Pencarian

Sepasang Ular Naga 21

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 21


ketakutan yang tidak terhindarkan lagi.
Dari hari kehari, ternyata saudagar itu menjadi semakin gelisah.
Rasa-rasanya saat itu pun menjadi semakin pendek, bahwa dua
orang akan segera datang untuk mengambil uang. Sebagian saja
dari seluruh miliknya. "Baiklah aku akan menyediakannya." berkata saudagar itu,
"Kenapa aku justru menjadi gelisah" Sudah beberapa kali hal itu
terjadi. Dan yang beberapa kali itu tidak pernah menimbulkan
persoalan yang gawat."
Dengan demikian maka saudagar itu pun justru telah
menyediakan uangnya dalam sebuah peti. Di dalam peti itu terletak
sebuah peti lebih kecil, tempat ia menyimpan perhiasannya. Ia tidak
1240 mau menyembunyikan perhiasan itu, karena hal itu justru akan
dapat menimbulkan kecurigaan dan perhatian tersendiri kepadanya.
Tentu kedua orang itu megnganggap bahwa ia tidak mempercayai
mereka itu. "Orang yang merasa dirinya tidak dipercaya akan dapat berbuat
apa saja diluar dugaan." berkata saudagar itu di dalam hatinya.
Namun sementara itu, Pegatmega dalam kesempatan tersendiri,
selalu mengharap agar dua orang itu benar-benar datang ke rumah
itu. "Jika kita dapat melihat, atau memaksa mereka untuk
melontarkan ilmu yang sebenarnya tersimpan pada mereka berdua,
maka kila akan dapat mengetahui, siapakah sebenarnya keduanya
itu." berkata Witantra.
"Ya." jawab Pegatmega, "Akan sangat menarik jika keduanya
benar-benar orang dari lingkungan ilmu hitam itu. Akulah orang
yang paling berkepentingan. Dan agaknya merekapun memang
sedang mencari aku. Seharusnya aku tidak bersembunyi seperti
sekarang ini, dengan nama dan keadaan yang lain daripada saat aku
membunuh ketiga orang dari mereka."
"Kenapa kau harus menyatakan dirimu" Kau tidak usah berbuat
demikian. Kau dapat berbuat demikian jika kau yakin bahwa kedua
orang itu pun akan berbuat jantan. Datang kepadamu dan
menantangmu dengan dada tengadah."
Mahisa Bungalan hanya dapat mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun sebenarnya ia merasa kurang mapan untuk
bersembunyi saja terus-menerus. Jika semakin lama kedua orang itu
bertindak semakin kasar, maka ia tentu akan merasa bersalah
terhadap korban-korban yang berjatuhan.
Tetapi pembicaraan mereka berdua selalu terhenti jika saudagar
kaya, tempat mereka tinggal itu datang. Segera mereka pun
mengalihkan perhatian mereka kepada garis-garis di tanah, dan
potongan-potongan lidi, yang mereka pergunakan sebagai alat
permainan mereka. Macanan atau mul-mulan.
1241 Namun agaknya dari hari kehari, kegelisahan menjadi semakin
nampak pada saudagar itu. Meskipun kadang-kadang ia dapat
menenangkan hatinya dengan menyediakan uangnya, tetapi
kadang-kadang, terbayang kengerian yang sangat.
"Jika keduanya mengambil sikap lain." katanya di dalam hati,
"Apakah Sempulur yang tua itu akan dapat menolongku" Meskipun
Mahisa Agni seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa sehingga ia
akan mampu menilai Sempulur, tetapi tentu ketuaannya itu akan
berpengruh juga." Tetapi saudagar itu tidak mengatakannya kepada siapapun.
Apalagi kepada Pegatmega yang nampaknya menjadi semakin
sesuai dengan Sempulur. Keduanya memiliki sifat yang hampir
sama. Rajin dan tidak mau duduk termenung tanpa berbuat
sesuatu. Jika mereka memang tidak mempunyai kerja apapun juga,
maka mereka pun sempat mempertajam otak mereka dengan
permainan mereka meskipun dengan alat-alat yang sangat
sederhana. Sementara itu, selagi Sempulur dan Pegatmega menunggu
sampai pada suatu saat dua orang itu akan datang ke rumah
saudagar kaya itu, maka di tempat lain, agaknya seseorang telah
menaruh perhatian juga kepada kedua orang itu.
Agaknya perbuatan kedua orang, yang tidak dengan resmi
dilaporkan itu, terdengar pula oleh Linggadadi.
Dengan demikian ia mulai merasa terganggu pula. Ia sama sekali
tidak mau melihat wajah danau yang seolah-olah meliputi seluruh
Singasari itu, bergelombang, betapapun kecilnya.
"Setiap peristiwa yang bersifat kekerasan tentu akan
membangunkan prajurit-prajurit Singasari yang sudah mulai akan
tidur lelap." berkata Linggadadi.
Dengan demikian, maka ia pun kemudian bersepakat dengan
Linggapati untuk mengirimkan dua orang yang mereka percaya
untuk menyesuaikan masalahnya.
1242 "Aku tidak tahu, siapakah mereka itu. Tetapi agaknya mereka
adalah orang-orang yang memiliki kelebihan. Cobalah tangkap
mereka hidup-hidup. Jika tidak mungkin, bunuh sajalah agar mereka
tidak mengganggu ketenangan Singasari. Aku ingin Singasari benarbenar
tidur, hingga pada suatu saat, aku akan datang dengan
pasukan yang dengan pasti akan menghancurkannya selagi mereka
masih lelap, dan tidak akan mungkin dapat bangun lagi."
Kedua orang anak buah Linggapati itu pun kemudian
mempersiapkan dirinya untuk melihat keadaan Singasari. Mereka
mendapat tugas yang cukup berat. Mereka harus menghadapi dua
orang yang tidak dikenal dan belum dapat dijajagi kemampuannya.
Demikianlah, maka dengan kesiagaan sepenuhnya, dua orang
anak buah Linggapati itupun berangkat. Yang seorang bertubuh
sedang, berwajah keras meskipun kadang-kadang ia tersenyum
juga. Namanya Sruba. Sedang yang lain agak lebih tinggi, tetapi
juga lebih kurus. Namanya Tuju.
Namun agaknya keberangkatan mereka telah menumbuhkan
kegelisahan pada Linggapati dan Linggadadi. Sepeninggal keduanya,
ternyata Mahibit telah kedatangan tamu. Tapak Lamba dengan
kawan-kawannya. "Kau benar-benar datang?" bertanya Linggapati sambil
tersenyum. Tapak Lamba mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum
pula sambil menjawab, "Ya. Aku benar-benar datang."
"Jarak waktu yang diperlukan terlalu lama."
"Ada sesuatu yang menarik." jawab Tapak Lamba.
Linggapati dan Linggadadi menjadi heran.
Sejenak kemudian, setelah mendapat hidangan minum dan
makanan, Tapak Lamba mulai menceriterakan perjalanannya. Ia
menceriterakan pula apa yang telah terjadi di daerah yang disebut
daerah bayangan hantu itu.
1243 Linggapati menjadi gelisah. Dengan serta merta ia bertanya,
"Jadi kau jumpai tiga orang berilmu hitam itu?"
"Ya. Dan Ki Buyut itu pun menjadi ragu-ragu. Apakah orangorang
di Mahibit tidak menganut ilmu hitam."
Linggapati tertawa. Jawabnya, "Ilmu hitam adalah ilmu tersendiri.
Jika ada orang yang tidak senang kepada cita-citaku, dapat saja ia
menyebut aku juga golongan hitam. Tetapi sebenarnya aku tidak
menganut ilmu hitam yang dimaksud. Ilmu hitam yang murni.
Karena ilmu itu benar-benar mengerikan. Mungkin aku juga kadangkadang
membunuh dengan cara yang mengerikan. Tetapi bukan
merupakan keharusan dan kebanggaan. Apalagi mereka memang
memerlukan darah untuk menyegarkan ilmu mereka. "
"Jadi kau sudah pernah mendengar?"
"Ya. Tetapi sebenarnya ilmu itu sudah lama lenyap. Kini tiba-tiba
saja ilmu itu muncul dan berkembang. Hal itu tentu akan
membahayakan cita-citaku. Tentu Singasari akan memperkuat diri
dan bangkit dengan kesiagaan sepenuhnya. Jika demikian, aku tidak
akan mungkin dapat mengguncang Kota Raja itu dengan caraku,
karena aku ingin kota itu menjadi tenang dan damai. Sekali angin
bertiup, maka akan robohlah batangnya untuk tidak akan pernah
bersemi lagi." Tapak Lamba mengangguk-angguk. Katanya, "Jika benar-benar
terjadi perampokan-perampokan itu di Singasari, mungkin memang
ada hubungannnya dengan orang-orang yang berilmu hitam itu."
Linggapati termenung sejenak. Diluar sadarnya kepalanyapun
terangguk-angguk pula. Ia mulai membayangkan perjalanan ke dua
orang-orangnya yang pergi ke Singasari.
"Jika benar kedua orang itu dari lingkungan ilmu hitam, apakah
Sruba dan Tuju akan dapat berhasil menangkap hidup, atau
melenyapkannya agar ia tidak membuat onar lagi di Singasari?"
gumamnya. 1244 "Kakang." berkata Linggadadi, "Biarlah aku pergi saja ke
Singasari. Aku akan melihat perkembangan keadaan."
"Kau adalah seorang yang mudah tersinggung. Kau suka
bermain-main. Tetapi kau kurang tabah dengan permainanmu
sehingga kadang-kadang hatimu terbakar. Jika kedua orang dari
lingkungan hitam itu dapat ditangkap hidup, maka ada kemungkinan
kita dapat berhubungan dengan pimpinannya. Adalah tidak mustahil
bahwa kita akan dapat bekerja bersama, seperti kita akan bekerja
bersama dengan Tapak Lamba."
Tapak Lamba menundukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa
sebenarnyalah bahwa sisa hidupnya adalah karena belas kasihan
Linggapati saat Linggadadi hampir saja membunuhnya. Namun
kemudian hidup itu seakan-akan telah disambung pula oleh Mahisa
Bungalan, kakak dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang hampir
saja dibunuhnya. "Jadi bagaimana maksud kakang?"
Linggapati termangu-mangu. Lalu katanya, "Baiklah. Jika kau
mau pergi, pergilah. Tetapi jangan kau ulangi kekasaranmu seperti
yang hampir saja kau lakukan terhadap Tapak Lamba. Jika
sekiranya kau tidak perlu membunuh, jangan kau bunuh orang itu."
Linggadadi mengangguk. Tetapi iapun kemudian berkata,
"Mudah-mudahan bukan orang-orang itulah yang memaksa, aku
membunuh mereka." "Memang ada kalanya demikian. Terserahlah kepadamu. Apa
yang sebaiknya harus kau lakukan."
Linggadadi pun kemudian memandang Tapak Lamba sambil
bertanya, "Apakah kau akan pergi bersamaku?"
Tapak Lamba ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya,
"Sebaiknya aku tidak usah pergi. Bukan karena aku takut
menghadapi maut jika sekiranya kita akan berjumpa dengan orangorang
dari lingkungan ilmu hitam itu. Tetapi aku adalah orang yang
1245 barangkali telah dikenal oleh satu dua orang Singasari sehingga
mungkin akan dapat menghambat usahamu."
Sebelum Linggadadi menjawab, Linggapati telah memotong,
"Biarlah ia tinggal disini. Ia akan menjadi beban bagimu."
Sekali lagi Tapak Lamba menundukkan kepalanya. Ia merasa
bahwa dalam pembicaraan itu, ia adalah orang yang seolah-olah
tidak banyak berarti. Ilmunya masih belum dapat ikut
diperhitungkan untuk menghadapi orang-orang dari lingkungan ilmu
hitam. Bahkan Linggapati menganggapnya, bahwa ia hanya akan
menjadi beban Linggadadi di perjalanan dan apalagi mereka benarbenar
bertemu dengan orang-orang berilmu hitam itu.
Tetapi Tapak Lamba harus menyimpan perasaannya itu di dalam
hatinya betapapun pahitnya.
Dalam pada itu, maka Linggadadi pun segera mempersiapkan
diri. Disaat fajar menyingsing dihari berikutnya, maka iapun segera
meninggalkan Mahibit seorang diri. Ia akan menggabungkan dirinya
denga dua orang yang telah berangkat lebih dahulu. Ia akan dapat
menemukan kedua orang itu dengan memberikan ciri-ciri tertentu di
sepanjang jalan-jalan kota Singasari, sebagai pertanda
kehadirannya. Ciri-ciri yang tidak banyak menarik perhatian, tetapi
akan segera dikenal oleh kedua orang kawannya itu.
Dengan demikian, maka di kota Singasari, telah berkumpul
beberapa pihak yang saling bertentangan. Bertentangan sikap dan
cita-cita. Tetapi ternyata bahwa Sruba dan Tuju yang sudah berada di
Kota Raja itu bergerak lebih banyak dari Witantra dan Mahisa
Bungalan yang hanya sekedar menunggu. Sruba dan Tuju, setiap
malam berkeliaran di jalan-jalan kota. Tidak seperti kedua orang
yang dikirim oleh mereka yang berada di dalam lingkungan ilmu
hitam itu pula, maka Sruba dan Tuju tidak memerlukan tempat
tinggal. Mereka dapat berada dimana saja dalam panas yang terik
dan dalam hujan yang lebat.
1246 Beberapa hari setelah mereka berada di Kota Raja, maka mereka
mulai mencurigai dua orang yang mereka lihat lewat di jalan-jalan
sepi di malam hari. Tetapi keduanya masih belum berbuat apa-apa
sama sekali. Bahkan kemudian, sebelum mereka berbuat sesuatu,
mereka telah melihat lembaran daun pakis di tepi jalan. Tidak hanya
disatu tempat. Tetapi di beberapa tempat yang banyak dilalui orang.
Hampir tidak seorang pun yang menghiraukan lembaran daun
pakis yang tergolek begitu saja di tepi jalan. Tetapi bagi Sruba dan
Tuju, itu adalah pertanda bahwa Linggadadi sedang berusaha
menghubungi keduanya. Ternyata mereka tidak terlampau sulit. Dengan menunggu saja
pada salah satu dari daun pakis yang berceceran itu, maka
merekapun akan dapat bertemu dengan Linggadadi.
Tetapi, ketika malam menjadi gelap, sebelum Linggadadi
melintasi sekali lagi jalan-jalan yang telah diberinya ciri-ciri daun
pakis itu, Sruba dan Tuju melihat dua orang yang mereka curigai itu
lewat lagi tidak jauh dari mereka berdua.
"Kita ikuti, kemana keduanya pergi."
"Bagaimana dengan Linggadadi?"
Srubapun kemudian memungut salah satu dari daun pakis itu,
dan dibuatnya simpul mati, sebagai pertanda bahwa Sruba dan Tuju
telah melihat ciri-ciri yang ditinggalkannya, tetapi belum sempat
bertemu. Setelah meletakkan daun pakis yang sudah diberinya simpul itu,
maka Sruba dan Tujupun segera mengikuti dua orang yang mereka
curigai itu, agar mereka tidak kehilangan jejaknya.
Sejenak kemudian, maka Linggadadi pun mulai menelusuri jalan
yang telah diberinya tanda dengan daun pakis. Satu-satu ia
memperhatikan daun-daun pakis yang diletakkannya di tepi jalan.
Semuanya masih berada ditempatnya. Tetapi ketika ia sampai
pada salah satu diantaranya yang sudah ditandai dengan simpul
mati, maka ia berhenti termangu-mangu.
1247 "Sruba dan Tuju sudah melihat daun pakis ini." berkata
Linggadadi. Lalu, "Tetapi ia tidak sempat menunggu aku. Tentu ada
sesuatu yang penting yang mereka lakukan malam ini."
Demikianlah maka Linggadadi pun kemudian meninggalkan
tempat itu. Tetapi ia tidak mendapatkan petunjuk, kemanakah
kedua kawannya itu pergi. Meskipun demikian ia berusaha untuk
dapat mencarinya.

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentu ia berada di dalam kota." Desisnya, "Dan aku akan
mengelilingi seluruh kota ini. Jika tidak ada sesuatu yang sangat
penting, maka ia tidak akan meninggalkan tanda yang sudah aku
berikan ini." Dalam pada itu, Sruba dan Tuju dengan diam-diam berusaha
mengikuti dua orang yang berjalan di dalam gelapnya malam.
Adalah sangat mencurigakan, bahwa dua orang itu sekali-sekali
berhenti di depan sebuah rumah yang besar dan halamannya luas.
Tetapi kemudian mereka meninggalkan tempat itu, dan setelah
berjalan beberapa lama, maka mereka melakukan perbuatan serupa
di hadapan rumah lain. "Mereka tentu sedang memperbandingkan, yang manakah yang
paling baik dimasukinya." bisik Tuju.
Sruba mengangguk kecil. Katanya, "Ya. Demikian mereka masuk,
kita akan mendekati dan menangkap mereka hidup-hidup."
Sejenak keduanya menunggu. Rasa-rasanya mereka tidak sabar
lagi menunggu. Seakan-akan merekalah yang justru ingin
mendorong kedua orang itu masuk ke rumah yang besar itu.
Namun akhirnya, seperti yang diharapkan oleh Sruba dan Tuju,
maka kedua orang itupun dengan hati-hati memasuki sebuah regol
halaman yang cukup luas. Halaman rumah seorang saudagar ternak
yang termasuk kaya raya. Sruba dan Tujupun segera mendekatinya. Sejenak mereka
berhenti diluar regol. Dari gelapnya malam mereka mendengar
1248 kedua orang yang memasuki halaman itu berbisik, "Kita ketuk saja
pintunya." Salah seorang dari kedua orang itupun segera mengetuk pintu.
Hanya perlahan-lahan. Perlahan-lahan sekali. Tetapi ketukan pintu
yang perlahan-lahan itu ternyata telah mengejutkan seisi rumah
yang seolah-olah memang tidak dapat memejamkan mata sama
sekali. Penghuni rumah itu adalah saudagar ternak suami isteri,
pembantu-pembantunya yang berada di belakang, dan diantara
mereka terdapat Sempulur dan Pegatmega.
Dengan gemetar saudagar ternak itupun keluar dari biliknya.
Ketika isterinya akan mengikutinya, ia masih sempat menenangkan,
"Jangan ikut aku. Tidak ada apa-apa. Mungkin ada tamu yang
kemalaman." "Tetapi bukan waktunya ada tamu." desisnya.
"Mungkin ada berita yang sangat penting." berkata saudagar itu.
Isterinya termangu-mangu. Tetapi ia menganggukkan kepalanya.
Dalam pada itu, saudagar yang ketakutan itupun pergi ke bilik
Sempulur dan Pegatmega. Dilihatnya kedua orang itu sudah duduk
di bibir pembaringan masing-masing.
"Apa yang sebaiknya aku lakukan?" suara saudagar itu bergetar.
"Bukakanlah pintunya." berkata Sempulur, "Jika yang
dikehendaki lebih dari uang, maka aku akan bertindak."
"Tetapi jangan tergesa-gesa. Biarlah tidak ada kesulitan yang
lebih besar yang dapat aku alami."
"Baiklah." Pegatmega memotong, "Biarlah paman Sempulur
menunggu isyarat paman. Jika paman memerintahkan, maka paman
Sempulur akan segera melakukan tugasnya. Ia adalah bekas
seorang prajurit." 1249 Saudagar itu menjadi semakin gemetar ketika terdengar sekali
lagi pintunya diketok dari luar. Agaknya lebih keras.
"Bukalah pintunya." desis Sempulur.
Saudagar itu pun kemudian dengan kaki yang gemetar pergi ke
pintu depan. Dengan cemas ia mendekati pintu yang masih tertutup
rapat itu. Dengan tangan gemetar pula ia mengangkat selarak pintu itu,
dan dengan perlahan-lahan ia menarik daun pintunya.
Ketika pintu itu terbuka, dilihatnya didalam keremangan malam
dua orang berdiri dipendapa. Nampaknya keduanya agak tergesagesa.
Demikian pintu itu terbuka, maka keduanya segera meloncat
masuk dan dengan tergesa-gesa pula segera menutup pintu itu
kembali. Terasa tulang-tulang saudagar kaya itu menjadi lemas dan tidak
bertenaga lagi. Dua orang itu benar-benar yang dicemaskannya
selama ini. Dua orang yang mempergunakan tutup wajah seperti
yang pernah didengarnya. Tetapi yang pertama-tama didengarnya dari mulut yang tertutup
itu adalah suara tertawa. Katanya kemudian, "Kau tentu sudah
mengenal aku. Mungkin kawan-kawanmu pernah berceritera
tentang aku. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah takut. Aku tidak
pernah membuat keributan. Dengan terus terang, baiklah aku
beritahukan, sebenarnyalah bahwa aku hanya ingin mencukupi
kebutuhan makan dan pakaian saja. Tidak lebih dari itu. Karena itu,
aku minta kau dengan senang hati menyediakan uang buatku."
Saudagar itu menjadi semakin gemetar. Tetapi kata-kata yang
sareh itu membuatnya agak tenang sedikit. Yang diminta oleh
orang-orang itu tidak lebih dari sekampil uang seperti yang pernah
dilakukannya. Ketika isterinya keluar dari dalam bilik dan melihat kedua orang
itu, hampir saja ia menjadi pingsan. Tetapi selagi ia terhuyunghuyung,
dan hampir saja terjatuh, maka dengan cekatan, salah
1250 seorang dari mereka yang mempergunakan tutup wajah itu
meloncat dan menangkap perempuan yang sudah tidak bertenaga
lagi. "Isterimu menjadi ketakutan." berkata orang yang bertutup
wajah itu. "Ya, ia tentu terkejut sekali." desis saudagar itu.
Orang yang menahan tubuh perempuan itu tidak menjawab.
Diangkatnya tubuh perempuan itu seperti menjinjing anak-anak dan
meletakkannya di pembaringan.
Ternyata perempuan itu belum pingsan sama sekali. Tetapi
tubuhnya bergetar seperti sepekan terendam air embun yang
dingin. "Jangan takut Nyai." berkata orang yang mendukungnya dan
meletakkannya di pembaringan, "Aku tidak akan berbuat apa-apa.
Baik terhadapmu maupun terhadap suamimu. Aku hanya
memerlukan sedikit uang. Tidak lebih."
Perempuan itu tidak menjawab. Ia rasa-rasanya telah membeku
di pembaringannya itu. Sejenak kemudian maka salah seorang dari kedua orang itu
berkata, "Tunjukkan simpanan uangmu."
"Baik, baik Ki Sanak." jawab saudagar itu terbata-bata.
Dalam pada itu, ketika ketiga orang itu menuju kedalam bilik
tempat isteri saudagar itu di baringkan, salah seorang dari kedua
orang yang bertutup wajah itu tertegun di muka pintu sebuah bilik
yang tertutup. Dengan ragu-ragu ia menggamit saudagar itu sambil
bertanya, "Siapakah yang berada di dalam bilik ini?"
Saudagar itu tergagap. Jawabnya kemudian, "Kemanakanku, Ki
Sanak, kemanakanku bersama kakak sepupuku."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Kemudian salah
seorang dari keduanya itupun mendorong pintu lereg itu kesamping.
1251 Sejenak keduanya berdiri di tempatnya dengan ragu-ragu. Kedua
orang bertutup wajah itu melihat, dua orang berada di dalam bilik
itu duduk di bibir pembaringan.
"Siapa kau?" bertanya salah seorang dari kedua orang yang
datang itu. Sempulur sudah mendengar jawaban saudagar ternak itu, hingga
iapun menjawab, "Aku adalah kakang sepupunya. Dan anak muda
ini adalah anakku." Kedua orang yang datang itu ragu-ragu sejenak. Namun
kemudian iapun berkata, "Jangan mengganggu tugas kami Ki
Sanak. Jika kalian tamu disini, silahkanlah. Akupun tidak akan
mengganggumu." "Aku tidak dapat berbuat apapun disini. Tetapi aku berterima
kasih, bahwa aku tidak akan terganggu karenanya."
Orang bertutup wajah itu tertawa kecil. Katanya, "Akupun terima
kasih bahwa kau tidak menjadi ribut karenanya." Kedua orang
itupun kemudian meninggalkan bilik itu dan masuk kedalam bilik
yang lain. Namun dengan demikian, perempuan yang diletakkan di
pembaringan itu menjadi semakin ketakutan.
"Kami tidak akan berbuat apa-apa." berkata salah seorang dari
mereka. Tetapi perempuan itu tidak mendengarnya. Karena itulah ia
masih saja menggigil di pembaringannya.
Sejenak kemudian maka saudagar itupun memperlihatkan peti
uangnya dan perhiasan-perhiasan simpanannya. Dengan suara
gemetar ia berkata, "Yang manakah yang kau perlukan?"
"O." terdengar suara perempuan di pembaringan. Salah seorang
yang bertutup wajah itu tertawa. Katanya, "Jangan cemas. Aku
tidak akan mengambil apapun selain sejumput uang. Itu saja."
Perempuan itupun terdiam. Tetapi rasa-rasanya ia tidak mengerti
apa yang sedang terjadi itu.
1252 Tetapi dalam pada itu, selagi kedua orang bertutup wajah itu
akan mengambil uang di dalam peti itu, terdengar pintu rumah itu
sekali lagi diketuk orang. Perlahan-lahan, tetapi cukup mengejutkan
semua orang yang berada di dalarnnya.
"Siapakah mereka itu?" bertanya kedua orang bertutup wajah
itu. "Aku tidak mengerti." jawab saudagar itu.
"Apakah kau mempunyai beberapa orang pengawal?"
"Tidak. Tidak. Aku tidak mempunyai satu pengawal pun."
"Jangan bohong."
"Aku tidak bohong."
Pintu itupun sekali lagi diketuk dari luar.
"Pergilah kepintu itu. Bukalah. Aku berada di dalam bilik ini. Jika
ternyata kau berbuat curang, maka seisi rumah ini akan aku
tumpas. Kau, isterimu dan kedua tamumu."
Saudagar itu menjadi bingung. Tetapi salah seorang bertutup
wajah itu mendorongnya sambil berkata, "Cepat. Bukalah pintu itu."
Saudagar itupun kemudian melangkah dengan kebingungan. Ia
tidak tahu apakah yang paling baik dilakukan dalam keadaan seperti
itu. Apalagi ia dicengkam oleh kecemasan, tetapi juga ketakutan.
Dan ia tidak dapat membayangkan, siapakah yang akan datang lagi
di malam hari itu. Dengan tangan bergetar maka iapun membuka pintu rumahnya
sekali lagi. Ketika pintu itu terbuka, dilihatnya dua orang yang lain
telah berdiri di muka pintu itu.
Hati saudagar ternak itu berdegup keras sekali. Ia benar-benar
cemas, bingung dan bahkan takut menghadapi keadaan yang tidak
dimengertinya sama sekali itu.
1253 "Ki Sanak." berkata salah seorang dari kedua orang yang berdiri
di muka pintu itu, "Aku ingin bertemu dengan kedua orang tamumu
yang datang lebih dahulu dari aku."
Saudagar itu termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, "Aku
tidak mempunyai tamu."
"Jangan bohong Ki Sanak." sahut yang lain, "Ketahuilah. Aku
berniat baik. Aku sama sekali tidak akan merampok milikmu seperti
kedua orang yang wajahnya disembunyikan di balik ikat kepalanya
itu." Saudagar itu menjadi semakin bingung. Karena itu untuk
beberapa saat ia seolah-olah telah membeku di muka pintu.
Kedua orang yang bersembunyi di dalam bilik itu mendengar
semua pembicaraan saudagar dengan kedua orang yang datang
kemudian itu. Karena, itu, maka iapun mengerti, bahwa yang
datang itu adalah orang-orang yang juga tidak dikenal oleh
saudagar kaya itu. Karena itulah, maka keduanya pun menjadi
berdebar-debar. "Siapakah kira-kira mereka?" bisik salah seorang dari keduanya.
Yang lain menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tentu aku juga
tidak tahu. Kita tunggu saja perkembangannya."
"Bagaimanakah jika kedua memaksa untuk masuk?"
"Jika keadaan memaksa, apaboleh buat. Kita wajib
menyelamatkan diri."
"Apakah kita harus bertempur?"
"Jika itu perlu untuk melindungi hidup kita."
"Apakah dengan demikian, maka kita tidak perlu lagi
menyembunyikan ilmu kita?"
"Sejauh-jauh dapat kita lakukan. Jika kita mampu mengalahkan
lawan kita dengan ilmu yang sewajarnya, kita tidak akan
1254 mempergunakan ilmu simpanan yang sampai saat ini masih harus
kita rahasiakan." Kawannya menganguk-anguk.
"Tetapi jika dengan demikian, kita tidak mampu lagi bertahan,
maka kita akan membunuh lawan kita. Kita akan menguburkannya,
sehingga tidak ada, orang lain yang mengetahuinya."
"Saudagar kaya itu?"
"Ia tidak tahu apa-apa. Kita tidak akan mengganggunya saat ini.
Demikian juga agaknya kedua tamu yang membeku di dalambilik
itu." Sementara itu, kedua orang yang berada dimuka pintu, ternyata
tidak mau ditahan lagi. Merekapun mendesak masuk sambil
mengancam, "Jangan melindungi perampok yang ada di dalam
rumahmu dan justru akan merampok kekayaanmu Ki Sanak. Aku
tahu bahwa kau lakukan hal itu bukan karena kau memang berniat
untuk melindungi. Tetapi kau lakukan hal ini karena kau ketakutan
oleh ancamannya. Nah, sekarang jangan takut lagi. Akulah yang
akan mempertanggung jawabkan."
Saudagar itu menjadi semakin bingung. Lalu katanya, "Aku
benar-benar tidak tahu Ki Sanak, siapakah yang kalian maksud itu."
"Sudahlah." berkata salah seorang dari keduanya,
"Menyingkirlah. Aku akan mencarinya sendiri."
"Jangan Ki Sanak. Jangan."
Tetapi saudagar itu tidak mampu menahan keduanya. Salah
seorang dari kedua orang itu tiba-tiba menangkap tangannya dan
memilinnya, "Jika kau ribut, tanganmu akan aku patahkan."
"Aduh, jangan. Jangan."
"Jika demikian, diamlah. Dan duduklah di amben itu tanpa
berbuat apa-apa." 1255 Ketika sebuah pisau belati berkilau di hadapan matanya, maka
rasa-rasanya nyawanya memang sudah berada di ubun-ubun.
Dengan gemetar ia duduk di amben yang ditunjuk oleh kedua orang
itu tanpa dapat berbuat apa-apa.
Sementara itu, di dalam bilik yang lain, Witantra dan Mahisa
Bungalan pun duduk termangu-mangu. Mereka sadar, bahwa kedua
orang itu dapat keliru dan menganggap keduanya adalah dua orang
yang telah masuk lebih dahulu kedalam rumah itu. Namun selain
kegelisahan itu, mereka pun menjadi bingung. Semula keduanya
sudah bersiap untuk menangkap kedua orang yang datang terlebih


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dahulu jika mereka keluar dari rumah itu dan langsung
menyergapnya di halaman. Tetapi dengan kehadiran dua orang lagi,
maka Witantra dan Mahisa Bungalan menjadi ragu-ragu untuk
bertindak. Selagi mereka termangu-mangu, maka mereka pun terkejut
ketika pintu bilik itu didorong dengan keras sehingga terbuka lebarlebar.
Keduanya dengan susah payah berusaha menahan diri untuk
tetap duduk ditempatnya dengan kaki yang gemetar.
"Ha, ternyata kalian berada disini." berkata salah seorang dari
kedua orang yang masuk itu.
"Ya, kami tamu disini." jawab Witantra dengan suara yang
tersendat-sendat. Salah seorang dari kedua orang itu mengerutkan keningnya.
Tetapi yang lain tertawa. "Jangan berbohong. Kau masuk rumah ini
dengan tutup wajah. Sekarang kau mencoba ingkar dan ketakutan."
"Tidak. Aku sudah beberapa hari berada di rumah ini. Aku
adalah kakak saudagar itu dan ini adalah anakku. Ini, di dalam
bungkusan di geledek ini adalah beberapa lembar bekal pakaianku
dan itu adalah pakaian anakku. Aku tidak baru saja masuk ke dalam
rumah ini." Kedua orang itu menjadi ragu-ragu. Nampaknya keduanya
memang bukan orang yang dicari. Tetapi mereka masih tetap raguragu.
1256 Dengan hati-hati kedua orang itu melangkah masuk ke dalam
bilik itu. Dilihatnya bungkusan yang ada di dalam gledeg itu.
Ternyata bungkusan itu adalah beberapa lembar pakaian.
Dengan demikian maka kedua orang itu percaya, bahwa
keduanya memang bukan orang yang baru saja masuk ke dalam
rumah itu. "Aku kira memang bukan mereka." bisik salah seorang dari
kedua orang itu, "Keduanya nampaknya memiliki sikap yang
berbeda sekali dengan kedua orang ini. Cekatan dan tidak raguragu."
Yang lain mengangguk-angguk. Desisnya, "Kita cari ke bilik yang
lain." Dengan demikian maka keduanya pun segera keluar dari dalam
bilik itu. Mereka memandang saudagar yang duduk ketakutan itu
sejenak. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, "Aku akan
mencarinya di tempat lain. Tetapi kali ini aku tidak dapat berbuat
lebih baik dari kedua orang yang telah mendahului aku. Jika
ternyata aku menemukan kedua orang itu maka aku akan
membunuh mereka, dan sekaligus memberimu peringatan karena
kau tidak membantu aku sama sekali. Peringatan yang barangkali
sepadan dengan kedunguanmu sekarang ini."
"Tetapi, tetap." Saudagar itu tergagap.
"Agaknya kau lebih takut kepada kedua orang itu dari pada
kepada kami." yang lain hampir kehilangan kesabarannya, "Jangan
kau sangka bahwa aku tidak dapat membunuhmu dengan cara yang
lebih baik dari cara yang dapat diambil oleh kedua orang itu. Atau
barangkali ada anggauta keluargamu yang diancam sebagai
taruhan. Jika kau membuka mulutmu, orang itu akan dibunuh?"
Saudagar itu tidak menjawab.
"Jika demikian, maka aku pun akan mengancam. Jika aku tidak
menemukan orang itu, maka kedua orang di dalam bilik itupun akan
aku bunuh. Kemudian kau sendiri akan aku ikat dibelakang kuda.
1257 Kau tentu mempunyai satu atau dua ekor kuda. Bahkan mungkin
lebih. Satu kakimu akan aku ikat dengan seekor kuda yang
menghadap ke Timur di jalan di depan rumahmu ini, sedang satu
kakimu yang lain akan aku ikat dengan seekor kuda yang
menghadap ke Barat."
"Jangan, jangan." saudagar itu menjadi sangat ketakutan.
"Dan kau akan dapat membayangkan akibatnya jika kedua ekor
kuda itu kami kejutkan dan meloncat berlari ke arah yang
berlawanan." "Jangan, jangan."
"Jika kau tidak mau, katakan, dimanakah kedua orang itu?"
Saudagar itu benar-benar menjadi bingung. Jika ia menunjukkan,
maka kemungkinan yang paling pahit adalah, isterinya akan menjadi
korban. Tetapi jika tidak, ancaman itu benar-benar sangat
mengerikan. Karena itu, maka justru untuk beberapa saat ia diam mematung.
Ia tidak tahu, apakah yang sebaiknya dilakukannya.
Kedua orang itu agaknya sudah tidak sabar lagi. Yang seorang
segera meloncat mendekatinya. Diguncangnya lengannya sambil
membentak, "Jangan menunggu aku kehilangan kesabaran. Aku
dapat menarik kau di belakang kuda dan membakar rumah itu
sekaligus." "Tetapi, tetapi......" suaranya tergagap.
"Cepat, aku tidak mempunyai waktu. Aku yakin, kedua orang itu
ada di dalam rumah ini. Jika tidak ada orang lain, maka kedua orang
yang ada di dalam bilik itulah yang akan aku bunuh."
Saudagar itu masih saja kebingungan, la tahu bahwa orang yang
disebut bernama Sempulur itu adalah bekas seorang prajurit. Jika ia
akan dibunuh, maka ia tentu akan melawannya. Tetapi akhir dari
perkelahian itu sama sekali tidak dapat dibayangkannya.
1258 Sementara itu, selagi kedua orang itu mengguncang saudagar
yang kebingungan, Witantrapun menjadi termangu-mangu. Hampir
diluar sadarnya ia berdiri dan melangkah kepintu. Tetapi ia masih
belum menjengukkan kepalanya.
Mahisa Bungalan pun kemudian mempersiapkan diri perlahanlahan
dan dengan sangat berhati-hati ia melangkah mendekat
dinding. Ia telah bertekad untuk bertempur melawan kedua orang
yang baru datang itu. Bahkan jika perlu dengan dua orang yang
terlebih dahulu bersembunyi di dalam bilik yang lain.
Namun dalam pada itu, salah seorang yang berdiri sambil
bertolak pinggang di hadapan saudagar itu benar-benar telah
kehilangan kesabaran. Dengan serta merta ia melangkah kepintu
bilik yang lain dan mendorongnya dengan kakinya.
Ketika bilik itu terbuka, maka hampir berbareng kedua orang itu
berdesis, "Nah, bukankah kami benar?"
Saudagar itu mengigil ketakutan. Ia tidak dapat membayangkan
apa yang akan terjadi di dalam rumahnya itu.
Sementara itu, kedua orang yang bertutup wajah itupun dengan
langkah yang tenang keluar dari dalam bilik itu sambil
mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. Bahkan salah
seorang dari mereka berkata, "Aku sudah menduga, bahwa kalian
akan membuka pintu bilik itu. Tetapi sebelum kita mempersoalkan
kehadiran kita masing-masing di rumah ini, apakah aku dapat
bertanya, siapakah kalian?"
"Kita masing-masing memang saling ingin mengetahui. Aku pun
ingin bertanya kepadamu, siapakah kau berdua" Dan apakah
maksud perbuatanmu selama ini?"
Kedua orang yang bertutup wajah itu saling berpandangan
sejenak. Namun salah seorang dari merekapun bertanya. "Apakah
kau petugas atau prajurit Singasari?"
Kedua orang yang datang kemudian itu termenung sejenak.
Salah seorang daripadanya pun kemudian berkata, "Sudahlah.
1259 Berkatalah berterus terang. Kau telah melakukan perampokan
beberapa kali didaerah Singasari ini. Karena itu kalian harus
ditangkap dan dibunuh."
"Sekali lagi aku bertanya." desis salah seorang dari kedua orang
yang bertutup wajah itu, "Benarkah kalian petugas sandi?"
"Sama sekali tidak. Tetapi aku tidak senang melihat kerusuhan
yang terjadi didaerah Singasari. Dengan demikian maka kalian
seolah-olah telah membangunkan harimau yang sedang tidur."
"Aku tidak mengerti maksudmu."
"Dengarlah. Barangkali kita dapat menemukan jalan seiring. Jika
kalian menghentikan kerusuhan yang kalian lakukan dan bersedia
bekerja bersama kami, maka mungkin kita akan segera dapat
menyelesaikan tugas yang besar bukan saja sekedar untuk
mendapatkan uang sekampil dua kampil tetapi seluruh Singasari
akan jatuh ketangan kita."
"Aku masih tetap tidak mengerti."
"Kami sedang mempersiapkan diri untuk menguasai Singasari.
Karena itu biarkan Singasari menjadi aman dan tenteram. Jika kau
melakukan perampokan-perampokan kecil, tetapi kemudian akan
menjalar menjadi perampokan yang lebih berani, maka para
petugas dari Singasari akan terbangun. Prajurit Singasari akan
bersiap-siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang lebih
pahit dari perampokan-perampokan kecil seperti yang kau lakukan."
Kedua orang yang bertutup wajah itu terdiam sejenak. Namun
salah seorang dari mereka terdengar tertawa dan berkata,
"Siapakah sebenarnya kau ini. Kata-katamu bagaikan guntur yang
dapat membelah langit, meruntuhkan gunung dan mengeringkan
lautan. Kau sangka Singasari itu berisi anak-anak yang baru pandai
main jirak kemiri" He, kenapa kau bermimpi untuk menguasai
Singasari" Kami, yang memiliki kekuatan yang tidak ternilai, masih
belum berani mengucapkan kata-kata itu. Apalagi kau?"
1260 Wajah kedua orang yang datang kemudian itu menjadi merah.
Dengan lantang salah seorang berkata, "Katakan. Siapakah kalian?"
"Itu tidak perlu. Agaknya kau pun segan mengatakan, siapakah
kalian sebenarnya. Sekarang, baiklah kita tidak saling mengganggu.
Pergilah. Carilah jalan sendiri. Aku akan menyampaikan salam jika
kalian kelak berhasil merebut Singasari. Tetapi kalian akan berada di
bawah telapak kaki kami, jika kamilah yang lebih dahulu memiliki
tahta itu." "Jadi, perampok-perampok kecil yang mengumpulkan sekampil
dua kampil uang itu juga merindukan tahta Singasari yang agung.
Apakah kau pernah mendengar nama-nama Senapati besar dari
Singasari" Apakah kau menyadari apa yang sedang kau lakukan
itu?" "Kenapa tidak" Aku mengenal Mahisa Agni, Witantra, Lembu
Ampal, Kuda Werdi, Kidang Pagut, Panji Soroh dan masih banyak
lagi. Juga dapat disebut Mahendra yang tidak berada di dalam
lingkungan keprajuritan tetapi ia adalah seorang yang perlu
diperhitungkan. Dan yang baru muncul adalah anaknya Mahisa
Bungalan yang masih muda dan senang melakukan petualangan.
Nah, apakah kau mengenal nama sebanyak itu?"
Kedua orang itu sesaat terdiam. Ternyata perampok kecil itu
mengenal banyak sekali nama Senapati-Senapati Singasari dan
agaknya mereka menyadari kemampuan para Senapati itu.
Karena itu. maka salah seorang dari mereka berkata, "Jika
demikian, kau menyadari sepenuhnya apa yang kalian lakukan.
Karena itu, maka sudah seharusnya kami menghentikan semua
kegiatanmu itu, karena pasti akan mengganggu semua rencana
kami. Kecuali jika kalian bersedia bekerja bersama kami."
Sejenak kedua orang itu tidak menjawab. Nampaknya mereka
sedang merenungi kata-kata itu.
Dalam pada itu, Witantra dan Mahisa Bungalan yang berada di
dalam bilik saling berpandangan. Agaknya kedua orang yang datang
terlebih dahulu dan dua orang yang kemudian, adalah orang-orang
1261 dari kelompok tertentu dengan rencana tertentu. Mereka
nampaknya memang sedang melakukan persiapan untuk suatu
usaha yang besar. Tahta Singasari.
Tetapi keduanya tidak sempat membuat pertimbanganpertimbangan
ketika terdengar salah seorang dari orang yang
bertutup wajah itu berkata, "Sudahlah. Jangan membuat persoalan
sekarang. Kita masih belum tahu, apakah jadinya nanti. Tawaran
tentang kerja sama itupun masih harus aku pertimbangkan karena
aku masih belum tahu siapakah kalian."
"Tidak ada waktu lagi untuk membuat pertimbanganpertimbangan."
"Jadi kalian benar-benar ingin membuat keributan" Aku sudah
berusaha untuk melakukan pekerjaan yang benci ini dengan diamdiam,
sehingga orang yang kehilangan itu sendiri tidak pernah
mempersoalkan. Bahkan sekarang kalian datang untuk mencampuri
persoalan ini." "Tidak ada pembicaraan di antara kita. Jika kalian bersedia
bekerja bersama kami, mari ikutlah kami. Jika tidak, maka kalian
akan mati di halaman rumah ini. Mudah-mudahan ada seseorang
yang bersedia menguburkan kalian."
"Jangan membuat kami marah." desis salah seorang yang
bertutup wajah itu, "Kami bukan orang yang pada dasarnya ramah
tamah. Kami adalah orang-orang kasar dan buas. Jika kami kambuh,
maka kalian akan menyesal. Dan agaknya penyesalan itu tidak akan
ada gunanya." Kedua orang yang datang kemudian itu menjadi tegang. Wajah
merekapun menjadi merah membara dan gigi mereka gemeretak.
Agaknya memang tidak ada kemungkinan lain daripada
perkelahian diantara mereka. Karena itulah agaknya maka kedua
orang itupun segera bersiaga. Salah seorang dari mereka berkata,
"Agaknya sudah jelas bagi kita masing-masing. Kita akan
bertempur. Nah, apakah kita akan berkelahi di sini atau di luar?"
1262 "Baiklah. Masih ada kesempatan untuk berpikir sedikit. Marilah
kita bertempur di halaman."
Keempat orang itupun segera melangkah meninggalkan ruangan
itu. Salah seorang yang bertutup wajah itu masih sempat berpaling
dan berkata kepada penghuni rumah itu, "Siapkan uang yang aku
perlukan. Aku akan membunuh orang-orang ini lebih dahulu. Dan
agaknya kau benar-benar tidak ikut campur di dalam persoalan ini.
Demikian juga kedua orang tamumu itu."
Tetapi salah seorang dari kedua orang yang lain menjawab
meskipun juga ditujukan kepada saudagar ternak itu.
"Kau tidak perlu menyediakan apa-apa selain cangkul, karena
sebentar lagi kau harus menguburkan kedua orang itu."
Saudagar itu menjadi semakin gemetar. Ia tidak tahu apakah
yang akan terjadi di halaman rumahnya. Ia sama sekali tidak dapat
membayangkan akhir dari perkelahian itu. Dan apakah akibat yang
dapat timbul kemudian. Karena itulah, maka ia masih tetap membeku di tempatnya ketika
dua orang itu kemudian melangkah pergi disusul oleh kedua orang
yang lain. Demikian keempat orang itu hilang di balik pintu, maka Witantra
dan Mahisa Bungalan pun segera berloncatan keluar dari bilik
mereka. Sejenak mereka tercenung melihat saudagar yang
membeku itu. Namun kemudian Witantra mendekatinya sambil
berbisik, "Jangan kebingungan. Kita harus berbuat sesuatu."
"Apa yang dapat kita lakukan?" bertanya saudagar itu.
"Kau tahu, aku bekas seorang prajurit."
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan melihat perkelahian itu. Tentu ada yang menang dan
ada yang kalah. Jika yang menang kemudian masih akan
mengganggumu, akulah lawan mereka."
1263 "Jangan terlampau bangga dengan kedudukanmu sebagai
seorang bekas prajurit, Sempulur. Aku tidak yakin bahwa kau dapat


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melawan mereka atau salah seorang dari mereka."
"Aku juga tidak tahu pasti. Tetapi sebagai seorang prajurit aku
tidak takut menghadapi mereka semuanya. Dan agaknya
kemanakan tuanku Mahisa Agni yang dititipkan kepadamu itupun
bukan seorang anak muda penakut."
"Apakah yang akan dilakukan?"
"Ia akan bertempur bersamaku."
"O, itu tidak mungkin. Ia dititipkan kepadaku. Jika terjadi
sesuatu atasnya, maka akulah yang akan menanggung akibatnya."
"Tetapi itu adalah kehendaknya sendiri."
"Aku tidak menyetujuinya."
"Baiklah. Tetapi kami tidak akan duduk membeku seperti itu.
Kami akan melihat, apa yang terjadi."
"Kita tidak dapat berbuat apa-apa."
"Ya. Tetapi sekedar melihat, tentu tidak banyak kesulitan. Aku
adalah seorang bekas prajurit."
Witantra tidak menunggu jawaban saudagar itu. Iapun kemudian
bersama Mahisa Bungalan pergi meninggalkan ruangan itu dan
langsung ke pendapa. Sejenak mereka tertegun. Mereka melihat, di halaman keempat
orang itu sudah siap untuk bertempur. Masing-masing menghadapi
seorang lawan. "Perkelahian yang seru." desis Mahisa Bungalan.
"Ya." sahut Witantra, "Kita akan melihat, siapakah mereka
sebenarnya." Sejenak kemudian mereka berempat yang berada di halaman
itupun sudah mulai melibatkan diri dalam perkelahian. Semakin lama
1264 semakin seru. Masing-masing telah menyerang dan menghindar.
Bahkan sekali-sekali telah terjadi benturan.
Namun dalam pada itu. Witantra dan Mahisa Bungalan segera
mengetahui bahwa yang terjadi itu barulah gerak-gerak penjajagan.
Agaknya masing-masing masih ragu-ragu, karena mereka satu
dengan yang lain sama sekali belum mendapat gambaran tentang
kekuatan dan kemampuannya.
"Kita akan menjadi penonton." berkata Witantra.
"Hanya sebagai penonton sampai akhir pertunjukan?" bertanya
Mahisa Bungalan. "Setelah kita melihat perkembangan keadaan, mungkin kita
memang harus bersikap lain. Tetapi untuk sementara kita tidak
berbuat apa-apa." Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Memang menarik
sekali untuk menyaksikan perkelahian yang semakin lama memang
menjadi semakin seru. Agaknya masing-masing tidak lagi sedang
menjajagi kekuatan lawan, tetapi mereka sudah benar-benar
berkelahi untuk menguasai lawan.
Dengan demikian maka perkelahianpun semakin lama benarbenar
menjadi semakin sengit. Benturan-benturan yang kuat telah
berulang terjadi. Semakin lama semakin kuat. Namun kadangkadang
masing-masing juga menunjukkan kecepatan mereka
menghindar, sehingga serangan-serangan yang dahsyat sama sekali
tidak menyentuh lawannya.
Dalam pada itu, setiap orang didalam arena perkelahian itu
agaknya masih berusaha menyelubungi diri masing-masing. Yang
nampak adalah tata gerak perkelahian yang paling sederhana
meskipun dilambari oleh kekuatan yang semakin besar.
Namun, ternyata bahwa benturan-benturan yang nampaknya
agak kasar dan bodoh itu, telah menunjukan, betapa masing-masing
memiliki kekuatan yang mengagumkan.
1265 Witantra dan Mahisa Bungalan pun kemudian turun dari pendapa
dan bergeser menepi. Mereka berada di bawah batang perdu yang
rimbun sehingga seakan-akan mereka tenggelam sama sekali di
dalam kegelapan. Tetapi ternyata mereka yang sedang berkelahi itu sempat melihat
mereka berdua. Salah seorang yang bertutup wajah itu pun berkata,
"He, Ki Sanak. Kenapa kau turun ke halaman. Masuklah dan
bersembunyi sajalah di dalam bilikmu. Jika aku berhasil membunuh
kedua orang ini, kau akan selamat. Jika kau berada di tempat ini,
mungkin kau akan mengalami sesuatu."
Lawannya, tiba-tiba pula menyahut sambil berkelahi, "Kalian
memang harus menyiapkan dua buah lubang kubur. Kalian tidak
perlu memikirkan apakah kedua mayat itu perlu disempurnakan
dengan api pembakaran."
Yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi. Mereka
berempat pun segera mengerahkan kemapuan masing-masing,
setelah ternyata kekuatan masing-masing tidak segera mampu
mengatasi lawan. Sedikit demi sedikit ilmu yang untuk beberapa saat masih
tersembunyi, mulai nampak pada tata gerak mereka. Namun
dengan demikian, ternyata perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin kasar. Witantra dan Mahisa Bungalan menjadi berdebar-debar melihat
perkelahian itu. Rasa-rasanya mereka sedang menunggu sesuatu
yang masih saja terselubung, meskipun tanda-tandanya sudah mulai
dapat mereka kenal. Orang-orang yang berilmu hitam itu, agaknya menjadi ragu-ragu.
Mereka masih berusaha untuk sejauh mungkin tidak menampak kan
ciri-ciri dari ilmu mereka yang untuk beberapa lamanya tersembunyi.
Jika mereka tidak berhasil membunuh kedua lawannya, maka ada
saksi yang dapat menceriterakan, bahwa ilmu mereka yang
tersembunyi itu ternyata masih tetap hidup, seperti api yang
tersembunyi di bawah sekam. Pada suatu saat, akan mengejutkan
1266 dengan ledakan yang tidak terduga-duga sebelumnya. Tetapi jika
ada orang yang dapat mengenallinya, maka Singasari tentu akan
berbuat sesuatu atas ilmu yang tentu ditakuti oleh sebagian besar
penghuni tanah ini. Dalam pada itu, pengikut Linggapati pun bukan orang-orang yang
lemah lembut. Mereka membentuk diri dalam lingkungan alam yang
keras dan buas. Mereka menghimpun kekuatan berlandaskan pada
kekuatan lingkungan mereka sesuai dengan tata kehidupan mereka.
Meskipun ilmu mereka bukan ilmu hitam yang setiap saat perlu
disiram dengan darah, namun sebenarnyalah bahwa darah bagi
mereka sama sekali tidak menggetarkan selembar rambut pun,
meskipun arti dari darah bagi kedua pihak agaknya sangat berbeda
di dalam kepentingan ilmu mereka.
Tetapi karena perkelahian itu tidak juga segera berakhir, maka
kedua belah pihak tidak dapat lagi menyembunyikan ciri-ciri khusus
mereka. Masing-masing kemudian tidak lagi mampu membuat
pertimbangan-pertimbangan selain membunuh lawan mereka
secepat-cepatnya. Mahisa Bungalan menjadi semakin berdebar-debar ketika ia mu
iai melihat ciri-ciri tata gerak seperti yang pernah dilihatnya di
daerah bayangan hantu. Kedua, orang yang bertutup wajah itupun
mulai menunjukkan betapa garangnya setiap langkah dan setiap
ayunan tangan mereka. Tetapi kini keduanya mendapat lawan yang tangguh. Kedua
orang dari Mahibit itupun memiliki kemampuan yang cukup tinggi
untuk melawan murid-murid utama dari perguruan yang memiliki
ilmu hitam itu. Benturan-benturan yang kasar pun segera terjadi. Masing-masing
tidak lagi mempunyai nilai-nilai yang harus mereka pertahankan
sebagai landasan tata kesopanan dalam pertempuran. Mereka
masing-masing telah berbuat apa saja untuk mengalahkan
lawannya. 1267 Mahisa Bungalan menggamit Witantra ketika ia melihat kedua
orang yang bertutup wajah itu saling mendekat. Ternyata gerak dan
langkah keduanya jauh lebih cepat dan mantap dari tiga orang yang
pernah dilihatnya di daerah bayangan hantu itu.
"Kedua orang ini memiliki ilmu yang lebih sempurna paman."
desis Mahisa Bungalan. "Ya. Tetapi lawannya adalah orang-orang yang tangguh pula."
"Keduanya sudah saling mendekat. Tentu akan segera disusul
dengan pembunuhan yang mengerikan."
"Tidak mudah untuk membunuh kedua orang lawannya itu."
Mahisa Bungalan terdiam. Ia melihat kedua orang yang bertutup
wajah itu berusaha untuk semakin mendekat. Sedang lawan mereka
agaknya tidak begitu memperhatikan, apa yang kemudian akan
terjadi. Sejenak mereka masih saling menyerang. Mereka berloncatan
seperti kijang. Tetapi kadang-kadang merekapun berbenturan
seperti dua ekor kambing domba yang berlaga. Dengan sepenuh
kepercayaan pada diri sendiri mereka membenturkan kekuatan
mereka masing-masing dengan garangnya.
Ternyata yang diduga oleh Mahisa Bungalan pun segera dapat
dilihatnya. Ketika kedua lingkaran perkelahian itu menjadi semakin
dekat, maka tiba-tiba saja terdengar sebuah suitan pendek. Sekejap
kemudian, Mahisa Bungalan dan Witantra telah menyaksikan sebuah
putaran yang melingkari kedua orang yang datang kemudian itu.
Putaran yang semakin lama menjadi semakin cepat.
Sekejap kedua orang yang berada di dalam lingkungan itu
menjadi bingung. Namun hanya sekejap. Dan dalam sekejap itu pun
mereka masih sempat mengatur diri, beradu punggung.
Namun ternyata bahwa kedua orang yang dikirim oleh Linggapati
itupun bukan orang kebanyakan. Meskipun agaknya mereka belum
pernah menjumpai ilmu seperti yang sedang dilawannya itu namun
merekapun segera dapat menempatkan dirinya. Dengan
1268 pengetahuan tala perkelahian dan pengalaman mereka, maka
mereka pun segera menyusun kerja sama yang mantap untuk
melawan lingkaran yang rasa-rasanya menjadi semakin cepat
berputar mengitarinya. "Kita harus memecahkan putaran itu." desis salah seorang dari
kedua orang yang berada di dalam lingkaran itu.
Sambil menangkis setiap serangan, maka keduanya mencari akal
untuk menghentikan putara yang membuat mereka menjadi pening.
"Sebelum kita menjadi pingsan." desis yang lain.
Tetapi mereka masih harus menemukan caranya, sementara
serangan kedua orang yang berputar itu rasa-rasanya menjadi
semakin dahsyat dan putaran itupun menjadi semakin cepat.
"Kita patahkan dengan serangan rendah." bisik yang seorang.
Yang lain mengangguk. Mereka mempunyai cara tersendiri di
dalam olah kanuragan, yang agaknya akan dicobanya untuk
memecahkan kepungan yang berputar itu.
Sejenak kedua orang didalam lingkaran itu masih bertahan.
Namun sejenak kemudian, dengan suatu sentuhan sebagai aba-aba,
maka keduanyapun tiba-tiba saja menjatuhkan diri. Senjata mereka
menyambar rendah sekali, setinggi lutut, terayun masing-masing
setengah lingkaran. Serangan itu telah menyejutkan mereka yang berputar di
sekelilingnya. Mereka harus menghindari serangan itu dengan
melenting tinggi. Kesempatan itulah yang dipergunakannya. Selagi keduanya tidak
berjejak di atas tanah dalam loncatan putarannya, keduanya telah
bersama-sama menyerang salah seorang dari kedua orang itu.
Hasilnya benar-benar mengejutkan. Yang seorang, yang
mendapat serangan itu terkejut. Apalagi kedua kakinya sedang
terangkat, sehingga geraknya menjadi sangat terbatas.
1269 Dalam keadaan itulah, maka ia kehilangan kemampuannya untuk
melawan dua orang sekaligus. Ia hanya berhasil menangkis
serangan dari salah seorang daripada lawannya. Tetapi senjata dari
lawannya yang lain terasa telah menyentuh, bahkan menghunjam
dilambungnya. Yang terdengar adalah sebuah keluhan yang tertahan. Namun
keluhan itupun segera disusul oleh rintih kesakitan. Ternyata bahwa
kawannya yang lain, yang bebas dari serangan kedua lawannya,
berhasil dengan cepat memperbaiki keadaannya, dan mencoba
menolong kawannya. Dengan sebuah loncatan ia menyerang salah
seorang dari kedua lawannya yang sedang memusatkan
perlawanannya kepada kawannya.
Sekejap kemudian, ketika mereka berloncatan surut, dua orang
dari keempat orang yang sedang bertempur itu telah terhuyungterhuyung
dan akhirnya jatuh berguling di tanah. Keduanya telah
terluka parah, tertusuk senjata.
Witantra dan Mahisa Bungalan menjadi tegang. Sambil
menggamit pamannya, Mahisa Bungalan berbisik, "Paman,
keduanya telah sampyuh."
Wintantra menarik nafas dalam-dalam, lalu sahutnya, "Kita harus
berbuat sesuatu. Keduanya yang tersisa tidak boleh mati sampyuh
pula, sehingga kita kehilangan sumber keterangan."
"Kita terlambat paman."
"Tidak. Kita masih mempunyai kesempatan." Namun selagi
Witantra dan Mahisa Bungalan bersiap untuk melakukan sesuatu,
tiba-tiba saja meloncat dari dalam kegelapan yang pekat, sebuah
bayangan seseorang yang langsung mendekati arena.
"Siapakah orang itu paman?"
Witantra menjadi agak bingung. Jawabnya, "Kita menunggu
sejenak." 1270 Orang yang baru datang itupun kemudian menggeram sambil
berkara, "Jadi di dunia ini masih ada ilmu hitam yang mengerikan
itu?" Kedua orang yang sudah siap bertempur itupun termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian terdengar salah seorang dari keduanya
berkata, "Ki Linggadadi."
"Ya. Aku melihat tanda yang kau tinggalkan pada daun pakis itu.
Dengan tergesa-gesa aku mencoba mencarimu, tetapi ternyata aku
sudah terlambat. Seorang kawan kita sudah terbunuh meskipun
orang-orang berilmu hitam itu harus melepaskan seorang kawannya
pula?" "Ya, kami sudah kehilangan seorang kawan." Linggadadi
melangkah semakin dekat. Lalu katanya, "Apakah kita harus
membunuhnya pula?" "Ya." sahut kawannya.
Sejenak Linggadiadi termangu-mangu. Ditebarkannya tatapan
matanya ke sekelilingnya sambil bergumam, "Apakah keributan ini
tidak membangunkan tetangga-tetangga?"
"Halaman ini terlampau luas."
Linggadadi mengangguk-angguk. Katanya, "Siapakah yang
berdiri dikegelapan itu?"
"Mereka adalah keluarga pemilik rumah ini."
Linggadadi masih mengangguk-angguk, lalu katanya, "Ilmu yang
kegilaan itu memang harus dimusnahkan."
"Ki Sanak." berkata orang yang bertutup wajah itu, "Ternyata
kau adalah orang yang aneh. Apakah artinya ilmu yang kua sebut
hitam atau putih, jika akibatnya bagi orang lain tidak ada bedanya?"
Linggadadi mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya,


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah maksudmu?"
1271 "Jika ilmuku kau anggap ilmu hitam yang mengerikan, apakah
namanya ilmu yang kau miliki jika kaupun telah merencanakan
pembunuhan besar-besaran atas orang-orang Singasari?"
"Siapakah yang akan melakukan pembunuhan?"
"Aku sudah mendengar dari kawanmu. Bahkan aku sudah
mendengar tawarannya, agar aku bergabung saja padanya. Kini kau
menghendaki Singasari tertidur dengan nyenyak, sehingga pada
suatu saat Singasari akan terkejut justru setelah tikamanmu
langsung menusuk jantung, sehingga Singasari yang serasa aman
dan damai itu tidak dapat melawanmu sama sekali pada tusukan
pertama." Linggadadi mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar. Tetapi
aku tidak membasahi ilmu dengan darah. Jika kelak terjadi
pembunuhan itu adalah karena pertentangan sikap dan pendirian
dalam pencapaian cita-cita yang luhur. Tetapi ilmu hitammu tidak.
Kapan dan dalam keadaan apapun kau selalu menghisap korbankorban
darah bagi ilmumu yang terkutuk itu."
Koleksi: Ki Ismoyo Scanning: KiArema Convert/Proofing: Ki Mahesa
Editing/Rechecking: Ki Area
OoodwooO 1272 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 18 ORANG bertutup wajah itu tertawa, meskipun terdengar
pahit. "Ki Sanak. Aku dapat
juga tertawa dalam kepedihan
karena seorang kawanku meninggal. Memang kalian adalah orang-orang yang memiliki kelebihan, sehingga
kalian berhasil membunuh seorang kawanku. Tetapi sekarang, kalian berdua tidak
akan lepas dari tanganku."
Linggadadi lah yang tertawa. Katanya, "Apa saja
yang kau igaukan. Kau memang belum mengenal Linggadadi. Tetapi baiklah.
Marilah kita coba, siapakah
yang akan mati terbunuh."
Sejenak mereka mempersiapkan diri, sementara Mahisa Bungalan
bergeser mendekati Witantra sambil berbisik, "Paman. Mereka
sudah siap untuk bertempur lagi."
Witantra mengangguk-angguk. Desisnya, "Aku agak bingung,
apakah yang sebaiknya kita lakukan."
1273 "Kita menangkap mereka bertiga."
Witantra mengangguk. "Aku sependapat. Tetapi baiklah kita
melihat kemampuan orang yang bernama Linggadadi itu sejenak."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Memang agaknya perlu
untuk mengetahui sampai betapa tingginya ilmu orang yang belum
dikenalnya itu. Karena itu, maka untuk beberapa saat mereka berdua masih
tetap berdiri di dalam kegelapan meskipun mereka sadar, bahwa
orang yang bernama Linggadadi itu telah menanyakan tentang
mereka. Sejenak kemudian, maka Linggadadi dan seorang kawannya pun
bergeser menjauhi yang satu dengan yang lain sambil menyiapkan
serangan atas lawannya. Selangkah lawannya mundur. Dengan
penuh kewaspadaan ia mengawasi kedua lawannya yang sudah
bersiaga pula. Sejenak kemudian, maka Linggadadi pun telah meloncat
menyerang. Disusul oleh kawannya yang menyerang pula dari arah
yang berbeda. Ternyata lawannya berhasil menghindar dengan gerakan yang
aneh sekali. Ia merendah sedikit, kemudian, meloncat selangkah
sambil menjatuhkan dirinya. Dengan menjelujurkan tubuhnya lurus
ia berguling beberapa kali, disusul dengan sebuah loncatan yang
cepat, seperti seekor ulat yang melenting. Sejenak kemudian ia
sudah berdiri di atas tanah, siap menghadapi segala kemungkinan.
Linggadadi dan kawannya pun segera memburu. Namun
lawannya itu segera berlari-larian melingkar dan melakukan gerakan
yang aneh. Di tangannya tergenggam senjata yang terayun-terayun
mengerikan. "Betapa kasarnya." desis Mahisa Bungalan.
Witantra mengangguk. Tetapi ia pun kemudian menahan
nafasnya ketika ia melihat Linggadadi mulai mengurung musuhnya
yang aneh itu dengan kemampuannya bergerak yang cepat sekali.
1274 Ia berhasil memotong gerak lawannya yang terdiri atas gerakangerakan
lengkung dan melingkar. Setiap kali Linggadadi meloncat
memutuskan gerakan-gerakan yang aneh dan membingungkan bagi
lawannya yang tidak memiliki kelincahan bergerak seperti
Linggadadi. Tetapi Linggadadi adalah orang yang mempunyai kelebihan dari
kawan-kawannya. Itulah sebabnya ia berhasil menguasai ruang
gerak yang melingkar-lingkar, meskipun seandainya ia hanya
seorang diri. Apalagi ia bertempur berpasangan.
"Mahisa Bungalan." berkata Witantra kemudian, "Kau harus
memilih lawan. Tetapi sebaiknya biarlah aku melawan Linggadadi
dengan kawannya. Cobalah menjinakkan iblis berilmu hitam itu. Kau
sudah melihat, Linggadadi berhasil memutuskan tata geraknya yang
aneh. Kau dapat berbuat demikian pula, sehingga justru orang
berilmu iblis itulah yang akan menjadi bingung. Jangan terseret oleh
kemudaanmu, sehingga kau terpancing oleh gerak-geraknya yang
kasar. Kau mengerti?"
"Ya paman." "Aku akan mencoba melawan Linggadadi dengan seorang
kawannya. Mudahkan kita dapat menangkap mereka hidup-hidup,
sehingga kita akan mendapatkan beberapa keterangan. Tetapi
agaknya mustahil, karena orang semacam Linggadadi ini tentu tidak
akan membiarkan dirinya menyerah hidup-hidup."
"Kita akan mencoba paman."
"Bagus. Kaupun harus mencoba. Tetapi jangan mengorbankan
dirimu sendiri. Maksudku, jika kau mengalami kesulitan, kau harus
melawan dengan akibat apapun pada lawanmu."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud
Witantra. Jika ia dapat bertahan lagi karena ia ingin menangkap
lawannya hidup-hidup, maka ia tidak dapat berbuat lain daripada
bertempur dengan segenap kemampuannya meskipun itu akan
berakibat, lawannya itu terbunuh.
1275 "Aku berharap bahwa bukan akulah yang mati terkapar dengan
kulit yang terkelupas seperti pisang." berkata Mahisa Bungalan.
Witantra mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu. Dan kau pernah
mengalami perkelahian dengan orang-orang yang memiliki ilmu
semacam itu. Bahkan tiga orang sekaligus."
"Tetapi ilmu orang-orang ini agaknya jauh lebih matang dari
ketiga orang yang aku lihat di daerah bayangan hantu, meskipun
ketiga orang didaerah bayangan hantu itu tidak kalah kasarnya
dengan orang ini." "Marilah, hati-hatilah."
Demikianlah maka kedua orang itu pun kemudian melangkah
keluar dari bayangan yang pekat. Setapak demi setapak mereka
mendekati arena perkelahian yang semakin seru itu, namun yang
menjadi semakin jelas, bahwa orang berilmu hitam itu telah menjadi
semakin terdesak. "Kita bunuh orang itu seperti caranya membunuh lawannya."
berkata Linggadadi, "Aku pernah mendengar dari seseorang, bahwa
ia membunuh lawannya dan mengelupas kulitnya seperti
mengelupas pisang." "Gila." teriak orang berilmu hitam.
"Kawanmu di daerah terpencil, telah berhasil menguasai seorang
Buyut yang bodoh. He, apa katamu" Tiga orang kawanmu mati oleh
seorang anak muda yang tidak banyak dikenal."
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, la seakan-akan
merasa bahwa dirinyalah yang dimaksud oleh orang yang bernama
Linggadadi itu. Tetapi ia tidak menyahut sama sekali.
Namun dalam pada itu, ketika ia menjadi semakin dekat, tiba-tiba
Linggadadi itu berkata, "He, apakah yang akan kalian lakukan"
Tetaplah berada di kegelapan, agar bukan kau yang harus menjadi
korban kebiadaban orang berilmu hitam ini."
1276 Witantra dan Mahisa Bungalan sama sekali tidak menjawab.
Tetapi mereka melangkah terus mendekati arena perkelahian itu.
"Berhentilah disitu." desis Linggadadi, "Kalian adalah orangorang
gila yang tidak mengerti, betapa hitamnya ilmu hitam ini.
Kalian akan menyesal jika kalian mengetahui apa yang pernah
mereka lakukan." "Melingkar-lingkar." desis Mahisa Bungalan, "Kemudian melibat
lawannya dalam lingkaran dan menggoreskan senjatanya sambil
berlari berputaran, sehingga lawannya benar-benar menjadi seperti
terkelupas." "He, darimana kau tahu" Ia tidak sempat melakukannya
meskipun ia dapah membunuh seorang kawanku."
"Aku pernah mendengar, bahwa Buyut yang dikuasainya itu,
pernah berusaha melawannya. Beberapa orang kawan dan
bebahunya telah terbunuh dengan cara yang sangat mengerikan di
daerah yang disebut daerah bayangan hantu."
"Persetan, siapa kau?" teriak orang berilmu hitam itu.
"Tidak ada artinya kau mengenal aku. Tetapi sebaiknya kalian
menghentikan pertempuran itu. Kalian akan bersama-sama dengan
kami pergi menghadap Senapati Singasari untuk mendapat
perlindungan, karena kalian bertiga akan menjadi lumat jika kalian
jatuh ketangan prajurit Singasari yang masih muda."
"Gila." teriak Linggadadi. Namun dengan demikian iapun telah
meloncat surut, sehingga perkelahian itupun telah terhenti.
"Siapakah kalian sebenarnya." Linggadadi pun bertanya pula.
"Sudahlah Ki Sanak." Witantra lah yang kemudian menjawab,
"Sebaiknya kita tidak usah mempersoalkan siapakah kita masingmasing.
Aku berharap bahwa kita dapat mengakhiri perkelahian ini.
Dua orang telah mati menjadi korban. Aku kira itu sudah cukup.
Jangan ditambah lagi. Marilah, seperti yang dikatakan oleh
kemenakanku, kita pergi menghadap Senapati prajurit Singasari."
1277 "Gila, benar-benar gila." teriak Linggadadi semakin keras,
"Apakah kalian prajurit-prajurit Singasari?"
"Tidak tepat seperti yang kau katakan. Tetapi kami adalah orang
tua yang merasa wajib mencegah pertumpahan darah yang
berlarut-larut. Karena itu, sudahlah. Pertengkaran ini tidak perlu
dilanjutkan. Di Singasari ada petugas yang akan dapat mengadili
persoalan kalian." "Jangan berpura-pura pikun orang tua." sahut Linggadadi,
"Kenapa kau membuka mulutmu juga jika kau tahu bahwa katakatamu
itu tidak ada gunanya" Kau tentu tahu, bahwa kami tidak
akan berbuat sebodoh itu."
Witantra mengerutkan keningnya. Ternyata ia benar-benar
berhadapan dengan seorang yang memiliki nalar yang tajam.
Karena itu, maka ia pun menjadi semakin berhati-hati.
"He orang tua dan kau yang disebut kemanakannya." berkata
Linggadadi kemudian, "Bagaimanapun juga, maka kita akan berada
dalam lingkaran perkelahian. Kau tentu tidak akan berani mendekat
jika kau tidak sudah memperhitungkan akan terjadi demikian, dan
kau memang ingin melibatkan dirimu, entah sebagai prajurit sandi
Singasari atau karena kau sudah menjadi gila dan ingin membunuh
dirimu dengan mempergunakan tanganku."
"Kau terlampau sombong." desis Mahisa Bungalan yang darah
mudanya mulai menjadi panas.
Namun dalam pada itu Witantra masih juga dapat tersenyum.
Bahkan sambil menggamit Mahisa Bungalan ia berkata, "Jangan kau
turutkan darah mudamu. Cobalah menahan diri sedikit."
Mahisa Bungalan menarik nafas. Sementara orang yang berilmu
hitam itupun berkata, "Nah, pilihlah, dimana kau akan berpihak."
"Sudah barang tentu kami tidak akan berpihak siapapun juga Ki
Sanak." jawab Witantra, "Kami ingin mempersilahkan kalian bertiga
untuk mengikuti kami."
1278 "Sudahlah." potong Linggadadi, "Jangan berbicara lagi. Kita akan
saling bertempur. Aku tidak memilih lawan. Siapakah di antara
kalian yang bersiap melawan aku, marilah. Aku akan membunuh
kalian semuanya." Orang berilmu hitam itulah yang menyahut, "Aku ingin
membuktikan, bahwa kematian kawanku adalah karena kelengahan
semata-mata. Bukan karena ilmu kami ada di bawah ilmumu."
"Bagus." teriak Linggadadi, "Aku akan melawan kau seorang diri.
Kita berperang tanding. Biarlah kawanku menyingkirkan kedua
orang gila itu dari halaman rumah ini."
"Terima kasih atas keberanianmu." jawab orang berilmu hitam
itu, "Aku benar-benar akan mengelupas kulitmu dari ujung jari
sampai keubun-ubun. Barulah orang-orang Singasari menyadari
bahwa ilmu yang kau sebut ilmu hitam itu adalah ilmu yang tidak
terkalahkan. Jika kehadiran ilmu itu sudah terlanjur dikenal, maka
kami tentu akan mengambil jalan lain. Bukan sekedar bersembunyisembunyi.
Setiap hari aku akan mengelupas kulit seorang prajurit,
sehingga prajurit Singasari akan mati ketakutan sebelum kami
datang membawa kemenangan mutlak atas tahta yang sebenarnya
direbut oleh Ranggawuni dan Mahisa Campaka dengan licik pula."
"Apa yang kau ketahui tentang tahta Ki Sanak." Witantra yang
memotong, "Sebaiknya kita tidak berbicara tentang sesuatu yang
tidak kita mengerti. Juga tentang tahta. Biarlah kita berbicara
tentang diri kita sekarang ini."
"Persetan." teriak Linggadadi. Lalu iapun berkata kepada
kawannya, "Usirlah mereka. Jika mereka berkeras kepala, bunuh
sajalah sama sekali."
"Aku sudah bersiap." sahut orang berilmu hitam itu, "Tetapi
jangan menyesal jika kau bertempur seorang diri dan mayatmu
yang arang kranjang akan tergolek di halaman ini."
Kedua orang itu pun tiba-tiba saja telah bersiap untuk bertempur,
sedang kawan Linggadadi itu pun melangkah mendekati Witantra
1279 dan Mahisa Bungalan sambil berkata, "Pergilah, atau aku harus


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempergunakan kekerasan?"
Mahisa Bungalan benar-benar tersinggung karenanya. Tetapi ia
mencoba untuk bersabar. Namun demikian terdengar suaranya
gemetar, "Kau akan ikut menyombongkan dirimu pula" Sudahlah,
kenapa kalian tidak mau menurut kata-kata pamanku?"
"Jangan gila. Lebih baik kau pergi daripada kau akan mati di
sini." Mahisa Bungalan menggeram. Tetapi ia pun kemudian mendekati
pamannya sambil bertanya, "Bagaimana dengan kedua orang yang
lain itu paman?" Witantra memperhatikan keduanya sejenak. Namun agaknya
keduanya benar-benar tidak dapat menahan hatinya. Sekejap
kemudian merekapun telah bertempur dengan sengitnya.
"Kita harus mencegahnya." berkata Witantra, "Ambillah orang
berilmu hitam itu. Aku akan melawan Linggadadi."
"He, jangan mengigau." desis kawan Linggadadi itu.
Witantra tidak menghiraukannya. Sekali lagi ia mendesak Mahisa
Bungalan, "Cepatlah."
Mahisa Bungalan pun tidak menghiraukan lagi orang yang berada
di hadapannya. Ia bergeser sedikit, kemudian melangkah ke arena.
Kawan Linggadadi itu benar-benar menjadi heran dan termangumangu
sejenak. Bahkan kemudian anak muda itu seolah sama sekali
tidak menghiraukannya lagi.
"He, kau benar-benar sudah gila?" teriak orang itu.
Namun ketika ia siap menyerang Mahisa Bungalan yang tidak
menghiraukannya itu, Witantra meloncat sambil berkata, "Sebaiknya
kau menangkap aku saja Ki Sanak."
Orang itu bergeser setapak. Tetapi niatnya untuk menerkam
Mahisa Bungalanpun diurungkannya.
1280 "Kau juga menjadi gila?" orang itu bertanya.
Witantra tidak menghiraukannya. Bahkan iapun telah menyerang
orang itu. Tetapi serangan Witantra bukanlah serangan yang menentukan.
Ia sekedar mengambil perhatian orang itu dari Mahisa Bungalan
yang mendekati arena. Sejenak Witantra telah bertempur melawan kawan Linggadadi
itu. Ia berusaha memancingnya mendekati arena perkelahian yang
semakin seru itu, sementara Mahisa Bungalan telah berdiri dekat
dengan arena perkelahian itu pula.
"Aku akan ikut bertempur." berkata Mahisa Bungalan.
"Kau memang gila." teriak Linggadadi. Sementara lawannya juga
berteriak, "Pergilah sebelum kau mati."
"Aku tidak akan pergi."
"Persetan." desis Linggadadi. Namun tiba-tiba saja ia berkata,
"Marilah kita bunuh saja anak itu. Barulah kita mendapat
keleluasaan untuk bertempur."
"Aku setuju." sahut orang yang berilmu hitam itu.
Mahisa Bungalan justru menjadi berdebar-debar. Ternyata diluar
dugaan kedua orang itu justru akan berkelahi melawannya.
Tetapi Mahisa Bungalan sama sekali tidak gentar. Ia benar-benar
sudak bersiap menghadapi segala kemungkinan. Juga melawan
kedua orang itu, karena Mahisa Bungalan pun yakin, bahwa
keduanya tidak akan dapat bekerja sama dengan serasi.
Tetapi ternyata bahwa Witantra tidak tinggal diam. Pada
perkelahian antara Linggadadi dan orang berilmu hitam itu terhenti,
iapun dengan tiba-tiba telah menekan lawannya sehingga
mengalami kesulitan. Linggadadi sempat melihat keadaan kawanya. Karena itu hampir
di luar sadarnya iapun melompat menolongnya. Langsung ia
1281 menyerang Witantra yang hampir saja mencekik lawannya yang
terdesak. Serangan Linggadadi itulah yang memang diharapkan oleh
Witantra. Karena itulah maka ia pun segera mempersiapkan diri
menghadapi dua orang lawan sekaligus. Dengan demikian maka
Mahisa Bungalan akan dapat memusatkan perhatiannya kepada
orang yang berilmu hitam itu.
"Nah." berkata Mahisa Bungalan kemudian, "Ternyata bahwa
kau telah kehilangan lawan dan sekaligus kawan. Kita masingmasing
kini bebas untuk menentukan akhir dari persoalan kita tanpa
orang lain." "Anak muda." berkata orang berilmu hitam itu, "Aku tidak
menyangka bahwa kau berani turun ke gelanggang. Ketika aku
melihat kalian di rumah saudagar itu, aku benar-benar menganggap
kalian sebagai tamu yang ketakutan. Tetapi ternyata bahwa kau
adalah anak yang bengal."
"Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin mencampuri
persoalanmu dengan siapapun. Tetapi karena agaknya kalian akan
dapat mengganggu ketenangan Kota Raja, maka terpaksa aku
menawarkan penyelesaian yang barangkali dapat kita tempuh
bersama." "Itu artinya adalah, bahwa kau akan menangkap aku."
"Tidak. Jika prajurit-prajurit Singasari kemudian menangkapmu
itu adalah persoalan lain."
"Persetan." geram orang itu, "Kita memang akan bertempur.
Setelah kau dan orang yang kau katakan ayahmu itu mati, aku
dapat menyelesaikan persoalanku dengan Linggadadi yang sombong
itu." "Tidak ada gunanya."
"Pergilah, atau kau yang akan mati lebih dahulu?"
"Tidak." 1282 Orang itu tertawa, katanya, "Kali ini aku bersikap sangat baik.
Biasanya aku senang sekali menghadapi anak-anak muda yang
sombong seperti kau, karena darahmu merupakan pupuk yang
segar bagi ilmuku." "Aku memang pernah mendengar bahwa ilmumu memerlukan
tetesan darah." "Dan kau sudah menyediakannya."
"Tidak Ki Sanak." Mahisa Bungalan menggeleng, "Aku tidak akan
menyerahkan darahku. Tetapi aku akan menghentikan kegiatan ilmu
hitam semacam ilmumu itu."
Orang berilmu hitam itu sudah kehilangan kesabaran, karena
pada dasarnya ia memang bukan orang yang dapat bersabar.
Karena itulah maka ia pun menggeram sambil berkata, "Bagus
anak muda. Jika kau memang berkeras kepala, aku akan berterima
kasih kepadamu, bahwa kau sudah memberikan darahmu."
Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap
menghadapi setiap kemungkinan.
Dan dugaannya pun ternyata segera terjadi. Orang berilmu hitam
itupun segera meloncat menyerangnya.
Mahisa Bungalan segera mengelak. Ia bergeser sambil berputar
setengah lingkaran. Kemudian ia pun telah mencoba menyerang
pula dengan ayunan kakinya yang melingkar.
Tetapi Mahisa Bungalan mengurungkan serangannya ketika
lawannya dengan tangkasnya meloncat menghindarkan diri. Bahkan,
tiba-tiba saja lawannya telah membuat suatu gerakan yang
mewarnai ciri tata perkelahian dari mereka yang berilmu hitam.
Berlari-lari melingkari lawannya.
Mahisa Bungalan sudah pernah mengalami serangan yang
demikian. Bahkan tidak hanya seorang. Tetapi rasa-rasanya kali ini
ia menghadapi lawan yang lebih berat dari ketiga orang yang
pernah dilawannya. 1283 Meskipun hanya seorang, namun putaran orang berilmu hitam itu
rasa-rasanya jauh lebih cepat dari tiga orang yang pernah
dikenalnya. Tetapi dalam waktu yang singkat Mahisa Bungalan pun telah
menyempurnakan ilmunya dibawah bimbingan ayahnya, Witantra
dan Mahisa Agni. Karena itu, maka ia pun segera dapat
menyesuaikan dirinya dengan tata gerak lawannya.
Sejenak ia ingat pesan Witantra. Dengan cara yang ditempuh
oleh Linggadadi. ia akan dapat membingungkan lawannya. Dengan
loncatan-loncatan panjang memutuskan gerak putarannya.
Tetapi tiba-tiba saja terbersit suatu keinginan yang lain.
Keinginan seorang anak muda yang masih lebih senang menjajagi
sesuatu yang kurang dikenalnya.
Karena itulah maka Mahisa Bungalan tidak segera
mempergunakan cara yang dilakukan oleh Linggadadi. Ia memilih
cara tersendiri untuk menghadapi lawannya.
"Aku ingin tahu, sampai berapa lamanya ia dapat bertahan
dengan cara yang sangat melelahkan itu. Betapa kuat daya tahan
dan kemampuannya mengatur pernafasan, namun pada saat
tertentu ia akan kehabisan tenaga." berkata Mahisa Bungalan di
dalam hatinya. Itulah sebabnya, maka Mahisa Bungalan tidak segera melakukan
perlawanan dengan loncatan-loncatan panjang. Tetapi ia mengikuti
saja gerak berputar lawannya. Dengan tajamnya ia tidak
melepaskan senjata lawannya dari tatapan matanya, karena setiap
saat senjata lawannya itu akan dapat mematuknya dan menyobek
kulitnya. Dalam sekejap, kulitnya akan penuh dengan luka-luka yang
silang menyilang. Sementara itu, Witantra telah bertempur melawan dua orang
lawan. Yang seorang adalah Linggadadi. Seorang yang memiliki ilmu
yang tinggi. Ia adalah adik kandung Linggapati yang telah
mempersiapkan dirinya untuk mengimbangi kekuatan Singasari.
1284 Karena itulah maka Witantra pun tidak menjadi lengah. Ia sadar
bahwa lawannya adalah seorang yang pilih tanding.
Tetapi, sementara itu Linggadadi pun menjadi heran. Ia sengaja
berusaha melumpuhkan lawannya dengan segera, karena
dendamnya kepada orang berilmu hitam itu telah benar-benar
mencengkam jantung. Seorang kawannya telah terbunuh. Karena
itu ia harus menuntut balas, meskipun kematian kawannya itu telah
membawa korban pula pada pihak lawannya.
Ternyata, bahwa orang yang mengaku tamu dari pemilik rumah
itu dapat menghindari serangan-serangannya. Bahkan berdua
dengan kawannya. Karena itulah maka timbullah pertanyaan dihati Linggadadi
tentang lawannya itu. Ia tidak percaya bahwa lawannya itu adalah
orang kebanyakan yang kebetulan saja berani bertempur melawan
dirinya karena ia tidak mengenalnya dengan baik.
"Sikap dan perlawanannya sangat meyakinkan." berkata
Linggadadi di dalam hatinya.
Namun demikian Linggadadi tidak segera menjadi bingung. Ia
masih menganggap bahwa ketergesa-gesaannya yang membuat
geraknya menjadi agak kurang mapan.
Namun setelah bertempur beberapa lama, justru Linggadadi
menjadi semakin yakin, bahwa lawannya adalah seorang prajurit
atau seorang pengawal yang memiliki kelebihan. Karena bukan
dirinya dan kawannyalah yang berhasil mendesaknya. Tetapi justru
sebaliknya. Orang itu mampu melawan dua orang sekaligus dengan
baik. Bahkan seolah-olah sama sekali tidak mengalami kesulitan
apapun juga. "Apakah aku sudah terjebak." desis Linggadadi di dalam hatinya.
Sekilas ia berusaha menilai arena perkelahian yang lain. Ia
melihat orang berilmu hitam itu masih berusaha melingkari
lawannya dengan senjata teracu-acu.
1285 "Ia akan terbunuh dalam lingkaran maut itu." katanya di dalam
hati. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan tidak segera terbunuh.
Dengan tangkasnya ia selalu berhasil menangkis setiap patukan
senjata betapapun membingungkan. Mahisa Bungalan yang sudah
berlatih menghadapi medan yang betapapun beratnya, dan ilmu
yang betapapun peliknya, mampu melihat permainan senjata orang
yang berlari-lari melingkarinya itu.
Tetapi Witantra lah yang mencemaskannya. Bahkan di dalam hati
ia berkata, "Mahisa Bungalan memang nakal. Sesuai dengan masa
perkembangan ilmunya, ia masih ingin mencoba menghadapi lawan
dengan caranya. Tetapi lawan yang satu itu benar-benar berbahaya
baginya." Namun demikian Witantra tidak dapat memberi peringatan
kepada anak muda itu. Jika ia masih memberikan tuntunan justru
sudah di medan, maka lawannya akan mempunyai penilaian lain
terhadap Mahisa Bungalan, yang tentu masih dianggap terlampau
hijau menghadapi arena. "Anak itu sudah mempunyai bekal yang cukup." berkata
Witantra kepada diri sendiri, "Tetapi keinginannya mencoba justru
selagi ia menghadapi lawan yang aneh itulah yang berbahaya
baginya." Tetapi untuk sementara Witantra belum melihat bahaya yang
mengancam Mahisa Bungalan. Anak muda itu masih selalu berhasil
menyesuaikan dirinya, meskipun dengan demikian ia tidak segera
dapat merintis jalan kemenangan. Dalam keadaannya Mahisa
Bungalan hanya dapat mempertahankan dirinya, dan sekali-sekali
mencoba untuk menyerang garis putaran lawannya. Tetapi
serangannya sama sekali tidak membahayakan lawannya yang
berputaran itu. "Mahisa Bungalan tentu ingin tahu, berapa lama orang berilmu
hitam itu dapat bertahan dengan gerak putarnya." berkata Witantra
1286 di dalam hatinya pula. Seolah-olah ia dapat membaca apa yang
tersirat di hati anak muda itu.
Ternyata bukan hanya Witantra sajalah yang dapat menebak
maksud Mahisa Bungalan. Ternyata Linggadadi pun nampaknya
dapat menduga, bahwa sebenarnya Mahisa Bungalan tidak sedang
dalam kebingungan berada di dalam putaran itu. Justru karena
Linggadadi dan Witantra tidak terlibat dalam perkelahian melawan
Mahisa Bungalan, maka mereka dapat menilai perlawanannya lebih
baik dari orang berilmu hitam itu sendiri.
Untuk beberapa saat orang berilmu hitam itu salah menilai anak
muda itu. Ia menganggap bahwa Mahisa Bungalan tidak dapat
berbuat apa-apa menghadapi tata geraknya. Namun beberapa saat
kemudian ia mulai menyadari bahwa yang berada di dalam putaran
itu bukanlah orang kebanyakan, yang dengan mudah dapat digores
dengan senjatanya di seluruh bagian tubuhnya, sehingga seolaholah
kulitnya menjadi terkelupas. Beberapa kali ternyata
serangannya membentur senjata Mahisa Bungalan yang dapat
menangkisnya. Bahkan seujung rambut pun, orang berilmu hitam
itu masih belum berhasil melukai Mahisa Bungalan.
Namun dengan demikian orang berilmu hitam itu menjadi
semakin cepat berputar. Senjatanya semakin cepat pula bergerak.
Dan semakin lama memang semakin membingungkan bagi Mahisa
Bungalan, sehingga pada suatu saat, Witantra yang masih saja
bertempur melawan Linggadadi dan kawannya, melihat, bahwa
Mahisa Bungalan yang masih selalu ingin mengerti apa yang
dilihatnya itu benar-benar menjadi pening.
Dengan demikian maka kecepatannya bergerak pun menjadi


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

susut. Lawannya yang menjadi berhati-hati sekali
menghadapinyapun dapat merasakan, ada perubahan pada anak
muda itu. Karena itulah, maka orang berilmu hitam itu justru berusaha
untuk mempercepat gerak lingkarnya, agar Mahisa Bungalan
menjadi semakin pening dan kehilangan ketepatan perhitungan.
1287 Orang yang melingkar-lingkar itu bagi Mahisa Bungalan rasarasanya
menjadi semakin kabur. Namun ia masih tetap dapat
menguasai dirinya dan memperhitungkan setiap serangan lawannya
di dalam gerak putarnya. Tetapi seperti yang ingin diketahui oleh Mahisa Bungalan,
sebenarnyalah bahwa kemampuan seseorang memang terbatas.
Demikian juga mereka yang berada di dalam arena perkelahian itu.
Termasuk Mahisa Bungalan sendiri dan orang berilmu hitam itu.
Betapapun berat latihan yang pernah dilakukan, tetapi putaran yang
dilakukan di tempat yang tetap itu pun tidak saja berpengaruh atas
orang yang dilingkarinya, tetapi juga pada dirinya sendiri.
Meskipun demikian, orang berilmu hitam itu masih mencoba
bertahan. Ketika ia mengetahui bahwa anak muda yang ada di
dalam putaran itu mulai menjadi pening, maka ia justru mengerahkan
sisa tenaganya. Ia berharap bahwa pada kesempatan
terakhir ia masih mampu melakukan sesuatu atas lawannya.
Itulah sebabnya, justru pada saat tenaganya mulai susut, orang
berilmu hitam itu meloncat dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Senjata terayun lebih dahsyat pula dengan kejutan-kejutan yang
kadang-kadang kurang dimengerti.
Mahisa Bungalan yang rasa-rasanya ikut dalam putaran itu
terkejut. Apalagi ketika terasa olehnya, ujung senjata lawannya
berhasil menyusup di antara kerapatan pertahanannya, menyentuh
kulitnya. Lengan Mahisa Bungalan telah disengat oleh perasaan pedih.
Ternyata bahwa lawannya berhasil membuatnya bingung dan
melukainya meskipun tidak begitu dalam. Namun luka yang segores
itu membuat anak muda itu terbakar oleh kemarahan yang meluapmeluap.
Sejenak ia berdiri menggeram. Putaran di sekitarnya masih tetap
membuatnya semakin pening. Namun kini ia teringat kepada pesan
pamannya. Sebaiknya ia mempergunakan cara lain untuk melawan
1288 orang berilmu hitam itu, seperti yang telah dilakukan oleh
Linggadadi. "Aku ingin mengetahui sampai dimana daya tahannya." berkata
Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Tetapi ternyata bahwa ialah
yang telah disentuh oleh senjata lawan.
Dengan kemarahan yang meluap di dadanya, Mahisa Bungalan
pun kemudian berketetapan hati untuk tidak membiarkan dirinya
diputar oleh perasaan pening, sehingga perlawanannya menjadi
kabur. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk
merubah perlawanannya. Ia sudah siap untuk meloncat dalam
perhitungan yang tepat, memotong gerak melingkar orang berilmu
hitam itu. Mahisa Bungalan pun kemudian memusatkan segenap
kekuatannya untuk melawan perasaan peningnya dan untuk
menghadapi kemungkinan pada saat ia memotong gerak lingkar
lawannya. Jika ia salah hitung, maka akibatnya akan tidak
menyenangkan sekali baginya. Mungkin goresan lukanya akan
bertambah atau justru luka silang menyilang akan menyobek kulit
dagingnya. Sementara itu, orang yang berilmu hitam itupun mencoba pula
mempergunakan sisa tenaganya. Senjatanya telah melukai
lawannya, tetapi itu belum berarti bahwa ia sudah menang. Ia harus
berhasil menggoreskan senjatanya di segenap permukaan kulit
lawannya, sehingga tubuh itu akan menjadi merah oleh darah.
Tetapi orang berilmu hitam itu agaknya tidak mempertimbangkan
bahwa Mahisa Bungalan telah menyadari keadaannya, dan berusaha
mempergunakan cara yang lain untuk melawannya. Apalagi iapun
tidak mau melihat dan mengakui kenyataan, bahwa tenaganya
memang terbatas. Itulah sebabnya, maka ia tidak melihat, betapa Mahisa Bungalan
mempersiapkan dirinya dengan cara yang baru. Sebelum ia benarbenar
kehilangan kemampuan untuk mengatasi perasaan pening
1289 yang seolah-olah telah menyeretnya dalam putaran yang semakin
lama semakin cepat dan membingungkan.
Demikianlah, maka ketika Mahisa Bungalan menganggap
waktunya sudah tepat, tiba-tiba saja ia menggeram sambil
melompat memotong gerak melingkar lawannya yang masih juga
berusaha untuk mempertahankan tata geraknya. Demikian cepatnya
ia bergerak, sehingga lawannya hampir tidak melihatnya bahwa
tiba-tiba saja anak muda itu telah berada di garis putarnya.
Orang berilmu hitam itu terkejut. Dengan serta merta ia meloncat
ke samping untuk menyalurkan sisa daya dorongnya. Namun pada
saat yang demikian itulah, terasa bahwa sebenarnya kekuatannya
telah hampir punah. Nafasnya terasa telah menyesak di dadanya.
Selama ia berlari-larian melingkari lawannya dengan gerak yang
cepat dan keras, ia telah mengerahkan segenap tenaga yang ada
padanya. Tetapi Mahisa Bungalan pun tidak segera berhasil membebaskan
dirinya dari pengaruh putaran yang memeningkannya. Ia memang
berhasil dengan tepat meloncat ke garis edar putaran lawannya dan
menghentikan dengan serta merta gerakan berputar itu, sehingga
lawannya justru harus melompat ke samping. Tetapi setelah itu,
Mahisa Bungalan masih terhuyung-huyung sejenak karena perasaan
pening yang telah mencengkamnya.
Meskipun demikian Mahisa Bungalan tetap sadar. Dengan dada
yang berdebar-debar ia melihat lawannya yang meloncat ke
samping itu telah berdiri tegak memandanginya, selagi ia masih
seakan-akan berdiri di atas bumi yang berguncang.
Tetapi Mahisa Bungalan masih dapat melihat lawannya dengan
kesadaran bahwa sebenarnya lawannya itu sudah tidak berputarputar
lagi mengelilinginya. Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Ternyata lawannya
tidak segera menyerangnya. Bahkan kemudian nampak lawannya itu
surut selangkah. 1290 Perlahan-lahan Mahisa Bungalan dapat menguasai dirinya.
Meskipun kepalanya masih terasa pening, dan benda-benda di
sekitarnya bagaikan bergoyang-goyang, namun ia sudah menjadi
semakin mapan. Dalam keadaan yang demikian itulah ia mulai dapat menilai
keadaan lawannya. Sementara itu Witantra pun menarik nafas pula dalam-dalam
meskipun ia masih harus bertempur melawan dua orang lawan.
Semula ia benar-benar menjadi cemas dan bahkan hampir saja ia
berteriak memperingatkan Mahisa Bungalan yang kurang berhatihati
didorong oleh perasaan ingin tahunya. Namun kemudian
ternyata bahwa tepat pada waktunya Mahisa Bungalan telah
memperbaiki perlawanannya.
Witantra mendapat kesempatan untuk memperhatikan Mahisa
Bungalan justru karena Linggadadi pun agak terpengaruh pula oleh
cara yang ditempuh oleh Mahisa Bungalan. Iapun sudah menebak
bahwa Mahisa Bungalan tidak akan berhasil. Tetapi pada saat
terakhir Linggadadi itu mengumpat, "Anak gila itu berhasil
melepaskan diri dari putaran iblis berilmu hitam itu."
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan benar-benar telah dapat
membebaskan diri. Lawannya sama sekali tidak berhasil mengelupas
kulitnya. Dan kini mereka telah berdiri berhadapan, tidak di dalam
putaran. Sejenak Mahisa Bungalan menunggu. Namun lawannya tidak
segera menyerangnya. Dengan demikian Mahisa Bungalan justru
menjadi curiga. "Apakah ia mempunyai cara yang lebih gila dari cara yang sudah
dilakukannya?" pertanyaan itu melonjak di hati Mahisa Bungalan.
Namun akhirnya Mahisa Bungalan yang hatinya sedang membara
oleh luka di tubuhnya ia menangkap desah nafas lawannya. Rasarasanya
suara nafas itu berkejaran di lubang hidungnya. Karena
itulah maka Mahisa Bungalan mempunyai pertimbangan lain. Seperti
1291 yang diharapkan, maka akhirnya ia pun berhasiI mengetahui sampai
dimana daya tahan jasmaniah lawannya yang berilmu hitam itu.
"Ia sudah kelelahan setelah berlari-larian tidak henti-hentinya.
Dan saat inilah yang aku tunggu."
Meskipun demikian Mahisa Bungalan tidak mau lengah. Karena
itulah maka ia pun kemudian mencoba menjajagi keadaan
lawannya. Dengan hati-hati ia menjulurkan senjatanya, menyerang
dengan loncatan pendek. Namun ia sudah siap menghadapi segala
kemungkinan. Juga jika lawannya melakukan gerakan-gerakan lain
yang belum dikenalnya. "Agaknya ia telah mengerahkan segenap kemampuannya."
berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya. Karena itulah maka ia
merasa, bahwa saatnya telah tiba bahwa ialah yang harus
mengambil sikap kemudian untuk menentukan akhir dari
pertempuran itu. Mahisa Bungalan yang dengan perlahan-lahan telah berhasil
menyingkirkan perasaan pening itu justru telah ditumbuhi oleh
keinginan yang aneh pula. Karena menurut perhitungannya
lawannya telah tidak banyak mempunyai sisa tenaga, maka mulailah
ia dengan permainannya yang dikendalikan oleh kemauannya.
Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan itu pun meloncat berlari-lari,
justru ialah yang berputaran mengelilingi lawannya. Sambil
menyerang dari arah yang berubah menurut arah larinya, ia
berusaha membuat lawannya menjadi bingung.
Ternyata bahwa lawannya benar-benar kehilangan
kemampuannya untuk bertahan. Selain tenaganya benar-benar
telah diperas habis, juga, karena ia benar-benar menjadi bingung
dengan tata gerak Mahisa Bungalan. Apalagi arah lari Mahisa
Bungalan yang tidak mempelajari ilmu hitam itu, berlawanan
dengan arah yang telah ditempuh oleh lawannya. Bahkan kadangkadang
geraknya itu sama sekali tidak menunjukkan pola ilmu
tertentu, dengan loncatan-loncatan yang aneh dan benar-benar
membingungkan. 1292 Sekali lagi Witantra menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia dapat
mengerti, Mahisa Bungalan benar-benar telah dikuasai oleh sifat
ingin tahu. Orang berilmu hitam yang hampir kehabisan tenaga itu mengeluh
pendek. Ternyata ia berhadapan dengan anak muda yang memiliki
kemampuan jauh di atas perhitungannya.
Tetapi ia bukan seorang yang dungu. Ia sadar, bahwa lawannya
benar-benar sedang mencoba mempermainkannya. Itulah sebabnya
ia bertahan pada keadaannya. Ia berdiri saja mematung dan sekalisekali
menangkis serangan Mahisa Bungalan. Dengan cerdik ia
menunggu, pada saatnya Mahisa Bungalan akan menjadi lengah.
Justru karena ia masih terlampau muda.
Kesempatan itu dipergunakan oleh orang berilmu hitam itu
sebaik-baiknya untuk beristirahat. Meskipun ia masih tetap berpurapura
kehabisan tenaga. Bahkan sekali ia membiarkan ujung senjata
Mahisa Bungalan menyentuh tubuhnya dan menitikkan darahnya.
"Ia akan kehilangan kewaspadaan." berkata orang itu di dalam
hatinya. Mahisa Bungalan yang berlari-lari mengelilingi lawannya,
memang menganggap bahwa lawannya telah menjadi semakin
lemah, sehingga perlawanannya pun menjadi tidak berarti lagi.
Karena itu, seperti yang diduga oleh lawannya, ia pun menjadi
lengah karenanya. Dalam pada itu Linggadadi yang melihat tingkah laku anak muda
itupun menggeram sambil bergumam, "Anak gila. Jika lehernya
terjerat oleh ketamakan dan kesombongannya barulah ia mengerti."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Linggadadi pun
dapat melihat kelemahan Mahisa Bungalan justru pada usianya yang
masih muda, usia yang banyak ingin mengetahui dan mencoba. Dan
sebenarnyalah Witantra benar-benar telah mencemaskan keadaan
Mahisa Bungalan. 1293 Namun Witantra tidak dapat berbuat banyak. Ia harus bertempur
melawan Linggadadi dan seorang kawannya yang memiliki ilmu
yang cukup kuat. Dan Witantra pun masih belum berniat untuk
berteriak memperingatkan anak muda itu, karena dengan demikian
justru akan menunjukkan kelemahan itu, maka peringatan yang
demikian akan merupakan pemberitahuan baginya bahwa saat
untuk menguasai anak muda itu sudah terbuka.
Sejenak kemudian, orang berilmu hitam itu merasa bahwa
badannya menjadi semakin baik. Ia mendapat kesempatan untuk
mengatur pernafasannya meskipun ia harus melawan seranganserangan
Mahisa Bungalan, karena serangan Mahisa Bungalan
dalam sikap yang aneh itu sama sekali tidak berbahaya. Dihadapan
orang berilmu hitam itu, cara-cara yang ditempuh oleh Mahisa
Bungalan tidak banyak memberikan tekanan. Meskipun semula ia
menjadi bingung, namun lambat laun ia berhasil menyesuaikan diri
dengan perbuatan anak muda yang didorong oleh sifat ingin
tahunya. Karena itulah, maka pada saat yang telah dipersiapkan, setelah ia
mengorbankan dirinya digores oleh senjata Mahisa Bungalan, orang
berilmu hitam itupun berteriak nyaring. Sebuah loncatan yang diluar
dugaan, telah menyilang gerak Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan benar-benar telah dikejutkan oleh gerakan yang
tiba-tiba itu. Dengan serta merta ia menghentikan gerak putarnya
dan bersiap menghadapi serangan lawannya.
Tetapi ia agak terlambat. Kelengahannya lah yang telah
menyeretnya kedalam kesulitan. Ia sadar ketika terasa sekali lagi
sebuah goresan di pundaknya. Goresan yang telah menyobek
kulitnya. Sekejap Mahisa Bungalan menjadi bingung, la melihat lawannya
telah memasuki gerak edarnya. Ia agaknya ingin mengulangi cara
yang pernah dilakukannya dan membuat Mahisa Bungalan menjadi
pening. 1294 Karena itulah maka pada saat yang telah dipersiapkan, setelah ia
mengorbankan dirinya digores oleh senjata Mahisa Bungalan, orang
berilmu hitam itu pun berteriak nyaring. Sebuah loncatan yang
diluar dugaan, telah menyilang gerak Mahisa Bungalan.
Tetapi kali ini Mahisa Bungalan agak telah terbangun. Ia sadar,
bahwa menghadapi orang berilmu hitam ini, ia tidak dapat sekedar
mencari pengalaman. Ia harus benar-benar bertempur dan bertaruh
nyawa. Ternyata ia telah tergores senjata lawannya untuk kedua
kalinya. Sementara itu, orang berilmu hitam itupun nampaknya menjadi
semakin bernafsu. Bau darah rasa-rasanya membuatnya menjadi
semakin segar. Luka di pundak Mahisa Bungalan nampaknya lebih
dalam dari lukanya yang terdahulu.


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Darahmu sudah membasahi senjataku." geram orang berilmu
hitam itu. "Sebentar lagi kulitmu akan terkelupas sampai ke ujung
ubun-ubun. Dan aku akan berkesempatan untuk membunuh orang
yang bernama Linggadadi itu setelah ia membunuh lawannya pula."
Mahisa Bungalan yang muda itu benar-benar terbakar hatinya. Ia
tidak mau tenggelam di dalam pusaran ilmu lawannya. Ia sudah
merasa betapa pening kepalanya hampir saja mengaburkan
kesadarannya. Karena itu, ia tidak mau mencoba-coba lagi. Ia tidak mau
bermain-main dengan nyawanya.
Itulah sebabnya, maka ia pun segera mempergunakan cara yang
dinasehatkan oleh Witantra. Ia tidak lagi mambiarkan lawannya
berputaran di sekitarnya sambil menggoreskan ujung senjata
dikulitnya. Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan pun segera mengambil
sikap. Dengan perhitungan yang tepat, maka ia pun segera
berloncatan memotong arah putaran lawannya, sekaligus dengan
sebuah serangan yang langsung mematuk jantung.
1295 Tetapi lawannya mampu pula bergerak cepat. Sekali ia meloncat
ke samping. Namun kemudian iapun telah siap untuk berlari
berputaran lagi. Namun kemudian ia tidak berkesempatan lagi melakukannya.
Mahisa Bungalan yang marah kemudian justru menyerangnya
seperti angin prahara. Setiap usaha untuk melingkarinya.
Sekali-sekali dipotongnya dengan gerakan yang cepat dan
berbahaya, dilandasi oleh kemarahan yang menghentak-hentak
jantung. Semakin pedih luka-lukanya, maka dadanya serasa menjadi
semakin panas. Dengan demikian maka lawannya pun segera menghadapi
kekuatan yang sebenarnya dari Mahisa Bungalan. Kini ia semakin
sadar, bahwa ilmu lawannya benar-benar ilmu yang sulit untuk
diatasinya. Karena itulah maka orang berilmu hitam itupun kemudian
terdesak terus. Bagaimanapun ia berusaha, namun sama sekali tidak
berarti lagi. Apalagi kemampuan tubuhnya yang terbatas itupun
mulai lagi mempengaruhi perlawanannya. Kemampuannya untuk
menghimpun kembali tenaganya, ternyata sama sekali tidak dapat
mengimbangi ketahanan tubuh anak muda yang bernama Mahisa
Bungalan yang kemudian bertempur dengan dahsyatnya seperti
seekor banteng yang terluka.
Orang berilmu hitam itupun terdesak terus betapapun ia
berusaha dengan segala macam cara. Ia tidak mampu lagi berlarilarian
mengitari Mahisa Bungalan. Bukan saja karena Mahisa
Bungalan dengan tepat selalu berhasil memotong garis putarnya,
tetapi juga karena kekuatan tenaganya menjadi semakin lemah
pula. Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak perlu
mencemaskan lagi nasib Mahisa Bungalan yang sudah terbangun
itu. Meskipun anak muda itu sudah terluka, tetapi nampaknya ia
akan dapat mengalahkan lawannya.
1296 Sambil bertempur Witantra sempat melihat Mahisa Bungalan
mendesak lawannya terus menerus, sehingga pada suatu saat
kemarahan Mahisa Bungalam karena luka-lukanya tidak dapat
terbendung lagi. Linggadadi lah yang kemudian menjadi cemas. Di hati kecilnya ia
mengharap orang berilmu hitam itulah yang menang, karena
dengan demkian, ia hanya akan berhadapan dengan seorang saja.
Meskipun seandainya ia belum berhasil mengalahkan lawannya,
maka orang berilmu hitam itu tidak akan mencampuri
pertempurannya. Tetapi jika anak muda itu menang, maka ia tentu
akan mengambil alih salah seorang lawan dari orang tua itu. Dirinya
atau kawannya. Atau bahkan ia pun akan berkelahi perpasangan
pula. Namun tidak seorang pun dapat mencegah Mahisa Bungalan,
lagi. Titik darah dari lukanya membuatnya kehilangan kesabaran
dengan pengekangan diri sama sekali. Karena itulah maka ketika
orang berilmu hitam itu tidak dapat melangkah surut lagi karena
dinding halaman, ia mempergunakan saat itu sebaik-baiknya untuk
mengalahkan lawannya. Tetapi orang berilmu hitam itu tidak menyerah kepada
kekalahannya. Demikian serangan Mahisa Bungalan tidak terelakkan
lagi, maka iapun segera mengerahkan sisa tenaganya untuk
meloncat ke atas dinding.
Mahisa Bungalan benar-benar telah kehilangan pertimbangan. Ia
tidak mau melepaskan orang yang berbahaya itu. Karena itu maka
dengan kecepatan melampaui kecepatan lawannya iapun meloncat
sambil menyerang dengan senjatanya.
Serangan Mahisa Bungalan itu tidak tertahankan lagi. Senjata
anak muda itu tidak dapat ditangkisnya disaat kakinya menjejak
dinding. Yang terdengar adalah sebuah jerit ngeri yang tertahan
Kemudian, tubuh yang baru saja melayang naik itu terjatuh kembali
kebahagian dalam halaman yang luas itu.
1297 Witantra terkejut melihat sergapan Mahisa Bungalan yang
langsung mematikan itu. Agaknya Mahisa Bungalan tidak sadar lagi,
bahwa sebaiknya ia menangkap lawannya hidup-hidup. Jika
terpaksa melumpuhkannya, maka ia harus berusaha membiarkan ia
terluka, tetapi tidak terbunuh.
Ylang terdengar adalah suara Witantra "Jangan dibunuh."
Tetapi ia sudah terlambat. Tubuh itu sudah terbanting di tanah
dan tidak akan bangun lagi selama-lamanya.
Mahisa Bungalan pun mendengar peringatan paman gurunya.
Tetapi semuanya sudah terjadi. Senjatanya sudah terbenam terlalu
dalam dan sekaligus membunuh lawannya. Kemarahannnya dan
darah mudanya, ternyata tidak mampu menahan dirinya untuk
melakukan pembunuhan itu.
Witantra tidak dapat berbuat banyak. Kematian orang berilmu
hitam itu telah memutuskan kemungkinan untuk mengetahui lebih
banyak lagi tentang keadaan mereka.
Linggadadi pun menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa
ternyata lawannya berusaha untuk menangkap orang berilmu hitam
itu hidup-hidup. "Ia tentu akan berbuat serupa atasku." berkata Linggadadi di
dalam hatinya, lalu, "Tetapi aku tidak sudi menjadi tawanan. Lebih
baik mati, atau menyingkir dari arena ini."
Demikianlah, maka ketika Linggadadi akhirnya menyadari bahwa
ia tidak dapat mengalahkan orang tua itu. meskipun ia berdua, dan
apalagi anak muda yang terluka itu sudah kehilangan lawan dan
akan dapat membantu orang tua itu, iapun memutuskan untuk
melepaskan diri dari kemungkinan tertangkap hidup.
Sesaat kemudian terdengar Linggadadi memberikan isyarat
kepada kawannya. Isyarat yang tidak diketahui artinya oleh Witantra
dan Mahisa Bungalan. Dengan demikian Mahisa Bungalan pun menjadi semakin berhatihati.
Ia masih berdiri termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia
1298 menyadari, bahwa ia harus berbuat sesuatu untuk menangkap
Linggadadi hidup-hidup. Tetapi ia sudah terlambat pula sesaat. Isyarat yang diberikan
oleh Linggadadi adalah isyarat, bahwa mereka harus berusaha
melepaskan diri dari tangkapan lawannya.
Linggadadi sempat meloncat meninggalkan arena. Tanpa
menghiraukan harga dirinya lagi, maka ia pun segera menghilang di
dalam kegelapan. Namun kawannya ternyata tidak selincah
Linggadadi. Serangan Witantra benar-benar telah mengikatnya,
sehingga ia tidak sempat berlari meninggalkan arena.
Witantra tidak mau kehilangan kedua-duanya. Itulah sebabnya ia
dengan sengaja tidak mengejar Linggadadi. Ia sadar, bahwa sulit
baginya menangkap Linggadadi hidup. Tetapi agaknya berbeda
dengan yang seorang lagi.
Mahisa Bungalan pun menyadarinya pula. Karena itu ketika
Witantra menyebut namanya, ia mengerti. Anak muda yang sudah
terluka dan kehilangan banyak tenaga dalam perkelahiannya itupun
tidak mengejar Linggadadi. Ia mencoba mencegat kawan orang
yang telah melarikan diri itu.
Tetapi Witantra dani Mahisa Bungalan itu terkejut ketika ia
melihat orang itu justru terhuyung-huyung dan terjatuh di tanah.
Untuk sesaat Witantra dan Mahisa Bungalan termangu-mangu.
Mereka memandang orang yang terbuyur diam itu. Berbagai
pertanyaan telah memercik di dalam hati mereka.
Namun sesaat kemudian, setelah mereka yakin bahwa orang itu
tidak bergerak lagi, maka keduanya pun mendekatinya. Dengan
ragu-ragu Witantra meraba tubuh itu. Ternyata tubuh itu sudah
menjadi beku. "Mati "desis Witantra.
"Kenapa paman?" bertanya Mahisa Bungalan.
1299 Witantra tidak segera menjawab. Namun kemudian ia berkata,
"Ambillah lampu minyak di pendapa itu. Aku ingin melihat, apakah
yang menyebabkannya mati. Aku tidak melihat luka dan darah di
tubuhnya. Mungkin dengan lampu minyak itu kita akan dapat
mengetahui, apakah sebab kematiannya."
Mahisa Bungalan pun kemudian berlari kependapa. Diambilnya
lampu minyak yang berkerdipan disentuh angin. Dengan hati-hati ia
membawa lampu itu turun ke halaman, ke dekat mayat yang sudah
terbujur diam itu. Di bawah cahaya lampu minyak yang kemerah-merahan Witantra
mengamati tubuh yang terbaring itu. Tiba-tiba ia menarik nafas
sambil berdesis "Racun. Lihat luka ini."
"Siapakah yang telah menusuk dengan senjata beracun itu
paman?" Witantra termangu-mangu. Katanya "Agaknya Linggadadi
memang mempergunakan senjata beracun. Racun yang sangat
tajam." "Tetapi bukankah orang ini kawan Linggadadi?"
Witantra menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian berkata,
"Agaknya Linggadadi memang tidak yakin bahwa orang ini akan
berbasil meloloskan dirinya. Karena itu, maka sambil lari ia telah
menghunjamkan senjatanya pada kawannya sendiri agar orang ini
tidak dapat kami tangkap hidup-hidup dan memberikan keterangan
tentang lingkungan mereka."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba
Witantra bertanya, "Mahisa Bungalan, bagaimana dengan lukamu
sendiri?" Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Katanya, "Lukaku
terasa pedih paman. Apakah senjata orang berilmu hitam itu juga
beracun?" Witantra menggeleng. Katanya "Dari lukamu mengalir darah yang
berwarna merah wajar. Tentu senjatanya tidak mengandung racun."
1300 Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
"Tetapi luka itu pun harus segera diobati."
"Ya paman." Sahut Mahisa Bungalan. "Untunglah bahwa senjata
itu tidak beracun seperti senjata Linggadadi. Jika senjata itu
beracun, maka aku pun tidak akan sempat keluar dari halaman ini."
"Tentu tidak secepat itu Mahisa Bungalan." jawab Witantra, "Kau
tentu sempat menelan obat yang kau bawa untuk bertahan
terhadap racun." "Tetapi kematian itu datang begitu cepat paman. Apalagi dalam
keadaan yang sibuk karena perkelahian yang sengit. Jika aku
menyempatkan diri mengambil obat itu, maka mungkin kematian
dari sebab lain akan menerkam aku. Ujung senjata lawan itupun
akan dapat menghunjam di jantung."
"Dan kematian orang ini bukan karena kecepatan racun sajalah
yang menyebabkannya. Jika kita tidak segera dapat melihat
lukanya, karena darah di luka itu segera membeku. Tetapi luka itu
sendiri agaknya cukup dalam meskipun tidak terlampau besar,
sehingga tanpa darah dan di dalam kegelapan, luka itu tidak segera
nampak." "Darah itu langsung membeku di mulut luka paman"
"Itulah kerja racun itu Bungalan."
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Suatu pengalaman
baru telah didapatkannya. Seseorang dengan tanpa ragu-ragu telah
membunuh kawan sendiri, dan senjata beracun yang kuat yang
harus mendapat perhatian khusus di setiap arena pertempuran.
Meskipun ayahnya maupun Mahisa Agni selalu memperingatkannya
agar ia membawa bekal obat penawar racun, tetapi ia harus tetap
memperhitungkan waktu dan kekuatan racun. Meskipun ia
membawa obat yang betapapun besar kasiatnya, tetapi jika ia tidak
sempat menelannya atau membaurkan pada lukanya, maka obat itu
tidak akan dapat menolongnya sama sekali.
1301 Dalam pada itu, maka Witantra pun kemudian menyuruh Mahisa
Bungalan mengobati lukanya, karena betapapun juga, luka itu akan
dapat mempengaruhinya. Jika terlampau banyak darah keluar, maka
tubuhnya akan menjadi lemah.
"Kau mempunyai obat itu bukan?"
"Ya paman." "Berikanlah. Biarlah aku yang menaburkan obat itu di lukamu."
Mahisa Bungalan pun kemudian mengambil sebuah bumbung
kecil yang berisi obat untuk memampatkan darah. Karena ia sendiri
tidak dapat membaurkan dilukanya, maka Witantralah yang
menolongnya. Baru kemudian keduanya membicarakan keempat mayat yang
terbaring di halaman itu.
"Mau tidak mau kita harus memberitahukan kepada saudagar
itu." berkata Witantra.
"Aku ragu-ragu paman. Apakah ia tidak justru menjadi
ketakutan?" "Tetapi mayat itu harus dikuburkan. Dan barangkali ia pun telah
mengetahui bahwa ada diantara orang-orang yang berkelahi di
halamannya ini terbunuh."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin
paman. Bagaimanapun juga, agaknya ia memang harus
mengetahuinya." Witantra mengangguk-angguk. Memang kematian di halaman itu
Duel Kemelut Di Cipatujah 2 Fear Street - Salah Sambung The Wrong Number Tawaran Proposal 3
^