Pencarian

Sepasang Ular Naga 26

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 26


menyahut. Sejenak kemudian ketika Ki Buyut dan beberapa orang bebahu
datang, maka mereka pun segera duduk berkeliling di atas tikar
panjang. Ki Buyut dari ujung bukit itu pun hadir pula. Tetapi tidak
dengan anaknya. Hampir di luar sadarnya, Mahisa Bungalan pun bertanya,
"Dimanakah putra-putra Ki Buyut itu?"
Ki Buyut mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
menjawab, "Mereka sudah mendahului pulang Ngger. Tetapi mereka
berpesan, bahwa mereka mohon maaf atas kekeliruan yang telah
mereka lakukan, seperti aku sendiri juga akan mohon maaf pula."
1552 Mahisa Bungalan terdiam sejenak. Dipandanginya wajah kedua
pamannya berganti-ganti Sekilas ia melihat senyum yang membayang di wajah kedua
orang pamannya itu. Namun ia tidak segera dapat menjawab katakata
Ki Buyut itu Mahisa Agni lah yang kemudian berkata, "Ki Buyut. Yang telah
lalu, baiklah kita melupakannya. Mudahkan untuk selanjutnya Ki
Buyut dan seluruh penghuni padukuhan ini, maupun padukuhan di
ujung bukit itu tidak segera bertindak sebelum persoalannya
diketahui dengan pasti."
Kedua Buyut itu mengangguk-angguk.
"Tetapi sebagai peringatan, bahwa masalahnya memang dapat
membahayakan, padukuhan-padukuhan ini jangan meninggalkan
kewaspadaan" Mahisa Agni berhenti sejenak, lalu, "Kami mengerti
bahwa yang telah terjadi telah menggoncangkan sendi kehidupan di
padukuban ini sehingga sikap kalian pun rasa-rasanya sukar
dikendalikan. Tetapi kalian tidak dapat bertindak membabi buta
seperti itu" "Ya Ki Sanak. Sebenarnya karena ketakutan yang tidak
tertahankanlah yang membuat kami kehilangan pengendalian diri."
"Kami mengerti. Tetapi hampir saja orang lain kau kurbankan
tanpa berbuat kesalahan apapun juga."
"Itulah kekhilafan kami. Dan kami dengan ikhlas mohon maaf."
Mahisa Agni mengangguk-angguk- Namun kemudian katanya,
"Tetapi baiklah kami beritahukan bahwa sebenarnya kalian tidak
akan dapat berbuat apa-apa jika ketiga orang yang telah
merusakkan padukuhan ini tiba-tiba saja kembali ke daerah ini."
"Kenapa" Pada saat itu kami benar-benar" tidak menduga
bahwa kekejian itu akan terjadi. Karena itulah maka agaknya kami
tidak bersiaga melawannya."
1553 Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia
memandang wajah Witantra yang terangguk kecil, maka ia pun
kemudian berkata, "Ketahuilah Ki Buyut kedua-duanya, bahwa tiga
orang yang membunuh dua orang di padukuhan ini dengan cara
yang khusus itu adalah orang-orang yang disebut berilmu hitam."
"He?" Orang-orang yang mendengarnya terkejut , "dari mana Ki
Sanak mengetahuinya?" Bertanya Ki Buyut dari padukuhan di
sebelah hutan. Suasana pun kemudian menjadi tegang. Beberapa orang yang
berada di tempat itu memandang Mahisa Agni dengan tajamnya.
"Kami mengetahui dari keterangan yang telah kalian berikan
kepada kami. Kematian yang mengerikan dengan kulit yang tersayat
bahkan seolah-olah terkelupas adalah pertanda yang paling
meyakinkan, bahwa pembunuhnya adalah orang-orang berilmu
hitam itu." Wajah-wajah yang nampak menjadi tegang telah menggelitik
perasaan Mahisa Bungalan, sehingga tiba-tiba saja ia bertanya,
"Apakah kalian mencurigai kami lagi hanya karena kami mengetahui
atau membenarkan ceritera tentang pembunuhan itu?"
"Bukan, bukan maksud kami Ki Sanak" sahut Ki Buyut dari
sebelah hutan itu dengan serta merta, "Tetapi kami menjadi
bertanya-tanya di dalam hati, apakah ciri-ciri pembunuhan yang
demikian memang sudah dikenal dimana-mana."
"Ya" Witantra lah yang menyahut, "seperti yang telah dikatakan,
bahwa kematian itu disebabkan oleh bekas tangan orang-orang
berilmu hitam." Orang-orang yang mendengarkan itu pun mengangguk-angguk.
"Bukankah kalian pernah mendengar serba sedikit tentang orang
berilmu hitam?" bertanya Witantra
"Ya. Satu dua orang penghuni padukuhan ini yang baru saja
kembali dari mengunjungi sanak kadangnya di padukuhan lain
1554 mendengar serba sedikit tentang orang berilmu hitam. Tetapi pada
umumnya mereka tidak dapat menyebutkan secara terperinci."
"Mungkin. Tetapi bahwa orang-orang berilmu hitam itu dapat
berbuat sesuatu tanpa menghiraukan perikemanusiaan, telah kalian
alami disini. -" Kedua Buyut yang ada di banjar itu mengangguk-angguk.
Namun terdengar seseorang bertanya, "Apakah mungkin mereka
akan kembali" ."
Witantra mengerutkan keningnya Lalu katanya, "Tentu saja kami
tidak mengetahuinya. Mungkin ia akan lewat pula di padukuhan ini.
Bahkan mungkin ia mendengar peristiwa yang telah terjadi disini,
bahwa seorang anak muda telah melakukan pameran kekuatan
justru untuk menghindari korban yang sia-sia,"
"Apakah mereka akan menaruh perhatian?"
"Mudah-mudahan mereka memperhitungkannya, agar mereka
tidak berbuat sewenang-wenang."
"Atau bahkan sebaliknya" desis yang lain.
"Mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan mereka menyalurkan
kemarahan mereka kepada kami dan mencari kami, karena
sebenarnyalah bahwa kami pun berkepentingan dengan mereka."
"Apakah yang dapat kami katakan tentang kalian jika orangorang
berilmu hitam itu kembali atau sekedar lewat saja di
padukuhan ini" Jika mereka mendengar hal-hal yang kalian lakukan
disini, tentu mereka ingin mengetahui, siapakah kalian,"
Mahisa Agni dan Witantra berpandangan sejenak. Baru kemudian
Witantra menjawab. "Baiklah. Seperti yang sudah kami katakan,
kami adalah hamba istana Singasari. Kami memang mendapat tugas
untuk melihat-lihat daerah yang terpencil seperti padukuhan ini."
"Jadi kalian benar-benar prajurit?"
1555 "Kami tidak berbohong. Anak muda ini bukan prajurit istana,
tetapi kedudukannya hampir tidak ada bedanya, karena ia pun
mengemban tugas Baginda di Singasari."
Kekecewaan dan penyesalan nampak di wajah-wajah yang
tegang di pendapa banjar padukuhan itu.
Sementara itu, Witantra pun berkata, "Dan anak muda itu
adalah anak muda yang bernama Mahisa Bungalan."
"He-" seorang yang berkumis lebat tiba-tiba mengangkat
kepalanya, "Aku pernah mendengar nama itu ketika aku pergi ke
padukuhan kadangku yang agak jauh."
"Apakah yang kau dengar tentang nama itu?"
"Mahisa Bungalan. Ya, Mahisa Bungalan pembunuh orang-orang
berilmu hitam." Semua orang berpaling kepadanya. Dan orang itu menegaskan,
"Mahisa Bungalan dan Linggadadi. Aku ingat sekarang. Siapakah
dari kalian yang bernama Linggadadi?"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Agaknya nama Mahisa
Bungalan seolah-olah tidak dapat dipisahkan dengan nama
Linggadadi. Meskipun maksudnya tidak demikian, tetapi justru
keduanya seakan-akan merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. "Suatu perkembangan warta yang salah" berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya, "Lebih baik pada suatu ketika aku
bertemu dengan Linggadadi dan menyelesaikan masalahnya dengan
tuntas, supaya namaku tidak selalu dihubungkannya dengan
namanya." Dalam pada itu Witantra lah yang menjawab, "Tidak ada Yang
bernama Linggadadi diantara kami. Linggadadi adalah orang lain
sama sekali yang tidak mempunyai sangkut paut dengan Mahisa
Bungalan" 1556 "Tetapi yang aku dengar, bahwa Mahisa Bungalan dan
Linggadadi adalah pembunuh orang berilmu hitam."
"Mungkin keduanya melakukan. Tetapi tentu saja dengan
pertimbangan dan tujuan yang berbeda. Mahisa Bungalan adalah
petugas yang memikul kewajiban dari Baginda di Singasari, sedang
Linggadadi adalah seorang yang berjuang dalam persaingannya
dengan orang-orang berilmu hitam."
"O, keterangan yang aku dengar lain sekali. Keduanya telah
bertempur bersama-sama dan telah membunuh puluhan orang
berilmu hitam." Mahisa Agni dan Witantra saling berpandangan sejenak. Memang
hampir setiap orang di daerah itu menyangka demikian. Seolah-olah
Mahisa Bungalan dan Linggadadi telah bertempur bersama-sama
untuk membunuh orang-orang berilmu hitam,
"Apakah berita yang sampai ke telinga kami itu tidak benar?"
Bertanya Ki Buyut dari padukuhan di ujung bukit'
"Tidak benar" Jawab Mahisa Bungalan dengan tegas.
"Jadi bagaimanakah sebenarnya?"
Mahisa Bungalan memandang Mahisa Agni dan Witantra
berganti-ganti. Agaknya keduanya mengerti bahwa Mahisa Bungalan
agak menjumpai kesulitan untuk menjawab.
"Ki Buyut" berkata Witantra, "sudah aku katakan bahwa
mungkin keduanya melakukan. Mungkin, keduanya memang
pembunuh orang berilmu hitam, tetapi dengan tujuan yang
berbeda. Mahisa Bungalan sama sekali tidak mempunyai sangkut
paut dengan Linggadadi. Bahkan keduanya pernah bertempur di
Singasari" "O, sungguh aneh."
"Tetapi sebaliknya kalian mempercayainya, karena yang ada di
hadapan kalian sekarang adalah orang yang bernama Mahisa
Bungalan itu sendiri."
1557 Ki Buyut mengangguk-angguk. Demikian pula orang-orang lain
yang mendengarnya. Baru sejenak kemudian Ki Buyut dari sebelah hutan berkata,
"Tentu kami mempercayainya. Beruntunglah bahwa kami telah
mendengar langsung dari orang yang berkepentingan."
"Terima kasih Ki Buyut" Sahut Witantra, "Kami tidak
berkeberatan jika apabila orang-orang berilmu hitam itu datang dan
bertanya sesuatu tentang pendengarannya atas kejadian semalam,
katakanlah terus terang bahwa telah datang di padukuhan ini,
Mahisa Bungalan dan dua orang pamannya"
"Apakah keuntungannya?" Bertanya seorang yang lain.
"Mudah-mudahan dengan demikian orang-orang berilmu hitam
itu menumpahkan segenap perhatiannya kepada kami dan tidak
sempat mencoba mengganggu kalian. Karena sebenarnyalah
mereka pun harus mengakui bahwa Mahisa Bungalan memang
pembunuh orang berilmu hitam seperti Linggadadi, tetapi dengan
tujuan yang berbeda."
"Terima kasih" desis Ki Buyut dari padukuhan di sebelah hutan,
"Kami dapat mengerti. Dan kami akan selalu menyebut namamu.
Mudah-mudahan dapat memberikan pengaruh atas orang-orang
berilmu hitam itu, karena mereka memang harus memperhitungkan
Mahisa Bungalan pembunuh orang berilmu hitam."
"Tetapi membunuh bukanlah tujuanku" tiba-tiba saja Mahisa
Bungalan memotong, "meskipun aku bertemu dengan orang-orang
berilmu hitam, tetapi tidak melakukan sesuatu yang dapat
menimbulkan kericuhan dan malapetaka, aku akan menghindari
benturan Apalagi pembunuhan."
"Kami dapat mengerti" jawab Ki Buyut dari ujung bukit, "Dan
kami sudah menyaksikan, betapa kalian bertiga dengan sungguhsungguh
berusaha menghindarkan korban yang jatuh karena
kebodohan kami." "Sudahlah," Sahut Mahisa Agni, "berhati-hatilah di lain kali."
1558 Orang dari padukuhan di ujung bukit dan di sebelah hutan serta
beberapa orang dari padukuhan-padukuhan di sekitamya yang ikut
berkerumun di banjar itu mengangguk-angguk.
Namun dalam pada itu, Ki Buyut dari padukuhan di tepi hutan itu
pun berkata, "Ah, kami terlampau banyak berbicara. Sekarang kami
ingin mempersilahkan kalian makan dan minum sekedarnya,
menurut apa yang ada di padukuhan kami. , "
Mahisa Agni dan Witantra, di luar sadarnya memandang wajah
Mahisa Bungalan. Namun keduanya pun tersenyum ketika mereka
melihat Mahisa Bungalan mengangguk.
"Terima kasih Ki Buyut" jawab Mahisa Agni." kami akan
menerima segala pemberian ini dengan perasaan terima kasih yang
setulus-tulusnya" Mahisa Bungalan menggigit bibirnya.
"Jauh daripada memuaskan" Sahut Ki Buyut dari padukuhan di
ujung bukit, "Tetapi hendaknya dapat memadai."
Satu demi satu orang-orang yang berkerumun di banjar itu pun
menyingkir. Mereka kemudian memberi kesempatan kepada ketiga
orang itu untuk makan tanpa terganggu.
Sambil makan Mahisa Bungalan masih saja bergumam, "Adalah
berbahaya sekali tindakan yang tergesa-gesa itu. Tetapi apakah
orang-orang berilmu hitam itu masih akan kembali paman" Dan
kenapa mereka tiba-tiba saja berada di tempat ini?"
"Tentu saja kami tidak tahu" Jawab Mahisa Agni, "Tetapi menilik
arah perjalanan yang ditempuhnya, maka ia menuju ke suatu
tempat, justru di dekat Kota Raja atau jika mereka berjalan terus,
mereka akan menuju ke tempat yang jauh sekali."
"Mungkin mereka sengaja mendekati Kota Raja." Berkata
Witantra, "Tentu saja dengan tujuan tertentu yang belum kita
ketahui." 1559 Yang lain mengangguk-angguk. Namun kemudian Mahisa
Bungalan berkata, "Jika terjadi kematian dan pembunuhan seperti
ini, maka agaknya akan mudah bagi kita untuk menemukan jejak
mereka." "Mungkin. Tetapi tentu tidak selalu mereka melakukan
pembunuhan di tempat-tempat yang mereka lalui. Jika tidak ada
persoalan yang memaksa, mereka pun tentu tidak akan
membunuh, kecuali di saat-saat mereka melakukan pemujaan. Dan
itu pun agaknya mereka lakukan di tempat-tempat khusus."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, "Ya, mereka
membuat semacam sanggar seperti yang aku lihat di padukuhan
yang dikenal sebagai daerah bayangan hantu?"
Mahisa Agni dan Witantra pun ikut mengangguk-angguk pula.
Mereka pernah mendengar ceritera Mahisa Bungalan tentang daerah
bayangan hantu. Dan mereka pun pernah mendengar ceritera
tentang kebiasaan orang-orang berilmu hitam itu dalam upacaraupacara
yang sejalan dengan ilmu dan kepercayaan mereka.


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk beberapa saat mereka pun kemudian saling berdiam diri,
seolah-olah mereka sedang memusatkan perhatian mereka kepada
hidangan yang ada di hadapan mereka, meskipun sebenarnya
hidangan itu tidak menarik.
Namun agaknya Ki Buyut dari padukuhan di pinggir hutan yang
merasa bersalah terhadap ketiga orang itu, sudah berusaha untuk
dapat memberikan hidangan yang sebaik-baiknya-Mereka telah
memotong beberapa ekor ayam yang paling gemuk. Nasi yang
paling putih dan dimasak oleh juru madaran yang paling baik.
"Paman" Berkata Mahisa Bungalan, "Setelah kita menghabiskan
hidangan ini, apakah yang akan kita lakukan?"
Mahisa Agni mengerutkan keningnya, lalu katanya, "Apakah kita
akan mempunyai rencana lain?"
"Tentu tidak. Tetapi barangkali ada sesuatu yang perlu kita
kerjakan?" 1560 Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak
mempunyai rencana apa-apa."
Witantra pun menyahut, "Kita akan langsung menuju ke
Panawijen dan barangkali ke Padang Karautan. Bukankah kita akan
melihat padukuhan itu dan barangkali kolam yang tentu sudah tidak
seindah saat dibuatnya Tetapi kenangan yang akan tumbuh
mungkin akan jauh lebih indah dari peristiwa-peristiwa yang pernah
terjadi sebenarnya."
Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
mengatakan apa-apa. "Lalu bagaimanakah dengan orang-orang berilmu hitam itu?"
"Kita akan pergi sesuai dengan rencana kita. Jika di perjalanan
kita bertemu, maka kita akan menentukan sikap."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah paman-
Untuk sementara kita akan melupakan orang-orang berilmu hitam
itu. Tetapi jika di perjalanan kita menjumpai peristiwa seperti yang
terjadi di padukuhan ini, tentu tidak akan dapat tinggal diam."
Demikianlah, setelah mereka bertiga selesai makan dan minum,
maka mereka pun kemudian minta diri kepada orang-orang yang
datang kembali ke pendapa.
Kedua Buyut yang ada di antara mereka mencoba untuk
menahan barang satu dua malam. Tetapi ketiga orang itu tetap
pada rencananya untuk meneruskan perjalanan mereka ke padang
Karautan. Beberapa orang, termasuk kedua Buyut itu, mengantarkan
mereka sampai ke regol padukuhan. Kemudian mereka melepaskan
ketiga orang itu menempuh perjalanan, melintasi bulak yang
panjang yang mulai dihangatkan oleh cahaya matahari yang
menjadi semakin tinggi. Dalam pada itu, selagi Mahisa Agni, Wirantra dan Mahisa
Bungalan menempuh perjalanan ke Panawijen, maka di arah yang
1561 lain tiga orang sedang berpacu pula. Justru menuju ke Kota Raja,
meskipun mereka tidak akan memasuki kota itu.
"Kita tidak boleh melakukan pembunuhan lagi" Berkata Empu
Baladatu kepada kedua orang pengawalnya.
"Kenapa Empu. Mereka yang tidak mau membantu kita, apa
salahnya kita binasakan. Sebenarnya aku ingin membunuh lebih
banyak lagi" Jawab pengawalnya.
"Itu adalah satu kebodohan. Dengan demikian maka orangorang
yang sengaja mencari kita akan dengan mudah menemukan
jejak kita." Kedua orang pengawalnya mengerutkan keningnya, yang
seorang kemudian bertanya, "Jadi apakah kita akan dibiarkan diri
kita diperlakukan dengan semena-mena?"
"Tidak ada orang yang memperlakukan kita semena-mena. Kita
selalu mendapat tempat yang baik dan sambutan yang ramah jika
kita juga berlaku ramah."
"Tetapi padukuhan di pinggir hutan itu telah menerima kita
dengan penuh prasangka."
"Tidak" Jawab Empu Baladatu, "Kalian yang menjadi gila melihat
gadis-gadis cantik di padukuhan itu. Itulah sebabnya, maka telah
terjadi peristiwa yang dapat menjadi jejak perjalanan kita. Apalagi
kalian telah membunuh korbanmu dengan ciri yang dapat
memperkenalkan kita."
"Tidak ada orang yang mengetahuinya. Atau seandainya mereka
mengetahuinya, biarlah mereka mengerti, dengan siapa mereka
berhadapan." "Dan kau kira, untuk seterusnya tidak ada orang; lain yang
mungkin melalui padukuhan itu?"
Kedua pengawalnya tidak menjawab. Mereka mengerti, bahwa
Empu Baladatu terlalu berhati-hati menghadapi Mahisa Bungalan
dan Linggadadi yang disebut pembunuh orang-orang berilmu hitam.
1562 Bahkan di dalam hati pengawal-pengawal itu berkata,
"Sebenarnyalah aku ingin segera bertemu dengan orang yang
disebut Mahisa Bungalan dan Linggadadi itu."
Tetapi mereka tidak dapat mengatakan kepada Empu Baladatu,
karena agaknya Empu Baladatu mempunyai pertimbangan lain. Ia
akan menyatukan kekuatannya dengan kakaknya, baru kemudian
dengan yakin menghancurkan Iawan-lawannya- Tentu saja yang
pertama-tama adalah Mahisa Bungalan dan Linggadadi, yang
menurut dugaan Empu Baladatu, keduanya mungkin sekali berdiri di
antara kekuatan prajurit-prajurit Singasari sehingga untuk
menghadapi keduanya diperlukan susunan kekuatan yang memadai.
Dengan demikian, maka kedua pengawal itu tidak mempunyai
pilihan lain kecuali mentaati perintah itu. Mereka harus bersikap baik
di sepanjang perjalanan. Menahan diri dan sama sekali
menyembunyikan ciri-ciri yang ada pada ilmu mereka.
Jika mereka masih harus bermalam di perjalanan, maka mereka
bertiga telah benar-benar menjadi orang-orang yang baik dan tahu
diri. Mereka sama sekali tidak menumbuhkan kesulitan apapun di
tempat-tempat yang mereka singgahi.
Karena itulah, maka tidak ada lagi orang yang dengan ketakutan
dan kengerian yang sangat, menangisi satu atau dua orang keluarga
mereka yang menjadi korban seperti yang telah terjadi di
padukuhan di sebelah hutan itu. Bahkan satu dua orang telah
memuji mereka sebagai orang-orang yang mengerti dan mematuhi
unggah-ungguh. Bahkan di beberapa tempat, Empu Baladatu telah dengan rendah
hati memberikan beberapa pertolongan kepada beberapa orang
yang memerlukannya. Dengan bekal ilmu yang ada padanya ia telah
berhasil menyembuhkan beberapa orang sakit yang dijumpainya di
perjalanan. Kelicikan Empu Baladatu itulah yang ternyata telah berhasil
menghapus jejaknya. Tidak seorang pun yang pernah dijumpainya
di perjalanan menduga, bahwa orang yang barambut putih itu
1563 adalah orang pertama pada perguruan ilmu hitam yang mulai akan
berkembang lagi. Demikianlah, maka Empu Baladatu itu pun dengan selamat
sampai ke rumah kakaknya. Sebuah padepokan kecil yang
nampaknya tenang, dikelilingi oleh daerah yang hijau. Pategalan
dan sawah yang subur, yang menjadi sumber hidup dari isi
padepokan itu. Semula Empu Baladatu ragu-ragu untuk memasuki padepokan
itu. Selama ini ia merasa bahwa dirinya memiliki kemungkinan yang
lebih luas dari kakaknya. Empu Baladatu merasa bahwa ilmunya
memiliki kekuatan yang lebih besar dari ilmu yang manapun juga,
termasuk ilmu yang dikuasai oleh kakaknya.
"Apakah aku akan datang kepadanya dan memberikan tempat
yang lebih baik baginya?" Bertanya Empu Baladatu kepada diri
sendiri. Namun yang kemudian dijawabnya, "Tidak. Aku akan tetap
memiliki kelebihan. Yang aku perlukan adalah kerja sama.
Kekuatanku masih belum cukup untuk melawan prajurit Singasari.
Itu bukan berarti bahwa akan berada di bawah kemampuan siapa
pun juga." Sekilas terbayang oleh Empu Baladatu padepokan yang di
tinggalkannya. Tidak terlampau besar meskipun lebih besar dari
padepokan kakaknya. Murid-muridya pun tidak terlalu banyak.
Tetapi jika datang saatnya ia harus bangkit, maka dengan cepat ia
akan dapat mengumpulkan kekuatan. Dengan menghasut dan
menakut-nakuti, maka ia akan menghimpun pasukan untuk
melawan Singasari. Murid-muridnya adalah Senapati-senapati yang
baik yang akan dapat mengimbangi para Senapati dari Singasari.
"Aku akan menghimpun kekuatan di seputar Kota Raja. Jika
murid-muridku mampu menunjukkan kelebihan mereka dari prajuritprajurit
Singasari, maka tidak terlalu sulit untuk mendapat jumlah
prajurit yang diperlukan." berkata Empu Baladatu di dalam hatinya,
"bukankah dengan memberikan janji dan sedikit harapan, banyak
orang yang akan melibatkan diri?"
1564 Empu Baladatu akhirnya menetapkan hatinya untuk memasuki
padepokan kakaknya. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat dua orang yang
bertubuh tegap dan kekar berdiri di sebelah regol padepokan itu,
sambil bersilang tangan di dada, keduanya memandang Empu
Baladatu dengan kedua pangawalnya dengan tanpa berkedip.
Empu Baladatu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
pun mengangguk hormat sambil bertanya, "Apakah benar ini
padepokan Empu Sanggadaru dan bergelar Naga Liar?"
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Kemudian yang
seorang bertanya, "Siapakah Ki Sanak?"
"Aku adalah Empu Baladatu. Jika kakang Empu Sanggadaru ada,
sampaikan hormatku. Dan sampaikan permohonanku untuk
menghadap." Kedua orang itu masih saja nampak ragu-ragu.
"Jika Ki Sanak ingin mengetahui" Berkata Empu Baladatu
kemudian, "Aku adalah adiknya. Tetapi siapakah Ki Sanak berdua
ini?" "Kami adalah murid-murid dari perguruan ini"
"O" Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Jadi
apakah kakang Sanggadaru ada?"
"Marilah" Berkata salah seorang dari kedua orang itu, "Masuklah
ke padepokan kami." Empu Baladatu ragu-ragu. Dan bahkan ia bertanya lagi, "Apakah
kakang Empu Sanggadaru ada di padepokan?"
Sekali lagi salah seorang dari kedua orang itu mempersilahkan
tanpa menjawab pertanyaannya, "Silahkan Empu masuk ke
padepokan." Sejenak Empu Baladatu termangu-mangu. Namun kemudian ia
memberi isyarakat kepada kedua pengawalnya.
1565 Mereka bertiga pun kemudian mengikuti kedua orang itu
memasuki halaman padepokan yang nampak bersih dan terawat
rapi. Di seberang sebuah halaman yang luas, nampak sebuah rumah
kecil, tetapi lengkap. Beberapa puluh langkah di sebelah rumah itu,
terdapat pula sebuah rumah yang lain. Sementara di bagian
belakang dari halaman padepokan itu terdapat beberapa rumah pula
di seputar lapangan yang tidak begitu luas.
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Padepokannya
ternyata lebih luas dari padepokan itu. Tetapi padepokan ini
mempunyai kesan yang lebih semringah.
Warna dedaunan dan bunga-bunga yang tajam rasa-rasanya
membuat suasana di padepokan itu menjadi lebih hidup dan gairah
dari pada warna-warna yang kusam dan gelap. Kolam yang berair
bening dengan warna-warna putih dari beberapa ekor angsa yang
berenang, rasa-rasanya memercikkan ketenangan tersendiri.
Empu Baladatu termangu-mangu sejenak. Dari wajah
padepokannya ia seolah-olah melihat isi hati kakaknya yang sudah
agak lama tidak pernah dijumpainya.
"Apakah ia sekarang lebih senang tinggal di padepokannya yang
tenang ini tanpa berbuat apapun juga?" Pertanyaan itu telah
meloncat di hatinya, "Dan apakah dengan demikian berarti
kedatanganku akan sia-sia?"
Tetapi Empu Baladatu masih akan tetap mencoba mengatakan
niatnya. Tentu di padepokan ini terdapat beberapa orang yang
dapat bersama-sama dengan beberapa orang muridnya untuk
menandingi para Senapati di Singasari.
Dengan dada yang berdebar-debar, maka mereka pun
memasuki pintu penyekat di samping pendapa. Dengan demikian
mereka pun telah memasuki longkangan di depan gandok.
Mereka mengerutkan kening, ketika tiba-tiba saja pintu butulan
di dinding penyekat itu seolah-olah tertutup dengan sendirinya.
Bahkan kemudian selarak yang nampaknya berada di luar,
terdengar menyilang. 1566 "Apa artinya ini" Desis Empu Baladatu.
Salah seorang dari kedua orang yang membawanya itu berpaling.
Tetapi ia tidak menjawab.
Sejenak Empu Baladatu termangu-mangu. Bahkan kedua
pengawalnya saling berpandangan dengan penuh curiga. Dengan
hati-hati mereka maju selangkah demi selangkah. Sedang hampir
tanpa mereka sadari, tangan mereka telah berada di hulu senjata
masing-masing. Sejenak kemudian mereka telah memasuki serambi samping.
Namun nampaknya rumah yang tidak terlampau besar itu sangat
lengang, seolah-olah sama sekali tidak berpenghuni.
Dari sela-sela pintu, Empu Baladatu melihat beberapa ekor
binatang buruan yang sudah dikeringkan. Dua ekor harimau. Kijang
dan seekor orang hutan yang besar. Bahkan di antara binatangbinatang
itu terdapat pula binatang-binatang kecil, seperti kancil
dan pelanduk berbintik-bintik.
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ketika mereka
menyusup pintu serambi dan memasuki bagian belakang rumah itu,
langkah mereka tertegun. Di atas serambi belakang, pada pengeret
kayu jati, membelit seekor ular raksasa. Tetapi ternyata ular itu pun
telah mati dan dikeringkan pula.
"Seorang pemburu yang ulung" Desis Empu Baladatu.
Agaknya kedua orang yang membawanya itu pun mendengar,
sehingga mereka berpaling sejenak. Tetapi keduanya sama sekali
tidak menyahut. Namun kemudian keduanya berhenti di muka sebuah pintu yang
menghubungkan serambi belakang dengan ruangan dalam.
"Duduklah Empu. Aku akan menyampaikan kedatangan Empu
kepada guru." Empu Baladatu memandang kedua orang itu berganti-ganti.
Namun ia tidak dapat menangkap kesan apa pun di wajah mereka.
1567 "Silahkan Empu" Sekali lagi salah seorang dari keduanya itu pun
mempersilahkannya duduk. Empu Baladatu mengangguk sambil menjawab, "Terima kasih."
Kedua orang itu pun segera meninggalkan Empu Baladatu
bersama kedua pengawalnya. Mereka membuka pintu yang tertutup


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu dan sejenak kemudian mereka telah hilang di dalamnya. Sejenak
kemudian, kedua pintu itu pun telah tertutup pula.
Empu Baladatu termangu-mangu sejenak. Di hadapannya
terdapat sebuah amben bambu yang dibentangi dengan sebuah
tikar pandan yang panjang.
Tetapi Empu Baladatu tidak mau duduk di amben itu. Rasarasanya
padepokan itu menyimpan banyak hal yang tidak
diketahuinya. Sekali-kali ia memandang pintu yang tertutup itu. Tetapi untuk
beberapa saat lamanya, pintu itu tetap tertutup rapat.
Kedua pengawalnya pun rasanya menjadi gelisah pula. Namun
tanpa mereka sadari, mereka bertiga telah berada di tempat yang
terpencar. Wajah Empu Baladatu yang tegang menjadi semakin tegang.
Rambutnya yang putih bergerak disentuh angin.
Sejenak mereka bertiga memandang ke longkangan belakang
dari rumah itu. Sebuah kebun yang terawat pula seperti halaman
depan. Seperti yang nampak dari halaman, maka di belakang rumah
itu terdapat sebuah lapangan kecil yang dilingkari oleh beberapa
rumah yang lain. Namun ternyata bagian-bagian dari halaman dan
kebun itu terdapat dinding-dinding penyekat yang rendah.
"Rumah yang tidak besar itu, agaknya menjadi pusat dari
padepokan ini" Berkata Empu Baladatu di dalam hatinya. Memang
agak berbeda dengan padepokannya. Padepokan itu ditandai
dengan sebuah rumah yang besar di tengah-tengahnya lengkap
dengan gandok dan dapur serta sederet di bagian belakang, yang
dihuni oleh beberapa orang pelayan dan juru masak. Baru kemudian
1568 terdapat beberapa buah rumah magersari di bagian belakang, di
seberang kebun yang ditanami dengan pohon buah-buahan. Tetapi
halaman depan padepokannya, ternyata tidak seluas halaman depan
padepokan kakaknya ini. Beberapa saat mereka masih harus menunggu. Bahkan kemudian
rasa-rasanya kesabaran Empu Baladatu menjadi semakin tipis.
"Aku tidak tahu, apakah aku benar-benar masuk ke dalam
padepokan kakakku" Berkata Empu Baladatu di dalam hatinya,
"Atau barangkali orang lain telah mengusirnya dan merampas
padepokan ini dengan seluruh isinya.
Empu Baladatu tiba-tiba saja teringat kepada orang-orang yang
pernah menggemparkan Singasari. Kesatria Putih, kemudian Mahisa
Agni, Witantra dan beberapa orang yang lain. Terakhir nama Lembu
Ampal pun mulai dikenal. "Apakah salah seorang dari mereka berada di padepokan yang
tidak jauh dari Kota Raja ini dan mengusir kakang karena dianggap
berbahaya?" Untuk beberapa saat Empu Baladatu masih harus berteka-teki,
sampai saatnya seseorang keluar dari pintu yang satu itu.
Orang ini bukannya orang yang tadi masuk membawa Empu
Baladatu bersama pengawalnya. Tetapi orang ini adalah orang yang
nampaknya lebih tua. Dengan hormatnya orang itu mengangguk dalam" sambil
berkata, "Apakah aku berhadapan dengan Empu Baladatu?"
"Ya" Sahut Empu Baladatu yang hampir kehilangan kesabaran,
"Aku adalah Baladatu. Siapakah kau?"
Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/Proofing: Ayasdewe
Editing/Rechecking: Arema
1569 -oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
1570 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 22 "Aku Putut Kuda Santi."Jawab
orang itu, "Aku adalah salah seorang
murid tertua dari padepokan ini.
Empu Baladatu menganggukangguk.
Lalu ia pun bertanya, "Jadi
apakah benar aku berada di
padepokan saudara tuaku yang
bernama Empu Sanggadaru?"
"Ya, ya Empu. Disini adalah
padepokan Empu Sanggadaru."
Empu Baladatu menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya, "Terima
kasih. Apakah kau dapat membawa
aku menghadap kakang Sanggadaru?"
"Tentu Empu. Empu Sanggadaru telah berpesan kepadaku, agar
aku membawa Empu untuk menghadap di sanggar pamujan"
"O" Empu Baladatu mengangguk-angguk, "Apakah kakang Empu
Sanggadaru sedang mengadakan upacara?"
"Tidak. Empu Sanggadaru sedang berada di sanggar pamujan
bersama tiga orang muridnya untuk memperbincangkan masalah
ilmu kanuragan. Bukan ilmu kajiwan."
Empu Baladatu mengangguk-angguk.
1571 "Marilah Empu" Berkata Putut Kuda Santi, "Ikutlah aku ke
sanggar pamujan." Empu Baladatu ragu-ragu sejenak. Tetapi ia pun kemudian
mengikuti orang yang menyebut dirinya Putut Kuda Santi itu masuk
kepintu yang satu itu juga.
Empu Baladatu mengerutkan keningnya ketika ia menginjakkan
kakinya ke dalam sebuah ruang yang agak gelap. Namun kemudian
lewat pintu yang lain ia sampai ke sebuah ruang di serambi
samping. Di ujung serambi itu terdapat sebuah bilik yang tidak
begitu luas. Agaknya bilik itulah yang disebutnya sanggar pamujan.
"Sanggar itu terlampau sempit" berkata Empu Baladatu di dalam
hatinya, "Bagaimana mungkin kakang Sanggadaru mengolah
ilmunya di dalam sanggar itu. Tetapi agaknya ia mempunyai
sanggar yang lain yang khusus dipergunakannya untuk menempa
murid-muridnya didalam olah kanuragan.
"Silahkan Empu menunggu" desis Putut Kuda Santi, "Aku akan
menyampaikan kedatangan Empu kepada guru."
Empu Baladatu hanya mengangguk saja. Sebenarnya ia sudah
jemu untuk selalu menunggu. Tetapi ia masih harus memaksa diri
berdiri termangu-mangu menunggu untuk mendapat kesempatan
bertemu dengan kakaknya. Tetapi kali ini ia tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak
kemudian ia melihat seseorang turun dari tangga bilik yang tiba-tiba
terbuka. Seorang yang bertubuh tinggi, meskipun agak kekuruskurusan.
Tetapi menilik sikap dan gerak kakinya, menunjukkan,
betapa ia menguasai ilmu kanuragan yang tinggi.
Demikian ia lepas dari tangga bilik itu, ia berdiri sambil
mengembangkan tangannya. Wajahnya menjadi cerah dan sorot
matanya memancarkan kegembiraan di hatinya.
"Kau Baladatu" Desisnya, "Sudah lama sekali kita tidak bertemu.
Marilah, masuklah ke ruang dalam. Tidak ke sanggar yang sempit
dan pengab itu." 1572 Empu Baladatu mengangguk hormat. Katanya, "Salamku buat
kakang. Aku memang sudah lama sekali tidak mengunjungi
padepokan ini, sehingga aku menjadi ragu-ragu. Apakah benar aku
telah memasuki padepokanmu yang nampak berubah sejak aku
meninggalkannya beberapa tahun yang lalu."
"Bukan hanya beberapa tahun, lebih dari sepuluh tahun. Kau
pergi selagi rambutmu masih hitam lekam. Sekarang, ujung
rambutmu yang berjuntai dari balik ikat kepalamu, sudah nampak
mulai memulih. He, Baladatu, kau memang cepat menjadi tua. Aku
kakakmu, rambutku masih tetap hitam pekat. Demikan juga kumis
dan janggutku." Baladatu tertawa. Katanya, "Aku mempunyai persoalan yang jauh
lebih banyak dari persoalanmu kakang. Agaknya kau hidup tenang
dipadepokanmu tanpa memikirkan persoalan-persoalan yaitu rumit,
yang tumbuh di sekitarmu dan di sekitar padepokan ini "
Empu Sanggadaru tertawa. Katanya, "Adalah salah sendiri jika
seseorang harus menghadapi persoalan-persoalan yang rumit-rumit
Lihat, ku dapat hidup tenteram di padepokanku sekarang ini. Aku
tidak pernah mengganggu dan juga diganggu oleh orang lain."
Empu Baladatu pun tertawa juga. Jawabnya, "Aku akan
mempelajari tata cara kehidupan seperti itu."
Empu Sanggadaru tertawa semakin keras. Dan Empu Baladatu
pun ikut juga tertawa. Sifat yang riang pada kakaknya itu ternyata
masih dibawanya sampai umurnya yang semakin tua.
"Tetapi" tiba-tiba Empu Sanggadaru berkata, "kau ternyata lebih
gemuk daripadaku. Aku yang hidup tenang di sini, tidak dapat
menjadi segemuk kau, meskipun aku makan cukup banyak"
Empu Baladatu masih tertawa. Katanya, "Apakah disini tidak
terdapat bahan makanan yang memadai" Beras, jagung atau ketela
rambat?" 1573 "O, disini ada segalanya. Beras, jagung, gaga ketela rambat dan
ketela pohon. Ubi panjang dan ubi ungu. Semuanya ada. Mungkin
aku justru terlalu banyak makan."
Empu Baladatu masih tertawa. Dan ia mendengar kakaknya
kemudian berkata, "Mari, marilah masuk keruang dalam."
Mereka pun kemudian memasuki ruang dalam dari rumah yang
tidak begitu besar itu. Namun nampak sekali seperti halamannya,
rumah itu pun terawat baik. Disana-sini nampak berbagai jenis
binatang buruan yang sudah dikeringkan pula, seperti yang sudah
dilihat oleh Empu Baladatu di bagian lain dari ramah itu.
Mereka pun kemudian dipersilahkan duduk di atas lembaran kulit
berbagai macam binatang. Kulit harimau loreng, kulit kijang, kulit
serigala, dan bahkan kulit badak air.
Empu Baladatu melihat hasil buruan yang telah mengering itu
dengan kagum. Ruangan itu benar-benar telah memberikan kesan
kebesaran seorang pemburu. Apalagi di dinding ruangan itu dihiasi
pula dengan berbagai macam alat senjata untuk berburu. Busur,
anak panah, tombak panjang, bandil dan alat-alat lain yang biasa
dipergunakan dalam perburuan di hutan-hutan yang lebat
Empu Sanggadaru melihat kesan yang tersirat diwajah adik nya.
Karena itu maka katanya kemudian sambil tersenyum, "Semuanya
ini hanyalah sekedar untuk mengisi waktu. Aku tidak dapat duduk
termenung saja siang dan malam di padepokan ini. Sawah dan
ladang telah dikerjakan oleh anak-anak. Bahkan mengisi jambangan
dipakiwan pun telah dilakukan oleh mereka pula. Lalu aku tidak
mendapat bagian kerja apapun juga di padepokan ini, sehingga aku
harus mencarinya di luar padepokan."
"Mengagumkan sekali kakang" berkata Empu Baladatu, "tentu
bukan hanya sekedar untuk mengisi waktu. Menilik semua yang ada
di ruangan ini dan di serambi belakang, kakang adalah pemburu
yang ulung. Adalah jarang sekali pemburu yang manapun juga
dapat menangkap seekor ular raksasa seperti yang kakang letakkan
di serambi belakang itu."
1574 "Apa sulitnya menangkap ular?"
"Bagi kakang tentu tidak ada kesulitan. Tetapi bagi mereka yang
belum terbiasa, tentu Akan banyak mengalami rintangan dan
bahkan mungkin membahayakan nyawanya."
Empu Sanggadaru tertawa. Katanya, "Kau selalu merendahkan
dirimu. Tetapi jika kau mau, maka kau ,tentu akan dapat melakukan
lebih baik dari yang aku lakukan sekarang ini. Sejak kanak-kanak,
kau mempunyai banyak kelebihan daripada ku. Kau mampu
memanjat pohon nyamplung yang batangnya jauh lebih besar dari
tubuhmu saat itu. Tetapi aku tidak. Kau mampu menyeberangi
sungai yang banjir di sebelah rumah kita, aku sama sekali tidak
berani membasahi kakiku dengan airnya yang agak keruh, meskipun
kita sama-sama dapat berenang."
"Ah, kau memuji kakang. Tetapi kau mempunyai kecakapan
membidik sejak kanak-kanak. Kau mampu melempar seekor burung
dengan tanganmu. Dan agaknya kemampuanmu membidik itu
tersalur pada kesenanganmu berburu binatang hutan." Empu
Baladatu berhenti sejenak, lalu, "he, dimana kau berburu binatangbinatang
itu kakang?" "Tidak terlalu jauh" jawab Empu Sanggadaru, "di sebelah sungai
itu terdapat hutan yang lebat. Jika kita memasu ki hutan itu, maka
kita akan mendapatkan apa saja yang kita inginkan."
"Sebelah sungai di ujung bulak ini?"
"Ya. Tidak ada yang harus disegani lagi didalam hutan itu.
Semuanya dapat kita ambil menurut kebutuhan kita. Hutan itu
adalah hutan lebat yang tidak mendapat perlindungan atau menjadi
milik dan daerah berburuan dari keluarga istana Singasari meskipun
letaknya tidak begitu jauh, justru karena hutan itu masih terlampau
lebat dan pepat. Berbeda dengan hutan yang berada dibagian
selatan dari Kota Raja. Hutan itu sudah banyak dirambah dan
dirindangkan, sehingga menjadi daerah berburuan yang baik bagi
keluarga istana. Tetapi sebaliknya, aku sama sekali tidak bergairah
berburu di hujan seperti itu. Se-olah-olah hutan yang sudah
1575 dipersiapkan menjadi arena berburu perempuan dan kanak-kanak.
Sebenarnya lebih baik keluarga istana itu berburu saja dikebun
belakang dengan beberapa ekor binatang yang sudah diikat atau
berada di dalam sangkar besi yang kuat. Mereka akan dapat
memburu binatang itu dengan mudah dan tanpa bahaya apapun
juga" Empu Baladatu lah yang kemudian tertawa. Katanya, "Tentu ada
bedanya. Para bangsawan merasa dirinya lebih penting dari orang
kebanyakan sehingga mereka merasa perlu dirinya mendapat
perlindungan dan pengamanan lebih baik dari kebanyakan orang."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia
berkata, "Tetapi berbeda dengan mereka adalah Tuanku
Ranggawuni dan Tuanku Mahisa Cempaka sendiri."
"Kenapa dengan keduanya?"
"Keduanya pun tidak puas berburu bersama keluarga mereka
yang ketakutan memasuki hutan yang lebat. Mereka berdua,
kadang-kadang bersama Mahisa Agni yang terkenal itu, tetapi
kadang-kadang tidak, lebih senang berburu dihutan sebelah sungai
itu." "Tidak sekedar melihat. Tetapi aku pernah bertemu di arena
berburuan." "Kau disuruhnya menyingkir?"
"Sama sekali tidak Bahkan Tuanku Ranggawuni mengajak
berpacu. Kami sedang memburu seekor rusa yang besar. Siapakah
di antara kami yang lebih tangkas."
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Dengan wajah yang
tegang ia bertanya, "Kedua orang tertinggi itu diiringi oleh pengawal
segelar sepapan?"

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak. Mereka tidak mempergunakan pasukan untuk menggiring
binatang buruan agar memasuki jarak bidik panah mereka. Tetapi
mereka benar-benar memburu seperti yang aku lakukan." Empu
Sanggadaru berhenti sejenak mengusap keringatnya.
1576 Empu Baladatu mendengarkan ceritera kakaknya dengan
saksama. Sekali-kali ia mengangguk-angguk, kemudian
mengerutkan keningnya sambil berdesis.
"Memang mengagumkan" berkata Empu Baladatu kemudian,
"ternyata bahwa mereka bukan saja seorang Maharaja dan Ratu
Angabhaya yang hanya dapat meneriakkan perintah-perintah, tetapi
agaknya mereka juga prajurit-prajurit yang berani."
"Ya" sahut Empu Sanggadaru, "keduanya adalah anak-anak
muda yang mengagumkan. Mereka saat itu sama sekali belum
mengenal aku. Demikian kita saling berkenalan di tengah hutan
yang lebat, maka kami pun sudah berpacu dalam arena perburuan."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi mereka
terbiasa duduk di atas Singgasana. Tentu mereka tidak akan
menang." Empu Sanggadaru tertawa. Jawabnya, "Kau salah tebak.
Ternyata bahwa keduanya adalah pemburu-pemburu yang sangat
tangkas. Saat itu aku pun berdua dengan muridku yang paling tua.
Namun kami berdua tidak dapat mendahuluinya. Keduanyalah yang
berhasil mendapatkan rusa itu lebih dahulu. "
"Tetapi di hutan itu tentu banyak sekali berkeliaran rusa dan
kijang. Apakah kalian dapat mengenal rusa yang sedang kalian
pertaruhkan." "Tentu tidak. Tetapi kami bersetuju untuk saling mendahului
mendapat rusa yang manapun juga "
Empu Baladatu berdesis, "Memang mengagumkan. Tetapi yang
dapat mereka lakukan hanyalah sekedar berburu. Mungkin mereka
tangkas bermain busur dan anak panah. Tetapi dalam persoalan
yang lain tentu jauh berbeda."
"Persoalan apa yang kau maksud?" bertanya Sanggadaru,
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi jawabannya
ternyata tertunda ketika seorang murid padepokan itu memasuki
ruangan sambil membawa hidangan.
1577 "Nah, kalian tentu haus" berkata Sanggadaru, "minumlah dan
makanlah." "Terima kasih kakang" sahut Empu Baladatu.
Sejenak percakapan mereka terganggu. Namun tiba-tiba Empu
Sanggadaru bertanya, "Apakah yang kau maksud dengan persoalan
lain bagi kedua anak muda yang kebetulan memegang pimpinan
pemerintahan itu?" "Maksudku dalam olah kanuragan. Bukankah ketrampilan
berburu belum merupakan ukuran untuk menentukan tingkat
ilmunya?" Empu Sanggadaru tertawa. Jawabnya, "Tentu saja tidak. Aku
adalah seorang pemburu. Banyak orang menganggap bahwa aku
adalah pemburu yang baik, meskipun tidak sebaik kedua anak muda
yang disebut Sepasang Ular dalam satu Sarang itu, karena seolaholah
mereka tidak pernah berpisah. Tetapi dalam olah kanuragan,
aku adalah seorang yang picik sekali. Bahkan hampir tidak berarti
sama sekali." "Ah" dengan serta merta Empu Baladatu memotong, "kau selalu
merendahkan dirimu."
"Tentu tidak. Aku berkata sebenarnya."
"Aku tahu, bahwa kau memiliki kemampuan yang tidak ada
duanya kakang." "Mungkin di padepokan ini. Tetapi sudah tentu tidak dapat
dibanggakan serupa itu diluar padepokanku. Apabila dibandingkan
dengan orang-orang yang sekarang berada di seputar kedua anak
muda yang sedang memegang pimpinan pemerintahan itu. Bahkan,
kedua anak muda itu pun kini tumbuh dengan pesatnya. Mereka
memiliki sumber ilmu dari Mahisa Agni, Witantra dan Lembu Ampal.
Didalam pengamatan orang-orang tua itulah keduanya meluluhkan
ilmu yang berbeda-beda dalam satu watak yang utuh. Karena itulah,
maka keduanya adalah anak-anak muda yang dahsyat. Bukan saja
1578 di arena berburuan, tetapi juga di medan. Nah, tentu jauh berbeda
dengan aku." Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangumangu.
Agaknya kakaknya menaruh hormat yang tinggi kepada,
pimpinan pemerintahan di Singasari.
"Apakah aku dapat mengatakan kesulitanku kepadanya?"
Pertanyaan itu selalu saja mengganggunya.
Tetapi Empu Baladatu tidak tergesa-gesa. Ia ingin berada di
padepokan itu untuk beberapa hari lamanya. Baru kemudian,
setelah ia yakin, bahwa kakaknya akan bersedia membantunya, ia
akan mengatakan keperluannya.
Karena itulah, maka meskipun baginya kurang sedap, Empu
Baladatu harus bersedia mendengarkan ceritera kakaknya tentang
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka yang bagaikan Sepasang Ular
dalam Satu Sarang itu. Keduanya hampir tidak pernah berpisah
dalam regala peristiwa dan persoalan. Karena itulah maka
pemerintahan mereka, nampak utuh dan bulat.
"Persetan dengan keduanya" geram Empu Baladatu di dalam
hatinya, "Aku akan bangkit dengan perguruanku dam menyapu
bersih semua yang mencoba menghalangiku. Termasuk kedua anak
muda itu. Tentu kakang Empu Sanggadaru merendahkan dirinya
dengan ceritera perburuannya." Namun kemudian, "Tetapi aku tentu
tidak akan dapat menyangkal ceriteranya tentang Mahisa Agni,
Witantra, Lembu Ampal. Dan kakang Sanggadaru masih belum
menyebut Mahisa Bu ngalan dan Linggadadi."
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih
selalu menahan diri, karena ia tidak mau merusak suasana
pertemuannya dengan kakaknya, jika ternyata kakaknya tidak se
jalan dengan sikap dan pendiriannya.
Untuk mengetahui sikap kakaknya, maka Empu Baladatu
memerlukan waktu beberapa hari.
1579 Tetapi Empu Baladatu memang tidak tergesa-gesa. Meskipun ia
harus berada di padepokan itu agak lama, tetapi niatnya dapat
berhasil, maka itu tentu akan lebih baik daripada tergesa-gesa tetapi
gagal, dan apalagi berselisih dengan kakaknya.
Karena itulah, maka di dalam pembicaraan berikutnya, Empu
Baladatu lebih banyak mengiakan kata-kata kakaknya daripada
menyatakan sikapnya. Meskipun hatinya kadang-kadang bergejolak
mendengar pujian kakaknya atas orang-orang Singasari, namun ia
sama sekali tidak membantah.
Bahkan kadang-kadang timbul niatnya untuk mengetahui
kemampuan kakaknya yang sebenarnya setelah bertahun-tahun
mereka berpisah. "Tetapi aku tidak mempunyai cara yang paling baik untuk
melakukannya" berkata Empu Baladatu, "namun aku merasa perlu
untuk mengetahui. Jika ternyata kakang Empu Sanggadaru tidak
memiliki kelebihan apapun, apa gunanya aku datang bersimpuh di
bawah kakinya" Buat apa aku merendahkan diri dan menangis
minta belas kasihan, jika ia tidak lebih dari muridku yang paling
dungu?". Namun demikian Empu Baladatu masih memerlukan waktu dan
cara yang sebaik-baiknya untuk mengetahui kemampuan kakaknya.
Meskipun binatang-binatang buruan yang banyak sekali terdapat di
padepokan itu pun merupakan salah satu alat pengenal yang baik.
"Menilik hasil buruannya, ia adalah orang yang memiliki
kelebihan. Tetapi yang dihadapinya adalah binatang-binatang yang
bodoh dan tidak mampu berpikir. Agaknya berbeda jika yang
dihadapi adalah seorang manusia yang apalagi berilmu." Berkata
Empu Baladatu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka setelah pembicaraan mereka bergeser kian
kemari, maka Empu Sanggadaru bertanya, "Baladatu, bukankah kau
akan bermalam di padepokan ini untuk beberapa hari?"
"Tentu kakang. Aku datang dari daerah yang jauh. Aku sangat
rindu kepada kakang Empu Sanggadaru. Karena itu, jika kakang
1580 tidak berkeberatan, aku akan tinggal disini untuk beberapa hari
lamanya. Mungkin aku perlu melihat-lihat suasana Kota Raja?"
"Perjalanmu sebenarnya tidak terlalu jauh."
"Aku bermalam beberapa malam di perjalanan."
"He?" "O" Empu Baladatu segera memotong, "maksudku, karena aku
tidak menempuh jalan lurus kepadepokan ini. Aku menempuh jalan
yang agak melingkar, karena aku ingin melihat-lihat padukuhan dan
kota-kota kecil yang berkembang demikian pesatnya di bawah
pemerintahan Singasari yang sekarang."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian
maka mungkin sekali perjalananmu disekat oleh beberapa malam di
perjalanan. Dan bukankah yang kau lihat cukup menggembirakan
menjelang hari depan Singasari yang cerah?"
Empu Baladatu mengangguk-angguk, betapa hatinya menjadi
kusam. Bahkan di dalam hatinya itu ia berkata, "Singasari akan
segera berganti wajah. Jika kekuatanku telah pulih kembali, dan
kakang Sanggadaru bersedia membantuku, maka semuanya akan
segera berubah." Namun katanya kemudian kepada diri sendiri,
"Tetapi aku tidak boleh tergesa-gesa, Setelah aku berhasil
melenyapkan Mahisa Bungalan dan Linggadadi, maka perjuangan
yang sebenarnya barulah aku mulai."
Di padepokan itu, Empu Baladatu dan dua orang pengawalnya,
telah mendapat tempat yang khusus bagi mereka. Sebuah rumah
kecil dari antara beberapa buah rumah yang berada di seputar
lapangan kecil dibagian belakang padepokan itu. justru sebuah
rumah kecil di bagian samping padepokan, bahkan agak terpisah
dari bagian-bagian yang lain.
"Dirumah itulah aku mempersilahkan semua tamuku untuk
bermalam. Di rumah itu mereka tidak akan tergangu oleh hiruk
pikuk anak-anak yang bodoh dipadukuhan ini" berkata kakaknya
1581 ketika ia mempersilahkan adiknya ke tempat yang telah
disediakannya itu. "Terima kasih kakang. Aku dapat bertempat dimanapun juga.
Sudah menjadi kebiasaanku, tidur di sembarang tempat dan waktu.
Diperjalanan aku dapat tidur nyenyak di dahan pepohonan."
"Aku percaya" jawab kakaknya, "kau adalah petualang yang baik
sejak kanak-kanak. Dan kau memang dapat tidur dimanapun juga.
Bahkan dalam genangan air. He, bukankah di masa kanak-kanak
kau selalu saja masuk kedalam jambangan, dan kemudian dengan
pakaian basah kuyup tertidur di belakang kandang?" Keduanya
tertawa. Bahkan para pengawal Empu Baladatu pun tertawa pula.
Beberapa saat kemudian, maka seorang murid dari perguruan
Empu Sanggadaru itu pun mengantarkan Empu Baladatu ke rumah
terpisah yang telah ditunjukkan. Sebuah rumah kecil, namun
nampaknya menyenangkan sekali. Beberapa pohon bunga soka
berwarna merah yang tumbuh dekat di muka pintu membuat rumah
itu semakin segar. Di sisi sebelah kiri terdapat sebatang pohon
bunga ceplok piring yang sedang berbunga lebat sekali, sehingga
seolah-olah segerumbul pohon yang berdaun putih.
"Bukan main" desis Ki Baladatu, "padepokan ini rasa-rasa nya
sangat terawat. Namun dengan demikian aku menjadi ragu-ragu,
apakah dibalik keterangan dan keteraturan padepokan ini masih
juga tersimpan tenaga. Jika dipadepokan ini masih juga ada
beberapa orang murid dari cantrik yang paling bodoh sehingga
putut yang paling dipercaya, namun agaknya yang mereka dapatkan
di s ini tidak lebih dari pelajaran menari. Dan apakah yang akan aku
dapatkan dari serombongan penari yang betapapun juga baiknya
bagi perjuangan yang keras untuk merebut pimpinan tertinggi dari
Singasari?" Kedua pengawalnya tidak menjawab.
"Tetapi kita masih akan mencoba" berkata Empu Baladatu
kemudian. 1582 Kedua pengawalnya masih tetap berdiam diri. Rasa-rasanya
mereka pun sedang mencoba menilai, apakah yang akan mereka
dapatkan dipadepokan yang asri itu selain pohon-pohon bunga dan
beberapa pasang angsa yang putih dikolam yang bening.
"Sudahlah" berkata Empu Baladatu kemudian, "sebaiknya kita
tidak memikirkannya sekarang. Baiklah kita menikmati istirahat yang
menyenangkan disini. Selama perjalanan kita tidak sempat
berbaring dengan tenang dan makan dengan mapan. Sekarang
adalah waktunya untuk melakukannya."
Kedua pengawalnya mengangguk-angguk.
"Melihat sebuah amben bambu tutul yang dibentangi tikar
pandan yang putih, rasa-rasanya aku ingin tertidur sejenak" Berkata
Empu Baladatu. "Jika Empu akan tidur, biarlah kami berdua berjaga-jaga" Berkata
salah seorang pengawalnya.
"Kenapa harus berjaga-jaga" Tidak ada yang perlu dicemaskan di
sini. Ini adalah dipadepokan kakakku. Selebihnya, yang ada
dipadepokan ini hanyalah sekumpulan pemburu-pemburu."
Kedua pengawalnya mengerutkan keningnya,
"Tidurlah jika kalian ingin tidur. Kau tutup sajalah pintu itu dan
kau selarak dari dalam. Tetapi jika kalian ingat berjaga-jaga, biarlah
pintu itu tetap terbuka."
"Biarlah pintu itu tetap terbuka Empu" berkata salah seorang
pengawalnya. Empu Baladatu tertawa. Katanya, "Kau masih juga mengenal
unggah-ungguh. Kau masih merasa dirimu sebagai tamu di sini.
Baiklah. Biarlah pintu itu terbuka, dan kau duduk di amben di luar
pintu. Aku akan tidur di dalam bilik kecil itu."
Empu Baladatu pun kemudian masuk ke dalam sebuah bilik kecil
dengan sebuah amben kecil dari pering tutul. Diatas nya
dibentangkan sebuah tikar pandan yang putih, bergaris-garis merah.
1583 Setelah menutup pintu dan menyelarakkan dari dalam, dan
kemudian menggantungkan senjatanya, Empu Baladatu segera
berbaring. Namun ia pun tersenyum sendiri melihat selarak pintu itu. Dan
berkata kepada diri sendiri, "Apakah sebenarnya yang aku cemaskan
disini" Kakakku bersikap baik, dan agak nya di sini tidak akan ada
kekuatan yang pantas dicemaskan." Ia mengerutkan keningnya,
lalu, "Tetapi apa salahnya aku berhati-hati. Padepokan ini
nampaknya menyimpan sesuatu yang sulit dimengerti meskipun itu
hanya sekedar prasangka saja."
Tetapi ternyata bahwa Empu Baladatu tidak tertidur juga. la
hanya sekedar berbaring sambil menganyam angan-angan.
Sejenak saat itu, maka Empu Baladatu berada di padepokan
kakaknya yang kurang dikenalnya dengan baik. Ketika ia terbangun
di pagi hari menjelang matahari terbit, dan kemudian bersama
kedua pengawalnya keluar dari rumah kecil yang diperuntukkan
baginya, ia melihat empat orang berjalan dengan tenang melintasi


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

halaman depan. Namun nampaknya mereka baru saja bekerja keras
dengan mengerahkan segenap tenaga yang ada. Ternyata dari
langkah mereka yang lelah dan peluh yang bagaikan terperas dari
tubuhnya. "Apa saja yang telah mereka lakukan?" bertanya seorang
pengawalnya. Empu Baladatu menggeleng. Jawabnya, "Aku tidak tahu. Mungkin
mereka haru saja melakukan sesuatu. Atau barangkali mereka haru
saja berlatih." "Tetapi dimana saja mereka berlatih sepagi ini" Aku kira
lapangan kecil di belakang itu adalah arena berlatih yang sangat
baik." Empu Baladatu menggelengkan kepalanya."Aku tidak mengerti."
Sejenak mereka masih saja mengikuti empat orang yang
kemudian hilang dibalik dinding penyekat yang menghubungkan
1584 bagian pendapa rumah induk yang kecil itu dengan gandoknya
sebelah menyebelah. "Mereka masuk ke rumah kecil itu."
"Mungkin mereka menjumpai Empu Sanggadaru di sanggarnya."
Empu Baladatu mengangguk-angguk.
Sejenak mereka duduk di tangga pendapa kecil itu sambil
termangu-mangu Mereka mengangkat wajahnya ketika mereka
mendengar seekor kuda yang meringkik. Namun mereka tidak
melihat kuda itu. Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Terasa banyak hal
yang belum dimengertinya di padepokan itu. Namun Empu Baladatu
mencoba menganggapnya wajar, karena ia baru sebentar berada di
padepokan kakaknya. "Pada suatu saat, aku akan banyak mengetahui tentang
padepokan ini" Berkata Empu Baladatu.
Ketika matahari mulai naik di kaki langit, maka seorang pelayan
telah membawa minuman dan makanan hangat kerumah terpencil
itu. Dengan ramah mereka mempersilahkan ketiganya untuk
menikmatinya. "Selagi masih hangat" berkata pelayan itu.
"Terima kasih" jawab Empu Baladatu. Namun kemudian ia pun
bertanya, "Dimanakah kakang Empu Sanggadaru sepagi ini?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, "
Empu Sanggadaru berada di sanggarnya."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Lalu, "Apakah ia selalu
berada di sanggar?" "Ya. Hampir setiap saat. Siang dan malam. Bahkan tidur pun
sebagian besar dilakukannya di dalam sanggar."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya,
"Apakah kakang Sanggadaru sering berburu?"
1585 Orang itu mengangguk., "Ya. Sering sekali. Agaknya berburu
telah menjadi bagian dari hidup Empu Sanggadaru. Tetapi ia tidak
pernah meninggalkan padepokan ini terlalu lama."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Hutan lebat itu memang
tidak terlampau jauh dari padepokan. Apalagi menilik binatang
buruan yang dikeringkan banyak terdapat di setiap bagian dari
rumah induk di padepokan itu, maka wajarlah apa yang dikatakan
oleh pelayan itu tentang Empu Sanggadaru,
Namun tiba-tiba Empu Baladatu teringat kepada empat orang
yang lewat di halaman dengan keringat yang bagaikan diperas dari
tubuhnya, Karena itu, maka seolah-olah sambil lalu saja Empu
Baladatu bertanya, "Darimanakah keempat orang yang tadi lewat
halaman ini?" Pelayan itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia ber
tanya, "Empat orang yang manakah yang Empu maksud?"
"Yang pagi-pagi tadi lewat halaman ini dengan keringat yang
bagaikan diperas dari tubuhnya."
Pelayan itu menggeleng., "Tidak ada orang yang lewat di
halaman ini. Pagi-pagi benar aku sudah bangun dan membersihkan
halaman ini. Halaman bagian depan. Seorang kawanku
membersihkan halaman belakang dan yang lain di longkangan.
Tetapi sepengetahuanku tidak ada orang yang lewat halaman depan
ini sejak pagi sampai saat ini."
"Ah" Empu Baladatu berdesah, "empat orang yang nampaknya
baru saja bekerja keras. Mungkin berlatih, mungkin melakukan apa
saja." . Pelayan itu menggeleng. Katanya, "Aku mengenal setiap
orang dalam padepokan ini. Semua cantrik, putut dan jejanggan aku
kenal. Tetapi sejak pagi tadi tidak ada seorang pun yang lewat
halaman ini selain aku sendiri."
"Apakah tidak seorang pun diperkenankan keluar dari padepokan
ini?" "Kenapa tidak?" bertanya pelayan itu.
1586 "Tetapi kenapa tidak ada seorang pun yang lewat dihalaman ini?"
"Bukan dilarang Empu, tetapi sudah menjadi kebiasaan setiap
penghuni padepokan ini, untuk keluar masuk lewat pintu butulan di
samping. Hanya Empu Sanggadaru dan para penjaga diregol itu
sajalah yang melintasi halaman ini. Itu pun jarang sekali dilakukan."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Katanya, "Jika demikian
empat orang yang aku lihat adalah mereka yang bertugas di regol
semalam. Tetapi kenapa tubuh mereka basah oleh keringat yang
bagaikan diperas", "Apakah menjelang pergantian tugas, mereka
sempat berlatih diluar regol?"
"Tidak ada pergantian tugas dipagi ini" Biasanya pergantian
tugas itu belangsung di sore hari. Lima orang yang bertugas bukan
saja di regol itu, selama sehari semalam. Mereka mengawasi seluruh
padepokan, dari regol depan sampat kebagian yang paling belakang
dan pintu-pintu butulan pada dinding padepokan."
"Tugas yang berat."
Pelayan itu menggeleng, katanya, "Tidak begitu berat.
Padepokan ini adalah padepokan yang aman. Tidak ada orang lain
yang menaruh perhatian, apalagi mengganggu. Lima orang yang
bertugas itu masih sempat membagi waktunya. Setiap kali dua
orang sempat tidur, sedangkan yang dua lagi berjaga-jaga dan
sekali-kali mengelilingi padepokan ini. Sementara yang seorang
adalah pimpinan kelompok itu.".
Empu Baladatu menjadi ragu-ragu atas keterangan itu. Ia merasa
melihat dengan pasti, empat orang yang lewat dihalaman itu.
Namun Empu Baladatu tidak mau bertanya lebih banyak lagi.
Adalah mungkin sekali pelayan itu kebetulan tidak ada dihalaman
ketika empat orang itu sedang lewat, sehingga ia tidak dapat
melihatnya. "Terima kasih" Berkata Empu Baladatu kemudian, "Kami akan
minum dan makan hidangan yang kau bawa."
"Silahkan Empu."
1587 Empu Baladatu kemudian menghadapi hidangan itu dengan
pertanyaan yang membelit hatinya. Dengan kedua pengawalnya ia
memperbincangkan hal-hal yang sulit dimengertinya di padepokan
itu. "Kau dengar ringkik kuda itu?" Bertanya Empu Baladatu.
"Ya. Mungkin kuda-kuda kita yang berada di kandang dan
dibawah perawatan para pekatik di s ini."
"Aku jadi ragu-ragu. Apakah mereka benar-benar dapat merawat
Kuda kita dengan baik?" desis Empu Baladatu.
Kedua pengawalnya saling berpandangan. Lalu, salah seorang
dari mereka berkata, "Aku akan menengoknya nanti. Apakah itu
tidak diperbolehkan?"
"Kita tidak usah bertanya dan mempersoalkan boleh atau tidak
boleh. Kita tidak mengetahui peraturan yang berlaku di sini. Karena
itu kita dapat berbuat apa saja tanpa ragu-ragu."
Kedua pengawalnya mengangguk-angguk.
Demikianlah mereka menikmati makan pagi yang hangat, yang
dihidangkan oleh pelayan itu, meskipun mereka tetap dicengkam
oleh kebimbangan dan keragu-raguan.
Untuk beberapa saat lamanya, ketiga orang itu duduk termangumangu
di tempatnya. Agaknya mereka masih tetap diselubungi oleh
keragu-raguan, apakah yang sebaiknya mereka lakukan di tempat
yang nampaknya diselubungi oleh teka-teki itu.
"Aku akan mendapatkan kakang Empu" Berkata Empu Baladatu,
"Aku akan mengajaknya berburu dan dengan demikian aku ingin
mengetahui serba sedikit, apakah kakang Sanggadaru benar-benar
memiliki kemampuan untuk membantu aku mencari cita-cita yang
selama ini sudah mulai aku rintis, meskipun baru dalam tingkat
persiapan." "Menyenangkan sekali" Sahut seorang pengawalnya, "Aku juga
seorang pemburu di masa kanak-kanakku, meskipun hanya sekedar
1588 berburu kancil di hutan yang rindang. Tetapi berburu adalah
selingan yang menyenangkan."
Demikianlah, ketika seorang pelayan datang lagi untuk
mengambil s isa makanan di rumah kecil itu, Empu Baladatu berkata
kepadanya, "Aku akan bertemu dengan kakang Empu Sanggadaru.
Apakah aku harus pergi ke sanggar itu?"
"O" Pelayan itu menjawab, "Aku akan menyampaikannya.
Mungkin Empu akan diterima di sanggar, tetapi mungkin di tempat
lain." "Baiklah. Katakanlah."
Pelayan itu pun kemudian pergi sambil membawa sisa makanan
sementara Empu Baladatu menunggu kesempatan untuk bertemu
dengan kakaknya. Sepeninggal pelayan itu, maka salah seorang pengawalnya
terkata, "Apakah aku harus pergi kekandang kuda itu?"
"Ya. Pergilah" Jawab Empu Baladatu, "Sudah aku katakan. Kita
tidak tahu apa-apa tentang padepokan ini. Karena itu kita tidak usah
ragu-ragu." Pengawalnya termangu-mangu. Meskipun Empu Baladatu
mengatakan agar mereka tidak ragu-ragu, tetapi kata-kata itu
diucapkannya dengan keragu-raguan.
Meskipun demikian kedua pengawalnya itu pun menganggukangguk
sambil berpandangan. Salah seorang dari keduanya berkata,
"Marilah. Sementara Empu menunggu keterangan dari Empu
Sanggadaru." Keduanya pun kemudian melangkah turun ke halaman. Sejenak
mereka termangu-mangu. Namun keduanya pun kemudian
melangkah ke belakang gandok rumah induk yang tidak begitu
besar, menuju ke halaman belakang. Dari sanalah mereka
mendengar suara kuda meringkik.
1589 Ketika mereka sampai di belakang rumah induk itu, mereka
bertemu dengan seorang cantrik yang sedang menyiangi pohon
bunga pacar banyu yang bergerumbul.
Dengan ragu-ragu salah seorang dari pengawal Empu Baladatu
itu mendekatinya sambil bertanya, "Ki Sanak, dimanakah letaknya
kandang kuda" Aku seolah-olah mendengar ringkik kuda itu dari
tempat ini. Tetapi agaknya di sini sama sekali tidak terdapat
kandang kuda." Cantrik itu termangu-mangu sejenak, namun kemudian ia
bertanya, "Apakah Ki Sanak akan mempergunakan kuda-kuda Ki
Sanak sekarang?" "Tidak. Tetapi aku hanya ingin melihat."
"Marilah. Ikutlah dengan aku."
Kedua pengawal Empu Baladatu itu pun segera mengikuti cantrik
yang dengan tergesa-gesa menuju ke bagian belakang dan
padepokan itu. Sambil melangkah di belakang cantrik itu, kedua pengawal, "itu
pun menjadi heran. Kandang kuda itu ternyata terletak di tempat
yang agak jauh, di belakang salah sebuah rumah yang berada di
sekeliling lapangan kecil itu.
"Seorang pekatik telah memelihara ketiga ekor kuda itu dengan
baik" Berkata cantrik itu.
Ternyata yang dikatakan oleh cantrik itu memang benar Seorang
pekatik telah memelihara tiga ekor kuda itu sebaik-baiknya. Pagi itu,
ketiga ekor kuda itu sudah dimandikannya dan disediakan rumput
yang hijau segar. "O, silahkanlah Ki Sanak" Berkata pekatik yang memelihara kuda
itu ketika ia melihat kedua pengawal Empu Baladatu itu
mendekatinya. 1590 Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari
mereka berkata, "Terima kasih. Ki Sanak sudah memelihara kuda
kami sebaik-baiknya."
"Itu adalah pekerjaanku. Disini aku memelihara beberapa ekor
kuda pula." "Seorang diri?" Bertanya salah seorang pengawal itu
"Tidak. Disini ada tiga orang pekatik. Sedang beberapa orang
cantrik dapat membantu kami. Tetapi kuda di padepokan ini
memang tidak terlalu banyak."
Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Yang tampak di
kandang itu kecuali tiga ekor kuda mereka hanyalah dua ekor kuda
yang lain. Agaknya pekatik itu mengerti bahwa kedua orang itu ingin
bertanya kepada mereka, apakah dipadepokan itu hanya ada dua
ekor kuda, maka pekatik itu berkata, "Di sini ada lima ekor kuda
yang khusus disediakan bagi Empu Sanggadaru, ia adalah seorang
penggemar kuda yang mengerti benar akan katuranggan kuda. Lima
ekor kuda itu adalah kuda pilihan, tiga ekor diantaranya sekarang
sedang dilepas di lapangan rumput sambil melemaskan kakinya
karena sudah beberapa hari tidak digembalakan, dan tidak
dipergunakan oleh Empu Sanggadaru."
Kedua pengawal itu mengangguk-angguk. Namun masih ada
pertanyaan yang terselip di sorot matanya, apakah kecuali lima ekor
kuda itu masih ada kuda yang lain.
Ternyata pekatik itu berceritera tanpa ditanya, "Selain lima ekor
kuda itu, masih ada beberapa ekor kuda yang lain, tetapi kuda-kuda
itu tidak sebaik kelima ekor itu."
"Ada berapa ekor lagi?" Salah seorang pengawal itu tidak dapat
menahan pertanyaannya lagi.
"Sebelas ekor kuda. Semuanya ada di belakang rumah sebelah
pohon kemuning itu. Disana ada sebuah kandang yang agak
panjang." 1591 "Siapa sajakah yang sering mempergunakan ke sebelas ekor
kuda itu?" "Siapa saja penghuni padepokan ini. Kuda-kuda itu memang
disediakan bagi siapa saja "
Kedua pengawal itu termangu-mangu. Tanpa disengaja mereka
memandang ke belakang rumah induk yang tidak begitu besar.
Agaknya ringkik kuda itu adalah salah seekor dari tiga ekor kuda
yang sedang dilepas di lapangan rumput ketika kuda itu dituntun
melewati tempat itu.Kedua orang pengawal Empu Baladatu itu pun
terkejut ketikaa pekatik itu bertanya, "Apakah Ki Sanak akan
membawa kuda-kuda ini ke lapangan rumput untuk dilepas


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebentar?" Kedua pengawal itu menggeleng. Salah seorang dari mereka
menjawab, "Tidak. Mungkin Empu Baladatu mempunyai rencana
tersendiri, " Pekatik itu mengangguk-angguk.
"Sudahlah Ki Sanak" Berkata salah seorang dari kedua pengawal
itu, "aku akan kembali kepada Empu Baladatu yang mungkin sudah
siap untuk melakukan sesuatu. Aku titipkan kuda-kuda itu
kepadamu." Pekatik itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia
bertanya, "Apakah ada sesuatu yang akan dilakukan oleh Empu
Baladatu?" "Maksudku, mungkin Empu ingin melihat-lihat daerah ini atau
rencana-rencana lain bersama Empu Sanggadaru."
Pekatik itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah. Aku
akan menjaga kudamu baik-baik."
Kedua pengawal itu pun kemudian kembali ke tempat yang
disediakan bagi mereka. Namun dengan demikian mereka tidak juga
dapat menghapus teka-teki yang masih saja terasa di sekitar
padepokan yang asri itu. 1592 Ketika mereka memasuki ruang dalam, mereka melihat seorang
cantrik sedang bercakap-cakap dengan Empu Baladatu. Namun
agaknya mereka dapat ikut berbicara pula, karena ternyata Empu
Baladatu memanggilnya. "Kemarilah" Desisnya., "Kakang Empu Sanggadaru dapat
menerima aku pagi ini. Tetapi agaknya badannya agak kurang enak
sehingga aku dipanggilnya ke sanggar."
"Apakah kami harus ikut?" Bertanya salah seorang
pepengawalnya. Empu Baladatu memandang cantrik itu seolah-olah bertanya
apakah pengawalnya diperkenankan ikut.
Cantrik itu seolah-olah mengerti apa yang tersirat pada sorot
mata Empu Baladatu, sehingga ia pun segera menjawab, "Tentu
saja Ki Sanak. Tidak ada keberatan apapun jika Ki Sanak berdua
akan menghadap bersama Empu Baladatu."
Tetapi Empu Baladatu lah yang kemudian berkata, "Biarlah aku
sendiri menghadap kakang Sanggadaru. Kalian dapat menunggu
aku disini." "Kedua pengawal itu bertanya lagi. Namun nampaknya mereka
memang lebih senang menunggu daripada ikut berada di dalam
sanggar tanpa berbuat apa-apa, karena mereka berdua tentu hanya
harus mendengarkan saja pembicaraan kedua kakak beradik itu.
Dengan demikian, maka kedua orang itu pun sempat beristirahat
sepuas-puas nya. Mereka dapat berbaring, duduk sambil
mengangkat kakinya atau berjalan-jalan di halaman, karena mereka
tentu tidak akan dapat berbuat demikian jika mereka berada
bersama Empu Baladatu, Dalam pada itu, Empu Baladatu pun segera mengikuti cantrik
yang datang menjemputnya, menghadap kakaknya. Empu
Sanggadaru. 1593 Dengan ragu-ragu Empu Baladatu memasuki sanggar yang
memang nampaknya terlampau sempit untuk melakukan sesuatu,
dengan pintu yang rendah dan sempit.
"Marilah" terdengar suara Empu Sanggadaru ketika ia melihat
adiknya dimuka pintu. Empu Baladatu pun segera membungkukkan badannya dan
menyusup masuk kedalam sanggar, langsung naik keatas sebuah
amben yang seolah-olah memenuhi ruang sanggar itu.
Ketika Empu Baladatu telah duduk, dan sekali ia berpaling ia
sudah tidak melihat lagi bayangan cantrik yang membawanya ke
sanggar itu. "Aku lebih senang menemuimu di sini meskipun barangkali agak
pengab dan panas" Berkata Empu Sanggadaru.
"Menyenangkan" Jawab Empu Baladatu, "Meskipun ruang ini
sempit, tetapi udaranya terasa sejuk. Sama sekali tidak panas
seperti yang kau katakan"
Empu Sanggadaru tertawa. Katanya, "Dibawah sanggar ini
terdapat sebuah parit yang mengalirkan air yang jernih. He, apakah
kau tidak mendengar gemericiknya?"
Empu Baladatu mengerutkan keningnya. Baru kemudian ia
tersenyum, "Tentu saja aku mendengar arus air yang mengalir.
Bukan hanya gemericik, tetapi tentu sebuah aliran air yang cukup
deras. Tetapi aku tidak mengira bahwa arus air itu lewat di bawah
sanggarmu ini kakang. "O, telingamu memang tajam sekali. Aku sudah memerintahkan
membuat plempem tanah liat yang rapat agar suara air itu tidak
terdengar. Tetapi sudah barang tentu, tidak akan dapat dilakukan
dengan sempurna, sehingga suaranya masih juga dapat kau dengar,
bahkan dengan tepat kau menebak, bahwa arus air di bawah
sanggar ini cukup besar."
Empu Baladatu mengangguk-angguk.
1594 "Arus air ini sama sekali tidak muncul dipermukaan tanah di
dalam padepokan ini, tetapi langsung masuk kedalam sungai di
sebelah." Berkata Empu Sanggadaru kemudian,
"Dan kakang membuat plempem tanah liat sepanjang itu?"
Empu Sanggadaru tidak segera menjawab. Namun kemudian ia
mengangguk. Katanya, "Plempem itu memang aku buat untuk
kepentingan arus air di bawah tanah ini. Mula-mula di padepokan ini
terdapat sebuah parit yang deras dan dalam-dalam. Agar
padepokan ini tidak terbelah, maka aku membuat plernpem itu, dan
kemudian menimbun parit yang dalam itu, sehingga parit itu pun
kemudian terdapat di bawah tanah, tepat di bawah sanggar Ini.
Tidak banyak orang yang dapat mendengar aliran arusnya yang
memang agak deras, selain orang-orang yang memiliki pendengaran
yang sangat tajam." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia memang mendengar
arus air yang deras. Tetapi semula ia tidak tahu, bahwa yang
didengarnya lamat-lamat itu adalah arus air. Semula ia menyangka
bahwa di dekat rumah itu terdapat arus yang kuat, yang mengalir
dalam parit yang dalam. Namun ternyata bahwa arus air itu justru
berada di bawah kakinya, "Tetapi dengan demikian" Berkata Empu Baladatu, "Arus air itu
sama sekali tidak dapat dipergunakan dipadepokan Ini."
Empu Sanggadaru menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
"Memang tidak ada manfaat langsung dari air yang kuat itu. Tetapi
di beberapa tempat terdapat lubang-lubang semacam sumur yang
tembus ke dalam arus air itu."
"Apakah lubang-lubang semacam itu berguna?" Bertanya Empu
Baladatu. Kakaknya tersenyum. Jawabnya, "Memang tidak ada gunanya.
Tetapi kadang-kadang kami melemparkan sampah kedalam lubanglubang
semacam itu." "Sampah?" Empu Baladatu mengerutkan keningnya.
1595 "Ya, Sampah yang sudah tidak dapat dipergunakan lagi bagi
padukuhan ini." Wajah Empu Baladatu menjadi tegang. Ia mulai membayangkan
lubang-lubang yang tidak begitu dalam, namun rasa-rasanya
lubang-lubang semacam itu nampaknya mengerikan sekali. Bukan
saja sampah yang dimasukkan ke dalamnya akan langsung hanyut
dalam arus yang kuat, tetapi jika seseorang terperosok masuk ke
dalamnya, betapapun juga tinggi ilmunya, maka ia akan hanyut pula
tanpa dapat berbuat apa pun juga dengan ilmunya itu.
Terasa bulu-bulu Empu Baladatu meremang. Tetapi sejak ia
berada dipadepokan itu, ia belum pernah melihat lubang serupa itu,
meskipun ia tahu, bahwa letak lubang semacam itu tentu di
sepanjang jalur parit di bawah tanah yang berarus kuat itu.
"Apakah kakang pernah mempergunakan lubang-lubang
semacam itu untuk kepentingan-kepentingan khusus" pertanyaan
itu pun telah terloncat dari mulut Empu Baladatu diluat sadarnya.
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun menggelengkan kepalanya, "Sampai saat ini aku tidak pernah
mempergunakan untuk keperluan yang khusus selain untuk
membuang sampah." Ia berhenti sejenak, lalu, "Termasuk sampah
yang bukan saja berasal dari tumbuh-tumbuhan."
Empu Biladatu termangu-mangu sejenak, dan Empu Sanggadaru
melanjutkannya, "Para cantrik pernah memasukkan seekor kuda
yang mati kedalam lubang itu. Ternyata bahwa kuda itu pun dapat
hanyut tanpa menyumbat lubang parit itu."
Dada Empu Baladatu berdesir. Bahkan seekor kuda pun dapat
hanyut. Empu Baladatu terkejut ketika tiba-tiba saja Empu Sanggadaru
bertanya, "Apakah kau pernah melihat lubang-lubang itu seurut arus
air dibawah tanah itu?"
Empu Baladatu menggeleng. Jawabnya, "Belum kakang."
1596 "O" Empu Sanggadaru mengangguk-angguk, "Lubang-lubang itu
telah dibuat seperti sebuah sumur yang aman. Plempem tanah itu
mencuat hampir sedada, sehingga tidak mungkin seseorang
terperosok kedalamnya tanpa disengajanya."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia pun
bertanya, "Jadi plempem tanah liat yang kan tanam di sepanjang
halaman ini merupakan plempem-plempem yang besar sebesar
lubang sumur dihalaman padepokanmu ini?"
"Ya. Aku telah membuat plempem-plempem tanah liat sebesar
itu. Karena arus yang kuat, maka plempem yang lebih kecil tentu
akan menghambat aliran airnya, dan akan menahan arus itu,
sehingga dapat menimbulkan genangan, bahkan rawa kecil di luar
padepokan ini. Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia mencoba mengusir
prasangka buruk yang tumbuh dikepalanya karena sumur-sumur itu,
meskipun kakaknya sudah mengatakan, bahwa sumur-sumur itu
cukup diberi pengaman sehingga tidak mungkin seseorang
terperosok kedalamnya tanpa disengaja.
"Mungkin aku adalah orang yang berpikiran paling busuk di muka
bumi ini" Berkata Empu Baladatu didalam hatinya, "Sehingga aku
langsung berprasangka bahwa lubang-lubang semacam itu akan
dapat disalah gunakan oleh kakang Empu Sanggadaru."
Namun ketika terpandang olehnya wajah kakaknya yang cerah,
maka ia pun bergumam, "Tentu kakang Sanggadaru tidak akan
berbuat serupa itu."
Empu Baladatu terkejut ketika tiba-tiba saja kakaknya bertanya,
"Agaknya kau menaruh perhatian terhadap parit di bawah
Sanggarku ini. Baiklah, jika kau sempat, pada Suatu saat kita akan
melihat. Diluar padepokan ini, kau akan dapat melihat parit itu
sebelum aku jinakkan dengan plempem tanah liat. Kemudian kau
dapat melihat lubang plempem yang sebagian tidak tertimbun,
sehingga kau dapat membayangkan, betapa kerja berat pernah
kami lakukan untuk menimbuni lereng yang dalam yang membelah
1597 padepokan ini meskipun tidak begitu lebar. Kemudian kau pun dapat
melihat, kemana air ini tertumpah dibagian bawah, juga diluar
padepokan ini." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak langsung
menjawabnya. Bahkan ia pun kemudian berkata, "Tetapi kakang,
yang lebih menarik lagi bagiku adalah medan perburuanmu yang
menghasilkan binatang-binatang yang kau keringkan di padepokan
ini." "O" Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
memang sudah menduga. Kau tentu tertarik pada hutan belukar itu.
Baiklah. Aku akan mempersiapkan perburuan yang paling besar
yang pernah aku lakukan. Besok kita akan pergi berburu bersama
beberapa orang muridku. Kau tentu akan senang sekali."
Empu Baladatu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang
mengharap bahwa kakaknya tidak akan berkeberatan membawanya
berburu. Dengan demikian maka ia pun akan dapat melibat, betapa
tangkasnya kakaknya mengejar binatang- buruan dan melontarkan
senjata untuk membunuhnya.
"Setidak-tidaknya aku akan dapat mengetahui kecepatan gerak
yang dimilikinya" berkata Empu Baladatu didalam hatinya.
"Tetapi kakang" berkata Empu Baladatu kemudian, "Aku
mendengar dari seorang cantrik bahwa kakang agak tidak enak
badan bari ini." Empu Sanggadaru tersenyum, jawabnya, "Ya. Sedikit. Tetapi itu
tidak akan mengganggu. Dalam daerah perburuan aku selalu
merasa sehat." "Baiklah kakang. Tetapi apakah kedua pengawalku itu
diperkenankan ikut pula?"
"Apa salahnya. Biarlah mereka ikut berburu bersama kami besok.
Mereka pun tentu akan senang melihat binatang buruan yang
berkeliaran di hutan. Dari jenis binatang yang paling ganas, sampai
binatang yang paling lemah, tetapi betapa lincahnya. Jenis kijang
1598 adalah binatang yang seakan-akan ditakdirkan untuk menjadi
binatang buruan semata-mata. Baik oleh binatang-binatang buas,
maupun oleh manusia. Tetapi kijang pun mempunyai kelebihan.
Kecepatannya bergerak memang sangat mengagumkan."
"Menyenangkan sekali kakang." Desis Empu Baladatu, "Tetapi
aku sama sekali tidak mempunyai perlengkapan berburu, karena
sejak dari padepokan, aku tidak mengira bahwa kita akan berburu di
hutan yang lebat." "Aku mempunyai beberapa busur dan kelengkapannya. Aku juga
mempunyai bandil dan tombak pendek. Kalian dapat memilih
senjata manakah yang paling lepat untuk berburu bagi kalian."
"Kami belum berpengalaman. Kakang akan dapat memberikan
petunjuk." Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
"Baiklah. Aku akan memilih senjata untuk kalian." Ia berhenti
sejenak, lalu, "Berbenahlah. Besok kita akan berangkat pagi-pagi
benar. Tetapi kita akan mulai berburu di siang hari, disaat binatang
mulai haus dan turun mencari air "
"Kijang?" Bertanya Empu Baladatu.
"Ya. Jika kita ingin mendapatkan binatang buas, maka kita akan
menunggu mereka keluar mencari mangsa di malam hari. Tetapi
sekali-kali kita dapat menjumpainya pula di siang hari,"
Empu Baladatu mengangguk-angguk .
"Jika orang-orang kita cukup banyak, maka kita akan dapat
memencar mereka untuk mengejutkan binatang-binatang yang
sedang bersembunyi. Disaat binatang itu berlari-larian, maka
pengejaran pun akan segera mulai."
"Menyenangkan sekali" desis Empu Baladatu. Lalu, "Baiklah
kakang. Aku akan memberitahukan kepada kedua pengawalku
bahwa mereka besok diperkenankan untuk ikut berburu. Mereka
tentu senang sekali. Bahkan salah seorang dari mereka
1599 mengatakan, bahwa dimasa kecil ia mendapat kesempatan untuk
berburu pula meskipun hanya berburu burung."


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Empu Sanggadaru tertawa. Jawabnya, "Berburu burung
memerlukan ketangkasan tersendiri. Tetapi baiklah. Kita besok akan
pergi bersama-sama. Aku akan memberitahukan beberapa orang
cantrik yang akan aku bawa serta."
Empu Baladatu pun kemudian minta diri. Namun ia tertegun
ketika kakaknya bertanya, "Jadi apakah sebenarnya keperluanmu
hari ini" Bukankah kau berpesan kepada seorang pelayan untuk
menjumpaiku?" "O, tidak. Tidak ada keperluan khusus" Jawab Empu Baladatu,
"Namun sebenarnyalah aku ingin bertanya, apakah aku juga dapat
mencari binatang seperti yang kau keringkan di padukuhan ini."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Jawabnya, "Tentu
dapat. Dan adalah kebetulan, aku sudah lama tidak berburu."
Tiba-tiba saja teringat oleh Empu Baladatu seekor ular yang
besar yang membelit pengeret di bagian belakang rumah ini. Tentu
bukan pekerjaan yang mudah untuk menangkap ular sebesar itu.
Karena itu, tiba-tiba saja ia bertanya, "Apakah kakang sendiri
yang menangkap ular sebesar yang berada di serambi belakang
itu?" Empu Sanggadaru mengangguk. Jawabnya, "Ya Aku sendirilah
yang menangkapnya, "
"Mengagumkan sekali."
"Kenapa?" "Aku tidak dapat membayangkan, bagaimana kakang dapat
menangkapnya." Empu Sanggadaru tertawa. Kalanya, "Mudah seakli. Aku
menemukan ular itu sedang tertidur nyenyak. Ekornya tergantung
pada sebatang dahan yang sangat besar, sedang kepalanya
1600 menjulur kebawah dan terletak di atas segunduk tanah di bawah
pohon raksasa itu. "Kakang langsung membunuhnya "
"Tentu sulit untuk membunuhnya meskipun ular itu tidur. Jika
gagal, maka ia akan bangun dan sekali patuk, aku akan masuk ke
dalam mulutnya." "jadi?" "Aku mencari akar jenu sebanyak-banyaknya. Kemudian setelah
akar itu aku remuk dan aku benam di dalam air, maka dengan hatihati
aku memasukkan kepala ular itu kedalam belanga yang besar
berisi air jenu." Ia berhenti sejenak, lalu, "Akibat nya sudah aku
bayangkan. Dalam keadaan mabuk ular itu mengamuk sejadijadinya
setelah ia terbangun. Dihempas-hempaskannya tubuhnya
pada batang-batang raksasa disekitarnya."
Empu Baladatu mengernyitkan keningnya. Nampaknya ceritera
kakaknya itu, seperti ceritera bagi anak-anak yang mulai berbaring
dipembaringan. Terapi Empu Sanggadaru agaknya dapat meraba perasaan
adiknya. Maka katanya, "Memang sulit dibayangkan."
"Ya" Jawab Empu Baladatu, "Memang agak sulit membayangkan.
Aku mengerti, bahwa ular yang tertidur, amat sulit untuk bangun.
Jika tidak ada sesuatu yang mengejutkannya, ular dapat tidur
sampai berhari-hari. Tetapi aku tidak tahu, apakah ular yang sedang
tidur membiarkan kepalanya yang terletak di tanah itu diangkat dan
dimasukkan ke dalam belanga yang besar sekali."
Empu Sanggadaru tertawa. Katanya" Tentu saja ular itu tidak
akan segera terbangun. Jangankan diangkat kepalanya, bahkan
diinjak-injak pun ular itu tidak akan segera terbangun."
Empu Baladatu memandang wajah kakaknya dengan sorot mata
yang aneh. Apalagi ketika Empu Sanggadaru kemudian tertawa
berkepanjangan. 1601 "Baladatu" Katanya, "Aku akan menunjukkan kepadamu, betapa
ular yang tertidur nyenyak tidak mudah terbangun. Tetapi jarang
sekali kita menjumpai kemungkinan itu. Seratus kali aku berburu,
baru pertama kali itulah aku menjumpai ular sebesar itu tertidur
nyenyak." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi masih ada keraguraguan
di dalam hatinya. Meskipun demikian ia sama sekali tidak
bertanya lagi. Bahkan kemudian ia pun minta diri kepada kakaknya,
untuk kembali ke tempat yang disediakan baginya.
"Baiklah. Berbenahlah. Besuk kita akan berburu Aku mempunyai
cukup senjata untuk kalian bertiga."
"Terima kasih kakang. Kami akan senang sekali mendapat
kesempatan itu." Seperti yang direncanakan, maka di pagi hari berikutnya, Empu
Baladatu dan kedua pengawalnya telah bersiap didini harti.
Menjelang matahari terbit, seorang cantrik telah memanggil mereka
ke sanggar. "Empu Sanggadaru telah menunggu di sanggar" Berkata cantrik
itu. "Kami akan segera menghadap" Jawab Empu Baladatu.
Sepeninggal cantrik itu, Empu Baladatu berkata kepada ke dua
pengawalnya, "Bersiaplah. Meskipun kakang Sanggadaru
menyediakan senjata berburu, tetapi jangan kau lepaskan
senjatamu sendiri." Kedua pengawalnya mengangguk. Salah seorang dari mereka
bertanya -" Apakah kita pantas mencurigai Empu Sanggadaru?"
"Kita harus selalu berhati-hati" Jawab Empu Baladatu. Kedua
pengawalnya saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak
bertanya apapun lagi. 1602 Sejenak kemudian, maka mereka bertiga telah menghadap Empu
Sanggadaru di sanggarnya. Dan ternyata bahwa Empu Sanggadaru
pun telah siap pula dengan kelengkapan berburunya.
Empu Baladatu yang melihat kakaknya dalam kelengkapan
berburu tersenyum sambil berkata, "Kakang pantas sekait
mengenakan pakaian itu."
Empu Sanggadaru tersenyum.
"Pakaian kulit harimau, busur menyilang punggung, endong anak
panah di lambung, membuat kakang Empu Sanggadaru benar-benar
seorang pemburu yang mengagumkan." Desis Empu Baladatu.
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Jawabnya, Empu Baladatu
mengangguk-angguk. Jawabnya, "Kakang benar, (didalam teks
aslinya tampaknya ada kalimat yang tidak nyambung) ji pakaian dan
kelengkapanku. Tetapi seorang pemburu tidak ditentukan oleh
pakaian dan kelengkapannya. Pemburu yang baik diungkapkan
didalam tingkah laku dan ketangkasannya di medan perburuan."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Jawabnya, "Kakang benar.
Tetapi pakaian kakang telah menggambarkan, bahwa kakang benarbenar
seorang pemburu yang mengadakan kelengkapan khusus
disaat-saat ia berburu. Berhasil atau tidak berhasil, tetapi ia sudah
menempatkan dirinya."
"Ya" Sahut Empu Sanggadaru masih sambil tertawa"
Marilah kita bersiap. Kudamu dan kedua kawanmu itu sudah
disiapkan pula. Kita akan pergi berenam. Kau bertiga dan aku juga
bertiga." "O" nampak kerut merut di kening Empu Baladatu. Tetapi ia
berusaha untuk melenyapkan semua kesan dari wajahnya. Bahkan
ia tersenyum sambil berkata, "Apakah kita hanya berenam" , Jika
kita mempunyai banyak kawan, mereka akan dapat mengejutkan
binatang-binatang yang sedang tidur atau bersembunyi di
gerumbul-gerumbul." 1603 "Itu tidak perlu. Memang kadang-kadang keluarga istana pergi
bersama hamba-hambanya untuk nggrapyak binatang buruan.
Tetapi bagiku sama sekali tidak menarik. Tidak ada perjuangan yang
dapat memberikan kepuasan."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian ia
mendapat gambaran, betapa kakaknya yang telah lebih tua dari
padanya itu masib mempunyai gairah berjuang di lapangan yang
digemari. Benar-benar sebagai kegemaran. Bukan dalam suatu
perjuangan atas sesuatu yang dicita-citakan.
"Mungkin aku dapat menyalurkan gairah perjuangannya"
"Namun kemudian. Atau bahkan sebaliknya. Aku akan di gilas
oleh gairah yang menyala di hatinya itu."
Demikianlah maka sejenak kemudian, mereka berenam telah
bersiap untuk berangkat ke hutan yang tidak terlalu jauh dari
padepokan kecil itu. Di kuda masing-masing selain perlengkapan
berburu, juga tersangkut bekal di sepanjang perjalanan.
"Bekal itu cukup untuk sehari" Berkata Empu Sanggadaru, "Dihari
kedua dan berikutnya, sepanjang kita masih ingin tetap berburu
dapat dicari di hutan itu. Mungkin binatang buruan. Mungkin buahbuahan."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa cara
berburu yang dilakukan oleb Empu Sanggadaru bukanlah cara yang
lunak. Mereka harus benar-benar bekerja keras selama berada di
daerah perburuan. Setidak-tidaknya untuk mendapatkan makan
mereka selama mereka berada di medan.
Sesaat kemudian maka mereka pun telah meninggalkan regol
padepokan. Langit yang cerah dan angin pagi yang lembut terasa
betapa segarnya. Marahari yang mulai naik ketepi langit
melontarkan cahayanya yang kemerah-merahan.
"Perjalanan yang menyenangkan" Desis Empu Sanggadaru,
"Hutan itu tidak terlalu jauh. Menjelang tengah hari kita sudah akan
berada di medan. Kita dapat beristirahat sejenak di pinggir sebuah
1604 mata air. Kadang-kadang ada binatang yang haus turun untuk
minum. Adalah nasib yang buruk bagi binatang itu jika ia tidak akan
dapat meninggalkan mata air itu karena anak panah seorang
pemburu." Empu Baladatu mengangguk-angguk.
"Hutan itu adalah hutan yang jarang dijamah. Baik oleh para
pemburu maupun oleh orang-orang lain dalam kepentingan mereka
masing-masing. Tetapi justru Tuanku Ranggawuni dan Mahisa
Cempaka lah yang sering pergi berburu ke hutan yang lebat itu,
karena mereka tidak puas berburu di hutan yang sudah disediakan."
Empu Baladatu menjadi berdebar-debar. Bahkan kemudian ia
bertanya, "Bagaimana jika dimedan perburuan kita nanti bertemu
dengan rombongan mereka?"
"Mereka tidak terlalu sering berburu. Tetapi jika kita bertemu
dengan mereka, tidak ada keberatannya. Mereka adalah orang yang
baik, yang tidak merasa diri mereka memiliki kelebihan dari orang
lain, sehingga seperti yang pernah aku ceriterakan, bahwa aku
pernah mereka ajak berpacu."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun terasa ada sepercik
kekecewaan dihatinya. Agaknya Empu Sanggadaru menganggap
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka adalah dua orang yang baik,
yang justru pantas memegang kendali pemerintahan.
"Kakang Sanggadaru tidak mengetahui, bahwa aku sedang
mempersiapkan sebuah kekuatan tandingan" Berkata Empu
Baladatu di dalam hatinya "Jika murid-muridku mencapai
kesempurnaan ilmu, maka mereka akan menjadi sepasukan prajurit
yang tidak akan terbendung di medan perang. Mereka akan menjadi
Senapati yang disegani, yang bersama dengan orang-yang akan aku
himpun, maka akan tersusunlah kekuatan yang akan dapat
menandingi kekuatan Singasari sekarang, meskipun untuk jangka
waktu yang agak panjang."
Demikianlah mereka berpacu terus mendekati daerah yang
semakin rimbun oleh batang-batang perdu. Ketika mereka kemudian
1605 melintasi ujung bulak yang digarap sebagai tanah persawahan,
maka mereka pun mulai memasuki hutan ilalang dan perdu yang
semakin lama menjadi semakin tebal.
Empu Baladatu yang belum pernah memasuki hutan itu menjadi
ragu-ragu. Hutan itu benar-benar sebuah hutan yang lebat. Dan
kejauhan sudah nampak pepohonan raksasa yang dibelit oleh
batang-batang yang menjalar. Bahkan gerumbul-gerumbul berduri
di antara semak-semak belukar yang padat.
"Kita akan memasuki hutan itu" Desis Empu Baladatu.
"Ya. Ada sebuah lorong sempit yang masuk ke dalamnya. Tetapi
hanya beberapa ratus langkah. Kemudian kita harus mencari jalan di
antara pepohonan raksasa dan melangkahi batang-batang yang
rebah." "Bagaimana dengan kuda kita?"
"Kudaku sudah terbiasa aku pergunakan untuk berburu. Mungkin
kudamu belum. Tetapi kita dapat mencari jalan yang lebih baik dari
yang aku katakan, karena justru semakin dalam kita memasuki
hutan itu, rasa-rasanya justru menjadi semakin lapang. Hanya
pohon-pohon besar sajalah yang tumbuh, sementara semak-semak
menjadi semakin tipis dan berkurang. Namun bukan berarti bahwa
tidak ada semak sama sekali."
"Bagaimana jika kudaku tidak dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan di hutan itu?"
"Tentu dapat. Tidak ada kesulitan apapun juga. Hanya mungkin
kudamu tidak selincah kudaku jika kita harus mengejar binatang
buruan." Empu Baladatu mengerutkan keningnya. la tidak dapat
membayangkan, betapa dalam hutan yang lebat itu, seekor kuda
dapat berlari mengejar binatang buruan. Apalagi seekor rusa yang
mampu berlari secepat angin.
"Tetapi rusa itu pun dapat berlari-larian di tengah hutan. Bahkan
harimau dan binatang-binatang besar lainnya. Banteng, badak dan
1606 kuda-kuda liar." Empu Baladatu mencoba untuk menjawab
persoalan dihatinya, karena ia melihat binatang semacam itu yang
sudah dikeringkan di rumah kakaknya, Empu Sanggadaru.
Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Empu
Sanggadaru dan Empu Baladatu berada dipaling depan. Kemudian
seorang pengawal Empu Baladatu bersama seorang cantrik dan
demikian pula di paling belakang.
Seperti Empu Baladatu, maka kedua pengawalnya pun
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang serupa kepada para
cantrik. Dan jawaban mereka pun hampir sama pula dengan
jawaban Empu Sang gadaru.
"Kita dapat mengejar buruan kita melalui celah-celah pohon
raksasa, di antara semak-semak yang tidak selebat di luar hutan."
Berkas salah seorang cantrik kepada pengawal Empu Baladatu
"Apakah kau sudah sering pergi berburu?" bertanya pengawal
itu. "Sering sekali. Adalah kegemaran Empu Sanggadaru untuk pergi
berburu di hutan itu. Kadang-kadang tanpa direncanakan sama
sekali." Pengawal Empu Baladatu itu pun mengangguk-angguk.
Nampaknya Empu Sanggadaru memang terbiasa sekali berburu di
tengah hutan, sehingga ia mempunyai perlengkapan yang memadai
bagi kegemarannya itu. Sejenak kemudian, mereka pun telah memasuki bagian hutan
yang mulai padat. Namun mereka masih dapat menelusuri jalan
setapak yang nampaknya sering dilalui oleh manusia.
"Siapakah yang sering memasuki hutan lewat lorong kecil ini?"
bertanya Empu Baladatu.

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak ada selain para pemburu. Itu pun para pemburu yang
berani, yang tidak puas berburu di hutan-hutan kecil yang rindang."
"Apakah pemburu yang demikian cukup banyak jumlahnya?"
1607 "Tidak. Tetapi karena hutan ini adalah hutan yang menyimpan
banyak binatang buruan, maka hampir setiap pemburu yang berani,
datang berburu di hutan ini."
"Dari segala penjuru?"
"Maksudku, orang-orang yang tinggal di Kota Raja. Juga
termasuk para bangsawan. Seperti yang aku katakan, juga Tuanku
Ranggawuni dan Mahisa Cempaka. Tetapi bagi para bangsawan
yang kurang berani, agaknya lebih senang berburu di hutan yang
memang sudah disediakan di sebelah Kota Raja itu. Hutan yang
seolah-olah sudah menjadi sebuah kebun yang dihuni oleh
binatang-binatang yang jinak, meskipun jumlahnya menjadi semakin
berkurang dan hampir punah sama sekali, sehingga karena itu,
berburu di hutan itu sudah tidak menarik lagi, kecuali sebuah
tamasya dengan para puteri dan anak-anak."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia menjadi
cemas, bahwa pada suatu saat mereka akan bertemu dengan
sebuah kelompok pemburu dari istana Singasari.
Karena itu di luar sadarnya ia berkata, "Tetapi apakah selain
Maharaja dan pengiringnya, ada kelompok-kelompok lain yang
kakang kenal sering berburu di hutan itu?"
Empu Baladatu mengerutkan keningnya Lalu katanya, "Aku tidak
mengenalnya secara langsung. Tetapi aku pernah mendengar
nama-nama mereka yang memang bersangkut paut dengan istana."
"Mereka adalah pengiring-pengiring Maharaja."
"Ya " "Maksudku kelompok-kelompok yang lain."
"Jarang sekali. Dan aku kurang mengenal mereka secara
pribadi." Empu Baladatu mengangguk-angguk. Tetapi ia pun masih tetap
cemas, bahwa mereka bertemu dengan kelompok-kelompok yang,
tidak dikehendakinya. Menilik jalur jalan sempit itu, maka agaknya
1608 memang sering terjadi, sekelompok pemburu memasuki hutan yang
lebat, yang seolah-olah menyimpan binatang yang tidak ada
habisnya. Sejenak kemudian kelompok kecil itu pun telah memasuki hutan
yang lebih lebat. Gerumbul-gerumbul liar berserakan di antara
pepohonan. Seolah-olah mereka memasuki daerah yang penuh
dengan jenis kehidupan yang lain sama sekali.
Namun demikian mereka masih tetap berjalan menyusuri jalan
sempit menusuk semakin dalam. Jalan yang seolah-olah memang
sudah disediakan bagi para pemburu.
"Kita akan sampai di suatu tempat yang baik sekali untuk
beristirahat. Dari tempat itu, kita dapat melihat keadaan di sekitar
kita yang cukup lapang."
Empu Baladatu mengangguk-angguk.
"Kita dapat membuat perapian jika diperlukan. Tetapi kita harus
berhati-hati. Api yang sepercik dapat membakar seluruh hutan ini
tanpa terkendali." Empu Sanggadaru berhenti sejenak, lalu,
"Sebenarnya menurut sopan santun, kita tidak boleh menyalakan
api di sini. Tetapi biasanya kita tidak begitu menghiraukannya,
meskipun kita tahu bahayanya, "
"Asal kita berhati-hati" Sahut Empu Baladatu.
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Perlahan-lahan kuda
mereka maju terus menusuk semakin dalam di antara pepohonan
yang seolah-olah menjadi semakin rapat dan semakin besar.
Empu Baladatu tidak banyak bertanya lagi. Ia mulai
memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Sebagai seorang
petualang ia pun sering memasuki hutan-hutan lebat seperti itu.
Tetapi ia tidak pernah dengan sengaja berburu. Jika sekali-kali ia
berkelahi melawan binatang buas, biasanya justru karena binatang
itu menjelangnya. Namun dengan kemampuannya, ia selain dapat
melepaskan diri dari terkaman binatang yang paling buas sekalipun.
1609 Seekor harimau loreng yang besar, tidak akan dapat membunuhnya
meskipun ia hanya bersenjatakan sebilah pisau
Namun demikian, Empu Baladatu selalu menghindarkan diri dari
serangan gerombolan anjing-anjing liar dan apalagi serigala. Karena
betapapun tinggi ilmunya, namun serigala dalam kelompoknya
hampir lidak akan dapat dikalahkan.
Meskipun demikian, agaknya pengetahuannya tentang binatang
buruan jauh berada di bawah pengetahuan kakaknya yang memang
mempunyai kegemaran berburu. Karena itulah, maka ia tidak
banyak menentukan sikap, bahkan seolah-olah tergantung sama
sekali kepada kakaknya itu.
Sebelum tengah hari mereka telah berada di dalam hutan yang
lebat. Sinar matahari yang mulai terik, seakan-akan terhenti
didedaunan yang lebat, sehingga tanah di dalam hutan itu rasarasanya
tetap lembab. "Kita hampir sampai" Desis Empu Sanggadaru.
"Maksudmu tempat untuk beristirahat itu kakang?" Bertanya
Empu Baladatu. "Ya." Jawah Sanggadaru, "Kita akan beristirahat, makan dan
kemudian mengintai binatang buruan di mata air itu."
Sejenak mereka masih herjalan menembus hutan yang lebat itu
sepanjang jalan sempit yang panjang. Mereka menyusup di sela-sela
pohon raksasa dan gerumbul-gerumbul perdu yang memang justru
menjadi semakin jarang. "Itulah" Berkata Empu Sanggadaru kemudian ketika mereka
memasuki sebuah tempat yang seolah-olah memang sudah
disediakan bagi para pemburu untuk beristirahat.
"Apakah kau heran melihat tempat yang seolah-olah sudah
tersedia bagi perkemahan ini?" Bertanya Empu Sanggadaru.
Empu Baladatu mengangguk, jawabnya, "Ya kakang. Tetapi
agaknya seseorang telah menebang beberapa batang pobon
1610 sehingga tempat ini menjadi semacam lapangan sempit yang baik
untuk perkemahan para pemburu."
"Mungkin. Tetapi aku menemukan tempat ini sudah seperti yang
kita lihat sekarang. Namun menilik keadaan di sekelilingnya,
memang mungkin seseorang, atau sekelompok pemburu pada masa
yang lama lalu, membuat tempai ini tempat perkemahan mereka."
Empu Baladatu mengangguk-angguk.
"Disinilah kita akan berhenti dan beristirahat. Dari tempat inilah
kita akan melakukan perburuan yang keras. Kita akan masuk
semakin dalam dan memburu binatang di antara semak belukar. Di
malam hari, jika perburuan kita selesai, kita akan kembali ke tempat
ini menunggu masa berikutnya."
Empu Baladatu masih mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya
dirinya menjadi kecil di antara pepohonan yang besar di sekitarnya.
Seperti yang dikatakan oleh kakaknya, memang mungkin berburu di
atas punggung kuda didaerah yang luas itu. Namun demikian, jika
kurang dapat menguasai kudanya dan mungkin juga kuda itu sendiri
kurang terbiasa menempuh perjalanan di hutan lebat seperti itu,
maka akan dapat mengalami kesulitan.
Demikianlah maka mereka pun kemudian memasuki sebuah
lapangan kecil di tengah hutan yang luas. Dari celah-celah
pepohonan yang terpisah oleh lapangan itu, maka sorot matahari
dapat menembus dan jatuh diatas tanah yang berumput tebal.
Disana-sini terdapat beberapa rumpun semak-semak diantara
pohon-pohon yang tidak begitu tinggi.
"Setiap kali kami selalu menebang pohon-pohon kayu yang
menjadi semakin besar dilapangan sempit ini, agar tempat ini tetap
merupakan tempat berkemah yang baik bagi para pemburu."
Berkata Empu Sanggadaru. "Apakah pemburu-pemburu yang lain juga melakukan hal yang
serupa?" 1611 "Nampaknya memang demikian. Jika kami untuk waktu yang
agak lama tidak pergi berburu, kadang-kadang kami pun menjumpai
batang-batang pohon yang di tebang orang disini. Bekas-bekas
perapian dan bekas-bekas yang lain. Menurut dugaan kami, maka
pemburu-pemburu itu pun tanpa bersepakat lebih dahulu telah
melakukan kewajiban yang sama disini."
Empu Baladatu mengangguk-angguk. Namun dengan demikian.
maka ia mulai membayangkan, bahwa hutan yang luas dan lebat ini
bukannya hutan yang sepi. Justru karena beberapa orang petualang
tidak lagi puas berburu dihutan perburuan, termasuk keluarga istana
yang memiliki keberanian untuk memasuki daerah berbahaya ini,
maka hutan ini menjadi ramai. Hutan yang lebat dan berisi banyak
binatang buruan, dan terletak tidak terlalu jauh dari Kota Raja.
Sejenak kemudian maka mereka pun telah mengikat kuda
mereka di batang-batang perdu. Kemudian dengan langkah yang
lambat, Empu Sanggadaru berjalan menuju ketengah lapangan kecil
di tengah hutan itu. "Matahari ternyata telah tergelincir ke Barat. Perjalanan kami kali
ini termasuk agak lambat. Biasanya aku sampai di tempat ini
menjelang tengah hari."
"O" Empu Baladatu mengangguk, "mungkin akulah yang
memperlambat perjalanan. Tetapi dengan demikian aku dapat
melihat hutan ini lebih saksama "
"Aku mengerti. Karena itulah maka aku pun tidak berkeberatan
berjalan lebih lambat dari biasanya" Jawah Empu Sanggadaru.
Namun tiba-tiba saja Empu Sanggadaru berhenti termangumangu.
Katanya, "Perapian ini masih baru. Tentu ada orang lain
yang juga sedang berburu."
"Ya." Jawab pengawalnya, "Kuda mereka tentu di tambatkan di
sini." Empu Sanggadaru dengan tergesa-gesa mendekati cantrik yang
berdiri di bawah sebatang pohon yang meskipun tidak begitu besar,
tetapi daunnya nampak rimbun.
1612 Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Katanya kepada adiknya
"Kita mendapat kawan berburu. Agaknya lebih dari empat atau
lima ekor kuda." Ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi biasanya di saat
begini mereka masih tetap berada disini. Mereka biasanya memburu
binatang menjelang senja. Kadang-kadang di malam hari, tetapi
tanpa mempergunakan kuda mereka."
"Dimanakah kuda mereka ditinggalkan?"
"Disini. Dua atau tiga orang menungguinya. Sedang yang lain
pergi mengintai binatang buruan. Kadang-kadang kita harus
nyanggong di pepohonan. Tetapi kadang-kadang kita harus
menelusuri semak-semak"
Empu Baladatu mengangguk-angguk. la tidak pernah berburu
binatang buas. Bahkan kadang-kadang ialah yang diburu jika ia
melalui pinggiran hutan dalam petualangannya. Namun jika ia
membunuh seekor harimau, ia sama sekali tidak pernah memikirkan
untuk mendapatkan kulitnya, atau kepalanya atau bahkan
mengeringkannya seutuhnya seperti yang dilakukan oleh kakaknya.
"Mungkin pemburu-pemburu ini telah meninggalkan hutan ini"
Desis Empu Sanggadaru. "Tetapi tidak ada jejak baru yang keluar hutan hari ini" Sahut
seorang cantrik. Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. la percaya kepada
keterangan cantriknya itu, karena cantrik yang seorang itu memang
memiliki ketajaman penglihatan atas berbagai macam jejak,
termasuk jejak kuda dan jejak binatang buruan.
"Kalau begitu" Berkata Empu Sanggadaru "Di hutan ini masih ada
sekelompok pemburu."
"Ya." "Tetapi tidak ada sesuatu lagi yang tertinggal di sini kecuali
perapian yang masih baru ini."
1613 "Mungkin mereka akan berburu dan menembus hutan ini sampai
ke sisi yang lain." "Ah, itu adalah suatu perburuan yang sangat berat. Mungkin
mereka akan menempuh perjalanan berhari-hari, dan bahkan
mungkin akan terhenti sama sekali. Di tengah-tengah hutan ini,
rerungkutan tidak dapat disusupi. Jika daerah ini memungkinkan
kita berkejaran dengan binatang buruan dengan seekor kuda, maka
hal itu karena daerah ini sudah sering kali didatangi pemburu. Jika
pada suatu saat kita tidak puas lagi berburu ditempat yang menjadi
semakin lengang karena binatang buruan, yang bersembunyi
semakin ke dalam, kita pun akan menyusulnya semakin dalam pula,
dan daerah yang terbuka pun menjadi semakin luas."
"Mungkin demikian pula alasan pemburu yang sekarang tidak kita
jumpai disini. Tetapi mungkin mereka berharap untuk dapat keluar
dari hutan ini lewat sisi yang lain."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Aku tidak
peduli, siapa pun yang berburu kali ini. Tidak ada keberatannya jika
dua kelompok atau lebih berburu bersama-sama, bahkan bersama
Tuanku Ranggawuni dan Mahisa Campaka sekalipun."
Empu Baladatu tidak menyambung pembicaraan itu. Ia memang
tidak mengerti setiap kata yang diucapkan.
Bahkan mungkin timbul pula kecemasan dihatinya, bahwa yang
sedang berburu di hutan itu adalah orang-orang yang mempunyai
sangkut paut dengan golongan yang disebut orang-orang berilmu
hitam yang dipimpinnya. "Mudah-mudahan bukan Mahisa Bungalan" Desisnya, "Tetapi
seandainya Mahisa Bungalan, ia sama sekali belum mengenal aku.
Dan adalah suatu keuntungan bahwa aku akan dapat mengenalnya
lebih dekat." Sejenak kemudian, maka mereka pun telah duduk bertebaran
dilapangan kecil ditengah-tengah hutan itu, sambil menunggu saat
mereka akan mengintai binatang buruan di sebuah mata air yang
tidak jauh dari tempat itu.
1614 "Matahari sudah condong" Desis seorang cantrik, "Saat binatangbinatang
buruan mencari air sebenarnya sudah lewat. Meskipun
demikian mungkin masih ada binatang yang muncul dimata air itu
sekarang." Empu Sanggadaru mengangguk. Lalu katanya, "Sebenarnya aku
malas memburu binatang-binatang kecil itu. Tetapi barangkali perlu
juga untuk makan kita malam nanti sebelum kita berhasil
menangkap binatang-binatang buruan yang sebenarnya." Ia
berhenti sejenak lalu, "Baiklah. Marilah kita berburu kijang atau
menjangan di mata air itu. Biasanya binatang-binatang itu menjadi
haus di saat begini atau justru sudah lewat beberapa saat meskipun
barangkali masih mungkin untuk mendapatkannya."
Empu Baladatu pun mengangguk. Tetapi ia masih bertanya,
"Apakah kita akan berkuda juga?"
"Tidak. Kita akan berjalan kaki. Jarak itu tidak terlampau jauh.
Biarlah dua orang tinggal disini untuk menjaga kuda-kuda kita."
Empu Baladatu mengerutkan keningnya, lalu, "Biarlah orangorangku
tinggal disini." Empu Sanggadaru menggeleng sambil tersenyum" Bukankah


Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka ingin berburu" Biarlah seorang cantrik dan seorang
pengawalmu tinggal di sini. Di kesempatan lain, bergantian
pengawalmu dan cantrikku yang lain."
Hantu Auditorium 1 Satria Lonceng Dewa 2 Arwah Candi Miring Cewek Cetar 2
^