Pencarian

Ihh Syereem 2

Lupus Ihh Syereem Bagian 2


Ketika sang istri mengangguk, sambil tetap sibuk nyuapin anak semata wayang mereka yang baru berumur dua taon. Si bapak langsung nyamber,'"Lantas kenapa bangku-bangku itu bisa balik lagi" Apa Papah salah mindahin""
"Pah, ingat pepatah 'Berjalan peliharakan kaki, berkata peliharakan lidah'. Mungkin waktu mindahin Papah kurang pelihara kaki""
"Mungkin juga, Mah," kata sang Papah sambil meletakkan pantat di bale-bale.
"Eh, Pah, liat tuh Pak Kepsek dengan serombongan ajudannya seperti ingin menghampiri anak-anak.
"Wah, bisa gawat nih. Mah, sebaiknya kamu beres-beres barang berharga kita. Jaga-jaga kalau terjadi revolusi."
"Barang berharga yang mana, Pah."
"Itu lho, pukulan bel. Kalo barang itu sampai ilang, kan repot. Barang itu kan selama menyangga periuk nasi kita, Mah."
Sementara Kepsek Cs berjalan penuh wibawa di pihak oposisi rada kebat-kebit.
"Wah, wah, kita-kita bisa kena skors nih!" ujar Lupus cemas.
"Gak pa-pa, Pus. Asal dikasih pesangon," Anto cuek.
Gusur yang selalu menaruh simpati pada anak-anak kelas Lupus, segera beringsut mendekati bangku Lupus.
'Tenang, Pus. Jangan gelisah. Daku telah menyiapkan sajak untuk membantu demonstrasi lagi. Boleh daku bacakan sekarang""
"Enggak!" bentak Gito dan Anto serentak.
Gusur langsung mingkem. Lupus jadi iba.
"Sajak kamu memang lebih bagus kalo dibacakan dalam hati, Sur!" kata Lupus menghibur.
Anak-anak pada diem. Meski begitu, muncul juga tulisan-tulisan bernada protes yang ditujukan pada penguasa sekolah itu. Ada yang ditulis atas kertas karton, ada yang dibentangkan pada selembar kain.
Anak-anak...," kata Pak Kepsek, "kami siap mendengar keluhan kalian semua."
Anto langsung berdiri. "Eee, saya dari tadi pagi belum sarapan. Itulah keluhaan yang saya rasakan saat ini," teriak Anto.
"Kalo ikke kuatir pingsan, Pak. Abis di sini panas beeng sih," lontar Fifi Alone sambil kipas-kipas pake pinsil (idih, mana terasa!).
Hei, hei!!" sela Lupus. "Bukan itu yang dimaksudkan Bapak Kepsek. Beliau siap menerima keluhan kita semua akibat bongkar paksanya kelas kita itu. Bukan begitu, Pak""
"Bukan... eh, iya. Iya betul. Tapi kami lebih senag kalo kalian mengirim utusan atau wakil untuk bertatap muka sambil minum cendol dengan kami," tawar Kepsek.
"Kalo gitu saya aja deh," sergah Aji.
"Ah, saya aja, Pus," protes Gito. "Kan lumayan minum cendol siang-siang begini."
"Nggak, saya. Saya. Saya!" anak-anak kontan berebutan untuk menjadi utusan.
"Udah. Jangan pada berisik. Katanya kita anti ribut. Kok pada berteriak-teriak begitu"" komentar Nyit-nyit yang sedari tadi diam.
"Kalian bisa mengirim utusan, orang-orang yang bisa kalian percaya dan bertanggung jawab. Jangan mengirim orang sembarangan untuk berdialog dengan kami pada masalah yang sangat penting seperti ini."
Anak-anak kembali diam. Sementara poster-poster bernada protes pun sudah berubah fungsi
Ada yang buat kipaskipas, atau jadi alas untuk duduk.
Akhirnya mereka sepakat untuk menugaskan Lupus, Fifi Alone, Meta, dan Gito sebagai wakil untuk menuju forum dialog. Temen-temen yang lain gak lupa memberi spirit serta doa secukunya.
"Mudah-mudahan permisi kita berhasil Pus," bisik Fifi Alone ketika berjalan menuju kantor Kepsek.
"Petisi, Fi, maksud lo"" ujar Gito.
"Iya, persetan."
Anak-anak di luar pun harap-harap cem-ceman dance, eh, harap-harap cemas.
Dan tepat pukui sepuluh, forum dialog dibuka. Di pihak Kepsek selain ditemani wakilnya, juga ditemani beberapa orang guru yang diduga setia setiap saat. (Deodorant, 'kali!)
"Kami bersama teman-teman yang lain merasa keberatan kalo kelas kami dipindahkan ke ruang pojok bekas gudang itu, Pak. Satu," Lupus memulai membacakan tuntutannya
"Kedua, kami menuntut gami rugi yang sesuai.
"Maksudnya, kalo bisa kami dipindahkan ke kelas yang tak jauh berbeda dan kelas sebelumnya.
"Ketiga, kami kecewa dengan dibongkar kelas kami hanya untuk sebuah lapangan parkir.
"Keempat, kenapa pembongkaran itu begitu tiba-tiba.
"Kelima, naik haji bila mamp... Eh, maaf, Pak. Ini buku catatan agama saya kebawa. Ee, yang kelima kami merasa bertenma kasih bisa disempatkan bertemu dengan Bapak.
"Ya, kira-kira seginilah tuntutan yang kami ajukan, Pak. Dan terima kasih atas perhatiannya. Dag!"
Kepsek tercenung sebentar.
"Anak-anak, tuntutan itu kami terima, dengan catatan kalian tetap dipindalikan ke kelas yang baru. Kalian harus sadar bahwa pembongkaran kelas itu tidak semata-mata untuk kepentingan golongan, tapi untuk kepentingan perseorangan , eh, maksud saya untuk kepentingan kita semua.
"Kalian kan tau, sekolah kita belum punya lapangan parkir yang memadai Padahal lapangan parkir itu ternyata penting. Selain untuk parkir, bisa pula menambah devisa, dengan menjual karcis parkir. Bagi siapa saja, motor dan mobil yang mau diparkir, h
arus membeli karcis. "Untuk itu kalian harus rela pindah ke ruang pojok sana, demi pembangunan sekolah kita.
"Bagaimana" Setuju" Baiklah, forum dialog kita tutup. Tup!"
Lupus cs gak sempet berbuat banyak, karena Kepsek langsung menyilakan meminum cendol, dan setelah itu pergi meninggalkan ruangan.
*** Ingat peristiwa tadi siang di sekolah, malamnya Lupus gak bisa tidur. Dia merasa alasan Kepsek terlalu dibuat-buat. Tapi apa mau dikata, nasi udah jadi kerak. Gak mungkin kelas yang udah dibongkar dibangun kembali. Tentu bakal mengeluarkan biaya banyak
Tapi ngebayangin belajar dalam gudang" Ih, emangnya ember.
Akibatnya pas pagi hari Lupus bangun kesiangan. Itu juga setelah Lulu yang gedor-gedor pintu kamar pake martil, dan baru bangun setel pintunya ancur.
"Hei, kamu emangnya gak sekolah, ya," sembur Lulu. "Udah siang, tau!"
'Tau." "Mandi sana." "Sana." "Eee, udah cape ngebangunin malah geledek. Mau ya digetok pake martil biar tidur lagi""
Lupus diancem gitu mending ngeloyor kamar mandi.
Tapi, "Luluuuu...! Gayungnya kamu umpetin di mana""
"Hihilii, sekali-sekali dong mandi gak pake gayung. Tapi jangan kuatir, Pus. Di situ udali saya taroin sendok kok. Kan lebih asyik tuh mandi buru-buru pake sendok.
"Hihihi. "Lebin nikmat. Pus!"
Untungnya pas sampe sekolah anak-anak belum pada masup. Ya, taunya si penjaga sekolah sibuk ngangkutin bangku-bangku dan meja ke kelas baru itu. Abis kalo dipindahin malem-malem, doi kuatir siangnya pada pindah lagi ke atas tanah "sengketa" itu.
Dan ternyata kejadian ini juga menarik perhatian kalangan pers majalah remaja. Salah satunya adalah HAI untuk rubrik "Polah Sekolah". Mas Dharmawan yang keriting, kurus, item, dan (untung) idup itu pagi-pagi udah dateng.
Ia menunggu di gerbang sembari menenteng tustel dan tape recorder yang, entah karena pengen ngirit beli batere, power supply-nya pake aki motor yang dihubungkan ke tempat baterai. Sementara di jaket ijonya yang penuh kantong itu, terselip gulungan rol film, tisu, duit gocapan persediaan buat nelepon (siapa tau keabisan ongkos, jadi bisa minta tolong jemput mobil kantor), notes, dan sisanya selampe dekil yang udah seminggu belum kena sabun cuci.
Dan Fifi Alone tau betul siapa yang datang itu. Pasti mas wartawan! So pasti mo' wawancara ikke! Dan dengan gaya sok akrab, Fifi pun langsung ngajak mojok Mas Dharmawan, Sebelumnya, tentu saja dipesankan minuman dulu. Mas Dharmawan, mendapat sambutan meriah seperti itu, tentu saja girang banget. Apalagi dapat tawaran minum gratis segala, wah-bisa menghemat uang transport. Otaknya segera menghitung-hitung, hihihi-pu!angnya bisa naik patas nih! Maklum aja, kerja wartawan kayak begini, ibarat ayam. Abis, patuk, abis, patuk. Gak sempet mikir nyisain buat besok-besok.
Tapi pikirannya yang ngelantur segera dipupuskan. Dia ingat, ini dalam rangka tugas Gak bisa santai-santaian. Maka seperapat jam kemudian setelah berbasa-basi, mas wartawan itu langsu tancap, "Bagaimana sih dudnk persoalan yang sebenarnya sampai terjadi peristiwa ini""
"Apa" Bedug" Ya, itu memang termasuk salah satu ikke punya hobi. Mukul bedug. Yang penting kan olahraganya. Lagian artis macam ikke boleh jauh dari masyarakat. Tau sendirilah, semua dari dia. Pendeknya ikke gak mau dicap som-som. Makanya pukul bedug pun ikke layanin. Dan ikke gak perlu takut dibilang punya selera rendah. Tau kan Merias Kukus" Itu aktor kita yang baru merebut Citra. Konon kabarnya dia orang yang sederhana. Suka jajan di warteg-warteg. Nah, ikke mau tuh yang kayak gitu. Tapi bukan berarti ikke gak punya duit. Kalo sekadar duit sih, di bank-bank orang udah banyak simpan. Ya, kan" kan""
Mas Dharmawan bengong. "Tapi, Dik. maksud saya soal demonstrasi itu..."
"Ooo... soal konsentrasi sih ikke emang paling jago. Bagitu kamera tike, yang ikke pikirin cuma satu: peran ikke. Ikke harus masuk ke ikke punya peran. Soal panasnya lampu, atau orang-orang yang nonton di lokasi syuting, itu sih kecil. Gak bakal deh ngerusak ikke punya kontrasepsi."
"Kontrasepsi""
"Iya, Mas. Konfrontasi. Maaf deh, artis profesional memang kadang-kadang gitu. Lupa pad
a hal-hal yang kecil... apa tadi" Konfirmasi" Ya, betul, konsekuensi."
Sambil garuk-garuk rambutnya yang rada-rada keriting, mas wartawan tadi melanjutkan pertanyaannya. "Begini saja, apa benar demonstrasi itu disebabkan oleh citra guru yang kurang membaik di mata siswa""
"Betul, Mas! Betul itu. Mas tau aja. Memang di FFI mendatang ikke punya niat bikin kejutan. Biar semua orang tau, ikke bukan artis kacangan. Memangnya Muchsin doang yang bisa merebut Citra" Eh, maaf, keseleo. Siapa itu yang kemarin nyabet gelar best Actress""
''Cliristine Hakim, maksudnya""
"Seratus buat Mas. Memang dia yang ikke maksud, Sutan Takdir Alyahbina. Sebagai sesama artis, ikke solider sama dia. Permainannya di film Depan Bisa, Belakang Bisa sungguh menakjubkan."
"Gawat, Nona. Sutan Takdir Alisjahbana bukan bintang film. Dia sastrawan kita. Penulis buku Grota Azura, Dian Yang Tak Kunjung Padaam..."
Fifi Alone terecnung sejenak. Lalu berkata serius, "Kalo gitu kecurigaan saya benar. Dia pasti seorang sastrawan!"
*** Gak lama kemudian kelas baru itu pun sudah diisi anak-anak ILA2. Tapi gak semua, masih ada yang nongkrong di kantin atau duduk-duduk di bawah pohon akasia.
Hari itu guru yang kali pertama masuk adalah Mr. Punk. Dia termasuk guru yang memiliki solidaritas tinggi. Buktinya begitu masup, lansung menceritakan rumus-rumus fisika.
Hihihi. Anak-anak kontan gak siap. Mr. Punk sadar kalo semangat belajar anak-anak belon pulih benar. Gantinya, Mr. Punk mengajak anak-anak berdiskusi-ria.
"Zaya biza merazakan perazaan kalian zemua. Tapi ingat, Anak-anak, zezuatu yang kalian amat cintai belum tentu biza kita miliki abadi. Zekarang ini, lebih baik nikmati yang ada. Kita nikmati kelaz ini zebagai zezuatu yang luar biaza.
"Zaya pikir kalo kalian mau, kita juga biza mengecat dinding kelaz ini. Kita hiaz agar lebih indah daripada kelaz terdahulu
"Gimana, Anak-anak" Zaya pikir daripa kalian ingat-ingat maza lalu yang tak bakal kembali, lebih baik kita bangkitkan zemangat kita untuk membangun zuazana baru."
"Ee, sebenarnya niat seperti itu udah ada dalam benak kita semua, Pak. Kita-kita udah ngerencanain sampe kemungkinan yang paling kecil," celetuk Lupus. "Tapi yang masih kami pikirin kenapa kok Pak Kepsek dalam melakukan sesuatu tidak pakai master plan yang bener. Tidak pake perencanaan jangka panjang."
"Beiiar itu, Puz, Bapak zecara pribadi juga menyezali zikap Kepzek yang bekerja tanpa perencanaan. Tapi zudahlah, itu kita lupakan aza. Lebih baik kita bizarakan zoal lain aza. Eh, zepertinya kurzi kelaz kita ini belum terizi zemua, ya""
"Iya, Pak. Fifi Alone lagi asyik diwawancara wartawan buletin mesjid di kantin. Terus Boim, kalo Boim saya gak tau, Pak," kata Anto.
"Boim" Saya tadi ngeliat Boim di... masih duduk di bangkunya di atas puing-puing, Pak." kta Utari.
"Ya, Pak. Saya juga liat. Mungkin dia masih belon bisa ngelupain semua kenangan itu 'kali, Pak."
"Coba kaubujuk anak itu, Puz. Zuruh dia mazuk, jangan biarkan dia zendirian di zana merenungi zemua itu. Kazihan," kata Mr. Punk.
Lupus dan beberapa temannya pun ke luar untuk menghampiri Boim yang masih setia nongkrong di atas "tanah kenangan" itu.
"Im, sudahlah, Im. Lupain aja semuanya," bujuk Lupus.
Boim diam. "Kita-kita tau perasaan kamu, Im. Kita-kita juga merasakan. Tapi kan kita udah dapet gantinya. Ya, meskipun kelas itu rada kecil, rada sumpek, rada bau en dekil kayak kamu. Tapi nanti kan bisa kita bagusin. Kita cat lagi.
"Yuk, Im, kita masup. Anak-anak udah nunguin."
Boim tak bergeming. Anak-anak yang lain menatap haru pada kesetiaan Boim. Gak nyangka, jelek-jelek tu anak bisa setia juga.
"Im, ayo, Im. Jangan menambah duka di hati," Meta, Ita, Utari ikut-ikut membujuk.
Boim menatap mereka satu per satu. Lalu berujar pelan,
"Saya harus tetap duduk di bangku ini, Teman-teman yang baik. Kalian kan tau, saya lagi ngincer anak kelas satu yang masuk siang. Waktu itu saya kirim surat lewat bangku ini. Dan anak itu janji bakal ngebales surat saya. Dia mau naro suratnya di laci meja saya. Makanya saya harus tetap, menunggu dan bertahan di sini. Kan sayang kalo samp
ai saya tinggal...."
Anak-anak pada melongo. 7. WORO-WORO MALIOBORO TUIT, TUIT, TUIT...! "Perhatian, perhatian! Para penumpang kereta api tut, tut, tut, siapa hendak turut eh, maksud kita penumpang Kereta Api Senja Utama jurusan Yogyakarta harap segera kumpul di atas kereta api! Ingat, jangan sekali-kali kumpul di atas gerobak sampah, ya, nanti katut!"
Dan segera para penumpang yang menyemut di pintu berbondong-bondong pada masuk stasiun.
"Hei, Boim mana, Pus"" tanya Anto sambil repot menggeret-geret tas kopernya.
"Tau. Katanya mau beli Akua."
"Sudahlah," tukas Gusur yang gak kalah repot menyunggi sejumlah tas plastik dan menenteng rantang susun. "Boim sejak dulu, sejak zaman belum enak, senantiasa bikin susah!"
"Hoiii...!" terdengar suara orang berteriak.
"Tuh, Boim." "Tungguuu!" "Ke mana aja sih, lo!"
"Eh, gue dapet cewek! Wah, kece banget. Dan dia juga mo ke Yogya, Pus."
"Kau ini hanya cewek yang diurus. Tak tau bahwa kereta sesaat lagi berangkat""
"Sori, Sur. Lagi kalo dapet, lo kan selalu gue sisain..."
Mereka kemudian masuk ke dalam stasiun. O, ya, Lupus, Gusur, Boim, dan Anto ceritanya pada mo' ngisi liburan muter-muterin Yogya. Karena Anto ngakunya punya teman di sana.
"Jadi jangan kuatir deh, soal makan, tidur, en jalan-jalan gratis!" kecap Anto. "Lo-lo gak perlu ngeluarin duit banyak. Cukup transport pulang pergi saja ama sedikit duit buat beli oleh-oleh," promosi Anto.
"Bener ya, Nto. Soalnya gue emang gak punya duit sepeser pun. Buat beli karcis ini saja emak gue bela-belain ngegadein gigi emasnya," kata Boim.
"Apalagi daku. Engkongku, untuk mencari dana untukku, terpaksa menyebarkan edaran sumbangan dari rumah ke rumah," kara Gusur.
"Perhatian-perhatian!" terdengar ujaran dari pengeras suara lagi.
"Eh, cepetan. Kita udah dipangil-pangil, tuh," tukas Anto.
"Hei, perhatian! Jangan pada ngobrol, dong. Kita kan mo' ngasih pengumuman, nih! Perhatian dong, eh, perhatiin dong!"
Kontan penumpang khidmat, berdiri rapi, kayak upacara hari Senin, mendengarkan suara dari halo-haloan itu.
"Perhatian, ya! Bagi para penumpang Kereta Api Senja Utama jurusan Yogyakarta harap kumpul di Cirebon eh, maksud kita kumpul di jalur empat! .
"Tapi karena ada kesalahan teknis, kayak tipi, sampe saat ini kereta apinya belon bisa nongol!"
"Huuuu...!" Para calon penumpang, termasuk Lupus cs, pada teriak-teriak, protes!
"Telat lagi telat lagi!" dumel seorang bapak.
"Lagi-lagi telat-telat," timpal orang di sebelahnya.
"Lagi telat lagi telat," kata orang di belakang orang yang di sebelahnya bapak itu.
"Masa kereta api gak bisa nepati waktu, sih," umpat calon penumpang asal Tegal.
"Piye iki, kulo wis kangen karo Simbok!" teriak Mas asal Gunung Kidul.
"Perhatian, perhatian! Semua penumpang diharap tenang! Karena kereta api itu rodanya kempes dan sekarang lagi ditambel di bengkel las! Jadinya para penumpang punya waktu satu jam untuk menunggu. Nah, pergunakanlah waktu itu sebaik-baiknya. Dengan membaca, misalnya!"
"Huuu, kagak lucu...!"
"Eh, mending kita cari cewek yang tadi, yuk," usul Boim.
"Yuk," saut Lupus.
"Tapi..." "Udahlah, Sur, daripada bengong di sini!" kata Anto.
"Eit, perhatian, perhatian! Jangan pada jauh-jauh, dong. Kereta apinya kali aja nongol.
"O, ya, para penumpang harap hati-hati ya menjaga barangnya masing-masing, sebab kalo ada yang ilang kita gak jamin jackson eh, itu kan Jermaine Jackson, ya" Maksudnya kalo kenapa-kenapa kita gak jamin gitu!"
Gak lama memang kereta api yang ditunggu-tunggu itu benar-benar nongol. Tapi masih terseok-seok jalannya.
"Ya, gak jadi nyari cewek, deh." Boim lesu.
"Hei, Nto, kita naik gerbong yang mana"" tanya Gusur heran demi melihat rangkaian gerbong yang panjang itu.
"Gerbong satu!"
"Eh, mendingan kita naik gerbong yang banyak ceweknya aja, Nto," usul Boim.
Ketika kereta benar-benar telah berhenti para penumpang segera berloncatan ke atasnya dan buru-buru mencari tempat duduk masing-masing.
Lupus cs pun bingung mencari-cari "empat duduk di atas gerbong.
"Mana sih gerbong satu" Pus, mending kita tanya aja, deh."
Kebetulan ada seorang petugas di si
tu. Lupus segera menghampiri.
"Permisi, Pak, numpang tanya. Kalo gerbong satu itu di sebelah mana, ya"" tanya Lupus sopan.
"Gerbong satu" O, dari sini adik luruus saja. Jangan belok-belok. Gak jauh, kok. Ya, kira-kira lima ratus meterlah dari sini."
"Hm, makasih, Pak."
"Eh, inget, Dik, luruus saja...."
"Hihihi, emangnya ada kereta api yang kagak lurus, Pak" Lupus cs kemudian menyusuri gerbong demi gerbong dan karena gak puas dengan jawabannya tadi mereka terus nanya-nanya. Sampe dikira tukang asongan.
"Eh, Dik, Dik," Lupus ditegur ibu-ibu, "anu, monyet-monyetannya itu dijual, ya"" sambil menunjuk Boim.
"Oh iya, Bu, dijual!" tukas Lupus cepat sambil menyorongkan Boim. Boim kebingungan. "Tapi ini bukan monyet-monyetan, Bu."
"Lalu apa, Dik""
"Monyet betul!"
Hihihi. Sementara pedagang asongan betulan yang ada malah menyusahkan gerak mereka berempat dalam mencari tempat duduk. Lihat saja abang tukang rokok itu, yang menjajakan rokoknya sambil berjalan berputar-putar ala peragawan Ibukota.
"Ayo, Bapak-bapak, oleh-oleh buat mertua galak! Ayo siapa lagi!" teriak penjaja kue lemper yang gak kalah lincah. "Kalo gak enak tinggal timpuk! Ya, siapa lagi!"
Dan Gusur dan Boim bener-bener kena timpuk!
"Nah, kayak gitu nimpuknya, Bapak-bapak, Ibu-ibu. Gampang, kan""
Ya, setelah melewati banyak cobaan akhirnya Lupus cs nemu juga tempat duduknya di gerbong satu.
""Perhatian, perhatian! Para penumpang Kereta Api Senja Utama jurusan Yogya sudah naik semua apa belum" Kalo udah, keretanya siap berangkat, nih!
"O, ya, kita semua atas nama panitia mengucapkan selamat jalan buat para penumpang semua dan sampe ketemu lagi dalam acara dan tempat yang sama. Bye!"
Tuit, tuit, tuit... glek!
"Perhatian, perhatian! Para penumpang Kereta Api Senja Utama jurusan Yogyakarta kota mohon maap, ya" Anu, peluit kita ketelen!"
Hihihi. *** "Kereta bergerak pelan meninggalkan stasiun dengan meninggalkan asap yang mengepul dan petugas yang di-gedik-gedik tengkuknya karena nelen peluit!
Sementara di dalam kereta semua penumpang sudah asyik dengan bermacam aktivitas yang mengasyikkan. Ada yang baca-baca, nyulam, nyuci, ngupi, ngetik, ngerumpi, nyetrika, mandi, ngejemur pakaian, gosok gigi, main tak lari, ngemil!
Sedang semenjak disodorin bantal oleh pramugara kereta, Gusur langsung ngorok. Anto asyik berdiri di gandengan dan loncat-loncatan. Boim"
Playboy tengik itu masih penasaran pengen ketemu cewek incerannya tadi.
""Iya, Pus, .daripada iseng mendingan kita cari cewek yang tadi," rayu Boim sambil memijit-mijit ujung jempol Lupus. "
"Kece, gak""
"Kece! Rambutnya panjang dan ada lengsung pipitnya lagi."
"Di rambut""
"Di jidat! Ya, di pipi, dong."
"0, kirain di tenggorokkan."
Sedetik kemudian Lupus sudah mengikuti Boim.
"Kira-kira dia ada di gerbong berapa"" tanya Lupus.
"Wah, gue kurang tau, Pus. Tapi sebaiknya kita selusuri aja semua gerbong. Pasti ketemu!"
"Eh, kita kan udah sampe gerbong paling buncit, Im."
"Sabar, Pus." Boim terus celingak-celinguk. "Hei, itu dia!" Boim menghampiri seseorang cewek yang duduk di kursi pojok.
Lupus ngintilin Boim nyamperin cewek berambut panjang itu. Dia lagi asyik baca majalah.
"Wah, ketemu lagi, nih," sapa Boim ramah.
Cewek itu kaget menatap Boim. Lalu ke Lupus juga. Diratapi begitu, kedua cowok itu langsung pasang senyum.
"Ini temen saya," promosi Boim. "Saya cari ke mana-mana gak taunya di sini...."
"Kamu masih kurang, ya"" Tiba-tiba cewek itu berdiri dan menunjuk idung Boim. "Masa cuma ngangkat satu tas koper aja gak mau dibayar seribu, sih" Nih, kalo kurang. Pake bawa temen segala lagi. Emangnya saya takut!"
Kemudian tu cewek mengorek isi tasnya dan mengangsurkan lima ratusan leceknya ke tangan Boim.
Lupus melongo. Boim terkejut.
Lupus segera menarik lengan Boim pergi dari situ.
"Im, jadi lo tadi ngangkatin kopernya dia, ya"" bisik Lupus Kesel.
Boim mengangguk lemah. "Buat nambah-nambah uang saku, Pus."
"Huh, malu-maluin aja!" omel Lupus merampas duit lima ratusan dari tangan Boim.
"Hei... duit gue, Pus!"
" Bagi duda!" *** "Bersamaan munculnya mentari Yogya di pagi yang cera
h, keempat anak itu muncul dari mulut Stasiun Tugu Yogya. Mereka disambut para abang becak yang berseragam jaket ijo dan berbaris rapi.
"Becak, Den," sapa mereka ramah.
"Nggak, Mas," jawab Anto.
Udara pagi Yogya begitu cerah. Kendaraan memang belum banyak lalu-lalang. Kebanyakan hanya ada andong dan becak saja. Di ujung Jalan Malioboro mbok-mbok bakul repot membenahi sisa dagangan bekas tadi malam. Masih sepi. Selain itu, belum nampak gadis-gadis Yogya yang sejak dari Jakarta bakal diincer Boim.
"Katanya di sini banyak ceweknya, Nto"" Boim memang ngebet banget dengan cewek Yogya sejak Anto cerita kalo di Jalan Malioboro tuh ceweknya ayu-ayu.
"Masih pagi. Belon pada keluar, Im."
"Boim hanya cewek yang ada dalam benaknya. Tak terpikirkan bahwa kita belum sarapan sejak pagi"" umpat Gusur. Rantang susun Gusur emang udah ludes.
"Ayolah, Nto, kita langsung ke rumah temenmu saja. Kita makan di sana."
"Nggak enak, Sur, masih pagi kan."
Sesampe di depan Kantor pos besar, mereka duduk-duduk melepas lelah. Sambil ngecengin anak-anak Yogya yang bersepeda-ria hilir-mudik di perempatan jalan yang memang cukup rame itu.
"Eh, ngomong-ngomong rumah temen lo jauh gak dari sini"" tanya Lupus.
"Deket. Dari sini kalo jalan paling cuma
setengah jam, Pus." "Mending ke sana sekarang, yuk. Gue juga udah lapar, nih."
"Siang-siangan dikit, deh, Pus."
"Emangnya kenapa sih""
"Gak pa-pa, sih, cuma kan nggak enak bertamu pagi-pagi. "
"Katanya dia temen baek sama lo. Eh, dia
temen lo waktu SMP atau bekas retangga lo yang pindah ke sini ""
"O, bukan! Bukan temen SMP dan juga bukan bekas terangga gue, PUS."
"Jadi temen dari mana""
"Dulu waktu gue kelas dua SD gue kan ikutan tur dari kampung gue. Nah, pas gue lagi jalan-jalan di Malioboro gue kenalan ama tu anak. Namanya Nyengin! Wah, anaknya baek banger, Pus. Gue dianter ke mana-mana."
"K-Kelas dua SD""
"Iya. Gue masih inger banget!"
"J-Jadi udah sembilan tahun""
"Iya. " "Gila! Apa dia masih inget sama lo""
"Gue yakin masih."
"Wah, bahaya nih. Kalo gitu kita sekarang langsung ke sana!"
Mereka segera bergegas menyusuri Jalan Ahmad Dahlan. Di perempatan belok Kanan. Terus dekat gapura belok kiri. Anto ternyata mempunyai daya inget yang kuat. Meski begitu Lupus tetap kuatir.
"Rumahnya yang mana, Nto""
"Cari nomor 17!"
Lupus mencari-cari bangunan yang bernomor tujuh belas dibantu Boim dan Gusur.
"Naaa, ini dia!" teriak mereka. "Assalamualaikum, assalamualaikum. Nyeng, eh, siapa namanya, Nto""
"Nyengin!" ""Nyengin... Nyengin...!"
Dari dalam muncul ibu gemuk. Dia heran melihat anak-anak teriak-teriak.
"Nggoleki sapa""
"Anu, Bu, kita-kita temennya Nyengin!" jawab Anto.
"Iya, Bu," tambah Lupus. "Kami dari Jakarta. Baru saja sampe, Bu."
"Dari Jakarta" Nyari siapa" Unyeng-unyeng""
"Namanya Nyengin, Bu," Anto meyakinkan.
"Nyengin..." Ibli itu berusaha mengingat-ingat. "O, Nyengin putrane Pak Enjum! Wah, mereka sudah pindah, Dik. Kalo ndak salah mereka pindah ke Wates, gitu."


Lupus Ihh Syereem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"P-Pindahnya udah lama, Bu"" Anto bener-bener gak nyangka.
"Kira-kira dua tahun yang lalu-lah."
Lupus langsung nggak bisa ngomong apa-apa. Sementara Anto mulai gak enak sama anak-anak. Karena selain Nyengin, ternyata Anto gak punya kenalan lagi. Tambahan Gusur terus merengek-rengek minta makan.
"Daku lapar, Pus," rengek Gusur.
"Gue juga, nih," tambah Boim.
"Lo kira gue gak lapar"!" maki Lupus, "Dan apa lo pikir gue punya duit lebih""
"Jadi gimana, dong"" Gusur terus merengek-rengek.
"Cari warteg!" tukas Lupus. "Soal pulang gampang. Karena perut lebih penting daripada pulang. Kita kan bisa jalan kaki, kalo kuat."
"Matahari Yogya yang mulai membakar jalan-jalan beraspal tentu membuat anak-anak itu kian lelah saja. Sesampai di Malioboro mereka menemukan penjaja nasi gudeg di pinggir jalan. Tapi gak langsung pesen. Karena Lupus menawarkan langsung pulang ke Jakarta aja.
"Tapi, Pus," Anto yang dari tadi diem kini mulai buka mulut lagi, "si Nyengin itu katanya sering banget jalan di Malioboro ini. Dia juga punya kenalan yang jualan dompet dan sendal kulit di sini, Pus."
"Terus"" "Kali-kali aja kalo kita bikin pengumuman dia bisa tau kalo kita ada di sini."
"Pengumuman ""
"Iya, semacam woro-woro, gitu. Kita tulis di atas kertas karton, terus kita pasang di pinggir jalan, Pus. Di sini kan banyak orang lewat. Misalnya dia gak baca ya, kali-kali aja ada yang kenal ama kita dan berbaik hati mengajak makan serta nginap barang beberapa hari...."
"Ya, terserah."
Anto selanjutnya masuk toko buku untuk beli kertas karton dan spidol besar. Di bantu Gusur dan Boim, Anto menyelesaikan woro-woro itu. Menarik memang. Apalagi Gusur memberi ilustrasi seorang anak muda menenteng rantang sambil berjalan sendirian dan sebaris kata bertuliskan: Jangan biarkan mereka kelaparan!
Woro-woro dipasang di pinggir jalan pas di depan supermarket yang rame pengunjung. Hasilnya lumayan. Banyak yang mengerumuni woro-woro tersebut.
""Woro-woro Malioboro.
Sodara en Sodari ingin mendapat pahala tambahan"
Mudah. Ajaklah anak-anak manis di samping pengumuman ini nginep beberapa hari dan makan ala kadarnya. Nggak bakal menyesal. Selain anak ini baik-baik, mereka juga manis-manis. Terutama untuk Sodara yang bernama Nyengin. Ayo! Kamu hams bertanggung jawab menampung kami!
Salam manis, Lupus -cs" Hasilnya emang ampuh. Seorang gadis manis berambut panjang tersenyum manis pada mereka.
"Aduh, kaciaan. Imigran gelap, ya" Di rumah saya aja, yuk" Kebetulan pembantu lagi pada pulang."
Nama gadis itu Lia... 8. SALI KHA PAGI yang cerah. Salikha berjalan-jalan melenggak-lenggok di gang sempit rumahnya. Cukup lincah ia menapakkan kakinya di jalan yang becek itu. Maklum, musim hujan. Jadinya kalo gak ati-ati bisa kepeleset. Kampung tempat tinggal Salikha emang padet. Sering cuma diuruk pake ancuran batu bata aja kalo hujan dateng.
Tapi aktivis para penghuninya dinamis sekali!
Tengok aja. Masih pagi penuh embun begitu para ibu sudah keluar rumah. Ada yang langsung SKJ (Senam kesegaran Jas-ujan eh, Jasmani!), ada yang nimba aer, ada yang ngeluarin ayam serta bebek peliaraan, ada yang nganterin anaknya ke sekolah, ada juga, ya, termasuk gadis-gadisnya ngerumpi di MCK sambil nyuci bareng!
Ada juga sih yang langsung nyetop tukang ketan buat sarapan. Seperti Mpok Uti.
Wow, namun ada yang lebih lain daripada yang lain. Liat Bu Indun! Masih pagi ia udah dandan menor banget. Tentu saja para ibu, apalagi yang nyuci, jadi pada konsen!
""Wah, wah, Bu Indun pagi-pagi kok udah rapih, sih," tegor Mpok Uti yang asyik milih-milih ketan.
"Kan mo' arisan," jawab Bu Indun sambil membenarkan kondenya yang berukuran XL itu.
"Arisan bukannya ntar siang"" tukas Mpok Uti.
"Lho, apa salahnya kalo siap dari sekarang " Inget dong kata pepatah, 'Lebih cepat itu lebih baik'. Kan gak enak kalo terlambat. Mpok Uti nggak tau sih bahwa arisan yang saya ikutin itu arisan tingkat tinggi."
"Tingkat tinggi" Arisan sama-sama ibu-ibu pejabat""
"Bukan! Bukan sama ibu-ibu pejabat, tapi arisannya di lantai atas gedung pertemuan. Namanya aja arisan tingkat tinggi...."
"Hihihi, Bu, Bu Indun ada-ada aja."
Namun tiba-tiba obrolan terhenti. Juga aktivitas yang lain. Tak terdengar kecipak air, tak ada suara tangan menggilas.
"Eh, eh, itu kan si Lika," bisik seorang gadis yang rambutnya digelung handuk.
"Tambah cakep aja, ya "" bisik yang lainnya.
Salikha yang muncul dari mulut gang diliatin begitu segera saja melempar senyum manisnya.
"Mo' ke mana pagi-pagi begini, Neng"" sapa Mpok Uti terpana.
"Kerja, Mpok." "Kerja" Kerja di mana, Neng""
"Di Department Store."
""Wah, hebat ente. Dapat beras juga, dong""
"Ah, nggak, Mpok!"
"Lho, lakinya Ati kerja di departemen kok dapet beras" Tau tuh, di departemen apa sih namanya. Aye lupa, tuh. Tapi dia dapet beras tiap bulannya, Neng."
Hihihi, ada-ada saja Mpok Uti. Ya, lain dong. Kalo yang dapet beras itu departemen pemerintah. Kalo Department Store kan punya swasta. Beberapa ibu yang pada nyuci di situ jadi pada ngikik. Sementara Salikha senyum-senyum saja.
"Sogo, ya" Kerja di Sogo""
"Ah, bukan, Mpok. Masa gadis kayak saya bisa keterima di Sogo""
"Nyak, nyak, nyak...!"
Wah, tukang minyak ini bikin kaget aja. "Ayo siapa beli minyak t
anah, mumpung masih pagi, masih anget. Gimana, Bu Indun" Tertarik dengan tawaran saya""
"Nggak ah!" "Lho, kemaren kan udah gak ngisi""
"Saya udah gak pake minyak lagi, Bang."
"Lho, jadi kalo masak pake apa, Bu""
"Saya udah nemuin bahan bakar baru."
"Bahan bakar baru"" Abang tukang minyak itu penasaran.
"Iya, campuran dari sampah plastik yang diadon kemudian saya campur dengan rempah-rempah."
"Ah, yang bener" Trus hasilnya itu jadi minyak"" samber Mpok Uti tertarik.
""Boro-boro. "
"Terus jadi apa"" tukang minyak makin penasaran.
"Ya, jadi sampah lagi!" .
Tukang minyak itu pun ngeloyor pergi dengan sebel. Meninggalkan kerumunan para ibu yang tertawa terkekeh-kekeh.
"Bu," kata Salikha lagi masih geli, "saya permisi dulu, ya."
"Eh, iya, Neng. Mari, Neng. Ati-ati kalo naek bis cari yang kosong!" pesen Bu Indun.
"Iya, Neng, kalo mau cari bis yang kosong, cari aja bis yang lagi mogok! Dijamin nggak desak-desakan," timpal Mpok Uti.
Hihihi, para ibu kembali ngikik.
Salikha memang ramah. Hampir semua penghuni kampung itu kenal dia. Apalagi wajahnya lumayan kece. Idungnya lancip, kayak penggarisan segitiga.
Seperti tadi itu. Ia masih menyempatkan diri meladeni ibu-ibu yang mencegatnya. Padahal hari udah mulai siang. Salikha juga masih menyempatkan membalas sapaan para bapak, para anak, atau para pemuda yang kebetulan berpapasan.
Eh, ternyata tidak semua diladeni, ding.
Waktu Salikha melewati warung Mpok Inah, ada sapaan hangat untuknya. "Halo Lika. Sendirian aja nih."
Salikha cuek. "Boleh Abang anter""
Salikha malah mempercepat langkahnya.
"Salikha emang sejak dulu gak demen ama Kodir.. Walau tiap pagi Kodir setia nungguin Salikha lewat. Dan yang bikin gondok Lika, justru sapaan Kodir itu. Dari dulu begitu-gitu terus. Gak ganti-ganti.
Tentu Salikha jenuh. Kodir emang kuper. Bayangin aja, hampir setahun lebih Kodir selalu menyapa, "Halo, Lika. Sendirian aja, nih. Boleh Abang anter"" Dan Kodir tetap terus menyapa begitu biar Salikha jalan berdua dengan ibu atau adiknya. "Halo, Lika. Sendirian aja, nih."
Itu masih mending. Suatu pagi Lika pernah bareng sama serombongan ibu-ibu yang pada mo kondangan. Salikha berharap sapaan Kodir berubah. Tapi ternyata...
"Sendirian aja, nih. Halo, Lika."
Ya ampun, cuma dibalik! *** "Sore itu di kawasan pasar Inpres macet total.
Gara-gara sebuah angkutan pinggir kota ngelindes baju-baju dagangan seorang penjual kaki lima. Tentu saja pedagang itu mencak-mencak. Tapi sopir itu merasa gak salah.
"Lagian suruh siapa dagang di tengah jalan!" bantah si sopir yang didukung sang kenek.
"Tapi Abang harusnya bisa ngeliat, dong"" kelit pedagang sambil nunjuk-nunjuk ke dagangannya. "Kalo baju tangan pendek tuh seribu perak eh, maksud gue, kalo Abang tuh mesti tau di sini ada barang dagangan. Jangan maen lindes aja. Gue gak mau tau, Abang harus beli baju-baju yang Abang lindes!"
"Enak aja!" protes sopir. "Apa-apaan lo nyuruh gue beli baju anak-anak kayak gitu. Emangnya gue anak orok""
Untungnya seorang Banpol yang biasa ngatur arus lalu lintas di situ segera datang mendamaikan.
Salikha yang lagi asyik nunggu bis ngerasa sebel banget ngeliat kejadian itu. Karena bis yang ditunggunya jadi gak nongol-nongol. Barangkali terhadang antrean mobil-mobil yang mulai rame membunyikan klaksonnya masing-masing. Ih, jadi inget malem taun baru....
Salikha masih terus menanti bisnya. Untung mobil-mobil mulai merambat. Tapi keringat mulai menetes dari keningnya yang nongnong. Dia kegerahan. Baju seragam kerjanya emang gak cocok dipake buat suasana kayak gitu. Selain bahannya bikin gerah, warnanya juga norak bin kampungan. Blus dalemnya yang berwarna kuning dibungkus jas pendek ijo dengan garis tipis kecoklat-coklatan. Sementara rok, sebahan dengan jasnya, berwarna merah terang!
Salikha sendiri mokal pake seragam begituan, tapi mo gimana lagi, wong kepaksa.
Untungnya Salikha kulitnya putih, wajahnya bersih, manis, maka gak begitu ketahuan noraknya.
Jadi jangan heran bila beberapa meter dari situ, ada cowok yang merhatiin terus. Salikha tau, tapi pura-pura cuek. Abis tu cowok masih seragam SM
A. Pasti lebih muda dari dia. Segen ah, ngeladeni anak kecil.
Eh, tapi kayaknya kemarin dia juga ngeliatin gue, deh, tebak batin Salikha.
Dan kemaren-kemarennya lagi juga kok, Lik. Iya beberapa hari benurut-turut Salikha diliatin terus ama tu cowok. Nggak tau apa tu cowok sengaja ngebela-belain nunggu dia pulang, atau emang kebetulan.
Terus terang Salikha lama-lama jadi suka ngeliat senyum tu cowok yang emang manis. Senyum yang selalu tersungging di wajahnya kalo Salikha kebetulan ngeliat ke arah dia.
Apalagi anaknya cukup rapi, kagak urakan dan kagak Kuper kayak Kodir! Bodinya gede. Pasti dia sering nimba, pikir Salikha yang lantas inget sama sumur di depan rumahnya.
Dan rambutnya... kayak Jason Donovan! Salikha sering liat poster Jason di temp at jualan kaset di Department Store temp at dia kerja.
Kece dong" Lumayan dibanding Kodir.
Tu cowok juga sering bawa map unik bergambar Milli Vanilli yang dijadiin tas. Buku sekolahnya cuma ada beberapa biji.
Yang "engesankan Salikha, tu cowok sering ngebantuin nyetop Metromini. Wah, seorang jentelmen sejati, nih, tebak Salikha lagi.
*** "Minggu depannya Salikha dapet shift malem. Berangkat kerjanya kagak pagi-pagi lagi. Berarti Salikha terbebas dari sapaan Kodir yang monoton itu. Tapi Salikha juga gak bisa ketemu sama si "Jason" itu. Soalnya Salikha kalo shift malem, masuk kerjanya baru jam tiga sore dan pulangnya jam sembilan malam.
Diam-diam Salikha merasa kehilangan. Gak ada si "Jason" berarti gak ada yang nyetopin Metromini.
"Ah, kenapa kerja pake shift segala sih," gerutu Salikha. "Aturan bisa ketemu ama tu cowok!"
Tapi emang peraturan kerja di Department Store. Gonta-ganti shift. Seminggu pagi, seminggu sore. Kalo dipikir-pikir emang nyusahin kerja dengan sistem shift. Bagi Salikha bukan cuma gak bisa ketemu ama si "Jason", tapi lebih dari itu ia juga tak punya kesempatan mengembangkan potensi dirinya. Secara gak langsung, Department Store tersebut telah memiliki waktu sepenuhnya yang dimiliki Salikha. Artinya Salikha terpaksa mengabdi sebagai pramuniaga yang baik pada Department Store itu. Bayangin aja, kesempatan buat ngasah otaknya lewat kursus atau les lainnya jadi gak ada. Karena gak mungkin Salikha mendapatkan tempat kursus yang jadwal kuliahnya seminggu pagi, seminggu lagi sore.
Salikha jadi sebel banget dengan sistem shift itu. Pernah Salikha kepengen mengembangkan bakatnya yang lain. Kebetulan waktu SMA dulu Salikha pernah juara dalam lomba T ari Kreasi se-Jakarta. Dia emang pingin masuk sanggar. Kali-kali aja bisa jadi penari top. Soal biaya dia udah punya dari gaji yang ia peroleh dari Department Store. Tapi, lagi-lagi, terbentur waktu. Tak ada sanggar yang buka seminggu pagi seminggu lagi sore!
Salikha pernah serba salah. Kalo dia gak kerja, dia butuh duit karena emang bokap-nyokapnya udah pensiun. Tapi kalo terus kerja, sepenuhnya waktu yang dimiliki hanya untuk Department Store.
Barangkali bagi gadis yang gak mau maju, ya tak ada masalah. Tapi bagi Salikha, ini jelas masalah. Pernah dia minta dispensasi agar diberi waktu yang tetap. Misalnya kalo masuk pagi ya, seterusnya pagi. Kalo masuk sore, begitu juga. Tapi kata sang manager, itu menyalahi aturan!
Kini Salikha benar-benar merasa kehilangan. Namun di lain pihak, si cowok itu pun diam-diam nunggu sampe malam. Ada rasa kesal ketika Salikha tak jua muncul.
Ke mana, ya" Cowok itu berusaha mencari ke halte di dekat bioskop. tak ada. Tapi gak mungkin deh dia nunggu bis di sini, raba hati "Jason ".
Atau dia..." Ah, sebodolah!
Ya, akhirnya tu cowok yang ternyata bernama Gito, temen deketnya Lupus, gak terlalu berharap ketemu Salikha lagi. Frustasi barangkali. Dia asyik nongkrong nungguin bis sendirian.
Tapi pas lagi asyik ngitungin jumlah cewek berbaju kuning-ijo yang lewat hari itu di depannya dari jauh, tiba-tiba muncul sosok Salikha. Gito kaget, eee... kok ada lagi"
Tanpa sadar, mungkin karena perasaan rindu yang dipendam, Gito menghampiri Salikha.
"Dari mana aja baru keliatan""
Sejenak Salikha terbengong. Gito jadi mokal sendiri.
"Eh, maap. Maksud s-saya..."
"Ah, gak dari mana-mana.
Kamu sendiri dari mana, udah lama gak nongol"" Salikila yang tadinya gak begitu peduli, karena Salikha nganggep tu cowok anak kecil, jadi mendadak suka. Perasaan suka ini timbul setelah beberapa hari Salikha merasa kehilangan. Gara-gara shift.
"Lho, saya tiap hari ada kok di sini," tukas Gito antusias. "Sekolah saya kan di situ di jalan situ. "
"Ooo, saya juga punya temen..."
"Siapa namanya" Kamu punya temen yang sekolah di SMA Merah Putih juga""
"Bukan! Dia bukan sekolah di situ. Saya punya temen yang tau kalo di jalan itu ternyata ada sekolahan. "
"9. GILA BETUL! "GITO agak gelisah di kursi kelas. Bukan karena hari itu adalah hari pertama di bulan puasa. Kayaknya dia ada janji. Lupus yang duduk di depannya malah lagi asyik surat-suratan ama si Pitak, anak baru pindahan dari Ujung Pandang. Nama sebenernya Fita, tapi Lupus lebih suka memanggil si Pitak. Ya, dia emang suka seenaknya ganti nama orang. Padahal Fita gak pitak, lho. Anaknya malah lucu. Apalagi kalo cerita. Suka ketawa. Dan lebih lucu lagi, suka bawa coklat Toblerone warna putih. Lupus suka dikasih ujung-ujungnya.
Pluk! Segumpal kertas mungil jatuh menimpa kepala Lupus. Lupus membaca:
""Sebel deh, tadi malem waktu sholat tarawih, yang duduk di sebelah gue nyontek melulu!
"Fita" "Lupus ngikik sambil melirik ke Pitak. Lalu membalas,
""Ada-ada aja si Pitak.
Eh, ntar malem sholat tarawih bareng, yuk" Terserah elo mau milih yang mana. Al Azhar I, Al Azhar II, atau Al Azhar II I (kayak cinepiex aja, ya"), kita cari materi ceramah yang seru, dan raka'at yang sedikitan. Eh, tapi Nyit-nyit yang duduk di sebelah lo jangan diajak. Dia kalo teriak 'Amiiin' keras banget. Malu-maluin. Lagian enak kok sholat tarawih di sana. Pulangnya suka dapet sendal yang lebih canggih...
Mau, ya" "Lupus" "Si Pitak mengangguk. "Tapi pulang sekolah nanti anterin ke toko buku, ya" Mau cari buku buat referensi tugas paper," desis si Pitak.
Lupus mengangguk. Kelas nampak lengang. Guru biologi kayaknya lagi males ngajar. Lapar kali. Ia hanya menyuruh Poppi mencatat di papan tulis. Semua anak sibuk mencatat. Semua anak repot menahan kantuk. Ya, soalnya udah cukup siang. Jam setengah satu. Setengah jam lagi bel pulang berdentang. Walau bulan puasa, sekolah memang jalan seperti biasa. "Mengisi puasa dengan belajar itu berpahala," alasan Kepsek.
Tapi setelah jam satu nanti, mereka gak bisa langsung pulang. Karena jam dua siang ada praktikum biologi. Sampai jam tiga. Berarti sepanjang siang ini mereka bakal bosen banget ngecengin guru biologi.
"Walah! Lupus sampe suntuk duduk di bangkunya. "Mana gurunya kalo jalan kayak Donal Bebek lagi!" umpat Lupus melihat Ibu Biologi mondar-mandir meriksain anak-anak yang malas mencatat.
"Heh, bulan puasa batal lo ngatain orang!" tegur Dicky yang duduk di sebelah Lupus.
"Aduh, iya! Saya lupa. Saya harus minta maap sama bebek itu!"
"Hihihi...," Dicky ngikik.
Sementara Gito masih nampak gelisah. Ya, ternyata ia sudah janjian mau nganterin Salikha daftar kursus Inggris. Salikha hanya punya waktu istirahat dari jam dua belas sampe jam satu siang. Jadi waktunya udah mepet banget.
Kemarin, Gito pikir dia bisa kabur pas jam keluar main kedua. Tapi ternyata ada ulangan. Lagian biasanya guru biologi gak sampe abis ngajarnya. Biasanya jam dua belas anak-anak udah diperbolehkan pulang, tapi kali ini udah lewat setengah satu, belon pulang juga. Alasan Ibu, ntar kan ada praktikum. Jadi materi prakteknya diberikan sekarang aja, biar menghemat waktu praktek.
Gito pun nyari akal. Dia bertekad bakal bolos praktikum kalo berhasil kabur.
"Poppi, kamu catat sampai Bab V selesai, ya" Ibu mau ke Kantor sebentar," ucapan Ibu Biologi seperti memberi angin kepada Gito untuk cepat-
cepat melarikan diri. "Dan, Anak-anak, jangan pada ribut, ya""
Ketika Ibu Biologi melangkah ke luar, Gito buru-buru membenahi bukunya.
"Pus, Pus, gue mo' cabut dulu. Ntar kalo Ibu nyariin, bilangin gue lagi ke WC, ya"" bisik Gito pada Lupus.
"Kalo nggak dicariin, gimana""
Gito tertegun. Lalu menjitak kepala Lupus sambil buru-buru memasukkan tasnya yang mungil ke balik kemeja.
Ia pun menyelinap ke luar kelas.
"Apakah itu bijaksana, meninggalkan kelas selagi guru ke kantor"" Suara berat di belakangnya cukup bikin langkah kaki Gito terhenti di pimu kelas. Ia menoleh. Guru PMP yang lagi ngajar di kelas sebelah nampak berdiri di depan pintu kelas. Rupanya ia memperhatikan gerak-gerik Gito yang mencurigakan.
"Eh-anu, Pak, s-saya mau ke belakang sebentar," Gito tergagap.
"Sudah izin"" Kini guru sok tau itu melangkah mendekati Gito.
Gito jadi gelisah. Keringat dinginnya menetes dari balik kemeja. Ia takut Ibu Biologi keburu kembali dari Kantor guru.
"S-sudah, Pak. Tadi."
"Hm-" Guru itu kini menatap lekat-lekat pada Gito. Seakan tak percaya. Dia emang paling sebel sama anak-anak yang suka keluar kelas sebelum pelajaran usai. Dia yang sering memergoki anak-anak yang hobi nongkrong di kantin belakang. Gak percuma emang dia jadi guru PMP. Pendidikan Moral Pancasila!
Gito melihat, Ibu Biologi di kejauhan nampak keluar dari Kantor guru. Wah, alamat kacau balau, nih! Gito gelisah. Takut kepergok.
"Ya, pergilah. Tapi cepat kembali ke kelasmu, ya"" Keputusan guru PMP itu dirasakan tepat pada waktunya.
Gito pun tanpa pikir panjang langsung berbalik dan lari ke arah kanan.
"Hei, Gito! Pintu WC kan ke sebelah kiri!" hardik guru PMP.
Gito tak menoleh lagi. Dia pikir yang penting hari ini lepas dari kesulitan.
Dan hampir jam satu ketika ia berdiri di eskalator. Salikha nampak gelisah menunggu di lantai atas, dekat toko kaset. Lagu-lagu Debbie Gibson memberi angin sejuk di siang yang lapar itu.
"Hai, Lika!" Keringat menetes membasahi dahi, ketika Gito sampai di lantai atas. Udara AC yang dingin memberi kesejukan tersendiri buat Gito.
"Aduh, on time, ya"" sambut Lika.
"Sori, Lik. Abis pelajaran penuh sampe jam satu. Ini aja berusaha ngabur!"
"Ngabur" Sayang amat." Lika memandang kasihan pada Gito. Dipandangi begitu, Gito makin salah tingkah. Matanya, alisnya, bibirnya, aduh-Lika, kamu kok cakep amat" Tanpa sadar Gito meneliti setiap bentuk wajah Salikha.
"Tapi ini udah jam satu kurang. Kita gak punya waktu lagi, Git. Udah deh, besok aja saya ke sana sendiri," ujar Lika sambil melirik ke arah jamnya.
"Eh -jangan. Besok saya bawa mobil, deh. Saya anterin kamu."
"Terus kamu bolos lagi""
Gito mengangguk. "Jangan, Git. Sayang. Sekolah mahal-mahal. Kamu nggak tau, begitu banyak anak yang ingin bisa sekolah terus seperti kamu. Kenapa disia-siakan""
"Sekali aja, kok."
Salikha menggeleng. "Biar saya aja. Saya bisa kok."
Gito menyandarkan diri di pilar yang menyangga gedung. Memandangi poster New Kids on the Block yang terpampang besar di depannya.
"Jadi sekarang nggak jadi, nih" Sia-sia dong," keluh Gito.
"Paling tidak, saya tetap ngucapin terima kasih sama kamu yang udah berniat baik sama saya. Saya juga kurang yakin, apa kursus di tempat yang kamu tunjuk itu tetap bisa ngasih dispensasi buat saya yang jadwal kerjanya nggak beraturan. Tapi kalo pun nggak bisa, semua nggak bakal sia-sia. Paling enggak kita kan udah berusaha. Seperti kamu, meski hari ini nggak bisa pergi, tapi kamu udah berusaha untuk datang. Itu harus saya hargai. Orang emang suka kurang bisa menghargai usaha," tutur Salikha.
"Gito menatap Salikha. Ada perasaan sejuk mendengar penuturannya.
*** "Gito menarik Lupus ke kantin.
"Serius, Pus. Gue naksir setengah mati sama dia. Orangnya dewasa, bijaksana, meski sederhana tapi wawasannya luas. Ia mau berkembang. Katanya ia kalo bisa mau cari kerja lain yang jadwal kerjanya tetap. Kamu bisa masukin dia ke majalah kamu, Pus""
"Lo pikir gue direktur apa" Gue aja kalo ngedaftar kerja di situ belon tentu diterima," ujar Lupus.
"Aduh. Tapi saya cinta banget sama Salikha. Saya mau nolong dia."
"Alaaah, lo kan ama cewek selalu begitu. Cintanya sebentaran doang."
"Tapi dia lain, Pus."
"Terus, kenapa lo sekarang sedih" Ya, pacarin aja""
""Dia bilang, gue masih terlalu kecil. Aduh, gue nggak dianggep sama dia. Padahal beda umurnya cuma satu tahun doang. Tega, ya""
"Ya, mana mungkin lo yang masih suka hura-hura bisa cocok sama dia yang lebih mentingin kerja, masa depan, karier, belajar...."
"Ah, sial lo, Pus."
"Tapi ngomong-ngomong gue kan kemarin ketemu lo lagi berduaan di Department Store situ..."
"Eh, lo juga ke situ" Emangnya nggak praktek""
"Gue ngabur juga sama si Pitak. Nemenin dia nyari buku. Nah, lo bandingin aja, orang-orang kayak kita yang lebih mentingin kencan daripada ikut praktek dengan si Salikha tersayangmu itu."
Gito tercenung. "Ya, kadang emang kitanya yang nggak bisa mensyukuri apa yang ada ya, Pus. Apa kalo posisi Salikha seperti kita, dia juga akan bersikap sama kayak kita""
"Siapa tau. Tapi sudahlah. Itu guru PMP dan Ibu Biologi udah nungguin kita di kantor. Nggak tau deh kita berdua dihukum apa...."
"Kalo kalian malas sekolah, kerja aja di Department Store sana, biar puas ngecengnya!" hardik guru PMP, ketika Lupus dan Gito meletakkan pantatnya di kursi kantor guru.
Gito dan Lupus saling berpandangan bengong. Dan mulailah mereka suntuk dijejali nasihat-nasihat usang.
"10. KENALlN: OLGA! "Lupus lagi asyik makan ayam goreng bersama Gito, ketika ada seorang gadis dengan cueknya masuk ke kedai itu sambil bersepatu roda-ria. Ia langsung memesan kentang goreng dan berlalu dengan cueknya. Lewat jendela kaca yang besar, Lupus bisa ngeliat betapa semangatnya gadis itu memasukkan satu demi satu kentang ke mulutnya, sambil meluncur lincah di atas sepatu rodanya.
"Liat apa, Pus"" tegur Gito.
Lupus diem aja. Dia masih ngeliatin cewek itu sampe bener-bener ilang di tikungan.
"Liat apaan, sih"" Gito penasaran ikut melongok ke jendela.
"Cewek. Gila betul!"
"Hull. Gue kirain ada tabrakan."
"Tabrakan""
"Iya. Gue kira ada tabrakan."
"Emangnya ada""
Gito mendengus, Lupus lalu menghabiskan sisa-sisa makanannya.
"Git, kumpulin tulang-tulangnya buat gue bawa pulang."
""Tulang" Buat apaan, Pus""
"Buat adik gue, Lulu."
"Sadis amat lo ngasih oleh-oleh""
"Dia suka. Mungkin untuk kucing kesayangannya atau buat Emi tetangganya yang cerewet. Atau lo juga punya niat mo' ngebawa pulang""
Gito menggeleng keras. Ketika mereka pulang, sekali lagi Lupus ngeliat cewek itu sedang asyik berpegangan pada becak di atas sepatu rodanya. . .
"Git, tuh ceweknya. Gila betul! Pepetin dia dong, Git!" seru Lupus bersemangat. Gito membanting setir, mendekati cewek berkuncir dua itu.
"Halo!" ucap Lupus ketika dekat.
Gadis itu menoleh. Lalu segurat senyum lucu menghias wajahnya.
"Halo juga." "Ikut sini, yuk"" tawar Gito di belakang setir.
"Gak mau. Enakan gini," ujarnya sambil mengunyah batang-batang kentang goren"g.
Gito langsung berbisik pada Lupus, "Tulis surat, Pus. Tulis surat. Tanyain, udah punya pacar belum ""
"Kok gak tanya langsung aja sih""
"Gak seru." Lupus pun dengan daruratnya menulis surat di sepotong tisu mobil. Tulisannya ancur-ancuran gak kebaca. Isinya lucu:
""Hai, Cewek, Kamu udah punya pacar belon" Kalo belon, idih... udah gede kok belon punya pacar, sih"
Hihihi... "Gito + Lupus" "Lupus dengan geli memberikan secarik tisu tersebut kepada cewek tadi.,
Cewek itu menerima sambil setengah kaget.
"Apaan, nih""
"Surat. Bacanya di rumah aja!"
Lalu mereka pun berpisah di pertigaan jalan. Gadis itu dengan lincah masuk ke gang kecil, yang gak bisa dilalui mobil.
"Eh, Pus. Namanya cewek tadi siapa""
"Gak tau." "Ah, lo sih. Kenapa gak nanya" Ilang deh buruan kita!"
*** "Pulangnya Gito mampir dulu ke rumah Lupus. Mereka berdua lagi mau ngerjain paper sosiologi. Temanya "Remaja Konsumerisme". Dampak negatif dari kemajuan sosial. Berdua tadi udah berkutet nyari-nyari bahan buat referensi. Tapi yang ketemu malah buku-buku komik macam kisah-kisah si Gully dan Lucky Luke.
"Eh, boleh nggak, ya, referensinya dari buku Lucky Luke" Jadi nanti ditulis, menurut komik Lucky Luke halaman 20, Lucky Luke berkata kepada Dalton Bersaudara..."
"Gito terkekeh. "Ngaco aja lo, Pus!"
Gito memarkir mobilnya pas di deket pohon jambu. Lalu ia turun sambil menenteng-nenteng mesin tik di belakang Lupus. Berjalan melalui Lulu yang asyik menjemur pakaian.


Lupus Ihh Syereem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sibuk nih, Mpok" Banyak cucian"" goda Gito pas Lulu ngejemur pakaian dalamnya. Lulu langsung kaget, dan menyembunyikan "jimat"-nya itu di belakang pung
gung. "Eh, ada tukang serpis mesin tik, ya"" ujar Lulu sambil menatap mesin tik yang dibawa Gito.
"Bukan tukang serpis, Lu. Pegawai kelurahan," ujar Lupus sambil menyerahkan tulang-tulang pada Lulu.
Masih ketawa-tawa ketika mereka masuk ke kamar. Lupus langsung membuka mesin tiknya, dan menggotong ke lantai. Buku-buku referensi dikumpulkan di samping. "Periksa dulu, Git. Jangan-jangan hurupnya ada yang jatuh di jalan,"
ujar Lupus sambil menghitung jumlah hurup yang ada di mesin tiknya.
Lalu beberapa saat kemudian terdengar suara ketak-ketik memenuhi kamar. Dua anak itu suntuk banget ngebacain seluruh referensi.
"Room service!" teriak Lulu sambil mendorong pintu dengan bahunya. Dua tangannya membawa baki berisi dua gelas minuman segar dan sepiring pisang goreng.
"Aii, Lulu! Gak nyangka. Gila betul!" jerit Gito sambil berdiri. Lupa sama .tugas-tugasnya.
"Lu, lo kayaknya suka mendadak baik deh kalo Gito yang dateng," goda Lupus.
Muka Lulu jadi merah. Tapi dia berusaha cuek sambil memindahkan gelas-gelas dan piring dari bakinya.
Setelah selesai Lulu pun berjalan keluar kamar Lupus.
Kakinya baru melangkah ke dekat meja makan, ketika ada suara Lupus menjerit, "Lulu, lo masukin garem lagi ya ke es siropnya!!!"
Lulu pun ngibrit sambil terkikik-kikik.
*** "Menjelang jam lima, mereka berdua udah mulai suntuk meneruskan tulisannya. Lupus merentangkan tangannya sambil senam-senam sedikit.
Sedangkan Gito lagi khusyuk banget melototin buku referensi.
"Gue nyalain radio, ya""
Gito manggut, sambil pandangannya gak lepas dari buku.
Sesaat terdengarlah suara lincah penyiar dari radio.
"Selamat jumpa lagi di Radio Ga Ga. Kamu masih ditemenin Olga bersantai-santai di Minggu sore yang cerah ini. Lagu berikutnya khusus saya bingkiskan buat dua cowok blo'on bernama Gito dan Lupus, yang sempet nulis surat cinta ama saya di jalanan, dengan ucapan kalo lagi bikin paper jangan sampe melotot gitu dong matanya...."
"Gito dan Lupus langsung berpandangan. Lho"
"Lagu buat kamu berdua ini berjudul Beautiful Girl dari Chacha Maricha... eh, siapa sih" Wah gue lupa, nih. Abis salahnya sendiri, di sini gak tercantum nama penyanyinya. Emangnya dikira gue apal" Di suruh ngapalin nama-nama pahlawan sendiri aja gue males, apalagi disuruh ngapalin nama penyanyi luar!
"Ya, s'lamet dengerin aja ya buat Gito dan Lupus! Sekalian tebakan: Mobil apa yang ada di pohon" Gak bisa kan" Jawabannya: Mo'bilang jambu kek. Mo'bilang pepaya kek... terserah. Hihihi... "
Gito langsung berdiri. "Pus, nggak salah lagi, pasti itu cewek yang tadi pake sepatu roda di jalan!" .
"Iya. Suaranya emang sama-sama cablak, ya""
"Siapa namanya tadi""
"Drakula" Eh-Alga" Sorga" Agua" Lega" Olga" Ya, Olga!"
"Olga! Ternyata dia penyiar! Kita ke sana, yuk" "
"Paper-nya ""
"Entar adza. Buruan, keburu dia selesai siaran!"
Mereka berdua pun langsung membereskan kertas-kertas yang berserakan. Asal aja, yang penting keliatan rapi. Dan langsung meletakkan di atas mesin tik masing-masing. Setelah itu, langsung berlarian ke arah pintu yang ternyata sudah setengah dibuka oleh Lulu. "Room serv... aw!!!"
Gedubrak! Tak pelak, mereka menubruk Lulu yang kembali membawa dua gelas limun.
Air limun pun tumpah membasahi rok Lulu. Gelasnya berjatuhan. Untung kali ini dia pakai gelas plastik, hingga gak pecah.
"Ups. Sori, Lu, kita keburu-buru."
Lulu mencak-mencak jengkel sambil mengelap roknya yang basah.
Lupus dan Gito langsung melanjutkan pelaria"nya. "Sori, Lu, Kali ini kita gak sempet ngerasain air racun lo!"
"Ini sirop beneran, tau!" jerit Lulu jengkel.
*** "Setengah jam kemudian Lupus dan Gito udah nyampe di Radio Ga Ga. Suasananya cukup ngeremaja. Beberapa mobil terparkir di sepanjang jalan yang rindang. Sekelompok anak muda bercanda dengan centilnya di kap mesin sedan-sedan mungil. Dentuman musik Arthur Baker yang nyanyi The Message is Love dari Blaupunk sedan, saingan dengan lagu-lagu dang-dut yang terdengar cempreng dari radio dua band milik tukang pangsit.
Gito dan Lupus pada kebingungan nyari pintu masuk ke studio. Soalnya mereka baru pertama kali ke situ.
"Eh, pintu masuk ke studio yang mana"" colek Gito pada seorang gadis yang makan rujak sambil bergoyang-goyang pinggul. Centil amat!
""He" Cari siapa""
"Olga." "Olga" perasaan tu anak udah pulang. Tapi cari aja ke dalem. Siapa tau kentutnya masih ada. Tuh, masuk lewat samping kedai. Yang ada tulisan "orang jelek dilarang masuk"."
"Thanks," Gito dan Lupus pun masuk sambil bersyukur, untung mereka bukan "orang jelek".
Ketika Gito dan Lupus melongok ke dalam, di ruang AC itu ada seorang cewek yang lagi asyik ketawa-ketawa di telepon. Seru amat. Sampe terpingkal-pingkal.
"Permisi," ujar Gito. Cewek itu kaget.
Sedang Lupus langsung ngambil tempat duduk di dekat asbak yang gede banget.
Cewek itu mengangguk. "Bentar, ya," ujarnya pada telepon. "Cari siapa""
"Olga. Ada""
"Olga" Sebentar, ya" Mbak Veraaa...," nyaring bener suara cewek itu.
"Ya"" Seraut wajah gadis ayu yang nampak agak dewasa muncul dari pintu bertuliskan "Kepala Bidang Siaran".
""Mbak, ini ada yang nyaruri Olga. Tu anak masih ada nggak""
Mbak Vera tersenyum pada Lupus dan Gito "Ee, silakan duduk." .
"Lho, saya udah duduk, kok," ujar Lupus.
"Kalo gitu silakan berdiri." Lupus ketawa.
"Cari Olga, ya" Wah... saya juga lagi nyariin dia. Tu anak emang sableng juga. Harusnya dia
masih siaran sampe jam enam. Tapi tiba-tiba sekarang udah ngilang. Ini kan baru setengah enam, ya"" ujar Mbak Vera.
"Lh", jadi siarannya ditinggal""
"Ya, itulah. Ditinggal begitu aja.. Yang kedengeran bunyi kresek-kresek. Mana dia kalo siaran jarang pak" operator lagi, jadi suka pada nggak tau. Tau-tau udah ilang. Sepotong lagu pun nggak diputer.
"Emang gitu adatnya. Kalo lagi segen siaran, ya segen. Mbak yang sering kelinpungan. Tapi Mbak sayang dia. Anaknya kr"atif banget. Cara dia siaran ngakrab. Khas remaja. Lain dari yang lain. Makanya Mbak tetap mempertahankan dia. Kamu-kamu suka denger Olga siaran""
"Eh-iya. Tadi."
"Nah - gimana" Konyol, kan"
"Wah, kok Mbak jadi ngelantur. Gini aja, kalo penting banget, kamu berdua bisa nitip pesen ke Mbak. Besok dia pasti dateng. Soalnya "pas gajian. Dia paling rajin kalo giliran ngambil honor". Pulang sekolah, udah langsung ngejogrok di sini. Atau besok mau ketemu dia di sini""
Gito dan Lupus diam sejenak.
"Alamat rumahnya Mbak tau""
"Wah ada di bagian Administrasi. Udah ditutup. Tapi Mbak gambarin denahnya aja, ya" Ancer-ancer-nya."
Mbak Vera dengan gesit mengambil nota dan pulpen yang tergeletak dekat pesawat telepon.
"Gito mempelajari sket yang diberikan oleh Mbak Vera.
Entah karena sketnya kurang jelas, atau emang Gitonya yang nggak ngerti medan, jam setengah sepuluh malam, mereka berdua baru berhasil menemukan rumah Olga. Ya, soalnya tadi mereka berdua sempet nyasar dan makan siomai dulu.
Rumah Olga sepi. Bangunannya nggak terlalu modern, tapi nampak nyaman. Halamannya luas banget. Banyak pohon-pohon berbagai jenis tumbuh pas di dekat pintu pagar yang terbuat dari kawat. Di depan garasi, Capella tua terparkir agak menjorok ke dalam.
"Lo duluan, Pus!" dorong Gito.
"Suasananya sepi banget, Git. Udah pada tidur kali!"
"Aah, baru jam setengah sepuluh. Paling lagi pada nonton Dunia dalam Berita."
Lupus memencet bel. Ning-nong.
Nunggu agak lama. Pencet lagi. Ning-nong. Lalu keluar segurat wajah ibu-ibu. Galak kayaknya. Lupus udah kaget aja.
"Cari siapa"" nadanya kurang bersahabat.
"Eh... O-olga, Tante!" Lupus tergagap.
"Ada perlu apa""
"A-anu, Tante. Eh, mau pinjem apusan."
"Pinjem apusan" Malem-malem begini""
Lupus jadi kaget sendiri. Gito memandang heran ke arah Lupus. Kok pinjem apusan"
"Olga sudah tidur. Besok pagi saja," putus tante gembrot itu. Lalu menutup pintu. Klik.
Lupus dan Gito saling mengangkat bahu. Lalu berbalik ke arah pintu pagar. Lalu dengan langkah gontai, mereka melimasi pekarangan rumah Olga yang luas. Sia-sia deh perburuan mereka hari ini. Mana udah ngebela-belain ninggalin tugas paper lagi.
"Hei! Ssst!!" tiba-tiba terdengar suara orang memanggil pelan.
"Bunyi apa, tuh" Kamu kentut, Git"" ujar Lupus menutup hidung.
"Enak aja." "Hei! Ssst! Lupus, Gito!"
Lupus dan Gito menoleh. Olala! Ternyata dar
i jendela samping, muncul wajah manis Olga. Yang tersenyum ke arah mereka sambil melambai tangan. .
"Olga!" Lupus dan Gito berteriak tertahan. Lalu menghampiri.
"Sst! Jangan keras-keras. Ngapain lo ke sini malem-malem""
Lupus dan Gito cerita soal kunjungan mereka ke Radio Ga Ga.
"Besok aja temuin gue di Radio Ga Ga. Pulang sekolah."
"Eh, kamu gajian, ya"" tembak Lupus.
"Tau aja." "Traktir, ya""
"Gimana besok deh. Kalo ada sisa gue traktir. Kalo nggak ada kamu yang traktir gue. Soalnya gue lagi ngumpulin. duit buat beli jaket kulit."
"Iya, deh. Sampe besok ya, Ol""
"Daag!" Jendela itu pun tertutup.
Dan, kamu penasaran pengen kenal lebih deket dengan Si Olga ini" Sabar aja. Ada satu buku khusus yang bercerita tentang dia. Wah, gila betul!
tamat Bara Diatas Singgasana 21 Dewa Arak 77 Sengketa Guci Pusaka Senja Di Himalaya 3
^