Sepasang Ular Naga 35
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja Bagian 35
meloncat sambil menjatuhkan dirinya kembali.
Serangan itu benar-benar datang dengan cepatnya. Lebih cepat
dari dugaan Mahisa Bungalan. Itulah sebabnya, maka ia tidak
sempat menghindarkan diri seluruhnya. Ketika ia meloncat dan
menjatuhkan diri sekali, lagi. maka terasa ujung senjata lawannya
telah menyengat pundaknya.
Mahisa Bungalan berdesis. Sambil berguling ia memperhatikan
sikap lawannya. Tetapi agaknya lawannya menyadari bahwa
senjatanya berhasil mematuk tubuh Mahisa Bungalan, sehingga
justru karena itu, maka ada kesempatan sekejap baginya selama
lawannya meyakinkan diri atas kemenangannya yang sesaat itu.
2111 Mahisa Bungalan sempat mempergunakan kesempatan itu
sebaik-baiknya. Itulah sebabnya, maka ia tidak mau terlambat.
Ketika ia melenting berdiri, maka ia justru berusaha mendekat
lawannya dan dengan dahsyatnya menebaskan senjatanya
mendatar. Linggadadi terkejut. Meskipun ia melihat darah, tetapi ternyata
luka lawannya tidak terlalu parah. Karena itulah maka ketika
serangan Mahisa Bungalan datang, Linggadadi lah yang kemudian
harus menghindar. Namun demikian ia masih sempat berteriak, "Lukamu telah
menitikkan darah. Semakin lama akan menjadi semakin banyak
sehingga akan datang saatnya kau tidak Mampu lagi untuk
melawan." Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi serangannya lah yang
kemudian datang membadai. Dengan cepat senjata menyambar
lawannya seperti kilat menyambar dilangit.
Linggadadi mengumpat. Ia mencoba untuk menghindar sambil
menyerang. Tetapi tekanan serangan Mahisa Bungalan ternyata
sangat dahsyatnya, sehingga ia justru kehilangan keseimbangan.
Linggadadi lah yang kemudian menjatuhkan dirinya karena ia
tidak mau dadanya pecah oleh senjata lawan. Dengan cepat ia
berguling. Kemudian ia mencoba menangkis serangan Mahisa
Bungalan yang datang beruntun masih dalam keadaannya, terbaring
di tanah. Ketika terjadi benturan senjata, maka terasa, bahwa kekuatan
Linggadadi yang kurang mapan itu tidak mampu menahan ayunan
senjata Mahisa Bungalan. Karena itu, maka ia masih harus bergeser
pada pungungnya, sehingga ujung senjata lawannya tidak mengenai
wajahnya. Tetapi agaknya Linggadadi cukup cekatan. Demikian ia berkisar,
maka kakinya pun segera menyilang dengan kerasnya menghantam
betis Mahisa Bungalan, sehingga Mahisa Bungalan pun terlempar
dan jatuh pula di tanah. 2112 Namun keduanya ternyata memiliki kecepatan bergerak diluar
jangkauan orang kebanyakan, karena sesaat kemudian keduanya
telah tegak berhadapan dengan senjata teracung
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan mempunyai kelebihan
waktu sekejap. Dengan serta merta iapun segera meloncat
menyerang dengan dahsyatnya. Serangannya yang mengejutkan
itu, masih dapat dielakkan oleh Linggadadi. Tetapi putaran kaki
Mahisa Bungalan benar-benar tidak diduga oleh Linggadadi. Ia
menyangka bahwa Mahisa Bungalan akan terdorong oleh
kekuatannya yang tersalur lewat serangannya itu, sehingga ia harus
berusaha mencari keseimbangan sebelum Linggadadi membalas
menyerang- Namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan telah berbuat
lain. Perhitungannya ternyata mendahului satu lapisan dari
lawannya, sehingga karena itu, maki serangannya yang berikut
benar-benar telah mengejutkan Linggadadi.
Dengan gugup Linggadadi meloncat kesamping. Ia masih
berusaha mencari jarak untuk menentukan sikap yang kemudian.
Tetapi serangan Mahisa Bungalan datang beruntun seperti
gelombang di lautan. Sejenak kemudian terdengar desah tertahan. Sebelum Mahisa
Bungalan menjadi semakin lemah karena darahnya yang mengalir
dari lukanya, maka ia telah berhasil melukai lawannya pula. Sebuah
goresan yang panjang telah menyobek kulit Linggadadi di dadanya.
Linggadadi menggeram. Tetapi ia tidak dapat melepas kenyataan
yang dialaminya. Badannya terluka. dan darahnya meleleh dari luka
itu, lebih deras dari darah yang mengalir dari luka Mahisa Bungalan
Sejenak keduanya berdiri berhadapan, seolah-olah masingmasing
ingin menilai keadaan. Masing-masing sadar, bahwa mereka
telah terluka. Karena itulah, maka mereka berdua bertekad untuk
menghentakkan semua kemampuan dan ilmunya untuk segera
mengalahkan lawannya. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat lagi dalam
pertempuran yang dahsyat. Namun ternyata bahwa luka masingTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
2113 masing mula, terasa berpengaruh. Darah yang menetes telah
menyusutkan kemampuan mereka mengerahkan tenaga cadangan.
Apalagi perasaan sakit yang menggigit kulit rasa-rasanya telah
memecahkan semua pemusatan pikiran dan nalar.
Tetapi ternyata bahwa tenaga Linggadadi lah yang lebih cepat
susut, karena lukanya yang lebih parah. rasa-rasanya tulangtulangnya
mulai dilepas dari dirinya. Tangannya semakin lama
menjadi semakin gemetar dan bahkan kemudian seolah-olah
tangannya tidak lagi mampu menggenggam senjatanya.
Mahisa Bungalan pun merasa seakan-akan tenaganya menjadi
semakin susut. Tetapi dalam kecemasannya, ia melihat lawannya
selalu meloncat surut. Bahkan kemudian terasa perlawanannya tidak
lagi menentu. "Darahnya lebih banyak mengalir" berkata Mahisa Bungalan di
dalam hatinya. Namun dalam pada itu. Linggadadi merasa bahwa kekuatannya
sudah semakin larut, membuat perhitungan terakhir. Ia telah
terlanjur berada dalam arena yang sama sekali tidak disangkanya.
Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan bertemu dengan anak
muda yang bernama Mahisa Bungalan yg mendapat gelar seperti
dirinya sendiri, pembunuh orang berilmu hitam. Dan bahkan
ternyata bahwa ia sama sekali tidak dapat mengatasi kemampuan
ilmu anak muda itu Keadaannya yang terakhir telah memaksanya untuk mengambil
suatu sikap yang menentukan. Menang atau mati.
Itulah sebabnya, maka dalam kesempatan terakhir, Linggadadi
telah menghimpun semua sisa tenaga yang ada. Ketika ia melihat
sebuah kesempatan, maka dengan serta merta. sambil berteriak
nyaring ia menyerang, dengan dahsyatnya. Senjatanya berputar
seperti baling-baling, kemudian dengan kekuatan raksasa senjata itu
telah menghantam lawannya.
Mahisa Bungalan yang sudah terluka pun terkejut melihat
serangan yang dahsyat itu. Serangan yang sama sekali tidak
2114 diduganya. Apalagi di saat terakhir nampaknya Linggadadi telah
kehilangan hampir separo dari kekuatannya.
Tetapi tiba-tiba serangan itu datang dahsyat sekali.
Itulah sebabnya, maka diluar kemampuannya, maka Mahisa
Bungalan pun harus mengambil sikap yang cepat. Ia pun dengan
serta merta menghimpun sisa tenaganya pula. Iapun
menghentakkan kemampuan yang masih ada padanya untuk
menangkis serangan yang tidak sempat dihindarinya itu.
Maka terjadilah benturan kekuatan: yang sangat dahsyat.
Meskipun kekuatan itu telah jauh susut, tetapi hentakan yang tibatiba
dengan pengerahan segenap tenaga cadangan yang tersisa,
maka benturan itu benar-benar merupakan benturan yang.
menentukan. Terdengar dentang senjata beradu dengan kerasnya sehingga
bunga-bunga api berloncatan dalam cahaya bulan yang semakin
rendah di ujung barat. Kemudian disusul oleh keluhan yang tertahan
dan tubuh yang terlempar jatuh terbanting di tanah.
Beberapa langkah dari benturan itu, Linggadadi jatuh terlentang.
Senjatanya terlepas dari tangannya. Sedang dari lukanya mengalir
darah yang bagaikan tidak akan kering. Nafasnya yang terengahengah
kadang-kadang terputus untuk beberapa saat dan tarikan
yang kemudian sama sekali sudali tidak teratur lagi.
Di arah yang lain, Mahisa Bungalan terdorong beberapa langkah
dan terhuyung-huyung beberapa saat. Ia pun tidak lagi dapat
menguasai keseimbangannya dan bertelekan senjatanya ia terjatuh
pada lututnya. Tetapi sejenak kemudian, ia sama sekali tidak
mampu lagi untuk berlutut. Dengan nafas yang sendat ia jauh
terguling di tanah sambil memejamkan matanya.
Sejenak kemudian keduanya telah terbaring diam dalam usapan
cahaya bulan yang kekuning-kuningan.
Beberapa orang melihat akibat dari benturan itu menjadi
berdebar-debar. Beberapa orang Mahibit ingin berLari-lari melihat
2115 linggadadi. Tetapi ternyata lawan-lawan mereka pun telah menahan
dengan sekuat tenaga, agar orang-orang Mahibit tidak berbuat
curang terhadap Mahisa Bungalan yang terbaring pula. Tetapi
orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru pun tidak dapat
segera mendekati Mahisa Bungalan karena lawan-lawan mereka pun
selalu menghalang-halangi.
Dalam pada itu Empu Baladatu benar-benar tidak menduga,
bahwa serangan yang dianggapnya tidak akan mendapat rintangan
yang berarti itu telah mengalami banyak kesulitan. Ia sama sekali
tidak mengerti. bahwa ada sepasukan prajurit Singasari pilihan dan
cantrik-cantrik yang terlatih baik berada di antara pasukan Empu
Sanggadaru. Meskipun pasukan Empu Baladatu sendiri telah
ditempa dengan sejauh-jauh dapat dilakukan, namun menghadapi
prajurit-prajurit pilihan, orang-orangnya ternyata banyak mengalami
kesulitan. Bukan saja dalam perang seorang lawan seorang, tetapi
juga dalam olah ketrampilan dan tata cara peperangan dalam
kelompok-kelompok yang besar
Dalam silirnya angin malam yang berbau darah, kedua sosok
tubuh ilu masih saja terbaring diam. Namun kemudian perlahanlahan
Mahisa Bungalan mulai membuka matanya. Dalam saat-saat
berikutnya, mulailah ia menyadari apa yang telah terjadi, sehingga
dengan sepenuh sisa kekuatannya, iapun mencoba untuk bangkit
dan duduk bertelekan pada kedua lengannya.
Tak seorang pun yang dapat mendekat. Empu Sanggadaru pun
tidak, karena Empu Baladatu telah melibatnya dalam perkelahian
yang sengit. Karena itulah maka seolah-olah, pertempuran yang dahsyat itu
tidak mengacuhkannya sama sekali. Dibiarkannya ia bangkit dan
duduk sambil memijit keningnya. Kemudian menggeleng-gelengkan
kepalanya. seolah-olah ingin mengusir kebimbangan yang masih
mencengkam hatinya. Tetapi kepalanya masih terasa pening, dan tubuhnya masih
lemah, sehingga Mahisa Bungalan pun kemudian memutuskan untuk
2116 memusatkan segenap daya lahir dan batinnya untuk memulihkan
kekuatannya. Ia pun kemudian duduk bersila dan menyilangkan tangannya di
dadanya. Kemudian dicobanya mengatur pernafasannya sebaikbaiknya.
Mahisa Bungalan hanya melakukannya untuk beberapa .saat
yang pendek. Ia sadar, bahwa setiap saat bahaya datang
mengancam. Jika ada seorang saja dari lawan yang lolos dari
pertahanan orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru, maka
itu akan berarti maut baginya. Siapapun orang itu.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan dapat memper gunakan
waktu yang singkat itu sebaik-baiknya- Meskipun kekuatannya
masih belum pulih seluruhnya,
Perlahan-lahan Mahisa Bungalan mengurai tangan dan kakinya
Dan perlahan-lahan pula ia bangkit seperti seorang yang baru
bangun dari tidurnya. Yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah orang yang
terbaring beberapa langkah daripadanya. Ia masih ingat benar
bahwa telah terjadi benturan kekuatan yang dahsyat saat senjata
mereka beradu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan tidak kehilangan
senjatanya. Senjata itu masih ada di tempatnya terbaring. Sehingga
karena itu, maka ia pun telah memungut senjatanya, sebelum
kemudian perlahan-lahan mendekati lawannya yang terbaring diam.
Pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya, dida lam dan
diluar halaman- Tetapi mereka yang sedang bertempur itu seakanakan
tidak menghiraukan Mahisa Bungalan sama sekali. Apalagi
setelah Mahisa Bungalan bangkit berdiri dan menggenggam
senjatanya kembali. Jika semula lawannya tidak sempat mengganggunya selagi ia
masih terbaring, maka setelah ia berdiri dengan senjata nya, justru
lawannya akan berusaha menjauhinya
2117 Sejenak Mahisa Bungalan berdiri di samping tubuh Linggadadi
yang terbaring diam. Dengan hati-hati Mahisa Bungalan pun
kemudian berjongkok pada satu lututnya. Ketika tangannya meraba
tubuh lawannya, terasa tuhuh itu telah dingin,
"Mati" desis Mahisa Bungalan.
Sebenarnyalah hahwa Linggadadi telah mati. la telah
mengerahkan tenaga yang tersisa, sementara dadanya telah terluka
parah. Benturan yang terjadi kemudian, seakan-akan telah
menghentakkan segenap sisa darahnya memancar dari lukanya.
Itulah sebabnya, maka ia sudah tidak dapat ditolong lagi karena
darahnya bagaikan telah hahis mengalir,
Pada saat Linggadadi pingsan, maka meneteslah titik darahnya
yang terakhir dari jantungnya, sehingga nafasnya pun tidak mampu
lagi menyusuri lubang hidungnya.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas
dipandanginya pertempuran yang sengit. Namun kemudian ia masih
mempergunakan sedikit waktu untuk mengobati luka-lukanya meski
pun tidak terlalu parah dengan obat yang dibawanya.
Baru sejenak kemudian ia mengangkat kedua belah tangannya.
la menggeliat sambil berdesis, seolah-olah ingin melihat, apakah
urat-uratnya masih berjalan sewajarnya.
Meskipun tenaganya belum pulih seperti sediakala, tetapi
pertempuran ia harus dihadapinya. Karena itulah maka setapak
demi setapak, iapun melangkah mendekati arena yang seru. Bahkan
kemudian iapun segera melihat, bahwa pasukan Empu Sanggadaru
memang agak terdesak oleh lawannya.
Empu Sanggadaru melihat semua yang terjadi atas Mahisa
Bungalan. Itulah sebabnya ia menjadi berdebar-debar. Apakah
dalam keadaannya Mahisa Bungalan masih sanggup untuk
bertempur terus" 2118 Tetapi Empu Sanggadaru tidak sempat mencegah Mahisa
Bungalan, karena ia sendiri masih terikat dalam pertempuran yang
sengit. Dalam pada itu, Empu Baladatu yang tidak dapat ingkar dari
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kenyataan, menggeretakkan giginya. Linggadadi, orang yang
dianggapnya memiliki kemampuan yang luar biasa, telah terbunuh
oleh seorang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan dan
bergelar Pembunuh orang-orang berilmu Hitam seperti Linggadadi
sendiri. Sementara itu. ternyata Empu Sanggadaru sendiri juga me miliki
ilmu yang tidak dapat diatasinya. Setelah ia bertempur beberapa
lama, kakaknya masih tetap nampak segar dan bertempur dengan
sepenuh tenaga. Kadang-kadang teringat oleh Empu Baladatu, bagaimana
kakaknya berburu binatang buas dengan tangannya, sehingga
hatinya menjadi berdebar-debar. Kakaknya adalah seorang yang
memiliki tenaga raksasa dan nafas yang panjang tanpa batas.
Kebiasaannya berburu dan berlatih dengan cara yang aneh,
membuatnya menjadi orang yang mempunyai ketahanan tubuh
yang tinggi. Seperti yang pernah didengarnya, Empu Sanggadaru
sering berlatih bersama cantriknya dengan berjalan kaki mendaki
gunung dan menuruni tebing, sehari penuh tanpa berhenti sama
sekali. Itulah sebabnya, maka tenaga Empu Sanggadaru sejak mereka
mulai hertempur sampai saat-saat terakhir tidak terlampau banyak
susut seperti tenaga Empu Baladatu meskipun mereka bersamasama
telah mengerahkan segenap kemampuan.
Dalam pada itu, di luar dinding padepokan, pertempuran masih
juga membakar arena. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang
bertempur dengan cara yang berbeda, telah berhasil mengurangi
jumlah lawan dengan beberapa orang. Apalagi keduanya masih saja
nampak segar seolah-olah mereka baru saja mulai di arena
pertempuran itu. 2119 Jika mula pasukan Empu Baladatu mampu mendesak maka
lambat laun, keseimbangannya pun menjadi semakin berubah. Satu
demi satu lawan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti dapat dilumpuhkan.
Bahkan selain keduanya, para prajurit Singasari pun satu-satu dapat
menyingkirkan lawan mereka pula, meskipun dibagian lain, orangorang
padepokan Empu Sangadaru yang kurang terlatih juga
mengalami banyak kesulitan. Untunglah bahwa para prajurit dan
para cantrik yang terlatih selalu berusaha untuk membantu mereka
yang mengalami kesulitan.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti benar-benar
merupakan hantu yang menakutkan. Seolah-olah keduanya men
jadi penentu bagi datang maut. Siapa yang telah menarik
perhatiannya, maka orang itu seakan-akan sudah pasti akan
mengalami bencana. Karena itulah, maka setiap orang di dalam pasukan lawan,
berusaha untuk menjauhi kedua anak muda itu. Jika ia maju
setapak demi setapak mendekati seseorang, maka itu adalah
pertanda bahwa maut sudah siap untuk menjemput oraig itu.
Tetapi tidak seorang pun yang mampu mencegahnya. Setiap
orang didalam pasukan lawan merasa tidak akan mampu
menghadapinya, sementara mereka tidak akan sempat menyusun
kelompok kecil untuk melawannya.
Karena itulah, maka arena di luar dinding padepokan itu
betapapun lambatnya, seolah-olah sudah menemukan kepastiannya.
Kedua orang anak muda itu akan menjadi penentu dari pertempuran
yang dahsyat itu. "Gila"geram seorang bertubuh kekar dari Mahibit, "dua orang
dapat menentukan akhir dari pertempuran seperti ini "
"Apa yang dapat kita lakukan?"
Orang bertubuh kekar itu tidak menjawab. Ia harus bertempur
melawan seorang cantrik yang terlatih baik, sehingga ia tidak
banyak mendapat kesempatan untuk menentukan pilihan.
2120 Karena itulah, maka yang telah berjalan itu tetap berjalan terus.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil melumpuhkan lawanlawannya
seorang demi seorang, jauh lebih cepat dari korban yang
juga berjatuhan dari orang yang berdin dipihak Empu Sanggadaru.
Di dalam dinding padepokan, Mahisa Bungalan masih berdiri
tegak. Kadang-kadang ia masih menyempurnakan pernafasannya
yang masih terasa belum pulih benar. Namur agaknya silirnya angin
malam telah menyebabkan semuanya serasa menjadi bertambah
segar. Cahaya bulan yang bulat di langit, membuat malam bagaikan
diterangi oleh berpuluh-puluh obor. Tetapi diarena pertempuran itu,
darah yang membasahi tanah, sekali-kali memantulkan cahaya
bulan yang berkilauan melontarkan pengaruhnya yang aneh.
Sejenak Mahisa Bungalan berdiri tegak. Namun ia pun kemudian
melangkah lagi semakin dekat dengan arena.
Orang-orang yang melihat langkahnya yang tetap, menjadi
berdebar-debar. Apalagi mereka yang herdiri di arah langkahnya itu,
seolah-olah mereka sudah mulai bercanda dengan maut, seperti
yang terjadi dengan Linggadadi.
Kematian Linggadadi benar-benar telah membuat setiap hati
orang-orang Mahibit menjadi kecut. Bagi mereka. Linggadadi adalah
siluman yang tiada ada duanya. Ilmunya rasa-rasanya relah
menyentuh langit. Tetapi dipadepokan ini, ia telah mati terbunuh oleh seorang anak
muda dalam perang tanding yang mengerikan.
"Mahisa Bungalan adalah anak dan sekaligus murid Mahendra.
Jika anaknya Mampu membunuh Linggadadi, apa sajakah yang
dapat dilakukan oleh ayahnya?" gumam orang-orang itu di dalam
hati. Namun mereka tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Mereka
harus menerima kehadiran Mahisa Bungalan, mau tidak mau.
2121 Dan sebenarnyalah Mahisa Bungalan yang telah merasa dirinya
menjadi semakin segar itu pun menjadi semakin dekat dengan
arena. Ketika Mahisa Bungalan mulai menggerakkan senjatanya, maka
tiba-tiba saja arena itu seakan-akan telah menyibak. Beberapa
orang lawan segera terdesak sebelum mereka bertahan, karena
Mahisa Bungalan memang belum berbuat apa-apa.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.Di dalam cahaya bulan
ia melihat wajah-wajah yang cemas dan bahkan ketakutan. Mereka
tidak dapat lagi memusatkan perhatian mereka kepada lawan-lawan
yang sebenarnya harus mereka hadapi, karena sebagian perhatian
mereka telah mereka tujukan kepada Mahisa Bungalan.
Dengan demikian, sebelum Mahisa Bungalan kembali
menerjunkan diri kekancah pertempuran, maka pasukan lawan pun
telah terdesak perlahan-lahan.
Betapa dada Empu Baladatu didera oleh kemarahan yang
memuncak. Kematian Linggadadi memang menggetarkan
jantungnya, tetapi kecemasan dan ketakutan yang melanda
pasukannya benar-benar merupakan suatu penghinaan.
Karena itu, maka iapun berteriak, "He orang-orang yang
menguasai ilmu yang dahsyat dan orang-orang Mahibit yang
perkasa, yang memiliki kemampuan seperti burung alap-alap.
Kenapa kalian menjadi kecut melihat tingkah laku anak muda yang
tidak tau diri itu" Apakah kalian mengira hahwa Mahisa Bungalan
memang memiliki ilmu melampaui Linggadadi" itu sama sekali tidak
benar. Itu hanyalah sebuah mimpi huruk yang kalian hadapi.
Linggadadi memang sering meremehkan lawannya. Dan ternyata ia
sudah membuat kesalahan. Ia tidak menyangka hahwa Mahisa
Bungalan adalah seorang yang licik, yang memanfaatkan setiap
kelemahan lawannya, tanpa mengingat harga diri dan kejantanan."
Empu Baladatu tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena
serangan Empu Sanggadaru yang justru bagaikan membadai.
Namun demikian, Mahisa Bungalan telah mendengar dan mengerti
2122 maksudnya. Sehingga karena itulah, maka iapun kemudian
perlahan-lahan melangkah mendekat sambil berkata, "Empu
Sanggadaru. Jika Empu tidak berkeberatan, serahkanlah Empu
Baladatu kepadaku. Aku ingin melihat, apakah guru segala ilmu
hitam itu Mampu membuktikan kata-katanya."
"Persetan" teriak Empu Baladatu."
"Aku sudah bersedia digelari pembunuh orang-orang berilmu
hitam, bukan karena aku merasa kuat dan tidak terlawan. Tetapi semata-
mata karena aku ingin menyatakan betapa bencinya aku
kepada ilmu yang sama sekali tidak berperikemanusia an itu. Karena
itu. biarlah aku mencoba, apakah aku benar-benar akan tetap
mempergunakan gelar itu setelah aku bertemu dengan guru dari
segala macam ilmu hitam itu."
Empu Baladatu menggeretakkan giginya Tetapi Empu
Sanggadaru yang menyerangnya terus berkata, "Biarlah anak muda.
Ia adalah adikku. Aku ingin mengajarnya agar ia sedikit mengenal
sopan santun, seperti aku mengajarinya di masa kanak-kanak. Aku
memang sering mencubitnya, atau menarik telinganya jika nakal.
Sekarang, aku akan memperlakukannya seperti itu."
"Gila. Aku bukan anak-anak lagi. Aku akan membunuhmu."
"Itulah kenakalanmu sekarang."jawab Empu Sanggadaru.
Empu Baladatu menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak dapat
berbuat apa-apa. Kemarahannya sudah tersalur sepenuhnya pada
tata gerak dan serangan-serangannya. Tetapi Empu Sanggadaru
pun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula, sehingga
Empu Baladau masih helum herhasil menguasainya. Bahkan
ternyata bahwa Empu Sanggadaru mempunyai ketahanan
jasmaniah yang lebih baik karena latihannya yang meskipun tidak
terlampau berat, terapi selalu dilakukannya pada saat-saat tertentu.
Dalam pada itu pertempuran pun menjadi semakin seru. Tetapi di
beberapa bagian dari arena itu. telah terjadi perubahan. Orangorang
Mahibit yang kehilangan Linggadadi seolah-olah tidak lagi
2123 mempunyai kepercayaan bahkan kepada dirinya sendiri bahwa
mereka masih akan Mampu hertahan.
Itulah sebabnya. maka pada bagian-bagian tertentu, pasukan
Empu Baladatu telah mulai terdesak, meskipun Mahisa Bungalan
masih belum ikut langsung terjun kearena.
Demikian pula yang terjadi di luar dinding padepokan. Mahisa
Pukat dan Mahisa Murti yang tidak lagi bermain-main. telah
membuat setiap lawan mereka menjadi berdebar-debar. Mereka
telah dapat menilai, betapa tinggi ilmu kedua anak-anak muda itu.
Dua tiga orang yang berhasil melepaskan diri dari lingkungan
pertempuran yang riuh itu mencoba untuk menyusun diri dalam
kelompok-kelompok kecil untuk menghadapi kedua anak muda itu.
Tetapi menghadapi kelompok-kelompok kecil yang demikian,
keduanya itupun bertempur berpasangan. Maka kelompok kecil itu
sama sekali tidak Mampu lagi untuk menahan keduanya.
Dengan demikian, maka lambat laun, semakin jelaslah
keseimbangan dikedua arena pertempuran itu. Tidak banyak
kesempatan lagi bagi Empu Baladatu. Rencananya untuk
menyelenggarakan korban terbesar menjadi semakin buram. Yang
lebih banyak menitikkan darah adalah justru orang-orangnya yang
salah menilai lawan, sehingga pada benturan yang pertama mereka
relah memberikan korban terlampau banyak.
Kematian Linggadadi adalah suatu isyarat, bahwa kematian akan
menyusul lebih hanyak lagi. Dan bahkan mungkin, tanpa dapat
dihitung. Ketika bulan yang bulat dilangit menjadi semakin rendah di
sebelah Barat, maka pasukan Empu Baladatu yang terdiri dari
orang-orangnya yang terpilih, orang-orang dari padepokan Serigala
Putih dan Macan Kumbang, orang-orang dari Mabibit. telah tidak
mempunyai harapan lagi untuk menang. Kekalahan yang mutlak
nampak menjadi semakin dekat dihadapan hidung mereka.
Orang-orang dari Mahibit yang berangkat dari padepokannya
yang tersembunyi dengan dada tengadah, karena mereka merasa
2124 mendapat kesempatan untuk menunjukkan kelebihan mereka, baik
dari orang-orang padepokan Empu Sanggadaru, maupun dari
pasukan Empu Baladatu yang lain, harus melihar kenyataan.
Terlebih lagi setelah Linggadadi menemui ajalnya.
Dalam pada itu, kemarahan yang membakar jantung telah
mendorong Empu Baladatu untuk memeras segenap kemampuan
yang ada padanya. Namun ia sama sekali tidak Mampu
memaksakan kehendaknya karena Empu Sanggadarupun telah
bertempur dengan segenap kekuatan yang ada padanya untuk
mengalahkan adiknya. Benturan-benturan senjata yang terjadi, menyatakan, bahwa
kekuatan Empu Sanggadaru yang mengagumkan itu, masih selalu
mengatasi kekuatan Empu Baladatu. Bahkan seolah-olah tenaga
Empu Sanggadaru sama sekali tidak berkurang meskipun ia sudah
bertempur beberapa saat lamanya.
"Aku akan menarik telinganya" berkata Empu Sanggadaru kepada
orang-orangnya, "seperti masa kanak-kanak, jika ia nakal aku selalu
menarik telinganya."
"Aku akan membunuhmu" teriak Empu Baladatu
"Kau memang nakal dan keras kepala" sahut Empu Sanggadaru
yang menjadi semakin tenang, ketika ia melihat pasukannya yang
mula-mula jumlah jauh lebih sedikit, lambat laun berhasil menguasai
keadaan. Namun dengan demikian ia dapati membayangkan bahwa
korban tentu telah berserakkan. Baik dari pihaknya, dan terlebih lagi
dari pihak lawan. Empu Sanggadaru yang menyadari kehadiran Mahisa Bungalan,
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti merasa bersukur, karena meskipun
mereka hanya bertiga, tetapi kehadirannya itu ternyata mempunyai
arti yang sangat penting. Demikian juga prajurit-prajurit Singasari
yang jumlahnya terhitung tidak terlalu banyak.
"Tanpa mereka, padepokan ini telah hancur menjadi debu"
berkata Empu Sanggadaru di dalam hatinya. Dan ia menjadi ngeri
2125 membayangkan apa yang akan dilakukan oleh adiknya dengan
upacara korbannya yang garang dan tidak berperi kemanusiaan itu.
"Cantrik yang menguasai senjata dengan baik tidak terlalu
banyak jumlahnya" berkata Empu Sanggadaru didalam hatinya. Dan
ia sadar, bahwa kekuatan padepokan itu sendiri tidak banyak berarti
dalam pertempuran itu. Namun demikian, meskipun pasukannya menjadi semakin
terdesak, Empu Baladatu sama sekali tidak berpikir untuk menarik
serangannya dan menghindar dari arena. Ia telah di kuasai oleh
nafsu kemarahan yang tidak terkendali. Yang ada di dalam anganangannya
hanyalah nafsu untuk membunuh.
Tetapi Empu Sanggadaru masih tetap hertempur dalam
kesadaran. Itulah sebabnya, maka ia masih menahan diri. Meskipun
dengan demikian kadang-kadang ialah yang justru harus
berloncatan surut. Dalam pada itu, Mahisa Bungalan, yang bertempur di dalam
dinding padepokan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di luar
padepokan, benar-benar telah menjadi hantu bagi lawannya.
Kehadiran, mereka di setiap sudut arena, telah mendesak lawanlawannya.
bahkan sebelum mereka mencoba melawan.
Beberapa orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan
Kumbang sebagian telah tidak herdaya lagi, sedangkan orang dari
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahibit, terutama yang berada didalam dinding padepokan, benarbenar
telah kehilangan keberanian.
Karena itulah, maka pertempuran itupun kemudian seolah. telah
berpusat pada kedua kakak beradik itu. Seolah-olah mereka
berdualah yang akan menentukan, kapan pertempuran itu akan
berakhir. Empu Sanggadaru yang menyadari hal itu, telah membuat
perhitungan-perhitungan tertentu. Ia tidak ingin melihat korban
lebih banyak lagi yang jatuh. Karena itulah, maka iapun kemudian
mengambil keputusan untuk segera mengakhiri pertempuran. Jika
2126 Empu Baladatu dapat dikuasainya, maka orang-orang yang
menyerang padepokan itu akan kehilangan kedua pemimpinnya.
Karena itulah, maka Empu Sanggadaru pun kemudian mulai
mempercepat serangan-serangannya. Pertimbangannya menjadi
semakin jauh ketika ia menyadari korban telah berserakan silang
melintang. "Jika terpaksa adikku menjadi korban, apa boleh buat.Tetapi
tidak harus menambah jumlah tanpa dapat dihitung lagi."katanya di
dalam hati. Sejenak kemudian, maka Empu Sanggadaru itupun menggeram.
Seolah-olah kekuatan yang tersisa itupun telah dikembangkannya
dengan kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam alam di
sekitarnya. sehingga menjadi berlipat ganda.
Tata geraknya menjadi semakin cepat, dan kekuatannya pun
bagaikan kekuatan raksasa yang sedang mengamuk.
Empu Baladatu terkejut melihat perubahan yang timbul pada
kakaknya itu- Karena itu, maka iapun herusaha untuk
mengimbanginya. Iapun herusaha untuk dapat menggerakkan
semua kekuatan yang tersisa sehingga ia tidak akan dapat didesak
oleh serangan-serangan kakaknya yang kemudian datang bagaikan
banjir bandang . Dengan demikian, kedua orang kakak beradik itu telah bertempur
semakin sengit dengan mempertaruhkan hidupnya.
Mahisa Bungalan sempat memperhatikan pertempuran antara
kedua orang bersaudara itu. Sebagai seorang yang memiliki
kemampuan yang tinggi, ia segera dapat mengetahui, bahwa
keduanya benar-benar telah sampai pada puncak kemampuan.
Sekali-kali Mahisa Bungalan melihat Empu Sangggadaru terdesak.
Namun kemudian ia melihat Empu Baladatu ada dalam bahaya yang
langsung mengancam jiwanya.
Namun dalam pada itu, maka ketahanan tubuh keduanyalah
yang akan menentukan akhir dari pertempuran itu. Empu
2127 Sanggadaru masih tetap dalam batas kemampuannya, sementara
Empu Baladatu seolah-olah telah kehilangan kekuatan sedikit demi
sedikit. Ketika Empu Sanggadaru menyadarinya, maka iapun segera
membuat pertimbangan terakhir. Dengan perhitungan yang mapan
maka iapun kemudian memaksa Empu Baladatu mengerahkan
segenap sisa tenaganya. Serangannya pun datang dengan kekuatan
dan kecepatan bergerak yang sudah sampai pada hatas
kemampuannya. Ternyata usaha Empu Sanggadaru herhasil. Ia
dapat memaksa Empu Baladatu memeras semua tenaga yang
tersisa, sehingga sejenak kemudian, nafasnyapun mulai mengalir
berkejaran semakin cepat di lubang hidungnya.
Mahisa Bungalan yang berdiri termangu-mangu menarik nafas
dalam-dalam. Sekilas ia melihat pertempuran yang riuh itu. Ia dapat
saja terjun kedalamnya dan membunuh lawan sebanyak-banyaknya.
Tetapi ada sesuatu yang menahannya. Jika baru saja ia berada
didalam hiruk pikuk pertempuran, maka yang dilakukannya adalah
sekedar menakut-nakuti lawan dan jika terpaksa melumpuhkan
mereka tanpa membunuhnya.
Sekilas Mahisa Bungalan melihat bulan bulat dilangit yang
menjadi semakin rendah. Sebentar lagi, langit diujung Timur akan
menjadi ke-merah-merahan oleh fajar yang menyingsing.
Bukan saja Mahisa Bungalan, namun Empu Baladatu pun
menyadari bahwa sisa malam tinggallah sedikit sekali. Jika bulan
lenyap cahayanya karena fajar, maka upacara yang terbesar yang
akan dilakukannya itu akan gagal. Rencananya untuk menyerahkan
korban sebanyak-banyaknya ternyata sama sekali tidak akan dapat
terwujud. Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, ketika ia
memperhatikan pertempuran yang mulai menurun itu. Ia melihat
Empu Baladatu meloncat jauh-jauh surut sementara Empu
Sanggadaru melangkah maju dengan ragu-ragu.
2128 Baru kemudian Mahisa Bungalan melihat, bahwa sepercik darah
telah memerah pada tubuh Empu Baladatu.
"Gila" teriak Empu Baladatu.
Empu Sanggadaru berdiri membeku. Dipandanginya adik nya
yang terluka didadanya. "Baladatu" desisnya.
Wajah Baladaku menjadi merah padam dalam cahaya bulan yang
kekuning-kuningan. Dengan telapak tangan kirinya ia meraba
lukanya. Dengan tatapan mata yang membara karena ke marahan
yang menghentak, ia melihat darah mewarnai jarinya.
"Kau melukai aku kakang" geramnya.
Empu Sanggadaru tenmangu-mangu sejenak. Kemudian sambil
maju selangkah ia berkata, "Bukan maksudku Baladatu. Aku hanya
ingin memperingatkanmu, "
"Inikah caramu memperingatkan aku."
"Aku tidak sengaja "
"Omong kosong. Kau akan membunuh aku" ia berhenti sejenak,
lalu, "daripada aku mati karena tanganmu, lebih baik aku sajalah
yang membunuhmu. Kau sudah tua. Kau sudah cukup banyak
makan garam. Karena itu, biar sajalah kau mati"
Empu Sanggadaru termangu-mangu- Tetapi ia masih tetap
berhati-hati, betapapun hatinya dicengkam oleh keragu-raguan.
Empu Baladatu yang sudah menjadi semakin lemah itu masih
saja tidak melihat kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka
dengan serta merta ia meloncat menerkam kakaknya yang sedang
memperhatikannya dengan hati yang berdebar-debar.
Serangan itu sangat mengejutkan. Namun Empu Sanggadaru
memang sudah menduga, bahwa luka itu tidak akan menghentikan
perlawanan adiknya. Karena itulah, maka ia pun kemudian dengan
cepat pula mengelak, dengan sebuah loncatan ke samping.
2129 Namun dalam pada itu, terkilas di dalam pikirannya, hahwa
sudah saatnya ia menghentikan perlawanan adiknya sebelum ia
kehabisan darah, jika masih mungkin, maka ia akan mengalahkan
dan melumpuhkan, adiknya tanpa membunuhnya.
Karena itulah, ketika Empu Baladatu gagal mengenainya, Empu
Sanggadaru lah yang menyerang dengan garangnya. Ia meloncat
menyusul arah serangan adiknya. Dengan ayunan tangan kirinya ia
menghantam punggung Empu Baladatu yang sedang berusaha
mencapai keseimbangannya kembali.
Serangan secepat itu, sangat sulit dihindari oleh Empu Baladatu
dalam keadaannya. Ia telah mengerahkan segenap sisa tenaganya
untuk menyerang, sehingga darahnya bagaikan ditekan keluar dari
luka. Itulah sebabnya, maka serangan Empu Sanggadaru itu langsung
telah mengguncang seisi dadanya bagaikan rontok. Pukulan pada
punggungnya benar-benar telan melumpuhkan segenap
kekuatannya, sehingga terhuyung-huyung ia terdorong selangkah
maju. dan kemudian ia benar-benar telah kehilangan
keseimbangannya. Sejenak kemudian Empu Baladatu itu pun telah terjatuh di tanah.
Sekali ia berguling dan herusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya
tubuhnya lelah menjadi sangat lemah dan tidak berdaya.
Empu Sanggadaru berdiri tegak bagaikan patung memandang
adiknya yang terbaring di tanah. Sekilas ia melihat wajah yang
pucat dan darah yang mengalir dari luka.
Dalam pada itu, pertempuran di dalam lingkaran dinding
padepokan itu pun menjadi riuh. Orang-orang dari padepokan
Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit telah
kehilangan pemimpinnya. Meskipun sebenarnya jumlah mereka
masih cukup, tetapi keberanian mereka telah susut dan bahkan
kemudian larut sama sekali.
2130 Apalagi apabila tatapan mata mereka tertumbuk kepada Empu
Sanggadaru dan Mahisa Bungalan yang telah kehilangan lawan
masing-masing, maka hati merekapun menjadi kecut.
Itulah sebabnya, maka perlawanan mereka sama sekali sudah
tidak berarti. Bahkan tiba-tiba saja tanpa diketahui diantara mereka
terdengar seorang yang kemudian disahut oleh beberapa orang
yang menjalar dengan cepatnya, "Lari, lari, lari."
Terjadilah kekisruhan di seluruh arena di dalam dinding
padepokan. Orang-orang yang kehilangan pemimpinnya itu herlarilarian
tanpa arah. Mereka berusaha untuk menyelamatkan diri
masing dari ujung senjata orang-orang dari padepokan Empu
Sanggadaru. Beberapa orang berhasil meloncati dinding padepokan sambil
berteriak-teriak sehingga teriakan mereka telah mengejutkan orangorang
yang bertempur di luar dinding.
Sejenak kekisruhan itu pun mengejutkan orang-orang yang
bertemput di luar,. yang sebenarnya masih cukup seru. Orang-orang
dari padepokan Serigala Putih. Macan Kumbang dan orang-orang
Mahibit sebenarnya masih cukup kuat untuk mendesak lawannya
meskipun kedua orang anak-anak muda bertempur bagaikan hantu
itu tetap merupakan lawan yang sangat herat-
Tetapi orang-orang yang berlari-larian dari dalam dinding telah
menghentakkan mereka. Apalagi ketika mereka mendengar
teriakan, "Linggadadi terbunuh."Kemudian disambut, "Empu
Baladatu mati." Maka mereka yang berada di luar dinding padepokan Empu
Sanggadaru itupun seolah-olah telah kehilangan pegangan. Mereka
tidak dapat mempertahankan diri lagi untuk bertempur terus,
sehingga karena itu. maka mereka pun mulai berpencaran.
Beberapa orang prajurit dan cantrik masih berusaha mengejar
mereka dan berhasil menangkap beberapa orang. Tetapi yang
lainpun segera menyelinap dan hilang didalam kegelapan.
2131 Sejenak kemudian, arena yang hiruk pikuk itu menjadi sepi. Yang
ada kemudian adalah para prajurit Singasari, para cantrik dan
orang-orang yang berada dalam lingkungan padepokan Empu
Sanggadaru. Beberapa orang prajurit masih sibuk mengurus
beberapa orang yang tertawan. Yang lain langsung menangani
kawan mereka yang. menjadi korban, terutama yang terluka dan
masih dapat diharapkan hidup terus
Dalam pada itu, Empu Sanggadaru berlutut di dekat adik nya
terbaring. Di sampingnya Mahisa Bungalan pun berlutut pula dengan
wajah yang tegang. "Ia masih hidup" berkata Empu Sanggadaru, "mungkin masih
dapat diobati. Aku yakin, ketahanan tubuhnya sangat tinggi,
sehingga ia masih akan dapat bertahan."
Empu Sanggadaru pun kemudian memerintahkan seorang
kepercayaannya untuk menyediakan obat-obatan yang akan diper
gunakan untuk megobati adiknya yang, terluka parah itu.
Beberapa saat kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun
telah datang mendekati kakaknya. Sejenak mereka memandang
Empu Baladatu yang terbaring. Kemudian dengan perlahan-lahan
Mahisa Pukat hertanya, "Bagaimana dengan orang itu?"
"Ia adalah Empu Baladatu. adik Empu Sanggadaru sendiri "
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti menganggukkan kepala nya.
Merekapun pernah mendengar nama itu.
"Apakah lukanya parah?" bertanya Mahisa Murti., "Cukup parah"
jawah Mahisa Bungalan, "Empu Sanggadaru sedang berusaha untuk
mengobatinya." Pertolonganpun segera diberikan kepada Empu Baladatu.
Tubuhnya yang lemah itu pun kemudian dibawa masuk ke dalam
padepokan, sementara orang-orang lain sibuk mengurus tawanan,
mengurus kawan dan lawan yang terluka. Sedangkan yg lain
mengumpulkan korban-korban terbunuh di dalam peperangan itu
2132 Suasana duka telah meliputi padepokan itu. Beberapa orang yang
kehilangan sanak kadang, menggeretakkan giginya dan seolah-olah
ingin melepaskan dendamnya kepada tawanan yang ketakutan.
Tetapi para prajurit Singasari telah menahan dan memperlakukan
para tawanan seperti yang seharusnya, karena mereka adalah justru
prajurit. "Itulah salahnya" geram seorang yang kehilangan adiknya, "jika
disini lidak ada para prajurit itu, kita akan membantai setiap orang
yang tertangkap." "Empu Sanggadaru tidak akan membenarkan" sahur yglain.
"Kita dapat minta dan agak mendesak. Tetapi terhadap prajuritprajurit
itu, kita tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa."
Tetapi seorang yang agak tua berkata, "Tanpa prajurit-prajurit itu
kitalah yang akan menjadi tawanan. Dan seperti yang kau katakan,
kita memang akan dibantai dan dijadikan korban pada upacara ngeri
yang dilakukan oleh orang-orang berilmu hitam disaat purnama
naik." "He?" kawannya yang mendendam itu berdesis, "apakah benar
begitu?" "Kau ingin mencoba bertemu lagi dengan mereka tanpa prajurit
Singasari?" Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
menggeleng, "Tidak Tidak."
Kawan-kawannya tidak menyambung lagi. Tetapi mereka pun
menyadari betapa dahsyatnya pertempuran yang baru saja terjadi.
Tanpa prajurit Singasari, maka padepokan itu tentu akan hancur,
dan upacara yang mengerikan itu akan berlangsung tanpa dapat
dicegah lagi. Tetapi kini. mereka yang berada di padepokan itulah yang
berhasil mengusir musuhnya. Bahkan mereka dapat menawan
beberapa orang selain yang terbunuh
2133 Di antara mereka yang terbunuh adalah Linggadadi, dan yang
tertawan adalah Empu Baladatu yang terluka parah.
Dalam pada itu, Empu Sanggadaru sedang sibuk dalam usahanya
menolong jiwa adiknya. Beberapa orang yang memiliki pengetahuan
tentang pengobatan telah dipanggil dan bersama-sama berusaha
untuk mengobati Empu Baladatu yang nampaknya benar-benar
terluka parah. "Usahakan agar ia hidup" desah Empu Sanggadaru.
Orang-orang yang berusaha mengobati itu pun mencoba dengan
sepenuh kemampuan yang ada, karena mereka melihat, bahwa
Empu Sanggadaru telah minta dengan sungguh-sungguh. Meskipun
Empu Baladatu telah berusaha membunuhnya, namun ia adalah
adiknya. Bagaimanapun juga, Empu Sanggadaru tidak akan sampai
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hati untuk membiarkan Empu Baladatu mati dibawah hidungnya
tanpa berbuat berbuat apa-apa. Apalagi Luka-luka parah itu adalah
karena tangannya yang sedang didorong oleh kemarahan yang tidak
tertahankan. "Apakah aku akan menyebabkan kematian adikku?" pertanyaan
itu selalu mengejarnya. Sehingga seolah-olah ia tidak menghiraukan
lagi apa yang telah terjadi di halaman padepokannya.
Semetara itu, orang-orangnya sedang sibuk menyingkirkan mayat
dan mengangkat orang-orang yang terluka. Beberapa orang telah
mendapat pertolongan, namun masih saja terdengar desah dan
keluh kesah. Bahkan masih terdengar gemeretak gigi dan kadangkadang
sesambat yang panjang. Sementara itu, Empu Sanggadaru masih saja dicengkam oleh
ketegangan menunggui adiknya yang terbaring diam dengan mata
terpejam. Nafasnya bekejaran melalu lubang hidungnya. Bahkan
kadang-kadang nafas itu berhenti sesaat dan seolah-olah hilang
sama sekali. Empu Sanggadaru benar-benar menjadi gelisah. Seolah-olah ia
berdiri dihadapan ayah dan ibunya. Dengan wajah yang marah oleh
2134 kemarahan, kedua menudingnya sambil menuntut pertanggungan
jawab atas keadaan Baladatu.
"Ia adikmu" terdengar suara itu mengumandang di dalam
dadanya. "Tetapi ia akan membunuhku, dan aku hanyalah sekedar
membela diri" Empu Sanggadaru mencoba membantah
"Kau boleh mencubitnya jika ia nakal. Kau boleh memukulnya
dengan rotan, atau menarik kupingnya. Tetapi kenapa kau sampai
hati membunuhnya" Kau adalah saudara tuanya Kau wajib
memperingatkan jika ia sedang lupa diri. Tetapi bukan kuwajiban
saudara tua untuk membunuh adiknya"
Empu Sanggadaru menjadi semakin berdebar-debar. Suara itu
bagaikan mengumandang di telinganya tanpa henti-hentinya.
Empu Sangggadaru menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
Empu Baladatu bergerak. Bahkan kemudian terdengar suara
keluhan dari mulutnya. "Ia mulai hidup"desisnya, "cepatlah. Usahakanlah agar ia cepat
sadar." Orang-orang yang sedang herusaha mengobatinya itupun men
jadi tegang. Mereka sudah melakukan apa saja yang dapat mereka
lakukan untuk keselamatan Empu Baladatu.
Namun mereka pun sadar, bahwa jika mereka gagal, Empu
Sanggadaru pun akan kecewa sekali. Penyesalan yang tidak
herkeputusan akan memukul hatinnya setiap saat.
Tetapi ternyata bahwa usaha mereka tidak sia-sia. Sejenak
kemudian, maka mereka melihat Empu Baladatu itu pun membuka
matanya "Baladatu, Baladatu" Empu Sanggadaru memanggil berulangulang
dengan penuh harapan. 2135 Empu Baladatu membuka matanya. Kemudian dicobanya untuk
melihat setiap orang yang ada di sekitarnya di bawah cahaya obor
yang terang. "Tahankanlah. Bukankah kau memiliki ketahanan tubuh yang
tidak terhingga. Kau tentu akan sembuh sama sekali dalam waktu
yang singkat" desis kakaknya.
Empu Baladatu memandang kakaknya sejenak. Tetapi masih
nampak kecemasan yang sangat membayang di tatapan matanya
yang pudar. "Baladatu, kau harus sembuh" desis Empu Sanggadaru. Empu
Baladatu tidak menyahut. Mulutnya masih terasa berat dan hatinya
masih dicengkam oleh kebimbangan. Namun wajahnya yang pucat
berangsur menjadi merah. Melalui bibir nya telah dapat diteguk
beberapa titik air yang segar, sehingga tubuh yang letih itu pun
rasa-rasanya telah dijalari oleh kesegaran itu pula.
Namun dengan demikian, perasaan sakit dan nyeri pun telah
menjalar pula di seluruh tubuhnya. Tetapi bagi Empu Ba ladatu yang
memiliki pengalaman yang luas, segera mengetahui, bahwa dengan
demikian urat dan syarafnya di seluruh tubuhnya masih dapat
bekerja sewajarnya. Ketika beberapa titik air dituangkan kebibirnya, Empu Baladatu
merasa hadannya bertambah segar, sehingga ia mulai mencoba
menggerakkan ujung-ujung jari tangan dan kakinya Kemudian
pergelangan tangannya dan seluruh lengannya.
"Jangan bayak bergerak" kakaknya mencoba menahannya.
Empu Baladatu mengejapkan matanya, sebagai isyarat bahwa ia
mengerti yang dikatakan oleh kakaknya itu.
Beberapa orang pandai yang ada disekitarnya pun mulai merasa
lega. Mereka mulai bernafas dengan teratur, dan terlepas dari
ketegangan yang mencengkam
"Mudah-mudahan keadaanya berangsur menjadi baik" gumam
salah seorang dari mereka
2136 Empu Sanggadaru pun mengangguk, la melihat wajah adiknya
menjadi berangsur hidup pula, dan nafasnya pun mulai teratur.
Empu Sanggadaru meraba pergelangan tangan adiknya. Ia
sendiri adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang obat dan
pengobatan. Tetapi ketika adiknya sendiri yang terkena, maka ia
seolah-olah telah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri.
Sehingga dengan demikian ia telah memanggil beberapa orang yang
dianggapnya cukup mempunyai pengetahuan tentang obat dan
pengobatan. Tetapi ternyata bahwa keadaan adiknya itu memang berangsur
baik. Karena itulah, maka Empu Sanggadaru pun mulai teringat
kepada keadaan padepokannya. Halaman yang rusak karena injakan
kaki dan sentuhan senjata yang berputaran, serta mayat yang
berserakan di antara orang-orang yang terluka.
Dengan ragu-ragu Empu Sanggadaru pun kemudian berbisik
kepada salah seorang dari orang-orang yang menunggui Empu
Baladatu, "Aku akan turun kehalaman" Orang itu mengangguk.
Sejenak kemudian Empu Sanggadaru pun telah meninggalkan
bilik itu bersama Mahisa Bungalan. Di halaman mereka melihat
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sedang berdiri termangu-mangu
melihat orang-orang yang sedang sibuk dengan mereka yg terluka
dan dengan mayat-mayat. Keduanya menyongsong ketika mereka melihat Empu
Sanggadaru dan Mahisa Bungalan mendekati mereka.
"Bagaimana dengan kalian?" bertanya Empu Sanggadaru.
"Kami tidak mengalami sesuatu Empu" jawab Mahisa Murti.
"Syukurlah" jawab Empu Sanggadaru, "beristirahatlah di dalam.
Aku akan mengawasi orang-orang yang sedang mengatur tawanan
agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."
2137 Empu Sanggadaru pun kemudian melintasi halaman menuju ke
seberang longkangan dan memasuki sebuah rumah samping. Di
dalam sebuah bilik terdapat beberapa orang, yang sedang ditawan.
Sedangkan bagian yang lain telah ditempatkan di beberapa bilik
yang terpencar. Empu Sanggadaru dan Mahisa Bungalan mendekati pintu bilik
yang tertutup rapat dan di selarak kuat-kuat itu. Sejenak ia
memperhatikan beberapa orang penjaga di setiap sudut dan di
depan pintu. "Aku ingin bertemu dengan mereka" berkata Empu Sanggadaru.
Seorang penjaga yang bersenjata telanjang telah membuka
selarak pintu itu dan membukanya.
Ketika Empu Sanggadaru memasuki ruangan itu bersama Mahisa
Bungalan, maka nampaklah wajah-wajah yang ketakutan dari
beberapa orang yang berada didalamnya. Seorang yang masih
sangat muda duduk di sudut bilik itu sambil menyilang kan
tangannya di dada. Sedang dari matanya terpancar penyesalan,
bahwa ia telah terlempar kedalam bilik itu bersama beberapa orang
lain Sejenak Empu Sanggadaru mengamati orang-orang yang berada
di dalam bilik itu. Satu persatu, seakan-akan ia ingin melihat
langsung ke bilik tatapan mata mereka yang sayu.
"Siapakah kalian masing-masing masih harus ditanyakan" berkata
Empu Sanggadaru, "kedatangan kalian kali ini memang agak aneh
bagi kami. Jika diantara kalian terdapat orang-orang berilmu hitam,
tetapi kenapa diantaraa kalian terdapat pula Linggadadi yang
bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam."
Tidak seorangpun yang menjawab. Beberapa orang justru saling
berpandangan. "Aku memang tidak bertanya kepadamu dan menunggu
jawabanmu sekarang" berkata Empu Sanggadaru, "tetapi besok aku
akan mulai dengan orang yang pertama. Aku ingin bertanya kepada
2138 kalian seorang demi seorang. Mudah-mudahan kalian masih akan
kami dorong masuk kembali kedalam bilik masing-masing."
Kata-kata itu sungguh telah menggetarkan dada mereka.
Menurut pengalaman yang mereka lakukan, maka meteka telah
memperlakukan tawanan-tawanan mereka sekehendak hati. Orangorang
berilmu hitam kadang-kadang telah mempergunakan
tawanan-tawanannya untuk korban disaat purnama naik. Sedang
orang-orang Mahibit sering dengan sengaja memperlakukan
tawanan mereka dengan tindakan yang aneh-aneh sekedar untuk
mendapatkan kesenangan dan kepuasan atas sengsara dan
penderitaan orang lain. Sejenak Empu Sanggadaru masih berdiri di pintu sambil
memandang orang-orang yang ada didalam bilik itu. Namun sejenak
kemudian wajah-wajah itupun segera menunduk dalam-dalam.
"Kau tentu sudah tahu. Bahwa Linggadadi telah terbunuh dan
Empu Baladatu terluka parah, yang barangkali akan memerlukan
waktu yang lama sekali untuk menyembuhkannya" berkata Empu
Sanggadaru kemudian, "sehingga karena itu, kami tidak akan dapat
menanyakan apapun kepada mereka. Itulah sebabnya kami
memerlukan kalian. Mungkin keterangan yang dapat kalian berikan
kepada kami, akan memberikan jalan penyelesaian yang sebaikbaiknya.
Tetapi mungkin juga sebaliknya. Apalagi jika kalian menjadi
keras kepala dan berusaha untuk menyembunyikan sesuatu."
Wajah-wajah yang menunduk itu menjadi tegang sejenak.
Namun merekapun kemudian menyadari, bahwa dapat terjadi apa
saja atas mereka yang sudah tertawan.
Sejenak kemudian, Empu Sanggadaru itu pun meninggalkan
tawanannya dan pintu itupun ditutup dan diselarak kembali.
Demikianlah, maka padepokan yang tenang itu, kemudian telah
menemukan kesibukan baru. Ketika fajar menyingsing nampaklah
wajah-wajah yang kuyu dan kusut. Mereka yang selamat dan tidak
terluka. harus bekerja keras menyingkirkan mayat dan orang-orang
yang terluka. 2139 Tetapi kerja mereka masih belum selesai. Mayat-mayat itu tentu
tidak cukup hanya sekedar disingkirkan. Itulah sebabnya, mereka
masih harus bekerja keras menyelenggarakan mayat-mayat Itu.
Di bagian yang lain, orang-orang yang terluka berbaring sambil
menggerang. Ada yang sudah sedemikian parahnya, sehingga tidak
dapat mengenal kawan-kawannya lagi. Tetapi ada di antara mereka
yang luka-luka ringan, masih dapat membantu mengatur suasana
padepokan yang diliputi oleh kengerian itu.
Dalam pada itu selagi para cantrik dan orang-orang di padepokan
itu menyelenggarakan tugas masing-masing. maka Empu
Sanggadarupun mulai memanggil satu dua orang tawanannya.
Tetapi pertanyaan-pertanyaannya masih terbatas pada sekedar
penjajagan saja. Empu Sanggadaru masih belum sempat
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang terperinci dan mendalam.
Dihari berikutnya itulah maka semua perkejaan diselesai kan.
Dengan demikian maka padepokan itu akan segera dapat
dibersihkan dari noda-noda darah dan bekas-bekas pertempuran
yang mengerikan itu. Meskipun demikian, mereka tidak dapat memaksa orang-orang
yang terluka sembuh pada hari itu dan menyingkirkan para
tawanan, sehingga mereka masih merupakan kenyataan yang harus
mereka hadapi untuk beberapa hari mendatang.
"Tetapi para tawanan itu dapat diserahkan kepada para prajurit
Singasari" berkata salah seorang dari cantrik padepokan itu.
"Ya. Tetapi tentu tidak besok atau lusa. Mungkin sepekan,
mungkin sepuluh hari. karena untuk membawa para tawanan itu,
tentu diperlukan persiapan." jawab yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Namun jawabnya, "Itu lebih
baik daripada mereka akan tetap tinggal disini untuk selamalamanya.
Atau bagaimanakah seandainya jika mereka itu dilepaskan
saja?" 2140 "Mereka akan datang lagi mencekikmu besok atau lusa demikian
mereka dilepaskan." " Atau dibunuh?"
"Jangan mengganggu saja. Bekerjalah sesuatu. Aku sudah
bekerja sampai keringatku kering."
Kawannya tersenyum. Iapun kemudian meninggalkan kawannya
dan mulai melakukan kerja apapun juga.
Sejak saat itu, maka padepokan Empu Sanggadaru selalu diliputi
oleh kemuraman. Para prajurit Singasari masih tetap berada
ditempat itu, karena mereka masih mencemaskan kemungkinan
yang kurang baik di saat mendatang. Mungkin orang-orang yang
berhasil melarikan diri itu akan kembali dengan kawan-kawannya
untuk membebaskan para tawanan atau karena dendam.
Apalagi ketika dari para tawanan diketahui, bahwa Linggadadi
mempunyai seorang kakak di Mahihit bernama Linggapati yang
memiliki kematangan ilmu melampaui Linggadadi.
"Ia akan dapat menghimpun kekuatan yang masih tersisa di
Mahibit untuk melepaskan dendamnya karena kematian adiknya."
berkata salah seorang prajurit.
Pemimpin prajurit Singasari di padepokan itu pun kemudian
menentukan sikap, apakah yang harus mereka lakukan.
"Dua orang akan memberikan laporan kepada pimpinan di
Singasari, bahwa telah terjadi pertempuran yang mengerikan di
padepokan ini. Tetapi agaknya yang terjadi bukannya tujuan utama.
Laporan juga tentang Linggapati di Mahibit"
Demikianlah dua orang petugas telah pergi ke Singasari.
Mereka membawa pesan bagi Senopati Lembu Ampal, tentang
pertempuran yang telah terjadi, tentang tawanan dan tentang
Mahibit. Dalam pada itu, keadaan Empu Baladatu pun berangsur menjadi
baik. Ketahanan tubuhnya memang luar biasa, sehingga selelah ia
2141 beristirahat semalam, maka ia telah dapat bangkit dan duduk
bersandar dinding. Dihari berikutnya Empu Baladatu sudah dapat bangkit berdiri dan
berjalan mondar mandir didalam biliknya.
"Beristirahatlah" berkata Empu Sanggadaru ketika ia melihat
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adiknya berjalan hilir mudik.
Empu Baladatu memandang wajah kakaknya dengan tatapan
mata yang aneh. Namun ia sama sekali tidak menjawab. "Duduk
sajalah. Luka-lukamu masih berbahaya bagimu." Empu Baladatu
pun kemudian duduk di pembaringan. Kepalanya ditundukkannya
seolah-olah sedang, merenungi hari-harinya yang telah lewat.
"Kau masih harus banyak beristirahat" berkata Empu
Sanggadaru, "dengan demikian kau akan cepat menjadi sembuh."
Empu Baladatu masih tetap diam sambil duduk termenung
Empu Sanggadaru tidak berbicara terlalu banyak. Ia merasa
senang karena semua obat yang diberikan pasti dipergunakan oleh
Empu Baladatu. Yang berupa minuman pasti diminumnya. Yang
harus ditaburkan, ditaburkannya dengan rajin, dibantu oleh orangorang
yang diserahi untuk mengawasinya.
"Mudah-mudahan ia lekas sembuh" berkata Empu Sanggadaru
kepada orang yang menjaga bilik Empu Baladatu itu, "Bagaimana
dengan makannya?" "Cukup baik Empu. Empu Baladatu berusaha untuk makan
sebanyak-banyaknya."
"Syukurlah Ia masih mempunyai keinginan untuk hidup terus."
Sebenarnyalah bahwa Empu Baladatu masih ingin tetap hidup. Ia
adalab seorang yang memiliki gairah dan cita-cita, sehinga ia tidak
terlalu cepat menyerah kepada mati
Karena itulah, maka luka-lukanya itupun rasa-rasanya menjadi
terlalu cepat sembuh. Luka-lukanya cepat menjadi kering dan
nampaknya tenaganya pun menjadi berangsur pulih
2142 "Sebentar lagi kau akan pulih" berkata Empu sanggadaru yang
sekali-kali menengok kedalam biliknya,
"Terima kasih kakang" berkata Empu Baldatu. Namun dalam
pada itu, Singasari yang dihubungi oleh para prajurit yang bertugas
dipadepokan itupun telah mendengar semua peristiwa yang terjadi.
Karena itulah maka pimpinan keprajuritan di Singasari telah
mengirimkan beberapa orang perwira untuk menilai keadaan.
Diantara mereka adalah Mahisa Agni sendiri.
"Ketiga kemanakanku ada di sana" berkata Mahisa Agni
Demikianlah Mahisa Agni pun segera mempersiapkan diri.
Perjalanan yang pernah ditempuhnya, sama sekali tidak
membawanya kepada orang-orang berilmu hitam itu sehingga
akhirnya ia kembali sebelum berhasil menemukan padepokan orangorang
berilmu hitam itu. Dan kini orang-orang berilmu hitam itu
telah berada di padepokan Empu Sanggadaru justru bersama
dengan orang-orang Mahibit.
Dihari berikutnya, lima orang prajurit termasuk Mahisa Agni telah
berpacu menuju ke padepokan Empu Sanggadaru. Kehadirannya itu
telah diberitahukan lebih dahulu kepada para pemimpin prajurit di
padepokan Empu Sanggadaru sehingga merekapun segera bersiap
untuk menyambutnya. Namun dalam pada itu, ketika pagi yang cerah mulai membayang
diatas padepokan, sebelum mereka mempersiapkan penyambutan
yang memadai, maka padepokan itu telah digemparkan oleh
peristiwa yang tidak terduga-duga.
Ketika seorang pengawal yang bertugas dipagi hari datang
kemuka bilik Empu Baladatu untuk menggantikan penjaganya, maka
ia tidak menemukan penjaga itu. Beberapa saat ia mencarinya,
tetapi ia tidak menemukannya.
Ia menjadi ragu-ragu ketika ia melihat pintu bilik Empu Baladatu
itu terbuka sedikit. Perlahan-lahan ia menyentuh daun pintu itu,.
dan kemudian membukanya dengan hati-hati
2143 Pengawal itu hampir terpekik ketika ia melihat sesosok tubuh
terbaring dilantai dengan berlumuran darah. Dengan tergesa-gesa ia
mendekatinya. Ternyata orang itu adalah kawannya yang akan
digantikannya. Kegemparan itupun segera menjalar. Ketika Empu Sanggadaru,
Mahisa Bungalan, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mendengarnya,
maka merekapun segera berlari-lari ke dalam bilik itu.
Sebenarnyalah yang mereka jumpai adalah sesosok mayat yang
dadanya pecah, dan tulang iganya berpatahan.
Terdengar Empu Sanggadaru menggeretakkan giginya. Ketika ia
mengangkat wajahnya, betapa matanya bagaikan membara
menahan kemarahannya. "Baladatu benar-benar telah menjadi gila"geramnya. Mahisa
Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Iapun sadar bahwa
perbuatan itu tentu dilakukan oleh Empu Baladatu. Dan sudah tentu
bahwa Empu Baladatu telah melarikan diri dari padepokan itu.
"Aku menyesal" berkata Empu Sanggadaru dengan nada yang
dalam dan gemetar karena kemarahan yang menghentak-hentak,
"ia adalah satu-satunya adikku. Aku mencoba untuk melunakkan
hatinya. Tetapi ternyata ia telah berbuat gila di padepokanku ini."
Tidak seorang pun yang menyahut. Tetapi kekesalan telah
membayang di setiap wajah.
"Jika aku mengerti, bahwa ia akan melarikan diri, aku tentu
sudah membunuhnya" sambung Empu Sanggadaru, "adalah
kesalahanku, bahwa aku terlalu percaya kepadanya. Tentu ia
dengan mudah dapat melarikan diri, karena aku memang tidak
menempatkan penjagaan yang memadai. Aku kira ia menyadari
kesalahan yang sudah dilakukannya. Setiap aku menemuinya di
dalam bilik ini, nampaknya ia sudah menyesal dan bertaubat. Tetapi
ternyata akulah yang dungu."
Mahisa Bungalan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling
berpandangan sejenak. Namun merekapun menyadari, bahwa
2144 mereka sudah terlambat untuk mencarinya, karena Empu Baladatu
yang sudah hampir sembuh benar-benar itu tentu sudah jauh dan
menempuh jalan yang tidak diketahui.
Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yg masih
muda itupun tidak mudah menyerah. Karena itu maka katanya,
"Kami akan mencoba mencarinya."
Empu Sanggadaru memandang kedua anak muda itu sejenak.
Namun kemudian iapun menggelengkan kepalanya sambil berkata,
"Tidak usah anak mas. Kita belum mengetahui dengan pasti, apakah
orang-orang yang melarikan diri dalam pertempuran yang telah
terjadi itu tidak akan datang lagi membawa kawan yang lebih
banyak. Khususnya orang-orang Mahibit. Mungkin mereka sekedar
ingin melepaskan dendam, tetapi mungkin juga mereka ingin
melepaskan kawan-kawan mereka yang tertawan "
Mahisa Bungalan pun mengangguk sambil menyambung,
"Memang, keadaannya masih belum dapat kita ketahui dengan
pasti. Adalah berbahaya sekali jika kau berdua akan pergi
mencarinya " Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ke
mudian terdengar Mahisa Murti berkata, "Tetapi apakah kita akan
membiarkannya melarikan diri?"
"Tentu kita akan mencarinya. Tetapi dengan perhitungan yang
cukup, tidak dengan tergesa-gesa" berkata Mahisa Bungalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Ia pun
kemudian mengerti, bahwa mencari Empu Baladatu tentu
memerlukan banyak pertimbangan. Ia tentu sudah agak lama
menanggalkan padepokan itu. Dan tidak seorang pun yang dapat
menduga, ke arah manakah ia pergi. Selebihnya, seperti yang
dikatakan oleh Empu Sanggadaru dan Mahisa Bungalan.
keadaannya akan dapat berbahaya sekali.
Dengan demikian, maka yang dilakukan oleh orang-orang di
padepokan itu adalah sekedar mengumpat-umpat dan kemudian
2145 duduk sambil membicarakan kemungkinan-kemingkinan yang dapat
terjadi. "Jika prajurit Singasari itu datang, mereka tidak akan dapat
menemukan Empu Baladatu lagi disini" berkata Mahisa Bungalan.
Empu Sangggadaru mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu itu
pun masuk perhitungan Baladatu. Ia tidak mau jatuh ketangan
prajurit-prajurit Singasari yang sudah lama mencarinya. Ia tentu
membayangkan, apakah yang akan dialaminya jika ia berada
ditangan para prajurit."
"Sebenarnya ia tidak akan mengalami apapun juga" sahut Mahisa
Bungalan. "Ia mendapat gambaran yang salah tentang prajurit Singasari"
sambung Mahisa Pukat. Empu Sanggadaru mengangguk-angguk lagi. Sekilas
dipandanginya pemimpin prajurit Singasari yang berada di
padepokan itu. Kemudian katanya, "Aku menjadi cemas, bahwa
prajurit Singasari akan menjadi salah paham"
"Kenapa?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Mungkin mereka menyangka, bahwa aku sengaja
melepaskannya." Pemimpin prajurit Singasari yang berada di padepokan itupun
kemudian menyahut" Empu terlalu cemas terhadap sikap para
prajurit." Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak.
"Kami menjadi saksi" sambung pemimpin prajurit Singasari itu,
lalu, "Empu sudah melakukan sejauh dapat kau lakukan. Jika yang
terjadi itu bukan yang kita kehendaki, itu adalah di luar kemampuan
kita semua. Empu Baladatu benar-benar tidak tahu diri. sehingga
sudah barang tentu, ia telah menyalah-gunakan kepercayaan Empu
terhadapnya." 2146 "Itulah yang aku cemaskan. Kelengahanku dapat dianggap
sebagai suatu kesempatan baginya."
Pemimpin prajurit itu menggeleng, "Tidak Empu. Tentu tidak
akan ada anggapan yang demikian."
"Aku tidak menempatkan penjagaan yang kuat, sehingga
Baladatu dapat melarikan diri. Memang penjaga yang terbunuh itu
tidak berarti apa-apa baginya."
"Tetapi Empu harus percaya kepada kami yang akan dapat
menjadi saksi." sahut Mahisa Bungalan.
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
datar ia berkata, "Terima kasih. Mudah-mudahan mereka percaya,
bahwa kepergian Baladatu bukannya karena keselamatan yang aku
berikan. Tetapi karena kelengahanku semata-mata. Aku berharap
bahwa Baladatu akan menerima kenyataan tentang dirinya, dan
bahwa aku adalah satu-satunya saudara tuanya."
"Ilmunya telah mempengaruhi watak dan pandangan hidupnya"
berkata Mahisa Bungalan, "Agaknya tidak ada lagi ikatan unggah
ungguh dan ikatan yang dapat mengekang perasaannya. Juga
hubungan keluarga tidak berarti sama sekali. Sehingga ia dapat
melakukan apa saja untuk mencapai maksudnya tanpa ragu-ragu.."
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ia
adalah satu-satunya adikku."
"Tetapi cara hidupnya tidak lagi dapat diharapkan bahwa ia akan
menjadi baik dan menyadari segala kekurangannya, "
Empu Sanggadaru tidak menyahut. Tetapi wajahnya diliputi oleh
keragu-raguan dan penyesalan yang tidak ada taranya. Bukan saja
karena Empu Baladatu telah melarikan diri sambil membunuh
seorang anak buahnya, sehingga dengan demikian banyak
tanggapan akan dapat diberikan terhadapnya, justru karena Empu
Baladatu adalah adiknya. Sementara itu, sekelompok prajurit Singasari memang sedang
dalam perjalanan menuju kepadepokan Empu Sanggadaru. Mereka
2147 mengharap bahwa mereka akan dapat bertemu dengan orang
terpenting dari lingkungan orang berilmu hitam.
Meskipun tidak terlalu cepat, sekelompok prajurit itupun berpacu
menuju kepadepokan Empu Sanggadaru. Bagi mereka
tertangkapnya Empu Baladatu merupakan peristiwa yang cukup
penting, karena dengan demikian, maka semua rahasia orang
berilmu hitam itu akan dapat terungkap.
Ketika mereka kemudian sampai dipadepokan Empu Sanggadaru,
maka mereka telah disongsong nleh Empu Sanggadaru sendiri,
Mahisa Bungalan, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti, pemimpin prajurit
Singasari di padepokan itu dan beberapa pengawal kepercayaan
Empu Sanggadaru. Dengan dada yang berdebar-debar Empu Sanggadaru
mempersilahkan mereka naik kependapa dan duduk melingkar
diatas tikar pandan yang putih ber-garis-garis hitam.
Setelah tegur sapa tentang keselamatan masing-masing maka
pembicaraan merekapun langsung sampai kepada peristiwa yang
telah terjadi dipadepokan Empu Sanggadaru itu.
"Pertempuran itu tentu terjadi sangat sengit"desis Mahisa Agni.
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya agak
tagu, "Demikanlah agaknya yang telah terjadi padepokan ini,
meskipun barangkali tidak berarti apa bagi para Senopati di
Singasari." Mahisa Agni menarik nafas panjang. Sekilas dilihatnya anak-anak
muda anak Mahendra duduk sambil menundukkan kepala mereka.
"Tentu mereka ikut menentukan, akhir dari pertempuran yang
telah terjadi dipadepokan ini"desis Mahisa Agni didalam hatinya.
Dalam pada itu. seorang Senopati prajurit Singasari yang datang
bersama Mahisa Agni itupun berkata, "Adalah perjuangan yang
sangat berat bagi padepokan ini. Kami telah menerima laporan
lengkap tentang jalannya pertempuran. Orang-orang berilmu hitam
2148 dan orang-orang Mahibit ingin menghancurkan padepokan ini
dengan cara yang licik."
"Adalah kebetulan sekali, bahwa kami dapat mengetahui
kedatangan kedua kelompok itu. Unsur ketidaksengajaan dan
kebetulan ikut memegang peranan dalam kemenangan kami.
Sehingga karena itu, sama sekali bukan karena kemampuan kamilah
yang telah menyebabkan kemenangan kami itu. Hadirnya prajurit
Singasari dipadepokan ini, serta ketiga anak-anak muda putera
Mahendra itupun ikut menentukan pula. Tanpa mereka padepokan
ini akan menjadi karang abang."
"Berterima kasihlah kepada Yang Maha Agung, karena yang
kebetulan itu adalah perlindungannya." jawab Mahisa Agni.
"Ya, ya" sahut Empu Sanggadaru dengan serta merta, "memang
itu adalah belas kasihannya "
Dalam pada itu, Mahisa Agni dan para prajurit dari Singasaripun
kemudian minta diberi kesempatan untuk melihat akibat dari
pertempuran itu. Mereka ingin melihat bekas-bekas pertempuran
yang sudah hampir hilang sama sekali, dan melihat beberapa orang
tawanan yang masih ada didalam padepokan itu termasuk mereka
yang terluka. Meskipun bekas pertempuran itu seakan-akan sudah tidak
nampak lagi karena telah dibersihkan, namun Mahisa Agni masih
melihat betapa serunya pertempuran yang terjadi. Didalam dan
diluar dinding padepokan. Apalagi ketika para prajurit itu melihat;
mereka yang terluka dan para tawanan.
Sambil melihat-melihat dibekas arena dan para tawanan itulah,
maka Empu Sanggadaru melaporkan batiwa adiknya, Empu
Baladatu yang tertawan, telah melarikan diri setelah membunuh
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang penjaganya. Mahisa Agni mengerutkan keningnya mendengar laporan itu.
Beberapa orang Senopati yang pergi bersamanya termangu-mangu
sejenak. Sepercik kecurigaan telah melonjak didalam hati mereka.
2149 Ternyata Empu Sanggadaru melihat bayangan kecurigaan itu
disorot mata beberapa orang Senopati, sehingga karena itu maka
iapun berkata, "Bahwa Baladatu sempat melarikan diri itu memang
sesuatu yang dapat dianggap mustahil terjadi. Tetapi barangkali
para prajurit yang berada disini akan dapat memberikan
kesaksiannya." Mahisa Agni lah yang kemudian menyahut, "Kami yakin bahwa
yang terjadi itu tentu sebuah kecelakaan. Tetapi sudah barang
tentu, bahwa kepergian Empu Baladatu tidak akan dapat kita
anggap sebagai suatu peristiwa yang dapat ditanggapi sambil lalu."
"Ya, ya Senopati" sahut Empu Sanggadaru, "kepergiannya
membawa dendam dan kebencian. Terutama kepadaku dan
padepokanku ini. Apalagi selain Linggadadi yang terbunuh, di
Mahibit ada saudara tuanya yang bernama Linggapati."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Mahibit memang
perlu mendapat perhatian. Tetapi agaknya kepergian Empu Ba
ladatu dan dendam Linggapati yang tentu akan mendengar berita
tentang kematian adiknya itu, merupakan bahaya yang setiap saat
dapat melanggar bukan saja padepokan ini. tetapi tentu juga
ketenangan Singasari."
"Ah" desah Empu Sanggadaru, "apakah artinya mereka bagi
Singasari. Sebagian kecil prajurit Singasari yang ada dipadepokan ini
telah berhasil menghancurkan sebagian besar pasukan mereka.
Apalagi seluruh kekuatan Singasari."
"Jangan salah menilai Empu" jawab Mahisa Agni, "apakah Empu
yakin bahwa yang datang ini adalah seluruh kekuatan Empu
Baladatu dan kekuatan Mahibit?"
Empu Sanggadaru tidak menyahut. Tetapi kepalanya teranggukangguk
kecil. "Kami akan mengetahuinya dari para tawanan" berkata. Mahisa
Agni kemudian. 2150 "Ya Senopati"berkata Empu Sanggadaru, "yang aku dengar dari
mereka, kekuatan di Mahibit memang tidak dapat diketahui dengan
pasti. Juga kekuatan yang ada di padepokan Empu Baladatu
sendiri." "Jika kedua kekuatan yang tersisa, tetapi masih dengan
pemimpinnya masing-masing itu bergabung, maka kekuatan itu
harus diperhitungkan."
"Kita akan mendapat petunjuk dimanakah letak padukuhan
mereka" berkata Empu Sanggadaru, "kita tidak akan menuggu. Jika
diperkenankan, kekuatan padepokan yang tidak seberapa ini akan
bersedia ikut serta para prajurit Singasari menuju ke Mahibit dan
padepokan Baladatu."
Tetapi Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak
tergesa-gesa. Mereka sekarang tentu sudah tidak berada di
padepokan masing-masing. Mereka menyadari bahwa beberapa
orang mereka tertawan, sehingga mereka tentu akan mengambil
sikap yang cepat untuk mengamankan kedudukan mereka."
Empu Sanggadaru meng-angguk-angguk. Katanya, "Ya, ya.
Agaknya memang demikian. Kita masih memerlukan waktu barang
sehari untuk mempersiapkan diri."
"Semuanya akan direncanakan dengan cermat Empu. Sekarang
kami ingin mendapat kesempatan untuk berbicara dengan para
tawanan" Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam- Kemudian
kepalanya terangguk-angguk kecil. Jawabnya, "Baiklah Senopati.
Silahkanlah. Mungkin ada hal-hal yang dapat kita jadikan pegangan.
Aku sudah berbicara dengan mereka. Tetapi barangkali masih ada
yang belum terucapkan."
Mahisa Agni pun kemudian menemui beberapa orang tawanan.
Beberapa lamanya ia berbicara dengan mereka. Seperti sikap dan
pembawaannya, maka Mahisa Agni pun berbicara dengan sabar dan
lembut. 2151 Tetapi justru sikapnya itu menumbuhkan berbagai tanggapan
bagi para tawanan. Tetapi sebagian dari mereka justru menjadi
gemetar. Mereka menyangka bahwa sikap itu adalah sikap purapura
semata-mata. Jika dengan sikap pura-pura itu mereka masih
menyembunyikan sesuatu, maka kemudian akan mereka alami
perlakuan yang sebenarnya dari prajurit yang nampaknya ramah
dan lembut itu. Dengan demikian, maka sebagian besar dari para tawanan itu
tidak lagi menyembunyikan sesuatu. Apa yang ditanyakan oleh
Mahisa Agni dijawabnya dengan jelas dan menurut pengenalan
mereka sepenuhnya. Orang-orang Mahibit menceriterakan apa yang mereka ketahui
tentang Linggadadi dan Linggapati. Tentang padepokan yang
tertutup tanpa pintu, tetapi sudah mereka tinggalkan, dan tentang
padepokannya yang kemudian.
"Apakah padepokan yang baru itu juga tidak berpintu?" bertanya
Mahisa Agni. "Ya Seperti itu. Padepokan yang baru itu juga tidak berpintu." jawab
salah seorang dari orang Mahibit itu.
"Siapakah yg berhak tinggal di dalam padepokan itu?"
"Orang-orang pilihan. Hanya empat puluh orang yang boleh
tinggal di dalam padepokan yang tidak berpintu gerbang itu. Dan
empatpuluh orang itu adalah orang-orang pilihan"
"Lalu, di manakah yang lain tinggal?"
Orang itu ragu-ragu sejenak. Kemudian katanya, "Kami tiggal di
padukuhan-padukuhan yang terpisah dari padepokan itu. Kami
tinggal dikampung halaman kami."
Tetapi bukankah kalian pengikut Linggadadi dan Linggapati?"
"Pengaruh kedua orang itu menjadi semakin luas. Padukuhanpadukuhan
di sekitar Mahibit seolah-olah telah dipengaruhinya.
Bahkan para pemimpin pemerintahan di Mahibit telah berada di
bawah perintahnya. Bahkan pada daerah di sekitarnya,
2152 pengaruhnya sudah merata. Meskipun nampaknya pemimpin
pemerintahan di Mahibit masih melakukan tugasnya, tetapi apa
yang mereka lakukan adalah semua perintah yang turun dari
Linggapati." Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah dengan
demikian berarti bahwa Linggapati dan Linggadadi merupakan
orang-orang yang paling terhormat di Mahibit?"
"Mereka adalah orang-orang yang sangat dihormati dalam
keadaan mereka .yang sebenarnya." jawab tawanan itu
"Aku tidak tahu maksudmu"sahut Mahisa Agni.
"Linggapati dan Linggadadi kadang-kadang berkeliaran dalam
ujudnya yang lain dari Linggapati dan Linggadadi yang sangat
dihormati itu. Kadang-kadang mereka berada di sepanjang jalan
kota Mahibit sebagai petani-petani biasa yang memerlukan sesuatu
dikota kecil itu. Tetapi kadang-kadang mereka duduk di simpang
tiga sebagai seorang yang tidak mempunyai kerja apapun selain
berkeliaran. Tetapi kadang-kadang merekapun melintasi daerah
yang panjang sebagal pedagang yang melakukan perjalanan yang
jauh." "Apakah orang-orang Mahibit tidak langsung dapat
mengenalnya?" "Keduanya seolah-olah merupakan rahasia yang tidak mudah
diungkapkan oleh orang-orang Mahibit sendiri. Hanya orang-orang
yang sangat dekat sajalah yang dapat langsung mengenal wajahnya
Teramasuk empatpuluh orang di dalam padepokan itu "
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Dalam pada itu, Mahisa
Bungalan yang ada diantara merekapun bertanya pula, "Apakah kau
tahu, kenapa kau diikut sertakan dalam serangan kali ini ?"
"Tidak. Aku tidak tahu, kenapa aku terpilih. Tetapi adalah suatu
kebanggaan bagi kami, bahwa kami dapat ikut bersama Linggadadi
saat itu." "Dan kau juga berbangga?"
2153 Orang itu tidak menjawab.
"Apakah kau sebelumnya juga pernah menerima latihan-latihan
olah kanuragan secara khusus?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
menganggukkan kepalanya. Katanya, "Ya. Ada beberapa orang dari
keempat puluh orang yang ada dipadepokan itu yang keluar khusus
untuk melatih kami."
Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa
Bungalan lah yang bertanya, "Apakah di antara kalian ada seorang
dari keempat puluh orang itu?"
Orang itu terdiam. Ia sudah menjawab semua pertanyaan. Setiap
kali seseorang bertanya kepadanya, maka jawabnya tidak pernah
berubah, karena jawabnya itu adalah keadaan yg sebenarnya yang
ia ketahui. Kepada Empu Sanggadaru ia mengatakan seperti yang
dikatakannya. Kepada prajurit Singasari dan kemudian kepada
Mahisa Agni. Tetapi pertanyaan yg di lontarkan oleh Mahisa
Bungalan itu adalah pertanyaan yang sangat sulit baginya.
"Jawablah" desak Mahisa Agni. Suaranya masih tetap sareh dan
lembut, "kami tidak akan berbuat diluar wewenang kami sebagai
prajurit." Tiba-tiba saja terasa dada orang itu bergetar. Ia menjadi sangat
bingung. Sepercik ketakutan membayang diwajahnya yg pucat.
Ternyata Mahisa Agni cukup bijaksana menanggapi keadaan. Ia
sadar, bahwa, tentu orang itu tidak berani mengatakannya bahwa di
antara mereka yang tertawan tentu ada seorang atau lebih dari
yang empat puluh itu. Karena itu, Mahisa Agni tidak memaksanya. La pun kemudian
meninggalkan orang itu dan melihat mereka yang terluka. Orangorang
Mahibit yang. terluka dibaringkan diantara orang-orang
Serigala Putih dan Macan Kumbang dibawah penjagaan yang sangat
kuat, apalagi setelah Empu Baladatu melarikan diri.
2154 "Empu akan mengalami kesulitan untuk merawat mereka terus
menerus" berkata Mahisa Agni.
"Ya Senopati. Kami memang akan menyerahkannya kepada prajurit
Singasari." "Kami tidak akan ingkar Kami akan membawa mereka ke Singasari
berangsur-angsur." Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa
Agni berkata, "Tetapi kami masih ingin mendapat penjelasan
tentang empat puluh orang yang tinggal di dalam padepokan itu"
"Mereka tidak mau mengatakannya" sahut Empu Sanggadaru,
"jika benar-benar ada di antara mereka, maka siapa yang
mengatakannya mungkin akan dibunuhnya."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita akan
memanggil mereka dan bertanya secara terpisah. Menilik tingkah
laku tawanan itu, maka sudah hampir dapat dipastikan bahwa tentu
ada salah seorang dari antara keempat puluh orang itu disini."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Dan iapun kemudian
telah mempersiapkan segala sesuatunya, agar salah satu atau lebih
dari para tawanan itu dapat mengatakan tenang salah seorang dari
keempat puluh orang itu. Untuk tidak menimbulkan kecemasan dan kebingungan, maka
yang mula-mula dipanggil dihari berikutnya adalah justru orang dari
padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang. Kemudian berturutturut
sehingga akhirnya orang Mahibitpun terpanggil pula memasuki
ruang yang sudah disediakan.
Ternyata orang Mahibit itu sudah menjadi pucat. Agaknya ia
menyadari, bahwa ia akan ditekan dengan berbagai macam
pertanyaan yang lebih penting dari pertayaan-pertanyaan yang dia
jukan di dalam bilik tawanan mereka.
Meskipun sikap Mahisa Agni masih tetap sareh dan lembut, tetapi
keringat dingin sudah membasahi seluruh orang Mahibit itu.
2155 "Ki Sanak" bertanya Mahisa Agni kemudian, "sudah banyak
pertanyaanku yang kau jawab dengan jelas. Demikian juga kawankawanmu.
Hampir semuanya menjawab dengan jujur, karena
hampir tidak ada selisih sama sekali. Tetapi selain yg sudah kami
tanyakan, maka masih ada satu pertanyaan lagi, apakah ada
diantara kalian salah satu atau lebih dari keempat puluh orang yang
ada didalam padepokan tertutup itu?"
Wajah orang itu menjadi semakin pucat. Apalagi ketika kemudian
Mahisa Bungalan berdiri dan melangkah mendekati orang itu.
Sebuah sentuhan di punggungnya terasa bagai kan ujung pedang
yang siap menghunjam ke dalam dagingnya.
"Katakanlah" bisik Mahisa Bungalan, "apakah kau takut kepada
kawanmu itu?" Orang itu memandang Mahisa Bungalan dengan keringat yang
mengembun dikening. "Aku tahu, jika orang itu mengerti bahwa kau telah
mengatakannya, maka kau tentu akan dicekiknya meskipun kau
berada di antara para tawanan yang lain. Tetapi aku berani
menjamin bahwa kau tidak akan disentuhnya karena aku tidak akan
mengatakan bahwa kaulah yang telah memberikan keterangan."
Orang itu menjawab Tetapi keringatnya semakin basah banyak
mengalir di tubuhnya. "Katakanlah, apakah kau melihat salah seorang dari mereka."
Orang itu masih tetap berdiam diri.
Mahisa Bungalan berjalan mengelilinginya, la masih terlalu muda
untuk menunggu jawaban yang tidak kunjung diucapkan itu. Apalagi
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Tetapi karena Mahisa Agni masih
saja duduk dengan tenang, maka mereka pun masih tetap menahan
diri. "Ki Sanak" berkata Mahisa Agni kemudian, "ada dua
kemungkinan. Pertama, seperti yang di katakan oleh Mahisa
Bungalan kau tidak berani mengatakannya karena orang itu akan
2156 membunuhmu. Tetapi kemungkinan yang lain adalah, bahwa kau
sendirilah salah seorang dari keempat puluh orang itu"
"Bukan, bukan aku"orang itu menjawab dengan serta merta.
Mahisa Agni menarik nafas. Katanya, "Jika bukan kau lalu siapa?"
Orang itu termangu-mangu.
"Jawablah" suara Mahisa Pukat mulai menjadi keras.
Tetapi Mahisa Agni tersenyum dan menyahut, "Jangan berteriak
Mahisa Pukat. Orang itu tentu akan menjadi semakin diam. Cobalah
bayangkan, seandainya ia adalah salah seorang dari keempat puluh
orang itu. Ia tentu bukan kebanyakan pengawal yang takut kepada
tekanan yang berupa apapun. Bahkan ia tentu tidak akan
menghiraukan seandainya kita mengadakan tekanan jasmaniah.
Dengan kekerasan misalnya. Karena tentu seorang yang kebal.
Bahkan ujung pedang sekalipun tidak akan dapat menyobek
kulitnya" "Bukan, Aku bukan salah seorang dari mereka. Dan mereka
itupun sama sekali bukan orang-orang kebal" sahut orang yang
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketakutan itu. Mahisa Agni masih tersenyum. Katanya, "Jangan merendahkan
diri. Aku tahu, kau adalah orang yang kebal "
Orang itu menjadi semakin ketakutan. Senyuman Mahisa Agni
bagaikan senyuman maut yang memanggilnya dari alam yang lain.
Dan Mahisa Agni masih tetap tersenyum. Katanya, "Kau tentu
tidak akan menjawab. Kau akan membuktikan kepada kami bahwa
kau adalah orang yang kebal "
"Tidak. Sama sekati tidak. Jika aku orang yang kebal, aku tidak
akan menyerah. Juga salah satu atau dua orang dari ke empat
puluh orang itu, tidak kebal, sehingga merekapun harus menyerah "
"Kau tidak ingin menyerah. Seperti yang aku katakan. Kau hanya
ingin menunjukkan kekebalanmu jika sekali kami menyentuh
tubuhmu dengan senjata apapun juga, maka kau akan dengan
2157 bangga mengangkat kepala sambil berkata, "Aku orang kebal. Nah
prajurit Singasari, lihatlah "
"Tidak. Tidak."
"Tetapi sudah tentu kami tidak akan mengecewakan mu. Kami
ingin memenuhi keinginanmu agar dapat berbangga karena
kekebalanmu." "Tidak Jangan, jangan. Aku akan berbicara." Mahisa Pukat yang
sudah berdiri tegak dihadapan orang itu mengerutkan keningnya.
Bahkan hampir-hampir ia tidak menahan tertawanya meskipun ia
menjadi kecewa, bahwa ia tidak dapt membuktikan bahwa orang itu
kebal. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam Katanya, "Apakah kau
akan berhicara tentang salah seorang dari ke empat puluh orang
itu?" Orang, itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun
menganguk, "Ya, Aku akan berbicara."
(Bersambung ke jilid 30) Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Ayasdewe
Editing/Rechecking: Arema
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
2158 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 30 MAHISA AGNI bergeser setapak. Katanya, "Biarlah.
Katakanlah. Selain kau, siapa
lagi orang-orang yang termasuk empat puluh orang
dari padepokan tertutup itu. "
"Aku bukan." "O, kau bukan."
"Ya. Aku bukan." orang, itu
berhenti sejenak. "Yang manakah yang kau
maksud?" desak Mahisa
Bungalan yang tidak sabar lagi.
Orang itu menelan ludahnya
Lalu katanya, "Salah seorang
dari mereka adalah orang yang
terluka di antara orang orang Mahibit yang luka-luka"
"Yang mana?" "Yang berkumis tipis. Berwajah keras dengan bekas luka
dikeningnya. Ia adalah salah seorang dari keempat puluh orang
yang berada di padepokan tertutup di Mahibit"
2159 Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya sambil
mengangguk-angguk, "Terima kasih. Tetapi apakah hanya ada satu
orang yang ikut serta bersama kalian kali ini?"
Orang itu ragu-ragu. Namun ia sudah terlanjur mengatakan,
sehingga ia pun berkata selanjutnya, "Ada lima orang yang ikut
serta kali ini mengawal Linggadadi. Aku tidak tahu, apa kali yang
lain sempat melarikan diri atau terbunuh. Yang aku ketahui
hanyalah seorang yang berkumis itu. Tanpa Linggapati dan
Linggadadi. ia adalah orang yang berkuasa atas kami. Karena itu,
jika ia mengetahui bahwa aku telah mengatakan tentang dirinya,
aku tentu akan dibunuhnya. Dengan tangannya sediri, atau tangan
orang lain yang tertawan di s ini." Mahisa Agni mengangguk-angguk.
Katanya, "Terima kasih. Sebaiknya aku akan mempertemukan kau
dengan orang itu. Aku akan minta.agar ia tidak berbuat apa-apa. "
"O, tidak. Jangan. Aku akan dibunuhnya, "
"Kau salah Ki Sanak. Jika aku mengatakan, bahwa apabila terjadi
sesuatu atasmu, maka orang itulah yang bertanggung jawab.
Sehingga dengan demikian, ia tidak akan berani memerintahkan
membunuhmu. " "Tidak Ia akan mencekikku sampai mati. "
"Aku pun dapat melakukan atasnya. "
"Sebaiknya jangan. "
"Aku akan menanggung keselamatanmu "
Orang itu ragu-ragu sejenak. Lalu katanya, "Atau singkirkan aku
dari tempat ini. Aku tidak akan ingkar, kemanapun aku akan dibawa
" Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan
merahasiakannya. Aku akan mencoba memperlakukan orang itu
seolah-olah kami tidak mengetahui bahwa orang Itu adalah salah
satu dari empat puluh orang di dalam padepokan tertutup itu."
2160 Orang yang tertawan itu menarik nafas dalam dalam Lalu
katanya, "Terima kasih. Aku harap bahwa aku akan selamat
meskipun aku harus dihukum oleh prajurit Singasari. Sebenarnyalah
bahwa tidak ada keinginanku untuk melawan kekuasaan Singasari. "
Mahisa Agni tersenyum, sedang Mahisa Bungalan menjawab,
"Jika kau tidak ingin melawan, kenapa kau ikut bertempur?"
"Tidak ada pilihan lain bagiku. "
Demikianlah maka orang itu pun dikembalikannya ke dalam
tempat untuk menawannya. Dengan cara yang sama.
Mahisa Agni mendapat keterangan dari tiga orang yang serupa,
bahwa otang berkumis dan cacat dikening itu adalah salah seorang
dari empat puluh orang di dalam lingkungan padepokan tertutup di
Mahibit itu. "Kita tidak dapat tergesa-gesa" berkata Mahisa Bungalan,
"biarlah orang itu kami bawa lebih dahulu ke Singasari, sehingga
penjagaan atasnya akan lebih terjamin. "
Empu Sanggadaru meng-angguk-angguk. Katanya, "Terserah
kepada para Senopati di Singasari. Aku hanya mengharap kelak
mendapat keterangan yang akan dapat kami jadikan pegangan.
Sebab dengan hilangnya Baladalu aku masih tetap cemas, bahwa ia
akan datang mulai dengan kekuatan yang lebih besar."
"Ya Empu. Dan untuk itu. kami akan tetap menempatkan prajurit
Singasari di padepokan ini. Barangkali Mahisa Bungalan, Mahisa
Pukat dan Mahisa Murti akan tetap tinggal di sini pula untuk
sementara." Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap
dicengkam oleh kecemasan justru karena tingkah adiknya itu.
Ternyata Mahisa Agni tidak berada terlalu lama di padepokan itu.
Setelah bermalam dua malam untuk meneliti semua keadaan, muka
ia pun memutuskan untuk kembali ke Singasari.
2161 "Diantara kalian yang terluka akan aku bawa serta ke Singasari"
berkata Mahisa Agni kepada para tawanan, "dengan demikian, maka
kalian akan mendapatkan perawatan yang lebih baik. Tetapi sayang,
bahwa mungkin tidak sekaligus semuanya dapat aku bawa serta.
Pada kesempatan pertama ini mungkin baru tiga atau empat orang
saja." Sejenak mereka termangu-mangu. Namun orang berkumis dan
cacat di kening itu tiba-tiba saja menyahut, "Tentu yang terluka
parah. Memang mereka memerlukan perawatan yang lebih baik.,"
Tetapi Mahisa Agni menggelengkan; kepalanya. Katanya, "Sayang.
Kali ini bukan mereka. Yang akan pergi bersamaku adalah mereka
yang terluka meskipun nampaknya tidak begitu parah, tetapi
membahayakan jiwanya. Atau mungkin cacat jiwa di s isa hidupnya."
"O" orang berkumis itu mengangguk-angguk, "mungkin perlu
sekali. Untunglah bahwa aku sudah sembuh sama sekali."
"Kau sudah mulai hidup dalam khayalan," berkata Mahisa Agni
sambil menunjukkan orang berkumis itu. Sehingga orang itu.
terkejut, "apakah maksud Senopati?"
"Lukamu sangat berbahaya. Kau dipengaruhi oleh racun yang
akan dapat membuat jiwamu cacat sepanjang umurmu. Kau
sekarang sudah mulai dibayangi oleh khayalan yang berbahaya Kau
sama sekali belum sembuh. Bahkan lukamu yang kecil itu akan
menjadi semakin parah."
Wajah orang itu menjadi tegang. Karanya, "Jadi aku harus ikut ke
Singasari?" "Ya. Kau dapat dua atau tiga orang lain. Tetapi agaknya kaulah
yang paling parah." "Tidak." tiba-tiba saja orang itu meloncat berdiri, " aku tidak mau
pergi ke Singasari. Aku sudah sembuh sama sekali."
"Khayalanmu membuat kau mengalami kejutan semacam itu.
Tenanglah." 2162 "Tidak. Bohong. Semuanya itu hanya sekedar cara untuk menipu
aku. Aku tahu sekarang, tentu ada orang yang telah menunjukkan
siapakah aku sebenarnya."
Mahisa Agnipun menjadi tegang sejenak. Juga orang-orang
Mahibit yang mendengar kata-kata itu. Apalagi mereka yang merasa
telah mengatakan tentang orang berkumis itu.
"Ki Sanak" berkata Mahisa Agni sareh, "baiklah. Agaknya
memang demikian. Tetapi kau tidak akan mengetahui s iapakah yang
telah mengatakan, bahwa kau termasuk salah satu dari empat
puluh orang yang tinggal di dalam dinding tertutup dan tanpa pintu
sama sekali itu." "Gila. Aku tentu akan menemukannya. Aku akan mencekiknya
sampai mati. Jika aku tidak terluka dan pingsan, aku tidak akan
menyerah dan menjadi tawanan seperti ini. Karena itu. sekarang,
aku tidak lagi sedang pingsan. Meskipun aku masih terluka, namun
aku akan bertempur melawan siapapun juga sampai mati, karena
aku sadar, bahwa prajurit-prajurit Singasari akan mengeroyokku."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Kekecewaannya atas
hilangnya Empu Baladatu masih saja mencengkamnya. Dan kini ia
mendengar orang Mahibit itu berteriak dengan sombongnya
Tetapi ia heran ketika ia melihat Mahisa Agni masih saja
tersenyum. sambil berkata, "Jangan terlalu sombong Ki Sanak. Itu
tidak baik. Apakah untungnya mati dikeroyok orang banyak" Lebih
baik ikut sajalah kami ke Singasari. Kami akan mengobati lukalukamu,
dan sudah tentu kami ingin mendengar beberapa
keterangan tentang Mahibit itu pun sudah bukan merupakan
rahasia lagi, karena sebagian dari padepokanmu yang tertutup itu
sudah terbaca oleh petugas-petugas sandi sejak lama. Mungkin
Linggapati menyadari, sehingga ia telah memindahkan
padepokannya dari ujung kota Mahibit ke tempatnya yang
sekarang." Orang itu termangu-mangu sejenak. Ia pun menjadi heran,
bahwa Mahisa Agni itu masih saja bersikap acuh tidak acuh.
2163 "Senapati tua ini benar-benar seorang yang memiliki kemampuan
di luar kemampuan manusia" berkata orang itu di dalam hatinya
karena ia pernah mendengar nama Mahisa Agni.
"Sudahlah. Kita akan berangkat. Kau akan mendapat seekor kuda
khusus. Demikian pula dua orang kawanmu. pilihlah, siapakah yang
akan kau ajak untuk menemanimu."
Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Tidak. Aku akan mati di sini."
"Kenapa kau memilih mati" Aku tahu, empat puluh orang yang
berada di dalam lingkungan dinding tertutup itu tentu sudah
bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia padepokannya.
Baiklah. Kami tidak akan memaksa. Tetapi hal-hal yang tidak
bersifat rahasia, yang umum sekali, tentu boleh kau sebut. Misalnya
apakah Linggapati mempunyai adik yang lain kecuali Linggadadi
yang terbunuh itu?" "Persetan." Mahisa Agni tertawa. Katanya, "Kau memang keras kepala.
Tetapi agaknya kau memang telah dibentuk demikian. Seperti juga
Empu Baladatu yang melarikan diri setelah mebunuh penjaganya.
He. apakah kau juga merencanakannya."
"Cukup. Cukup Pertanyaanmu membuat aku muak."
"Jangan membentak Ki Sanak. Aku orang tua. Tidak baik dilihat
orang. Kau masih terlalu muda untuk membentak aku."
"Senapati" tiba-tiba saja Empu Sanggadaru memotong, "aku
akan menyelesaikannya. Kepergian Empu Baladatu aku hampir gila.
Mungkin orang ini akan dapat mengurangi ketegangan otakku."
Mahisa Agni tersenyum. Ia dapat mengerti, betapa hati Empu
Sanggadaru bagaikan diguncang oleh kekecewaan, marah dan
penyesalan yang bercampur haru. Namun demikian Mahisa Agni
mendekatinya sambil berkata, "Empu sudah menujukkan sikap dan
budi yang luhur. Karena itu, biarlah Empu tetap pada sikap itu.
Serahkan orang ini kepadaku."
2164 Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya pun
tertunduk meskipun terasa hatinya bergejolak.
Yang hampir tidak dapat dicegah lagi adalah Mahisa Murti.
Dengan serta merta ia meloncat sambil berkata, "Paman. Biarlah
aku membuktikan. Apakah yang empatpuluh orang di dalam
padepokan tertutup itu benar-benar bukan manusia wantah."
Sekali lagi Mahisa Agni tersenyum Katanya, "Siapakah yang
mengatakan bahwa mereka bukannya manusia wantah?"
Mahisa Murti menjadi bingung sejenak. Namun kemudian
katanya, "Lihatlah, bagaimana angkuh sikapnya. Seolah olah ia
membenarkan bahwa empatpuluh orang di padepokan tanpa pintu
itu memiliki ilmu yang tidak terjangkau oleh manusia di luar dinding
padepokannya." "Keangkuhan dan kesombongannya itulah yang justru
menunjukkan, bahwa ia adalah manusia sewajarnya. Dan kau tidak
usah ikut menjadi sombong dan angkuh."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun aapun kemudian
melangkah surut. Namun dalam pada itu, orang berkumis itu menjadi semakin
marah, seolah-olah ia hanya sekedar menjadi bahan tertawaan bagi
Mahisa Agni. Meskipun ia sudah pernah mendengar kebesaran
namanya, tetapi kemarahannya telah membuatnya gelap hati.
Apalagi ia merasa bahwa iapun memiliki ilmu yang cukup. Tentu
hanya karena kebetulan atau kelengahan, mungkin karena ada dua
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau tiga orang yang menyerangnya bersama-sama sehingga ia
terluka dan pingsan sehingga ia tertawan.
Karena itulah, maka iapun tiba-tiba telah meloncat menerkam
Senopati yang sudah menjadi semakin tua dan seolah-olah sama
sekali tidak bersiaga itu.
Mahisa Agni melihat serangan itu. Tetapi ia sama sekali tidak
melakukan apapun juga. karena iapun melihat dalam waktu yang
bersamaan Mahisa Bungalan lelah meloncat pula.
2165 Dua kekuatan telah berbenturan. Tetapi kedua kekuatan itu
ternyata tidak berimbang. Mahisa Bungalan telah berhasil
membunuh Linggadadi. Orang kedua di Mahibit. Apalagi salah
seorang pengawalnya yang sudah terluka.
Untunglah Mahisa Bungalan pun tidak melontarkan segenap
kekuatannya. Ia menyadari, bahwa dengan segenap kekuatannya
maka orang itu tentu akan terbunuh. Dan itu berarti suatu kerugian
bagi Singasari dalam keadaan yang gawat ini.
Orang berkumis yang membentur kekuatan Mahisa Bungalan
itupun telah terlempar beberapa langkah. Dengan kerasnya ia
terbanting di tanah. Orang itu masih berusaha untuk menggeliat dan bangkit. Tetapi
ternyata bahwa kekuatannya bagaikan larut sama sekali. Selain oleh
benturan yang keras melampaui ketahanan tubuhnya, juga karena
luka-lukanya sendiri yang belum sembuh.
Terdengar orang itu mengerang. Tetapi ia tidak pingsan.
Mahisa Agni mendekatinya. Dengan hati-hati ia berjongkok di
sampingnya. "Pergi, pergi. Aku bunuh kau" geram orang itu.
"Kau benar-benar seorang laki-laki" desis Mahisa Agni, "kau keras
hati dan pantang menyerah"
"Lebih baik aku mati daripada menyerah."
"Aku percaya bahwa kau bukan sekedar menyombong kan diri."
jawab Mahisa Agni, "tetapi sayang sekali."
Orang itu termangu-mangu. Seolah-olah ia ingin bertanya,
apakah yang disayangkan oleh Mahisa Agni.
"Ki Sanak. Jika sifat jantanmu itu berada di jalan kebenaran,
maka aku kira kita akan hidup sejahtera dan tenang. Setiap orang
akan mendapatkan perlindungan apabila jumlah orang-orang jantan
yang berada di jalan kebenaran semakin besar jumlahnya."
2166 "Diam. jangan gurui aku. Aku tidak perlu sesorahmu"
Mahisa Agni menggeleng, "Tidak Ki Sanak. Aku tidak sesorah.
Aku mengatakan apa yang aku lihat sekarang. Seorang Laki-laki
jantan yang pantang menyerah. Yang lebih baik mati daripada
menguncupkan tangannya."
"Kalau kau ingin membunuh sekarang, bunuhlah."
"Sayang sekali. Dengan demikian maka kita akan kehilangan.
Meskipun kau memilih jalan sesat, tetapi padamu masih juga, ada
pilihan." ."Diam. Diam." "Baiklah Ki Sanak. Aku akan diam. Dan kau akan segera diangkat
kedalam bilikmu. Setelah kau beristirahat sejenak, maka kau akan
kami bawa ke Singasari. Kami akan menunjukkan kepada Sri
Baginda di Singasari, Bahwa sikap jantan seperti yang kau miliki ini
perlu dibina pada setiap hati prajurit Singasari. Pantang menyerah
dan tidak takut mati sama sekali. Tentu saja., ada yang harus
disisihkan, yaitu kesesatanmu."
"Diam. diam, setan."
"Tentu kau yakin, bahwa kau telah memilih jalan yang paling
baik, meskipun kau tahu bahwa itu salah. Karena ada orang yang
berbuat kesalahan karena ia tidak mengetahui, tetapi ada yang
melakukannya dengan sadar dan bahkan ya kin seperti kau.
sehingga kesalahan yang kau yakini itu akan kau pertahankan
sampai mati. Disinilah letak kesia-siaanmu. Setelah kau menjadi
seorang Laki-laki jantan yang memilih mati daripada menyerah,
maka ternyata bahwa pilihannya itu ada lah sia-sia."
Wajah orang itu menjadi semakin tegang oleh kemarahan yang
menghentak-hentak dadanya. Namun justru karena itu, maka
mulutnya bagaikan tidak dapat mengucap lagi. Dipandanginya saja
Mahisa Agni yang berjongkok disampingnya kemudian herkata lagi,
"Camkanlah. Dan bertanyalah kepada dirimu sendiri. Jika kau mati
karena keyakinanmu, apakah kematianmu itu mempunyai arti"
2167 Agaknya itulah tidak seimbang padamu. Kejantanan dan kesiasiaan."
Orang itu tidak menjawab lagi. Betapapun jantungnya bagaikan
bergelora. Mahisa Agni pun kemudian berdiri sambil berkata kepada Mahisa
Pukat dan Mihisa Murti, "Bawalah ia kebiliknya Aku akan bersiapsiap
untuk berangkat. Setelah pernafasannya pulih, iapun akan
segera berangkat bersama kami."
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangkat orang
berkumis itu ia sama sekali tidak berusaha untuk menolak.
Dibiarkannya saja tangan kedua anak-anak muda itu
mengangkatnya dan membawanya ke dalam baliknya.
Sejenak orang itu masih terbaring. Beberapa orang kawannya
menjadi sangat ketakutan karenanya. Mereka menyangka, jika
orang itu nanti menjadi segar kembali ia tentu akan marah dan
membunuh setiap orang dari Mahibit yang dianggapnya telah
membuka rahasianya. Tetapi ternyata setelah pernafasannya mulai teratur, dan
perlahan-lahan mampu bangkit kembali, orang berkumis itu tidak
menunjukkan gejala-gejala yang membahayakan kawananya.
Bahkan ia pun kemudian duduk saja di sudut sambil memeluk
lututnya. Ternyata kata-kata Mahisa Agni telah menyentuh hatinya, ia
mulai bertanya kepada diri sendiri, apakah jika benar-benar ia mati,
kematiannya itu ada artinya.
"Tentu" ia menggeretakkan giginya, "aku telah memperjuangkan
suatu cita-cita yang luhur bagi Mahibit." ,
Tetapi kemudian timbul lagi sebuah pertanyaan "Apa kah artinya
pemberontakan yang disiapkan oleh Linggapati dan Linggadadi"
Dengan kekuatan dari padepokan Macan Kumbang dan Serigala
Putih, orang-orang Mahibit tidak berhasil mengalahkan sebuah
padepokan. Sebuah padepokan saja meskipun dipadepokan ini
2168 ternyata ada beberapa orang prajurit Singasari. Hanya beberapa.
Sehingga apakah artinya kekuatan Mahibit yang sebenarnya
dibanding kekuatan Singasari" Jika Linggapati menilai perjuangan
Sri Rajasa yang perkasa itu dari sebuah lingkungan kecil, dimana
pada saat itu Ken Arok memegang jabatan sebagai seorang Akuwu
di Tumapel namun tentu ada persoalan-persoalan lain yang
menyangkut, hubungan antara Kediri dan Tumapel, terutama dari
segi pengaruh para Brahmana."
Orang berkumis itu mengerutkan keningnya. Masih Terngiang
kata-kata Mahisa Agni, tidak ada keseimbangan antara
kejantanannya dan kesia-siaannya.
Orang berkumis itu tidak sempat mempertimbangkannya terlalu
panjang, karena iapun kemudian melihat Mahisa Agni sendiri datang
menjemputnya sambil berkata, "Marilah"
Orang itu tetap berdiam diri.
Orang itu tidak menjawab. Seolah-olah diluar sadarnya, ia pun
bangkit perlahan-lahan, karena dadanya masih terasa agak sesak
"Kemarilah" desis Mahisa Agni.
Orang itupun datang kepadanya dan mengikutinya.
"Kali ini kau pergi sendiri" berkata Mahisa Agni, "kau mendapat
kehormatan khusus dari prajurit-prajurit Singasari. Kudamu sudah
siap Tentu kau pun sudah siap."
Sejenak kemudian, maka iring-iringan prajurit Singasari itu pun
meninggalkan padepokan Empu Sanggadaru dengan kesan yang
sungguh-sungguh tentang kemungkinan yang buruk yang akan
dapat ditimbulkan oleh Linggapati maupun oleh Empu Baladatu
yang berhasil melarikan diri.
Sementara itu, para tawanan dari Mahibit. justru menjaji tenang
ketika orang berkumis itu sudah tidak ada lagi di antara mereka.
Mereka sadar sepenuhnya bahwa orang berkumis itu akan dapat
menjadi bencana yang mengerikan, jika ia masih tetap berada di
antara kawan-kawannya yang tertawan dan terluka.
2169 Justru sepeningal orang berkumis itu, orang-orang Mahibit Yang
tidak lagi dicengkam oleh ketakutan, mulai dengan leluasa
menceriterakan apa saja yang mereka ketahui tentang Mahibit.
Namun yang mereka ketahuipun hanya terbatas sekali. Hanya
terbatas keadaan di luar dinding tertutup yang jarang sekali mereka
lihat bagian dalamnya. Dalam pada itu, Empu Baladatu yang masih dalam keadaan
terluka, dan setelah berhasil membunuh pengawasnya,
meninggalkan padepokan kakaknya. berjalan dengan susah payah
menjauhi padepokan yang baginya merupakan neraka itu.
Ia telah gagal menciptakan suatu upacara korban terbesar bagi
aliran ilmunya untuk mencengkam murid-muridnya agar menjadi
semakin patuh kepadanya. Sehingga dengan demikiain ia tidak
dapat menepuk dada sambil menyebut dirinya sebagai Maha Guru
yang paling berwibawa dari aliran di sepanjang masa.
Korban purnama naik pada bulan itu, justru terjadi sebaliknya.
Pasukannya telah dihancurkan hampir mutlak, ia sendiri tertawan
dan tidak berdaya sama sekali. Hanya karena Empu Sanggadaru
adalah kakak kandungnya, maka ia dapat mempergunakan
kelengahannya untuk melarikan diri dengan mengorbankan
pengawal yang sedang mengawasinya.
Namun dalam pada itu, dendam telah menyala di dalam hatinya.
Dan Empu Baladatu telah bersumpah kepada diri sendiri, untuk
membalas dendam itu sampai tuntas.
"Aku masih mempunyai kesempatan" berkata Empu haladatu
dengan kemarahan yang menghentak dadanya.
Namun daya tahan tubuh Empu Baladatu memang luar biasa
sekali. Meskipun ia masih belum sembuh dari lukanya yang parah, ia
masih mampu berjalan hampir sehari semalam. Hanya sekali-kali ia
berhenti dibalik gerumbul-gerumbul liar. Minum seteguk air dari
sumber-sumber air di pinggir sungai, dan mencuri buah jagung
muda disawah atau akar ketela rambat.
2170 Di s iang hari Empu Baladatu berjalan sambil bersembunyi di balik
hutan-hutan kecil atau lapanggan perdu yang rimbun. Sedangkan di
malam hari ia berjalan langsung menuju kepadepokannya yang
jauh. Tetapi Empu Baladatu tidak mau berjalan terus. Setelah berjalan
sehari semalam, ia merasa sudah tidak dapat diikuti lagi jejaknya
oleh orang-orang padepokan kakak kandungnya. Karena itu, maka
ia sempat beristirahat dan tidur hampir semalam suntuk di sebuah
batu besar di pinggir sungai yang jarang didatangi oleh manusia.
Meskipun ia masih dalam keadaan terluka, namun Empu Baladatu
sama sekali tidak takut, seandainya ada seekor binatang buas yang
mendatanginya di malam hati. Ia yakin bahwa telinganya masih
mampu mendengar desir langkah kaki binatang itu di atas batu-batu
kerikil sebelum mencapai batu be sar dipinggir sungai itu.
"Biasanya binatang buas mencari air dibagian yang langsung
dapat diteguknya" berkata Empu Baladatu kepada diri sendiri
sehingga iapun kemudian dengan tenang dapat beristirahat.
Ketika fajar menyingsing Empu Baladatu baru terbangun.Tidak
ada yang mengusiknya sama sekali. Meskipun perutnya terasa agak
lain, karena yang dimakannya adalah akar-akaran dan buah-buahan
yang mentah, namun ia sama sekali tidak menghiraukannya.
Setelah membersihkan wajahnya dengan air sungai dan bahkan
kemudian dengan membuat sumber kecil ditepian, iapun minum
seteguk. maka ia mulai membenahi diri.
Ketika matahari mulai naik, Empu Baladatu melanjutkan
perjalannya menyusuri sungai yang begitu besar. Sebagai seorang
perantau, ia mengerti, kemana ia harus melangkah. Meskipun ia
belum pernah melalui tempat yang asing itu, tetapi ia tidak pernah
kehilangan arah. pun cak gunung dan bintang di malam hari. Selalu
menjadi petunjuk, dimana ia sedang berada, dan ke arah mana ia
sedang melangkah. Tetapi berjalan kaki adalah pekerjaan yang menjemukan. Ia lebih
senang pergi berkuda. Kuda siapapun juga.
2171 Maka mulailah rencananya untuk mendapatkan seekor kuda Bagi
Empu Baladatu, maka mendapatkan seekor kuda tentu akan dapat
dilakukannya dengan mudah
Meskipun demikian Empu Baladatu tidak mau merampas kuda
seseorang dergan terang-terangan. Ketika ia melihat seekor kuda.
yang tegar di sebuah kandang, maka ia pun tertegun.
Empu Baladatu tidak meneruskan perjalanannya. Ia berhenti di
sebuah bulak di bawah sebatang pohon yang rindang. Seperti
seorang perantau yang kelelahan, ia pun kemudian duduk
bersandar dengan mata yang setengah terpejam.
Sebenarnyalah Empu Baladatu memang sedang terkantukkantuk.
Ia sama sekali tidak cemas, bahwa seseorang akan dapat
mengenalnya di tempat yang terasing itu.
Menuntut Balas 20 Vladd Game Over Karya Hilman H Manusia Beracun 2
meloncat sambil menjatuhkan dirinya kembali.
Serangan itu benar-benar datang dengan cepatnya. Lebih cepat
dari dugaan Mahisa Bungalan. Itulah sebabnya, maka ia tidak
sempat menghindarkan diri seluruhnya. Ketika ia meloncat dan
menjatuhkan diri sekali, lagi. maka terasa ujung senjata lawannya
telah menyengat pundaknya.
Mahisa Bungalan berdesis. Sambil berguling ia memperhatikan
sikap lawannya. Tetapi agaknya lawannya menyadari bahwa
senjatanya berhasil mematuk tubuh Mahisa Bungalan, sehingga
justru karena itu, maka ada kesempatan sekejap baginya selama
lawannya meyakinkan diri atas kemenangannya yang sesaat itu.
2111 Mahisa Bungalan sempat mempergunakan kesempatan itu
sebaik-baiknya. Itulah sebabnya, maka ia tidak mau terlambat.
Ketika ia melenting berdiri, maka ia justru berusaha mendekat
lawannya dan dengan dahsyatnya menebaskan senjatanya
mendatar. Linggadadi terkejut. Meskipun ia melihat darah, tetapi ternyata
luka lawannya tidak terlalu parah. Karena itulah maka ketika
serangan Mahisa Bungalan datang, Linggadadi lah yang kemudian
harus menghindar. Namun demikian ia masih sempat berteriak, "Lukamu telah
menitikkan darah. Semakin lama akan menjadi semakin banyak
sehingga akan datang saatnya kau tidak Mampu lagi untuk
melawan." Mahisa Bungalan tidak menjawab. Tetapi serangannya lah yang
kemudian datang membadai. Dengan cepat senjata menyambar
lawannya seperti kilat menyambar dilangit.
Linggadadi mengumpat. Ia mencoba untuk menghindar sambil
menyerang. Tetapi tekanan serangan Mahisa Bungalan ternyata
sangat dahsyatnya, sehingga ia justru kehilangan keseimbangan.
Linggadadi lah yang kemudian menjatuhkan dirinya karena ia
tidak mau dadanya pecah oleh senjata lawan. Dengan cepat ia
berguling. Kemudian ia mencoba menangkis serangan Mahisa
Bungalan yang datang beruntun masih dalam keadaannya, terbaring
di tanah. Ketika terjadi benturan senjata, maka terasa, bahwa kekuatan
Linggadadi yang kurang mapan itu tidak mampu menahan ayunan
senjata Mahisa Bungalan. Karena itu, maka ia masih harus bergeser
pada pungungnya, sehingga ujung senjata lawannya tidak mengenai
wajahnya. Tetapi agaknya Linggadadi cukup cekatan. Demikian ia berkisar,
maka kakinya pun segera menyilang dengan kerasnya menghantam
betis Mahisa Bungalan, sehingga Mahisa Bungalan pun terlempar
dan jatuh pula di tanah. 2112 Namun keduanya ternyata memiliki kecepatan bergerak diluar
jangkauan orang kebanyakan, karena sesaat kemudian keduanya
telah tegak berhadapan dengan senjata teracung
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan mempunyai kelebihan
waktu sekejap. Dengan serta merta iapun segera meloncat
menyerang dengan dahsyatnya. Serangannya yang mengejutkan
itu, masih dapat dielakkan oleh Linggadadi. Tetapi putaran kaki
Mahisa Bungalan benar-benar tidak diduga oleh Linggadadi. Ia
menyangka bahwa Mahisa Bungalan akan terdorong oleh
kekuatannya yang tersalur lewat serangannya itu, sehingga ia harus
berusaha mencari keseimbangan sebelum Linggadadi membalas
menyerang- Namun ternyata bahwa Mahisa Bungalan telah berbuat
lain. Perhitungannya ternyata mendahului satu lapisan dari
lawannya, sehingga karena itu, maki serangannya yang berikut
benar-benar telah mengejutkan Linggadadi.
Dengan gugup Linggadadi meloncat kesamping. Ia masih
berusaha mencari jarak untuk menentukan sikap yang kemudian.
Tetapi serangan Mahisa Bungalan datang beruntun seperti
gelombang di lautan. Sejenak kemudian terdengar desah tertahan. Sebelum Mahisa
Bungalan menjadi semakin lemah karena darahnya yang mengalir
dari lukanya, maka ia telah berhasil melukai lawannya pula. Sebuah
goresan yang panjang telah menyobek kulit Linggadadi di dadanya.
Linggadadi menggeram. Tetapi ia tidak dapat melepas kenyataan
yang dialaminya. Badannya terluka. dan darahnya meleleh dari luka
itu, lebih deras dari darah yang mengalir dari luka Mahisa Bungalan
Sejenak keduanya berdiri berhadapan, seolah-olah masingmasing
ingin menilai keadaan. Masing-masing sadar, bahwa mereka
telah terluka. Karena itulah, maka mereka berdua bertekad untuk
menghentakkan semua kemampuan dan ilmunya untuk segera
mengalahkan lawannya. Sejenak kemudian keduanya telah terlibat lagi dalam
pertempuran yang dahsyat. Namun ternyata bahwa luka masingTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
2113 masing mula, terasa berpengaruh. Darah yang menetes telah
menyusutkan kemampuan mereka mengerahkan tenaga cadangan.
Apalagi perasaan sakit yang menggigit kulit rasa-rasanya telah
memecahkan semua pemusatan pikiran dan nalar.
Tetapi ternyata bahwa tenaga Linggadadi lah yang lebih cepat
susut, karena lukanya yang lebih parah. rasa-rasanya tulangtulangnya
mulai dilepas dari dirinya. Tangannya semakin lama
menjadi semakin gemetar dan bahkan kemudian seolah-olah
tangannya tidak lagi mampu menggenggam senjatanya.
Mahisa Bungalan pun merasa seakan-akan tenaganya menjadi
semakin susut. Tetapi dalam kecemasannya, ia melihat lawannya
selalu meloncat surut. Bahkan kemudian terasa perlawanannya tidak
lagi menentu. "Darahnya lebih banyak mengalir" berkata Mahisa Bungalan di
dalam hatinya. Namun dalam pada itu. Linggadadi merasa bahwa kekuatannya
sudah semakin larut, membuat perhitungan terakhir. Ia telah
terlanjur berada dalam arena yang sama sekali tidak disangkanya.
Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan bertemu dengan anak
muda yang bernama Mahisa Bungalan yg mendapat gelar seperti
dirinya sendiri, pembunuh orang berilmu hitam. Dan bahkan
ternyata bahwa ia sama sekali tidak dapat mengatasi kemampuan
ilmu anak muda itu Keadaannya yang terakhir telah memaksanya untuk mengambil
suatu sikap yang menentukan. Menang atau mati.
Itulah sebabnya, maka dalam kesempatan terakhir, Linggadadi
telah menghimpun semua sisa tenaga yang ada. Ketika ia melihat
sebuah kesempatan, maka dengan serta merta. sambil berteriak
nyaring ia menyerang, dengan dahsyatnya. Senjatanya berputar
seperti baling-baling, kemudian dengan kekuatan raksasa senjata itu
telah menghantam lawannya.
Mahisa Bungalan yang sudah terluka pun terkejut melihat
serangan yang dahsyat itu. Serangan yang sama sekali tidak
2114 diduganya. Apalagi di saat terakhir nampaknya Linggadadi telah
kehilangan hampir separo dari kekuatannya.
Tetapi tiba-tiba serangan itu datang dahsyat sekali.
Itulah sebabnya, maka diluar kemampuannya, maka Mahisa
Bungalan pun harus mengambil sikap yang cepat. Ia pun dengan
serta merta menghimpun sisa tenaganya pula. Iapun
menghentakkan kemampuan yang masih ada padanya untuk
menangkis serangan yang tidak sempat dihindarinya itu.
Maka terjadilah benturan kekuatan: yang sangat dahsyat.
Meskipun kekuatan itu telah jauh susut, tetapi hentakan yang tibatiba
dengan pengerahan segenap tenaga cadangan yang tersisa,
maka benturan itu benar-benar merupakan benturan yang.
menentukan. Terdengar dentang senjata beradu dengan kerasnya sehingga
bunga-bunga api berloncatan dalam cahaya bulan yang semakin
rendah di ujung barat. Kemudian disusul oleh keluhan yang tertahan
dan tubuh yang terlempar jatuh terbanting di tanah.
Beberapa langkah dari benturan itu, Linggadadi jatuh terlentang.
Senjatanya terlepas dari tangannya. Sedang dari lukanya mengalir
darah yang bagaikan tidak akan kering. Nafasnya yang terengahengah
kadang-kadang terputus untuk beberapa saat dan tarikan
yang kemudian sama sekali sudali tidak teratur lagi.
Di arah yang lain, Mahisa Bungalan terdorong beberapa langkah
dan terhuyung-huyung beberapa saat. Ia pun tidak lagi dapat
menguasai keseimbangannya dan bertelekan senjatanya ia terjatuh
pada lututnya. Tetapi sejenak kemudian, ia sama sekali tidak
mampu lagi untuk berlutut. Dengan nafas yang sendat ia jauh
terguling di tanah sambil memejamkan matanya.
Sejenak kemudian keduanya telah terbaring diam dalam usapan
cahaya bulan yang kekuning-kuningan.
Beberapa orang melihat akibat dari benturan itu menjadi
berdebar-debar. Beberapa orang Mahibit ingin berLari-lari melihat
2115 linggadadi. Tetapi ternyata lawan-lawan mereka pun telah menahan
dengan sekuat tenaga, agar orang-orang Mahibit tidak berbuat
curang terhadap Mahisa Bungalan yang terbaring pula. Tetapi
orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru pun tidak dapat
segera mendekati Mahisa Bungalan karena lawan-lawan mereka pun
selalu menghalang-halangi.
Dalam pada itu Empu Baladatu benar-benar tidak menduga,
bahwa serangan yang dianggapnya tidak akan mendapat rintangan
yang berarti itu telah mengalami banyak kesulitan. Ia sama sekali
tidak mengerti. bahwa ada sepasukan prajurit Singasari pilihan dan
cantrik-cantrik yang terlatih baik berada di antara pasukan Empu
Sanggadaru. Meskipun pasukan Empu Baladatu sendiri telah
ditempa dengan sejauh-jauh dapat dilakukan, namun menghadapi
prajurit-prajurit pilihan, orang-orangnya ternyata banyak mengalami
kesulitan. Bukan saja dalam perang seorang lawan seorang, tetapi
juga dalam olah ketrampilan dan tata cara peperangan dalam
kelompok-kelompok yang besar
Dalam silirnya angin malam yang berbau darah, kedua sosok
tubuh ilu masih saja terbaring diam. Namun kemudian perlahanlahan
Mahisa Bungalan mulai membuka matanya. Dalam saat-saat
berikutnya, mulailah ia menyadari apa yang telah terjadi, sehingga
dengan sepenuh sisa kekuatannya, iapun mencoba untuk bangkit
dan duduk bertelekan pada kedua lengannya.
Tak seorang pun yang dapat mendekat. Empu Sanggadaru pun
tidak, karena Empu Baladatu telah melibatnya dalam perkelahian
yang sengit. Karena itulah maka seolah-olah, pertempuran yang dahsyat itu
tidak mengacuhkannya sama sekali. Dibiarkannya ia bangkit dan
duduk sambil memijit keningnya. Kemudian menggeleng-gelengkan
kepalanya. seolah-olah ingin mengusir kebimbangan yang masih
mencengkam hatinya. Tetapi kepalanya masih terasa pening, dan tubuhnya masih
lemah, sehingga Mahisa Bungalan pun kemudian memutuskan untuk
2116 memusatkan segenap daya lahir dan batinnya untuk memulihkan
kekuatannya. Ia pun kemudian duduk bersila dan menyilangkan tangannya di
dadanya. Kemudian dicobanya mengatur pernafasannya sebaikbaiknya.
Mahisa Bungalan hanya melakukannya untuk beberapa .saat
yang pendek. Ia sadar, bahwa setiap saat bahaya datang
mengancam. Jika ada seorang saja dari lawan yang lolos dari
pertahanan orang-orang dari padepokan Empu Sanggadaru, maka
itu akan berarti maut baginya. Siapapun orang itu.
Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan dapat memper gunakan
waktu yang singkat itu sebaik-baiknya- Meskipun kekuatannya
masih belum pulih seluruhnya,
Perlahan-lahan Mahisa Bungalan mengurai tangan dan kakinya
Dan perlahan-lahan pula ia bangkit seperti seorang yang baru
bangun dari tidurnya. Yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah orang yang
terbaring beberapa langkah daripadanya. Ia masih ingat benar
bahwa telah terjadi benturan kekuatan yang dahsyat saat senjata
mereka beradu. Tetapi ternyata bahwa Mahisa Bungalan tidak kehilangan
senjatanya. Senjata itu masih ada di tempatnya terbaring. Sehingga
karena itu, maka ia pun telah memungut senjatanya, sebelum
kemudian perlahan-lahan mendekati lawannya yang terbaring diam.
Pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya, dida lam dan
diluar halaman- Tetapi mereka yang sedang bertempur itu seakanakan
tidak menghiraukan Mahisa Bungalan sama sekali. Apalagi
setelah Mahisa Bungalan bangkit berdiri dan menggenggam
senjatanya kembali. Jika semula lawannya tidak sempat mengganggunya selagi ia
masih terbaring, maka setelah ia berdiri dengan senjata nya, justru
lawannya akan berusaha menjauhinya
2117 Sejenak Mahisa Bungalan berdiri di samping tubuh Linggadadi
yang terbaring diam. Dengan hati-hati Mahisa Bungalan pun
kemudian berjongkok pada satu lututnya. Ketika tangannya meraba
tubuh lawannya, terasa tuhuh itu telah dingin,
"Mati" desis Mahisa Bungalan.
Sebenarnyalah hahwa Linggadadi telah mati. la telah
mengerahkan tenaga yang tersisa, sementara dadanya telah terluka
parah. Benturan yang terjadi kemudian, seakan-akan telah
menghentakkan segenap sisa darahnya memancar dari lukanya.
Itulah sebabnya, maka ia sudah tidak dapat ditolong lagi karena
darahnya bagaikan telah hahis mengalir,
Pada saat Linggadadi pingsan, maka meneteslah titik darahnya
yang terakhir dari jantungnya, sehingga nafasnya pun tidak mampu
lagi menyusuri lubang hidungnya.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas
dipandanginya pertempuran yang sengit. Namun kemudian ia masih
mempergunakan sedikit waktu untuk mengobati luka-lukanya meski
pun tidak terlalu parah dengan obat yang dibawanya.
Baru sejenak kemudian ia mengangkat kedua belah tangannya.
la menggeliat sambil berdesis, seolah-olah ingin melihat, apakah
urat-uratnya masih berjalan sewajarnya.
Meskipun tenaganya belum pulih seperti sediakala, tetapi
pertempuran ia harus dihadapinya. Karena itulah maka setapak
demi setapak, iapun melangkah mendekati arena yang seru. Bahkan
kemudian iapun segera melihat, bahwa pasukan Empu Sanggadaru
memang agak terdesak oleh lawannya.
Empu Sanggadaru melihat semua yang terjadi atas Mahisa
Bungalan. Itulah sebabnya ia menjadi berdebar-debar. Apakah
dalam keadaannya Mahisa Bungalan masih sanggup untuk
bertempur terus" 2118 Tetapi Empu Sanggadaru tidak sempat mencegah Mahisa
Bungalan, karena ia sendiri masih terikat dalam pertempuran yang
sengit. Dalam pada itu, Empu Baladatu yang tidak dapat ingkar dari
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kenyataan, menggeretakkan giginya. Linggadadi, orang yang
dianggapnya memiliki kemampuan yang luar biasa, telah terbunuh
oleh seorang anak muda yang bernama Mahisa Bungalan dan
bergelar Pembunuh orang-orang berilmu Hitam seperti Linggadadi
sendiri. Sementara itu. ternyata Empu Sanggadaru sendiri juga me miliki
ilmu yang tidak dapat diatasinya. Setelah ia bertempur beberapa
lama, kakaknya masih tetap nampak segar dan bertempur dengan
sepenuh tenaga. Kadang-kadang teringat oleh Empu Baladatu, bagaimana
kakaknya berburu binatang buas dengan tangannya, sehingga
hatinya menjadi berdebar-debar. Kakaknya adalah seorang yang
memiliki tenaga raksasa dan nafas yang panjang tanpa batas.
Kebiasaannya berburu dan berlatih dengan cara yang aneh,
membuatnya menjadi orang yang mempunyai ketahanan tubuh
yang tinggi. Seperti yang pernah didengarnya, Empu Sanggadaru
sering berlatih bersama cantriknya dengan berjalan kaki mendaki
gunung dan menuruni tebing, sehari penuh tanpa berhenti sama
sekali. Itulah sebabnya, maka tenaga Empu Sanggadaru sejak mereka
mulai hertempur sampai saat-saat terakhir tidak terlampau banyak
susut seperti tenaga Empu Baladatu meskipun mereka bersamasama
telah mengerahkan segenap kemampuan.
Dalam pada itu, di luar dinding padepokan, pertempuran masih
juga membakar arena. Mahisa Pukat dan Mahisa Murti yang
bertempur dengan cara yang berbeda, telah berhasil mengurangi
jumlah lawan dengan beberapa orang. Apalagi keduanya masih saja
nampak segar seolah-olah mereka baru saja mulai di arena
pertempuran itu. 2119 Jika mula pasukan Empu Baladatu mampu mendesak maka
lambat laun, keseimbangannya pun menjadi semakin berubah. Satu
demi satu lawan Mahisa Pukat dan Mahisa Murti dapat dilumpuhkan.
Bahkan selain keduanya, para prajurit Singasari pun satu-satu dapat
menyingkirkan lawan mereka pula, meskipun dibagian lain, orangorang
padepokan Empu Sangadaru yang kurang terlatih juga
mengalami banyak kesulitan. Untunglah bahwa para prajurit dan
para cantrik yang terlatih selalu berusaha untuk membantu mereka
yang mengalami kesulitan.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti benar-benar
merupakan hantu yang menakutkan. Seolah-olah keduanya men
jadi penentu bagi datang maut. Siapa yang telah menarik
perhatiannya, maka orang itu seakan-akan sudah pasti akan
mengalami bencana. Karena itulah, maka setiap orang di dalam pasukan lawan,
berusaha untuk menjauhi kedua anak muda itu. Jika ia maju
setapak demi setapak mendekati seseorang, maka itu adalah
pertanda bahwa maut sudah siap untuk menjemput oraig itu.
Tetapi tidak seorang pun yang mampu mencegahnya. Setiap
orang didalam pasukan lawan merasa tidak akan mampu
menghadapinya, sementara mereka tidak akan sempat menyusun
kelompok kecil untuk melawannya.
Karena itulah, maka arena di luar dinding padepokan itu
betapapun lambatnya, seolah-olah sudah menemukan kepastiannya.
Kedua orang anak muda itu akan menjadi penentu dari pertempuran
yang dahsyat itu. "Gila"geram seorang bertubuh kekar dari Mahibit, "dua orang
dapat menentukan akhir dari pertempuran seperti ini "
"Apa yang dapat kita lakukan?"
Orang bertubuh kekar itu tidak menjawab. Ia harus bertempur
melawan seorang cantrik yang terlatih baik, sehingga ia tidak
banyak mendapat kesempatan untuk menentukan pilihan.
2120 Karena itulah, maka yang telah berjalan itu tetap berjalan terus.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berhasil melumpuhkan lawanlawannya
seorang demi seorang, jauh lebih cepat dari korban yang
juga berjatuhan dari orang yang berdin dipihak Empu Sanggadaru.
Di dalam dinding padepokan, Mahisa Bungalan masih berdiri
tegak. Kadang-kadang ia masih menyempurnakan pernafasannya
yang masih terasa belum pulih benar. Namur agaknya silirnya angin
malam telah menyebabkan semuanya serasa menjadi bertambah
segar. Cahaya bulan yang bulat di langit, membuat malam bagaikan
diterangi oleh berpuluh-puluh obor. Tetapi diarena pertempuran itu,
darah yang membasahi tanah, sekali-kali memantulkan cahaya
bulan yang berkilauan melontarkan pengaruhnya yang aneh.
Sejenak Mahisa Bungalan berdiri tegak. Namun ia pun kemudian
melangkah lagi semakin dekat dengan arena.
Orang-orang yang melihat langkahnya yang tetap, menjadi
berdebar-debar. Apalagi mereka yang herdiri di arah langkahnya itu,
seolah-olah mereka sudah mulai bercanda dengan maut, seperti
yang terjadi dengan Linggadadi.
Kematian Linggadadi benar-benar telah membuat setiap hati
orang-orang Mahibit menjadi kecut. Bagi mereka. Linggadadi adalah
siluman yang tiada ada duanya. Ilmunya rasa-rasanya relah
menyentuh langit. Tetapi dipadepokan ini, ia telah mati terbunuh oleh seorang anak
muda dalam perang tanding yang mengerikan.
"Mahisa Bungalan adalah anak dan sekaligus murid Mahendra.
Jika anaknya Mampu membunuh Linggadadi, apa sajakah yang
dapat dilakukan oleh ayahnya?" gumam orang-orang itu di dalam
hati. Namun mereka tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Mereka
harus menerima kehadiran Mahisa Bungalan, mau tidak mau.
2121 Dan sebenarnyalah Mahisa Bungalan yang telah merasa dirinya
menjadi semakin segar itu pun menjadi semakin dekat dengan
arena. Ketika Mahisa Bungalan mulai menggerakkan senjatanya, maka
tiba-tiba saja arena itu seakan-akan telah menyibak. Beberapa
orang lawan segera terdesak sebelum mereka bertahan, karena
Mahisa Bungalan memang belum berbuat apa-apa.
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya.Di dalam cahaya bulan
ia melihat wajah-wajah yang cemas dan bahkan ketakutan. Mereka
tidak dapat lagi memusatkan perhatian mereka kepada lawan-lawan
yang sebenarnya harus mereka hadapi, karena sebagian perhatian
mereka telah mereka tujukan kepada Mahisa Bungalan.
Dengan demikian, sebelum Mahisa Bungalan kembali
menerjunkan diri kekancah pertempuran, maka pasukan lawan pun
telah terdesak perlahan-lahan.
Betapa dada Empu Baladatu didera oleh kemarahan yang
memuncak. Kematian Linggadadi memang menggetarkan
jantungnya, tetapi kecemasan dan ketakutan yang melanda
pasukannya benar-benar merupakan suatu penghinaan.
Karena itu, maka iapun berteriak, "He orang-orang yang
menguasai ilmu yang dahsyat dan orang-orang Mahibit yang
perkasa, yang memiliki kemampuan seperti burung alap-alap.
Kenapa kalian menjadi kecut melihat tingkah laku anak muda yang
tidak tau diri itu" Apakah kalian mengira hahwa Mahisa Bungalan
memang memiliki ilmu melampaui Linggadadi" itu sama sekali tidak
benar. Itu hanyalah sebuah mimpi huruk yang kalian hadapi.
Linggadadi memang sering meremehkan lawannya. Dan ternyata ia
sudah membuat kesalahan. Ia tidak menyangka hahwa Mahisa
Bungalan adalah seorang yang licik, yang memanfaatkan setiap
kelemahan lawannya, tanpa mengingat harga diri dan kejantanan."
Empu Baladatu tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena
serangan Empu Sanggadaru yang justru bagaikan membadai.
Namun demikian, Mahisa Bungalan telah mendengar dan mengerti
2122 maksudnya. Sehingga karena itulah, maka iapun kemudian
perlahan-lahan melangkah mendekat sambil berkata, "Empu
Sanggadaru. Jika Empu tidak berkeberatan, serahkanlah Empu
Baladatu kepadaku. Aku ingin melihat, apakah guru segala ilmu
hitam itu Mampu membuktikan kata-katanya."
"Persetan" teriak Empu Baladatu."
"Aku sudah bersedia digelari pembunuh orang-orang berilmu
hitam, bukan karena aku merasa kuat dan tidak terlawan. Tetapi semata-
mata karena aku ingin menyatakan betapa bencinya aku
kepada ilmu yang sama sekali tidak berperikemanusia an itu. Karena
itu. biarlah aku mencoba, apakah aku benar-benar akan tetap
mempergunakan gelar itu setelah aku bertemu dengan guru dari
segala macam ilmu hitam itu."
Empu Baladatu menggeretakkan giginya Tetapi Empu
Sanggadaru yang menyerangnya terus berkata, "Biarlah anak muda.
Ia adalah adikku. Aku ingin mengajarnya agar ia sedikit mengenal
sopan santun, seperti aku mengajarinya di masa kanak-kanak. Aku
memang sering mencubitnya, atau menarik telinganya jika nakal.
Sekarang, aku akan memperlakukannya seperti itu."
"Gila. Aku bukan anak-anak lagi. Aku akan membunuhmu."
"Itulah kenakalanmu sekarang."jawab Empu Sanggadaru.
Empu Baladatu menjadi semakin marah. Tetapi ia tidak dapat
berbuat apa-apa. Kemarahannya sudah tersalur sepenuhnya pada
tata gerak dan serangan-serangannya. Tetapi Empu Sanggadaru
pun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula, sehingga
Empu Baladau masih helum herhasil menguasainya. Bahkan
ternyata bahwa Empu Sanggadaru mempunyai ketahanan
jasmaniah yang lebih baik karena latihannya yang meskipun tidak
terlampau berat, terapi selalu dilakukannya pada saat-saat tertentu.
Dalam pada itu pertempuran pun menjadi semakin seru. Tetapi di
beberapa bagian dari arena itu. telah terjadi perubahan. Orangorang
Mahibit yang kehilangan Linggadadi seolah-olah tidak lagi
2123 mempunyai kepercayaan bahkan kepada dirinya sendiri bahwa
mereka masih akan Mampu hertahan.
Itulah sebabnya. maka pada bagian-bagian tertentu, pasukan
Empu Baladatu telah mulai terdesak, meskipun Mahisa Bungalan
masih belum ikut langsung terjun kearena.
Demikian pula yang terjadi di luar dinding padepokan. Mahisa
Pukat dan Mahisa Murti yang tidak lagi bermain-main. telah
membuat setiap lawan mereka menjadi berdebar-debar. Mereka
telah dapat menilai, betapa tinggi ilmu kedua anak-anak muda itu.
Dua tiga orang yang berhasil melepaskan diri dari lingkungan
pertempuran yang riuh itu mencoba untuk menyusun diri dalam
kelompok-kelompok kecil untuk menghadapi kedua anak muda itu.
Tetapi menghadapi kelompok-kelompok kecil yang demikian,
keduanya itupun bertempur berpasangan. Maka kelompok kecil itu
sama sekali tidak Mampu lagi untuk menahan keduanya.
Dengan demikian, maka lambat laun, semakin jelaslah
keseimbangan dikedua arena pertempuran itu. Tidak banyak
kesempatan lagi bagi Empu Baladatu. Rencananya untuk
menyelenggarakan korban terbesar menjadi semakin buram. Yang
lebih banyak menitikkan darah adalah justru orang-orangnya yang
salah menilai lawan, sehingga pada benturan yang pertama mereka
relah memberikan korban terlampau banyak.
Kematian Linggadadi adalah suatu isyarat, bahwa kematian akan
menyusul lebih hanyak lagi. Dan bahkan mungkin, tanpa dapat
dihitung. Ketika bulan yang bulat dilangit menjadi semakin rendah di
sebelah Barat, maka pasukan Empu Baladatu yang terdiri dari
orang-orangnya yang terpilih, orang-orang dari padepokan Serigala
Putih dan Macan Kumbang, orang-orang dari Mabibit. telah tidak
mempunyai harapan lagi untuk menang. Kekalahan yang mutlak
nampak menjadi semakin dekat dihadapan hidung mereka.
Orang-orang dari Mahibit yang berangkat dari padepokannya
yang tersembunyi dengan dada tengadah, karena mereka merasa
2124 mendapat kesempatan untuk menunjukkan kelebihan mereka, baik
dari orang-orang padepokan Empu Sanggadaru, maupun dari
pasukan Empu Baladatu yang lain, harus melihar kenyataan.
Terlebih lagi setelah Linggadadi menemui ajalnya.
Dalam pada itu, kemarahan yang membakar jantung telah
mendorong Empu Baladatu untuk memeras segenap kemampuan
yang ada padanya. Namun ia sama sekali tidak Mampu
memaksakan kehendaknya karena Empu Sanggadarupun telah
bertempur dengan segenap kekuatan yang ada padanya untuk
mengalahkan adiknya. Benturan-benturan senjata yang terjadi, menyatakan, bahwa
kekuatan Empu Sanggadaru yang mengagumkan itu, masih selalu
mengatasi kekuatan Empu Baladatu. Bahkan seolah-olah tenaga
Empu Sanggadaru sama sekali tidak berkurang meskipun ia sudah
bertempur beberapa saat lamanya.
"Aku akan menarik telinganya" berkata Empu Sanggadaru kepada
orang-orangnya, "seperti masa kanak-kanak, jika ia nakal aku selalu
menarik telinganya."
"Aku akan membunuhmu" teriak Empu Baladatu
"Kau memang nakal dan keras kepala" sahut Empu Sanggadaru
yang menjadi semakin tenang, ketika ia melihat pasukannya yang
mula-mula jumlah jauh lebih sedikit, lambat laun berhasil menguasai
keadaan. Namun dengan demikian ia dapati membayangkan bahwa
korban tentu telah berserakkan. Baik dari pihaknya, dan terlebih lagi
dari pihak lawan. Empu Sanggadaru yang menyadari kehadiran Mahisa Bungalan,
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti merasa bersukur, karena meskipun
mereka hanya bertiga, tetapi kehadirannya itu ternyata mempunyai
arti yang sangat penting. Demikian juga prajurit-prajurit Singasari
yang jumlahnya terhitung tidak terlalu banyak.
"Tanpa mereka, padepokan ini telah hancur menjadi debu"
berkata Empu Sanggadaru di dalam hatinya. Dan ia menjadi ngeri
2125 membayangkan apa yang akan dilakukan oleh adiknya dengan
upacara korbannya yang garang dan tidak berperi kemanusiaan itu.
"Cantrik yang menguasai senjata dengan baik tidak terlalu
banyak jumlahnya" berkata Empu Sanggadaru didalam hatinya. Dan
ia sadar, bahwa kekuatan padepokan itu sendiri tidak banyak berarti
dalam pertempuran itu. Namun demikian, meskipun pasukannya menjadi semakin
terdesak, Empu Baladatu sama sekali tidak berpikir untuk menarik
serangannya dan menghindar dari arena. Ia telah di kuasai oleh
nafsu kemarahan yang tidak terkendali. Yang ada di dalam anganangannya
hanyalah nafsu untuk membunuh.
Tetapi Empu Sanggadaru masih tetap hertempur dalam
kesadaran. Itulah sebabnya, maka ia masih menahan diri. Meskipun
dengan demikian kadang-kadang ialah yang justru harus
berloncatan surut. Dalam pada itu, Mahisa Bungalan, yang bertempur di dalam
dinding padepokan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di luar
padepokan, benar-benar telah menjadi hantu bagi lawannya.
Kehadiran, mereka di setiap sudut arena, telah mendesak lawanlawannya.
bahkan sebelum mereka mencoba melawan.
Beberapa orang dari padepokan Serigala Putih dan Macan
Kumbang sebagian telah tidak herdaya lagi, sedangkan orang dari
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahibit, terutama yang berada didalam dinding padepokan, benarbenar
telah kehilangan keberanian.
Karena itulah, maka pertempuran itupun kemudian seolah. telah
berpusat pada kedua kakak beradik itu. Seolah-olah mereka
berdualah yang akan menentukan, kapan pertempuran itu akan
berakhir. Empu Sanggadaru yang menyadari hal itu, telah membuat
perhitungan-perhitungan tertentu. Ia tidak ingin melihat korban
lebih banyak lagi yang jatuh. Karena itulah, maka iapun kemudian
mengambil keputusan untuk segera mengakhiri pertempuran. Jika
2126 Empu Baladatu dapat dikuasainya, maka orang-orang yang
menyerang padepokan itu akan kehilangan kedua pemimpinnya.
Karena itulah, maka Empu Sanggadaru pun kemudian mulai
mempercepat serangan-serangannya. Pertimbangannya menjadi
semakin jauh ketika ia menyadari korban telah berserakan silang
melintang. "Jika terpaksa adikku menjadi korban, apa boleh buat.Tetapi
tidak harus menambah jumlah tanpa dapat dihitung lagi."katanya di
dalam hati. Sejenak kemudian, maka Empu Sanggadaru itupun menggeram.
Seolah-olah kekuatan yang tersisa itupun telah dikembangkannya
dengan kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam alam di
sekitarnya. sehingga menjadi berlipat ganda.
Tata geraknya menjadi semakin cepat, dan kekuatannya pun
bagaikan kekuatan raksasa yang sedang mengamuk.
Empu Baladatu terkejut melihat perubahan yang timbul pada
kakaknya itu- Karena itu, maka iapun herusaha untuk
mengimbanginya. Iapun herusaha untuk dapat menggerakkan
semua kekuatan yang tersisa sehingga ia tidak akan dapat didesak
oleh serangan-serangan kakaknya yang kemudian datang bagaikan
banjir bandang . Dengan demikian, kedua orang kakak beradik itu telah bertempur
semakin sengit dengan mempertaruhkan hidupnya.
Mahisa Bungalan sempat memperhatikan pertempuran antara
kedua orang bersaudara itu. Sebagai seorang yang memiliki
kemampuan yang tinggi, ia segera dapat mengetahui, bahwa
keduanya benar-benar telah sampai pada puncak kemampuan.
Sekali-kali Mahisa Bungalan melihat Empu Sangggadaru terdesak.
Namun kemudian ia melihat Empu Baladatu ada dalam bahaya yang
langsung mengancam jiwanya.
Namun dalam pada itu, maka ketahanan tubuh keduanyalah
yang akan menentukan akhir dari pertempuran itu. Empu
2127 Sanggadaru masih tetap dalam batas kemampuannya, sementara
Empu Baladatu seolah-olah telah kehilangan kekuatan sedikit demi
sedikit. Ketika Empu Sanggadaru menyadarinya, maka iapun segera
membuat pertimbangan terakhir. Dengan perhitungan yang mapan
maka iapun kemudian memaksa Empu Baladatu mengerahkan
segenap sisa tenaganya. Serangannya pun datang dengan kekuatan
dan kecepatan bergerak yang sudah sampai pada hatas
kemampuannya. Ternyata usaha Empu Sanggadaru herhasil. Ia
dapat memaksa Empu Baladatu memeras semua tenaga yang
tersisa, sehingga sejenak kemudian, nafasnyapun mulai mengalir
berkejaran semakin cepat di lubang hidungnya.
Mahisa Bungalan yang berdiri termangu-mangu menarik nafas
dalam-dalam. Sekilas ia melihat pertempuran yang riuh itu. Ia dapat
saja terjun kedalamnya dan membunuh lawan sebanyak-banyaknya.
Tetapi ada sesuatu yang menahannya. Jika baru saja ia berada
didalam hiruk pikuk pertempuran, maka yang dilakukannya adalah
sekedar menakut-nakuti lawan dan jika terpaksa melumpuhkan
mereka tanpa membunuhnya.
Sekilas Mahisa Bungalan melihat bulan bulat dilangit yang
menjadi semakin rendah. Sebentar lagi, langit diujung Timur akan
menjadi ke-merah-merahan oleh fajar yang menyingsing.
Bukan saja Mahisa Bungalan, namun Empu Baladatu pun
menyadari bahwa sisa malam tinggallah sedikit sekali. Jika bulan
lenyap cahayanya karena fajar, maka upacara yang terbesar yang
akan dilakukannya itu akan gagal. Rencananya untuk menyerahkan
korban sebanyak-banyaknya ternyata sama sekali tidak akan dapat
terwujud. Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya, ketika ia
memperhatikan pertempuran yang mulai menurun itu. Ia melihat
Empu Baladatu meloncat jauh-jauh surut sementara Empu
Sanggadaru melangkah maju dengan ragu-ragu.
2128 Baru kemudian Mahisa Bungalan melihat, bahwa sepercik darah
telah memerah pada tubuh Empu Baladatu.
"Gila" teriak Empu Baladatu.
Empu Sanggadaru berdiri membeku. Dipandanginya adik nya
yang terluka didadanya. "Baladatu" desisnya.
Wajah Baladaku menjadi merah padam dalam cahaya bulan yang
kekuning-kuningan. Dengan telapak tangan kirinya ia meraba
lukanya. Dengan tatapan mata yang membara karena ke marahan
yang menghentak, ia melihat darah mewarnai jarinya.
"Kau melukai aku kakang" geramnya.
Empu Sanggadaru tenmangu-mangu sejenak. Kemudian sambil
maju selangkah ia berkata, "Bukan maksudku Baladatu. Aku hanya
ingin memperingatkanmu, "
"Inikah caramu memperingatkan aku."
"Aku tidak sengaja "
"Omong kosong. Kau akan membunuh aku" ia berhenti sejenak,
lalu, "daripada aku mati karena tanganmu, lebih baik aku sajalah
yang membunuhmu. Kau sudah tua. Kau sudah cukup banyak
makan garam. Karena itu, biar sajalah kau mati"
Empu Sanggadaru termangu-mangu- Tetapi ia masih tetap
berhati-hati, betapapun hatinya dicengkam oleh keragu-raguan.
Empu Baladatu yang sudah menjadi semakin lemah itu masih
saja tidak melihat kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka
dengan serta merta ia meloncat menerkam kakaknya yang sedang
memperhatikannya dengan hati yang berdebar-debar.
Serangan itu sangat mengejutkan. Namun Empu Sanggadaru
memang sudah menduga, bahwa luka itu tidak akan menghentikan
perlawanan adiknya. Karena itulah, maka ia pun kemudian dengan
cepat pula mengelak, dengan sebuah loncatan ke samping.
2129 Namun dalam pada itu, terkilas di dalam pikirannya, hahwa
sudah saatnya ia menghentikan perlawanan adiknya sebelum ia
kehabisan darah, jika masih mungkin, maka ia akan mengalahkan
dan melumpuhkan, adiknya tanpa membunuhnya.
Karena itulah, ketika Empu Baladatu gagal mengenainya, Empu
Sanggadaru lah yang menyerang dengan garangnya. Ia meloncat
menyusul arah serangan adiknya. Dengan ayunan tangan kirinya ia
menghantam punggung Empu Baladatu yang sedang berusaha
mencapai keseimbangannya kembali.
Serangan secepat itu, sangat sulit dihindari oleh Empu Baladatu
dalam keadaannya. Ia telah mengerahkan segenap sisa tenaganya
untuk menyerang, sehingga darahnya bagaikan ditekan keluar dari
luka. Itulah sebabnya, maka serangan Empu Sanggadaru itu langsung
telah mengguncang seisi dadanya bagaikan rontok. Pukulan pada
punggungnya benar-benar telan melumpuhkan segenap
kekuatannya, sehingga terhuyung-huyung ia terdorong selangkah
maju. dan kemudian ia benar-benar telah kehilangan
keseimbangannya. Sejenak kemudian Empu Baladatu itu pun telah terjatuh di tanah.
Sekali ia berguling dan herusaha untuk bangkit. Tetapi agaknya
tubuhnya lelah menjadi sangat lemah dan tidak berdaya.
Empu Sanggadaru berdiri tegak bagaikan patung memandang
adiknya yang terbaring di tanah. Sekilas ia melihat wajah yang
pucat dan darah yang mengalir dari luka.
Dalam pada itu, pertempuran di dalam lingkaran dinding
padepokan itu pun menjadi riuh. Orang-orang dari padepokan
Serigala Putih, Macan Kumbang dan orang-orang Mahibit telah
kehilangan pemimpinnya. Meskipun sebenarnya jumlah mereka
masih cukup, tetapi keberanian mereka telah susut dan bahkan
kemudian larut sama sekali.
2130 Apalagi apabila tatapan mata mereka tertumbuk kepada Empu
Sanggadaru dan Mahisa Bungalan yang telah kehilangan lawan
masing-masing, maka hati merekapun menjadi kecut.
Itulah sebabnya, maka perlawanan mereka sama sekali sudah
tidak berarti. Bahkan tiba-tiba saja tanpa diketahui diantara mereka
terdengar seorang yang kemudian disahut oleh beberapa orang
yang menjalar dengan cepatnya, "Lari, lari, lari."
Terjadilah kekisruhan di seluruh arena di dalam dinding
padepokan. Orang-orang yang kehilangan pemimpinnya itu herlarilarian
tanpa arah. Mereka berusaha untuk menyelamatkan diri
masing dari ujung senjata orang-orang dari padepokan Empu
Sanggadaru. Beberapa orang berhasil meloncati dinding padepokan sambil
berteriak-teriak sehingga teriakan mereka telah mengejutkan orangorang
yang bertempur di luar dinding.
Sejenak kekisruhan itu pun mengejutkan orang-orang yang
bertemput di luar,. yang sebenarnya masih cukup seru. Orang-orang
dari padepokan Serigala Putih. Macan Kumbang dan orang-orang
Mahibit sebenarnya masih cukup kuat untuk mendesak lawannya
meskipun kedua orang anak-anak muda bertempur bagaikan hantu
itu tetap merupakan lawan yang sangat herat-
Tetapi orang-orang yang berlari-larian dari dalam dinding telah
menghentakkan mereka. Apalagi ketika mereka mendengar
teriakan, "Linggadadi terbunuh."Kemudian disambut, "Empu
Baladatu mati." Maka mereka yang berada di luar dinding padepokan Empu
Sanggadaru itupun seolah-olah telah kehilangan pegangan. Mereka
tidak dapat mempertahankan diri lagi untuk bertempur terus,
sehingga karena itu. maka mereka pun mulai berpencaran.
Beberapa orang prajurit dan cantrik masih berusaha mengejar
mereka dan berhasil menangkap beberapa orang. Tetapi yang
lainpun segera menyelinap dan hilang didalam kegelapan.
2131 Sejenak kemudian, arena yang hiruk pikuk itu menjadi sepi. Yang
ada kemudian adalah para prajurit Singasari, para cantrik dan
orang-orang yang berada dalam lingkungan padepokan Empu
Sanggadaru. Beberapa orang prajurit masih sibuk mengurus
beberapa orang yang tertawan. Yang lain langsung menangani
kawan mereka yang. menjadi korban, terutama yang terluka dan
masih dapat diharapkan hidup terus
Dalam pada itu, Empu Sanggadaru berlutut di dekat adik nya
terbaring. Di sampingnya Mahisa Bungalan pun berlutut pula dengan
wajah yang tegang. "Ia masih hidup" berkata Empu Sanggadaru, "mungkin masih
dapat diobati. Aku yakin, ketahanan tubuhnya sangat tinggi,
sehingga ia masih akan dapat bertahan."
Empu Sanggadaru pun kemudian memerintahkan seorang
kepercayaannya untuk menyediakan obat-obatan yang akan diper
gunakan untuk megobati adiknya yang, terluka parah itu.
Beberapa saat kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Murti pun
telah datang mendekati kakaknya. Sejenak mereka memandang
Empu Baladatu yang terbaring. Kemudian dengan perlahan-lahan
Mahisa Pukat hertanya, "Bagaimana dengan orang itu?"
"Ia adalah Empu Baladatu. adik Empu Sanggadaru sendiri "
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti menganggukkan kepala nya.
Merekapun pernah mendengar nama itu.
"Apakah lukanya parah?" bertanya Mahisa Murti., "Cukup parah"
jawah Mahisa Bungalan, "Empu Sanggadaru sedang berusaha untuk
mengobatinya." Pertolonganpun segera diberikan kepada Empu Baladatu.
Tubuhnya yang lemah itu pun kemudian dibawa masuk ke dalam
padepokan, sementara orang-orang lain sibuk mengurus tawanan,
mengurus kawan dan lawan yang terluka. Sedangkan yg lain
mengumpulkan korban-korban terbunuh di dalam peperangan itu
2132 Suasana duka telah meliputi padepokan itu. Beberapa orang yang
kehilangan sanak kadang, menggeretakkan giginya dan seolah-olah
ingin melepaskan dendamnya kepada tawanan yang ketakutan.
Tetapi para prajurit Singasari telah menahan dan memperlakukan
para tawanan seperti yang seharusnya, karena mereka adalah justru
prajurit. "Itulah salahnya" geram seorang yang kehilangan adiknya, "jika
disini lidak ada para prajurit itu, kita akan membantai setiap orang
yang tertangkap." "Empu Sanggadaru tidak akan membenarkan" sahur yglain.
"Kita dapat minta dan agak mendesak. Tetapi terhadap prajuritprajurit
itu, kita tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa."
Tetapi seorang yang agak tua berkata, "Tanpa prajurit-prajurit itu
kitalah yang akan menjadi tawanan. Dan seperti yang kau katakan,
kita memang akan dibantai dan dijadikan korban pada upacara ngeri
yang dilakukan oleh orang-orang berilmu hitam disaat purnama
naik." "He?" kawannya yang mendendam itu berdesis, "apakah benar
begitu?" "Kau ingin mencoba bertemu lagi dengan mereka tanpa prajurit
Singasari?" Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
menggeleng, "Tidak Tidak."
Kawan-kawannya tidak menyambung lagi. Tetapi mereka pun
menyadari betapa dahsyatnya pertempuran yang baru saja terjadi.
Tanpa prajurit Singasari, maka padepokan itu tentu akan hancur,
dan upacara yang mengerikan itu akan berlangsung tanpa dapat
dicegah lagi. Tetapi kini. mereka yang berada di padepokan itulah yang
berhasil mengusir musuhnya. Bahkan mereka dapat menawan
beberapa orang selain yang terbunuh
2133 Di antara mereka yang terbunuh adalah Linggadadi, dan yang
tertawan adalah Empu Baladatu yang terluka parah.
Dalam pada itu, Empu Sanggadaru sedang sibuk dalam usahanya
menolong jiwa adiknya. Beberapa orang yang memiliki pengetahuan
tentang pengobatan telah dipanggil dan bersama-sama berusaha
untuk mengobati Empu Baladatu yang nampaknya benar-benar
terluka parah. "Usahakan agar ia hidup" desah Empu Sanggadaru.
Orang-orang yang berusaha mengobati itu pun mencoba dengan
sepenuh kemampuan yang ada, karena mereka melihat, bahwa
Empu Sanggadaru telah minta dengan sungguh-sungguh. Meskipun
Empu Baladatu telah berusaha membunuhnya, namun ia adalah
adiknya. Bagaimanapun juga, Empu Sanggadaru tidak akan sampai
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
hati untuk membiarkan Empu Baladatu mati dibawah hidungnya
tanpa berbuat berbuat apa-apa. Apalagi Luka-luka parah itu adalah
karena tangannya yang sedang didorong oleh kemarahan yang tidak
tertahankan. "Apakah aku akan menyebabkan kematian adikku?" pertanyaan
itu selalu mengejarnya. Sehingga seolah-olah ia tidak menghiraukan
lagi apa yang telah terjadi di halaman padepokannya.
Semetara itu, orang-orangnya sedang sibuk menyingkirkan mayat
dan mengangkat orang-orang yang terluka. Beberapa orang telah
mendapat pertolongan, namun masih saja terdengar desah dan
keluh kesah. Bahkan masih terdengar gemeretak gigi dan kadangkadang
sesambat yang panjang. Sementara itu, Empu Sanggadaru masih saja dicengkam oleh
ketegangan menunggui adiknya yang terbaring diam dengan mata
terpejam. Nafasnya bekejaran melalu lubang hidungnya. Bahkan
kadang-kadang nafas itu berhenti sesaat dan seolah-olah hilang
sama sekali. Empu Sanggadaru benar-benar menjadi gelisah. Seolah-olah ia
berdiri dihadapan ayah dan ibunya. Dengan wajah yang marah oleh
2134 kemarahan, kedua menudingnya sambil menuntut pertanggungan
jawab atas keadaan Baladatu.
"Ia adikmu" terdengar suara itu mengumandang di dalam
dadanya. "Tetapi ia akan membunuhku, dan aku hanyalah sekedar
membela diri" Empu Sanggadaru mencoba membantah
"Kau boleh mencubitnya jika ia nakal. Kau boleh memukulnya
dengan rotan, atau menarik kupingnya. Tetapi kenapa kau sampai
hati membunuhnya" Kau adalah saudara tuanya Kau wajib
memperingatkan jika ia sedang lupa diri. Tetapi bukan kuwajiban
saudara tua untuk membunuh adiknya"
Empu Sanggadaru menjadi semakin berdebar-debar. Suara itu
bagaikan mengumandang di telinganya tanpa henti-hentinya.
Empu Sangggadaru menjadi berdebar-debar ketika ia melihat
Empu Baladatu bergerak. Bahkan kemudian terdengar suara
keluhan dari mulutnya. "Ia mulai hidup"desisnya, "cepatlah. Usahakanlah agar ia cepat
sadar." Orang-orang yang sedang herusaha mengobatinya itupun men
jadi tegang. Mereka sudah melakukan apa saja yang dapat mereka
lakukan untuk keselamatan Empu Baladatu.
Namun mereka pun sadar, bahwa jika mereka gagal, Empu
Sanggadaru pun akan kecewa sekali. Penyesalan yang tidak
herkeputusan akan memukul hatinnya setiap saat.
Tetapi ternyata bahwa usaha mereka tidak sia-sia. Sejenak
kemudian, maka mereka melihat Empu Baladatu itu pun membuka
matanya "Baladatu, Baladatu" Empu Sanggadaru memanggil berulangulang
dengan penuh harapan. 2135 Empu Baladatu membuka matanya. Kemudian dicobanya untuk
melihat setiap orang yang ada di sekitarnya di bawah cahaya obor
yang terang. "Tahankanlah. Bukankah kau memiliki ketahanan tubuh yang
tidak terhingga. Kau tentu akan sembuh sama sekali dalam waktu
yang singkat" desis kakaknya.
Empu Baladatu memandang kakaknya sejenak. Tetapi masih
nampak kecemasan yang sangat membayang di tatapan matanya
yang pudar. "Baladatu, kau harus sembuh" desis Empu Sanggadaru. Empu
Baladatu tidak menyahut. Mulutnya masih terasa berat dan hatinya
masih dicengkam oleh kebimbangan. Namun wajahnya yang pucat
berangsur menjadi merah. Melalui bibir nya telah dapat diteguk
beberapa titik air yang segar, sehingga tubuh yang letih itu pun
rasa-rasanya telah dijalari oleh kesegaran itu pula.
Namun dengan demikian, perasaan sakit dan nyeri pun telah
menjalar pula di seluruh tubuhnya. Tetapi bagi Empu Ba ladatu yang
memiliki pengalaman yang luas, segera mengetahui, bahwa dengan
demikian urat dan syarafnya di seluruh tubuhnya masih dapat
bekerja sewajarnya. Ketika beberapa titik air dituangkan kebibirnya, Empu Baladatu
merasa hadannya bertambah segar, sehingga ia mulai mencoba
menggerakkan ujung-ujung jari tangan dan kakinya Kemudian
pergelangan tangannya dan seluruh lengannya.
"Jangan bayak bergerak" kakaknya mencoba menahannya.
Empu Baladatu mengejapkan matanya, sebagai isyarat bahwa ia
mengerti yang dikatakan oleh kakaknya itu.
Beberapa orang pandai yang ada disekitarnya pun mulai merasa
lega. Mereka mulai bernafas dengan teratur, dan terlepas dari
ketegangan yang mencengkam
"Mudah-mudahan keadaanya berangsur menjadi baik" gumam
salah seorang dari mereka
2136 Empu Sanggadaru pun mengangguk, la melihat wajah adiknya
menjadi berangsur hidup pula, dan nafasnya pun mulai teratur.
Empu Sanggadaru meraba pergelangan tangan adiknya. Ia
sendiri adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang obat dan
pengobatan. Tetapi ketika adiknya sendiri yang terkena, maka ia
seolah-olah telah kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri.
Sehingga dengan demikian ia telah memanggil beberapa orang yang
dianggapnya cukup mempunyai pengetahuan tentang obat dan
pengobatan. Tetapi ternyata bahwa keadaan adiknya itu memang berangsur
baik. Karena itulah, maka Empu Sanggadaru pun mulai teringat
kepada keadaan padepokannya. Halaman yang rusak karena injakan
kaki dan sentuhan senjata yang berputaran, serta mayat yang
berserakan di antara orang-orang yang terluka.
Dengan ragu-ragu Empu Sanggadaru pun kemudian berbisik
kepada salah seorang dari orang-orang yang menunggui Empu
Baladatu, "Aku akan turun kehalaman" Orang itu mengangguk.
Sejenak kemudian Empu Sanggadaru pun telah meninggalkan
bilik itu bersama Mahisa Bungalan. Di halaman mereka melihat
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sedang berdiri termangu-mangu
melihat orang-orang yang sedang sibuk dengan mereka yg terluka
dan dengan mayat-mayat. Keduanya menyongsong ketika mereka melihat Empu
Sanggadaru dan Mahisa Bungalan mendekati mereka.
"Bagaimana dengan kalian?" bertanya Empu Sanggadaru.
"Kami tidak mengalami sesuatu Empu" jawab Mahisa Murti.
"Syukurlah" jawab Empu Sanggadaru, "beristirahatlah di dalam.
Aku akan mengawasi orang-orang yang sedang mengatur tawanan
agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."
2137 Empu Sanggadaru pun kemudian melintasi halaman menuju ke
seberang longkangan dan memasuki sebuah rumah samping. Di
dalam sebuah bilik terdapat beberapa orang, yang sedang ditawan.
Sedangkan bagian yang lain telah ditempatkan di beberapa bilik
yang terpencar. Empu Sanggadaru dan Mahisa Bungalan mendekati pintu bilik
yang tertutup rapat dan di selarak kuat-kuat itu. Sejenak ia
memperhatikan beberapa orang penjaga di setiap sudut dan di
depan pintu. "Aku ingin bertemu dengan mereka" berkata Empu Sanggadaru.
Seorang penjaga yang bersenjata telanjang telah membuka
selarak pintu itu dan membukanya.
Ketika Empu Sanggadaru memasuki ruangan itu bersama Mahisa
Bungalan, maka nampaklah wajah-wajah yang ketakutan dari
beberapa orang yang berada didalamnya. Seorang yang masih
sangat muda duduk di sudut bilik itu sambil menyilang kan
tangannya di dada. Sedang dari matanya terpancar penyesalan,
bahwa ia telah terlempar kedalam bilik itu bersama beberapa orang
lain Sejenak Empu Sanggadaru mengamati orang-orang yang berada
di dalam bilik itu. Satu persatu, seakan-akan ia ingin melihat
langsung ke bilik tatapan mata mereka yang sayu.
"Siapakah kalian masing-masing masih harus ditanyakan" berkata
Empu Sanggadaru, "kedatangan kalian kali ini memang agak aneh
bagi kami. Jika diantara kalian terdapat orang-orang berilmu hitam,
tetapi kenapa diantaraa kalian terdapat pula Linggadadi yang
bergelar pembunuh orang-orang berilmu hitam."
Tidak seorangpun yang menjawab. Beberapa orang justru saling
berpandangan. "Aku memang tidak bertanya kepadamu dan menunggu
jawabanmu sekarang" berkata Empu Sanggadaru, "tetapi besok aku
akan mulai dengan orang yang pertama. Aku ingin bertanya kepada
2138 kalian seorang demi seorang. Mudah-mudahan kalian masih akan
kami dorong masuk kembali kedalam bilik masing-masing."
Kata-kata itu sungguh telah menggetarkan dada mereka.
Menurut pengalaman yang mereka lakukan, maka meteka telah
memperlakukan tawanan-tawanan mereka sekehendak hati. Orangorang
berilmu hitam kadang-kadang telah mempergunakan
tawanan-tawanannya untuk korban disaat purnama naik. Sedang
orang-orang Mahibit sering dengan sengaja memperlakukan
tawanan mereka dengan tindakan yang aneh-aneh sekedar untuk
mendapatkan kesenangan dan kepuasan atas sengsara dan
penderitaan orang lain. Sejenak Empu Sanggadaru masih berdiri di pintu sambil
memandang orang-orang yang ada didalam bilik itu. Namun sejenak
kemudian wajah-wajah itupun segera menunduk dalam-dalam.
"Kau tentu sudah tahu. Bahwa Linggadadi telah terbunuh dan
Empu Baladatu terluka parah, yang barangkali akan memerlukan
waktu yang lama sekali untuk menyembuhkannya" berkata Empu
Sanggadaru kemudian, "sehingga karena itu, kami tidak akan dapat
menanyakan apapun kepada mereka. Itulah sebabnya kami
memerlukan kalian. Mungkin keterangan yang dapat kalian berikan
kepada kami, akan memberikan jalan penyelesaian yang sebaikbaiknya.
Tetapi mungkin juga sebaliknya. Apalagi jika kalian menjadi
keras kepala dan berusaha untuk menyembunyikan sesuatu."
Wajah-wajah yang menunduk itu menjadi tegang sejenak.
Namun merekapun kemudian menyadari, bahwa dapat terjadi apa
saja atas mereka yang sudah tertawan.
Sejenak kemudian, Empu Sanggadaru itu pun meninggalkan
tawanannya dan pintu itupun ditutup dan diselarak kembali.
Demikianlah, maka padepokan yang tenang itu, kemudian telah
menemukan kesibukan baru. Ketika fajar menyingsing nampaklah
wajah-wajah yang kuyu dan kusut. Mereka yang selamat dan tidak
terluka. harus bekerja keras menyingkirkan mayat dan orang-orang
yang terluka. 2139 Tetapi kerja mereka masih belum selesai. Mayat-mayat itu tentu
tidak cukup hanya sekedar disingkirkan. Itulah sebabnya, mereka
masih harus bekerja keras menyelenggarakan mayat-mayat Itu.
Di bagian yang lain, orang-orang yang terluka berbaring sambil
menggerang. Ada yang sudah sedemikian parahnya, sehingga tidak
dapat mengenal kawan-kawannya lagi. Tetapi ada di antara mereka
yang luka-luka ringan, masih dapat membantu mengatur suasana
padepokan yang diliputi oleh kengerian itu.
Dalam pada itu selagi para cantrik dan orang-orang di padepokan
itu menyelenggarakan tugas masing-masing. maka Empu
Sanggadarupun mulai memanggil satu dua orang tawanannya.
Tetapi pertanyaan-pertanyaannya masih terbatas pada sekedar
penjajagan saja. Empu Sanggadaru masih belum sempat
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang terperinci dan mendalam.
Dihari berikutnya itulah maka semua perkejaan diselesai kan.
Dengan demikian maka padepokan itu akan segera dapat
dibersihkan dari noda-noda darah dan bekas-bekas pertempuran
yang mengerikan itu. Meskipun demikian, mereka tidak dapat memaksa orang-orang
yang terluka sembuh pada hari itu dan menyingkirkan para
tawanan, sehingga mereka masih merupakan kenyataan yang harus
mereka hadapi untuk beberapa hari mendatang.
"Tetapi para tawanan itu dapat diserahkan kepada para prajurit
Singasari" berkata salah seorang dari cantrik padepokan itu.
"Ya. Tetapi tentu tidak besok atau lusa. Mungkin sepekan,
mungkin sepuluh hari. karena untuk membawa para tawanan itu,
tentu diperlukan persiapan." jawab yang lain.
Kawannya mengangguk-angguk. Namun jawabnya, "Itu lebih
baik daripada mereka akan tetap tinggal disini untuk selamalamanya.
Atau bagaimanakah seandainya jika mereka itu dilepaskan
saja?" 2140 "Mereka akan datang lagi mencekikmu besok atau lusa demikian
mereka dilepaskan." " Atau dibunuh?"
"Jangan mengganggu saja. Bekerjalah sesuatu. Aku sudah
bekerja sampai keringatku kering."
Kawannya tersenyum. Iapun kemudian meninggalkan kawannya
dan mulai melakukan kerja apapun juga.
Sejak saat itu, maka padepokan Empu Sanggadaru selalu diliputi
oleh kemuraman. Para prajurit Singasari masih tetap berada
ditempat itu, karena mereka masih mencemaskan kemungkinan
yang kurang baik di saat mendatang. Mungkin orang-orang yang
berhasil melarikan diri itu akan kembali dengan kawan-kawannya
untuk membebaskan para tawanan atau karena dendam.
Apalagi ketika dari para tawanan diketahui, bahwa Linggadadi
mempunyai seorang kakak di Mahihit bernama Linggapati yang
memiliki kematangan ilmu melampaui Linggadadi.
"Ia akan dapat menghimpun kekuatan yang masih tersisa di
Mahibit untuk melepaskan dendamnya karena kematian adiknya."
berkata salah seorang prajurit.
Pemimpin prajurit Singasari di padepokan itu pun kemudian
menentukan sikap, apakah yang harus mereka lakukan.
"Dua orang akan memberikan laporan kepada pimpinan di
Singasari, bahwa telah terjadi pertempuran yang mengerikan di
padepokan ini. Tetapi agaknya yang terjadi bukannya tujuan utama.
Laporan juga tentang Linggapati di Mahibit"
Demikianlah dua orang petugas telah pergi ke Singasari.
Mereka membawa pesan bagi Senopati Lembu Ampal, tentang
pertempuran yang telah terjadi, tentang tawanan dan tentang
Mahibit. Dalam pada itu, keadaan Empu Baladatu pun berangsur menjadi
baik. Ketahanan tubuhnya memang luar biasa, sehingga selelah ia
2141 beristirahat semalam, maka ia telah dapat bangkit dan duduk
bersandar dinding. Dihari berikutnya Empu Baladatu sudah dapat bangkit berdiri dan
berjalan mondar mandir didalam biliknya.
"Beristirahatlah" berkata Empu Sanggadaru ketika ia melihat
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
adiknya berjalan hilir mudik.
Empu Baladatu memandang wajah kakaknya dengan tatapan
mata yang aneh. Namun ia sama sekali tidak menjawab. "Duduk
sajalah. Luka-lukamu masih berbahaya bagimu." Empu Baladatu
pun kemudian duduk di pembaringan. Kepalanya ditundukkannya
seolah-olah sedang, merenungi hari-harinya yang telah lewat.
"Kau masih harus banyak beristirahat" berkata Empu
Sanggadaru, "dengan demikian kau akan cepat menjadi sembuh."
Empu Baladatu masih tetap diam sambil duduk termenung
Empu Sanggadaru tidak berbicara terlalu banyak. Ia merasa
senang karena semua obat yang diberikan pasti dipergunakan oleh
Empu Baladatu. Yang berupa minuman pasti diminumnya. Yang
harus ditaburkan, ditaburkannya dengan rajin, dibantu oleh orangorang
yang diserahi untuk mengawasinya.
"Mudah-mudahan ia lekas sembuh" berkata Empu Sanggadaru
kepada orang yang menjaga bilik Empu Baladatu itu, "Bagaimana
dengan makannya?" "Cukup baik Empu. Empu Baladatu berusaha untuk makan
sebanyak-banyaknya."
"Syukurlah Ia masih mempunyai keinginan untuk hidup terus."
Sebenarnyalah bahwa Empu Baladatu masih ingin tetap hidup. Ia
adalab seorang yang memiliki gairah dan cita-cita, sehinga ia tidak
terlalu cepat menyerah kepada mati
Karena itulah, maka luka-lukanya itupun rasa-rasanya menjadi
terlalu cepat sembuh. Luka-lukanya cepat menjadi kering dan
nampaknya tenaganya pun menjadi berangsur pulih
2142 "Sebentar lagi kau akan pulih" berkata Empu sanggadaru yang
sekali-kali menengok kedalam biliknya,
"Terima kasih kakang" berkata Empu Baldatu. Namun dalam
pada itu, Singasari yang dihubungi oleh para prajurit yang bertugas
dipadepokan itupun telah mendengar semua peristiwa yang terjadi.
Karena itulah maka pimpinan keprajuritan di Singasari telah
mengirimkan beberapa orang perwira untuk menilai keadaan.
Diantara mereka adalah Mahisa Agni sendiri.
"Ketiga kemanakanku ada di sana" berkata Mahisa Agni
Demikianlah Mahisa Agni pun segera mempersiapkan diri.
Perjalanan yang pernah ditempuhnya, sama sekali tidak
membawanya kepada orang-orang berilmu hitam itu sehingga
akhirnya ia kembali sebelum berhasil menemukan padepokan orangorang
berilmu hitam itu. Dan kini orang-orang berilmu hitam itu
telah berada di padepokan Empu Sanggadaru justru bersama
dengan orang-orang Mahibit.
Dihari berikutnya, lima orang prajurit termasuk Mahisa Agni telah
berpacu menuju ke padepokan Empu Sanggadaru. Kehadirannya itu
telah diberitahukan lebih dahulu kepada para pemimpin prajurit di
padepokan Empu Sanggadaru sehingga merekapun segera bersiap
untuk menyambutnya. Namun dalam pada itu, ketika pagi yang cerah mulai membayang
diatas padepokan, sebelum mereka mempersiapkan penyambutan
yang memadai, maka padepokan itu telah digemparkan oleh
peristiwa yang tidak terduga-duga.
Ketika seorang pengawal yang bertugas dipagi hari datang
kemuka bilik Empu Baladatu untuk menggantikan penjaganya, maka
ia tidak menemukan penjaga itu. Beberapa saat ia mencarinya,
tetapi ia tidak menemukannya.
Ia menjadi ragu-ragu ketika ia melihat pintu bilik Empu Baladatu
itu terbuka sedikit. Perlahan-lahan ia menyentuh daun pintu itu,.
dan kemudian membukanya dengan hati-hati
2143 Pengawal itu hampir terpekik ketika ia melihat sesosok tubuh
terbaring dilantai dengan berlumuran darah. Dengan tergesa-gesa ia
mendekatinya. Ternyata orang itu adalah kawannya yang akan
digantikannya. Kegemparan itupun segera menjalar. Ketika Empu Sanggadaru,
Mahisa Bungalan, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti mendengarnya,
maka merekapun segera berlari-lari ke dalam bilik itu.
Sebenarnyalah yang mereka jumpai adalah sesosok mayat yang
dadanya pecah, dan tulang iganya berpatahan.
Terdengar Empu Sanggadaru menggeretakkan giginya. Ketika ia
mengangkat wajahnya, betapa matanya bagaikan membara
menahan kemarahannya. "Baladatu benar-benar telah menjadi gila"geramnya. Mahisa
Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Iapun sadar bahwa
perbuatan itu tentu dilakukan oleh Empu Baladatu. Dan sudah tentu
bahwa Empu Baladatu telah melarikan diri dari padepokan itu.
"Aku menyesal" berkata Empu Sanggadaru dengan nada yang
dalam dan gemetar karena kemarahan yang menghentak-hentak,
"ia adalah satu-satunya adikku. Aku mencoba untuk melunakkan
hatinya. Tetapi ternyata ia telah berbuat gila di padepokanku ini."
Tidak seorang pun yang menyahut. Tetapi kekesalan telah
membayang di setiap wajah.
"Jika aku mengerti, bahwa ia akan melarikan diri, aku tentu
sudah membunuhnya" sambung Empu Sanggadaru, "adalah
kesalahanku, bahwa aku terlalu percaya kepadanya. Tentu ia
dengan mudah dapat melarikan diri, karena aku memang tidak
menempatkan penjagaan yang memadai. Aku kira ia menyadari
kesalahan yang sudah dilakukannya. Setiap aku menemuinya di
dalam bilik ini, nampaknya ia sudah menyesal dan bertaubat. Tetapi
ternyata akulah yang dungu."
Mahisa Bungalan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling
berpandangan sejenak. Namun merekapun menyadari, bahwa
2144 mereka sudah terlambat untuk mencarinya, karena Empu Baladatu
yang sudah hampir sembuh benar-benar itu tentu sudah jauh dan
menempuh jalan yang tidak diketahui.
Meskipun demikian, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yg masih
muda itupun tidak mudah menyerah. Karena itu maka katanya,
"Kami akan mencoba mencarinya."
Empu Sanggadaru memandang kedua anak muda itu sejenak.
Namun kemudian iapun menggelengkan kepalanya sambil berkata,
"Tidak usah anak mas. Kita belum mengetahui dengan pasti, apakah
orang-orang yang melarikan diri dalam pertempuran yang telah
terjadi itu tidak akan datang lagi membawa kawan yang lebih
banyak. Khususnya orang-orang Mahibit. Mungkin mereka sekedar
ingin melepaskan dendam, tetapi mungkin juga mereka ingin
melepaskan kawan-kawan mereka yang tertawan "
Mahisa Bungalan pun mengangguk sambil menyambung,
"Memang, keadaannya masih belum dapat kita ketahui dengan
pasti. Adalah berbahaya sekali jika kau berdua akan pergi
mencarinya " Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ke
mudian terdengar Mahisa Murti berkata, "Tetapi apakah kita akan
membiarkannya melarikan diri?"
"Tentu kita akan mencarinya. Tetapi dengan perhitungan yang
cukup, tidak dengan tergesa-gesa" berkata Mahisa Bungalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Ia pun
kemudian mengerti, bahwa mencari Empu Baladatu tentu
memerlukan banyak pertimbangan. Ia tentu sudah agak lama
menanggalkan padepokan itu. Dan tidak seorang pun yang dapat
menduga, ke arah manakah ia pergi. Selebihnya, seperti yang
dikatakan oleh Empu Sanggadaru dan Mahisa Bungalan.
keadaannya akan dapat berbahaya sekali.
Dengan demikian, maka yang dilakukan oleh orang-orang di
padepokan itu adalah sekedar mengumpat-umpat dan kemudian
2145 duduk sambil membicarakan kemungkinan-kemingkinan yang dapat
terjadi. "Jika prajurit Singasari itu datang, mereka tidak akan dapat
menemukan Empu Baladatu lagi disini" berkata Mahisa Bungalan.
Empu Sangggadaru mengangguk-angguk. Katanya, "Tentu itu
pun masuk perhitungan Baladatu. Ia tidak mau jatuh ketangan
prajurit-prajurit Singasari yang sudah lama mencarinya. Ia tentu
membayangkan, apakah yang akan dialaminya jika ia berada
ditangan para prajurit."
"Sebenarnya ia tidak akan mengalami apapun juga" sahut Mahisa
Bungalan. "Ia mendapat gambaran yang salah tentang prajurit Singasari"
sambung Mahisa Pukat. Empu Sanggadaru mengangguk-angguk lagi. Sekilas
dipandanginya pemimpin prajurit Singasari yang berada di
padepokan itu. Kemudian katanya, "Aku menjadi cemas, bahwa
prajurit Singasari akan menjadi salah paham"
"Kenapa?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Mungkin mereka menyangka, bahwa aku sengaja
melepaskannya." Pemimpin prajurit Singasari yang berada di padepokan itupun
kemudian menyahut" Empu terlalu cemas terhadap sikap para
prajurit." Empu Sanggadaru termangu-mangu sejenak.
"Kami menjadi saksi" sambung pemimpin prajurit Singasari itu,
lalu, "Empu sudah melakukan sejauh dapat kau lakukan. Jika yang
terjadi itu bukan yang kita kehendaki, itu adalah di luar kemampuan
kita semua. Empu Baladatu benar-benar tidak tahu diri. sehingga
sudah barang tentu, ia telah menyalah-gunakan kepercayaan Empu
terhadapnya." 2146 "Itulah yang aku cemaskan. Kelengahanku dapat dianggap
sebagai suatu kesempatan baginya."
Pemimpin prajurit itu menggeleng, "Tidak Empu. Tentu tidak
akan ada anggapan yang demikian."
"Aku tidak menempatkan penjagaan yang kuat, sehingga
Baladatu dapat melarikan diri. Memang penjaga yang terbunuh itu
tidak berarti apa-apa baginya."
"Tetapi Empu harus percaya kepada kami yang akan dapat
menjadi saksi." sahut Mahisa Bungalan.
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
datar ia berkata, "Terima kasih. Mudah-mudahan mereka percaya,
bahwa kepergian Baladatu bukannya karena keselamatan yang aku
berikan. Tetapi karena kelengahanku semata-mata. Aku berharap
bahwa Baladatu akan menerima kenyataan tentang dirinya, dan
bahwa aku adalah satu-satunya saudara tuanya."
"Ilmunya telah mempengaruhi watak dan pandangan hidupnya"
berkata Mahisa Bungalan, "Agaknya tidak ada lagi ikatan unggah
ungguh dan ikatan yang dapat mengekang perasaannya. Juga
hubungan keluarga tidak berarti sama sekali. Sehingga ia dapat
melakukan apa saja untuk mencapai maksudnya tanpa ragu-ragu.."
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ia
adalah satu-satunya adikku."
"Tetapi cara hidupnya tidak lagi dapat diharapkan bahwa ia akan
menjadi baik dan menyadari segala kekurangannya, "
Empu Sanggadaru tidak menyahut. Tetapi wajahnya diliputi oleh
keragu-raguan dan penyesalan yang tidak ada taranya. Bukan saja
karena Empu Baladatu telah melarikan diri sambil membunuh
seorang anak buahnya, sehingga dengan demikian banyak
tanggapan akan dapat diberikan terhadapnya, justru karena Empu
Baladatu adalah adiknya. Sementara itu, sekelompok prajurit Singasari memang sedang
dalam perjalanan menuju kepadepokan Empu Sanggadaru. Mereka
2147 mengharap bahwa mereka akan dapat bertemu dengan orang
terpenting dari lingkungan orang berilmu hitam.
Meskipun tidak terlalu cepat, sekelompok prajurit itupun berpacu
menuju kepadepokan Empu Sanggadaru. Bagi mereka
tertangkapnya Empu Baladatu merupakan peristiwa yang cukup
penting, karena dengan demikian, maka semua rahasia orang
berilmu hitam itu akan dapat terungkap.
Ketika mereka kemudian sampai dipadepokan Empu Sanggadaru,
maka mereka telah disongsong nleh Empu Sanggadaru sendiri,
Mahisa Bungalan, Mahisa Pukat dan Mahisa Murti, pemimpin prajurit
Singasari di padepokan itu dan beberapa pengawal kepercayaan
Empu Sanggadaru. Dengan dada yang berdebar-debar Empu Sanggadaru
mempersilahkan mereka naik kependapa dan duduk melingkar
diatas tikar pandan yang putih ber-garis-garis hitam.
Setelah tegur sapa tentang keselamatan masing-masing maka
pembicaraan merekapun langsung sampai kepada peristiwa yang
telah terjadi dipadepokan Empu Sanggadaru itu.
"Pertempuran itu tentu terjadi sangat sengit"desis Mahisa Agni.
Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya agak
tagu, "Demikanlah agaknya yang telah terjadi padepokan ini,
meskipun barangkali tidak berarti apa bagi para Senopati di
Singasari." Mahisa Agni menarik nafas panjang. Sekilas dilihatnya anak-anak
muda anak Mahendra duduk sambil menundukkan kepala mereka.
"Tentu mereka ikut menentukan, akhir dari pertempuran yang
telah terjadi dipadepokan ini"desis Mahisa Agni didalam hatinya.
Dalam pada itu. seorang Senopati prajurit Singasari yang datang
bersama Mahisa Agni itupun berkata, "Adalah perjuangan yang
sangat berat bagi padepokan ini. Kami telah menerima laporan
lengkap tentang jalannya pertempuran. Orang-orang berilmu hitam
2148 dan orang-orang Mahibit ingin menghancurkan padepokan ini
dengan cara yang licik."
"Adalah kebetulan sekali, bahwa kami dapat mengetahui
kedatangan kedua kelompok itu. Unsur ketidaksengajaan dan
kebetulan ikut memegang peranan dalam kemenangan kami.
Sehingga karena itu, sama sekali bukan karena kemampuan kamilah
yang telah menyebabkan kemenangan kami itu. Hadirnya prajurit
Singasari dipadepokan ini, serta ketiga anak-anak muda putera
Mahendra itupun ikut menentukan pula. Tanpa mereka padepokan
ini akan menjadi karang abang."
"Berterima kasihlah kepada Yang Maha Agung, karena yang
kebetulan itu adalah perlindungannya." jawab Mahisa Agni.
"Ya, ya" sahut Empu Sanggadaru dengan serta merta, "memang
itu adalah belas kasihannya "
Dalam pada itu, Mahisa Agni dan para prajurit dari Singasaripun
kemudian minta diberi kesempatan untuk melihat akibat dari
pertempuran itu. Mereka ingin melihat bekas-bekas pertempuran
yang sudah hampir hilang sama sekali, dan melihat beberapa orang
tawanan yang masih ada didalam padepokan itu termasuk mereka
yang terluka. Meskipun bekas pertempuran itu seakan-akan sudah tidak
nampak lagi karena telah dibersihkan, namun Mahisa Agni masih
melihat betapa serunya pertempuran yang terjadi. Didalam dan
diluar dinding padepokan. Apalagi ketika para prajurit itu melihat;
mereka yang terluka dan para tawanan.
Sambil melihat-melihat dibekas arena dan para tawanan itulah,
maka Empu Sanggadaru melaporkan batiwa adiknya, Empu
Baladatu yang tertawan, telah melarikan diri setelah membunuh
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang penjaganya. Mahisa Agni mengerutkan keningnya mendengar laporan itu.
Beberapa orang Senopati yang pergi bersamanya termangu-mangu
sejenak. Sepercik kecurigaan telah melonjak didalam hati mereka.
2149 Ternyata Empu Sanggadaru melihat bayangan kecurigaan itu
disorot mata beberapa orang Senopati, sehingga karena itu maka
iapun berkata, "Bahwa Baladatu sempat melarikan diri itu memang
sesuatu yang dapat dianggap mustahil terjadi. Tetapi barangkali
para prajurit yang berada disini akan dapat memberikan
kesaksiannya." Mahisa Agni lah yang kemudian menyahut, "Kami yakin bahwa
yang terjadi itu tentu sebuah kecelakaan. Tetapi sudah barang
tentu, bahwa kepergian Empu Baladatu tidak akan dapat kita
anggap sebagai suatu peristiwa yang dapat ditanggapi sambil lalu."
"Ya, ya Senopati" sahut Empu Sanggadaru, "kepergiannya
membawa dendam dan kebencian. Terutama kepadaku dan
padepokanku ini. Apalagi selain Linggadadi yang terbunuh, di
Mahibit ada saudara tuanya yang bernama Linggapati."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Mahibit memang
perlu mendapat perhatian. Tetapi agaknya kepergian Empu Ba
ladatu dan dendam Linggapati yang tentu akan mendengar berita
tentang kematian adiknya itu, merupakan bahaya yang setiap saat
dapat melanggar bukan saja padepokan ini. tetapi tentu juga
ketenangan Singasari."
"Ah" desah Empu Sanggadaru, "apakah artinya mereka bagi
Singasari. Sebagian kecil prajurit Singasari yang ada dipadepokan ini
telah berhasil menghancurkan sebagian besar pasukan mereka.
Apalagi seluruh kekuatan Singasari."
"Jangan salah menilai Empu" jawab Mahisa Agni, "apakah Empu
yakin bahwa yang datang ini adalah seluruh kekuatan Empu
Baladatu dan kekuatan Mahibit?"
Empu Sanggadaru tidak menyahut. Tetapi kepalanya teranggukangguk
kecil. "Kami akan mengetahuinya dari para tawanan" berkata. Mahisa
Agni kemudian. 2150 "Ya Senopati"berkata Empu Sanggadaru, "yang aku dengar dari
mereka, kekuatan di Mahibit memang tidak dapat diketahui dengan
pasti. Juga kekuatan yang ada di padepokan Empu Baladatu
sendiri." "Jika kedua kekuatan yang tersisa, tetapi masih dengan
pemimpinnya masing-masing itu bergabung, maka kekuatan itu
harus diperhitungkan."
"Kita akan mendapat petunjuk dimanakah letak padukuhan
mereka" berkata Empu Sanggadaru, "kita tidak akan menuggu. Jika
diperkenankan, kekuatan padepokan yang tidak seberapa ini akan
bersedia ikut serta para prajurit Singasari menuju ke Mahibit dan
padepokan Baladatu."
Tetapi Mahisa Agni menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak
tergesa-gesa. Mereka sekarang tentu sudah tidak berada di
padepokan masing-masing. Mereka menyadari bahwa beberapa
orang mereka tertawan, sehingga mereka tentu akan mengambil
sikap yang cepat untuk mengamankan kedudukan mereka."
Empu Sanggadaru meng-angguk-angguk. Katanya, "Ya, ya.
Agaknya memang demikian. Kita masih memerlukan waktu barang
sehari untuk mempersiapkan diri."
"Semuanya akan direncanakan dengan cermat Empu. Sekarang
kami ingin mendapat kesempatan untuk berbicara dengan para
tawanan" Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam- Kemudian
kepalanya terangguk-angguk kecil. Jawabnya, "Baiklah Senopati.
Silahkanlah. Mungkin ada hal-hal yang dapat kita jadikan pegangan.
Aku sudah berbicara dengan mereka. Tetapi barangkali masih ada
yang belum terucapkan."
Mahisa Agni pun kemudian menemui beberapa orang tawanan.
Beberapa lamanya ia berbicara dengan mereka. Seperti sikap dan
pembawaannya, maka Mahisa Agni pun berbicara dengan sabar dan
lembut. 2151 Tetapi justru sikapnya itu menumbuhkan berbagai tanggapan
bagi para tawanan. Tetapi sebagian dari mereka justru menjadi
gemetar. Mereka menyangka bahwa sikap itu adalah sikap purapura
semata-mata. Jika dengan sikap pura-pura itu mereka masih
menyembunyikan sesuatu, maka kemudian akan mereka alami
perlakuan yang sebenarnya dari prajurit yang nampaknya ramah
dan lembut itu. Dengan demikian, maka sebagian besar dari para tawanan itu
tidak lagi menyembunyikan sesuatu. Apa yang ditanyakan oleh
Mahisa Agni dijawabnya dengan jelas dan menurut pengenalan
mereka sepenuhnya. Orang-orang Mahibit menceriterakan apa yang mereka ketahui
tentang Linggadadi dan Linggapati. Tentang padepokan yang
tertutup tanpa pintu, tetapi sudah mereka tinggalkan, dan tentang
padepokannya yang kemudian.
"Apakah padepokan yang baru itu juga tidak berpintu?" bertanya
Mahisa Agni. "Ya Seperti itu. Padepokan yang baru itu juga tidak berpintu." jawab
salah seorang dari orang Mahibit itu.
"Siapakah yg berhak tinggal di dalam padepokan itu?"
"Orang-orang pilihan. Hanya empat puluh orang yang boleh
tinggal di dalam padepokan yang tidak berpintu gerbang itu. Dan
empatpuluh orang itu adalah orang-orang pilihan"
"Lalu, di manakah yang lain tinggal?"
Orang itu ragu-ragu sejenak. Kemudian katanya, "Kami tiggal di
padukuhan-padukuhan yang terpisah dari padepokan itu. Kami
tinggal dikampung halaman kami."
Tetapi bukankah kalian pengikut Linggadadi dan Linggapati?"
"Pengaruh kedua orang itu menjadi semakin luas. Padukuhanpadukuhan
di sekitar Mahibit seolah-olah telah dipengaruhinya.
Bahkan para pemimpin pemerintahan di Mahibit telah berada di
bawah perintahnya. Bahkan pada daerah di sekitarnya,
2152 pengaruhnya sudah merata. Meskipun nampaknya pemimpin
pemerintahan di Mahibit masih melakukan tugasnya, tetapi apa
yang mereka lakukan adalah semua perintah yang turun dari
Linggapati." Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Apakah dengan
demikian berarti bahwa Linggapati dan Linggadadi merupakan
orang-orang yang paling terhormat di Mahibit?"
"Mereka adalah orang-orang yang sangat dihormati dalam
keadaan mereka .yang sebenarnya." jawab tawanan itu
"Aku tidak tahu maksudmu"sahut Mahisa Agni.
"Linggapati dan Linggadadi kadang-kadang berkeliaran dalam
ujudnya yang lain dari Linggapati dan Linggadadi yang sangat
dihormati itu. Kadang-kadang mereka berada di sepanjang jalan
kota Mahibit sebagai petani-petani biasa yang memerlukan sesuatu
dikota kecil itu. Tetapi kadang-kadang mereka duduk di simpang
tiga sebagai seorang yang tidak mempunyai kerja apapun selain
berkeliaran. Tetapi kadang-kadang merekapun melintasi daerah
yang panjang sebagal pedagang yang melakukan perjalanan yang
jauh." "Apakah orang-orang Mahibit tidak langsung dapat
mengenalnya?" "Keduanya seolah-olah merupakan rahasia yang tidak mudah
diungkapkan oleh orang-orang Mahibit sendiri. Hanya orang-orang
yang sangat dekat sajalah yang dapat langsung mengenal wajahnya
Teramasuk empatpuluh orang di dalam padepokan itu "
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Dalam pada itu, Mahisa
Bungalan yang ada diantara merekapun bertanya pula, "Apakah kau
tahu, kenapa kau diikut sertakan dalam serangan kali ini ?"
"Tidak. Aku tidak tahu, kenapa aku terpilih. Tetapi adalah suatu
kebanggaan bagi kami, bahwa kami dapat ikut bersama Linggadadi
saat itu." "Dan kau juga berbangga?"
2153 Orang itu tidak menjawab.
"Apakah kau sebelumnya juga pernah menerima latihan-latihan
olah kanuragan secara khusus?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun
menganggukkan kepalanya. Katanya, "Ya. Ada beberapa orang dari
keempat puluh orang yang ada dipadepokan itu yang keluar khusus
untuk melatih kami."
Mahisa Agni termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Mahisa
Bungalan lah yang bertanya, "Apakah di antara kalian ada seorang
dari keempat puluh orang itu?"
Orang itu terdiam. Ia sudah menjawab semua pertanyaan. Setiap
kali seseorang bertanya kepadanya, maka jawabnya tidak pernah
berubah, karena jawabnya itu adalah keadaan yg sebenarnya yang
ia ketahui. Kepada Empu Sanggadaru ia mengatakan seperti yang
dikatakannya. Kepada prajurit Singasari dan kemudian kepada
Mahisa Agni. Tetapi pertanyaan yg di lontarkan oleh Mahisa
Bungalan itu adalah pertanyaan yang sangat sulit baginya.
"Jawablah" desak Mahisa Agni. Suaranya masih tetap sareh dan
lembut, "kami tidak akan berbuat diluar wewenang kami sebagai
prajurit." Tiba-tiba saja terasa dada orang itu bergetar. Ia menjadi sangat
bingung. Sepercik ketakutan membayang diwajahnya yg pucat.
Ternyata Mahisa Agni cukup bijaksana menanggapi keadaan. Ia
sadar, bahwa, tentu orang itu tidak berani mengatakannya bahwa di
antara mereka yang tertawan tentu ada seorang atau lebih dari
yang empat puluh itu. Karena itu, Mahisa Agni tidak memaksanya. La pun kemudian
meninggalkan orang itu dan melihat mereka yang terluka. Orangorang
Mahibit yang. terluka dibaringkan diantara orang-orang
Serigala Putih dan Macan Kumbang dibawah penjagaan yang sangat
kuat, apalagi setelah Empu Baladatu melarikan diri.
2154 "Empu akan mengalami kesulitan untuk merawat mereka terus
menerus" berkata Mahisa Agni.
"Ya Senopati. Kami memang akan menyerahkannya kepada prajurit
Singasari." "Kami tidak akan ingkar Kami akan membawa mereka ke Singasari
berangsur-angsur." Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa
Agni berkata, "Tetapi kami masih ingin mendapat penjelasan
tentang empat puluh orang yang tinggal di dalam padepokan itu"
"Mereka tidak mau mengatakannya" sahut Empu Sanggadaru,
"jika benar-benar ada di antara mereka, maka siapa yang
mengatakannya mungkin akan dibunuhnya."
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita akan
memanggil mereka dan bertanya secara terpisah. Menilik tingkah
laku tawanan itu, maka sudah hampir dapat dipastikan bahwa tentu
ada salah seorang dari antara keempat puluh orang itu disini."
Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Dan iapun kemudian
telah mempersiapkan segala sesuatunya, agar salah satu atau lebih
dari para tawanan itu dapat mengatakan tenang salah seorang dari
keempat puluh orang itu. Untuk tidak menimbulkan kecemasan dan kebingungan, maka
yang mula-mula dipanggil dihari berikutnya adalah justru orang dari
padepokan Serigala Putih dan Macan Kumbang. Kemudian berturutturut
sehingga akhirnya orang Mahibitpun terpanggil pula memasuki
ruang yang sudah disediakan.
Ternyata orang Mahibit itu sudah menjadi pucat. Agaknya ia
menyadari, bahwa ia akan ditekan dengan berbagai macam
pertanyaan yang lebih penting dari pertayaan-pertanyaan yang dia
jukan di dalam bilik tawanan mereka.
Meskipun sikap Mahisa Agni masih tetap sareh dan lembut, tetapi
keringat dingin sudah membasahi seluruh orang Mahibit itu.
2155 "Ki Sanak" bertanya Mahisa Agni kemudian, "sudah banyak
pertanyaanku yang kau jawab dengan jelas. Demikian juga kawankawanmu.
Hampir semuanya menjawab dengan jujur, karena
hampir tidak ada selisih sama sekali. Tetapi selain yg sudah kami
tanyakan, maka masih ada satu pertanyaan lagi, apakah ada
diantara kalian salah satu atau lebih dari keempat puluh orang yang
ada didalam padepokan tertutup itu?"
Wajah orang itu menjadi semakin pucat. Apalagi ketika kemudian
Mahisa Bungalan berdiri dan melangkah mendekati orang itu.
Sebuah sentuhan di punggungnya terasa bagai kan ujung pedang
yang siap menghunjam ke dalam dagingnya.
"Katakanlah" bisik Mahisa Bungalan, "apakah kau takut kepada
kawanmu itu?" Orang itu memandang Mahisa Bungalan dengan keringat yang
mengembun dikening. "Aku tahu, jika orang itu mengerti bahwa kau telah
mengatakannya, maka kau tentu akan dicekiknya meskipun kau
berada di antara para tawanan yang lain. Tetapi aku berani
menjamin bahwa kau tidak akan disentuhnya karena aku tidak akan
mengatakan bahwa kaulah yang telah memberikan keterangan."
Orang itu menjawab Tetapi keringatnya semakin basah banyak
mengalir di tubuhnya. "Katakanlah, apakah kau melihat salah seorang dari mereka."
Orang itu masih tetap berdiam diri.
Mahisa Bungalan berjalan mengelilinginya, la masih terlalu muda
untuk menunggu jawaban yang tidak kunjung diucapkan itu. Apalagi
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti. Tetapi karena Mahisa Agni masih
saja duduk dengan tenang, maka mereka pun masih tetap menahan
diri. "Ki Sanak" berkata Mahisa Agni kemudian, "ada dua
kemungkinan. Pertama, seperti yang di katakan oleh Mahisa
Bungalan kau tidak berani mengatakannya karena orang itu akan
2156 membunuhmu. Tetapi kemungkinan yang lain adalah, bahwa kau
sendirilah salah seorang dari keempat puluh orang itu"
"Bukan, bukan aku"orang itu menjawab dengan serta merta.
Mahisa Agni menarik nafas. Katanya, "Jika bukan kau lalu siapa?"
Orang itu termangu-mangu.
"Jawablah" suara Mahisa Pukat mulai menjadi keras.
Tetapi Mahisa Agni tersenyum dan menyahut, "Jangan berteriak
Mahisa Pukat. Orang itu tentu akan menjadi semakin diam. Cobalah
bayangkan, seandainya ia adalah salah seorang dari keempat puluh
orang itu. Ia tentu bukan kebanyakan pengawal yang takut kepada
tekanan yang berupa apapun. Bahkan ia tentu tidak akan
menghiraukan seandainya kita mengadakan tekanan jasmaniah.
Dengan kekerasan misalnya. Karena tentu seorang yang kebal.
Bahkan ujung pedang sekalipun tidak akan dapat menyobek
kulitnya" "Bukan, Aku bukan salah seorang dari mereka. Dan mereka
itupun sama sekali bukan orang-orang kebal" sahut orang yang
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketakutan itu. Mahisa Agni masih tersenyum. Katanya, "Jangan merendahkan
diri. Aku tahu, kau adalah orang yang kebal "
Orang itu menjadi semakin ketakutan. Senyuman Mahisa Agni
bagaikan senyuman maut yang memanggilnya dari alam yang lain.
Dan Mahisa Agni masih tetap tersenyum. Katanya, "Kau tentu
tidak akan menjawab. Kau akan membuktikan kepada kami bahwa
kau adalah orang yang kebal "
"Tidak. Sama sekati tidak. Jika aku orang yang kebal, aku tidak
akan menyerah. Juga salah satu atau dua orang dari ke empat
puluh orang itu, tidak kebal, sehingga merekapun harus menyerah "
"Kau tidak ingin menyerah. Seperti yang aku katakan. Kau hanya
ingin menunjukkan kekebalanmu jika sekali kami menyentuh
tubuhmu dengan senjata apapun juga, maka kau akan dengan
2157 bangga mengangkat kepala sambil berkata, "Aku orang kebal. Nah
prajurit Singasari, lihatlah "
"Tidak. Tidak."
"Tetapi sudah tentu kami tidak akan mengecewakan mu. Kami
ingin memenuhi keinginanmu agar dapat berbangga karena
kekebalanmu." "Tidak Jangan, jangan. Aku akan berbicara." Mahisa Pukat yang
sudah berdiri tegak dihadapan orang itu mengerutkan keningnya.
Bahkan hampir-hampir ia tidak menahan tertawanya meskipun ia
menjadi kecewa, bahwa ia tidak dapt membuktikan bahwa orang itu
kebal. Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam Katanya, "Apakah kau
akan berhicara tentang salah seorang dari ke empat puluh orang
itu?" Orang, itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun
menganguk, "Ya, Aku akan berbicara."
(Bersambung ke jilid 30) Koleksi: Ismoyo Scanning: Arema Convert/proofing: Ayasdewe
Editing/Rechecking: Arema
-oo0dw0ooTiraikasih Website http://kangzusi.com/
2158 Karya SH MINTARDJA Sepasang Ular Naga di Satu Sarang
Sumber djvu : Koleksi Ismoyo & Arema
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
Jilid 30 MAHISA AGNI bergeser setapak. Katanya, "Biarlah.
Katakanlah. Selain kau, siapa
lagi orang-orang yang termasuk empat puluh orang
dari padepokan tertutup itu. "
"Aku bukan." "O, kau bukan."
"Ya. Aku bukan." orang, itu
berhenti sejenak. "Yang manakah yang kau
maksud?" desak Mahisa
Bungalan yang tidak sabar lagi.
Orang itu menelan ludahnya
Lalu katanya, "Salah seorang
dari mereka adalah orang yang
terluka di antara orang orang Mahibit yang luka-luka"
"Yang mana?" "Yang berkumis tipis. Berwajah keras dengan bekas luka
dikeningnya. Ia adalah salah seorang dari keempat puluh orang
yang berada di padepokan tertutup di Mahibit"
2159 Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya sambil
mengangguk-angguk, "Terima kasih. Tetapi apakah hanya ada satu
orang yang ikut serta bersama kalian kali ini?"
Orang itu ragu-ragu. Namun ia sudah terlanjur mengatakan,
sehingga ia pun berkata selanjutnya, "Ada lima orang yang ikut
serta kali ini mengawal Linggadadi. Aku tidak tahu, apa kali yang
lain sempat melarikan diri atau terbunuh. Yang aku ketahui
hanyalah seorang yang berkumis itu. Tanpa Linggapati dan
Linggadadi. ia adalah orang yang berkuasa atas kami. Karena itu,
jika ia mengetahui bahwa aku telah mengatakan tentang dirinya,
aku tentu akan dibunuhnya. Dengan tangannya sediri, atau tangan
orang lain yang tertawan di s ini." Mahisa Agni mengangguk-angguk.
Katanya, "Terima kasih. Sebaiknya aku akan mempertemukan kau
dengan orang itu. Aku akan minta.agar ia tidak berbuat apa-apa. "
"O, tidak. Jangan. Aku akan dibunuhnya, "
"Kau salah Ki Sanak. Jika aku mengatakan, bahwa apabila terjadi
sesuatu atasmu, maka orang itulah yang bertanggung jawab.
Sehingga dengan demikian, ia tidak akan berani memerintahkan
membunuhmu. " "Tidak Ia akan mencekikku sampai mati. "
"Aku pun dapat melakukan atasnya. "
"Sebaiknya jangan. "
"Aku akan menanggung keselamatanmu "
Orang itu ragu-ragu sejenak. Lalu katanya, "Atau singkirkan aku
dari tempat ini. Aku tidak akan ingkar, kemanapun aku akan dibawa
" Mahisa Agni tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan
merahasiakannya. Aku akan mencoba memperlakukan orang itu
seolah-olah kami tidak mengetahui bahwa orang Itu adalah salah
satu dari empat puluh orang di dalam padepokan tertutup itu."
2160 Orang yang tertawan itu menarik nafas dalam dalam Lalu
katanya, "Terima kasih. Aku harap bahwa aku akan selamat
meskipun aku harus dihukum oleh prajurit Singasari. Sebenarnyalah
bahwa tidak ada keinginanku untuk melawan kekuasaan Singasari. "
Mahisa Agni tersenyum, sedang Mahisa Bungalan menjawab,
"Jika kau tidak ingin melawan, kenapa kau ikut bertempur?"
"Tidak ada pilihan lain bagiku. "
Demikianlah maka orang itu pun dikembalikannya ke dalam
tempat untuk menawannya. Dengan cara yang sama.
Mahisa Agni mendapat keterangan dari tiga orang yang serupa,
bahwa otang berkumis dan cacat dikening itu adalah salah seorang
dari empat puluh orang di dalam lingkungan padepokan tertutup di
Mahibit itu. "Kita tidak dapat tergesa-gesa" berkata Mahisa Bungalan,
"biarlah orang itu kami bawa lebih dahulu ke Singasari, sehingga
penjagaan atasnya akan lebih terjamin. "
Empu Sanggadaru meng-angguk-angguk. Katanya, "Terserah
kepada para Senopati di Singasari. Aku hanya mengharap kelak
mendapat keterangan yang akan dapat kami jadikan pegangan.
Sebab dengan hilangnya Baladalu aku masih tetap cemas, bahwa ia
akan datang mulai dengan kekuatan yang lebih besar."
"Ya Empu. Dan untuk itu. kami akan tetap menempatkan prajurit
Singasari di padepokan ini. Barangkali Mahisa Bungalan, Mahisa
Pukat dan Mahisa Murti akan tetap tinggal di sini pula untuk
sementara." Empu Sanggadaru mengangguk-angguk. Tetapi ia masih tetap
dicengkam oleh kecemasan justru karena tingkah adiknya itu.
Ternyata Mahisa Agni tidak berada terlalu lama di padepokan itu.
Setelah bermalam dua malam untuk meneliti semua keadaan, muka
ia pun memutuskan untuk kembali ke Singasari.
2161 "Diantara kalian yang terluka akan aku bawa serta ke Singasari"
berkata Mahisa Agni kepada para tawanan, "dengan demikian, maka
kalian akan mendapatkan perawatan yang lebih baik. Tetapi sayang,
bahwa mungkin tidak sekaligus semuanya dapat aku bawa serta.
Pada kesempatan pertama ini mungkin baru tiga atau empat orang
saja." Sejenak mereka termangu-mangu. Namun orang berkumis dan
cacat di kening itu tiba-tiba saja menyahut, "Tentu yang terluka
parah. Memang mereka memerlukan perawatan yang lebih baik.,"
Tetapi Mahisa Agni menggelengkan; kepalanya. Katanya, "Sayang.
Kali ini bukan mereka. Yang akan pergi bersamaku adalah mereka
yang terluka meskipun nampaknya tidak begitu parah, tetapi
membahayakan jiwanya. Atau mungkin cacat jiwa di s isa hidupnya."
"O" orang berkumis itu mengangguk-angguk, "mungkin perlu
sekali. Untunglah bahwa aku sudah sembuh sama sekali."
"Kau sudah mulai hidup dalam khayalan," berkata Mahisa Agni
sambil menunjukkan orang berkumis itu. Sehingga orang itu.
terkejut, "apakah maksud Senopati?"
"Lukamu sangat berbahaya. Kau dipengaruhi oleh racun yang
akan dapat membuat jiwamu cacat sepanjang umurmu. Kau
sekarang sudah mulai dibayangi oleh khayalan yang berbahaya Kau
sama sekali belum sembuh. Bahkan lukamu yang kecil itu akan
menjadi semakin parah."
Wajah orang itu menjadi tegang. Karanya, "Jadi aku harus ikut ke
Singasari?" "Ya. Kau dapat dua atau tiga orang lain. Tetapi agaknya kaulah
yang paling parah." "Tidak." tiba-tiba saja orang itu meloncat berdiri, " aku tidak mau
pergi ke Singasari. Aku sudah sembuh sama sekali."
"Khayalanmu membuat kau mengalami kejutan semacam itu.
Tenanglah." 2162 "Tidak. Bohong. Semuanya itu hanya sekedar cara untuk menipu
aku. Aku tahu sekarang, tentu ada orang yang telah menunjukkan
siapakah aku sebenarnya."
Mahisa Agnipun menjadi tegang sejenak. Juga orang-orang
Mahibit yang mendengar kata-kata itu. Apalagi mereka yang merasa
telah mengatakan tentang orang berkumis itu.
"Ki Sanak" berkata Mahisa Agni sareh, "baiklah. Agaknya
memang demikian. Tetapi kau tidak akan mengetahui s iapakah yang
telah mengatakan, bahwa kau termasuk salah satu dari empat
puluh orang yang tinggal di dalam dinding tertutup dan tanpa pintu
sama sekali itu." "Gila. Aku tentu akan menemukannya. Aku akan mencekiknya
sampai mati. Jika aku tidak terluka dan pingsan, aku tidak akan
menyerah dan menjadi tawanan seperti ini. Karena itu. sekarang,
aku tidak lagi sedang pingsan. Meskipun aku masih terluka, namun
aku akan bertempur melawan siapapun juga sampai mati, karena
aku sadar, bahwa prajurit-prajurit Singasari akan mengeroyokku."
Empu Sanggadaru mengerutkan keningnya. Kekecewaannya atas
hilangnya Empu Baladatu masih saja mencengkamnya. Dan kini ia
mendengar orang Mahibit itu berteriak dengan sombongnya
Tetapi ia heran ketika ia melihat Mahisa Agni masih saja
tersenyum. sambil berkata, "Jangan terlalu sombong Ki Sanak. Itu
tidak baik. Apakah untungnya mati dikeroyok orang banyak" Lebih
baik ikut sajalah kami ke Singasari. Kami akan mengobati lukalukamu,
dan sudah tentu kami ingin mendengar beberapa
keterangan tentang Mahibit itu pun sudah bukan merupakan
rahasia lagi, karena sebagian dari padepokanmu yang tertutup itu
sudah terbaca oleh petugas-petugas sandi sejak lama. Mungkin
Linggapati menyadari, sehingga ia telah memindahkan
padepokannya dari ujung kota Mahibit ke tempatnya yang
sekarang." Orang itu termangu-mangu sejenak. Ia pun menjadi heran,
bahwa Mahisa Agni itu masih saja bersikap acuh tidak acuh.
2163 "Senapati tua ini benar-benar seorang yang memiliki kemampuan
di luar kemampuan manusia" berkata orang itu di dalam hatinya
karena ia pernah mendengar nama Mahisa Agni.
"Sudahlah. Kita akan berangkat. Kau akan mendapat seekor kuda
khusus. Demikian pula dua orang kawanmu. pilihlah, siapakah yang
akan kau ajak untuk menemanimu."
Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Tidak. Aku akan mati di sini."
"Kenapa kau memilih mati" Aku tahu, empat puluh orang yang
berada di dalam lingkungan dinding tertutup itu tentu sudah
bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia padepokannya.
Baiklah. Kami tidak akan memaksa. Tetapi hal-hal yang tidak
bersifat rahasia, yang umum sekali, tentu boleh kau sebut. Misalnya
apakah Linggapati mempunyai adik yang lain kecuali Linggadadi
yang terbunuh itu?" "Persetan." Mahisa Agni tertawa. Katanya, "Kau memang keras kepala.
Tetapi agaknya kau memang telah dibentuk demikian. Seperti juga
Empu Baladatu yang melarikan diri setelah mebunuh penjaganya.
He. apakah kau juga merencanakannya."
"Cukup. Cukup Pertanyaanmu membuat aku muak."
"Jangan membentak Ki Sanak. Aku orang tua. Tidak baik dilihat
orang. Kau masih terlalu muda untuk membentak aku."
"Senapati" tiba-tiba saja Empu Sanggadaru memotong, "aku
akan menyelesaikannya. Kepergian Empu Baladatu aku hampir gila.
Mungkin orang ini akan dapat mengurangi ketegangan otakku."
Mahisa Agni tersenyum. Ia dapat mengerti, betapa hati Empu
Sanggadaru bagaikan diguncang oleh kekecewaan, marah dan
penyesalan yang bercampur haru. Namun demikian Mahisa Agni
mendekatinya sambil berkata, "Empu sudah menujukkan sikap dan
budi yang luhur. Karena itu, biarlah Empu tetap pada sikap itu.
Serahkan orang ini kepadaku."
2164 Empu Sanggadaru menarik nafas dalam-dalam. Kepalanya pun
tertunduk meskipun terasa hatinya bergejolak.
Yang hampir tidak dapat dicegah lagi adalah Mahisa Murti.
Dengan serta merta ia meloncat sambil berkata, "Paman. Biarlah
aku membuktikan. Apakah yang empatpuluh orang di dalam
padepokan tertutup itu benar-benar bukan manusia wantah."
Sekali lagi Mahisa Agni tersenyum Katanya, "Siapakah yang
mengatakan bahwa mereka bukannya manusia wantah?"
Mahisa Murti menjadi bingung sejenak. Namun kemudian
katanya, "Lihatlah, bagaimana angkuh sikapnya. Seolah olah ia
membenarkan bahwa empatpuluh orang di padepokan tanpa pintu
itu memiliki ilmu yang tidak terjangkau oleh manusia di luar dinding
padepokannya." "Keangkuhan dan kesombongannya itulah yang justru
menunjukkan, bahwa ia adalah manusia sewajarnya. Dan kau tidak
usah ikut menjadi sombong dan angkuh."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun aapun kemudian
melangkah surut. Namun dalam pada itu, orang berkumis itu menjadi semakin
marah, seolah-olah ia hanya sekedar menjadi bahan tertawaan bagi
Mahisa Agni. Meskipun ia sudah pernah mendengar kebesaran
namanya, tetapi kemarahannya telah membuatnya gelap hati.
Apalagi ia merasa bahwa iapun memiliki ilmu yang cukup. Tentu
hanya karena kebetulan atau kelengahan, mungkin karena ada dua
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
atau tiga orang yang menyerangnya bersama-sama sehingga ia
terluka dan pingsan sehingga ia tertawan.
Karena itulah, maka iapun tiba-tiba telah meloncat menerkam
Senopati yang sudah menjadi semakin tua dan seolah-olah sama
sekali tidak bersiaga itu.
Mahisa Agni melihat serangan itu. Tetapi ia sama sekali tidak
melakukan apapun juga. karena iapun melihat dalam waktu yang
bersamaan Mahisa Bungalan lelah meloncat pula.
2165 Dua kekuatan telah berbenturan. Tetapi kedua kekuatan itu
ternyata tidak berimbang. Mahisa Bungalan telah berhasil
membunuh Linggadadi. Orang kedua di Mahibit. Apalagi salah
seorang pengawalnya yang sudah terluka.
Untunglah Mahisa Bungalan pun tidak melontarkan segenap
kekuatannya. Ia menyadari, bahwa dengan segenap kekuatannya
maka orang itu tentu akan terbunuh. Dan itu berarti suatu kerugian
bagi Singasari dalam keadaan yang gawat ini.
Orang berkumis yang membentur kekuatan Mahisa Bungalan
itupun telah terlempar beberapa langkah. Dengan kerasnya ia
terbanting di tanah. Orang itu masih berusaha untuk menggeliat dan bangkit. Tetapi
ternyata bahwa kekuatannya bagaikan larut sama sekali. Selain oleh
benturan yang keras melampaui ketahanan tubuhnya, juga karena
luka-lukanya sendiri yang belum sembuh.
Terdengar orang itu mengerang. Tetapi ia tidak pingsan.
Mahisa Agni mendekatinya. Dengan hati-hati ia berjongkok di
sampingnya. "Pergi, pergi. Aku bunuh kau" geram orang itu.
"Kau benar-benar seorang laki-laki" desis Mahisa Agni, "kau keras
hati dan pantang menyerah"
"Lebih baik aku mati daripada menyerah."
"Aku percaya bahwa kau bukan sekedar menyombong kan diri."
jawab Mahisa Agni, "tetapi sayang sekali."
Orang itu termangu-mangu. Seolah-olah ia ingin bertanya,
apakah yang disayangkan oleh Mahisa Agni.
"Ki Sanak. Jika sifat jantanmu itu berada di jalan kebenaran,
maka aku kira kita akan hidup sejahtera dan tenang. Setiap orang
akan mendapatkan perlindungan apabila jumlah orang-orang jantan
yang berada di jalan kebenaran semakin besar jumlahnya."
2166 "Diam. jangan gurui aku. Aku tidak perlu sesorahmu"
Mahisa Agni menggeleng, "Tidak Ki Sanak. Aku tidak sesorah.
Aku mengatakan apa yang aku lihat sekarang. Seorang Laki-laki
jantan yang pantang menyerah. Yang lebih baik mati daripada
menguncupkan tangannya."
"Kalau kau ingin membunuh sekarang, bunuhlah."
"Sayang sekali. Dengan demikian maka kita akan kehilangan.
Meskipun kau memilih jalan sesat, tetapi padamu masih juga, ada
pilihan." ."Diam. Diam." "Baiklah Ki Sanak. Aku akan diam. Dan kau akan segera diangkat
kedalam bilikmu. Setelah kau beristirahat sejenak, maka kau akan
kami bawa ke Singasari. Kami akan menunjukkan kepada Sri
Baginda di Singasari, Bahwa sikap jantan seperti yang kau miliki ini
perlu dibina pada setiap hati prajurit Singasari. Pantang menyerah
dan tidak takut mati sama sekali. Tentu saja., ada yang harus
disisihkan, yaitu kesesatanmu."
"Diam. diam, setan."
"Tentu kau yakin, bahwa kau telah memilih jalan yang paling
baik, meskipun kau tahu bahwa itu salah. Karena ada orang yang
berbuat kesalahan karena ia tidak mengetahui, tetapi ada yang
melakukannya dengan sadar dan bahkan ya kin seperti kau.
sehingga kesalahan yang kau yakini itu akan kau pertahankan
sampai mati. Disinilah letak kesia-siaanmu. Setelah kau menjadi
seorang Laki-laki jantan yang memilih mati daripada menyerah,
maka ternyata bahwa pilihannya itu ada lah sia-sia."
Wajah orang itu menjadi semakin tegang oleh kemarahan yang
menghentak-hentak dadanya. Namun justru karena itu, maka
mulutnya bagaikan tidak dapat mengucap lagi. Dipandanginya saja
Mahisa Agni yang berjongkok disampingnya kemudian herkata lagi,
"Camkanlah. Dan bertanyalah kepada dirimu sendiri. Jika kau mati
karena keyakinanmu, apakah kematianmu itu mempunyai arti"
2167 Agaknya itulah tidak seimbang padamu. Kejantanan dan kesiasiaan."
Orang itu tidak menjawab lagi. Betapapun jantungnya bagaikan
bergelora. Mahisa Agni pun kemudian berdiri sambil berkata kepada Mahisa
Pukat dan Mihisa Murti, "Bawalah ia kebiliknya Aku akan bersiapsiap
untuk berangkat. Setelah pernafasannya pulih, iapun akan
segera berangkat bersama kami."
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangkat orang
berkumis itu ia sama sekali tidak berusaha untuk menolak.
Dibiarkannya saja tangan kedua anak-anak muda itu
mengangkatnya dan membawanya ke dalam baliknya.
Sejenak orang itu masih terbaring. Beberapa orang kawannya
menjadi sangat ketakutan karenanya. Mereka menyangka, jika
orang itu nanti menjadi segar kembali ia tentu akan marah dan
membunuh setiap orang dari Mahibit yang dianggapnya telah
membuka rahasianya. Tetapi ternyata setelah pernafasannya mulai teratur, dan
perlahan-lahan mampu bangkit kembali, orang berkumis itu tidak
menunjukkan gejala-gejala yang membahayakan kawananya.
Bahkan ia pun kemudian duduk saja di sudut sambil memeluk
lututnya. Ternyata kata-kata Mahisa Agni telah menyentuh hatinya, ia
mulai bertanya kepada diri sendiri, apakah jika benar-benar ia mati,
kematiannya itu ada artinya.
"Tentu" ia menggeretakkan giginya, "aku telah memperjuangkan
suatu cita-cita yang luhur bagi Mahibit." ,
Tetapi kemudian timbul lagi sebuah pertanyaan "Apa kah artinya
pemberontakan yang disiapkan oleh Linggapati dan Linggadadi"
Dengan kekuatan dari padepokan Macan Kumbang dan Serigala
Putih, orang-orang Mahibit tidak berhasil mengalahkan sebuah
padepokan. Sebuah padepokan saja meskipun dipadepokan ini
2168 ternyata ada beberapa orang prajurit Singasari. Hanya beberapa.
Sehingga apakah artinya kekuatan Mahibit yang sebenarnya
dibanding kekuatan Singasari" Jika Linggapati menilai perjuangan
Sri Rajasa yang perkasa itu dari sebuah lingkungan kecil, dimana
pada saat itu Ken Arok memegang jabatan sebagai seorang Akuwu
di Tumapel namun tentu ada persoalan-persoalan lain yang
menyangkut, hubungan antara Kediri dan Tumapel, terutama dari
segi pengaruh para Brahmana."
Orang berkumis itu mengerutkan keningnya. Masih Terngiang
kata-kata Mahisa Agni, tidak ada keseimbangan antara
kejantanannya dan kesia-siaannya.
Orang berkumis itu tidak sempat mempertimbangkannya terlalu
panjang, karena iapun kemudian melihat Mahisa Agni sendiri datang
menjemputnya sambil berkata, "Marilah"
Orang itu tetap berdiam diri.
Orang itu tidak menjawab. Seolah-olah diluar sadarnya, ia pun
bangkit perlahan-lahan, karena dadanya masih terasa agak sesak
"Kemarilah" desis Mahisa Agni.
Orang itupun datang kepadanya dan mengikutinya.
"Kali ini kau pergi sendiri" berkata Mahisa Agni, "kau mendapat
kehormatan khusus dari prajurit-prajurit Singasari. Kudamu sudah
siap Tentu kau pun sudah siap."
Sejenak kemudian, maka iring-iringan prajurit Singasari itu pun
meninggalkan padepokan Empu Sanggadaru dengan kesan yang
sungguh-sungguh tentang kemungkinan yang buruk yang akan
dapat ditimbulkan oleh Linggapati maupun oleh Empu Baladatu
yang berhasil melarikan diri.
Sementara itu, para tawanan dari Mahibit. justru menjaji tenang
ketika orang berkumis itu sudah tidak ada lagi di antara mereka.
Mereka sadar sepenuhnya bahwa orang berkumis itu akan dapat
menjadi bencana yang mengerikan, jika ia masih tetap berada di
antara kawan-kawannya yang tertawan dan terluka.
2169 Justru sepeningal orang berkumis itu, orang-orang Mahibit Yang
tidak lagi dicengkam oleh ketakutan, mulai dengan leluasa
menceriterakan apa saja yang mereka ketahui tentang Mahibit.
Namun yang mereka ketahuipun hanya terbatas sekali. Hanya
terbatas keadaan di luar dinding tertutup yang jarang sekali mereka
lihat bagian dalamnya. Dalam pada itu, Empu Baladatu yang masih dalam keadaan
terluka, dan setelah berhasil membunuh pengawasnya,
meninggalkan padepokan kakaknya. berjalan dengan susah payah
menjauhi padepokan yang baginya merupakan neraka itu.
Ia telah gagal menciptakan suatu upacara korban terbesar bagi
aliran ilmunya untuk mencengkam murid-muridnya agar menjadi
semakin patuh kepadanya. Sehingga dengan demikiain ia tidak
dapat menepuk dada sambil menyebut dirinya sebagai Maha Guru
yang paling berwibawa dari aliran di sepanjang masa.
Korban purnama naik pada bulan itu, justru terjadi sebaliknya.
Pasukannya telah dihancurkan hampir mutlak, ia sendiri tertawan
dan tidak berdaya sama sekali. Hanya karena Empu Sanggadaru
adalah kakak kandungnya, maka ia dapat mempergunakan
kelengahannya untuk melarikan diri dengan mengorbankan
pengawal yang sedang mengawasinya.
Namun dalam pada itu, dendam telah menyala di dalam hatinya.
Dan Empu Baladatu telah bersumpah kepada diri sendiri, untuk
membalas dendam itu sampai tuntas.
"Aku masih mempunyai kesempatan" berkata Empu haladatu
dengan kemarahan yang menghentak dadanya.
Namun daya tahan tubuh Empu Baladatu memang luar biasa
sekali. Meskipun ia masih belum sembuh dari lukanya yang parah, ia
masih mampu berjalan hampir sehari semalam. Hanya sekali-kali ia
berhenti dibalik gerumbul-gerumbul liar. Minum seteguk air dari
sumber-sumber air di pinggir sungai, dan mencuri buah jagung
muda disawah atau akar ketela rambat.
2170 Di s iang hari Empu Baladatu berjalan sambil bersembunyi di balik
hutan-hutan kecil atau lapanggan perdu yang rimbun. Sedangkan di
malam hari ia berjalan langsung menuju kepadepokannya yang
jauh. Tetapi Empu Baladatu tidak mau berjalan terus. Setelah berjalan
sehari semalam, ia merasa sudah tidak dapat diikuti lagi jejaknya
oleh orang-orang padepokan kakak kandungnya. Karena itu, maka
ia sempat beristirahat dan tidur hampir semalam suntuk di sebuah
batu besar di pinggir sungai yang jarang didatangi oleh manusia.
Meskipun ia masih dalam keadaan terluka, namun Empu Baladatu
sama sekali tidak takut, seandainya ada seekor binatang buas yang
mendatanginya di malam hati. Ia yakin bahwa telinganya masih
mampu mendengar desir langkah kaki binatang itu di atas batu-batu
kerikil sebelum mencapai batu be sar dipinggir sungai itu.
"Biasanya binatang buas mencari air dibagian yang langsung
dapat diteguknya" berkata Empu Baladatu kepada diri sendiri
sehingga iapun kemudian dengan tenang dapat beristirahat.
Ketika fajar menyingsing Empu Baladatu baru terbangun.Tidak
ada yang mengusiknya sama sekali. Meskipun perutnya terasa agak
lain, karena yang dimakannya adalah akar-akaran dan buah-buahan
yang mentah, namun ia sama sekali tidak menghiraukannya.
Setelah membersihkan wajahnya dengan air sungai dan bahkan
kemudian dengan membuat sumber kecil ditepian, iapun minum
seteguk. maka ia mulai membenahi diri.
Ketika matahari mulai naik, Empu Baladatu melanjutkan
perjalannya menyusuri sungai yang begitu besar. Sebagai seorang
perantau, ia mengerti, kemana ia harus melangkah. Meskipun ia
belum pernah melalui tempat yang asing itu, tetapi ia tidak pernah
kehilangan arah. pun cak gunung dan bintang di malam hari. Selalu
menjadi petunjuk, dimana ia sedang berada, dan ke arah mana ia
sedang melangkah. Tetapi berjalan kaki adalah pekerjaan yang menjemukan. Ia lebih
senang pergi berkuda. Kuda siapapun juga.
2171 Maka mulailah rencananya untuk mendapatkan seekor kuda Bagi
Empu Baladatu, maka mendapatkan seekor kuda tentu akan dapat
dilakukannya dengan mudah
Meskipun demikian Empu Baladatu tidak mau merampas kuda
seseorang dergan terang-terangan. Ketika ia melihat seekor kuda.
yang tegar di sebuah kandang, maka ia pun tertegun.
Empu Baladatu tidak meneruskan perjalanannya. Ia berhenti di
sebuah bulak di bawah sebatang pohon yang rindang. Seperti
seorang perantau yang kelelahan, ia pun kemudian duduk
bersandar dengan mata yang setengah terpejam.
Sebenarnyalah Empu Baladatu memang sedang terkantukkantuk.
Ia sama sekali tidak cemas, bahwa seseorang akan dapat
mengenalnya di tempat yang terasing itu.
Menuntut Balas 20 Vladd Game Over Karya Hilman H Manusia Beracun 2