Pencarian

Dari Langit 6

Dari Langit Karya Rizal Mallarangeng Bagian 6


Proyek mobil nasional tersebut juga mengikis harapan bahwa Soeharto akan menjadi pelopor utama perdagangan bebas Asia, sebagaimana yang ia janjikan sendiri dalam konferensi APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) di Bogor dua
tahun lalu. Selain itu, kebijakan tersebut secara langsung bertentangan dengan aturan the most-favored-nation dari WTO (World Trade Organization) di mana Indonesia menjadi anggotanya. Lebih jauh, proyek tersebut merupakan contoh dari terus berlanjutnya kekuasaan pemikiran ekonomi nasionalis dan dirigis di puncak pemerintahan Indonesia, terlepas dari hampir satu dekade pengalaman positif dengan liberalisasi. Contoh penting yang lain adalah pembalikan keputusan pada 1995 untuk tidak melindungi Chandra Asri, sebuah perusahaan yang sebagian dimiliki oleh kroni Soeharto. Pada pertengahan 1995, pemerintah menolak permintaan Chandra Asri akan perlindungan bea 40% untuk impor barang-barang modal bagi sebuah mega proyek yang bernilai $1,3 miliar.
Namun, pada Januari tahun ini perusahaan tersebut secara diam-diam diberi perlindungan bea 25% hingga 2003.
Pemerintah juga berusaha untuk memainkan peran sesosok Santa Claus populis pada 1996, dengan memilin tangan kaum kaya dan menyalurkan sumberdaya-sumberdaya negara ke dalam berbagai proyek untuk membantu mereka yang kurang beruntung. Program Kemitraan, yang dicanangkan pada Desember, membebankan pajak 2% pada individu-individu dan perusahaan-perusahaan yang memiliki pendapatan lebih dari $45.000 setahun. Uang tersebut akan dikumpulkan oleh sebuah yayasan pribadi yang diketuai oleh Soeharto sendiri, dan disebarluaskan kepada hampir 12 juta keluarga yang kurang mampu, yang masing-masing akan menerima sekitar $8. Banyak pengamat berkomentar bahwa program baru tersebut akan tidak efektif sebagai langkah untuk memerangi kemiskinan, dan secara substansial akan menambah jumlah pengeluaran off-budget yang telah sangat besar, tanpa ada pertanggungjawaban politik.
Dari berbagai peristiwa ini, kami menyimpulkan bahwa 1996 adalah tahun di mana pergeseran dari liberalisasi ekonomi ke intervensi negara menjadi semakin jelas. Tentu saja ini tidak berarti bahwa prinsip-prinsip dasar manajemen makro-ekonomi yang bijaksana telah ditinggalkan atau bahwa pemerintah tidak lagi ingin mengadopsi kebijakan-kebijakan yang menjadikan perekonomian lebih efisien. Namun, dilihat baik dari jumlah maupun dari besarannya, sejak 1983 tidak pernah ada suatu masa di mana begitu banyak kebijakan nasionalis dan dirigis penting diadopsi hampir secara bersamaan. Apa yang menjelaskan pergeseran ini, dan mengapa hal ini menjadi semakin kuat tahun ini" Kekuatan dasar perekonomian Indonesia dan kekuatan ekspornya yang terus bertahan jelas merupakan sebab-sebab penting. Masa yang baik memunculkan kebijakan yang buruk-seba-gaimana yang umum dikatakan para teknokrat-berarti bahwa hanya keadaan ekonomi yang sulit yang memaksa pemerintah mengencangkan sabuknya. Faktor lain yang penting adalah kampanye pemilu yang akan datang, ketika Soeharto tampak ingin memiliki daya tarik populis bagi banyak pemilih.
Mungkin juga ada sebab politik yang lebih luas bagi pergeseran kebijakan ini. Di puncak liberalisasi (sekitar 1986-88), orang-orang yang paling dipercaya Soeharto untuk menjalankan negeri ini adalah Jenderal L. B. Moerdani di bidang militer dan masalah-masalah politik, dan tim teknokrat yang dipimpin oleh Profesor Widjojo Nitisastro untuk masalah-masalah ekonomi. Moerdani memberikan semacam payung keamanan bagi para teknokrat ini. Dia sendiri memiliki kedekatan pribadi dengan para teknokrat ini, dan memiliki ide-ide yang sama dengan mereka dalam hal pembangunan. Namun, pada awal 1990-an, Soeharto menghancurkan aliansi ini. Moerdani disingkirkan dan digantikan oleh pejabat yang kurang asertif dan tidak banyak memiliki pendapat-pendapat yang kuat tentang masalah-masalah non-militer. Pada saat yang sama, presiden semakin sering mendengarkan gagasan-gagasan ekonomi nasionalis dan proteksionis Ginandjar Kartasasmita, kini kepala Bappenas, dan Menteri Riset dan Teknologi B. J. Habibie, yang mengepalai industri pesawat terbang dan industri-industri lain yang strategis milik negara.
Ginandjar dan Habibie sekarang ini tampak sangat kuat dan mungkin tetap berpengaruh selama beberapa tahun ke depan, selama Soeharto masih berkua
sa. Hubungan Internasional Posisi internasional Indonesia mengalami pukulan di tiga wilayah pada 1996. Pertama, baik Amerika Serikat dan Jepang mempersoalkan Indonesia di WTO dalam hal mobil nasional tersebut. Kedua negara tersebut telah menunggu beberapa bulan sebelum mempersoalkan Indonesia di WTO, dan tindakan tersebut diharapkan tidak memengaruhi hubungan mereka dengan Indonesia. Meskipun demikian, reputasi pemerintahan Soeharto dalam hal komitmen yang kuat terhadap perdagangan bebas rusak. Apa yang lebih penting, paling tidak dalam kaitannya dengan pandangan tentang Indonesia yang dimiliki orang Amerika, adalah "Indo-gate": skandal uang ratusan ribu dollar yang bermasalah, jika bukan ilegal, untuk membantu kampanye presiden Clinton oleh individu-individu yang memiliki hubungan dengan perusahaan-perusahaan Lippo Group yang berbasis di Indonesia. John Huang, mantan pejabat Lippo, dianggap terlibat dalam pengumpulan dana ilegal bagi Komite Nasional Demokratik pada saat bekerja di Departemen Perdagangan AS. Bos Lippo, Mochtar Riady, dituduh secara kotor berusaha untuk memengaruhi kebijakan pemerintah AS terhadap Cina, Vietnam, dan Indonesia. Persoalan ini mendapat lebih banyak publikasi di media AS ketimbang di Indonesia, di mana hubungan dekat antara para pengusaha dan pejabat pemerintah adalah sesuatu yang jamak, dan di mana Riady hanya merupakan salah satu dari banyak pengusaha Cina-Indonesia yang berhasil dan memiliki koneksi yang kuat.
Terakhir, Komite Hadiah Nobel mengejutkan dunia dengan menganugerahkan Hadiah Perdamaiannya kepada Uskup Katolik Timor Timur, Carlos Filipe Ximenes Belo, dan pejuang kebebasan Timor Timur yang diasingkan, Jose Ramos Horta. Para pejabat pemerintah Indonesia terkejut dan marah, terutama pada pilihan atas Horta, yang mereka cap sebagai seorang oportunis dan petualang politik. Belo, yang dielu-elukan di Timor Timur, diperlakukan secara lebih hormat baik oleh pemerintah maupun oleh media, yang umumnya bersikap bingung dan gamang terhadap hadiah tersebut. Y. B. Mangunwijaya, yang dikenal sebagai Romo Mangun, adalah seorang aktivis sosial terkemuka Indonesia dan sekaligus pendeta Katolik. Seperti Presiden Soeharto, dia juga seorang nasionalis Indonesia yang kuat dan mantan pejuang kemerdekaan anti-Belanda. Namun reaksinya terhadap hadiah Komite Nobel tersebut sangat berbeda dari sang presiden dan sebagian besar orang Indonesia yang berbicara di depan publik. "Semua ini merupakan hasil akhir dari sebuah strategi tragis yang dijalankan selama 21 tahun," tulis Romo Mangun.
"Pembukaan UUD 1945 mengatakan bahwa 'kemerdekaan adalah hak semua bangsa'... Indonesia adalah sebuah bangsa yang besar. Ia juga harus memiliki jiwa yang besar."[Y. B. Mangunwijaya, "Relung-Relung Renurig Oslo", tidak diterbitkan, 15 Januari 1997 (tersedia di Internet di: apakabar.clark.net).]
Februari 1997 Demokrasi dan Kapitalisme:
Kasus Asia Timur dan Asia Tenggara
MENGAPA DEMOKRATISASI TERJADI" Negara-negara Asia Timur dan Tenggara mungkin memberi kita beberapa pelajaran untuk menjawab pertanyaan ini.
Untuk tujuan saya di sini, tiga negara bisa dianggap penting: Korea Selatan, Indonesia, dan Thailand. Pembangunan kapitalis[Di sini 'pembangunan kapitalis' tidak berarti bahwa pemerintah tidak memainkan peran dalam perkembangan ekonomi. Hal ini berarti bahwa mekanisme pertukaran dasar dalam ekonomi diorganisasi terutama berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, dan pada saat yang sama hak milik pribadi diakui. Kecuali Hong Kong, semua perekonomian yang berhasil di Asia memperlihatkan bahwa pembangunan kapitalis yang cepat terjadi meskipun pemerintah tetap memegang peran yang signifikan. Dari tiga negara yang dibahas di sini, pemerintah Thailand merupakan pemerintah yang paling kurang intervensionis.] sangat berhasil selama sekitar dua dekade di ketiga negara ini. Rezim-rezim militer memainkan peran yang penting dalam sebagian besar sejarah modern mereka.
Korea Selatan dan Thailand sekarang ini demokratis. Indonesia, meskipun keterbukaan politik telah sering disuarakan selama hampir sa
tu dekade, tidak mengalami gerakan politik yang riil ke arah demokrasi. Indonesia, dalam perbandingan ini, dengan demikian bisa dianggap sebagai kasus kontrol, yang sangat berguna bagi kita untuk memahami mengapa sebuah perekonomian kapitalis yang berhasil gagal melakukan demokratisasi.
Argumen saya di sini adalah bahwa kapitalisme merupakan syarat yang diperlukan bagi demokrasi. Namun, ia bukan syarat yang memadai, karena demokratisasi memerlukan lebih dari sekadar infrastruktur sosio-ekonomi.
Ulasan Teoretis: Kapitalisme dan Demokrasi
Banyak masyarakat kapitalis yang bukan merupakan demokrasi. Semua demokrasi adalah kapitalis. Tidak satu pun masyarakat sosialis yang pernah memiliki demokrasi.[Negara-negara Skandinavia yang demokratis tidak dianggap sosialis, dalam pengertian bahwa meskipun pemerintahan mereka memainkan suatu peran yang jauh lebih besar di bidang ekonomi dibanding pemerintahan AS, hubungan-hubungan ekonomi dasar mereka pada umumnya tetap kapitalis. Volvo, misalnya, adalah perusahaan swasta terbesar di Swedia; ia menerima peraturan-peraturan tentang buruh yang ditetapkan oleh partai sosialis yang berkuasa, namun ini tidak berarti bahwa Volvo dengan demikian menjadi sebuah perusahaan sosialis, tanpa motif keuntungan.]
Fakta-fakta sederhana ini mungkin merupakan pernyataan empiris terkuat yang bisa diberikan seseorang untuk memperlihatkan bagaimana kapitalisme dan demokrasi berhubungan secara positif. Namun, untuk yakin, diperlukan lebih dari sekadar eksposisi faktual: hubungan antara kapitalisme dan demokrasi perlu diteguhkan dalam teori.[Di sini, pertanyaan yang harus dijawab adalah: Mengapa sebuah perekonomian pasar bebas mendorong kebebasan berbicara" Mengapa lembaga hak milik pribadi menyediakan "ruang" bagi masyarakat untuk melawan sentralisasi kekuasaan dalam satu badan"]
Dalam hal ini, tiga kelompok argumen dari para teoretisi kapitalisme, seperti F. A. Hayek, Milton Friedman, Joseph Schumpeter, Peter Berger, dan Max Weber, merupakan argumen-argumen yang paling menarik.
Kelompok-kelompok argumen ini tentu saja saling terkait, namun pembedaan konseptual diperlukan untuk memperlihatkan kekuatan masing-masing.
Argumen pertama bertolak dari premis bahwa negara modern (otoriter atau tidak) merupakan "penggumpalan kekuasaan terbesar dalam sejarah manusia".[Peter Berger, The Capitalist Revolution, Basic Book, 1986, hlm. 79.] Argumen ini menyatakan bahwa karena kekuasaannya yang begitu besar, negara modern cenderung semakin memperluas dirinya ke dalam masyarakat, kecuali jika ia dibatasi oleh pembatasan-pembatasan institusional.
Sebuah perekonomian kapitalis, pun yang tunduk pada beragam regulasi, menciptakan zona sosialnya sendiri yang menghadapi negara sebagai suatu realitas yang relatif indepen-den.[Dalam zona ini, seseorang memberikan dan mendapatkan nilai-nilai (barang dan jasa) yang ia anggap penting di luar kontrol negara. Perlu kita ingat, aktivitas pertukaran bebas ini merupakan salah satu dasar paling penting dari masyarakat sipil. Tidak ada masyarakat sipil yang bisa berjalan jika para anggotanya bergantung pada pemberian dan keputusan negara, atau harus bekerja untuk negara, mengejar kariernya untuk negara, dst.] Apapun kontrol negara yang lain, hal itu tidak sepenuhnya mengontrol zona ini, yang "ipso facto membatasi kekuasaan negara".[Peter Berger, ibid.] Dengan kata lain, zona ini mempermudah pemberian batas-batas terhadap kecenderungan inheren negara modern untuk semakin memperluas kekuasaannya ke dalam masyarakat. Karena itu-karena demokrasi pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang membatasi kekuasaan negara- kapitalisme mendorong perkembangan demokrasi.
Sosialisme, sebaliknya, sangat memperkuat kekuasaan negara modern yang sudah kuat dengan membiarkannya menjadi pengontrol sebagian besar perekonomian. Ia tidak mendedahkan pemisahan (ekonomi) dasar antara negara dan masyarakat, yang tanpanya tindakan politik yang independen dari yang terakhir ini menjadi mustahil. Semakin besar negara diberi kontrol terhadap perekonomian, semakin kecil kemungkinan demok
rasi untuk berjalan, hingga hal ini mencapai titik tertentu di mana demokrasi akan menjadi samasekali mustahil. Jadi, sebagaimana yang dengan tepat dikemukakan Hayek, semakin Anda mensosialiskan keseluruhan perekonomian, maka Anda akan semakin dekat pada "jalan perbudakan".[Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom, Chicago, 1944.]
Argumen kedua menjelaskan bahwa dari rahim kapitalisme kaum borjuis terlahir, dan menuntut hal-hal tertentu untuk berkembang, seperti legalitas dan usaha individu otonom. Tuntutan-tuntutan ini (dalam kata-kata Schumpeter, "skema hal-ihwal [kaum] borjuis"), jika kaum borjuis tersebut menjadi lebih besar dan lebih kuat sebagai sebuah kelompok, akan menghamparkan batas-batas pada negara menyangkut apa yang bisa dan tidak bisa ia lakukan. Schumpeter mengemukakannya sebagai berikut:
Skema hal-ihwal [kaum] borjuis membatasi wilayah politik dengan membatasi wilayah otoritas publik; pemecahannya ada dalam ideal negara yang ramping yang hadir terutama untuk menjamin legalitas borjuis dan memberikan kerangka yang kuat bagi usaha individu yang otonom di semua bidang.[Joseph Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy, Harper & Row, 1962, hlm. 297.]
Kapitalisme dengan demikian mendorong demokrasi dengan melahirkan kaum borjuis. Marx, dalam 18th Brumaire, menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu (yakni krisis), kaum borjuis akan menyerahkan dirinya kepada Leviathan, sebuah negara Bonapartis, untuk bertahan hidup. "Untuk menyelamatkan hartanya, ia harus mengorbankan mahkotanya."[Karl Marx, "The 18th Brumaire of Louis Bonaparte", dalam Marx and Engels: Basic Writing on Politics and Philosophy, ed. Lewis S. Feuer, Fontana, 1969, hlm. 373. Kutipan ini merupakan salah satu sumber intelektual paling penting bagi para pemikir kiri baru yang menulis tentang kapitalisme dan dunia berkembang dari 1960-an hingga awal 1980-an. O'Donnel, misalnya, menjelaskan bahwa karena tekanan-tekanan populis yang dihamparkan dalam proses penguatan industri, kaum borjuis menyerahkan dirinya ke dalam kerangka otoritarianisme birokratis. Ia melakukan hal tersebut untuk menjamin bahwa stabilitas akumulasi modal tidak terancam. Di sini apa yang dilakukan O'Donnel hanyalah menyesuaikan Marxisme lama agar cocok dengan konteks dunia berkembang abad ke-20.] Schumpeter, tentu saja, tidak menyangkal hal ini. Namun, baginya, di masa "normal", skema hal-ihwal borjuis tersebut akan memunculkan dorongan ke arah demokratisasi.
Penting untuk dicatat bahwa para teoretisi demokratisasi belakangan ini tidak banyak bicara tentang kaum borjuis lagi. Sebaliknya, mereka menggantinya dengan jenis orang-orang baru dengan istilah baru: kelas menengah, masyarakat sipil. Bagaimanapun, ini bukan suatu penyimpangan konseptual yang substansial dari Schumpeter. Hal itu hanya merupakan suatu perluasan konsep kaum borjuis, dari penekanan semata-mata pada kepemilikan sarana produksi ke sesuatu yang lain (misalnya, jumlah penghasilan, tingkat pendidikan, kepemilikan barang-barang tertentu, dll.). Hal-hal yang lain sama: kelas menengah tersebut menuntut hal-hal yang sama sebagaimana yang diinginkan oleh kaum borjuis Schumpeter.
Argumen ketiga menyatakan bahwa kapitalisme bekerja secara lebih baik dalam sebuah lingkungan politik yang rasional dan dapat diprediksikan. Ia menghendaki administrasi rasional-legal. Pemerintahan non-demokratis, dalam jangka panjang, dalam istilah Weber, akan merusak "dasar kalkulabilitas" yang sangat penting bagi kapitalisme.[Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, The Free Press, 1964,
hlm. 357.] Pemerintahan otoriter mungkin memberikan rasionalitas dan kepastian (kadang lebih baik ketimbang yang diberikan sebuah pemerintahan demokratis), yang membantu mengembangkan kapitalisme. Namun, sampai titik ketika kapitalisme menjadi semakin kuat, logika rasionalitas, kepastian, legalitas tersebut akan menciptakan dinamikanya sendiri yang akan meruntuhkan cengkeraman otoritarianisme. Sebuah rezim otoriter yang mengakui supremasi hukum,["Rezim otoriter yang mengakui supremasi hukum bukan merupakan suatu oksimoro
n". Singapura adalah contoh yang baik. Jika ia melarang sebuah surat kabar, misalnya, ia melakukannya melalui proses hukum.
Hukum tersebut (yang menempatkan keamanan nasional di atas kebebasan individu) mungkin tidak demokratis, namun itu di luar persoalan. Bandingkan ini dengan Soeharto dari Indonesia, yang memiliki kebiasaan melarang pers tanpa pengadilan. Keduanya otoriter. Namun kita tidak memahami persoalan jika kita menyamakan begitu saja Lee dari Singapura dengan Soeharto dari Indonesia.] yang tidak mengubah aturan-aturan dasarnya setiap hari, yang mengizinkan diskusi-diskusi rasional tentang isu-isu ekonomi penting, hanya perlu satu langkah kecil menuju demokratisasi.
Diperlukan Lebih dari Sekadar Kapitalisme
Argumen-argumen di atas bersifat struktural (secara ekonomi deterministik). Gagasan dasar mereka adalah bahwa kapitalisme perlu bagi demokrasi; kapitalisme memberikan prasyarat-prasya-rat sosio-ekonomi bagi kebebasan politik untuk berkembang.
Demokratisasi, sebagai sebuah hasil politik, terjadi di tempat, waktu, dan situasi tertentu. Ia merupakan suatu proses (seringkali panjang dan menyakitkan) yang dengannya pra-syarat-prasyarat struktural diaktualisasikan menjadi realitas politik. Dengan demikian, diperlukan lebih dari sekadar faktor-faktor struktural bagi berkembangnya demokratisasi.[Ini menjelaskan mengapa terdapat masyarakat-masyarakat kapitalis maju yang non-demokratis.] Hayek, Weber, Schumpeter: Argumen-argumen mereka dengan demikian harus disertai oleh argumen-argumen yang lebih menjelaskan tentang proses-proses demokratisasi tertentu di tempat, waktu, dan situasi tertentu.
Dalam hal ini, argumen-argumen kaum "transisionis" (misalnya, Juan Linz, Huntington) mengisi gap tersebut. Bagi mereka, demokratisasi, sebagai sebuah proses, melibatkan lebih banyak faktor seperti strategi, tindakan, para pemimpin, pilihan, keberuntungan.
Kelemahan utama kaum transisionis telah umum dikenal: mereka cenderung berbicara tentang terlalu banyak faktor. Ketika kita membaca karya-karya beberapa transisionis, akan sangat beruntung jika kita tidak tersesat dalam "belantara faktor". Untuk menghindari hal ini, secara konseptual kita perlu memilih hanya dua atau tiga faktor dalam penjelasan kita.
Di sini faktor-faktor yang saya yakin merupakan faktor-faktor yang paling penting dalam menjelaskan demokratisasi adalah kepemimpinan, lembaga politik (sistem kepartaian, parlemen), dan persoalan-persoalan sosial (termasuk perang dan perpecahan sosial).
Kepemimpinan karena proses mengubah sistem politik, pada puncaknya, selalu diikuti oleh berbagai jenis krisis-dan periode krisis, sebagaimana ditegaskan Ralf Dahrendorf, adalah periode di mana para pemimpin lebih penting ketimbang ketika berada dalam masa normal.
Lembaga-lembaga politik karena realitas kekuasaan terejawantah dalam (atau tersalurkan melalui) jabatan eksekutif, militer, dan partai-partai.[Ralf Dahrendorf, Transitions: Politics, Economics, and Liberty, The Washington Quarterly, Summer 1990, hlm. 140.]
Persoalan-persoalan sosial karena sebuah bangsa yang begitu terpecah-belah dalam hal-hal yang fundamental memberi kesempatan bagi para demagog dan elite-elite politik konservatif untuk mengarahkan kepentingan rakyat ke tujuan-tujuan tertentu yang tidak kondusif bagi demokrasi.
Bersama kapitalisme, perpaduan ketiga faktor ini sangat mungkin akan menentukan apakah demokrasi akan berkembang atau tidak.
Tingkat Satu: Peran Kapitalisme
Demokratisasi terjadi di Korea Selatan pada akhir 1980-an, di Thailand pada awal 1990-an. Bagaimana kita menghubungkan hal ini dengan kapitalisme dalam suatu cara sebagaimana yang diandaikan oleh teori di atas"
Pertama-tama kita dapat menyatakan bahwa ketika Park Chung-hee dan para pelaku kudeta Thailand merebut kekuasaan, mereka tidak menundukkan semua bagian masyarakat di bawah kontrol negara, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh kaum revolusioner Marxis. Mereka memperkuat negara melalui sarana-sarana otoriter, namun kontrol mereka samasekali tidak total.
Sistem yang mereka ciptakan, meminjam ist
ilah Robert Scalapino yang menarik, adalah sistem otoritarian pluralis.[Robert Scalapino, The Politics of Development: Perspectives on Twentieth-Century Asia, Cambridge, 1989.] Mereka menerapkan peraturan-peraturan yang sangat keras untuk menjaga persatuan dan memobilisasi dukungan, namun mereka tidak sepenuhnya membunuh pluralisme sosial. Dan yang paling penting: mereka membiarkan sebagian besar perekonomian kapitalistik.
Fakta-fakta ini penting dalam kaitannya dengan perkembangan demokrasi berikutnya. Di Cina dan Vietnam di bawah kaum sosialis (sebelum reformasi ekonomi), kontrol negara total. Dengan mensosialiskan seluruh perekonomian, mereka menempatkan baik politik maupun ekonomi dalam satu tangan. Karena itu, dalam kata-kata Bergerian, mereka sangat menggelembungkan kekuasaan negara, dan dengan demikian mengikis kemungkinan berkembangnya kekuatan-kekuatan tandingan, yang sangat penting bagi demokratisasi. Apa yang terjadi pada rakyat Cina dan Vietnam di bawah kekuasaan komunis adalah "ketidak-bebasan" sepenuhnya. Di Korea Selatan dan Thailand bukan itu yang terjadi. Kapitalisme, sebagaimana yang diperlihatkan oleh teori kita di atas, memelihara zona-zona sosial yang di dalamnya interaksi-interaksi yang otonom di antara berbagai orang dimungkinkan.
Individu-individu membentuk perusahaan-perusahaan bisnis, melakukan perjalanan ke luar negeri, mengembangkan karier, mengundang para ahli asing, bekerja untuk perusahaan-perusahaan internasional: semua ini bisa dilakukan tanpa terlalu banyak campur-tangan negara.
Mereka mungkin tidak bisa mengkritik otoritas, namun mereka (atau setidaknya sebagian besar dari mereka) bebas melakukan hal-hal yang lain. Untuk berhasil dalam kehidupan mereka, mereka tidak harus menjadi pelayan negara sebagaimana yang terjadi pada rakyat Cina dan Vietnam.
Dengan kebebasan yang relatif cukup di wilayah ekonomi dan sosial, dapat dikatakan bahwa akan lebih mudah bagi Korea Selatan dan Thailand untuk menjadi demokratis. Kebebasan, sebagaimana yang dikemukakan Milton Friedman, dalam jangka panjang tidak mungkin dipilah-pilah. Begitu kita memiliki kebebasan di wilayah ekonomi, kita cenderung mencari jalan untuk meraih kebebasan di wilayah politik.
Selain fakta tentang sistem otoriter-pluralis ini, kita juga bisa menyatakan bahwa para jenderal di Korea Selatan dan Thailand tidak secara pasif membiarkan kapitalisme berjalan; mereka mendorongnya untuk berkembang sampai tingkat yang tak terbayangkan pada 1960-an dan awal 1970-an. Keberhasilan besar Korea Selatan dan Thailand sekarang ini telah umum dikenal. Dari 1965 hingga 1970, rata-rata pertumbuhan GDP di Korea Selatan adalah 9,5%, Thailand 7,2% (dari 1980 hingga 1987 pertumbuhan tersebut adalah 8,6% dan 5,6%).[World Bank, World Development Report, dikutip dalam James W. Morley, ed., Driven by Growth: Political Change in the Asia-Pacific Region, East Gate Books, 1993, hlm. 6.] Bersama dengan kemajuan ini, struktur dasar perekonomian mereka berubah. Pertanian semakin kurang memiliki andil terhadap total produksi domestik mereka.
Industri-industri manufaktur dan sektor jasa tumbuh lebih kuat dan menyerap para pekerja lebih banyak ketimbang yang terjadi dua dekade yang lalu.
Pada akhir 1980-an, GNP per kapita Korea Selatan hampir mencapai $3.000, dan Thailand sedikit kurang dari $1.000. Kemajuan pembangunan kapitalis ini dapat dipastikan memperkuat posisi kaum kapitalis. Hal ini sangat jelas di Thailand:
Selain itu, pembangunan kapitalis ini dengan cepat memperluas kelas menengah (yang, sebagaimana dijelaskan Schum-peter di atas, seringkali membutuhkan suatu "skema hal-ihwal" yang tidak cocok dalam sistem otoriter apapun). Sebuah survei pada 1987 mencatat bahwa sekitar 65% rakyat Korea Selatan menganggap diri mereka sebagai bagian dari kelas menengah.[Sung-joo Han dan Yung-chul Park, "South Korea: Democratization at last", dalam James W. Morley, Driven by Growth, hlm. 185.] Di Bangkok, Thailand, terdapat 1.800.000 orang yang bisa dianggap sebagai kelas menengah (31% dari populasi kota itu, 1986).[Sukhumbhan Paribatra, "State and
Society in Thailand", Asian Survey, September 1993, hlm. 884.
pada 1963 tidak ada satu pun pengusaha di kabinet; namun pada 1969 proporsi para pengusaha di kabinet adalah 4%, pada 1974 9,7%, dan pada 1986 (dalam kabinet kelima Jenderal Prem) 47,7%.[Anek Laothamatas, "Business and Politics in Thailand", Asian Survey, April 1988,
hlm. 454.]] Sekali lagi, Thailand merupakan contoh yang paling jelas dari konsekuensi politik perluasan kelas menengah ini. Pada Februari 1991, dipimpin oleh Jenderal Suchinda, militer memaksa Perdana Menteri Chatichai untuk turun, dan sekali lagi memperluas apa yang dalam sejarah negeri itu umum dikenal sebagai lingkaran politik yang keji. Kudeta Suchinda tersebut mengakhiri satu dekade rezim semi-demokratis dan (ketika pada April 1992 ia akhirnya menjadi perdana menteri dan menempatkan iparnya sebagai pemimpin militer) menggantinya dengan sebuah pemerintahan yang lebih otoriter yang dijalankan oleh suatu elite kekuasaan yang lebih seragam.
Pada April-Mei 1992 sesuatu yang baru terjadi dalam politik Thailand: rakyat (yang selama berdekade-dekade dianggap pasif, apolitis) turun ke jalan-jalan Bangkok memprotes Suchida dan menuntut demokrasi. Militer menghantam, namun akhirnya, setelah 3 hari terjadi kekerasan, para demonstran tersebut menang dan Suchida turun tahta, yang membuka jalan bagi demokratisasi sebenarnya.
Siapa orang-orang yang melawan para pelaku kudeta militer dari jalan-jalan Bangkok tersebut" Menurut sebuah survei, 60% dari orang-orang itu bergelar sarjana muda, 50% bekerja di perusahaan-perusahaan swasta, 50% berpenghasilan sebulan di atas 10.000 baht.[Sukhumbhan Paribatra, "State and Society in Thailand", ibid., hlm. 889. Paribatra melihat bahwa di kalangan para pemimpin gerakan Bangkok, banyak di antaranya adalah para pemimpin revolusi mahasiswa 1973, yang pada 1980-an mulai membangun perusahaan-perusahaan swasta atau bekerja di sektor swasta.] Pendeknya, mereka adalah para anggota kelas menengah.[Mereka bisa dibandingkan dengan para demonstran Makati di Filipina yang, dari jalan-jalan Manila, membantu melengserkan Presiden Marcos pada Februari 1986.]
Di Korea Selatan, sebagaimana yang dikemukakan Hee-min Kim, kelas menengah merupakan kelompok terakhir yang bergabung dengan koalisi anti-pemerintahan otoriter.[Hee-min Kim, "A Theory of Geovernment-Driven Democratization: The Case of Korea", World Affairs, Winter 1994, hlm. 138.] Koalisi tersebut terdiri atas para mahasiswa radikal, para pekerja, dan para politisi (dua Kim) yang memelopori gerakan demokratis. Namun, salah satu alasan penting mengapa Jenderal Chun Doo-hwan tidak sepenuhnya menumpas gerakan ini sejak permulaan, kecuali dalam persoalan Kwanju, adalah kecemasan akan munculnya reaksi luas dari kalangan kelas menengah yang menentang tindakan seperti itu. Dan pada titik kritis transisi demokratis tersebut, kelas menengah-lah yang mendukung koalisi Kim Young-sam dan Roh Tae-woo untuk memenangkan pemilu.
Demikianlah kelas menengah di Thailand dan Korea Selatan membantu mendorong demokrasi berkembang. Karena itu, pada titik ini, kita bisa melihat dalam bentuk yang lebih langsung bahwa kapitalisme (rahimnya sangat subur untuk melahirkan kelas menengah) berhubungan dengan demokrasi.
Sebagian pengamat mungkin menyatakan bahwa kadang kelas menengah, untuk menjaga stabilitas, memilih untuk berdiri di belakang seorang penguasa yang otoriter, paling tidak untuk jangka pendek. Hal ini mungkin benar, dan hal ini membawa kita kembali pada perbedaan antara Marx dan Schumpeter tersebut. Karena kita telah mengulas hal ini di atas, kita tidak perlu mengulang lagi di sini.
Apa yang bisa kita katakan di sini adalah bahwa meskipun hal itu benar, sebuah sistem otoriter yang menerima sebagian nilai dan standar kelas menengah sebagai imbalan dukungan politik jauh lebih mudah untuk terdemokratiskan nantinya dibanding suatu sistem yang didasarkan pada gagasan ambisius dan pseudo-ilmiah dari segelintir elite neurotik yang hanya memikirkan dukungan terhadap polisi rahasia, partai, dan aparat birokratis mereka. Bayangkanlah perbe
daan antara Singapura di bawah Lee Kuan Yew dan Uni Soviet di bawah Stalin (lupakan sejenak perbedaan-perbedaan dalam hal ekonomi).
Tingkat Dua: Peran Faktor-faktor Lain
Sebelum kita bergerak lebih jauh, menarik untuk melihat kasus Indonesia. Soeharto, seperti Park Chung-hee, Chun Doo-hwan, dan para jenderal Thailand, tidak bertindak sebagaimana kaum Marxis ketika ia merebut kekuasaan pada akhir 1960-an. Sampai tingkat tertentu, konsep "otoriter-pluralis" juga bisa diterapkan pada rezim yang ia bangun. Dan, sebagai hasil dari pembangunan kapitalis yang berhasil, kelas menengah negeri itu juga berkembang dengan cepat.
Dengan demikian, prasyarat-prasyarat struktural bagi demokratisasi ada di sana. Namun Jakarta belum pernah mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekadar janji-palsu keterbukaan. Di sini argumen kita berlaku: kita perlu lebih dari sekadar penjelasan struktural untuk memahami sepenuhnya proses demokratisasi.
Seorang strukturalis yang keras kepala dapat dipastikan akan mengemukakan dua argumen. Pertama, pembangunan kapitalis di Indonesia bagaimanapun tidak sangat berhasil sebagaimana di Korea Selatan dan Thailand. GNP per kapita negeri ini hanya sekitar 3/5 GNP Thailand dan 1/5 GNP Korea Selatan. Indonesia masih harus mencapai suatu tingkat kemakmuran agar kebebasan menjadi suatu pilihan yang lebih realistis.
Kedua, demokratisasi yang sebenarnya mungkin belum terjadi, namun jelas salah jika mengatakan bahwa sejauh ini tidak ada tekanan ke arah itu. Sebagaimana yang dikemukakan Andrew MacIntyre, karena pembangunan kapitalisnya yang cepat, kaum borjuis negeri itu menjadi lebih kuat dan semakin ingin menentang kebijakan pemerintah. Juga terdapat kompetisi (internal) yang lebih besar di kalangan elite dalam proses pembuatan keputusan.[Andrew MacIntyre, Business and Politics in Indonesia, Allen & Unwin, 1990.] Kelas menengah sekarang ini lebih asertif dan atmosfer perdebatan publik lebih baik dibanding sepuluh tahun yang lalu. Pendeknya, kapitalisme yang semakin luas tersebut telah memunculkan berbagai tekanan ke arah demokratisasi. Bersama waktu, tekanan-tekanan ini hanya mungkin menjadi lebih besar.
Argumen-argumen ini masuk akal, dan semua ini sangat memperkuat posisi sang strukturalis yang keras kepala tersebut.
Namun, untuk memperlihatkan bahwa posisi eklektik kita lebih baik dan lebih kaya, kita harus menjabarkan kasus-kasus khusus di mana faktor-faktor seperti kepemimpinan, lembaga politik, dan persoalan-persoalan sosial penting.
Dalam hal ini, mari kita kembali ke Thailand dan Korea Selatan. Di Thailand, terdapat para pemimpin oposisi seperti Chamlong Srimuang dari Palang Dharma (yang dulunya adalah gubernur Bangkok) yang bersedia untuk berada di pinggiran mempertaruhkan hidup mereka demi memperjuangkan kebebasan. Pada saat genting ketika Jenderal Suchinda nyaris menang, Chamlong turun ke jalan, hampir sendirian, menuntut bahwa ia tidak akan makan apapun kecuali jika demokrasi dipulihkan. Tindakan Chamlong yang berani dan a la Gandhi ini membangunkan kelas menengah Bangkok, yang kemudian melengserkan Suchinda.
Di Korea Selatan, kita memiliki Roh Tae-woo dan dua Kim. Kim Dae-jung dan Kim Young-sam, sejak era Park Chung-hee, merupakan simbol dan panji oposisi. Keduanya terus menjaga api perubahan bahkan di masa-masa paling sulit di bawah pemerintahan otoriter. Jenderal Roh Tae-woo, bagian dari kekuasaan yang kemudian menjadi seorang reformis, berhasil memimpin negerinya sepanjang jalan sempit transisi: di satu sisi, dia memberi jaminan stabilitas pada militer, sehingga reaksi keras terhadap para demonstran bisa sangat dikurangi; di sisi lain, ia menerima tuntutan-tuntutan dasar koaliasi anti-pe-merintahan otoriter tersebut (dengan menawarkan "delapan poin kompromi") yang menjadi pembukaan terbesar demokratisasi. Roh, dengan kata lain, membuka kemungkinan bagi suatu jenis perubahan yang disebut Profesor Huntington sebagai "transplacement".[Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Oklahoma Press, 1991.]
Di akhir The Third Wave, Huntington me
nulis: "Pembangunan ekonomi memungkinkan demokrasi; kepemimpinan politik menjadikannya nyata." Roh Tae-woo, dua Kim, Chamlong Srimuang: tindakan-tindakan mereka merupakan salah satu contoh bagaimana kepemimpinan penting. Mereka membantu mengubah prasyarat-prasyarat sosio-ekonomi menjadi realitas politik.
Dalam hal lembaga-lembaga politik, kita bisa melihat bahwa di Thailand militer, sebagai sebuah lembaga politik kunci, terbagi ke dalam dua faksi, yakni Kelompok 5 dan Kelompok 7. Perpecahan ini memperlemah cengkeraman otoritarianisme dan membuka ruang bagi berbagai gerakan dan gerakan tandingan di kalangan elite berkuasa yang mengundang reaksi dari orang-orang luar untuk bergabung, dan dengan demikian memperluas arena partisipasi politik.
Selain perpecahan militer ini, kita memiliki faktor kelembagaan lain yang penting, Kerajaan dan Rajanya yang bijak dan kharismatik. Bersama Juan Carlos I dari Spanyol, Raja Bhumibol mungkin bisa disebut sebagai contoh terbaik dalam sejarah politik abad ke-20 tentang bagaimana sebuah lembaga lama bisa memainkan peran konstruktif dalam membantu negerinya menghadapi pergolakan politik besar. Raja Bhumibol membantu negeri itu untuk tidak tenggelam ke dalam titik-titik ekstrem; ia dengan demikian memberikan suatu kerangka stabilitas yang mungkin berfungsi sebagai dasar bagi terobosan politik penting, yang benar-benar ia lakukan pada April-Mei 1992.
Di Korea Selatan, dengan matinya Park Chung-hee pada 1979, legitimasi koalisi yang berkuasa merosot. Militer ternyata tidak solid dan kuat di bawah Chun Doo-hwan. Chun memang mampu membubarkan partai-partai politik dan membubarkan para pemimpinnya. Namun sebagai gantinya ia harus memberikan semacam kompromi, yakni bahwa ia hanya akan berada di tampuk kekuasaan selama 7 tahun, dan bahwa di akhir masa jabatannya ia akan memastikan bahwa pemilu yang bebas dilaksanakan untuk memilih pemimpin negeri itu berikutnya. Sebagaimana yang kemudian terjadi, pemilu yang bebas memang dilaksanakan; Roh Tae-woo memenangkan pemilu itu, dan kemudian, seperti yang telah kita lihat sebelumnya, memimpin negeri itu masuk ke dalam demokrasi.
Dengan membandingkan Thailand dan Korea Selatan dengan Indonesia, penting untuk dicatat bahwa faktor-faktor kepemimpinan dan kelembagaan dalam yang pertama hampir tidak ada dalam kasus yang kedua. Militer sebagai sebuah lembaga tetap solid, padu di bawah satu orang.[Memang militer pernah terpecah ke dalam dua atau tiga faksi yang berseberangan (1974, 1988-9). Namun ketika perpecahan tersebut mulai membahayakan kekuasaannya, Soeharto melakukan tindakan-tindakan tegas dan memulihkan kesatuan tu-lang-punggung politiknya tersebut.] Terutama karena hal ini, Soeharto, tidak seperti Chun Doo-hwan, tidak pernah terpaksa untuk menerima pembatasan apapun terhadap kekuasaannya.
Indonesia masih menunggu munculnya seorang pemimpin seperti Roh Tae-woo. Hingga dua atau tiga tahun yang lalu sebagian orang berharap bahwa figur-figur kuat seperti Benny Moerdani, atau Eddy Soedradjat, atau Rudini, akan menjadi seorang pembaharu dan, dari dalam, mengikis kekuasaan Soeharto dan, dengan bekerjasama dengan kekuatan-kekuatan demokratis di luar pemerintah, menggiring negeri itu menuju jalan "trans-placement". Sekarang kita sadar bahwa harapan tersebut hanyalah ilusi.
Selain itu, Indonesia mengalami satu hal yang tidak dialami oleh Thailand maupun Korea Selatan: perpecahan masyarakat yang mendalam berdasarkan garis primordial. Inilah faktor problem sosial yang menjadikan demokratisasi, meskipun bukannya tidak mungkin, agak sulit berjalan maju. Persoalan ini terlalu sering ditulis, dan karena itu tidak perlu diulangi di sini.
Tentu saja kita bisa menyebut berbagai tindakan, peristiwa, dan kejadian lain yang lebih banyak untuk menjelaskan demokratisasi. Namun, pada titik ini, apa yang telah dijabarkan di atas mungkin memadai dalam mendukung argumen eklektik kita.
Max Weber dan Kapitalisme
argumen-argumen utama Weber tentang kapitalisme dapat dilihat sebagai suatu usaha untuk menyingkap asal-usul serta persoalan utama kapitalis
me. Meskipun ia lebih banyak memfokuskan usahanya untuk menjelaskan asal-usul kapitalisme, argumen-argumennya tentang transformasi kapitalisme menjadi suatu sangkar besi tidak kurang pentingnya.
Menyangkut asal-usul kapitalisme, apa yang ingin dilakukan Weber adalah membalikkan argumen-argumen Karl Marx. Marx ingin menjelaskan perkembangan kapitalisme (dan sejarah) dari sudut pandang materialis. Bagi Marx, kapitalisme terutama adalah suatu sistem ekonomi, dan kelahirannya merupakan hasil dari transformasi dalam bentuk dan hubungan produksi. Meskipun paragraf terakhir dari buku Weber The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism merupakan suatu jenis apologi (ia tidak ingin dipahami sebagai orang yang sepenuhnya membalikkan posisi Marx), implikasi dari argumen-argumen Weber sepenuhnya membalikkan perspektif materialis Marx.
Etika Protestan-lah, yakni suatu "rasionalitas khusus" dari sekelompok orang di Eropa dan Amerika, yang melahirkan suatu sistem usaha bebas dalam bentuknya yang modern (kapitalisme). Untuk memahami hal ini, kita harus melihat bahwa bagi Weber kapitalisme lebih dari sekadar suatu sistem usaha bebas di mana semangat untuk memperoleh keuntungan merupakan kekuatan pendorongnya. Dalam peradaban-peradaban kuno pertukaran bebas barang dan jasa telah terjadi. Memang, dalam sebagian besar sejarah tertulis manusia, usaha untuk memperoleh keuntungan demi keuntungan itu sendiri dapat dilihat. Apa yang baru di Eropa setelah revolusi Protestan adalah suatu sistem usaha bebas yang dijalankan melalui mekanisme-mekanisme rasional (pembukuan dengan entri ganda, organisasi yang impersonal, dan sebagainya) dan melalui suatu bentuk tindakan manusia yang bersumber dari semangat ilahiah (asketisme). Kapitalisme menjadi suatu sistem, suatu bentuk modern dari interaksi ekonomi, hanya jika ia dijalankan dengan mekanisme-mekanisme rasional dan asketisme ini. Dan etika Protestanlah yang melahirkan mekanisme rasional dan asketisme tersebut.
Hinduisme, Buddhisme, Konfusianisme, Katolisisme, Islamisme: agama-agama ini telah ada ratusan atau ribuan tahun sebelum lahirnya Protestanisme. Namun, hanya yang terakhir ini yang mampu 'menemukan' cara baru dalam beribadah kepada Tuhannya. Tidak seperti para penganut agama lain yang menganggap bahwa mencari keuntungan merupakan sesuatu yang "rendah", tak terhormat, dan tak layak dilakukan oleh orang-orang yang bermartabat, umat Protestan percaya bahwa mencapai keberhasilan dalam urusan-urusan duniawi (yakni menjalankan usaha ekonomi) merupakan cermin dari terwujudnya kehendak Tuhan. Dengan demikian, menabung, bekerja keras, hemat, dan menahan diri untuk tidak hanyut dalam sungai kesenangan dianggap sebagai bentuk-bentuk ibadah keagamaan.
"Sekularisasi" semangat ilahiah ini, bagi Weber, mempunyai dampak yang revolusioner. Ia membalikkan tradisi keyakinan manusia yang telah berusia ribuan tahun bahwa perdagangan, usaha ekonomi tidak layak ditekuni secara serius. Ia memberi suatu pembenaran ilahiah bagi urusan-urusan duniawi, yakni mencari uang dan bekerja keras untuk mendapatkan uang. Dengan demikian, ia membangkitkan energi umat Protestan untuk membuat mekanisme-mekanisme rasional untuk mencapai tujuan-tujuan usaha ekonomi yang dibenarkan tersebut. Melalui usaha untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi inilah kapitalisme sebagai suatu sistem produksi baru muncul.
Dalam rumusannya yang paling sederhana, inilah inti dari gagasan Weber. Dengan memahami kapitalisme dalam cara ini, Weber mampu menjelaskan mengapa, misalnya, Cina gagal berpindah dari sistem ekonomi feodal ke sistem ekonomi modern (kapitalisme), meski ia mempunyai tradisi perdagangan (antarbenua) yang begitu panjang (yakni, perdagangan sutra). Gagasan ini, secara sederhana dan jelas, juga memberi Weber perspektif baru tentang pentingnya agama, etika, serta suatu bentuk rasionalitas dalam proses perubahan ekonomi dan dalam pembentukan dunia modern.
Dengan memahami asal-usul kapitalisme dengan cara itu, Weber dapat dengan mudah menelusuri apa yang dianggap persoalan utama kapitalisme. Kapitalisme, setelah kemunculannya,
tumbuh seperti suatu mesin otomatis. Ia menjadi impersonal, dan mampu berjalan sendiri-ia tidak lagi membutuhkan "ibu"-nya (yakni semangat keagamaan). Bagi Weber, permasalahannya adalah bahwa tanpa ibunya, kapitalisme semata-mata menjadi suatu sistem ekonomi, dan tidak lagi mempunyai dasar etis atau spiritual atau moral.
Ketika pemisahan kapitalisme dan "rasionalitas khusus" itu terjadi, maka kapitalisme menjadi suatu sangkar besi. Tidak seperti umat Protestan awal yang bekerja keras demi untuk memenuhi kehendak Tuhan, orang-orang dalam tahap kapitalisme selanjutnya harus bekerja keras hanya demi hidup, demi menjalankan produksi ekonomi.
Orang-orang tidak lagi menjadi religius-mereka menjadi utilitarian dan teknis. "Kalangan Puritan mau bekerja karena panggilan; kita terpaksa melakukan hal itu." Dalam keadaan seperti ini, hidup dalam kapitalisme menjadi tidak lagi memiliki makna. Sistem itu menjadi berjalan sendiri, dengan suatu "kekuatan yang tak dapat ditahan".
Tidak seperti Marx, yang menganggap persoalan utama kapitalisme adalah adanya penindasan oleh satu kelas atas kelas yang lainnya, Weber melihat persoalan kapitalisme terutama adalah persoalan moral. Kapitalisme mempunyai asal-usulnya dalam wilayah moral; demikian juga persoalan utamanya. Tentu saja, dengan melihat pengetahuan yang sekarang kita miliki tentang kapitalisme modern, mudah untuk menunjukkan bahwa gagasan Weber tersebut tidak lagi meyakinkan. Kita dapat memperlihatkan bahwa pertumbuhan kapitalisme yang tercepat dalam sejarah sekarang ini terjadi justru di "negeri-negeri Konfusian" (yang oleh Weber dianggap mustahil). Kita juga dapat menunjukkan bahwa perkembangan kapitalisme di negeri-negeri ini kurang ada kaitannya dengan suatu bentuk etika keagamaan (Konfusianisme), dan lebih berkaitan dengan strategi pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah mereka, atau dengan kreativitas kelas pebisnis mereka, atau dengan berbagai kesempatan yang dihamparkan oleh struktur geopolitik pasca-Perang Dunia II. Dan ketika kita telah menyangkal gagasan Weber tentang asal-usul kapitalisme, menjadi lebih mudah untuk mengkritik penjelasannya tentang persoalan utama kapitalisme.
Namun pembahasan ini akan membawa kita terlalu jauh masuk ke dalam suatu persoalan yang menarik, yang memerlukan usaha yang lebih banyak ketimbang yang tersaji dalam esai ini. Di sini cukup dikatakan bahwa usaha Weber untuk menjelaskan kapitalisme tetap merupakan suatu karya klasik, suatu karya besar yang membantu kita lebih memahami kekuatan ekonomi yang dampaknya dalam kehidupan manusia tidak tertandingi oleh kekuatan lain apapun yang kita ketahui.
Nabi yang Gagal sesosok hantu menggerayangi dunia-hantu kapitalisme. Mulai dari Tanzania dan Rusia hingga Meksiko, India, dan Warsawa "mekanisme pasar" dan "efisiensi" sekarang ini diang -gap sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kemajuan sosial dan ekonomi. Di banyak negara komunis, sebagaimana yang kita lihat pada akhir 1980-an, Marxisme ditolak bukan saja oleh kaum intelektual, melainkan oleh masyarakat pada umumnya. Apa yang salah dengan Marx dan Marxisme"
Tak diragukan, Marx adalah seorang teoretisi sosial paling besar yang pernah muncul di dunia: jutaan orang mengorbankan hidupnya untuk mewujudkan pandangan-pandangan dan ramalan-ramalannya; berbagai negara terlibat dalam perang untuk membela atau menyangkal gagasan-gagasannya.
Bagi banyak pengikut dogmatisnya, Marx hanya bisa dibandingkan bukan dengan pemikir-pemikir sosial lain, melainkan dengan Muhammad, Yesus, dan Buddha Gautama: pengetahuan yang disingkapkan oleh Marx adalah benar, terlepas dari masa, konteks dan fakta-fakta.
Marx membuka sebuah cara baru untuk memahami masyarakat baru dan ekonomi baru (yakni, masyarakat borjuis dan ekonomi industri-kapitalis) yang mulai muncul pada abad ke-17. Ia mengklaim memberikan suatu pemahaman yang menyeluruh tentang bagaimana sejarah berkembang, serta bagaimana masyarakat mendapatkan bentuknya. Ia menyajikan suatu sistem pengetahuan, yang ia dan para pengikutnya klaim sebagai pengetahuan yang ilmiah, yang bisa
meramalkan arah sejarah. Selain itu, Marx, dalam ungkapan Joseph Schumpeter, menyajikan sebuah "panduan bagi berbagai tujuan yang membutuhkan suatu rencana penyelamatan dan petunjuk tentang kejahatan yang darinya umat manusia, atau sekelompok manusia yang terpilih, terselamatkan".
Esai pendek ini akan menjabarkan inti dari gagasan-gagasan sosiologis dan ekonomi Marx. Saya akan memperlihatkan berbagai kelemahan utama dari gagasan-gagasan ini-berbagai kelemahan yang menjelaskan mengapa Marxisme, jika ia mau diwujudkan dalam kenyataan, bukan saja secara ekonomi tidak dapat dijalankan, namun juga secara politik dan sosial berbahaya.
*** Berlawanan dengan kalangan Marxis yang kaku, Marxisme bukan merupakan suatu gagasan yang misterius yang bisa sepenuhnya dipahami oleh seseorang. Inti gagasan-gagasan sosiologis dan ekonomi Marx sebenarnya cukup sederhana.
Bagi Marx, kapitalisme, sebagaimana yang ia lihat pada pertengahan abad ke-19, sedang mengalami suatu proses peng-hancuran-diri. Manifesto-nya (bersama Engels) dengan gamblang menjelaskan bahwa proses penghancuran-diri ini akan diikuti oleh bangkitnya kelas yang tertindas (kaum proletariat) sebagai kelas yang dominan-kapitalisme digantikan oleh komunisme. Proses hancurnya kaum borjuis hanya menunggu waktu. Kemenangan kaum proletar dan munculnya komunisme tak dapat dielakkan.
Dari Manifesto dan Capital kita dapat melihat bahwa bagi Marx, terdapat dua gambaran dari dialektika penghancuran-diri kapitalis ini. Pertama bersifat sosiologis, kedua bersifat ekonomi.
Dari perspektif sosiologisnya, Marx menjelaskan bahwa fondasi suatu masyarakat bersifat materiil (sarana dan hubungan produksi). Jika fondasi ini berubah, maka bentuk masyarakat juga berubah. Dan perubahan ini hanya bisa terjadi jika masyarakat lama tersebut telah "hamil"-masyarakat baru tersebut hanya bisa dilahirkan dari rahim masyarakat lama itu.
Basis materiil dari masyarakat kapitalis tersebut memunculkan dua, dan hanya dua, kelas yang saling bertentangan: kelas borjuis (yang menguasai alat-alat produksi) dan kelas pekerja (yang bekerja sebagai buruh upahan). Karena kaum borjuis pada dasarnya eksploitatif, antagonisme ini memunculkan suatu proses yang khas: proletariatisasi kaum pekerja. Di sini kaum pekerja tersebut mendapatkan kesadaran kelas mereka yang membuka pikiran mereka tentang penderitaan yang mereka alami dan cara untuk sepenuhnya mengatasi penderitaan ini.
Ketika proses proletariatisasi ini sempurna, kaum pekerja hanya perlu menyatukan diri mereka (yang, bagi Marx, bagaimanapun juga akan terjadi dengan sendirinya) untuk menghancurkan sistem kapitalis tersebut dan membangun sebuah masyarakat baru tanpa kelas, sebuah masyarakat tanpa penindasan, sebuah masyarakat di mana orang-orang hanya perlu bekerja empat jam di pagi hari, memancing di sore hari, dan membaca puisi di malam hari.
Mengapa kaum borjuis niscaya eksploitatif" Mengapa sistem kapitalis tidak dapat meningkatkan kesejahteraan kaum pekerja untuk membendung proses proletariatisasi" Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita harus melihat penjelasan-penjelasan ekonomi Marx, yang sebagian besar ditulis dalam Capital.
Inti dari teori ekonomi Marx pada dasarnya bersandar pada teori tentang nilai lebih dan menurunnya angka keuntungan. Dalam sebuah sistem akumulasi modal yang kompetitif, sang kapitalis hanya dapat mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri jika ia terus menekan upah para pekerjanya. Upah kaum pekerja hanya bisa untuk menyambung hidup. Ini merupakan "nilai" sejatinya. Sebagai ganti upah ini, si pekerja memberikan kepada si kapitalis nilai yang ia hasilkan dalam kerja sehari penuh, yang melebihi nilai sejatinya.
Jadi, hanya dengan menekan biaya tenaga kerja-lah kaum kapitalis bisa mengakumulasi modal yang semakin besar. Inilah yang bersifat eksploitatif.
Karena setiap kapitalis melakukan hal yang sama (terus-menerus menekan upah pekerja), maka persaingan untuk mendapatkan keuntungan mengharuskan diperkenalkannya mesin penghemat tenaga kerja demi untuk semakin memangkas biaya produksi. Proses ini pa
da dasarnya akan mempersempit basis pengumpulan keuntungan sang kapitalis, karena pekerja, dan hanya pekerja, yang tingkat gajinya menentukan angka keuntungan yang didapatkan sang kapitalis.
Proses ini bisa berlanjut karena kompetisi adalah hidup dan darah sistem kapitalis. Angka keuntungan yang menurun membuat kehidupan si pekerja menjadi semakin sulit. Karena itulah proses proletariatisasi tak terelakkan. Proses menurunnya angka keuntungan tersebut berakhir dengan suatu malapetaka, sebuah revolusi besar, ketika "para penjarah dijarah".
Tentu saja terdapat banyak hal lain dalam penjelasan ekonomi Marx yang menarik untuk ditelusuri. Teorinya tentang nilai komoditas dan deskripsinya tentang proses sentralisasi dalam sebuah sistem kapitalis yang kompetitif sangat penting untuk sepenuhnya memahami mengapa ia menganggap kapitalisme tidak mungkin bertahan. Namun, pada dasarnya gagasan-gagasannya yang paling penting adalah yang telah kita jabarkan di atas. Kita akan memahami Marx sang ekonom jika kita memahami sepenuhnya teori nilai lebih dan teori menurunnya angka keuntungan tersebut.
Apa kelemahan-kelemahan gagasan-gagasan Marx"
Gagasan-gagasan sosiologis Marx terlalu deterministik: baginya, wilayah gagasan, budaya, kesadaran tidak penting. Dalam Preface ia menulis, "Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, namun, sebaliknya, keberadaan sosial mereka [bentuk dan hubungan-hubungan produksi] yang menentukan kesadaran mereka."
Dari banyak kasus sejarah kita tahu bahwa dalil ini salah. Nasionalisme (yang merupakan suatu kecenderungan mental dalam wilayah budaya), misalnya, penting. Berbagai gelombang nasionalisme di Eropa, misalnya, menjelaskan mengapa para pekerja di Jerman mendukung Hitler dalam melancarkan perang melawan Uni Soviet ("kekaisaran ilahiah kaum pekerja"). Nasionalisme juga menjelaskan mengapa partai buruh dan sosialis di Eropa sangat menentang internasionalisasi revolusi ala Trotsky.
Selain itu, cita-cita pekerja, tidak ditentukan oleh "keberadaan sosial" mereka. Jika Marx benar, apa yang diimpikan pekerja tidak lain adalah menjadi seorang pemilik, seorang borjuis, besar atau kecil. Bagi Marx, seorang pekerja yang "sadar" harus memimpikan sebuah revolusi besar. Apa yang terjadi adalah, jika kita bertanya kepada si pekerja, apa yang ia impikan adalah bagian (managerial dan material) yang lebih baik di tempat kerjanya. Ia ingin menjadi bangga atas apa yang ia lakukan. Kenyataan bahwa sebagian besar pekerja di negara-negara kapitalis maju sekarang ini adalah pemilik bersama (yakni, kaum kapitalis) menunjukkan bahwa apa yang terjadi bukan proletariatisasi melainkan borjuisasi pekerja.
Dengan kata lain, kenyataan ini mengikis "kekuatan obyektif" yang sangat penting dalam mendorong revolusi. Kapitalisme tidak runtuh karena kaum pekerja berpikir bahwa lebih baik menjadi seorang kapitalis ketimbang seorang agen revolusi.
Tentang teori ekonomi Marx, sebelum kita bergerak lebih jauh, penting untuk mengingat bahwa gagasan-gagasan Marx dipengaruhi oleh para ahli ekonomi utama pada masanya. Teori nilainya bersumber dari teori Ricardo. Kelemahan-kelemahannya dengan demikian tidak semata-mata miliknya, melainkan juga kelemahan-kelemahan Ricardo. Harus dikemukakan di sini bahwa pada masa Marx, tidak ada ahli ekonomi, termasuk Ricardo, yang sepenuhnya memahami sistem ekonomi baru yang mulai menunjukkan kekuatannya tersebut.
Teori tentang nilai lebih tersebut didasarkan pada asumsi bahwa nilai (nilai tenaga kerja) adalah apa yang penting jika kita menghitung harga sebuah komoditas. Masalahnya adalah apa itu nilai" Marx, sebagaimana yang dijelaskan oleh Robert Heilbroner dan Joseph Schumpeter, tidak pernah menulis secara benar-benar jelas apa yang ia maksud dengan nilai. Mungkin ia memaksudkan sesuatu yang selain harga, yang ditentukan bukan oleh mekanisme penawaran dan permintaan melainkan oleh adanya kekuasaan. Satu hal yang sangat jelas: bagi Marx, nilai tenaga kerja dihitung hanya melalui jam yang dihabiskan di tempat kerja. Ini merupakan ilmu ekonomi yang sangat buruk, karena sebaga
imana yang kita ketahui dalam ekonomi modern, jumlah jam kerja mungkin merupakan faktor yang paling kurang penting dalam menentukan gaji seorang pekerja. Apa yang lebih penting adalah pendidikan profesional, pengetahuan, ketrampilan, dan pengalaman si pekerja. Skala produksi dan pasar juga sangat penting, jauh lebih penting ketimbang jumlah jam kerja dalam menentukan seberapa banyak uang yang bisa dibawa kembali si pekerja ke keluarganya.
Marx berpikir bahwa keuntungan hanya bisa diperoleh dengan mengorbankan pekerja. Ia gagal melihat bahwa banyak faktor lain jauh lebih penting. Diperkenalkannya teknologi baru dalam produksi dapat mengurangi biaya produksi, dan dengan demikian meningkatkan upah pekerja. Pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya alam baru dan pasar baru bisa memperluas operasi produksi, yang akhirnya juga bisa meningkatkan upah pekerja. Semua faktor ini memainkan suatu peran penting dalam menjelaskan mengapa kapitalisme, sejak masa Marx, telah meningkatkan kekayaan dunia secara luarbiasa sampai tingkat yang mungkin tak terbayangkan oleh orang-orang di masa Marx.
Dengan kata lain, proses menurunnya laba gagal terwujud karena Marx tidak memahami proses kerja kapitalisme.
Bagi Marx, ekonomi kapitalis pada dasarnya tidak berubah. Namun, dalam kenyataannya, kapitalisme merupakan suatu sistem yang paling dinamis yang pernah ada di dunia. Kemajuan dalam sistem ini, sebagaimana yang ditulis Schumpeter, terjadi bukan karena penghisapan kaum pekerja, melainkan karena komitmen dan keberanian untuk berusaha, terus ditemukannya metode-metode produksi baru, berbagai kesempatan komersial baru, persaingan bebas dan terus-menerus yang memaksa manusia untuk melakukan yang terbaik, dan teknik-teknik baru dalam organisasi-organisasi kerja.
*** Gagasan-gagasan utama Marx bukan hanya cacat, melainkan juga berbahaya jika kita menerjemahkannya ke dalam tindakan politik. Marxisme bukan hanya menghasilkan ekonomi yang tidak dapat dijalankan, melainkan juga sebuah negara totaliter.
Untuk menghamparkan dasar bagi masyarakat komunis, kepemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi harus dihapuskan. Kepemilikan pribadi merupakan sumber semua kejahatan-inilah dasar kapitalisme, inilah sumber penghisapan. Marxisme, dalam bentuknya yang lebih sederhana sebagai panduan tindakan politik, adalah resep untuk penghapusan hak milik (pribadi).
Marx tidak pernah memberi tahu kita apa yang harus dilakukan setelah kepemilikan pribadi dihapuskan. Ia mengatakan bahwa untuk sementara harus ada kediktatoran proletariat, sebelum masyarakat komunis terbentuk. Marx tidak menjelaskan negara atau pemerintahan seperti apa yang harus di-bentuk dalam masyarakat tersebut untuk mengatur berbagai perselisihan di antara warganya-ia bahkan mengatakan bahwa tidak ada negara dalam masyarakat komunis, dan tidak perlu ada peraturan dan pemerintahan karena tidak akan ada lagi konflik. Di sini eskatologi Marxis sama utopisnya sebagaimana utopia-utopia lain yang pernah ada di dunia.
Mengapa menghapuskan kepemilikan pribadi berbahaya" Sebagaimana yang dijelaskan Hegel, Locke, dan Hume, kepemilikan pribadi (terutama atas sarana-sarana produksi) merupakan salah satu dasar masyarakat sipil yang paling penting. Hal itu memberi manusia, menurut Hume, suatu standar keadilan- "milikku" dan "milikmu" menentukan lingkup tindakan yang boleh atau tidak boleh dilakukan kepada orang lain. Persoalan hak-hak (politik) hanya bisa dipecahkan setelah orang-orang menyetujui apa yang merupakan "milikku" dan "milikmu" dalam masyarakat.
Selain itu, kepemilikan pribadi memberikan kemungkinan bagi manusia untuk hidup secara mandiri: hidup tanpa bergantung pada otoritas-otoritas politik, yakni negara. Hak milik pribadi dengan demikian memungkinkan pemisahan antara kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik, yang merupakan syarat penting bagi suatu masyarakat yang demokratis.
Jadi, jika kita menghapuskan hak milik pribadi atas sarana-sarana produksi, kita menghancurkan dasar demokrasi.
Dalam masyarakat modern, komunis atau kapitalis, tidak ada jalan ketiga kepemilikan: Anda m
emberikan hak kepada war-ganegara untuk memiliki bisnis mereka sendiri, atau Anda memberikan wewenang kepada negara untuk mengontrol semua hal. Kerjasama para pekerja hanya mungkin terjadi dalam sebuah unit kecil dari suatu masyarakat yang tertutup, bukan dalam sebuah masyarakat modern yang terbuka.
Dan begitu negara mengontrol sarana-sarana produksi, maka berkuasalah para birokrat. Milovan Djilas beberapa dekade yang lalu dengan tepat menjelaskan proses transformasi komunisme menjadi birokratisme ini. Segala sesuatu akan bergantung pada sang birokrat, mulai dari produksi ekonomi hingga pendidikan politik. Sang birokrat tersebut akan menjadi kelas baru, kelas penindas.
Karena tidak ada pemisahan antara kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi, masyarakat tidak memiliki dasar untuk melawan kontrol total dari negara. Inilah yang menjelaskan mengapa negara Soviet, dengan semua kebohongan, kemunafikan, dan penindasannya, bisa bertahan selama lebih dari tujuh dekade.
Daftar Rujukan 1. McLellan, David (ed.), Karl Marx: Selected Writings, Oxford (1987).
2. Schumpeter, Joseph, Capitalism, Socialism, and Democracy a Harper (1947).
3. Heilbroner, Robert, The Worldly Philosophers, Touchstone (1986).
4. Hume, David, A Treatise of Human Nature, Oxford, 2nd edition (1978).
5. Djilas, Milovan, The New Class, Praeger, New York (1957).
Roti sebagai Senjata "kekuasaan," kata E. H. Carr, "adalah satu dan tak-terbagi" (1946: 132). Kekuasaan ekonomi dan kekuatan militer hanya merupakan dua pengejawantahan yang berbeda dari hal yang sama: mereka adalah elemen-elemen dari kekuasaan politik. Roti dan peluru melayani tujuan yang sama, yakni-dalam rumusan Dahlian-membuat negara-negara lain melakukan satu hal yang jika tidak demikian tidak akan mereka lakukan.
Penerapan kekuasaan ekonomi sebagai sebuah instrumen politik pada dasarnya dapat dilakukan dalam bentuk ganjaran dan hukuman. Dalam hal ganjaran, kekuasaan ekonomi dijalankan misalnya dengan memberikan bantuan luar negeri atau bantuan keuangan bagi negara tertentu. Marshall Plan merupakan sebuah contoh yang berhasil. Dalam hal hukuman, kekuasaan ekonomi dapat dijalankan dengan melancarkan embargo perdagangan atau sanksi ekonomi. Dalam hal ini, negara yang menjadi sasaran hukuman diasingkan dari wilayah perdagangan tertentu, atau dari perdagangan dunia pada umumnya.
Penerapan kekuasaan ekonomi, dalam bentuk sanksi, lebih sering dijalankan dibanding penerapan kekuatan militer sejak 1945 (Pollins 1990). Negara-negara besar cenderung menggunakan cara-cara ekonomi dalam memecahkan berbagai perselisihan dan dalam menjalankan pengaruhnya. Kecenderungan ini menarik, karena keefektivan kekuatan ekonomi masih dipertanyakan. Roti semakin sering dipakai sebagai sarana, namun pada saat yang sama pengaruhnya dalam mencapai suatu tujuan kebijakan luar negeri tidak begitu meyakinkan.
Tentu saja penerapan kekuasaan ekonomi tidak bisa selalu dilihat dari perspektif utilitarian. Sebagaimana yang dikemu-kakan Baldwin (1985), sanksi ekonomi pada dasarnya merupakan suatu tindakan simbolik. Menjalankan kekuasaan ekonomi berarti memperlihatkan kekuatan, kehendak politik, dan keberanian negara tertentu. Di sini hukuman dilihat sebagai suatu pengasingan simbolik: sebuah negara yang diasingkan dari komunitas dunia dianggap sebagai negara yang rendah oleh banyak negara lain. Keefektivannya dengan demikian tidak dapat diukur hanya dengan semata-mata melihat apakah negara yang menjadi sasaran secara langsung mengubah kebijakan-kebijakannya.
Namun, pertanyaan tentang keefektivan dalam pengertian utilitarian tidak dapat dihindari. Meskipun Hufbauer dan Schott (1980) memperlihatkan bahwa terdapat beberapa contoh di mana sanksi tersebut berhasil,[Hufbauer dan Schott menjelaskan bahwa dari 103 kasus sanksi ekonomi antara 1914 dan 1984, hanya sepertiga lebih sedikit dari kasus-kasus tersebut yang memperlihatkan bahwa sanksi ekonomi cukup berpengaruh dalam mewujudkan suatu tujuan kebijakan luar negeri.] kita masih harus melihat penjelasan yang lebih meyakinkan bahwa penerapan kekuasaan e
konomi ini merupakan suatu sarana yang efektif untuk membuat sebuah negara melakukan suatu hal yang jika tidak ada sanksi tersebut tidak akan ia lakukan.
Dengan munculnya perekonomian global, persoalan tentang keefektifan sanksi ini semakin menjadi problematis. Kekuatan ekonomi sekarang ini lebih tersebar. Banyak pemain (negara dan non-negara) kini muncul dalam perekonomian dunia. Faktor-faktor produksi dunia (yakni modal dan teknologi), misalnya, tidak dikendalikan hanya oleh dua atau tiga negara. Pada saat yang sama, pasar semakin meluas: Asia Timur dan Tenggara, termasuk Cina, sekarang ini bergabung dengan Eropa Barat dan Amerika Utara dalam menyediakan pasar yang sangat besar bagi berbagai jenis barang.
Dalam keadaan seperti itu, sanksi ekonomi yang dibebankan oleh negara A pada negara B tidak akan banyak berguna: negara yang menjadi sasaran tersebut bisa memperoleh investor dan produsen dari negara C dan D. Sanksi tersebut hanya bisa berhasil jika negara A sepenuhnya mengontrol berbagai jenis barang (misalnya minyak dan peralatan-peralatan berteknologi tinggi) yang sangat diperlukan oleh negara B. Namun sekarang ini, apakah memang ada sebuah negara yang sepenuhnya mengontrol berbagai jenis barang tersebut" Apakah ada suatu jenis barang yang tidak dapat digantikan oleh sesuatu yang lain, suatu barang yang tanpanya sebuah negara akan mengalami gejolak dan penderitaan besar"
Tersebar luasnya aset-aset dan investasi-investasi ekonomi semakin memperumit persoalan ini. Memberlakukan sanksi terhadap Haiti memang mudah-Haiti adalah negara yang relatif kecil dan miskin. Namun bagaimana dengan Hong Kong" Malaysia" Korea Selatan" Singapura" Menjatuhkan sanksi pada salah satu negara ini berarti membunuh bisnis banyak perusahaan besar dari berbagai penjuru dunia yang beroperasi di sana. Dengan kata lain, pertaruhannya terlalu besar. Selain itu, sangat tidak mungkin bahwa bisnis-bisnis besar ini tidak akan berusaha melakukan sesuatu demi untuk melindungi aset, investasi, dan pasar mereka: mereka tidak mungkin begitu saja meninggalkan negara itu, dan apa yang sangat mungkin mereka lakukan adalah memastikan bahwa sanksi tersebut tidak akan dijatuhkan.
Selain berbagai persoalan ini, kita juga dihadapkan pada dilema moral yang sangat sulit. Ambil contoh Cina.
Cina sekarang ini memiliki perekonomian yang paling cepat berkembang di dunia. Secara ekonomi, ia merupakan satu-satunya negara yang berhasil berpindah dari sosialisme ke kapitalisme. Jika keberhasilan ini berlanjut sepuluh tahun berikutnya, kelas menengahnya akan memiliki basis yang kuat untuk membangun sebuah sistem pemerintahan yang demokratis. Nah, jika kemudian di Cina terjadi Tiananmen Bagian II, apakah kita harus menjatuhkan sanksi ekonomi pada negara ini, suatu hal yang sangat mungkin akan mengancam keberhasilan ekonomi yang diperoleh dalam dua dekade terakhir" Menghalangi perluasan pasar yang baru muncul berarti menghancurkan benih-benih demokrasi: apakah kita ingin Cina kembali lagi ke masa lalunya, kini dengan 1,2 miliar orang"
Jadi, meskipun penggunaan kekuatan ekonomi menjadi semakin problematis, mengapa negara-negara besar masih saja bersandar pada kekuatan ekonomi" Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mungkin harus ke luar dari masalah keefektivan. Kekuatan militer dilihat sebagai sesuatu yang sangat mahal dan sangat berbahaya untuk dijalankan di zaman nuklir ini (Baldwin 1985). Kekuatan ekonomi mungkin kurang efektif, namun kekuatan militer terlalu berbahaya. Selain itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Richard Rosencrance (1986), dengan keadaan perekonomian dunia yang semakin saling bergantung satu sama lain, sebuah negara bisa sangat kuat dan berpengaruh di panggung dunia dengan hanya menggunakan sarana-sarana ekonomi. Bagi Rosencrance, sebuah dunia yang saling bergantung juga merupakan sebuah dunia yang sangat kompetitif- membiayai penggunaan kekuatan militer bukan merupakan investasi yang baik jika ingin berhasil dalam kompetisi ini.
Terakhir, TV menguburkan harapan untuk tidak bergantung pada kekuatan ekonomi sebagai satu-satunya pilihan ya
ng mungkin dilakukan. Hingga tahun-tahun pertama abad ke-20, "darah", "penghancuran", dan "korban peperangan" hanya merupakan rumusan abstrak tentang penderitaan manusia dalam kepala sebagian besar orang. Namun sejak Vietnam, TV mengubah abstraksi penderitaan manusia ini menjadi realitas. Dari kamar mereka, orang-orang kini melihat dengan mata sendiri betapa mengerikan dan menjijikkan kehancuran yang disebabkan oleh kekuatan militer.
Dengan demikian penggunaan kekuatan militer dalam keadaan seperti ini merupakan sesuatu yang kurang sah.
Menjadi semakin jelas bahwa masyarakat tidak akan pernah membiarkan para politisi negeri mereka untuk menjalankan kekuatan militer tanpa pertaruhan modal politik yang sangat besar. Karena itu, kekuatan ekonomi menjadi pilihan yang lebih mudah: dampaknya kurang dramatis untuk ditangkap kamera TV.
Rujukan: 1. Baldwin, David A. (1985), Economic Statecraft, Princeton University Press.
2. Carr, E. H. (1946), The Twenty Years of Crisis, 1919-1939, Macmillan.
3. Pollins, Brian M. (1990), Cannon and Capital, Draft.
4. Rosencrance, Richard (1986), The Rise of the Trading States, Basic Books.
5. Hufbauer, Gary C., and Jeffrey Scott (1985), Economic Sanctions Reconsidered, Institute for International Economics.
Anggur Lama dalam Botol Baru
perdebatan dalam kepustakaan ekonomi politik, dari sudut pandang tertentu, mirip dengan perdebatan lama antara realisme dan idealisme.
Perdebatan lama tersebut mencoba untuk memecahkan persoalan-persoalan seperti: apa watak dasar hubungan antar-negara" Siapa aktor utama dalam politik dunia" Apa yang harus dilakukan negara-negara"
Realisme, dalam upayanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, "menekankan keutamaan negara dan keamanan nasional" (Gilpin, 1987: 42). Kalangan realis, mulai dari Thucydides hingga Pangeran Henry de Rohan, mulai dari Matternich hingga Henry Kissinger, selalu percaya bahwa "sistem internasional itu anarkis, tanpa otoritas menyeluruh yang memberikan keamanan dan keteraturan" (Zakaria, 1993). Dalam keadaan anarkis ini, masing-masing negara-aktor utama-dengan demikian harus bersandar pada dirinya sendiri untuk bertahan dan berkembang. Kepentingan negara merupakan sesuatu yang utama dan konstan; musuh dan sahabat hanya bersifat sementara. Akumulasi kekuasaan adalah kepentingan obyektif negara.
Sebaliknya, idealisme, melihat negara sebagai pengejawantahan ideal-ideal moral. Hubungan antarnegara dengan demikian harus mencerminkan ideal-ideal ini. Dunia sangat mungkin disempurnakan. Apa yang harus dilakukan negara adalah-dalam bahasa Kantian-mencari landasan utama yang menjadi tumpuan di mana "perdamaian terus-menerus" (perpetual peace) bisa diwujudkan. Idealisme percaya bahwa, pada akhirnya, negara hanyalah serangkaian lembaga yang menyediakan mekanisme-mekanisme yang dibutuhkan manusia untuk mewujudkan kemanusiaan mereka (Fukuyama, 1992). Komunitas dunia dan hukum internasional diyakini oleh kaum idealis mampu mengarahkan jalannya politik dunia.
Dalam perdebatan "baru" di wilayah ekonomi politik tersebut, kaum merkantilis dan, sampai tingkat tertentu, kaum Marxis, bisa dianggap sebagai kaum realis dalam selubung baru. Memang, merkantilisme, tidak seperti Marxisme dan liberalisme, bukan merupakan suatu kumpulan teori ekonomi dan politik yang koheren dan sistematis. Ia (hanya) "serangkaian tema atau sikap" (Gilpin, 1987: 31). Meskipun demikian, kita bisa melihat bahwa terdapat beberapa gagasan utama yang pada dasarnya bisa disebut merkantilis. Inti gagasan-gagasan ini adalah keyakinan bahwa aktivitas ekonomi harus digunakan untuk meningkatkan kekuasaan, kekayaan, dan keamanan negara.
Bagi kaum merkantilis, hubungan internasional hanyalah sebuah tahap di mana berbagai negara atau bangsa bersaing demi mendapatkan sumberdaya untuk bertahan hidup, menjadi kaya, kuat, dan besar. Proteksionisme, misalnya, dilihat sebagai suatu alat yang sah untuk memperkuat negara. Negara harus menjual sebanyak mungkin barang ke dunia luar-dan pada saat yang sama ia harus mencoba semaksimal mungkin untuk mengurangi imp
or. Jelas bahwa seperti kaum realis, negara bagi kaum merkantilis merupakan pemain utama: kelangsungan hidup dan kekayaannya harus menjadi perhatian utama dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Karena itu, di sini kita dapat melihat bahwa merkantilisme, sebagaimana yang ditulis Gilpin, "didasarkan pada doktrin realis tentang hubungan internasional" (1987: 42).
Marxisme tentu saja merupakan doktrin yang lebih sistematis dan menyeluruh dibanding merkantilisme. Marxisme adalah sebuah cara pandang, sebuah teori besar, yang memuat suatu posisi filosofis yang jelas tentang hubungan bukan saja antar-negara, melainkan juga antara manusia dan masyarakat. Selain itu, Marxisme, tidak seperti merkantilisme dan realisme politik, memiliki semacam kesulitan dalam melihat negara sebagai sebuah badan yang otonom dalam sepak-terjangnya di kancah internasional. Bagi kaum Marxis, secara teoretis kelas sosial merupakan aktor utama, dan negara hanyalah alat kelas borjuis untuk mengejawantahkan kepentingannya.
Namun, setelah Lenin, Marxisme menambahkan berbagai sarana analitis yang sangat kuat pada tradisi intelektualnya, yakni teori imperialisme dan negara.[Tentang tradisi intelektual Marxisme yang begitu panjang, mungkin buku terbaik yang bisa dibaca adalah trilogi Kolakowski, Main Currents of Marxism (1986).] Di sini perdagangan internasional dilihat hanya sebagai tahap di mana negara-negara kapitalis bersaing untuk memperluas pasar dan menaklukkan pemain-pemain yang kurang kuat (Heilbroner, 1986). Perdagangan internasional pada dasarnya merupakan kancah yang penuh tipu muslihat di mana kekuasaan adalah mata uang yang sebenarnya.
Pertempuran kelas di dalam negeri diubah menjadi pertempuran internasional di antara berbagai negara demi mendapatkan kekuasaan dan kekayaan: negara (kapitalis), dan bukannya kelas-kelas sosial, telah menjadi pemain utama dan unit analisis. Dengan demikian, di sini kita bisa berkata bahwa kaum Marxis-Leninis, seperti kaum merkantilis, menerima doktrin lama kaum realis.
Liberalisme, tidak seperti merkantilisme dan Marxisme, datang dari arah yang berbeda. Sebuah sebuah doktrin humanistik, liberalisme percaya bahwa manusia itu rasional: mereka tahu apa yang baik bagi diri mereka sendiri. Sebagai sebuah doktrin ekonomi, ia percaya bahwa pasar, jika dibiarkan bebas, akan menguntungkan semua pihak. Mulai dari Smith, Hayek, hingga Friedman, kaum liberal percaya bahwa perdagangan bebas merupakan satu-satunya jalan bagi dunia untuk meningkatkan kekayaannya. Sebagaimana yang dikemukakan Hayek (1988: 38-45), pasar, melalui mekanisme harga yang "rasional", tahu bagaimana mengalokasikan sumberdaya-sumberdaya yang langka dengan cara yang paling efisien. Negara dilihat sebagai keburukan yang diperlukan. Negara akan membahayakan kepentingan semua pihak jika ia mencoba untuk mengatur pasar terlalu jauh. Bagi kaum liberal, aktor-aktor utama dalam perdagangan internasional bukan negara melainkan para produsen dan konsumen.
Seperti idealisme politik dalam politik internasional, liberalisme didasarkan pada beberapa asumsi moral, yang mengatasi dunia praktis atau "riil", dan yang, sebagaimana dikemukkan Gilpin (1987: 27), tidak bisa diverifikasi secara empiris. Bagi kaum liberal, rasionalitas manusia mengandaikan bahwa manusia tahu bagaimana memaksimalkan keuntungan mereka, dan bagaimana membuat keputusan-keputusan yang baik-apa yang diperlukan manusia adalah suatu keadaan yang damai dan masuk akal untuk mengejawantahkan kemampuan alamiah ini. Seperti kaum idealis, kaum liberal juga percaya bahwa lembaga-lembaga dunia seperti IMF dan GATT mampu membantu memajukan dunia ke tingkat yang lebih kaya dan sehat.
Jadi, kita telah melihat bahwa, sampai tingkat tertentu, perbedaan antara merkantilisme dan Marxisme di satu sisi, dan liberalisme di sisi lain, mencerminkan perbedaan antara realisme dan idealisme. Tampak bahwa asumsi-asumsi dasar teori-teori ekonomi politik internasional tidak bergerak terlalu jauh dari asumsi-asumsi dasar realisme dan idealisme. Dengan demikian, dalam hal ini kita bisa berkata bahwa perdebat
an dalam kepustakaan ekonomi politik hanya mengulangi permainan lama "pada lapangan permainan baru".
Meskipun demikian, tidak benar jika kita berkata bahwa perdebatan "baru" di wilayah ekonomi politik tersebut tidak memberi kita banyak pemahaman yang bermanfaat tentang dunia. Kita banyak belajar tentang dunia dari perdebatan yang terus-menerus terjadi di antara berbagai aliran pemikiran di bidang ini. Kaum liberal, misalnya, dalam usaha mereka untuk meyakinkan kita tentang manfaat-manfaat perdagangan bebas, memperlihatkan bagaimana di dunia baru tersebut negara menjadi semakin tidak relevan. Kenichi Ohmae (1990), misalnya, menyatakan bahwa dunia kini menjadi "tidak berbatas" (dalam hal keuangan dan produksi), dan karena itu sulit untuk tidak percaya bahwa kemampuan negara untuk menjalankan kebijakan telah sangat terkikis.
Di sisi lain, Marxisme memperlihatkan suatu kenyataan yang menarik bahwa, sebagaimana yang dijelaskan Giovanni Arrighi (1991), ketika perdagangan internasional menjadi semakin terglobalkan, ketidaksetaraan pendapatan dunia meningkat. Para aktor (swasta) global gagal untuk memperbaiki kehidupan negara-negara miskin. Arrighi memperlihatkan pada kita bahwa persoalan keadilan dan kesetaraan menjadi semakin rumit dipahami, apalagi dipecahkan, ketika kompleksitas perdagangan dunia meningkat.
Demikianlah, kita diberi berbagai pemahaman baru tentang bagaimana dunia (baru) berjalan. Perbedaan dalam asumsi-asumsi dasar merkantilisme, Marxisme, dan liberalisme tentu saja tetap tidak berubah. Namun dalam usaha mereka untuk menajamkan argumen-argumen mereka, kita disodori berbagai fakta, perspektif, dan nuansa baru yang memperkaya pemahaman dan pandangan kita.
Daftar Rujukan 1. Gilpin, Robert (1987), The Political Economy of International Relations, Princeton Univ. Press.
2. Zakaria, Fareed (1993), "Is Realism Finished"", The National Interest, Spring 1993.
3. Heilbroner, Robert (1986), The Worldly Philosopher: The Lives, Times, and Ideas of the Great Economic Thinkers, Simon and Schuster.
4. Fukuyama, Francis (1992), The End of History and The Last Man, The Free Press.
5. Hayek, Friedrich (1988), The Fatal Conceit, edited by W.W. Bartley III, The Univ. of Chicago Press.
6. Arrighi, Giovanni (1991), "World Income Inequalities and the Future of Socialism", New Left Review, Sept/Oct
1991. 6. Ohmae, Kenichi (1990), Borderless World: Power and Strategy in the Interlink Economy, HarperCollins Publisher.
Reformasi Ekonomi di Cina dan Uni Soviet: Sebuah Perbandingan
sekarang ini kita telah tahu hasil reformasi ekonomi Gorbachev dan Deng Xiaoping. Perestroika, meminjam kata-kata Anders Aslund, "merupakan suatu kegagalan ekonomi yang menyedihkan" (1991: 1). Ia malah semakin menjerumuskan perekonomian Soviet ke dalam krisis, dan kemudian memiliki andil terhadap lengsernya penggagasnya, Gorbachev. Sebaliknya, reformasi di Cina telah menjadikannya salah satu negeri dengan perekonomian yang paling cepat tumbuh di dunia, tanpa inflasi tinggi yang lazimnya mengancam sebuah perekonomian yang tumbuh dengan cepat (The Economist, 07/02/1993). Tahun lalu, sementara Gorbachev tersingkirkan dan perekonomian Soviet (kini Rusia) tenggelam dalam lautan masalah yang lebih dalam, perekonomian Cina tumbuh 12%, sebuah angka pertumbuhan yang melampaui Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Dengan kata lain, sementara reformasi ekonomi Gorbachev gagal, reformasi Deng Xiaoping, sebagaimana dikemukakan sejarawan Paul Kennedy, "mungkin suatu hari dilihat dengan cara para sejarawan melihat Prancisnya Colbert, atau tahap-tahap awal berkuasanya Frederick The Great, atau Jepang pada dekade-dekade pasca-Restorasi Meiji" (1987: 448).
Tulisan ini akan membahas mengapa perbedaan yang mencolok ini terjadi. Agar pembahasan ini tetap fokus, saya hanya akan melihat jalannya reformasi ekonomi tersebut dari tiga sektor khusus: pertanian, industri dan perdagangan, dan keuangan (harga). Dengan membandingkan reformasi di sektor-sektor ini kita mungkin dapat lebih memahami mengapa Gorbachev gagal dan Uni Soviet runtuh, sedangka
n Deng di Cina, dari sudut pandang ekonomi, sampai sejauh ini sangat berhasil.
Sebelum membahas reformasi ekonomi di Cina dan Uni Soviet, saya akan menjabarkan model ekonomi Stalinis, yang merupakan target utama untuk direformasi di kedua negara tersebut. Pada bagian terakhir saya akan membahas beberapa penjelasan sosio-politik terhadap reformasi tersebut. Dalam melakukan hal tersebut saya mengandaikan bahwa keberhasilan atau kegagalan sebuah reformasi ekonomi bukan hanya bersandar pada reformasi itu sendiri sebagai serangkaian program ekonomi yang konsisten dan berorientasi ke depan, melainkan juga pada beberapa faktor sosio-politik yang membantu, atau merintangi, para pembaharu untuk menjalankan program-program yang tepat.
Dua Model Ekonomi Perekonomian Soviet dan Cina memiliki beberapa ciri dasar yang sama. Ajaran-ajaran dasar Marxisme merupakan fondasi kedua perekonomian tersebut. Dalam kedua perekonomian tersebut, alat-alat produksi dimiliki dan dijalankan oleh publik (yakni negara), dan harga "diatur secara sosial" oleh para perencana pusat. Tentu saja terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan antara kedua perekonomian tersebut, sebagaimana yang akan saya perlihatkan nanti. Namun pada titik ini kita bisa mengatakan bahwa kedua perekonomian itu, meminjam istilah Daniel Bell, adalah perekonomian yang dimobilisasi, di mana birokrasi negara merencanakan dan mengatur semua sektor perekonomian.
Di Uni Soviet, Stalin adalah orang yang merampungkan semua fondasi perekonomian yang berlangsung hingga periode Gorbachev. Dalam model Stalinis tersebut, prioritas ekonomi adalah memperluas industri-industri berat yang memproduksi bahan-bahan mentah dan mesin-batu bara, baja, traktor, truk, dll. Industri-industri konsumen dan jasa hampir sepenuhnya diabaikan (Goldman, 1983). Sang perencana pusat negara, Gosplan, merancang hampir semua target hasil kotor (val) yang akan diproduksi oleh berbagai industri. Para manajer dalam industri-industri tersebut tidak banyak memiliki otonomi untuk melakukan apa yang mereka anggap tepat untuk meningkatkan bisnis mereka.
Harga ditetapkan oleh Goskomtsen. Setiap tahun, menurut Shemelev dan Popov (1989: 167), Goskomtsen harus menyetujui 200.000 harga dan tarif barang-barang dan jasa. Karena harga dalam model Stalinis ini bukan merupakan cerminan dari dinamika hubungan antara permintaan dan penawaran, tidak terdapat metode yang jelas bagaimana para birokrat di Gos-komtsen bekerja. Kata kunci mereka adalah "harga-harga yang diatur secara sosial". Namun tak seorang pun yang benar-benar memahami apa maksudnya. Menurut Daniel Bell (1991: 52), apa yang sesungguhnya dilakukan oleh para birokrat tersebut adalah membuat "perkiraan-perkiraan liar yang didasarkan pada jenis aritmetika ekonomi primitif, suatu sudut pandang yang sama 'rumit'-nya sebagaimana pernyataan Lenin... bahwa menjalankan administrasi negara sama kompleksnya seperti menjalankan kantor pos!"
Sektor-sektor pertanian dibagi menjadi perkebunan kolektif dan negara. Para pekerja di perkebunan-perkebunan negara(sovkhozy) dijamin dengan gaji yang pasti, sedangkan di perkebunan-perkebunan kolektif (kolkhozy) mereka bisa mendapatkan bonus jika target hasil bisa ditingkatkan. Pekerjaan-pekerjaan menggarap tanah, bercocok tanam, dan memanen di kedua perkebunan tersebut diputuskan bukan oleh para petani melainkan oleh para birokrat yang bekerja sebagai manajer perkebunan. Dalam merancang model pertanian ini, Stalin menggunakan metode koersif yang sangat ketat yang merupakan salah satu bentuk kekejaman di masanya (Medvedev 1989: 230-240).
Tujuan dasarnya adalah menggunakan sektor-sektor pertanian sebagai penopang yang menjadi tempat untuk menghasilkan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan bagi industrialisasi. Harga hasil-hasil pertanian karena itu dipatok sangat rendah agar para pekerja di kota-kota bisa mengkonsumsinya. Dengan kata lain, para petani dikorbankan. Mereka harus menggarap tanah yang bukan milik mereka sendiri, memberi makan sapi-sapi yang bukan milik siapapun, di bawah bimbingan ketat para manajer perkebunan
, dengan gaji yang rendah (lihat Goldman 1983: 63-87; Desai 1989: 15-19).
Di Cina, model ekonomi Stalinis ini merupakan cetak-biru bagi Rencana Lima Tahun Pertama-nya (FFYP) pada pertengahan 1950-an, yang menjadi dasar bagi perkembangan perekonomian berikutnya. Penggunaan model Soviet ini, menurut Harry Harding (1987: 14), sangat ironis karena "Partai [Komunis Cina] berhasil merebut kekuasaan hanya ketika ia menolak model pemberontakan kota Soviet dan lebih memilih strategi peperangan terus-menerus para petani".
Superbirokrasi Stalinis tersebut kemudian dibentuk--yang merancang dan mengatur hasil dan harga berbagai industri dan perusahaan nasional. Perluasan industri berat juga ditempatkan sebagai prioritas tertinggi dalam sistem ekonomi tersebut, dengan mengorbankan industri ringan dan industri konsumen. 38 persen investasi modal dari bujet negara dialokasikan ke konstruksi industri-industri berat-di Uni Soviet alokasi ini 30%. Dan kepemilikan pribadi di sektor industri kota sepenuhnya diberikan kepada negara dan perkumpulan-perkumpulan pekerja pada 1956 (Riskin, 1987).
Di sektor-sektor pertanian, tanah dan modal, yang telah didistribusikan ulang melalui reformasi tanah kepada para petani pada awal 1950-an, digabungkan, pertama-tama ke dalam "tim bantuan bersama", kemudian ke koperasi-koperasi, dan kemudian ke perkebunan-perkebunan kolektif, mirip dengan perkebunan-perkebunan kolektif Soviet. Pada 1957, ketika proses kolektivisasi ini akhirnya selesai, terdapat total 760.000 hingga 800.000 koperasi perkebunan, masing-masing terdiri atas 160 keluarga, atau 600 hingga 700 orang (Hsu 1990: 653). Di perkebunan-perkebunan kolektif ini keputusan dalam hal produksi tidak ada pada para petani melainkan pada para kader partai dan pejabat pemerintah. Di sini, sebagaimana dijelaskan Gordon White (1987: 414), ketika para petani tersebut tidak menyukai keputusan para kader atau pejabat lokal, "mereka biasanya hanya dapat menggunakan metode-metode perlawanan informal (menggerutu sendiri atau semi-publik, malas bekerja, pencurian kecil-kecilan, dan penghindaran kerja)".
Tentu saja, di Cina, perwujudan model Stalinis tersebut bukan tanpa tentangan. Secara umum kita dapat mengatakan bahwa setelah FFYP, apa yang terjadi adalah serangkaian eksperimen terus-menerus untuk memodifikasi, atau bahkan menjauh dari, ajaran-ajaran ekonomi dasar Stalinis tersebut. Para pemimpin Cina bukan merupakan murid-murid yang tidak kritis dari kawan-kawan Soviet mereka. Mereka mencoba mencari jalan sendiri dengan ciri-ciri Cina yang kuat. Beberapa isu menarik perhatian mereka, seperti perbedaan yang semakin besar antara sektor kota dan pedesaan, kesenjangan yang semakin meningkat di antara kelompok-kelompok masyarakat, korupsi dan birokratisasi negara.
Kita pada dasarnya bisa membagi dua reaksi yang berbeda terhadap model Stalinis di Cina, yang dampak-dampaknya memengaruhi ekonomi hingga akhir 1970-an. Pertama, reaksi tek-nokratik-modernis, yang dilancarkan selama periode perbaikan setelah Lompatan Besar ke Depan. Di sini, para pemimpin Cina, yang dipimpin bukan oleh Mao melainkan oleh Deng Xiaoping dan Liu Shaoqi, mencoba untuk merasionalisasikan perencanaan birokratis tersebut dengan memberi otoritas yang lebih besar kepada para manajer dan teknokrat. Negara juga memberikan "keleluasaan yang besar bagi otoritas-otoritas di unit-unit produksi lokal untuk memberikan insentif-insentif keuangan bagi para pekerja dan petani untuk memacu semangat dan meningkatkan produksi" (Meisner, 1986: 226).
Namun andil yang paling penting dari reaksi teknokratik-modernis ini terletak pada pengakuan para pemimpin bahwa pertanian, dan bukan industri-industri berat, harus menjadi fondasi Cina untuk membangun suatu perekonomian yang kuat. Dengan demikian, model Stalinis tersebut dibalikkan. Karena itu, dari 1963 hingga 1965 andil pertanian terhadap pembentukan modal naik menjadi 18,8% dari hanya 7,8% selama periode FFYP (Riskin, 1987: 152). Dari eksperimen "kebijakan-kebijakan ekonomi baru" inilah reformasi pada akhir 1970-an tersebut menampakkan hasilnya, seba
gaimana yang akan saya jabarkan nanti.
Reaksi kedua adalah reaksi Maois. Melalui Lompatan Besar ke Depan dan Revolusi Budaya, apa yang coba dilakukan Mao pada dasarnya menyerang kecenderungan-kecenderungan dasar dalam model Stalinis tersebut (birokratisasi, sentralisasi) dengan visi populis dan egaliternya. Sebagaimana di Yunnan beberapa dekade yang lalu, ia mencoba untuk menggantikan jaringan ketat birokrasi dengan aktivitas-aktivitas massa yang spontan dan revolusioner. Dari sisi ekonomi, reaksi Maois ini, dalam ungkapan Schurmann, lebih merupakan produk visi dan bukan sebuah rencana. Tentu saja, selama Revolusi Budaya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Meisner (1986: 374, 383), Mao memiliki andil yang signifikan dalam memperbaiki model ekonomi tersebut dengan memperluas industrialisasi pedesaan dan dengan memindahkan kontrol atas banyak perusahaan dari kementrian di Peking ke administrasi provinsi untuk men-desentralisasi bangunan industri negara.
Namun sampai tingkat tertentu kita bisa berkata bahwa, terlepas dari semangat revolusioner dan egaliternya, reaksi Maois tersebut gagal melucuti ciri-ciri dasar model Stalinis tersebut. "Setelah 1969, struktur dasar hubungan-hubungan produksi di berbagai pabrik," tulis Meisner, "sebagian besar masih tetap sama seperti pada tahun-tahun sebelum 1966" (1986: 382). Antara 1970-1975, sektor pertanian hanya menerima 10% dari investasi negara, dan dengan demikian kurang dari jumlah yang diterimanya dalam periode reaksi teknokratis-modernis yang saya jabarkan di atas. Dan obsesi untuk memperluas industri-industri berat dengan mengorbankan industri-industri konsumen dan kecil tetap tidak berubah: antara 1970-1975 perluasan tersebut menghabiskan 50% dari total investasi negara. Pendeknya, reaksi Maois tersebut, sebagai sebuah model ekonomi alternatif, memperkuat beberapa elemen dasar model Soviet tersebut, meskipun pada saat yang sama ia mengubah elemen-elemen yang lain (Harding, 1987: 17).
Reformasi Ekonomi Model ekonomi Stalinis inilah yang ingin dikikis oleh reformasi di Soviet di bawah Gorbachev dan di Cina di bawah Deng. Reformasi tersebut didorong oleh berbagai kesulitan ekonomi di kedua negara itu. Di Uni Soviet, sejak pertengahan 1960-an, perekonomian hampir berhenti tumbuh. Industri-industri berat hanya bisa menghasilkan bahan-bahan mentah dan kebutuhan-kebutuhan dasar, tanpa mampu bergerak ke tahap perkembangan industri berikutnya untuk menghasilkan produk-produk berteknologi maju. Dan pada akhir 1970-an, seperti yang ditulis oleh Paul Kennedy (1987: 491), Uni Soviet telah menjadi salah satu importir biji padi terbesar di dunia (40 juta ton per tahun). Di wilayah sosial, vodka menjadi alat bagi para pekerja untuk lari dari kenyataan yang pahit dan menyakitkan di tempat kerja (Hosking 1990: 401). Pada 1980, angka kematian bayi di negara ini adalah 27,7-tertinggi di kalangan negara-negara industri.
Di Cina, apa yang terjadi sangat berbeda. Kinerja ekonomi di akhir era Maois tidak begitu buruk. Sejak 1965, industri tumbuh di atas 10% per tahun, pertanian 4%, dan GNP 6,5% (Riskin, 1987: 257). Krisis yang terjadi lebih struktural, yang dapat dilihat dari kenyataan bahwa ketika industri dan pertanian tumbuh sangat cepat selama 10 tahun, hasil padi dan konsumsi per kapita hanya tumbuh sedikit (4,0% dan 1,1%), dan standar hidup riil para petani tidak membaik (Hsu, 1990: 843). Bagi Riskin (1987), kelemahan-kelemahan dasar dari era Maois akhir adalah irasionalitas rencana-rencana birokratis, dan kurangnya insentif bagi perekonomian untuk menghasilkan barang-barang konsumsi dan jasa-suatu kelemahan yang inheren dalam model ekonomi Stalinis.
Pada titik ini, kita dapat berkata bahwa perbedaan antara reformasi di Uni Soviet dan Cina dapat dilihat dari kedalaman dan intensitas krisis yang mendorong reformasi tersebut. Deng tidak menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi separah yang dihadapi Gorbachev.
Perbedaan mencolok antara reformasi di Cina dan Uni Soviet tersebut dapat dilihat dalam keberanian, pragmatisme, dan konsistensi program-program reformasi mereka. Di Cina,
seperti yang akan saya tunjukkan di bawah, setelah Plenum Ketiga pada 1978, Deng menjalankan berbagai program yang konsisten, pragmatis, dan berorientasi ke depan, untuk mengikis warisan ekonomi Stalinis-Maois. Sebaliknya, Gorbachev, terlepas dari keberhasilannya dalam merevitalisasi perusahaan-perusahaan koperasi berskala-kecil, dan terlepas dari berbagai pencapaian besarnya di wilayah hubungan internasional dan liberalisasi sistem politik, gagal menjalankan suatu program yang signifikan-shock-therapy dalam bahasa para pelaku pasar bebas-untuk mengangkat perekonomian dari kemandekan (Aslund 1991). Dan sampai tingkat tertentu, Gorbachev bahkan bisa dianggap sebagai rintangan bagi reformasi ekonomi yang sesungguhnya: ketika program 500-hari diperkenalkan oleh Kelompok Shatalin pada 1990-sebuah program untuk melakukan reformasi berjangkauan-luas dan berani di wilayah ekonomi- ia mengorganisasi, dalam ungkapan Aslund, sebuah "sirkus sejati" untuk menghalanginya (Aslund, 1991: 209).
Pertanian Reformasi di bidang pertanian merupakan contoh yang sangat jelas tentang betapa berani dan konsistennya reformasi ekonomi di Cina, dan betapa tidak tepat dan membingungkannya reformasi di Uni Soviet. Para pembaharu Cina, yang terinspirasi oleh eksperimen sebelumnya pada 1960-1965, menjadikan sektor-sektor pertanian sebagai target pertama mereka dan menjadikannya sebagai tulang-punggung bagi reformasi lebih jauh di bidang ekonomi.
Pertama, dimulai dengan panen musim panas pada 1979, harga hasil-hasil pertanian meningkat 20%, dengan premi 50% tambahan bagi penjualan-penjualan di atas-kuota. Setiap tahun hingga 1984, harga-harga ini meningkat sekitar 3 sampai 4%. Dan ketika peningkatan harga ini terlalu banyak menyerap bujet negara, kuota yang didapatkan menjadi lebih kecil, dan dengan demikian meningkatkan hasil-hasil pertanian yang dapat dijual dengan bebas dengan harga pasar. Jadi, reformasi ini membalikkan kecenderungan dasar model Stalinis yang mengatur harga-harga hasil pertanian sangat rendah untuk mendukung industrialisasi yang cepat.
Kedua, dan yang paling penting, adalah diperkenalkannya sistem pertanggungjawaban (pao-kan tao-hu). Dalam sistem ini tanah secara formal tetap publik, namun dalam praktik hal ini melucuti sistem komune kolektivis. Masing-masing keluarga petani bisa menyewa tanah, menyewa buruh, bebas memilih benih, menggarap tanah, dan sebagainya. Dengan kata lain, para petani diberi hak untuk "memiliki" tanah dan diberi tang-gungjawab penuh untuk menjalankan keseluruhan proses produksi (Hsu, 1990: 844). Meskipun negara tetap sangat terlibat dalam mendapatkan hasil pertanian dan memberikan subsidi, reformasi ini pada dasarnya mengubah produksi pertanian dari pekerjaan kolektif menjadi pekerjaan pribadi. Pada 1984, 98% keluarga petani termasuk dalam sistem pertanggungjawaban ini.
Hasil reformasi tersebut sangat spektakuler. Dari 1979 hingga 1985, nilai kotor hasil pertanian naik 10,5% per tahun. Pada 1984, negeri itu menghasilkan 407 juta ton padi, suatu rekor dalam sejarahnya. Dan menurut Paul Kennedy, "antara 1979 dan 1983-ketika banyak negara di dunia mengalami depresi ekonomi-800 juta orang Cina di wilayah pedesaan meningkat penghasilannya sekitar 70%" (1987: 452).
Banyak orang menganggap bahwa ketika Gorbachev menjalankan reformasi pertaniannya, ia akan membebaskan para petani dari rezim Stalinis yang sangat kejam dan mengikuti contoh Cina. Namun, seperti dikatakan oleh Hendrick Smith (1991: 210), di Uni Soviet "sektor pertanian merupakan sebuah rawa yang stagnan, sebuah simbol yang sangat jelas dari apa yang salah dengan kebijakan ekonomi Soviet". Ia pernah menjadi menteri pertanian: ia tahu bahwa pada 1982 setengah dari 50.000 negara bagian dan perkebunan-perkebunan kolektif mengalami kerugian. Dengan demikian, Gorbachev memiliki alasan untuk mengikis sistem yang ada, seperti yang dilakukan Cina 6 tahun sebelumnya.
Namun, anehnya, Gorbachev tidak melakukan apa yang ia anggap akan dilakukannya. Ia memulai reformasi pertaniannya "bukan di tingkat bawah, dengan para petani, seperti yang dila
kukan Deng Xiaoping, melainkan di tingkat atas, dengan birokrasi" (Smith, 1991: 211). Langkah penting pertamanya adalah membentuk Komite Negara untuk Agroindustri-sebuah kementerian-super baru-yang mengkoordinasi 5 kementerian yang lain. Dalam reformasi ini, para birokrat masih memberi perintah kepada para petani tentang bagaimana dan apa yang akan diproduksi. Tidak ada yang berubah kecuali cara perintah datang dari atas. "Hal ini melanggengkan mentalitas perintah ...dan tampak semakin memperparah kekacauan pertanian, bukan mengatasinya" (Smith, 1991: 212).
Memang, setelah menyadari bahwa reformasi yang ia jalankan gagal, Gorbachev membubarkan kementerian-super tersebut pada 15 Maret 1989, dan menyerukan dilaksanakannya reformasi baru yang secara bertahap akan membawa sektor-sektor pertanian ke sebuah sistem pasar baru yang akan memberi kebebasan sepenuhnya kepada para petani untuk memilih dan menjual produk-produk mereka. Namun di sini faktor-faktor birokratis dan politik memainkan peran penting: Li-gachev, saat itu orang kedua di dalam partai, dan orang-orang garis keras yang lain berhasil mencegah langkah reformasi baru ini. Karena itu, pada 1990, menurut Shemelev dan Popov (1991: 103), 90% perekonomian riil di sektor pedesaan masih dijalankan oleh sistem administratif lama. Dengan kata lain, reformasi pertanian tersebut gagal mengikis warisan dasar Stalinis.
Harga Untuk melihat bagaimana reformasi berjalan di Cina dan Uni Soviet, kasus menarik berikutnya adalah reformasi harga. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, pengaturan harga merupakan salah satu prinsip paling mendasar dari model Stalinis. Harga dibekukan dan dipatok sangat rendah, yang tidak mencerminkan apa yang disebut sebagai "nilai barang" yang digambarkannya. Karena itu, alokasi sumberdaya tidak bisa efisien dan hubungan perekonomian dengan pasar internasional tidak dapat dihitung secara rasional. Tanpa meninggalkan, atau paling tidak mengubah, ajaran dasar model Stalinis ini, keseluruhan perekonomian tidak bisa menjadi efisien dan perdagangan luar negeri tidak dapat diprediksi. Dengan demikian, mereformasi sistem harga merupakan suatu langkah yang mutlak bagi reformasi sejati.
Di Cina, mengikuti contoh Hungaria beberapa tahun sebelumnya, reformasi harga dijalankan pada awal 1980-an, setelah diumumkan pada April 1979. Tujuannya pada dasarnya memberi pasar suatu peran yang jauh lebih besar dalam menentukan harga. Dalam praktik, apa yang dilakukan para pembaharu tersebut adalah menetapkan tiga kategori harga: harga pasti (diatur oleh pemerintah), harga mengambang, dan harga pasar. Industri-industri yang paling penting seperti baja, batu bara, dan minyak tanah masuk ke dalam harga tetap, namun harga-harga dari banyak barang konsumen biasa dan barang produsen dibiarkan bergerak sesuai dengan kondisi pasar
(Riskin, 1987: 352). Pada 1985, jumlah produk industri yang dijual dengan harga pasti menurun dari 256 menjadi 29, dan dengan berakhirnya pembelian yang ditetapkan atas produk-produk pertanian, harga daging, ikan, sayuran, dan unggas dibiarkan bergerak bebas sesuai dengan kondisi pasar (Harding, 1987: 111-112). Dan dua tahun sebelumnya, berbagai perusahaan diperbolehkan untuk menetapkan harga sendiri untuk 510 komoditas.
Harpa Iblis Jari Sakti 17 Makam Bunga Mawar Karya Opa Tangan Berbisa 2
^