Sepasang Ular Naga 17
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 17
tetapi juga Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
"Bukan main. Suatu cita-cita yang melambung seperti
gelembung-gelembung getah jarak. Kau pernah melihat anak-anak
bermain getah jarak. Jika getah itu dihembus, maka akan timbullah
gelembung-gelembung yang akan segera hanyut dibawa angin.
Melambung tinggi, seolah-olah akan terbang ke Matahari. Tetapi
gelembung-gelembung itu akan segera pecah dan hilanglah
bekasnya. Hilang sama sekali."
"Gila. Jangan mencoba menghalangi. He, apakah kau seorang
prajurit sandi dari Singasari" Jika demikian, maka kau harus mati."
Suara, tertawa orang itu meninggi. Tetapi perlahan-perlahan
saja. Katanya, "Kau mulai ketakutan. Karena itu, Jangan marah
kepadaa kawanmu, pengecut itu. Kau sendiri agaknya seorang
pengecut." "Tutup mulutmu."
"Kau tidak akan berani berbuat apa-apa atasku di hadapan
prajurit-prajurit yang bertugas itu."
Orang bertubuh kurus itu termangu-mangu sejenak. Dengan
tegang ia berpaling, memandang prajurit yang ada dipintu gerbang.
Namun ia sudah tidak melihat lagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"He, kemana anak-anak itu?" ia menggeram.
Kawannya pun kemudian memandang pintu gerbang itu, dengan
dada yang berdebar-debar. Ternyata kedua anak-anak muda itu
memang sudah tidak nampak lagi.
"Gila. Aku telah kehilangan korbanku." lalu dipandangi orang
yang duduk dengan acuh tidak acuh saja itu. "Kaulah yang
menyebabkan aku gagal kali ini. Karena itu, maka kau akan menjadi
penggantinya." 993 "Sudah aku katakan. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa di
sini. Di pintu gerbang itu ada prajurit yang dapat menangkapmu
beramai-ramai dan mencincangmu di alun-alun ini. Bahkan mungkin
kau akan dihukum picis, hukuman yang paling terkutuk itu."
Orang bertubuh kurus itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia
berkata, "Aku dapat membunuhmu dengan racun. Sementara kau
sekarat, aku sudah jauh dari tempat ini."
Tetapi orang itu justru tertawa. Katanya, "Sebelum sekarat aku
sempat berteriak. He, bukankah aku tahu, bahwa sumpitmu itu
beracun. Selagi kau mengacungkan tongkat pun aku sudah berteriak
keras-keras. Nah, kau mau apa."
"Pengecut. Licik. Gila."
"Masih ada lagi."
Orang bertubuh kurus itu menghentakkan kakinya.
Kemarahannya telah memuncak. Tetapi seperti yang dikatakan oleh
orang yang tidak dikenalnya itu, ia memang tidak dapat berbuat
apa-apa. Beberapa saat lamanya ia berpikir, Apakah yang sebaiknya
dilakukan. Tiba-tiba saja ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau
benar. Aku memang tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi siapakah
sebenarnya kau" Prajurit sandi atau keluarga anak-anak muda yang
dengan sengaja melindunginya."
Orang itu menggeleng. "Bukan kedua-duanya."
"Kenapa kau menghalangi aku?"
"Aku sama sekali tidak sedang menyelamatkan kedua anak itu.
Tetapi aku mencegah kau berbuat bodoh dengan membunuhnya."
"Kenapa?" "Sudah aku katakan. Aku tidak ingin ada kesiagaan di Singasari.
Dengan demikian, maka mata pencaharianku akan berganggu."
994 "Kau seorang pencuri, perampok, atau penyamun."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia tertawa pendek.
"Siapa?" "Kau tidak perlu mengetahui, siapakah aku sebenarnya. Mungkin
kau benar, bahwa aku salah satu di antara tebakanmu itu."
"Persetan. Siapa namamu?"
"Panggil saja aku Awan Hitam."
"He." orang bertubuh kurus itu mengerutkan keningnya, "Kau
gila. Apakah benar namamu segila itu?"
"Bukan. Namaku tentu bukan Awan Hitam. Tetapi aku senang
dipanggil seperti itu. Kawan-kawanku membuat nama-namanya
aneh. Ada yang ingin disebut Sepasang Mata Api. O, ada yang lebih
gila lagi, kawanku yang kurus kering, bermata suram ingin disebut
Bulan Purnama." "Gila. Cukup dengan igauanmu yang paling gila itu."
"Nah, siapa namamu?" tiba-tiba orang itu bertanya. Orang
bertubuh kurus itu berpikir sejenak. Tiba-tiba saja ia menjawab,
"Tongkat Beracun. Namaku Tongkat Beracun."
Orang yang duduk dengan seenaknya itu tertawa terkekehkekeh,
sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Kedua tangannya
menutup mulutnya, agar suara tertawanya tidak berpencaran
sampai ketelinga para prajurit.
"Kau sudah kejangkitan penyakit gila itu. Kau mempunyai tongkat
yang dapat kau pergunakan sebagai sumpit dengan duri-duri
beracun. Tiba-tiba saja kau menyebut namamu Sumpit, eh, Tongkat
beracun. Lucu sekali. Bukankah dengan demikian kau pun sudah
menjadi gila?" "Gila. Memang gila. Namaku Tapak Lamba. Itu namaku yang
sebenarnya." 995 "Nah, begitulah. Jangan terkena penyakit gila seperti kawanku
yang membuat nama menurut selera sendiri."
"Aku tidak peduli. Nah, sekarang apa maumu. Kau sudah
mengagalkan rencanaku sekarang ini. Kau membuat aku marah
sekali. Tetapi aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa."
Orang itu masih tertawa. Katanya, "Aku tidak akan berbuat apaapa.
Aku hanya ingin menggagalkan kesalahan yang akan kau
lakukan. Sekarang kau menyesal, tetapi nanti, jika kau sempat
merenungkannya, maka kau akan berterima kasih kepadaku."
"Lalu sekarang, kau mau apa?"
"Aku akan pergi."
Orang bertubuh kurus itu memandanginya dengan tajamnya.
Namun kemudian ia berkata, "Itu lebih baik bagimu."
"Terima kasih. Aku sudah berhasil, sementara kau melasa gagal.
Tetapi besok kau akan tertawa karenanya."
Orang yang menyebut darinya Awan Hitam itu tidak menunggu
lagi. Ia pun kemudian bangkit dan melangkah meninggalkan kedua
orang yang memandanginya dengan penuh kebencian.
Namun Awan Hitam itu tidak mendengar ketika orang bertubuh
kurus itu berbisik, "Kita ikuti. Kita bunuh dia."
Kawannya mengerutkan keningnya. Ia agaknya ragu-ragu akan
bisikan orang bertubuh kurus itu. Karena itu, ia tidak segera
menjawab. Tapak Lamba agaknya mengetahui bahwa kawannya itu raguragu.
Maka katanya mengulang, "Kita ikuti, dan kita bunuh orang
yang menyebut dirinya dengan nama yang paling gila itu."
"Kenapa orang itu harus dibunuh?" bertanya kawannya.
"Aku tidak yakin bahwa pada suatu saat ia tidak membuat
kesulitan bagi kita. Tentu ia tidak hanya sekedar menggagalkan niat
kita kali ini dengan alasan yang dikatakannya, agar prajurit Singasari
996 tidak tergugah karenanya dan mengadakan kesiagaan di manamana."
"Memang meragukan."
"Mungkin orang itu mempunyai maksud yang lebih jauh daripada
itu. Karena itu, daripada kita selalu berteka-teki, kita bunuh saja.
Kita akan dapat tidur nyenyak nanti malam, sementara besok kita
mulai lagi dengan usaha yang gagal pada hari ini."
"Jadi kita mengurungkan usaha kita memasuki halaman istana."
"Untuk malam ini kita urungkan saja. Mungkin besok jika kita
gagal lagi." Kawannya tidak menyahut, sementara orang yang menyebut
dirinya Awan Hitam itu berjalan semakin jauh.
"Aku tidak mau kehilangan orang gila itu." berkata Tapak Lamba.
Ia pun dengan segera melangkahkan kakinya mengikuti orang
yang menyebut dirinya bernama Awan Hitam itu dari kejauhan,
sementara kawannya pun berjalan disisinya.
"Pada suatu saat, ia akan sampai ke daerah yang sepi." berkata
Tapak Lamba. "Tetapi apakah kau yakin bahwa ia seorang diri?"
"Kita akan dapat melihat, apakah ia seorang diri atau tidak."
"Sulit untuk mengetahui. Kita tidak tahu pada saat ia datang dan
duduk di belakang kita."
"Uh, kau memang pengecut. Kau berani menengadahkan dada
sambil berkata, "Aku bunuh prajurit-prajurit Singasari." Tetapi
ternyata kau sudah ketakutan sekarang melihat seseorang
menyebut dirinya dengan nama yang aneh."
"Tetapi kenapa kita tidak mendengar langkahnya jika ia bukan
orang yang memiliki kelebihan."
997 "Sebut namaku. Kau tahu, siapa aku. Dan aku pun tahu bahwa
kau bukan anak ingusan. Kau memiliki kemampuan bertempur yang
cukup meskipun kau gagal membunuh anak Mahendra. Sekarang
kau gemetar karena kau tidak mendengar langkah orang itu saat ia
mendekati kita." Tapak Lamba berhenti sejenak, lalu, "Dengar, saat
itu kita terlampau terikat kepada kedua anak-anak muda di pintu
gerbang itu, sehingga kita sama sekali tidak sempat membagi
perhatian kita." Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin memang
begitu. T etapi kita wajib berhati-hati."
"Sudah tentu kita harus berhati-hati. Tetapi kita, pengikut setia
Tuanku Tohjaya, tidak akan membiarkan Singasari berdiri tegak
dengan tenang. Apapun yang dapat kita lakukan, akan kita lakukan.
Sekarang kita membunuh orang gila itu. Besok kedua anak-anak
Mahendra. Kemudian kita akan membunuh Mahendra itu sendiri,
Witantra dan Mahisa Agni. Selebihnya maka Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka, bukan orang yang harus diperhitungkan."
Kawannya mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak menjawab.
Ketika keduanya memandang ke depan, maka dilihatnya orang
yang msnyebut dirinya Awan Hitam masih berjalan terus tanpa
berpaling. Agaknya ia sama sekali tidak mengetahui bahwa dua
orang sedang mengikutinya.
"Lihat." berkata Tapak Lamba, "Ia berjalan ke pategalan yang
kosong itu. Pategalan yang sepi, yang baru disiapkan untuk menjadi
sebuah padesan." "Ya." "Kesempatan bagi membunuhnya. Tentu tidak ada seorang pun
yang mengetahui. Kemudian mayatnya kita lempar ke jalan, agar
dapat diketemukan oleh seseorang. Itu adalah pertanda, kita mulai
dengan gerakan kita. Kita harus membuat hati orang-orang
Singasari ketakutan." ia berhenti sejenak, lalu, "Kita tidak dapat
mundur, karena kau sudah memulainya dengan sebuah kegagalan."
998 Kawannya tidak menyahut. Mereka berjalan semakin cepat
sehingga jarak mereka dengan orang yang menyebut dirinya
bernama Awan Hitam itu menjadi semakin dekat.
"Jangan lepaskan orang itu." geram Tapak Lamba.
Namun ternyata bahwa Awan Hitam itu tanpa disadarinya telah
berpaling. Nampak wajahnya menjadi tegang, justru karena kedua
orang yang mengikutinya sudah semakin dekat.
Tiba-tiba saja orang yang menyebut dirinya bernama Awam
Hitam itu mempercepat langkahnya, seolah-olah ia ingin
menyelamatkan diri dari kedua orang yang mengikutinya.
"Ia akan lari." berkata Tapak Lamba, "Nah kau tahu bahwa ia
menjadi ketakutan. Ia bukan apa-apa sebenarnya, hanya
memanfaatkan hadirnya para prajurit di gerbang itu."
Kawannya mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab, karena ia
harus berkata lantang, "Lihat, ia benar-benar lari."
"Kita harus menangkap dan membunuhnya." sahut Tapak Lamba
sambil berlari pula mengejarnya.
Ternyata Awan Hitam benar-benar telah berlari secepat dapat
dilakukannya, sedang Tapak Lamba mengejarnya bersama
kawannya. Untuk beberapa saat lamanya mereka berkejaran. Sekali-sekali
orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu berpaling. Dan setiap
kali ia melihat Tapak Lamba semakin dekat, maka ia pun berusaha
untuk berlari lebih cepat.
Tetapi ternyata bahwa Tapak Lamba dapat berlari lebih cepat.
Jarak mereka semakin lama menjadi semakin dekat.
Karena ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya Awan
Hitam itu tidak dapat mempercepat larinya, dan merasa bahwa ia
tidak akan dapat lolos lagi jika ia tetap berlari di sepanjang jalan,
maka tiba-tiba ia pun segera meloncat masuk ke dalam pategalan
yang sepi dan luas. 999 "Awas." teriak Tapak Lamba, "Jangan sampai lolos."
Ia pun kemudian meloncat masuk ke dalam pategalan pula
disusul oleh kawannya. Keduanya benar-benar tidak mau
melepaskan buruannya. Untuk beberapa saat Awan Hitam masih dapat berlari berputaran
di antara pepohonan. Tetapi tiba- tiba Tapak Lamba berkata kepada
temannya di belakangnya, "Kita berpencar."
Dengan demikian, maka orang yang menamakan dirinya Awan
Hitam itu pun segera kehilangan kesempatan. Kawan Tapak Lamba
berhasil mencegatnya, sehingga Awan Hitam karus berhenti dengan
nafas terengah-engah. Ketika ia akan berlari membalik, Tapak
Lamba suda ada di belakangnya.
"Nah." berkata Tapak Lamba. Ternyata nafasnya pun mulai
berkejaran lewat rongga hidungnya, "Kau tidak akan dapat lepas
lagi dari tangan kami."
"Kenapa kalian mengejar aku." suara Awan Hitam menjadi
gemetar. "Kau tidak usah bertanya lagi." jawab Tapak Lamba, "Kau
memang pantas untuk dibunuh."
"Tetapi aku tidak bersalah."
"Aku tidak mengerti, kenapa kau masih dapat menyebut dirimu
tidak bersalah. Kau telah menggagalkan usahaku untuk membunuh
kedua anak-anak muda, itu."
"Maksudku baik bagimu dan bagiku."
"Gila. Sudah aku katakan, kau telah membuat kami marah sekali.
Saat itu, aku membenarkan katamu, bahwa kami tidak akan dapat
berkuat apa-apa dihadapan para prajurit Singasari. Tetapi sekarang,
kita tidak berada di dekat para prajurit itu lagi."
"Tetapi aku tidak berbuat apa-apa atasmu berdua."
1000 Tiba-tiba saja kawan Tapak Lamba berkata, "Kita tidak perlu
banyak berbincang lagi. Apakah yang sebaiknya kita lakukan,
marilah kita lakukan."
Tapak Lamba mengangguk-angguk sambil memandang orang
yang menyebut dirinya Awan Hitam itu dengan tajamnya. Kemudian
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia pun menggeram, "Awan Hitam yang malang. Kami akan segera
membunuhmu dan melemparkan mayatmu ke jalan raya agar pada
suatu saat mayat itu dapat diketemukan seseorang. Dengan
demikian kita sudah membuat kesan yang pertama akan ketidak
tenangan Singasari. Kemudian akan disusul dengan mayat-mayat
berikutnya yang berserakan di dalam dan di luar kota raja ini."
"Jangan. Jangan." Awan Hitam mundur selangkah, "Sudah aku
katakan. Kesan yang demikian tidak menguntungkan sama sekali.
Prajurit-prajurit Singasari akan segera bersiaga dan menempatkan
diri disemua sudut negeri ini. Itu sangat merugikan pekerjaan kami
dan semua kawan-kawan kami."
"Persetan dengan pekerjaanmu. Kau agaknya pencuri ayam atau
jemuran di siang hari. Aku tidak peduli. Kau harus mati. Cepat,
tundukkan kepalamu, agar aku dapat memancung lehermu dengan
mudah." Awan Hitam mundur lagi selangkah, "Itu, itu tidak mungkin. Aku
hanya berbuat sesuatu yang menurut pendapatku baik. Tetapi
kenapa sekarang aku harus menghadapi maut."
"Jangan menyesal. Cepat. Bungkukkan badanmu. Akulah yang
akan memenggal lehermu." berkata kawan Tapak lamba sambil
melangkah maju. Tapak Lamba pun menyambung, "Barangkali kau akan
menempuh cara lain yang lebih baik bagimu" Kau akan membunuh
diri dengan keris atau dengan membenturkan kepalamu pada
sebatang pohon?" Awan Hitam memandang kedua orang itu berganti-ganti. Tetapi
agaknya mulutnya sudah tidak dapat mengucapkan kata-kata
apapun lagi. 1001 "Cepat, pilihlah jalan kematianmu yang paling baik menurut
seleramu." Orang itu tidak menjawab.
"Ia tidak mempunyai pilihan."
"Ya. Kitalah yang harus menentukan." berkata Tapak Lamba
sambil mengacung-acungkan tongkatnya. Lalu katanya, "Aku akan
membunuhnya dengan racun. Jika ia terkena duri beracunku yang
terlontar dari tongkatku, ia masih sempat berjalan sendiri sampai ke
jalan raya." "Bagus sekali." desis kawannya.
Namun tiba-tiba Awan Hitam menyahut, "Bagaimana jika, aku
memilih dipancung saja" Tetapi agaknya kalian tidak membawa
pedang. Apakah kalian dapat memancung kepalaku dengan keris
yang terlalu kecil itu?"
Pertanyaan itu ternyata membuat kedua orang yang akan
membunuh Awan Hitam itu terkejut. Sejenak mereka termangumangu
memandanginya dengan penuh keheranan.
Selagi kedua orang itu termangu-mangu, maka terdengarlah
Awan Hitam itu tertawa. Semakin lama semakin keras sehingga
tubuhnya terguncang-guncang.
Tapak Lamba dan kawannya itu menjadi semakin heran. Orang
yang bernama Awan Hitam itu semakin lama rasa-rasanya menjadi
semakin asing bagi mereka karena suara tertawanya dan sikapnya.
Ketika Tapak Lamba menyadari keadaan itu, maka tiba-tiba saja
ia membentak sekeras-kerasnya, "Diam. Diam."
Awan Hitam terdiam sejenak. Dipandanginya Tapak Lamba
dengan tatapan mata yang aneh. Kemudian katanya, "Kau tidak
berhak menghentikan suara tertawaku. Aku ingin tertawa lepas
sepuas-puasnya. Aku melihat lelucon yang sangar menarik di sini."
"Apa yang kau maksud?"
1002 "Kalian berdua."
"Gila." Tapak Lamba menggeram. Rasa-rasanya telinganya
bagaikan disentuh dengan api.
Dan Awan Hitam pun mulai tertawa lagi sambil berkata, "Itulah
agaknya maka kalian tidak akan pernah dapat menyelesaikan
pekerjaan kalian dengan baik, karena kalian terlalu banyak
berbicara, tanpa ujung dan pangkal."
"Persetan. Sekarang aku akan membunuhmu."
Tapak Lamba yang merasa terhina, tidak dapat menahan hatinya
lagi. Ia pun kemudian mengacukan tongkatnya dan melekatkan
ujung tongkatnya pada mulutnya.
Degan sekuat tenaganya ia meniup sumpitnya dan melontarkan
sepucuk duri yang tajam beracun pada jarak yang tidak terlalu jauh
dari sasarannya. Tetapi pada saat yang bersamaan, Awan Hitam berputar
setengah lingkaran sambil memiringkan tubuhnya. Namun ternyata
gerak yang sederhana itu telah membebaskannya dari ujung duri
sumpit Tapak Lamba. "Gila." geram Tapak Lamba, "Kau dapat mengelakkan senjataku."
Awan Hitam tertawa. Katanya, "Senjatamu sudah jauh
ketinggalan jaman. Sampai habis nafasmu, kau tidak akan dapat
mengenai sasaran. Karena itu, buang sajalah senjata itu."
Awan Hitam masih akan berbicara Lagi. Tetapi suaranya
terputus. Tiba-tiba saja kawan Tapak Lamba telah meloncat
menyerang dengan ujung kerisnya.
Dengan mudah pula Awan Hitam meloncat menghindari sambil
berdesis, "Agaknya kau mampu berkelahi pula. Sayang bahwa kau
masih terlampau lamban untuk dapat mengalahkan kedua anakanak
Mahendra itu. Kau bertiga memang bukan lawan kedua anakanak
Mahendra. Baru kau bertiga melawan seorang saja dari
1003 mereka, agaknya perkelahian akan seimbang. Namun belum
menjamin bahwa kalian akan memenangakan perkelahian itu."
Tapak Lamba dan kawannya seolah-olah telah terbangun dari
mimpinya. Mereka mulai menyadari, bahwa sebenarnya mereka
sedang berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Karena itu, maka Tapak Lamba pun kemudian tidak lagi berbuat
dengan tergesa-gesa. Ia sendiri adalah orang yang cukup berilmu.
Kelengahanyalah yang membuatnya seolah-olah sedang
menunjukkan kebodohan yang tidak ada taranya dihadapan orang
yang menyebut dirinya Awan Hitam itu.
Sambil menarik nafas Tapak Lamba pun kemudian justru
meletakkan tongkat. Kemudian katanya dengan sareh, "Kau benar
Awan Hitam. Kau memang sedang melihat satu lelucon yang sangat
menarik. Aku adalah orang yang sangat bodoh pada hari ini. Dan
kau memang berhak menertawakannya sepuasmu. Tetapi, jika kau
sudah puas, maka kita akan berhadapan dengan cara yang lain."
Awan Hitam mengerutkan keningnya. Justru ia tidak tertawa lagi.
Dipandanginya wajah Tapak Lamba dengan tatapan mata yang
tajam. "Aku mengerti. Dan kau mulai bersungguh-sungguh sekarang."
"Ya. Sekarang aku tidak dapat berkata, bahwa aku akan
membunuhmu. Tetapi marilah kita berkelahi. Siapakah di antara kita
yang akan terbunuh mati hari ini."
Awan Hitam menarik nafas pula. Katanya, "Apakah itu perlu?"
"Kita sudah terlanjur saling membenci. Dan karena sikapmu,
maka aku menjadi tidak percaya lagi kepadamu apapun yang akan
kau katakan. Agaknya kau memang seorang petugas yang sedang
berusaha melindungi kedua anak-anak muda itu. Karena itulah,
maka kita akan berkelahi sampai mati. Kau atau aku."
"Kau boleh tidak percaya kepadaku. Tetapi sebenarnyalah bahwa
maksudku hanya sekedar menggagalkan usahamu membunuh
kedua anak Mahendra dengan alasan seperti yang sudah aku
1004 katakan. Aku mempunyai rencana yang jauh lebih besar dari
sekedar membuat Singasari menjadi kacau."
"Aku tidak perduli rencanamu. Aku berhak menantang kau
berperang tanding sekarang. Harga diriku benar-benar telah
tersinggung karena sikapmu."
"Apakah aku dapat minta maaf?"
"Tidak. Bersiaplah. Barangkali kita memerlukan waktu yang agak
panjang." Awan Hitam menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak
bermaksud menyinggung perasaanmu. Aku memang suka bermainmain
dengan cara itu." "Tetapi tidak dengan aku."
Orang yang menamakan dirinya Awan Hitam itu termangumangu
sejenak. Dengan sorot mata yang sukar diduga maknanya ia
berkata, "Aku menyesal bahwa aku telah mempergunakan cara yang
tidak kau sukai. Tetapi sayang, itu adalah kebiasaanku."
"Persetan." sahut Tapak Lamba, "Jika demikian, maka kita akan
mempergunakan cara kita masing-masing. Cara yang paling kita
sukai menurut selera kita sendiri-sendiri."
"Seharusnya kau tidak bersikap demikian."
"Apa boleh buat."
Orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu pun menarik nafas
sambil berkata, "Jika itu pilihanmu, terserahlah."
Tapak Lamba pun bergeser setapak maju. Kemarahannya sudah
tidak dapat disabarkannya lagi. Dengan wajah yang tegang itu pun
segera mempersiapkan dirinya.
Kawannya, berdiri termangu-mangu beberapa langkah
daripadanya. Namun agaknya Tapak Lamba ingin menyelesikan
persoalan itu seorang diri, sehingga ia pun masih tetap berdiri saja
ditempatnya. 1005 Awan Hitam pun segera bersiap pula. Beberapa langkah ia
bergeser kesamping. Nampak wajahnya menegang, dan keningnya
berkerut merut. Ternyata sikap Tapak Lamba yang meyakinkan, membuatnya
harus berhati-hati. "Masih ada kesempatan untuk bersikap lebih baik." berkata Awan
Hitam. Tapak Lamba tidak menyahut. Ia pun melangkah maju, dengan
sebelah tangan terjulur lurus ke depan, sedang tangannya yang lain
diangkatnya tinggi-tinggi.
"Kau sudah tidak mau mempertimbangkan kata-kataku lagi?"
Awan Hitam masih akan bertanya lebih banyak, tetapi Tapak Lamba
pun telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Ternyata bahwa Tapak Lamba memiliki kemampuan yang
mengagumkan. Serangannya jauh lebih cepat dari serangan
kawannya. Dalam keadaan yang demikian, ia justru tidak
mempergunakan sumpitnya lagi.
Awan Hitam tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun harus melayani
Tapak Lamba yang sudah mulai menyerangnya.
Dengan cepat, Awan Hitam pun mengelakkan serangan itu. Ia
meloncat ke samping sambil memiringkan tubuhnya, sehingga
serangan lawannya lewat beberapa jari saja dari dadanya.
Tetapi Tapak Lamba belum melakukan serangan yang
sebenarnya. Seolah-olah ia sedang menjajagi kemampuan lawannya
yang baru dikenalnya itu. Namun, ketika serangannya yang pertama
tidak menyentuh sasaran, maka ia pun segera meloncat seolah-olah
melenting dengan serangan barunya. Kakinya berputar mendatar
menyambar lambung lawannya yang sedang bergeser ke samping.
Tetapi Awan Hitam pun mampu bergerak secepat lawannya
Demikian kaki itu menyambar lambunganya, ia pun telah meloncat
surut pula. 1006 Tapak Lamba tidak mau melepaskan lawannya. Dengan serta
merta ia pun memburunya. Serangan berikutnya datang bagaikan
angin prahara. Ia melangkah maju dengan pukulan tangan lurus
kedepan, disusul dengan tangan yang lain.
Namun, sekali lagi serangannya tidak mengenai sasaran. Awan
Hitam masih sempat menghindari pukulan tangannya yang dapat
merontokkan tulang iga itu.
Tapak Lamba menjadi semakin marah karenanya. Serangannya
yang beruntun itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Karena
itu, maka ia pun mempercepat tata geraknya dan menyerang lebih
dahsyat lagi. Bertubi-tubi seperti badai yang bertiup dengan
dahsyatnya menghantam tebing pegunungan, tanpa ada hentinya.
Namun Awan Hitam benar-benar seorang yang memiliki
ketangkasan yang tinggi. Ternyata serangan itu sama sekali tidak
mengenai sasarannya. "Gila." Tapak Lamba menggeram, "Apakah kau mempunyai ilmu
iblis atau sebangsanya?"
"Apakah kita akan berbicara?" tiba-tiba saja Awan Hitam
bertanya. "Persetan." Tapak Lamba pun menyerang semakin dahsyat.
Tetapi serangannya sama sekali tidak mampu menyentuh
lawannya, apalagi mengenai dan melukainya.
Kawan Tapak lamba yang menyaksikan perkelahian itu
mengerutkan keningnya. Ia pun menjadi tegang dan kadang-kadang
bingung melihat gerak Awan Hitam itu. Seolah-olah ia dapat
melakukan gerakan yang tidak masuk akal. Sekali-sekali kakinya
bergeser ke kiri, namun tiba-tiba saja tubuhnya telah melenting ke
kanan. Kawan Tapak Lamba itu pun akhirnya tidak dapat berdiam diri. Ia
melihat kesullitan yang dialami oleh Tapak Lamba. Sehingga karena
itu, ia mulai mempertimbangkan untuk turut serta dalam
perkelahian itu. 1007 Namun demikian, ada satu hal yang menarik perhatiannya.
Dalam keadaan yang tegang itu, seakan-akan hanyalah Tapak
Lamba sajalah yang selalu menyerang. Awan Hitam sama sekali
tidak membalas serangan-serangan itu dengan serangan pula.
"Apakah demikian derasnya serangan Tapak Lamba sehingga
Awan Hitam sama sekali tidak berkesempatan untuk membalas
dengan serangan pula?" bertanya kawan Tapak Lamba itu di dalam
hatinya. "Aku tidak peduli." Sambungnya, "Aku harus melibatkan diri agar
pekerjaan ini cepat selesai."
Untuk beberapa saat kawan Tapak Lamba itu masih berdiri
termangu-mangu. Namun kemudian tekatnya pun menjadi bulat.
Meskipun ia tahu, orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu
memiliki kelebihan, bahkan kadang-kadang sempat membuatnya
kebingungan, namun ia pun mempunyai kepercayaan kepada diri
sendiri, bahwa ia mempunyai bekal untuk membantu Tapak Lamba
itu. Karena itu, maka beberapa langkah ia maju mendekati arena.
Kemudian dengan keris di tangan ia meloncat masuk ke dalam
lingkaran pertempuran. "He, kau ikut serta?" bertanya Tapak Lamba. Orang itu sama
sekali tidak menjawab. Tetapi seperti Tapak Lamba ia pun langsung
menyerang dengan sengitnya.
Awan Hitam bergeser surut beberapa langkah. Kedua lawannya
ternyata telah benar-benar sampai kepuncak ilmunya.
"Jadi kalian berdua sudah tidak dapat diajak berbicara iagi?"
Awan Hitam masih bertanya.
Sama sekali tidak ada jawaban. Tapak Lamba dan kawannya
benar-benar sudah menjadi mata gelap. Mereka menyerang
beruntun dengan dahsyatnya.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
1008 Awan Hitam terpaksa bergeser beberapa kali. Ternyata untuk
melawan dua orang yang memiliki ilmu yang cukup itu, ia harus
memusatkan perhatiannya dan bersikap bersungguh-sungguh.
Sejenak kemudian maka perkelahian itu pun nampaknya menjadi
semakin seru. Awan Hitam yang masih saja selalu mengelak,
akhirnya menjadi jemu. "Jika kalian memang tidak dapat diajak berbicara, maka aku pun
akan mempergunakan cara yang telah kalian pilih." berkata Awan
Hitam. Tapak Lamba dan kawannya sama sekali tidak menghiraukannya,
dan bertempur dengan sengitnya.
Sejenak, Awan Hitam masih dalam sikapnya. Setiap kali ia harus
menghindarkan diri dari serangan Tapak Lamba dan ujung keris
lawannya. Tetapi, disaat berikutnya. Awan Hitam mulai mempersiapkan
serangan-serangannya sambil berkata, "Menjemukan sekali. Kalian
harus sedikir belajar melihat kenyataan ini."
Dengan demikian, maka Awan Hitam mulai melawan kedua orang
itu, bukan saja sekedar mengelak dan melangkah surut tetapi ia pun
mulai menyerang dengan gerak yang sangat cepat.
Hampir diluar akal, bahwa Awan Hitam masih selalu dapat
mengelakkan kedua serangan yang kadang-kadang datang
bersamaan dengan dahsyatnya, dan bahkan kemudian dengan
tangkasnya ia masih berhasil menyentuh lawannya dengan
serangan yang mulai dilontarkannya.
"Benar-benar gila." desis Tapak Lamba, "Apakah aku berhadapan
dengan Mahendra itu sendiri yang menyamar" Atau Witantra atau
Mahisa Agni?" Namun pertanyaan itu dijawabnya sendiri, "Tidak. Aku sudah
pernah melihat mereka, dan bagaimana pun juga ia mengenakan
samaran, aku akan tetap mengenalnya."
1009 Namun lawannya itu pun benar-benar orang yang pilih tanding,
yang tidak dapat disentuh oleh serangan-serangannya bersama
kawannya. Bahkan kadang-kadang serangan Awan Hitam itulah
yang dapat mengenainya. Meskipun demikian Tapak Lamba masih bertempur terus. Ia
masih belum berputus asa, karena ia pun merasa dirinya memiliki
ilmu yang cukup tinggi. Tetapi ia tidak dapat ingkar, ketika terasa nafasnya mulai
mergganggu. Ia menjadi semakin heran terhadap dirinya sendiri. Ia
pernah bertempur sehari penuh tanpa berhenti sebelum lawannya
tergolek di tanah dengan darah yang memancar dari lukanya.
Namun kini, tiba-tiba saja tenaganya seperti terhisap habis oleh tata
gerak dalam puncak ilmunya yang diperas dalam perlawanannya
atas orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu.
"Apalagi ketika sentuhan." serangan lawannya semakin sering
mengenai tubuhnya. Lengannya bagaikan dicengkam oleh perasaan
nyeri karena pukulan Awan Hitam, dan tulang pahanya serasa
menjadi retak ketika tumit lawannya itu mengenainya.
"Uh, gila. Tenagaku bagaikan terhisap habis."
Tetapi perkelahian itu masih berlangsung terus.
Awan Hitam memperhatikan keadaan lawannya dengan saksama.
Dengan jari-jarinya ia berhasil menyakiti hampir seluruh tubuh
kawan Tapak Lamba, sehingga diluar sadarnya, ia selalu meloncat
menjauhi orang yang menyebut dirinya Awan Hitam. Dengan
demikian, perlawanannya hampir tidak berarti sama sekali. Sedang
Tapak Lamba pun menjadi semakin lama semakin lemah pula.
Perasaan sakit dan nyeri telah menyentuh seluruh tubuhnya.
Meskipun Awan Hitam tidak bersenjata, tetapi jari-jari tangannya,
tumit dan sikunya, serta ujung jari kakinya, seolah-olah merupakan
senjata yang tidak kalah dahsyatnya dengan tajamnya ujung keris.
Ada semacam penyesalan yang merambat di hati Tapak Lamba.
Jika ia tidak terburu nafsu, dan membiarkan orang yang menyebut
1010 dirinya Awan Hitam itu pergi, maka ia tidak akan terlibat dalam
perkelahian yang sangat menyakitkan itu. Menyakitkan hati, dan
menyakitkan tubuh. Tiba-tiba saja, dalam keadaan itu, Awan Hitam menggeram,
"Bukankah kita sudah berjanji untuk menyelesaikan perkelahian ini
dengan kematian" Nah, aku akan melaksanakan perjanjian itu
sebaik-baiknya." Ancaman itu benar-benar telah menggetarkan hati Tapak Lamba
dan kawannya Tetapi ternyata mereka pun bukan seorang yang
lekas berputus asa dan kehilangan harga diri. Apalagi Tapak Lamba,
yang sama sekali tidak berhasrat untuk melarikan diri dari arena.
Apalagi ia menyadari, bahwa lari pun tidak akan ada artinya. Jika
lawannya akan membunuhnya, maka ia pun tentu akan mati. Dan
dalam saat-saat terakhir itu, ia masih akan tetap menengadahkan
dadanya, bahwa ia mati sebagai seorang laki-laki.
Demikianlah perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin
tidak seimbang. Tapak Lamba yang dengan heran merasa seolaholah
tenaganya terhisap habis beserta kawannya yang juga tidak
berdaya itu, dengan tabah menunggu kematian yang sudah mulai
membayang. Namun pada saat keduanya tidak dapat mengelak lagi, terasa
tubuh mereka terdorong dengan kerasnya, sehingga mereka berdua
terbanting beberapa langkah surut. Tetapi mereka masih tetap
merasa, bahwa mereka masih belum mati terbunuh.
Dengan susah payah kedua berusaha bangkit. Tetapi rasarasanya
tulang-tulang mereka telah terlepas dari tubuh, sehingga
yang dapat mereka lakukan hanyalah duduk bertelekan tangan.
"Nah, alangkah mudahnya membunuh kalian berdua sekarang."
berkata Awan Hitam. Wajahnya yang tiba-tiba telah berubah
nampak tegang dan garang. Ia bukan lagi seorang laki-laki yang
berwajah pucat dan berlari-lari menghindari Tapak Lamba dan
kawannya yang terpancing sampai ke pategalan itu. Tetapi ia adalah
1011 seorang laki-laki yang memancarkan pengaruh yang tidak dapat
disebutnya dengan kata-kata.
Tetapi Tapak Lamba tidak mau mengorbankan harga dirinya
pada saat terakhir. Apapun yang dilakukannya, ia merasa bahwa
kematian sudah akan menjemputnya. Karena itu, ia memilih saat
kematian yang paling baik bagi seseorang yang pernah menjadi
seorang Senopati perang di masa pemerintahan Tohjaya yang
hanya sesaat itu. "Kalau kau akan membunuh kami, bunuhlah. Tetapi sebelum
kami mati, kami ingin mengetahui, siapakah kau yang sebenarnya.
Apakah kau Mahendra itu sendiri yang menyamar, atau orang lain
yang dengan sengaja melindungi kedua anak-anak Mahendra itu?"
"Kalian memang dungu. Sudah tentu aku bukan Mahendra atau
orang yang melindungi anaknya. Aku adalah orang lain. Sudah aku
katakan, namaku Awan Hitam. Aku memang mempunyai
kepentingan dengan menggagalkan usahamu membunuh siapa pun
juga sekarang ini. Aku tidak mau Singasari terbangun dari mimpinya
dan bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Aku ingin Singasari
tetap tidur nyenyak. Bahkan semakin nyenyak."
"Siapa kau sebenarnya" Apakah kau tidak berani
mengatakannya?" Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu, "Baiklah. Aku tidak
mau membuat kalian kecewa disaat menjelang kematian. Aku
adalah Linggadadi, adik Linggapati dari Mahibit."
"He." Tapak Lamba terkejut. Namun kemudian ia menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, "Aku pernah mendengar nama Linggapati.
Aku pernah membicarakan dengan beberapa orang kawan untuk
membuat hubungan dengan Linggapati di Mahibit. Tetapi kini kita
bertemu sebagai lawan, dan kita sudah berjanji untuk saling
membunuh. Nah, sekarang bunuhlah. Aku mengerti kenapa kau
berusaha untuk membuat Singasari tetap tertidur."
"Kenapa kau berusaha membuat hubungan dengan Mahibit yang
dipimpin oleh kakang Linggapati?"
1012 "Terasa ada kekuatan yang asing bagi Singasari di Mahibit.
Adalah karena firasat kami, orang-orang yang merasa terancam
karena terbunuhnya Tohjaya, bahwa pada suatu saat kekuatan di
Mahibit akan bertambah besar."
Linggadadi tiba-tiba saja tertawa. Katanya, "Apakah kau sekedar
ingin menyambung umurmu?"
"Tidak. Aku sudah mengatakannya. Bunuhlah jika kau mau
membunuh kami." Linggadadi justru menjadi ragu-ragu. Lalu ia pun bertanya,
"Apakah kau berkata dengan jujur, bahwa kau memang akan
membuat hubungan dengan kakang Linggapati?"
"Pikiran itu ada pada kami. Tetapi kami belum membuat langkahlangkah
yang nyata dan pasti untuk itu." ia berhenti sejenak, "Tidak
ada gunanya kau bertanya lagi. Sekarang, bunuhlah jika kau ingin
membunuh. Salamku buat Linggapati."
"Kau memang gila. Linggapati bukan sederajadmu. Ia adalah
kakakku, dan memiliki banyak kelebihan dari aku. Nah, kau dapat
membayangkan. Kau berdua tidak dapat melawan aku seorang diri,
apalagi kakang Linggapati."
"Aku tidak perlu menghormati orang yang akan membunuhku."
Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sikapmu
sangat menarik. Kau tidak begitu banyak menyimpan ilmu. Terapi
hatimu keras seperti batu." ia berhenti sejenak, lalu, "Sudah barang
tentu bahwa Mahibit masih memerlukan banyak sekali kekuatan
untuk dapat membayangi Singasari. Karena itu agaknya kami masih
memerlukan waktu. Dan selama ini Singasari harus aman tenteram,
dan dengan demikian maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka akan
tertidur nyenyak." "Demikian juga orang yang kau sebut bernama Mahendra,
kemudian Mahisa Agni, Witantra, Lembu Ampal, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat." ia berhenti sejenak, lalu, "He, apakah kau
1013 mengetahui bahwa masih ada anak Mahendra yang lain, yang
bernama Mahisa Bungalan?"
"He?" sahut Tapak Lamba, "Aku tidak mengetahui. Kedua anak
yang ada di istana itu pun aku tidak mengetahui sebelumnya."
Orang yang menyebut dirinya bernama Linggadadi itu
mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Ternyata kau tidak
banyak mengetahui tentang Singasari meskipun aku tahu pasti,
bahwa kau adalah bekas prajurit Singasari pada masa pemerintahan
Tohjaya yang hanya sekejap. Memang Tohjaya tidak akan dapat
memerintah Singasari dengan baik, karena ia tidak berbekal apapun.
Pengetahuan kajiwan apalagi. Sedangkan kanuragan pun ia tidak
cukup mumpuni untuk seorang raja."
"Jangan menghina. Jika kau mau membunuh kami, lakukanlah."
geram Tapak Lamba. Linggadadi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata, "He,
apakah kau masih tetap pada rencanamu untuk berhubungan
dengan Kakang Linggapati" Tentu saja dalam hubungan yang sesuai
dengan tingkat dan derajadmu?"
"Apa maksudmu?"
"Apakah kau benar-benar ingin menghambakan diri kepada
Kakang Linggapati?" "Persetan. Bunuh kami. Kami bukan budak-budak yang hanya
sekedar mencari hidup dengan menghambakan diri."
Linggadadi tertawa. Katanya, "Itu memang sangat menarik.
Tetapi tidak ada jalur hubungan yang pantas bagimu di hadapan
Kakang Linggadadi daripada menghambakan diri."
"Tidak. Bunuh kami jika kau ingin membunuh."
"Baiklah. Jika kau tidak mau mendengarkan tawaranku, kau
memang sebaiknya dibunuh. Aku dan sudah barang tentu kakang
Linggapati tidak akan membutuhkan orang seperti kau berdua.
1014 Orang yang tidak tahu diri dan dengan demikian tidak dapat
menempatkan dirinya sendiri."
"Cukup, cukup." teriak Tapak Lumba.
Linggadadi tertawa. Katanya, "Baik, baik. Memang sudah cukup.
Kini bersiaplah untuk mati. Jika kau ingin mati dengan cepat,
sayang, aku tidak dapat menolongmu. Aku akan mempergunakan
sumpitmu saja. Aku akan menyumpit kau dengan duri-duri yang kau
sediakan." "Gila." "Aku juga mengerti serba sedikit tentang racun semacam itu."
"Gila ,gila." Linggadadi tertawa berkepanjangan. Sifat-sifatnya menjadi
berubah sama sekali. Ia benar-benar iblis yang sangat mengerikan.
Tetapi suara tertawanya pun terputus ketika ia mendengar
seseorang mendehem dibalik gerumbul perdu yang rimbun. Tidak
terlalu jauh dari tempatnya berdiri.
Linggadadi pun segera bersiaga menghadapi setiap kemungkinan
yang dapat terjadi. Tetapi ketika seseorang muncul dari balik gerumbul itu,
Linggadadi justru tertawa. Katanya, "Kakang, kau membuat aku
terkejut. Apakah urusanmu sudah selesai di istana?"
Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Aku belum
dapat berbuat apa-apa. Orang-orang itu kini sedang berkumpulan,
sehingga sangat berbahaya untuk berbuat sesuatu meskipun hanya
sekedar melihat-lihat."
"Nah, aku telah menangkap dua ekor kelinci. Aku sedang bersiap
untuk membunuhnya." Tetapi Linggapati menggelengkan kealanya. Katanya, "Jangan.
Aku mengikuti apa yang sudah kau kerjakan selama ini. Kau
1015 memang adikku yang garang. Tetapi kau kadang-kadang berbuat
seperti kanak-anak."
"Maksud kakang?"
"Tapak Lamba adalah sahabat yang baik bagi kita. Kau tidak
dapat bersikap demikian kasar dan merendahkan martabatnya."
"He, jadi kakang menganggap orang ini penting?"
"Semua orang yang mengerti akan perjuangan kita adalah orang
penting bagi kita. Bukankah Tapak Lamba sudah mengatakan
bahwa sebenarnya ia sudah bersiap-siap untuk membuat hubungan
dengan kita." "Tentu bukan sebuah hubungan. Ia akan menghambakan diri
kepada kita." "Itulah sifat kekanak-kanakanmu. Dalam keadaan seperti
sekarang, kau yang sudah mulai ubanan itu, tidak boleh lagi
bersikap seperti kanak-anak. He, bukankah umurmu sudah
mendekati pertengahan abad" Kau harus menjadi dewasa dan
matang menghadapi seseorang."
"Kakang akan memberi mereka ampun?"
"Tidak Bukan pengampunan. Tetapi sebenarnyalah bahwa kita
memerlukan mereka." "Oh, omong kosong. Kakang terlalu merendahkan diri. Itu tidak
perlu sama sekali terhadap orang-orang seperti ini. Kakanglah yang
bersikap terlalu kekanak-kanakan."
Linggapati tersenyum. Katanya, "Jangan bodoh. Menepilah. Aku
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan berbicara dengan mereka."
Linggadadi pun kemudian melangkah menepi. Dipandanginya
saja kakaknya yang mendekati Tapak Lamba dan kawannya yang
masih duduk dengan lemahnya bersandar kedua tangan masingmasing.
1016 "Marilah, bangkitlah." berkata Linggapati sambil menekan bahu
Tapak Lamba. "Kami sangat memerlukan kalian." Tangan Linggapati
masih tetap menekan bahu Tapak Lamba. Namun kemudian tangan
itu bergeser kepunggung. Sesuatu rasa-rasanya telah menjalari
seluruh tubuh Tapak Lamba. Dan sejenak kemudian maka rasarasanya
tubuhnya telah menjadi segar kembali.
"Berdirilah." berkata Linggapati sambil mendekati kawan Tapak
Lamba dan berbuat serupa pula.
"Tidak ada gunanya kalian bersikap demikian baik terhadap kami.
Aku tahu, kami akan kalian peralat untuk tujuan tertentu."
Linggapati tersenyum. Ia sama sekali tidak menghiraukan sikap
Tapak Lamba yang masih dicengkam oleh kecurigaan dan
kebencian. "Kalian memang pandai berpura-pura." berkata Tapak Lamba
kemudian. Linggapati bahkan tertawa karenanya.
"Adikmu juga pandai berpura-pura. Ia menyebut dirinya bernama
Awan Hitam, memancing kami ke tempat ini dan akan membunuh
kami dengan caranya. Tentu kau juga sedang berpura-pura. Tentu
kau juga sedang merencanakan cara yang paling baik menurut
seleramu, untuk membunuh kami."
"Ki Sanak." berkata Linggapati, "Aku berkata sebenarnya. Jika
kau menuduh aku mempunyai tujuan tertentu itu adalah benar. Aku
memang mempunyai tujuan tertentu. Tujuan yang besar, sebesar
kerajaan Singasari." ia berhenti sejenak, lalu, "Aku selalu
membayangkan, bagaimana mungkin Sri Rajasa pada waktu itu
berhasil menguasai seluruh kerajaan Kediri yang dimulainya dari
daerah yang kecil, Tumapel."
"Sri Rajasa mendapat haknya dari isterinya."
"Atas Tumapel memang benar. Tuan Puteri Ken Dedes yang baru
saja wafat itulah yang mewarisi kekuasaan dari suaminya, tuanku
Tunggul Ametung. Tetapi sebelumnya Tunggul Ametung tidak
1017 pernah berbuat apa-apa bagi Tumapel. Baru setelah Ken Arok
memegang kekuasaan, maka Tumapel akhirnya menjadi besar di
bawah pemerintahannya yang kemudian bergelar Sri Rajasa. Nah,
apakah ada orang yang dapat ingkar bahwa kebesaran Singasari
sekarang adalah hasil perjuangan Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa
itu" Bukan tuanku Anusapati. Bukan tuanku Tohjaya. Apalagi
Tohjaya yang sudah didorong-dorong oleh ayahandanya Sri Rajasa,
namun ia sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Ia membunuh
Anusapati dengan cara yang paling bodoh. Nah, akhirnya kau tahu
sendiri, apakah yang terjadi dengan tuanku Tohjaya. Bahkan
Ranggawuni, bukan Mahisa Cempaka, bukan Mahisa Agni atau
Witantra, bukan pula Mahendra atau Lembu Ampal yang
membunuhnya. Tetapi pengawalnya sendiri." Linggapati berhenti
sejenak, lalu, "Nah, apakah kau masih juga berkeras hati untuk
melepaskan dendammu atas kematian Tohjaya" Kau menjadi sangat
setia kepadanya karena kau pernah menerima banyak
pemberiannya dan mungkin janji-janji yang tinggi. Tetapi kini
tinggallah mimpi buruk saja bagimu."
Tapak Lamba tdak menjawab. Tetapi agaknya ia mendengarkan
keterangan yang diucapkan oleh Linggapati itu.
"Nah, sekarang terserah kepadamu. Apakah kau akan letap setia
kepada seseorang yang memang tidak mempunyai kelebihan dan
apalagi hasil yang gemilang semasa pemerintahannya itu atau kau
akan berpikir menurut nalar."
Tapak Lamba tidak menyahut.
"Nah. Sebaiknya kau memang mempertimbangkannya dengan
saksama. Jika kau masih saja ingin berbuat sesuatu untuk
kepentingan Tohjaya, maka kau tentu tidak akan mendapatkan
apapun, karena Tohjaya memang sudah mati. Mati dalam keadaan
yang tidak menguntungkan sama sekali." Linggapati berhenti
sejenak, lalu, "Tetapi jika kau berbuat. Sesuatu dengan
pertimbangan nalar, tentu kau akan berbuat lain. Berbuat sesuatu
yang berguna bagimu sekarang."
"Dan aku harus menjadi hambamu?"
1018 Linggapati tertawa. Katanya, "Istilah Linggadadi memang
menggelikan. Karena itu aku menyebutnya seperti kanak-kanak
meskipun ia sudah mulai ubanan." ia berhenti sejenak. Lalu, "Sudah
barang tentu aku tidak dapat mengatakan demikian. Yang terjadi
adalah kerja sama. Kau tentu mempunyai kekuatan. Kawankawanmu
yang sakit hati masih banyak. Mungkin ada diantara
mereka yang kini lebih baik bersembunyi sambil menekan gejolak
perasaan itu di dalam dadanya, karena ia sadar bahwa ia tidak akan
dapat berbuat apa-apa. Tetapi jika terbuka saluran untuk
mengalirkan perasaan itu, maka ada kemungkinan ia akan bangun
dan bergabung dengan kita. Melepaskan sakit hati, tetapi
berlandaskan pada perjuangan yang nyata dan dapat diharapkan
bagi masa datang. Bukan sekedar membela orang yang sudah mati
dan tidak mempunyai hari depan sama sekali."
"Apa rencanamu?" bertanya Tapak Lamba.
"Sudah aku katakan. Aku mengagumi Ken Arok yang bergelar Sri
Rajasa. Aku pun mempunyai landasan daerah yang cukup kuat.
Mahibit." "Tetapi aku akan kau singkirkan setelah kau berhasil."
"Memang sesuatu yang mungkin aku lakukan. Tetapi itu akan
berarti melemahkan perjuangan untuk seterusnya dan apakah
keuntunganku berbuat demikian" Jika aku berhasil, maka sudah
tentu aku memerlukan banyak sekali tenaga yang cakap dan
tangguh untuk menguasai daerah yang sangat luas ini. Aku tentu
akan mempertimbangkan, apakah aku akan mempergunakan orangorang
yang sudah berjuang bersama-sama sebelumnya atau akan
mengambil orang-orang baru yang belum pasti kesetiaan dan
lelabuhannya. Apakah kau dapat mengerti?"
"Janji-janji yang serupa yang pernah diucapkan oleh tuanku
Tohjaya." "Apakah jika Tohjaya berhasil dan tidak terbunuh, kau juga
merasa dirimu akan disingkirkan" Jika demikian kau tentu tidak akan
dengan membabi buta setia kepadanya meskipun ia sudah mati."
1019 Tapak Lamba termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Aku akan memikirkannya."
"Baiklah. Jika kau sependapat, datanglah ke Mahibit. Aku akan
menerima kau dengan senang hati."
Tapak Lamba tidak segera menjawab. Dipandanginya Linggapati
dan Linggadadi berganti-ganti. Namun pada sorot matanya masih
memancar keragu-raguan hatinya.
"Tentu kau masih ragu-ragu." berkata Linggapati, "Tetapi pada
suatu saat kau akan menemukan ketetapan hati. Tidak ada yang
dapat kau harapkan dengan menyimpan dendam karena kematian
Tohjaya. Apalagi Tohjaya sekarang sudah mati. Sedangkan dalam
masa hidupnyapun, Tohjaya tidak dapat memberikan apa-apa
kepadamu." Tapak Lamba masih tetap berdiam diri. Sekali-sekali ia
memandang kawannya yang termangu-mangu.
Namun terngiang di telinganya kata-kata Linggadadi saat ia
mencegah usahanya membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
bahwa jika ia mengurungkan usahanya itu, ia kelak akan tertawa.
Tetapi ternyata Linggadadi justru akan membunuhnya. Jika
Linggapati tidak datang pada saatnya, mungkin ia dan kawannya itu
pun sudah mati terbunuh oleh Linggadadi itu.
"Apakah mungkin ini suatu permainan, atau sebenarnya
Linggadadi memang lebih garang dan bodoh dari Liggapati?"
bertanya Tapak Lamba di dalam hatinya.
Tetapi agaknya Tapak Lamba pun mempunyai perhitungan
tersendiri. Ia ternyata memilih hidup dari pada mati.
"Aku dapat memikirkannya dan mempertimbangkannya dengan
beberapa orang kawan." berkata Tapak Lamba di dalam hatinya.
Tetapi ia terkejut bukan kepalang ketika Linggapati seolah-olah
dapat melihat isi hatinya dan berkata, "Nah, bukankah kau
mendapat kesempatan untuk membicarakan persoalanmu dengan
kawan-kawanmu. Yang penting bagimu adalah, bahwa kau masih
1020 tetap hidup. Mungkin kau akan mengkhianati aku dengan
keputusan-keputusan lain. Tetapi itu terserah kepadamu. Aku tahu
bahwa kau cukup licik, seperti aku dan adikku. Kebanyakan orangorang
yang mempunyai gegayuhan yang terlampau tinggi, akan
memperjuangkannya dengan licik atau pada saat maut mulai
mengancam." Ternyata sekali lagi Tapak Lamba tidak mau tersinggung harga
dirinya dengan terang-terangan. Karena itu maka jawabnya,
"Bukankah itu pertimbangan yang wajar" Aku belum memutuskan
sesuatu saat ini. Jika kau tidak membunuhku, adalah salahmu
sendiri jika pada suatu saat aku justru yang membunuhmu."
Linggapati tertawa. Tetapi Linggadadi menggeram, "Ini
berbahaya bagi kita kakang."
"Apakah yang dapat dilakukan oleh tikus-tikus semacam ini"
Bukankah dengan sangat mudah kau hampir saja membunuhnya?"
"Tetapi kalian akan menyesal." geram Tapak Lamba yang hatinya
menjadi sangat panas. "Tidak. Kau bukan orang yang bodoh. Menilik sikap dan katakatamu,
kau cukup cerdas menanggapi setiap keadaan. Karena itu,
kau akan dapat menjadi orang penting di dalam masa mendatang
yang jauh lebih baik dari jaman ini. Singasari bukan saja akan
menjadi bertambah besar, tetapi pada suatu saat. Singasari akan
mengembangkan sayapnya sampai kedaerah seberang yang paling
ditakuti dimasa kini. Daerah disebelah lautan. Hantu akan kita
tundukkan dengan kekerasan. Dia selajutnya kita akan menguasai
daratan yang paling luas dimuka bumi."
Tapak Lamba mengerutkan keningaya. Lalu katanya, "Kau
memang seorang pemimpin yang baik. Tetapi dengan demikian, kau
akan memperjuangkan mimpimu dengan bersungguh-sungguh."
"Aku senang mendengar jawabmu. Seperti dugaanku kau
memang cerdik. Nah, sekarang aku akan pergi. Terserah kepadamu.
Yang manakah yang akan kau pilih. Kau masih seorang yang bebas
sampai saat ini." 1021 Tapak Lamba tidak menjawab. Ia memandangi saja Linggapati
yang kemudian berpaling kepada adiknya, "Marilah. Kita beri anak
ini kesempatan untuk berpikir. Aku yakin, bahwa pada suatu saat ia
akan datang ke Mahibit untuk menyatukan dari dengan kita. Kita
tahu bahwa ia tidak berdiri sendiri. Justru karena itu, kita
memerlukannya." Linggadadi pun tidak menyahut. Ia mengikuti saja langkah
kakaknya meninggalkan pategalan itu. Sekali-sekali ia berpaling
kepada Tapak Lamba. Namun ternyata bahwa watak Linggadadi
jauh lebih sulit dari Linggapati untuk dijajagi. Ternyata ketika ia
menjadi semakin jauh, ia sempat melambaikan tangannya sambil
tertawa. Sama sekali tidak nampak kesan kekecewaan pada
sikapnya. Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling
kepada kawannya, kawannya itu berkata, "Apakah Linggadadi itu
agak kurang waras?" "Kenapa?" "Sikapnya sama sekali tidak dapat diperhitungkan."
Tapak Lamba mengangguk-angguk. Katanya, "Justru bagi kita ia
adalah orang yang sangat berbahaya. Tetapi agaknya, ia lebih
bodoh dari kakaknya. Kakaknya adalah orang yang pilih tanding dan
cerdik sekali. Bagi Singasari, Linggapatilah yang lebih berbahaya."
"Apa bedanya bagi kita dan bagi Singasari?"
"Kita hanyalah bagian yang sangat kecil dari Singasari. Dan
agaknya Linggadadi berbuat menurut kesenangannya saja tanpa
memikirkan kepentingan yang lebih besar. Sedangkan Linggapati
berpikir lain. Ia masih berusaha memperalat kita untuk
kepentingannya." "Ya. Tetapi jika ternyata akan dapat saling menguntungkan,
apakah kita juga akan berkeberatan?"
Tapak Lamba tidak menyahut. Memang semuanya masih akan
dapat berkembang. Mungkin kali ini ia hanya akan sekedar diperalat.
1022 Tetapi pada suatu saat ia menemukan kesempatan yang baik.
sehingga keadaan akan menjadi sebaliknya.
Tetapi Tapak Lamba masih selalu ragu-ragu. Nampaknya
Linggapati terlampau yakin akan dirinya, sehingga ia sama sekali
tidak gentar, apapun yang akan dilakukan oleh Tapak Lamba Karena
itu, maka ia dengan tanpa ragu-ragu memberinya kesempatan
untuk tetap hidup. "Ah, persetan." tiba-tiba ia menggeram, "Aku tidak akan dapat
memecahkannya sendiri. Bukankah kita mempunyai kawan yang
dapat diajak berbicara tentang hal ini?"
Kawannya mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya. Ada dua orang
yang kini menunggu kita di rumahmu."
"Bukan mereka." tiba-tiba Tapak Lamba membentak, "Mereka
tidak akan dapat diajak membicarakan masalah-masalah yang berat
dan bersungguh-sungguh."
Kawannya tidak menyahut. Ia menyadari bahwa kedua kawannya
yang tinggal di rumah Tapak Lamba, bukanlah orang orang yang
cukup penting. Bahkan ia bersama dengan kedua orang itu sama
sekali tidak berhasil membunuh dua orang anak-anak yang masih
sangat muda. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun tiba-tiba terlintas diangan-angannya, bahwa selain kedua
anak-anak muda itu ternyata masih ada seorang lagi yang disebut
oleh Linggadadi, yaitu Mahisa Bungalan.
Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Singasari memang
menyimpan banyak orang-orang sakti. Bukan saja yang sudah
menjadi semakin tua seperti Mahisa Agni, Witantra, dan Mahendra,
tetapi yang muda pun telah tumbuh dengan pesatnya. Sudah
barang tentu selain Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan yang disebut
bernama Mahisa Bunggalan, kedua orang yang memegang
kekuasaan tertinggi di Singasari pun tentu orang-orang yang pilih
tanding. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
1023 "Apakah di Mahibit terdapat orang-orang seperti mereka itu?"
pertanyaan itu menggelepar di dalam dada Tapak Lamba.
Namun sekali lagi Tapak Lamba mengibaskan semua persoalan
itu. Katanya kepada diri sendiri, "Aku harus membicarakannya
dengan beberapa orang kawan."
Demikianlah, maka Tapak Lamba pun mengajak kawannya itu
kembali ke rumahnya. Di rumahnya, kedua orang yang
menunggunya nampak sudah menjadi sangat gelisah.
"Aku kira kalian tidak akan kembali lagi." berkata salah seorang
dari mereka. "Pikiran yang paling picik." sahut Tapak Lamba, "Kami mungkin
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan bermalam jika persoalan kami belum selesai."
"O, jadi kedua anak-anak itu sudah berhasil kalian bunuh?"
"Gila. Apakah pembunuhan itu sajalah yang disebut
penyelesaian?" "O, aku tidak mengerti." desis yang lain.
"Tentu kalian tidak akan segera mengerti, karena kalian
terlampau bodoh." Kedua orang yang berada di rumah itu menjadi termangu
mangu. Tetapi jawaban itu benar-benar tidak menyenangkan hati
mereka. Karena itu, muka salah seorang dari mereka pun berkata,
"Kau jangan asal saja berkata. Kami tidak mengetahui apa yang
sudah kalian lakukan."
"Mereka benar." berkata kawan Tapak Lamba, "Beritahukan
kepada mereka apa yang terjadi, baru mereka akan mengerti."
Tapak Lamba menjadi tegang. Namun ketika terpandang olehnya
tiga orang yang nampaknya benar-benar kebingungan, maka ia pun
kemudian berkata, "Baiklah. Tetapi kau sajalah yang berceritera,
apa yang telah kita alami."
1024 Orang yang ikut bersama Tapak Lamba itu pun kemudian
menceriterakan kepada kedua kawannya, apa yang telah mereka
alami. Kedua kawannya itu mengangguk-angguk. Kemudian salah
seorang dari keduanya bergumam, "Jadi kalian telah bertemu
dengan Linggapati itu sendiri?"
"Demikianlah menurut pengakuannya. Yang seorang Linggadadi,
adiknya, dan yang lain mengaku bernama Linggapati. Memang
mungkin bahwa bukan kedua-duanya itulah Linggapati. Tetapi untuk
sementara aku mempercayainya."
Kedua kawannya termangu-mangu sejenak. Dan Tapak Lamba
pun kemudian berkata, "Kau sudah mulai persoalan ini dengan
langkah yang salah. Kita harus berusaha menemukan jalan yang
benar, sesuai dengan keadaan yang berkembang di dalam dan di
luar kota raja ini. Kebodohan itu tidak boleh terulang kembali."
"Mungkin kami berbuat kebodohan. Tetapi kau pun berusaha
melanjutkannya. Kau tentu mempunyai pertimbangan lain setelah
kau bertemu dengan orang yang menyebut dirinya bernama
Linggapati itu." Tapak Lamba mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
mengangguk-angguk. "Mungkin. Dan kita sekarang harus mempertimbangkan semua
tindakan kita sebaik-baiknya. Kita tidak berdiri sendiri. Karena itu,
aku harus menemui beberapa orang bekas Senapati yang sekarang
terbuang." "Bukan terbuang. T etapi membuang diri. Bukankah tidak pernah
ada pernyataan dari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, bahwa
mereka harus disingkirkan" Tetapi merekalah yang dengan
kehendak sendiri meninggalkan jabatannya dan bersembunyi,
karena mereka menyangka bahwa akan ada pembalasan dendam.
Tetapi ternyata sama sekali tidak."
1025 "Siapakah yang kau maksud dengan mereka" Apakah kau tidak
termasuk di dalamnya."
"Ya, termasuk aku, kau dan kita semuanya."
Tapak Lamba mengangguk-angguk. Ia pun mengerti maksud
kawannya itu. Sampai saat terakhir, ternyata bahwa Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka tidak pernah melakukan tindakan apapun
terhadap mereka yang pernah menjadi pendukung Tohjaya. Hanya
beberapa orang yang masih melakukan tindakan-tindakan yang
agak aneh dan tidak bertanggung jawab, terpaksa diawasi dan
diperlakukan sebagai orang-orang yang melanggar ketentuan dan
kuwajiban seperti orang-orang lain.
Namun demikian, tidak ada niat sama sekali padanya untuk
merubah pendiriannya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk bekerja
bersama dengan orang-orang yang telah menyingkirkan Tohjaya,
karena baginya Tohjaya adalah tumpuan harapan.
"Jika tuanku Tohjaya berhasil menguasai Singasari dan
menjadikan negeri ini tenang dan berkuasa, maka aku adalah
seorang pimpinan di tingkat tertinggi dalam susunan keprajuritan."
berkata Tapak Lamba di dalam hati. Namun kemudian terbersit
pertanyaan di dalam hati, "Tetapi siapakah yang akan dapat
menjadi perisai bagi Kerajaan yang besar itu. Ternyata bahwa aku
tidak mampu sama sekali menghadapi lawan yang menyebut dirinya
bernama Linggadadi. Apalagi Linggapati. Jika Tohjaya berkuasa,
maka setiap kali Kerajaan itu tentu akan selalu diguncang. Baik oleh
Linggapati dan orang-orangnya, maupun oleh pengikut-pengikut
Anusapati yang kemudian telah menempatkan diri di belakang
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
Tetapi Tapak Lamba pun kemudian tidak mau memikirkannya
semua persoalan itu hanya dengan tiga orang kawannya yang
bersembunyi di rumahnya. Karena itu, maka ia pun kemudian
merencanakan untuk menemui kawan-kawannya yang lain, yang
berpencaran di daerah yang tersembunyi dalam penyamaran
masing-masing agar mereka tidak mudah dapat dikenal.
1026 "Kita akan menemui kakang Sunggar Watang. Kita akan minta
pendapatnya." berkata Tapak Lamba kemudian.
"Aku sependapat. Marilah, kita segera menemuinya. Aku tahu
tempat persembunyiannya."
"Kau pernah ke tempat itu?"
"Tidak. Tetapi aku pernah mendapat petunjuk dari seseorang."
"Tetapi sudah barang tentu kita tidak akan dapat pergi bersama.
Prajurit disetiap pintu gerbang tentu mengawasi semua orang yang
lewat. Yang masuk apalagi yang keluar setelah peristiwa yang
terjadi, yang kalian lakukan dengan bodoh."
"Ah." salah seorang kawannya berdesah, "Jangan menyalahkan
kami. Kau pun telah tertarik untuk melakukannya pula. Bahkan
membunuh langsung di halaman istana. Bukankah kau sudah
bertekad berbuat demikian. Malahan kau telah berjanji untuk
memasuki halaman itu jika kau tidak dapat melakukannya dengan
cara lain." Tapak Lamba mengangguk-angguk. Katanya, "Ternyata pendapat
orang gila di muka gerbang itu benar juga. Jika aku membunuh
kedua anak-anak yang tidak berarti itu, maka seluruh prajurit
Singasari akan bersiaga dari ujung sampai ke ujung negeri. Dengan
demikian kesempatan untuk berbuat lebih banyak lagi seolah-olah
telah tertutup untuk waktu yang lama."
"Mungkin demikian." sahut salah seorang kawannya.
"Sekarang aku justru yakin. Mereka tentu bukan saja bersiaga.
Tetapi mereka akan berusaha mencari pembunuhnya."
"Dan yang pertama-tama menjadi sasaran pengintaian mereka
adalah kita." "Seperti yang dikatakan Linggadadi." berkata kawan Tapak
Lamba yang ikut ke alun-alun di depan istana, "Nanti kau akan
merasa bersyukur bahwa kau tidak membunuh kedua anak-anak
itu." 1027 Tapak Lamba tersenyum, betapapun kecutnya. Ia pun kemudian
mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah. Semuanya akan kita
sampaikan kepada kakang Sunggar Watang."
"Jadi, bagaimana kita akan sampai ke tempat persembunyian
itu?" "Kita, pergi sendiri-sendiri. Dua atau lebih akan dapat menarik
perhatian. Apalagi bertiga."
"Baiklah. Kita masing-masing akan pergi sendiri langsung ke
rumah kakang Sunggar Watang."
Dengan demikian, maka mereka segera menyesuaikan
pengenalan mereka atas tempat persembunyian Sunggar Watang.
Dan mereka, telah menentukan waktu untuk bertemu di rumah itu.
"Kita akan berjalan justru di s iang hari. Tidak banyak orang yang
akan mencurigai kita."
"Tetapi beberapa orang prajurit telah mengenal aku dengan baik.
Bahkan ada di antara mereka adalah kawan sepasukanku dahulu."
"Hindari mereka dan ambillah jalan lain. Jalan yang dijaga oleh
prajurit-prajurit yang belum mengenal kita masing-masing, karena
bukan hanya kau sajalah yang sudah dikenal oleh beberapa orang
prajurit Singasari. Tetapi kami semuanya."
Dengan demikian, mereka masih mempunyai waktu satu malam
lagi yang dapat mereka pergunakan untuk melihat-melihat keadaan
di dalam kota. Dengna sedikit penyamaran, mereka tidak segera
dapat dikenal. Apalagi prajurit-prajurit muda yang bertugas.
Tetapi mereka tidak lagi berusaha untuk membuat keributan.
Mereka hanya berjalan-jalan saja di antara orang-orang yang masih
saja nampak sibuk. Apalagi di halaman istana, yang agaknya
penyelenggaraan jenazah masih berlangsung, sebelum pada suatu
saat jenazah itu akan diperabukan.
Namun, malam itu mereka sama sekali tidak mengalami sesuatu
yang dapat merubah sikap dan tanggapan mereka terhadap
1028 Singasari dan orang-orang dari Mahibit. Bahkan sudah mulai
terbayang kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat terjadi
kelak. Demikianlah, ketika matahari terbit dipagi harinya, orang-orang
itu pun telah mempersiapkan dirinya untuk pergi meninggalkan kota
raja. Tetapi seperti yang telah mereka putuskan, mereka tidak dapat
pergi bersama-sama, tetapi mereka pergi masing-masing berdua.
Ternyata mereka tidak dikenal oleh para petugas di perbatasan
yang masih nampak sangat berhati-hati. Karena mereka masingmasing
tidak membawa sesuatu yang mencurigakan, maka mereka
pun dapat lewat tanpa gangguan apapun.
Di sepanjang perjalanan menuju ke tempat persembunyian
seorang bekas Senapati pada masa pemerintahan Tohjaya, mereka
pun tidak mendapat gangguan apapun. Apalagi ketika mereka telah
menyimpang dari jalan raya dan memintas lewat jalan-jalan sempit.
Bahkan kemudian mereka pun menerobos hutan kecil yang tidak
begitu padat, sebelum mereka menginjakkan kakinya pada sebuah
padukuhan kecil yang sangat terpencil.
Keempat orang itu pun telah bergabung kembali justru di pinggir
padukuhan terpencil itu. Sejenak mereka terpukau melihat keadaan
yang mereka hadapi. Bahkan kemudian tumbuhlah keraguraguannya.
Ketika mereka mendapat petunjuk tentang tempat
persembunyian itu, yang apabila diperlukan setiap saat dapat
mereka kunjungi, mereka sama sekali tidak membayangkan sebuah
padukuhan yang hijau, segar dikelilingi oleh sawah yang subur.
"Aku kira yang akan aku jumpai adalah sebuah goa yang
terdapat di lereng batu karang, atau jika tidak ada bukit-bukit
karang, aku akan menjumpai beberapa buah gubug ilalang di antara
semak-semak belukar." berkata Tapak Lamba.
Yang lain pun mengangguk-angguk pula. Salah seorang dari
mereka berkata, "Memang meragukan. Tetapi baiklah kita coba.
Apakah benar penghuni padukuhan itu adalah orang yang kita cari."
1029 Dengan ragu-ragu keempat orang itu pun melangkah mendekati
padukuhan terpencil itu. Semakin dekat mereka dengan pintu gerbang padukuhan itu,
mereka pun menjadi semakin ragu-ragu. Tidak ada persesuaian
sama sekali dengan gambaran mereka tentang tempat
persembunyian salah seorang kawan mereka yang mereka anggap
cukup berpengalaman dan banyak mempunyai pengikut pada
waktunya. Langkah mereka tertegun ketika mereka seorang anak muda
berjalan ke arah mereka dengan membawa cangkul yang disandang
di pundaknya. "Siapakah anak itu?" bertanya salah seorang dari ke empat orang
itu. Tapak Lamba menggelengkan kepalanya. Desisnya, "Semuanya
menjadi kabur." Tapak Lamba dan kawan-kawannya membungkukkan kepala
mereka, ketika anak muda itu membungkuk pula. Dengan ragu-ragu
anak muda itu bertanya, "Siapakah Ki Sanak" Dan apakah Ki Sanak
mempunyai keperluan sesuatu dipadukuhan kecil kami ini?"
Tapak Lamba ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun bertanya, "Anak
muda, kami memang sedang mencari seseorang. Ia adalah saudara
kami yang sudah lama tidak pernah bertemu."
"O, apakah ia tinggal di padukuhan ini?"
"Agaknya demikian. Menurut petunjuk yang pernah diberikan
kepada kami oleh pembantunya, maka ia tinggal di padukuhan ini.
Kami mendapat petunjuk jalur-jalur jalan yang harus kami lalui.
Sampai ke hutan yang baru saja kami lalui, kami tidak ragu-ragu
sama sekali, karena seperti yang tersebut di dalam petunjuk itu.
Tetapi setelah kami mendekati padukuhan ini, kami menjadi raguragu.
Saudara kami itu tidak pernah menyebut tentang sebuah
pedukuhan yang kecil dan alangkah bersih dan rapinya."
1030 Anak muda itu mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya,
"Siapakah yang Ki Sanak cari."
"Anak muda. Kami mencari saudara kami yang bernama." Tapak
Lamba menjadi ragu-ragu. Ia menduga bahwa Sunggar Watang
tentu mempergunakan nama lain di persembunyiannya, seperti
dirinya sendiri yang kemudian dikenal bernama Tapak Lamba.
"Siapakah namanya?"
Tapak Lamba tidak segera menjawab. Sekali-sekali ia
memandang ketiga orang kawannya yang nampaknya juga sedang
kebingunan. Namun tiba-tiba saja Tapak Lamba menyebut nama, "Kuda
Wangon. Namanya Kuda Wangon."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
menggeleng sambil berkata, "Tidak ada seorang pun yang bernama
Kuda Wangon." "Baiklah, baiklah Anak muda." berkata Tapak Lamba kemudian,
"Barangkali nama itu pun tidak begitu penting. Ia mempunyai
beberapa nama sesuai dengan jabatan yang pernah dipangkunya.
Tetapi barangkali kau melihat seseorang yang mempunyai ciri-ciri
yang khusus. Tubuhnya tidak begitu tinggi. Tetapi ia berjalan tegap
dengan dada tengadah. Matanya tajam, daun telinganya agak lebih
lebar dari ukuran biasa. Bibirnya tipis. Rambutnya kerinting."
Anak muda itu justru menjadi bingung. Lalu katanya, "Ki Sanak,
sebaiknya, marilah kita pergi ke rumah Ki Buyut. Barangkali Ki Buyut
dapat memberitahukan siapakah orang yang mempunyai ciri-ciri
seperti yang Ki Sanak katakan itu."
Tapak Lamba ragu-ragu sejenak. Namun akhirnya ia
menganggukkan kepalanya, "Baiklah. Marilah kami ikut ke rumah Ki
Buyut yang kau sebut itu."
Anak muda itu pun kemudian berjalan mendahului, diikuti oleh
Tapak Lamba dengan ketiga kawannya. Namun demikian memang
ada sepercik keragu-raguan yang bergejolak di dalam hati mereka.
1031 Apakah mereka akan benar-benar dapat bertemu dengan orang
yang sedang mereka cari. Dengan ragu-ragu Tapak Lamba berjalan bersama kawahnya
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memasuki padukuhan yang asing itu. Padukuhan yang meskipun
kecil namun tampak bersih dan teratur rapi.
"Pemimpinmu adalah seorang yang rajin." berkata Tapak Lamba
kepada anak muda itu. "Ya. Ia mengawasi sendiri keadaan padukuhan ini." jawab anak
muda itu. "Apakah ia seorang yang keras?"
"O tidak. Sama sekali tidak. Ia adalah orang yang ramah dan baik
hati. Barangkali ia adalah orang yang paling sabar dimuka bumi ini
menghadapi persoalan apapun juga."
Tapak Lamba ragu-ragu sejenak, lalu, "Apakah di padukuhan ini
tidak ada seorang pemarah dengan ciri-ciri tubuh seperti yang aku
katakan" Ciri-ciri tubuh memang kadang-kadang tidak segera dapat
dikenal. Tetapi ciri-ciri watak semacam itu agaknya mudah diketahui
oleh orang lain." Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
menggeleng sambil berkata, "Sepengetahuanku tidak ada orang
yang berwatak demikian di padukuhan ini. Kami hidup rukun,
tenang dan damai. Kami dapat saling memegang perasaan dalam
keadaan yang bagaimanapun juga."
Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Ia membayangkan
bahwa padukuhan itu adalah padukuhan baru dengan penghunipenghuni
baru dari berbagai tempat yang kemudian menyusun
suatu masyarakat yang baik sekali.
Apalagi ketika Tapak Lamba dan kawan- kawannya itu mulai
menyusuri jalan-jalan di padukuhan itu.
1032 Namun keempat orang itu menjadi ragu-ragu ketika nampak
dihadapan mereka sebuah pintu gerbang. Pintu gerbang yang
memisahkan bagian yang belum dapat diduganya.
"Itulah rumah Ki Buyut." berkata anak muda yang mengantarnya
ketika ia melihat Tapak Lamba dan kawan-kawannya menjadi raguragu.
"Ada dua gerbang di padukuhan ini." berkata Tapak Lamba,
"Yang sebuah pintu gerbang padukuhan, dan yang justru lebih
besar pada dinding batu yang lebih tinggi, adalah pintu gerbang
rumah dan halaman Ki Buyut."
"Ya." sahut anak muda itu, "Ki Buyut adalah seorang pemimpi. Ia
kadang-kadang membayangkan sebuah daerah yang lengkap
seperti sebuah kota raja. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah
istana yang dilingkari dengan benteng batu yang tinggi. Tetapi pintu
gerbang itu tidak pernah tertutup bagi siapapun juga. Meskipun
seolah-olah Ki Buyut membangun tempat tinggalnya yang terpisah
dari masyarakatnya, tetapi sebenarnya Ki Buyut adalah orang yang
paling baik, ramah dan mengerti kebutuhan rakyatnya dengan baik."
Tapak Lamba mengangguk-angguk. Tetapi ia mulai dihinggapi
oleh perasaan yang lain. Meskipun demikian ia tidak menunjukkan
kesan-kesan apapun ketika ia melangkah semakin dekat dengan
pintu gerbang itu. Sekali-sekali Tapak Lamba sempat juga memandangi rumah dan
halaman ditepi jalan yang mebelah padukuhan itu. Tapak Lamba
dapat menduga bahwa orang-orang yang tinggal dipadukuhan itu
bukanlah orang-orang yang kaya. Mereka hidup sederhana sekali.
Tetapi padukuhan yang kecil yang sederhana ini agaknya. dapat
diatur sebaik-baiknya sehingga nampak suatu hubungan yang baik
dan serasi. Namun demikian, terasa sesuatu bergetar di dalam dada Tapak
Lamba dan kawan-kawannya ketika mereka memasuki pintu
gerbang yang terbuka lebar itu. Pintu gerbang yang agaknya
memang tidak pernah tertutup. Dan getar dada Tapak Lamba dan
1033 kawan-kawannya itu menjadi semakin bergejolak ketika ia melihat
dua orang yang duduk diam di tangga pendapa rumah Ki Buyut itu.
"Mereka adalah juru taman." berkata anak muda itu.
Tapak Lamba hanya menganggukkan kepalanya saja. Namun
dalam pada itu, tatapan matanya pun ditebarkannya di sekeliling
halaman yang luas dan bersih itu.
"Tetapi ada sesuatu yang aneh." berkata Tapak Lamba di dalam
hatinya. "Bekas sapu lidi di halaman itu nampaknya masih utuh.
Agaknya belum ada seorang pun yang memasuki halaman ini, atau
jika ada, hanya satu dua orang saja." Tapak Lamba menjadi kian
berdebar-debar. Menurut dugaannya, halaman itu tentu dibersihkan
dipagi dan sore hari. Maka katanya pula di dalam hati, "Jadi sejak
pagi belum ada, atau belum banyak orang yang memasuki halaman
ini." Menurut pengertian Tapak Lamba, di hampir setiap padukuhan,
rumah Ki Buyut merupakan pusat dari setiap kegiatan. Anak-anak
muda, orang-orang tua dan bahkan anak-anak banyak yang setiap
saat berada di halaman rumahnya. Tetapi halaman rumah Ki Buyut
ini nampaknya terlampau sepi.
"Marilah." berkata anak muda itu sambil menunjukkan sebuah
regol kecil disisi pendapa, "Ki Buyut berada di belakang."
"Apakah kami juga harus ke belakang?" bertanya Tapak Lamba.
"Ya. Ki Buyut menerima tamunya di belakang."
Tapak Lamba yang termangu-mangu itu pun semakin dibayangi
oleh keragu-raguan yang bertambah dalam. Karena itu, maka ia pun
kemudian berkata. "Aku menunggu di luar saja Ki Sanak. Tolong,
sampaikan kepada Ki Buyut, bahwa aku ingin menghadap. Tetapi
tidak dibelakang." "Ah." anak muda itu tersenyum. "Ki Sanak memang aneh. Itu
adalah suatu kebiasaan."
1034 "Jadi, Ki Buyut yang ramah, baik hati dan sabar itu tidak pernah
keluar dari bagian belakang rumahnya" Bagaimana ia dapat selalu
dekat dan mengerti kebutuhan rakyatnya jika ia selalu berada di
bagian belakang rumahnya saja."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian
tersenyum sambil berkata, "Kau memang aneh Ki Sanak. Kebiasaan
itu adalah kebiasaan pada saat-saat Ki Buyut menerima tamu.
Tetapi pada saat yang lain, ia selalu pergi mengelilingi
padukuhannya. Bukankah sudah aku katakan, bahwa Ki Buyut
sangat teliti dan lebih dari itu, sangat mencintai padukuhan ini" Kau
sendiri melihat, bahwa padukuhanku adalah padukuhan yang
termasuk cukup bersih, meskipun masih banyak padukuhan yang
melampaui padukuhan ini."
Tapak Lamba masih termenung di tempatnya. Anak muda itu
memang rendah hati. Tetapi sikap yang berlebihan itu justru
menimbulkan kecurigaan padanya.
"Aku telah tertipu oleh sikap Linggadadi." Berkata Tapak Lamba
di dalam hatinya, "Sekarang aku harus berhati-hati menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang lain."
Keragu-raguan itu bukan saja membayang di wajah Tapak
Lamba, tetapi ketiga kawannya pun menjadi cemas pula.
"Ki Sanak." berkata Tapak Lamba kemudian, "Baiklah. Jika Ki
Buyut tidak mau menerima kami di luar kebiasaannya, maka kami
akan mohon diri. Kami akan melanjutkan perjalanan mencari
saudara kami itu. Mungkin ia memang tidak tinggal di padukuhan
ini. Karena itu, biarlah kami mencarinya ke padukuhan yang lain."
"Jadi Ki Sanak mengurungkan niat Ki Sanak menghadap Ki
Buyut?" "Sebenarnya bukan begitu. Tetapi apa boleh buat. Jika kebiasaan
Ki Buyut menerima tamu di bagian belakang rumahnya, setelah
melalui regol yang bersusun, dan yang terakhir adalah regol
samping yang selalu tertutup itu, maka adalah kebiasaanku untuk
diterima oleh siapa pun di pendapa."
1035 "Tetapi rumah ini adalah rumah Ki Buyut. Kaulah yang harus
menyesaikan dirimu."
"Jika kita akhirnya tidak juga dapat sesuai, maka aku kira lebih
baik aku pergi. Aku tidak ingin mengganggu Ki Buyut dengan
kebiasaannya itu." "Ki Sanak sudah memasuki halaman ini. Ki Sanak harus bertemu
dengan Ki Buyut." tiba-tiba wajah anak muda itu menjadi lebih
garang. Tapak Lamba mulai yakin, bahwa ia telah tersesat ke dalam
suatu keadaan yang tidak dikehendakinya. Anak muda, itu tentu
bukan anak muda yang ramah dalam sikap yang jujur. Karena itu,
maka ia pun bergeser mendekati kawan-kawannya. Dengan isyarat
ia mengajak kawan-kawannya untuk berhati-hati.
Dalam pada itu. Tapak Lamba menjadi semakin berdebar-debar
ketika ia melihat dua orang yang duduk diam ditangga pendapa itu
pun telah berdiri. Dengan langkah yang malas keduanya pergi ke
pintu gerbang yang terbuka.
Tetapi Tapak Lamba adalah bekas seorang Senapati, sehingga ia
pun secara naluriah dapat mengerti, bahwa kedua orang itu
bermaksud untuk menjaga agar mereka yang sudah memasuki
halaman itu tidak akan keluar lagi.
"Ki Sanak." berkata anak muda itu, "Maaf jika mungkin Ki Sanak
tidak menyangka, bahwa Ki Sanak harus mematuhi peraturan yang
berlaku di padukuhan ini." ia berhenti sejenak, lalu, "Seseorang
yang telah memasuki padukuhan kami, memang tidak akan dapat
keluar lagi tanpa ijin khusus dari Ki Buyut. Karena itu, jika Ki Sanak
masih ingin keluar dengan selamat, aku persilahkan Ki Sanak
menjumpai Ki Buyut. Keputusan terakhir memang berada di tangan
Ki Buyut." Terasa jantung Tapak Lamba menjadi semakin cepat bergetar.
Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikannya dari kesan yang
tersirat di wajahnya. Bahkan ia masih sempat tertawa sambil
berkata. "Ki Sanak. Sebenarnya aku tidak terkejut sama sekali.
1036 Keramahanmu memang berlebih-lebihan anak muda, sehingga
justru karena itu timbullah niatku untuk melihat, apakah yang ada di
padukuhan ini. Jika kemudian Ki Sanak ingin memaksakan
ketentuan yang aneh itu, sudah barang tentu, bahwa aku pun
berhak untuk menolak."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Agaknya ia menjadi
heran melihat sikap Tapak Lamba yang tetap tenang. Demikian juga
ketiga kawannya itu. "Ki Sanak, apakah Ki Sanak terlampau yakin akan kemampuan Ki
Sanak, sehingga dengan tenang Ki Sanak mendengarkan
penjelasanku?" "Bukan begitu." jawab Tapak Lamba, "Aku adalah seseorang
yang tidak berarti apa-apa. Tetapi bukankah setiap orang berhak
menentukan sikap, jika ia berani mempertanggung jawabkannya"
Mungkin aku akan ditangkap dan dihukum. Tetapi jika aku sudah
bersedia menjalaninya, apa salahnya?"
Dalam pada itu, kedua orang yang melangkah kepintu regol,
telah berdiri di sebelah menyebelah sambil menyilangkan tangan di
dadanya. Namun pembicaraan antara anak muda dan Tapak Lamba
itu agaknya sangat menarik perhatiannya, sehingga mereka pun
nampak mengerutkan keningnya.
Apalagi, ketika kemudian Tapak Lamba berkata kepada
kawannya, "He, bukankah kau juga tidak ingin pergi ke belakang.
Biarlah aku berbicara dengan anak muda ini. Barang kali kau dapat
mencari kawan berbicara yang lain."
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun
kemudian menyadari maksud Tapak Lamba. Dua di antara mereka
pun kemudian bergeser surut. Salah seorang menyahut, "Baiklah.
Aku akan mencari kawan berbincang di regol itu."
Sikap Tapak Lamba dan kawan-kawannya sungguh-sungguh
mengherankan bagi anak muda itu. Nampaknya mereka tetap
tenang menghadapi keadaan yang seharusnya tidak mereka duga
lebih dahulu. Bahkan langkah kedua kawan Tapak Lamba yang pergi
1037 ke regol itu pun tidak ubahnya seperti langkah kedua orang yang
telah lebih dahulu berdiri di sebelah menyebelah regol itu.
Sikap dan tingkah laku Tapak Lamba dan ketiga kawannya itu
memang tidak pernah dilihat sebelumnya oleh anak muda yang
membawa mereka ke halaman itu. Biasanya setiap orang yang
sudah berada di halaman itu menjadi gemetar, dan tanpa dapat
menolak lagi, mereka pun akan pergi kebelakang. Seterusnya, orang
yang sudah memasuki pintu kecil di samping pendapa dan sampai
ke bagian belakang dari halaman yang disekat oleh dinding batu itu,
tidak akan pernah keluar lagi, selain yang ditunjuk khusus oleh Ki
Buyut. Tetapi sekali ini, orang yang menyebut dirinya Tapak Lamba,
dengan tenang menghadapi sikap dan perlakuannya.
"Nah anak muda." berkata Tapak Lamba kemudian, "Apakah kau
tetap pada sikapmu, bahwa aku harus menghadap Ki Buyut" Jika
demikian, maka aku akan terpaksa lari dari halaman ini tanpa minta
diri lagi." Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Ternyata aku terlampau bodoh. Sikapmu yang terlalu
ramah itu pun berbahaya. Bukankah kau mengatakan demikian
tentang aku. Agaknya kau sendiri bersikap demikian."
"Jika demikian, kita masing-masing adalah orang-orang yang
berbahaya. Karena itu, sebaiknya kita tidak bertemu dan tidak
mempersoalkan sesuatu. Sebab jika kita masih harus
mempersoalkan sesuatu, apalagi kau ingin memaksakan
kehendakmu atasku, maka tidak akan dapat dielakkan lagi, bahwa
kita masing-masing akan mempergunakan kekerasan."
"Kau tidak bersenjata." berkata anak muda itu, "Sedangkan
dalam sekejap aku dapat memanggil beberapa puluh orang
bersenjata dan terlatih mempergunakan senjatanya."
"Tidak ada salahnya. Mereka akan mengeroyok aku dan
barangkali aku terbunuh di halaman ini. Itu bukan soal bagi kami.
Tetapi kami sudah mempertahankan kehormatan dan hargai diri
1038 kami." ia berhenti sejenak, lalu, "Atau barangkali kita memang harus
berlomba lari. Aku mungkin memiliki kemampuan lari yang cukup
baik." Anak muda itu nampaknya menjadi tidak sabar lagi. Tetapi ia
masih tetap ragu. Apalagi ketika ia melihat dua orang lawan Tapak
Lamba masing-masing sudah berdiri dekat kedua orang yang berdiri
di sebelah menyebelah regol. Jika mula-mula mereka nampaknya
tenang dan acuh tidak acuh, bahwa berdiri seperti patung, kini
nampak keduanya menjadi gelisah.
Tapak Lamba dan kawan-kawannya adalah bekas prajurit
Singasari meskipun khususnya prajurit yang dibentuk untuk
melindungi Maharaja yang hanya memerintah beberapa saat saja.
Namun justru mereka adalah prajurit-prajurit pilihan.
Namun demikian sekilas terlintas di dalam angan-angan Tapak
Lamba, "Menghadapi Linggadadi, aku tidak mampu berbuat apaapa.
Tetapi orang ini tentu tidak sedahsyat Linggadadi dan
Linggapati." Dalam pada itu, maka keadaan pun menjadi semakin tegang.
Anak muda yang ingin memaksa Tapak Lamba untuk memasuki
pintu disebelah pendapa itu pun akhirnya tidak dapat bersabar lagi.
Dengan wajah tegang ia berkata, "Ki Sanak. Kau tidak
mempunyai pilihan lain. Kau memang akan mati di halaman ini. Mau
atau tidak mau menemui Ki Buyut di belakang."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapak Lamba surut selangkah. Ia pun tahu bahwa tidak ada
pilihan lain yang dapat dilakukan. Karena itu, maka ia pun
mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya menghadapi setiap
kemungkinan yang bakal datang. Dengan tajamnya ia memandang
arah tatapan mata anak muda yang berdiri tegang di hadapannya.
Ketika anak muda itu memandang kepada kedua kawannya yang
berdiri di regol dan dengan jarinya ia memberikan isyarat, maka
Tapak Lamba pun berteriak, "Awas, agaknya kedua patung itu akan
berbuat sesuatu atas kalian."
1039 Sebenarnyalah memang demikian. Kedua orang yang semula
berdiri saja sambil menyilangkan tangannya itu, tiba-tiba saja telah
meloncat menyerang dua orang yang telah mendekatinya dengan
sikap acuh tidak acuh itu.
Tetapi kedua orang itu pun adalah bekas prajurit yang memiliki
kemampuan untuk bertempur. Karena itu, maka serangan itu pun
dengan mudah dapat mereka elakkan. Bahkan dalam sekejap
kemudian, keduanya telah menyerang kembali dengan dahsyatnya.
"Barangkali memang itulah yang kau kehendaki." berkata Tapak
Lamba. Anak muda itu akan menjawab. Tetapi agaknya kawan Tapak
Lamba yang seorang sudah tidak bersabar lagi. Tiba-tiba ia pun
telah menyerang anak muda itu tanpa diduga-duga terlebih dahulu.
Anak muda itu pun tidak menduga, bahwa serangan itu datang
demikian cepat dan tiba-tiba. Karena itu, ia tidak sempat
mengelakkan diri. Yang dapat dilakukan adalah menangkis serangan
itu, sehingga dengan demikian sebuah benturan telah terjadi.
Tetapi, kawan Tapak Lamba mendapat kesempatan lebih baik ia
menyerang dengan menjulurkan kakinya lurus ke samping
menghantam lambung, sedang anak muda itu menangkis serangan
itu dengan s ikunya sambil sedikit merendahkan dirinya.
Benturan yang tidak diduga itu ternyata telah melemparkan anak
muda itu beberapa langkah. Bahkan ia pun kemudian jatuh
terguling. Kawan Tapak Lamba tidak menduga, bahwa anak muda itu
memiliki kekuatan yang cukup besar untuk mendorongnya
selangkah surut. Karena itu, maka ia pun terkejut meskipun ia tidak
mengalami cidera apapun juga.
Dengan kemarahan yang membakar dadanya, ia pun segera
memburu anak muda yang sedang melenting untuk berdiri. Namun
agaknya anak muda itu pun cukup lincah, sehingga ia masih sempat
menyiapkan diri menghadapi serangan berikutnya.
1040 Tetapi serangan kawan Tapak Lamba itu datangnya bagaikan
sambaran guntur dilangit yang mendung. Meskipun anak muda itu
telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, namun ketika sekali lagi
terjadi benturan, maka anak muda itu terpelanting sekali lagi
beberapa langkah surut. Sedang kawan Tapak Lamba itu harus
meloncat selangkah mundur.
Tapak Lamba menyaksikan perkelahian itu dengan kerut merut
dikeningnya. Namun tiba-tiba saja timbullah pertimbangan yang
melonjak sesaat. Lawan yang akan dihadapinya tentu bukan hanya
ketiga orang itu. Bukan hanya anak muda itu bersama dua orang
yang bertempur di sebelah menyebelah pintu gerbang.
Karena itulah, maka ia pun dengan cepat telah mengambil
keputusan. Ia harus mengurangi lawan sebanyak-banyaknya dalam
waktu yang sesingkat mungkin.
Karena itulah, maka ia tidak memberikan kesempatan lagi kepada
anak muda itu. Ketika anak muda yang terpelanting itu mencoba
memperbaiki kedudukannya, sedang lawannya masih belum siap
untuk menyerang, Tapak Lamba lah yang mengambil alih. Ialah
yang kemudian menyerang dengan sepenuh kekuatan. Kekuatan
seorang bekas Senapati yang mumpuni. Yang memiliki kekuatan
melampaui kawannya yang telah berhasil melontarkan anak muda
itu. Serangan itu ternyata benar-benar telah melumpuhkan lawannya.
Selagi anak muda itu memperbaiki kedudukannya, ia tidak sempat
berbuat sesuatu. Ia melihat, tiba-tiba saja kaki Tapak Lamba telah
menjulur lurus menghantam dadanya.
Serangan itu rasa-rasanya telah merontokkan tulang-tulang
iganya. Nafasnya serasa terhenti, dan matanya menjadi berkunangkunang.
Namun dalam kesadarannya yang terakhir, ia masih sempat
meneriakkan isyarat bagi kawan-kawannya yang lain, yang memang
sudah diduga oleh Tapak Lamba berada di balik pintu disebelah
menyebelah pendapa itu. 1041 Namun dalam pada itu, Tapak Lamba tidak meluangkan setiap
kesempatan. Ditinggalkannya anak muda yang pingsan itu, dan
berlari ke regol halaman sambil berkata kepada lawannya, "Kita
lumpuhkan pula keduanya."
Kawannya yang telah kehilangan lawan itu pun segera mengerti
maksud Tapak Lamba. Ia pun segera mengikutinya menuju kepintu
gerbang. Kedua orang yang berjaga-jaga di pintu gerbang, dan yang telah
berkelahi dengan kedua kawan Tapak Lamba yang lain itu pun
bukan orang-orang yang memiliki ilmu yang sempurna. Ternyata
bahwa keduanya bukan orang yang lebih baik dari kedua kawan
Tapak Lamba, sehingga dengan demikian mereka pun telah
terdesak sama sekali. Apalagi ketika tiba-tiba saja Tapak Lamba dan
seorang kawannya datang membantu.
Pada saat itu, pintu di sebelah menyebelah pendapa itu pun
segera terbuka. Seperti yang sudah diduga, beberapa orang keluar
dari bagian belakang halaman itu dengan senjata di tangan masingmasing.
Namun saat yang pendek itu, ternyata telah dapat d:pergunakan
oleh Tapak Lamba dengan sebaik-baiknya. Ia masih sempat
menghantam kedua orang lawannya itu sehingga keduanya
terlempar dan pingsan seketika.
Tetapi dalam sekejap kemudian, beberapa orang bersenjata telah
menebar di seluruh halaman. Dengan wajah yang jauh berbeda
dengan wajah anak muda yang telah pingsan itu, maka delapan
orang yang berwajah sekeras batu padas, telah siap untuk
menyerang. Namun Tapak Lamba masih tetap tenang. Bahkan ia masih dapat
berkata dengan nada rendah dan datar, "Ambillah senjata kedua
orang itu. Pergunakan sebaik-baiknya, sebelum kita berempat akan
mati dicincang di sini. Tetapi sebelum kita mati, sedikit-dikitnya
empat orang lawan pun harus mati lebih dahulu."
1042 Kedua kawannya yang semula bertempur melawan dua orang
yang pingsan itu pun segera mendekati mereka. Ternyata kedua
orang itu mengenggam senjata yang aneh pada kedua belah
tangannya. "Keling." desis salah seorang kawan Tapak Lamba.
"Ya. Masing-masing membawa sepasang. Bukankah dengan
demikian kita masing-masing mendapat satu."
Kedua kawannya mengangguk-angguk. Mereka pun dengan
tenang mengambil keempat keling pada dua pasang tangan orang
yang pingsan itu. "Keling yang sangat bagus." berkata Tapak Lamba ketika ia
menerima keling itu, "Dengan keling ini kita dapat menangkis
serangan pedang atau bindi yang bagaimanapun beratnya, karena
sebenarnyalah keling ini terbuat dari baja pilihan."
"Setan atas." geram salah seorang yang baru saja keluar dari
halaman bagian belakang itu, "Kalian dengan sengaja telah
menimbulkan kerusuhan di sini."
"Bukan aku, tetapi anak muda itu." jawab Tapak Lamba, sambil
menunjukkan anak muda yang pingsan itu.
"Sekarang kalian harus mati." geram orang itu.
Tetapi Tapak Lamba justru tertawa. Katanya, "Aku sudah
mengatakannya, bahwa kalian akan membunuh aku. Tetapi aku pun
akan membunuh kalian. Setidak-tidaknya empat di antara kalian.
Ditambah lagi orang yang telah lebih dahulu pingsan. Tetapi
agaknya mereka pun tidak akan pernah sadarkan diri lagi."
Delapan orang yang telah menebar di halaman itu menjadi
bertambah tegang. Mereka memandang Tapak Lamba dan kawankawannya
dengan tajamnya. Salah seorang dari mereka pun
melangkah maju sambil berkata, "He orang gila. Kenapa kau telah
menimbulkan keonaran di sini" Apakah keuntunganmu dengan
berbuat demikian?" 1043 Tetapi Tapak Lamba tertawa. Jawabnya, "Pertanyaan inilah yang
gila. Seolah-olah kau tidak tahu apa yang telah terjadi dengan kami
dan kawan-kawanmu yg pingsan itu. Aku tidak tahu, apakah
gunanya pertanyaanmu itu."
"Persetan." geram orang itu, yang telah berdiri beberapa langkah
dari Tapak Lamba, "Agaknya aku memang berhadapan dengan
orang gila karena itu, jangan menyesal. Kami benar-benar akan
membunuhmu." Tapak Lamba yang mempunyai pengalaman menghadapi
keadaan yang gawat, selagi ia menjadi seorang Senapati,
memperhitungkan keadaan sejenak. Ia mengerutkan keningnya,
ketika orag yang berdiri dihadapannya itu membentak,
"Menyerahlah. Mungkin masih ada pertimbangan lain."
"Jika kami menyerah, maka kami benar-benar telah gila. Karena
itu, kami tidak akan menyerah."
"Dengan demikian akan berarti bahwa kalian akan kami bunuh
dengari cara yang paling mengerikan."
Ternyata Tapak Lamba tidak terlalu banyak berbicara lagi. Tanpa
diduga-duga ia sudah mulai bertindak, karena menurut
perhitungannya, lawannya kali ini tentu jauh lebih kuat dari dirinya
bersama tiga orang kawannya.
Kawan itu, sebelum orang yang berbicara itu mempersiapkan
dirinya, Tapak Lamba sudah mendahuluinya menyerang dengan
segenap kemampuan yang ada. Ia meloncat seperti loncatan tatit di
udara. Tangannya yang mempergunakan keling, terjulur lurus
mengarah kedada orang yang masih belum bersiaga itu.
Serangan yang tiba-tiba itu benar-benar telah mengejutkan.
Sebelum orang itu menyadari keadaan, tiba-tiba saja ia telah
melihat Tapak Lamba meloncat.
Serangan itu datang demikian cepatnya. Tidak ada waktu untuk
memperhitungkan apapun juga sehingga yang dilakukan adalah
semata-mata gerak naluriah saja.
1044 Tetapi gerak naluriah itu tiada banyak menolongnya, karena
gerak yang demikian, justru sudah diperhitungkan oleh Tapak
Lamba. Dengan demikian, maka ketika orang itu bergeser kekiri serangan
Tapak Lamba pun telah bergeser pula. Meskipun tidak tepat
mengenai dadanya, maka serangan itu telah menghantam
pundaknya. Ternyata serangan Tapak Lamba yang dilontarkan dengan
sepenuh kekuatannya itu, telah membentur pundak lawannya
bagaikan sambaran halilintar. Perasaan panas dan pedih telah
menyengat pundaknya, dan rasa-rasanya tulang-tulangnya telah
retak karenanya. Yang menghantam pundak itu kekuatan Tapak Lamba yang
dilandasi sepotong besi baja di dalam genggaman. Karena itu, maka
akibatnya pun seolah-olah sudah menentukan. Tangan orang itu
bagaikan lumpuh seketika, dan seluruh kekuatannya bagaikan
terhisap oleh perasaan sakit yang tiada taranya itu.
Koleksi : Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema Convert/Ptoofing: Ki Mahesa
Editing: Ki Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
1045 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo dan Arema di
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 15 SERANGAN Tapak Lamba itu ternyata bagaikan aba-aba yang
diberikan kepada ketiga orang
kawannya. Dengan serta mereka
mereka pun segera berloncatan
mencari sasaran masing-masing.
Serangan-serangan itu benarbenar
tidak diduga. Selagi perhatian orang-orang yang ada
di halaman itu tertuju kepada
Tapak Lamba yang menyerang
secepat kilat, maka seranganserangan
berikutnya telah datang membadai. Dengan demikian ,maka sekejap kemudian perkelahian
telah menyala dengan dahsyatnya di halaman itu. Tapak Lamba
tidak menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diperolehnya pada
serangan pertama. Selagi lawannya itu kehilangan keseimbangan,
maka tangan kirinya dengan cepat pula telah menghantam tengkuk
orang itu sehingga ia pun segera jatuh tersungkur.
Dengan serta merta Tapak Lamba memungut senjata orang itu.
Sebilah padang yang cukup panjang. Dan dengan pedang itu di
tangan kanannya, dan memindahkan keling di genggaman tangan
1046 kirinya, ia pun segera bertempur melawan orang-orang yang
dengan serta merta telah menyerangnya.
Ketiga kawan Tapak Lamba ternyata tidak mengecewakannya.
Mereka berhasil menguasai keadaan pada benturan pertama
meskipun selanjutnya mereka sadar, bahwa lawan mereka tentu
akan dapat menekan mereka dan bahkan mengalihkannya jika
mereka tidak berhasil mempergunakan setiap kesempatan sebaikbaiknya.
Bahkan mereka pun sadar, bahwa di balik dinding itu tentu
masih ada beberapa orang yang akan segera turun ke halaman dan
bertempur bersama-sama. "Memang tidak ada pilihan lain kecuali mati." berkata Tapak
Lamba di dalam hatinya, "Tetapi matilah dengan cara yang paling
baik. Mati sebagai seorang prajurit meskipun aku sudah bukan lagi
seorang prajurit." Dengan demikian maka Tapak Lamba pun bertempur semakin
dahsyat. Pedangnya terayun-ayun mengerikan sekali. Sementara
ketiga lawannya berusaha berkelahi dalam pasangan yang rapat.
Mereka berputaran dan kadang-kadang berlari-larian membingungkan
lawan-lawan mereka. Dari tujuh orang yang masih mampu bertempur, Tapak Lamba
harus melawan dua orang yang bertempur berpasangan. Sedang
tiga orang kawannya, bersama-sama melawan lima orang yang Jain.
Mereka bertempur dalam kelompok-kelompok yang dengan sengaja
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikacaukan oleh tiga orang kawan Tapak Lamba. Sekali-sekali
mereka berdiri beradu pungung. Namun tiba-tiba mereka berlarilarian
memencar. Namun kemudian mereka telah berada dalam satu
lingkaran yang rapat lagi.
Tetapi bagaimanapun juga, lawan mereka adalah jumlah yang
hampir berlipat. Apalagi mereka pun bukan orang-orang kebanyakan
yang sama sekali tidak mengenal ilmu kanuragan.
Karena itulah, maka pertahanan Tapak Lamba dan kawankawannya
pun semakin lama menjadi semakin berat.
1047 Namun dalam pada itu, ketiga orang kawan Tapak Lamba itu
berhasil mengurangi seorang lawannya yang terpelanting oleh
sentuhan keling di pelipisnya. Meskipun sentuhan itu tidak
terlampau tajam membenturnya, namun kulit pelipisnya itu
bagaikan terkelupas. Darah yang segar memerah diseluruh
wajahnya. Tertatih-tatih melangkah menepi. Ia mencoba menyeka darahnya
dengan kain panjangnya. Namun darah itu masih saja mengalir
terus. Dengan demikian, maka jumlah lawan pun menjadi semakin
berkurang. Tetapi sejalan dengan itu, tenaga Tapak Lamba dan
kawan-kawannya pun menjadi semakin berkurang pula.
Untuk beberapa saat lamanya, perkelahian itu masih berjalan
dengan sengitnya. Tapak Lamba bertempur dengan perhitungan
yang masak. Sebagai seorang bekas Senapati ia mampu melihat
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di dalam perkelahian
itu. Karena itu, maka ia pun dengan segenap kemampuannya telah
bertempur untuk mengurangi jumlah lawan secepat-cepatnya.
Meskipun dengan demikian ia harus mengerahkan tenaga, tetapi ia
berharap bahwa lawannya yang tersisa tidak akan memerlukan
tenaga terlampau banyak. Karena itulah, maka serangan-serangan Tapak Lamba justru diarahkan
kepada lawannya yang paling lemah. Ujung pedangnya
bagaikan lalat yang selalu mengejar kemana pun lawannya
menghindar. Dengan mempergunakan segenap kekuatan ilmunya, ujung
pedang Tapak Lamba mulai menyentuh tubuh lawannya yang paling
lemah. Meskipun hanya segores kecil dan sama, sekali tidak
menimbulkan perasaan sakit yang mengganggu. Tetapi titik darah
yang kemudian meleleh dilengannya akan dapat mempengaruhi
ketahanan perasaan lawannya itu.
1048 Tapak Lamba bertempur semakin seru. Serangan-serangannya
bagaikan angin pusaran yang dahsyat sekali.
Demikian juga ketiga orang kawannya. Setelah kawannya susut,
mereka menjadi semakin garang. Apalagi di hati masing-masing
mulai tumbuh harapan untuk dapat bertahan dan hidup lebih lama
lagi. Jika lawannya bukan orang-orang yang memiliki kelebihan
melampaui mereka berempat, maka harapan untuk meninggalkan
halaman itu tentu masih ada. Meskipun menarik diri dari
peperangan agak menimbulkan gangguan pada rasa harga diri
tetapi melawan orang-orang yang berjumlah jauh lebih banyak,
bukannya cara yang pantang dilakukan.
Karena itulah, maka ketiga orang itu pun berusaha untuk
bertempur sambil mendekati Tapak Lamba. Ketika ada kesempatan
pada salah seorang dari mereka, maka orang itu pun berdesis di
dekat Tapak Lamba, "Apakah kita akan bertempur terus?"
Tapak Lamba segera mengerti maksudnya. Karena itu, ia pun
mulai mempertimbangkannya, sementara serangan-serangannya
justru menjadi semakin garang. Ia telah berhasil menyentuh lagi
lawannya dengan ujung pedangnya dan kemudian mendesaknya ke
sudut halaman. Tetapi dalam pada itu, keadaan ketiga kawannya menjadi agak
berbeda. Tangan-tangan mereka yang memegang keling menjadi
terasa pedih. Setiap kali mereka harus menangkis senjata lawan
dengan keling yang tergenggam di tangan. Dan setiap kali
tangannya menjadi terasa nyeri.
Tapak Lamba pun mempertimbangkan keadaan itu. Memang
keling bukan senjata yang baik untuk melawan senjata panjang.
Hanya karena terpaksa tidak ada senjata yang lain sajalah, maka
keling itu dipergunakannya.
Akhirnya Tapak Lamba mengambil keputusan yang serupa pula.
Ia yakin bahwa masih akan datang lawan-lawan yang lain yang
akan mengepung mereka didalam halaman itu.
1049 Karena itu, maka ia pun segera mencari kesempatan. Betapa
banyak lawannya, jika ia berhasil melepaskan diri dari halaman itu,
tentu ia dan ketiga kawan-kawannya akan dapat lolos dari tangan
orang-orang padukuhan itu.
"Kita masih memiliki tenaga untuk lari." desis Tapak Lamba yang
kemudian bersiap-siap untuk memberikan isyarat sambil mencari
kesempatan. Namun dalam pada itu, sepasang mata memperhatikan
pertempuran yang terjadi di halaman dari balik pintu regol di
samping pendapa. Dengan wajah yang tegang ia mengikuti setiap
perkembangan. Kadang-kadang wajahnya mengendor sejenak,
tetapi kemudian menjadi tegang kembali.
Tiga orang pengawal yang berdiri di belakangnya, rasa-rasanya
sudah tidak sabar lagi melihat keadaan kawan-kawannya di
halaman. Tetapi orang itu masih tetap diam saja.
Di halaman perkelahian semakin lama menjadi semakin sengit.
Ketika Tapak Lamba merasa, saat yang sebaik-baiknya untuk lari
telah terbuka, karena lawan mereka kebetulan berada di satu sisi,
maka ia pun segera memberikan isyarat kepada ketiga orang
kawannya untuk saling mendekat.
"Ki Buyut." desis salah seorang yang berada dibalik regol
samping pendapa, "Mereka akan lari."
"Ya, mereka akan melarikan diri."
"Kita harus bertindak cepat sebelum mereka lolos."
"Ya." ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi mereka tidak akan lari."
"Lihat. Mereka telah bergabung. Kesempatan itu kini benar-benar
telah terbuka. Menilik kemampuan mereka, tentu sulit untuk
mengejar dan menangkap mereka semuanya. Padahal menurut apa
yang telah mereka lakukan di halaman itu, mereka pantas mendapat
hukuman yang paling berat. Dibunuh di sarang semut salaka."
1050 Ki Buyut justru tertawa. Katanya, "Membunuh di sarang semut
memang menyenangkan sekali. Apalagi dengan cara yang paling
baik. Mereka tidak akan diikat. Tetapi mereka akan dilepaskan
dalam kerangkeng." "Bagus sekali Ki Buyut. Orang-orang itu sempat meIonjak-Ionjak
kesakitan dan berlari-larian di dalam kerangkeng, sebelum mereka
akan jatuh menjadi mangsa semut salaka, sehingga hanya kerangka
mereka saja yang tinggal."
Ki Buyut tertawa perlahan-lahan. Tetapi ia masih berdiri di
tempatnya memandangi orang-orang yang berusaha untuk
mendekati pintu gerbang. "Mereka tentu berhasil lari Ki Buyut. Tanpa meloncati dinding.
Mereka dapat menempuh jalan yang paling aman. Lari lewat pintu
gerbang, sementara orang-orang kita yang dungu itu menjadi
semakin lelah." Tetapi Ki Buyut masih tetap berdiam diri.
Seperti yang diduga oleh ketiga pengawal Ki Buyut itu, maka
Tapak Lamba memang mencari jalan yang paling aman. Lari melalui
pintu gerbang. Dengan demikian maka cara mereka bertempur pun
saling menyesuaikan diri untuk dapat bergeser mendekati pintu
gerbang itu. Pada saat yang terakhir, maka Tapak Lamba pun tiba-tiba telah
mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya.
Pedangnya bagaikan angin prahara yang mengamuk di tengahtengah
padang ilalang. Dengan demikian, maka lawan-lawannya pun telah terdesak
mundur beberapa langkah, sehingga memberi kesempatan kepada
kawan-kawannya untuk dengan cepat mencapai regol halaman yang
masih terbuka itu. Dengan demikian, maka saat untuk melarikan diri itu benar-benar
telah terbuka. Menurut pengamatan mereka, di luar regol masih
1051 belum ada orang-orang lain yang datang dengan atau tidak dengan
isyarat. Tetapi ketika mereka sudah siap untuk meninggalkan halaman
itu, terdengarlah salah seorang dari Iawan-Iawannya bersuit
nyaring. Agaknya ia merasa bahwa tidak ada lagi yang dapat
dilakukannya untuk menahan keempat orang yang akan melarikan
diri itu. "Terlambat." desis salah seorang dari para pengawal Ki Buyut.
"Isyarat itu yang terlambat." desis Ki Buyut.
"Mereka mengira bahwa kita selalu mengikuti perkelahian itu.
Dengan atau tanpa isyarat kita akan turun kehalaman."
Tetapi Ki Buyut justru tertawa lagi sambil berdesis, "Mereka tidak
akan lari." Baru saja mulutnya terkatub, maka seorang dari ketiga kawan
Tapak Lamba telah melangkah surut ke pintu regol disusul oleh
kawannya yang lain. Dua orang yang lain, masih tetap bertempur
sambil mundur perlahan-perlahan mendekati pintu regol, sebelum
mereka akan meloncat berlari.
Tetapi, ketika Tapak Lamba yang paling akhir berdiri di regol itu,
siap meneriakkan isyarat untuk berlari, tiba-tiba saja ia mendengar
suara tertawa meledak di balik regol kecil di sebelah pendapa. Di
sela-sela suara tertawa itu terdengar Ki Buyut berkata, "He,
kampret, ternyata kau memang luar biasa."
Panggilan itu telah menghentikan langkah Tapak Lamba. Dalam
keragu-raguan ia mendengar kawannya berdesis, "Marilah. Jangan
hiraukan pangilan itu."
Tetapi Tapak Lamba menjadi termangu-mangu.
Lawan-lawannya pun menjadi heran melihat sikap Tapak Lamba.
Justru karena Tapak Lamba tidak segera berlari meninggalkan
halaman, maka mereka pun menjadi ragu-ragu untuk bertindak. Apa
1052 lagi setelah mereka mendengar suara tertawa Ki Buyut dari balik
regol di s isi pendapa. "Marilah, cepat." sekali lagi kawan Tapak Lamba
memperingatkan. "Tunggu." desis Tapak Lamba, "Kau mendengar suara tertawa
itu?" "Ya." "Dan kau mendengar orang yang tertawa itu menyebut kita
kampret?" "Jangan pedulikan. Kita akan terjebak oleh lawan yang jumlahnya
tidak terhitung." "Tetapi kita harus menunggu sebentar." desis Tapak Lamba yang
tiba-tiba saja berteriak, "He, keluarlah."
Sejenak suasana halaman rumah Ki Buyut itu menjadi sangat
tegang. Tapak Lamba berdiri tegak di tempatnya dengan kepala
tengadah. Ditangannya masih tergenggam sebilah pedang. Dan di
tangan kirinya sebuah keling.
Suara tertawa masih terdengar dari balik regol di sebelah
pendapa. Tetapi Tapak Lamba dan kawan-kawannya masih belum
melihat siapakah yang telah tertawa itu.
Dalam pada itu, ketiga pengawal Ki Buyut menjadi semakin tidak
sabar. Mereka melihat Ki Buyut tertawa berkepanjangan, sedang
orang-orang yang berdiri di regol itu sudah siap untuk melarikan
diri. "Kita akan turun lebih dahulu." desis salah seorang dari mereka.
"Sst, mungkin itu suatu cara baru dari Ki Buyut untuk menahan
orang-orang yang akan lari meninggalkan halaman ini."
"Persetan." desis yang lain.
1053 Tetapi suara tertawa Ki Buyut pun segera terhenti. Dengan
senyum dibibirnya ia berkata kepada ketiga orang pengawalnya,
"Nah, kau lihat" Ia tidak akan pergi meninggalkan halaman ini."
"Kenapa Ki Buyut?"
Ki Buyut tidak menjawab. Tetapi ia berdesis, "Kita akan turun ke
halaman." Ki Buyut pun kemudian membuka pintu regol itu lebar-lebar.
Diiringi oleh ketiga orang pengawalnya, ia kemudian menuruni
tangga regol disisi pendapa itu.
"He kampret yang buruk." Katanya, "Kau benar-benar memiliki
kelebihan yang tidak mudah dicari tandingnya. Kemarilah. Jangan
lari. Tidak pantas seorang Senapati melarikan diri dari gelanggang."
Tapak Lamba termangu-mangu sejenak. Sedang kawannya di
belakang regol berdesis, "Jangan hiraukan. Jangan hiraukan."
"Lihatlah." berkata Tapak Lamba kepada kawan-kawannya, "Ki
Buyut sendiri agaknya sudah keluar dari sarangnya. Menilik sikap
dan pakaiannya, ia adalah pimpinan tertinggi di s ini."
"Kita tidak peduli. Kita tinggalkan saja tempat ini."
"Kemarilah dan lihatlah. Aku menjadi curiga."
Ketiga orang kawannya menjadi ragu-ragu. Sementara Ki Buyut
menjadi semakin dekat. Sekali lagi suaranya yang besar
mengumandang di halaman itu, "He kau kampret dan cucurutcucurut
kecil" Apakah kalian akan lari" Bukankah kalian prajuritprajurit
pilihan pengawal pribadi tuanku Tohjaya."
Ketiga kawan Tapak Lamba menjadi ragu-ragu pula mendengar
suara itu. Perlahan-lahan mereka menjengukkan kepala mereka
untuk melihat siapakah sebenarnya Ki Buyut yang dibayangi oleh
kekaburan dan rahasia. "He, kemarilah kampret." desis Ki Buyut itu, "Kita akan berbicara
dengan baik. Ternyata kau adalah satu-satunya tamuku yang dapat
1054 memaksa aku keluar dari ruang yang aku sediakan untuk menerima
tamu-tamuku." Tapak Lamba memandang orang itu dengan saksama. Orang itu
tidak begitu tinggi, tetapi tegap. Matanya tajam sedang daun
telinganya agak lebih lebar dari daun telinga yang kebanyakan.
Bibirnya tipis dan rambutnya agak keriting."
"He." desis Tapak Lamba kepada kawan-kawannya, "Kau lihat
orang itu." Ketiga kawannya pun termangu-mangu. Hampir mereka tidak
mempercayai penglihatannya. Ternyata orang itulah yang sedang
dicarinya. Sunggar Watang.
Tetapi menghadapi kenyataan itu, Tapak Lamba dan kawankawannya
menjadi ragu-ragu. Apakah orang itu telah berubah sikap
terhadap kawan-kawannya atau ada perhitungan lain, sehingga ia
harus membunuhnya. "Setiap orang asing dibunuhnya." desis Tapak Lamba, "Mungkin
ia dengan demikian berusaha untuk melenyapkan setiap
kemungkinan untuk mengenalinya."
"Ia benar-benar tidak mau dikenal lagi." bisik kawannya,
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Patung Emas 4 Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan Bara Diatas Singgasana 12
tetapi juga Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
"Bukan main. Suatu cita-cita yang melambung seperti
gelembung-gelembung getah jarak. Kau pernah melihat anak-anak
bermain getah jarak. Jika getah itu dihembus, maka akan timbullah
gelembung-gelembung yang akan segera hanyut dibawa angin.
Melambung tinggi, seolah-olah akan terbang ke Matahari. Tetapi
gelembung-gelembung itu akan segera pecah dan hilanglah
bekasnya. Hilang sama sekali."
"Gila. Jangan mencoba menghalangi. He, apakah kau seorang
prajurit sandi dari Singasari" Jika demikian, maka kau harus mati."
Suara, tertawa orang itu meninggi. Tetapi perlahan-perlahan
saja. Katanya, "Kau mulai ketakutan. Karena itu, Jangan marah
kepadaa kawanmu, pengecut itu. Kau sendiri agaknya seorang
pengecut." "Tutup mulutmu."
"Kau tidak akan berani berbuat apa-apa atasku di hadapan
prajurit-prajurit yang bertugas itu."
Orang bertubuh kurus itu termangu-mangu sejenak. Dengan
tegang ia berpaling, memandang prajurit yang ada dipintu gerbang.
Namun ia sudah tidak melihat lagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"He, kemana anak-anak itu?" ia menggeram.
Kawannya pun kemudian memandang pintu gerbang itu, dengan
dada yang berdebar-debar. Ternyata kedua anak-anak muda itu
memang sudah tidak nampak lagi.
"Gila. Aku telah kehilangan korbanku." lalu dipandangi orang
yang duduk dengan acuh tidak acuh saja itu. "Kaulah yang
menyebabkan aku gagal kali ini. Karena itu, maka kau akan menjadi
penggantinya." 993 "Sudah aku katakan. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa di
sini. Di pintu gerbang itu ada prajurit yang dapat menangkapmu
beramai-ramai dan mencincangmu di alun-alun ini. Bahkan mungkin
kau akan dihukum picis, hukuman yang paling terkutuk itu."
Orang bertubuh kurus itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia
berkata, "Aku dapat membunuhmu dengan racun. Sementara kau
sekarat, aku sudah jauh dari tempat ini."
Tetapi orang itu justru tertawa. Katanya, "Sebelum sekarat aku
sempat berteriak. He, bukankah aku tahu, bahwa sumpitmu itu
beracun. Selagi kau mengacungkan tongkat pun aku sudah berteriak
keras-keras. Nah, kau mau apa."
"Pengecut. Licik. Gila."
"Masih ada lagi."
Orang bertubuh kurus itu menghentakkan kakinya.
Kemarahannya telah memuncak. Tetapi seperti yang dikatakan oleh
orang yang tidak dikenalnya itu, ia memang tidak dapat berbuat
apa-apa. Beberapa saat lamanya ia berpikir, Apakah yang sebaiknya
dilakukan. Tiba-tiba saja ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau
benar. Aku memang tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi siapakah
sebenarnya kau" Prajurit sandi atau keluarga anak-anak muda yang
dengan sengaja melindunginya."
Orang itu menggeleng. "Bukan kedua-duanya."
"Kenapa kau menghalangi aku?"
"Aku sama sekali tidak sedang menyelamatkan kedua anak itu.
Tetapi aku mencegah kau berbuat bodoh dengan membunuhnya."
"Kenapa?" "Sudah aku katakan. Aku tidak ingin ada kesiagaan di Singasari.
Dengan demikian, maka mata pencaharianku akan berganggu."
994 "Kau seorang pencuri, perampok, atau penyamun."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia tertawa pendek.
"Siapa?" "Kau tidak perlu mengetahui, siapakah aku sebenarnya. Mungkin
kau benar, bahwa aku salah satu di antara tebakanmu itu."
"Persetan. Siapa namamu?"
"Panggil saja aku Awan Hitam."
"He." orang bertubuh kurus itu mengerutkan keningnya, "Kau
gila. Apakah benar namamu segila itu?"
"Bukan. Namaku tentu bukan Awan Hitam. Tetapi aku senang
dipanggil seperti itu. Kawan-kawanku membuat nama-namanya
aneh. Ada yang ingin disebut Sepasang Mata Api. O, ada yang lebih
gila lagi, kawanku yang kurus kering, bermata suram ingin disebut
Bulan Purnama." "Gila. Cukup dengan igauanmu yang paling gila itu."
"Nah, siapa namamu?" tiba-tiba orang itu bertanya. Orang
bertubuh kurus itu berpikir sejenak. Tiba-tiba saja ia menjawab,
"Tongkat Beracun. Namaku Tongkat Beracun."
Orang yang duduk dengan seenaknya itu tertawa terkekehkekeh,
sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Kedua tangannya
menutup mulutnya, agar suara tertawanya tidak berpencaran
sampai ketelinga para prajurit.
"Kau sudah kejangkitan penyakit gila itu. Kau mempunyai tongkat
yang dapat kau pergunakan sebagai sumpit dengan duri-duri
beracun. Tiba-tiba saja kau menyebut namamu Sumpit, eh, Tongkat
beracun. Lucu sekali. Bukankah dengan demikian kau pun sudah
menjadi gila?" "Gila. Memang gila. Namaku Tapak Lamba. Itu namaku yang
sebenarnya." 995 "Nah, begitulah. Jangan terkena penyakit gila seperti kawanku
yang membuat nama menurut selera sendiri."
"Aku tidak peduli. Nah, sekarang apa maumu. Kau sudah
mengagalkan rencanaku sekarang ini. Kau membuat aku marah
sekali. Tetapi aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa."
Orang itu masih tertawa. Katanya, "Aku tidak akan berbuat apaapa.
Aku hanya ingin menggagalkan kesalahan yang akan kau
lakukan. Sekarang kau menyesal, tetapi nanti, jika kau sempat
merenungkannya, maka kau akan berterima kasih kepadaku."
"Lalu sekarang, kau mau apa?"
"Aku akan pergi."
Orang bertubuh kurus itu memandanginya dengan tajamnya.
Namun kemudian ia berkata, "Itu lebih baik bagimu."
"Terima kasih. Aku sudah berhasil, sementara kau melasa gagal.
Tetapi besok kau akan tertawa karenanya."
Orang yang menyebut darinya Awan Hitam itu tidak menunggu
lagi. Ia pun kemudian bangkit dan melangkah meninggalkan kedua
orang yang memandanginya dengan penuh kebencian.
Namun Awan Hitam itu tidak mendengar ketika orang bertubuh
kurus itu berbisik, "Kita ikuti. Kita bunuh dia."
Kawannya mengerutkan keningnya. Ia agaknya ragu-ragu akan
bisikan orang bertubuh kurus itu. Karena itu, ia tidak segera
menjawab. Tapak Lamba agaknya mengetahui bahwa kawannya itu raguragu.
Maka katanya mengulang, "Kita ikuti, dan kita bunuh orang
yang menyebut dirinya dengan nama yang paling gila itu."
"Kenapa orang itu harus dibunuh?" bertanya kawannya.
"Aku tidak yakin bahwa pada suatu saat ia tidak membuat
kesulitan bagi kita. Tentu ia tidak hanya sekedar menggagalkan niat
kita kali ini dengan alasan yang dikatakannya, agar prajurit Singasari
996 tidak tergugah karenanya dan mengadakan kesiagaan di manamana."
"Memang meragukan."
"Mungkin orang itu mempunyai maksud yang lebih jauh daripada
itu. Karena itu, daripada kita selalu berteka-teki, kita bunuh saja.
Kita akan dapat tidur nyenyak nanti malam, sementara besok kita
mulai lagi dengan usaha yang gagal pada hari ini."
"Jadi kita mengurungkan usaha kita memasuki halaman istana."
"Untuk malam ini kita urungkan saja. Mungkin besok jika kita
gagal lagi." Kawannya tidak menyahut, sementara orang yang menyebut
dirinya Awan Hitam itu berjalan semakin jauh.
"Aku tidak mau kehilangan orang gila itu." berkata Tapak Lamba.
Ia pun dengan segera melangkahkan kakinya mengikuti orang
yang menyebut dirinya bernama Awan Hitam itu dari kejauhan,
sementara kawannya pun berjalan disisinya.
"Pada suatu saat, ia akan sampai ke daerah yang sepi." berkata
Tapak Lamba. "Tetapi apakah kau yakin bahwa ia seorang diri?"
"Kita akan dapat melihat, apakah ia seorang diri atau tidak."
"Sulit untuk mengetahui. Kita tidak tahu pada saat ia datang dan
duduk di belakang kita."
"Uh, kau memang pengecut. Kau berani menengadahkan dada
sambil berkata, "Aku bunuh prajurit-prajurit Singasari." Tetapi
ternyata kau sudah ketakutan sekarang melihat seseorang
menyebut dirinya dengan nama yang aneh."
"Tetapi kenapa kita tidak mendengar langkahnya jika ia bukan
orang yang memiliki kelebihan."
997 "Sebut namaku. Kau tahu, siapa aku. Dan aku pun tahu bahwa
kau bukan anak ingusan. Kau memiliki kemampuan bertempur yang
cukup meskipun kau gagal membunuh anak Mahendra. Sekarang
kau gemetar karena kau tidak mendengar langkah orang itu saat ia
mendekati kita." Tapak Lamba berhenti sejenak, lalu, "Dengar, saat
itu kita terlampau terikat kepada kedua anak-anak muda di pintu
gerbang itu, sehingga kita sama sekali tidak sempat membagi
perhatian kita." Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin memang
begitu. T etapi kita wajib berhati-hati."
"Sudah tentu kita harus berhati-hati. Tetapi kita, pengikut setia
Tuanku Tohjaya, tidak akan membiarkan Singasari berdiri tegak
dengan tenang. Apapun yang dapat kita lakukan, akan kita lakukan.
Sekarang kita membunuh orang gila itu. Besok kedua anak-anak
Mahendra. Kemudian kita akan membunuh Mahendra itu sendiri,
Witantra dan Mahisa Agni. Selebihnya maka Ranggawuni dan
Mahisa Cempaka, bukan orang yang harus diperhitungkan."
Kawannya mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak menjawab.
Ketika keduanya memandang ke depan, maka dilihatnya orang
yang msnyebut dirinya Awan Hitam masih berjalan terus tanpa
berpaling. Agaknya ia sama sekali tidak mengetahui bahwa dua
orang sedang mengikutinya.
"Lihat." berkata Tapak Lamba, "Ia berjalan ke pategalan yang
kosong itu. Pategalan yang sepi, yang baru disiapkan untuk menjadi
sebuah padesan." "Ya." "Kesempatan bagi membunuhnya. Tentu tidak ada seorang pun
yang mengetahui. Kemudian mayatnya kita lempar ke jalan, agar
dapat diketemukan oleh seseorang. Itu adalah pertanda, kita mulai
dengan gerakan kita. Kita harus membuat hati orang-orang
Singasari ketakutan." ia berhenti sejenak, lalu, "Kita tidak dapat
mundur, karena kau sudah memulainya dengan sebuah kegagalan."
998 Kawannya tidak menyahut. Mereka berjalan semakin cepat
sehingga jarak mereka dengan orang yang menyebut dirinya
bernama Awan Hitam itu menjadi semakin dekat.
"Jangan lepaskan orang itu." geram Tapak Lamba.
Namun ternyata bahwa Awan Hitam itu tanpa disadarinya telah
berpaling. Nampak wajahnya menjadi tegang, justru karena kedua
orang yang mengikutinya sudah semakin dekat.
Tiba-tiba saja orang yang menyebut dirinya bernama Awam
Hitam itu mempercepat langkahnya, seolah-olah ia ingin
menyelamatkan diri dari kedua orang yang mengikutinya.
"Ia akan lari." berkata Tapak Lamba, "Nah kau tahu bahwa ia
menjadi ketakutan. Ia bukan apa-apa sebenarnya, hanya
memanfaatkan hadirnya para prajurit di gerbang itu."
Kawannya mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab, karena ia
harus berkata lantang, "Lihat, ia benar-benar lari."
"Kita harus menangkap dan membunuhnya." sahut Tapak Lamba
sambil berlari pula mengejarnya.
Ternyata Awan Hitam benar-benar telah berlari secepat dapat
dilakukannya, sedang Tapak Lamba mengejarnya bersama
kawannya. Untuk beberapa saat lamanya mereka berkejaran. Sekali-sekali
orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu berpaling. Dan setiap
kali ia melihat Tapak Lamba semakin dekat, maka ia pun berusaha
untuk berlari lebih cepat.
Tetapi ternyata bahwa Tapak Lamba dapat berlari lebih cepat.
Jarak mereka semakin lama menjadi semakin dekat.
Karena ternyata bahwa orang yang menyebut dirinya Awan
Hitam itu tidak dapat mempercepat larinya, dan merasa bahwa ia
tidak akan dapat lolos lagi jika ia tetap berlari di sepanjang jalan,
maka tiba-tiba ia pun segera meloncat masuk ke dalam pategalan
yang sepi dan luas. 999 "Awas." teriak Tapak Lamba, "Jangan sampai lolos."
Ia pun kemudian meloncat masuk ke dalam pategalan pula
disusul oleh kawannya. Keduanya benar-benar tidak mau
melepaskan buruannya. Untuk beberapa saat Awan Hitam masih dapat berlari berputaran
di antara pepohonan. Tetapi tiba- tiba Tapak Lamba berkata kepada
temannya di belakangnya, "Kita berpencar."
Dengan demikian, maka orang yang menamakan dirinya Awan
Hitam itu pun segera kehilangan kesempatan. Kawan Tapak Lamba
berhasil mencegatnya, sehingga Awan Hitam karus berhenti dengan
nafas terengah-engah. Ketika ia akan berlari membalik, Tapak
Lamba suda ada di belakangnya.
"Nah." berkata Tapak Lamba. Ternyata nafasnya pun mulai
berkejaran lewat rongga hidungnya, "Kau tidak akan dapat lepas
lagi dari tangan kami."
"Kenapa kalian mengejar aku." suara Awan Hitam menjadi
gemetar. "Kau tidak usah bertanya lagi." jawab Tapak Lamba, "Kau
memang pantas untuk dibunuh."
"Tetapi aku tidak bersalah."
"Aku tidak mengerti, kenapa kau masih dapat menyebut dirimu
tidak bersalah. Kau telah menggagalkan usahaku untuk membunuh
kedua anak-anak muda, itu."
"Maksudku baik bagimu dan bagiku."
"Gila. Sudah aku katakan, kau telah membuat kami marah sekali.
Saat itu, aku membenarkan katamu, bahwa kami tidak akan dapat
berkuat apa-apa dihadapan para prajurit Singasari. Tetapi sekarang,
kita tidak berada di dekat para prajurit itu lagi."
"Tetapi aku tidak berbuat apa-apa atasmu berdua."
1000 Tiba-tiba saja kawan Tapak Lamba berkata, "Kita tidak perlu
banyak berbincang lagi. Apakah yang sebaiknya kita lakukan,
marilah kita lakukan."
Tapak Lamba mengangguk-angguk sambil memandang orang
yang menyebut dirinya Awan Hitam itu dengan tajamnya. Kemudian
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia pun menggeram, "Awan Hitam yang malang. Kami akan segera
membunuhmu dan melemparkan mayatmu ke jalan raya agar pada
suatu saat mayat itu dapat diketemukan seseorang. Dengan
demikian kita sudah membuat kesan yang pertama akan ketidak
tenangan Singasari. Kemudian akan disusul dengan mayat-mayat
berikutnya yang berserakan di dalam dan di luar kota raja ini."
"Jangan. Jangan." Awan Hitam mundur selangkah, "Sudah aku
katakan. Kesan yang demikian tidak menguntungkan sama sekali.
Prajurit-prajurit Singasari akan segera bersiaga dan menempatkan
diri disemua sudut negeri ini. Itu sangat merugikan pekerjaan kami
dan semua kawan-kawan kami."
"Persetan dengan pekerjaanmu. Kau agaknya pencuri ayam atau
jemuran di siang hari. Aku tidak peduli. Kau harus mati. Cepat,
tundukkan kepalamu, agar aku dapat memancung lehermu dengan
mudah." Awan Hitam mundur lagi selangkah, "Itu, itu tidak mungkin. Aku
hanya berbuat sesuatu yang menurut pendapatku baik. Tetapi
kenapa sekarang aku harus menghadapi maut."
"Jangan menyesal. Cepat. Bungkukkan badanmu. Akulah yang
akan memenggal lehermu." berkata kawan Tapak lamba sambil
melangkah maju. Tapak Lamba pun menyambung, "Barangkali kau akan
menempuh cara lain yang lebih baik bagimu" Kau akan membunuh
diri dengan keris atau dengan membenturkan kepalamu pada
sebatang pohon?" Awan Hitam memandang kedua orang itu berganti-ganti. Tetapi
agaknya mulutnya sudah tidak dapat mengucapkan kata-kata
apapun lagi. 1001 "Cepat, pilihlah jalan kematianmu yang paling baik menurut
seleramu." Orang itu tidak menjawab.
"Ia tidak mempunyai pilihan."
"Ya. Kitalah yang harus menentukan." berkata Tapak Lamba
sambil mengacung-acungkan tongkatnya. Lalu katanya, "Aku akan
membunuhnya dengan racun. Jika ia terkena duri beracunku yang
terlontar dari tongkatku, ia masih sempat berjalan sendiri sampai ke
jalan raya." "Bagus sekali." desis kawannya.
Namun tiba-tiba Awan Hitam menyahut, "Bagaimana jika, aku
memilih dipancung saja" Tetapi agaknya kalian tidak membawa
pedang. Apakah kalian dapat memancung kepalaku dengan keris
yang terlalu kecil itu?"
Pertanyaan itu ternyata membuat kedua orang yang akan
membunuh Awan Hitam itu terkejut. Sejenak mereka termangumangu
memandanginya dengan penuh keheranan.
Selagi kedua orang itu termangu-mangu, maka terdengarlah
Awan Hitam itu tertawa. Semakin lama semakin keras sehingga
tubuhnya terguncang-guncang.
Tapak Lamba dan kawannya itu menjadi semakin heran. Orang
yang bernama Awan Hitam itu semakin lama rasa-rasanya menjadi
semakin asing bagi mereka karena suara tertawanya dan sikapnya.
Ketika Tapak Lamba menyadari keadaan itu, maka tiba-tiba saja
ia membentak sekeras-kerasnya, "Diam. Diam."
Awan Hitam terdiam sejenak. Dipandanginya Tapak Lamba
dengan tatapan mata yang aneh. Kemudian katanya, "Kau tidak
berhak menghentikan suara tertawaku. Aku ingin tertawa lepas
sepuas-puasnya. Aku melihat lelucon yang sangar menarik di sini."
"Apa yang kau maksud?"
1002 "Kalian berdua."
"Gila." Tapak Lamba menggeram. Rasa-rasanya telinganya
bagaikan disentuh dengan api.
Dan Awan Hitam pun mulai tertawa lagi sambil berkata, "Itulah
agaknya maka kalian tidak akan pernah dapat menyelesaikan
pekerjaan kalian dengan baik, karena kalian terlalu banyak
berbicara, tanpa ujung dan pangkal."
"Persetan. Sekarang aku akan membunuhmu."
Tapak Lamba yang merasa terhina, tidak dapat menahan hatinya
lagi. Ia pun kemudian mengacukan tongkatnya dan melekatkan
ujung tongkatnya pada mulutnya.
Degan sekuat tenaganya ia meniup sumpitnya dan melontarkan
sepucuk duri yang tajam beracun pada jarak yang tidak terlalu jauh
dari sasarannya. Tetapi pada saat yang bersamaan, Awan Hitam berputar
setengah lingkaran sambil memiringkan tubuhnya. Namun ternyata
gerak yang sederhana itu telah membebaskannya dari ujung duri
sumpit Tapak Lamba. "Gila." geram Tapak Lamba, "Kau dapat mengelakkan senjataku."
Awan Hitam tertawa. Katanya, "Senjatamu sudah jauh
ketinggalan jaman. Sampai habis nafasmu, kau tidak akan dapat
mengenai sasaran. Karena itu, buang sajalah senjata itu."
Awan Hitam masih akan berbicara Lagi. Tetapi suaranya
terputus. Tiba-tiba saja kawan Tapak Lamba telah meloncat
menyerang dengan ujung kerisnya.
Dengan mudah pula Awan Hitam meloncat menghindari sambil
berdesis, "Agaknya kau mampu berkelahi pula. Sayang bahwa kau
masih terlampau lamban untuk dapat mengalahkan kedua anakanak
Mahendra itu. Kau bertiga memang bukan lawan kedua anakanak
Mahendra. Baru kau bertiga melawan seorang saja dari
1003 mereka, agaknya perkelahian akan seimbang. Namun belum
menjamin bahwa kalian akan memenangakan perkelahian itu."
Tapak Lamba dan kawannya seolah-olah telah terbangun dari
mimpinya. Mereka mulai menyadari, bahwa sebenarnya mereka
sedang berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Karena itu, maka Tapak Lamba pun kemudian tidak lagi berbuat
dengan tergesa-gesa. Ia sendiri adalah orang yang cukup berilmu.
Kelengahanyalah yang membuatnya seolah-olah sedang
menunjukkan kebodohan yang tidak ada taranya dihadapan orang
yang menyebut dirinya Awan Hitam itu.
Sambil menarik nafas Tapak Lamba pun kemudian justru
meletakkan tongkat. Kemudian katanya dengan sareh, "Kau benar
Awan Hitam. Kau memang sedang melihat satu lelucon yang sangat
menarik. Aku adalah orang yang sangat bodoh pada hari ini. Dan
kau memang berhak menertawakannya sepuasmu. Tetapi, jika kau
sudah puas, maka kita akan berhadapan dengan cara yang lain."
Awan Hitam mengerutkan keningnya. Justru ia tidak tertawa lagi.
Dipandanginya wajah Tapak Lamba dengan tatapan mata yang
tajam. "Aku mengerti. Dan kau mulai bersungguh-sungguh sekarang."
"Ya. Sekarang aku tidak dapat berkata, bahwa aku akan
membunuhmu. Tetapi marilah kita berkelahi. Siapakah di antara kita
yang akan terbunuh mati hari ini."
Awan Hitam menarik nafas pula. Katanya, "Apakah itu perlu?"
"Kita sudah terlanjur saling membenci. Dan karena sikapmu,
maka aku menjadi tidak percaya lagi kepadamu apapun yang akan
kau katakan. Agaknya kau memang seorang petugas yang sedang
berusaha melindungi kedua anak-anak muda itu. Karena itulah,
maka kita akan berkelahi sampai mati. Kau atau aku."
"Kau boleh tidak percaya kepadaku. Tetapi sebenarnyalah bahwa
maksudku hanya sekedar menggagalkan usahamu membunuh
kedua anak Mahendra dengan alasan seperti yang sudah aku
1004 katakan. Aku mempunyai rencana yang jauh lebih besar dari
sekedar membuat Singasari menjadi kacau."
"Aku tidak perduli rencanamu. Aku berhak menantang kau
berperang tanding sekarang. Harga diriku benar-benar telah
tersinggung karena sikapmu."
"Apakah aku dapat minta maaf?"
"Tidak. Bersiaplah. Barangkali kita memerlukan waktu yang agak
panjang." Awan Hitam menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku tidak
bermaksud menyinggung perasaanmu. Aku memang suka bermainmain
dengan cara itu." "Tetapi tidak dengan aku."
Orang yang menamakan dirinya Awan Hitam itu termangumangu
sejenak. Dengan sorot mata yang sukar diduga maknanya ia
berkata, "Aku menyesal bahwa aku telah mempergunakan cara yang
tidak kau sukai. Tetapi sayang, itu adalah kebiasaanku."
"Persetan." sahut Tapak Lamba, "Jika demikian, maka kita akan
mempergunakan cara kita masing-masing. Cara yang paling kita
sukai menurut selera kita sendiri-sendiri."
"Seharusnya kau tidak bersikap demikian."
"Apa boleh buat."
Orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu pun menarik nafas
sambil berkata, "Jika itu pilihanmu, terserahlah."
Tapak Lamba pun bergeser setapak maju. Kemarahannya sudah
tidak dapat disabarkannya lagi. Dengan wajah yang tegang itu pun
segera mempersiapkan dirinya.
Kawannya, berdiri termangu-mangu beberapa langkah
daripadanya. Namun agaknya Tapak Lamba ingin menyelesikan
persoalan itu seorang diri, sehingga ia pun masih tetap berdiri saja
ditempatnya. 1005 Awan Hitam pun segera bersiap pula. Beberapa langkah ia
bergeser kesamping. Nampak wajahnya menegang, dan keningnya
berkerut merut. Ternyata sikap Tapak Lamba yang meyakinkan, membuatnya
harus berhati-hati. "Masih ada kesempatan untuk bersikap lebih baik." berkata Awan
Hitam. Tapak Lamba tidak menyahut. Ia pun melangkah maju, dengan
sebelah tangan terjulur lurus ke depan, sedang tangannya yang lain
diangkatnya tinggi-tinggi.
"Kau sudah tidak mau mempertimbangkan kata-kataku lagi?"
Awan Hitam masih akan bertanya lebih banyak, tetapi Tapak Lamba
pun telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Ternyata bahwa Tapak Lamba memiliki kemampuan yang
mengagumkan. Serangannya jauh lebih cepat dari serangan
kawannya. Dalam keadaan yang demikian, ia justru tidak
mempergunakan sumpitnya lagi.
Awan Hitam tidak mempunyai pilihan lain. Ia pun harus melayani
Tapak Lamba yang sudah mulai menyerangnya.
Dengan cepat, Awan Hitam pun mengelakkan serangan itu. Ia
meloncat ke samping sambil memiringkan tubuhnya, sehingga
serangan lawannya lewat beberapa jari saja dari dadanya.
Tetapi Tapak Lamba belum melakukan serangan yang
sebenarnya. Seolah-olah ia sedang menjajagi kemampuan lawannya
yang baru dikenalnya itu. Namun, ketika serangannya yang pertama
tidak menyentuh sasaran, maka ia pun segera meloncat seolah-olah
melenting dengan serangan barunya. Kakinya berputar mendatar
menyambar lambung lawannya yang sedang bergeser ke samping.
Tetapi Awan Hitam pun mampu bergerak secepat lawannya
Demikian kaki itu menyambar lambunganya, ia pun telah meloncat
surut pula. 1006 Tapak Lamba tidak mau melepaskan lawannya. Dengan serta
merta ia pun memburunya. Serangan berikutnya datang bagaikan
angin prahara. Ia melangkah maju dengan pukulan tangan lurus
kedepan, disusul dengan tangan yang lain.
Namun, sekali lagi serangannya tidak mengenai sasaran. Awan
Hitam masih sempat menghindari pukulan tangannya yang dapat
merontokkan tulang iga itu.
Tapak Lamba menjadi semakin marah karenanya. Serangannya
yang beruntun itu sama sekali tidak mengenai sasarannya. Karena
itu, maka ia pun mempercepat tata geraknya dan menyerang lebih
dahsyat lagi. Bertubi-tubi seperti badai yang bertiup dengan
dahsyatnya menghantam tebing pegunungan, tanpa ada hentinya.
Namun Awan Hitam benar-benar seorang yang memiliki
ketangkasan yang tinggi. Ternyata serangan itu sama sekali tidak
mengenai sasarannya. "Gila." Tapak Lamba menggeram, "Apakah kau mempunyai ilmu
iblis atau sebangsanya?"
"Apakah kita akan berbicara?" tiba-tiba saja Awan Hitam
bertanya. "Persetan." Tapak Lamba pun menyerang semakin dahsyat.
Tetapi serangannya sama sekali tidak mampu menyentuh
lawannya, apalagi mengenai dan melukainya.
Kawan Tapak lamba yang menyaksikan perkelahian itu
mengerutkan keningnya. Ia pun menjadi tegang dan kadang-kadang
bingung melihat gerak Awan Hitam itu. Seolah-olah ia dapat
melakukan gerakan yang tidak masuk akal. Sekali-sekali kakinya
bergeser ke kiri, namun tiba-tiba saja tubuhnya telah melenting ke
kanan. Kawan Tapak Lamba itu pun akhirnya tidak dapat berdiam diri. Ia
melihat kesullitan yang dialami oleh Tapak Lamba. Sehingga karena
itu, ia mulai mempertimbangkan untuk turut serta dalam
perkelahian itu. 1007 Namun demikian, ada satu hal yang menarik perhatiannya.
Dalam keadaan yang tegang itu, seakan-akan hanyalah Tapak
Lamba sajalah yang selalu menyerang. Awan Hitam sama sekali
tidak membalas serangan-serangan itu dengan serangan pula.
"Apakah demikian derasnya serangan Tapak Lamba sehingga
Awan Hitam sama sekali tidak berkesempatan untuk membalas
dengan serangan pula?" bertanya kawan Tapak Lamba itu di dalam
hatinya. "Aku tidak peduli." Sambungnya, "Aku harus melibatkan diri agar
pekerjaan ini cepat selesai."
Untuk beberapa saat kawan Tapak Lamba itu masih berdiri
termangu-mangu. Namun kemudian tekatnya pun menjadi bulat.
Meskipun ia tahu, orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu
memiliki kelebihan, bahkan kadang-kadang sempat membuatnya
kebingungan, namun ia pun mempunyai kepercayaan kepada diri
sendiri, bahwa ia mempunyai bekal untuk membantu Tapak Lamba
itu. Karena itu, maka beberapa langkah ia maju mendekati arena.
Kemudian dengan keris di tangan ia meloncat masuk ke dalam
lingkaran pertempuran. "He, kau ikut serta?" bertanya Tapak Lamba. Orang itu sama
sekali tidak menjawab. Tetapi seperti Tapak Lamba ia pun langsung
menyerang dengan sengitnya.
Awan Hitam bergeser surut beberapa langkah. Kedua lawannya
ternyata telah benar-benar sampai kepuncak ilmunya.
"Jadi kalian berdua sudah tidak dapat diajak berbicara iagi?"
Awan Hitam masih bertanya.
Sama sekali tidak ada jawaban. Tapak Lamba dan kawannya
benar-benar sudah menjadi mata gelap. Mereka menyerang
beruntun dengan dahsyatnya.
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
1008 Awan Hitam terpaksa bergeser beberapa kali. Ternyata untuk
melawan dua orang yang memiliki ilmu yang cukup itu, ia harus
memusatkan perhatiannya dan bersikap bersungguh-sungguh.
Sejenak kemudian maka perkelahian itu pun nampaknya menjadi
semakin seru. Awan Hitam yang masih saja selalu mengelak,
akhirnya menjadi jemu. "Jika kalian memang tidak dapat diajak berbicara, maka aku pun
akan mempergunakan cara yang telah kalian pilih." berkata Awan
Hitam. Tapak Lamba dan kawannya sama sekali tidak menghiraukannya,
dan bertempur dengan sengitnya.
Sejenak, Awan Hitam masih dalam sikapnya. Setiap kali ia harus
menghindarkan diri dari serangan Tapak Lamba dan ujung keris
lawannya. Tetapi, disaat berikutnya. Awan Hitam mulai mempersiapkan
serangan-serangannya sambil berkata, "Menjemukan sekali. Kalian
harus sedikir belajar melihat kenyataan ini."
Dengan demikian, maka Awan Hitam mulai melawan kedua orang
itu, bukan saja sekedar mengelak dan melangkah surut tetapi ia pun
mulai menyerang dengan gerak yang sangat cepat.
Hampir diluar akal, bahwa Awan Hitam masih selalu dapat
mengelakkan kedua serangan yang kadang-kadang datang
bersamaan dengan dahsyatnya, dan bahkan kemudian dengan
tangkasnya ia masih berhasil menyentuh lawannya dengan
serangan yang mulai dilontarkannya.
"Benar-benar gila." desis Tapak Lamba, "Apakah aku berhadapan
dengan Mahendra itu sendiri yang menyamar" Atau Witantra atau
Mahisa Agni?" Namun pertanyaan itu dijawabnya sendiri, "Tidak. Aku sudah
pernah melihat mereka, dan bagaimana pun juga ia mengenakan
samaran, aku akan tetap mengenalnya."
1009 Namun lawannya itu pun benar-benar orang yang pilih tanding,
yang tidak dapat disentuh oleh serangan-serangannya bersama
kawannya. Bahkan kadang-kadang serangan Awan Hitam itulah
yang dapat mengenainya. Meskipun demikian Tapak Lamba masih bertempur terus. Ia
masih belum berputus asa, karena ia pun merasa dirinya memiliki
ilmu yang cukup tinggi. Tetapi ia tidak dapat ingkar, ketika terasa nafasnya mulai
mergganggu. Ia menjadi semakin heran terhadap dirinya sendiri. Ia
pernah bertempur sehari penuh tanpa berhenti sebelum lawannya
tergolek di tanah dengan darah yang memancar dari lukanya.
Namun kini, tiba-tiba saja tenaganya seperti terhisap habis oleh tata
gerak dalam puncak ilmunya yang diperas dalam perlawanannya
atas orang yang menyebut dirinya Awan Hitam itu.
"Apalagi ketika sentuhan." serangan lawannya semakin sering
mengenai tubuhnya. Lengannya bagaikan dicengkam oleh perasaan
nyeri karena pukulan Awan Hitam, dan tulang pahanya serasa
menjadi retak ketika tumit lawannya itu mengenainya.
"Uh, gila. Tenagaku bagaikan terhisap habis."
Tetapi perkelahian itu masih berlangsung terus.
Awan Hitam memperhatikan keadaan lawannya dengan saksama.
Dengan jari-jarinya ia berhasil menyakiti hampir seluruh tubuh
kawan Tapak Lamba, sehingga diluar sadarnya, ia selalu meloncat
menjauhi orang yang menyebut dirinya Awan Hitam. Dengan
demikian, perlawanannya hampir tidak berarti sama sekali. Sedang
Tapak Lamba pun menjadi semakin lama semakin lemah pula.
Perasaan sakit dan nyeri telah menyentuh seluruh tubuhnya.
Meskipun Awan Hitam tidak bersenjata, tetapi jari-jari tangannya,
tumit dan sikunya, serta ujung jari kakinya, seolah-olah merupakan
senjata yang tidak kalah dahsyatnya dengan tajamnya ujung keris.
Ada semacam penyesalan yang merambat di hati Tapak Lamba.
Jika ia tidak terburu nafsu, dan membiarkan orang yang menyebut
1010 dirinya Awan Hitam itu pergi, maka ia tidak akan terlibat dalam
perkelahian yang sangat menyakitkan itu. Menyakitkan hati, dan
menyakitkan tubuh. Tiba-tiba saja, dalam keadaan itu, Awan Hitam menggeram,
"Bukankah kita sudah berjanji untuk menyelesaikan perkelahian ini
dengan kematian" Nah, aku akan melaksanakan perjanjian itu
sebaik-baiknya." Ancaman itu benar-benar telah menggetarkan hati Tapak Lamba
dan kawannya Tetapi ternyata mereka pun bukan seorang yang
lekas berputus asa dan kehilangan harga diri. Apalagi Tapak Lamba,
yang sama sekali tidak berhasrat untuk melarikan diri dari arena.
Apalagi ia menyadari, bahwa lari pun tidak akan ada artinya. Jika
lawannya akan membunuhnya, maka ia pun tentu akan mati. Dan
dalam saat-saat terakhir itu, ia masih akan tetap menengadahkan
dadanya, bahwa ia mati sebagai seorang laki-laki.
Demikianlah perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin
tidak seimbang. Tapak Lamba yang dengan heran merasa seolaholah
tenaganya terhisap habis beserta kawannya yang juga tidak
berdaya itu, dengan tabah menunggu kematian yang sudah mulai
membayang. Namun pada saat keduanya tidak dapat mengelak lagi, terasa
tubuh mereka terdorong dengan kerasnya, sehingga mereka berdua
terbanting beberapa langkah surut. Tetapi mereka masih tetap
merasa, bahwa mereka masih belum mati terbunuh.
Dengan susah payah kedua berusaha bangkit. Tetapi rasarasanya
tulang-tulang mereka telah terlepas dari tubuh, sehingga
yang dapat mereka lakukan hanyalah duduk bertelekan tangan.
"Nah, alangkah mudahnya membunuh kalian berdua sekarang."
berkata Awan Hitam. Wajahnya yang tiba-tiba telah berubah
nampak tegang dan garang. Ia bukan lagi seorang laki-laki yang
berwajah pucat dan berlari-lari menghindari Tapak Lamba dan
kawannya yang terpancing sampai ke pategalan itu. Tetapi ia adalah
1011 seorang laki-laki yang memancarkan pengaruh yang tidak dapat
disebutnya dengan kata-kata.
Tetapi Tapak Lamba tidak mau mengorbankan harga dirinya
pada saat terakhir. Apapun yang dilakukannya, ia merasa bahwa
kematian sudah akan menjemputnya. Karena itu, ia memilih saat
kematian yang paling baik bagi seseorang yang pernah menjadi
seorang Senopati perang di masa pemerintahan Tohjaya yang
hanya sesaat itu. "Kalau kau akan membunuh kami, bunuhlah. Tetapi sebelum
kami mati, kami ingin mengetahui, siapakah kau yang sebenarnya.
Apakah kau Mahendra itu sendiri yang menyamar, atau orang lain
yang dengan sengaja melindungi kedua anak-anak Mahendra itu?"
"Kalian memang dungu. Sudah tentu aku bukan Mahendra atau
orang yang melindungi anaknya. Aku adalah orang lain. Sudah aku
katakan, namaku Awan Hitam. Aku memang mempunyai
kepentingan dengan menggagalkan usahamu membunuh siapa pun
juga sekarang ini. Aku tidak mau Singasari terbangun dari mimpinya
dan bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Aku ingin Singasari
tetap tidur nyenyak. Bahkan semakin nyenyak."
"Siapa kau sebenarnya" Apakah kau tidak berani
mengatakannya?" Orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu, "Baiklah. Aku tidak
mau membuat kalian kecewa disaat menjelang kematian. Aku
adalah Linggadadi, adik Linggapati dari Mahibit."
"He." Tapak Lamba terkejut. Namun kemudian ia menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, "Aku pernah mendengar nama Linggapati.
Aku pernah membicarakan dengan beberapa orang kawan untuk
membuat hubungan dengan Linggapati di Mahibit. Tetapi kini kita
bertemu sebagai lawan, dan kita sudah berjanji untuk saling
membunuh. Nah, sekarang bunuhlah. Aku mengerti kenapa kau
berusaha untuk membuat Singasari tetap tertidur."
"Kenapa kau berusaha membuat hubungan dengan Mahibit yang
dipimpin oleh kakang Linggapati?"
1012 "Terasa ada kekuatan yang asing bagi Singasari di Mahibit.
Adalah karena firasat kami, orang-orang yang merasa terancam
karena terbunuhnya Tohjaya, bahwa pada suatu saat kekuatan di
Mahibit akan bertambah besar."
Linggadadi tiba-tiba saja tertawa. Katanya, "Apakah kau sekedar
ingin menyambung umurmu?"
"Tidak. Aku sudah mengatakannya. Bunuhlah jika kau mau
membunuh kami." Linggadadi justru menjadi ragu-ragu. Lalu ia pun bertanya,
"Apakah kau berkata dengan jujur, bahwa kau memang akan
membuat hubungan dengan kakang Linggapati?"
"Pikiran itu ada pada kami. Tetapi kami belum membuat langkahlangkah
yang nyata dan pasti untuk itu." ia berhenti sejenak, "Tidak
ada gunanya kau bertanya lagi. Sekarang, bunuhlah jika kau ingin
membunuh. Salamku buat Linggapati."
"Kau memang gila. Linggapati bukan sederajadmu. Ia adalah
kakakku, dan memiliki banyak kelebihan dari aku. Nah, kau dapat
membayangkan. Kau berdua tidak dapat melawan aku seorang diri,
apalagi kakang Linggapati."
"Aku tidak perlu menghormati orang yang akan membunuhku."
Linggadadi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sikapmu
sangat menarik. Kau tidak begitu banyak menyimpan ilmu. Terapi
hatimu keras seperti batu." ia berhenti sejenak, lalu, "Sudah barang
tentu bahwa Mahibit masih memerlukan banyak sekali kekuatan
untuk dapat membayangi Singasari. Karena itu agaknya kami masih
memerlukan waktu. Dan selama ini Singasari harus aman tenteram,
dan dengan demikian maka Ranggawuni dan Mahisa Cempaka akan
tertidur nyenyak." "Demikian juga orang yang kau sebut bernama Mahendra,
kemudian Mahisa Agni, Witantra, Lembu Ampal, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat." ia berhenti sejenak, lalu, "He, apakah kau
1013 mengetahui bahwa masih ada anak Mahendra yang lain, yang
bernama Mahisa Bungalan?"
"He?" sahut Tapak Lamba, "Aku tidak mengetahui. Kedua anak
yang ada di istana itu pun aku tidak mengetahui sebelumnya."
Orang yang menyebut dirinya bernama Linggadadi itu
mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Ternyata kau tidak
banyak mengetahui tentang Singasari meskipun aku tahu pasti,
bahwa kau adalah bekas prajurit Singasari pada masa pemerintahan
Tohjaya yang hanya sekejap. Memang Tohjaya tidak akan dapat
memerintah Singasari dengan baik, karena ia tidak berbekal apapun.
Pengetahuan kajiwan apalagi. Sedangkan kanuragan pun ia tidak
cukup mumpuni untuk seorang raja."
"Jangan menghina. Jika kau mau membunuh kami, lakukanlah."
geram Tapak Lamba. Linggadadi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia berkata, "He,
apakah kau masih tetap pada rencanamu untuk berhubungan
dengan Kakang Linggapati" Tentu saja dalam hubungan yang sesuai
dengan tingkat dan derajadmu?"
"Apa maksudmu?"
"Apakah kau benar-benar ingin menghambakan diri kepada
Kakang Linggapati?" "Persetan. Bunuh kami. Kami bukan budak-budak yang hanya
sekedar mencari hidup dengan menghambakan diri."
Linggadadi tertawa. Katanya, "Itu memang sangat menarik.
Tetapi tidak ada jalur hubungan yang pantas bagimu di hadapan
Kakang Linggadadi daripada menghambakan diri."
"Tidak. Bunuh kami jika kau ingin membunuh."
"Baiklah. Jika kau tidak mau mendengarkan tawaranku, kau
memang sebaiknya dibunuh. Aku dan sudah barang tentu kakang
Linggapati tidak akan membutuhkan orang seperti kau berdua.
1014 Orang yang tidak tahu diri dan dengan demikian tidak dapat
menempatkan dirinya sendiri."
"Cukup, cukup." teriak Tapak Lumba.
Linggadadi tertawa. Katanya, "Baik, baik. Memang sudah cukup.
Kini bersiaplah untuk mati. Jika kau ingin mati dengan cepat,
sayang, aku tidak dapat menolongmu. Aku akan mempergunakan
sumpitmu saja. Aku akan menyumpit kau dengan duri-duri yang kau
sediakan." "Gila." "Aku juga mengerti serba sedikit tentang racun semacam itu."
"Gila ,gila." Linggadadi tertawa berkepanjangan. Sifat-sifatnya menjadi
berubah sama sekali. Ia benar-benar iblis yang sangat mengerikan.
Tetapi suara tertawanya pun terputus ketika ia mendengar
seseorang mendehem dibalik gerumbul perdu yang rimbun. Tidak
terlalu jauh dari tempatnya berdiri.
Linggadadi pun segera bersiaga menghadapi setiap kemungkinan
yang dapat terjadi. Tetapi ketika seseorang muncul dari balik gerumbul itu,
Linggadadi justru tertawa. Katanya, "Kakang, kau membuat aku
terkejut. Apakah urusanmu sudah selesai di istana?"
Linggapati menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Aku belum
dapat berbuat apa-apa. Orang-orang itu kini sedang berkumpulan,
sehingga sangat berbahaya untuk berbuat sesuatu meskipun hanya
sekedar melihat-lihat."
"Nah, aku telah menangkap dua ekor kelinci. Aku sedang bersiap
untuk membunuhnya." Tetapi Linggapati menggelengkan kealanya. Katanya, "Jangan.
Aku mengikuti apa yang sudah kau kerjakan selama ini. Kau
1015 memang adikku yang garang. Tetapi kau kadang-kadang berbuat
seperti kanak-anak."
"Maksud kakang?"
"Tapak Lamba adalah sahabat yang baik bagi kita. Kau tidak
dapat bersikap demikian kasar dan merendahkan martabatnya."
"He, jadi kakang menganggap orang ini penting?"
"Semua orang yang mengerti akan perjuangan kita adalah orang
penting bagi kita. Bukankah Tapak Lamba sudah mengatakan
bahwa sebenarnya ia sudah bersiap-siap untuk membuat hubungan
dengan kita." "Tentu bukan sebuah hubungan. Ia akan menghambakan diri
kepada kita." "Itulah sifat kekanak-kanakanmu. Dalam keadaan seperti
sekarang, kau yang sudah mulai ubanan itu, tidak boleh lagi
bersikap seperti kanak-anak. He, bukankah umurmu sudah
mendekati pertengahan abad" Kau harus menjadi dewasa dan
matang menghadapi seseorang."
"Kakang akan memberi mereka ampun?"
"Tidak Bukan pengampunan. Tetapi sebenarnyalah bahwa kita
memerlukan mereka." "Oh, omong kosong. Kakang terlalu merendahkan diri. Itu tidak
perlu sama sekali terhadap orang-orang seperti ini. Kakanglah yang
bersikap terlalu kekanak-kanakan."
Linggapati tersenyum. Katanya, "Jangan bodoh. Menepilah. Aku
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan berbicara dengan mereka."
Linggadadi pun kemudian melangkah menepi. Dipandanginya
saja kakaknya yang mendekati Tapak Lamba dan kawannya yang
masih duduk dengan lemahnya bersandar kedua tangan masingmasing.
1016 "Marilah, bangkitlah." berkata Linggapati sambil menekan bahu
Tapak Lamba. "Kami sangat memerlukan kalian." Tangan Linggapati
masih tetap menekan bahu Tapak Lamba. Namun kemudian tangan
itu bergeser kepunggung. Sesuatu rasa-rasanya telah menjalari
seluruh tubuh Tapak Lamba. Dan sejenak kemudian maka rasarasanya
tubuhnya telah menjadi segar kembali.
"Berdirilah." berkata Linggapati sambil mendekati kawan Tapak
Lamba dan berbuat serupa pula.
"Tidak ada gunanya kalian bersikap demikian baik terhadap kami.
Aku tahu, kami akan kalian peralat untuk tujuan tertentu."
Linggapati tersenyum. Ia sama sekali tidak menghiraukan sikap
Tapak Lamba yang masih dicengkam oleh kecurigaan dan
kebencian. "Kalian memang pandai berpura-pura." berkata Tapak Lamba
kemudian. Linggapati bahkan tertawa karenanya.
"Adikmu juga pandai berpura-pura. Ia menyebut dirinya bernama
Awan Hitam, memancing kami ke tempat ini dan akan membunuh
kami dengan caranya. Tentu kau juga sedang berpura-pura. Tentu
kau juga sedang merencanakan cara yang paling baik menurut
seleramu, untuk membunuh kami."
"Ki Sanak." berkata Linggapati, "Aku berkata sebenarnya. Jika
kau menuduh aku mempunyai tujuan tertentu itu adalah benar. Aku
memang mempunyai tujuan tertentu. Tujuan yang besar, sebesar
kerajaan Singasari." ia berhenti sejenak, lalu, "Aku selalu
membayangkan, bagaimana mungkin Sri Rajasa pada waktu itu
berhasil menguasai seluruh kerajaan Kediri yang dimulainya dari
daerah yang kecil, Tumapel."
"Sri Rajasa mendapat haknya dari isterinya."
"Atas Tumapel memang benar. Tuan Puteri Ken Dedes yang baru
saja wafat itulah yang mewarisi kekuasaan dari suaminya, tuanku
Tunggul Ametung. Tetapi sebelumnya Tunggul Ametung tidak
1017 pernah berbuat apa-apa bagi Tumapel. Baru setelah Ken Arok
memegang kekuasaan, maka Tumapel akhirnya menjadi besar di
bawah pemerintahannya yang kemudian bergelar Sri Rajasa. Nah,
apakah ada orang yang dapat ingkar bahwa kebesaran Singasari
sekarang adalah hasil perjuangan Ken Arok yang bergelar Sri Rajasa
itu" Bukan tuanku Anusapati. Bukan tuanku Tohjaya. Apalagi
Tohjaya yang sudah didorong-dorong oleh ayahandanya Sri Rajasa,
namun ia sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Ia membunuh
Anusapati dengan cara yang paling bodoh. Nah, akhirnya kau tahu
sendiri, apakah yang terjadi dengan tuanku Tohjaya. Bahkan
Ranggawuni, bukan Mahisa Cempaka, bukan Mahisa Agni atau
Witantra, bukan pula Mahendra atau Lembu Ampal yang
membunuhnya. Tetapi pengawalnya sendiri." Linggapati berhenti
sejenak, lalu, "Nah, apakah kau masih juga berkeras hati untuk
melepaskan dendammu atas kematian Tohjaya" Kau menjadi sangat
setia kepadanya karena kau pernah menerima banyak
pemberiannya dan mungkin janji-janji yang tinggi. Tetapi kini
tinggallah mimpi buruk saja bagimu."
Tapak Lamba tdak menjawab. Tetapi agaknya ia mendengarkan
keterangan yang diucapkan oleh Linggapati itu.
"Nah, sekarang terserah kepadamu. Apakah kau akan letap setia
kepada seseorang yang memang tidak mempunyai kelebihan dan
apalagi hasil yang gemilang semasa pemerintahannya itu atau kau
akan berpikir menurut nalar."
Tapak Lamba tidak menyahut.
"Nah. Sebaiknya kau memang mempertimbangkannya dengan
saksama. Jika kau masih saja ingin berbuat sesuatu untuk
kepentingan Tohjaya, maka kau tentu tidak akan mendapatkan
apapun, karena Tohjaya memang sudah mati. Mati dalam keadaan
yang tidak menguntungkan sama sekali." Linggapati berhenti
sejenak, lalu, "Tetapi jika kau berbuat. Sesuatu dengan
pertimbangan nalar, tentu kau akan berbuat lain. Berbuat sesuatu
yang berguna bagimu sekarang."
"Dan aku harus menjadi hambamu?"
1018 Linggapati tertawa. Katanya, "Istilah Linggadadi memang
menggelikan. Karena itu aku menyebutnya seperti kanak-kanak
meskipun ia sudah mulai ubanan." ia berhenti sejenak. Lalu, "Sudah
barang tentu aku tidak dapat mengatakan demikian. Yang terjadi
adalah kerja sama. Kau tentu mempunyai kekuatan. Kawankawanmu
yang sakit hati masih banyak. Mungkin ada diantara
mereka yang kini lebih baik bersembunyi sambil menekan gejolak
perasaan itu di dalam dadanya, karena ia sadar bahwa ia tidak akan
dapat berbuat apa-apa. Tetapi jika terbuka saluran untuk
mengalirkan perasaan itu, maka ada kemungkinan ia akan bangun
dan bergabung dengan kita. Melepaskan sakit hati, tetapi
berlandaskan pada perjuangan yang nyata dan dapat diharapkan
bagi masa datang. Bukan sekedar membela orang yang sudah mati
dan tidak mempunyai hari depan sama sekali."
"Apa rencanamu?" bertanya Tapak Lamba.
"Sudah aku katakan. Aku mengagumi Ken Arok yang bergelar Sri
Rajasa. Aku pun mempunyai landasan daerah yang cukup kuat.
Mahibit." "Tetapi aku akan kau singkirkan setelah kau berhasil."
"Memang sesuatu yang mungkin aku lakukan. Tetapi itu akan
berarti melemahkan perjuangan untuk seterusnya dan apakah
keuntunganku berbuat demikian" Jika aku berhasil, maka sudah
tentu aku memerlukan banyak sekali tenaga yang cakap dan
tangguh untuk menguasai daerah yang sangat luas ini. Aku tentu
akan mempertimbangkan, apakah aku akan mempergunakan orangorang
yang sudah berjuang bersama-sama sebelumnya atau akan
mengambil orang-orang baru yang belum pasti kesetiaan dan
lelabuhannya. Apakah kau dapat mengerti?"
"Janji-janji yang serupa yang pernah diucapkan oleh tuanku
Tohjaya." "Apakah jika Tohjaya berhasil dan tidak terbunuh, kau juga
merasa dirimu akan disingkirkan" Jika demikian kau tentu tidak akan
dengan membabi buta setia kepadanya meskipun ia sudah mati."
1019 Tapak Lamba termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Aku akan memikirkannya."
"Baiklah. Jika kau sependapat, datanglah ke Mahibit. Aku akan
menerima kau dengan senang hati."
Tapak Lamba tidak segera menjawab. Dipandanginya Linggapati
dan Linggadadi berganti-ganti. Namun pada sorot matanya masih
memancar keragu-raguan hatinya.
"Tentu kau masih ragu-ragu." berkata Linggapati, "Tetapi pada
suatu saat kau akan menemukan ketetapan hati. Tidak ada yang
dapat kau harapkan dengan menyimpan dendam karena kematian
Tohjaya. Apalagi Tohjaya sekarang sudah mati. Sedangkan dalam
masa hidupnyapun, Tohjaya tidak dapat memberikan apa-apa
kepadamu." Tapak Lamba masih tetap berdiam diri. Sekali-sekali ia
memandang kawannya yang termangu-mangu.
Namun terngiang di telinganya kata-kata Linggadadi saat ia
mencegah usahanya membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
bahwa jika ia mengurungkan usahanya itu, ia kelak akan tertawa.
Tetapi ternyata Linggadadi justru akan membunuhnya. Jika
Linggapati tidak datang pada saatnya, mungkin ia dan kawannya itu
pun sudah mati terbunuh oleh Linggadadi itu.
"Apakah mungkin ini suatu permainan, atau sebenarnya
Linggadadi memang lebih garang dan bodoh dari Liggapati?"
bertanya Tapak Lamba di dalam hatinya.
Tetapi agaknya Tapak Lamba pun mempunyai perhitungan
tersendiri. Ia ternyata memilih hidup dari pada mati.
"Aku dapat memikirkannya dan mempertimbangkannya dengan
beberapa orang kawan." berkata Tapak Lamba di dalam hatinya.
Tetapi ia terkejut bukan kepalang ketika Linggapati seolah-olah
dapat melihat isi hatinya dan berkata, "Nah, bukankah kau
mendapat kesempatan untuk membicarakan persoalanmu dengan
kawan-kawanmu. Yang penting bagimu adalah, bahwa kau masih
1020 tetap hidup. Mungkin kau akan mengkhianati aku dengan
keputusan-keputusan lain. Tetapi itu terserah kepadamu. Aku tahu
bahwa kau cukup licik, seperti aku dan adikku. Kebanyakan orangorang
yang mempunyai gegayuhan yang terlampau tinggi, akan
memperjuangkannya dengan licik atau pada saat maut mulai
mengancam." Ternyata sekali lagi Tapak Lamba tidak mau tersinggung harga
dirinya dengan terang-terangan. Karena itu maka jawabnya,
"Bukankah itu pertimbangan yang wajar" Aku belum memutuskan
sesuatu saat ini. Jika kau tidak membunuhku, adalah salahmu
sendiri jika pada suatu saat aku justru yang membunuhmu."
Linggapati tertawa. Tetapi Linggadadi menggeram, "Ini
berbahaya bagi kita kakang."
"Apakah yang dapat dilakukan oleh tikus-tikus semacam ini"
Bukankah dengan sangat mudah kau hampir saja membunuhnya?"
"Tetapi kalian akan menyesal." geram Tapak Lamba yang hatinya
menjadi sangat panas. "Tidak. Kau bukan orang yang bodoh. Menilik sikap dan katakatamu,
kau cukup cerdas menanggapi setiap keadaan. Karena itu,
kau akan dapat menjadi orang penting di dalam masa mendatang
yang jauh lebih baik dari jaman ini. Singasari bukan saja akan
menjadi bertambah besar, tetapi pada suatu saat. Singasari akan
mengembangkan sayapnya sampai kedaerah seberang yang paling
ditakuti dimasa kini. Daerah disebelah lautan. Hantu akan kita
tundukkan dengan kekerasan. Dia selajutnya kita akan menguasai
daratan yang paling luas dimuka bumi."
Tapak Lamba mengerutkan keningaya. Lalu katanya, "Kau
memang seorang pemimpin yang baik. Tetapi dengan demikian, kau
akan memperjuangkan mimpimu dengan bersungguh-sungguh."
"Aku senang mendengar jawabmu. Seperti dugaanku kau
memang cerdik. Nah, sekarang aku akan pergi. Terserah kepadamu.
Yang manakah yang akan kau pilih. Kau masih seorang yang bebas
sampai saat ini." 1021 Tapak Lamba tidak menjawab. Ia memandangi saja Linggapati
yang kemudian berpaling kepada adiknya, "Marilah. Kita beri anak
ini kesempatan untuk berpikir. Aku yakin, bahwa pada suatu saat ia
akan datang ke Mahibit untuk menyatukan dari dengan kita. Kita
tahu bahwa ia tidak berdiri sendiri. Justru karena itu, kita
memerlukannya." Linggadadi pun tidak menyahut. Ia mengikuti saja langkah
kakaknya meninggalkan pategalan itu. Sekali-sekali ia berpaling
kepada Tapak Lamba. Namun ternyata bahwa watak Linggadadi
jauh lebih sulit dari Linggapati untuk dijajagi. Ternyata ketika ia
menjadi semakin jauh, ia sempat melambaikan tangannya sambil
tertawa. Sama sekali tidak nampak kesan kekecewaan pada
sikapnya. Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling
kepada kawannya, kawannya itu berkata, "Apakah Linggadadi itu
agak kurang waras?" "Kenapa?" "Sikapnya sama sekali tidak dapat diperhitungkan."
Tapak Lamba mengangguk-angguk. Katanya, "Justru bagi kita ia
adalah orang yang sangat berbahaya. Tetapi agaknya, ia lebih
bodoh dari kakaknya. Kakaknya adalah orang yang pilih tanding dan
cerdik sekali. Bagi Singasari, Linggapatilah yang lebih berbahaya."
"Apa bedanya bagi kita dan bagi Singasari?"
"Kita hanyalah bagian yang sangat kecil dari Singasari. Dan
agaknya Linggadadi berbuat menurut kesenangannya saja tanpa
memikirkan kepentingan yang lebih besar. Sedangkan Linggapati
berpikir lain. Ia masih berusaha memperalat kita untuk
kepentingannya." "Ya. Tetapi jika ternyata akan dapat saling menguntungkan,
apakah kita juga akan berkeberatan?"
Tapak Lamba tidak menyahut. Memang semuanya masih akan
dapat berkembang. Mungkin kali ini ia hanya akan sekedar diperalat.
1022 Tetapi pada suatu saat ia menemukan kesempatan yang baik.
sehingga keadaan akan menjadi sebaliknya.
Tetapi Tapak Lamba masih selalu ragu-ragu. Nampaknya
Linggapati terlampau yakin akan dirinya, sehingga ia sama sekali
tidak gentar, apapun yang akan dilakukan oleh Tapak Lamba Karena
itu, maka ia dengan tanpa ragu-ragu memberinya kesempatan
untuk tetap hidup. "Ah, persetan." tiba-tiba ia menggeram, "Aku tidak akan dapat
memecahkannya sendiri. Bukankah kita mempunyai kawan yang
dapat diajak berbicara tentang hal ini?"
Kawannya mengangguk-angguk. Jawabnya, "Ya. Ada dua orang
yang kini menunggu kita di rumahmu."
"Bukan mereka." tiba-tiba Tapak Lamba membentak, "Mereka
tidak akan dapat diajak membicarakan masalah-masalah yang berat
dan bersungguh-sungguh."
Kawannya tidak menyahut. Ia menyadari bahwa kedua kawannya
yang tinggal di rumah Tapak Lamba, bukanlah orang orang yang
cukup penting. Bahkan ia bersama dengan kedua orang itu sama
sekali tidak berhasil membunuh dua orang anak-anak yang masih
sangat muda. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun tiba-tiba terlintas diangan-angannya, bahwa selain kedua
anak-anak muda itu ternyata masih ada seorang lagi yang disebut
oleh Linggadadi, yaitu Mahisa Bungalan.
Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Singasari memang
menyimpan banyak orang-orang sakti. Bukan saja yang sudah
menjadi semakin tua seperti Mahisa Agni, Witantra, dan Mahendra,
tetapi yang muda pun telah tumbuh dengan pesatnya. Sudah
barang tentu selain Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan yang disebut
bernama Mahisa Bunggalan, kedua orang yang memegang
kekuasaan tertinggi di Singasari pun tentu orang-orang yang pilih
tanding. Ranggawuni dan Mahisa Cempaka.
1023 "Apakah di Mahibit terdapat orang-orang seperti mereka itu?"
pertanyaan itu menggelepar di dalam dada Tapak Lamba.
Namun sekali lagi Tapak Lamba mengibaskan semua persoalan
itu. Katanya kepada diri sendiri, "Aku harus membicarakannya
dengan beberapa orang kawan."
Demikianlah, maka Tapak Lamba pun mengajak kawannya itu
kembali ke rumahnya. Di rumahnya, kedua orang yang
menunggunya nampak sudah menjadi sangat gelisah.
"Aku kira kalian tidak akan kembali lagi." berkata salah seorang
dari mereka. "Pikiran yang paling picik." sahut Tapak Lamba, "Kami mungkin
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan bermalam jika persoalan kami belum selesai."
"O, jadi kedua anak-anak itu sudah berhasil kalian bunuh?"
"Gila. Apakah pembunuhan itu sajalah yang disebut
penyelesaian?" "O, aku tidak mengerti." desis yang lain.
"Tentu kalian tidak akan segera mengerti, karena kalian
terlampau bodoh." Kedua orang yang berada di rumah itu menjadi termangu
mangu. Tetapi jawaban itu benar-benar tidak menyenangkan hati
mereka. Karena itu, muka salah seorang dari mereka pun berkata,
"Kau jangan asal saja berkata. Kami tidak mengetahui apa yang
sudah kalian lakukan."
"Mereka benar." berkata kawan Tapak Lamba, "Beritahukan
kepada mereka apa yang terjadi, baru mereka akan mengerti."
Tapak Lamba menjadi tegang. Namun ketika terpandang olehnya
tiga orang yang nampaknya benar-benar kebingungan, maka ia pun
kemudian berkata, "Baiklah. Tetapi kau sajalah yang berceritera,
apa yang telah kita alami."
1024 Orang yang ikut bersama Tapak Lamba itu pun kemudian
menceriterakan kepada kedua kawannya, apa yang telah mereka
alami. Kedua kawannya itu mengangguk-angguk. Kemudian salah
seorang dari keduanya bergumam, "Jadi kalian telah bertemu
dengan Linggapati itu sendiri?"
"Demikianlah menurut pengakuannya. Yang seorang Linggadadi,
adiknya, dan yang lain mengaku bernama Linggapati. Memang
mungkin bahwa bukan kedua-duanya itulah Linggapati. Tetapi untuk
sementara aku mempercayainya."
Kedua kawannya termangu-mangu sejenak. Dan Tapak Lamba
pun kemudian berkata, "Kau sudah mulai persoalan ini dengan
langkah yang salah. Kita harus berusaha menemukan jalan yang
benar, sesuai dengan keadaan yang berkembang di dalam dan di
luar kota raja ini. Kebodohan itu tidak boleh terulang kembali."
"Mungkin kami berbuat kebodohan. Tetapi kau pun berusaha
melanjutkannya. Kau tentu mempunyai pertimbangan lain setelah
kau bertemu dengan orang yang menyebut dirinya bernama
Linggapati itu." Tapak Lamba mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
mengangguk-angguk. "Mungkin. Dan kita sekarang harus mempertimbangkan semua
tindakan kita sebaik-baiknya. Kita tidak berdiri sendiri. Karena itu,
aku harus menemui beberapa orang bekas Senapati yang sekarang
terbuang." "Bukan terbuang. T etapi membuang diri. Bukankah tidak pernah
ada pernyataan dari Ranggawuni dan Mahisa Cempaka, bahwa
mereka harus disingkirkan" Tetapi merekalah yang dengan
kehendak sendiri meninggalkan jabatannya dan bersembunyi,
karena mereka menyangka bahwa akan ada pembalasan dendam.
Tetapi ternyata sama sekali tidak."
1025 "Siapakah yang kau maksud dengan mereka" Apakah kau tidak
termasuk di dalamnya."
"Ya, termasuk aku, kau dan kita semuanya."
Tapak Lamba mengangguk-angguk. Ia pun mengerti maksud
kawannya itu. Sampai saat terakhir, ternyata bahwa Ranggawuni
dan Mahisa Cempaka tidak pernah melakukan tindakan apapun
terhadap mereka yang pernah menjadi pendukung Tohjaya. Hanya
beberapa orang yang masih melakukan tindakan-tindakan yang
agak aneh dan tidak bertanggung jawab, terpaksa diawasi dan
diperlakukan sebagai orang-orang yang melanggar ketentuan dan
kuwajiban seperti orang-orang lain.
Namun demikian, tidak ada niat sama sekali padanya untuk
merubah pendiriannya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk bekerja
bersama dengan orang-orang yang telah menyingkirkan Tohjaya,
karena baginya Tohjaya adalah tumpuan harapan.
"Jika tuanku Tohjaya berhasil menguasai Singasari dan
menjadikan negeri ini tenang dan berkuasa, maka aku adalah
seorang pimpinan di tingkat tertinggi dalam susunan keprajuritan."
berkata Tapak Lamba di dalam hati. Namun kemudian terbersit
pertanyaan di dalam hati, "Tetapi siapakah yang akan dapat
menjadi perisai bagi Kerajaan yang besar itu. Ternyata bahwa aku
tidak mampu sama sekali menghadapi lawan yang menyebut dirinya
bernama Linggadadi. Apalagi Linggapati. Jika Tohjaya berkuasa,
maka setiap kali Kerajaan itu tentu akan selalu diguncang. Baik oleh
Linggapati dan orang-orangnya, maupun oleh pengikut-pengikut
Anusapati yang kemudian telah menempatkan diri di belakang
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka."
Tetapi Tapak Lamba pun kemudian tidak mau memikirkannya
semua persoalan itu hanya dengan tiga orang kawannya yang
bersembunyi di rumahnya. Karena itu, maka ia pun kemudian
merencanakan untuk menemui kawan-kawannya yang lain, yang
berpencaran di daerah yang tersembunyi dalam penyamaran
masing-masing agar mereka tidak mudah dapat dikenal.
1026 "Kita akan menemui kakang Sunggar Watang. Kita akan minta
pendapatnya." berkata Tapak Lamba kemudian.
"Aku sependapat. Marilah, kita segera menemuinya. Aku tahu
tempat persembunyiannya."
"Kau pernah ke tempat itu?"
"Tidak. Tetapi aku pernah mendapat petunjuk dari seseorang."
"Tetapi sudah barang tentu kita tidak akan dapat pergi bersama.
Prajurit disetiap pintu gerbang tentu mengawasi semua orang yang
lewat. Yang masuk apalagi yang keluar setelah peristiwa yang
terjadi, yang kalian lakukan dengan bodoh."
"Ah." salah seorang kawannya berdesah, "Jangan menyalahkan
kami. Kau pun telah tertarik untuk melakukannya pula. Bahkan
membunuh langsung di halaman istana. Bukankah kau sudah
bertekad berbuat demikian. Malahan kau telah berjanji untuk
memasuki halaman itu jika kau tidak dapat melakukannya dengan
cara lain." Tapak Lamba mengangguk-angguk. Katanya, "Ternyata pendapat
orang gila di muka gerbang itu benar juga. Jika aku membunuh
kedua anak-anak yang tidak berarti itu, maka seluruh prajurit
Singasari akan bersiaga dari ujung sampai ke ujung negeri. Dengan
demikian kesempatan untuk berbuat lebih banyak lagi seolah-olah
telah tertutup untuk waktu yang lama."
"Mungkin demikian." sahut salah seorang kawannya.
"Sekarang aku justru yakin. Mereka tentu bukan saja bersiaga.
Tetapi mereka akan berusaha mencari pembunuhnya."
"Dan yang pertama-tama menjadi sasaran pengintaian mereka
adalah kita." "Seperti yang dikatakan Linggadadi." berkata kawan Tapak
Lamba yang ikut ke alun-alun di depan istana, "Nanti kau akan
merasa bersyukur bahwa kau tidak membunuh kedua anak-anak
itu." 1027 Tapak Lamba tersenyum, betapapun kecutnya. Ia pun kemudian
mengangguk-angguk sambil berkata, "Baiklah. Semuanya akan kita
sampaikan kepada kakang Sunggar Watang."
"Jadi, bagaimana kita akan sampai ke tempat persembunyian
itu?" "Kita, pergi sendiri-sendiri. Dua atau lebih akan dapat menarik
perhatian. Apalagi bertiga."
"Baiklah. Kita masing-masing akan pergi sendiri langsung ke
rumah kakang Sunggar Watang."
Dengan demikian, maka mereka segera menyesuaikan
pengenalan mereka atas tempat persembunyian Sunggar Watang.
Dan mereka, telah menentukan waktu untuk bertemu di rumah itu.
"Kita akan berjalan justru di s iang hari. Tidak banyak orang yang
akan mencurigai kita."
"Tetapi beberapa orang prajurit telah mengenal aku dengan baik.
Bahkan ada di antara mereka adalah kawan sepasukanku dahulu."
"Hindari mereka dan ambillah jalan lain. Jalan yang dijaga oleh
prajurit-prajurit yang belum mengenal kita masing-masing, karena
bukan hanya kau sajalah yang sudah dikenal oleh beberapa orang
prajurit Singasari. Tetapi kami semuanya."
Dengan demikian, mereka masih mempunyai waktu satu malam
lagi yang dapat mereka pergunakan untuk melihat-melihat keadaan
di dalam kota. Dengna sedikit penyamaran, mereka tidak segera
dapat dikenal. Apalagi prajurit-prajurit muda yang bertugas.
Tetapi mereka tidak lagi berusaha untuk membuat keributan.
Mereka hanya berjalan-jalan saja di antara orang-orang yang masih
saja nampak sibuk. Apalagi di halaman istana, yang agaknya
penyelenggaraan jenazah masih berlangsung, sebelum pada suatu
saat jenazah itu akan diperabukan.
Namun, malam itu mereka sama sekali tidak mengalami sesuatu
yang dapat merubah sikap dan tanggapan mereka terhadap
1028 Singasari dan orang-orang dari Mahibit. Bahkan sudah mulai
terbayang kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat terjadi
kelak. Demikianlah, ketika matahari terbit dipagi harinya, orang-orang
itu pun telah mempersiapkan dirinya untuk pergi meninggalkan kota
raja. Tetapi seperti yang telah mereka putuskan, mereka tidak dapat
pergi bersama-sama, tetapi mereka pergi masing-masing berdua.
Ternyata mereka tidak dikenal oleh para petugas di perbatasan
yang masih nampak sangat berhati-hati. Karena mereka masingmasing
tidak membawa sesuatu yang mencurigakan, maka mereka
pun dapat lewat tanpa gangguan apapun.
Di sepanjang perjalanan menuju ke tempat persembunyian
seorang bekas Senapati pada masa pemerintahan Tohjaya, mereka
pun tidak mendapat gangguan apapun. Apalagi ketika mereka telah
menyimpang dari jalan raya dan memintas lewat jalan-jalan sempit.
Bahkan kemudian mereka pun menerobos hutan kecil yang tidak
begitu padat, sebelum mereka menginjakkan kakinya pada sebuah
padukuhan kecil yang sangat terpencil.
Keempat orang itu pun telah bergabung kembali justru di pinggir
padukuhan terpencil itu. Sejenak mereka terpukau melihat keadaan
yang mereka hadapi. Bahkan kemudian tumbuhlah keraguraguannya.
Ketika mereka mendapat petunjuk tentang tempat
persembunyian itu, yang apabila diperlukan setiap saat dapat
mereka kunjungi, mereka sama sekali tidak membayangkan sebuah
padukuhan yang hijau, segar dikelilingi oleh sawah yang subur.
"Aku kira yang akan aku jumpai adalah sebuah goa yang
terdapat di lereng batu karang, atau jika tidak ada bukit-bukit
karang, aku akan menjumpai beberapa buah gubug ilalang di antara
semak-semak belukar." berkata Tapak Lamba.
Yang lain pun mengangguk-angguk pula. Salah seorang dari
mereka berkata, "Memang meragukan. Tetapi baiklah kita coba.
Apakah benar penghuni padukuhan itu adalah orang yang kita cari."
1029 Dengan ragu-ragu keempat orang itu pun melangkah mendekati
padukuhan terpencil itu. Semakin dekat mereka dengan pintu gerbang padukuhan itu,
mereka pun menjadi semakin ragu-ragu. Tidak ada persesuaian
sama sekali dengan gambaran mereka tentang tempat
persembunyian salah seorang kawan mereka yang mereka anggap
cukup berpengalaman dan banyak mempunyai pengikut pada
waktunya. Langkah mereka tertegun ketika mereka seorang anak muda
berjalan ke arah mereka dengan membawa cangkul yang disandang
di pundaknya. "Siapakah anak itu?" bertanya salah seorang dari ke empat orang
itu. Tapak Lamba menggelengkan kepalanya. Desisnya, "Semuanya
menjadi kabur." Tapak Lamba dan kawan-kawannya membungkukkan kepala
mereka, ketika anak muda itu membungkuk pula. Dengan ragu-ragu
anak muda itu bertanya, "Siapakah Ki Sanak" Dan apakah Ki Sanak
mempunyai keperluan sesuatu dipadukuhan kecil kami ini?"
Tapak Lamba ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun bertanya, "Anak
muda, kami memang sedang mencari seseorang. Ia adalah saudara
kami yang sudah lama tidak pernah bertemu."
"O, apakah ia tinggal di padukuhan ini?"
"Agaknya demikian. Menurut petunjuk yang pernah diberikan
kepada kami oleh pembantunya, maka ia tinggal di padukuhan ini.
Kami mendapat petunjuk jalur-jalur jalan yang harus kami lalui.
Sampai ke hutan yang baru saja kami lalui, kami tidak ragu-ragu
sama sekali, karena seperti yang tersebut di dalam petunjuk itu.
Tetapi setelah kami mendekati padukuhan ini, kami menjadi raguragu.
Saudara kami itu tidak pernah menyebut tentang sebuah
pedukuhan yang kecil dan alangkah bersih dan rapinya."
1030 Anak muda itu mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya,
"Siapakah yang Ki Sanak cari."
"Anak muda. Kami mencari saudara kami yang bernama." Tapak
Lamba menjadi ragu-ragu. Ia menduga bahwa Sunggar Watang
tentu mempergunakan nama lain di persembunyiannya, seperti
dirinya sendiri yang kemudian dikenal bernama Tapak Lamba.
"Siapakah namanya?"
Tapak Lamba tidak segera menjawab. Sekali-sekali ia
memandang ketiga orang kawannya yang nampaknya juga sedang
kebingunan. Namun tiba-tiba saja Tapak Lamba menyebut nama, "Kuda
Wangon. Namanya Kuda Wangon."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
menggeleng sambil berkata, "Tidak ada seorang pun yang bernama
Kuda Wangon." "Baiklah, baiklah Anak muda." berkata Tapak Lamba kemudian,
"Barangkali nama itu pun tidak begitu penting. Ia mempunyai
beberapa nama sesuai dengan jabatan yang pernah dipangkunya.
Tetapi barangkali kau melihat seseorang yang mempunyai ciri-ciri
yang khusus. Tubuhnya tidak begitu tinggi. Tetapi ia berjalan tegap
dengan dada tengadah. Matanya tajam, daun telinganya agak lebih
lebar dari ukuran biasa. Bibirnya tipis. Rambutnya kerinting."
Anak muda itu justru menjadi bingung. Lalu katanya, "Ki Sanak,
sebaiknya, marilah kita pergi ke rumah Ki Buyut. Barangkali Ki Buyut
dapat memberitahukan siapakah orang yang mempunyai ciri-ciri
seperti yang Ki Sanak katakan itu."
Tapak Lamba ragu-ragu sejenak. Namun akhirnya ia
menganggukkan kepalanya, "Baiklah. Marilah kami ikut ke rumah Ki
Buyut yang kau sebut itu."
Anak muda itu pun kemudian berjalan mendahului, diikuti oleh
Tapak Lamba dengan ketiga kawannya. Namun demikian memang
ada sepercik keragu-raguan yang bergejolak di dalam hati mereka.
1031 Apakah mereka akan benar-benar dapat bertemu dengan orang
yang sedang mereka cari. Dengan ragu-ragu Tapak Lamba berjalan bersama kawahnya
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memasuki padukuhan yang asing itu. Padukuhan yang meskipun
kecil namun tampak bersih dan teratur rapi.
"Pemimpinmu adalah seorang yang rajin." berkata Tapak Lamba
kepada anak muda itu. "Ya. Ia mengawasi sendiri keadaan padukuhan ini." jawab anak
muda itu. "Apakah ia seorang yang keras?"
"O tidak. Sama sekali tidak. Ia adalah orang yang ramah dan baik
hati. Barangkali ia adalah orang yang paling sabar dimuka bumi ini
menghadapi persoalan apapun juga."
Tapak Lamba ragu-ragu sejenak, lalu, "Apakah di padukuhan ini
tidak ada seorang pemarah dengan ciri-ciri tubuh seperti yang aku
katakan" Ciri-ciri tubuh memang kadang-kadang tidak segera dapat
dikenal. Tetapi ciri-ciri watak semacam itu agaknya mudah diketahui
oleh orang lain." Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
menggeleng sambil berkata, "Sepengetahuanku tidak ada orang
yang berwatak demikian di padukuhan ini. Kami hidup rukun,
tenang dan damai. Kami dapat saling memegang perasaan dalam
keadaan yang bagaimanapun juga."
Tapak Lamba menarik nafas dalam-dalam. Ia membayangkan
bahwa padukuhan itu adalah padukuhan baru dengan penghunipenghuni
baru dari berbagai tempat yang kemudian menyusun
suatu masyarakat yang baik sekali.
Apalagi ketika Tapak Lamba dan kawan- kawannya itu mulai
menyusuri jalan-jalan di padukuhan itu.
1032 Namun keempat orang itu menjadi ragu-ragu ketika nampak
dihadapan mereka sebuah pintu gerbang. Pintu gerbang yang
memisahkan bagian yang belum dapat diduganya.
"Itulah rumah Ki Buyut." berkata anak muda yang mengantarnya
ketika ia melihat Tapak Lamba dan kawan-kawannya menjadi raguragu.
"Ada dua gerbang di padukuhan ini." berkata Tapak Lamba,
"Yang sebuah pintu gerbang padukuhan, dan yang justru lebih
besar pada dinding batu yang lebih tinggi, adalah pintu gerbang
rumah dan halaman Ki Buyut."
"Ya." sahut anak muda itu, "Ki Buyut adalah seorang pemimpi. Ia
kadang-kadang membayangkan sebuah daerah yang lengkap
seperti sebuah kota raja. Di tengah-tengahnya terdapat sebuah
istana yang dilingkari dengan benteng batu yang tinggi. Tetapi pintu
gerbang itu tidak pernah tertutup bagi siapapun juga. Meskipun
seolah-olah Ki Buyut membangun tempat tinggalnya yang terpisah
dari masyarakatnya, tetapi sebenarnya Ki Buyut adalah orang yang
paling baik, ramah dan mengerti kebutuhan rakyatnya dengan baik."
Tapak Lamba mengangguk-angguk. Tetapi ia mulai dihinggapi
oleh perasaan yang lain. Meskipun demikian ia tidak menunjukkan
kesan-kesan apapun ketika ia melangkah semakin dekat dengan
pintu gerbang itu. Sekali-sekali Tapak Lamba sempat juga memandangi rumah dan
halaman ditepi jalan yang mebelah padukuhan itu. Tapak Lamba
dapat menduga bahwa orang-orang yang tinggal dipadukuhan itu
bukanlah orang-orang yang kaya. Mereka hidup sederhana sekali.
Tetapi padukuhan yang kecil yang sederhana ini agaknya. dapat
diatur sebaik-baiknya sehingga nampak suatu hubungan yang baik
dan serasi. Namun demikian, terasa sesuatu bergetar di dalam dada Tapak
Lamba dan kawan-kawannya ketika mereka memasuki pintu
gerbang yang terbuka lebar itu. Pintu gerbang yang agaknya
memang tidak pernah tertutup. Dan getar dada Tapak Lamba dan
1033 kawan-kawannya itu menjadi semakin bergejolak ketika ia melihat
dua orang yang duduk diam di tangga pendapa rumah Ki Buyut itu.
"Mereka adalah juru taman." berkata anak muda itu.
Tapak Lamba hanya menganggukkan kepalanya saja. Namun
dalam pada itu, tatapan matanya pun ditebarkannya di sekeliling
halaman yang luas dan bersih itu.
"Tetapi ada sesuatu yang aneh." berkata Tapak Lamba di dalam
hatinya. "Bekas sapu lidi di halaman itu nampaknya masih utuh.
Agaknya belum ada seorang pun yang memasuki halaman ini, atau
jika ada, hanya satu dua orang saja." Tapak Lamba menjadi kian
berdebar-debar. Menurut dugaannya, halaman itu tentu dibersihkan
dipagi dan sore hari. Maka katanya pula di dalam hati, "Jadi sejak
pagi belum ada, atau belum banyak orang yang memasuki halaman
ini." Menurut pengertian Tapak Lamba, di hampir setiap padukuhan,
rumah Ki Buyut merupakan pusat dari setiap kegiatan. Anak-anak
muda, orang-orang tua dan bahkan anak-anak banyak yang setiap
saat berada di halaman rumahnya. Tetapi halaman rumah Ki Buyut
ini nampaknya terlampau sepi.
"Marilah." berkata anak muda itu sambil menunjukkan sebuah
regol kecil disisi pendapa, "Ki Buyut berada di belakang."
"Apakah kami juga harus ke belakang?" bertanya Tapak Lamba.
"Ya. Ki Buyut menerima tamunya di belakang."
Tapak Lamba yang termangu-mangu itu pun semakin dibayangi
oleh keragu-raguan yang bertambah dalam. Karena itu, maka ia pun
kemudian berkata. "Aku menunggu di luar saja Ki Sanak. Tolong,
sampaikan kepada Ki Buyut, bahwa aku ingin menghadap. Tetapi
tidak dibelakang." "Ah." anak muda itu tersenyum. "Ki Sanak memang aneh. Itu
adalah suatu kebiasaan."
1034 "Jadi, Ki Buyut yang ramah, baik hati dan sabar itu tidak pernah
keluar dari bagian belakang rumahnya" Bagaimana ia dapat selalu
dekat dan mengerti kebutuhan rakyatnya jika ia selalu berada di
bagian belakang rumahnya saja."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun kemudian
tersenyum sambil berkata, "Kau memang aneh Ki Sanak. Kebiasaan
itu adalah kebiasaan pada saat-saat Ki Buyut menerima tamu.
Tetapi pada saat yang lain, ia selalu pergi mengelilingi
padukuhannya. Bukankah sudah aku katakan, bahwa Ki Buyut
sangat teliti dan lebih dari itu, sangat mencintai padukuhan ini" Kau
sendiri melihat, bahwa padukuhanku adalah padukuhan yang
termasuk cukup bersih, meskipun masih banyak padukuhan yang
melampaui padukuhan ini."
Tapak Lamba masih termenung di tempatnya. Anak muda itu
memang rendah hati. Tetapi sikap yang berlebihan itu justru
menimbulkan kecurigaan padanya.
"Aku telah tertipu oleh sikap Linggadadi." Berkata Tapak Lamba
di dalam hatinya, "Sekarang aku harus berhati-hati menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang lain."
Keragu-raguan itu bukan saja membayang di wajah Tapak
Lamba, tetapi ketiga kawannya pun menjadi cemas pula.
"Ki Sanak." berkata Tapak Lamba kemudian, "Baiklah. Jika Ki
Buyut tidak mau menerima kami di luar kebiasaannya, maka kami
akan mohon diri. Kami akan melanjutkan perjalanan mencari
saudara kami itu. Mungkin ia memang tidak tinggal di padukuhan
ini. Karena itu, biarlah kami mencarinya ke padukuhan yang lain."
"Jadi Ki Sanak mengurungkan niat Ki Sanak menghadap Ki
Buyut?" "Sebenarnya bukan begitu. Tetapi apa boleh buat. Jika kebiasaan
Ki Buyut menerima tamu di bagian belakang rumahnya, setelah
melalui regol yang bersusun, dan yang terakhir adalah regol
samping yang selalu tertutup itu, maka adalah kebiasaanku untuk
diterima oleh siapa pun di pendapa."
1035 "Tetapi rumah ini adalah rumah Ki Buyut. Kaulah yang harus
menyesaikan dirimu."
"Jika kita akhirnya tidak juga dapat sesuai, maka aku kira lebih
baik aku pergi. Aku tidak ingin mengganggu Ki Buyut dengan
kebiasaannya itu." "Ki Sanak sudah memasuki halaman ini. Ki Sanak harus bertemu
dengan Ki Buyut." tiba-tiba wajah anak muda itu menjadi lebih
garang. Tapak Lamba mulai yakin, bahwa ia telah tersesat ke dalam
suatu keadaan yang tidak dikehendakinya. Anak muda, itu tentu
bukan anak muda yang ramah dalam sikap yang jujur. Karena itu,
maka ia pun bergeser mendekati kawan-kawannya. Dengan isyarat
ia mengajak kawan-kawannya untuk berhati-hati.
Dalam pada itu. Tapak Lamba menjadi semakin berdebar-debar
ketika ia melihat dua orang yang duduk diam ditangga pendapa itu
pun telah berdiri. Dengan langkah yang malas keduanya pergi ke
pintu gerbang yang terbuka.
Tetapi Tapak Lamba adalah bekas seorang Senapati, sehingga ia
pun secara naluriah dapat mengerti, bahwa kedua orang itu
bermaksud untuk menjaga agar mereka yang sudah memasuki
halaman itu tidak akan keluar lagi.
"Ki Sanak." berkata anak muda itu, "Maaf jika mungkin Ki Sanak
tidak menyangka, bahwa Ki Sanak harus mematuhi peraturan yang
berlaku di padukuhan ini." ia berhenti sejenak, lalu, "Seseorang
yang telah memasuki padukuhan kami, memang tidak akan dapat
keluar lagi tanpa ijin khusus dari Ki Buyut. Karena itu, jika Ki Sanak
masih ingin keluar dengan selamat, aku persilahkan Ki Sanak
menjumpai Ki Buyut. Keputusan terakhir memang berada di tangan
Ki Buyut." Terasa jantung Tapak Lamba menjadi semakin cepat bergetar.
Tetapi ia berusaha untuk menyembunyikannya dari kesan yang
tersirat di wajahnya. Bahkan ia masih sempat tertawa sambil
berkata. "Ki Sanak. Sebenarnya aku tidak terkejut sama sekali.
1036 Keramahanmu memang berlebih-lebihan anak muda, sehingga
justru karena itu timbullah niatku untuk melihat, apakah yang ada di
padukuhan ini. Jika kemudian Ki Sanak ingin memaksakan
ketentuan yang aneh itu, sudah barang tentu, bahwa aku pun
berhak untuk menolak."
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Agaknya ia menjadi
heran melihat sikap Tapak Lamba yang tetap tenang. Demikian juga
ketiga kawannya itu. "Ki Sanak, apakah Ki Sanak terlampau yakin akan kemampuan Ki
Sanak, sehingga dengan tenang Ki Sanak mendengarkan
penjelasanku?" "Bukan begitu." jawab Tapak Lamba, "Aku adalah seseorang
yang tidak berarti apa-apa. Tetapi bukankah setiap orang berhak
menentukan sikap, jika ia berani mempertanggung jawabkannya"
Mungkin aku akan ditangkap dan dihukum. Tetapi jika aku sudah
bersedia menjalaninya, apa salahnya?"
Dalam pada itu, kedua orang yang melangkah kepintu regol,
telah berdiri di sebelah menyebelah sambil menyilangkan tangan di
dadanya. Namun pembicaraan antara anak muda dan Tapak Lamba
itu agaknya sangat menarik perhatiannya, sehingga mereka pun
nampak mengerutkan keningnya.
Apalagi, ketika kemudian Tapak Lamba berkata kepada
kawannya, "He, bukankah kau juga tidak ingin pergi ke belakang.
Biarlah aku berbicara dengan anak muda ini. Barang kali kau dapat
mencari kawan berbicara yang lain."
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun
kemudian menyadari maksud Tapak Lamba. Dua di antara mereka
pun kemudian bergeser surut. Salah seorang menyahut, "Baiklah.
Aku akan mencari kawan berbincang di regol itu."
Sikap Tapak Lamba dan kawan-kawannya sungguh-sungguh
mengherankan bagi anak muda itu. Nampaknya mereka tetap
tenang menghadapi keadaan yang seharusnya tidak mereka duga
lebih dahulu. Bahkan langkah kedua kawan Tapak Lamba yang pergi
1037 ke regol itu pun tidak ubahnya seperti langkah kedua orang yang
telah lebih dahulu berdiri di sebelah menyebelah regol itu.
Sikap dan tingkah laku Tapak Lamba dan ketiga kawannya itu
memang tidak pernah dilihat sebelumnya oleh anak muda yang
membawa mereka ke halaman itu. Biasanya setiap orang yang
sudah berada di halaman itu menjadi gemetar, dan tanpa dapat
menolak lagi, mereka pun akan pergi kebelakang. Seterusnya, orang
yang sudah memasuki pintu kecil di samping pendapa dan sampai
ke bagian belakang dari halaman yang disekat oleh dinding batu itu,
tidak akan pernah keluar lagi, selain yang ditunjuk khusus oleh Ki
Buyut. Tetapi sekali ini, orang yang menyebut dirinya Tapak Lamba,
dengan tenang menghadapi sikap dan perlakuannya.
"Nah anak muda." berkata Tapak Lamba kemudian, "Apakah kau
tetap pada sikapmu, bahwa aku harus menghadap Ki Buyut" Jika
demikian, maka aku akan terpaksa lari dari halaman ini tanpa minta
diri lagi." Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Ternyata aku terlampau bodoh. Sikapmu yang terlalu
ramah itu pun berbahaya. Bukankah kau mengatakan demikian
tentang aku. Agaknya kau sendiri bersikap demikian."
"Jika demikian, kita masing-masing adalah orang-orang yang
berbahaya. Karena itu, sebaiknya kita tidak bertemu dan tidak
mempersoalkan sesuatu. Sebab jika kita masih harus
mempersoalkan sesuatu, apalagi kau ingin memaksakan
kehendakmu atasku, maka tidak akan dapat dielakkan lagi, bahwa
kita masing-masing akan mempergunakan kekerasan."
"Kau tidak bersenjata." berkata anak muda itu, "Sedangkan
dalam sekejap aku dapat memanggil beberapa puluh orang
bersenjata dan terlatih mempergunakan senjatanya."
"Tidak ada salahnya. Mereka akan mengeroyok aku dan
barangkali aku terbunuh di halaman ini. Itu bukan soal bagi kami.
Tetapi kami sudah mempertahankan kehormatan dan hargai diri
1038 kami." ia berhenti sejenak, lalu, "Atau barangkali kita memang harus
berlomba lari. Aku mungkin memiliki kemampuan lari yang cukup
baik." Anak muda itu nampaknya menjadi tidak sabar lagi. Tetapi ia
masih tetap ragu. Apalagi ketika ia melihat dua orang lawan Tapak
Lamba masing-masing sudah berdiri dekat kedua orang yang berdiri
di sebelah menyebelah regol. Jika mula-mula mereka nampaknya
tenang dan acuh tidak acuh, bahwa berdiri seperti patung, kini
nampak keduanya menjadi gelisah.
Tapak Lamba dan kawan-kawannya adalah bekas prajurit
Singasari meskipun khususnya prajurit yang dibentuk untuk
melindungi Maharaja yang hanya memerintah beberapa saat saja.
Namun justru mereka adalah prajurit-prajurit pilihan.
Namun demikian sekilas terlintas di dalam angan-angan Tapak
Lamba, "Menghadapi Linggadadi, aku tidak mampu berbuat apaapa.
Tetapi orang ini tentu tidak sedahsyat Linggadadi dan
Linggapati." Dalam pada itu, maka keadaan pun menjadi semakin tegang.
Anak muda yang ingin memaksa Tapak Lamba untuk memasuki
pintu disebelah pendapa itu pun akhirnya tidak dapat bersabar lagi.
Dengan wajah tegang ia berkata, "Ki Sanak. Kau tidak
mempunyai pilihan lain. Kau memang akan mati di halaman ini. Mau
atau tidak mau menemui Ki Buyut di belakang."
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapak Lamba surut selangkah. Ia pun tahu bahwa tidak ada
pilihan lain yang dapat dilakukan. Karena itu, maka ia pun
mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya menghadapi setiap
kemungkinan yang bakal datang. Dengan tajamnya ia memandang
arah tatapan mata anak muda yang berdiri tegang di hadapannya.
Ketika anak muda itu memandang kepada kedua kawannya yang
berdiri di regol dan dengan jarinya ia memberikan isyarat, maka
Tapak Lamba pun berteriak, "Awas, agaknya kedua patung itu akan
berbuat sesuatu atas kalian."
1039 Sebenarnyalah memang demikian. Kedua orang yang semula
berdiri saja sambil menyilangkan tangannya itu, tiba-tiba saja telah
meloncat menyerang dua orang yang telah mendekatinya dengan
sikap acuh tidak acuh itu.
Tetapi kedua orang itu pun adalah bekas prajurit yang memiliki
kemampuan untuk bertempur. Karena itu, maka serangan itu pun
dengan mudah dapat mereka elakkan. Bahkan dalam sekejap
kemudian, keduanya telah menyerang kembali dengan dahsyatnya.
"Barangkali memang itulah yang kau kehendaki." berkata Tapak
Lamba. Anak muda itu akan menjawab. Tetapi agaknya kawan Tapak
Lamba yang seorang sudah tidak bersabar lagi. Tiba-tiba ia pun
telah menyerang anak muda itu tanpa diduga-duga terlebih dahulu.
Anak muda itu pun tidak menduga, bahwa serangan itu datang
demikian cepat dan tiba-tiba. Karena itu, ia tidak sempat
mengelakkan diri. Yang dapat dilakukan adalah menangkis serangan
itu, sehingga dengan demikian sebuah benturan telah terjadi.
Tetapi, kawan Tapak Lamba mendapat kesempatan lebih baik ia
menyerang dengan menjulurkan kakinya lurus ke samping
menghantam lambung, sedang anak muda itu menangkis serangan
itu dengan s ikunya sambil sedikit merendahkan dirinya.
Benturan yang tidak diduga itu ternyata telah melemparkan anak
muda itu beberapa langkah. Bahkan ia pun kemudian jatuh
terguling. Kawan Tapak Lamba tidak menduga, bahwa anak muda itu
memiliki kekuatan yang cukup besar untuk mendorongnya
selangkah surut. Karena itu, maka ia pun terkejut meskipun ia tidak
mengalami cidera apapun juga.
Dengan kemarahan yang membakar dadanya, ia pun segera
memburu anak muda yang sedang melenting untuk berdiri. Namun
agaknya anak muda itu pun cukup lincah, sehingga ia masih sempat
menyiapkan diri menghadapi serangan berikutnya.
1040 Tetapi serangan kawan Tapak Lamba itu datangnya bagaikan
sambaran guntur dilangit yang mendung. Meskipun anak muda itu
telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, namun ketika sekali lagi
terjadi benturan, maka anak muda itu terpelanting sekali lagi
beberapa langkah surut. Sedang kawan Tapak Lamba itu harus
meloncat selangkah mundur.
Tapak Lamba menyaksikan perkelahian itu dengan kerut merut
dikeningnya. Namun tiba-tiba saja timbullah pertimbangan yang
melonjak sesaat. Lawan yang akan dihadapinya tentu bukan hanya
ketiga orang itu. Bukan hanya anak muda itu bersama dua orang
yang bertempur di sebelah menyebelah pintu gerbang.
Karena itulah, maka ia pun dengan cepat telah mengambil
keputusan. Ia harus mengurangi lawan sebanyak-banyaknya dalam
waktu yang sesingkat mungkin.
Karena itulah, maka ia tidak memberikan kesempatan lagi kepada
anak muda itu. Ketika anak muda yang terpelanting itu mencoba
memperbaiki kedudukannya, sedang lawannya masih belum siap
untuk menyerang, Tapak Lamba lah yang mengambil alih. Ialah
yang kemudian menyerang dengan sepenuh kekuatan. Kekuatan
seorang bekas Senapati yang mumpuni. Yang memiliki kekuatan
melampaui kawannya yang telah berhasil melontarkan anak muda
itu. Serangan itu ternyata benar-benar telah melumpuhkan lawannya.
Selagi anak muda itu memperbaiki kedudukannya, ia tidak sempat
berbuat sesuatu. Ia melihat, tiba-tiba saja kaki Tapak Lamba telah
menjulur lurus menghantam dadanya.
Serangan itu rasa-rasanya telah merontokkan tulang-tulang
iganya. Nafasnya serasa terhenti, dan matanya menjadi berkunangkunang.
Namun dalam kesadarannya yang terakhir, ia masih sempat
meneriakkan isyarat bagi kawan-kawannya yang lain, yang memang
sudah diduga oleh Tapak Lamba berada di balik pintu disebelah
menyebelah pendapa itu. 1041 Namun dalam pada itu, Tapak Lamba tidak meluangkan setiap
kesempatan. Ditinggalkannya anak muda yang pingsan itu, dan
berlari ke regol halaman sambil berkata kepada lawannya, "Kita
lumpuhkan pula keduanya."
Kawannya yang telah kehilangan lawan itu pun segera mengerti
maksud Tapak Lamba. Ia pun segera mengikutinya menuju kepintu
gerbang. Kedua orang yang berjaga-jaga di pintu gerbang, dan yang telah
berkelahi dengan kedua kawan Tapak Lamba yang lain itu pun
bukan orang-orang yang memiliki ilmu yang sempurna. Ternyata
bahwa keduanya bukan orang yang lebih baik dari kedua kawan
Tapak Lamba, sehingga dengan demikian mereka pun telah
terdesak sama sekali. Apalagi ketika tiba-tiba saja Tapak Lamba dan
seorang kawannya datang membantu.
Pada saat itu, pintu di sebelah menyebelah pendapa itu pun
segera terbuka. Seperti yang sudah diduga, beberapa orang keluar
dari bagian belakang halaman itu dengan senjata di tangan masingmasing.
Namun saat yang pendek itu, ternyata telah dapat d:pergunakan
oleh Tapak Lamba dengan sebaik-baiknya. Ia masih sempat
menghantam kedua orang lawannya itu sehingga keduanya
terlempar dan pingsan seketika.
Tetapi dalam sekejap kemudian, beberapa orang bersenjata telah
menebar di seluruh halaman. Dengan wajah yang jauh berbeda
dengan wajah anak muda yang telah pingsan itu, maka delapan
orang yang berwajah sekeras batu padas, telah siap untuk
menyerang. Namun Tapak Lamba masih tetap tenang. Bahkan ia masih dapat
berkata dengan nada rendah dan datar, "Ambillah senjata kedua
orang itu. Pergunakan sebaik-baiknya, sebelum kita berempat akan
mati dicincang di sini. Tetapi sebelum kita mati, sedikit-dikitnya
empat orang lawan pun harus mati lebih dahulu."
1042 Kedua kawannya yang semula bertempur melawan dua orang
yang pingsan itu pun segera mendekati mereka. Ternyata kedua
orang itu mengenggam senjata yang aneh pada kedua belah
tangannya. "Keling." desis salah seorang kawan Tapak Lamba.
"Ya. Masing-masing membawa sepasang. Bukankah dengan
demikian kita masing-masing mendapat satu."
Kedua kawannya mengangguk-angguk. Mereka pun dengan
tenang mengambil keempat keling pada dua pasang tangan orang
yang pingsan itu. "Keling yang sangat bagus." berkata Tapak Lamba ketika ia
menerima keling itu, "Dengan keling ini kita dapat menangkis
serangan pedang atau bindi yang bagaimanapun beratnya, karena
sebenarnyalah keling ini terbuat dari baja pilihan."
"Setan atas." geram salah seorang yang baru saja keluar dari
halaman bagian belakang itu, "Kalian dengan sengaja telah
menimbulkan kerusuhan di sini."
"Bukan aku, tetapi anak muda itu." jawab Tapak Lamba, sambil
menunjukkan anak muda yang pingsan itu.
"Sekarang kalian harus mati." geram orang itu.
Tetapi Tapak Lamba justru tertawa. Katanya, "Aku sudah
mengatakannya, bahwa kalian akan membunuh aku. Tetapi aku pun
akan membunuh kalian. Setidak-tidaknya empat di antara kalian.
Ditambah lagi orang yang telah lebih dahulu pingsan. Tetapi
agaknya mereka pun tidak akan pernah sadarkan diri lagi."
Delapan orang yang telah menebar di halaman itu menjadi
bertambah tegang. Mereka memandang Tapak Lamba dan kawankawannya
dengan tajamnya. Salah seorang dari mereka pun
melangkah maju sambil berkata, "He orang gila. Kenapa kau telah
menimbulkan keonaran di sini" Apakah keuntunganmu dengan
berbuat demikian?" 1043 Tetapi Tapak Lamba tertawa. Jawabnya, "Pertanyaan inilah yang
gila. Seolah-olah kau tidak tahu apa yang telah terjadi dengan kami
dan kawan-kawanmu yg pingsan itu. Aku tidak tahu, apakah
gunanya pertanyaanmu itu."
"Persetan." geram orang itu, yang telah berdiri beberapa langkah
dari Tapak Lamba, "Agaknya aku memang berhadapan dengan
orang gila karena itu, jangan menyesal. Kami benar-benar akan
membunuhmu." Tapak Lamba yang mempunyai pengalaman menghadapi
keadaan yang gawat, selagi ia menjadi seorang Senapati,
memperhitungkan keadaan sejenak. Ia mengerutkan keningnya,
ketika orag yang berdiri dihadapannya itu membentak,
"Menyerahlah. Mungkin masih ada pertimbangan lain."
"Jika kami menyerah, maka kami benar-benar telah gila. Karena
itu, kami tidak akan menyerah."
"Dengan demikian akan berarti bahwa kalian akan kami bunuh
dengari cara yang paling mengerikan."
Ternyata Tapak Lamba tidak terlalu banyak berbicara lagi. Tanpa
diduga-duga ia sudah mulai bertindak, karena menurut
perhitungannya, lawannya kali ini tentu jauh lebih kuat dari dirinya
bersama tiga orang kawannya.
Kawan itu, sebelum orang yang berbicara itu mempersiapkan
dirinya, Tapak Lamba sudah mendahuluinya menyerang dengan
segenap kemampuan yang ada. Ia meloncat seperti loncatan tatit di
udara. Tangannya yang mempergunakan keling, terjulur lurus
mengarah kedada orang yang masih belum bersiaga itu.
Serangan yang tiba-tiba itu benar-benar telah mengejutkan.
Sebelum orang itu menyadari keadaan, tiba-tiba saja ia telah
melihat Tapak Lamba meloncat.
Serangan itu datang demikian cepatnya. Tidak ada waktu untuk
memperhitungkan apapun juga sehingga yang dilakukan adalah
semata-mata gerak naluriah saja.
1044 Tetapi gerak naluriah itu tiada banyak menolongnya, karena
gerak yang demikian, justru sudah diperhitungkan oleh Tapak
Lamba. Dengan demikian, maka ketika orang itu bergeser kekiri serangan
Tapak Lamba pun telah bergeser pula. Meskipun tidak tepat
mengenai dadanya, maka serangan itu telah menghantam
pundaknya. Ternyata serangan Tapak Lamba yang dilontarkan dengan
sepenuh kekuatannya itu, telah membentur pundak lawannya
bagaikan sambaran halilintar. Perasaan panas dan pedih telah
menyengat pundaknya, dan rasa-rasanya tulang-tulangnya telah
retak karenanya. Yang menghantam pundak itu kekuatan Tapak Lamba yang
dilandasi sepotong besi baja di dalam genggaman. Karena itu, maka
akibatnya pun seolah-olah sudah menentukan. Tangan orang itu
bagaikan lumpuh seketika, dan seluruh kekuatannya bagaikan
terhisap oleh perasaan sakit yang tiada taranya itu.
Koleksi : Ki Ismoyo Scanning: Ki Arema Convert/Ptoofing: Ki Mahesa
Editing: Ki Arema -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
1045 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo dan Arema di
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 15 SERANGAN Tapak Lamba itu ternyata bagaikan aba-aba yang
diberikan kepada ketiga orang
kawannya. Dengan serta mereka
mereka pun segera berloncatan
mencari sasaran masing-masing.
Serangan-serangan itu benarbenar
tidak diduga. Selagi perhatian orang-orang yang ada
di halaman itu tertuju kepada
Tapak Lamba yang menyerang
secepat kilat, maka seranganserangan
berikutnya telah datang membadai. Dengan demikian ,maka sekejap kemudian perkelahian
telah menyala dengan dahsyatnya di halaman itu. Tapak Lamba
tidak menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diperolehnya pada
serangan pertama. Selagi lawannya itu kehilangan keseimbangan,
maka tangan kirinya dengan cepat pula telah menghantam tengkuk
orang itu sehingga ia pun segera jatuh tersungkur.
Dengan serta merta Tapak Lamba memungut senjata orang itu.
Sebilah padang yang cukup panjang. Dan dengan pedang itu di
tangan kanannya, dan memindahkan keling di genggaman tangan
1046 kirinya, ia pun segera bertempur melawan orang-orang yang
dengan serta merta telah menyerangnya.
Ketiga kawan Tapak Lamba ternyata tidak mengecewakannya.
Mereka berhasil menguasai keadaan pada benturan pertama
meskipun selanjutnya mereka sadar, bahwa lawan mereka tentu
akan dapat menekan mereka dan bahkan mengalihkannya jika
mereka tidak berhasil mempergunakan setiap kesempatan sebaikbaiknya.
Bahkan mereka pun sadar, bahwa di balik dinding itu tentu
masih ada beberapa orang yang akan segera turun ke halaman dan
bertempur bersama-sama. "Memang tidak ada pilihan lain kecuali mati." berkata Tapak
Lamba di dalam hatinya, "Tetapi matilah dengan cara yang paling
baik. Mati sebagai seorang prajurit meskipun aku sudah bukan lagi
seorang prajurit." Dengan demikian maka Tapak Lamba pun bertempur semakin
dahsyat. Pedangnya terayun-ayun mengerikan sekali. Sementara
ketiga lawannya berusaha berkelahi dalam pasangan yang rapat.
Mereka berputaran dan kadang-kadang berlari-larian membingungkan
lawan-lawan mereka. Dari tujuh orang yang masih mampu bertempur, Tapak Lamba
harus melawan dua orang yang bertempur berpasangan. Sedang
tiga orang kawannya, bersama-sama melawan lima orang yang Jain.
Mereka bertempur dalam kelompok-kelompok yang dengan sengaja
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dikacaukan oleh tiga orang kawan Tapak Lamba. Sekali-sekali
mereka berdiri beradu pungung. Namun tiba-tiba mereka berlarilarian
memencar. Namun kemudian mereka telah berada dalam satu
lingkaran yang rapat lagi.
Tetapi bagaimanapun juga, lawan mereka adalah jumlah yang
hampir berlipat. Apalagi mereka pun bukan orang-orang kebanyakan
yang sama sekali tidak mengenal ilmu kanuragan.
Karena itulah, maka pertahanan Tapak Lamba dan kawankawannya
pun semakin lama menjadi semakin berat.
1047 Namun dalam pada itu, ketiga orang kawan Tapak Lamba itu
berhasil mengurangi seorang lawannya yang terpelanting oleh
sentuhan keling di pelipisnya. Meskipun sentuhan itu tidak
terlampau tajam membenturnya, namun kulit pelipisnya itu
bagaikan terkelupas. Darah yang segar memerah diseluruh
wajahnya. Tertatih-tatih melangkah menepi. Ia mencoba menyeka darahnya
dengan kain panjangnya. Namun darah itu masih saja mengalir
terus. Dengan demikian, maka jumlah lawan pun menjadi semakin
berkurang. Tetapi sejalan dengan itu, tenaga Tapak Lamba dan
kawan-kawannya pun menjadi semakin berkurang pula.
Untuk beberapa saat lamanya, perkelahian itu masih berjalan
dengan sengitnya. Tapak Lamba bertempur dengan perhitungan
yang masak. Sebagai seorang bekas Senapati ia mampu melihat
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di dalam perkelahian
itu. Karena itu, maka ia pun dengan segenap kemampuannya telah
bertempur untuk mengurangi jumlah lawan secepat-cepatnya.
Meskipun dengan demikian ia harus mengerahkan tenaga, tetapi ia
berharap bahwa lawannya yang tersisa tidak akan memerlukan
tenaga terlampau banyak. Karena itulah, maka serangan-serangan Tapak Lamba justru diarahkan
kepada lawannya yang paling lemah. Ujung pedangnya
bagaikan lalat yang selalu mengejar kemana pun lawannya
menghindar. Dengan mempergunakan segenap kekuatan ilmunya, ujung
pedang Tapak Lamba mulai menyentuh tubuh lawannya yang paling
lemah. Meskipun hanya segores kecil dan sama, sekali tidak
menimbulkan perasaan sakit yang mengganggu. Tetapi titik darah
yang kemudian meleleh dilengannya akan dapat mempengaruhi
ketahanan perasaan lawannya itu.
1048 Tapak Lamba bertempur semakin seru. Serangan-serangannya
bagaikan angin pusaran yang dahsyat sekali.
Demikian juga ketiga orang kawannya. Setelah kawannya susut,
mereka menjadi semakin garang. Apalagi di hati masing-masing
mulai tumbuh harapan untuk dapat bertahan dan hidup lebih lama
lagi. Jika lawannya bukan orang-orang yang memiliki kelebihan
melampaui mereka berempat, maka harapan untuk meninggalkan
halaman itu tentu masih ada. Meskipun menarik diri dari
peperangan agak menimbulkan gangguan pada rasa harga diri
tetapi melawan orang-orang yang berjumlah jauh lebih banyak,
bukannya cara yang pantang dilakukan.
Karena itulah, maka ketiga orang itu pun berusaha untuk
bertempur sambil mendekati Tapak Lamba. Ketika ada kesempatan
pada salah seorang dari mereka, maka orang itu pun berdesis di
dekat Tapak Lamba, "Apakah kita akan bertempur terus?"
Tapak Lamba segera mengerti maksudnya. Karena itu, ia pun
mulai mempertimbangkannya, sementara serangan-serangannya
justru menjadi semakin garang. Ia telah berhasil menyentuh lagi
lawannya dengan ujung pedangnya dan kemudian mendesaknya ke
sudut halaman. Tetapi dalam pada itu, keadaan ketiga kawannya menjadi agak
berbeda. Tangan-tangan mereka yang memegang keling menjadi
terasa pedih. Setiap kali mereka harus menangkis senjata lawan
dengan keling yang tergenggam di tangan. Dan setiap kali
tangannya menjadi terasa nyeri.
Tapak Lamba pun mempertimbangkan keadaan itu. Memang
keling bukan senjata yang baik untuk melawan senjata panjang.
Hanya karena terpaksa tidak ada senjata yang lain sajalah, maka
keling itu dipergunakannya.
Akhirnya Tapak Lamba mengambil keputusan yang serupa pula.
Ia yakin bahwa masih akan datang lawan-lawan yang lain yang
akan mengepung mereka didalam halaman itu.
1049 Karena itu, maka ia pun segera mencari kesempatan. Betapa
banyak lawannya, jika ia berhasil melepaskan diri dari halaman itu,
tentu ia dan ketiga kawan-kawannya akan dapat lolos dari tangan
orang-orang padukuhan itu.
"Kita masih memiliki tenaga untuk lari." desis Tapak Lamba yang
kemudian bersiap-siap untuk memberikan isyarat sambil mencari
kesempatan. Namun dalam pada itu, sepasang mata memperhatikan
pertempuran yang terjadi di halaman dari balik pintu regol di
samping pendapa. Dengan wajah yang tegang ia mengikuti setiap
perkembangan. Kadang-kadang wajahnya mengendor sejenak,
tetapi kemudian menjadi tegang kembali.
Tiga orang pengawal yang berdiri di belakangnya, rasa-rasanya
sudah tidak sabar lagi melihat keadaan kawan-kawannya di
halaman. Tetapi orang itu masih tetap diam saja.
Di halaman perkelahian semakin lama menjadi semakin sengit.
Ketika Tapak Lamba merasa, saat yang sebaik-baiknya untuk lari
telah terbuka, karena lawan mereka kebetulan berada di satu sisi,
maka ia pun segera memberikan isyarat kepada ketiga orang
kawannya untuk saling mendekat.
"Ki Buyut." desis salah seorang yang berada dibalik regol
samping pendapa, "Mereka akan lari."
"Ya, mereka akan melarikan diri."
"Kita harus bertindak cepat sebelum mereka lolos."
"Ya." ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi mereka tidak akan lari."
"Lihat. Mereka telah bergabung. Kesempatan itu kini benar-benar
telah terbuka. Menilik kemampuan mereka, tentu sulit untuk
mengejar dan menangkap mereka semuanya. Padahal menurut apa
yang telah mereka lakukan di halaman itu, mereka pantas mendapat
hukuman yang paling berat. Dibunuh di sarang semut salaka."
1050 Ki Buyut justru tertawa. Katanya, "Membunuh di sarang semut
memang menyenangkan sekali. Apalagi dengan cara yang paling
baik. Mereka tidak akan diikat. Tetapi mereka akan dilepaskan
dalam kerangkeng." "Bagus sekali Ki Buyut. Orang-orang itu sempat meIonjak-Ionjak
kesakitan dan berlari-larian di dalam kerangkeng, sebelum mereka
akan jatuh menjadi mangsa semut salaka, sehingga hanya kerangka
mereka saja yang tinggal."
Ki Buyut tertawa perlahan-lahan. Tetapi ia masih berdiri di
tempatnya memandangi orang-orang yang berusaha untuk
mendekati pintu gerbang. "Mereka tentu berhasil lari Ki Buyut. Tanpa meloncati dinding.
Mereka dapat menempuh jalan yang paling aman. Lari lewat pintu
gerbang, sementara orang-orang kita yang dungu itu menjadi
semakin lelah." Tetapi Ki Buyut masih tetap berdiam diri.
Seperti yang diduga oleh ketiga pengawal Ki Buyut itu, maka
Tapak Lamba memang mencari jalan yang paling aman. Lari melalui
pintu gerbang. Dengan demikian maka cara mereka bertempur pun
saling menyesuaikan diri untuk dapat bergeser mendekati pintu
gerbang itu. Pada saat yang terakhir, maka Tapak Lamba pun tiba-tiba telah
mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya.
Pedangnya bagaikan angin prahara yang mengamuk di tengahtengah
padang ilalang. Dengan demikian, maka lawan-lawannya pun telah terdesak
mundur beberapa langkah, sehingga memberi kesempatan kepada
kawan-kawannya untuk dengan cepat mencapai regol halaman yang
masih terbuka itu. Dengan demikian, maka saat untuk melarikan diri itu benar-benar
telah terbuka. Menurut pengamatan mereka, di luar regol masih
1051 belum ada orang-orang lain yang datang dengan atau tidak dengan
isyarat. Tetapi ketika mereka sudah siap untuk meninggalkan halaman
itu, terdengarlah salah seorang dari Iawan-Iawannya bersuit
nyaring. Agaknya ia merasa bahwa tidak ada lagi yang dapat
dilakukannya untuk menahan keempat orang yang akan melarikan
diri itu. "Terlambat." desis salah seorang dari para pengawal Ki Buyut.
"Isyarat itu yang terlambat." desis Ki Buyut.
"Mereka mengira bahwa kita selalu mengikuti perkelahian itu.
Dengan atau tanpa isyarat kita akan turun kehalaman."
Tetapi Ki Buyut justru tertawa lagi sambil berdesis, "Mereka tidak
akan lari." Baru saja mulutnya terkatub, maka seorang dari ketiga kawan
Tapak Lamba telah melangkah surut ke pintu regol disusul oleh
kawannya yang lain. Dua orang yang lain, masih tetap bertempur
sambil mundur perlahan-perlahan mendekati pintu regol, sebelum
mereka akan meloncat berlari.
Tetapi, ketika Tapak Lamba yang paling akhir berdiri di regol itu,
siap meneriakkan isyarat untuk berlari, tiba-tiba saja ia mendengar
suara tertawa meledak di balik regol kecil di sebelah pendapa. Di
sela-sela suara tertawa itu terdengar Ki Buyut berkata, "He,
kampret, ternyata kau memang luar biasa."
Panggilan itu telah menghentikan langkah Tapak Lamba. Dalam
keragu-raguan ia mendengar kawannya berdesis, "Marilah. Jangan
hiraukan pangilan itu."
Tetapi Tapak Lamba menjadi termangu-mangu.
Lawan-lawannya pun menjadi heran melihat sikap Tapak Lamba.
Justru karena Tapak Lamba tidak segera berlari meninggalkan
halaman, maka mereka pun menjadi ragu-ragu untuk bertindak. Apa
1052 lagi setelah mereka mendengar suara tertawa Ki Buyut dari balik
regol di s isi pendapa. "Marilah, cepat." sekali lagi kawan Tapak Lamba
memperingatkan. "Tunggu." desis Tapak Lamba, "Kau mendengar suara tertawa
itu?" "Ya." "Dan kau mendengar orang yang tertawa itu menyebut kita
kampret?" "Jangan pedulikan. Kita akan terjebak oleh lawan yang jumlahnya
tidak terhitung." "Tetapi kita harus menunggu sebentar." desis Tapak Lamba yang
tiba-tiba saja berteriak, "He, keluarlah."
Sejenak suasana halaman rumah Ki Buyut itu menjadi sangat
tegang. Tapak Lamba berdiri tegak di tempatnya dengan kepala
tengadah. Ditangannya masih tergenggam sebilah pedang. Dan di
tangan kirinya sebuah keling.
Suara tertawa masih terdengar dari balik regol di sebelah
pendapa. Tetapi Tapak Lamba dan kawan-kawannya masih belum
melihat siapakah yang telah tertawa itu.
Dalam pada itu, ketiga pengawal Ki Buyut menjadi semakin tidak
sabar. Mereka melihat Ki Buyut tertawa berkepanjangan, sedang
orang-orang yang berdiri di regol itu sudah siap untuk melarikan
diri. "Kita akan turun lebih dahulu." desis salah seorang dari mereka.
"Sst, mungkin itu suatu cara baru dari Ki Buyut untuk menahan
orang-orang yang akan lari meninggalkan halaman ini."
"Persetan." desis yang lain.
1053 Tetapi suara tertawa Ki Buyut pun segera terhenti. Dengan
senyum dibibirnya ia berkata kepada ketiga orang pengawalnya,
"Nah, kau lihat" Ia tidak akan pergi meninggalkan halaman ini."
"Kenapa Ki Buyut?"
Ki Buyut tidak menjawab. Tetapi ia berdesis, "Kita akan turun ke
halaman." Ki Buyut pun kemudian membuka pintu regol itu lebar-lebar.
Diiringi oleh ketiga orang pengawalnya, ia kemudian menuruni
tangga regol disisi pendapa itu.
"He kampret yang buruk." Katanya, "Kau benar-benar memiliki
kelebihan yang tidak mudah dicari tandingnya. Kemarilah. Jangan
lari. Tidak pantas seorang Senapati melarikan diri dari gelanggang."
Tapak Lamba termangu-mangu sejenak. Sedang kawannya di
belakang regol berdesis, "Jangan hiraukan. Jangan hiraukan."
"Lihatlah." berkata Tapak Lamba kepada kawan-kawannya, "Ki
Buyut sendiri agaknya sudah keluar dari sarangnya. Menilik sikap
dan pakaiannya, ia adalah pimpinan tertinggi di s ini."
"Kita tidak peduli. Kita tinggalkan saja tempat ini."
"Kemarilah dan lihatlah. Aku menjadi curiga."
Ketiga orang kawannya menjadi ragu-ragu. Sementara Ki Buyut
menjadi semakin dekat. Sekali lagi suaranya yang besar
mengumandang di halaman itu, "He kau kampret dan cucurutcucurut
kecil" Apakah kalian akan lari" Bukankah kalian prajuritprajurit
pilihan pengawal pribadi tuanku Tohjaya."
Ketiga kawan Tapak Lamba menjadi ragu-ragu pula mendengar
suara itu. Perlahan-lahan mereka menjengukkan kepala mereka
untuk melihat siapakah sebenarnya Ki Buyut yang dibayangi oleh
kekaburan dan rahasia. "He, kemarilah kampret." desis Ki Buyut itu, "Kita akan berbicara
dengan baik. Ternyata kau adalah satu-satunya tamuku yang dapat
1054 memaksa aku keluar dari ruang yang aku sediakan untuk menerima
tamu-tamuku." Tapak Lamba memandang orang itu dengan saksama. Orang itu
tidak begitu tinggi, tetapi tegap. Matanya tajam sedang daun
telinganya agak lebih lebar dari daun telinga yang kebanyakan.
Bibirnya tipis dan rambutnya agak keriting."
"He." desis Tapak Lamba kepada kawan-kawannya, "Kau lihat
orang itu." Ketiga kawannya pun termangu-mangu. Hampir mereka tidak
mempercayai penglihatannya. Ternyata orang itulah yang sedang
dicarinya. Sunggar Watang.
Tetapi menghadapi kenyataan itu, Tapak Lamba dan kawankawannya
menjadi ragu-ragu. Apakah orang itu telah berubah sikap
terhadap kawan-kawannya atau ada perhitungan lain, sehingga ia
harus membunuhnya. "Setiap orang asing dibunuhnya." desis Tapak Lamba, "Mungkin
ia dengan demikian berusaha untuk melenyapkan setiap
kemungkinan untuk mengenalinya."
"Ia benar-benar tidak mau dikenal lagi." bisik kawannya,
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Patung Emas 4 Pendekar Pulau Neraka 15 Lingkaran Rantai Setan Bara Diatas Singgasana 12