Pelangi Dilangit Singosari 32
01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 32
"Bagaimana?" "terdengar suara Kebo Sindet berat.
Perlahan-lahan Kebo Sindet melihat ayah Kuda-Sempana per-lahan-lahan mengangguk sambil menjawab "Baiklah. Akan aku coba. Sebenarnya setiap orang disini berkeinginan untuk memberitahukannya kepada Mahisa Agni apa yang telah ter jadi, tetapi mereka masih saja dibayangi oleh ketakutan kecemasan tentang padang Karautan.
"Kalau kau dapat meyakinkaii tentang padang itu, maka segala maksud kita akan tercapai, dan kau akan memiliki emas yang sekeping ini untuk menyelamatkan sisa-sisa hari tuamu dari kemiskinan dan sengsara. Apakah kau juga mengharap bahwa kerja Mahisa Agni membuat bendungan itu akan selesai?" Omong kosong. Bendungan itu tidak akan pernah selesai. Orang-orang Panawijen tidak boleh menggantungkan ha rapannya pada bendungan itu. Sebab besok atau lusa Mahisa Agni sudah berada ditanganku. Nah. dengan demikian kalian harus pergi mengembara mencari tempat baru. untuk hidup kalian orang Panawijen.
Ayah Kuda-Sempana meng-angguk-anggukan kepalanya,
"Lakukanlah "berkata Kebo Sindet kemudian- "Aku menunggu disini.
Orang tua itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia masih juga ragu-ragu. Tetapi ketika terpandang olehnya kilatan warna kekuning-kuningan yang memancar dari sekeping emas itu, ia berkata.
"Baiklah, akan aku coba mencarii dua tiga orang yang paling berani.
Ayah Kuda-Sempana itu pun aehiruya meninggalkan mereka. Ditemuinya beberapa orang yang sedang bergerombol mem bicarakan kebakaran yang baru saja terjadi.
Sebaikriya Mahisa Agni diberi tahu "berkala salah seorang dari mereka.
"Ya, tetapi siapakah yang berani melakukannya?"
Mereka kemudian terdiam, beberapa laki-laki tua saling ber pandangan.
"Hanya Mahisa Agnilah yang dapat memberi kita cara supaya kita tidak mati kelaparan disini. Beberapa lumbung kita terbakar. Hampir sepertiga dari persediaan makan kita telah musna.
Ayah Kuda-Sempana mendengarkan dengan penuh minat pembicaraan itu. Dengan dada yang ber-debar-debar ia menangkap perasaan hampir setiap orang Panawijen. Mereka berkeingin an untuk memberitahukan kepada Mahisa Agni.
Ketika orang-orang itu kembali terdiam, maka berkatalah ayah Kuda-Sempana "Tak ada orang lain yang dapat menolong kita, selain Mahisa Agni.
Beberapa orang berpaling kepadanya. Tetapi ada juga diantara mereka yang membuang mukanya. Ayah Kuda-Sem pana ternyata kurang disenangi diantara mereka karena sifat dan kelakuan anaknya. Hampir setiap orang Panawijen menganggap, bahwa apa yang terjadi itu adalah akibat dari pertentangan yang ber-larut2 antara Kuda-Sempana dan Mahisa Agni karena nafsu Kuda-Sempana yang tak terkendalikan.
"Jalan satu-satunya adalah memberitahukan kepada Mahisa Agni apa yang telah terjadi. "gumam ayah Kuda-Sempana itu.
Tak seorangpun menanggapnya. Bahkan bampir setiap orang mengumpat didalam hati "Kami semua tahu, tetapi siapakah yang akan pergi ke-padang Karautan?"
Karena tak seorangpun yang menyahut, maka ayah Kuda-Sempana itu meneruskannya "Kalau saja aku masih men dapat kepercayaan, maka aku akan pergi kepadang Karautan.
Kini sekali lagi beberapa orang berpaling kepadanya. Ternyatakata-katanya yang terakhir telah menarik banyak perhatian.
"Tetapi sayang. Aku takut. Bukan karena padang Kara utan, tetapi aku takut melihat wajah Mahisa Agni. Bahkan mungkin aku akan dilyekiknya.
Diantara beberapa orang itu terdengar salah seorang ber tanya "Kenapa kau takut kepada Mahisa Agni?"
"Aku harus menyadari, betapa besar dosa anakku ter hadapnya dan terhadap kAmpung halaman.
"Mahisa Agni bukan pendendam. Kalau kau berani menyeberangi padang Karautan pergilah kepadanya.
"Padang Karautan sama sekali tidak menakutkan bagiku. Hantu Karautan yang mengerikan itu telah dibinasakan oleh Mahisa Agni. Tetapi yang mengerikan bagiku kini justru Mahisa Agni itu sendiri.
Mereka sejenak terdiam. Beberapa orang ternyata mulai merenungkan kata-kata ayah Kuda-Sempana itu. Bahkan salah seorang daripada mereka bertanya "Apakah benar Mahisa Agni telah membinasakan hantu padang Karautan?"
"Itu sudah lama terjadi. Sebelum Mahisa Agni mulai membangun bendungan itu. Apakah kalian tidak mendengar ceritera dari Patalan, Jinan atau Sinung Sari?"
Orang-orang yang mendengar jawaban itu meng-anggukzkan kepala mereka. Tetapi untuk sejenak mereka masih saja ber diam diri. Namun demikian, timbullah beberapa masalah baru didalam kepala mereka "Kalau benar kata orang itu, maka perjalanan kepadang Karautan tidak lagi berbahaya seperti waktu2 yang lalu.
"Sayang "desis ayah Kuda-Sempana itu per-lahan-lahan.
"Kenapa "bertanya ialah seorang dari mereka.
"Sayang, Mahisa Agni mempunyai kesan yang tidak baik terhadapku.
"Itu hanya perasaanmu saja. Mahisa Agni bukan seorang pendendam.
"Tetapi kesalahan anakku sudah bertimbun setinggi gunung Semeru.
Kembali mereka terdiam. Dan kembali masalah itu bergolak didalam dada mereka. Bahkan tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata "Kalau ada seseorang yang mau menemani aku, maka akupun bersedia pergi ke padang Karautan.
Dada ayah Kuda-Sempana melonjak mendengar kesang gupan itu. Serasa sekeping emas murni yang ber-kilat-kilat itu telah berada ditangannya. Namun ia berusaha untuk meng hapuskan setiap kesan diwajahnya. Bahkan dengan nada yang parau ia berkata "adalah suatu jasa yang tiada taranya bagi kita disini, apabila ada kesediaan salah seorang dari kita untuk berangkat. Sayang, aku bukanlah orang yang dapat melakukannya.
Akhirnya ayah Kuda-Sempana2 itu mendengar seorang lagi berkata "Marilah, kita pergi ber-sama-sama. Aku sudah terlalu tua. Seandainya aku bertemu dengan bahaya dipadang Karautan, dan darahku akan dihisapnya habis, maka akupun tidak akan menyesal lagi. Sisa umurkupun pasti sudah tidak akan banyak lagi.
Dada ayah Kuda-Sempana menjadi semakin bcr-debar-debar. Kalau mereka benar-benar berangkat kepadang Karautan, dan Mahisa Agni berhasil diseretnya kepedukuhan ini, maka emas yang sekeping itu akan jatuh ditangannya. Emas itu akan dapat memberinya kebahagiaan bagi sisa2 hidupnya. Ia akan pergi kedaerah yaug jauh, menjual emas itu dan menukar kannya dengan halaman, rumah dan sawah yang sudah siap untuk digarap. Tidak lagi ia akan bekerja keras bersama anak isterinya membuka tanah dan mempersiapkannya men jadi tanah persawahan.
Kegembiraan dihati orang tua itupun akhirnya meluap membakar segenap perasaannya. Hampir-hampir ia tidak dapat me ngendalikan dirinya. Hanya dengan sekuat tenaganya ia mampu menahan melontarnya kegembiraan yang ber-lebih2an itu, ketika ia mendengar keputusan dari keduanya, bahwa mereka benar-benar akan pergi ke padang Karautan.
"Kita pergi berkuda "berkata salah seorang dari ke dua laki-laki., tua itu.
"Baiklah "jawab yang lain "kita akan segera sampai. Dan berkuda adalah jalan yang paling aman.
"Kapan kita berangkat?"
"Besok pagi2. Kita menempuh perjalanan disiang hari supaya kita tidak selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. -
Beberapa orang lain yang mendengar percakapan itu men-ingguk2kan kepala mereka dengan lontaran ucapan te rima kasih. Kehadiran Mahisa Agni akan memberikan petun juk yang akan bermanfaat bagi mereka, untuk menghindarkan diri dari bahaya kelaparan
Ketika matahari melemparkan sinarnya yang pertama di pagi hari berikutnya, maka sebagian besar orang-orang Panawijen berdiri berkerumun diujung desa. Diantara mereka dua laki-laki tua berdiri memegangi kendali kuda. Sekali-sekali dilayangkannya pandangan mata mereka ke-daun-daun yang kekuning-kuningan serta ditebarkannya keatas sawah dan pategalan yang kering ke rontang.
Orang-orang Panawijen itu sedang melepas dua orang yang mereka anggap sebagai orang-orang yang paling berani diantara mereka. Dua laki-laki tua itu akan menghubungkan padukuhan mereka dengan padang Karautan karena beberapa buah lumbung mereka terbakar. Kalau bendungan itu tidak segera dapat mengangkat air keatas padang Karautan, maka mereka akan terancam bahaya yang mengerikan. Persediaan makanan mereka akan habis, dan bencana itupun akan menghentikan usaha pembangunan bendungan itu pula. karena orang-orang iang sedang beberja itu tidak akan lagi mendapat persediaan makanan.
Karena itu maka Mahisa Agni harus segera tahu. Ia harus segera menentukan sikap, untuk mengatasi meskipun hanya bersifat sementara.
Demikianlah maka orang-orang Panawijen itu kemudian me lihat kedua laki-laki tua itu naik keatas punggung kuda. Melam baikan tangan-angan mereka dan kemudian melecut kuda-kuda mereka meninggalkan Panawijen seperdi dua orang pahlawan yang berangkat kemedan perang. Beberapa orang yang menyaksikan keberangkatan itu berdiri tertegun. Terasa dada mereka ber getaran.
Ketika debunya yang putih mengepul dibelakang kaki-kaki kuda yang berlari meninggalkan kAmpung halaman mereka, maka beberapa orang perempuan menekan dada mereka sambil ber gumam "Mudah-mudahan mereka selamat sampai ketujuan.
Ayah Kuda-Sempana berdiri juga diantara orang-orang yang melepas kedua laki-laki tua itu. Wajahnyapun tampak suram sesuram wajah-wajah orang Panawijen yang lain. Tetapi hatinya tertawa cerah secerah matahari pagi yang bersinar diatas padang dan pegunungan. Didalam dadanya berkumandang gemerincing emas sekeping yang kuning ber-kilat-kilat.
"Hem "katanya didalam hati "alangkah mudahnya memiliki emas murni sebesar itu. Kalau aku tahu, maka aku tidak akan menderita selama ini. Minum air yang harus di ambilnya langsung dari sungai sejauh itu dan makan ter lampau terbatas karena kecemasan bahwa suatu ketika akan kehabisan persediaan. Dengan emas itu, maka Panawijen dan bendungan itu tidak akan berarti lagi bagiku.
Ketika ayah Kuda-Sempana itu mengangkat wajahnya, maka kepulan debu yang putih itupun sudah menjadi semakin jauh. Beberapa orang telah melangkahkan kakinya meninggal kan ujung desa kembali kerumah masing-masing. Namun disepan jang jalan pulang, mereka masih saja memperbincangkan kedua laki8 tua yang sedang melakukan perjalanan yang selama ini se-akan-akan tabu mereka lakukan.
Sekali ayah Kuda-Sempana itu menarik nafas dalam-dalam. Dibiarkannya orang-orang lain meninggalkannya seorang diri. Teta pi begitu orang yang terakhir hilang masuk kemulut lorong, maka ayah Kuda Sempana itupun segera meloncati parit yang kering, dan berjalan cepat lewat pematang-pematang yang pecah-pecah pulang keruniahnya.
Dirumahnya, Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan Kuda"Sempana masih ineimnggunya. Kebo Sindet dan Wong Sarim pat selalu saja dibayangi oleh kegelisahan, ia tidak yakin bahwa usaha ayali Kuda-Sempana akan berhasil. Meskipun demikian harapan untuk itu masih ada juga pada mereka. Sedang Kuda-Sempana sendiri kini benar-benar menjadi acuh tak acuh saja. Ia sendiri tidak tahu, apakah ia mengharapkan usaha ayahnya berhasil atau tidak.
Karena itu ketika ayah Kuda-Sempana itu muncul dari balik pintu rumahnya, maka yang pertama-tama bertanya adalah Wong Sarimpat "Bagaimana kaki. Apakah usahamu ber hasil?"
"Sebagian "jawab ayah Kuda-Sempana "kedua orang laki-laki tua itu telah berangkat.
Kebo Sindet menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya yang beku itu tampak bergerak-gerak. Sebuah senyum yang samar-samar telah menggerakkan bibirnya. "
"Mudah-mudahan Mahisa Agni bersedia datang "desis Ke bo Sindet.
"Menilik Sifat-sifatnya dan kelakuannya dimasa yang lampau ia pasti akan datang untuk melihat sendiri apa yang telah terjadi dipadepokan ini. "sahut ayah Kuda-Sempana.
"Mudah-mudahan ia tidak datang dengan sepasukan prajurit dari Tumapel yang kini berada dipadang Karautan.
"Mudah-mudahan. Merekapun kemudian terdiam sejenak, tenggelam dalam angan-angan masing-masing. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah membayangkan, betapa Ken Dedes terpaksa melepaskan ber"macam-macam perhiasan dan benda-benda berharga untuk membebaskan kakaknya. Sementara itu ia harus berusaha memberikan kesan bahwa usaha menculik Mahisa Agni ini dilakukan oleh Empu Sada yang disangkanya telah mati.
Sementara itu kedua laki-laki tua dari Panawijen telah men jadi semakin jauh dari pedukuhannya. Kini dihadapan mereka terbentang sebuah padang rumput yang luas yang seakan-akan tidak bertepi. Cahaya matahari yang sudah semakin tinggi se akan menyala membakar padang rumput yang kering itu.
"Alangkah panasnya "gumam salah seorang dari mereka.
Yang seorang untuk sejenak tidak menjawab. Matanya se-akana menjadi silau menatap udara yang sedang mendidih dibakar oleh terik matahari.
"Kita akan menjadi kering seperiti rerumputan itu "berkata orang yang pertama.
"Menurut pendengaranku, sebaiknya kita menyusul alir an sungai itu. Setiap saat kita tidak akan kehabisan air. Se tiap kali kita haus, kita akan dapat segera minum. Hanya me nurut pendengaranku dibeberapa bagian tebing sungai ini men jadi sangat curam.
Kawannya tidak segera menjawab. Tetapi tatapan matanya membayangkan betapa jantungnya mcnjadi ber-debar-debar. Matahari yang memanjat semakin tinggi se-akan-akan langsung menghunjamkan sinarnya kekepala mereka.
"Kita berkuda "desis kawannya yang ternyata memiliki tekad lebih besar "kita tidak akan sampai sehari penuh berjemur dipadang Karautan.
Kawannya meng-anggu2kan kepalanya. Perlahan-lahan ia menjawab "Ya. Kita berusaha supaya kita cepat sampai.
"Marilah. Keduanyapun kemudian uirlanjiitkan perjalanan mereka menyusur sungi yang membelah padang Karautan itu. Meski pun mereka tidak berani berpacu terlampau cepat, tetapi perjalanan itu jauh lebih cepat daripada mereka berjalan kaki. Kuda-kuda mereka itupun agaknya dapat mengerti juga, bahwa penumpang2 mereka adalah orang-orang tua yang tidak begitu tangkas memegang kendali. Sehingga langkah kaki-kaki Kuda itupun se-olah-olah terayun seenaknya.
Ternyata mereka mendapat banyak keuntungan dengan jalan yang mereka pilih. Ketika bumbung air mereka tuntas, maka mereka dapat mengambilnya langsung kedalam sungai, sekaligus membiarkan kuda-kuda mereka yang kehausan minum pula.
Dengan bumbung yang penuh berisi air itulah maka mereka meneruskan perjalanan mereka menuju ketempat Mahisa Agni membangun bendungan.
Meskipun disepanjang jalan mereka selalu dicemaskan oleh nama yang selama ini menakutkan mereka, ialah hantu Karautan, namun akhirnya merekapun menjadi semakin lama semakin dekat pula dengan lingkaran kerja Mahisa Agni dan orang-orang Panawijen yang dibantu oleh sepasukan prajurit dari Tumapel.
Kedatangan kedua orang tua-tua itu telah mengejutkan Mahisa Agni dan Ki buyut Panawijen. Dipersilahkannya kedua orang itu duduk beristirahat, sementara Mahisa Agni mengakhiri kerja hari itu karena matahari telah hampir lenyap ditelan cakrawala.
Mahisa Agni dan Ki Buyut tidak sempat membersihkan dirinya lebih dahulu. Dengan bati ber-debar-debar ditemuinya ke dua orang tua-tua yang baru saja datang dari Panawijen. Kedatangan mereka bagi Mahisa Agni dan Ki Buyut dan bahkan bagi seluruh orang-orang Panawijen yang sedang bekerja dipadang Karautan, merupakan suatu hal yang sangat me narik perhatian. Mereka tahu, bahwa apabila tidak terpaksa sekali, maka tidak akan ada seorangpun yang berani melintasi padang yang menakutkan bagi mereka.
Kedua laki-laki tua itupun tidak membiarkan Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen terlalu lama digelisahkan oleh teka-teki tentang kedatangan mereka. Segera mereka menceriterakan apa yang telah terjadi dipadukuhan mereka. Mereka berbicara ganti berganti dan saling tambah menambahi se hingga ceritera tentang kebakaran di Panawijen itu men jadi sebuah ceritera yang menegangkan hati Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen.
Dengan dada yang berdebar-debar beberapa orang lain men dengar juga ceritera tentang kebakaran itu. Sehingga tiba-tibasalah seorang berkata" Kita tidak lagi mempunyai persediaan makan. Apakah kita masih juga mampu bekerya untuk mem buat bendungan ini?"
Suasana kemudian menjadi sepi. Pertanyaan itu hinggap pula disetiap dada orang-orang Panawijen, bahkan juga Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen.
"Bagaimana mungkin kebakaran itu dapat terjadi?" "bertanya Mahisa Agni.
Kedua laki-laki itu menggelengkan kepala mereka. Salah seorang dari mereka menjawab "Tak seorangpun yang tahu sebabnya. Tetapi udara di Panawijen akhir-akhir ini terasa sangat panas.
"Apakah demikian panasnya sehingga memungkinkan lumbung-lumbung padi dan jagung itu terbakar dengan sendirinya?"
Sekali lagi kedua laki-laki tua itu menggelengkan kepala me reka "Kami tidak tahu. Tetapi menurut pengamatan kami, tak ada seorangpun bahkan anak-anak yang bermain-main didekat lumbung-lumbungitu, apalagi bermain-main dengan api.
Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen menekurkan ke pala mereka. Kini terbayang kembali kesulitan-kesulitan yang bakal mereka alami. Mereka baru saja mendapatkan kejutan yang mendorong orang-2 Panawijen bekerja lebih keras dengan kedatangan prajurit-prajurit dari Tumapel. Tetapi peristiwa ini pasti akan memperlemah lagi usaha mereka menyelesaikan bendungan itu. Mungkin untuk sementara Mahisa Agni dapat mencoba mengatasi dengan menanam apa saja disepanjang lereng-lereng sungai dan dalaran2 serta lembah2 yang basah. Tetapi tanah itu tidak seberapa luas. .Sedangkan seluruh mulut yang ada di Panawijen harus disuapinya.
Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara ter tawa per-lahan-2. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Ken Arok berdiri dibelakang orang-orang Panawijen yang menge rumuni kedua laki-laki tua itu. Ketika anak muda itu beradu pandang dengan Mahisa Agni, maka katanya "Jangan risau Agni. Besok aku akan mengirim dua orang prajurit ke Tumapel. Aku akan memberikan laporan apa yang telah kami kerjakan disini. Dan aku akan dapat memberikan laporan tentang Panawijen itu pula. Peristiwa itu sama sekali bukan peristiwa yang penting. Bukankah aku pernah berkata, bahwa Tuanku Akuwu menyanggupkan bantuan apa saja yang kau perlukan?" Coba katakan, berapakah jumlah lumbung yang terbakar itu?" Sepuluh atau duapuluh barak?" Berapa pikul padi dan jagung yang telah terbakar?" "Ken Arok berhen ti sejenak. Dipandangnya setiap wajah yang tiba-tiba kembali bersinar "jangan kalian cemaskan.
Mahisa Agni menjadi ber-debar-debar mendengar kata-kata Ken Arok itu. Sekali lagi kepalanya jatuh tepekur. Kebaikan bati Tunggul Ametung yang melimpah-limpah itu telah menggetarkan perasaannya. Sekilas dikenangnya puteri gurunya, Ken Dedes. Namun Mahisa Agni itupun kemudian menggigit bibirnya.-
"Terima kasih "terdengar ia berdesis "terima kasih atas hadiah yang tiada taranya itu.
Masih terdengar suara tertawa perlahan yang meluncur diantara bibir Ken Arok. Wajahnya yang se-olah-olah bersinar seperti harapan didalam hati.
Dengan penuh keyakinan ia berkata "Agni, Tumapel tidak akan kekurangan beras dan jagung. Bahkan seandainya seluruh Panawijen itu terbakar sekalipun. Jangan risaukan kebakaran itu. Kita selesaikan bendungan kita dan sesudah itu aku masih mempunyai satu tugas lagi, barangkali kalian sudi membantu. Membuat sebuah taman yang akan dihadiah kan oleh Tuanku Akuwu Tunggul Ametung kepada permaisurinya kelak.
"Tentu "sahut Mahisa Agni dengan serta merta "apalagi sekedar membangun sebuah taman. Apapun yang harus kami lakukan, maka kami tidak akan dapat ingkar lagi.
Wajah Ken Arok menjadi semakin cerah karenanya. Wajah yang bagi Mahisa Agni memiliki beberapa perbedaan dari wajah-wajah yang pernah dikenalnya. Tetapi Mahisa Agni tidak dapat mengatakan, apakah sebabnya maka ia melihat perbedaan itu.
Sejenak mereka saling berdiam diri- Orang-orang Panawijen kini tidak lagi kehilangan harapan untuk menyelcsaikan ben dungannya setelah mendengar yanji Ken Arok. Tetapi mes kipun demikian kebakaran di Panawijen itu menimbulkan teka-teki pula didalam dada mereka.
Agaknya kebakaran itu bukan saja menumbuhkan teka-teki didalam dada Mahisa Agni. Ia merana mempunyai tang gung-jawab untuk melihat, apakah sebenarnya yang telah ter jadi. Selanjutnya mencegah jaugan sampai terulang kem bali. Meskipun ia yakin juga seperti Ken Arok, bahwa Aku wu Tunggul Ametung bersedia memberi mereka beras dan jagung berapa saja yang mereka butuhkan, tetapi untuk terlampau menggantungkan diri kepada bantuan itu bagi Mahisa Agni adalah kurang bijaksana. Orang-orang Panawijen ha rus meniyoba sejauh mungkin mencukupi kebutuhan diri sendiri. Hanya apabila keadaan tidak memungkinkan lagi, maka bantuan Akuwu Tunggul Ametung itu akan menjadi sandaran terakhir bagi mereka.
Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Agni ber kata "Ken Arok, terima kasih kami orang-orang Panawijen tiada tara-bandingnya atas segala bantuan yang telah kami terima. Namun jangan berarti bahwa kami harus menyandarkan diri kami kepada bantuan-bantuan itu saja. Biarlah kami mencoba mencapai kedewasaan kami. Karena itu, aku ingin melihat apakah yang sebenarnya terjadi di Panawijen. Aku ingin berusaha agar kebakaran semacam itu tidak terulang kembali.
"Apakah hal itu perlu sekali kau lakukan Agni?" "bertanya Ken Arok.
"Perjalanan berkuda ke Panawijen tidak terlampau jauh. Kalau besok pagi aku berangkat, maka pagi berikutnya aku sudah berada ditempai ini kembali.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sebagai orang yang telah mengenal padang Karautan melampaui siapa saja, Ken Arok membenarkan perhitungan Mahisa Agni. Tetapi terasa sesuatu mengganggu perasaannya. Sehingga tanpa se sadarnya ia berkata "Pekerjaan itu dapat kau lakukan besok lusa, seminggu bahkan sebulan yang akan datang. Sekarang tungguilah pekerjaan ini. Pekerjaan yang memberi harapan bukan saja kepadamu sendiri.
Mahisa Agni termenung sejenak. Tetapi hatinya telah mendorongnya untuk berkata "Sehari dua hari tidak akan mengganggu Ken Arok. Aku ingin sekali melihat dan berbuat sesuatu untuk mencegah.di kebakaran itu terulang. Bahkan mungkin aku dapat menemukan tanda-tanda lain. Mungkin sesearang telah menjadi patah hati melihat hasil kerja orang-orang Panawijen.
Ken Arok tidak segera menyahut. Dicobanya untuk mengerti perasaannya sendiri. Aneh. Ia tidak mengerti dengan pasti bahaya yang dapat mengancam Mahisa Agni diperjalan an, tetapi se-akan-akan sesuatu bakal terjadi. Ia pernah melihat Kuda-Sempana berkelahi dengan Mahisa Agni dipadang ini. Ia tahu benar bahwa Kuda-Sempana mempunyai seorang guru yang sakti. Empu Sada. Tetapi ia tidak tahu banyak tentang mereka itu.
Kesepian sekali lagi mencengkam suasana. Ken Arok masih juga berdiri ditempainya sambil mengerutkan keningnya, sedang Mahisa Agni yang duduk diantara kerumunan orang-orang Panawijen bersama dua laki-laki tua yang baru saja datang, menekurkan kepalanya, se-akan-akan terbayanglah dirongga matanyanyala api yang menggapai langit menelan beberapa buah lumbung dan rumah-rumah di Panawijen.
Dalam ketenyapan itu hampir semua kepala berpaling ketika mereka mendengar seseorang berkata per-lahan-lahan "Agni. Aku sependapat dengan angger Ken Arok. Padang Karautan bukanlah jalan yang lapang selapang padang itu sendiri bagimu.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat pamannya Empu Gandring berdiri diluar lingkaran orang-orang Panawi jen seperti Ken Arok. Dan terbayang diwajah orang tua itu kekhawatiran dan kecemasan. berbeda dengan Ken Arok Empu Gandring mempunai perhitungan2 yang lebih jelas tentang setiap kemungkinan yang dapat terjadi atas kemanakannya itu.
"Kau seharusnya dapat menghubungkan peristiwa-peristiwa yang pernah kau alami Agni "berkata Empu Gandring itu "Karena.itu, sabarkanlah dirimu. Tunggulah sampai beberapa saat.
Mahisa Agni tidak segera meujawab. Tetapi- dipandanginya dua laki-laki tua yang baru saja datang dari Panawijen itu ber-ganti-ganti.
Tiba-tiba salah seorang Iaki-laki itu berkata "Kami meng harap sekali kehadiran Mahisa Agni. Kami ingin mendapatkan kepastian bahwa kami tidak akan mati kelaparan.
"Aku memberikan jaminan itu "sahut Ken Arok. "Tetapi orang-orang Panawijen belum mendengarnya.
"Bukankah kau dapat mengatakan kepada mereka.
Sejenak kedua laki-laki itu terdiam. Namun salah seorang dari mereka berkata "Entahlah, aku tidak tahu apa sebabnya. Tetapi tiba-tiba aku merasa bahwa aku tidak berani kembali berdua dengan kawanku ini, Apalagi setelah aku mendengar bahwa padang Karautan masih juga menyimpan banyak kengerian.
Kini semua orang terdiam. Beberapa diantara mereka saling berpandangan. Ada juga yang menjadi gelisah. Rumah-rumah siapakah yang terbakar itu?" Jangan-angan rumah mereka telah menjadi abu. Tetapi tak seorangpun yang bertanya, sebab seandainya mereka mendapat kesempatan, maka mereka pun tidak akan berani melihat ke Panawijen.
Dalam pada itu terdengar Ken Arok bertanya "Tetapi kaki berdua telah berani menempuh perjalanan kemari. Ternyatakaki tidak juga mengalami sesuatu dipcrjalanan. Ke napa kaki berdua tidak berani kembali kepadukuhan kaki?"
Kedua laki-laki itu menggelengkan kepalanya. Salah seorang dari mereka menjawab "Aku tidak tahu. sebabnya ngger. Aku juga tidak tahu apakah yang telah mendorong aku sehingga aku berani menyeberangi padang Karautan. Tetapi apabila kini ternyata padang itu berbahaya, ledangkan Mahisa Agni saja masih juga harus ber-hati-hati, apalagi kami berdua.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Jalan pikiran orang tua-tua itu dapat dimengertinya.
Yang menyahut kemudian adalah Empu Gandring "Kalian telah lanjut usia. Mungkin sebaya atau bahkan lebih tua dari padaku. Karena itu maka justru kalian tidak akan terganggu diiepanjang perjalanan. Tak ada seorangpun yang akan mengganggu orang-orang tua. Akupun berani menyeberangi padang itu, sebab aku juga sudah tua. Apakah kalian bersedia apabila kami bertiga pergi, melintasi padang Karautan?"
Kedua Iaki-laki tua dari Panawijen itu Saling berpandang an sesaat. Salah seorang dari mereka kemudian menjawab
Kalau kami berdua harus pulang ke Panawijen, maka kami mengharap bahwa kami akan mendapat kawan yang seki ranya akan dapat melindungi kami. Kalau kami pergi bersama orang-orang tua sebaya dengan kami, maka aku rasa, kehadiran seorang kawan itu tidak akan banyak memberikan ketenteraman dihati kami.
Mahisa Agni terkejut mendengar jawaban itu. Ken Arokpun denyyan serta merta bergeser setapak. Diamatinya orang tua yang bernama Empu Gandring dengan sudut matanya. Tetapi Empu Gandring sendiri hanya tersenyum. Katanya setidaknya kita mempunyai seorang lagi untuk kawan bercakap-cakap. Dengan demikian kita akan dapat melupakan keta gangan disepanjang perjalanan. Bukankah kita akan berja yan siang hari?"
"Yang kami perlukan bukan seorang kawan bercakap-cakap "sabut salah seorang laki tua dari Panawijen itu "tetapi seseorang yang akan menyelamatkan kami dari setiap bencana yang dapat menerkam kami disepanjang perjalanan kami. Aku kira tak ada duanya yang dapat aku sebut namanya selain Mahisa Agni. Mahisa Agni akan dapat memberi perlindungan kepada kami disepanjang perjalanan kami. Sedang orang-orang Panawijen akan mendapatkan ketenangan mendengar Janji itu diucapkan oleh Mahisa Agni sendiri.
Hampir bersamaan, Mahisa Agni, Ken Arok dan Ki Buyut Panawijen berpaling memandangi wajah Empu Gandring. Tetapi orang tua itu masih juga lersenyum.
"Hem "Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam "orang tua itu tidak tahu siapakah paman Empu Gandring. Mereka menyangka bahwa Empu Gandring adalah seorang tua seperti mereka itu sendiri.
Tetapi permintaan orang-orang tua itu benar- lelah membuai kepala Mahisa Agni pening, la sendiri ingin sekali melihat, apakah yang sebenarnya terjadi di Panawijen. Tetapi ia menyadari juga, bahwa setiap kali ia akan dapat ditelan bahaya.
Meskipun demikian Mahisa Agni merasa, bahwa ia ber kepentingan sekali datang ke Panawijen. Bahaya itu adalah baru suatu kemungkinan. Ia dapat pergi siang hari, berpacu dipadang yang kering. "Apakah bahaya itu mengintai juga disiang hari?" Betapapun kuatnya keinginan seseorang untuk mencelakai aku, tetapi aku sangka mereka tidak akan ber jemur diterik panas seperti itu. Merekapun pasti menyangka bahwa aku selalu memilih waktu dimalam hari, diudara yang sejuk. Dan apakah aku sekarang ini sudah menjadi seorang pengecut?"
Perasaan itu selalu berdentangan didalam dada Mahisa Agni. Karena itu maka tiba-tibaia berkata "Ki Buyut, Paman Empu Gandring dan kau Ken Arok. Aku ternyata tidak dapat memilih selain memenuhi permintaan kedua orang-orang tua ini. Meskipun demikian aku harus ber-hati-hati. Aku akan pergi ke Panawijen disiang hari.
Ketiga orang itu terdiam sejenak. Tampaklah wajah2 itu menjadi tegang. Bahkan orang-orang Panawijen yang berkerumun itupun menjadi tegang pula.
"Apakah itu sudah menjadi keputusanmu Agni?" "ber tanya Ken Arok,
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya sambil menja wab "Ya.
"Keputusan yang tergesa-gesa "desis Empu Gandring.
Kedua orang laki-laki yang datang dari Panawijen itu berpaling kepada Empu Gandring. Mereka menjadi tidak senang mendengar kata-katanya yang se-olah-olah selalu berusaha merintangi kepergian Mahisa Agni ke Panawijen. Sehingga karena itu salah seorang berkala "Kenapa kau mencoba mencegah kepergiannya?" Bahkan kau sendiri akan mengantarkan kami?"
Mahisa Agni terperanjat mendengar kata-kata itu. Hampir-hampir ia menyahut, tetapi ternyata Empu Gandring mendahuluinya "Maafkan aku ki sanak. Mungkin aku terlampau mencemaskan nasib anak muda itu.
"Ia telah dapat menilai dirinya sendiri.
Empu Gandring meiig-angguk-anggukkan kepalanya, sahutnya "Mungkin. Mungkin demikian. Tetapi ia masih terlampau muda. Darahnya masih terlampau cepat mendidih.
"Itulah anak-anak muda yang berani dan bertanggung-jawab. Memang kita orang-orang tua kadang-kadang tidak dapat mengerti tentang anak-anak muda apalagi seperti Mahisa Agni. Itu adalah karena kebodohan kita masing-masing.
Empu Gandring tidak menjawab lagi. Ia tidak dapat berbincang dengan kedua laki-laki tua dari Panawijen itu.
Tetapi dengan demikian Mahisa Agnilah yang menjadi gelisah. Pamannya adalah seorang yang sukar dicari duanya Orang tua itu telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan dengan orang-orang yang pilih tanding. Gurunya, Panji Bojong Santi, Empu Sada dan lainnya. Untunglah bahwa Empu Gan dring memiliki kesabaran yang cukup sehingga ia dapat dengan wajar menanggapi kata-kata kedua laki8 tua dari Panawijen yang tidak mengenalnya itu.
Yang kemudian terdengar adalah salah seorang laki-laki tua itu berkata "Angger Mahisa Agni. Aku harap kau mendengarkan suara hati orang-orang Panawijen. Mereka cukup puas apabila mereka melihat angger datang ke Panawijen. Memberikan beberapa keterangan dan memberikan ketenteraman kepada mereka. Apalagi janji yang telah diucapkan oleh angger yang agaknya seorang pemimpin dari Tumapel. Dengan demikian maka orang-orang Panawijen tidak selalu di-kejar-kejar oleh. kegelisahan karena bayangan bahaya kelaparan yang akan me nimpa mereka.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Sejcnak ditatapnya wajah pamannya yang suram. Tetapi laki-laki tua dari Panawijen itu berkata Jangan hiraukan orang lain. Apalagi mereka yang bukan orang panawijen. Mereka tidak dapat merasakan betapa kecemasan telah mencengkeram seluruh pa dukuhan. Tanah yang kering kerontang, daun-daun yang menjadi kuning dan gugur ditanah. Kini beberapa lumbung desa kami terbakar.
Detak jantung Mahisa Agni serasa menjadi berdentangan didalam dadanya. Hampir-hampir ia berkata, siapakah laki-laki tua yang memang sebenarnya bukan orang Panawijen itu. Tetapi ia adalah seorang yang dapat berbuat banyak dipadang Karautan ini.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat pamannya menganggukkan kepalanya. Terdengar ia berkata per-lahan-lahan "Sebenarnyalah demikian Agni. Segala sesuatu tergantung kepadamu. Dihadapanmu terbentang banyak pekerjaan dan kuwajiban yang terlampau sulit.
Dahi Mahisa Agni mcnjadi semakin ber-kerut-merut. Tetapi keinginannya untuk pergi ke Panawijen sangat mendesaknya. Ia dapat membayangkan betapa orang-orang yang tinggal di Panawijen menjadi terlampau gelisah dan cemas. Perem puan dan anak-anak pasti tidak akan dapat tidur nyenyak karena hantu kelaparan yang selalu me-nakut-nakuti mereka.
"Paman. "berkata Mahisa Agni kemudian "aku terpaksa pergi ke Panawijen. Tetapi kali ini aku akan pergi disiang hari. Mudah-mudahan aku terhindar dari segala macam bahaya.
Tanpa mereka sengaja, maka Empu Gandring dan Ken Arok saling berpandangan. Dan tanpa berjanji pula mereka berdesis "Kau jangan pergi seorang diri.
Mahisa Agni memandangi wajah pamannya dan Ken Arok berganti-ganti "Aku hanya akan pergi sehari saja.
"Sehari atau seminggu bahaya itu bagimu sama saja Agni. "berkata pamannya.
Mahisa Agni menyadari kata-kata pamannya itu. Tetapi apakah ia harus mengecewakan orang-orang Panawijen yang sedang dicengkam oleh ketakutan itu?" Mahisa Agni tidak dapat me lupakan, bahwa kekeringan yang menimpa Panawijen itu adalah akibat dari sikap gurunya yang sedang kehilangan ke seimbangan. Ia tidak dapat melemparkan kesalahan itu ke pada orang lain berturutan, sehingga akhirnya kesalahan itu akan dibebankan kepada Kuda-Sempana. Tidak. Ia harus turut bertanggung jawab atas akibat dari kekhilafan gurunya itu.
Apalagi ketika terpandang olehya wajah-wajah laki-laki tua yang datang dari Panawijen dengan sepenuh harapan.
Karena itu maka Mahisa Agnipun kemudian berkata "Paman, aku tidak dapat mengecewakan orang-orang Panawijen. Bukan karena aku selalu dapat mengatasi setiap kesulitan dan memberi apa saja yang mereka butuhkan tetapi mereka me merlukan kawan untuk ikut serta merasakan kecemasan dan
kegelisahan. Adalah hanya karena pertolongan Yang Maha Agunglah kemudian apabila dapat kita temukan jalan ke luar dari kesulitan-kesulitan itu. Kali ini, dalam hal kekurangan per sediaan bahan makanan, Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah menjadi lantarayyi untuk meringankan beban kita.
Empu Gandring meng-angguk-anggukkan kepalanya. Dan kemu dian terloncat dari bibirnya "Baiklah Agni. Kalau kau tidak dapat lagi merubah keputusanmu.
Sebelum Empu Gandring menyelesaikan kalimatnya, salah seorang laki-laki tua dari Panawijen itu memotong "Keputusan itu adalah keputusan yang paling bijaksana.
Empu Gandring sama sekali tidak menanggapinya. Ia masih berkata kepada Mahisa Agni "Berangkatlah besok pagi. Aku pergi bersamamu.
Kedua laki-laki tua dari Panawijen itu mengangkat wajahnya. Sambil memandangi Empu Gandring salah seorang dari mereka bertanya "Buat apa kau ikut dengan Mabisa Agni?"
Mahisa Agni tidak lagi dapat menahan dirinya. Terasa sesuatu mendesak didalam dadanya. Dan tanpa sesadarnya ia membentak "Kaki. Aku sudah memenuhi permintaanmu. Tetapi jangan terlampau banyak mempersoalkan orang lain yang sama sekali tidak kau ketahui keadaannya.
Kedua Iaki-laki itu benar-benar terkejut mendengar Mahisa Agni membentak, sehingga keduanya menjadi terbungkam. Wajah merekapun menjadi pucat dan bibir mereka menjadi gemetar. Mereka tidak tahu kenapa tiba-tibaMahisa Agni men jadi marah kepada mereka.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Dengan sareh ia berkata "Biarkan mereka menyatakan pikirannya Agni.
Dada Mahisa Agni se-akan-akan menjadi sesak. PerIahan-lahan ia berdesis "Maafkan aku kaki. Bukan maksudku menyakiti hatimu.
Sejenak kemudian mereka terdampar kedalam suasana yang sepi. Kedua laki-laki tua dari Panawijen itu masih gemetar. Mereka benar-benar tidak menyadari apa yang sedang mereka lakukan. Tanpa mereka kehendaki, mereka telah ikut serta menjerumuskan Mahisa Agni kedalam bahaya.
Yang mereka angan-angankan adalah, bahwa apabila mereka berhasil membawa Mahisa Agni datang ke Panawjen, maka mereka akan menjadi pahlawan. Mereka dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Mereka sa ma sekali tidak mengerti keadaan Mahisa Agni sebenarnya, dan mereka tidak merasa, bahwa merekapun ternyata telah terjebak dalam suatu akal yang licik- dari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Dalam pada itu terayata bukan saja Empu Ganring yang menjadi cemas alas nasib Mahisa Agni. Ken Arokpun mera sakan sesuatu yang tidak dapat dimengertinya sendiri. Karena itu maka kemudian ia berkata" Mahisa Agni. Aku akan menyiapkan tujuh orang yang terpilih, untuk mengawanipun per gi ke Panawijen.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka akan mendapat tawaran itu. Tetapi sayang, bahwa hati kecilnya meronta. Ia sama sekali bukan seorang pemimpin, tetapi juga bukan seorang penakut. Karena itu, maka pangawalan tujuh orang prajurit akan membuatnya menjadi canggung.
Karena itu maka jawabnya" Terima kasih Ken Arok. Terima kasih atas kebaikanmu itu. Tetapi maaf aku tidak dapat menerimanya. Pengawalan prajurit sama sekali bukanlah hakku, dan sama sekali tidak sepantasnya tcrjadi. Aku hanya seorang anak padesan yang tidak berarti.
"Jangan terlampau merendahkan dirimu Agni" sahut Ken Arok" aku sama sekali tidak memandang siapakah kau.
-Tetapi aku merasakan suatu ketidak" wajaran. Sedang kau sekarang sedang dibebani oleh Itugas yang cukup berat.
Mahisa Agni menggeleng lemah" Terima kasih Ken Arok. Tetapi maaf, aku kira aku tidak akan dapat menerimanya.
"Apakah kau tersinggung karenanya?"- bertanya Ken Arok" aku sama sekali tidak ingin menganggapmu seperti kanak-anak yang masih selalu memerlukan dayang dan pengasuh.
Tidak. Tetapi padang Karautan memang menyimpan seribu macam rahasia.
"Rahasia itu sekarang telah berada ditanganmu.
"Satu diantaranya" jawab Ken Arok" tetapi aku pernah melihat tiga hantu Karautan berkumpul disini, kemudian hadir seorang sakti yang bernama Empu Sada. Setelah itu ternyata dipadang ini telah singgah pula seorang yang barnama Empu Gandring. Akhir-akhir ini dipadang ini pula berkeliaran penunggang kuda tanpa pelana. hantu dari Kemundungan yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Sebelumnya dihutan menjelang padang ini terdengar pula seorang berkasa kulit harimau, guru kakang Witantra, Panji Bojong Santi. Nah, Agni. Apakah tujuh orang prajurit itu masih kau anggap ber-lebih-lebihan.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Kata-kata yang diucap kan oleh Ken Arok itu sama sekali tak dapat disangkalnya. Ia mengakui bahwa semuanya itu benar-benar membuat padang ini semakin banyak menyimpan rahasia. Tetapi bagaimanapun juga, Mahisa Agni merasa canggung apabila ia harus mendapat pengawalan tujuh orang prajurit Tumapel.
Karena itu dengan berat hati ia berkata "Terima kasih Ken Arok. Aku dapat menerima kemurahan Akuwu Tunggul Ametung atas bendungan yang sedang kita bangun. Aku tidak akan menolak seandainya nanti Akuwu Tunggul Ametung memberikan hadiah bahan makanan kepada kami, orang-orang Panawijen yang kelaparan. Tetapi aku tidak dapat menerima kebaikan hatimu, justru untukku sendiri. Aku tidak dapat berjalan seperti seorang Senapati yang dikawal oleh prajurit-prajuritnya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Agni bukanlah sanak dan bukan kadangnya. Tetapi ia merasa sesuatu telah memaksanya untuk mencoba melindunginya.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Dua laki-laki tua dari Panawijen itu duduk membeku. Nama yang disebut oleh Ken Arok sebagian besar belum pernah mereka dengar. Tetapi suasana pembicaraan itu membayangkan kepada mereka bahwa dipadang Karautan itu memang tersimpan berbagai macam persoalan.
Tetapi kedua laki-laki itu sama sekali tidak dapat mengerti kenapa Mahisa Agni menolak ketujuh orang prajurit yang diberikan oleh Ken Arok kepadanya. Bukankah dengan demi kian perjalanan mereka akan menjadi bertambah aman?" Mereka sama sekali tidak merasakan kejanggalan dan keseganan itu. Bahkan mereka sama sekali tidak berpikir tentang keadaan diri sendiri dalam hubungannya dengan para prajurit itu.
Keheningan itu kemudian dipecahkan oleh suara Ken Arok "Agni, kalau demikian, maka aku akan ikut besertamu.
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga duduknya berksar setapak. Dengan serta-merta ia menyawab "Ken Arok, jangan hiraukan aku. Lakukanlah kuwajiban yang dibebankan kepadamu oleh Akuwu Tunggul Ametung. Memimpin para prajurit dan Pelayan-dalam istana untuk membantu membuiat bendungan ini. Tetapi jangan mem persulit dirimu dan menghiraukan hal-hal yang kecil yang bukan kewajibanmu. tetapi justru dapat mendatangkan bencana bagimu.
Ken Arok menggelengkan kepalanya, katanya "Aku dapat bersikap sebagai seorang pemimpin dari para prajurit ini, tetapi aku juga dapat bersikap sebagai Ken Arok pribadi-Ken Arok yang untuk pertama kalinya bertemu dengan Mahisa Agni dipadang Karautan ini. Karena itu, maka biarlah aku melepaskan pakaian kepemimpinanku sejenak dan menyerahkan kepada orang lain. Aku, Ken Arok akan pergi bersamamu menyeberangi padang ini. Aku ingin mengenangkan kembali segarnya udara terbuka, hijaunya daun-daun perdu dan panasnya terik matahari. Jangan menolak Agni. Sebab me nolak atau tidak, aku mempunyai kebebasan untuk melakukannya. Pergi ke Panawijen atau tinggal disini.
Sejenak Mahisa Agni terbungkam. Sama sekali ia tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Karena itu maka sekali lagi suasana menjadi sepi. Kadang-kadang terdengar beberapa orang yang duduk disekitar Mahisa Agni itu saling berbisik. Kadang-kadang mereka meng-angguk-anggukkan kepala mereka, namun kadang-kadang wajah itu menjadi sangat tegang.
Mahisa Agni sendiri sejenak tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Ia tidak menyangka bahwa begitu besar per hatian orang-orang disekitarnya terhadap dirinya. Terbersitlah rasa terima kasih yang me-nyentuh-nyentuh hatinya, tetapi iapun menjadi canggung pula karenanya. Ia biasa hidup sebagai seorang anak padepokan yang bertanggung jawab. Yang biasa meletakkan kuwajiban pada usaha sendiri. Tetapi kini ia harus menghadap suatu kenyataan yang lain meskipun persoalannya dapat dimengertinya.
Meskipun demikian Mahisa Agni masih mencoba men jawab "Ken Arok, aku sekali lagi mengucapkan terima kasih kepadamu. Aku memang tidak akan dapat menolak apa lagi melarang, seandainya kau dengan kehendakmu sendiri ingin menjelajahi padang Karautan ini. Tetapi apakah dengan demikian kau tidak justru meninggalkan kuwajiban yang dibebankan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepadamu?"
"Itu adalah tanggung jawabku Agni. Seandainya aku akan dianggap mengabaikan kuwajibanku sekalipun, maka akulah yang akan menerima akibatnya.
Mahisa Agni tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia tabu benar, bahwa sama sekali bukan maksud Ken Arok untuk memaksa kehendaknya atasnya, tetapi apa yang dilakukannya itu terdorong oleh perasaan cemas dan gelisah.
Akhirnya Mahisa Agni berkata "Baiklah. Kalau kau ingin juga pergi menyeberangi padang Karautan ini. Aku tahu bahwa itu bukan se-mata-mata karena kau telah merindukan udara padang yang luas ini, bukan karena kau ingin mendengar angin yang gemerisik membelai dedaunan yang mulai kering menguning. Tidak pula karena kau ingin melihat angin pusar an yang menaburkan debu dan rerumputan kering. Tetapi karena kau melihat sesuatu yang mencemaskan hatimu. Tentang aku.
Ken Arok meng-angguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya per lahan-lahan "Terserah kepadamu Agni. Apakah yang akan kau katakan tentang aku.
Keduanyapun kemudian terdiam. Angin senja bertiup semakin lama semakin kencang. Tiba-tibamereka melihat kilat memancar.
Dada Mahisa Agni berdesir. Tanpa disadarinya ditatapnya langit diluar gubugnya. Tetapi langit itu tampak bersih. Satu dua bintang telah mulai menampakkan dirinya, berkeredipan seperti batu permata.
"Hem, apakah sudah akan sampai waktunya musim basah tiba "pertanyaan itu tumbuh didalam hatinya "Bendungan itu masih belum siap seluruhnya. Tetapi menilik mangsa, hujan baru akan datang dua bulan lagi, dan banjir yang pertama menurut kebiasaan akan datang kira-kira tiga bulan lagi.
Mahisa Agni terkejut ketika pamannya berkata "Apakah kita sudah menjatuhkan putusan?" Besok kau pergi ber sama aku dan angger Ken Arok?"
Mahisa Agni mengangguk sambil menjawab "Demikian lah paman.
"Baiklah "sahut pamannya "sekarang aku akan beristirahat. Besok kita berangkat pagi2.
"Silahkan paman jawab Mahisa Agni.
"Aku juga akan mempersiapkan diri "berkata Ken Arok "aku akan menyerahkan pimpinan kepada seseorang dan memerintahkan dua orang untuk pergi ke Tumapel. Ke dua prajurit akan mclapoikau keadaan dipadang ini dan akan menyampaikan berita kebakaran di Panawijen. Aku ya kin kalau Tuanku Akuwu Tunggul Ametung akan menyangupi memberi bantuan kepada orang-orang Panawijen. Se-tidak-tidaknya bagi orang-orang Panawijen yang berada dipadang Karautan ini, sehingga mereka tidak perlu mengurangi persediaan makan dari lumbung-lumbung yang masih ada di Panawijen.
Terima kasih Ken Arok "desis Mahisa Agni sambil menundukkan kepalanya. Getar dadanya serasa semakin cepat mengalir. Bantuan-bantuan yang datang itu telah mengharukan pe rasaannya.
Akhirnya perasaan terima kasih yang tidak terhingga di panjatkannya kepada Yang Maha Agung. Hanya karena tangan-Nyalah maka semua itu dapat terjadi.
Sejenak kemudian Ken Arok telah meninggalkan Mahisa Agni yang masih duduk tepekur. Beberapa orang lainpun satu-satu beranjak pula dari tempat duduk mereka, kembali ke-gubugs masing-masing. Mereka menjadi gelisah setelah mereka mendengar berita kebakaran di Panawijen. Tetapi mereka pun menjadi gelisah pula mendengar pembicaraan orang-orang penting disekitar mereka. Mereka ingin Mahisa Agni melihat bekas kebakaran itu untuk memastikan sebab-sebabnya, tetapi mereka juga mengharap didalam hatinya, agar Mahisa Agni tidak usah pergi ke Panawijen, sebab menurut pendengaran mereka, padang Karautan benar-benar merupakan padang yang dipenuhi oleh seribu macam rahasia.
Tetapi mereka tidak dapat mengatakan kepada Mahisa Agni, kepada Ken Arok atau kepada paman Mahisa Agni. Mereka juga tidak dapat mengatakan kepada kedua laki-laki tua yang baru datang dari kAmpung halaman mereka, bahwa sebaiknya Mahisa Agni tidak usah mereka ajak kembali ke Panawijen. Namun satu dua orang berpendapat bahwa se baiknya Mahisa Agni pergi saja ke Panawijen, supaya apa bila ia kembali kepadang ini, ia dapat mengatakan apa yang telah terjadi. Sehingga dengan demikian mereka tidak selalu dihantui oleh bayangan yang mungkin sangat ber-lebih-lebihan.
Ketika tempat itu menjadi semakin sepi, maka Mahisa Agni terkejut mendengar suara K i Buyut Panawijen dekat disampingnya "Angger, aku juga ingin turut ke Panawijen.
"Oh "- Mahisa Agni mengangkat wajahnya dan de ngan serta merta ia berkata "Jangan Ki Buyut. Aku sudah meninggalkan pekerjaan ini. Sebaiknya Ki Buyutlah yang ki ni menunggui mereka supaya mereka tidak menjadi kehilang an gairah.
"Tetapi aku juga ingin melihat apa yang terjadi itu ngger.
"Lain kali Ki Buyut. Biarlah Ki Buyut tetap bersama mereka yang sedang bekerja. Aku, paman Empu Gandring dan Ken Arok telah meninggalkan padang ini. Para prajurit Tumapel itupun diserahkannya kepada orang lain. Karena itu sebaiknya Ki Buyut tetap berada disini.
Ki Buyut Panawijen menatap wajah Mahisa Agni de ngan pancaran kekecewaan hatinya. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Dicobanya untuk mengerti kata-kata Mahisa Agni itu.
"Ki Buyut" Mahisa Agni meneruskan" kerja yang be sar ini tidak akan dapat kita tinggalkan bersama-sama. Aku telah melihat sekali-sekali kilat memancar dilangit. Sebentar lagi kita akan sampai pada musim basah. Sebelum banjir yang pertama mengaliri sungai ini, maka bendungan kita harus sudah meyakinkan, bahwa ia tidak akan hanyut karenanya.
Ki Buyut meng-angguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih saja berdiam diri.
"Karena itu" Mahisa Agni meneruskan" kita harus be kerja keras untuk menyelesaikannya. Untunglah bahwa kita mendapat bantuan para prajurit dari Tumapel itu.
Ki Buyut Panawijen masih meng-angguk-angguk kecil. Kemudian katanya per-lahan-lahan" Baiklah ngger. Biarlah aku tinggal disini menunggui mereka yang sedang bekerja.
"Terima kasih Ki Buyut." sahut Mahisa Agni" mudah-mudahan semuanya dapat kita selesaikan ber-sama-sama.
Ki Buyut kemudian meninggalkan Mahisa Agni kembali kegubugnya. Udara masih juga terasa agak panas, meskipun angin telah bertiup agak kencang. Gelap malAmpun semakin lama menjadi semakin pekat; Ketika Mahisa Agni menenga dahkan wajahnya, dilihatnya dari celah tutup keyong gubugnya, bintang-bintang sudah berpijaran dilangit yang biru hitam.
Kedua laki-laki tua yang datang dari Panawijen masih berada didalam gubug itu. Ketika suasana menjadi semakin sepi, dan tidak ada orang lain didalam gubugnya, maka salah seorang daripadanya bertanya" Agni, siapakah orang tua itu?"
"He" Mahisa Agni mengerutkan keningnya "bukankah itu Ki Buyut. Apakah kalian telah melupakannya?"
"Bukan. Bukan Ki Buyut. Apakah aku sudah gila sehingga aku tidak mengenalnya lagi." sahut orang itu" maksudku orang tua yang selalu mencoba menghalangi kau pergi ke Panawijen.
Dahi Mahisa Agni menjadi berkerut merut. Terasa detak jantungnya menjadi semakin cepat. Tetapi ia tidak akan dapat mengatakan lain daripada keadaan sesungguhnya. Dengan demikian maka untuk selanjutnya kedua orang itu akan bersikap lebih hati-hati. Namun hal itu pasti akan mengejutkan mereka. Tetapi menurut pendapat Mahisa Agni demi kianlah sebaiknya.
Maka jawabnya" Kaki, laki tua itu adalah salah seorang dari mereka yang di-sebut-sebut sebagai orang aneh di Tumapel. Ia seorang pembuat keris. Kerisnya hampir tak ada duanya didunia ini. Tetapi membuat keris baginya tidak seperti pembuat-pembuat keris yang lain. Belum pasti setahun sekali ia meng hasilnya sebuah keris. Bahkan mungkin dua tahun. Tetapi apa bila sebuah keris disiapkannya, maka keris itu pilih tanding.
Kedua laki-laki itu memandangi wajah Mahisa Agni dengan tegangnya." Tetapi mereka tidak segera tahu, siapakah orang itu.
Karena itu maka salah seorang dari mereka bertanya "Siapakah orang itu?"
"Orang itu telah pula di-sebut-sebut namanya oleh Ken Arok.
"Ya, siapakah namanya."
"Empu Gandring. "O "kedua orang itu terbungkam. Mereka mendengar nama itu tadi disebut pula seorang anak muda pemimpin prajurit dari Tumapel dalam deretan nama-nama yang asing bagi mereka, tetapi kesan yang mereka tangkap adalah terlampau dahsyat. Justru karena itu maka mereka tidak lagi mengucapkan sepatah katapun. Dada mereka seakan-akan tersumbat oleh penyesalan.
Yang berbicara kemudian adalah Mahisa Agni, katanya "Nah, sekarang beristirahatlah. Besok kita berangkat pagi2 supaya kita sampai di Panawijen sebelum sore hari.
"Begitu cepat?"
"Tidak terlampau cepat. Perjalanan yang sedang.
Kedua orang itu tidak menjawab lagi. Mahisa Agni telah menyediakan untuk mereka sehelai tikar pandan yang dibentangkan diatas setuMpuk rumput-rumput kering.
Malampun kemudian menjadi semakin dalam. Setapak demi setapak bintangi berkisar kebarat menuju kecakrawala. Angin malam yang sejuk berhembus dari Selatan. Dan embunpun kemudian setetes-setetes menitik dan hinggap didedaunan yang menguning.
Ketika fajar menyingkap kehitaman langit diujung Timur, maka Mahisa Agni dan kawan-kawannyapun telah bersiap. Kedua laki-laki tua dari Panawijen, Empu Gandring dengan se bilah keris raksasa dipunggungnya, Ken Arok dengan pedang dilambung dan Mahisa Agni sendiri. Seperti Ken Arok Mahisa Agnipun membawa pedang pula tergantung pada ikat pinggang kulit yang lebar.
Terasa oleh orang-orang Panawijen dan para prajurit Tu mapel, bahwa orang-orang Yang berangkat melintasi padang Karaut an itu benar-benar telah bersiap untuk menghadapi setiap kemung kinan.
Ketika langit menjadi semakin terang, maka merekapun segera berangkat, dilepas oleh Ki Buyut Panawijen dan orang lain yang sebentar lagi akan mulai pula bekerja menyelesai kan bendungan itu.
Sejenak kemudian maka kuda-kuda itupun segera berpacu. Tetapi mereka tidak dapat berjalan seperti yang mereka ke hendaki, karena kedua laki-laki tua dari Panawijen itu tidak berani menunggang kuda terlampau kencang. Karena itu maka perjalanan itupun merupakan perjalanan yang terlampau lambat bagi Mahisa Agni, Empu Gandring, apalagi Ken Arok.
Meskipun demikian, namun merekapun menjadi semakin lama semakin mendekati pedukuhan Panawijen. Pedukuhan yang semakin lama menjadi semakin kering. Namun dengan demikian, bagi Mahisa Agni semakin lama semakin didekatinya bahaya yang bersembunyi didalam pedukuhan itu.
Kebo Sindet dan Wong Saiimpat telah menunggunya de ngan sepenuh harapan tentang berbagai keuntungan yang akan mereka dapatkan dari pemerasan yang akan mereka lakukan.
Betapapun lambatnya perjalanan itu, tetapi akhirnya Pa nawijen telah berada dihadapan hidung mereka, setelah be berapa kali mereka berhenti melepaskan lelah dan haus, kare na kedua laki-laki tua dari Panawijen itu. Mereka tidak memiliki ketahanan seperti Mahisa Agni, Empu Gandring yang mes kipun sudah tua pula dan apalagi Ken Arok, seorang yang paling mengenal padang Karautan melampaui yang lain8.
Sejenak kemudian merekapun telah memasuki padukuhan itu. Mereka berlima disambut dengan penuh gairah oleh orang Panawijen. Apalagi setelah mereka melihat Mahisa Agni, maka merekapun menjadi se-akan-akan anak-anak yang sudah Ia ma tidak melihat ayahuya pergi merantau, dan kini ayah itu kembali pulang.
Belum lagi Mahisa Agni sempat beristirahat, maka beberapa orang-orang telah menemunya dan masing-masing berceritera dalam nada yang ber-beda-beda tentang kebakaran yang terjadi dipadu kuban mereka. Tentang beberapa buah lumbung dan rumah8 yang lain.
"Nanti aku akan melihat" berkata Mahisa Agni" seka rang apakah kalian tidak ingineri kesempatan kami untuk beristirahat sebentar.
"Oh "orang-orang Panawijen itu saling berpandangan se jenak. Kemudian merekapun menjawab hampir bersamaan-Silahkan. Silahkan anakmas beristirahat di rumah Ki Buyut.
"Terima kasih" sahut Mahisa Agni" aku akan beristira hat dipadepokanku.
Mahisa Agnipun kemudian pergi kepadepokannya, padepokan yang pernah didiaminya sejak kanak?".
Dalam pada itu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. menunggu dengan ber-debar-debar dirumah Kuda-Sempana. Ketika ayah Kuda-Sempana datang, maka dengan ter-gesa-gesa Wong Sarim pat bertanya" He, apakah kau melihat Mahisa Agni. Bukankah orang-orang ribut menyambut kedatangannya. Anak-anak itu akan menjadi terlampau congkak. Se-akan-akan ia sudah menjadi seorang Akuwu di Panawijen.
"Aku melibatnya" sahut ayah Kuda-Sempana" anak muda itu datang berlima.
"Berlima?"" Wong Sarimpat mengerutkan alisnya, sedang wajah Kebo Sindet yang beku masih juga membeku" siapa saja mereka?"
Ayah Kuda-Sempana menggeleng" Aku tidak tahu. Yang seorang sudah agak tua, membawa sebuah keris yang besar dipunggungnya.
"Empu Gandring" gumam Wong Sarimpat.
"Yang seorang lagi agaknya prajurit atau Pelayan da lam seperti Kuda-Sempana dahulu Wajahnya tampan dan bermata terang.
"Siapakah anak itu Kuda-Sempana?"" bertanya Wong Sarimpat.
Kuda-Sempana menggeleng. Jawabnya kosong" Aku ti dak tahu.
"Kau pasti tahu" sahut Wong Sarimpat" kau pernah menjadi seorang prajurit atau seorang Pelayan-dalam.
"Tetapi aku tidak melihat siapa orang itu.
Wong Sarimpat meng-anggukskan kepalanya. Gumamnya-Ya, kau memang tidak melihat tetapi seharusnya kau dapat mengira-ngirakan siapakah orang itu.
"Ada be-ratus-ratus Pelayan-dalam dan prajurit pengawal didalam istana. Aku tidak dapat mengenal seluruhnya.
"Tetapi siapakah yang berwajah tampan dan bermata terang "tiba-tiba Wong Sarimpat membentak.
"Jangan terlampau keras berteriak Kebo Sindet memperingatkannya "kita tidak berada di Kemundungan. Kita berada didalam sebuah pedukuhan. Di Kemundungan, suaramu yang keras dan serak itu hanya akan didengar oleh dinding-dinting padas lereng bukit. Disini suaramu akan dapat membuat bayi menjadi pingsan.
"Oh " Wong Sarimpat mengusap mulutnya se-akan-akan ia akan menghapus suaranya yang telah terlanjur terlontar. Tetapi kembali ia bertanya merkipun agak per-lahan-lahan "Siapa?"
"Banyak diantara mereka yang tampan dan bermata, terang "sahut Kuda Sempana se-akan-akan acuh tak acuh "Witantra, Sura, Kukma, Mitra"
"Cukup. "sekali lagi Wong Sarimpat berteriak dan sekali lagi Kebo Sindet memperingatkannya "Wong Sarimpat. Apakah kau tidak mempunyai otak?"
01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wong Sarimpat terdiam. Tetapi mulutnya masih saja kumat-kamit, dan ia mengumpat tak habis-habisnya didalam hati.
"Mungkin kau tidak mengenal anak itu Kuda-Sempana "berkata Kebo Sindet dengan wajah yang beku "tetapi siapakah yang dua lagi?"
Ayah Kuda-Sempana menjawab "Yang dua adalah lakis tua dari Panawijen yang menjemput mereka.
Kebo Sindet meng-angguk-anggukkan kepalanya. Kepada Wong Sarimpat ia berkata "Kita sudah pasti. Siapapun prajurit muda itu, tetapi ia bukan orang-orang yang wajib kita perhitung kan. Kau dapat menahan Empu Gandring, dan aku akan melarikan Mahisa Agni.
Wong Sanmpat meng-angguk-anggukkan kepalanya.
"Kemudian kau lebih baik meninggalkan Empu Gandring. Ia tidak akan dapat menyusulmu. Kudamu pasti lebih baik dari pada kudanya.
Wong Sarimpat masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kalau anak muda yang seorang itu mampu membuat perlawanan, maka sementara Kuda-Sempana harus mengikat
Mahisa Agni dalam perkelahian. Hanya sebentar. Aku akan membunuh prajurit muda yang tampan itu. Aku tidak tahu siapa ia, tetapi kalau ia mencoba meng-halang2i aku, maka terpaksa aku akan membunuhnya.
"Baik "geram Wong Sarimpat "aku akan membunuh Empu Gandring, tidak hanya sekedar menyingkirkannya dari Mahisa Agni.
"Kau tidak perlu membual Wong Sarimpat. "berkata Kebo Sindet. Kemudian kepada Kuda-Sempana ia berkata "Dan kau Kuda-Sempana, kau akan dapat melepaskan dendam hatimu. Sekendakmulah, apa yang akan kau lakukan atas anak muda itu kelak di Kemundungan. Sedang aku mempunyai kepentingan sendiri dengan Mahisa Agni itu. Tetapi aku tidak akan mengecewakanmu.
Sementara itu, setelah Mahisa Agni dan kedua orang lainnya, Empu Gandring dan Ken Arok, beristirahat sejenak, minum air legen yang manis langsung dari bumbung yang di turunkan dari deresan pohon nyiur, dan sedikit makan be berapa jenis makanan, merekapun segera pergi ketempat ke bakaran.
Mereka melihat beberapa lumbung dan rumah terbakar hampir musna. Abu yang lembut masih saja berhamburan disentuh angin yang agak kencang. Disana sini masih teronggok reruntuhan yang tersisa.
Mahisa Agni, Empu Gandring dan Ken Arok melihat sisa-sisa kebakaran itu dengan saksama, sementara beberapa orang mengerumuninya dari kejauhan.
Tiba-tiba Empu Gandring yang tua itu mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa hal yang kurang wajar menurut penilaiannya. Karena itu maka digamitnya Ken Arok dan di panggilnya Mahisa Agni mendekat.
"Kau lihat onggokan abu disini?" "bertanya Empu Gan dring.
Kedua anak muda itu menggangguk.
"Dan kau lihat rumah sebelah yang belum terbakar habis?"
Sekali lagi keduanya mengangguk.
"Aku akan menyebutkan suatu kemungkinan, tetapi aku tidak dapat memastikan kebenarannya. Kalau menurut dugaanku, maka lumbung ini pasti lebih dahulu terbakar dari rumah itu. Bukankah disisi.sebelah ini kebakaran agaknya lebih sempurna dari sisi yang lain.
"Ya "sahut Mahisa Agni.
"Tetapi rumah itu terbakar disisi yang berlawanan da ri lumbung ini. Kalau rumah itu terbakar oleh api yang menjalar dari lumbung ini, maka sebelah yang terdekat dengan lumbung indah yang akan terbakar lebih dahulu. Tetapi bukankah yang terjadi sebaliknya?" Justru yang disisi ini rumah itu masih tersisa meskipun tinggal seonggok kayu.
Kedua anak-anak muda itu masih meng-angguk-anggukkan kepalanya. Mereka segera dapat mengambil kesiMpulan, bahwa api yang membakar rumah itu bukanlah yang menjalar dari lumbung ini. Kenyataan yang kecil itu telah cukup membuat mereka bercuriga. Apakah mungkin karena panasnya udara timbul api dari dua tempat yang berbeda?" Yang hampir ber samaan telah membakar dua macam bangunan itu?"
Dalam pada itu terdengar Ken Arok berdesis "Ada tangan yang menyalakannya.
Empu Gandring meng-angguk-anggukkan kepalanya, sedang mata Mahisa Agni kini menjadi menyala seperti api yang membara. Terdengar giginya gemeretak. Dengan dada yang berdentangan ia menggeram "Aku sependapat. Ada orang yang mencoba mengacaukan kerja kita.
"Jangan kau tanggapi dengan hati yang gelap Agni. Adalah sudah, menjadi kebiasaan, bahwa setiap kerja yang baik dan bermanfaat, apalagi kerja yang besar, pasti akan ditemuinya berbagai macam rintangan dan gangguan. Kini kau juga menjumpai rintangan dan gangguan itu.
"Jadi apakah kita akan membiarkan saja mereka itu paman?"
"Tentu tidak Agni. Tetapi hati kita harus tetap jernih supaya kita tetap dapat melihat dengan terang. Kita harus pasti siapakah yang kita hadapi. "Empu Gandring berhenti sejenak. Dipandanginya orang-orang yang berkerumun dikejauhan. Kemudian katanya "Kau jangan membuat orang-orang itu menjadi semakin bingung dan cemas. Buatlah mereka tenang.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam se-akan-akan ingin mengendapkan isi dadanya yang sedang bergolak.
"Berilah mereka ketenangan, supaya mereka tidak akan menambah bebanmu yang telah menjadi semakin berat itu.
Mahisa Agni meng-angguk-anggukkan kepalanya. Dan iapun dapat mengerti ketika pamannya berkata "Kau harus berkata kepada mereka, bahwa tidak ada apa-apa yang terjadi. Kebakaran ini adalah kebakaran yang wajar karena suatu kecelakaan saja. Dan kau harus menyampaikan kepada mereka kesanggupan angger Ken Arok. Adalah lebih baik apabila angger Ken Arok menyampaikannya sendiri.
Mahisa Agnipun k"mudian memandangi wajah2 yang memancarkan kecemasan dan ke tidak tentuan. Namun kepala anak muda itu masih saja meng-angguk-angguk "Baiklah "gumamnya. Sambil berpaling kepada Ken Arok, Mahisa Agni ber kata "Apakah kau tidak berkeberatan?"
"Aku mendahului keputusan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi aku yakin bahwa demikianlah yang akan terjadi?"
"Jadi bagaimana?"
"Baiklah. Ketiganya, bersama dua laki-laki yang menjemput mereka ke padang Karautan dan beberapa orang tua yang menunggu mereka agak jauh disamping bekas2 kebakaran itupun segera menemui orang-orang Panawijen. Mahisa Agni mencoba untuk menenangkan hati mereka dengan beberapa keterangan. Dan akhirnya dipersilahkannya Ken Arok sendiri memberi penjelasan kepada orang-orang Panawijen itu.
Agaknya kesanggupan Ken Arok telah dapat memberi mereka ketenteraman. Mereka tidak lagi digelisahkan oleh masa depan yang mengerikan. Baliaya kelaparan yang selalu menghantui mereka beberapa hari terakhir.
"Aku telah mengirimkan dua orang prajurit ke Tumapel "berkata Ken Arok mudah-mudahan mereka segera datang. Sebelum padi yang terakhir kalian masukkan kedalam lesung, maka pasti lelah datang padi dan jagung dari Tumapel. Kalian tidak akan dibiarkan kelaparan sampai tanah yang kalian garap menghasilkan. Sampai bendungan dipadang Ka raut an itu dapat mengangkat air, mengaili sawah-sawah kalian yang pasti akan lebih subur dari sawah-sawah kalian di Panawijen ini.
Alangkah lapang hati mereka. Meskipun daun-daun dipadukuh an mereka menjadi semakin kuning dan berguguran, namun hati mereka menjadi tenteram.
Tetapi tidak demikian dengan Mahisa Agni sendiri. Hatinya selalu diganggu oleh kemarahan dan kegelisahan, meski pun ia tidak tahu, bahwa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat saat itu berada dipedukuhan itu pula.
Sebenarnya bukan seja Mahisa Agni yang menjadi gelisah. Tetapi juga Empu Gandring dan Ken Arok. Dugaan mereka atas timbulnya kebakaran karena kesengajaan telah me numbuhkan berbagai persoalan didalam dada mereka. Itulah sebabnya, maka setelah mereka kembali kepadepokan dan ber istirahat diserambi samping, maka senjata-senjata mereka tidak ju ga terpisah daripada tubuh inerrka.
Empu Gandring yang melihat kekuatan-kekuatan yang seimbang de ngan dirinya yang menurut dugaannya adalah Empu Sada, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. membiarkan kerisnya melekat dipunggung, meskipun ia sedang duduk- menikmati beberapa macam makanan padepokan Panawijen. Sedang Ken Arok meletakkan pedangnya dipangkuannya. Mahisa Agni sendiripun tidak juga melepas pedangnya tersangkut dilambungnya.
Beberapa orang cantrik yang masih tinggal dipadepokan itu sibuk menyediakan makan dan minuman mereka. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Mahisa Agni "Apakah aku dapat menyimpan senjata-senjata kalian?"
Mahisa Agni menggeleng "Jangan.
Cantrik itu terdiam, tetapi wajahnya menjadi kecut. Terbayanglah suatu pertanyaan didalam wajah itu "Kenapa senjata itu tidak juga ditepatkan. "Namun cantrik itu tidak mengucapkannya.
Sementara itu cahaya dilangitpun menjadi semakin lama semakin merah. Mega yang ber-arak dan awan yang se-olah-olah tersangkut dilangit memantulkan cahaya matahari yang hampir tenggelam, dan memancarlah layung dilangit Warna yang ta jam menusuk kedalam serambi samping padepokan Panawijen.
Warna itu se-oIah-olah menambah kegelisahan yang tersimpan didalam dada Mahisa Agni, Empu Gandring dan Ken Arok. Warna itu seperti tajamnya ujung senjata yang berputar dilangit, disoroti oleh cahaya senja.
Tiba-tiba Mahisa Agni berdiri dari tempatnya. Per-lahan-lahan ia melangkah sambil berkata "Aku akan ke sanggar sebentar paman.
"Apa yang akan kau perbuat?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat sanggar guruku yang telah lama tidak dipergunakan.
Empu Gandring merasa heran. Padepokan ini adalah padepokan guru Mahisa Agni. Tetapi untuk melepas Mahisa Agni pergi dari sisi sebelah Timur kesisi sebelah Barat, terasa begitu berat. Se-akan-akan Empu Gandring sedang melepas seorang anak kecil bermain-main ditepi sumur.
"Aku terlampau dibayangi oleh perasaanku sendiri "berkata orang tua itu didalam hatinya. Karena itu maka di cobanya untuk mempergunakan pikiran jernihnya. Anak mu da itu hanya akan pergi kesanggar. Tidak lebih dari tigapuluh langkah dari tempat itu.
"Pergilah "jawabnya kemudian "tetapi hati-hatilah. Rumah ini sudah lama tidak kau kenal.
"Baiklah paman. Mahisa Agnipun segera meninggalkan pamannya. Pesan itu adalah pesan yang aneh baginya, tetapi ia merasa bahwa pesan itu sudah waclyar diucapkannya. Se-akan-akan anak muda itu sendiri merasa bahwa ia berada disuatu medan yang ber babaya.
Dengan pedang dilambung Mahisa Agnipun segera pergi kesanggar gurunya. Per-lahan-lahan dibukanya pintu sanggar itu. Terdengar suara berderit, dan seberkas sinar senja yang te maram melontar masuk.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Terasa udara agak panas mengalir dari dalam Remang-remang dilihatnya tiang-tiang kayu nangka yang kekuning-kuningan.
Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah naik anak tangga dan memasuki sanggar. Ketika kakinya menyentuh lantai, debu yang tipis menggelepar dibawah kakinya.
Mahisa Agnipun kemudian melangkah terus masuk ke dalam sanggar. Ia tidak menutup pintunya, terlampau rapat karena dengan demikian sanggar itu akan menjadi gelap sekali. Dengan sisa2 sinar senja ia mencoba mengamati isi sanggar gurunya itu.
"Pusaka itu masih berada disini "desisnya "tak seorangpun yang tahu e patnya selain aku.
Dengan rapu2 Mahisa Agni mencoba membuka sepotong papan lantai dan meraba-raba kedalamnya. Ketika tangannya me nyentuh sebuah peti kelyil, maka ia menarik nafas dalam-dalam.
"Peti ini masih disini. "desisnya.
Mahisa Agni itupun segera duduk menghadap pintu sang gar yang masih sedikit menganga. Sambil melihat keluar, kalau-kalau ada orang yang melihatnya, ia membuka peti kecil itu. Hati-hati ia meraba kedalamnya, dan kini tangannya menyentuh sebuah benda yang dingin.
"Inilah pusaka itu "katanya didalam hati.
Dengan dada yang ber-debar-debar diangkatnya benda kecil dari dalam peti itu. Mata Mahisa Agni menjadi ber-sinar2 ketika ia melihat sebuah pusaka kecil berkilat2 ditangannya. Trisula.
Seperti didorong oleh tenaga yang aneh, cepat2 ia me masukkan trisulanya kembali. Segera menutup peti itu, dan menempatkan kembali sepotong papan lantai itu pada tempatnya, dan mengembalikan semuanya seperti sediakala. Tak ada bekas apapun yang ditinggalkannya. Tak seorangpun tahu, bahwa ada sepotong kayu lantai yang dapat diangkat, dan didalamnya tersimpan pusaka itu.
Sejenak Mahisa Agni duduk tepekur. Diluar senja men jadi semakin beringsut menjelang malam. Langit yg kemerah-merah an menjadi semakin kelam. Dan sanggar itupun manjadi semakin gelap.
Empu Gandring dan Ken Arok masih duduk diserambi samping. Mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali. Ke pala mereka tampak tepekur. Ketika seseorang memasang sebuah lampu dinding disamping mereka, mereka hanya meng anggukkan kepala sambil bergumam"Terima kasih. "Namun sesudah itu mereka terdiam kembali.
Yang kemudian bertanya adalah Ken Arok "Paman, kenapa Mahisa Agni terlampau lama berada didalam sanggar itu?"
Empu Gandring tidak segera menjawab. Meskipun se benarnya hatinya sendiri selalu diliputi oleh kegelisahan. Di pandanginya warna-warna yang kelam dihalaman. Tetapi agaknya tak satupun yang dilihatnya.
Agaknya Ken Arok tidak dapat menahan kegelisabannya, sehingga iapun kemudian berdiri. Per-lahan-lahan ia herdesis "Aku ingin melihat kesanggar sebentar paman. Apakah Agni sedang bersemadi?"
"Aku kira tidak ngger. Tetapi baiklah kalau kau ingin melihatnya. Tetapi kaupun harus berhati-hati pula.
"Baik paman. Ken Arokpun kemudian melangkah meninggalkan serambi samping pergi ke sanggar disisi yang lain dari halaman rumah itu. Dengan hati-hati Ken A rok melihat setiap gerak dan men dengarkan setiap bunyi dihalaman. Disana-sini beberapa orang cantrik telah menyalakan pelita-pelita di-sudut-sudut rumah.
Ken Arok berhenti beberapa langkah dari sanggar. Ia tidak ingin tmengganggu Mahisa Agni. Dari lempatnya berdiri Ken Arok remang-remang pintu sanggar itu tidak tertutup rapat.
Tetapi malampun menjadi semakin malam. Dan Mahisa Agni masih juga belum keluar dari sanggar. Meskipun demikian Ken Arok masih juga belum beranjak dari tem patnya.
Tiba-tiba dadanya berdesir ketika ia melihat sesosok bayangan mendekati sanggar itu. Bayangan yang hanya dilihatnya lamat2 itu berhenti sejenak dimuka pintu. Tetapi bayangan itu kemudian tidak segera segera pergi.
"Siapakah ia?" desis Ken Arok didalam hatinya. "Agaknya ia menunggu Mahisa Agni keluar.
Tetapi Ken Arok tidak begitu mencemaskannya. Agaknya bayangan itu tidak sengaja menyembunyikan diri. Ia berdiri saja disamping pintu sanggar.
"Mungkin seorang cantrik "berkata Ken Arok di dalam hatinya.
Sejenak kemudian ia melihat pintu sanggar itu bergerak Bayangan yang menunggu disamping pintu itu surut selangkah. Sementara itu, mata Ken Arok yang tajam melihat Mahisa Agni tersembul keluar dari dalamnya.
Tiba-tiba Mahisa Agni itu terloncat kesamping anak tangga sanggarnya. Agaknya ia terkejut ketika ia melihat seseorang menunggunya dimuka pintu sanggar. Tetapi orang yang menunggunya itupun terkejut pula, sehingga iapun terloncat mundur.
"Siapa 2 "terdengar Mahisa Agni bertanya.
"Aku Agni. "O" Mahisa Agni menarik nafas dalam "kau membuat aku terkejut cantrik. Apa kerjamu disini?"
"Aku ingin bertanya kepadamu Agni, apakah kau memerlukan lampu. Tetapi aku tidak berani mengganggumu, masuk kedalam sanggar.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, dan beberapa langkah daripadanya, didalam kegelapan, Ken Arok pun menarik nafas dalam-dalam pula. "Benar dugaanku "katanya didalam hati "ia seorang cantrik.
(Bersambung, "ke Jilid 26)
Strangers 7 Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan Api Di Bukit Menoreh 27
"Bagaimana?" "terdengar suara Kebo Sindet berat.
Perlahan-lahan Kebo Sindet melihat ayah Kuda-Sempana per-lahan-lahan mengangguk sambil menjawab "Baiklah. Akan aku coba. Sebenarnya setiap orang disini berkeinginan untuk memberitahukannya kepada Mahisa Agni apa yang telah ter jadi, tetapi mereka masih saja dibayangi oleh ketakutan kecemasan tentang padang Karautan.
"Kalau kau dapat meyakinkaii tentang padang itu, maka segala maksud kita akan tercapai, dan kau akan memiliki emas yang sekeping ini untuk menyelamatkan sisa-sisa hari tuamu dari kemiskinan dan sengsara. Apakah kau juga mengharap bahwa kerja Mahisa Agni membuat bendungan itu akan selesai?" Omong kosong. Bendungan itu tidak akan pernah selesai. Orang-orang Panawijen tidak boleh menggantungkan ha rapannya pada bendungan itu. Sebab besok atau lusa Mahisa Agni sudah berada ditanganku. Nah. dengan demikian kalian harus pergi mengembara mencari tempat baru. untuk hidup kalian orang Panawijen.
Ayah Kuda-Sempana meng-angguk-anggukan kepalanya,
"Lakukanlah "berkata Kebo Sindet kemudian- "Aku menunggu disini.
Orang tua itu meng-angguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian ia masih juga ragu-ragu. Tetapi ketika terpandang olehnya kilatan warna kekuning-kuningan yang memancar dari sekeping emas itu, ia berkata.
"Baiklah, akan aku coba mencarii dua tiga orang yang paling berani.
Ayah Kuda-Sempana itu pun aehiruya meninggalkan mereka. Ditemuinya beberapa orang yang sedang bergerombol mem bicarakan kebakaran yang baru saja terjadi.
Sebaikriya Mahisa Agni diberi tahu "berkala salah seorang dari mereka.
"Ya, tetapi siapakah yang berani melakukannya?"
Mereka kemudian terdiam, beberapa laki-laki tua saling ber pandangan.
"Hanya Mahisa Agnilah yang dapat memberi kita cara supaya kita tidak mati kelaparan disini. Beberapa lumbung kita terbakar. Hampir sepertiga dari persediaan makan kita telah musna.
Ayah Kuda-Sempana mendengarkan dengan penuh minat pembicaraan itu. Dengan dada yang ber-debar-debar ia menangkap perasaan hampir setiap orang Panawijen. Mereka berkeingin an untuk memberitahukan kepada Mahisa Agni.
Ketika orang-orang itu kembali terdiam, maka berkatalah ayah Kuda-Sempana "Tak ada orang lain yang dapat menolong kita, selain Mahisa Agni.
Beberapa orang berpaling kepadanya. Tetapi ada juga diantara mereka yang membuang mukanya. Ayah Kuda-Sem pana ternyata kurang disenangi diantara mereka karena sifat dan kelakuan anaknya. Hampir setiap orang Panawijen menganggap, bahwa apa yang terjadi itu adalah akibat dari pertentangan yang ber-larut2 antara Kuda-Sempana dan Mahisa Agni karena nafsu Kuda-Sempana yang tak terkendalikan.
"Jalan satu-satunya adalah memberitahukan kepada Mahisa Agni apa yang telah terjadi. "gumam ayah Kuda-Sempana itu.
Tak seorangpun menanggapnya. Bahkan bampir setiap orang mengumpat didalam hati "Kami semua tahu, tetapi siapakah yang akan pergi ke-padang Karautan?"
Karena tak seorangpun yang menyahut, maka ayah Kuda-Sempana itu meneruskannya "Kalau saja aku masih men dapat kepercayaan, maka aku akan pergi kepadang Karautan.
Kini sekali lagi beberapa orang berpaling kepadanya. Ternyatakata-katanya yang terakhir telah menarik banyak perhatian.
"Tetapi sayang. Aku takut. Bukan karena padang Kara utan, tetapi aku takut melihat wajah Mahisa Agni. Bahkan mungkin aku akan dilyekiknya.
Diantara beberapa orang itu terdengar salah seorang ber tanya "Kenapa kau takut kepada Mahisa Agni?"
"Aku harus menyadari, betapa besar dosa anakku ter hadapnya dan terhadap kAmpung halaman.
"Mahisa Agni bukan pendendam. Kalau kau berani menyeberangi padang Karautan pergilah kepadanya.
"Padang Karautan sama sekali tidak menakutkan bagiku. Hantu Karautan yang mengerikan itu telah dibinasakan oleh Mahisa Agni. Tetapi yang mengerikan bagiku kini justru Mahisa Agni itu sendiri.
Mereka sejenak terdiam. Beberapa orang ternyata mulai merenungkan kata-kata ayah Kuda-Sempana itu. Bahkan salah seorang daripada mereka bertanya "Apakah benar Mahisa Agni telah membinasakan hantu padang Karautan?"
"Itu sudah lama terjadi. Sebelum Mahisa Agni mulai membangun bendungan itu. Apakah kalian tidak mendengar ceritera dari Patalan, Jinan atau Sinung Sari?"
Orang-orang yang mendengar jawaban itu meng-anggukzkan kepala mereka. Tetapi untuk sejenak mereka masih saja ber diam diri. Namun demikian, timbullah beberapa masalah baru didalam kepala mereka "Kalau benar kata orang itu, maka perjalanan kepadang Karautan tidak lagi berbahaya seperti waktu2 yang lalu.
"Sayang "desis ayah Kuda-Sempana itu per-lahan-lahan.
"Kenapa "bertanya ialah seorang dari mereka.
"Sayang, Mahisa Agni mempunyai kesan yang tidak baik terhadapku.
"Itu hanya perasaanmu saja. Mahisa Agni bukan seorang pendendam.
"Tetapi kesalahan anakku sudah bertimbun setinggi gunung Semeru.
Kembali mereka terdiam. Dan kembali masalah itu bergolak didalam dada mereka. Bahkan tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata "Kalau ada seseorang yang mau menemani aku, maka akupun bersedia pergi ke padang Karautan.
Dada ayah Kuda-Sempana melonjak mendengar kesang gupan itu. Serasa sekeping emas murni yang ber-kilat-kilat itu telah berada ditangannya. Namun ia berusaha untuk meng hapuskan setiap kesan diwajahnya. Bahkan dengan nada yang parau ia berkata "adalah suatu jasa yang tiada taranya bagi kita disini, apabila ada kesediaan salah seorang dari kita untuk berangkat. Sayang, aku bukanlah orang yang dapat melakukannya.
Akhirnya ayah Kuda-Sempana2 itu mendengar seorang lagi berkata "Marilah, kita pergi ber-sama-sama. Aku sudah terlalu tua. Seandainya aku bertemu dengan bahaya dipadang Karautan, dan darahku akan dihisapnya habis, maka akupun tidak akan menyesal lagi. Sisa umurkupun pasti sudah tidak akan banyak lagi.
Dada ayah Kuda-Sempana menjadi semakin bcr-debar-debar. Kalau mereka benar-benar berangkat kepadang Karautan, dan Mahisa Agni berhasil diseretnya kepedukuhan ini, maka emas yang sekeping itu akan jatuh ditangannya. Emas itu akan dapat memberinya kebahagiaan bagi sisa2 hidupnya. Ia akan pergi kedaerah yaug jauh, menjual emas itu dan menukar kannya dengan halaman, rumah dan sawah yang sudah siap untuk digarap. Tidak lagi ia akan bekerja keras bersama anak isterinya membuka tanah dan mempersiapkannya men jadi tanah persawahan.
Kegembiraan dihati orang tua itupun akhirnya meluap membakar segenap perasaannya. Hampir-hampir ia tidak dapat me ngendalikan dirinya. Hanya dengan sekuat tenaganya ia mampu menahan melontarnya kegembiraan yang ber-lebih2an itu, ketika ia mendengar keputusan dari keduanya, bahwa mereka benar-benar akan pergi ke padang Karautan.
"Kita pergi berkuda "berkata salah seorang dari ke dua laki-laki., tua itu.
"Baiklah "jawab yang lain "kita akan segera sampai. Dan berkuda adalah jalan yang paling aman.
"Kapan kita berangkat?"
"Besok pagi2. Kita menempuh perjalanan disiang hari supaya kita tidak selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. -
Beberapa orang lain yang mendengar percakapan itu men-ingguk2kan kepala mereka dengan lontaran ucapan te rima kasih. Kehadiran Mahisa Agni akan memberikan petun juk yang akan bermanfaat bagi mereka, untuk menghindarkan diri dari bahaya kelaparan
Ketika matahari melemparkan sinarnya yang pertama di pagi hari berikutnya, maka sebagian besar orang-orang Panawijen berdiri berkerumun diujung desa. Diantara mereka dua laki-laki tua berdiri memegangi kendali kuda. Sekali-sekali dilayangkannya pandangan mata mereka ke-daun-daun yang kekuning-kuningan serta ditebarkannya keatas sawah dan pategalan yang kering ke rontang.
Orang-orang Panawijen itu sedang melepas dua orang yang mereka anggap sebagai orang-orang yang paling berani diantara mereka. Dua laki-laki tua itu akan menghubungkan padukuhan mereka dengan padang Karautan karena beberapa buah lumbung mereka terbakar. Kalau bendungan itu tidak segera dapat mengangkat air keatas padang Karautan, maka mereka akan terancam bahaya yang mengerikan. Persediaan makanan mereka akan habis, dan bencana itupun akan menghentikan usaha pembangunan bendungan itu pula. karena orang-orang iang sedang beberja itu tidak akan lagi mendapat persediaan makanan.
Karena itu maka Mahisa Agni harus segera tahu. Ia harus segera menentukan sikap, untuk mengatasi meskipun hanya bersifat sementara.
Demikianlah maka orang-orang Panawijen itu kemudian me lihat kedua laki-laki tua itu naik keatas punggung kuda. Melam baikan tangan-angan mereka dan kemudian melecut kuda-kuda mereka meninggalkan Panawijen seperdi dua orang pahlawan yang berangkat kemedan perang. Beberapa orang yang menyaksikan keberangkatan itu berdiri tertegun. Terasa dada mereka ber getaran.
Ketika debunya yang putih mengepul dibelakang kaki-kaki kuda yang berlari meninggalkan kAmpung halaman mereka, maka beberapa orang perempuan menekan dada mereka sambil ber gumam "Mudah-mudahan mereka selamat sampai ketujuan.
Ayah Kuda-Sempana berdiri juga diantara orang-orang yang melepas kedua laki-laki tua itu. Wajahnyapun tampak suram sesuram wajah-wajah orang Panawijen yang lain. Tetapi hatinya tertawa cerah secerah matahari pagi yang bersinar diatas padang dan pegunungan. Didalam dadanya berkumandang gemerincing emas sekeping yang kuning ber-kilat-kilat.
"Hem "katanya didalam hati "alangkah mudahnya memiliki emas murni sebesar itu. Kalau aku tahu, maka aku tidak akan menderita selama ini. Minum air yang harus di ambilnya langsung dari sungai sejauh itu dan makan ter lampau terbatas karena kecemasan bahwa suatu ketika akan kehabisan persediaan. Dengan emas itu, maka Panawijen dan bendungan itu tidak akan berarti lagi bagiku.
Ketika ayah Kuda-Sempana itu mengangkat wajahnya, maka kepulan debu yang putih itupun sudah menjadi semakin jauh. Beberapa orang telah melangkahkan kakinya meninggal kan ujung desa kembali kerumah masing-masing. Namun disepan jang jalan pulang, mereka masih saja memperbincangkan kedua laki8 tua yang sedang melakukan perjalanan yang selama ini se-akan-akan tabu mereka lakukan.
Sekali ayah Kuda-Sempana itu menarik nafas dalam-dalam. Dibiarkannya orang-orang lain meninggalkannya seorang diri. Teta pi begitu orang yang terakhir hilang masuk kemulut lorong, maka ayah Kuda Sempana itupun segera meloncati parit yang kering, dan berjalan cepat lewat pematang-pematang yang pecah-pecah pulang keruniahnya.
Dirumahnya, Kebo Sindet, Wong Sarimpat dan Kuda"Sempana masih ineimnggunya. Kebo Sindet dan Wong Sarim pat selalu saja dibayangi oleh kegelisahan, ia tidak yakin bahwa usaha ayali Kuda-Sempana akan berhasil. Meskipun demikian harapan untuk itu masih ada juga pada mereka. Sedang Kuda-Sempana sendiri kini benar-benar menjadi acuh tak acuh saja. Ia sendiri tidak tahu, apakah ia mengharapkan usaha ayahnya berhasil atau tidak.
Karena itu ketika ayah Kuda-Sempana itu muncul dari balik pintu rumahnya, maka yang pertama-tama bertanya adalah Wong Sarimpat "Bagaimana kaki. Apakah usahamu ber hasil?"
"Sebagian "jawab ayah Kuda-Sempana "kedua orang laki-laki tua itu telah berangkat.
Kebo Sindet menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya yang beku itu tampak bergerak-gerak. Sebuah senyum yang samar-samar telah menggerakkan bibirnya. "
"Mudah-mudahan Mahisa Agni bersedia datang "desis Ke bo Sindet.
"Menilik Sifat-sifatnya dan kelakuannya dimasa yang lampau ia pasti akan datang untuk melihat sendiri apa yang telah terjadi dipadepokan ini. "sahut ayah Kuda-Sempana.
"Mudah-mudahan ia tidak datang dengan sepasukan prajurit dari Tumapel yang kini berada dipadang Karautan.
"Mudah-mudahan. Merekapun kemudian terdiam sejenak, tenggelam dalam angan-angan masing-masing. Kebo Sindet dan Wong Sarimpat telah membayangkan, betapa Ken Dedes terpaksa melepaskan ber"macam-macam perhiasan dan benda-benda berharga untuk membebaskan kakaknya. Sementara itu ia harus berusaha memberikan kesan bahwa usaha menculik Mahisa Agni ini dilakukan oleh Empu Sada yang disangkanya telah mati.
Sementara itu kedua laki-laki tua dari Panawijen telah men jadi semakin jauh dari pedukuhannya. Kini dihadapan mereka terbentang sebuah padang rumput yang luas yang seakan-akan tidak bertepi. Cahaya matahari yang sudah semakin tinggi se akan menyala membakar padang rumput yang kering itu.
"Alangkah panasnya "gumam salah seorang dari mereka.
Yang seorang untuk sejenak tidak menjawab. Matanya se-akana menjadi silau menatap udara yang sedang mendidih dibakar oleh terik matahari.
"Kita akan menjadi kering seperiti rerumputan itu "berkata orang yang pertama.
"Menurut pendengaranku, sebaiknya kita menyusul alir an sungai itu. Setiap saat kita tidak akan kehabisan air. Se tiap kali kita haus, kita akan dapat segera minum. Hanya me nurut pendengaranku dibeberapa bagian tebing sungai ini men jadi sangat curam.
Kawannya tidak segera menjawab. Tetapi tatapan matanya membayangkan betapa jantungnya mcnjadi ber-debar-debar. Matahari yang memanjat semakin tinggi se-akan-akan langsung menghunjamkan sinarnya kekepala mereka.
"Kita berkuda "desis kawannya yang ternyata memiliki tekad lebih besar "kita tidak akan sampai sehari penuh berjemur dipadang Karautan.
Kawannya meng-anggu2kan kepalanya. Perlahan-lahan ia menjawab "Ya. Kita berusaha supaya kita cepat sampai.
"Marilah. Keduanyapun kemudian uirlanjiitkan perjalanan mereka menyusur sungi yang membelah padang Karautan itu. Meski pun mereka tidak berani berpacu terlampau cepat, tetapi perjalanan itu jauh lebih cepat daripada mereka berjalan kaki. Kuda-kuda mereka itupun agaknya dapat mengerti juga, bahwa penumpang2 mereka adalah orang-orang tua yang tidak begitu tangkas memegang kendali. Sehingga langkah kaki-kaki Kuda itupun se-olah-olah terayun seenaknya.
Ternyata mereka mendapat banyak keuntungan dengan jalan yang mereka pilih. Ketika bumbung air mereka tuntas, maka mereka dapat mengambilnya langsung kedalam sungai, sekaligus membiarkan kuda-kuda mereka yang kehausan minum pula.
Dengan bumbung yang penuh berisi air itulah maka mereka meneruskan perjalanan mereka menuju ketempat Mahisa Agni membangun bendungan.
Meskipun disepanjang jalan mereka selalu dicemaskan oleh nama yang selama ini menakutkan mereka, ialah hantu Karautan, namun akhirnya merekapun menjadi semakin lama semakin dekat pula dengan lingkaran kerja Mahisa Agni dan orang-orang Panawijen yang dibantu oleh sepasukan prajurit dari Tumapel.
Kedatangan kedua orang tua-tua itu telah mengejutkan Mahisa Agni dan Ki buyut Panawijen. Dipersilahkannya kedua orang itu duduk beristirahat, sementara Mahisa Agni mengakhiri kerja hari itu karena matahari telah hampir lenyap ditelan cakrawala.
Mahisa Agni dan Ki Buyut tidak sempat membersihkan dirinya lebih dahulu. Dengan bati ber-debar-debar ditemuinya ke dua orang tua-tua yang baru saja datang dari Panawijen. Kedatangan mereka bagi Mahisa Agni dan Ki Buyut dan bahkan bagi seluruh orang-orang Panawijen yang sedang bekerja dipadang Karautan, merupakan suatu hal yang sangat me narik perhatian. Mereka tahu, bahwa apabila tidak terpaksa sekali, maka tidak akan ada seorangpun yang berani melintasi padang yang menakutkan bagi mereka.
Kedua laki-laki tua itupun tidak membiarkan Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen terlalu lama digelisahkan oleh teka-teki tentang kedatangan mereka. Segera mereka menceriterakan apa yang telah terjadi dipadukuhan mereka. Mereka berbicara ganti berganti dan saling tambah menambahi se hingga ceritera tentang kebakaran di Panawijen itu men jadi sebuah ceritera yang menegangkan hati Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen.
Dengan dada yang berdebar-debar beberapa orang lain men dengar juga ceritera tentang kebakaran itu. Sehingga tiba-tibasalah seorang berkata" Kita tidak lagi mempunyai persediaan makan. Apakah kita masih juga mampu bekerya untuk mem buat bendungan ini?"
Suasana kemudian menjadi sepi. Pertanyaan itu hinggap pula disetiap dada orang-orang Panawijen, bahkan juga Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen.
"Bagaimana mungkin kebakaran itu dapat terjadi?" "bertanya Mahisa Agni.
Kedua laki-laki itu menggelengkan kepala mereka. Salah seorang dari mereka menjawab "Tak seorangpun yang tahu sebabnya. Tetapi udara di Panawijen akhir-akhir ini terasa sangat panas.
"Apakah demikian panasnya sehingga memungkinkan lumbung-lumbung padi dan jagung itu terbakar dengan sendirinya?"
Sekali lagi kedua laki-laki tua itu menggelengkan kepala me reka "Kami tidak tahu. Tetapi menurut pengamatan kami, tak ada seorangpun bahkan anak-anak yang bermain-main didekat lumbung-lumbungitu, apalagi bermain-main dengan api.
Mahisa Agni dan Ki Buyut Panawijen menekurkan ke pala mereka. Kini terbayang kembali kesulitan-kesulitan yang bakal mereka alami. Mereka baru saja mendapatkan kejutan yang mendorong orang-2 Panawijen bekerja lebih keras dengan kedatangan prajurit-prajurit dari Tumapel. Tetapi peristiwa ini pasti akan memperlemah lagi usaha mereka menyelesaikan bendungan itu. Mungkin untuk sementara Mahisa Agni dapat mencoba mengatasi dengan menanam apa saja disepanjang lereng-lereng sungai dan dalaran2 serta lembah2 yang basah. Tetapi tanah itu tidak seberapa luas. .Sedangkan seluruh mulut yang ada di Panawijen harus disuapinya.
Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara ter tawa per-lahan-2. Ketika mereka berpaling, mereka melihat Ken Arok berdiri dibelakang orang-orang Panawijen yang menge rumuni kedua laki-laki tua itu. Ketika anak muda itu beradu pandang dengan Mahisa Agni, maka katanya "Jangan risau Agni. Besok aku akan mengirim dua orang prajurit ke Tumapel. Aku akan memberikan laporan apa yang telah kami kerjakan disini. Dan aku akan dapat memberikan laporan tentang Panawijen itu pula. Peristiwa itu sama sekali bukan peristiwa yang penting. Bukankah aku pernah berkata, bahwa Tuanku Akuwu menyanggupkan bantuan apa saja yang kau perlukan?" Coba katakan, berapakah jumlah lumbung yang terbakar itu?" Sepuluh atau duapuluh barak?" Berapa pikul padi dan jagung yang telah terbakar?" "Ken Arok berhen ti sejenak. Dipandangnya setiap wajah yang tiba-tiba kembali bersinar "jangan kalian cemaskan.
Mahisa Agni menjadi ber-debar-debar mendengar kata-kata Ken Arok itu. Sekali lagi kepalanya jatuh tepekur. Kebaikan bati Tunggul Ametung yang melimpah-limpah itu telah menggetarkan perasaannya. Sekilas dikenangnya puteri gurunya, Ken Dedes. Namun Mahisa Agni itupun kemudian menggigit bibirnya.-
"Terima kasih "terdengar ia berdesis "terima kasih atas hadiah yang tiada taranya itu.
Masih terdengar suara tertawa perlahan yang meluncur diantara bibir Ken Arok. Wajahnya yang se-olah-olah bersinar seperti harapan didalam hati.
Dengan penuh keyakinan ia berkata "Agni, Tumapel tidak akan kekurangan beras dan jagung. Bahkan seandainya seluruh Panawijen itu terbakar sekalipun. Jangan risaukan kebakaran itu. Kita selesaikan bendungan kita dan sesudah itu aku masih mempunyai satu tugas lagi, barangkali kalian sudi membantu. Membuat sebuah taman yang akan dihadiah kan oleh Tuanku Akuwu Tunggul Ametung kepada permaisurinya kelak.
"Tentu "sahut Mahisa Agni dengan serta merta "apalagi sekedar membangun sebuah taman. Apapun yang harus kami lakukan, maka kami tidak akan dapat ingkar lagi.
Wajah Ken Arok menjadi semakin cerah karenanya. Wajah yang bagi Mahisa Agni memiliki beberapa perbedaan dari wajah-wajah yang pernah dikenalnya. Tetapi Mahisa Agni tidak dapat mengatakan, apakah sebabnya maka ia melihat perbedaan itu.
Sejenak mereka saling berdiam diri- Orang-orang Panawijen kini tidak lagi kehilangan harapan untuk menyelcsaikan ben dungannya setelah mendengar yanji Ken Arok. Tetapi mes kipun demikian kebakaran di Panawijen itu menimbulkan teka-teki pula didalam dada mereka.
Agaknya kebakaran itu bukan saja menumbuhkan teka-teki didalam dada Mahisa Agni. Ia merana mempunyai tang gung-jawab untuk melihat, apakah sebenarnya yang telah ter jadi. Selanjutnya mencegah jaugan sampai terulang kem bali. Meskipun ia yakin juga seperti Ken Arok, bahwa Aku wu Tunggul Ametung bersedia memberi mereka beras dan jagung berapa saja yang mereka butuhkan, tetapi untuk terlampau menggantungkan diri kepada bantuan itu bagi Mahisa Agni adalah kurang bijaksana. Orang-orang Panawijen ha rus meniyoba sejauh mungkin mencukupi kebutuhan diri sendiri. Hanya apabila keadaan tidak memungkinkan lagi, maka bantuan Akuwu Tunggul Ametung itu akan menjadi sandaran terakhir bagi mereka.
Karena itu, maka sejenak kemudian Mahisa Agni ber kata "Ken Arok, terima kasih kami orang-orang Panawijen tiada tara-bandingnya atas segala bantuan yang telah kami terima. Namun jangan berarti bahwa kami harus menyandarkan diri kami kepada bantuan-bantuan itu saja. Biarlah kami mencoba mencapai kedewasaan kami. Karena itu, aku ingin melihat apakah yang sebenarnya terjadi di Panawijen. Aku ingin berusaha agar kebakaran semacam itu tidak terulang kembali.
"Apakah hal itu perlu sekali kau lakukan Agni?" "bertanya Ken Arok.
"Perjalanan berkuda ke Panawijen tidak terlampau jauh. Kalau besok pagi aku berangkat, maka pagi berikutnya aku sudah berada ditempai ini kembali.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Sebagai orang yang telah mengenal padang Karautan melampaui siapa saja, Ken Arok membenarkan perhitungan Mahisa Agni. Tetapi terasa sesuatu mengganggu perasaannya. Sehingga tanpa se sadarnya ia berkata "Pekerjaan itu dapat kau lakukan besok lusa, seminggu bahkan sebulan yang akan datang. Sekarang tungguilah pekerjaan ini. Pekerjaan yang memberi harapan bukan saja kepadamu sendiri.
Mahisa Agni termenung sejenak. Tetapi hatinya telah mendorongnya untuk berkata "Sehari dua hari tidak akan mengganggu Ken Arok. Aku ingin sekali melihat dan berbuat sesuatu untuk mencegah.di kebakaran itu terulang. Bahkan mungkin aku dapat menemukan tanda-tanda lain. Mungkin sesearang telah menjadi patah hati melihat hasil kerja orang-orang Panawijen.
Ken Arok tidak segera menyahut. Dicobanya untuk mengerti perasaannya sendiri. Aneh. Ia tidak mengerti dengan pasti bahaya yang dapat mengancam Mahisa Agni diperjalan an, tetapi se-akan-akan sesuatu bakal terjadi. Ia pernah melihat Kuda-Sempana berkelahi dengan Mahisa Agni dipadang ini. Ia tahu benar bahwa Kuda-Sempana mempunyai seorang guru yang sakti. Empu Sada. Tetapi ia tidak tahu banyak tentang mereka itu.
Kesepian sekali lagi mencengkam suasana. Ken Arok masih juga berdiri ditempainya sambil mengerutkan keningnya, sedang Mahisa Agni yang duduk diantara kerumunan orang-orang Panawijen bersama dua laki-laki tua yang baru saja datang, menekurkan kepalanya, se-akan-akan terbayanglah dirongga matanyanyala api yang menggapai langit menelan beberapa buah lumbung dan rumah-rumah di Panawijen.
Dalam ketenyapan itu hampir semua kepala berpaling ketika mereka mendengar seseorang berkata per-lahan-lahan "Agni. Aku sependapat dengan angger Ken Arok. Padang Karautan bukanlah jalan yang lapang selapang padang itu sendiri bagimu.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat pamannya Empu Gandring berdiri diluar lingkaran orang-orang Panawi jen seperti Ken Arok. Dan terbayang diwajah orang tua itu kekhawatiran dan kecemasan. berbeda dengan Ken Arok Empu Gandring mempunai perhitungan2 yang lebih jelas tentang setiap kemungkinan yang dapat terjadi atas kemanakannya itu.
"Kau seharusnya dapat menghubungkan peristiwa-peristiwa yang pernah kau alami Agni "berkata Empu Gandring itu "Karena.itu, sabarkanlah dirimu. Tunggulah sampai beberapa saat.
Mahisa Agni tidak segera meujawab. Tetapi- dipandanginya dua laki-laki tua yang baru saja datang dari Panawijen itu ber-ganti-ganti.
Tiba-tiba salah seorang Iaki-laki itu berkata "Kami meng harap sekali kehadiran Mahisa Agni. Kami ingin mendapatkan kepastian bahwa kami tidak akan mati kelaparan.
"Aku memberikan jaminan itu "sahut Ken Arok. "Tetapi orang-orang Panawijen belum mendengarnya.
"Bukankah kau dapat mengatakan kepada mereka.
Sejenak kedua laki-laki itu terdiam. Namun salah seorang dari mereka berkata "Entahlah, aku tidak tahu apa sebabnya. Tetapi tiba-tiba aku merasa bahwa aku tidak berani kembali berdua dengan kawanku ini, Apalagi setelah aku mendengar bahwa padang Karautan masih juga menyimpan banyak kengerian.
Kini semua orang terdiam. Beberapa diantara mereka saling berpandangan. Ada juga yang menjadi gelisah. Rumah-rumah siapakah yang terbakar itu?" Jangan-angan rumah mereka telah menjadi abu. Tetapi tak seorangpun yang bertanya, sebab seandainya mereka mendapat kesempatan, maka mereka pun tidak akan berani melihat ke Panawijen.
Dalam pada itu terdengar Ken Arok bertanya "Tetapi kaki berdua telah berani menempuh perjalanan kemari. Ternyatakaki tidak juga mengalami sesuatu dipcrjalanan. Ke napa kaki berdua tidak berani kembali kepadukuhan kaki?"
Kedua laki-laki itu menggelengkan kepalanya. Salah seorang dari mereka menjawab "Aku tidak tahu. sebabnya ngger. Aku juga tidak tahu apakah yang telah mendorong aku sehingga aku berani menyeberangi padang Karautan. Tetapi apabila kini ternyata padang itu berbahaya, ledangkan Mahisa Agni saja masih juga harus ber-hati-hati, apalagi kami berdua.
Ken Arok mengerutkan keningnya. Jalan pikiran orang tua-tua itu dapat dimengertinya.
Yang menyahut kemudian adalah Empu Gandring "Kalian telah lanjut usia. Mungkin sebaya atau bahkan lebih tua dari padaku. Karena itu maka justru kalian tidak akan terganggu diiepanjang perjalanan. Tak ada seorangpun yang akan mengganggu orang-orang tua. Akupun berani menyeberangi padang itu, sebab aku juga sudah tua. Apakah kalian bersedia apabila kami bertiga pergi, melintasi padang Karautan?"
Kedua Iaki-laki tua dari Panawijen itu Saling berpandang an sesaat. Salah seorang dari mereka kemudian menjawab
Kalau kami berdua harus pulang ke Panawijen, maka kami mengharap bahwa kami akan mendapat kawan yang seki ranya akan dapat melindungi kami. Kalau kami pergi bersama orang-orang tua sebaya dengan kami, maka aku rasa, kehadiran seorang kawan itu tidak akan banyak memberikan ketenteraman dihati kami.
Mahisa Agni terkejut mendengar jawaban itu. Ken Arokpun denyyan serta merta bergeser setapak. Diamatinya orang tua yang bernama Empu Gandring dengan sudut matanya. Tetapi Empu Gandring sendiri hanya tersenyum. Katanya setidaknya kita mempunyai seorang lagi untuk kawan bercakap-cakap. Dengan demikian kita akan dapat melupakan keta gangan disepanjang perjalanan. Bukankah kita akan berja yan siang hari?"
"Yang kami perlukan bukan seorang kawan bercakap-cakap "sabut salah seorang laki tua dari Panawijen itu "tetapi seseorang yang akan menyelamatkan kami dari setiap bencana yang dapat menerkam kami disepanjang perjalanan kami. Aku kira tak ada duanya yang dapat aku sebut namanya selain Mahisa Agni. Mahisa Agni akan dapat memberi perlindungan kepada kami disepanjang perjalanan kami. Sedang orang-orang Panawijen akan mendapatkan ketenangan mendengar Janji itu diucapkan oleh Mahisa Agni sendiri.
Hampir bersamaan, Mahisa Agni, Ken Arok dan Ki Buyut Panawijen berpaling memandangi wajah Empu Gandring. Tetapi orang tua itu masih juga lersenyum.
"Hem "Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam "orang tua itu tidak tahu siapakah paman Empu Gandring. Mereka menyangka bahwa Empu Gandring adalah seorang tua seperti mereka itu sendiri.
Tetapi permintaan orang-orang tua itu benar- lelah membuai kepala Mahisa Agni pening, la sendiri ingin sekali melihat, apakah yang sebenarnya terjadi di Panawijen. Tetapi ia menyadari juga, bahwa setiap kali ia akan dapat ditelan bahaya.
Meskipun demikian Mahisa Agni merasa, bahwa ia ber kepentingan sekali datang ke Panawijen. Bahaya itu adalah baru suatu kemungkinan. Ia dapat pergi siang hari, berpacu dipadang yang kering. "Apakah bahaya itu mengintai juga disiang hari?" Betapapun kuatnya keinginan seseorang untuk mencelakai aku, tetapi aku sangka mereka tidak akan ber jemur diterik panas seperti itu. Merekapun pasti menyangka bahwa aku selalu memilih waktu dimalam hari, diudara yang sejuk. Dan apakah aku sekarang ini sudah menjadi seorang pengecut?"
Perasaan itu selalu berdentangan didalam dada Mahisa Agni. Karena itu maka tiba-tibaia berkata "Ki Buyut, Paman Empu Gandring dan kau Ken Arok. Aku ternyata tidak dapat memilih selain memenuhi permintaan kedua orang-orang tua ini. Meskipun demikian aku harus ber-hati-hati. Aku akan pergi ke Panawijen disiang hari.
Ketiga orang itu terdiam sejenak. Tampaklah wajah2 itu menjadi tegang. Bahkan orang-orang Panawijen yang berkerumun itupun menjadi tegang pula.
"Apakah itu sudah menjadi keputusanmu Agni?" "ber tanya Ken Arok,
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya sambil menja wab "Ya.
"Keputusan yang tergesa-gesa "desis Empu Gandring.
Kedua orang laki-laki yang datang dari Panawijen itu berpaling kepada Empu Gandring. Mereka menjadi tidak senang mendengar kata-katanya yang se-olah-olah selalu berusaha merintangi kepergian Mahisa Agni ke Panawijen. Sehingga karena itu salah seorang berkala "Kenapa kau mencoba mencegah kepergiannya?" Bahkan kau sendiri akan mengantarkan kami?"
Mahisa Agni terperanjat mendengar kata-kata itu. Hampir-hampir ia menyahut, tetapi ternyata Empu Gandring mendahuluinya "Maafkan aku ki sanak. Mungkin aku terlampau mencemaskan nasib anak muda itu.
"Ia telah dapat menilai dirinya sendiri.
Empu Gandring meiig-angguk-anggukkan kepalanya, sahutnya "Mungkin. Mungkin demikian. Tetapi ia masih terlampau muda. Darahnya masih terlampau cepat mendidih.
"Itulah anak-anak muda yang berani dan bertanggung-jawab. Memang kita orang-orang tua kadang-kadang tidak dapat mengerti tentang anak-anak muda apalagi seperti Mahisa Agni. Itu adalah karena kebodohan kita masing-masing.
Empu Gandring tidak menjawab lagi. Ia tidak dapat berbincang dengan kedua laki-laki tua dari Panawijen itu.
Tetapi dengan demikian Mahisa Agnilah yang menjadi gelisah. Pamannya adalah seorang yang sukar dicari duanya Orang tua itu telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan dengan orang-orang yang pilih tanding. Gurunya, Panji Bojong Santi, Empu Sada dan lainnya. Untunglah bahwa Empu Gan dring memiliki kesabaran yang cukup sehingga ia dapat dengan wajar menanggapi kata-kata kedua laki8 tua dari Panawijen yang tidak mengenalnya itu.
Yang kemudian terdengar adalah salah seorang laki-laki tua itu berkata "Angger Mahisa Agni. Aku harap kau mendengarkan suara hati orang-orang Panawijen. Mereka cukup puas apabila mereka melihat angger datang ke Panawijen. Memberikan beberapa keterangan dan memberikan ketenteraman kepada mereka. Apalagi janji yang telah diucapkan oleh angger yang agaknya seorang pemimpin dari Tumapel. Dengan demikian maka orang-orang Panawijen tidak selalu di-kejar-kejar oleh. kegelisahan karena bayangan bahaya kelaparan yang akan me nimpa mereka.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Sejcnak ditatapnya wajah pamannya yang suram. Tetapi laki-laki tua dari Panawijen itu berkata Jangan hiraukan orang lain. Apalagi mereka yang bukan orang panawijen. Mereka tidak dapat merasakan betapa kecemasan telah mencengkeram seluruh pa dukuhan. Tanah yang kering kerontang, daun-daun yang menjadi kuning dan gugur ditanah. Kini beberapa lumbung desa kami terbakar.
Detak jantung Mahisa Agni serasa menjadi berdentangan didalam dadanya. Hampir-hampir ia berkata, siapakah laki-laki tua yang memang sebenarnya bukan orang Panawijen itu. Tetapi ia adalah seorang yang dapat berbuat banyak dipadang Karautan ini.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat pamannya menganggukkan kepalanya. Terdengar ia berkata per-lahan-lahan "Sebenarnyalah demikian Agni. Segala sesuatu tergantung kepadamu. Dihadapanmu terbentang banyak pekerjaan dan kuwajiban yang terlampau sulit.
Dahi Mahisa Agni mcnjadi semakin ber-kerut-merut. Tetapi keinginannya untuk pergi ke Panawijen sangat mendesaknya. Ia dapat membayangkan betapa orang-orang yang tinggal di Panawijen menjadi terlampau gelisah dan cemas. Perem puan dan anak-anak pasti tidak akan dapat tidur nyenyak karena hantu kelaparan yang selalu me-nakut-nakuti mereka.
"Paman. "berkata Mahisa Agni kemudian "aku terpaksa pergi ke Panawijen. Tetapi kali ini aku akan pergi disiang hari. Mudah-mudahan aku terhindar dari segala macam bahaya.
Tanpa mereka sengaja, maka Empu Gandring dan Ken Arok saling berpandangan. Dan tanpa berjanji pula mereka berdesis "Kau jangan pergi seorang diri.
Mahisa Agni memandangi wajah pamannya dan Ken Arok berganti-ganti "Aku hanya akan pergi sehari saja.
"Sehari atau seminggu bahaya itu bagimu sama saja Agni. "berkata pamannya.
Mahisa Agni menyadari kata-kata pamannya itu. Tetapi apakah ia harus mengecewakan orang-orang Panawijen yang sedang dicengkam oleh ketakutan itu?" Mahisa Agni tidak dapat me lupakan, bahwa kekeringan yang menimpa Panawijen itu adalah akibat dari sikap gurunya yang sedang kehilangan ke seimbangan. Ia tidak dapat melemparkan kesalahan itu ke pada orang lain berturutan, sehingga akhirnya kesalahan itu akan dibebankan kepada Kuda-Sempana. Tidak. Ia harus turut bertanggung jawab atas akibat dari kekhilafan gurunya itu.
Apalagi ketika terpandang olehya wajah-wajah laki-laki tua yang datang dari Panawijen dengan sepenuh harapan.
Karena itu maka Mahisa Agnipun kemudian berkata "Paman, aku tidak dapat mengecewakan orang-orang Panawijen. Bukan karena aku selalu dapat mengatasi setiap kesulitan dan memberi apa saja yang mereka butuhkan tetapi mereka me merlukan kawan untuk ikut serta merasakan kecemasan dan
kegelisahan. Adalah hanya karena pertolongan Yang Maha Agunglah kemudian apabila dapat kita temukan jalan ke luar dari kesulitan-kesulitan itu. Kali ini, dalam hal kekurangan per sediaan bahan makanan, Tuanku Akuwu Tunggul Ametung telah menjadi lantarayyi untuk meringankan beban kita.
Empu Gandring meng-angguk-anggukkan kepalanya. Dan kemu dian terloncat dari bibirnya "Baiklah Agni. Kalau kau tidak dapat lagi merubah keputusanmu.
Sebelum Empu Gandring menyelesaikan kalimatnya, salah seorang laki-laki tua dari Panawijen itu memotong "Keputusan itu adalah keputusan yang paling bijaksana.
Empu Gandring sama sekali tidak menanggapinya. Ia masih berkata kepada Mahisa Agni "Berangkatlah besok pagi. Aku pergi bersamamu.
Kedua laki-laki tua dari Panawijen itu mengangkat wajahnya. Sambil memandangi Empu Gandring salah seorang dari mereka bertanya "Buat apa kau ikut dengan Mabisa Agni?"
Mahisa Agni tidak lagi dapat menahan dirinya. Terasa sesuatu mendesak didalam dadanya. Dan tanpa sesadarnya ia membentak "Kaki. Aku sudah memenuhi permintaanmu. Tetapi jangan terlampau banyak mempersoalkan orang lain yang sama sekali tidak kau ketahui keadaannya.
Kedua Iaki-laki itu benar-benar terkejut mendengar Mahisa Agni membentak, sehingga keduanya menjadi terbungkam. Wajah merekapun menjadi pucat dan bibir mereka menjadi gemetar. Mereka tidak tahu kenapa tiba-tibaMahisa Agni men jadi marah kepada mereka.
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Dengan sareh ia berkata "Biarkan mereka menyatakan pikirannya Agni.
Dada Mahisa Agni se-akan-akan menjadi sesak. PerIahan-lahan ia berdesis "Maafkan aku kaki. Bukan maksudku menyakiti hatimu.
Sejenak kemudian mereka terdampar kedalam suasana yang sepi. Kedua laki-laki tua dari Panawijen itu masih gemetar. Mereka benar-benar tidak menyadari apa yang sedang mereka lakukan. Tanpa mereka kehendaki, mereka telah ikut serta menjerumuskan Mahisa Agni kedalam bahaya.
Yang mereka angan-angankan adalah, bahwa apabila mereka berhasil membawa Mahisa Agni datang ke Panawjen, maka mereka akan menjadi pahlawan. Mereka dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain. Mereka sa ma sekali tidak mengerti keadaan Mahisa Agni sebenarnya, dan mereka tidak merasa, bahwa merekapun ternyata telah terjebak dalam suatu akal yang licik- dari Kebo Sindet dan Wong Sarimpat.
Dalam pada itu terayata bukan saja Empu Ganring yang menjadi cemas alas nasib Mahisa Agni. Ken Arokpun mera sakan sesuatu yang tidak dapat dimengertinya sendiri. Karena itu maka kemudian ia berkata" Mahisa Agni. Aku akan menyiapkan tujuh orang yang terpilih, untuk mengawanipun per gi ke Panawijen.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka akan mendapat tawaran itu. Tetapi sayang, bahwa hati kecilnya meronta. Ia sama sekali bukan seorang pemimpin, tetapi juga bukan seorang penakut. Karena itu, maka pangawalan tujuh orang prajurit akan membuatnya menjadi canggung.
Karena itu maka jawabnya" Terima kasih Ken Arok. Terima kasih atas kebaikanmu itu. Tetapi maaf aku tidak dapat menerimanya. Pengawalan prajurit sama sekali bukanlah hakku, dan sama sekali tidak sepantasnya tcrjadi. Aku hanya seorang anak padesan yang tidak berarti.
"Jangan terlampau merendahkan dirimu Agni" sahut Ken Arok" aku sama sekali tidak memandang siapakah kau.
-Tetapi aku merasakan suatu ketidak" wajaran. Sedang kau sekarang sedang dibebani oleh Itugas yang cukup berat.
Mahisa Agni menggeleng lemah" Terima kasih Ken Arok. Tetapi maaf, aku kira aku tidak akan dapat menerimanya.
"Apakah kau tersinggung karenanya?"- bertanya Ken Arok" aku sama sekali tidak ingin menganggapmu seperti kanak-anak yang masih selalu memerlukan dayang dan pengasuh.
Tidak. Tetapi padang Karautan memang menyimpan seribu macam rahasia.
"Rahasia itu sekarang telah berada ditanganmu.
"Satu diantaranya" jawab Ken Arok" tetapi aku pernah melihat tiga hantu Karautan berkumpul disini, kemudian hadir seorang sakti yang bernama Empu Sada. Setelah itu ternyata dipadang ini telah singgah pula seorang yang barnama Empu Gandring. Akhir-akhir ini dipadang ini pula berkeliaran penunggang kuda tanpa pelana. hantu dari Kemundungan yang bernama Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. Sebelumnya dihutan menjelang padang ini terdengar pula seorang berkasa kulit harimau, guru kakang Witantra, Panji Bojong Santi. Nah, Agni. Apakah tujuh orang prajurit itu masih kau anggap ber-lebih-lebihan.
Mahisa Agni tidak segera menjawab. Kata-kata yang diucap kan oleh Ken Arok itu sama sekali tak dapat disangkalnya. Ia mengakui bahwa semuanya itu benar-benar membuat padang ini semakin banyak menyimpan rahasia. Tetapi bagaimanapun juga, Mahisa Agni merasa canggung apabila ia harus mendapat pengawalan tujuh orang prajurit Tumapel.
Karena itu dengan berat hati ia berkata "Terima kasih Ken Arok. Aku dapat menerima kemurahan Akuwu Tunggul Ametung atas bendungan yang sedang kita bangun. Aku tidak akan menolak seandainya nanti Akuwu Tunggul Ametung memberikan hadiah bahan makanan kepada kami, orang-orang Panawijen yang kelaparan. Tetapi aku tidak dapat menerima kebaikan hatimu, justru untukku sendiri. Aku tidak dapat berjalan seperti seorang Senapati yang dikawal oleh prajurit-prajuritnya.
Ken Arok menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Agni bukanlah sanak dan bukan kadangnya. Tetapi ia merasa sesuatu telah memaksanya untuk mencoba melindunginya.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Dua laki-laki tua dari Panawijen itu duduk membeku. Nama yang disebut oleh Ken Arok sebagian besar belum pernah mereka dengar. Tetapi suasana pembicaraan itu membayangkan kepada mereka bahwa dipadang Karautan itu memang tersimpan berbagai macam persoalan.
Tetapi kedua laki-laki itu sama sekali tidak dapat mengerti kenapa Mahisa Agni menolak ketujuh orang prajurit yang diberikan oleh Ken Arok kepadanya. Bukankah dengan demi kian perjalanan mereka akan menjadi bertambah aman?" Mereka sama sekali tidak merasakan kejanggalan dan keseganan itu. Bahkan mereka sama sekali tidak berpikir tentang keadaan diri sendiri dalam hubungannya dengan para prajurit itu.
Keheningan itu kemudian dipecahkan oleh suara Ken Arok "Agni, kalau demikian, maka aku akan ikut besertamu.
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga duduknya berksar setapak. Dengan serta-merta ia menyawab "Ken Arok, jangan hiraukan aku. Lakukanlah kuwajiban yang dibebankan kepadamu oleh Akuwu Tunggul Ametung. Memimpin para prajurit dan Pelayan-dalam istana untuk membantu membuiat bendungan ini. Tetapi jangan mem persulit dirimu dan menghiraukan hal-hal yang kecil yang bukan kewajibanmu. tetapi justru dapat mendatangkan bencana bagimu.
Ken Arok menggelengkan kepalanya, katanya "Aku dapat bersikap sebagai seorang pemimpin dari para prajurit ini, tetapi aku juga dapat bersikap sebagai Ken Arok pribadi-Ken Arok yang untuk pertama kalinya bertemu dengan Mahisa Agni dipadang Karautan ini. Karena itu, maka biarlah aku melepaskan pakaian kepemimpinanku sejenak dan menyerahkan kepada orang lain. Aku, Ken Arok akan pergi bersamamu menyeberangi padang ini. Aku ingin mengenangkan kembali segarnya udara terbuka, hijaunya daun-daun perdu dan panasnya terik matahari. Jangan menolak Agni. Sebab me nolak atau tidak, aku mempunyai kebebasan untuk melakukannya. Pergi ke Panawijen atau tinggal disini.
Sejenak Mahisa Agni terbungkam. Sama sekali ia tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Karena itu maka sekali lagi suasana menjadi sepi. Kadang-kadang terdengar beberapa orang yang duduk disekitar Mahisa Agni itu saling berbisik. Kadang-kadang mereka meng-angguk-anggukkan kepala mereka, namun kadang-kadang wajah itu menjadi sangat tegang.
Mahisa Agni sendiri sejenak tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Ia tidak menyangka bahwa begitu besar per hatian orang-orang disekitarnya terhadap dirinya. Terbersitlah rasa terima kasih yang me-nyentuh-nyentuh hatinya, tetapi iapun menjadi canggung pula karenanya. Ia biasa hidup sebagai seorang anak padepokan yang bertanggung jawab. Yang biasa meletakkan kuwajiban pada usaha sendiri. Tetapi kini ia harus menghadap suatu kenyataan yang lain meskipun persoalannya dapat dimengertinya.
Meskipun demikian Mahisa Agni masih mencoba men jawab "Ken Arok, aku sekali lagi mengucapkan terima kasih kepadamu. Aku memang tidak akan dapat menolak apa lagi melarang, seandainya kau dengan kehendakmu sendiri ingin menjelajahi padang Karautan ini. Tetapi apakah dengan demikian kau tidak justru meninggalkan kuwajiban yang dibebankan oleh Akuwu Tunggul Ametung kepadamu?"
"Itu adalah tanggung jawabku Agni. Seandainya aku akan dianggap mengabaikan kuwajibanku sekalipun, maka akulah yang akan menerima akibatnya.
Mahisa Agni tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia tabu benar, bahwa sama sekali bukan maksud Ken Arok untuk memaksa kehendaknya atasnya, tetapi apa yang dilakukannya itu terdorong oleh perasaan cemas dan gelisah.
Akhirnya Mahisa Agni berkata "Baiklah. Kalau kau ingin juga pergi menyeberangi padang Karautan ini. Aku tahu bahwa itu bukan se-mata-mata karena kau telah merindukan udara padang yang luas ini, bukan karena kau ingin mendengar angin yang gemerisik membelai dedaunan yang mulai kering menguning. Tidak pula karena kau ingin melihat angin pusar an yang menaburkan debu dan rerumputan kering. Tetapi karena kau melihat sesuatu yang mencemaskan hatimu. Tentang aku.
Ken Arok meng-angguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya per lahan-lahan "Terserah kepadamu Agni. Apakah yang akan kau katakan tentang aku.
Keduanyapun kemudian terdiam. Angin senja bertiup semakin lama semakin kencang. Tiba-tibamereka melihat kilat memancar.
Dada Mahisa Agni berdesir. Tanpa disadarinya ditatapnya langit diluar gubugnya. Tetapi langit itu tampak bersih. Satu dua bintang telah mulai menampakkan dirinya, berkeredipan seperti batu permata.
"Hem, apakah sudah akan sampai waktunya musim basah tiba "pertanyaan itu tumbuh didalam hatinya "Bendungan itu masih belum siap seluruhnya. Tetapi menilik mangsa, hujan baru akan datang dua bulan lagi, dan banjir yang pertama menurut kebiasaan akan datang kira-kira tiga bulan lagi.
Mahisa Agni terkejut ketika pamannya berkata "Apakah kita sudah menjatuhkan putusan?" Besok kau pergi ber sama aku dan angger Ken Arok?"
Mahisa Agni mengangguk sambil menjawab "Demikian lah paman.
"Baiklah "sahut pamannya "sekarang aku akan beristirahat. Besok kita berangkat pagi2.
"Silahkan paman jawab Mahisa Agni.
"Aku juga akan mempersiapkan diri "berkata Ken Arok "aku akan menyerahkan pimpinan kepada seseorang dan memerintahkan dua orang untuk pergi ke Tumapel. Ke dua prajurit akan mclapoikau keadaan dipadang ini dan akan menyampaikan berita kebakaran di Panawijen. Aku ya kin kalau Tuanku Akuwu Tunggul Ametung akan menyangupi memberi bantuan kepada orang-orang Panawijen. Se-tidak-tidaknya bagi orang-orang Panawijen yang berada dipadang Karautan ini, sehingga mereka tidak perlu mengurangi persediaan makan dari lumbung-lumbung yang masih ada di Panawijen.
Terima kasih Ken Arok "desis Mahisa Agni sambil menundukkan kepalanya. Getar dadanya serasa semakin cepat mengalir. Bantuan-bantuan yang datang itu telah mengharukan pe rasaannya.
Akhirnya perasaan terima kasih yang tidak terhingga di panjatkannya kepada Yang Maha Agung. Hanya karena tangan-Nyalah maka semua itu dapat terjadi.
Sejenak kemudian Ken Arok telah meninggalkan Mahisa Agni yang masih duduk tepekur. Beberapa orang lainpun satu-satu beranjak pula dari tempat duduk mereka, kembali ke-gubugs masing-masing. Mereka menjadi gelisah setelah mereka mendengar berita kebakaran di Panawijen. Tetapi mereka pun menjadi gelisah pula mendengar pembicaraan orang-orang penting disekitar mereka. Mereka ingin Mahisa Agni melihat bekas kebakaran itu untuk memastikan sebab-sebabnya, tetapi mereka juga mengharap didalam hatinya, agar Mahisa Agni tidak usah pergi ke Panawijen, sebab menurut pendengaran mereka, padang Karautan benar-benar merupakan padang yang dipenuhi oleh seribu macam rahasia.
Tetapi mereka tidak dapat mengatakan kepada Mahisa Agni, kepada Ken Arok atau kepada paman Mahisa Agni. Mereka juga tidak dapat mengatakan kepada kedua laki-laki tua yang baru datang dari kAmpung halaman mereka, bahwa sebaiknya Mahisa Agni tidak usah mereka ajak kembali ke Panawijen. Namun satu dua orang berpendapat bahwa se baiknya Mahisa Agni pergi saja ke Panawijen, supaya apa bila ia kembali kepadang ini, ia dapat mengatakan apa yang telah terjadi. Sehingga dengan demikian mereka tidak selalu dihantui oleh bayangan yang mungkin sangat ber-lebih-lebihan.
Ketika tempat itu menjadi semakin sepi, maka Mahisa Agni terkejut mendengar suara K i Buyut Panawijen dekat disampingnya "Angger, aku juga ingin turut ke Panawijen.
"Oh "- Mahisa Agni mengangkat wajahnya dan de ngan serta merta ia berkata "Jangan Ki Buyut. Aku sudah meninggalkan pekerjaan ini. Sebaiknya Ki Buyutlah yang ki ni menunggui mereka supaya mereka tidak menjadi kehilang an gairah.
"Tetapi aku juga ingin melihat apa yang terjadi itu ngger.
"Lain kali Ki Buyut. Biarlah Ki Buyut tetap bersama mereka yang sedang bekerja. Aku, paman Empu Gandring dan Ken Arok telah meninggalkan padang ini. Para prajurit Tumapel itupun diserahkannya kepada orang lain. Karena itu sebaiknya Ki Buyut tetap berada disini.
Ki Buyut Panawijen menatap wajah Mahisa Agni de ngan pancaran kekecewaan hatinya. Tetapi ia tidak berkata sesuatu. Dicobanya untuk mengerti kata-kata Mahisa Agni itu.
"Ki Buyut" Mahisa Agni meneruskan" kerja yang be sar ini tidak akan dapat kita tinggalkan bersama-sama. Aku telah melihat sekali-sekali kilat memancar dilangit. Sebentar lagi kita akan sampai pada musim basah. Sebelum banjir yang pertama mengaliri sungai ini, maka bendungan kita harus sudah meyakinkan, bahwa ia tidak akan hanyut karenanya.
Ki Buyut meng-angguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih saja berdiam diri.
"Karena itu" Mahisa Agni meneruskan" kita harus be kerja keras untuk menyelesaikannya. Untunglah bahwa kita mendapat bantuan para prajurit dari Tumapel itu.
Ki Buyut Panawijen masih meng-angguk-angguk kecil. Kemudian katanya per-lahan-lahan" Baiklah ngger. Biarlah aku tinggal disini menunggui mereka yang sedang bekerja.
"Terima kasih Ki Buyut." sahut Mahisa Agni" mudah-mudahan semuanya dapat kita selesaikan ber-sama-sama.
Ki Buyut kemudian meninggalkan Mahisa Agni kembali kegubugnya. Udara masih juga terasa agak panas, meskipun angin telah bertiup agak kencang. Gelap malAmpun semakin lama menjadi semakin pekat; Ketika Mahisa Agni menenga dahkan wajahnya, dilihatnya dari celah tutup keyong gubugnya, bintang-bintang sudah berpijaran dilangit yang biru hitam.
Kedua laki-laki tua yang datang dari Panawijen masih berada didalam gubug itu. Ketika suasana menjadi semakin sepi, dan tidak ada orang lain didalam gubugnya, maka salah seorang daripadanya bertanya" Agni, siapakah orang tua itu?"
"He" Mahisa Agni mengerutkan keningnya "bukankah itu Ki Buyut. Apakah kalian telah melupakannya?"
"Bukan. Bukan Ki Buyut. Apakah aku sudah gila sehingga aku tidak mengenalnya lagi." sahut orang itu" maksudku orang tua yang selalu mencoba menghalangi kau pergi ke Panawijen.
Dahi Mahisa Agni menjadi berkerut merut. Terasa detak jantungnya menjadi semakin cepat. Tetapi ia tidak akan dapat mengatakan lain daripada keadaan sesungguhnya. Dengan demikian maka untuk selanjutnya kedua orang itu akan bersikap lebih hati-hati. Namun hal itu pasti akan mengejutkan mereka. Tetapi menurut pendapat Mahisa Agni demi kianlah sebaiknya.
Maka jawabnya" Kaki, laki tua itu adalah salah seorang dari mereka yang di-sebut-sebut sebagai orang aneh di Tumapel. Ia seorang pembuat keris. Kerisnya hampir tak ada duanya didunia ini. Tetapi membuat keris baginya tidak seperti pembuat-pembuat keris yang lain. Belum pasti setahun sekali ia meng hasilnya sebuah keris. Bahkan mungkin dua tahun. Tetapi apa bila sebuah keris disiapkannya, maka keris itu pilih tanding.
Kedua laki-laki itu memandangi wajah Mahisa Agni dengan tegangnya." Tetapi mereka tidak segera tahu, siapakah orang itu.
Karena itu maka salah seorang dari mereka bertanya "Siapakah orang itu?"
"Orang itu telah pula di-sebut-sebut namanya oleh Ken Arok.
"Ya, siapakah namanya."
"Empu Gandring. "O "kedua orang itu terbungkam. Mereka mendengar nama itu tadi disebut pula seorang anak muda pemimpin prajurit dari Tumapel dalam deretan nama-nama yang asing bagi mereka, tetapi kesan yang mereka tangkap adalah terlampau dahsyat. Justru karena itu maka mereka tidak lagi mengucapkan sepatah katapun. Dada mereka seakan-akan tersumbat oleh penyesalan.
Yang berbicara kemudian adalah Mahisa Agni, katanya "Nah, sekarang beristirahatlah. Besok kita berangkat pagi2 supaya kita sampai di Panawijen sebelum sore hari.
"Begitu cepat?"
"Tidak terlampau cepat. Perjalanan yang sedang.
Kedua orang itu tidak menjawab lagi. Mahisa Agni telah menyediakan untuk mereka sehelai tikar pandan yang dibentangkan diatas setuMpuk rumput-rumput kering.
Malampun kemudian menjadi semakin dalam. Setapak demi setapak bintangi berkisar kebarat menuju kecakrawala. Angin malam yang sejuk berhembus dari Selatan. Dan embunpun kemudian setetes-setetes menitik dan hinggap didedaunan yang menguning.
Ketika fajar menyingkap kehitaman langit diujung Timur, maka Mahisa Agni dan kawan-kawannyapun telah bersiap. Kedua laki-laki tua dari Panawijen, Empu Gandring dengan se bilah keris raksasa dipunggungnya, Ken Arok dengan pedang dilambung dan Mahisa Agni sendiri. Seperti Ken Arok Mahisa Agnipun membawa pedang pula tergantung pada ikat pinggang kulit yang lebar.
Terasa oleh orang-orang Panawijen dan para prajurit Tu mapel, bahwa orang-orang Yang berangkat melintasi padang Karaut an itu benar-benar telah bersiap untuk menghadapi setiap kemung kinan.
Ketika langit menjadi semakin terang, maka merekapun segera berangkat, dilepas oleh Ki Buyut Panawijen dan orang lain yang sebentar lagi akan mulai pula bekerja menyelesai kan bendungan itu.
Sejenak kemudian maka kuda-kuda itupun segera berpacu. Tetapi mereka tidak dapat berjalan seperti yang mereka ke hendaki, karena kedua laki-laki tua dari Panawijen itu tidak berani menunggang kuda terlampau kencang. Karena itu maka perjalanan itupun merupakan perjalanan yang terlampau lambat bagi Mahisa Agni, Empu Gandring, apalagi Ken Arok.
Meskipun demikian, namun merekapun menjadi semakin lama semakin mendekati pedukuhan Panawijen. Pedukuhan yang semakin lama menjadi semakin kering. Namun dengan demikian, bagi Mahisa Agni semakin lama semakin didekatinya bahaya yang bersembunyi didalam pedukuhan itu.
Kebo Sindet dan Wong Saiimpat telah menunggunya de ngan sepenuh harapan tentang berbagai keuntungan yang akan mereka dapatkan dari pemerasan yang akan mereka lakukan.
Betapapun lambatnya perjalanan itu, tetapi akhirnya Pa nawijen telah berada dihadapan hidung mereka, setelah be berapa kali mereka berhenti melepaskan lelah dan haus, kare na kedua laki-laki tua dari Panawijen itu. Mereka tidak memiliki ketahanan seperti Mahisa Agni, Empu Gandring yang mes kipun sudah tua pula dan apalagi Ken Arok, seorang yang paling mengenal padang Karautan melampaui yang lain8.
Sejenak kemudian merekapun telah memasuki padukuhan itu. Mereka berlima disambut dengan penuh gairah oleh orang Panawijen. Apalagi setelah mereka melihat Mahisa Agni, maka merekapun menjadi se-akan-akan anak-anak yang sudah Ia ma tidak melihat ayahuya pergi merantau, dan kini ayah itu kembali pulang.
Belum lagi Mahisa Agni sempat beristirahat, maka beberapa orang-orang telah menemunya dan masing-masing berceritera dalam nada yang ber-beda-beda tentang kebakaran yang terjadi dipadu kuban mereka. Tentang beberapa buah lumbung dan rumah8 yang lain.
"Nanti aku akan melihat" berkata Mahisa Agni" seka rang apakah kalian tidak ingineri kesempatan kami untuk beristirahat sebentar.
"Oh "orang-orang Panawijen itu saling berpandangan se jenak. Kemudian merekapun menjawab hampir bersamaan-Silahkan. Silahkan anakmas beristirahat di rumah Ki Buyut.
"Terima kasih" sahut Mahisa Agni" aku akan beristira hat dipadepokanku.
Mahisa Agnipun kemudian pergi kepadepokannya, padepokan yang pernah didiaminya sejak kanak?".
Dalam pada itu Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. menunggu dengan ber-debar-debar dirumah Kuda-Sempana. Ketika ayah Kuda-Sempana datang, maka dengan ter-gesa-gesa Wong Sarim pat bertanya" He, apakah kau melihat Mahisa Agni. Bukankah orang-orang ribut menyambut kedatangannya. Anak-anak itu akan menjadi terlampau congkak. Se-akan-akan ia sudah menjadi seorang Akuwu di Panawijen.
"Aku melibatnya" sahut ayah Kuda-Sempana" anak muda itu datang berlima.
"Berlima?"" Wong Sarimpat mengerutkan alisnya, sedang wajah Kebo Sindet yang beku masih juga membeku" siapa saja mereka?"
Ayah Kuda-Sempana menggeleng" Aku tidak tahu. Yang seorang sudah agak tua, membawa sebuah keris yang besar dipunggungnya.
"Empu Gandring" gumam Wong Sarimpat.
"Yang seorang lagi agaknya prajurit atau Pelayan da lam seperti Kuda-Sempana dahulu Wajahnya tampan dan bermata terang.
"Siapakah anak itu Kuda-Sempana?"" bertanya Wong Sarimpat.
Kuda-Sempana menggeleng. Jawabnya kosong" Aku ti dak tahu.
"Kau pasti tahu" sahut Wong Sarimpat" kau pernah menjadi seorang prajurit atau seorang Pelayan-dalam.
"Tetapi aku tidak melihat siapa orang itu.
Wong Sarimpat meng-anggukskan kepalanya. Gumamnya-Ya, kau memang tidak melihat tetapi seharusnya kau dapat mengira-ngirakan siapakah orang itu.
"Ada be-ratus-ratus Pelayan-dalam dan prajurit pengawal didalam istana. Aku tidak dapat mengenal seluruhnya.
"Tetapi siapakah yang berwajah tampan dan bermata terang "tiba-tiba Wong Sarimpat membentak.
"Jangan terlampau keras berteriak Kebo Sindet memperingatkannya "kita tidak berada di Kemundungan. Kita berada didalam sebuah pedukuhan. Di Kemundungan, suaramu yang keras dan serak itu hanya akan didengar oleh dinding-dinting padas lereng bukit. Disini suaramu akan dapat membuat bayi menjadi pingsan.
"Oh " Wong Sarimpat mengusap mulutnya se-akan-akan ia akan menghapus suaranya yang telah terlanjur terlontar. Tetapi kembali ia bertanya merkipun agak per-lahan-lahan "Siapa?"
"Banyak diantara mereka yang tampan dan bermata, terang "sahut Kuda Sempana se-akan-akan acuh tak acuh "Witantra, Sura, Kukma, Mitra"
"Cukup. "sekali lagi Wong Sarimpat berteriak dan sekali lagi Kebo Sindet memperingatkannya "Wong Sarimpat. Apakah kau tidak mempunyai otak?"
01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wong Sarimpat terdiam. Tetapi mulutnya masih saja kumat-kamit, dan ia mengumpat tak habis-habisnya didalam hati.
"Mungkin kau tidak mengenal anak itu Kuda-Sempana "berkata Kebo Sindet dengan wajah yang beku "tetapi siapakah yang dua lagi?"
Ayah Kuda-Sempana menjawab "Yang dua adalah lakis tua dari Panawijen yang menjemput mereka.
Kebo Sindet meng-angguk-anggukkan kepalanya. Kepada Wong Sarimpat ia berkata "Kita sudah pasti. Siapapun prajurit muda itu, tetapi ia bukan orang-orang yang wajib kita perhitung kan. Kau dapat menahan Empu Gandring, dan aku akan melarikan Mahisa Agni.
Wong Sanmpat meng-angguk-anggukkan kepalanya.
"Kemudian kau lebih baik meninggalkan Empu Gandring. Ia tidak akan dapat menyusulmu. Kudamu pasti lebih baik dari pada kudanya.
Wong Sarimpat masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kalau anak muda yang seorang itu mampu membuat perlawanan, maka sementara Kuda-Sempana harus mengikat
Mahisa Agni dalam perkelahian. Hanya sebentar. Aku akan membunuh prajurit muda yang tampan itu. Aku tidak tahu siapa ia, tetapi kalau ia mencoba meng-halang2i aku, maka terpaksa aku akan membunuhnya.
"Baik "geram Wong Sarimpat "aku akan membunuh Empu Gandring, tidak hanya sekedar menyingkirkannya dari Mahisa Agni.
"Kau tidak perlu membual Wong Sarimpat. "berkata Kebo Sindet. Kemudian kepada Kuda-Sempana ia berkata "Dan kau Kuda-Sempana, kau akan dapat melepaskan dendam hatimu. Sekendakmulah, apa yang akan kau lakukan atas anak muda itu kelak di Kemundungan. Sedang aku mempunyai kepentingan sendiri dengan Mahisa Agni itu. Tetapi aku tidak akan mengecewakanmu.
Sementara itu, setelah Mahisa Agni dan kedua orang lainnya, Empu Gandring dan Ken Arok, beristirahat sejenak, minum air legen yang manis langsung dari bumbung yang di turunkan dari deresan pohon nyiur, dan sedikit makan be berapa jenis makanan, merekapun segera pergi ketempat ke bakaran.
Mereka melihat beberapa lumbung dan rumah terbakar hampir musna. Abu yang lembut masih saja berhamburan disentuh angin yang agak kencang. Disana sini masih teronggok reruntuhan yang tersisa.
Mahisa Agni, Empu Gandring dan Ken Arok melihat sisa-sisa kebakaran itu dengan saksama, sementara beberapa orang mengerumuninya dari kejauhan.
Tiba-tiba Empu Gandring yang tua itu mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa hal yang kurang wajar menurut penilaiannya. Karena itu maka digamitnya Ken Arok dan di panggilnya Mahisa Agni mendekat.
"Kau lihat onggokan abu disini?" "bertanya Empu Gan dring.
Kedua anak muda itu menggangguk.
"Dan kau lihat rumah sebelah yang belum terbakar habis?"
Sekali lagi keduanya mengangguk.
"Aku akan menyebutkan suatu kemungkinan, tetapi aku tidak dapat memastikan kebenarannya. Kalau menurut dugaanku, maka lumbung ini pasti lebih dahulu terbakar dari rumah itu. Bukankah disisi.sebelah ini kebakaran agaknya lebih sempurna dari sisi yang lain.
"Ya "sahut Mahisa Agni.
"Tetapi rumah itu terbakar disisi yang berlawanan da ri lumbung ini. Kalau rumah itu terbakar oleh api yang menjalar dari lumbung ini, maka sebelah yang terdekat dengan lumbung indah yang akan terbakar lebih dahulu. Tetapi bukankah yang terjadi sebaliknya?" Justru yang disisi ini rumah itu masih tersisa meskipun tinggal seonggok kayu.
Kedua anak-anak muda itu masih meng-angguk-anggukkan kepalanya. Mereka segera dapat mengambil kesiMpulan, bahwa api yang membakar rumah itu bukanlah yang menjalar dari lumbung ini. Kenyataan yang kecil itu telah cukup membuat mereka bercuriga. Apakah mungkin karena panasnya udara timbul api dari dua tempat yang berbeda?" Yang hampir ber samaan telah membakar dua macam bangunan itu?"
Dalam pada itu terdengar Ken Arok berdesis "Ada tangan yang menyalakannya.
Empu Gandring meng-angguk-anggukkan kepalanya, sedang mata Mahisa Agni kini menjadi menyala seperti api yang membara. Terdengar giginya gemeretak. Dengan dada yang berdentangan ia menggeram "Aku sependapat. Ada orang yang mencoba mengacaukan kerja kita.
"Jangan kau tanggapi dengan hati yang gelap Agni. Adalah sudah, menjadi kebiasaan, bahwa setiap kerja yang baik dan bermanfaat, apalagi kerja yang besar, pasti akan ditemuinya berbagai macam rintangan dan gangguan. Kini kau juga menjumpai rintangan dan gangguan itu.
"Jadi apakah kita akan membiarkan saja mereka itu paman?"
"Tentu tidak Agni. Tetapi hati kita harus tetap jernih supaya kita tetap dapat melihat dengan terang. Kita harus pasti siapakah yang kita hadapi. "Empu Gandring berhenti sejenak. Dipandanginya orang-orang yang berkerumun dikejauhan. Kemudian katanya "Kau jangan membuat orang-orang itu menjadi semakin bingung dan cemas. Buatlah mereka tenang.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam se-akan-akan ingin mengendapkan isi dadanya yang sedang bergolak.
"Berilah mereka ketenangan, supaya mereka tidak akan menambah bebanmu yang telah menjadi semakin berat itu.
Mahisa Agni meng-angguk-anggukkan kepalanya. Dan iapun dapat mengerti ketika pamannya berkata "Kau harus berkata kepada mereka, bahwa tidak ada apa-apa yang terjadi. Kebakaran ini adalah kebakaran yang wajar karena suatu kecelakaan saja. Dan kau harus menyampaikan kepada mereka kesanggupan angger Ken Arok. Adalah lebih baik apabila angger Ken Arok menyampaikannya sendiri.
Mahisa Agnipun k"mudian memandangi wajah2 yang memancarkan kecemasan dan ke tidak tentuan. Namun kepala anak muda itu masih saja meng-angguk-angguk "Baiklah "gumamnya. Sambil berpaling kepada Ken Arok, Mahisa Agni ber kata "Apakah kau tidak berkeberatan?"
"Aku mendahului keputusan Akuwu Tunggul Ametung. Tetapi aku yakin bahwa demikianlah yang akan terjadi?"
"Jadi bagaimana?"
"Baiklah. Ketiganya, bersama dua laki-laki yang menjemput mereka ke padang Karautan dan beberapa orang tua yang menunggu mereka agak jauh disamping bekas2 kebakaran itupun segera menemui orang-orang Panawijen. Mahisa Agni mencoba untuk menenangkan hati mereka dengan beberapa keterangan. Dan akhirnya dipersilahkannya Ken Arok sendiri memberi penjelasan kepada orang-orang Panawijen itu.
Agaknya kesanggupan Ken Arok telah dapat memberi mereka ketenteraman. Mereka tidak lagi digelisahkan oleh masa depan yang mengerikan. Baliaya kelaparan yang selalu menghantui mereka beberapa hari terakhir.
"Aku telah mengirimkan dua orang prajurit ke Tumapel "berkata Ken Arok mudah-mudahan mereka segera datang. Sebelum padi yang terakhir kalian masukkan kedalam lesung, maka pasti lelah datang padi dan jagung dari Tumapel. Kalian tidak akan dibiarkan kelaparan sampai tanah yang kalian garap menghasilkan. Sampai bendungan dipadang Ka raut an itu dapat mengangkat air, mengaili sawah-sawah kalian yang pasti akan lebih subur dari sawah-sawah kalian di Panawijen ini.
Alangkah lapang hati mereka. Meskipun daun-daun dipadukuh an mereka menjadi semakin kuning dan berguguran, namun hati mereka menjadi tenteram.
Tetapi tidak demikian dengan Mahisa Agni sendiri. Hatinya selalu diganggu oleh kemarahan dan kegelisahan, meski pun ia tidak tahu, bahwa Kebo Sindet dan Wong Sarimpat saat itu berada dipedukuhan itu pula.
Sebenarnya bukan seja Mahisa Agni yang menjadi gelisah. Tetapi juga Empu Gandring dan Ken Arok. Dugaan mereka atas timbulnya kebakaran karena kesengajaan telah me numbuhkan berbagai persoalan didalam dada mereka. Itulah sebabnya, maka setelah mereka kembali kepadepokan dan ber istirahat diserambi samping, maka senjata-senjata mereka tidak ju ga terpisah daripada tubuh inerrka.
Empu Gandring yang melihat kekuatan-kekuatan yang seimbang de ngan dirinya yang menurut dugaannya adalah Empu Sada, Kebo Sindet dan Wong Sarimpat. membiarkan kerisnya melekat dipunggung, meskipun ia sedang duduk- menikmati beberapa macam makanan padepokan Panawijen. Sedang Ken Arok meletakkan pedangnya dipangkuannya. Mahisa Agni sendiripun tidak juga melepas pedangnya tersangkut dilambungnya.
Beberapa orang cantrik yang masih tinggal dipadepokan itu sibuk menyediakan makan dan minuman mereka. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Mahisa Agni "Apakah aku dapat menyimpan senjata-senjata kalian?"
Mahisa Agni menggeleng "Jangan.
Cantrik itu terdiam, tetapi wajahnya menjadi kecut. Terbayanglah suatu pertanyaan didalam wajah itu "Kenapa senjata itu tidak juga ditepatkan. "Namun cantrik itu tidak mengucapkannya.
Sementara itu cahaya dilangitpun menjadi semakin lama semakin merah. Mega yang ber-arak dan awan yang se-olah-olah tersangkut dilangit memantulkan cahaya matahari yang hampir tenggelam, dan memancarlah layung dilangit Warna yang ta jam menusuk kedalam serambi samping padepokan Panawijen.
Warna itu se-oIah-olah menambah kegelisahan yang tersimpan didalam dada Mahisa Agni, Empu Gandring dan Ken Arok. Warna itu seperti tajamnya ujung senjata yang berputar dilangit, disoroti oleh cahaya senja.
Tiba-tiba Mahisa Agni berdiri dari tempatnya. Per-lahan-lahan ia melangkah sambil berkata "Aku akan ke sanggar sebentar paman.
"Apa yang akan kau perbuat?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat sanggar guruku yang telah lama tidak dipergunakan.
Empu Gandring merasa heran. Padepokan ini adalah padepokan guru Mahisa Agni. Tetapi untuk melepas Mahisa Agni pergi dari sisi sebelah Timur kesisi sebelah Barat, terasa begitu berat. Se-akan-akan Empu Gandring sedang melepas seorang anak kecil bermain-main ditepi sumur.
"Aku terlampau dibayangi oleh perasaanku sendiri "berkata orang tua itu didalam hatinya. Karena itu maka di cobanya untuk mempergunakan pikiran jernihnya. Anak mu da itu hanya akan pergi kesanggar. Tidak lebih dari tigapuluh langkah dari tempat itu.
"Pergilah "jawabnya kemudian "tetapi hati-hatilah. Rumah ini sudah lama tidak kau kenal.
"Baiklah paman. Mahisa Agnipun segera meninggalkan pamannya. Pesan itu adalah pesan yang aneh baginya, tetapi ia merasa bahwa pesan itu sudah waclyar diucapkannya. Se-akan-akan anak muda itu sendiri merasa bahwa ia berada disuatu medan yang ber babaya.
Dengan pedang dilambung Mahisa Agnipun segera pergi kesanggar gurunya. Per-lahan-lahan dibukanya pintu sanggar itu. Terdengar suara berderit, dan seberkas sinar senja yang te maram melontar masuk.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Terasa udara agak panas mengalir dari dalam Remang-remang dilihatnya tiang-tiang kayu nangka yang kekuning-kuningan.
Perlahan-lahan Mahisa Agni melangkah naik anak tangga dan memasuki sanggar. Ketika kakinya menyentuh lantai, debu yang tipis menggelepar dibawah kakinya.
Mahisa Agnipun kemudian melangkah terus masuk ke dalam sanggar. Ia tidak menutup pintunya, terlampau rapat karena dengan demikian sanggar itu akan menjadi gelap sekali. Dengan sisa2 sinar senja ia mencoba mengamati isi sanggar gurunya itu.
"Pusaka itu masih berada disini "desisnya "tak seorangpun yang tahu e patnya selain aku.
Dengan rapu2 Mahisa Agni mencoba membuka sepotong papan lantai dan meraba-raba kedalamnya. Ketika tangannya me nyentuh sebuah peti kelyil, maka ia menarik nafas dalam-dalam.
"Peti ini masih disini. "desisnya.
Mahisa Agni itupun segera duduk menghadap pintu sang gar yang masih sedikit menganga. Sambil melihat keluar, kalau-kalau ada orang yang melihatnya, ia membuka peti kecil itu. Hati-hati ia meraba kedalamnya, dan kini tangannya menyentuh sebuah benda yang dingin.
"Inilah pusaka itu "katanya didalam hati.
Dengan dada yang ber-debar-debar diangkatnya benda kecil dari dalam peti itu. Mata Mahisa Agni menjadi ber-sinar2 ketika ia melihat sebuah pusaka kecil berkilat2 ditangannya. Trisula.
Seperti didorong oleh tenaga yang aneh, cepat2 ia me masukkan trisulanya kembali. Segera menutup peti itu, dan menempatkan kembali sepotong papan lantai itu pada tempatnya, dan mengembalikan semuanya seperti sediakala. Tak ada bekas apapun yang ditinggalkannya. Tak seorangpun tahu, bahwa ada sepotong kayu lantai yang dapat diangkat, dan didalamnya tersimpan pusaka itu.
Sejenak Mahisa Agni duduk tepekur. Diluar senja men jadi semakin beringsut menjelang malam. Langit yg kemerah-merah an menjadi semakin kelam. Dan sanggar itupun manjadi semakin gelap.
Empu Gandring dan Ken Arok masih duduk diserambi samping. Mereka hampir tidak bercakap-cakap sama sekali. Ke pala mereka tampak tepekur. Ketika seseorang memasang sebuah lampu dinding disamping mereka, mereka hanya meng anggukkan kepala sambil bergumam"Terima kasih. "Namun sesudah itu mereka terdiam kembali.
Yang kemudian bertanya adalah Ken Arok "Paman, kenapa Mahisa Agni terlampau lama berada didalam sanggar itu?"
Empu Gandring tidak segera menjawab. Meskipun se benarnya hatinya sendiri selalu diliputi oleh kegelisahan. Di pandanginya warna-warna yang kelam dihalaman. Tetapi agaknya tak satupun yang dilihatnya.
Agaknya Ken Arok tidak dapat menahan kegelisabannya, sehingga iapun kemudian berdiri. Per-lahan-lahan ia herdesis "Aku ingin melihat kesanggar sebentar paman. Apakah Agni sedang bersemadi?"
"Aku kira tidak ngger. Tetapi baiklah kalau kau ingin melihatnya. Tetapi kaupun harus berhati-hati pula.
"Baik paman. Ken Arokpun kemudian melangkah meninggalkan serambi samping pergi ke sanggar disisi yang lain dari halaman rumah itu. Dengan hati-hati Ken A rok melihat setiap gerak dan men dengarkan setiap bunyi dihalaman. Disana-sini beberapa orang cantrik telah menyalakan pelita-pelita di-sudut-sudut rumah.
Ken Arok berhenti beberapa langkah dari sanggar. Ia tidak ingin tmengganggu Mahisa Agni. Dari lempatnya berdiri Ken Arok remang-remang pintu sanggar itu tidak tertutup rapat.
Tetapi malampun menjadi semakin malam. Dan Mahisa Agni masih juga belum keluar dari sanggar. Meskipun demikian Ken Arok masih juga belum beranjak dari tem patnya.
Tiba-tiba dadanya berdesir ketika ia melihat sesosok bayangan mendekati sanggar itu. Bayangan yang hanya dilihatnya lamat2 itu berhenti sejenak dimuka pintu. Tetapi bayangan itu kemudian tidak segera segera pergi.
"Siapakah ia?" desis Ken Arok didalam hatinya. "Agaknya ia menunggu Mahisa Agni keluar.
Tetapi Ken Arok tidak begitu mencemaskannya. Agaknya bayangan itu tidak sengaja menyembunyikan diri. Ia berdiri saja disamping pintu sanggar.
"Mungkin seorang cantrik "berkata Ken Arok di dalam hatinya.
Sejenak kemudian ia melihat pintu sanggar itu bergerak Bayangan yang menunggu disamping pintu itu surut selangkah. Sementara itu, mata Ken Arok yang tajam melihat Mahisa Agni tersembul keluar dari dalamnya.
Tiba-tiba Mahisa Agni itu terloncat kesamping anak tangga sanggarnya. Agaknya ia terkejut ketika ia melihat seseorang menunggunya dimuka pintu sanggar. Tetapi orang yang menunggunya itupun terkejut pula, sehingga iapun terloncat mundur.
"Siapa 2 "terdengar Mahisa Agni bertanya.
"Aku Agni. "O" Mahisa Agni menarik nafas dalam "kau membuat aku terkejut cantrik. Apa kerjamu disini?"
"Aku ingin bertanya kepadamu Agni, apakah kau memerlukan lampu. Tetapi aku tidak berani mengganggumu, masuk kedalam sanggar.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam, dan beberapa langkah daripadanya, didalam kegelapan, Ken Arok pun menarik nafas dalam-dalam pula. "Benar dugaanku "katanya didalam hati "ia seorang cantrik.
(Bersambung, "ke Jilid 26)
Strangers 7 Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan Api Di Bukit Menoreh 27