Jingga Dalam Elegi 4
Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih Bagian 4
Akibatnya hari ini Tari jadi siswa yang paling sering kena tegur para guru. Dan ketika bel pulang menjerit, cewek itu nyaris melejit dari bangkunya. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, rasanya hari ini bunyi bel pulang seratus kali lebih melengking dibanding biasanya.
Fio menatap teman semejanya itu. Hampir lima belas menit berlalu sejak manusia terakhir selain mereka berdua meninggalkan ambang pintu kelas.
"Jadi pergi nggak lo"" tanya Fio pelan. "Jadi lah," Tari menyahut lemah.
"Ya udah buruan. Kasian Kak Ata nungguin. Sini buku-buku lo. Gue bawa semunya aja. Besok atau Minggu gue anterin."
Tari mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas lalu memberikan kepada Fio. Dengan gerakan lambat cewek itu kemudian bangkit berdiri. Dengan langkah-langkah lambat pula, dia meninggalkan ruang kelas.
Fio mengerti dilema yang sedang dihadapi teman semejanya itu. Karenanya dia ikuti la
ngkah-langkah lambat Tari tanpa protes, yang juga berlanjut di sepanjang koridor sat menuruni tangga.
Tidak jauh dari mulut koridor utama mendadak Tari menghentikan langkah. Lalu dengan gerak refleks yang sangat kontradiktif dengan langkah-langkah lambatnya sejak dari kelas tadi, tiba-tiba cewek itu berhenti dan melejit ke balik salah satu dari dua pilar yang menjepit mulut koridor utama. Fio menatap bingung. Dia julurkan leher untuk melihat penyebabnya. Kedua matanya seketika melebar. Ari sedang berdiri di tepi jalan menuju gerbang sekolah. Dengan posisi tubuh membelakangi koridor utama, menghada ke lapangan basket, cowok itu terlihat sedang bicara serius di telepon.
"Ck," Tari berdecak pelan. "Nggak lucu banget kalo mau nemuin dia bareng Ata, tapi gue udah duluan ribut sama dia."
"Ya udah. Kita tunggu aja kalo gitu," bisik Fio. "Dia mau nelepon berapa lama sih."
Keduanya lalu berdiri diam di belakang pilar sambil sesekali mengintip ke tempat Ari berdiri. Tapi tunggu punya tunggu, tu cowok nggak selesai-selesai juga. Dengan dongkol Tari sampai menerka-nerka siapa yang dikontak atau mengontak Ari, dan apa yang mereka bicarakan sampai butuh waktu lama begitu. Sampai ia mendengar ponselnya menjeritkan ringtone tanda Ata menelpon. Buru-buru dikeluarkannya benda itu dari saku kemeja.
"Lo udah sampe mana"" tanya Ata langsung. "Masih di sekolah nih." "Masih di sekolah""
"Iya. Ada Kak Ari. Pas di pinggir jalan yang mau ke gerbang, lagi. Kan nggak lucu, mau nemenin elo ketemu dia tapi pemanasannya gue justru berantem sama dia."
Ata tertawa pelan. "Apa gue samperin ke situ aja""
"Jangan!" jawab Tari seketika. "Gila lo, gue udah stres banget nih,"
Ata tertawa lagi. "Bercanda, Tar," ucapnya lembut. "Oke deh, gue tunggu."
"Lo udah sampe""
"Baru aja." "Ya udah. Tunggu ya. Mudah-mudahan bentar lagi Kak Ari kelar nelepon terus pergi."
"Nggak pa-pa. Santai aja. Kan kita mau mati berdua, jadi nikmatilah momen-momen terakhir hidup ini."
"Aduh, iya bener. Gue lupa!" desis Tari. Ata tertawa lagi. Pelan tapi geli.
"Bye!" ucap cowok itu disela tawa dan langsung diakhirinya pembicaraan.
Sesaat Tari menatap ponselnya sambil menghela napas. Kemudian dimasukannya kembali benda itu ke saku kemeja. Kedua matanya segera mengintip, dengan hati-hati, ke tempat Ari berdiri. Cowok itu masih sibuk bicara di telepon. Tapi kali ini dia sudah pindah posisi, di bawah bayang-bayang tiang ring basket. Matahari memang sedang berada tepat di atas kepala. Terlalu lama berada langsung di bawahnya, tanpa pelindug, dijamin badan bisa mengering segaring kerepuk. Tapi dengan begitu sekarang cowok itu jadi berada cukup jauh dari jalan. Tari melihat peluang dia bisa segera meninggalkan sekolah.
"Yuk, cepet! Cepet!" bisiknya.
Dengan langkah agak berjingkat, kedua cewek itu segera menuruni tangga koridor. Tanpa meninggalkan bunyi, keduanya melangkah cepat, hampir berlari.
Tapi Ari ternyata memang sedang serius dengan ponsel di telinganya. Dia tidak menyadari kemunculan Tari. Tidak tahu siapa yang ada di ujung telepon dan apa yang dibicarakan sampai sebegitu seriusnya. Tari hanya sempat mendengar sedikit penggalan percakapan Ari itu.
"Kira-kira tiga puluh menit lagi... iya... nggak usah, tinggal aja... aman banget."
Meskipun sudah keluaqg dari area sekolah, di sepanjang trotoar menuju halte keduanya terus berlari. Tari menyetop taksi kosong yang pertama lewat dan langsung masuk ke kursi belakang.
"Good luck ya, Tar," Fio berpesan dengan nada cemas. "Nggak yakin." Tari menggeleng.
"Ya udah. Ati-ati aja deh."
"Nah, kalo itu sih masih bisa gue usahain." Tari meringis. "Daaah!" ucapny sambil menutup pintu. "Daaah!" Fio membalas dengan ekspresi muka semakin cemas.
Taksi segera melesat pergi. Sendirian, tanpa teman yang bisa diajak bicara untuk mengalihkan kegelisahan, membuat persoalan itu jadi terlihat puluhan kali lebih mengerikan. Berkali-kali Tari menghela napas. Sampai bapak sopir taksi bertanya ada apa.
"Nggak ada apa-apa, pak," Tari menjawab sambil tersenyum, tapi senyum lesu.
Menjelang s ampai tujuan, dari kejauhan dilihatnya Ata berdiri di trotoar. Sama seperti dirinya, kegelisahan cowok itu juga terlihat jelas.
Cowok itu melihat jam tangan, lalu berjalan ke tepi trotoar dan melihat jalan raya di depannya ke dua arah bergantian, tak lama dia balik badan dan berjalan ke tepi lain trotoar. Di sana dia dongakan kepala, memandang deretan poster film tanpa minat apalagi keseriusan. Kemudian dia balik badan dan berjalan kembali ke tepi trotoar yang lain, yg belum lama ia tinggalkan. Lagi-lagi dia menoleh ke dua arah dari jalan raya di depannya, disusul kemudian dilihatnya jam tangan. Begitu taksi yang ditumpani Tari berhenti di depannya, cowok itu langsung menarik napas lega. Tari tertegun. Ata terlihat pucat. Sangat pucat. Rambutnya berantakan. Tingga kancing teratas kemejanya tidak dikaitkan. Dua lensa gelap menutupi kedua matanya. Cowok itu segera membuka pintu belakang.
"Siap"" tanyanya langsung. Tangan kanannya melepas kacamata hitam yg dipakainya sementara tangan kirinya menutup pintu.
"Kayaknya elo deh yang nggak siap." Tari menatapnya dengan cemas. Apalagi setelah dilihatnya kantong mata cowok itu menghitam, pertanda dia kurang tidur.
"Gue akuin, gue emang nggak siap," desah Ata. "Tapi gue nggak mau mundur lagi."
"Tapi muka lo pucet banget. Bener. Lo ngaca deh."
"Emang lo nggak"" ucap Ata lunak. "Lo juga pucet banget."
"Dari tadi pagi semua juga udah ngomong gitu." Tari tersenyum. Senyum yang maknanya complicated. Kemudian dia menarik napas panjang lalu menghembuskannya kuat-kuat. "Ya udah kalo gitu," sambungnya. "Ayo, kita hadapin Kak Ari. Meskipun dia bilang dia mau matiin elo, gue rasa dia yang bakalan mati duluan ntar. Dua lawan satu. Pasti yang menang dua lah." Ata tertawa pelan. "Buat dia, lo tuh nggak perku diitung, lagi." "Kok gitu"" Tari sontak melotot. "Lo tuh ya, udah gue bantuin juga."
Ata tertawa lagi. Tawa yang tetap tak mengusir sedikit pun kelam kedua matanya. Ketika tawa itu berakhir, ganti dia yang menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Tiba-tiba cowok itu mengulurkan tangan kanannya lalu memeluk Tari erat. Hanya sesaat. Tari terkesiap. Tak sempat bereaksi apa pun. Ketika Ata melepaskan pelukan eratnya yang sungguh-sungguh hanya sesaat itu, kelam di kedua matanya telah mematikan kerlip sedikit sinar yang masih terisa.
"Jalan, Pak," ucapnya kemudian kepada sopir taksi dengan suara berat.
*** Ada sepetak tanah kosong terjepit di antara deretan rumah mewah di seberang rumah Ari. Di sana alang-alang liar tumbuh tak terusik. Tinggi. Membuat siapa pun yang berada di antaranya utuh tenggelam dalam lengan-lengan hijau dan bunga-bunga putih dan cokelatnya. Letaknya yang tidak tepat berada di seberang rumah Ari semakin menjadikannya tempat mengintai yang sempurna. Di sanalah Ata dan Tari duduk meringkuk setelah menyelinap keluar dari taksi yang mereka tumpangi, hampir setengah jam yang lalu. Beralaskan tangkai-tangkai ilalang yang direbahkan Ata di atas tanah, mereka terus memperhatikan rumah dua lantai berdindin bata berwarna krem itu. Ata melirik jam tangannya.
"Lima menit lagi duduk di sini, kayaknya di pantat gue bakalan tumbuh akar nih."
Tari tertawa, tanga berani menoleh ke Ata. Pelukan sesaat dan tak terduga serta sarat tanda tanya di taksi tadi telah menghadirkan atmosfer asing yang tidak bisa diabaikan karena kehadirannya begitu terasa. Kini, dalam waktu yang bersamaan Tari merasa tetap dekat sekaligus telah tercipta jarak dengan cowok yang duduk dekat di sebelah kanannya ini. "Kalo gue kayaknya malah udah."
Ganti Ata tertawa. Tangan kirinya terulur secara otomatis, mengusap-usap puncak kepala Tari. Tari berusaha menepiskan satu lagi tanda tanya yang seketika muncul dalam hatinya.
"Kayaknya Kak Ari nggak di rumah deh. Soalnya tadi gue lihat dia lagi serius nelepon, di pinggir lapangan pas pulang sekolah. Katanya setengah jam lagi deh, gitu. Jangan-jangan dia janjian pergi sama siapa."
"Gitu"" Ata menoleh dan menatap cewek yang duduk di sebelahnya itu. "Kayaknya sih. Tapi gue juga nggak yakin." "Kalo gitu samperin aja deh."
"Jangan!" Tari langsung geleng kepala. "Iya kalo dia bener pergi. Kalo nggak""
"Kita ke sini kan emang mau nemuin dia. Kalo terus duduk di sini sama aja bohong. Apalagi kalo ternyata dia emang beneran nggak di rumah. Sia-sia kita ngumpet di sini."
"Iya sih. Tapi.... "
Belum selesai kalimat Tari, Ata sudah bangkit berdiri dan langsung melangkah keluar dari perlindungan rumput-rumput liar itu. Tari terkesiap.
"Ata! Lo mau ngapain!"" serunya. Ata tidak mengacuhkan, terus melangkah menyeberangi jalan. "Ata! Lo jangan nekat deh!"
Tari bangkit berdiri dan langsung mengejar Ata yang pada saat itu sudah sampai di depan pintu pagar rumah Ari.
"Ata, elo...!" "Sssst!" Ata menempelkan telunjuk kirinya di bibir, mengisyaratkan Tari untuk diam. Kemudian ditekannya bel yang terdapat di sisi kiri pintu pagar itu. Tak lama satu bunyi melengking merobek keheningan. Menghentikan aliran darah Tari dan membuatnya seketika membeku tegang. Tapi tak seorang pun keluar dari dalam rumah besar itu. Sekali lagi Ata menekan bel, diikuti teriakannya yang keras.
"PERMISIII! SELAMAT SOREEE!"
"Lo gila!" Tari terkesiap. Dia segera melompat ke belakang punggung Ata, mencari perlindungan. "Kenapa lo" Orangnya belom keluar, juga." Ata meliriknya. Tari tidak menjawab, membuat cowok itu tersenyum. "Ya, udah. Lo ngumpet di belakang gue aja. Gue jamin lo aman."
Kemudian Ata kembali mengarahkan perhatiannya ke rumah di depannya. Tangan kirinya terulur ke belakang punggung dengan posisi telapak tangan membuka keatas.
Tari menatap telapak tangan yang terbuka itu. Ini yang selalu tidak bisa ia pungkiri. Ata selalu memberinya rasa aman. Sementara Ari lebih sering membuat saraf refleknya dalam kondisi siaga dan alam bawah sadarnya membunyikan alarm tanda bahaya.
"Mana tangannya"" Ata menggerakan kelima jarinya.
Tari mengulurkan tangan kanannya. Mukanya memerah tanpa bisa dicegah. Ata tetap mencurahkan seluruh perhatiannya pada rumah di depannya, tapi begitu dirasakannya jari-jari Tari mendekat, segera ditangkapnya tangan cewek itu dan digenggamnya erat. Tanpa dia tahu itu menyebabkan cewek di belakangnya itu jadi salah tingkah dan mukanya semakin pucat.
"PERMISIII!" teriak Ata lagi. Kali ini dengan suara gila-gilaan.
Tari memejamkan mata. "Mampus deh gue hari senin di sekolah!" desisnya.
Meski situasi sedang genting. Tari sempat ternganga-nganga mengagumi dua patun Helios tak jauh di atas kepalanya. Sudah lama kedua patung ini membuatnya sangat penasaran. Setelah berhasil mengamatinya dari jarak dekat begini, harus di akui, kedua patung itu benar-benar bagus. Indah. Artistik.
"Jangan-jangan tu anak emang nggak di rumah," desah Ata pelan. "Lo tunggu sini bentar." Sebelum tari sempat membuka mulut, Ata sudah melepaskan genggamannya. Cowok itu memanjat pagar di depannya lalu melompat ke dalam.
"Ada, Tar," ucapnya pelan. "Pagernya nggak dikunci." "Gila lo! Cepet keluar!" desis Tari panik.
Ata tak mengacuhkan. Dengan hati-hati cowok itu menarik gerendel atas dan bawah. Lalu dengan gerekan amat sangat perlahan, mengantisipasi kalau-kalt pagar besi itu mengeluarkan bunyi deritan, dibukanya pintu pagar. Pintu gerbang di depan Tari, yang diapit dua Helios di atas kiri-kanan, kini terbuka.
"Cepet masuk," bisik Ata.
Tari menelan ludah. "Mati beneran deh kita, Taaa... " kepanikan Tari makin menjadi. Ata seperti tak mendengar. Diraihnya satu tangan Tari lalu digandengnya cewek itu memasuki halaman. Pelan-pelan, ditutupnya kembali Gerbang Helios itu. Kalau tadi sedikit perhatian Tari masih bisa dicurahkannya untuk mengagumi kedua patung Helior itu, sekarang cewek itu benar-benar dalam kondisi siaga satu.
Jauh lebih serius daripada saat diterjangnya kelas Ari dulu, ini adalah tempat sang pentolan sekolah itu bersarang. Ini adalah tempatnya yang paling pribadi, yang bahkan tak seorang pun mengetahui. Kalau sampai cowok itu mencabiknya karena telah melanggar bukan hanya wilayah privasi tapi juga semua rahasianya yang selama ini terjaga rapat tanpa seorang pun berani mengusik, hukum apa pun-apa lagi hukum rimba-akan
membenarkan apa pun tindakan Ari terhadap mereka. Ata menggandeng Tari menuju teras. Tanpa sadar Tari membalas genggaman tangan Ata lebih keras daripada genggaman cowok itu padanya. Sepasang matanya mengawasi keadaan sekeliling dengan waspada.
Keduanya kemudian berdiri diam di depan pintu. Rumah itu masih lengang. Tidak terdengar suara apa pun dari dalam. Di depan pintu kayu berornamen rumit yang terlihat angkuh dan dingin, keduanya seperti merasa sedang berdiri di ujung perjalanan. Kesepuluh jari yang saling menggenggam itu mendingin perlahan. Seperti saling menguatkan untuk sesuatu yang akan terjadi dan takan terelakkan.
Kelima jari Ata lalu membimbing Tari kebelakang punggungnya. Cewek itu dengan lega menuruti. Jujur, yang paling dia takuti saat ini adalah pintu di depannya terbuk dan Ari berdiri di hadapannya. Keheningan masih menyelubungi. Kali ini dengan kepenatan yang terasa menakutkan. Sejak dilewatinya Gerbang Helios tadi, Tari merasakan jantungnya tak lagi yang tidak bisa di pahaminya, seperti yang dirasakannya di dalam taksi tadi, muncul kembali.
Tiba-tiba pintu dihadapan mereka terbuka. Tari ternganga.
"Nggak dikunci"" tanya Tari dengan suara tercekat.
Ata menggeleng. "Kan gue udah bilang, orangnya ada di rumah."
Bersamaan dengan terbukanya pintu kayu itu, kelima jari Ata yang selama ini menggenggam jari Tari melemas. Genggamannya terlepas. Cowok itu melangkah memasuki ruangan di depannya. Tari terperanjat.
"Ata! Lo jangan gila deh! Cepet keluar!" serunya tertahan.
Ata tak mengacuhkan. Maju selangkah sampai benar-benar di ambang pintu.
Kembali Tari berseru tertahan, memanggil Ata yang berdiri memunggunginya. "Ata, cepet keluaaaaaar!!!"
Ata tetap bergeming. Dengan gemas Tari mengulurkan tangan kanannya panjang-panjang, berusaha menjangkau lengan kiri Ata, sementara tangan kirinya berpegangan pada bingkai pintu. Ketika berhasil terjangkau, dicekalnya lengan Ata kuat-kuat lalu ditariknya ke belakang. Tapi bukan Ata yang berhasil ditariknya keluar, justru cowok itu yang berhasil menyeretnya ke dalam. Tertakjub-takjub, Tari memandangi ruangan besar yang baru saja dimasukinya itu. Benar-benar seperti sebuah galeri seni. Lukisan, ukiran, patung, tembikar. Tanpa sadar kesepuluh jarinya melepaskan lengan Ata yang dicekalnya. Kemudian dipandanginya sekeliling ruangan itu dengan penuh ketertarikan.
Ruangan ini jelas-jelas ditata oleh seorang desainer interior, karena setiap benda benar-benar diletakan pada tempat yang tepat. Ruangan ini juga bertema, karena setiap benda seperti mempunyai ikatan terhadap benda lainnya. Baik desain, motif, warna, maupun tata letak serta pencahayaan diatur dengan cermat.
"Ck, ck, ck. Gila ya," Tari menggumam pelan. Dia maju beberapa langkah lalu terlongo-longo di depan replika patung Dewa Ra yang berukuran cukup besar, yang sepertinya merupakan titik pusat ruangan ini. "Ini apa"" tanya Tari.
"Ini siapa. Bukan apa," suara berat Ata meralat kalimat Tari.
"Maksudnya" Ini..."" Dengan bingung Tari menunjuk patung itu. Seekor burung, sepertinya dari jenis elang atau rajawai, sedang duduk dengan kaki terlipat di depan tubuh, dengan posisi tampak samping. Ada sebuah bulatan melekat di atas kepala patung itu.
"Dia Ra. Dewa Matahari orang-orang Mesir Kuno. Jadi meskipun penampilannya begitu, dia dewa. Termasuk salah satu dari dewa-dewa utama. Jadi yang sopan lo ngomognya ya. Biar nggak kena kutuk."
"Ya ampuuun. Jadi dia ini dewa"" Tari membelalakkan kedua matanya. Cewek itu lalu menundukan kepala dan membungkukkan sedikit punggungnya. "Maaf ya, Wa. Saya nggak tahu. Secara saya juga nggak percaya dewa sih. Musyrik, kata agama saya."
Ata jadi tersenyum mendengar itu. Setelah sempat sesaat lupa dengan masalah yang sebenarnya, Tari tersadar kembali. Dia tersentak kaget.
"Ya ampun. Gue lupa ini rumah orang!" desisnya. Buru-buru dia melangkah mundur lalu balik badan. Terkejut dia mendapati pintu dibelakangnya telah menutup.
*** "Kenapa lo tutup pintunya"" Tari bergegas menghampiri Ata lalu bertanya dengan bisikan tajam. Ata tak menjawab. Dengan
kedua mata mentap Tari lurus-lurus, cowok itu melangkah mundur. Tari membalas tatapan itu dengan bingung. Ata terlihat menelan ludah dengan susah payah. Tangan kanannya merogoh saku depan sebelah kanan celana jinsnya. Dikeluarkannya sebuah ponsel lalu diletakannya di atas sebuah meja berukir. Tari mengenali dengan baik ponsel keluaran terakhir dari sebuah merk ternama.
Tangan kanan Ata berpindah ke saku depan sebelah kiri. Dikeluarkannya sebuah ponsel lain. Juga keluaran terakhir dari sebuah merk ternama, tapi berbeda merk dengan ponsel yang sebelumnya. Diletakannya ponsel itu di sebelah ponsel pertama.
Mulut Tari sudah terbuka ketika dia menyadari sesuatu. Ponsel kedua. Dia juga mengenali ponsel kedua dengan baik. Milik Ari!
Sepasang mata Tari yang menatap kedua ponsel itu lurus-lurus perlahan menyipit. Perlahan pula, fakta yang tercetak buram dalam visual kepalanya menjadi jelas. Sontak dia ternganga. Diangkatnya kepala.
"Elo....!""
"Nggak pernah ada Ata."
Cowok di depannya bicara dengan suara lirih yang bahkan dalam deru badai pun akan bisa terdengar, karena dia bicara dengan seluruh sesal. Seluruh luka. Seluruh sakit. Namun juga dengan seluruh kesabaran dan harapan. Pada akhirnya, dia melakukan semua itu juga dengan seluruh cinta. Untuk kedua orang yang hilang pada masa lalu dan untuk seseorang yang saat ini hadir dalam hidupnya.
Tari nyaris lumpuh. Kedua matanya terbelalak menatap Ari.
"Nggak mungkin! Nggak munkin!!!" kepalanya lalu menggeleng kuat-kuat, menolak kata-kata itu. "Lo pasti janjian sama Kak Ari ngerjain gue. Kalian pasti nggak lagi berantem!"
Kembali Ari menelan ludah dengan susah payah, membasahi bukan saja tenggorokannya yang jadi terasa sangat sakit, tapi juga seluruh hatinya. Beberapa saat kedua rahangnya mengatup keras.
"Nggak pernah ada Ata," dia mengulangi. Tetap dengan suara lirih yang sanggup mengalahkan deru badai itu. "Dia udah lama pergi. Gue nggak pernah ngeliat dia lagi. Gue nggak pernah tau dia ada di mana. Gue nggak tau kabar apa pun tentang dia."
Tari terhuyung mundur. Pucat pasi. Pintu berornamen rumit di belakang menyambut saat terbentur punggung lemahnya. Tari tak lagi merasakan sakit gurat ukiran-ukiran kayu itu. Nanar, ditatapnya sosok di depannya. Benar-benar tak sanggup percaya bahwa mereka ternyata satu orang yang sama.
Mereka satu orang yang sama!
"Lo... bohong! Lo pasti bohong!" seru Tari dengan suara bergetar hebat.
Ari terdiam. Tak sanggup lagi bicara. Kondisi Tari akibat dua kali pengakuannya tadi telah memberi pedih yang sama dalamnya seperti sembilan tahun lalu. Saat mendadak dirinya ditinggalkan dan jadi sendirian. Gadis di depannya ini kemungkinan juga akan pergi dan lagi-lagi dirinya akan ditinggalkan. Lagi-lagi akan sendirian.
"Nggak mungkin! Nggak mungkin! Lo pasti bohong!" Kepala Tari menggeleng kuat-kuat. Namun suaranya yang melemah menyangkal gelengan kepala itu.
Ari tetap diam, karena memang tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Kedua matanya meminta maaf dalam redup penyesalan.
Keterdiaman Ari itu -cara kedua matanya memandang- adalah teriak kebenaran yang paling lantang dan tak lagi bisa disangkal. Tari terguncang. Tangisnya pecah. Cewek itu langsung menutup mulutnya dengan satu tangan. Tangan lainnya bergegas meraih hendel pintu dan membukanya. Seketika itu juga, nyaris di luar kesadaran, Ari melompat, menutup kembali pintu yang sudah sempat terbuka itu.
"Jangan keluar dalam keadaan begini," pintanya.
Tari menelan tangisnya. "Apa peduli lo!"" ditatapnya Ari dengan mata yang dipenuhi air. Bara kebencian menembus butiran bening itu, membuat Ari merasa sebagian hatinya mulai dipaksa untuk mati. "Gue mau pulang!"
"Tar.... " "Gue nggak mau dengar apa-apa. Gue mau pulang!" Tari menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan kedua telapak tangan.
Ari mengangguk-angguk. "Gue nggak akan ngomong apa-apa," bisiknya. "Gue anter lo pulang. Tapi nggak dalam kondisi begini."
"Gue mau pulang! Gue mau pulang! Gue mau pulaaaang!!!" Tari menjerit histeris. Dengan menahan sakit di dadanya mati-matian, Ari terpaksa me
ngabaikan jeritan itu. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, Tari berusaha keras mengenyahkan lengan Ari. Tapi kedua lengan itu membatu. Tidak bisa disingkirkan. Dan mengurungnya tanpa jalan keluar.
Kehabisan tenaga, cewek itu berhenti meronta. Kini dia meringkuk diam. Dalam pelukan seseorang yang telah memberinya sayatan dalam. Coba meredam tangisnya dengan satu tangan.
Ari menundukan kepala.tangis ini menghancurkannya. Perlahan, direbahkannya kepala Tari di pusat segala rasa sakitnya selama ini. Ribuan luka yang nyeri di dadanya.
"Kenapa.."" Tari bertanya dengan suara lirih dan serak karena tangis. "Kenapa lo jahat banget sama gue""
Kenapa" Ari mengulang tanya itu dalam hati. Tak ingin menjawabnya saat ini, karena sembilan tahun kehilangannya tidak bisa dikatakan hanya dalam satu-dua kalimat. Sama sekali bukan karena dia ingin membela diri atau ingin dipahami. Dia hanya tidak tahu mana jawaban yang tepat dari begitu banyak jawaban yang diberikan sembilan tahun itu untuk satu kata tanya pendek yang baru saja disodorkan.
Ketika satu-satunya pertanyaan tak terjawab, Tari sudah tak ingin bertanya apa-apa lagi.
Satu lengan menyangga Tari dan Ari menemukan satu lengannya yang lain tengah bersusah payah menyangga dirinya sendiri.
Keduanya tersesat. Ini adalah senyap paling pekat yang pernah dirasakan keduanya. Berdua yang seperti sendirian. Satu yang tidak diketahui Tari, kebohongan yang dilakukan Ari bukan hanya menyakitnya, tapi juga menyakiti cowok itu sendiri.
Tari baru terlukai pada saat pengakuan itu terjadi, sepuluh menit yang lalu. Sementara Ari sudah terlukai pada saat dia memutuskan untuk melakukan kebohongan itu. Dan makin menjadi setiap kali kebohongan baru demi kebohongan baru tercipta dan tidak ada jalan untuk mundur kembali. Sesaat setelah tangis Tari mereda, Ari menguraikan pelukannya. Ditunggunya sampai tangis cewek itu benar-benar reda, kemudian diulurkannya tangan.
"Gue anter lo pulang," ucapnya pelan.
Ari memapah Tari keluar, lalu dengan hati-hati mendudukkan cewek itu di kursi taman.
"Tunggu sebentar di sini," bisiknya. Perlahan dilepaskannya pegangan kedua tangannya pada Tari.
Cowok itu kemudian melangkah menuju garasi. Dibukanya salah satu pintu. Motor hitam dan Everest hitam!
Napas Tari nyaris terhenti. Dia merasa tubuhnya benar-benar kehilangan seluruh kekuatan. Pada Everest hitam itu tersimpan banyak kenangan yang manis dan menyenankan. Pada motor hitam itu juga bukan selalu hal-hal yang menyakitkan. Tapi saat hadir bersamaan, keduanya adalah gelap yang meluluhlantahkan.
Setelah membeku dengan sesak yang melumpuhkan, mendadak Tari menemukan kekuatannya kembali. Serentak dia bangkit berdiri dan segera berlari keluar halaman. Ari menoleh kaget.
"Tari!" panggilnya. Bingung, tapi tak lama dia segera tahu apa yang telah menjadi pemicu.
"Ya Tuhan!" desisnya. Benar-benar lupa dia telah memarkir motornya tepat di sebelah Everest hitam itu semalam.
Ari langsung menutup kembali pintu garasinya. Tanpa sadar dengan bantingan. Segera dikejarnya Tari, tapi jalan di depan rumahnya telah kosong. Satu ide berkelebat. Cowok itu melesat ke dalam rumah dan segera berlari keluar lagi.
Saat ponselnya menjeritkn ringtone, Tari terlonjak dan nyaris terjerembap karena tetap berlari tanpa melihat jalan lagi. Buru-buru dikeluarkannya benda itu dari saku kemeja.
Ata! Tari ternganga. Seketika nama itu menyentakkan tangisnya kembali ke permukaan. Telah begitu banyak hal yang amat sangat menyakitkan dan cowok itu masih juga menganggapnya kurang. Terburu-buru, Ari salah menyambar ponsel. Dan ketika sadar, rumahnya sudah berada jauh dibelakang.
"Sialan! Goblok banget sih gue!" desisnya. Benar-benar marah pada dirinya sendiri untuk 'sebilah belati' yang kembali diambilnya untuk Tari ini.
Dengan menekan kecemasannya mati-matian, cowok itu menatap ke sekeliling dengan cepat. Kosong. Tari tidak ada di mana pun.
Terpaksa dan dengan hati yang ikut sakit, kembali ditekannya tombol kontak pada ponsel yang selalu digunakannya saat mengambil nama saudara kembarnya, namun
justru saat-saat dia kembali menjadi dirinya sendiri.
Ari membombardir ponsel Tari dengan panggilan. Sementara ibu jari tangan kirinya terus menekan tombol kontak tiap kali panggilannya yang tak terjawab terputus secara otomatis, cowok itu menajamkan kedua pendengarannya. Berusaha menangkap di mana panggilan-panggilan tak terjawabnya mengirimkan sinyal posisi ponsel tujuan.
Dalam keadaan normal, tombol on-off itu begitu mudah dioperasikan. Tapi dalam kondisi genting seperti ini, membanting ponsel itu sepertinya tinggal satu-satunya cara untuk membuatnya diam. Sambil terus berlari dan mencari-cari tempat sembunyi -dengan tangan kiri yang berganti-ganti antara menutup mulut untuk meredam tangis dan menyeka air mata yang turun dan tangan kanan yang menekan tombol on-off dengan seluruh kekuatan- Tari terus berlari.
Tiba-tiba cewek itu menghentikan langkahnya. Salah satu rumah di sebelah kirinya sepertinya tak berpenghuni karena rerumputan tampak tumbuh tinggi. Beberapa tanaman hias yang dulu pasti selalu dipangkas dalam bentuk-bentuk yang indah, kini bebas mengekspresikan diri dalam bentuk-bentu yang mereka kehendaki.
Segera Tari menyurukkan tubuh ke balik sebuah batu pipih yang diletakan berdiri, dengan sebatang cemara tegak disebelahnya. Kembali dicobanya untuk mematikan ponselnya. Usahanya belum berhasil, tapi ponselnya mendadak diam. Jeritan ringtone itu terhenti. Cewek itu menarik napas lega. Dengan kedua tangan dihapusnya air matanya.
Kelegaan itu hanya sesaat. Tak lama Tari tahu kenapa ponselnya mendadak diam. Karena orang yang membombardirnya dengan panggilan kini berdiri di hadapannya.
Ari menatap cewek yang terpuruk di depannya itu dengan kedua mata yang berkabut. Tari sudah dalam keadaan tak lagi sepenuhnya sadar, ketika kemudian perlahan Ari berlutut di depannya lalu merengkuhnya dalam pelukan.
Namun dalam ketiadaan jarak, ternyata justru terdapat ketidakterbatasan jarak. Salah satu memeluk kuat-kuat, namun seperti tidak ada siapa pun di dalam pelukannya. Yang lain terkurung dalam pelukan rapat, namun tidak lagi dikenali milik siapa kedua lengan ini. Arikah" Atau Ata" Dia adalah keduanya, tapi juga bukan salah satunya.
Pelukan kedua lengan yang mendingin pada tubuh yang juga beranjak mendingin. Mereka, keduanya, sore ini, perlahan 'mati' bersama.
*** Untuk kali yang sudah terhitung lagi, Fio memaksa sopir taksi untuk meningkatkan kecepatan taksinya. Lima belas menit yang lalu, dengan nomor telepon Ata, Ari menelponnya dan memintanya menjemput Tari. Fio langsung dilanda panik. Kesimpulan yang langsung muncul dalam kepalanya: Ata telah kalah dalam pertarungan ini. Entah dalam kondisi bagaimana. Taksi berhenti di depan rumah megah namun kosong dan tak terawat itu.
"Kak A..."" Fio tidak bisa mengenali siapa yang saat ini berdiri di depannya. Ari menghela napas. "Nggak pernah ada Ata." ucapnya berat. Kedua alis Fio terangkat.
Ari sudah kehabisan tenaga. Kejadian ini telah menghabiskan seluruh emosinya. Tidak ada lagi yang tersisa baginya untuk bisa menjelaskan masalah ini pada Fio. Meskipun itu hanya berupa kalimat yang singkat. Karenanya dengan gerakan lemah, dia perlihatkam ponsel di tangannya.
"Jadi..."" suara Fio tercekat di tenggorokan. "Iya." Ari mengangguk lemah.
Fio terhuyung. Nyaris saja jatuh kalau saja Ari tidak buru-buru menyambar salah satu lengannya. Ditatapnya cowok itu dengan mulut ternganga maksimal.
"Gue bener-bener minta maaf, Fi. Akan gue jelasin apa pun yang lo tanya. Tapi nanti. Sekarang tolong anter Tari pulang dulu."
Fio tersadar. Kepalanya lalu menoleh mencari-cari dan berhenti dengan napas tersentak pada Tari yang meringkuk di balik batu pipih itu.
"Tar!" serunya tercekat dan bergegas menghampiri. "Tar, lo nggak apa-apa, kan"" tanyanya cemas.
Tari cuma menggeleng lemah. Fio memeluknya sementara kedua matanya kembali menatap Ari. "Dia nggak mau gue anter," sahut cowok itu.
Berlaksa pertanyaan muncul di kepala Fio, tapi dia sadar yg terpenting saat ini adalah membawa Tari pergi secepatnya dari tempat ini. Karenanya, tepaksa ditekannya kei
nginan hatinya untuk memberondong Ari dengan pertanyaan. Dibantunya Tari untuk berdiri, lalu dipapahnya menuju taksi.
Kedua tangan Ari terkepal kuat saat cewek yang telah dilukainya tanpa ampun itu berlalu di hadapannya. Mati-matian ditahannya hati dan kedua lengannya untuk tidak meraih lalu menahannya dalam pelukan.
Taksi itu pergi, dengan kedua mata terbelalak milik Fio yang menatap Ari dari balik kaca jendela, dan Tari yang tak terlihat karena terhalang tubuh Fio.
Taksi itu telah hilang, namun Ari masih terus menatap jalanan kosong di depannya. Masih di tempatnya semula berdiri. Di depan batu pipih itu. Tempat kehilangan terbesar kedua dalam hidupnya telah terjadi.
*** Fio membawa Tari memasuki rumahnya lewat pintu samping. Kedua adiknya ada di ruang tamu dan kondisi Tari pasti akan memauat mereka langsung ribut bertanya ada apa. Pada mamanya yang kebetulan sedang berada di dapur, Fio langsung mengedipkan kedua matanya dan menggeleng samar. Wanita itu segera paham. Dibalasnya salam Tari yang serak dan pelan dengan ucapan apa kabar, dilanjut dengan mempersilahkan masuk, tanpa menoleh. Seolah-olah pekerjaannya sedang sangat menumpuk hingga sekedar menoleh pun dia tak sempat.
Hal pertama yang dilakukan Tari begitu sudah berada di dalam kamar Fio adalah menelungkupkan diri di tempat tidur dan langsung menangis. Fio menyaksikan itu sambil menghela napas. Dikeluarkannya ponselnya dari dalm tas, lalu tanpa menimbulkan suara dibukanya pintu kamar dan berjalan keluar. Di teras belakang rumah, dengan suara pelan, Fio menelpon mama Tari.
"Tan, Tari sekarang lagi di rumah saya. Kayaknya nginep, Tan."
"Lho" Ada apa, Fi"" mama Tari langsung bertanya heran, karena saat berangkat sekolah tadi pagi, putrinya itu hanya mengatakan akan pulang sangat terlambat. "Mmmm..... " Fio menggigit bibir. "Begini, Tan... "
Dengan perasaan tidak enak, cemas, dan takut dituduh bukan teman yang baik karena membiarkan itu terjadi, Fio menceritakan apa yang telah terjadi. Mama Tari terdiam.
"Ya udah. Nggak apa-apa kalau dia mau nginep," ucap mama Tari. Suaranya yang sarat pengertian membuat Fio menarik napas lega. "Tapi besok tolong suruh dia pulang ya, Fi. Siang atau sore lah."
"Iya, Tan." Begitu telepon ditutup, mama Tari berdiri tercenung. Ada perasan bersalah karena membiarkan hal ini terjadi. Mebiarkan Tari begitu bahagia bercerita tentang sosok kembaran Ari yang bernama Ata. Tapi Ari memang membutuhkan pertolongan. Dan dia bukan orang jahat. Dia anak yang baik. Dan Tari juga tahu itu.
*** Waktu telah menunjukan hampir pergantian hari. Fio menatap Tari yang tergolek di tempat tidurnya. Tertidur dengan muka disurukkan di bawah bantal, Tari masih mengenakan seragam sekokah yang kali ini telah kusut masai tidak keruan.
Fio bersyukur teman semejanya ini telah tertidur, karena isak tangisnya tak bisa dihentikan. Dia belum mengetahui dengan pasti apa yang sebenarnya sudah terjadi, karena kata-kata yang terucap di antara isak hebat itu terputus-putus dan antara satu kata dengan kata berikut sering kali tak berhubungan. Bahkan banyak karena tertelan isak atau terucap tanpa suara. Karenanya Fio bener-bener lega Tari sekarang sudah terlelap. Mudah-mudahan Tari mendapatkan mimpi yang membuatnya bisa sedikit saja gembira esok hari.
Sambil menghela napas, Fio berjalan menuju jendela kamarnya yang masih terbuka. Ditariknya tirai. Tapi gerakannya sontak terhenti. Di depan pagar rumahnya, sebuah Everest hitam terparkir. Entah sejak kapan.
*** Ditemani Fio, Tari meninggalkan rumah sobatnya itu keesokan harinya menjelang jam sebelas malam. Fio mengambil inisiatif itu karena Everest hitam yang semalam dilihatnya terparkir tepat di depan rumahnya kini terparkir dalam posisi sudut tiga puluh derajat di seberang jalan sejak hari masih jauh dari siang.
Dan masih, Ari adalah Ari. Dia tidak menyembunyikan kehadirannya yang hanya sedikit menyerong dari rumah Fio. Dan Fio tahu kenapa Ari tidak memarkir mobilnya seperti semalam lagi, karena mobil hitamnya yang berbadan besar itu menghabiskan banyak ruang dan bisa membua
t seluruh penghuni rumahnya tertahan, tidak bisa keluar. Dan hari ini jendela kamar Fio tertutup seharian.
*** Minggu sore. "Kok Mama nggak bilang"" Tari menatap mamanya dengan mata terbelalak maksimal. Benar-benar tak menyangka mamanya sejak awal curiga bahwa Ari dan Ata adalah satu orang. Sang mama menatapnya dengan rasa bersalah.
"Karena pasti ada alasan kenapa dia nekat begitu. Jadi dua orang dengan pribadi yang benar-benar beda itu berat, Tari."
"Alasannya karena tu orang nggak punya perasaan. Seenaknya sendiri. Jahat. Egois!" "Kasihlah dia kesempatan untuk menjekaskan," ucap mama Tari dengan sabar. "Dan dengarkan semua apa yang dia bilang dengan kepala dingin."
"Nggak!" sahut Tari serta-merta. "Ngapain" Mama aneh deh. Udah jelas-jelas dia bohongin Tari habis-habisan, udah nipu, ngapain juga Tari mesti dengerin. Bohong ya bohong. Nipu ya nipu!" "Kamu sering bilang dia baik. Berapa kali kamu ngomong begitu sama Mama. 'Kak Ari itu sebenarnya baik.' Dan mama ngeliatnya juga begitu. Jadi pasti ada alasan kuat kenapa dia tega begitu sama kamu."
"Tari salah, Ma... " Tari menatap mamanya dengan sorot terluka. "Dia nggak baik. Dia jahat. Jahat banget!"
Setelah menatap mamanya dengan pandangan kesal, Tari berjalan ke kamar. Kepalanya menggeleng-geleng. Nggak menyanka, mamanya ternyata ibu paling aneh sedunia! Fio yang hari itu datang lagi dan mendengarkan perdebatan itu, entah kenapa, setuju dengan mama Tari. Pasti Ari punya alasan kuat.
Perdebatan itu berujung panjang. Keesokan harinya, Senin pagi, Tari menolak masuk sekolah.
"Males ketemu Kak Ari. Pasti dia udah nunggu. Bahkan bisa jadi sekarang dia udah berdiri di pintu gerbang. Pasti mau ngasih penjelasan panjang lebar." Tari tersenyum sinis. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk situasi yang saat ini sama sekali tak berpihak padanya. Mama Tari hanya bisa diam mendengarkan.
"Buat Tari, apa pun yang mau dia omongin, bukan penjelasan. Pembelaan diri. Biar dia nggak ngerasa udah jahat-jahat amat sama Tari. Bahkan bisa jadi supaya dia nggak keliatan jahat-jahat amat, dia bakal nipu Tarh lagi!"
Tanpa menunggu reaksi mamanya, cewek itu menyambar sepotong roti bakar lalu membawanya ke kamar bersama segelas susu. Fin dan mama Tari saling pandang. Raut murung namun sarat kemarahan di wajah Tari membuat wanita itu terpaksa meluluskan kemauan putrinya. Fio terpaksa mengikuti, karena jika dia masuk sekolah, tak ayal dirinya yang harus menghadapi Ari. Sebagai kurir, juru bicara, juru runding, penasihat, dan sederet tugas lain untuk menjembatani putusnya komunikasi ini.
Bukannya tidak ingin membantu. Fio hanya merasa untuk menyelesaikan masalah ini, yang paling tidak bisa dibutuhkan oleh kedua orang itu adalah hadirnya orang ketiga.
**** Pagi itu koridor di depan kelas Tari sepi karena Ari bercokol di bangku panjang yang terdapat di sana. Keruhnya wajah Ari membuat semua juniornya bisa merasakan cowok itu sedang berada dalam kondisi emosi yang nggak bagus. Karenanya semua penghuni kelas Tari jadi enggan keluar. Duduk membentuk titik-titik kelompok, mereka berkasak-kusuk dengan suara pelan. Melontarkan pada satu sama lain, dugaan penyebab pentolan sekolah itu sudah muncul bahkan sejak Jimmy -orang yang paling rajin datang pagi- belum tiba.
Bercokolnya Ari itu juga menyebabkan siswa kelas sepuluh yang terbiasa sarapan di kantin terpaksa lari ke koperasi. Sedangkan siswa yang urgent ke kamar kecil terpaksa memohon kepada pegawai sekretariat agar diperbolehkan menggunakan kamar kecil mereka. Mengatakan permisi pada wajah angker Ari meskipun itu dengan intonasi yang bahkan paling merendah dan sopan, sepertinya tetap akan membuat satu-dua jotosan melayang.
Pukul setengah tujuh kurang satu menit. Ari hopeless. Dia yakin Tari nggak mungkin datang. Untuk kesikian kali di kontaknya Oji, yang dimintanya untuk berjaga di pintu gerbang.
"Ada, Ji""
"Nggak ada, Bos,"
"Fio"" "Nggak ada juga."
Ari menghela napas. "Ya udah, lo balik deh. Bentar lagi bel." "Nggak ditunggu sebentar lagi" Kali aja dia telat." "Kayaknya nggak masuk."
"Gitu" Ya udah." Ari menutup telepon. Dihelanya napas. Sesak karena rasa bersalah semakin mengimpit, sampai rasanya ingin dihantamnya daun pintu tak jauh di sebelahnya. Kemudian dia berdiri, menghampiri siswi yang bangkunya paling dekat dengan pintu depan. Nyoman.
"Berapa nomer HP lo""
Nyoman menatap Ari dengan bingung.
"Berapa nomer HP lo" Bengong, lagi."
"Oh!" Nyoman tersadar. Buru-buru dia sebutkan nomer ponselnya. Tak lama terdengar ringtone panggilan masuk dari dalam laci meja. Segera Nyoman meraih ponselnya itu. "Itu nomer gue. Kalo Tari dateng, langsung telepon gue. Ngerti"" "Iya, Kak." Nyoman mengangguk patuh.
"Nama lo"" "Nyoman."
Ari mengangguk. "Jangan lupa ya, Nyoman," katanya, lalu balik badan dan meninggalkan kelas Tari dengan rasa bersalah dan kecemasan yang terasa semakin menggantung berat.
*** Keesokan harinya, Tari kembali berangkat sekolah. Terpaksa. Penginnya sih di rumah aja. Soalnya kalo sekolah pasti ketemu Ari. Dirinya belum siap. Bukan belum siap ketemu cowok itu, tapi belum siap mengatasi rasa marah dan semua emosi karena kebohongan itu. Jangankan berhadapan langsung, begitu ingat lagi pengakuan itu, rasanya pingin.... pingin.....
Tari menghela napas lalu menggelengkan kepala kuat-kuat. Mengenyahkan dari dalam kepalanya deret visual tindakan sadis yang sangat ingin dilakukannya terhadap Ari.
Di halte, Fio yang sudah menunggu sejak lima belas menit yang lalu bergegas menghampiri Tari begitu melihat sahabatnya itu turun dari bus. Langsung digandengnya teman semejanya itu. Oji, yang sama seperti kemarin -diminta Ari untuk mengawasi di pintu gerbang- langsung memberikan laporan begitu dilihatnya Tari berjalan di kejauhan bersama Fio. Setelah itu ditinggalkannya gerbang karena tugasnya sudah selesai.
Begitu mendekati gerbang sekolah, baik Tari maupun Fio langsung mengawasi sekeliling, mencari-cari keberadaan Ari. Tari dengan kemarahan, sementara Fio dengan kecemasan. Keduanya sama-sama menarik napas lega ketika telah menapaki tangga-tangga terakhir menuju lantai tempat kelas mereka berada dan Ari tidak terlihat sama sekali. Tapi kelegaan itu seketika sirna karena Ari ternyata berada di tempat yang menjadi tujuan mereka. Tepat di depan pintu kelas!
Untuk semua mata, Tari hanya terlihat seperti kurang sehat. Tapi tidak untuk kedua mata Ari. Dari jauh pun dia sudah tahu kondisi Tari saat ini adalah murni akibat tindakannya.
Seketika langkah Tari terhenti. Tubuhnya menegak kaku. Keduanya saling tatap. Dua pasang mata itu bertemu. Yang melukai dan yang dilukai.
Ini adalah untuk pertama kalinya Ari melihat Tari lagi setelah pengakuan itu. Dan kondisi cewek ini semakin memperdalam torehan sakit di atas rasa bersalahnya. Perlahan, Ari memperpendek jarak. Mencoba mendekat. Tapi baru satu langkah, Tari langsung memberinya peringatan dengan gigi gemeretak.
"Minggir lo!" Langkah Ari terhenti. Hanya terhenti. Dia sama sekali tidak berniat menyingkir seperti peringatan itu. Kedua matanya tetap terarah lurus pada Tari. Ditelannya ludah saat disaksikannya bara berpijar di kedua mata itu. Berkilat dan menyala. Memberinya keyakinan, akan sangat sulit untuk meraih kembali cewek ini.
"Minggir dari depan pintu kelas gue!" bentak Tari. Kali ini suaranya mulai naik satu oktaf. "Kalo
nggak, ntar gue teriak kenceng-kenceng nih. Biar semua tau kalo elo tuh aktor!" "Teriak aja. Nggak pa-pa kalo itu bisa bikin elo lega," ucap Ari halus.
Kedua bibir Tari mengucup kaku. Kalimat Ari itu membuatnya makin mendidih. Sok wise! Padahal itu cuma caranya biar nggak terlalu ngerasa bersalah!
Berbeda dengan Tari yang seketika jadi 'buta', Fio bisa melihat dengan jelar penyesal Ari dan permohonan maafnya. Karenanya lewat sorot mata, dimintanya Ari untuk pergi. Tapi cowok itu sama sekali tidak mengacuhkan.
Melihat Ari tetap tegak di depannya, tidak juga menyinkir, akhirnya Tari menjerit. Benar-benar keras seperti ancamannya tadi.
"MINGGIR NGGAK, LO!" MINGGIR! MINGGIR! MINGGIIIR!!!"
Ari tertegun. Apa yang baru disaksikannya sudah tidak bisa dikategorikan sebagai kemarahan. Ini h
isteria! Jeritan Tari seketika melejitkan seluruh teman sekelasnya dari tempat mereka duduk. Sebagian lalu bergerombol berdesakan di depan pintu, sementara sebagian lagi berdesakan di deretan kaca jendela.
Hal yang sama juga terjadi di kelas 10-8 -kelas yang bersebelahan dengan kelas Tari- karena peristiwa itu terjadi tidak jauh dari pintu belakang kelas mereka. Ruang kosong di ambang kedua pintu yang berdekatan itu kini penuh dengan tubuh-tubuh manusia yang menatap Ari dan Tari dengan penuh rasa ingin tahu.
Dengan sorot mata yang kini panik, Fio benar-benar memohon agar Ari mau pergi. Diam-diam Ari menarik napas panjang. Dia terpaksa mengalah. Karena jika tidak, dirinya akan membuat semua kelas sepuluh keluar dari kelas masing-masing dan berkumpul di sekeliling mereka bertig. Sambil menatap Tari, Ari bergerak mundur tiga langkah, balik badan kemudian pergi.
Tari menyaksikan kepergian Ari dengan kedua bibir yang dikatupkannya rapat-rapat sampai nyaris berwarna putih, menekan gelegak kemarahannya agar tidak berubah menjadi tangis.
"Udah, nggak usah diliatin terus," bisik Fio. Direngkuhnya bahu Tari kemudian dibawanya memasuki kelas.
*** Siang sepulang sekolah, Ari kembali mencoba menekati Tari. Kali ini di koridor utama, bersama Oji. Bukan karena Ari mencari sekutu atau bantuan, tapi karena ketika melihat Ari sedang berdiri bersandar di dinding tidak jauh dari tangga menuju area kelas sepuluh, Oji langsung menghampiri tanpa pikir lagi. "Nungguin dia"" tanya Oji.
Ari mengiyakan dengan menggerakkan kedua alisnya.
Berbeda dengan pagi tadi -langsung menghadang langkah Tari- kali ini Ari lebih berhati-hati. Ketika dilihatnya cewek itu, tetap tidak ditinggalkannya dinding tempat disandarkannya punggung sejak sepuluh menit yang lalu. Sekarang ganti Oji yang melakukan itu. Oji berdiri tepat di tengah-tengah koridor, membuat semua juniornya baik kelas sepuluh maupun kelas sebelas seketika menyingkir. Mereka turun dari koridor, ke taman kecil di sebelahnya.
Tari dan Fio baru saja akan melakukan hal yang sama saat mereka menyadari Oji akan menghadang kemana pun mereka belokkan langkah. Apalagi setelah lewat ekor mata, mereka melihat keberadaan Ari. Mereka makin yakin lagi, bahkan jika meninggalkan tempt itu dengan berlari, Oji pasti akan langsung mengejar dan menyeret mereka kembali. Terutama pada Tari. Akhirnya keduanya berhenti.
Selain Ridho, Oji memang orang yang paling memahami Ari. Tak mungkin Ari berdiri di tempat ini tanpa tujuan. Tapi Oji tidak peduli apa tujuan itu. Yang jelas itu pasti berkaitan erat dengan Tari. Dan itu berarti hanya satu, harus di hentikan cewek itu.
Ari melipat kedua tangannya di depan dada saat dilihatnya Oji berhasil menghentikan langkah Tari dan Fio. Tidak beranjak dari tempatnya berdiri, diawasinya ketiga orang yang berdiri tidak jauh itu, terutama Tari.
"Kak Oji ngapain sih" Kami buru-buru nih," ucap Fio dengan nada kesal.
Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ngapain buru-buru" Jam segini bus pada penuh," balas Oji.
"Sok tau. Emang pernah naik bus, apa""
Tari berdecak pelan. Mulai jengkel dengan berikade itu.
"Minggir nggak lo dari depan gue" Tampang lo itu bikin males, tau!" bentaknya. Dipelototinya Oji tajam-tajam.
"Elo....!"" Oji kontan melotot balik. "Yang sopan kalo ngomong. Baru kelas sepuluh juga!" Bentakan Tari itu seketika membuat Ari menegakkan tubuh. Kedua matanya semakin mengunci Tari dalam fokus tatapannya.
"Apa!"" Tari tambah melotot. Kali ini tubuhnya ikut condong ke depan. "Jangan cari gara-gara deh! Minggir nggak lo, bego! Gue lempar pake cutter nih!" ancam Tari. Segera dibukanya ritsleting kantong depan tasnya.
Kembali Ari memutuskan untuk mengalah, karena ini di koridor utama. Bukan cuma murid semua angkatan, guru-guru dan semua pegawai sekolah juga melalui koridor ini. Dan bentakan Tari tadi menarik keingintahuan, karena beberapa pasang mata mulai menatap ke arah mereka. "Oji!" panggil Ari. "Mundur. Kasih dia lewat."
"Tapi lo bilang... "
"Mundur!" Oji menatap Ari dengan ekspresi bingung, karena nggak biasanya Ari bersikap lunak. Tapi diturutinya
juga perintah itu. Oji menyingkir dari depan Tari dan Fio, lalu menghampiri Ari dan berdiri di sebelahnya.
Jalan di depannya tidak lagi terhalang, tapi Tari tidak bergegas pergi. Ditatapnya Ari dengan bara kebencian yang benar-benar meletup. Membekukan Ari. Sementara di sebelah Ari, Oji menatap sepasang mata yang sarat percik kebencian itu dalam ketertegunan.
Kali kedua setelah usia delapan tahunnya terentang begitu jauh di belakang, kembali Ari dikoyak rasa frustrasi. Perasaan ditolak dan tidak diinginkan. Sesuatu yang kuat tapi tak dipahaminya kala itu. Namun masih di kenalnya rasa sakit ini. Karena rasa inilah yang telah memicunya untuk 'mematikan' dirinya sendiri. Hidup demi saudara kembarnya demi satu harapan, entah bagaimana caranya, akan membawa dua orang yang mendadak hilang dari hidupnya itu kembali.
Ketika bertahun kemudian disadarinya harapan itu absurd, mengambil pribadi Ata ternyata telah menjadi cara untuk bertahan. Sampai kemudin muncul gadis ini. Gadis yang menyandang nama yang sama dengan saudara kembarnya.
Seketika gadis ini menyulut lagi harapan itt. Membangkitkan kenangan. Menyalakan kerinduan. Sekaligus mematikan logika dan akal sehatnya.
Tidak ada yang salah dengan harapan yang terus digenggamnya kuat-kuat itu. Yang salah adalah, dirinya yang terlalu fokus dengan hatinya sendiri. Hingga dikupakannya bahwa gadis ini juga punya hati. Hingga tak pernah terlintas bahwa pada akhirnya ini akan melukai. "Kenapa masih belom pergi"" tanya Ari pelan.
Fio yang bereaksi lebih dulu atas suara putus asa Ari itu.
"Yuk, Tar," ajaknya pelan. Digamitnya satu lengan Tari. Tari menolak. Magma kemarahan sudah bergolak, dan kalau tidak dimuntahkan dirinya tidak akan puas.
"Gue benci banget sama elo!" desisnya. Akhirnya pernyataan itu menghancurkan Ari.
Dengan kedua mata yang tidak lagi bisa menyamarkan itu, Ari mengikuti setiap langkah menjauh Tari. Sampai gadis itu hilang ditelan kerumunan siswa SMA Airlangga yang memenuhi area jalan menuju gerbang. Hal yang sama dilakukan Oji, tapi dengan ekspresi bingung.
"Tuh cewek kenapa sih" Segitu kalapnya," tanyanya.
Ari pura-pura tidak mendengar. Dia meninggalkan tempat itu, kembali menuju kelas, mengambil tas dan jaket lalu pergi. Pergi ke mana saja hatinya yang patah siang ini menuntunkan arah.
*** Letih -baik pikiran, emosi, dan hati- membuat keduanya akhirnya terpuruk, tanpa satu sama lain tahu. Tari kehilangan seluruh konsentrasinya pada pelajaran. Empat puluh lima menit kali seluruh pelajaran yang sudah terlewati menghasilkn catatan yg berantakan. Bahkan setelah dibaca ulang, Tari yakin ada banyak bagian yg tertinggal, tidak tercatat. Seluruh soal yg diberikan, baik latihan di sekolah maupun PR di rumah, dijawabnya dgn kacau bahkan asal-asalan. Teguran-teguran mulai diterima Tari dari para guru. Bu Pur bahkan memerintahkannya untuk menemui Bu Sati, guru BP, setelah gagal mengorek dengan cara halus penyebab salah satu anak didiknya itu kacau hampir di seluruh mata pelajaran.
Di tempat lain, di kelasnya sendiri, Ari melampiaskan dengan cara berbeda. Dibuatnya suasana kelas jadi ricuh dan ingar-bingar. Hampir di semua jam pelajaran, ide-idd konyol yang sebenarnya manifestasi dari kepedihan dan rasa frustasi bermunculan di kepalanya.
Cowok itu makan bakwan dengan sambal kacang ekstra pedas, tanpa minum, pada saat pelajaran Pak Sitanggang, guru matematika yang terkenal pemarah. Makan kerupuk kulit pas pelajaran Bu Ida yang terkenal selalu hening senyap. Sementara kerupuk kulit dagangan Mpok Zaenab di kantin itu sudah terkenal supergaring. Bunyi 'kres'-nya kalo digigit udah kayak mercon. Nyaring banget. Sampai konser dangdut akapela, yang dilakukan pada saat jam kosong. Dimeriahkan dengan kontes goyangan-goyangan hot di depan kelas. Dari goyang gebor Inul Daratista, goyang ngecor Uut Permatasari, goyang patah-patah Anisa Bahar, sampai, goyang gergaji ala Dewi Persik. Sebagian dilakukan oleh cowok-cowok yang emang udah lama dikenal gila dan cacat anatomi, nggak punya urat malu. Dan sebagian lagi oleh cowok-cowok yang kemungkinan karena
salah asuh dari ibu masing-masing.
Tawa-tawa histeris seketika membahana dari kelas 12 IPA 3 itu, membuat dua orang guru yang mengajar di dua kelas yang bersebelahan sampai meninggalkan kelas masing-masing, lalu berteriak marah di pintu kelas yang berisi siswa pentolan sekolah itu.
Teguran dari para guru yang merasa kesal karena ulah Ari sangan mengganggu jalannya pelajaran, sampai panggilan dari kantor kepsek, tidak berhasil menghentikan ulah Ari. Semua tantangannya memang selalu mendapatkan sambutan sangat antusias dari hampir seisi kelas, karena Ari selalu menyediakan doorprize menggiurkan untuk setiap peserta yang paling berani malu. Uang! Namun, ketika semua itu ternyata tidak memberikan kelegaan sedikit pun untuk sesak yang menghimpitnya, Ari berhenti menciptakan hura-hura. Diputuskannya untuk terbang ke Bali besok pagi-pagi sekali. Di pulau eksotis itu ada banyak tempat untuk menenangkan pikiran dan hati, dan ada banyak tempat juga untuk lupa diri.
Pada detik akhirnya Ari kelelahan dan memutuskan untuk pergi. Tari juga telah sampai pada batas akhir pertahanannya. Berangkat dari rumah sudah dalam kondisi letih dan kacau, dia tidak berhasil berkonsentrasi pada pelajaran bahkan sejak jam pertama baru saja dimulai. Ketidak hadiran Fio karena harus menemani mamanya untuk satu urusan keluarga semakin membuat Tari merasa berat, karena hanya Fio yang tahu keseluruhan cerita. Jadi hanya pada teman semejanya itu Tari bisa berkeluh kesah. Meskipun itu keluhan yang selalu sama dan untuk yang kesekian juta kalinya.
Jadi, hari itu yang dikerjakan Tari adalah mencatat apa yang harus dicatat. Mendengarkan apa yang harus didengarkan, meskipun kemudian semua penjelasan itu menguap tanpa sisa dari dalam kepalanya. Mengerjakan apa yang harus dikerjakan, meskipun hampir selalu kacau atau salah total. Para guru, yang tadinya menegur atau mengomel, akhirnya pasrah saat menyadari anak didik mereka itu memang sedang berada dalam kondisi 'mati suri'. Raganya berada di tempat, tapi jiwa, semangat, dan pikirannya entah terbang ke mana. Teman-teman sekelas Tari juga menyadari betapa kacaunya cewek itu. Sejak berhari-hari lalu. Tapi kali ini tak seorang pun yang sampai hati untuk bertanya. Satu yang mereka tahu dengan pasti, itu berkaitan dengan Ari. Pasti! Memasuki pelajaran keempat, Tari menyerah. Bukan cuma letih mental dan emosi, dia juga merasa tubuhnya muli tidak bisa diajak kompromi. Akhirnya, pada guru yang sedang mengajar, Tari minta izin untuk istirahat sebentar di ruang PMR, karena ruang UKS terletak di gedung yang berbeda. Segera izin untuk meninggalkan kelas diberikan oleh guru yang bersangkutan. Di ruang PMR tampak seorang siswi kelas sebelas -yang menjadi pengurus eskul PMR- sedang berjaga. Cewek itu sedang pelajaran olah raga, tapi sudah minta izin pada guru olahraganya untuk tidak ikut tanding basket ataupun jadi penonton. Cewek itu langsung mengizinkan Tari menggunakan salah satu dari tiga ranjang yang ada. Sama sekali tanpa bertanya kenapa atau ada apa atau sakit apa.
Siapa juga yang nggak kenal Tari" Bersama Ari, mereka adalah duo yang paling sering menciptakan kehebohan dan hura-hura.
Sementara itu di kelas Ari suasana begitu hening, karena Bu Ida baru saja mengeluarkan ancaman maut; sekali lagi Ari menyulut ingar-bingar seperti yang terjadi minggu lalu, dia tidak akan lagi memasuki kelas itu sampai lulus-lulusan!
Keheningan itu kemudian dipecahkan oleh suara pintu dibuka. Oji, yang sepuluh menit lalu diminta Bu Ida mengambil bukunya yang tertinggal di ruang guru, kembali. Setelah meletakan buku itu di meja guru, Oji melangkah kebangkunya.
"Ri, si Tari kayaknya sakit," bisiknya.
Ari menoleh serta-merta. Ditatapnya Oji lurus-lurus.
"Gue tadi ngeliat dia masuk ruang PMR," bisik Oji lagi.
Ari langsung berdiri dan berjalan keluar kelas dengan langkah tergesa. Tak dihiraukannya bentakan Bu Ida yang menyuruhnya kembali. Disusurinya koridor dengan langkah cepat, nyaris setengah berlari. Di tangga turun bahkan dilompatinya tiap tiga anak tangga sekaligus. Langkah-langkah tergesanya terhenti tepat
di depan pintu sekretariat PMR. Dia mematung di ambangnya. Dia akui keegoisannya. Melukai dengan seluruh kesadaran, lalu mengejar dengan segala cara agar maaf diberikan. Namun kini tidak lagi. Akan diterimanya seluruh caci maki dan semua hal yang memang pantas diterimanya.
Tanpa bunyi, kemudian dimasukinya ruangan itu. Kedua matanya seketika tertancap pada salah satu dari tiga tempat tidur yang ada, terletak paling tepi dan tertutup tirai. Seorang siswi kelas sebelas, anggota PMR yang kebagian tugas jaga di ruangan itu, mendongak dan sontak terkejut mendapati siapa yang berdiri di depannya.
"Tolong lo keluar," ucap Ari pelan. Segera cewek itu mematuhi perintahnya. Begitu cewek itu melewati ambang pintu, Ari segera menutupnya. Tanpa suara.
Perlahan dihampirinya tempat tidur itu. Di dapan tirai tipis putih pekat yang menutupinya rapat, langkah itu terhenti. Perlahan Ari menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan gerak yang lebih perlahan lagi, berusaha meredam gemuruh detak jantungnya yang menggila, tapi sia-sia. Seperti seribu detik habisnya waktu sejak dia ulurkan tangan sampai tirai itu akhirnya tersibak pelan. Dan Ari membeku.
Di depannya, dalam jarak yang teramat dekat, terbaring seseorang yang telah menjadi korban dari begitu banyak tindakan egoisnya. Seseorang yang sebenarnya tidak tahu menahu. Seseorang yang sebenarnya tidak bersalah sedikit pun. Seseorang yang sebenarnya tidak harus bertanggung jawab atas apa pun yang telah terjadi dalam hidupnya, namun dengan paksa telah diseretnya masuk ke dalam hidupnya yang hanya berisi pusaran badai.
Wajah dengan kedua mata tertutup pucat. Ari menelan ludah. Setelah semuanya, masih berapa banyak lagi yang ingin dimintanya dari cewek ini"
Tiba-tiba dua kelopak tertutup itu membuka. Sepasang mata redup di baliknya seketika terbelalak. Keduanya saling tatap. Untuk pertama kalinya di luar dua tempat Ari merasa aman untuk merasa letih dan putus asa -kamar tidurnya di rumah dan saung di lereng gunung itu- dia biarkan seseorang melihat seluruh luka dan kesakitannya, seluruh kerapuhan, juga setiap usahanya yang kerap terlatih untuk bertahan.
Telanjang. Transparan. Apa adanya. Tanpa topeng dan tanpa keinginan untuk menjelaskan lagi. Sering kali hening memang lebih mampu mengungkapkan banyak hal daripada ribuak kata. Dan sering kali pula mata lebih mampu menyampaikan apa yang hati ingin bicara, lebih daripada bibir sanggup mengatakannya.
Namun, maaf bukanlah satu tindakan yang bisa dilakukan tiba-tiba. Ada pengertian panjang sebelumnya. Ada pemahaman. Ada keikhlasan.
Yang pasti, yang dibutuhkan adalah waktu dan yang tidak dibutuhkan adalah amarah. Sayangnya, saat ini satu-satunya yang ada adalah apa yang justru tidak dibutuhkan.
Tanpa mengangkat kepala dari bantal, Tari mendongak ke arah bangku tempat siswi anggota PMR yang tadi sedang berjaga.
"Kakak... " panggilan seraknya langsung terhenti, karena dilihatnya bangku itu sekarang kosong dan pintu telah tertutup. Sekilas Tari sadar, hanya ada dirinya dan Ari di ruangan itu. Seperti tersengat, Tari langsung bangkit. Seperti tersengat juga, Ari bergerak lebih cepat. Ketika pada detik berikutnya kedua tangannya terulur, Ari sudah tidak lagi kondisi sepenuhnya sadar.
Ketika kemudian dicekalnya kedua bahu Tari, menahan cewek itu dalam posisi terbaring, itu sudah satu bentuk tindakan alam bawah sadar.
Ketika kemudian dia bungkukkan tubuhnya begitu rendah, penyesalanlah yang kini ganti memintanya.
Dan ketika akhirnya air matanya jatuh, itulah wujud penyesalan yang sepenuhnya.
Tari memejamkan kedua matanya, karena air mata itu jatuh tepat di dalamnya. Berbaur dengan air matanya sendiri dan mengalir bersama.
Ari menatap bening yang mengalir turun itu. Miliknya, dan milik gadis ini. Kembali sesal yang pedih menyelinap, dan akhirnya membunuh seluruh kesadarannya yang tersisa. Dia rentangkan kedua lengan dan diraihnya seluruh keberadaan Tari dalam kedalaman lingkarannya. Dilenyapkannya sisi jarak di antara mereka.
Pelukannya itu kemudian memecahkan tangis, mengalirkan lebih banyak lagi air
mata. Namun itu tak terasa meringankan, karena setiap isak lirih memberi perih yang baru untuk luka-lukanya.
Dan sekuat apapun pelukan untuk Matahari ini, bisa dia rasakan jarak kembali menyelinap. Tak bisa dihambat. Tak bisa dihentikan. Keberadaan gadis ini seperti meluruh dan semakin jauh.
Kepergiannya terasa pasti. Ari bisa merasakan, keputusasaan mulai memeluknya kini.
Bagi Tari sendiri, sudah sejak hari itu pelukan ini tak lagi bisa dikenali. Hangat dekapan yang justru terasa menggigilkan. Ketiadaan jarak yang terasa menyesakkan. Dua lengan asing. Detak jantung seseorang tak bernama.
Karena itu, kemudian dia berusaha keras menguraikan pelukan itu. Diletakkannya kedua telapak tangannya pada belah dada Ari tempat jantung cowok ini berada.
Menyakitkan. Karena ketika semua terasa seperti diam, hingga apa yang telah terjadi bisa dianggap cuma mimpi, detak-detak jantung itu keras menyangkal.
Sekuat tenaga Tari lalu berusaha mendorong dada itu, namun pelukan itu membatu. Tak terurai. Bukan karena Ari tak mendengar, tapi karena pinta dalam lirih suara bercampur isak itu tak lagi tercerna. Otaknya berhenti bekerja. Ari hanya tak ingin Tari lepas dari dekapnya, karena seterusnya mungkin gadis ini tak akan pernah bisa teraih lagi.
Kehabisan tenaga, akhirnya Tari berhenti meronta. Kedua tangannya melunglai, terlipat di antara tubuhnya dan tubuh Ari. Kedua mata Ari mengerjap lambat. Dibiarkannya detik-detik berlari. Menghadirkan hening yang mengisi setiap ruang kosong yang ada. Sampai dirinya yakin tubuh yang dipeluknya ini tak akan mencoba pergi.
Perlahan, cowok itu kemudian melepaskan dekapannya. Menyisakan ruang yang tetap tak mungkin bagi Tari untuk melepaskan diri. Sepenggal jarak itu ditatapnya dengan kedua mata berkabut. "Kalo gue bilang... , gue nyesel waktu harus jadi Ata... , lo percaya""
Tari memalingkan muka. Tak dijawabnya tanya yang diulurkan Ari dengan suara lirih dan terputus-putus itu.
"Lo nggak percaya," dengan bisikan, Ari menjawab sendiri pertanyaan itu. "Lebih dari nyesel... Gue ancur."
Ari tidak bohong. Dia jujur. Dia menyesal berkali-kali. Dia hancur berkali-kali. Sayangnya, dia hanya bisa bicara untuk dirinya sendiri. Untuk ruang kosong di antara dirinya dan cewek dalam peluknya ini. Untuk rasa hampa yang perlahan hadir.
Tari ada jauh di luar alam raya. Karenanya Ari tidak ingin lagi membuka mulutnya. Apa pun yang dikatakannya tak akan pernah sampai. Hitam kedua bola matanya lalu berusaha menembus pekatnya nanar fokus mata. Pada wajah yang sejak tadi menolak untuk menatapnya. Pada sisa-sisa jejak air mata.
Perlahan jari-jari tangan kirinya mendekat. Dihapusnya sisa butiran bening itu dengan sangat hati-hati, seakan jejak-jejak air mata itu adalah luka. Tari menggigit bibir. Semakin dia palingkan mukanya.
Sebelah pipi itu menyadarkan Ari betapa pucat wajah Tari. Menghentikan, saat itu juga, gerak jari-jarinya. Dia mematung.
Telah diletakannya seluruh sakit yang mencengkeram dadanya ketika kemudian ditundukannya kepala. Memberi, pada pipi pucat itu, satu cium. Yang dilakukan dengan lembut seakan-akan pipi pucat itu juga adalah luka.
Satu cium yang bukan hanya berasal dari seluruh sesal yang ada, namun juga dari sesuatu yang tidak bisa disadarinya. Seluruh hati yang dimilikinya.
Tari kerkesiap. Seketika jadi kalap. Dengan kekuatan yang entah datang dari mana, didorongnya tubuh Ari, sampai tercipta jarak yang cukup baginya untuk bisa melepaskan diri. "Lo ngomong aja sama yang lain! Gue nggak percaya apa pun yang keluar dari mulut lo! Pergi lo! Jangan ada di depan gue lagi!" desisnya dengan suara serak.
Perlahan Ari menegakkan punggung. Ditatapnya gadis yang meringkuk rapat-rapat di sudut kaki tempat tidur itu dengan sepasang mata yang semakin berkabut. Perlahan, dia melangkah mundur.
Bel istirahat berbunyi. Menegaskan keberadaan dinding tak terlihat di kesadaran Ari. Mengukuhkan jurang tak terjembatani di antara dirinya dan gadis di depannya itu kini. Dengan gerakan lemah dikeluarkannya ponsel dan Ridho jadi orang pertama yang dikontaknya. "Dho, tolong
ke ruang PMR sekarang. Bawain jaket gue sekalian." Dijauhkan ponsel dari telinga, lalu dicarinya nama Fio di daftar kontak.
"Lo nggak masuk" Ya udah kalo gitu." Ari langsung menutup telepon. Sekali lagi dibukanya daftar kontak.
"Nyoman, bawa tas Tari ke ruang PMR sekarang."
Nyoman sampai lebih dulu. Seketika dia tertegun mendapati kondisi Tari. Mulutnya sudah terbuka untuk bertanya, tapi langsung dia urungkan begitu sadar siapa yang terlibat di sini. Akhirnya, tanpa sedikit pun mulutnya terbuka, Nyoman melangkah menghampiri Tari dan duduk di sebelahnya. Ridho, yang tiba tak lama kemudian, bereaksi sama persis dengan Nyoman. "Tolong anter dia pulang." Ari melemparkan kunci motornya. Ridho menangkap kunci itu lalu menghampiri sang pemilik.
"Lo apain dia!"" bisiknya tajam. Kedua rahang Ari terkatup keras. Tak menjawab. Ridho meraih tangan Ari, bersama jaket dikembalikannya jaket itu. "Kenapa bukan lo sendiri"" kecamnya. Ari berjalan menuju lemari di sudut ruangan. Diletakkannya jaketnya di atasnya. Kemudian dengan kedua mata menatap Ridho, cowok itu menghampiri Tari lalu berlutut di depannya dengan satu kaki menyentuh lantai. Posisi yang harus diambilnya karena sejak tadi Tari terus menundukkan muka dan tidak mengeluarkan suara.
"Gue aja yang nganter pulang, ya"" Ari menawarkan diri dengan nada yang benar-benar merendah, karena dia bersungguh-sungguh dengan permintaan itu.
Seketika Tari menatapnya dengan sorot yang membuat Ridho dan Nyoman jadi yakin, daripada diantar Ari, tuh cewek pilih mati!
Ari menegakkan tubuh lalu menatap Ridho dengan kedua alis terangkat. Ridho menarik napas lalu mengembuskannya perlahan.
"Nganter pulangnya ntar abis jam istirahat, kan""
"Kalau bisa sekarang, ya mending sekarang."
"Nggak bisa lah. Jangan gila deh lo. Jam istirahat gini di lapangan depan pasti banyak orang. Lo mau dia jadi tontonan""
Ari agak tersentak. "Sori, gue lupa," desahnya berat.
Ridho geleng-geleng kepala. "Gue ke kantin dulu deh. Laper," katanya sambil berjalan keluar. "Beliin teh manis anget," pinta Ari.
"Hmm." Jam istirahat adalah jam ruang sekretariat ekstrakurikuler selalu dipenuhi oleh para anggotanya yang berkumpul. Setelah membuat empat orang anggota junior PMR tersentak kemudian langsung keluar ruangan dan mengusir dua yang lain, Ari mengeluarkan ponselnya sambil berdecak kesal. Dikontaknya Rina, ketua PMR yang kebetulan teman sekelasnya.
"Rin, gue pinjem ruangan lo sebentar."
Rina baru akan bertanya untuk apa, tapi detik berikutnya dia sadar, terhadap cowok satu ini lebih baik tidak terlalu banyak bertanya.
"Oke. Pake aja."
"Thanks." Begitu izin dikeluarkan oleh otaritas yang paling berwenang, Ari langsung menutup pintu. Kemudian ditariknya tirai jendela. Hanya setengah. Cukup agar Tari terhalang dari luar.
Ridho kembali dengan segelas teh manis hangat dan seplastik gorengan.
"Buat dia, kan"" sambil menatap Ari, digerakkannya dagu ke arah Tari. Ari mengangguk. Ridho menghampiri Tari, lalu mengulurkan gelas berisi teh manis hangat itu.
"Nih, diminum. Biar lo agak enakan," ucapnya tulus.
Tari mendongak. Diterimanya gelas itu. "Terima kasih, kak," ucapnya lirih.
Ridho mengangguk. Sesaat ditepuk-tepuknya satu bahu Tari. Kemudian dia berjalan menuju satu dari dua meja yang ada dan mengangkat tubuhnya ke atasnya.
Nyoman pingin banget tanya, ada apa. Tapi dia ngeri karena ruangan itu begitu hening. Semua yang ada di luar, suara-suara, orang-orang, seperti tak terhubung. Juga karena Ari yang terus berdiri diam, bersandar di dinding dekat pintu. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Kedua matanya tenggelam dalam fokus yang berada dalam kedalaman pikirannya.
Kelamnya wajah Ari itulah yang membuat Nyoman tidak berani mengeluarkan sedikit pun suara. Akhirnya dia hanya duduk diam di sebelah Tari. Satu-satunya suara di dalam ruangan itu berasal dari aktivitas Ridho mengunyah semua gorengan yang dibelinya. Sendirian. Karena dua orang yang ditawarinya -Nyoman dan Ari- satu langsung geleng kepala, sementara satunya dalam totalitas menjelmakan diri jadi ar
ca. Bel berbunyi. Jam istirahat berakhir. Ari bergerak dari gemingnya. Ridho melompat turun dari meja yang didudukinya. "Jaket lo," kata Ridho.
Ari menghampiri lemari, mengambil jaketnya lalu melemparkannya ke Ridho. Ridho menangkapnya sambil berjalan mendekati Tari.
"Ayo, gue anter lo pulang." ditepuknya pelan satu bahu Tari.
Tari berdiri. Dia menyerahkan geles berisi teh manis yang sedari tadi dipegangnya ke Nyoman.
Kemudian dengan kedua tangan diusapnya kedua mata, membersihkn sisa-sisa air mata.
"Nih, pake." Ridho mengulurkan jaket hitam Ari. Seketika kedua mata Tari menatap jaket itu dengan sorot akan dikoyaknya jaket itu jadi serpihan kalau sampai ada yang nekat memaksa.
"Oke. Nggak pa-pa kalo nggak mau. Nggak usah emosi." Ridho melemparkan jaket itu kembali ke sang pemilik.
"Dia nggak mau."
Ari menangkap jaketnya. Terlihat agak terpukul dengan penolakan tandas itu.
"Pake mobil gue aja ya, Ri" Dia nggak mau pake jaket gitu. Soalnya udah mulai panas nih." Ridho menatap sesaat ke langit di luar jendela lalu menoleh ke Ari.
"Jangan!" Ari langsung menolak. "Motor gue aja. Biar cepet." dengan ayunan lemah dilemparnya kunci motornya.
"Terseralah." Ridho menangkap kunci itu. Dia lalu menoleh ke Tari. "Yuk." Ridho menganggukan kepala, mengajak Tari keluar.
Tari meraih tasnya yang diketakkan Nyoman di tempat tidur. "Gue duluan ya, Man," pamitnya lirih. "Ati-ati ya," bisik Nyoman.
Tari mengangguk. Diiringi tatapan cemas Nyoman, Tari lalu melangkah menghampiri Ridho yg saat itu sudah berdiri di ambang pintu, tak jauh dari tempat Ari berdiri. Tari sama sekali tidak menoleh saat dilewatinya pentolan sekolah itu.
"Mudah-mudahan aja gue nggak dibacok emaknya. Anaknya pulang matanya pada bengep gitu. Mana baru jam segini, lagi," desis Ridho, melirik Ari sambil berjalan keluar.
Begitu Tari dibawa Ridho pergi, Nyoman buru-buru minta diri, "Saya duluan ya, Kak," ucapnya, lalu balik badan langsung kabur. "Nyoman!" panggil Ari tajam.
Seketika Nyoman menghentikan langkah-langkah cepatnya. Dia balik badan, menghadap Ari dan langsung mengucapkan sumpah. "Saya nggak akan cerita ke siapa-siapa soal yang terjadi di ruangan ini," ucapnya tegas.
Ari mengangguk-angguk, menekan senyumnya agar tidak muncul. Dihampirinya Nyoman lalu berdiri tepat di depannya.
"Emang lo pikir dia gue apain" Hmm" Cewek kan emang doyan nangis."
Setelah mengatakan itu, Ari pergi begitu saja. Nyoman balik badan. Dikutukinya punggung yang menjauh itu dengan mulut ternganga.
"Dasaaar emang tu cowok, brengsek banget! Jelas-jelas waktu pergi tadi Tari nggak kenapa-kenapa. Sekarang jadi kayak gitu. Kok bisa-bisanya dia bilang, 'Emangnya gue apain"'" Nyoman ngomel panjang, kemudian meninggalkan tempat itu sambil geleng-geleng kepala.
Ridho baru kembali setelah jam pelajaran bahasa Indonesia selesai dan jam olahraga sudah berjalan hampir setengahnya. Dua jam lebih.
Begitu motor hitamnya memasuki gerbang, Ari langsung meninggalkan lapangan futsal.
Konsentrasinya yang tak bisa disatukan akibat kegelisahan membuat permainan di lapangan itu jadi kacau dan asal-asalan. Baru akan dibukanya mulut untuk bertanya, Ridho sudah mendahului.
"Gue masih nggak boleh tau"" tanya Ridho, pelan tapi tajam.
Ari jadi menatap sahabatnya itu dengan kening sedikit berkerut.
"Soal apa nih""
"Gue lo anggep apa sih, Ri"Hmm" Temen" Kayak gini""
"Ini soal apa sih" Jangan bikin bingung orang dong." suara Ari mulai meninggi. "Kenapa lo baru balik sekarang" Lo anter dia langsung ke rumah, kan""
"Dia histeris di tengah jalan!" geram Ridho, nyaris jadi bentakan.
Ari terperangah. "Maksud lo""
"Tu cewek nangis. Bukan jenis tangisan karena takut bakalan gue bawa ke mana dulu baru gue pulangin ke rumah. Akhirnya kejadiannya malah begitu. Terpaksa dia gue bawa ke mana dulu, baru gue anterin sampe rumah. Daripada gue yamg kena tuduh emaknya, cuma gara-gara ulah lo." Ari terdiam. Sepertinya masih belum bisa sepenuhnya mencerna info itu. Ridho menghela napas dengan tarikan tajam. Kemudian dia ulang ceritanya. Kali ini peri
nciannya. "Dia nangis. Kenceng. Mendadak. Pas motor lagi jalan. Lalu lintas juga lagi padet. Gimana gue nggak kaget" Nggak jadi panik" Tapi gue tau itu juga bukan kemauan dia nangis di tengah jalan begitu, karena dia tempelin mukanya rapet-rapet ke punggung gue." suara Ridho kemudian melirih, namun sorot matanya yang terus menatap Ari justru menajam. "Dia meluk gue!"
Ari tersentak. Seketika kedua matanya yang juga terus menatap Ridho berkilat. Ridho tak peduli reaksi itu. Diteruskannya kalimatnya.
"Setelah dia meluk gue, setelah dia ngomong susah payah, 'Kak Ridho, pinjem punggungnya ya, sebentar aja...' baru gue sadar.. ini pasti masalah serius!"
"Dia cerita apa"" suara Ari terdengar kering dan seperti tercekik di tenggorokan. "Kalo dia cerita, gue nggak akan tanya elo sekarang, tolol!" desis Ridho gemas. Ari terlihat lega. Ridho jadi semakin kesal. "Terus lo bawa ke mana dia""
"Ya ke tempat dia bisa ganti gue peluklah. Bego bener pertanyaan lo."
Seketika kilatan tajam kembali muncul di kedua mata Ari. Ridho tetap tidak peduli.
"Sekarang pikir pake otak. Harus gue diemin aja kondisinya begitu" Iya" Coba kalo tadi gue anter pake mobil, kan gampang. Tinggal berhenti di pinggir jalan terus tunggu sampe nangisnya selesai.
Nggak perlu ada kontak fisik. Tapi karena pake motor, daripada dia jadi tontonan orang, terpaksalah gue ngebut nyari tempat sepi." Ridho menghentikan ceritanya. Dia lalu geleng-geleng kepala sambil berdecak.
"Tu cewek asetnya emang gila ya" Dahsyat banget!"
Kilatan tajam di kedua mata Ari seketika pecah jadi letupan bara.
"Elo...!" Seiring geraman itu, kedua tangan Ari serentak terulur, akan mencengkram kerah kemeja Ridho. Ridho segera menghentikan usaha kedua tangan itu dengan cepat sesaat sebelum berhasil menyentuh sasaran.
Dicengkramnya kedua pergelangan tangan Ari kuat-kuat. Namun berlawan dengan itu, kedua matanya menatap sobat karibnya itu dengan ketenangan, dan diputuskannya untuk menggunakan lelucon. Berharap itu bisa meredakan kemarahan Ari.
"Emang lo kira boncengin cewek terus tu cewek histeris di tengah jalan nggak berisiko, apa" Risikonya gede, tau! Kalo ada pejuang emansipasi radikal yang pas lewat, gue bisa digebukin abis-abisan. Yang paling parah, gue bisa dituduh udah merkosa anak orang! Gawat banget kan tuh" Gue bisa diciduk polisi, man. Terus masuk penjara deh." Kemudian Ridho tersenyum.
"Jadi anggap aja itu reward buat gue. Jangan pelit-pelit, kenapa" Kalo nggak insidentil gitu, mana gue punya kesempatan sih" Beda sama elo."
Joke Ridho berhasil. Bara di kedua mata Ari agak meredup. Dengan kasar dia melepaskan cekalan Ridho di kedua pergelangan tangannya. Ekspresi muka Ridho kemudian jadi serius. "Masih nggak mau cerita"" tanyanya lunak. "Gue sebenarnya nggak mau maksa. Gue tetep lebih suka nunggu lo cerita sukarela. Meskipun itu baru terjadi nanti, pas kita udah sama-sama mati dan kebetulan di Padang Mahsyar kita ketemu terus masih saling mengenali. Dan akhirnya baru pada saat itu lo mau buka suara. 'Eh, Dho, waktu kita masih hidup di dunia, sepertinya ceritanya begini..' Nggak pa-pa. It's fine. Gue temen yang pengertian kok.
Ari masih menatap sahabat karibnya itu tanpa sedikit pun suara. Kemudian dia balik badan pergi begitu saja. Ridho menatap kepergian sobatnya itu sambil menghela napas dan geleng-geleng kepala. Tapi tak lama Ari kembali. Seperti baru menyadari sesuatu.
"Dua jam lebih"" desis Ari dengan suara dingin. "Emang dia perlu nangis segitu lama" Kan bisa langsung lo anter dia pulang." kalimatnya seolah-olah mengatakan, pelukan Ridho-lah yang menyebabkan situasinya jadi memburuk.
Ridho menghela napas lagi. Kali ini lebih berat dan lebih panjang. Karena kembalinya Ari itu ternyata bukan untuk menjawab pertanyaannya, justru menuduhnya telah memperkeruh keadaan. "Emang tadi lo ngasih tau gue di mana rumahnya"" kedua alis Ridho terangkat. "Gue nyantai karena gue pikir ntar aja tanya orangnya langsung. Susah-susah amat. Ternyata orang yang harus gue anter sampai rumah itu nangis hebat sampai nggak bisa ditanyain," jelasnya den
gan nada tajam. "Nangisnya lama. Ini gue ngomong jujur sama elo. Gue sampe kelimpungan tadi. Nggak tau mesti ngapain. Yah, terpaksa...," Ridho tersenyum memohon maaf, "gue peluk dia. Sampai nangisnya bener-bener selesai."
Dengan gerakan tajam, Ari melirik dada kiri kemeja seragam Ridho, membayangkan Tari menumpahkan tangis di dada itu.
"Sekali ini aja. Lo inget bener-bener," ucapnya, selirih embusan angin tapi dengan ketajaman sebilah pedang. Kemudian Ari balik badan dan pergi begitu saja.
Ridhn menatap Ari sambil geleng-geleng kepala, jadi tersinggung. Cowok itu lalu balik badan dan melangkah menuju lapangan futsal. "Woi, oper bolanya ke gue! CEPETAN!!!" serunya. Suaranya yang sarat kemarahan membuat kesembilan temannya yang berada di lapangan futsal menatapnya keheranan.
*** Keesokan harinya Ari nggak masuk. Berkali-kali Ridho mengontaknya, tapi sejak usahanya yang pertama -pukul enam pagi tadi- sampai dengan saat ini, istirahat kedua, ponsel Ari tetap nggak aktif. "Jangan-jangan kemaren gue udah salah ngomong." Ridho mendesah pelan. Dimasukkannya ponselnya ke saku celana lalu berjalan keluar kelas menuju kantin. Sesampainya di sana langsung dihampirinya Oji dan duduk di sebelahnya. "Ji, beneran lo nggak tau rumah Ari"" tanyanya pelan.
"Emang ada yg tau, apa"" sambil mengaduk-aduk nasi campurnya Oji melirik Ridho. "Si Tari kira-kira tau nggak ya""
"Nggak tau deh. Lo tanya aja. Emang ada apa sih" Sehari ini udah tiga kali lo nanya gue soal itu. Pake kalimat yg sama pula."
Ridho menghela napas. Cowok itu meraih gelas es teh tawar Oji dan meneguknya sampai tandas. Oji sudah akan meneriakkan protes, tapi langsung dia urungkan, sadar ada yang jauh lebih penting daripada sekedar es teh tawarnya yang ludes.
"Lo kenapa sih" Seharian ini gue liat lo kusut banget."
"Kemaren gue nganter Tari pulang. Ari yang minta."
Ridho menuturkan dengan suara pelan. Namun suara pelan itu sanggup menghentikan keasyikan Oji menyantap nasi campurnya. Kemudian Oji benar-benar berhenti makan dan memusatkan perhatiannya total pada Ridho. Setelah cerita Ridho selesai, Oji menghela napas.
"Gue juga ngerasa ada yg aneh sih. Biasanya Ari kan nggak peduli. Biar si Tari udah ngejerit-jerit, udah sampe nangis malah, tetep aja digangguin. Tapi udah beberapa hari ini kaln dia lihat Tari mulai nunjukin gejala-gejala histeris, Ari langsung mundur."
"Itu dia," desah Ridho berat. "Gue kuatir sama tu anak."
"Mau gimana lagi"" Oji mengangkat bahu. "Terpaksa kita tunggu sampe dia mau sukarela cerita." Keesokan paginya Ridho mendapati motor hitam Ari terparkir di tempat dia biasa memarkir mobilnya. Sang pemilik duduk mencangkung di atasnya. Dari penampilannya yang terlihat letih dan berantakan, sepertinya Ari nggak pulang ke rumah sejak pembicaraan terakhir mereka dua hari yang lalu. Ari langsung turun dari motornya dan menghampiri sisi mobil tempat Ridho duduk. "Mau nemenin gue cabut""
Beberapa detik kontak mata, Ridho mendapati -lebih dari sekedar letih dan kurang tidur- sobat karibnya ini seperti tidak berjiwa. "Oke." Ridho langsung mengangguk.
"Thanks," ucap Ari lirih dan langsung berjalan ke arah motornya. "Oji nunggu di jalan deket rumahnya," katanya tanpa menoleh.
Lima belas menit kemudian Ridho menghentikan sedan putihnya di tepi sebuah jalan. Oji naik dengan kedua mata menatap penuh tanya. Ridho cuma geleng kepala. Langsung diinjaknya pedal gas karena Ari langsung melarikan motornya begitu dilihatnya Oji sudah berada di dalam sedan Ridho.
Pagi belum lagi menyentuh pukul setengah tujuh. Jalan-jalan raya di Jakarta padat oleh mereka yang bergegas berangkat kerja. Setengah mati Ridho berusaha agar Ari tidak sampai hilang dari pandang matanya.
"Tu anak!" desisnya. "Dia kayaknya lupa gue bawa mobil." Ridho meraih tongkat persneling. Oji buru-buru membetulkan letak duduknya.
Tak lama sedan putih itu meliuk tajam. Berusaha keras mencari jalan di antara padatnya lalu lintas pagi Jakarta. Ridho benar-benar mengerahkan seluruh kemampuannya. Dimanfaatkannya setiap celah yang terbuka. Dipotongnya laju beber
apa mobil, menciptakan ruang klakson kejengkelan bahkan kemarahan. Tapi beberapa saat setelah keluar dari Jakarta dan lalu lintas tak lagi terlalu padat, laju motor Ari jadi semakin menggila. Ridho mulai kewalahan. Sampai beberapa saat kemudian Ari benar-benar menghilang dari fokus kedua matanya, tak terkejar. "Sialan tu anak. Beneran dia lupa."
Ridho buru-buru menepikan mobil. Segera dikeluarkannya ponsel dari saku kemeja. "Gue pake mobil, kuya!" makinya begitu Ari mengangkat telepon.
"Sori! Sori!" Ari tersadar. Masih dengan ponsel menempel di telinga, dia lalu menoleh ke belakang. Sedan putih Ridho tak terlihat sama sekali. "Di mana posisi lo sekarang""
"Nggak usah sekarang. Dari setengah jam yang lalu gue udah nggak tau posisi gue di mana. Gue kan cuma ngebuntutin elo."
"Gue balik. Lo tunggu di situ," ucap Ari dan langsung menutup telepon. Sepuluh menit kemudian dia menemukan sedan Ridho diparkir di tepi sebuah jalan. "Sori. Sori. Gue lupa kalo gue ngajak temen," katanya begitu sampai di sebelah mobil Ridho.
Ridho cuma geleng-geleng kepala. Diputarnya kunci kontak. "Ya udah, buruan. Lanjut."
Mereka melanjutkan perjalanan. Kali ini Ari menjaga laju kecepatan motornya, memastikan Ridho tetap berada di belakangnya. Sampai akhirnya mereka tiba di tempat itu. Ridho dan Oji turun dari mobil dan menatap berkeliling. Dingin udara gunung segera memeluk keduanya.
Dengan bingung keduanya mengikuti Ari yang sudah melangkah lebih dulu. Memasuki gapura batu yang tertutup rapat oleh tanaman merambat. Begitu melewati gapura tinggi itu, Ridho dan Oji kontan terpesona. Di depan mereka terbentang keindahan hasil kolaborasi tangan alam dan tangan manusia.
Sambil menikmati bentang keindahan itu, keduanya berjalan menuju satu-satunya saung yang berada di antara bangunan-bangunan yang terbuat dari bata terakota. Ari sudah duduk bersila di sana. Membelakangi mereka.
Ridho dan Oji mendekati Ari dan berdiri di hadapan cowok itu. Mereka baru akan membuka mulut untuk mengomentari tempat itu, namun saat mendapati kondisi Ari, detik itu juga mulut keduanya mengatup kembali.
Ari pucat. Sangat pucat. Dan seperti tidak berada di tempat.
Sesaat Ridho dan Oji saling pandang. Kemudian dengan gerakan perlahan dan hati-hati, keduanya mengambil tempat di sisi kiri dan kanan Ari. Sedikit mundur ke belakang, karena Ari benar-benar duduk di bibir lantai kayu saung itu.
Segera, hanya ada kesunyian di antara mereka. Sampai helaan napas Ari yang terdengar begitu berat sedikit memecah kesunyian itu. Cowok itu membuka ritsleting jaket hitamnya dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari baliknya. Tanpa menoleh dan tanpa mengeluarkan sedikit pun suara, dilemparnya amplop cokelat itu kebelakang.
Ridho dan Oji saling pandang. Hampir bersamaan, keduanya memundurkan posisi duduk hingga sejajar dengan posisi amplop itu terjatuh. Suara gemerisik saat amplop itu dibuka membuat Ari memejamkan kedua matanya. Ditelannya ludah susah payah.
Antara menyesal, namun juga tidak. Antara ingin tetap menjaga rahasia terbesarnya ini, namun juga ingin mengakuinya.
Hanya agar jika dirinya letih sewaktu-waktu, tak perlu lagi berlari mencari tempat sembunyi. Agar teriak keputusasaannya terpahami. Agar rasa frustasinya dimengerti. Itu saja. Keheningan pekat segera tercipta di belakang punggungnya. Isi amplop cokelat yang terbagi dalam dua bagian itu menghantam Ridho dan Oji dengan talak. Syok, membekukan keduanya saat itu juga. Dengan kondisi terbelalak maksimal, kedua mata mereka tertancap lurus-lurus pada lembaran-lembaran foto itu. Tenggorokan mereka tercekat. Tak sanggup lagi mengeluarkan suara. Kenyataan itu terlalu mencengangkan untuk bisa diterima saat itu juga. Bawa Ari ternyata ada dua orang!
Tidak ada yang perlu di pertanyakan. Sama sekali. Karena lembar-lembar foto itu sudah bicara teramat jelas. Secara visual, juga verbal. Karena di balik setiap lembar foto selalu ada keterangan. Sederet huruf yang jelas ditulis dengan seluruh cinta, oleh perempuan yang pastf ibu dari fokus semua foto itu. Dua wajah manis yang begitu sama dan seru
pa. Ari dan Ata, Ulang Tahun Pertama. Ari dan Ata, Ulang Tahun Kedu. Ketiga, Keempat, dan seterusnya. Ulang Tahun Kedelapan mengakhiri lembaran foto-foto itu.
Sedangkan satu bagian yang lain berisi foto-foto yang diambil tanpa latar belakang momen istimewa. Foto keseharian keduanya.
Ata lebih sering berpose dalam kostum Batman. Sedang berdiri bertolak pinggang, sedang menaiki sepedanya dengan posisi berdiri sambil nyengir lebar ke arah kamera. Bahkan sedang 'terbang'. Setiap foto Ata selalu memunculkan senyum geli di bibir Ridho dan Oji. Sementara pose-pose Ari lebih sederhana. Berdiri dengan buku atau mainan di tangan dan tersenyum ke arah kamera. Atau duduk manis di atas sepedanya.
Segera terlihat perbedaan jelas di antara keduanya. Ata yang ceria dan tak bisa diam. Dan Ari yang manis dan kalem.
Beberapa saat Ridho dan Oji terpekur dalam tunduk mereka. Sesuatu pasti telah terjadi, yang serius dan menyakitkan, sehingga wajah mungil yang manis dan kalem itu bisa berubah menjadi sosok Ari yang sekarang ini.
Ata. Satu kata itu seketi mengingatkan Ridho pada dua kata yang pernah didengarnya di toilet kelas sepuluh, ketika untuk pertama kali dilihatnya Ari terpuruk. Matahari Jingga! Kini semuanya sudah jelas. Obsesi Ari terhadap Tari. Dan histeria Tari.
Sambil memasukan kembali lembar foto-foto itu ke dalam amplop, Ridho menatap punggung di depannya. Dua tahun lebih berteman dekat, meskipun baru kelas dua belas ini mereka sekelas, Ridho selalu bisa merasakan kawan karibnya ini sebenarnya menyimpan tangis yang mengkristal. Di balik ketenangannya, Ari adalah magma berjalan. Namun jauh di balik kemarahannya yang mendidih itu, ada luka bernanah. Yang akut.
Ari sengaja terus membelakangi kedua kawan karibnya itu. Dia tak ingin menoleh, karena inilah wajahnya yang sebenarnya. Asap rokok mengepul tanpa henti dari bibirnya. Setiap kali satu batang habis terisap, saat itu juga batang berikutnya langsung menyusul.
Perlahan Ridho memajukan duduknya hingga sejajar dengan Ari. Dengan hati-hati diletakannya amplop cokelat itu di sebelah Ari. Oji melakukan hal yang sama, menyejajari Ari di sisi yang lain. Ridho bukan perokok. Bahkan bisa dibilang dia anti tembakau. Tapi beberapa kali demi Ari, disingkirkannya salah satu prinsipnya itu. Saat ini termasuk pengecualian itu. Diraihnya kotak rokol Ari lalu diambilnya sebatang. Oji melakukan hal yang sama, dengan rokok miliknya sendiri. Hening. Gelombang pegunungan dengan hutan hijau di kejauhan menjadi fokus tatapan ketiganya dalam diam. Sampai kemudian mengeluarkan suara. Dengan intonasi yang punya banyak makna. Empati. Jangan dijawab kalau itu semakin melukai. Terpuruklah kalau memang batas akhir kekuatan itu di sini. Karena untuk hal-hal itulah seorang kawan dihadirkan.
"Ke mana dia""
Ari menelan ludah. Perlahan kedua matanya terpejam. Ada jeda cukup panjang sejak tanya itu dengan hati-hati dihadirkan dan jawabannya kemudian diberikan. Lirih, tersendat susah payah dan berulang kali terputus.
Ridho dan Oji sampai mereka sedang melakukan penganiayaan dan penyiksaan terhadap Ari. Namun mereka juga tahu, pada akhirnya itu justru akan melegakan.
Cerita itu akhirnya usai. Rahasia itu akhirnya terurai. Benteng pertahanan itu akhirnya runtuh. Ari semakin pucat, namun ada kelegaan besar yang dia rasakan. Juga perasaan ringan. Seakan seluruh bebannya selama ini hilang. Cowok itu kembali memejamkan kedua matanya. Disangganya kedua lengan tempat kesepuluh jarinya saling bertaut, ditundukkannya kepala dalam-dalam. Ketika kemudian kepala itu terangkat, mulai ada rona di mukanya. Tidak lagi sepucat tadi. Dengan kepala sedikit dimiringkan, ditatapnya Ridho.
"Terima kasih," suara beratnya mengucap lirih, namun sungguh-sungguh. Kemudia ganti ditatapnya sahabatnya yg lain.
"Thanks banget, Ji."
Kedua karibnya tersenyum. Bersamaan mereka mengulurkan tangan dan merangkulnya.
"Yuk, balik," ajak Ridho. "Kita cari tempat cabut yang asyik. Tapi mending lo tidur dulu sebentar.
Terserah mau di tempat Oji atau di rumah gue. Hari ini lagi kosong."
"Di rumah gue aja deh," kata Oji langsung. "Gue mau bikin puisi cinta. Buat Bu Sam. Soalnya kalo kita cabut bertiga barengan gini, kayaknya besok dia nggak bakalan berenti ngomel kalo kita belom pingsan."
Ridho tertawa, tapi tak lama tawanya terhenti karena ada tawa lain yang mendadak terdengar. Tawa yang begitu geli, keluar dari mulut Ari. Kedua bahu Ari bahkan sampai berguncang. Ridho dan Oji saling pandang diam-diam. Lega mendengar tawa itu.
Setelah tawanya reda, Ari menarik napas panjang lalu mengembuskannya kuat-kuat. Ditatapnya kedua kawan karibnya itu bergantian, dengan permintaan maaf.
"Sori, besok gue nggak masuk. Mau ngilang sebentar."
Sesaat Ridho dan Oji terdiam, kemudian keduanya mengangguk bersamaan.
"Iya, lo mending pergi dulu. Ke mana gitu, biar agak tenang." Ridho menepuk-nepuk bahunya.
Diulurkannya satu tangannya. "Sini, gue bawa motor lo."
Ari merogoh saku celana panjangnya. Diserahkannya kunci motornya ke Ridho.
"Lo bawa mobil gue, Ji." Ridho ganti melempar kunci mobilnya ke Oji.
Kemudian mereka meninggalkan tempat itu. Di atas motor Ari, yang sengaja dibuatnya melaju dengan kecepatan sedang, sebentar-sebentar Ridho menoleh ke belakang. Ketika dilihatnya Ari jatuh tertidur di sebelah Oji, kelegaan terlihat jelas di wajah Ridho.
Oji tersenyum dan mengacungkan jempol kanannya. Ridho membalas, juga dengan senyum dan acungan jempol kanan. Kemudian cowok itu menurunkan kaca helm, memusatkan perhatiannya ke depan dan tidak menoleh ke belakang lagi.
Hari keberangkatan Ari ke Bali...
Ari tidak ingat lagi sudah berapa lama dia berdiri di depan pagar rumah Tari. Setelah apa yg dilakukannya, dia merasa tidak pantas bahkan untuk sekedar mengucapkan salam agar kedatangannya diketahui.
Karena itu dia memilih berdiri diam. Meskiptn itu bisa membuat kehadirannya baru diketahui berjam-jam kemudian, dia tidak peduli. Karena memang itulah yang pantas diterimanya.
Setelah dua jam lebih berkutat di dapur, menyelesaikan salah satu kewajibannya, mama Tari beranjak menuju ruang jahit. Wanita itu tersentak kaget saat tanpa sengaja menoleh ke luar jendela dan mendapati Ari berdiri di luar pintu pagar rumahnya, di tepi jalan. Cepat-cepat dibukanya pintu depan.
"Ari"" sapanya dengan intonasi yang sarat keheranan, sambil berjalan mendekat. "Sejak kapan kamu berdiri di situ" Kenapa nggak masuk""
Ari menatap wanita paruh baya itu, yang dalam beberapa hal begitu mirip dengan ibunya sendiri. Tenggorokannya mendadak tercekat. Ditelanny ludah susah payah. Ketika tak didapatinya sedikit pun kemarahan, dadanya jadi semakin ditikam rasa bersalah dan penyesalan. Mama Tari sudah akan menyuruhnya masuk, namun sorot kedua mata Ari seketika membuatnya membatalkan keinginannya.
"Tante... saya... " Ari menelan ludah. "Saya minta maaf." Suara beratnya nyaris selirih bisikan angin. Bergetar hebat. Begitu susah payah terucap.
Kedua mata Ari yang terus menatap mama Tari itu kini mulai terbungkus selaput bening.
"Saya betul-betul minta maaf, Tan," ucap Ari lagi, dengan suara tetap selirih embusan angin, namun dengan getar yang makin menghebat karena ketidakmampuannya untuk meredam.
Cowok itu kemudian menundukkan kepala, lalu membungkukkan punggungnya rendah-rendah.
Memberikan pada tanah yang dipijaknya bening dua tetes air mata. Bentuk seluruh penyesalan atas semua yg telah dilakukannya. Kemudian ditegakkannya kembali punggungnya. Berbalik cepat. Dan pergi.
Mama Tari mengikuti kepergian Ari dengan keprihatinan dan pengertian seorang ibu. Ada keinginan utuk menahannya agar tetap tinggal, tapi ditahannya karena dia sangat menyadari Ari harus menemukan jalannya sendiri. Dalam sebagian besar waktu, Ari telah hidup dalam pusaran badai. Dikungkung oleh kegelapan dan terbutakan oleh kemarahan. Dia hanya ingin bisa keluar. Sama sekali bukan masalah salah atau benar.
Anak laki-laki itu sama sekali tidak menghancurkan sebidang dinding. Dia hanya telah menemukan sebuah pintu. Kesalahannya adalah ketidaksabarannya untuk menunggu sampai pintu itu membuka dengan sendirinya. Hanya itu.
*** Menghilangnya Ar i dari sekolah cukup ampuh untuk meredakan kemarahan Tari. Perlahan-lahan sosok cowok itu dan semua peristiwa yang berkaitan dengannya tidak lagi menempati sebagian besar ruang hati dan pikiran Tari. Perlahan-lahan pula ritme hidup Tari kembali normal. Hanya di ruang kepses dan guru, menghilangnya Ari jadi bahan diskusi dan pembicaraan ramai. Ridho dan Oji, dua orang yang tahu di mana Ari berada, memilih bungkam.
Ketika suatu siang keduannya melintas di depan ruang guru dan mendengar sebagian percakapan seputar usaha untuk mengetahui keberadaan siswa paling bermasalah itu, Ridho dan Oji saling pandang sambil nyengir lebar. Tambah sepakat untuk diam. Karena percuma di kasih tahu juga. Menyeret Ari dari koridor ke kelas aja para guru itu lebih sering gagal. Apalagi manggil tu anak pulang dari Bali!
*** Tuhan menegur umatnya dengan banyak cara. Dengan banyak cara juga Dia mengetuk kekerasan hati mereka dan meminta untuk memaafkan satu sama lain.
Tari terpaku di depan teve sejak sepuluh menit yang lalu. Jarinya salah menekan nomer pada remote dan tiba-tiba saja di depannya muncul sebentuk wajah. Wajah tirus dan letih seorang pengamen kecil yang legam terbakar matahari, yang menatap ke arah kamera dengan takut-takut bercampur malu.
Kamera lalu bergerak. Seorang reporter cantik berdiri di sebelah pengamen jalanan itu. Satu tangannya merangkul bahu si pengamen.
"Hari Anak Nasional belum lama berlalu dan sebentar lagi kita akan merayakan hari kemerdekaan negara ini," ucapnya ke arah kamera. "Berpuluh-puluh tahun yang lalu kita berhasil memenangi perang panjang melawan penjajahan. Setelah tiga setengah abad, akhirnya kita menjadi bangsa yang merdeka. Namun ada perang yang lain. Perang yang jika gagal kita menangi, kemerdekaan yang dulu kita raih dengan susah payah akan sia-sia." Reporter itu diam sejenak.
"Kemiskinan!" lanjutnya kemudian dengan penekanan. "Kemiskinan telah menyebabkan anak Indonesia terdampar di jalan, atau menjadi pekerja anak diberbagai tempat."
Tari sama sekali tidak menyimak kata-kata reporter itu. Perhatiannya tertuju pada anak laki-laki kecil itu. Berdiri canggung di sebelah reporter cantik yang tampak begitu cemerlang, anak laki-laki itu jadi semakin terlihat menyedihkan.
Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Namanya Toro," ucap reporter itu. Dan bergulirlah kisah Toro.
Asalnya diri kebumen, satu kota kecil di Jawa Tengah. Kemiskinan telah mengubah sang ayah menjadi sosok emosional dan pemarah. Kerap kali sang ayah melampiaskannya justru kepada orang-orang terdekat-keluarganya sendiri.
Kekerasan dan penganiayaan panjang membuat sang istri tidak tahan dan akhirnya pergi dari rumah. Perempuan itu kemudian memutuskan untuk mengadu nasib ke Jakarta, membawa serta bayinya, tapi terpaksa meninggalkan anak pertamanya bersama sang nenek.
Yang tidak pernah diketahuinya, anak pertamanya, Toro, mendengar ucapannya dan langsung memutuskan untuk menyusul begitu dia tidak melihat ibunya selama dua hari berturut-turut. Dengan menumpang kereta api, tentu saja sebagai menumpang gelap, Toro nekat berangkat ke Jakarta. Pikiran kanak-kanaknya begitu yakin dia akan berhasil menemukan ibunya, karena dulu sekali saat orangtuanya masih rukun, mereka pernah pergi ke Jakarta untuk mengunjungi salah seorang sanak famili. Dulu ada satu tempat yang mereka kunjungi sampai berjam-jam. Monas.
Ke sanalah Toro kecil langsung menuju begitu kereta berhenti di stasiun Senen. Taman Monas. Ke sebatang pohon yang berdiri di tepi kolam air mancur. Tempat dulu sekalf ibunya pernah membentangkan selembar tikar lalu duduk berjam-jam menungguinya bermain. Namun tempat itu kosong. Kalaupun terisi, selalu bukan oleh orang yang dia cari. Toro kecil tetap menunggu. Dia belum mengerti, Jakarta bukan Kebumen. Jakarta amat sangat luas dan penuh dengan orang-orang yang tidak peduli. Ratusan anak terdampar di jalan-jalan ibu kota negara ini, hingga tambahan satu anak lagi sama sekali tidak akan menjadi perhatian.
Dua tahun berlalu, jalan-jalan raya di sekitar Monas kini menjadi rumah bagi Toro. Mengubahnya dari anak rumahan yang bersih dan terawat serta
masih punya masa depan menjadi anak jalanan lusuh yang terlantar dan tidak diacuhkan. Namun anak itu masih berharap, suatu saat nanti akan ada keajaiban.
Repoter cantik itu melepaskan rangkulannya kemudian berlutut di depan Toro.
"Toro mau bilang apa sama Ibu" Mudah-mudahan Ibu menonton acara ini," ucapnya lembut.
Toro menunduk. Tersendat tangis yang ditahan sebisanya, sederet kalimat kemudian keluar dari bibirnya. Kalimat yang di ucapkan dengan begitu lirih dan terbata-bata, hingga reporter itu harus mendekatkan mikrofon sedekat mungkin ke bibir mungil di depannya.
Kangennya pada sang ibu. Harapannya untuk bisa kembali bertemu. Apa-apa saja yang ingin dilakukannya bersama ibunya seandainya mereka nanti bertemu.
Kalimat Toro terputus. Ditelannya tangisnya dengan susah payah. Dengan kedua telapak tangan, dihapusnya air mata yang mengalir. Meninggalkan noda kotor di wajahnya yang sudah kusam. Ketika kemudian dia lanjutkan kalimatnya, suaranya menjadi semakin lirih.
"Mudah-mudahan Ibu sekarang hidupnya seneng. Mudah-mudahan Ibu sehat. Mudah-mudahan Ibu nggak sering nangis lagi kayak dulu. Dan mudah-mudahan Ibu nggak lupa sama Toro." "Sudah" Itu aja"" tanya reporter itu dengan suara yang semakin lembut, setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada lagi suara Toro yang terdengar. "Iya." Toro mengangguk.
Tari terpaku. Sepasang matanya menatap nanar. Lurus pada layar televisi, seperti tidak bisa dialihkan.
Kisah klasik. Terlalu sering terjadi. Namun bukan itu yang membuat Tari terpaku menatap televisi. Usia Toro baru sepuluh tahun. Masih kecil. Saat ia tinggalkan rumah demi mencari sang ibu, usianya bahkan lebih kecil lagi. Delapan tahun.
Ketika ibu dan saudara kembarnya dipaksa pergi, ketika mendadak ia ditinggalkan, Ari juga baru berumur delapan tahun. Namun karena tidak tahu kemana mesti mencari, Ari melakukan satu usaha yang menurut pikiran kanak-kanaknya pada saat itu akan membuat keduanya kembali. Dia memutuskan untuk menjadi Ata dan melakukan semua kenakalan seperti yang pernah dilakukan saudara kembarnya itu.
Sama seperti Toro, yang menunggu bertahun-tahun hingga hari ini, Ari juga telah bertahun-tahun membekukan dirinya sendiri. Menjadi orang lain hingga hari ini. Keduanya memeluk erat harapan yang sama. Bisa bertemu dengan ibu mereka kembali suatu saat nanti.
Dengan bibir bawah tergigit kuat-kuat, Tari mematikan televisi. Cewek itu kemudian bangkit berdiri dan berjalan ke kamar. Ditutupnya pintu di belakangnya perlahan. Perlahan pula tubuhnya luruh ke lantai. Dipeluk keheningan, dalam kamar yang lampunya sengaja tidak ingin dia nyalakan, Tari meringkuk di lantai.
Lama, cewek itu duduk meringkuk memeluk lutut, bersandar pada pintu kamarnya. Toro, kegelapan, dan keheningan perlahan membuat Tari akhirnya mengerti, mengerti dengan sungguh-sungguh mengerti, hidup seperti apa yang selama ini di jalani Ari. Seketika itu juga dimatanya, Ari bukan lagi sang aktor autodidak dengan talenta cemerlang.
Perlahan pula Tari mengerti akan satu hal lagi. Ari kesepian. Dia tidak bisa menceritakan itu, atau mungkin juga tidak ingin. Karena menceritakan semuanya berarti akan meruntuhkan segala pertahanan diri. Pertahanan yang di bangun bertahun-tahun, yang sebenarnya tidak terlalu kuat karena retak di sana-sini.
Sekarang Tari juga mengerti, kenapa cowok itu gemar sekali membuat keonaran di sekolah. Hobi memancing kekesalan bahkan kemarahan guru-guru. Karena satu bentakan atau teriakan marah dari seorang guru, siapa pun dia, jadi terasa sedikit meringankan beban kesepian itu, jadi sedikit mengikis sunyi dari lubang besarnya yang selalu menganga.
Ketika sampai pada kesadaran itu, kemarahan Tari menguap. Setelah bertahun-tahun menjadi Ata, kembali menjadi diri sendiri pasti akan teramat sangat sulit bagi Ari.
Mungkin saat ini Ari sedang berlatih menjadi dirinya sendiri ditempat lain. Di depan orang-orang yang tidak mengenalnya, agar gagal atau berhasil bisa dengan pasti diketahuinya. Dugaan itu menguapkan sisa-sisa kemarahan Tari. Menghilangkannya sama sekali dan mulai menghadirkan rasa bersala
h. "Kenapa gue nggak coba ngerti ya"" bisiknya menyalahkan diri sendiri. "Padahal waktu jadi Ata dia udah nyeritain semuanya."
Tari menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan-pelan. Perlahan dia bangkit berdiri. Tangannya lalu meraba-raba dalam gelap, mencari tombol lampu. Dengan sepasang mata menyipit karena ruangan yang mendadak terang benderang, ditatapnya jam yang tergantung di dinding. Hampir menjelang pukul dua belas malam. Cewek itu menduga-duga apakah Ari sudah terlelap atau masih terjaga.
Diraihnya ponselnya yang menggeletak di atas meja belajar. Kemudian dengan gerakan perlahan, karena keraguan dan tekad yg saling berperang, dicarinya nama Ari di daftar kontak. Menekan nama itu ternyata butuh kekuatan yang lebih besar lagi. Tubuh Tari nyaris mendingin saat kemudian diketiknya sederet huruf. Selesai. Hanya dua kalimat pendek. Tari menatap layar ponselnya. Tanpa sadar digigitnya bibir, seiring detak jantungnya yg mendadak jadi cepat. Dan saat di tekannya pilihan 'Kirim', Tari melakukannya dengan kedua mata yang nyaris terpejam. Jari-jarinya
yang menggenggam ponselnya nyaris sedingin es. Beberapa detik kemudian.....
Terkirim! Satu kata itu membuat Tari jatuh terduduk di tempat tidur.
**** SMS itu masuk di tengah ingar-bingar musik hip-hop. Dj profesional membuat dance floor jadi panas. Ari berada di sana. Di tengah musik yang mengentak, di bawah sorot lampu remang-remang dan dalam cengkeram alkohol. Di antara teman-teman Bali-nya yang juga sama-sama sedang dalam proses meninggalkan ambang kesadaran masing-masing.
Ari bisa merasakan getaran di pahanya yang berasal dari ponsel di dalam saku. Ada SMS masuk, tapi dia sama sekali tidak punya keinginan untuk mengeluarkan benda itu dari sana. Paling-paling dari Jakarta. Siapa pun sang pengirim dan apa pun isinya, dia sedang tidak ingin berhubungan dengan kota itu.
Di Jakarta, di dalam kamarnya, Tari berada dalam tikaman kegelisahan yang benar-benar menyiksa, yang membuatnya tak mampu melakukan apa pun selain duduk bengong di tempat tidur -atau berjalan mondar-mandir- dengan napas yang sebentar-sebentar ditarik dalam-dalam lalu diembuskan perlahan.
Sebentar-bentar cewek itu melakukan tindakan bodoh. Meraih ponselnya lalu menatap layar dalam harap dan kecemasan, meskipun tahu dia tidak akan menemukan apa-apa di sana karena ponselnya terus membisu. Sampai jam dinding kamarnya berdentang satu kali, ponselnya tetap membistu. Tidak ada SMS masuk dari siapa pun, apalagi dari Ari.
Ketika satu jam lagi telah terlewat dan tidak juga ada SMS balasan, dia merasa kecewa tapi juga lega, karena sejujurnya dia tidak siap menerima balasan.
Tari berdiri dan mulai membereskan buku-bukunya. Tengah malam telah lama lewat dan saat ini waktu sedang menuju dini hari. Kalau tidak buru-buru tidur, besok pasti bangun kesiangan. Namun, ternyata Tari mendapati dirinya jadi dicekam kegelisahan. Kedua matanya tidak mau terpejam. Dan jauh di dalam hati, dia tidak bisa menyangkal, dia ingin ponselnya bergetar. Mengirimkan balasan dari Ari yang sekarang entah di mana.
Ketika akhirnya Tari jatuh tertidur, waktu sudah menunjukan nyaris pukul tiga dini hari. Pada saat yang bersamaan, Ari baru saja meninggalkan kafe tempatnya sejak beberapa jam lalu, melarikan diri dari kenyatan. Dia berjalan terhuyung-huyung di sepanjang trotoar. Berangkulan dengan teman-temannya dan tenggelam dalam euforia semu.
Hanya Wayam yang masih sepenuhnya sadar. Berjalan sendiri di posisi paling belakang, diawasinya teman-temannya, terutama Ari. Bertahun-tahun mengenal Ari, Wayan tahu dengan baik kapan dirinya bisa ikut-ikutan lupa diri dan kapan harus menjaga kawannya yang satu ini.
Keesokan paginya Tari baru terbangun setelah Geo memukulnya dengan bantal keras-keras. "Kebo banget sih"" Geo menatap kakaknya dengan kesal. "Alamr ponsel, jam beker, sampe teriakan mamah, nggak ada yang mempan. Udah jam setangah enam lewat, tau!"
Tari tersentak dan langsung melompat turun dari tempat tidur. Mendadak ia teringat apa yang telah membuatnya sulit memejamkan mata semalam. Seketika di
sambarnya ponselnya dan raut kecewa langsung muncul begitu didapatinya layar ponselnya tetap kosong. Bagusnya, bangun amat sangat terlambat membuat Tari tidak sempat lagi memikirkan kekecewaannya terlalu lb. Buru-buru dia berlari ke kamar mandi. Setelah mandi kilat dan segala aktivitarg rutin pagi hari yang juga dilakukan serba kilat, Tari langsung berlari keluar rumah tanpa sempat sarapan. Hanya seteguk teh manis hangat yang sempat diminumnya, setelah itu dia pamit pada kedua orangtuanya.
Namun, tak urung ketiadaan respons dari Ari membuat cewek itu jadi murung. Akhirnya dia tidak tahan lagi dan pada jam istirahat pertama diceritakannya semuanya pada Fio.
"Elo SMS lagi aja," saran Fio dengan nada hati-hati.
Tari menggeleng lemah. "Nggak ah. Yang semalem aja nggak di bales."
Keduanya lalu diam. Pada waktu yang sama, di Denpasar, Ari terbangun. Dia kontan mengerang. Dipeganginya kepalanya yang seperti dihantam palu keras-keras dengan kedua telapak tangan.
Rasa mual yang benar-benar hebat kemudian memaksanya bangun dari tempat tidur. Terhuyung-huyung cowok itu berlari ke kamar mandi dan muntah habis-habisan. Kemudian dia kembali ke tempat tidur dan melemparkan diri di sana.
"Pada ke mana sih tu kuya-kuya"" gerutunya saat menyadari tak ada seorang pun di ruangan itu kecuali dirinya sendiri. "WOIII! AMBILIN GUE MINUM!" serunya parau. Sepi. "Sialan, beneran nggak ada orang!"
Akhirnya Ari pasrah mendapati dirinya hanya sendirian. Dengan kedua tangan, ditekannya tempurung kepalanya keras-keras. Berusaha agar sakit kepala yang nyaris bikin gila itu bisa teredam sedikit saja. Ditatapnya langit-langit kamar dengan pandangan yang seperti berputar. Samar-samar dia teringat ada SMS masuk semalam. Dirabanya saku celana jinsnya dan dikeluarkannya ponselnya dari sana. Sederet dugaan muncul di kepala. Oji yang melaporkan kemarahan guru-guru, Ridho yang mengingatkan bahwa mereka ada janji tanding futsal, atau teman-temannya yang lain. Atau bisa juga cewek gembong The Scissors, Veronica, atau cewek-cewek lain yang selama ini berada di sekitarnya. Yang tidak bosan memberianya perhatian. Yang kadang membuatnya muak. Kalau saja memukul cewek bukan pantangan untuknya, rasanya ingin sekali diberinya mereka satu atau dua jotosan agar menjauh.
Namun, ternyata yang tertera di layar ponselnya adalah satu nama yang tidak pernah di duganya akan muncul di sana. Tari. Matahari!
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 6 Wiro Sableng 134 Nyawa Kedua Gadis Hari Ke Tujuh 2
Akibatnya hari ini Tari jadi siswa yang paling sering kena tegur para guru. Dan ketika bel pulang menjerit, cewek itu nyaris melejit dari bangkunya. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, rasanya hari ini bunyi bel pulang seratus kali lebih melengking dibanding biasanya.
Fio menatap teman semejanya itu. Hampir lima belas menit berlalu sejak manusia terakhir selain mereka berdua meninggalkan ambang pintu kelas.
"Jadi pergi nggak lo"" tanya Fio pelan. "Jadi lah," Tari menyahut lemah.
"Ya udah buruan. Kasian Kak Ata nungguin. Sini buku-buku lo. Gue bawa semunya aja. Besok atau Minggu gue anterin."
Tari mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas lalu memberikan kepada Fio. Dengan gerakan lambat cewek itu kemudian bangkit berdiri. Dengan langkah-langkah lambat pula, dia meninggalkan ruang kelas.
Fio mengerti dilema yang sedang dihadapi teman semejanya itu. Karenanya dia ikuti la
ngkah-langkah lambat Tari tanpa protes, yang juga berlanjut di sepanjang koridor sat menuruni tangga.
Tidak jauh dari mulut koridor utama mendadak Tari menghentikan langkah. Lalu dengan gerak refleks yang sangat kontradiktif dengan langkah-langkah lambatnya sejak dari kelas tadi, tiba-tiba cewek itu berhenti dan melejit ke balik salah satu dari dua pilar yang menjepit mulut koridor utama. Fio menatap bingung. Dia julurkan leher untuk melihat penyebabnya. Kedua matanya seketika melebar. Ari sedang berdiri di tepi jalan menuju gerbang sekolah. Dengan posisi tubuh membelakangi koridor utama, menghada ke lapangan basket, cowok itu terlihat sedang bicara serius di telepon.
"Ck," Tari berdecak pelan. "Nggak lucu banget kalo mau nemuin dia bareng Ata, tapi gue udah duluan ribut sama dia."
"Ya udah. Kita tunggu aja kalo gitu," bisik Fio. "Dia mau nelepon berapa lama sih."
Keduanya lalu berdiri diam di belakang pilar sambil sesekali mengintip ke tempat Ari berdiri. Tapi tunggu punya tunggu, tu cowok nggak selesai-selesai juga. Dengan dongkol Tari sampai menerka-nerka siapa yang dikontak atau mengontak Ari, dan apa yang mereka bicarakan sampai butuh waktu lama begitu. Sampai ia mendengar ponselnya menjeritkan ringtone tanda Ata menelpon. Buru-buru dikeluarkannya benda itu dari saku kemeja.
"Lo udah sampe mana"" tanya Ata langsung. "Masih di sekolah nih." "Masih di sekolah""
"Iya. Ada Kak Ari. Pas di pinggir jalan yang mau ke gerbang, lagi. Kan nggak lucu, mau nemenin elo ketemu dia tapi pemanasannya gue justru berantem sama dia."
Ata tertawa pelan. "Apa gue samperin ke situ aja""
"Jangan!" jawab Tari seketika. "Gila lo, gue udah stres banget nih,"
Ata tertawa lagi. "Bercanda, Tar," ucapnya lembut. "Oke deh, gue tunggu."
"Lo udah sampe""
"Baru aja." "Ya udah. Tunggu ya. Mudah-mudahan bentar lagi Kak Ari kelar nelepon terus pergi."
"Nggak pa-pa. Santai aja. Kan kita mau mati berdua, jadi nikmatilah momen-momen terakhir hidup ini."
"Aduh, iya bener. Gue lupa!" desis Tari. Ata tertawa lagi. Pelan tapi geli.
"Bye!" ucap cowok itu disela tawa dan langsung diakhirinya pembicaraan.
Sesaat Tari menatap ponselnya sambil menghela napas. Kemudian dimasukannya kembali benda itu ke saku kemeja. Kedua matanya segera mengintip, dengan hati-hati, ke tempat Ari berdiri. Cowok itu masih sibuk bicara di telepon. Tapi kali ini dia sudah pindah posisi, di bawah bayang-bayang tiang ring basket. Matahari memang sedang berada tepat di atas kepala. Terlalu lama berada langsung di bawahnya, tanpa pelindug, dijamin badan bisa mengering segaring kerepuk. Tapi dengan begitu sekarang cowok itu jadi berada cukup jauh dari jalan. Tari melihat peluang dia bisa segera meninggalkan sekolah.
"Yuk, cepet! Cepet!" bisiknya.
Dengan langkah agak berjingkat, kedua cewek itu segera menuruni tangga koridor. Tanpa meninggalkan bunyi, keduanya melangkah cepat, hampir berlari.
Tapi Ari ternyata memang sedang serius dengan ponsel di telinganya. Dia tidak menyadari kemunculan Tari. Tidak tahu siapa yang ada di ujung telepon dan apa yang dibicarakan sampai sebegitu seriusnya. Tari hanya sempat mendengar sedikit penggalan percakapan Ari itu.
"Kira-kira tiga puluh menit lagi... iya... nggak usah, tinggal aja... aman banget."
Meskipun sudah keluaqg dari area sekolah, di sepanjang trotoar menuju halte keduanya terus berlari. Tari menyetop taksi kosong yang pertama lewat dan langsung masuk ke kursi belakang.
"Good luck ya, Tar," Fio berpesan dengan nada cemas. "Nggak yakin." Tari menggeleng.
"Ya udah. Ati-ati aja deh."
"Nah, kalo itu sih masih bisa gue usahain." Tari meringis. "Daaah!" ucapny sambil menutup pintu. "Daaah!" Fio membalas dengan ekspresi muka semakin cemas.
Taksi segera melesat pergi. Sendirian, tanpa teman yang bisa diajak bicara untuk mengalihkan kegelisahan, membuat persoalan itu jadi terlihat puluhan kali lebih mengerikan. Berkali-kali Tari menghela napas. Sampai bapak sopir taksi bertanya ada apa.
"Nggak ada apa-apa, pak," Tari menjawab sambil tersenyum, tapi senyum lesu.
Menjelang s ampai tujuan, dari kejauhan dilihatnya Ata berdiri di trotoar. Sama seperti dirinya, kegelisahan cowok itu juga terlihat jelas.
Cowok itu melihat jam tangan, lalu berjalan ke tepi trotoar dan melihat jalan raya di depannya ke dua arah bergantian, tak lama dia balik badan dan berjalan ke tepi lain trotoar. Di sana dia dongakan kepala, memandang deretan poster film tanpa minat apalagi keseriusan. Kemudian dia balik badan dan berjalan kembali ke tepi trotoar yang lain, yg belum lama ia tinggalkan. Lagi-lagi dia menoleh ke dua arah dari jalan raya di depannya, disusul kemudian dilihatnya jam tangan. Begitu taksi yang ditumpani Tari berhenti di depannya, cowok itu langsung menarik napas lega. Tari tertegun. Ata terlihat pucat. Sangat pucat. Rambutnya berantakan. Tingga kancing teratas kemejanya tidak dikaitkan. Dua lensa gelap menutupi kedua matanya. Cowok itu segera membuka pintu belakang.
"Siap"" tanyanya langsung. Tangan kanannya melepas kacamata hitam yg dipakainya sementara tangan kirinya menutup pintu.
"Kayaknya elo deh yang nggak siap." Tari menatapnya dengan cemas. Apalagi setelah dilihatnya kantong mata cowok itu menghitam, pertanda dia kurang tidur.
"Gue akuin, gue emang nggak siap," desah Ata. "Tapi gue nggak mau mundur lagi."
"Tapi muka lo pucet banget. Bener. Lo ngaca deh."
"Emang lo nggak"" ucap Ata lunak. "Lo juga pucet banget."
"Dari tadi pagi semua juga udah ngomong gitu." Tari tersenyum. Senyum yang maknanya complicated. Kemudian dia menarik napas panjang lalu menghembuskannya kuat-kuat. "Ya udah kalo gitu," sambungnya. "Ayo, kita hadapin Kak Ari. Meskipun dia bilang dia mau matiin elo, gue rasa dia yang bakalan mati duluan ntar. Dua lawan satu. Pasti yang menang dua lah." Ata tertawa pelan. "Buat dia, lo tuh nggak perku diitung, lagi." "Kok gitu"" Tari sontak melotot. "Lo tuh ya, udah gue bantuin juga."
Ata tertawa lagi. Tawa yang tetap tak mengusir sedikit pun kelam kedua matanya. Ketika tawa itu berakhir, ganti dia yang menarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat. Tiba-tiba cowok itu mengulurkan tangan kanannya lalu memeluk Tari erat. Hanya sesaat. Tari terkesiap. Tak sempat bereaksi apa pun. Ketika Ata melepaskan pelukan eratnya yang sungguh-sungguh hanya sesaat itu, kelam di kedua matanya telah mematikan kerlip sedikit sinar yang masih terisa.
"Jalan, Pak," ucapnya kemudian kepada sopir taksi dengan suara berat.
*** Ada sepetak tanah kosong terjepit di antara deretan rumah mewah di seberang rumah Ari. Di sana alang-alang liar tumbuh tak terusik. Tinggi. Membuat siapa pun yang berada di antaranya utuh tenggelam dalam lengan-lengan hijau dan bunga-bunga putih dan cokelatnya. Letaknya yang tidak tepat berada di seberang rumah Ari semakin menjadikannya tempat mengintai yang sempurna. Di sanalah Ata dan Tari duduk meringkuk setelah menyelinap keluar dari taksi yang mereka tumpangi, hampir setengah jam yang lalu. Beralaskan tangkai-tangkai ilalang yang direbahkan Ata di atas tanah, mereka terus memperhatikan rumah dua lantai berdindin bata berwarna krem itu. Ata melirik jam tangannya.
"Lima menit lagi duduk di sini, kayaknya di pantat gue bakalan tumbuh akar nih."
Tari tertawa, tanga berani menoleh ke Ata. Pelukan sesaat dan tak terduga serta sarat tanda tanya di taksi tadi telah menghadirkan atmosfer asing yang tidak bisa diabaikan karena kehadirannya begitu terasa. Kini, dalam waktu yang bersamaan Tari merasa tetap dekat sekaligus telah tercipta jarak dengan cowok yang duduk dekat di sebelah kanannya ini. "Kalo gue kayaknya malah udah."
Ganti Ata tertawa. Tangan kirinya terulur secara otomatis, mengusap-usap puncak kepala Tari. Tari berusaha menepiskan satu lagi tanda tanya yang seketika muncul dalam hatinya.
"Kayaknya Kak Ari nggak di rumah deh. Soalnya tadi gue lihat dia lagi serius nelepon, di pinggir lapangan pas pulang sekolah. Katanya setengah jam lagi deh, gitu. Jangan-jangan dia janjian pergi sama siapa."
"Gitu"" Ata menoleh dan menatap cewek yang duduk di sebelahnya itu. "Kayaknya sih. Tapi gue juga nggak yakin." "Kalo gitu samperin aja deh."
"Jangan!" Tari langsung geleng kepala. "Iya kalo dia bener pergi. Kalo nggak""
"Kita ke sini kan emang mau nemuin dia. Kalo terus duduk di sini sama aja bohong. Apalagi kalo ternyata dia emang beneran nggak di rumah. Sia-sia kita ngumpet di sini."
"Iya sih. Tapi.... "
Belum selesai kalimat Tari, Ata sudah bangkit berdiri dan langsung melangkah keluar dari perlindungan rumput-rumput liar itu. Tari terkesiap.
"Ata! Lo mau ngapain!"" serunya. Ata tidak mengacuhkan, terus melangkah menyeberangi jalan. "Ata! Lo jangan nekat deh!"
Tari bangkit berdiri dan langsung mengejar Ata yang pada saat itu sudah sampai di depan pintu pagar rumah Ari.
"Ata, elo...!" "Sssst!" Ata menempelkan telunjuk kirinya di bibir, mengisyaratkan Tari untuk diam. Kemudian ditekannya bel yang terdapat di sisi kiri pintu pagar itu. Tak lama satu bunyi melengking merobek keheningan. Menghentikan aliran darah Tari dan membuatnya seketika membeku tegang. Tapi tak seorang pun keluar dari dalam rumah besar itu. Sekali lagi Ata menekan bel, diikuti teriakannya yang keras.
"PERMISIII! SELAMAT SOREEE!"
"Lo gila!" Tari terkesiap. Dia segera melompat ke belakang punggung Ata, mencari perlindungan. "Kenapa lo" Orangnya belom keluar, juga." Ata meliriknya. Tari tidak menjawab, membuat cowok itu tersenyum. "Ya, udah. Lo ngumpet di belakang gue aja. Gue jamin lo aman."
Kemudian Ata kembali mengarahkan perhatiannya ke rumah di depannya. Tangan kirinya terulur ke belakang punggung dengan posisi telapak tangan membuka keatas.
Tari menatap telapak tangan yang terbuka itu. Ini yang selalu tidak bisa ia pungkiri. Ata selalu memberinya rasa aman. Sementara Ari lebih sering membuat saraf refleknya dalam kondisi siaga dan alam bawah sadarnya membunyikan alarm tanda bahaya.
"Mana tangannya"" Ata menggerakan kelima jarinya.
Tari mengulurkan tangan kanannya. Mukanya memerah tanpa bisa dicegah. Ata tetap mencurahkan seluruh perhatiannya pada rumah di depannya, tapi begitu dirasakannya jari-jari Tari mendekat, segera ditangkapnya tangan cewek itu dan digenggamnya erat. Tanpa dia tahu itu menyebabkan cewek di belakangnya itu jadi salah tingkah dan mukanya semakin pucat.
"PERMISIII!" teriak Ata lagi. Kali ini dengan suara gila-gilaan.
Tari memejamkan mata. "Mampus deh gue hari senin di sekolah!" desisnya.
Meski situasi sedang genting. Tari sempat ternganga-nganga mengagumi dua patun Helios tak jauh di atas kepalanya. Sudah lama kedua patung ini membuatnya sangat penasaran. Setelah berhasil mengamatinya dari jarak dekat begini, harus di akui, kedua patung itu benar-benar bagus. Indah. Artistik.
"Jangan-jangan tu anak emang nggak di rumah," desah Ata pelan. "Lo tunggu sini bentar." Sebelum tari sempat membuka mulut, Ata sudah melepaskan genggamannya. Cowok itu memanjat pagar di depannya lalu melompat ke dalam.
"Ada, Tar," ucapnya pelan. "Pagernya nggak dikunci." "Gila lo! Cepet keluar!" desis Tari panik.
Ata tak mengacuhkan. Dengan hati-hati cowok itu menarik gerendel atas dan bawah. Lalu dengan gerekan amat sangat perlahan, mengantisipasi kalau-kalt pagar besi itu mengeluarkan bunyi deritan, dibukanya pintu pagar. Pintu gerbang di depan Tari, yang diapit dua Helios di atas kiri-kanan, kini terbuka.
"Cepet masuk," bisik Ata.
Tari menelan ludah. "Mati beneran deh kita, Taaa... " kepanikan Tari makin menjadi. Ata seperti tak mendengar. Diraihnya satu tangan Tari lalu digandengnya cewek itu memasuki halaman. Pelan-pelan, ditutupnya kembali Gerbang Helios itu. Kalau tadi sedikit perhatian Tari masih bisa dicurahkannya untuk mengagumi kedua patung Helior itu, sekarang cewek itu benar-benar dalam kondisi siaga satu.
Jauh lebih serius daripada saat diterjangnya kelas Ari dulu, ini adalah tempat sang pentolan sekolah itu bersarang. Ini adalah tempatnya yang paling pribadi, yang bahkan tak seorang pun mengetahui. Kalau sampai cowok itu mencabiknya karena telah melanggar bukan hanya wilayah privasi tapi juga semua rahasianya yang selama ini terjaga rapat tanpa seorang pun berani mengusik, hukum apa pun-apa lagi hukum rimba-akan
membenarkan apa pun tindakan Ari terhadap mereka. Ata menggandeng Tari menuju teras. Tanpa sadar Tari membalas genggaman tangan Ata lebih keras daripada genggaman cowok itu padanya. Sepasang matanya mengawasi keadaan sekeliling dengan waspada.
Keduanya kemudian berdiri diam di depan pintu. Rumah itu masih lengang. Tidak terdengar suara apa pun dari dalam. Di depan pintu kayu berornamen rumit yang terlihat angkuh dan dingin, keduanya seperti merasa sedang berdiri di ujung perjalanan. Kesepuluh jari yang saling menggenggam itu mendingin perlahan. Seperti saling menguatkan untuk sesuatu yang akan terjadi dan takan terelakkan.
Kelima jari Ata lalu membimbing Tari kebelakang punggungnya. Cewek itu dengan lega menuruti. Jujur, yang paling dia takuti saat ini adalah pintu di depannya terbuk dan Ari berdiri di hadapannya. Keheningan masih menyelubungi. Kali ini dengan kepenatan yang terasa menakutkan. Sejak dilewatinya Gerbang Helios tadi, Tari merasakan jantungnya tak lagi yang tidak bisa di pahaminya, seperti yang dirasakannya di dalam taksi tadi, muncul kembali.
Tiba-tiba pintu dihadapan mereka terbuka. Tari ternganga.
"Nggak dikunci"" tanya Tari dengan suara tercekat.
Ata menggeleng. "Kan gue udah bilang, orangnya ada di rumah."
Bersamaan dengan terbukanya pintu kayu itu, kelima jari Ata yang selama ini menggenggam jari Tari melemas. Genggamannya terlepas. Cowok itu melangkah memasuki ruangan di depannya. Tari terperanjat.
"Ata! Lo jangan gila deh! Cepet keluar!" serunya tertahan.
Ata tak mengacuhkan. Maju selangkah sampai benar-benar di ambang pintu.
Kembali Tari berseru tertahan, memanggil Ata yang berdiri memunggunginya. "Ata, cepet keluaaaaaar!!!"
Ata tetap bergeming. Dengan gemas Tari mengulurkan tangan kanannya panjang-panjang, berusaha menjangkau lengan kiri Ata, sementara tangan kirinya berpegangan pada bingkai pintu. Ketika berhasil terjangkau, dicekalnya lengan Ata kuat-kuat lalu ditariknya ke belakang. Tapi bukan Ata yang berhasil ditariknya keluar, justru cowok itu yang berhasil menyeretnya ke dalam. Tertakjub-takjub, Tari memandangi ruangan besar yang baru saja dimasukinya itu. Benar-benar seperti sebuah galeri seni. Lukisan, ukiran, patung, tembikar. Tanpa sadar kesepuluh jarinya melepaskan lengan Ata yang dicekalnya. Kemudian dipandanginya sekeliling ruangan itu dengan penuh ketertarikan.
Ruangan ini jelas-jelas ditata oleh seorang desainer interior, karena setiap benda benar-benar diletakan pada tempat yang tepat. Ruangan ini juga bertema, karena setiap benda seperti mempunyai ikatan terhadap benda lainnya. Baik desain, motif, warna, maupun tata letak serta pencahayaan diatur dengan cermat.
"Ck, ck, ck. Gila ya," Tari menggumam pelan. Dia maju beberapa langkah lalu terlongo-longo di depan replika patung Dewa Ra yang berukuran cukup besar, yang sepertinya merupakan titik pusat ruangan ini. "Ini apa"" tanya Tari.
"Ini siapa. Bukan apa," suara berat Ata meralat kalimat Tari.
"Maksudnya" Ini..."" Dengan bingung Tari menunjuk patung itu. Seekor burung, sepertinya dari jenis elang atau rajawai, sedang duduk dengan kaki terlipat di depan tubuh, dengan posisi tampak samping. Ada sebuah bulatan melekat di atas kepala patung itu.
"Dia Ra. Dewa Matahari orang-orang Mesir Kuno. Jadi meskipun penampilannya begitu, dia dewa. Termasuk salah satu dari dewa-dewa utama. Jadi yang sopan lo ngomognya ya. Biar nggak kena kutuk."
"Ya ampuuun. Jadi dia ini dewa"" Tari membelalakkan kedua matanya. Cewek itu lalu menundukan kepala dan membungkukkan sedikit punggungnya. "Maaf ya, Wa. Saya nggak tahu. Secara saya juga nggak percaya dewa sih. Musyrik, kata agama saya."
Ata jadi tersenyum mendengar itu. Setelah sempat sesaat lupa dengan masalah yang sebenarnya, Tari tersadar kembali. Dia tersentak kaget.
"Ya ampun. Gue lupa ini rumah orang!" desisnya. Buru-buru dia melangkah mundur lalu balik badan. Terkejut dia mendapati pintu dibelakangnya telah menutup.
*** "Kenapa lo tutup pintunya"" Tari bergegas menghampiri Ata lalu bertanya dengan bisikan tajam. Ata tak menjawab. Dengan
kedua mata mentap Tari lurus-lurus, cowok itu melangkah mundur. Tari membalas tatapan itu dengan bingung. Ata terlihat menelan ludah dengan susah payah. Tangan kanannya merogoh saku depan sebelah kanan celana jinsnya. Dikeluarkannya sebuah ponsel lalu diletakannya di atas sebuah meja berukir. Tari mengenali dengan baik ponsel keluaran terakhir dari sebuah merk ternama.
Tangan kanan Ata berpindah ke saku depan sebelah kiri. Dikeluarkannya sebuah ponsel lain. Juga keluaran terakhir dari sebuah merk ternama, tapi berbeda merk dengan ponsel yang sebelumnya. Diletakannya ponsel itu di sebelah ponsel pertama.
Mulut Tari sudah terbuka ketika dia menyadari sesuatu. Ponsel kedua. Dia juga mengenali ponsel kedua dengan baik. Milik Ari!
Sepasang mata Tari yang menatap kedua ponsel itu lurus-lurus perlahan menyipit. Perlahan pula, fakta yang tercetak buram dalam visual kepalanya menjadi jelas. Sontak dia ternganga. Diangkatnya kepala.
"Elo....!""
"Nggak pernah ada Ata."
Cowok di depannya bicara dengan suara lirih yang bahkan dalam deru badai pun akan bisa terdengar, karena dia bicara dengan seluruh sesal. Seluruh luka. Seluruh sakit. Namun juga dengan seluruh kesabaran dan harapan. Pada akhirnya, dia melakukan semua itu juga dengan seluruh cinta. Untuk kedua orang yang hilang pada masa lalu dan untuk seseorang yang saat ini hadir dalam hidupnya.
Tari nyaris lumpuh. Kedua matanya terbelalak menatap Ari.
"Nggak mungkin! Nggak munkin!!!" kepalanya lalu menggeleng kuat-kuat, menolak kata-kata itu. "Lo pasti janjian sama Kak Ari ngerjain gue. Kalian pasti nggak lagi berantem!"
Kembali Ari menelan ludah dengan susah payah, membasahi bukan saja tenggorokannya yang jadi terasa sangat sakit, tapi juga seluruh hatinya. Beberapa saat kedua rahangnya mengatup keras.
"Nggak pernah ada Ata," dia mengulangi. Tetap dengan suara lirih yang sanggup mengalahkan deru badai itu. "Dia udah lama pergi. Gue nggak pernah ngeliat dia lagi. Gue nggak pernah tau dia ada di mana. Gue nggak tau kabar apa pun tentang dia."
Tari terhuyung mundur. Pucat pasi. Pintu berornamen rumit di belakang menyambut saat terbentur punggung lemahnya. Tari tak lagi merasakan sakit gurat ukiran-ukiran kayu itu. Nanar, ditatapnya sosok di depannya. Benar-benar tak sanggup percaya bahwa mereka ternyata satu orang yang sama.
Mereka satu orang yang sama!
"Lo... bohong! Lo pasti bohong!" seru Tari dengan suara bergetar hebat.
Ari terdiam. Tak sanggup lagi bicara. Kondisi Tari akibat dua kali pengakuannya tadi telah memberi pedih yang sama dalamnya seperti sembilan tahun lalu. Saat mendadak dirinya ditinggalkan dan jadi sendirian. Gadis di depannya ini kemungkinan juga akan pergi dan lagi-lagi dirinya akan ditinggalkan. Lagi-lagi akan sendirian.
"Nggak mungkin! Nggak mungkin! Lo pasti bohong!" Kepala Tari menggeleng kuat-kuat. Namun suaranya yang melemah menyangkal gelengan kepala itu.
Ari tetap diam, karena memang tidak ada lagi yang bisa dikatakan. Kedua matanya meminta maaf dalam redup penyesalan.
Keterdiaman Ari itu -cara kedua matanya memandang- adalah teriak kebenaran yang paling lantang dan tak lagi bisa disangkal. Tari terguncang. Tangisnya pecah. Cewek itu langsung menutup mulutnya dengan satu tangan. Tangan lainnya bergegas meraih hendel pintu dan membukanya. Seketika itu juga, nyaris di luar kesadaran, Ari melompat, menutup kembali pintu yang sudah sempat terbuka itu.
"Jangan keluar dalam keadaan begini," pintanya.
Tari menelan tangisnya. "Apa peduli lo!"" ditatapnya Ari dengan mata yang dipenuhi air. Bara kebencian menembus butiran bening itu, membuat Ari merasa sebagian hatinya mulai dipaksa untuk mati. "Gue mau pulang!"
"Tar.... " "Gue nggak mau dengar apa-apa. Gue mau pulang!" Tari menutup kedua telinganya rapat-rapat dengan kedua telapak tangan.
Ari mengangguk-angguk. "Gue nggak akan ngomong apa-apa," bisiknya. "Gue anter lo pulang. Tapi nggak dalam kondisi begini."
"Gue mau pulang! Gue mau pulang! Gue mau pulaaaang!!!" Tari menjerit histeris. Dengan menahan sakit di dadanya mati-matian, Ari terpaksa me
ngabaikan jeritan itu. Dengan mengerahkan seluruh tenaga, Tari berusaha keras mengenyahkan lengan Ari. Tapi kedua lengan itu membatu. Tidak bisa disingkirkan. Dan mengurungnya tanpa jalan keluar.
Kehabisan tenaga, cewek itu berhenti meronta. Kini dia meringkuk diam. Dalam pelukan seseorang yang telah memberinya sayatan dalam. Coba meredam tangisnya dengan satu tangan.
Ari menundukan kepala.tangis ini menghancurkannya. Perlahan, direbahkannya kepala Tari di pusat segala rasa sakitnya selama ini. Ribuan luka yang nyeri di dadanya.
"Kenapa.."" Tari bertanya dengan suara lirih dan serak karena tangis. "Kenapa lo jahat banget sama gue""
Kenapa" Ari mengulang tanya itu dalam hati. Tak ingin menjawabnya saat ini, karena sembilan tahun kehilangannya tidak bisa dikatakan hanya dalam satu-dua kalimat. Sama sekali bukan karena dia ingin membela diri atau ingin dipahami. Dia hanya tidak tahu mana jawaban yang tepat dari begitu banyak jawaban yang diberikan sembilan tahun itu untuk satu kata tanya pendek yang baru saja disodorkan.
Ketika satu-satunya pertanyaan tak terjawab, Tari sudah tak ingin bertanya apa-apa lagi.
Satu lengan menyangga Tari dan Ari menemukan satu lengannya yang lain tengah bersusah payah menyangga dirinya sendiri.
Keduanya tersesat. Ini adalah senyap paling pekat yang pernah dirasakan keduanya. Berdua yang seperti sendirian. Satu yang tidak diketahui Tari, kebohongan yang dilakukan Ari bukan hanya menyakitnya, tapi juga menyakiti cowok itu sendiri.
Tari baru terlukai pada saat pengakuan itu terjadi, sepuluh menit yang lalu. Sementara Ari sudah terlukai pada saat dia memutuskan untuk melakukan kebohongan itu. Dan makin menjadi setiap kali kebohongan baru demi kebohongan baru tercipta dan tidak ada jalan untuk mundur kembali. Sesaat setelah tangis Tari mereda, Ari menguraikan pelukannya. Ditunggunya sampai tangis cewek itu benar-benar reda, kemudian diulurkannya tangan.
"Gue anter lo pulang," ucapnya pelan.
Ari memapah Tari keluar, lalu dengan hati-hati mendudukkan cewek itu di kursi taman.
"Tunggu sebentar di sini," bisiknya. Perlahan dilepaskannya pegangan kedua tangannya pada Tari.
Cowok itu kemudian melangkah menuju garasi. Dibukanya salah satu pintu. Motor hitam dan Everest hitam!
Napas Tari nyaris terhenti. Dia merasa tubuhnya benar-benar kehilangan seluruh kekuatan. Pada Everest hitam itu tersimpan banyak kenangan yang manis dan menyenankan. Pada motor hitam itu juga bukan selalu hal-hal yang menyakitkan. Tapi saat hadir bersamaan, keduanya adalah gelap yang meluluhlantahkan.
Setelah membeku dengan sesak yang melumpuhkan, mendadak Tari menemukan kekuatannya kembali. Serentak dia bangkit berdiri dan segera berlari keluar halaman. Ari menoleh kaget.
"Tari!" panggilnya. Bingung, tapi tak lama dia segera tahu apa yang telah menjadi pemicu.
"Ya Tuhan!" desisnya. Benar-benar lupa dia telah memarkir motornya tepat di sebelah Everest hitam itu semalam.
Ari langsung menutup kembali pintu garasinya. Tanpa sadar dengan bantingan. Segera dikejarnya Tari, tapi jalan di depan rumahnya telah kosong. Satu ide berkelebat. Cowok itu melesat ke dalam rumah dan segera berlari keluar lagi.
Saat ponselnya menjeritkn ringtone, Tari terlonjak dan nyaris terjerembap karena tetap berlari tanpa melihat jalan lagi. Buru-buru dikeluarkannya benda itu dari saku kemeja.
Ata! Tari ternganga. Seketika nama itu menyentakkan tangisnya kembali ke permukaan. Telah begitu banyak hal yang amat sangat menyakitkan dan cowok itu masih juga menganggapnya kurang. Terburu-buru, Ari salah menyambar ponsel. Dan ketika sadar, rumahnya sudah berada jauh dibelakang.
"Sialan! Goblok banget sih gue!" desisnya. Benar-benar marah pada dirinya sendiri untuk 'sebilah belati' yang kembali diambilnya untuk Tari ini.
Dengan menekan kecemasannya mati-matian, cowok itu menatap ke sekeliling dengan cepat. Kosong. Tari tidak ada di mana pun.
Terpaksa dan dengan hati yang ikut sakit, kembali ditekannya tombol kontak pada ponsel yang selalu digunakannya saat mengambil nama saudara kembarnya, namun
justru saat-saat dia kembali menjadi dirinya sendiri.
Ari membombardir ponsel Tari dengan panggilan. Sementara ibu jari tangan kirinya terus menekan tombol kontak tiap kali panggilannya yang tak terjawab terputus secara otomatis, cowok itu menajamkan kedua pendengarannya. Berusaha menangkap di mana panggilan-panggilan tak terjawabnya mengirimkan sinyal posisi ponsel tujuan.
Dalam keadaan normal, tombol on-off itu begitu mudah dioperasikan. Tapi dalam kondisi genting seperti ini, membanting ponsel itu sepertinya tinggal satu-satunya cara untuk membuatnya diam. Sambil terus berlari dan mencari-cari tempat sembunyi -dengan tangan kiri yang berganti-ganti antara menutup mulut untuk meredam tangis dan menyeka air mata yang turun dan tangan kanan yang menekan tombol on-off dengan seluruh kekuatan- Tari terus berlari.
Tiba-tiba cewek itu menghentikan langkahnya. Salah satu rumah di sebelah kirinya sepertinya tak berpenghuni karena rerumputan tampak tumbuh tinggi. Beberapa tanaman hias yang dulu pasti selalu dipangkas dalam bentuk-bentuk yang indah, kini bebas mengekspresikan diri dalam bentuk-bentu yang mereka kehendaki.
Segera Tari menyurukkan tubuh ke balik sebuah batu pipih yang diletakan berdiri, dengan sebatang cemara tegak disebelahnya. Kembali dicobanya untuk mematikan ponselnya. Usahanya belum berhasil, tapi ponselnya mendadak diam. Jeritan ringtone itu terhenti. Cewek itu menarik napas lega. Dengan kedua tangan dihapusnya air matanya.
Kelegaan itu hanya sesaat. Tak lama Tari tahu kenapa ponselnya mendadak diam. Karena orang yang membombardirnya dengan panggilan kini berdiri di hadapannya.
Ari menatap cewek yang terpuruk di depannya itu dengan kedua mata yang berkabut. Tari sudah dalam keadaan tak lagi sepenuhnya sadar, ketika kemudian perlahan Ari berlutut di depannya lalu merengkuhnya dalam pelukan.
Namun dalam ketiadaan jarak, ternyata justru terdapat ketidakterbatasan jarak. Salah satu memeluk kuat-kuat, namun seperti tidak ada siapa pun di dalam pelukannya. Yang lain terkurung dalam pelukan rapat, namun tidak lagi dikenali milik siapa kedua lengan ini. Arikah" Atau Ata" Dia adalah keduanya, tapi juga bukan salah satunya.
Pelukan kedua lengan yang mendingin pada tubuh yang juga beranjak mendingin. Mereka, keduanya, sore ini, perlahan 'mati' bersama.
*** Untuk kali yang sudah terhitung lagi, Fio memaksa sopir taksi untuk meningkatkan kecepatan taksinya. Lima belas menit yang lalu, dengan nomor telepon Ata, Ari menelponnya dan memintanya menjemput Tari. Fio langsung dilanda panik. Kesimpulan yang langsung muncul dalam kepalanya: Ata telah kalah dalam pertarungan ini. Entah dalam kondisi bagaimana. Taksi berhenti di depan rumah megah namun kosong dan tak terawat itu.
"Kak A..."" Fio tidak bisa mengenali siapa yang saat ini berdiri di depannya. Ari menghela napas. "Nggak pernah ada Ata." ucapnya berat. Kedua alis Fio terangkat.
Ari sudah kehabisan tenaga. Kejadian ini telah menghabiskan seluruh emosinya. Tidak ada lagi yang tersisa baginya untuk bisa menjelaskan masalah ini pada Fio. Meskipun itu hanya berupa kalimat yang singkat. Karenanya dengan gerakan lemah, dia perlihatkam ponsel di tangannya.
"Jadi..."" suara Fio tercekat di tenggorokan. "Iya." Ari mengangguk lemah.
Fio terhuyung. Nyaris saja jatuh kalau saja Ari tidak buru-buru menyambar salah satu lengannya. Ditatapnya cowok itu dengan mulut ternganga maksimal.
"Gue bener-bener minta maaf, Fi. Akan gue jelasin apa pun yang lo tanya. Tapi nanti. Sekarang tolong anter Tari pulang dulu."
Fio tersadar. Kepalanya lalu menoleh mencari-cari dan berhenti dengan napas tersentak pada Tari yang meringkuk di balik batu pipih itu.
"Tar!" serunya tercekat dan bergegas menghampiri. "Tar, lo nggak apa-apa, kan"" tanyanya cemas.
Tari cuma menggeleng lemah. Fio memeluknya sementara kedua matanya kembali menatap Ari. "Dia nggak mau gue anter," sahut cowok itu.
Berlaksa pertanyaan muncul di kepala Fio, tapi dia sadar yg terpenting saat ini adalah membawa Tari pergi secepatnya dari tempat ini. Karenanya, tepaksa ditekannya kei
nginan hatinya untuk memberondong Ari dengan pertanyaan. Dibantunya Tari untuk berdiri, lalu dipapahnya menuju taksi.
Kedua tangan Ari terkepal kuat saat cewek yang telah dilukainya tanpa ampun itu berlalu di hadapannya. Mati-matian ditahannya hati dan kedua lengannya untuk tidak meraih lalu menahannya dalam pelukan.
Taksi itu pergi, dengan kedua mata terbelalak milik Fio yang menatap Ari dari balik kaca jendela, dan Tari yang tak terlihat karena terhalang tubuh Fio.
Taksi itu telah hilang, namun Ari masih terus menatap jalanan kosong di depannya. Masih di tempatnya semula berdiri. Di depan batu pipih itu. Tempat kehilangan terbesar kedua dalam hidupnya telah terjadi.
*** Fio membawa Tari memasuki rumahnya lewat pintu samping. Kedua adiknya ada di ruang tamu dan kondisi Tari pasti akan memauat mereka langsung ribut bertanya ada apa. Pada mamanya yang kebetulan sedang berada di dapur, Fio langsung mengedipkan kedua matanya dan menggeleng samar. Wanita itu segera paham. Dibalasnya salam Tari yang serak dan pelan dengan ucapan apa kabar, dilanjut dengan mempersilahkan masuk, tanpa menoleh. Seolah-olah pekerjaannya sedang sangat menumpuk hingga sekedar menoleh pun dia tak sempat.
Hal pertama yang dilakukan Tari begitu sudah berada di dalam kamar Fio adalah menelungkupkan diri di tempat tidur dan langsung menangis. Fio menyaksikan itu sambil menghela napas. Dikeluarkannya ponselnya dari dalm tas, lalu tanpa menimbulkan suara dibukanya pintu kamar dan berjalan keluar. Di teras belakang rumah, dengan suara pelan, Fio menelpon mama Tari.
"Tan, Tari sekarang lagi di rumah saya. Kayaknya nginep, Tan."
"Lho" Ada apa, Fi"" mama Tari langsung bertanya heran, karena saat berangkat sekolah tadi pagi, putrinya itu hanya mengatakan akan pulang sangat terlambat. "Mmmm..... " Fio menggigit bibir. "Begini, Tan... "
Dengan perasaan tidak enak, cemas, dan takut dituduh bukan teman yang baik karena membiarkan itu terjadi, Fio menceritakan apa yang telah terjadi. Mama Tari terdiam.
"Ya udah. Nggak apa-apa kalau dia mau nginep," ucap mama Tari. Suaranya yang sarat pengertian membuat Fio menarik napas lega. "Tapi besok tolong suruh dia pulang ya, Fi. Siang atau sore lah."
"Iya, Tan." Begitu telepon ditutup, mama Tari berdiri tercenung. Ada perasan bersalah karena membiarkan hal ini terjadi. Mebiarkan Tari begitu bahagia bercerita tentang sosok kembaran Ari yang bernama Ata. Tapi Ari memang membutuhkan pertolongan. Dan dia bukan orang jahat. Dia anak yang baik. Dan Tari juga tahu itu.
*** Waktu telah menunjukan hampir pergantian hari. Fio menatap Tari yang tergolek di tempat tidurnya. Tertidur dengan muka disurukkan di bawah bantal, Tari masih mengenakan seragam sekokah yang kali ini telah kusut masai tidak keruan.
Fio bersyukur teman semejanya ini telah tertidur, karena isak tangisnya tak bisa dihentikan. Dia belum mengetahui dengan pasti apa yang sebenarnya sudah terjadi, karena kata-kata yang terucap di antara isak hebat itu terputus-putus dan antara satu kata dengan kata berikut sering kali tak berhubungan. Bahkan banyak karena tertelan isak atau terucap tanpa suara. Karenanya Fio bener-bener lega Tari sekarang sudah terlelap. Mudah-mudahan Tari mendapatkan mimpi yang membuatnya bisa sedikit saja gembira esok hari.
Sambil menghela napas, Fio berjalan menuju jendela kamarnya yang masih terbuka. Ditariknya tirai. Tapi gerakannya sontak terhenti. Di depan pagar rumahnya, sebuah Everest hitam terparkir. Entah sejak kapan.
*** Ditemani Fio, Tari meninggalkan rumah sobatnya itu keesokan harinya menjelang jam sebelas malam. Fio mengambil inisiatif itu karena Everest hitam yang semalam dilihatnya terparkir tepat di depan rumahnya kini terparkir dalam posisi sudut tiga puluh derajat di seberang jalan sejak hari masih jauh dari siang.
Dan masih, Ari adalah Ari. Dia tidak menyembunyikan kehadirannya yang hanya sedikit menyerong dari rumah Fio. Dan Fio tahu kenapa Ari tidak memarkir mobilnya seperti semalam lagi, karena mobil hitamnya yang berbadan besar itu menghabiskan banyak ruang dan bisa membua
t seluruh penghuni rumahnya tertahan, tidak bisa keluar. Dan hari ini jendela kamar Fio tertutup seharian.
*** Minggu sore. "Kok Mama nggak bilang"" Tari menatap mamanya dengan mata terbelalak maksimal. Benar-benar tak menyangka mamanya sejak awal curiga bahwa Ari dan Ata adalah satu orang. Sang mama menatapnya dengan rasa bersalah.
"Karena pasti ada alasan kenapa dia nekat begitu. Jadi dua orang dengan pribadi yang benar-benar beda itu berat, Tari."
"Alasannya karena tu orang nggak punya perasaan. Seenaknya sendiri. Jahat. Egois!" "Kasihlah dia kesempatan untuk menjekaskan," ucap mama Tari dengan sabar. "Dan dengarkan semua apa yang dia bilang dengan kepala dingin."
"Nggak!" sahut Tari serta-merta. "Ngapain" Mama aneh deh. Udah jelas-jelas dia bohongin Tari habis-habisan, udah nipu, ngapain juga Tari mesti dengerin. Bohong ya bohong. Nipu ya nipu!" "Kamu sering bilang dia baik. Berapa kali kamu ngomong begitu sama Mama. 'Kak Ari itu sebenarnya baik.' Dan mama ngeliatnya juga begitu. Jadi pasti ada alasan kuat kenapa dia tega begitu sama kamu."
"Tari salah, Ma... " Tari menatap mamanya dengan sorot terluka. "Dia nggak baik. Dia jahat. Jahat banget!"
Setelah menatap mamanya dengan pandangan kesal, Tari berjalan ke kamar. Kepalanya menggeleng-geleng. Nggak menyanka, mamanya ternyata ibu paling aneh sedunia! Fio yang hari itu datang lagi dan mendengarkan perdebatan itu, entah kenapa, setuju dengan mama Tari. Pasti Ari punya alasan kuat.
Perdebatan itu berujung panjang. Keesokan harinya, Senin pagi, Tari menolak masuk sekolah.
"Males ketemu Kak Ari. Pasti dia udah nunggu. Bahkan bisa jadi sekarang dia udah berdiri di pintu gerbang. Pasti mau ngasih penjelasan panjang lebar." Tari tersenyum sinis. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk situasi yang saat ini sama sekali tak berpihak padanya. Mama Tari hanya bisa diam mendengarkan.
"Buat Tari, apa pun yang mau dia omongin, bukan penjelasan. Pembelaan diri. Biar dia nggak ngerasa udah jahat-jahat amat sama Tari. Bahkan bisa jadi supaya dia nggak keliatan jahat-jahat amat, dia bakal nipu Tarh lagi!"
Tanpa menunggu reaksi mamanya, cewek itu menyambar sepotong roti bakar lalu membawanya ke kamar bersama segelas susu. Fin dan mama Tari saling pandang. Raut murung namun sarat kemarahan di wajah Tari membuat wanita itu terpaksa meluluskan kemauan putrinya. Fio terpaksa mengikuti, karena jika dia masuk sekolah, tak ayal dirinya yang harus menghadapi Ari. Sebagai kurir, juru bicara, juru runding, penasihat, dan sederet tugas lain untuk menjembatani putusnya komunikasi ini.
Bukannya tidak ingin membantu. Fio hanya merasa untuk menyelesaikan masalah ini, yang paling tidak bisa dibutuhkan oleh kedua orang itu adalah hadirnya orang ketiga.
**** Pagi itu koridor di depan kelas Tari sepi karena Ari bercokol di bangku panjang yang terdapat di sana. Keruhnya wajah Ari membuat semua juniornya bisa merasakan cowok itu sedang berada dalam kondisi emosi yang nggak bagus. Karenanya semua penghuni kelas Tari jadi enggan keluar. Duduk membentuk titik-titik kelompok, mereka berkasak-kusuk dengan suara pelan. Melontarkan pada satu sama lain, dugaan penyebab pentolan sekolah itu sudah muncul bahkan sejak Jimmy -orang yang paling rajin datang pagi- belum tiba.
Bercokolnya Ari itu juga menyebabkan siswa kelas sepuluh yang terbiasa sarapan di kantin terpaksa lari ke koperasi. Sedangkan siswa yang urgent ke kamar kecil terpaksa memohon kepada pegawai sekretariat agar diperbolehkan menggunakan kamar kecil mereka. Mengatakan permisi pada wajah angker Ari meskipun itu dengan intonasi yang bahkan paling merendah dan sopan, sepertinya tetap akan membuat satu-dua jotosan melayang.
Pukul setengah tujuh kurang satu menit. Ari hopeless. Dia yakin Tari nggak mungkin datang. Untuk kesikian kali di kontaknya Oji, yang dimintanya untuk berjaga di pintu gerbang.
"Ada, Ji""
"Nggak ada, Bos,"
"Fio"" "Nggak ada juga."
Ari menghela napas. "Ya udah, lo balik deh. Bentar lagi bel." "Nggak ditunggu sebentar lagi" Kali aja dia telat." "Kayaknya nggak masuk."
"Gitu" Ya udah." Ari menutup telepon. Dihelanya napas. Sesak karena rasa bersalah semakin mengimpit, sampai rasanya ingin dihantamnya daun pintu tak jauh di sebelahnya. Kemudian dia berdiri, menghampiri siswi yang bangkunya paling dekat dengan pintu depan. Nyoman.
"Berapa nomer HP lo""
Nyoman menatap Ari dengan bingung.
"Berapa nomer HP lo" Bengong, lagi."
"Oh!" Nyoman tersadar. Buru-buru dia sebutkan nomer ponselnya. Tak lama terdengar ringtone panggilan masuk dari dalam laci meja. Segera Nyoman meraih ponselnya itu. "Itu nomer gue. Kalo Tari dateng, langsung telepon gue. Ngerti"" "Iya, Kak." Nyoman mengangguk patuh.
"Nama lo"" "Nyoman."
Ari mengangguk. "Jangan lupa ya, Nyoman," katanya, lalu balik badan dan meninggalkan kelas Tari dengan rasa bersalah dan kecemasan yang terasa semakin menggantung berat.
*** Keesokan harinya, Tari kembali berangkat sekolah. Terpaksa. Penginnya sih di rumah aja. Soalnya kalo sekolah pasti ketemu Ari. Dirinya belum siap. Bukan belum siap ketemu cowok itu, tapi belum siap mengatasi rasa marah dan semua emosi karena kebohongan itu. Jangankan berhadapan langsung, begitu ingat lagi pengakuan itu, rasanya pingin.... pingin.....
Tari menghela napas lalu menggelengkan kepala kuat-kuat. Mengenyahkan dari dalam kepalanya deret visual tindakan sadis yang sangat ingin dilakukannya terhadap Ari.
Di halte, Fio yang sudah menunggu sejak lima belas menit yang lalu bergegas menghampiri Tari begitu melihat sahabatnya itu turun dari bus. Langsung digandengnya teman semejanya itu. Oji, yang sama seperti kemarin -diminta Ari untuk mengawasi di pintu gerbang- langsung memberikan laporan begitu dilihatnya Tari berjalan di kejauhan bersama Fio. Setelah itu ditinggalkannya gerbang karena tugasnya sudah selesai.
Begitu mendekati gerbang sekolah, baik Tari maupun Fio langsung mengawasi sekeliling, mencari-cari keberadaan Ari. Tari dengan kemarahan, sementara Fio dengan kecemasan. Keduanya sama-sama menarik napas lega ketika telah menapaki tangga-tangga terakhir menuju lantai tempat kelas mereka berada dan Ari tidak terlihat sama sekali. Tapi kelegaan itu seketika sirna karena Ari ternyata berada di tempat yang menjadi tujuan mereka. Tepat di depan pintu kelas!
Untuk semua mata, Tari hanya terlihat seperti kurang sehat. Tapi tidak untuk kedua mata Ari. Dari jauh pun dia sudah tahu kondisi Tari saat ini adalah murni akibat tindakannya.
Seketika langkah Tari terhenti. Tubuhnya menegak kaku. Keduanya saling tatap. Dua pasang mata itu bertemu. Yang melukai dan yang dilukai.
Ini adalah untuk pertama kalinya Ari melihat Tari lagi setelah pengakuan itu. Dan kondisi cewek ini semakin memperdalam torehan sakit di atas rasa bersalahnya. Perlahan, Ari memperpendek jarak. Mencoba mendekat. Tapi baru satu langkah, Tari langsung memberinya peringatan dengan gigi gemeretak.
"Minggir lo!" Langkah Ari terhenti. Hanya terhenti. Dia sama sekali tidak berniat menyingkir seperti peringatan itu. Kedua matanya tetap terarah lurus pada Tari. Ditelannya ludah saat disaksikannya bara berpijar di kedua mata itu. Berkilat dan menyala. Memberinya keyakinan, akan sangat sulit untuk meraih kembali cewek ini.
"Minggir dari depan pintu kelas gue!" bentak Tari. Kali ini suaranya mulai naik satu oktaf. "Kalo
nggak, ntar gue teriak kenceng-kenceng nih. Biar semua tau kalo elo tuh aktor!" "Teriak aja. Nggak pa-pa kalo itu bisa bikin elo lega," ucap Ari halus.
Kedua bibir Tari mengucup kaku. Kalimat Ari itu membuatnya makin mendidih. Sok wise! Padahal itu cuma caranya biar nggak terlalu ngerasa bersalah!
Berbeda dengan Tari yang seketika jadi 'buta', Fio bisa melihat dengan jelar penyesal Ari dan permohonan maafnya. Karenanya lewat sorot mata, dimintanya Ari untuk pergi. Tapi cowok itu sama sekali tidak mengacuhkan.
Melihat Ari tetap tegak di depannya, tidak juga menyinkir, akhirnya Tari menjerit. Benar-benar keras seperti ancamannya tadi.
"MINGGIR NGGAK, LO!" MINGGIR! MINGGIR! MINGGIIIR!!!"
Ari tertegun. Apa yang baru disaksikannya sudah tidak bisa dikategorikan sebagai kemarahan. Ini h
isteria! Jeritan Tari seketika melejitkan seluruh teman sekelasnya dari tempat mereka duduk. Sebagian lalu bergerombol berdesakan di depan pintu, sementara sebagian lagi berdesakan di deretan kaca jendela.
Hal yang sama juga terjadi di kelas 10-8 -kelas yang bersebelahan dengan kelas Tari- karena peristiwa itu terjadi tidak jauh dari pintu belakang kelas mereka. Ruang kosong di ambang kedua pintu yang berdekatan itu kini penuh dengan tubuh-tubuh manusia yang menatap Ari dan Tari dengan penuh rasa ingin tahu.
Dengan sorot mata yang kini panik, Fio benar-benar memohon agar Ari mau pergi. Diam-diam Ari menarik napas panjang. Dia terpaksa mengalah. Karena jika tidak, dirinya akan membuat semua kelas sepuluh keluar dari kelas masing-masing dan berkumpul di sekeliling mereka bertig. Sambil menatap Tari, Ari bergerak mundur tiga langkah, balik badan kemudian pergi.
Tari menyaksikan kepergian Ari dengan kedua bibir yang dikatupkannya rapat-rapat sampai nyaris berwarna putih, menekan gelegak kemarahannya agar tidak berubah menjadi tangis.
"Udah, nggak usah diliatin terus," bisik Fio. Direngkuhnya bahu Tari kemudian dibawanya memasuki kelas.
*** Siang sepulang sekolah, Ari kembali mencoba menekati Tari. Kali ini di koridor utama, bersama Oji. Bukan karena Ari mencari sekutu atau bantuan, tapi karena ketika melihat Ari sedang berdiri bersandar di dinding tidak jauh dari tangga menuju area kelas sepuluh, Oji langsung menghampiri tanpa pikir lagi. "Nungguin dia"" tanya Oji.
Ari mengiyakan dengan menggerakkan kedua alisnya.
Berbeda dengan pagi tadi -langsung menghadang langkah Tari- kali ini Ari lebih berhati-hati. Ketika dilihatnya cewek itu, tetap tidak ditinggalkannya dinding tempat disandarkannya punggung sejak sepuluh menit yang lalu. Sekarang ganti Oji yang melakukan itu. Oji berdiri tepat di tengah-tengah koridor, membuat semua juniornya baik kelas sepuluh maupun kelas sebelas seketika menyingkir. Mereka turun dari koridor, ke taman kecil di sebelahnya.
Tari dan Fio baru saja akan melakukan hal yang sama saat mereka menyadari Oji akan menghadang kemana pun mereka belokkan langkah. Apalagi setelah lewat ekor mata, mereka melihat keberadaan Ari. Mereka makin yakin lagi, bahkan jika meninggalkan tempt itu dengan berlari, Oji pasti akan langsung mengejar dan menyeret mereka kembali. Terutama pada Tari. Akhirnya keduanya berhenti.
Selain Ridho, Oji memang orang yang paling memahami Ari. Tak mungkin Ari berdiri di tempat ini tanpa tujuan. Tapi Oji tidak peduli apa tujuan itu. Yang jelas itu pasti berkaitan erat dengan Tari. Dan itu berarti hanya satu, harus di hentikan cewek itu.
Ari melipat kedua tangannya di depan dada saat dilihatnya Oji berhasil menghentikan langkah Tari dan Fio. Tidak beranjak dari tempatnya berdiri, diawasinya ketiga orang yang berdiri tidak jauh itu, terutama Tari.
"Kak Oji ngapain sih" Kami buru-buru nih," ucap Fio dengan nada kesal.
Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ngapain buru-buru" Jam segini bus pada penuh," balas Oji.
"Sok tau. Emang pernah naik bus, apa""
Tari berdecak pelan. Mulai jengkel dengan berikade itu.
"Minggir nggak lo dari depan gue" Tampang lo itu bikin males, tau!" bentaknya. Dipelototinya Oji tajam-tajam.
"Elo....!"" Oji kontan melotot balik. "Yang sopan kalo ngomong. Baru kelas sepuluh juga!" Bentakan Tari itu seketika membuat Ari menegakkan tubuh. Kedua matanya semakin mengunci Tari dalam fokus tatapannya.
"Apa!"" Tari tambah melotot. Kali ini tubuhnya ikut condong ke depan. "Jangan cari gara-gara deh! Minggir nggak lo, bego! Gue lempar pake cutter nih!" ancam Tari. Segera dibukanya ritsleting kantong depan tasnya.
Kembali Ari memutuskan untuk mengalah, karena ini di koridor utama. Bukan cuma murid semua angkatan, guru-guru dan semua pegawai sekolah juga melalui koridor ini. Dan bentakan Tari tadi menarik keingintahuan, karena beberapa pasang mata mulai menatap ke arah mereka. "Oji!" panggil Ari. "Mundur. Kasih dia lewat."
"Tapi lo bilang... "
"Mundur!" Oji menatap Ari dengan ekspresi bingung, karena nggak biasanya Ari bersikap lunak. Tapi diturutinya
juga perintah itu. Oji menyingkir dari depan Tari dan Fio, lalu menghampiri Ari dan berdiri di sebelahnya.
Jalan di depannya tidak lagi terhalang, tapi Tari tidak bergegas pergi. Ditatapnya Ari dengan bara kebencian yang benar-benar meletup. Membekukan Ari. Sementara di sebelah Ari, Oji menatap sepasang mata yang sarat percik kebencian itu dalam ketertegunan.
Kali kedua setelah usia delapan tahunnya terentang begitu jauh di belakang, kembali Ari dikoyak rasa frustrasi. Perasaan ditolak dan tidak diinginkan. Sesuatu yang kuat tapi tak dipahaminya kala itu. Namun masih di kenalnya rasa sakit ini. Karena rasa inilah yang telah memicunya untuk 'mematikan' dirinya sendiri. Hidup demi saudara kembarnya demi satu harapan, entah bagaimana caranya, akan membawa dua orang yang mendadak hilang dari hidupnya itu kembali.
Ketika bertahun kemudian disadarinya harapan itu absurd, mengambil pribadi Ata ternyata telah menjadi cara untuk bertahan. Sampai kemudin muncul gadis ini. Gadis yang menyandang nama yang sama dengan saudara kembarnya.
Seketika gadis ini menyulut lagi harapan itt. Membangkitkan kenangan. Menyalakan kerinduan. Sekaligus mematikan logika dan akal sehatnya.
Tidak ada yang salah dengan harapan yang terus digenggamnya kuat-kuat itu. Yang salah adalah, dirinya yang terlalu fokus dengan hatinya sendiri. Hingga dikupakannya bahwa gadis ini juga punya hati. Hingga tak pernah terlintas bahwa pada akhirnya ini akan melukai. "Kenapa masih belom pergi"" tanya Ari pelan.
Fio yang bereaksi lebih dulu atas suara putus asa Ari itu.
"Yuk, Tar," ajaknya pelan. Digamitnya satu lengan Tari. Tari menolak. Magma kemarahan sudah bergolak, dan kalau tidak dimuntahkan dirinya tidak akan puas.
"Gue benci banget sama elo!" desisnya. Akhirnya pernyataan itu menghancurkan Ari.
Dengan kedua mata yang tidak lagi bisa menyamarkan itu, Ari mengikuti setiap langkah menjauh Tari. Sampai gadis itu hilang ditelan kerumunan siswa SMA Airlangga yang memenuhi area jalan menuju gerbang. Hal yang sama dilakukan Oji, tapi dengan ekspresi bingung.
"Tuh cewek kenapa sih" Segitu kalapnya," tanyanya.
Ari pura-pura tidak mendengar. Dia meninggalkan tempat itu, kembali menuju kelas, mengambil tas dan jaket lalu pergi. Pergi ke mana saja hatinya yang patah siang ini menuntunkan arah.
*** Letih -baik pikiran, emosi, dan hati- membuat keduanya akhirnya terpuruk, tanpa satu sama lain tahu. Tari kehilangan seluruh konsentrasinya pada pelajaran. Empat puluh lima menit kali seluruh pelajaran yang sudah terlewati menghasilkn catatan yg berantakan. Bahkan setelah dibaca ulang, Tari yakin ada banyak bagian yg tertinggal, tidak tercatat. Seluruh soal yg diberikan, baik latihan di sekolah maupun PR di rumah, dijawabnya dgn kacau bahkan asal-asalan. Teguran-teguran mulai diterima Tari dari para guru. Bu Pur bahkan memerintahkannya untuk menemui Bu Sati, guru BP, setelah gagal mengorek dengan cara halus penyebab salah satu anak didiknya itu kacau hampir di seluruh mata pelajaran.
Di tempat lain, di kelasnya sendiri, Ari melampiaskan dengan cara berbeda. Dibuatnya suasana kelas jadi ricuh dan ingar-bingar. Hampir di semua jam pelajaran, ide-idd konyol yang sebenarnya manifestasi dari kepedihan dan rasa frustasi bermunculan di kepalanya.
Cowok itu makan bakwan dengan sambal kacang ekstra pedas, tanpa minum, pada saat pelajaran Pak Sitanggang, guru matematika yang terkenal pemarah. Makan kerupuk kulit pas pelajaran Bu Ida yang terkenal selalu hening senyap. Sementara kerupuk kulit dagangan Mpok Zaenab di kantin itu sudah terkenal supergaring. Bunyi 'kres'-nya kalo digigit udah kayak mercon. Nyaring banget. Sampai konser dangdut akapela, yang dilakukan pada saat jam kosong. Dimeriahkan dengan kontes goyangan-goyangan hot di depan kelas. Dari goyang gebor Inul Daratista, goyang ngecor Uut Permatasari, goyang patah-patah Anisa Bahar, sampai, goyang gergaji ala Dewi Persik. Sebagian dilakukan oleh cowok-cowok yang emang udah lama dikenal gila dan cacat anatomi, nggak punya urat malu. Dan sebagian lagi oleh cowok-cowok yang kemungkinan karena
salah asuh dari ibu masing-masing.
Tawa-tawa histeris seketika membahana dari kelas 12 IPA 3 itu, membuat dua orang guru yang mengajar di dua kelas yang bersebelahan sampai meninggalkan kelas masing-masing, lalu berteriak marah di pintu kelas yang berisi siswa pentolan sekolah itu.
Teguran dari para guru yang merasa kesal karena ulah Ari sangan mengganggu jalannya pelajaran, sampai panggilan dari kantor kepsek, tidak berhasil menghentikan ulah Ari. Semua tantangannya memang selalu mendapatkan sambutan sangat antusias dari hampir seisi kelas, karena Ari selalu menyediakan doorprize menggiurkan untuk setiap peserta yang paling berani malu. Uang! Namun, ketika semua itu ternyata tidak memberikan kelegaan sedikit pun untuk sesak yang menghimpitnya, Ari berhenti menciptakan hura-hura. Diputuskannya untuk terbang ke Bali besok pagi-pagi sekali. Di pulau eksotis itu ada banyak tempat untuk menenangkan pikiran dan hati, dan ada banyak tempat juga untuk lupa diri.
Pada detik akhirnya Ari kelelahan dan memutuskan untuk pergi. Tari juga telah sampai pada batas akhir pertahanannya. Berangkat dari rumah sudah dalam kondisi letih dan kacau, dia tidak berhasil berkonsentrasi pada pelajaran bahkan sejak jam pertama baru saja dimulai. Ketidak hadiran Fio karena harus menemani mamanya untuk satu urusan keluarga semakin membuat Tari merasa berat, karena hanya Fio yang tahu keseluruhan cerita. Jadi hanya pada teman semejanya itu Tari bisa berkeluh kesah. Meskipun itu keluhan yang selalu sama dan untuk yang kesekian juta kalinya.
Jadi, hari itu yang dikerjakan Tari adalah mencatat apa yang harus dicatat. Mendengarkan apa yang harus didengarkan, meskipun kemudian semua penjelasan itu menguap tanpa sisa dari dalam kepalanya. Mengerjakan apa yang harus dikerjakan, meskipun hampir selalu kacau atau salah total. Para guru, yang tadinya menegur atau mengomel, akhirnya pasrah saat menyadari anak didik mereka itu memang sedang berada dalam kondisi 'mati suri'. Raganya berada di tempat, tapi jiwa, semangat, dan pikirannya entah terbang ke mana. Teman-teman sekelas Tari juga menyadari betapa kacaunya cewek itu. Sejak berhari-hari lalu. Tapi kali ini tak seorang pun yang sampai hati untuk bertanya. Satu yang mereka tahu dengan pasti, itu berkaitan dengan Ari. Pasti! Memasuki pelajaran keempat, Tari menyerah. Bukan cuma letih mental dan emosi, dia juga merasa tubuhnya muli tidak bisa diajak kompromi. Akhirnya, pada guru yang sedang mengajar, Tari minta izin untuk istirahat sebentar di ruang PMR, karena ruang UKS terletak di gedung yang berbeda. Segera izin untuk meninggalkan kelas diberikan oleh guru yang bersangkutan. Di ruang PMR tampak seorang siswi kelas sebelas -yang menjadi pengurus eskul PMR- sedang berjaga. Cewek itu sedang pelajaran olah raga, tapi sudah minta izin pada guru olahraganya untuk tidak ikut tanding basket ataupun jadi penonton. Cewek itu langsung mengizinkan Tari menggunakan salah satu dari tiga ranjang yang ada. Sama sekali tanpa bertanya kenapa atau ada apa atau sakit apa.
Siapa juga yang nggak kenal Tari" Bersama Ari, mereka adalah duo yang paling sering menciptakan kehebohan dan hura-hura.
Sementara itu di kelas Ari suasana begitu hening, karena Bu Ida baru saja mengeluarkan ancaman maut; sekali lagi Ari menyulut ingar-bingar seperti yang terjadi minggu lalu, dia tidak akan lagi memasuki kelas itu sampai lulus-lulusan!
Keheningan itu kemudian dipecahkan oleh suara pintu dibuka. Oji, yang sepuluh menit lalu diminta Bu Ida mengambil bukunya yang tertinggal di ruang guru, kembali. Setelah meletakan buku itu di meja guru, Oji melangkah kebangkunya.
"Ri, si Tari kayaknya sakit," bisiknya.
Ari menoleh serta-merta. Ditatapnya Oji lurus-lurus.
"Gue tadi ngeliat dia masuk ruang PMR," bisik Oji lagi.
Ari langsung berdiri dan berjalan keluar kelas dengan langkah tergesa. Tak dihiraukannya bentakan Bu Ida yang menyuruhnya kembali. Disusurinya koridor dengan langkah cepat, nyaris setengah berlari. Di tangga turun bahkan dilompatinya tiap tiga anak tangga sekaligus. Langkah-langkah tergesanya terhenti tepat
di depan pintu sekretariat PMR. Dia mematung di ambangnya. Dia akui keegoisannya. Melukai dengan seluruh kesadaran, lalu mengejar dengan segala cara agar maaf diberikan. Namun kini tidak lagi. Akan diterimanya seluruh caci maki dan semua hal yang memang pantas diterimanya.
Tanpa bunyi, kemudian dimasukinya ruangan itu. Kedua matanya seketika tertancap pada salah satu dari tiga tempat tidur yang ada, terletak paling tepi dan tertutup tirai. Seorang siswi kelas sebelas, anggota PMR yang kebagian tugas jaga di ruangan itu, mendongak dan sontak terkejut mendapati siapa yang berdiri di depannya.
"Tolong lo keluar," ucap Ari pelan. Segera cewek itu mematuhi perintahnya. Begitu cewek itu melewati ambang pintu, Ari segera menutupnya. Tanpa suara.
Perlahan dihampirinya tempat tidur itu. Di dapan tirai tipis putih pekat yang menutupinya rapat, langkah itu terhenti. Perlahan Ari menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan gerak yang lebih perlahan lagi, berusaha meredam gemuruh detak jantungnya yang menggila, tapi sia-sia. Seperti seribu detik habisnya waktu sejak dia ulurkan tangan sampai tirai itu akhirnya tersibak pelan. Dan Ari membeku.
Di depannya, dalam jarak yang teramat dekat, terbaring seseorang yang telah menjadi korban dari begitu banyak tindakan egoisnya. Seseorang yang sebenarnya tidak tahu menahu. Seseorang yang sebenarnya tidak bersalah sedikit pun. Seseorang yang sebenarnya tidak harus bertanggung jawab atas apa pun yang telah terjadi dalam hidupnya, namun dengan paksa telah diseretnya masuk ke dalam hidupnya yang hanya berisi pusaran badai.
Wajah dengan kedua mata tertutup pucat. Ari menelan ludah. Setelah semuanya, masih berapa banyak lagi yang ingin dimintanya dari cewek ini"
Tiba-tiba dua kelopak tertutup itu membuka. Sepasang mata redup di baliknya seketika terbelalak. Keduanya saling tatap. Untuk pertama kalinya di luar dua tempat Ari merasa aman untuk merasa letih dan putus asa -kamar tidurnya di rumah dan saung di lereng gunung itu- dia biarkan seseorang melihat seluruh luka dan kesakitannya, seluruh kerapuhan, juga setiap usahanya yang kerap terlatih untuk bertahan.
Telanjang. Transparan. Apa adanya. Tanpa topeng dan tanpa keinginan untuk menjelaskan lagi. Sering kali hening memang lebih mampu mengungkapkan banyak hal daripada ribuak kata. Dan sering kali pula mata lebih mampu menyampaikan apa yang hati ingin bicara, lebih daripada bibir sanggup mengatakannya.
Namun, maaf bukanlah satu tindakan yang bisa dilakukan tiba-tiba. Ada pengertian panjang sebelumnya. Ada pemahaman. Ada keikhlasan.
Yang pasti, yang dibutuhkan adalah waktu dan yang tidak dibutuhkan adalah amarah. Sayangnya, saat ini satu-satunya yang ada adalah apa yang justru tidak dibutuhkan.
Tanpa mengangkat kepala dari bantal, Tari mendongak ke arah bangku tempat siswi anggota PMR yang tadi sedang berjaga.
"Kakak... " panggilan seraknya langsung terhenti, karena dilihatnya bangku itu sekarang kosong dan pintu telah tertutup. Sekilas Tari sadar, hanya ada dirinya dan Ari di ruangan itu. Seperti tersengat, Tari langsung bangkit. Seperti tersengat juga, Ari bergerak lebih cepat. Ketika pada detik berikutnya kedua tangannya terulur, Ari sudah tidak lagi kondisi sepenuhnya sadar.
Ketika kemudian dicekalnya kedua bahu Tari, menahan cewek itu dalam posisi terbaring, itu sudah satu bentuk tindakan alam bawah sadar.
Ketika kemudian dia bungkukkan tubuhnya begitu rendah, penyesalanlah yang kini ganti memintanya.
Dan ketika akhirnya air matanya jatuh, itulah wujud penyesalan yang sepenuhnya.
Tari memejamkan kedua matanya, karena air mata itu jatuh tepat di dalamnya. Berbaur dengan air matanya sendiri dan mengalir bersama.
Ari menatap bening yang mengalir turun itu. Miliknya, dan milik gadis ini. Kembali sesal yang pedih menyelinap, dan akhirnya membunuh seluruh kesadarannya yang tersisa. Dia rentangkan kedua lengan dan diraihnya seluruh keberadaan Tari dalam kedalaman lingkarannya. Dilenyapkannya sisi jarak di antara mereka.
Pelukannya itu kemudian memecahkan tangis, mengalirkan lebih banyak lagi air
mata. Namun itu tak terasa meringankan, karena setiap isak lirih memberi perih yang baru untuk luka-lukanya.
Dan sekuat apapun pelukan untuk Matahari ini, bisa dia rasakan jarak kembali menyelinap. Tak bisa dihambat. Tak bisa dihentikan. Keberadaan gadis ini seperti meluruh dan semakin jauh.
Kepergiannya terasa pasti. Ari bisa merasakan, keputusasaan mulai memeluknya kini.
Bagi Tari sendiri, sudah sejak hari itu pelukan ini tak lagi bisa dikenali. Hangat dekapan yang justru terasa menggigilkan. Ketiadaan jarak yang terasa menyesakkan. Dua lengan asing. Detak jantung seseorang tak bernama.
Karena itu, kemudian dia berusaha keras menguraikan pelukan itu. Diletakkannya kedua telapak tangannya pada belah dada Ari tempat jantung cowok ini berada.
Menyakitkan. Karena ketika semua terasa seperti diam, hingga apa yang telah terjadi bisa dianggap cuma mimpi, detak-detak jantung itu keras menyangkal.
Sekuat tenaga Tari lalu berusaha mendorong dada itu, namun pelukan itu membatu. Tak terurai. Bukan karena Ari tak mendengar, tapi karena pinta dalam lirih suara bercampur isak itu tak lagi tercerna. Otaknya berhenti bekerja. Ari hanya tak ingin Tari lepas dari dekapnya, karena seterusnya mungkin gadis ini tak akan pernah bisa teraih lagi.
Kehabisan tenaga, akhirnya Tari berhenti meronta. Kedua tangannya melunglai, terlipat di antara tubuhnya dan tubuh Ari. Kedua mata Ari mengerjap lambat. Dibiarkannya detik-detik berlari. Menghadirkan hening yang mengisi setiap ruang kosong yang ada. Sampai dirinya yakin tubuh yang dipeluknya ini tak akan mencoba pergi.
Perlahan, cowok itu kemudian melepaskan dekapannya. Menyisakan ruang yang tetap tak mungkin bagi Tari untuk melepaskan diri. Sepenggal jarak itu ditatapnya dengan kedua mata berkabut. "Kalo gue bilang... , gue nyesel waktu harus jadi Ata... , lo percaya""
Tari memalingkan muka. Tak dijawabnya tanya yang diulurkan Ari dengan suara lirih dan terputus-putus itu.
"Lo nggak percaya," dengan bisikan, Ari menjawab sendiri pertanyaan itu. "Lebih dari nyesel... Gue ancur."
Ari tidak bohong. Dia jujur. Dia menyesal berkali-kali. Dia hancur berkali-kali. Sayangnya, dia hanya bisa bicara untuk dirinya sendiri. Untuk ruang kosong di antara dirinya dan cewek dalam peluknya ini. Untuk rasa hampa yang perlahan hadir.
Tari ada jauh di luar alam raya. Karenanya Ari tidak ingin lagi membuka mulutnya. Apa pun yang dikatakannya tak akan pernah sampai. Hitam kedua bola matanya lalu berusaha menembus pekatnya nanar fokus mata. Pada wajah yang sejak tadi menolak untuk menatapnya. Pada sisa-sisa jejak air mata.
Perlahan jari-jari tangan kirinya mendekat. Dihapusnya sisa butiran bening itu dengan sangat hati-hati, seakan jejak-jejak air mata itu adalah luka. Tari menggigit bibir. Semakin dia palingkan mukanya.
Sebelah pipi itu menyadarkan Ari betapa pucat wajah Tari. Menghentikan, saat itu juga, gerak jari-jarinya. Dia mematung.
Telah diletakannya seluruh sakit yang mencengkeram dadanya ketika kemudian ditundukannya kepala. Memberi, pada pipi pucat itu, satu cium. Yang dilakukan dengan lembut seakan-akan pipi pucat itu juga adalah luka.
Satu cium yang bukan hanya berasal dari seluruh sesal yang ada, namun juga dari sesuatu yang tidak bisa disadarinya. Seluruh hati yang dimilikinya.
Tari kerkesiap. Seketika jadi kalap. Dengan kekuatan yang entah datang dari mana, didorongnya tubuh Ari, sampai tercipta jarak yang cukup baginya untuk bisa melepaskan diri. "Lo ngomong aja sama yang lain! Gue nggak percaya apa pun yang keluar dari mulut lo! Pergi lo! Jangan ada di depan gue lagi!" desisnya dengan suara serak.
Perlahan Ari menegakkan punggung. Ditatapnya gadis yang meringkuk rapat-rapat di sudut kaki tempat tidur itu dengan sepasang mata yang semakin berkabut. Perlahan, dia melangkah mundur.
Bel istirahat berbunyi. Menegaskan keberadaan dinding tak terlihat di kesadaran Ari. Mengukuhkan jurang tak terjembatani di antara dirinya dan gadis di depannya itu kini. Dengan gerakan lemah dikeluarkannya ponsel dan Ridho jadi orang pertama yang dikontaknya. "Dho, tolong
ke ruang PMR sekarang. Bawain jaket gue sekalian." Dijauhkan ponsel dari telinga, lalu dicarinya nama Fio di daftar kontak.
"Lo nggak masuk" Ya udah kalo gitu." Ari langsung menutup telepon. Sekali lagi dibukanya daftar kontak.
"Nyoman, bawa tas Tari ke ruang PMR sekarang."
Nyoman sampai lebih dulu. Seketika dia tertegun mendapati kondisi Tari. Mulutnya sudah terbuka untuk bertanya, tapi langsung dia urungkan begitu sadar siapa yang terlibat di sini. Akhirnya, tanpa sedikit pun mulutnya terbuka, Nyoman melangkah menghampiri Tari dan duduk di sebelahnya. Ridho, yang tiba tak lama kemudian, bereaksi sama persis dengan Nyoman. "Tolong anter dia pulang." Ari melemparkan kunci motornya. Ridho menangkap kunci itu lalu menghampiri sang pemilik.
"Lo apain dia!"" bisiknya tajam. Kedua rahang Ari terkatup keras. Tak menjawab. Ridho meraih tangan Ari, bersama jaket dikembalikannya jaket itu. "Kenapa bukan lo sendiri"" kecamnya. Ari berjalan menuju lemari di sudut ruangan. Diletakkannya jaketnya di atasnya. Kemudian dengan kedua mata menatap Ridho, cowok itu menghampiri Tari lalu berlutut di depannya dengan satu kaki menyentuh lantai. Posisi yang harus diambilnya karena sejak tadi Tari terus menundukkan muka dan tidak mengeluarkan suara.
"Gue aja yang nganter pulang, ya"" Ari menawarkan diri dengan nada yang benar-benar merendah, karena dia bersungguh-sungguh dengan permintaan itu.
Seketika Tari menatapnya dengan sorot yang membuat Ridho dan Nyoman jadi yakin, daripada diantar Ari, tuh cewek pilih mati!
Ari menegakkan tubuh lalu menatap Ridho dengan kedua alis terangkat. Ridho menarik napas lalu mengembuskannya perlahan.
"Nganter pulangnya ntar abis jam istirahat, kan""
"Kalau bisa sekarang, ya mending sekarang."
"Nggak bisa lah. Jangan gila deh lo. Jam istirahat gini di lapangan depan pasti banyak orang. Lo mau dia jadi tontonan""
Ari agak tersentak. "Sori, gue lupa," desahnya berat.
Ridho geleng-geleng kepala. "Gue ke kantin dulu deh. Laper," katanya sambil berjalan keluar. "Beliin teh manis anget," pinta Ari.
"Hmm." Jam istirahat adalah jam ruang sekretariat ekstrakurikuler selalu dipenuhi oleh para anggotanya yang berkumpul. Setelah membuat empat orang anggota junior PMR tersentak kemudian langsung keluar ruangan dan mengusir dua yang lain, Ari mengeluarkan ponselnya sambil berdecak kesal. Dikontaknya Rina, ketua PMR yang kebetulan teman sekelasnya.
"Rin, gue pinjem ruangan lo sebentar."
Rina baru akan bertanya untuk apa, tapi detik berikutnya dia sadar, terhadap cowok satu ini lebih baik tidak terlalu banyak bertanya.
"Oke. Pake aja."
"Thanks." Begitu izin dikeluarkan oleh otaritas yang paling berwenang, Ari langsung menutup pintu. Kemudian ditariknya tirai jendela. Hanya setengah. Cukup agar Tari terhalang dari luar.
Ridho kembali dengan segelas teh manis hangat dan seplastik gorengan.
"Buat dia, kan"" sambil menatap Ari, digerakkannya dagu ke arah Tari. Ari mengangguk. Ridho menghampiri Tari, lalu mengulurkan gelas berisi teh manis hangat itu.
"Nih, diminum. Biar lo agak enakan," ucapnya tulus.
Tari mendongak. Diterimanya gelas itu. "Terima kasih, kak," ucapnya lirih.
Ridho mengangguk. Sesaat ditepuk-tepuknya satu bahu Tari. Kemudian dia berjalan menuju satu dari dua meja yang ada dan mengangkat tubuhnya ke atasnya.
Nyoman pingin banget tanya, ada apa. Tapi dia ngeri karena ruangan itu begitu hening. Semua yang ada di luar, suara-suara, orang-orang, seperti tak terhubung. Juga karena Ari yang terus berdiri diam, bersandar di dinding dekat pintu. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Kedua matanya tenggelam dalam fokus yang berada dalam kedalaman pikirannya.
Kelamnya wajah Ari itulah yang membuat Nyoman tidak berani mengeluarkan sedikit pun suara. Akhirnya dia hanya duduk diam di sebelah Tari. Satu-satunya suara di dalam ruangan itu berasal dari aktivitas Ridho mengunyah semua gorengan yang dibelinya. Sendirian. Karena dua orang yang ditawarinya -Nyoman dan Ari- satu langsung geleng kepala, sementara satunya dalam totalitas menjelmakan diri jadi ar
ca. Bel berbunyi. Jam istirahat berakhir. Ari bergerak dari gemingnya. Ridho melompat turun dari meja yang didudukinya. "Jaket lo," kata Ridho.
Ari menghampiri lemari, mengambil jaketnya lalu melemparkannya ke Ridho. Ridho menangkapnya sambil berjalan mendekati Tari.
"Ayo, gue anter lo pulang." ditepuknya pelan satu bahu Tari.
Tari berdiri. Dia menyerahkan geles berisi teh manis yang sedari tadi dipegangnya ke Nyoman.
Kemudian dengan kedua tangan diusapnya kedua mata, membersihkn sisa-sisa air mata.
"Nih, pake." Ridho mengulurkan jaket hitam Ari. Seketika kedua mata Tari menatap jaket itu dengan sorot akan dikoyaknya jaket itu jadi serpihan kalau sampai ada yang nekat memaksa.
"Oke. Nggak pa-pa kalo nggak mau. Nggak usah emosi." Ridho melemparkan jaket itu kembali ke sang pemilik.
"Dia nggak mau."
Ari menangkap jaketnya. Terlihat agak terpukul dengan penolakan tandas itu.
"Pake mobil gue aja ya, Ri" Dia nggak mau pake jaket gitu. Soalnya udah mulai panas nih." Ridho menatap sesaat ke langit di luar jendela lalu menoleh ke Ari.
"Jangan!" Ari langsung menolak. "Motor gue aja. Biar cepet." dengan ayunan lemah dilemparnya kunci motornya.
"Terseralah." Ridho menangkap kunci itu. Dia lalu menoleh ke Tari. "Yuk." Ridho menganggukan kepala, mengajak Tari keluar.
Tari meraih tasnya yang diketakkan Nyoman di tempat tidur. "Gue duluan ya, Man," pamitnya lirih. "Ati-ati ya," bisik Nyoman.
Tari mengangguk. Diiringi tatapan cemas Nyoman, Tari lalu melangkah menghampiri Ridho yg saat itu sudah berdiri di ambang pintu, tak jauh dari tempat Ari berdiri. Tari sama sekali tidak menoleh saat dilewatinya pentolan sekolah itu.
"Mudah-mudahan aja gue nggak dibacok emaknya. Anaknya pulang matanya pada bengep gitu. Mana baru jam segini, lagi," desis Ridho, melirik Ari sambil berjalan keluar.
Begitu Tari dibawa Ridho pergi, Nyoman buru-buru minta diri, "Saya duluan ya, Kak," ucapnya, lalu balik badan langsung kabur. "Nyoman!" panggil Ari tajam.
Seketika Nyoman menghentikan langkah-langkah cepatnya. Dia balik badan, menghadap Ari dan langsung mengucapkan sumpah. "Saya nggak akan cerita ke siapa-siapa soal yang terjadi di ruangan ini," ucapnya tegas.
Ari mengangguk-angguk, menekan senyumnya agar tidak muncul. Dihampirinya Nyoman lalu berdiri tepat di depannya.
"Emang lo pikir dia gue apain" Hmm" Cewek kan emang doyan nangis."
Setelah mengatakan itu, Ari pergi begitu saja. Nyoman balik badan. Dikutukinya punggung yang menjauh itu dengan mulut ternganga.
"Dasaaar emang tu cowok, brengsek banget! Jelas-jelas waktu pergi tadi Tari nggak kenapa-kenapa. Sekarang jadi kayak gitu. Kok bisa-bisanya dia bilang, 'Emangnya gue apain"'" Nyoman ngomel panjang, kemudian meninggalkan tempat itu sambil geleng-geleng kepala.
Ridho baru kembali setelah jam pelajaran bahasa Indonesia selesai dan jam olahraga sudah berjalan hampir setengahnya. Dua jam lebih.
Begitu motor hitamnya memasuki gerbang, Ari langsung meninggalkan lapangan futsal.
Konsentrasinya yang tak bisa disatukan akibat kegelisahan membuat permainan di lapangan itu jadi kacau dan asal-asalan. Baru akan dibukanya mulut untuk bertanya, Ridho sudah mendahului.
"Gue masih nggak boleh tau"" tanya Ridho, pelan tapi tajam.
Ari jadi menatap sahabatnya itu dengan kening sedikit berkerut.
"Soal apa nih""
"Gue lo anggep apa sih, Ri"Hmm" Temen" Kayak gini""
"Ini soal apa sih" Jangan bikin bingung orang dong." suara Ari mulai meninggi. "Kenapa lo baru balik sekarang" Lo anter dia langsung ke rumah, kan""
"Dia histeris di tengah jalan!" geram Ridho, nyaris jadi bentakan.
Ari terperangah. "Maksud lo""
"Tu cewek nangis. Bukan jenis tangisan karena takut bakalan gue bawa ke mana dulu baru gue pulangin ke rumah. Akhirnya kejadiannya malah begitu. Terpaksa dia gue bawa ke mana dulu, baru gue anterin sampe rumah. Daripada gue yamg kena tuduh emaknya, cuma gara-gara ulah lo." Ari terdiam. Sepertinya masih belum bisa sepenuhnya mencerna info itu. Ridho menghela napas dengan tarikan tajam. Kemudian dia ulang ceritanya. Kali ini peri
nciannya. "Dia nangis. Kenceng. Mendadak. Pas motor lagi jalan. Lalu lintas juga lagi padet. Gimana gue nggak kaget" Nggak jadi panik" Tapi gue tau itu juga bukan kemauan dia nangis di tengah jalan begitu, karena dia tempelin mukanya rapet-rapet ke punggung gue." suara Ridho kemudian melirih, namun sorot matanya yang terus menatap Ari justru menajam. "Dia meluk gue!"
Ari tersentak. Seketika kedua matanya yang juga terus menatap Ridho berkilat. Ridho tak peduli reaksi itu. Diteruskannya kalimatnya.
"Setelah dia meluk gue, setelah dia ngomong susah payah, 'Kak Ridho, pinjem punggungnya ya, sebentar aja...' baru gue sadar.. ini pasti masalah serius!"
"Dia cerita apa"" suara Ari terdengar kering dan seperti tercekik di tenggorokan. "Kalo dia cerita, gue nggak akan tanya elo sekarang, tolol!" desis Ridho gemas. Ari terlihat lega. Ridho jadi semakin kesal. "Terus lo bawa ke mana dia""
"Ya ke tempat dia bisa ganti gue peluklah. Bego bener pertanyaan lo."
Seketika kilatan tajam kembali muncul di kedua mata Ari. Ridho tetap tidak peduli.
"Sekarang pikir pake otak. Harus gue diemin aja kondisinya begitu" Iya" Coba kalo tadi gue anter pake mobil, kan gampang. Tinggal berhenti di pinggir jalan terus tunggu sampe nangisnya selesai.
Nggak perlu ada kontak fisik. Tapi karena pake motor, daripada dia jadi tontonan orang, terpaksalah gue ngebut nyari tempat sepi." Ridho menghentikan ceritanya. Dia lalu geleng-geleng kepala sambil berdecak.
"Tu cewek asetnya emang gila ya" Dahsyat banget!"
Kilatan tajam di kedua mata Ari seketika pecah jadi letupan bara.
"Elo...!" Seiring geraman itu, kedua tangan Ari serentak terulur, akan mencengkram kerah kemeja Ridho. Ridho segera menghentikan usaha kedua tangan itu dengan cepat sesaat sebelum berhasil menyentuh sasaran.
Dicengkramnya kedua pergelangan tangan Ari kuat-kuat. Namun berlawan dengan itu, kedua matanya menatap sobat karibnya itu dengan ketenangan, dan diputuskannya untuk menggunakan lelucon. Berharap itu bisa meredakan kemarahan Ari.
"Emang lo kira boncengin cewek terus tu cewek histeris di tengah jalan nggak berisiko, apa" Risikonya gede, tau! Kalo ada pejuang emansipasi radikal yang pas lewat, gue bisa digebukin abis-abisan. Yang paling parah, gue bisa dituduh udah merkosa anak orang! Gawat banget kan tuh" Gue bisa diciduk polisi, man. Terus masuk penjara deh." Kemudian Ridho tersenyum.
"Jadi anggap aja itu reward buat gue. Jangan pelit-pelit, kenapa" Kalo nggak insidentil gitu, mana gue punya kesempatan sih" Beda sama elo."
Joke Ridho berhasil. Bara di kedua mata Ari agak meredup. Dengan kasar dia melepaskan cekalan Ridho di kedua pergelangan tangannya. Ekspresi muka Ridho kemudian jadi serius. "Masih nggak mau cerita"" tanyanya lunak. "Gue sebenarnya nggak mau maksa. Gue tetep lebih suka nunggu lo cerita sukarela. Meskipun itu baru terjadi nanti, pas kita udah sama-sama mati dan kebetulan di Padang Mahsyar kita ketemu terus masih saling mengenali. Dan akhirnya baru pada saat itu lo mau buka suara. 'Eh, Dho, waktu kita masih hidup di dunia, sepertinya ceritanya begini..' Nggak pa-pa. It's fine. Gue temen yang pengertian kok.
Ari masih menatap sahabat karibnya itu tanpa sedikit pun suara. Kemudian dia balik badan pergi begitu saja. Ridho menatap kepergian sobatnya itu sambil menghela napas dan geleng-geleng kepala. Tapi tak lama Ari kembali. Seperti baru menyadari sesuatu.
"Dua jam lebih"" desis Ari dengan suara dingin. "Emang dia perlu nangis segitu lama" Kan bisa langsung lo anter dia pulang." kalimatnya seolah-olah mengatakan, pelukan Ridho-lah yang menyebabkan situasinya jadi memburuk.
Ridho menghela napas lagi. Kali ini lebih berat dan lebih panjang. Karena kembalinya Ari itu ternyata bukan untuk menjawab pertanyaannya, justru menuduhnya telah memperkeruh keadaan. "Emang tadi lo ngasih tau gue di mana rumahnya"" kedua alis Ridho terangkat. "Gue nyantai karena gue pikir ntar aja tanya orangnya langsung. Susah-susah amat. Ternyata orang yang harus gue anter sampai rumah itu nangis hebat sampai nggak bisa ditanyain," jelasnya den
gan nada tajam. "Nangisnya lama. Ini gue ngomong jujur sama elo. Gue sampe kelimpungan tadi. Nggak tau mesti ngapain. Yah, terpaksa...," Ridho tersenyum memohon maaf, "gue peluk dia. Sampai nangisnya bener-bener selesai."
Dengan gerakan tajam, Ari melirik dada kiri kemeja seragam Ridho, membayangkan Tari menumpahkan tangis di dada itu.
"Sekali ini aja. Lo inget bener-bener," ucapnya, selirih embusan angin tapi dengan ketajaman sebilah pedang. Kemudian Ari balik badan dan pergi begitu saja.
Ridhn menatap Ari sambil geleng-geleng kepala, jadi tersinggung. Cowok itu lalu balik badan dan melangkah menuju lapangan futsal. "Woi, oper bolanya ke gue! CEPETAN!!!" serunya. Suaranya yang sarat kemarahan membuat kesembilan temannya yang berada di lapangan futsal menatapnya keheranan.
*** Keesokan harinya Ari nggak masuk. Berkali-kali Ridho mengontaknya, tapi sejak usahanya yang pertama -pukul enam pagi tadi- sampai dengan saat ini, istirahat kedua, ponsel Ari tetap nggak aktif. "Jangan-jangan kemaren gue udah salah ngomong." Ridho mendesah pelan. Dimasukkannya ponselnya ke saku celana lalu berjalan keluar kelas menuju kantin. Sesampainya di sana langsung dihampirinya Oji dan duduk di sebelahnya. "Ji, beneran lo nggak tau rumah Ari"" tanyanya pelan.
"Emang ada yg tau, apa"" sambil mengaduk-aduk nasi campurnya Oji melirik Ridho. "Si Tari kira-kira tau nggak ya""
"Nggak tau deh. Lo tanya aja. Emang ada apa sih" Sehari ini udah tiga kali lo nanya gue soal itu. Pake kalimat yg sama pula."
Ridho menghela napas. Cowok itu meraih gelas es teh tawar Oji dan meneguknya sampai tandas. Oji sudah akan meneriakkan protes, tapi langsung dia urungkan, sadar ada yang jauh lebih penting daripada sekedar es teh tawarnya yang ludes.
"Lo kenapa sih" Seharian ini gue liat lo kusut banget."
"Kemaren gue nganter Tari pulang. Ari yang minta."
Ridho menuturkan dengan suara pelan. Namun suara pelan itu sanggup menghentikan keasyikan Oji menyantap nasi campurnya. Kemudian Oji benar-benar berhenti makan dan memusatkan perhatiannya total pada Ridho. Setelah cerita Ridho selesai, Oji menghela napas.
"Gue juga ngerasa ada yg aneh sih. Biasanya Ari kan nggak peduli. Biar si Tari udah ngejerit-jerit, udah sampe nangis malah, tetep aja digangguin. Tapi udah beberapa hari ini kaln dia lihat Tari mulai nunjukin gejala-gejala histeris, Ari langsung mundur."
"Itu dia," desah Ridho berat. "Gue kuatir sama tu anak."
"Mau gimana lagi"" Oji mengangkat bahu. "Terpaksa kita tunggu sampe dia mau sukarela cerita." Keesokan paginya Ridho mendapati motor hitam Ari terparkir di tempat dia biasa memarkir mobilnya. Sang pemilik duduk mencangkung di atasnya. Dari penampilannya yang terlihat letih dan berantakan, sepertinya Ari nggak pulang ke rumah sejak pembicaraan terakhir mereka dua hari yang lalu. Ari langsung turun dari motornya dan menghampiri sisi mobil tempat Ridho duduk. "Mau nemenin gue cabut""
Beberapa detik kontak mata, Ridho mendapati -lebih dari sekedar letih dan kurang tidur- sobat karibnya ini seperti tidak berjiwa. "Oke." Ridho langsung mengangguk.
"Thanks," ucap Ari lirih dan langsung berjalan ke arah motornya. "Oji nunggu di jalan deket rumahnya," katanya tanpa menoleh.
Lima belas menit kemudian Ridho menghentikan sedan putihnya di tepi sebuah jalan. Oji naik dengan kedua mata menatap penuh tanya. Ridho cuma geleng kepala. Langsung diinjaknya pedal gas karena Ari langsung melarikan motornya begitu dilihatnya Oji sudah berada di dalam sedan Ridho.
Pagi belum lagi menyentuh pukul setengah tujuh. Jalan-jalan raya di Jakarta padat oleh mereka yang bergegas berangkat kerja. Setengah mati Ridho berusaha agar Ari tidak sampai hilang dari pandang matanya.
"Tu anak!" desisnya. "Dia kayaknya lupa gue bawa mobil." Ridho meraih tongkat persneling. Oji buru-buru membetulkan letak duduknya.
Tak lama sedan putih itu meliuk tajam. Berusaha keras mencari jalan di antara padatnya lalu lintas pagi Jakarta. Ridho benar-benar mengerahkan seluruh kemampuannya. Dimanfaatkannya setiap celah yang terbuka. Dipotongnya laju beber
apa mobil, menciptakan ruang klakson kejengkelan bahkan kemarahan. Tapi beberapa saat setelah keluar dari Jakarta dan lalu lintas tak lagi terlalu padat, laju motor Ari jadi semakin menggila. Ridho mulai kewalahan. Sampai beberapa saat kemudian Ari benar-benar menghilang dari fokus kedua matanya, tak terkejar. "Sialan tu anak. Beneran dia lupa."
Ridho buru-buru menepikan mobil. Segera dikeluarkannya ponsel dari saku kemeja. "Gue pake mobil, kuya!" makinya begitu Ari mengangkat telepon.
"Sori! Sori!" Ari tersadar. Masih dengan ponsel menempel di telinga, dia lalu menoleh ke belakang. Sedan putih Ridho tak terlihat sama sekali. "Di mana posisi lo sekarang""
"Nggak usah sekarang. Dari setengah jam yang lalu gue udah nggak tau posisi gue di mana. Gue kan cuma ngebuntutin elo."
"Gue balik. Lo tunggu di situ," ucap Ari dan langsung menutup telepon. Sepuluh menit kemudian dia menemukan sedan Ridho diparkir di tepi sebuah jalan. "Sori. Sori. Gue lupa kalo gue ngajak temen," katanya begitu sampai di sebelah mobil Ridho.
Ridho cuma geleng-geleng kepala. Diputarnya kunci kontak. "Ya udah, buruan. Lanjut."
Mereka melanjutkan perjalanan. Kali ini Ari menjaga laju kecepatan motornya, memastikan Ridho tetap berada di belakangnya. Sampai akhirnya mereka tiba di tempat itu. Ridho dan Oji turun dari mobil dan menatap berkeliling. Dingin udara gunung segera memeluk keduanya.
Dengan bingung keduanya mengikuti Ari yang sudah melangkah lebih dulu. Memasuki gapura batu yang tertutup rapat oleh tanaman merambat. Begitu melewati gapura tinggi itu, Ridho dan Oji kontan terpesona. Di depan mereka terbentang keindahan hasil kolaborasi tangan alam dan tangan manusia.
Sambil menikmati bentang keindahan itu, keduanya berjalan menuju satu-satunya saung yang berada di antara bangunan-bangunan yang terbuat dari bata terakota. Ari sudah duduk bersila di sana. Membelakangi mereka.
Ridho dan Oji mendekati Ari dan berdiri di hadapan cowok itu. Mereka baru akan membuka mulut untuk mengomentari tempat itu, namun saat mendapati kondisi Ari, detik itu juga mulut keduanya mengatup kembali.
Ari pucat. Sangat pucat. Dan seperti tidak berada di tempat.
Sesaat Ridho dan Oji saling pandang. Kemudian dengan gerakan perlahan dan hati-hati, keduanya mengambil tempat di sisi kiri dan kanan Ari. Sedikit mundur ke belakang, karena Ari benar-benar duduk di bibir lantai kayu saung itu.
Segera, hanya ada kesunyian di antara mereka. Sampai helaan napas Ari yang terdengar begitu berat sedikit memecah kesunyian itu. Cowok itu membuka ritsleting jaket hitamnya dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari baliknya. Tanpa menoleh dan tanpa mengeluarkan sedikit pun suara, dilemparnya amplop cokelat itu kebelakang.
Ridho dan Oji saling pandang. Hampir bersamaan, keduanya memundurkan posisi duduk hingga sejajar dengan posisi amplop itu terjatuh. Suara gemerisik saat amplop itu dibuka membuat Ari memejamkan kedua matanya. Ditelannya ludah susah payah.
Antara menyesal, namun juga tidak. Antara ingin tetap menjaga rahasia terbesarnya ini, namun juga ingin mengakuinya.
Hanya agar jika dirinya letih sewaktu-waktu, tak perlu lagi berlari mencari tempat sembunyi. Agar teriak keputusasaannya terpahami. Agar rasa frustasinya dimengerti. Itu saja. Keheningan pekat segera tercipta di belakang punggungnya. Isi amplop cokelat yang terbagi dalam dua bagian itu menghantam Ridho dan Oji dengan talak. Syok, membekukan keduanya saat itu juga. Dengan kondisi terbelalak maksimal, kedua mata mereka tertancap lurus-lurus pada lembaran-lembaran foto itu. Tenggorokan mereka tercekat. Tak sanggup lagi mengeluarkan suara. Kenyataan itu terlalu mencengangkan untuk bisa diterima saat itu juga. Bawa Ari ternyata ada dua orang!
Tidak ada yang perlu di pertanyakan. Sama sekali. Karena lembar-lembar foto itu sudah bicara teramat jelas. Secara visual, juga verbal. Karena di balik setiap lembar foto selalu ada keterangan. Sederet huruf yang jelas ditulis dengan seluruh cinta, oleh perempuan yang pastf ibu dari fokus semua foto itu. Dua wajah manis yang begitu sama dan seru
pa. Ari dan Ata, Ulang Tahun Pertama. Ari dan Ata, Ulang Tahun Kedu. Ketiga, Keempat, dan seterusnya. Ulang Tahun Kedelapan mengakhiri lembaran foto-foto itu.
Sedangkan satu bagian yang lain berisi foto-foto yang diambil tanpa latar belakang momen istimewa. Foto keseharian keduanya.
Ata lebih sering berpose dalam kostum Batman. Sedang berdiri bertolak pinggang, sedang menaiki sepedanya dengan posisi berdiri sambil nyengir lebar ke arah kamera. Bahkan sedang 'terbang'. Setiap foto Ata selalu memunculkan senyum geli di bibir Ridho dan Oji. Sementara pose-pose Ari lebih sederhana. Berdiri dengan buku atau mainan di tangan dan tersenyum ke arah kamera. Atau duduk manis di atas sepedanya.
Segera terlihat perbedaan jelas di antara keduanya. Ata yang ceria dan tak bisa diam. Dan Ari yang manis dan kalem.
Beberapa saat Ridho dan Oji terpekur dalam tunduk mereka. Sesuatu pasti telah terjadi, yang serius dan menyakitkan, sehingga wajah mungil yang manis dan kalem itu bisa berubah menjadi sosok Ari yang sekarang ini.
Ata. Satu kata itu seketi mengingatkan Ridho pada dua kata yang pernah didengarnya di toilet kelas sepuluh, ketika untuk pertama kali dilihatnya Ari terpuruk. Matahari Jingga! Kini semuanya sudah jelas. Obsesi Ari terhadap Tari. Dan histeria Tari.
Sambil memasukan kembali lembar foto-foto itu ke dalam amplop, Ridho menatap punggung di depannya. Dua tahun lebih berteman dekat, meskipun baru kelas dua belas ini mereka sekelas, Ridho selalu bisa merasakan kawan karibnya ini sebenarnya menyimpan tangis yang mengkristal. Di balik ketenangannya, Ari adalah magma berjalan. Namun jauh di balik kemarahannya yang mendidih itu, ada luka bernanah. Yang akut.
Ari sengaja terus membelakangi kedua kawan karibnya itu. Dia tak ingin menoleh, karena inilah wajahnya yang sebenarnya. Asap rokok mengepul tanpa henti dari bibirnya. Setiap kali satu batang habis terisap, saat itu juga batang berikutnya langsung menyusul.
Perlahan Ridho memajukan duduknya hingga sejajar dengan Ari. Dengan hati-hati diletakannya amplop cokelat itu di sebelah Ari. Oji melakukan hal yang sama, menyejajari Ari di sisi yang lain. Ridho bukan perokok. Bahkan bisa dibilang dia anti tembakau. Tapi beberapa kali demi Ari, disingkirkannya salah satu prinsipnya itu. Saat ini termasuk pengecualian itu. Diraihnya kotak rokol Ari lalu diambilnya sebatang. Oji melakukan hal yang sama, dengan rokok miliknya sendiri. Hening. Gelombang pegunungan dengan hutan hijau di kejauhan menjadi fokus tatapan ketiganya dalam diam. Sampai kemudian mengeluarkan suara. Dengan intonasi yang punya banyak makna. Empati. Jangan dijawab kalau itu semakin melukai. Terpuruklah kalau memang batas akhir kekuatan itu di sini. Karena untuk hal-hal itulah seorang kawan dihadirkan.
"Ke mana dia""
Ari menelan ludah. Perlahan kedua matanya terpejam. Ada jeda cukup panjang sejak tanya itu dengan hati-hati dihadirkan dan jawabannya kemudian diberikan. Lirih, tersendat susah payah dan berulang kali terputus.
Ridho dan Oji sampai mereka sedang melakukan penganiayaan dan penyiksaan terhadap Ari. Namun mereka juga tahu, pada akhirnya itu justru akan melegakan.
Cerita itu akhirnya usai. Rahasia itu akhirnya terurai. Benteng pertahanan itu akhirnya runtuh. Ari semakin pucat, namun ada kelegaan besar yang dia rasakan. Juga perasaan ringan. Seakan seluruh bebannya selama ini hilang. Cowok itu kembali memejamkan kedua matanya. Disangganya kedua lengan tempat kesepuluh jarinya saling bertaut, ditundukkannya kepala dalam-dalam. Ketika kemudian kepala itu terangkat, mulai ada rona di mukanya. Tidak lagi sepucat tadi. Dengan kepala sedikit dimiringkan, ditatapnya Ridho.
"Terima kasih," suara beratnya mengucap lirih, namun sungguh-sungguh. Kemudia ganti ditatapnya sahabatnya yg lain.
"Thanks banget, Ji."
Kedua karibnya tersenyum. Bersamaan mereka mengulurkan tangan dan merangkulnya.
"Yuk, balik," ajak Ridho. "Kita cari tempat cabut yang asyik. Tapi mending lo tidur dulu sebentar.
Terserah mau di tempat Oji atau di rumah gue. Hari ini lagi kosong."
"Di rumah gue aja deh," kata Oji langsung. "Gue mau bikin puisi cinta. Buat Bu Sam. Soalnya kalo kita cabut bertiga barengan gini, kayaknya besok dia nggak bakalan berenti ngomel kalo kita belom pingsan."
Ridho tertawa, tapi tak lama tawanya terhenti karena ada tawa lain yang mendadak terdengar. Tawa yang begitu geli, keluar dari mulut Ari. Kedua bahu Ari bahkan sampai berguncang. Ridho dan Oji saling pandang diam-diam. Lega mendengar tawa itu.
Setelah tawanya reda, Ari menarik napas panjang lalu mengembuskannya kuat-kuat. Ditatapnya kedua kawan karibnya itu bergantian, dengan permintaan maaf.
"Sori, besok gue nggak masuk. Mau ngilang sebentar."
Sesaat Ridho dan Oji terdiam, kemudian keduanya mengangguk bersamaan.
"Iya, lo mending pergi dulu. Ke mana gitu, biar agak tenang." Ridho menepuk-nepuk bahunya.
Diulurkannya satu tangannya. "Sini, gue bawa motor lo."
Ari merogoh saku celana panjangnya. Diserahkannya kunci motornya ke Ridho.
"Lo bawa mobil gue, Ji." Ridho ganti melempar kunci mobilnya ke Oji.
Kemudian mereka meninggalkan tempat itu. Di atas motor Ari, yang sengaja dibuatnya melaju dengan kecepatan sedang, sebentar-sebentar Ridho menoleh ke belakang. Ketika dilihatnya Ari jatuh tertidur di sebelah Oji, kelegaan terlihat jelas di wajah Ridho.
Oji tersenyum dan mengacungkan jempol kanannya. Ridho membalas, juga dengan senyum dan acungan jempol kanan. Kemudian cowok itu menurunkan kaca helm, memusatkan perhatiannya ke depan dan tidak menoleh ke belakang lagi.
Hari keberangkatan Ari ke Bali...
Ari tidak ingat lagi sudah berapa lama dia berdiri di depan pagar rumah Tari. Setelah apa yg dilakukannya, dia merasa tidak pantas bahkan untuk sekedar mengucapkan salam agar kedatangannya diketahui.
Karena itu dia memilih berdiri diam. Meskiptn itu bisa membuat kehadirannya baru diketahui berjam-jam kemudian, dia tidak peduli. Karena memang itulah yang pantas diterimanya.
Setelah dua jam lebih berkutat di dapur, menyelesaikan salah satu kewajibannya, mama Tari beranjak menuju ruang jahit. Wanita itu tersentak kaget saat tanpa sengaja menoleh ke luar jendela dan mendapati Ari berdiri di luar pintu pagar rumahnya, di tepi jalan. Cepat-cepat dibukanya pintu depan.
"Ari"" sapanya dengan intonasi yang sarat keheranan, sambil berjalan mendekat. "Sejak kapan kamu berdiri di situ" Kenapa nggak masuk""
Ari menatap wanita paruh baya itu, yang dalam beberapa hal begitu mirip dengan ibunya sendiri. Tenggorokannya mendadak tercekat. Ditelanny ludah susah payah. Ketika tak didapatinya sedikit pun kemarahan, dadanya jadi semakin ditikam rasa bersalah dan penyesalan. Mama Tari sudah akan menyuruhnya masuk, namun sorot kedua mata Ari seketika membuatnya membatalkan keinginannya.
"Tante... saya... " Ari menelan ludah. "Saya minta maaf." Suara beratnya nyaris selirih bisikan angin. Bergetar hebat. Begitu susah payah terucap.
Kedua mata Ari yang terus menatap mama Tari itu kini mulai terbungkus selaput bening.
"Saya betul-betul minta maaf, Tan," ucap Ari lagi, dengan suara tetap selirih embusan angin, namun dengan getar yang makin menghebat karena ketidakmampuannya untuk meredam.
Cowok itu kemudian menundukkan kepala, lalu membungkukkan punggungnya rendah-rendah.
Memberikan pada tanah yang dipijaknya bening dua tetes air mata. Bentuk seluruh penyesalan atas semua yg telah dilakukannya. Kemudian ditegakkannya kembali punggungnya. Berbalik cepat. Dan pergi.
Mama Tari mengikuti kepergian Ari dengan keprihatinan dan pengertian seorang ibu. Ada keinginan utuk menahannya agar tetap tinggal, tapi ditahannya karena dia sangat menyadari Ari harus menemukan jalannya sendiri. Dalam sebagian besar waktu, Ari telah hidup dalam pusaran badai. Dikungkung oleh kegelapan dan terbutakan oleh kemarahan. Dia hanya ingin bisa keluar. Sama sekali bukan masalah salah atau benar.
Anak laki-laki itu sama sekali tidak menghancurkan sebidang dinding. Dia hanya telah menemukan sebuah pintu. Kesalahannya adalah ketidaksabarannya untuk menunggu sampai pintu itu membuka dengan sendirinya. Hanya itu.
*** Menghilangnya Ar i dari sekolah cukup ampuh untuk meredakan kemarahan Tari. Perlahan-lahan sosok cowok itu dan semua peristiwa yang berkaitan dengannya tidak lagi menempati sebagian besar ruang hati dan pikiran Tari. Perlahan-lahan pula ritme hidup Tari kembali normal. Hanya di ruang kepses dan guru, menghilangnya Ari jadi bahan diskusi dan pembicaraan ramai. Ridho dan Oji, dua orang yang tahu di mana Ari berada, memilih bungkam.
Ketika suatu siang keduannya melintas di depan ruang guru dan mendengar sebagian percakapan seputar usaha untuk mengetahui keberadaan siswa paling bermasalah itu, Ridho dan Oji saling pandang sambil nyengir lebar. Tambah sepakat untuk diam. Karena percuma di kasih tahu juga. Menyeret Ari dari koridor ke kelas aja para guru itu lebih sering gagal. Apalagi manggil tu anak pulang dari Bali!
*** Tuhan menegur umatnya dengan banyak cara. Dengan banyak cara juga Dia mengetuk kekerasan hati mereka dan meminta untuk memaafkan satu sama lain.
Tari terpaku di depan teve sejak sepuluh menit yang lalu. Jarinya salah menekan nomer pada remote dan tiba-tiba saja di depannya muncul sebentuk wajah. Wajah tirus dan letih seorang pengamen kecil yang legam terbakar matahari, yang menatap ke arah kamera dengan takut-takut bercampur malu.
Kamera lalu bergerak. Seorang reporter cantik berdiri di sebelah pengamen jalanan itu. Satu tangannya merangkul bahu si pengamen.
"Hari Anak Nasional belum lama berlalu dan sebentar lagi kita akan merayakan hari kemerdekaan negara ini," ucapnya ke arah kamera. "Berpuluh-puluh tahun yang lalu kita berhasil memenangi perang panjang melawan penjajahan. Setelah tiga setengah abad, akhirnya kita menjadi bangsa yang merdeka. Namun ada perang yang lain. Perang yang jika gagal kita menangi, kemerdekaan yang dulu kita raih dengan susah payah akan sia-sia." Reporter itu diam sejenak.
"Kemiskinan!" lanjutnya kemudian dengan penekanan. "Kemiskinan telah menyebabkan anak Indonesia terdampar di jalan, atau menjadi pekerja anak diberbagai tempat."
Tari sama sekali tidak menyimak kata-kata reporter itu. Perhatiannya tertuju pada anak laki-laki kecil itu. Berdiri canggung di sebelah reporter cantik yang tampak begitu cemerlang, anak laki-laki itu jadi semakin terlihat menyedihkan.
Jingga Dalam Elegi Karya Esti Kinasih di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Namanya Toro," ucap reporter itu. Dan bergulirlah kisah Toro.
Asalnya diri kebumen, satu kota kecil di Jawa Tengah. Kemiskinan telah mengubah sang ayah menjadi sosok emosional dan pemarah. Kerap kali sang ayah melampiaskannya justru kepada orang-orang terdekat-keluarganya sendiri.
Kekerasan dan penganiayaan panjang membuat sang istri tidak tahan dan akhirnya pergi dari rumah. Perempuan itu kemudian memutuskan untuk mengadu nasib ke Jakarta, membawa serta bayinya, tapi terpaksa meninggalkan anak pertamanya bersama sang nenek.
Yang tidak pernah diketahuinya, anak pertamanya, Toro, mendengar ucapannya dan langsung memutuskan untuk menyusul begitu dia tidak melihat ibunya selama dua hari berturut-turut. Dengan menumpang kereta api, tentu saja sebagai menumpang gelap, Toro nekat berangkat ke Jakarta. Pikiran kanak-kanaknya begitu yakin dia akan berhasil menemukan ibunya, karena dulu sekali saat orangtuanya masih rukun, mereka pernah pergi ke Jakarta untuk mengunjungi salah seorang sanak famili. Dulu ada satu tempat yang mereka kunjungi sampai berjam-jam. Monas.
Ke sanalah Toro kecil langsung menuju begitu kereta berhenti di stasiun Senen. Taman Monas. Ke sebatang pohon yang berdiri di tepi kolam air mancur. Tempat dulu sekalf ibunya pernah membentangkan selembar tikar lalu duduk berjam-jam menungguinya bermain. Namun tempat itu kosong. Kalaupun terisi, selalu bukan oleh orang yang dia cari. Toro kecil tetap menunggu. Dia belum mengerti, Jakarta bukan Kebumen. Jakarta amat sangat luas dan penuh dengan orang-orang yang tidak peduli. Ratusan anak terdampar di jalan-jalan ibu kota negara ini, hingga tambahan satu anak lagi sama sekali tidak akan menjadi perhatian.
Dua tahun berlalu, jalan-jalan raya di sekitar Monas kini menjadi rumah bagi Toro. Mengubahnya dari anak rumahan yang bersih dan terawat serta
masih punya masa depan menjadi anak jalanan lusuh yang terlantar dan tidak diacuhkan. Namun anak itu masih berharap, suatu saat nanti akan ada keajaiban.
Repoter cantik itu melepaskan rangkulannya kemudian berlutut di depan Toro.
"Toro mau bilang apa sama Ibu" Mudah-mudahan Ibu menonton acara ini," ucapnya lembut.
Toro menunduk. Tersendat tangis yang ditahan sebisanya, sederet kalimat kemudian keluar dari bibirnya. Kalimat yang di ucapkan dengan begitu lirih dan terbata-bata, hingga reporter itu harus mendekatkan mikrofon sedekat mungkin ke bibir mungil di depannya.
Kangennya pada sang ibu. Harapannya untuk bisa kembali bertemu. Apa-apa saja yang ingin dilakukannya bersama ibunya seandainya mereka nanti bertemu.
Kalimat Toro terputus. Ditelannya tangisnya dengan susah payah. Dengan kedua telapak tangan, dihapusnya air mata yang mengalir. Meninggalkan noda kotor di wajahnya yang sudah kusam. Ketika kemudian dia lanjutkan kalimatnya, suaranya menjadi semakin lirih.
"Mudah-mudahan Ibu sekarang hidupnya seneng. Mudah-mudahan Ibu sehat. Mudah-mudahan Ibu nggak sering nangis lagi kayak dulu. Dan mudah-mudahan Ibu nggak lupa sama Toro." "Sudah" Itu aja"" tanya reporter itu dengan suara yang semakin lembut, setelah menunggu beberapa saat dan tidak ada lagi suara Toro yang terdengar. "Iya." Toro mengangguk.
Tari terpaku. Sepasang matanya menatap nanar. Lurus pada layar televisi, seperti tidak bisa dialihkan.
Kisah klasik. Terlalu sering terjadi. Namun bukan itu yang membuat Tari terpaku menatap televisi. Usia Toro baru sepuluh tahun. Masih kecil. Saat ia tinggalkan rumah demi mencari sang ibu, usianya bahkan lebih kecil lagi. Delapan tahun.
Ketika ibu dan saudara kembarnya dipaksa pergi, ketika mendadak ia ditinggalkan, Ari juga baru berumur delapan tahun. Namun karena tidak tahu kemana mesti mencari, Ari melakukan satu usaha yang menurut pikiran kanak-kanaknya pada saat itu akan membuat keduanya kembali. Dia memutuskan untuk menjadi Ata dan melakukan semua kenakalan seperti yang pernah dilakukan saudara kembarnya itu.
Sama seperti Toro, yang menunggu bertahun-tahun hingga hari ini, Ari juga telah bertahun-tahun membekukan dirinya sendiri. Menjadi orang lain hingga hari ini. Keduanya memeluk erat harapan yang sama. Bisa bertemu dengan ibu mereka kembali suatu saat nanti.
Dengan bibir bawah tergigit kuat-kuat, Tari mematikan televisi. Cewek itu kemudian bangkit berdiri dan berjalan ke kamar. Ditutupnya pintu di belakangnya perlahan. Perlahan pula tubuhnya luruh ke lantai. Dipeluk keheningan, dalam kamar yang lampunya sengaja tidak ingin dia nyalakan, Tari meringkuk di lantai.
Lama, cewek itu duduk meringkuk memeluk lutut, bersandar pada pintu kamarnya. Toro, kegelapan, dan keheningan perlahan membuat Tari akhirnya mengerti, mengerti dengan sungguh-sungguh mengerti, hidup seperti apa yang selama ini di jalani Ari. Seketika itu juga dimatanya, Ari bukan lagi sang aktor autodidak dengan talenta cemerlang.
Perlahan pula Tari mengerti akan satu hal lagi. Ari kesepian. Dia tidak bisa menceritakan itu, atau mungkin juga tidak ingin. Karena menceritakan semuanya berarti akan meruntuhkan segala pertahanan diri. Pertahanan yang di bangun bertahun-tahun, yang sebenarnya tidak terlalu kuat karena retak di sana-sini.
Sekarang Tari juga mengerti, kenapa cowok itu gemar sekali membuat keonaran di sekolah. Hobi memancing kekesalan bahkan kemarahan guru-guru. Karena satu bentakan atau teriakan marah dari seorang guru, siapa pun dia, jadi terasa sedikit meringankan beban kesepian itu, jadi sedikit mengikis sunyi dari lubang besarnya yang selalu menganga.
Ketika sampai pada kesadaran itu, kemarahan Tari menguap. Setelah bertahun-tahun menjadi Ata, kembali menjadi diri sendiri pasti akan teramat sangat sulit bagi Ari.
Mungkin saat ini Ari sedang berlatih menjadi dirinya sendiri ditempat lain. Di depan orang-orang yang tidak mengenalnya, agar gagal atau berhasil bisa dengan pasti diketahuinya. Dugaan itu menguapkan sisa-sisa kemarahan Tari. Menghilangkannya sama sekali dan mulai menghadirkan rasa bersala
h. "Kenapa gue nggak coba ngerti ya"" bisiknya menyalahkan diri sendiri. "Padahal waktu jadi Ata dia udah nyeritain semuanya."
Tari menarik napas panjang lalu mengembuskannya pelan-pelan. Perlahan dia bangkit berdiri. Tangannya lalu meraba-raba dalam gelap, mencari tombol lampu. Dengan sepasang mata menyipit karena ruangan yang mendadak terang benderang, ditatapnya jam yang tergantung di dinding. Hampir menjelang pukul dua belas malam. Cewek itu menduga-duga apakah Ari sudah terlelap atau masih terjaga.
Diraihnya ponselnya yang menggeletak di atas meja belajar. Kemudian dengan gerakan perlahan, karena keraguan dan tekad yg saling berperang, dicarinya nama Ari di daftar kontak. Menekan nama itu ternyata butuh kekuatan yang lebih besar lagi. Tubuh Tari nyaris mendingin saat kemudian diketiknya sederet huruf. Selesai. Hanya dua kalimat pendek. Tari menatap layar ponselnya. Tanpa sadar digigitnya bibir, seiring detak jantungnya yg mendadak jadi cepat. Dan saat di tekannya pilihan 'Kirim', Tari melakukannya dengan kedua mata yang nyaris terpejam. Jari-jarinya
yang menggenggam ponselnya nyaris sedingin es. Beberapa detik kemudian.....
Terkirim! Satu kata itu membuat Tari jatuh terduduk di tempat tidur.
**** SMS itu masuk di tengah ingar-bingar musik hip-hop. Dj profesional membuat dance floor jadi panas. Ari berada di sana. Di tengah musik yang mengentak, di bawah sorot lampu remang-remang dan dalam cengkeram alkohol. Di antara teman-teman Bali-nya yang juga sama-sama sedang dalam proses meninggalkan ambang kesadaran masing-masing.
Ari bisa merasakan getaran di pahanya yang berasal dari ponsel di dalam saku. Ada SMS masuk, tapi dia sama sekali tidak punya keinginan untuk mengeluarkan benda itu dari sana. Paling-paling dari Jakarta. Siapa pun sang pengirim dan apa pun isinya, dia sedang tidak ingin berhubungan dengan kota itu.
Di Jakarta, di dalam kamarnya, Tari berada dalam tikaman kegelisahan yang benar-benar menyiksa, yang membuatnya tak mampu melakukan apa pun selain duduk bengong di tempat tidur -atau berjalan mondar-mandir- dengan napas yang sebentar-sebentar ditarik dalam-dalam lalu diembuskan perlahan.
Sebentar-bentar cewek itu melakukan tindakan bodoh. Meraih ponselnya lalu menatap layar dalam harap dan kecemasan, meskipun tahu dia tidak akan menemukan apa-apa di sana karena ponselnya terus membisu. Sampai jam dinding kamarnya berdentang satu kali, ponselnya tetap membistu. Tidak ada SMS masuk dari siapa pun, apalagi dari Ari.
Ketika satu jam lagi telah terlewat dan tidak juga ada SMS balasan, dia merasa kecewa tapi juga lega, karena sejujurnya dia tidak siap menerima balasan.
Tari berdiri dan mulai membereskan buku-bukunya. Tengah malam telah lama lewat dan saat ini waktu sedang menuju dini hari. Kalau tidak buru-buru tidur, besok pasti bangun kesiangan. Namun, ternyata Tari mendapati dirinya jadi dicekam kegelisahan. Kedua matanya tidak mau terpejam. Dan jauh di dalam hati, dia tidak bisa menyangkal, dia ingin ponselnya bergetar. Mengirimkan balasan dari Ari yang sekarang entah di mana.
Ketika akhirnya Tari jatuh tertidur, waktu sudah menunjukan nyaris pukul tiga dini hari. Pada saat yang bersamaan, Ari baru saja meninggalkan kafe tempatnya sejak beberapa jam lalu, melarikan diri dari kenyatan. Dia berjalan terhuyung-huyung di sepanjang trotoar. Berangkulan dengan teman-temannya dan tenggelam dalam euforia semu.
Hanya Wayam yang masih sepenuhnya sadar. Berjalan sendiri di posisi paling belakang, diawasinya teman-temannya, terutama Ari. Bertahun-tahun mengenal Ari, Wayan tahu dengan baik kapan dirinya bisa ikut-ikutan lupa diri dan kapan harus menjaga kawannya yang satu ini.
Keesokan paginya Tari baru terbangun setelah Geo memukulnya dengan bantal keras-keras. "Kebo banget sih"" Geo menatap kakaknya dengan kesal. "Alamr ponsel, jam beker, sampe teriakan mamah, nggak ada yang mempan. Udah jam setangah enam lewat, tau!"
Tari tersentak dan langsung melompat turun dari tempat tidur. Mendadak ia teringat apa yang telah membuatnya sulit memejamkan mata semalam. Seketika di
sambarnya ponselnya dan raut kecewa langsung muncul begitu didapatinya layar ponselnya tetap kosong. Bagusnya, bangun amat sangat terlambat membuat Tari tidak sempat lagi memikirkan kekecewaannya terlalu lb. Buru-buru dia berlari ke kamar mandi. Setelah mandi kilat dan segala aktivitarg rutin pagi hari yang juga dilakukan serba kilat, Tari langsung berlari keluar rumah tanpa sempat sarapan. Hanya seteguk teh manis hangat yang sempat diminumnya, setelah itu dia pamit pada kedua orangtuanya.
Namun, tak urung ketiadaan respons dari Ari membuat cewek itu jadi murung. Akhirnya dia tidak tahan lagi dan pada jam istirahat pertama diceritakannya semuanya pada Fio.
"Elo SMS lagi aja," saran Fio dengan nada hati-hati.
Tari menggeleng lemah. "Nggak ah. Yang semalem aja nggak di bales."
Keduanya lalu diam. Pada waktu yang sama, di Denpasar, Ari terbangun. Dia kontan mengerang. Dipeganginya kepalanya yang seperti dihantam palu keras-keras dengan kedua telapak tangan.
Rasa mual yang benar-benar hebat kemudian memaksanya bangun dari tempat tidur. Terhuyung-huyung cowok itu berlari ke kamar mandi dan muntah habis-habisan. Kemudian dia kembali ke tempat tidur dan melemparkan diri di sana.
"Pada ke mana sih tu kuya-kuya"" gerutunya saat menyadari tak ada seorang pun di ruangan itu kecuali dirinya sendiri. "WOIII! AMBILIN GUE MINUM!" serunya parau. Sepi. "Sialan, beneran nggak ada orang!"
Akhirnya Ari pasrah mendapati dirinya hanya sendirian. Dengan kedua tangan, ditekannya tempurung kepalanya keras-keras. Berusaha agar sakit kepala yang nyaris bikin gila itu bisa teredam sedikit saja. Ditatapnya langit-langit kamar dengan pandangan yang seperti berputar. Samar-samar dia teringat ada SMS masuk semalam. Dirabanya saku celana jinsnya dan dikeluarkannya ponselnya dari sana. Sederet dugaan muncul di kepala. Oji yang melaporkan kemarahan guru-guru, Ridho yang mengingatkan bahwa mereka ada janji tanding futsal, atau teman-temannya yang lain. Atau bisa juga cewek gembong The Scissors, Veronica, atau cewek-cewek lain yang selama ini berada di sekitarnya. Yang tidak bosan memberianya perhatian. Yang kadang membuatnya muak. Kalau saja memukul cewek bukan pantangan untuknya, rasanya ingin sekali diberinya mereka satu atau dua jotosan agar menjauh.
Namun, ternyata yang tertera di layar ponselnya adalah satu nama yang tidak pernah di duganya akan muncul di sana. Tari. Matahari!
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 6 Wiro Sableng 134 Nyawa Kedua Gadis Hari Ke Tujuh 2