Pencarian

Pelangi Dilangit Singosari 28

02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja Bagian 28


Empu Gandring mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Sayang, aku sudah tua. Aku benar-benar hampir pikun Ngger. Karena itu aku memerlukan waktu untuk membuat sebilah keris yang baik yang teramat baik seperti yang kau kehendaki."
Ken Arok mengerutkan keningnya. Kemudian ia berdesis "Bagaimana kalau sebulan Empu."
Empu Gandring menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin Ngger. Tidak mungkin. Aku baru dapat menemukan bahannya dalam waktu sebulan itu. Bahkan mungkin belum. Aku harus mendapatkan baja yang paling baik untuk membuat keris yang paling baik pula."
"Tetapi setelah bahan itu ada, maka tidak ada setengah hari Empu akan dapat menyelesaikannya."
"Kalau aku membuat parang pembelah kayu, memang Ngger. Aku dapat membuatnya hampir secepat aku makan. Tetapi tidak demikian membuat sebilah keris."
"Jadi berapa lama aku harus menunggu?"
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. "Baiklah ngger. Aku akan berusaha untuk dapat menjelesaikannya dalam waktu sebelas bulan."
"Ah, terlampau lama. Bagaimana kalau dua bulan?"
Empu Gandring menggeleng "Tidak mungkin. Cobalah lihat setelah sepuluh bulan."
"Tiga bulan akan aku ambil keris itu."
"Paling cepat Sembilan bulan. Itu pun aku belum pasti."
"Empat bulan. Aku sudah kehilangan waktu sekian lamanya buat menunggu keris itu. Hati ini akan menjadi hambar dan aku akan kehilangan kesempatan dan gairah."
"Maaf ngger. Itu tidak mungkin. Baiklah aku akan mengesampingkan semua pekerjaanku. Dalapan bulan lagi angger dapat mencoba menengoknya kemari."
"O, aku dapat menjadi gila. Sepanjang waktu itu aku akan disiksa oleh penderitaan batin yang tiada taranya. Empu tolonglah aku. Bagaimanakah caranya, aku tidak mangerti. Bagaimanakah yang dapat Empu lakukan, agar keris itu dapat lebih cepat disiapkan."
Sekali lagi Empu Gandring menarik nafas. Betapapun juga, namun ia menaruh iba juga melihat Ken Arok yang kebingungan itu. Karena itu maka jawabnya, "Aku akan mencoba untuk menjelesaikannya lebih cepat ngger. Tetapi aku tidak dapat dikejar oleh waktu. Membuat sebilah keris yang baik, jauh berbeda dengan membuat keris yang tampaknya baik. Kalau yang Angger maksud keris yang mempunyai kekuatan yang dapat diandalkan, maka aku memerlukan waktu. Aku tidak dapat membuatnya dengan tergesa-gesa."
"Meskipun demikian tetapi bukankah Empu dapat memberikan batas waktu."
"Sudah aku katakan, datanglah dalam waktu kira-kira delapan atau tujuh bulan lagi."
"Lima bulan. Aku memberi waktu lima bulan."
"Kenapa kau memberi waktu lima bulan" Kau tidak dapat memberi aku waktu. Akulah yang akan membuat keris itu. Bukan kau ngger. Karena itu, akulah yang dapat mengira-ngirakan waktu yang diperlukan."
"Tidak." Ken Arok hampir kehilangan kesabaran, "aku tidak mau menunggu lebih dari lima bulan. Lima bulan, itu pun sebenarnya terlampau lama bagiku. Aku mengharap, bahwa sebelum waktu yang ditentukan aku sudah dapat mengambil keris itu."
Kening Empu Gandring menjadi semakin berkerut merut. Ditatapnya wajah Ken Arok dengan seksama. Semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa memang ada sesuatu yang tidak wajar pada anak muda itu.
"Bagaimana Empu." desak Ken Arok, "aku tidah mau menunggu lebih dari lima bulan."
Empu Gandring merenung sejenak. Namun kemudian ia berkata, "Kalau angger tidak dapat menunggu waktu yang telah aku tetukan baiklah."
Ken Arok mengerutkan keningnya. "Maksud Empu." ia bartanya.
"Maksudku, apabila Angger terlampau tergesa-gesa maka aku persilahkan Angger berhubungan dengan orang lain."
Sebuah desir yang tajam tergores di dinding jantung Ken Arok. Setapak ia teringsut maju. Dengan wajah merah membara ia berteriak, "Jadi Empu mau ingkar?"
"Apa yang aku ingkari?"
"Empu sendiri berjanji akan membuat keris itu untukku."
"Ya, aku berjanji untuk waktu yang aku tentukan sendiri.Bukan oleh orang lain."
"Aku bukan orang lain.Aku adalah orang yang berkepentingan dengan keris itu."
"Aku yang akan memberimu. Terserah kepadaku, kapan aku sedia. Sebulan atau setahun atau bahkan sepuluh tahun lagi. Aku lagi sibuk dengan pesanan-pesanan keris yang terdahulu. Aku masih harus menyiapkan lima puluh keris yang baik. Aku akan mengerjakan yang lima puluh itu lebih dahulu, karena sebagian upahnya telah aku terima."
"O, itukah yang menjadi sebab" Baik, aku akan membayar berapa saja Empu kehendaki. Aku dapat membayarnya dengan sepuluh atau dua puluh lima butir berlian sebesar biji jagung. Atau apa saja yang kau minta, asal keris itu cepat dapat aku ambil. Aku akan menukarnya dengan segenggam permata, kalau dalam waktu satu bulan aku dapat mengambilnya."
Serasa sepercik bara api menyentuh telinga Empu tua itu. Tetapi ia tetap menyadari dirinya. Sebagai seorang tua yang menyimpan pengalaman yang terlampau banyak, maka ia pun cukup bijaksana menanggapi keadaan.
"Angger Ken Arok." berkata orang tua itu, "aku adalah orang tua. Aku mempunyai pertimbangan yang cukup atas segala keputusan yang aku ambil. Termasuk waktu yang aku perlukan untuk menyiapkan keris itu. Kalau aku sekedar memerlukan segenggam permata, apapun caranya, seperti cara yang nista seperti yang kau katakan, maka aku akan segera menjadi kaya. Kalau kau bersedia memberi aku segenggam permata untuk sebilah keris yang maha sakti, dan bahkan jarang ada duanya, maka orang lain akan menukarnya dengan segerobag permata yang paling baik. Bahkan orang yang lain lagi akan menyediakan apa yang dimilikinya, seandainya ia mempunyai Tanah Tumapel ini, maka Tanah ini pasti akan diberikannya. Nah, apakah kau sanggup bersaing dengan mereka. Kalau mereka memesan seperti apa yang kau pesan ngger, maka aku akan membuat bagi mereka itu lebih dahulu karena mereka memberi lebih banyak dari yang angger sanggupkan."
"O, Empu keliru." sahut Ken Arok dengan serta merta. "Aku sanggup memberi jauh lebih banyak lagi. Aku mempunyai apa saja yang Empu inginkan. Seandainya Empu memerlukannya sekarang, aku akan mengambilnya."
Empu Gandring tidak segera menjawab. Ditatapnya saja wajah anak muda itu. Ia menjadi semakin tidak mengerti, dengan siapa ia berhadapan. Karena itu maka kemudian ia bertanya dengan nada yang dalam namun penuh tekanan, "Angger Ken Arok, darimanakah angger mendapat semua yang angger sanggupkan itu?"
Pertanyaan itu ternyata telah mengejutkan hati Ken Arok. Sejenak ia terbungkam. Ia tiba-tiba saja telah terlempar dalam suatu kesadaran tentang dirinya. Permata yang dikatakannya itu sebenarnya sama sekali bukan haknya.
Tiba-tiba pula wajah Ken Arok itu pun tertunduk dalam-dalam.Dengan nada yang berat ia berkata terpatah-patah, "Maaf Empu. Maafkan aku. Sebenarnya aku sama sekali tidak mempunyai apapun. Sudah tentu aku tidak akan dapat memberi apapun kepada Empu seperti apa yang aku katakan itu. Agaknya aku telah terdorong oleh keinginanku yang hampir tidak terkekang lagi untuk mememiliki sebilah keris yang baik."
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Sejenak dipandanginya wajah Ken Arok yang tunduk itu. Semakin lama semakin tunduk. Akhirnya pandangan mata Ken Arok tidak beranjak dari ujung jari kakinya sendiri.
Sekali lagi Empu Gandring yang tua itu telah disentuh oleh perasaan iba. Ia tidak tahu apakah yang sebenarnya bergolak di dalam dada anak muda itu. Karena itu, maka ia pun tersudut ke dalam suatu kesulitan untuk mengambil suatu sikap.
"Kasihan anak itu." katanya di dalam hati, "ia pasti sedang dibelit oleh goncangan perasaan. Tetapi aku tidak akan membiarkannya hanyut semakin jauh. Kalau aku memberinya keris yang sudah ada maka perasaan itu sama sekali tidak akan sempat mengendap. Namun biarlah aku mencoba melihatnya setelah lima bulan mendatang."
Karena itu maka Empu Gandring itu pun kemudian menjawab, "Angger Ken Arok. Baiklah kita tidak mempersoalkan waktu lagi. Coba saja angger datang kemari setelah lima bulan mendatang. Meskipun aku belum dapat memastikan, apakah keris itu sudah jadi, namun apakah salahnya angger berkunjung kemari lagi?"
Wajah Ken Arok menjadi semakin tunduk. Kemudian dengan lemahnya ia menjawab, "Baiklah Empu Aku akan datang lima bulan lagi. Memang tidak ada salahnya, seandainya keris itu belum siap, aku berkunjung sekali lagi kerumah ini. Bukan sekali lagi, aku akan selalu datang Empu. Tetapi permohonanku, mudah-mudahan dalam wakta lima bulan keris itu benar-benar telah siap."
"Aku tidak berjanji ngger, tetapi cobalah."
"Terima kasih Empu." jawab Ken Arok, "aku yakin bahwa Empu akan selalu membantu aku."
Empu Gandring mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya masih saja dibelit oleh berbagai macam pertanyaan tentang anak muda yang kini duduk tepekur dihadapannya. Kadang-kadang ia merasa iba, namun kadang-kadang ia merasa cemas dan kawatir.
Empu Gandring yang tua itu menjadi terkejut bukan buatan ketika ia mendengar Ken Arok tiba-tiba berkata, "Empu. Sekarang aku minta diri."
Empu Gandring serasa tidak percaya kepada pendengarannya sehingga sejenak ia termenung diam memandangi wajah Ken Arok.
Ken Arok pun menjadi gelisah melibat pandangan mata Empu Gandring yang keheranan itu. Sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, "Aku minta diri Empu."
Empu Gandring menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berdesah. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata, "Aku tidak mengerti."
"Apa yang tidak Empu mengerti?" bertanya Ken Arok.
"Kau membingungkan aku ngger." jawab Empu Gandring.
Ken Arok mengerutkan keningnya. "Kenapa Empu?" Ken Aroklah yang kemudian bertanya, meskipun di dalam hatinya sendiri ia bergumam, "Aku pun menjadi bingung tentang diriku sendiri."
"Angger Ken Arok." berkata Empu Gandring perlahan-lahan, "kedatanganmu kali ini telah menimbulkan teka-teki bagiku.Kau datang dengan sikap yang lain dari sikapmu yang pernah aku kenal. Kau kemudian menyatakan kinginanmu untuk mempunyai sebilah keris sebagai senjata yang paling baik dan jarang ada duanya. Begitu tergesa-gesa sehingga kau tidak sabar menunggu keris itu lebih dari lima bulan. Sekarang, seperti orang bermimpi kau minta diri." orang tua itu berhenti sebentar memandang wajah Ken Arok yang tunduk, "Aku benar-benar tidak mengerti."
Ken Arok tidak segera menjawab. Kepalanya masih saja menunduk.
"Aku mengharap kau bermalam di rumah ini ngger. Bahkan aku menyangka bahwa kau akan tinggal di sini dua atau tiga hari."
"Sayang Empu." jawab Ken Arok dengan suara bergetar, "aku harus segera kembali ke Tumapel. Aku tidak mempunyai waktu lagi. Aku harus segera berada di dalam tugasku."
"Tetapi kehadiranmu disini benar-benar seperti sebuah mimpi saja. Atau aku memang sedang bermimpi?"
"Tidak Empu. Empu tidak bermimpi. Aku benar-benar datang dan memerlukan keris itu."
Empu Gandring mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kalau aku bermimpi maka aku tidak akan membuat apapun juga. Aku tidak akan membuat keris yang akan kau lihat setelah lima bulan lagi."
"Dan aku sangat memerlukannya Empu."
"Itulah yang membuat aku ragu-ragu." desis Empu Gandring.
Ken Arok terkejut mendengarnya meskipun Empu Gandring seolah-olah mengucapkannya dengan acuh tidak acuh.Anak muda itu mencoba melihat kesan apakah yang tersirat dari kata-kata Empu tua itu. Tetapi ia tidak menemukannya. Selain tangkapan menurut perasaannya sendiri yang sedang diliputi oleh suatu rahasia. Kecurigaan.
"Empu Gandring telah mencurigai aku." desisnya di dalam hati. Namun kemudian, "Persetan. Aku tidak boleh terpengaruh oleh sikap orang tua yang keras kepala ini."
Satelah sejenak mereka berdiam diri, maka sekali lagi Ken Arok berkata, "Aku terpaksa minta diri Empu."
"Aneh sekali." desis Empu Gandring.
Ken Arok mengumpat di dalam hatinya. Tetapi dipaksanya bibirnya tersenyum dan berkata, "Maaf Empu. Waktuku sangat terbatas. Aku adalah seorang hamba istana. Aku harus tunduk kepada setiap peraturan yang ada."
"Apakah kau hanya mendapat waktu sehari ini?"
"Empat hari Empu. Aku harus memperhitungkan waktu di perjalanan, setelah aku kehilangan satu malam di rumah seorang kawan."
Betapa lancarnya Ken Arok mengucapkan kata-kata itu, tetapi Empu Gandring menjadi sulit untuk mempercayainya. Kelainan sikap Ken Arok telah membuat pandangan orang tua itu terhadapnya menjadi berubah pula. Tetapi sudah tentu ia tidak akan dapat memaksa Ken Arok untuk tinggal lebih lama lagi dirumahnya. Sehingga kemudian orang tua itu pun berkata, "Baiklah ngger. Apabila aku sudah tidak dapat mencegahnya lagi. Hati-hatilah di jalan. Dimalam hari kadang-kadang kita dapat bertemu dengan bahaya. Mungkin bukan bahaya lahiriah yang akan mencelakai kita, tetapi justru sebaliknya. Kadang-kadang kita bertemu dengan suatu keadaan yang tidak disangka-sangka sehingga kita harus berbuat sesuatu yang tidak kita kehendaki. Bahaya yang demikian itulah yang akibatnya akan lebih besar bagi kita dari pada bahaya yang pada umumnya ditakuti oleh orang-orang lain."
Sebuah desir yang tajam tergores di dada Ken Arok, sehingga sekali lagi ia mengumpat, "Orang tua ini terlampau banyak bicara."Namun Ken Arok itu menundukkan kepalanya sambil berkata, "Terima kasih Empu. Aku akan berhati-hati."
Empu Gandring itu pun kemudian melepas tamunya dengan berbagai macam pertanyaan tergores di dinding jantungnya. Diantarkannya Ken Arok sampai ke regol halaman. Kemudian anak muda itu melangkah masuk ke dalam gelapnya malam. Sinar lampu minyak yang redup bergetar disentuh angin malam ketika Ken Arok berpaling di dekat tikungan. Di bawah cahaya yang kemerah-merahan Ken Arok melihat wajah Empu Gandring yang dijaluri oleh kerut ketuaannya.
Terasa sesuatu bergetar di dada anak muda itu. Dan tanpa sesadarnya ia bertanya kepada diri sendiri, "Apakah sebenarnya yang telah aku lakukan ini?"
Tiba-tiba ia berdesis perlahan, "Aku telah benar-benar menjadi gila. Aku telah kehilangan kemampuan untuk mengamati tingkah lakuku sendiri."
Ken Arok berhenti sejenak. Ia masih melihat Empu Gandring berdiri di regol halamannya di bawah lampu minyak yang redup. Secercah tumbuh penyesalan di dalam dirinya.
Seolah-olah ia telah didorong untuk melangkah kembali kepada orang tua itu.
Tetapi Ken Arok itu menghentakkan kakinya. Ia tidak mau menyerah. Ia sudah mulai memilih jalan, bahkan telah mulai melangkahkan kakinya, masuk ke dalam jalur jalan itu. Jalan yang akan dilaluinya. Dan ia tidak akan berputar kembali.
"Persetan dengan orang tua itu." katanya di dalam hati, "lima bulan lagi aku harus mendapatkan keris itu."
Ken Arok pun kemudian menggeretakkan giginya Seolah-olah ia mencari sandaran kekuatan untuk meneruskan langkahnya. Dengan tangan mengepal ia melangkah cepat-cepat meninggalkan tempat itu tanpa berpaling lagi.
Ketika Ken Arok hilang ditikungan, Empu Gandring menutup pintu regolnya dan berjalan sambil menundukkan kepalanya melintasi halaman rumahnya yang gelap. Hanya sinar yang redup tergapai-gapai mengusap dedaunan yang hijau kehitaman.
"Aneh." berkali-kali orang tu itu berdesis. "Lima bulan lagi ia akan datang." Empu Gandring kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku akan menyiapkan sebilah keris yang baik. Tetapi lima bulan lagi aku akan meyakinkan diri, apakah Ken Arok telah menemukan kesadarannya atau justru menjadi semakin parah."
Dalam pada itu Ken Arok berjalan semakin lama semakin cepat menembus gelapnya malam. Tetapi ia sendiri tidak tahu, kemana ia akan pergi. Sebenarnya tidak ada suatu keharusan baginya untuk segera kembali ke Tumapel. Ia masih mempunyai waktu beberapa hari lagi. Sebenarnya ia dapat tinggal sehari atau dua hari di rumah Empu Gandring. Tetapi rasa-rasanya tikar tempatnya duduk itu terlampau panas, sehingga ia tidak betah lagi tinggal lebih lama. Bukan saja pendapa Empu Gandring terasa terlampau panas, tetapi setiap kata yang diucapkan Empu Gandring, serasa ujung duri yang menyentuh jantungnya.
Karena itu, maka ia harus segera pergi.Pergi dari rumah itu. Entah, kemana saja ia akan pergi.
Ken Arok berjalan terus menyusur jalan padukuhan Lulumbang. Kemudian ditinggalkannya pedukuhan itu, dan dilaluinya sebuah bulak yang panjang. Bulak yang sepi, apa lagi di malam hari. Disisi jalan sebelah menyebelah, batang-batang padi sedang menghijau. Seolah-olah sebuah permadani sedang dibentangkan dari ujung cakrawala sampai ke ujung yang lain. Dari kaki langit sampai ke kaki langit. Hijau kehitaman, dihiasi dengan gemerlipnya kunang-kunang yang tidak dapat dihitung dengan bilangan, seperti bintang yang bergayutan di langit.
Ken Arok yang sedang berjalan itu berjalan terus. Secepat-cepatnya ia ingin menjauhi Lulumbang. Rasa-rasanya Empu Gandring selalu mengikutinya sambil bertanya, "Angger Ken Arok, untuk apakah sebenarnya keris itu"Untuk apa?"
"Itu urusanku." Ken Arok menggeram sambil menghentakkan kakinya.
Tetapi pertanyaan itu terus mengikutinya. "Untuk apa" Untuk apa" Kenapa kau minta keris yang tidak ada duanya di muka bumi?"
"Itu urusanku." sekali lagi ia menggeram semakin keras.
"Tetapi akulah yang akan membuat keris itu. Aku harus tahu dengan pasti, untuk apa keris itu akan dipergunakan." suara itu mengejarnya.
"Jangan bertanya lagi. Jangan bertanya lagi."Tetapi seolah-olah suara itu menjadi semakin keras pula.
"Kalau kau tidak berkata berterus terang, aku tidak akan membuat keris itu."
Jantung Ken Arok menjadi semakin cepat berdentangan di dalam dadanya. Semakin lama semakin cepat. Sehingga akhirnya ia menggeram dengan sepenuh perasaannya. "Aku akan mempergunakannya. Aku akan membunuh Akuwu Tunggul Ametung dan memperisteri Ken Dedes. Perempuan yang paling cantik di seluruh Tumapel dan bahkan perempuan yang menyimpan derajat tertinggi bagi suaminya. Akulah orang yang melihat cahaya itu. Akulah yang akan menjadi suaminya dan memegang derajat tertinggi. Seperti mimpi Bango Samparan. Aku akan menjadi Maharaja Kediri."
Suara itu seperti guntur yang menggelegar di dalam diri Ken Arok. Seolah-olah yang tertimbun di dadanya, kini telah meledak. Meledak, sedahsyat ledakan Gunung Berapi yang tersumbat kepundannya.
Namun ternyata suara itu telah menghentakkan perasaan Ken Arok. Sejenak ia tertegun ditempatnya. Kemudian terasa dadanya menjadi pepat.
Ken Arok benar-benar telah menjadi hampir gila. Direbahkannya dirinya di pinggir jalan, di atas rerumputan sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Dengan suara gemetar ia berkata kepada dirinya sendiri, "Tidak. Tidak mungkin. Aku bukan pengkhianat." Kemudian seperti orang yang sedang merintih terdengar suaranya, "Maafkan hamba Tuanku Akuwu Tunggul Ametung. Maafkan hamba Tuan Puteri. Hamba telah menjadi gila dan tidak mengerti apa yang hamba perbuat."
Ken Arok tidak tahu berapa lama ia duduk di tempatnya. Bahkan kemudian, tanpa sesadarnya ia berbaring sambil menekankan kedua tangannya di dadanya. Sehingga tanpa diketahuinya, maka ia pun terlena dalam belitan mimpi. Mimpi yang mengerikan, seolah-olah ia sedang membongkar sebuah gunung yang sedang terbakar.
Ken Arok terbangun karena ia dikejutkan oleh suara ledakan gunung yang sedang terbakar itu.
Ketika Ken Arok membuka matanya, maka dilihatnya langit masih hitam. Namun seleret cahaya merah telah membayang di kaki langit. Dengan mengusap matanya ia bangkit berdiri. Sama sekali tidak ada suara apapun. Sama sekali tidak ada gunung yang meledak dan sama sekali tidak ada apapun juga selain angin malam yang gemerisik disela-sela batang-batang padi.
"Aku telah tertidur." desisnya. Namun ia masih ingat dengan jelas, gangguan-gangguan yang mencengkam perasaannya.
Tertatih-tatih Ken Arok kemudian meneruskan langkahnya tanpa tujuan dengan beban yang terlampau berat di hati.
Dicobanya untuk melupakan apa yang telah membuatnya gila dengan memandangi batang-batang padi yang hijau. "Di sini agaknya air tidak terlampau sulit didapat." desisnya.
Namun setiap persoalan yang bergetar di dadanya, selalu bergeser masuk ke dalam lingkaran angan-angannya yang gila itu. Padi yang subur itu pun telah menggerakkan hatinya untuk mengumpat, "Ini adalah bukti ketidak mampuan Akuwu Tunggul Ametung."
Wajah Ken Arok menjadi tegang kembali.Ia sudah lupa akan dirinya kembali. Penjesalan yang seakan-akan telah menyentuh perasannya itu, bagaikan selembar awan yang hanjut oleh angin yang kencang. Pecah berhamburan dan hilang ditelan langit.
Yang ada di dalam dirinya kini adalah cita-citanya yang gila itu, yang dipacu oleh nafsu yang tidak terkendali lagi.
"Akuwu Tunggul Ametung memang tidak mampu memerintah Tanah Tumapel. Selamanya tanah ini tidak akan maju." Ken Arok itu pun menggeram. "Disini aku melihat sawah yang hijau, tetapi kemarin aku melihat tanah yang kering kerontang. Sekering padepokan Panawijen. Tetapi untuk Panawijen, Akuwu telah bersusah payah mengirimkan sepasukan prajurit, untuk membantu Mahisa Agni membuat bendungan. Namun ternyata semua itu bukan karena kecintaannya kepada rakyatnya, tetapi semua itu di dorong oleh kepentingan dirinya sendiri. Karena Ken Dedes berasal dari Panawijen itulah, maka Akuwu telah bersusah payah membuat bendungan itu, supaya Permaisurinya tidak selalu merengek-rengek. Persoalan Mahisa Agni pun sama sekali bukan usaha Akuwu untuk melindungi rakyatnya, tetapi justru karena Mahisa Agni itu adalah kakak Ken Dedes."
Ken Arok itu menggeram tidak henti-hentinya. Dicarinya alasan sebanyak-banyaknya supaya ia dapat meyakinkan dirinya yang seolah-olah sedang mencari-cari di dalam kegelapan. Supaya dirinya dapat menemukan alas yang kuat, apalagi apabila dapat diyakinkannya bahwa apa yang dilakukan itu adalah benar.
Tanpa disadarinya, maka matahari pun kemudian menjenguk dari punggung bukit. Cahayanya yang kemerah-merahan mulai terlempar merata di atas batang-batang padi yang hijau.
Ketika Ken Arok memandang ujung kainnya, barulah ia sadar, bahwa pakaiannya itu telah terlampau kotor dan kusut. Tetapi ia sama sekali tidak mempunyai pakaian yang lain untuk menggantinya.
"Aku akan kembali ke Tumapel." desisnya, "aku harus mempersiapkan diri. Tak ada pilihan lain. Semuanya harus berjalan sebaik-baiknya. Aku sudah memutuskan."
Maka tiba-tiba langkah Ken Arok itu pun menjadi mantap. Kini ia berjalan dengan pasti. Kembali ke Tumapel.
"Usaha yang besar ini memerlukan persiapan. Aku harus tahu benar, apakah aku mempunyai harapan. Seandainya Akuwu Tunggul Ametung terbunuh, apakah aku dapat mengharapkan Ken Dedes untuk membantuku?"
Sekali-kali masih tersisip keragu-raguan di dalam hatinya. Kadang-kadang ia masih merasa, bahwa apa yang dilakukan itu adalah suatu pengkhianatan. Tetapi sambil menggeretakkan giginya ia berkata, "Demi Tanah Tumapel."
Perjalanan Ken Arok kemudian sama sekali tidak menarik lagi baginya, meskipun ia sendiri sangat menarik perhatian orang-orang yang bertemu di jalan. Rambut dan pakaiannya yang kusut, wajah yang suram dan mata yang kuyu. Sebuah pedang tergantung di lambungnya.
Tetapi Ken Arok tidak mempedulikan sama sekali. Langkahnya semakin lama semakin cepat. Tak ada niatnya untuk berhenti sama sekali meskipun matahari serasa membakar punggung. Bahkan ketika matahari itu kemudian terbenam di ujung Barat, Ken Arok masih juga berjalan terus.
"Aku harus masuk Tumapel di waktu gelap." berkata Ken Arok di dalam hatinya.
Justru ketika ia menemukan kemantapan akan sikapnya di dalam perjalanan itu, maka perlahan-lahan ia berhasil mengatur perasaannya. Semuanya itu sudah benar-benar mantap baginya. Dengan sekuat tenaga ia mengusir setiap pcrcikan keragu-raguan, betapapun kecilnya.
Maka setelah di dalam dirinya tidak ada persoalan lagi, persoalan antara warna-warna di dalam dirinya sendiri, Ken Arok menjadi semakin tenang.
Perlahan-lahan pikirannya mulai bekerja di dalam kehitamannya.Dan dengan demikian, maka ia mulai dapat menilai dirinya sendiri dengan seluruh kedaannya.
"Pakaianku terlampau kusut." katanya kemudian, "karena itu, tidak boleh seorang pun yang melihat keadaan ini. Aku harus sampai di barak sebelum pagi."
Ken Arok itu pun segera mempercepat langkahnya, supaya ia dapat sampai seperti rencananya.
Ternyata kekerasan hati Ken Arok itu benar-benar dapat membantunya. Langkahnya menjadi semakin cepat seperti tidak lagi menginjak tanah meskipun ia tidak berlari. Dipilihnya jalan-jalan yang memintas, bahkan pematang-pematang sawah dan lorong-lorong sempit di tengah-tengah hutan-hutan yang rindang. Anak muda itu sama sekali tidak mengenal cemas. Apapun yang akan merintangi jalannya, harus disingkirkan.
Demikianlah, maka ketika Ken Arok itu mulai menginjakkan kakinya di kota Tumapel menjelang fajar, hatinya menjadi berdebar-debar. Sejenak ia berdiri tegak memandangi kota yang masih tidur dengan nyenyaknya itu.
Sebelum ia melangkah memasukinya, maka diaturnya perasaannya sebaik-baiknya. Dan secercah keragu-raguannya yang terakhir telah ditindasnya sama sekali.
Dengan demikian, maka kini ia harus menempatkan dirinya dalam jalur jalannya. Ia tidak boleh berlaku bodoh, dan tidak boleh berbuat seperti orang yang gila dicengkam oleh keragu-raguan. Ia harus mantap.
Demikianlah Ken Arok memasuki Tumapel dengan sebuah senyum di bibirnya. Dibenahinya pakaiannya yang melekat di tubuhnya supaya tidak terlampau menarik perhatian, terutama para penjaga di baraknya nanti. Sambil mengangguk-anggukkan kepala ia berkata kepada diri sendiri. "Tidak boleh seorang pun menaruh curiga kepadaku. Aku tidak boleh berubah. Ken Arok yang sekarang harus tetap bersikap seperti Ken Arok pada saat ia meninggalkan Tumapel beberapa hari yang lampau."
Ken Arok pun kemudian melangkah dengan pasti. Wajahnya sudah tidak dibayangi oleh kemurungan dan kebimbangan. Seperti pada saat ia pergi, ia pun datang kembali di antara kawan-kawannya, Pelayan Dalam, para pengawal istana, para prajurit dan hamba-hamba istana yang lain. Ia tertawa ketika seorang penjaga di regol baraknya bertanya dengan heran, "He, Kakang Ken Arok, kenapa pakaianmu demikian kotor dan kusut?"
"Pakaianku hanyut ketika aku menyeberang sungai yang sedang banjir. Aku tidak mempunyai ganti pakaian lagi."
Penjaga itu tidak menaruh curiga apapun. Dan ia tidak bertanya lagi, meskipun ia tidak mengerti kenapa Ken Arok datang pada pagi-pagi buta setelah beberapa hari ia pergi.
Seorang prajurit yang tinggal bersamanya dalam barak itu juga, yang kebetulan keluar dari biliknya untuk pergi ke belakang, bertanya, "He, Ken Arok. Kau datang di pagi-pagi begini?"
"Aku memang sengaja memasuki kota di pagi hari." jawab Ken Arok, "aku malu dilihat orang karena pakaianku yang kotor dan kumal ini?"
"Kenapa begitu?"
"Seluruh pakaianku yang aku bawa ketika aku berangkat hanyut ketika aku menyeberang sungai yang banjir."
Tetapi prajurit itu mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa lubang dipakaian itu. Bekas jilatan api.
"Tetapi darimana kau dapatkan api ini?"
Pertanyaan itu membuat Ken Arok berdesir.Diamat-amatinya pakaiannya yang memang tersentuh api meskipun hanya sedikit.
Tetapi segera ia mendapat jawaban, "Aku tidur ditepi perapian di sebuah hutan kecil. Entahlah, apa sebabnya aku tidak mengerti, ketika aku tertidur agaknya kainku tersentuh bara."
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Ia langsung masuk ke dalam biliknya dan kembali meletakkan dirinya di pembaringannya.
Ken Arok pun segera menyelinap pula ke dalam biliknya yang telah beberapa lama ditinggalkannya. Langsung diambilnya beberapa potong pakaian dari dalam geledeg bambu. Dengan tergesa-gesa ia pergi keperigi, dan dengan segarnya ia menyiram tubuhnya dengan air yang dingin.
"Alangkah segarnya air dari Tumapel. Dengan beberapa guyuran, aku telah merasa bersih." katanya di dalam hati, "berbeda dengan air dari Lulumbang. Agaknya air di Lulumbang tercampur dengan lempung."
Sejenak kemudian Ken Arok pun telah berpakaian. Pakaiannya yang kotor itu pun kemudian dilemparnya ketimbunan sampah di kebun belakang baraknya. la tidak mau diganggu lagi oleh bermacam-macam ingatan. Ia sudah memutuskan di dalam hatinya, bahwa ia akan berjalan terus menuju ketempat yang setinggi-tingginya.
Ketika dipagi hari, kawan-kawannya bangun dari tidur, mereka terkejut ketika mereka melihat Ken Arok telah ada di antara mereka.
Dengan lancar Ken Arok berceritera tentang perjalanannya. Tentang desa-desa yang dikunjunginya. Bahwa ia menyeberangi sungai yang sedang banjir, kemudian pakaiannya hanyut tanpa dapat diselamatkannya sama sekali. Adalah malang sekali baginya, karena ketika ia membuat api untuk mengurangi dinginnya malam setelah ia berendam dalam banjir, pakaiannya menyentuh api pula.
Seperti kawan-kawannya yang terdahulu, tidak seorang pun yang menaruh curiga. Mereka mendengar dengan penuh minat. Setelah selesai berceritera, maka mulai kawan-kawannya mengganggunya.
"Kenapa bukan rambutmu saja yang terbakar, he?" teriak salah seorang dari kawan-kawannya.
Ken Arok tertawa, "Bahkan jari-jarikulah yang terbakar."
Yang lain pun tertawa. Tetapi tidak seorang pun yang membayangkan apakah yang sebenarnya telah terjadi dengan anak muda itu. Bahkan tidak seorang pun yang dapat melihat kepusat jantungnya, bahwa warna yang membayang di dalam dada itu, sama sekali sudah jauh berbeda. Bahkan sudah menjadi bertolak belakang. Tumapel kini bagi Ken Arok tidak ubahnya dengan Padang Karautan dimasa-masa lampau. Tempat ia memburu mangsanya tanpa belas kasihan. Tetapi Ken Arok kini telah bertambah masak. Ken Arok kini telah menyimpan pengalaman jauh lebih banyak dan beraneka ragam. Ia kini sudah dapat mengerti watak dan tabiat orang-orang yang hidup dilingkaran istana, tetapi ia juga mengerti, apakah yang ada diseputar Padang Karautan. Ia juga pernah melihat kehidupan di desa-desa, di sudut-sudut daerah Tumapel. Tanah yang subur, tetapi juga tanah yang kering.
Ken Arok yang masih juga tersenyum-senyum itu ternyata telah berubah sama sekali. Yang masih sama adalah bentuk lahiriahnya saja, justru karena Ken Arok telah matang dengan rencananya. Ia memang membuat dirinya tidak berubah. Dengan penuh kesadaran kini ia memaksa bibirnya tersenyum-senyum, wajahnya berseri dan sikapnya yang ramah.
Dengan demikian Ken Arok menjadi semakin banyak mendapat tempat di hati para prajurit, para pengawal dan Pelayan Dalam. Dimana-mana ia mendapat sambutan yang ramah dan menyenangkan tanpa prasangka apapun juga.
Demikianlah Ken Arok dihari-hari mendatang. Ketika saat istirahatnya telah habis, maka mulailah ia bekerja dengan tekun dan rajin. Dengan rendah hati ia melakukan segala macam tugasnya dengan baik. Kadang-kadang seolah-olah tidak disengaja, ia menunjukkan beberapa kelebihannya dari prajurit-prajurit yang lain. Sehingga Ken Arok menjadi semakin banyak dikenal oleh semua golongan di istana Tumapel.
Juga oleh Permaisuri Akuwu Tunggul Ametung. Ken Dedes.
Suasana yang demikian agaknya telah memberikan banyak sekali bantuan kepada Ken Arok. Satu-satu ia menyusun langkah yang harus diambil. Satu-satu ia mulai memilih korban yang akan dijatuhkannya, bahkan yang akan dipakainya alas tempat berpijak.
Dengan tekun Ken Arok mengamati keadaan. Apakah yang dapat dilakukannya sebagai persiapan untuk menjalankan maksudnya.
Yang menjadi pilihannya adalah seorang prajurit yang memiliki sifat-sifat yang dapat dimanfaatkan. Dengan perhitungan yang masak Ken Arok harus dapat memakainya sebagai perisai yang baik.
Itulah sebabnya, maka selanjutnya pergaulan Ken Arok dengan Kebo Ijo menjadi sangat baik. Mereka berdua selalu tampak bersama-sama didalam waktu-waktu senggang mereka. Meskipun kadang-kadang beberapa orang heran melihat tabiat mereka satu demi satu. Ken Arok adalah seorang anak muda yang ramah, rendah hati dan sopan, sedangkan Kebo Ijo adalah seorang yang angkuh, sombong dan pembual.
Namun tidak banyak orang yang mempersoalkannya. Mereka menganggap bahwa hal itu adalah persoalan mereka berdua.
Dengan licin, Ken Arok pun berusaha untuk menjajagi hati Ken Dedes. Ia harus mematangkan waktu yang lima bulan itu. Apabila pada saatnya keris itu sudah siap, maka rencananya harus berjalan sebaik-baiknya.
Hati Ken Arok menjadi berdebar-debar ketika pada suatu kali, ketika ia sedang bertugas di dalam istana, ia melihat Akuwu Tunggul Ametung sedang berkemas. Tanpa sesadarnya ia berdiri saja memandang dari kejauhan, bagaimana Akuwu sedang menimang busurnya sambil tersenyum-senyum.
Namun tiba-tiba Ken Arok itu terkejut ketika ia mendengar Akuwu membentaknya, "He, Ken Arok apa kerjamu di situ?"
Dengan serta merta Ken Arok menjatuhkan dirinya, duduk bersimpuh. Kepalanya menunduk dalam-dalam sambil berkata lirih, "Ampun Tuanku. Hamba sedang bertugas hari ini."
"Tetapi kenapa kau berdiri di situ, he?"
"Ammpun Tuanku. Hamba tidak sadar sama sekali. Hamba sedang memperhatikan betapa baiknya busur yang sedang Tuanku timang, sehingga hamba lupa suba sita."
"Apakah busurku ini baik?" bertanya Akuwu itu kemudian.
"Sesungguhnya busur Tuanku teramat baik."
"Kemarilah." Akuwu itu memanggilnya. Dengan berjongkok Ken Arok maju, naik tangga keruang tengah. Kemudian ia duduk bersila sambil membungkukkan kepalanya dalam-dalam.
"Mendekatlah." panggil Akuwu.
Ken Arok bergeser maju, Ia kini duduk di belakang Witantra.
"Lihat, apakah busurku ini cukup baik?"
"Hamba Tuanku, busur itu amat baik." sabut Ken Arok.
"Bohong." tiba-tiba Akuwu itu berteriak sehingga Ken Arok terperanjat, bahkan Witantra pun terkejut pula.
"Kau bohong ya. Kau menundukkan kepalamu. Dari mana kau tahu bahwa busurku ini baik."
Ken Arok tergagap sejenak, namun kemudian ia menjawab, "Hamba sudah melihatnya tadi Tuanku, justru hamba terpaku sehingga hamba tetap saja berdiri membatu."
Akuwu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, "Sekarang kau mendapat kesempatan untuk melihat dari dekat."
Ken Arok mengangkat wajahnya. Dipandanginya busur Akuwu Tunggul Ametung yang dibuat dari kayu berlian, digosok dengan angkup nangka sehingga menjadi mengkilap. Di beberapa bagian, membelit benang-benang berwarna merah dan hijau, membuat garis-garis melingkar yang manis sekali.
"Bukan main."Ken Arok bergumam.
"Nah, peganglah. Bagaimana menurut pertimbanganmu, apakah busur itu terlampau berat, apakah terlampau ringan?"
Ken Arok ragu-ragu sejenak. Namun kemudian diterimanya busur itu dari tangan Akuwu Tunggul Ametung.
"Bukan main." desis Ken Arok, "hamba belum pernah melihat busur yang demikian bagusnya."
Akuwu Tunggul Ametung mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tidak terlampau berat dan tidak terlampau ringan. Rentangan talinya cukup keras dan tidak terlampau berat tarikannya."
"Ternyata kau mengerti juga tentang busur dan agaknya juga tentang anak panah. Apakah kau pandai juga memanah?"
Ken Arok ragu-ragu sejenak.
"Kalau kau mampu juga memanah, kau akan aku perkenankan ikut serta berburu bersama kami. Maksudku, aku, Witantra dan beberapa orang pengawal."
Ajakan itu membuat Ken Arok berbangga untuk sesaat. Ternyata ia mendapat kepercayaan untuk mengikuti Akuwu berburu. Jarang sekali para hamba istana mendapat kesempatan itu. Tetapi ketika mulutnya sudah hampir mengucapkan terima kasih atas kesempatan itu, tiba-tiba ia mendapat pikiran lain. Bukankah Akuwu akan pergi berburu"
"Bagaimana he?"
Akuwu Tunggul Ametung itu mengerutkan keningnya ketika ia kemudian melihat Ken Arok menundukkan kepalanya. Dengan penuh penyesalan Ken Arok berkata, "Sayang, hamba belum pernah mempelajari dengan sungguh-sungguh bagaimana caranya memanah. Sebenarnya hamba ingin sekali untuk dapat ikut serta, apabila Akuwu memperkenankan. Dengan busur ini mungkin hamba akan dapat belajar sebaik-baiknya."
"Apa he, apa kau bilang?" tiba-tiba Akuwu Tunggul Ametung berteriak sambil merebut busurnya dari tangan Ken Arok. "Busur ini adalah busur istana. Aku baru saja memesannya. Kau sangka kau anak cucuku, sehingga kau dapat memakai busur kerajaan" Gila. Kau sungguh gila."
Ken Arok menjadi gemetar. Kepalanya kini ditundukkannya lagi. Lebih dalam.
"Pergi, pergi sebelum aku pukul kepalamu.Tidak pantas kau ikut berburu bersamaku."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sejenak dipandanginya saja Ken Arok yang gemetar.
"Pergi, cepat pergi." Akuwu berteriak-teriak.
Ken Arok menjadi semakin gemetar. Mulutnya berkumat kumit, tetapi tidak sepatah kata pun yang terucapkan.
"Pergi." sekakali lagi Akuwu berteriak sambil melangkah mendekati Ken Arok yang ketakutan.
Ken Arok pun kemudian beringsut surut. Kemudian hampir merangkak ia meninggalkan ruangan itu dan turun ke serambi belakang istana, ia masih mendengar beberapa patah kata, Akuwu mengumpat-umpat.
Ketika ia sudah sampai di serambi belakang, kemudian turun kehalaman tengah, maka Ken Arok itu pun berdiri tegak sambil menggeliat. Hilanglah segala kesan ketakutan dan kecemasannya. Bahkan kemudian ia tersenyum. "Aku tidak inzin ikut pergi. Aku ingin tinggal di istana yang sepi ini."
Sorot yang aneh kemudian memancar dari sepasang matanya. Sekali ia berpaling, namun ia tidak melihat apa yang terjadi kemudian di ruang dalam.
Jilid 47 "SIAPKAN mereka" perintah Akuwu kemudian kepada Witantra. Wajahnya masih dibayangi oleh kemarahannya kepada Ken Arok, "Aku akan segera berangkat".
"Hamba Tuanku".
Witantra pun kemudian meninggalkan Akuwu seorang diri menimang busurnya, untuk menyiapkan sebuah rombongan kecil yang akan mengikuti Akuwu Tunggul Ametung pergi berburu. Ketika di halaman belakang ia bertemu dengan Ken Arok, maka dengan nada berat ia berkata, "Jangan kau hiraukan lagi kata-kata Akuwu. Ia sendiri akan segera melupakannya. Mungkin lain kali kau akan mendapat kesempatan untuk ikut bersama dengan Akuwu pergi berburu".
Kepala Ken Arok tertunduk. Dengan wajah yang muram ia menjawab, "Aku menyangka bahwa kata-kataku akan menimbulkan kemarahan. Aku akan berkata dan bersikap jujur. Seandainya aku berkata bahwa aku dapat memanah dengan baik, namun ternyata sebaliknya, aku akan dimarahinya juga. Apalagi, tanpa aku sadari aku telah menyinggung busur yang baru itu".
"Besok Akuwu akan melupakan apa yang terjadi hari ini" berkata Witantra.
"Aku belum pernah dimarahi oleh Akuwu seperti ini. Itulah sebabnya aku merasa, bahwa aku seakan-akan telah melalaikan suata kesalahan yang maha besar".
Witantra tersenyum, Jawabnya, "Kau adalah seorang hamba istana yang bertanggung jawab. Kau selalu berbuat seperti seharusnya kau lakukan, Apa yang terjadi sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan tugasmu. Itu hanyalah sekedar salah paham yang tidak akan berpengaruh apa-apa".
"Mudah-mudahan" desis Ken Arok.
"Percayalah.Besok ia pasti sudah akan lupa, apa yang dikatakannya sendiri".
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya dengan wajah yang muram. Tetapi, ketika Witantra kemudian meninggalkannya, sekali lagi ia tersenyum dan berkata kepada diri sendiri, "Witantra hampir sama dungunya dengan Akuwu Tunggul Ametung".
Beberapa lama kemudian Ken Arok berdiri di balik sebatang pohon ketika Akuwu bersama pengawalnya berpacu meninggalkan istana. Tetapi, ketika Akuwu sudah lampau, maka Ken Arok segera melangkah ke samping sambil menganggukkan kepalanya kepada Witantra.
Witantra tersenyum sambil mengangkat tangannya. Kemudian hilang di balik regol samping istana. Yang tinggal hanyalah kepulan debu yang putih.
Ken Arok berpaling ketika ia mendengar seorang prajurit bertanya, "He, kenapa kau bersembunyi?"
Ken Arok mengangkat keningnya, tetapi ia tidak menjawab. Sambil menggelengkan kepalanya ia pun kemudian pergi meninggalkan prajurit itu di tempatnya.
Sepeninggal Akuwu dan beberapa orang pengawalnya, istana ini serasa menjadi lengang. Ken Arok adalah seorang hamba istana yang mendapat kepercayaan karena berbagai jasa. yang telah ditunjukkannya. Itulah sebabnya, maka ia seolah-olah mendapat kepercayaan untuk memasuki setiap ruang di dalam istana ini. Apalagi kedudukannya memang memungkinkannya untuk berbuat demikian.
Tetapi, Ken Arok yang telah matang dengan rencananya itu tidak bertindak dengan tergesa-gesa. Ia harus menggunakan akal dan nalarnya. Tidak sekedar membiarkan perasaan dan nafsunya melonjak-lonjak tidak terkendali. Itulah sebabnya, maka tidak seorang pun yang menaruh curiga terhadapnya. Sikapnya adalah sikap Ken Arok yang mereka lihat sehari-hari, karena mereka, para hamba istana dan para prajurit, tidak melihat, apa yang tersimpan di dalam dada anak muda, pelayan dalam istana Tumapel itu.
Pada hari itu, Ken Arok melakukan tugasnya seperti biasa. Tidak ada kesan perubahan apa pun, dalam pandangan mata orang-orang lain yang berada di istana itu pula.
Setiap orang menganggap, bahwa wajar sekali apabila suatu ketika Ken Arok itu bertemu dengan Permaisuri Ken Dedes yang sedang turun ke halaman, untuk pergi ke taman. Karena Akuwu Tunggul Ametung tidak ada, maka Ken Dedes ingin mencari kesibukan dengan para emban di taman istana.
Dengan hormatnya Ken Arok menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Sambil menunduk Ken Arok bertanya dengan sopannya, "Ampun Tuan Puteri, apakah Tuan Puteri akan pergi ke taman?"
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Tetapi, suaranya agak gemetar, "Ya Ken Arok. Aku akan pergi ke taman".
"Hamba Tuan Puteri" sahut Ken Arok kemudian, "hamba telah membawa beberapa jenis bunga-bungaan dari taman yang hamba buat di Padang Karautan".
Langkah Ken Dedes tiba-tiba berhenti. Dipandanginya wajah Ken Arok untuk sesaat. Dan tanpa disangka-sangka Ken Arok mengangkat wajahnya sehingga tatapan mata mereka bertemu. Tidak seorang pun yang memperhatikan peristiwa sekejap itu. Tidak seorang pun yang melihat wajah Permaisuri menjadi semburat merah. Dan tidak seorang pun yang melihat, bahwa sesuatu yang telah tumbuh di dalam hati permaisuri itu berkembang tanpa dapat dihindarkannya lagi.
Karena itu, maka sesaat Permaisuri itu seakan-akan terbungkam. Kepalanya pun kemudian menunduk dalam-dalam. Sekejap ia kehilangan kesadaran diri, sehingga ia tidak berbuat sesuatu, selain berdiri sambil memandangi ujung ibu jari kakinya.
Para emban tidak ada yang menaruh prasangka apa pun. Mereka hanya menyangka, bahwa Permaisuri sedang mengingat-ingat sesuatu. Mungkin tentang bunga yang dikatakan oleh Ken Arok, di bawa dari Padang Karautan.
Dan ternyata bahwa yang pertama-tama dikatakan oleh Permaisuri itu kemudian adalah benar-benar tentang bunga. Katanya, "Manakah bunga itu, Ken Arok. Apakah kau dapat menunjukkan?"
Ken Arok tergagap sejenak. Ia tidak menyangka bahwa Permaisuri akan minta kepadanya untuk menunjukkan bunga itu, yang sama sekali tidak pernah ada di dalam taman. Jangankan bunga yang dibawanya dari Padang Karautan, sedang bunga yang ada di dalam taman itu pun sama sekali tidak mendapat perhatiannya. Namun demikian ia menjawab, "Baiklah Tuan Puteri. Tetapi, sudah agak lama hamba tidak melihat, apakah bunga itu masih ada dan dapat hidup baik untuk seterusnya".
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Jawabnya, "Pergilah. Berjalanlah di depan".
"Ampun Tuan Puteri, hamba akan berjalan di belakang".
"Berjalanlah di depan".
Ken Arok tidak dapat membantah lagi. Meskipun terasa punggungnya seolah-olah dijalari oleh segenggam ulat yang paling gatal, namun ia berjalan juga di depan Permaisuri.
Ketika mereka memasuki taman, keringat Ken Arok menjadi semakin banyak mengalir. Ia tidak tahu, kemana ia harus pergi untuk menunjukkan bunga yang dibawanya dari Padang Karautan, sehingga untuk sesaat ia berdiri membatu di regol taman.
Ken Dedes yang kemudian berdiri dibelakangnya terhenti juga. Setelah sejenak Ken Arok berdiri diam, terpaksa Permaisuri itu bertanya, "Manakah bunga itu?"
Ken Arok berpaling. Kemudian dibungkukkannya kepalanya dalam-dalam. Namun sementara itu ia melihat, bahwa para emban tidak berdiri terlampau dekat dengan permaisuri.
Sejenak Ken Arok dicengkam oleh kebimbangan. Apakah ia akan mencoba menjajagi perasaan Permaisuri saat itu juga, justru ketika Permaisuri itu bertanya tentang bunga kepadanya" Dan justru bahwa bunga yang sesungguhnya tidak ada.
Ken Arok menjadi semakin berdebar-debar, dan bahkan jantungnya serasa akan meledak ketika sekali lagi Permaisuri bertanya, "Kenapa kau berhenti, Ken Arok?"
Dalam keadaan yang demikian, maka tiba-tiba tumbuhlah kedirian Ken Arok yang sebenarnya. Seorang anak yang paling liar di seluruh Tumapel. Meskipun kini ia berdiri dengan kepala menunduk dalam-dalam, meskipun ia berpakaian seperti seorang pelayan dalam, namun ia tidak berhasil membuat hati dan jantungnya sewarna dengan pakaian lahiriahnya.
Karena itu, seperti api yang tersekap dalam sekam, maka ketika Ken Arok tidak mampu lagi menahan dirinya, meledaklah perasaan yang selama ini membakar dadanya.
Meskipun kepalanya masih menunduk, namun Ken Arok kemudian berkata sangat lambat, sehingga hanya dapat di dengar oleh Permaisuri itu sendiri, "Ampun Tuan Puteri, ternyata hamba tidak memindahkan bunga dari Padang Karautan, tetapi hamba memindahkan bunga dari Padepokan Panawijen, dan sama sekali tidak hamba tanam di dalam taman ini".
Sepercik pertanyaan membayang di wajah Permaisuri itu. Ia tidak segera menangkap arti kata-kata Ken Arok, sehingga sesaat ia berdiri saja membisu sambil memandang wajah Ken Arok yang tertunduk.
"Jadi?" bertanya Permaisuri itu kemudian, "Di manakah kau tanam bunga itu".
Ken Arok menjadi ragu-ragu sejenak.Namun kemudian ia memutuskan, "Matilah, aku sekarang kalau aku akan mati. Buat apa aku hidup lebih lama lagi, kalau semua impianku itu tidak akan dapat terwujud" Seharusnya aku memang segera mengetahui, apakah berguna untuk berbuat seterusnya, atau aku harus menghentikannya sekarang, kemudian membunuh diri".
Permaisuri itu menjadi bingung karena Ken Arak tidak segera menjawab. Karena itu, untuk melepaskan kegelisahannya ia mendesak, "Di mana kau tanam bunga itu Ken Arok?"
Kini Ken Arok telah sampai pada tangga terakhir dari pengkhianatannya. Karena ilu, maka dengan dada berdebar-debar dan jantung yang serasa meledak ia berkata, "Ampun Tuan Puterri, bunga itu ada di dalam dada ini".
Jawaban Ken Arok itu serasa petir yang meledak di dalam telinga Permaisuri Ken Dedes. Sejenak ia tegak seperti patung yang membeku. Namun kemudian darahnya seakan-akan berhenti mengalir.
Taman bunga yang telah berada beberapa jengkal dihadapannya, serasa berputaran mengelilinginya.Semakin lama menjadi semakin cepat. Semakin cepat dan semakin cepat.
Permaisuri Ken Dedes itu seakan-akan kehilangan keseimbangannya.Sejenak ia terhuyung-huyung. Lamat-lamat bibirnya bergerak dan memanggil, "Emban, emban".
Emban yang berdiri beberapa langkah daripadanya tidak mendengar panggilan itu, sehingga Ken Dedes mengulanginya, "Emban, kemarilah".
Tetapi, emban itu juga belum mendengarnya. Mereka berdiri sambil berbisik-bisik di antara mereka. Mereka tidak melihat, bahwa wajah Permaisuri menjadi terlampau pucat, dan keringat dinginnya telah membasahi seluruh tubuhnya.
Ken Arok menyadari keadaan itu, sehingga dengan serta-merta ia memanggil, "He, emban, lihatlah Tuan Puteri itu".
Emban yang masih berbisik-bisik diantara mereka itu terkejut. Segera mereka berlari-lari mendapatkan Permaisurinya yang sudah hampir kehilangan keseimbangan sama sekali.
Melihat Ken Dedes yang pucat dan berkeringat itu, para emban menjadi bingung. Beberapa orang di antara mereka segera berusaha menahan agar Ken Dedes tidak terjatuh. Namun beberapa orang yang lain hanya kebingungan saja tanpa berbuat sesuatu.
"Ampun Tuan Puteri, kenapa Tuan Puteri?"
Ken Dedes tidak menyahut. Ia berusaha berpegangan kepada dua orang emban yang berdiri di kedua sisinya.


02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan kembali ke istana emban" desis Permaisuri.
"Tetapi, kenapakah sebenarnya Tuan Puteri?"Ken Dedes menggeleng, "Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja aku merasa pening".
"Marilah Tuan Puteri". berkata salah seorang dari emban itu, "Hamba antar Tuan Puteri kembali ke istana".
Kedua emban yang masih sempat berpikir itu segera memapah Ken Dedes kembali ke istana. Sementara yang lain masih saja kebingungan.
Sementara itu, Ken Arok masih berdiri tegak seperti patung. Ia sadar, bahwa keadaan Permaisuri itu adalah akibat dari kata-katanya. Tetapi, ia belum tahu pasti, apakah tanggapan Permaisuri itu sebenarnya.
Tetapi, tekat Ken Arok sudah tidak dapat diredakan. Ia bergumam di dalam hatinya, "Hanya ada dua pilihan, mukti atau mati. Kalau aku harus mati, biarlah itu cepat terjadi. Besok atau lusa, kalau Akuwu kembali dari berburu, Permaisuri pasti akan mengatakannya, bahwa aku telah berkhianat. Pada hari itu juga aku akan di gantung di depan regol samping istana, atau di tengah alun-alun. Tetapi, apabila besok atau lusa Akuwu Tunggul Ametung kembali, dan aku tidak segera harus menjalani hukuman mati, maka itu suatu pertanda bahwa Permaisuri Ken Ddes tidak marah kepadaku. Aku akan berjalan terus sesuai dengan rencanaku".
Ken Arok itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih melihat emban pemomong Ken Dedes yang kebetulan tidak ikut pergi ke taman berlari-lari menyongsong momongannya. Kemudian membantu memapahnya masuk ke dalam istana.
Dengan penuh kasih sayang emban tua itu membawa Ken Dedes berbaring di pembaringannya. Kemudian dibelainya keningnya dan di pijit-pijitnya pundaknya.
"Kenapa Tuan Puteri?" dengan sareh ia bertanya, "Apakah Tuan Puteri sakit?"
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang wajah pelayan dalam yang masih muda itu berdiri sambil tersenyum.Tiba-tiba pula teringat olehnya, pergaulan masa kecilnya. Kemudian pada saat ia tumbuh menjadi dewasa.
Sepercik kenangan telah membayang di rongga matanya, tentang seorang anak muda yang bernama Wiraprana. Tanpa sesadarnya Ken Dedes itu mulai memperbandingkannya. Dan tiba-tiba saja ia berkata di dalam hatinya, "Kenapa kedua mempunyai beberapa persamaan" Tetapi, aku tidak dapat mengatakan, dimanakah letak persamaan itu".
Permaisuri itu terkejut ketika ia mendengar suara embannya, "Apakah Tuanku menjadi pening sekali?" Ken Dedes mengangguk.
"Kenapa Tuan Puteri" Apakah Tuan Puteri terkejut, atau cemas atau tiba-tiba saja teringat akan sesuatu?"
Ken Dedes menggelengkan kepalanya, "Tidak bibi?"
"Lalu, kenapa Tuanku tiba-tiba saja menjadi hampir pingsan?"
Permaisuri itu menggelengkan kepalanya, "Aku tidak tahu bibi. Tiba-tiba saja mataku menjadi berkunang-kunang, dan taman itu seolah-olah berputar. Badanku menjadi sangat dingin, tetapi peluhku serasa terperas dari tubuh".
"Mungkin Tuan Puteri terlampau lelah. Atau Tuan Puteri mempunyai suatu keinginan yang tidak terucapkan. Apakah Tuan Puteri ingin ikut berburu?"
Ken Dedes menggelengkan kepalanya, "Tidak bibi. Aku tidak mempunyai keinginan apa pun juga".
Emban tua itu tidak bertanya lagi. Kini ia memijit lengan dan pergelangan Permaisuri yang menjadi dingin sekali. Ketika seorang emban membawa minyak kelapa dan brambang, maka segera diulaskannya pada telapak kaki Ken Dedes supaya menjadi hangat.
"Tidurlah Tuan Puteri" berkata emban tua itu, "Kalau Tuanku dapat tidur, maka Tuan Puteri pasti akan segera sembuh".
Ken Dedes menganggukkan kepalanya. Dipejamkannya matanya dan dicobanya untuk melupakan apa yang baru saja terjadi.
"Aku salah dengar" berkata Permaisuri itu kepada diri sendiri di dalam hatinya, "Mudah-mudahan aku salah dengar".
"Tetapi," suara itu terdengar pula di relung jantungnya, "Ia bersungguh-sungguh. Aku pasti, ia telah mengatakannya".
Ken Dedes menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian ditutupnya wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Permaisuri itu terkejut ketika embannya bertanya pula, "Apakah ada yang mengganggu perasaan Tuan Puteri?"
"Oh, tidak bibi, tidak". jawabnya dengan serta-merta.
"Aku hanya merasa terganggu sekali, bahwa aku tidak dapat segera tidur. Aku ingin beristirahat, dan tidur dengan nyenyak".
"Tuanku harus meletakkan semua beban perasaan" sahut embannya, "Mudah-mudahan Tuanku segera dapat tidur. Hamba akan berada di luar pintu".
Ken Dedes tidak menyahut, tetapi ia mengangguk-angguk kecil.
Emban tua itu pun segera meninggalkan Ken Dedes seorang diri berbaring di dalam biliknya. Namun kesendiriannya itu agaknya telah memberi kesempatan kepadanya, kepada angan-angannya, untuk menyelusuri dunia yang mengambang. Pikirannya jauh menerawang ke alam yang tidak dapat disentuhnya. Dan dalam dunia yang asing itulah terjadi benturan yang dahsyat antara perasaan keperempuanannya dengan pikiran wajarnya.
"Aku seorang Permaisuri" suara itu terdengar melengking di dadanya. Namun kemudian terdengar suara yang lain, "Tetapi, aku belum pernah meneguk betapa manisnya memadu cinta. Aku telah kehilangan masa remajaku, dan aku terlempar ke dalam sangkar emas yang mengurungku kini".
Berganti-ganti membayang di dalam angan-angannya wajah-wajah Kuda Sempana, wajah Tunggul Ametung, Mahendra dan Wiraprana. Terbayang pula wajah-wajah lain yang pernah disebut-sebut oleh ayahnya dahulu ingin melamarnya.
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Terasa denyut jantungnya menjadi semakin cepat berdetak.
"Aku berhak menikmati cinta itu" desisnya, "Seperti anak-anak muda yang lain, yang kawin dengan laki-laki yang mereka cintai".
Demikianlah, dada Ken Dedes itu serasa terbakar oleh benturan perasaan yang tidak dapat dikendalikan, sehingga akhirnya ia tidak dapat menahan hatinya lagi.
Pemomongnya yang berada di luar pintu menjadi cemas, ketika ia mendengar Ken Dedes itu sama sekali tidak tertidur, namun justru menangis. Karena itu, maka perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan memasuki bilik itu dengan hati-hati. Supaya tidak mengejutkan Permaisuri yang sedang menangis itu, emban pemomongnya terbatuk-batuk kecil di depan pintu.
Emban tua itu pun kemudian duduk bersimpuh di samping pembaringan Permaisuri itu sambil bertanya perlahan-lahan, "Apakah sebenarnya yang telah mengganggu perasaan Tuan Puteri" Sejak Tuanku masih kecil hamba selalu melayani Tuan Puteri. Tuan Puteri tidak pernah menyimpan rahasia kepada hamba. Kini agaknya sesuatu sedang mengganggu hati Tuan Puteri. Apakah salahnya kalau Tuan Puteri bersedia membaginya dengan hamba. Mungkin hamba dapat membantu mencari jalan untuk menyelesaikan kesulitan yang agaknya sedang Tuanku sandang".
Tetapi, Ken Dedes yang sekarang bukan Ken Dedes yang dahulu. Perlahan-lahan Permaisuri itu menggeleng, "Aku tidak apa-apa bibi.Tetapi, kepalaku terlampau pening".
Namun emban tua itu pun menggelengkan kepalanya pula. Katanya, "Hamba melihat sesuatu yang menyesak di dalam hati Tuanku".
"Tidak bibi, sungguh tidak".
Emban itu menarik nafas dalam-dalam.Kemudian dibelainya Ken Dedes itu seperti ia membelainya di masa kanak-kanak. Dengan suara yang lembut emban itu berkata, "Tuanku, sejak Tuanku kecil aku selalu, melayani Tuanku. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Pada saat-saat Tuanku berada di dalam kesulitan, yang betapa pun juga, Tuanku selalu mengatakannya kepada hamba. Bahkan pada saat ayahanda Tuan Puteri menerima lebih dari sepuluh lamaran bersama-sama. Ternyata Tuan Puteri tidak menghendaki seorang pun diantara mereka. Tetapi, Tuanku tidak berani mengatakannya. Bukankah Tuanku ingat bahwa Tuanku mengatakannya kepada hamba, bahwa Tuan Puteri telah mempunyai pilihan".
"Jangan, jangan bibi" tangis Ken Dedes justru menjadi semakin keras. Sambil memeluk pemomongnya ia berkata terus, "Jangan kau katakan lagi tentang hal itu bibi. Kau akan mengungkit luka yang masih membekas di dalam hati, yang justru kini seakan-akan telah menjadi parah kembali".
Emban tua itu mengerutkan keningnya. Jawaban itu wajar sekali. Agaknya Ken Dedes tidak mau mengenang masa-masa yang baginya terasa terlampau pahit itu. Namun yang menyentuh jantung emban tua itu adalah pengakuan Ken Dedes, "yang justru kini seakan-akan telah menjadi parah kembali".
Emban tua itu menjadi berdebar-debar. Apakah yang sebenarnya sedang mengganggu hati pemomongnya ini" Apakah kenangan lama itu justru sedang tumbuh di dalam hatinya dan menimbulkan kejutan yang hampir membuatnya pingsan"
"Tentu ada rangsang apapun yang menuntun kenangannya terbang kembali kemasa-masa itu" berkata emban itu di dalam hatinya. Dan itu terjadi terlampau tiba-tiba. Tadi, sebelum emban itu meraba ke dalam dunia yang hanya dikhayalkan saja oleh Ken Dedes, dan yang membuatnya semakin terisak, emban itu menduga bahwa sebenarnya Ken Dedes tiba-tiba saja menjadi pening dan mungkin gangguan pada bagian-bagian tubuhnya. Tetapi, kini ia berpikir agak lain.
"Sebelum Akuwu meninggalkan istana, Permaisuri sama sekali tidak menunjukkan gejala-gejala yang demikian" berkata emban itu di dalam hatinya. Meskipun demikian, emban itu sama sekali tidak mempunyai petunjuk, ke arah mana ia harus mencari jawaban.
Di hari berikutnya, Permaisuri tampak lebih banyak merenung. Namun setelah matahari memanjat agak tinggi, tiba-tiba Permaisuri itu berminat untuk pergi ke taman.
"Kali ini kau harus ikut bibi" berkata Permaisuri itu kepada pamomongnya.
"Hamba Tuanku. Apa perintah Tuanku, akan baik untuk hamba".
Permaisuri itu kemudian segera berkemas. Beberapa kali ia menukar pakaiannya dan beberapa kali pemomongnya membantunya menyanggul rambutnya.
"Aneh" desis emban itu di dalam hati, "Tuan Puteri tidak pernah berpakaian demikian rapinya untuk sekedar pergi ke taman". Tetapi, emban tua itu tidak berani bertanya.
Dengan beberapa yang lain, Permaisuri itu pun kemudian pergi ke taman. Suatu kebiasaan baru baginya. Biasanya Tuan Puteri Ken Dedes berjalan-jalan ke taman di sore hari. Jarang sekali terjadi, Ken Dedes turun ke taman di pagi hari.
"Mungkin Tuan Puteri kesepian karena Akuwu belum kembali dari berburu" desis beberapa emban dan palayan yang melihatnya. Namun selanjutnya mereka sama sekali tidak mempersoalkannya lagi.
Para emban itu juga tidak menghiraukan, kenapa Tuan Puteri berjalan terlampau lambat. Mereka tidak memperhatikannya, bahwa Permaisuri itu selalu menebarkan pandangan matanya ke segenap sudut-sudut halaman.Diamat-amatinya setiap prajurit, pelayan dalam dan para pengawal yang sedang bertugas. Namun setiap kali ia menjadi kecewa dan menarik nafas dalam-dalam.
Hanya emban tua pemomongnyalah yang memperhatikan semua itu. Dengan persoalan yang semakin membelit hatinya ia melihat kelainan yang tiba-tiba saja menghinggapi Permaisuri momongannya itu, meskipun masih terlampau sukar untuk diselusuri sebab-sebabnya.
Seperti seorang ibu yang mengamat-amati tabiat dari anak tercinta. Demikianlah, emban tua pemomong Ken Dedes itu mencoba melihat apakah yang sebenarnya telah menarik perhatian Permaisuri itu. Emban tua itu selalu memandang apa yang di pandangi oleh Permaisuri dan mengamat-amati olehnya. Setiap lembar daun yang di sentuh oleh Permaisuri itu tidak luput dari sentuhan tangannya pula. Ia ingin mencari sebab kemurungan hati Permaisuri itu, dan apakah yang telah menyeretnya pagi ini pergi ke taman.
Emban tua itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat tiba-tiba saja permaisuri itu tertegun beberapa langkah di depan regol taman. Sejenak ia melihat sepercik sinar yang aneh memancar di wajah itu. Namun sejenak kemudian wajah itu pun tertunduk dalam-dalam.
Wajah emban tua itu pun dengan tiba-tiba telah menegang, wajahnya memandang ke tempat yang telah membuat wajah Permaisuri berubah dengan tiba-tiba.
Wajah emban tua itu pun dengan tiba-tiba telah menengang. Sejenak ia membeku di tempatnya. Namun sejenak kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kemudian wajah Permaisuri yang menunduk.
Orang tua itu seakan-akan tidak percaya akan yang telah dilihatnya. Sebagai seorang tua ia mempunyai tanggapan atas peristiwa yang terjadi hanya sekejap itu.
Ketika ia sekali lagi mengangkat wajahnya dan memandang ke dalam taman, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ia melihat seorang anak muda yang seolah-olah membantu sambil menundukkan kepalanya pula. Seorang anak muda dalam pakaian seorang pelayan dalam. Ken Arok.
Tiba-tiba tubuh emban tua itu menjadi gemetar, seperti Permaisuri Ken Dedes. Namun dengan susah payah pemomong itu berhasil mempertahankan keseimbangan nalarnya. Dengan sepenuh kesadaran ia berhasil menguasai dirinya. Sehingga kemudian dengan sareh ia bertanya, "Tuan Puteri, kenapa Tuan Puteri berhenti di sini?"
"O" Ken Dedes tergagap, "Tidak bibi, tidak apa-apa".
"Apakah Tuan Puteri akan memasuki taman?"
"Ya, ya" sahut Ken Dedes yang perlahan-lahan telah berhasil menguasai dirinya, "Aku akan pergi ke taman".
"Marilah Tuan Puteri".
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Ia berjuang untuk tidak hanyut lagi dalam arus goncangan perasaan seperti kemarin, yang dengan tiba-tiba ia telah dihempaskan ke dalam suatu keadaan yang tidak disangka-sangka, sehingga ia tidak mempunyai persiapan apapun untuk menghadapinya.
Kini ia berada dalam keadaan yang lebih baik dari kemarin, meskipun dadanya masih juga terasa terguncang. Pengakuan Ken Arok tentang bunga yang dipindahkannya dari Panawijen ke dalam dadanya membuatnya hampir-hampir kehilangan kesadaran.
Ken Dedes itu mengangguk ketika sekali lagi emban pemomongnya mendesak, "Marilah Tuanku".
"O" Permaisuri itu berdesah. Kemudian dengan berat diangkatnya kakinya dan melangkah maju memasuki taman.
Para emban yang lain sama sekali tidak memperhatikan peristiwa yang terjadi tidak terlampau lama itu. Mereka hanya menyangka bahwa Ken Dedes menjadi ragu-ragu karena teringat keadaannya kemarin. Atau semula mereka menjadi agak cemas jangan-jangan Permaisuri akan terserang penyakitnya yang kemarin itu pula.
Tetapi, ketika Permaisuri itu kemudian melangkah maju, mereka sama sekali sudah melupakannya. Mereka sudah mulai berbisik-bisik lagi di antara mereka. Mereka mulai memperkatakan diri mereka sendiri. Ada pula yang memperkatakan jenis-jenis bunga yang menjadi semakin banyak, dan ada pula yang menjadi heran, apa saja kerja pelayan dalam yang cakap itu di dalam taman sepagi ini" Tetapi, mereka tidak melihat sorot mata Ken Arok yang seolah-olah akan membakar tubuh Permaisuri Ken Dedes itu.
Dengan kaki gemetar Ken Dedes memasuki taman. Segera ia pergi ke arah yang barlawanan dari tempat Ken Arok berdiri mematung. Permaisuri itu tidak membalas dan bahkan seakan-akan tidak melihat, ketika dengan penuh hormat Ken Arok menganggukkan kepalanya dalam-dalam.
"Hem" Ken Arok itu berdesah di dalam dadanya, "Burung-burung akan menjadi gila melihat kecantikannya di cemerlangnya pagi".
Dan matanya hampir-hampir tidak berkedip melihat Permaisuri yang kemudian membelakanginya. Ken Arok itu pun tidak melihat, bahwa sepasang mata wanita tua selalu memperhatikannya dengan saksama.
Di sudut taman itu kemudian Permaisuri berhenti dan duduk di atas sepotong kayu yang di alasi dengan kulit domba yang lunak. Dicobanya untuk memandangi ujung dedaunan yang sedang bersemi dan kuncup-kuncup yang hampir mekar. Namun matanya seolah-olah tidak melihatnya. Pandangannya yang kosong bergerak-gerak tidak menentu, sama sekali tidak sejalan dengan rabaan ujung jarinya yang lentik.
Emban tua pemomongnya duduk bersimpuh di atas rerumputan meskipun masih basah oleh embun. Terasa getar di dadanya seolah-olah menjadi semakin cepat. Sekali-kali ia masih mencoba memandangi Ken Arok yang masih berdiri di tempatnya, tanpa menghiraukan dua orang juru taman yang lewat di mukanya sambil menjinjing parang menyabit rumput.
Ken Arok pun sama sekali tidak melihat juru taman itu kemudian menghilang di balik regol butulan, karena ia tidak dapat meneruskan pekerjaannya justru di dalam taman itu sedang hadir Permaisuri Ken Dedes.
Betapapun pahitnya, namun emban tua itu telah memberanikan diri berkata kepada dirinya sendiri, "Inilah agaknya yang telah membuat Permaisuri menjadi murung". Namun sebuah pertanyaan telah terselip di dadanya pula, "Tetapi, kenapa dengan tiba-tiba.Perasaan yang demikian akan tumbuh dengan perlahan-lahan karena mereka telah sering betemu. Ken Dedes tidak baru kemarin melihat anak muda yang bernama Ken Arok itu dan sebaliknya".
Emban itu tidak segera dapat menemukan jawabnya. Tetapi, sesuatu yang hampir pasti, "Ken Dedes telah dipengaruhi oleh perasaan seorang perempuan atas seorang laki-laki".
Tangkapan emban tua itu atas sikap Ken Dedes telah membuatnya sangat prihatin. Meskipun ia belum yakin akan kebenarannya, namun ia condong pada dugaan itu.Ia tidak melihat alasan lain yang dapat dipakainya untuk menilai keadaan Permaisuri.
Ternyata Ken Dedes juga tidak lama berada di dalam taman. Ia tidak berjalan-jalan melihat-lihat seperti biasanya, dan memetik kuncup bunga untuk di bawa ke dalam biliknya. Ia hanya sekedar duduk dan termenung. Kemudian berdiri dan berkata kepada pemomongnya, "Kita akan kembali emban".
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada yang dalam ia menjawab, "Marilah Tuan Puteri".
Permaisuri itu pun kemudian berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat duduknya.Sejenak matanya beredar ke seluruh taman. Agaknya ia sedang mencari sesuatu.
Emban tua itu masih saja selalu memperhatikannya.Ken Arok memang sudah tidak berdiri di tempatnya lagi. Tetapi, emban tua itu tahu pasti, bahwa Ken Arok tidak akan pergi terlamapau jauh. Ia pasti berada beberapa langkah saja dari regol.
Dugaan emban tua itu tepat. Begitu Permaisuri melangkahkan kakinya keluar regol taman, langkahnya itu pun tertegun. Wajahnya kemudian menjadi pucat, dan keringat dingin mengembun di keningnya.
Sekilas pandangan matanya berbenturan dengan tatapan mata Ken Arok yang seolah-olah telah membakar jantungnya. Kemudian pandangan matanya itu pun jatuh di atas tanah yang di tumbuhi oleh rerumputan yang hijau.
Permaisuri itu menjadi bingung ketika Ken Arok membungkukkan kepalanya dalami sambil bertanya perlahan-lahan, "Ampun Tuanku. Tuanku hanya sebentar sekali berada di dalam taman".
Keringat dingin semakin banyak mengalir di kening dan punggungnya. Terbata-bata ia menjawab, "Ya, ya. Aku sudah terlampau lelah".
"Bukankah Tuanku baru saja datang ke dalam taman ini?"
"Ya" Ken Dedes mengangguk.
"Dan sekarang Tuanku telah kembali ke istana?"
"Ya". Ken Arok pun menjadi bingung, apa yang akan dikatakannya. Namun sekali lagi ia mencoba memandang wajah Permaisuri itu walaupun hanya sekilas, kemudian berkata pula, "Silahkan Tuanku".
"Oh" Ken Dedes tergagap. Sambil meremas tangannya sendiri, ia berkata, "Aku akan kembali ke istana".
Ken Arok tidak menyahut lagi. Sambil membungkuk dalam-dalam ia melangkah surut, seolah-olah memberi kesempatan kepada Permaisuri untuk berlalu.
Ken Dedes pun tidak mengucapkan sepatah kata lagi. Dengan dada yang berdebar-debar ia berjalan langsung masuk ke dalam biliknya. Hanya emban pemomongnya sajalah yang mengikutinya sampai ke dalam bilik. Yang lain segera berkumpul di ruang belakang. Mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi apa yang telah terjadi. Mereka telah mulai lagi berbicara tentang diri mereka sendiri. Saling mengganggu dan mengejek.
Sementara itu, Ken Dedes langsung berbaring di pembaringannya tanpa berganti pakaian. Permaisuri itu hampir-hampir tidak tahu, bahwa emban pamomongnya duduk bersimpuh di sampingnya, apabila emban itu tidak bertanya, "Apakah Tuanku tidak akan berganti pakaian dahulu?"
"Oh" Permaisuri itu berpaling, "Aku terlampau lelah bibi. Nanti sajalah".
Emban tua itu menggigit bibirnya. Sambil mengangguk-angukkan kepalanya ia bertanya, "Apakah hamba diperkenankan untuk meninggalkan bilik Tuanku?"
"Tunggu bibi" jawab Permaisuri itu sambil bangkit dari pembaringannya. Namun sejenaik kemudian ia berkata, "Ah, baiklah. Aku kira tidak ada yang harus kau lakukan pagi ini".
"Hamba Tuanku. Kalau begitu, hamba akan mohon diri".
Dahi Ken Dedes itu berkerut.Agaknya ia sedang memikirkan sesuatu. Namun kemudian ia mengangguk, "Baiklah emban. Tetapi, jangan pergi. Mungkin aku memerlukanmu".
Emban tua itu pun segera meninggalkan bilik itu.Tetapi, ia tidak pergi seperti pesan Permaisuri. Ia duduk saja di depan bilik itu sambil merenung.
Tiba-tiba, pandangan mata emban tua itu menjadi kabur.Ketika ia mengusap matanya, terasa tangannya menjadi hangat. Setitik air telah melelah dari mata yang tua itu.
Satu-satu terbayang berbagai macam kenangan masa lampau. Sejak ia merawat seorang gadis padepokan yang masih kecil. Gadis yang kemudian mekar menjadi sekuntum bunga di lereng Gunung Kawi. Namun ketika bunga itu mulai kembang, seakan bertiup badai yang kencang, mengguncang-guncangnya dan menghentak-hentakkannya tanpa belas kasihan.
Terbayang kembali di dalam angan-angan emban tua itu, betapa ia mencoba melindungi gadis itu dari renggutan tangan Kuda Sempana. Terbayang pula sepasukan prajurit di bawah pimpinan Tunggul Ametung sendiri merampas gadis itu. Yang terakhir, Ken Dedes adalah seorang Permaisuri dari Akuwu Tunggul Ametung.
Terkilas pula seleret kenangan tentang Wiraprana, dan kemudian tentang anaknya sendiri Mahisa Agni.
"Hem" emban tua itu berdesah. Dicobanya untuk mengusir kenangan yang telah mengganggu ingatannya itu.
"Tidak ada gunanya" katanya kepada diri sendiri "Semuanya itu sudah berlalu. Yang sekarang dihadapi oleh Ken Dedes adalah suatu masa yang terlampaui di masa remajanya. Sepeninggal Wiraprana, maka ia merasa kehilangan hari-hari yang penuh dengan angan-angan tentang masa depan. Perkembangan keadaan telah melemparkannya ke dalam istana. Dengan susah payah Ken Dedes berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan menekan semua perasaannya, dengan berusaha melupakan masa-masa yang hilang itu. Namun agaknya kini tiba-tiba saja, masa itu tumbuh kembali dalam hatinya yang semula telah menjadi hambar. Agaknya anak muda yang berpakaian seperti pelayan dalam itulah yang telah melemparkannya kembali ke dalam dunia angan-angan, seorang gadis remaja".
Sekali lagi emban tua itu mengusap matanya yang menjadi panas. Dan sekali lagi terasa setitik air mata telah pecah di pelupuknya.
"Apakah akan jadinya apabila perasaan ini berkembang terus di dalam hatinya?" berkata orang tua itu kepada diri sendiri, "Apalagi, menilik sikap Ken Arok yang pasti akan menanggapinya" emban itu berdesah, "Ya, laki-laki manakah yang akan menolak tumpahan kasih dari seorang perempuan secantik Ken Dedes?"
Emban tua itu kemudian bangkit berdiri dan menjengukkan kepalanya dari pintu yang tidak digerendel. Ia menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya Permaisuri Ken Dedes itu tidur dengan nyenyaknya. Bibirnya yang tipis membayangkan sebuah senyuman yang aneh.
Karena Permaisuri itu tidur, maka emban itu pun kemudian meninggalkannya setelah pintunya di tutup rapat. Kepada seorang emban yang lain, ia berpesan untuk menungguinya di luar pintu apabila Permaisuri itu memerlukan seseorang untuk membantunya.
"Mudah-mudahan Akuwu segera kembali" emban itu mengharap di dalam hatinya, "Apabila suaminya ada, maka Permaisuri itu akan tidak mendapat kesempatan untuk berpikir tentang hal-hal lain yang dapat menyeretnya ke dalam malapetaka".
Tetapi, ternyata hari itu pun Akuwu masih belum kembali. Karena itu, maka Ken Dedes masih mendapat kesempatan yang luas untuk merenungkan mimpinya yang indah.
Ketika emban tua itu kembali ke bilik Ken Dedes di sore hari, sekali lagi hatinya berguncang. Permaisuri yang masih belum mandi, tetapi masih mengenankan pakaian yang dipakainya turun ke taman, sedang bercakap-cakap dengan Ken Arok di tangga serambi belakang.
Meskipun anak muda itu bersikap terlampau hormat kepada Ken Dedes, namun emban tua itu tidak dapat menyangsikan lagi menilik tatapan mata keduanya.
"Betapa malang nasib anak itu, apabila ia tidak berhasil merenggut dirinya dari tangan iblis ini" desisnya.
Tetapi, emban tua itu tidak segera dapat berbuat sesuatu.
Kehadirannya agaknya telah mengganggu percakapan kedua orang itu, sehingga dengan hormatnya Ken Arok membungkukkan kepalanya sambil berkata, "Ampun Tuan Puteri. Hamba akan melanjutkan tugas hamba, mengelilingi istana di bagian dalam".
"Pergilah" jawab Ken Dedes sambil tersenyum. Sepeninggal Ken Arok, Ken Dedes kembali masuk ke biliknya, dan kembali ia meletakkan tubuhnya di pembaringan.
"Tuan Puteri" berkata emban tua itu, "Apakah Tuan Puteri tidak hendak mandi dahulu?"
"Sebentar lagi emban. Aku baru saja bangun tidur".
"Apakah tidak dilayankan makan siang bagi Tuan Puteri?"
"Aku baru bangun bibi. Aku memang belum makan".
"O, kalau begitu, Tuan Puteri sebaiknya mandi dahulu. Kemudian hamba persilahkan untuk bersantap. Kalau Tuan Puteri terlampau lambat makan, mungkin Tuan Puteri akan menjadi tidak sehat badan hari ini".
Permaisuri itu tersenyum sambil bangkit dari pembaringannya. Ditepuknya bahu emban tua itu. Katanya, "Kau terlampau baik bibi. Baiklah, aku akan mandi".
"Biarlah hamba menyuruh menyediakan air hangat dahulu Tuan Puteri, sementara Tuan Puteri melepaskan sanggul.Nanti hamba tolong melepaskan pakaian Tuan Puteri".
Ken Dedes tertawa. Jawabnya, "Baiklah".
Emban tua itu pun segera memanggil seorang emban yang lain, dan memberitahukan bahwa Permaisuri akan mandi.
"Oh, tentu air panas itu belum tersedia. Tidak menjadi kebiasaan Tuan Puteri mandi terlampau cepat".
Emban tua itu mengerutkan keningnya. Ditengadahkan wajahnya ke langit sambil bergumam, "Mengapa terlampau cepat?"
"Matahari masih terlampau tinggi. Tetapi, agaknya langit disaput oleh mendung".
"Tidak apa. Permaisuri akan mandi sekarang" emban itu mengangguk. Kemudian ditinggalkannya emban tua itu dalam keragu-raguan.
"Apakah aku benar-benar telah menjadi pikun, atau memang aku sudah hampir menjadi gila" desisnya, "Aku sudah tidak mengenal waktu lagi. Tetapi, lebih baik mandi dahulu baru makan, daripada makan sekarang, kemudian sebentar lagi terus mandi" gumamnya.
Emban tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya ketika ia melihat, Permaisuri itu setelah mandi, segera berkemas. Bukanlah menjadi kebiasaannya pula untuk bersolek demikian lamanya, apalagi sekedar untuk pergi ke ruang makan.
Agaknya apa yang terjadi, telah cukup bagi emban tua itu untuk meyakinkan tangkapannya atas hubungan antara Permaisuri dengan pelayan dalam yang tampan itu. Meskipun demikian emban tua itu sama sekali tidak segera dapat berbuat sesuatu. Meskipun ada niatnya untuk mencegah Ken Dedes semakin hanyut ke dalam arus perasaannya, namun ia masih belum menemukan waktu yang tepat untuk melakukannya.
Ternyata kehadiran Akuwu di hari berikutnya memberikan harapan bagi emban tua itu. Satu dua hari, Permaisuri telah mencoba mengisi kekosongan hatinya bersama Akuwu yang baru saja pulang dari berburu dengan hasil yang membuatnya terlalu bangga dan gembira. Akuwu berhasil membawa dua helai kulit harimau loreng, kijang dan beberapa jenis binatang buruan yang lain.
Tetapi, harapan emban tua itu kemudian menjadi pecah berserakan, seperti asap tertiup angin, ketika tiba-tiba saja ia melihat pertemuan seperti yang pernah dilihatnya. Meskipun tidak menumbuhkan kesan apapun bagi mereka yang tidak memperhatikan perkembangan keadaan Permaisuri saat-saat terakhir, namun bagi emban pemomong yang mengenal Ken Dedes seperti ia mengenal dirinya sendiri itu, menangkap semua persoalan dengan hati yang pedih.
"Akuwu memang terlampau mementingkan dirinya sendiri. Kesenangan sendiri terlalu banyak mendapat perhatiannya, sehingga Permaisurinya kadang-kadang merasa terlampau dikesampingkan. Dan Permaisuri itu adalah seorang perempuan yang merindukan kasih sayang".
Emban tua itu melihat perkembangan keadaan Ken Dedes seterusnya seperti melihat seorang bayi yang merangkak-rangkak di pinggir sumur yang dalam. Namun ia tidak mempunyai cukup keberanian untuk mencegahnya, sehingga yang dapat dilakukan adalah hanya sekedar mengelus dada.
Selagi Akuwu semakin tenggelam ke dalam kesenangan sendiri, maka Ken Dedes pun menjadi semakin jauh terdorong ke dalam dunia yang hitam.
Setiap kali Akuwu melupakan waktu dan isterinya apabila ia sudah berada di dalam lingkaran sabung ayam. Kemudian membenamkan diri ke dalam biusan minum tuak bersama beberapa pemimpin Tumapel yang lain. Mereka berebut mendapatkan hati Akuwu dengan caranya masing-masing, sehingga kadang-kadang Akuwu tidak menyadari bahwa dirinya semakin jauh terseret ke dalam kehidupan yang dapat membahayakan dirinya dan bahkan Tumapel. Ketidak-puasan telah merajalela hampir di segenap kalangan.
Yang paling berprihatin dari semua orang terdekat dengan Akuwu adalah Witantra. Ia melihat Akuwu yang sekarang ini, agak berbeda dari Akuwu beberapa saat yang lampau. Meskipun Akuwu sejak ia menduduki tempatnya bukan orang pemimpin yang sempurna, namun pada waktu itu, masih ada harapan bahwa Akuwu, berkembang ke arah yang baik, namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Witantra tidak tahu, apakah sebabnya. Tetapi, akibat yang terjadi membuatnya cemas.
Hubungan antara Akuwu dan Permaisurinya pun semakin lama menjadi semakin aneh. Akuwu merasa bahwa Ken Dedes bersikap terlampau dingin sehingga ia memerlukan isi dari kekosongan hidupnya dengan berbagai macam kesenangan. Tuak, sabung ayam, berburu dan mengadakan pertemuan-pertemuan makan bersama dengan para pemimpin Tumapel yang lain.
"Aneh" kata Witantra kepada diri sendiri, "Semuanya seolah-olah terjadi menurut rencana yang telah tersusun lebih dahulu. Kedudukan Akuwu yang meluncur ke dalam keadaan yang sulit. Seolah-olah ada golongan di dalam istana yang dengan sengaja menyeret Akuwu ke dalam kesulitan. Sedang di luar istana ada golongan yang meniup-niupkan ketidak puasan atas keadaan yang sekarang ini berlaku".
Tetapi, Witantra tidak dapat mengetahui, jaring-jaring yang sebenarnya memang sudah terpasang di dalam dan di luar istana.
Tidak seorang pun dari para pemimpin yang menyadari saluran manakah sebenarnya yang telah mengalirkan segala macam kabut yang buram ke dalam istana dan seluruh wilayah Tumapel ini.
Witantra kadang-kadang menjadi heran, dari manakah kemewahan yang akhir-akhir ini tampak membanjiri istana Tumapel. Adalah tidak masuk di akalnya bahwa setiap kali satu dua orang pemimpin pemerintahan Tumapel itu datang memberikan pisungsung berupa kelengkapan dari sebuah bujana mewah.
Kesimpulan Witantra adalah, "Pasti ada pihak yang sengaja menjerumuskan Akuwu ke dalam kesulitan. Tetapi, untuk mencarinya di perlukan waktu dan ketekunan. Jalur-jalur itu agaknya dikemudikan oleh seorang yang luar biasa".
Kesimpulan itu telah membuat Witantra menjadi semakin waspada. Seolah-olah ia tidak sampai hati melepaskan Akuwu seorang diri tanpa pengawasannya meskipun hanya sekejap. Namun, Witantra tentu tidak akan dapat berbuat sepanjang waktu. Suatu ketika ia harus pulang ke rumah, dan suatu ketika Akuwu berada di bilik Permaisurinya sehingga Akuwu itu pada saat-saat tertentu terlepas dari pengawasannya.
Tetapi, agaknya kesempatan bagi Witantra untuk mengawasi Akuwu itu pun menjadi semakin terbatas karena Akuwu sendiri agak menjauhkannya dari pergaulan istana. Bahkan kadang-kadang Akuwu itu dengan kasar berkata kepadanya, "Kau adalah pemimpin pasukan pengawal Witantra. Aku hanya memerlukan kau dalam keadaan yang berbahaya. Aku tidak perlu pengawalanmu selagi aku tidur, makan dan minum bersama para pemimpin Tumapel".
Witantra hanya dapat mengelus dadanya. Tetapi, ia tidak dapat berbuat apa-apa.
"Aku tidak mengerti guru" berkata Witantra kepada gurunya pada suatu ketika, "Tetapi, keadaan berkembang ke arah yang tidak seharusnya".
"Ya Witantra" sahut gurunya, "Aku juga melihat ketidakpuasan tersebar dimana-mana".
"Itulah yang membuat aku prihatin. Tetapi, Akuwu tidak memberi kesempatan kepadaku untuk mencari sumber dari malapetaka yang dengan perlahan-lahan menerkam Tumapel".
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya ia masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi kemudian bahkan ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Witantra melihat sesuatu tersirat di wajah gurunya, tetapi ia tidak berani bertanya.
"Witantra" berkata gurunya, "Kau harus bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Awan yang hitam memang sedang menyelubungi Tumapel".
"Apakah yang harus aku lakukan guru?"
"Sudah tentu, bahwa kau dapat mulai dengan dirimu sendiri. Sudah datang waktunya bagimu Witantra, bahwa kau harus menyempurnakan ilmumu. Selagi aku masih hidup dan masih cukup tenaga untuk membimbingmu".
"Tetapi guru, aku tidak dapat meninggalkan istana untuk waktu yang lama pada saat ini".
"Kau tidak perlu meninggalkan tugasmu. Aku memerlukan kau di setiap malam untuk beberapa hari saja. Di siang hari kau tetap dalam tugasmu" gurunya berhenti sejenak, "Sudah tentu bahwa kau tidak akan segera menjadi sempurna dengan cara itu. Tetapi, setidak-tidaknya kau memiliki beberapa bekal yang lebih banyak dari bekalmu sekarang. Apabila kau mempunyai waktu kelak, kau harus mengurung dirimu untuk waktu yang agak lama".
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Inilah yang dapat dilakukan untuk sementara. Selagi asap yang hitam kemelut di atas Tumapel, pemimpin pasukan pengawal itu telah menempa dirinya sendiri.
Namun dengan demikian, jarak antara Akuwu Tunggul Ametung dengan Witantra pun menjadi semakin jauh. Witantra memerlukan waktu untuk kepentingannya sendiri, sehingga apabila tidak diperlukan oleh Akuwu ia tidak membuang waktunya hadir dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan di istana.
Witantra lebih senang pergi ke padang agak jauh di luar kota Tumapel bersama gurunya, mesu diri untuk mendapatkan kelengkapan yang lebih banyak lagi dari ilmunya.
Tetapi, pada suatu kali Witantra terkejut ketika gurunya berkata kepadanya, "Witantra, apakah kau tidak memperhatikan adikmu akhir-akhir ini?"
"Siapakah yang guru maksudkan" Mahendra atau Kebo Ijo?"
"Mahendra telah melepaskan diri dari persoalan yang menyangkut istana dan pemerintahan. Ia lebih senang bekerja sendiri pada dunianya. Ia lebih senang memelihara tanahnya dan berternak yang agaknya dapat memberinya kepuasan".
"Jadi Kebo Ijo yang guru maksud?" Gurunya menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana dengan Kebo Ijo?"
"Aku melihat beberapa perubahan. Bukan pada watak dan sifatnya yang dibawanya sejak lahir dan akan dibawanya pula mati kelak. Tetapi, pada kehidupannya. Aku melihat yang kurang wajar padanya. Ia memiliki kekayaan yang tidak mungkin didapatkannya dengan cara yang wajar".
"Ah, "Witantra mengerutkan keningnya, "Apakah guru yakin?"
"Seharusnya kau lebih dekat dengan anak itu daripada aku".
Witantra mengerutkan keningnya. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, "Anak itu memang anak yang bengal. Tetapi, aku yakin bahwa ia tidak akan melakukan kejahatan dengan kesadarannya. Ia memang anak yang sombong dan terlampau tinggi hati, sehingga ia kadang-kadang lupa diri apabila ia mendapatkan pujian. Tetapi, dengan sengaja melakukan kejahatan, aku kira tidak guru".
"Mudah-mudahan kau benar Witantra" jawab gurunya, "Tetapi, lihatlah pada suatu ketika. Mungkin kau akan tertarik untuk mengetahui, dari manakah ia mendapat semuanya itu".
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baik guru. Aku akan berusaha".
Ternyata keterangan gurunya itu selalu mengganggu pikiran Witantra. Ia benar-benar berkeinginan untuk pada suatu ketika berkunjung ke rumah adik seperguruannya itu, dan menanyakan, bagaimanakah keadaannya sekarang.
"Kalau benar kata guru, aku memang harus menyelidikinya. Apakah ia hanyut juga dalam arus yang agaknya kini sedang melanda Tumapel".
Dalam kemelutnya kabut yang kelam, yang lambat laun namun pasti, semakin mencengkam Tanah Tumapel itu, Ken Dedes seolah-olah mendapat cukup kesempatan untuk setiap kali bertemu dengan Ken Arok. Seorang anak muda yang seakan-akan dapat menemukan kembali buatnya, apa yang pernah hilang. Masa remaja yang terlampaui dalam perjalanan hidupnya itu, kini seakan-akan telah didapatnya kembali.
Dengan demikian maka suami isteri Tunggul Ametung itu telah terjerumus ke dalam suatu pusaran lingkaran kegelapan yang tidak berujung pangkal. Akuwu Tunggul Ametung menenggelamkan dirinya dalam berbagai macam kesenangan, sabung ayam, tuak dan makan minum bersama para pemimpin Tumapel yang lain, karena ia ingin mengisi waktunya. Permaisurinya terlampau dingin dan sama sekali tidak memberinya kegairahan. Tetapi, Permaisuri merasa bahwa ia seakan-akan memang sudah tidak diperlukan lagi oleh Akuwu Tunggul Ametung, karena kesenangannya itu, sehingga ia menjadi dingin. Dan bahkan dicarinya sandaran bagi hatinya yang lemah.
Demikianlah Tumapel perlahan-lahan telah meluncur ke dalam suatu keadaan yang paling membahayakan kelangsungan hidupnya.
Di arena sabung ayam, dalam samar-samar mabuk tuak, Akuwu sama sekali tidak ingat apa-apa lagi selain dirinya sendiri. Sama sekali tidak diingatnya lagi Permaisurinya yang ditinggalkannya sendiri. Sama sekali tidak diingatnya lagi, bagaimana ia pernah terpesona melihat cahaya yang memancar dari tubuh gadis Panawijen yang dilarikan oleh Kuda Sempana itu.
Dan yang paling parah, bahwa ia kini sama sekali tidak mengetahui bahwa Permaisurinya sedang terjerat oleh kesepian dan kelemahannya.
Ken Arok melihat perkembangan Tumapel dengan hati yang berdebar-debar. Ia hanya mempunyai waktu lima bulan sejak ia mulai. Dan yang lima bulan itu kini telah hampir habis sama sekali. Tetapi, sebagian besar dari rencananya telah dapat dilakukannya.
Tidak seorang pun yang melihat ia pergi hilir mudik ketengah-tengah hutan tempat ia menyembunyikan harta kekayaan yang tidak terkira banyaknya, yang telah bertahun-tahun dikumpulkan oleh sekawanan perampok yang dahsyat. Yang menjelajahi tidak saja telatah Tumapel, tetapi juga telatah Kediri yang lain.
Juga tidak ada seorang pun yang menaruh prasangka, bahwa setiap kali Permaisuri Ken Dedes sempat berbicara tentang harapan-harapan di masa datang dengan anak muda yang tampan itu.
Namun, masih ada satu orang yang melihat perkembangan keadaan Ken Dedes dengan hati yang pedih. Ialah emban tua pemomong Ken Dedes yang dibawanya dari Panawijen. Bahkan kadang-kadang ia menangis seorang diri di dalam biliknya. Apakah akan jadinya dengan Permaisuri dan bahkan dengan Tumapel.
Dalam kepedihan itu selalu dikenangnya anaknya, Mahisa Agni yang masih saja berada di Padang Karautan. Anaknya yang sama sekali tidak menghiraukan kemewahan istana Tumapel. Mahisa Agni telah membakar dirinya dalam terik panas matahari di Padang Karautan untuk kepentingan orang banyak.
"Alangkah jauh jaraknya" desis perempuan tua itu.
Dan tiba-tiba saja kerinduannya kepada anaknya telah membakar dadanya. Tetapi, ia tidak mendapat kesempatan untuk menengoknya. Apalagi dalam keadaan serupa ini. Tanpa dirinya di samping Ken Dedes, keadaan Permaisuri itu pasti akan menjadi semakin parah.
Emban tua itu sama sekali tidak mempunyai tempat untuk menumpahkan kepepatan perasaannya. Tidak seorang pun yang dapat dibawanya berbincang mengenai keadaan yang mendebarkan jantung itu. Sedangkan Ken Dedes sendiri, kini seolah-olah menjadi acuh tidak acuh saja kepadanya, meskipun kadang-kadang Permaisuri itu masih memerlukannya. Tetapi, tidak seperti dahulu. Kini Permaisuri baginya merupakan sebuah bilik yang tertutup. Kalau dahulu, ia dapat melihat, apa yang tersimpan di lubuk hatinya, kini Permaisuri itu merupakan sebuah rahasia baginya.
Namun, akhirnya emban itu tidak dapat lagi menahan dirinya. Kerinduannya kepada anaknya, kepepatan hati yang membuat dadanya serasa akan bengkah, dan seribu macam persoalan yang lain. Sehingga akhirnya pada suatu hari diberanikannya dirinya menghadap kepada Permaisuri dan mohon diri untuk beberapa hari saja.
"Kau akan pergi ke mana bibi?" bertanya Permaisuri.
"Hamba tidak dapat menahan rindu untuk mengunjungi Panawijen Tuanku. Panawijen yang lama dan yang baru, yang telah berkembang di tengah-tengah Padang Karautan".
"Kenapa tiba-tiba saja kau merindukannya?"
"Hamba tidak tahu Tuanku. Tiba-tiba saja hamba merindukannya.Mungkin juga karena hamba ingin beristirahat barang sepekan".
Permaisuri itu mengerutkan keningnya, dan sejenak kemudian ia berkata, "Baiklah bibi. Aku beri kau ijm untuk beberapa hari pulang mengunjungi kampung halaman. Salamku buat kawan-kawan sepermainan di masa kanak, salam buat kakang Mahisa Agni dan tetangga-tetangga yang baik di Panawijen".
"Hamba Tuanku. Dan apakah Tuanku tidak berpesan apapun untuk Ki Buyut?"
"O, aku lupa bibi. Ya, salamku kepadanya. Mudah-mudahan ia berhasil memimpin Rakyat Panawijen untuk seterusnya".
"Hamba Tuanku. Semua pesan akan hamba sampaikan".
Permaisuri itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, kemudian ia bertanya, "Tetapi, apakah kau dapat menempuh perjalanan sedemikian jauhnya?"
Emban itu menarik nafas dalam-dalam. Perjalanan ke Panawijen tidak dapat ditempuh dalam satu hari.
"Biarlah aku minta dua orang prajurit mengantarmu bibi" berkata Permaisuri itu pula, "Prajurit itu akan menunggu kau sampai kau nanti kembali ke istana. Aku tidak akan membatasi masa istirahatmu. Karena kau sudah menjadi semakin tua, maka adalah wajar sekali apabila kau memerlukan waktu untuk beristirahat".
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa bahwa bagi Permaisuri, kepergiannya akan merupakan peluang yang lebih baik. Agaknya tidak akan ada orang lain yang selalu membayanginya seperti dirinya.
"Terima kasih Tuanku" jawab emban itu, "Tetapi, prajurit itu tidak perlu menunggu hamba kembali. Besok akan hamba minta angger Mahisa Agni untuk mengantar hamba, apabila masa istirahat hamba telah selesai".
Tiba-tiba wajah Permaisuri itu berkerut. Dengan ragu-ragu ia berkata, "Itu tidak perlu bibi. Kau jangan menyusahkannya. Kakang Mahisa Agni mempunyai kewajiban yang berat di padukuhannya. Karena itu, lebih baik bagimu untuk membawa dua orang prajurit yang akan mengawanimu.Atas perintahku, kau dapat minta kepada kedua prajurit itu untuk melakukan apa saja yang kau perlukan di perjalanan. Bahkan di Panawijen sampai kau kembali lagi ke istana ini. Aku akan memberi mereka bekal yang cukup selama mereka berada di Panawijen".
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam. Bagi emban yang sudah cukup umur itu, segera dapat menangkap kesan dari sikap Permaisuri itu. Ia tidak ingin bertemu dengan Mahisa Agni dalam keadaan seperti itu. Mahisa Agni akan menjadi penghalang pula baginya apabila kelak anak muda itu mengetahui, apa yang sudah terjadi di istana ini.
"Bukankah lebih baik begitu bibi?" bertanya Permaisuri itu.
Emban tua itu tidak dapat menjawab lain kecuali menganggukkan kepalanya dan berkata, "Hamba Tuanku. Titah Tuanku akan hamba junjung".
"Nah begitulah. Kasihan kakang Mahisa Agni.Ia diperlukan di Padang Karautan setiap saat.Waktunya akan hilang, apabila kau minta ia mengantarmu".
"Hamba Tuanku".
"Dan kapan kau akan berangkat bibi?"
"Secepatnya Tuanku ijinkan".
"Terserahlah kepadamu".
"Besok pagi Tuanku".
Permaisuri itu berpikir sejenak. Kemudian ia berkata, "Baiklah. Besok dua orang prajurit itu akan siap mengantarmu kembali ke Panawijen".
Ketika fajar menyingsing di pagi harinya, dua orang prajurit telah siap untuk mengantar emban tua itu kembali ke Panawijen. Dengan bekal secukupnya, mereka pun segera minta diri kepada Permaisuri yang ternyata sudah bangun.
"Atas ijin Tuanku Akuwu Tungaul Ametung, dua orang prajurit itu akan mengantarmu. Atas ijin Tuanku Akuwu pula, kau dapat minta kepadanya untuk menolongmu apa saja yang kau perlukan. Dua prajurit itu diberi waktu tanpa batas menunggumu di Panawijen".
"Terima kasih Tuanku".
"Kau adalah emban pemomongku.Engkau adalah orang terdekat dengan aku sejak aku kanak-kanak. Karena itu, kau mempunyai beberapa kesempatan yang lebih baik dari orang lain".
"Terima kasih Tuan Puteri. Kini perkenankanlah hamba berangkat.Hamba tidak akan terlalu lama".
"Ambillah waktu secukupnya bibi. Aku tidak akan dapat memaksamu untuk bekerja terlalu keras. Kau sudah cukup tua, dan memang sudah waktunya uintuk banyak beristirahat".
Emban tua itu menarik nafas dalam-dalam.Terasa jantungnya seakan-akan tergores oleh tajamnya sembilu. Meskipun tampaknya Permaisuri itu memberinya kesempatan sebaik-baiknya, tetapi emban tua itu merasa bahwa ia memang sudah tidak diperlukan lagi.
"Ken Dedes sudah berubah" berkata emban itu di dalam hatinya.Namun tiba-tiba kepalanya menunduk semakin dalam. Dikenangnya masa remajanya sendiri.
"Hidupku sendiri tidak sebersih kapas" emban itu berdesis kepada dirinya sendiri, "Bukan hanya satu nama laki-laki yang pernah menyangkut di hatinya, sehingga justru akhirnya keduanya tidak dimilikinya.Tetapi, aku mempunyai Mahisa Agni".
Emban tua itu pun kemudian berangkat meninggalkan istana.Ia tidak dapat menahan lagi ketika air matanya titik satu-satu.
Ken Dedes masih berdiri di tangga serambi belakang ketika emban itu hilang di balik regol. Setelah menarik nafas dalam-dalam, Ken Dedes kemudian melangkah kembali ke dalam biliknya.
Baru ketika ia duduk di pembaringannya, terasa bilik itu menjadi sepi. Emban pemomongnya yang hampir setiap saat mengawasinya, kini telah pergi, tanpa diketahui lagi apakah ia akan segera kembali justru karena pesannya sendiri yang mendorong emban itu untuk berbuat demikian.
Ken Dedes mengerutkan keningnya. Terbayang wajah perempuan tua itu. Perasaan iba terungkit di dalam hatinya. Namun sejenak kemudian perasaan yang lain telah mendorongnya kesamping, "Emban tua itu hanya akan mengganggu saja di istana".
Ken Dedes menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya ia bangkit dan melangkah keluar. Dari sela-sela pintu ia melihat cahaya matahari pagi memercik di halaman belakang. Tiba-tiba saja ia melihat sinar itu terlampau cerah.
Sementara itu, emban tua pemomong Ken Dedes berjalan tertatih-tatih meninggalkan istana diantar oleh dua orang prajurit. Dengan sabarnya kedua orang prajurit itu mengikuti langkahnya yang lamban. Sekali-sekali emban tua itu berpaling, tetapi ia hanya dapat melihat dinding-dinding batu di sebelah menyebelah jalan.
"Bibi" salah seorang dari kedua prajurit itu bertanya, "Kenapa bibi yang sudah tua ini masih juga berhasrat menempuh perjalanan sejauh ini?"
"O, aku adalah orang Panawijen Ngger. Justru aku sudah tua aku ingin melihat kampung halaman. Panawijen pasti sudah jauh berubah. Panawijen lama kini pasti sudah menjadi padang rumput yang kering dan Padang Karautan akan menjadi padukuhan yang subur".
Prajurit itu mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya, begitulah" berkata prajurit itu, "dalam saat-saat terakhir, kita sering merindukan kampung halaman. Tetapi, apakah bibi masih juga akan kembali ke Tumapel?"
"Ya ngger.Bibi memang ingin kembali ke Tumapel. Tuanku Permaisuri, bagiku sama nilainya dengan Padukuhan dan Padepokan Panawijen".
"Berapa lama bibi akan tinggal di Panawijen?"
"Ijin Tuanku Permaisuri tidak terbatas Ngger. Tetapi, apakah Angger berdua tergesa-gesa kembali ke Tumapel?"
"O, tidak, tidak bibi. Ijin buat kami berdua pun tidak terbatas. Semakin panjang semakin baik, karena dengan demikian kami tidak usah bekerja apapun. Tidak usah bertugas jaga di malam hari dan tidak usah nganglang di siang hari".
Emban itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Tetapi, bagaimana dengan keluarga Angger berdua?"
"Kami keduanya belum berkeluarga bibi".
"O". "Kami masih belum mampu untuk memberi makan isteri dan apa lagi anak-anak nanti".
"Ah. Aku tidak percaya" sahut emban itu, "Penghasilan Angger pasti cukup baik".
Kedua prajurit itu tertawa, dan emban itu pun tersenyum pula.
Dengan demikian, maka perjalanan itu tidak terasa terlampau melelahkan. Meskipun demikian, emban tua itu tidak dapat berjalan terlampau cepat karena ketuaannya. Namun emban tua itu bukan sekedar perempuan tua kebanyakan. Betapapun tipisnya, ia masih juga memiliki beberapa kelebihan dari perempuan-perempuan yang lain. Meskipun tidak terlampau mengagumkan, tetapi perempuan tua itu pernah mengisi kekosongan hidupnya dengan olah senjata, sehingga kemampuan jasmaniahnya masih juga berpengaruh sampai di hari tuanya.
Pengaruh itulah yang agaknya menolong emban tua itu dalam perjalanannya meskipun lambat. Kedua prajurit yang tidak mengenal emban itu sebelumnya menjadi heran, bahwa perempuan setua itu masih juga mampu melakukan perjalanan yang begitu jauh.
Dalam kemelutnya asap hitam di atas Tumapel, Ken Arok merasa tersiksa karena ia harus menunggu hari-hari yang ditentukan oleh Empu Gandring. Semua rencananya dapat berjalan sebaik-baiknya tanpa menumbuhkan kecurigaan meskipun ia harus selalu berhati-hati menghadapi Witantra. Tetapi, Witantra agaknya tidak banyak mempunyai kawan. Bahkan Kebo Ijo, adik seperguruannya, tidak lagi terlampau dekat dengan perwira pengawal itu. Kebo Ijo yang merasa kawan terdekat Ken Arok, menjadi semakin sombong dan merasa dirinya lebih besar dari kawannya yang lain. Sikap itu agaknya memang diusahakan oleh Ken Arok. Sedikit demi sedikit, sambil membuat Kebo Ijo itu menjadi seorang yang berkecukupan.
Dengan demikian, maka kebencian orang terhadapnya menjadi semakin meruncing. Sehingga kawan-kawannya menjadi pening memikirkan keanehan itu. Kenapa Ken Arok yang ramah dan rendah hati itu dapat berkawan demikian eratnya dengan Kebo Ijo"


02 Pelangi Di Langit Singasari Karya S H. Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun hari pun merambat betapa lambatnya. Siang menjadi malam dan malam menjadi siang. Satu-satu perputaran waktu pun telah dilampaui, sehingga bulan yang satu meloncat ke bulan yang lain.
Beberapa hari sepeninggal emban pemomong Ken Dedes, Ken Arok menjadi semakin gelisah. Bulan ke empat telah lewati dan ia sudah berada di bulan yang kelima. Bulan yang dijanjikan oleh Empu Gandring.
Pada saat-saat terakhir itu Ken Arok membuat penilaian kembali atas semua usahanya membentuk keadaan. Ternyata semuanya dapat berjalan sesuai dengan rencananya, sehingga waktunya memang telah matang untuk melakukan niatnya.
Maka pada saat yang telah dinanti-nantikan, setelah lima bulan penuh ia menunggu, sampailah saatnya ia pergi ke Lulumbang untuk mengambil kerisnya.
Tetapi, tidak seorang pun yang tahu, apa yang akan dikerjakannya, Ken Dedes pun tidak. Meskipun Ken Arok minta diri pula kepada Permaisuri itu bahwa ia akan pergi untuk beberapa hari, tetapi ia tidak berterus terang, apakah yang akan dilakukannya.
Setelah mendapat ijin dari Akuwu, maka Ken Arok pun segera meninggalkan istana pergi ke Lulumbang. Meskipun pada mulanya ia disentuh pula oleh keragu-raguan, namun kemudian ia menggertakkan giginya sambil berkata, "Semua sudah terlanjur. Aku sudah menyeberang sampai ke tengah-tengah. Terus atau kembali, aku sudah terlanjur basah. Karena itu, aku kira sudah tidak ada gunanya berpikir lagi".
Dan Ken Arok pun menjadi semakin mantap. Permaisuri yang cantik itu selalu membayanginya. Apalagi cahaya yang memancar dari tubuhnya. Perempuan dari Panawijen itu ternyata memiliki suatu kelengkapan yang tidak ada bandingnya.
Sebagai seorang perempuan kecantikannya tanpa cacat, dan sebagai seseorang yang bercita-cita maka Ken Dedes akan dapat memberikan suatu kedudukan yang paling tinggi diatas bumi.
Karena itu, untuk mendapatkannya, apapun akan dikorbankannya. Siapapun yang harus disingkirkan, akan disingkirkan. Siapa yang dapat menjadi penghalang pasti harus dimusnakan. Harga Ken Dedes tidak dapat diperbandingkan dengan siapapun, sebab Ken Dedes adalah suatu lambang dari kesempurnaan seorang perempuan. Ia akan memberikan kecantikannya dan bumi seisinya.
Dengan pendirian yang matang Ken Arok dengan tergesa-gesa pergi ke Lulumbang. Semakin cepat semakin baik. Tetapi, harus di jaga bahwa rahasianya tidak akan diketahui oleh siapapun juga. Tidak boleh seorang pun menjadi saksi atas segala perbuatannya itu.
Sementara itu emban tua pemomong Ken Dedes telah sampai pula di Padang Karautan. Hampir saja ia tidak dapat menahan gejolak di dadanya ketika ia melihat Mahisa Agni menyongsongnya. Dipeluknya anak laki-lakinya itu sambil menangis, bagaimanapun juga ia mencoba menahannya. Tetapi, setitik-titik air matanya menetesi dada Mahisa Agni.
Mahisa Agni tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ibunya menangis. Ibunya adalah seorang perempuan yang tabah. Hampir tidak pernah ia melihat keadaan perempuan itu demikian, sejak ia kanak-kanak. Sejak ia belum mengenal bahwa perempuan itu adalah ibunya.
Kedua prajurit yang mengantarkannya pun menjadi heran. Kenapa emban tua itu menangis ketika ia bertemu dengan Mahisa Agni. Sedang tangisnya pun mempunyai kesan yang menyentuh langsung pusat jantung.
Setelah mereka duduk, di dalam sebuah rumah yang kecil, yang telah dibangun oleh Mahisa Agni di tengah-tengah pedukuhannya yang baru, maka barulah Mahisa Agni dapat bertanya tentang keselamatan emban tua itu, dan tentang keselamatan Ken Dedes. Meskipun masih terisak, namun perempuan tua itu pun sempat pula bertanya tentang Mahisa Agni dan tentang Padang Karautan yang telah menjadi sebuah padukuhan yang subur.
"Kami senang tinggal di sini bibi" berkata Mahisa Agni kepada perempuan tua itu, "Kami tidak merasa berada di tempat yang asing, karena kami bersama-sama seluruh pedukuhan pindah ke tempat ini. Kami mencoba membuat pedukuhan pindah ke tempat ini. Kami mencoba membuat pedukuhanan kami yang baru ini seperti pedukuhan yang kami tinggalkan. Atas persetujuan kami bersama, kami telah membuat jalan-jalan di dalam pedukuhan ini seperti jalan-jalan di dalam pedukuhan yang kami tinggalkan. Kami membuat seolah-olah tempat tinggal kami yang baru ini, seiauh mungkin mencerminkan tempat yang kami tinggalkan meskipun tidak dapat sesuai benar".
Emban tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aku mengharap kalian berbahagia di tempat yang baru ini".
"Tentu bibi. Tanah di sini adalah tanah yang baru saja ditanami. Tanah yang sebelumnya belum pernah dihisap makanannya kecuali oleh rerumputan liar dan gerumbul-gerumbul perdu".
"Tentu kalian merasa senang tinggal di sini".
"Tentu bibi. Kami merasa senang. Kami merasa berbahagia seperti Ken Dedes merasa berbahagia di dalam istana".
"O" perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi, diurungkannya kata-katanya. Bahkan kemudian ia berkata, "Aku sudah rindu untuk bertemu dengan tetangga-tetangga dan penghuni Padepokan Empu Purwa.Para emban dan cantrik. Apakah mereka juga tinggal di padukuhan ini?"
"Tentu bibi" sahut Mahisa Agni, "Seperti pada saat mereka tinggal di Panawijen, maka di sini pun mereka telah membangun sebuah padepokan".
Panji Sakti 6 Touche Alchemist Karya Windhy Puspitadewi Padang Bulan 1
^