Pencarian

Pelangi Dilangit Singosari 17

01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 17


Ketiga anak-anak muda Panawijen itu menjadi agak tenang. Setidak-tidaknya mereka akan mendapat perlindungan dari pelayan dalam ini. Sebagai seorang pejabat istana, maka ia pasti akan berbuat sesuatu. Bukankah ia seorang yang perkasa menilik sikap dan ketenangannya" Sementara itu, ketiga anak-anak muda itu masih mengharap kehadiran Mahisa Agni. Mungkin bersama-sama Mahisa Agni, maka pelayan dalam itu akan dapat mengalahkan kedua hantu itu. Atau salah satu di antaranya sesudah yang lain dikalahkan oleh hantu itu sendiri.
Sekali-sekali ketiga anak muda itu memandangi tebing sungai yang kelam dan ditutupi oleh rimbunnya dedaunan. Di sana tadi Mahisa Agni menghilang. Dan dari sana pula mereka mengharap Mahisa Agni akan muncul.
Tetapi Mahisa Agni itu tidak segera datang kembali. Sungai itu tebingnya terlalu curam. Memang agak terlalu sulit untuk menuruni dan kemudian mendaki tebing itu di malam hari. Namun beruntunglah ketiga anak-anak muda itu, bahwa tiba-tiba hadir di padang rumput ini seorang pejabat dari istana.
Kedua hantu itu masih bertempur dengan dahsyatnya. Bahkan semakin lama semakin sengit. Hantu yang berkuda itu kini tidak lagi melontar-lontarkan dirinya, dan hantu gila itu sudah tidak melonjak-lonjak lagi sambil memekik-mekik. Mereka bertempur dengan serunya, sebagai sepasang burung elang yang berlaga di udara. Sambar menyambar, patuk-mematuk dengan ujung-ujung senjata masing-masing.
Namun semakin lama pelayan dalam itu melihat, bahwa hantu yang datang berkuda, semakin lama menjadi semakin sulit. Ia terpaksa beberapa kali melontar mundur, dan seolah-olah sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk menyerang hantu itu hanya mampu bertahan dan menghindar.
Pelayan dalam itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan ia sudah dapat menemukan siapakah yang akan memenangkan pertempuran itu. Bahkan ia sedang menilai kesaktian keduanya. Tetapi tiba-tiba pelayan dalam itu tersenyum.
Kedua hantu yang bertempur itu benar-benar telah memeras segenap kemampuan yang ada di dalam diri masing-masing. Namun seperti pengamatan pelayan dalam itu, mereka pun agaknya telah menyadari akhir dari perkelahiannya. Hantu yang datang berkuda itu benar-benar telah terdesak. Beberapa kali ia meloncat surut dan beberapa kali ia mengeluh di dalam hatinya.
Namun tiba-tiba terjadilah sesuatu di luar dugaan. Di luar dugaan pelayan dalam yang menyaksikan perkelahian itu, dan di luar dugaan hantu yang mirip orang gila.
Tiba-tiba saja, hantu yang datang berkuda itu melontar mundur beberapa langkah. Kemudian ujung pedangnya mengungkit tanah berdebu di bawah kakinya di arahkan ke wajah lawannya. Segumpal tanah melontar menghambur ke wajah hantu gila itu. Dengan demikian, maka ia terpaksa berhenti dan berusaha menutup matanya supaya tidak kemasukan debu.
Kesempatan itulah yang ingin didapat oleh hantu berkuda itu. Ketika ia melihat lawannya menutup matanya dan bahkan dengan tangan kirinya mengusapi debu di wajah, cepat-cepat ia berlari dan meloncat ke punggung kudanya. Dengan satu sentakan kuda itu melonjak dan kemudian meloncat berlari meninggalkan perapian, hantu gila dan pelayan dalam yang berdiri keheranan. Namun dengan demikian pelayan dalam itu menyadari keadaan, ia pun siap berlari ke arah kudanya, untuk mengejar hantu berkuda itu. Tetapi alangkah kecewanya. Dengan menggeram ia mengumpat tak habisnya. Hantu berkuda itu sempat menyentuh pantat kuda pelayan dalam itu sehingga kuda itu terkejut dan melonjak melingkar-lingkar.
"Gila!" gerutu pelayan dalam itu sambil berusaha menenangkan kudanya kembali. perlahan-lahan ditepuk-tepuknya leher kudanya dan dengan siulan ia mencoba menguasai kudanya itu. Lambat laun kuda itu dapat ditenangkannya. Namun hantu berkuda yang akan dikejarnya telah menghilang jauh ke tengah-tengah padang rumput. Dalam keremangan cahaya bulan masih tampak lamat-lamat debu yang mengepul. Tetapi untuk mengejarnya, adalah sangat sulit bagi pelayan dalam itu. Jaraknya telah terlampau jauh.
Karena itu maka ia sama sekali tidak berusaha untuk mengejarnya. Kini yang dihadapinya adalah hantu yang gila itu. Hantu yang rambutnya terurai dan sama sekali tidak mempergunakan secarik kain pun kecuali hanya celananya yang disangkuti dedaunan dan sulur-sulur perdu.
Sesaat mereka berdiri dengan tegangnya. Hantu gila itu masih menggenggam pedangnya. Selangkah ia maju, dan sambil tertawa ia berkata melengking, "Kenapa tidak kau kejar orang yang mencoba menamakan diri Hantu Karautan itu?"
Pelayan dalam itu tertawa. Wajahnya kini sudah tidak tegang lagi. ia pun melangkah maju sambil menjawab, "Kenapa kau juga tidak mengejarnya?"
"Aku tidak membawa kuda," jawab hantu itu.
"Apakah hantu memerlukan kuda?" sahut pelayan dalam.
Hantu itu terdiam sesaat. Diamat-amatinya pelayan dalam yang berdiri tegak dalam pakaian yang lengkap dan pedang di lambungnya.
"Apa kerjamu di sini," bertanya hantu itu.
"Melihat hantu-hantu berkelahi," jawabnya.
"Hanya ada satu hantu di padang Karautan. Kau lihat, orang yang menamakan dirinya hantu itu telah pergi."
"Itulah yang ingin aku ketahui. Siapakah yang sebenarnya hantu Karautan. Kau atau yang terpaksa lari berkuda itu?"
Hantu itu ragu-ragu sejenak. Ditatapnya wajah pelayan dalam itu dengan seksama. Baru kemudian terdengar jawabnya melengking, "Aku. Akulah hantu Karautan."
Pelayan dalam itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Apa yang akan kau lakukan sekarang sesudah orang yang menamakan hantu itu pergi?"
Kembali hantu itu ragu-ragu sejenak. Kemudian dipalingkannya wajahnya memandangi ketiga anak-anak muda Panawijen yang ketakutan itu. Namun kini hati mereka telah agak tenteram.
Sebab mereka akan dapat mencari perlindungan kepada pelayan dalam yang perkasa dan meyakinkan itu.
Meskipun demikian ketiga anak-anak muda itu terkejut bukan buatan ketika hantu itu menjawab, "Aku kini akan menikmati kemenanganku."
Pelayan dalam itu mengerutkan keningnya, kemudian terdengar ia bertanya, "Apakah yang kau dapatkan dari kemenangan itu?"
"Ketiga anak-anak muda itu akan menjadi korbanku. Korban hantu Karautan."
Sekali lagi pelayan dalam itu mengerutkan keningnya, dan sekali lagi hati ketiga anak muda Panawijen menjadi berdesir.
"Apa yang akan kau lakukan?"
Hantu Karautan itu memiringkan kepalanya. Kemudian dengan suara melengking ia menjawab, "Menghisap darahnya."
"Tuan," terdengar Sinung Sari memekik kecil, "Tolonglah kami."
Pelayan dalam itu menarik nafas. Sekali dipandangnya wajah ketiga anak-anak muda yang ketakutan.
Ketiga anak-anak muda itu menggigil ketika ia mendengar pelayan dalam itu berkata, "Nah, hantu itu tinggal satu. Apakah kalian bertiga tidak berani melawannya?"
Jinan yang gemetar berkata tergagap, "Tolonglah kami. Kami tidak pernah berkelahi. Apalagi melawan hantu."
"Jangan banyak bicara," teriak hantu gila itu, "sekarang kalian satu demi satu, bersimpuh di hadapanku. Aku akan menghisap darahmu lewat tengkukmu."
Dan kepada pelayan dalam hantu itu berkata, "Bukankah begitu kebiasaan hantu-hantu. Menghisap darah lewat tengkuk korbannya yang harus bersimpuh sambil menundukkan kepalanya?"
Pelayan dalam itu menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian sahutnya. "Kenapa kau bertanya kepadaku?"
Terdengar hantu itu menggeram. Kemudian suara tertawanya melonjak tinggi. Berkepanjangan membelah kesepian Padang Karautan.
Tanpa dikehendakinya pelayan dalam itu pun tersenyum. Tetapi segera ia membentak, "He, kenapa kau tertawa?"
Hantu itu menjawab, "Kau pun akan menjadi korban yang seharga. Ayo, apakah kau yang pertama-tama akan duduk bersimpuh di hadapanku sambil menundukkan kepala?"
"Aku datang terakhir. Karena itu, kalau kau kehendaki, aku adalah korban yang terakhir."
"Bagus. Bagus. Sekarang biarlah ketiga anak-anak muda itu dahulu."
"Tuan," Patalan menjerit, "tolonglah kami Tuan. Bukankah Tuan telah sanggup?"
"Kenapa kalian menjadi ketakutan menghadapi hantu yang hanya satu ini," bertanya pelayan dalam itu, "bukankah kalian bertiga dan bersenjata?"
"Aku tidak. Senjatakulah yang dibawa oleh hantu itu."
"Oh, kalau demikian, biarlah senjata itu aku minta untukmu. Atau kau ingin memakai senjataku?"
"Tidak Tuan," minta Jinan, "tuan akan menolong kami."
"Baik. Aku akan menolong kalian, kalau kalian telah berbuat sesuatu. Karena itu, lawanlah hantu itu, nanti kalau kalian ternyata tidak mampu, biarlah aku melawannya."
Ketiga anak-anak itu terdiam. Namun tubuhnya menggigil karena ketakutan. Hanya sorot mata merekalah yang berbicara. Mohon belas kasihan pelayan dalam yang perkasa itu.
"Bagaimana?" bertanya pelayan dalam itu.
Mulut ketiga anak-anak muda Panawijen itu seakan-akan telah terbungkam. Mereka sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk berbuat sesuatu. Apalagi melawan hantu itu.
Tetapi tiba-tiba adalah seorang dari mereka teringat, bahwa mereka sedang menunggu Mahisa Agni. Mereka mengharap bahwa Mahisa Agni itu akan segera kembali. Karena itu maka katanya kepada pelayan dalam itu. "Tuan Kami mempunyai seorang kawan lagi. Kalau kawan kami itu segera datang, maka kami mengharap, bahwa ia akan dapat berbuat sesuatu. Karena itu Tuan, kami mengharap Tuan menolong kami sampai kawan itu datang."
Pelayan Dalam itu mengerutkan keningnya, "Siapakah yang kau maksud?"
"Mahisa Agni, Tuan," jawab Patalan, "seperti yang sudah kami katakan."
"Apakah kau pasti bahwa ia akan datang?"
"Pasti, Tuan. Ia akan segera datang."
Pelayan dalam itu berpaling kepada hantu yang gila itu. Katanya, "Apakah kau sudah bertemu dengan seorang anak muda yang bernama Mahisa Agni di tebing sungai" Atau barang kali darahnya sudah kau hisap pula?"
Sebelum hantu itu menjawab, terdengar Sinung Sari berkata, "Tuan, Mahisa Agni berkata, bahwa ia sudah kenal dengan hantu Karautan."
Hantu itu sesaat berdiam diri. Hanya matanya sajalah yang tampak berkedip-kedip di atas secarik kain yang menutupi wajahnya.
"Bagaimana," desak pelayan dalam itu, "bagaimana dengan Mahisa Agni. Apakah sudah kau hisap darahnya, apakah betul kata anak muda itu, bahwa Mahisa Agni telah mengenal hantu Karautan?"
Hantu itu mengangguk-angguk, kemudian terdengar ia menggeram.
"Bagaimana sebaiknya," katanya kepada pelayan dalam itu, "apakah sebaiknya aku minum darahnya atau tidak?"
"Kenapa kau bertanya kepadaku?" sahut pelayan dalam itu.
"Kau lebih tahu, apa yang harus dilakukan oleh hantu Karautan," jawab hantu itu.
"Jangan mengigau!" bentak pelayan dalam itu, tetapi kemudian ia tersenyum. Hantu itu pun tertawa melengking.
Ketiga anak-anak muda Panawijen menjadi semakin tidak mengerti. Kenapa pembicaraan keduanya terasa bersimpang siur tak menentu. Bahkan kemudian hantu Karautan itu berkata, "Lalu, bagaimana dengan ketiga anak-anak muda itu?"
Dada ketiga anak-anak muda Panawijen itu menjadi kembali bergetaran. Harapannya untuk mendapat perlindungan pelayan dalam itu semakin tipis. Bahkan kemudian timbullah ketakutan yang lain di dalam hatinya, apakah yang berpakaian pelayan dalam itu hantu pula yang sedang menyamar"
Dalam ketakutan itu ia mendengar pelayan dalam berkata, "Apapun yang akan kau lakukan, perhitungkanlah baik-baik. Apabila Mahisa Agni nanti datang, maka kau harus bertanggung jawab kepadanya."
Hantu gila itu memiringkan kepalanya, kemudian terdengar ia bertanya kepada anak-anak muda Panawijen, "Apakah betul Mahisa Agni akan datang kemari?"
Tiba-tiba tanpa sesadarnya Patalan menyahut, "Ya. Ia pasti akan datang kemari."
"Omong kosong!" teriak hantu itu.
"Benar," sahut Sinung Sari dan Jinan hampir bersamaan, "Ia pasti akan datang."
Tiba-tiba hantu itu menjadi gelisah. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling. Kemudian katanya, "Kau hanya ingin menakut-nakuti aku."
"Tidak. Sebenarnya ia akan datang."
Hantu itu menjadi semakin gelisah. Tiba-tiba ia meloncat berlari meninggalkan tempat itu sambil berteriak nyaring. "Lebih baik aku pergi sebelum Mahisa Agni datang. Meskipun hantu Karautan tidak takut terhadap siapa pun, namun aku tak mau bertengkar dengan Mahisa Agni itu."
Kemudian kepada pelayan dalam itu ia berkata lantang, "Bukankah begitu" Bukankah hantu padang Karautan tidak takut kepada siapa pun juga. Kepada hantu berkuda yang lari itu, dan kepada Mahisa Agni?"
"Gila!" gumam pelayan dalam itu. Tetapi ia tidak menjawab. Dibiarkannya hantu gila itu berlari melonjak-lonjak dan kemudian menghilang dibalik gerumbul-gerumbul liar yang bertebaran di padang itu.
Ketiga anak-anak muda Panawijen memandangi hantu yang gila itu dengan berdebar-debar. Mudah-mudahan apa yang dikatakan itu benar. Meskipun ia tidak takut kepada Mahisa Agni, namun ia tidak akan mau menemui dan bertengkar dengannya.
Tetapi sepeninggal hantu itu, ketiga anak-anak muda Panawijen menjadi gelisah pula karena pelayan dalam yang aneh itu. Apakah benar di malam hari yang sepi ada seorang pelayan dalam berkeliaran di padang Karautan ini" Apakah pelayan dalam ini bukan sekedar hantu yang lain yang sedang menyamar, bahkan lebih berbahaya dari hantu yang lari itu" Kalau demikian maka pasti ada lebih dari satu hantu di padang ini, seperti hantu yang dikatakan oleh Mahisa Agni tidak akan lagi berada di padang ini, namun ternyata masih ada hantu-hantu yang lain yang berkeliaran.
Dalam kecemasan dan kegelisahan itu, mereka bertiga melihat pelayan dalam itu datang kepada mereka sambil tersenyum-senyum. Meskipun pelayan dalam itu tersenyum, namun senyumnya itu sama sekali tidak memberi ketenangan kepada mereka seperti ketika ia baru datang.
Tiba-tiba pelayan dalam itu bertanya, "Kau belum mengenal hantu padang Karautan?"
Pertanyaan itu menjadi semakin mendebarkan hati mereka. Dengan terbata-bata Patalan menjawab, "Belum Tuan. Baru kali ini aku melihat mereka berdua bertempur."
Pelayan Dalam itu tertawa. Katanya, "Kenapa kalian menjadi sangat ketakutan?"
"Kami tidak pernah bertemu dengan hantu."
"Seharusnya kalian tidak takut. Bukankah kalian laki-laki yang tegap dan gagah?"
"Tetapi hantu-hantu adalah makhluk yang sakti."
"Kau percaya?" Ketiga anak-anak muda itu mengangguk bersama-sama. Karena itulah maka orang yang berpakaian pelayan dalam itu tertawa terbahak-bahak.
"Terlalu," katanya, "kalian adalah penakut-nakut yang sama sekali tidak percaya kepada diri sendiri. Seharusnya kalian berusaha untuk melindungi diri kalian dengan ketegapan dan kekekaran tubuh kalian. Aku kira tenaga kalian tidak akan kalah dengan tenaga hantu yang paling dahsyat sekalipun seandainya kalian berusaha."
Ketiganya tidak menjawab. Namun darah mereka serasa berhenti ketika tiba-tiba mereka mendengar pelayan dalam itu berkata lantang, "Akulah sebenarnya hantu Karautan."
Orang yang berpakaian lengkap sebagai seorang hamba istana itu bertolak pinggang. Dengan sinar yang tajam menusuk jantung, dipandanginya ketiga anak-anak Panawijen yang hampir menjadi pingsan.
"Nah. Apakah kalian tidak percaya bahwa akulah sebenarnya hantu Karautan" Lihat, kedua orang yang mengaku-ngaku hantu itu semuanya telah melarikan dirinya. Dan bukankah kau dengar hantu yang terakhir itu mengatakan bahwa aku lebih tahu apa yang harus dilakukan oleh hantu Karautan," berkata orang itu lebih lanjut.
Darah ketiga anak-anak muda Panawijen itu seakan-akan sudah benar-benar membeku, sehingga mereka sudah tidak dapat memberikan tanggapan apapun atas pertanyaan orang itu. Hanya mata mereka sajalah yang berkedip-kedip dan nafas merekalah yang berkejaran semakin cepat.
Tetapi tiba-tiba, dari balik gerumbul di hadapan mereka, sekali lagi mereka melihat sesosok bayangan yang berjalan semakin lama semakin dekat menjinjing bumbung bambu.
Dengan serta-merta hampir bersamaan, ketiga anak muda Panawijen itu berdesis, "Agni. Mahisa Agni telah datang."
Orang yang berpakaian dalam itu mengerutkan keningnya, "Apa" Kau menyebut-nyebut nama Mahisa Agni?"
"Ya. Mahisa Agni telah datang," jawab mereka bersamaan. Wajah-wajah mereka tiba-tiba menjadi agak cerah dan harapan timbul kembali di dalam dada mereka.
Sebenarnya orang yang datang itu adalah Mahisa Agni.
Orang yang berpakaian hamba istana dan menamakan diri hantu Karautan pula itu pun berpaling. ia pun segera melihat Mahisa Agni berjalan ke arah mereka. Semakin lama semakin dekat.
"Itukah yang kau sebut Mahisa Agni," geram pelayan dalam itu.
"Ya." Pelayan dalam itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandangnya sosok tubuh yang semakin dekat itu.
Mahisa Agni, yang berjalan dengan tenangnya, segera sampai pula di antara anak muda Panawijen yang masih menggigil ketakutan. Dengan heran Mahisa Agni memandang wajah-wajah mereka, sehingga kemudian ia bertanya, "Kenapa kalian menggigil seperti orang kedinginan?"
Sinung Sari menunjuk kepada orang yang berpakaian pelayan Dalam itu sambil berkata gemetar, "Hantu Karautan."
"He?" Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
Sekali lagi Sinung Sari menunjuk orang itu. Tetapi mulutnya terbungkam.
Mahisa Agni kemudian meletakkan barang-barang yang dijinjingnya. Bumbung-bumbung bambu dan sebilah pedang terhunus. Sedang pedangnya sendiri masih tergantung di lambungnya.
"Benarkah kau hantu padang Karautan," bertanya Mahisa Agni.
Pelayan dalam itu mengangguk sambil bertolak pinggang, "Ya, Akulah hantu Karautan."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian selangkah ia maju. Sambil tersenyum ia berkata, "Bagus. Adalah kebetulan sekali aku dapat bertemu dengan hantu padang Karautan. Duduklah!"
Pelayan dalam yang menamakan dirinya hantu padang Karautan itu tertegun sejenak. Namun Mahisa Agni telah mendahului duduk di samping perapian, di antara barang-barangnya yang berserakan.
"Duduklah!" ia mempersilakan sekali lagi.
Ketiga anak muda Panawijen itu terbelalak ketika mereka melihat, hantu itu pun kemudian duduk di samping Mahisa Agni.
"He, kemarilah!" panggil Mahisa Agni sambil berpaling kepada ketiga kawan-kawannya, "mungkin kau belum mengenal hantu ini. Aku mula-mula agak lupa melihat tampangnya yang gagah. Tetapi akhirnya aku dapat mengenalnya meskipun ia menyamar sebagai pelayan dalam Istana Tumapel."
Sesaat ketiga kawan-kawannya saling berpandangan Namun kembali terdengarlah Mahisa Agni memanggil, "Kemarilah! Hantu ini sama sekali tidak menakutkan. Ia adalah hantu yang baik hati."
Ketika mereka melihat Mahisa Agni sama sekali tidak menjadi cemas dan tegang menghadapi hantu itu, maka perlahan-lahan mereka bertiga pun beringsut maju mendekati perapian. Satu demi satu mereka duduk di belakang Mahisa Agni.
"Inilah hantu itu sebenarnya," berkata Mahisa Agni, "kenapa kalian menjadi sangat ketakutan. Apakah hantu ini sudah menyakiti atau menakut-nakuti kalian."
Ketiga anak muda itu menggeleng.
"Sudah aku katakan. Hantu Karautan sama sekati tidak menakutkan. Bahkan sekarang kau dapat membuktikan sendiri, bahwa hantu itu benar-benar berwajah tampan setampan Panji Asmara Bangun."
"Ah," desis hantu itu sambil tersenyum.
Ketiga anak-anak muda Panawijen sama sekali tidak mengerti, bagaimanakah sebenarnya persoalan yang mereka hadapi. Karena itu, setelah hatinya agak tenang, Sinung Sari berkata, "Agni. Kalau yang satu ini benar-benar hantu pula, maka ada tiga hantu di padang Karautan ini."
"He," Mahisa Agni berpaling, "tiga hantu?"
"Ya. ketiga-tiganya baru saja berkumpul di sini. Mengitari perapian itu."
"Ah," sahut Agni, "apakah hantu-hantu itu kedinginan?"
Sinung Sari memandang hantu berpakaian pelayan dalam itu dengan sudut matanya. Kemudian katanya, "Bertanyalah kepadanya."
"Kepada siapa?" bertanya Mahisa Agni.
"Kepada hantu itu," sahut Sinung Sari.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera bertanya tentang hantu-hantu itu. Tetapi kepada kawan-kawannya ia berkata, "Apakah kalian tidak haus. Minumlah. Jalan menuruni tebing itu sangat sulit, sehingga aku harus sangat berhati-hati."
Kawan-kawan Mahisa Agni itu sama sekali tidak merasa haus, karena perasaan mereka yang masih dicengkam oleh ketakutan atas apa yang sedang dihadapinya. Karena itu mereka sama sekali tidak ada minat untuk menyentuh bumbung Mahisa Agni.
"Apakah kalian tidak haus?" sekali lagi Mahisa Agni bertanya.
Patalan memandangi wajah Agni dengan penuh pertanyaan yang membayang. Sekali-sekali anak muda itu menggigit bibirnya, dan sekali-sekali dicobanya untuk menatap wajah pelayan dalam yang seakan-akan penuh menyimpan rahasia. Rahasia padang rumput Karautan.
Mahisa Agni melihat pertanyaan yang bergelut di dalam dada kawan-kawannya. Namun ia tidak segera menjelaskan siapakah yang menyebut dirinya hantu Karautan yang sedang menyamar sebagai pelayan dalam itu, bahkan ia bertanya, "Jadi menurut kata kalian, di sini tadi ada tiga hantu yang berkumpul bersama-sama?"
Ketiga kawannya serentak mengangguk. Dan terdengar Jinan berkata, "Ya, bertiga. Satu di antaranya adalah yang masih tinggal itu."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apakah yang mereka kerjakan di sini?" bertanya Agni pula.
"Yang dua saling berkelahi. Yang satu itu datang kemudian," sahut Jinan.
"Lupakanlah hantu yang dua itu. Mereka tidak akan berani mengganggu kalian, selagi hantu yang baik hati ini masih di sini," gumam Mahisa Agni seolah-olah kepada dirinya sendiri.
Tetapi gumam itu masih belum menjawab pertanyaan yang bergelut di dalam dada anak-anak muda Panawijen itu. Sehingga akhirnya Sinung Sari bertanya perlahan-lahan, "Bagaimana Agni. Apakah kau tidak bertanya kepadanya, tentang kedua hantu yang lain itu?"
Mahisa Agni mengangguk. "Baik," jawabnya, "tetapi apakah kalian tidak ingin mendengar nama hantu yang satu ini?"
Anak-anak muda Panawijen itu saling berpandangan, memang hantu-hantu pun biasanya memiliki sebuah nama. Karena itu, maka serentak mereka menyahut, "Ya."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat hantu yang berpakaian lengkap sebagai seorang hamba istana itu tersenyum sambil berdesah, "Ah. Ada-ada kau ini Agni."
"Bukankah kau hantu padang ini, Hantu yang berhak mendapat segala macam gelar untuknya. Hantu yang tampan. Hantu yang mengerikan, menakutkan dan sekarang hantu yang baik hati" Bukan hantu-hantu yang lain-lain."
"Sekehendakmulah," sahut pelayan dalam itu.
"Nah, dengarlah," berkata Mahisa Agni, "bukankah sudah aku katakan bahwa aku sudah mengenal hantu Karautan yang sebenarnya ini" Kalau ada hantu-hantu yang lain, maka hantu-hantu itu pasti bukan hantu yang sebenarnya. Hantu yang sebenarnya tidak akan membiarkan daerahnya menjadi sumber malapetaka. Karena itu sebagaimana kau lihat, hantu ini hadir pula di sini menyelamatkanmu. Sebab hantu-hantu yang lain itu pun telah pergi."
Jantung Jinan, Patalan dan Sinung Sari menjadi berdebar-debar. Mereka ingin segera tahu nama hantu yang tampan itu. Tetapi mereka tidak bertanya, seakan-akan mereka takut kalau-kalau pertanyaannya tidak menyenangkan hati hantu itu.
Mahisa Agni pun kemudian meneruskan, "Bukankah kau ingin tahu nama hantu itu" Baiklah. Dengar, namanya Ken Arok."
Ketiga anak-anak muda Panawijen itu mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu berdesir di dalam dada mereka. Ken Arok. Namun namanya itu masih asing bagi mereka.
Mahisa Agni sejenak berdiam diri. Ia ingin melihat getaran apakah yang timbul di dalam dada kawan-kawannya itu setelah mereka mendengar nama hantu itu. Namun Mahisa Agni hanya melihat wajah-wajah itu berkerut. Sesudah itu tidak ada tanggapan apapun lagi.
Ternyata kawannya belum pernah mendengar nama Ken Arok. Nama itu akan sama artinya bagi kawan-kawannya apabila ia menyebut nama yang lain. Witantra misalnya, atau Mahendra atau Kebo Ijo atau siapa pun. Sebab nama-nama itu pun pasti belum pernah mereka dengar. Tetapi apabila Mahisa Agni menyebutkan nama hantu berkuda yang melarikan diri itu, pastilah mereka akan terkejut sekali.
Ken Arok sendiri menarik nafas dalam-dalam ketika sama sekali tidak tampak persoalan-persoalan yang tumbuh karena namanya. Mula-mula ia menjadi bimbang. Mungkin namanya sudah dikenal oleh ketiga anak-anak muda itu dahulu sebagai orang buruan, sebelum ia bersembunyi di padang Karautan. Dan menyebut dirinya dan disebut orang hantu padang Karautan.
"Bukankah sekarang telah kalian saksikan sendiri," berkata Mahisa Agni, "bahwa hantu Karautan adalah hantu yang baik hati. Dan seandainya ada hantu-hantu yang lain, maka hantu-hantu yang lain dan jahat itu sama sekali bukan hantu Karautan."
"Siapakah mereka itu?" perlahan-lahan terdengar Sinung Sari bertanya.
"Hantu tiruan," sahut Agni cepat-cepat, "dan bukankah nyata bahwa tak ada satu pun dari mereka yang berani melawan hantu ini?"
Ketiga anak muda itu mengangguk-angguk.
"Hantu ini pun kini telah menjelma menjadi seorang manusia biasa. Ia sama sekali tidak sedang menyamar sebagai pelayan dalam Istana Tumapel. Tetapi ia benar-benar menjadi pelayan dalam."
Ketiga anak-anak muda itu menjadi beragu sejenak. Mereka tidak dapat mengerti bagaimana seorang pelayan dalam istana itu sebenarnya adalah hantu.
Mahisa Agni melihat keragu-raguan itu. Karena itu ia menjelaskan, "Jangan ragu-ragu akan keteranganku. Ken Arok bukan hantu. Ia adalah seorang manusia biasa. Hantu Karautan itu sama sekali tidak ada."
Ketiga kawan Mahisa Agni menjadi bingung. Sekali-sekali mereka saling berpandangan, namun sekali-sekali mata mereka berpindah-pindah dari Mahisa Agni kepada Ken Arok berganti-ganti.
Apalagi ketika Mahisa Agni itu berkata seterusnya, "Yang dua, yang bertempur itu pun sama sekali bukan hantu. Mereka hanya ingin menakut-nakuti kalian dan menamakan diri mereka hantu padang Karautan."
"Jadi siapakah mereka itu?" sela Patalan.
Mahisa Agni diam sesaat. Ditatapnya wajah ketiga kawan-kawannya berganti-ganti dan sesaat kemudian ditatapnya wajah Ken Arok yang duduk di sampingnya. Dilihatnya wajah ketiga kawannya itu menjadi tegang karena kebingungan yang semakin mendesak di dalam dada mereka.
Baru sesaat kemudian Mahisa Agni berkata, "Apakah kau juga ingin tahu siapakah yang datang berkuda dan menamakan dirinya hantu Karautan itu?"
Ketiga kawan-kawannya mengangguk.
"Orang itulah yang telah membuat bencana selama ini," desis Mahisa Agni, "Pasti orang itu pula yang telah melakukan pencegatan di padang rumput Karautan beberapa hari yang lalu seperti berita yang kau katakan pada saat kita akan memasuki padang ini."
Ketiga kawan-kawannya mengangguk.
"Seharusnya kau mengenalnya," berkata Mahisa Agni pula, "seperti hantu jadi-jadian itu mengenal namamu. Bukankah hantu itu mengenalmu, mengenal namamu satu persatu?"
Jinan, Patalan dan Sinung Sari mengangguk, tetapi mereka menjadi semakin bingung. Bagaimana mungkin mereka dapat mengenal nama hantu itu, meskipun hantu jadi-jadian sekalipun"
Namun mereka hampir menjadi pingsan ketika Mahisa Agni benar-benar menyebut nama hantu itu, katanya, "Nah, ketahuilah, hantu itu bernama Kuda Sempana."
"Kuda Sempana?" berbareng ketiga anak-anak muda Panawijen itu mengulangi nama itu.
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum, "Ya, hantu itulah Kuda Sempana."
Sesaat ketiga anak muda itu diam mematung. Sesaat mereka tenggelam dalam perasaan yang aneh. Kuda Sempana. Bagaimana mungkin anak itu berada di padang rumput dalam pakaian yang tak teratur dan kusut. Bukankah anak muda itu berada di istana.
Dengan penuh kebimbangan Sinung Sari bertanya, "Mahisa Agni. Apakah mungkin terjadi, Kuda Sempana yang perkasa itu berada di padang ini" Bukankah ia berada di Tumapel?"
"Orang itu sebenarnya Kuda Sempana," jawab Mahisa Agni, "Tetapi aku tidak tahu, apa sebabnya ia berada di padang ini. Mungkin Ken Arok dapat menjawab pertanyaan itu, dan mungkin Ken Arok pun akan dapat mengatakan, kenapa ia sendiri pun berada di padang ini pula."
Ken Arok tersenyum. Jawabnya, "Mungkin aku dapat mengatakan kepada kalian, kenapa Kuda Sempana berada di padang rumput ini, meskipun apa yang aku ketahui pun tidak terlalu banyak. Yang paling aku ketahui tentang diriku sendiri, kenapa aku berada di padang rumput ini."
"Ya. Juga tentang dirimu," sahut Agni.
"Aku datang kembali ke padang rumput ini karena aku juga mendengar bahwa hantu padang Karautan telah timbul kembali," berkata Ken Arok, "adalah benar-benar menyinggung perasaanku, bahwa hantu yang telah hilang itu datang kembali di padang ini untuk melakukan pekerjaannya. Karena itulah, maka aku minta izin kepada atasanku untuk berusaha menangkap hantu itu."
Mahisa Agni tertawa mendengar keterangan Ken Arok, katanya, "Bukankah kau merasa bahwa pekerjaanmu disaingi?"
Ken Arok tersenyum. Jawabnya, "Tentu. Orang masih akan tetap menyangka bahwa hantu yang dahulu itu pulalah yang datang kemudian."
"Apakah pemimpinmu tahu, bahwa hantu yang dahulu bernama Ken Arok?"
"Tidak seorang pun tahu, selain Empu Purwa bersama muridnya. Dan kini, karena kau, ketiga kawan-kawanmu itu tahu pula."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Kau mendapat izin itu agaknya. Tetapi kau belum berhasil menangkap hantu itu."
"Ya. Tetapi aku sudah melihat hantu itu dan aku dapat mengenalnya pula, setelah beberapa malam aku berkeliaran di padang ini."
"Tetapi kenapa kau tertarik ke tempat ini" Bukankah daerah perburuan hantu-hantu itu tidak di sini?"
"Aku melihat api. Barangkali karena api itu pula, maka hantu itu datang kemari."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berpaling kepada kawan-kawannya. Katanya, "Nah, sekarang kau dengar serba sedikit cerita tentang hantu Karautan. Sekarang kau akan percaya bahwa hantu itu bernama Kuda Sempana?"
Ketiga kawannya pun mengangguk-angguk pula. Tetapi tiba-tiba Patalan bertanya, "Tetapi hantu itu ada dua."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya.
"Dua?" ia mengulang.
"Ya. Dua," sahut Sinung Sari, "yang satu yang kau sebut bernama Kuda Sempana itu. Ia datang berkuda dan menakut-nakuti kami. Hantu itu akan membunuh kami berdua, dan membiarkan salah seorang dari kami tetap hidup, namun tubuhnya akan dijadikan cacat. Kemudian datang hantu yang kedua. Hantu yang aku sangka orang gila. Keduanya bertempur sampai hantu yang ketiga itu datang."
"Itu bukan hantu," potong Mahisa Agni, "sudah aku katakan ia memang bekas hantu. Tetapi sekarang tidak."
Ken Arok tersenyum, dan Sinung Sari membetulkan kata-katanya, "Ya. Maksudku Tuan yang bernama Ken Arok itu datang. Dan Tuan itu pun tahu, bahwa memang ada hantu yang lain selain Kuda Sempana."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya berkali-kali seakan-akan ia mencoba untuk mengetahui dengan pasti kata-kata Sinung Sari itu, bahwa ada hantu lain yang telah datang di tempat ini. hantu yang menurut Sinung Sari adalah hantu yang mirip dengan orang gila.
Tetapi Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan kawannya itu. Bahkan kemudian ditatapnya gerumbul-gerumbul di kejauhan dan kemudian ditatapnya pula bulan yang berwarna kekuning-kuningan, di belakang awan tipis yang mengalir dengan lesu ke tenggara.
Suasana di padang rumput itu sejenak dicengkam oleh kesenyapan. Masing-masing terdiam sambil memandang api di perapian yang telah padam. Hanya bara-bara kayunya sajalah yang masih memancar kemerahan.
Yang terdengar kemudian adalah Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berdiri mengambil beberapa potong bekal makanannya dan kemudian ditaruhkan di hadapan Ken Arok, katanya. "Apakah kau juga mau makan makanan pedesaan seperti ini?"
Ken Arok tersenyum. Diambilnya sepotong makanan dan langsung dimasukkan ke dalam mulutnya.
Jinan, Patalan dan Sinung Sari memandangi mereka berdua dengan penuh kebimbangan. Seakan-akan ada sesuatu yang tersimpan di dalam diri mereka. Sebuah rahasia yang tidak mereka mengerti. Demikian desakan keinginan mereka untuk mengetahui, maka sekali lagi Sinung Sari bertanya perlahan-lahan, "Agni. Kau belum menjawab pertanyaanku."
Mahisa Agni berpaling. Tampaklah keningnya berkerut. Jawabnya, "Tak ada yang menarik yang dapat kau ketahui dari hantu-hantuan itu. Yang perlu kau ketahui sudah aku katakan. Yang ada di sini sekarang inilah yang dahulu bernama hantu Karautan, meskipun itu pun hanya hantu jadi-jadian. Ia adalah seorang manusia biasa, seperti aku, seperti kalian. Dan hantu yang datang berkuda itu adalah Kuda Sempana. Juga seorang manusia biasa. Seperti aku, seperti kalian. Itulah yang penting. Yang lain-lain sama sekali tidak ada hubungannya dengan kalian dan kalian pasti tidak akan mengenalnya."
Patalan mengerutkan dahinya. Mungkin ia belum mengenal hantu yang gila itu. Tetapi ia masih juga berkeinginan untuk mendengar serba sedikit tentang hantu-hantuan itu. Maka katanya, "Tetapi ia datang juga kemari dan menamakan dirinya hantu padang Karautan, bahkan dapat mengalahkan Kuda Sempana. Atau barangkali Tuan sudah mengenalnya?" bertanya Patalan kepada Ken Arok.
"Sudah," sahut Ken Arok sambil tersenyum, "aku mengenalnya menilik caranya memutar pedang dan melontarkan kakinya."
"Ah," desah Mahisa Agni, "terlalu banyak yang ingin kau ketahui Patalan. Jangan menyebut-nyebut tentang dirinya. Mungkin ia akan datang lagi dan mengganggu kalian."
"Bukankah sekarang kau ada di sini dan Tuan Ken Arok, yang berhak mendapat sebutan hantu Karautan itu ada pula?"
"Sebenarnya aku sama sekali tidak berbangga atas sebutan itu," sahut Ken Arok.
"Oh, maafkan kami," potong Patalan cepat-cepat.
"Aku tidak apa-apa. Tetapi mungkin sebutan itu akan sangat menyenangkan bagi hantu-hantuan itu."
"Tetapi siapakah dia?" desak Sinung Sari pula.
Sekali lagi Ken Arok tersenyum. Senyum yang memancarkan rahasia yang justru menjadikan ketiga anak-anak muda Panawijen semakin ingin tahu.
"Hantu yang satu itu," berkata Ken Arok, "adalah yang lebih dekat dari kalian. Ia adalah Bahu Reksa Panawijen."
Ketika anak-anak muda Panawijen itu mengerutkan keningnya. "Bahu Reksa Panawijen. Apakah artinya?"
Ken Arok kini tertawa kecil. Dipandanginya wajah Agni yang berkerut. Bahkan Ken Arok itu berkata pula, "Kau tahu Bahu Reksa Panawijen. Ia lebih dahsyat dari hantu Karautan."
Sinung Sari mengangguk-angguk. Tetapi ia melihat Ken Arok masih tertawa, sehingga katanya, "Bagaimanakah sebenarnya?"
Ken Arok itu kemudian bertanya kepada Patahan, "He, di mana pedangmu?"
Patalan terkejut mendengar pertanyaan itu. Dengan serta-merta ia menjawab, "Diambil hantu yang mirip dengan orang gila itu."
Ken Arok mengangguk-angguk. Kemudian ia beringsut beberapa langkah maju. Ketika ia meraih sesuatu di hadapan Mahisa Agni, maka katanya, "Apakah ini pedangmu?"
Patalan menjadi heran. Pedang itu sudah berada di dekat perapian.
"Ya," katanya. Ken Arok meneruskan, "Kau lihat siapakah yang membawa pedang ini kembali?"
Patalan menjadi bingung. Tiba-tiba ia teringat bahwa ketika Mahisa Agni datang, ia menjinjing pedang. Bukan pedangnya sendiri, karena pedang itu masih berada di dalam sarungnya.
"Agni," teriak Patalan, "kau yang membawa pedangku kembali?"
"Ya," jawab Agni. "aku berjumpa dengan hantu itu. Dan menitipkannya pedang itu kepadaku."
Ken Arok kini tertawa keras-keras. Hampir-hampir tak dapat ditahannya lagi. Disela-sela derai tertawanya terdengar ia berkata, "Kenapa hantu itu tidak memakai kain dan memakai daun perdu untuk menutupi celananya" He" Untunglah tidak ada yang gatal pada daun-daun itu. Kalau ada kalian akan cepat mengetahui siapakah yang sibuk menggaruk-garuk tubuhnya. Itulah hantu gila itu."
Ketiga anak-anak Panawijen itu semakin bingung. Tetapi lamat-lamat mereka dapat menangkap maksud Ken Arok itu. Apalagi ketika Ken Arok itu menjelaskan.
"Kalian pasti pernah melihat, siapakah yang pernah mengalahkan Kuda Sempana" Nah itulah. Hantu-hantuan yang datang berkuda itu kembali dikalahkan oleh hantu-hantuan Bahu Reksa Panawijen."
Sinung Sari beringsut maju sambil berkata, "Agni. Apakah demikian?"
Agni tersenyum. "Jadi kaukah hantu-hantu jadi-jadian yang aku sangka orang gila itu?"
Agni mengangguk. "Gila kau Agni!" teriak Jinan, "Kenapa kau menakut-nakuti kami. Kenapa kau tidak saja datang dalam keadaanmu yang sewajarnya?"
Agni kini tertawa, seperti juga Ken Arok tertawa. Maka jawab Mahisa Agni, "Ah. Sebuah permainan yang menyenangkan. Aku ingin tahu, siapakah sebenarnya hantu Karautan yang baru itu. Aku ingin mengetahuinya tanpa ia mengetahui aku, sebab aku yakin bahwa hantu itu pasti bukan hantu yang sebenarnya. Bukan hantu yang lama."
Wajah ketiga anak-anak muda Panawijen tiba-tiba menjadi merah. Mereka merasa malu sekali pada diri mereka sendiri. Mereka merasa betapa mereka benar-benar seorang penakut.
"Tetapi Agni," berkata Sinung Sari," bukankah kau akan dapat mengenalnya juga seandainya kau datang dengan wajar. Bukankah orang berkuda itu lari sebelum membuka tutup mukanya?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya, "Mungkin. Tetapi apabila ia telah mengenal aku sebelumnya, mungkin ia akan segera lari sebelum kami sempat bertempur."
"Apakah yang kau dapat dari pertempuran itu?" bertanya Patalan.
"Dari pertempuran itulah aku dapat mengenalnya."
"Apanya yang dapat kau kenal?" desak Sinung Sari.
Mahisa Agni dan Ken Arok tersenyum. Jawab Mahisa Agni, "Ken Arok mengenal aku dan Kuda Sempana sesudah ia melihat kami bertempur. Ken Arok mengenal aku sejak aku masih menjadi orang gila itu. Karena itu, ia tidak bersikap melindungi kalian, karena ia tahu benar bahwa hantu itu tidak berbahaya bagi kalian."
"Tetapi apakah yang dapat menunjukkan bahwa orang itu bernama kuda Sempana dan yang lain Mahisa Agni?"
Mahisa Agni tertawa. Katanya, "Gerak kami. Sifat dan watak-watak dari gerak kami masing-masing."
Ketiga anak-anak muda Panawijen itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Pengenalan itu berada di luar kemampuannya, karena mereka sama sekali tidak mengenal ilmu gerak. Meskipun demikian Sinung Sari masih saja menggerutu dengan jengkelnya, "Tetapi Agni, setelah Kuda Sempana pergi, kau masih juga menakut-nakuti kami. Apakah maksudmu?"
Mahisa Agni tertawa semakin keras. Jawabnya, "Aneh. Seharusnya kalian tidak takut. Seperti kata Ken Arok itu. Bukankah kalian bertiga dan membawa senjata" Seandainya benar-benar kami bertemu dengan bahaya yang tidak dapat aku atasi seorang diri, apakah kalian akan membiarkan aku sendiri" Nah, sekarang renungi diri kalian sendiri. Manakah yang lebih baik. Mengangkat senjata menghadapi keadaan seperti itu, atau membiarkan diri kalian dihisap darah kalian lewat tengkuk kalian. Ingat, bahwa Kuda Sempana benar-benar akan dapat berbuat demikian atas tanah yang akan kita bangunkan nanti. Kalau kalian tidak dapat melindungi diri kalian dan tanah kalian, maka apa yang akan kalian capai dengan susah payah, akan merupakan tanah sadapan yang menyenangkan bagi orang lain. Orang lain akan dapat menghisap darah dan di jalur-jalur nadi penghidupan kampung halamanmu. Karena itu, tengadahkan wajahmu dalam menghadapi setiap persoalan. Jawablah semua tantangan. Asal kau yakin, bahwa kau sedang mempertahankan hakmu, bukan sedang melanggar hak orang lain."
Jinan, Patalan dan Sinung Sari menundukkan kepalanya. Kembali wajah-wajah mereka dijalari oleh warna-warna merah karena sindiran-sindiran yang tepat itu. Mau tidak mau mereka harus mengakui kebenaran kata-kata Mahisa Agni, bahwa mereka sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu untuk mengatasi kesulitan sendiri.
Kembali untuk sesaat mereka terbenam dalam kesepian. Mahisa Agni sejenak berdiam diri sambil memandangi bulan yang semakin jauh dari cakrawala. Kini bulan itu telah hampir sampai ke ujung langit. Namun malam telah melampaui pusatnya.
Dibiarkannya ketiga kawan-kawannya merenungkan kata-katanya. Mahisa Agni merasa, mungkin kata-katanya akan menjadikan kawan-kawannya malu kepadanya dan kepada diri sendiri. Namun ia mengharap, bahwa dengan demikian, maka akan timbul perubahan di dalam kehidupan anak-anak muda Panawijen yang terlalu lama tenggelam dalam suasana yang terlampau tenang dan diam. Tak ada perubahan, tak ada gerak dan nyala di dalam kehidupan orang-orangnya. Jebolnya bendungan itu pun ternyata dapat dicari manfaatnya di samping bencana yang telah melanda Panawijen. Ternyata dengan jebolnya bendungan itu, anak-anak muda Panawijen mendapat pelajaran untuk mencoba mengatasi kesulitan yang menimpa diri sendui tanpa menggantungkan kepada orang lain.
Namun yang pertama-tama memecah kesepian itu adalah Mahisa Agni pula. Bukan tentang hantu-hantu yang berkeliaran di padang Karautan, tetapi ia benar-benar ingin tahu, kenapa Kuda Sempana telah mencoba hidup di padang yang sepi ini. Apakah anak muda itu merasa bahwa ia memerlukan harta benda menjelang hari-hari di mana ia hidup dalam satu keluarga. Mungkin Kuda Sempana merasa perlu untuk membuat istrinya bahagia dengan menyimpan harta benda yang berlebihan sebagai keseimbangan cara yang ditempuhnya sewaktu mengambil istrinya itu. Atau barangkali Ken Dedes mempunyai permintaan-permintaan sehingga Kuda Sempana terpaksa berbuat demikian merampok dan menyamun"
"Ken Arok," bertanya Mahisa Agni kemudian, "kenapa Kuda Sempana itu berkeliaran di padang ini" Bukankah kau sekarang menjadi kawan selingkungannya di istana?"
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, "Aku tidak tahu persoalan seluruhnya. Tetapi sebagian aku akan dapat menceritakan sebabnya."
"Biarlah yang sebagian itu aku dengar dahulu," sahut Mahisa Agni.


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sekali lagi Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Nasib anak itu tidak terlalu baik."
Dada Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba tanpa sesadarnya ia memotong, "Bagaimanakah dengan Ken Dedes" Bukankah ia sehat walafiat?"
Ken Arok mengangguk. Jawabnya, "Gadis itu sehat-sehat saja."
"Di manakah gadis itu sekarang?"
"Di Istana Tumapel."
"He," Mahisa Agni terkejut, "kenapa di istana. Apakah Kuda Sempana tinggal di istana pula?"
"Itulah sebagian yang aku ketahui. Tentang gadis itu dan tentang Kuda Sempana."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Baginya terdengar aneh, bahwa Ken Dedes berada di istana Tumapel.
"Ah," desahnya di dalam hati, "ternyata Tunggul Ametung benar-benar berusaha melindungi Kuda Sempana. Disembunyikannya Ken Dedes itu di istana sampai mereka melahirkan anaknya yang pertama, untuk menghindarkan Kuda Sempana dari setiap kemungkinan yang berbahaya. Sesudah itu, maka semuanya akan menjadi baik bagi Kuda Sempana. Tetapi kenapa Kuda Sempana itu berkeliaran di sini dalam keadaan yang kusut?"
Pertanyaan itu ternyata semakin menyentuh hatinya, sehingga sekali lagi ia berkata, "Katakanlah Ken Arok. Katakanlah apa yang kau ketahui itu tentang Kuda Sempana dan Ken Dedes."
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Tampak keningnya berkerut-kerut. Terbayanglah di wajahnya perasaannya yang gelisah. Menurut pengetahuannya. Mahisa Agni adalah kakak Ken Dedes, sehingga ia menjadi ragu-ragu sejenak untuk mengatakan apa yang telah terjadi atas adiknya itu. Tetapi karena Mahisa Agni selalu mendesaknya, maka terloncat pulalah cerita tentang Ken Dedes di Tumapel. Cerita sejak Ken Dedes sampai di istana, sejak mereka berdua, Ken Arok dan Witantra dipanggil menghadap Akuwu, tentang Witantra yang harus masuk ke dalam arena atas nama Tunggul Ametung. Namun dengan kecewa Ken Arok itu kemudian berkata, "Tetapi sayang. Ternyata Tunggul Ametung itu mempunyai pamrih sendiri. Adikmu diambilnya."
Berbagai perasaan bergolak di dalam dada Mahisa Agni. Ia bersyukur bahwa Ken Dedes telah terlepas dari tangan Kuda Sempana. Namun ia tidak tahu, perasaan apa yang berdentang-dentang di dalam dadanya itu, setelah ia mendengar bahwa Ken Dedes kini berada di istana bukan sebagai istri Kuda Sempana, namun karena gadis itu dikehendaki oleh Tunggul Ametung sendiri.
Dalam pada itu, terdengar Ken Arok berkata, "Untunglah bahwa Akuwu mengambilnya sebagai permaisurinya. Bukan sekedar sebagai seorang selir."
Mahisa Agni terperanjat juga mendengar keterangan itu. Ken Dedes, seorang gadis pedesaan, telah diangkat menjadi permaisuri seorang akuwu yang besar dari Tumapel. Tetapi masih saja bergelora perasaan yang tidak menentu di dalam dirinya. Ia bergembira bahwa Ken Dedes menemukan tempat yang baik, namun ada juga kekecewaan yang dalam menusuk jantungnya. Ia sebenarnya mengharap Ken Dedes kembali ke Panawijen.
"Tetapi ia akan menjumpai kepahitan di Panawijen," gumamnya di dalam hati, "ayahnya telah pergi, dan orang yang dicintainya telah pergi pula untuk selama-lamanya."
Mahisa Agni pun kemudian menundukkan wajahnya. Direnunginya tanah yang kering di bawah kakinya yang bersilang.
Dikais-kaisnya tanah itu dengan jari-jarinya seolah-olah ia ingin mengetahui, apakah tanah itu cukup subur untuk daerah pertanian. Namun hatinya bergumul dalam keadaan yang tidak menentu. Kebanggaan, kekecewaan harapan dan putus asa, bergulat menjadi satu.
Mahisa Agni itu mengangkat. wajahnya ketika ia mendengar Ken Arok bertanya kepadanya, "Bagaimana Agni. Apakah kau menjadi berbangga hati bahwa adikmu kini menjadi seorang permaisuri Akuwu Tumapel?"
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Adalah anugerah yang tiada taranya bagi seorang gadis dari padepokan Panawijen. Adalah suatu kebanggaan buat keluarganya. Pahit getir yang dialami oleh orang Tuanya, keprihatinan dan ketekunan pengabdiannya kepada sesama dan kebaktiannya yang tulus kepada Yang Maha Agung telah menempatkan putri tunggal itu dalam kedudukan yang baik. Tetapi jauh di sudut hatinya, Mahisa Agni masih mendengar jerit yang pedih dari perasaannya sendiri. Meskipun demikian perlahan-lahan ia menjawab, "Aku berbangga Ken Arok."
"Ya," sahut Ken Arok, "adalah wajar bahwa kau dan keluargamu akan berbangga hati."
Tetapi wajah Mahisa Agni sama sekali tidak membayangkan kebanggaan yang dikatakannya itu. Apalagi ketika diingatnya sumpah kutukan Empu Purwa, maka dadanya pun berdesir. Demikian marahnya orang tua itu, sehingga disumpahnya mereka yang telah ikut serta mengambil anaknya. Disumpahnya mereka bahwa mereka akan terbunuh dengan keris.
Wajah Mahisa Agni menjadi semakin suram. Seandainya Ken Dedes dapat menemukan kebahagiaan sebagai seorang permaisuri, tetapi seandainya sumpah Empu Purwa itu pun akan berlaku, maka akan putus pulalah kebahagiaan itu. Tunggul Ametung adalah salah seorang dari mereka yang turut mengambil Ken Dedes, sehingga akan matilah ia ditusuk dengan keris.
Tetapi kecemasan dan kegelisahan itu disimpannya di dalam hatinya, sehingga hati itu telah dipenuhi oleh berbagai perasaan yang tak dapat dilahirkannya. Perasaan yang mencengkamnya tentang gadis putri gurunya, tentang kekhawatirannya atas nasib gadis itu kemudian, dan atas banyak hal lagi yang tertimbun.
Bahkan yang terucapkan dari mulutnya adalah, "Betapa besar terima kasihku kepada kalian. Kepada Witantra dan kepadamu. Betapa kalian telah berusaha menolong Adikku itu dari lembah penderitaan di sepanjang hidupnya. Penderitaan yang tidak akan ada habis-habisnya."
"Tetapi kami tidak berhasil mengembalikannya kepadamu," sahut Ken Arok, "kami telah gagal sebagian dari maksud kami memisahkannya dari Kuda Sempana. Karena Tunggul Ametung sendiri ternyata menghendakinya."
"Mudah-mudahan nasibnya akan menjadi lebih baik," gumam Mahisa Agni.
"Mudah-mudahan," sahut Ken Arok, "menurut pendengaranku, Tunggul Ametung akan datang kepada ayah gadis itu untuk memintanya."
Mahisa Agni terkejut. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi suram. Jauh lebih suram dari wajah itu sebelumnya. Dari antara giginya terdengar ia berdesis, kemudian menggelengkan kepala sambil berkata, "Tak ada gunanya."
Ken Arok mengerutkan dahinya, Kini ialah yang menjadi terkejut mendengar desis Mahisa Agni itu, sehingga ia bertanya, "Kenapa?"
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Sorot matanya jauh menembus ke dalam keremangan malam yang kuning oleh cahaya bulan yang redup.
"Ayah gadis itu tidak ada lagi di padepokannya."
"Apakah ia belum kembali?" bertanya Ken Arok, "pada saat gadis itu diambil oleh Kuda Sempana, ayahnya memang tidak tampak di rumahnya."
"Sudah. Orang tua itu sudah kembali," jawab Mahisa Agni, "tetapi setelah ia mendengar bahwa anaknya itu hilang, anak yang dikasihinya melampaui segala isi dunia ini yang lain, maka orang tua itu mengalami keguncangan perasaan yang tak terkendali."
"Apakah syarafnya terganggu?"
Mahisa Agni mengangguk. "Gila?" "Tidak sejauh itu. Ia adalah seorang pendeta yang taat-taat kepada kewajibannya," berkata Mahisa Agni dalam nada yang rendah, "Hanya karena ketebalan hatinyalah maka orang tua itu tidak menjadi gila. Ia pasti akan dapat menemukan ketenangannya kembali dalam kebaktiannya kepada Yang Maha Agung. Tetapi kejutan pertama dari berita itu telah mendorongnya untuk meninggalkan padepokannya. Ia ingin melupakan segala-galanya. Kepahitan yang paling pahit dalam hidupnya."
Ken Arok menganggukkan kepalanya, gumamnya, "Kasihan orang tua itu. Untunglah ia dapat menemukan penghibur dalam dirinya sendiri. Kalau tidak, ia pasti tidak akan hanya sekedar menyingkir dari padepokannya. Bukankah ia sekaligus gurumu?"
Mahisa Agni mengangguk. "Kalau orang tua itu marah, maka ia akan dapat berbuat hal-hal yang mengerikan."
"Pasti tidak akan dilakukan."
Ken Arok terdiam sesaat. Kemudian katanya, "Aku mengharap kau akan dapat mewakilinya. Bukankah kau muridnya, tetapi juga putranya?"
Mahisa Agni menggeleng. "Bukankah gadis itu adikmu" Atau saudara sepupu?"
Sesaat Mahisa Agni menjadi bingung. Ia tidak segera menemukan jawaban atas pertanyaan itu, sehingga Ken Arok mendesaknya.
"Bagaimana" Kau akan dapat mewakili ayahmu. Menerima Akuwu itu sebagai wakil orang tuanya, merestui perkawinan adikmu."
"Jangan. Jangan," sahut Mahisa Agni serta-merta. Tetapi kemudian ia terdiam kembali. Terasa luka di hatinya yang perlahan-lahan hampir dapat dilupakan itu, seakan-akan kembali menggores tajam. Terasa hatinya menjadi pedih. Ia harus melihat kenyataan itu. Namun dengan sekuat tenaganya ia mencoba menghilangkan segala macam kesan yang dapat membayangkan perasaannya yang sedang bergolak.
Ken Arok masih memandangi wajah anak muda yang muram itu. Namun ia tidak tahu perasaan apa yang sedang bergolak di dalam dadanya. Ia hanya dapat menyangka betapa sedihnya anak muda yang merasa kehilangan adiknya itu. Meskipun seandainya bukan adik sekandung, tetapi adik sepupu.
Tetapi Mahisa Agni sama sekali, tidak mau menjelaskan hubungan apakah yang ada antara dirinya dan Ken Dedes. Ketika Ken Arok mendesaknya sekali lagi maka jawabnya, "Tidak. Jangan datang kepadaku. Biarlah Ken Dedes menentukan kehendaknya sendiri. Kalau ia bersedia biarlah perkawinan itu berlangsung, tetapi kalau tidak, jangan dipaksa."
Ken Arok menciutkan keningnya. Katanya, "Ya. Terserahlah kepadamu. Tetapi aku sendiri kecewa melihat sikap Akuwu itu."
Jilid 14 MAHISA AGNI memandangi wajah Ken Arok tajam-tajam. Tetapi ia tidak melihat kesan apapun dari wajah itu. Ken Arok itu ternyata berkata demikian saja tanpa ungkapan yang mendalam, sehingga Mahisa Agni pun tidak dapat menangkap perasaan lain daripada kekecewaan itu.
"Kenapa kau kecewa," bertanya Mahisa Agni.
"Aku ingin mengembalikan kepadamu untuk menebus kebodohanku. Aku sama sekali tidak mencoba menghalangi perbuatan Tunggul Ametung dan Kuda Sempana, pada saat mereka mengambil gadis itu. Ternyata sikap Witantra jauh lebih baik dariku. Tetapi kini ternyata Witantra menyetujui sikap Tunggul Ametung, meskipun alasannya dapat aku mengerti. Maksudnya adalah, untuk mengurangi penderitaan yang menimpa perasaan gadis itu."
Mahisa Agni kembali memandang ke kejauhan, menembus keremangan malam yang kuning oleh cahaya bulan yang redup.
Tetapi tiba-tiba ia bertanya, "Kenapa Kuda Sempana itu tiba-tiba berkeliaran di sini?"
"Mungkin ia menjadi kecewa," sahut Ken Arok.
"Aku sudah menyangka, tetapi sampai sejauh itu" Bukankah dengan demikian ia telah melakukan pemberontakan terhadap Akuwu Tunggul Ametung?"
Ken Arok mengangguk. Jawabnya, "Ya. Anak itu benar-benar telah memberontak. Tetapi kemungkinan itu memang akan terjadi. Hukuman atasnya memang terlalu berat baginya."
"Hukuman atas kesalahannya mengambil Ken Dedes?"
Ken Arok mengangguk. "Aneh. Bukankah Akuwu sendiri ikut serta?"
"Itulah keanehan yang dapat saja terjadi. Akuwu sendiri turut melakukan kesalahan itu. Tetapi ternyata ia ingin memperbaiki kesalahannya dengan mengorbankan Kuda Sempana. Kau tahu, apakah hukuman itu?"
"Bagaimana aku bisa tahu," sahut Agni.
"Hukuman itu benar-benar aneh. Hukuman itu semula sama sekali bukan atas kehendak Tunggul Ametung sendiri. Tetapi atas kehendak gadis yang dilarikannya itu," berkata Ken Arok seterusnya.
Mendengar kata itu Mahisa Agni terperanjat. Tanpa disengaja ditatapnya wajah ketiga kawannya yang mendengarkan pembicaraannya dengan keheran-heranan.
Ken Arok melihat keheranan yang membayang di wajah Mahisa Agni. Maka katanya, "Ya. Demikianlah. Hukuman itu sebenarnya datang dari adikmu itu."
"Bagaimana hal itu dapat terjadi?"
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Sekali ia melihat kudanya yang makan dengan asyiknya, dan sekali ditatapnya wajah ketiga kawan Mahisa Agni.
Baru sesaat kemudian katanya, "Ternyata adikmu menerima lamaran Tunggul Ametung."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah menyangka dan bahkan ia berdoa mudah-mudahan dengan demikian Ken Dedes, merasa terhibur atas hilangnya dua orang yang dicintainya sekaligus. Ayahnya dan Wiraprana. Namun di dalam sudut hatinya yang paling dalam luka hatinya serasa seolah-olah meneteskan darah.
Meskipun demikian ia bertanya, "Bagaimana mungkin gadis itu menerima lamaran Tunggul Ametung. Ia mencintai Wiraprana lebih dari semua orang selain ayahnya. Apakah gadis itu sudah mendengar kabar tentang bakal suaminya."
Ken Arok mengangguk. Katanya, "Emban tua, pemomongnya telah menyampaikan kabar itu. Sebelumnya kami pun telah mengatakannya, tetapi ia lebih percaya kepada embannya."
Mahisa Agni berdesir mendengar Ken Arok menyebut pemomong Ken Dedes. Tak seorang pun tahu bahwa orang itu adalah ibunya. Ken Dedes juga tidak.
"Tetapi bagaimana Ken Dedes dapat menghukum Kuda Sempana itu?" bertanya Mahisa Agni kemudian.
"Mudah sekali baginya," sahut Ken Arok, "Tunggul Ametung itu akhirnya tergila-gila kepadanya. Apa yang diucapkannya akan terjadi."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Desir di dadanya menjadi semakin tajam. Ada semacam pergolakan yang terjadi dalam dirinya. Meskipun ia merasa bahwa Ken Dedes akan menemukan sekedar penghibur atas segala dukanya, tetapi apakah ia dapat mendengar bahwa seseorang tergila-gila kepadanya"
Tetapi Mahisa Agni tidak berkata sepatah kata pun. Dan Ken Aroklah yang berkata pula, "Dan salah satu dari permintaan Ken Dedes ternyata adalah pelepasan dendamnya kepada Kuda Sempana itu."
Mahisa Agni masih diam mematung. Ia mendengar Ken Arok meneruskan, "Nah, apa yang diminta oleh Ken Dedes itu atas Kuda Sempana" Aneh sekali. Adikmu itu minta Kuda Sempana mendapat hukuman atas kesalahannya apabila Akuwu benar-benar menghendakinya. Hukuman itu adalah, Kuda Sempana harus menjadi pelayan yang paling rendah baginya. Membersihkan lantai, mencuci pakaian dan waktu selebihnya, duduk di bawah tangga di serambi di belakang biliknya."
Mahisa Agni terperanjat mendengarnya. Benar-benar terperanjat. Apalagi ketika Ken Arok meneruskan, "Agaknya Ken Dedes itu ingin membalas sakit hatinya dengan penghinaan atas Kuda Sempana. Hina yang sehina-hinanya."
"Ken Arok," potong Mahisa Agni, "apakah benar Ken Dedes menghendakinya?"
Ken Arok mengangguk, "Ya, sebenarnyalah bahwa Ken Dedes menghendakinya. Dan Ken Dedes mempunyai cukup pengaruh atas Tunggul Ametung. Ketahuilah, bahwa Tunggul Ametung yang garang itu seakan-akan benar-benar telah bersimpuh di bawah kaki adikmu."
Darah Mahisa Agni tersirap. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Ken Dedes dapat berlaku sekasar itu. Dendam yang betapapun dalamnya, namun penghinaan itu telah terlampau jauh.
Dan didengarnya kemudian Ken Arok meneruskan, "Itulah keadaan adikmu dan Kuda Sempana yang aku dengar. Itu pulalah sebabnya, kenapa Kuda Sempana kemudian melarikan diri dari istana yang menjadi tempat yang sehinanya baginya. Sebagai seseorang yang masih mempunyai harga diri, maka sudah tentu ia tidak menelan penghinaan itu begitu saja."
Mahisa Agni mengangguk perlahan-lahan. Terdengar ia berdesis. Dadanya semakin terasa menghentak-hentak. Ia sama sekali tidak dapat mengerti, perubahan-perubahan yang tajam telah terjadi atas Ken Dedes itu. Ledakan-ledakan di dalam jantung gadis itu telah menyeretnya dalam suatu keadaan yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Mahisa Agni.
"Ken Arok," terdengar suara Mahisa Agni dengan nada yang rendah, "apakah aku dapat minta tolong kepadamu?"
Ken Arok menarik nafasnya. Katanya bertanya, "Apakah yang harus aku lakukan?"
"Sampaikan pesanku kepada gadis itu," berkata Mahisa Agni, "yang pertama kali adalah kabar keselamatan."
Mahisa Agni tertegun ketika ia melihat Ken Arok menggeleng, "Aku kini jarang sekali masuk ke istana selain di tempat-tempat tugasku. Hampir aku tak pernah melihat adikmu itu setelah aku ikut Akuwu mengambilnya dari Panawijen. Sampai kini aku belum begitu mengenal wajahnya. Apalagi kini Ken Dedes telah benar-benar sebagai seorang permaisuri meskipun ketetapannya dan upacaranya masih akan menyusul, sehingga aku tak akan sempat menemuinya."
Kembali Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya terbayang di dalam kepalanya, Ken Dedes kini telah menjadi seorang permaisuri. Menjadi seorang yang berada dalam lingkungan kebesaran dan kebahagiaan. Namun ia masih tetap tidak dapat mengerti, bahwa di dalam diri gadis itu timbul perubahan sikap dan watak yang terlampau tajam.
"Mungkin keparahan hati yang tak tertanggungkan telah mendorongnya ke dalam suatu sikap yang berlebih-lebihan sebagai keseimbangan," gumamnya di dalam hati.
"Kalau begitu," sambung Mahisa Agni kemudian, "apakah kau pernah bertemu dengan emban pemomongnya itu?"
Ken Arok menganggukkan kepalanya, jawabnya, "Ya. Aku sering bertemu pemomong Ken Dedes itu tinggal di rumah Witantra beberapa hari sebelum diizinkan menemui momongannya."
"Apakah orang tua itu sekarang masih berada di rumah Witantra?"
"Tidak," jawab Ken Arok, "perempuan tua itu kini telah berada di istana atas permintaan Ken Dedes."
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Kalau demikian, aku minta tolong kepadamu. Sampaikanlah kepada perempuan tua itu."
"Pesan?" "Ya. Pesan untuknya dan untuk Ken Dedes."
"Akan aku coba."
"Terima kasih," Mahisa Agni berhenti sejenak. Ia menjadi ragu-ragu untuk mengatakan pesannya kepada Ken Arok. Ia belum tahu pasti, bagaimanakah sikap Ken Dedes kini terhadapnya. Meskipun demikian akhirnya ia berkata, "Ken Arok. Kalau kau bertemu dengan perempuan tua, pemomong Ken Dedes itu, sampaikan baktiku kepadanya."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Perempuan itu adalah seorang pemomong, namun agaknya Mahisa Agni memang suka merendahkan dirinya, sehingga ia menyampaikan bakti kepada seorang emban. Tetapi Ken Arok tidak berkeberatan apapun terhadap sikap itu, sehingga sahutnya, "Baik. Aku sampaikan baktimu apabila aku bertemu nanti di istana."
"Terima kasih," Mahisa Agni meneruskan, "kemudian kalau emban itu dapat menyampaikan kepada Ken Dedes, yang sekarang sudah berada di istana itu, kecuali kabar keselamatan adalah pesan, supaya gadis itu tidak melupakan dirinya, asalnya dan segenap keadaan masa lampaunya sebagai keseimbangan berpikir untuk menentukan hari-hari mendatangnya."
Ken Arok mengerutkan keningnya, katanya, "Kenapa pesanmu berbunyi demikian?"
"Tidak apa-apa," sahut Agni, "aku hanya ingin memperingatkannya, supaya ia tidak tenggelam dalam dunia yang asing baginya, sehingga ia kehilangan dasar tempat berpijak. Ia adalah seorang gadis pedesaan yang biasa hidup di pedesaan. Ia adalah seorang putri dari seorang pendeta yang hidup bersahaja dan penuh ketekunan dalam kebaktiannya kepada Yang Maha Agung. Ia kemudian adalah seorang gadis yang mengalami kepahitan yang menghunjam terlalu dalam di hatinya. Nah, semua peristiwa-peristiwa itu akan dapat mengguncangkan keseimbangan antara perasaan dan pikirannya. Yang kini dapat kita lihat adalah sikapnya terhadap Kuda Sempana. Bagaimanapun juga dendam tersimpan di dadanya, namun dengan penghinaan yang berlebih-lebihan itu, Ken Dedes telah melakukan kesalahan menurut penilaianku."
Ken Arok menganggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti pesan itu. Dan ia dapat membenarkannya. Betapa bencinya kepada Kuda Sempana, namun Ken Arok heran juga melihat hukuman yang dijatuhkan atas anak muda itu. Lebih baik Kuda Sempana digantung di alun-alun, atau dirajam dengan panah daripada dihinakan sedemikian rendah. Karena itu, adalah sudah sewajarnya apabila anak muda itu meninggalkan istana.
Tetapi Tunggul Ametung tidak dapat mempertimbangkannya lagi. Ia sedang dilanda oleh perasaan yang meluap-luap. Apapun yang dikehendaki oleh Ken Dedes, selagi Tunggul Ametung dapat memberikannya, pasti akan dipenuhinya. Apalagi hanya seorang Kuda Sempana, bahkan Tumapel sekalipun sudah diserahkannya.
Dada Ken Arok berdesir. Dan tiba-tiba saja ia berkata kepada Mahisa Agni, "Agni keberuntungan adikmu tidak saja sejauh itu. Tetapi lebih daripada itu. Menurut pendengaranku, di istana telah menjalar kabar, bahwa bukan saja Kuda Sempana telah dikorbankan, tetapi kepada gadis itu telah diserahkan hak atas pemerintahan Tumapel."
Alangkah terkejutnya Mahisa Agni mendengar kabar itu, sehingga ia beringsut maju. Dengan wajah tegang ia bertanya, "Benarkah kabar yang kau dengar itu?"
"Aku benar-benar mendengar kabar itu," sahut Ken Arok, "tetapi kebenaran atas kabar itulah yang aku tidak tahu."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, kalau kabar itu benar-benar terjadi, maka alangkah besar karunia atas gadis itu. Karunia yang diterimanya lewat kepahitan dan kedukaan.
"Hem," Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun luka di hatinya serasa menjadi semakin dalam.
Dalam nada yang rendah ia berkata, "Berbahagialah anak itu. Mudah-mudahan ia menemukan masa depan yang baik. Kalau benar kabar yang kau dengar Ken Arok, bukankah berarti bahwa Ken Dedes akan mendapat kesempatan menurunkan akuwu-akuwu berikutnya?"
Ken Arok mengangguk, "Ya. Itulah adalah suatu karunia yang tiada taranya."
Keduanya kemudian terdiam untuk sesaat. Kembali bergelut di dalam dada Mahisa Agni berbagai perasaan. Bangga, gembira, sedih, dan kecewa. Ia bersyukur kepada Yang Maha Agung atas karunia itu, namun ia menjadi cemas, apakah kebahagiaan itu akan dapat kekal sepanjang umur Ken Dedes, di samping perasaannya sendiri yang masih saja menyentuh-nyentuh hati. Perasaan seorang lelaki terhadap seorang perempuan.
Namun baik Mahisa Agni maupun Ken Arok tidak mengetahui, apakah yang telah mendorong Tunggul Ametung terbenam dalam keadaannya itu. Tunggul Ametung telah disilaukan oleh cahaya yang seakan-akan memancar dari tubuh gadis Padepokan Panawijen itu. Cahaya yang hanya dapat dilihatnya sendiri.
Akuwu itu kemudian ternyata dengan diam-diam menemui seorang ahli nujum yang meramalkan, bahwa seorang gadis yang bercahaya dari dalam tubuhnya itu, kelak akan dapat menurunkan bukan saja akuwu-akuwu seperti Tunggul Ametung, tetapi gadis itu akan dapat menurunkan raja-raja yang akan berkuasa melampaui kekuasaan akuwu, dan bahkan akan melampaui kekuasaan raja di Kediri.
Ramalan itulah yang mendorong Tunggul Ametung untuk berbuat seperti orang yang kehilangan kesadaran. Setiap patah kata yang diucapkan oleh Ken Dedes pasti akan berlaku baginya, melampaui semua undang-undang dan peraturan yang telah ada.
Kembali untuk sejenak mereka terbenam dalam kediaman. Angin malam yang lembut mengalir mengusap tubuh mereka yang basah karena keringat. Daun-daun perdu berdesir seperti sedang melagukan lagu yang rawan.
Mahisa Agni menundukkan kepalanya. Di dalam dadanya bergetar berbagai persoalan yang saling membelit. Namun kemudian ia tidak sampai hati untuk berpesan kepada Ken Arok, bahwa Empu Purwa telah menghilang dari Panawijen. Ada banyak pertimbangan yang mengurungkan niatnya untuk mengucapkan pesan itu. Ia tidak sampai hati untuk membuat luka di hati Ken Dedes menjadi semakin parah, dan ia tidak sampai hati pula untuk mengganggu ketenteraman dan kebahagiaan yang sedang berada di ambang pintu hati gadis itu.
Tiba-tiba Mahisa Agni terkejut ketiga Ken Arok itu berdiri. Katanya, "Aku tidak akan terlalu lama tinggal di sini."
"Apakah kau akan kembali ke Tumapel?"
Ken Arok mengangguk. "Ya," jawabnya, "pekerjaanku sebagian sudah selesai. Aku sudah tahu, siapakah yang menamakan dirinya hantu Karautan itu kini."
"Hanya cukup mengetahui saja."
Ken Arok tersenyum. "Tentu tidak," katanya, "bukankah kau juga tidak akan membiarkannya."
Mahisa Agni pun tersenyum pula ia pun kemudian berdiri dan berkata, "Tetapi Akuwu Tumapel tidak akan membiarkan pemberontakan ini meluas. Hantu Karautan itu ternyata bukan saja seorang hantu, tetapi ia adalah seorang pemberontak."
"Salahnya sendiri. Nafsunya terhadap gadis itu terlampau berlebih-lebihan. Sehingga akhirnya ia sendiri terjerumus dalam kesulitan karenanya."
"Tetapi akibatnya tidak hanya melihat diri Kuda Sempana. Tetapi padang ini akan menjadi daerah yang menakutkan kembali."
"Mudah-mudahan tidak berlangsung terlalu lama. Aku akan mengadakan perondaan di daerah ini apabila akuwu mengizinkan beberapa orang prajurit. Mungkin Witantra akan menaruh perhatian pula atas hantu Karautan ini."
"Mudah-mudahan," desis Mahisa Agni. Namun angan-angannya telah menjorok jauh meliputi rencana pembuatan bendungan ini. Kuda Sempana adalah seorang yang perkasa. Ia tidak akan dapat menjadi sedemikian kuatnya dengan tiba-tiba. Ia pasti mempunyai seorang guru, dan bahkan saudara seperguruan yang telah pernah dikenalnya dalam perjalanannya dari Lereng Gunung Semeru. Apakah mereka akan membiarkan Kuda Sempana hidup dalam keadaannya itu, meskipun gurunya adalah seorang guru upahan" Apakah Kuda Sempana tidak dapat menjanjikan sesuatu kepada guru serta saudara-saudara seperguruannya untuk bantuan mereka kepadanya. Yang pertama-tama akan mengalami kesulitan adalah dirinya dan rencana bendungannya. Kemudian apabila Kuda Sempana berhasil mengumpulkan murid-murid dari saudara-saudara seperguruannya, yang memakai cara yang sama dengan gurunya sendiri dalam mendapatkan ilmunya, maka Kuda Sempana tidak dapat diabaikan dalam-dalam tata pemerintahan Akuwu Tunggul Ametung.
Mahisa Agni itu pun kemudian mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Ken Arok berkata, "Agni, aku akan kembali ke Tumapel. Sudah tentu aku akan menyampaikan apa yang kau ketahui tentang hantu Karautan ini kepada Akuwu Tunggul Ametung. Aku kemudian akan menjalankan perintahnya. Apakah aku akan mendapat perintah untuk menangkapnya, atau aku hanya sekedar menjadi penunjuk jalan bagi prajuritnya yang akan menangkap Kuda Sempana itu."
"Bukankah kau berkepentingan langsung Ken Arok" Sebab nama hantu Karautan itu pasti akan menyangkut namamu."
"Tak seorang pun yang tahu bahwa hantu Karautan itu pernah berganti."
Mahisa Agni tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, meskipun senyumnya muram.
"Sudahlah," berkata Ken Arok, "pergilah ke Tumapel kalau kau ingin bertemu dengan adikmu. Mungkin Akuwu tidak akan berkeberatan."
"Terima kasih," sahut Mahisa Agni. Namun hatinya berkata, "Tak akan ada artinya. Pertemuan yang demikian itu hanya akan menambah parah perasaanku."
Ken Arok itu pun kemudian meloncat ke atas punggung kudanya, dan sambil menyentuh perut kudanya dengan tumitnya ia berkata, "Sampai bertemu Agni."
Kepada ketiga kawan Mahisa Agni Ken Arok berkata sambil tertawa, "Jangan takut terhadap hantu Karautan. Hantu itu sekarang sudah jinak."
Ketiga kawan Mahisa Agni pun menganggukkan kepalanya. Terdengar Sinung Sari berkata, "Selamat jalan. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi."
Ken Arok tertawa. Sementara itu kudanya sudah mulai bergerak maju menusuk keremangan malam. Mahisa Agni masih melihat anak muda yang gagah itu melambaikan tangannya, kemudian kudanya meluncur semakin cepat. Debu yang putih menghambur di belakang derap kaki kuda itu bergulung-gulung semakin lama semakin jauh.
Mahisa Agni masih berdiri di tempatnya. Baru ketika kuda itu telah semakin kecil dan semakin kabur, ia berpaling kepada ketiga kawan-kawannya. Katanya, "Itulah hantu Karautan yang sebenarnya. Tetapi ia tidak senang apabila hal itu diketahui oleh orang lain. Karena kalian telah terlanjur mengetahuinya, maka aku minta apa yang kalian ketahui itu harus kalian rahasiakan."
Ketiga kawan Mahisa Agni itu mengangguk. Yang terdengar adalah desis Patalan, "Kalau demikian, benar kata orang, bahwa hantu Karautan sebenarnya adalah hantu yang tampan."
"Tidak saja tampan, tetapi hantu itu sangat sakti pula. Namun kini hantu itu sudah tidak ada lagi. Apakah kau percaya kepadaku" Hantu itu kini benar-benar sudah menjadi seorang pelayan dalam di Istana Tumapel."
Ketiga kawan-kawannya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi bagi mereka, siapa pun yang menjadi hantu, namun hati mereka tidak akan dapat tenteram. Meskipun hantu itu bernama Kuda Sempana.
Betapa sempitnya pengetahuan mereka, namun mereka tahu pula, bahwa Kuda Sempana menyimpan dendam kepada Mahisa Agni, kepada Ken Dedes dan dendam itu akan dapat melimpah kepada seluruh penduduk Panawijen. Kuda Sempana itu kelak akan dapat merupakan bahaya bagi mereka, bagi orang-orang Panawijen yang sedang membuat bendungan.
Kalau Kuda Sempana itu datang seorang diri maka soalnya tidak akan terlalu sulit. Ternyata sampai saat ini Mahisa Agni masih dapat mengatasinya. Tetapi bagaimana kalau Kuda Sempana itu kemudian mendapat kawan dalam penumpahan dendamnya" Dalam keadaannya maka Kuda Sempana tidak akan memilih kawan. Mungkin para penjahat, para perompak dan para penyamun. Mungkin orang-orang jahat yang sedang menjadi buruan. Dan hati mereka, kawan-kawan Mahisa Agni itu, pasti akan menjadi semakin kecut apabila mereka mengetahui, apa yang sedang diperhitungkan oleh Mahisa Agni, yaitu kawan-kawan seperguruan Kuda Sempana beserta murid-muridnya dan bahkan gurunya pula.
Tetapi Mahisa Agni tidak mengatakannya kepada ketiga kawan-kawannya itu. Ia menyadari akibatnya apabila kawan-kawannya mengetahui tentang Kuda Sempana beserta perguruannya.
Bahkan kemudian ia berkata, "Nah. Sekarang kalian telah melihat sendiri, bahwa yang menamakan diri hantu Karautan itu tidak lebih dari Kuda Sempana. Karena itu jangan takut. Mudah-mudahan aku akan dapat mencegahnya apabila ia mencoba mengganggu pekerjaan kita."
Ketiga kawan-kawannya mengangguk. Tetapi tampaklah wajahnya tidak meyakinkan. Sehingga Mahisa Agni bertanya, "Bagaimana" Apakah masih ada yang kalian cemaskan?"
Kawan-kawannya menjadi ragu-ragu. Baru sejenak kemudian Sinung Sari berkata, "Bagaimana dengan Kuda Sempana itu?"
"Ia tidak berbahaya," sahut Agni.
"Kalau ia seorang diri," sambung Sinung Sari.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Namun ia menjawab, "Aku juga tidak seorang diri. Bukankah aku akan melakukan pekerjaan yang berat itu bersama-sama seluruh rakyat Panawijen" Seandainya Kuda Sempana akan datang kembali bersama kawannya, maka aku pun akan siap menyambutnya bersama-sama kawan-kawanku. Anak-anak muda Panawijen yang lain, di antaranya kalian bertiga."
Ketiga kawan Mahisa Agni itu terdiam. Mereka sebenarnya masih ingin menjelaskan bahwa mungkin Kuda Sempana mendapat kawan-kawan yang berbahaya. Sedang anak-anak muda Panawijen bukanlah orang-orang yang siap bertempur seperti Mahisa Agni. Tetapi mereka malu kepada diri mereka sendiri. Mereka malu, bahwa mereka sama sekali tidak mampu berbuat apapun dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Dalam pada itu, maka merayaplah perasaan yang lain di dalam diri ketiga anak-anak muda itu. Tumbuhlah pertanyaan di dalam diri mereka sendiri, kenapa mereka sama sekali tidak mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu" Apakah mereka masih juga akan tetap berdiam diri seandainya kelak datang Kuda Sempana bersama para penyamun, penjahat dan perampok mencelakai Mahisa Agni" Apakah merela akan tetap berdiam diri sebagai penonton yang tidak mempunyai sangkut paut sama sekali?"
Mereka berempat kini duduk berdiam diri. Masing-masing terbenam dalam angan-angan yang berbeda-beda. Mahisa Agni dengan gambaran-gambaran tentang bendungan, Kuda Sempana, saudara-saudara seperguruannya, sedang ketiga kawannya sedang mencoba melihat ke diri mereka masing-masing. Namun terasa bahwa mereka kini menjadi sangat malu kepada diri mereka sendiri, kepada Mahisa Agni dan kepada Ken Arok. Juga kepada Kuda Sempana.
Tiba-tiba menyalalah di dalam hati mereka, suatu tekad yang belum pernah dimilikinya sejak. mereka menyadari diri mereka, sejak mereka masih kanak-kanak. "Kita harus berbuat sesuatu apabila bahaya datang menimpa kita kembali. Kita tidak boleh menyerahkan diri kita kepada orang lain, kepada pertolongan yang belum pasti akan datang pada waktunya. Kita tidak boleh menggantungkan diri kepada kekuatan di luar diri kita sendiri. Diri pribadi kita, dan diri kita dalam satu kesatuan. Rakyat Panawijen!"
Angin malam masih berembus mengusap tubuh mereka. Semakin lama semakin terasa, dingin malam menyentuh-nyentuh. Embun yang sejuk turun perlahan, hinggap di dedaunan dan pada batang-batang rumput kering. Di kejauhan terdengar suara burung kedasih melas asih, seperti ratapan biyung yang kehilangan anaknya.
Bulu kuduk kawan-kawan Mahisa Agni meremang. Bunyi burung kedasih mempunyai kesan yang khusus. Terasa malam menjadi semakin muram.
Ketika mereka menyadari diri kembali, dan mereka melihat Mahisa Agni duduk merenungi bara api yang sudah semakin muram pula, sekali lagi perasaan malu hinggap di sudut hati mereka. Bunyi burung kedasih adalah bunyi yang dikenalnya sejak kecil. Dan burung itu tidak akan dapat mengucapkan bunyi yang lain daripada bunyi itu. Bahkan jantung mereka pasti akan berhenti berdegup apabila mereka mengetahui, bahwa seekor burung kedasih bersiul dengan nada suara burung kutilang.
Tetapi mereka terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara membelah sepi malam, "Aku sudah mengantuk."
Ketiga kawannya menarik nafas.
"Hem," Patalan mengeluh, "kau mengejutkan kami, Mahisa Agni."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, kemudian sambil tersenyum ia menjawab, "Ah, kalian membuat bayangan-bayangan yang aneh di dalam hati kalian, sehingga kalian menjadi sangat mudah terkejut."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Mahisa Agni telah menebak dengan tepat.
"Nah, sekarang marilah kita tidur."
"Bersama-sama?" bertanya Jinan.
"Ya. Kenapa?" "Bagaimana kalau ada bahaya yang mendatang selagi kita tidur?"
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Bagus, marilah kita bergantian. Aku dan dua di antara kalian akan tidur dahulu. Siapa yang pertama bangun?"
"Berdua-dua," sahut Sinung Sari, "supaya ada kawan bercakap-cakap."
"Baik," jawab Agni, "siapa yang tidur kemudian atau dahulu bersama aku."
"Aku," jawab ketiganya hampir bersamaan.
Mahisa Agni menarik nafas panjang sekali. Ternyata mereka masih saja dikuasai oleh kecemasan. Karena itu maka katanya, "Jadi apakah kalian bertiga berjaga bersama aku dahulu, kemudian kalian bertiga berjaga lagi sesudah itu bersama aku pula" Sehingga dengan demikian kita semuanya tidak jadi beristirahat bergantian?"
Ketiga kawan Mahisa Agni menundukkan kepalanya, mereka masing-masing ingin mendapat giliran bersama Mahisa Agni. Namun mereka tertawa juga di dalam hati mendengar kata-kata Mahisa Agni itu.
Tetapi tiba-tiba mereka mendengar Mahisa Agni itu berkata, "Tidak perlu berjaga-jaga bergantian."
"Kenapa?" bertanya Sinung Sari.
"Lihat, fajar telah membayang di langit. Sebentar lagi kita akan melihat matahari terbit."
Ketiga kawan Mahisa Agni menarik nafas dalam. Ketika mereka hampir bersamaan mengangkat wajah mereka dan melihat warna semburat merah membayang di ujung timur, hati mereka tiba pula menjadi sejuk, seakan-akan mereka terbangun dari sebuah mimpi yang menakutkan.
"Hem," desah Patalan, "kita telah dibebaskan dari malam yang mengerikan."
Mahisa Agni tidak menjawab meskipun ia menjadi sedih melihat kenyataan itu. Kenyataan tentang kawan-kawannya dan anak-anak Panawijen pada umumnya. Namun yang dikatakannya adalah, "Ya, kita telah melampaui malam yang akan sangat berkesan ini. Tetapi pekerjaan kita belum selesai. Kita masih harus berjalan menyusur sungai ini."
Dada ketiga kawan Mahisa Agni berdesir.
"Kita meneruskan perjalanan?" bertanya Sinung Sari.
"Apakah kita akan kembali tanpa hasil apapun," bertanya Mahisa Agni kembali.
Sinung Sari terdiam. Mereka memang pergi untuk mencari kemungkinan membuat bendungan. Bukan sekedar bertamasya di padang Karautan. Namun hatinya masih juga dibayangi oleh peristiwa semalam, meskipun kini di sudut hatinya telah tumbuh keinginan untuk tidak sekedar menonton saja, apabila peristiwa itu terulang kembali atas Mahisa Agni. Namun mereka masih belum memiliki keberanian untuk itu.
Karena Sinung Sari tidak menjawab, maka Mahisa Agni meneruskan, "Kita adalah duta dari rakyat Panawijen. Duta yang harus dapat menyelesaikan pekerjaan kita. Bukan duta yang harus melamar gadis-gadis cantik, bukan duta untuk menyampaikan bulu bekti dan persembahan, tetapi kita adalah duta-duta yang akan menentukan hidup dan mati rakyat kita. Duta yang akan menjadi tempat bergantung bagi masa depan. Kalau kita yang muda-muda ini gagal melakukan tugas kita, maka kita semuanya akan tenggelam dalam kegelapan."
Ketiga kawan-kawannya menundukkan kepalanya. Mereka dapat mengerti kata-kata itu. Mereka sependapat dengan Mahisa Agni, tetapi keadaan mereka sebelumnya telah terlampau banyak mempengaruhi sifat-sifat mereka, sehingga mereka tidak mendapatkan keseimbangan antara tekad mereka dan keberanian mereka.
Sementara itu langit menjadi semakin lama semakin terang. Cahaya yang kemerah-merahan di timur, semakin lama menjadi sesaat semakin jelas, dan kemudian matahari yang cerah mulai menampakkan dirinya di punggung bukit.
"Kalian lihat matahari," bertanya Mahisa Agni. Kembali ketiga kawannya menengadahkan wajahnya. Cahaya yang masih kemerah-merahan tercurah ke wajah-wajah mereka.
"Sebentar lagi kita akan berjalan kembali. Kalau kalian masih ingin beristirahat, beristirahatlah sebentar. Mungkin kalian ingin makan atau minum lebih dahulu."
Ketiga kawannya mengangguk. Kini tiba-tiba terasa perut mereka menjadi sangat lapar. Jinan segera mencoba mencari sisa-sisa bara yang masih ada di perapian, dihembus-hembusnya bara itu dan ditaruhkannya beberapa genggam rumput kering ke atasnya. Ketika kemudian api menyala kembali meskipun kecil, mereka meletakkan makanan yang mereka bawa ke atas api itu.
Sesudah mereka selesai dengan makan, maka segera Mahisa Agni bersiap kembali untuk berangkat. Kawannya telah mengumpulkan alat-alat yang mereka bawa sebagai bekal di perjalanan. Bumbung-bumbung kecil, bahan-bahan makanan dan beberapa macam barang yang lain.
Ketika matahari kemudian merayap semakin tinggi, maka keempat orang itu kembali menempuh perjalanannya, dengan segan ketiga kawan Mahisa Agni menyeret kaki-kaki mereka sambil mengeluh di dalam hati. Tetapi apabila mereka teringat kepada harapan yang disertakan kepada mereka oleh rakyat Panawijen, maka hati mereka menjadi besar kembali.
Kini mereka berjalan menyusur sungai. Batu-batu padas menjorok di sana sini, sehingga sekali-sekali mereka harus berloncatan dari batu ke batu. Pohon-pohon perdu yang rimbun kadang-kadang menghalangi mereka dan dengan pedang-pedang mereka, mereka terpaksa menebasi ranting-ranting kecil dan bahan-bahan yang melintang bujur di hadapan mereka, dibeliti oleh tumbuh-tumbuhan yang merambat dan bahkan berduri.
"Tebing ini semakin tinggi," gumam Mahisa Agni.
"Ya," sahut kawannya, "perjalanan kita akan sia-sia"
"Belum tentu," jawab Agni, "mungkin di sebelah kita akan menemukan dasar sungai itu naik pula."
Kawannya tidak menjawab. Mereka kini tinggal berjalan saja di belakang Mahisa Agni. Bahkan Jinan hampir-hampir telah menjadi berputus asa dan kehabisan tenaga untuk berjalan terus.
Tetapi Mahisa Agni seakan-akan sama sekali tidak memperhatikan mereka itu. Ia berjalan terus, dan perhatiannya bulat-bulat tertuju kepada kemungkinan mendapat tempat untuk membuat bendungan.
Matahari semakin lama semakin tinggi. Panasnya seolah-olah menembus sampai ke tulang. Keringat keempat orang yang berjalan di bawah terik panas itu seakan-akan diperas dari dalam tubuhnya. Namun sama sekali tidak tampak kelesuan di wajah Mahisa Agni.
Dengan tekad yang menyala sepanas api, Mahisa Agni berjalan terus. Meskipun dahinya kadang-kadang tampak berkerut-kerut apabila dilihatnya jarak antara bibir tebing dan dasar sungai menjadi semakin jauh. Tetapi ia masih memiliki harapan seakan-akan tak akan kunjung padam, meskipun kadang-kadang dirayapi keragu-raguan.
Mereka berjalan terus di bawah panas cahaya matahari. Jinan yang berjalan di ujung paling belakang sekali terdengar mengeluh. Patalan dan Sinung Sari masih juga berjalan dengan hati yang kosong dekat-dekat di belakang Mahisa Agni.
Sekali-sekali Mahisa Agni berhenti, menjenguk sungai di sampingnya. Dari sela-sela rumput-rumput liar, batang-batang perdu dan ilalang, Mahisa Agni melihat air yang bening gemericik mengalir di antara batu-batu yang berserakan.
Tiba-tiba ia terhenti. Dengan serta-merta ia berkata kepada kawannya, "Kau lihat, di sini batu berserakan melimpah-limpah.
Tetapi dengan muramnya Sinung Sari menjawab, "Tebing di sini terlampau tinggi. Apakah kita dapat menaiki air setinggi ini?"
Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang pekerjaan itu hampir tidak mungkin dilakukan. Tetapi di sini batu terlampau banyak, dan cukup besar-besar. Ada yang sebesar kerbau, ada yang sebesar kambing. Dan ada juga yang jauh lebih besar, namun hampir memenuhi dasar sungai itu, batu-batu sebesar kepala kucing.
"Tetapi tebing terlampau tinggi," gumam Mahisa Agni.
Sinung Sari menganggukkan kepalanya, "Ya. Terlampau tinggi dan curam."
"Marilah kita berjalan terus. Mudah-mudahan batu-batu itu akan terdapat di sepanjang sungai ini."
"Apakah kita akan berjalan lagi," sela Jinan.
"Ya," Mahisa Agni mengangguk.
Jinan mengeluh. Katanya, "Kita harus bermalam semalam lagi di padang ini."
"Tidak," jawab Agni, "kalau tempat itu sudah kita temukan, kita segera kembali."
"Tetapi jarak kembali itu akan kita tempuh lebih dari satu hari seperti kita datang."
"Kita dapat berjalan terus. Kalau kita pulang, kita tidak perlu lagi melihat sungai itu. Meskipun betapa gelapnya, kita akan tetap dapat meneruskan perjalanan."
"Kakiku akan patah," sahut Jinan.
"Ya," sambung Patalan dan Sinung Sari hampir bersamaan, "kita akan lelah sekali."
Mahisa Agni terdiam. Ia tidak dapat berkata apapun lagi. Meskipun perjalanan ini sama sekal, tak berarti dibandingkan dengan perjalanan yang pernah dilakukan, baik bersama gurunya, maupun seorang diri, dan yang terakhir adalah perjalanannya ke sisi seberang Gunung Semeru, maka apa yang dilakukannya kali ini adalah sebuah tamasya yang tak berarti bagi sepasang kakinya, namun ia tidak dapat menyangkal, bahwa ketiga kawan-kawannya benar-benar telah kelelahan.
Meskipun demikian sejenak kemudian ia berkata, "Kita mencoba sedikit lagi. Kita berjalan beberapa saat, mungkin dekat di atas ini sungai menjadi semakin tinggi."
Ketiga kawannya saling berpandangan. Tetapi tidak seorang pun yang membantah.
"Apakah kita akan beristirahat dulu?"
Ketiga kawan-kawannya masih diam. Mereka dihadapkan pada kebimbangan, kecemasan dan hampir keputusasaan. Kalau mereka kini beristirahat, maka waktu yang akan dipergunakannya akan bertambah panjang. Dengan demikian, mereka mungkin akan bermalam dua malam lagi di padang rumput ini sebelum mereka sampai ke Panawijen. Tetapi kalau mereka berjalan terus, kaki mereka seolah-olah benar-benar telah akan patah.
Dalam kebimbangan itu terdengar Mahisa Agni berkata, "Biarlah kita berjalan sebentar lagi. Kalau kita masih juga belum menemukan tempat itu, kita akan beristirahat."
Kata-kata itu sama sekali bukanlah yang diharapkan oleh ketiga kawan-kawannya. Beristirahat sekarang atau nanti, bagi mereka akan berakibat sama. Memperpanjang perjalanan.
"Agni," berkata Sinung Sari, "apakah kita masih akan membuang-buang waktu, menyusuri sungai yang menjadi semakin dalam ini?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Tak ada pilihan lain Sinung Sari. Kita harus berjalan terus sampai kita menemukan tempat itu."
"Kita tidak akan berhasil," potong Patalan, "bukankah tempat ini menjadi semakin sulit bagi pembangunan sebuah bendungan. Mungkin bekas bendungan yang lama itu lebih baik daripada tempat ini."
"Tidak," bantah Agni, "seandainya kita tidak menemukan tempat lain, maka tempat ini lebih baik dari bekas bendungan itu. Di sini kita dapatkan batu berlimpah ruah. Kita tinggal membuat brunjung-brunjung bambu sebanyak yang dapat kita buat. Kita isi brujung itu dengan batu, dan kita susun bertimbun-timbun. Tetapi apa yang dapat kita lakukan di bekas bendungan itu" Kita harus membuat brujung, kita isi dengan sampah dan dedaunan di antara batu-batu yang tidak terlampau banyak. Setiap kali kita masih harus menimbuni dengan tanah yang akan selalu hanyut dibawa air. Berapa banyak dedaunan dan tanah yang kita perlukan. Pepohonan seluruh padukuhan itu kita tebang semuanya, agaknya masih belum akan mencukupi. Setiap kali daun-daun itu membusuk, setiap kali itu pula kita harus menambahnya."
Ketiga kawan Mahisa Agni terdiam. Memang pekerjaan itu pun tak mungkin dilakukannya. Tetapi untuk berjalan terus, mereka benar-benar telah kehilangan gairah.
"Atau kita kembali dan tidak lagi berpikir tentang bendungan?" bertanya Mahisa Agni, "kita biarkan Panawijen menjadi kering, dan sawah-sawah kita menjadi kering pula tanpa membuat tanah persawahan yang baru?"
Ketiga kawan Mahisa Agni itu pun masih terbungkam. Pertanyaan Mahisa Agni itu benar-benar tidak dapat dijawabnya. Bahkan betapapun kecilnya, namun pertanyaan itu telah mempengaruhi mereka pula. Bendungan itu adalah harapan bagi seluruh rakyat Panawijen. Karena mereka tidak menjawab, maka Mahisa Agni kemudian berkata, "Aku tahu bahwa kalian telah menjadi sangat lelah. Aku pun menjadi sangat lelah pula. Tetapi aku merasa bahwa seluruh rakyat Panawijen menitipkan harapan pada perjalanan kita ini. Karena itu aku akan berjalan terus. Apabila kalian merasa, bahwa kalian sudah tidak mungkin lagi meneruskan usaha ini, maka aku persilakan kalian berjalan kembali. Aku tidak akan berjalan kembali. Aku akan berjalan terus."
Kawan-kawan Mahisa Agni itu terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan serta-merta Patalan menjawab, "Tidak Agni. Kami tidak akan kembali."
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Ia melihat kecemasan membayang di wajah ketiga kawan-kawannya itu, "Mereka tidak akan memilih," gumam Mahisa Agni di dalam hatinya. Ia tahu benar bahwa ketiga kawan-kawannya itu tidak akan berani menempuh perjalanan kembali tanpa dirinya.
Meskipun demikian ia masih bertanya, "Kenapa kalian tidak akan kembali" Bukankah kalian telah hampir tidak percaya lagi bahwa usaha ini akan berhasil?"
"Tidak. Bukan begitu. Kami masih mempunyai harapan yang besar untuk menemukan tempat yang kita cari," sahut Jinan dengan wajah yang pucat.
Mahisa Agni diam sesaat. Namun tiba-tiba ia berkata, "Kalian tidak berjalan terus karena keyakinan kalian bahwa usaha ini akan berhasil, tetapi kalian berjalan terus kalian tidak berani berjalan kembali."
Serentak ketiga kawan Mahisa Agni mengangkat wajahnya. Mereka pandangi wajah Mahisa Agni dengan tajamnya. Namun sesaat kemudian wajah-wajah itu tertunduk lesu. Tebakan itu tepat seperti sebuah cermin yang dihadapkan di muka wajah hati masing-masing. Wajah-wajah yang pucat dan ketakutan.
Mahisa Agni melihat ketiga kawannya itu tertunduk. Wajah mereka yang pucat menjadi semakin pucat dan suram. Tiba-tiba timbullah iba di hatinya. Katanya, "Sudahlah. Aku hanya ingin bergurau. Sekarang marilah kita beristirahat sejenak. Mudah-mudahan kita akan mendapatkan kesegaran kembali."
Mereka, kawan-kawan Mahisa Agni tidak membantah. Ketika kemudian Mahisa Agni menjatuhkan dirinya di bawah pohon-pohon perdu di tepi tebing sungai, maka mereka pun duduk pula di sampingnya.
Dengan tanpa gairah, mereka kemudian mencoba mengisi perut mereka dengan makanan yang mereka bawa dari padukuhan. Namun ketika mereka minum beberapa teguk, maka bumbung-bumbung mereka telah menjadi kering kembali
"Kita perlu air," desis Mahisa Agni.
Ketiga kawannya mengangguk serentak.
"Ya," sahut Sinung Sari, "aku haus sekali."
Tetapi mereka menjadi sangat kecewa ketika mereka memperhatikan tebing sungai yang curam. Tebing yang mengeras karena batu padas yang basah.
"Tebing ini sangat curam dan licin," gumam Mahisa Agni.
Ketiga kawannya hanya dapat menganggukkan kepala mereka tanpa dapat memberikan pertimbangan apapun. Namun dalam keadaan yang demikian wajah-wajah mereka menjadi semakin putih. Seakan-akan darah mereka terhenti di leher mereka sebelum merayap ke wajah-wajah itu.
Mahisa Agni pun kemudian berdiri. Dipandanginya tebing yang curam dengan beberapa jenis perdu yang tumbuh hampir rapat. Tetapi Mahisa Agni tidak yakin, bahwa akar-akar perdu itu cukup kuat apabila ia mencoba menuruni tebing sambil berpegangan pada batangnya. Apabila ternyata akar perdu itu terlepas, maka ia pasti akan terlempar jatuh di atas batu-batu padas yang menjorok runcing-runcing di pinggir sungai itu. Tetapi apabila terpandang olehnya pantulan sinar matahari di atas air yang jernih itu, lehernya serasa terbakar karena kehausan.
"Hem," desahnya. Dan tiba-tiba ia berkata, "Marilah kita berjalan kembali. Mudah-mudahan kita segera mendapatkan tebing yang dapat aku turuni. Aku pun haus sekali."
Mereka bertiga segera berdiri dan berjalan kembali tersuruk-suruk di belakang Mahisa Agni. Kini mereka bersama-sama, kehausan di bawah terik sinar matahari. Namun tekad Mahisa Agni yang membaja telah menyeretnya untuk berjalan terus.
Sekali-sekali Mahisa Agni berpaling. Dilihatnya ketiga kawannya menjadi semakin lelah dan lemah. Jinan seolah-olah sudah tidak mampu untuk berjalan. Kakinya yang lemah itu diseretnya sambil mengeluh di dalam hati, "Apakah aku akan mati di padang rumput ini?"


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Patalan dan Sinung Sari masih agak baik keadaannya daripada Jinan. Tetapi matahari serasa membakar tubuhnya. Perasaan haus yang sangat telah menyerangnya, sehingga seakan-akan ludahnya menjadi kering dan lehernya menjadi lekat.
Berkali-kali mereka menjilat-jilat bibir-bibir mereka. Tetapi bibir itu pun telah menjadi kering pula. Sedang di bawah kaki-kaki mereka, terdengar gemericik air yang bening.
"Agni," desis Patalan yang tidak dapat menahan diri, "aku haus sekali."
Langkah Mahisa Agni terhenti. Sekali lagi ia memandangi bumbung kecil yang tersangkut diikat pinggangnya. Bumbung itu telah kosong, bahkan telah kering sampai ke dasarnya.
Sekali ia menarik nafas. Kini disadarinya bahwa ia tidak akan dapat berjalan terus. Karena itu, sekali lagi dipandanginya tebing yang curam itu, apabila ia menemukan kemungkinan untuk merayap turun.
Tetapi Mahisa Agni menjadi kecewa. Tebing itu ternyata terlalu curam, seakan-akan sama sekali tidak memberi kesempatan kepadanya untuk mendapatkan pancadan. Tetapi untuk berjalan tanpa air, agaknya benar-benar tidak mungkin bagi ketiga kawan-kawannya.
Sesaat Mahisa Agni berdiri mematung. Sementara itu ia masih saja mendengar kawan-kawannya berdesah. Ketika ia berpaling memandangi wajah-wajah itu, Mahisa Agni melihat, bahwa ketiga kawannya itu benar-benar telah kehausan. Karena itu ia menjadi bingung.
"Bagaimana Agni," terdengar suara Sinung Sari serak, "apakah kau dapat mengambil air untuk kita?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam.
"Tebing itu terlalu curam," desahnya.
"Lalu bagaimana?" desak Jinan. Anak itu kini telah duduk dengan lesunya di atas rerumputan kering.
"Berteduhlah di bawah perdu itu," berkata Mahisa Agni kepada kawan-kawannya.
"Kami tidak kepanasan," jawab Patalan, "tetapi kami kehausan."
"Dengan berteduh, maka badan kita akan merasa segar. Mungkin rasa haus itu pun akan berkurang."
"Tidak. Kami perlu air."
Mahisa Agni menjadi bertambah cemas. Ketiga anak-anak muda itu kini benar-benar menjadi seperti anak kecil yang sedang merengek minta minum kepada ayahnya. Mereka sama sekali bukan kawan yang baik untuk menghadapi kesulitan dan mencoba mengatasinya. Namun Mahisa Agni tidak sampai hati untuk mengatakannya kepada mereka. Sebab Mahisa Agni mengetahui sebab dan pengaruh yang telah membentuk anak-anak muda Panawijen tidak mampu mengatasi kesulitan.
Kini Mahisa Agni tidak boleh hanya sekedar mencari kesalahan dan alasan-alasan untuk menghindarkan diri dari kewajibannya menyelamatkan kawan-kawannya itu. Kembali ia berpikir dan kembali ia merenungi tebing. Beberapa pepohonan tampak tumbuh melekat pada batu-batu padas namun ia tidak yakin, bahwa akar-akarnya mampu untuk menahan berat tubuhnya.
Tiba-tiba Mahisa Agni mengangkat dadanya. Setelah berdiam diri sejenak, maka katanya lantang, "Kalian mau menolong aku turun?"
"Tentu," sahut mereka tanpa berpikir.
"Lepaslah kain panjangmu."
Ketiga kawan-kawannya saling berpandangan. Tetapi mereka sudah sangat haus, sehingga mereka menjawab serentak, "Baik, adalah dengan demikian kau mendapatkan air. Apakah kami harus menukar air itu dengan kain kami?"
Dahi Mahisa Agni berkerut. Apalagi ketika ia mendengar Sinung Sari berkata, "Agni. Di rumah kami masih mempunyai kain yang lebih baik dari ini. Nanti aku akan menukarnya dengan yang baik itu."
"Terima kasih," sahut Agni. Betapa ia menjadi jengkel mendengar jawaban-jawaban itu. Tetapi sekali lagi disadarinya bahwa pikiran ketiga kawannya itu agaknya telah benar-benar terganggu oleh perasaan haus yang mencengkam mereka.
"Aku memang memerlukan kain-kain itu," berkata Mahisa Agni. "Tetapi aku tidak akan menukarnya dengan air. Aku minta kalian menyambung-nyambung kain itu. Empat kain dengan yang aku pakai, aku kira akan dapat menolong aku turun ke bawah di samping akar-akar perdu di sepanjang tebing itu. Tetapi jangan sayang kalau kain itu masih harus dibelah supaya panjangnya mencapai dasar.
Sekali lagi ketiga kawan-kawannya saling berpandangan. Dan terdengar Mahisa Agni berkata pula, "Kalau kalian sayang akan kain itu, maka kalian tidak akan mendapatkan air, sebab aku tidak mempunyai cara lain untuk turun. Nanti apabila kita kembali ke padukuhan, biarlah kita memasuki rumah kita masing-masing di malam hari supaya tidak terlihat oleh siapa pun bahwa kain kita sudah terbelah."
Ketiga kawan Mahisa Agni itu pun segera menyetujui. Mereka sudah tidak tahan lagi menderita haus yang amat sangat. Sedang matahari di langit masih saja memancarkan panasnya, seakan-akan ingin membakar seluruh bola bumi.
Segera mereka berempat melepaskan kain-kain panjang mereka. Kain itu pun kemudian disobek di tengah-tengah membujur, dan kemudian satu sama lain diikat dalam satu jalur yang panjang.
"Mudah-mudahan aku dapat sampai ke dasar sungai dan memanjat naik kembali lewat sambungan kain itu. Pegang ujungnya kuat-kuat. Kalau kalian bertiga gagal menahan berat badanku, dan aku terpelanting jatuh, maka kalian pun akan kehausan di sini. Mungkin kalian akan mati pula seperti aku. Karena itu kalian bertiga harus mampu menahan berat badanku apabila kalian benar-benar ingin minum."
Kata-kata itu merupakan ancaman yang sangat mereka takuti. Apabila mereka gagal menahan tubuh Mahisa Agni, mereka pasti akan mati kehausan, bukan mati terpelanting ke dalam jurang.
Karena itu, maka mereka berjanji kepada diri sendiri bahwa mereka akan berbuat sebaik-baiknya, sehingga dengan demikian akan merupakan dorongan bagi mereka untuk mengerahkan sisa-sisa kekuatan mereka. Demikian besar nafsu mereka untuk mendapatkan air. Maka tenaga mereka pun seakan-akan menjadi bertambah-tambah kuatnya.
Mereka bertiga dengan hati-hati memegangi ujung dari kain yang bersambungan itu, sedang Mahisa Agni perlahan-lahan merayap turun. Kaki-kakinya yang kuat, mencoba mencari pancadan yang dapat memperingan berat tubuhnya di atas batu-batu yang menjorok dan pada pokok batang-batang perdu. Ternyata di antara batang-batang perdu itu ada juga yang cukup kuat untuk menahan berat badannya.
Dengan sangat hati-hati akhirnya Mahisa Agni dengan selamat dapat mencapai dasar sungai itu. Dasar yang keras. Di antara batu-batu yang berserakan hampir memenuhi dasar sungai, maka di tepian, batu-batu padas yang runcing menjorok di sana sini.
Mahisa Agni menarik nafas panjang-panjang. Sekali ia menengadahkan kepalanya. Dilihatnya ketiga kawannya menelungkup di atas tebing melihatnya dengan penuh harapan.
Ketiga kawan Mahisa Agni itu sama sekali tidak membantunya dalam kesulitan, bahkan seakan-akan mereka adalah momongan-momongan yang hanya dapat mengganggu saja.
Tetapi mereka bertiga telah terlanjur dibawanya sampai ke tempat ini. Apabila terjadi sesuatu atas mereka, maka orang-orang Panawijen akan menjadi mudah berprasangka terhadapnya. Karena itu, maka ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan ketiga kawan-kawannya itu.
Kini Mahisa Agni berpaling memandangi arus sungai yang bening jernih. Suaranya gemericik di antara batu-batu yang berserakan besar kecil.
Ketika Mahisa Agni memandang lurus ke depan, dilihatnya sebuah jalur jurang yang menganga panjang. Seolah-olah sebuah jalur perak yang putih di antara sepasang dinding baja yang tegak sebelah menyebelah.
Ketika ia memandang jauh ke depan, tiba-tiba Mahisa Agni itu tertegun. Wajahnya menegang dan darahnya menjadi seolah-olah beku. Jauh di hadapannya, di ujung jalur sungai yang keputihan, dilihatnya sebuah dinding yang putih mengkilap.
Dengan sigapnya Mahisa Agni meloncat semakin menepi sungai itu. Bahkan kemudian ia menceburkan diri, dan berjalan ke tengah. Ia sama sekali tidak memperhatikan lagi celananya menjadi basah kuyup oleh arus air hampir setinggi perutnya.
Ketiga kawannya yang melihat Mahisa Agni berjalan ke tengah sungai menjadi heran. Apakah yang dilakukannya di sana" Bahkan Patalan yang kehausan berteriak tidak sabar, "Agni. Apakah kau menunggu aku mati?"
Mahisa Agni masih berdiri dengan tegangnya. Bahkan setelah ia bersentuhan dengan air ia menjadi lupa akan perasaan hausnya. Semula ia hanya ingin menahan diri untuk tidak tergesa-gesa meneguk air, supaya perutnya tidak menjadi sakit dan gembung. Namun kini bahkan ia tidak lagi mengingat perasaan hausnya itu.
"Agni!" teriak Sinung Sari dan Jinan hampir bersama.
Mahisa Agni terkejut mendengar teriakan itu, seolah-olah ia sedang terbangun dari sebuah mimpi.
"Agni, cepat sebelum aku mati."
Kini Agni berpaling kepada ketiga kawan-kawannya. Tetapi ia tidak segera mengisi bumbungnya. Dengan lincahnya ia meloncat ke tepian sambil berteriak, "Naik, naiklah menurut arus air."
"He," sahut Patalan.
"Naiklah. Lihatlah beberapa ratus langkah di atas kita sepanjang sungai ini."
"Apa," teriak Jinan, "maksudmu supaya aku berlari-lari dan mati karena leherku tersekat kering."
"Tidak, cepat berlari beberapa ratus langkah."
"Apakah kau gila Agni. Ada apa di atas jalur sungai itu?"
"Apakah kalian tidak melihat," sahut Agni seperti orang yang dilanda oleh kegelisahan, "pergilah cepat."
Kawan-kawannya pun menjadi gelisah dan heran. Bahkan mereka menjadi bingung.
"He," teriak Agni, "apakah kalian tidak melihat?"
"Kami tidak melihat apa-apa selain sungai itu," jawab kawan-kawannya.
"Dan tidak mendengar?"
"Tidak." Mahisa Agni terdiam sesaat. Dimiringkannya kepalanya dalam keasyikan mendengarkan sesuatu, "Aku mendengarnya meskipun lamat-lamat."
"Kau mendengar apa?" bertanya Sinung Sari.
"Pergilah menyusur sungai ini. Aku akan lewat di bawah."
"Ya, tapi ke mana dan kenapa?"
"Jeram. Apakah, kau tidak mendengar suara air itu terjun" He. Di atas kita ada jeram yang cukup tinggi. Tebing sungai di sebelah jeram itu pasti tidak akan terlalu tinggi. Marilah kita lihat apakah kita dapat membuat bendungan di atasnya."
Kawan-kawannya yang kehausan itu pun tiba-tiba terpengaruh. Jeram" Kalau benar kata Mahisa Agni, maka mereka akan menemukan dasar sungai yang cukup dangkal, sehingga mereka akan dapat langsung terjun ke dalam air dan minum sepuas-puasnya. Karena itu, maka tiba-tiba kekuatan mereka serasa tumbuh kembali. Harapan untuk mendapatkan air sebanyak yang diinginkan, akan terpenuhi.
Tiba-tiba seperti disentakkan oleh tenaga ajaib mereka serentak berdiri dan berlari ke hulu. Kain panjang yang bersambung-sambung itu mereka tarik saja seperti ekor yang panjang sekali, yang kadang-kadang tersangkut pada batang perdu. Karena itu, maka kain-kain mereka menjadi tercabik-cabik oleh duri dan ranting-ranting. Bahkan sekali-sekali mereka tersentak dan hampir-hampir jatuh menelentang karena kain itu tertahan oleh sebuah sangkutan yang agak kuat. Namun betapapun juga mereka masih cukup sadar, bahwa kain itu harus tetap mereka seret bersama mereka.
Kini panas yang terik seolah-olah tidak terasa lagi. Mereka sedang digerakkan oleh tenaga ajaib yang demikian saja tumbuh dari desakan harapan yang kuat. Seakan-akan mereka telah digerakkan bukan oleh diri mereka sendiri. Namun mereka sama sekali tidak menyadarinya, bahwa kekuatan-kekuatan yang demikian itulah, yang lazim disebut kekuatan-kekuatan cadangan. Kekuatan-kekuatan yang bagi mereka yang terlatih dapat dimanfaatkan setiap saat dengan penuh kesadaran. Tetapi bagi mereka yang tidak memeliharanya dan bahkan tidak menyadarinya, kekuatan itu hanya akan timbul dalam saat-saat tertentu justru di luar kehendak wajar dan kesadaran.
Demikian mereka bertiga berlari seperti sedang berpacu, berkejar-kejaran. Sedang jauh dibawa dinding tebing sungai itu Mahisa Agni pun berlari jauh lebih kencang dari mereka bertiga, sehingga Mahisa Agni yang pertama-tama sampai ke bawah jeram-jeram itu. Namun Mahisa Agni sama sekali tidak puas melihat jeram-jeram itu dari bawah. Tidak puas mendapat siraman air sejuk dingin yang gemercik jatuh di atas batu-batu. Yang telah memantulkan sinar matahari dalam tujuh warna seperti, warna pelangi. Ingatlah Mahisa Agni saat itu sedang terpancang pada bendungan. Karena itu, maka segera ia berusaha mencari kemungkinan untuk memanjat tebing yang kini tidak securam tebing-tebing di sepanjang yang pernah dilaluinya.
Kesatria Baju Putih 3 Wiro Sableng 148 Dadu Setan Makam Tanpa Nisan 3
^