang-orang yang sudah dikenalnya. Dan ia akan tetap bersembunyi di te mpat yang sudah disediakan itu" Demikianlah saat itu Manguri harus menerima keadaan yang masih belum dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi
ke mudian. Na mun bahwa Sindangsari sudah sampa i di te mpat yang jauh, ia sudah menjadi agak tenteram. Di hari-hari mendatang, tinggal mengatur apakah yang akan dilakukannya atas perempuan itu. Meskipun de mikian, mala m itu Manguri tidak dapat tidur dengan tenteram. Kadang-kadang ia bangkit dan berjalan hilir mudik di dala m biliknya. Ia tidak pergi bersama La mat ke sawah untuk menga iri tanamannya yang sedang tumbuh. Hatinya selalu terganggu oleh bayangan-bayangan yang kadang-kadang sangat mence maskan. Hampir tengah ma la m Manguri t idak dapat menahan kegelisahannya. Tiba-tiba saja ia menyambar pedang yang tergantung di dinding. Perlahan-lahan ia berjalan keluar dan pergi ke bela kang. Di pintu bilik La mat ia mengetuk perlahanlahan sa mbil me manggilnya "La mat, La mat?" Tidak ada yang menyahut. Sedang di dalam bilik itu tampak masih gelap. "Orang ini masih belum pulang" desis Manguri. Untuk menghilangkan kegelisahannya, maka Manguripun ke mudian menggera m "Apakah ia tertidur di tengah sawah" Tiba-tiba saja Manguri berhasrat untuk menyusulnya. Tanpa minta diri kepada siapapun ia berjalan ke luar dari regol halamannya dan dengan tergesa-gesa pergi ke sawah. Di depan gardu peronda, seorang menghentikannya sa mbil bertanya "Siapa?" anak muda
"Apakah kau belum mengenal aku?" sahut Manguri. Anak muda itu mengerutkan keningnya "O, kau. Tetapi aku tidak me lihat wajahmu di kegelapan" Manguri t idak menyahut lagi. Ia berjalan terus menuju kebulak yang terbentang di sebelah padukuhan Ge mulung.
"Anak itu masih saja sangat sombong" desis anak muda yang menyapanya. "Kaulah yang kurang kerja mala m ini. Kenapa kau sapa anak gila itu" Diantara ka mi tidak ada lagi orang yang se mpat menyapanya" "Di dala m kegelapan, aku tidak begitu mengenalnya" "Kau me mang agak mengantuk. Langkahnya dari jarak seratus patok sudah dapat dikenal, bahwa ia adalah Manguri yang perkasa" Kawan-kawannya yang lain tertawa, sedang anak muda yang menyapanya itu dia m tersipu-sipu. Dala m pada itu La mat yang berada di sawah sedang sibuk me mbendung air yang menga lir diparit yang menyusuri kotakkotak sawah ayah Manguri. Mumpung air yang mengalir cukup banyak ia mengharap bahwa se ma la m nanti sawahnya akan mendapat air yang cukup. Ketika air sudah mula i mengalir masuk ke dala m kotak sawah, maka Lamatpun menggeliat sambil menekan la mbungnya dengan telapak tangannya. Dipandanginya air yang gemericik di bawah ka kinya itu sejenak. Setelah mencuci cangkulnya, ma ka iapun ke mudian meninggalkan bendungan kecil itu menuju ke gubug di tikungan pe matang. Tetapi alangkah tertegunnya ketika ia melihat bayangan seseorang yang berjalan menyusuri pe matang ke arahnya. Tampaknya agak ragu-ragu dan sangat hati-hati. "Siapa?" desis La mat di dala m hatinya. Dan bayangan itu se makin la ma menjadi se makin de kat sehingga akhirnya La mat dapat mengenalnya juga. "Kau Pa mot" sapa La mat perlahan-lahan "Ya" sahut Pa mot ragu-ragu.
"Ternyata kau kembali dengan selamat meskipun kau tampak aga k kurus" "Ya La mat. Se mua yang ada di dala m pasukan itu me njadi kurus. Aku juga, Punta juga dan yang la in juga" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya "Beruntunglah kau, bahwa kau sudah mendapat kese mpatan untuk me mberikan sesuatu kepada Tanah Mataram" "Kelak akan datang giliranmu" Tetapi La mat menggelengkan kepa lanya "Aku adalah sekedar kerbau penarik pedati. Tidak pantas bagiku untuk me mbawa senjata di bawah panji-panji kebesaran Mataram" Pamot tida k menyahut. "Marilah" aja k La mat "kita duduk di gubug itu. Pamot ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia menggeleng "Aku hanya sebentar" Lamat mengerutkan keningnya. Lalu "Tetapi seba iknya kita duduk. Duduklah disini. Tetapi pematang sawah di Gemulung masih tetap kotor Pa mot" Pamot menarik nafas dalam-da la m. "Duduklah diatas batu itu" Pamotpun ke mudian duduk diatas sebuah batu di sa mping Lamat. "Aku senang sekali dapat bertemu dengan kau sekarang, selagi Manguri tida k ada He. kau dapat memilih wa ktu dengan tepat" "Aku melihat kau berjalan sendiri. Aku berada di belakang gardu ketika kau lewat" Lamat me ngangguk-anggukkan kepalanya. "Kenapa Manguri t idak pergi?"
"Jarang sekali Manguri pergi ke sawah sekarang" "Kenapa?" Lamat tidak menyahut. Tetapi kemudian ia berkata "Berceriteralah tentang perjalananmu Pa mot. Aku ingin sekali mendengarkan" "Perjalanan yang sangat berat. Apalagi bagi ka mi, anakanak muda dari padukuhan yang kurang terlatih. Tetapi perjalanan itu me mberikan kebanggaan juga bagiku" "Ceriterakan" "Tetapi, aku me merlukan keteranganmu juga La mat" Lamat mengerutkan keningnya pula. Semakin dala m. Ia sudah merasa bahwa arah percakapan Pamot pasti akan bergeser ke arah yang mendebarkan jantung baginya. Karena itu ia masih ingin mengela k "Ceriterakan saja dahulu perjalananmu. Di Ge mulung tidak ada peristiwa yang menarik seperti perjalanan itu" "Ada La mat. Justru sangat menarik" "Ah, tetapi itu bukan urusan kita. Aku ingin mendengar kau menceriterakan, betapa panjangnya pasukan Mataram ketika mulai berangkat dari a lun-alun. Dan betapa pula panjangnya pasukan itu setelah mela mpaui daerah Kadipaten Pesisir Utara. Di sepanjang jalan pejuang-pejuang yang akan mengusir orang asing itu pasti se makin bertambah-ta mbah. Game lan yang menurut pendengaranku mengiringi pasukan itu pasti akan mena mbah ga irah perjuangan di setiap dada" "Ya. Kau sudah tahu se muanya La mat. Dari siapa kau mendengarnya?" Lamat menundukkan kepa lanya "Aku mendengar dari orang-orang yang berbicara di sebelah simpangan parit di seberang jalan. Kami telah me mbagi air untuk mala m ini di
sana. Dan mereka berbicara tentang pasukan yang pergi ke Betawi. "Ya. Seperangkat gamelan telah dibawa dan ditabuh di sepanjang jalan" "Alangkah megahnya perjalanan itu" "Tetapi, aku me merlukan keteranganmu La mat" Lamat terdia m. "Aku kira kau mengerti meskipun t idak se luruhnya" "Apa yang ingin kau tanyakan Pa mot" "Apakah kau tahu serba sedikit, atau mendengar dari orang-orang yang sering berkumpul disimpangan parit diseberang jalan tentang Sindangsari?" Dada La mat menjadi berdebar-debar. Meskipun ia sudah menduga, tetapi pertanyaan itu masih mengetuk jantungnya keras-keras. "Bagaimana mungkin Sindangsari itu hilang?" "Pamot " suara Lamat tiba-tiba menurun "a ku tidak ubahnya seperti seekor binatang peliharaan seperti aku katakan. Bagaimana mungkin aku dapat mengerti tentang Sindangsari" "Kau juga me ndengar ceritera tentang pasukan yang berangkat itu. Kau mendengar ceritera tentang seperangkat gamelan yang ikut bersama pasukan mataram. Jadi tidak mustahil kalau kau mendengar juga ceritera serba sedikit tentang Sindangsari. Mungkin dari orang-orang yang me mbagi air tetapi mungkin juga dari Manguri. Aku tahu bahwa Manguri juga mencintai Sindangsari. Bahkan dengan segala maca m cara ia ingin me milikinya sebelum Sindangsari menjadi isteri Ki Demang di Kepandak. Bila perlu Manguri tidak segan-segan me mperguna kan kekerasan"
Lamat menarik nafas dalam-da la m. Katanya "Aku tidak mengerti Pa mot. Aku mengerti tentang Sindangsari di saat terakhir kau mene muinya dan terjadi hal yang terkutuk itu sehingga ke mudian Sindangsari telah mengandung" "La mat" potong Pa mot "tetapi bukankah Sindangsaritelah menjadi isteri Ki De mang" Lamat t idak me nyahut. "Aku berharap kau t idak menyebutkan hal itu lagi. Sudah aku katakan sejak itu, bahwa aku menjadi sangat menyesal. Tetapi menurut pendengaranku, hidup Sindangsari menjadi baik dan rumah tangganya cukup tenteram menurut pengamatan orang di luar rumah itu. Tetapi kenapa tiba-tiba saja perempuan itu hilang" Lamat mengge lengkan kepalanya "Aku tidak tahu sa ma sekali" "La mat" berkata Pamot ke mudian "se la ma ini kau tetap berada di Kademangan Kepandak. Sebelum aku pergi kau menaruh banyak perhatian atas hubungan ka mi. Maksudku aku dan Sindangsari. Ketika tiba-tiba saja perempuan itu hilang, aku kira kau me merlukan mendengar dugaan orang tentang hal itu. "Tida k seorangpun yang dapat menduga, kemana Nyai Demang itu pergi. Apakah ia pergi atas kehendaknya sendiri atau diambil oleh orang lain. Bahkan sela ma ini Ki De mang telah mengerahkan orang-orangnya, termasuk para pengawal Kademangan. Ki Jagabaya, Ki Reksatani dan bebahu Kademangan yang lain untuk mencarinya. Tetapi sampa i saat ini, sa ma seka li t idak ada kabar beritanya" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan La mat berkata selanjutnya "Barangkali yang aku dengar tida k lebih banyak dari yang didengar oleh ayahmu atauoleh tetanggatetanggamu"
Pamot tidak menyahut. Ketika ia memandang wajah La mat, dilihatnya wajah itu tertunduk dala m-dala m. Tetapi di dala m gelapnya mala m Pa mot tidak dapat me lihat, betapa. wajah Lamat menjadi pucat dan matanya seakan-akan telah padam sama seka li. "Baiklah La mat" berkata Pa mot ke mudian "sela ma ini aku percaya kepadamu, karena kau ada lah orang yang paling banyak me mberikan pertolongan kepadaku. Me mang aku mendengar juga dari orang-orang la in. Tetapi aku baru puas setelah aku mendengarnya darimu. Aku tahu, kepadaku kau tidak pernah berbohong. Bahkan sejak Sindangsari masih menjadi seakan-akan rebutan di Ge mulung" Lamat tidak dapat menjawab. Terasa kerongkongannya menjadi kering. Kering seka li. Dala m pada itu, Manguri berjalan tergesa-gesa menyusuri jalan simpang. Kemudian ia meloncati sebuah parit dan ke mudian me langkah di sepanjang pe matang. Ia menjadi demikian tergesa-gesa seakan-akan ada sesuatu yang harus segera diselesaikannya, sehingga kadang-kadang ia ha mpir tergelincir karenanya. Sekali-seka li angin mala m yang berhe mbus dari Se latan telah mengusap wajahnya. Terasa dinginnya menyentuh kulit. Tetapi karena langkahnya yang cepat, maka Manguri dapat mengatasi rasa dinginnya, dan bahkan tubuhnya mulai basah oleh keringat Di kejauhan kunang-kunang berkeredipan pada batangbatang padi muda, sedang suara cengkerik berderik bersahutsahutan. Sejenak ke mudian Manguri telah sa mpai di ujung sawahnya. Langkahnya semakin la ma menjadi se ma kin cepat. Ia merasa selalu dikejar oleh kegelisahan yang menghentakhentakkan dadanya, sehingga ia harus melarikan dirinya, ke tengah tengah sawah yang gelap dan sepi.
Sebelum Manguri sa mpai ke gubug yang berdiri diatas tiang yang agak tinggi, ia sudah me manggil "La mat, La mat apakah kau ada disitu?" Manguri terlonja k ketika ia mendengar jawaban dekat di sampingnya "Aku ada disini" "Anak Setan" ia menggera m "kau me mbuat aku terkejut" "Aku sudah menjawab perlahan-lahan sekali" Manguri me mandangnya dengan tegang. Namun ke mudian iapun menarik nafas dalam-da la m. "Kenapa kau menyusul?" tiba-tiba saja La mat bertanya. Pertanyaan itu ternyata telah me mbuat Manguri me njadi bingung. Setelah ia sampai di tengah sawah, ia tidak tahu lagi, apa yang akan dilakukannya. Namun ke mudian ia menjawab "Ya. Aku tidak dapat tidur. Udara terlampau panas. Aku ingin tidur di gubug itu saja" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya "Tidurlah. Aku sedang menunggui a ir. Aku mengharap bahwa air a kan dapat menggenangi seluruh kotak sawah kita ma la m ini" "Ya. Tungguilah a ir yang hanya sedikit itu, kalau-kalau dicuri orang di bagian atas" "Ka mi sudah me mbagi. Kita akan mendapat bagian sa mpai tengah mala m, ke mudian kita akan me mberikan kepada kotak-kotak sawah di bawah" "Kenapa mesti diberikan" Biar saja sawah mereka menjadi kering. Sebelum sawah kita cukup, kita tidak a kan menutup pematang itu. Mungkin kau dapat menghapus bendungan kecil itu, tetapi pematang kita, biar saja tetap terbuka" Lamat tidak menjawab meskipun hal itu berarti menyalahi persetujuan. Namun, Manguri pasti t idak a kan menunggui pematang se mala m suntuk. Ia pasti akan tertidur juga di
gubug itu. Sedang menurut perhitungannya, apabila aliran air diparit itu tetap, maka sawahnya akan cukup tergenang. Sepeninggal Manguri yang ke mudian pergi ke gubug, Lamat menarik nafas dala m-dala m. Dengan isyarat ia menyuruh Pa mot yang bersembunyi diantara batang-batang padi yang subur untuk segera merangkak pergi. "Ha mpir saja" desis La mat "kalau Manguri me lihat Pamot disini, ia pasti akan segera menjadi curiga. Semuanya akan menjadi kacau, dan segala maca m prasangka akan t imbul" Dan kini La mat dapat mengelus dadanya karena Pamot telah berhasil menyingkir tanpa diketahui sa ma sekali oleh Manguri. Namun sepeningga l Pa mot La mat duduk merenung diatas sebuah batu di pinggir parit sa mbil me mandangi a ir yang menga lir. Tidak terla mpau banyak seperti di musim basah. Tetapi cukup me mberi kesegaran kepada tanamannya. Ternyata pertemuannya dengan Pamot telah me mbuatnya berangan-angan. Perasaannya menjadi kisruh, seperti daun ilalang yang tertiup angin pusaran. Meskipun tubuhnya kuat seperti raksasa, dan tenaganya seperti seekor kerbau jantan, namun ia tidak dapat bersikap se kuat tubuhnya. Hatinya justru terlampau le mah dan kadang-kadang t idak me mpunyai sikap sama seka li. "Aku telah tersiksa oleh diriku sendiri, justru karena aku menyadari kele mahanku" katanya di dalam hati "dan kini aku sampai pada puncak kebingungan yang hampir tidak tertanggungkan. Mungkin aku harus me milih, apakah aku akan mengorbankan seisi Kade mangan Kepandak, atau aku tetap berdiam diri dan mengorbankan Sindangsari" Tetapi La mat tida k juga me ndapat pe mecahan di dala m dirinya. Ia tetap masih dicengka m oleh kebimbangan yang hampir tidak teratasi, sehingga dengan demikian maka dunianya serasa menjadi se makin ge lap.
Lamat menarik nafas dalam-dala m. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan menyusur pematang. Ketika ia sampai pada kotak terakhir dari ha mparan sawah Manguri, ma ka ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya air telah cukup banyak menggenangi sawahnya. Karena itu, maka iapun segera pergi ke pintu air yang dibuatnya pada pematang sawah itu. Ketika ia menengadahkan kepalanya, dilihatnya bintang gubug penceng di ujung Se latan sudah mulai condong ke Barat, sehingga La mat dapat mengetahui, bahwa tengah ma la m me mang telah la mpau. Seperti yang sudah saling disetujui, maka La matpun segera me mbuka bendungan kecil yang menahan air parit dan me mbe lokkannya ke dala m kotak-kotak sawah Manguri. Tetapi ia me mang tidak segera menutup pematangnya. Ditunggunya barang sejenak, dan dibiarkan a ir yang gemercik masih masuk ke dala m sawah. Tetapi sebagian terbesar dari air parit itu sudah mengalir terus, ke sawah yang lain seperti yang sudah disetujuinya. Bahkan sejenak kemudian, pematangnyapun telah ditutupnya sama sekali, karena air telah jauh daripada cukup. Lamatpun ke mudian perlahan-lahan pergi ke gubug pula. Di dalam ke keruhan pikiran, ia tidak melihat, jalan keluar yang paling baik baginya. Lamat yang bingung itu hanya dapat menarik nafas sambil berdesis "Untunglah bahwa Manguri tida k melihat Pamot dan untung pulalah, bahwa Manguri yang tidak mengetahui kehadiran Pa mot sa ma seka li tidak menyebut tentang Nyai Demang di Kepandak yang disembunyikannya itu. Seandainya karena tidak diketahuinya, ia menyebutnya barang sepatah kata saja, maka Pamot pasti akan segera mengambil kesimpulan. Namun langkah La mat itupun ke mudian tertegun. Sekali lagi ia me lihat sesosok bayangan yang berjalan tergesa-gesa
diatas pematang. Semakin la ma menjadi se makin cepat. Namun ia yakin bahwa yang datang itu sama sekali bukan Pamot. Setelah bayangan itu menjadi se makin dekat, ma ka iapun ke mudian berdesis tanpa sesadarnya "Ki Reksatani" Ki Reksatani berhenti sejenak. Lalu katanya "Kau mengenal aku di dala m gelapnya mala m?" "Ya Ki Re ksatani. Ki Reksatani sudah cukup dikena l oleh semua orang Kepandak. Apalagi akhir-akhir ini Ki Reksatani sering mengunjungi rumah ka mi" Ki Re ksatani mengangguk-anggukkan kepalanya "Ya. Tetapi dimana Manguri?" "Ia ada di gubug itu" "Aku ingin mene muinya" "Silahkan. Mungkin ia sudah tidur" "Aku baru datang dari rumahnya. Aku mencarinya di sana, tetapi ia tidak ada di dala m biliknya, tidak seorangpun yang tahu. Tetapi ibunya mengatakan bahwa mungkin ia menyusulmu ke sawah" "Ya, ia telah me nyusul aku" "Dima na anak itu. Aku sudah menyusup di jalan-jalan sempit untuk menghindari kecurigaan orang. Kalau ada seorangpun yang melihat aku me ne mui Manguri, maka rahasia kita akan terbongkar. La mbat atau cepat" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi kecemasan yang tajam telah menyengat hatinya. Ia tidak tahu pasti, apakah Pamot benar-benar sudah meningga lkan te mpat itu dan pergi jauh. Kalau ia masih ada di sekitar tempat itu, maka ia pasti akan me ncuriga i Ki Re ksatani dan Manguri.
Sejenak ke mudian Ki Reksatanipun me nyusur pe matang pergi ke gubug yang berada diatas e mpat buah tiang ba mbu. Di da la m gubug itu Manguri me mbaringkan dirinya diatas sehelai tikar pandan yang sudah menjadi kekuning-kuningan. Angin ma la m yang sejuk telah membuatnya seakan-akan, terbius. Sehingga tanpa disadarinya, iapun telah jatuh tertidur. Manguri terkejut ketika gubugnya itu terguncang. Kemudian sebuah kepala tersembul di dala m keremangan ma la m. Dan orang yang naik itu ternyata bukan La mat. "O, kau Ki Reksatani" desis Manguri sambil bangkit dan duduk. "Ya. Aku memerlukan mene mui kau. Aku me mpunyai waktu sedikit. Aku dan isteriku masih berada di Kade mangan. Agaknya kakang Demang benar-benar akan menyambut kedatangan anak-anak itu dengan berbagai maca m upacara dan kera maian" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dala m pada itu Ki Reksatanipun ke mudian bertanya "Manguri. Agaknya kedatangan anak-anak muda beserta Pamot itu akan berpengaruh juga. Mereka pasti akan segera ikut serta mencari Sindangsari. Beberapa lama mereka berada di medan yang sulit. Sudah tentu itu akan sangat me mpengaruhi mereka. Jiwa mereka dan tabiat merekapun sedikit banyak akan mengala mi sentuhan-sentuhan dari pengalaman mereka yang pahit. Dengan demikian, maka mereka a kan dapat banyak berbuat sesuai dengan pengaruh yang mereka dapat selama ini" Manguri mengerutkan keningnya. Namun ke mudian iapun mengangguk-anggukkan kepalanya "Ya, aku mengerti" katanya. "Karena itu, penyingkiran Sindangsari harus benar-benar tidak me mungkinkan lagi, salah seorang dari mereka mene mukannya"
"Aku bertanggung jawab" sahut Manguri "Dima na pere mpuan itu sekarang?" "Ia sudah berada di te mpat yang jauh" "Ya, dimana" Turi atau Kepanjen atau tlatah Menoreh?" Manguri menggelengkan kepa lanya "Bukan" "Ya. Tetapi dimana?" "Perempuan itu kini berada di Se mbojan" "Se mbojan?" Ki Reksatani mengulang. Manguri menganggukkan kepalanya. Terbayang di dalam angan-angan suatu padukuhan kecil yang jauh. Ia sudah pernah pergi ke Sembojan di kademangan Pra mbanan karena kebetulan seka li ia me mpunyai seorang kena lan yang bertempat tinggal di Temu Agal. Ketika ia berkunjung ke rumah kenalannya it u, ia dibawanya ke rumah orang tuanya di Se mbojan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Ki Reksatani berguma m "Sebuah padukuhan kecil. Di sebelah Utara padukuhan itu masih terdapat sebuah hamparan hutan yang rindang. Ke mudian di seberang hutan masih terdapat beberapa padukuhan lagi, sebelum sampa i ke daerah hutan yang lebat di kaki gunung Merapi" "Apakah Ki Reksatani pernah menjelajahi daerah itu?" "Ya. Aku pernah mencari sebatang pohon Manca Warna bersama seorang kenalan yang tinggal di padukuhan Te mu Agal. Kami menyusur di sepanjang tepi hutan itu" Manguri tidak menyahut. Namun Ki Reksatani berkata seakan-akan kepada diri sendiri "Tetapi aku tidak mene mukan pohon Manca Warna seperti yang dikatakan orang. Aku hanya me lihat tida k lebih dari sebatang pohon beringin"
Tiba-tiba Ki Reksatani itu menggera m "Aku a kan melihat pohon itu sekali lagi. Pohon yang dapat memberikan gambaran tentang nasib seseorang" "Bagaimana mungkin?" bertanya Manguri. "Kalau aku me lihat pohon itu berbunga lebih dari tiga maca m, itu pertanda bahwa nasibku baik. Orang yang nasibnya sangat baik dapat melihat bunga pohon Manca Warna itu sampai tujuh maca m. Dan orang yang akan mendapat derajad yang luhur, ia akan dapat melihat diantara maca m-maca m bunga itu, sekuntum bunga melati susun" Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ceritera itu tidak begitu menarik perhatiannya. Yang membuatnya termenung justru kedatangan anak-anak muda anggauta pengawal khusus itu. Mere ka pasti akan me mbantu Ki De mang menje lajahi seluruh dataran di sebelah Selatan Gunung Merapi ini. "Manguri" berkata Ki Reksatani ke mudian "pada suatu saat kita harus melihat, apakah tempat persembunyian itu benarbenar dapat dipertanggung jawabkan" "Kapan kita akan pergi?" "Sudah tentu kita tidak akan dapat pergi bersa ma-sama Aku harus menunggu sa mpai saat-saat penyambutan itu selesai. Mungkin Kakang De mang akan mengadakan kerama ian meskipun hatinya sendiri sedang terluka. Itu hanya sekedar sikap lahiriahnya saja. Mungkin tiga hari. Mungkin hanya sehari. Sesudah itu aku akan mendapat kesempatan. Aku yakin sebelum saat-saat itu, anak-anak itupun tida k akan sempat ke luar Kade mangan, apalagi mencari Sindangsari" Manguri me ngangguk-anggukkan Kepalanya. Tetapi ia menjawab "Sebenarnya Ki Reksatani tidak perlu merisaukan Sindangsari. Aku akan bertanggung jawab. Serahkan semuanya kepadaku dan a ku harap Ki Reksatani dapat me mpercayai aku"
Ki Reksatani mengerutkan keningnya. Namun bagaimanapun juga ia tidak dapat me lepaskan begitu saja dan me mberikan kepercayaan sepenuhnya kepada Manguri. Kalau terjadi kegagalan, maka iapun akan terlibat dan justru ia akan dituntut oleh kakaknya dan rakyat Kepandak sebagai seorang pengkhianat. Bahkan sejenak ke mudian terbersit pikiran di kepalanya "Yang paling ba ik bagiku adalah melenyapkan pere mpuan itu. Aku tidak akan sela lu diganggu lagi oleh kece masan dan kegelisahan sepanjang hidupku. Meskipun untuk wa ktu yang la ma perempuan itu tidak diketahui, namun apabila pada suata saat anaknya muncul di Kepandak beberapa puluh tahun yang akan datang, maka ia pasti a kan merupakan duri bagi anak-anakku yang aku harapkan dapat menguasai jabatan kakang De mang" Namun de mikian Ki Re ksatani masih tetap menyimpannya di dala m hati. Bagaimanapun juga ia berusaha, tetapi pikiran itu masih saja tetap me lonjak-lonjak di dadanya. Sejenak ke mudian, ketika bintang Gubug Penceng se makin condong ke Barat, maka Ki Reksatanipun berkata "Sudahlah. Aku akan kembali ke Kade mangan, supaya tidak ada orang yang mencuriga iku. Untuk se mentara Sembojan cukup jauh bagi persembunyian Sindangsari. Na mun pada suatu saat aku akan me mbuktikannya sendiri supaya aku menjadi tenang. "Percayalah kepadaku, dan percaya pulalah kepada ayah" "Tetapi sudah tentu ayahmu tidak akan dapat tenggelam di dalam persoalan ini sela ma-la manya. Ia harus bekerja, mencari nafkah dan melanjutkan usahanya di dala m perdagangan ternak yang ternyata telah memberinya kekayaan yang melimpah. Kalau ia terpancang pada persoalanmu, maka usahanya pasti akan mundur, dan kalian akan jatuh miskin" "Aku sedang me mikirkannya"
Ki Re ksatani mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ke mudian maka iapun segera meningga lkan gubug itu dan ke mbali ke Kade mangan. Sepeninggal Ki Reksatani ternyata Manguri menyesal, bahwa ia sudah mengatakan tempat persembunyian Sindangsari. Sampa i saat-saat terakhir" agaknya Ki Reksatani masih saja berusaha untuk me lenyapkan perempuan itu. "Ia tidak akan berani melakukannya" desis Manguri "dengan demikian ia pasti akan segera dihancurkan oleh Ki Demang. Ia pasti me mperhitungkan, bahwa aku akan me mbuka rahasianya kalau ia menggagalkan niatku, me mperisteri pere mpuan itu" Namun de mikian Manguri telah menjadi sangat gelisah, sehingga di luar sadarnya ia berteriak me manggil "La mat, Lamat" Dan sekali lagi ia terkejut ketika ia mendengar jawaban justru dari bawah gubugnya "Aku disini" "Gila kau. Ke mari. Naiklah" Lamatpun ke mudian naik ke gubug itu pula. Sa mbil mengusap titik embun yang me mbasahi ikat kepalanya iapun duduk di hadapan Manguri yang gelisah. "Aku terlanjur menunjukkan tempat Sindangsari di Se mbojan" berkata Manguri. persembunyian
Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya "Aku mendengar percakapan ka lian" "Kau mendengarkannya?" "Ya, Aku berada di bawah gubung ini" "Bagaimana me nurut pendapat mu?" "Sebaiknya kita ikut serta, apabila pada suatu Ki Reksatani akan pergi ke Se mbojan"
"Aku belum mengatakannya" "Kita dapat menghubunginya. Kita minta, agar Ki Keksatani me mberi tahukan apabila ia akan pergi. Sudah tentu kita tidak akan keluar dari Kade mangan ini bersa ma-sama. Tetapi kita berjanji bertemu disuatu tempat" Manguri mengangguk-anggukkan kepa lanya. Katanya "Pikiranmu ba ik juga. Dengan demikian Ki Reksatani tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap Sindangsari" "Ya" "Se makin cepat semakin baik" guma m Manguri ke mudian "aku harus segera mendapatkannya. Kalau perlu aku dapat me mperguna kan kekerasan, sehingga ia tidak akan berniat untuk lari lagi karena ia merasa tidak akan mendapat tempat lagi, baik di Kade mangan maupun di rumah Pa mot" Terasa bulu-bulu di seluruh tubuh La mat mere mang. Ia pernah menyaksikan hubungan badaniah antara Pamot dan Sindangsari yang didorong oleh perasaan cinta mereka yang tidak terkendali, apalagi pada saat itu mereka dihadapkan pada suatu saat yang sangat menegangkan. Pamot dengan hati yang tersayat minta diri untuk meninggalkan Kepandak dan Sindangsari untuk waktu yang tidak terbatas. Seandainya Pamot masih se mpat juga pulang, maka Sindangsari sudah menjadi isteri orang. Pada saat itu, ia sudah merasa berdiri diatas seonggok bara. Hatinya meronta hampir tidak terkekang lagi. Dan saat ini ia mendengar Manguri akan mela kukannya dengan kekerasan untuk mengikat Sindangsari agar tidak meninggalkannya. "Gila. Itu suatu pendirian yang gila. Apakah aku dapat me mbiarkannya terjadi?" La mat menangis di da la m hatinya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa pada saat itu. Ia harus tetap diam dan duduk dihadapan Manguri.
"Kita harus segera menentukan saat itu" desis Manguri ke mudian "nanti kita pikirkan. Kau harus me ngatur hubungan dengan Ki Reksatani. Sudah tentu bukan kau sendiri. Tetapi kita dapat mengirim sa lah seorang dari para pengawal ternak yang tidak banyak dikenal di padukuhan dan di Kade mangan ini" Lamat me nganggukkan kepalanya. "Sekarang pergilah. Aku akan tidur" Lamatpun segera turun dari gubug itu. Betapa hatinya serasa tersayat mendengar rencana Manguri. Sambil berjalan di sepanjang pe matang ia merenungi nasib Sindangsari. Perempuan itu dihadapkan pada dua ke mungkinan yang sama-sa ma pahit, la tida k akari dapat me milih satu diantara dua. Menjadi korban keta makan Ki Reksatani dan menyerahkan nyawanya atau menjadi korban nafsu Manguri yang mengge lagak sa mpai keubun-ubunnya. "Alangkah buruk nasib perempuan itu" desis La mat "jauh lebih buruk dari nasibku sendiri" Dengan kepala tunduk La matpun ke mudian duduk di pematang sawahnya yang basah. Dibelainya tangkai cangkulnya sa mbil me mandang jauh ke dala m kegelapan. Tiba-tiba ia tersentak. Sebuah bayangan berjalan menjauh dengan cepatnya. Kemudian hilang menyuruk di dala m rimbunnya dedaunan yang hijau ge lap. Namun de mikian matanya yang tajam masih menangkap, siapakah orang yang mencoba untuk menyingkir itu. "He m" desisnya "ternyata Pamot masih ada di sekitar tempat ini. Apakah ia mengetahui bahwa yang datang itu adalah Ki Reksatani" Jarak dari tempatnya bersembunyi cukup jauh. Adalah kebetulan sekali bahwa aku me langkah mende kati te mpat persembunyiannya"
Sejenak Lamat menjadi termangu-mangu. Seandainya ia tidak ditahan oleh kebimbangan, maka bagi La mat, tidak akan terlampau sulit apabila ia me loncat dan mengejar bayangan itu. Ia yakin bahwa ia pasti akan dapat menangkap Pa mot. Tetapi me mang ada sesuatu yang menahannya setangga ia masih tetap duduk di te mpatnya dengan dada yang berdebardebar. Meskipun demikian, terasa di hati Lamat, bahwa sesuatu masih akan terjadi. Pamot bukan seorang anak muda yang mudah berputus asa. Ada dua hal yang mendorongnya untuk berusaha mene mukan Sindangsari. Ia sendiri mencintai perempuan itu. Bagaimanapun juga ia tidak akan sa mpa i hati me mbiarkan Sindangsari menjadi korban perbuatan apapun juga, meskipun ia tida k mungkin lagi a kan mendapatkannya. Juga Pamot pasti ingin me nghilangkan sega la kecurigaan siapapun juga kepadanya. Ia pasti akan berusaha me mbuktikan bahwa bukan dirinyalah yang telah menga mbil Sindangsari dari Kade mangan. Dan kini Pa mot ternyata telah berkeliaran di sekitar sawah Manguri yang mungkin juga di sekitar rumahnya. Sudah pasti, bahwa di dala m hatinya ada sepercik kecurigaan kepada Manguri meskipun secara resmi Manguri sudah dinyatakan bersih dari segala tuduhan, karena Ki Jagabaya sendiri telah datang ke rumahnya dan tida k mene mukan apapun juga. Persoalan itu menjadi se makin rumit bergulat di kepala Lamat. Na mun ke mudian ia berdesis "Entahlah. Terserahlah apa yang akan terjadi. Mungkin aku akan dibakar juga oleh akibat perbuatanku di dalam persoalan ini, atau mungkin seluruh Kade mangan akan menjadi bara" Tiba-tiba La mat menggeretakkan giginya. Ia berusaha mengusir segala ma ca m persoalan itu. Ia ingin beristirahat barang sejenak. Ia ingin mendapat ketenangan dan menyingkir dari kejaran perasaan yang sangat mengge lisahkannya.
Tetapi Lamat tidak pernah berhasil. Ia selalu dibayangi oleh gambaran-ga mbaran tentang Sindangsari, Ki Rekstani dan bahkan kadang-kadang Kade mangan Kepandak yang seakanakan telah menyala dibakar oleh pertengkaran yang me mua kkan. "Gila" La mat mengumpat di dala m hatinya "apakah aku harus mengorbankan kata nuraniku sekedar untuk tahu budi karena aku telah disela matkan hidupku?" "Ya Harus" terdengar suara di dala m hatinya "orang yang paling baik adalah orang yang mengenal dan bahkan me mba las budi orang lain kepadanya" "Juga untuk me lakukan kejahatan seperti ini?" "O" akhirnya Lamat serasa menjadi le mah dan t idak bertenaga. Ia duduk terkulai bersandar tangkai cangkulnya. Di bawah kakinya air parit mengalir ge mericik mengusik sepinya ma la m yang merayap terus menjelang fajar. Manguri turun dari gubugnya ketika matahari mulai me mbayang di ujung Timur. Sejenak ia mengusap matanya, ke mudian mula i berteriak me manggil "La mat, La mat" Lamat masih duduk di tempatnya. Perlahan-lahan ia mengangkat wajahnya. Kemudian iapun bangkit berdiri dengan malasnya. "Kita harus segera pulang" Lamat menganggukkan kepalanya. Sekali lagi dilihatnya air di sawahnya. Kemudian dibetulkannya pematang sawah yang belum tertutup rapat. Sejenak ke mudian ma ka La mat itupun me langkah mengikut i Manguri yang dengan tergesa-gesa pulang ke rumahnya, seakan-akan ia tidak mau tersentuh oleh sinar matahari dipagi yang cerah itu.
Ketika burung-burung bersiul dipepohonan, maka di halaman Kade mangan telah disiapkan tiga ekor kuda. Ki Tumenggung Dipanata dan pengawalnya akan segera meninggalkan Kade mangan Kepandak, kemba li ke Mataram setelah ia menunaikan tugasnya menyerahkan anak-anak Kepandak itu ke mbali, meskipun tidak seluruhnya seperti ketika mereka berangkat. "Apakah Ki Tumenggung tidak menunggu sa mpa i besok" Kami bermaksud untuk menyelenggarakan kera maian, menya mbut anak-anak ka mi yang telah ke mbali. Meskipun tidak seluruhnya dapat me lihat ka mpung ha la mannya, tetapi kami ingin menunjukkan kebanggaan ka mi atas mereka" "Terima kasih" jawab Ki Tumenggung "ka mi masih me mpunyai tugas-tugas lain yang harus kami selesaikan. Ka mi sudah menyerahkan anak-anak Ki De mang itu ke mbali. Dan perlakukan mereka seperti anak-anak Ki De mang pula. Tidak ada kecualinya. Kalau ada persoalan sebaiknya dilihat dengan saksama dan dengan hati yang bening supaya Ki Demang tidak salah langkah. Bagaimanapun juga, ka mi, para prajurit, pernah berjuang bersa ma mereka, sehingga diantara ka mi dan anak-anak muda Kepandak itu seakan-akan telah terikat oleh kesatuan nasib di medan yang ganas" Ki De mang di Kepandak mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia segera dapat menangkap ma ksud Ki Tumenggung, sehingga Ki De mang itupun ke mudian menjawab "A ku akan mencobanya. Aku akan mencoba menga mati hatiku yang sedang bura m saat ini" Ki Tumenggung Dipanata tersenyum. Kemudian setelah ia merasa bahwa tugasnya benar-benar telah selesai, iapun segera minta diri kepada Ki De mang dan bebahu Kademangan yang ada di pendapa itu pula, termasuk Ki Reksatani. Sejenak kemudian, diantar oleh Ki Demang dan paru bebahu itu sa mpai ke regol, Ki Dipanayapun meninggalkan halaman Kade mangan Kepandak bersama pengawalnya. Di
tikungan ia masih berpaling. Na mun ke mudian kudanya berpacu semakin cepat meningga lkan padukuhan itu. Di ujung Kademangan Ki Tumenggung Dipanata sempat berguma m "Kasihan De mang di Kepandak itu. Anak yang sela ma ini diida m-ida mkannya, tiba-tiba hilang bersama ibunya selagi masih di dala m kandungan" Kedua pengawalnya tidak menyahut. Namun mere ka dapat mengerti, kenapa Ki De mang mencurigai Pa mot dan seperti yang mereka dengar sela ma di Kademangan, ia mencurigai juga Manguri. Sepeninggal Ki Tume nggung, meskipun dengan hati yang mura m Ki De mang me merintahkan juga para bebahu dan adiknya Ki Reksatani menyiapkan kera maian. Bahan-bahan yang semula disedia kan untuk menyambut bulan ke tujuh dari kehamilan Sindangsari, kini dipergunakannya untuk menyelenggarakan kera maian menyambut anak-anak Kepandak yang ke mba li dari medan. Na mun Ki De mang berkata kepada Ki Reksatani. "Aku hanya ingin mengadakan kerama ian se mala m saja" Dan seperti yang dikatakan oleh Ki Demang, di hari berikutnya keramaian itu me mang hanya dilakukan se mala m. Bukan saja karena Ki De mang sedang bersusah hati, namun wajah-wajah dari anak-anak Kepandak yang baru pulang itupun tidak secerah wajah-wajah mereka sebelum mereka berangkat karena ada diantara mereka yang tidak pulang bersama mereka. Bayangan tubuh mereka yang terbujur di medan itu sela lu menyertai mereka, meskipun sedang berada di tengah-tengah kera maian sekalipun. "Se mala m sudah cukup" berkata Ki Re ksatani kepada Ki Demang di Kepandak "sebenarnya kita harus mengadakan upacara berkabung karena ada diantara mereka, bahkan beberapa, tidak dapat kemba li ke rumah masing-masing" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. menganggap bahwa kata-kata adiknya itu me mang lepat. Ia
"Apalagi kesulitan"
kakang De mang sendiri sedang mengala mi "Ya" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kehidupan yang wajar harus segera pulih ke mba li di Kademangan ini, setelah dikejutkan oleh hilangnya mBok-ayu dan kedatangan anak-anak itu" Ki De mang mengerutkan keningnya. Namun Ki Reksatani cepat-cepat meneruskan "Bukan berarti usaha kila mencari mBok-ayu terhenti. Tetapi justru supaya usaha itu tidak terganggu oleh bermaca m-maca m persoalan" Ki De mang tidak menyahut. Tetapi direnunginya dedaunan yang bergerak-gerak disentuh angin di luar pendapa. Sejenak hatinya diguncang oleh keragu-raguan. Namun ke mudian ditetapkannya niatnya untuk menemukan isterinya yang hilang itu. Maka katanya "Ke Reksatani. Aku kira, setelah semuanya dapat berjalan sewajarnya, datanglah saatnya, aku dengan sungguh-sungguh mencari isteriku. Itu adalah terutama kewajibanku. Bukan kewajiban orang lain. Karena itu iku ingin mengatakan kepada mu, lakukanlah tugasku sehari-hari sebagai Demang di Kepandak. Aku akan pergi untuk waktu yang tidak tertentu. Aku harus menemukan mBok-ayumu yang hilang itu" Dada Ki Reksatani berdesir. Ia belum se mpat melihat sendiri, dimana Sindangsari dise mbunyikan. Ia belum se mpat mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan itu. Dan Ki Reksatani sa ma sekali lidak mengira, bahwa Ki De mang akan begitu cepat mengambil keputusan untuk meninggalkan Kepandak. "Apakah kau dapat mengerti?" bertanya Ki De mang ke mudian karena Ki Reksatani tidak segera menjawab. "Kakang De mang" berkata Ki Reksatani agak tergagap "agaknya kakang Demang menjadi terla mpau tergesa-gesa. Bukankah kakang De mang merencanakan untuk mencarinya
di Kade mangan di se kitar Kepandak" Ka kang De mang dapat me mbawa beberapa orang bebahu dan pe mbantu, sementara aku akan mencarinya dengan sungguh-sungguh pula di tempat yang lain" "Ki De mang di Kepandak menggelengkan kepa lanya. Katanya "Niat itu aku batalkan. Aku tidak ingin menumbuhkan geseran-geseran dengan tetangga, Kalau kita datang dengan sekelompok bebahu dan pengawal, seakan-akan kita akan me lakukan tindak kekerasan di daerah tetangga. Setelah aku renungi, maka niat itu sebaiknya aku batalkan saja. Yang akan aku lakukan ke mudian adalah perbuatan seorang suami, bukan seorang Demang. Aku harus mene mukan isteriku tanpa menimbulkan benturan-benturan dan apalagi korban-korban yang tidak bersalah. Ki Re ksatani menjadi se makin ce mas. Ternyata Ki De mang telah mene mukan ketenangan sehingga ia dapat me mikirkan cara yang sebaik-baiknya dan bahkan dengan sikap seorang laki-laki. Meskipun de mikian Ki Reksatani masih berusaha "Baiklah kakang. Tetapi kakang tidak perlu segera berangkat. Apakah artinya Reksatani sebagai seorang saudara muda. Aku akan mencobanya lebih dahulu" "Aku lebih berkewajiban" "Benar kakang. Tetapi ada kewajiban kakang yang lain sebagai seorang Demang. Aku minta waktu sepuluh hari. Kalau di dala m sepuluh hari aku tida k dapat mene mukan mBok-ayu Sindangsari, ma ka terserahlah kepada kakang Demang. Apa yang akan kakang Demang lakukan. Namun demikian setiap saat aku akan melakukan perintah kakang apabila ka kang menghenda ki. Ki De mang mengangguk-angguk sa mbil berkata "Terima kasih Reksatani. Aku kira aku dapat me menuhi permintaanmu Tetapi tidak lebih dari sepuluh hari supaya aku tidak terlambat apabila kau gagal me ne mukannya"
Serasa setitik e mbun jatuh di hati Ki Reksatani yang gersang. Ia mendapat waktu sepuluh hari. Di dala m waktu sepuluh hari itu ia dapat pergi ke manapun tanpa kecurigaan sama sekali. Dan di dala m waktu yang sepuluh hari itu ia akan dapat berbuat banyak sekali atas Sindangsari yang dise mbunyikan di Se mbojan. "Baiklah kakang" berkata Ki Re ksatani ke mudian "a ku akan me mperguna kan waktu yang sepuluh hari itu sebaik-baiknya. Aku akan berusaha untuk mene mukan mBok-ayu. Di dala m waktu yang sepuluh hari itu aku dapat menjelajahi seluruh daerah Selatan ini. Bahkan sa mpai ketelatah Mangir dan Menoreh" Demikianlah, ma ka Ki Reksatani merasa bahwa ia harus me manfaatkan waktu itu sebaik-baiknya. Sesudah sepuluh hari, kalau kakaknya benar-benar akan meninggalkan Kademangan, maka ia pasti akan terikat oleh jabatan yang akan dipangkunya, meskipun jabatan itulah yang selama ini diimpikan. "Di dala m penge mbaraannya itu, mungkin sekali kakang Demang akan dapat mene mukan Sindangsari" katanya di dalam hati. Karena itu, maka kecemasan yang melonjak-lonjak selalu menggetarkan dadanya. "Yang paling baik bagiku adalah menyingkirkan Sindangsari. Menyingkirkan sejauh-jauhnya, sehingga tidak mungkin lagi seseorang dapat menemukannya" tiba-tiba saja ia menggera m. Me mang bagi Ki Reksatani t idak ada jalan yang paling ba ik daripada me mbunuh pere mpuan itu. Bahkan ke mudian "Kalau perlu bersama Manguri dan ayahnya sama sekali. Tidak akan ada orang yang mencarinya seandainya untuk beberapa la ma Manguri tidak ta mpak di Ge mulung. bahkan seandainya ia dibicarakan orang, maka setiap orang pasti justru akan mencurigainya, melarikan Sindangsari dan tidak ke mbali lagi ke Kade mangan Kepandak.
Ki Reksatani yang menyadari kelebihannya, sama sekali tidak mence maskan ke ma mpuan ayah beranak itu. Bahkan Lamat yang bertubuh raksasa itu sama sekali tidak dihiraukannya. Menurut pengertian Ki Reksatani. Lamat adalah raksasa yang kuat, tetapi betapa bodohnya. Pada hari itu Ki Reksatani minta diri kepada kaka knya untuk meninggalkan Kademangan. "Besok a ku a kan berangkat kakang" berkata Ki Reksatani "karena itu, biarlah isteriku pulang menunggui anak-ana knya" Ki De mang di Kepandak mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Hati-hatilah di perjalanan. Jangan lengah tetapi juga jangan tergesa-gesa menentukan sikap apapun. Dengan demikian kau tida k akan mudah masuk perangkap, tetapi juga tidak mudah terjerumus ke dala m kekeliruan. Mungkin kau sendiri t idak a kan mendapat cidera karena kekeliruanmu itu. Tetapi apabila kau sudah terlanjur bertindak atas seseorang, maka korbanmu itu akan mengutukmu sepanjang abad" Ki Reksatani mengangguk-anggukkan kepalanya "Baiklah kakang. Sekaligus aku minta diri. Sela ma sepuluh hari aku tidak berada di Kademangan. Bendungan yang sedang digarap itupun akan aku tingga lkan untuk sementara. Tetapi beberapa orang sudah akan dapat mengurusnya" Ki De mang mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa curiga sama sekali ia menjawab "Baiklah. Aku sekali-seka li akan menengok bendungan yang sedang kau garap itu" Ki Re ksatanipun ke mudian meninggalkan Kade mangan itu bersama isterinya, pulang ke rumahnya. Ia harus me mpersiapkan diri untuk menghadapi tugas yang cukup berat baginya. "Aku akan melihat perke mbangan keadaan" katanya kepada isterinya ketika mereka sudah berada di rumah "kalau
aku menganggap bahwa tidak mungkin lagi menyembunyikan Sindangsari, apaboleh buat" "Tetapi jangan mengandung" dibunuh pere mpuan itu. Ia sedang
"Justru karena ia mengandung. Kandungannya itulah yang akan menjadi duri sela ma hidupku. Kalau anak di dala m kandungan itu harus mati, lebih baik me mbunuhnya sekarang, sebelum ia lahir dan hidup" "Kita a kan berdosa" "Itu lebih baik. Dosa kita akan berlipat kalau kita menunggu bayi itu lahir" Nyai Reksatani tidak dapat menjawab lagi. Tetapi kepalanya tertunduk. Hatinya adalah hati pere mpuan. Bagaimanapun juga, terasa bahwa jalan yang diambah suaminya adalah jalan yang sesat. Tetapi ia tidak kuasa untuk berbuat lebih banyak dari me mberinya peringatan. Namun di dala m hatinya sendiri, kadang-kadang tumbuh juga keinginan seorang ibu. Ke inginan me lihat anak-anak nya nanti menjadi orang yang terpandang, seperti dikehendaki oleh sua minya. Benturan-benturan itulah yang me mbuatnya kadangkadang kehilangan ke ma mpuan berpikir lagi, sehingga kadang-kadang ia berguma m "Aku tidak tahu. Terserahlah apa yang akan terjadi" Demikianlah, maka dengan hati yang berdebar-debar Ia me lihat sua minya me mpersiapkan dirinya. Keris pusakanya selalu disiapkannya di la mbung meskipun ia masih akan berangkat besok. "Aku harus me mbawa Manguri" katanya di dalam hati "kalau perlu a ku a kan dapat me mbunuhnya sekali"
Adalah kebetulan sekali, bahwa sebelum ia me mberitahukan keberangkatannya kepada Manguri, seorang pesuruh anak muda itu telah datang kepadanya dan bertanya kapan ia a kan pergi ke Se mbojan. "Aku akan pergi besok" berkata Ki Reksatani "ka lau Manguri akan pergi juga, suruhlah ia me nunggu di luar Kade mangan ini, supaya tidak ada orang yang me lihat sehingga dapat menumbuhkan kecurigaan" Demikianlah ma ka pesuruh itupun segera pulang dan menya mpaikannya kepada Manguri. "La mat" berkata Manguri ke mudian "besok kita akan pergi" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasakan perbedaan nada kata-kata Manguri Kali ini Manguri ta mpak bersungguh-sungguh dan bukan sekedar ingin me mbentakbentak saja. Berkata anak muda itu pula "Kita harus berhatihati. Banyak hal dapat terjadi" Lamat me ngangguk-anggukkan kepalanya. "Kita akan menunggu di luar Kade mangan Kepandak. Dan kita akan pergi bersa ma-sa ma dengan Ki Reksatani" Lamat menarik nafas dala m-dala m. Terbayang di rongga matanya, suatu perjalanan yang tegang dan mendebarkan. Setiap saat Ki Reksatani dapat berubah pendirian. Apalagi Ki Reksatani adalah seorang yang tidak bedanya seperti Ki Demang di Kepandak sendiri. Ia adalah orang yang tidak terlawan. "Kita akan berangkat sebelum terang tanah, supaya tidak seorangpun yang melihat kita. Apalagi apabila orang itu me lihat pula Ki Re ksatani meninggalkan Kade mangan ini" "Ya" La mat mengangguk. "Selain kau, aku akan me mbawa dua tiga orang kawan yang lain. Mungkin mereka kita perlukan di perjalanan"
"Kita a kan berangkat berlima atau ena m bersama-sa ma?" "Tentu tidak. Biarlah orang-orang itu mendahului kita berpencaran. Tetapi kita berjanji untuk bertemu di luar Kademangan ini" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa ia harus me mpersiapkan se muanya. Kuda, me milih orangorang terbaik dan menyiapkan senjata yang akan mereka bawa, dan senjatanya sendiri. Demikianlah, La mat yang selalu diguncang oleh perasaannya itu menjadi se makin bingung. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di perjalanan. Mungkin Ki Reksatani sudah puas melihat persembunyian Sindangsari. namun mungkin karena kecemasannya, tiba-tiba saja tumbuh keinginannya me mbunuh Sindangsari. "Kalau Ki Reksatani ingin me mbunuh Sindangsari" berkata Lamat di da la m hatinya "sudah pasti, ia yang termasuk orangorang yang dapat menjadi saksi dari pe mbunuhan itu akan dimusnahkannya pula" Tanpa sesadarnya Lamat meraih sehela i golok di dinding biliknya. Jarang sekali golok itu dibawanya keluar. Kadangkadang ia hanya sekedar membawa sehelai parang. Tetapi kali ini, tiba-tiba saja tumbuh ke inginannya untuk me mbawa goloknya. Meskipun golok itu tidak terla mpau panjang, tetapi beratnya hampir dua ka li lipat dari berat pedang biasa Bahkan selain golok itu, La mat telah me nyisipkan pula sehelai pisau belati kecil dipinggangnya. Ia sendiri t idak tahu, kenapa ia menganggap perlu untuk me mbawa senjata-senjata itu. Bahkan ketika mala m menjadi ge lap, dan La mat masih harus pergi ke sawah, senjata-senjata itu sudah dibawanya pula selain cangkul di pundaknya. Seolah-olah di tengah sawah telah pula menunggu bahaya yang akan menganca m jiwanya. Jiwanya yang seolah-olah telah tergadaikan itu.
"Mala m ini aku akan beristirahat di rumah" berkata Manguri "Besok kita akan berangkat lagi. Kaupun harus segera pulang dan tidur. Kita tidak boleh terla mbat bangun" Lamat mengangguk "Aku a kan segera pulang apabila sawah itu sudah penuh. Mungkin kita akan me ningga lkan dua tiga hari, sehingga kita tidak akan dapat mengairinya selama itu. Aku kurang yakin bahwa orang-orang lain, para pe kerja itu dengan sungguh-sungguh akan me lakukan pekerjaan yang menje mukan ini" "Terserahlah kepada mu. Tetapi besok kita akan berangkat menje lang fajar. Kita akan menunggu Ki Reksatani di luar Kademangan" Dengan kepala tunduk La matpun ke mudian melangkahkan kakinya menyelusuri jalan padukuhan pergi ke sawah. Ia hanya menganggukkan kepalanya saja apabila ia bertemu dengan anak-anak muda Ge mulung. Hubungannya dengan anak-anak muda itu tidak begitu baik seperti juga Manguri Tetapi anak-anak muda Ge mulung menganggap bahwa La mat hanyalah sekedar lembu perahan yang bodoh dan tidak bersikap apapun juga. Dengan de mikian, ma ka anak-anak muda Ge mulung justru tidak menumpahkan kebencian mereka kepadanya. Bahkan ada beberapa diantara mereka yang merasa kasihan kepada raksasa yang tidak lebih dari seorang budak itu. Seperti biasanya, orang-orang di Padukuhan Ge mulung berusaha untuk menghindarkan pertengkaran berebutan air. Karena itu, setiap kali mereka saling berbincang, bagaimana ma la m nanti mere ka akan me mbagi air yang tidak terlampau deras mengalir. Dengan de mikian, maka pertengkaran akan dapat dihindari sejauh-jauhnya. Setiap orang tidak berniat sa ma sekali untuk mengingkari persetujuan mereka sehingga dengan de mikian se muanya dapat berlangsung dengan lancar dan ba ik.
Setelah mendapat ketetapan pembagian air, maka Lamatpun segera pergi ke gubugnya. Ia mendapat pembagian air sedikit lewat tengah mala m, sehingga karena itu, ia akan dapat tidur barang sejenak. "Mudah-mudahan aku tidak terlanjur tertidur sampai pagi" desisnya. Tetapi apabila seseorang tertidur dan me mbiarkan a ir yang menjadi bagiannya lewat, kadang-kadang tetangga-tetangga yang mengetahuinya me mbangunkannya juga. Karena merekapun me ngetahui, betapa besarnya nilai air di musim yang kering ini. Tetapi ketika La mat baru saja me mbaringkan dirinya, ia merasa gubugnya bergerak-gerak. Karena itu, ma ka iapun segera bangkit dan memperhatikan keadaan di sekitarnya dengan saksa ma. Telinganya yang tajam segera menangkap desah nafas di bawah gubugnya. Perlahan-lahan. Tetapi cukup je las baginya. Dengan dada yang berdebar-debar La mat menunggu. Siapakah yang sedang berdiri di bawah gubugnya itu. Sudah pasti bukan Manguri. Kalau yang datang itu Manguri, ia akan segera berteriak me manggil, atau dengan segera meloncat naik. Lamat masih menunggu sejenak. Tetapi orang yang berada di bawah gubugnya itu masih tetap berada di te mpatnya. Akhirnya La mat tidak me nunggu lagi. Dari sela-sela alas gubugnya ia mencoba mengintip. Na mun ia tidak dapat me lihat dengan je las siapakah yang berada di bawah gubugnya itu. Ia hanya melihat seseorang berdiri bersandar tiang. Lamat me njadi ragu-ragu sejenak. Na mun ke mudian iapun mencoba menyapa "Siapa yang di bawah?"
Sejenak tidak ada jawaban, sehingga Lamat mengulanginya "Siapa yang di bawah itu?" Ketika orang itu ke mudian menengadahkan wajahnya, Lamat dapat menduganya, bahwa orang itu adalah Pa mot. "Aku La mat" terdengar jawaban. Lamat menarik nafas dalam-da la m. Ia mencoba-menahan gelora yang melonja k-lonja k di hatinya. Tiba-tiba saja Pa mot kini menjadi hantu yang me nakutkan baginya. "Siapakah yang kau cari disini?" La mat bertanya. "Aku mencarimu La mat" "Aku?" "Ya. Turunlah, atau aku akan naik?" Lamat menjadi ragu-ragu sejenak. Ia sadar, bahwa pertanyaan Pamot akan berkisar di sekitar Sindangsari. Sehingga karena itu, iapun ke mudian menjawab "Aku lelah sekali. Aku ingin tidur" "Aku ingin berbicara sedikit saja Lamat. Kalau aku naik, dan Manguri datang setiap saat, maka aku akan diketahuinya datang mene mui kau" "Pergilah" berkata La mat ke mudian. Detak jantungnya serasa menjadi se makin cepat mengguncang isi dadanya "aku tidak se mpat berbicara apapun sekarang" "Sebentar saja. Atau aku akan berteriak dari bawah" "Pergi. Pergilah Pa mot, Jangan me mbuat aku marah" Pamot mengerutkan keningnya. Namun ia tidak segera pergi. Bahkan ia berkata pula "Kau tentu bersedia turun sejenak. Hanya sejenak. Aku akan segera pergi supaya aku tidak mengganggumu disini" "Pergilah sekarang"
"Aku harap kau turun sejenak Lamat, aku tidak me mpunyai tempat lagi untuk bertanya Aku menganggap bahwa pertanyaan ini dapat aku sampaikan kepada mu. Dan aku mengharap kau masih bersedia menolongku" "Cukup. Pertolonganku kepadamu sudah cukup banyak. Sekarang kau jangan mengganggu aku lagi. Aku tidak tahu apa-apa tentang Sindangsari. Aku tidak tahu apa-apa tentang dunia luar dinding ha la man rumah Manguri. Aku tidak tahu apa-apa. Bahkan keadaan di dalam halaman itupun aku tidak mengetahui banyak" "Tetapi aku tidak bertanya tentang Sindangsari La mat" Terasa desir yang tajam tergores di dada Lamat. Sejenak ia merenung. Bahkan ke mudian ia menjengukkan kepalanya. Dilihatnya Pamot kini berdiri di depan tangga. "Kenapa kau se lalu mengge lisahkan aku Pa mot. Kau tahu siapa aku. Tidak seharusnya kau selalu mengejar aku dan menghantui aku dengan pertanyaan-pertanyaanmu yang tidak aku mengerti" "Apakah kau tidak a kan turun?" bertanya Pamot. Lamat menarik nafas dalam-dala m. Namun iapun ke mudian bergeser menepi. Katanya "Baiklah. Aku akan turun. Tetapi jangan bertanya tentang Sindangsari, tentang Ki De mang dan persoalan-persoalan yang bersangkut paut dengan itu" "Ya" "Kau berjanji?" "Ya" Lamat terdia m sejenak. Na mun ke mudian iapun menuruni tangga gubugnya mene mui Pa mot yang masih berdiri di bawah. "Cepat bertanyalah" berkata La mat.
"La mat" sahut Pa mot "Kenapa kau sekarang berubah" Ketika aku berada di dala m kesulitan, di saat-saat aku akan meninggalkan Ge mulung, kau se lalu me lindungi aku. Bahkan kadang-kadang di luar dugaanku dan dapat me mbahayakan dirimu sendiri. Tetapi sekarang kau bersikap sangat berbeda. Apakah aku sudah berbuat kesalahan yang menyinggungmu" Atau barangkali, kau tidak dapat melupakan dosa yang telah aku la kukan di luar sadarku itu?" Dada La mat menjadi se makin berdebar-debar. Namun ke mudian ia me motongnya "Cepat katakan keperluanmu" "Apakah kau tidak mau lagi berbicara dengan tenang dan baik seperti dahulu" "Dia m" La mat tiba-tiba me mbentak "cepat katakan dan cepat tinggalkan te mpat ini. Sebentar lagi Manguri akan datang kemari. Kau tidak a kan dapat bersembunyi lagi" Pamot menarik nafas dalam-da la m. "Ya. Memang mungkin seka li kau sudah terla mpau muak kepadaku. Malam itu kau masih dapat menahan hati. Kau masih se mpat me mberi kese mpatan aku berse mbunyi" "Ya. Sekarang aku sudah benar-benar muak melihat wajahmu. Aku tida k dapat melupakan noda yang me mercik di hatimu. Aku tidak dapat melupakan betapa jahatnya kau ma la m itu. Kau sudah berbuat sesuatu yang tidak pantas dilakukan oleh orang-orang beradab" "Baiklah. Aku minta maaf sekali lagi" "Kenapa kau minta maaf kepadaku. Aku sama sekali tidak berkepentingan dengan kau, dengan Sindangsari dan dengan Ki De mang yang isterinya telah kau nodai. Aku tidak berkepentingan apapun" "Baiklah La mat. Baiklah. Tetapi apakah aku boleh bertanya sesuatu kepadamu. Sebuah pertanyaan saja"
Lamat me ma ndang Pa mot dengan mata yang ge lisah. Dan tiba-tiba ia me mbentak "Cepat, katakan pertanyaanmu itu" "La mat" suara Pamot merendah "kenapa Ki Re ksatani pada ma la m itu datang mene mui Manguri?" Pertanyaan itu serasa menghentakkan seluruh isi dada Lamat. Sejenak ia me mbeku di te mpatnya. Namun sejenak ke mudian ia me mbentak pula "Kau sudah berjanji, kau tidak akan bertanya tentang Sindangsari, Ki De mang atau yang bersangkut paut dengan itu. Kenapa kau me langgar janjimu?" "Aku tidak bertanya tentang Sindangsari, tentang Ki Demang dan yang bersangkut paut dengan itu Lamat. Tetapi aku bertanya, kenapa Ki Reksatani me merlukan mene mui Manguri di mala m hari?" Pamot ha mpir tidak dapat menyelesaikan ka limatnya ketika tiba-tiba saja terasa tangan Lamat mena mpar pipinya, sehingga Pamot terputar ke samping. Bahkan karena kakinya tergelincir, maka iapun ke mudian terjatuh di tanah berlumpur. Sebelum ia se mpat bangkit, ma ka tangan La mat yang kuat telah menerka m bajunya dan menariknya. "Kau gila Pamot. Kau sudah melanggar janjimu. Kau me mbuat hidupku yang pahit ini menjadi sema kin parah" Betapa geramnya tangan Lamat mengguncang tubuh Pamot yang seakan-akan tidak berdaya sama sekali. "Kau tidak berhak me maksa aku menjawab pertanyaanmu yang manapun juga. Karena itu, kau harus segera pergi. Kau jangan me mbuat aku menjadi gila dengan pertanyaanpertanyaan serupa itu. Atau aku harus membunuhmu sebelum aku benar-benar menjadi gila?" Sebelum Pamot menjawab, maka didorongnya tubuh anak muda itu sehingga sekali lagi ia terle mpar dan jatuh di dala m lumpur.
"Pergilah. Dan jangan bertanya apapun juga" Tertatih-tatih Pamot berusaha bangkit. Apalagi setelah ia menjadi bagian dari pasukan Matara m yang melawat ke Betawi. Oleh seorang perwira ia mendapat tuntutan khusus di dalam olah kanuragan. Namun Pa mot sama sekali tidak berusaha melawan. Ia sadar sepenuhnya, bahwa ia tidak akan dapat menang apabila ia sengaja melawan ra ksasa itu. Tetapi lebih daripada itu, Pamot me mang tidak berhasrat sama sekali untuk bertengkar dengan La mat. "Baiklah La mat" berkata Pamot ke mudian "ternyata yang aku jumpa i sekarang bukan La mat yang dahulu" "Dia m, dia m kau" "Ya, ya Lamat. Aku akan diam. Sela mat ma la m. Aku akan pergi. Aku tidak akan kemba li lagi kepada mu, supaya kau tidak merasa terganggu, meskipun aku tidak berniat de mikian" Lamat sa ma sekali tida k menjawab. Ia sama sekali tidak mau lagi me mandang wajah Pa mot yang kotor oleh lumpur. Bahkan ha mpir se luruh tubuh dan pa kaiannya. "Aku akan pergi La mat" Lamat sa ma sekali tidak menjawab. Tetapi ketika Pa mot mulai me langkahkan ka kinya, La mat menggeram "Seharusnya aku bunuh kau. Kau dapat menimbulkan salah paham. Kalau kau me mang melihat Ki Reksatani mene mui Manguri, itu karena Ki Reksatani mencurigainya. Dan setiap saat selalu mendesaknya agar Manguri mengaku bahwa ia telah ikut terlibat di dala m masalah itu" Pamot me mandang La mat dengan tajamnya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. "Tetapi dugaan itu sangat bodoh. Manguri t idak me merlukan pere mpuan itu. Perempuan yang sudah mengandung karena kau dan yang sudah menjadi isteri orang
pula. Manguri dapat menga mbil gadis yang manapun juga. Yang jauh lebih cantik dari Sindangsari"' Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Seakan-akan tanpa disadarinya ia berkata "Ya Lamat. Memang Ki Reksatani bodoh sekali di dala m hal ini" "Dia m, dia m kau. Kau tida k usah turut berbicara" Pamot menarik nafas dalam-dala m. Na mun dengan demikian ia me lihat kegelisahan yang memuncak pada diri Lamat. Kegelisahan yang tidak dapat dise mbunyikannya lagi. Sambil menarik nafas dalam-dala m Pa mot berkata "Sudahlah La mat. Aku akan pergi. Aku tidak akan mengatakan kepada siapapun bahwa aku melihat Ki Reksatani datang ke tempat ini dan me maksa Manguri untuk menga kui sesuatu yang tidak dilakukannya" "Dia m, dia m" La mat ha mpir menjerit. Berbareng dengan itu sekali lagi tangannya mena mpar pipi Pa mot, sehingga Pamot seka li lagi terputar dan jatuh ke dala m lumpur. Perlahan-lahan Pa mot berdiri. Kini terasa darahnya mulai menjadi panas. Bagaimanapun juga, ia tidak akan dapat me mbiarkan dirinya dipukuli tanpa berbuat sesuatu. Sebelum ia se mpat bangkit, ma ka tangan La mat yang kuat telah menerka m bajunya dan menariknya. Tiba-tiba Pa mot menggeretakkan giginya. Selangkah ia maju sa mbil berkata "La mat. Aku percaya bahwa kau dapat me mbunuh aku. Kenapa hal itu tidak kau lakukan" Aku kira itu akan menjadi lebih baik daripada kau seakan-a kan benarbenar telah gila. Apakah kau sadari kelakuanmu itu" Nah. Kalau kau ingin me mbunuh aku, lakukanlah. Ketika aku datang untuk pertama kalinya di Kepandak, selagi aku masih berada di dala m barisan berkuda itu, Ki Demang juga akan me lakukannya. Ki De mang menuduh aku me larikan Sindangsari dan menuntut agar a ku diserahkannya kepadanya.
Tetapi Ki Tumenggung Dipanata tidak mau karena ia tahu, bahwa aku tidak bersalah. Sekarang kau yang agaknya sudah menjadi gila itu akan me mbunuh aku pula, karena aku melihat Ki Reksatani datang mene mui Manguri dan me maksa Manguri untuk menga kui tanpa mela kukan kesalahan seperti, aku" Pamot berhenti sejenak, lalu melangkah lagi ia mende kat "lakukanlah. Kau ma la m ini me mbawa senjata yang mengerikan itu. Sekali ayun, leherku akan lepas dari tubuhku. Kau tinggal menyeret mayatku dan me le mparkannya ke kali. Tidak akan ada orang yang akan menuduhmu. Semua orang pasti akan menyangka bahwa Ki De manglah yang telah me lakukannya atau orang-orang yang disuruhnya seperti ketika aku merayap ke rumah Sindangsari sebelum aku pergi" "Cukup, cukup" La mat tiba-tiba menutup kedua telinganya dengan tangannya. Sama sekali tidak seperti yang diduga oleh Pamot. bahwa Lamat itu akan marah sekali dan mencekiknya sampai mati. Tetapi tiba-tiba La mat menjatuhkan dirinya dan duduk di pe matang sa mbil menutup telinganya rapat-rapat. Pamot menjadi heran. Karena itu, maka iapun justru terdiam. Perlahan-lahan ia mendekati La mat yang duduk sambil me nundukkan kepalanya dala m-dala m. Sejenak mereka saling berdia m diri. Pamot masih berdiri termangu-mangu, sedang La mat duduk terpekur seakan-akan merenungi a ir di bawah kakinya. "Maaf La mat Apakah aku menyakiti hatimu?" desis Pa mot ke mudian "baiklah, aku akan dia m. Aku hanya akan minta diri kepadamu ka lau kau tidak ingin me mbunuh ku. Aku tida k akan mengganggumu lagi" Lamat tidak menjawab. Ia masih mene kurkan kepa lanya. Namun dala m pada itu, dadanya bergejolak dahsyat sekali. Ia sedang diamuk oleh keragu-raguan dan ha mpir kehilangan kesadarannya tentang dirinya sendiri, Lamat hampir tidak dapat mengenal lagi kata-kata hatinya sendiri. Ia tidak tahu, apakah sebenarnya yang kini dikehendakinya, diinginkannya
dan persoalan yang dihadapinya. Dan bahkan ia tidak lagi dapat me mbedakan, mana yang benar dan mana yang tidak benar menurut nuraninya. "Aku sudah menjadi gila Pa mot. Benar-benar gila" desisnya. Pamot mendekatinya dan seperti tanpa disadarinya ia duduk di sa mping raksasa itu "Aku tidak mengetahui dengan pasti, apakah yang sedang bergolak di hatimu. Tetapi kalau semuanya itu karena singgungan kata-kataku, pertanyaanku dan barangkali kecurigaanku, aku minta maaf. Mudahmudahan kau dapat melupakannya" Lamat tidak menjawab. Tetapi kata-kata Pamot itu justru me mbuatnya semakin bingung. Hatinya seakan-akan telah menjadi gelap pekat. Ia tidak tahu lagi jalan yang harus dilaluinya. "Aku me mang sudah gila. Aku benar-benar sudah gila. Aku hanya tinggal mengenal na ma-na ma orang, nama mu, nama Manguri, Ki Reksatani, Ki De mang, Sindangsari, tetapi aku tidak akan dapat me mpunyai tanggapan apapun juga" Pamot mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melihat beban yang terlampau berat di hati raksasa yang jinak itu. "Pamot " tiba-tiba La mat berkata dalam nada yang dalam "kalau kau berdiri di simpang jalan, jalan yang manakah yang akan kau pilih?" Pamot menjadi bingung mendengar pertanyaan itu. Karena itu ia ganti bertanya "Aku tidak mengetahui ma ksudmu dengan pasti La mat. Dan a ku tidak mengena l kedua ujung dari jalan simpang itu, sehingga aku tidak akan dapat me milih" Lamat mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya "Ya, kau tidak mengenal ujung jalan simpang itu. Tetapi manakah yang lebih baik bagimu. Me mbalas budi atau menyelamatkan jiwa seseorang. Aku berhutang budi kepada seseorang yang telah menyela matkan jiwaku Pa mot, tetapi kini aku melihat
Cheng Hoa Kiam 4 Pendekar Wanita Baju Merah Ang I Niocu Karya Kho Ping Hoo Kisah Hantu Goosebumps Ii 1
^