Pencarian

Laskar Pelangi 3

Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata Bagian 3


jika tiba pada bagian canna itu dan para tetangganya tadi, aku berusaha setenangtenangnya.
Aku menikmati suatu lamunan, menduga-duga apa yang dibayangkan orang
jika berada di tengah-tengah surga kecil ini. Apakah mereka merasa sedang berada di
taman Jurassic" Aku melihat sekeliling kebun bunga kecil kami. Letaknya persis di depan kantor
kepala sekolah. Ada jalan kecil dari batu-batu persegi empat menuju kebun ini. Di sisi
kiri kanan jalan itu melimpah ruah Monstera, Nolina, Violces, kacang polong, cemara
udang, keladi, begonia, dan aster yang tumbuh tinggi-tinggi serta tak perlu disiram.
Bunga-bunga ini tak teratur, kaya raya akan nektar, berdesak-desakan dengan bunga
berwarna menyala yang tak dikenal, bermacam-macam rumput liar, kerasak, dan semak
ilalang. Secara umum kebun bunga kami mengensankan taman yang dirawat sekaligus
kebun yang tak terpelihara, dan hal ini justru secara tak sengaja menghadirkan paduan
yang menarik hati. Latar belakang kebun itu adalah sekolah kami yang doyong, seperti
bangunan kosong tak dihuni yang dilupakan zaman. Semuanya memperkuat kesan
sebuah paradiso liar, keeksotisan tropika.
Lalu erambat pada tiang lonceng adalah dahan jalar labu air. Seperti tangan
raksa sa ia menggerayangi dinding papan pelepak sekolah kami, tak terbendung
menujangkau-jangkau atap sirap yang terlepas dari pakunya. Sebagian dahannya
merambati pohon jambu mawar dan dlima yang meneduhi atap kantor itu. Cabangcabang
buah muda labu air terkulai di depan jendela kantor sehingga dapat dijangkau
tangan. Burung-burugn gelatik rajin bergelantungan di situ. Sepanjang pagi tempat itu
riuh rendah oleh suara kumbang dan lebah madu. Jika aku memusatkan pendengaran
pada dengungan ribuan lebah madu itu, lama-kelamaan tubuhku seakan kehilangan
daya berat, mengapung di udara. Itulah kebun sekolah muhammadiyah, indah dalam
ketidakteraturan, seperti lukisan Kandinsky. Kalau bukan gara-gara sumur sarang jin
yang horor itu, pekerjaan menyiram bunga seharusnya bisa menjadi tugas yang
menyenangkan. Namun, tugas memebli kapur adalah pekerjaan yang jauh lebih horor. Toko
Sinar Harapan, pemasok kapur satu-satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya.
Sesampainya di sana di sebuah toko yang sesak di kawasan kumuh pasar ikan yang
becek jika perut tidak kuat, siapa pun akan muntah karena bau lobak asin, tauco,
kanji, kerupuk udang, ikan teri, asam jawa, air tahu, terasi, kembang kol, pedak cumi,
jengkol, dan kacang merah yang ditelantarkan di dalam baskom-baskom karatan di
depan toko. Jika berani masuk ke dalam toko, bau itu akan bercampur dengan bau plastik
bungkus mainan anak-anak, aroma kapur barus yang membuat mata berair, bau cat
minyak, bau gaharu, bau sabun colek, bau obat nyamuk, bau ban dalam sepeda yang
bergelantungan di sembarang tempat di seantero toko, dan bau tembakau lapuk di atas
rak-rak besi yang telah bertahun-tahun tak laku dijual.
Dagangan yang tak laku ini tidak dibuang karena pemiliknya menderita suatu
gejala psikologis yang disebut hoarding, sakit gila no. 28, yaitu hobi aneh
mengumpulkan barang-barang rongsokan tak berguna tapi sayang dibuang. Seluruh
akumulasi bau tengik itu masih ditambah lagi dengan aroma keringat kuli-kuli panggul
yang petantang-petenteng membawa gancu, ingar-bingar dengan bahasanya sendiri, dan
lalu-lalang seenaknya memanggul karung tepung terigu.
Belum seberapa, pusat bau busuk yang sesungguhnya berada di los pasar ikan
yang bersebelahan langsung dengan Toko Sinar Harapan. Di sini ikan hiu dan pari
dsangkutkan pada cantolan paku dengan cara menusukkan banar mulai dari insang
sampai ke mulut binatang malang itu, sebuah pemandangan yang mengerikan. Bau amis
darah menyebar ke seluruh sudut pasar. Perut-perut ikan dibiarkan bertumpuk-tumpuk
di sepanjang meja, berjejal tumpah berserakan di lantai yang tak pernah dibersihkan.
Dan bau yang paling parah berasal dari makhluk-makhluk laut hampir busuk yang
disimpan dalam peti-peti terbuka dengan es seadanya.
Pagi itu giliran aku dan Syahdan berangkat ke toko bobrok itu. Kami naik
sepeda dan membuat perjanjian yang bersungguh-sungguh, bahwa saat berangkat ia
akan memboncengku. Ia akan mengayuh sepeda setengah jalan sampai ke sebuh
kuburan Tionghoa. Lalu aku akan menggantikannya mengayuh sampai ke pasar. Nanti
pulangnya berlaku atruan yagn sama. Suatu pengaturan tidak masuk akal yang dibuat
oleh orang-orang frustrasi. Ditambah lagi satu syarat cerewt lainnya, yaitu setiap jalan
menanjak kami harus turun dari sepeda lalu sepeda dituntun bergantian dengan umlah
langkah yang diperhitungkan secara teliti.
Tubuh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak di atas batang sepeda laki punya Pak
Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal. Sepeda itu terlalu besar untuknya
sehingga tampak seperti kendaraana yang tak bisa ia kuasai, apalagi dibebani tubuhku
di tempat duduk belakang. Namun, ia bertekad terus mengayuh sekuat tenaga. Siapa
pun yang melihat pemandangan itu pasti prihatin sekaligus tertawa. Tapi suasana hatiku
sedang tidak peka untuk segala bentuk komedi. Aku duduk di belakang, tak acuh pada
kesusahannya. Turun dulu, tuan raja ..., Syahdan menggodaku ketika sepeda kami menanjak.
Ia ngos-ngosan, tapi tersenyum lebar dan membungkuk laksana seorangp enjilat.
Syahdan selalu riang menerima tugas apa pun
, termasuk menyiram bunga, asalkan
dirinya dapat menghindarkan diri dari pelajaran di kelas. Baginya acara pembelian
kapur ini adalah vakansi kecil-kecilan sambil melihat beragam kegiatan di pasar dan
kesempatan mengobrol dengan beberapa wanita muda pujaannya. Aku turun dengan
malas, dingin, tak tertarik dengan kelakarnya, dan tak punya waktu untuk bertoleransi
pada penderitaan pria kecil ini.
Kami sampai di sebuah Toapekong. Di depannya ada bangunan rendah
berbentuk seperti kue bulan dan di tengah bangunan itu tertempel foto hitam putih
wajah serius seorang nyonya yang disimpan dalam bidang yang ditutupi kaca. Lelehan
lilin merah berserakan di sekitarnya. Itulah kuburan yang kumaksud taid dalam
perjanjian kami, maka tibalah giliranku mengayuh sepeda.
Aku naiki sepeda itu tanpa selera, setengah hati, dan sejak gelindingan roda
yang pertama aku sudah memarahi diriku sendiri, menyesali tugas ini, toko busuk itu,
dan pengaturan bodoh yang kami baut. Aku menggerutu karena rantai sepeda reyot itu
terlalu kencang sehingga berat untuk aku mengayuhnya. Aku juga mengeluh karena
hukum yang tak pernah memihak orang kecil: sadel yang terlalu tinggi, parak oruptor
yang bebas berkeliaran seperti ayam hutan, Syahdan yang berat meskipun badannya
kecil, dunia yang tak pernah adil, dan baut dinamo sepeda yangl onggar sehingga girnya
menempel di ban akibatnya semakin berat mengayuhnya dan menyalakan lampu
sepeda di siang bolong ini persis kendaraan pembawa jenazah.
Syahdan duduk dengan penuh nikmat di tempat duduk belakang sambil
menyiul-nyiulkan lagu Semalam di Malaysia. Ia tak ambil pusing mendegar ocehanku,
peluh hampir masuk ke dalam kelopak matanya tapi wajahnya riang gembira tak alang
kepalang. Lalu kami memasuki wilayah bangunan permanen yang berderet-deret,
berhadapan satu sama lain hampir beradu atap. Inilah jejeran toko kelontong dengan
konsep menjual semua jenis barang. Sepeda kami meliuk-liuk di antara truk-truk
raksasa yang diparkir seenaknya di depan warung-warung kopi. Di sana hiruk pikuk
para karyawan rendahan PN Timah, pengangguran, bromocorah, pensiunan, pemulung
besi, polisi pamong praja, kuli panggul, sopir mobil omprengan, para penjaga malam,
dan pegawai negeri. Pembicaraan mereka selalu seru, tapi selalu tentang satu topik,
yaitu memaki-maki pemerintah.
Setelah deretan warung kopi lalu berdiri hitam berminyak-minyak beberapa
bengkel sepeda dan tenda-tenda pedagang kaki lima. Kelompok ini berada di sela-sela
mobil omprengan dan para pedagang dadakan dari kampung yang menjual berbagai
hasil bumi dalam keranjang-keranjang pempang. Pedagang kampung ini menjual
beragam jenis rebung, umbi-umbian, pinang, sirih, kayu bakar, madu pahit, jeruk nipis,
gaharu, dan pelanduk yang telah diasap. Bagian akhirp asar ini adalah meja-meja tua
panjang, parit-parit kecil yang mampet, dan tong-tong besar untuk menampung jeroan
ikan, sapi, dan ayam. Baunya membuat perut mual. Inilah pasar ikan.
Pasar ini sengaja ditempatkan di tepi seungai dengan maksud seluruh
limbahnya, termasuk limbah pasar ikan, dapat dengan mudah dilungsurkan ke sungai.
Tapi pasar ini berada di dataran rendah. Akibatnya jika laut pasang tinggi sungai akan
menghanyutkan kembali gunungan sampah organik itu menuju lorong-lorong sempit
pasar. Lalu ketika air surut sampah itu tersangkut pada kaki-kaki meja, tumpukan
kaleng, pagar-pagar yang telah patah, pangkal-pangkal pohon seri, dan tiang-tiang kayu
yang centang perenang. Demikianlah pasar kami, hasil karya perencanaan kota yang
canggih dari para arsitek Melayu yang paling kampungan. Tidak dekaden tapi kacau
balau bukan main. Toko Sinar Harapan terletak sangat strategis di tengah pusaran bau busuk. Ia
berada di antara para pedagang kaki lima, bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan
pasar ikan. Pembelian sekotak kapur adalah transaksi yang tak penting sehingga pembelinya
harus menunggu sampai juragan toko selesai melayani sekelompok pria dan wanita
yang menutup kepalanya dengan sarung dan berpakaian dengan dominasi warna
kuning, hijau, dan merah. Di sekujur tubuh wa
nita-wanita ini bertaburan perhiasan
emas asli maupun imitasi, perak, dan kuningan yang sangat mencolok.
Mereka tidak tertarik untuk berbasa-basi dengan orang-orang Melayu di
sekelilingnya. Mereka hanya berbicara sesama mereka sendiri atau sedikit bicara
dengan Bang Sad atau bangsat . Itulah panggilan untuk Bang Arsyad, orang Melayu,
tangan kanan A Miauw sang juragan Toko Sinar Harapan, karena kadang-kadang tabiat
Bang Sad tak jauh dari namanya. Pria-pria bersarung ini berbicara sangat cepat dengan
nada yang beresklasi harmonis naik turun dalam band yang lebar, maka akan terdengar
persis pola akumulatif suara ombak menghempas pantai, suatu lingua yang sangat
cantik. A Miauw sendiri adalah sesosok teror. Pira yang sok mendapat hoki ini sangat
berlagak bagai bos. Tubuhnya gendut dan ia selalu memakai kaus kutang, celana
pendek, dan sandal jepit. Di tangannya tak pernah lepas sebuah buku kecil panjang
bersampul otif batik, buku utang. Pensil terselip di daun telinganya yang berdaging
seperti bakso dan di atas mejanya ada sempoa besar yang jika dimainkan bunyinya
mampu merisaukan pikiran.
Tokoknya lebih cocok jika disebut gudang rabat. Ratusan jenis barang
bertumpuk-tumpuk mencapai plafon di dalam ruangan kecil yang sesak. Selain berbagai
jenis sayur, buah, dan makanan di dalma baskom-baskom karatan tadi, toko ini juga
menjual sajadah, asinan kedondong dalma stopelas-stoples tua, pita mesin tik, dan cat
besi dengan bonus kalender wanita berpakaian seadanya.Di dalam sebuah bufet kaca
panjang dipajang bedak kerang pemutih wajah murahan, tawas, mercon, peluru senapan
angin, racun tikus, kembang api, dan antena TV. Jika kita terburu-buru membeli obat
diare cap kupu-kupu, maka jangan harap A Miauw dapat segera menemukannya.
Kadang-kadang ia sendiri tak tahu di mana puyer itu disimpan. Ia seperti tertimbun
dagangan dan tenggelam di tengah pusaran barang-barang kelontong.
Kiak-kiak! A Miauw memanggil tak sabar, dan Bang Sad tergopoh-gopoh menghampirinya.
Magai di Manggara masempo linna"
Orang-orang bersarung keberatan ketika mengamati harga kaus lampu
petromaks. Di Manggar lebih murah kata mereka.
Kito lui, ba" Ngape de Manggar harge e lebe mura"
Bang Sad menyampaikan keluhan itu pada juragannya dalam bahasa Kek
campur Melayu. Aku sudah muak di dalam toko bau ini tapi sedikit terhibur dengan percakapan
tersebut. Aku baru saja menyaksikan bagaimana kompleksitas perbedaan budaya dalam
komunitas kami didemonstrasikan. Tiga orang pria dari akar etnik yang sama sekali
berbeda berkomunikasi dengan tiga macam bahasa ibu masing-masing, campur aduk.
Orang-orang yang berjiwa penuh prasangka akan menduga A Miauw sengaja
merekayasa konfigurasi komunikasi seperti itu untuk keuntungannya sendiri, namun
mari kugambarkan sedikit kepribadian A Miauw. Ia memang pria congkak dengan
intonasi bicara tak enak didengar, wajahnya juga seperti orang yang selalu ingin
memerintah, kata-katanya tidak bersahabat, dan badannya bau tengik bawang putih,
tapi ia adalah seorang Kong Hu Cu yang taat dan dalam hal berniaga ia jujur tak ada
bandingannya. Maka dalam harmoni masyarakat kami, warga Tionghoa adalah pedagang yang
efisien. Adapun para produsen berada di negeri antah berantah, mereka hanya kami
kenal melalui tulisan made in... yang tertera di buntut-buntut panci. Orang-orang
Melayu adalah kaum konsumen yang semakin miskin justru semakin konsumtif.
Sedangkan orang-orang pulau berkerudung tadi adalah para pembuka lapangan kerja
musiman bagi warga suku Sawang yang memanggil belanjaan mereka.
Segere! Siun! Siun! hardik tiga orang Sawang, kuli panggul, yang numpang
lewat, membyuarkan lamunanku. Mereka adalah kawan yang telah lama kukenal.
Dolen, Baset, dan Kunyit, begitulah nama mereka. Agaknya urusan A Miauw dengan
orang-orang berkerudung itu telah selesai dan sekarang masuklah ia ke transaksi kapur.
Aya...ya..., Muhammadiyah! Kapur tulis! keluh A Miauw menarik napas
panjang, seolah kami hanya akan merusak hokinya.
Acara pembelian kapur adalah rutin dan sama. Setelah menunggu sekian lama
sampai hampir pingsan di dalam toko bau itu, A Miauw akan berteriak nyaring
memerintahkan seseorang mengambil sekotak kapur. Lalu dari ruang belakang akan
terdengar teriakan jawaban dari seseorang yang selalu kuduga seorang gadis kecil
yang juga berbicara nyaring, lantang, dan cepat seperti kicauan burung murai batu.
Kotak kapur dikeluarkan melalui sebuah lubang kecil persegi empat seperti
kandang burung merpati. Yang terlihat hanya sebuah tangan halus, sebelah kanan, yang
sangat putih bersih, menjulurkan kotak kapur melalui lubang itu. Wajah pemilik tangan
ini adlaah misterius, sang burung murai batu tadi, tersembunyi di balik dinding papan
yang membatasi ruangan tengah toko dengan gudang barang dagangan di belakang.
Sang misteri ini tidak pernah bicara sepatah kata pun padaku. Ia menjulurkan kotak
kapur dengan tergesa-gesa dan menarik tangannya cepat-cepat seperti orang
mengumpankan daging ke kandang macan. Demikianlah berlangsung bertahun-tahun,
prosedurnya tetap, itu-itu saja, tak berubah.
Jika tangannya menjulur tak kulihat ada cincin di jari-jemarinya yang lentik,
halus, panjang-panjang, dan ramping, namun siuk a, gelang giok indah berwarna hijau
tampak berkarakter dan melingkar garang pada pergelangan tangannya yang ditumbuhi
bulu-bulu halus. Dalam hatiku, jika kau berani macam-macam pastilah jemarinya
secepat patukan bangau menusuk kedua bola mataku dengan gerakan kuntau yang tak
terlihat. Mungkin pula gelang giok yang selalu membuatku segan itu diwarisinya dari
kakeknya, seorang suhu sakti, yang mendapatkan gelang itu dari mulut seekor naga
setelah naga itu dibinasaan dalam pertarunagan dahsyat untuk merebut hati neneknya.
Ah! Kiranya aku terlalu banyak nonton film shaolin.
Namun, tahukah Anda" Di balik kesan yang garang itu, di ujung jari-jemari
lentik si misterius ini tertanam paras-paras kuku nan indah luar biasa, terawat amat
baik, dan sangat memesona, jauh lebih memesona dibanding gelang giok tadi. Tak
pernah kulihat kuku orang Melayu seindah itu, apalagi kuku orang Sawang. Ia tak
pernah memakai kuteks. Aliran urat-urat halus berwarna merah tersembunyi samarsamar
di dalam kukunya yang saking halus dan putihnya sampai tampak transparan.
Ujung-ujung kuku itu dipotong dengan presisi yang mengagumkan dalam bentuk
seperti bulan sabit sehingga membentuk harmoni pada kelima jarinya.
Permukaan kulit di seputar kukunya sangat rapi, menandakan perawtan intensif
dengan merendamnya lama-lama di dalam bejana yang berisi air hangat dan pucukpucuk
daun kenanga. Ketika memanjang, kuku-kuku itu bergerak maju ke depan
dengan bentuk menunduk dan menguncup, semakin indah seperti batu-batu kecubung
dari Martapura, atau lebih tepatnya seperti batu kinyang air muda kebiru-biruan yang
tersembunyi di kedalaman dasar Sungai Mirang. Amat berbeda dengan kuku Sahar
yang jika memanjang ia akan melebar dan makin lama semakin menganga, persis
seperti mata pacul. Dan yang tercantik dari yang paling cantik adalah kuku jari manisnya. Ia
memperlihatkan seni perawatan kuku tingkat itnggi melalui potongan pendek natural
dengan tepian kuku berwarna kulit yang klasik. Tak berlebihan jika kukatakan bahwa
paras kuku jari manis nona misterius ini laksana batu merah delima yang terindah di
antara tumpukan harta karun raja brana yang tak ternilai harganya.
Aku sudah terlalu sering mendapatkan tugas membeli kapur yang
menjengkelkan ini, sudah puluhan kali. Satu-satunya penghiburan dari tugas horor ini
adalah kesempatan menyaksikan sekilas kuku-kuku itu lalu menertawakan bagaimana
kontrasnya kuku-kuku zamrud khatulistiwa tersebut dibanding potongan-potongan kecil
terasi busuk di seantero toko bobrok ini. Karena terlalu sering, aku jadi hafal jadwal si
nona misterius memotong kukunya setiap hari Jumat, lima minggu sekali.
Demikianlah berlangsung selama beberapa tahun. Aku tak pernah seklai pun
melihat wajah non aini dan ia pun sama sekali tak berminat melihat bagaimana rupaku.
Bahkan setiap kuucapkan kamsia setelah kuterima kotak kapurnya, ia juga tidak
menjawab. Diam seribu bahasa. Non penuh rahasia ini sep
erti pengejawantahan makhluk asing dari negeri antah berantah, dan ia dengan sangat konsisten menjaga
jarak denganku. Tidak ada basa basi, tak ada ngobrol-ngobrol, tak ada buang-buang
waktu untuk soal remeh-temeh, yang ada hanya bisnis!
Kadangkala aku penasaran ingin melihat bagaimana wajah pemilik kuku-kuku
nirwana itu. Apakah wajahnya seindah kuku-kukunya" Apakah jari-jari tangan kirinya
seindah jari-jari tangan kanannya" Atau ... apakah dia Cuma punya satu tangan"
Jangan-jangan dia tidak punya wajah! Tapi semua pikiran itu hanya di dalam hatiku


Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja. Tak ada niat sedikit pun untuk mengintip wajahnya. Mendapat kesempatan
memandangi kuku-kukunya saja pun cukuplah untuk membuatku bahagia. Kawan, aku
tidak termasuk dalam golongan pria-pria yang kurang ajar.
Biasanya setelah mengambil kapur, ikami langsung pulang, A Miauw akan
mencatat di buku utang dan nanti akan dilunasi Pak Harfan setiap akhir bulan. Kami tak
berurusan dengan masalah keuangan, dan ketika kami berlalu, si juragan itu tak sedikit
pun melirik kami. Ia menjentikkan dengan keras biji-biji sempoe seolah mengingatkan
Utang kalian sudah menumpuk!
Bagi A Miauw kami adalah pelanggan yang tidak menguntungkan, alias hanya
merepotkan saja. Kalau sekali-kali Syahdan mendekatinya untuk meminjam pompa
sepeda, ia akan meminjamkan pompa itu sambil mengomel meledak-ledak. Aku benci
sekali melihat kaus kutangnya itu.
Sekarang sudah hampir tengah hari, udara s emakin panas. Berada di tengah
toko ini serasa direbus dalam panci sayur lodeh yang mendidih. Cuaca mendung tapi
gerahnya tak terkira. Aku sudah tak tahan dan mau muntah. Untungnya A Miauw,
seperti biasa, menjerit memerintahkan nona misterius agar menjulurkan kapur di kotak
merpati. Dengan pandangan matanya yang sok kuasa A Miauw memberiku isyarat
untuk mengambil kapur itu.
Aku berjalan cepat melintas iakrung-karung bawang putih tengik sambil
menutup hidung. Aku bergegas agar tugas penuh siksaan ini segera selesai. Namun,
tinggal beberapa langkah mencapai kotak merpati sekejap angin semilir yang sejuk
berembus meniup telingaku hanya sekejap saja. Saat itu tak kusadari bahwa sang
nasib yang gaib menyelinap ke dalam toko bobrok itu, mengepungku, dan menyergapku
tanpa ampun, karena tepat pada momen itu kudengar si nona berteriak keras
mengejutkan: Haiyaaaaa.... !!! Bersamaan dengan teriakan itu terdengar suara puluhan batangan kapur jatuh di
atas lantai ubin. Rupanya si kuku cantik sembrono sehingga ia menjatuhkan kotak kapur
sebelum aku sempat mengambilnya. Maka kapur-kapur itu sekarang berserakan di
lantai. Ah..., keluhku. Agaknya aku harus merangkak-rangkak, memunguti kapur-kapur itu di sela-sela
karung buah kemiri, meskipun kulitnya telah dikelupas, tapi buahnya masih basah
sehingga berbau memusingkan kepala. Kuperlukan bantuan Syahdan, namun kulihat ia
sedang berbicara dengan putri tukang hok lo pan atau martabak terang bulan seperti
orang menceritakan dirinya sedang banyak uang karena baru saja selesai menjual 15
ekor sapi. Aku tak mau mengganggu saat-saat gombalnya itu.
Maka apa boleh buat, kupunguti susah payah kapur-kapur itu. Sebagian kapur
itu jatuh di bawah daun pintu terbuka yang dibatasi oleh tirai yang amat rapat, terbuat
dari rangkaian keong-keong kecil. Aku tahu di balik tirai itu, sang nona itu juga
memunguti kapur karena kudengar gerutuannya.
Haiyaaa ... haiyaaa .... Ketika aku sampai pada kapur-kapur yang berserakan persis di bawah tirai itu,
hatiku berkata pasti nona ini akan segera menutup pintu agar aku tidak punya
kesempatan sedikit pun untuk melihat dia lebih dari melihat kukunya, namun yang
terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Kejadiannya sangat mengejutkan, karena
amat cepat, tanpa disangka sama sekali, si nona misterius justru tiba-tiba membuka tirai
dan tindakan cerobohnya itu membuat wajah kami sama-sama terperanjat hampir
bersentuhan!!! Kami beradu pandang dekat sekali ... dan suasana seketika menjadi
hening .... Mata kami bertatapan dengan perasaan yang tak dapat kulukiskan dengan
kata-kata. Kapur-kapur yang telah ia ku
mpulkan terlepas dari genggamannya, jatuh
berserakan, sedangkan kapur-kapur yang ada di genggamanku terasa dingin membeku
seperti aku sedang mencengkeram batangan-batangan es lilin.
Saat itu kau merasa jarum detik seluruh jam yang ada dunia ini berhenti
berdetak. Semua gerakan alam tersentak diam dipotret Tuhan dengan kamera raksasa
dari langit, blitz-nya membutakan, flash!!! Menyilaukan dan membekukan. Aku terpana
dan merasa seperti melayang, mati suri, dan mau pingsan dalam ekstase. Aku tahu A
Miauw pasti sedang berteriak-teriak tapi aku tak mendengar sepatah kata pun dan aku
tahu persis bau busuk toko itu semkin menjadi-jadi dalam udara pengap di bawah atap
seng, tapi pancaindraku telah mati. Aliran darah di sekujur tubuhku menjadi dingin,
jantungku berhenti berdetak sebentar kemudian berdegup kencang sekali dengan ritme
yang kacau seperti kode morse yang meletup-letupkan pesan SOS. Lebih dari itu aku
menduga bahwa dia, si misterius berkuku seindah pelangi, yang tertegun seperti patung
persis di depan hidungku ini, agaknya juga dilanda perasaan yang sama.
Siun! Siun! Segere...! teriak kuli-kuli Sawang, terdengar samar, menggema
jauh berulang-ulang seperti didengungkan di dalma gua yang panjang dan dalam,
mereka memintaku minggir.
Tapi kami berdua masih terpaku pandang tanpa mampu berkata apa pun, lidahku
terasa kelu, mulutku terkunci rapat lebih tepatnya ternganga. Tak ada satu kata pun
yang dapat terlaksana. Aku tak sanggup beranjak. Wanita ini memiliki aura yang
melumpuhkan. Tatapan matanya itu mencengkeram hatiku.
Ia memiliki struktur wajah lonjong dengan air muka yang sangat menawan.
Hidungnya kecil dan bangir. Garis wajahnya tirus dengan tatapan mata kharismatik
menyejukkan seklaigus menguatkan hati, seperti tatapan wanita-wanita yang telah
menjadi ibu suri. Jika menerima nasihat dari wanita bermata semacam ini, semangat
pria mana pun akan berkobar.
Bajunya ketat dan bagus seperti akan berangkat kondangan, dengan dasar biru
dan motif kembang portlandica kecil-kecil berwarna hijau muda menyala. Kerah baju
itu memiliki kancing sebesar jari kelingking, tinggi sampai ke leher, merefleksikan
keanggunan seorang wanita yang menjaga integritasnya dengan keras. Alisnya indah
alami dan jarak antara alis dengan batas rambut di keningnya membentuk proporsi yang
cantik memesona. Ia adalah lukisan Monalisa yang ditenggelamkan dalam danau yang
dangkal dan dipandangi melalui terang cahaya bulan.
Seperti kebanyakan ras Mongoloid, tulang pipinya tidak menonjol, tapi bidang
wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya, potongan rambutnya, dan jatuh dagunya
yang elegan menciptakan keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh,
bintang film Malaysia yang cantik itu. Maka terkuaklah rahasia yang tertutup rapi
selama bertahun-tahun. Sang pemilik kuku-kuku indah itu ternyata seorang wanita
muda cantik jelita dengan aura yang tak dapat dilukiskan dengan cara apa pun.
Kejadian ini membaut pipinya yang putih bersih tiba-tiba memerah dan matanya
yang sipit bening seperti ingin menghamburkan air mata. Aku tahu bahwa selain sejuta
perasaan tadi yang mungkin sama-sama melanda kami, ia juga merasakan malu tak
terkira. Ia bangkit dengan cepat dan membanting pintu tanpa ampun. Ia tak peduli
dengan kapur-kapur itu dan tak peduli padaku yang masih hilang dalam tempat dan
waktu. Suara keras bantingan pintu itu membuatku siuman dari sebuah pesona yang
memabukkan dan menyadarkan aku bahwa aku telah jatuh cinta. Aku limbung,
kepalaku pening dan pandangan mataku berkunang-kunang karena syok berat.
Beberapa waktu berlalu aku masih terduduk terbengong-bengong bertumpu di atas
lututku yang gemetar. Aku mencoba mengatur napas dan darahku berdesir menyelusuri
seluruh tubuhku yang berkeringat dingin. Aku baru saja dihantam secara dahsyat oleh
cinta pertama pada pandangan yang paling pertama. Sebuah perasaan hebat luar biasa
yang mungkin dirasakan manusia.
Aku berupaya keras bangun dan ketika aku menoleh ke belakang, orang-orang
di sekelilingku, Syahdan yang menghampiriku, A Miauw yang menunjuk-
nunjuk, orang-orang bersarung yang pergi beriringan, dan kuli-kuli Sawang yang terhuyunghuyung
karena beban pikulannya, mereka semuanya, seolah bergerak seperti dalam
slow motion, demikian indah, demikian anggun. Bahkan para uli panggul yang
memilikul karung jengkol tiba-tiba bergerak penuh wibawa, santun, lembut, dan
berseni, seolah mereka sedang memperagakan busana Armani yang sangat mahal di
atas catwalk. Aku tak peduli lagi dengan kotak kapur yang isinya tinggal setengah. Aku
berbalik meninggalkan toko dan merasa kehilangan seluruh bobot tubuh dan beban
hidupku. Langkahku ringan laksana orang suci yang mampu berjalan di atas air. A ku
menghampiri sepeda reyot Pak Harfan yang sekarang terlihat seperti sepeda keranjang
baru. Aku dihinggapi semacam perasasaan bahagia yang aneh, sebuah rasa bahagia
bentuk lain yang belum pernah kualami sebelumnya. Rasa bahagia ini melebihi ketika
aku mendapat hadiah radio transistor 2-band dari ibuku sebagai upah mau disunat
tempo hari. Ketika mempersiapkan sepeda untuk pulang, aku mencuri pandang ke dalam
toko. Kulihat dengan jelas Michele Yeoh mengintipku dari balik tirai keong itu. Ia
berlindung, tapi sama sekali tak menyembunyikan persaaannya. Aku kembali melayang
menembus bintang gemerlapan, menari-nari di atas awan, menyanyikan lagu nostalgia
Have I Told You Lately That I Love You. Aku menoleh lagi ke belakang, di situ, di
antara tumpukan kemiri basah yang tengik, kaleng-kaleng minyak tanah, dan karungkarung
pedak cumi aku telah menemukan cinta.
Kutatap Syahdan dengan senyum terbaik yang aku memiliki ia membalas
dengan pandangan aneh lalu kuangkat tubuhnya yang ekcil untuk mendudukkannya di
atas sepeda. Aku ingin, degnan gemira, mengayuh sepeda itu, membonceng Syahdan,
mengantarnya ke tempat-tempat di mana saja di jagad raya ini yang ia inginkan. Oh,
inilah rupanya yang disebut mabuk kepayang!
Dalam perjalanan pulang aku dengan sengaja melanggar perjanjian. Setelah
kuburan Tionghoa aku tak meminta Syahdan menggantikanku. Karena aku sedang
bersukacita. Seluruh energi positif kosmis telah memberiku kekuatan ajaib. Semua
terasa adil kalau sedang jatuh cinta. Cinta memang sering membuat perhitungan
menjadi kacau. Sepanjang perjalanan aku bersiul dengan lagu yang tak jelas. Lagu
tanpa harmoni; lagu yang belum pernah tercipta, karena yang menyanyi bukan mulutku,
tapi hatiku. Jika sedang tak bersiul di telingaku tak henti-henti berkumandang lagu All I
Have to Do is Dream. Seusai pelajarn aku dan Syahdan dipanggil Bu Mus untuk
mempertanggungjawabkan kapur yang kurang. Aku diam meatung, tak mau berdusta,
tak mau menjawab apa pun yang ditanyakan, dan tak mau membantah apa pun yang
dituduhkan. Aku siap menerima hukuman seberat apa pun termasuk jikalau harus
mengambil ember yang kemarin dijatuhkan Trapani di sumur horor itu. Saat itu yang
ada di pikiranku hanyalah Michele Yeoh, Michele Yeoh, dan Michele Yeoh, serta
detik-detik ketika cinta menyergapku tadi. Hukuman yang kejam hanya akan
menambah sentimentil suasana romantis di mana aku rela masuk sumur maut dunia lain
sebagai pahlawan cinta pertama .... Ah! Cinta ...
Benar saja hukumannya seperti kuduga. Sebelum turun ke dalam sumur sempat
kulihat Bu Mus menginterogasi Syahdan yang mengangkat-angkat bahunya yang kecil,
menggeleng-gelengkan kepalanya, dan menyilangkan jarinya di kening.
Hah! Ia menuduhku sudah sinting ..."
BARU kali ini Mahar menjadi penata artistik karnaval, dan karnaval ini tidak main-main,
inilah peristiwa besar yang sangat penting, karnaval 17 Agustus. Sebenarnya guru-guru
kami agak pesimis karena alasan klasik, yaitu biaya. Kami demikian miskin sehingga tak
pernah punya cukup dana untuik membuat karnaval yang representatif. Para guru juga
merasa malu karena parade kami kumuh dan itu-itu saja. Namun, ada sedikit harapan
tahun ini. Harapan itu adalah Mahar.
Karnaval 17 Agustus sangat potensial untuk meningkatkan gengsi sekolah, sebab
ada penilaian serius di sana. Ada kategori busana terbaik, parade paling megah, peserta
paling serasi, dan yang paling bergengsi: penamp
il seni terbaik. Gengsi ini juga tak
terlepas dari integritas para juri yang dipimpin oleh seorang seniman senior yang sudah
kondang, Mbah Suro namanya. Mbah Suro adalah orang Jawa, ia seniman Yogyakarta
yang hijrah ke Belitong karena idealisme berkeseniannya. Karena sangat idelais maka
tentu saja Mbah Suro juga sangat melarat.
Seperti telah diduga siapa pun, seluruh kategori mulai dari juara pertama sampai
juara harapan ketiga selalu diborong sekolah PN. Kadang-kadang sekolah negeri
mendapat satu dua sisa juara harapan. Sekolah kampung tak pernah mendapat
penghargaan apa pun karena memang tasmpil sangat apa adanya. Tak lebih dari
penggembira. Sekolah-sekolah negeri mampu menyewa pakaian adat lengkap sehingga tampil
memesona. Sekolah-sekolah PN lebih keren lagi. Parade mereka berlapis-lapis, paling
panjang, dan selalu berada di posisi paling strategis. Barisan terdepan adalah puluhan
sepeda keranjang baru yang dihias berwarna-warni. Bukan hanya sepedanya,
pengendaranya pun dihias dengan pakaian lucu. Lonceng sepeda edibunyikan dengan
keras bersama-sama, sungguh semarak.
Pada lapisan kedua berjejer mobil-mobil hias yang dindandani berbentuk perahu,
pesawat terbang, helikopter, pesawat ulang alik Apollo, taman bunga, rumah adat
Melayu, bahkan kapal keruk. Di atas mobil-mobil ini berkeliaran putri-putri kecil
berpakaian putih bersih, bermahkota, dengan rok lebar seperti Cinderella. Putri-putri peri
ini membawa tongkat berujung bintang, melambai-lambaikan tangan pada para penonton
yang bersukacita dan melempar-lemparkan permen.
Setelah parade mobil hias muncullah barisan para profesional, yaitu para murid
yang berdandan sesuai dengan cita-cita mereka. Banyak di antara mereka yang berjubah
putih, berkacamata tebal, dan mengalungkan stetoskop. Tentulah anak-anak ini nanti jika
sudah besar ingin jadi dokter.
Ada juga para insinyur dengan pakaian overall dan berbagai alat, seperti test pen,
obeng ,dan berbagai jenis kunci. Beberapa siswa membawa buku-buku tebal, mikroskop,
dan teropong bintang karena ingin menjadi dosen, ilmuwan, dan astronom. Selebihnya
berseragam pilot, pramugari, tentara, kapten kapal, dan polisi, gagah sekali. Gurugurunya
di bawah komando Ibu Frischa tampak sangat bangga, mengawal di depan,
belakang, dan samping barisan, masing-masing membawa handy talky.
Setelah lapisan profesi tadi muncul lapisan penghibur yang menarik. Inilah
kelompok badut-badut, para pahlawan super seperti Superman, Batman, dan Captain
America. Balon-balon gas menyembul-nyembul dibawa oleh kurcaci dengan tali-tali
setinggi tiang telepon. Dalam barisan ini juga banyak peserta yang memakai baju
binatang, mereka menjadi kuda, laba-laba, ayam jago, atau ular-ular naga. Mereka
menari-nari raing dengan koreografi yang menarik. Mereka juga bernyanyi-nyanyi
sepanjang jalan, mendendangkan lagu anak-anak yang riang. Yang paling menponjol dari
penampilan kelompok ini adalah serombongan anak-anak yang berjalan-jalan memakai
engrang. Di antara mereka ada seorang anak perempuan dengan egrang paling tinggi
melintas dengan tangkas tanpa terlihat takut akan jatuh. Dialah Flo, dan dia melangkah ke
sana kemari sesuka hatinya tanpa aturan. Penata rombongan ini susah payah
menertibkannya tapi ia tak peduli. Ayah ibunya tergopoh-gopoh mengikutinya, berteriakteriak
menyuruhnya berhati-hati, Flo berlari-lari kecil di atas egrang itu membuat kacau
barisannya. Penutup barisan karnaval sekolah PN adalah barisan marching band. Bagian yang
paling aku sukai. Tiupan puluhan trambon laksana sangkakala hari kiamat dan dentuman
timpani menggetarkan dadaku. Marching band sekolah PN memang bukan sembarangan.
Mereka disponsori sepenuhnya oleh PN Timah. Koreografer, penata busana, dan penata
musiknya didatangkan khusus dari Jakarta. Tidak kurang dari seratus lima puluh siswa
terlibat dalam marching band ini, termasuk para colour guard yang atraktif. Tanpa
marching band sekolah PN, karnaval 17 Agustus akan kehilangan jiwanya.
Puncak penampilan parade karnaval sekolah PN adalah saat barisan panjang
marching band membentuk fomrasi dua kali putaran jajaran genjang sambil memberi
penghormatan di depan podium kehormatan. Dengan penataan musik, koregrafi, dan
busana yang demikian luar biasa, marching band PN selalu menyabet juara pertama
untuk kategori yang paling bergengsi tadi, yaitu Penampil Seni Terbaik. Kategori ini
sangat menekankan konsep performing art dalam trofinya adalah idaman seluruh peserta.
Sudah belasan tahun terakhir, tak tergoyahkan, trofi tersebut terpajang abadi di lemari
prestisius lambang supremasi sekolah PN.
Podium kehormatan merupakan tempat terhormat yang ditempati makhlukmakhluk
terhormat, yaitu Kepala Wilayah Operasi PN Timah, sekretarisnya, seseorang
yang selalu membawa walky talky, beberapa pejabat tinggi PN Timah, Pak Camat, Pak
Lurah, Kapolsek, Komandan Kodim, para Kepala Desa, para tauke, Kepala Puskesmas,
para Kepala Dinas, Tuan Pos, Kepala Cabang Bank BRI, Kepala Suku Sawang, dan
kepala-kepala lainnya, beserta ibu. Podium ini berada di tengah-tengah pasar dan di
sanalah pusat penonton yang paling ramai. Masyarakat lebih suka menonton di dekat
podium daripada di pinggir-pinggir jalan, karena di podium para peserta diwajibkan
beraksi, menunjukkan kelebihan, dan mempertontonkan atraksi andalannya sambil
memberi penghormatan. Di sudut podium itulah bercokol Mbah Suro dan para juri yang
akan memberi penilaian. Bagi sebagian warga Muhammadiyah, karnaval justru pengalaman yang kurang
menyenangkan, kalau tidak bisa dibilang traumatis. Karnaval kami hanya terdiri atas
serombongan anak kecil berbaris banjar tiga, dipimpin oleh dua orang siswa yang
membawa spanduk lambang Muhammadiyah yang terbuat dari kain belacu yang sudah
lusuh. Spanduk itu tergantung menyedihkan di antara dua buah bambu kuning seadanya.
Di belakangnya berbaris para siswa yang memakai sarung, kopiah, dan baju takwa.
Mereka melambangkan tokoh-tokoh Sarekat Islam dan pelopor Muhammadiyah tempo
dulu. Samson selalu berpakaian seperti penjaga pintu air. Tentu bukan karena setelah
besar ia ingin jadi penjaga pintu air seperti ayahnya, tapi hanya itulah kostum karnaval
yang ia punya. Sedangkan pakaian tetap Syahdan adalah pakaian nelayan, juga sesuai
dengan profesi ayahnya. Adapun A Kiong selalu mengenakan baju seperti juri kunci
penunggu gong sebuah perguruan shaolin.


Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebagian besar siswa memakai sepatu bot tinggi, baju kerja terusan, dan helm
pengaman. Pakaian ini juga milik orangtuanya. Mereka memperagakan diri sebagai buruh
kasar PN Timah. Beberapa orang yang tidak memiliki sepatu bot atau helm tetap nekat
berparade memakai baju terusan. Jika ditanya, mereka mengatakan bahwa mereka adalah
buruh timah yang sedang cuti.
Selebihnya memanggul setandan pisang, jagung, dan semanggar kelapa. Ada pula
yang membawa cangkul, pancing, beberapa jerat tradisional, radio, ubi kayu, tempat
sampah, dan gitar. Agar lebih dramatis Syahdan membawa sekarung pukat, Lintang
meniup-niup peluit karena ia wasit sepak bola, sementara aku dan Trapani berlari ke sana
kemari mengibas-ngibaskan bendera merah karena kami adalah hakim garis.
Beberapa siswa memikul kerangka besar tulang belulang ikan paus, membawa
tanduk rusa, membalut dirinya dengan kulit buaya, dan menuntun beruk peliharaan tak
jelas apa maksudnya. Seorang siswa tampak berpakaian rapi, memakai sepatu hitam,
celana panjang warna gelap, ikat pinggang besar, baju putih lengan panjang dan
menenteng sebuah tas koper besar. Siswa ajaib ini adalah Harun. Tak jelas profesi apa
yang diwakilinya. Di mataku dia tampak seperti orang yang diusir mertua.
Demikianlah karnaval kami seetiap tahun. Tak melambangkan cita-cita. Mungkin
karena kami tak berani bercita-cita. Setiap siswa disarankan memakai pakaian profesi
orangtua karena kami tak punya biaya untuk membuat atau menyewa baju karnaval.
Semuanya adalah wakil profesi kaum marginal. Maka dalam hal ini Kucai juga
berpakaian rapi seperti Harun dan ia melambai-lambaikan sepucuk kartu pensiun kepada
para penonton sebab ayahnya adalah pensiunan. Sedangkan beberapa adik keclasku
terpaksa tidak bisa mengikuti karnaval karena ayahnya
pengangguran. Satu-satunya daya tarik karnaval kami adalah Mujis. Meskipun bukan murid
Muhammadiyah namun tukang semprot nyamuk ini selalu ingin ikut. Dengan dua buah
tabung seperti penyelam di punggungnya dan topeng yang berfungsi sebagai kacamata
dan penutup mulut seperti moncong babi, ia menyemprotkan asap tebal dan anak-anak
kecil yang menonton di pinggir jalan berduyun-duyun mengikutinya.
Jika melewati podium kehormatan, biasanya kami berjalan cepat-cepat dan berdoa
agar parade itu cepat selesai. Nyaris tak ada kesenangan karena minder. Hanya Harun,
dengan koper zaman The Beatles-nya tadi yang melenggang pelan penuh percaya diri dan
melemparkan senyum penuh arti kepada para petinggi di podium kehormatan.
Mungkin dalam hati para tamu terhormat itu bertanya-tanya, Apa yang dilakukan
anak-anak bebek ini"
Kenyataan inilah yang memicu pro dan kontra di antara murid dan guru
Muhammadiyah setiap kali akan karnaval. Beberapa guru menyarankan agar jangan ikut
saja daripada tampil seadanya dan bikin malu. Mereka yang gengsian dan tak kuat mental
seperti Sahara jauh-jauh hari sudah menolak berpartisipasi. Maka sore ini, Pak Harfan,
yang berjiwa demokratis, mengadakan rapat terbuka di bawah pohon fillicium. Rapat ini
melibatkan seluruh guru dan murid dan Mujis.
Beliau diserang bertubi-tubi oleh para guru yang tak setuju ikut karnaval, tapi
beliau dan Bu Mus berpendirian sebaliknya. Suasana memanas. Kami terjebak di tengah.
Karnaval ini adalah satu-satunya cara untuk menunjukkan kepada dunia bahwa
sekolah kita ini masih eksis di muka bumi ini. Sekolah kita ini adalah sekolah Islam yang
mengedepankan pengajaran nilai-nilai religi, kita harus bangga dengan hal itu!
Suara Pak Harfan bergemuruh. Sebuah pidato yang menggetarkan. Kami bersorak
sorai mendukung beliau. Tapi tak berhenti sampai di situ.
Kita harus karnaval! Apa pun yang terjadi! Dan biarlah tahun ini para guru tidak
ikut campur, mari kita beri kesempatan kepada orang-orang muda berbakat seperti Mahar
untuk menunjukkan kreativitasnya, tahukah kalian ... dia adalah seniman yang genius!
Kali ini tepuk tangan kami yang bergemuruh, gegap gempita sambil berteriakteriak
seperti suku Mohawk berperang. Pak Harfan telah membakar semangat kami
sehingga kami siap tempur. Kami sangat mendukung keputusan Pak Harfan dan sangat
senang karena akan digarap oleh Mahar, teman kami sekelas. Kami mengelu-elukannya,
tapi ia tak tampak. Ooh, rupanya dia sedang bertengger di salah satu dahan filicium. Dia
tersenyum. Sebagai kelanjutan keputusan rapat akbar, Mahar serta-merta mengangkat A
Kiong sebagai General Affair Assistant, yaitu pembantu segala macam urusan. A Kiong
mengatakan padaku tiga malam dia tak bisa tidur saking bangganya dengan penunjukan
itu. Dan telah tiga malam pula Mahar bersemadi mencari inspirasi. Tak bisa diganggu.
Kalau masuk kelas Mahar diam seribu bahasa. Belum pernah aku melihatnya
seserius ini. Ia menyadari bahwa semua orang berharap padanya. Setiap hari kami dan
para guru menunggu dengan was was konsep seni kejutan seperti apa yang akan ia
tawarkan. Kami menunggu seperti orang menunggu buku baru Agatha Christie. Jika kami
ingin berbicara dengannya dia buru-buru melintangkan jari di bibirnya menyuruh kami
diam. Menyebalkan! Tapi begitulah seniman bekerja. Dia melakukan semacam riset,
mengkhayal, dan berkontemplasi.
Dia duduk sendirian menabuh tabla, mencari-cari musik, sampai sore di bawah
filicium. Tak boleh didekati. Ia duduk melamun menatap langit lalu tiba-tiba berdiri,
mereka-reka koreografi, berjingkrak-jingkrak sendiri, meloncat, duduk, berlari
berkeliling, diam, berteriak-teriak seperti orang gila, menjatuhkan tubuhnya, bergulingguling
di tanah, lalu dia duduk lagi, melamun berlama-lama, bernyanyi tak jelas, tiba-tiba
berdiri kembali, berlari ke sana kemari. Tak ada ombak tak ada angin ia menyeruduknyeruduk
seperti hewan kena sampar.
Apakah ia sedang menciptakan sebuah master piece" Apakah ia akan berhasil
membuktikan sesuatu pada event yang mempertaruhkan reputasi ini" Apakah ia akan
berhasil membalikka n kenyataan sekolah kami yang telah dipandang sebelah mata dalam
karnaval selama dua puluh tahun" Apakah ia benar-benar seorang penerobos, seorang
pendobrak yang akan menciptakan sebuah prestasi fenomenal" Haruskan ia menanggung
beban seberat ini" Bagaimanapun ia masih tetap seorang anak kecil.
Kuamati ia dari jauh. Kasihan sahabatku seniman yang kesepian itu, yang tak
mendapatkan cukup apresiasi, yang selalu kami ejek. Wajahnya tampak kusut semrawut.
Sudah seminggu berlalu, ia belum juga muncul dengan konsep apa pun.
Lalu pada suatu Sabtu pagi yang cerah ia datang ke sekolah dengan bersiul-siul.
Kami paham ia telah mendapat pencerahan. Jin-jin telah meraupi wajah kucel kurang
tidurnya dengan ilham, dan Dionisos, sang dewa misteri dan teater, telah meniup ubunubunnya
subuh tadi. Ia akan muncul dengan ide seni yang seksi. Kami sekelas dan
banyak siswa dari kelas lain serta para guru merubungnya. Ia maju ke depan siap
mempresentasikan rencananya. Wajahnya optimis.
Semua diam siap mendengarkan. Ia sengaja mengulur waktu, menikmati
ketidaksabaran kami. Kami memang sudah sangat penasaran. Ia menatap kami satu per
satu seperti akan memperlihatkan sebuah bola ajaib bercahaya pada sekumpulan anak
kecil. Tak ada petani, buruh timah, guru ngaji, atau penjaga pintu air lagi utnuk
karnaval tahun ini! teriaknya lantang, kami terkejut.
Dan ia berteriak lagi. Semua kekuatan sekolah Muhammadiyah akan kita satukan untuk satu hal!!!
Kami hanya terperangah, belum mengerti apa maksudnya, tapi Mahar optimis
sekali. Apa itu Har" Ayolah, bagaimana nanti kami akan tampil, jangan bertele-tele!
tanya kami penasaran hampir bersamaan. Lalu inilah ledakan ide gemilangnya.
Kalian akan tampil dalam koreografi massal suku Masai dari Afrika!
Kami saling berpandangan, serasa tak percaya dengan pendengaran sendiri. Ide
itu begitu menyengat seperti belut listrik melilit lingkaran pinggang kami. Kami masih
kaget dengan ide luar biasa itu ketika Mahar kembali berteriak menggelegar
melambungkan gairah kami.
Lima puluh penari! Tiga puluh penabuh tabla! Berputar-putar seperti gasing, kita
ledakkan podium kehormatan!
Oh, Tuhan, aku mau pingsan. Serta-merta kami melonjak girang seperti
kesurupan, bertepuk tangan, bersorak sorai senang membayangkan kehebohan
penampilan kami nanti. Mahar memang sama sekali tak bisa diduga. Imajinasinya liar
meloncat-loncat, mendobrak, baru, dan segar.
Dengan rumbai-rumbai! kata suara keras di belakang. Suara Pak Harfan sok
tahu. Kami semakin gegap gempita. Wajah beliau sumringah penuh minat.
Dengan bulu-bulu ayam! sambung Bu Mus. Kami semakin riuh rendah.
Dengan surai-surai! Dengan lukisan tubuh! Dengan aksesori! Demikian guru-guru lain sambung-menyambung.
Belum pernah ada ide seperti ini! kata Pak Harfan lagi.
Para guru mengangguk-angguk salut dengan ide Mahar. Mereka salut karena
selain kana menampilkan sesuatu yang berbeda, menampilkan suku terasing di Afrika
adalah ide yang cerdas. Suku itu tentu berpakaian seadanya. Semakin sedikit
pakaiannya atau dengan kata lain semakin tidak berpakaian suku itu maka anggaran
biaya untuk pakaian semakin sedikit. Ide Mahar bukan saja baru dan yahud dari segi nilai
seni tapi juga aspiratif terhadap kondisi kas sekolah. Ide yang sangat istimewa.
Seluruh kalangan di perguruan Muhammadiyah sekarang menjadi satu hati dan
mendukung penuh konsep Mahar. Semangat kami berkobar, kepercayaan diri kami
meroket. Kami saling berpelukan dan meneriakkan nama Mahar. Ia laksana pahlawan.
Kami akan menampilkan sebuah tarian spektakuler yang belum pernah ditampilkan
sebelumnya. Dengan suara tabla bergemuruh, dengan kostum suku Masai yang eksotis,
dengan koreografi yang memukau, maka semua itu akan seperti festival Rio. Kami sudah
membayangkan penonton yang terpeona. Kali ini, untuk pertama kalinya, kami berani
bersaing. Setelah itu, setiap sore, di bawah pohon filicium, kami bekerja keras berhari-hari
melatih tarian aneh dari negeri yang jauh. Sesuai dengan arahan Mahar tarian ini harus
dilakukan dengan gerakan cepat penuh tenaga.
Kaki dihentakkan-hentakkan ke bumi,
tangan dibuang ke langit, berputar-putar bersama membentuk formasi lingkaran,
kemudian cepat-cepat menunduk seperti sapi akan menanduk, lalu melompat berbalik,
lari semburat tanpa arah dan mundur kembali ke formasi semula dengan gerakan seperti
banteng mundur. Kaki harus mengais tanah dengan garang. Demikian berulang-ulang.
Tak ada gerakan santai atau lembut, semuanya cepat, ganas, rancak, dan patah-patah.
Mahar menciptakan koreografi yang keras tapi penuh nilai seni. Asyik ditarikan dan
merupakan olah raga yang menyehatkan.
Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan bahagia" Ialah apa yang aku rasakan
sekarang. Aku memiliki minat besar pada seni, akan emmbuat sebuah performing art
bersama para sahabat karib dan kemungkinan ditonton oleh cinta pertama" Aku
mengalami kebahagiaan paling besar yang mungkin dicapai seorang laki-laki muda.
Kami sangat menyukai gerakan-gerakan nerjik rekaan Mahar dan kuat dugaanku
bahwa kami sedang menarikan kegembiraan suku Masai karena sapi-sapi peliharaannya
baru saja beranak. Selain itu selama menari kami harus meneriakkan kata-kata yang tak
kami pahami artinya seperti, Habuna! Habuna! Habuna! Baraba...
baraba...baraba..habba...habba..homm!
Ketika kami tanyakan makna kata-kata itu, dengan gaya seperti orang memiliki
pengetahuan yang amat luas sampai melampaui benua Mahar menjawab bahwa itulah
pantun orang Afrika. Aku baru tahu ternyata orang Afrika juga memiliki kebiasaan
seperti orang Melayu, gemar berpantun. Aku simpan baik-baik pengetahuan ini.
Namun mengenai maksud, ternyata aku salah duga. Semula aku menyangka
bahwa kami berdelapan karena Sahara tak ikut dan Mahar sendiri menjadi pemain
tabla adlaah anggota suku Masai yang gembira karena sapi-sapinya beranak. Tapi
ternyata kami adalha sapi-sapi itu sendiri. Karena setelah kami menari demikian riang
gembira, kemudian kami diserbu oleh dua puluh ekor cheetah. Mereka mengepung,
mencabik-cabik harmonisasi formasi tarian kami, meneror, menerkam, mengelilingi
kami, dan mengaum-aum dengan garang. Lalu situasi menjadi kritis dan kacau balau bagi
paras api dan pada saat itulah menyerbu dua puluh orang Moran atau prajurit Masai yang
sangat terkenal itu. Prajurit-prajurit ini menyelamatkan para sapi dan berkelahi dengan
cheetah yang menyerang kami. Gerakan cheetah itu direka-reka Mahar dengan sangat
genius sehingga mereka benar-benar tampak seperti binatang yang telah tiga hari tidak
makan. Sedangkan para Moran dilatih lebih khusus sebab menyangkut keterampilan
memainkan properti-properti seperti tombak, cambuk, dan parang.
Demikianlah cerita koreografi Mahar. Keseluruhan fragmen itu diiringi oleh
tabuhan tiga puluh tabla yang lantang bertalu-talu memecah langit. Para penabuh tabla
juga menari-nari dengan gerakan dinamis memesona. Hasil akhirnya adalah sebuah
drama seru pertarungan massal antara manusia melawan binatang dalam alam Afrika
yang liar, sebuah karya yang memukau, master piece Mahar.
Nuansa karnaval semakin tebal menggantung di awan Belitong Timur. Hari H
semakin dekat. Seluruh sekolah sibuk dengna berbagai latihan. Marching band sekolah
PN sepanjang sore melakukan geladi sepanjang jalan kampung. Baru latihannya saja
penonton sudah membludak. Meneror semangat peserta lain.
Tapi kami tak gentar. Situasi moril kami sedang tinggi. Melihat kepemimpinan,
kepiawaian, dan gaya Mahar kepercayaan diri kami meletup-letup. Ia tampil laksana para
event organizer atau para seniman, atau mereka yang menyangka dirinya seniman.
Pakaiannya serba hitam dengan tas pinggang berisi walkman, pulpen, kacamata hitam,
batu baterai, kaset, dan deodoran. Kami mengerahkan seluruh sumber daya civitas
akademika Muhammadiyah. Latihan kami semakin serius dan yang palihng sering
membaut kesalahan adalah Kucai. Meskipun dia ketua kelas tapi di panggung sandiwara
ini Maharlah yang berkuasa.
Mahar mencoba menjelaskan maksudnya dengan berbagai cara. Kadang-kadang
ia demikian terperinci seperti buku resep masakan, dan lebih sering ia merasa frustrasi.
Namun, kami sangat patuh pada setiap
perintahnya walaupun kadang-kadang tidak
masuk akal. Tapi ini seni, Bung, tak ada hubungannya dengan logika.
Dalam tarian ini kalian harus mengeluarkan seluruh energi dan harus tampak
gembira! Bersukacita seperti karyawan PN baru terima jatah kain, seprti orang Saqwang
dapat utangan, seperti para pelaut terdampar di sekolah perawat!
Aku sungguh kagum dari mana Mahar menemukan kata-kata seperti itu. Ketika
istirahat A Kiong berbisik pada Samson, Son, aku baru tahu kalau di Belitong ada
sekolah perawat di pinggir laut"
Rupanya bisikan polos itu terdengar oleh Sahara yang kemduian, seperti biasa,
merepet panjang mencela keluguan A Kiong, Apa kau tak paham kalau itu
perumpamaan! Banyak-banyaklah membaca buku sastra!
DAN tibalah hari karnaval. Hari yang sangat mendebarkan. Mahar merancang pakaian
untuk cheetah dengan bahan semacam terpal yang dicat kuning bertutul-tutul sehingga
dua puluh orang adik kelasku benar-benar mirip hewan itu. Wajah mereka dilukis seperti
kucing dan rambut mereka dicat kuning menyala-nyala dengan bahan wantek.
Tiga puluh pemain tabla seluruh tubuhnya dicat hitam berkilat tapi wajahnya dicat
putih mencolok sehingga menimbulkan pemandangan yang sangat aneh. Sedangkan dua
puluh Moran atau prajurit Masai sekujur tubuhnya dicat merah, mereka menggunakan
penutup kepala berupa jalinan besar ilalang, membawa tombak panjang, dan mengenakan
jubah berwarna merah yang sangat besar. Tampak sangat garang dan megah.
Tampaknya Mahar memberi perhatian istimewa pada delapan ekor sapi. Pakaian
kami paling artistik. Kami memakai celana merah tua yang menutup pusar sampai ke
bawah lutut. Seluruh tubuh kami dicat cokelat muda seperti sapi Afrika. Wajah dilukis
berbelang-belang. Pergelangan kaki dipasangi rumbai-rumbai seperti kuda terbang
dengan lonceng-lonceng kecil sehingga ketika melangkah terdengar suara gemerincing
semarak. Di pinggang dililitkan selendang lebar dari bahan bulu ayam. Kami juga
memakai beragam jenis aksesoris yang indah, yaitu anting-anting besar yang dijepit dan
gelang-gelang yang dibuat dari akar-akar kayu.
Yang paling istimewa adalah penutup kepala. Tak cocok jika disebut topi, tapi
lebih sesuai jika disebut mahkota seribu rupa. Mahkota ini sangat besar, dibuat dari lilitan
kain semacam stagen yang sangat panjang. Lalu berbagai jenis benda diselipkan, dijepit,
atau dijahit pada stagen itu. Puluhan bulu angsa dan belibis, berbagai jenis perdu
sepanjang hampir satu meter, dahan sapu-sapu, berbagai bunga liar, berbagai jenis daun,
dan bendera-bendera kecil. Empat hari Sahara membuat mahkota hebat ini. Lalu
punggung kami dipasangi sesuatu seperti surai kuda, bahannya seperti tertulis pada
sketsa adalah tali rafia. Kami adalah sapi yang anggun dan megah.
Inilah rancangan adiguna karya Mahar. Secara umum kami tidak tampak seperti
sapi. Dilihat dari belakang kami lebih mirip manusia keledai, dari samping seperti ayam
kalkun, dari atas seperti sarang burung bangau. Jika dilihat dari wajah, kami seperti
hantu. Aksesori yang tampaknya biasa saja adlaah untaian kalung. Juga sesuai dengan
sketsa rancangan Mahar, kami akan memakai kalung besar yang terbuat dari benda-benda
bulat sebesar bola pingpong berwarna hijau. Tak ada yang istimewa dengan kalung ini
dan tak seorang pun mau membicarakannya. Kami sibuk membahas mahkota kami. Kami
yakin mahkota ini akan membuat orang kampung ternga-nga mulutnya dan wanita-wanita
muda di kawasan pasar ikan berebutan kirim salam.
Tak disangka ternyata kalung yang tak menarik perhatian itulah sesungguhnya
sentral ide seluruh koreografi ini. Tak ada seorang yang menduga bahwa pada untaian
anak-anak kalung itu Mahar menyimpan rahasia terdalam daya magis penampilan kami,
yang membuatnya tidak tidur tiga hari tiga malam. Sesungguhnya kalung itulah puncak
tertinggi kreativitas Mahar.
Setelah seluruh pakaian siap, Mahar mengeluarkan aksesori terakhir dari dalam
karung, yaitu kalung tadi. Jumlahnya delapan sejumlah sapi. Kami semakin girang. Tentu
Mahar telah bersusah payah sendirian membuatnya. Kalung itu dibaut dari buah po
hon aren yang masih hijau sebesar bola pingpong yang ditusuk seperti sate dengan tali rotan
kecil. Kami berebutan memakainya. Tak banyak pengetahuan kami mengenai buah hutan


Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini. Sebelum parade kami berkumpul berpegangan tangan, menundukkan kepala untuk
berdoa, mengharukan. Seperti telah kami duga, sambutan penonton di sepanajng jalan sangat luar biasa.
Mereka bertepuk tangan dan berlarian mengikuti dari belakang untuk melihat penampilan
kami di depan podium kehormatan.
Menjelang podium kami mendengar gelegar suara sepuluh unit trimpani, yaitu
drum terbesar. Suaranya menggetarkan dada dan ditimpali oleh suara membahana
puluhan instrumen brass mulai dari tuba, horn, trombon, klarinet, trompet, saksopon tenor
dan bariton yang dimainkan puluhan siswa. Marching band sekolah PN sedang beraksi!
Pakaian pemain marching band dibedakan berdasarkan instrumen yang
dimainkan. Yang paling gagah adalah barisan bass drum yang tampil menggunakan
pakaian prajurit Romawi. Mereka membuat helm bertanduk runcing dan benar-benar
mencetak aluminium menjadi rompi lalu mengecatnya dengan warna kuningan. Pemain
simbal memakai rompi berwarna-warni dan bawahan celana panjang biru yang
dimasukkan dalam sepatu bot Pendragon yang mahal setinggi lutut. Mereka seperti
sekawanan ksatria yang baru turun dari punggung kuda-kuda putih. Marching band PN
tampil semakin baik setiap tahun. Mereka selalu menunjukkan bahwa mereka yang
terbaik. Sebagai entry podium kehormatan mereka melantunkan Glenn Miller s In the
Mood dengan interpretasi yang pas. Penonton melenggak-lenggok diayun irama swing
yang asyik. Para colour guard serta-merta menyesuaikan koreografinya dengan gaya
kabaret khas tahun 60-an. Panggung kasino Las Vegas segera berpindah ke sudut pasar
ikan Belitong yang kumuh. Setiap siswa yang terlibat dalam marching band ini belumbelum
sudah mengumbar senyum kemenangan seolah seperti tahun-tahun lalu: Penampil
Seni Terbaik tahun ini pasti mereka sabet. Tapi jika menyaksikan mereka beraksi
agaknya keyakinan itu memang sangat beralasan.
Sebagai puncak atraksi di depan podium mereka membawakan Concerto for
Trumpet dan Orchestra yang biasa dilantunkan Wynton Marsalis. Dalam nomor ini
penampilan mereka amat mengagumkan. Agaknya mereka sudah bisa dikompetisikan di
luar negeri. Komposisi ini sesungguhnya adalah musik klasik karya Johann Hummel tapi
oleh Marching Band PN dibawakan kembali dalam aransemen big band dengan kekuatan
brass section yang memukau.
Bagian intro Concerto indah itu diisi atraksi lima belas pemain blira dengan
pecahan suara satu, dua, dan tiga. Lalu ikut bergabung hentakan-hentakan sepuluh pasang
simbal, bass drum, dan timpani. Tempo dan bahana mereka pelankan ketika puluhan
snare drum mengambil alih. Jiwa siapa pun yang mendengarnya akan tergetar. Belum
tuntas sensasi penonton dengan buaian snare drum yang cantik rancak tiba-tiba para
colour guard memasuki medan, membentuk formasi dan menampilkan tarian
kontemporer yang memikat. Bayangkan indahnya: sebuah big band dengan kekuatan
brasss, kostum yang gemerlapan, dan koreografi kontemporer.
Ribuan penonton bertepuk tangan kagum. Kemudian mereka bersorak-sorai
ketika tiga orang mayoret ratu segala pesona dengan sangat terampil melemparlemparkan
tongkatnya tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Para mayoret cantik,
bertubuh ramping tinggi, dengan senyum khas yang dijaga keanggunannya, meliuk-liuk
laksana burung merak sedang memamerkan ekornya.
Wanita-wanita muda yang meloncat dari gambar-gambar di almanak ini
mengenakan rok mini degnan stocking berwarna hitam dan sepatu bot Cortez metalik
tinggi sampai ke lutut. Sarung tangannya putih sampai ke lengan atas dan mereka
bergerak demikian lincah tanpa sedikit pun terhalangi hak sepatunya yang tinggi.
Topinya adalah baret putih yang diselipi selembar bulu angsa putih bersih seperti topi
Robin Hood. Mereka tidak sekadar mayoret, mereka adalah pergawati. Langkahnya cepat
panjang-panjang dan sering kali memekik memberi perintah. Pandangannya menyapu
seluruh penonton seperti tipuna sihir yang membius.
Wajahnya mencerminkan suatu kebiasaan bergaul dengan barang-barang impor
dan tidak mau menghabiskan waktu untuk soal remeh-temeh. Jika sore mereka berjalanjalan
dengan beberapa ekor anjing chihuahua dan malam hari makan di bawah temaram
cahaya lilin. Tak pernah kekenyangan dan tak pernah berserdawa. Garis matanya
memperlihatkan kemanjaan, kesejahteraan dan masa depan yang gilang gemilang.
Mereka seperti orang-orang yang tak kan pernah kami kenal namanya, seperti orang yang
berasal dari tempat yang sangat jauh dan hanya mampir sebentar untuk membuat kami
ternganga. Mereka seperti orang-orangy ang hanya memakan bunga-bunga putih melati
dan emngisap embun utnuk hidup. Jubahnya dari bahan sutera berkilat, berkibar-kibar
tertiup angin, menebarkan bau harum memabukkan.
Sementara di sini, di sudut ini, kami terpojok di pinggir, seperti segerombolan
spesies primata aneh yang menyembul-nyembul dari sela-sela akar pohon beringin.
Hitam, kumal, dan coreng-moreng, terheran-heran melihat gemerlap dunia. Tapi kami
segera membentuk barisan, tak surut semangat, tak sabar menunggu giliran.
Segera setelah ujung Marching Band PN meninggalkan arena podium dan
perlahan-lahan menghilang bersama lagu syahdu penutup sensasi: Georgia on My Mind,
diiringi tepuk tangan dan suitan panjang penonton, seketika itu juga, tanpa membuang
tempo, dengan amat ejli mencuri momen, secara sangat mendadak Mahar bersama tiga
puluh pemain tabla menghambur tak beraturan menguasai arena depan podium. Gerakan
mereka mengagetkan. Dengan dentuman tabla bertalu-talu serta tingkah tarian yang
sangat dinamis, penonton pun terperanjat. Mahar menyajikan pemandangan natural, asli,
yang sama sekali kontras dengan marching band modern. Melalui lantakan tabla sekuat
tenaga dan gerak tari seperti ratusan monyet sedang berebutan dengan tupai menjarah
buah kuini, Mahar menyeret fantasi penonton ke alam liar Afrika.
Penonton terbelalak menerima sajian musik etnik menghentak yang tak didugaduga.
Mereka berdesak-desakan maju merepotkan para pengaman. Para penonton terbius
oleh irama yang belum pernah mereka dengar dan pakaian serta tarian yang belum pernah
mereka lihat. Demi mendengar lengkingan tabla yang memecah langit, barisan Marching
Band PN terpecah konsentrasinya dan berbalik arah ke podium. Mereka membubarkan
diri tanpa komando lalu bergabung dengan para penonton yang terpaku. Mereka
keheranan melihat tarian liar yang tak seperti Campak Darat, yaitu tarian Belitong paling
kuno dengan gerakan tetap maju mundur, dan irama yang tak seperti Betiong yakni irama
asli Belitong yang biasa mereka dengar. Sebaliknya yang mereka saksikan adalah
gerakan rancak tanpa pola dan ekspresi bebas spontan dari tubuh-tubuh muda yang lentik
meliuk-liuk seperti gelombang samudra, garang seperti luak, dan menyengat laksana
lebah tanah. Koreografi Mahar berkarakter dance drumming dari suku-suku sub Sahara
yang mengandung fragmen survival ribuan tahun dari spesies yang hidup saling
memangsa. Inilah adzohu, sebuah manifestasi perjuangan eksistensi dalam metafora
gesture tubuh manusia yang memaknai ketukan tabla laksana tiupan mantra-mantra nan
magis. Koreografi ini mengandung tenaga gaib yang emnyihir. Mahar memvisualisasikan
alam ganas di mana hukum rimba berkuasa. Maka musik tari ini tak hanya mendetak
degup jantung karena tabla yang berdentum-dentum tapi membran vibrasinya juga
menggetarkan jiwa karena tenaga mistik sebuah ritual suci siklus hidup.
Penonton semakin merangsek ke depan dan mulai terpukau pada tarian etnik
Afrika yang eksotis. Mereka mengamati satu per satu wajah kami yang tersamar dalam
coreng moreng, ingin tahu siapa penampil tak biasa ini. Namun tanpa disadari tubuh
mereka bergerak-gerak patah-patah mengikuti potongan-potongan irama yang
dilantakkan dan tanpa diminta tepuk tangan, siulan, dan sorak-sorai ribuan penonton
membahana menyambut kejutan aksi seksi tabla. Penonton riuh rendah berdecak kagum.
Pada detik itu aku tahu bahwa penampilan kami telah berhasil. Mahar telah melakukan
entry dengan sukses. Semua seniman panggung meng
erti jika entry telah sukses biasanya
seluruh pertunjukan akan selamat. Para hadirin telah terbeli tunai!
Kesuksesan entry pemain tabla mengangkat kepercayaan diri kami sampai level
tertinggi. Kami, delapan ekor sapi, yang akan tampil pada plot kedua, gemetar menunggu
aba-aba dari Mahar untuk menerjang arena. Kami tak sabar dan rasanya kaki sudah gatal
ingin mendemonstrasikan kehebatan mamalia menari. Kami adalah remaja-remaja
kelebihan energi dan lapar akan perhatian. Lima belas meter dari tempat kami berdiri
adalah arena utama dan kami mengambil ancang-ancang laksana peluru-peluru meriam
yang siap diledakkan. Sangat mendebarkan, apalagi penonton semakin menggila tak
terkendali mengikuti ketukan tabla. Mereka membentuk lingkaran yang rapat, ikut
menari, bertepuk tangan, bersuit-suit panjang, dan berteriak-teriak histeris.
Tabahkan hati kalian, keluarkan seluruh kemampuan! ledak Bu Mus memberi
semangat kepada kami, para mamalia. Pak Harfan sudah tidak bisa bicara apa-apa.
Tangannya membekap dada seperti orang berdoa.
Tapi di tengah penantian menegangkan itu aku merasakan sedikit keanehan di
lingkaran leherku. Seperti ada kawat panas menggantung. Aku juga merasa heran melihat
warna telinga teman-temanku yang berubah menjadi merah, demikian pula kalung kami,
membentuk lingkaran berwarna kelam di kulit. Aku merasakan panas pada bagian dada,
wajah, dan telinga, lalu rasa panas itu berubah menjadi gatal.
Dalam waktu singkat rasa gatla meningkat dan aku mulai menggaruk-garuk di
seputar leher. Sekarang kami sadar bahwa rasa gatal itu berasal dari getah buah aren yang
menjadi mata kalung kami. Hasil rancangan adibusana Mahar. Buah aren yang ditusuk
dengan tali rotan itu mengeluarkan getah yang pelan-pelan melelh di lingkaran leher.
Rasa gatal itu semakin menjadi-jadi tapi kami takb isa berbuat apa-apa karena untuk
melepaskan kalung itu berarti harus melepaskan mahkota. Dan melepaskan mahkota
besar yang beratnya hampir satu setengah kilogram ini bukan persoalan mudah. Mahkota
raksasa ini sengaja dirancang Mahar untuk dikenakan dengan lilitan tiga kali melalui
dagu sehingga tanpa bantuan seseorang tak mungkin membukanya sendiri. Tak mungkin
melakukan itu apalagi Mahar sekarang telah melakukan gerakan seperti menyembahnyembah
ke arah kami. Itulah isyarat kami harus masuk dan beraksi.
Maka semua usaha untuk berbuat sesuatu pada kalung itu terlambat dan yang
terjadi berikutnya tak kan pernah kulupakan seumur hidupku. Kami menyerbu arena
dengan semangat spartan. Tepuk tangan penonton bergemuruh. Pada awalnya kami
menari bersukacita sesuai dengan skenario. Lalu kami, para sapi ini, mulai bergerakgerak
aneh dan sedikit melenceng dari gerakan seharusnya karena kami diserang oleh
rasa gatal yang luar biasa.
Rasa gatal ini begitu dahsyat. Aku tak pernah merasakan gatal demikian hebat dan
jelas berasal getah buah aren muda yang menjadi mata kalung kami. Pertama-tama
rasanya panas, perih, lalu geli dan gatal sekali. Jika digaruk bukannya sembuh tapi akan
semakin menjadi-jadi, bertambah gatal dua kali lipat. Karena gerakan kami rancak
dengan tangan mengibas-ngibas ke sana kemari maka getah aren itu menyebar ke seluruh
tubuh. Sekarang seluruh tubuh kami dilanda gatal tak tertahankan.
Kami berusaha tidak menggaruk-garuk karena hal itu akan merusak koreografi,
kami bertekad mengalahkan Marching Band PN. Selain tu menggaruk hanya akan
memperparah keadaan, maka kami bertahan dalam penderitaan. Satu-satunya cara
mengalihkan siksaan gatal adalah dengan terus-menerus bergerak jumpalitan seperti
orang lupa diri. Maka sekarang kami bergerak sendiri-sendiri tak terkendali seperti orang
kesetanan. Kami berteriak-teriak, meraung, saling menanduk, saling menerkam, saling
mencakar, merayap, berguling-guling di tanah, menggelepar-gelepar. Semua itu tak
terdapat dalam skenario. Lintang komat-kamit tak jelas dan matanya memerah seperti
buah saga. Trapani sama sekali menguap ketampanannya, wajah manisnya berubah
menjadi wajah algojo yang sedang kalap. Sedangkan A Kiong menampar-nampar dirinya
sendiri dengan keras seperti orang kesurupan. Telinganya seolah mengeluarkan asap dan
wajahnya seperti kaleng biskuit Roma. Wajah kami memerah seperti terbakar api dan
urat-urat lengan bertimbulan menahankan gatal.
Kami bergerak demikian beringas, berjingkrak-jingkrak seperti sekaleng cacing
yang dicurahkan di atas aspal yang panas mendidih. Sebaliknya, melihat kami sangat
menjiwai, para pemain tabla pun terbakar semangatnya. Mereka mempercepat tempo
untuk mengikuti gerakan-gerakan liar kami. Kami menari dengan tenaga dua kali lipat
dari latihan dan gerakan dua kali lebih cepat dari seharusnya. Kami seolah berkejaran
dengan tabuhan tabla. Menimbulkan pemandangan yang menakjubkan. Bahkan orang
Afrika sendiri tak pernah menari sehebat ini.
Sesungguhnya maksud kami bukan itu. Tapi kami senewen menanggungkan
gatal. Penonton yang tidak memahami situasi mengira suara tabla itu mengandung sihir
dan telah membuat kami, delapan ekor sapi ini, kesurupan, maka mereka bertepuk tangan
gegap gempita karena kagum dengan daya magis tarian Afrika. Mereka berteriak-teriak
histeris memberi semangat dan salut kepada kami yang mampu mencapai penghayatan
setinggi itu. Penonton semakin merapat dan petinggi di podium kehormatan menghambur
ke depan meninggalkan tempat-tempat duduknya yang teduh dan nyaman. Mereka
berebutan menyaksikan kami dari dekat. Mereka takjub dengan sebuah pemandangan
aneh. Bagi mereka ini adalah ekspresi seni yang luar biasa. Sementara kami semakin
tunggang-langgang, berputar-putar seperti gasing. Kami sudah tak peduli dengan pantun
Afrika yang harusnya kami lantunkan. Teriakan kami sekarang menjadi:
Hushhhhhhh ...hushh...hushhhh! Habbaa...habbbaaa... habbaaaa...!!!
Penonton malah mengira itu mantra-mantra gaib. Aku melirik Mahar. Aneh
sekali, wajahnya tapak senang tak alang kepalang, gembira bukan main. Ia tampak sangat
setuju dengan seluruh gerakan gila kami walaupun tidak seperti yang dilatihkannya dulu.
Terus Kawan, hebat sekali, ayo berguling-guling, inilah maksudnya, bisiknya di
antara kami sambil berlari-lari memikul tabla. Aku mulai curiga. Tapi aku tak sempat
berpikir jauh karena kami sekarang sedang diserang oleh dua puluh ekor cheetah.
Suasana semakin seru. Kami semakin sinting karena gatal dan panas. Kami merasa sangat
haus, menderita dehidrasi. Ketika cheetah meneyrang, kami berbalik menyerang. Kami
sudah lupa diri. Seharusnya hal ini tak terjadi. Skenarionya tidak begitu.
Skenarionya adlaah kami seharusnya menguik-nguik ketakutan sampai prajurit
Masai, Moran yang gagah berani itu, datang sebagai pahlawan untuk menyelamatkan
kami. Tapi sebaliknya sekarang kami dengan beringas membalas serangan cheetah
karena kami tak mungkin diam, jika diam rasa gatal rasanya akan memecahkan pembuluh
darah kami. Para cheetah kebingungan. Ketika mereka menerjang kami membalas, cheetah
berlari kocar-kacir dan kembali menyerang, demikian terjadi berulang-ulang. Namun
anehnya skenario yang kacau balau tak direncanakan ini justru memunculkan karakter
asli binatang yang pada suatu ketika bisa demikian ganas tanpa ampun dan pada keadaan
yang lain terbirit-birit ketakutan jika kekuatannya tak berimbang. Sebaliknya sekali lagi
kulirik Mahar. Ia senang sekali dengan improvisasi spontan ini, tabuhan tablanya
semakin ganas. Senyumnya mengembang. Tak pernah aku melihatnya sebahagia itu.
Surai kuda, selendang yang melilit pinggang, dan mahkota kami melambai-lambai
eksotis karena kami melonjak-lonjak tak terkendali. Kami menari seperti orang dirasuki
iblis yang paling jahat, seperti ditiup Lucifer sang raja hantu. Arena semakin membara
dan gairah tarian mendidih ketika dua puluh prajurit Masai menyerbu masuk untuk
menyelamatkan kami, yang terjadi adalah pertarungan dahsyat antara sapi dan prajurit
Masai melawan dua puluh ekor cheetah. Ada enam puluh penari termasuk pemain tabla
yang sekarang saling menyerang dalam hentakan musik Masai. Penonton riuh rendah
dalam kekaguman. Para fotografer sampai kehabisan film.
Pasir-pasir halus yang bertaburan di atas arena membubung menjadi debu tebal
yang mengabu rkan pandangan. Debu itu mengelilingi kami yang berputar seperti pusaran
angin. Di tengah pusaran itu kami bertempur habis-habisan dalam sebuah ritual liar alam
Afrika yang kami tarikan seperit binatang buas yang terluka. Dalam kekacaubalauan
terdengar teriakan-teriakan hsiteris, auman binatang, dan suara tabla berdentum-dentum.
Keseluruhan koreografi yang menampilkan fragmen pertempuran manusia melawan
binatang dengan gerakan spontan di depan podium kehormatan itu ternyata menghasilkan
karya seni yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Sebuah formasi gerakan chaos orisinal
yang tercipta secara tidak sengaja. Para penonton tersihir melihat kami trance secara
kolektif, mereka tersentak dalam histeria menyaksikan pemandangan magis yang
menkjubkan. Sebuah pemandangan eksotis dari totalitas tarian yang menciptakan efek
seni yang luar biasa. Sebuah efek seni yang memang diharapkan Mahar, efek seni yang
akan membawa kami menjadi Penampil Seni Terbaik tahun ini, tak diragukan, tak ada
bandingannya. Pak Harfan, Bu Mus, dan guru-guru kami sangat bangga dan seolah tak percaya
melihat murid-muridnya memiliki kemampuan seperti itu. Mereka tak sadar bahwa kami
menderita berat karena gatal dan gerakan kami tak ada hubungannya dengan Moran,
cheetah, dan bunyi-bunyian tabla yang memecah gendang telinga.
Tiga puluh menit kami tampil serasa tiga puluh jam. Kami, para sapi, memang
dirancang untuk meninggalkan arena pertama kali. Pemain tabla, cheetah, dan prajurit
Masai masih harus melanjutkan fragmen. Segera setelah meninggalkan arena kami berlari
pontang panting mencari air. Sayangnya air terdekat adalah sebuah kolam kangkung
butek di belakang sebuah toko kelontong. Kolam itu adalah tempat pembuangan akhir
ikan-ikan bsuuk yang tak laku dijual. Apa boleh baut, kami ramai-ramai menceburkan
diri di sana. Kami tak melihat ketika penonton memberikan standing applause selama tujuh
menit. Kami tak menyaksikan guru-guru kami menangis karena bangga. Aku kagum
kepada Mahar, ia berhasil memompa kepercayaan diri kami dan dengan kepercayaan diri
ternyata siapa pun dapat membuat prestasi yang mencengangkan. Hal itu dibuktikan oleh
sekolah Muhammadiyah yang mampu mematahkan mitos bahwa sekolah kampung tidak
mungkin menang melawan sekolah PN dalam karnaval. Sayangnya saat itu kami tak
dapat bergembira seperti warga Muhammadiyah di podium dan kami jgua tak mendengar
ketika ketua dewan juri, Mbah Suro, naik mimbar. Beliau mengucapkan pidato panjang
puji-pujian utnuk kami: Sekolah Muhammadiyah telah menciptakan daripada suatu arwah baru dalam
karnaval ini. Maka dari itu mereka telah mencanangkan suatu daripada standar baru yang
semakin kompetitif dari pada mutu festival seni ini. Mereka mendobrak dengan ide
kreatif, tampil all out, dan berhasil menginterpretasikan dengan sempurna daripada
sebuah tarian dan musik dari negeri yang jauh. Para penarinya tampil penuh penghayatan,
dengan spontanitas dan totalitas yang mengagumkan sebagai suatu manifestasi daripada
penghargaan daripada mereka terhadap seni pertunjukan itu sendiri. Penampilan


Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Muhammadiyah tahun ini adalah daripada suatu puncak pencapaian seni yang gilang
gemilang dan oleh karena itu dewan juri tak punya daripada pilihan lain selian daripada
menganugerahkan penghargaan daripada penampila seni terbaik tahun ini kepada sekolah
Muhammadiyah! Whai dewan juri yang terhormat, mari kuberitahukan pada bapak-bapak sekalian,
tahu apa bapak-bapak soal seni, interpretasi seni kami adlaah interpretasi getah buah aren
yang gatalnya membakar lingkaran leher kami sampai ke pangkal-pangkal paha dengan
perasaan seperti memakan api. Itulah yang membuat kami menari seperti orang yang
tidak waras, dan tiulah interpretasi seni kami.
Mendengar pidato itu para penonton kembali bergemuruh dan seluruh warga
Muhammadiyah bersorak-sorai senang karena sebuah kemenangan yang fenomenal.
Sebaliknya kami, delapan ekor ternak dalam koreografi hebat itu, tetap tak tahu
semua kejadian yang menggemparkan itu, dan kami juga masih tak tahu ketika Mahar
diarak warga Muhammadiyah sete
lah sekolah menerima trofi bergengsi Penampil Seni
Terbaik tahun ini. Trofi yang telah dua puluh tahun kami idamakan dan selama itu pula
bercokol di sekolah PN. Baru pertama kali ini trofi itu dibawa pulang oleh sekolah
kampung. Trofi yang tak kan membuat sekolah kami dihina lagi.
Kami tak tahu semua itu karena ketika itu kami sedang berkubang di dalam
lumpur kolam kangkung, menggosok-gosok leher dengan daun genjer. Yang kami tahu
hanyalah bahwa Mahar telah membalas kami dengan setimpal karena pelecehan kami
padanya selama ini. Buah-buah aren itu sungguh merupakan sebuah rancangan kalung
etnik properti adi busana koreografi yang bernilai seni, hasil perenungan Mahar berjamjam
sambil memandangi langit di bawah pohon filicium. Itulah sebuah perenungan
tingkat tinggi yang membuat hatinya bergejolak sepanjang malam karena girang akan
memberi kami pelajaran, sebuah perenungan pembalasan dendam yang telah ia
rencanakan dengan rapi selama bertahun-tahun.
Wajah manisnya pasti sedang tersenyum sekarang dan senyumnya tak berhenti
mengembang jika ia ingat penderitaan kami. Di kolam busuk luar biasa sehingga
merontokkan bulu hidung ini kami membayangkan Mahar melonjak-lonjak girang
disirami sinar agung prestasi dan kata-kata pujian setinggi langit. Sedangkan kami
agaknya memang patut dihukum di kolam perut ikan ini. Mahar membalas kami
sekaligus merebut penghargaan terbaik sekali tepuk dua nyamuk tumbang. Pria muda
yang nyeni itu memang genius luar baisa, dan baginya pembalasan ini maniiiiis sekali,
semanis buah bintang. AWAN-AWAN kapas berwarna biru lembut turun. Mengapung rendah ingin menyentuh
permukaan laut yang surut jauh, beratus-ratus hektare luasnya, hanya setinggi lutut,
meninggalkan pohon-pohon kelapa yang membujur di sepanjang Pantai Tanjong
Kelayang. Aku tahu bahwa awan-awan kapas biru muda itu dapat menjadi penghibur
bagi mataku, tapi dia tak kan pernah menjadi sahabat bagi jiwaku, karena sejak minggu
lalu aku telah menjadi sekuntum daffodil yang gelisah, sejak kukenal sebuah kosakata
baru dalam hidupku: rindu.
Kini setiap hari aku dilanda rindu pada nona kuku cantik itu. Aku rindu pada
wajahnya, rindu pada paras kuku-kukunya, dan rindu pada senyumnya ketika
memandangku. Aku juga rindu pada sandal kayunya, rindu pada rambut-rambut liar di
dahinya, rindu pada caranya mengucapkan huruf r , serta rindu pada caranya merapikan
lipatan-lipatan lengan bajunya.
Kadang-kadang aku bersembunyi di bawah pohon filicium, melamun sendiri,
dadku sesak sepanjang waktu. Aku segera mengerti bahwa aku adalah tipe laki-laki yang
tak kuat menahankan rindu. Lalu aku berpikir keras mencari jalan untuk meringankan
beban itu. Setelah melalui pengkajian berbagai taktik, akhirnya aku sampai pada
kesimpulan bahwa rinduku hanya bisa diobati dengan cara sering-sering membeli kapur
dan untuk itu Bu Mus adalah satu-satunya peluangku.
Maka aku mengerahkan segala daya upaya, memohon sepenuh hati, agar tugas
membeli kapur tulis diserahkan padaku, kalau perlu kapur tulis untuk seluruh kelas SD
dan SMP Muhammadiyah, sepanjang tahun ini.
Bukankah kau paling benci tugas itu Ikal"
Aku tersipu. Ironis, aku telah menemukan definisi ironi yang sebenarnya.
Penyebabnya tentu bukan karena Toko Sinar Harapan telah menjadi wangi, tapi sematamata
karena ada putri Gurun Gobi menungguku di sana. Maka ironi bukanlah persoalan
substansi, ia tak lain hanyalah soal kompensasi. Itulah definisi ironi, tak kurang tak lebih.
Bu Mus tak berminat mendebatku dan kulihat perubahan wajahnya. Pastilah
instingnya selama bertahun-tahun menjadi guru secara naluriah telah membunyikan
lonceng di kepalanya bahwa hal ini sedikit banyak berhubungan dengan urusan cinta
monyet. Dengan jiwa penuh pengertian dan sebuah senyum jengkel beliau mengiyakan
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Asal jangan kau hilangkan lagi kapur-kapur itu, perlu kau tahu, kapur itu dibeli
dari uang sumbangan umat!
Kemudian aku dan Syahdan menjadi tim yang solid dalam pengadaan kapur. Aku
menjadi semacam manajer pembelian, Syahdan tak perlu mengayuh sepeda, cu
kup duduk di belakang, memegang kotak-kotak kapur kuat-kuat dan menjaga mulutnya rapat-rapat,
karena hubungan antar-ras adalah isu yang sensitif ketika itu. Kami menikmati
ketegangan perjanjian rahasia ini dan selama beberapa bulan setelah itu aku telah menjadi
tukang kapur yang berdedikasi tinggi. Sebaliknya Syahdan, tentu saja melalui
rekomendasiku pada Bu Mus, selalu ikut denganku. Ia gembira karena semakin lama
meninggalkan kelas sekligus leluasa mendekati putri tukang hok lo pan.
Sesampainya di toko biasanya aku langsung cepat-cepat masuk dan berdiri tegak
dengan saksama di tengah-tengah lautan barang kelontong. Minyak kayu putih kukipaskipaskan
di bawah hidung untuk melawan bau tengik. Aku menyeka keringat dan tak
sabar menunggu menit-menit ajaib, yaitu ketika A Miauw memberi perintah kepada
burung murai batu di balik tirai yang terbuat dari keong-keong kecil itu.
Aku megnhampiri kotak merpati saat ia menjulurkan kapur. Setiap kali ini terjadi
jantungku berdebar. Ia masih tetap tak berkata apa pun, diam seribu bahasa, demikian
juga aku. Tapi aku tahu ia sekarang tak lagi cepat-cepat menarik tangannya. Ia
memberiku kesempatan lebih lama memandangi kuku-kukunya. Hal itu cukup
membuatku demikian bahagia sampai seminggu berikutnya.
Demikianlah berlangsung selama beberapa bulan. Setiap Senin pagi aku dapat
menjumpai belahan jiwaku, walaupun hanya kuku-kukunya saja. Hanya sampai di situ
saja kemajuan hubungan kami, tak ada sapa, tak ada kata, hanya hati yang bicara melalui
kuku-kuku yang cantik. Tak ada perkenalan, tak ada tatap muka, tak ada rayuan, dan tak
ada pertemuan. Cinta kami adalah cinta yang bisu, cinta yang sederhana, dan cinta yang
sangat malu, tapi indah, indah sekali tak terperikan.
Kadang-kadang ia menjentikkan jarinya atau menggodaku sambil terus
memegang kotak kapur ketika akan kuambil sehingga kami saling tarik. Kadang kala ia
mengepalkan tinjunya, mungkin maksudnya: kenapa kamu terlambat" Sering telah
kusiapkan diri berminggu-minggu untuk sedikit saja memegang tangannya atau untuk
mengatakan betapa aku rindu padanya. Tapi setiap kali aku melihat kuku-kukunya,
semua kata yang telah ditulis rapi pun sirna, menguap bersama aroma keringat orang
Sawang dan seluruh keberanian lenyap tertimbun tumpukan lobak asin. Tirai yang terbuat
dari keong-keong kecil itu demikian kukuh untuk ditembus oleh mental laki-laki sekecil
aku. Sudah dua musim berlalu, sudah dua kali orang-orang bersarung turun dari
perahu, aku merasa sudah saatnya untuk tahu siapa namanya. Namun sekali lagi,
walaupun sudah berhari-hari mengumpulkan keberanian untuk bertanya langsung ketika
tangannya menjuilur, aku menjadi bisu dan tuli. Aku begitu kerdil di depannya. Maka
kutugaskan Syahdan mencari informasi. Ia sangat girang mendapat tugas itu. Lagaknya
seperti intel Melayu, mengendap-endap, berjingkat-jingkat penuh rahasia.
Namanya A Ling ...! bisiknya ketika kami sedang khatam Al-Qur an di Masjid
Al Hikmah. Jantungku berdetak kencang.
Seangkatan dengan ktia, di sekolah nasional! Dan pyarrr!! Kopiah resaman
Taikong Razak menghantam rihalan Syahdan.
Jaga adatmu di muka kitab Allah anak muda!!
Syahdan meringis dan kembali menekuri Khatamul Qur an. Sekolah nasional
adalah sekolah khusus anak-anak Tionghoa. Aku menatap Syahdan dengan serius.
Sekolah nasional ..."
Jangan sampai tahu ibuku, kataku cemas, Bisa-bisa kau kena rajam.
Syahdan tak mau menanggapi peringatkanku yang tidak kontekstual dengan
infonya yang berharga tadi. Wajahnya mengisyaratkan bahwa ia punya kejutan lain.
A Ling adalah sepupu A Kiong ...!
Aku terkejut, rasanya seperti tertelan biji rambutan yang macet di tenggorokanku.
A Kiong, pria kaleng kerupuk itu! Mana mungkin dia punya sepupu bidadari"
Syahdan membaca pikiranku, ia mengangguk-angguk yakin memastikan, Iya,
betul sekali, Kawan, A Kiong kita itu, tapi aku tak pasti, apakah A Kiong seperti itu
karena tumbal ilmu sesat, titisan yang keliru, atau anomali genetika"
Syahdan vulgar dan sok tahu. Aku segera teringat pada A Kiong. Beberapa hari
ini ia belajar di kelas sambil berdiri karena lima biji bisul padi bermunculan di pantatnya
sehingga ia tak bisa duduk. Tapi ia berkeras ingin tetap sekolah.
Aku tak dapat menggamabrkan perasaanku atas semua info ini. Kenyataan bahwa
A Ling adalah sepupu a Kiong membuatku bersemangat sekaligus waswas. Aku dan
Syahdan berunding serius membahas perkembangan ini dan kami putuskan untuk
menceritakan situasinya pada A Kiong. Kami menganggap dialah satu-satunya peluang
untuk menembus tirai keong itu.
Kami giring A Kiong menuju kebun bunga sekolah dan kami dudukkan di abngku
kecil dekat kelompok perdu kamar Beloperone, Pittosporum, dan kembang sepatu yang
saat itu sedang bersemi, tempat yang sempurna untuk bermusyawarah soal cinta.
Mudahnya begini saja, Kiong, kataku tak sabar. Aku akan menitipkan padamu
surat dan puisi untuk A Ling, maukah kau memberikan padanya" Serahkan padanya
kalau kalian sembahyang di kelenteng, pahamkah engkau"
Ia mengernyitkan dahinya, rambut landaknya berdiri tegak, wajahnya yang bulat
gemuk tampak semakin jenaka. Ketika ia melepaskan kembali kernyitannya itu pipinya
yang tembem jatuh berayun-ayun lucu. Dia adalah pria berwajah mengerikan tapi lucu.
Mengapa tak kauberikan langsung padahal setiap Senin pagi kau bertemu
dengannya" Tidak masuk akal! A Kiong tak mengucapkan kata-kata itu tapi inilah arti
kernyitannya itu. Aku juga menjawabnya dari dalam hati, semacam telepati. Hei, anak
Hokian, sejak kapan cinta masuk akal"
Aku menarik napas panjang, membalikkan badanku, memandang jauh ke
lapangan hijau pekarangan sekolah kami. Seperti sedang berakting dalam sebuah teater
aku merenggut daun-daun Dracaena, meremas-remasnya lalu melemparkannya ke udara.
Aku malu, A Kiong, nyaliku lumpuh kalau berada satu meter darinya, aku adalah
seorang pria yang kompulsif, jika ceroboh aku takut ketahuan bapaknya, kalau itu terjadi,
tak terbayangkan akibatnya!
Kudapat kata-kata itu dari majalah Aktuil langganan abangku, barangkali agak
kurang tepat, tapi apa peduliku. Demi mendengar kata-kata seperti naskah sandiwara
radio itu Syahdan memeluk erat-erat pohon petai cina di sampingnya. Aku kehabisan kata
untuk menjelaskan pada A Kiong bahwa titip-menitip dalam dunia percintaan
mengandung nilai romansa yang tinggi karena ada unsur-unsur kejutan di sana.
Rupanya A Kiong menangkap keputusasaan dalam nada suaraku. Ia adalah siswa
yang tidak terlalu pintar tapi ia setia kawan. Sepanjang masih bisa diusahakan ia tak kan
pernah membiarkan sahabatnya patah harapan. Luluh hatinya melihat aktingku. Sekarang
ia tersenyum dan aku menyembahnya seperti murid shaolin berpamitan pada suhunya
untuk memberantas kejahatan. Namun karena turunan darah wiraswasta leluhurnya, A
Kiong tentu menuntut kompensasi yang rasional. Aku tak keberatan menggarap PR tata
buku hitung dagangnya. Lalu, tak terbendung, melalui A Kiong, puisi-puisi cintaku mengalir deras
menyerbu pasar ikan. Baginya itu hanyalah tugas mduha. Sebaliknya, ia mulai merasakan
kenikmatan eskalasi gengsi akibat nilai-nilai tata buku hitung dagang yang membaik.
Hubungan A Kiong, aku dan Syahdan adalah simbiosis mutualisme, seperti burung cako
dengan kerbau. Ia sama sekali tak menyadari bahwa persoalan titip menitip ini dapat
membawa risiko ia pecah kongsi dengan pamannya A Miauw.
Aku selalu mendesak A Kiong untuk menceritakan bagaimana wajah A Ling
ketika menerima puisi dariku.
Seperti bebek ketemu kolam, kata A Kiong penuh godaan persahabatan.
Dan pada suatu sore yang indah, di bulan Juli yang juga indah, di tempat duduk
bulat, sendirian di kebun bunga kami, aku menulis puisi ini untuk A Ling:
Bunga Krisan A Ling, lihatlah ke langit
Jauh tinggi di angkasa Awan-awan putih yang berarak itu
Aku mengirim bunga-bunga krisan untukmu
Ketika kumasukkan puisi ke dalam sampul surat, aku tersenyum, tak percaya aku
bisa menulis puisi seperti itu. Cinta barangkali dapat memunculkan sesuatu, kemampuan
atau sifat-sifat rahasia, yang tak kita sadari sedang bersembunyi di dalam tubuh kita.
Namun ketika itu aku selalu merasa heran mengapa A Ling selalu
mengembalikan puisiku" Barangkali di tokonya yang sesak tak ada lagi tempat untuk menyimpan kertas.
Demikianlah pikiranku, bukankah anak kecil selalu berpikir positif. Aku tak ambil pusing
soal itu lagi pula saat ini pikiranku sedang tak keruan karena pada kotak kapur yang
kuambil pagi ini ada tulisan:
Jumpai aku di acara sembahyang rebut
Tulisan tangan A Ling! Ini adalah lompatan raksasa dalam hubungan kami.
Bagiku catatan kecil ini sangat penting seperti katebelece presiden untuk menaikkan gaji
seluruh pegawai negeri. Keinginanku melihat kembali wajah Michele Yeoh-ku setelah
insiden tirai dulu adlaah tabungan rindu dalam celengan tanah liat yang setiap saat
hampir meledak. Dan dalam waktu 92 jam, 15 menit, 10 detik dari sekarang aku akan
menjumpainya langsung! Di halaman kelenteng.
Hari-hari menjelang pertyemuan adalah hari-hari tak bisa tidur. Klasik sekali
memang, tapi apa boleh buiat karena memang itu kenyataannya maka harus kuceritakan.
Berkali-kali kubaca pesan di atas kotak kapur itu tapi masih tetap isinya tentang janji
ketemu. Dibaca dari arah mana pun, dari belakang seperti membaca huruf Arab, dari
depan, dari atas, dari jauh, dari dekat, dipantulkan di cermin, digerus dengan lilin, dibaca
dengan kaca pembesar, dibaca di balik api, ditaburi tepung terigu, diawasi lama-lama
seperti melihat gamabr tiga dimensi yang tersamar, isinya tetap sama yaitu jumpai aku
di acara sembahyang rebut . Itu adalah kalimat bahasa Indonesia yang jelas, bukan
idiom, bukan isyarat atau simbol. Aku seolah tak percaya dengan pesan itu tapi aku, si
Ikal ini, akan segera berjumpa dengan cinta pertamanya! Tak diragukan lagi, dunia boleh
iri. Kotak kapur yang ada tulisan pesan A Ling itu kusimpan di kamarku seperti
benda koleksi yang bernilai tinggi. Syahdan dan A Kiong sampai bosan terus-menerus
mendengar kisahku tentang pesan itu. Mereka muak. Satu pelajaran berharga, orang yang
sedang jatuh cinta adalah orang yang egois. Aku seolah tak percaya pada apa yang akan
terjadi, mimpikah ini"
Bukan, Kawan, bukan mimpi, mandilah bersih-bersih dan tunggu dia pukul
emapt sore di halaman kelenteng, saat persiapan sembahyang rebut. Dia wanita yang
baik, dia akan datang untuk janjinya, nasihat A Kiong, event organizer pertemuan
penting ini, yang tiba-tiba menjadi amat bijaksana.
Chiong Si Ku atau sembahyang rebut diadakan setiap tahun. Sebuah acara
semarak di mana seluruh warga Tionghoa berkumpul. Tak jarang anak-anaknya yang
merantau pulang kampung untuk acara ini. Banyak hiburan lain ditempelkan pada ritual
keagamaan ini, misalnya panjat pinang, komidi putar, dan orkes Melayu, sehingga
menarik minat setiap orang untuk berkunjung. Dengan demikian ajang ini dapat disebut
sebagai media tempat empat komponen utama kelompok subetnik di kampung kami:
orang Tionghoa, orang Melayu, orang pulau bersarung, dan orang Sawang berkumpul.
Orang Sawang tak terlalu tertarik dengan hiburan-hiburan tadi tapi mata mereka
tak lepas dari tiga buah meja berukuran besar dengan panjang kira-kira 12 meter, lebar
dan tingginya kira-kira 2 meter. Di atas meja itu ditimbun berlimpah ruah barang-barang
keperluan rumah tangga, mainan, dan berjenis-jenis makanan. Barang-barang ini adalah
sumbangan dari setiap warga Tionghoa. Tak kurang dari 150 jenis barang mulai dari
wajan, radio transistor, bahkan televisi, berbagai jenis kue, biskuit, gula, kopi, beras,
rokok, bahan tekstil, berbagai botol dan kaleng minuman ringan, gayung, pasta gigi,
sirop, ban sepeda, tikar, tas, sabun, payung, jaket, ubi jalar, baju, ember, celana, buah
mangga, kursi plastik, batu baterai, sampai beragam produk kecantikan disusun
bertumpuk-tumpuk laksana gunung di atas meja-meja besar tadi. Daya tarik terkuat dari
sembahyang rebut adalah sebuah benda kecil yang disebut fung pu, yakni secarik kain
merah yang disembunyikan di sela-sela barang-barang tadi. Benda ini merupakan incaran
setiap orang karena ia perlambang hoki dan yang mendapatkannya dapat menjualnya
kembali pada warga Tionghoa dengan harga jutaan rupiah.
Meja itu diletakkan di depan sebuah
Thai Tse Ya, yaitu patung raja hantu yang
dibuat dari bambu dan kertas-kertas berwarna-warni. Tinggi Thai Tse Ya mencapai 5
meter dengan diameter perut 2 meter. Ia adalah sesosok hantu raksasa yang
menyeramkan. Matanya sebesar semangka dan lidahnya panjang menjuntai seperti ingin
menjilati jejeran babi berminyak-minyak yang dipanggang berayun di bawahnya. Thai
Tse Ya tak lain adalah representasi sifat-sifat buruk dan kesialan manusia. Sepanjang sore
dan malam hari, warga Tionghoa yang Kong Hu Cu tentu saja melakukan sembahyang di
depan Thai Tse Ya ini. Tepat tengah malam salah seorang paderi akan memukul sebuah tempayan besar
pertanda seluruh hadirin dapat mengambil lebih tepatnya merebut semua barang yang
ada di tiga meja besar tadi. Oleh karena itu Chiong Si Ku disebut juga acara sembahyang


Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rebut. Ketika tempayan itu dipukul bertalu-talu tanda mulai berebut aku menyaksikan
salah satu peristiwa paling dahsyat yang pernah dilakukan manusia. Gunungan beratusratus
jenis barang tersebut lenyap dalam waktu tak lebih dari satu menit 25 detik lebih
tepatnya, dan tempat itu berubah menjadi kekacaubalauan yang tak tertuliskan kata-kata.
Debu tebal mengepul ketika ratusan orang dengan garang menyerbu meja-meja tinggi itu
dengan semangat seperti orang kesetanan. Tak jarang meja-meja itu hancur berantakan
dan para perebut cidera berat.
Mereka yang berhasil naik ke atas meja dengan gerakan secepat kilat
melemparkan barang-barang secara sistematis kepada rekan-rekannya yang menunggu di
bawah. Mereka yang bertindak sendiri naik ke atas meja dan memasukkan apa saja yang
ada di dekatnya ke dalam sebuah karung juga dengan kecepatan kilat sampai kadang
kala tak bisa menurunkan karungnya itu karena sudah di luar batas tenaganya.
Kadang kala belasan orang berebut sebuah barang sehingga terjadi semacam
perkelahian di tengah tumpukan barang dan beberapa di antaranya terjengkang, jatuh
menabrak barang-barang rebutan, lalu terjembab ke tanah. Para penonton tak sempat
bertepuk tangan tapi hanya terpana menyaksikan pemandangan sekilas yang mahadahsyat
sekaligus ngeri membayangkan bagaimana manusia bisa begitu serakah dan beringas.
Mereka yang tidak membawa karung memasukkan apa saja ke dalam seluruh
saku baju dan celana bahkan ke dalma bajunya sehingga tampak seperti badut. Dalam
situasi berebutan yang sangat cepat otak sudah tidak bisa menalar, kadang kala butir-butir
beras dan gula juga dimasukkan ke dalam saku celana. Mereka yang saku baju dan
celananya bahkan bagian dalam bajunya telah penuh memasukkan apa saja ke dalma
mulutnya, mereka makan apa saja, sebanyak mungkin, ketika masih berada di atas meja,
jika perlu mereka akan menyimpan barang di dalam lubang-lubang hidung dan telinga,
luar biasa! Jika berhasil merebut radio transistor jangan harap akan membawanya pulang
dengan utuh karena ketika masih di atas meja radio itu akan direbut oleh lima belas orang
sekaligus sehingga yang tersisa hanya tombol-tombol atau antenanya saja. Prinsipnya tak
mengapa mendapatkan tombolnya saja asalkan orang lain juga tak mendapatkan radio
seutuhnya. Perkara radio itu menjadi hancur tak bisa dipakai adalah urusan lain yang tak
penting. Inilah manifestasi dasar keserakahan manusia. Chiong Si Ku adalah bukti nyata
tak terbantah terhadap teori yang dipercaya para antropolog tentang kecenderungan egois,
tamak, merusak, dan agresif sebagai sifat-sifat dasar homo sapiens.
Superstar dalam Chiong Si Ku tentu saja orang-orang Sawang. Tanpa mereka
bisa-bisa acara ini kehlilangan sensasinya. Mereka sukses setiap tahun karena
pengorganisasian yang solid. Sejak sore mereka telah melakukan riset di mana posisi
barang-barang berharga, dari sudut mana harus menyerbu, berapa tenaga yang
diperlukan, dan mengkalkulasi perkiraan perolehan. Berhari-hari sebelum sembahyang
rebut mereka telah menyusun strategi. Pembagian tugasnya jelas, yaitu mereka yang
berbadan besar bertugas menjegal kelompok perebut lain, yang kecil menyerbu naik ke
atas meja seperti gerakan monyet: cepat, jeli, dan tangkas, dan sisanya menunggu di
bawah, si aga menangkap apa saja yang dilemparkan dari atas meja. Kelompok ini
beranggotakan sampai dua puluh orang. Seorang pria Sawang kurus bermata liar
ditugaskan khusus selama bertahun-tahun untuk menjarah fung pu. Ketika ia beraksi
ekspresinya datar seolah ia tak punya urusan dengan perebut-perebut serakah lainnya.
Tingkah lakunya persis budak yang dijanjikan merdeka oleh Siti Hindun jika berhasil
membunuh Hamzah sang panglima pada perang Uhud. Sang budak tak ada urusan
dengan perang Uhud, perang itu bukan perangnya, setelah menombak dada Hamzah ia
bergegas pulang. Demikian pula pria bermata liar ini. Ketika paderi memukul tempayan
pertama kali ia langsung memanjat meja seperti manusia laba-laba, lalu dengan cekatan
ia berjingkat-jingkat di antara lautan barang-barang. Matanya yang tajam nanar jelalatan
melacak ke sana kemari dan dalam waktu singkat ia mampu menemukan fung pu. Ia
selalu sukses meskipun paderi telah menyembunyikan benda kecil keramat itu dengan
amat rapi di antara tumpukan terdalam lipatan daster, di dalam salah satu dari puluhan
kaleng biskuit Khong Guan yang paling sulit dijangkau, di dalam karung ekmiri, di selasela
dedaunan tebu, bahkan di dalam buah jeruk kelapa. Setelah mendapatkan fung pu ia
menyelipkan carikan merah itu di pinggangnya dan melompat turun seperti pemilik ilmu
peringan tubuh. Ia tak sedikit pun peduli dengan barang-barang berharga lainnya serta
kecamuk ratusan pria kasar yang berebut dengan brutal. Sang legenda hidup Chiong Si
Ku itu mendarat ke bumi tanpa menimbulkan suara lalu sedetik kemudian ia menghilang
di tengah kerumunan massa membawa lari lambang supremasi Chiong Si Ku. Ia lenyap
di telan gelap, asap gaharu, dan aroma dupa.
Orang-orang Melayu, sebagaimana baisa, susah berorganisasi. Bukannya fokus
pada ikhtar untuk mencapai tujuan dan memenangkan persaingan tapi sebaliknya mereka
gemar sekali berpolitik sesama mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan jarang ada
yang mau berintrospeksi. Di antara mereka selalu saja berbeda pendapat dan mereka
senang bukan main dengan pertengkaran yang tak konstruktif. Tak mengapa tujuan tak
tercapai asal tak jatuh nama dalam debat kusir. Dan selalu terjadi suatu gejala yang paling
umum yaitu: yang paling bodoh dan paling tak berpendidikan adalah paling lantang dan
paling pintar kalau bicara. Jika orang Melayu membentuk sebuah tim maka setiap orang
ingin menjadi pemimpin. Akhirnya tim yang solid tak pernah terbentuk. Akibatnya dalam
sembahyang rebut mereka beroperasi secara individu dan berjuang secara soliter maka
yang berhasil dibawa pulang hanya tubuh yang remuk redam, sebatang tebu, beberapa
bungkus sagon, sebelah kaos kaki Mundo, beberapa butir kepala boneka, bibit kelapa
yang tak dipedulikan orang Sawang, dan pompa air itu pun hanya sumbatnya saja.
Chiong Si Ku diakhiri dengan membakar Thai Tse Ya dengan harapan tak ada
sifat-sifat buruk dan kesialan melanda sepanjang tahun ini. Sebuah acara keagamaan tua
yang syarat makna, berseni, dan sangat memesona.
Pukul 3.30 selesai shalat Ashar.
Pesan di kotak kapur! Seperti message in a botle. Aku berdiri tegak di bawah
pohon seri di halaman kelenteng sambil memegangi sepedaku, menunggu. Anak-anak
muda Tionghoa hilir mudik. Mereka sibuk mendirikan Thai Tse Ya setinggi lima meter.
Ada A Kiong diantara mereka, ia berulang kali mengacungkan jempolnya
menyemangatiku. Tabahlah, Kawan, ambil semua risiko, begitulah hidup, demikian barangkali
maksudnya. Aku membalas dengan senyum kecut karena aku gelisah. Aku gelisah
membayangkan apa yang ada di pikiran seorang wanita muda Tionghoa tentang laki-laki
Melayu kampung seperti aku. Dan berada di tengah lingkungan mereka membuat aku
semakin ragu. Apa aku pulang saja" Tapi aku rindu. Dan rinduku telanjur berdarah-darah.
Seperti terjadi setiap hari, pukul 3.30 sore matahari masih terasa sangat panas dan
dengan berdiri di sini sebagian tubuhku tersiram cahayanya. Aku dapat merasakan
keringatku mengalir pelan di leher baju takwa putih berlengan panjang, baju terbaik yang
aku miliki, hadiah hiburan lomba azan.
Jantungku berdetak kacau, aku gugup luar biasa.
Burung matahari akwanan tujuh ekor yang berkicau-kicau di dahan-dahan rendah seri
jelas-jelas menggodaku. Mereka berjingkat-jingkat dan ribut sekali. Kumbang juga
menerorku, seperti suara ambulans mereka sibuk melubangi kayu-kayu besar bercat
merah mencolok yang menyangga atap kelenteng. Suaranya merisaukanku. Aku tak sabar
menunggu. Pukul 3.55 Sudah 25 menit aku mematung di sini, tak ada tanda-tanda kehadiran A Ling.
Wajah A Kiong menaruh belas kasihan padaku. Barangkali tadi aku tiba terlalu awal,
harusnya aku datang terlambat saja, atau tak datang sama sekali. Berbagai pikiran aneh
mulai merasukiku. Aku merasa lelah karena tegang. Kakiku kesemutan.
Mataku tak lepas-lepas memandang ke arah satu-satunya jalan yang
menghubungkan kelenteng dengan pasar ikan. Di sepanjang kiri kanan jalan ini tumbuh
berderet-deret pohon saga. Cabang-cabang atasnya bertemu meneduhi jalan di bawahnya
sehingga jalan ini tampak seperti gua. Setelah deretan pohon-pohon saga, jalan ini
berbelok ke kanan. Pinggir jalan ini dipagari bekas-bekas tulang bangunan yang terlantar.
Tulang-tulang bangunan itu dirambati dengan lebat tak beraturan ke sana kemari
oleh Bougainvillea spectabilis liar atau kembang kertas dan berakhir pada ujung sebuah
jalan buntu. Di ujung jalan ini berdiri toko Sinar Harapan, rumah A Ling. Maka berdiri
dua puluh meter persis di depan Thak Si Ya adalah posisi yang telah kuperhitungkan
dengan matang. Jika ia muncul di belokan itu, maka dari posisi ini aku dapat melihatnya
langsung berjalan anggun seperti burung sekretaris menuju ke arahku. Pasti ia akan
menunduk tersenyum-senyum, atau, seperti film India, ia akan berlari kecil membawa
seikat bunga, lalu merentangkan tangannya untuk memelukku. Ah, aku bermimpi.
Tapi ia tak muncul-muncul dan aku berulang kali mengusap mataku yang
kelelahan memelototi belokan itu. Kakiku penat dan aku mulai merasa pusing karena
ketegangan berkepanjangan. Sekarang Thak Si Ya telah berdiri, para pemuda Tionghoa
bertepuk tangan, sementara aku semakin gelisah. Aku melirik Thak Si Ya yang berdiri
tinggi tegak, matanya seram sekali mengawasi gerak gerikku.
Sekarang sudah pukul 3.57, tiga menit menjelang tenggat waktu.
Aku menghitung dengan jariku, jika sampai hitungan keenam puluh ia tak muncul
maka aku akan pergi saja. Aku kepanasan dan merasa mual. Karena tegang, perutku naik
membaut ngilu ulu hatiku. Kalau tadi pikiran yang bukan-bukan merasukiku, kini
pikiranku dilanda keraguan.
Apakah ia benar-benar seperti persepsiku selama ini" Apakah yang kuabyangkan
tentang dirinya akan sama sekali berbeda kenyataannya" Mungkinkah sekarang ia sedang
menyiangi tauge, lupa akan janjinya" Tahukah ia betapa berarti pesannya itu untukku"
Dan sekarang ia tak datang, betapa hancur hatiku. Ingin segera kukayuh sepeda ini, lari
sekencang-kencangnya menceburkan diri ke Sungai Lenggang.
Pukul 4.02, lewat sudah batas janji.
Tik! Tok! Tik! Tok! Tik! Tok!
Sudah 60! Hitunganku sampai. Ia ingkar!
Aku berada di puncak kegelisahan. Tanganku dingin, jantungku berdetak makin
cepat. Suara kumbang-kumbang semakin riuh merubung aku, menerorku tanpa ampun.
Ngiung! Ngiung! Ngiung ...
Dadaku sesak karena rindu dan marah, aku naiki sadel sepeda, sudah tak tahan
ingin berlalu dari neraka ini. Namun ketika aku akan mengayuh sepeda, aku mendengar
persis di belakangku suara itu. Suara yang lembut seperti tofu. Suara yang membuat
kumbang-kumbang terdiam bungkam. Inilah suara yang sejuk seperti angin selatan, suara
terindah yang pernah kudengar seumur hidupku, laksana denting harpa dari surga.
Siapa namamu" Aku berbalik cepat dan terkejut.
Aku tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Karena di situ, persis di situ, tiga
meter di depanku, berdirilah ia, the distinguished Miss A Ling herself! Michele Yeoh-ku.
Ia datang dari arah yang sama sekali tak kuduga karena sebenarnya dari tadi ia sudah
berada di dalam kelenteng memerhatikanku, dan pada detik-detik terakhir aku akan
kecewa, ia hadir, memberiku kejutan listrik voltase tinggi, menghancu
rkan setiap butiranbutiran
darah merah di tubuhku. Setelah lima tahun mengenalnya, baru tujuh bulan yang
lalu pertama melihat wajahnya, setelah puluhan puisi yang kutulis untuknya, setelah
berton-ton rindu untuknya, baru sore ini dia akan tahu namaku.
Aku tergagap-gagap seeprti orang Melayu belajar mengaji.
Ia mengulum senyum, manis sekali tak terperikan. Hadir dalam balutan chong
kiun, baju acara penting yang memesona, di suatu bulan Juli yang meriah, ia turun ke
bumi bagai venus dari Laut Cina Selatan. Baju itu mengikuti lekuk tubuhnya dari atas
mata kaki sampai ke leher dan dikunci dengan kancing tinggi berbentuk seperti paku.
Tubuhnya yang ramping bertumpu di atas sepasang sandal kayu berwarna biru. Cantik
rupawan melebihi mayoret mana pun. Tingginya tak kurang dari 175 cm, jelas lebih
tinggi dariku. Serasi dengan rumpun genayun yang tumbuh kurus menjulang di sampingnya ia
mengikat rambutnya menjadi satu ikatan besar dan ikatan itu ditegakkan tinggi-tinggi.
Beberapa helai rambut yang disatukan jatuh di atas pundak chong kiun berwarna lam set,
biru muda, dengan motif bunga ros besar-besar. Beberapa helai rambut lainnya dibiarkan
jatuh melintasi wajahnya yang teduh jelita. Kuku-kukunya yang cantik memegang hio
utnuk sembahyang. Ada sedikit kilasan kedewasaan pada pancaran matanya dibanding terakhir kami
bertemu. Teori yang memaksakan pendapat bahwa wanita bermata besar kelihatan lebih
cantik akan runtuh berantakan jika melihat A Ling. Matanya yang sipit sedikti tertarik ke
atas, senada dengan bentuk alis yang dibiarkan alami. Dalam lukisan wajah yang tirus
bentuk mata seperti itu menciptakan rasa kecantikan dengan karakter yang kaut. Inilah
pusat gravitasi pesona wajah A Ling.
Sejujurnya aku tak sanggup mengatasi keanggunan pada level seperti ini. Ini
bukan untukku. Aku merasa tak pantas. Bagiku ia seperti seseorang yang akan selalu
menjadi milik orang lain. Dan aku, tak lebih dari pengisi data nama dan alamat pada buku
simfoninya yang akan terlupakan sebulan setelah ini. Aku tak mungkin berada di dalam
liga ini. Aku rasanya ingin pulang saja. Ia membaca itu. Lalu memegang mata kiang lian,
seuntai kalung yang menggantung panjang di lehernya. Mata kalung itu batu giok dan
bertulisan Tionghoa. Aku tak paham makna tulisan itu.
Miang sui, kata A Ling. Nasib, itulah artinya.
Dan lilin besar merah pun dinyalakan, cahayanya berkibar-kibar, ratusan
jumlahnya. Mata Thai Tse Ya berkilat-kilat karena lilin menyinari wajahnya dari bawah.
Ia tampak makin seram tapi aura A Ling membuatnya tak lebih dari boneka kertas yang
jenaka dan kumbang-kumbang yang nakal tadi tak berani muncul lagi.
A Ling menarik tanganku, kami berlari meninggalkan halaman kelenteng, terus
berlari melintasi kebun kosong tak terurus, menyibak-nyibakkan rumput apit-apit setinggi
dada, tertawa kecil menuju lapangan rumput halaman sekolah nasional. Kami
merebahkan diri kelelahan, memandangi awan senja berarakan.
Aku membaca puisimu, Bunga Krisan, di depan kelas! katanya serius. Puisi
yang indah .... Aku melambung. Wajah A Ling yang cantik berair karena keringat, seperti embun di permukaan
kaca. Ia bangkit, lalu berjalan hilir mudik di depanku yang memandanginya seperti bayi
melihat kelereng. Lalu dengan gaya seperti dosen ia menggenggam jemarinya, bercerita
penuh semangat tentang minatnya pada sketsa dan cita-citanya menjadi perancang
busana. Sebaliknya, aku menceritakan minatku pada seni. Di dekatnya aku merasa
berarti, merasa menjadi seseorang, di dekatnya aku merasa ingin menjadi seorang pria
yang lebih baik. Di dekatnya aku merasa seperti sedang berada dalam sebuah adegan
dalam film. Dari lapangan itu kami kemudian berlari-lari menuju komidip utar. Bukankah
komidi putar adalah sebuah benda yang menakjubkan" Setelah seorang pria kumal
mengangkat sebuah tuas lalu benda itu secara mekanik memutar insan-insan yang
dimabuk cinta yang duduk berimpitan di dalam sebuah tempat seperti mentudung. Lalu
tiba-tiuba semuanya menjadi mudah karena semua hal disaksikan dari suatu jarak. Bagiku
mentudung-mentudung it u seumpama pelaminan di mana orang berusaha menikmati
keindahan cinta dalam kesederhanaan sensasi yang ditawarkan sebuah komidi putar.
Keindahan yang sederhana ini membuatku belajar menghargai cinta yang sekarang duduk
di sampingku. Inilah sore terindah dalam hidupku. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri:
ke manakah nasib akan membawaku setelah ini" Dari putaran tertinggi komidi aku dapat
melihat lapangan tempat tadi kami memandangi awan.
Sumpah Palapa 9 Raja Naga 05 Kain Pusaka Setan Sastrawan Cantik Dari Lembah Merak 2
^