Pencarian

Misteri Naga Batuk 2

Trio Detektif 14 Misteri Naga Batuk Bagian 2


Sosok itu berdiri tegak. Potongannya ramping dan hitam berkilat, sampai ke bagian kaki yang kelihatan bersirip, seperti kaki bebek. Sosok aneh itu berjalan lambat-lambat, menuju pantai.
"Penyelam," kata Pete dengan lega. "Ia memakai masker dan sirip renang di kaki. Aduh karena itu saja kita sudah takut setengah mati! Yuk, kita pergi."
Ketiga remaja itu berpaling, hendak pergi.
Tiba-tiba Jupiter berbisik, "Awas! Ia membawa senapan tombak!"
"Lalu"" kata Pete sambil tertawa. "Ia kan bisa saja habis berburu ikan!"
Jupiter menggeleng. "Ia menuju kemari," katanya.
Tiba-tiba orang yang bermasker dan berpakaian selam serba hitam itu berlutut, dengan senapan tombak teracung ke depan. Orang itu merebahkan diri, sambil membidikkan senjatanya.
"Wah! Awas! Ia membidik ke arah kita!" seru Bob cemas.
"Eh!" kata Pete kaget. "Kenapa ia tahu-tahu begitu"" Matanya terpicing, sementara air mukanya menjadi pucat.
"Ya Bob benar!" Ia berbalik dengan cepat. "Pasti kita yang dijadikan sasaran di sekitar sini tidak ada orang lain!"
Jupiter Jones memandang orang yang rebah di pantai, sambil menghadap ke arah mereka. Jarak yang memisahkan tidak sampai seratus meter. Ora
ng itu nampak jelas membidikkan senjatanya ke arah mereka.
Otak Jupiter biasa berpikir logis, dan bekerja dengan teramat cepat. Secepat kilat ditiliknya situasi yang dihadapinya. Hasilnya membuat keningnya berkerut. Situasi yang dihadapi tidak masuk akal!
Tapi logis atau tidak, Jupiter masih tetap bisa mengandalkan kemampuannya menyelamatkan diri.
"Bahaya!" katanya. "Lari memencar!"
Ketiga remaja itu berpencaran secepat-cepatnya, lalu lari ke arah tangga yang menuju ke atas tebing. Tapi ketika sudah dekat ke situ, barulah mereka sadar bahwa itu tidak ada gunanya. Karena kaget, mereka melupakan kecelakaan yang baru saja mereka alami di tangga itu. Kini mereka sadar kembali, begitu melihat patahan tangga yang berserakan di pasir. Sedang dinding tebing menjulang terjal, mustahil bisa didaki.
Jupiter menoleh ke tangga yang berikut. Letaknya terlalu jauh dari tempat mereka berada saat itu. Untuk mencapainya, cukup jauh mereka harus berlari di atas pasir lembab. Lari mereka takkan mungkin bisa cepat. Dan di pantai terbuka itu, mereka akan menjadi sasaran empuk.
Dengan cepat Jupiter mengambil keputusan. "Hanya satu kemungkinan yang tinggal. Cepat kita kembali ke dalam gua!"
Ketiga remaja itu lari lagi, kini kembali ke mulut gua. Mereka lari dengan perasaan panik, karena memperhitungkan setiap saat akan mendengar letusan senapan tombak di belakang mereka.
Atau bahkan merasa punggung mereka ditembus tombak maut yang meluncur dari senjata itu.
Pasir di bawah kaki berhamburan ke belakang.
"Hampir sampai!" seru Jupiter dengan napas putus-putus. "Cepat cari perlindungan!"
Ketiga remaja itu menyeruduk serempak ke dalam gua, lalu bergegas merangkak ke balik batu-batu besar yang ada di depan.
"Selamat!" dengus Pete. "Sekarang bagaimana""
"Kita bersembunyi," kata Jupiter, sambil berusaha mengatur napas yang tersengal-sengal. "Dengannya kita akan mendapat waktu untuk mengatur rencana selanjutnya."
"Mungkin sekarang inilah waktu yang terbaik untuk mencari lorong-lorong yang lain itu," kata Bob.
Jupiter mengangguk. Mukanya merah, karena bersemangat. Tapi mungkin juga karena kepanasan sehabis berlari.
"Setuju!" katanya. "Tapi kita biarkan orang itu berbuat sesuatu terlebih dulu. Jika ia ternyata menuju kemari, maka akan kuakui bahwa situasi yang kita hadapi menghendaki adanya tindakan darurat seperti masuk lebih Jauh ke dalam gua ini, misalnya."
Pete memandang ke belakang punggung Jupiter, ke arah pantai. "Kita harus masuk lebih dalam, Jup," katanya dengan suara tegang. "Ia kemari!"
"Aduh!" keluh Bob. "Bagaimana sekarang" Aku tidak ingin tercebur lagi ke dalam sumur tadi!"
Jupiter bergerak mundur, ke dinding gua.
"Lihatlah!" serunya dengan tiba-tiba.
Pada dinding gua nampak lapisan papan berderet-deret memanjang, sampai ke langit-langit. "Astaga!" kata Pete. "Kenapa kita tadi tidak melihatnya""
"Karena tersamar lapisan pasir dan debu," kata Jupiter. Ia mengetuk-ngetuk papan berjejer itu. Terdengar bunyi bergaung.
"Rupanya di belakang papan penutup ini ada lorong tersembunyi," katanya. Ia mendorong-dorong papan. "Kelihatannya terpasang longgar jadi bisa digeser. Coba kaulihat ke luar lagi sebentar, Pete, apakah penyelam tadi masih mengarah kemari."
Pete mengintip sebentar ke luar, lalu cepat-cepat mengendap lagi. "Bahaya menjadi berlipat dua," katanya dengan suara gemetar. "Sekarang mereka berdua."
"Berdua"" Kening Jupiter berkerut. "Kalau begitu, kita harus cepat-cepat. Tolong aku, menggeser papan-papan ini."
Mereka mendorong dan menarik-narik papan yang berjejer-jejer itu. "Percuma!" kata Bob. "Terlalu kokoh pemasangannya!"
Jupiter menggeleng. "Tidak pasti ada satu cara untuk menggesernya." Tiba-tiba ia tersenyum. "Ya, tentu saja! Aku ini yang tolol!"
Ditendangnya pasir longgar yang terhampar di sekitar deretan papan yang kelihatannya merupakan semacam pintu.
"Kita cuma perlu menggali sedikit saja. Gali pasir yang di sini, supaya longgar!"
Ketiga remaja itu berlutut lalu mulai menggali pasir dengan tangan mereka. Tiba-tiba pintu papan bergerak.
"Cukup!" kata Jupiter. "Sekarang, jika kita bisa mengger
akkannya sampai cukup lebar, sehingga kita bisa menyusup masuk "
Pintu papan kini dapat digerakkan dengan mudah, karena kakinya tidak lagi terganjal pasir. Bob dan Pete cepat-cepat menyusup masuk. Kini giliran Jupiter untuk menyusul.
Ia beringsut-ingsut, berusaha meloloskan tubuh lewat celah yang sempit. "Ti tidak bisa," dengusnya. "Terlalu gemuk!"
Bob dan Pete bergegas mengeduk pasir lagi, kini dari sisi di belakang papan. Pintu itu bergerak ke samping, dan dengan cepat Jupiter menyusup masuk.
"Jangan terlalu rapat menutupnya kembali," katanya berbisik. "Biar kita bisa mengintip ke luar."
Papan berat itu mereka geser lagi ke tempat semula. Tapi tidak sampai rata lagi dengan papan-papan yang bersebelahan.
Ketiga remaja itu masih berlutut di dalam rongga gelap itu, ketika kemudian terdengar orang bercakap-cakap.
Salah seorang penyelam yang masuk menyalakan senter.
"Aku yakin sekali, anak-anak tadi lari kemari, Harry. Coba kau tadi tidak roboh diterjang ombak, sehingga perhatianku terpaling sesaat!"
"Kita akan segera menemukan mereka, jika mereka memang masuk kemari," kata temannya yang rupanya bernama Harry. "Tapi jika tidak, kita bisa langsung mulai bekerja."
Anak-anak menahan napas, sementara penyelam yang pertama menyorotkan senternya, menerangi segala penjuru gua. Jupiter merapatkan mukanya ke celah di antara papan-papan yang memanjang ke atas. Ia melakukannya dalam posisi merangkak.
Bob dan Pete membungkuk di atasnya, ikut mengintip ke luar.
Kedua orang yang berpakaian selam itu berjalan semakin jauh ke dalam gua. Sinar senter semakin meredup, begitu pula bunyi langkah kaki mereka yang mengenakan sepatu renang.
Suara serak orang yang satu lagi terdengar menggema. Datangnya seperti dari dekat lubang tempat Bob tercebur tadi.
"Kurasa kau salah lihat tadi, Jack. Tidak ada siapa-siapa di sini!"
"Kalau begitu mereka rupanya lari ke atas lewat tangga yang satu lagi."
Terdengar bunyi berkecepak pelan. Setelah itu sunyi. Jupiter merangkak mundur. Ia tidak mendengar maupun melihat apa-apa lagi. Hidungnya gatal, karena kemasukan debu dan pasir. Jangan-jangan Bob dan Pete mengalami kesulitan serupa, katanya dalam hati. Kalau saat itu mereka sampai bersin wah, gawat! "Tutup hidung kalian!" bisiknya. "Jangan sampai ada yang bersin."
Kedua temannya menuruti sarannya. Mereka menunggu dengan perasaan gugup. Ruangan gua di luar tetap gelap dan sunyi. Akhirnya Jupiter berdiri.
"Mereka sudah pergi," bisiknya. "Kita keluar sekarang, mumpung masih ada peluang."
Pasir digali lagi. Setelah itu dengan hati-hati mereka mendorong papan yang berat, sehingga tergeser sedikit.
"Kau dulu sekarang, Jupe," bisik Pete. "Kalau kau bisa lewat, kami berdua pasti juga bisa."
Jupiter menanggapi usul itu dengan senyuman.
Ketiga remaja itu menyusup kembali ke luar, memasuki ruang gua yang gelap. Mereka memasang telinga sejenak. Masih tetap tidak terdengar apa-apa di situ. Setelah itu mereka bergegas mengembalikan papan tadi ke tempatnya semula. Pasir yang digali ditimbunkan lagi ke dasarnya, sehingga papan itu tegak dengan kokoh seperti sebelumnya.
Kini Jupiter berdiri. Jantungnya berdebar-debar. Ia memandang arlojinya. "Sudah lebih dari tiga jam," bisiknya. "Hans pasti sudah menunggu di atas!"
Bab 9 PERINGATAN DARI HANTU "NAH, bagaimana pendapatmu tentang kejadian tadi"" tanya Jupiter.
Saat itu sejam setelah mereka pulang, ikut truk kecil dengan mana Hans menjemput mereka lagi. Bob sudah lebih dulu pulang ke rumahnya, untuk mandi serta berganti pakaian. Dan itu memang perlu! Kini, hanya Pete dan Jupiter saja yang ada di kantor Trio Detektif.
Pete mengangkat bahu. "Aku tidak bisa memahaminya. Aku tidak tahu siapa kedua penyelam itu, kecuali bahwa nama mereka masing-masing Harry dan Jack. Aku tidak mengerti, apa sebabnya Harry atau mungkin juga itu Jack membidikkan senapan tombaknya ke arah kita. Aku tidak tahu, kenapa mereka mengejar kita ke dalam gua. Aku tidak tahu ke mana mereka kemudian menghilang, dan dengan cara bagaimana. Aku bankan masih belum bisa mengerti, bagaimana kita bisa lolos dari sana dengan selama
t." Jupiter menarik-narik bibir bawahnya, lalu mengangguk. "Kalau ditambah lagi dengan kejadian robohnya tangga tebing secara aneh, jelaslah bahwa kita sudah menghadapi berbagai pertanyaan sebelum kita bisa mulai mengusut misteri hilangnya anjing Mr. Allen."
"Aku punya ide, yang mungkin bisa membantu kita," kata Pete.
"O ya"" Jupiter memutar kursinya. Minat besar terpancar dari matanya. "Apa idemu itu"" Pete menggerakkan tangannya ke arah pesawat telepon yang ada di meja.
"Kau menelepon Mr. Allen. Katakan padanya, kita tidak jadi mencarikan anjingnya yang hilang itu. Bilang padanya, kita sendiri tadi juga nyaris hilang. Katakan, kita ingin membatalkan tawaran bantuan kita padanya."
Saran itu sama sekali tak diacuhkan oleh Jupiter.
"Problem kita yang pertama ialah menyelidiki siapa sebenarnya kedua penyelam itu," katanya, "dan apa yang mereka lakukan di dalam gua."
Pete menggeleng. "Apa peduli kita dengan kedua manusia kasar itu"" tukasnya. "Kita sendiri pun tadi juga masuk ke sana, dan aku sama sekali tidak tahu, untuk apa sebetulnya hal itu kita lakukan."
"Kita mencari tanda-tanda adanya naga yang diceritakan Mr. Allen," kata Jupiter. "Dan juga jejak anjing setter Irlandianya, Red Rover."
"Yah tapi nyatanya tidak banyak yang kita jumpai di sana," tukas Pete. "Kecuali lubang tadi. Bob yang menemukannya untuk kita."
"Kita juga menemukan lorong yang tersembunyi di balik papan-papan tertutup," kata Jupiter.
"Mungkin itu lorong rahasia untuk masuk ke dalam gua. Atau bisa juga salah satu tempat penyembunyian rahasia, yang dulu dipakai para penyelundup."
"Apa hubungannya soal itu dengan kita," kata Pete berkeras. "Anjing Mr. Allen kan tidak ada di situ."
Kening Jupiter berkerut. "Selaku penyelidik, kita harus kembali ke sana dan memeriksa gua itu dengan lebih cermat. Masa hal itu tidak kausadari sendiri"!"
"Ya, memang." Pete mengangguk, walau dengan sikap segan. "Aku cuma heran, apa sebabnya kedua penyelam itu tidak terjerumus ke dalam lubang yang ditemukan oleh Bob! Bukan"kah itu merupakan bukti bahwa mereka mengenal tempat itu"!"
"Itu bisa saja tapi jangan lupa, mereka membawa senter," kata Jupiter. "Dan tentang bagaimana dan kenapa keduanya kemudian tahu-tahu lenyap kurasa jika kita kembali ke sana dengan berbekal senter, mungkin kita akan "
Saat itu telepon berdering, untuk kedua kalinya hari itu.
Pete dan Jupiter tidak bergerak. Hanya mata mereka saja yang menatap pesawat itu.
Telepon berdering sekali lagi.
"Terima dong," kata Pete.
"Baiklah." Jupiter meraih gagang telepon, lalu mendekatkannya ke kepala.
"Halo"" Lalu sekali lagi, "Halo""
Didekatkannya alat komunikasi itu ke mikrofon, supaya Pete bisa mengikuti pembicaraan. Keduanya mendengar bunyi gemeresik. Tapi tidak ada yang berbicara.
"Halo"" kata Jupiter sekali lagi. Tetap saja tidak ada yang berbicara.
"Mungkin salah sambung," kata Pete. "Ku-kurasa tidak," kata Jupiter tergagap. "Coba dengar baik-baik!" Bunyi serak tadi terdengar lagi, seakan-akan suara orang yang berusaha menarik napas dengan susah payah. Kemudian bunyi napas itu berganti, menjadi suara orang yang sedang tercekik. Seakan-akan sudah sekarat!
"Jangan " kata orang itu dengan sulit lalu berkata lagi, seolah-olah dengan sisa-sisa suara yang masih ada, "Jangan ke mari." Kemudian menyusul lagi bunyi napas mendesah.
"Kemari ke mana"" tanya Jupiter.
"Gua ... guaku," kata suara aneh itu. Terdengar lagi bunyi, seperti napas tersentak. Setelah itu sunyi
"Kenapa jangan"" tanya Jupiter. "Siapa yang bicara ini"" Suara yang menjawabnya menggaung.
"Orang... mati ," kata suara itu lambat-lambat, " tidak ... suka ... bicara!"
Kata-kata itu disusul desahan panjang dan bergetar. Setelah itu sunyi lagi.
Jupiter mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. Sesaat ia hanya menatap pesawat itu, tanpa mengatakan apa-apa. Pete juga begitu. Tapi tiba-tiba ia meloncat dari tempatnya duduk selama itu.
"Wah! Untung teringat, malam ini kami makan agak lebih sore dari biasanya," katanya. "Aku pulang saja sekarang."
Jupiter ikut berdiri. "Aku keluar juga, ah! Mungkin Bibi Mat
hilda memerlukan aku, untuk merapikan pekarangan." Kedua remaja itu bergegas ke luar. Mereka langsung memahami pesan suara yang menyeramkan tadi. Pesannya memang sederhana:
Jangan datangi guaku! Orang mati tidak suka bicara!
Mr. Allen bercerita tentang naga, yang masuk ke dalam gua. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa tentang orang mati atau hantu!
Bab 10 MATINYA SEBUAH KOTA SEMENTARA itu Bob sudah mandi dan berganti pakaian. Perasaannya sudah senang kembali saat ia tiba di perpustakaan umum kota Rocky Beach, di mana ia bekerja secara sambilan.
Miss Bennett, pengelola perpustakaan itu menoleh sambil tersenyum ketika Bob masuk.
"Wah, Bob," sapanya, "hari ini aku sungguh-sungguh senang melihat kau datang. Hari ini kita sangat sibuk. Banyak sekali orang datang, dan sekarang tentu saja banyak buku yang harus dikembalikan ke tempat masing-masing. Bisakah kau langsung mulai dengannya""
"Tentu saja," jawab Bob.
Diambilnya setumpuk buku yang dikembalikan hari itu, lalu ditaruhnya satu demi satu ke tempat yang benar di rak. Setelah itu ia mendatangi meja-meja di ruang baca. Banyak buku dibiarkan tergeletak di situ. Semua dikumpulkan olehnya. Buku yang terletak paling atas berjudul Hikayat California. Iseng-iseng ia membalik-balik halaman buku itu. Salah satu babnya berjudul, "Seaside: Impian Kota yang Mati".
"Hmm," gumam Bob pada dirinya sendiri. "Ini mungkin menarik untuk diketahui."
Sambil merenung, disisihkannya buku itu. Setelah itu ia bergegas mengumpulkan buku-buku yang berserakan, supaya pekerjaannya lekas selesai. Ia sudah tidak sabar lagi, ingin cepat-cepat mendalami buku yang menarik itu.
Setelah selesai mengembalikan buku-buku yang dikumpulkannya, ia dipanggil oleh Miss Bennett, yang memintanya untuk membetulkan beberapa buku yang robek sampulnya. Buku-buku yang rusak itu dibawa ke ruang gudang yang ada di belakang, dan di situ ditambalnya dengan cellotape. Tidak lama kemudian sudah selesai segala tugas yang harus dilakukannya.
Bob kembali ke meja kerja Miss Bennett.
"Semua sudah beres, Miss Bennett. Masih ada sesuatu yang perlu saya pelajari sekarang, jadi jika tidak ada tugas lain "
Miss Bennett menggeleng. Bob bergegas kembali ke ruang baca, menuju meja di mana buku tentang hikayat California tadi ditinggalkan olehnya. Saat itu barulah ia sadar bahwa ia sebenarnya tidak begitu tahu tentang Seaside. Begitu pula halnya dengan Jupe dan Pete. Yang jelas, mereka belum pernah mendengar bahwa kota itu mati!
Dengan cepat dibukanya buku itu, mencari bagian yang berisi uraian tentang kota Seaside. Karangan itu dimulai dengan kata-kata berikut:
Seperti halnya manusia, kota-kota ada juga yang dirundung kesialan. Impian kota kecil Seaside, yang ingin menjadi pusat pertetirahan, akhirnya terburai bagaikan asap, lima puluh tahun yang silam.
Gambaran kota yang cerah dan ramai, seperti dibayangkan para perencananya, dan untuk mana mereka telah mempertaruhkan seluruh harta mereka, tidak pernah menjelma menjadi kenyataan. Kanal-kanal dan terusan-terusan yang dibangun dengan penuh rasa seni untuk menimbulkan suasana seperti kota Vene"sia, sementara ini sudah ambruk dan digantikan oleh deretan pabrik. Hotel-hotel yang dulunya anggun, kini sudah ditutup. Ada pula yang digusur untuk memberi tempat bagi jalan bebas hambatan yang akan dibangun dengan lintasan utara-selatan. Kekecewaan yang mungkin paling dirasakan oleh kota Seaside adalah gagalnya rencana pembangunan rel kereta bawah tanah, yang kalau jadi dibangun akan merupakan yang pertama di pesisir barat. Pihak pemilik modal, maupun masyarakat umum bersikap dingin dalam menanggapi rencana pembangunan suatu sistem hubungan kilat, yang akan menghubungkan kawasan pantai kota Seaside dengan daerah bisnisnya, serta dengan kota-kota kecil lainnya yang berdekatan. Tanggapan dingin itu mengakibatkan jaringan hubungan bawah tanah tersebut tidak pernah selesai dibangun. Terowongan yang sudah dibangun sepanjang beberapa mil ditutup dan kini sudah dilupakan orang, suatu rahasia gang selalu menghantui, serta kenang-kenangan mahal tentang kota yang sudah mati sebelum sempat menga
lami pertumbuhan. "Wow!" kata Bob pada dirinya sendiri. Kini kota Seaside sudah lebih bermakna baginya. Kematian kota itu terjadi lebih dari lima puluh tahun yang lalu karena buku yang dibaca merupakan terbitan beberapa tahun yang lewat. Jika ia tadi tidak secara kebetulan menemukannya, mungkin ia takkan mengetahui kisah kota kecil yang didatanginya tadi bersama Pete dan Jupiter.
Setelah mencatat beberapa fakta penting tentang Seaside, dikembalikannya buku itu ke tempatnya. Kemudian ia duduk lagi. Ia berpikir-pikir. Banyak yang perlu dilaporkan pada Jupiter. Tapi akhirnya ia memutuskan, bahwa itu bisa dilakukannya nanti, sehabis makan malam. Saat itu sudah hampir tiba. Dan Bob sudah lapar.
Ia meminta diri pada Miss Bennett, lalu bersepeda pulang. Sesampainya di rumah dilihatnya ibunya sedang sibuk memasak. Sedang Ayah membaca koran sambil mengisap pipa. Mr. Andrews menyambut kedatangan anaknya dengan senyuman.
"Hi, son," sapanya. "Kudengar kau tadi pulang berlumur lumpur begitu tebal, sehingga pakaian yang kaukenakan bisa dipakai untuk menguji kehebatan mesin cuci kita, seperti yang selalu dibangga-banggakan produsennya dalam siaran iklan."
"Betul, Ayah," kata Bob. "Aku tercebur ke dalam lubang. Mula-mula kukira yang ada di dalamnya pasir apung. Tapi ternyata lumpur dan air."
"Pasir apung" Sepanjang pengetahuanku, di sekitar sini sama sekali tidak terdapat pasir apung."
"Memang bukan di Rocky Beach," kata Bob. "Kejadiannya di Seaside. Kami sedang menangani suatu kasus, yang menyebabkan kami harus ke sana. Saat itu kami sedang memeriksa salah satu liang gua yang terdapat di situ."
Mr. Andrews mengangguk. Ia meletakkan surat kabarnya.
"Dulu liang-liang gua di sana itu bisa berarti kematian bagi yang berani masuk ke dalamnya. Waktu itu liang-liang gua di sekitar tempat yang bernama Haggity's Point, banyak yang dipakai penyelundup minuman keras. Dan sebelum itu, oleh bajak laut."
"Begitulah yang kudengar," kata Bob mengiakan. "Dan ketika di perpustakaan tadi, aku secara kebetulan menemukan sebuah buku tentang hikayat California. Isinya antara lain karangan tentang Seaside, yang dikatakan merupakan kota yang sudah mati sebelum sempat tumbuh. Ayah tahu itu""
Ayah Bob wartawan. Ia kelihatannya memiliki gudang rahasia dalam kepalanya, berisi segala macam hal yang perlu diketahui. Ia mengangguk.
"Banyak orang yang kehilangan harta dan bangkrut, karena keliru berspekulasi tentang kota itu. Setelah terjadi kebakaran hebat di taman hiburan, kota itu seakan-akan tidak hentinya dirundung nasib malang."
"Tapi kelihatannya lumayan, Ayah," kata Bob. "Besarnya kurang lebih sama dengan kota Rocky Beach kita ini."
Mr. Andrews tersenyum. "Sejak itu, Seaside mempunyai waktu lima puluhan tahun untuk membangun kembali, dan kini sudah menjadi kota yang sibuk dan berkembang terus. Tapi tidak dalam wujud yang semula diniatkan, yaitu pusat pertetirahan. Seka"rang Seaside seperti kota lain-lainnya juga, tempat pemukiman dan mencari nafkah."
"Dasar nasib sial," kata Bob. "Menurut yang kubaca tadi, mereka bahkan sudah sempat mulai membangun jaringan kereta bawah tanah tapi tidak pernah diselesaikan."
Mr. Andrews mencondongkan tubuhnya ke depan.
"Keputusan yang menyangkut hal itu menyebabkan kematian salah seorang tokoh perintis perencanaan kota Seaside. Ia bunuh diri, setelah seluruh hartanya habis, karena dilibatkan dalam usaha membangun jaringan perhubungan bawah tanah itu." Mr. Andrews mengerutkan kening, sambil menyedot pipanya. "Aku tidak ingat namanya sekarang tapi orang itu merupakan tokoh besar, dengan idam-idaman muluk. Sebenarnya jika cukup banyak orang mau mengikuti keyakinan dan semangatnya, mungkin saja Seaside bisa menjadi kota idam-idamannya yaitu kota santai yang paling besar."
Saat itu Mrs. Andrews datang menyela dengan suara tegas,
"Makan malam sudah siap."
Bob sebenarnya masih ingin mendengar lebih banyak lagi. Tapi ayahnya sudah berdiri, lalu berjalan ke meja makan. Bob menyusul, lalu duduk. Banyak yang perlu diketahui oleh Jupiter, katanya dalam hati.
* Kalau menurutku, kita lupakan saja anjing Mr.
Allen yang hilang," kata Pete, menyatakan pendapatnya dengan tegas. "Urusannya bagi dia mungkin cuma binatang kesayangan yang hilang. Tapi bagiku, itu juga melibatkan naga, serta dua penyelam bertampang galak dan bersenjata senapan tombak, dan yang tidak suka pada anak-anak. Belum lagi lubang berlumpur yang menyedot orang ke dalamnya, serta tangga yang ambruk begitu orang lari menuruninya. Ditambah lagi entah apa yang menelepon untuk memberi peringatan pada kita agar menjauhi guanya. Bagiku, itu merupakan nasihat yang perlu dituruti apalagi karena yang mengatakan begitu orang mati!"
Mata Bob langsung membesar.
"Apa maksudmu""
Saat itu satu jam setelah saat makan malam. Anak-anak berkumpul lagi di dalam kantor Trio Detektif, untuk membicarakan rencana selanjutnya.
"Tadi, setelah kau pulang untuk mandi dan berganti pakaian," kata Jupiter menjelaskan, "kami mendapat peringatan yang misterius, lewat telepon." Ia mengulangi peringatan itu, kata demi kata.
"Kedengarannya seperti ada yang hendak mempermainkan kita," kata Bob kemudian. "Tapi jika bukan begitu, maka ada seseorang yang hendak mengatakan pada kita, bahwa kedatangan kita ke gua itu tidak diingini."
Air muka Jupiter kini menampakkan sifat keras kepalanya.
"Kita belum melihat apa-apa tentang naga misterius itu," katanya. "Kuusulkan kita kembali ke sana malam ini juga, untuk meneliti sekali lagi."
"Kita adakan pemungutan suara mengenainya," kata Pete buru-buru. "Aku mengusulkan agar kita batalkan saja kasus itu. Siapa yang setuju" Yang setuju, bilang, 'ya'!"
"Ya, ya, ya!" Kata itu diulang-ulang dengan suara melengking oleh Blackbeard, burung yang pandai bicara dari dalam sangkarnya yang tergantung di dekat meja kantor Trio Detektif.
"Diam!" bentak Pete. "Kau bukan anggota resmi perkumpulan ini. Kau cuma diizinkan tinggal di sini."
"Orang mati tidak suka bicara!" teriak Black-beard, lalu tertawa terkekeh-kekeh.
Bob menoleh ke arah Jupiter.
"Mungkin dia yang kalian dengar tadi," katanya.
"Blackbeard!" Jupiter menggeleng. "Bukan, Bob. Yang berbicara tadi seseorang atau sesuatu yang terdengar sulit bernapas dan berbicara. Jika suara itu disengaja, untuk menimbulkan kesan seolah-olah yang berbicara itu orang dalam keadaan sekarat atau bahkan hantu efeknya benar-benar meyakinkan. Pokoknya menyeramkan. Ya kan, Pete""
"Tidak lebih menyeramkan dari lain-lainnya yang sudah terjadi selama ini," kata Pete sambil mengangkat bahu. Ia menyingkapkan rambutnya ke belakang. "Jika rambutku belum putih sekarang, mungkin besok!"
Jupiter tertawa nyengir. "Ah kau tidak lebih takut daripada kami, Pete. Kau cuma berlagak takut saja."
"Taruhan"" kata Pete menantang. Jupiter tidak menanggapinya. Ia meraih gagang telepon.
"Aku mau bertaruh, jika Worthington sebentar lagi datang dengan Rolls-Royce untuk menjemput kita, kau pasti ingin ikut," katanya.
* Tidak sampai sejam kemudian, Pete sudah memandang ke luar, dari balik jendela mobil kuno itu, yang kelihatan mewah karena bagian-bagiannya yang terbuat dari logam dilapisi emas. Kendaraan itu meluncur dengan suara lembut menyusur Pacific Coast Highway, menuju daerah pinggiran kota Seaside. Pengemudinya Worthing-ton, sopir berkebanggaan Inggris yang jangkung dan selalu sopan. Ia menjalankan Rolls-Royce itu dengan trampil, seperti biasanya.
"Kadang-kadang ada perasaan menyesal dalam hatiku, kenapa kau memenangkan hak pemakaian mobil ini dalam sayembara waktu itu, Jupe," kata Pete setengah mengeluh. "Itu jika kuingat, ke dalam bahaya mana saja kita terjerumus dengannya."
"Jangan kaulupakan, juga untuk meloloskan diri," kata Bob mengingatkan. "Dan ketika hak kita untuk menggunakannya selama tiga puluh hari habis, kuingat kau pun tidak bisa bergembira."
Pada saat yang kritis itu mereka sedang membantu seorang remaja Inggris yang mengalami kesulitan. Kemudian remaja itu membalas jasa. Ia mengatur urusan keuangan yang diperlukan, sehingga Trio Detektif dapat terus menikmati hak penggunaan mobil mewah itu, termasuk sopirnya, Worthington.
Pete merebahkan punggungnya ke sandaran bangku yang berlapis kulit. Ia tersenyum.
" Harus kuakui, ini lebih nikmat daripada membonceng truk. Apalagi jika dibandingkan dengan berjalan kaki."
Jupiter sudah memberi petunjuk mengenai jalan-jalan yang harus diambil untuk keluar dari jalan raya bebas hambatan, menuju jalan kecil di tepi tebing yang menaungi daerah pantai Seaside. Kini ia menepuk bahu Worthington.
"Sampai di sini saja, Worthington," katanya. "Anda menunggu kami di sini, ya."
"Baik, Master Jones," jawab sopir Inggris itu. Mobil Rolls-Royce besar,dengan lampu depan model kunonya yang besar dan terang berhenti di pinggir jalan.
Ketiga remaja penumpangnya bergegas turun. Jupiter mengambil peralatan yang mereka bawa.
"Senter, kamera foto, dan alat perekam suara," katanya sambil meneliti. "Sekarang kita sudah siap menghadapi keadaan yang bagaimanapun serta merekamnya."
Ia menyerahkan alat perekam suara pada Bob. "Ini, Bob untuk merekam suara naga, atau suara hantu yang sulit bernapas dan berbicara."
Pete mengambil satu dari ketiga senter yang dibawa. Jupe meraih gulungan tali, lalu menyandangkannya ke bahu.
"Untuk apa itu kaubawa Jupe"" tanya Pete.
"Tidak ada jeleknya, berjaga-jaga," kata Jupiter. "Tali ini dari bahan plastik yang kuat, dan panjangnya seratus meter. Dengannya kita nanti bisa menuruni tebing, jika tangga-tangga lainnya ternyata juga sudah diutik-utik."
Mereka menyusuri jalan yang sepi dan gelap itu. Jupiter yang paling depan. Ia menuju ke tangga, lewat mana ia hendak mengajak teman-temannya turun ke pantai. Tangga itu beberapa meter lebih jauh dari tangga yang roboh ketika sedang mereka turuni pagi itu.
Ketiga remaja itu berhenti sebentar di bibir tebing, lalu memandang ke bawah. Pantai nampak lengang saat itu. Bulan yang belum lama muncul di langit nampak meremang di balik lapisan awan tipis. Desisan lembut ombak samudra yang menyapu pasir pantai di bawah, sekali-sekali digantikan deru gelombang besar yang memecah agak jauh sedikit ke tengah.
Pete membasahi bibir dengan sikap gugup. Ia memegang sandaran tangga yang sudah tua. Ia tegak tanpa bergerak sejenak, sambil memasang telinga. Bob dan Jupiter juga melakukannya.
Tapi yang terdengar hanya bunyi ombak samar-samar, serta detak jantung mereka sendiri. "Nah mudah-mudahan saja selamat," kata Pete dengan perasaan tegang.
Sementara ketiga remaja itu mulai melangkah turun, mereka serasa mendengar deru ombak samudra bertambah nyaring. Seakan-akan tidak sabar lagi menanti kedatangan mereka!
Bab 11 KENGERIAN DI MALAM BUTA KEADAAN di sekitar tangga gelap gulita. Angin malam yang terasa asin menyengat muka. Dinding tebing menjulang di atas pantai. Bayangannya gelap dan suram di pasir yang diterangi sinar bulan.
Tangga yang dituruni ternyata kokoh. Jenjang-jenjang paling bawah mereka lewati dengan langkah berlari. Akhirnya mereka melompat ke pasir, diiringi desahan napas lega.
Jupiter menoleh ke atas. Di sana-sini nampak cahaya lampu, di beberapa rumah yang terdapat di sepanjang bibir tebing.
Ketiga remaja itu kemudian mulai berjalan, di atas pasir lembab berwarna gelap. Mereka lewat di depan sisa-sisa tangga yang roboh ketika mereka lalui pagi itu.
Kemudian mereka berhenti, ketika sudah dekat ke mulut gua yang dituju. Mereka memasang telinga, sambil memandang berkeliling dengan hati-hati. Tapi mereka tidak melihat sesuatu yang bergerak di dalam gua. Di sekitarnya juga tidak!
Jupiter mendongak lagi. Dinding tebing yang menjorok ke depan, menyebabkan ia tidak bisa melihat bibir yang di atas. Keningnya berkerut. Ia berperasaan bahwa kenyataan itu penting walau ia tidak tahu kenapa.
Akhirnya ia mengangguk. "Aman!" Dengan cepat ketiga remaja itu menyusup masuk ke dalam gua. Sesampainya di situ Jupiter berhenti lagi, lalu mendengarkan dengan cermat. Pete heran melihat kelakuannya. Jupiter bersikap seolah-olah mereka itu sedang hendak melancarkan aksi penyergapan.
"Kenapa kau begitu berhati-hati"" bisik Pete. "Kusangka penyelidikan kita ini tidak membahayakan."
"Walau begitu kita tidak boleh bersikap ceroboh," balas Jupiter sambil berbisik pula.
Pete menyalakan senternya. Sinarnya ditelusurkan ke sepanjang dindin
g gua. Setelah itu diturunkan arahnya, menerangi tanah di depan. Napasnya tersentak, karena kaget.
"Kalian lihat itu"" katanya. "Liang gua ini berakhir di sana langsung di belakang lubang! Kalau begitu, lewat mana kedua penyelam tadi siang keluar""
Jupiter maju lambat-lambat, sambil menyorotkan senternya berkeliling.
"Gua ini tidak sebesar perkiraanku," katanya sambil memperhatikan. "Pertanyaanmu itu baik sekali, Pete. Bagaimana kedua penyelam itu bisa keluar dari sini" Lewat mana" Dan ke mana""
Ketiga remaja itu berkeliling, memeriksa dinding gua.
"Seluruhnya dari batu keras," kata Pete. "Bagus!"
"Apa maksudmu, Pete"" tanya Bob.
"Kau tidak mengerti"" balas Pete. "Lihat saja, betapa sempit gua ini! Begitu pula lubang ini. Maksudku tadi, tidak mungkin ada naga bisa masuk kemari!"
Jupiter kelihatan bingung.
"Tapi Mr. Allen mengatakan, ia melihat seekor naga muncul dari dalam laut, lalu masuk ke gua di bawah tebing ini." Ia memandang dengan cermat, ke dalam lubang. "Kedua penyelam bermasker tadi tidak mungkin menghilang begitu saja. Harus kita anggap, di sekitar sini pasti ada liang gua yang lain. Atau bisa juga lubang lain dalam gua yang ini. Mungkin ada lorong-lorong lain yang lebih besar, di dekat-dekat sini."
"Wow!" seru Bob dengan tiba-tiba. "Benar juga, untung teringat lagi!"
Dengan cepat diceritakannya hal-hal yang dibacanya di perpustakaan, serta yang didengar dari ayahnya.
"Terowongan, katamu"" ulang Jupiter sambil merenung.
Bob mengangguk dengan tegas.
"Menurut perencanaannya, terowongan itu dimaksudkan sebagai tempat lintasan jaringan kereta bawah tanah pertama di pesisir barat sini. Yang selesai baru sebagian saja dan sekarang pun masih ada. Jadi bisa dibilang jaringan rel mati."
"Menarik juga keteranganmu itu, Bob," kata Jupiter. "Tapi letaknya mungkin jauh dari sini. Lagi pula, kita tidak tahu apakah pembangunan terowongan waktu itu sudah sampai ke sini, atau dimulai dari sini."
Kegairahan Bob langsung lenyap.
"Benar juga katamu itu, Jupe."
"Karena kita sudah ada di sini, tidak ada salahnya jika kita mencarinya," kata Jupiter lagi. "Tapi cara terbaik untuk mencari terowongan, adalah dengan melihat peta. Dan kemungkinannya itu bisa diperoleh di kantor Badan Perencana Kota Seaside."
"Sesudah lima puluh tahun lewat"" Pete tertawa. "Pembuat peta itu mungkin sudah lama mati. Dan jika peta itu masih ada, aku berani bertaruh bahwa letaknya tertimbun di bawah tumpukan naskah tua yang berdebu."
Jupiter mengangguk. "Itu mungkin saja, Pete. Tapi karena sekarang kita sudah ada di sini, kita cari saja terowongan itu, sambil melakukan penyelidikan." Ia berpikir sebentar. "Kurasa sebaiknya kita mulai dengan lorong yang secara kebetulan kita temukan tadi pagi, di balik papan-papan penutup."
Pete dan Bob mengangguk, tanda setuju. Mereka mendatangi tempat di mana terdapat papan-papan panjang berjejer-jejer. Jupiter menghapus pasir dan debu yang menempel. Kini nampak bidang papan yang lebar. Tiba-tiba Bob melihat mata Jupiter berkilat-kilat.
"Ada apa, Jupe"" bisik Bob.
Kening Jupiter berkerut. "Aku belum bisa memastikan," katanya. "Tapi papan-papan kelihatannya terbuat dari kayu lapis."
"Kayu lapis"" ulang Bob.
"Ya, kurasa begitu," kata Jupiter, sambil meraba-raba permukaan papan di depannya. "Tapi aku belum bisa memastikan, apa hubungannya dengan misteri kita. Sekarang sebaiknya kita gali dulu pasir yang tertimbun di sini, supaya papan-papan ini bisa digeser."
Dengan segera papan yang pernah mereka geser sudah tergali lagi sisi bawahnya, lalu didorong sehingga terbuka sedikit. Ketiga remaja itu menyusup lewat celah sempit, yang kemudian ditutup lagi. Setelah itu mereka menyalakan senter, untuk melihat di mana mereka berada.
Jupiter beserta kedua temannya berada di dalam gua kecil dan sempit. Langit-langitnya rendah. Tapi mereka masih bisa berdiri tegak di situ, tanpa perlu membungkuk. Ruangan itu lembab. Bentuknya miring, dan ke arah belakang berakhir pada dinding batu rendah.
"Buntu lagi," kata Pete menggerutu. "Ini cuma rongga biasa, bukan lorong."
Jupiter mengangkat bahu. "Walau begitu, me rupakan persembunyian yang baik sekali untuk penyelundup, atau bajak laut. Kurasa tempat ini dulu sering dipakai. Papan-papan yang menutupi menunjukkan bahwa tempat ini hendak dirahasiakan dari orang luar."
"Bajak laut, katamu"" Bob menyorotkan senternya ke dasar gua. "Mungkin saja ada keping-keping uang emas yang tercecer di sini."
Dengan segera Pete menemaninya. Kedua remaja itu merangkak-rangkak, sambil meraba-raba lapisan pasir yang tipis.
Pete yang paling dulu berdiri lagi.
"Tidak ada apa-apa," katanya dengan nada kecewa. "Jika tempat ini benar-benar pernah dijadikan tempat menyembunyikan harta rampasan, yang jelas para bajak laut itu sangat teliti ketika mengambil harta itu kembali."


Trio Detektif 14 Misteri Naga Batuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bob masih merangkak terus, sambil mencari-cari. Akhirnya ia sampai di ujung belakang gua. "Barangkali saja ada yang tercecer di sudut," bisiknya.
Sementara itu Jupiter mengarahkan sinar senternya ke bagian yang ditutupi papan. Ia meneliti permukaan papan, setelah dikeruknya pasir dan debu yang menempel. Tiba-tiba didengarnya Bob berteriak, belakangnya, dengan cepat ia berpaling untuk melihat. Bob tidak ada lagi! "Bob!" Jupiter melangkah ke arah belakang rongga, tapi kemudian tertegun. Ia bingung.
"Ada apa"" tanya Pete, Ia berdiri sambil menatap dengan heran. Jupiter hanya bisa menuding ke arah dinding gua yang ada di hadapan mereka.
"Baru saja ia masih ada di situ. Kau tidak melihatnya" Tahu-tahu lenyap, seakan-akan tertelan dinding gua."
"Apa"" Pete menerjang dinding gua. Tapi dinding itu tetap tegar. "Aneh," gumamnya. Ia menyorotkan senternya ke tanah. "Sekali ini tidak ada lubang yang menelannya."
Ia membungkuk, lalu meneliti dasar gua di tempat itu. Tiba-tiba terdengar lagi bunyi berat. Mata Pete terbelalak. Senter di tangannya digenggam lebih erat. Ia menoleh ke arah Jupiter, Ia heran, melihat temannya itu tersenyum.
"Tidak ada apa-apa," kata Jupiter. "Itu cuma Bob, yang muncul kembali."
Pete berpaling kembali dengan cepat. Ia masih sempat melihat sebagian dari dinding gua yang sebelah belakang bergeser. Saat berikutnya nampak lubang menganga. Bob merangkak ke luar lewat lubang itu.
"Bukan main!" kata Bob. "Bayangkan ada sebagian dinding gua, yang sebenarnya pintu rahasia! Aku tadi kebetulan saja bersandar ke sini lalu tahu-tahu terbuka!"
"Ada apa di belakang sana"" tanya Jupiter bersemangat. Bob kaget.
"Aduh aku tidak sempat memperhatikan, Jupe! Habis, kejadiannya begitu cepat, sih! Coba kulihat, apakah aku bisa mendorongnya lagi sehingga terbuka!"
Ia berjongkok, lalu menyandarkan diri ke dinding rendah itu. Mula-mula tidak terjadi apa-apa. Tapi ketika Bob menggeser letak bahunya, tahu-tahu terdengar detakan keras. Dinding batu itu tergeser dengan bunyi berat. Tubuh Bob terdorong ke belakang.
"Aku masuk lagi!" setunya. "Cepat sementara masih terbuka!"
Pete dan Jupiter menyusul Bob yang sudah lebih dulu terpental masuk.
"Wow!" seru Pete bersemangat. "Ini baru lebih pantas!"
Gua yang mereka masuki sangat lapang, dan tinggi langit-langitnya. Ujung belakangnya tak tercapai sinar senter. Arahnya ke darat, sejajar dengan gua yang pertama-tama dimasuki.
Ketiga remaja itu berdiri, karena hendak memeriksa rongga besar itu. Saat itu terdengar bunyi benda berat tergeser. Mereka berpaling dengan cepat.
Tapi terlambat. Lubang yang menganga sudah tertutup kem"bali! "Wah mati kita!" gumam Pete lesu.
"Itulah yang terjadi dengan Bob tadi. Aku yakin, kita nanti pasti bisa mengetahui cara kerjanya," kata Jupiter dengan tenang. "Kemungkinannya dengan sistem ungkit yang sederhana. Tapi itu nanti saja, sekarang kita akan memeriksa gua ini dulu."
Bob mendongak, memandang langit-langit yang melengkung di atas kepala.
"Wow!" desahnya. "Coba kaulihat, Jupe, betapa tingginya. Mungkin inilah terowongan yang disebut dalam buku yang kubaca itu!"
Jupiter mengangguk. "Itu bisa saja, Bob. Tapi coba kauperhatikan, dinding dan langit-langit di sini, permukaannya berupa lapisan batu alam yang kasar. Seperti Liang gua biasa. Sedang terowongan yang kauceritakan tadi, sudah selesai dibangun. Keadaannya pasti tidak begini lagi
. Mestinya dengan dinding beton, serta lantai semen. Bahkan mungkin pula sudah ada rel yang terpasang. Atau paling sedikit landa"san untuk rel."
Jupiter menggelengkan kepala, lalu menyorot"kan senternya berkeliling.
"Tidak ini kelihatannya seperti gua alam biasa, berukuran besar. Jalan masuk dari pantai juga tidak ada. Dinding di sekitar sini kelihatannya rata, tidak berlubang. Tapi coba kita telusuri terus, ke arah darat. Siapa tahu, mungkin kita nanti tahu-tahu sampai di lorong yang akan dijadikan terowongan kereta bawah tanah."
"Satu hal yang kusenangi tentang tempat ini, yaitu tidak ada hubungan dengan pantai di luar," kata Pete. "Itu berarti, tidak ada jalan masuk, untuk naga misalnya!"
"Berarti kita bernasib baik," kata Jupiter sambil tersenyum. "Pokoknya, satu hal sudah jelas tentang gua ini. Ukurannya cukup lapang untuk naga, atau makhluk lain sebesar itu."
"Terima kasih, atas kebaikan hatimu untuk mengingatkan," kata Pete menggerutu. "Padahal aku baru saja agak merasa lega di sini."
Lantai gua itu datar dan rata. Ketiga remaja itu bisa berjalan dengan langkah tetap di situ. Namun tiba-tiba mereka berhenti.
Langkah mereka terhalang dinding tinggi yang lurus ke atas dan berwarna kelabu.
"Kita sampai di ujungnya," kata Pete. "Kelihatannya kita menemukan tempat parkir tak terpakai, yang paling besar di dunia!"
Jupiter mencubiti bibir bawahnya. Ia kelihatannya seperti bertanya-tanya dalam hati.
"Ada yang tidak beres, Jupe"" tanya Bob.
"Dinding di depan kita ini," kata Jupiter. "Ada sesuatu mengenainya, yang tidak wajar."
Bob dan Pete menyinarkan senter mereka ke arah dinding itu. Kemudian kedua-duanya menggeleng.
"Kelihatannya seperti dinding biasa saja, Jupe," kata Bob. "Tentu, aku pun ikut kecewa, seperti kau. Aku ingin "
Tapi Jupiter tidak memperhatikan kata-katanya. Matanya agak terpejam, mengamat-amati dinding yang ada di depannya. Diketuk-ketuknya suatu bagian, lalu berpindah ke bagian lain, dengan telinga dirapatkan ke permukaannya yang kelabu.
"Bunyinya ganjil, Jupe,"kata Bob.
Jupiter mengangguk. Keningnya berkerut. Ia pergi ke dinding samping, lalu mengetuk-ngetuk bagian itu.
"Berbeda," katanya kemudian. "Aku tidak bisa menjelaskannya, tapi "
"Ah sudahlah, Jupe," kata Pete tidak sabaran, "jika kau tidak bisa membuktikan bahwa itu bukan dinding, maka itu dinding. Yuk, kita keluar lagi. Aku kedinginan di sini."
Air muka Jupiter langsung berubah.
"Itu dia!" serunya bersemangat. "Dingin! Dinding itu tidak dingin, seperti dinding yang sebelah pinggir. Coba kalian rasakan sendiri!"
Bob dan Pete bergegas membandingkan kedua bagian dinding itu.
"Kau benar, Jupe," kata Pete mengakui. "Dinding sebelah belakang tidak sedingin dinding samping. Tapi apalah artinya kenyataan itu"! Jangan lupa, gua ini terletak di bawah rumah-rumah yang ada di bibir tebing. Bisa saja panas dari atas merembes ke bawah, dan membuat dinding belakang itu terasa agak hangat."
"Panas naik ke atas, Pete," kata Jupiter.
"Di belakangnya mungkin ada rongga atau lorong lagi," kata Bob menduga. "Itu pun bisa menyebabkannya terasa lebih hangat, Jupe."
Tapi Jupiter menggeleng. Bibirnya menipis, seperti biasa jika ia tidak sependapat dengan kedua temannya.
Ia mengeluarkan pisau saku dari kantungnya, lalu mengorek-ngorek permukaan dinding yang kasar dan berwarna kelabu.
Pete tertawa. "Paling-paling pisaumu yang rusak, jika kau hendak mengorek lubang menembus dinding batu itu, Jupe! Untuk itu kau memerlukan dinamit."
Jupiter tidak mengacuhkan ocehan Pete. Ia terus saja mengorek-ngorek. Setelah itu diperhatikannya mata pisaunya. Ada gumpalan-gumpalan kecil berwarna kelabu melekat di situ.
Ia berpaling, memandang teman-temannya. Setengah tersenyum puas, ia membuka mulut seakan-akan hendak mengatakan sesuatu hal yang penting. Tapi senyumannya lenyap lagi, sementara matanya menatap sesuatu yang ada di belakang Bob dan Pete.
"G-gua " kata Jupiter dengan suara serak, "e-entah dengan cara b-ba-bagaimana, t-tapi dinding gua di belakang kalian t-terbuka!"
Kedua temannya berpaling dengan sikap tak percaya. Tadi kan tidak ada
apa-apa di situ. Mana mungkin sekarang terbuka"
Dengan mata terbelalak, mereka memandang hal yang mestinya tidak mungkin!
Gua terbuka dengan perlahan-lahan, makin lama makin lebar. Ruangan di dalamnya menjadi agak terang sekarang. Terasa angin menghembus.
Ketiga remaja itu menatap terus dengan jantung berdebar-debar, sementara gua terbuka semakin lebar. Kini mereka dapat melihat pasir pantai yang nampak samar, dan lebih jauh lagi, garis gelap yang merupakan laut.
Jupiter yang paling dulu bisa berbicara lagi, "Cepat! Kita harus kembali ke rongga yang tadi!"
Ketiga remaja itu lari, lalu menubrukkan diri ke bongkah batu yang tadi terbuka ketika Bob bersandar ke situ.
Bob menekan-nekan batu itu dengan sikap panik. Lalu dibentur-benturkan dengan bahunya. Akhirnya ia menoleh ke arah Pete dan Jupiter.
"Tidak bisa," katanya dengan suara bergetar. "A-aku lupa apa yang kulakukan tadi, sampai bisa terbuka!"
"Sini, aku yang mencoba," kata Jupiter. "Pasti memakai prinsip pengungkit. Kita mesti bisa menemukan tempat tepat yang harus didorong."
Ia dibantu Pete mendorong dan memukul-mukul permukaan batu yang tetap tegar, sementara Bob terus mencari-cari tempat yang terdorong olehnya tadi.
Tiba-tiba mereka seakan-akan terpaku di tempat masing-masing. Gua menjadi terang, karena sudah terbuka lebar. Dan ada sesuatu yang datang ke arah mereka. Sesuatu yang gelap dan besar sekali. Datangnya dari arah laut!
Pete mencengkeram bahu Jupiter. "Sedang mengkhayalkah aku ini"" katanya dengan napas sesak.
Jupiter hanya bisa menggeleng. Mulutnya terasa kering. Matanya terkejap-kejap cepat. Ia berusaha berbicara.
"Tidak " katanya kemudian, " itu memang naga!"
Makhluk dongeng yang menyeramkan itu semakin mendekat. Kini nampak jelas kulitnya yang berkilat basah karena air laut. Kepalanya hanya nampak samar, berukuran kecil dan berbentuk segi tiga, di ujung leher panjang melengkung yang bergerak-gerak terus. Matanya yang kuning tertatap ke arah gua. Sinarnya memancar ke dalam, seperti sepasang lampu sorot. Makhluk itu bergerak maju, dengan bunyi mendengung aneh.
Sesaat kemudian ia sudah begitu dekat, mulut gua seakan-akan penuh terisi badannya. Makhluk itu menundukkan kepala. Anak-anak melihat lidah yang bercabang bergerak keluar-masuk dengan cepat, seolah-olah hendak mencicip mereka. Naga itu mendesis-desis. Bunyi dengungannya seperti desahan rindu.
Ketiga remaja yang terkurung di dalam gua semakin panik. Mereka berusaha terus membuka tingkap rahasia yang tidak bisa digerakkan. Batu keras itu ditubruk-tubruk dari berbagai sudut.
"U-u-ugh!" Makhluk menyeramkan itu sudah masuk ke dalam gua. Anak-anak mendengar bunyi napasnya yang mendesah kasar.
Mereka merapatkan diri ke dinding gua, sementara kepala naga yang menakutkan itu menjulang tinggi di atas mereka. Kemudian lehernya yang panjang bergerak ke samping, lalu ke bawah. Makhluk itu membuka mulutnya yang basah berair. Nampak deretan giginya yang besar dan berkilat. Terdengar lagi bunyi napas mendesah kasar, disusul oleh suara batuk.
Jupiter pernah membaca bahwa harimau yang sedang berburu biasa batuk sesaat sebelum menerkam mangsanya. Waktu itu ia membacanya secara sambil lalu saja. Tapi kini ia bergidik, karena teringat.
Matanya seperti terpaku, menatap kepala naga yang kelihatan gelap. Kepala itu bergerak meng"ayun-ayun, seperti hendak memukau lalu dengan tiba-tiba mengayun lagi, mendekati ketiga remaja itu. Jupiter mundur, merapatkan diri pada kedua temannya, sementara tangannya masih sibuk meraba-raba, mencari tempat yang tepat pada batu bandel itu supaya bisa didorong.
Rahang naga yang berkilat basah semakin mendekat, lalu terbuka lagi. Anak-anak merasakan napasnya yang panas dan beruap.
Tiba-tiba terdengar bunyi detakan di belakang mereka. Batu yang disandari bergetar. Jupiter berpaling dengan cepat. Ia melihat Bob terjungkir ke rongga sebelah. Sedang Pete masih terpaku, menatap naga seperti terpukau. Jupiter menyen"takkan tangan anak itu dan mendorongnya masuk ke dalam lubang yang kini terbuka. Setelah itu ia sendiri menyusul, sambil mengecilkan perut.
Batu tingkap tertu tup kembali dengan suara berat, sementara anak-anak menghembuskan napas lega. Tapi kelegaan mereka hanya sesaat.
Mereka mendengar suara naga memekik marah. Dinding batu yang memisah terasa bergetar, sementara ada sesuatu yang berat menggaruk-garuk dan membenturnya dari sisi sebaliknya.
Bab 12 CENGKERAMAN KENGERIAN "KITA dikejar!" teriak Pete.
Raungan di gua sebelah terdengar bertambah nyaring. Dinding batu yang memisahkan kedua rongga bawah tanah bergetar keras karena tumbukan yang bertubi-tubi. Pasir dan batu-batu kecil mulai berguguran dari langit-langit rongga sempit tempat anak-anak meringkuk ketakutan. Debu kering bercampur pasir berhamburan memenuhi ruangan.
"Tanah longsor!" kata Pete sambil terbatuk-batuk. "Kita terjebak!" seru Bob. "Kita tidak bisa bernapas lagi nanti!"
Jupiter teringat pada keterangan Arthur Shelby mengenai bahaya yang mengancam dalam gua tentang tanah longsor, serta tertimbun hidup-hidup di dalamnya.
Ternyata Arthur Shelby tidak hanya hendak menakut-nakuti saja.
Semakin banyak batu berguguran. Bunyi benturan dan raungan bertambah nyaring terdengar. Jupiter mengguncang-guncangkan kepala. Dengan cara begitu hendak disingkirkannya rasa ngeri yang mencengkam.
Kemudian disadarinya bahwa matanya tertatap ke papan-papan yang berjejer-jejer di ujung seberang rongga. Aduh, tentu saja! Aneh, betapa rasa takut dapat membuat pikiran serasa lumpuh.
"Papan-papan di sana itu!" teriaknya sambil menuding. "Kita keluar lewat situ lagi!"
Ketiga penyelidik remaja yang sedang dicengkeram kengerian itu berlompatan ke sisi rongga yang dibatasi papan-papan. Dengan gugup Bob dan Jupiter mulai menggali pasir di situ, sementara Pete menggedor-gedor papan yang tebal, berusaha menggesernya. Sesaat kemudian papan itu sudah tergeser. Sesaat, tapi rasanya seperti seumur hidup! Ketiga remaja itu menyusup ke luar lewat celah yang terjadi.
Papan lebar mereka kembalikan ke tempat semula. Pasir di sekitarnya dirapatkan lagi dengan kaki, sehingga mengganjal papan itu. Kemudian mereka berpandang-pandangan. Napas mereka tersengal-sengal.
"Sekarang kita lari!" kata Jupiter, lalu mulai bergerak.
Ia sebenarnya tidak berniat lari paling cepat. Kakinyalah yang melakukannya. Kaki-kaki itu membawa tubuhnya langsung ke mulut gua. Kemudian ia berada di atas pasir pantai, masih dalam keadaan berlari.
Pete berlari di sampingnya. Anak itu yang paling kekar di antara mereka bertiga, dan biasanya yang paling cepat larinya. Bob menyusul di belakang.
Biasanya mereka dengan mudah saja bisa melewati Jupiter.
Gerak langkah mereka menyebabkan sinar senter yang dipegang nampak bergerak-gerak liar. Mereka melewati tangga yang sudah roboh. Akhirnya mereka sampai ke jenjang terbawah dari tangga berikut. Mereka tahu bahwa Worthington ada di atas tebing, dengan mobil Rolls-Royce yang dapat dengan cepat melarikan mereka ke tempat yang aman. Sedang di belakang ada makhluk meraung yang muncul dari dalam laut, dan yang saat itu sedang mencari-cari mereka dengan marah.
Dengan cepat mereka mendaki tangga yang terjal. Mereka sudah separuh jalan ke atas. Makhluk berahang ganas dan dengan napas panas beruap yang kelihatannya ingin memangsa mereka, masih belum muncul juga di belakang. Akhirnya mereka sampai di puncak tangga, dalam keadaan tersengal-sengal.
Jauh di depan nampak kelap-kelip lampu-lampu di kota Los Angeles. Dan tidak jauh dari mereka ada mobil Rolls-Royce yang diparkir di pinggir jalan, dengan Worthington yang pasti sudah siap di belakang kemudi.
Ketiga remaja itu berpacu menuju Rolls-Royce besar dan mulus, yang nampak berkilat karena bagian-bagiannya yang terbuat dari logam kena sinar rembulan. Pintu dibuka dengan cepat, dan mereka berebut-rebut masuk.
"Kita pulang, Worthington!" kata Jupiter dengan suara terputus-putus karena kepayahan berlari.
"Baik, Master Jones," kata sopir yang jangkung dan berpenampilan anggun itu. Seketika itu juga mesin dinyalakan. Mobil mewah itu mulai meluncur, menuruni jalan yang berbelok panjang, menuju Pacific Coast Highway. Jalannya makin lama makin laju.
"Tak kusangka kau mampu berlari secepat t
adi, Jupe," kata Pete dengan napas masih tersengal-sengal.
"Aku sendiri pun tidak menyangka," jawab Jupiter sambil menghembus-hembus. "Mungkin itu karena aku selama ini belum pernah melihat naga."
"Bukan main!" keluh Bob, sambil merebahkan punggung ke sandaran bangku yang berlapis kulit. "Sekali ini aku benar-benar mengucap syukur, mempunyai hak memakai mobil ini!"
"Aku juga," kata Pete. "Tapi menurut pendapat"mu, kenapa naga tadi bisa tahu-tahu muncul, padahal kita sudah memutuskan bahwa tidak mungkin ada naga."
"Entahlah," kata Jupiter, Ia masih berusaha mengatur napas.
"Nah, kalau kau kapan-kapan berhasil mengetahuinya, aku tidak perlu kauberi tahu," kata Pete. "Yang kulihat tadi itu saja rasanya sudah sulit kulupakan!"
"Bagaimana itu sampai bisa terjadi"" tanya Bob. "Menurut keterangan dalam buku-buku yang pernah kubaca, katanya naga sudah punah. Itu pun bukan naga, tapi kadal raksasa! Dewasa ini makhluk raksasa seperti tadi sudah tidak ada lagi!"
Jupiter menarik-narik bibir bawahnya.
"Entahlah aku tidak tahu." Ia menggeleng, sementara keningnya dikerutkan. "Jawaban yang paling gampang ialah, bahwa kita tadi sama sekali tidak melihat naga. Jika naga tidak ada, maka tidak mungkin kita tadi melihatnya."
"Bagaimana sih, kau ini"" tukas Pete. "Jika kita tadi tidak melihat naga, lalu apa yang masuk ke dalam gua, lalu menghembuskan napasnya yang panas ke arah kita""
"Kelihatannya memang seperti naga," kata Bob. Saat itu Worthington menoleh ke belakang.
"Maaf, tapi mau tidak mau saya ikut menangkap pembicaraan kalian. Benarkah pendengaran saya, bahwa kalian tadi melihat naga" Naga sungguh-sungguhan, dan hidup""
"Betul, Worthington," kata Pete, "Ia muncul dari dalam laut, lalu langsung menuju ke gua yang sedang kami periksa. Anda pernah melihat naga""
Sopir berkebanggaan Inggris itu menggeleng. "Tidak, nasib saya tidak semujur itu. Tapi di Skotlandia ada makhluk yang juga menyeramkan, dan hanya beberapa orang saja yang pernah melihatnya. Seekor ular laut yang besar dan panjang, yang gerakannya seperti berombak. Makhluk itu disebut monster dari Loch Mess. Kabarnya ia masih muncul, sekali-sekali."
"Anda pernah melihatnya, Worthington"" tanya Jupiter.
"Belum pernah, Master Jones," jawab sopir itu. "Tapi ketika saya masih remaja, saya pernah berkelana dekat Loch Ness yang berarti Danau Ness, dalam logat Skot karena tersiar kabar bahwa ada yang melihat monster itu. Salah satu kekecewaan yang paling besar dalam hidup saya ialah bahwa saya tidak pernah melihat monster dari Loch Ness. Kabarnya, makhluk itu panjangnya sekitar seratus meter."
"Hmmm." Jupiter merenung. Kemudian ia berkata, "Dan menurut Anda tadi, Anda juga belum pernah melihat naga."
"Kalau naga yang sesungguhnya, belum," kata Worthington sambil tersenyum. "Yang pernah saya lihat hanya yang biasa muncul sebelum per"tandingan football."
"Pertandingan football"" tanya Bob. Ia mengerti bahwa yang dimaksudkan oleh Worthington bukan pertandingan sepak bola, melainkan olahraga bola khas Amerika yang mirip dengan rugby. Tapi naga, yang muncul sebelum pertandingan football" Sopir yang selalu bersikap sopan dan anggun itu mengangguk.
"Ya pawai tahunan saat Tahun Baru yang biasa diadakan di dekat sini. Di Pasadena. Mobil-mobil berhias bunga-bunga. Kalau tidak salah, namanya Rose Bowl Parade."
"Tapi yang kami lihat tadi, tidak terbuat dari bunga-bunga yang dirangkai," kata Pete dengan cepat. "Sungguh! Ya kan, Jupe""
"Hmm," jawab Jupiter. "Yang jelas, bukan terbuat dari bunga-bunga yang dirangkum. Yang tadi itu memang naga sungguhan." Ia berhenti sebentar, lalu menyambung, "Setidak-tidaknya, kita bertiga sependapat bahwa kelihatannya seperti naga."
"Senang juga rasanya, sekali ini kau mau sependapat dengan kami," kata Pete.
Jupiter merengut. Bibir bawahnya dicubit-cubit, tanda bahwa ia sedang sibuk berpikir. Ia tidak menjawab, melainkan memandang lewat jendela Rolls-Royce ke luar. Bibir bawahnya ditarik-tarik terus.
Beberapa waktu kemudian Rolls-Royce besar itu masuk ke pekarangan Jones Salvage Yard. Anak-anak turun. Jupiter mengucapkan teri
ma kasih pada Worthington, sambil mengatakan bahwa ia akan menelepon lagi besok, jika ternyata memerlukan kendaraan.
"Baik, Master Jones," kata Worthington. "Perlu saya katakan bahwa tugas malam ini menyenangkan bagi saya. Senang juga rasanya, sekali-sekali tidak menjadi sopir nyonya-nyonya tua yang kaya-raya, atau pengusaha berada. Tapi sebelum kita berpisah, saya harapkan bisa mendapat jawaban atas satu pertanyaan yang timbul dalam diri saya. Tentang naga itu tadi."
"Ya, tentu saja, Worthington. Ada apa dengannya""
"Begini," kata sopir itu, "kalian tadi dapat dikatakan bernasib baik, dapat melihat naga yang sebenarnya, katakanlah dalam keadaan hidup. Dan dari jarak dekat""
"Terlalu dekat," jawab Pete dengan cepat. "Boleh dibilang sudah hampir menindih kami."
"Bagus!" Sekali ini Worthington tidak lagi bersikap menahan diri, seperti biasanya. "Jadi mestinya kalian sempat memperhatikan. Benarkah makhluk raksasa itu menyemburkan asap dan api dari mulutnya, seperti dikatakan dalam kisah-kisah lama""
Jupiter berpikir sebentar, lalu menggelengkan kepalanya lambat-lambat.
"Tidak, Worthington, naga yang ini tidak menyemburkan api. Setidak-tidaknya, kami tadi hanya melihat asap."
"Ah, sayang!" kata Worthington. "Saya akan senang sekali, jika kalian tadi melihat naga dalam wujud seutuhnya!"
"Ya, Anda mungkin senang, Worthington," kata Pete. "Tapi apa yang kami lihat tadi sudah lebih dari cukup bagiku. Seumur hidupku aku tidak ingin mengalaminya sekali lagi. Baru berbicara mengenainya saja, aku sudah merinding."
Worthington mengangguk, lalu menjalankan Rolls-Royce yang disopirinya, meninggalkan tempat itu. Jupiter mengajak anak-anak masuk ke kompleks tempat penimbunan barang bekas.
Paman Titus dan Bibi Mathilda sudah tidur di rumah mungil yang terletak di sebelah kompleks. Hanya satu lampu kecil saja yang dibiarkan menyala, sebagai penerangan untuk Jupiter saat ia akan masuk.
Jupiter berpaling pada Bob dan Pete.
"Aku tidak tahu apakah kalian berdua akan menyukainya, tapi tidak peduli ada naga atau tidak, kita harus kembali ke gua tadi."
"Apaaa"" teriak Pete. "Tidak sadarkah kau, kita ini sudah mujur, bisa kembali dengan selamat"" Jupiter mengangguk. Ia mengangkat tangannya, yang tidak memegang apa-apa.
"Senterku tergantung pada ikat pinggangku, sama seperti punya kalian. Tapi karena panik ketika tadi lari meninggalkan gua, kita melupakan segala peralatan kita. Kameraku, alat perekam suara, tali semuanya tertinggal di sana. Itu satu alasan, kenapa kita harus kembali ke sana."
"Baiklah," kata Pete menggerutu. "Alasan itu bisa diterima, walau bukan merupakan alasan kuat. Lalu apa alasanmu yang lain""
"Naga itu sendiri," kata Jupiter lambat-lambat. "Menurutku, naga itu bukan naga sungguhan!" Kedua temannya menatap dengan mulut ternganga.
"Bukan naga sungguhan"" tukas Pete. "Kau hendak mengatakan, yang tadi menyebabkan kita lari pontang-panting ketakutan itu bukan sung"guhan""
Jupiter mengangguk. Bob menggeleng-geleng. "Jika yang tadi itu bukan naga sungguhan, akan kutelan kemejaku ini mentah-mentah!"
"Kuakui, kelihatannya memang seperti naga," kata Jupiter.
Pete nampak jengkel mendengar ucapan itu.
"Kalau begitu apa sebetulnya yang kauocehkan"" tukasnya.
"Kuakui, kelihatannya seperti naga," kata Jupiter mengulangi. "Tapi perangainya tidak!"
"Soal itu jangan kita perdebatkan sekarang, karena malam sudah larut," kata Jupiter. "Besok pagi akan kupaparkan dasar-dasar pertimbanganku, kenapa aku sampai mengatakan tidak percaya bahwa yang tadi itu naga sungguhan. Dan jika aku ternyata keliru apabila kita ke gua itu lagi, akan kulakukan apa yang kauancamkan tadi, Bob akan kutelan kemejaku mentah-mentah."
"Kau tidak perlu repot-repot," kata Pete. "Naga yang akan menelannya untukmu. Dan sekaligus apa yang ada di dalam kemejamu itu."
Bab 13 KELAKAR ORANG YANG SUKA ISENG
BOB tidak bisa tidur enak malam itu. Padahal ia capek sekali, setelah mengalami rentetan kejadian mengerikan di dalam gua di Seaside. Tapi begitu matanya terpejam, ia langsung bermimpi dikejar-kejar naga besar yang menyembur-nyemburkan asap pana
s. Ia terbangun lagi, dengan jantung berdebar-debar. Setiap kali mata terpejam, setiap kali pula datang mimpi dikejar-kejar. Dalam mimpi terakhir, ia dan kedua temannya nyaris saja menjadi korban. Ia terbangun bersimbah keringat dingin. Badannya masih gemetar ketakutan.
Kini ada waktu baginya untuk merenungkan ucapan Jupiter, yang mengatakan bahwa makhluk yang menyeramkan itu bukan naga benar. Bob menggeleng-geleng. Tidak bisa dibayangkannya sesuatu yang lebih benar lagi.
Akhirnya ia terlelap kembali, dan baru bangun ketika ibunya memanggil-manggil, menyuruhnya sarapan. Bob mengenakan pakaian dengan gerakan lambat, sambil memikirkan kejadian yang dialami malam sebelumnya. Ia berusaha mengingat-ingat satu saat, waktu mana naga itu ternyata bukan naga tulen. Tapi ia terpaksa menyerah. Baginya, makhluk seram itu tetap naga tulen.
Wujudnya masih terbayang di mata, suaranya terngiang di telinga, dan baunya pun masih menusuk hidung. Naga palsu takkan mungkin bisa meninggalkan kesan begitu, pikirnya. Ah mungkin Jupiter keliru!
Ketika Bob datang ke meja makan, ayahnya baru saja selesai sarapan. Mr. Andrews menganggukkan kepala ketika melihat Bob, lalu melirik arlojinya.
"Selamat pagi! Nah kau asyik tadi malam, bersama teman-temanmu""
"Ya, Ayah," jawab Bob. "Bisa dibilang begitu."
Ayahnya meletakkan serbet ke meja, lalu berdiri.
"Baguslah, kalau begitu. O ya aku tidak tahu apakah ini penting atau tidak, tapi kau kemarin kelihatannya tertarik pada riwayat terowongan kereta bawah tanah di Seaside. Ketika kau sudah pergi, barulah aku secara kebetulan teringat pada nama orang yang kehilangan hartanya, karena terlibat dalam pembangunannya."
"O ya"" tanya Bob. "Siapa nama orang itu, Ayah""
"Labron Carter."
"Carter"" Bob langsung teringat pada Mr. Carter, yang mereka jumpai kemarin. Laki-laki penaik darah, yang memiliki senapan buru kaliber besar.
"Ya, betul! Dan setelah Badan Perencana Kota Seaside menolak rancangannya untuk menjelmakan kota itu menjadi pusat pertetirahan seperti yang diidam-idamkannya, kesehatannya yang semula sangat baik, mengalami penurunan. Ia mulai sakit-sakitan. Hal itu, di samping kehilangan harta serta nama baik, ternyata merupakan beban yang terlalu berat baginya. Ia melakukan tindakan nekat, menghabisi nyawanya sendiri."
"Kasihan! Apakah ia berkeluarga""
Mr. Andrews mengangguk. "Istrinya meninggal dunia, tidak lama sesudah dia. Satu-satunya yang tinggal, hanya putra tunggalnya." Mr. Andrews berhenti sejenak. "Itu pun, kalau ia masih hidup," tambahnya kemudian. "Jangan lupa, kejadian itu sudah lebih dari setengah abad yang lalu."
Kemudian ia berangkat ke kantor surat kabar tempat ia bekerja. Bob menambahkan informasi yang baru diperoleh itu pada catatannya yang sudah ada sampai saat itu. Ia berpikir-pikir. Apa kiranya yang akan dikatakan Jupiter nanti, jika ia menyodorkan bukti-bukti dari pihaknya. Bukti bahwa seseorang yang tahu tentang terowongan yang dibangun sekitar lima puluh tahun, kini masih hidup. Seseorang dengan dendam dalam hatinya terhadap kota yang menyebabkan ayahnya patah hati. Seseorang yang pemarah!
Bob tidak bisa membayangkan, dengan cara bagaimana Mr. Carter yang sekarang akan membalas dendam. Itu jika ia memang ingin melakukannya! Bob mengantungi catatannya, lalu bergegas pergi begitu selesai sarapan.
Mungkin Jupiter nanti mampu menarik kesimpulan jelas mengenainya.
"Wah," kata Pete. Suaranya bernada suram. "Keterangan Bob mengenai keluarga Carter masuk akal, Jupe. Lebih masuk akal daripada anggapanmu, bahwa naga yang kemarin itu palsu, bukan naga tulen," sambungnya.
Ketiga penyelidik dari Trio Detektif itu sudah berkumpul lagi di ruang kantor mereka. Bob membuka pertemuan kali itu dengan pembacaan catatan, seperti yang biasa mereka lakukan. Pada kesempatan itu ia menyebut nama Labron Carter. Tapi kecuali itu masih ada lagi hal-hal yang baru bagi kedua kawannya.
"Aku masih ingat, apa yang kaukatakan kemarin malam tentang naga itu, Jupe," katanya. "Tadi pagi, dari rumah aku langsung ke perpustakaan. Cukup banyak penelitian yang kulakukan di situ tadi."
"Kurasa aka n sangat bermanfaat bagi pertemuan kita pagi ini, jika kau langsung saja mengutarakan hasil risetmu itu, Bob," kata Jupiter. "Jadi, adakah naga pada zaman sekarang ini, atau tidak""
Bob menggeleng. "Tidak. Tidak ada naga! Tidak ada satu buku pun yang membahas bahwa ada naga pada masa sekarang ini."
"Itu kan gila!" tukas Pete. "Para pengarang buku-buku itu saja yang tidak tahu, di mana mereka harus mencari. Coba mereka mau sebentar saja mendatangi sebuah gua tertentu di Seaside saat malam hari, mereka pasti akan menjumpai seekor. Seekor naga yang besarnya tidak kepalang tanggung!" Jupiter mengangkat tangannya, meminta Pete berhenti bicara.
"Sebaiknya kita dengarkan dulu laporan Bob Sesudah itu barulah kita berdiskusi mengenainya. Silakan terus, Bob!"
Bob mempelajari catatannya sebentar.
"Satu-satunya informasi yang kutemukan tentang makhluk yang paling mirip dengan naga, ialah sebuah buku tentang kadal besar yang hidup di Pulau Komodo, di Indonesia. Sejenis biawak, tapi lebih besar lagi. Panjangnya bisa sampai tiga meteran. Tapi masih jauh dari naga yang kita lihat kemarin."
"Mungkin ada seekor di antaranya yang kebanyakan vitamin," kata Pete. "Mungkin dia itulah naga kita."
"Tidak mungkin," kata Bob. "Biawak Komodo tidak menyemburkan api, dan hidupnya hanya di Komodo serta beberapa pulau kecil lain di sekitar situ. Wujudnya juga sama sekali tidak mirip makhluk yang kita lihat itu. Kurasa kita bisa mengatakan dengan pasti, tidak ada naga yang hidup dewasa ini." Ia berhenti sebentar, lalu menyambung, "Tapi tadi kutemukan berbagai informasi tentang sejumlah besar makhluk yang menyerang dan membunuh manusia, dan bahkan memakannya!" Ia menoleh ke arah kedua temannya. "Bagaimana aku teruskan""
Jupiter mengangguk. "Ya, tentu saja! Kita harus mengenal musuh-musuh kita dalam alam dan begitu juga yang pura-pura merupakan makhluk alam, untuk mengelabui kita. Teruskan, Bob!"
"Baiklah," kata Bob. Ia menyimak catatannya sebentar. "Sejuta manusia tewas setiap tahunnya, menjadi korban serangga pembawa penyakit; 40.000 mati kena gigitan ular; 2.000 karena diterkam harimau; 1.000 orang setahun dimangsa buaya, dan 1.000 lagi dilalap ikan hiu."
"Kau dengar itu, Pete," kata Jupiter, "sejauh ini sama sekali tidak ada catatan statistik tentang perjumpaan manusia dengan naga. Teruskan, Bob."
"Yang tadi itu angka-angka korban yang tergolong banyak," kata Bob. "Kecuali itu masih banyak pula yang disebabkan oleh serangan gajah, kuda nil, badak, serigala, singa, dubuk atau hiena, dan macan kumbang. Kematian itu ada yang merupakan kecelakaan. Tapi di antara satwa itu ada juga yang merupakan pembunuh dan pemangsa manusia. Banyak di antaranya yang memang suka membunuh.
Tapi menurut buku karangan James Clarke yang berjudul Manusialah Mangsa Mereka keganasan beberapa binatang buas itu terlalu dilebih-lebihkan. Misalnya saja beruang kutub, puma, burung rajawali, dan juga buaya. Menurut James Clarke, labah-labah raksasa yang bernama tarantula, sebenarnya sama sekali tidak suka menyerang orang. Beruang grizzly sebenarnya tidak begitu banyak meminta korban, sedang monyet-monyet besar terlalu cerdas, jadi cenderung menjauhi manusia. Dalam buku itu juga dikatakan, jika ingin dimangsa binatang buas, sebaiknya pergi ke Afrika Tengah, atau ke India. Kawasan yang paling aman menurut buku itu, Irlandia. Satwa yang paling berbahaya di sana, hanyalah lebah besar!"
Bob melipat kertas-kertas catatannya. Ruang kantor sempit itu hening sesaat. "Kau mau memberi komentar"" tanya Jupe pada Pete.
Pete menggeleng. "Setelah mendengar catatan Bob, Seaside masih tergolong tempat yang aman," katanya sambil tersenyum. "Sekarang aku tinggal kauyakinkan saja, bahwa naga yang kemarin malam itu palsu. Bukan naga tulen!"
"Pertama-tama," kata Jupiter. "Kita sama sekali tidak melihat "
Pesawat telepon berdering.
Tangan Jupiter sudah bergerak, hendak meraih. Tapi tidak jadi.
"Ayo terima saja," kata Pete. "Mungkin itu orang mati atau hantu yang kemarin itu lagi. Mungkin saja ia hendak mengatakan pada naga kita, agar jangan berani-berani masuk ke guanya.
" Jupiter tersenyum. Diangkatnya gagang te"lepon. "Halo""
Seperti biasa, pesawat itu didekatkannya ke mikrofon, agar Bob dan Pete bisa mengikuti pembicaraan.
"Halo." Anak-anak sudah sering mendengar suara itu.
"Di sini Alfred Hitchcock. Apakah aku bicara dengan Jupiter Jones""
"Betul, Mr. Hitchcock. Saya rasa Anda menelepon karena ingin mengetahui bagaimana perkembangan penyelidikan yang kami lakukan untuk kawan Anda, ya""
"Betul," jawab Alfred Hitchcock. "Waktu itu kukatakan pada Allen, bahwa kujamin kalian akan berhasil mengusut teka-teki lenyapnya anjing kesayangannya dengan cepat, berkat kecerdikan kalian. Dan aku sekarang menelepon untuk mengetahui apakah keyakinanku itu beralasan atau tidak. Sudah kalian temukankah anjing yang hilang itu""
"Belum, Mr. Hitchcock," kata Jupiter. "Soalnya, ada misteri lain yang perlu kami usut terlebih dulu. Suatu misteri yang menyangkut naga. Naga batuk!"
"Naga yang batuk"" kata Mr. Hitchcock. "Maksudmu, naga yang benar-benar naga" Dan naga itu batuk, katamu" Aneh! Alam kehidupan kita ini rupanya penuh dengan misteri. Walau begitu, jika kemunculan naga itu membingungkan kalian, kusarankan agar kalian sebaiknya membicarakannya dengan orang yang dianggap paling ahli tentang hal-hal seperti itu."
"Siapa orang itu, Sir"" tanya Jupiter.
"Siapa lagi, kalau bukan kawan lamaku, Henry Allen," kata Mr. Hitchcock. "Aneh bahwa itu tidak diceritakannya pada kalian! Dalam karya-karyanya dulu, ia lebih banyak menampilkan naga, dibandingkan dengan siapa pun juga sebelum dan sesudah zamannya."
"Ya, ia memang mengatakan bahwa ia menampilkan wujud naga dalam beberapa filmnya," kata Jupiter, "tapi walau demikian ia tetap saja kaget, ketika melihat ada naga di pantai depan rumahnya. Terima kasih atas pengecekan ini, Mr. Hitchcock. Saya rasa sebaiknya kami menyampaikan laporan tentang perkembangan penyelidikan kami pada Mr. Allen. Saya akan meneleponnya sekarang."
"Itu tidak perlu," kata Mr. Hitchcock dengan tidak disangka-sangka. "Ia ada di hubungan yang satu lagi, di kantorku. Ia baru saja menelepon, untuk mengatakan bahwa ia sangat terkesan melihat penampilan kalian. Tunggu sebentar, ya akan kuminta sekretarisku menyambungkannya dengan kalian."
Hubungan terputus sesaat. Kemudian terdengar suara sutradara film yang sudah tua itu.
"Halo," kata Mr. Allen. "Kaukah ini, Jones""
"Ya, Mr. Allen. Maaf, sampai sekarang kami belum berhasil menemukan petunjuk apa pun, mengenai anjing Anda yang hilang itu. Tapi kami akan terus berusaha."
"Bagus!" kata Mr. Allen. "Aku sendiri, sebenarnya juga tidak mengharapkan hasil secepat ini. Bisa saja anjingku itu diambil orang. Seperti sudah kukatakan, ia sangat ramah."
"Kemungkinan itu sudah kami pertimbangkan, Sir," kata Jupiter. "Bagaimana dengan tetangga-tetangga Anda yang juga kehilangan anjing" Ada di antara anjing-anjing itu yang sementara ini sudah kembali""
"Tidak," jawab Mr. Allen. "Kurasa aku mengerti apa yang kaumaksudkan dengan pertanyaanmu itu, Anak muda. Kau masih memperhitungkan faktor kebetulan, ya" Yaitu bahwa anjing-anjing kami itu semua lenyap pada waktu yang boleh dibilang bersamaan."
"Ya," kata Jupiter.
"Kalian sudah berbicara dengan tetangga-tetanggaku""
"Baru dengan yang menurut Anda tidak memelihara anjing," kata Jupiter. "Mr. Carter dan Mr. Shelby."
"Lalu, apa kata mereka""
"Kedua tetangga Anda itu orang-orang aneh, Mr. Allen," kata Jupiter. "Mr. Carter marah-marah karena merasa diganggu. Ia menggertak kami dengan senapan burunya. Ia tidak suka pada anjing. Rupanya kebunnya sering rusak karena anjing-anjing yang berkeliaran di situ, Ia mengancam akan menembak mati, jika ada yang masuk lagi ke pekarangannya."
Mr. Allen tertawa. "Itu cuma gertakan saja, Anak muda! Carter memang suka ribut-ribut. Tapi kurasa ia takkan sampai hati, menembak binatang yang tidak apa-apa. Lalu bagaimana hasil perjumpaan kalian dengan temanku, Arthur Shelby""
"Yah " kata Jupiter menjawab, "ia agak mendingan, tapi tidak kalah anehnya. Ia mempunyai caranya sendiri, untuk menakut-nakuti kami."
Sutradara film yang sudah tua itu tertawa lagi..
" Ah maksudmu segala peralatan yang terpasang di sekitar rumahnya, ya" Itu gunanya untuk menakut-nakuti pedagang keliling dan orang yang masuk tanpa izin, supaya tidak berani datang lagi. Aku seharusnya memang memberi tahu kalian, bahwa Arthur Shelby itu orang yang suka iseng."
"Bilang padanya, itu kita alami sendiri," bisik Bob.
"Mungkin ia hendak mengingatkan diriku, bahwa aku bukan satu-satunya di sekitar sini yang bisa menakut-nakuti orang," sambung Mr. Allen. "Shelby mengenal film-film horor ciptaanku dulu, dan mungkin saja ia membuat aku mengalami bagaimana rasanya jika ditakut-takuti. " Mr. Allen terkekeh. "Ngomong-ngomong, kegemaran Shel"by berbuat iseng pernah menyebabkan ia kehilangan posisinya yang cukup penting di jawatan kotapraja. Ia waktu itu bekerja di Badan Perencana Kota. Ia bisa dibilang mengenal seluk-beluk kerja kota. Pada suatu hari timbul niatnya untuk memanfaatkan pengetahuannya itu."
"Dengan cara bagaimana"" tanya Jupiter. "Apa yang dilakukan olehnya""
Sekali lagi Mr. Allen terdengar tertawa geli.
"Hal itu terjadi pada hari ulang tahunnya, dan merupakan ide Shelby sendiri untuk berkelakar. Peristiwa yang terjadi sebenarnya tidak bisa dibilang terlalu serius. Dia itu insinyur. Karenanya ia berhasil memadamkan semua lampu lalu lintas dalam kota secara serempak. Katanya, itu seperti kue ulang tahun, tapi tanpa lilin. Tidak perlu kukatakan lagi, bagaimana situasi lalu lintas di tengah kota saat itu. Kacau-balau! Orang-orang bisnis terlambat datang untuk memenuhi perjanjian dengan nasabah serta rekan usaha. Para pegawai terlambat datang ke kantor, dan terlambat pula pulang ke rumah.
Pemadaman yang terjadi karena ulahnya itu hanya sebentar beberapa jam saja. Tapi akibatnya, banyak yang marah-marah! Masa, hal seperti itu bisa terjadi di kota kita yang modern dan selalu sibuk. Tokoh-tokoh penting banyak yang marah. Orang yang bertanggung jawab atas kejadian itu langsung dicari. Anehnya, Shelby mengakui perbuatannya. Ia mengatakan dengan terang-terangan, hal itu dilakukannya untuk merayakan hari ulang tahunnya. Hanya untuk iseng belaka!"
"Lalu apa yang terjadi dengan dirinya"" tanya Jupiter.
"Tentu saja ia langsung dipecat. Bukan itu saja, pihak yang berkuasa yang menetapkan bahwa Shelby tidak boleh lagi diberi pekerjaan yang ada pertaliannya dengan kotapraja. Ia sedikit-banyak senasib denganku, sama-sama tidak diberi kesempatan mencari nafkah."
"Maksud Anda, ia tidak diizinkan bekerja lagi setelah itu"" tanya Jupiter.
"Hidupnya tidak bisa dibilang gampang," kata laki-laki tua itu. "Sekali-sekali ia mendapat pekerjaan sambilan di salah satu perusahaan dagang, yang hendak melancarkan aksi promosi, dalam wujud gambar dengan lampu-lampu listrik yang bergerak-gerak untuk menarik perhatian konsumen. Pokoknya hal-hal seperti itulah! Tapi itu pun cuma sekali-sekali saja. Tidak sering! Ia harus menebus dosa yang dilakukannya karena iseng waktu itu."
"Bagaimana dengan pawai Rose Bowl"" tanya Jupiter. "Apakah Mr. Shelby pernah membuat dekorasi mobil hias yang ikut dalam arak-arakan meriah itu""
Pertanyaan itu tidak langsung dijawab. Ketika Mr. Allen berbicara lagi, suaranya terdengar agak ragu-ragu.
"Sepanjang pengetahuanku, tidak! Mobil-mobil hias yang ikut dalam arak-arakan itu, hiasannya kan bunga-bunga yang dirangkum menjadi dekorasi indah. Sedang Shelby lebih banyak berurusan dengan dekorasi yang bercorak meka"nik, jadi yang bisa bergerak-gerak. Kecuali itu, para penyelenggara Rose Bowl bersikap sangat serius mengenai pawai mereka. Banyak orang yang membayar karcis untuk menonton pawai itu di Pasadena, dan arak-arakan meriah itu juga disiarkan lewat TV. Tidak, Anak muda, kurasa orang yang suka iseng seperti Shelby takkan mungkin mereka kontrak untuk ikut terlibat dalam atraksi seserius itu. Apalagi karena reputasinya di masa yang lalu."
"Sayang," kata Jupiter. "Yah pokoknya banyak yang dibuatnya sekarang untuk menyenangkan hatinya sendiri, dan katanya segala ciptaannya itu tidak berbahaya."


Trio Detektif 14 Misteri Naga Batuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi ada saja orang yang tidak menyenangi keisengannya. Begitulah kenyataannya. Nah, untuk sekarang
kurasa sudah cukup "Satu pertanyaan lagi, Sir," kata Jupiter buru-buru. "Naga yang Anda lihat waktu itu Anda tahu pasti bahwa ia batuk""
"Pasti," kata sutradara tua itu. "Bunyinya seperti batuk."
"Dan Anda melihatnya dari bibir tebing dekat rumah Anda, ketika naga itu masuk ke dalam gua yang terdapat di kaki tebing di bawah Anda""
"Ya, betul! Tentang itu aku tahu pasti. Saat itu malam sudah larut, tapi segala kemampuan jasmaniku masih lengkap, biar belakangan ini tidak ada yang mau menjadi sponsorku untuk membuat film. Penglihatanku masih sempurna."
"Terima kasih, Mr. Allen. Kita akan tetap berhubungan." Jupiter mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. Kemudian ia berpaling, menatap kedua temannya.
"Ada komentar"" tanyanya.
Bob mengangkat bahu, begitu pula Pete.
"Katanya tadi, Shelby suka berbuat iseng," kata Pete. "Kalau itu, aku pun bisa mengatakannya. Aku ketakutan setengah mati ketika burung-burungannya tahu-tahu menyambar. Sama seperti ketika naga masuk ke dalam gua."
"Nah dengan komentarmu itu kita sampai pada pengamatanku yang berikut," kata Jupiter. "Aku menarik kesimpulan, bahwa Mr. Allen untuk siapa kita sebenarnya bekerja ternyata tidak bisa terlalu diandalkan pernyataannya, kalau itu ditilik dari sudut benar-tidaknya."
"Hahh"" Pete memandang Jupiter dengan kening berkerut.
"Dengan kalimat sederhana, Jupiter hendak mengatakan bahwa Mr. Allen berbohong," kata Bob menjelaskan.
"Kalau begitu, kenapa tidak begitu dikatakannya"" tukas Pete dengan nada sebal. Ia memandang Jupiter. "Coba kaukatakan dengan kalimat-kalimat yang bisa kumengerti, tentang apa ia berbohong."
Jupiter mengangguk. "Ia mengatakan, ia sedang berdiri di bibir tebing, ketika ia melihat naga itu masuk ke dalam gua di bawahnya."
"Lalu, apakah itu tidak boleh"" tanya Pete dengan air muka bingung.
Jupiter menggeleng. "Di tempat itu, dinding tebing sebelah atas menjorok ke luar. Tidak mungkin orang yang berdiri di bibir tebing bisa melihat gua, atau melihat sesuatu yang masuk ke situ. Hal itu kualami sendiri, kemarin malam."
Pete menggaruk-garuk kepala dengan sikap bingung. "Aku tidak tahu. Mungkin kau benar, dan ia keliru. Bisakah kau membuktikannya""
"Memang begitulah niatku," kata Jupiter serius. "Malam ini, saat kita kembali mendatangi gua itu. Mungkin saat itu aku bukan saja akan berhasil membuktikan bahwa Mr. Allen tidak mengatakan yang sebenarnya, tapi juga bahwa naga yang kita lihat itu sebenarnya palsu, bikin-bikinan orang saja!"
"Jangan lupa," katanya menyambung, "dalam kasus ini ada sejumlah orang yang perlu kita curigai, yaitu orang-orang yang tahu-menahu tentang terowongan kereta bawah tanah yang tidak jadi diselesaikan, serta yang menaruh dendam pada orang lain. Mr. Allen dan Mr. Shelby, kedua-duanya kehilangan pekerjaan, dan tidak diberi kesempatan untuk bekerja kembali. Lalu Mr. Carter jika ia ternyata memang putra orang yang dulu mulai membangun terowongan itu tentunya juga tahu-menahu mengenainya. Dan aku tidak heran jika ia menyimpan dendam, yang ingin dilampiaskannya terhadap sekian banyak orang yang dianggapnya ikut bersalah. Saat ini aku belum tahu, apa hubungan segala hal ini dengan naga, serta dengan gua yang kita temukan. Tapi malam ini kita mungkin akan bisa menemukan sesuatu di dalam gua itu."
"Maksudmu," kata Pete cemas, "kita akan kembali ke gua itu" Malam ini" Ke tempat itu lagi" Dengan kemungkinan si Itu ada di sana, menunggu kita""
Jupiter tidak menjawab. Ia sibuk menulis. Setelah itu ia meraih gagang telepon.
"Pertama-tama, perlu terlebih dulu mengetahui sesuatu," katanya. "Mestinya itu sebelumnya sudah terpikir olehku."
Bab 14 BERBURU NAGA "TOLONG sambungkan dengan Mr. Alfred Hitch"cock," kata Jupiter lewat saluran telepon. "Katakan saja, Jupiter Jones yang menelepon."
Bob dan Pete berpandang-pandangan dengan sikap tidak mengerti. Setelah itu keduanya menatap Jupiter. Tapi temannya itu tidak mengacuhkan pandangan mereka, yang seakan-akan bertanya. Ia menulis terus, sambil menunggu disambungkan dengan Alfred Hitchcock.
Sesaat kemudian didengarnya suara sutradara termasyhur
itu. "Di sini Alfred Hitchcock. Apakah ini berarti kalian baru saja berhasil mengusut teka-teki anjing-anjing yang lenyap di Seaside""
Jupiter tersenyum. "Bukan begitu tepatnya, Sir," jawabnya. "Saya menelepon ini, sehubungan dengan keterangan Anda tadi. Anda mengatakan, teman Anda Mr. Allen merupakan tokoh ahli tentang naga, serta menampilkan wujud makhluk-makhluk itu dalam film-film horornya yang dulu."
"Memang betul," jawab Mr. Hitchcock. "Dan bukan cuma naga, tapi juga kelelawar, serigala, jadi-jadian, vampir, hantu kubur, mayat hidup pokoknya semua yang menyebabkan orang akan ketakutan setengah mati! Sayang film-filmnya dibuat jauh sebelum kalian ada. Para penggemar film-filmnya, sekarang pun masih gemetar dan merinding, kalau teringat pada segala makhluk menyeramkan ciptaannya!"
"Ya, kabarnya memang begitu," jawab Jupiter. "Saya rasa segala monster itu tentunya benar-benar seperti hidup, sehingga Mr. Allen bisa membangkitkan kesan yang begitu."
"Ya, tentu saja," kata Mr. Hitchcock mantap. "Orang takkan bisa ditakut-takuti dengan tiruan buruk dari makhluk-makhluk yang mestinya menakutkan. Wujud-wujud itu harus nampak dan bertingkah laku persis seperti aslinya."
Jupiter mengangguk. "Dan siapakah yang membuat makhluk-makhluk untuk filmnya itu, Sir""
"Tentu saja kami memiliki tenaga-tenaga yang sangat terampil di studio," kata Mr. Hitchcock sambil tertawa. "Kadang-kadang, suatu makhluk menyeramkan bisa bergerak-gerak karena di dalamnya ada semacam alat mekanis yang hebat. Alat itu digerakkan dengan mesin, atau dengan sistem roda gigi dan engkol. Dan kadang-kadang, jika adegan yang ditampilkan menghendakinya, kami memakai teknik lain. Makhluk seram itu kami buat fotonya dalam posisi gerak yang setiap kali berubah sedikit. Begitu terus, sampai seluruh gerakan selesai diambil. Inilah yang disebut teknik stop-motion. Jika foto-foto yang diambil beruntun-runtun itu diputar dengan kecepatan film yang biasa, maka akan timbul kesan seolah-olah makhluk itu bergerak. Mengerti sekarang""
"Ya, Sir," kata Jupiter. "Lalu apa yang terjadi dengan monster-monster itu, setelah film selesai dibuat""
"Kadang-kadang disimpan, untuk dipakai lagi pada kesempatan lain," kata Mr. Hitchcock menjelaskan. "Ada juga yang dijual ke perusahaan lelang. Atau kadang-kadang dimusnahkan saja. Cukupkah jawaban itu""
"Ya, Sir," kata Jupiter. "Tapi saya masih punya satu pertanyaan lagi. Apakah Anda kebetulan memiliki salah satu film karya Mr. Allen" Kami ingin melihatnya, terutama jika ada naga tampil di dalamnya."
"Aneh kenapa justru sekarang kau menanyakannya," kata sutradara terkenal itu, setelah diam sejenak. "Aku baru saja membongkar arsip film kami, untuk mencari sebuah film klasik ciptaannya. Judul film itu, Makhluk Gua', yang hampir seluruhnya menyangkut seekor naga. Aku bermaksud mempelajarinya, untuk filmku yang berikut. Bukannya aku hendak menjiplak ide-ide Allen," sambungnya agak terburu-buru, "tapi agar aku benar-benar sadar bahwa filmku harus benar-benar bagus, apabila hendak mengalahkan ciptaannya itu."
"Bagi kami pun akan sangat bermanfaat jika dapat melihat film itu, Mr. Hitchcock," kata Jupiter dengan cepat. "Saya sendiri ingin sekali melihat, bagaimana perangai naga yang sebenarnya. Bisakah Anda mengatur agar kami bisa ikut melihatnya, Sir""
Alfred Hitchcock langsung memberi jawaban. "Datanglah satu jam lagi ke studioku. Aku akan ada di Ruang Proyeksi Empat."
Jupiter menaruh gagang telepon lambat-lambat, ketika pembicaraan selesai. Kemudian ia berpaling pada Pete dan Bob.
"Ingat," katanya, "wujud yang akan kita lihat nanti, merupakan naga sejati menurut gambaran yang lazim mengenainya. Jadi kalian perhatikan baik-baik nanti. Barangkali saja kalian melihat sesuatu, yang akan bisa menyelamatkan nyawa kita."
"Apa maksudmu"" tanya Bob.
Jupiter berdiri, lalu menggeliat.
"Aku bersandar pada teoriku, bahwa naga di Seaside itu palsu. Tapi mungkin juga aku keliru. Dan jika begitu, kita menghadapi naga yang benar-benar naga!"
Trio Detektif berangkat ke Hollywood naik Rolls-Royce, yang seperti biasa dikemudikan oleh Worthing
ton. Tepat pada waktu yang ditentukan mereka masuk ke kompleks perfilman, dan berhenti di depan sebuah bungalow. Itulah Ruang Proyeksi Empat, menurut tulisan yang tertera di situ. Mereka langsung masuk. Mr. Hitchcock duduk di belakang ruangan, bersama sekretarisnya. Ia mengangguk, sebagai pengganti ucapan selamat datang.
"Kalian duduk saja di depan," ujar sutradara itu dengan suara berat. "Aku baru saja hendak memberi isyarat pada juru proyeksi agar mulai."
Ia menekan sebuah tombol yang terdapat pada kursi yang didudukinya. Ruangan menjadi gelap. Saat itu juga ada sinar terang memancar dari lubang kecil yang terdapat pada dinding bilik di belakang kursi Mr. Hitchcock, diiringi bunyi mendesir.
"Ingat film ini sudah kuno," kata Mr. Hitchcock memberi tahu. "Dan mungkin ini merupakan satu-satunya copy yang masih ada. Mutu pencuciannya kurang bagus. Pada beberapa bagian nampak gelap dan buram. Tapi apa boleh buat! Nah, kurasa itu cukup, sebagai penjelasan. Kita lihat saja sekarang, bersama-sama!"
Dengan segera ketiga remaja itu sudah melupakan sekeliling mereka. Ternyata Mr. Hich"cock tidak melebih-lebihkan ketika menyatakan bahwa film itu sangat tegang. Jupiter dan kedua temannya seperti terpukau mengikuti jalan cerita horor itu, yang diolah dengan sangat ahli oleh sutradaranya.
Adegan yang nampak pada layar putih beralih. Kini nampak sebuah gua. Detik itu juga, ketiga remaja itu sudah merasa seperti benar-benar berada di dalamnya. Dan sementara jantung mereka sudah berdebar-debar lagi, mereka melihatnya kembali naga itu!
Makhluk seram yang masuk ke dalam gua, seakan-akan mengisi layar sampai ke sudut"sudutnya. Makhluk itu besar sekali, jelek dan menakutkan. Sayapnya yang pendek terangkat, menampakkan otot-otot panjang yang bergerak-gerak seperti ular hidup di bawah selaput kulit yang basah dan bersisik. Kemudian lehernya yang panjang dan lentur bergerak dan kepalanya yang kecil dan nampak gelap menghadap ke arah mereka.
Naga itu meraung, menampakkan rahang yang panjang dan kuat. "Iiih!" desah Pete. Tanpa disadari, duduknya agak diringkukkan. "Itu naga sungguhan!"
Bob terpana, menatap makhluk seram yang semakin maju di layar. Tangan remaja itu mencengkeram sandaran kursinya.
Jupiter duduk dengan tenang, memperhatikan setiap gerak-gerik naga yang nampak di layar film.
Enam pasang mata seperti terpaku menatap layar, sampai film selesai. Ketika lampu ruangan menyala lagi dengan tiba-tiba, mereka masih tetap tegang, terkesan oleh film yang baru saja dilihat.
Dan ketika berjalan menuju ke belakang ruangan, lutut mereka terasa lemas.
"Astaga sekujur tubuhku lemas rasanya," kata Bob. "Rasanya seolah-olah pengalaman kemarin malam berulang kembali. Aku sampai lupa, bahwa kita sedang menonton film!"
Jupiter mengangguk. "Itu merupakan bukti, betapa seorang ahli pencipta kengerian bisa mencapai apa yang ingin dikesankan. Mr. Allen memiliki keahlian untuk membuat kita menerima dan mempercayai apa saja yang hendak dikesankan olehnya. Kita dibuatnya setengah mati ketakutan, dengan naga bikin-bikinan yang muncul di atas layar film. Memang kesan itulah yang hendak ditimbulkannya, sedang kita membiarkan dia membuat kita takut. Itu perlu selalu kita ingat."
"Nan"" kata Mr. Hitchcock, ketika ketiga remaja itu sudah sampai di dekatnya. "Kalian mengerti sekarang, apa sebabnya kawanku itu pernah dipandang raja film-film horor""
Jupiter mengangguk. Banyak pertanyaan yang sebenarnya ingin diajukan olehnya. Tapi ia melihat bahwa Mr. Hitchcock sedang sibuk, sedang sekretarisnya sudah siap untuk mencatat. Karenanya, ia hanya mengucapkan terima kasih atas kesempatan melihat film itu.
"Kalian sekarang sudah melihat naga yang di film," kata Mr. Hitchcock. "Kini kutunggu hasil pengusutan kalian terhadap misteri naga yang di Seaside."
Anak-anak diantarnya ke luar. Ketiga remaja itu langsung menuju ke Rolls-Royce mengkilat yang menunggu di luar, dengan Worthington di belakang kemudi.
Mereka duduk bersandar di jok belakang, sementara kendaraan mewah itu meluncur lambat-lambat ke arah pintu gerbang.
"Kau tadi menyuruh kami mengama
t-amati dengan teliti," kata Bob setelah beberapa saat, "dan itu sudah kulakukan. Aku sama sekali tidak melihat perbedaan antara naga yang di film tadi, dengan naga kita yang di gua. Kau bagaimana, Pete""
Pete menggeleng. "Satu-satunya perbedaan, naga film tadi lebih dahsyat raungannya."
"Bukan lebih dahsyat," kata Bob, "tapi naga kita rasanya sering terbatuk-batuk."
Jupiter tersenyum. "Tepat," katanya singkat.
"Apa lagi maksudmu, Jupe"" tanya Pete.
"Kelihatannya naga yang di Seaside itu lebih peka terhadap cuaca buruk, karena kedengarannya seperti sedang pilek."
Bob memperhatikan Jupiter, yang duduk bersandar dengan sikap puas. Bagi Bob, air muka temannya itu merupakan pertanda buruk. Berdasarkan pengalaman selama mereka bergaul, air muka yang begitu berarti bahwa Jupiter berhasil mengetahui sesuatu. Sesuatu yang lolos dari pengamatan Bob dan Pete.
"Mana mungkin, naga terserang pilek"" kata Bob. "Naga, katanya kan biasa hidup dalam air dan gua-gua lembab."
"Pendapatku juga begitu," kata Jupiter sambil mengangguk. "Dan beberapa jam lagi, kalau kita kembali ke sana, kita akan bisa menyibakkan teka-teki tentang apa sebabnya naga kita batuk. Jika teoriku benar, kita akan memperoleh jawaban tentang apa sebabnya kita bisa lolos dari dalam gua itu, dan sekarang masih hidup."
Pete memikirkan ucapan Jupiter.
"Itu boleh saja, Jupe," katanya sambil mengerutkan kening. "Tapi bagaimana jika teorimu ternyata keliru""
Jupiter menggembungkan pipinya. "Teoriku harus benar," katanya. "Karena bagaimanapun juga, itu menyangkut nyawa kita!"
Dendam Rara Anting 1 Goosebumps - Darah Monster 3 Tapak Tapak Jejak Gajahmada 9
^