Leukimia Kemping 2
Olga 04 Leukimia Kemping Bagian 2
Apalagi waktu maminya Olga sore "di nelepon lagi, ngebilangin kalo, "Olga sendiri belum tau, Win, soal penyakit ini. Sengaja, biar dia gak tertekan. Mungkin tugas kita harus membuat dia bahagia, hingga dia punya kesan yang baik setelah meninggalkan kita."
Wina mencoret-coret buku hariannya. Ya, gue harus ngebahagiain Olga. Dan Wina inget rencana liburan panjang anak-anak yang kali ini mau bikin bumi perkemahan lagi di daerah Puncak. Olga katanya juga mau ikut. Berangkatnya dua hari lagi. Dan Wina harus ngompakin temen-temennya agar berbaik-baik dengan Olga selama kemping itu. Biar Olga bahagia.
Dan besoknya, Olga emang udah sibuk banget nyiapin segala keperluan. Indomie, Chiki, sardencis, kornet, biskuit, abon, semua masuk dalam ranselnya. Sementara jins, kemeja, kaos, jaket, sweter, syal tebal, kaos kaki, sepatu roda pun turut berdesakan di dalamnya. Belum lagi alat-alat mandi, dan krem pembersih. Mami, tumben-tumbenan, ikut sibuk menyiapkan. Sampai-sampai dibela-belain gak senam.
"Biasanya rajin senam, Mi"" tegur Olga kalem.
"Ah, lagi segen," jawab Mami pendek sambil sibuk menggotong peralatan P3K seperti salep, perban, balsem, obat merah, Betadine, garam, Tensoplast, Oralit, dan obat-obatan lainnya. Terus terang, Mami cemas banget kalo anak ini nantinya kenapa-napa pas kemping. Untuk melarang kemping, Mami jelas gak tega. Karena kan gak boleh bikin Olga sedih. Tadi pagi aja, pas Olga membuat peta buta lagi di kasur, Mami gak marah. Tenang aja melipat seprei, dan mencucinya di belakang.
"Ih, Mami, kok bawa obat-obatan banyak banget" Emangnya dokter masuk desa"" Olga sebel ngeliat Mami memasukkan peralatan sakit itu ke ransel Olga yang gede.
"Mami takut kamu kenapa-napa di sana," ujar Mami tanpa berani menatap Olga.
"Ah, kan banyak anak-anak!" Olga berusaha mengeluarkan obat-obatan yang tadi Mami masukin.
"Jangan, Ol." "Biar! Berat kan bawanya."
Mami sedih ngeliat Olga melempar-lempar obat dari dalam ranselnya.
"Ta-tapi, Ol..."
"Gak ada tapi-tapian. Olga cukup sehat, kok. Masa Mami gak percaya kalo Olga ini sehat""
Mami sedih ngedengernya. ""Ta-tapi, s-salepnya ini biar kamu bawa aja, Ol."
"Buat apa""
"Kan lumayan buat makan roti, kalo kebetulan keabisan mentega."
Olga mencibir. Kemudian berdiri sambil meluruskan otot-ototnya yang pegal. "Ah, beres sudah semuanya. Tinggal berangkat."
Pas saat itu Wina datang. Mami melihat mata Wina agak bengkak, seperti abis menangis. Mami memeluk Wina. Olga jadi heran.
"Ada apa ini" Kok main peluk-pelukan, kayak sandiwara tipi"" .
"Ah, enggak, Mami kangen aja sama Wina," ujar Mami berusaha tersenyum. Lalu buru-buru pergi dengan raut wajah muram, seperti hendak menghadiri upacara pemakaman dirinya sendiri.
Olga bengong. Dan Wina menatap wajah sahabatnya itu lekat-lekat. Hampir tak bisa dibendungnya air matanya, ketika Olga balas memandangnya. Ingin Wina memeluk sahabatnya ini, tapi tentu saja itu akan bikin Olga sebel.
"Kenapa sih, lo"" Olga bertanya.
"Ah, enggak. Eng, l-lo jadi berangkat besok""
"Jadi, dong. Gimana, sih""
"Gue juga jadi. E-eh, sekarang kita ke McDonald's, yuk" Gue yang traktir."
"Tumben lo baek. Ayo, deh. Kebetulan, gue laper."
Wina dan Olga kemudian pamit ke Mami.
"Ati-ati di jalan ya, Win. Pake lampu sen kalo mo belok ke kiri atau ke kanan," ujar maminya Olga linglung.
Wina cuma mengangguk. Sementara Olga gak abis pikir ngeliat keajaiban yang terjadi sepanjang pagi di awal libur panjang ini.
"Eh, lo pernah minum es coret, gak"" ujar Olga iseng ketika Wonder kuning Wina mulai meluncur di jalan raya.
"Belon. Es apaan, tuh"" Wina bertanya antusias.
"Lo mau nyoba""
"Mau." "Tuh, minum aja rambu lalu lintas," ujar Olga sambil menunjuk rambu dilarang stop yang ada di pinggir jalan raya.
"Sialan." Wina meninju lengan Olga.
Beberapa saat mereka pun udah pesan hamburger di sudut kedai. Sambil ngobrol, sambil ngeceng ke arah jalan raya.
"Eh, Ol. Lo kan dari dulu pengen nyetir mobil gue, ya"" Wina tiba-tiba
nyeletuk. "Iya. Dan selalu gak boleh sama elo."
"Sekarang boleh. Pulangnya lo aja yang bawa." Wina menyerahkan kuncinya.
"Ah, yang ben"r"" Olga terbelalak girang. Ya, terus terang aja dari dulu dia pengen banget bawa mobilnya Wina. Tapi selalu ditolak, karena kemampuan nyetir Olga emang masih kurang banget. Tapi kali ini"
Mereka pun buru-buru berlarian ke Wonder Wina. Olga duduk di belakang setir. Sementara Wina yang cemas tapi berusaha nyante, duduk di sampingnya. Baru start, jempol tukang parkir nyaris diinjek. Dan pas meluncur ke jalur lambat, langsung disambut makian dari 3 sedan yang dipotong jalannya. Olga cekikikan. Wina juga cekikikan, meski dengan ekspresi yang tegang.
Seorang polisi melihat mangsa, ketika Wonder kuning itu jalan tersendat-sendat. Dia mulai mengeluarkan pulpen dan notesnya. Dan "Priiiiit!", peluitnya berbunyi nyaring ketika Olga salah belok ke daerah dilarang masuk.
"Wah, kena, Ol." Wina sedih memandang dari kaca jendela yang dilapisi kaca-film gelap.
Olga menurunkan kaca jendela, dan wajah polisi yang berkumis mirip celurit itu tersenyum ngakrab sambil menyapa, "Selamat siang, Nona. Tolong perlihatkan SIM dan STNK-nya."
Olga garuk-garuk kepala. "Wah, kesalahan saya apa, Pak""
"Nona tak melihat tanda dilarang masuk di muka jalan tadi""
"Eng... liat, sih." Olga masih garuk-garuk kepala. "Tapi s-saya ragu-ragu, abis tanda larangannya cuma satu, Pak. Jadi saya kurang yakin, apa benar itu dilarang, atau tidak."
Wajah polisi itu mulai tampak kurang ramah. "Ragu-ragu bagaimana" Memangnya harus berapa tanda larangannya""
"Coba Bapak bikin tiga biji. Kan mantep banget, tuh. Kita-kita jadi yakin," ujar Olga jadi bergairah.
"Anda jangan main-main, ya!!!" Pak polisi itu membentak. Dan kini wajah pak polisi mulai memerah. Wina buru-buru melompat turun, lalu menarik tangan polisi yang kekar itu ke sudut dekat semak-semak. "Sst, Pak,. maaf deh. Kami memang salah. Tapi jangan bentak teman saya itu. Umurnya anak itu tinggal sebulan lagi."
"Sebulan lagi""
"Ya." Lalu Wina bercerita panjang-lebar. Pake ekspresi yang meyakinkan, sampai pak polisi itu terharu. Menangis di pundak Wina, dan memperbolehkan Wina dan Olga melanjutkan perjalanan.
"Lo kasih duit berapa"" tanya Olga heran, ketika mereka mulai jalan lagi.
"Tak sepeser pun. Gue cuma ngarang cerita sedih aja, dan dia terharu."
Olga bengong. "Cerita sedih""
Tapi bengongnya gak lama, karena kemudian tau-tau Wonder Wina naik ke trotoar, dan menabrak pohon di pinggir jalan.
"Olgaaaa, awas!" Wina menjerit-jerit. Olga tak kalah panik. Ya, rupanya ketika mengobrol, Olga jadi gak konsentrasi ke jalanan.
Olga dan Wina buru-buru turun dan melihat keadaan mobil. Ternyata bempernya penyok dan lampu depannya pecah! Wina terpekik. Ya, Wina emang sayang banget sama tu mobil. Olga nampak nyesel.
"S-sori, Win. G-gue gak lagi-lagi deh bawa mobil elo," ujar Olga lirih menghampiri Wina yang sedih memandangi mobilnya.
"Tapi tiba-tiba air muka Wina berubah cerah,
"Ah, gak apa-apa, Ol. Gak apa-apa, kok. Mobil gue diasuransi. Dapat ganti. Gak apa-apa, kok. Meski gue juga harus keluar uang lima puluh ribu lagi buat tanggungannya, tapi gak apa-apa kok. Meski gue bakal kena tilang karena ngerusak trotoar, tapi gak apa-apa, kok. Gak apa-apa, Ol," Wina berusaha bersuara riang, dan berusaha tersenyum. Tapi gagal.
"Bener, Win, gak apa-apa" Gue jadi gak enak," Olga berkata bingung.
"Enggak. Gak. Huuu... mobilku!"
"*** "Udara Puncak yang dingin, menyambut datangnya dua bis turis besar yang disewa sekolah Olga untuk keperluan acara kemping sekolah. Suasana senja di kaki gunung itu amat dingin, dengan kabut tipis yang menyelimuti. Tapi kesibukan anak-anak yang segera mendirikan tenda, membuat suasana jadi hangat. Meriah. Apalagi beberapa panitia kemping, yang udah duluan berangkat pake mobil pribadi, udah mendirikan banner bertuliskan nama sekolah Olga, udah bikin api unggun dan patok-patok buat kemping. Olga turun dari bisnya, dengan mengenakan pullover yang berwarna cerah, serta jins ketal. Ia nyante aja menuruni tangga, karena-oleh sebab yang tak diketahui Olga-Wi
na, Gaby, Rudi dan Boni pada berebut mau membawakan tas ranselnya yang berat, tape, sepatu roda, dan lain-lainnya.
"Eh, Ol, kalo lo kedinginan, istirahat aja dulu di tenda panitia," ujar Rudi sambil bersusah payah menggotong dua ransel. Miliknya dan milik Olga.
Sementara Henny yang dulu paling benci Olga, kini bersibuk-sibuk-ria ngurusin dan ngebawain sepatu rodanya Olga.
"0, gitu. Jadi gue gak usah ngebantuin ngediriin tenda grup gue"" Olga heran.
"Enggak. Gak usah. Biar Gaby sama Wina aja yang kerja. Kalo perlu, Henny juga rela ngebantuin."
Olga langsung diantar ke tenda. Tak cuma itu, Boni kemudian datang mengantarkan coklat hangat dan jagung bakar.
"Bo"n, gue udah laper, nih." Olga memegang perutnya.
"Oh, tunggu bentar, ya" Wina lagi masak Indomie pake telur buat kamu!" Boni menjawab. "Kalo masih kedinginan, bilang-bilang, ya" Gue punya air jahe. Bisa diseduh. Dan ini ada bacaan ringan buat nunggu Indomie-nya masak. "Silakan, lho!"
Boni lalu pergi. Olga cuma mengangkat bahu. Rada heran juga ngeliat kebaikan yang mencurigakan dari temen-temennya. Tapi ia nyante aja. Cuek Toh gak rugi. Untung malah.
Besok paginya juga, Olga yang setenda kecil bertiga sama Gaby dan Wina, langsung heran waktu dibangunin untuk sarapan. Kornet sama nasi putih, plus Indomie.
"Lho, kapan masaknya, nih""
"Tadi, Ol. Gue gak tega ngebangunin elo. Kayaknya tidurnya nyenyak banget," ujar Gaby tersenyum manis. Wina juga ikut-ikut senyum, meski wajahnya nampak kurang tidur.
Tak lama kemudian, Erwin yang jadi ketua panitia datang mengunjungi tenda.
"Halo, Ol. Gimana keadaanmu pagi ini""
Olga tersenyum. "Baik-baik aja, kok."
"Oya, kalo mo mandi, di kali aja, Ol. Udah disediain kok airnya, hihihi. Trus jam sepuluh nanti ada kerja bakti sedikit untuk nyiapin acara jalan-jalan ke gunung. Tapi kalo lo capek, istirahat aja. Gak usah ikut. Gaby dan Wina harus ikut, ya""
Anak-anak itu mengangguk. Kemudian Boni dan Rudi datang. Nanyain keadaan Olga sambil membawa penganan ringan. Tapi pagi itu Olga malah lagi pengen ngebom. Pengen buang air. Lantaran semalem kebanyakan makan jagung bakar. Tapi ngebom di tempat kemping gitu tentu gak nyaman. Harus nyari tempat yang private banget. Olga jadi ribut minta ditemenin Wina.
Wina jelas sebel. Siapa sih yang mau nemenin orang beol"
"Saya sebetulnya mau banget, Ol," Rudi berujar.
Tentu Olga menolak. "Enak aja." "Ayo, dong, temenin, Win," bujuk Olga.
""Tuh, Win, temenin Olga." ujar Gaby.
"Iya, Win. Gimana Olga gak baek, tuh. Mau ngebom aja pake ntraktir segala," ledek Boni.
Wina sewot. Tapi teringat sumpahnya, ia lantas mau. Apalagi pas mo berangkat, maminya Olga pesan ke Wina supaya menjaga Olga baik-baik. Olga jadi seperti barang porselen yang berharga.
"Hiyaaaaaa!!!" Tiba-tiba Boni menjerit.
Anak-anak pada kaget. "Kenapa, Bon""
Boni ogah cerita. Tapi anak-anak pada tau, dan tertawa terpingkal-pingkal. Ya, saking pelitnya, Boni itu punya kebiasaan menyembunyikan sebatang rokok di kaos kaki, biar gak diminta temen-temennya. Tapi kali ini Boni lupa, kalo tu rokok udah disulut, dan diisep. Pas Rudi mendekat, langsung aja puntung itu dia selipkan di kaos kaki. Jadi terjadi kebakaran di kakinya si Boni. Hihihi...
*** "Sore hari, udara pegunungan dingin menggigit. Olga yang meski mengenakan jaket tebal, tetap merasa kedinginan. Akibatnya dia cegukan. Anak-anak jadi pada panik. Padahal cuma cegukan biasa, karena kedinginan. Minum air hangat aja bisa sembuh. Tapi anak-anak panik. Wina yang paling panik. Berteriak-teriak ke sana kemari kayak ada kompor meledak. Olga tentu aja keki. Dia ngejar-ngejar Wina, menangkap kakinya, hingga dua anak itu jatuh terguling-guling.
"Lo apa-apaan sih, Win" Gak pernah tau orang cegukan, ya"" Olga ngotot setelah berhasil menaklukkan Wina.
Mereka berdua terengah-engah sambil jatuh terduduk di rumput lembut.
"Ol,lo bener gak apa-apa"" Wajah Wina nampak ketakutan.
"Enggak! Gue-ceguk!-cuma cegukan, kok!"
"Bukan gejala apa-apa"" Wina gak yakin.
"Ya enggak, dong."
"Trus obatnya apa"" tanya Wina khawatir.
"Kagetin aja gue. Pasti sembuh cegukannya. Ayo, kagetin."
"C ara ngagetinnya gimana"" tanya Wina. Sementara anak-anak lain yang rata-rata udah tau penyakit Olga, menonton dengan harap-harap cemas.
"Ya, kagetin aja. Gue itung sampe tiga, trus lo kagetin, ya""
"Iya. Kamu siap, Ol""
"Yap_ Satu... dua... ti..."
"Hiya!!!" Wina menepuk pundak Olga keras-keras. Dan tentu saja Olga gak kaget. Malah pundaknya sakit.
"Udah kaget, Ol"" tanya Wina bego.
"Gundulmu kaget!!!" Olga berteriak kesal.
"*** "Tapi hari kedua, anak-anak gempar betulan. Olga demam! Dan terkapar di tenda seharian. Wina udah nangis sesenggrukan. Gaby menenangkan. Hari itu juga, Wina yang cemas minta diantar Rudi ke rumah Olga buat mengabarkan berita duka. Olga sendiri yang merasa cuma demam biasa, berkeras menolak untuk pulang. Tapi Wina cemas betul. Takut ajal Olga hampir tiba, Wina memaksa mau mengabarkan maminya Olga. Maka ditemani Boni, Rudi, Henny, dan Gaby, Wina balik ke Jakarta pake mobil Steven.
Di jalan Wina udah nangis melulu.
"Huu... mungkin sudah waktunya, ya" Kok cepat betul. Katanya sebulan. Huuuu..."
Gaby sendiri sedih ngebayangin reaksi maminya Olga yang pasti shock dikabari keadaan Olga. Dan di jalan mereka gak banyak bicara.
Sampai di rumah Olga, ternyata suasananya tenang-tenang aja. Mami masih senam seperti biasa, dan Papi baca koran sambil makan singkong rebus. Kedatangan anak-anak tak disambut dengan wajah cemas.
Wina jadi curiga. Apalagi kabar yang dibawa anak-anak tentang keadaan Olga, ternyata gak bikin Mami panik.
Setelah Wina, Gaby, Boni, Henny, dan Rudi disuruh duduk, Papi ikut menemani.
"Hasil laboratorium itu ternyata keliru kok, Nak," ujar Mami gak enak, ketika anak-anak itu dengan cemas menunggu reaksi Mami yang biasa-biasa aja tentang keadaan Olga di gunung.
""Keliru""
Mami tak enak menjawab. Papi yang ambil suara. "Ya, abis Mami ini suka ada-ada saja. Mengabarkan berita yang belum tentu benar. Pake ditambah-tambahi, bikin panik saja," Papi buka suara.
"Ditambah-tambahi bagaimana"" Wina bertanya.
"Ya, Oom kan juga gak percaya sama dokter yang dikunjungi Mami itu. Akhirnya tanpa setau Mami, Olga Oom bawa ke rumah sakit umum yang lebih bonafid, buat diperiksa. Ternyata Olga hanya kurang darah saja, bukan kena leukemia. Gak berbahaya, cuma butuh banyak vitamin aja. Mami ini salah, bawa-bawa Olga ke dokter sembarangan," jelas Papi.
"Kan biar ngirit, Pi. Ongkosnya murah!" kelit Mami.
"Iya, ngirit, tapi bikin panik."
Wina masih bingung. "Jadi Olga enggak kena leukemia ""
"Enggak," Papi menjawab tegas.
"Olga gak jadi mati sebulan lagi""
"Enggak." "Kok gak jadi""
Papi dan Mami menatap Wina heran.
Gaby menjitak Wina. Wina langsung sadar. "Eh, mak-maksudnya... Olga tetap bisa idup terus, kan""
"Ya, dia gak mengidap penyakit yang gawat, kok!"
"Cihuiiiii!!!" Wina melonjak-lonjak kegirangan.
"Wina memeluk Mami dan Papi. Anak-anak yang lain juga berseri-seri. Kecemasan sirna seketika. Dengan riang, mereka pun kembali ke Puncak. Meneruskan sisa liburannya. Tapi di perjalanan, Wina jadi inget Wonder-nya yang ringsek, inget harus kerja keras sama Gaby ngediriin tenda, sedang Olga enak-enak aja tidur. Padahal tu anak sebetulnya sehat walafiat.
"Padahal asuransi mobil gue udah abis. Gue harus bayar sendiri!" Wina gemas.
"Ya, dan gue kan harusnya gak usah bangun pagi, repot-repot nyediain sarapan buat si Olga itu!" timpal Gaby.
"Gue apalagi, harus repot-repot ngurusin sepatu rodanya si jelek itu!" ujar Henny geram.
Boni dan Rudi tertawa. "Awas kamu, Ol!!!"
"*** "Keesokan paginya, pas Olga udah sehat lagi, ia gak menemukan sarapan seperti biasanya di tenda. Nyari-nyari sabun ama sikat gigi buat mandi juga gak ada. Malah ada pesan gede-gede yang ditulis penuh dendam oleh Wina dan Gaby:
""Eh, lo. Kalo abis bangun tolong bersihin wajan sama panci di sungai. Trus, cuci baju-baju lo sendiri. Trus ada pesen dari Erwin, hari ini lo giliran piket nyiapin buat acara tea-walk!
"Tertanda Wina & Gaby."
Olga bengong. Lho, kok jadi pada berubah, nih" Ia pun melongok ke luar tenda. Memanggil Boni yang lagi lewat bawa panci.
"Eh, Bon, anak-anak mana""
"Tau! Pada main, kali!"
"Bon, tolong cariin anduk, dong. Gue mo mandi, nih!"
"Enak aja. Cari sendiri, dong! Manja amat! Kalo mo manja-manjaan, jangan kemping. Kemping tuh ngelatih lo supaya gak bermanja-manja!" ketus jawaban Boni.
Olga bengong. Dan Wina dan Gaby yang lagi asyik memetik arbei pun tak mau menoleh ketika dipanggil Olga minta dicariin sendal jepitnya.
Busyet, kenapa bisa jadi begini"
5. Surat Merah Muda "WAKTU Wina membuka pekarangan rumah, Olga lagi asyik main telepon-teleponan pake kotak korek dan benang yang direntang di atas genteng. Roni, anak tetangga yang masih es de, duduk di ujung genteng tak jauh dari Olga, sambil memegang kotak korek satunya dan berbisik, "Halo, Mbak Olga, ada seseorang memasuki rumahmu."
Olga buru-buru melongok ke bawah. Ya, ada Wina sedang menutup pintu pagar. Olga pun ngumpet di balik rimbunan pohon rambutan yang daun-daunnya menggapai genteng. Sambil mengumpulkan kulit-kulit rambutan bekas ia makan tadi, Olga mengintip sedikit dari balik daun.
"Bagaimana, Mbak Olga, kita serang saja dia""
"Ya, jangan sampai luput!"
Tuk! Sebuah kulit rambutan mendarat mulus di ubun-ubun Wina. Wina celingukan ke kanan dan ke kiri. Pas mendongak ke atas, Olga dan Roni buru-buru ngumpet sambil cekikikan.
Wina cuek. Ia melanjutkan langkahnya, melintasi halaman depan rumah Olga yang luas.
Tuk! Tuk! Kali ini dua buah kulit rambutan menyerang lagi. Wina menghentikan langkah, sambil mengusap-usap jidatnya, dan mendongak ke langit-langit. Ada hujan tak merata rupanya, batin Wina.
Pas serangan ketiga dimulai, Mami Olga muncul dari pintu depan, menggotong tumpukan kardus bekas. Wajahnya nampak tersembunyi di balik tumpukan kardus yang ia bawa. Wina langsung menegur, "Tante... Olga ada..." Tapi, belum lagi Wina selesai bertanya, tiba-tiba "Tuk!" ada sebuah kulit rambutan lagi mengenai jidat Mami. Mami yang kerepotan sama kardus-kardusnya, memandang Wina kesal.
"Nanya, sih, nanya. Tapi jangan sambil ngejitak, dong!" gerutu Mami.
Wina bengong. "S-saya gak ngejitak, kok, Tante."
"Lalu"" "Itu, ada rambutan. Dari tadi saya juga ketiban rambutan."
Mami langsung meletakkan kardus-kardus itu ke tong sampah yang di depan. Dan memunguti kulit rambutan yang berserakan di sana-sini.
"Siapa yang buang kulit rambutan sembarangan"" gumam Mami.
"Olga-nya gak ada, ya, Tante"" ujar Wina sambil ngebantuin memunguti kulit-kulit itu.
"Justru Tante mau nanya ke kamu. Soalnya tu anak ngilang. Padahal Tante udah nyuruh dia ngebersihin rumah sore ini."
""Wah, ke mana ya"" Wina duduk lemes di teras.
"Tapi pasti gak jauh. Soalnya sepatu rodanya udah Mami umpetin tuh. Tunggu aja."
Wina menunggu di teras depan sambil baca-baca.
Lagi asyik-asyiknya baca, tiba-tiba dari tepi genteng menyembul wajah Olga yang terbalik, hingga dua kuncirnya ngatung ke bawah, "Halo, Win."
Wina terperanjat setengah mati. Dia gak siap banget bakal ngeliat wajah Olga yang tau-tau muncul dari balik eternit.
"Ssst, jangan berisik. Cepet naik ke sini lewat pohon rambutan di samping rumah. Jangan sampe ketauan Mami," bisik Olga.
"Kamu Olga""
"Kamu pikir siapa" Julia Roberts"" ujar Olga kesal.
"Kok..." "Udah, cepetan. Naik!"
Masih dalam keadaan rada shock, Wina menuju pohon rambutan, dan dengan susah payah dia memanjat. Ketika dalam posisi bergelantungan, tiba-tiba Mami muncul lagi sambil membawa kardus berikutnya. "Hei, Wina! Ngapain kamu""
"Waaaa!" Wina terpekik kaget, dan jatuh terjerembap. Bruk! Mami terkejut. Tapi Wina buru-buru menetralisir, "Ee... enggak apa-apa, Tante. Anu, mo ng-ngambil r-rambutan."
Mami menatap Wina heran. ""Boleh, kan, Tante""
"Ati-ati aja, banyak semutnya."
Lalu Mami masuk lagi. Olga dan Roni kecil buru-buru menolong Wina naik ke atas genteng.
"Cepet, Win!" Sesaat kemudian, udah ada tiga anak di atas genteng.
"Kamu ngapain, sih, Ol""
"Lagi main telepon korek sama Roni. Iseng aja. Abis males ngebantuin Mami beres-beres."
"Ooo, jadi yang tadi nyambitin gue elo, ya"" ujar Wina sembari ngejitak Olga. Olga tertawa kecil. Lalu mengajak Wina duduk di balik rimbunan pohon rambutan, sambil memetik buahnya yang manis-manis.
"Gak ad a tempat yang lebih tenteram selain di sini, Win. Apalagi pas musim rambutan begini. Jauh dari omelan Mami, tak terganggu dering telepon, bisa tidur-tiduran. Gue sering berjam-jam nongkrong di sini sama Roni sambil baca-baca komik. Tentraaam, banget," ungkap Olga sembari merapikan tikar yang ia letakkan di genteng yang permukaannya datar, dan rebahan. Tikar itu terlindung di balik rimbunan pohon. Awan-awan tebal menahan sinar mentari yang terik. Sejuk.
"Eng, Ol. Maksud gue ke sini mau ngebilangin...."
"Wuaaah, lo pasti surprais ada tempat senyaman ini di dunia," ujar Olga lagi tanpa menghiraukan omongan Wina. Wina jadi ikut-ikutan merebahkan diri. Roni kecil menyusup di tengah-tengah. Tapi kentara dari ujung telunjuknya kalo Wina tuh lagi bingung berat.
"Liat, Win. Mo rambutan tinggal metik, mo baca-baca tinggal rebahan. Apa lagi tempat yang lebih asyik dari ini""
Gluduuk!!! Sesaat kemudian, tiba-tiba bunyi guruh menggelegar di kejauhan. Olga, Wina, dan Roni saling berpandangan. Titik-titik hujan pun turun.
"Hah" Ujan""
Belum sempat ketiga anak itu berlompatan turun, hujan deras menerpa mereka.
"Waaao, ati-ati, Win. Ntar jatuh!"
Satu per satu anak itu meluncur turun dari batang pohon rambutan. Dan disambut oleh geleng kepala Mami yang berdiri di bawah sambil ngebawa kardus.
"Bagus, bagus! Selamat datang Batman and Robin," ujar Mami keras sambil membanting kardus yang dibawa. "Jadi selama ini kamu ngumpet di genteng, ya""
"Ampuun, Mi," ujar Olga yang kini basah kuyup. Roni kecil langsung ngibrit ke rumahnya di sebelah. Dan Wina ngumpet di balik Olga.
"Bukannya bantuin kerja, malah ngajarin anak kecil main di genteng! Pantas rumah pada bocor kalo pas ujan!" Mami ngomel. "Nanti kalo Roni sakit lagi, dan ngadu ke mamanya bahwa kamu yang ngajakin main ujan-ujanan, tau rasa, deh!"
"Tadi Roni kok yang ngajakin!" bela Olga.
"Kok mau""
"Namanya juga diajak."
""Udah sana ganti baju! Udah gede juga!" teriak Mami sebel.
Olga dan Wina pun buru-buru masuk kamar.
Di kamar, setelah salin, Wina baru inget lagi maksud dan tujuan ia datang ke rumah Olga,
"Ol, gue udah bikin suratnya, Ol."
"Surat apa"" ujar Olga sambil mengeringkan rambut.
"Surat buat Diaz."
"Diaz" Diaz yang mana""
"Masa lupa, sih" Itu, guru Inggris yang baru, yang ngajar di kelas bahasa."
"Oalaah, Pak Diaz, to" Jadi yang dari tadi mau lo omongin soal itu"" Olga menepuk jidatnya.
"Iya, Ol." Olga langsung inget yang dimaksud Wina. Pak Diaz ini emang masih muda. Umurnya baru 27 tahun. Masih singel, masih fresh from the oven. Baru aja lulus dari kuliahnya di Boston. Tampangnya keren. Karena Diaz anak Kepala Sekolah, dia ngisi waktu luangnya dengan ngajar bahasa Inggris di kelas bahasa sekolahnya Olga. Nah, Wina ini lagi naksir berat sama Diaz. Gara-garanya pas ketemu di pesta temennya Wina yang anak bahasa, dan Diaz juga diundang. Wina sempet jojing sama Diaz dua lagu. "Dan sejak itu gue ngebayangin diaaa melulu," ungkap Wina.
Olga tercenung. Dia emang udah ngeliat gejala aneh kalo lagi jalan bareng Wina lewat kelas bahasa. Wina suka celingukan mencari sesuatu. Tapi Olga gak nyangka kalo Wina serius naksir Diaz. Kemaren waktu Wina minta tolong ke Olga untuk ngasih surat ke Diaz, Olga gak menganggap serius. Cuma ngangguk aja. Soalnya dikirain becanda.
Kini Olga memandangi surat bersampul merah muda yang baru dikasih Wina. Surat itu agak basah, kena ujan tadi.
"Lo ternyata serius, Win""
"Iya." Olga terdiam. "Lo mau kan bantuin gue ngasih surat itu""
Olga gak langsung ngejawab. "Kita liat besok aja, ya""
"*** "Olga celingukan di ruang guru. Ia yakin, Pak Diaz tadi udah ke luar kelas. Jadi pasti ada di ruang yang nampak lengang ini. Tapi, kok gak ada" Olga masuk lebih dalam lagi. Ah, ternyata memang nggak ada. Tapi baru saja dia mau membalikkan badan, ada suara berat menegur, "Halo, ada yang bisa saya bantu""
Olga kaget setengah mati. Surat merah muda yang ia genggam, jatuh ke lantai. Pak Diaz kini berdiri tersenyum tepat di depannya. Ia baru keluar dari kamar kecil di sudut ruangan, sambil mengelap tangannya dengan handuk. Sejenak Olga terpana m
elihat senyumnya yang simpatik. Lalu buru-buru memungut surat yang jatuh.
""Surat apa itu""
"Eh, e-enggak, kok..." Olga kikuk menyembunyikan suratnya di balik saku rok. "S-saya mo pinjem t-telepon. Telepon umum di luar lagi r-rusak...," Olga menjawab asal aja.
"Ooo, ayo saya antar. Mau telepon siapa" Pacar"" goda Diaz.
"E-eh, eng, a-nu. Mo telepon rumah...," Olga menjawab gugup. Dan dia lantas bengong ngeliat telepon kantor yang banyak tombolnya.
Wah, gimana nih, cara makenya"
Diaz langsung paham kesulitan Olga, dan mengambil alih telepon itu. "Sini saya bantu. Caranya begini... eh, nomornya berapa""
Olga menyebutkan nomor telepon rumahnya.
Diaz memencet tombol, dan menunggu. "Halo" Sebentar Tante, ada yang mau bicara...."
Gagang telepon itu diserahkan ke Olga. Olga menerima.
"H-halo" M-mami, ya" Ini Olga, Mi... Ah, enggak. Enggak. Enggak ada apa-apa, kok Olga cuma kangen aja sama Mami. Udah, ya, Mi" Sampe ketemu pulang sekolah."
Olga menutup telepon. Diaz menatap heran. Di ujung sana juga Mami masih terbengong-bengong sambil memegang telepon. Dia gak abis pikir. Pan tadi pagi udah ketemu, kok baru jam sembilan pagi udah kangen lagi" Biasanya judes amat tu anak. Ada apa, ya" Lantas ia mengingat-ingat, apa sekarang hari ulang tahunya" Ah, bukan. Ulang tahun Mami baru sebulan yang lalu, pas si Papi ngasih hadiah karaoke.
"Udah"" tanya Diaz di kantor guru.
Olga mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.
Dan guru-guru lain pun mulai berdatangan.
Olga buru-buru pamit, "Makasih ya, Pak."
Olga 04 Leukimia Kemping di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak Diaz mengangguk heran.
*** "Dan sampai seminggu kemudian, ternyata surat bersampul merah muda itu tak kunjung Olga berikan. Olga bilang, belum nemuin waktu yang pas. Tapi sebetulnya Olga gelisah. Dan Wina gak mau ngerti.
Sampai pada sore itu Wina dateng ke rumah Olga.
"Kenapa sih, Ol, belum dikasihin" Apa sih susahnya ngasih surat aja"" Wina kesel.
Wina memang makin uring-uringan hari-hari terakhir ini. Soalnya sudah seminggu hatinya sering terasa gak keruan saban menatap Pak Diaz. Apalagi sekarang tiap Kamis Pak Diaz bakal ngajar di kelas Wina, ngegantiin guru bahasa Inggris yang cuti lama. Wina makin uring-uringan aja. "Kok lo diem, Ol" Apa susahnya ngasiin surat itu""
"Susahnya...," ujar Olga agak lama, "karena Diaz adalah guru kita."
"Lantas"" "Ya, gak boleh. Kamu gak boleh naksir."
""Kata siapa""
"Kata gue." "Pret!" "Eh, dibilangin..."
"Bilang aja kamu juga naksir. Bilang aja kamu sengaja gak ngasihin surat itu..."
"Win, lo kan temen gue. Masa sih gue tega jahat sama lo""
"Buktinya""
"Buktinya apa""
Wina diem. "Gue semaleman mikirin tingkah laku elo, Win. Bener apa salah yang lo lakukan ini. Ternyata gue pikir lo harus ilangin sikap aneh lo belakangan ini. Emang sih gak salah lo naksir Diaz, sepanjang lo sadar ama situasi dan kondisi lo sendiri. Tapi sekarang lo udah gak bener. Lo gak boleh mencampur aduk angan-angan lo ama kenyataan yang ada. La harus sadar dong, Win, Diaz tu guru kita. Umurnya aja sepuluh tahun di atas kita. Terlalu mateng buat lo."
"Lho, tante gue sama oom gue malah beda dua belas tahun," protes Wina.
"Itu soal lain. Tante lo mungkin emang udah dewasa waktu suka sama oom lo. Tapi masalahnya bukan umur aja, Win. Status Diaz sebagai guru kita. Segila-gilanya gue, gue masih gak bisa nerima kalo lo mau jadiin dia pacar. Kalo lo ampe bisa intim sama Diaz, kesan ama anak-anak lain gak baik. Mereka bakal mikir lo yang enggak-enggak. Belon lagi posisi Diaz di mata guru lain dan di mata murid-muridnya yang juga temen kita-kita itu. Pokoknya gak bisa, Win. Lo harus sadar posisi dia sebagai guru."
Wina menatap Olga aneh. "Lo harus percaya gue, Win."
Wina diam. Trus Wina berujar, "Tapi gue udah telanjur suka..."
"Setiap kali rasa suka lo timbul, anggap aja itu rasa simpati lo ama Diaz yang masih muda tapi udah begitu berhasil. Tapi lo gak bisa ngarepin dia bakal ngebales cinta lo."
Mata Wina mulai berair. Keliatan banget kalo dia serius kali ini.
"Gue bisa paham perasaan lo, Win. Sangat bisa. Tiap lo ngerasa kangen, tulis aja surat ke gue, supaya lo punya penyaluran untuk mengekspr
esikan perasaan lo."
Wina gak langsung menjawab. Dan ketika menjawab, suaranya nampak lemah, "Lo mau baca, emang""
"Mau, Win. Gue mau. Karena itu satu-satunya jalan yang terbaik buat lo, supaya enggak obsesi terus tiap hari."
Air mata Wina bergulir turun.
"Gue gak nyangka lo mau bantu,"
"That's what friends are for."
"Makasih, Ol." Wina memeluk Olga.
"Kita cari cowok yang lain aja, Win. Yang gak ngerasa dosa kalo ngebales cinta kita. Dan percaya deh sama gue, begitu lo dapet cowok lain, lo pasti lupa ama Diaz."
""Kita kayaknya gak pernah sukses kalo naksir orang ya, 'Ol""
"Mungkin. Tapi kita emang gak boleh selalu ngedapetin apa yang kita mau, Win. Itu yang bikin kita jadi berjiwa besar."
Wina mengusap air matanya. "Ya, elo bijaksana sekali, Ol, kali ini. Tumben."
Olga tersenyum. Lalu melirik ke arah jam. Udah terlalu sore.
"Gue pulang dulu ya, Ol""
"Syukur deh, sadar."
Olga mengantarkan Wina sampai ke pagar depan.
Sesaat sebelum naik ke mobil, Wina berbalik, dan memandang ke arah Olga. "Ol, gue masih penasaran. Apa yang bikin lo dewasa ngadepin masalah gue ini""
Olga diam sesaat. Lalu mendekat ke arah Wina. "Mami-Papi, Win. Mami pernah cerita kalo dulunya bekas murid Papi waktu di SMA. Dan Mami terpaksa harus keluar sekolah hanya gara-gara pacaran sama Papi."
"Mami lo naksir Papi""
"Bukan, tepatnya Papi yang tergoda. Dan gue gak pengen lo keluar dari sekolah kita gara-gara naksir guru, Win. Gue takut gak ada yang nganter-jemput lagi setiap pagi...."
"6. Nah, Gitu Dong, Belajar...
"MUSIM ulangan tiba. Saat itu Olga udah siap-siap mo belajar. Semua bahan foto kopian, udah komplet. Segelas air jeruk, dan senampan penganan terhidang di atas meja pendek di kamarnya. Di atas karpet lembut (karpetnya terbuat dari terigu!), buku-buku diktat tersusun rapi, siap untuk dibaca. Olga emang udah mantep banget nyiapin belajarnya kali ini. Dari dua hari yang lalu, sama Wina, uda.h keliling ke rumah temen-temen yang punya catetan komplet buat difoto kopi. Dan dari kemarin dia juga udah sibuk bikin-bikin kue, untuk nemenin belajar.
Ya, biasanya guru-guru emang suka sadis kalo mo ngasih soal, jadi persia pan harus bener-bener matang. Olga pun memandang puas ke kamar yang telah ia tata. Apa lagi, ya, yang belum" Soalnya biar nanti belajarnya gak terpotong-potong, semua yang dibutuhkan harus komplet tersedia.
Aha, kipas angin belum ada. Nanti kalo kepanasan gimana" Kan mengganggu konsentrasi, tuh. Mending pinjem yang di kamar Papi aja. "Olga pun membuka pintu kamar dan melangkah ke luar. Tepat pada saat itu, ia terperanjat ketika melihat sosok yang amat dibenci. Utit!
Ya, Utit, sodara sepupunya yang super bandel is back! Digandeng Mami yang emang baru pulang sambil membawa plastik berisi kaset-kaset video karaoke.
"Halo, Mbak Olga. Utit mo Lebaran. Biar udah telat, Utit mo ngucapin maap lahir-batin!" ujar Utit ceria.
Olga masih terpana. Idih, Lebaran udah kapan tau, baru minta maap sekarang.
Ya, kamu-kamu kan masih inget, betapa bencinya Olga sama sodara sepupunya yang satu ini. Yang jailnya setengah mati, dan selalu mengganggu ketenteraman umat man usia.
"Tadi Mami ke rumah Tante Elli, terus ada Utit lagi nginep di situ. Terus Tante Elli nyuruh Mami ngebawa Utit ke sini. Abis di sana berantem terus sama Bayu," ujar Mami menjelaskan.
Olga masih juga tak berkata apa-apa, ketika Utit berlari memeluk Olga. "Mbak Olgaaa, Utit kangen, deh."
"Ya, ya, kamu Mbak Olga maapin deh, asal..." Tiba-tiba Olga ngerasa punggungnya gatel. Ia pun buru-buru melepas pelukan Utit. "Utit, kamu !!!"
"Hahaha..." Utit tertawa terpingkal-pingkal. Ya, ternyata Utit diam-diam menaburi serbuk gatal ke punggung ,Olga saat memeluk tadi.
Ingin rasanya Olga memburu dan mencekik "anak itu untuk sekadar memberi pelajaran, tapi suara Mami menahannya.
"Udah, Olga, Utit kan baru sampe. Kasihan dong kalo diuber-uber."
"Tapi, Mi," sungut Olga sambil terus kerepotan menggaruk-garuk punggungnya.
"Alaa, ntar juga ilang gatelnya. Tadi aja si Bayu cuma sebentar gatelnya setelah mamanya ngerendem si Bayu ke dalam sumur."
"Tapi Utit harus diberi pelajar
an, Mi. Lama-lama dia bisa ngelunjak!"
Mami kemudian menggandeng Utit untuk diajak masuk kamar. Tinggallah Olga yang guling-guling di sofa mengatasi gatel di punggungnya.
Dan yang bikin empet, belon lagi Olga selesai mengatasi penderitaan lahir-batin itu, tau-tau Utit dengan cueknya nyelonong ke dalam kamar Olga yang udah rapi jali.
"Mbak Olga a, Utit pinjem bukunya buat kipasan bentar, ya...."
"Aduuh, Utit, itu buku buat dibaca bukan buat ngipas. Taro nggak" Kalo Mbak Olga bilang taro, taro! Kamu itu jadi anak kecil badung banget, sih."
"Sori, Mbak Olga, Utit kepanasan, jadinya pengen ngipas-ngipas."
"Kalo pengen ngipas-ngipas pinjem sama tukang sate sana!"
"Anterin, dong."
"Enak aja. Udah deh sana, Mbak Olga mau belajar dulu."
"Utit ngeluyur pergi. Tapi apa iya Utit pergi begitu saja tanpa meninggalkan kesan di kamar Olga" Oho, dugaan kita salah. Karena pas Olga mo baca-baca tu buku, dari tengah halamannya muncul seekor kecoa yang palanya botak! Olga kaget dan melemparkan buku itu ke langit-langit.
"Uttiiit!" Olga langsung melesat ke kamar Mami dan langsung menerjang Utit. Utit yang lagi gelendotan di bahu Mami ditendang pantatnya.
"Olga kamu ini apa-apaan, sih. Masa anak kecil ditendang pantatnya. Nanti kalo geger otak gimana, hayo""
"Biarin. Biar dia tau rasa," teriak Olga ganas.
"Emangnya ada apa, Ol. Kok kamu tega nendang pantat sodara sepupumu sendiri""
"Mami nggak tau, sih. Buku biologi Olga disisipin kecoa. Olga kan kaget, Mi."
"Kamu tau dari mana kalo Utit yang naro kecoa di buku kamu""
"Olga ngeliat sendiri," Olga ngebo'ong.
"Barangkali bukumu yang memang sudah tua, jadinya kecoa demen nongkrong di sana," ujar maminya membela Utit.
Utit yang nangis tersedu-sedu karena ditendang pantatnya itu ngumpet di balik ketiak Mami.
"Sini, Mi, Olga pengen nendang sekali lagi. Biar Utit kapok."
"Jangan, Olga!" bentak Mami keras. "Kamu nggak kasihan ngeliat anak sekecil ini nangis tersedu-sedu."
"Mana" Dia udah nggak nangis, kok."
"Lho, bukannya barusan nangis." Mami memandang ke arah Utit dan bertanya, "Utit kamu udah nggak nangis lagi" Udah nggak sakit pantatnya" Kamu tak usah nangis lagi, ya""
"Sebenarnya Utit masih mau nangis," jelas Utit tersendat-sendat. "Tapi pas Utit ngumpet di balik ketiak, kok nangisnya jadi susah."
"Rasain!" semprot Olga sambil meninggalkan Utit. Sedang Mami merasa tersipu malu karena dari pagi tadi emang belon mandi.
Olga hendak kembali ke kamarnya ketika tau-tau ngerasa di dalam bajunya ada benda kecil yang bergerak-gerak. Olga berhenti sesaat. Lalu membayangkan benda kecil yang bergerak-gerak pelan itu. A-apa, ya"
Belon lagi Olga dapat jawaban tepat akan benda kedl misterius itu, Utit udah ketawa terbahak-bahak.
"Hahaha, nggak taunya masuk juga," tawa Utit membahana.
"U-utit, Mbak Olga pengen tau, makhluk apa yang ada di dalam baju ini"" tanya Olga tanpa berani berbalik badan. Ia tegak berdiri dengan kakunya. Karena kalo banyak bergerak kayaknya tu benda misterius ikut bergerak juga.
"Hahaha, Utit nggak sangka lemparan Utit bisa pas. Padahal Utit ngelemparnya ngadep belakang iho, Mbak," ujar Utit masih geli.
""Utit!!!" bentak Olga dahsyat. "A-apa sih yang kamu lempar itu""
"Mbak Olga inget nggak waktu Mbak Olga nendang pantat Utit. Nah, tangan Utit kan menggenggam sesuatu yang kemudian Utit lemparkan ke belakang. Taunya bisa langsung masuk. Hahaha...."
Olga menarik napas dalam. Benda itu masih bergerak-gerak.
"Ayo dong, apa sih yang kamu lemparkan itu, Tit" Mbak Olga nggak marah, kok," tukas Olga menahan geram.
"Hahaha, cicek, Mbak Olga.... Hahaha...."
"A-apa, c-i-c-e-k"" "Huaaaaa!!!" Olga langsung ngibrit lari tunggang-langgang ke segala ruang. Sambil teriak-teriak minta tolong. Sementara Utit asyik ketawa geli ngeliat Olga blingsatan. Utit ketawanya juga sambil bertepuk-tepuk tangan. Nyebelin banget.
Sambil berlari-lari tangan Olga menggapai ke sono kemari. Apa karena dcek itu sudah merayap ke bagian depan" Ternyata bener. Dan Olga makin histeris. Olga terus loncat-loncatan supaya ciceknya bisa keluar. Tapi sialnya, tu cicek sepertinya betah main-main di
balik baju Olga. Olga yang nggak tahan akhirnya nekat buka baju. Untungnya pas Olga ngelempar bajunya, cicek sial tadi ikutan kelempar.
Legalah Olga. Dan celakalah Utit.
Karena setelah Olga mengambil kaos putih di kamarnya, dia langsung memburu Utit dan menggotongnya ke belakang rumah. Di sana Utit digantung di tiang jemuran. Kedua tangannya dijepit. Sementara itu dari ujung tali jemuran tersebut, Olga menaruh dua ekor semut item yang siap merayap ke arah Utit, dan menggigit tangan Utit. Utit menjerit-jerit histens. Minta pertolongan Mami.
Lho, tapi di mana Mami" Kok gak datang membela" Apa dia nggak akan memberi pertolongan pada Utit"
Bukan. Bukannya Mami nggak akan memberi pertolongan, tapi ternyata Mami kini lagi sibuk di kamarnya baca-baca buku musik. Dari dulu Mami emang ada rencana mo ikutan acara Berpacu Dalam Melodi di tipi. Jadinya kudu rajin baca buku-buku musik. Dan sebetulnya kepergian Mami tadi mau ngeborong kaset video nostalgia, dan mo ngomongin soal acara Berpacu Dalam Melodi sama Tante Elli yang pernah tampil di TV.
Mami emang ngincer hadiah televisi stereo buat ia taruh di kamarnya! Dan artinya lagi, teriakan-teriakan Utit kali ini yang mohon pertolongan ke Mami bisa dianggap mubazir.
Olga sendiri yang asyik ngejailin Utit di belakang rumah agak heran, kenapa Mami nggak buru-buru muncul membela Utit seperti biasanya. Olga yang lagi ngilik-ngilik telapak kaki Utit pake pacul jadi mikir. "Kenapa Mami nggak nolongin Utit, ya"" batin Olga bertanya-tanya.
Olga kemudian iseng ngintip ke kamar Mami. Gak taunya Mami di sana lagi latihan Berpacu Dalam Melodi.
"Bagaimana kalo saya dua not!" tukas Mami berlagak seperti peserta acara Berpacu. "Dan lagu itu judulnya adalah Belalang Kupu-kupu!"
Olga mulai nangkep apa yang tengah diperbuat Mami. Olga sebelumnya emang pernah denger soal Mami yang mo ikutan acara itu. Dan pantesan aja Ma.mi sering banget ngapalin lagu-lagu nostalgia.
Sebetulnya, sih, niatan Mami cukup mulia juga. Kamu kan udah tau, Mami ikutan di acara Berpacu Dalam Melodi biar bisa dapat hadiah tipi. Ntar misalnya ditanya ama Bung Kusan, eh, Bung Koes Hendratmo apakah hadiahnya akan disumbangkan" Mami akan bilang, "Ya, disumbangkan."
Disumbangkan ke mana"
Mami akan menjawab, "Ke suamiku tercinta...."
Tiba-tiba Olga teringat Utit yang masih nyangsang di tiang jemuran. Ia jadi kasihan sama Utit, karena kalo Mami nggak nolongin jadinya pertarungan ini nggak bakal seimbang. Lagian ia kan kudu belajar buat ulangan. Olga berniat akan mengunci diri di kamar.
Olga pun membuka jepitan tangan Utit. Dan sebelum Utit kabur ke dalam, Olga sempat membelai rambut anak badung itu. Ya, meskipun badung Olga tetap sayang sama sodara sepupunya.
Utit ternyata ngadu ke Mami atas perlakuan "Olga yang dianggapnya kurang begitu berperikemanusiaan. Anehnya Mami cuek bebek. Mami malah keliatan sibuk menghapal lagu-Iagu Koes Plus keras-keras. .
"Bis sekolah yang kutunggu, kutunggu... penuh semua. Hatiku kan bernyanyi, bernyanyi... di dalam bis sekolah. Nanti aku dikira tukang ngamen, tukang ngamen, hatiku malu!"
Utit yang menggelendot di lengan Mami cuma dilirik dikit. Olga jadi makin kasihan sama Utit. Tapi bukan berarti Olga bersedia ngajak Utit main-main ke kamarnya.
Olga pun buru-buru mengunci diri di kamar. Mulai belajar.
Tapi jeritan Mami yang kali ini ngapalin lagu Unchained Melody, bikin konsentrasi Olga buyar. Olga geleng-geleng kepala. Meski begitu, ia harus bisa belajar. Olga pun sibuk membolak-balik buku pelajarannya. Ulangan umum emang bikin Olga cemas, karena ia merasa masih ada beberapa pelajaran yang tertinggal. Olga harus menebus mati-matian. Tapi yang berhasil dilakukan Olga memang cuma membolak-balik buku pelajaran, tanpa sedikit pun isinya masuk ke dalam kepala. Olga udah mencoba berbagai cara untuk bisa konsentrasi, termasuk belajar dengan kaki bergantung di langit-langit, sementara posisi kepalanya berada di bawah seperti kelelawar. Tapi hasilnya nihil. Malahan kepala Olga jadi pusing, dan mulutnya kejang-kejang mau muntah. Ada sih beberapa rumus yang berhasil ia hapal. Tapi rasanya gak bi
sa ful konsentrasi. "Rindu bayangan, rindu suratan, rindu kerna asmara...," terdengar suara cempreng dari arah kamar Mami. Pertanda Mami mulai kembali asyik dengan karaokenya mengalunkan tembang nostalgia.
Olga langsung menutup telinganya rapat-rapat. Nah, rupanya inilah penyebab utama yang bikin konsentrasi Olga terganggu. Belum lagi perasaan waswasnya karena Utit tak terdengar suaranya. Ya, siapa tau tu anak lagi merencanakan sesuatu yang dahsyat.
Olga buru-buru membanting jendelanya, hingga mengagetkan burung-burung dara yang asyik bercanda di genteng. Lalu, Olga pun bergegas keluar kamar, menghampiri Mami.
"Aduh, Mi! Apa gak bisa latihannya ditunda dulu"" jerit Olga yang kini sudah berada di samping maminya. Napas Olga ngos-ngosan.
Mami cuma menoleh sebentar, lalu kembali asyik dengan kegiatannya.
"Ooooo, my love, my darling,
I've hungered for your touch..."
"Mi, Olga mo belajar, nih. Kan mo ulangan umum," ucapan Olga terdengar lirih.
Mami sejenak menghentikan kegiatannya. Menoleh ke Olga dengan pandangan penuh arti.
"Iya, Olga. Kamu mesti giat belajar. Dari dulu kan Mami selalu bilang, belajar! Belajarlah kamu, menurut jenis kelaminmu masing-masing ... eh..."
"Tapi masalahnya sekarang, Mi..."
""Ah, gak ada alasan. Kalo kamu emang punya nial belajar, pasti bisa kok."
"Memang bisa, Mi. Asal..."
Belum lagi kalimat Olga abis, Mami udah buru-buru mengalihkan perhatian ke karaoke lagi. Di situ kini ada gambar dua remaja lagi berkejaran, "Senja, di batas kotaaa..."
Olga jelas frustrasi. Ia pun kembali ke kamarnya.
Tapi baru saja ia merebahkan diri di karpet, tiba-tiba, "Brak!" ada sesuatu jatuh berdebam dari eternit yang pecah di sudut kamar Olga. Olga terlonjak kaget. Dan ternyata Utit yang nampak nangis menggerung-gerung.
"Rasain! Pasti kamu mau niat jahat! Ngapain, sih, kamu naik ke loteng"" teriak Olga sambil berkacak pinggang.
"Huuu, Utit kan mo masuk ke kamar Mbak Olga. Tapi pintunya dikunci. Huuu, Utit gak ada temen!"
Sementara Mami terus bernyanyi sampai menjelang magrib. Mami berlatih keras, karena tiga hari lagi ada jadwal tes di televisi.
*** "Malam itu Olga nampak keringetan abis keliling kompleks pake sepatu roda. Papi nampak duduk di beranda sambil baca koran dan mengisap cangklong. Jam tujuh malam, Papi baru pulang dari kantor. Abis lembur.
Olga melintas di dekat Papi.
""Ol, dari mana"" tanya Papi.
"Maen." "Maen" Kamu gak belajar" Senin depan kan ulangan umum""
Olga yang duduk di tangga teras, tak bereaksi. Sibuk melepas sepatu rodanya. Peluh nampak bercucuran.
"Papi liat, kamu belakangan ini males belajar, Ol."
"Iya!" jawaban Olga pendek tapi tegas.
"Lalu kenapa" Apa kamu merasa udah kepinteran, hingga tak perlu belajar""
"Perlu." "Lantas, kok gak belajar" Katanya, Mami sering kok nyuruh kamu belajar.". . .
"Mami sering nyuruh Olga belajar, tapi Mami juga paling sering membunuh semangat Olga belajar."
"Maksud kamu""
"Tanya aja sama Mami."
"Yang jelas, dong, kalo ngomong, Ol. Kok belum-belum kamu udah nyalahin Mami."
"Abis orangtua cuma bisa nyuruh anaknya tekun belajar, tapi mereka sendiri kadang gak menciptakan situasi agar anaknya terangsang untuk belajar..."
Tiba-tiba terdengar suara cempreng Mami dari dalam, "Listen to the rhythm of the falling rain..."
"Tuuuh, udah mulai lagi!" ujar Olga sebel. "Itu salah satu yang bikin Olga gak bisa konsentrasi kalo lagi belajar. Belum lagi ulah Utit, anak tersayangnya Mami yang super jail, yang sengaja Mami bawa kemari. Jadi jangan nyalahin Olga, dong!"
Olga ngeloyor ke dalam. *** "Malam itu terasa sunyi. Sepi. Mami udah menyadari kesalahannya, dan membatalkan niatnya ikut Berpacu Dalam Melodi, demi kepentingan Olga. Utit pun sudah dipulangkan ke rumah Tante Elli. Tentu ini berkat jasa Papi menyadarkan Mami. Mami sadar, sebagai orangtua, ia patut memberi dorongan belajar pada Olga. Ia gak bisa asal nyuruh Olga belajar, tanpa dia sendiri bersikap yang menumbuhkan minat Olga untuk belajar.
Suasana jadi sepi. Olga di kamar jadi tercenung. Bengong. Aneh, kok dalam keadaan yang terlalu sepi begini, ia jadi gak bisa belajar. Kema
ren, barang satu-dua rumus kimia, sempat melekat di otaknya. Tapi kini"
Olga cemas. Jangan-jangan ia sudah terbiasa belajar dalam keadaan hiruk-pikuk, hingga pas sepi begini ia malah gak bisa belajar....
"7. Olga Gak Lucu Lagi!
"SEJAK ngeliat pameran Ristek '91, sejak terkagum-kagum sama peneliti-peneliti muda, sejak ketemu sama Wisnu Nugroho yang masih muda tapi bikin kejutan dengan penemuan Coal Bed Methane-nya, Olga jadi pengen ikutan KIR di sekolah. Apalagi Kepsek waktu itu pernah bilang, kegiatan KIR di sekolah Olga melempem. Kayak kerupuk kerendem. Adem-ayem.
Olga terusik. Dan langsung ngedaftar ikutan KlR Karena Olga merasa lumayan di pelajaran biologi, terutama di bab-bab mengenai reproduksi manusia, hihihi.
Tapi, setelah sebulan ikutan KlR di sekolah, Olga ternyata punya problem yang cukup serius. Yaitu: dia udah gak lucu lagi! Ini bukan kata anak-anak, tapi perasaan Olga sendiri mengatakan begitu.
"Bayangin, Win," ungkap Olga sedih, "ketika kita-kita lagi pada serius meneliti katak, terus gue ngasih tebakan, apa bedanya katak sama ketiak" Ee, gak ada yang ketawa."
"Emang bedanya apa, Ol"" Wina yang tekun mendengar keluhan sohibnya, penasaran sambil menyuap potongan bakwan goreng.
""Bedanya, setiap katak ada ketiak, tapi tak semua ketiak ada kataknya."
"Oo," Wina manggut-manggut. Ya, tentu aja gak ada yang ketawa. Emang gak lucu, sih.
"Trus lagi, Win, waktu kita mau pada menyelam, meneliti tanaman laut, salah satu snorkel peserta ada yang gue sumbat pake rumput laut. Eee, gue malah kena damprat abis-abisan."
Wina manggut-manggut lagi.
Itu juga becanda yang keterlaluan!
"Belum lagi kebiasaan-kebiasaan gue ngumpetin tabung reaksi, ngerjain mikroskop anak-anak dengan diam-diam mengganti bahan yang mereka teliti, mengikat kedua tali sepatu mereka saat mereka lagi serius meneliti, hingga pas hasil penelitiannya menemui hasil, anak itu jatuh berdebam ketika mau melonjak-lonjak kegirangan...."
"Terus, apa masalah lo"" Wina menatap Olga gak ngerti.
"Ya, itu, Win. Gue ngerasa gak cocok ama mereka. Mereka orangnya serius-serius. Gak bisa diajak becanda. Akibatnya, sebulan ngumpul sama mereka, kadar kengocolan gue jadi berkurang. Gue... gue takut, Win...."
"Takut apa""
"Takut gak lucu lagi," Olga berkata lirih.
"Ha" Hahahaha," Wina tertawa terpingkal-pingkal.
Olga jadi sebel, "Kenapa sih, lo""
"Ya abis, hihihi... lo lucu, sih. Masa takut gak lucu lagi, sih" Emangnya lo harus lucu terus, gitu""
"Ya, lo kan tau, gue kepake siaran di Radio Ga Ga itu karena gue katanya suka ngocol. Celetukan konyol gue yang disukai pendengar. Mana belakangan ini gue kan disuruh pegang acara kocak Manyun Sejenak, tiap Selasa sore. Jadi jelas dong gue khawatir."
Wina jadi ikut mikir. Ya, kasian juga kalo Olga emang udah gak bisa ngocol lagi. Berarti dia bakal gak dipake lagi sama radionya. Berarti dia gak bakal jadi temen yang mengasyikkan lagi.
Wina meneguk es jeruknya. "Ya, udah, lo keluar aja dari KIR."
Olga menggeleng. "Gak enak, Win. Gak enak sama guru pembimbing yang udah baek sama gue. Lagian gue gak mau dikira remaja yang suka ikut-ikutan aja."
"Jadi gimana, dong""
"Gak tau deh, gue juga bingung."
Pas pulang sekolah, Olga pun langsung nongkrong di studio. Ketemu sama anak-anak.
"Halo, Ol. Kok muram aja, nih""
"Iya, biasanya ngocol. Mana si Wina""
"Wina"" Olga menjawab linglung, sambil meriksa tas sekolahnya. "Wina di mana, ya" Tadi gue kantongin, kok gak ada""
Anak-anak saling berpandangan, sama sekali gak ada yang ketawa melihat tingkah laku Olga yang berusaha untuk ngelucu.
""Eh, San, kelikitikin pinggang gue, dong, biar gue bisa ketawa. Hahaha," ujar Bowo sadis.
Anak-anak tergelak. Dan Olga makin tertunduk sedih.
Dan ketika mau melangkah ke ruang siar, Bas memesan, katanya Olga disuruh menghadap Mbak Vera. "Katanya ada perlu penting, Ol."
Olga cuma mengangguk, lalu berjalan menunduk sambil memasuki ruang Mbak Vera. Rasanya ia sudah tau, apa yang bakal Mbak Vera omongkan.
"Mbak Ver memanggil saya"" Kepala Olga nongol, ketika Mbak Vera lagi memasukkan surat ke filing cabinet.
"Eh, Olga. Masuk, Ol."
Olga duduk. "Eng... gini, Ol. Mbak Vera mulai besok mungkin akan ambil cuti dulu. Jadi hari ini Mbak Ver harus menyelesaikan banyak urusan dulu. Salah satunya..."
"Menyangkut saya, Mbak""
Mbak Vera menatap Olga. "Ya. Kamu lagi banyak masalah 1"
Olga tak langsung menjawab.
"Saya juga gak ngerti, Mbak. Kenapa bisa jadi begini. Sejak saya ikut KIR di sekolah, kadar kengocolan saya jadi berkurang. Mungkin Mbak Vera mo bilang kalo banyak surat pendengar yang protes ama saya yang udah gak ngocol lagi. Mungkin, mungkin saya udah uzur, Mbak, udah gak bisa ngocol lagi...." .
Mbak Vera menggeleng. "Ah, rasanya gak separah itu, Ol. Ya, memang Mbak Ver gak bisa ngarepin kamu agar bisa ngocol terus. Tapi, ketidakngocolan kamu itu mungkin karena kamu ngejadiin itu sebagai beban. Kamu takut gak lucu, akhirnya ya jadi gak lucu. Harusnya santai aja kayak dulu. Jangan dijadikan beban."
Hening sejenak. "Terus, gimana, Mbak. Apa saya udah gak bisa dipake lagi di sini""
Mbak Vera tertawa. "Ah, masa kita sejahat itu, Ol" Enggak, kok. Mbak Vera manggil kamu ke sini cuma pengen tau, kamu ada masalah apa. Siapa tau bisa kita pecahkan bersama. Tapi Mbak Vera rasa, kamu oke-oke aja, kok. Rileks aja, Ol. Masa hanya gara-gara kamu bergaul sama anak-anak KlR yang serius itu, lantas kamu gak bisa ngocol lagi""
Olga tersenyum getir. Dan di rumah, seharian ia mengurung diri di kamar. Ia berusaha mikir supaya bisa lucu lagi. Dulu, apa ya yang bikin ia bisa ngocol"
Olga pun menghabiskan waktu sepanjang siang dan sore itu dengan membaca komik dan cerita yang lucu-lucu. Berusaha menyetel ulang video rekaman acara film tipi yang konyol-konyol. Seperti Jefferson, Balki, Doogie, sampe ke Lenong Rumpi.
Sampe membuat heran Mami yang lagi asyik mondar-mandir bikin adonan kue tards dengan krim.
"Udah lebih enam belas tahun Mami hidup sama kamu, Ol, tapi Mami selalu gak pernah bisa ngerti apa yang ada di otakmu. Ngapain sih kamu dari tadi nonton begituan" Belum lagi buku-bukumu yang bertebaran di kamar!" ujar maminya sambil geleng kepala. "Kamu mau ikut lomba lawak""
Olga bersungut, lalu berkata keras, "Maminya sendiri yang emang gak pernah mau berusaha ngerti Olga. Olga lagi ada problem gawat, nih!"
"Problem gawat apa" Kamu ceritakan dong ke Mami. Masa ada problem gawat, kamu malah nonton film-film dan baca buku gendeng macam gitu" Contoh tuh papimu. Kalo dapet problem, langsung cerita ke Mami. Kan lumayan buat ide Mami untuk nulis '0 Mama, 0 Papa. '"
"Problemnya: Olga udah gak lucu lagi!" jawab Olga ketus.
Maminya bengong. Lalu tertawa terpingkal-pingkal, sampe tepung-tepung yang dipegang bertaburan.
"Kenapa ketawa, Mi" Seneng ya kalo anaknya udah gak lucu lagi""
"Hahaha, menurut Mami, alangkah lucunya jika ada orang menganggap dirinya sudah gak lucu lagi. Hahaha..."
Olga membuang muka dengan ketus. Sampe tu muka berantakan di lantai.
"Dan kamu tau, Ol," suara Mami tiba-tiba berubah serius, "dari dulu juga Mami gak pernah menganggap kamu lucu!"
"Mami kok jahat, siiih!" jerit Olga keras.
""Jahat apanya!" Mami mengelak sambil menggeolkan pinggul.
"Mami seneng ya anaknya udah gak bisa ngocol lagi" Mami seneng ya anaknya gak bisa dipake lagi di radio" Mami seneng ya popularitas anaknya amblas""
"Ya, Mami seneng!" ujar maminya mantap. "Karena mereka enak-enak aja menikmati kekonyolan kamu, sedang Mami yang selalu kena getahnya, tau! Mami yang selalu jadi objek penderita. Mami lebih senang kamu jadi anak manis seperti Gaby, misalnya. Sopan, tau aturan, ngomongnya kalem, gak kayak kamu. Ngomong sama maminya seenaknya aja, kayak ngomong ke papinya sendiri!"
Olga menutup kuping. Lalu berlari ke kamar. "Bodooooo!" jerit Olga keras.
"Biar tau rasa! Mami berdoa supaya kamu gak bakal bisa ngocollagi!"
"Mami jahaaat!"
Brak! Pintu dibanting. Dan Olga pun menangis tersedak-sedak di kamar.
Besok sorenya, dari uang tabungannya, ia pergi ke dokter untuk memeriksakan diri, apa ada yang kurang baik.
Di ruang tunggu, Olga menunggu dengan gelisah, sampai namanya dipanggil, disuruh menghadap dokter.
"Keluhannya apa, Nak"" kata dokter dengan tampang seriu
s. "Saya udah gak bisa melucu lagi, Dok," ujar Olga sedih.
""I beg your pardon"" dokter itu seolah gak yakin sama apa yang ia dengar.
"Saya udah gak lucu lagi," ulang Olga makin sedih.
Dokter itu bengong sambil berpandangan dengan suster di sebrang meja. "Sejak kapan itu kamu rasakan""
"Sejak sebulan yang lalu, Dok. Sejak ikut KlR."
"Ow. Coba saya periksa dulu, mungkin kamu mengidap penyakit kencing manis, atau usus buntu."
Olga disuruh berbaring di ranjang putih.
"Memangnya penyakit itu ada kaitannya dengan tidak bisa melucu lagi, Dok"" tanya Olga, ketika dokter kelimis itu memeriksa dengan stetoskop.
"Ya, tidak, sih. Cuma daripada saya tak melakukan apa-apa sama sekali""
Olga menemui jalan buntu.
Tapi seminggu kemudian, pikiran Olga mulai agak tenang. Buku-buku lucu, sudah banyak yang ia baca. Dan di otaknya kini sudah mulai dijejali hal-hal yang lucu lagi. Olga merasa harus memulai segalanya dari bawah lagi. Dari saat pertama dulu ia mulai melucu.
Olga 04 Leukimia Kemping di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan pertama kali dulu, ia sering bercerita di depan anak-anak kecil. Kini pun ia berniat untuk mengumpulkan anak-anak tetangga untuk uji-coba.
"Datang, ya, ke rumah Mbak Olga jam lima sore nanti!" ujar Olga sambil menyebarkan undangannya pada setiap anak mungil yang ia jumpai di jalanan.
"Ah, gak mau. Abits maminya Mbak Olga galak, cih!" jawab anak-anak itu.
Ya, Mami Olga kalo sama anak kecil tetangga emang suka galak. Suka judes. Abis anak-anak itu suka seenaknya memetik bunga-bungaan yang dipelihara Mami di halaman depan. Dan kalo anak-anak itu lewat, Mami segera menjulurkan kepalanya lewat jendela, dan langsung marah-marah. Padahal bunganya dipetik juga belum.
"Enggak kok, maminya Mbak Olga sore nanti lagi pergi. Datang, ya" Mbak Olga nanti mau cerita kisah yang lucu-lucu. Dan Mbak Olga juga udah bikin kue tarcis pakai krim, yang Mbak colong dari lemari penganan Mami. Datang, ya""
Anak-anak mungil itu berpikir sejenak. Lalu berbisik-bisik.
"Iya, deh, Mbak. Kita-kita mau dateng. Tapi kuenya yang banyak, ya""
"Ya!" Olga bersorak girang, lalu meluncur pulang pake sepatu rodanya. Sore nanti Mami emang mau arisan di rumah Tante Koni. Dan
kalo udah arisan, Mami suka lupa pulang, ngegosip terus sambil ngemil. Menurut Olga, itu makanya kenapa biar rajin senam, tapi Mami tetap bulet kayak bola bekel.
Pas sore hari, delapan anak kecil emang udah kumpul di beranda. Mereka duduk dengan manisnya mengelilingi Olga. Kue tarcis dengan "krim, dan coklat susu sudah ada di depan anak-anak itu. Dan kayaknya Olga cukup sukses membuat anak-anak itu tertawa dengan cerita-ceritanya yang lucu.
"Hahaha, hihihi...," Boni, si bandel yang giginya ompong, sampe ketawa terpingkal-pingkal, ketika Olga cerita tentang Lomba Kentut Internasional.
"Iya, Adik-adik. Juri lomba itu pada pake masker semua, biar gak kebauan. Pesertanya ada 4 orang. Dari Amerika, dari Belanda, dari Cina, dan dari Indonesia. Masing-masing harus ngentutin 10 batang lilin yang dinyalain berjejer. Pertama peserta dari Amerika. Ditanya: makanannya apa. Jawabannya, makan hamburger, hotdog. Terus disuruh kentut. Tut! Cuma dua lilin yang mati. Kedua, dari Belanda. Ditanya makan apa" Jawabnya: makan roti. Trus disuruh kentut. Tuut! Tiga lilin langsung mati. Ketiga, peserta dari Cina. Ditanya: makan apa" Jawabnya: makan capcay, puyunghay, dan kodok goreng. Disuruh kentut. Tuuut! Lima lilin mati. Terakhir, peserta dari Indonesia, ditanya: makan apa" Dijawab, semur jengkol dan pete. Disuruh kentut, tuuuuut! Sepuluh batang lilin beserta juri-jurinya mati semua!"
"Hahahahaaaaa!" anak-anak terpingkal-pingkal.
Pun ketika Olga cerita masa muda papinya yang sering naik bis waktu kuliah. Saat itu kebetulan di sebelahnya duduk seorang nenek-"nenek yang tampangnya pucat sekali. Papi bertanya, "Kenapa, Nek" Mual""
Nenek itu mengangguk. Beberapa saat kemudian, nenek itu tiba-tiba berkata ke Papi, "Dik, boleh kan saya melihat wajah Adik sebentar""
Papi tentu heran. "Tentu saja. Tapi, kenapa""
"Biar muntahnya gampang!"
Hahahahaaa... Dan acara penuh tawa itu berakhir pas magrib, ketika Olga membacakan puisi penutup yang kony
ol. Tentang anjing hitam, berbulu putih. Yang bersuara pelan, tapi melengking.
"Bila ada sumur di ladang
Sumur siapakah itu""
Hahahaha... "*** "Pagi itu hari Minggu. Olga bangun dengan wajah riang. Ya, dia mau ke Radio Ga Ga lagi. Mau siaran acara Manyun Sejenak. Dan Olga melangkah penuh percaya diri ke halaman studio, karena ia ngerasa udah bisa ngocol lagi. Udah lucu lagi. Tadi aja para tukang ojek dibuat terpingkal-pingkal dengan lelucon Olga tentang maminya.
Rahasia 180 Patung Mas 11 Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai Candi Murca 1
Apalagi waktu maminya Olga sore "di nelepon lagi, ngebilangin kalo, "Olga sendiri belum tau, Win, soal penyakit ini. Sengaja, biar dia gak tertekan. Mungkin tugas kita harus membuat dia bahagia, hingga dia punya kesan yang baik setelah meninggalkan kita."
Wina mencoret-coret buku hariannya. Ya, gue harus ngebahagiain Olga. Dan Wina inget rencana liburan panjang anak-anak yang kali ini mau bikin bumi perkemahan lagi di daerah Puncak. Olga katanya juga mau ikut. Berangkatnya dua hari lagi. Dan Wina harus ngompakin temen-temennya agar berbaik-baik dengan Olga selama kemping itu. Biar Olga bahagia.
Dan besoknya, Olga emang udah sibuk banget nyiapin segala keperluan. Indomie, Chiki, sardencis, kornet, biskuit, abon, semua masuk dalam ranselnya. Sementara jins, kemeja, kaos, jaket, sweter, syal tebal, kaos kaki, sepatu roda pun turut berdesakan di dalamnya. Belum lagi alat-alat mandi, dan krem pembersih. Mami, tumben-tumbenan, ikut sibuk menyiapkan. Sampai-sampai dibela-belain gak senam.
"Biasanya rajin senam, Mi"" tegur Olga kalem.
"Ah, lagi segen," jawab Mami pendek sambil sibuk menggotong peralatan P3K seperti salep, perban, balsem, obat merah, Betadine, garam, Tensoplast, Oralit, dan obat-obatan lainnya. Terus terang, Mami cemas banget kalo anak ini nantinya kenapa-napa pas kemping. Untuk melarang kemping, Mami jelas gak tega. Karena kan gak boleh bikin Olga sedih. Tadi pagi aja, pas Olga membuat peta buta lagi di kasur, Mami gak marah. Tenang aja melipat seprei, dan mencucinya di belakang.
"Ih, Mami, kok bawa obat-obatan banyak banget" Emangnya dokter masuk desa"" Olga sebel ngeliat Mami memasukkan peralatan sakit itu ke ransel Olga yang gede.
"Mami takut kamu kenapa-napa di sana," ujar Mami tanpa berani menatap Olga.
"Ah, kan banyak anak-anak!" Olga berusaha mengeluarkan obat-obatan yang tadi Mami masukin.
"Jangan, Ol." "Biar! Berat kan bawanya."
Mami sedih ngeliat Olga melempar-lempar obat dari dalam ranselnya.
"Ta-tapi, Ol..."
"Gak ada tapi-tapian. Olga cukup sehat, kok. Masa Mami gak percaya kalo Olga ini sehat""
Mami sedih ngedengernya. ""Ta-tapi, s-salepnya ini biar kamu bawa aja, Ol."
"Buat apa""
"Kan lumayan buat makan roti, kalo kebetulan keabisan mentega."
Olga mencibir. Kemudian berdiri sambil meluruskan otot-ototnya yang pegal. "Ah, beres sudah semuanya. Tinggal berangkat."
Pas saat itu Wina datang. Mami melihat mata Wina agak bengkak, seperti abis menangis. Mami memeluk Wina. Olga jadi heran.
"Ada apa ini" Kok main peluk-pelukan, kayak sandiwara tipi"" .
"Ah, enggak, Mami kangen aja sama Wina," ujar Mami berusaha tersenyum. Lalu buru-buru pergi dengan raut wajah muram, seperti hendak menghadiri upacara pemakaman dirinya sendiri.
Olga bengong. Dan Wina menatap wajah sahabatnya itu lekat-lekat. Hampir tak bisa dibendungnya air matanya, ketika Olga balas memandangnya. Ingin Wina memeluk sahabatnya ini, tapi tentu saja itu akan bikin Olga sebel.
"Kenapa sih, lo"" Olga bertanya.
"Ah, enggak. Eng, l-lo jadi berangkat besok""
"Jadi, dong. Gimana, sih""
"Gue juga jadi. E-eh, sekarang kita ke McDonald's, yuk" Gue yang traktir."
"Tumben lo baek. Ayo, deh. Kebetulan, gue laper."
Wina dan Olga kemudian pamit ke Mami.
"Ati-ati di jalan ya, Win. Pake lampu sen kalo mo belok ke kiri atau ke kanan," ujar maminya Olga linglung.
Wina cuma mengangguk. Sementara Olga gak abis pikir ngeliat keajaiban yang terjadi sepanjang pagi di awal libur panjang ini.
"Eh, lo pernah minum es coret, gak"" ujar Olga iseng ketika Wonder kuning Wina mulai meluncur di jalan raya.
"Belon. Es apaan, tuh"" Wina bertanya antusias.
"Lo mau nyoba""
"Mau." "Tuh, minum aja rambu lalu lintas," ujar Olga sambil menunjuk rambu dilarang stop yang ada di pinggir jalan raya.
"Sialan." Wina meninju lengan Olga.
Beberapa saat mereka pun udah pesan hamburger di sudut kedai. Sambil ngobrol, sambil ngeceng ke arah jalan raya.
"Eh, Ol. Lo kan dari dulu pengen nyetir mobil gue, ya"" Wina tiba-tiba
nyeletuk. "Iya. Dan selalu gak boleh sama elo."
"Sekarang boleh. Pulangnya lo aja yang bawa." Wina menyerahkan kuncinya.
"Ah, yang ben"r"" Olga terbelalak girang. Ya, terus terang aja dari dulu dia pengen banget bawa mobilnya Wina. Tapi selalu ditolak, karena kemampuan nyetir Olga emang masih kurang banget. Tapi kali ini"
Mereka pun buru-buru berlarian ke Wonder Wina. Olga duduk di belakang setir. Sementara Wina yang cemas tapi berusaha nyante, duduk di sampingnya. Baru start, jempol tukang parkir nyaris diinjek. Dan pas meluncur ke jalur lambat, langsung disambut makian dari 3 sedan yang dipotong jalannya. Olga cekikikan. Wina juga cekikikan, meski dengan ekspresi yang tegang.
Seorang polisi melihat mangsa, ketika Wonder kuning itu jalan tersendat-sendat. Dia mulai mengeluarkan pulpen dan notesnya. Dan "Priiiiit!", peluitnya berbunyi nyaring ketika Olga salah belok ke daerah dilarang masuk.
"Wah, kena, Ol." Wina sedih memandang dari kaca jendela yang dilapisi kaca-film gelap.
Olga menurunkan kaca jendela, dan wajah polisi yang berkumis mirip celurit itu tersenyum ngakrab sambil menyapa, "Selamat siang, Nona. Tolong perlihatkan SIM dan STNK-nya."
Olga garuk-garuk kepala. "Wah, kesalahan saya apa, Pak""
"Nona tak melihat tanda dilarang masuk di muka jalan tadi""
"Eng... liat, sih." Olga masih garuk-garuk kepala. "Tapi s-saya ragu-ragu, abis tanda larangannya cuma satu, Pak. Jadi saya kurang yakin, apa benar itu dilarang, atau tidak."
Wajah polisi itu mulai tampak kurang ramah. "Ragu-ragu bagaimana" Memangnya harus berapa tanda larangannya""
"Coba Bapak bikin tiga biji. Kan mantep banget, tuh. Kita-kita jadi yakin," ujar Olga jadi bergairah.
"Anda jangan main-main, ya!!!" Pak polisi itu membentak. Dan kini wajah pak polisi mulai memerah. Wina buru-buru melompat turun, lalu menarik tangan polisi yang kekar itu ke sudut dekat semak-semak. "Sst, Pak,. maaf deh. Kami memang salah. Tapi jangan bentak teman saya itu. Umurnya anak itu tinggal sebulan lagi."
"Sebulan lagi""
"Ya." Lalu Wina bercerita panjang-lebar. Pake ekspresi yang meyakinkan, sampai pak polisi itu terharu. Menangis di pundak Wina, dan memperbolehkan Wina dan Olga melanjutkan perjalanan.
"Lo kasih duit berapa"" tanya Olga heran, ketika mereka mulai jalan lagi.
"Tak sepeser pun. Gue cuma ngarang cerita sedih aja, dan dia terharu."
Olga bengong. "Cerita sedih""
Tapi bengongnya gak lama, karena kemudian tau-tau Wonder Wina naik ke trotoar, dan menabrak pohon di pinggir jalan.
"Olgaaaa, awas!" Wina menjerit-jerit. Olga tak kalah panik. Ya, rupanya ketika mengobrol, Olga jadi gak konsentrasi ke jalanan.
Olga dan Wina buru-buru turun dan melihat keadaan mobil. Ternyata bempernya penyok dan lampu depannya pecah! Wina terpekik. Ya, Wina emang sayang banget sama tu mobil. Olga nampak nyesel.
"S-sori, Win. G-gue gak lagi-lagi deh bawa mobil elo," ujar Olga lirih menghampiri Wina yang sedih memandangi mobilnya.
"Tapi tiba-tiba air muka Wina berubah cerah,
"Ah, gak apa-apa, Ol. Gak apa-apa, kok. Mobil gue diasuransi. Dapat ganti. Gak apa-apa, kok. Meski gue juga harus keluar uang lima puluh ribu lagi buat tanggungannya, tapi gak apa-apa kok. Meski gue bakal kena tilang karena ngerusak trotoar, tapi gak apa-apa, kok. Gak apa-apa, Ol," Wina berusaha bersuara riang, dan berusaha tersenyum. Tapi gagal.
"Bener, Win, gak apa-apa" Gue jadi gak enak," Olga berkata bingung.
"Enggak. Gak. Huuu... mobilku!"
"*** "Udara Puncak yang dingin, menyambut datangnya dua bis turis besar yang disewa sekolah Olga untuk keperluan acara kemping sekolah. Suasana senja di kaki gunung itu amat dingin, dengan kabut tipis yang menyelimuti. Tapi kesibukan anak-anak yang segera mendirikan tenda, membuat suasana jadi hangat. Meriah. Apalagi beberapa panitia kemping, yang udah duluan berangkat pake mobil pribadi, udah mendirikan banner bertuliskan nama sekolah Olga, udah bikin api unggun dan patok-patok buat kemping. Olga turun dari bisnya, dengan mengenakan pullover yang berwarna cerah, serta jins ketal. Ia nyante aja menuruni tangga, karena-oleh sebab yang tak diketahui Olga-Wi
na, Gaby, Rudi dan Boni pada berebut mau membawakan tas ranselnya yang berat, tape, sepatu roda, dan lain-lainnya.
"Eh, Ol, kalo lo kedinginan, istirahat aja dulu di tenda panitia," ujar Rudi sambil bersusah payah menggotong dua ransel. Miliknya dan milik Olga.
Sementara Henny yang dulu paling benci Olga, kini bersibuk-sibuk-ria ngurusin dan ngebawain sepatu rodanya Olga.
"0, gitu. Jadi gue gak usah ngebantuin ngediriin tenda grup gue"" Olga heran.
"Enggak. Gak usah. Biar Gaby sama Wina aja yang kerja. Kalo perlu, Henny juga rela ngebantuin."
Olga langsung diantar ke tenda. Tak cuma itu, Boni kemudian datang mengantarkan coklat hangat dan jagung bakar.
"Bo"n, gue udah laper, nih." Olga memegang perutnya.
"Oh, tunggu bentar, ya" Wina lagi masak Indomie pake telur buat kamu!" Boni menjawab. "Kalo masih kedinginan, bilang-bilang, ya" Gue punya air jahe. Bisa diseduh. Dan ini ada bacaan ringan buat nunggu Indomie-nya masak. "Silakan, lho!"
Boni lalu pergi. Olga cuma mengangkat bahu. Rada heran juga ngeliat kebaikan yang mencurigakan dari temen-temennya. Tapi ia nyante aja. Cuek Toh gak rugi. Untung malah.
Besok paginya juga, Olga yang setenda kecil bertiga sama Gaby dan Wina, langsung heran waktu dibangunin untuk sarapan. Kornet sama nasi putih, plus Indomie.
"Lho, kapan masaknya, nih""
"Tadi, Ol. Gue gak tega ngebangunin elo. Kayaknya tidurnya nyenyak banget," ujar Gaby tersenyum manis. Wina juga ikut-ikut senyum, meski wajahnya nampak kurang tidur.
Tak lama kemudian, Erwin yang jadi ketua panitia datang mengunjungi tenda.
"Halo, Ol. Gimana keadaanmu pagi ini""
Olga tersenyum. "Baik-baik aja, kok."
"Oya, kalo mo mandi, di kali aja, Ol. Udah disediain kok airnya, hihihi. Trus jam sepuluh nanti ada kerja bakti sedikit untuk nyiapin acara jalan-jalan ke gunung. Tapi kalo lo capek, istirahat aja. Gak usah ikut. Gaby dan Wina harus ikut, ya""
Anak-anak itu mengangguk. Kemudian Boni dan Rudi datang. Nanyain keadaan Olga sambil membawa penganan ringan. Tapi pagi itu Olga malah lagi pengen ngebom. Pengen buang air. Lantaran semalem kebanyakan makan jagung bakar. Tapi ngebom di tempat kemping gitu tentu gak nyaman. Harus nyari tempat yang private banget. Olga jadi ribut minta ditemenin Wina.
Wina jelas sebel. Siapa sih yang mau nemenin orang beol"
"Saya sebetulnya mau banget, Ol," Rudi berujar.
Tentu Olga menolak. "Enak aja." "Ayo, dong, temenin, Win," bujuk Olga.
""Tuh, Win, temenin Olga." ujar Gaby.
"Iya, Win. Gimana Olga gak baek, tuh. Mau ngebom aja pake ntraktir segala," ledek Boni.
Wina sewot. Tapi teringat sumpahnya, ia lantas mau. Apalagi pas mo berangkat, maminya Olga pesan ke Wina supaya menjaga Olga baik-baik. Olga jadi seperti barang porselen yang berharga.
"Hiyaaaaaa!!!" Tiba-tiba Boni menjerit.
Anak-anak pada kaget. "Kenapa, Bon""
Boni ogah cerita. Tapi anak-anak pada tau, dan tertawa terpingkal-pingkal. Ya, saking pelitnya, Boni itu punya kebiasaan menyembunyikan sebatang rokok di kaos kaki, biar gak diminta temen-temennya. Tapi kali ini Boni lupa, kalo tu rokok udah disulut, dan diisep. Pas Rudi mendekat, langsung aja puntung itu dia selipkan di kaos kaki. Jadi terjadi kebakaran di kakinya si Boni. Hihihi...
*** "Sore hari, udara pegunungan dingin menggigit. Olga yang meski mengenakan jaket tebal, tetap merasa kedinginan. Akibatnya dia cegukan. Anak-anak jadi pada panik. Padahal cuma cegukan biasa, karena kedinginan. Minum air hangat aja bisa sembuh. Tapi anak-anak panik. Wina yang paling panik. Berteriak-teriak ke sana kemari kayak ada kompor meledak. Olga tentu aja keki. Dia ngejar-ngejar Wina, menangkap kakinya, hingga dua anak itu jatuh terguling-guling.
"Lo apa-apaan sih, Win" Gak pernah tau orang cegukan, ya"" Olga ngotot setelah berhasil menaklukkan Wina.
Mereka berdua terengah-engah sambil jatuh terduduk di rumput lembut.
"Ol,lo bener gak apa-apa"" Wajah Wina nampak ketakutan.
"Enggak! Gue-ceguk!-cuma cegukan, kok!"
"Bukan gejala apa-apa"" Wina gak yakin.
"Ya enggak, dong."
"Trus obatnya apa"" tanya Wina khawatir.
"Kagetin aja gue. Pasti sembuh cegukannya. Ayo, kagetin."
"C ara ngagetinnya gimana"" tanya Wina. Sementara anak-anak lain yang rata-rata udah tau penyakit Olga, menonton dengan harap-harap cemas.
"Ya, kagetin aja. Gue itung sampe tiga, trus lo kagetin, ya""
"Iya. Kamu siap, Ol""
"Yap_ Satu... dua... ti..."
"Hiya!!!" Wina menepuk pundak Olga keras-keras. Dan tentu saja Olga gak kaget. Malah pundaknya sakit.
"Udah kaget, Ol"" tanya Wina bego.
"Gundulmu kaget!!!" Olga berteriak kesal.
"*** "Tapi hari kedua, anak-anak gempar betulan. Olga demam! Dan terkapar di tenda seharian. Wina udah nangis sesenggrukan. Gaby menenangkan. Hari itu juga, Wina yang cemas minta diantar Rudi ke rumah Olga buat mengabarkan berita duka. Olga sendiri yang merasa cuma demam biasa, berkeras menolak untuk pulang. Tapi Wina cemas betul. Takut ajal Olga hampir tiba, Wina memaksa mau mengabarkan maminya Olga. Maka ditemani Boni, Rudi, Henny, dan Gaby, Wina balik ke Jakarta pake mobil Steven.
Di jalan Wina udah nangis melulu.
"Huu... mungkin sudah waktunya, ya" Kok cepat betul. Katanya sebulan. Huuuu..."
Gaby sendiri sedih ngebayangin reaksi maminya Olga yang pasti shock dikabari keadaan Olga. Dan di jalan mereka gak banyak bicara.
Sampai di rumah Olga, ternyata suasananya tenang-tenang aja. Mami masih senam seperti biasa, dan Papi baca koran sambil makan singkong rebus. Kedatangan anak-anak tak disambut dengan wajah cemas.
Wina jadi curiga. Apalagi kabar yang dibawa anak-anak tentang keadaan Olga, ternyata gak bikin Mami panik.
Setelah Wina, Gaby, Boni, Henny, dan Rudi disuruh duduk, Papi ikut menemani.
"Hasil laboratorium itu ternyata keliru kok, Nak," ujar Mami gak enak, ketika anak-anak itu dengan cemas menunggu reaksi Mami yang biasa-biasa aja tentang keadaan Olga di gunung.
""Keliru""
Mami tak enak menjawab. Papi yang ambil suara. "Ya, abis Mami ini suka ada-ada saja. Mengabarkan berita yang belum tentu benar. Pake ditambah-tambahi, bikin panik saja," Papi buka suara.
"Ditambah-tambahi bagaimana"" Wina bertanya.
"Ya, Oom kan juga gak percaya sama dokter yang dikunjungi Mami itu. Akhirnya tanpa setau Mami, Olga Oom bawa ke rumah sakit umum yang lebih bonafid, buat diperiksa. Ternyata Olga hanya kurang darah saja, bukan kena leukemia. Gak berbahaya, cuma butuh banyak vitamin aja. Mami ini salah, bawa-bawa Olga ke dokter sembarangan," jelas Papi.
"Kan biar ngirit, Pi. Ongkosnya murah!" kelit Mami.
"Iya, ngirit, tapi bikin panik."
Wina masih bingung. "Jadi Olga enggak kena leukemia ""
"Enggak," Papi menjawab tegas.
"Olga gak jadi mati sebulan lagi""
"Enggak." "Kok gak jadi""
Papi dan Mami menatap Wina heran.
Gaby menjitak Wina. Wina langsung sadar. "Eh, mak-maksudnya... Olga tetap bisa idup terus, kan""
"Ya, dia gak mengidap penyakit yang gawat, kok!"
"Cihuiiiii!!!" Wina melonjak-lonjak kegirangan.
"Wina memeluk Mami dan Papi. Anak-anak yang lain juga berseri-seri. Kecemasan sirna seketika. Dengan riang, mereka pun kembali ke Puncak. Meneruskan sisa liburannya. Tapi di perjalanan, Wina jadi inget Wonder-nya yang ringsek, inget harus kerja keras sama Gaby ngediriin tenda, sedang Olga enak-enak aja tidur. Padahal tu anak sebetulnya sehat walafiat.
"Padahal asuransi mobil gue udah abis. Gue harus bayar sendiri!" Wina gemas.
"Ya, dan gue kan harusnya gak usah bangun pagi, repot-repot nyediain sarapan buat si Olga itu!" timpal Gaby.
"Gue apalagi, harus repot-repot ngurusin sepatu rodanya si jelek itu!" ujar Henny geram.
Boni dan Rudi tertawa. "Awas kamu, Ol!!!"
"*** "Keesokan paginya, pas Olga udah sehat lagi, ia gak menemukan sarapan seperti biasanya di tenda. Nyari-nyari sabun ama sikat gigi buat mandi juga gak ada. Malah ada pesan gede-gede yang ditulis penuh dendam oleh Wina dan Gaby:
""Eh, lo. Kalo abis bangun tolong bersihin wajan sama panci di sungai. Trus, cuci baju-baju lo sendiri. Trus ada pesen dari Erwin, hari ini lo giliran piket nyiapin buat acara tea-walk!
"Tertanda Wina & Gaby."
Olga bengong. Lho, kok jadi pada berubah, nih" Ia pun melongok ke luar tenda. Memanggil Boni yang lagi lewat bawa panci.
"Eh, Bon, anak-anak mana""
"Tau! Pada main, kali!"
"Bon, tolong cariin anduk, dong. Gue mo mandi, nih!"
"Enak aja. Cari sendiri, dong! Manja amat! Kalo mo manja-manjaan, jangan kemping. Kemping tuh ngelatih lo supaya gak bermanja-manja!" ketus jawaban Boni.
Olga bengong. Dan Wina dan Gaby yang lagi asyik memetik arbei pun tak mau menoleh ketika dipanggil Olga minta dicariin sendal jepitnya.
Busyet, kenapa bisa jadi begini"
5. Surat Merah Muda "WAKTU Wina membuka pekarangan rumah, Olga lagi asyik main telepon-teleponan pake kotak korek dan benang yang direntang di atas genteng. Roni, anak tetangga yang masih es de, duduk di ujung genteng tak jauh dari Olga, sambil memegang kotak korek satunya dan berbisik, "Halo, Mbak Olga, ada seseorang memasuki rumahmu."
Olga buru-buru melongok ke bawah. Ya, ada Wina sedang menutup pintu pagar. Olga pun ngumpet di balik rimbunan pohon rambutan yang daun-daunnya menggapai genteng. Sambil mengumpulkan kulit-kulit rambutan bekas ia makan tadi, Olga mengintip sedikit dari balik daun.
"Bagaimana, Mbak Olga, kita serang saja dia""
"Ya, jangan sampai luput!"
Tuk! Sebuah kulit rambutan mendarat mulus di ubun-ubun Wina. Wina celingukan ke kanan dan ke kiri. Pas mendongak ke atas, Olga dan Roni buru-buru ngumpet sambil cekikikan.
Wina cuek. Ia melanjutkan langkahnya, melintasi halaman depan rumah Olga yang luas.
Tuk! Tuk! Kali ini dua buah kulit rambutan menyerang lagi. Wina menghentikan langkah, sambil mengusap-usap jidatnya, dan mendongak ke langit-langit. Ada hujan tak merata rupanya, batin Wina.
Pas serangan ketiga dimulai, Mami Olga muncul dari pintu depan, menggotong tumpukan kardus bekas. Wajahnya nampak tersembunyi di balik tumpukan kardus yang ia bawa. Wina langsung menegur, "Tante... Olga ada..." Tapi, belum lagi Wina selesai bertanya, tiba-tiba "Tuk!" ada sebuah kulit rambutan lagi mengenai jidat Mami. Mami yang kerepotan sama kardus-kardusnya, memandang Wina kesal.
"Nanya, sih, nanya. Tapi jangan sambil ngejitak, dong!" gerutu Mami.
Wina bengong. "S-saya gak ngejitak, kok, Tante."
"Lalu"" "Itu, ada rambutan. Dari tadi saya juga ketiban rambutan."
Mami langsung meletakkan kardus-kardus itu ke tong sampah yang di depan. Dan memunguti kulit rambutan yang berserakan di sana-sini.
"Siapa yang buang kulit rambutan sembarangan"" gumam Mami.
"Olga-nya gak ada, ya, Tante"" ujar Wina sambil ngebantuin memunguti kulit-kulit itu.
"Justru Tante mau nanya ke kamu. Soalnya tu anak ngilang. Padahal Tante udah nyuruh dia ngebersihin rumah sore ini."
""Wah, ke mana ya"" Wina duduk lemes di teras.
"Tapi pasti gak jauh. Soalnya sepatu rodanya udah Mami umpetin tuh. Tunggu aja."
Wina menunggu di teras depan sambil baca-baca.
Lagi asyik-asyiknya baca, tiba-tiba dari tepi genteng menyembul wajah Olga yang terbalik, hingga dua kuncirnya ngatung ke bawah, "Halo, Win."
Wina terperanjat setengah mati. Dia gak siap banget bakal ngeliat wajah Olga yang tau-tau muncul dari balik eternit.
"Ssst, jangan berisik. Cepet naik ke sini lewat pohon rambutan di samping rumah. Jangan sampe ketauan Mami," bisik Olga.
"Kamu Olga""
"Kamu pikir siapa" Julia Roberts"" ujar Olga kesal.
"Kok..." "Udah, cepetan. Naik!"
Masih dalam keadaan rada shock, Wina menuju pohon rambutan, dan dengan susah payah dia memanjat. Ketika dalam posisi bergelantungan, tiba-tiba Mami muncul lagi sambil membawa kardus berikutnya. "Hei, Wina! Ngapain kamu""
"Waaaa!" Wina terpekik kaget, dan jatuh terjerembap. Bruk! Mami terkejut. Tapi Wina buru-buru menetralisir, "Ee... enggak apa-apa, Tante. Anu, mo ng-ngambil r-rambutan."
Mami menatap Wina heran. ""Boleh, kan, Tante""
"Ati-ati aja, banyak semutnya."
Lalu Mami masuk lagi. Olga dan Roni kecil buru-buru menolong Wina naik ke atas genteng.
"Cepet, Win!" Sesaat kemudian, udah ada tiga anak di atas genteng.
"Kamu ngapain, sih, Ol""
"Lagi main telepon korek sama Roni. Iseng aja. Abis males ngebantuin Mami beres-beres."
"Ooo, jadi yang tadi nyambitin gue elo, ya"" ujar Wina sembari ngejitak Olga. Olga tertawa kecil. Lalu mengajak Wina duduk di balik rimbunan pohon rambutan, sambil memetik buahnya yang manis-manis.
"Gak ad a tempat yang lebih tenteram selain di sini, Win. Apalagi pas musim rambutan begini. Jauh dari omelan Mami, tak terganggu dering telepon, bisa tidur-tiduran. Gue sering berjam-jam nongkrong di sini sama Roni sambil baca-baca komik. Tentraaam, banget," ungkap Olga sembari merapikan tikar yang ia letakkan di genteng yang permukaannya datar, dan rebahan. Tikar itu terlindung di balik rimbunan pohon. Awan-awan tebal menahan sinar mentari yang terik. Sejuk.
"Eng, Ol. Maksud gue ke sini mau ngebilangin...."
"Wuaaah, lo pasti surprais ada tempat senyaman ini di dunia," ujar Olga lagi tanpa menghiraukan omongan Wina. Wina jadi ikut-ikutan merebahkan diri. Roni kecil menyusup di tengah-tengah. Tapi kentara dari ujung telunjuknya kalo Wina tuh lagi bingung berat.
"Liat, Win. Mo rambutan tinggal metik, mo baca-baca tinggal rebahan. Apa lagi tempat yang lebih asyik dari ini""
Gluduuk!!! Sesaat kemudian, tiba-tiba bunyi guruh menggelegar di kejauhan. Olga, Wina, dan Roni saling berpandangan. Titik-titik hujan pun turun.
"Hah" Ujan""
Belum sempat ketiga anak itu berlompatan turun, hujan deras menerpa mereka.
"Waaao, ati-ati, Win. Ntar jatuh!"
Satu per satu anak itu meluncur turun dari batang pohon rambutan. Dan disambut oleh geleng kepala Mami yang berdiri di bawah sambil ngebawa kardus.
"Bagus, bagus! Selamat datang Batman and Robin," ujar Mami keras sambil membanting kardus yang dibawa. "Jadi selama ini kamu ngumpet di genteng, ya""
"Ampuun, Mi," ujar Olga yang kini basah kuyup. Roni kecil langsung ngibrit ke rumahnya di sebelah. Dan Wina ngumpet di balik Olga.
"Bukannya bantuin kerja, malah ngajarin anak kecil main di genteng! Pantas rumah pada bocor kalo pas ujan!" Mami ngomel. "Nanti kalo Roni sakit lagi, dan ngadu ke mamanya bahwa kamu yang ngajakin main ujan-ujanan, tau rasa, deh!"
"Tadi Roni kok yang ngajakin!" bela Olga.
"Kok mau""
"Namanya juga diajak."
""Udah sana ganti baju! Udah gede juga!" teriak Mami sebel.
Olga dan Wina pun buru-buru masuk kamar.
Di kamar, setelah salin, Wina baru inget lagi maksud dan tujuan ia datang ke rumah Olga,
"Ol, gue udah bikin suratnya, Ol."
"Surat apa"" ujar Olga sambil mengeringkan rambut.
"Surat buat Diaz."
"Diaz" Diaz yang mana""
"Masa lupa, sih" Itu, guru Inggris yang baru, yang ngajar di kelas bahasa."
"Oalaah, Pak Diaz, to" Jadi yang dari tadi mau lo omongin soal itu"" Olga menepuk jidatnya.
"Iya, Ol." Olga langsung inget yang dimaksud Wina. Pak Diaz ini emang masih muda. Umurnya baru 27 tahun. Masih singel, masih fresh from the oven. Baru aja lulus dari kuliahnya di Boston. Tampangnya keren. Karena Diaz anak Kepala Sekolah, dia ngisi waktu luangnya dengan ngajar bahasa Inggris di kelas bahasa sekolahnya Olga. Nah, Wina ini lagi naksir berat sama Diaz. Gara-garanya pas ketemu di pesta temennya Wina yang anak bahasa, dan Diaz juga diundang. Wina sempet jojing sama Diaz dua lagu. "Dan sejak itu gue ngebayangin diaaa melulu," ungkap Wina.
Olga tercenung. Dia emang udah ngeliat gejala aneh kalo lagi jalan bareng Wina lewat kelas bahasa. Wina suka celingukan mencari sesuatu. Tapi Olga gak nyangka kalo Wina serius naksir Diaz. Kemaren waktu Wina minta tolong ke Olga untuk ngasih surat ke Diaz, Olga gak menganggap serius. Cuma ngangguk aja. Soalnya dikirain becanda.
Kini Olga memandangi surat bersampul merah muda yang baru dikasih Wina. Surat itu agak basah, kena ujan tadi.
"Lo ternyata serius, Win""
"Iya." Olga terdiam. "Lo mau kan bantuin gue ngasih surat itu""
Olga gak langsung ngejawab. "Kita liat besok aja, ya""
"*** "Olga celingukan di ruang guru. Ia yakin, Pak Diaz tadi udah ke luar kelas. Jadi pasti ada di ruang yang nampak lengang ini. Tapi, kok gak ada" Olga masuk lebih dalam lagi. Ah, ternyata memang nggak ada. Tapi baru saja dia mau membalikkan badan, ada suara berat menegur, "Halo, ada yang bisa saya bantu""
Olga kaget setengah mati. Surat merah muda yang ia genggam, jatuh ke lantai. Pak Diaz kini berdiri tersenyum tepat di depannya. Ia baru keluar dari kamar kecil di sudut ruangan, sambil mengelap tangannya dengan handuk. Sejenak Olga terpana m
elihat senyumnya yang simpatik. Lalu buru-buru memungut surat yang jatuh.
""Surat apa itu""
"Eh, e-enggak, kok..." Olga kikuk menyembunyikan suratnya di balik saku rok. "S-saya mo pinjem t-telepon. Telepon umum di luar lagi r-rusak...," Olga menjawab asal aja.
"Ooo, ayo saya antar. Mau telepon siapa" Pacar"" goda Diaz.
"E-eh, eng, a-nu. Mo telepon rumah...," Olga menjawab gugup. Dan dia lantas bengong ngeliat telepon kantor yang banyak tombolnya.
Wah, gimana nih, cara makenya"
Diaz langsung paham kesulitan Olga, dan mengambil alih telepon itu. "Sini saya bantu. Caranya begini... eh, nomornya berapa""
Olga menyebutkan nomor telepon rumahnya.
Diaz memencet tombol, dan menunggu. "Halo" Sebentar Tante, ada yang mau bicara...."
Gagang telepon itu diserahkan ke Olga. Olga menerima.
"H-halo" M-mami, ya" Ini Olga, Mi... Ah, enggak. Enggak. Enggak ada apa-apa, kok Olga cuma kangen aja sama Mami. Udah, ya, Mi" Sampe ketemu pulang sekolah."
Olga menutup telepon. Diaz menatap heran. Di ujung sana juga Mami masih terbengong-bengong sambil memegang telepon. Dia gak abis pikir. Pan tadi pagi udah ketemu, kok baru jam sembilan pagi udah kangen lagi" Biasanya judes amat tu anak. Ada apa, ya" Lantas ia mengingat-ingat, apa sekarang hari ulang tahunya" Ah, bukan. Ulang tahun Mami baru sebulan yang lalu, pas si Papi ngasih hadiah karaoke.
"Udah"" tanya Diaz di kantor guru.
Olga mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.
Dan guru-guru lain pun mulai berdatangan.
Olga buru-buru pamit, "Makasih ya, Pak."
Olga 04 Leukimia Kemping di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pak Diaz mengangguk heran.
*** "Dan sampai seminggu kemudian, ternyata surat bersampul merah muda itu tak kunjung Olga berikan. Olga bilang, belum nemuin waktu yang pas. Tapi sebetulnya Olga gelisah. Dan Wina gak mau ngerti.
Sampai pada sore itu Wina dateng ke rumah Olga.
"Kenapa sih, Ol, belum dikasihin" Apa sih susahnya ngasih surat aja"" Wina kesel.
Wina memang makin uring-uringan hari-hari terakhir ini. Soalnya sudah seminggu hatinya sering terasa gak keruan saban menatap Pak Diaz. Apalagi sekarang tiap Kamis Pak Diaz bakal ngajar di kelas Wina, ngegantiin guru bahasa Inggris yang cuti lama. Wina makin uring-uringan aja. "Kok lo diem, Ol" Apa susahnya ngasiin surat itu""
"Susahnya...," ujar Olga agak lama, "karena Diaz adalah guru kita."
"Lantas"" "Ya, gak boleh. Kamu gak boleh naksir."
""Kata siapa""
"Kata gue." "Pret!" "Eh, dibilangin..."
"Bilang aja kamu juga naksir. Bilang aja kamu sengaja gak ngasihin surat itu..."
"Win, lo kan temen gue. Masa sih gue tega jahat sama lo""
"Buktinya""
"Buktinya apa""
Wina diem. "Gue semaleman mikirin tingkah laku elo, Win. Bener apa salah yang lo lakukan ini. Ternyata gue pikir lo harus ilangin sikap aneh lo belakangan ini. Emang sih gak salah lo naksir Diaz, sepanjang lo sadar ama situasi dan kondisi lo sendiri. Tapi sekarang lo udah gak bener. Lo gak boleh mencampur aduk angan-angan lo ama kenyataan yang ada. La harus sadar dong, Win, Diaz tu guru kita. Umurnya aja sepuluh tahun di atas kita. Terlalu mateng buat lo."
"Lho, tante gue sama oom gue malah beda dua belas tahun," protes Wina.
"Itu soal lain. Tante lo mungkin emang udah dewasa waktu suka sama oom lo. Tapi masalahnya bukan umur aja, Win. Status Diaz sebagai guru kita. Segila-gilanya gue, gue masih gak bisa nerima kalo lo mau jadiin dia pacar. Kalo lo ampe bisa intim sama Diaz, kesan ama anak-anak lain gak baik. Mereka bakal mikir lo yang enggak-enggak. Belon lagi posisi Diaz di mata guru lain dan di mata murid-muridnya yang juga temen kita-kita itu. Pokoknya gak bisa, Win. Lo harus sadar posisi dia sebagai guru."
Wina menatap Olga aneh. "Lo harus percaya gue, Win."
Wina diam. Trus Wina berujar, "Tapi gue udah telanjur suka..."
"Setiap kali rasa suka lo timbul, anggap aja itu rasa simpati lo ama Diaz yang masih muda tapi udah begitu berhasil. Tapi lo gak bisa ngarepin dia bakal ngebales cinta lo."
Mata Wina mulai berair. Keliatan banget kalo dia serius kali ini.
"Gue bisa paham perasaan lo, Win. Sangat bisa. Tiap lo ngerasa kangen, tulis aja surat ke gue, supaya lo punya penyaluran untuk mengekspr
esikan perasaan lo."
Wina gak langsung menjawab. Dan ketika menjawab, suaranya nampak lemah, "Lo mau baca, emang""
"Mau, Win. Gue mau. Karena itu satu-satunya jalan yang terbaik buat lo, supaya enggak obsesi terus tiap hari."
Air mata Wina bergulir turun.
"Gue gak nyangka lo mau bantu,"
"That's what friends are for."
"Makasih, Ol." Wina memeluk Olga.
"Kita cari cowok yang lain aja, Win. Yang gak ngerasa dosa kalo ngebales cinta kita. Dan percaya deh sama gue, begitu lo dapet cowok lain, lo pasti lupa ama Diaz."
""Kita kayaknya gak pernah sukses kalo naksir orang ya, 'Ol""
"Mungkin. Tapi kita emang gak boleh selalu ngedapetin apa yang kita mau, Win. Itu yang bikin kita jadi berjiwa besar."
Wina mengusap air matanya. "Ya, elo bijaksana sekali, Ol, kali ini. Tumben."
Olga tersenyum. Lalu melirik ke arah jam. Udah terlalu sore.
"Gue pulang dulu ya, Ol""
"Syukur deh, sadar."
Olga mengantarkan Wina sampai ke pagar depan.
Sesaat sebelum naik ke mobil, Wina berbalik, dan memandang ke arah Olga. "Ol, gue masih penasaran. Apa yang bikin lo dewasa ngadepin masalah gue ini""
Olga diam sesaat. Lalu mendekat ke arah Wina. "Mami-Papi, Win. Mami pernah cerita kalo dulunya bekas murid Papi waktu di SMA. Dan Mami terpaksa harus keluar sekolah hanya gara-gara pacaran sama Papi."
"Mami lo naksir Papi""
"Bukan, tepatnya Papi yang tergoda. Dan gue gak pengen lo keluar dari sekolah kita gara-gara naksir guru, Win. Gue takut gak ada yang nganter-jemput lagi setiap pagi...."
"6. Nah, Gitu Dong, Belajar...
"MUSIM ulangan tiba. Saat itu Olga udah siap-siap mo belajar. Semua bahan foto kopian, udah komplet. Segelas air jeruk, dan senampan penganan terhidang di atas meja pendek di kamarnya. Di atas karpet lembut (karpetnya terbuat dari terigu!), buku-buku diktat tersusun rapi, siap untuk dibaca. Olga emang udah mantep banget nyiapin belajarnya kali ini. Dari dua hari yang lalu, sama Wina, uda.h keliling ke rumah temen-temen yang punya catetan komplet buat difoto kopi. Dan dari kemarin dia juga udah sibuk bikin-bikin kue, untuk nemenin belajar.
Ya, biasanya guru-guru emang suka sadis kalo mo ngasih soal, jadi persia pan harus bener-bener matang. Olga pun memandang puas ke kamar yang telah ia tata. Apa lagi, ya, yang belum" Soalnya biar nanti belajarnya gak terpotong-potong, semua yang dibutuhkan harus komplet tersedia.
Aha, kipas angin belum ada. Nanti kalo kepanasan gimana" Kan mengganggu konsentrasi, tuh. Mending pinjem yang di kamar Papi aja. "Olga pun membuka pintu kamar dan melangkah ke luar. Tepat pada saat itu, ia terperanjat ketika melihat sosok yang amat dibenci. Utit!
Ya, Utit, sodara sepupunya yang super bandel is back! Digandeng Mami yang emang baru pulang sambil membawa plastik berisi kaset-kaset video karaoke.
"Halo, Mbak Olga. Utit mo Lebaran. Biar udah telat, Utit mo ngucapin maap lahir-batin!" ujar Utit ceria.
Olga masih terpana. Idih, Lebaran udah kapan tau, baru minta maap sekarang.
Ya, kamu-kamu kan masih inget, betapa bencinya Olga sama sodara sepupunya yang satu ini. Yang jailnya setengah mati, dan selalu mengganggu ketenteraman umat man usia.
"Tadi Mami ke rumah Tante Elli, terus ada Utit lagi nginep di situ. Terus Tante Elli nyuruh Mami ngebawa Utit ke sini. Abis di sana berantem terus sama Bayu," ujar Mami menjelaskan.
Olga masih juga tak berkata apa-apa, ketika Utit berlari memeluk Olga. "Mbak Olgaaa, Utit kangen, deh."
"Ya, ya, kamu Mbak Olga maapin deh, asal..." Tiba-tiba Olga ngerasa punggungnya gatel. Ia pun buru-buru melepas pelukan Utit. "Utit, kamu !!!"
"Hahaha..." Utit tertawa terpingkal-pingkal. Ya, ternyata Utit diam-diam menaburi serbuk gatal ke punggung ,Olga saat memeluk tadi.
Ingin rasanya Olga memburu dan mencekik "anak itu untuk sekadar memberi pelajaran, tapi suara Mami menahannya.
"Udah, Olga, Utit kan baru sampe. Kasihan dong kalo diuber-uber."
"Tapi, Mi," sungut Olga sambil terus kerepotan menggaruk-garuk punggungnya.
"Alaa, ntar juga ilang gatelnya. Tadi aja si Bayu cuma sebentar gatelnya setelah mamanya ngerendem si Bayu ke dalam sumur."
"Tapi Utit harus diberi pelajar
an, Mi. Lama-lama dia bisa ngelunjak!"
Mami kemudian menggandeng Utit untuk diajak masuk kamar. Tinggallah Olga yang guling-guling di sofa mengatasi gatel di punggungnya.
Dan yang bikin empet, belon lagi Olga selesai mengatasi penderitaan lahir-batin itu, tau-tau Utit dengan cueknya nyelonong ke dalam kamar Olga yang udah rapi jali.
"Mbak Olga a, Utit pinjem bukunya buat kipasan bentar, ya...."
"Aduuh, Utit, itu buku buat dibaca bukan buat ngipas. Taro nggak" Kalo Mbak Olga bilang taro, taro! Kamu itu jadi anak kecil badung banget, sih."
"Sori, Mbak Olga, Utit kepanasan, jadinya pengen ngipas-ngipas."
"Kalo pengen ngipas-ngipas pinjem sama tukang sate sana!"
"Anterin, dong."
"Enak aja. Udah deh sana, Mbak Olga mau belajar dulu."
"Utit ngeluyur pergi. Tapi apa iya Utit pergi begitu saja tanpa meninggalkan kesan di kamar Olga" Oho, dugaan kita salah. Karena pas Olga mo baca-baca tu buku, dari tengah halamannya muncul seekor kecoa yang palanya botak! Olga kaget dan melemparkan buku itu ke langit-langit.
"Uttiiit!" Olga langsung melesat ke kamar Mami dan langsung menerjang Utit. Utit yang lagi gelendotan di bahu Mami ditendang pantatnya.
"Olga kamu ini apa-apaan, sih. Masa anak kecil ditendang pantatnya. Nanti kalo geger otak gimana, hayo""
"Biarin. Biar dia tau rasa," teriak Olga ganas.
"Emangnya ada apa, Ol. Kok kamu tega nendang pantat sodara sepupumu sendiri""
"Mami nggak tau, sih. Buku biologi Olga disisipin kecoa. Olga kan kaget, Mi."
"Kamu tau dari mana kalo Utit yang naro kecoa di buku kamu""
"Olga ngeliat sendiri," Olga ngebo'ong.
"Barangkali bukumu yang memang sudah tua, jadinya kecoa demen nongkrong di sana," ujar maminya membela Utit.
Utit yang nangis tersedu-sedu karena ditendang pantatnya itu ngumpet di balik ketiak Mami.
"Sini, Mi, Olga pengen nendang sekali lagi. Biar Utit kapok."
"Jangan, Olga!" bentak Mami keras. "Kamu nggak kasihan ngeliat anak sekecil ini nangis tersedu-sedu."
"Mana" Dia udah nggak nangis, kok."
"Lho, bukannya barusan nangis." Mami memandang ke arah Utit dan bertanya, "Utit kamu udah nggak nangis lagi" Udah nggak sakit pantatnya" Kamu tak usah nangis lagi, ya""
"Sebenarnya Utit masih mau nangis," jelas Utit tersendat-sendat. "Tapi pas Utit ngumpet di balik ketiak, kok nangisnya jadi susah."
"Rasain!" semprot Olga sambil meninggalkan Utit. Sedang Mami merasa tersipu malu karena dari pagi tadi emang belon mandi.
Olga hendak kembali ke kamarnya ketika tau-tau ngerasa di dalam bajunya ada benda kecil yang bergerak-gerak. Olga berhenti sesaat. Lalu membayangkan benda kecil yang bergerak-gerak pelan itu. A-apa, ya"
Belon lagi Olga dapat jawaban tepat akan benda kedl misterius itu, Utit udah ketawa terbahak-bahak.
"Hahaha, nggak taunya masuk juga," tawa Utit membahana.
"U-utit, Mbak Olga pengen tau, makhluk apa yang ada di dalam baju ini"" tanya Olga tanpa berani berbalik badan. Ia tegak berdiri dengan kakunya. Karena kalo banyak bergerak kayaknya tu benda misterius ikut bergerak juga.
"Hahaha, Utit nggak sangka lemparan Utit bisa pas. Padahal Utit ngelemparnya ngadep belakang iho, Mbak," ujar Utit masih geli.
""Utit!!!" bentak Olga dahsyat. "A-apa sih yang kamu lempar itu""
"Mbak Olga inget nggak waktu Mbak Olga nendang pantat Utit. Nah, tangan Utit kan menggenggam sesuatu yang kemudian Utit lemparkan ke belakang. Taunya bisa langsung masuk. Hahaha...."
Olga menarik napas dalam. Benda itu masih bergerak-gerak.
"Ayo dong, apa sih yang kamu lemparkan itu, Tit" Mbak Olga nggak marah, kok," tukas Olga menahan geram.
"Hahaha, cicek, Mbak Olga.... Hahaha...."
"A-apa, c-i-c-e-k"" "Huaaaaa!!!" Olga langsung ngibrit lari tunggang-langgang ke segala ruang. Sambil teriak-teriak minta tolong. Sementara Utit asyik ketawa geli ngeliat Olga blingsatan. Utit ketawanya juga sambil bertepuk-tepuk tangan. Nyebelin banget.
Sambil berlari-lari tangan Olga menggapai ke sono kemari. Apa karena dcek itu sudah merayap ke bagian depan" Ternyata bener. Dan Olga makin histeris. Olga terus loncat-loncatan supaya ciceknya bisa keluar. Tapi sialnya, tu cicek sepertinya betah main-main di
balik baju Olga. Olga yang nggak tahan akhirnya nekat buka baju. Untungnya pas Olga ngelempar bajunya, cicek sial tadi ikutan kelempar.
Legalah Olga. Dan celakalah Utit.
Karena setelah Olga mengambil kaos putih di kamarnya, dia langsung memburu Utit dan menggotongnya ke belakang rumah. Di sana Utit digantung di tiang jemuran. Kedua tangannya dijepit. Sementara itu dari ujung tali jemuran tersebut, Olga menaruh dua ekor semut item yang siap merayap ke arah Utit, dan menggigit tangan Utit. Utit menjerit-jerit histens. Minta pertolongan Mami.
Lho, tapi di mana Mami" Kok gak datang membela" Apa dia nggak akan memberi pertolongan pada Utit"
Bukan. Bukannya Mami nggak akan memberi pertolongan, tapi ternyata Mami kini lagi sibuk di kamarnya baca-baca buku musik. Dari dulu Mami emang ada rencana mo ikutan acara Berpacu Dalam Melodi di tipi. Jadinya kudu rajin baca buku-buku musik. Dan sebetulnya kepergian Mami tadi mau ngeborong kaset video nostalgia, dan mo ngomongin soal acara Berpacu Dalam Melodi sama Tante Elli yang pernah tampil di TV.
Mami emang ngincer hadiah televisi stereo buat ia taruh di kamarnya! Dan artinya lagi, teriakan-teriakan Utit kali ini yang mohon pertolongan ke Mami bisa dianggap mubazir.
Olga sendiri yang asyik ngejailin Utit di belakang rumah agak heran, kenapa Mami nggak buru-buru muncul membela Utit seperti biasanya. Olga yang lagi ngilik-ngilik telapak kaki Utit pake pacul jadi mikir. "Kenapa Mami nggak nolongin Utit, ya"" batin Olga bertanya-tanya.
Olga kemudian iseng ngintip ke kamar Mami. Gak taunya Mami di sana lagi latihan Berpacu Dalam Melodi.
"Bagaimana kalo saya dua not!" tukas Mami berlagak seperti peserta acara Berpacu. "Dan lagu itu judulnya adalah Belalang Kupu-kupu!"
Olga mulai nangkep apa yang tengah diperbuat Mami. Olga sebelumnya emang pernah denger soal Mami yang mo ikutan acara itu. Dan pantesan aja Ma.mi sering banget ngapalin lagu-lagu nostalgia.
Sebetulnya, sih, niatan Mami cukup mulia juga. Kamu kan udah tau, Mami ikutan di acara Berpacu Dalam Melodi biar bisa dapat hadiah tipi. Ntar misalnya ditanya ama Bung Kusan, eh, Bung Koes Hendratmo apakah hadiahnya akan disumbangkan" Mami akan bilang, "Ya, disumbangkan."
Disumbangkan ke mana"
Mami akan menjawab, "Ke suamiku tercinta...."
Tiba-tiba Olga teringat Utit yang masih nyangsang di tiang jemuran. Ia jadi kasihan sama Utit, karena kalo Mami nggak nolongin jadinya pertarungan ini nggak bakal seimbang. Lagian ia kan kudu belajar buat ulangan. Olga berniat akan mengunci diri di kamar.
Olga pun membuka jepitan tangan Utit. Dan sebelum Utit kabur ke dalam, Olga sempat membelai rambut anak badung itu. Ya, meskipun badung Olga tetap sayang sama sodara sepupunya.
Utit ternyata ngadu ke Mami atas perlakuan "Olga yang dianggapnya kurang begitu berperikemanusiaan. Anehnya Mami cuek bebek. Mami malah keliatan sibuk menghapal lagu-Iagu Koes Plus keras-keras. .
"Bis sekolah yang kutunggu, kutunggu... penuh semua. Hatiku kan bernyanyi, bernyanyi... di dalam bis sekolah. Nanti aku dikira tukang ngamen, tukang ngamen, hatiku malu!"
Utit yang menggelendot di lengan Mami cuma dilirik dikit. Olga jadi makin kasihan sama Utit. Tapi bukan berarti Olga bersedia ngajak Utit main-main ke kamarnya.
Olga pun buru-buru mengunci diri di kamar. Mulai belajar.
Tapi jeritan Mami yang kali ini ngapalin lagu Unchained Melody, bikin konsentrasi Olga buyar. Olga geleng-geleng kepala. Meski begitu, ia harus bisa belajar. Olga pun sibuk membolak-balik buku pelajarannya. Ulangan umum emang bikin Olga cemas, karena ia merasa masih ada beberapa pelajaran yang tertinggal. Olga harus menebus mati-matian. Tapi yang berhasil dilakukan Olga memang cuma membolak-balik buku pelajaran, tanpa sedikit pun isinya masuk ke dalam kepala. Olga udah mencoba berbagai cara untuk bisa konsentrasi, termasuk belajar dengan kaki bergantung di langit-langit, sementara posisi kepalanya berada di bawah seperti kelelawar. Tapi hasilnya nihil. Malahan kepala Olga jadi pusing, dan mulutnya kejang-kejang mau muntah. Ada sih beberapa rumus yang berhasil ia hapal. Tapi rasanya gak bi
sa ful konsentrasi. "Rindu bayangan, rindu suratan, rindu kerna asmara...," terdengar suara cempreng dari arah kamar Mami. Pertanda Mami mulai kembali asyik dengan karaokenya mengalunkan tembang nostalgia.
Olga langsung menutup telinganya rapat-rapat. Nah, rupanya inilah penyebab utama yang bikin konsentrasi Olga terganggu. Belum lagi perasaan waswasnya karena Utit tak terdengar suaranya. Ya, siapa tau tu anak lagi merencanakan sesuatu yang dahsyat.
Olga buru-buru membanting jendelanya, hingga mengagetkan burung-burung dara yang asyik bercanda di genteng. Lalu, Olga pun bergegas keluar kamar, menghampiri Mami.
"Aduh, Mi! Apa gak bisa latihannya ditunda dulu"" jerit Olga yang kini sudah berada di samping maminya. Napas Olga ngos-ngosan.
Mami cuma menoleh sebentar, lalu kembali asyik dengan kegiatannya.
"Ooooo, my love, my darling,
I've hungered for your touch..."
"Mi, Olga mo belajar, nih. Kan mo ulangan umum," ucapan Olga terdengar lirih.
Mami sejenak menghentikan kegiatannya. Menoleh ke Olga dengan pandangan penuh arti.
"Iya, Olga. Kamu mesti giat belajar. Dari dulu kan Mami selalu bilang, belajar! Belajarlah kamu, menurut jenis kelaminmu masing-masing ... eh..."
"Tapi masalahnya sekarang, Mi..."
""Ah, gak ada alasan. Kalo kamu emang punya nial belajar, pasti bisa kok."
"Memang bisa, Mi. Asal..."
Belum lagi kalimat Olga abis, Mami udah buru-buru mengalihkan perhatian ke karaoke lagi. Di situ kini ada gambar dua remaja lagi berkejaran, "Senja, di batas kotaaa..."
Olga jelas frustrasi. Ia pun kembali ke kamarnya.
Tapi baru saja ia merebahkan diri di karpet, tiba-tiba, "Brak!" ada sesuatu jatuh berdebam dari eternit yang pecah di sudut kamar Olga. Olga terlonjak kaget. Dan ternyata Utit yang nampak nangis menggerung-gerung.
"Rasain! Pasti kamu mau niat jahat! Ngapain, sih, kamu naik ke loteng"" teriak Olga sambil berkacak pinggang.
"Huuu, Utit kan mo masuk ke kamar Mbak Olga. Tapi pintunya dikunci. Huuu, Utit gak ada temen!"
Sementara Mami terus bernyanyi sampai menjelang magrib. Mami berlatih keras, karena tiga hari lagi ada jadwal tes di televisi.
*** "Malam itu Olga nampak keringetan abis keliling kompleks pake sepatu roda. Papi nampak duduk di beranda sambil baca koran dan mengisap cangklong. Jam tujuh malam, Papi baru pulang dari kantor. Abis lembur.
Olga melintas di dekat Papi.
""Ol, dari mana"" tanya Papi.
"Maen." "Maen" Kamu gak belajar" Senin depan kan ulangan umum""
Olga yang duduk di tangga teras, tak bereaksi. Sibuk melepas sepatu rodanya. Peluh nampak bercucuran.
"Papi liat, kamu belakangan ini males belajar, Ol."
"Iya!" jawaban Olga pendek tapi tegas.
"Lalu kenapa" Apa kamu merasa udah kepinteran, hingga tak perlu belajar""
"Perlu." "Lantas, kok gak belajar" Katanya, Mami sering kok nyuruh kamu belajar.". . .
"Mami sering nyuruh Olga belajar, tapi Mami juga paling sering membunuh semangat Olga belajar."
"Maksud kamu""
"Tanya aja sama Mami."
"Yang jelas, dong, kalo ngomong, Ol. Kok belum-belum kamu udah nyalahin Mami."
"Abis orangtua cuma bisa nyuruh anaknya tekun belajar, tapi mereka sendiri kadang gak menciptakan situasi agar anaknya terangsang untuk belajar..."
Tiba-tiba terdengar suara cempreng Mami dari dalam, "Listen to the rhythm of the falling rain..."
"Tuuuh, udah mulai lagi!" ujar Olga sebel. "Itu salah satu yang bikin Olga gak bisa konsentrasi kalo lagi belajar. Belum lagi ulah Utit, anak tersayangnya Mami yang super jail, yang sengaja Mami bawa kemari. Jadi jangan nyalahin Olga, dong!"
Olga ngeloyor ke dalam. *** "Malam itu terasa sunyi. Sepi. Mami udah menyadari kesalahannya, dan membatalkan niatnya ikut Berpacu Dalam Melodi, demi kepentingan Olga. Utit pun sudah dipulangkan ke rumah Tante Elli. Tentu ini berkat jasa Papi menyadarkan Mami. Mami sadar, sebagai orangtua, ia patut memberi dorongan belajar pada Olga. Ia gak bisa asal nyuruh Olga belajar, tanpa dia sendiri bersikap yang menumbuhkan minat Olga untuk belajar.
Suasana jadi sepi. Olga di kamar jadi tercenung. Bengong. Aneh, kok dalam keadaan yang terlalu sepi begini, ia jadi gak bisa belajar. Kema
ren, barang satu-dua rumus kimia, sempat melekat di otaknya. Tapi kini"
Olga cemas. Jangan-jangan ia sudah terbiasa belajar dalam keadaan hiruk-pikuk, hingga pas sepi begini ia malah gak bisa belajar....
"7. Olga Gak Lucu Lagi!
"SEJAK ngeliat pameran Ristek '91, sejak terkagum-kagum sama peneliti-peneliti muda, sejak ketemu sama Wisnu Nugroho yang masih muda tapi bikin kejutan dengan penemuan Coal Bed Methane-nya, Olga jadi pengen ikutan KIR di sekolah. Apalagi Kepsek waktu itu pernah bilang, kegiatan KIR di sekolah Olga melempem. Kayak kerupuk kerendem. Adem-ayem.
Olga terusik. Dan langsung ngedaftar ikutan KlR Karena Olga merasa lumayan di pelajaran biologi, terutama di bab-bab mengenai reproduksi manusia, hihihi.
Tapi, setelah sebulan ikutan KlR di sekolah, Olga ternyata punya problem yang cukup serius. Yaitu: dia udah gak lucu lagi! Ini bukan kata anak-anak, tapi perasaan Olga sendiri mengatakan begitu.
"Bayangin, Win," ungkap Olga sedih, "ketika kita-kita lagi pada serius meneliti katak, terus gue ngasih tebakan, apa bedanya katak sama ketiak" Ee, gak ada yang ketawa."
"Emang bedanya apa, Ol"" Wina yang tekun mendengar keluhan sohibnya, penasaran sambil menyuap potongan bakwan goreng.
""Bedanya, setiap katak ada ketiak, tapi tak semua ketiak ada kataknya."
"Oo," Wina manggut-manggut. Ya, tentu aja gak ada yang ketawa. Emang gak lucu, sih.
"Trus lagi, Win, waktu kita mau pada menyelam, meneliti tanaman laut, salah satu snorkel peserta ada yang gue sumbat pake rumput laut. Eee, gue malah kena damprat abis-abisan."
Wina manggut-manggut lagi.
Itu juga becanda yang keterlaluan!
"Belum lagi kebiasaan-kebiasaan gue ngumpetin tabung reaksi, ngerjain mikroskop anak-anak dengan diam-diam mengganti bahan yang mereka teliti, mengikat kedua tali sepatu mereka saat mereka lagi serius meneliti, hingga pas hasil penelitiannya menemui hasil, anak itu jatuh berdebam ketika mau melonjak-lonjak kegirangan...."
"Terus, apa masalah lo"" Wina menatap Olga gak ngerti.
"Ya, itu, Win. Gue ngerasa gak cocok ama mereka. Mereka orangnya serius-serius. Gak bisa diajak becanda. Akibatnya, sebulan ngumpul sama mereka, kadar kengocolan gue jadi berkurang. Gue... gue takut, Win...."
"Takut apa""
"Takut gak lucu lagi," Olga berkata lirih.
"Ha" Hahahaha," Wina tertawa terpingkal-pingkal.
Olga jadi sebel, "Kenapa sih, lo""
"Ya abis, hihihi... lo lucu, sih. Masa takut gak lucu lagi, sih" Emangnya lo harus lucu terus, gitu""
"Ya, lo kan tau, gue kepake siaran di Radio Ga Ga itu karena gue katanya suka ngocol. Celetukan konyol gue yang disukai pendengar. Mana belakangan ini gue kan disuruh pegang acara kocak Manyun Sejenak, tiap Selasa sore. Jadi jelas dong gue khawatir."
Wina jadi ikut mikir. Ya, kasian juga kalo Olga emang udah gak bisa ngocol lagi. Berarti dia bakal gak dipake lagi sama radionya. Berarti dia gak bakal jadi temen yang mengasyikkan lagi.
Wina meneguk es jeruknya. "Ya, udah, lo keluar aja dari KIR."
Olga menggeleng. "Gak enak, Win. Gak enak sama guru pembimbing yang udah baek sama gue. Lagian gue gak mau dikira remaja yang suka ikut-ikutan aja."
"Jadi gimana, dong""
"Gak tau deh, gue juga bingung."
Pas pulang sekolah, Olga pun langsung nongkrong di studio. Ketemu sama anak-anak.
"Halo, Ol. Kok muram aja, nih""
"Iya, biasanya ngocol. Mana si Wina""
"Wina"" Olga menjawab linglung, sambil meriksa tas sekolahnya. "Wina di mana, ya" Tadi gue kantongin, kok gak ada""
Anak-anak saling berpandangan, sama sekali gak ada yang ketawa melihat tingkah laku Olga yang berusaha untuk ngelucu.
""Eh, San, kelikitikin pinggang gue, dong, biar gue bisa ketawa. Hahaha," ujar Bowo sadis.
Anak-anak tergelak. Dan Olga makin tertunduk sedih.
Dan ketika mau melangkah ke ruang siar, Bas memesan, katanya Olga disuruh menghadap Mbak Vera. "Katanya ada perlu penting, Ol."
Olga cuma mengangguk, lalu berjalan menunduk sambil memasuki ruang Mbak Vera. Rasanya ia sudah tau, apa yang bakal Mbak Vera omongkan.
"Mbak Ver memanggil saya"" Kepala Olga nongol, ketika Mbak Vera lagi memasukkan surat ke filing cabinet.
"Eh, Olga. Masuk, Ol."
Olga duduk. "Eng... gini, Ol. Mbak Vera mulai besok mungkin akan ambil cuti dulu. Jadi hari ini Mbak Ver harus menyelesaikan banyak urusan dulu. Salah satunya..."
"Menyangkut saya, Mbak""
Mbak Vera menatap Olga. "Ya. Kamu lagi banyak masalah 1"
Olga tak langsung menjawab.
"Saya juga gak ngerti, Mbak. Kenapa bisa jadi begini. Sejak saya ikut KIR di sekolah, kadar kengocolan saya jadi berkurang. Mungkin Mbak Vera mo bilang kalo banyak surat pendengar yang protes ama saya yang udah gak ngocol lagi. Mungkin, mungkin saya udah uzur, Mbak, udah gak bisa ngocol lagi...." .
Mbak Vera menggeleng. "Ah, rasanya gak separah itu, Ol. Ya, memang Mbak Ver gak bisa ngarepin kamu agar bisa ngocol terus. Tapi, ketidakngocolan kamu itu mungkin karena kamu ngejadiin itu sebagai beban. Kamu takut gak lucu, akhirnya ya jadi gak lucu. Harusnya santai aja kayak dulu. Jangan dijadikan beban."
Hening sejenak. "Terus, gimana, Mbak. Apa saya udah gak bisa dipake lagi di sini""
Mbak Vera tertawa. "Ah, masa kita sejahat itu, Ol" Enggak, kok. Mbak Vera manggil kamu ke sini cuma pengen tau, kamu ada masalah apa. Siapa tau bisa kita pecahkan bersama. Tapi Mbak Vera rasa, kamu oke-oke aja, kok. Rileks aja, Ol. Masa hanya gara-gara kamu bergaul sama anak-anak KlR yang serius itu, lantas kamu gak bisa ngocol lagi""
Olga tersenyum getir. Dan di rumah, seharian ia mengurung diri di kamar. Ia berusaha mikir supaya bisa lucu lagi. Dulu, apa ya yang bikin ia bisa ngocol"
Olga pun menghabiskan waktu sepanjang siang dan sore itu dengan membaca komik dan cerita yang lucu-lucu. Berusaha menyetel ulang video rekaman acara film tipi yang konyol-konyol. Seperti Jefferson, Balki, Doogie, sampe ke Lenong Rumpi.
Sampe membuat heran Mami yang lagi asyik mondar-mandir bikin adonan kue tards dengan krim.
"Udah lebih enam belas tahun Mami hidup sama kamu, Ol, tapi Mami selalu gak pernah bisa ngerti apa yang ada di otakmu. Ngapain sih kamu dari tadi nonton begituan" Belum lagi buku-bukumu yang bertebaran di kamar!" ujar maminya sambil geleng kepala. "Kamu mau ikut lomba lawak""
Olga bersungut, lalu berkata keras, "Maminya sendiri yang emang gak pernah mau berusaha ngerti Olga. Olga lagi ada problem gawat, nih!"
"Problem gawat apa" Kamu ceritakan dong ke Mami. Masa ada problem gawat, kamu malah nonton film-film dan baca buku gendeng macam gitu" Contoh tuh papimu. Kalo dapet problem, langsung cerita ke Mami. Kan lumayan buat ide Mami untuk nulis '0 Mama, 0 Papa. '"
"Problemnya: Olga udah gak lucu lagi!" jawab Olga ketus.
Maminya bengong. Lalu tertawa terpingkal-pingkal, sampe tepung-tepung yang dipegang bertaburan.
"Kenapa ketawa, Mi" Seneng ya kalo anaknya udah gak lucu lagi""
"Hahaha, menurut Mami, alangkah lucunya jika ada orang menganggap dirinya sudah gak lucu lagi. Hahaha..."
Olga membuang muka dengan ketus. Sampe tu muka berantakan di lantai.
"Dan kamu tau, Ol," suara Mami tiba-tiba berubah serius, "dari dulu juga Mami gak pernah menganggap kamu lucu!"
"Mami kok jahat, siiih!" jerit Olga keras.
""Jahat apanya!" Mami mengelak sambil menggeolkan pinggul.
"Mami seneng ya anaknya udah gak bisa ngocol lagi" Mami seneng ya anaknya gak bisa dipake lagi di radio" Mami seneng ya popularitas anaknya amblas""
"Ya, Mami seneng!" ujar maminya mantap. "Karena mereka enak-enak aja menikmati kekonyolan kamu, sedang Mami yang selalu kena getahnya, tau! Mami yang selalu jadi objek penderita. Mami lebih senang kamu jadi anak manis seperti Gaby, misalnya. Sopan, tau aturan, ngomongnya kalem, gak kayak kamu. Ngomong sama maminya seenaknya aja, kayak ngomong ke papinya sendiri!"
Olga menutup kuping. Lalu berlari ke kamar. "Bodooooo!" jerit Olga keras.
"Biar tau rasa! Mami berdoa supaya kamu gak bakal bisa ngocollagi!"
"Mami jahaaat!"
Brak! Pintu dibanting. Dan Olga pun menangis tersedak-sedak di kamar.
Besok sorenya, dari uang tabungannya, ia pergi ke dokter untuk memeriksakan diri, apa ada yang kurang baik.
Di ruang tunggu, Olga menunggu dengan gelisah, sampai namanya dipanggil, disuruh menghadap dokter.
"Keluhannya apa, Nak"" kata dokter dengan tampang seriu
s. "Saya udah gak bisa melucu lagi, Dok," ujar Olga sedih.
""I beg your pardon"" dokter itu seolah gak yakin sama apa yang ia dengar.
"Saya udah gak lucu lagi," ulang Olga makin sedih.
Dokter itu bengong sambil berpandangan dengan suster di sebrang meja. "Sejak kapan itu kamu rasakan""
"Sejak sebulan yang lalu, Dok. Sejak ikut KlR."
"Ow. Coba saya periksa dulu, mungkin kamu mengidap penyakit kencing manis, atau usus buntu."
Olga disuruh berbaring di ranjang putih.
"Memangnya penyakit itu ada kaitannya dengan tidak bisa melucu lagi, Dok"" tanya Olga, ketika dokter kelimis itu memeriksa dengan stetoskop.
"Ya, tidak, sih. Cuma daripada saya tak melakukan apa-apa sama sekali""
Olga menemui jalan buntu.
Tapi seminggu kemudian, pikiran Olga mulai agak tenang. Buku-buku lucu, sudah banyak yang ia baca. Dan di otaknya kini sudah mulai dijejali hal-hal yang lucu lagi. Olga merasa harus memulai segalanya dari bawah lagi. Dari saat pertama dulu ia mulai melucu.
Olga 04 Leukimia Kemping di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan pertama kali dulu, ia sering bercerita di depan anak-anak kecil. Kini pun ia berniat untuk mengumpulkan anak-anak tetangga untuk uji-coba.
"Datang, ya, ke rumah Mbak Olga jam lima sore nanti!" ujar Olga sambil menyebarkan undangannya pada setiap anak mungil yang ia jumpai di jalanan.
"Ah, gak mau. Abits maminya Mbak Olga galak, cih!" jawab anak-anak itu.
Ya, Mami Olga kalo sama anak kecil tetangga emang suka galak. Suka judes. Abis anak-anak itu suka seenaknya memetik bunga-bungaan yang dipelihara Mami di halaman depan. Dan kalo anak-anak itu lewat, Mami segera menjulurkan kepalanya lewat jendela, dan langsung marah-marah. Padahal bunganya dipetik juga belum.
"Enggak kok, maminya Mbak Olga sore nanti lagi pergi. Datang, ya" Mbak Olga nanti mau cerita kisah yang lucu-lucu. Dan Mbak Olga juga udah bikin kue tarcis pakai krim, yang Mbak colong dari lemari penganan Mami. Datang, ya""
Anak-anak mungil itu berpikir sejenak. Lalu berbisik-bisik.
"Iya, deh, Mbak. Kita-kita mau dateng. Tapi kuenya yang banyak, ya""
"Ya!" Olga bersorak girang, lalu meluncur pulang pake sepatu rodanya. Sore nanti Mami emang mau arisan di rumah Tante Koni. Dan
kalo udah arisan, Mami suka lupa pulang, ngegosip terus sambil ngemil. Menurut Olga, itu makanya kenapa biar rajin senam, tapi Mami tetap bulet kayak bola bekel.
Pas sore hari, delapan anak kecil emang udah kumpul di beranda. Mereka duduk dengan manisnya mengelilingi Olga. Kue tarcis dengan "krim, dan coklat susu sudah ada di depan anak-anak itu. Dan kayaknya Olga cukup sukses membuat anak-anak itu tertawa dengan cerita-ceritanya yang lucu.
"Hahaha, hihihi...," Boni, si bandel yang giginya ompong, sampe ketawa terpingkal-pingkal, ketika Olga cerita tentang Lomba Kentut Internasional.
"Iya, Adik-adik. Juri lomba itu pada pake masker semua, biar gak kebauan. Pesertanya ada 4 orang. Dari Amerika, dari Belanda, dari Cina, dan dari Indonesia. Masing-masing harus ngentutin 10 batang lilin yang dinyalain berjejer. Pertama peserta dari Amerika. Ditanya: makanannya apa. Jawabannya, makan hamburger, hotdog. Terus disuruh kentut. Tut! Cuma dua lilin yang mati. Kedua, dari Belanda. Ditanya makan apa" Jawabnya: makan roti. Trus disuruh kentut. Tuut! Tiga lilin langsung mati. Ketiga, peserta dari Cina. Ditanya: makan apa" Jawabnya: makan capcay, puyunghay, dan kodok goreng. Disuruh kentut. Tuuut! Lima lilin mati. Terakhir, peserta dari Indonesia, ditanya: makan apa" Dijawab, semur jengkol dan pete. Disuruh kentut, tuuuuut! Sepuluh batang lilin beserta juri-jurinya mati semua!"
"Hahahahaaaaa!" anak-anak terpingkal-pingkal.
Pun ketika Olga cerita masa muda papinya yang sering naik bis waktu kuliah. Saat itu kebetulan di sebelahnya duduk seorang nenek-"nenek yang tampangnya pucat sekali. Papi bertanya, "Kenapa, Nek" Mual""
Nenek itu mengangguk. Beberapa saat kemudian, nenek itu tiba-tiba berkata ke Papi, "Dik, boleh kan saya melihat wajah Adik sebentar""
Papi tentu heran. "Tentu saja. Tapi, kenapa""
"Biar muntahnya gampang!"
Hahahahaaa... Dan acara penuh tawa itu berakhir pas magrib, ketika Olga membacakan puisi penutup yang kony
ol. Tentang anjing hitam, berbulu putih. Yang bersuara pelan, tapi melengking.
"Bila ada sumur di ladang
Sumur siapakah itu""
Hahahaha... "*** "Pagi itu hari Minggu. Olga bangun dengan wajah riang. Ya, dia mau ke Radio Ga Ga lagi. Mau siaran acara Manyun Sejenak. Dan Olga melangkah penuh percaya diri ke halaman studio, karena ia ngerasa udah bisa ngocol lagi. Udah lucu lagi. Tadi aja para tukang ojek dibuat terpingkal-pingkal dengan lelucon Olga tentang maminya.
Rahasia 180 Patung Mas 11 Satria Lonceng Dewa 3 Pangeran Bunga Bangkai Candi Murca 1