Pencarian

Pelangi Dilangit Singosari 8

01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 8


Orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu pun ternyata seorang yang telah banyak berpengalaman. Itulah sebabnya, ketika ia melihat Mahisa Agni tidak menyerangnya, justru meloncat mundur sambil menyilangkan tangannya, serta ketegangan di wajah anak muda itu, maka guru Pasik itu pun segera menyadari, bahwa lawannya telah pula bersiap dalam puncak ilmunya.
Karena itu, maka terdengar orang itu menggeram, "Apa yang sedang kau lakukan itu?"
Mahisa Agni masih belum bergerak dari tempatnya. Ia pun menunggu sampai lawannya datang menyerangnya. Maka jawabnya, "Aku sedang berpikir, apakah kau sedang mengungkapkan kesaktianmu yang tertinggi?"
Guru Pasik itu mengerutkan keningnya. Ternyata Mahisa Agni menyadari keadaannya. Katanya, "Kita telah sampai pada saat penentuan. Aku masih ingin mencoba memperingatkan kau sekali lagi anak yang malang. Berikan kerismu dan jangan melawan. Mungkin aku akan membunuhmu dengan keris itu, tidak dengan cara-cara yang lain yang akan dapat menyiksamu pada saat-saat terakhir."
"Ki Sanak," jawab Mahisa Agni, "kau masih saja hidup di dunia yang gelap ini. Sebaiknya kau bangun dan sadari keadaanmu kini. Kau berada di antara manusia dan hidup bersama-sama dengan mereka. Kenapa berlaku demikian" Seolah-olah kau hidup di tengah-tengah rimba dan memaksakan segala kehendakmu kepada pihak-pihak yang kau anggap lebih lemah."
"Tutup mulutmu!" bentak Guru Pasik itu. Matanya yang merah menjadi semakin merah, "Jangan ribut. Berikan keris itu, dan tundukkan kepalamu. Aku ingin melibat darah memancar dari lehermu."
"Ki Sanak ," jawab Mahisa Agni, "kalau aku harus mati, maka akan mati dengan wajah menengadah."
Guru Pasik itu menggeram. Terdengar giginya gemeretak,dan tiba-tiba ia berteriak nyaring. Dengan dahsyatnya ia menerkam Mahisa Agni tepat seperti serigala yang buas menerkam mangsanya. Tetapi Mahisa Agni telah sampai di puncak ilmunya. Karena itu betapa cepatnya ia menghindarkan diri dari terkaman itu, sehingga orang yang menamakan dirinya Bahu Reksa Kali Elo itu terdorong oleh kekuatannya sendiri meluncur beberapa langkah. Namun orang itu agaknya telah benar-benar menguasai segenap gerak dan tubuhnya. Demikian ia menginjak tanah, demikian ia melenting dan memutar tubuhnya siap untuk melontarkan serangan kembali. Mahisa Agni pun segera mempersiapkan dirinya pula kembali, dan bahkan kini ia tidak ingin perkelahian itu berlangsung berlarut-larut. Demikian ia melihat guru Pasik itu menyerangnya kembali dengan dahsyatnya, maka segera ia bergeser ke samping dan merendahkan dirinya. Kali ini Mahisa Agni tidak melepaskan kesempatan itu, dengan cepatnya ia meloncat menyerang lambung lawannya. Namun lawannya itu pun dengan sigapnya memperbaiki keadaannya, sehingga tepat pada saat serangan Mahisa Agni datang, Guru Pasik itu pun telah siap pula melawannya dengan garangnya.
Demikianlah maka terjadilah benturan yang dahsyat dari dua macam ilmu yang berlawanan. Benturan itu seakan-akan meledaknya petir yang sedang bersabung.
Pasik yang melihat benturan itu, tiba-tiba memejamkan matanya. Terdengar ia berdesah. Ia tidak mau melihat peristiwa yang mengerikan itu berulang. Beberapa, saat yang lampau, ia pernah melihat gurunya mempergunakan ilmu itu pula, ketika mereka gagal memaksa seseorang untuk menyerahkan barang-barangnya di perjalanan. Ternyata orang itu pun mampu melawan gurunya dalam pertarungan jasmaniah. Namun kemudian gurunya itu mempergunakan ilmunya yang dahsyat itu.
Benturan antara Bahu Reksa Kali Elo dengan Mahisa Agni itu seakan-akan meledaknya petir yang sedang bersabung.
Ilmu yang dinamai Kala Bama. Akibatnya sangat mengerikan. Dada itu pecah berserakan. Tulang-tulangnya patah dan isi adanya pecah berhamburan bercampur warna darah. Pada saat itu ia gembira menyaksikan pembunuhan yang dahsyat. Tetapi kini tiba-tiba ia merasa muak. Bukan seharusnya Mahisa Agni mendapat perlakuan yang demikian.
Tetapi sesaat kemudian Pasik itu menjadi heran. Ia mendengar tubuh-tubuh yang berjatuhan, namun ia tidak mendengar gurunya itu tertawa nyaring seperti pada saat ia membunuh orang di jalan itu. Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk melihat apa yang terjadi. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Dan pertama-tama dilihatnya adalah Mahisa Agni yang sedang berusaha untuk berdiri di halaman itu. Namun tampak betapa ia menjadi sangat letih. Sekali-sekali ia masih terhuyung-huyung hampir jatuh. Namun kemudian ia menemukan keseimbangannya kembali.
Sebenarnyalah pada saat benturan itu terjadi, Mahisa Agni terdorong beberapa langkah surut, kemudian betapa dahsyatnya tenaga lawannya sehingga ia terguling beberapa kali. Baru kemudian dengan susah payah, ia berusaha berdiri.
Tetapi lawannya pun tidak kurang pula parahnya. Seperti seonggok kayu ia terlempar, kemudian terbanting di tanah. Sesaat orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu seakan-akan tak dapat lagi bernafas. Dadanya serasa pecah dan matanya berkunang-kunang. Karena itu maka segera dipusatkannya segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk segera menemukan kesadarannya kembali. Dan akhirnya guru Pasik itu pun mampu pula mengangkat kepalanya. Perlahan-lahan ia bangkit betapa punggungnya terasa sakit. Ketika ia telah berhasil duduk dan bertelekan di atas kedua tangannya, dilihatnya Mahisa Agni telah berdiri di hadapannya.
"Setan!" desisnya, "hantu mana yang telah menyelamatkanmu dari aji Kala Bama?"
Mahisa Agni menarik nafas. Kala Bama. Aji itu pun betapa dahsyatnya sehingga hampir saja dadanya dipecahkannya. Namun Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan itu.
Ditatapnya wajah orang itu dengan tajamnya. Dan dibiarkannya ia berusaha untuk berdiri pula.
Dengan tertatih-tatih akhirnya orang itu pun tegak pula. Namun sesaat kemudian ia berdiam diri seperti sedang merenung. Dan tiba-tiba pula tanpa disangka-sangka orang itu memutar tubuhnya dan terhuyung-huyung meloncat berlari meninggalkan halaman yang celaka itu.
Sesaat Mahisa Agni terpaku di tempatnya, namun kemudian disadarinya bahwa orang itu akan tetap berbahaya baginya. Karena itu maka segera ia pun berusaha untuk mengejarnya. Tetapi keadaan tubuhnya sendiri betapa letihnya, sehingga tenaganya pun telah menjadi sangat jauh berkurang. Meskipun demikian, orang yang dikejarnya itu pun tidak dapat berlari terlalu cepat.
Mahisa Agni dan guru Pasik itu pun kemudian dengan terhuyung-huyung berlari berkejaran. Tetapi tiba-tiba ketika Mahisa Agni hampir meloncati dinding halaman yang rendah, guru Pasik itu pun berhenti. Secepat kilat ia memutar tubuhnya dengan sisa-sisa ketangkasannya yang terakhir, kemudian dengan tiba-tiba pula, Mahisa Agni melihat sebilah pisau yang meluncur terbang ke arahnya.
Mahisa Agni terkejut melihat pisau itu. Cepat ia mengendapkan diri dan pisau itu terbang beberapa jengkal di atasnya. Namun karena ia tergesa-gesa dan kekuatannya pun telah hampir habis, maka dengan tak disangka-sangka Mahisa Agni itu pun tergelincir jatuh di tanah.
Mahisa Agni mengumpat di dalam hatinya. Pada saat ia bangun ia mendengar orang itu tertawa tinggi sambil berkata hampir berteriak, "Mahisa Agni. Kau menang kali ini. Tunggulah beberapa lama, apabila guruku telah selesai dengan pekerjaannya menempa Kuda Sempana, maka akan datang giliranmu untuk aku penggal lehermu.
Mahisa Agni itu pun berusaha bangun secepat-cepatnya. Namun karena tenaganya yang lemah itu, maka ketika ia berhasil berdiri masih di dalam pagar, maka guru Pasik itu telah tidak dilihatnya lagi.
"Alangkah liat kulitnya," gumam Mahisa Agni. Bagaimanapun juga ia terpaksa mengagumi orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu, sebagaimana orang itu mengaguminya. Mereka masing-masing telah mempergunakan ilmu tertinggi yang mereka miliki. Namun mereka mampu untuk bertahan, meskipun dada mereka seakan-akan menjadi rontok karenanya.
Tetapi yang mengejutkan Mahisa Agni, orang itu telah menyebut nama Kuda Sempana. Karena itu maka ia menjadi gelisah. Apakah hubungannya dengan Kuda Sempana
Tiba-tiba Mahisa Agni itu ingat kepada Pasik. Anak itu masih berbaring di tangan ayahnya. Mungkin ia bisa bertanya kepadanya apakah hubungan antara orang ini dan Kuda Sempana.
Karena itu, maka kemudian dilepaskannya maksudnya untuk mencari guru Pasik itu sebelum keadaan tubuhnya memungkinkan. Bahkan segera ia berjalan kembali ke halaman untuk menemui Pasik yang masih dengan lemahnya berbaring. Tetapi ketika ia melihat Mahisa Agni datang kepadanya tiba-tiba ia tersenyum. Kemudian dengan lemahnya ia berusaha untuk duduk.
"Tuan ternyata luar biasa," desisnya.
Mahisa Agni tidak menjawab. Ditatapnya wajah ibu Pasik yang agaknya masih marah kepadanya. Tetapi ketika perempuan itu mendengar kata-kata Pasik itu, dan dilihatnya anaknya tersenyum, ia menjadi heran.
Dan tiba-tiba perempuan itu bertanya kepada anaknya, "Apakah kau sudah berangsur baik?"
Pasik berpaling. Dipandangnya wajah ibunya yang penuh kecemasan. Kemudian ditatapnya pula wajah ayahnya yang sayu. Tiba-tiba terasa sesuatu berdesir di dadanya. Dan tanpa sesadarnya ia berkata, "Maafkan aku Ibu, maafkan aku Ayah."
Ibunya terkejut ketika dengan tiba-tiba ia mendengar kata-kata anaknya itu. Beberapa saat ia terdiam seperti patung. Namun tiba-tiba pula diraihnya kepala anaknya, dan dipeluknya anaknya itu seperti ketika masih kanak-kanak. Ibu Pasik itu pun menangis sejadi-jadinya.
Beberapa orang masih tampak di halaman itu. Selangkah demi selangkah mendekat. Mereka merasakan sesuatu yang berbeda dengan saat-saat sebelumnya. Dan mereka melibat Mahisa Agni masih di halaman itu. Dengan demikian maka mereka menjadi tenang.
Ayah Pasik itu pun menggosok-gosok matanya yang menjadi nyeri. Satu-satunya anaknya kini telah kembali kepadanya, kepada ayah dan ibunya. seakan-akan anak yang telah hilang itu datang kembali pulang.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Betapa ia ikut serta mengalami keharuan melihat peristiwa itu. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia mengucap syukur di dalam hatinya. Mudah-mudahan untuk seterusnya Pasik menyadari keadaannya. Ia adalah anak Kajar, dilahirkan di Kajar dan dibesarkan di Kajar pula.
Baru sesaat kemudian, kepala Pasik itu pun dilepaskan. Namun air mata masih saja mengalir meleleh di pipi perempuan yang telah dipenuhi oleh garis-garis umur dan duka.
Pasik itu kemudian menatap Mahisa Agni dengan mata yang buram. Katanya, "Tuan telah membuka hatiku. Dan tuan telah mengampuni aku. Sebab kalau tuan mau membunuh aku, maka aku pun pasti sudah mati. Ternyata tuan benar-benar menyelamatkan diri dari aji Kala Bama, dan bahkan tuan berhasil mengusir Bahu Reksa Kali Elo dari halaman ini."
Mahisa Agni menganggukkan kepalanya. Katanya, "Jangan pikirkan itu. Sekarang sembuhkan luka-lukamu. Luka badan dan luka jiwamu. Mudah-mudahan kedua-duanya akan lekas menjadi sembuh."
Pasik menganggukkan kepalanya. Katanya lirih kepada ayahnya, "Ayah. Mintakan aku maaf kepada penduduk Kajar. Kepada tetua padukuhan ini, dan kepada siapa saja."
"Mereka akan memaafkan kau, Pasik," terdengar suara di belakang mereka. Suara tetua padukuhan itu.
"Terima kasih Kiai," sahut Pasik.
Halaman itu kemudian hening untuk sesaat. Masing-masing sedang tenggelam dalam angan-angannya. Mereka sedang menilai peristiwa yang haru saja mereka saksikan. Peristiwa yang telah menolong seorang anak padukuhan mereka yang selama ini tenggelam dalam arus yang hitam.
Tetapi kegelisahan di dada Mahisa Agni masih saja mengguncangnya. Ia ingin segera tahu hubungan guru Pasik itu dengan Kuda Sempana. Dalam tangkapannya, maka Kuda Sempana yang digarap pula oleh guru Pasik itu, adalah saudara seperguruan dengan orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo.
Karena itu, ketika halaman itu telah menjadi tenang, maka Mahisa Agni itu pun segera melangkah mendekati Pasik yang sudah dapat duduk bersandar kedua tangannya.
Dengan ragu-ragu Mahisa Agni itu pun berkata kepada ayah Pasik. Katanya, "Paman, apakah tidak sebaiknya Pasik dibawa masuk untuk mendapatkan perawatan yang baik?"
"Ya, ya," jawab ayah Pasik itu tergagap. Dan kemudian dibantu oleh Mahisa Agni, maka Pasik itu pun dipapah masuk ke rumahnya. Dengan perlahan-lahan anak muda itu dibaringkannya di atas pembaringan.
"Terima kasih," desis Pasik, "aku sudah mendingan."
"Jangan banyak bergerak, Pasik," Mahisa Agni berpesan. Dan Pasik itu pun mengangguk.
Setelah Pasik itu minum kembali beberapa teguk, maka keadaannya menjadi semakin baik. Dan kata-katanya yang ke luar dari mulutnya pun menjadi semakin lancar.
Beberapa orang yang berdiri di halaman satu-satu menengok juga dari lubang ke dalam rumah, namun mereka tidak berkehendak masuk. Bahkan kemudian satu-satu mereka meninggalkan halaman itu pulang ke rumah masing-masing. Namun di dalam dada mereka tersimpan suatu perasaan yang lain daripada saat mereka datang dengan tergesa-gesa ke halaman itu.
Rumah Pasik itu pun kemudian menjadi sepi yang berdiri di pintu adalah tertua padukuhan Kajar, dan menantunya berdiri di belakangnya. Walaupun ia melihat bahwa Pasik itu terluka, namun ketakutannya masih juga belum mereda.
"Angger Mahisa Agni," berkata orang tua itu, "aku akan pulang dahulu. Apakah Angger pergi bersama-sama aku ke rumahku?"
Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku akan menyusul, Bapa."
Orang itu pun kemudian minta diri pulang bersama menantunya yang masih berdebar-debar
Ketika halaman itu telah benar-benar sepi, maka barulah Mahisa Agni bertanya kepada Pasik. Katanya, "Pasik, apakah kau pernah mendengar nama Kuda Sempana?"
Pasik itu mengerutkan keningnya. Sesaat ia ragu-ragu, namun kemudian jawabnya, "Ya, Tuan. Aku pernah mendengar."
"Panggillah aku dengan namaku," sahut Mahisa Agni.
"Ya, ya Mahisa Agni," berkata Pasik dengan kaku.
"Nah. Demikianlah," sambut Mahisa Agni, kemudian katanya melanjutkan pertanyaannya, "siapakah Kuda Sempana itu?"
"Dari mana tuan, eh, kau tahu nama itu?" bertanya Pasik.
"Aku mendengar dari gurumu. Ia akan datang mencari aku setelah gurunya selesai dengan pekerjaannya, menempa orang yang bernama Kuda Sempana."
Pasik menganggukkan kepalanya. Kembali ia beragu. Tetapi ketika ditatapnya wajah Mahisa Agni yang bening ia berkata, "Kuda Sempana adalah adik seperguruan guruku."
"Hem," Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Siapakah dia?"
"Kuda Sempana adalah seorang prajurit pelayan dalam Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel."
"Hem," kembali Mahisa Agni mengangguk-anggukkan kepalanya. Jadi Kuda Sempana itu benar-benar Kuda Sempana yang pernah dikenalnya. Bukan orang lain yang hanya kebetulan bernama sama.
"Siapakah guru dari gurumu itu?" bertanya Mahisa Agni.
Pasik menggeleng. "Aku tak tahu. Guruku mempunyai saudara seperguruan yang cukup banyak. Ada di antaranya prajurit, ada pula pejabat, namun ada pula penjudi dan penjahat. Mereka akan diterima menjadi murid asal mereka dapat menyerahkan berbagai macam imbalan. Namun jumlah murid itu tidak lebih dari sepuluh orang. Di antaranya adalah guruku. Karena itulah maka guruku harus memeras orang-orang di sekitarnya untuk dapat memberikan imbalan kepada gurunya."
"Dan agaknya gurumu berbuat serupa."
"Ya. Ia pun menerima beberapa orang murid dengan cara yang sama untuk menutup kebutuhannya."
"Hem," kembali Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Guru orang yang menamakan diri Bahu Reksa Kali Elo itu pasti seorang yang sakti pula. Ternyata bahwa muridnya memiliki kesaktian yang mengagumkan. Namun agaknya orang itu telah memilih jalan yang sesat, yang menjual kesaktiannya untuk kepentingan-kepentingan lahirlah. Itulah sebabnya maka muridnya tersebar dari segala penjuru. Ternyata siapa pun yang mampu memberinya imbalan sesuai dengan permintaannya, maka mereka akan dapat menghisap ilmu daripadanya tanpa dihiraukannya akibat. Dan akibatnya, itu pada umumnya adalah sangat tidak baik.
Tetapi dalam pada itu, Mahisa Agni pun segera menghubungkan penempaan diri Kuda Sempana dengan kekalahan yang pernah dialaminya di padukuhannya. Karena itu, maka ia bertanya pula, "Apakah kau kenal dengan Kuda Sempana secara pribadi, Pasik?"
Pasik menggeleng. "Tidak," jawabnya, "namun aku pernah melihat orangnya Aku pernah mendengar ia bercakap-cakap dengan guruku."
"Kenapa Kuda Sempana itu berguru pula pada guru Bahu Reksa Kali Elo itu?"
"Aku tidak tahu," kembali Pasik menggeleng.
"Apakah kau tahu, apa yang mendorongnya sehingga ia dengan tergesa-gesa menempa diri" Apakah memang sudah saatnya ia menerima ilmu itu, ataukah hanya karena Kuda Sempana sudah mempunyai cukup uang untuk berbuat demikian?"
"Mungkin," sahut Pasik, "namun Kuda Sempana itu juga menyimpan dendam di dalam hatinya.:
Terasa sesuatu berdesir di dada Mahisa Agni. Dan ia pun kemudian mendengar Pasik itu meneruskan, "Kuda Sempana telah mengalami kekecewaan terhadap seorang gadis. Karena itu, ia telah bersiap untuk menebus kekecewaannya."
"He," Mahisa Agni terkejut, "dari mana kau tahu?"
Pasik menjadi heran atas tanggapan Mahisa Agni itu. Kemudian katanya, "Apakah tuan, eh, kau kenal Kuda Sempana."
Mahisa Agni tidak menjawab pertanyaan Pasik, tetapi ia berkata, "Dari mana kau tahu?"
"Aku pernah melihat Kuda Sempana mengatakan itu kepada saudara-saudara seperguruannya, termasuk guruku. Meskipun aku tidak sengaja mendengarkannya."
Denyut jantung Mahisa Agni pun terasa menjadi semakin cepat mengalir. Nafasnya pun kemudian seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir berebut dahulu lewat lubang hidungnya. Dengan terbata-bata ia bertanya, "Apa katanya?"
Pasik menjadi semakin heran. Karena itu ia bertanya, "Kenapa tuan menaruh perhatian yang sangsi besar atas orang itu?"
Sekali lagi Mahisa Agni tidak mendengarkan pertanyaan Pasik. Bahkan ia mendesaknya, "Apa yang dikatakan Kuda Sempana itu?"
Pasik tidak segera menjawab. Namun Mahisa Agni itu pun mendesaknya sekali lagi, " Apa?"
Pasik tidak dapat berbuat lain daripada menjawab pertanyaan itu, katanya, "Kuda Sempana perah dikecewakan oleh seorang gadis. Katanya, "Apabila aku tak dapat memetik bunga itu, maka lebih baik akan aku gugurkan saja daun-daun mahkotanya".
Darah di dalam tubuh Mahisa Agni serasa mengalir lebih cepat. Kata-kata semacam itu pun pernah didengarnya dahulu dari mulut Kuda Sempana sendiri, meskipun tidak sejelas itu. Tetapi apa yang dikatakan itu adalah benar-benar mencemaskan hatinya.
Pasik yang melihat perubahan wajah Mahisa Agni menjadi semakin heran. Sekali lagi ia mencoba bertanya, "Mahisa Agni, apakah kau mengenal Kuda Sempana?"
"Aku pernah mendengar namanya," jawab Mahisa Agni.
"Tetapi kau terpengaruh oleh berita yang kau dengar."
"Setiap orang akan terpengaruh mendengar cerita itu. Bukankah itu akan merupakan pelanggaran atar sendi-sendi pergaulan. Ia akan memaksakan kehendaknya atas seorang gadis, sedang gadis itu tidak menerimanya. Apakah haknya untuk memaksa gadis itu" Apalagi orang tua gadis itu pun sama sekali tak menyetujuinya. Bahkan gadis itu dengan resmi telah dipertunangkan. Bukankah itu suatu perkosaan atas nilai-nilai kemanusiaan?"
Pasik mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia berkata, "Mahisa Agni kau pasti mempunyai hubungan dengan Kuda Sempana. Dari mana kau tahu bahwa gadis itu tak menerimanya?"
Pasik tidak dapat berbuat lain daripada menjawab pertanyaan itu, katanya, "Kuda Sempana pernah dikecewakan oleh seorang gadis. Katanya, "Apabila aku tak dapat memetik bunga ini maka akan kugugurkan daun-daun mahkotanya".
"Dari mana kau tahu bahwa ayah gadis itu tak menyetujuinya" Dan dari mana kau tahu bahwa gadis itu telah dipertunangkannya?"
"Oh," Mahisa Agni terkejut mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Tetapi ia sudah terlanjur mengatakannya. Karena itu maka ia harus menjawabnya. Namun sesaat ia menjadi ragu-ragu. Pasik adalah orang yang jauh dari lingkungan pergaulan mereka, sehingga tak ada perlunya untuk memberitahukannya. Namun mulutnya sudah terlanjur mengucapkannya.
"Mahisa Agni," bertanya Pasik Tiba-tiba, "apakah kau anak muda yang dipertunangkan dengan gadis itu?"
"Tidak, tidak," cepat Mahisa Agni menjawab hampir berteriak sehingga Pasik itu pun terkejut. Ibunya yang sedang berada di dapur pun berdiri sesaat menengok ke ruang depan. Tetapi ketika dilihatnya Pasik masih berbaring, dan di sampingnya duduk Mahisa Agni dan ayahnya, maka perempuan itu pun kembali merebus air. Sedang ayahnya yang duduk di samping Pasik itu sama sekali tidak tahu, apakah yang sebenarnya mereka percakapkan.
Bahkan Mahisa Agni sendiri pun terkejut mendengar suaranya sendiri. Namun yang lebih berpengaruh di hatinya adalah pertanyaan Pasik itu. Bukankah ia sendiri bukan laki-laki yang dipertunangkan dengan gadis itu. Bukankah gadis itu telah mempunyai seorang calon suami yang akan dapat melindunginya"
"Persetan dengan gadis itu!" katanya di dalam hati, "Bukankah Ken Dedes menjadi kewajiban Wiraprana."
Tetapi getar di dalam dada Mahisa Agni pun menjadi semakin cepat. Betapa ia berusaha menekan perasaannya, namun kegelisahannya bahkan menjadi semakin mengganggunya. Meskipun Ken Dedes, gadis yang dikatakan oleh Kuda Sempana itu merupakan duri di dalam hatinya, namun duri itu merupakan sebagian dari seluruh keindahan dari Bunga kaki Gunung Kawi itu. Karena itu, maka jantungnya semakin lama menjadi semakin keras berdentang. Meskipun betapa pedihnya luka-luka yang tergores di hatinya karena tajamnya duri itu, namun ia tidak rela melihat seluruh keindahan Bunga kaki Gunung Kawi itu akan digugurkan.
"Pasik," tiba-tiba Mahisa Agni itu berkata, "aku akan mohon diri."
Pasik terkejut. Terkejut sekali sehingga tiba-tiba ia bangkit. Namun kembali terasa dadanya akan pecah, dan dengan lemahnya ia terkulai kembali.
"Jangan bergerak dahulu," minta Mahisa Agni ketika ia melihat mulut Pasik menyeringai.
"Kenapa kau menjadi sedemikian tergesa-gesa. Apakah kau akan pergi ke tempat Kuda Sempana karena kau mendengar ceritaku?"
Mahisa Agni menggeleng. "Tidak," jawabnya, "aku akan pergi ke rumah tetua Padukuhan Kajar.
"Oh," Pasik menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun bergumam, "Aku menjadi sangat terkejut. Aku sangka kau akan pergi ke rumah Kuda Sempana. Bukankah dengan demikian kau akan membunuh diri?"
Sekali lagi Mahisa Agni menggeleng. Namun terdengar ia bertanya, "Kenapa membunuh diri" Bukankah Kuda Sempana itu adik seperguruan gurumu?"
"Ya," jawab Pasik, "tetapi penempaan yang dilakukan oleh gurunya ini merupakan penempaan yang tertinggi. Apakah dengan demikian Kuda Sempana itu tidak akan menjadi lebih dahsyat dari guruku?"
Mahisa Agni itu pun merenung. Namun akhirnya ia mengambil kesimpulan, bahwa guru Kuda Sempana itu pasti tak akan ikut terjun dalam setiap bahaya yang mengancam dirinya. Ia hanya memberikan ilmu untuk sekedar mendapat upah. Kalau upah itu telah diterimanya serta ilmu yang dibeli itu telah diberikannya, maka apapun yang akan dialami oleh muridnya adalah tanggung jawab murid-murid itu sendiri. Guru yang demikian, pasti tidak mau ikut serta melibatkan diri apabila persoalannya akan dapat membahayakan dirinya pula. Karena itu, maka ilmu diberikannya pasti ilmu yang hanya terbatas dalam tataran yang tertentu.
Karena itu, maka menurut perhitungan Mahisa Agni, murid-murid guru Bahu Reksa Kali Elo itu pasti hanya akan mendapat bagian yang sama dari ilmu gurunya itu. Kalau ada perbedaan sedikit-sedikit, maka itu pasti hanya karena kemampuan murid-murid itu sendiri.
Dengan demikian, maka Mahisa Agni itu pun dapat memperhitungkan kemungkinan yang dimiliki oleh Kuda Sempana. Meskipun demikian, Mahisa Agni tidak boleh merendahkan siapa pun. Satu-satunya jalan yang terbaik, ialah mematangkan ilmunya sendiri.
Tetapi Mahisa Agni tidak boleh menunda-nunda waktu lagi. Kuda Sempana setiap saat dapat datang ke Panawijen. Adalah berbahaya sekali apabila gurunya, Empu Purwa masih juga belum pulang, sehingga dengan demikian Kuda Sempana akan dapat berbuat sesuatu yang sama sekali tak disangka-sangkanya. Meskipun demikian, betapapun saktinya Kuda Sempana, namun apakah Kuda Sempana mampu melawan kekuatan seluruh penduduk Panawijen. Sebab apabila terjadi sesuatu dengan Ken Dedes, maka seluruh penduduk Panawijen pasti akan membelanya. Tetapi kalau Kuda Sempana datang berdua atau bertiga saja, apalagi lebih, maka keadaannya pasti akan menyulitkan, sekali.
Maka yang segera harus dilakukan adalah pulang kembali ke Panawijen.
Mahisa Agni itu pun kemudian sekali lagi minta diri ke pada Pasik. Betapa Pasik mencoba mencegahnya, juga ayah ibunya, namun Mahisa Agni yang mencemaskan nasib padukuhannya, ternyata sudah tidak dapat menunda rencananya. Meskipun yang dikatakannya kepada Pasik, Mahisa Agni hanya akan kembali ke rumah tetua padukuhan Kajar, karena ia sudah berjanji untuk segera menyusulnya.
"Ah," berkata Pasik, "nanti malam pun tak, mengapa. Bukankah kau tidak takut kepada apapun?"
"Terima kasih Pasik. Tetapi orang tua itu nanti terlalu lama menunggu," sahut Mahisa Agni, "nanti, besok, atau kapan lagi aku akan dapat menengokmu kembali."
Dan keluarga Pasik itu benar-benar sudah tidak dapat mencegahnya. Dengan ucapan terima kasih yang tak berhingga, maka Mahisa Agni itu pun kemudian dilepas pergi.
Mahisa Agni itu pun kemudian benar-benar singgah di rumah tetua padukuhan Kajar, tetapi hanya untuk minta diri. Kegelisahan yang menghentak-hentak dadanya tak dapat ditunda-tundanya lagi. Seolah-olah selalu didengarnya, kampung halaman di mana ia mendapatkan pendidikan dan keteguhan tabir batin, memanggilnya untuk segera pulang kembali. Orang tua, tetua padukuhan Kajar itu pun mencoba mencegahnya. Mereka mempersilakan Mahisa Agni untuk berada di lingkungan keluarga mereka sehari atau dua liari. Apalagi anak serta menantunya, merasa bahwa Mahisa Ainlah yang telah mengurungkan bencana yang akan menimpa mereka. Bencana yang akan memisahkan mereka suami istri. Namun Mahisa Agni dengan menyesal sekali menolak permintaan itu. Meskipun demikian, supaya orang tua itu tidak terlalu kecewa, maka Mahisa Agni pun menunggu sesaat, sampai nasi jagung yang mereka masak menjadi masak.
"Bawalah Ngger," berkata orang tua itu, "Angger memerlukan bekal di perjalanan Angger yang tak tentu kapan akan berakhir."
"Terima kasih Bapa," jawab Mahisa Agni, "demikianlah pekerjaan seorang perantau. Dan aku senang akan pekerjaan itu."
Mahisa Agni pun kemudian menerima bekal itu dengan senang hati. Dimasukkannya bekal itu ke dalam bungkusannya yang ditinggalkannya di rumah tetua padukuhan Kajar itu. Kemudian disangkutkannya bungkusan itu di ujung tongkat kayunya.
Kembali kini Mahisa Agni berjalan dengan memanggul bungkusan kecilnya sebagai seorang perantau. Selangkah demi selangkah ia meninggalkan halaman rumah orang tua. Suami istri beserta anak menantunya mengantarkan Mahisa Agni sampai ke regol halaman rumah mereka. Dan kemudian mereka mengawasi langkah perantau yang baik hati itu sampai hilang di tikungan jalan.
Ketika Mahisa Agni sampai di mulut lorong padukuhan Kajar, sekali lagi ia berpaling. Tetapi ia tidak melihat seseorang di belakangnya. jalan itu sepi. Di sebelah tikungan di belakangnya didapatinya rumah tetua padukuhan Kajar. Dan di ujung yang lain didapatinya rumah Pasik. Dua buah rumah yang meninggalkan kenangan di hati Mahisa Agni.
Demikianlah Mahisa Agni menempuh jalan kembali ke Panawijen. jalan yang pernah dilaluinya beberapa waktu yang lampau. Namun kini perjalanan Mahisa Agni seolah-olah jauh lebih cepat daripada saat ia berangkat, ia tidak perlu mencari-cari kemungkinan untuk tidak tersesat. Dengan bekal ingatan serta pengenalannya yang baik, ia segera dapat menemukan kembali jalan yang dahulu dilewatinya. Sehingga perjalanannya kali ini hanya memerlukan waktu separuh dari waktu yang diperlukannya pada saat ia berangkat.
Hutan dan ngarai yang panjang, serta padang rumput yang luas dilewatinya dengan tergesa-gesa. Tenaga Mahisa Agni seakan-akan menjadi jauh lebih besar dari tenaganya semula. Ketangkasannya bergerak serta pernafasannya yang semakin teratur, telah menambah kecepatan perjalanannya. Meskipun demikian, apabila ia bangun di pagi-pagi hari setelah ia bermalam di cabang-cabang pepohonan, sekali-sekali diperlukannya juga memperlancar getaran-getarannya bergerak-gerak di dalam tubuhnya dalam ilmunya Gundala Sasra. Semakin sering ia menerapkan ilmunya, maka getaran-getaran itu semakin cepat mencapai tempat-tempat yang dikehendakinya. Bahkan kemudian seakan-akan Mahisa Agni sudah tidak memerlukan lagi waktu, sejak saat ia menerapkan ilmunya itu, sampai pada penggunaannya. Apabila ia telah menyilangkan tangannya di muka dadanya, sambil memusatkan pikiran serta segenap kekuatan lahir dan batinnya, maka sesaat itu pula, ilmunya telah mapan untuk dilontarkannya lewat, bidang-bidang permukaan tubuhnya yang dikehendakinya. Berkali-kali ia telah mencoba di sepanjang perjalanan itu. Batu-batu padas, batu-batu hitam dan bahkan pepohonan dan binatang-binatang buas yang menyerangnya.
Sesuai tuntunan-tuntunan yang diberikan oleh gurunya, Mahisa Agni selalu dengan tekun mencoba meningkatkan setiap kemampuan dari ilmu Gundala Sasra itu. Di sepanjang jalan dan di setiap kesempatan.
Akhirnya, pada suatu pagi yang cerah, Mahisa Agni telah meninggalkan daerah-daerah hutan yang lebat, dan di mukanya membentang daerah yang subur dan ramai. Mahisa Agni telah menginjak batas jantung pemerintahan Tumapel.
Tiba-tiba saja Mahisa Agni ingin berjalan melewati kota. Sudah beberapa lama ia berada di tengah-tengah hutan yang sepi. Karena itu ia kini ingin melihat tempat-tempat yang agak ramai, meskipun tanpa sesuatu maksud tertentu.
Maka Mahisa Agni itu pun segera membersihkan dirinya di sebuah kali. Ia tidak ingin masuk kota sebagai seorang yang tampaknya terlalu kotor. Dipakainya pakaiannya yang masih terlipat di dalam bungkusannya. Sehingga karena itu, maka Mahisa Agni menjadi agak bersih karenanya, setelah ia tinggal di antara rimbunnya dedaunan di hutan yang lebat, serta bekas-bekas param yang diberikan oleh gurunya untuk mencegah keracunan karena gigitan binatang-binatang serangga beracun. Ketika matahari kemudian menjadi semakin tinggi, setinggi ujung rumah-rumah joglo, maka Mahisa Agni telah masuk ke keramaian kota Tumapel.
Tetapi Tiba-tiba Mahisa Agni terkejut. Dari kejauhan ia melihat seorang anak muda yang gagah dia tas punggung kuda. Semakin lama semakin dekat. Dan hati Mahisa Agni itu pun menjadi ber-debar-debar. Anak muda itu adalah Kuda Sempana.
Ketika kuda itu lewat di sampingnya, Mahisa Agni mencoba melambaikan tangannya sambil tertawa. "Kuda Sempana," sapanya.
Kuda Sempana menarik kekang kudanya. Dipandangnya wajah Mahisa Agni dengan tajamnya. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Namun dari matanya itu memancar sinar dendam yang menyala-nyala meskipun demikian, Mahisa Agni masih mencoba untuk tersenyum. Bahkan kemudian sekali lagi ia menyapa, "Kuda Sempana, akan ke manakah kau sepagi ini?"
"Hem," Kuda Sempana menggeram. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan tiba-tiba Kuda Sempana itu menggerakkan kendali kudanya, dan sesaat kemudian kuda itu telah berlari kembali di jalan-jalan kota.
Beberapa orang mengawasi Mahisa Agni. Mereka menjadi heran, apakah anak yang berkuda itu bendaranya yang sedang marah kepada budaknya. Sekali-sekali Mahisa Agni berpaling juga, dan dilibatnya wajah-wajah yang memandangnya dengan aneh. Bahkan ada di antaranya yang tersenyum-senyum dan ada pula yang menjadi iba.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kembali dikenangnya pergaulan di padukuhannya. Pergaulan yang rapat dan jujur di antara sesama. Ia menjadi sangat kecewa terhadap Kuda Sempana. Namun Mahisa Agni ini kemudian menyadarinya, bahwa Kuda Sempana masih sangat marah kepadanya, Ia tidak ingin berprasangka terhadap anak-anak muda dari kota.
Tetapi ketika Mahisa Agni melangkahkan kakinya, untuk meninggalkan tempat itu, Tiba-tiba ia mendengar suara tertawa berderai tidak jauh di belakangnya, kemudian terdengar suara, "Anak yang malang. Agaknya ia bersahabat karib dengan Kuda Sempana, pelayan dalam Akuwu Tumapel itu."
Mula-mula Mahisa Agni tidak menghiraukan ejekan itu. Sebagai orang yang asing di kota itu, maka Mahisa Agni tak ingin mengalami perselisihan. Karena itu, kembali ia melangkahkan kakinya untuk meninggalkan tempat yang tak menyenangkannya itu.
Tetapi ketika ia baru satu langkah maju, kembali suara tertawa itu terdengar. Bahkan kemudian disusul oleh suara yang lain.
"Kenapa Kuda Sempana itu tak menjawab," sapanya.
Berkata yang lain, "Bukankah Kuda Sempana juga anak Panawijen seperti anak itu."
Keduanya tertawa-tawa. Dan terdengar salah seorang berkata pula.
"Kuda Sempana takut kepada anak Buyut padukuhannya yang garang itu. Takut kalau anak muda yang gagah itu minta uang kepadanya."
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata mereka. Cepat ia dapat menebak siapakah yang telah sengaja membangkitkan kemarahannya itu. Yang menyangka bahwa dirinya adalah anak Buyut Panawijen yang bernama Wiraprana adalah Mahendra.
Dan sebenarnyalah. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahendra berdiri di tepi jalan di samping saudara seperguruannya. Kebo Ijo.
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kedua anak itu masih tertawa berkepanjangan. Bahkan kemudian Mahendra itu melangkah maju sambil berkata, "Selamat pagi Wiraprana yang perkasa."
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Namun ia mengangguk pula sambil menjawab, "Selamat pagi Mahendra."
"Apa kerjamu sepagi ini di sini, Wiraprana?" bertanya Mahendra.
"Aku baru datang dari suatu perjalanan Mahendra," jawab Mahisa Agni, "aku hanya singgah sebentar."
Mahendra tertawa. Kemudian sambil menunjuk arah Kuda Sempana pergi, anak muda itu berkata, "Kau kenalan anak muda berkuda itu?"
Mahisa Agni mengangguk. "Ya," jawabnya.
Mahendra masih tertawa, "Tetapi ia tidak kenal kepada mu. Sayang kalau ia segera pergi, aku ingin memperkenalkannya kepada anak Buyut Panawijen. Aku kenal baik kepadanya."
"Terima kasih," sahut Agni pendek.
"Barangkali kau memerlukan pekerjaan daripadanya di istana?" ejek Mahendra.
Sekali lagi Mahisa Agni menggigit bibirnya ia menyadari bahwa Mahendra sedang mencoba membangkitkan kemarahannya. Anak itu sedang mencari sebab yang memungkinkan timbulnya pertengkaran. Seperti Kuda Sempana, maka Mahendra pun agaknya mendendamnya.
"Hem," Mahisa Agni menarik nafas. Tidak disangkanya, bahwa ia akan mempunyai banyak lawan yang tak diharapkannya. Alangkah senangnya apabila hidupnya dipenuhi oleh rasa persahabatan dengan siapa pun juga. Namun ia dihadapkan pada suatu keadaan yang tak dapat disingkirkannya. Baik Kuda Sempana, maupun Mahendra seolah-olah memang dilahirkannya sebagai lawan-lawannya. Meskipun demikian, Mahisa Agni benar-benar tidak ingin berselisih di tengah-tengah kota yang ramai dan asing baginya. Maka katanya, "Sudahlah Mahendra, aku akan meneruskan perjalananku."
"Ke mana?" bertanya Mahendra dengan nada tinggi.
"Pulang ke Panawijen."
"Apakah kau sudah mendapat pekerjaan di kota" Menjadi juru pekatik atau apapun" Kalau belum kau dapat ikut aku. Kudaku memerlukan seorang perawat yang baik."
Terasa dada Mahisa Agni terguncang mendengar ejekan itu. Apalagi kemudian terdengar Kebo Ijo tertawa berkepanjangan. Bahkan tidak saja Kebo Ijo, tetapi juga beberapa pemuda yang lain. Agaknya Mahendra dan Kebo Ijo berada di tempat itu bersama-sama dengan beberapa orang kawan-kawannya.
Sekali lagi Mahisa Agni menarik nafas untuk meredakan gelora di dadanya. Ia mencoba untuk tidak menampakkan perubahan di wajahnya. Bahkan kemudian ia berkata, "Mahendra, sebaiknya kita tidak usah bertemu di tempat ini."
Mahendra tertawa, katanya, "Kita tidak ketemu di sini Ki Sanak. Aku tadi melihatmu di seberang jembatan. Aku sengaja mengikutimu. Ternyata kau berjumpa dengan Kuda Sempana. Aku kira kau akan minta pekerjaan kepadanya."
"Tidak Mahendra," jawab Mahisa Agni, "aku tidak memerlukan pekerjaan."
Mahendra tertawa semakin keras. Kebo Ijo dan kawan-kawannya pun tertawa pula. Salah seorang dari mereka bertanya, "Siapakah anak itu sebenarnya?"
"Putra Buyut Panawijen. Wiraprana," jawab Mahendra dengan menekankan setiap suku kata.
Kini Mahisa Agni tidak berkata-kata lagi. Dengan sudut matanya ia melihat beberapa orang muda yang berdiri di belakang Kebo Ijo. "Tujuh orang," desisnya di dalam hati, "sembilan dengan Mahendra dan Kebo Ijo."
Dan anak-anak muda itu tertawa berkepanjangan. "Kasihan," berkata salah seorang daripadanya.
Mahendra yang berdiri paling dekat dengan Mahisa Agni berkata, "Wiraprana, apakah tawaranku kau terima?"
Mahisa Agni menggeram. Jawabnya, "Mahendra, apakah maksudmu sebenarnya" Kau sebenarnya tahu benar, bahwa aku sama sekali tidak sedang mencari Kuda Sempana. Kau tahu betul bahwa sikapmu itu tidak pada tempatnya. Mahendra, apakah kau sengaja memancing persoalan supaya kau mendapat alasan untuk berkelahi?"
Mahendra terdiam. Tampaklah kerut-kerut di wajahnya. Ia tidak menyangka bahwa Mahisa Agni akan berkata langsung menebak maksudnya. Tetapi sesaat kemudian Mahendra itu sudah tertawa lagi. Memang sudah disengaja olehnya, Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana itu, akan dibuatnya marah. Ia ingin sekali lagi mengadu tenaga. Sekarang kawan-kawannya akan menjadi saksi. Setelah beberapa bulan ia mencoba mengembangkan ilmunya, maka apabila ada kesempatan bertemu dengan Mahisa Agni, ia akan menebui kekalahannya.
Karena itu Mahendra menjawab, "Apakah kau marah Wiraprana" Jangan lekas marah. Di Tumapel, jangan kau samakan dengan padukuhan yang sepi Panawijen, meskipun kau di Panawijen menjadi putra tetua padukuhanmu, tetapi kau tidak dapat mengangkat wajahmu di Tumapel. Seorang Buyut pun apabila masuk ke kota ini harus menundukkan wajahnya. Apalagi kau, hanya anak seorang buyut. Kau tidak dapat memperlakukan anak-anak muda di sini seperti anak-anak muda di desamu. Kau, bagi kami di sini sama sekali tidak berarti."
Mahisa Agni kini sudah pasti, bahwa sebenarnyalah Mahendra sedang memancingnya ke dalam suatu bentrokan. Karena itu, maka untuk yang terakhir kalinya ia mencoba menghindari bentrokan itu apabila mungkin. Jawabnya, "Baik Mahendra. Baik. Aku adalah anak Panawijen. Anak dari pedesaan. Dan aku memang tidak ingin berbuat apapun di sini. Aku hanya akan lewat, seperti anak-anak desa yang lain yang tak pernah mendapat gangguan dari siapa pun apabila ia lewat di jalan kota. Sekarang biarlah aku berlalu."
Mahendra terkejut mendengar jawaban itu. Sama sekali tak disangkanya bahwa Mahisa Agni itu tidak segera marah mendengar ejekan-ejekan yang telah dilontarkannya. Karena itu sesaat ia menjadi bingung untuk membangkitkan kemarahan anak muda itu.
Ketika Mahendra melihat Mahisa Agni itu memutar tubuhnya dan melangkah pergi, maka dengan tergesa-gesa ia memanggilnya, "Wiraprana. Jangan pergi!"
Wiraprana terhenti. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahendra melangkah maju mendekatinya.
"Jangan pergi!" bentak Mahendra.
"Apakah hakmu melarang aku pergi," sahut Agni.
Mahendra menjadi bingung. Ketika ia terpaling ke arah kawan-kawannya melihat Kebo Ijo menjadi tegang. beberapa orang kawan-kawannya itu pun sudah tidak tertawa lagi. Bahkan kemudian Kebo Ijo itu berkata, "Jangan biarkan anak itu pergi. Ia telah menghina kita."
Mahisa Agni terkejut mendengar kata-kata Kebo Ijo. Tetapi sekali lagi ia merasa, bahwa apapun yang dikatakan oleh anak-anak muda itu adalah suatu kesengajaan untuk memancing persoalan. Karena itu Mahisa Agni kemudian tidak melihat lagi kemungkinan untuk meninggalkan daerah itu tanpa timbulnya suatu perselisihan. Maka kini Mahisa Agni sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Ia berdiri saja menunggu apapun yang akan terjadi.
Mahendra yang melihat sikap Mahisa Agni itu pun menjadi marah. Karena itu, maka ia pun tidak ingin melingkar-lingkar lagi. Ternyata Mahisa Agni tidak dapat dipancingnya untuk marah dan mendahuluinya menyerang. Dengan demikian, maka Mahendra tidak dapat menghindari tuduhan, ialah yang mulai apabila timbul perkelahian. Tetapi kini mau tidak mau ia harus mendahuluinya, sebab Mahisa Agni benar-benar dapat menguasai dirinya.
Ketika Mahendra ini sekali lagi berpaling, maka dilihatnya beberapa orang yang lewat, tertarik juga melihat ketegangan yang terjadi. Apabila semula mereka hanya melihat anak-anak muda itu tertawa-tawa, kini mereka melihat sikap-sikap yang keras dan tegang. Karena itu beberapa orang yang melihat mereka itu pun berhenti. Beberapa di antaranya saling mendekat dan berdiri di sekitar anak-anak muda itu. Beberapa orang saling berpandangan dan bertanya sesamanya, "Apakah yang terjadi?"
Mahendra kini melangkah beberapa langkah maju. Dengan wajah yang menyala ia berdiri tegak seperti tonggak di hadapan Mahisa Agni.
Seorang yang telah menjelang setengah abad, menggeleng-gelengkan kepala sambil bergumam, "Anak-anak muda. Kerjanya tak ada lain membuat ribut saja."
Seorang kawan Kebo Ijo yang mendengar gumam orang tua itu memandang dengan tajamnya. Dan orang tua itu menjadi ketakutan. Sambil merunduk-runduk ia berjalan pergi menjauhi pertengkaran itu.
Anak-anak muda kawan Mahendra itu pun kemudian berdesakan maju di antara beberapa orang yang lain. Seorang yang berkumis tebal mencoba melerai mereka. Katanya, "Apakah yang kalian perselisihkan?"
Kebo Ijo sama sekali tidak senang melihat kehadiran orang itu. Meskipun ia berkumis tebal dan bertubuh tegap, namun dengan sekali dorong orang itu terpental beberapa langkah. Dan seterusnya ia tidak berani mendekat lagi. Hanya perlahan-lahan ia berkata, "Anak-anak muda tak ubahnya seperti kuda-kuda liar yang lepas kendali."
Mahisa Agni- mendengar beberapa orang yang menyesal atas peristiwa itu. Dan ia pun sebenarnya lebih menyesal dari mereka itu. Tetapi ia dihadapkan pada dua pilihan. Dihinakan atau mempertahankan harga diri.
Dan Mahisa Agni pun ternyata bukan anak dewa-dewa yang lepas dari segala macam kesalahan, kekhilafan dan kebanggaan lahiriah. Sehingga dengan demikian, betapapun yang terjadi, Mahisa Agni tidak mau menjadi permainan anak-anak muda dari kota yang kehilangan pengekangan diri.
Mahendra kini benar-benar sudah sampai ke puncak rencananya. Sekali lagi bertempur dengan anak Panawijen itu. Meskipun ia sudah tidak akan dapat mengharapkan Ken Dedes lagi, namun setidak-tidaknya ia dapat melepaskan sakit hatinya dengan melumpuhkan Mahisa Agni Bahkan menjadikan anak itu cacat atau apapun yang akan membuat anak Panawijen itu menyesal sepanjang hidupnya atas keberaniannya mendesak Mahendra dari arena sayembara pilih.
Dengan senyum yang menyakitkan hati Mahendra itu maju setapak sambil berkata, "Nah, Wiraprana. Apakah kata mu sekarang" Apakah kau masih akan menengadahkan wajahmu" Aku sama sekali sudah melupakan gadis kaki Gunung Kawi itu. Namun aku sama sekali tak dapat melupakan kekalahan yang pernah aku alami. Kekalahan yang tidak adil, hanya karena kakak seperguruanku menganggap aku kalah. Kini kita dihadapkan kepada saksi yang lebih banyak lagi. Apakah kau masih berkata bahwa Mahendra dapat dikalahkan oleh anak pedesaan?"
"Aku sama sekali tidak pernah mempersoalkan tentang kalah dan menang," jawab Mahisa Agni yang telah mulai kehilangan kesabarannya, "Katakan saja, apakah maksudmu sebenarnya" Menantang aku berkelahi atau apa?"
Dada Mahendra berdesir mendengar ketegasan sikap Mahisa Agni. Namun ia pun harus bersikap setegas itu pula. Maka jawabnya, "Ya. Marilah kini buktikan kebenaran dari keseimbangan di antara kita. Kita akan yakin, sebab kita dihadapkan kepada saksi-saksi."
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi ia meletakkan bungkusannya serta tongkat kayunya. Kemudian ia bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Sekali lagi dada Mahendra berdesir. Sikap Mahisa Agni benar-benar meyakinkan, seolah-olah tak ada suatu apapun yang ditakutinya. Sehingga meskipun ia dihadapkan pada suatu keadaan yang pasti tidak disangka-sangkanya, namun ia tidak kehilangan ketenangannya.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara Kebo Ijo, "He, Wiraprana. Apakah yang ada di dalam bungkusan mu itu" Ular atau jampi-jampi?"
Kata-kata ini disusul oleh derai suara tertawa dari beberapa orang kawannya.
Alangkah sakit hati Mahisa Agni. Ketika ia melihat Mahendra tertawa pula, maka berkatalah Agni dengan lantangnya, "Ayo Mahendra, apakah yang sebenarnya kau kehendaki?"
Mahendra berhenti tertawa. Dengan tajam ia memandang wajah Mahisa Agni yang telah mulai menjadi kemerah-merahan. Bahkan Mahisa Agni itu kemudian berkata, "Mumpung hari masih pagi. Aku akan segera meneruskan per jalanan."
"Jangan mengigau!" bentak Mahendra, "Kau sangka kau berhadapan dengan seekor tikus?"
"Aku berhadapan dengan seorang manusia. Karena itu, maka ia pun akan berlaku sopan dan menghargai orang lain."
Bukan main marahnya Mahendra mendengar sindiran itu. Kini ia sudah siap dengan setiap kemungkinan. Ketika Mahendra itu bergeser setapak ke samping, maka kaki Mahisa Agni pun segera merenggang.
"Hem," geram Mahendra, "kau yakin akan dirimu Wiraprana. Tetapi sebentar lagi kau akan menyesal."
"Aku menyesal sejak semula ketika aku sadari, bahwa pertemuan ini tidak bermanfaat sama sekali," sahut Agni.
"Diam!" bentak Mahendra. Kemudian katanya, "mulutmu setajam bisa ular. Ayo, minta maaf kepadaku."
Mahisa Agni pun anak muda semuda Mahendra. Karena itu darahnya pun masih hangat-hangat panas. Ketika ia sudah tidak berhasil menahan diri lagi, maka ia pun menjawab, "Aku sudah bersiap untuk mempertahankan harga diriku, bukan untuk menyembahmu."
Jawaban itu seakan-akan membakar telinga Mahendra. Karena itu tiba-tiba ia berteriak nyaring. Dengan satu loncatan, maka Mahendra menyerang Mahisa Agni dengan dahsyatnya. Tangannya terjulur lurus mengarah dada lawannya. Kecepatan gerak Mahendra benar-benar mengagumkan. Namun Mahisa Agni benar-benar telah bersiap. Karena itu dengan kecepatan yang sama, ia segera mencondongkan tubuhnya sehingga seakan-akan tangan Mahendra yang terjulur itu terhenti beberapa cengkang saja di muka dadanya.
Tetapi Mahendra tidak membiarkan kegagalan itu. cepat ia meloncat sekali lagi. Kali ini kakinya berputar setengah lingkaran pada tumitnya, dan kakinya yang lain menyambar lambung Mahisa Agni. Namun sekali lagi Mahisa Agni dengan lincahnya, meloncat ke samping menghindari kaki lawannya. Bahkan dengan cepat, Mahisa Agni berhasil menyentuh kaki itu dengan telapak tangannya, sehingga Mahendra terdorong selangkah ke samping.
Mahendra terkejut mengalami kegagalan yang berulang itu. Ia merasa seakan-akan ilmunya sudah jauh meningkat sejak beberapa bulan yang lampau. Tetapi ia masih gagal dalam serangannya berganda atas lawannya. Karena itu, maka kemarahannya menjadi semakin menyala. Apalagi kini beberapa orang kawannya menyaksikan perkelahian itu. Sehingga setiap kegagalan yang dialaminya, pasti akan menyebabkan kawan-kawannya itu menjadi kecewa. Mereka menganggap bahwa di antara mereka Mahendra adalah seorang anak muda yang pilih ta ding. Sehingga tidak ada di antara mereka yang berani melawannya.
Mahendra kali ini ingin memamerkan kepada kawan-kawannya. bahwa sebenarnya ia memiliki ilmu yang tak dapat diabaikan. Karena itu, maka sengaja dipancingnya persoalan atas Mahisa Agni itu.
Dengan demikian, maka Mahendra itu pun kemudian menyerang lawannya kembali. Bertubi-tubi seperti angin ribut melanda ujung-ujung pepohonan. Tetapi ternyata lawannya kali ini sangat mengejutkannya. Mahisa Agni mampu bertahan sekokoh batu karang. Betapa angin melandanya, namun ia tetap tegak di tempatnya tanpa tergeser seujung rambut pun.
Namun Mahendra pun kemudian mengerahkan segenap kemampuannya. Tangannya bergerak-gerak dengan tangkasnya, menyambar-nyambar seperti ujung cambuk yang mematuk-matuk. Sepasang tangan itu seakan-akan berubah menjadi sepuluh, bahkan ratusan pasang tangan yang menyambar dari segala arah. Namun Mahisa Agni dapat pula bergerak selincah burung sikatan. Tubuhnya melontar seperti bayangan melingkar, kemudian menyambar seperti burung rajawali. Namun kemudian menyerbu dengan dahsyat, sedahsyat banteng jantan.
Maka perkelahian itu pun semakin lama semakin menjadi sengit. Dan orang-orang pun semakin lama semakin banyak berkerumun di sekitar perkelahian itu. Beberapa orang perempuan berteriak-teriak, dan beberapa orang laki-laki mencoba bertanya-tanya, apakah sebab dari perkelahian itu. Tetapi tak seorang pun yang mendapat jawabnya.
Kawan-kawan Mahendra melihat pertempuran itu dengan tegangnya. Kebo Ijo bahkan ikut meloncat ke sana kemari, seakan-akan ikut terputar bersama gerakan-gerakan mereka yang berkelahi itu.
Di panas yang semakin lama semakin terik, di tepi jalan kota jantung pemerintahan Tumapel itu, terjadi pergulatan yang semakin lama menjadi semakin seru. Beberapa orang yang menyaksikan perkelahian itu mengenal, bahwa salah seorang dari mereka adalah Mahendra, tetapi siapa yang seorang.
Seorang anak muda yang bertubuh tinggi kekar mendesak maju mendekati Kebo Ijo. Digamitnya Kebo Ijo sambil bertanya, "Dengan siapakah Mahendra itu berkelahi?"
Kebo Ijo berpaling. Ketika dilihatnya orang bertubuh tinggi itu, ia terkejut. Tetapi kemudian ia menjawab, "Dengan anak Panawijen. Wiraprana."
"Apakah sebabnya?"
"Anak itu menghina kami. Anak-anak muda Tumapel."
"He?" bertanya orang bertubuh kekar itu, "ia menghina kita?"
"Ya." "Apa katanya?" Kebo Ijo tidak segera dapat menjawab pertanyaan itu. Karena ia katanya, "Aku tidak jelas. Mahendra yang mendengarnya, dan karena itu ia marah kepada anak Panawijen itu."
"Hem," geram orang yang bertubuh kekar itu, "kenapa lehernya tidak dipatahkannya saja."
Kebo Ijo sekali lagi berpaling. Ia tersenyum di dalam hati. Orang yang tinggi besar itu adalah seorang prajurit pengawal Akuwu Tumapel. Maka katanya untuk membakar hati prajurit itu, "Kaulah yang berhak memutar lehernya."
Tetapi prajurit itu mengerutkan keningnya. Kemudian sekali lagi ia menggeram, "Aku tidak bersangkut paut dengannya."
"Kenapa" Apakah kau tidak terhina pula?"
"Anak itu anak Panawijen seperti Kuda Sempana, pelayan dalam Akuwu. Aku tidak mau berselisih dengan anak muda itu."
Kebo Ijo tertawa pendek. Katanya, "Kuda Sempana tidak mengenalnya."
Prajurit pengawal Akuwu Tumapel itu mengerutkan keningnya.."Aneh," pikirnya. Tetapi ia tidak bertanya. Kini ia memperhatikan perkelahian itu. Mahendra agaknya telah mengerahkan segenap tenaganya, namun ia nama sekali tidak dapat menguasai keadaan. Bahkan kemudian tampaklah kelebihan-kelebihan yang mengagumkan dari lawannya itu. Kelincahan dan ketangguhannya. Bahkan kekuatannya pun melampaui kekuatan Mahendra.
Dan sebenarnyalah Mahisa Agni telah meloncat lebih jauh dari lawannya itu. Meskipun selama ini Mahendra telah berhasil meningkatkan ilmunya, namun kecepatan Mahisa Agni dalam olah kanuragan jauh lebih pesat daripadanya. Sehingga dengan demikian jarak dari keduanya menjadi semakin jauh.
Orang yang tinggi besar itu menjadi heran. Mahendra adalah anak muda yang pilih tanding. Tetapi kini, berhadapan dengan anak yang datang dari pedesaan, agaknya ia mengalami kesulitan-kesulitan.
Prajurit itu menarik nafas. Seorang-seorang ia tidak lebih dari Mahendra. Tetapi bukankah ia prajurit pengawal Akuwu yang mempunyai lingkungan yang cukup banyak. Bahkan di antara mereka, pemimpinnya adalah seorang yang pasti melampaui keunggulan Mahendra, yaitu kakak seperguruannya. Witantra. Maka prajurit itu pun menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat bahwa Mahendra tidak segera dapat mengatasi keadaan, bahkan semakin lama tampaknya semakin terdesak, maka prajurit itu pun segera melangkah pergi, menerobos di antara para penonton yang semakin lama semakin berjejal-jejal.
"Anak itu harus mendapat sedikit pelajaran," gumamnya sepanjang jalan.
Dengan tergesa-gesa ia pergi ke rumah Witantra. Ia ingin mendapatkan pujian darinya. Namun dengan menyesal ia tidak menemuinya di rumah. Maka, karena itu segera ia pergi ke barak penjagaan prajurit pengawal Akuwu Tumapel. Namun di sana Witantra itu pun tak ditemuinya. Ia takut terlambat karenanya. Sehingga akhirnya ia ingin bertindak sendiri. Dengan beberapa orang kawannya, prajurit yang bertubuh tinggi tegap itu pergi ke tempat Mahendra berkelahi melawan Mahisa Agni.
Sementara itu, pertempuran antara Mahendra dan Mahisa Agni masih berlangsung terus. Mahendra benar-benar telah kehilangan pengamatan diri. Kalau mula-mula ia hanya ingin menunjukkan kemampuannya yang telah bertambah-tambah, serta membuat Mahisa Agni menyesali diri atas keberaniannya bersaing dengan Mahendra, maka kemudian Mahendra telah melupakan segala-galanya. Ia telah sampai pada puncak kemarahannya. Bertempur antara hidup dan mati.
Sedang Mahisa Agni justru bersikap lain. Ketika ia telah dapat menjajaki kekuatan lawannya, maka ia menjadi bertambah tenang. Ternyata ilmunya telah meloncat sedemikian jauhnya, sehingga Mahendra sebenarnya bukanlah lawan yang dapat memancarkan keringat. Kalau kemudian ia bertempur, maka sebenarnya ia tidak lebih daripada melayani lawannya. Hanya sekali-sekali ia memberi tekanan-tekanan yang berat, supaya Mahendra cepat menjadi lelah dan berhenti dengan sendirinya. Tetapi ternyata Mahendra pun mempunyai tenaga yang kuat. Betapa ia terdesak, namun ia masih juga berjuang sekuat tenaganya. Bahkan geraknya masih nampak garang, dan serangan-serangannya tetap berbahaya.
Namun demikian, betapa kecemasan merayapi dadanya. Anak muda itu benar-benar menjadi heran. Apakah Mahisa Agni itu anak gendruwo." Mahendra yang merasa bahwa ilmunya telah meningkat, namun Mahisa Agni itu masih belum dapat dikalahkan. Bahkan semakin lama tandangnya menjadi semakin mantap dan serangan-serangannya menjadi semakin dahsyat.
Tetapi Mahendra tidak mau menunjukkan kekurangannya di hadapan kawan-kawannya. Ia harus dapat mengalahkan lawannya supaya namanya tetap dikagumi oleh kawan-kawannya itu. Karena itu maka diperasnya tenaganya habis-habisan. Geraknya menjadi semakin cepat, secepat burung seriti menari-nari di udara, selincah anak kijang berkejar-kejaran di padang rumput. Tubuhnya melontar-lontar dengan cepatnya, berputar dan melibat lawannya seperti angin pusaran.
Namun Mahisa Agni sama sekali tidak menjadi bingung karenanya. Dengan tenangnya ia melawan serangan angin pusaran yang melibat dirinya dari segala arah itu. Seperti gunung anakan, ia tegak menghadapi badai yang betapapun kencangnya.
Mahendra semakin lama menjadi semakin cemas. Mahisa Agni benar-benar sekukuh batu karang. Sekali-kali terasa bahwa tenaganya menjadi semakin susut, sedang lawannya masih belum juga mampu dikuasainya. Malahan Mahisa Agni itu sekali-sekali menekannya dan memaksanya untuk meloncat mundur dan mundur.
Kebo Ijo yang mengikuti perkelahian itu dengan seksama menjadi heran. Kakak seperguruannya ternyata telah benar-benar mengerahkan ilmunya. Namun agaknya lawannya itu benar-benar seperti asap yang tak dapat disentuh tangan. Dari perkelahian itu Kebo Ijo pun dapat menilai, bahwa sebenarnya ilmu Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana itu benar-benar melampaui ilmu kakaknya. Karena itu, maka. Kebo Ijo pun menjadi bingung. Ia tidak mau melihat seandainya kakak seperguruannya itu dikalahkan. Tetapi ia tidak dapat terjun membantunya. Apabila demikian, dan kakak seperguruan mereka yang lebih tua, Witantra, mendengarnya, maka akibatnya akan tidak menyenangkan sekali. Namun demikian ia mempunyai satu harapan lagi. Kawannya, prajurit yang bertubuh tinggi kekar, datang kembali bersama kakak seperguruannya itu. Mahendra, dirinya dan beberapa kawannya akan dapat dijadikan saksi, bahwa Mahisa Agni telah menghina mereka. Mudah-mudahan kakaknya mempercayainya dan merasa terhina pula.
Demikianlah perkelahian itu semakin lama semakin nampak, bahwa kekuatan Mahendra menjadi semakin berkurang. Sehingga akhirnya Mahendra menjadi hampir berputus asa, dan bertempur tanpa kendali. Ia menyerang dengan garangnya dan dengan penuh kegelisahan Namun serangan-serangan itu seperti angin yang lewat di antara batu-batu karang yang kokoh kuat. Lewat, tanpa kesan dan tanpa meninggalkan bekas.
Tiba-tiba, beberapa orang yang menonton perkelahian itu terkejut ketika mereka mendengar beberapa bunyi cambuk berledakan di belakang mereka. Ketika mereka berpaling, mereka melihat beberapa orang prajurit pengawal Akuwu berada di sekitar mereka. Karena itu dengan gugupnya mereka berpencaran dan berlarian menjauh.
Seorang yang berperawakan tinggi tegap berdada bidang setegap kawan Kebo Ijo, namun tidak berkumis, segera tampil ke depan. Dengan cambuk di tangan ia berteriak lantang, "Berhenti!"
Mahendra segera meloncat mundur. Dan Mahisa Agni pun tidak mengejarnya, sehingga perkelahian itu pun berhenti.
"Kenapa kalian berkelahi?" bertanya orang yang tinggi besar itu.
Mahisa Agni menjadi berdebar-debar. Persoalan ini akan menjadi semakin berlarut-larut. Ia tergesa-gesa pulang ke Panawijen karena kegelisahannya atas nasib padukuhannya dan nasib Ken Dedes, tetapi tiba-tiba ia akan terpaksa berhenti beberapa lama di Tumapel.
Yang mula-mula menjawab adalah Mahendra. "Bertanyalah kepada mereka yang melihat persoalan ini dari permulaan," katanya sambil menunjuk Kebo Ijo dan beberapa anak muda yang lain.


01 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kebo Ijo kemudian melangkah selangkah maju. Meski pun ia belum begitu mengenal prajurit itu, namun ia pernah melihatnya sekali dua kali. Kemudian katanya, "Anak itu menghina kami, Kakang."
Orang itu mengerutkan alisnya. Kemudian ia bertanya pula, "Apakah yang sudah dilakukan?"
Kebo Ijo berpaling kepada Mahendra. Ia tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan itu. Mahendra pun kemudian mengerutkan keningnya. Setelah berpikir sejenak ia berkata, "Anak Panawijen ini menganggap kami, anak-anak muda Tumapel sebagai anak-anak liar. Apakah demikian keadaan kami?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Mahendra akan sampai hati berkata demikian atas dirinya. Ia tidak menyangka bahwa Mahendra dapat melakukan fitnah. Alangkah mengherankan. Dan bahkan hampir tak masuk di akalnya.
Sebenarnya Mahendra sendiri terkejut mendengar kata-katanya itu. Namun ia tidak dapat berbuat lain. Semula sesekali memang tidak terkandung maksud untuk melakukan perbuatan itu, tetapi ia dihadapkan pada peristiwa yang sama sekali tak diperhitungkannya.
Maksudnya mula-mula hanyalah untuk menghinakan Mahisa Agni. Menebus sakit hatinya atas kekalahan yang pernah dialaminya. Namun tanpa diduganya, ternyata ia sama sekali tidak mampu untuk melakukan pembalasan dendam itu. Bahkan sekali lagi ia dikalahkan. Karena itu, ketika ia dihadapkan pada pertanyaan yang tiba-tiba itu, maka dijawabnya tanpa mempertimbangkan baik dan buruknya.
Prajurit itu, yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang, dengan cemeti di tangannya, mengerutkan keningnya. Dipandangnya Mahisa Agni dari ujung rambut sampai ke ujung hatinya. Kemudian dipandanginya Mahendra dengan tajamnya. Kepada Mahendra prajurit itu pernah melihatnya sekali dua kali. Dan pernah dikenalnya pula namanya.
Suasana di sekitar tempat itu menjadi sepi tegang. Semua mata tertancap kepada prajurit yang memegang cambuk itu. Ketika kakinya bergeser setapak, tiba-tiba saja Mahisa Agni pun menggeser kakinya.
Namun Prajurit itu tidak berbuat apa-apa. Ia menjadi bimbang. Pernah didengarnya nama Mahendra sebagai seorang arak muda yang perkasa. Dikenalnya nama itu sebagai adik seperguruan pemimpinnya.
Tiba-tiba terdengarlah suara prajurit itu parau," He, anak muda, siapakah namamu?"
Mahisa Agni menjadi ragu-ragu sejenak. Mahendra, Kebo Ijo mengenalnya sebagai Wiraprana, putra Buyut Panawijen.
Karena Mahisa Agni masih belum menjawab, maka prajurit itu membentaknya, "He siapakah namamu?"
"Wiraprana," jawab Agni gemetar.
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia berpaling kepada Mahendra, dan sekali lagi ia bertanya, "Apa yang dikatakan tentang kalian?"
Kini Mahendra menjadi ragu-ragu. Ia malu untuk mengurungkan tuduhannya. Namun yang menyahut Kebo Ijo, "Ia menganggap kami, anak-anak muda Tumapel sebagai anak yang liar. Bukankah itu suatu penghinaan?"
Prajurit itu mengangkat alisnya. Dalam waktu yang singkat ia mampu membuat perhitungan. Mahendra adalah anak yang memiliki ilmu tata bela diri tinggi. Namun sudah lama anak muda dari Panawijen itu tak dapat dikalahkan. Dengan demikian, maka anak mula itu setidak-tidaknya memiliki ilmu setingkat dengan Mahendra.
Jawaban prajurit itu kemudian benar-benar mengejutkan Kebo Ijo dan kawan-kawannya, katanya, "Hem. Aku sangka kata-kata anak muda itu tidak terlalu salah."
"Apa?" teriak Kebo Ijo, "Kau berkata sebenarnya?"
Prajurit itu mengangguk. Sahutnya, "Aku menganggap bahwa kata-katanya tidak terlalu salah. Anak ini datang dari pedesaan. Apakah kau sangka bahwa ia berani berbuat sesuatu kalau kalian tidak memulainya?"
Wajah Kebo Ijo, Mahendra dan anak-anak muda yang lain menjadi merah padam Sehingga Kebo Ijo kemudian berteriak lantang, "Jadi kau membenarkan hinaan itu?"
Prajurit itu menggeleng, katanya, "Aku tidak membenarkan suatu penghinaan dari siapa pun untuk siapa pun. Namun aku ragu-ragu akan kebenaran kata-katamu."
"Kami menjadi saksi," sahut salah seorang anak muda kawan Kebo Ijo, "dan kalian dapat bertindak atasnya."
"Anak ini anak Panawijen," berkata Prajurit itu, "aku tidak mau berselisih dengan anak-anak Panawijen yang tinggal juga di dalam istana."
"Kuda Sempana?" sahut Mahendra.
Prajurit itu mengangguk. "Kuda Sempana tak mengenal anak ini. Baru saja Kuda Sempana lewat berkuda di jalan ini, dan ia memandang anak ini seperti memandang hantu."
Prajurit itu kini benar-benar mengerutkan dahinya. Sejenak ia berpikir. Dan sekali lagi kata-katanya mengejutkan, "Aku sangka anak-anak pedesaan lebih bersikap jujur dari kalian. Biarlah aku bertanya kepadanya."
"Bohong!" sahut Kebo Ijo sambil melangkah maju. Wajahnya yang merah menyala menunjukkan kemarahannya. Sebenarnya Kebo Ijo adalah anak yang berani. Seandainya Mahendra tidak menggamitnya maka prajurit itu pasti sudah ditantangnya berkelahi. Namun meskipun demikian ia masih berkata, "Anak-anak pedesaan adalah anak-anak muda yang licik."
Tetapi jawab prajurit itu tegas, "Aku adalah anak pedesaan."
Wajah Kebo Ijo menjadi semakin merah karenanya. Dan karena itu maka justru ia terdiam. Namun terdengar giginya gemeretak menahan kemarahannya yang telah memuncak. Sedang Mahendra pun menjadi marah pula. Diamat-amatinya prajurit itu dengan seksama. Katanya di dalam hati, "Suatu ketika kita akan membuat perhitungan."
Tetapi Prajurit itu bukan seorang penakut. Karena itu dengan lantang ia bertanya kepada Mahisa Agni, "Wiraprana, apakah kata-kata mereka itu benar?"
Mahisa Agni menggeleng. "Tidak!" sahutnya.
Prajurit itu menarik nafas. Kemudian kepada Mahendra ia berkata, "Kau dengar?"
Dari mata Mahendra telah menyala kemarahan yang tiada taranya. Namun sebelum ia menjawab, maka prajurit kawan Kebo Ijo maju selangkah. Tubuhnya tidak kalah garangnya dengan prajurit yang bercemeti itu. Dengan wajah yang tegang ia berkata lantang, "Aku anak muda Tumapel. Anak-anak muda Tumapel bukan anak-anak muda yang liar.
Prajurit yang bercemeti itu terkejut. Tak disangkanya sama sekali kalau seorang kawannya tiba-tiba telah berbuat demikian. Karena itu ia mencoba membetulkan kata-katanya, "Tidak semua anak-anak muda dari kota Tumapel berbuat demikian. Tetapi apakah kau tidak kenal sebagian dari anak-anak muda ini?"
Prajurit kawan Kebo Ijo itu menjawab, "Aku kenal mereka. Mereka adalah kawan-kawan ku."
"Nah," sahut prajurit itu, "kalau demikian kau pasti sudah tahu, apa saja yang sudah mereka lakukan."
"Mungkin mereka sering melakukan kenakalan-kenakalan anak-anak. Tetapi kami, anak-anak muda dan Tumapel tidak mau dihinakan."
Prajurit bercemeti itu menggigit bibirnya. Namun kemudian katanya, "Marilah kita lihat, siapakah yang sebenarnya bersalah. Jangan bertanya kepada mereka, dan jangan bertanya kepada anak Panawijen itu."
"Hanya akan membuang-buang waktu," sahut prajurit kawan Kebo Ijo, "anak itu harus ditangkap. Biarlah ia tahu, bahwa seseorang tidak boleh melakukan penghinaan."
Prajurit bercemeti itu menjadi bingung. Ditatapnya beberapa wajah yang ada di sekitarnya. Kemudian katanya berbisik, "Terserahlah kepadamu. Semuanya ini bukan tanggung jawabku. Aku tidak mau ikut serta. Sebab kau sudah berpihak. Kalau aku kemudian berpihak pula, maka kita tidak akan dapat menegakkan peraturan-peraturan yang berlaku. Kita akan ditelan oleh perasaan kita sendiri-sendiri. Dan kita akan melihat kebenaran dari pihak kita masing-masing. Karena itu, aku lebih baik tidak berbuat sesuatu. Supaya kita tidak saling bertengkar sesama kita di hadapan orang banyak."
Kawannya itu tidak menjawab. Tetapi ia merasa bahwa kawannya yang bercemeti itu segan kepadanya. Karena itu, maka ia pun melangkah maju sambil berkata lantang, "Wiraprana, kau aku tangkap!"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Dilihatnya beberapa orang prajurit yang lain maju pula. Mereka adalah kawan-kawan prajurit yang akan menangkap Agni itu. Sedang prajurit yang bercemeti itu masih berdiri di tempatnya. Tetapi ia kini berdam diri. Dengan penuh kesadaran ia lebih baik tidak ikut campur dalam persoalan ini supaya tidak menimbulkan kesan yang jelek bagi orang-orang yang melihat, bahwa di antara para prajurit itu timbul pendapat yang berbeda-beda tentang masalah yang sama.
Sedang kawan Kebo Ijo itu melihat kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat menyenangkannya. Orang itu akan diserahkannya kepada Witantra, kakak seperguruan Mahendra. Pasti orang itu akan memujinya dan seterusnya biarlah Mahendra yang mengatakan, apa yang sudah dilakukan oleh anak Panawijen itu.
Tetapi Mahisa Agni sudah mendapat ketetapan hati. Ketika ia melihat bahwa tidak semua prajurit dengan membabi buta menelan saja pengaduan yang sama sekali tidak benar itu, ia menjadi tenang. Karena itu, maka ia bertekad untuk menurut saja, apa yang akan dilakukan oleh prajurit-prajurit itu. Ketika sekali lagi ia mendengar prajurit itu berkata kepadanya, maka jawab Mahisa Agni, "Baiklah. Aku tidak akan melawan kalian, sebab kalian adalah prajurit-prajurit Tumapel."
"Jangan banyak mulut," bentak prajurit kawan Kebo Ijo itu sambil menarik lengan Mahisa Agni. Tetapi prajurit itu terkejut Mahisa Agni itu sama sekali tak dapat digesernya walaupun setapak.
Karena itu maka wajahnya tiba-tiba menjadi merah. "Jangan melawan!" bentaknya.
"Tidak," sahut Mahisa Agni, "aku tidak akan melawan. Tetapi aku sudah dapat berjalan sendiri."
"Setan!" desis prajurit itu.
Mahisa Agni itu pun kemudian sama sekali tidak melawan ketika ia dibawa oleh para prajurit itu ke barak mereka
Mahendra, Kebo Ijo dan beberapa orang yang lain ikut pula beramai-ramai di belakang para prajurit itu. Sekali-kali terdengar mereka berteriak-teriak. Kebo Ijo benar-benar tak dapat menguasai luapan perasaannya sehingga kata-katanya semakin lama menjadi semakin kotor. Tetapi sekali-kali Mahendra membentaknya pula, "Kebo Ijo, jangan berteriak-teriak!"
"Biarlah ia jera. Untuk lain kali ia tidak berani menghina kita lagi, Kakang."
Mahendra mengerutkan keningnya. Namun terasa sesuatu berdesir di dadanya. Dengan tanpa disengaja Kebo Ijo telah memperingatkan akan kesalahannya, sehingga perlahan-lahan ia berdesis, "Apakah benar Wiraprana menghina kita Kebo Ijo?"
Kebo Ijo itu terdiam. Tetapi kebenciannya kepada Mahisa Agni yang disangkanya Wiraprana itu melampaui Mahendra. Sedang Mahendra sendiri tiba-tiba menjadi malu atas perbuatannya. Namun semuanya telah terlanjur. Dan ia kini tinggal mempertahankan ketelanjurannya itu. Sekali ia berdusta, maka ia akan berbuat serupa terus menerus untuk mempertahankan kedustaannya itu.
Iring-iringan itu berjalan semakin lama semakin panjang. Beberapa orang yang melihat mereka bertanya di antara sesama. Anak-anak muda yang lain pun ikut serta di antara kawan-kawannya, sedang mereka yang sebenarnya anak-anak nakal, seakan-akan mendapat suatu permainan. Tetapi sekali-kali prajurit yang bercemeti, yang berjalan di paling belakang, membentak mereka, dan mengusir mereka itu pergi.
Mahendra yang berjalan di belakang prajurit bercemeti itu menundukkan wajahnya. Ia menyesal akan sikapnya. Lebih baik ia menerima kekalahan yang dialaminya daripada menjerumuskan dirinya dalam suatu sikap yang memalukan itu.
"Hem," Mahendra menarik nafas dalam-dalam. "Sudah terlanjur," gumamnya berkali-kali.
Tetapi berbeda sekali dengan sikap Kebo Ijo. Bahkan anak itu meloncat ke sana kemari, membisiki kawan-kawannya yang baru saja mereka temui di perjalanan itu. Mereka yang mendengar ceritanya dengan serta-merta tertawa tergelak-gelak. Ada juga di antara mereka yang dengan sengaja bertanya dengan suara keras-keras, supaya Mahisa Agni mendengarnya. Namun mereka itu terdiam apabila mereka mendengar meledaknya cambuk dari prajurit yang bertubuh kekar itu. Bahkan sekali-sekali didorongnya beberapa anak muda sampai jatuh berguling. Namun setiap kali ia hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba iring-iringan itu terkejut, ketika mendengar derap kuda berlari. Kemudian muncullah dari tikungan jalan di depan mereka, dua orang berkuda kencang-kencang ke arah iring-iringan itu.
Ketika prajurit kawan Kebo Ijo melihat orang berkuda itu, maka ia pun tersenyum. Kepada Mahisa Agni ia berkata, "Itulah pemimpin kami. Kau akan dihadapkan kepadanya."
Mahisa Agni pun terkejut melihat orang itu. Ia pernah melihatnya. Meskipun pada waktu itu di dalam gelapnya malam, namun ia masih cukup dapat mengenalnya. Orang itu adalah kakak seperguruan Mahendra.
Demikian kuda itu sampai di hadapan mereka, maka Witantra, penunggang kuda itu, segera menarik kekang kudanya sambil berkata lantang, "Aku dengar, kau bertengkar Mahendra?"
Mahendra mengangguk. Tetapi sebelum ia menyahut, terdengar Kebo Ijo berkata, "Itulah Kakang. Anak Panawijen yang barangkali telah Kakang kenal. Ternyata ia masih merindukan kemenangan yang pernah dilakukan. Ketika ia bertemu dengan Kakang Mahendra, maka dengan serta-merta ia menghinanya. Tetapi ternyata bahwa Kakang Mahendra bukanlah Kakang Mahendra beberapa bulan yang lalu. Untunglah bahwa beberapa orang prajurit sempat melerainya, dan membawa anak itu kepada Kakang. Kalau tidak entahlah, apa yang akan dilakukan oleh Kakang Mahendra atasnya."
Sekali lagi Mahisa Agni heran mendengar pengaduan itu. Apakah sebabnya maka Kebo Ijo itu sedemikian mendendamnya"
Witantra pun ternyata terkejut sekali melihat Mahisa Agni, sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, "Apakah kau Wiraprana?"
Mahisa Agni mengangguk. "Ya," jawabnya.
Witantra memandangnya dengan kecewa. Sama sekali tak disangkanya bahwa anak Panawijen itu dapat berlaku sombong. Karena itu ia bertanya kepada Mahendra, "Apakah kata-kata adikmu Kebo Ijo itu benar?"
Mahendra ragu-ragu sejenak. Tetapi ia harus menjawab. Karena itu ia tidak dapat berbuat lain, selain menganggukkan kepalanya.
Witantra itu menarik nafas panjang. Mula-mula ia mengagumi Mahisa Agni itu, ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya. Namun kini ia menjadi kecewa, kenapa anak itu dapat menyombongkan dirinya. Bahkan kemudian didengarnya seorang anak muda berkata, "Ia tidak saja menghina Kakang Mahendra, tetapi ia menghina kami. Disebutnya anak-anak muda Tumapel sebagai anak-anak yang liar. Karena itu kami marah pula karenanya."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia pun berkata lantang, "Bawa ia ke rumahku."
Mahisa Agni masih mencoba untuk menjelaskan persoalannya. Namun ia tidak mendapat kesempatan lagi. Witantra segera menarik kekang kudanya dan berlari meninggalkan mereka bersama seorang kawannya.
Jilid 7 PRAJURIT KAWAN KEBO IJO itu tertawa. Ketika debu yang dihambur-hamburkan oleh kuda-kuda itu telah hilang bersama hilangnya Witantra di belakang tikungan, berkatalah prajurit itu, "Witantra adalah seorang prajurit yang tidak saja tegas dalam setiap tindakan, namun ia adalah kakak seperguruan Mahendra. Kau lihat, bahwa tangan-tangannya yang besar itu pasti akan mampu memutar lehermu sampai patah."
Mahisa Agni tidak menjawab. Tetapi kini sampailah gilirannya untuk menjadi kecewa. Dikaguminya kejantanan kakak seperguruan Mahendra itu dahulu, ketika Kebo Ijo berbuat curang. Namun tiba-tiba kini demikian saja ia mempereayai segala cerita-cerita kosong itu.
Meskipun demikian, belum juga timbul maksudnya untuk berbuat sesuatu. Dibiarkannya prajurit yang tinggi besar itu mendorongnya terus. Tetapi ketika ia melihat prajurit yang membawa cemeti masih berjalan di belakangnya, maka Mahisa Agni tersenyum di dalam hati. Masih juga dilihatnya di antara orang-orang yang terlalu bernafsu untuk kemenangan sendiri itu, orang-orang yang dapat berpikir tenang.
Perjalanan mereka semakin lama semakin desak pula dengan rumah Witantra. Kebo Ijo semakin lama menjadi semakin gembira. Ia menyangka, bahwa kakak seperguruannya akan menyelesaikan masalah ini dengan sebaik-baiknya. Mudah-mudahan Kakang Witantra marah pula kepada Wiraprana. Apabila demikian, maka Wiraprana itu pasti akan ditantangnya, berkelahi. Seorang lawan seorang, Seperti juga kebiasaan Kakang Witantra menghadapi lawan-lawannya.
Tetapi Kebo Ijo itu heran melihat Mahendra berjalan sambil menunduk. Berbeda dengan Kebo Ijo, maka Mahendra itu menjadi gelisah. Katanya di dalam hati, "Bagaimanakah nanti akibatnya, kalau kakak seperguruannya itu menyuruh untuk menyelesaikan perkelahian di hadapannya" Mudah-mudahan para prajurit itu menuntut Mahisa Agni dalam persoalan yang lain. Penghinaan, misalnya. Atau membuat gaduh di dalam kota. Atau apapun yang harus ditindak oleh para petugas."
Akhirnya sampai juga mereka di halaman rumah Witantra itu. Beberapa prajurit segera menahan orang-orang lain untuk tidak masuk ke dalam halaman yang luas itu. Hanya beberapa orang yang dapat dianggap sebagai saksi sajalah yang mereka perbolehkan masuk di samping Mahisa Agni dan Mahendra Sendiri.
Witantra sedang duduk di atas sebuah amben kayu di dalam rumahnya. Ketika ia melihat beberapa orang masuk ke pekarangan segera ia berdiri dan menyambut mereka di pintu.
Kepada prajurit yang membawa Wiraprana ia berkata, "Bawa anak muda itu masuk bersama Mahendra dan Kebo Ijo."
Sesaat kemudian mereka telah duduk di amben kayu itu pula. Dengan tajamnya ia memandangi wajah Mahisa Agni. Namun ketika matanya beradu dengan mata Mahisa Agni yang seakan-akan menyala Witantra itu mengalihkan pandangannya ke arah Mahendra, sambil berkata, "Kenapa kalian berkelahi?"
Kembali yang mendahului menjawab adalah Kebo Ijo, "Sudah aku katakan sebabnya Kakang."
Witantra mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada Mahisa Agni, "Aku sangat menyesal bahwa hal ini terjadi. Kenapa kau berbuat demikian?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya.
Peristiwa ini benar-benar tak menyenangkannya. Ia ingin segalanya segera selesai, kemudian cepat-cepat pulang ke Panawijen. Tetapi Mahisa Agni itu pun tidak perlu terlalu tergesa-gesa, karena yang ditakutkannya, Kuda Sempana masih dilihatnya di dalam kota.
Meskipun demikian, maka sudah pasti Mahisa Agni tidak mau menjadi korban dari perbuatan-perbuatan yang memuakkan itu. maka dengan tenangnya ia menjawab, "Witantra, apakah kau dapat mempereayai kata-kata Kebo Ijo?"
"Aku menjadi saksi," tiba-tiba teriak salah seorang anak muda kawan Kebo Ijo.
"Aku juga," teriak yang lain.
Dan yang terakhir prajurit kawan Kebo Ijo itu pun berkata, "Aku juga menjadi saksi."
Witantra mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Dan tiba-tiba ia memandang kepada prajurit Yang bercemeti, "Apakah yang akan kau katakan?"
Prajurit yang bercemeti itu sebenarnya akan mengatakan sesuatu, namun belum mendapat kesempatan. Ketika Witantra itu bertanya kepadanya segera ia membungkuk hormat sambil menjawab, "Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku tidak dapat menjadi saksi, sebab aku datang setelah perkelahian itu berlangsung."
Kembali Witantra mengerutkan keningnya, kemudian kepada prajurit kawan Kebo Ijo ia bertanya, "Apakah kau melihat sebab perkelahian itu?"
"Ya tentu," sahut prajurit itu, "aku datang lebih dahulu sebelum aku mengajak beberapa orang kawan untuk menangkap anak Panawijen itu."
Witantra mengangguk-anggukkan. kepalanya, Meskipun demikian ia masih bertanya kepada Mahisa Agni, "Apakah benar kata mereka?"
Mahisa Agni menggeleng, "Tidak!"
"Bohong!" bentak prajurit kawan Kebo Ijo.
"Aku yang bertanya kepadanya," potong Witantra. Prajurit itu pun terdiam.
Kini Witantra melihat sikap-sikap yang kurang wajar dari adik seperguruannya. Ia melihat sikap Kebo Ijo yang agak berlebih-lebihan. Ia melihat pemuda-pemuda itu pun bersikap kurang wajar pula karena itu justru ia menjadi curiga. Dengan tajamnya dipandangnya wajah Mahendra. Dan ketika terasa tatapan mata kakak seperguruannya itu, maka Mahendra pun segera menundukkan wajahnya.
Kemudian sekali lagi Witantra itu bertanya kepada Mahisa Agni, ?"Wiraprana, apakah yang sebenarnya terjadi?"
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kali ini ia benar-benar ingin melihat, sampai di mana kejujuran yang dimiliki oleh adik-adik seperguruan Witantra itu. Karena itu, sebelum ia menjawab pertanyaan itu, maka katanya, "Witantra. Cobalah kau bertanya kepada Mahendra. Biarlah ia berkata di bawah saksi Yang Maha Agung.
Tiba-tiba terasa dada Mahendra itu berdesir. Terasa keringat dinginnya mengalir membasahi tubuhnya. Dan sebenarnyalah Witantra itu berpaling kepadanya. Sejenak Witantra itu melihat perubahan wajah adik seperguruannya itu. Karena itu maka ia menjadi semakin curiga. Karena itu, maka Witantra ingin mendapat kepastian dari persoalan-persoalan yang dihadapinya. Kepada Mahendra ia bertanya, "Mahendra, demi Yang Maha Agung katakanlah sebenarnya apa yang telah terjadi. Apakah Wiraprana benar-benar telah menghinamu?"
"Benar Kakang," jawab kebo Ijo.
Tetapi ia terkejut ketika Witantra membentaknya, "Diam kau Kebo Ijo!"
Mahendra kini benar-benar dihadapkan pada suatu keadaan yang sulit. Terjadilah perjuangan di dalam dadanya. Sekali-kali ia melihat Kebo Ijo dan beberapa anak muda yang lain dengan sudut matanya. Hampir saja ia menganggukkan kepalanya. Tetapi ketika terpandang olehnya pancaran mata kakak seperguruannya, maka mulutnya seakan-akan tergetar hendak mengatakan sesuatu.
"Mahendra, jawablah pertanyaanku!" desak kakak seperguruannya.
Ruang itu menjadi semakin tegang. Kebo Ijo, anak-anak muda yang lain, prajurit kawan Kebo Ijo dan beberapa prajurit yang lain, di antara yang membawa cambuk itu.
Tiba-tiba semua yang memandang wajah Mahendra itu menjadi terkejut bukan main. Kebo Ijo, anak-anak muda yang lain, para prajurit dan bahkan Witantra dan Mahisa Agni sendiri. Mereka melihat, perlahan-lahan Mahendra menggelengkan kepalanya.
"Apa?" bertanya Witantra hampir berteriak, "jadi Wiraprana itu sebenarnya tidak menghinamu dan menghina anak-anak Tumapel?"
Sekali lagi Mahendra menggeleng.
"Lalu apakah yang telah terjadi?"
"Aku ingin membalas dendam," berkata Mahendra perlahan-lahan sekali
Witantra itu pun menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia terkejut ketika ia mendengar suara Kebo Ijo dalam nada yang tinggi, "Tidak Kakang. Kakang Mahendra terlalu baik hati. Sebenarnya anak Panawijen itu telah menghina kami. Karena?"
Kata-kata Kebo Ijo itu terputus. Betapa ia terkejut dan semua orang pun terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar Kebo Ijo itu mengaduh. Anak muda itu tergeser beberapa jengkal sehingga hampir saja ia terguling. Dengan serta-merta tangannya meraba pipinya yang tampak kemerah-merahan. Ternyata Witantra itu telah menamparnya. Dengan tajam kakak seperguruannya itu membentaknya, "Jagalah mulutmu Kebo Ijo!"
Kebo Ijo itu menjadi gemetar. Alangkah malunya. Karena itu maka ia pun menjadi marah bukan buatan. Tetapi ia tidak berani berbuat apapun kepada kakaknya.
"Jadi kalian semua telah mencoba berbohong?" bentak Witantra dengan marahnya, "Apakah sebabnya kalian berbuat demikian. Kenapa?"
Ruangan itu kembali menjadi sunyi. Hanya nafas Kebo Ijo sajalah yang terdengar terengah-engah. Sedang matanya menjadi merah pula karena marahnya.
Witantra yang kemudian menjadi sangat, marah pula berkata kepada prajurit kawan Kebo Ijo, "Jadi kau pun ikut pula dalam kebohongan ini?"
Prajurit kawan Kebo Ijo itu benar-benar menjadi bingung. Ia sama sekali tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan itu. Karena itu, ia hanya berdiri saja seperti patung.
Karena prajurit itu tidak segera menjawab, maka sekali lagi Witantra membentaknya, "He. Kau juga ikut berbohong?"
"Tidak. Tidak," jawabnya tergagap, "aku tidak sengaja."
"Apa yang tidak sengaja," desak Witantra.
Kembali prajurit itu menjadi bingung. Dengan tanpa berpikir panjang ia menjawab, "Aku tidak bermaksud berbohong: Tetapi aku menyangka bahwa hal itu benar-benar terjadi."
"Jadi kau tidak melihat sendiri?"
"Tidak," prajurit itu menggeleng, "aku mendengar dari Kebo Ijo."
Kebo Ijo menjadi semakin bergetar mendengar pengaduan itu. Tetapi ia tidak dapat, berbuat apa-apa. Tetapi Witantra itu masih membentak bawahannya, "Kau menjadi percaya tanpa penyelidikan lebih lanjut?"
Prajurit itu menjadi semakin bingung. Akhirnya ia menjawab, "Ya. Aku begitu saja percaya, sebab Kebo Ijo adalah kawanku sendiri."
"Itulah sebabnya, maka anak-anak muda itu benar-benar menjadi liar."
Meskipun Wiraprana sebenarnya tidak mengatakan, namun hati kecil kalian telah berkata sendiri, "Kalian benar-benar menjadi liar, karena kawan-kawan kalian, di antaranya prajurit, selalu membesarkan hati kalian. Dengan demikian kalian merasa aman untuk berbuat apa saja sekehendak kalian".
Ruangan itu menjadi sepi kembali. Dan kembali Mahisa Agni mengagumi kakak seperguruan Mahendra itu. Ia benar-benar seorang prajurit yang berpegang teguh pada sumpahnya sebagai prajurit. Meskipun Mahendra, Kebo Ijo adalah adik seperguruannya, namun ia berkata salah apabila salah dan ia akan berkata benar apabila benar. Dengan demikian maka kebenaran benar-benar akan dapat ditegakkan.
Kini ia melihat adiknya itu berbuat curang. Bahkan telah meninggalkan sifat-sifat ke kesatriaan, karena itu alangkah marahnya. Apalagi seorang anak buahnya telah ikut serta berbuat kesalahan itu.
Dengan wajah yang menyala-nyala ia memandang Kebo Ijo. Anak itu benar-benar anak yang bengal. Sekali-sekali ditatapnya juga wajah Mahendra. Anak muda ini, biasanya tidak suka berbohong dari mengorbankan nama baiknya Tetapi kali ini ia hampir tergelincir dalam perbuatan yang memalukan itu.
Untunglah bahwa kesalahan itu segera disadarinya. Namun meskipun demikian. Mahendra telah berbuat kesalahan. Karena itu dengan marahnya Witantra menggeram, "Perkelahian akan dilanjutkan."
Namun terdengar kemudian Mahendra yang telah menyadari keadaannya menyahut dengan jujur, "Tidak. Aku sudah dikalahkannya."
Witantra menarik nafas. Tetapi mata Kebo Ijo menyala karenanya.
Suasana kemudian dicengkam oleh kesepian.
Dalam keheningan suasana itu, terdengarlah Mahisa Agni berkata, "Witantra, aku akan mengucapkan terima kasih kepadamu dan kepada adikmu, Mahendra. Sebenarnya tak ada niatku untuk membuat hal-hal yang kecil ini menjadi persoalan. Karena itu, marilah persoalan ini kita anggap selesai. Sebab aku masih ada mempunyai beberapa keperluan yang lain."
Witantra tidak segera menjawab. Kini seperti juga Mahisa Agni mengaguminya, maka Witantra itu pun kembali mengagumi kebesaran jiwa Mahisa Agni yang disangkanya bernama Wiraprana itu. Meskipun beberapa orang telah berusaha menghinanya, namun ia sama sekali tidak mendendam.
Sesaat kemudian, maka barulah Witantra itu berkata, "Tinggalkan kami di sini bersama Wiraprana. Pergilah semuanya!"
Mahendra yang masih menundukkan kepalanya, itu pun segera bergerak dan meninggalkan tempat itu. Berbagai perasaan berkecamuk di dalam dirinya. Sesal, malu, kecewa dan segala macam bereampur baur di dalam dadanya..
Kebo Ijo, anak-anak muda yang lain, para prajurit itu pun segera pergi pula meninggalkan mereka. Dengan tergesa-gesa Kebo Ijo menyusul Mahendra sambil berkata, "Kakang, kenapa Kakang menarik tuduhan itu?"
Mahendra berpaling sesaat. Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan langkahnya semakin dipercepat.
Kebo Ijo yang berjalan di sampingnya memandangnya dengan penuh penyesalan. Anak-anak muda yang beriringan di belakangnya pun menyesal pula atas sikap Mahendra itu Namun mereka tidak berkata apa-apa.
Di rumah Witantra, kini tinggallah Mahisa Agni seorang diri bersama Witantra duduk berhadapan di atas amben kayu. Setelah mereka diam sejenak, maka berkatalah Witantra , "Wiraprana, biarlah aku minta maaf kepadamu atas nama anak-anak muda yang bengal itu."
"Sudah aku katakan Witantra, persoalan ini aku anggap selesai. Dan secepatnya aku akan mohon diri untuk satu keperluan yang lain."
"Terima kasih. Aku hormati pendirianmu itu. Tetapi apakah keperluan itu sedemikian tergesa-gesa?"
"Tidak, tetapi aku ingin segera pulang ke Panawijen, setelah aku agak lama meninggalkannya?"
"Apakah kau baru datang dari suatu perjalanan?"
"Ya," sahut Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilihatnya sebuah bungkusan terikat erat di lambung Mahisa Agni. Namun ia tidak sempat lagi membawa tongkat setelah ia berkelahi melawan Mahendra. Untunglah bahwa bungkusannya itu tidak terlepas dari ikatannya. Sehingga tanpa disengaja Witantra itu bertanya, "Apakah isi bungkusanmu itu?"
"Ah, hanya dua lembar pakaian," sahut Mahisa Agni.
Witantra mengangguk-angguk pula. Namun tiba-tiba ia berkata, "He, apakah kau akan pulang ke Panawijen?"
Mahisa Agni mengangguk. "Ya," sahutnya.
"Baru saja aku bertemu dengan Kuda Sempana. Ia pun agaknya sedang menuju ke kampung halamannya. Ketika aku bertanya kepadanya, ia hanya menjawab, "Aku pergi untuk satu dua hari".
Kata-kata terdengar seperti guntur yang meledak di telinga Mahisa Agni. Kuda Sempana pulang ke kampung halaman Panawijen, selagi ia tidak di rumah.
Witantra melihat perubahan wajah Mahisa Agni. Karena itu ia menjadi heran.
Sejenak kemudian bertanyalah Mahisa Agni dengan suara yang bergetar, "Kapankah Kuda Sempana itu pulang ke Panawijen?"
"Belum lama," jawab Witantra.
"Belum lama aku melihatnya."
"Mungkin. Aku melihat Kuda Sempana memacu kudanya. Dan demikianlah jawabnya ketika aku bertanya kepadanya."
"Gila!" geram Mahisa Agni di dalam hatinya. Segera ia tahu apa yang dilakukan oleh Kuda Sempana itu. Ketika Kuda Sempana itu melihat Mahisa Agni berada di Tumapel, maka segera ia mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Dalam pada itu keheranan Witantra semakin menjadi, maka kemudian ia pun bertanya, "Kenapa kau menjadi gelisah?"
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Semula ia menjadi agak ragu-ragu. Namun kemudian terpaksa ia berkata, "Maksud Kuda Sempana pulang ke kampung halaman sangat mencurigakan."
"Kenapa?" Kembali Mahisa Agni terdiam. Namun tiba-tiba Witantra itu pun menjadi gelisah. Dengan serta-merta ia berkata, "He, apakah gadis Panawijen itu bernama Ken Dedes?"
Terasa sesuatu berdesir di dada Mahisa Agni. Namun ia menganggukkan kepalanya.
"Ya. Itulah nama gadis itu. Bunga di kaki Gunung Kawi, yang telah membuat Mahendra hampir-hampir gila. Yang telah membuat Mahendra mendendam kepadamu. Namun sebenarnya aku pernah mendengar Kuda Sempana mempercakapkan gadis itu pula."
"Mungkin kau benar," sahut Mahisa Agni.
"Kalau demikian, apakah kau sangka bahwa Kuda Sempana akan mempergunakan kesempatan selama kau berada di Tumapel?"
"Mungkin," sahut Mahisa Agni dengan suara parau, "kalau demikian biarlah aku segera kembali."
"Aku tidak dapat mencegahmu, Wiraprana. Mudah-mudahan kau tidak terlambat."
Mahisa Agni menggeram sekali lagi, kemudian dengan tergesa-gesa ia minta diri. Dengan penuh pengertian Witantra itu melepaskan Mahisa Agni sampai ke regol halamannya.
Mahisa Agni itu pun kemudian berjalan hampir berlari-lari. Dari kejauhan Witantra memandangnya dengan iba.
"Anak yang baik," gumamnya., "Kasihan. Tanpa dikehendakinya, ia mempunyai banyak lawan. Agaknya Kuda Sempana yang tadi melihat anak itu, segera mempergunakan kesempatan."
Dan Mahisa Agni itu pun semakin lama menjadi semakin jauh. Akhirnya anak muda itu seakan-akan hilang ditelan oleh kelokan jalan.
Mahisa Agni sendiri menjadi sangat gelisah karenanya. Ia menjadi pasti, bahwa bencana akan menimpa Ken Dedes dan Wiraprana. Kuda Sempana pasti akan mempergunakan segenap kemampuan yang ada padanya untuk menebus kekalahannya. Bahkan kalau mungkin membunuh sekali.
Dengan demikian maka Mahisa Agni itu benar-benar seperti orang yang kehilangan kesadaran. Ia sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap keadaan di sekelilingnya. Ia sama sekali tidak memedulikan bahwa beberapa orang yang dijumpainya memandanginya dengan penuh pertanyaan. Kenapa anak muda itu berlari-lari"
Tetapi jarak Panawijen dan Tumapel bukan jarak yang pendek. Jarak itu akan ditempuh lebih dari sehari penuh. Meskipun Mahisa Agni kemudian berlari, namun ia tak akan dapat mencapai jarak itu secepat-cepatnya. Selisih waktu yang dialaminya dari Kuda Sempana, agaknya akan dapat memberi kesempatan bagi Kuda Sempana melakukan niatnya. Apalagi setelah didengarnya bahwa Kuda Sempana kini telah memiliki puncak ilmu dari perguruannya seperti juga Bahu Reksa Kali Elo. Karena itu, maka kembali Kuda Sempana itu akan berkata, "Rawe-rawe rantas, malang-malang putung".
Mahisa Agni menjadi semakin gelisah. Apalagi kalau diingatnya bahwa Kuda Sempana pasti tidak hanya berlari-lari seperti dirinya, tetapi anak muda yang gagah itu pasti berkuda.
Mahisa Agni itu pun menggeram berkali-kali. Namun ia benar-benar masih harus berlari. Langkahnya semakin lama semakin panjang. Namun terik matahari yang membakar tubuhnya menjadi semakin panas. Bekas-bekasnya yang putih menghambur di sepanjang jalan yang dilalui oleh Mahisa Agni. Menyusup disela-sela dedaunan dan jatuh di atas batu-batu padas yang bertebaran di sepanjang jalan.
Mahisa Agni itu terasa akan terbang. Langkahnya terasa sedemikian lambatnya. Kalau sekali-kali ia memandang ke depan maka segera jantungnya berdebar-debar. Di hadapannya masih terbentang sawah yang sangat luas. Tetapi apabila sawah ini sudah dilampaui, ia sama sekali belum mendekati Panawijen. Sebuah hutan terbentang jauh di muka. Seleret pepohonan yang semakin lama seolah-olah menjadi semakin besar. Hutan itu pun bukanlah layar yang terakhir yang menakbiri Panawijen. Di seberang hutan itu, terentang sebuah sungai. Kembali ia akan melampaui daerah persawahan. Sawah hutan, sawah, hutan berkali-kali. Kemudian ia dapat lewat di tengah-tengah padang rumput Karautan, atau lewat jalan lain. Namun selisih jarak daripadanya tidak begitu banyak. Baru setelah itu ia akan sampai ke Panawijen. Namun secepat-cepatnya, apabila ia tidak perlu berhenti sama sekali, besok pagi ia baru akan sampai. Tetapi apakah tenaganya akan mampu untuk berlari terus dalam jarak yang sekian jauh.
Tetapi Mahisa Agni tidak boleh berhenti. Ia berlari terus.
Tiba-tiba Mahisa Agni itu pun terkejut mendengar derap kuda di belakangnya. Ketika ia berpaling dilihatnya debu mengepul. Putih dan semakin lama semakin tinggi terbang ke udara.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. "Siapa?" desisnya. Tetapi ia terkejut ketika ia melihat penunggangnya adalah Mahendra.
Karena itu maka Mahisa Agni menjadi berdebar-debar karenanya. Ia masih belum dapat melupakan, apa yang baru saja dilakukan oleh Mahendra itu. Mahisa Agni berdebar-debar karena kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Mahendra, tetapi juga berdebar-debar karena dengan demikian, kedatangannya di Panawijen akan menjadi semakin lambat.
Kuda yang berlari kencang itu semakin kencang juga. Semakin lama semakin dekat. Dan sejalan dengan hati Mahisa Agni menjadi semakin berdebar-debar juga.
"Kalau anak muda itu berhasrat menghambat perjalananku," desah Mahisa Agni dalam hatinya, "maka aku tidak akan dapat memaafkannya lagi."
Tetapi kuda itu sudah sedemikian dekatnya, sehingga Mahisa Agni pun berhenti pula karenanya. Dengan penuh kewaspadaan anak muda dari Panawijen itu berdiri tegak seperti tonggak yang kokoh kuat terhunjam jauh ke dalam tanah.
Ketika Mahendra melihat Mahisa Agni itu berhenti, maka segera ia menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu berhenti beberapa langkah di hadapan Mahisa Agni. Demikian kuda itu berhenti, demikian Mahendra itu segera meloncat turun.
Mahisa Agni itu pun segera menggeser diri selangkah surut, siap menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi.
Tetapi ia terkejut ketika ia melihat Mahendra itu menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Aku datang untuk minta maaf kepadamu, Wiraprana."
Mahisa Agni menarik nafas panjang. Panjang sekali. Ia menjadi kecewa terhadap peresaannya sendiri. Ternyata ia terlalu berprasangka. Karena itu, maka segera ia menjawab, "Ah Mahendra. Hampir aku salah sangka. Ternyata aku pun harus minta maaf kepadamu. Dan karena itulah maka biarlah persoalan di antara kita, kita anggap selesai."
"Terima kasih," sahut Mahendra. Yang kemudian diteruskannya, "Tetapi kedatanganku menyusulmu ada juga kepentingan yang lain dari kepentinganku sendiri."
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, "Apakah kepentingan yang lain itu?"
"Kakang Witantra baru saja datang kepadaku. Disuruhnya aku menyusulmu untuk mengantarkan kuda ini kepadamu."
"Kuda?" sahut Mahisa Agni dengan serta-merta.
"Ya," Mahendra mengangguk, "kata Kakang Witantra kau memerlukannya untuk menyusul Kuda Sempana."
"Kuda" Kuda?" hampir tak percaya Mahisa Agni bergumam.
Tetapi Mahendra itu menegaskan, "Ya Wiraprana, inilah kuda Kakang Witantra. Bawalah!"
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Mahisa Agni. Begitu besar terima kasihnya sehingga untuk sesaat ia tidak dapat mengucapkannya. Ketika Mahendra memberikan kendali kuda itu kepadanya, barulah Mahisa Agni berkata, "Terima kasih. Terima kasih Mahendra. Dan terima kasihku kepada Witantra. Aku tak akan melupakan kebaikan budi kalian."
"Aku hanya seorang pesuruh Wiraprana. Akan aku sampaikan terima kasihmu itu kepada Kakang Witantra."
"Tidak saja Witantra. Tetapi kau pun berjasa pula kepadaku."
Mahendra mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Selamat jalan Wiraprana. Bukankah kau tergesa-gesa. Sebenarnya aku pun tak akan dapat melihat Kuda Sempana mencapai maksudnya. Bukankah anak muda itu pun akan merampas hak yang sudah kau miliki?"
Dada Mahisa Agni berdesir. Alangkah manisnya kata-kata itu, namun alangkah pahitnya pula. Mahendra tidak dapat melihat Kuda Sempana merampas Ken Dedes yang pasti didengarnya dari Witantra, namun Ken Dedes itu sama sekali bukan hak yang telah dimilikinya. Tetapi apa yang dilakukan itu adalah atas nama Wiraprana. Dan Wiraprana kelak pasti hanya akan mengucapkan terima kasihnya saja kepadanya.
Tetapi sebenarnya Mahisa Agni tidak mempunyai pamrih. Seandainya Wiraprana kelak tidak mengucapkan terima kasih pun, ia tidak akan menyesal. Dengan kesetiaannya ia berusaha membuat Ken Dedes bahagia. Kesetiaan yang tidak diketahui sama sekali oleh orang lain. Namun kesetiaan itu benar-benar telah membakar dadanya.
Kini Mahisa Agni menerima kuda itu. Kuda yang tegar, berwarna sawo. Tidak kalah tegarnya dengan kuda yang dipergunakan oleh Kuda Sempana tadi.
Setelah sekali lagi Mahisa Agni mengucapkan terima kasih, maka ia segera meloncat ke punggung kuda itu. Meskipun demikian ia masih bertanya, "Sekarang, kau tidak lagi berkendaraan Mahendra?"
Mahendra tertawa pendek. "Jarak yang harus kutempuh terlalu pendek dibandingkan dengan perjalananmu. Biarlah aku pulang dengan berjalan kaki. Hampir setiap hari aku sampai di sini pula."
"Selamat tinggal Mahendra, mudah-mudahan aku tidak terlalu terlambat."
Mahendra mengangguk. Perlahan-lahan ia bergumam, "Aku akan lebih berbahagia kalau kau berhasil, Wiraprana."
"Terima kasih, terima kasih."
Mahisa Agni itu pun segera memacu kudanya seperti angin. Ia ingin cepat-cepat sampai ke Panawijen. Namun ia pun ingin cepat-cepat melupakan setiap kata-kata Mahendra. Karena itu, maka kudanya yang telah berlari kencang itu, masih saja terasa, alangkah lambatnya. Seakan-akan suara Mahendra masih mengiang di telinganya, "Aku akan lebih berbahagia kalau kau berhasil, Wiraprana".
Mahisa Agni menggigit bibirnya. Kuda itu dipacu semakin cepat. Namun hatinya telah berlari lebih cepat daripada kaki-kaki kuda itu.
Kuda Mahisa Agni itu meluncur seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Kepulan debu yang putih bergulung-gulung di belakang kaki kudanya. Pepohonan yang tegak di pinggir-pinggir jalan, seakan-akan berlari cepat ke belakang, Sedang hutan-hutan yang terbujur di hadapannya, seperti berlari menyongsongnya. Semakin lama semakin besar. Dan semakin lama, semakin jelas setiap batang-batang yang tumbuh di sepanjang tepinya.
Tetapi gelora di dalam dada Mahisa Agni sendiri itu pun menjadi semakin keras. Bermacam-macam persoalan hilir mudik di dalam dadanya. Sekali-kali jauh di dasar hatinya terdengar pula suara, "Mahisa Agni Kenapa kau menjadi sedemikian cemasnya" Bulankah Ken Dedes telah mempunyai seorang pelindung yang harus melindunginya. Kalau Wiraprana tak sanggup bertanggung jawab terhadapnya maka lebih baik ia melepaskan ikatan yang telah dijalinnya. Ia menginginkan hak itu, namun ia tak mampu memikul kewajibannya".
Namun kemudian terdengar suara yang lain, "Itu bukan salahnya. Dunia di sekitarnya yang masih sebuas hutan rimba. Kalau setiap orang menyadari hak dan kewajiban masing-masing, maka tak akan ada persoalan lagi. Meskipun Wiraprana tak mampu untuk berkelahi, namun dalam peradaban yang baik tak perlu ia harus berkelahi. Karena Wiraprana bukan tidak mengerti akan kewajibannya, tetapi ia sebenarnya tidak mampu menghadapi kebuasan lingkungannya, maka apa salahnya aku menyelamatkannya".
Terdengar Mahisa Agni itu menggeram di atas punggung kudanya. Dan kuda itu masih berlari secepat angin. Sekali-kali Mahisa Agni mengusap wajahnya yang dipenuhi oleh debu yang melekat karena peluhnya yang membasahi kulitnya. Sekali-sekali dirabanya bungkusannya yang melingkari lambungnya, berbelitan dengan ikat pinggangnya. Dan terasa di dalamnya, keris peninggalan ayahnya. Kalau Kuda Sempana menjadi gila, maka ia pun kini bersenjata.
Matahari yang mengapung di langit bergeser setapak demi setapak. Kini matahari itu telah melampaui puncak langit, dan telah mulai dengan perjalanannya untuk bersembunyi di balik pegunungan. Namun sinarnya masih juga terasa membakar kulit. Debu yang putih yang dihamburkan oleh kaki-kaki kuda Mahisa Agni, tampak bergulung-gulung. Kemudian buyar ditiup angin dari selatan. Jauh di langit kadang-kadang tampak burung-burung cangak beterbangan di atas tanah yang basah. Namun Mahisa Agni tidak sempat untuk memperhatikannya. Kudanya yang berpacu itu serasa seakan-akan betapa malasnya. Sekali disentuhnya perut kuda itu dengan kakinya, sehingga kuda itu meloncat semakin cepat.
Sesaat kemudian Mahisa Agni telah masuk melintas jalan-jalan di tengah-tengah hutan. Perjalarannya kini tidak dapat secepat semula. Sekali-sekali beberapa potong dahan-dahan kayu yang patah, serta sulur beringin tua, mengganggu perjalanannya. Sedang jalan menjadi bertambah sempit. Tetapi kuda itu masih berlari terus, tanpa menghiraukan apapun yang mungkin akan memperlambat.
Demikianlah Mahisa Agni berpacu melawan waktu. Sebab Kuda Sempana telah jauh mendahuluinya. Ia harus sampai di Panawijen sebelum Kuda Sempana telah melarikan Ken Dedes. Mudah-mudahan gurunya telah kembali. Tetapi agaknya Empu Purwa masih di perjalanan, bahkan menurut keterangannya, gurunya itu masih akan singgah di rumah sahabat-sahabatnya setelah ia merasa menurunkan ilmunya yang tertinggi kepada muridnya. Seolah-olah pekerjaan Empu Purwa itu telah selesai, dan kini ia tinggal menikmati masa istirahatnya.
Agaknya Empu yang sudah lanjut usia itu telah mempercayakan segala sesuatunya kepada Mahisa Agni, satu-satunya muridnya yang lahir batinnya benar-benar mengagumkan baginya.
Karena itu Mahisa Agni menjadi semakin gelisah. Sesudah hutan ini masih terentang jalan yang sangat panjang. Namun berterima kasihlah ia kepada Witantra dan Mahendra yang telah menolongnya mempereepat perjalanannya dengan kecepatan yang berlipat ganda. Kalau ia harus berjalan, maka sudah hampir dapat dipastikan bahwa ia akan jauh terlambat. Dan ia tinggal akan menemukan bekas- bekas dari bencana itu. Meskipun demikian, kegelisahan masih saja menyala-nyala di dalam dadanya. Meskipun ia kini telah dapat mempereepat perjalanannya, namun ia masih mencemaskan, bahwa Kuda Sempana benar-benar tidak mampu mengekang dirinya, sehingga sejak langkahnya yang pertama, ia telah bermata gelap.
Sebenarnyalah pada saat itu, Kuda Sempana pun sedang berpacu menuju ke Panawijen.
Ketika anak muda itu bertemu dengan Mahisa Agni di Tumapel, maka tiba-tiba timbul niatnya untuk menumpahkan kemarahannya dan dendamnya. Sebab kini ia merasa, bahwa ia telah memiliki bekal yang jauh lebih banyak daripada saat ia dikalahkan oleh Mahisa Agni. Tetapi keadaan Tumapel agaknya tidak menguntungkannya. Mungkin beberapa orang melihat, bahwa Mahisa Agni tidak bersalah pada waktu itu sehingga akibatnya akan tidak menguntungkan baginya. Karena itu, maka ia mengambil jalan yang lain untuk menumpahkan dendamnya. Segera ia memacu kudanya menemui pimpinannya untuk mohon diri dua tiga hari. Ia dapat saja memberikan segala macam alasan untuk pulang ke kampung halaman. Kalau kelak Ken Dedes telah dapat dirampasnya,dan dilarikannya, maka apa yang akan terjadi akan dihadapinya dengan dada tengadah. Wiraprana, Mahisa Agni dan siapa lagi. Tetapi gadis itu harus sudah di tangannya dan disembunyikannya dahulu.
Misteri Anjing Siluman 2 Wisma Pedang Seri 4 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Tembang Tantangan 15
^