Pencarian

Bekisar Merah 3

Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari Bagian 3


Pada awalnya Lasi merasa malu dan canggung karena tak terbiasa dengan alat-
alat kecantikan itu. Namun karena Bu Lanting terus mendorongnya, dan Lasi sendiri kemudian merasa senang karena jadi tambah ayu, Lasi melakukannya dengan sepenuh hati. Bahkan bersemangat. Atau sebenarnya Lasi terpacu oleh pertanyaan Bu Lanting, "Tidak menyesal pernah menjadi istri penyadap karena sesungguhnya kamu cantik""
Menjadi istri penyadap bukan hanya berarti tiap hari terjerang panasnya api tungku dan bekerja sangat keras tetapi juga hidup miskin seumur-umur. Badan tak pernah dilekati baju yang baik, tak punya perhiasan apalagi alat kecantikan. Lasi teringat betapa berat mengolah nira pada waktu hari-hari hujan. Nira kurang bernas karena tercampur air dan kayu api lembap. Dalam pengalamannya jadi istri penderes beberapa kali Lasi terpaksa membakar pelupuh satu-satunya tempat tidur karena kehabisan kayu kering. Belum lagi, dalam cuaca yang banyak mendung, nira cepat berubah masam dan hasil pengolahannya adalah gula gemblung yang persis aspal, merah kehitaman dan tak laku dijual. Bila hal demikian yang terjadi berarti tak ada uang belanja karena bukan hanya Lasi, hampir semua keluarga penyadap tak pernah mampu menyinnpan uang cadangan.
Meskipun demikian mungkin Lasi tidak akan pernah menyesal menjadi istri penyadap karena segala kekurangan itu adalah hal biasa bagi semua perempuan sesamanya. Tetapi Lasi merasa semua harus dipertanyakan kembali karena Darsa sontoloyo. Atau bila Lasi tidak telanjur merasakan enaknya tinggal bersama Bu Lanting. Lasi tak pernah keluar keringat tetapi segala kebutuban tercukupi: baju-baju bagus, anting, ja
m tangan, bahkan sepatu yang dulu tak pernah terbayang akan dimilikinya. Sangat jauh berbeda dengan pengalaman menjadi istri penyadap. Dulu, hanya untuk membeli selembar kain batik kodian, Lasi harus menabung sampai berbulan-bulan. Hal itu bahkan tak bisa dilakukan tanpa mengurangi jatah makan. Atau, untuk memiliki dua gram cincin emas 18 karat Lasi hanya mengalaminya dalam mimpi.
Tetapi aneh, Lasi masih sering bertanya dalam hati; orang kok bisa sebaik Bu Lanting" Apakah karena dia, seperti pernah dikatakannya, sudah menganggap Lasi sebagai anak sendiri" Mungkin Bu Lanting pernah bilang dirinya kesepian karena kelima anaknya memisahkan diri dan tak pernah datang lagi. Bu Lanting bilang terus terang, anak-anak itu marah karena hubungan ibu mereka dengan si Kacamata. Ya, si Kacamata itu. Sejak kali pertama melihatnya Lasi pun sudah tidak menyukainya. Takut. Untung, ternyata si Kacamata tidak tinggal di rumah itu. Jadi berar kata Bu Koneng dulu bahwa si Kacamata itu sopir atau pacar atau suami Bu Lanting. Tidak jelas.
Atau, seperti juga pernah dikatakan sendiri, Bu Lanting ingin menolong Lasi mencarikan ayahnya atau paling tidak keluarganya. Bu Lanting bilang punya beberapa teman bekas tentara Jepang yang kini memimpin pabrik-pabrik besar di Jakarta. "Orang Jepang rapi. Mereka mungkin punya catatan tentang teman-teman mereka yang hilang dalam perang. Dari catatan itu bisa dicari keluarganya di Jepang. Las, kamu punya kemungkinan bertemu dengan keluarga ayahmu."
Cerita tentang kennungkinan bertemu ayahnya adalah mimpi yang selalu mendebarkan dada Lasi. Mimpi itu muncul dari tumpukan ketidakpastian masa lalu yang mengurung Lasi sejak kanak-kanak. Tetapi mungkinkah mimpi itu berubah menjadi kenyataan" Lasi bertemu ayah kandung atau paling tidak keluarganya" Lasi sering bilang dalam hati bahwa hal itu hampir tak mungkin. Namun sering juga keyakinannya berubah. Bila Gusti Allah berkehendak, apa pun bisa terjadi. Dan bila mengingat kemungkinan bertemu ayahnya selalu membuat Lasi berdebar. Bahkan takut. Atau, ketika Lasi duduk di depan kaca rias, secara tak sadar dia sedang mematut diri agar cukup pantas bila nanti bertemu ayah kandungnya.
Anehnya, sesering berkhayal bertemu dengan ayahnya, sesering itu pula Lasi teringat emaknya, teringat rumahnya di Karangsoga. Di tengah musim hujan seperti ini, pikir Lasi, orang Karangsoga biasa sedang panen padi darat. Sebelumnya, panen jagung. Lasi ingin meniup serunai, duduk di bawah logondang yang rimbun di pinggir Kalirong. Lasi mencium bau batang padi darat ketika angin bertiup. Telinganya mendengar suara lengking gadis-gadis Karangsoga mengusir punai yang nebah padi. Matanya melihat hamparan padi darat menguning menutup tegalan yang bertepi deretan pohon kelapa yang disadap.
Lasi bahkan melihat dirinya sendiri berjalan sepanjang lorong sempit yang membelah tegalan. Ada rumpun kecipir dengan bunganya yang biru sedang dirubung kumbang. Tangan Lasi menyibak-nyibak rumpun padi yang melengkung melintang lorong. Punggung telapak kakinya basah oleh embun yang tersisa meski matahari sudah cukup tinggi. Betisnya perih tergesek daun padi. Ada belalang kayu terbang dengan sayap arinya berwarna merah tua. Ada kinjeng tangis, semacam riang-riang kecil yang terus berdenging. Kicau burung ciplak yang terbang berputar-putar di atas hamparan padi. Gemercik air bening
Kalirong yang mengalir timbul dan menyusup di sela bebatuan. Dan Lasi terkejut ketika melihat seekor lebah terbang tepat ke arah wajahnya.
Lasi tersadar. Potret di tangannya jatuh. Menengok kiri-kanan, dan Bu Lanting tak kelihatan lagi. Lasi membungkuk untuk memungut potretnya. Duduk lagi dan matanya menatap tembok putih. Tetapi tiba-tiba tembok itu menjadi layar dan di sana muncul rumahnya yang hampa dan sunyi di Karangsoga. Dari rumah yang kecil itu bermunculan semua orang Karangsoga. Darsa dan Sipah berada di antara mereka. Orang-orang itu berbanjar di halaman lalu bersama-sama menjulurkan lidah masing-masing ke arah Lasi. Cepat Lasi memejamkan mata, mengubah dirinya menjadi kepiting raksasa, dan menjepit putus leher semua orang Karangso
ga. "Las..." suara Bu Lanting mengejutkan Lasi.
"Ya, Bu," Lasi tergagap.
"Ambilkan penyemprot obat serangga. Mawarku dirubung semut."
BAGIAN KEEMPAT Kalau bukan karena Pak Handarbeni, boleh jadi Bu Lanting tak pernah mendengar nama Haruki Wanibuchi. Overste purnawira yang berhasil merebut jabatan terpenting pada PT Bagi-bagi Niaga bekas sebuah perusahaan asing yang dinasionalisasi, sering menyebut nama itu. Dari Pak Han itulah Bu Lanting tahu bahwa Haruko adalah seorang bintang film Jepang yang potretnya sering menghias majalah hiburan dan kalender. Bagi Pak Han Haruko adalah khayalan romantis, bahkan kadang mimpi berahi yang paling indah. Kecantikannya, kata
Pak Han, melebihi Naoko Nemoto, geisha yang beruntung pernah menjadi penghuni Istana Negara itu.
"Lho, kok Anda tidak ambil saja dia dari Jepang" Bukankah bisa diatur agar Haruko diperhitungkan sebagai harta rampasan perang"" demi kian Bu Lanting pernah bergurau dengan Pak Han "Soal biaya tak jadi masalah bagi seorang direktur PT Bagi-bagi Niaga, bukan""
"Ndak gitu. Untuk nyicipi seorang gadis Jepang mudah. Aku punya uang. Namun untuk memboyong dia ke rumah ada halangan politis, atau halangan tata krama, atau semacam itu."
"Kok"" "Mbakyu lupa kita orang Jawa" Di Istana sudah ada Naoko Nemoto. Nah, bila aku juga membawa gadis Jepang seperti Haruko, itu namanya ngembari srengenge, mengembari matahari. Kita orang Jawa pantang melakukan sesuatu yang merupakan prestise pribadi Pemimpin Besar. Mau kualat apa""
"Takut kualat" Bekas tentara dan pejuang kok takut""
"Boleh dibilang begitu. Tetapi masalahnya, aku tak ingin repot."
"Terus teranglah. Tak ingin kehilangan kursi direktur utama PT Bagi-bagi Niaga. Iya, kan""
"Ah, sudahlah. Yang jelas rumahku yang baru di Slipi masih kosong. Aku ingin segera mengisinya bukan dengan seorang Haruko, cukuplah dengan yang kini sedang banyak dicari."
"Saya tahu, saya tahu."
"Kata teman-teman yang sudah punya, hebat lho, Mbakyu."
"Pernah melihat anak tinggalan tentara Jepang yang kini banyak diburu itu""
"Seorang teman menunjukkannya kepadaku. Teman itu sungguh membuat aku merasa iri. Dan dia bilang Mbakyu-lah pemasoknya."
"Barang langka selalu menarik. Seperti benda-benda antik. Atau bekisar. Dan Anda meminta saya mencarinya""
"Langka atau tidak, antik atau bukan, aku tidak main-main, lho."
"Saya percaya Anda tidak main-main. Anda butuh bekisar untuk menghias istana Anda yang baru. Ya, bekisar, kan""
"Bekisar bagaimana""
"Bekisar kan hasil kawin campur antara ayam hutan dan ayam kota. Yang kini banyak dicari adalah anak blasteran macam itu, bukan" Blasteran Jepang-Melayu. Memang, Pak Han, hasil kawin campur sering menarik. Entahlah, barangkali bisa menghadirkan ilusi romantis, atau bahkan ilusi berahi. Khayalan-khayalan kenikmatan berahi. Eh, saya kok jadi saru."
"Entahlah, Mbakyu. Yang penting aku ingin bersenang-senang."
"Ya, saya tahu Anda beruntung, punya biaya untuk menghadirkan apa saja untuk bersenang-senang."
"Nasib, Mbakyu. Barangkah memang sudah jadi nasib. Aku merasa sejak muda nasibku baik. Dulu, pada zaman perang kemerdekaan aku melepaskan kartu domino untuk bergabung dengan para pejuang sekadar ikut ramai-ramai. Yang penting gagah-gagahan. Dan kalau kebetulan ada kontak senjata aku senang karena, rasanya, aku sedang main petasan. Jujur saja, sejak dulu aku lebih menikmati bunyi petasan daripada yang dibilang orang sebagai perjuangan. Pokoknya aku ikut grudak-gruduk, dar-der-dor, dan lari. Orang muda kan suka yang rusuh dan brutal. Banyak temanku mati, eh, aku sekali pun tak pernah terluka. Malah dapat pangkat letnan. Dan kini... "
"Dapat kursi direktur utama... "
"He-heh-heh... Nasib, Mbakyu, nasib."
Dan hanya tiga bulan sejak pembicaraan itu, pagi ini Bu Lanting mengirimkan potret Lasi kepada Pak Han melalui si Kacamata. Dalam pengantarnya Bu Lanting menulis, apabila suka dengan calon yang disodorkan, Pak Han harus lebih dulu menepati janji. Pak Han harus menyerahkan kepada Bu Lanting Mercedes-nya yang baru. Plus biaya operasi pencarian sekian juta. Bila tak dipenuhi, calon akan diberikan kepada orang lain, salah seorang
bos Permina, perusahaan minyak milik negara.
Di ruang kerjanya, Handarbeni mengamati tiga foto yang baru diterimanya. Satu foto seluruh badan, satu foto setengahnya, dan satu lagi foto wajah close-up. Mata lelaki 61 tahun itu menyala. Tersenyum. Wajahnya hidup. Lalu bangkit dan berjalan ke arah cermin dan menyisir rambutnya yang sudah jarang tetapi selalu bersemir. Merapikan leher bajunya. Dan kembali ke meja untuk menatap tiga foto Lasi.
Nyata benar yang tergambar di sana bukan Haruko Wanibuchi meski terkesan penuh sebagai seorang gadis Jepang, bahkan alis dan rambutnya dirias mirip aktris film negeri Sakura itu. Merah kimononya persis yang dipakai Haruko dalam penampilannya pada sebuah kalender. Tetapi secara keseluruhan daya tarik yang muncul sama. Atau bahkan lebih kuat"
Ada keluguan, atau kemalu-maluan sehingga perempuan dalam foto itu terkesan tidak terlalu masak. Ah, Overste Purnawira Handarbeni sudah kenyang pengalaman. Menghadapi perempuan yang kelewat matang sering menyebalkan. Perempuan dalam foto itu juga menampilkan sesuatu yang terasa ingin disembunyikan, ditahan-tahan pada senyumnya yang setengah jadi. Citra keluguan perempuan kampung" Mungkin. Ah, Handarbeni teringat seloroh seorang teman. "Kenapa, ya, ayam kampung kok lebih enak daripada broiller" Apa karena ayam kampung tetap makan cacing dan serangga sementara broiller diberi makanan buatan pabrik""
Atau, hanya karena sudah terlalu lama ngebet dengan seorang gadis Jepang, di mata Handarbeni perempuan dalam foto itu menjadi sangat cantik"
Handarbeni meraih telepon, memutar nomor dengan tergesa dan kelihatan kurang sabar menanti Bu Lanting mengangkat pesawatnya.
"Aku sudah melihat potret itu. Ah, boleh juga. Aku ingin bertemu dengan orangnya. Di mana" Di situ""
"Eh, sabar, Raden. Perhatikan dulu baik-baik. Sebab meski ayahnya seorang Jepang tulen betapa juga dia bukan Haruko."
"Tapi mirip, kok."
"Meski demikian dia tetap bukan Haruko, kan!"
"Tak apa. Tak apa. Yang penting dia sangat mengesankan. Siapa namanya""
"Las, Lasi... ah, bahkan saya lupa nama lengkapnya. Yang jelas, umurnya 24 dan masih punya suami."
"Tak urusan! Yang kutanya, di mana dia" Kapan aku bisa bertemu""
"Pak Han, sudah saya bilang, sabar! Bekisar Anda ada di suatu tempat dan belum akrab dengan suasana Jakarta. Dia belum jinak. Saya sendiri harus penuh perhitungan dalam menanganinya. Sebab, salah-salah dia bisa tak kerasan dan terbang lagi ke hutan."
"Ya, ya. Tetapi sekadar ingin lihat, boleh, kan""
"Itu bisa diatur. Pak Han, pada tahap pertama ini saya hanya ingin bilang bahwa bekisar pesanan Anda sudah saya dapat. Dan agaknya Anda berminat. Begitu""
"Ya, ya." "Terima kasih. Eh. Jangan lupa janji, lho."
"Tentu, tentu. Kapan bisa kukirim" Atau Mbakyu ambil""
"Ah. saya hanya mengingatkan bahwa Anda punya janji. Semua akan saya ambil
bila bekisar sudah ada di tangan Anda."
Dan Bu Lanting meletakkan gagang telepon.
Tersenyum, dan mendesah panjang. Niaga yang berliku dan rumit sudah memperlihatkan bayangan keuntungan. Si tua Handarbeni yang berkantong sangat tebal bernafsu terhadap bekisar dari Karangsoga. Namun pada saat yang sama Bu Lanting sadar, pekerjaan belum selesai bahkan sedang memasuki tahapan peka. Bu Lanting tahu, berdasarkan pengalaman ada kemungkinan bekisarnya tidak bisa jinak; menolak lelaki yang menghendakinya. Tetapi berdasarkan pengalaman pula Bu Lanting mengerti, kemakmuran adalah umpan yang sangat manjur untuk menjinakkan bekisar-bekisar kampung yang kebanyakan punya latar kemelaratan.
Bu Lanting makin sering mengajak Lasi keluar; makan-makan di restoran, belanja di Pasaraya, atau beranjang-sana ke rumah teman. Atau menghadiri resepsi perkawinan di gedung pertemuan yang megah. Lasi mulai terbiasa dengan sepatu, jam tangan, serta sudah bisa berbicara lewat telepon dan menghidupkan televisi. Bu Lanting mengamatinya dengan saksama dan yakin bekisar itu menikmati semuanya. Kadang Bu Lanting tersenyum bila memperhatikan perubahan fisik bekisarnya. Putih kulitnya makin hidup. Rambutnya bercahaya, dan bila tersenyum gigi Lasi sudah putih dan begitu indah. Tumitnya yang dulu p
ipih dan pecah-pecah sudah membentuk bulat telur dan halus. Lasi sudah lain, meski sisa kecanggungannya masih tampak bila berhadapan dengan orang yang tak dikenalnya. Dan kemarin Bu Lanting mendengar Lasi bernyanyi kecil menirukan biduan di televisi. "Bekisarku sudah jinak dan betah di kota."
Bu Lanting teringat Handarbeni yang sudah berkali-kali menelepon ingin diberi kesempaLan melihat Lasi. Kemarin-kemarin Bu Lanting selalu berusaha menunda pertemuan itu, khawatir segalanya belum siap. Tetapi sekarang lain; Bu Lanting percaya situasinya sudah matang. Sudah tiba saatnya Handarbeni dipertemukan dengan bekisar yang ingin dibelinya. Telepon pun diangkat untuk memberitahu Handarbeni bahwa lelaki itu boleh bertemu Lasi nanti sore di rumah Bu Lanting sendiri.
"Jadi selama ini bekisar itu ada di rumahmu""
"Ya. Kenapa""
"Kalau aku tahu begitu, sejak dulu aku ke situ dengan atau tanpa izinmu."
"Sudahlah. Nanti sore Anda bisa melihatnya. Tetapi tolong, Pak Han, haluslah cara pendekatan Anda."
"Halus bagaimana""
"Halus, ya tidak kasar. Soalnya saya belum bilang apa-apa kepada Lasi. Menyebut nama atau gambaran tentang Anda pun belum."
"Jadi aku harus bagaimana""
"Bertamulah seperti biasa sebagai teman saya jam lima sore nanti."
"Mengapa harus nanti sore" Sekarang bagaimana""
"Saya mengerti, Pak Han, Anda tidak sabar. Tetapi jangan sekarang. Sungguh. Kami tidak siap."
"Baik, nanti sore pun jadilah. Dan apakah aku perlu membawa oleh-oleh""
"Bila Anda sediakan buat saya, boleh. Boleh. Tetapi bukan untuk Lasi. Tak lucu, baru bertemu langsung memberi oleh-oleh. Lagi pula Anda harus yakin dulu bahwa bekisar itu memang pantas mengisi rumah Anda yang baru. Sejauh ini Anda baru melihat fotonya, bukan""
Jam lima sore. Namun belum lagi jam tiga Bu Lanting sudah meminta Lasi mandi. Lasi mengira dirinya akan diajak keluar karena hal itu sudah terlalu sering terjadi. Apalagi selesai mandi Lasi melihat induk semangnya sudah berdandan. Dan pertanyaan mulai muncul dalam hati Lasi ketika Bu Lanting menyuruhnya mengenakan kimono. Lasi belum pernah diajak pergi dengan pakaian seperti itu.
"Kita mau ke mana sih, Bu" Saya kok pakai kimono""
"Tidak ke mana-mana, Las. Kita tidak akan pergi. Aku mau menerima tamu. Tamuku ingin melihat cara orang memakai baju adat Jepang ini."
"Teman Ibu""
"Ya tentu, Las. Masakan aku menerima tamu yang belum kukenal. Dia lelaki yang baik, Las."
Lasi agak terkejut. "Laki-laki""
"Ya, laki-laki. Mengapa heran" Las, temanku bahkan lebih banyak lelaki daripada perempuan. Dan yang akan datang nanti orangnya baik. Sangat kaya. Rumahnya ada empat atau lima. Pokoknya sangat kaya. Nah, kamu lihat, semua temanku adalah orang-orang seperti itu."
Dan orang seperti itu ingin melihat aku dalam pakaian kimono" pikir Lasi.
Tetapi Lasi kehabisan kata-kata. Lasi tetap duduk dan diam sampai Bu Lanting menyuruhnya masuk ke kamar dan mulai berdandan. Tak lama kemudian Bu Lanting pun ikut masuk, membantu Lasi merias wajah dan menata rambut. Bu Lanting harus lebih banyak campur tangan ketika Lasi mulai memasang kimono merahnya.
"Las, aku tak pernah bosan mengatakan kamu memang gadis Jepang."
"Apa iya, Bu""
"Betul." "Bila saya memang gadis Jepang, bagaimana""
"Banyak yang mau!"
Lasi terdiam, merapikan pakaiannya, lalu berjalan ke depan kaca.
"Las, bagaimana bila ada lelaki mau sama kamu" Soalnya, sudah kubilang, kamu masih sangat muda dan menarik. Tidak aneh bila akan ada lelaki, bahkan mungkin yang kaya, melirik kepadamu."
Lasi tidak segera menjawab. "Bu, saya belum berpikir tentang suami. Ibu tahu, kan, saya lari ke sini pun gara-gara suami."
"Aku mengerti, Las. Cuma, salahmu sendiri mengapa kamu cantik. Jadi salira-mu sendiri yang mengundang para lelaki. Ah, begini saja, Las. Kelak kamu kubantu memilih lelaki yang pantas jadi suamimu. Betul, kamu akan kubantu."
"Ibu kok aneh. Saya belum punya surat janda, lho."
Bu Lanting tertawa. "Bagi seorang lelaki yang berduit, surat janda bukan masalah. Kamu akan segera memperolehnya kapan kamu suka."
"Sudah cukup, Bu"" kata Lasi mengalihkan pembicaraan.
"Ya, sudah. Dan, Las, sekarang baru jam empat kurang
. Kamu tinggal dan menunggu tamu itu. Aku mau keluar sebentar. Sebentar... "
"Keluar" Bagaimana... "
"Tak lama. Betul. Syukur aku bisa kembali sebelum tamu itu datang. Bila tidak, tolong wakili aku menerimanya dan tunggu sampai aku kembali."
"Tetapi saya malu, Bu."
"Eh, tidak boleh begitu. Kamu sudah lama jadi anakku, kenapa masih malu bertemu orang" Lagian kamu tak punya sesuatu yang memalukan. Kamu cantik. Aku bilang, kamu adalah anakku dan cantik."
Lasi masih ingin mengelak namun Bu Lanting sudah bergerak membelakanginya. Lasi hanya bisa memandang induk semangnya meraih tas tangan di meja tengah, berjalan seperti bebek manila, keluar halaman, dan melambaikan tangan di pinggir jalan raya untuk menghentikan sebuah taksi. Suara rem berdecit. Kemudian suara pintu mobil ditutup dan derum taksi yang menjauh.
Duduk di kamar seorang diri, Lasi merasa ada kerusuhan besar dalam hatinya. Takut tak mampu mewakili Bu Lanting menerima tamunya. Takut berhadapan dengan lelaki yang belum dikenal, dan siapa dia sebenarnya" Lasi gelisah. Lasi bangkit dan duduk lagi di depan cermin besar. Dipandangnya kembaran dirinya dalam kaca, dan tiba-tiba rasa takutnya malah menyesakkan dada. "Jangan-jangan Bu Lanting benar, sekarang aku cantik. Dan sebentar lagi ada laki-laki datang untuk melihat aku memakai kimono"" Lasi makin gelisah.
Lamunan Lasi mendadak terputus ketika terdengar bel berdering. Duh, Gusti, tamu itu datang. Lho" Ini belum lagi jam setengah lima" Lasi bergegas menuju ruang depan, menenangkan diri sejenak, lalu memutar tombol pintu.
Lalu terperanjat. Kedua matanya terpaku pada seorang lelaki yang berdiri kurang dari dua meter di depannya. Jelas sekali lelaki itu juga kaget, sama seperti yang dirasakan Lasi. Keduanya saling tatap pada kedalaman mata masing-masing. Keduanya seakan mati langkah. Bibir Lasi bergetar.
Dalam pelupuk matanya yang terbuka lebar tiba-tiba Lasi melihat dirinya masih seorang bocah sedang berlari di malam terang bulan. Di belakangnya menyusul seorang bocah lelaki yang montok dan ingin bersembunyi bersama dalam permainan kucing-kucingan. Lasi merasa geli sebab teman ciliknya itu terlalu rapat menempel ke tubuhnya.
Bayangan masa kanak-kanak terus bermain di mata Lasi, tetapi ia mendengar lelaki di depannya mendesah panjang. Lelaki itu kelihatan sudah kenbali menguasai perasaannya. Tetapi ketika membuka mulut suaranya terdengar parau.
"Las." "Kanjat" Oalah, Gusti, aku agak pangling!" Lasi bergerak ingin menepuk pundak Kanjat, tetapi gerakannya tertahan. Anehnya Lasi membiarkan tangannya lama dalam genggaman Kanjat.
"Ya, aku tadi juga pangling."
"Kok kamu tahu aku berada di sini""
"Bu Koneng yang memberikan alamat rumah ini."
"Bu Koneng""
"Ya. Aku ikut Pardi mengangkut gula. Pardi memang biasa istirahat di warung Bu Koneng. Tetapi tadi kami harus bertengkar dulu dengan pemilik warung makan itu."
"Bertengkar""
"Ya. Karena pada mulanya perempuan itu bersikeras tak mau menunjukkan di mana kamu berada. Pardi mengancam akan memanggil polisi bila Bu Koneng tetap ngotot."
Lasi masih megap-megap. Tangannya terlepas dari genggaman Kanjat dan
bergerak tak menentu. "Ah, aku sangat senang karena kamu datang. Kamu sudah gede, gagah. Eh! Kamu tahu bagaimana keadaan Emak""
Kanjat masih canggung. Ia jadi salah tingkah. Meski sudah yakin siapa yang berdiri di depannya, Kanjat masih sulit percaya bahwa perempuan cantik dengan kimono merah itu adalah Lasi. Sejak diberitahu oleh Bu Koneng bahwa Lasi tinggal bersama seorang kaya, Kanjat punya kesimpulan Lasi bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Tetapi sosok yang kini berdiri di depannya sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda seorang babu. Dalam rias dan busana seperti itu Lasi bahkan membuat jantung Kanjat berkisar-kisar. Lekuk pipi Lasi yang sejak dulu sangat manis di mata Kanjat terkesan bertambah indah. Lasi seperti kayu dipoles pernis; masih tampak pola garis seratnya tetapi terlihat jauh lebih terawat dan indah. Kanjat menelan ludah.
"Eh, Jat, maaf. Ayo masuk. Kamu bertamu di rumah ini dan aku, anggaplah yang punya rumah, karena Ibu kebetulan belum lama keluar."
Kanjat h anya tersenyum. Matanya tetap pada sekujur tubuh Lasi. Yang diamati jadi rikuh. Lasi salah tingkah.
"Maaf, Jat, apakah aku kelihatan nganyar-anyari" Atau malah aneh" Lucu""
Kanjat tiaak bisa menjawab. Dan menunduk ketika pandangannya tersambar mata Lasi yang bercahaya.
"Kamu pantas menjadi nyonya rumah ini," gumam Kanjat.
"Jangan begitu, Jat. Aku malu."
"Kamu pantas jadi nyonya rumah ini," ulang Kanjat.
Wajah Lasi memerah. "Ayolah masuk. Atau kamu lebih suka duduk di teras ini""
Kanjat mengangguk lalu mengambil kursi rotan yang ada di dekatnya. Lasi pun duduk berseberangan meja yang kecil dan lonjong.
"Jat, kamu belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana keadaan Emak""
"Baik. Kemarin masih kulihat emakmu menjual gula. Dan dari pembicaraannya aku tahu dia susah karena kamu tinggal pergi."
Lasi menelan ludah. "Emak tahu bahwa kamu akan datang kemari"" tanya Lasi.
Kanjat menggeleng. "Jadi kamu datang kemari tanpa pesan apa pun untuk aku""
Kanjat mengangguk. Ia tampak canggung. Dan hatinya rusuh lagi karena Lasi
menatap dengan matanya yang kaput, mata Sakura.
"Jadi kamu datang kemari hanya karena ingin ketemu aku" Atau apa""
Kanjat mengangguk lagi. Dan senyumnya tertahan.
"Kamu tak suka aku datang""
"Oh, tidak. Tidak..."
Lasi tak bisa meneruskan ucapannya. Mendadak hatinya ikut rusuh. Keduanya membisu. Dan lengang. Tetapi kadang Kanjat mencuri pandang. Mereka bertukar senyum. Hati Lasi juga riuh. Ah, kenangan masa kanak-kanak. Dulu, bila ada anak Karangsoga yang tidak ikut-ikutan meleceh Lasi, dialah Kanjat. Dulu, bila ada bocah yang berusaha membela ketika Lasi diganggu anak nakal, Kanjatlah dia. Dan dulu, bila ada anak Pak Tir yang bongsor dan lucu sehingga Lasi senang menganggapnya sebagai adik, Kanjat juga orangnya. Bahkan kalau bukan malu karena merasa dirinya anak miskin, sesungguhnya sejak dulu Lasi ingin selalu manis pada Kanjat.
"Las, aku sendiri tak bisa mengatakan dengan pasti mengapa aku datang kemari. Mungkin hanya karena aku ingin melihat kamu. Atau entahlah."
Lasi diam, mendengarkan Kanjat yang berbicara sambil menunduk dan gelisah.
"Tetapi setelah sampai kemari aku tahu jawabnya. Aku ingin kamu kembali ke Karangsoga. Eh, tetapi hal itu terserah kamu. Apalagi suamimu sudah mengawini Sipah. Oh, maaf. Aku tak sengaja memberi kamu kabar buruk."
Lasi mengerutkan kening dan matanya menyempit. Napasnya yang pendek-pendek mewakili ombak besar yang tiba-tiba melanda hatinya. Air matanya terbit karena luka lama yang tak sengaja tergesek keras.
"Las, kalau aku boleh bertanya, bagaimana cerita sampai kamu tinggal di rumah ini""
"Bu Koneng tidak mengatakannya kepadamu""
"Dia, setelah kami desak-desak, mengatakan kamu ikut Bu Lanting. Tak ada cerita lainnya."
"Memang begitu. Aku ikut Ibu pemilik rumah ini dan dia menganggapku sebagai anaknya. Di sini aku tidak bekerja apa pun kecuali menemani Ibu jalan-jalan dan memelihara bunga."
Kanjat diam. Tetapi hatinya tetap rusuh.
"Jadi kamu betah tinggal di sini""
"Bagaimana, ya" Aku tak bisa menjelaskannya. Aku hanya merasa lebih baik berada di sini daripada tinggal di rumah karena bagiku amatlah sulit dimadu bareng sabumi, dimadu dalam satu kampung. Tetapi, Jat, mengapa kamu bertanya seperti itu""
Kanjat menunduk. Sesungguhnya ia ingin berkata bahwa ia menduga mungkin ada sesuatu di balik kebaikan Bu Lanting terhadap Lasi. Namun perasaan itu tetap tertahan dalam hati.
"Aku juga tidak bisa menjelaskannya. Yang bisa kukatakan, aku punya keinginan kamu kembali ke Karangsoga. Pulanglah ke rumah emakmu bila tak ingin berkumpul kembali dengan suamimu."
Lasi menggeleng dan menggeleng. Tangannya sibuk menghapus air mata yang tiba-tiba keluar menderas.
"Kenapa"" "Jat," jawab Lasi setelah lama hanya sibuk dengan air matanya. "Untuk apa aku pulang" Tak ada guna, bukan" Rumah tanggaku sudah hancur. Suamiku tak bisa lagi kupercaya. Dan aku anak orang miskin yang menderita sejak aku masih kecil. Bila aku kembali aku merasa pasti semua orang Karangsoga tetap seperti dulu atau malah lebih: senang menyakiti aku."
"Las, kamu jangan berkata seperti itu karena aku pun anak Karangsoga."
"Maaf. Kamu meman g satu-satunya..." Tiba-tiba Lasi berhenti berkata. Matanya yang redup menatap Kanjat dengan pandangan yang dalam. Entah mengapa Lasi merasa ingin mengulang masa kanak-kanak, minta perlidungan Kanjat bila menghadapi gangguan anak nakal. Berputar kembali dengan jelas rekaman pengalaman masa bocah: Lasi bergegas pulang sekolah, siap melintas titian pinang sebatang. Tetapi di seberang sudah berdiri tiga anak lelaki merintang jalan. Seorang lagi yang paling kecil kelihatan bimbang. Lasi mengusir tiga anak lelaki itu setelah menakuti mereka dengan kayu penggaris. Anak yang paling kecil kelihatan ingin membela Lasi tetapi tak berdaya. Si kecil Kanjat hanya terpaku dan minta dimengerti dirinya tidak ikut nakal. Tetapi dulu Kanjat lebih kecil. Sekarang anak itu sudah jadi lelaki berbadan besar, berkumis, dan lengannya berbulu.
"Jat, bagaimana sekolahmu""
"Alhamdulillah, hampir selesai. Las, sebentar iagi aku insinyur."
"Oh" Syukur. Kamu bahkan hampir insinyur. Nah, sekarang aku jadi ingin bertanya. Kamu anak orang kaya, calon insinyur, lalu mcngapa kamu mau bersusah payah mencari aku di sini" Aku yang sejak bocah selalu diremehkan oleh orang Karangsoga!"
"Las!" Lasi menangis lagi. Pipinya yang putih merona merah. Kanjat terpojok oleh pertanyaan Lasi sehingga ia tak mudah menemukan kata untuk diucapkan.
"Maafkan, Las, aku tak bisa menjawab pertanyaanmu. Malah aku balik bertanya. Sebenarnya kamu mau pulang apa tidak""
Kali ini pun Lasi hanya menggelengkan kepala. Matanya yang merah melekat pada wajah Kanjat. Ingin dicarinya sasmita yang bisa menerangkan mengapa Kanjat terus mengajaknya pulang. Samar, sangat samar, Lasi menangkap apa yang dicari pada senyum dan mata Kanjat. Dada Lasi berdenyut. "Ah, tetapi betulkah perasaanku" Sejatikah sasmita sekilas yang kutangkap dari kedua mata Kanjat" Mungkin tidak. Aku hanya seorang janda kepalang, melarat, dan malah dua tahun lebih tua. Dia perjaka, terpelajar, dan anak orang paling kaya di Karangsoga. Mustahil dia menaruh harapan kepadaku. Dia dengan mudah dapat menemukan gadis yang lebih muda dan sepadan. Tidak!"
"Bagaimana, Las""
"Jat, aku bungah kamu menyusul aku kemari. Tetapi aku tidak ingin pulang. Biarlah aku di sini. Aku ingin ngisis dari kegerahan hidupku sendiri."
"Tidak kasihan sama Emak" Dia kelihatan begitu menderita."
Hening. Lasi menunduk dan mengusap mata.
"Jadi sudah tidak bisa ditawar lagi, kamu tidak mau pulang""
Lasi mengangguk. Kanjat menyandar ke belakang. Wajahnya buntu. Kanjat kelihatan sulit meneruskan pembicaraan.
"Baiklah, Las. Jauh-jauh aku datang kemari memang hanya untuk meminta kamu pulang. Tetapi bila kamu tak mau, aku menghargai keinginanmu tinggal di sini. Meski begitu apakah aku boleh sekali-sekali datang lagi kemari""
"Oalah, Gusti, aku senang bila kamu tidak melupakan aku. Seringlah datang lagi. Aku juga tidak akan lupa kamu. Dan kamu tidak marah, bukan" Jat, aku khawatir kamu marah."
Kanjat menggelengkan kepala dan tersenyum tawar lalu bangkit sambil menyodorkan tangan minta bersalaman. Lasi terkejut.
"Mau pulang""
"Ya, sudah cukup. Kasihan Pardi yang sudah lama menungguku."
"Tetapi betul, kan, kamu tidak marah""
"Betul." Dan Kanjat tersenyum paksa.
"Nanti dulu..."
Lasi lari ke dalam dan muncul lagi dengan sebuah foto di tangan. "Aku titip ini buat Emak. Tolong sampaikan. Tolong juga katakan aku baik-baik di sini."
Kanjat memperhatikan foto Lasi dalam kimono merah itu. Tak pernah terkirakan Lasi bisa menjadi demikian menarik. Kanjat menggigit bibir.
"Maaf, Lis, bagaimana bila foto ini kuminta""
Lasi terpana. Mulutnya komat-kamit tanpa bunyi.
"Kamu suka""
Kanjat mengangguk. Dan senyumnya membuat wajah Lasi merah.
"Bila suka, ambillah. Tetapi jangan dirusak, ya. Dan apa kamu juga mau memberi aku fotomu""
Kanjat terkejut. "Sayang aku tidak membawanya. Oh, tunggu."
Tangan Kanjat merogoh dompet di saku belakang, membukanya dengan tergesa. Senyumnya mengembang ketika ketemu apa yang dicarinya. Sebuah pasfoto dirinya dalam hem putih dan dasi hitam. Mata Lasi berbinar ketika menerima lalu menatap foto itu.
Kanjat tersenyum sambil memasukkan foto Lasi ke dalam
saku bajunya, menatapnya dengan mata bercahaya, lalu minta diri.
Lasi tak menemukan kata-kata untuk melepas Kanjat. Keduanya hanya beradu pandang. Bertukar senyum. Tangan Lasi berkeringat ketika berjabat. Matanya terus mengikuti Kanjat yang berjalan meninggalkannya. Kanjat terus melangkah tanpa sekali pun menoleh ke belakang dan menghilang di balik pagar halaman. Pada saat yang sama Lasi memejamkan mata rapat-rapat.
Kembali duduk seorang diri Lasi malah jadi bimbang. Lasi menyesal tidak minta ketegasan Kanjat mengapa anak Pak Tir itu datang dan memintanya pulang. Tanpa maksud tcrtentu rasanya tak mungkin Kanjat bersusah payah datang diri Karangsoga. Lalu mengapa Kanjat tidak berterus terang" "Karena bagaimana juga Kanjat tahu aku masih istri Darsa"" Ah, ya. Lasi juga menyesal mengapa terlalu cepat menolak diajak Kanjat pulang. Padahal pulang sebentar bersama Kanjat berarti kesempatan melihat keadaan Emak atau bahkan membereskan urusannya dengan Darsa.
Angan-angan Lasi bubrah ketika sebuah mobil biru tua masuk ke halaman. Jam lima kurang sedikit. Lasi sadar tamu yang harus disambutnya sudah datang. Sebelum tamu itu turun dari mobilnya Lasi bergegas masuk untuk menghapus sisa tangisnya. Rias yang rusak cepat diperbaiki sebisanya. Lalu keluar untuk membuka pintu depan. Dan tamu itu sudah berdiri di teras. Hal pertama yang terkesan oleh Lasi adalah cincin emas besar dengan batu berwarna biru melingkar di jarinya. Jam tangannya pun kuning emas. Lalu tubuhnya yang bundar tanpa pinggang dan perutnya yang menjorok ke depan. Wajahnya yang gemuk hampir membentuk bulatan. Tengkuk dan dagunya tebal. Hidungnya
gemuk dan berminyak. Lasi juga mencium wewangian yang dikenakan tamu itu.
Lasi merasa tatapan tamu itu sekilas menyambar mata dan menyapu sekujur tubuhnya. Tetapi hanya sejenak. Detik berikut tamu itu sudah tersenyum seperti seorang guru tua sedang memuji muridnya yang pandai dan cantik. Senyum itu mencairkan kegugupan Lasi.
"Selamat sore, aku Pak Han," salam Handarbeni. Senyumnya mengembang lagi.
"Selamat sore, Pak. Mari masuk."
"Terima kasih. Tetapi nanti dulu. Aku mau bilang, Bu Lanting beruntung. Dia bilang punya anak angkat yang cantik. Kamulah orangnya""
Lasi terkejut oleh pertanyaan yang sama sekali tidak diduganya. Wajah Lasi merona. Dan ia hanya bisa mengangguk kaku untuk menjawab pertanyaan itu. Dari cara Pak Han memandang Lasi sadar bahwa tamu itu adalah lelaki yang ingin melihat perempuan berkimono seperti yang dikatakan Bu Lanting. Lasi bertambah gagap. Tetapi Handarbeni malah senang. Ia menikmati kegagapan perempuan muda di depannya.
"Aku juga sudah tahu namamu. Lasi""
Lasi mengangguk lagi. Dan menunduk. Bermain dengan jemari tangan yang kukunya bercat merah saga. Dan dengan sikap Lasi itu Handarbeni malah punya kesempatan lebih leluasa memandang bekisar yang akan dibelinya. Bahkan Handarbeni tiba-tiba mendapat kesenangan aneh karena merasa menjadi kucing jantan yang sangat berpengalaman dan sedang berhadapan dengan tikus betina yang bodoh dan buta. Handarbeni amat menikmati kepuasan itu karena dia terlalu biasa menghadapi tikus-tikus berpengalaman tetapi malah selalu merangsang-rangsang ingin diterkam. Atau Handarbeni sering merasa seperti disodori pisang yang sudah terkupas; tak ada sisi yang tersisa sebagai wilayah
perburuan atau tempat rahasia keperempuanan masih tersimpan. Pisang-pisang yang kelewat matang yang kadang menyebalkan.
"Kamu sangat pantas dengan pakaian itu. Kudengar ayahmu memang orang Jepang""
Lasi senyum tertahan. Tetapi lekuk pipinya malah jadi lebih indah. Entahlah, dulu di Karangsoga Lasi terlalu risi bahkan jengkel bila disebut rambon Jepang. Namun sekarang sebutan itu terdengar sejuk. Mungkin karena orang Karangsoga mengucapkan sebutan itu sebagai pelecehan sedangkan Bu Lanting, dan kini Pak Han, menyebutnya sebagai pujian" Entahlah.
"Pak, mari masuk," kata Lasi untuk menghindari pertanyaan Pak Han lebih jauh.
"Ya. Mana Ibu""
"Ibu sedang keluar sebentar. Saya diminta mewakilinya menemui Pak Han sampai Ibu kembali."
Handarbeni tersenyum, mengangguk-angguk dan maklum. Si tua Lanting memang l
icin. Tetapi kali ini Handarbeni berterima kasih atas kelicinan itu. Wajahnya makin meriah.
"Oh" Kalau begitu ayolah duduk bersamaku. Aku sudah biasa datang kemari seperti saudara kandung ibu angkatmu. Jadi kamu jangan rikuh. Kama sudah jadi anak Jakarta. Siapa yang pemalu tidak bisa jadi anak kota ini. Kamu senang tinggal di Jakarta, bukan""
Lasi tersenyum dan mengangguk karena ia percaya itulah yang diharapkan oleh
tamunya. Tetapi ingatan Lasi sekilas melayang kepada Kanjat yang baru beberapa saat meninggalkannya. Sudah sampai ke mana dia berjalan pulang"
"Ya." Dan Handarbeni menyalakan rokok. "Banyak orang kampung pergi ke kota karena hidup di sana susah. Apalagi kamu memang lebih pantas jadi orang kota."
"Apa iya, Pak. Saya kok belum percaya. Sebab saya bodoh. Saya tidak sekolah."
"Tidak sekolah""
"Hanya tamat sekolah desa."
"Meski begitu kamu tetap lebih pantas jadi orang kota. Lho, kamu tahu mengapa aku bilang begitu""
Lasi tersipu. "Tahu"" Lasi menggeleng. Handarbeni tertawa. Suasana berubah cair dan Lasi merasa lebih leluasa.
"Sebab, kamu tidak lagi pantas bekerja di sawah di bawah terik matahari.
Tidak lagi pantas menggendong bakul di punggung. Pokoknya kamu lebih layak jadi nyonya, tinggal di rumah yang bagus, dengan mobil..."
"Betul!" tiba-tiba terdengar suara Bu Lanting yang sebenarnya sudah agak lama berdiri di balik pintu. "Betul, tak seorang pun bisa membantah bahwa Lasi memang pantas jadi nyonya. Nah, Pak Han, apakah Anda punya calon untuk Lasi""
"Kita cari dan pasti dapat. Kata orang sekolahan, yang terbaik selalu sudah ada pemesannya. Iya, kan""
"Betul, Pak Han. Barang yang demagang akan cepat laku."
Handarbeni dan Bu Lanting sama-sama tertawa. Lasi yang tak enak karena merasa jadi dagangan yang terlalu banyak dipuji, bangkit.
"Maaf, Bu, saya belum menyiapkan minuman. Tadi Pak Han menahan saya di ruang tamu ini."
"Oh" Tentu. Lelaki mana tak suka duduk berdua dengan kamu. Ya, sekarang ambillah minuman."
Hening sejenak. Handarbeni menyedot rokok dan mengembuskan asapnya ke atas. Punggungnya merebah ke sandaran, sangat santai.
"Ah, aku suka bekisarmu. Penampilannya hampir sepenuhnya Jepang. Malah lebih jangkung dari rata-rata gadis Sakura. Sekarang aku percaya, dalam urusan barang langka kamu memang sangat ahli!"
"Wah, wah, kalau hati gembira pujian pun keluar seperti laron di musim hujan."
"Betul. Kamu jempol. Kok bisa-bisanya kamu menemukan bekisar yang demikian bagus."
"Jangan berkata tentang apa-apa yang sudah nyata. Bahkan saya merasa belum berhasil seratus persen. Bekisar Anda itu, Pak Han, masih berjalan seperti perempuan petani. Serba tergesa dan kaku. Sangat jauh dari keanggunan. Sisi ini adalah pekerjaan rumah saya yang belum selesai."
"Ya. Sekilas aku telah melihatnya. Namun kamu harus tahu juga bahwa aku tak ingin dia sepenuhnya jadi anak kota. Sedikit sapuan kesan kampung malah aku suka."


Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Saya tahu Anda sudah jenuh dengan penampilan yang serba artifisial seperti yang diperlihatkan kebanyakan perempuan kota. Anda ingin menikmati sisa keluguan. Iya, kan""
Handarbeni tersenyum. Kedua kakinya diselonjorkan ke depan. Kepalanya terdongak berbantal sandaran kursi.
"Ah, andaikan mungkin, aku ingin membawa bekisarku pulang sekarang juga." Handarbeni tertawa tanpa mengubah posisi duduknya.
"Apa"" "Tidak. Aku cuma berolok-olok."
"Jangan seperti anak kecil mendapat mainan baru. Pak Han, perjalanan kita masih cukup panjang. Lasi, meskipun saya tahu sudah sangat ingin berpisah dari suaminya, belum punya surat cerai. Ini sebuah masalah. Kedua, akhirnya kita harus dapat meyakinkan dia agar bersedia menjadi bekisar Anda. Ini adalah soal yang paling peka."
"Ya, aku menyadari hal itu. Aku juga sadar giri lusi, jalma tan kena kinira, hati manusia tak bisa diduga. Jelasnya, urusan bisa runyam bila bekisar itu tak mau kumasukkan ke kandang yang kusediakan di Slipi."
"Iya. Maka Anda benar-benar harus sabar dan bijaksana. Kesabaran adalah kunci. Anda juga saya minta..."
Lasi keluar membawa minuman dan makanan kecil. Kemunculannya serta-merta menghentikan diskusi kecil antara Bu Lanting dan tamunya. Dan dari eksp
resi wajahnya Lasi tidak menyadari dirinya sedang menjadi bahan pembicaraan.
"Anda juga saya minta tidak menunjukkan minat yang berlebihan," sambung Bu Lanting setelah Lasi masuk kembali.
"Aku sudah enam puluh lebih."
"Oh, maaf. Saya percaya Anda sudah banyak pengalaman. Maksud saya, Anda saya minta bersikap pasif namun tetap manis. Selebihnya saya yang akan menggiring bekisar itu masuk kandang milik Anda, bukan sekadar masuk melainkan dengan senang hati. Untuk mencapai hasil yang memuaskan, Pak Han, saya kira Anda harus mau menunggu sampai dua atau tiga bulan. Nah, saya ragu apakah Anda bisa memenuhi permintnan ini."
Handarbeni terkekeh. Lalu tersenyum.
"Jangan tersenyum dulu, sebab saya punya permintaan lain. Mulai sekarang segala biaya untuk pemeliharaan bekisar saya bebankan kepada Anda."
"Karena aku merasa bekisar itu sudah jadi milikku, sebenarnya kamu tak perlu berkata begitu. Sebelum kamu minta aku sudah bersedia menanggungnya. Bagi aku yang penting adalah jaminan hasil kerjamu."
"Anda percaya kepada saya, bukan""
"Ya, sejauh ini kamu terbukti bisa kupercaya."
"Terima kasih. Asal Anda tahu, yang sudah saya lakukan adalah mengajari bekisar itu membiasakan diri dari hal menyikat gigi sampai merawat kuku-kukunya yang rusak. Dari mengenal nama-nama alat kecantikan sampai nama-nama makanan dan masakan. Dan yang saya belum sepenuhnya berhasil adalah meyakinkan bekisar itu bahwa dirinya bukan lagi perempuan kampung istri seorang penyadap. Ia masih punya rasa rendah diri dan belum sepenuhnya percaya akan kelebihan penampilannya. Ah, tetapi untung, bekisar itu cerdas. Ia cepat menangkap hal-hal baru yang saya ajarkan kepadanya."
"Baiklah, Bu Lanting, sementara kutitipkan bekisarku karena aku percaya kepadamu. Tetapi sekarang panggil dia karena aku ingin melihatnya sekali lagi sebelum aku pulang."
"Anda mau pulang""
"Sore ini aku punya urusan dengan seorang teman."
Lasi keluar masih dengan kimono merahnya. Wajahnya merona ketika Handarbeni mengajaknya bersalaman setelah memujinya dengan acungan jempol.
"Aku senang bila kamu betah tinggal bersama Bu Lanting. Sudah pelesir ke mana saja selama di Jakarta""
Lasi tersipu. Menunduk dan bermain jemari tangan.
"Belum banyak yang dilihat," sela Bu Lanting.
"Baik. Lain waktu kita jalan-jalan, pelesir bersama. Mau lihat Pantai Ancol atau nomon film di Hotel Indonesia""
Lasi tetap tersipu. "Pak Han, mengapa tidak mengundang kami lebih dulu datang ke rumah Anda sebelum Anda mengajak kami jalan-jalan"" tanya Bu Lanting.
"Oh, kamu betul. Ya, aku senang sekali bila kalian mau datang ke rumahku. Aturlah waktunya. Aku menunggu kedatangan kalian."
"Baik, nami Anda kami beritahu kapan kami akan datang. Tetapi katakan lebih dulu ke rumah Anda yang mana kami harus datang" Rumah yang baru Anda bangun di Slipi, bukan""
Handarbeni tertawa mengiyakan. Matanya berkilat-kilat ketika sekali lagi mengangguk sambil tersenyum kepada Lasi.
ft** Sejak meninggalkan rumah Bu Lanting pikiran Kanjat terus lekat kepada Lasi. Bermacam-macam perasaan mendadak mengembang dalam hatinya. Penampilan fisik Lasi sangat di luar dugaan. Lasi menjadi jauh lebih menarik. Dada Kanjat selalu berdenyut lebih keras bila membayangkannya. Namun lebih dari soal penampilan, kenyataan bahwa Lasi berada di rumah orang kaya yang tak dikenal sebelumnya membuat hati Kanjat terasa tak enak. Kanjat tak bisa menghindar dari pertanyaan tentang tujuan Bu Lanting membawa Lasi ke rumahnya. Dari berita yang sering terbaca di koran, bahkan dari berita yang beredar dari mulut ke mulut Kanjat sering mendengar tentang perempuan desa yang tertipu dan terpaksa menjadi pelacur di kota-kota besar. Kanjat berharap hal semacam itu tidak akan terjadi atas diri Lasi. Anehnya Kanjat tetap punya perasaan bahwa keberadaan Lasi di rumah gedung di daerah Cikini itu tidak wajar, setidaknya bukan kehendak Lasi sendiri. Memang Bu Koneng menjamin, Bu Lanting sekali-kali tidak akan menyengsarakan Lasi. Namun pemilik warung nasi itu pun tidak berkata lebih jelas dan Kanjat tidak begitu percaya akan jaminan yang diberikannya.
"Bisa ketemu"" tanya Pardi serta-merta Ka
njat turun dari taksi di depan warung Bu Koneng. Kanjat tak segera menjawab. Pardi bahkan melihat wajah anak majikannya itu berat. Pardi hanya dijawab dengan anggukan kepala.
"Kita terus pulang"" tanya Pardi lagi karena melihat Kanjat langsung naik ke kabin truk.
"Kamu sudah dapat muatan" Mana Sapon""
"Lumayan, ada muatan barang rongsokan sampai ke Purwokerto. Si Sapon sudah ngorok di bak."
"Kalau begitu, ayolah, kita pulang."
Pardi bersiap dan tangannya bergerak hendak memutar kunci kontak. Tetapi tertahan karena tiba-tiba Kanjat menepuk pundaknya dari samping.
"Nanti dulu, Di. Aku ingin ngobrol sebentar."
"Ngobrol apa" Lasi""
Kanjat tak menjawab. Tetapi tangannya merogoh saku baju dan dikeluarkannya foto Lasi yang langsung diperlihatkannya kepada Pardi. Sopir itu membuka mata lebar-lebar agar dapat mengenali siapa yang terpampang dalam gambar di tangannya.
"Mas Kanjat, ini si Lasi anak Mbok Wiryaji""
"Kamu pangling""
"Bukan main, Mas. Aku bilang bukan main. Hanya beberapa bulan pergi dari kampung Lasi sudah sangat lain. Sangat cantik, Mas. Tak memalukan buat dipacari! Dan meski hanya anak Mbok Wiryaji dan tidak gadis lagi, tetapi Lasi pantas menjadi istri seorang calon insinyur."
"Jangan ngawur."
"Saya tidak ngawur. Apa Mas kira saya tak tahu Mas Kanjat senang sama Lasi""
Kanjat tersenyum kaku karena merasa terpojok. Diambilnya foto Lasi dari tangan Pardi lalu disimpannya kembali dalam saku.
"Apabila Lasi terus tinggal bersama Bu Lanting kira-kira apa yang bakal dialaminya"" tanya Kanjat tanpa menoleh kepada Pardi.
"Mas Kanjat mempunyai perkiraan yang tidak baik""
"Terus terang, ya. Maka aku sesungguhnya merasa kasihan, dan khawatir Lasi akan dijadikan perempuan yang nggak bener. Menurut kamu apa perasaanku ini berlebihan""
"Tidak, Mas. Sedikit atau banyak saya pun punya rasa yang sama. Namun, andaikan pcrasaan kita benar, apa yang ingin Mas Kanjat lakukan""
"Karena Lasi bukan anak-anak lagi dan juga masih punya suami, yang patut kulakukan hanyalah memintanya pulang. Hal itu sudah kulakukan dan gagal. Lasi kelihatan senang tinggal bersama orang kaya. Dia juga kelihatan dimanjakan. Kamu tahu, Di, ketika aku datang Lasi mengenakan pakaian seperti dalam foto itu."
"Cantik"" "Jangan tanya, Di."
"Ya, itulah. Saya yakin Bu Lanting mau menampung Lasi karena kecantikannya. Mas Kanjat, saya kira hal ini bisa berbuntut nggak bener. Maka saya setuju bila Mas Kanjat berusaha mengambil Lasi dari rumah Bu Lanting. Kasihan dia, Mas."
"Tidak mudah melakukannya, Di. Lagi pula, seperti sudah kubilang, Lasi masih punya suami. Tak enak, terlalu jauh mengurus istri orang. Apa kata orang Karangsoga nanti, apalagi bila ternyata kemudian... Ah, tidak."
Pardi tertawa. "Mas Kanjat, pikiran itu tidak salah. Saya yang brengsek ini pun pantang mengganggu perempuan bersuami karena perempuan yang bebas amat banyak. Tetapi tentang Lasi, siapa yang kira-kira pantas menolongnya selain Mas Kanjat""
"Aku sudah mencobanya sebatas kepatutan."
"Mungkin belum cukup, Mas."
"Belum cukup" Jadi menurut kamu, aku harus bagaimana lagi""
"Barangkali, lho, Mas Kanjat, Lasi mau pulang jika Mas Kanjat berjanji akan bertanggung jawab."
"Bertanggung jawab" Ah, aku mengerti maksudmu. Aku harus berjanji mengawini Lasi bila dia sudah diceraikan suaminya""
"Maaf, Mas Kanjat. Itu perkiraan saya belaka. Meskipun demikian saya juga menyadari tidak mudah bagi seorang insinyur, anak bungsu Pak Tir, melakukan itu semua. Karangsoga bakal geger; ada perjaka terpelajar dan kaya mengawini janda miskin, lebih tua pula. Bahkan sangat mungkin orangtua Mas Kanjat sendiri tidak akan mau punya menantu bernama Lasi. Namun andaikan saya adalah Mas Kanjat, andaikan."
"Ya, bagaimana""
"Andaikan saya adalah Mas Kanjat, saya takkan peduli dengan omongan orang Karangsoga. Bila saya suka Lasi, pertama saya harus jujur kepada diri saya sendiri. Lalu, masa bodoh dengan gunjingan orang. Toh sebenarnya Lasi perempuan yang baik. Apalagi sekarang dia makin cantik. Jadi yang pokok adalah kejujuran."
Kanjat mendesah. Pardi mengambil rokok dan menawarkannya kepada Kanjat tetapi ditolak. Kabin truk segera p
enuh asap setdah Pardi menyalakan rokoknya.
"Di," kata Kanjat menghentikan keheningan.
"Ya, Mas""
"Bahkan sesungguhnya aku merasa malu bila orang-orang Karangsoga tahu bahwa aku menyukai Lasi. Maka aku minta kamu jangan bocor mulut. Tahanlah lidahmu setidaknya selama Lasi belum bercerai dari suaminya."
"Ya, saya berjanji. Ah, Mas Kanjat, mulut saya masih mulut lelaki. Percayalah. Lagi pula saya merasa wajib mendukung keinginan Mas Kanjat. Setia kawan terhadap anak majikan. Dan yang lebih penting, bagaimana caranya agar Lasi tertolong. Betul, Mas Kanjat. Berbuatlah sesuatu untuk menyelamatkan Lasi."
"Ya. Tetapi sayang aku tak mungkin bertindak apa pun dalam satu atau dua minggu ini."
"Lho, kenapa""
"Ujian. Aku harus menyiapkan diri menghadapi ujian. Maka paling cepat aku bisa kembali menemui Lasi bulan depan."
"Wah, terlalu lama, Mas."
"Aku pun ingin bertindak secepatnya. Tetapi apa boleh buat. Apakah aku harus menunda kcsempatan menyelesaikin sekolah""
"Saya mengerti, Mas. Tetapi segalanya bisa terjadi atas diri Lasi selama jangka sebulan lebih itu."
"Bukan hanya kamu yang cemas, Di. Maka kubilang, apa boleh buat. Sekarang, ayo berangkat."
Pardi membuang rokoknya lalu memutar kunci kontak. Truk itu menderum dan roda-rodanya mulai bergulir kian cepat. Pardi beralih ke gigi tiga, empat, dan truk Karangsoga itu melesat ke timur. Duduk di samping Pardi, Kanjat menyandarkan diri ke belakang. Dalam tatapan matanya yang kosong Kanjat melihat anak-anak berkejaran berebut kunang-kunang di malam terang bulan. Kanjat melihat ada pipi putih transparan sehingga jaringan urat darahnya tampak. Ada banyak tangan berhom-pim-pah, dan satu di antaranya paling putih. Tangan Lasi.
BAGIAN KELIMA Lampu utama di kamar Lasi sudah lama padam. Yang tinggal menyala adalah lampu kecil bertudung plastik biru yang berada di pojok ruangan. Sunyi sekali. Lasi sudah lama berbaring di tempat tidur. Tetapi Lasi tak dapat memejamkan mata. Dari jauh terdengar penjual sekoteng mendentingkan mangkuknya. Dentang jam pukul dua tengah malam. Lasi yang makin gelisah bangkit untuk mematikan lampu kecil itu. Pekat seketika. Dalam kegelapan yang menelan sekeliling, Lasi mencoba mengendapkan hati dan kembali merebahkan diri menanti kantuk. Tetapi kegelisahannya malah makin menjadi-jadi.
Pada layar malam yang sangat pekat Lasi melihat dengan jelas sosok Kanjat yang datang seminggu lalu. Anak Pak Tir itu! Dia sudah besar dan gagah. Dia datang dengan senyum dan sinar mata seorang lelaki dewasa; senyum dan sinar mata yang mendebarkan. Tetapi, sudahlah. Lasi harus berusaha melupakan Kanjat. Karena malam ini ada hal lain yang lebih menggelisahkan hatinya. Handarbeni! Tadi sore Lasi diajak Bu Lanting berkunjung ke rumah lelaki itu di Slipi. Sebuah bangunan baru yang gagah.
Sebenarnya Lasi sudah mulai terbiasa dengan rumah-rumah bagus di Jakarta. Maka Lasi tak begitu heran lagi dengan rumah Pak Han yang lantainya lebih putih daripada piring yang biasa dipakainya di Karangsoga. Ruangan dan kamarnya besar-besar, dapurnya mengilap, dan ada kolam ikan di ruang tengah. Perabotnya serba kayu jati dengan bantalan tebal dan empuk. Setiap ruang tidur dilengkapi kamar mandi mewah.
Tidak. Lasi tidak begitu heran lagi. Tetapi ketika berada di rumah Pak Han itu Lasi berdebar-debar karena ada sebuah potret besar berbingkai perak terpajang pada tembok ruang tengah. Dan potret itu adalah foto Lasi sendiri dalam kimono merah.
Lasi sangat ingin bertanya mengapa potret dirinya bisa terpajang di sana. Ia ingin sekali bertanya kepada tuan rumah namun terasa segan meskipun Pak Han
demikian ramah dan manis ketika mengantar Lasi dan Bu Lanting berkeliling rumah. Hanya Bu Lanting yang berhati peka tahu perasaan Lasi.
"Las, akulah yang memberikan potretmu kepada Pak Han. Sudah kubilang, Pak Han menyukai perempuan dalam pakaian kimono. Tetapi yang memasang potretmu di sana mungkin Pak Han sendiri."
"Lho iya, dan apa pendapatmu" Sangat pantas, bukan"" ujar Pak Han.
"Amat sangat pantas," jawab Bu Lanting. Lasi menunduk dan tersipu. "Lebih pantas lagi andaikan Lasi sendiri yang menghias rumah baru ini.
Nah, Pak Han, sekarang saya balik bertanya, apa pendapat Anda""
"Susah payah kubangun rumah ini, kaukira buat siapa""
"Anda tidak berolok-olok, bukan"" tanya Bu Lanting.
"Aku bukan anak-anak lagi. Buat apa berolok-olok""
Handarbeni dan Bu Lanting sama-sama tertawa dan sama-sama mencari tanggapan pada wajah Lasi. Merah rona dan tersenyum malu. Lasi merasa sesak di dada, gerah, dan berkeringat. Dan ingin sekali segera meninggalkan rumah itu. Untung, Handarbeni memang segera mengajak mereka keluar untuk makan malam. Tetapi Lasi kehilangan selera karena hatinya terus gelisah. Bahkan kegelisahan Lasi masih terkesan di wajah meskipun Handarbeni sudah membawanya jalan-jalan ke Pasaraya di tingkat atas restoran itu dan membelikannya baju dan sebuah tas tangan yang sangat mahal.
Keesokan hari Bu Lanting mengajak Lasi duduk-duduk di teras depan. Dengan jemari sibuk pada benang dan jarum renda, Bu Lanting membawa ingatan Lasi
kembali ke rumah Handarbeni.
"Las, apa kamu belum tahu mengapa Pak Han memasang potretmu di rumahnya yang baru itu"" tanya Bu Lanting tanpa menoleh kepada Lasi.
Lasi langsung menundukkan kepala dan menggeleng. Tetapi hati kecilnya sudah merasa, sesuatu yang mengejutkan akan segera didengarnya.
"Las, aku mau bilang sama kamu, ya. Aku harap kamu sangat senang mendengarnya. Las, sebenarnya Pak Han menaruh harapan kepadamu. Pak Han suka sama kamu dan ingin kamu man menjadi istrinya. Katanya, dia sungguh tidak main-main."
Lasi terbelalak. Sejenak terpana dan tiba-tiba sulit bernapas. Wajahnya pucat oleh guncangan yang mendadak menggoyang jiwanya. Sepasang alisnya merapat. Lasi gelisah. Tetapi Bu Lanting tak ambil peduli.
"Bila kamu mau, rumah Pak Han yang baru itu akan menjadi tempat tinggalmu. Aku sendiri ikut senang bila kamu menjadi Nyonya Handarbeni. Nah, apa kataku dulu. Kamu memang cantik sehingga seorang kaya seperti Pak Han bisa jatuh hati kepadamu. Bagaimana, Las, kamu mau menerima tawaran itu, bukan""
Lasi tidak menjawab. Ia tetap menunduk. Tangannya gemetar dan mulai sibuk mengusap air mata.
"Las, bila aku jadi kamu, harapan Pak Han akan kuterima sebagai keberuntungan. Memang Pak Han tidak muda lagi. Bahkan kukira dia sudah punya satu atau dua istri. Namun dia punya kelebihan; dia akan mampu mencukupi banyak keinginanmu."
Bu Lanting berhenti sejenak karena harus mengambil gulungan benang renda yang jatuh ke lantai.
"Las, kamu sendiri sudah berpengalaman menjadi istri yang bekerja sangat keras sambil mengabdi sepenuhnya kepada suami. Tetapi apa hasilnya" Selama itu, menurut cerita kamu sendiri, terbukti kalung sebesar rambut pun tak mampu kamu beli, malah kamu dikhianati suami. Pakaianmu lusuh dan badanmu rusak. Kini ada peluang bagimu untuk mengubah nasib. Dan karena kamu memang sudah pantas menjadi istri orang kaya, jangan sia-siakan kesempatan ini."
Bu Lanting berhenti lagi, kali ini karena haus. Diangkatnya gelas teh manis yang baru diletakkan di hadapannya oleh pembantu. Dan tangannya segera kembali ke benang renda.
Air mata Lasi sudah reda.
"Bagaimana, Las""
"Bu," jawab Lasi gagap dan makin gelisah. Suaranya seperti tertahan di tenggorokan. Bibirnya bergetar. "Sebenarnya saya belum berpikir tentang segala macam itu. Saya malu. Saya masih punya suami. Dan hati saya belum tenang dari kesusahan yang saya bawa dari kampung. Lagi pula, apa betul Pak Han mengharapkan saya" Bu, saya cuma perempuan dusun yang miskin dan hanya tamat sekolah desa. Jadi apa yang diharapkan Pak Han dari seorang seperti saya""
Bu Lanting terkekeh tetapi mata dan tangannya tetap lekat pada benang renda. Tetap tanpa memandang Lasi, Bu Lanting terus berceramah, sesekali diselingi dengan derai tawa.
"Oalah, Las, dasar kamu perempuan dusun. Kamu tidak tahu bahwa kamu
punya sesuatu yang disukai setiap lelaki: wajah cantik dan tubuh yang bagus. Kamu mungkin juga tidak tahu bahwa sesungguhnya lelaki kurang tertarik, atau malah segan terhadap perempuan yang terlalu cerdas apalagi berpendidikan terlalu tinggi. Bagi lelaki, perempuan yang kurang pendidikan dan miskin tidak jadi soal asal dia cantik. Apalagi bila si cantik itu penurut. Jadi
lelaki memang bangsat. Nah, kamu dengar" Kini kamu tahu kenapa Pak Han suka sama kamu" Sebabnya, kamu cantik dan diharapkan bisa menjadi boneka penghias rumah dan kamar tidur. Maka percayalah, kamu akan selalu dimanjakan, ditimang-timang selama kamu tetap menjadi sebuah boneka; cantik tetapi penurut."
Tawa Bu Lanting kembali pecah. Sebaliknya, Lasi diam dan tak mengerti apa yang dikatakan Bu Lanting. Kerut-kerut di keningnya makin jelas.
"Bu, tetapi bagaimana juga saya masih punya suami. Rasanya tidak patut berbicara tentang lelaki lain selagi surat cerai pun belum ada di tangan."
"Ah, itu mudah," potong Bu Lanting dengan suara datar dan dingin, bahkan tanpa sedikit pun memalingkan wajah. "Sangat mudah. Kalau mau, kamu malah bisa punya surat cerai tanpa menunggu talak dari suamimu dan kamu tak perlu pulang kampung. Uang, Las, uang. Dengan uangnya Pak Han atau siapa saja bisa mendapat apa saja, apalagi sekadar surat ceraimu."
"Ya, Bu. Tetapi, tetapi sedikit pun saya belum berpikir tentang perkawinan. Ah, bagaimana mungkin, saya masih punya suami."
Lasi tak bisa meneruskan kata-katanya. Air mata yang kembali deras membuat lidahnya kelu. Dan bayangan Kanjat muncul sekejap. Bu Lanting tetap tenang, tetap suntuk dengan benang dan jarum rendanya.
"Sudah kubilang, yang penting kamu bersedia menerima Pak Han dan kamu akan beruntung. Lagi pula buat apa mengingat-ingat suami pengkhianat. Masalah surat cerai dan lain-lain, mudah diatur."
Lasi mengerutkan kening. "Apa kira-kira saya boleh pikir-pikir dulu, Bu" Soalnya, urusan seperti ini sangat penting, bukan""
"Bukan hanya sangat penting melainkan juga keberuntungan yang sangat besar bagimu."
"Tadi Ibu bilang Pak Han sudah punya satu atau dua istri""
"Betul. Dan juga terlalu tua bagi kamu. Tetapi, Las, apa artinya itu semua jika Pak Han bisa memberi kamu rumah gedung dengan perlengkapannya yang mewah, pakaian bagus, dan mungkin juga simpanan uang di bank atau kendaraan. Las, aku sama seperti kamu, perempuan. Aku sudah cukup pengalaman hidup.
Dulu, aku pun berpikiran seperti kamu. Tak sudi berbagi suami karena aku pun punya kesetiaan. Makan tak makan tidak jadi soal, yang penting akur, ayem tentrem. Suami hendaknya yang sepadan dan gagah. Itu dulu. Sekarang, Las, ternyata kemakmuran itulah yang terpenting. Buat apa menjadi istri satu-satunya dan punya suami muda bila kita tinggal di rumah kumuh, tak sempat merawat badan, dan selalu dikejar kekurangan" Las, hidup hanya satu kali; mengapa harus miskin seumur-umur" Nah, kinilah waktunya kamu mengubah nasib. Jangan biarkan peluang ini lewat karena mungkin tidak bakal datang dua kali seumur hidupmu."
Lasi diam dan menggigit bibir. Lidahnya serasa terkunci oleh kepandaian Bu Lanting menyusun kata-katanya.
"Ya, Bu. Namun bagaimana juga saya minta waktu untuk berpikir."
"Mau pikir apa lagi, Las"" sambung Bu Lanting. "Masalahnya sudah jelas, kamu mendapat peluang jadi wong kepenak, orang yang beruntung. Kenapa harus kamu pikir dua kali" Ah, tetapi baiklah. Kamu boleh pikir-pikir dulu. Namun aku pesan, jangan kecewakan orang yang berniat baik terhadap kamu. Besok kamu harus memberi jawaban, sebab Pak Han sudah menunggu. Ingat, jangan kecewakan aku dan Pak Han. Kalau kamu menampik peluang yang dia tawarkan, jadilah kamu orang tak tahu diuntung. Dan tak mau berterima kasih kepadaku!"
Bu Lanting bangkit dengan wajah beku dan pekat.
Dan Lasi tersentak karena mendengar bunyi jam tiga dini hari. Sambil menggeliat gelisah Lasi mengeluh, "Besok aku harus memberi jawaban. Tetapi apa""
Sesungguhnya Lasi tahu jawaban yang harus diberikan hanya satu di antara dua: ya atau tidak. Namun kedua jawaban itu amat sulit dicari karena keduanya bersembunyi dalam rimba ketidakjelasan, keraguan, malah ketidaktahuan. Segalanya serba samar dan baur. Lasi jadi gagap karena merasa dihadapkan kepada dua pilihan yang tiba-tiba muncul di depan mata.
Dua pilihan" Oh, tidak. Hanya satu pilihan! Tiba-tiba Lasi sadar dirinya sedang berhadapan dengan hanya satu pilihan. Lasi hampir mustahil bilang "tidak". Lasi merinding ketika menyadari dirinya sudah termakan oleh sekian ban
yak pemberian: penampungan oleh Bu Lanting, segala pakaian, bahkan juga makan-minum. Uang dan perhiasan. Belum lagi hadiah-hadiah dari Pak Han. Lasi merasa terkepung dan terkurung oleh segala pemberian itu. Lasi terkejut dan merasa dikejar oleh aturan yang selama ini diyakini kebenarannya. Bahwa tak ada pemberian tanpa menuntut imbalan. Dan siapa mau menerima harus mau pula memberi. "Ya ampun, ternyata diriku sudah tertimbun rapat oleh utang kabecikan, utang, utang budi, atau apalah namanya. Bila aku masih punya muka, aku harus menuruti kemauan Bu Lanting untuk membayar kembali utang itu. Aku tak mungkin menampik Pak Han. Tak mungkin""
Lasi mendesah kemudian mengisak. Hati terasa pepat. Ia teringat pada pertemuannya dengan Kanjat. Dan tetap tak mengerti, getun, mengapa Kanjat tidak mengambil sikap lugas, berjanji mau hidup bersama misalnya, lalu mengajaknya lari entah ke mana. Lasi mendesah lagi.
Anehnya, dalam kegelisahan yang makin rumit Lasi masih bisa merasakan kadar kebenaran dalam ucapan Bu Lanting; bahwa hidup sebagai istri penyadap memang tidak banyak harapan. Lasi merasakan sendiri, para penderes bekerja hari ini untuk makan hari ini. Bahkan sering lebih buruk dari itu yakni ketika harga gula mencapai titik terendah. Atau ketika gula mereka gemblung, lembek, dan gagal dicetak. Para penyadap bertahan dalam kehidupan yang getir itu hanya karena mereka sudah membiasakan diri dengan segala macam kepahitan. Bahkan selama hidup bersama Darsa, Lasi pun tidak pernah ingin melarikan diri dari kegetiran hidup sebagai istri penyadap. Sama seperti orang-orang Karangsoga, Lasi tidak merasa perlu mempermasalahkan kesulitan hidup dan kemiskinan karena mereka tak pernah mampu melihat jalan keluar. Atau keduanya sudah diterima sebagai bagian keseharian yang sudah menyatu dan telanjur akrab sehingga tak perlu mempertanyakannya lagi.
Atau sesungguhnya Lasi sendiri sering menemukan celah kenikmatan dalam kepahitannya sebagai seorang istri penyadap. Misalnya, puasnya hati ketika gula yang diolahnya keras dan kuning; segarnya mandi curah di sumur yang terlindung rumpun bambu setelah lama bekerja di depan tungku; nikmatnya makan nasi dengan sayur bening dan sambal terasi ketika lapar demikian menggigit setelah keringat bercucuran. Semua tak bisa dirasakannya lagi setelah Lasi lari dari Karangsoga. Semuanya tak bisa diganti dengan kemanjaan hidup yang kini diterimanya setelah Lasi tinggal bersama Bu Lanting, menjadi bagian kehidupan Jakarta.
Atau puasnya hati ketika menerima uang hasil penjualan gula kepada Pak Tir. Meski tak seberapa, bahkan Lasi selalu merasa tidak menerima jumlah yang semestinya, tetapi selalu ada kenikmatan ketika menerimanya. Kini Lasi tahu betul apa yang menyebabkan kenikmatan itu: gamblangnya asal-usul uang yang diterima yakni cucuran keringat suami dan dirinya sendiri. Perolehan uang semacam itu tidak menimbulkan beban dalam hati. Sangat berbeda ketika Lasi menerima uang dari Bu Lanting yang sering dikatakan sebagai titipan dari Pak Han; Lasi selalu merasa ada sesuatu yang terbeli atau tergadai. Dan Lasi merasakan sakit bila mengingat dirinya sudah kehilangan kemampuan untuk mengelak dari pemberian-pemberian seperti itu.
Dentang jam menunjukkan pukul setengah empat pagi. Meski kamarnya tetap gelap, Lasi mencoba menatap langit-langit. Tetapi yang terbayang di pelupuk mata adalah semua orang Karangsoga. Oh, mereka tetap seperti dulu, suka meremehkan Lasi. Dan Lasi memejamkan mata kuat-kuat ketika teringat pengkhianatan Darsa. "Ah, tidak! Aku takkan kembali ke Karangsoga meskipun sebenarnya aku tak pernah menolak menjadi istri seorang penyadap, asal bukan Darsa."
Ya. Tetapi apa" Pertanyaan itu datang lagi dan mengepung lagi. Sekejap Lasi teringat pada Kanjat. Malah terlintas niat untuk mempertimbangkan kemungkinan lari menyusul anak Pak Tir itu. Namun pikiran demikian hanya sejenak singgah di kepalanya. Lasi tak bisa membayangkan dia punya keberanian lari dari rumah Bu Lanting. Bahkan Lasi tak tahu ke mana harus menyusul Kanjat. Atau Lasi malu dan tak ingin dikatakan sebagai bubu yang mengejar ikan. Apalagi Lasi j
uga sadar, Kanjat belum pernah berterus terang menyatakan harapannya.
"Tidak. Aku tidak akan lari menyusul Kanjat."
Ya, tetapi apa" Lasi makin gelisah. Entah sudah berapa kali ia mengubah posisi tubuhnya! Miring ke kiri, ke kanan, tengadah, atau telungkup. Meskipun demikian keresahan hati malah kian mengembang. Dan Lasi merasa tiba di jalan buntu ketika sadar memang hanya tinggal satu kemungkinan yang harus diterimanya: menuruti anjuran Bu Lanting menjadi istri Pak Han. "Menjadi istri Pak Han" Apakah aku bisa" Apakah benar kata Bu Lanting, enak menjadi istri orang kaya""
Mungkin. Atau entahlah, karena Lasi belum pernah merasakannya atau bahkan sekedar membayangkannya. Seperti semua istri penyadap, Lasi merasa dunia makmur bukan dunianya. Dunia makmur adalah dunia asing. Di Karangsoga Lasi melihat dunia makmur pada kehidupan Pak Tir. Meski tinggal bersama puluhan penderes dan dalam banyak hal Pak Tir bisa brayan, membaur dengan mereka, namun tengkulak itu tetap lain, tetap asing. Pak Tir bisa bersikap tawar, tanpa rasa bersalah, misalnya ketika mengatakan harga gula jatuh. Sejak anak-anak Lasi tahu dunia makmur adalah dunia orang seperti Pak Tir yang tidak ikut susah, tidak mau peduli terhadap kepahitan hidup masyarakat penyadap.
Di Karangsoga juga pernah ada Pak Talab. Dengan bantuan saudaranya yang konon jadi orang penting, Pak Talab menjadi pemborong karbitan yang selalu memenangkan tender untuk proyek-proyek Inpres. Pak Talab jadi orang kaya mendadak, orang kaya tiban. Lasi tahu betul, orang-orang Karangsoga merasa risi dengan tingkah Pak Talab. Apabila Pak Tir terlihat asyik sendiri dengan kekayaannya, Pak Talab lain lagi. Dia dan keluarganya bertingkah ketemben, pamer dengan kemakmuran yang mendadak mereka terima. Ulah mereka macam-macam dan selalu dapat dibaca sebagai usaha menarik perhatian dan minta pengakuan akan kelebihan mereka di bidang harta.
Pak Talab juga jadi jarang bergaul dengan para tetangga. Dia seperti takut dikatakan masih satu lapisan dengan orang kebanyakan. Apabila mendapat pengakuan, biasanya berupa pujian, Pak Talab bungah seperti anak kecil yang dimanjakan. Namun bila pengakuan tak didapat, polahnya bisa tak terduga: kadang merajuk, marah, atau malah jadi pamer dan pongah. Lasi tahu betul, kebanyakan orang Karangsoga risi, bahkan malu. Pokoknya mereka tak suka direpotkan oleh tingkah Pak Talab.
Masalahnya, aku harus bagaimana andaikata aku sendiri sudah menjadi istri Pak Han" Haruskah aku menghindari perilaku seperti Pak Talab agar aku tidak membikin risi dan repot orang lain"
Atau! Atau! Atau biarlah aku meniru Pak Talab untuk mencolok mata Darsa bahwa aku tidak pantas dia perlakukan seenaknya" Juga untuk menunjukkan kepada semua orang Karangsoga bahwa aku, Lasi, bisa meraih peluang untuk membalas sikap mereka yang selalu meremehkan aku"
Dalam kegelapan kamarnya Lasi bangkit dan duduk bersimpuh di tempat tidur. Amat lengang. Namun Lasi tersenyum dan turun untuk menyalakan lampu. Matanya menyipit karena silau oleh cahaya yang tiba-tiba membuat kamarnya benderang. Tanpa maksud tertentu Lasi duduk di depan kaca rias. Lasi berhadap-hadapan dengan dirinya sendiri. Subjek dan bayangannya saling tatap dengan pandangan menusuk kedalaman hati. Ada kesadaran yang tiba-tiba terbit dan mendorong keduanya berbincang empat mata.
"Las!" "Iya." "Mungkin benar kata Bu Lanting; enak lho, jadi istri orang kaya."
"Tak tahulah." "Mau mencoba""
"Entahlah. Aku bingung."
"Tetapi kamu tak bisa mengelak. Hayo, kamu mau apa bila tidak patuh sama Bu Lanting""
"Itulah sulitnya."
"Sudahlah, Las. Tak usah banyak pikir. Biarkan terjadi apa yang agaknya harus terjadi. Mungkin sudah jadi suratanmu. Kalau bukan, mengapa kamu sampai terdampar di rumah ini""
"Baiklah. Aku akan membiarkan terjadi apa yang agaknya harus terjadi."
"Tidak hanya itu, Las. Kamu harus memanfaatkan peluang yang ada di depanmu. Kamu sudah cukup pengalaman hidup menjadi istri penyadap yang serba susah. Nanti kamu boleh menikmati kemakmuran yang ada di tanganmu. Kamu juga sudah cukup menderita karena sikap orang-orang Karangsoga yang selalu dengki kepadamu
. Nanti kamu harus tunjukkan kepada mereka siapa kamu sebenarnya dan apa saja yang bisa kamu lakukan terhadap mereka."
"Apa aku bisa""
"Bisa saja." "Kok kamu tahu""
"Jadi kamu bingung""
"Memang aku bingung."
Bingung. Dan Lasi bangkit lagi, berjalan ke tempat tidur dengan hati dan jiwa yang sangat lelah. Agaknya aku harus rela hanyut pada apa yang akan terjadi, keluhnya beberapa kali. Lasi merebahkan diri. Dan tekanan yang menyesak dada terasa menurun setelah Lasi beberapa kali mengosongkan dada dengan melepas desah panjang. Angan-angan yang lintang pukang mulai mengendap dan samar. Matanya mulai terasa berat. Jagat besarnya makin susut, susut, dan lenyap ke dalam jagat kecilnya kelika Lasi menarik napas yang lentur pertanda ia mulai melayang ke alam mimpi. Tidur yang tak seberapa lama tergoda mimpi yamg menakutkan. Lasi seakan masih tinggal di Karangsoga dan suatu ketika menyaksikan Darsa terbanting dari ketinggian pohon kelapa. Tubuhnya terluka
parah karena terbelah oleh arit sendiri yang selalu terselip di pinggang. Darsa meninggal dalam genangan darah. Lasi tergagap-gagap dan bangun karena mendengar dentang lonceng jam enam pagi.
Ketika Lasi bertemu di meja makan untuk sarapan, Bu Lanting menagih janji.
"Sudah punya keputusan""
Sejenak Lasi termangu tetapi kemudian mengangguk perlahan.
"Bagaimana" Kamu ikuti kata-kataku, bukan""
"Bu, sebenarnya saya tidak bisa memutuskan apa-apa. Saya hanya akan menurut; semua terserah Ibu bagaimana baiknya. Saya pasrah. Tetapi, Bu, sebenarnya saya takut."
"Takut" Kok""
"Ya, Bu. Bagaimana juga saya adalah seorang perempuan kampung. Apa saya bisa mendampingi Pak Han""
"Las. kamu sudah lebih dari pantas jadi orang kota. Sekarang ini malah tak akan ada orang percaya bahwa kamu orang kampung. Jadi jangan ragu menerima tawaran Pak Han. Memang, kamu belum pernah jadi istri orang kaya. Ah, itu gampang, Las. Nanti kamu akan tahu sendiri bahwa semuanya biasa dan mudah."
Lasi diam lagi, memain-mainkan sendok di piring.
"Bu, masih ada lagi yang menjadi pikiran saya; bagaimana soal surat cerai" Saya ingin bicara blak-blakan, tanpa surat cerai dari bekas suami, saya tidak mungkin mau kawin lagi."
Wajah Bu Lanting berubah beku dan dingin.
"Kamu jangan khawatir tentang kemampuan Pak Han. Seperti sudah kubilang, kamu bisa memperoleh surat cerai di sini. Las, di Jakarta ini segala sesuatu bisa ditembak. Surat cerai, oh iya, juga surat pindahmu bisa ditembak di sini dengan duit. Nah, agar urusan jadi cepat dan mudah, serahkan semuanya kepada Pak Han. Kamu tinggal tahu beres. Enak, bukan""
Lasi termenung. Kedua alisnya merapat.
"Tetapi, Bu, soal surat cerai saya menghendaki yang asli, yang saya peroleh dari bekas suami. Saya juga ingin minta restu orangtua."
"Oh, aku tahu. Maksudmu, kamu ingin pulang dulu ke kampung""
"Iya." Bu Lanting diam. Ia memikirkan kemungkinan Lasi tak kembali kepadanya bila sudah sampai di Karangsoga. Ah, tidak. Bekisar itu masih amat lugu. Lasi bisa dipercaya.
"Baik, Las. Kamu boleh mengurus sendiri perceraianmu, sekalian minta surat pindah. Aku juga tahu, kira-kira kamu sudah kangen sama emakmu. Tetapi
kukira Pak Han ingin bertemu kamu sebelum kamu berangkat. Lho iya, Las. Ini soal perjodohan. Jadi bagaimana juga kamu harus berbicara dulu berdua-dua dengan dia. Ah, kamu sudah bisa pacaran. Menyenangkan, bukan""
Tawa Bu Lanting deras seperti talang bocor. Tetapi Lasi malah menunduk dengan wajah dingin.
"Lho, Las. Pacaran penting untuk kesenangan hidup. Malah kamu tahu aku yang tak muda lagi ini pun masih suka pacaran. Ya, kan""
Bu Lanting tertawa lagi. Dan Lasi makin menunduk.
*** Jam tujuh malam Handarbeni muncul di rumah Bu Lanting. Necis dengan baju kaus kuning muda dan celana hijau tua. Wajahnya cerah dengan senyum renyah dan sorot mata penuh kegembiraan. Rambutnya, meskipun sudah menipis, tersisir rapi dan hitam oleh semir baru. Handarbeni sudah tahu bekisar itu mau, atau setidaknya tidak menolak menjadi miliknya dari pembicaraan telepon dengan Bu Lanting tadi siang. Kini Handarbeni datang karena ingin berbicara sendiri dengan bekisarnya.
"Wah, Anda kelihatan lain, Pak Han
," sambut Bu Lanting di teras.
"Lain" Aku masih biasa seperti ini."
"Pokoknya bila hati sedang menyala segalanya jadi lain; ya kelimis, ya necis, ya murah senyum. Ah, tetapi Anda memang layak bersenang hati malam ini. Hati siapa sih, yang tidak menyala mendapat bekisar cantik dan masih begitu segar""
Handarbeni hanya membalas dengan senyum dan duduk sebelum nyonya rumah menyilakannya. Mengambil rokok dari saku baju dan menyalakannya. Gelisah. Bu Lanting tersenyum. Lucu. Ternyata, seorang kakek pun tetap bisa celala-celili, gampang salah tingkah ketika menunggu pacar keluar dari kamar. Masih dengan senyum, Bu Lanting masuk untuk memberitahu Lasi akan kedatangan tamunya. Lasi menanggapinya dengan sikap biasa, sangat biasa. Namun setidaknya Lasi mengangguk ketika Bu Lanting menyuruhnya mematut diri sebelum keluar menemui Handarbeni.
"Pak Han, kukira bekisar itu sudah jinak dan bisa Anda masukkan ke dalam sangkar yang sudah Anda sediakan. Namun pandai-pandailah membuat dia betah. Karena bekisar Anda akan menemui banyak hal yang sangat boleh jadi tak pernah dibayangkan sebelumnya, lebih lagi perjodohannya dengan Anda. Dia harus banyak melakukan penyesuaian dan bila gagal akan menjadikannya tidak betah tinggal dalam sarang yang paling bagus sekalipun. Pokoknya Anda barus merawatnya dengan sangat hati-hati."
"Aku sudah pernah bilang bahwa aku bukan anak muda lagi. Aku sudah bisa ngemong dan yang penting aku sudah biasa bersabar."
"Sebenarnya saya sudah tahu siapa dan bagaimana Anda. Namun saya merasa harus bicara sekadar mengingatkan Anda agar tetap berhati-hati. Nah, sekarang, Anda berdua mau cukup bertemu di sini atau bagaimana""
"Kamu pasti tahu apa yang kuinginkan."
"Tahu! Anda ingin keluar berdua. Silakan. Saya pun punya janji malam ini."
"Jadi kamu juga mau keluar""
Bu Lanting hanya tersenyum lebar. Handarbeni juga hendak tertawa tetapi tertahan karena Lasi muncul. Bu Lanting mengatur Lasi duduk pada kursi yang paling dekat dengan Handarbeni. Suasana terasa agak kaku dan akan terus demikian apabila Bu Lanting tidak mencairkannya.
"Kalau sudah begini saya tidak bisa bilang apa-apa selain ucapan selamat. Ah, setidaknya selamat berbicara dari hati ke hati buat Anda, Pak Han, serta kamu, Lasi. Dan tidak seperti waktu lalu, sekarang saya tidak boleh menjadi pihak ketiga di antara Anda berdua. Jadi..."
Sebuah mobil terlihat membelok masuk halaman. Bu Lanting segera tahu siapa yang datang. Si Kacamata turun setelah memberi aba-aba dengan klaksonnya.
"Ah, rupanya sayalah yang harus berangkat lebih dulu. Yang menjemput saya sudah datang. Pak Han, Lasi, silakan atur waktu Anda berdua. Saya berangkat. Selamat ya."
Bu Lanting bergerak agak tergesa seperti anak itik manila lari ke kubangan. Handarbeni memandangnya dengan senyum. Ada yang terasa lucu. Ternyata, seorang nenek pun bisa bertingkah seperti perawan ingusan bila sedang pacaran.
Hanya tinggal berdua, Handarbeni dan Lasi sejenak terjebak dalam kelengangan. Lasi bahkan merasa sangat berat untuk mengangkat muka. Ada kegelisahan mengusik hatinya, semacam rasa bersalah entah kepada siapa, karena Lasi seakan sudah menyediakan diri dimiliki oleh seorang lelaki lain. Dalam pandangan mata yang tiba-tiba membaur Lasi melihat dengan jelas bilik tidur dalam rumahnya di Karangsoga. Lasi juga melihat kain sarung Darsa terayun pada tali sampiran dalam bilik itu. Bahkan Lasi seakan merasakan kembali bau khas kain sarung itu meskipun yang sebenarnya mengambang adalah wangi parfum yang digunakan Handarbeni.
"Las," suara Handarbeni pelan dan datar. Tetapi tak urung Lasi tersentak dibuatnya. "Bu Lanting sudah bilang soal keinginanku kepadamu, bukan""
Diam. Wajah Lasi menjadi permukaan air yang diam tanpa riak sekecil apa pun. Namun terlihat beban berat di balik tatapan matanya yang kosong.
"Bagaimana, Las""
Lasi mengerutkan kening lalu samar-samar mengangguk.
"Kata Bu Lanting kamu menerima ajakanku. Begitu, bukan""
Lasi kembali beku. Keraguan dan kehampaan muncul lagi di wajahnya.
"Bagaimana" Katakanlah, Las."
"Pak... " "Ya"" "Saya cuma menurut," kata Lasi pelan, tanpa mengangkat wajah. Handarbe
ni mendesah, lega. Tersenyum sendiri dan matanya lekat pada Lasi yang tetap menunduk.
"Las, aku ingin bicara agak banyak tetapi bukan di tempat ini. Kita keluar sekalian makam malam. Kamu mau, bukan""
Lasi terdiam dan kelihatan ragu.
"Saya malu." "Tak usah malu, Las. Kamu sudah lama menjadi anak Jakarta, menjadi anak Bu Lanting. Kalau mau hidup di kota ini, jangan terlalu banyak rasa malu. Ayolah."
Akhirnya Lasi mengangguk. Lasi merasa tak punya tempat lagi untuk bersembunyi. Handarbeni tersenyum. Matanya berkilat.
"Las, aku ingin mendengar suaramu."
"Ya, Pak." Suara Lasi lirih setelah sekian lama tetap membisu.
"Ah, meski aku memang sudah tua, aku lebih suka kamu panggil Mas. Bagaimana""
"Ya, Pak. Eh. Ya, Mas." Suara Lasi lirih sekali dan terdengar agak terpaksa.
"Nah, begitu. Sekarang ambil baju hangat sebab udara di luar agak dingin."
Seperti wayang bergerak di tangan datang, Lasi bangkit. Namun Handarbeni
mendadak menahannya. "Nanti dulu, Las. Aku hampir lupa. Aku punya sesuatu untuk kamu."
Handarbeni merogoh saku celana dan mengambil sesuatu yang terbungkus kertas dan menyerahkannya kepada Lasi. "Bukalah di dalam dan kalau kamu suka, pakailah."
Lasi mengulurkan tangannya dengan canggung, mengucapkan terima kasih dengan suara yang hampir tak terdengar lalu melangkah masuk. Dalam kamar setelah menarik baju hangat dari gantungan, Lasi ingin melihat isi bungkusan yang tergenggam di tangannya. Sesuatu yang melingkar, dan agak berat. Ketika bungkusan terbuka mata Lasi terbelalak melihat sebuah gelang yang tidak terlalu besar namun bermata banyak. Tanpa sadar Lasi memasang gelang itu pada tangan kirinya. Cahaya putih kebiruan berjatuhan dari pernik-pernik permatanya. Lasi berdebar. Ia tidak mengerti tentang intan atau berlian. Namun terasa ada sihir yang membuatnya tersenyum. Ada sihir berbisik di hati mengatakan bahwa semua perempuan pasti menyukai dan membanggakan gelang seperti itu. Sihir itu pula yang mengatakan bahwa sangat bodoh bila Lasi menampik pemberian Pak Han itu. Lasi kembali tersenyum.
Dan senyum itu masih tersisa ketika Lasi kembali berhadapan dengan Handarbeni di ruang tamu. Senyum berhias lekuk pipi yang membuat Handarbeni terbayang pada wajah Haruko Wanibuchi meskipun bintang film Jepang itu hanya sempat dikenalnya melalui majalah hiburan.
"Sudah siap, Las"" tanya Handarbeni lembut dan santun seperti gadis kecil sedang memanjakan bonekanya.
"Sudah, Pak." "Mas." "Eh, iya. Saya sudah siap, Mas."
"Ayolah." Lasi menurut ketika Handarbeni membimbing tangannya berjalan keluar. Seorang gentleman tua mengepit tangan pacarnya yang belia lalu dengan anggun membukakan pintu kiri mobil, memutar untuk mencapai pintu kanan, dan sesaat kemudian mesin pun mendesing lembut. Lasi membeku. Entahlah, mendadak Lasi merasa seharusnya ia tidak dalam keadaan berdua-dua dengan seorang lelaki, siapa pun dia.
"Ingin makan apa, Las; ayam goreng, rendang Padang, apa masakan Cina"" tanya Handarbeni setelah mobil meluncur di Jalan Cikini.
Lasi tetap membeku. "Las""

Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh..." "Kamu ingin makan apa""
"Anu. Terserah. Saya ikut saja."
"Aku lebih senang kamu ada permintaan."
"Saya tak punya permintaan apa-apa, kok."
"Atau ayam Kalasan di Arya Duta""
"Terserah saja."
"Ah, aku lupa. Setengah darahmu adalah Jepang. Sudah pernah menikmati sukiyaki atau tempura""
"Apa itu""
"Hidangan dari negeri ayahmu, Jepang."
"Namanya pun saya baru mendengar."
"Mau mencoba""
"Pak... eh, Mas Han, sebenarnya saya ingin makan nasi dengan sambal terasi dan lalapan."
Senyap. Lasi terkejut dan menyesal atas keterus-terangannya. Malu, dan ingin mencabut kata-katanya andaikan bisa. Handarbeni tersenyum, nyaris menjadi tawa. Tetapi tua bangka itu segera sadar, menertawakan kejujuran orang, apalagi pacar, bukan tindakan seorang gentleman.
"Dengan senang hati, Las, kamu akan kuantar ke sana. Di Jakarta ini, apalah yang tiada. Percayalah, kita akan mendapat hidangan nasi putih dengan sambal terasi dan lalapan. Tambah sayur bening dan ikan asin""
Lasi tertawa lirih dan menunduk.
"Semua itu hidangan untuk orang kampung seperti saya, Mas Han. Apa Mas Han juga suka""
"Ya, aku juga suka." "Bukan pura-pura suka""
"Ah, Las. Bila soal makan tidak bercampur dengan urusan gengsi dan semacamnya, semuanya bisa sangat sederhana; yang penting sehat. Yang penting nilai gizinya, bukan jenis atau harganya atau dari mana asalnya."
"Jadi Mas Han benar-benar suka sambal terasi""
"Hm, ya. Apalagi bila kamu yang membuatnya." Lasi tersipu. Suasana menjadi begitu menyenangkan sehingga hati Handarbeni berkobar, mendorong tangan kirinya bergerak dan jemarinya menggamit dagu Lasi. Dan Lasi menarik kepalanya ke belakang karena dia tidak siap menerima kemesraan seperti itu.
Di sebuah rumah makan khas Sunda, Lasi menemukan hidangan yang sudah sekian lama amat dirindukannya. Seluruh sistem pencernaannya yang sudah terbiasa dengan makanan sederhana menjadikan Lasi begitu menikmati makan malamnya. Pedasnya sambal terasi dan kuatnya rangsangan garam ikan asin
membangkitkan selera aslinya sehingga Lasi menghabiskan sepiring penuh nasi. Malah kalau bukan karena malu kepada Handarbeni, Lasi ingin minta tambah. Handarbeni memperhatikan dengan penuh minat bagaimana pipi Lasi jadi makin merah oleh pedasnya cabe; bagaimana kesegaran muncul dengan sangat jelas pada wajah blasteran Jepang itu. Dan dada Handarbeni mengembang bila menyadari semua itu kini miliknya.
"Las, sehabis makan kamu ingin ke mana lagi""
"Tak ingin ke mana-mana."
"Nonton"" "Tidak tahu. Saya tidak ingin ke mana-mana."
"Kalau begitu lebih baik kita pulang ke Slipi. Kita omong-omong saja di rumah sendiri, pasti lebih leluasa. Kamu mau, bukan""
Kali ini Handarbeni tak menunggu persetujuan Lasi.
"Tetapi jangan sampai terlalu malam."
"Kamu takut sama Bu Lanting""
"Bukan takut, nggak enak."
"Kamu bisa telepon kepada Bu Lanting. Atau malah tak perlu. Kita sudah jadi calon suami-istri, bukan""
Lasi terkejut. Tiba-tiba Lasi sadar bahwa Handarbeni memang punya cukup alasan untuk berkata seperti itu.
Dalam perjalanan ke rumah Handarbeni di Slipi, Lasi tak pernah bicara kecuali sekadar menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya. Lasi tengah mencoba mencairkan kebimbangan karena tidak sepenuhnya mengerti lakon apa yang sedang diperaninya. Perasaannya mengambang dan samar. Namun dari segala yang mengambang dan samar itu ada satu titik yang pasti: Lasi merasa tidak seharusnya berada dalam keadaan seperti sekarang ini. Dan perasaan asing itu makin memberat di hati setelah Lasi berada di dalam rumah Handirbeni yang baru dibangun itu.
"Las, ini bukan rumah siapa-siapa melainkan rumah kita. Kamu bukan orang asing di sini. Malah, kamu nyonya rumah."
"Bukan, Mas Han," ujar Lasi.
"Bukan" Ah, ya. Lebih tepat dikatakan kamu calon nyonya rumah ini. Meskipun begitu aku sudah menganggap kamu nyonya rumah sepenuhnya. Jadi jangan canggung. Kamu sudah tahu tempatnya bila kamu memerlukan makanan dan minuman. Juga lemari pakaianmu sudah tersedia dengan isinya. Tetapi maaf, aku belum mendapat pembantu yang cocok. Di sini baru ada Pak Min, sopir, dan Pak Ujang, penjaga."
Lasi seperti tak berminat mendengarkan penjelasan Handarbeni. Mungkin karena terlalu nikmat makan dengan sambal dan lalapan, Lasi kelihatan lelah. Ia duduk seperti orang yang mulai mengantuk. Handarbeni mendekat dan meminta Lasi pindah duduk di sofa. Mereka berdekat-dekat. Lasi kembali merasa tidak seharusnya berada dalam keadaan seperti itu. Lebih lagi karena kemudian Handarbeni melingkarkan tangan pada pundaknya. Risi. Tetapi Lasi tak berani berbuat sesuatu yang mungkin bisa menyinggung perasaan Pak Han.
"Las... " "Ya, Mas." "Rumah ini sudah lengkap, kok. Maksudku, jika lelah malam ini kamu bisa tidur di sini. Ada banyak kamar. Kamu tinggal pilih. Ndak apa-apa kok, Las. Betul, ndak apa-apa."
Tak ada tanggapan. Lasi bermain dengan jemarinya. Dan menggeleng.
"Lho, daripada tidur di rumah Bu Lanting" Rumah itu takkan pernah menjadi milik kita, bukan""
Lasi menggeleng lagi. Dan dalam hatinya terus berkembang perasaan bahwa dirinya tidak patut berdua-dua dengan Handarbeni. Bahkan akan menginap di bawah satu atap" Atau bahkan satu kamar"
Handarbeni bingung, seperti kehilangan acara. Bangkit, mengambil dua minuman kaleng dari lemar
i pendingin. Kembali ke sofa dan mendapati Lasi benar-benar mulai terkantuk. Handarbeni meletakkan minuman di atas meja kecil di samping sofa, duduk, dan menegakkan kepala karena Lasi minta diantar pulang ke rumah Bu Lanting. Handarbeni menepuk dahi sendiri dan tiba-tiba wajahnya cerah. Ada gagasan. "Tunggu sebentar, Las."
Handarbeni masuk ke sebuah kamar dan keluar lagi dengan sebuah proyektor kecil di tangan, meletakkannya di atas meja kemudian menghadapkannya ke tembok. Tangannya sibuk memasang film, mengulur kabel, lalu berjalan mencari stop kontak. Proyektor sudah hidup. Posisinya digeser-geser untuk mencari bidang sorot yang tepat. Lampu ruangan dipadamkan dan gambar
hidup pun mulai. Lasi hampir tertidur. Namun terkejut karena tiba-tiba lampu padam dan ada bioskop di tembok depan sana, Lasi kembali terjaga. Apalagi kemudian Handarbeni kembali duduk di sampingnya sambil melingkarkan tangan ke pundak.
"Las, jangan ngantuk. Kita nonton film."
Lasi diam dan meski terasa berat matanya mulai mengikuti adegan di depan sana. Sebuah suasana purba. Seorang lelaki prasejarah yang hampir telanjang dan berambut panjang, berjalan mengendap-endap di sepanjang bantaran sungai. Lelaki kekar dan masih muda itu bersenjatakan sepotong tulang besar, berjalan agak terbungkuk. Serangga dan burung-burung kecil beterbangan ketika si manusia purba berjalan menembus belukar.
Lasi menikmati tontonan itu. Pemandangan di sana mengingatkan Lasi pada pengalamannya sendiri ketika mengumpulkan kayu bakar di hutan. Ada serangga beterbangan, ada derik ranting kering terinjak, dan ada gemercik air di dasar jurang. Bau lumut dari dinding tebing. Ada kokok ayam hutan. Ada ramat laba-laba berpendar seperti jala benang sutera yang ditebar di udara. Tetapi Lasi merasa ngeri ketika bioskop memperlihatkan seekor buaya tiba-tiba muncul dan menyerang si lelaki purba. Dengan senjata tulangnya lelaki itu membela diri bahkan mengalahkan penyerangnya.
Lasi lega. Matanya terus lekat pada gambar hidup yang terproyeksi di tembok sana. Demikian asyik sehingga Lasi kurang menaruh perhatian terhadap tangan Handarbeni yang mulai sempoyongan, melingkari pinggangnya.
Manusia purba itu terus berjalan lalu berhenti di tubir lembah. Mata si purba memandang ke bawah, menatap sepasang kambing hutan yang sedang berkelamin. Si kambing jantan terlalu besar dan perkasa bahkan brutal sehingga si betina terlihat begitu payah melayaninya.
Selesai menonton kambing kawin lelaki purba itu meneruskan perjalanan, menembus hutan dengan pepohonan raksasa. Tetapi lagi-lagi ia berhenti dan menatap ke atas. Di sana, pada dahan besar yang tumbuh mendatar, ada sepasang munyuk, juga sedang berkelamin. Primitif, hewani. Steril. Lasi tersenyum atau memalingkan muka atau memejamkan mata. Sekali terdengar Lasi terkikih. Dan di luar kesadaran Lasi, Handarbeni makin lekat. Sementara Lasi makin hanyut dengan tokoh lelaki purbanya apalagi ketika si tokoh tiba-tiba membalikkan badan, lari, dan terus lari menempuh jalur yang semula dilewatinya. Burung-burung kecil kembali beterbangan. Serangga berhamburan. Si purba terus lari menempuh semak, tanah terbuka, bibir tebing, kemudian tiba pada wilayah tepi sungai yang bergua-gua. Lelaki purba itu masuk ke dalam salah satu gua dan menarik keluar seorang perempuan yang sama purbanya. Perempuan itu dipaksa melepaskan anak kecil yang kebetulan sedang ditetekinya.
Lasi menahan napas. Tetapi di sebelahnya Handarbeni malah tertawa ngikik. Handarbeni sudah belasan kali melihat film cabul yang sedang diputarnya itu dan kini sengaja menyajikannya kepada Lasi demi sebuah tujuan. Dan Lasi kembali menahan napas ketika melihat si lelaki purba mulai memaksa perempuan pasangannya. Brutal seperti kambing jantan. Primitif, hewani, steril, seperti munyuk. Tidak. Lebih dari itu. Di mata Lasi adegan antara lelaki purba dan pasangannya di sana juga terasa liar, sangat tidak wajar, biadab, nirsila, menjijikkan, dan entah apa lagi, Lasi tak punya cukup perbendaharaan kata untuk melukiskannya. Yang jelas Lasi mulai merasa perutnya mual. Jantungnya berdebar. Kepalanya pening. Badannya ba
sah oleh keringat dingin. Menggigil. Mendesah dalam keluhan yang tak jelas. Kemudian Lasi sungguh-sungguh memejamkan mati karena merasa tak sanggup lebih lama melihat apalagi mencerna adegan yang bagi penglihatannya, sangat, sangat, sangat cabul. Lebih dari brengsek dari segala brengsek yang pernah dilihat atau didengarnya. Satu hal saja cukup membuat bulu kuduk Lasi berdiri; sekadar jempol tangan suaminya pun Lasi belum pernah disuruh mengulumnya! Padahal yang baru ditontonnya sepuluh kali lebih brengsek.
Film habis tanpa Lasi mengetahui bagaimana akhir ceritanya. Tetapi Lasi malah merasa beruntang tidak melihatnya sampai selesai. Meskipun begitu perutnya tetap terasa mual. Kepalanya pusing. Lasi hampir muntath. Handarbeni cepat bangkit untuk menyalakan lampu. Dan terkejut ketika di bawah lampu yang terang terlihat wajah Lasi amat pucat dan shock. Lasi bergegas ke kamar mandi. Di sana, nasi putih, sambal terasi, dan lalapan yang baru disantapnya dengan penuh nikmat, tumpah ruah.
Handarbeni berjalan hilir-mudik menunggu Lasi keluar dari kamar mandi. Menggeleng-gelengkan kepala, penasaran. Dan terasa ada yang meleset. Dengan memutar film biru, sesungguhnya, Handarbeni ingin mencoba mengundang fantasi berahi untuk membakar Lasi. Bila api sudah berkobar Handarbeni akan berjerang dan mengendalikannya sepuas hati. Meleset. Lasi bukan hanya tak terbakar, kok malah muntah" Meleset. Handarbeni sungguh penasaran. Bahkan khawatir jangan-jangan Lasi jadi benar-benar sakit. Tetapi Handarbeni mencoba tenang ketika berhadapan dengan Lasi yang baru keluar dari kamar mandi.
"Las, kamu sakit""
"Tidak," jawab Lasi sambil menggelengkan kepala. Tetapi wajahnya masih pucat. Bibirnya pasi.
"Kok muntah""
"Mual dan pusing. Namun sekarang sudah hilang," jawab Lasi sambil duduk lesu.
"Untuk mual dan pusing di sini ada persediaan obatnya. Akan kuambil untukmu."
"Jangan repot, Mas Han. Saya sudah sembuh. Saya tak memerlukan obat," ujar Lasi bohong, padahal kepalanya masih berdenyut dan rasa mual belum hilang benar dari perutnya.
"Kalau begitu akan kubuatkan teh manis."
Handarbeni lenyap. Duduk seorang diri, Lasi merasa seperti baru datang dari tempat asing. Film yang baru ditontonnya itu! Lasi bergidik. Muskil, mustahil. Sebidang wilayah yang baginya sangat pribadi dan rahasia, yang bagi Lasi keindahannya justru terletak pada kerahasiaannya itu, bisa disontoloyokan dengan cara yang paling brengsek. Lasi bergidik lagi. Mual dan pusing lagi. Ada yang terasa terinjak-injak dalam jiwanya. Anehnya, kesontoloyoan itu juga membawa pertanyaan yang menusuk hati: mengapa kamu merasa terhina ketika melihat adegan brengsek itu" Untuk pertanyaan ini Lasi hanya punya jawaban sahaja, "Karena aku bukan kambing, bukan pula munyuk."
Atau Lasi malah berpikir, apakah bukan karena dirinya orang kampung, dia merasa muskil ketika berhadapan dengan kebrengsekan itu" Karena ternyata Lasi juga merasa, hal tergariskan sebagai orang kampung yang miskin, tak terdidik, dan tak berpengalaman mungkin adalah sebuah kesalahan nasib yang menyebabkan ketertinggalan. Dengan demikian kegagapannya menghadapi adegan tanpa rasa malu, seperti yang baru ditontonnya beberapa saat berselang, adalah sebuah kesalahan dan ketertinggalan pula. Dengan kata lain, mereka yang bisa mendapat kenikmatan dari tontonan cabul semacam itu, Pak Han misalnya, berada pada pihak yang tak salah dan tak tertinggal zaman. Karena itu mereka tak usah dipersamakan dengan kambing apalagi munyuk. Demikiankah seharusnya"
Atau bukan hanya Pak Han. Di warung Bu Koneng pun Lasi sudah melihat sesuatu yang baginya sangat ganjil mengenai perkelaminan. Para lelaki yang membeli si Anting Besar atau si Betis Kering di warung Bu Koneng; beberapa di antaranya kelihatan baru sekali bertemu dengan perempuan yang dibelinya. Hampir tanpa perkenalan, mereka bisa langsung masuk kamar. Lasi sering heran, sangat heran; keintiman semacam itu mereka lakukan tanpa keakraban hati dan jiwa" Jadi hanya penyatuan raga" Persetubuhan! Bukan peleburan dua pribadi secara total"
Lasi ingat, dulu, apa yang dilakukannya bersama Darsa adalah sesuatu ya
ng dimulai dengan api yang memercik dalam jiwa. Tulus. Yang menyatu bukan hanya badan, melainkan ada yang lebih mendalam lagi. "Persetubuhan" adalah kata yang tak cukup memadai untuk menyebutkannya.
Ah! Lasi menggelengkan kepala. Dan tiba-tiba pikiran Lasi melayang ringan. Ingatannya kembali kepada film cabul itu. Entahlah, kini Lasi mengenangnya dengan pikiran yang cair, komis. Tanpa mengerti mengapa bisa terjadi, Lasi merasa telah berpindah sudut pandang. Dalam film cabul tadi ditampilkan gaya seekor kambing jantan yang brutal dan penuh tenaga. Mengerikan. Tetapi si munyuk" Lasi tersenyum. Binatang yang mirip manusia itu dalam penampilan perkelaminannya, tidak bisa tidak, terlihat menggelikan. Tampangnya blo'on. Lucu. Bila mengingatnya tak bisa lain Lasi harus tersenyum. Malah Lasi sedang terpingkal tanpa suara ketika Handarbeni datang membawa segelas teh manis.
"Kamu tertawa, Las""
Lasi makin terpingkal hingga air matanya keluar.
"Tidak." "Tidak" Kamu sedang tertawa, bukan""
"Lucu." "Lucu"" "Ya. Ternyata munyuk bisa brengsek, kayak manusia."
Tawa Lasi meledak. Sambil memegangi perutnya yang terasa sakit karena lama terpingkal, Lasi menelungkup di atas meja dan terus tertawa. Handarbeni kecut. Lelaki itu pun ikut tertawa tetapi bukan karena merasa ada sesuatu yang lucu. Handarbeni tersodok oleh gaya pertanyaan Lasi. Ternyata, dalam perkelaminan munyuk ingin meniru kebrengsekan manusia" Entahlah. Yang jelas tawa telah menyatukan Lasi dan Handarbeni dalam suasana yang begitu cair.
Lasi merasa seperti daun bungur yang jatuh ke alas air Kalirong. Hanyut, mengapung, dan kadang menyerah ketika dipermainkan angin.
Ketika akhirnya tawa Lasi habis, yang tersisa adalah suasana yang akrab dan mengendap. Handarbeni merasa setengah berhasil. Memang dia gagal membakar berahi Lasi. Namun keakraban yang tercipta setidaknya membuat Handarbeni merasa tiada beban ketika harus berbicara tentang hal-hal yang sangat pribadi. Dia tidak bosan memuji keindahan mata dan lekuk pipi Lasi dan senang memanggilnya dengan Haruko. Dan ketika merasa jarak hati sudah demikian dekat Handarbeni, sekali lagi, meminta Lasi menginap. Mendengar pemintaan Pak Han, mendadak Lasi surut seperti siput menarik diri ke balik perlindungan rumah kapurnya. Ketika Handarbeni mengulang permintaannya, Lasi hanya menjawab dengan gelengan kepala.
Handarbeni diam. Menghadapi keteguhan Lasi terasa ada sodokan terarah ke lembaga moral yang sudah lama tak pernah menjadi pertimbangan perilakunya. Namun anehnya Handarbeni tersenyum. Lagi-lagi Handarbeni merasa ada pertahanan dalam keluguan perempuan kampung; pertahanan yang memerlukan perjuangan untuk menembusnya, sebuah tantangan yang membawa kadar kenikmatan. Handarbeni tersenyum lagi. Tetapi dadanya bergemuruh. Apalagi ketika Lasi pun menatap dengan senyumnya yang berhias lesung pipit.
"Jadi bagaimana, Las"" ucap Handarbeni dalam desah.
"Saya ingin pulang."
"Baik. Aku akan mengantarmu. Dengan senang hati."
"Bukan cukup dengan Pak Min""
"Tidak. Kecuali kamu menolak kuantar pulang."
Lasi tersenyum dan membiarkan Handarbeni menggandeng dirinya keluar. Tetapi untuk kesekian kali Lasi merasa tidak seharusnya membiarkan diri digandeng seorang lelaki. Entahlah.
*** Jarang terjadi bulan Puasa jatuh pada musim kemarau. Tetapi hal yang jarang itu selalu dinanti oleh para penyadap, karena sudah menjadi kebiasaan pada saat seperti itu harga gula akan naik dan bisa mencapai titik tertinggi. Para penderes sendiri tidak mengerti mengapa harga gula naik pada bulan Puasa, terutama sejak sepuluh hari menjelang Lebaran. Mereka hanya tahu dari pengalaman sejak lama bahwa harga dagangan mereka membaik bahkan melonjak menjelang akhir bulan itu. Tetapi para tengkulak seperti Pak Tir bisa mengatakan bahwa kenaikan harga gula disebabkan oleh melonjaknya tingkat konsumsi di kota-kota besar. "Pada bulan Puasa banyak orang membuat makanan manis, terutama di kota."
Harga jual gula yang sangat baik pada bulan Puasa dan mudahnya kayu bakar didapat pada musim kemarau adalah dua hal yang bersama-sama mampu sejenak menjernihkan wajah masyarakat penyadap. Pada
musim ini para penyadap nuerasa pekerjaan mereka jauh lebih ringan. Selain mudah mendapat kayu bakar, batang kelapa tidak licin karena lumut yang melapisinya mengering. Nira juga sangat bernas. Inilah hari-hari para penyadap sejenak bisa tersenyum dan tertawa. Mereka untuk sementara cukup makan dan mungkin bisa menyisihkan sedikit uang untuk mengganti baju anak-anak. Dan karena hati terasa ringan, sering terdengar mereka berdendang ketika mereka membelah kayu atau bahkan ketika mereka sedang tersiur-siur pada ketinggian pohon kelapa. Anak-anak mereka pun berubah. Pipi mereka jadi montok dan betis mereka jadi berisi. Mereka bergembira dan sering bertembang ramai-ramai di bawah sinar bulan. Ada sebuah tembang yang sangat mereka sukai, tembang tentang harapan di bulan Puasa bagi anak-anak yang sehari-hari tak cukup sandang dan pangan.
Dina Bakda uwis leren nggone pasa Padha ariaya seneng-seneng ati raga Nyandhang anyar sarta ngepung sega punar Bingar-bingar mangan enak nganti meklar
Di hari lebaran sudah kita purnakan puasa Kita berhari raya, bersenang jiwa dan raga Berbusana baru, menyantap nasi paten Riang gembira santap enak hingga perut kenyang benar
Malam hari, sementara anak-anak berlarian atau bertembang di bawah sinar bulan, beberapa lelaki biasa berkumpul di surau Eyang Mus. Ketika hidup terasa kepenak; tak sia-sia, dan perut terasa aman, mereka punya peluang memikirkan sesuatu yang tak pernah hilang dalam jiwa tetapi sering mereka lupakan ketika lapar: sangkan paraning dumadi. Para penyadap yang selalu menyebut Gusti Allah untuk membuka kesadaran terdalam demi keselamatan mereka, sering lupa pergi ke surau karena mereka bingung menjawab pertanyaan yang menggigit; mana yang harus didulukan, oman atau iman" Oman adalah tangkai bulir padi, perlambang keamanan perut. Oman dan iman adalah kebingungan para penyadap yang muncul dalam ungkapan yang sering mereka ucapkan, "Bagaimana kami bisa lestari berbakti bila perhatian kami habis oleh ketakutan akan tiadanya makanan untuk besok pagi""
Pembunuh Berdarah Dingin 1 Mengejutkan Kawan Kawannya Einstein Anderson Karya Seymour Simon Bulan Biru Di Mataram 3
^